BAB IV KONFRONTASI DAN POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA 1963-1965
4.1 Latar Belakang Kebijakan Politik Konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia 4.1.1 Politik Luar Negeri Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin 19591965 Politik luar negeri
Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin
memberikan jawaban mengenai kebijakan luar negeri Indonesia yang bersifat konfrontatif dan radikal. Seperti kebijakan konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia. Periode Demokrasi Terpimpin dimulai pada tahun 1959, ketika Soekarno memberlakukan kembali UUD 1945 atau dikenal dengan Dektrit Presiden 5 Juli 1959. Kebijakan luar negeri selama Demokrasi Terpimpin menjadi kewenangan pribadi Soekarno dengan dukungan dari militer dan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai bagian dari aktor utama politik Indonesia. Kedua kekuatan politik ini selanjutnya saling bersaing untuk medapat simpati Soekarno. Selama tahuntahun pertama Demokrasi Terpimpin suatu perimbangan kekuatan terjadi antara tiga pusat utama yaitu presiden, kepemimpinan Angkatan Darat dan PKI. Dalam pembebasan Irian Barat di tahun 1960 kekuatan-kekuatan utama politik dapat berakomodasi. Namun, pada periode kampanye konfrontasi terhadap Malaysia, terlihat
PKI
mendapatkan
kemajuan-kemajuan
yang
pesat,
sehingga
57
keseimbangan antara tiga kekuatan tersebut menjadi tidak stabil (Crouch, 1999: 46). Politik luar negeri Indonesia pada masa Soekarno diabdikan pada tujuan nasional Indonesia. Pada masa Soekarno, kepentingan nasional Indonesia adalah pengakuan kedaulatan politik dan pembentukan identitas bangsa. Kepentingan nasional ini diterjemahkan dalam suatu kebijakan luar negeri yang bertujuan untuk mencari dukungan dan pengakuan terhadap kedaulatan bangsa, dan untuk menunjukkan karakter yang dimiliki bangsa Indonesia pada bangsa-bangsa lain di dunia Internasional (Soenarko, 1996: 98). Landasan diplomasi pada periode Demokrasi Terpimpin berdasarkan UUD 1945, yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 alinea pertama dan batang tubuh UUD 1945 yaitu pasal 11 dan pasal 13 ayat 1 dan 2. Amanat Presiden yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” pada tangal 17 Agustus 1959 atau dikenal sebagai “Manifesto Politik Republik Indonesia” telah dijadikan sebagai Garis Besar Haluan Negara. Di bidang politik luar negeri di dalam Manifesto Politik terdapat tujuan jangka pendek dan jangka panjang (Panitya Penulisan Sedjarah Departemen Luar Negeri, 1971: 259). Tudjuan djangka pendek jaitu melandjutkan perdjuangan antiimperialisme ditambah dengan mempertahankan kepribadian Indonesia di tengah-tengah tarikan-tarikan ke kanan dan ke kiri jang sekarang sedang berlaku kepada negara kita dalam pergolakan dunia menudju kepada suatu imbangan baru. Sementara dalam djangka pandjang, di bidang luar negeri, Revolusi Indonesia bertudjuan melenjapkan imperialisme di mana-mana, dan mentjapai dasar-dasar bagi perdamaian dunia jang kekal dan abadi. Menurut Manipol, diplomasi jang sesuai dengan fungsinja sebagai art jang berhubungan dengan tjara melaksanakannja harus tidak mengenal kompromi, harus radikal dan revolusioner.
58
Tujuan jangka pendek dan jangka panjang politik luar negeri Indonesia, seperti yang dikemukakan di atas tidak terlepas dari sejarah Indonesia, sebagai bangsa yang pernah mengalami penjajahan. Walaupun Indonesia sudah merdeka, perjuangan untuk melenyapkan imperialisme belum berakhir, sebab negara-negara yang dianggap sebagai negara imperialis dan kolonialis (Barat), masih ada dan berusaha menanamkan pengaruhnya. Indonesia berusaha pula menghindari dari keberpihakan dua blok yang sedang bersengketa, yaitu blok Barat dan Blok Timur (Komunis) dan masuk menjadi anggota non-blok. Indonesia berpartisipasi pula dalam mencapai perdamaian dunia dan menjadi anggota Perserikatan BangsaBangsa (PBB). Sikap Indonesia yang cenderung agresif, konfrontatif dan menunjukkan sikap permusuhan, dapat dipahami dari diplomasi Indonesia sendiri yang tidak mengenal kompromi, radikal dan revolusioner. Dalam Manipol dinyatakan bahwa kekuatan kolonialis dan imperialis sebagai musuh utama Indonesia dan perjuangan Indonesia menentang kolonialis dan imperialis Barat harus dilanjutkan (Suryadinata, 1998: 38). Namun, pada kenyataannya Indonesia masih memiliki hubungan dengan negara Barat, seperti Amerika Serikat. Hal ini, disebabkan Indonesia memiliki kepentingan ekonomi yaitu bantuan modal untuk merehabilitasi ekonomi Indonesia. Walaupun pada perkembangan selanjutnya, khususnya ketika Indonesia menjalankan politik konfrontasi terhadap Malaysia, Indonesia menolak bantuan Amerika Serikat. Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia berdasarkan pada amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang terkenal dengan nama “Djalannja Revolusi Kita”, yang menetapkan penegasan mengenai cara-cara
59
pelaksanaan Manipol di bidang politik luar negeri. Politik luar negeri Indonesia yang diambil dari bagian pidato “Djalannja Revolusi Kita”, menyatakan bahwa politik luar negeri Indonesia tidak netral, tidak menjadi penonton, dan tidak tanpa prinsip. Politik bebas tidak sekedar “cuci tangan”, tidak sekedar defensif, tapi aktif dan berprinsip serta berpendirian (Panitya Penulisan Sedjarah Departemen Luar Negeri, 1971: 260). Berdasarkan pidato tersebut jelas bahwa politik luar negeri Indonesia adalah Bebas Aktif. Garis-garis dasar politik luar negeri Indonesia berdasarkan pada pidato Soekarno “Membangun Dunia Kembali” pada 19 Januari 1961 yaitu, dasar politik luar negeri Indonesia yaitu UUD 1945, sifat politik luar negeri Indonesia adalah Bebas Aktif, anti-imperialisme dan tujuan dari politik luar negeri Indonesia diantaranya: a. mengabdi pada perdjuangan untuk kemerdekaan Indonesia jang penuh b. mengabdi pada perdjuangan untuk kemerdekaan nasional di seluruh bangsa-bangsa di dunia c. mengabdi pada perdjuangan untuk membela perdamaian dunia (Panitya Penulisan Sedjarah Departemen Luar Negeri, 1971: 261). Manipol, Djarek (Djalannja Revolusi Kita) dan “Membangun Dunia Kembali” merupakan embrio kelahiran suatu doktrin baru yaitu dunia tidak terbagi dalam blok Barat dan blok Timur, tidak juga dalam tiga blok dimana AsiaAfrika merupakan blok ketiga. Akan tetapi dunia terbagi menjadi dua blok yaitu New Emerging Forces dan Old Esthablished Order. New Emerging Forces (Nefos), merupakan kekuatan-keuatan baru yang sedang bangkit. Sementara Old Esthablished Order (Oldefos), merupakan kekuatan-kekuatan lama yang sudah mapan. Nefos diidentifikasi terdiri atas
60
bangsa-bangsa Asia-Afrika, dan Amerika Latin, negara-negara sosialis, dan kelompok-kelompok progresif di negara-negara kapitalis (Modelski dalam Leifer, 1989: 86). Secara implisit, oleh Soekarno Indonesia diletakkan sebagai tokoh, jika bukan pemimpin kekuatan-kekuatan yang baru muncul (Suryadinata, 1998: 39). Doktrin Nefos dan Oldefos menjadi dasar politik luar negeri anti-imperialis dan kolonialis yang lebih militan. Selain itu doktrin tersebut memiliki maksud supaya Indonesia memiliki prestise dan suara yang sangat berpengaruh, dengan begitu Indonesia dapat menggunakan pengaruhnya di dunia internasional (Agung, 1973: 445). Soekarno mewujudkan gagasan Nefos dan Oldefos ini dengan suatu strategi diplomasi yang agresif dan konfrontatif dengan negara Barat. Hal ini pula yang menjauhkan Indonesia dari Amerika Serikat yang pernah membantu Indonesia pada waktu penyelesaian Irian Barat. Doktrin Nefos dan Oldefos ini menjadikan Indonesia semakin dekat dengan negara-negara komunis. Bahkan kedekatan Indonesia dengan negara komunis semakin dipertajam dengan pembentukan poros Jakarta-Pnom Penh-Beijing-Pyongyang. Pada Konferensi Non Blok di Kairo tahun 1964, Indonesia mengusulkan konfrontasi antara Nefos dan Oldofes. Usulan ini mendapat tentangan dari India yang menginginkan hidup berdampingan secara damai dengan negara-negara yang memiliki sistem politik yang berbeda. Peserta konferensi pada dasarnya menolak kolonialisme, namun tetap memegang prinsip hidup berdampingan dengan baik (Suryadinata, 1998: 220).
61
Berdasarkan pemaparan di atas, politik luar negeri Indonesia pada masa Demokrasi terpimpin memperlihatkan sikap yang konfrontatif terhadap Barat. Negara Barat dianggap sebagai “Nekolim”, yang masih berpengaruh dan mendominasi. Sifat politik luar negeri Indonesia yang anti-imperialisme dan kolonialsme, mempertegas penolakan
Indonesia terhadap
segala
bentuk
imperialisme dan kolonialisme. Hal tersebut terlihat pada perlawanan perjuangan Indonesia untuk melepaskan Irian Barat dari Balanda, yang dianggap sebagai bentuk imperialisme dan kolonialisme. Setelah pembebasan Irian Barat, Indonesia kembali memperlihatkan sikap konfrontatifnya terhadap Barat yaitu kampanye untuk mencegah pembentukan Federasi Malaysia. Pembentukan Federasi Malaysia dianggap sebagai “proyek Neokolonialisme Inggris”. Hal tersebut dianggap bertentangan dengan sifat politik luar negeri Indonesia yaitu anti-imperialisme dan kolonialisme dan mengancam revolusi Indonesia. Setelah Federasi Malaysia terbentuk Indonesia meningkatkan politik konfrontasinya terhadap negara Federasi.
4.1.2 Pembentukan Federasi Malaysia Pada tanggal 27 Mei 1961, Tunku Abdul Rahman yang menjabat sebagai Perdana Menteri Malaya, melontarkan gagasan mengenai pembentukan Federasi Malaysia di depan wartawan yang tergabung dalam Foreign Journalist Association (Mukmin, 1991: 85 dan Leifer, 1989: 111-112). Federasi tersebut terdiri dari Malaya, Singapura dan hak milik kolonial Inggris di Kalimantan Utara
62
yaitu Sabah dan Serawak. Pada tahun 1962 diusahakan pula agar Brunei bersedia masuk menjadi bagian dari Federasi. Perundingan yang diadakan di London antara Tunku Abdul Rahman dan Perdana Menteri Inggris McMillan, pada bulan Oktober 1961 memutuskan tiga hal pokok mengenai pembentukan Federasi (Mukmin, 1991: 87). Pertama, Inggris dan Federasi Malaya menyetujui penggabungan Singapura dan Malaya. Kedua, Inggris dan Federasi Malaya akan mengadakan penyelidikan yang mendalam tentang pembentukan Federasi Malaysia, yang untuk keperluan itu dibentuk sebuah komisi. Ketiga, Persetujuan Pertahanan antara Inggris dan Federasi Malaya akan diperluas hingga meliputi seluruh daerah Federasi Malaysia. Menyikapi pernyataan Tunku Abdul Rahman, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio tidak menunjukkan sikap permusuhan. Indonesia juga tidak merasa keberatan terhadap kebijakan Malaya mengenai penggabungan. Hal ini, seperti yang terungkap dalam pernyataan Menteri Luar Negeri Soebandrio tanggal 20 November 1961 di depan Majelis Umum PBB, salah satunya bahwa Indonesia tidak merasa keberatan akan pembentukan Federasi bahkan mengharapkan kesuksesan bagi pembentukan Federasi (Boyce, 1968: 67). Indonesia pada awalnya bersikap hati-hati dalam menentukan sikap terhadap rencana pembentukan Federasi Malaysia. Indonesia tidak berani menyatakan oposisinya terhadap rencana pembentukan Federasi. Satu-satunya oposisi terhadap pembentukan Federasi Malaysia adalah Komite Sentral Partai Komunis Indonesia (PKI) pada bulan Desember 1961. PKI mengangap bahwa Malaysia merupakan benteng pertahanan untuk membendung komunis di Asia Tenggara (Leifer, 1989: 113). Hal ini juga yang menyebabkan PKI pada masa
63
konfrontasi tahun 1963-1965, menjadi salah satu kekuatan utama dalam menentang Federasi Malaysia. Pemerintah Indonesia tidak menunjukkan kepentingan apapun dalam penentangan terhadap Federasi Malaysia, sampai terjadinya pemberontakan di Brunei pada bulan Desember 1962. Pemberontakan tersebut dilakukan oleh Partai Rakyat yang dipimpin A. M. Azhari, dengan memproklamasikan Negara Kesatuan Kalimantan Utara yang terdiri dari Sabah, Brunei dan Serawak pada tanggal 8 Desember 1962. Pemberontakan rakyat Kalimantan Utara ini mendapatkan simpati dari Indonesia. Keterlibatan Indonesia dengan revolusi Brunei
dikaitkan dengan latar
belakang perjuangan Azhari. Azhari telah berperan dalam revolusi nasional Indonesia dan telah mempertahankan persahabatan politik dengan republik (Leifer, 1989: 115). Azhari sendiri pernah mengalami pendidikan di sekolah Peternakan Bogor dalam masa revolusi fisik (Mackie, 1974, 113). Selain itu, Azhari diduga menerima bantuan dari PKI dan juga dari kolonel Suharjo, Panglima Kalimantan Timur (yang kemudian pro PKI dan melarikan diri ke Peking) dalam melatih Tentara Nasional Kalimantan Utara (Mackie, 1974: 121). Latar belakang Azhari yang memiliki kedekatan dengan Indonesia, bukan menjadi satu-satunya faktor Indonesia bersimpati dan mendukung
terhadap
perjuangannya. Sikap Indonesia sendiri yang sudah ditegaskan dalam sifat politik luar negeri Indonesia yaitu anti-imperialisme dan kolonialisme, menjadi faktor Indonesia mendukung pemberontakan dan perjuangan rakyat Kalimantnan Utara. Bagi Indonesia, pembentukan Federasi merupakan bentuk imperialisme dan
64
kolonialisme. Hal tersebut karena dalam pembentukannya ditentang oleh rakyat, khususnya rakyat Brunei yang menginginkan kemerdekaan penuh dari Inggris. Walaupun pemberontakan Brunei berhasil dipadamkan oleh Inggris, namun pemberontakan Brunei memiliki pengaruh yang besar secara politis. Pemberontakan Brunei telah menunjukkan bahwa tidak semua rakyat Kalimantan Utara menginginkan bergabung dengan Federasi dan menghendaki kemerdekaan penuh dari Inggris (Mukmin, 1991: 90). Hal ini pula menjadi dasar Indonesia menentang pembentukan Federasi, sebab Indonesia menganggap pembentukan Federasi bukan kehendak rakyat Kalimantan Utara sendiri, melainkan gagasan yang berasal dari Inggris. Pernyataan dukungan dan simpati terhadap pemberontakan Brunei secara tidak langsung ditunjukkan oleh Indonesia. Seperti ajakan Menteri Penerangan Ruslan Abdulgani kepada pers untuk memihak rakyat yang telah berjuang demi kemerdekaannya. PKI dan organisasi massanya, partai politik lain dan komisi Hubungan Luar Negeri Parlemen menambahkan desakan mereka, sedangkan Jenderal Nasution meminta kewaspadaan terhadap neo-kolonialisme yang mengelilingi Indonesia (Leifer, 1989: 115). Adanya dukungan dari berbagai pihak di Indonesia terhadap pemberontakan Brunei, merupakan bukti bahwa pemberontakan Brunei membawa dampak bagi penentuan sikap Indonesia terhadap pembentukan Federasi. Indonesia menyatakan bahwa gagasan pembentukan Federasi berasal dari Inggris. Hal tersebut diperkuat apabila diteliti sejarah Malaya, bahwa pada tahun 1887 memang ada seorang bangsawan Inggris Lord Brassey, yang menyarankan
65
kepada House of Lords untuk membentuk persatuan daerah-daerah koloni Inggris di Asia Tenggara (Brackman dalam Mukmin 1991: 85). Jadi pembentukan Federasi Malaysia dianggap sebagai “proyek Nekolim” yang dapat mengancam keselamatan Indonesia. Anggapan Indonesia bahwa pembentukan Federasi merupakan gagasan Iggris diperkuat ketika Tunku Abdul Rahman datang ke London untuk berdiskusi dengan pemerintan Inggris mengenai rencana pembentukan Federasi. Kunjungan tersebut dilakukan pada bulan Oktober 1961 dan bulan Juni 1962. Selain kunjungan Tunku Abdul Rahman ke London, kecurigaan Indonesiapun diperkuat oleh kenyataan setelah berlangsungnya konfrontasi, Federasi dipertahankan oleh kekuatan gabungan Malaysia-Inggris (Mukmin, 1991: 86). Konfrontasi secara resmi bermula dari pernyataan Menteri Luar Negeri Indonesia Dr. Soebandrio pada tanggal 20 Januari 1963. Di depan umum Soebandrio menggunakan istilah konfrontasi untuk merumuskan kebijakan luar negeri Indonesia terhadap Malaya. Dia membenarkan rumusan itu dengan mengatakan bahwa ”Malaya telah secara terbuka menjadi antek imperialis dan telah bertindak dengan rasa permusuhan terhadap Indonesia” (Leifer, 1989: 116). Berdasarkan pernyataan Soebandrio, tindakan Malaya merupakan bukti bahwa Malaya berada di bawah pengaruh Inggris sebagai negara imperialis dengan adanya kerjasama dalam pembentukan Federasi Malaysia. Oleh sebab itu, Indonesia menentang pembentukan Federasi Malaysia karena tidak sesuai dengan politik luar negeri Indonesia yang menentang segala bentuk
dan manifestasi
66
imperialisme dan kolonialisme, sehingga Indonesia mengeluarkan kebijakan konfrontasinya terhadap Federasi Malaysia. Indonesia beranggapan bahwa pembentukan Federasi Malaysia oleh Inggris sebenarnya bukanlah aspirasi dari rakyat Kalimantan Utara, Malaya dan Singapura. Federasi dibentuk untuk melindungi kepentingan Inggris dan negaranegara Barat lainnya dan mempertahankan Singapura sebagai pangkalan strategis yang penting dari imperialisme Inggris di Asia Tenggara (Direktorat Asia Timur Laut dan Pasifik DEPLU RI, 1964:76) Inggris dianggap sebagai negara kolonialis dan imperialis baru, yang akan mengepung Indonesia dari utara. Soekarno dalam pidatonya di Seskoad Bandung pada tanggal 11 Juni 1963, menyatakan: Dibentuknja Malaysia oleh Tunku Abdul Rachman dan pihak Inggris bagi kita adalah merupakan konfrontasi terhadap revolusi Indonesia, konfrontasi terhadap keselamatan kita terhadap tjita2 jang sedjak lama kita laksanakan (Direktorat Asia Timur Laut dan Pasifik DEPLU RI, 11 Djuni 1963: 3). Berdasarkan pemaparan di atas, terdapat beragam alasan Indonesia menentang penbentukan Malaysia. Indonesia menentang pembentukan Federasi karena Federasi merupakan gagasan dari Inggris dan bukan kehendak rakyat, sehingga dapat dikatakan pembentukan Federasi merupakan bentuk dari imperialisme dan kolonialisme baru. Pembentukan Federasi juga merupakan alat untuk melanggengkan kepentingan dan kekuasaan negara-negara Barat di wilayah Asia Tenggara. Selain itu, pembentukan Federasi merupakan ancaman bagi keselamatan dan revolusi Indonesia, sebab pangkalan militer asing (Inggris) ditempatkan di perbatasan Indonesia di wilayah Kalimantan Utara.
67
Pemerintah Malaya memiliki alasan mengenai pembentukan Federasi Malaysia yaitu untuk mengatasi masalah-masalah internal dan ekstenal. Masalah internal yaitu masalah kependudukan yang tidak seimbang dan masalah ekonomi. Sementara masalah eksternal yaitu dari segi pertahanan keamanan, penggabungan daerah-daerah dalam Federasi akan menyederhanakan sistem pertahanan keamanan (Mukmin, 1991: 86-87). Pembentukan Federasi Malaysia, jika dilihat dari alasan-alasanya merupakan hal positif bagi daerah-daerah yang digabungkan. Sementara keterlibatan Inggris dalam proses pembentukannya, mengakibatkan kecurigaan dari Indonesia. Selain itu, proses pembentukannya yang terkesan cepat seolaholah ada desakan dari pihak luar. Sehingga Indonesia memandang bahwa pembentukan Federasi bukan gagasan murni dari Malaya. Penentangan terhadap pembentukan Federasi Malaysia juga datang dari Filipina dengan alasan yang berbeda. Filipina menentang karena sejak semula negara ini memiliki kepentingan atas wilayah Sabah yang didasarkan atas hak-hak historis. Menurut anggapan Filipina, secara historis Sabah adalah milik Sultan Sulu yang disewakan kepada Inggris. Jadi pemiliknya adalah tetap Filipina, bukan Inggris ataupun Malaysia. Namun, cara yang digunakan Filipina dalam menentang Federasi lebih berhati-hati daripada Indonesia.
68
4.2 Politik Luar Negeri Indonesia pada Masa Konfrontasi (1963-1965) 4.2.1 Perundingan antara Indonesia, Malaya dan Filipina pada Bulan AprilJuli 1963 Indonesia masih memperlihatkan tujuan konfrontasi yang ambigu (Leifer, 1989: 120 dan Crouch, 1999: 58), setelah Indonesia menyatakan konfrontasi terhadap Malaysia pada tanggal 20 Januari 1963 hingga bulan September 1963, ketika politik konfrontasi semakin ditingkatkan dengan diproklamasikannya Federasi Malaysia. Adanya kemenduan tujuan konfrontasi tersebut, karena Indonesia masih memerlukan pinjaman luar negeri seperti dari Amerika Serikat dan International Monetary Fund (IMF) dalam rangka rehabilitasi ekonomi yang semakin terpuruk. IMF menyatakan persetujuannya untuk memberikan suatu “pinjaman siap” sebanyak 50 juta dolar Amerika, sedang Amerika Serikat juga menyediakan sejumlah besar dana untuk memperbesar program bantuannya (Mackie, 1974: 330-37). Indonesia tidak berani melakukan bentuk konfrontasi militer yang besar, karena akan ditentang oleh negara Barat seperti Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang bersedia memberikan bantuan dalam rangka rehabilitasi ekonomi negara. Oleh karena itu, suatu upaya damai melalui perundingan masih bersedia ditempuh oleh Indonesia. Hal tersebut terbukti dengan beberapa perundingan yang dilakukan dalam rangka penyelesaian konfontasi secara damai pada bulan April hingga Juli 1963. Upaya damai pertama diprakarsai oleh Filipina untuk membawa Indonesia ke meja perundingan. Pada tanggal 9-17 April 1963, dilaksanakan Konferensi
69
Wakil-wakil Menteri Luar Negeri di Manila. Dalam konferensi tersebut dibicarakan masalah rencana pembentukan Malaysia serta gagasan pembentukan suatu konfederasi longgar antara ketiga negara itu yang bertujuan untuk menyediakan suatu kerangka guna mempererat kerjasama antara mereka (Panitya Penulisan Sedjarah Departemen Luar Negeri, 1971: 275). Selanjutnya, upaya perundingan kedua dilakukan atas prakarsa dari Jepang, yang dilaksanakan pada tanggal 31 Mei sampai 1 Juni 1963 di Tokyo. Pertemuan antara Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman berhasil menyepakati untuk mematuhi Persetujuan Persahabatan tahun 1959 yang mereka tandatangani dan untuk mengusahakan penyelesaian dengan jalan damai (Nishihara, 1976: 64). Pada pertemuan ini Soekarno dan Tunku Abdul Rahman memutuskan bahwa menteri-menteri luar negeri Indonesia, Filipina dan Malaysia hendaknya bertemu di Manila pada tanggal 7 Juni 1963 untuk membicarakan suatu pertemuan puncak ketiga negara. Konferensi Menteri-menteri Luar Negeri Indonesia, Malaya dan Filipina di Manila diadakan pada bulan 1 sampai 11 Juni 1963. Konferensi Manila ini berhasil mengeluarkan Komunike Bersama, yang isinya menyatakan bahwa “Ketiga Menteri Luar Negeri berhasil mentjapai pengertian dan persetudjuan untuk memetjahkan masalah-masalah jang timbul dari rentjana pembentukan Federasi Malaysia” (Panitya Penulisan Sedjarah Departemen Negeri, 1971: 276). Hasil konferensi tersebut mencerminkan kesediaan Malaya untuk berkompromi atas apa saja yang berhubungan dengan pembentukan Federasi Malaysia, serta berusaha untuk mendapatkan persetujuan dari Indonesia dan
70
Filipina atas pembentukan Federasi. Sementara, Indonesia dan Filipina akan menyambut baik pembentukan Federasi Malaysia, apabila dilakukan terlebih dahulu peninjauan terhadap rakyat Kelimantan Utara mengenai keinginan untuk bergabung atau tidak dengan Federasi. Peninjauan tersebut harus dilakukan oleh pejabat independen dan tidak memihak seperti Sekretaris Jenderal PBB atau yang mewakilinya. Sebelum Pertemuan Puncak antara tiga negara (Indonesia, Malaya dan Filipina) terselenggara, Tunku Abdul Rahman pada tanggal 9 Juli 1963 di London sudah menandatangani dokumen mengenai pembentukan Federasi Malaysia yang akan dilaksanakan pada tanggal 31 Agustus 1963. Tindakan Tunku Abdul Rahman tentunya dianggap melanggar apa yang telah disepakati mengenai pengertian yang telah dicapai pada pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri di Manila pada tanggal 7-11 Juni 1963. Penandatanganan dokumen mengenai pembentukan Federasi Malaysia di London pada tanggal 9 Juli 1963, tentunya mengecewakan pihak Indonesia. Soekarno menyatakan pada malam resepsi Kongres VII/Perayaan Panca Windu Partai Katolik di Istana Negara pada malam tanggal 10 Juli 1963, bahwa: ..djandji jang telah dinjatakan dalam “hitam diatas putih” untuk tidak mengadakan tjatji-mentjatji dilanggar sendiri oleh Tunku Abdul Rahman. Bahkan kini telah menandatangani perdjandjian pembentukan Malaysia di London tanpa terlebih dahulu mengadakan pemungutan suara terhadap rakjat2 jang bersangkutan atas pengawasan suatu badan jang netral seperti PBB (Suluh Indonesia, 11 Djuli 1963). Kekecewaan tersebut, diikuti dengan ajakan Soekarno kepada seluruh rakyat Indonesia untuk menentang pembentukan Malaysia. Pihak Indonesia sudah bersedia untuk menyetujui gagasan pembentukan Federasi, apabila dilakukan
71
terlebih dahulu pemungutan suara di bawah pengawasan badan indepeden seperti PBB. Namun, pada kenyataannya Malaya tetap bertindak atas kehendaknya sendiri tanpa dirundingkan terlebih dahulu dengan Indonesia atau Filipina. Tunku Abdul Rahman yang datang ke London untuk menandatangani Persetujuan dengan Inggris, menyatakan kebanggaannya karena Malaysia akan menjadi anggota persemakmuran (Suluh Indonesia, 11 Djuli 1963). Perdana Menteri Inggris Harold McMillan dalam pidatonya juga menyatakan harapan bahwa “evolusi persemakmuran itu akan dapat mengadakan perdamaian, kebebasan dan kestabilan di Asia Tenggara” (Suluh Indonesia, 11 Djuli 1963). Pada satu sisi, pernyataan dari Tunku Abdul Rahman dan Harold McMillan, mengisyaratkan keoptimisan pembentukan Federasi Malaysia. Namun, di sisi lain Malaysia seolah telah mengabaikan persetujuan yang telah disepakati bersama Indonesia dan Filipina, bahwa segala masalah yang berhubungan dengan Federasi akan dibicarakan bersama. Pertemuan Puncak atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang direncanakan akan dilakukan pada tanggal 7 sampai 11 Juli 1963 terhambat oleh tindakan
Tunku
Abdul
Rahman.
Pertemuan
puncak
akhirnya
dapat
diselenggarakan pada tanggal 31 Juli sampai 5 Agustus 1963 di Manila. Pertemuan itu dihadiri oleh Kepala Pemerintahan ketiga negara, dan menghasilkan tiga dokumen yaitu Deklarasi Manila, Persetujuan Manila dan Komunike Bersama (Panitya Penulisan Sedjarah Departemen Luar Negeri, 1971: 276). Mengenai hal yang menyangkut pembentukan Federasi Malaysia, ketiga Kepala Pemerintahan setuju untuk meminta Sekretaris Jenderal PBB (U Thant)
72
untuk mengadakan pendekatan terhadap rakyat di daerah-daerah yang akan dimasukan ke dalam Federasi Malaysia. Pendekatan tersebut dilakukan untuk mengetahui keinginan rakyat apakah ingin bergabung dalam Federasi atau tidak. Bagi Indonesia, misi ini diharapkan dapat menegaskan keinginan rakyat untuk membentuk dan bergabung dengan Federasi Malaysia, sehingga Indonesia dapat mengakui Federasi itu tanpa kehilangan muka (Crouch, 1999: 59). Pertemuan Puncak di Manila juga menyetujui pembentukan Maphilindo yang terdiri dari Malaya, Filipina dan Indonesia dalam rangka mempererat kerjasama antara tiga negara dan diadakan konsultasi berkala yang dinamakan musyawarah Maphilindo. Tunku Abdul Rahman menyetujui untuk menunda pembentukan Federasi Malaysia hingga regu penyelidik PBB telah mendapat kepastian bahwa Sabah dan Serawak ingin bergabung dalam Federasi itu (Nishihara, 1976: 65). Untuk mengetahui sejauh mana rakyat Kalimantan Utara bersedia bergabung dalam Federasi Malaysia dan sesuai dengan hasil-hasil KTT Manila, U Thant kemudian mengirimkan misi ke Sabah dan Serawak. Misi diketuai oleh Laurence Michelmore (Amerika Serikat), dengan anggota-anggotanya George Janicek (Cekoslowakia), George Howard (Argentina) Neville Kanakaratne (Ceylon), Kenneth Dadzie (Ghana), Ishad Bagai (Pakistan), Jasushi Aksashi (Jepang), Abdul Dajani (Yordania) dan Jose Machado (Brazilia). Terdapat juga para peninjau dari Malaysia yakni Zaiton Ibrahim, Athi Nahappan, Yakub Latif dan Muhammad Zahir.Dari Filipina tampil Benito M. Bautista, Melquiades Ibanez, Vicento Muyoo dan Ramon Barrios. Dari Indonesia adalah Nugroho, Otto
73
Abdul Rahman, Teuku Hasan dan Rudi Gonta (Direktorat Asia Timur Laut dan Pasifik DEPLU RI, 1963: 1). Walaupun sebuah regu PBB telah dikirim ke Kalimantan Utara, namun pada tanggal 29 Agustus 1963 Tunku Abdul Rahman mengumumkan penundaan pembentukan Federasi dari tanggal 31 Agustus 1963 menjadi tanggal 16 September 1963. Pengumuman ini dilakukan sebelum mendengar hasil penyelidikan regu PBB untuk mengetahui keinginan rakyat Kalimantan Utara yang rencananya akan diumumkan pada tanggal 14 Agustus 1963. Tindakan menetapkan hari proklamasi Federasi Malaysia sebelum mendapat hasil dari regu PBB, dianggap telah menghinakan Soekarno. Sebab, tindakan Tunku Abdul Rahman seolah menganggap penyelidikan oleh regu PBB hanya sebatas formalitas saja dan yakin bahwa pada akhirnya Federasi tetap akan terbentuk. Kekecewaan Indonesia bertambah setelah regu PBB mengumumkan bahwa sebagian besar rakyat Sabah dan Serawak menyetujui bergabung dengan Federasi. Indonesia dan Filipina tidak dapat menerima hasil misi PBB tersebut, karena dianggap prosedurnya tidak sah.
4.2.2 Peningkatan Politik Konfrontasi Indonesia terhadap Federasi Malaysia Pembentukan Federasi Malaysia tetap dilakukan pada tanggal 16 September 1963, yang kemudian dikenal sebagai “Malaysia”. Indonesia dan Filipina menganggap Tunku Abdul Rahman telah bertindak menyimpang dari hasil-hasil KTT Manila. Indonesia maupun Filipina menyatakan tidak akan mengakui Federasi. Indonesia yang sejak semula menganggap bahwa gagasan pembentukan
74
Federasi Malaysia merupakan gagasan Inggris, semakin yakin bahwa Federasi adalah gagasan Inggris. Sementara Malaysia beranggapan bahwa pembentukan Federasi sebagai masalah dalam negeri, tanpa harus ada turut campur dari orang luar. Wilayah yang masuk dalam Federasi Malaysia yaitu Malaya, Singapura, Sabah dan Serawak seperti yang tergambar dari peta di bawah ini. Gambar 4.1 Peta Wilayah Federasi Malaysia
wilayah yang temasuk dalam Federasi Malaysia (Malaya, Keterangan: Singapura, Sabah dan Serawak) Sumber:http://Users.Qld.Chariot.Net.Au/~Dialabull/Indonesia Malaysia%20Confrontation.htm
Indonesia menentang pembentukan Federasi Malaysia yang dianggap sebagai bentuk imperialisme dan kolonialisme Inggris. Diplomasi sebagai alat politik luar negeri yang digunakan pada masa Demokrasi Terpimpin bersifat diplomasi revolusioner, diplomasi konfrontatif dan diplomasi perjuangan. Oleh karena itu, jalan konfrontasi yang ditempuh Indonesia memang mencerminkan ciri khas politik luar negeri Indonesia pada masa Soekarno. Indonesia menganggap bahwa proklamasi Federasi Malaysia sebagai perwujudan “act of bad faith” (itikad buruk) dari Tunku Abdul Rahman (Panitya Penulisan Sedjarah Departemen Luar Negeri, 1971: 277). Secara formal pada hari
75
senin tanggal 16 September 1963, Indonesia memulai konfrontasi “mengganyang” Malaysia. Kedutaan Besar Malaysia dan Inggris diserang pada hari tesebut. Pada tanggal 17 September 1963, Malaysia membalas menyerang kedutaan RI di Kuala Lumpur. Hubungan diplomatik antara Jakarta dengan Kuala Lumpur pun segera diputuskan. Situasi menjadi makin panas ketika tanggal 18 September terjadi lagi demonstrasi di depan Kedutaan Besar Inggris di Jakarta. Suluh Indonesia (19 Sepetember 1963) memberitakan bahwa, “Gedung kedutaan Inggris dibakar dan warga negara Inggris diungsikan untuk sementara waktu”. Selain merusak Kedutaan Besar, demonstran juga telah merusak rumah, kendaraan dan harta benda milik warga negara Inggris sebagai luapan emosi mereka. Indonesia segera menyatakan penyelesalannya atas peristiwa pengrusakan dan pembakaran rumah dan harta benda milik warga negara Inggris (Direktorat Asia Timur Laut dan Pasifik DEPLU RI, 19 September 1963: 3). Bentuk-bentuk dan aspek-aspek konfrontasi pun menjadi beragam, semula mengambil bentuk pernyataan-pernyataan dan demontrasi-demontrasi yang bersifat politik. Kemudian konfrontarsi ekonomi segera dimulai dengan aksi pengambilalihan beberapa perusahaan dan perkebunan milik Inggris dan pemutusan ikatan-ikatan ekonomi. Soekarno sebagai Presiden, Pimpinan Besar Revolusi selaku Panglima Besar Komando Tertinggi Operasi Ekonomi, telah menyatakan “memutuskan hubungan lalu lintas perekonomian dengan apa jang menjebutkan dirinja Malaysia pada tanggal 21 Sepetember 1963” (Suluh Indonesia, 23 September 1963). Pemerintah Indonesia telah menetapkan Belawan,
76
Makasar dan Tanjung Priok sebagai ”free trade zone” dan pelabuhan Sabang sebagai “free port”, sebagai tindak lanjut kebijaksanaan konfrontasi ekonomi (Direktorat Asia Timur Laut dan Pasifik DEPLU RI, 22 September 1963: 14). Berdasarkan uraian di atas, konfrontasi Indonesia-Malaysia telah mengakibatkan putusnya hubungan diplomatik antara Indonesia-Malaysia. Aksiaksi yang menunjukkan sikap saling bermusuhan pun dilakukan dengan penyerangan dan pengrusakan terhadap Keduataan Besar Malaysia dan Inggris oleh Indonesia, dan Kedutaan Indonesia di Malaysia. Selain itu, hubungan ekonomi antara Indonesia dengan wilayah-wilayah yang tergabung dengan Federasi segera diputuskan. Selain konfrontasi dalam bidang politik dan ekonomi, bentuk konfrontasi di bidang militer pun terjadi, namun dalam skala yang terbatas. Konfrontasi di bidang militer melibatkan Angkatan Darat yang semula tidak terlampau bersemangat menanggapi konfrontasi terhadap Malaysia. Namun, secara bertahap pimpinan Angkatan Darat mulai melakukan tekanan-tekanan militer terhadap Sabah dan Serawak selama tahun 1963 (Crouch, 1999: 75) Dalam waktu dua minggu setelah pembentukan Malaysia, enam serangan dilancarkan ke Serawak dari arah Kalimantan oleh angkatan bersenjata yang berjumlah 60-90 orang, yang kemudian diikuti oleh serangan kecil menjelang akhir 1963 (Mackie, 1974: 210). Namun, skala aktivitas para anggota militer tersebut tidak meningkat secara signifikan. Beberapa insiden hanya melibatkan belasan orang, dengan tujuan untuk mendapatkan informasi dan mengadakan hubungan langsung dengan Serawak.
77
Konfrontasi terhadap Malaysia, telah mengabaikan program rehabilitasi ekonomi Indonesia. Sebab, dengan kebijakan konfrontasi, Indonesia harus menanggung resiko dari negara yang akan memberikan bantuan dan pinjaman atas program tersebut. Amerika Serikat yang sudah siap memberikan pinjaman, dengan Kebijakan Konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia akhirnya akan meninjau kembali bantuan tersebut. Begitu pula IMF, segera menarik kembali pinjaman sebesar 50 miliar dolar AS untuk Indonesia (Agung, 1973: 491-492). Indonesia tidak menunjukkan sikap untuk meluaskan konfrontasintya selama tahun 1964. Strategi yang pernah dijalankan selama konfrontasi melawan Belanda untuk memperoleh Irian Barat dijalankan kembali yaitu melalui diplomasi (Mackie, 1974: 221). Upaya penyelesaian melalui perundingan ditempuh Indonesia malalui dengan melibatkan negara-negara lain seperti Filipina, Thailand dan Jepang. Sehingga pada tahun 1964, diadakan beberapa perundingan atas prakarsa negara-negara tersebut.
4.2.3 Upaya Perundingan Indonesia dengan Malaysia Januari 1964-Juni 1964 Maphilindo yang dibentuk sebagai wadah ketiga negara anggota untuk dapat memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan negara Malaya, Filipina dan Indonesia. Pemerintah Indonesia berusaha memanfaatkan forum tersebut untuk memecahkan masalah Malaysia. Pada awal bulan Januari 1964, Soekarno mengunjungi Manila untuk medapatkan dukungan yang lebih besar dalam menentang Malaysia (Leifer, 1989: 136). Presiden Soekarno dan Presiden Filipina Macapagal, yakin bahwa permasalahan Malaysia dapat diselesaikan
78
dengan menganut sepenuhnya semangat dan prinsip-prinsip Persetujuan Manila. Dalam pertemuan ini dirumuskan suatu doktrin mengenai penyelesaian masalah Asia oleh orang-orang Asia sendiri atau yang lebih dikenal dengan Doktrin Soekarno-Macapagal. Pertemuan Soekarno dengan Macapagal tidak dapat memecahkan masalah memburuknya hubungan dengan Malaysia. Namun, pada tanggal 13 Januari 1964 terdapat suatu angin segar diplomatik Indonesia, sebab Amerika Serikat mengumumkan akan mengutus Robert Kennedy (Jaksa Agung Amerika Serikat) untuk menemui Soekarno di Tokyo. Bagi Indonesia, hal tersebut menunjukkan adanya perhatian Amerika Serikat terhadap situasi militer di Kalimantan Utara. Pembicaraan Indonesia dengan pihak Jepang dan Jaksa Agung Amerika Serikat Robert Kennedy, menyebabkan pihak Indonesia kembali setuju untuk mengusahakan penyelesaian masalah Malaysia secara damai (Nishihara, 1976: 7071). Robert Kennedy mengeluarkan perintah untuk penghentian tembakmenembak (Brackman dalam Mukmin, 1991: 106). Akhirnya pada tanggal 23 Januari 1964, Soekarno menginstruksikan gencatan senjata, sebagai hasil penengahan Jaksa Agung Robert Kennedy. Namun, pada tanggal 24 Januari 1964 dia mengumumkan bahwa konfrontasi akan terus dilanjutkan. Selain tekanan dari PKI untuk menghindarkan kompromi dengan Malaysia dan kalangan Nekolim, juga karena adanya perbedaan penafsiran mengenai gencatan senjata itu sendiri (Mackie, 1974: 225-226). Malaysia menganggap perintah tersebut berarti penarikan mundur seluruh pasukan Indonesia, sementara Soekarno memandang tidak lebih dari penghentian tembak menembak.
79
Penafsiran Soekarno mengenai gencatan senjata yaitu penghentian tembak menembak saja memang berdasarkan apa yang diintruksikan Robert Kennedy. Namun, Malaysia memiliki penafsiran yang lebih dari penghentian tembak menembak saja, melainkan diikuti dengan penarikan mundur pasukan Indonesia. Sehingga upaya penyelesaian pun mengalami kegagalan. Sebagai tindak lanjut pengumuman gencatan senjata pada bulan Januari 1964, Indonesia, Filipina dan Malaysia mengupayakan kembali penyelasian sengketa Malaysia. Pertemuan tersebut dilakukan oleh Menteri Luar Negeri dari ketiga negara tersebut, yang diadakan di Bangkok dari tanggal 5 sampai 10 Februari 1964. Pada Pertemuan ini, Indonesia yang diwakili oleh Wakil Menteri Luar Negeri Suwito Kusumowidagdo, Malaysia oleh Tun Abdul Razak, Filipnia oleh Salvador Lopez. Pertemuan ini dipusatkan pada perihal pengakuan, dan penghormatan kedaulatan Malaysia, yang ditolak oleh delegasi Indonesia (Leifer, 1989: 138). Selain itu juga mengenai perincian kesepakatan gencatan senjata antara pihak Indonesia dengan Malaysia. Pertemuan Bangkok tersebut mengalami kegagalan, karena pihak Indonesia dan Malaysia tidak memiliki kesepakatan mengenai gencatan senjata yang semula sudah disetujui oleh Indonesia. Indonesia menghendaki agar gencatan senjata hanya penghentian tembak menembak, sementara pihak Malaysia menginginkan agar penghentian tembak menembak disusul dengan penarikan sukarelawan-sukarelawan Indonesia dari Kalimantan Utara (Panitya Penulisan Sedjarah Departemen Luar Negeri, 1971: 278). Bagi pihak Malaysia
80
penarikan mundur pasukan Indonesia merupakan syarat mutlak untuk suatu proses gencatan senjata. Pertemuan Bangkok hanya berhasil menyepakati Komunike Bersama yang menyatakan akan mengadakan pembicaraan-pembicaraan lagi tingkat Menteri Luar Negeri menjelang diadakannya Pertemuan Puncak. Pertemuan kedua yang kembali diprakarsai oleh Menteri Luar Negeri Thailand Thanat Khoman, berhasil diadakan di Bangkok dari tanggal 3 sampai 6 Maret 1964. Pertemuan kedua ini juga mengalami kegagalan, masih dikarenakan perbedaan mengenai penafsiran gencatan senjata antara Indonesia dan Malaysia. Setelah kegagalan pertemuan Bangkok pada bulan Februari dan Maret, menyebabkan pihak Malaysia dan Indonesia meneruskan sikap permusuhannya. Bukan hanya itu, bahkan hubungan dengan Amerika Serikat pun menjadi memburuk. Soekarno beranggapan tidak bisa berharap banyak terhadap bantuan ekonomi atau diplomasi Amerika Serikat, bahkan Soekarno mengeluarkan pernyataanya “ Go To Hell with Your Aids” (Persetan dengan bantuanmu), yang dilontarkan pada bulan Maret 1964. Akibat kebijakan Soekarno yang menolak Amerika Serikat adalah Amerika Serikat yang menjadi lebih simpati terhadap Malaysia (Mackie, 1974: 223). Tindakan Indonesia terhadap Amerika Serikat semakin menjauhkan diri dari salah satu negara pemberi bantuan tersebut. Konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia semakin ditingkatkan dengan diumunkannya Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964, dengan memanggil para sukarelawan Indonesia untuk turut “mengganyang negara boneka ‘Malaysia’”. Kemudian pada tanggal 16 Mei 1964 dibentuk Komando
81
Siaga (Koga). Kampanye “pengganyangan Malaysia” semakin ditingkatkan. Presiden Soekarno pada tanggal 20 Mei 1964 dalam upacara peresmian Brigade Bantuan Tempur Sukarelawan menyataka bahwa “1 Djanuari 1965 Malaysia pasti sudah terganjang” (Direktorat Asia Timur Laut dan Pasifik DEPLU RI, 21 Mei 1964: 7). Dengan peresmian Brigade Bantuan Tempur Sukarelawan Soekarno menyatakan bahwa: ...aksi pengganjangan Malaysia bukan kehendak Bung Karno seorang diri, tetapi njata2 merupakan kehendak dan tekad jang bulat dari seluruh rakjat Indonesia. Tekad rakjat Indonesia untuk melaksanakan 3 kerangka tudjuan revolusinja, jaitu membangun dunia baru jang bebas dari imperialisme, kolonialisme dan neo-kolonialisme (Direktorat Asia Timur Laut dan Pasifik DEPLU RI, 21 Mei 1964: 7). Pidato
Soekarno
tersebut,
mempertegas
bahwa rakyat
Indonesia
mendukung konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia. Namun, Soekarno dalam pernyataannya juga tetap menginginkan jalan “musyawarah” yang merupakan filsafat negara Indonesia dan sesuai dengan Doktrin Soekarno-Macapagal yang berlandaskan unsur musyawarah. Bahkan Soekarno bersedia mengadakan perundingan dan musyawarah jika dikehendaki (Direktorat Asia Timur Laut dan Pasifik DEPLU RI, 21 Mei 1964: 7). Namun, Indonesia menghendaki musyawarah tanpa prasyarat. Hal ini seperti yang pernah diungkapkan Sobandrio sebelumnya kepada pers bahwa “bagi Indonesia suatu musjawarah untuk mentjapai suatu penjelesaian dalam sengketa “Malaysia” hendaknja diadakan tanpa prasjarat” (Direktorat Asia Timur Laut dan Pasifik DEPLU RI, 14 Mei 1964: 9). Pihak Malaysia tetap mengajukan prasyarat kepada Indonesia, seperti yang dikemukakan oleh Tunku Abdul Rahman bahwa “Saja telah menjampaikan sjarat2
82
kepada Indonesia. Sjarat2 itu masuk akal. Pertama mereka harus menjetudjui pengunduran tentaranja dan kemudian mentaati persetudjuan jang kemudian tertjapai” (Direktorat Asia Timur Laut dan Pasifik DEPLU RI, 1 Mei 1964: 24). Indonesia maupun Malaysia tetap bergeming pada pendirian masingmasing, sehingga menyebabkan penundaan Pertemuan Puncak yang telah direncanakan. Namun, Seokarno tetap berangkat menuju Manila yang dilanjutkan ke Tokyo pada tanggal 8 Juni, walaupun belum adanya kepastian mengenai kehadiran Perdana Menteri Malaysia dalam pertemuan ini. Bagi pemerintah Indonesia, kepergian Soekarno tersebut menunjukkan adanya itikad baik untuk mencari penyelesaian masalah antara Indonesia dan Malaysia. Seperti yang dikemukakan dalam Suluh Indonesia (12 Djuni 1964), bahwa “keberangkatan Soekarno menundjukkan kepada dunia, bahwa setiap kemungkinan menjelesaikan mesalah “Malaysia” dengan jalan musjawarah akan selalu digunakan”. Pertemuan Tokyo merupakan hasil prakarsa dari Filipina (Salvador Lopez) yang berhasil mengatur pertemuan tersebut. Sebelum Pertemuan Puncak (KTT Tokyo) yang diselenggarakan pada tanggal 20 Juni, terlebih dahulu diadakan pertemuan Menteri Luar Negeri pada tanggal 18 Juni. Pada tanggal 19 Juni ketiga Menteri Luar Negeri sepakat menganjurkan agenda kepada KTT Tokyo yaitu, peninjauan situasi waktu itu dan pertimbangan terhadap usul-usul untuk mencapai penyelesaian secara damai mengenai masalah yang ada (Panitya Penulisan Sedjarah Departemen Luar Negeri, 1971: 279). Pada tanggal 20 Juni 1964, KTT Tokyo berhasil dilaksanakan. Pertemuan puncak tersebut menghasilkan Pernyataan Bersama sebagai berikut.
83
1. Presiden RI menjetudjui usul Presiden Filipina tentang pembentukan suatu komisi Asia-afrika jang akan terdiri atas empat anggota, tiga diantaranja dipilih oleh Indonesia, Malaysia dan Filipina dan jang keempat dipilih dengan suara bulat oleh ketiga anggota itu; 2. Komisi itu akan diminta untuk mempelajari masalah-masalah jang ada antara ketiga negara dan menjampaikan saran-saran untuk pemetjahannja; 3. Presiden RI memberikan djaminan, bahwa ia akan mentaati saran-saran Komisi itu; 4. Perdana Menteri Malaysia pada prinsipnja menjetudjui usul itu, dengan pengertian bahwa segala tindakan permusuhan terhadap Malaysia harus segera dihentikan. (Panitya Penulisan Sedjarah Departemen Luar Negeri, 1971: 279). Hasil KTT Tokyo dianggap memberikan keuntungan bagi pihak Indonesia yang dapat memperkuat posisi Indonesia, baik di dalam negeri maupun di mata Internasional (Suluh Indonesia, 22 Djuni 1964). Diantara Indonesia dan Filipina akan terjalin suatu kerjasama yang erat dalam menumbuhkan solidaritas internasional. Namun, pihak Malaysia yang bersikap ragu-ragu terhadap kesetiakawanan rakyat-rakyat Asia-Afrika, jelas membuktikan tidak adanya kesediaan mencari penyelesaian berdasarkan solidaritas Asia-Afrika. Selain itu, dalam KTT Tokyo tidak disinggung masalah penarikan mundur pasukan Indonesia. Hal ini menguntungkan Indonesia, sehingga Indonesia tidak terikat janji atau komitmen dengan Malaysia. Namun, Malaysia tetap pada pendirinannya yaitu menuntut penarikan pasukan-pasukan sebagai syarat untuk pembentukan komisi tersebut (Nishihara, 1976: 72). Pada tanggal 21 Juni 1964, Malaysia melanjutkan gerakan-gerakan militernya terhadap gerilyawan-gerilyawan Indonsia. KTT Tokyo pun bernasib sama dengan perundingan-perundingan sebelumnya, tidak berhasil mendamaikan Indonesia dengan Malasyia.
84
Pada satu sisi Pertemuan Puncak Tokyo mengalami kegagalan dalam mencapai kesepakatan. Namun, di sisi lain bagi Indonesia hal tersebut menguntungkan, karena pihak Indonesia tidak terikat oleh janji-janji apapun mengenai
masalah
konfrontasi
dan
pengganyangan
terhadap
Malaysia.
Soebandrio mengungkapkan bahwa, “pada dasarja sekarang kita bebas untuk melaksanakan Dwikora sehebat-hebatnja” (Direktorat Asia Timur Laut dan Pasifik DEPLU RI, 24 Djuni 1964: 10). Menteri Agama Sjaifuddin Zuhri menyatakan bahwa, “dalam KTT Tokyo kita berhasil mengganjang Malaysia dibidang diplomasi” (Direktorat Asia Timur Laut dan Pasifik DEPLU RI, 23 Djuni 1964: 25). Hal ini diperkuat oleh Letnan Jenderal A. Yani, yang mengatakan bahwa, “kegagalan KTT Tokyo bukanlan kegagalan konfrontasi” (Direktorat Asia Timur Laut dan Pasifik DEPLU RI, 27 Djuni 1964: 22). KTT Tokyo memiliki makna bagi Indonesia untuk lebih leluasa menjalankan konfrontasinya terhadap Malaysia. Pada dasarnya KTT Tokyo merupakan strategi konfrontasi dalam bidang diplomasi untuk membubarkan Malaysia. Kegagalan memperoleh kesepakatan dalam KTT Tokyo bukanlah kegagalan konfrontasi, karena Indonesia masih bisa menjalankan konfrontasinya dalam bidang militer melalui pelaksanaan Dwikora.
4.2.4 Indonesia Keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Keadaan antara Indonesia-Malaysia setelah Pertemuan Puncak di Tokyo pada bulan Juni 1964, tidak menunjukkan adanya perbaikan. Keadaan memburuk ketika Malaysia mengadukan kepada PBB mengenai invansi pesawat terbang dan
85
parasut oleh Indonesia Pada tanggal 3 September 1964. Malaysia mengadukan bahwa sebuah pesawat terbang Indonesia terbang di atas Malaysia Selatan dengan mendaratkan kurang lebih 30 pasukan parasut pada tanggal 2 September 1964 (Boyce, 1968: 96). Pengaduan Malaysia segera ditanggapi oleh Indonesia. Pihak Indonesia membalas dengan pengaduan balik terhadap PBB, bahwa dari tahun 1962 sampai pada tahun 1964, pesawat terbang Inggris sering melintasi wilayah Indonesia di Kalimantan Timur (Boyce, 1968: 101-102). Indonesia balik menyerang mengenai istilah agresi yang disebutkan oleh Malaysia, dan menganggap bahwa agresi yang sebenarnya
adalah
tindakan
Inggris
dan
Malaysia
melawan
wialayah,
kemerdekaan Indonesia. Sementara tindakan seukarelawan Indonesia demi kemerdekaan dan melawan kolonialisme, tidak bisa dianggap sebagai agresi. Menanggapi pengaduan Malayasia dan pengaduan balik Indonesia, pada tanggal 18 September Norwegia mengajukan rencana resolusi yang antara lain menyatakan “deep concern” Dewan Keamanan atas tindakan Indonesia itu (Panitya Penulisan Sedjarah Departemen Luar Negeri, 1971: 281). Bagi pihak Indonesia pernyataan PBB mengenai “deep concern” merupakan tindakan berat sebelah. Usulan resolusi tersebut seolah pemaksaan terhadap Indonesia untuk mengakui Malaysia. Usul resolusi tersebut tentunya mengecewakan Indonesia, walaupun Indonesia terselamatkan oleh veto dari Uni Soviet. Kekecewaan Indonesia terhadap PBB, bertambah ketika diterimanya Malaysia sebagai anggota tidak tetap PBB. Sejak semula Indonesia memang tidak setuju jika Malaysia menggantikan Malaya di PBB pada tahun 1963. Pada saat
86
usaha Malaysia menjadi anggota PBB, maka presiden Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 31 Desember 1964, mengulangi lagi apa yang pernah dikatakannya pada tahun 1960 dalam pidatonya “Membangun Dunia Kembali” yaitu: PBB sekarang adalah pentjerminan dari keadaan dunia tahun 1945, sewaktu mana belum banjak terdapat negara2 baru di Asia, hanja terdapat sedikit negara-negara baru di Afrika, dan rakjat2 Amerika Latin belum lagi bangkit. Dewasa ini telah terdapat berpuluh-puluh negara Asia dan Afrika, rakjat2 Amerika Latin sudah bangkit, tetapi PBB masih tetap sadja tidak berubah. PBB tetap tinggal seperti PBB tahun 1945. Itulah sebabnja maka PBB perlu dirombak. Oleh karenanja, djikalau PBB sekarang, PBB jang belum berubah, jang tidak lagi mentjerminkan keadaan sekarang, djikalau PBB menerima Malaysia mendjadi anggota Dewan Keamanan, kita Indonesia akan keluar, kita akan meninggalkan PBB sekarang (Panitya Penulisan Sedjarah Departemen Luar Negeri, 1971: 282).
Pidato Soekarno pada tanggal 30 Desember 1964, disampaikan oleh Kepala Perutusan Tetap RI di PBB pada tanggal 31 Desember 1964 kepada Sekretaris Jenderal PBB, U Thant. Tujuan Indonesia adalah supaya para anggota PBB tidak menyokong masuknya Malaysia ke dalam PBB, anggota PBB akan memilih tetap tinggalnya Indonesia dalam PBB dan menegaskan kembali ketidakpuasan Indonesia pada PBB yang masih mencerminkan keadaan tahun 1945. Namun, ancaman Indonesia tidak mengubah keputusan PBB untuk menerima Malaysia menjadi anggota tidak tetap pada tanggal 7 Januari 1965. Keluarnya Indonesia dari PBB, diberitahukan secara resmi pada tanggal 20 Januari 1965 dengan surat menteri luar negeri Soebandrio. Ia menyebutkan pula bahwa keluarnya Indonesia terhitung mulai tanggal 1 Januari 1965 (Panitya Penulisan Sedjarah Departemen Luar Negeri, 1971: 283).Untuk mencari dukungan politis kekuatan non blok dan bantuan senjata, Soebandrio aktif melakukan kunjungan ke Birma, Thailand, Kamboja, RRC, Jepang, Pakistan, dan
87
kedua belas negara Afrika dan Timur Tengah (Mukmin, 1991: 100). Namun, pada kenyataannya negara-negara Asia-Afrika menganggap bahwa tindakan Indonesia keluar dari PBB suatu kesalahan besar, Indonesia hanya mendapat dukungan dari Republik Rakyat cina (RRC) (Leifer, 1989: 149). Sementara hubungan dengan Jepang tidak berubah, seperti yang diumumkan pemerintah Jepang “bahwa hubungan dengan Indonesia tidak akan berubah walau Indonesia menarik diri dari PBB” (Nishihara, 1976: 74). Sejak dimulai hingga berakhirnya konfrontasi perjuangan, Indonesia memang didukung oleh negara-negara non blok dan negara-negara blok komunis. Seperti Uni Soviet, Polandia, Tjekoslowakia, Hongaria, Bulgaria dan Korea Utara. Terutama negara-negara yang pada saat itu belum menjadi anggota PBB seperti Jerman Timur, Vietnam Utara dan RRC sangat mendukung Indonesia (Mukmin, 1991: 100). Keluarnya Indonesia dari PBB akan mempersulit Uni Soviet dalam mendukung Indonesia. Sehingga RRC yang belum menjadi anggota PBB akan dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk menarik Indonesia ke kubu pengaruhnya. Hal tersebut menjadi kenyataan, bahwa Indonesia semakin dekat dengan RRC. Indonesia membentuk Conference of the Emerging Forces (CONEFO). Ide pembentukan Conefo didukung oleh Beijing, dan markas besarnya didirikan di Jakarta dengan bantuan RRC. Conefo dijadikan sebagai organisasi tandingan PBB oleh Soekarno. Pembentukan Conefo, semakin memperjelas ciri khas politik luar negeri Soekarno yang membedakan antara kawan dengan lawan melalui pembagian dua blok yaitu
88
Nefos dan Oldefos. Selain itu politik luar negeri Indonesia yang Bebas Aktif tanpa memihak pada satu blok manapun mengalami penyimpangan. Sebab, negaranegara komunis seperti Korea Utara dan Vietnam Utara tertarik untuk bergabung dengan Conefo, sehingga terbentuklah suatu poros Jakarta-Pnompenh-HanoiPeking-Pyongyang (Suryadinata, 1998: 41). Pembentukan poros JakartaPnompenh-Hanoi-Peking-Pyongyang, membuktikan bahwa politik luar negeri Indonesia mulai condong terhadap blok Komunis (Timur). Keluarnya Indonesia dari PBB, mengakibatkan kehilangan satu forum yang dipergunakan
untuk mencapai penyelesaian persengketaannya dengan
Malaysia secara damai. Begitupun dengan keinginan Soekarno untuk merombak organisasi PBB itu semakin tidak mungkin, sebab perombakan tersebut hanya dapat dilakukan dari dalam.
4.2.5 Kontak Rahasia Pimpinan Angkatan Darat Republik Indonesia dengan Malaysia Sebagai Upaya Rintisan Rujuk Keadaan Indonesia-Malaysia setelah pertemuan puncak di Tokyo hingga tahun 1965, tidak menunjukkan adanya suatu perkembangan ke arah penyelesaian melalui perundingan. Hal tersebut karena tidak danya kesepakatan mengenai masalah genjatan senjata. Indonesia mau mengadakan perundingan, namun perundingan tanpa prasyarat apapun. Sementara Malaysia menginginkan Indonesia untuk menarik kembali pasukan-pasukan Indonesia dari perbatasan dan menghentikan serangan-serangan di daerah tersebut. Akan tetapi, baik Malaysia
89
maupun Indonesia tetap membuka jalan perundingan, seperti yang diprakarsai oleh Muangthai. Perundingan penyelesaian masalah Indonesia-Malaysia yang direncanakan akan diselenggarakan pada bulan Maret, gagal diselenggarakan. Pihak Indonesia tetap pada pendiriannya bahwa dia akan bersedia berundingan tanpa adanya prasyarat apapun. Sementara pihak Malasyia menginginkan dihentikan terlebih dahulu agresi Indonesia terhadap Malaysia. Akhirnya pada tanggal 11 Maret 1965 kementrian Luar Negeri Kuala Lumpur mengumunkan bahwa “perundingan jang direntjanakan antara Menteri Luar Negeri Abdul Razak dan Presiden Soekarno di Bangkok tidak akan diselenggarakan” (Direktorat Asia Timur Laut dan Pasifik DEPLU RI, 11 Mei 1965: 36). Bagi pihak Indonesia perundingan bukan jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah Malaysia. Hal inilah yang menyebabkan tidak berhasilnya upaya perundingan yang diselenggarakan. Soebandrio mengemukakan pada ulang tahun ke-11 Baperki bahwa: ”Seluruh rakjat Indonesia telah bertekad untuk mengganjang dan menjelesaikan masalah negara boneka “Malaysia”, baik setjara damai melalui perundingan ataupun dengan tjara Indonesia sendiri sesuai dengan hukum-hukum revolusi Indonesia” (Direktorat Asia Timur Laut dan Pasifik DEPLU RI, 13 Mei 1965: 20). Sementara
pihak
Malaysia
selalu
mengajukan
prasyarat
untuk
terselenggaranya perundingan. Hal ini, seperti yang dikemukakan oleh Wakil Perdana Menteri Abdul Razak, “Malaysia selalu bersedia untuk menghadiri perundingan serupa itu tetapi Indonesia harus menghentikan dulu semua agresi
90
dan penjerbuannja terhadap Malaysia” (Direktorat Asia Timur Laut dan Pasifik DEPLU RI, 11 Mei 1965: 36). Indonesia maupun Malaysia gagal mencapai kesepakatankarena keduanya memiliki pendirian yang bertolak belakang. Indonesia juga mempunyai cara lain untuk menyelesaikan masalah Malaysia yaitu melalui tekanan militer dan mencari dukungan dari dunia internasional khusunya negara Asia-afika. Akibatnya, penyelesaian masalah antara Indonesia dan Malaysia selalu gagal terwujud. Politik luar negeri Indonesia, terus diarahkan untuk mendapatkan dukungan
internasional.
Misalnya
konferensi
Islam
Asia-Afrika
yang
diselenggarakan di Bandung bulan Maret 1965, dimana Soekarno mendapatkan dukungan yang kecil atas resolusi yang menolak Federasi Malaysia. Kemudian, usaha mengubah pertemuan pada perayaan ulang tahun Konferensi Bandung di Jakarta sebagai sarana anti-Malaya mengalami kegagalan. Mayoritas delegasi menolak semangat Bandung sebagai suatu kewajiban menolak Malaysia (Leifer, 1989: 150). Pada bulan Juni 1965, Indonesia juga harus menerima kegagalan dalam Konferensi Asia-Afrika. Diplomasinya untuk mengisolasi dan melawan Malaysia gagal, sebab anggota-anggota non-blok menolak Malaysia sebagai manifestasi neo-kolonialisme. Soekarno dan Soebandrio tetap pada pendiriannya bahwa perundingan bukanlah jalan satu-satunya, sehingga konfrontasi tetap dijalankan. Sementara itu, pimpinan Angkatan Darat justru mulai meragukan manfaat konfrontasi yang dari awal dikeluarkannya kebijakan konfrontasi terhadap Malaysia, memang kurang mendukung kebijakan tersebut. Angkatan Darat bersedia mendukung konfrontasi
91
karena mengetahui konfrontasi tidak akan menjadi perang terbuka. Namun, pada perkembangannya konfrontasi telah mengakibatkan kuatnya posisi PKI. Selain itu, para pemimpin Angkatan Darat melihat konfrontasi yang dijalankan Seokerno semakin agresif terutama dengan dibentuknya Dwikora. Serangan-serangan yang dilakukan para penyusup dikhawatirkan akan merubah konfrontasi menjadi perang terbuka. Sebelum diadakan kontak-kontak rahasia dengan Malaysia, pemimpin Angkatan Darat telah berhasil mengurangi serangan-serangan Indonesia terhadap Malaysia. Kontak-kontak tersebut bertujuan untuk memberitahukan bahwa Angkatan Darat tidak memberikan dukungan terhadap konfrontasi. Namun, pemimpin Angkatan Darat tetap tidak terbuka menentang kebijakan Soekarno, hanya berupaya mencegah supaya konfrontasi tidak menjadi konflik yang semakin besar dengan mengurangi serangan-serangan pasukan Indonesia (Crouch, 1999: 81). Kontak-kontak rahasia pada awalnya tidak dimaksudkan sebagai upaya awal rujuk dengan Malaysia. Pada perkembangan selanjutnya menjadi upaya untuk mengadakan rujuk dengan Malaysia, terutama setelah peristiwa kegagalan kudeta 30 September 1966. Kontak rahasia sudah dilakukan dari tahun 1964, atas sepengetahuan Ahmad Yani. Kontak mulanya dilakukan oleh Ahmad Yani ketika sedang melakukan perjalanan ke luar negeri, kemudian urusan tersebut dipercayakan kepada Soeharto dengan tangan kanannya Ali Murtopo, yang mengorganisasikan kelanjutan kontak-kontak itu melalui kelompok intelejen yang dipimpinnya, terkenal dengan nama Operasi Khusus (Opsus) (Franklyn Weinstein dalam
92
Crouch, 1999: 80). Opsus merupakan operasi untuk melakukan upaya rintisan rujuk dengan Malaysia. Kontak-kontak rahasia dengan Malaysia melibatkan kalangan sipil yakni para wiraswastawan yang menjadi perantara seperti Yerry Sumendap, Jan Walandow, Daan Mogot, Welly Pesik dan Des Alwi (Mukmin, 1991: 117). Pada awal tahun 1965, kelompok perwakilan Opsus dikirim ke Bangkok. Suatu kelompok tersendiri di Hongkong tetap mengadakan kontak dengan Singapura setelah berpisah dengan Malaysia (Crouch, 1999: 80). Menurut Ghazalie Shafie (Mukmin, 1991: 119-120), “dalam perkembangnya dikemudian hari sebelum terjadinya peristiwa G 30 S/PKI, Ghazalie juga mengadakan kontakkontak rahasia dengan Adam Malik”. Perubahan politik Indonesia terjadi setelah percobaan kudeta pada tanggal 30 Sepetember 1965 yang mengalami kegagalan. Pada peristiwa kudeta tersebut, PKI menjadi tersangka dalang di balik peistiwa tersebut. Sehingga salah satu kekuatan politik Indonesia tersebut ditumpas dalam sebuah operasi militer yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto. Setelah penumpasan PKI, kekuatan politik di Indonesia tinggal Soekarno dan militer dan peran “sosial-politik” militer semakin kuat. Sejak semula PKI merupakan pendukung dan penggerak utama politik konfrontasi. Hilangnya PKI, tidak secara otomatis memperlancar upaya penyelesaian masalah Malaysia, yang memang sudah dilakukan oleh Opsus. Namun, politik konfrontasi telah kehilangan fungsinya sebagai sarana mengganyang Malaysia dengan hilangnya PKI sebagai pengerak utama. Intensitas konfrontasi semakin berkurang dan
93
berubah dari konfrontasi politik, ekonomi dan militer menjadi konfrontasi verbalistik (Mukmin, 1991: 120). Walaupun pendukung utama konfrontasi sudah hilang, namun Soekarno tetap menjalankan konfrontasinya terhadap Malaysia. Pada bulan November 1965, Soebandrio menyatakan konfrontasi akan terus dilanjutkan, pada bulan Desember 1965 Soebandrio mengemukakan pula bahwa tanpa PKI konfrontasi akan dilanjutkan. Dukungan terhadap kebijakan Soekarno masih ada, seperti dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, sebagian dari ABRI seperti Ibrahim Adjie sebagai Panglima Kodam Siliwangi serta A.H. Nasution (Mukmin, 1991: 110111). Perubahan politik dalam negeri Indonesia, baru secara nyata terjadi pada bulan Maret 1966, setelah dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) dari Presiden Soekarno untuk mengatasi krisis politik yang makin memburuk. Malalui Surat Perintah tersebut Soekarno menyerahkan kekuasaan eksekutifnya terhadap Soeharto. Soeharto sebagai pengemban Surat Perintah tersebut, segera melakukan tindakan-tindakan dan perubahan. Perubahan dalam negeri mengakibatkan perubahan arah politik luar negeri Indonesia yang lebih diutamakan untuk mendukung kepentingan nasional dalam rangka pembangunan nasional. Selain itu, proses normalisasi yang pada mulanya diupayakan melalui Opsus semakin diangkat ke permukaan.
94