Relawan Di Pusaran Politik Oleh Harun Husein Selasa, 29 Maret 2016, 18:00 WIB http://www.republika.co.id/berita/koran/teraju/16/03/29/o4srwl20-relawan-di-pusaran-politik
Ledakan partisipasi. Inilah fenomena ganjil yang muncul sejak Pemilu Presiden 2014 lalu, yang berlanjut hingga menjelang perhelatan Pilkada DKI Jakarta. Betapa tak ganjil, dia muncul di tengah kian besarnya angka pemilih mengambang (floating voters) dan stagnasi angka partisipasi pemi lih (voters turn out). Ledakan partisipasi itu mewujud dalam bentuk menjamurnya ko munitas relawan. Tren angka partisipasi pemilih di Indonesia sejak Pemilu 1999 hingga 2009 lalu, sempat terjun bebas (lihat tabel Par tisipasi Pemilih di Indonesia). Namun, sejak Pemilu Legislatif 2014, Pemilu Presiden 2014, hingga Pilkada 2015, angkanya terta han di kisaran 70-an persen. Pada tiga per he latan ini, angka partisipasi berfluktuasi: kadang sedikit melandai, kadang pula sedikit menanjak. Pada Pilkada 2015 lalu, misalnya, angka partisipasi rata-rata di 264 daerah adalah 70 persen. Tak seperti voters turn out yang masih bergumul, angka pemilih mengambang rontok tak tertahankan. Hasil survei mem per lihatkan orang yang mengidentifikasi diri dengan partai (party id) semakin kecil. Men jelang Pemilu 2014 lalu, misalnya, angka party id tinggal 10 persen. Itu berarti, 90 persen pemilih di Indonesia adalah pemilih mengambang. Floating voters ini bergerak ke dua arah: memilih partai lain (floating voters) atau golput (lihat Tren Merosotnya Party Id di Indonesia). Di tengah potret buram itu,tiba-tiba mencuat fenomena ledakan partisipasi. Orang-orang yang kebanyakan tak punya kaitan dengan partai, tiba-tiba mendapat kegairahan berpolitik. Tapi, karena partisi pasi ini tersemai di lahan dengan party id rendah, maka hasilnya kemudian adalah 'tanaman yang unik.' Mereka meng identifi kasi dirinya dengan kandidat, bukan partai, bahkan cenderung berseberangan dengan partai. "Pada Pemilu 1997, Pemilu 1999, dan Pilpres 2014 lalu, para relawan ini muncul dari bawah, tidak dibentuk oleh kandidat maupun partai. Ada relawan yang mendu kung Jokowi maupun Prabowo. Relawan yang mendukung Jokowi umumnya karena melihat figurnya bersih, sedangkan relawan pendukung Prabowo umumnya muncul karena alasan ideologis," kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti. Uniknya, ledakan partisipasi yang yang mengharu biru dunia nyata hingga dunia maya, 1
ternyata tak berbanding lurus dengan peningkatan partisipasi di bilik suara. Sebab, pada Pilpres 2014 lalu, angka partisipasinya hanya 69 persen. Lebih rendah dibanding Pileg 2014 yang mencapai 75 persen, juga lebih rendah dibanding Pilpres 2009 yang angkanya 72 persen. Sebuah anomali. Meski kontribusi relawan bagi pening katan voters turn out belum terbukti, namun partisipasi berwujud relawan ini terus berlanjut, dengan segala gegap-gempitanya. Menjelang Pilkada DKI Jakarta, muncul berbagai komunitas relawan seperti Teman Ahok, Sahabat Sandiaga Uno, Pendukung Yusril, Suka Haji Lulung, Kawan Adhyaksa, Sahabat Djarot, dan lain-lain. Tak seperti relawan yang muncul menjelang Pemilu 1997 hingga Pilpres 2014 yang hanya mendukung calon yang diusung partai, Teman Ahok berevolusi lebih jauh, tak ubahnya mesin politik. Paradigma baru itu terlihat pada beberapa meme yang dipajang di akun facebook Teman Ahok. Seperti, meme berisi pernyataan Joko Anwar yang berbunyi, "Saatnya memilih sendiri pemimpin yang kita percaya. Bukan hanya menerima yang dipilihkan partai politik untuk kita." Atau, meme pernyataan Goena wan Mohamad: "Pilkada DKI 2017 bukan hanya untuk memenangkan Ahok dan Heru. Pilkada ini juga untuk mene gaskan hak kita yang tidak berpartai —Kita yang percaya kepada demokrasi." Pernyataan-pernyataan tersebut meru pakan penegasan tentang kekurang perca yaan bahkan ketidakpercayaan kepada partai, tapi tetap ingin terlibat, bahkan turut menentukan haluan politik. Kebetulan mo men tumnya memang pas, karena regulasi yang mengatur pencalonan kepala daerah memungkinkan calon perseorangan non partai berkontestasi dalam pilkada, berbekal surat dukungan dan KTP dalam jumlah tertentu. Pengumpulan KTP dukungan yang dila kukan Teman Ahok sejak Juni 2015, meru pakan penjabaran teknis-operasional dari paradigma itu. Yaitu, menjadikan relawan sebagai mesin pengumpul KTP, meski bisa jadi disiapkan sebagai skenario cadangan: Jika tak ada partai yang meng usung Ahok, dia tetap bisa dapat kendaraan untuk ber kontestasi di pilkada. Hingga pekan ketiga Februari lalu, Teman Ahok mengklaim telah mengumpulkan 730 ribu KTP. Sebenarnya, setelah Mahkamah Kons titusi memutuskan persentase KTP du kungan calon perseorangan tak lagi dihitung berdasarkan jumlah penduduk tapi jumlah pemilih. Karena itu, 730 ribu KTP tersebut sudah lebih dari cukup. Sebab, KTP yang dibutuhkan hanya 525 ribu, yang hitung annya adalah 7,5 persen dari DPT DKI yang jumlahnya 7 juta.
2
Tapi, pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, membocorkan bahwa se mua KTP dukungan yang dikumpulkan Teman Ahok itu tidak sah. Sebab, diberikan kepada seorang calon, padahal undangundang dan peraturan KPU mensyarakatkan dukungan diberikan kepada pasangan calon. Walhasil, "Mau kumpulin tiga juta KTP pun harus diulang," tegas Yusril. Sempat terjadi polemik soal kasus ini. Ahok ngotot bahwa KTP yang sudah dikum pulkan itu sah, dan seorang komisioner KPUD DKI pun mengamininya. Namun, pernyataan Yusril yang mantan Menteri Hukum dan HAM itu, adalah benar adanya. Undang-Undang No 8/2015 memang menegaskan bahwa dukungan diberikan kepada pasangan calon. Dan, dukungan itu menurut Pasal 41 Ayat (3), harus dibuat da lam bentuk "surat dukungan" yang diser tai fotokopi KTP, kartu keluarga, paspor, atau identitas lain yang sah. Peraturan KPU Nomor 9/2015, menyatakan surat dukungan itu pun harus dibuat berdasarkan format tertentu, yaitu Form BA.1-KWK Per seorang an, yang juga sudah harus mencantumkan nama wakilnya. Konsekuensinya, pengumpulan surat dukungan dan KTP itu harus diulang. Panik oleh kenyataan itu, apalagi mulai bertiup wacana Ahok maju melalui jalur partai, dan Ahok pun bertemu dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Teman Ahok bereaksi. Di akun facebook-nya mereka mem-posting meme yang menggambarkan Ahok sedang dihipnotis oleh hantu yang mirip lambang PDIP, sementara seorang relawan berusaha membebaskan Ahok yang terhipnotis, untuk menuju arah lain. Waktu bergulir. Awal Maret, Teman Ahok mendesak Ahok memutuskan apakah maju lewat jalur partai atau perseorangan. Sebab, waktu semakin sempit, sementara mereka harus menggalang ulang KTP sesuai format yang ditentukan, yang mereka sebut dengan istilah "verifikasi". Hasilnya menge jutkan, Ahok mengumumkan maju melalui jalur perseorangan, berpasangan dengan Heru Budi Hartono, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) DKI. Maka, bila pengumpulan KTP ini semula menjadi skenario cadangan, momentum itu kemudian menjadikan relawan menjadi mesin politik utama pencalonan Ahok. Mesin yang digerakkan anak-anak muda yang penuh semangat dan antusiasme, namun minim pengalaman, sehingga mulai dari soal pengumpulan KTP, pengumpulan sumbangan, penggunaan asset pemda sebagai markas, memicu kontroversi. Unik nya, langkah seruduk sana-sini, itu, justru membuat Banteng Gemuk Bermoncong Putih terpental.
3
Keputusan Ahok meninggalkan PDIP— pemilik 28 kursi yang sendirian pun cukup untuk menjadi kendaraan politik Ahok menjadi calon gubernur—, menyebut-nyebut mahar politik Rp 100 miliar, serta meme yang dianggap menista PDIP, membuat galau Partai Banteng. Para petinggi partai pemenang Pemilu 2014 itu pun meng hembuskan isu deparpolisasi. Megawati bahkan menginstruksikan para kadernya untuk "melawan calon independen." Sebenarnya, sisi positif langkah pengum pulan KTP yang dilakukan Teman Ahok ini adalah memberikan pembelajaran baru bagi calon-calon perseorangan di seluruh Indo nesia, baik kandidat kepala daerah maupun caleg DPD, tentang cara-cara mengumpul kan dukungan. Bahwa mereka bisa menjadi kan relawan sebagai mesin pengumpul KTP dukungan, tak perlu membelinya dari bro ker. Apalagi, komunitas relawan seperti Te man Ahok pun memperlihatkan gelagat men jadi mesin politik utama yang men subordinasi partai, bukan sebaliknya seperti di masa lalu. Terbukti, setelah Ahok meng umumkan maju melalui jalur perseorangan, beberapa partai tetap rela mendukung Ahok. Tapi, dengan segala sepak terjangnya itu, apakah wadah seperti Teman Ahok masih dapat dikatakan relawan? Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, menilai mereka tidak lagi mirip relawan. "Mereka sebenarnya tim sukses," katanya. Ada yang mempersamakan relawanrelawan di Indonesia ini dengan Political Action Committee (PAC) yang kerap bekerja dalam Pemilu Presiden di Amerika Serikat. Namun, setelah dibandingkan, untuk kasus Teman Ahok, tidak benar-benar pas. PAC di Amerika adalah wadah untuk mendukung atau menolak kandidat tertentu. PAC terkoneksi dengan kandidat atau murni independen. Mereka menggalang dana dan menyumbang untuk kandidat tertentu, atau beriklan untuk mengampanyekan atau menolak kandidat tertentu. Wadah mereka terdaftar secara resmi di Komisi Pemilu Federal. Dana yang mereka kumpulkan pun dilaporkan kepada Komisi Pemilu Federal. Persoalannya, PAC tidak mengusung calon tertentu. Mereka hanya mendukung. Sedangkan, Teman Ahok, justru melangkah menjadi mesin politik, dengan tetap mema kai baju relawan. Sebenarnya, sejak para relawan Jokowi dalam pilpres lalu mendapat jatah jabatan, yang kebanyakan menjadi komisaris BUMN, mulai banyak gugatan atas penggunaan istilah relawan. Mungkin mereka memba yang kan relawan bak pendekar di komik yang tiba-tiba
4
muncul saat terjadi huru-hara, kemudian menghilang dan kembali ke pertapaan setelah menyelesaikan misinya. Masalahnya, ini dunia politik, yang konon tak ada makan siang gratis. Di tengah silang sengkarut itu, pada Pilpres 2014 lalu, sebenarnya ada spirit dan gerakan yang pas untuk disebut relawan. Yaitu, orang-orang yang secara gotong ro yong (crowdsourcing) merekap hasil scanning Formulir C1. Tak seperti grup-grup relawan yang terang-terangan mendukung capres/ca wapres tertentu, relawan crowdsourcing ini tak mengibarkan preferensi politiknya ke permukaan. Mereka muncul dan ber partisi pasi karena dua alasan. Pertama, dipicu oleh transparansi KPU dalam mem buka datadata pemilu, khususnya scanning C1 yang diunggah KPU ke jaringan internet. Kedua, kegelisahan atas kondisi pasca pemungutan suara yang sangat panas, ka rena hasil pilpres yang sangat ketat. Apalagi, situasi pun dibuat makin tak menentu oleh quick count lembaga-lembaga survei yang bertolak belakang: ada yang memenangkan Jokowi, ada yang memenangkan Prabowo. Bahkan, Jokowi maupun Prabowo pun ikut mendeklarasikan kemenangannya berdasar hasil quick count itu. Sementara itu, hasil resmi pilpres masih harus menunggu waktu, karena proses rekapnya yang manual ber jenjang. Para relawan crowdsourcing ini berhasil merekap hasil penghitungan suara dari 500 ribu lebih TPS. Dan, karena yang direkap para relawan ini adalah data riil, bukan data sampel seperti quick count, hasilnya lebih mampu meraih kepercayaan publik. Bela kangan terbukti penghitungan mereka paling mirip dengan hasil penghitungan manual KPU. Jadi, siapakah sesungguhnya yang ber hak memakai baju relawan? Apakah istilah itu pas dilekatkan pada sebuah organisa si/wadah/komunitas hanya karena mereka secara struktural tak terkait dengan partai dan kandidat?
5