BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perbatasan merupakan aspek penting dalam sebuah konsep negara yang dihasilkan oleh perjanjian Westphalia tahun 1618, karena perbatasan menentukan wilayah dimana suatu otoritas diimplementasikan sekaligus menjadi pembatas dimana otoritas tersebut berakhir, selain itu perbatasan juga merupakan aspek penting dimana kedaulatan negara bersinggungan dengan kedaulatan negara lain. Fenomena ini merupakan suatu hal yang lumrah dijumpai di dunia modern saat ini dimana konsep negara-bangsa Westphalia terproliferasi diseluruh dunia sehingga hampir tidak ada wilayah yang tidak berada dibawah otoritas negara bangsa. Fenomena serupa bisa dilihat pada perbatasan Indonesia. Indonesia berbatasan dengan 10 negara yakni, Australia, Papua Nugini, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Vietnam, Timor Leste, India, dan Palau. Diantara 10 negara yang berbatasan dengan Indonesia, ada 3 negara yang berbatasan langsung melalui daratan yakni dengan Papua Nugini, Malaysia dan Timor Leste. 1 Dengan kata lain, Indonesia sebagai entitas berdaulat harus bersinggungan langsung dengan 10 entitas berdaulat lainnya. Untuk itu, Indonesia sangat berkepentingan dalam menjaga perbatasannya, hal ini tidak terlepas dari sejarah panjang perjuangan Indonesia dalam memperoleh kemerdekaan dan kedaulatan atas Belanda. Sejak diproklamasikan pada tahun 1945, Pemerintah Indonesia selalu berupaya untuk mencari dukungan bagi legitimasinya. Dan hal itu tidak bisa dilakukan tanpa adanya kesepakatan yang diakui oleh dunia internasional terkait dengan perbatasan Indonesia. 2 Berbagai kesepakatan, diplomasi, hingga konflik bersenjata dengan Belanda sebagai negara bekas penjajah bisa dilihat sebagai suatu bentuk penegasan perbatasan Indonesia. Pada mulanya wilayah Indonesia hanya meliputi Jawa, Sumatra dan Madura pada tahun 1947, kemudian bertambah menjadi hampir seluruh wilayah Indonesia yang kita kenal saat ini yang juga meliputi, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan kepulauan Flores pada tahun 1949, dan Papua pada tahun 1969. Namun, Indonesia harus kehilangan salah satu provinsinya yakni Timor Timur yang memerdekakan diri pada tahun 1999.
1
Departemen Komunikasi dan Informatika, Menelusuri Batas Nusantara Tinjauan Atas Empat Kawasan Perbatasan, Pusat Pengelolaan Pendapat Umum Badan Informasi Publik Departemen Komunikasi dan Informatika, 2006, p.v 2 Ganewati Wuryandari, “ Politik Luar Negeri Indoensia Era Orde Lama”, dalam Ganewati Wuryandari (ed), Politik Luar Negeri Indonesia Ditengah Pusaran Politik Domestik, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008, p.60
1
Salah satu daerah perbatasan Indonesia yang memiliki permasalahan serius adalah daerah perbatasan antara Indonesia-Malaysia di Kalimantan Utara.3 Permasalahan yang kerap terjadi di Kalimantan Utara antara lain: 1) Tidak jelasnya garis perbatasan negara yang diakibatkan rusaknya patok-patok perbatasan, 2) Tidak sinkronnya kebijakan yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang terkait, 3) Ketertinggalan perekonomian masyarakat perbatasan di Kalimantan Utara dibandingkan dengan masyarakat di perbatasan Negeri Sabah dan Serawak, 4) Aksebilitas yang rendah dikarenakan terbatasnya sarana transportasi dan komunikasi, 5) Rendahnya komitmen politik masyarakat dan pemerintah pusat dan daerah untuk membangun kawasan perbatasan, 6) Tingkat kesehatan masyarakatan yang rendah, 7) Kemiskinan dan keterisolasian masyarakat perbatasan, 8) Globalisasi ekonomi yang menyebabkan produk-produk kawasan perbatasan diklaim sebagai produk Malaysia, 9) Permasalah terkait dengan sumberdaya alam yang ada di kawasan perbatasan, 10) Permasalahan terkait dengan aspek keamanan, dan 11) Permasalahan terkait dengan ketidaksiapan sarana dan prasarana aparatur negara di daerah pemekaran perbatasan. 4 Pemerintah pusat sebenarnya telah melakukan berbagai upaya untuk mengelola serta menanggulangi permasalahan yang kerap terjadi di perbatasan Kalimantan-Malaysia dengan diterbitkannya aturan seperti Keppres No.44 Tahun 1994 tentang Badan Pengendali Pelaksanaan Pembangunan Wilayah Perbatasan di Kalimantan, namun Keppres tersebut tidak memiliki dampak yang signifikan sehingga pada era pemerintahan Presiden BJ Habibie Keppres tersebut dicabut dan pengelolaan daerah perbatasan dikembalikan ke instansi terkait.5 Namun pemerintah pusat terus mengeluarkan peraturan terkait dengan pengelolaan perbatasan Indonesia seperti
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2004-2025, Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Undang-undang Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara, Undangundang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil, Peraturan Presiden Nomor 78
3
Kalimantan Utara merupakan Provinsi ke-34 dari NKRI yang dipecah dari Provinsi Kalimantan Timur, dan disahkan pada tahun 2012 melalui UU No.20 Tahun 2012. 4 Sonny Sudiar, Kebijakan Pembangunan Perbatasan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Perbatasan Pulau Sebatik, Indonesia, h.7-8 5 Letjen TNI Moeldoko, Kompleksitas Pengelolaan Perbatasan Tinjauan dari Perspektif Kebijakan Pengelolaan Perbatasan Indonesia, Universitas Pertahanan Indonesia, 2012, h.6
2
Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar, dan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan. 6 Dari berbagai peraturan yang disebukan diatas, terdapat dua peraturan yang penting dalam pengelolaan perbatasan Indonesia, yakni UU No.43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara dan PP No.12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Kedua peraturan tersebut berujung pada pembentukan Badan Pengelola Perbatasan baik di tingkat nasional maupun daerah. Signifikansi dari BNPP adalah lembaga tersebut merupakan manifestasi dari kebijakan Pemerintah Indonesia untuk pengelolaan wilayah perbatasan yang lebih maksimal, BNPP merupakan institusi terdepan dalam pengelolaan wilayah perbatasan. BNPP
memiliki tugas koordinasi dan pelaksanaan, sehingga institusi tersebut bersifat
koordinatif dan operasional. BNPP bertugas untuk mengkoordinasikan kebijakan pengelolaan perbatasan dari 11 kementerian terkait, sehingga masalah klasik yang sering dihadapi oleh pemerintah dalam pengelolaan wilayah perbatasan, yakni kebijakan yang bersifat ad-hoc dan parsial serta egosektoral dari masing-masing instansi menyebabkan adanya tumpang tindih (overlapping) dan inefisiensi dalam pengelolaan perbatasan, diharapkan dapat diperbaiki. 7 Isu lain yang tidak kalah penting ketika membahas mengenai perbatasan IndonesiaMalaysia adalah fenomena bahwa isu ini menjadi topik yang sangat sensitif baik bagi masyarakat umum maupun elit politik. Rasa Nasionalisme masyarakat Indonesia seakan sangat terusik dan mudah sekali bangkit ketika isu-isu mengenai tindakan Malaysia yang sering dikaitkan dengan pelanggaran batas wilayah negara. Memang sejarah kedua negara tidak terlepas dari berbagai kontroversi. Catatan sejarah yang paling terkenal mungkin adalah ketika presiden Soekarno mengeluarkan kebijakan “Konfrontasi” terhadap negara Federasi Malaysia yang dianggapnya sebagai bentuk lain dari imperialisme Barat. Begitu juga dengan pandangan Malaysia terhadap Indonesia. Dengan menyandang status sebagai negara penerima Tenaga Kerja Indonesia (Indonesian Overseas Workers) terbesar, Malaysia sendiri dihadapkan pada masalah sosial yang rumit, dimana isu mengenai TKI ini seringkali menjadi pemicu ketegangan diantara kedua negara. Untuk itu menarik untuk dikaji sejauh mana signifikansi BNPP dalam kebijkan pengelolaan perbatasan di Kalimantan Utara, mengingat badan ini merupakan institusi yang diharapkan mampu untuk membenahi permasalahan pengelolaan perbatasan Indonesia yang selalu terjadi. Pengelolaan perbatasan menjadi isu yang sangat penting mengingat sejarah 6
BNPP, Grand Design Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Di Indonesia Tahun 2011-2025, h.2 7 Profil BNPP, dalam http://www.bnpp.go.id/profil/profil-bnpp, diakses 6 Juni 2014
3
kedua negara yang diwarnai dengan konflik serta begitu mudahnya isu-isu tentang perbatasan menyebabkan bergejolaknya situasi kehidupan politik ditengah masyarakat, khususnya di Indonesia. Penelitian ini akan memfokuskan pada aspek pengelolaan kawasan dan maysarakat di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Utara atau dengan kata lain kebijakan pemerintah Indonesia terhadap kawasa perbatasan dan masyarakat yang bermukim disana. Penelitian ini tidak menekankan pada kebijakan bilateral Indonesia-Malaysia terkait dengan perbatasan kedua negara seperti negosiasi kedua negara dalam penentuan titik perbatasan, posisi tawar Indonesia-Malaysia dalam perundingan perbatasan dan aspek-aspek politik tingkat tinggi (high politics) lainnya dalam interaksi Indonesia-Malaysia di perbatasan. Tema penelitian ini berpusat pada pertanyaan mengenai perubahan yang dibawa oleh BNPP dalam kebijakan pengelolaan kawasan dan masyarakat di perbatasan Kalimantan Utara, serta bagaimana implementasi kebijakan itu ditengah arus globalisasi dan interdependensi antara Indonesia-Malaysia.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana kebijakan pengelolaan kawasan dan masyarakat di perbatasan Kalimantan Utara setelah tebentuknya BNPP? 2. Faktor apa yang mempengaruhi pemerintah Indonesia dalam merumuskan kebijakan perbatasan tersebut?
C. Tinjauan Pustaka Terdapat dua kubu dalam diskursus mengenai perbatasan dalam Hubungan Internasional. Kubu pertama adalah mereka yang skeptis akan signifikansi perbatasan, bahkan mereka lebih lanjut menggugat otoritas serta relevansi dari konsep negara-bangsa Westphalia yang melahirkan konsep perbatasan itu sendiri. Sedangkan bagi kubu lainnya, perbatasan masih merupakan hal yang relevan dalam HI, mereka berpendapat bahwa sampai saat ini konsep negara-bangsa Westphalia suka atau tidak harus diakui sebagai konsep yang masih memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam kehidupan manusia dan kelompoknya. Argumentasi dari kubu skeptis diwakili oleh tokoh-tokoh utamanya seperti Kenichi Ohmae, David Mittrany, dan Richard Cobden yang dalam khazanah keilmuan HI digolongkan sebagai akademisi dengan mazhab Liberalisme. Kesamaan dari semua tokoh yang disebutkan sebelumnya adalah argumentasi mereka yang mengatakan bahwa derasnya perpindahan manusia, barang, jasa, dan informasi itu membuat batasan-batasan yang telah 4
ditetapkan oleh negara menjadi kabur. Kenichi Ohmae menyatakan bahwa dunia sekarang berada dalam kondisi yang borderless. Dalam buku kotroversialnya yang berjudul The End of the Nation State, ia menyebutkan bahwa negara bangsa sebagai artefak dari abad 18 dan 19 telah berangsur-angsur runtuh. 8 Runtuhnya negara-bangsa oleh Ohmae disebabkan oleh integrasi ekonomi global yang membuat tidak relevannya lokasi geografis dari negara-negara didunia terkait dengan aktifitas perekonomiannya. Garis batas negara sebagai suatu hal yang sakral dan sulit ditembus tidak memiliki arti apapun bagi pergerakan modal perekonomian maupun informasi. Pemikiran dari Ohmae, serta David Mittrany dan Richard Cobden diekspolari lebih lanjut dalam buku Per A. Hammarlund yang berjudul Liberal Internationalism and the Decline of the State: The Thought of Richard Cobden, David Mitrany and Kenichi Ohmae.9 Permasalah utama yang diangkat ketiga akademisi itu oleh Hammarlund disebutkan: ..problems of governance resulting from the dichotomy between state sovereignty and an increasing number of cross-border activities.10 Batas negara tidak bisa memagari mereka untuk menolak derasnya arus globalisasi. Efek dari pergerakan manusia, barang, jasa dan informasi yang kurang bisa dikontrol oleh negara tersebut menimbulkan apa yang disebut sebagai borderless world, atau deterritorialization. Secara singkat kedua istilah itu merujuk pada kaburnya batas-batas negara di dunia yang tidak hanya berimbas pada integrasi perekonomian diantara negaranegara tersebut, namun juga perubahan pada identitas manusia modern yang tidak lagi tersekat-sekat oleh batasan yang dibuat oleh negara-negara Westphalia. Globalisasi memungkin terjadinya proses unifikasi manusia menjadi suatu entitas yang sadar akan kesamaan mereka sebagai manusia terlepas dari negara dimana mereka berada. Identitas mereka sebagai warganegara dari salah satu negara di dunia perlahan terkikis dan tergantikan dengan identitas sebagai warga dunia. Loyalitas mereka terhdap negara masing-masing juga tergeser dan tidak lagi menjadi fokus utama. Kedaulatan negara sebagai entitas politik tertinggi di dunia semakin lama semakin kabur dengan berbagai kekuatan swasta yang bisa beroperasi di berbagai negara tanpa ada halangan yang berarti dan dapat menembus batasbatas negara itu. Imbasnya adalah perbatasan negara yang tidak lagi dianggap penting dalam dunia modern saat ini.
8
Kenichi Ohmae, The End of the Nation State: The Rise of the Regional Economies, London:HarperCollins, 1996, p.7 9 Per A. Hammarlund, Liberal Internationalism and the Decline of the State: The Thought of Richard Cobden, David Mitrany and Kenichi Ohmae, New York:Palgrave Macmillan,2005. 10 Hammarlund, p.1
5
Meskipun klaim bahwa batas-batas negara menjadi tidak relevan dalam masa sekarang, terlebih jika dilihat dari perspektif Liberal seperti Ohmae, Mitrany dan Cobden, namun hal tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Terdapat kubu yang menyatakan bahwa studi mengenai perbatasan masih merupakan hal yang signifikan dalam HI. Mereka menolak klaim yang menyatakan bahwa negara-bangsa dan batas-batas negara yang menyertainya menjadi hal yang tidak lagi penting dalam dunia global. James Clad adalah salah satunya. Dalam bukunya yang berjudul Delineation and Borders in Southeast Asia, dia menyatakan bahwa dunia sekarang ditandai oleh meningkatnya kontrol negara atas perbatasannya, melalui berbagai penemuan alat monitoring perbatasan yang dikerahkan oleh negara dan pihak swasta.11 Kita bisa melihat bagaimana praktek-praktek yang dilakukan oleh banyak negara mengenai perbatasan mereka yang semakin ketat, misalnya prosedur ketat yang harus dilalui oleh penumpang pesawat udara ketika ingin memasuki negara tertertu seperti AS diakibatkan oleh peristiwa 9/11, dan kebijakan Australia yang sangat ketat dalam menjaga perbatasannya, terutama terhadap imigran gelap. Argumentasi Clad turut didukung oleh akademisi lain seperti Alexander C. Diener dan Joshua Hagen yang dalam bukunya Borderlines and Borderlands Political Oddities at the Edge of Nation-State memberikan fakta bahwa sampai pada tahun 2010, terdapat lebih dari 100 konflik mengenai perbatasan yang terjadi diantara 194 negara berdaulat didunia, dan dari 301 perbatasan darat yang ada, sekitar 33 persennya merupakan area yang dipermasalahkan.12 Hal ini menunjukkan bahwa meskipun globalisasi merupakan hal yang diterima secara umum dan fenomenanya dirasakan oleh semua yang ada di dunia, namun hal itu tidak serta merta membuat negara-bangsa menjadi tidak relevan sama sekali. Perbatasan negara yang merupakan garis yang menentukan wilayah kedaulatan suatu negara serta menjadi wilayah dimana mereka bersinggungan dengan entitas yang berdaulat lainnya, tetap menjadi hal yang penting dalam Hubungan Internasional. Dari kubu kedua, terdapat banyak sekali akademisi yang menulis tentang fenomena perbatasan di dunia mulai dari Malcom Anderson yang mengulas mengenai asal muasal konsep perbatasan (yang ia sebut sebagai frontiers), perkembangan, legitimasi, dan hubungannya dengan konsep kedaulatan yang muncul dari konsep negara Westphalia dalam
11
James Clad, “Delineation and Borders in Southeast Asia”, dalam James Clad, Sean M. McDonald, dan Bruce Vaughn (eds), The Borderlands of Southeast Asia: Geopolitics, Terrorism, and Globalization, Washington D.C:National Defence University Press, 2011, p.2 12 Alexander C. Diener dan Joshua Hagen, Borderlines and Borderlands Political Oddities at the Edge of Nation-State, Plymouth:Rowman & Littlefield Publishers,2010, p.3
6
buku Frontiers: Territory and State Formation in the Modern World.13 Selanjutnya ada buku yang berjudul B/Ordering Space, yang diedit oleh Henk Van Houtum, Olivier Kramsch, dan Wolfgang Zierhofer.14 Secara singkat buku itu terdiri dari 4 bahasan utama yakni 1) bahwa boundary-making practices merupakan hal yang tidak dapat dilepaskan dari proses globalisasi (berlawanan dengan kubu pertama yang menyebut bahwa globalisasi mengarah pada diabaikannya boundary-making process), 2) kondisi sosio-spasial tertentu menghasilkan bordering and ordering practices (penentuan, pembuatan, penetapan perbatasan serta administrasi dan pengelolaan perbatasan) yang berbeda pula bagi tiap-tiap negara, 3) praktik bordering memiliki dua dampak yang saling berlawanan, disatu sisi membuat batasan antar negara menjadi rigid di lain pihak tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya keterbukaan, keterhubungan, dan hibriditas kebijakan, dan 4) bahwa diskursus mengenai signifikansi perbatasan tetap relevan bahkan dalam kaitannya dengan proses integrasi yang mengaburkan batas-batas negara seperti yang terjadi di Uni Eropa. Bahasan mengenai sejarah, kondisi sosial-budaya, politik, kebijakan, dan fenomena tertentu lainnya dari perbatasan-perbatasan yang ada di dunia coba untuk dirangkum dalam satu buku yang diedit oleh I. William Zartman yang berjudul Understanding Life in the Borderland: Boundaries in Depth and in Motion.15 Dalam buku tersebut terdapat tulisan yang menarik dari David Stea, Jamie Zech dan Melissa Gray berjudul Change and Non-change in the U.S-Mexican Borderlands after NAFTA. Stea, Zech dan Gray mengelaborasikan dampak dari kebijakan kedua negara ketika mereka menyepakati terbentuknya NAFTA terhadap kehidupan masyarakat di perbatasan masing-masing. Meski demikian terbentuknya NAFTA tidak serta merta membuat perbatasan AS-Mexico menjadi kabur. NAFTA memang memrberikan kesempatan bagi intensifikasi hubungan AS-Mexico terutama dalam ekonomi, dan makin terintegrasinya masyarakat di kedua sisi perbatasan negara. Namun faktor lain juga turut mempengaruhi kebijakan perbatasan yang diambil oleh masing-masing negara, contohnya AS yang memperketat pengamanan perbatasannya semenjak peristiwa 9/11 untuk mencegah masuknya teroris internasional melalui Mexico. Selain itu, kondisi internal Mexico yang bermasalah dengan kartel narkoba juga membuat AS semakin waspada dan mengadakan patroli di sepanjang perbatasannya agar permasalahan di Mexico tersebut tidak merembet ke AS. 13
Malcolm Anderson, Frontiers: Territoty and State Formation in the Modern World, Cambridge:Polity Press, 1996. 14 Henk Van Houtum, Olivier Kramsch, dan Wolfgang Zierhofer (eds), B/Ordering Spaces, Burlington:Ashgate, 1988. 15 I. William Zartman, Understanding Life in the Borderland: Boundaries in Depth and in Motion, Athens: University of Georgia Press, 2010.
7
Untuk membedakan penelitian ini dengan penelitian dengan tema yang sama yang terdapat di literatur Universitas Gadjah Mada, maka akan disampaikan mengenai inti dari penelitian-penelitian tersebut dan perbedaannya dengan penelitian ini. Pertama adalah tesis yang ditulis oleh Ilham Zain yang berjudul Peran BNPP Dalam Pembangunan Daerah Perbatasan (Studi Kasus BNPP). Dalam tulisan tersebut dibahas tentang rumusan strategi yang sebaiknya dilakukan oleh BNPP dalam penanganan perbatasan untuk mempercepat pembangunan di wilayah perbatasan. Pendekatan yang dipakai oleh Ilham Zain dalam studi terkait dengan BNPP adalah pendekatan organisasi, dimana Zain lebih mengeksplor bagaimana BNPP mengelola perbatasan dengan analisa SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat), jadi pembahasan yang ditekankan dalam tulisan tersebut adalah faktor internal dan eksternal yang menunjang kinerja BNPP secara organisasi, seperti faktor eksternal yang menjadi ancaman (Threat) BNPP antara lain hubungan organisasi pemerintah yang tidak bersifat hirarkis, kemudian faktor eksternal yang menjadi peluang (Opportunity) bagi BNPP seperti semakin meningkatnya kepercayaan daerah terhadap badan tersebut, kemudian faktor internal yang menjadi kekuatan (Strength) BNPP semisal kejelasan visi dan misi BNPP dan kelemahan (Weakness) yang dimiliki BNPP seperti sarana dan prasarana yang kurang memadai.16 Tesis selanjutnya yang dijadikan perbandingan dalam penelitian ini adalah tulisan yang berjudul Penanganan Masalah Perbatasan Indonesia-Malaysia Di Kalimantan karya S.H. Setyabudhie. 17 Pertanyaan utama dari tulisan tersebut berkenaan dengan mengapa permasalahan penetapan perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan belum selesai sampai saat ini, bagaimana implikasinya terhadap hubungan kedua negara, serta upaya apa yang telah dilakukan oleh Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Dengan menggunakan kerangka konsep maupun teori seperti teori komunitas keamanan, teori konflik, analisa kebijakan publik,
implementasi kebijakan, serta model implementasi kebijakan, tulisan
tersebut berpendapat bahwa permasalahan yang terjadi terkait dengan penanganan perbatasan Indonesia-Malaysia disebabkan oleh perbedaan persepsi tentang data-data batas wilayah perbatasan, kurang maksimalnya penanganan oleh pemerintah pusat terhadap masalah perbatasan, serta persepsi Malaysia yang berubah dikarenakan keberhasilan mereka memenangkan perkara di International Court of Justice mengenai Pulau Sipadan dan Ligitan. Sedangkan implikasi dari tidak terselesaikannya permasalahan perbatasan Indonesia16
Ilham Zain, Peran BNPP Dalam Pembangunan Daerah Perbatasan (Studi Kasus BNPP), Tesis Magister Administrasi Publik UGM, 2012. 17 S.H. Setyabudhie, Penanganan Masalah Perbatasan Indonesia-Malaysia Di Kalimantan, Tesis Magister Hubungan Internasional UGM, 2010
8
Malaysia di Kalimantan berakibat dalam berbagai bidang seperti dalam bidang politik dimana Indonesia terdorong untuk terus membina hubungan yang baik dengan Malaysia agar terhindar dari konflik besar yang bisa merugikan kedua pihak, kemudian impikasi di bidang ekonomi bisa dilihat dari ketergantungan masyarakat perbatasan di Kalimantan terhadap Malaysia. Dalam tulisan itu juga disebutkan berbagai upaya yang dilakukan oleh Indonesia dalam menangani permasalahan perbatasannya dengan Malaysia di Kalimantan telah diambil seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan sumber daya manusia, serta pengawasan optimalisasi kerjasama antara kedua negara. Penelitian ini lebih condong untuk setuju dengan pendapat dari kubu yang kedua dikarenakan dalam prakteknya, signifikansi dari perbatasan Indonesia masih dipertahankan oleh para pemangku kebiijakannya. Contoh paling nyata adalah dengan dikeluarkannya berbagai kebijakan mengenai pengelolaan perbatasan. Lebih lanjut studi ini akan mengelaborasi transformasi kebijakan pengelolaan perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Utara sebagai bentuk dari masih relevannya studi perbatasan dalam HI. D. Kerangka Konseptual Territorial Attachment Konsep negara Westphalia yang merupakan pondasi bagi terbentuknya negara-negara modern melahirkan keterkaitan yang erat antara aspek wilayah (territorial) dan aspek politik. Wilayah berfungsi sebagai tempat dimana kekuasaan politik diartikulasikan. Selain itu wilayah negara juga berfungsi sebagai pembeda antara “kita” dan “mereka” atau dengan kata lain sebagai klasifikasi untuk pembentukan suatu komunitas yang dibatasi oleh wilayah (bounded community) selain dari batasan lain seperti kesamaan budaya, agama, dan etnis. Batasan-batasan tersebut penting dalam sebuah komunitas untuk mempertahankan diri dari ancaman yang datang dari dalam maupun luar kelompok. Dengan adanya batasan tersebut anggota komunitas bisa menentukan siapa saja yang termasuk dalam anggota kelompok dan mengartikulasikan kekuasaan politiknya untuk menghukum anggotanya yang mengancam keutuhan kelompok, selain itu batasan-batasan tersebut juga menghasilkan suatu norma tertentu yang terinternalisasi kepada setiap anggota untuk membela kelompoknya dan kualitas yang mengikat mereka sebagai suatu kelompok, dan menurut para akademisi,
9
kualitas kewilayahan atau territorial merupakan kualitas yang kuat untuk mengikat kelompok tersebut.18 Nasionalisme termasuk kedalam kualitas yang mengikat suatu kelompok dalam batasbatas tertentu dan nasionalisme tidak terlepas dari keterikatan anggota kelompok tersebut pada wilayah mereka. Hal tersebut kemudian melahirkan konsep homeland atau dalam konteks Indonesia “Tanah Air”. Keterikatan terhadap wilayah kelompok-dalam konteks ini tanah air- bisa menjelaskan mengapa individu rela mengorbankan nyawa dan harta mereka untuk mendapatkan, mempertahankan dan melindungi, atau berinvestasi dalam wilayah tersebut. 19 Perilaku demikian dikenal sebagai territoriality yakni upaya dari individu atau kelompok untuk menggunakan, mempengaruhi, atau mengontrol orang, fenomena, dan hubungan-hubungan
didalamnya
dengan
melakukan
pembatasan
(delimitasi)
dan
pengerahahan kontrol terhadap suatu area geografis tertentu. 20 Konsep ini akan digunakan untuk menjelaskan perilaku pemerintah Indonesia dalam mengambil kebijakan perbatasannya di Kalimantan Utara setelah terbentuknya BNPP khususnya yang terkait dengan dengan masih diadopsinya pendekatan keamanan dalam pengelolaan perbatasan.
State Responsibility Konsep State Responsibility merujuk pada tanggung jawab negera berdaulat (sovereign) untuk menyediakan political goods kepada warganegaranya. Robert I Rotberg menjabarkan kumpulan dari political goods yang sedianya harus diberikan oleh negara. Pertama adalah menjamin keselamatan dan keamanan warganya. Hal ini berarti bahwa negara harus menyediakan lingkungan yang aman serta membuat institusi yang memiliki legitimasi dan efektif untuk menjaga keamanan warganegaranya. Untuk menyediakan lingkungan yang aman negara harus mencegah terjadinya invasi dari luar serta pencaplokan wilayah, kemudian menghilangkan ancaman-ancaman yang datang dari dalam negeri yang bisa mengganggu ketertiban umum, seperti mencegah kejahatan di dalam negeri dan menyelesaikan perselisihan antar warganegara maupun antara warganegara dan negara itu sendiri. Kedua adalah menciptakan institusi politik dan administrasi yang efektif serta memiliki legitimasi yang kuat untuk menjamin partisipasi masyarakat dalam proses bernegara. Yang ketiga adalah penyediaan institusi dan fasilitas umum seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur 18
H. E. Goemans, “Bounded Communities: Territoriality, Territorial Attachment, and Conflict” dalam Miles Kahler and Barbara F. Walter (eds), Territoriality and Conflict in an Era of Globalization, Cambridge University Press, New York, 2006, p.29 19 ibid 20 ibid
10
transportasi, dan infrastruktur perekonomian seperti bank yang memungkinkan warganegara untuk mencapai kesejahteraannya.21 State Responsilbility berkaitan erat dengan konsep negara Westphalia yang melahirkan konsep kedaulatan negara (sovereignty). Suatu negara dikatakan memiliki kedaulatan jika negara tersebut memiliki dua kriteria yakni supremasi internal (internal sovereignty) dan independensi ekstenal (external sovereignty). Kriteria pertama berkaitan dengan supremasi secara politik di level domestik yang memberikan negara otoritas penuh dalam wilayah negaranya sedangkan kriteria kedua merujuk pada independensi negara tersebut di level internasional yang berarti bahwa negara itu setara dengan negara lain dalam hubungan internasional. Namun konsep kedaulatan negara tidaklah absolut menurut beberapa akademisi. Mereka berpendapat bahwa terdapat derajat yang berbeda antara kedaulatan negara yang satu dengan negara yang lain. Perbedaan derajat itu dipengaruhi oleh norma internasional yang menentukan kriteria apa saja yang harus dimiliki oleh suatu negara agar bisa dikatakan memiliki kedaulatan khususnya yang menyangkut tentang supremasi internal. Norma internasional yang berkembang terkait dengan supremasi internal suatu negara memuat mengenai state responsibility yang artinya bahwa meskipun suatu negara memiliki otoritas tunggal di dalam negeri namun ada hal-hal dasar yang harus dipenuhi oleh negara tersebut yang sesuai dengan norma interansional. Norma internasional itu didasarkan pada konsensus internasional seperti The Charter of United Nations, Universal Declaration of Human Rights, International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights, dan International Covenant on Civil and Political Rights yang kemudian menentukan kriteria dari state responsibility yang harus dipenuhi oleh suatu negara seperti penjaminan atas HAM, pemenuhan standar hidup yang layak dan kesejahteraan ekonomi. Supremasi internal (internal sovereignty) dalam hal ini merujuk pada state responsibility sesuai dengan kriteria sebelumnya dan derajat supremasi internal masing-masing negara bisa ditentukan dari sejauh mana pemenuhan kriteria state responsibility suatu negara terhadap warganegaranya. Disini bisa dilihat bagaimana konsep state responsibility juga berkaitan erat dengan globalisasi yang membentuk norma internasional dan semakin memperluas kriteria yang harus dipenuhi oleh negara. 22
21
Donald W Potter, State Responsibility, Sovereignty, and Failed State, paper yang dipresentasikan dalam Australasian Politica Studies Association Conference di University of Adelaide 29 September-1 Oktober 2004, p.4 22 Ibid, lihat juga Kennedy Maranga, “The Changing Role of State Responsibility: Comparative Approach”, Journal of Global Affairs and Public Policy, Vo.1, No.1, 2011
11
Konsep State Responsibility akan digunakan dalam menganalisis kebijakan perbatasan Indonesia di Kalimantan Utara dalam kaitannya dengan pengelolaan perbatasan yang menggunakan pendekatan kesejahteraan.
Border Concepts Terdapat beberapa kerangka konseptual yang telah dirumuskan oleh para akademisi dalam membantu memahami aspek-aspek apa saja yang ada dalam studi mengenai perbatasan. Sumbangan para akademisi yang pertama adalah perumusan konsep yang seringkali dipergunakan secara bergantian yang merujuk pada konsep perbatasan. Dalam bahasa Indonesia, kata border, boundary, borderland, dan frontier diterjemahkan dalam satu kata “perbatasan”. Namun hal tersebut agaknya kurang tepat karena masing-masing kata dalam bahasa Inggris diatas memiliki pengertian yang berbeda. Frontier adalah bentuk abstrak, ia adalah zones. Konsep frontier memiliki dua arti, pertama frontier dahulu digunakan untuk membedakan wilayah kekuasaan suku, kerajaan, dan entitas politik lainnya diseluruh dunia, namun ia bukanlah konsep yang rigid seperti perbatasan antar negara yang kita miliki saat ini. Frontier dua entitas politik yang berbeda tidak dipisahkan oleh garis yang jelas, sebagai sebuah zone, ia bisa dikatakan sebagai kawasan netral, walaupun terkadang patroli di frontier dilakukan, namun bukan sebagai bentuk penegasan batas antara dua entitas politik yang bersinggungan, melainkan sebagai antisipasi agar frontier tersebut tidak digunakan oleh pihak lain untuk membangun kamp atau benteng yang bisa membahayakan suku, atau kerajaan mereka. Sedangkan arti kedua adalah sebagai pemisah dari wilayah yang diduduki serta dikontrol dan yang tidak (the distinction between occupied and controlled land and unoccupied and uncontrolled land).23 Konsep frontier berangsur-angsur digantikan oleh konsep border, borderland, dan boundary yang merupakan hasil dari modernisasi bentuk negara-bangsa yang dimulai pada era Wetsphalia sampai dengan akhir abad 19. Border dan borderland memiliki arti yang sama, kedua istilah tersebut merujuk pada area yang membentuk bagian terluar dari sebuah negara, yang melekat disekitar garis batas negara (they are both zones of indeterminate width that form the outermost parts of a country, that are bounded on one side by the national boundary). 24 Sedangkan boundary secara sederhana merujuk pada garis tegas yang memisahkan dua negara.
23
Victor Prescott dan Gillian D. Triggs, International Frontiers and Boundaries: Law, Politics and Geography, Boston:Martinus Nijhoff Publishers, 2008, p.12 24 ibid
12
Ketiga konsep diatas muncul untuk menggantikan serta menyempurnakan konsep frontier yang banyak dipakai sebelum era negara-bangsa modern dibentuk. Dalam perjalannya, konsep boundary juga mengalami evolusi. Boundary evolution yang dikemukakan oleh S.B. Jones (1945) memuat empat tahapan evolusi tersebut yakni: allocation, delimitation, demarcation, dan administration. Allocation merujuk pada kesepakatan politik dari dua entitas untuk membagi suatu wilayah, delimitation memuat kesepakatan terhadap suatu titik perbatasan yang spesifik, demarcation adalah pembangunan batas-batas
penanda
perbatasan,
dan
administration
merujuk
pada
pemeliharaan
(maintenance) dari penanda perbatasan yang telah dibuat sebelumnya.25 O.J Martinez (1994) menambahkan tipologi perbatasan yang ia temukan dari hasil pengamatannya terhadap perbatasan-perbatasan yang ada di dunia. Martinez membagi wilayah perbatasan ke dalam 4 tipologi, yakni alienated borderland, coexistent borderland, interdependent borderland, dan integrated borderland. 26 Alienated borderland merupakan wilayah perbatasan yang terisolasi satu sama lain dan tidak terjadi aktivitas lintas batas. Hal yang menyebabkan terjadinya alienated borderland adalah sengketa yang terjadi diantara dua negara baik dari bidang militer, politik, agama, ideologis dan lain sebagainya. Coexistent borderland adalah daerah perbatasan yang memiliki masalah-masalah serius seperti klaim kepemilikan sumber daya alam namun sudah bisa diminimalisir hingga pada drajat yang bisa dikendalikan. Interdependent borderland adalah wilayah perbatasan dimana terjadi aktivitas lintas batas yang intensif dan hubungan antara kedua masyarakat di wilayah perbatasan relatif stabil. Intensitas interaksi antara kedua masyarakat yang terpisah oleh perbatasan biasanya dipicu oleh ketergantungan ekonomi antara satu sama lain. Sedangkan integrated borderland adalah wilayah perbatasan yang sangat terintegrasi (lagi-lagi biasanya secara ekonomi) sehingga menyebabkan kaburnya batas antara kedua negara, dan ditandai oleh nasionalisme kedua negara yang memudar. Dalam HI, studi tentang perbatasan masih dianggap sebagai sesuatu yang penting. Perubahan yang terjadi pada perbatasan negara ditengarai akan berpengaruh pada politik internasional begitupun sebaliknya. Untuk memahami lebih lanjut mengenai kajian perbatasan dalam HI, Anna Moraczewska memberikan pendekatan teoritis yang mengaitkan antara konsep-konsep perbatasan yang telah diulas sebelumnya dengan konsep-konsep penting
dalam
HI
seperti
globalisasi,
kedaulatan,
proses
transnasional
dan
25
ibid Riwanto Tirtosudarmo dan John Haba, Dari Entikong Sampai Nunukan Dinamika Daerah Perbatasan Kalimantan-Malaysia Timur (Serawak dan Sabah), Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 2005. 26
13
deterritorialization/reterritorialization.
27
Moraczewska mencoba untuk mengidentifikasi
perspektif atau paradigma yang digunakan oleh para pembuat kebijakan dan hubungannya terhadap persepsi, fungsi dan tindakan atau kebijakan yang diambil terkait dengan perbatasan itu sendiri. Meminjam tipologi Torbjorn L. Knutsen, Moraczewska mengatakan bahwa ada tiga perpektif yang dapat digunakan untuk memahami fungsi perbatasan, yakni perspektif realistic, transnasional, dan global. 28 Dalam perspektif realistic perbatasan dipersepsikan sebagai suatu garis pembatas atau pembeda (dividing line) antara “kita” dan “mereka” baik secara politis maupun sosiologis. Negara dianggap sebagai aktor terpenting dalam penanganan perbatasan, dan kepentingan strategis negara harus diperhitungkan dalam pengelolaan kebijakan perbatasan. Sedangkan fungsi-fungsi perbatasan menurut perspektif ini adalah fungsi disintegrative, kemudian berfungsi sebagai penghalang dan filter bagi ancaman yang datang dari luar, serta penentu kedaulatan negara. Perbatasan memiliki fungsi yang sangat penting dalam perspektif realistic. Kebijakan yang diambil oleh negara dengan perspektif realistic adalah penjagaan perbatasan negara dengan pengerahan kekuatan militer atau militerisasi, dan administrasi pengelolaan aktivitas lintas batas yang sangat ketat, mencakup dibutuhkannya dokumen-dokumen resmi untuk melintasi suatu perbatasan seperti paspor, visa, dan lainnya. Selanjutnya terdapat perspektif transnasional yang memandang perbatasan sebagai porous line, yakni sebagai titik bertemunya dua negara dan lebih sebagai pintu masuk untuk berinteraksi, bukan semata-mata sebagai dividing line yang memisahkan kedua negara. Perbatasan lebih dianggap sebagai suatu jembatan (bridge) ketimbang menjadi pagar (barrier). Negara tetap menjadi aktor yang penting dalam pengelolaan perbatasan, namun perspektif transnasional juga menekankan pada kebebasan dari aktor transnasional untuk melintasi perbatasan mereka. Kebebasan yang lebih luas di perbatasan negara dianggap sesuatu yang menguntungkan terlebih secara ekonomi. Dengan kebebasan serta keterbukaan tersebut, maka perbatasan dalam perspektif transnasional sangat sensitif terhadap lingkungan internasional. Fungsi perbatasan dalam perspektif ini adalah fungsi fragmentative yang merupakan gabungan dari fungsi disintergrative yang ada dalam perspektif realistic dan funsgi integrative dalam perspektif global. Fragmentative berarti negara bersama dengan aktor non-negara saling berinteraksi dan lebih memilih untuk memberi akses yang lebih luas 27
Anna Moraczewska, “The Changing Interpretation of Border Functions in International Relations”, Revista Románá de Geografie Politicá, Year XII, No. 2, November 2010, p.329-340. 28 ibid
14
terhadap perbatasannya dan perlahan menghilangkan hambatan-hambatan yang ada. Sedangkan kebijakan yang diambil oleh negara dengan perspektif transnasional tidak mengabaikan pembangunan infrastruktur untuk menjaga perbatasan, namun jumlah jalur lintas batas antar negara semakin meningkat dan secara bertahap dihilangkannya tarif dan biaya-biaya lainnya yang berkenaan dengan lintas batas negara. Kerjasama antar kota di kedua daerah perbatasan juga berkembang secara dinamis. Kemudian dalam perspektif global, perbatasan lebih dianggap sebagai suatu pasar ketimbang bagian dari kedaulatan negara. Perbatasan hanya sebagai virtual line dan garisgaris perbatasan itu hanya terdapat di peta, tidak di dunia nyata. Disini fungsi perbatasan berubah sangat drastis, dimana perbatasan mungkin masih dikaitkan dengan territorial suatu negara, namun lebih dikaitkan dengan istilah pasar yang mengakomodasi perpindahan barang, modal dan jasa dari seluruh dunia. Perbatasan disini tak memiliki fungsi sebagai pagar dalam hal apapun. Pergerakan dari barang, modal, informasi dan orang semakin intens melintasi batas-batas negara. Fungsi perbatasan menjadi fungsi integrative dimana perbatasan menghubungkan negara-negara dengan kepentingan, saling keterhubungan dan nilai yang sama. Perspektif global lebih mengakomodasi pandangan kosmopolitan terhadap dunia, dan Hubungan Internasional disini merupakan interaksi yang berlangsung dalam tataran peradaban masyarakat dunia, bukan diantara negara-negara yang berdaulat. Untuk lebih jelasnya Moraczewska menyimpulkan berbagai pandangan dari perspektif yang berbeda tersebut ke dalam satu tabel berikut ini:
15
Tabel 1.1 Perbandingan Tiga Perspektif Mengenai Perbatasan Dalam Hubungan Internasional Paradigm Border Perception
Realistic dividing line, determinant of nationality and separation
Transnasional porous line, an element of system anabling states’ penetration
Border Importance
very important, as a barrier against threats, sovereignty guarding, profitable element of a system, disintegrative function Infrastructure building, securitization of border, when a conflict appears – militarization of border
less important as a bridge between states and nonterritorial actors, fragmentative function
Global virtual line, a demarcating line seen only at the map, no states borders in favour of market borders not important, as a not functioning barrier for international flows, integrative function
gradual abolition of infrastructure, opening of channels for flows of goods, people, money, information
no infrastructure or not important, making heterogenous market system and legal system
Action at border
Sumber: Anna Moraczewska, “The Changing Interpretation of Border Functions in International Relations”, Revista Románá de Geografie Politicá, Year XII, No. 2, November 2010, p.329-340. Sedikit tambahan terkait dengan perspektif pengelolaan perbatasan yang ditulis oleh Moraczweska tersebut adalah kemungkinan adanya intrepetasi yang keliru ketika membaca paradigma realistic dalam pengelolaan perbatasan dengan paradigma Realisme 29 yang dikenal dalam literatur HI. Paradigma realistic memang turunan dari paradigma Realisme yang merupakan teori utama dalam HI, namun paradigma realistic lebih sempit cakupannya karena dibentuk untuk menjelaskan pengelolaan perbatasan suatu negara saja dimana paradigma Realisme digunakan sebagai acuan dasar bagi akademisi untuk menganalisa seluruh fenomena yang terjadi dalam HI. Kerangka
konseptual
diatas
dalam
penelitian
ini
akan
digunakan
untuk
mengidentifikasi kebijakan pengelolaan perbatasan Indonesia di Kalimantan Utara sesuai dengan tipologi dan pengertian yang telah dimuat dalam elaborasi konsep-konsep sebelumnya. Tipologi perspektif mengenai kebijakan perbatasan juga berguna dalam menentukan perspektif mana yang digunakan oleh pemerintah Indonesia dalam pengelolaan perbatasan sebelum dan setelah terbentuknya BNPP, dengan demikian bisa dilihat apakah terjadi pergeseran perspektif oleh pemerintah Indonesia atau tidak.
29
Realisme ditulis dengan huruf besar menunjukkan bahwa paradigma tersebut merupakan salah satu Grand Theory atau perspektif dasar dari keilmuan HI.
16
Globalisasi Meskipun istilah globalisasi merupakan istilah yang banyak dipakai oleh berbagai kalangan akademisi, namun istilah tersebut memiliki banyak definisi yang sangat beragam dan tidak dapat dipastikan atau not well grounded. Setiap akademisi yang memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda akan menghasilkan pandangan yang berbeda terhadap globalisasi itu sendiri. Masamichi Sasaki mengutip pendapat Keith Woodward yang mengatakan bahwa istilah globalisasi bisa berupa banyak hal dan ia bisa diinterpretasikan dari berbagai macam perspektif mulai dari ekonomi, sosial, psikologi, politik dan bahkan filsafat.30 Dengan beragamnya dimensi serta definisi globalisasi yang tersebar serta berbedabeda sesuai dengan aspek yang dibahas, maka dalam penelitian kali ini hanya akan dipakai istilah serta kerangka konsep mengenai globalisasi yang terkait dengan pembahasan penelitian. Roland Robertson mendefinisikan globalisasi sebagai compression of the world yang diakibatkan oleh meningkatnya saling ketergantungan (interdependece) global. 31 Griffiths, O’Callaghan, dan Roach menyebutkan bahwa globalisasi memiliki setidaknya 5 karakteristik. 32 Pertama, globalisasi melibatkan peningkatan kesadaran akan ketersatuan dunia (world as a single place). Dengan kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi maka sekan dunia mengecil dan diciptakanlah istilah-istilah seperti global village yang menyiratkan bahwa peristiwa di belahan dunia lain berdampak pada bagian yang lainnya. Kedua, teknologi informasi dan komunikasi meningkatkan akses terhadap pasar dunia yang kemudian berujung pada terintegrasinya dunia kedalam satu sistem ekonomi kapitalisme. Ketiga, manusia menjadi lebih tergantung satu sama lain terutama dalam kaitannya untuk menghadapi permasalahan global seperti pemanasan global, narkotika, penyelundupan dan perdagangan manusia, terorisme dan lain sebagainya, dimana hal ini ditengarai hanya bisa diselesaikan di level supranasional. Keempat, globalisasi mengerus perbedaan budaya dengan istilah global culture seperti McDonaldisation. Kelima, kapasitas dari negara-negara berdaulat diperlemah oleh adanya globalisasi, terutama dalam bidang ekonomi ketika perekonomian suatu negara yang tidak bisa lagi “dipagari” dan diatur sesuai dengan kehendak negara itu semata karena perekonomian mereka telah terintegrasi kedalam ekonomi global yang didorong oleh kekuatan-kekuatan ekonomi non-negara seperti 30
Masamichi Sasaki, “Globalization and National Identity in Japan”, International Journal of Japanese Sociology, no.13, 2004, p. 70 31 Roland Robertson, Globalization: Social Theory and Global Culture, London:Sage, 1992, p.8 32 Martin Griffiths, Terry O’Callaghan dan Steven C. Roach, International Relations: The Key Concepts Second Edition, New York:Routledge, 2002, p.132
17
Multinational Companies dan negara-negara ditengarai tidak memiliki akses yang luas terhadap kekuatan ekonomi global tersebut. Akademisi lain yang berkontribusi dalam pengembangan konsep globalisasi, Elirea Bornman mengatakan bahwa istilah globalisasi merujuk pada transformasi dari batasanbatasan temporal dan spasial (time and space), yang oleh karenanya pemangkasan jarak karena reduksi dari waktu yang diperlukan untuk menjangkau area yang berbeda menghasilkan integrasi politik, ekonomi dan sosial secara bertahap dengan melewati batasbatas negara.33 Disini terdapat definisi yang mengatakan bahwa globalisasi menyentuh semua aspek kehidupan manusia dewasa ini dari sisi politik, ekonomi dan sosial. Oleh karenanya, globalisasi merupakan fenomena kompleks yang memiliki berbagai sisi. Namun, berbeda dengan kebanyakan akademisi yang memandang bahwa globalisasi pasti berujung pada integrasi dan kesatuan dunia dalam semua bidang, Bornman mengatakan bahwa fenomena globalisasi membawa dua konsekuensi yang saling berlawanan. Disatu sisi globalisasi memang mendorong terjadinya homogenitas, sinkronisasi, intergrasi, kesatuan dan universalisme, di lain sisi, globalisasi justru memberi peluang untuk semakin kuatnya rasa lokalitas, heterogenitas, diferensiasi, perbedaan dan partikularisme. 34 Untuk itu maka istilah globalisasi mengandung makna bahwa ia bukanlah suatu proses yang seragam dan serentak, namun lebih kepada proses yang melibatkan berbagai area yang termanifestasi di bermacam-macam konteks dan memiliki efek yang berbeda terhadap orang-orang di berbagai konteks.35 Pendapat Bornman ini diamini oleh Zamawi Ibrahim yang mengatakan bahwa globalization both homogenizes and fragments.36 Globalisasi tidak seperti yang dibayangkan oleh para pendukungnya atau kaum globalist yang mengatakan bahwa fenomena yang dihadapi oleh manusia pada abad 21 ini, dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi akan menciptakan dunia yang homogen dengan nilai dan norma yang sama. Para penentang klaim globalist atau yang dikenal dengan kaum skeptic menilai bahwa fenomena globalisasi bukan merupakan hal yang baru, namun sudah berlangsung sejak lama dan tidak menghasilkan sesuatu yang seperti dibayangkan oleh para pendukungnya. Malah, globalisasi bisa memperkuat ikatan-ikatan tradisional yang selama ini dianggap akan punah seiring 33
Elinrea Bornman, Struggle of Identity in The Age of Globalization Searching for Anchors That Hold, Department of Communication Science, University of South Africa, p.3 (penekanan ditambahkan oleh penulis) 34 ibid 35 ibid 36 Zamawi Ibrahim, Globalization and Global IdentityManaging Ethnicity and Cultural Pluralism in Malaysia, dalam Yoichiro Sato (ed), Growth and Governance in Asia, Honolulu: Asia-Pacific Center for Security Studies, 2004
18
dengan modernnya peradaban manusia. Ikatan terhadap suku, agama, tempat tinggal, termasuk nasionalisme akan semakin terpupuk ketika akses mengenai identitas-identitas yang berbeda terpapar sedemikian rupa hingga menyebabkan seseorang perlu untuk mencari “akarnya” sendiri. Logika globalisasi seperti yang diuraikan oleh Bornman dan Ibrahim diatas jika diaplikasikan kedalam kebijakan perbatasan maka akan menghasilkan kebijakan perbatasan yang juga mengakomodir baik keterbukaan (fragmentating/barriers of movement) maupun keterisolasian (homogenizing/conduits of movement). Lloyd Cox dari Macquaire University Australia menjabarkan logika globalisasi dalam kebijakan perbatasan tersebut dengan sangat baik ketika dia mengemukakan pendapat bahwa tesis kaum globalist dengan jargon kaburnya garis batas negara/border-erosion serta terkikisnya wilayah negara/de-territorialisation cenderung menafikan fakta yang betentangan dengan hipotesis mereka. Cox mengemukakan fakta bahwa meskipun globalisasi merupakan suatu fenomena empiris, namun ia tidak serta merta mereduksi elemen-elemen tradisional yang dimiliki oleh perbatasan seperti penegas kedaulatan, pengatur pergerakan orang dan barang, penentu batas hak dan kewajiban yang dimiliki oleh warganegara, dan menyediakan klasifikasi bagi warganegara yang mendiami wilayah tersebut bahwa mereka termasuk ke dalam suatu populasi tertentu.37 Kebijakan perbatasan yang dijalankan oleh AS dan Australia menjadi contoh dimana kedua logika globalisasi yang bertentangan itu secara bersamaan diterapkan. AS dan Australia menerapkan kontrol yang ketat terhadap pergerakan orang, khususnya para imigran gelap, dan dengan demikian mempertegas perbatasan mereka sebagai penghalang/barriers of movement, namun disaat yang bersamaan mereka menerapkan kebijakan yang sangat terbuka terhadap pergerakan modal, barang dan informasi, dengan demikian perbatasan mereka menjadi penghubung dengan dunia global/conduits of movements.38 Lebih lanjut ketika membicarakan mengenai globalisasi, maka hal itu erat kaitannya dengan global interdependence dan global and political integration, dimana istilah pertama diklaim telah terjadi khususnya dibidang ekonomi, sedangkan istilah kedua masih berupa cita-cita besar dari para pendukung globalisasi yang percaya bahwa integrasi politik dan ekonomi dunia akan membawa kesejahteraan bagi manusia. Interdependence atau saling ketergantungan seperti yang telah disinggung sebelumnya merupakan kondisi hubungan antara dua pihak dimana potensi kerugian (cost) yang bisa diterima oleh kedua pihak tersebut 37
Lloyd Cox, Border Lines: Globalisation, De-territorialisation and the Reconfiguring of National Boundaries, Macquaire University, p.2-3 38 Cox, p.8
19
relatif sama ketika mereka memutuskan hubungan atau menurunkan transaksi (exchange) diantara keduanya. 39 Terdapat dua dimensi dalam hubungan saling ketergantungan antara negara, yakni sensivity dan vulnerability. Sensivity merujuk pada derajat dimana suatu negara dipengaruhi (sensitive) oleh keadaan negara lain, sedangkan vulnerability merujuk pada distribusi kerugian ketika suatu perubahan dalam hubungan tersebut terjadi. 40 Derajat sensivity dan vulnerability dalam suatu hubungan antar negara bisa sangat berbeda. Indonesia dan Saudi Arabia bisa sama-sama dipengaruhi (sensitive) oleh keadaan domestik masingmasing negara, misalnya saling ketergantungan antara Indonesia sebagai penyedia tenaga kerja dan Saudi Arabia yang membutuhkan tenaga kerja. Namun disaat yang sama kedua negara bisa memiliki derajat vulnerability yang berbeda. Hal ini bisa terjadi misalnya ketika Saudi Arabia memiliki alternatif penyedia tenaga kerja selain Indonesia, sedangkan Indonesia tidak. Dalam hal seperti ini, maka derajat vulnerability Indonesia lebih tinggi dalam hubungannya dengan Saudi Arabia. Sedangkan integration merujuk pada diserakannya sebagian kedaulatan negara-negara kepada suatu institusi supra-state atau pada suatu rezim yang mengatur hubungan antar negara-negara yang tergabung didalamnya. Untuk konteks hubungan Indonesia-Malaysia, rezim yang menghubungkan kedua negara sebenarnya berjumlah banyak, seperti BIMPEAGA, dan Sosek Malindo namun rezim terpenting serta yang memiliki signifikansi besar adalah Masyarakat ASEAN/ASEAN Community yang akan berlangsung pada 2015. Masyarakat ASEAN bertumpu pada tiga pilar penting yakni Masyarakat Keamanan ASEAN, Masyarakat Ekonomi ASEAN serta Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN. 41 Rezim tersebut merupakan wajah globalisasi yang nyata dengan semua elemen yang terkandung didalamnya seperti yang telah dipaparkan sebelumnya dan tentu sangat mempengaruhi hubungan Indonesia dengan 9 negara ASEAN lainnya termasuk Malaysia. Globalisasi beserta semua elemen-elemennya seperti yang telah dijelaskan panjang lebar sebelumnya berguna dalam melihat faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembuatan kebijakan pengelolaan perbatasan Indonesia dengan menganalisis kompleksitas hubungan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Utara.
39
Griffiths, O’Callaghan dan Roach, p.160 ibid 41 C.P.F. Luhulima, Dewi Fortuna Anwar, Ikrar Nusa Bakti, Yasmin Sungkar, Ratna Shofi Inayati, Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008, p.5 40
20
E. Argumentasi Utama Kebijakan pengelolaan perbatasan di Kalimantan Utara oleh pemerintah Indonesia setelah terbentuknya BNPP berubah dari yang sebelumnya berorientasi pada aspek keamanan saja, sekarang menjadi lebih luas hingga mencakup aspek kesejahteraan dan lingkungan (security, prosperity dan environment approach). Perubahan tersebut meskipun memiliki aspek yang digambarkan oleh perspektif transnasional dengan dimasukkannya aspek kesejahteraan dan lingkungan dalam pengelolaan perbatasan, namun tetap bercirikan realistic dimana hal-hal yang menyangkut tentang kedaulatan, dan keutuhan negara masih menjadi hal yang prioritas. Oleh sebab itu, penelitian ini berargumen bahwa kebijakan pengelolaan perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Utara setelah terbentuknya BNPP bercirikan hybrid yakni gabungan antara perspektif realistic dan transnasional. Sedangkan faktor yang membuat pemerintah pusat Indonesia mengambil kebijakan tersebut adalah territorial attachment, state responsibility dan globalisasi, yang tidak hanya berpengaruh dalam bidang ekonomi, namun juga politik. Pendekatan keamanan dipengaruhi oleh kuatnya rasa keterikatan masyarakat maupun elit Indonesia terhadap wilayahnya, oleh sebab itu maka keamanan dan pertahanan wilayah terus dilakukan. Selain itu isu-isu global mengenai kejahatan lintas batas negara, peneyelundupan manusia, dan penyelundupan narkoba yang terjadi di perbatasan merupakan ancaman non tradisional yang direspon oleh pemerintah Indonesia dengan memperketat penjagaan atas perbatasan di Kalimantan Utara. Hal ini merupakan implementasi dari state responsibility Indonesia untuk menyediakan lingkungan yang aman bagi warganegaranya. Pendekatan kesejahteraan didorong oleh implementasi state responsibility Indonesia yang mengharuskan negara untuk menjamin kesejahteraan warganegaranya dengan menyediakan fasilitas dasar yang diperlukan untuk pembangunan daerah perbatasan. Terakhir adalah pendekatan kelestarian lingkungan yang dipengaruhi oleh globalisasi khususnya isu perubahan iklim dan pemanasan global.
F. Jangkauan Penelitian Penelitian ini berupaya untuk melihat kebijakan perbatasan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia setelah terbentuknya BNPP pada tahun 2010, namun untuk lebih memperjelas perbedaan-perbedaan kebijakan yang ada pasca terbentuknya BNPP, maka perlu untuk diketahui kebijakan perbatasan Indonesia sebelum terbentuknya BNPP. Untuk memperoleh data-data yang diperlukan, maka penelitian ini akan dilaksanakan di BPPD (Badan Pengelola Perbatasan Daerah) Kalimantan Utara, serta BPKP2DT (Badan Pengelola Kawasan Perbatasan, Pedalaman dan Daerah Tertinggal) Kalimantan Timur, dimana daerah 21
tersebut merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Malaysia serta kantor pusat BNPP di Jakarta.
G. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-eksplanatif yang bertujuan untuk menggambarkan serta menjelaskan kebijakan pengelolaan perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Utara pasca terbentuknya BNPP serta faktor apa yang membuat pemerintah pusat mengambil kebijakan tersebut. Pengumpulan data-data primer dilakukan melalui wawancara dari pejabat-pejabat yang berkaitan dengan pengelolaan perbatasan serta telaah dari dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh BNPP, BPPD Kalimantan Utara maupun BPKP2DT Kalimantan Timur. Selain data-data primer, data-data sekunder seperti buku, artikel, jurnal dan berita baik cetak maupun elektronik juga digunakan dalam penelitian ini, begitu halnya dengan data kualitatif yang akan dilengkapi dengan data-data kuantitatif.
H. Sistematika Penulisan Penelitian ini berisikan lima bab dimana Bab Pertama berisi pendahuluan, kemudian dilanjutkan dengan Bab Kedua yang akan mendeskipsikan kondisi perbatasan IndonesiaMalaysia di Kalimantan Utara secara umum. Selain itu dalam Bab Kedua ini juga akan dipaparkan mengenai kebijakan perbatasan Indonesia sebelum terbentuknya BNPP, khususnya terkait dengan perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Utara. Bab Ketiga akan mendeskripsikan lebih lanjut perubahan kebijakan pengelolaan perbatasan IndonesiaMalaysia di Kalimatan Utara setelah terbentuknya BNPP. Bab Keempat akan menjelaskan faktor yang mempengaruhi pemerintah pusat Indonesia mengambil kebijakan pengelolaan wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Utara tersebut. Dan Bab Kelima berisikan kesimpulan dari hasil penelitian.
22