DINAMIKA PERJUANGAN PELAJAR ISLAM INDONESIA DI ERA ORDE BARU
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh Mirzan Insani NIM: 201033200785
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul DINAMKA PERJUANGAN PELAJAR ISLAM INDONESIA DI ERA ORDE BARU telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada tanggal 12 Maret 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Program Strata Satu (S-1) pada program Study Ilmu Politik. Jakarta 12 Maret 2010
Sidang Munaqasyah, Ketua Merangkap Anggota,
Wiwik Siti Sadjaroh, MA NIP. 196902101994032004. Anggota,
Pembimbing,
Dr. Sirojuddin Aly, MA NIP: 19540605 2001121001
Penguji I
Dra. Haniah Hanafie, M,Si NIP. 196105242000032002
Penguji II
Drs. Agus Nugraha, M,Si NIP. 196808012000031001
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (satu) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 12 Maret 2010
Mirzan Insani
iii
KATA PENGANTAR
”Ma… jika malam gelap Simpan tangismu dalam sehelai sapu tangan besok pagi jadikan merpati… Menengadahlah pelangi sedang menapak dimuara amarahmu Genggam satu saja kau lempar ke wajah aku.. Ma, bendung air matamu dengan kata-kata Pertama untaikan dalam sajak besok pagi jadikan bait puisi.. Tengoklah hujan sedang menyirami bara risaumu Biarkan melaut untuk menguap kembali menjadi awan”
Syukur terhatur kehadhirat Allah Tuhan yang Maha Ghafur atas segala rakhmat yang meruang dan mewaktu dengan segala ketakziman yang ada. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah ke-haribaan Muhammad SAW, keluargamu, sahabat-sahabatmu, dan siapapun yang mengikutimu, seperti curah hujan atas bumi, seperti pancaran matahari pada semesta raya. Akhirnya, skripsi ini selesai. Ada proses panjang yang sebelumnya memang harus dilalui. Di sana, penulis mengalami banyak peristiwa dan bertemu dengan nama-nama. Entah kenapa, peristiwa dan nama-nama itu seperti fase-fase yang tanpa terasa membawa penulis pada fase terakhir studi. Kehidupan memang memiliki aturan sendiri yang mungkin lepas dari logika manusia. Terima kasih penulis haturkan kepada : 1. Dekan, Pembantu Dekan, dan seluruh Bapak serta Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pengajaran selama masa belajar penulis. 2. Ibu Wiwik St Syajaroy, MA selaku ketua Jurusan Pemikiran Politik Islam, Bapak Rifki Mukhtar, Ketua Program Ushuluddin dan Filsafat
iv
3. Bapak Dr. Siradjuddin Ali, MA., selaku pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulisan skripsi ini. 4. Sungkem Sujudku kepada Kedua orang tua tercinta, Bapak Sujono dan Ma Royanah atas keikhlasan, do’a serta airmata restu mereka. Tanpa keduanya penulis tidak akan berada di dunia dan menjalani kehidupan yang merupakan sekolah yang tidak pernah menawarkan ijazah. 5. Saudara-saudaraku, Kakakku tercinta Mas Aan Raekhan dan Yu Dewi, Adikku Lukman Effendi dan Endang serta sikecil Keyla Zahra Lazuardani sebagai bagian dalam satu niscaya yang tak terpisahkan menuju doa yang sempurna. Tak lupa para Lilik, Budhe, sepupu, Um, Bulik, untuk kerukunan dan remojongannya. Bayu, Tegar (Mas Dang saged Lulus) 6. Teruntuk mata telagaku Juwita Ratna Wulan yang menemani dan banyak membantu menyelesaikan penulisan dan support yang membangun untuk keoptimisan dalam penyelesaian studyku, serta ketabahanmu 7. Untuk doamu kepadaku Rokhana semoga segalanya ada jawaban pangampurane Nok. 8. Bambang Prihadi guruku diteater atas inspirasi kebersahajaannya. 9. Keluarga Besar UKM Teater Syahid dan Lab Teater Syahid banyak memberikan pembelajaran yang tak ternilai. 10.
Keluarga
Besar
Pelajar
Islam
Indonesia
Daerah
Ciputat
memperkenalkanku tentang bagaimana menangis yang baik dan bijak.
v
11.
Saudara sehatiku Mas Kirno, Sub, Agus, Bapa Sakim yang menyelamiku dalam makna yang bernama “diam”
12.
Kleng Pablo atas teriakan dan tepukan punggung untuk terus maju menyelesaikan study ini.
13.
Keluarga Bani Solikhin Mba Zizah, Mas Untung, Mas Joyo, Mba Endah, tak lupa Bonis atas cita yang sepadan
14.
Ozhy Tatu teman diskusi dan layout selama dalam penulisan
15.
Kang Gino dan Sokhibi pijakan pertemanan awalku memasuki kota Jakarta dan Studyku di IISIP.
16.
Bapak Utomo Dananjaya demikian banyak keakraban tentang memeluk kehidupan yang selalu dianggap hijau.
17.
Mas Radhar Pancadahana dan FTI (Federasi Teater Indonesia) atas transfer pengetahuan dalam mencari celah kemungkinan
18.
Temen-temen seperjuangan semua kang Aseng tralala, Wong Zdolim, Bang Echo Chotib, Mas Aris, Sir Ilham, Olief, Julung, Jula, Lina, Yuni, Yanche, Alam, Yova, Kancil, Parto, Widi, Akbar, Rendi, Big Dady, Washadi, Welda, Bangkit, Iman, Dimas, Kis, Wilda, Uswah, Dien, dan temen-temen yang tidak saya sebutkan satu persatu. Trimakasih semuanya
12 Maret, 2010.
PENULIS.
vi DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………… iii-v DAFTAR ISI…………………………………………………………………….. vi
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……………………………………………………… 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………………………………… 9 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian……………………………………………… 9 D. Metode Penelitian…………………………………………………………….. 10 E. Sistematika Penulisan………………………………………………………… 11
BAB
II.
LATAR
BELAKANG
PENDIRIAN,
PEMBENTUKAN
DAN
PENGKADERAN A. Keadaaan Umat islam Paska Kemerdekaan………………………………….. 12 B. Motovasi Dasar Pendirian Pelajar Islam …………………………………….. 21 C. Proses Pendirian Pelajar Islam Indonesia …………………………………… 24 D. Dasar-dasar Pandangan Pelajar Islam Indonesia tentang Kekuasaan………... 33 E. Kaderisasi Pelajar Islam Indonesia…………………………………………...
35
F. Pelajar Islam Indonesia, Arena Belajar Demokrasi…………………………..
38
BAB III. KEBIJAKAN PEMERINTAH ORDE BARU A. Setting Politik Orde Baru ……………………………………………………. 41
vii A. 1. Politik dalam Masa Peralihan………………………………
42
B. 2. Ideologi Pembangunan dan Dwifungsi ABRI……………...
43
B. Pengetatan Struktur Politik ………………………………………………….. 47 C. Implikasi Setting Politik Orde Baru Terhadap Islam………………………… 50
BAB IV. DINAMIKA HUBUNGAN PELAJAR ISLAM INDONESIA DENGAN PEMERINTAH ORDE BARU A. Undang-undang Keormasan Nomor 8/1985: Puncak Pertentangan………….. 56 B. Umat Islam dan Undang-undang Keormasan…………………………….
62
C. Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia dan Undangundang Keormasan….
65
D. Pelajar Islam Indonesia Melampaui Batas Akhir dan Tunduk pada Undangundang Keormasan…………………………………………………………. 76 E. Sumbangan Pelajar Islam Indonesia Terhadap Pembangunan Nasional………. 81 E.1. PII dan Gerakan Amal Sholeh……………………………………………... 82 E.2. PII dan Masa Depan Kepemimpinan Nasional……………………………. 83
BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan……………………………………………………………………… 85 B. Saran-Saran……………………………………………………………………… 86 DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Umumnya para analis bersepakat, bahwa pasang surut hubungan Islam dengan negara di Orde Baru telah memasuki babak baru sejak pertengahan tahun 1980-an dan makin jelas pada era 1990-an. Afan Gaffar menganggap, fenomena tersebut sebagai fenomena politik akomodasi setelah sebelumnya hubungan itu berada dalam suasana yang antagonistik. 1 Hubungan yang demikian ini ditandai oleh dua hal. Pertama, di kalangan kekuatan-kekuatan politik Islam, persoalan formalitas ideologi Islam dalam negara tampaknya tidak lagi menjadi ide atau gagasan yang perlu dikedepankan. Gagasan itu adalah mendirikan negara Islam atau menjadikan Islam sebagai dasar negara. Tampaknya terjadi perubahan persepsi di kalangan generasi baru Islam. Mereka ini tidak lagi membicarakan bagaimana membangun negara Islam atau bagaimana membangun suatu negara yang menerapkan kaidah-kaidah (syari’ah) politik Islam dalam kehidupan kenegaraan di Indonesia. Perubahan persepsi ini, menurut Afan, tidak dapat dilepaskan dari makin banyaknya kelompok Islam yang terpelajar sebagai salah satu hasil dari pembangunan Orde Baru. 2 Kedua, di tingkat kenegaraan, pemerintah tampak melakukan akomodasi terhadap berbagai kepentingan
1
Afan Gaffar, ”Islam Dalam Era Orde Baru, Mencari Bentuk Artikulasi yang Tepat” (Ulumul Qur’an, 1993) Vol. IV, hal-2 2 Afan Gaffar, “ Islam Dalam Era Orde Baru, Mencari Bentuk Artikulasi yang Tepat” Vol. IV, hal-2
1
2
(aspirasi) umat Islam. Berbagai indikator dapat ditunjukkan untuk mendukung pernyataan ini: 1). Pada masa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan, kebijakan pendidikan mulai berubah. Misalnya, pemberlakuan kembali liburan puasa dan pelajar muslimah boleh memakai jilbab di sekolahsekolah umum/negeri. 2). Pendidikan yang bersesuaian dengan ajaran Islam diakomodasi dalam beberapa pasal Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Pendidikan Nsional. 3).
Undang-undang
tentang
peradilan
Agama
yang
mengakui
pemberlakuan syari’ah Islam digolongkan dalam Pengadilan Agama di Indonesia. 4). Pengiriman seribu da’i ke berbagai daerah oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila sekaligus dengan pembiayaannya. 5). Pengangkatan berbagai tokoh/intelektuan yang dianggap dekat dengan Islam ke dalam kabinet pemerintah maupun lembaga DPR/MPR. 6). Berdirinya Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Penjelasan terhadap munculnya fenomena akomodasi terhadap Islam oleh Negara ini umumnya dilakukan secara makro. Umat Islam dalam hal ini dipandang sebagai suatu entitas yang keseluruhannya melibatkan diri dalam arus besar gerak politik Orde Baru. Dengan kata lain, berbagai penjelasan mengenai pasang naiknya hubungan Islam dengan Negara sejak pertengahan era 1980-an masih menyisakan satu pertanyaan besar. Pertanyaan itu ialah apakah fenomena politik akomodasi di atas menyentuh kelompok-kelompok yang dianggap berada
3
di luar mainstream, baik secara formal maupun substansial? Pertanyaan ini juga menurut penjelasan mengenai bagaimanakah perjalanan dan perkembangan persepsi serta respon kelompok-kelompok Islam terhadap negara. Dengan demikian, pada dasarnya umat Islam mengambil dua sikap. Sikap utama atau yang menjadi main stream adalah menerima kebijakan tersebut. Sedangkan sikap menolak adalah sikap yang dapat digolongkan sebagai sikap diluar main stream. Lebih tegasnya, sebagai kelompok yang menolak kebijakan itu, Pelajar Islam Indonesia dapat dikatakan telah berada di luar kerangka politik formal Orde Baru. Selain itu kebijakan pemerintah Orde Baru yang mengedepankan ide tentang penyeragaman asas bagi segenap organisasi politik dan kemasyarakatan dengan menggunakan asas Pancasila, pertama kali disampaikan oleh Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraan tahunannya pada tanggal 16 Agustus 1982. Untuk organisasi kemasyarakatan, ide ini- setelah melalui berbagai prosesakhirnya diwujudkan menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Keormasan dan diundangkan melalui Lembaran Negara Nomor 2638 tanggal 17 Juni 1985. 3 Salah satu pasal dalam Undang-Undang itu mewajibkan setiap organisasi kemasyarakatan agar mencantumkan Pancasila sebagai asas organisasi dan tidak ada asas lain selain itu. 4 Setiap organisasi kemasyarakatan ketika itu diberi batas waktu hingga 17 Juni 1987 untuk menyesuaikan asasnya dan mendaftarkan diri ke Departemen Dalam Negeri. 5
3
Tempo, Nomor 46 Tahun 1988. Undang-Undang Keormasan Nomor 8 Tahun 1985 5 Lihat, Departemen Agama, “Ensiklopedia Islam di Indonesia”, (Jakarta: Departemen Agama, 1993), Jilid III, hal,922 bandingkan dengan Tempo, Nomer 46 Tahun 1988 4
4
Sejak awal pencetusan ide tentang penyeragaman asas organisasi kemasyarakatan ini, respon atau sikap ini nampak konsisten. Pernyataanpernyataan resmi PII selama tenggang waktu lima tahun (1982-1987) menunjukan adanya konsistensi ini. PII merupakan organisasi pelajar tertua yang lahir setelah kemerdekaan Indonesia, 6 bergerak di bidang sosial-pendidikan dan dakwah. PII didirikan di Yogyakarta tanggal 4 Mei 1947. Meskipun organisasi ini bernama pelajar, namun yang terhimpun di dalamnya tidak hanya pelajar dalam arti formal. Di PII juga akan ditemui mahasiswa (sarjana dan pascasarjana), juga pemuda-pemuda yang sudah bekerja. Hal ini tidaklah mengherankan mengingat PII mendefenisikan “pelajar” dalam arti luas dan longgar, mengacu kepada pengertian bahwa belajar itu sepanjang hayat. Sebagai organisasi yang lahir pada masa mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, PII telah menunjukan komitmennya yang besar terhadap keberlangsungan
hidup
bangsa
dan
negara.
Bahkan
pada
awal-awal
pergerakannya, sesuai dengan konteks ketika itu, gerak PII lebih banyak diwarnai oleh keikutsertaannya- bersama komponen bangsa yang lain- mempertahankan kemerdekaan. Hal ini dapat dimaklumi mengingat salah satu motivasi berdirinya PII bertolak dari tanggungjawab sebagai organ bangsa yang ketika itu sedang mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan kolonial Belanda dengan agresi militernya. 7
6
Departemen Agama, “Ensiklopedia Islam di Indonesia”, (Jakarta: Departemen Agama, 1993), Jilid III, hlm.922 7 Departemen Agama, “Ensiklopedia Islam di Indonesia” Jilid III, hal, Ibid
5
Pengakuan atas peran PII itu antara lain tercermin dalam amanat almarhum Jendral Soedirman (Panglima Besar Angkatan Perang RI) pada resepsi hari bangkit (HARBA) I PII, tanggal 4 Mei 1948 : “Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada anak-anak PII, sebab
saya tahu bahwa telah banyak korban yang telah diberikan oleh PII kepada negara.Teruskanlah perjuanganmu, hai anak-anaku Pelajar Islam Indonesia. Negara kita adalah negara baru, didalamnya penuh onak dan duri, kesukaran dan rintangan banyak kita hadapi. Negara membutuhkan pengorbanan pemuda dan segenap bangsa Indonesia”. 8 Di samping motivasi kebangsaan, motivasi pertama yang melandasi pendirian PII adalah motivasi yang berasal atau bertitik tolak dari ajaran agama. 9 Ayat al-Qur’an yang menjadi rujukan motivasi ini adalah Surat Ali Imran (3) ayat 104 yang memberi isyarat agar ada diantara sekelompok orang (organisasi) Islam yang mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran. Motivasi ini sangat mempengaruhi kepribadian kader-kader PII pada umumnya. Segenap warga PII berkeyakinan bahwa eksistensi organisasi bukanlah sekedar memenuhi social need, melainkan merupakan perangkat fardhu kifayah ( kewajiban secara kelompok) dalam rangka pengembangan dakwah Islam. Dengan dasar motivasi itu, sebagai organisasi Islam PII telah menunjukan komitmen dan kepedulian yang tinggi dan konsisten kepada Islam. Perjalanan historis PII telah membawanya pada posisi yang dianggap sebagai kelompok kritis (kadang dianggap radikal) dan sangat dekat dengan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi M. Natsir). M. Rusli Karim menggambarkan PII sebagai organisasi massa-pelajar yang sangat konsisten mengamalkan ajaran Islam dan
8
Documenta Selecta Pelajar Islam Indonesia, PB PII. Telah disesuaikan dengan ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD). 9 Tim IAIN Syahid Jakarta, “Ensiklopedi Islam Indonesia” (Jakarta: Djambatan 1992) Jilid I, hal, 759.
6
pandangan politiknya sering disamakan dengan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). 10 Jadi, tidaklah mengherankan kalau di tingkat kehidupan berbangsa dan bernegara PII menjadi sangat peduli dan kritis pada kebijakankebijakan pemerintah terutama yang menyangkut kepentingan Islam dan umat Islam. Untuk membahas masalah ini secara nasional setidaknya PII telah melaksanakan empat kali pertemuan. Pembahasan pertama dilakukan dalam Muktamar Nasional ke-16 di Jakarta pada tahun 1983. Pembahasan kedua pada tahun1984 di Jawa Barat lewat acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas). Tahun berikutnya melalui Musyawarah Instruktur Nasional (MIN) di Bandar Lampung. Akhirnya, pada Muktamar Nasional ke-17 tahun 1986,PII tetap mempertegas sikapnya sebagaimana tercermin dalam Pokok-Pokok Pikiran Pengurus Besar (PB) PII tentang penyusunan Undang-undang Keormasan yang merupakan hasil Rapimnas tahun 1984 : 1.
Menolak setiap perangkat atau hukum yang secara sengaja atau tidak sengaja akan mengeliminir atau mencoret Islam secara tersirat atau tersurat dari Anggaran Dasar atau perangkat organisasi kemasyarakatan, terutama yang bernafaskan islam.
2.
Mengakui Al-Islam sebagai satu-satunya asas bagi berorganisasi kemasyarakatan yang bernafaskan Islam dalam melaksanakan kegiatankegiatannya.
10
M. Rusli Karim, HMI, hal, 127-128
7
3.
Menolak setiap perangkat aturan atau hukum yang secara birokratisadministratif akan membatasi nilai-nilai Islam. 11 Pokok-pokok pikiran tersebut dengan jelas menunjukan analisa dan
prediksi PII yang memandang Undang-undang Keormasan sebagai perangkat ideologis pemerintah untuk mengeliminasi Islam dari bumi Indonesia. Sejak itulah legalitas formal PII sebagai organisasi kemesyarakatan tdak diakui lagi. Sejak itu pula sesungguhnya PII secara kelembagaan telah berada diluar kerangka politik formal Orde Baru. Akan tetapi, di sini pula kita melihat adanya pola hubungan yang unik antara pemerintah Orde Baru dengan PII sebagai salah satu Kelompok Masyarakat. Pengurus dan kader PII sendiri tidak mau menganggap organisasinya ilegal karena terbukti seluruh kegiatan utama mereka dapat tetap dilaksanakan sebagaimana sebelumnya. Mereka menyebut situasi ini “informal”. 12 Dengan istilah itu mereka ingin mengatakan, bahwa kegiatankegiatan PII tetap berlangsung, meskipun tidak dipublikasikan dan tentu saja mengalami berbagai penurunan baik kualitas maupun kuantitas. Kegiatan terbuka PII yang terakhir sebetulnya adalah muktamar di Surabaya (1-7 Januari 1980). 13 Setelah itu, kegiatan PII tidak dipublikasikan. Pada dasarnya pemerintah mengetahui aktivitas PII, tetapi membiarkan saja. 14 Ketiadaan legalitas formal ternyata tidaklah mengurangi dinamika di dalam tubuh PII. Pada tahun 1995 melalui Muktamar Nasional PII yang ke-20 di
11
PII, “Pokok-pokok pikiran PB PII tentang Penyusunan Undang-Undang Keormasan”, Jakarta: Rapimnas, 1984. 12 Lihat, PII, “Pokok-pokok pikiran PB PII tentang Penyusunan Undang-Undang Keormasan”, Jakarta: Rapimnas, 1984. 13 PII, Jakarta: Rapimnas, 1984. 14 Keterangan Hartono Mardjono, S.H (ketika itu Wakil Ketua DPA RI ) pada acara “Advanced Leadership Training PII” (Jakarta, Juni 1991)
8
Cisalopa, Jawa Barat, PII secara kompak berketetapan hati untuk menerima asas tunggal Pancasila dan mendaftarkan diri ke Departemen Dalam Negeri . 15 Alasan yang dikemukakan adalah , 1) Pancasila bagi umat Islam dan bsgi PII sudah tidak perlu dipermasalahkan; dan 2) mengingat kondisi obyektif para pelajar
(terutama
pelajar
sekolah
menengah
umum),
maka
PII
perlu
megoptimalisasikan perannya. Hal ini tidak mungkin dilakukan tanpa memakai jalur formal. Sebagai tindak lanjut kesepakatan tersebut, pada tanggal 9 Desember 1996 secara resmi PII mendaftarkan diri ke Departemen Dalam Negeri sebagai salah satu tahap akhir upaya formalisasinya. 16 Untuk mendukung peresmian kembali PII ini, dilakukanlah lobby yang cukup intensif hingga mereka mengantongi rekomendasi dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Agama, Majelis Ulama Indonesia, ABRI (sekarang TNI ), dan dari tokoh-tokoh masyarakat. 17 Dukungan yang jelas juga diberikan oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi. 18 Bahkan PII telah pula berkirim surat langsung kepada Soeharto sebagai presiden orde baru di masanya. Perkembangan PII di era 1980-an dan 1990-an seperti telah diuraikan tersebut dapat menunjukkan dua hal yang masing-masing memuat dua fenomena yang tampak bertentangan. Pertama, pada tahun 1985 PII menyatakan diri menolak pemberlakuan asas tunggal Pancasila, sedangkan sepuluh tahun setelah itu yakni tahun 1995, PII menyatakan sebaliknya. Kedua, pada tahun 1985 alasan PII menolak asas tunggal Pancasila bersifat ideologis, sedangkan tahun1995 saat
15
Hasil Muktamar Nasional ke-20 PII, (Jakarta, 1995). Republika, 20 Januari dan 24 Juni 1997. 17 Suara Merdeka, 4 Mei 1996. Juga Berkas Registrasi PII, Jakarta: PB PII, 1997. 18 Ummat. 16
9
mereka mendaftarkan diri ke Departemen Dalam Negeri alasannya pragmatis. Kedua fenomena yang tampak bertentangan ini tentunya menarik untuk dikaji. Kemudian, bila diletakkan dalam konteks hubungan Islam dan Negara Indonesia, fenomena PII juga menarik. Pertama, apakah dinamika PII sejalan dengan dinamika hubungan Islam dan Negara ataukah sebaliknya, dan bagaimanakah menjelaskan fenomena yang tampak bertentangan dalam tubuh PII itu? Kedua, apakah politik akomodasi dapat menjelaskan fenomena PII pada satu dasawarsa terakhir ini? Pertanyaan seperti ini akan berimpliksi kepada penjelasan mengenai pola hubungan Negara denagn PII sebagai kelompok yang secara formal berada di luar kerangka politik formal Orde Baru akibat penolakannya terhadap pemberlakuan asas tunggal Pancasila tahun 1985. Ketiga, fenomena upaya PII memformalkan dirinya kembali ini mengingatkan kita pada upaya Masyumi merehabilitasi dirinya pada awal Orde Baru. Meski di sisi lain dalam beberapa hal dapat dibenarkan. Misalnya, dari segi afiliasi politik, PII dikenal dekat dengan Masyumi. Bahkan, PII dikenal sebagai “Masyumi bercelana pendek”. 19 Di samping itu, ada perubahan suasana dari yang bersifat antagonistik kepada suasana yang akomodatif dari era 1980-an hingga 1990-an. Kemudian, ada lobby yang cukup intensif yang dilakukan PII kepada pihak-pihak pemerintah yang sedang berkuasa. Upya mencermati lobby PII ini akan membawa kita kepada kesimpulan yang menarik tentang peran masyarakat dalam berhubungan dengan negara.
19
Istilah ini antara lain dipakai oleh AM. Fatwa. Lihat Republika, 10 Juli 1997.
10
B.
Pembatasan dan Perumusan masalah Pembatasan dalam penulisan ini berkisar tentang Hubungan dan
Pergerakan Pelajar Islam Indonesia (PII) dengan pemerintahan Orde Baru. Adapun perumusan masalahnya adalah: 1.
Dimanakah posisi PII dalam dinamika hubungan Isalam dan Negara dari tahun 1980 hingga 1995?
2.
Mengapa terjadi perubahan sikap PII dari menolak asas tunggal Pancasila pada tahun 1985 menjadi menerima pada tahun 1995.
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian Dalam penulisan skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan pola
hubungan yang terjadi antara negara di era Orde Baru dan PII serta, meletakkan dan menjelaskan posisi PII sebagai kelompok kaum muda Islam yang kritis, di dalam dinamika politik Orde Baru. Adapun manfaat dari penulisan skripsi tersebut adalah: 1.
Melihat kembali pola hubungan antara negara dan masyarakat di Indonesia yang secara teoritik telah terkonstruksi.
2.
Sebagai bahan pelengkap informasi mengenai pergerakan Islam di Indonesia kontemporer, terutama pergerakan kaum mudanya.
D.
Metode Penelitian Data diperoleh melaui studi kepustakaan (library research) sebagai
sumbernya yaitu buku-buku, artikel, jurnal, majalah, internet, dan dokumentasidokumentasi yang berkaitan dengan pokok permasalahan, dalam pembahasan Dinamika hubungan dengan pemerintah Orde Baru, wawancara mendalam dengan
11
key information. Untuk sumber primer sebagi acuan penulis menggunakan Buku karya Djayadi Hanan “Gerakan Pelajar Islam Dibawah Bayang-Bayang Negara Studi kasus Pelajar Islam Indonesia tahun 1980-1997. Penelitian ini bersifat kualitatif. Maksudnya, mendekati perjalanan PII dalam setting naturalnya, dan berupaya memahami atau menginterprestasikan fenomena PII sesuai dengan pemaknaan yang diberikannya. 20 Data yang digunakan juga bersifat kualitatif. Data kualitatif adalah data yang biasa berbentuk kata-kata, bukan angka-angka. 21 Selain itu, untuk pedoman penulisan skripsi ini, berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), yang diterbitkan oleh CeQDA Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
E.
Sistematika Penulisan Demi mempermudah penelitian, pembahasan, dan penulisan skripsi ini,
maka penulis mengklasifikasikan permasalahan dalam beberapa bab, dengan sistematika sebagai berikut: Bab I.
Merupakan Pendahuluan yang membahas Latar Belakang, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Methodologi Pembahasan, terakhir Sistematika Penulisan.
Bab II. Menelusuri dan melihat keadaan keadaan umat Islam Indonesia pascakemerdekaan hingga lahirnya PII, dan bagaimana PII berkiprah hingga menjadi sangat sering bersentuhan dengan politik. 20
Norman K. Denzin dan Yvonna S. Loncoln,“Entering The Field of Qualitative Research” (Handbook of Qualitative Research, California; SAGE Publication, Inc., 1994), hal, 2. 21 Mathew B. Miles, A. Michael Huberman, “Qualitative Data Analysis” (California: SAGE Publicatyin, Inc., 1996), hal, 1.
12
Bab III. Adalah mengkonsepsikan peran dalam setting politik Orde Baru dan bagaimana implikasi setting poltik Orde baru terhadap Islam Bab IV. Merupakan pandangan atau ide-ide yang berkembang dan dikembangkan di PII berkaitan dengan ideologi, kekuasaan, dan Negara (pemerintahan) serta berbagai proses perkembangannya. Bab V. Adalah Bab Penutup yang menyajikan Kesimpulan dan saran-saran.
BAB II LATAR BELAKANG PENDIRIAN, PEMBENTUKAN DAN PENGKADERAN
A.
Keadaan Umat Islam Pasca kemerdekaan Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945, memberikan tiga warisan kepada bangsa Indonesia. Warisan itu adalah keadaan yang ditinggalkan oleh penjajah Belanda selama lebih dari tiga ratus lima puluh tahun, warisan pemerintahan fasis Jepang, dan situasi internal bangsa Indonesia akibat gabungan dari hal tersebut. Bagi Umat Islam, kemerdekaan yang ada memang merupakan hal yang sangat disyukuri dan ditunggu-tunggu. Umat Islam memang memiliki legitimasi historis untuk merasa paling berkepentingan dengan kemerdekaan tersebut: 1 1.
Sebagian besar wilayah Nusantara dihuni oleh umat Islam dan hamper disemua wilayah yang mayoritas Islam terjadi perlawanan yang sangat gigih terhadap penjajah. Misalnya, perang Aceh, perang di daerah Jawa pada
umumnya,
perang
di
Kesultanan
Palembang,
Kesultanan
Banjarmasin, Kerajaan Gowa dan Tallo, Kerajaan di daerah Ternate dan Tidore, dan lain-lain. 2.
Ajaran Islam sangat berkepentingan dengan pelaksanaan syariat Islam secara bebas dan diatur oleh orang Islam sendiri. Itu berarti bahwa umat Islam harus memiliki kemerdekaan dan tanah air sendiri yang berdaulat. 1
Ahmad Adby Darban, “Sejarah Lahirnya Pelajar Islam Indonesia”, (Yogyakarta : Panitia Daerah Muktamar XIV Pelajar Islam Indonesia, 1976) hal, 5-7
12
13
3.
Para penjajah yang menyengsarakan rakyat jelas-jelas dalam pandangan Islam adalah kafir. Berjuang memerdekakan diri dari orang kafir adalah sebuah jihad yang demikian besar dan mulia.
4.
Umat Islam berjumlah mayoritas sehingga apabila kemerdekaan dipandang sebagai penyelesaian terbaik bagi bangsa ini, maka umat Islamlah yang akan mendapatkan kebaikan yang lebih banyak. Pemahaman yang paling fundamental bagi umat Islam menunjukkan, bahwa penjajah adalah sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam dan fitrah manusia. Di manapun dan kapanpun penjajah harus diperangi dan dibasmi. 2 Penjajah Belanda yang bercokol demikian lama di Indonesia memiliki
kebijakan khusus berkenaan dengan Islam. Hal ini terjadi karena Belanda menyadari sepenuhnya, bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan berarti pengaruh Islam merupakan variable yang tidak boleh dan tidak dapat diabaikan.
Pemerintah
kolonial
Belanda
sejak
lama
sebetulnya
sudah
mengkhawatirkan kekuatan Islam. Ajaran Islam yang utama dalam kehidupan sosial yakni, amar ma’ruf dan nahiy munkar sangat berdimensi revolusioner. 3 Pada dasarnya, dalam setiap agama manapun terlebih Islam mengajak pemeluknya untuk selalu berbuat kebaikan dan memerangi segala bentuk keburukan dan kejahatan dalam hidup. Belanda melihat bahwa Islam-lah yang paling berkepentingan untuk menentang berbagai bentuk eksploitasi yang mereka lakukan terhadap bangsa Indonesia. Dalam perspektif ini, Belanda beranggapan bahwa ajaran Islam pada hakekatnya memang suatu revolusi yakni, revolusi
2
lihat misalnya, Ahmad Adby Darban, “Sejarah Lahirnya Pelajar Islam Indonesia”, (Yogyakarta : Panitia Daerah Muktamar XIV Pelajar Islam Indonesia, 1976), hal, 6-7. 3 Ahmad Adby Darban, “Sejarah Lahirnya Pelajar Islam Indonesia”, (Yogyakarta : Panitia Daerah Muktamar XIV Pelajar Islam Indonesia, 1976), hal, 6.
14
dalam menghapuskan dan menentang segala bentuk eksploitasi seperti kapitalisme, imperialisme, komunisme, atau fasisme. 4 H. Aqib Suminto 5 menyimpulkan, bahwa Belanda melakukan tiga jenis kebijakan politik terhadap Islam; Pertama. Kebijakan netral terhadap agama. Kebijakan ini dalam prakteknya ternyata berbeda. Sampai tahun-tahun terakhir kekuasaannya, pemerintah Belanda lebih banyak campur tanggan terhadap agama. Kesulitan pemerintah Belanda bersikap netral karena politik-identitas antara Islam dan Kristen. Pada umumnya, pemeluk Islam pasti orang bumiputra, sedangkan Kristen pada umumnya dianut juga oleh penjajah. 1.
Politik asosiasi kebudayaan. Inti politik ini menghendaki agar di bidang kemasyarakatan bumiputra menyesuaikan diri dengan kebudayaan Belanda. Jalan yang ditempuh adalah melalui asosiasi dan pemanfaatan adat serta asosiasi pendidikan.
2.
Memberikan perhatian secara khusus dan serius pada perkembangan paham tarekat dan pan-Islamisme. Bagi Belanda, dua gerakan paham ini sangat potensial untuk menimbulkan fanatisme di kalangan umat Islam. Ketiga kebijakan ini kemudian diadministrasikan oleh kantoor voor Islandsche zaken, yakni suatu institusi yang berwenang memberikan nasihat kepada pemerintah dalam masalah-masalah bumiputra. 6 Sementara itu, menurut Adaby Darban inti kebijakan pemerintah kolonial
Belanda adalah melakukan usaha-usaha untuk menghalangi perkembangan dan
4
Mohammat Natsir, “Capita Selecta”, (Jakarta : Pustaka Pendis, 1957) hal, 23. H. Aqib Suminto, “Politik Islam Hindia Belanda”, (Jakarta : LP3ES, 1986) hal, 19. 6 H. Aqib Suminto, “Politik Islam Hindia Belanda”, hal, 21 5
15
kebangkitan agama Islam dengan cara yang halus. Kebijakan ini ditempuh dengan melakukan beberapa hal sebagai berikut: 7 1.
“Kristening politik’” yaitu, suatu usaha untuk melemahkan kekuatan bumiputra dengan jalan memasukkan pengaruh agama lain dari tanah jajahan. Menurut Stoddard, 8 tindakan seperti ini dilaksanakan dengan menggunakan kesucian agama untuk kepentingan busuk kolonialisme di Indonesia. Hal ini dilakukan Belanda pada masa kekuasaan Gubernur Jendral Idenburg. Pada masa inilah politik pengkristenan terhadap seluruh penduduk Nusantara dilakukan sedikit demi sedikit secara teratur dan terencana. Stoddard menambahkan, bahwa politik ini pada intinya bukanlah untuk memperkuat kekuasaan penjajah di bumi Nusantara dalam waktu selama mungkin. Politik model ini memang memungkinkan bila mengingat perimbangan kekuatan penjajah yang kalah terhadap mayoritas umat Islam. Atas dasar itu, maka pemerintah Kolonial Belanda memberikan bantuan pembinaan dan pengembangan agama Kristen. Melalui restu Ratu Belanda sejak tahun 1901, dibukalah Zending Kristen untuk beroperasi di Indonesia. Tindak lanjut dari hal ini adalah dengan mendirikan sekolah-sekolah Kristen. Sekolah-sekolah Kristen inilah yang memberikan andil yang cukup besar dalam menyokong perkembangan agama Kristen di Indonesia, dan terutama dalam menyuksekan politik pemerintah Kolonial Belanda.
7
Bandingkan dengan, Drs. H. Ahmad Adaby Darban, S. U, “Refleksi Kilas Balik Berdirinya PII” dalam HM. Natsir Zubaidi dan Lukman Fathullah Rais, S.H, “Pak Timur Menggores Sejarah, PII Menyiapkan Kader Ummat dan Bangsa” (Jakarta : Bulan Bintang, 1997), hal, 229-239. 8 Lihat F.L. Stoddard, “Dunia Baru Islam” (Jakarta : Gunung Agung, 1966), hal, 295.
16
2.
Politik-asosiasi (associatie politik), yakni politik untuk menghubungkan antara dunia Barat dan Timur. Dengan politik ini diharapkan kebudayaan Barat akan mudah masuk ke Nusantara. Implikasi berikutnya tentu akan membuat Belanda makin lama bercokol di Nusantara karena pengaruh kedekatan kabudayaan tersebut. Politik
ini
dilaksanakan
dengan
mengambil sebagian dari bumiputera untuk dididik dengan kehidupan dan gaya budaya Barat. Selanjutnya, kelompok ini akan dijadikan sebagai pegawai pemerintah atau orang-orang yang memegang kekuasaan guna membantu pemerintah kolonial. 9 Tokoh utama politik-asosiasi ini adalah Prof. Dr. Christian Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda yang paham agama Islam. Melalui pendidikan, para pelajar diupayakan untuk mulai jauh dan terpisah dari ajaran agama mereka. Juga diupayakan agar para pelajar tidak akrab dengan nilai-nilai patriotisme. Kecintaan akan segala hal yang berbau dan berpola Barat sangat ditanamkan, khususnya yang berhubungan dengan Belanda. Dalam hal ini, Belanda menundukkan kaum bumiputera yang mayoritas umat Islam. Sementara itu, penjajahan Jepang selama sekitar tiga setengah tahun juga meninggalkan berbagai persoalan yang banyak menimpa umat Islam pascakemerdekaan. Pemerintah Jepang memang datang dengan mulut manis dan janjijanji yang menyejukkan bagi bangsa Indonesia ketika itu. Pendaratan Jepang pada tanggal 1 Maret 1942 yang disusul dengan penyerahan kedaulatan dari Gubernur Jenderal Garda van Starkenborgh Stachhouwern, kepada Jenderal Imamura pada 8 Maret 1942 mulanya disambut dengan antusias oleh bangsa Indonesia. Dengan
9
F.L. Stoddard, “Dunia Baru Islam” hal, 295-296
17
semboyan Tiga A (Nippon Cahaya Asia, Nippon Pemimpin Asia, dan Nippon Pelindung Asia), Jepang segera menarik simpati sebagian besar masyarakat bumiputra. 10 Dalam perjalanan selanjutnya, simpati masyarakat kapada Jepang itu semakin memudar hingga akhirnya berbalik manjadi antipati. Ada tiga langkah dan kebijakan yang dibuat Jepang hingga membuat rakyat menarik simpatinya kembali. 1.
Segera setelah berkuasa, Jepang memaksakan kehendak untuk mengubah segala corak kebudayaan rakyat Indonesia. Semua sekolah harus bercorak Jepang dan menghimbau PII untuk mematuhi akan larangan melanjutkan segala bentuk kegiatannya. Pemuda dan pelajar dididik secara militer. Mereka ini kemudian dimobolisasi ke dalam berbagai barisan militer seperti Seinendan (untuk remaja), Keibondan (untuk pemuda), Fujinkai (untuk pemudi), dan Hanco (untuk kalangan dewasa). Ringkasnya,semua diberi corak Jepang.
2.
Jepang melaksanakan kerja paksa (romusha) dan menjerat kaum perempuan Indonesia menjadi budak seks (jugun ianfu) bagi tentara Jepang. Di zaman Belanda, rakyat mengenal kerja rodi yang juga merupakan kerja paksa. Para romusha ditempatkan di berbagai pangkalan militer dan kubu-kubu pertahanan. Untuk menghadapi perlawanan rakyat, maka dibentuk Kempei Tai (Polisi Militer) yang sangat terkenal sebagai algojo-algojo Jepang super kejam.
10
F.L. Stoddard, “Dunia Baru Islam” hal, 295
18
3.
Jepang mewajibkan kepada setiap rakyat Indonesia untuk melakukan sekere yakni penyembahan Tenno Heika (Kaisar Jepang) setiap pagi dengan cara menghadap ke arah negeri Jepang. Secara aqidah, umat Islam tidak dapat menerima hal itu karena sama dengan mengantarkan orang untuk cenderung berbuat musyrik, yaitu salah satu dosa besar yang ada dalam ajaran Islam. 11 Selain ketiga perilaku kejam yang telah dilakukan Jepang, masih ditambah
lagi dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 3 Pemerintah Bala Tentara Jepang. Undang-undang ini berisi larangan terhadap segala pembicaraan dan pergerakan, serta anjuran yang bersifat propaganda. Melihat perilaku Jepang yang semula memberi harapan ini, akhirnya rakyat Indonesia-terutama umat Islam berkesimpulan, bahwa bangsa berkulit kuning ini tidak kalah jahatnya dengan bangsa penjajah terdahulu. Bahkan, terkesan lebih biadab. Inilah yang menyebabkan rakyat menjadi sangat antipati terhadap Jepang. Apa yang dilakukan Belanda dan Jepang terhadap Indonesia itu menghasilkan reaksi yang sama dari umat Islam. Dengan semangat amar-ma’ruf nahiy munkar umat Islam bangkit sekalipun harus bergerilya dengan segala tantangan dan kesulitan. Di sini ada anggapan, bahwa pembinaan agama Islam menjadi factor yang sangat penting hingga kemudian bangsa Indonesia dan umat Islam memperoleh kemerdekaan pada tahun 1945. 12
11
Natsir Zubaidi dan Lukman Fathullah Rais, S.H, “Pak Timur Menggores Sejarah, PII Menyiapkan Kader Ummat dan Bangsa” (Jakarta : Bulan Bintang, 1997), hal, 231-239. 12
Natsir Zubaidi dan Lukman Fathullah Rais, S.H, “Pak Timur Menggores Sejarah, PII Menyiapkan Kader Ummat dan Bangsa” hal, 229-239.
19
Secara internal, di kalangan umat Islam sendiri ada berbagai masalah serius yang harus diselesaikan. Perjuangan umat Islam di Indonesia telah sejak lama dilakukan. Terutama perjuangan untuk membebaskan diri dari belenggu kedua bangsa penjajah yang bercokol sangat lama. Perjuangan umat Islam terutama dalam kaitannya dengan keberadaan Islam sebagai komunitas politik mulai menghebat sejak awal abad ke-20 dengan munculnya berbagai organisasi. M. Rusli Karim 13 membagi perjuangan itu kedalam era sebelum dan sesudah merdeka. Pada era sebelum merdeka terdapat tiga jenis organisasi Islam yakni; 1) Syarikat Islam. 2) Muhammadiyah dan 3) Nahdlatul Ulama. Di samping itu, keberadaan organisasi ini digolongkan sebagai fase awal perjuangan umat Islam. Selanjutnya, perjuangan umat memasuki fase ideologis yakni, saat adanya elaborasi berbagai pandangan tentang Negara Islam dan perjuangan idoelogis pada masa pendudukan Jepang. Fase perjuangan ideologis ini menurut M. Rusli Karim, berlanjut hingga masa setelah Indonesia merdeka yang dapat dibagi ke dalam tahap: 14 1) Perjuangan tahun 1945. 2) Perjuangan pada fase demokrasi liberal. 3) Perjuangan pada fase demokrasi terpimpin. 4) Perjuangan-perjuangan setelah atau pascademokrasi terpimpin. Polemik ini memunculkan pola-pola perjuangan yang diidentifikasikan oleh M. Rusli Karim menurutnya, itu tidak lepas dari adanya berbagai perbedaan 13
M. Rusli Karim, HMI MPO “Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, (Bandung : Mizan, 1997), hal, 53-54. 14 M. Rusli Karim, HMI MPO “Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, hal, 54.
20
pandangan dan pengalaman di kalangan umat Islam. Perbedaan itu umumnya berkenaan dengan masalah khilafiyah yang sering kali dibesar-besarkan. 15 Tidak jarang justru membawa perpecahan. Seperti telah diuraikan di muka, Belanda dengan strategi polotiknya berhasil memperbesar perbedaan dan perpecahan itu. Bahkan, memelihara dan meningkatkan intensitasnya. Sisi lain, umat Islam yang telah terpecah-belah dikemudian hari berupaya untuk bersatu. Dan gagasan ini mewujud pada tanggal 21 September 1937 dengan terbentuknya Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI). Akan tetapi, MIAI ini tidak berumur panjang karena para anggotanya tidak kompak atau menyatu. Dengan konteks ini keberadaan umat Islam yang telah diuraikan di atas, maka umat Islam pasca kemerdkaan menghadapi keadaan sebagai berikut: 1) Umat Islam tetap terpecah-belah ke dalam berbagai organisasi dan golongan berdasarkan kategori mazhab atau aliran tertentu. 2) Bangsa Indonesia umumnya dan umat Islam khususnya harus bersiapsiap menghadapi kembalinya para penjajah ke tanah air melalui berbagai cara. Padahal, tugas berat dan utama yang harus segera diselesaikan oleh bangsa Indonesia sebagai bangsa yang baru merdeka adalah menyiapkan pengelolaan
Negara
secara
politis
maupun
secara
social
dan
administratif. 16 3) Bangsa Indonesia umumnya dan umat Islam khususnya belum memiliki kesiapan yang memadai untuk mengelola Negara. Keadaan ini terutama
15
Lihat Habibullah,”Tinjauan Terhadap Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Sejarah Perjuangannya Sebagai Organisasi Kader, Pendidikan, dan Dakwah” makalah pra-skripsi untuk fakultas Adab IAIN (Jakarta, Desember 1986). 16 Habibullah, makalah pra-skripsi untuk fakultas Adab IAIN (Jakarta, Desember 1986).
21
disebabkan oleh kondisi pendidikan bangsa Indonesia yang masih sangat memprihatinkan. 17
B.
Motivasi Dasar Pendirian Pelajar Islam Indonesia Dengan dilatarbelakangi keadaan bangsa sebelum kemerdekaan, pendirian
organisasi Pelajar Islam Indonesia dimotivasi oleh dua hal. 1) Motivasi ke-Islam-an. 2) Motivasi Kebangsaan. Adapun, kebijakan politik Belanda dan Jepang terhadap umat Islam dan bangsa Indonesia sangat berpengaruh kepada generasi muda, utamanya para pelajar. Akibat politik-asosiasi, misalnya, banyak pelajar Indonesia yang mendapat pendidikan kurikulum Belanda. Terdapat perbedaaan antara pelajar didikan Belanda dengan pelajar hasil didikan
Tradisional di Indonesia yang
mengutamakan pendidikan Pesantren. Para pelajar didikan Barat umumnya memiliki pandangan dunia yang lebih luas (rasional) terutama berkenaan dengan dunia Barat. Di samping itu, mereka juga cenderung banyak meniru Barat dalam pola hidup maupun budaya pribadi, seperti terlihat pada cara berpakaian, bersikap, dan tingkah laku sehari-hari. Umumnya, pandangan dan rasa keagamaannya terkikis seiring dengan perubahan cara berfikir dan cara menyikapi agama. Bagi
17
Lihat habibullah, makalah pra-skripsi untuk fakultas Adab IAIN (Jakarta, Desember
1986). dan bandingkan dengan, Djayadi Hanan, “Gerakan Pelajar Islam di bawah Bayangbayang Negara” (Yogyakarta: PB PII & UII Press, 2006) hal, 54.
22
mereka, hidup haruslah diorientasikan pada dunia, bukan pada Tuhan (religion) yang hanya berorientasi pada akhirat. 18 Terdapat sisi positifnya yang dapat diambil dari hasil pendidikan Barat, misalnya pada metode penggunaan gaya modern, misalnya memakai kurikulum dan kelas. Metode ini dapat memberikan keteraturan dan kedinamisan. Sementara sisi negatifnya terletak pada kemerosotan rasa patriotisme dan masuknya paham sekularisme ke dalam pikiran para pelajarnya. Dari sisi pekerjaan, umumnya pelajar hasil pendidikan gaya Belanda ini menjadi pegawai rendahan pada pemerintah kolonial Belanda. Keadaan seperti ini tentu saja akan mengancam perkembangan bangsa dan umat Islam ke depan. 19 Di satu sisi, untuk mempertemukan dan menyatukan kedua kutub pelajar, agar terjalin keharmonisan antara keduanya sebagai sesama Muslim. Atas dasar ini yang menjadi salah satu latar belakang pendirian organisasi Pelajar Islam Indonesia. Sementera itu, pada zaman Jepang, akibat adanya tekanan-tekanan terhadap kemurnian aqidah oleh pemerintahan Jepang (terutama karena adanya keharusan melakukan sekerei sebagai keinginan Jepang), maka umat Islam pun menggencarkan pendalaman aqidah bagi para pelajar Islam. Gerakan ini dilakukan terutama di kampung-kampung dan di sekolah-sekolah melalui pendidikan agama dan pelaksanaan shalat fardhu secara barjamaah. Adanya aktivitas keagamaan di sekolah inilah yang turut memberikan andil bagi
18
Seperti dituturkan Amin Syahri kepada Bapak Ahmad Adaby Darban, tanggal 11 September 1975 di Kompleks Mu’allimin Jalan Patangpuluhan. Lihat Ahmad Adaby Darban, “Refleksi Kilas Balik Berdirinya PII” hal, 11. 19 Ahmad Adaby Darban, “Refleksi Kilas Balik Berdirinya PII” hal, 11.
23
kelancaran dan keberhasilan ide pendirian PII. 20 Akan tetapi, ada hal yang berhubungan langsung sebagai latar belakang berdirinya PII, yakni berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). 21
Sejak HMI didirikan pada 5 Februari
1947, Anton Timur diminta oleh Lafran Pane (pendiri HMI) menjadi Sekretaris Jendral hingga Kongres I. Anggota-anggota HMI umumnya menempuh pendidikan menengah pada zaman Belanda. Dengan demikian, mereka lebih memiliki dasar-dasar tradisi akademik dari pada para santri. Mereka lebih siap masuk ke Perguruan Tinggi Umum daripada ke Perguruan Tinggi Islam. Dari HMI inilah Anton Timur, sebagai Pendiri PII mengaku memperoleh tradisi berpikir akademik yang kemudian dapat digunakan sebagai pisau analisis. Ia pun merasa lebih terarah dalam memahami pesan-pesan al-Qur’an. 22 Dari uraian di atas, terlihat bahwa motivasi ke-Islam-an yang mendorong pendirian PII didasari oleh keprihatinan terhadap keadaan umat Islam, yang bila dibiarkan seperti saat itu akan mengalami kebekuan. Sementar itu, motivasi kebangsaan muncul dari keprihatinan para pendiri PII terhadap nasib bangsa Indonesia yang baru saja terlepas dari penjajahan yang sangat lama. Dalam jangka pendek dan panjang, menurut mereka, bangsa ini pasti memerlukan wadah yang dapat menjadi penjaga keutuhannya sekaligus penyedia kader-kader pengganti para pimpinannya.
20
Seperti dituturkan oleh Anton Timur Djaelani dalam wawancara pada tanggal 30 April 1997, di Kramat Raya Nomor 9 Jakarta Pusat. 21 Anton Timur Djaelani, “Kebangkitan PII 4 Mei 1947, Dari Bangku Sekolah Ke Organisasi,” tulisan tidak dipublikasikan, 30 April 1997. 22 Lihat Ahmad Adaby Darban, “Refleksi Kilas Balik Berdirinya PII” hal, 10-11.
24
C.
Proses Pendirian Pelajar Islam Indonesia Pada tanggal 25 Februari 1947, Yoesdi Ghozali sedang beri’tikaf di
Masjid Besar Kauman, Yogyakarta. Ketika itu, dalam pikirannya terlintas gagasan untuk membentuk suatu organisasi bagi para pelajar Islam yang dapat mewadahi segenap lapisan pelajar Islam yang saat itu belum terkoordinasi. Gagasan tersebut disampaikannya kepada kawan-kawannya saat pertemuan di gedung SMP Negeri 2 Sekodiningratan, Yogyakarta. Selain Yoesdi Ghozali, hadir juga Anton Timur Djaelani, Amin Syahri, Ibrahim Zarkasyi, dan Noersyaf. Semua yang hadir ini sepakat untuk mendirikan organisasi Pelajar Islam. 23 Di sisi lain, dalam Kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang dilaksanakan pada tanggal 30 Maret hingga 1 April 1947, Yoesdi Ghozali mengemukakan gagasan tersebut kepada para peserta kongres. Setelah melalui proses perdebatan karena perbedaan pandangan, akhirnya peserta yang menyetujui ide ini lebih banyak. Oleh karena itu, kongres kemudian memutuskan untuk melepas GPII sayap pelajar guna bergabung ke organisasi Pelajar Islam yang akan dibentuk. Utusan Kongres GPII yang kembali ke daerah-daerah juga diminta untuk memperlancar berdirinya organisasi khusus Pelajar Islam. 24 Kemudian, Ahad tanggal 4 Mei 1947 digelar pertemuan di kantor GPII, jalan Margomulyo No. 8 Yogyakarta. Dalam pertemuan itu hadir Anton Timur Djaelani dan Amin Syahri mewakili GPII sayap pelajar yang siap untuk dilebur ke dalam organisasi Pelajar Islam yang akan dibentuk. Di sana juga telah hadir Yoesdi Ghozali, Ibrahim Zarkasyi, dan wakil-wakil organisasi Pelajar Islam lokal yang telah ada. Mereka adalah Yahya Ubeid dari persatuan Pelajar Islam 23
Lihat, Lihat misalnya, Djayadi Hanan, “Gerakan Pelajar Islam di bawah Bayangbayang Negara” hal, 57. 24 Djayadi Hanan, hal 57-59
25
Surakarta (PPIS), Multazam dan Shawabi dari penggabungan Kursus Islam Sekolah Menengah (PERSIKEM) Surakarta, serta Dida Gursida dan Supomo NA dari perhimpunan Pelajar Islam Indonesia (PPII) Yogyakarta. Dalam pertemuan yang dipimpin oleh Yoesdi Ghozali itulah diputuskan berdirinya organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Tepatnya pada pukul 10.00 WIB tanggal 4 Mei 1947. 25 Dalam pertemuan anggota GPII, maka ditetapkan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) PII. Juga ditetapkan susunan pengurus Besar PII periode pertama, yang terdiri atas Yoesdi Ghozali sebagai ketua umum, Thoha Mashudi sebagai Wakil I, Mansur Ali sebagai Wakil II, Ibrahim Zarkasyi sebagai Sekretaris Jenderal, Karnoto sebagai Bendahara, Amin Syahri sebagai Bagian Pendidikan, dan Anton Timur Djaelani sebagai penanggung jawab Bagian Penerangan. 26 Yoesdi Ghozali sebagai penggagas berdirinya PII ternyata juga telah menyiapkan lambing organisasi ini. 27 Usulan Yoesdi Ghozali pun langsung disetujui oleh peserta yang hadir dalam pertemuan itu tanpa memerlukan perdebatan panjang. Demikianlah tampaknya dunia pelajar. Sedangkan hadirin yang lebih tua, termasuk Anton Timur Djaelani yang saat itu telah menjadi mahasiswa juga menyetujui.
25
Djayadi Hanan, “Gerakan Pelajar Islam di bawah Bayang-bayang Negara” hal, 58-60 Muzakkir, “Perjuangan PII Ditinjau Dari Segi Dakwah di Indonesia” (Yogyakarta, 1979), hal, 55. 27 Lihat juga HM Joesdi Ghozali, S.H., “Dunia Pelajar Islam Indonesia”; “Dasa Warsa PII”; dan Lagu-lagu PII,” dalam Moh Husnie Thamrin dan Ma’roov (eds.), “Pilar Dasar Gerakan PII, Dasa Warsa Pertama Pelajar Islam Indonesia” (Jakarta : Karsa Cipta Jaya, Mei 1998), hal, 19-34; 114-115; 116-120. 26
26
Lambang PII ketika itu terdiri dari warna hijau yang menunjukkan, bahwa dalam mencapai cita-citanya, Islam dijadikan sebagai lambing perdamaian. Lalu, ada warna biru yang melambangkan kesetiaan PII kepada cita-citanya itu. Warna merah putih menunjukkan lambing kebangsaan Indonesia. Bulan-bintang menunjukan ketinggian Islam sebagai cita-cita yang diperjuangkan PII, dan kubah yang tinggi membumbung dengan lengkungan membusung melambangkan keagungan dan kebesaran Islam. Jadi, lambing PII itu berupa bangunan yang menunjukkan bahwa PII mendirikan organisasinya di atas landasan yang kokohkuat. Intinya, lambing PII itu merupakan implikasi dari motivasi dan orientasi pendiriannya. 28 Pada dasarnya, orientasi awal berdirinya PII bersifat jangka panjang di didang pendidikan dan kebudayaan. Akan tetapi, segera setelah berdirinya organisasi ini langsung menghadapi kenyataan lain. Bersama komponen umat Islam dan bangsa Indonesia lainnya PII harus ikut terjun kedalam revolusi fisik untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada sisi lain, berdirinya PII mendapatkan reaksi dan IPI (Ikatan Pelajar Indonesia), yaitu organisasi pelajar yang bersifat umum dan telah ada sebelumnya. Mereka menilai bahwa pendirian PII akan menimbulkan perpecahan dikalangan pelajar. Oleh karena itu, diadakanlah pertemuan antara Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) pada tanggal 9 Juni 1947 di Gedung Asrama Teknik Jalan Malioboro, Yogyakarta. Hasil pertemuan ini dituangkan dalam “Piagam Malioboro” yang isinya antara lain tentang pengakuan hak hidup PII oleh IPI. Penandatanganan piagam tersebut adalah Sekjen PB IPI Busono 28
Moh Husnie Thamrin dan Ma’roov (eds.), “Pilar Dasar Gerakan PII, Dasa Warsa Pertama Pelajar Islam Indonesia” (Jakarta : Karsa Cipta Jaya, Mei 1998), hal, 116-120.
27
Wiwoho dan Sekjen PB PII Ibrahim Zarkasy. Selanjutnya, di mana ada IPI, maka di situ akan didirikan PII. Keberadaan IPI ketika itu sudah terdapat di seluruh wilayah Indonesia, khususnya di semua sekolah menengah. Anggota IPI yang beragama Islam Kemudian membantu berdirinya PII. Sebaliknya, PII juga bersedia bekerjasama dengan IPI dalam masalah yang bisa dikerjakan secara kolektif dan bersifat nasional. Dalam perjalanan kedua organisasi itu kemudian terlihat perkembangan yang menunjukkan kemajuan PII lebih pesat daripada IPI. IPI kemdian berubah nama menjadi IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) dan lebih berorientasi pada soal kepemudaan hingga belakangan mulai terpengaruh paham komunis. Atas dasar itu, PII tidak lagi melanjutkan kerjasama dengan IPPI, terutama sejak dipimpin oleh Suyono Atmo. 29 PII selanjutnya melakukan konsolidasi. Guna menggalang persatuan seluruh elemen anggota dalam organisasinya, PII menyelenggarakan Kongres I di Solo pada tanggl 14-16 Juli1947. Hair antara lain utusan dari Jakarta, Aceh,dan beberapa daerah di Pulau Jawa. Keputusan pentingnya adalah pengesahan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), dan pemilihan Pengurus Besar PB (PII). Susunan pengurus besar yang terpilih adalah Noersyaf (Ketua Umum), Yoesdi Ghozali (Ketua I), Tedjaningsih (Ketua II), Ibrahim Zarkasy (Sekretaris Jenderal), Karnoto (Bendahara), Anton Timur Djaelani (Bagian Penerangan), dan Amin Syahri (Bagian Pendidikan). Selang beberapa hari setelah Kongres PII digelar, terjadi agresi militer Belanda I tanggal 21 Juli 1947. Republik Indonesia yang baru berusia dua tahun, kembali harus menghadapi penjajahan Belanda. Akibatnya, PB PII tidak dapat 29
Anton Timur Djaelani, “Kebangkitan PII 4 Mei 1947, Dari Bangku Sekolah Ke Organisasi,” tulisan tidak dipublikasikan, 30 April 1997.
28
melanjutkan konsolidasi kepengurusannya. Ketua umum PB PII Noorsyaf pulang ke Bandung untuk bergerilya. Pengurus-pengurus PII yang lain juga pulang kampung untuk melakukan hal yang sama. Anggota-anggota PII pun banyak yang bergabung ke Tentara Republik Indonesia, Hizbullah, Sabilillah, Tentara Pelajar, Mujahidin, Angkatan Perang Sabil dan sebagainya. Kesemuanya dimaksudkan untuk membantu perjuangan untuk mengusir tentara Belanda. Kondisi inilah yang menandai perubahan model perjuangan PII dari model perjuangan yang menggunakan pena menjadi model perjuangan yang menggunakan bedil di medan tempur. 30 Di satu sisi, keikutsertaan PII dalam revolusi fisik ini menunjukkan, bahwa PII adalah organisasi pelajar yang lahir dalam kobaran api revolusi. Pena dan bangku sekolah ditinggalkan sementara dan beralih ke pemanggulan senjata untuk mempertahankan kemerdekaan. Namun, perubahan cara berjuang yang dipengaruhi oleh situasi nasional ini melatarbelakangi terbentuknya Brigade PII. Keputusannya ditetapkan dalam konferensi Besar I tanggal 4-6 November 1947 di Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. 31 Konferensi ini diselenggarakan untuk meninjau ulang beberapa program PII hasil kongres I beberapa bulan sebelumnya, terutama yang berhubungan dengan pertahanan Negara. Konferensi Besar I inilah yang terkenal sebagai konferensi perjuangan dengan acara pokok “sumbangan PII dalam pertahanan dan pembelaan nagara”. Peserta yang menghadiri konferensi terbatas ini hanyalah daerah-daerah yang secara de Facto di kuasai Republik Indonesia. Keputusan penting Konferensi Besar I adalah membentuk sayap bersenjata dalam organisasi 30
Tafsir Asasi PII Hasil Kongres V di Kediri, Kedai PII (Ngabean, Yogyakarta), hal, 9. Lihat HA. Halim MA Tuasikal,” Sejarah PII Dari Kongres Ke Kongres,” majalah Berita Pelajar Islam Indonesia, (Tahun II Nomor 1, Januari 1956). 31
29
PII dan dinamakan Brigade PII. Komandannya yang pertama adalah Abdul Fatah Permana dan dibantu oleh beberapa orang staf. Fungsi Brigade PII adalah untuk menyalurkan “bakat ketentaraan” anggota-anggota PII. Anggota-anggota PII yang sebelumnya berada di kesatuan Tentara Republik Indonesia, Hizbullah, Sabilillah, Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia, dan lain-lain, diminta untuk menggabungkan diri dari kesatuan Brigade PII. Tugas mereka adalah melakukan fungsi-fungsi brigade dan berhubungan dengan pemerintah melalui Biro Perjuangan Kementrian Pertahanan. Meskipun, PII telah berpengalaman menghadapi Agresi Militer I Belanda, namun ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II, PB PII tetap kalang kabut juga. Satu sisi, saat pembentukan pemerintah Darurat R.I. di sumatera pimpinan Mr. Syarifuddin Prawiranegara, PB PII juga membentuk pimpinan darurat di Sewugalur, Kulon Progo, Yogyakarta. Hal ini dilakukan karena Gedung Kamar Bola sebelah timur kantor PB PII dibakar. Untuk pengamanan organisasi, dokumen-dokumen PII juga dibakar, sedangkan anggota-anggota PB PII ikut bergerilya ke pelosok-pelosok daerah mengikuti Panglima Besar Jenderal Soedirman. A. Fatah Permana (Komandan Brigade PII) dan Anwar Haryono (Gerakan Pemuda Islam Indonesia/GPII) saat itu telah menjai kurir Jenderal Soedirman. 32 Meski demikian, Jenderal Soedirman telah menjadi bagian dalam salah satu saksi sekaligus pemberi legitimasi keterlibatan PII dalam pergerakan dan perjuangan kemerdekaan bangsa. 32
Penghargaan dan rasa terima kasih Paak Dirman atas partisipasi PII ini diilustrasikan oleh ucapan Pak Dirman pada hari ulang tahun PII yang pertama. Ucapan itu berbunyai : “Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada anak-anakku PII. Sebab saya tahu, bahwa telah banyak korban yang diberikan PII kepada Negara. Teruskanlah perjuanganmu, hai anak-anakku PII. Negara kita adalah Negara baru, yang didalamnya penuh onak dan duri. Kesukaran dan rintangan banyak kita hadapi. Negara membutuhkan pengorbanan pemuda dan segenap bangsa Indonesia”. Lihat Yoesdi Ghozali, “ Tiga Tahun Berorganisasi,” artikel lepas, (Yogyakarta, 1950), hal, 5.
30
Keterlibatan PII dalam pergulatan politik bangsa Indonesia kembali intensif ketika terjadi pemberontakan PKI di Madiun pada tanggal 18 September 1948. Bagi PII, tindakan PKI ini merupakan tikaman dari belakang pada saat bangsa Inonesia sedang sibuk mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan Belanda. Dengan demikian, PII ikut terpanggil menumpas pemberontakan PKI ini. Komandan Brigade PII madiun, Suryosugito 33 adalah yang gugur sebelim pasukan TNI Divisi Siliwangi tiba. Di bagian lain, pada tanggal 20-25 Desember 1949 di Yogyakarta dilangsungkan Kongres Muslimin Indonesia. Kongres ini adalah kongres ke-15 umat Islam. Empat belas kongres sebelumnya dilaksanakan pada zaman Belanda. Kongres ini berhasil membentuk Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI) 34 yang bersifat federatif. Terpilih Gaffar Ismail sebagai Sekretaris Jenderal dan Anwar Haryono serta Wali Al-Fattah sebagai wakil. Yoesdi Ghozali (PII) juga aktif dalam BKMI ini. Akan tetapi, perkembangan politik berikutnya tidak memungkinkan BKMI ini dapat eksis lebih lama. Berkaitan dengan Kongres Musllimin Indonesia di atas, PII telah mengadakan kongres pendahuluan pada tanggal 21-23 Desember 1949 di tempat yang sama dan dihadiri oleh utusan berbagai daerah. Lalu, dalam Kongres Muslimin Indonesia itu PII mengambil peran penting dengan mencetuskan Panca Cita yang berisi lima butir pernyataan tekad dan keyakinan yakni; 1) Partai Politik Islam hanya satu yaitu Masyumi
33
Pengakuan Peran PII dalam menghadapi PKI di Madiun Affar ini juga diberikan oleh Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution. Lihat A.H. Nasution, “Peranan PII Dalam Penumpasan PKI, Pengalaman Pribadi Seorang Jenderal,” artikel yang ditulis untuk penerbitan buku Sejarah PII, 27 Juni 1997. 34 Taufik Ismail, “ Kisah Berserakan Sekitar PII, Dari Fail Pribadi, 1947-1965.” Artikel untuk penerbitan buku Lima Puluh Tahun PII, 1998, hlm.3.
31
2) Organisasi Pemuda Islam hanya satu yaitu GPII 3) Organisasi Mahasiswa Islam hanya satu yaitu HMI 4) Organisasi Pelajar Islam hanya satu yaitu PII 5) Organisasi Pemandu Islam hanya satu yaitu Pandu Islam Indonesia. 35 Dalam Panca Cita ini kemudian menjadi semacam ikatan moral yang sangat kuat dan menjadi salah satu dasar pemersatu berbagai komponen umat Islam untuk bergerak di segala arena. Dalam perkembangan berikutnya, pada Kongres VIII PII di Cirebon tanggal 20-25 Juli 1960, disepakati pula satu keputusan penting berkaitan dengan formulasi tujuan PII. Semula tujuan PII berbunyi,“kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam”. Di samping itu ditambah dengan kata-kata “dan umat manusia”. 36 Pada masa kepengurusan PB PII periode Kongres inilah tekanan-tekanan dari situasi politik eksternal seperti dari penguasa rezim Demokrasi Terpimpin mulai menguat. Ketika tekanan-tekanan dan intimidasi yang dialami PII dari rezim Demokrasi Terpimpin itu makin lama makin keras, maka pada tanggal 4 September 1963 PII masuk Front Nasional dan mengurus Moh. Husnie Thamrin sebagai wakilnya. Situasi politik eksternal di atas justru mendorong PII untuk menegaskan jatidirinya sebagai organisasi perjuangan. Lantas, pada Konferensi Besar VI PII di Jakarta (Juli 1961) tercetuslah Ikrar Jakarta yang menyatakan secara tegas bahwa “PII adalah mata rantai perjuangan umat Islam Indonesia”. 37 Situasi politik eksternal PII yang dimaksud adalah makin luas dan kokohnya dominasi PKI dalam berbagai sektor kehidupan social politik
35
____ “Berita Pelajar Islam Indonesia” (Januari 1956), hal, 20. ___ “Berita Pelajar Islam Indonesia” PB PII Bagian Penerangan, 1960, hal, 5. 37 Lihat Sri Syamsiar Issom, Korps PII Wati, “ Upaya Mobilisasi Kader PII Putri Menjawab Tantangan Situasi,” makalah untuk penulisan Sejarah PII, (Jakarta, 31 Maret 1998). 36
32
masyarakat. Dengan dilatarbelakangi hal ini dan situasi intern PII ketika itu, maka PB PII periode Ahmad Djuwaeni (hasil Muktamar IX di Medan tahun 1962) mengeluarkan Khittah Perjuangan PII. Khittah ini memberikan semacam ramburambu agar garis perjuangan yang dilakukan PII kian jelas karena bersifat jangka panjang, sementara pengurusnya selalu berganti-ganti sesuai batas periode kepengurusan. 38 Pada Konferensi Besar VII PII tanggal 13-18 Oktober 1963 di Bandung, PII secara nasional sepakat menolak Manifesto Politik (manipol) yang menjadi garis politik pemerintah karena bertentangan dengan Islam dan berorientasi paham komunis. Sikap-sikap dan kebijakan-kebijakan PII terhadap rezim ketika itu makin memperluas jurang perbedaan antara PII dengan pemerintah. 39 Hal-hal ini yang kemudian mengantarkan PII ke peran yang lebih besar dalam menumbangkan Orde Lama. Dengan demikian, bagi Pelajar Islam Indonesia (PII), kewajiban pelajar itu tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu duniawi (umum), tetapi juga ilmu-ilmu ukhrowi. Atau, ilmu-ilmu mengenai batin dan ilmu-ilmu mengenai zahir, yang rasional dan menggunakan otak. Jadi, dalam organ pelajar Islam itu terkumpul lengkap dua macam kepentingan ilmu yaitu ilmu-ilmu rohani dan ilmu-ilmu jasmani. Di satu sisi berangkat dari pemahaman penulis bahwa, kata “siswa” tidak digunakan karena berasal dari bahasa Sansekerta, dan munculnya kata itu pun karena ada kata “mahasiswa”. 40 Jadi, pada waktu berdirinya PII, kata “siswa”
38
Ahmad Djuwaeni, “ Khittah Perjuangan dan Majelis Dakwah PII, Sebuah Upaya Menegaskan Missi,” makalah yang diolah dari hasil wawancar, (Jakarta, 12-13 Juni 1997). 39 Ahmad Djuwaeni, makalah yang diolah dari hasil wawancar, (Jakarta, 12-13 Juni 1997). 40 Anton Timur Djaelani, “Kebangkitan PII 4 Mei 1947, Dari Bangku Sekolah Ke Organisasi,” tulisan tidak dipublikasikan, 30 April 1997.
33
belum digunakan. Sementara, kata “pelajar“ mempunyai arti yang lebih luas dan mendalam. “Pelajar” yang dimaksudkan di sini adalah kelompok yang belajar mulai dari tingkat ibtid’iyah (SD), tsanawiyah (SLTP) hingga ‘aliyah (SMU). Sementara, belajar merupakan kewajiban bagi semua orang. Sedangkan kelompok yang telah memasuki perguruan tinggi memang namanya “mahasiswa” dan “pelajar“ dalam bahasa Inggris memiliki terjemahan yang sama yakni student sehingga secara implisit PII menamakan semuanya sebagai “pelajar“. Akan tetapi, PII memang lebih diorientasikan sebagai organisasi untuk kelompok anak Sekolah Dasar sampai Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, termasuk pelajar sekolah persiapan. Pengurus PII bisa saja telah menjadi mahasiswa, tetapi tidak diprioritaskan karena sudah ada HMI yang mewadahinya dan lebih dulu berdiri.
D.
Dasar-dasar Pandangan Pelajar Islam Indonesia tentang Kekuasaan Seorang Muslim meyakini bahwa sumber kekuasaan yang mutlak adalah
Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebagai kholifah, manusia hanya diberi mandat oleh Allah untuk mengelola bumi dengan petunjuk dan kehendak-Nya. Pemanfaatan, pengembangan, dan pendistribusian kekuasaan (allocation of power) harus berada dalam kerangka pengabdian kepada Allah. 41 Sumber-sumber hukum yang mengatur kekuasaan ini secara hirerarkis adalah al-Qur’an, Sunah Rosul, dan ijtihat dalam produk-produk hukum yang dikembangkan manusia dengan bersandar pada nilai-nilai al-Qur’an dan Sunah Rosul (al-hadits). 42 Kekuasaan atau posisi seseorang di tengah masyarakat sangat terikat pada hirerarki ketaatan kepada Allah dan Rasul, dan lalu ketaatan pada pemimpin dan 41
Djayadi Hanan, “Gerakan Pemuda Islam Di Bawah Bayang-Bayang Negara” (Yogjakarta:PB PII & UII Press, 2006) hal, 100 42 Lihat, Djayadi Hanan, hal 100. Lihat juga, Q.s. Adz-Dzaariyat, ayat 56
34
pemegang kekuasaan lainnya. 43 Oleh karena itu, legimitasi (keabsahan) pemegang kekuasaan dalam masyarakat atau Negara diukur sjauh tetap berlandaskan pada ajaran Allah. Bila kekuasaan seseorang telah abash menurut aqidah dan qaidah Islam, maka setiap muslim wajib mendukung dengan memberikan ketaatan, kepatuhan, dan partisipasi sekaligus control berdasarkan ajaran al-Qur’an pula. Apabila kekuasaan seseorang itu secara terang-terangan atau terselubung menentang syari’ah Allah, maka secara otomatis pemegangnya kehilangan hak ketaatan dari rakyat. Terhadap penguasa yang telah melakukan pelanggaran hak dan kezaliman yang berat pada rakyat, umat Islam wajib melakukan perubahan sesuai potensi dan kemampuan masing-masing. Siapapun yang tidak setuju dengan kezaliman dan kekuasaan sewenang-wenang itu, baik secara terangterangan maupun diam-diam, terbebas dari tanggungjawab di akhirat. Sebaliknya, bagi siapapun yang setuju atau mendukung kezaliman dan kesewenagan ini, akan menanggung siksa di akhirat. 44 Berkaitan dengan siapa yang harus ditaati setelah Allah dan Rasul, ada penekanan husus yaitu kepada para pemimpin “diantaara kamu” (minkum), bukan “diantara mereka” (minhum). 45 Berarti, pemimpin itu haruslah dari kalangan orang-orang beriman yakni orang yang memiliki komitmen pada Allah dan atuanNya.
43
Menurut Al-Quran, apabila engkau berselisih tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul. Lihat., materi-materi training PII, terutama yang berkaitan dengan aqidah dan idiologi. 44 Lihat., materi-materi training PII 45 Lihat, Mutamimul Ula, “Kepemimpinan Dalam Islam” (Jakarta: STDI RISKA, 1986) hal, 5
35
Banyak ayat dalam al-Qur’an yang melarang penyerahan kepemimpinan itu pada orang di luar Islam 46 seperti larangan mengikuti jalan (metode) di luar orang beriman; larangan menjadikan setan menjadi penolong; larangan menjadikan orang kafir sebagai wali; larangan menjadikan sanak-saudara dan para orang tua yang condong kepada kekufuran sebagai pemimpin orang beriman; larangan tunduk kepada manusia secara berlebihan; dan sebagainya. Sikap PII terhadap pemerintah digariskan dalam Khittah Perjuangan yang menyebutkan, bahwa “Pelajar Islam Indonesia (PII) bersedia atau dapat membantu kebijaksanaan pemerintah secara paratisipatif, korektif, dan konstruktif selama menguntungkan Islam dan umat Islam.” 47 Garis besar dasar-dasar pandangan PII terhadap kekuasaan ini tercermin sikap-sikapnya pada situasi tertentu dari zaman ke zaman.
E.
Kaderisasi Pelajar Islam Indonesia PII bertipologi sebagai organisasi kader sekaligus sebagai organisasi
massa (pelajar). Dalam pembangunan pemikiran, sikap, dan watak organisasi PII, proses kaderisasi memegang peranan yang sangat penting. Hal ini juga ditunjang oleh pengembangan
sistem kaderisasi yang dilakukan secara terus-menerus
dengan kurikulum yang selalu dikembangkan. Pengembangan sistem kaderisasi PII telah dimulai sejak tahun 1952 dengan nama Latihan Kader. Kegiatannya dilaksanakan secara sederhana tanpa konsepsi yang terencana dan tanpa standarisasi yang baik. Pola kaderisasi ini terus
46
Djayadi Hanan, “Gerakan Pemuda Islam Di Bawah Bayang-Bayang Negara” (Yogjakarta:PB PII & UII Press, 2006) hal, 102 47 Lihat, Khitah Perjuangan PII, bandingkan dengan Djayadi Hanan, “Gerakan Pemuda Islam Di Bawah Bayang-Bayang Negara” (Yogjakarta:PB PII & UII Press, 2006) hal, 103
36
dikembangkan baik dari segi sistem, kurikulum, maupun pelaksanaannya. Dari segi pengembangan konsep, kaderisasi PII dapat dibagi ke dalam dua periode yaitu sebelum 1990-an dan sesudah 1990-an. Sedangkan dari segi pelaksanaannya dapat dibagi menjadi masa sebelum 1985, masa 1985 hingga awal 1990-an, dan masa sesudah 1990-an. Pengembangan konsep kaderisasi PII sebelum 1990-an mendapatkan bentuk yang sesuai sejak tahun 1979 hingga berbentuk panduan dan silabus pada tahun 1985. konsep ini ditinjau dan diperbarui kembali pada tahun 1997, dan diberi nama Takdib. 48 Sesuai tujuannya, kegiatan kaderisasi merupakan bagian dari
usaha
pendidikan PII. Pada hakikatnya kader adalah seseorang yang disiapkan untuk mengemban tugas masa depan dengan kemampuan, kualitas, dan kualifikasi tertentu. Kader adalah anggota inti organisasi dan diharapkan mampu bersikap idealis sekaligus realistik.56 “Idealis” di sini berarti senantiasa berusaha mengubah keadaan yang ada ke arah kondisi yang lebih baik dan ideal, serta tidak boleh putus asa menghadapi realitas yang pahit sekalipun. Sedangkan “realistis” berarti mampu melihat realitas dan berpijak tegar di atasnya. Jadi, kaderisasi adalah kebulatan proses yang mengarah pada terciptanya kader-kader atau anggota inti organisasi yang berlangsung mulai dari rekrutmen anggota, pembinaan hingga pelaksanaan tugas-tugas, atau dalam bentuk seluruh kegiatan PII yang ada hubungannya dengan kegiatan anggota. 49 Oleh karena itu, ada dua jenis kader yang mengikuti dan menggerakan organisasi PII. Pertama, kader material yakni mereka yang melakukan usaha dan program kerja dengan 48 49
Lihat, Muhamad Jauhari, “Konsep Kader PII” (Jakarta: Panitia CIN, 1982) Taufik DAhlan, “Sistem Kaderisasi PII” (Jakarta: Panitia CIN, 1982) hal, 1
37
atau tanpa melalui training-training formal. Kedua, kader formal yaitu kader yang telah mengikuti dan mempunyai piagam training formal PII. Seluruh kegiatan PII sesungguhnya merupakan proses kaderisasi, namun secara khusus kegiatan kaderisasi dilangsungkan melalui training. Melalui kaderisasi inilah diharapkan: 50 a. Tumbuh dan berkembangnya suasana untuk berjuang di jalan Allah sehingga melembaga menjadi suatu norma. b. Berkembangnya kesadaran untuk senantiasa melaksanakan ajaran Islam hingga menjadi norma kelompok. c. Tumbuh dan suburnya hasrat untuk selalu sukses-studi sehingga setiap kader senantiasa berusaha untuk menambah pengetahuan dan keterampilan. d. Berkembangnya sikap saling mengingatkan dalam hal kebenaran dan kesabaran, keikhlasan, dan keterbukaan. e. Setiap kesadaran diikuti dengan usaha-usaha yang nampak seperti kegiatan kelompok belajar, pengabdian social, kegiatan kemanusiaan, dan lain-lain Adapun jenis dan jenjang training PII terbagi sebagai berikut: 51 1) Training kepemimpinan (leadership training) yang terdiri atas Ledership Basic Training (LBT) dan Leadership Advance Training (LAT). 2) Training keagamaan yang dikenal sebagai Mental Training (Mentra). 3) Training sosial kemasyarakatan yang disebut Perkampungan Kerja Pelajar (PKP). 52
50
Lihat PB PII, “Kumpulan Keputusan dan Ketetapan Muktamar Nasional ke-21 PII” (Jakarta:,1998) hal, 120-121. 51 Muchil Abdi, “ Pengaruh Training PII Terhadap Kepribadian Muslim” dalam skripsi sarjana S-1 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakrta, 1987.
38
LBT merupakan jenjang training PII yang pertama. Aktivitas kader yang telah mengikuti LBT ini ialah di Pengurus Komisariat (PK). Anggota yang aktif dapat mengikuti jenjang training kedua yaitu Mentra atau PKP. Setelah itu, kader dapat diangkat ke pengurus Daerah (PD). Setelah aktif di Pengurus Daerah maka kader dapat mengikuti jenjang LAT. Namun, karena alasan-alasan khusus dan tanpa perlu melewati Mentra atau PKP. Selain training formal, di PII juga ada training-training khusus. Training ini terdiri atas Training Centre kepengurusan dan Training Badan Otonom yang terdiri
atas:
training
PII-wati
(berkaitan
dengan
persoalan-persoalan
kemuslimahan), training Brigade (diorientasikan pada aspek-aspek ketahanan organisasi; dan Coaching Instruktur (training untuk menyediakan tenaga-tenaga instruktur).
F.
Pelajar Islam Indonesia, Arena Belajar Berdemokrasi Tiga tingkat training di PII (Basic,Mental/Intermediate, Advance)
merupakan kunci mutlak bagi karir seorang kader di pengurusan. Kunci mutlak yang dimaksud di sini tidak berkaitan dengan prestasi atau promosi administrative kader dalam kepengurusan, melainkan berkaitan dengan kemampuan kader menginternalisasi
ajaran
Islam
sebagai
sikap
atau
prinsip,
dan
lalu
mengeksternalissasinya sebagai tindakan keseharian. Sebagian besar materi atau wacana dalam training PII di atas bersifat terbuka yang ditandai oleh metode andragogi, dinamika kelompok, debat, dan dialog. Pemandu atau instruktur tidak berfungsi sebagai komandan atau sumber
52
Lihat, Paduan Training PII, Jakrta: POIN, 1979.
39
kebenaran,
melainkan
sebagai
fasilitator
yang
merangkum
berbagai
perkembangan pemikiran setiap peserta. Ciri utama yang menandai setiap forum training adalah penekanan sikap demokratis dan kebebasan berpendapat pada setiap peserta sehingga berwatak mandiri dan percaya diri. Pada setiap akhir materi, tidak ada kesimpulan yang bulat oleh pemandu atau instruktur sebab peserta memang diharapkan menemukan tafsir-tafsir kritis baru. Dalam kacamata modernis, training-training PII ini lebih bersifat semacam achievement motivation training atau training yang memotivasi kepeloporan dan kepemimpinan secara Islam. Jadi, dapat dikatakan bahwa training-training PII merupakan wahana pengetahuan untuk belajar berdemokrasi. Selain karena peserta training PII diambil dari unsure-unsur Pesantren (sekolah Islam) dari sekolah umum yang wacana keilmuan masing-masing berbeda, juga karena sifat federatif struktur organisasi PII dari pusat hingga wilayah/daerah propinsi lainnya kadang-kadang berbeda jauh, terutama dalam memandang ilmu dan pengetahuan, politik dan ideologi dalam konteks Negara. Dengan demikian, ada kader PII yang sangat menekankan sikap keagamaan (ibadah formal) sebagai nilai yang mengatasi persoalan-persoalan seperti ilmu dan pengetahuan, politik, dan ideologi, tetapi ada juga yang menekankan sikap politik dan akademis (ibadah social) sebagai nilai yang justru harus muncul dari sikap religius. Perbedaan ini sesungguhnya tipis, tetapi akan tampak tajam dalam hal-hal yang bersifat praktis seperti dalam hal memilih studi, organisasi pasca PII, profesi, karir, atau peran dalam kegiatan kemasyarakatan. 53 53
Djayadi Hanan, “Gerakan Pemuda Islam Di Bawah Bayang-Bayang Negara” (Yogjakarta:PB PII & UII Press, 2006) hal,105-107
40
Hasil training yang beragam itulah yang membuat PII meningkat, baik secara internal (dalam organisasi atau kepengurusan) maupun secara eksternal (dalam masyarakat) seperti soal pilihan politik masing-masing kader. Intinya, tidak ada penyeragaman pilihan secara politis, kecuali dalam hal etika dan prinsipprinsip keislaman.
BAB III KEBIJAKAN PEMERINTAH ORDE BARU
A.
Setting Politik Orde Baru Berakhirnya Demokrasi Terpimpin yang sekaligus menandai kelahiran
Orde Baru dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi dan politik. Kondisi ekonomi saat itu sangat buruk namun kita tidak akan membahas lebih dalam,yang akan dikaji lebih luas adalah dari segi politik. Dari segi politik, percobaan kudeta melalui G-30-S pada tahun 1965 beserta pukulan balik yang menyertainya telah membawa korban bagi para perwira Angkatan Darat dan lebih dari setengah juta penduduk. 1 Faksi-faksi yang ada di tubuh militer, potensial untuk meledakkan perang saudara. Di samping itu, kelompok Soeharto juga mendapat tekanan dari para perwira radikal dalam tubuh Angkatan Darat serta komponen-komponen kekuatan politik Islam yang berada di kesatuan-kesatuan aksi dan parlemen untuk menyeret Soekarno ke pengadilan. Padahal, jika tuntutan ini dipenuhi justru akan menimbulkan perang saudara. Berdasarkan kondisi politik dan perekonomian yang kurang baik ini, maka secara sederhana dapat dimaklumi kalau yang terpikir oleh pemerintah adalah bagaimana mengatasi krisis dalam kedua bidang itu. Siapapun yang tampil memerintah pasti dihadapkan pada sedikit pilihan. Pilihannya adalah mencegah agar krisis tidak makin memburuk dengan menerapkan suatu strategi stabilitas
1
Lihat juga Pramoedya Ananta Toer dan Stanley Adi Prasetyo, (eds.) Memoar Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Soekarno, (Jakarta : Hasta Mitra), 1995, hal,52
41
42
politik dan ekonomi. 2 Lantas, yang dilakukan Soeharto adalah membangun serangkaian struktur dan proses politik yang memungkinkan penanganan dua hal sekaligus. Pertama, memberikan dukungan bagi transformasi ekonomi. Kedua, mengendalikan akibat-akibat krisis, terutama dengan menjinakkan dan mencegah oposisi agar tidak mengganggu program ekonomi pemerintah.
A. 1.
Politik dalam Masa Peralihan Sebagian besar pendukung Orde Baru meyakini bahwa penyebab krisis
adalah konflik politik yang diwarnai oleh pertarungan ideology. Karena itu, mereka percaya bahwa masa depan Indonesia seharusnya bebas dari politik yang bebas dari ideology. Konflik ideologis merupakan konflik yang tak berkesudahan, dan di zaman Soekarno mengimbas pada keruntuhan ekonomi nasional. Aktor dalam konflik-konflik itu adalah partai-partai politik yang di dalamnya terdapat banyak politisi sipil.3 Pemerintah Orde Baru kemudian merancang suatu mekanisme yang dapat meminimalkan konflik sosial dan memaksimalkan produktivitas ekonomi. 4 Ialah mekanisme ketertiban politik untuk menjamin pembuatan dan pelaksanaan kebijakan yang cepat, dan efisien. Langkah lanjutan dan mekanisme ini adalah : 1.
Menciptakan politik yang bebas dari konflik ideologis, berdasarkan ketertiban dan kesepakatan (konsensus). Langkah ini menghasilkan penyederhanaan partai-partai politik yang semula multipartai menjadi tiga
2
Pramoedya Ananta Toer dan Stanley Adi Prasetyo, (eds.) Memoar Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Soekarn, hal, 21. 3 Lihat Mochtar Mas’oed, Negara, Kapital, dan Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1994, hlm. 36-37. 4 Mochtar Mas’oed, Negara, Kapital, dan Demokrasi, hal, Ibid
43
partai, dan penyederhanaan badan perwakilan serta penerapan “politik berdasarkan konsensus”. 2.
Membatasi partisipasi politik yang pluralistik. Partisipasi rakyat diarahkan terutama pada penerapan program pembangunan yang dirancang oleh elit politik. 5 Di sisi lain, rumusan dasar strategi yang akan ditempuh itu membenarkan
“penundaan” terhadap pelaksanaan demokrasi karena pendekatan stabilitas lebih dikedepankan dalam menjalankan pembangunan ekonomi. Penekanan pada masalah ketertiban ini terdapat dalam pernyataan politik para pemimpin Orde Baru. Versi yang paling mencolok terdapat dalam tulisan-tulisan Ali Moertopo. Gagasan-gagasan tentang penyempitan partisipasi politik dengan pembatasan politik-kepartaian ini banyak dikembangkan terutama oleh para intelektual sipil di sekeliling Ali Moertopo. Ali Moertopo adalah orang kepercayaan Soeharto. Karena menguatnya kedudukan kelompok ini, maka dengan cepat mereka dapat memperoleh posisi yang sangat berpengaruh selama awal kekuasaan Orde Baru. 6
B. 2.
Ideologi Pembangunan dan Dwifungsi ABRI Akar pemikiran sosial politik yang melandasi setting politik Orde Baru
dapat
ditelusuri
pada
konsep
pemikiran
tentang
developmentalisme
(pembangunanisme) yang pada masa itu sedang popular di seluruh dunia, terutama di Negara-negara dunia ketiga yang baru merdeka. Pemikiran-pemikiran tentang peran militer dalam suatu Negara termasuk di bidang politik, juga menjadi
5 6
Ali Moertopo, Strategi Politik Nasional, Jakarta : CSIS, 1980, hlm. 47. Mochtar Mas’oed, Ekonomi, hal, 146.
44
relevan karena dapat dikatakan bahwa militerlah yang berkuasa selama perjalanan Orde Baru. Di lain tempat, jauh sebelum Orde Baru lahir, telah ada sejumlah intelektual awal abad ke-20 yang berpendidikan Barat. Kebanyakan mereka dipengaruhi oleh pemikir sosialis Eropa. 7 Sepanjang 1950-1960-an intelektual ini berkumpul secara informal di sekitar pemimpin bertipe administrator seperti Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan yang terpenting bahwa mereka juga berada di sekitar politisi Partai Sosialis Indonesia (PSI). Para intelektual ini mengembangkan sejenis ideologi yang berdasarkan pada
nilai-nilai
modernis-sekuler,
pragmatisme,
rasionalisme,
dan
internasionalisme. 8 Contoh pernyataan ideologis mereka yang berpengaruh pada Orde Baru sebagaimana dikutip oleh Liddle ialah: “Suatu perekonomian industrial, suatu masyarakat yang egaliter, dan suatu Negara kesejahteraan yang aktif berdasarkan asas-asas demokrasi.” 9 Sarana untuk mencapai tujuan itu didasarkan pada pandangan yang elitis dan pragmatis: Pencapaian tujuan ini… akan memerlukan pendirian sebuah partai yang kuat yang terdiri dari kader-kader sosialis yang akan mampu menolak bujukan komunisme totaliter, menghancurkan warisan-warisan feodalistik…melalui pendidikan serta menciptakan iklim ketertiban dan efisiensi pragmatis sehingga perencanaan ekonomi yang rasional bisa dilakukan”. 10 Melalui nilai-nilai modernis-sekuler ini tetap hidup di sekitar intelektual dan aktivis mahasiswa di Jakarta dan Bandung sepanjang 1960-an sekalipun PSI sudah dibubarkan sejak pemerintahan Orde Lama (tahun 1960). Ketika Orde Baru lahir, pada saat bersamaan pikiran-pikiran ini sedang memperoleh kekuatan
7
Mochtar Mas’oed, Negara. Hal, 38. Mochtar Mas’oed, Negara. Hal, 38. 9 R. William Liddle, Modernizing Indonesian Politics,” dalam R. William Liddle (ed.), Political Participation in Modern Indonesia, New Haven, Conn: Yale University Southeast Asian Studies, 1973, hlm. 179. 10 Sebagaimana dikutip oleh Mochtar Mas’oed dari Liddle. Negara. Hal, 39. 8
45
baru. 11 Pertama, kembalinya sejumlah intelektual berpikiran reformis yang baru saja memperoleh derajat doctor dari berbagai universitas di Amerika Serikat. Kedua, tersedianya teori-teori sosial baru yang mendukung perjuangan para intelektual itu. Ada tiga teori utama yang berpengaruh ketika itu, ialah : 1.
hipotesis dari Lipset yang menyatakan, bahwa demokrasi polotik umumnya
terjadi
setelah
keberhasilan
pembangunan
ekonomi.
Persyaratannya tergantung pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. 12 2.
Adanya argumen Daniel Bell tentang “matinya ideologi” (the end of ideology). Politik Ideologi menurut Bell, tidak ada lagi dan digantikan oleh politik konsensus. 13 Dengan kata lain, Bell menyatakan bahwa intensitas politik ideology telah berkurang seiring dengan peningkatan pembangunan ekonomi.
3.
Teori dari Hutington tentang akibat negatif dari mobilisasi sosial yang tak terkendali pada masyarakat sedang berkembang. Oleh karena itu, menurut Huntington partisipasi politik harus disalurkan secara tertib. 14 Di kalangan militer terdapat pula perkembangan yang serupa. Kaum
militer dapat menerima dasar berpikir modernisasi-politik seperti ini karena dua hal: 1) Memang sebagai orientasi pemikiran para intelektual dalam merespon ekonomi terpimpin Soekarno. 11
Mochtar Mas’oed dari Liddle, Negara. Hal, 39. Lihat Seymour Martin Lipset, Political Man, The Social Basis of Politics, Garden City, New York: Anchor Books, 1963, bab 2. 13 Lihat Daniel Bell, The end of Ideology, New York: Collier, 1960, hlm. 397. 14 Lihat Samuel Huntington, Political Development and Political Decay, World Politics, 1965, vol. 17 No. 3 (April). Lihat juga Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik Di Negara Berkembang, terj. Drs. Sahat Simamora, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, terutama Bab III 12
46
2) Kalangan elit militer yang menjadi actor dominant Orde Baru memang sebelumnya telah akrab dengan pemikiran diatas. Mereka mengenal pemikiran-pemikiran itu sejak menempuh pendidikan di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) Bandung. Tentu saja karena sebagian besar para pengajar di Seskoad adalah para intelektual yang telah menempuh pendidikan ekonomi di Amerika Serikat. (Mayor Jendral) Soeharto bahkan mengundang para ahli ekonomi ini untuk menjadi tim penasehatnya. 15 Di samping itu, kecenderungan umum pemerintahan militer adalah selalu menjadikan pertumbuhan ekonomi yang pesat sebagai parameter strategis untuk memperoleh sumber legitimasi dalam memerintah. Hal ini dilakukan karena pemerintahan
militer
umumnya
tidak
cukup
punya
keabsahan
untuk
memerintah. 16 Selain menerima ide-ide developmentalism yang berakar pada nilai-nilai modernitas sekuler Barat, militer juga berupaya mencari rumusan yang bisa memberinya legitimasi untuk berpolitik. Usaha ini dimulai pada tahun-tahun 1950-an dan 1960-an. 17 Pada akhir 1950-an, rumusan ini ditemukan dalam suatu system perwakilan fungsional dan suatu ideology yang pada masa Orde Baru disebut Dwifungsi ABRI. Untuk pengembangan gagasan ini, TNI AD menjadikan Seskoad sebagai think-thank-nya. 18
15
Bruce Glassburner, “ Political Economy and The Soeharto Regime”, BIES, Vol. XIV, No. 3 Nov. 1978, hlm. 33. 16 Lihat Yahya Muhaimin, “ Kemana Mobilitas Sosial”, makalah seminar HIPIS di Palembang, Maret 1984. 17 Mochtar Mas’oed, Negara, hal 41. 18 Ulf Sundhaussen, “The Military in Research on Indonesia Politics”, Journal of Asian Studies, vol. 31, No. 2 (februari)
47
Gabungan antara pembangunan pemikiran ekonomi dan ketertiban militer inilah yang menjadikan proyek modernisasi di Indonesia berwujud ideology “developmentalisme yang direvisi”. Revisi ini merupakan hasil pengembangan yang dilakukan para intelektual sipil di sekitar Ali Moertopo. Oleh karena itu, nilai-nilai pembangunan ekonomi tetap dipertahankan seperti soal pembuatan kebijakan public yang rasional, efisiensi, efektivitas, dan pragtisme. Dengan ringkas dapat dikatakan, bahwa pada akhir 1960-an di Indonesia telah berkembang ideology yang memberi pembenaran pada pengorbanan politik demi pembangunan ekonomi. Kerangka pemikiran pembangunan ekonomi itulah yang dijadikan landasan terkuat Orde Baru dalam melakukan berbagai re-organisasi sehingga kemudian tercipta suatu struktur politik yang sangat kuat dan dominant dalam kehidupan masyarakat.
B.
Pengetatan Struktur Politik Dalam seluruh aspek kehidupan kenegaraan maupun kemasyarakatan tidak
ada yang luput dari re-organisasi atau re-strukturisasi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Sumber utama pemikiran Orde Baru adalah sekelompok perwira dan intelektual yang ada di sekitar Ali Moertopo. Kelompok perwira dan intelektual ini berfungsi sebagai dapur cabinet (kitchen cabinet). 19 Mereka diangkat sebagai staf pribadi (Spri) Presiden Soeharto. Cara kerja seperti ini ternyata sangat efektif. Kemudian, untuk menjamin implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah, maka perwira-perwira ABRI ditempatkan (dikaryakan) ke dalam jabatan-jabatan sipil 19
Ulf Sundhaussen, “The Military in Research on Indonesia Politics”, Journal of Asian Studies, vol. 31, No. 2 (februari), hlm. 50.
48
sambil
mengintensifkan
jaringan
intelejen
atau
dengan
metode-metode
konvensional guna meningkatkan sentralisasi dan efisiensi birokrasi. Selanjutnya, dibuat pula pola-pola pengendalian melalui perwakilan kepentingan di badan legislative sehingga badan itu lebih mencerminkan kepentingan pemerintah. Metode yang digunakan Soeharto ialah dengan membujuk sendiri para pendukungnya dan membuat mekanisme undang-undang yang sesuai. Kebijakan pengendalian badan legislative ini merupakan lanjutan dari taktik yang pernah dilakukan oleh Soekarno. Pengendalian juga dilakukan pada kelompok-kelompok dan organisasiorganisasi
sosial-kemasyarakatan
restrukturisasi
melalui
pola
melalui
korporatisasi
pola
korporatisasi.
organisasi-organisasi
Prinsip sosial-
kemasyarakatan ini dilakukan agar perwakilan kepentingan hanya tersalur lewat wadah tunggal berdasarkan kategori kepentingan masing-masing. Perwakilan tunggal itu kemudian diletakkan di bawah payung Golongan Karya (Golkar). Lantas, terbentuklah berbagai asosiasi seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Sentral Organisasi Kekaryaan Sawadiri Indonesia (SOKSI), Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Dharma Wanita, Karang Taruna, dan lain-lain. Selain itu, dilakukan pula peningkatan jumlah perwira militer dan teknokrat sipil di dalam departemen dan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya. Sementera, jabatan-jabatan strategis di daerah-daerah diupayakan pula diisi oleh (titipan) “orang pusat”, terutama oleh perwira ABRI.
49
Hasil konkret dari langkah-langkah di atas adalah birokrasi sipil yang sangat terkendali di bawah pemerintah (presiden). Dengan demikian, semua proses pembuatan kebijakan public yang vital dilakukan secara tersentralisasi. Salah satu contohnya adalah dalam pembuatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang semuanya ditentukan oleh pusat (Jakarta) termasuk pendistribusiannya ke daerah-daerah. Selain pengendalian birokrasi sipil, Orde Baru juga melakukan integrasi Angkatan Bersenjata. Hal ini dilakukan agar konflik-konflik antar-angkatan tidak terulang seperti pernah terjadi di era Soekarno. Dengan begitu, sekaligus seluruh kekuatan ABRI pun terkendali. Tindakan berikutnya adalah penyederhanaan politik kepartaian. Hal ini dilakukan dengan mereorganisasi Sekretariat Golongan Karya (Sekber Golkar), dan “memaksa” partai-partai politik peserta Pemilihan Umum melakukan fusi. Cara pengendalian terhadap partai politik ini dilakukan melalui berbagai modus. Pertama, melalui mekanisme recall. Kedua, mengintrodusir persyaratan bagi setiap anggota partai politik yang ingin duduk sebagai pimpinan sehingga harus seizin pemerintah. Ketiga, mengintervensi partai politik melalui kongres, musyawarah, atau muktamarnya. Keempat, mengupayakan monoloyalitas pegawai negeri hanya pada golongan karya. Kelima, menciptakan konsep massa mengambang (floating mass) dengan melarang partai politik beraktivitas di pedesaan, kecuali bila akan Pemilihan Umum. Secara umum dapat dikatakan, bahwa setting politik yang dibangun oleh Orde Baru telah berfungsi sangat efektif, walaupun otoriter. Afan Gaffar
50
menyebut system politik Orde Baru ini sebagai “extremely strong state”. 20 Sistem politik yang demikian tentu saja sangat memusat pada lembaga kepresidenan sehingga presiden sendiri dapat mengontrol semua sumber kekuatan politik. Sumber-sumber itu mencakup political recruitment, proses pembuatan dan pelaksanaan anggaran, dan sumber-sumber legitimasi konstitusional yang melekat pada sumber-sumber itu.
C.
Implikasi Setting Politik Orde Baru terhadap Islam Pada awal Orde Baru, umat Islam berharap banyak pada rezim yang telah
terbentuk agar diberi peran yang lebih besar dalam politik maupun bidang kenegaraan lainnya. Harapan ini sangat wajar mengingat peran besar yang dimainkan umat Islam menjelang kelahiran Orde Baru, sebagaimana telah digambarkan dalam Bab II. Akan tetapi, segera umat Islam mengalami kekecewaan yang bertubi-tubi. Berbagai harapan dan tuntutan itu ditolak satu-persatu oleh penguasa Orde Baru karena dicurigai bertentangan dengan terminologi “pembangunanisme” Negara yang mengedepankan pragmatisme, rasionalisme, deideologisasi, depolitisasi, pendekatan teknokratis, program oriented, ekonomi sebagai panglima, dan sebagainya. Orde Baru memandang politisi-politisi Islam selalu menjadi sumber konflik politik pada masa Soekarno. Jadi, politik Islam dianggap tidak cocok dengan kredo utama Orde Baru yakni pembangunan eonomi dan stabilitas politik.
20
Lihat Afan Gaffar, “Public Policy and Income Distribution, An Indonesian Case Study”, makalah pada AIDCOM International Seminar on “Economic Development and Liberal Democracy: Compatibility or Conflict?”, Penang, Malaysia, 4-5 Desember 1996.
51
Kecurigaan dan penolakan atas politik Islam juga disebabkan karena elit Orde Baru yakni militer dikuasai oleh kelompok abangan dan priyayi-sekuler. 21 Perseteruan golongan santri dengan kelompok ini memang telah terjadi sejak pra-kemerdekaan. 22 Dalam perkembangan selanjutnya, dapur pemikiran politik Orde Baru lebih banyak dikuasai oleh kelompok Tanah Abang (Centre For Strategic and International Studies) yang kebanyakan terdiri dari intelektual secular dan beragama katolik. 23 Pada masa Orde Baru, Islam ditempatkan sama seperti agama (religion) seperti konsep Barat. Karena itu, agama dan politik dianggap sebagai dua hal yang berbeda dan tak ada hubungannya. Kebijakan-kebijakan terhadap umat Islam pun mirip dengan siasat Snouck Hurgronje yang menganjurkan pendekatan “toleransi kembar” yakni membiarkan perkembangan ibadah ritual Islam sembari melarang kegiatan-kegiatan yang secara politis membahayakan. 24 Secara
khusus,
diimplementasikan
pandangan
melalui
pemerintah
Departemen
Agama.
terhadap Pada
masa
Islam
ini
Soekarno,
Departemen Agama ini biasanya diisi oleh tokoh berlatar belakang akademis dan cenderung pragmatis seperti Prof. Dr. Mukti Ali, atau tokoh militer seperti Alamsyah Ratuperwiranegara, atau diplomat seperti Munawir Sjadzali. Melalui Departemen Agama inilah pemerintah menghendaki agar pembangunan agama diletakkan sebagai bagian dari prinsip pembanguna ekonomi. 25 Dalam konsep
21
Lihat Harold Crouch, hlm. 35. Lihat Fachry Ali dan Bachtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Mizan, 1986, hlm. 79. 23 Lihat Aminuddin., hlm. 75-81. 24 Lihat Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Jakarta : Pustaka Jaya, 1980. Juga Lihat Kenneth E. Ward, The 1971 Election in Indonesia, An East Java Case Study, Monash Centre of South East Asian Studies, 1974, hlm. 198. 25 TAP MPR RI 1983, Deppen RI, 1985. hlm. 58. 22
52
wawasan nusantara, misalnya, agama dianggap sebagai salah satu dari nilai kesatuan bangsa, kesatuan politik dan kesatuan budaya. 26 Kebijakan Orde Baru untuk pembangunan agama sangat berorientasi fisikmaterial. Untuk agama Islam, pembangunan ini sangat dititikberatkan pada sarana kehidupan dan peningkatan pelayanan ibadah. Dana aktivitas pembangunan masjid disediakan hamper dua kali lipat disbanding dana untuk sector pendidikan. 27 Juga masih ditambah dengan dana dan penunjang lain baik dari Departemen Agama sendiri, maupun dari Instruksi Presiden (Inpres) atau Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila (YAMP). 28 Pemerintah juga mendirikan atau memprakarsai pendirian berbagai lembaga Islam seperti Perguruan Tinggi Dakwah Islam Indonesia (PTDII), Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI), Dewan Masjid Indonesia (DMI-1972), Majelis Ulama Indonesia (MUI1975), dan Majelis Dakwah Islamiyah (MDI-1978). Lembaga-lembaga ini berfungsi sebagai pagar untuk mengarahkan kehidupan sosial umat Islam atau sebagai instrument korporatis Negara Orde Baru. Sementara itu, untuk mengendalikan penyebaran dan sosialisasi ajaran Islam dibuatlah peraturan yang berkaitan dengan materi dan cara-cara berceramah atau berkhotbah. Intinya, tidak boleh menceramahkan atau mengkhotbahkan masalah-masalah politik. 29 Untuk mengawasi dan menindas pelanggaran atas kebijakan ini digunakanlah Instrumen Komando Pemulihan Keamanan dan
26
TAP MPR RI 1983, Deppen RI, hlm. 54. TAP MPR RI 1983, Deppen RI,. 28 Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam 19651987 Dalam Perspektif Sosiologis, Jakarta : Rajawali Pers, 1991, hlm. 100-102. 29 Departemen Agama, Pedoman Pembinaan Masjid, 1981, hlm. 95-97. 27
53
Ketertiban (Kopkamtib) sehingga keterlibatan aparat militer menjadi sengat efektif. 30 Menurut Abdul Munir Mulkhan, modus pandangan pemerintah dalam bentuk kebijakan-kebijakan terhadap umat Islam di Indonesia itu dilatarbelakangi oleh lima hal. 31 1.
Agama didekati sebagai variable di luar variable sosial dan politik.
2.
Perilaku umat dipandang sebagai perilaku individual.
3.
Agama ditempatkan dalam kedudukan yang sacral dan transeden tanpa hubungan structural dan fungsional dengan kehidupan keimanan di tingkat praktik.
4.
Dalam batas-batas tertentu, secara politis agama ditempatkan sebagai legitimasi atas kebijakan konsep pembangunan.
5.
Seluruh struktur kehidupan beragama dikaitkan dengan Pancasila sebagai ideologi sosial-politik dan sistem kebangsaan. Latar belakang kebijakan pemerintah terhadap Islam ini sangat bersesuaian
dengan orientasi pemikiran politik penjaga dapur Orde Baru yang dikenal sebagai kelompok Tanah Abang. Kelompok ini pada awalnya adalah staf pribadi (Spri) Soeharto yang kemudian memiliki hubungan erat dengan Centre for Strategic and International Studies (CSIS). 32 CSIS didirikan oleh Ali Moertopo dan kawan-kawannya pada tahun 1971 sebagai alat untuk mengekspresikan kepentingannya. 33 Belakangan, CSIS menjadi kelompok kepentingan politik yang berperan besar bagi pemerintah Orde Baru 30
Lihat Crouch., Op. cit., hlm. 250. Mulkhan., Op. cit., hlm. 108. 32 Aminuddin., Op. cit., hlm. 78-79. 33 Leo Suryadinata, Golkar dan Militer, Studi Tentang Budaya Politik, Jakarta: LP3ES, 1992, hlm. 33. 31
54
dan menduduki berbagai tempat di Golongan Karya. 34 Kelompok ini terdiri atas para purnawirawan militer, intelektual-intelektual sekuler, dan orang-orang Katolik yang sangat tidak bersimpati kepada kaum muslim. Bagi mereka, Islam merupakan potensi yang sangat membahayakan bila diberi kesempatan berkuasa. Karena Islam cenderung dipandang dalam kacamata “Darul Islam”, maka mereka cenderung ingin menghancurkan Islam. 35 Bahkan agen-agen intelijen yang berada di bawah pengaruh Ali Moertopo menempatkan kelompok Islam sebagai sasaran/target utama dari rangkaian operasi mereka. 36 Dengan demikian, tidak heran bila kebijakan politik Orde Baru banyak merugikan Umat Islam. Kebijakan ini merupakan perpaduan dari orientasi pemikiran sosial-politik Orde Baru dengan kepentingan kelompok konseptor dan operator kebijakan tersebut. Beberapa rencana kebijakan pemerintah yang anti nilai-nilai agama terlihat dari usaha Golongan Karya dalam menghapuskan mata pelajaran agama di sekolah untuk diganti Pendidikan Moral Pancasila (PMP), penghapusan Departemen Agama, dan sekulerisasi undang-undang Perkawinan. Usaha penghapusan pelajaran agama bisa ditolak karena ditolak karena dikecam sendiri oleh ulama Golongan Karya. 37 dibatalkan setelah mendapat protes keras umat Islam, dan lalu direvisi.
34
Merupakan kenyataan yang ironis bahwa meskipun mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim namun sebagian besar posisi-posisi pemerintahan ketika itu dipegang oleh nonmuslim atau muslim abangan. Kaum non-muslim terutama adalah Katolik, dan kebanyakan mereka berada di bawah pengaruh CSIS. 35 Afan Gaffar, “Partai Politik, Elite, dan massa Dalam Pembangunan Nasional”, dalam Ahmad Zaini Abar, Beberapa Aspek Dari Pembangunan Orde Baru, Solo: Ramadhani, 1990, hlm. 22. 36 Lihat Heru Cahyono, Peranan Ulama Dalam Golkar 1971-1980, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992, hlm. 130-131. 37 Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia, Respon Cendikiawan Muslim, (Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987), hlm. 218.
55
Sebagai partai besar tentunya Golongan Karya sangat kecewa. Bahkan, salah seorang tokohnya menyatakan: “Hukum perkawinan seharusnya tidak mengikuti ajaran-ajaran suatu agama. Negara kita bukanlah negar agama, mengapa kita harus memperhatikan prinsip-prinsip agama dalam membuat hukum.” Selanjutnya, tokoh ini menyatakan:”…memang rancangan itu mendukung ketetapan yang bertentangan ajaran agama Islam mengenai perkawinan…kalau kita selalu memperhatikan ajaran agama, kita tidak akan pernah maju”. 38 Pada sisi lain, CSIS dalam buku Master Plan Pembangunan Bangsa menyampaikan asumsi dasar yang menyatakan bahwa bangsa ini terhambat kemajuannya karena terbelenggu oleh nilai-nilai Islam. Menurut mereka, yang perlu dikikis bukanlah orang Islam Indonesia, tetapi nilai-nilai yang melekat pada orang Islam yang merintangi pembangunan. “Kita tidak memusuhi orangnya, tetapi ajaran-ajaran yang bisa membahayakan pembangunan. Kan orang Islam itu bangsa kita juga? Tak mungkin kita memusuhinya,” demikian kata Liem Bian Kie yang menjadi kepala proyek Master Plan Pembangunan Bangsa itu. Lalu, Liem menegaskan, bahwa adanya korban merupakan hal yang tak terhindarkan. 39
38
Diungkapkan oleh Drs. Sugiharto, ketua utusan Golkar dalam suatu rapat. Lihat Zyrlirosa Jamil, Sikap Politik PII Dalam Menolak Asas Tunggal. Faktor-faktor yang menyebabkannya, skripsi FISIPOL UI, 1991. 39 Sebagaimana dikutip A.Q. Djaelani, Musuh-Musuh Islam Melakukan Ofensif Terhadap Ummat Islam Indonesia, Sebuah Pembelaan, Jakarta: Masyarakat Pelajar Press, 1985,hlm. 122.
BAB IV DINAMIKA HUBUNGAN PELAJAR ISLAM INDONESIA DENGAN PEMERINTAH ORDE BARU
A.
Undang-undang Keormasan Nomor 8/1985: Puncak Pertentangan Salah satu cara Orde Baru memantapkan kekuasaan dan mengeliminasi
Islam-politik ialah dengan mengembangkan ideologi Pancasila. Bila sebelumnya Pancasila hanya dikenal sebagai konsensus nasional, maka pada zaman Orde Baru mulai dijadikan sumber dari segala sumber hukum, jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian dan pandangan hidup yang telah diuji kebenaran, keampuhan dan kesaktiannya, serta penuntun dan pegangan hidup bagi sikap dan tingkah-laku setiap manusia Indonesia. 1 Pancasila juga dianggap sebagai anugrah Tuhan berdasarkan kodrat manusia, dan bukan pemberian negara, masyarakat atau golongan. 2 Keinginan pemerintah menyeragamkan tafsiran mengenai Pancasila merupakan motivasi dari pencanangan asas tunggal bagi seluruh organisasi politik (orpol) dan organisasi kemasyarakatan (ormas). Pemerintah khawatir pada pihak yang masih “ragu-ragu” terhadap Pancasila mengingat masih ada identitas atau asas lain selain Pancasila di dalam Anggaran Dasar (AD)/Anggaran Rumah Tangga (ART) ormas dan orpol. Sikap pemerintah ini juga tidak terlepas dari gerak perlawanan umat Islam ketika MPR membahas Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan Aliran Kepercayaan 1
Lihat naskah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, bagian Pendahuluan. Kalimat-kalimat ini antara lain dapat kita temukan pada buku-buku pelajaran SMP untuk SLTA yang di terbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2
56
57
untuk dimuat ke dalam GBHN pada tahun 1978. Dalam pidato tanpa teksnya di Pekanbaru tanggal 27 Maret 1980 Soeharto menyatakan: “Dari perkembangan pembentukan Undang-undang Kepartaian dan Golongan Karya sampai kepada pelaksanaan Sidang Umum MPR masih membuktikan pula akan keragu-raguan daripada Pancasila, terutama proses dari ketetapan MPR No. II mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, sampai kepada walk out. Begitu pula dari penyelesaian Undang-undang Pemilihan Umum, perubahan atau perbaikan Undang-undang Pemilihan Umum, dan yang akhir-akhir ini juga masih belum menampakkan usaha bersama dan kesepakatan kita. Dan ada yang walk out pula. Karena itulah… kita harus selalu meningkatkan kewaspadaan memilih patner, kawan, teman yang benar-benar mempertahankan Pancasila dan tidak sedikit pun ragu-ragu terhadap Pancasila itu” 3 Ketika itu, fraksi Partai Persataun Pembangunan (PPP) melakukan walk out dari sidang. Jadi, tampaknya pemerintah benar-benar menginginkan agar Pancasila dijadikan tolak ukur segala sesuatu, termasuk oleh agama. Sebetulnya masalah asas Pancasila dalam organisasi kemasyarakatan telah dibahas sejak tahun 1966 dalam paket Rancangan UU Kepartaian, Keormasan, dan Kekaryaan. Namun, karena tidak ada kesamaan pendapat diantara fraksi di DPR-Gotong Royong saat itu, maka pembahasannya ditunda. 4 Pemerintah sadar bahwa negara belum kuat sehingga perhatian lebih dipusatkan pada konsolidasi di tingkat suprastruktur terutama lembaga legislatif dan eksekutif. Setelah Pemilihan Umum 1971 berlangsung sukses, pemerintah mempersoalkan lagi asas Pancasila ini. Akan tetapi, hanya berhasil mendesakkannya pada organisasi-organisasi politik dengan tetap membiarkan ciri asas masing-masing. 5 Berdasarkan legitimasi dari Pemilihan Umum 1971, pemerintah melanjutkan pembinaan struktur politik dengan menata kekuatan 3
Lihat Syamsuddin Haris, PPP dan Politik Orde Baru, Jakarta,: Grasindo, 1991, hlm. 47. Lihat juga P. Bambang Siswoyo, Sekitar Petisi 50, Solo: CV Mayasari, 1983. 4 Ali Moertopo, Strategi Politik Nasional, Jakarta: CSIS, 1974, hlm. 55. 5 Lihat UU No.3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
58
infrastruktur yakni organisasi-organisasi kemasyarakatan, dan sukses hingga Pemilihan Umum 1977. Setelah itu, pemerintah pun memasyarakatkan Pancasila melalui program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang telah dimasukkan ke dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sembari terus memikirkan gagasan asas tunggal untuk tahun berikutnya. 6 Akan tetapi, karena masyarakat dianggap belum siap, maka Rancangan UU Keormasan ini batal diajukan. Apalagi pemerintah sedang dikejar persiapan Pemilihan Umum 1982. Setelah Pemilu 1982, tepatnya pada Sidang Umum MPR 1983, pemerintah memperoleh legitimasi kembali untuk merealisasikan gagasan tentang asas tunggal bagi organisasi politik (orpol) dan organisasi kemasyarakatan (ormas). 7 Hal penting yang perlu dikemukakan berkaitan dengan pengembangan Pancasila ini ialah menyangkut dasar-dasar yang dipakai pemerintah Orde Baru dalam memaknai hingga menetapkannya sebagai asas tunggal. Pancasila yang lahir kurang lebih satu jam dari pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 telah menjadi konsensus nasional sejak kemerdekaan Indonesia. Masing-masing golongan masyarakat di Indonesia dapat menerima konsep Pancasila dalam pidato Soekarno itu dengan alasan bahwa sila-silanya sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut. Umat Islam juga dapat menerimanya, rneskipun kecewa dengan pencoretan tujuh kata dalam sila pertama Pancasila sebagaimana tertuang dalam Piagam Jakarta. Umat Islam berharap dapat mewarnai Pancasila
6
Departemen Dalam Negeri RI, “Pokok-Pokok Pikiran yang Melandasi Penyusunan RUU Organisasi Kemasyarakatan,” makalah, 17 Agustus 1979. 7 Sabar Simatupang memaparkan proses pembahasan RUU Keormasan Tahun 1985 ini dalam skripsinya berjudul “Peranan dan Interaksi Kekuatan-Kekuatan Politik di DPR RI: Studi Kasus Proses Pembahasan RUU Keormasan Tahun 1985,” Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI, Jakarta, 1990.
59
terutama melalui sila Ketuhanan Yang Maha Esa karena dianggap mengandung inti ajaran Islam yaitu prinsip Tauhid. Permasalahan pun timbul ketika menyinggung soal penjabaran Pancasila yang akan diterapkan dalam kehidupan bernegara. Dalam sidang Konstituante 1955, Pancasila dibicarakan kembali karena memang memungkinkan. Kelompok yang dikenal sebagai nasionalis Islam menunjukkan berbagai kekurangan Pancasila sebagai ideology dan mengajukan Islam sebagai alternatifnya. 8 Sebagaimana diketahui, debat tentang hal ini berlangsung berlarut-larut hingga dihentikan oleh Soekarno dengan sebuah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Dekrit itu menyatakan pemberlakuan kembali Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang dijiwai Piagam Jakarta sebagai dasar negara. Jadi, dengan penerimaan kelompok Islam terhadap rumusan ini, maka persoalan Pancasila sebagai dasar negara dianggap selesai. 9 Pada masa Demokrasi Terpimpin, Soekarno berupaya mengembalikan Pancasila kepada gagasan lamanya. Bagi Soekarno, Pancasila dapat diperas menjadi Trisila dan lalu menjadi Ekasila yakni Gotong Royong. Soekarno juga mengeluarkan pelengkap dan penjabar Pancasila yang ia sebut sebagai Manifesto-Politik,
Undang-undang
Dasar
1945,
Sosialisme
Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia (ManipolUsdek) yang memuat nilai-nilai Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom). Untuk menjelaskan hubungan Pancasila dengan Manipol-Usdek, Soekarno
8
Ahmad Syafii Maarif, Studi tentang Percaturan Dalam Konstituante. Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta, LP3ES, 1996. 9 Endang Saefuddin Anshori “Pancasila Sebagai Dasar Negara RI: Merupakan Hasil Puncak Kesepakatan Nasional,” dalam Peraturan Agama Dalam Pemantapan Ideologi Negara Pancasila, Departemen Agama RI: Jakarta, 1985, hlm. 58.
60
mengutip qiyas dalam Islam. Menurutnya, Pancasila itu semacam al-Qur'annya sedangkan Manipol-Usdek adalah Al-haditsnya. 10 Selanjutnya,
Soekarno
mengharuskan
organisasi
sosial
politik
menyesuaikan diri pada Manipol-Usdek sebagai tanda kesetiaan terhadap revolusi yang telah menjadi mitos gerakan kebangsaan ketika itu. Usaha-usaha Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin itu oleh Orde Baru dipandang telah menyelewengkan
Pancasila.
Sebenarnya,
Orde
manakah
yang
paling
menyeleweng? Apakah Orde Soekarno yang dianggap mengkhianati konsensus tentang Pancasila yang dijiwai Piagam Jakarta seperti dikemukakan oleh kelompok Islam? Ataukah Orde Soeharto? Ternyata, rujukan Orde Baru tidak ke Orde Soekarno karena Orde Soeharto membentuk sendiri (Panitia Pancasila) yang anggotanya terdiri dari para mantan (Panitia Sembilan) yang masih hidup. Panitia Pancasila inilah yang bertugas menafsirkan Pancasila sejak 10 Januari 1975 hingga menghasilkan butir-butir (Uraian Pancasila) yang ditandatangani tanggal 18 Maret 1975 dan diserahkan ke Presiden Soeharto pada tanggal 23 Juni 1975. Naskah (Uraian Pancasila) ini ternyata ditolak karena tidak sesuai dengan aspirasi elit Orde Baru. 11 Sebagai gantinya, maka dibentuklah Tim (Perumus) yang diketuai oleh Roeslan Abdulgani (juru bicara Manipol-Usdek di zaman Soekarno). Tim inilah yang menghasilkan butir-butir Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang diberi nama Ekaprasetia Pancakarsa. Seperti telah diuraikan di muka, P4 ini kemudian dimasukkan ke dalam GBHN Tahun 1978 bersamaan dengan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). 10
Ketetapan Tudjuh Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi, Bandung: Dua-R, tanpa tahun,
11
Muhammad Hatta, dkk, Uraian Pancasila, Jakarta: Mutiara, 1978.
hlm. 87
61
Bila semangat dan nilai yang dibawa rumusan P4 hasil Tim Perumus ini dicermati, maka tentu berbeda dengan rumusan Pancasila sebelumnya. Nilainilai tradisional Jawa tampak amat kental mewarnainya. Menurut Soeharto, Pancasila itu berasal dari ajaran nenek-moyang kita jauh sebelum Hindu, Budha, Islam, dan Kristen datang ke Indonesia.” 12 Ajaran nenek moyang itu kini lebih dikenal dengan sebutan Elmu Klenik atau Kejawen. Elmu ini mengandung tiga prinsip yakni kasunyatan (kenyataan hidup), sangkan paraning dumadi (dari mana asal kejadian manusia dan akan ke mana akhir hidupnya), dan kasumparning hurip (kesempurnaan hidup). Nilai-nilai kejawen memang mengalami perkembangan pesat pada era Orde Baru. Bila pada tahun 1950 tercatat 75 aliran kebatinan, maka pada tahun 1972 jumlahnya menjadi 644 buah. 13 Bahkan, Konferensi Pekerja Golongan Karya yang pertama pada tanggal 13-17 Maret 1972 menghasilkan antara lain sekretariat umum bagi aliran-aliran kepercayaan sebagai satu wadah tunggal untuk semua organisasi kebatinan. Kemudian, dalam Musyawarah Nasional Golongan
Karya
tanggal
8
September
1973
di
Surabaya
istilah
“Kebatinan/Kejawen” diganti dengan “Aliran Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa”. Pada tahun 1973 itu pula Pemerintah menjelaskan program penayangan rutin Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di Televisi RI yang muatannya sangat bernuansa Kejawen. 14 Perubahan istilah “Kebatinan” menjadi “Aliran Kepercayaan” merupakan upaya pemerintah mencari dasar hukum agar dapat dimasukkan ke dalam GBHN 12
Amanat Presiden Soeharto, Surakarta: Yayasan Pendukung Bapak Pembangunan, 1982, hlm. 11 13 Lihat N. Daldjoeni, “Buku Tentang Kebatinan,” Kompas, 25 Agustus 1973. 14 Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia, Respon Cendekiawan Muslim, Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987, hlm. 187.
62
sebab kata “Tuhan Yang Maha Esa” dan “Kepercayaan” memang termuat dalam Pasal 29 UUD 1945, walaupun tidak ada hubungannya dengan Kebatinan. Meskipun pemerintah tidak memaksudkan Aliran Kepercayaan ini sebagai suatu “agama”, namun kenyataannya disejajarkan dengan agama. Hal ini terlihat jelas dalam buku-buku Pendidikan Moral Pancasila untuk Sekolah Dasar dan Menengah. Tidak heran kalau kemudian menimbulkan keresahan dan protes dari berbagai tokoh Islam. Di samping itu, Aliran Kepercayaan ini juga mendapat jatah yang sama dalam acara Mimbar Agama di TVRI, sejajar dengan agama Islam, Kristen (Protestan/Katolik), Hindu, dan Budha. Dengan demikian, pada tahun 1980-an Orde Baru memang sudah mempunyai “segala hal” untuk tampil perkasa di depan rakyat sehingga apapun yang diinginkan elit penguasanya akan dapat dipaksakan ke seluruh lapisan masyarakat. Bagi umat Islam, orientasi sosial-politik negara Orde Baru seperti modernisasi (nilai-nilai modernitas sekuler), pendekatan keamanan dan stabilitas,
dan
hegemoni
ideologi
melalui
Pancasila
atau
aparatur
birokrasi/militer ternyata sangat banyak merugikan umat Islam. Hegemoni ideologi asas tunggal Pancasila, misalnya, mau tidak mau akan menimbulkan perdebatan di kalangan umat Islam hingga ke wilayah teologis (aqidah) yaitu wilayah yang esensial dalam ajaran Islam.
B.
Umat Islam dan Undang-undang Keormasan Penyikapan umat Islam terhadap Undang-undang Nomor 8/1985 tentang
Keormasan umumnya terfokus pada masalah asas tunggal Pancasila. Sebetulnya asas tunggal Pancasila hanyalah salah satu pasal saja dari sejumlah pasal Undang-
63
undang Keormasan itu. Sikap umat Islam di sini umumnya dapat dibagi dalam beberapa kategori. Dalam penafsiran terhadap Pancasila, tentu saja terdapat banyak perbedaan persepsi antara umat Islam dengan pemerintah. Umat Islam menempatkan Pancasila dalam perspektif agama Islam, sedangkan pemerintah meletakkan konsep sosial Islam justru dalam perspektif Pancasila. 15 Keberatan kalangan umat Islam dengan pemberlakuan asas tunggal Pancasila ini berkait erat dengan beberapa pokok masalah. Pertama, menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dianggap bertentangan dengan agama (Islam) oleh sejumlah umat Is1am. 16 Deliar Noer bahkan membuat satu buku yang khusus mengupas hubungan Islam dengan asas tunggal Pancasila ini. 17 Asas tunggal yang hakiki bagi umat Islam adalah Dienul Islam. Deliar Noer juga mengungkapkan, bahwa penafsiran Pancasila itu tidak boleh tunggal (hanya versi pemerintah saja) sebab setiap perbedaan penafsiran tidak berarti bertentangan. Kedua, menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal berarti juga menyeleweng atau bertentangan dengan UUD 1945 sendiri, terutama Pasal 29. Argumen ini antara lain dikemukakan oleh K.H. Noer Ali dan Syafruddin Prawiranegara. 18 Ketiga, konsep asas tunggal itu bersifat a-historis dan berarti mengkhianati perjuangan para tokoh pendiri bangsa Indonesia. Hal ini antara lain dikemukakan A. Qadir Djaelani. Menurutnya:
15
Lihat Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Antara Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler tentang Dasar Negara Republik Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1986. 16 Tokoh yang mendukung argument ini antara lain adalah K.H. Noer Ali (BKSPP), KH. Malik Ahmad (Muhammadiyah), KH. A.R. Fachruddin (Muhammadiyah), Moh. Natsir (DDII), Syarifuddin Prawiranegara, Deliar Noer, dan Abdul Qadir Jaelani. 17 Deliar Noer, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal, Jakarta: Yayasan Pengkhidmatan, 1983. 18 Pokok-Pokok Pikiran BKSPP mengenai Asas Tunggal dan RUU Organisasi Kemasyarakatan, 6 September 1984. Lihat juga surat terbuka Syafruddin Prawiranegara kepada Soeharto tanggal 7 Juli 1983.
64
“Penguasa colonial Belanda maupun Jepang yang kejam itu tidak pernah melarang penggunaan Islam sebagai asas partai maupun organisasi social kemasyarakatan. Oleh karena itu, satu sikap pengkhianatan dan sadis, apabila sesudah Republik Indonesia ini berdiri dan berkuasa, melarang partai dan organisasi-organisasi Islam untuk mempergunakan “Asas Islam”. Padahal, dengan asas Islam itu partai dan organisasi-organisasi Islam medirikan dan membesarkan Negara Republik Indonesia”. 19 Di samping itu, konsep asas tunggal itu bersifat politis untuk meminggirkan umat Islam. Tokohtokoh Islam yang keberatan ini umumnya menyepakati dan menerima bahwa posisi Pancasila yang sesungguhnya adalah sebagai dasar negara, bukan sebagai asas. Selain tokoh yang keberatan dengan penerapan Pancasila sebagai asas tunggal ini, ada pula tokoh atau kelompok Islam yang secara verbal menyatakan bahwa hal itu tidak menjadi masalah. Argumen yang diajukan umumnya berangkat dari kesimpulan bahwa Pancasila itu tidak bertentangan dengan Islam sejauh masih tertera sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Apalagi, Pancasila juga merupakan hasil perjuangan umat Islam. Khusus Nahdlatul Ulama (NU), penerimaan terhadap asas tunggal Pancasila dilakukan dengan menggunakan kaidah-kaidah darurat yang dibenarkan oleh agama Islam. Secara khusus, sesungguhnya ada satu persoalan yang mengganjal dan dilematis dalam memilih/menerima Pancasila sebagai asas tunggal ini. Ada kesenjangan persepsi terhadap Pancasila itu sendiri. Penerimaan umat Islam selalu disandarkan pada Pancasila yang dijiwai Piagam Jakarta, sedangkan yang dimaksudkan sebetulnya oleh pemerintah Orde Baru adalah Pancasila yang telah diberi muatan/ tafsir seperti dalam butir-butir Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Jadi, penerimaan ini seolah-olah hanya untuk 19
Lihat Abdul Qadir Djaelani, “Pancasila dengan Segala Pengertiannya,” dalam Noor M.D., Pancasila Pandangan Tokoh-tokoh Islam, Bogor, 1990.
65
menghibur diri bahwa Pancasila asas tunggal itu adalah Pancasila yang tetap berada dalam cahaya agama (Islam). Sekali lagi, hal ini sebetulnya membuktikan bahwa rakyat tidak berdaya saat berhadapan dengan hegemoni negara yang sedemikian kuat. Bahkan, ketika kebijakan negara itu menjurus kepada pengaturan atas isi kepala setiap orang agar patuh melahap suatu ideologi. 20 Ketidakberdayaan rakyat semakin terlihat ketika asas tunggal Pancasila telah menjadi kebijakan politik-hukum melalui Undang-undang Keormasan Nomor 8 Tahun 1985. Semua organisasi, termasuk yang pada awalnya menolak dengan gigih, akhirnya terpaksa menerima dan menyesuaikan diri pada UU Keormasan. Tentu saja dengan segala alasan dan legitimasi politisnya.
C.
Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia dan Undangundang Keormasan Strategi PII menghadapi Manipol-Usdek pada masa Orde Lama ternyata
kurang utuh dan kompak dibanding ketika menghadapi pembahasan hingga pemberlakuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pada masa Orde Lama, PB PII Periode 1962-1964 yang dipimpin Ahmad Djuwaeni telah menyiapkan berbagai kemungkinan seandainya PII betul-betul dibubarkan karena menentang Manipol-Usdek. Salah satu bentuk persiapan PB PII itu antara lain ialah mendirikan yayasan-yayasan di daerahdaerah untuk alternatif wadah kegiatan. Antisipasi seperti ini tidak terlihat atau
20
Guillermo O’Donnell menyebutkan hal ini sebagai “consensus diam-diam”. Antara pemerintah dan masyarakat sebetulnya masih ada persoalan, tetapi karena kepentingan keamanan persoalan itu dianggap selesai. Lihat Guillermo O’Donnell dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi, Jakarta: LP3ES, 1993, hlm. 78.
66
kurang mendapatkan perhatian PB PII Periode 1983-1986 di bawah pimpinan Mutamimul Ula. Dalam periode Mutamimul Ula sebenarnya ada pengondisian secara sistematis terhadap PII se-Indonesia. Jalur utama yang dipakai adalah training konvensional. Bila diperhatikan pada buku-buku panduan training yang dipakai mulai periode ini nampak, bahwa muatan ideologis dalam setiap materi di setiap jenjang training sangat kental. Opini yang sangat dominan muncul di setiap lokal pen-training-an PII ketika itu adalah tentang ketidaksetujuan menggunakan asas tunggal Pancasila yang termaktub dalam salah satu pasal Rancangan Undangundang Keormasan Nomor 8 Tahun 1985. Akan tetapi, pendapat dan sikap yang muncul dari para peserta dalam training itu tetap beragam. Hal ini bisa terjadi karena
efek
dari
pengkondisian
training,
kemahiran
instruktur
dalam
menggunakan metode training yang dikenal sebagai dynamic group, atau pendapat pribadi para peserta training yang memang tidak akan dibantah. 21 Sikap PB PII periode 1983-1986 terhadap Rancangan UU Keormasan dituangkan dalam sebuah pernyataan tentang Pokok-Pokok Pikiran PB PII Tentang Rancangan Penyusunan Undang-undang Keormasan yang dikeluarkan tanggal 25 Maret 1984. Ada tiga butir penting dari pernyataan itu. Pertama, menolak setiap perangkat aturan atau hukum yang secara sengaja atau tidak sengaja, akan mengeliminasi atau mencoret Islam secara tersirat atau tersurat dari Anggaran Dasar atau perangkat organisasi kemasyarakatan, terutama yang bernafaskan Islam. Kedua, menolak setiap perangkat aturan dan atau hukum yang secara birokratis-administratif akan membatasi hak-hak asasi manusia terutama 21
Ahmad Marzoeki, “Reformalisasi PII dari Deklarasi Cisarua ke Persetujuan Cibubur,” tulisan untuk buku 50 tahun PII, tanpa tahun.
67
dalam mengembangkan nilai-nilai Islam. Ketiga, mengakui al-Islam sebagai satusatunya asas bagi organisasi-organisasi kemasyarakatan yang bernafaskan Islam dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Dari tiga butir pemikiran PB PII di atas, nampak bahwa persoalan yang hendak dikemukakan berkaitan dengan UU Keormasan, sebetulnya tidaklah semata akan menghadapkan PII kepada Pancasila. Persoalan penting yang hendak diangkat ialah menyangkut hak asasi manusia (HAM), khususnya berkaitan dengan kebebasan memeluk agama dan melaksanakan kewajiban agamanya itu. Selain masalah ini dijamin dalam Pasal 29 UUD 1945, juga telah disepakati masyarakat internasional sebagai hak asasi manusia yang paling asasi. Akan tetapi, ketika itu persoalan HAM dan demokratisasi memang belum populer di Indonesia sehingga sering secara sederhana masalah PII ini disimpulkan sebagai “penolakan PII terhadap asas tunggal Pancasila” atau lebih ekstrem lagi yaitu “penolakan PII terhadap Pancasila”. Dalam masalah yang berkaitan dengan UU Keormasan khususnya pada ormas-ormas Islam, biasanya hanya difokuskan pada persoalan asas tunggal. Sedangkan bagi PII, asas tunggal merupakan salah satu permasalahan saja dari UU Keormasan. Permasalahan lain yang juga sangat penting adalah independensi organisasi. Kehadiran UU Keormasan juga dipandang bisa memperlemah independensi organisasi PII sehubungan dengan adanya “pembinaan dari pemerintah” (Bab VI Pasal 11 UUK). Apalagi dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1986 tentang Pelaksanaan UU Keormasan Nomor 8 Tahun 1985 Bab VI Pasal 14 dinyatakan: “Dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, pembinaan organisasi kemasyarakatan diupayakan untuk berhimpun dalam wadah
68
pembinaan dan pengembangan yang sejenis agar lebih berperan dalam melaksanakan fungsinya.” Pada Bab III buku ini telah dinyatakan bahwa persoalan independensi bagi PII lebih penting untuk dipertahankan. Pada tahun 1973, misalnya, PII tidak menyetujui pembentukan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang mengindikasikan adanya gejala monolitik dalam pembinaan generasi muda agar terarah pada jalur politik pemerintah. Tentu saja hal ini tidak sesuai dengan “youth culture” dan akan mematikan kreativitas generasi muda. Adalah fakta bila kemudian keberadaan KNPI juga mendapatkan gugatan di sana sini, termasuk oleh Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) pendukungnya seperti terjadi dalam Kongres VIII KNPI tanggal 28 Oktober - 4 Nopember 1996 di Jakarta. 22 Ketika UU Keormasan resmi diundangkan pada tanggal 17 Juni 1985, PB PII masih tetap belum mengubah sikapnya. Walaupun demikian, dalam masa transisi penyesuaian terhadap UU Keormasan itu nampaknya PB PII belum menyiapkan lembaga alternatif. Bahkan, sampai dengan pelaksanaan Muktamar XVII pada tanggal 18-21 September 1986 di Cisarua, Jawa Barat, PII masih tetap mempertahankan sikapnya yang tidak mau menyesuaikan diri pada UU Keormasan. PB PII periode 1983-1986 ini lebih mengutamakan intensifikasi sekaligus
ekstensifikasi
proses
kaderisasi
dalam
menghadapi
berbagai
kemungkinan yang bakal dihadapi PII sehubungan dengan pemberlakuan UU Keormasan. Dalam kata lain, proses kaderisasi lebih pokok daripada eksistensi dan formalitas lembaga. Pilihan ini memang sesuai dengan suasana pergerakan 22
Kompas, 30 Oktober 1996
69
di kalangan umat Islam Indonesia ketika itu. Apalagi kaum pergerakan Indonesia, khususnya generasi muda Islam, mulai banyak berhubungan dan mempelajari pergerakan Islam internasional seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir dan keberhasilan Revolusi Islam di Iran. Banyak pergerakan Islam di Indonesia yang hanya kelihatan aktivitasnya, tetapi sulit mengetahui nama dan kelompok afiliasinya. Dari fenomena inilah langkah PB PII periode 1983-1986 dapat diteropong karena arah bergeraknya memang condong ke sana. Meskipun berada dalam suasana yang belum menentu karena polemik UU Keormasan, aktivitas PII tetap berjalan. Pada tanggal 17-21 Februari 1985, misalnya, PB PII menyelenggarakan Musyawarah Instruktur Nasional (MIN) di Bandar Lampung. Musyawarah Instruktur Nasional ini menghasilkan Buku Panduan Training yang materi-materinya sudah diperbarui dan terdiri dari panduan Basic Training, Mental Training, Perkampungan Kerja Pelajar, dan Advance Training. Namun, sistem training yang digunakan tetap mengacu pada hasil Pekan Orientasi Instruktur Nasional (POIN) tanggal 1-6 April 1979 di Cibubur, Jakarta. Musyawarah Instruktur Nasional juga menetapkan program kaderisasi yang disebut Sebelas Bintang, Satu Matahari plus Rembulan. Program Sebelas Bintang terdiri dari training-training alternatif yang meliputi Studi Islam Awal Mula (SIAM), Bimbingan Keilmuan dan Kepelajaran (BKK), Latihan Hubungan Antar Manusia (Labungsia), dan training konvensional. Program Satu Matahari adalah Leadership Advance Training (LAT) dan ditambah program Satu Rembulan pasca-LAT. Kemudian, pada bulan Desember 1986 di Cisarua, Jawa Barat, PII melaksanakan Muktamar ke-17. Acara yang dilaksanakan tanpa izin dari aparat
70
keamanan ini akhirnya memilih Chalidin Yacob sebagai Ketua Umum setelah mengalahkan Dindin Syafruddin. Chalidin Yacob tampaknya berbeda dengan Mutamimul Ula yang intensif menekuni dunia pergerakan Islam dan proses pengkaderan. Akibatnya, di tangan Chalidin Yacob program Sebelas Bintang, Satu Matahari plus Rembulan tidak berjalan serius. Dalam hal ini, Dindin Syafruddin sebetulnya lebih tepat melanjutkan rencana yang dirintis oleh Mutamimul Ula itu. Kapasitas dan intensitas Dindin memang lebih besar dibanding Chalidin Yacob ketika itu. Akan tetapi, menjelang Muktamar PII ke17 sudah beredar suara-suara yang kurang mendukung Dindin sebagai kandidat Ketua PB PII, khususnya suara dari Keluarga Besar (KB) 23 PII yang masih memiliki pengaruh di PII. Chalidin Yacob sendiri banyak mendapatkan dukungan dari sejumlah Pengurus Wilayah PII dari luar Jawa sebab ia memang sering dikirim/ditugaskan oleh PB PII ke kader-kader PII di luar Jawa. Chalidin Yacob juga nampaknya lebih cenderung menginginkan PII menyesuaikan diri pada UU Keormasan. Kesan inilah yang ditangkap oleh beberapa Keluarga Besar (alumni) PII yang ditemui Chalidin Yacob. Namun, arus bawah di PII secara nasional tidak menghendaki PII menyesuaikan diri pada UU Keormasan sehingga Chalidin pun harus tunduk dan melaksanakan aspirasi nasional tersebut. Belakangan ada pula kader PII yang menyayangkan tidak terpilihnya Dindin sebagai pengganti Mutamimul Ula. Untuk menetapkan sikap, arah, dan strategi PII dalam menghadapi UU Keormasan yang masa toleransi (registrasi persetujuannya) hampir habis, PB PII menyelenggarakan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) pada tanggal 10-14 23
Keluarga Besar atau KB PII adalah sebutan untuk mantan-mantan anggota atau alumni PII. Saat ini para anggota KB ini telah membentuk suatu wadah yang diberi nama Perhimpunan Keluarga Besar PII disingkat Perhimpunan KB PII.
71
Mei 1987 di Cisarua, Bogor. Dalam arena Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) inilah lahir Deklarasi Cisarua yang menyatakan sikap istiqomah PII hingga tetap tidak bisa menyesuaikan diri pada UU Keormasan Nomor 8 Tahun 1985. Sesungguhnya,
Rapat
Pimpinan
Nasional
(Rapimnas)
ini
tidak
berlangsung semulus yang terlihat dari luar karena ada satu catatan penting yang disepakati untuk tidak diekspos ke publik/pers. Dari 18 Pengurus Wilayah PII yang hadir dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) itu, hanya Pengurus Wilayah PII Yogyakarta Besar yang tidak setuju pada sikap penolakan PII terhadap UU Keormasan. Namun, demi pertimbangan untuk menjaga keutuhan organisasi PII secara nasional, Ketua Umum Pengurus Wilayah PII Yogyakarta Besar
periode
1986-1988,
Ananta
Heri
Pramono, 24
akhirnya
ikut
menandatangani Deklarasi Cisarua. Deklarasi Cisarua inilah yang menjadi ketetapan pertama dari forum Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) dengan Nomor TAP/Rapimnas-PII/1987. Deklarasi Cisarua ini pun disepakati hanya bersifat intern, atau tidak akan dipublikasikan ke pihak luar. Lahirnya Deklarasi Cisarua menunjukkan bahwa semangat persatuan untuk menjaga keutuhan jamaah benar-benar dijaga oleh para aktivis PII ketika itu. Sikap dan pandangan tetap berbeda, namun segala hal yang menyangkut persoalan bersama harus dipikul bersama pula. Adalah suatu konsekuensi yang tak bisa dihindari bila suatu saat kehendak mayoritas harus diikuti tanpa bermaksud menafikan aspirasi minoritas. Watak ini sering ditanamkan pada para kader PII sebagaimana digariskan oleh Rasulullah SAW: “Inna ummatii laa lajtami’u ‘ala dhalal faidzaa roatum ikhtilaafan fa’alaikum bissawaadil
24
Sebagaimana diceritakan pada saat TC dan Raker I PB PII Periode 1995-1998.
72
a’zhami” (Umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan, maka jika kamu melihat perselisihan ikutilah kelompok yang terbanyak). 25 Sehari setelah penandatanganan Deklarasi Cisarua; Mohammad Natsir (mantan pimpinan Masyumi) memberikan ceramah kepada para peserta Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas). Dalam ceramah itu M. Natsir menyodorkan alternatif Anggaran Dasar PII yang sudah disesuaikan dengan UU Keormasan. Sebetulnya sejak awal M. Natsir telah meminta kesempatan berbicara khusus di forum Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) itu sebelum keputusan diambil. M. Natsir tampaknya berharap dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk dijadikan pertimbangan oleh peserta Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) PII dalam menyikapi Undang-undang Keormasan Nomor 8/1985. Akan tetapi, saran M. Natsir ini ditolak sehingga ia hanya diberi kesempatan tampil setelah keputusan diambil. 26 Tentu saja hal ini terlambat karena sehari sebelumnya Deklarasi Cisarua telah ditandatangani. Menurut Agus Salim 27 (kelak menjadi Ketua Umum PB PII 1989-1992, pengganti Chalidin Yakob), seandainya M. Natsir menyampaikan ceramahnya sebelum penandatanganan Deklarasi Cisarua, maka hasilnya mungkin lain atau mungkin tidak ditandatangani. Tanggal 15 Juni 1987, dua hari menjelang berakhirnya masa toleransi penyesuaian organisasi kemasyarakatan (ormas) pada UU Keormasan, forum Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) pun dilanjutkan di Jakarta dan diikuti oleh utusan dari 9 Pengurus Wilayah PII. Karena situasinya dipandang sangat mendesak dan ada pula perbedaan kemampuan masing-masing Pengurus
25
HR. Ibnu Majah II: 1330, dan Ahmad IV: 978. Wawancara dengan Asmara Hadi Usman, Februari 2010, di Jakarta. 27 Sebagaimana dijelaskan Agus Salim kepada penulis pada tanggal 24 Oktober dan 2 Nopember 1997. 26
73
Wilayah PII dalam mengonsolidasikan aktivitas kader di tiap-tiap wilayahnya, maka forum Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) mengeluarkan ketetapan Nomor TAP/2/Rapimnas-PII/1987 yang berisi lima butir keputusan yaitu: 1. Memberikan kewenangan kepada Pengurus Besar PII untuk mengeluarkan Maklumat Ekstern tentang sikap PII yang tidak bisa menyesuaikan diri pada UU No. 8 Tahun 1985. 2. Memberikan kewenangan kepada Pengurus Besar PII atau Pengurus Wilayah PII untuk membekukan/memvakumkan kepengurusan PII di bawahnya. 3. Memberikan hak kepada Pengurus Wilayah PII dan Pengurus Daerah PII untuk membekukan diri secara kelembagaan. 4. Memberikan hak kepada personal Pengurus Wilayah PII atau Pengurus Daerah PII untuk mengundurkan diri dari kepengurusan PII. 5. Pelaksanaan butir 2, 3, dan 4 dalam ketetapan ini dipilih oleh pengurus yang bersangkutan berdasarkan kondisi masing-masing. Butir keputusan nomor 1 yang bersifat kewenangan itu dapat dilaksanakan dan dapat pula tidak, mengingat situasi sosial-politik nasional masih panas. Ketika itu, Pemilihan Umum 1987 baru saja dilaksanakan. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengalami penggembosan oleh sebagian tokohtokoh Nahdlatul Ulama (NU). Kejadian ini sangat memukul aspirasi umat Islam karena: 1. Kondisi PPP masih lebih tepat dianggap sebagai representasi umat Islam Indonesia dibanding Golongan Karya (Golkar) atau Partai
74
Demokrasi Indonesia (PDI), meskipun saat itu semua partai politik sudah sama-sama berasaskan Pancasila. 2. Mayoritas umat Islam berafiliasi ke Nahdlatul Ulama (NU), meskipun secara administratif tidak terdaftar sebagai anggota. Melalui peristiwa penggembosan PPP itu tampak bahwa secara umum kondisi umat Islam sedang mengalami “keretakan” ukhuwah. Pada saat yang sama, sebagian organisasi kemasyarakatan Islam sudah menyesuaikan diri pada UU Keormasan. Hal inilah yang menjadi bahan pertimbangan PB PII sehingga tidak mempublikasikan Maklumat Ekstern mengenai sikap PII terhadap UU Keormasan. Juga karena dipandang tidak menyelesaikan masalah, di samping akan memancing polemik yang sia-sia di kalangan umat Islam. Secara eksternal, Deklarasi Cisarua sebenarnya dimaksudkan untuk memicu solidaritas lembaga atau organisasi kemasyarakatan Islam lainnya. 28 Para aktivis PII menganalogikan situasi yang dihadapinya itu sama dengan situasi pada masa Orde Lama ketika PII menolak Nasakom dan Manipol-Usdek. Ketika
itu,
PII
menyediakan
diri
sebagai
benteng
terakhir
dalam
mempertahankan asas Islam. Ternyata analogi ini salah karena tidak ada satu pun organisasi kemasyarakatan Islam yang berani mendukung sikap PII dalam menolak UU Keormasan itu. Mau tidak mau ada yang berubah di PII setelah Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) yang melahirkan Deklarasi Cisarua. Meski secara kelembagaan PII sudah mengambil sikap tegas, namun secara individual setiap aktivis PII
28
Suara Hidayatullah, 08/VIII/Desember 1994
75
masih meraba-raba dalam menafsirkan tindakan pemerintah terhadap PII sekaligus konsekuensi-konsekuensi politik yang akan menimpa para kadernya. Bagaimanapun, hal itu akan berkaitan dengan masa depan para kader PII yang masih panjang. Akibat kondisi di atas, kegiatan kaderisasi PII setiap liburan sekolah semakin minim publikasi (samar-samar). Pendekatan personal menjadi satusatunya cara dalam rekruitmen anggota dan kadang juga terkesan “mengelabui” calon kader. Kenyataan ini sering pula diungkapkan oleh mantan-mantan peserta Leadership Basic Training (LBT). Seringkali peserta LBT mengira akan diajak mengikuti pesantren kilat. Bahkan, ada yang mengira akan diajak piknik. Institusi PII pun baru diketahui pada saat pelaksanaan LBT itu. Oleh karena itu, banyak juga kader yang telah mengikuti LBT malas aktif di PII. LBT sendiri secara tidak resmi sering dipandang sebagai batas minimal seseorang telah berstatus menjadi anggota PII. Meski masih ada jalur perekrutan lain yaitu dari putra-putri alumni PII (Keluarga Besar PII), namun langkah ini terbukti tidak juga membawa banyak hasil. Problemnya, banyak juga alumni PII yang tidak setuju dengan sikap penolakan PII terhadap UU Keormasan. Di samping itu, tidak selalu pula putraputri alumni atau Keluarga Besar PII berminat menjadi aktivis PII. Keluarga Besar PII yang mendukung sikap PII pun tidak selalu mengarahkan putra-putrinya menjadi kader PII. Alasan para alumni yang sering dikemukakan ialah demi memberikan kebebasan kepada putra-putrinya dalam beraktivitas sehingga tidak ada paksaan atau tekanan. Alasan ini cukup logis, tetapi tampak ambivalen karena setidaknya putra-putri mereka dikondisikan mengenal PII. Ternyata
76
memang tidak semua alumni atau Keluarga Besar PII mau dan mampu melakukannya. Dengan demikian, bukan hanya anggota PII yang menyusut, tetapi juga personal di segenap institusi kepengurusan. Selain itu, kualitas personal pengurus PII juga mengalami penurunan karena pemilihan seseorang menjadi pengurus tidak lagi berdasarkan kemampuan dan karakter, melainkan berdasarkan kemauan saja. Inilah yang menyebabkan metode penyeleksian pengurus menjadi lemah.
D.
Pelajar Islam Indonesia Melampaui Batas Akhir Tunduk pada Undang-undang Keormasan Tanggal 17 Juni 1987, ketika batas waktu penyesuaian organisasi
kemasyarakatan terhadap UU Keormasan telah habis, PB PII tetap tidak membuat pernyataan menyesuaikan diri pada UU Keormasan. Dari Departemen Dalam Negeri (Mendagri) sendiri belum ada isyarat tindakan yang akan dikenakan kepada PII. Akan tetapi, pada tanggal 21 Juli 1987, seusai rapat kerja dengan Komisi II DPR RI, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Supadjo Rustam menyatakan bahwa sampai tanggal 17 Juni 1987 masih ada dua organisasi kemasyarakatan yang belum mendaftarkan diri yaitu PII dan GPM (Gerakan Pemuda Marhaenis). Oleh karena itu, kedua organisasi ini dianggap tidak ada atau telah membubarkan diri. Pernyataan Mendagri ini dilansir oleh berbagai media cetak harian tanggal 22 Juli 1987. 29 Namun sehari kemudian, tanggal 23 Juli 1987, Direktorat Jenderal Sosial Politik Depdagri membuat dan
29
Jawa Pos, 22 Juli 1987
77
mengirimkan surat panggilan kepada PB PII. Terkesan ada dualisme sikap di Depdagri terhadap PII. Surat panggilan dari Direktorat Jenderal Sosial Politik Depdagri secara tidak langsung justru mengakui keberadaan PII, dan berbanding terbalik dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri Supadjo Rustam yang menganggap PII sudah tidak ada/bubar. Menurut Agus Salim, 30 untuk pertemuan tanggal 23 Juli 1987 memang pihak
Departemen
Dalam
Negeri
yang
mengundang
dalam
rangka
mengkonfirmasi PB PII sehubungan dengan keberadaan PII. Undangan itu dikirim justru karena adanya suara-suara yang menyatakan bahwa PII telah membubarkan diri. Delegasi PB PII yang terdiri dari Chalidin Yacob, Muchlis Abdi, Agus Salim, Shaleh Hamid, dan Abdul Baqir Zein diterima dan berdialog dengan Moch. Barir, Direktur Pembinaan Masyarakat Depdagri. Dalam dialog itu, Moch Barir mengatakan, bahwa bila belum mendaftarnya PB PII ke Departemen Dalam Negeri karena lupa, maka PB PII harus meminta maaf dan kemudian secepatnya mendaftarkan diri. Sinyalemen Moch. Barir ini dibantah dan diuraikan oleh Muchlis Abdi yang mengatakan bahwa registrasi ke Depdagri dalam persepsi PB PII hanya berlaku untuk organisasi kemasyarakatan yang sudah menyesuaikan diri pada UU Keormasan. Karena hingga detik itu PII belum bisa menyesuaikan diri pada UU Keormasan, maka PB PII pun tidak wajib melakukan registrasi ke Depdagri. Apalagi batas waktu yang ditetapkan Depdagri untuk melakukan registrasi sudah terlampaui. PII sendiri belum bisa menyesuaikan diri pada UU Keormasan karena belum ada ketetapan dari forum
30
Sebagaimana dijelaskan Agus Salim kepada penulis pada tanggal 24 Oktober dan 2 Nopember 1997.
78
Muktamar PII yang memang belum diselenggarakan. Forum Muktamar sendiri adalah forum tertinggi di PII untuk pengambilan kebijakan tingkat nasional. Kepada delegasi PB PII itu, Moch. Barir menyampaikan empat hal. a)
Depdagri mengundang PB PII karena ingin mengecek kepastian PII yang akan membubarkan diri. Menurut informasi yang diperoleh Depdagri, keputusan PII diambil dalam rapat tanggal 17 Juni 1997 di Warung Buncit, Jakarta Selatan. 31 Peristiwa ini menunjukkan adanya penurunan kemampuan intelijen para aktivis PII. Informasi yang seharusnya bersifat sangat rahasia ternyata bisa bocor keluar dalam waktu yang relatif cepat.
b)
Bahwa setiap pemimpin, menurut Moch. Barir, harus berani menanggung resiko. Oleh karena itu, menurutnya, PB PII harus berani mengambil keputusan menyesuaikan diri pada UU Keormasan tanpa harus menunggu pelaksanaan Muktamar. Ketiga, pemerintah tidak akan membubarkan PII karena dikhawatirkan menimbulkan reaksi yang mengarah pada tindak kekerasan. Pembubaran PII hanya akan menimbulkan anggapan bahwa umat Islam memiliki kesalahan kepada pemerintah.
c)
Pemerintah masih memberi peluang kepada PII untuk melakukan registrasi ke Depdagri, meski batas waktu yang ditetapkan telah lewat. Akan tetapi, ada catatan bahwa PII harus mengubah kata “Pelajar” dengan nama atau kata yang lain, meskipun singkatannya tetap PII. Perubahan semacam ini telah dilakukan oleh Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) yang menjadi Ikatan Putra Nahdlatul Ulama (IPNU) dan 31
Rapat yang dimaksud ini agaknya lanjutan Rapimnas di Pasar Jum’at yang menghasilkan Ketetapan Rapimnas Nomor TAP/2/Rapimnas-PII/1987 sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya.
79
Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) yang menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM). 32 Kemudian, pada hari Senin, 27 Juli 1987, Ketua Umum PB PII Chalidin Yakob kembali lagi ke kantor Departemen Dalam Negeri guna membicarakan masalah eksistensi PII dan ia diterima lagi oleh Moch. Barir, Direktur Pembinaan Masyarakat Depdagri. 33 Berpijak dari situasi dan kondisi serta untuk menanggapi pernyataan jajaran elit Departemen Dalam Negeri di atas, Chalidin Yacob meminta wartawan
agar
tidak
mendramatisasi
keadaan.
Lalu,
Chalidin
Yacob
menegaskan bahwa sesuai dengan Anggaran Dasar, PII hanya bisa dibubarkan melalui Muktamar. Sekaligus dijelaskannya pula mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan ketentuan perundangan yang masih berlaku, tetap dalam proses pembahasan. Meskipun situasinya demikian, roda organisasi PII tetap berjalan. Data ketika itu menunjukkan bahwa PII memiliki 26 Pengurus Wilayah dan 1.080 Pengurus Daerah dengan anggota aktif sekitar 4,5 juta orang. 34 Sementara bagi aktivis dan mantan aktivis PII lainnya, persoalan pembubaran PII tidak dipandang sebagai masalah yang serius. Misalnya mantan Ketua Pengurus Wilayah PII Yogyakarta Besar, dr. M. Thoyibi yang menyatakan, bahwa bukan merupakan masalah bila pemberlakuan UU Keormasan membuat PII dianggap tidak ada. Menurutnya, perjuangan menyuarakan aspirasi tidak harus melalui sebuah wadah yang formal. Jadi, kader PII harus bisa memisahkan antara membela wadah dan aspirasi. Bagi dr. M. Thoyibi, sebuah aspirasi tidak harus disalurkan melalui wadah sebab hal itu
32
Catatan pribadi Agus Salim. Tempo,1 Agustus 1987 34 Terbit, 30 Juli 1987 33
80
lebih banyak tergantung pada kemampuan berkomunikasi. 35 Lain halnya bagi Sekretaris Umum Pengurus Wilayah PII Aceh, Jamaluddin Tami, dan Ketua Umum Pengurus Wilayah PII Jawa Tengah, Zubair Syafawi yang mengatakan, bahwa bukan merupakan suatu masalah andaikata PII bubar. Namun begitu, keduanya memandang penting adanya wadah baru semacam PII yang tetap berasaskan Islam. 36 Di tengah polemik tentang keberadaan PII berkaitan dengan ketentuan UU Keormasan, di Jawa Timur justru pemerintah daerahnya memperpanjang batas akhir pendaftaran ulang organisasi kemasyarakatan hingga selama dua tahun berikutnya. Menurut Kepala Direktorat Sosial Politik Jawa Timur, Hasril Harun, kebijakan ini diambil dengan tujuan memberikan kesempatan kepada organisasi kemasyarakatan yang belum mendaftar agar mempersiapkan diri. Di Jawa Timur sendiri, menurutnya, ada 250 buah organisasi kemasyarakatan, tetapi yang mendaftarkan diri ke Direktorat Sosial Politik hingga bulan Agustus 1987 baru 207 organisasi. Ketika batas akhir pendaftaran jatuh tempo tanggal 17 Juni 1987 berdasarkan ketentuan UU Keormasan, jumlah yang mendaftar baru 125 organisasi kemasyarakatan. Menurut Hasril Harun, sebagian besar organisasi kemasyarakatan yang belum mendaftar itu disebabkan karena belum memiliki kelengkapan seperti layaknya organisasi. Juga karena belum mencantumkan asas tunggal Pancasila di dalam Anggaran Dasar (AD)/Anggaran Rumah Tangga (ART). 37 Kondisi di Jawa Timur ini dengan sendirinya menjadi penggagal pernyataan Menteri Dalam Negeri Supardjo Rustam di Jakarta pada tangga121 Juli 1987. 35
Eksponen, No. 43 Th. XV 23 Agustus 1987 Tempo, 1 Agustus 1987 37 Jawa Pos, 27 Agustus 1987 36
81
E.
Sumbangsih Pelajar Islam Indonesia Terhadap Pembangunan Nasional Kiprah dan Pergerakannya telah teruji dan memberi kontribusi yang besar
bagi ummat dan bangsa. Gagasan untuk mendirikan PII adalah upaya untuk menutup adanya jurang pemisah yang sekian lama diciptakan oleh penjajah antara pelajar umum (hasil didikan pola belanda) dengan santri (pelajar Islam) hasil didikan pesantren yang sesungguhnya adalah sama-sama “pelajar” dari keluarga muslim. Adalah Seorang Pelajar bernama Joesdi Ghozali yang menjadi inspirator pembentukan wadah bagi para pelajar Islam yang ketika itu belum terkoordinasi, cita-cita itu dirintis dalam pertemuan di Gedung SMP Negeri II Secodiningratan, Jalan Senopati Yogyakarta dengan dihadiri oleh Joesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani, Amir Syahri, Ibrahim Zarkasji dan Noorsjaf yang menghasilkan kesepakatan pembentukan yang akan diusulkan dalam forum kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang dilangsungkan pada tanggal 30 Maret – 1 April 1947 di Gedung Muallimin, Yogyakarta. Dalam Kongres GPII itulah Anton Timur Djaelani yang menjabat sebagai Pimpinan Pusat GPII bagian pelajar mengemukakan masalah GPII bagian pelajar dan pada saat itulah Joesdi Ghozali mengemukakan ide tentang perlunya organisasi pelajar yang terpisah sehingga kemudian timbullah diskusi diantara para utusan kongres yang sebagian besar akhirnya menyetujui lepasnya GPII bagian pelajar untuk dilebur menjadi Organisasi Pelajar Islam Indonesia. Dalam Kongres itu juga disusun draft AD/ART PII yang dibagikan kepada semua utusan untuk dibahas di daerahnya masing-masing. Pada Hari Ahad, 4 Mei 1947
82
diadakan pertemuan di Gedung GPII, Jalan Margomulyo 8 Yogyakarta yang secara resmi menetapkan AD/ART dan Mendeklarasikan penggabungan beberapa organisasi pelajar seperti Perhimpunan Pelajar Islam Indonesia Yogyakarta (PPII), Gerakan Pemuda Islam Indonesia Bagian Pelajar, Persatuan Pelajar Islam Surakarta (PPIS) dan Persatuan Kursus Islam Sekolah Menengah Surabaya (Perkisem) atas dasar kesamaan azas dan cita – cita. Pada tanggal 4 Mei itulah Pengurus Besar PII Pertama terbentuk dan sejak itulah tanggal 4 Mei dijadikan Hari Kebangkitan PII, disingkat HARBA PII, hari lahirnya kesadaran dan tanggung jawab sebagai Pelajar Islam terhadap agama, nusa dan bangsa. 38
E.1. PII dan Gerakan Amal Sholeh Setelah PKI Bubar dan pemerintahan beralih dari orde lama ke orde baru maka PII mengubah haluannya yakni tidak lagi terjun ke kancah politik praktis dengan kembali kepada ideologi perjuangan semula sebagai organisasi pelajar dengan mengaktulisasikan diri dalam Program GAS (Gerakan Amal Sholeh) yang terkenal dengan slogan Kembali ke Masjid, kembali ke Bangku Sekolah dan Kembali ke Kampung. GAS merupakan usaha PII untuk ikut menanggulangi krisis moral yang melanda generasi muda sekaligus mengarahkan PII untuk bergiat dalam pendidikan dalam rangka membangun bangsa dan negara yang diridhoi Allah SWT.
38
Lihat, Badrut Tamam Gaffas dan Badriyah Handayani, “Pak Timur Menggores Sejarah”, (Penerbit PT. Bulan Bintang, Cetakan I tahun 1997)
83
Sebagai organisasi massa sosial dan pendidikan, PII telah mempunyai suatu sistem latihan yang efektif bagi generasi muda yaitu : 1.
Latihan Kepemimpinan (Leadership Training) bagi para anggotanya dari mulai tingkat dasar sampai tingkat lanjutan
2.
Latihan Kejiwaan (Mental Training) dan pesantren kilat yang terbuka untuk semua generasi muda.
3.
Latihan Kerja Kemasyarakatan (Perkampungan Kerja Pelajar/Pemuda) dan Brigade Pembangunan yang terbuka untuk semua generasi muda.
E.2. PII dan Masa Depan Kepemimpinan Nasional Pergerakan Pelajar Islam Indonesia dengan pemberdayaan potensi pelajar dan generasi muda yang senantiasa diperjuangkannya, menjadikan PII membuka jalan bagi mempersiapkan kader – kader pemimpin yang berkepribadian dan berperadaban Islam. Jadi tidaklah berlebihan jika kini banyak nama – nama alumni PII yang berkiprah dan berperan strategis di berbagai bidang termasuk juga dalam hiruk pikuk pentas politik negeri ini. Meski PII memiliki kedekatan sejarah dan emosional dengan Partai Masyumi yang dikenal sebagai Keluarga Besar Bulan Bintang namun PII maupun Keluarga Besar PII tetap independen dan tidak ber-afiliasi pada salah satu partai politik tertentu. Kendati sebagian besar mantan petinggi PII melabuhkan pilihan politiknya kepada PBB (Partai Bulan Bintang / Partai Bintang Bulan) diantaranya Dr. Anwar Haryono, Hussein Umar, Abdul Qodir Djaelani, Hartono Marjono, dan banyak yang tidak tersebutkan namun tidak sedikit mantan aktivis PII yang berkiprah di partai lain seperti AM
84
Saefuddin dan Husni Thamrin di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Abdul Hakam Naja dan AM Fatwa di Partai Amanat Nasional (PAN) dan beberapa diantaranya juga menjadi deklarator dan pimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) seperti Mutammimul Ula. Dan beberapa alumni PII yang kini banyak menjabat sebagai menteri-menteri dalam kabinet beberapa periode kebelakang setelah reformasi, dalam bidang kebudayaan kita punya tokoh seorang Taufik Ismail, Kuntowidjoyo. Di bidang pendidikan banyak tokoh-tokoh yang memberikan kontribusi dalam pengembangan lembaga-lembaga pendidikan di tanah air seperti Dr Arief Rahman, Utomo Dananjaya, dan beberapa alumni yang ada didaerah-daerah dipelosok tanah air. 39 Maka jelas bahwa, dibalik fakta ini PII sebagai organisasi pelajar dituntut untuk tampil independen dan tidak larut dalam pragmatisme politik sebab PII dengan Gerakan Amal Sholeh-nya senantiasa dinanti kiprah dan sumbangsih-nya dalam mempersiapkan kader-kader ummat dan bangsa yang berkepribadian Islami.
39
Badrut Tamam Gaffas dan Badriyah Handayani, “Pak Timur Menggores Sejarah”, (Penerbit PT. Bulan Bintang, Cetakan I tahun 1997)
BAB V KESIMPULAN
Tak terejawantahkan lagi sebagai organisasi yang lahir pada masa mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, PII telah menunjukan komitmennya yang besar terhadap keberlangsungan hidup bangsa dan negara. Bahkan pada awal-awal pergerakannya, sesuai dengan konteks ketika itu, gerak PII lebih banyak diwarnai oleh keikutsertaannya- bersama komponen bangsa yang lainmempertahankan kemerdekaan Sebagaimana telah dijelaskan pada setiap bab dalam skripsi ini dapat disimpulkan, bahwa kehadiran PII tidak dapat dilepaskan dari konteksnya sebagai bagian dari gerakan Islam pada umumnya dan pergerakan yang berorientasi keIndonesia-an pada khususnya. Dengan latar belakang dan motivasi ke-Islam-an PII coba mensikapi apa yang terjadi di bumi Nusantara atas segala keterpecahbelahan umat Islam. Hingga lahirlah apa yang di kenal dengan pelajar umum dan pelajar santri, kemudian berkembang memberi motivasi yang lebih lugas, sebagai respon atas modernisasi yang dijalankan negara Orde Baru. Sebagaimana organisasi Islam lainnya, PII di sisi lain berupaya memoderenkan umat Islam sekaligus mensikapi modernisasi yang berjalan akibat persentuhan umat Islam dengan nilai-nilai Barat. Dalam hal ini di kenal dengan sebutan developmentalism (pembangunanisme), atau tepatnya developmentalism yang direvisi. Sudah umum di ketahui bahwa setiap organisasi apapun bentuk visi dan misinya, dalam perjalanannya akan mengalami pasang surut hal ini terjadi karena
69
86
adanya pengkaderan. Pengkaderan menjadi model yang dikembangkan PII dalam perjalanannya ternyata bertentangan dengan model masyarakat yang diinginkan oleh negara Orde Baru. Pertentangan itu berada pada dua level. Pertama, dari sisi pandangan keagamaan dan ideologi, Orde Baru mengembangkan nilai-nilai modernis-sekuler sehingga agama cenderung dipandang sebagai variabel yang terlepas jauh dari politik dan kenegaraan. Bahkan, agama (Islam) dianggap sebagai ancaman. Orientasi pembangunan ekonomi Orde Baru juga tidak memberi tempat yang cukup bagi agama kecuali bila dapat direkayasa untuk kepentingn politik pembangunannya. Kedua, dari sisi hubungan negara dengan masyarakat, Orde Baru mengembangkan pola hubungan yang hegemonik sebagaimana telah ditunjukkan pada berbagai model kepolitikan Orde Baru di Bab I, II, dan III. Untuk merespon hubungan yang hegemonik ini PII lebih mengembangkan sikap, oposisi secara kritis seperti tampak dalam dua dekade awal perjalanan negara Orde Baru.
SARAN-SARAN Akhir dari studi ini penulis berupaya mengkrucutkannya secara spesifik, bahwa PII sebagai kelompok yang secara terus menerus mengembangkan penguatan independensi dan nilai-nilai demokrasi ternyata tetap tidak berdaya berhadapan dengan Negara atau rezim Orde Baru yang mengembangkan pola hubungan hegemonik terhadap rakyatnya. Hal ini berlangsung justru bersamaan dengan penguatan nilai-nilai PII yang didasarkan pada prinsip-prinsip pokok seperti aqidah dan ideologi Islam. Meski demikian saran yang dapat penulis sampaikan, bahwa kita sebagai
87
warga dan bangsa Indonesia yang mencintai tanah airnya hendaklah tidak melupakan sejarah, walau di dalamnya mengandung sebuah nilai kejahatan atau kebaikan, apapun peninggalannya, keduanya mengandung nilai pembelajaran dan pengetahuan, sebagai wawasan untuk generasi berikutnya agar tidak melupakan sejarah sebuah bangsa. Sebab bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdi, Muchil., Pengaruh Training PII Terhadap Kepribadian Muslim, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1987.
Adi Prasetyo, Stanley, (eds.) Memoar Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Soekarno, Jakarta: Hasta Mitra, 1995.
Cahyono, Heru, Peranan Ulama Dalam Golkar 1971-1980, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992.
Darban, Adby, Ahmad, Sejarah Lahirnya Pelajar Islam Indonesia Yogyakarta : Panitia Daerah Muktamar XIV Pelajar Islam Indonesia, 1976.
Djaelani, A.Q., Musuh-Musuh Islam Melakukan Ofensif Terhadap Ummat Islam Indonesia, Sebuah Pembelaan, Jakarta: Masyarakat Pelajar Press, 1985.
Djuwaeni , Ahmad, Khittah Perjuangan dan Majelis Dakwah PII, Sebuah Upaya Menegaskan Missi, Jakarta, 12-13 Juni 1997.
Effendy, Bachtar., Merambah jalan baru Islam, Rekontruksi Pemikiran Islam Indonesia masa Orde Baru, Bandung: Mizan,1986.
Gaffar Affan, Islam Dalam Era Orde Baru, Mencari Bentuk Artikulasi yang Tepat, Ulumul Qur’an, Vol. IV, 1993.
HA. Halim MA Tuasikal, Sejarah PII Dari Kongres Ke Kongres, Tahun II Nomor 1, Januari 1956.
74
75
Habibullah, Tinjauan Terhadap Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Sejarah Perjuangannya Sebagai Organisasi Kader, Pendidikan, dan Dakwah, Jakarta, Desember 1986.
Hanan, Djayadi, Gerakan Pemuda Islam Di Bawah Bayang-Bayang Negara, Yogjakarta:PB PII & UII Press, 2006.
Hassan, Kamal, Muhammad, Modernisasi Indonesia, Respon Cendikiawan Muslim, Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987.
Hatta, Muhammad, Uraian Pancasila, Jakarta, Mutiara, 1978.
Ismail, Taufik, Kisah Berserakan Sekitar PII, Dari Fail Pribadi, 1947-1965, Artikel Lima Puluh Tahun PII, 1998.
J. Benda, Harry, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Jakarta : Pustaka Jaya, 1980.
Jauhari, Muhamad., Konsep Kader PII, Jakarta: Panitia CIN, 1982.
Kamal Hasan, Muhammad, Modenisasi Indonesia, Respon Cendikiawan Muslim, Jakarta: Lingkar Studi Indonesia, 1987.
Lukman, S.H, Pak Timur Menggores Sejarah, PII Menyiapkan Kader Ummat dan Bangsa, Jakarta : Bulan Bintang, 1997.
Ma’roov (eds.), Pilar Dasar Gerakan PII, Dasa Warsa Pertama Pelajar Islam Indonesia, Jakarta : Karsa Cipta Jaya, Mei 1998.
Mardjono, Hartono, S.H Advanced Leadership Training PII , Jakarta, Juni 1991.
Martin, Lipset, Seymour, Political Man, The Social Basis of Politics, Garden City, New York: Anchor Books, 1963.
76
Mas’oed, Mochtar,
Negara, Kapital, dan Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1994.
Muhaimin, Yahya, Kemana Mobilitas Sosial, makalah seminar HIPIS di Palembang, Maret 1984.
Mulkhan, Munir, Abdul, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam 1965-1987 Dalam Perspektif Sosiologis, Jakarta : Rajawali Pers, 1991.
Moertopo, Ali, Strategi Politik Nasional, Jakarta: CSIS, 1974,
Muzakkir, Perjuangan PII Ditinjau Dari Segi Dakwah di Indonesia, Yogyakarta, 1979.
Nasution, A.H. Peranan PII Dalam Penumpasan PKI, Pengalaman Pribadi Seorang Jenderal, PII, 27 Juni 1997.
Natsir, Mohammad, Capita Selecta, Jakarta : Pustaka Pendis, 1957.
Nelson, Joan, Partisipasi Politik Di Negara Berkembang, terj. Jakarta: Rineka Cipta, 1994. Noer, Deliar, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal, Jakarta: Yayasan Pengkhidmatan, 1983.
Rahrdjo, M. Dawam, Basis Sosial pemikiran Islam di Indonesia sejak Orde Baru, Prisma No. 3, Maret 1981.
Saefuddin Anshori, Endang, Pancasila Sebagai Dasar Negara RI: Merupakan Hasil Puncak Kesepakatan Nasional,” dalam Peraturan Agama Dalam Pemantapan Ideologi Negara Pancasila, Departemen Agama RI: Jakarta, 1985.
77
Sri Syamsiar Issom, Upaya Mobilisasi Kader PII Putri Menjawab Tantangan Situasi, Jakarta, 31 Maret 1998.
Stoddard, F.L., Dunia Baru Islam , Jakarta : Gunung Agung, 1966.
Suminto, Aqib, H, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta : LP3ES, 1986.
Suryadinata, Leo, Golkar dan Militer, Studi Tentang Budaya Politik, Jakarta: LP3ES, 1992.
Syafii Maarif, Ahmad, Studi tentang Percaturan Dalam Konstituante. Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta, LP3ES, 1996.
Taufik Dahlan., Sistem Kaderisasi PII, Jakarta: Panitia CIN, 1982.
Timur Djaelani , Anton, Kebangkitan PII 4 Mei 1947, Dari Bangku Sekolah Ke Organisasi, 30 April 1997.
Ula, Mutamimul., Kepemimpinan Dalam Islam, Jakarta: STDI RISKA, 1986.
________,
Ensiklopedia Islam di Indonesia, Jakarta: Departemen Agama, Jilid III 1993.
________,
Documenta Selecta, Pelajar Islam Indonesia, PB PII.
________,
Tim IAIN Ensiklopedi Islam Indonesia Jakarta: Djambatan, Jilid I, 1992.
________,
Tempo, Nomor 46 Tahun 1988.
________,
Undang-Undang Keormasan, Nomor 8 Tahun 1985.
________,
PII, Pokok-pokok pikiran PB PII tentang Penyusunan UndangUndang Keormasan, Jakarta: Rapimnas, 1984.
________,
Muktamar Nasional ke-20 PII, Jakarta, 1995.
78
________,
Republika, 20 Januari dan 24 Juni 1997.
________,
Suara Merdeka, 4 Mei 1996.
________,
Berita Pelajar Islam Indonesia, PB PII Bagian Penerangan, 1960.
________,
Berita Pelajar Islam Indonesia, Januari 1956.
________,
Tafsir Asasi PII Hasil Kongres V, Ngabean, Yogyakarta.
________,
HMI MPO Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, Bandung : Mizan, 1997.
________,
Paduan Training PII, Jakarta: POIN, 1979.
________,
PB PII, Kumpulan Keputusan dan Ketetapan Muktamar Nasional ke-21 PII, Jakarta,1998.
________,
Departemen Agama, Pedoman Pembinaan Masjid, 1981.
________,
TAP MPR RI 1983, Deppen RI, 1985.
________,
UU No.3 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, 1975
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Nama Tempat, Tanggal lahir NIM Jurusan/Prodi Program Judul skripsi
BIODATA CALON WISUDA : Mirzan Insani : Tegal, 12 maret 1981 : 201033200785 : Study Ilmu politik : Strata Satu (S.1) : DINAMIKA PERJUANGAN PELAJAR ISLAM INDONESIA DI ERA ORDE BARU
7. Pembimbing 8. Penguji 9. Tanggal lulus 10. Nomor Ijazah 11. Indeks Prestasi/yudisium 12. Jabatan dalam oraganisasi Kemahasiswaan
13. Alamat Asal
14. Alamat Sekarang
15. Nama Ayah 16. Pendidikan Terakhir Ayah 17. Pekerjaan Ayah 18. Nama Ibu 19. Pendidikan Terakhir Ibu 20. Pekerjaan Ibu
: Dr. Sirojuddin Aly, MA : Dra. Haniah Hanafie, M,Si Drs. Agus Nugraha, M,Si : 12 Maret 2010 : : 3, 22/ Amat Baik : 1. Ketua Pelajar Islam Indonesia Daerah Ciputat (2005-2007) 2. Ketua UKM Teater Syahid (2006-2008) 3. Ketua Bela Diri Pernapasan “MAHATMA” cabang UIN (2008-sekarang) : RT/RW: 03/08 Desa: Jatilaba Kecamatan: Margasari Kabupaten: Tegal - Jawa Tengah 52463 Telp: 081808694311 : JL Abdul Ghani komplek Perkebunan No. 46 Cempaka Putih Ciputat Timur- Tangerang Selatan-Banten Telp: 081808694311 : Sujono : D2 pendidikan : Kepala Sekolah Dasar Negeri Jatilaba 03 : Royanah : SD : Dagang
Jakarta, 18 Maret 2010 Calon Wisudawan
Mirzan Insani NIM: 201033200785