BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Politik Luar Negeri Indonesia sejak awal kemerdekaan sedikit banyak dibentuk oleh kepentingan-kepentingan untuk menjawab tantangan dari realita Perang Dingin, perang perebutan pengaruh tanpa senjata antara Blok Barat yang kapitalis dan Blok Timur yang komunis pasca Perang Dunia II. Sebagai awal perwujudan sikap terhadap masalah tersebut, sejak tahun 1948 Indonesia menganut politik luar negeri yang Bebas-Aktif. Politik luar negeri yang bersifat Bebas-Aktif adalah konsep kebijakan luar negeri yang ditawarkan Hatta lewat pidatonya yang berjudul "Mendayung di Antara Dua Karang" di depan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tanggal 2 September 1948 (Wuryandari, 2008: 69). Politik luar negeri Bebas-Aktif juga dikemukakan dalam pidato Soekarno yang berjudul “Revolusi Kita” pada tahun 1960: “….Pendirian kita yang Bebas-Aktif itu, secara setapak demi setapak harus dicerminkan dalam hubungan ekonomi dengan luar negeri, agar supaya tidak berat sebelah ke Barat atau ke Timur”. Dalam keputusan Dewan Pertimbangan Agung No. 2/Kpts/Sd/I/61 tanggal 19 Januari 1961 menetapkan bahwa Dasar Politik Luar Negeri Indonesia (nomor 2) bardasarkan sifatnya adalah Bebas-Aktif serta anti-imperialisme dan kolonialisme. Point tersebut diciptakan oleh Soekarno pada saat berpidato di depan forum PBB yang merupakan usaha agar Indonesia diperhitungkan pengaruh dan eksistensinya di Asia. Pidato itu berjudul “Membangun Dunia Kembali”,
1
2
sebuah pidato yang kental akan nuansa politik “Mercu-Suar” Soekarno. (Poesponegoro dan Notosusanto 1993: 343-344). Politik Bebas-Aktif menunjukan sikap Indonesia dalam persaingan antara dua kekuatan dunia yang masing-masing dipimpin oleh Amerika Serikat (AS) di Blok Barat dan Uni Soviet (US) di Blok Timur. Indonesia memilih untuk menentukan jalannya sendiri dengan tidak memihak salah satunya. Penetapan dasar politik Bebas-Aktif Indonesia ternyata dalam prakteknya tidak sepenuhnya terwujud. Terkadang Indonesia cenderung lebih dekat dengan Timur (US), terkadang juga lebih dekat dengan Barat (AS), tergantung situasi politik yang berkembang saat itu. Ricklefs (2008: 531) dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern menjelaskan bahwa kebutuhan militer untuk melancarkan serangan guna merebut Irian Barat mendorong unsur militer, komunis dan pemerintah berpaling kepada US. Dikatakan juga dalam buku Sejarah Nasional Indonesia VI bahwa pada bulan Desember 1960, suatu misi di bawah Menteri Keamanan Nasional/Kasad Jenderal A.H Nasution bertolak ke Moskow dan berhasil mengadakan suatu perjanjian pembelian senjata (Poesponegoro dan Notosusanto 1993: 334). Bahkan kemajuan Cina yang begitu pesat dan perbedaan faham dengan US tentang bagaimana menghadapi kekuatan liberalisme di awal tahun 1960-an menyebabkan posisi US sebagai kiblat komunisme dan negara pemberi bantuan luar negeri tergantikan oleh Cina (Wardaya, 2008: 2). Di sisi lain, kedekatan dengan AS jelas terlihat ketika Kennedy yang baru menjadi presiden mengkhawatirkan ketergantungan Indonesia yang amat tinggi terhadap bantuan ekonomi ataupun militer dari US. Akhirnya AS memutuskan
3
untuk mengakomodasi kepentingan Indonesia. Kennedy memerintahkan Menteri Luar Negeri AS, Dean Rusk, untuk menyampaikan kepada Belanda bahwa bila pecah konfrontasi militer di Irian Barat, AS tidak akan berada di pihak mereka (Wardaya 2008: 263). Lebih jauh Wardaya (2008: 291) juga mengatakan setelah masalah Irian Barat surut, pemerintah Kennedy berusaha membantu Indonesia menjadi sebuah negara yang secara politis dan ekonomis stabil, yang dalam persaingan Perang Dingin bersikap netral tetapi lebih condong ke AS dan SekutuSekutunya. Latar belakang perjuangan yang bersifat revolusioner melawan penjajah telah mengarahkan sikap politik Indonesia sebagai negara anti-kolonialisme dan anti-imperialisme yang cukup dipengaruhi oleh pemikiran Soekarno sebagai pemimpin, bahkan sejak Soekarno masih muda. Salah satu tulisan pokok yang biasanya dijadikan acuan untuk menunjukan sikap dan pemikiran Soekarno Muda dalam menentang kolonialisme adalah tulisan berjudul Nasionalisme, Islam dan Marxisme. Dalam tulisan yang dimuat secara berseri di jurnal Indonesia Muda tahun 1926 tersebut, sikap anti-kolonialisme nampak jelas sekali. Menurut Soekarno, yang pertama-tama perlu disadari adalah bahwa alasan utama mengapa para kolonialis Eropa datang ke Asia bukanlah untuk menjalankan suatu kewajiban luhur tertentu. Mereka datang terutama “untuk mengisi perutnya yang keroncongan belaka”. Artinya, motivasi pokok dari kolonialisme Barat tidak lain adalah faktor ekonomi (http://irenkdesign.wordpress.com: 2007). Dalam kutipan tersebut, kolonialis tidak disebut sebagai “Kolonialis Barat”, tetapi “Kolonialis Eropa”. Hal itu menunjukan bahwa Soekarno Muda
4
menolak kolonialisme dan imperialisme Eropa, termasuk Belanda terhadap Indonesia dan Inggris terhadap Malaya. Lain hal nya dengan pandangan Indonesia terhadap AS waktu itu. AS dengan segala kekuatan ekonomi dan militer nya yang sangat kuat pada saat itu terus menanamkan pengaruhnya dalam Perang Dingin ke seluruh penjuru dunia sambil mencitrakan diri sebagai “polisi dunia” dan pengusung demokrasi yang anti terhadap penjajahan dan komunisme. Tidak salah Indonesia terkadang cukup berharap terhadap pengaruh AS. Politik luar negeri yang anti-imperialisme dan anti-kolonialisme membuat Indonesia bereaksi terhadap pembentukan Negara Federasi Malaysia yang dianggap sebagai upaya imperialis untuk menanamkan kembali imperialisme dalam bentuk yang lebih modern yaitu new-imperialism di Asia Tenggara. Akar permasalahannya dimulai jauh sebelum Federasi Malaysia terbentuk. Sejak kemerdekaan Malaya tanggal 31 Agustus 1957, gagasan pembentukan Negara Federasi Malaysia mulai muncul dan tidak dihalangi oleh Indonesia, dengan catatan hal tersebut merupakan aspirasi rakyat kebanyakan. Pernyataan tersebut disampaikan kepada New York Times, tanggal 17 November 1961 (Wardaya, 2008: 294-295). Soekarno
menganggap
bahwa
Malaysia
merupakan
“proyek
neokolonialisme” Inggris dan membahayakan revolusi Indonesia yang “belum selesai”. Reaksi terhadap rencana pembentukan Negara Federasi Malaysia juga datang dari wilayah yang akan digabungkan ke dalam federasi. Reaksi yang paling besar berasal dari perlawanan A. M. Azhari yang memproklamirkan Negara Kesatuan Kalimantan Utara di Manilla (Mangandalaram, 1987: 26).
5
Inggris dengan mudah memadamkan perlawanan yang dianggap sebagai pemberontakan tersebut, tetapi bagi Indonesia perlawanan yang pecah pada tanggal 8 Desember 1962 itu menunjukan tidak semua bekas koloni Inggris menyetujui federasi. Soekarno dengan berbagai sudut pandang kepentingannya seolah disadarkan oleh peristiwa tersebut. Akhirnya Indonesia menganggap pembentukan Federasi Malaysia sebagai usaha imperialis untuk menanamkan imperialisme baru atau neo-imperialism yang membahayakan bagi Indonesia. Terlebih Wardaya (2008: 296) mengatakan Azhari pernah menjadi seorang Kapten dalam Angkatan Darat Indonesia dan sebagian masyarakat Brunei pernah membantu Indonesia pada masa perjuangan kemerdekaan. Menurut pendapat penulis, Soekarno memang memandang perjuangan Azhari dalam memperjuangkan Negara Kesatuan Kalimantan Utara sebagai suatu persamaan nasib dalam memperjuangkan kemerdekaan. Sama seperti perjuangan yang terjadi di Indonesia. Meskipun demikian, perlawanan Azhari hanya menjadi pemicu sikap Soekarno. Tidak mungkin sikap Soekarno yang kemudian akan sangat menentukan sikap Indonesia terhadap pembentukan Negara Federasi Malaysia tersebut tidak didasarkan kepada kepentingan lainnya. Kepentingankepentingan itulah yang dijadikan Soekarno sebagai dasar pemikiran untuk mengambil tindakan konfrontatif terhadap Federasi Malaysia. Penulis juga memiliki pandangan bahwa ketika masalah pembentukan Negara Federasi Malaysia memanas, Indonesia, khususnya Soekarno sedang mempunyai hubungan yang baik dengan AS. Hubungan paling baik dalam sejarah antara Soekarno dengan AS yang pada saat itu dipimpin oleh Presiden J. F.
6
Kennedy yang kebijakan politiknya cenderung lebih akomodatif dengan menilai menjaga kenetralan Soekarno sambil memperkuat unsur non-komunis adalah hal yang penting. Sebelumnya hubungan Indonesia-AS mengalami kemunduran karena sentiment negatif dari Pemerintahan Presiden Soekarno kapada Pemerintahan Eisenhower. Indonesia menganggap pemerintahan Eisenhower terlibat pemberontakan PRRI/Permesta. Terkait dengan masalah pembentukan Negara Federasi Malaysia, Pemerintahan Kennedy yang berkomitmen membantu Indonesia mengatasi masalah Pembebasan Irian Barat mempunyai pertimbangan politik luar negeri tersendiri untuk bagaimana menyikapi masalah pembentukan Negara Federasi Malaysia yang difasilitasi Inggris tersebut di Indonesia. Tentu saja pertimbangan politik AS didasarkan kepada posisi AS dalam kepentingan politik luar negeri nya. AS mempunyai alasan dan pertimbangan tersendiri terhadap kepentingan strategis AS dengan Sekutu (terutama Inggris) baik di Eropa, Asia Tenggara ataupun di kawasan lainnya. Sikap AS tersebut pada akhirnya bertentangan dengan sikap Politik Luar Negeri Indonesia terhadap masalah pembentukan Negara Federasi Malaysia dan akhirnya mempengaruhi hubungan diplomatik Indonesia-AS. Dalam permasalahan pembentukan Negara Federasi Malaysia, AS yang gencar menyatakan politik damai ke penjuru dunia cukup dihadapkan pada sebuah dilema. Di satu sisi, AS harus mempertahankan sikap terkait masalah Federasi Malaysia dengan berbagai pertimbangan politik strategis luar negerinya. Sedangkan pada sisi yang lainnya, konsekuensi mempertahankan pertimbangan
7
politik AS tersebut dapat mempengaruhi hubungan baik AS dengan Indonesia, yang karena pertimbangan Perang Dingin hubungan baik tersebut harus tetap dijaga. Memang Washington tidak banyak berperan dan tidak memiliki kepentingan lanngsung terhadap pembentukan Negara Federasi Malaysia, tetapi AS berada dalam posisi tidak bisa bersikap mengenyampingkan hal tersebut. Terlepas dari siapapun presidennya, Politik Luar Negeri AS tetap mempunyai agenda besar, yaitu anti-komunisme. AS juga mempunyai “ciri khas” dalam mempertahankan kepentingan nasionalnya. AS kerap menerapkan politik “standar ganda” seperti pada perang Irak–Iran sampai kebijakan AS untuk mendukung Israel di Timur Tengah dengan tetap berhubungan baik dengan Arab. Salah satu pegangan kunci dalam praktek kebijakan luar negeri AS ialah apa yang disebut dengan minus malum, yaitu harus memilih yang kurang buruk ketika menghadapi yang terburuk (Susilo, 2009: 53). Demikian juga mengenai permasalahan pembentukan Negara Federasi Malaysia, agenda besar AS dan ciri khas tersebut amat terlihat pada permasalahan pembentukan Negara Federasi Malaysia di Indonesia. Berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik untuk membahas kajian tentang hubungan Indonesia-AS pada saat masalah pembentukan Negara Federasi Malaysia muncul, dimana sikap Politik Luar Negeri Indonesia terhadap pembentukan Negara Federasi Malaysia membuat hubungan diplomatik dengan Pemerintahan Kennedy mempunyai dinamika tersendiri walaupun hanya berlangsung selama tiga tahun. Politik Luar Negeri Indonesia terhadap permasalahan pembentukan Negara Federasi Malaysia membuat AS harus
8
membagi perhatiannya antara mempertahankan kepentingan politik strategis luar negeri dan menjaga kepentingannya di Indonesia. Sikap tersebut mengacu pada arah Politik Luar Negeri AS yang dilakukan atas pertimbangan-pertimbangan Perang Dingin lewat standarisasi ganda yang “lebih ramah” ala Kennedy. Penulis ingin mencoba untuk menjelaskan bagaimana dinamika hubungan diplomatik Indonesia-Amerika Serikat (AS) pada masa Presiden John Fitzgerald Kennedy berkuasa di AS (20 januari 1961 - 22 November 1963). Masalah tersebut muncul sebagai dampak Politik Luar Negeri Indonesia terhadap pembentukan Negara Federasi Malaysia yang berseberangan dengan kepentingan politik strategis luar negeri AS. Secara umum, penulisan skripsi mengenai hal tersebut dirasa masih kurang, dan judul skripsi yang diajukan penulis pun belum pernah ada yang menulis di Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI. Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, penulis merasa tertarik untuk menulis skripsi mengenai masalah tersebut dengan judul: “Politik Luar Negeri Indonesia terhadap Pembentukan Negara Federasi Malaysia dan Dampaknya bagi Hubungan Indonesia-Amerika Serikat Tahun 1961-1963”. 1.2 Rumusan dan Pembatasan Masalah Rumusan masalah yang akan dikaji, yaitu: “Mengapa pemerintahan Kennedy tetap mempertahankan hubungan baik dengan Indonesia di tengah Politik Luar Negeri Indonesia yang menentang pembentukan Negara Federasi Malaysia dan bertentangan dengan kepentingan Amerika Serikat?”. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka penelitian ini akan dibatasi dalam tiga batasan masalah, yaitu:
9
1. Bagaimana Politik Luar Negeri Indonesia terhadap pembentukan Negara Federasi Malaysia 1961-1963? 2. Bagaimana sikap Amerika Serikat terhadap masalah pembentukan Negara Federasi Malaysia di Indonesia 1961-1963? 3. Bagaimana dampak pembentukan Negara Federasi Malaysia bagi hubungan Indonesia-AS 1961-1963? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menjelaskan Politik Luar Negeri Indonesia terhadap pembentukan Negara Federasi Malaysia 1961-1963. 2. Mendeskripsikan bagaimana sikap Amerika Serikat terhadap masalah pembentukan Negara Federasi Malaysia di Indonesia 1961-1963. 3. Menjelaskan dampak pembentukan Negara Federasi Malaysia bagi hubungan Indonesia- AS 1961-1963. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diambil dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Memperkaya penulisan sejarah diplomasi Indonesia-AS. 2. Memperkaya penulisan sejarah politik Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan negara lain, dalam hal ini adalah Amerika Serikat (AS) yang dilatarbelakangi oleh masalah Politik Luar Negeri Indonesia terhadap pembentukan Negara Federasi Malaysia.
10
3. Mempelajari sejarah hubungan diplomatik antara dua negara dengan pendekatan yang digunakan untuk menganalisis permasalahan politik, dapat menjadi cerminan sebagai dasar untuk mengambil keputusan dalam menghadapi masalah-masalah bilateral, baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang supaya keadaan politik dalam dan luar negeri tetap sinergis dan kondusif. 1.5 Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam pengkajian penulisan ini adalah pendekatan interdisipliner. Pendekatan interdisipliner (interdisciplinary approach) ialah pendekatan dalam memecahkan suatu masalah dengan menggunakan tinjauan berbagai sudut pandang Ilmu serumpun yang relevan secara terpadu (Effendi dan Malihah, 2007: 14). Dalam kasus ini, pendekatan interdisipliner memakai konsep historis-politik. Pendekatan ini dipilih dengan alasan; untuk menganalisa hubungan antar negara pada masa lampau (dalam hal ini IndonesiaAS) tidak dapat terlepas dari Ilmu Politik. Dalam bukunya Introduction to Political Science, Sir Robert Seeley mengatakan: “History without political science has no fruit; political science without history has no root”. Meskipun banyak yang mengatakan ungkapan itu kurang tepat, tetapi cukup mengisyaratkan bahwa Ilmu Politik dan Sejarah sangat berkaitan terutama ketika membahas negara dan hubungan diplomatiknya. Ilmu Politik
memperkaya
materinya
dengan
peristiwa
sejarah,
mengadakan
perbandingan dan induksi dari sejarah. Sejarah merupakan gudang persediaan data bagi Ilmu Politik (Isjwara, 1974: 74-75).
11
1.6 Metode dan Teknik Penelitian 1.6.1 Metode Penelitian Metode yang dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah metode ilmiah sejarah. Metode ilmiah dalam sejarah bertujuan untuk memastikan dan memaparkan kembali fakta-fakta berdasarkan bukti-bukti dan data-data yang diperoleh sebagai peninggalan masa lampau (Ismaun, 2005: 35). Lebih lanjut Ismaun (2005: 37) mengatakan
“metode sejarah yang dipersatukan dengan
metode historiografi itu diberi nama metodologi sejarah“. Adapun Metodologi smengacu kepada empat langkah penting (Ismaun, 2005: 49-51), yaitu: 1. Heuristik, adalah upaya pencarian dan pengumpulan sumber sejarah yang relevan, setelah eksplorasi literatur. Pada tahap ini penulis mendatangi tempat-tempat yang menyediakan sumber yang berkaitan dengan kajian penulis, seperti perpustakaan dan toko buku. 2. Kritik, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber Sejarah yang didasari oleh etos ilmiah, baik isi maupun bentuknya (internal dan eksternal). Kritik internal dilakukan untuk melihat layak tidaknya isi dari sumber-sumber yang telah diperoleh untuk selanjutnya dijadikan bahan penelitian dan penulisan. Kritik eksternal dilakukan oleh penulis untuk melihat bentuk fisik dari sumber tersebut. Dalam tahap ini, penulis berusaha melakukan pemilihan terhadap sumbersumber yang berkaitan dengan topik penelitian ini. 3. Interpretasi, yaitu penulis memberikan penafsiran terhadap sumbersumber yang telah dikumpulkan selama penelitian berlangsung.
12
Kegiatan penafsiran ini dilakukan dengan cara menafsirkan fakta dan data dari sumber yang ada dengan konsep-konsep yang telah ditentukan oleh penulis. Penulis juga melakukan pemberian makna terhadap fakta dan data yang kemudian disusun, ditafsirkan, dan dihubungkan satu sama lain. Fakta dan data yang telah diseleksi dan ditafsirkan selanjutnya dijadikan pokok pikiran sebagai kerangka dasar penyusunan skripsi ini. 4. Historiografi, adalah langkah terakhir dalam rentetan metode historis. Penulis menyajikan hasil temuan dengan menyusunnya dalam kesatuan suatu tulisan yang jelas dengan bahasa analisis deskriptif sederhana sesuai etika keilmuan yang menggunakan tata bahasa dengan baik dan benar sesuai ejaan yang disempurnakan. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan buku Pedoman Karya Ilmiah UPI sebagai acuan teknik penulisan. 1.6.2 Teknik Penelitian Dalam pengkajian penelitian yang berjudul “Politik Luar Negeri Indonesia terhadap Pembentukan Negara Federasi Malaysia dan Dampaknya bagi Hubungan Indonesia-Amerika Serikat Tahun 1961-1963”, penulis menggunakan teknik studi literatur. Teknik studi literatur adalah teknik pencarian sumber yang dilakukan dengan membaca, mempelajari, memahami dan mengkaji dari berbagai buku dan sumber relevan lain seperti artikel, dokumen, surat kabar, jurnal, dan sumbersumber lainnya sehingga dapat membantu penulis dalam memecahkan kajian masalah.
13
1.7 Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN Bab I akan menjelaskan latar belakang masalah yang di dalamnya memuat penjelasan mengapa masalah yang diteliti timbul dan penting untuk diteliti, serta memuat alasan peneliti memilih tema hubungan diplomatik dengan judul “Politik Luar Negeri Indonesia terhadap Pembentukan Negara Federasi Malaysia dan Dampaknya bagi Hubungan Indonesia-Amerika Serikat Tahun 1961-1963”. Pada bab ini juga dijelaskan rumusan dan batasan masalah penelitian yang disajikan ke dalam bentuk pertanyaan dengan tujuan untuk mempermudah penulis mengkaji dan mengarahkan pembahasan. Selain itu, bab ini juga memuat tujuan penulisan skripsi, manfaat penulisan skripsi, metode dan teknik yang dipakai dalam penulisan skripsi, serta sistematika dalam penulisan skripsi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab II merupakan hasil tinjauan kepustakaan dari berbagai sumber literatur yang relevan. Sumber literatur adalah sumber berupa buku ataupun karya ilmiah mengenai permasalahan yang diangkat oleh penulis setelah sebelumnya penulis mengkritik sumber penulisan, layak atau tidak dijadikan sumber referensi penulisan. Dalam bab ini tinjauan kepustakaan dan kontribusi terhadap permasalahan akan dijelaskan oleh penulis secara lebih spesifik. BAB III METODOLOGI PENELITIAN Dalam bab III penulis akan membahas langkah-langkah, metode, pendekatan yang dipakai, teknik penelitian yang digunakan oleh penulis dalam
14
mencari sumber-sumber, cara pengolahan sumber serta analisis dan cara penulisannya. Semua prosedur dalam penelitian akan dijelaskan dalam bab ini. BAB IV DAMPAK PEMBENTUKAN NEGARA FEDERASI MALAYSIA TERHADAP
HUBUNGAN
DIPLOMATIK
INDONESIA
-
AMERIKA
SERIKAT TAHUN 1961-1963 Dalam bab ini penulis akan memaparkan dampak pmbentukan Negara Federasi Malaysia bagi hubungan diplomatik Indonesia-AS 1961-1963. Dalam sub bab pertama akan dibahas mengenai sikap Indonesia lewat kebijakan politik luar negeri nya terhadap permasalahan pembentukan Negara Federasi Malaysia. Di dalam sub bab pertama juga akan diungkapkan wilayah mana saja yang digabung ke dalam pembentukan Negara Federasi Malaysia dan mengapa gagasan tersebut muncul. Pada sub bab yang kedua akan dijelaskan kepentingan Indonesia terhadap masalah pembentukan Negara Federasi Malaysia. Sub bab yang ketiga akan menjelaskan mengenai seperti apa Pemerintahan Kennedy menyikapi protes Indonesia terhadap pembentukan Negara Federasi Malaysia di Indonesia. Sedangkan hubungan diplomatik Indonesia-AS akan dijelaskan pada sub bab yang keempat. BAB V KESIMPULAN Pada bab ini penulis akan menyampaikan kesimpulan yang merupakan rangkuman jawaban terhadap masalah-masalah yang dibahas oleh penulis secara keseluruhan. Hasil temuan akhir ini merupakan pandangan peneliti tentang inti dari pembahasan penulisan. Bab kesimpulan merupakan bab yang terakhir dari penulisan skripsi.