Analisis Sejarah, Volume 4, No. 2, 2014
© Labor Sejarah, Universitas Andalas
DI BAWAH KUASA BERINGIN: KONSOLIDASI GOLKAR DI PESISIR SELATAN DARI ERA ORDE BARU KE ERA REFORMASI Ari Febrianto Peneliti Politik Laboratorium Sejarah Universitas Andalas Padang.
Abstrak Golongan Karya (Golkar) pada masa Orde Baru merupakan satu-satunya kekuatan politik yang didukung penuh oleh pemerintah. Pada masa ini Golkar disebut sebagai partai pemerintah yang berkuasa selama tiga dasawarsa. Sehingga kemudian Golkar menjelma menjadi mesin pemilu yang meraup mayoritas suara rakyat. Hal ini juga berlaku di Pesisir Selatan (Pessel), dalam setiap pemilu di Pessel pada masa Orde Baru beringin tetap menjadi pemenangnya. Setelah Orde Baru mengalami kegagalan politik yang serius di tengah krisis ekonomi yang melilit bangsa ini, rezim Soeharto mendapatkan tekanan dari rakyat untuk mewujudkan reformasi yang memang sudah menjadi tujuan utama penggulingan ini. Sebagai pelindung utama Golkar, rezim Orde Baru berakhir dengan tuntutan reformasi yang semakin kuat dan banyak pihak yang telah mengatakan bahwa Golkar akan mengalami kehancuran juga seiring dengan kemunduran Soeharto, namun sebaliknya Golkar ternyata mampu bertahan di tengah guncangan politik yang begitu kuat, terbukti ketika pemilu pertama dan kedua di era reformasi dilaksakan Golkar Pessel mampu meraup suara terbanyak. Namun pada Pemilu 2009 untuk pertama kalinya Partai Golkar kalah di Pessel. Kata kunci: Golkar, Orde Baru, Reformasi, Eksistensi
~ 3535 ~
Analisis Sejarah, Volume 4, No. 2, 2014
© Labor Sejarah, Universitas Andalas Pendahuluan Dalam iklim demokrasi kehadiran partai politik menjadi sesuatu yang signifikan, dan tidak dapat disangkal lagi bahwa partai politik menjadi roda penggerak jalannya sebuah pemerintahan di era demokratisasi. Tidak ada sistem politik yang berjalan tanpa partai politik, kecuali sistem politik otoriter atau kekuasaan tradisional, di mana raja atau penguasa menjalankan pemerintahannya didukung oleh tentara dan polisi.1 Menilik kembali sejarah sistem politik masa Orde Baru di Indonesia, terlihat Golkar (Golongan Karya) menjadi satu-satunya kekuatan politik yang mendukung penuh pemerintahan. Pada masa itu Golkar juga disebut sebagai “partai pemerintah” (the ruler’s party) yang berkuasa selama 32 tahun. Golkar sepanjang masa Orde Baru muncul sebagai kekuatan politik tak terbendung dan dipandang sebagai organisasi yang menyentuh semua golongan dengan dukungan ABRI dan birokrat yang kemudian bisa menghimpun segala potensi yang ada di masyarakat.2 Tidak mengherankan kemudian Golkar selalu keluar sebagai pemenang dalam setiap pemilu masa Orde Baru di Pessel. Fenomena ini pada mulanya merupakan suatu kejutan politik yang cukup menarik, karena daerah Pessel sebelumnya merupakan basis partai Islam terutama Masyumi dan Perti. Kehadiran Golkar sebagai partai baru memang tidak diperkirakan sebelumnya akan mampu meraih suara lebih dari separoh peserta pemilu.
1
Akbar Tanjung. The Golkar Way Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi.(Jakarta: Gramedia, 2007), hal. 1. 2 Mestika Zed, et. al Sumatera Barat di Panggung Sejarah 1945-1995 ( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), hal. 243.
Pertengahan tahun 1997 gerakan reformasi di Indonesia semakin menguat. Krisis moneter dan krisis kepercayaan melanda Indonesia, dan pemerintah tidak berdaya untuk mengatasinya. Padahal Orde Baru sebelumnya dianggap sebagai pemerintahan yang berhasil membangun perekonomian dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Ketidakmampuan dalam menangani krisis moneter, ekonomi, dan politik membuat Soeharto dan rezim Orde Baru mengalah pada tuntutan rakyat. Dengan kejatuhan Soeharto sebagai pilar utama Golkar, maka banyak golongan yang memprediksi Golkar akan mengalami kemunduran dan bahkan kehancuran seiring dengan hancurnya rezim Orde Baru. Ternyata yang terjadi adalah di luar dugaan, dalam situasi yang tidak menguntungkan ini Partai Golkar akhirnya mampu memperoleh suara terbesar kedua pada pemilu 1999, setelah PDIP, dengan perolehan suara secara nasional 23.741.749 (22,4 %).3 Namun lain halnya dengan daerah Pessel sendiri sebagai basis utama, Partai Golkar mendapatkan suara terbesar dengan perolehan suara 42.566 (27,9 %) mengungguli pesaingpesaingnya yakni PPP dengan jumlah suara 35.467 (23,4 %) dan PAN dengan suara 34.371 (22,5 %), sedangkan PDIP hanya memperoleh suara 22.196 (14,6 %). 4 Keberhasilan Golkar untuk tetap hidup ini menjadi hal yang luar biasa dan banyak menjadi perhatian karena mampu meraih suara kedua pada Pemilu 1999 di tingkat nasional, tapi tetap eksis di Pessel dan menjadi pemenang pada Pemilu tahun 2004. Hal ini menjadi sangat menarik untuk ditinjau lebih jauh mengenai 3
Ibid., Akbar Tanjung., hal. 12. Lihat Suara DPD Golkar Pessel Pada Pemilu Tahun 1999. 4
~ 3636 ~
Analisis Sejarah, Volume 4, No. 2, 2014
© Labor Sejarah, Universitas Andalas kehidupan politik dan kepartaiannya. Namun akhirnya dalam pemilu yang dilaksanakan pada tahun 2009 kedudukan Partai Golkar sebagai juara bertahan dapat digusur oleh pesaing baru yakni Partai Demokrat, berdasarkan hasil perhitungan suara pada Pemilu 2009 Partai Demokrat keluar sebagai pemenang pemilu dengan perolehan suara 31. 787 dan Golkar sendiri hanya menduduki peringkat kedua dengan jumlah suara 26.728.5 Awal Golkar di Pesisir Selatan Benar memang pada masa awalnya Golkar masih belum dikenal oleh masyarakat Pessel dan belum sepenuhnya terorganisir dengan baik. Ternyata kondisi dan situasi yang sama juga dirasakan oleh partai politik lainnya, hal ini tidak terlepas dari belum pulihnya keadaan daerah ini pasca pergolakan PRRI dan G.30.S/PKI. Pasca PRRI sampai peristiwa G.30.S/PKI melanda, nyaris kekuatan militer dan PKI yang menguasai daerah Pessel. Kekuatan sebelumnya yang menguasai Pessel seperti Masyumi sudah dibubarkan karena dianggap terlibat pemberontakan PRRI. Hanya militer salah satu kekuatan yang terorganisir dengan baik, maka ada keinginan untuk menggerakkan kembali kekuatan sosial politik dan Golkar adalah salah satu yang menjadi perhatian masyarakat. Sehingga akhirnya banyak tokoh politik dan agama yang lebih memilih Golkar.6 Pada awalnya memang sulit menjatuhkan pilihan memihak Golkar, dalam keadaan yang tidak 5
Ibid. Wawancara dengan Moesni Oedin, kader Golkar Bidang Peranan Wanita periode 1974-1978 sekarang sebagai penasehat DPD Partai Golkar Pessel, di Painan tanggal 18 Oktober 2013. 6
menguntungkan bagi partai politik lain, maka masyarakat menyimpulkan bahwa dengan memilih Golkar lebih baik saat itu. Golkar sebenarnya masih sangat hijau dalam percaturan politik di Pessel, jangankan untuk persiapan pemilu pertama pada masa Orde Baru, dalam kepengurusannya pun masih belum bisa diandalkan, namun ada tuntutan untuk menang dalam Pemilu tahun 1971. Maka Golkar dengan segenap upaya mencoba mempersiapkan diri menjadi salah satu kontestan pesta demokrasi tersebut. Golkar yang berawal dari Sekber Golkar dengan pimpinan pertamanya adalah Darwis Rangkayo Mudo saat itu menjabat sebagai anggota DPRGR Pessel bersama Alwis Darwis. Darwis Rangkayo Mudo dan Alwis Darwis menjadi tokoh yang penting dalam penegakan politik terutama Golkar di Pessel. Kemudian pada tahun 1971 mantan Dandim 013 Pessel Iskandar terpilih menjadi Ketua DPD Golkar Pessel periode 1971-1978.7 Konsolidasi Golkar Menurut Moesni Oedin, menjelang dan sebelum Pemilu 1971, Golkar bisa dikatakan masih belum terlihat, dan bahkan belum memiliki sekretariat. Dengan situasi yang sulit itu Iskandar sebagai ketua Golkar memiliki tanggung jawab besar untuk memenangkan pemilu yang di depan mata. Golkar harus menang dan itu memang bukan pekerjaan yang mudah, maka dimulailah beberapa strategi dan usaha untuk memenangkan pemilu tersebut. Langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan pendekatan terhadap tokoh-tokoh masyarakat seperti ninik mamak dan alim ulama. Saat itu Buya Makrifat sebagai salah satu tokoh ulama yang berpengaruh di Pessel dirangkul dan 7
Wawancara dengan Moesni Oedin di Painan tanggal 18 Oktober 2013.
~ 3737 ~
Analisis Sejarah, Volume 4, No. 2, 2014
© Labor Sejarah, Universitas Andalas digerakkkan untuk melakukan pendekatan kepada kalangan ulama. Darwis Rangkayo Mudo juga mengambil peran dalam mendekatkan diri kepada tokoh-tokoh adat dan kalangan ninik mamak. Sedangkan Alwis Darwis juga berperan dalam pendekatan kepada para guru, salah satu yang direkrut dan akhirnya bergabung dengan Golkar adalah Moesni Oedin.8 Sementara itu Iskandar sebagai Ketua Golkar juga melakukan pendekatan ke berbagai kalangan terutama kepada kalangan pejabat dan politisi lokal, antara lain kepada Anas Catur9 dan Asril Zakaria.10 Dengan dukungan berbagai pihak dan golongan ini akhirnya Golkar dapat memiliki pandangan yang baik tentang peta perpolitikan di tingkat Pessel. Jika semua kalangan dan golongan sudah diajak dan mendapatkan peran masing-masing, maka tidak akan ada lagi “harimau” yang dapat mengancam kehadiran dan kedudukan Golkar di Pessel selagi tujuan utama mereka sama yakni persatuan ke dalam NKRI.11 Sehingga kehadiran Golkar di Pessel akhirnya dapat disambut baik oleh semua kalangan masyarakat dan itu terbukti dengan kemenangan mutlak Golkar (86,73 %) hasil Pemilu tahun 1971. Jika ditinjau dari hasil Pemilu 1955, mayoritas adalah pendukung partai Islam yang terkelompok dalam beberapa organisasi seperti 8
Moesni Oedin, sebagai salah seorang guru SMP 1 Painan. 9 Anas Catur merupakan salah satu politisi senior di Pessel dan dikenal juga sebagai salah satu pemikir politik yang disegani di tingkat Pessel. 10 Asril Zakaria, seorang politisi yang disegani dan mempunyai pengaruh cukup baik di Pessel. 11 Wawancara dengan Moesni Oedin, di Painan tanggal 18 Oktober 2013. Moesni menjadi ketua HWK (Himpunan Wanita Karya) selama tiga periode berturut-turut.
Muhammadiyah, Tarbiyah, Perti dan yang lainnya. Namun di Pessel Muhammadiyah adalah salah satu organisasi yang memiliki pengaruh paling kuat. Berdasarkan pengamatan kunci sukses konsolidasi Golkar adalah memutuskan untuk mendekati semua kalangan yang ada tanpa pemaksaan, boleh berbeda organisasi, boleh beda ideologi dan boleh berbeda pendapat, namun Golkar mempunyai satu tujuan yakni mempersatukan kembali NKRI dengan Pancasila sebagai acuannya. Sehingga dengan gaya pendekatan inilah akhirnya Golkar mampu meraih suara mayoritas dalam setiap pemilu masa Orde Baru di Pessel. Namun kemudian bergulirnya reformasi membawa perubahan besar bagi Golkar karena banyak kalangan menyalahkan Golkar dan pembubaran Golkar menjadi sasaran utamanya. Namun akhirnya seiring dengan perubahan nama Golongan Karya menjadi Partai Golkar, konsolidasi di Pessel berhasil menempatkan Partai Golkar sebagai pemenang Pemilu 1999 dengan perolehan 27,9 persen, menyusul PPP dengan 23,4 persen. Kemudian dalam Pemilu 2004 Partai Golkar juga mencatatkan diri sebagai penguasa di Pessel dengan 26,27 persen, diikuti PAN 13,57 persen, namun ketika pemilu ketiga pada masa reformasi bergulir untuk pertama kalinya dalam sejarah Partai Golkar tumbang di Pessel oleh Partai Demokrat. Pers dan Kekalahan Golkar Kekalahan ini merupakan kekalahan pertama Partai Golkar dalam pemilu di Kabupaten Pessel dalam kurun waktu 1971 sampai 2009 (Orde Baru dan Reformasi). Kekalahan di daerah basis utama tentu sangat menyakitkan dan mengundang beberapa pertanyaan yang harus dijawab secara kritis.
~ 3838 ~
Analisis Sejarah, Volume 4, No. 2, 2014
© Labor Sejarah, Universitas Andalas Untuk menjawab pertanyaan pelik itu, kiranya perlu disadari bahwa terdapat beberapa indikasi yang dapat digunakan dalam menganalisis persoalan ini salah satunya adalah kehadiran Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai pimpinan Partai Demokrat yang menjelma sebagai sosok yang digadangkan akan mampu merubah masa depan bangsa.12 Media massa menampilkan SBY sebagai salah satu tokoh kompeten yang teraniaya dan patut mendapatkan perhatian, ternyata memang terbukti lebih efektif karena dalam waktu relatif singkat SBY dan Partai Demokrat dapat menarik perhatian masyarakat, terutama di Pessel. Kemudian media massa juga memainkan peran penting dalam kemenangan Partai Demokrat, dalam kurun waktu 2004 dan 2009 Partai Demokrat semakin kuat dan berkembang, walaupun sebelumnya pada masa Soeharto dunia pertelevisian dipegang dan dikendalikan oleh para kader Golkar. namun setelah reformasi mulai berkurang dan kepemilikan mulai beragam seiring perjalanan demokratisasi di republik ini, tak heran kemudian banyak parpol yang mencoba memanfaatkan ini untuk mengenalkan diri kepada masyarakat. Media massa ternyata ampuh dalam melakukan promosi parpol karena sebagian besar masyarakat pedesaan sudah mengenal dan memanfaatkan televisi sebagai sarana hiburan paling murah dan bisa dinikmati setiap waktu. Partai Demokrat hadir dengan wajah baru tapi dengan strategi baru, kampanye lewat media massa adalah salah satu cara instan mengenalkan Partai Demokrat kepada masyarakat luas. Salah satu iklan partai pemenang Pemilu 2009 ini adalah slogan 12
Wawancara dengan Alirman Sori, Ketua DPD Partai Golkar Pessel periode 2009-2015, di Padang tanggal 10 Desember 2013.
kampanyenya secara meyakinkan berbunyi ”Katakan ’Tidak’ pada Korupsi”.13 Dengan melakukan penekanan yang pas ketika bangsa ini semakin terpuruk dengan maraknya beberapa kasus korupsi. Partai Demokrat hadir seolah-olah sebagai pahlawan pembawa angin perubahan ke arah yang lebih baik. Beberapa kesempatan juga dimanfaatkan oleh kader partai untuk melakukan dialog dan diskusi terbuka di media massa akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan sebuah partai politik dalam pemilu yang akan dihadapi, sikap masyarakat Pessel yang terbuka dan dengan kehadiran Partai Demokrat yang seolah-olah sebagai penyelamat telah menyentuh bagi masyarakat Pessel dan Sumbar secara keseluruhan. Hal ini juga berkaitan dengan daerah Pessel yang dulu masih dianggap lemah dalam hal mendapatkan informasi tentang partai politik yang akan bersaing dalam setiap kali pemilu, dengan pemanfaatan dan permainan kekuasaan Partai Golkar selalu menjadi pilihan utama masyarakat, tapi kemudian akses informasi semakin cepat dan informasi bisa didapatkan dengan mudah, salah satunya melalui media massa yang secara aktif menyuarakan pemikiranpemikiran beberapa tokoh dan analisis terhadap beberapa persoalan bangsa membuat masyarakat mulai berfikir dan mulai merasakan diri telah keluar dari kungkungan yang selama ini mendoktrin akan kebenaran sesuatu itu mutlak. Kemudian persoalan lain yang membuat Partai Golkar tidak lagi mendapatkan suara mayoritas di daerah basisnya, karena selama ini 13
Ikrar Nusa Bhakti, “Skenario Indonesia 2050: Hancur atau Berjaya?” Kompas, 5 Juli 2011.
~ 3939 ~
Analisis Sejarah, Volume 4, No. 2, 2014
© Labor Sejarah, Universitas Andalas setiap janji-janji kampanye yang dilontarkan oleh para kandidat Golkar selalu dipenuhi dan ini tidak terlepas dari dukungan penuh pemerintah Orde Baru, tapi kemudian semenjak reformasi janji-janji manis kampanye hanya tinggal janji dan sangat minim dapat terwujud, sehingga kekecewaan masyarakat terhadap beberapa kader Partai Golkar inilah yang juga menjadi salah satu faktor penyebab berkurangnya suara Golkar di Pessel. Selain itu hal yang membuat Partai Golkar Pessel tersingkir dari posisi juara adalah masalah kepemimpinan yang selama Orde Baru memang adalah orang-orang yang memiliki kemampuan “seni” dalam memimpin, pemimpin di masa Orde Baru dilihat dari senioritas, loyalitas dan pengabdiannya kepada partai selama ini, namun selama periode reformasi perebutan kursi ketua DPD Partai Golkar Pessel seakan menjadi persaingan tersendiri bagi setiap kader yang merasa masing-masing mempunyai hak dan kepentingannya tidak lagi kesejahteraan rakyat, namun dibalik itu ada misi-misi personal yang ingin dicapai. sehingga akhirnya Partai Golkar tidak lagi menjadi raja di daerah basisnya. Kesimpulan Golkar (Golongan Karya) di masa Orde Baru lahir sebagai satusatunya kekuatan politik terbesar karena didukung oleh pemerintah dan ABRI. Kekuatan ini menjadi begitu nyata ketika memenangkan pemilu 1971 baik secara nasional maupun daerah, terutama di Pessel. Kemudian secara berturut-turut Golkar keluar sebagai pemenang dalam setiap pemilu masa Orde Baru. Gerakan reformasi karena krisis moneter dan ekonomi yang tak terkendalikan membuat keguncangan pemerintahan Orde Baru yang
berbuntut pada kemunduran Soeharto sebagai penguasa Orde Baru. Kejatuhan rezim Orde Baru ini berdampak besar terhadap keberlangsungan hidup Golkar di masa depan, banyak pihak yang memprediksi Golkar mengalami kemunduran bahkan kehancuran seiring jatuhnya sang dewa pengatur Orde Baru ini. Terlihat ketika pemilu pertama di era reformasi bergulir pada tahun 1999 diluar prediksi semua orang Partai Golkar ternyata masih mampu meraih suara sempurna dengan perolehan suara 42.566 suara (27,9 %), disusul PPP 35.647 suara (23,4 %), PAN 34.371 suara (22,5 %), PDIP dengan 22.196 (14,6 %). Kemenangan ini menunjukkan bahwa masyarakat Pessel masih percaya kepada Partai Golkar untuk tetap memimpin walaupun persaingan suara kompetitif dan kemenangan Partai Golkar hanya kemenangan ringan, tapi tetap saja Partai Golkar keluar sebagai pemimpin. Kemudian pada pemilu kedua era reformasi pada tahun 2004 Partai Golkar kembali mendapat kepercayaan penuh dari masyarakat Pessel dengan memperoleh suara dengan kemenangan besar 47.226 suara, kemudian disusul oleh Partai PAN dengan jumlah suara 24.401, PPP 16.328, PBR 13.551. kemenangan ini membuat Partai Golkar kembali menemukan rohnya di Pessel. Tapi ketika Pemilu 2009 Partai Golkar akhirnya mampu ditumbangkan sebagai partai penguasa di Pessel oleh partai pendatang baru, berdasarkan perhitungan suara pemilu 2009 Partai Demokrat sebagai pesaing baru berhasil tampil dipanggung kemenangan pemilu dengan jumlah suara 31.787 dengan 7 kursi di DPRD, disusul oleh Partai Golkar dengan hanya memperoleh suara 26.728 dengan perolehan 6 kursi di DPRD.
~ 4040 ~
Analisis Sejarah, Volume 4, No. 2, 2014
© Labor Sejarah, Universitas Andalas
[] Daftar Pustaka Abdullah, Taufik. 1983. ”Sebuah Pengantar”, dalam Taufik Abdullah, Manusia Dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3S. Abdullah, Taufik. 1990. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Asnan, Gusti. 2006. Pemerintahan Daerah Sumatera Barat Dari VOC Hingga Reformasi. Yogyakarta: Citra Pustaka. Budiardjo, Miriam. 1986. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. Gootschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI press. Kahin, Audrey. 2005. Dari Pemberontakan Ke Integrasi : Sumatera Barat dan Politk Indonesia 1926-1998. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. dan George McTurnan Kahin. 1997. Subversi sebagai Politik Luar Negeri : Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti. Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: PT Tiara Wacana. M. Zaidun. “Faktor-faktor Penyebab Munculnya Kekerasan Politik Selama Pemilu 1999”. Jurnal Penelit Din. Sos Volume 1 No. 1 April 2000. Ricklefs, M. C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi. Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Syafrizal, “Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat Dari Demokrasi Terpimpin Hingga Awal Orde Baru 1959-1971”, Jurnal Analisis Sejarah Volume 3 Maret 2012. Tandjung, Akbar. 2007. The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi. Jakarta: Gramedia. Wirodono, Sunardian. 1995. Gerakan Politik Indonesia: Catatan 1994. Jakarta: Puspa Swara. Zed, Mestika, et al., 1998. Sumatera Barat Dalam Panggung Sejarah 1945-1995. Jakarta: Sinar Harapan. Singgalang, 19 Maret 1977- 25 April 1992. Tempo, 25 Agustus- 27 Oktober 1984. Waktu, 11 Juli 1958. Kompas, 8 Agustus 1981-30 Januari-2 Desember 1991-9 Mei 1992, 5 Juli 2011.
~ 4141 ~