Skripsi PERBANDINGAN KEKUATAN POLITIK MILITER ERA ORDE BARU DENGAN ERA REFORMASI
OLEH:
KIKI NAMIRA 040906038 ILMU POLITIK Dosen Pembimbing Dosen Pembaca
:Warjio, S.S,MA :Drs. Zakaria Taher, M.SP
DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1 2. Perumusan Masalah............................................................................. 17 3. Pembatasan Masalah ........................................................................... 17 4. Tujuan Penelitian ................................................................................. 18 5. Manfaat Penelitian ............................................................................... 18 6. Dasar-Dasar Teori ................................................................................ 19 6.1. Definisi Kekuatann Politik .............................................................. 19 6.2. Milter Sebagai Kekuatan Politik ..................................................... 20 6.3. Dwi Fungsi ABRI ........................................................................... 22 6.4. Orde Baru dan Sisi Kepolitikan Birokratik Otoritarian ..……………25 6.5. Perubahan Reformasi Politik Militer ................................................ 28 6.6. Profesionalisme Militer .................................................................. 37 7. Metodelogi Penelitian ........................................................................... 39 7.1. Jenis Penelitian ................................................................................ 39 7.2. Teknik Pengumpulan Data............................................................... 39 7.3. Teknik Analisa Data ........................................................................ 40
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
BAB II Perubahan-Perubahan Sosial Politik Pada Era Orde Baru dan Era Reformasi 1. Perubahan-Perubahan Sosial Politik Era Orde Baru ........................ 41 1.1 Tatanan Politik Orde Baru .............................................................. 41 1.2 Terbentuknya Hegemony Party System ........................................... 47 1.3 Lembaga Kepresidenan Yang Kuat .................................................. 55 1.4 Stabilitas Politik .............................................................................. 58 1.5 Birokrat yang Kuat .......................................................................... 60 2. Perubahan-Perubahan Sosial Politik Era Reformasi ......................... 63 2.1 Tatanan Politik Era Reformasi ......................................................... 63 2.2 Reformasi Internal ........................................................................... 65 2.3 Visi dan Langkah-langkah Reformasi Internal TNI .......................... 69 2.4 Pemisahan Polisi dari ABRI ............................................................ 73 2.5 Reformasi Peran dan Fungsi TNI ..................................................... 74 2.5.1 Dalam Lembaga Eksekutif ...................................................... 74 2.5.2 Dalam Lembaga Legislatif ...................................................... 78 3. KESIMPULAN ..................................................................................... 79
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
BAB III Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru dan Era Reformasi 1. Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru ..................................... 83 1.1 Lahirnya Dwifungsi ABRI ......................................................... 83 1.2 Militer sebagai Bentuk Kekuatan Negara ................................... 85 1.3 Militer sebagai Bentuk Kekuatan Yang Dominan ...................... 87 1.4 Militeer sebagai Instrumen Penguasa ......................................... 92 1.5 Peran MIliter sebagai Dinamisator dan Stabilisator .................... 93 2 Kekuatan Politik Militer Era Reformasi .............................................. 94 2.1 Tuntutan Reposisi TNI ............................................................... 94 2.2 Profesionalisme TNI .................................................................. 97 2.3 Strategi TNI ............................................................................. 101 2.4 Kekuatan TNI .......................................................................... 102 2.5 Peran, Fungsi dan Doktrin TNI ................................................ 105 BAB IV Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan
..................................................................................... 109
2. Saran
..................................................................................... 113
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
ABSTRAKSI
JUDUL
: PERBANDINGAN KEKUATAN POLITIK MILITER ERA ORDE BARU DENGAN ERA REFORMASI
NAMA
: KIKI NAMIRA
NIM
: 040906038
DEPARTEMEN
: ILMU POLITIK
FAKULTAS
: ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
Penelitian ini berisikan tentang perbandingan kekuatan politik militer era orde baru dengan era reformasi, dimana ada perbedaan kekuatan politik militer pada masa era orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Soeharto menjadikan militer sebagai kekuatan politik yang dominan dan stabilisator, militer sebagai kekuatan negara, sebagai kekuatan politik. Peran militer pada masa pimpinan Soeharto, bukan saja sebagai pertahanan dan keamanan negara, militer juga berkecimpung dalam politik praktis, sedangkan pada era reformasi, militer tidak diperbolehkan berkecimpung lagi di dalam politik praktis Keyword : Perbandingan, Kekuatan Politik, Militer
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Bagaimana
militer
melihat
atau
memandang
politik
itu?
Apa
konsekuensinya manakala militer akan memainkan peranannya (dominan) dalam bidang /sektor pemerintahan? 1. Ternyata ada memang perbedaan–perbedaan dari beberapa kecendrungan yang ada terhadap perkembangan antara tahun 1950-an dan 1990-an yang menandai intesitas pengaruh militer dalam masalah-masalah politik dan pemerintahan. Dalam hal ini William Thompson (1972) menunjukkan sejumlah data dari tahun 1946-1970 telah terjadi beberapa kudeta terutama yang dialami oleh Negara-negara berkembang. Eskalasi peranan militer dalam masalahmasalah politik dan pemerintahan lebih dari dua dekade sejak usai Perang Dunia II, memperkuat pendapat bahwa untuk masa-masa mendatang, pemerintahan yang dikendalikan oleh pihak militer akan terus semakin kuat. Ada beberapa faktor yang dianggap faktor penyebabnya bahwa militer di sana, tidak memiliki disiplin yang berdasarkan kepada perbuatan praetorian, organisasi yang dimiliki sifat-sifat professional semangat kelompok (espirit de corps) Tapi sebaliknya, kondisi di Negara-negara kawasan Asia, Timur Tengah, dapat dikatakan bahwa pengaruh militer akan cendrung mendominasi dan menunjukkan gayanya yang professional dan lebih dapat merasuk lebih dalam 1
Crouch, Harold, The Military Mind and the Developmental Process, (Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 1987), 1.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
berkaitan dengan masalah ekonomi politik. Di Korea Selatan, merupakan contoh Indonesia, Thailand dan Taiwan dimana peranan militer dinilai positif khususnya dalam bidang ekonomi. Namun pengaruh tersebut tidak secara langsung dapat dirasakan dalam praktek secara ketak atau berlebih-lebihan. Pada akhir tahun 1950-an, dan permulaan 1960-an pada saat ilmuan politik barat menanggapi bahwa peranan militer yang dimiliki peranan bidang menanggapi bahwa peranan militer yang memiliki peranan bidang pemerintahan demokrasi barat akan memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan politik di Negara-negara Dunia Ketiga pada umumnya. Inteervensi militer dalam kehidupan politik Negara-negara Dunia Ketiga (Negara-negara Berkembang) telah menumbuhkan semakin maraknya jumlah kepustakaan berkaitan dengan persoalan bahwa rezim militer bisa lebih efisien dibanding dengan kaum sipil sebagai penggerak pembangunan politik. Setelah setidak-tidaknya teori rezim militer memiliki tiga dorongan utama yang sekaligus dijadikan sarana/atribut mendorong kearah itu yang antaranya : 1. nilai-nilai yang dimiliki oleh militer pada umumnya didasarkan kepada (lebih kental), “development oriented” daripada yang dimiliki oleh rakyat kebanyakannya. 2. rezim militer dapat lebih tegas memisahkan dengan membuat keputusan yang tanpa terikat oleh kebutuhan-kebutuhan kompromistis. 3. militer
memiliki
kursif/kekerasan
akses dan
tang
lebih
aparat-aparat
menunjukkan organisasi
sifatnya
yang
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
yang
diperlukan
kebijakannya dan memberi peluang terhadap stabilitas yakni pada saat-saat krisis demi aksesnya pembangunan. Menguatnya posisi kelompok militer di Indonesia dan dominannya : peranan mereka dalam mempengaruhi atmosfir kehidupan politik. Dan sesungguhnya sejak proklamasi kemerdekaan, konstelasi politik dan maraknya percaturan politik tidak pernah terlepas dari faktor dan pengaruh keberadaan militer. Apabila setelah kemerdekaan, Tentara Nasional Indonesia sudah mengambil langkah-langkah yang sangat mendasar dengan menempatkan dirinya sebagai “tentara kemerdekaan” 2. Lebih tegas lagi, menguraikan bahwa tentara Indonesia tidak pernah membatasi dirinya hanya sebagai kekuatan militer. Militer telah menjadi fenomena politik yang menarik di Negara-negara Berkembang (Dunia Ketiga) pada umumnya, seperti misalnya indonesia. Karena tampilnya militer dipanggung politik, menjadi salah satu faktor penentu dalam melakukan perubahan politik (Political Change). Dari serangkaian proses pekembangan yang dialami militer Indonesia sejak masa pembentukkannya sampai dengan berakhirnya perang kemerdekaan, atau sampai pada dekrit Presiden 7 Juni 1947 bahwa semua organisasi bersenjata dinyatakan melebar kedalam satu organisasi kemiliteran yang bernama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Setelah dikupas masalah bagaimana gambaran (deskripsi) peranan militer dalam kawasan politik dan bermacam alasan yang dapat mendorong masuknya 2
PALMER, Monte., Dilemas of Politics Developmental an Introduction to the Politics of the Developing Areas (Ithaca, Illionis, FE Peacock Publishing, Inc, 1989), 251.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
militer menginterensi kawasan poltik khususnya. Maka dalam uraian ini hendak melihat perbandingan kekuatan politik militer pada era orde baru dengan era reformasi. Keterlibatan militer yang intens dalam soal-soal politik yang luas dan kehadiran
mereka menjadi sebuah kekuatan starteis yang
menentukan
perkembangan bangsa selanjutnya. Jelas hal ini tidak dapat dipandang sebagai fenomena kecendrungan yang secara tiba-tiba, akan tetapi hendaklah diamati dan dipahami dari prosesnya yang panjang. 3 Dalam masa revolusi tahun 1945 sampai dengan 1949, tentara terlibat dalam perjuangan kemerdekaan dimana tindakan politik dan militer saling menjalin tak terpisahkan. Segera setelah peralihan kekuasaan akhir tahun 1949, secara resmi tentara menerima azas keunggulan kekuatan sipil. Dalam hal ini para perwira beranggapan bahwa peranan mereka di bidang politik sesewaktu diperlukan, tetapi mereka tidak pernah muncul sebagai kekuatan politik yang utama di tengah-tengah arena. Namun sejajar dengan kelemahan kehidupan politik yang di sebabkan oleh system parlementer yang lam semakin nyata, bagaimanpun telah memperkuat keyakinan di kalangan perwira-perwira militer bahwa mereka juga mempunyai beban tanggung jawab untuk campur tangan agar Negara dapat di selamatkan. Dalam seminar pertama yang diselenggarakan April 1965 tentara mencetuskan suatu doktrin yang menyatakan bahwa Angkatan Bersenjata memiliki peranan rangkap yaitu sebagai “kekuatan militer” dan “kekuatan sosial 3
Syahdatul Khafie, “Peranan Politik Militer Indonesia , Tuntutan atau Kepentingan” dalam PROGRESIF Vol, II, No.1 (Jakarta, Political Science Forum FISIP UI, 2002), hal. 39
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
politik”. Sebagai kekuatan sosial politik, kegiatan tentara-tentara meliputi bidangbidang ideologis, politik, sosial, ekonomi, kebudayaan, dan keagamaan. Namun dalam kaitannya dengan keterlibatan militer dan politik, menurut penuturan Suryadinata, yang secara rensi pengakuan seperti itu baru terjadi ketika Presiden Sukarno membentuk Dewan Nasional 6 Mei 1957, setelah peranan partai-partai politik (dengan pengeculian) PKI dilumpuhkan dan Undang-undang darurat diberlakukan. Dikatakan bahwa sejak kemerdekaan di proklamirkan, kosistensi politik maraknya percaturan politik tidak terlepas dari faktor dan pengaruh keberadaan militer. Sehingga dapat dikatakan pula bahwa dunia politik di Indonesia di dominasi oleh pejuang kemerdekaan yang bersenjata. Perang kemerdekaan sebagai perjalanan yang berharga memberi persiapan bagi militer untuk tampil ke depan untuk mengatasi kemelut politik setelah hamper 15 tahun menyediakan diri sebagai pendukung pemerintahan silil (1945-1959) dan kemudian jalan tengah militer (1959-1966) sampai dengan Dwifungsi ABRI memperlihatkan bentuknya. Di
Indonesia
keterlibatan
militer
dalam
politik
diawali
oleh
kekecewaannya terhadap partai politik. Partai politik dilihat yang mendominasi dan mengontrol kehidupan militer secara subjektif terutama pada masa system politik demokrasi parlementer. Secara constitutional kekuasaan politik memang berpusat diparlemen dan di dalam prakteknya partai politiklah yang secara tradisional saling bergantian mennguasai pemerintah yang sedang berkuasa. Kondisi seperti ini kemudian menjadi picu sebelum akhirnya meletus sebagai
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
peristiwa 17 oktober 1952 atau sebuah kudeta kecil yang gagal, ketika sejumlah pasukan elit TNI AD mengarahkan moncong meriam ke Istana Merdeka untuk memaksa Presiden Soekarno membubarkan konstituante; karena mereka menganggap bahwa telah terlalu jauh mencampuri urusan interval militer. Namun terlepas dari seberapa besar pretense politik dikalangan militer pasca peristiwa 17 Oktober 1952 itu, bahwa sebagai manufer politik pada akhirnya mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut disebabkan sebagian besar Soekarno sebagai faktor justru ganda yang sama menunjukkan dirinya faktor politik yang semakin kuat dan juga faktor internal militer (AD) yang pada saat itu masih begitu terpolarisasi dalam persoalan-persoalan politik. Konsepsi Abdul Haris Nasution yang di kenal sebagai “Jalan Tengah Tentara” memberikan pintu terbuka pada political wil secara mendasar bagi kelompok militer untuk masuk kedalam domain poolitik yang lebih nyata dan luas dalam serangkaian perubahan-perubahan terjadi dalam mengangkat partisipasi politik militer yang tidak permanent diproyeksi untuk membangun kondisi dimana peran gandanya tidak hanya didasarkan kepada “legitimasi histories” dan “keadaan darurat orang”. Upaya semacam ini di rumuskan di dalam “Konsep Politik Militer”. Dan itu pula yang pertama-tama kalinya inti formulasi konsep Dwi Fungsi ABRI. Dalam hubungan ini militer Indonesia tidak saja berfungs sebagai kekuatan keamanan juga harus mengambil peran sebagai kekuatan sosial politik dalam pengelolaan Negara. Dwi Fungsi ABRI pada intinya, terdapat dalm jalan tengah tentarayang merupakan gambaran bagaimanakah bentuk yang ideal
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
dari kedudukan dan peranan militer di Indonesia ini. Namun demikian, pemahaman lebih tegas Dwi Fungsi ABRI adalah konsep politik dalam kehidupan politik prakteknya. Konsep Dwi Fungsi ABRI menjadi mesin politik untuk mempertahankan kekuasaannya. Dwi Fungsi ABRI di persoalkan bukan lagi peranan militer di masa revolusi, atau jalan tengah tentara, melainkan sebagai sebilah realitas sosial politik yang dibangun secara sistematis dan dalam pandangan lain, bahwa Dwi Fungsi ABRI ini merupakann perluasan perann militer diluar bidangg militer (non militer). Di dalam prakteknya Dwi Fungsi ABRI ini di transformasikan kedalam Golongan Karya (Golkar). Sejak munculnya gagasan yang melahirkan orde baru pada tahun 1966 tampaknya secra tidak langsung disertai dengan munculnya suatu pergeseran arti yang “system of personal rule” yang mengarah kepada sifat-sifat pelembagaan yang berkarakter “presidential military bureaucratic complex”. 4 Selain itu, dibangunlah pula ABRI menjadi sebuah kekuatan politik untuk mendukung rezim Orde Baru. Demikian pula diciptakan pengertian, bahwa presiden adalah Mandataris MPR. Sehingga, seakan-akan presiden adalah MPR sendiri, dan dia pulalah “penjelmaan” kedaulatan rakyat. Khusus tentang peranan ABRI dalam politik, Soeharto mengikuti jejak pendahulunya, Soekarno, yang menggabungkan Angkatan Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) beberapa waktu sebelum Soekarno jatuh. Dalam hal ini pula patut dicatat pula, bahwa pasal 10 UUD 1945 yang menyatakan bahwa 4
Liddle, E. William, “Soeharto’s Indonesia Personal Rule and Political Institutions” dalam Pasific, Affairs, Vol.58. No.1, 1985, 70-71.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Laut, dan Udara ikut memudahkan manipulasi Soeharto dengan “mengikut sertakan” militer dalam penyelenggaraan Negara untuk mendukung kekuasaannya. Padahal, pasal tersebut seharusnya hanya berlaku ketika keadaan Negara dalam bahaya atau perang. Sedang dalam keadaan damai, presiden hanya bisa menyampaikan aspirasi militer kepada wakil rakyat. Ketika presiden menganggap perlu adanya perubahanperubahan dalam tubuh militer pun dia tetap harus berkonsultasi dengan para pemimpin militer. Rezim Orde Baru juga membangun opini masyarakat tentang sejarah ABRI, seakan-akan pada masa lalu ABRI, khususnya pihak TNI (militer) sudah ikut menentukan nasib Negara secara politik, maka posisi Soekarno-Hatta lemah di mata Barat, khususnya penjajah Belanda. Disinilah Soeharto membangun system pemerintahan yang militeristis dengann mengikut-sertakan ABRI dalam politik penyelenggaraan Negara (konsep Dwi Fungsi ABRI). Kekuatan ABRI yang sangat besar pada masa Orde Baru telah memungkinkan bagi perluasan sayap kekuasaan ABRI yang menjalar hampir diseluruh sektor kehidupan. Hal ini terbukti diduduknya berbagai jabatan baik formal maupun non formal/swasta, sejak dari pimpinan tertinggi, lembaga tinggi Negara sampai ke lurah-lurah, baik eksekutif, legeslatif dan yudikatif. ABRI juga mengammbil andil dalam format politik pada masa Orde baru dan membidani kelahiran Golongan Karya (Golkar) sebagai kekuatan politik dominan sehingga meraih kemenangan pemilu berturut-turut mulai tahun 1971-1997. Dengan
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
keberpihakan militer kepada Golkar dalam setiap pemilu di banding pertahanan dan keamanan. Aksentuasi yang lebih dalam arti peranan militer ini ditunjukam populuitas ideology yanh berpusat pada konsep Dwi Fungsi ABRI (pertahanan Keamanan sebagai kekuatan politik). Berbagai terminology melekat dalam fungsi tersebut. Ada yang mengatakan ABRI sebagai penyelamat (juru selamat) Negara dalam keadaan genting (krisis) sebagaimana yang pernah ditunjukan dalam masa tahun 1945-1949 dan awal tahun 1950-an dan tahun 1965 ABRI sebagai sarana atau alat pemersatu dari sifat bangsa Indonesia yang puralistik, pengayom ann dinamistator (driving force) masyarakat dan pembangunan ekonomi politik. Meskipun kekuasaan berada pada tangan seorang presiden, kata Karl, D Jackson. Birokrasi Indonesia itu berkembang dimana pejabat militer dijadikan sebagai tulang punggung (back boned) yang secara terus menerus dicerminkann kedalam perioritas kebijaksanaan, namun bukan bersifat tipikal yang bersosiasi kebijaksanaan, namun bukann bersifat tipikal yang berasosiasi dengan diktator militerisme kendati presiden sendiripun adalah seorang Jendral. Kekuasaan presiden semasa rezim orde baru soeharto terasa sangat absolute. Absolutisme lembaga kepresidenan ini tidak terlepas dari kelemahan UUD 1945 dan sistim pemilihan presiden secara bertahap lewat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan memanfaatkan kelemahan itu, Soeharto dipilih berkali-kali dan berkuasa selama lebih dari 32 tahun.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Indonesia yang menganut system Presidensil masih memilih presiden, yang merangkap jabatan Kepala Negara dan Kepala Pemerintah sekaligus, melalui sebuah badan perwakilan rakyat seperti MPR keadaan dianggap sebagai suatu yang tidak umum. Sistem pemilihan presiden seperti di Indonesia ini tentu saja dianggap mendua, dan menjadi tidak demokratis. Sebab presiden sebagai kepala pemerintahan
dan
kepala
Negara
dengan
demikian
tidak
mempertanggungjawabkan hasil pemerintahnya langsung kepada rakyat, tetapi kepada MPR. Selama rezim orde baru berkuasa presiden Soeharto mampu mengelabui rakyat dengan memperlihatkan bahwa MPR selalu menerima pertanggungjawabannya meskipun rakyat mempunyai penilaian lain. Dengan pemilihan oleh MPR, Soeharto mampu menduduki jabatan presiden hingga tujuh kali selama lebih dari 30 tahun bahkan setiap kali pemilihan, dia selalu menjadi calon tunggal. Pemilihan Presiden RI oleh MPR yang menimbulkan kontradiksi dalam system pemerintahan, antara presidensil dan parlementer. Dan kontradiksi ini merupakan salah satu kelemahan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pasal 4 (1) memang disebutkan Kepala Negara dan Kepala Pemerintah menyatu ditangan presiden, yang menunjukkan cirri system presidensil. Ketentuan itu dipertegas oleh pasal-pasal 10 sampai dengan 15 yang menunjukkan kedudukan presiden sebagai kepala Negara. Sedangkan pasal 6(2) yang menyatakan, bahwa presiden dipilih oleh para wakil rakyat di MPR, yang dapat diartikan pula bahwa presiden
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
bisa dijatuhkan oleh MPR, menunjukkan cirri sistem parlementer. Apalagi mengingat pasal 1(2) menyebutkan, bahwa kedaulatan rakyat dijelaskan sepenuhnya oleh MPR seakan-akan wakil rakyat ini bisa melakukan apa saja termasuk menjatuhkan presiden, lewat mosi tidak percaya, dalam sebuah Sidang Istimewa (SI) MPR sebagaimana disebutkan oleh penjelasan UUD1945, misalnya. Kontradiksi itu diperkuat oleh ketentuan dalam pasal 3 dimana MPR menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang lalu disodorkan oleh MPR sebagai amanat yang harus dilaksanakan oleh presiden. Kalau dilanggar (penjelasan UUD1945) oleh presiden, maka DPR bisa meminta diadakannya SIMPR. Penjelasan UUD 1945 tentangg peranan SI-MPR ini tentu tidak sama dengan prinsip Impeachment yang dapat dilakukan oleh Kongres AS terhadap presiden. Kediktatoran Soeharto
diatas kekuasaan
MPR,
pada
hakekatnya
bermaksud menghilangkan kontradiksi tersebut. Sebab dalam system presidensil yang kita sepakati berlaku dalam UUD 1945, juga berlaku Concentraction of Power and Responsibility Upon the President. Sehingga Soeharto sengaja “mengambil alih” kekuasaan MPR yang dualistis dengan kekuasaan presiden itu. Pertama, 600 orang dari 1000 orang anggota MPR di angkat sendiri oleh Soeharto, tidak lewatt pemilu. Dan kedua, GBHN juga dibuat sendiri oleh Soeharto dan orang-orang di MPR. Mengidentifikasikan Orde Baru 10 tahun lalu sangatlah mudah. Sebab, semua mahfum Orde Baru ditopang oleh struktur kekuasaan plitik yang terdiri
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
atas tiga faktor utama, yakni: soeharto sebagai Center of Power, Dwi fungsi ABRI, dan Golkar lama sebagai penyangga. Berakhirnya rezim otoriter selalu diikuti dengan perdebatan diantara actor pendukung sistem kekuasaan baru (reformasi) mengenai bagaimana cara menangani actor utama dan actor pendukung system kekuasaan lama. Dari pengalaman masa transisi pasca rezim otoriter, minimal ada 2 pola ekstrem yang pernah dipraktikan dii Negara-negara untuk menyikapi hal itu. Pertama, pola penyingkiran total actor rezim lama dan semua elemen pendukungnya. Kedua, pola rekonsiliasi actor lama dan baru. Pasca Soeharto lebih menerapkan pola kedua. Pasca Soeharto, Indonesia memperoleh demokrasi, akan tetapi kehilangan pemerintah yang efektif. Disatu sisi telah terjadi kemajuan kebebasan mendirikan partai politik, amandemen konstitusi, pemilihan presiden secara langsung, pengurangan yang besar pada peran politik TNI dan yang sangat peting peningkatan peranan politik parlemem, desentralisasi kekuasaan dan pengawasan publik terhadap eksekutif. Awal reformasi di tubuh Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian RI harus ditandai dengan dicabutnya doktrin Dwi Fungsi ABRI. Pada hakekatnya, awal reformasi tersebut menyangkut lima aspek: 1. Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian RI harus berdiri dibelakang semua golongan dalam masyarakat; tidak berpihak pada satu golongan, termasuk pada pihak satu partai politik.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
2. Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian RI beserta para anggotanya dilarang menempatkan dirinya dan perannya dalam bidang politik penyelenggaraan Negara. 3. Dalam setiap pertentangan politik di dalam negeri, Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian RI beserta para anggotanya tidak boleh ikut campur tangan dan harus bersikap netral. 4. Setiap operasi dan tindakan militer harus sepengetahuan MPR. 5. Banyak bidang-bidang sosial yang bisa menerima kehadiran militer dan polisi yang justru bisa mempererat hubungan sipil dan nonsipil ini. Kesadaran tentang
perlunya
reformasi
dalam
menentukan
peran
professional TNI dan Kepolisian menyongsong sebuah Indonesia Baru menuntut kerjasama semua pihak. Kerja sama itu penting, khususnya untuk tetap mempertahankan semangat dan moral tinggi, baik dari pihak militer maupun kepolisian, agar funsinya masing-masing tidak runtuh. Oleh sebab itu, kemauan besar pihak TNI dan Angkatan Kepolisian untuk melaksanakan reformaasi harus disambut dengan baik dan didorong agar mencapai hasil optimal sebagaimana diinginkan bersama. Tahap pertama reformasi memisahkan Angkatan Kepolisian dari TNI. Tahap kedua, meletakkan dasar-dasar bagi reformasi selanjutnya, yaitu reformasi internal disebut dimasing-masing angkatan sesuai dengann pokokpokok pikiran diatas. Antara lain, bahwa fungsi Angkatan Kepolisian adalah untuk keamanan dan ketertiban umum, sedangkan fungsi militer umumnya adalah
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
untuk pertahanan Negara. Disitulah kerjasama dengan semua pihak, melalui dukungan pemerintah, sangat dibutuhkan untuk segera mewujudkan sosok baru Angkatan Kepolisian dan Angkatan Perang yang professional dan disegani dalam Indonesia Baru. Bagaimana
TNI
bekerja
sama
dengan
lembaga-lembaga
dalam
menyelenggarakan reformasi. Reformasi ini bisa dianggap sebagai suatu proses yang totalitas sifatnya, mengingat kesalahan masa lalu itu telah berlangsung dalam skala yang luas dan selama puluhan tahun. Reformasi ini meliputi banyak bidang, antara lain: (1) pendefinisiann kembali doktrin-doktrin TNI dalam mengisi pemahaman tentang makna Negara, demokrasi dan konstitusi, serta fungsi dan peranan TNI dalam menyelenggarakan pertahanan Negara dan menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial; (2) penataan kembali struktur dan organisasi TNI dalam membangun sebuah system pertahanan Negara yang efektif, efisien dan professional, serta berkemampuan taktis dan strategis; (3) penataan kembali kemampuan sumber daya manusia TNI dari lapis atas hingga lapis bawah, yang terutama menyangkut penyamaan visi dan misi peningkatan kualitas pertahanan Negara; (4) penataan kembali manajemen administrasi dan birokrasi TNI yang efektif, efisien dan professional, transparan dan bersifat desentralistis; (5)penataan kembali system rekrutmen, pendidikan, latihan dan keterampilan personil yang menghasilkan sosok manusia militer yang professional, mempunyai jiwa dan semangat kepahlawanan, superior, tetapi sekaligus dihormati, dicintai dan disegani; (6)
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
penataan kembali system persenjataan TNI untuk mendukung system pertahanan Negara yang kokoh, baik dalam system persenjataan konvensional maupun yang maju. Reformasi juga perlu berlangsung dilingkungan angkatan kepolisian dengan cara dan proses yang mirip, yaitu dalam rangka mewujudkan sebuah system keamanan dan ketertiban umum yang kokoh dan maju, dimana supremasi hukum dan HAM bekerja sama-sama. Reformasi Polri yang mencakup desentralisasi Polri ke daerah-daerah otonom tentu juga menciptakan citra baru bagi Polri. Sangat
berbahaya
membiarkan
angkatan-angkatan
tersebut
untuk
melakukan sendiri reformasi kedalam, atau bahka memperlakukan institusi Angkatan Kepolisian (Angkatan Perang) sebagai pihak yang bersalah pada masa lalu, dan oleh karena itu dibiarkan sendiri (Left out). Lebih salah lagi mojokmojokkan instiyusi-institusi Negara, tersebut dengan alas an pada masa lalu telah “membantai” sekian ribu rakyat tak berdosa. Tentu kepada oknum yang bersalah harus dikenai hukuman setimpal, tetapi institusi Angkatan Kepolisian dan Angkatan Perang tidak boleh dihancurkan semangat dan moralnya karena kesalahan-kesalahan rezim masa lalu itu. Tentu banyak oknum jendral (polisi dan militer) yang bersalah, tetapi kesalahan utama sebenarnya ada pada tangan mantan Presiden Soeharto sendiri beserta para pembantu dan penasehatnya. oleh karena itu, sekiranya para jendral yang sekarang menjadi petinggipetinggi di Angkatan Kepolisian dan Angkatan Perang, yang tidak terlibat
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
langsung dalam kesalahan-kesalahan pada masa lalu telah sadar tentang perlunya Reformasi, maka seyogyanya kepada mereka diberi kesempatan yang luas, bahkan dibantu, didorong dan didukung melalui kerja sama antar lembaga dan antar keahlian agar reformasi itu berhasil dengan segera. Negara ini terlalu besar, terlalu kaya dan terlalu banyak penduduknya untuk sebuah Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian yang kecil dan tidak professional. Apalagi mengabaikan peranan angkatan-angkatan tersebut, dengan resiko mengorbankan kepentingann rakyat, bangsa dan Negara. Oleh karena itu, moral dan semangat Polri dan TNI harus tetap dibangun tinggi, agar mereka tetap mewaspadai keamanan dan keselamatan Negara. Negara yang kaya dan besar seperti Indonesia ini akan menjadi incaran banyak Negara lain untuk “dikuasai”, baik demi kepentingan ekonomi, sosial, politik maupun keamanan mereka. Menghancurkan moral kepolisian dan TNI dari dalam negeri justru sangat berbahaya. Dan adalah salah besar bagi pemerintah sipil yang berkuasa yang tidak henti-hentinya bermaksud memperkecil peran Angkatan Kepolisian dan Angkatan Perangnya sendiri. Upaya memperlemah Angkatan Kepolisian dan Angkatan Perang RI dari dalam justruu akan meningkatkan berbagai ancaman dari pihak luar. Tindakan yang seharusnya dilakukan oleh TNI dan Polri sebagai sebuah institusi adalah : Pertama, mengakui berbagai kesalahannya pada masa lalu yang telah menempatkan diri dibawah rezim otoriter. Kedua, berusaha kembali mencari jati diri, termasuk peran dan fungsinya,
yang
sesungguhnya.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Ketiga,
melaksanakan reformasi dan demokratisasi secara total serta dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh, baik dalam tataran struktural-profesional maupun dalam tataran budaya, misi dan visi. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka penelitian ini dapat di rumuskan sebagai berikut: 1. Mengapa militer menganut Dwi Fungsi ABRI ? 2. Mengapa militer di era Reformasi ingin membentuk Professionalisme? 3. Pembatasan Masalah Untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian dengan tujuan untuk menghasilakn uraian yang sistematis dan tidak melebar, diperlukan adanya ruang lingkup penelitian atau seiring disebut dengan Pembatasan Masalah. Maka, pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Penelitian ini dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru kurun waktu, karena pada tahun-tahun tersebut mempunyai arti tersendiri dalam membicarakan militer di Indonesia. Pasca Gerakan 30 September1965 telah mengubah peta politik Indonesia dimana berakhirnya riwayat dua kekuatan politik Soekarno dan PKI dan munculnya kekuatan dominan peranan militer terutama dan semakin berkurangnya peranan partai politik. 2. Penlitian ini menekankan pada peranan dan kekuatan militer pada masa Orde Baru dan Reformasi.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
4. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan menganalis bagaimana perbandingan kekuatann politik militer pada masa Orde Baru dengan Reformasi 2. Untuk mengetahui perubahan-perubahan sosial politik pada era Orde Baru dan Reformasi 3. Untuk mengetahui peranan dan funsi militer pada masa Orde Baru dengan masa Reformaasi. 5. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis di bidang politik khususnya perbandingan kekuatan militer. 2. penelitian ini diharapkan memperluas serta memperdalam pemahaman mahasiswa pada teori-teori politik seperti Kekuatan-kekuatan politik di Indonesia, Demokrasi dan HAM, dan Teori-teori politik lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. 3. Penelitian ini diharapkan sebagai sarana kritik yang positif terhadap profesionalitas militer dalam melaksanakan visi dan misinya, serta Departemen Pertahanan dan Keamanan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
6. Dasar-dasar Teoritis Adapun kerangka teori yang menjadi ladasan berpikir penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 6.1. Definisi Kekuatan Politik Kekuatan politik adalah segala sesuatu yang berperan dan berpengaruh didalam dunia politik. Kekuatan politik dapat juga dikatakan sebagai segala sesuatu yang terlibat secara aktif dalam kekuatan politik tertentu. Kekuatann politik terbagi menjadi dua, kekuatan politik yang terorganisir dan yang tidak terorganisir. Kumpulan dari orang-orang yang peduli pada isu-isu yang ada, maupun yang berideologi atau persepsi sama kemudian saling mempengaruhi dan berinteraksi satu sam lain, sehingga menghasilkan suatu keputusan bersama. Kekuatan politik sangat berperan didalam system politik di Indonesia. Ada banyak kekuatan politik di Indonesia, namun yang benar-benar berpengaruh dan menonjol hanya beberapa saja. Kekuatan-kekuatan politik tersebut adalah TNI atau ABRI, POLRI, Organisasi Kecendikiaan, Lembaga-Lembaga Pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pers, Organisasi Penelitian, kekuatan politik yang tersebar di daerah-daerah, kelompok kemasyarakatan yang berbasis pada Agama (NU, Muhammadiyah, dll), Buruh dan Pekerja, Mahasiswsa, Partaipartaii Politik 5, dan masih banyak lagi kekuatan-kekuatan politik lainnya di Indonesia. Kekuatan politik Indonesia dapat berupa institusi maupun individu.
5
Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam, Yogyakarta, Galang Press, hal.202
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Semua kekuatan politik yang ada harus dapat dikuasai atau dimonopoli dengan baikk sepertii apa yang terjadi pada Orde Baru pimpinan Soeharto. Setelah 32 tahun lamanya Soeharto menjabat sebagaii Presiden RI, rezimnya akhirnya runtuh karena ia kehilangan kuasa atas hal-hal penting yang menjadi penopang pemerintahan pemimpinannya. Ketika itu cabinet pemerintahan terpecahh belah, DPR menarik dukungannya bahkann sampai memintanya mengundurkan diri, pengusaha-pengusaha swasta yang menjadi penopang modal menjadii tidak tertarik dengan usaha-usaha lokal, bahkan semakin banyak yang menannamkan modal di Luar Negeri, selain itu militer sedang dihadapkann dengan oleh konflik internal sehingga menjadi terpecah belah. Karena itulah kekuatan-kekuatan politik tersebut harus benar-benar diperhatiakn dalam membentuk pemerintahan, bukan berarti harus dimonopoli namun lebih tepat dikatakan harus diselaraskan agar dapat membangun pemerintahan menuju keutuhan dan keselarasan. 6.2. Militer Sebagai Kekuatan Politik Indonesia Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) merupakan salah satu kekuatan politik Indonesia yang tersebar dan dapat dikatakan sebagai kekuatan yang berpengaruh besar. Pada awalnya dibentuk
dengan
nama
Badan
Keamanan
Rakyat
(BKR),
kemudian
bertransformasi menjadi Tentara Keamanan Indonesia (TKI), kemudian diubah lagi menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), hingga pada bulan November 1958 TNI akhirnya diubah lagi menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). ABRI terbagi lagi dalam Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL),
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Angkatan Udara (AU), dan kepolisian. Pada dasarnya meskipun telah melewati perjalanan panjang dalam pembentukkannya dan beberapa kali melakukan perubahan nama, kekuatann politik ini dari dulu hingga sekarangbergerak dibidang keamanan dan pertahanan di Indonesia. Dalam masa Orde Baru dimana kepemimpinan Soeharto, ABRI berperan cukup sentral dalam kehidupan sosial-politik. Berdasarkan aturan peruundangundangan yang ada, ABRI bukan hanya diperbolehkan, melainkan juga “bersama kekuatan sosial-politik” lainnya diharapkan terlibat dalam kehidupan kenegaraan. Dengan mengacu pada doktrin dwifungsinya, selain kekuatan pertahanan dan keamanan (Hamkam), ABRI pun merupakan sosial-politik. Dalam UU No.20/1982 tentang Hamkam, ABRI baruu dinyatakan sebagai “kekuatan sosial”. Namun lewat UU No.21/1982 mengenaii Prajurit ABRI, secara tegas disebutkan ABRI merupakan “kekuatan politik” juga disampingg sebagai kekuatan Hamkam. Atas dasar legalitas diatas, dalam tiga masa tiga puluhtahun terakhir ini, ABRI telah menjadi kekuatan penting dalam kepolitikan Orde Baru. Bersumber pada aspek legal empiric, ABRI baik secara kelembagaan maupun individual terlibat dalam berbagai kegiatan. Pertama, salah satu pilar Orde Baru adalah duduknya ABRI dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Kedua, sebagai stabilisator dan dinamisator kehadiran ABRI dalam politik diwujudkan melalui Golongan Karya. Ketiga, ABRI hadir bukan hanya dilembaga legislative, tapi juga di eksekutif. Keempat, dalam rangka mendukung ABRI dan kesejahteraan anggotanya Presiden Soeharto pun memberikan banyak kesempatan pada keluarga ABRI
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
untuk aktif berbisnis. Kelima, ABRI pun aktif dalam memerankan fungsi modrenisasi didaerah tertinggal. 6.3. Dwifungsi ABRI Masa Orde Baru adalah masa dimana puncak keterlibatan militer dalam politik sepanjang sejarah kemerdekaan. Dalam masa ini militer terlibat secara jauh didalam birokrasi, pada masa dominan, legislatif, praktek ekonomi dan bisnis realisasi program pembangunan yang memungkinkan militer berbenturan langsung dengan rakyat banyak, dan praktek-praktek keamanan dan intelegen dalam rangka pengamanan pembangunan. Salah satu aktor yang penting dalam Orde Baru adalah ABRI, yang mengembangkan doktrin DWIFUNGSI ABRI. Dwifungsi ABRI merupakan suatu doktrin yang mengesahkan peranan militer dalam urusan-urusan non-militer. Pengertian Dwifungsi ABRI menurut Soebiyanto:6Bahwa ABRI itu mempunyai dua fungsi, ialah sebagai kekuatan HANKAM maka ABRI merupakan
aparatur
Negara/Pemerintah.
ABRI
menjalankan
fungsi
HANKAMNAS untuk mempertahankan dan mengamankan Negara dan bangsa terhadap serangan/ancaman yang datang dari luar maupunn dari dalam negeri. Dalam fungsinya sebagai kekuatan sosial ABRI merupakan salah satu golongan karya yang ikut serta secara aktif dalam segala usahadan kegiatan masyarakat dan Negara disemua bidang dalam rangka pencapaian tujuan nasional. Sebagai
6
Soebiyanto, “catatan-catatantentang Dwifungsi dan kekaryaan ABRI” dalam diktat kursus pembinaan Mental ABRI, dalam Rusli Karim, Peranan ABRI dalam Politik, Jakarta:Yayasan Idayu, 1981, hal.59.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
aparatur Negara ABRI menegakkan dan dan membela Negara, sebagai golongan karya ABRI mengisi dan membangun Negara. Sedangkan kekaryaan ABRI diartikan: segala sesuatu yang menyangkut atau yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas dan kewajiban ABRI sebagai kekuatan sosial (diluar bidang HANKAM) sesuai dengan kebijaksanaan yang digariskan pemerintah baik mengenai usaha-usaha/kegiatan/aktivitas maupun yang menyangkut wadah, prasarana maupun pembinaannya dalam kerangka secara aktif ikut serta mencapai dan mewujudkan tujuan nasional. Hadirnya ABRI sebagai salah satu kekuatan politik Orde Baruditandai olleh duduknya anggota ABRI dalam berbagai jabatan di pemerintah baik pusat maupun daerah. ABRI melalui para personilnya juga memperkuat pengaruhnya atas nama kekuasaan Negara yaitu dengan mendorong birokrasi yang responsive, loyal, terintegrasi sebagai bagian dari berbagai kekuasaan eksekutif (presiden). Pemerintah Orde Baru memusatkan proses pengambilan keputusan ditingkat elit pemerintah diikuti dengan meningkatnya dominasi militer atas lembaga eksekutif, parlemen, wewenang yudikatif dan seluruhh lembaga serta meningkatnya pengaruh mereka diitingkat pedesaan. Tujuann dari semua ini adalah untuk lebih menjamin dominasi ABRI yang kontrololeh rezim Soeharto. Dibawah rezim Soeharto Dwifungsi ABRI membawa kekuasaan ABRI yang lebih besar. Ini ditandai dengan anggota-anggota ABRI memangku jabatan sipildalam statusnya sebagai ABRI aktif. Orde Baru juga berpandang bahwa keterlibatan ABRI secara langsung adalah untuk mencegah diambilnya keputusan-keputusan politik yang
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
bertentangan dengan ideology Negara, Pancasila dan UUD 1945. keterlibatan ABRI dalam politik secara langsung juga memberii kesempatan kepada institusi dan para anggota ABRI untuk berperan lebih dalam mengatasi konflik yang terjadi diantara kekuatan-kekuatan politik yang ada. Peran tersebut menjadikan ABRI sebagai Stabilisator dan Dinamisator kehidupan politik Indonesia demi menjamiin suksesnya pembangunan. Dalam pandangan Orde Baru konflik politk hanya bisa diatasi melalui konsep-konsep “mayoritas tunggal” yaitu dengan menjadikan Golkar sebagai wadah politik ABRI (dan pegawai negeri sipil) untuk bisa selalu menang dalam pemilu serta menduduki kursi DPR/MPR. Berbagai kritik datang terhadap doktrin Dwifungsi ABRI dijawab dengan mengemukakan berbagai alas an dan skenario Orde Baru sebagai pembenaran terhadap konsep Dwifungsi ABRI. ABRI tidak lahir dai kekuasaan pemerintah, tetapi dari rakyat melalui proses kedekatan para pejuang kemerdekaan. Praktek Dwi Fungsi ABRI menjadi subur sejak Orde Baru berkuasa, yaitu dengan diterapkan “pendekatan keamanan”, ini diberlakukan mengingat dua hal yaitu: Pertama, suasana Pasca G 30 S/PKI yang masih menuntut dilaksanakan segala bentuk aktivitas keamanan diseluruh sektor dan diseluruh wilayah Republik Indonesia dari bahaya laten komunis dan Keedua, Orde Baru bertekad melandaskan program pembangunan yang kesuksesnya menuntut adanya stabilitas keamanan. 7 Pembangunan dianggap terbengkalai selama rezim Soeharto berkuasa karena lebih mementingkan penyelesaian politik dibandingkan ekonomi. Dengan 7
Sri Bintang Pamungkas, Dari Orde Baru ke Indonesia Baru Lewat Reformasi Total, Jakarta: Erlangga, 2001, hal. 167.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
program pembangunan itulah dilancarkan slogan-slogan pembangunan, antara lain “Trilogi Pembangunan”, yaitu: 1. Pertumbuhan, 2. Pemerataan, 3. Stabilitas. 8 Didalam “Stabilitas” itulah terkandung “pendekatan keamanan”yang menuntut peran serta ABRI. Dari penerapan Dwi Fungsi ABRI pada masa Orde Baru berkembanglah militerisme untuk mencapai program pembangunan. Dimana militer harus turut berperan serta disemua sektor. Bukti konkret dari Dwi Fungsi ABRI dapat kita lihat bahwa ABRI mempunyai kursi di DPR (tanpa proses pemilu) maupuun di MPR (non-DPR, dari Golongan Karya/Fungsional). Selain itu juga banyak anggota ABRI dilibatkan di departemen pemerintahan, bahkan sebagai menteri dalam kabinet. Para anggota ABRI juga duduk dalam posisi di Pemerintah daerah termasuk menduduki jabatan sebagai Bupati/Walikota dan Gubernur. Dengan hal ini ABRI menjadi kekuatan besar atau menjadi Superioritas Militer. 6.4. Orde Baru dan sisi Kepolitikan Birokratik Otoritarian Orde baru merupakan sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Format politik Orde Baru memperlihatkan kenyataan yang sangat menarik yaitu terjadinya Proses de-aliranisasi yang dilakukan pemerintahan yang ditopang oleh ABRI. Proses de-aliranisasi tersebut dilakukan dengan berbagai cara: 9 Pertama, dengan melakukan depolitisasi masa secara sistematik. Kedua, dengan melakukan floating mass atau masa mengambang.
8
Zainudin Djafar, Soeharto; Mengapa Kekuasaannya dapat Bertahan selama 32 tahun?, Jakarta: FISIP UI Press, 2005, hal.78 9 Arif Yulianto, Hubungan Siipil-Militer di Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2002, hal. V.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Orde Baru sendiri pada dasarnya merupakan system politik dengan kekuasaan yang terpusat atau sentralistik dan otoriter. Dimana actor-aktor utamanya antara lain adalah perwira tinggi militer dan penjabat tinggi birokrasi. Tujuan utama dari Orde Baru tersebut adalah penciptaan keterlibatan, stabilitas politik dan kemantapan ekonomi. Logika yang digunakan Orde Baru adalah dengan kondisi politik yang stabil maka investasi atau modal asing akan masuk sebesar-besarnya ke Indonesia. Orde Baru memperkuat kekuasaan dengan cara mengkooptasi lembaga lain seperti: Legislatif, Yudikatif, Partai Politik dan ABRI sebagai alat kekuasaan. 10 Format Negara pada masa Orde Baru muncul sebagai kekuatan utama yang dominant ditandai dengan besarnya peranan pemerintahan dalam pengelolaan politik, ekonomi dan sosial. Keterlibatan pemerintah dalam berbagai sector kehidupan masyarakat telah menimbulkan dua tanggapan: Pertama, peranan Negara yang begitu besardan pada batas tertentu telah menghambat
aspirasidan
partisipasi
yang
kurang
menguntungkan
bagi
pelaksanaan demokrasi; Kedua, mencoba memberi pijakan teoritis atas realitas kepolitikan yang menunjukkan dominasi peranan Negara itu. Dari beberapa model pendekatan Orde Baru, model birokratik otoritarian yang lebih tepat dipakaiuntuk memahami realitas kepolitikan pada masa Orde Baru. Rezim birokratik otoritarian bertujan
membuat
keputusan
dengan
efisien
dan
efektif
yang
tidak
memungkunkan adanya proses bargaining yang lama, melainkan dengan berdasar pada pendekatan “teknokratik-birokratik”. Sistem seperti ini ada disebabkan 10
Eep Saefulloh Fattah, Penghianatan Demokrasi Ala Orde Baru, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000, hal. 187.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
karena terjadinya ketergantungan pada system internasional dan kericuhankericuhan politik dalam negeri. Para elite politik menekankan bahwa stabilitasmerupakan
kunci
utama
untuk
mengejar
ketinggalan
melalui
pembangunan ekonomi yang cepat. Rezim ini mempunyai kelompok-kelompok yang paling mungkin dapat mendukung proses pembangunan yaitu: militer, teknokrat sipil, dan pemilik modal. Menurut Guilnermo O’Donnel 11, rezim birokratik otoritarian memiliki sifat sebagai berikut: 1. Pemerintah dipegang oleh militer, tidak sebagai ditaktor pribadi, melainkan sebagai suatu lembaga, berkolaborasi dengan teknokrat sipil. 2. Pemerintah didukung oleh entrepreneur oligopolistik, yang bersama Negara berkolaborasi dengan masyarakat internasional. 3. Pengambilan keputusan bersifat birokratik-teknokratik, yang memerlukan suatu proses bargaining yang lama diantara berbagai kelompok kepentingan. 4. Masa didemobilisasikan 5. Pemerintah menggunakan tindakan represif untuk mengontrol oposisi. Guillermo O’Donnel memandang korporatisme Negara sebagai suatu proses yang bifrontal dan segmenter. Yang dimaksud bifrontal ialah bahwa dalam korporatisme Negara terdapat dua proses: 1. Statisai, dimana Negara menundukkan dan
menguasai organisasi-organisasi
masyarakat
sipil; 2.
Privatisasi, dimana Negara membuka beberapa lembaganya bagi penyampaian 11
Mohtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, Jakarta: LP3ES, 1989, hal. 10.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
kepentingan masyarakat sipil secara terorganisasi. Sedangkan yang dimaksud dengan “segmenter” adalah: 1. Negara memusatkan proses “statisasi” pada organisasi-organisasi kelas bawah seperti serikat buruh), dan 2. Memprivitasikan lembaganya hanya bagi keepentingan kelas atas yang dominant. Rezim otoriterisme birokratik mempunyai tekad melaksanakan startegi ekonomi politik yang menuntut tindakan yang cepat dan efektif. Karena itu pemegang kekuasaan eksekutif membangun suatu kitchen-cabinet kecil yang didukung oleh suatu kelompok administrator yang tanggap, efisien dan efektif serta suatu jaringan aparat intelejen yang ditempatkan disetiap provinsi yang semuanya berada dibawah pengendalian eksekutif. Ini diwujudkan dengan staf pribadi Presiden dan kemudian skretariat Negara, sebagai birokrasi super yang langsung dikendalikan oleh kepala eksekutif. Dwight Y. King menilai bahwa kewenangan tertinggi pada rezim ini terletak pada militer sebagai lembaga yang mengadopsi pembuatan kebijakan yang konsulatif dikalangan penguasa serta peranan sentral dan struktur birokratik yang lebih besar. Rezim birokratik otoritarian juga mengupayakan untuk mencapai kemajemukkan terbatas dengan mempergunakan represi dan yang khas suatu jaringan korporatis sehingga ada mekanisme control sebagai oposisi. 6.5. Perubahan Reformasi Politik Militer Secara harfiah, reformasi pada dasarnya berasal dari bahasa Latin (re) kembali dan (formare) yang berarti membentuk. Dalam hal ini. Reformasi di definisikan sebagai “usaha untuk membentuk kembali”. Istilah ini pertama kali
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
digunakan oleh Paus Gregorius VII yang mencita-citakan terjadinya reformation otius orbis (reformasi atas seluruh tatanan dunia).12 Soetandyo Wignjosoebroto, menyimpulkan bahwa istilah reformasi mengimplikasikan unsur dan makna ‘koreksi kritis’ di dalamnya. Dengan demikian, reformasi tidak hanya dimaknai sebagai ‘usaha untuk membentuk dan membangun ulang suatu struktur, melainkan sebagai suatu ‘usaha melaksanakan perbaikan tatanan di dalam struktur’. Maka pendapat Soetandyo yang menegaskan bahwa reformasi mempunyai makna dan unsur kritis adalah relevan. Oleh karena itu, sebuah reformasi perlu dilakukan agar tatanan lama yang buruk tersebut dapat digantikan dengan suatu tatanan sosial politik baru, yang tentunya diharapkan lebih baik. Menurut Hirschman, reformasi merupakan perubahan dengan mana “kekuasaan berbagai kelompok istimewa dikekang sementara posisi ekonomi dan status kelompok-kelompok kurang beruntung diperbarui”. 13 Definisi Hirschman diatas diikuti, maka salah satu ttugas pokok reformasi adalah bagaiman kekuasaan berbagai kelompok istimewa dikekang, sementara posisi ekonomi dan status sosial ekonomi kelompok-kelompok kurang beruntung diperbarui. Huntington mencatat bahwa dalam melakukan pembaruan politik para reformis akan menghadapi setidaknya tiga hal; Pertama, perjuangan kelompok reformis merupakan perjuangan dengan sisi ganda, yaitu menghadapi kelompokkelompok konservatif dan revolusioner. Kedua, yang akan dihadapi oleh kaum
12
Soetandyo Wignjosoebroto, “Reformasi Kehidupan Bermasyarakat dan Bernegara Bangsa”. Dalam Selo Soemardjan, “Menuju Tata Indonesia Baru”, Jakarta: Gramedia, hal.86. 13 Samuel Huntington, Tertib Politik pada Masyarakat yang Sedang Berubah” (terjemahan), Jakarta : Rajawali Perss, hal. 407.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
reformis adalah para agen pembaru, demikian Huntington menyebutnya, tidak hanya harus lebih ahli dalam menggerakkan dan mendayagunakan kekuatankekuatan sosial politik dibandingkan dengan kaum revolusioner, tetapi juga harus lebih berpengalaman dalam mengendalikan perubahan sosial. Ketiga, rintangan yang harus dihadapi oleh kaum reformasi adalah menyangkut hal prioritas dan alternative antara berbagai perbedaan tipe-tipe reformasi yang jauh lebih akut bagi agen pembaharu dibandingkan dengan kaum revolusioner. Seiring dengan lingkungan politik yang berubah, militer di Indonesia pasca-Orde Baru juga dituntut untuk berubah. Reformasi internal harus dilakukan guna menjawab lingkungan baru yang menuntut TNI lebih profesional di bidangnya. Sejak1998 respons TNI atas tuntutan reformasi telah mengemuka. Militer Indonesia tak bisa lagi menolak perubahan walaupun pihaknya meminta secara bertahap. Tapi, seiring dengan kencangnya dinamika politik sipil, perubahan bertahap itu tidak bisa dilakukan lama-lama. Pada 2004 TNI/Polri sudah harus meninggalkan DPR dan MPR sebagai konsekuensi logis dari ketentuan konstitusi yang baru (Naskah Perubahan Tahap Ke-4 UUD 1945), yang disepakati dalam Sidang Tahunan MPR 2002. Tapi, bagaimanapun, pentingnya mundurnya militer dari parlemen, yang mengakhiri peran politiknya secara formal, tapi sesungguhnya politik militer belum berakhir.Bagaimanapun,
militer, sebagaimana partai-partai politik,
organisasi sosial kemasyarakatan (ormas), lembaga swadaya masyarakat, pers, dan sebagainya, tetap merupakan sebuah kekuatan politik. Politik Indonesia masa depan ditentukan tidak oleh satu kekuatan politik saja (partai politik), tapi
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
interaksi antar kekuatan politik yang ada. Dalam proses kebijakan politik formal, memang, militer tidak punya keterlibatan langsung, tetapi ia masih bisa memengaruhi jalannya politik lokal maupun nasional. Apalagi bila ternyata kalangan politikus sipil lemah dan kontraproduktif satu sama lain. Di masa transisi, tatkala eksperimentasi politik sipil mengedepan, peran militer yang dulu merambah ke wilayah politik direduksi sedemikian rupa. Namun, apabila eksperimentasi itu gagal, padahal soliditas militer tetap terjaga maka tidak menutup kemungkinan militer akan kembali memainkan pengaruhnya di wilayah politik. Militer dan politik Orde Baru Membahas hubungan militer dan politik dalam konteks Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengalaman sejarah kemunculan
dan
berjalannya
rezim
Orde
Baru.
Kehadiran Orde Baru ditopang eksistensi kalangan militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), khususnya Angkatan Darat (AD) dengan tokoh utamanya Soeharto yang melenggang ke tangga puncak kekuasaan setelah dirinya mengklaim Presiden Soekarno telah memberinya mandat pemulihan keamanan, yang dikenal dengan Supersemar (Surat Perintah 11 Maret). Desain politik Indonesia Orde Baru, bahkan boleh dibilang merupakan desain politik yang, didalamnya memberikan peluang amat dominan bagi militer untuk intervensi ke segala sektor kehidupan,terutama sektor birokrasi dan politik. Eep Saefulloh Fatah memahaminya lewat empat alasan:
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
(1) sebagaimana fenomena umum Dunia Ketiga, militer Orde Baru adalah kekuatan sosial-politik yang paling siap dalam hal organisasi dan skills untuk memasuki birokrasi; (2) keadaan awal Orde Baru, ditandai kecurigaan penguasa terhadap politikus sipil yang umumnya berbasiskan partai politik; (3) penetrasi atau malah penguasaan militer terhadap birokrasi dianggap sebagai strategi paling tepat dalam rangka mengamankan pembangunan dan kelangsungan kekuasaan; (4) penetrasi militer ke dalam birokrasi menjadi leluasa karena tiadanya hambatan yang berarti dari masyarakat (awal) Orde Baru yang memang terbukti tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk ikut campur dalam pengaturan birokrasi dan mempengaruhijalannyakebijakan-kebijakanbirokratis. Sudah banyak diulas, sentralisme kekuasaan Orde Baru memberikan konsekuensitersendiri bagi militer untuk secara optimal menopang kekuasaan. Tanpa dukungan militer, Orde Baru tidak bisa tegak berdiri sekian lama. Namun, juga perlu dicatat bahwa militer demikian bergantung pada sosok Soeharto (yang pada 1997 mengangkat dirinya, bersama AH Nasution, dan Soedirman, masingmasing sebagai jenderal besar) amatlah tinggi. Harus diakui Soeharto merupakan tokoh militer Indonesia mutakhir yang memiliki strategi pengendalian politik militer yang hebat. Sampai-sampai, ia secara halus ikut campur dalam setiap kali ada mutasi di tubuh militer sehingga sesungguhnya yang bermain di sana yang paling dominant ialah Faktor Soeharto . Sebagaimana diketahui, dan telah
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
dijelaskan, salah satu hal yang mesti dikembangkan lagi ialah masuknya militer ke wilayah politik praktis secara terang-terangan lewat Golongan Karya (Golkar). Arbi Sanit mencatat sejarah Golkar dimulai dengan penugasan anggota-anggota ABRI, khususnya Angkatan Darat dalam lembaga pemerintahan dan lembaga perwakilan. Sejak 1965 semakin disadari kegunaan Golkar untuk menarik sebanyak mungkin kelompok-kelompok masyarakat dalam rangka membina hubungan yang serasi di antara ABRI dan masyarakat. Pada 1965 organisasi yang berafiliasi ke Golkar sebanyak 64 buah, meningkat menjadi 128 pada 1966 dan 252 pada 1967. Pada 1969 semua organisasi yang tergabung ke dalam Golkar dikelompokkan ke dalam tujuh kelompok organisasi. Singkat kata, dengan Golkar, militer melenggang di dalam kekuasaan. Keterlibatan ke wilayah politik yang makin membesar di era Orde Baru membuat militer tidak hanya dominan, tapi hegemonik. Yang menjadi persoalan ialah (1) militer membatasi demokrasi, yakni dengan melanggengkan sistem politik yang monolitik dan semiotoriter;(2) militer, karena merasa bagian absah dari kekuasaan, melakukan kontrol ketat atas kebebasan masyarakat; (3) militer menjadi alat efektif bagi penguasa untuk mencengkeramkan kepentingan kelanggengan kekuasaannya; (4) tatkala militer dalam praktiknya di lapangan kerap melakukan pelanggaran HAM dan justru menggelisahkan masyarakat. Posisi politik mereka tidak dipersoalkan, kecuali menjelang akhir Orde Baru, tatkala tuntutan reformasi marak, pelbagai kalangan masyarakat menuntut doktrin dwifungsi dihapus. Artinya, militer harus hengkang dari wilayah politik menuju profesionalitas militer. Belakangan soal bisnis militer
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
juga kencang disorot. Tumbangnya dwifungsi dan reposisi peran. Dalam iklim perubahan politik yang menandai adanya sebuah fenomena sirkulasi elite besarbesaran pasca-Orde Baru itu, militer Indonesia sempat menjadi bulan-bulanan akibat pemihakan dan sikapnya di masa lampau yang demikian menghegemoni di segenap bidang, lebih mementingkan kepentingan penguasa dan kerap melukai rakyat, dengan serangkaian pelanggaran HAM serius. Militer Indonesia dituntut harus berubah, tidak saja berkaitan dengan tata organisasinya, tapi yang lebih penting adalah budaya dan mentalitasnya. Pada 1998 militer merespons perubahan lewat Paradigma Baru TNI. Namun, paradigma ini masih mengesankan sesungguhnya militer belum rela meninggalkan kancah politik. Militer masih ingin berpolitik, cuma tidak di depan, memengaruhi secara tidak langsung, dan pembagian peran. Tidaklah mengherankan bila militer tetap ada di DPR dan MPR dan punya kesempatan langsung memengaruhi proses politik pasca-Orde Baru walaupun tak seofensif dulu. Posisinya di sana diperkuat oleh, ironisnya, kalangan politikus sipil, baik yang ada di luar (Deklarasi Ciganjur1998), maupun di dalam parlemen. Pada 2000, dalam laporannya kepada Presiden Abdurrahman Wahid, Panglima TNI Laksamana Widodo AS melaporkan tujuh butir kesimpulan Rapim TNI 19-20 April. Dari sinilah tercatat bahwa TNI melepaskan dwifungsinya, sebagaimana disimak dalam butir pertama, melepaskan dwifungsi yang selama ini memungkinkan TNI menggunakan kekuasaan selama lebih dari tiga puluh tahun dengan segala ekses yang tidak dapat dibenarkan. Pernyataan yang tegas ini, sayangnya, tidak segera dibarengi dengan keluarnya TNI/Polri dari DPR dan
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
MPR. Tapi, sejak 1998, di tengah keinginan kuat militer untuk masih ikut berpolitik,reposisi peran pun dimulai. Polri dipisahkan dari institusi militer (ABRI/TNI),menjadi badan yang berdiri sendiri baik TNI dan Polri posisinya langsung dibawah presiden. Di tubuh TNI, misalnya kasospol (kepala staf sosial politik)dilikuidasi digantikan dengan kaster (kepala staf teritorial); kewajiban pensiundini bagi anggota TNI yang berkarier di jalur sipil. Bahkan, wacana kemungkinan likuidasi teritorial TNI, bukan hal yang tabu lagi. Hal itu menunjukkan sesungguhnya militer Indonesia tampak tidak bisa mengelak dari perubahan. Pilihannya adalah sebagaimana dilontarkan Sandhaussen (1995) mengembalikan kekuasaan dan memperluas partisipasi. Walaupun, kita masih mencatat di masa perubahan politik pasca-Orde Baru, yang terjadi ialah militer masih cenderung mempertahankan kekuasaan walaupun harus mendukung perluasan partisipasi politik masyarakat. Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, kalangan militer Indonesia sempat bersitegang dengan presiden. Pasalnya, Abdurrahman Wahid memiliki pemikiran untuk mengeluarkan dekrit pembubaran parlemen dalam rangka menghantam lawan-lawan politiknya. Tetapi, kalangan TNI tidak menyetujuinya. Di samping itu, Abdurrahman Wahid tampak hendak mereformasi militer secara cepat dan drastis sehingga justru memperoleh resistensi yang kuat dari kalangan militer sendiri. Pada akhirnya, Abdurrahman Wahid memang jatuh tatkala dekrit yang ia keluarkan, antara lain, tidak memperoleh dukungan militer dan menjadi sekadar dekrit kosong. Endriartono
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
bahkan menyiratkan kemungkinan dukungan TNI/Polri bila Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan dekrit kembali pada UUD 1945. Menurutnya, kalau itu merupakan kesepakatan bangsa dan ini satu-satunya jalan hukum untuk menyelamatkan bangsa, dan bangsa ini menerima, kenapa TNI menolak? Katanya, tergantung bangsa ini, pihaknya hanya alat. Tapi, realitas politik berbicara lain. Ternyata di dalam Gedung MPR, gerakan antiamendemen surut dengan cepat. Dalam sidang di Komisi A, Fraksi TNI/ Polri bahkan memilih alternatif penghapusan Fraksi Utusan Golongan di MPR yang sekaligus menutup peluang bagi TNI/ Polri untuk tetap memiliki wakil di MPR. Ketua Fraksi TNI/Polri Slamet Supriyadi bahkan mendapatkan aplaus yang meriah dari Komisi A ketika menyatakan komitmennya bahwa TNI/ Polri tidak akan lagi berpolitik. Apa yang terkutip di atas menunjukkan rangkuman sikap TNI/Polri atas Perubahan Keempat UUD 1945. Tampak kesan bahwa TNI/Polri progresif mengantarkan proses perubahan politik di Indonesia, dengan misalnya mendorong pembentukan Komisi Konstitusi. Namun, hal ini bukan berarti TNI/Polri tidak punya agenda politik sama sekali. Agenda politik TNI/Polri tentu akan lain dengan agenda yang dibuat tatkala pihaknya masih memiliki hak istimewa berpolitik (zaman Orde Baru) dan menjadi elemen penting di tubuh Golkar. Agenda politik TNI, kelak tentu tidak terfokus pada hal-hal berkenaan dengan politik formal, tapi lebih ke politik profesionalitasTNI/Polri.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
6.6. Profesionalisme Militer Di
Indonesia,
profesionalisme
TNI
menjadi
isu
yang
ramai
diperbincangkan. Kalangan militer menafsirkannya secara sempit, dengan menitikberatkan pada netralistis politik atau ketidak ikutsertaan dalamm politik praktis. Kalangann sipil umumnya menuntut lebih banyak termasuk perilaku terhadap masyarakat sipil. Dalam pembahasan teoritik tentu istilah-istilah yang digunakan jauh lebih rumit dan luas. Para teoritisi melihatnya sebagai karakter yang terdiri dari elemen politik, kompetensi teknis, dan etika kemiliteran. Namun ukuran dari elemen-elemen itu sendiri itu bisa muncul dalam berbagai dimensi. Tak seorangpun menyangkal ketika dikatakan bahwa profesionalisme militer tidak muncul begitu saja dari ruang hampa melainkan merupakan resultan dari konteks sosial, kultural dan politik yang terjadi di dalam maupun di luar militer. Walaupun demikian, sebenarnya TNI telah melakukan peruubahan dalam rangka
meningkatkan
profesionalisme,
namun
profesionalitaas
yang
dikembangkan oleh institusi TNI/ABRI bukan diarahkan pada profesionalitas seperti yang dikemukakan oleh Huntington. Profesionalisme menurut Huntington bercirikan keahlian yaitu tingkat ketrampilan dan pengetahuan militer yang tinggi; korporasi yang ditandai dengan keterikatan kelompok; solidaritas korp yang kuat; serta tanggung jawab yang mendalam terhadap profesi, yang itu semua disebut sebagai military mind. Profesionalitas yang dikembangkan lebih sebagai pendalaman dan penyesuaian terhadap perkembangan sosial politik yang bisa
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
dibuktikan dari berbagai pandangan yang berkembang baik dari institusi militer maupun pribadi tentara seperti Susilo Bambang Yudhoyono. Dari uraian yang disampaikan pada intinya menyebutkan bahwa berdasarkan tinjauan yang berlangsung dimasa lalu, masa kini dan tantangan dimasa depan dalam peran sosial politik ABRI, maka ABRI telah melakukan perubahan paradigma (paradigm shift), dari paradigma lama yang sering berorientasi kepada pendekatan keamanan, menuju paradigma baru yang dilandasi cara berpikir analitik dan prospektif ke masa depan berdasarkan pendekatan komprehensif yang mengandung ABRI sebagai bagian dari system nasional. Perubahan
paradigma
yang
dilakukan
belumlah
menyangkut
dihilangkannya peran sosial politik yang banyak dianggap sebagaipenybab utama dari dostorsi peran ABRI, melainkan baru pada tahap penyesuaian peran sosial politik ABRI dalam implementasinya, yaitu: Pertama,ABRI akan berupaya mengubah posisi dan metode tidak selalu didepan; kedua, ABRI mengubah konsep dari menduduki menjadi mempengaruhi; ketiga, ABRI mengubah cara mempengaruhi secara langsung menjadi tidak langsung; keempat, kesedian melakukan political role sharing (kebersamaan dalam pengambilan keputusan penting kenegaraan dan pemerintah) dengan komponen bangsa lainnya.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
7. Metodelogi Penelitian 7.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian ini mempunyai tujuan yaitu mendeskripsikan, analisis, dan interpretasi kondisikondisi yang terjadi. Atau dengan kata lain, tujuannya memberi informasi mengenai keadaan yang saat ini terjadi dan melihat variable yang ada 14. Data dalam penelitian ini dinyatakan dalam bentuk kalimat atau uraian. Penelitian deskriptif sendiri biasanya mempunyai dua tujuan, antara lain. Pertama, mengetahui perkembangan sarana fisik tertentu atau frekwensi terjadinya suatu aspek fenomena tertentu. Kedua, untuk mendiskripsikan secara terperinci fenomena
sosial
tertentu.
Pada
umumnya
penelitian
kualitatif
tidak
mempergunakan angka atau nomor dalam mengolah data yang diperlukan. Data kualitatif terdiri dari kutipan-kutipan penulis dan deskripsi keadaan, kejadian, interaksi,
dan
kegiatan.
Dengan
menggunakan
jenis
data
kualitatif,
memungkinkan peneliti mendekati data sehingga mampu mengembangkan komponen-komponen keterangan yang analisis, konseptual dan kategoris dari data itu sendiri. 7.2. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode Library Research atau Studi Pustaka. Yakni dengan cara pengumpulan data dengan cara menghimpun buku-buku, makalah-
14
Mardalis, Metoda Penelitian, Jakarta:Bumi Aksara, 1995, hal.26.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
makalah, dan dokumen-dokumen serta sarana informasi lainnya yang tentu saja berhubungan dengan masalah penelitian ini15. 7.3. Teknik Analisa Data Penelitian ini bersifat deskriptif dengan tujuan memberi gambaran mengenai situasi atau kondisi yang terjadi. Data-data yang terkumpul, baik data yang berasal kepustakaan dan sumber lain akan dieksplorasi menggunakan analisis deskriptif dan pendekatan sejarah secara mendalam tentang masalah yang akan diteliti.
15
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995, hal.30.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
BAB II PERUBAHAN-PERBAHAN SOSIAL POLITIK ERA ORDE BARU DAN ERA REFORMASI 1. Perubahan-Perubahan Sosial Politik Era Orde Baru 1.1 Tatanan Politk Orde Baru Periode 1965-1970 meerupakan era konsolidasi bagi kekuasaan Soeharto. Pada periode tersebut Soeharto tidak melakukan perubahan politik yang radikal. Soeharto hanya berupaya dan memperkuat ambisi politiknya sebagai pengganti Soekarno. Pertama, melalui sidang umum MPR pada 1967, Soeharto memerintahkan MPR untuk mengubah pelaksanaan pelaksanaan pemilu dari penetapan di tahun 1968 menjadi 1971. juga pada 1969 sebanyak 10.000 orang tahana politik (tapol) B secara bertahap dibuang ke Pulau Buru. Disamping dalam rangka pengamanan pemilu, ini adalah taktik Soeharto untuk menunda pemilu agar mendapat dukungan yang lebih besar atas ambisinya sebagai Presiden Indonesia yan baru. 16 Kedua, Soeharto juga mendorong peranan ABRI jauh kedalam politik. Ketiga, Soeharto tetap melanjutkan kesepakatan politiknya dengan Golkar sebagai partai politik pendukungnya untuk
mengkonsolidasikan aspirasi politik rakyat
umumnya. Akhirnya Soeharto dan ABRI merangkul kuat para generasi muda, pelajar islam, pemuka agama, dan hamper semua partai islam serta berbagai
16
Komisi Pemilihan Umum website, Http://www.kpu.go.id
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
organisasi masa untuk menghancurkan dan mengakhiri pengaruh politik PKI didalam negeri. Menurut Harold Crouch “The Army and Politics in Indonesia”, hasil pemilu 1971 yang menunjukkan besarnya dukungan rakyat terhadap Golkar, secara drastis berdampak pada turunnya minat organisasi-organisasi sipil yang terorganisir untuk beroposisi terhaadap rezim yang berkuasa. 17 Ini juga berarti bahwa format politik baru yang mendukung Golkar sebagai partai utama menjadi demikian
signifikan.
Soeharto
kemudian
pertama-tama
mengenalkan
sebuahformat politik baru pada 1973, dimana bekas panglima KOSTRAD hanya mengizinkan berdirinya tiga partai politik (PPP, Golkar, dan PDI) mengakomodir aspirasi politik rakyat. Kemudian pada 1983, pergerakan Golkarnisasi dimulai, sewaktu Soeharto menekankan perlunya dilakukan transformasi peran politik partai Golkar, dari semata-mata kendaraan politik pemerintah ( government electoral vehicle ), menjadi partai massa yang berorientasi pada pemerintah dan Pancasila sebagai ideologinya. Kedua, kasus Malari (Malapetaka 15 Januari 1974, sebuah demonstrasi mahasiswa yang mengerikan) membuat Soeharto dan ABRI dengan tegas menghancurkan setiap protes yang dilakukan mahasiswa, karena itu pemerintahan Soeharto menciptakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang berlaku bagi
17
Harold Crouch, “The Army and Politics in Indonesia”, Cornell University Press. USA, 1998, hal.347
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
seluruh mahasiswa Indonesia pada 1976. 18 Ketiga, pada 1978 Soeharto memperkenalkan implementasi P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila) Keempat, Soeharto melakukan berbagai perubahan tata tertib (tatib), sehingga menempatkan DPR dan MPR sebagai institusi politik yang sepenuhnya dibawah pengawasannya. Soeharto mempunyai hak-hak untuk menunjuk seperlima anggota DPR (berjumlah 460 anggota sejak pemilu 1971), dan tigaperlima anggota MPR (jumlah seluruhnya dua kali lipat dari anggota DPR). Tatib tersebut membatasi peran politik PPP, PDI, dan hanya menguntungkan Golkar, serta menjamin berlanjutnya dominasi pemerintahan Orde Baru yang mengabaikan pandangan mayoritas publik. 19 Akibatnya, prinsip daripada perwakilan pemerintah yang tertuang didalam konstitusi UUD 1945, telah di salah gunakan oleh Soeharto dan menempatkan PPP dan PDI sebagai partai-partai yang diberi hak dan peran politiknya. Kelima, Soeharto juga melakuakan intervensi dengan mendominasi lembaga tinggi lainnya. Keenam, depolitisasi politik juga terjadi pada kehidupan rakyat di desa-desa. Ketujuh, empat juta pegawai negeri diwajibkan menjadi anggota KORPRI, dan menyalurkan mereka pada pilihan mereka pada setiap pemilu ke Golkar.
18
Douglas E. Ramage, Politics in Indonesia: Democracy, Islam and Ideology of Tolerance, Routledge, London (UK), 1995, hal. 10-44. 19 Mochtar Pabottinggi, “ Indonesia Historizing the new Order’s Legetimacy Dilemma”. In Muthiah Alagappa (ed), Political Legitimacy in Southeast Asia, Stanford University Press, Stanford California (USA), 1995, hal. 247.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Akhirnya, dominasi juga dilakukan atas semua jabatan penting di Departemen Dalam Negeri, dimana para perwira ABRI umumnya menduduki berbagai jabatan sipil ditingkat nasional dan daerah. Soeharto juga memfokuskan perhatiannya untuk memperluas dan menekankan perlunya peran poliitk ABRI. Pertama sejak 1965, pengaruh kekuatan politik ABRI yang cukup besar itu dilegitimasikan melalui doktrin Dwi Fungsi, doktrin yang mempertegas bahwa ABRI berhak untuk turut berperan dalam kehidupan politik Indonesia. Kedua, diakhir 1965 May, Jend. Soeharto membentuk KOPKAMTIB. Ketiga, menjamin bahwa birokrasi cukup proaktif terhaadap kepimpinan ABRI, dimana juga Soeharto langsung mengawasi penempatan perwira militer pada jabatan-jabatan yang biasanya diduduki oleh pihak sipil. Keempat, penetrasi dari wewenag ABRI atas berbagai bidang dari kehidupan sipil telah menjadi bagian integral bagi Negara Indonesia. Pada masa Orde Baru peran sosial politik TNI (terutama AD) tumbuh dan berkembang, dan menjadi motor penggerak pembanggunan. Hal ini dilakukan dengan cara menyusun kekuatan bangsa dan Negara untuk mencapai stabilitas nasional dalam upaya mendukung pertumbuhan ekonomi. Dalam rangka memberi jaminan hukum bagi peranan sosial politik TNI, Orde Baru membuat berbagai peraturan yang menyangkut Dwi Fungsi TNI yang dimulai garis Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara yang mengukuhkan Dwi Fungsi TNI sebagai salah satu modal
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
dasar pembangunan Nasional. Selanjutnya pada tanggal 19 September 1982 di undangkan undang-uundang No.22 tahun 1982 tentang keentuan pokok Pertahanan dan Keamanan NegaraI. 20 Dengan ikut sertanya TNI dalam memikul tanggung jawab sosial dan politiik, baik pada tingkat struktur maupun infra struktur TNI pun menempatkan dirinya sebagai dinamisator dan stabilisator. Hal tersebut tercermin dalam tugas kekaryaan TNI didalam lembaga-lembaga, badan-badan, dan organisasiorganisasi diluar jajaran TNI. Kalau kita lihat secara histories, intervensi TNI terhadap peran sosial politiik lebih banyak diakibatkan oleh kegagalan politik golongan sipil. Kegagalan politik sipil ini berimbas pada terbengkalainya pembangunan ekonomi, sehingga melahirkan
kemiskinan
dan
keterbelakangan.
Momentum
inilah
yang
dimanfaatkan TNI untuk melakukan iintervensi kedalam politik dan sekaligus menjadi nakodanya. Bagi TNI, tidaklah sukar uuntuk menduduki jabatan-jabatan sipil, sejakk pada jaman demokrasi terpimpin, tentara menjadi bagian dari para perwira yang sudah berpengalaman menjadi politisi. Begitupun dalam bidang ekonomi para perwira militer telah banyak memimpin bebagai banyak perusahaan, perkebunan, maupun perbankan bekas Belanda, Inggris, dan Amerika yang telah dinasionalisasikan. Morris Janowitz 21 mengemukakan bahwa militer punya kelebihan yang diperlukan sebagaii instrument pembangunan. Pertama, militer lebih berorientasi 20
A.S. Tambunan, “Dwi Fungsi ABRI sebagai Konsep Politiik”, dalam “Dwi Fungsi ABRI perkembangan dan peranannya Dalam Kehidupan Politik di Indonesia”, Yogykarta: Gajah Mada University Press, 1995, hal.120.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
pada pembangunan disbanding sipil. Kedua, rezim militer dapat membuat perusahaan dengan berbagai keputusan yang tidak memerlukan kompromi. Ketiga, militer mempunyai kemampuan memaksakan, dan organisasi yang diperlukan untuk menyediakan stbilitas politik yang sangat penting bagi pembangunan. Menurut Max Milkan dan Donald L.M, walau sebenarnya militer punya kelemahan dalam keahlian dan sikap-sikap yang diperlukan dalam sebuah masyarakatyang sedang melaksanakan modernisasi. Namun militer lebih nasionalis, lebih modern dalam pandangan, lebih disiplin dan berdedikasi, lebh jujur dan umumnya lebih banyak punya nilai-nilai dan pola-pola tingkah laku yang berkaitan denga modernisasi dibanding dengan masyarakat umum di Negara yang sedang berkembang. 22 Mengingat kelemahan yang melekat pada militer itulah menurut Yahya Muhaimin, militer dengan sendirinya cendrung melakukan tindakan-tindakan yang merugikan dalam penyelenggaraan pembangunan, kecuali mereka bekerja sama dengan kaum teknokrat dan intelektual sekuler. Dibawah kekuasaan TNI, pada masa Orde Baru, Indonesia berhasil menunjukkan pada dunia mengenai keberhasilan pembangunan sehingga dapat meyakinkan Negara donor. Terutama dalam kemampuan dalam menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen per tahun serta pembayaran pinjaman
21
Moriz Janowitz, dalam Monte Palmer, “Dilemas of Political Devolepment”,Florida: F.E Peacock Publisher, Inc, 1973, hal. 251. 22 Mac Milikan and Donald L.M., dalam Yahya Muhaimin, “Bisnis dan Militer”, Kebijakan Ekonomi Indonesia 1950-1980, hal. 121-122.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
sesuai dengan rencana. Keberhasilan Orde Baru ini telah memperkokoh keyakinan masyarakat terhadap pemerintah. Namun demikian, sebenarnnya disamping kemajuan dibidang ekonomi yang harus ditebus dengan hak-hak politik sipil, strategi pertumbuhan ekonomi ini telah melahirkan sisi negatif berupa ketiimpangan sosial, ketidak adilan, ketiadaan jaminan keamanan sosial maupun budaya, dan berbagai ekses lainnya seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Berbagai ekses itulah yang sering dijadikan senjata oleh masyarakat untuk mengkritisi pemerintahan Orde Baru dan tuntutan untuk mereduksi peran sosial politik TNI. Apalagi keberhasilan ekonomi Indonesia yang dibangun dibawah rezim militer ini ternyata keropos, hal ini terbukti ketika virus krisis moneter menyerang Indonesia uang dimulai dari Thailand, Korea Selatan, menyebabkan ekonomi Indonesia mengalami kebangkrutan. Kebangkrutan ekonomi Indonesia ini dijadikan sebagai momentum yang jitu bagi bangsa Indonesia, khususnya mahasiswa, untuk melengsernya Presiden Soeharto yang menjadi simbol kepemimpinan militer di Indonesia. 1.2 Terbentuknya Hegemony Party Sistem Seperti telah dikemukan, bahwa kekuatan politik politik Orde baru didominasi oleh militer yang berkepentingan memperoleh basis massa guna legitimasi rezim yang dibangunnya. Menurut William liddle, pemerintah Orde baru yang didominasi oleh militer memiliki persepsi yang khas terhadap partai politik, yaitu sebagai “pesaing
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
dalam memperoleh kekuasan, pemberi pandangan dunia yang lain dan penggerak kesalahan rakyat”.23 Peranan Ali Moertopo sangat besar dalam penciptaan kondisi dalam kemenangan Golkar melalui proses opsus (operasi khusus), sebuah badan intelejen dibawah kostrad, dan Bapilu (badan pengendali pemilu) Golkar. Sampaisampai Ali Moertopo menjadi simbol yang disegani dan sekaligus ditakuti pada saat itu. 24 Pertama kali, Pemilu yang menurut rencana akan dilangsungkan pada tanggal 5 Juli 1968 sesuai TAP MPRS No.XI 1966 “terpaksa” diundurkan karena RUU yang mengatur pelaksanaannya belum dirampungkan. Kedua; Terciptanya konsensus nasional antara pemerintah dan partai politik. 25 Konsensus kedua ini berlangsung selama tiga tahun sejak RUU disampaikan oleh pemerintah kepada DPR-GR, November 1966 yang ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPR-GR pada tanggal 16 desember 1967 No.20/Pimp/I/67-68 yang menetapkan sebagai berikut: 1. RUU tentang pemilu disahkan bersama-sama dengan RUU tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD. 2. Materi RUU pemilu yang sudah selesai tidak akan dipersoalkan lagi. 23
William Lidlle, Partisipasi dan Partai Politik: Indonesia Pada Masa Awal Orde Baru. Jakarta : Grafiti Press, 1992, hal.133. 24 Mengenai peranan Ali Moertopo pada masa ini tedapat dalam Abdul Gafur, Pak Harto Pandangann dan Harapannya (Jakarta: Pustaka Kartini, 1987), juga dalam Tempo, 26 Mei 1984. 25 Konsensus ini adalah Konsensus yang kedua. Sebelumnya adalahh Konsensus nasional berupa kedaulatan terhadap masyarakat dan pemerintah untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen Konsensus ini disebut Konsensus Utama. Konsensus kedua berkenan dengan cara melaksanakan Konsensus utama yang telah dikembangkan melalui TAP MPRS No.XX/1966. Periksa dalam Nugroho Notosusanto (ed), Terciptanya Konsensus Nasional 199661989, Jakarta : Balai Pustaka, 1985 cetakan III, hal.32-42.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
3. 12 pokok konsensus yang telah dicapai antara panitia khusus 3 RUU dan pemerintah tetap dipegang teguh dan tidak akan dilakukan perubahanperubahan. Isi 12 konsensus tersebut adalah sebagai berikut: a. Jumlah anggota DPR tidak boleh ngomro-ombro. b. Adanya balance/ perimbangan yang baik antara jumlah perwakilan pulau Jawa dan luar Jawa. c. Faktor jumlah penduduk yang diperhatikan. d. Adanya anggota yang diangkat di samping anggota yang dipilih. e. Setiap kabupaten dijamin minimal 1 wakil. f. Persyaratan mengenai domisili dihapuskan. g. Yang diangkat adalah perwakilan ABRI maupun non-ABRI: telah disepakati bahwa untuk non-ABRI harus non-massa. h. Jumlah anggota DPR ditetapkan 460 orang, terdiri atas 360 orang dipilih melalui pemilihan umum dan 100 orang diangkat. i.
Sistem pemilihan adalah proportional representation yang sederhana.
j.
Stelsel pemilihan adalah lijenstelesl.
k. Daerah pemilihan daerah tingkat I. 26 Ketiga, penguatan Golkar (1) mula-mula angkatan Darat menempatkan orang-orangnya dalam pimpinan Sekber
26
Golkar dan melakukan reorganisasi
Ibid.,hal 52-53
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
dengan membuat kino-kino dalam Golkar untuk menampung kelompok independent/intelektual yang ada dalam koalisi semula. (2) dikeluarkannya peraturan Mendagri No.12/1969 dan PP No.6 Tahun 1970 tanggal 11 februari 1970 tentang larangan pegawai negeri menjadi anggota parpol. (3) Menurut monoloyalita dengan hanya memberikan dukungan kepada Golkar, kecuali ada izin khusus dari pemimpinnya bila ingin terlibat dalam Golkar / Parpol. dan (4) membangun organisasi ondrebouw melalui jaringan korporatis untuk menggalang massa, seperti Korpri untuk pegawai negeri, AMPI dalam organisasi kepemudaan, dan GUPPI untuk ulama. Berikut adalah tujuan hegemonisme Golkar : 1
Melemahkan system kepartaian sambil memperbesar dominasi Negara dengan militer sebagai faktor utama serta menghilangkan dominasi parlemen.
2
Memperkenalkan kepada masyarakat simbol-simbol pembangunan dan modernisasi.
3
Membangun
legitimasi
formal
untuk
Negara
dalam
rangka
mengefektifkan kontrol dan kooptasi terhadap masyarakat. 27 Keempat, program “penggarapan” partai-partai politikyang dianggap dapat menghambat kemenangan Golkar dalam pemilu, seperti PNI dan NU. Pemerintahan kemudian melarang berdirinya kembali partai politik Masyumi
27
Julian M. Boileau, Golkar: Function Group Politics in Indonesia, Jakarta: CSIS, 1983, hal.91.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
yang banyak memperoleh dukungan massa dalam pemilu 1955 dan hanya mengizinkan pendirian partai dengan nama Parmusi. Kelima, penyederhanaan system kepartaian dengan melakukan fusi partai menjaadi dua parpol : PPP dan PDI, ditambah dengan Golongan Karya. Nyatanya, fusi partai inilah yang menjadi pangkal konflik internal karena unsur-unsur dalam partai selalu bersaing memperebutkan kursi dan pengaruh. 28 Keenam, manajemen pemilu yang khas melibatkan birokrasi yang besar dan dominan sebagai penyelenggara pemilu, sekaligus sebagai kekuatan politik yang tidak netral. Sejak pemilu pertama dalam Orde Baru tahun 1971 terbentuklah system kepartaian yang Hegemonic Party System (HPS). Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh La Palombara dan Weiner (1966). 29 HPS tercipta jika suatu parpol mendominasi proses politik suatu Negara dalam kurun waktu yang lama. 30 Lebih jauh Wiatr (1970,1976), berdasarkan penelitiannya di Polandia, mengatakan bahwa HPS terletak diantara system satu partai. 31 Di dalam HPS eksistensi partaipartai politik dan organisasi sosial diakui tetapi perannya dibuat seminal mungkin, terutama dalam pembentukan pendapat umum. 32
28
Mengenai konflik didalam tubuh PPP terdapat dalam buku yang ditulis oleh Syamsudin Haris, PPP dan Peta Politik Orde Baru (Jakarta : Grasindo, 1991). Untuk PDI, dan juga Adriana Elisabet Sukamto (dkk), PDI dan Prospek Pembangunan Politik (Jakarta : Rajawali, 1983), juga M.Rusli Karim, Perjalanan Partai-partai Politik , Sebuah Potret Pasang Surut.(Jakarta: Rajawali, 1983). 29 Afan Gaffar, Javanese Voters, a Case Study of Election Under a Hegemonic Party System, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1992, hal.36. 30 Ibid, hal.36. 31 Ibid, hal.36-37. 32 Ibid, hal.37.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Dengan landasan berfikir demikianlah, Dr. Afan Gaffar menyimpulkan bahwa system kepartaian di Indonesia semenjaka masa Orde Baru (1971) adalah hegemonic party system (HPS).33 Dengan Golkar sebagai partai politik yang dominan, sedangkan PPP dan PDI hanya berfungsi arti fisial. Dalam bahasa Deliar Noer, system kepartaian demikian disebut “system kepartaian setengah partai”. 34 Hegemonic Party System tercipta karena dukungan beberapa faktor yaitu: 35 1
Dibentuk aparatur keamanan yang represif dengan tugas menjaga ketertiban dan mempertahankan aturan politik dan stabilitas Negara. Stabilitas politik telah menjadi “bahasa resmi” dalam setiap kebijakan pemerintah dan militer sejak awal Orde Baru sampai saat ini.
2
Proses depolitisasi masa supaya Negara dapat memusatkan perhatian pada pembangunan ekonomi. Aktifitas mobilisasi massa dalam proses politik yang biasanya dilakukann oleh parpol pada masa lalu selalu diusahakan tidak lagi terjadi. Massa “diasingkan” dari arena politik.
3
Emaskulasi dan restrukturisasi partai-partai politiik yang dominan. Emaskulasi politik adalah pengebirian partai-partai politik, tentunya
33
Ibid, hal.37. Dalam Deliar Noer, Ideology, Politik dan Pembangunan, Jakarta: Yayasan Perkhidmatan , 1983, hal.73. Menurut Deliar Noer, Sistem Kepartaian ini ditandai oleh dominasi satu proses sospol (Golkar), sedangkan parpol (PPP dan PDI) hanya sebagai pemanis. 35 Affan Gaffar, Pembangunan Kepemimpinan Masa Depan ; dalam Sofian Efendi (dkk), Membangun Martabat Manusia, Peranan Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Pembangunan, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1992, hal. 37-49. 34
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
selain Golkar, teerutama sebelum pemilu.inilah yang dialami PNI dan Masyumiketika ingin berdiri sebagai parpol. 4
Dikeluarkannya
hukum-hukum pemilu
dan
aturan
pemerintah
sedemikian rupa untuk memungkinkan partai yang didukung pemerintah/militer (Golkar) selalu menang dalam pemilihan umum, seperti proses seleksi calon, kampanye, dan interpensi pemerintah dalam kehidupan parpol. Terdapat beberapa dampak hegemonic party system bagi kehidupann demokrasi di Indonesia. Pertama, dalam system HPS fluktuasi suara tidak dapat dijadikan indikator demokrasi karena perebutan suara diantara ketiga OPP hanya mencakup sekian persen 36 dan terbatas pada daerah-daerah tertentu. Penelitian Ipong Syaiful Azhar menyebutkan : “Pola hubungan anatara system pemilihan umum dengan system kepartaian yang berkembang di Indonesia pada masa Orde Baru yang hingga sekarang belum tergoyahkan adalah pola dimana system pemilihan umum dan system kepartaian di bawah subordinasi faktor Z, yaitu supra struktur politik yang secara real menjadi kekuatan inti system politik.” 37 Kedua,sebagai konsekuensinya dinamika terjadi dalam partai politik sebenarnya bukan “faktor pengaruh” atau independent variable terhadap
36
Dalam rangka memenuhi tugas kuliah “Peerbandingan Perilaku Politik” Ipong Syaiful mengadakan penelitian tentang pemilu-pemilu Orde Baru. Salah satuu simpulnya, suara yang diperebut setiap pemilu Orde Baru hanya 14,04 %. Perhitungannya berdasarkan suaranya minimal diperooleh OPP dalam lima kali pemilu dipandang sebagai pendukung setianya yang diasumsikan tidak akan beralih. PPP 15,97% (hasil pemilu 1987), Golkar 62,11% (hasil pemilu 1971) dan PDI 7,88% (hasil pemilu 1982), total 85,94%. Sedangkan 14,04% itulah yang menetukan fluktuasi suara OPP,, terdiri atas pemilihan-pemilihan muda, pemilih yang masih mengamabang suaranya, dan golput. 37 Syaiful Azhar, Hubungan anatara Sistem Pemilihan Umum dengan System Kepartaian dan Implikasinya Bagi Eksitensi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Republik Indonesia pada Masa Orde Baru, tesis S-2, Program Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta, 1992.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
peningkatan kualitas demokrasi, karena semua aturan main yang ada diciptakan untuk memelihara hegemonic party system. Ketiga, Golkar menjadii kekuatan mayoritas di DPR, apalagi ditambah dari anggota ABRI yang diangkat. Dalam lima kali pemilu, komposisi keanggotaan FKP dalam parlemen selalu diatas 50%. Di gabungkan dengan fraksi ABRI, maka persentasenya selalu diatas 71%. Lebih jelas dapat dilihat pada table berikut : Tabel 1 Persentase Perimbangan Kekuatan di DPR RI Hasil Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992 Pemilu
FKP
FPPP
FPDI
F ABRI
FKP+FABRI
1971
51,30%
20,44%
6,52%
21,74%
73,04%
1977
50,43%
21,52%
6,31%
21,74%
72,17%
1982
53,47%
20,44%
5,21%
20,80%
74,80%
1987
59,80%
12,20%
8,00%
20,00%
79,80%
1992
56,40%
12,40%
11,20%
20,00%
76,40%
Sumber: Hasil Pengolahan Data dari Lembaga Pemilihan Umum 1971, 1977, 1982, 1987 dan 1992. Dengan komposisi parlemen yang tidak seimbang ini, fungsi parlemen sebagai control eksekutif sebagaimana layaknya dalam system pemerintahan yang demokratis, tidak berjalan. Sebab FKP dan FABRI adalah “perpanjangan tangan”
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
DPP Golkar dan Mabes ABRI. 38 Sementara itu, kedua institusi berada dibawah subordinasi kepada Negara (Presiden) sebagai ketua Dewan Pembina Golkar dan panglima tertinggi ABRI, sekaligus sebagai kepala pemerintahan. 1.3 Lembaga Kepresidenan yang Kuat Setiap pemimpin yang baru saja memperoleh kekuasaan pasti menghadapi persoalan bagaimana tetap berkuasa. Sebab tanpa kekuasaan yang cukup besar dasar dan efektif, tujuan tersebut tidak akan pernah bisa tercapai. Karena itu tugas pertama seorang pemimpin adalah memperkuat posisi kekuasaannya ssehingga ia bisa melakukan perubahan dalam masyarakat. Para pendukung Orde Baru telah berhasil melaksanakan hal tersebut secara sempurna. Hal pertama yang dilakukan Orde Baru adalah menampilkan citra baik tentang kepribadian pemimpin. Upaya ini pertama untuk menunjukkan kepada rakyat bahwa pemimpin baru merupakan jelmaan yang diimpi-impikan rakyat. Ali Moertopo, seorang arsitek Orde Baru, berhasil mengerjakan in dengan baik ketika ia mengusulkan sebutan “bapak pemangunan” bagi Presiden Soeharto. 39
38
Sebagai akibat dari sitem pemilu proporsional, maka hanya memilih tanda gamabar sedangkan anggota-anggota parlemen dituunjuk oleh orsospolnya. Logikanya, mereka yang ditunjuk lebih terkait kepada petunjuknya, bukan kepada massa pemilih. Tipe perwakilan yang ditunjuk lebih terkait kepada penunjuknya, tipe seperti ini disebut sebagai tipe perwakilan partisipan atau tipe wali. Dengan adanya hak recall, hubungan ini dipelihara. Secara berseluruh, ada yang mengatakan DPR adalah “Dewan Perwakilan Orsospol” sebab anggotanya semua ditunjuk oleh Orsospol, bukan pilihan rakyat. Lantas yang mana DPR? Tanda-tanda gamabar, karena itulah dipilih”! walaupun seluruh ini berlebihan, ia dapat menggambarkan adanya ketidakpuasan rakyat terhadap lemabaga yang mewakilinya tersebut. Mengenai hal ini terdapa juga dalam Bintan R Saragih, Sistem Pemerintah dan Lembaga Perwakilan di Indonesia, Jakarta : Perintis Press, 1985. Dan Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia. 39 Mohtar Mas’oed, “Lembaga Kepresidenan dan Resep Pengendalian Politik di Indonesia”, Dalam Risa Noer Arfani, Demokrasi Indonesia Kontemporer, Jakarta : Grafindo Persada, 1996, hal.97
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Selain citra pemimpin untuk memperkuat posisi kekuasaannya pemimpin Orde Baru melembagakan lembaga-lembaga politik dan pemerintahan yang dicirikan dengan menguatnya kantor (lembaga) kepresidenan. Pelembagaan ini bisa berjalan dengan baik karena Soeharto memiliki dan kemampuan istimewa. Pertama, kemampuan memanfaatkan kekuasaan darurat yang diperoleh dari Presiden Soekarno, dan yang kedua, kemampuan membina sumber keuangan untuk melanggengkan kekuasaan. Salah satu kondisi yang memberi kemudahan kepada Jendral Soeharto untuk mengembang kekuatan politiknya muncul ketika ia berhasil mempengaruhi Presiden Soekarno supaya memberi wewenang kepadanya untuk “memulihkan keamanan dan ketertiban” setelah peristiwa G 30 S/PKI. Setelah terjadi tawar menawar yang tampaknya sengit, Presiden Soekarno akhirnya mengangkatnya menjadi panglima dari suatu unit yang secara khusus dibentuk untuk itu, yaitu Kopkamtib (Komandan Operasi Keamanan dan Ketertiban), pada tanggal 2 Oktober 1956, kesempatan yang “diimpikan” tercipta ketika Jendral Soeharto lagi “memperoleh surat perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Soekarno yang secara de facto memindahkan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Jendral Soeharto. 40 Setelah keadaan darurat ini selesai, mulailah Soeharto membina sumber keuangan, terutama ketika ia secara resmi menjadi Presiden Indonesia yang kedua. Dari sinilah Soeharto membangun lembaga kepresidenan yang sangat kuat (powerfull) hingga ia mengundurkan diri.
40
Ibid.,hal.101
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Bahkan bila dibandingkan dengan lembaga kepresidenan lain yang ada di dunia ini, lembaga kepresiden Orde Baru merupakan lembaga kepresidenan yang sangat kuat,41 disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut : 1. Lembaga kepresidenan mampu mengontrol political recruitmen dan ini merupakan resource politik yang sangat strategis. Meskipun menurut UUD 1945 lembaga ini mempunyai kedudukan yang sama dengan lembaga tinggi Negara lainnya seperti MA, DPR, DPA, dan BPK, namun dalam kenyataannya lembaga kepresidenan mempunyai kekuasaan untuk mengisi jabatan dalam lembaga tinggi Negara tersebut. Pengangkatan ketua MA dan Hakim Agung adalah melalui lembaga kepresidenan. Hal ini yang sama terjadi di lembaga DP dan BPK. 42 2. Presiden memilki kekuasaan keuangan (financial and budgeting power) yang sangat kuat, sehingga dengan demikian lembaga kpresidenan mempunyai sumber daya keuangan yang sangat besar. Kekuasaan keuangan ini dapat diperoleh melalui proses budgeting yang ada. Hampir semua masyarakat Indonesia mengetahui bahwa dalam praktek anggaran keuangan di Indonesia peranan lembaga perwakilan rakyat (DPR) belum berfungsi sebagaimana diharapkan. Kekuasaan yang sangat sentral yang dimiliki oleh Presiden diwujudkan juga dalam bentuk sejumlahh implementasi pembangunan yang melalui proyek INPRES dan Banpres.
41
Ibid.,hal.101 Benny K Harman, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 1997, hal.156
42
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Dua proyek ini secara politis sangat strategis untuk memperkuatt lembaga. 43 3. Presiden sendiri secara formal diberikan wewenang yang sangat besar oleh konstitusi, misalnya Presiden adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata RI, yang dalam hal tertentu dapat digunakan secara strategis seperti misalnya dengan dibentuknya Dewan Kehormatan Militer untuk menyelesaikan peristiwa 12 November di Dilli, Timor Timur. Disamping itu, Presiden juga memiliki legacy tertentu yang tidak dimiliki oleh lembaga lainnya, misalnya sebagai pengmban supersemar. 44 1.4 Stabilitas Politik Pembangunan ekonomi yang menjadi prioritas utama pembangunan membutuhkan prasyarat-prasyarat tertentu. Dibidang politik, prasyarat itu adalah stabilitas politik, yang ada pada dua dekadepasca kemerdekaan merupakan barang mahal dan sulit tercipta. Inilah yang menjadi sasaran utama pembanguanan politik sehingga tekanannya adalah pada pendekatan keamanan (security approach), bukan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach). “R’ason D’etrenya” adalah keadaan kritis yang terus dilestarikan. Untuk itu, dilakukan pembagian tugas. Pihak militer menjalankan pendekatan keamanan, sedangkan tenokrat merupakan pembangunan ekonomi. Dirumuskan konsep AHGT (Ancaman, Hambatan, Gangguan dan Tantangan) dalam kehidupan bangsa “musuh” yang harus diatasi. 43 44
Ibid.,hal.157. Ibid.,hal.158.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Pembelaan sosial yang demikian merupakan sumber terjadinya konflik yang mengganggu proses pembangunan bangsa (nation building) dalam rangka penciptaan integrasi nasional, persatuan dan kesatuan bangsa. Secara substansial ikatan-ikatan pprimordial ini tidak mungkin dihilangkan karena kebudayaan nasional berdiri diatas “puncak-puncak” kebudayaan daerah. 45 Pendekatan keamanan adalah hal yang wajar dalam pembangunan politik suatu bangsa, termasuk di Indonesia. Namun, menjadi tidak wajar jika pendekatan tersebut diberlakukan secara berlebihan dengan alasan yang diada-adakan, apalagi jika diterapkan untuk kepentingann suatu golongan. Demokrasi Parlementer dan demokrasi Terpimpin, walaupun memiliki wajah berlainan, memiliki kesamaan dalam hal koflik politik yang bersifat ideologis. 46 Geertz menyimpulkan, konflik politik Indonesia sukar diselesaikan karena yang dipersoalkann adalah masalah-masalah primordial, bukan masalah politik (kekuasaan semata). Konflik terjadi antar kelompok primordial yang berkisar pada masalah kesukuan, regionalisme dan agama. Konflik yang berdasar pada perbedaan ideology dan primordialisme bersifat mendalam dan sulit dipertemukan karena didalamnya terkandung nilai-nilai yang menuntut loyalitas tanpa penawaran.
45
Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. hal. 205. 46 Cliffort Geertz, “The Intergative Revolution, Primordial Sentiment and Civil Politics in the New State”, dalam Cliffort Geertz (ed). Old Societies and New States (New York : Free Press, 1963), hal. 105-157. Penilaian Geertz tersebut berdasarkan pengalaman politik sampai dengan awal tahun 1960-an.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Pencapaian dan penawaran stabilitas nasional, dengan ppengalaman politik sebelumnya, mengharuskan pemerintah dalam mengambil langkah-langkah sebagai berikut : 1
Menciptakan suatu tertib politik yang bebas darii konflik ideologis politis. Implementasinya adalah penyederhanaan partai politik melalui fusi, system politiik berdasarkan konsensus, penerapan asas tunggal Pancasila, dan lain-lain.
2
Membatasi partisipasi politik yang pluralistic. Partisipasi politik harus diarahkann pada penerapan program pembangunan yang telah dirancang oleh elite politik.
1.5 Birokrat yang Kuat Jajaran ketiga dalam struktur kekuasaan Orde Baru yang paling dominan adalah birokrasi. 47 Kehdiran birokrasi yang sangat kuat merupakan masalah yang dirasakan oleh semua Negara, tetapi kehadiran institusi ini di Indonesia memiliki karakteristik tersendiri yaitu 48: 1. Birokrasi di Indonesia mempunyai Self Image bahwa pejabat itu sangat tahu, sangat pintar, sementara rakyat berada pada posisi tidak tahu apa atau “bodoh”. 2. akibar dari hal pertama seperti yang sudah disebutkan, tugas mereka bukan lagi uuntuk melayani masyarakat, akan tetapi mereka yang harus dilayani.
47
Affan Gaffar, Politik di Indonesia ; Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005, hal.7-9. 48 Benny K Harman , Op.Cit., hal.73.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
3. fungsi pelayanan itu bukan sebagai dan kewajiban yang merupakan timbal balik untuk masyarakat tapi untuk pelayanan merupakan “hadiah” dari birokrasi. Birokrasi merupakan sinterklas yang harus disyukuri kehadirannya. Perilaku ini menimbulkan kesan bahwa pemerintah yang melaksanakan pembangunan dan bukan rakyat. Dengan demikian, birokrasi Orde Baru menjadi benevolent, sebagai lembaga yang baik, pemurah, pengayom dan oleh karena itu sebaliknya masyarakat harus obedient terhadap pemerintah, harus taat dan tunduk, patuh setia, tidak boleh macam-macam dan lain-lain ekspresinya. Menurut Affan Gaffar ketiga hal tersebut diatas, memainkan peranan politik yang dominan. 49 Seperti diketahui, salah satu persoalan yang terbesar dihadapi pemerintah Orde Baru ialah bagaimana disamping menciptakan program-program pemerintah yang secara efektif tanpa diganggu birokrasi. Supaya pemerintah yang baru ini dapat menjalankan program-program pembangunan ekonomi dan menciptakan 50 stabilitas diperlukan sebuah birokrasi yang efektif dan tanggap. Tidak diragukan bahwa pemimpin Orde Baru bertekad menggunakan birokrasi Negara sebagai primum mobile dari program pembangunan. Pemerintahan Orde Baru mempunyai anggapan dasar bahwa partai politik merupakan sumber konflik dan ketidakstabilan politik. Dengan demikian, pemerintah oleh partai maupun keikutsertaan partai dalam pemerintahan dianggap
49
Ibid, hal. 174. Mas’oed Mohtar, Restrukturisasi Masyarakat Oleh Pemerintah Orde Baru di Indonesia, Prisma, No.7/1989., hal. 20. 50
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
sebagai “masa lalu yang buruk” yang tidak perlu diulangi lagi. Penciptaan jarak antara partai dan birokrasi merupakan indikasi kecendrngan tersebut. 51 Disamping itu keterlibatan partai dalam birokrasi akan mengganggu bahkan menghambat tugas pelayanan birokrasi, suatu hal yang paling dihindari oleh pemerintah yang menjalankan pembangunan ekonomi sebagai obsesi sejak awal. Diyakini bahwa tugas birokrasi sebagai pelaksana kebijaksanaan hanya dapat berjalan dengan lancar jika mereka dijatuhkan dari politik, dalam arti kerjasama ataupun ikatan sembiosa dengan paartai politik. 52
51
Benny K Harman, Op.Cit., hal. 175. Syamsudin Haris, Pola Kecendrungan Konflik Partai Masa Orde Baru. Analisa CSIS, 1985, hal. 257. 52
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
2. Perubahan-Perubahan Sosial Politik Era Reformasi 2.1 Tatanan Politik Era Reformasi Sejak tanggal 21 Mei 1998, ketika Pak Harto menyatakan berhenti dari jabatan Presiden, dan digantikan oleh Habibie. Sebelum Habibie menjabat sebagai Presiden, Habibie menjabat sebagai Wakil Presiden (Maret !998- 21 Mei 1998), sebelumnya dalam cabinet Pembangunan VII di bawah Presiden Soeharto, ia menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi sejak tahun 1978 sampai Maret 1998. Habibie
berkomitmen
melakukan reformasi
secara bertahap
dan
konstitusional di segala bidang, dengan memulihkan kehidupan politik demokratis, mengikuti tuntutan zaman dan generasinya, dan menegakkan kepastian hukum sesuai Pancasila dan UUD 1945. Maka berdasarkan komitmen, ia telah menetapkan susunan kabinet yang sesuai dengan tuntutan zaman, aspirasi, dan kehendak rakyat, yaitu kabinet yang professional dan memiliki dedikasi serta integritas tinggi. Tugas pokok kabinet adalah menyiapkan proses reformasi. Dibidang politik, antara lain dengan memperbaharui berbagai perundang-undangan dalam rangka yang lebih meningkatkan kualitas kehidupan berpolitik yang bernuansa pada Pemilu sebagaimana yang diamanatkan oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Kebijakan pemerintahan Habibie di bidang politik yang membawa misi amanah reformasi telah mengubah suasana kehidupan politik yang lebih merdeka.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Muncul banyak partai tanpa ada pembatsan, muncul banyak organisasi perserikatan buruh, banyak lahirnya Undang-Undang politik yang digodok di DPR merupakan langkah reformis yang menciptakan kehidupan politik yang lebih kondusif. Karya pemerintahan Habibie dalam bidang politik, antara lain: 1. berhasil mendorong rumusan untuk membatasi masa jabatan kepresidenan menjadi maksimal dua kali sesuai hasil amandemen UUD 1945. 2. berhasil memisahkan institusi Kepolisian dari TNI. 3. berhasil mempercepat penyelenggara Pemilu 1999, yang demokratis dan jurdil, padahal hal itu mempercepat pula proses ia akan kehilangan jabatan. 4. berhasil menciptakan rekonsiliasi nasional dengan pembebasan tahanan politik dan narapidana politik. 5. berhasil memberi kebebasan dan keterbukaan pers, tanpa ada sensor dan pembatas lagi 6. berhasil membela hak-hak berserikat kaum buruh dengan melakukan ratifikasi berbagai konvensi ILO. Pemerintahan Habibie telah berhasil mentransformasi system politik yang sesuai tuntutan zaman. Meninggalkan stigma Orde Baru yang menjadi pendorong lahirnya Reformasi dengan menempatkan posisi rakyat sebagai yang berdaulat.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
2.2 Reformasi Internal TNI Maka pada tanggal 21 Mei 1998 terjadilah peristiwa politik besar berupa mundurnya Presiden Soeharto (lengser keprabon) dan muunculnya pimpinan baru diluar tentara yaitu Prof. B.J.Habibie. Momentum krisis ekonomi ini telah melahirkan berbagai gerakan, terutama dikalangan mahasiswa yang menuntut adanya reformasi total, dengan mengungsung isu-isu demokratisasi. Agenda pendemokratisaisan ini sangat terkait dengan upaya mereduksi peran militer dalam tanggung jawab sosial dan politik, kalauu tidak menghilangkan sama sekali, yaitu mengembalikan TNI ke dalam fungsinya (repositioning) yaitu dalam bidang pertahanan dan keamanan, tidak ikut campur dalam fungsi sosial politik. Namun dalam praktek, mereduksi peran TNI dalam bidang sosial politik ini tidaklah mudah karena sudah terlanjur lama dan menyatu dengan fungsi kemiliterannya. Dengan demikian, upaya melakukan reposisi TNI itu tidak bisa dilakukan secara drastis, melainkan secara bertahap.hal ini juga terkait dengan kesiapan mental dari TNI untuk dapat kembali keposisi semula sebagai “tentara professional”. Salah satu upaya dalam rangka memperlancar implementasi terhadap paradigma baru, TNI melakukan beberapa langkah reformasi internal menuju sebuah sosok tentara ideal yang professional. Langkah-langkah reformasi internal ini merupakan wujud nyata dari upaya TNI untuk melaksanakan paradigma baru yaitu mengembalikan jati dirinya sebagai alat pertahanan dan keamanan Negara.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Langkah-langkah Reformasi internal TNI hasil revisi tahun 1999 terjadi pengurangan jumlah menjadi17 butir, yaitu: 1. Sikap dan pandangan politik ABRI tentang paradigma baru peran ABRI abad ke-21. 2. Sikap dan pandangan politik ABRI tentang paradigma baru peran sosial politik ABRI. 3. Pemisahan Kepolisian RI (Polri)dari tubuh ABRI yang telah menjadi keputusan pemimpin ABRI mulai 1 April 1999 sebagai transformasi awal. 4. Penghapusan Dewan Sosial Politik Pusat (Wansospolpus) dan Dewan Sosial Politik Daerah (Wansospolda)tingkat I. 5. Perubahan staf sosial politik menjadi staf territorial. 6. Likuidasi staf Karyawan (Syawan) ABRI, Kamtibmas ABRI, dan Badan Pembinaan Kekaryaan (Babinkar) ABRI. 7. Penghapusan sospoldam, babinkardam, sospolrem, dan sospoldim. 8. Penghapusan Kekaryaan ABRI melalui pensiun atau alih status. 9. pengurangan jumlah fraksi ABRI di DPR, DPRD I/II. 10. ABRI tidak akan pernah lagi terlibat dalam politik praktis. 11. Pemutusan hubungan organisatoris dengan partai Golkar dan mengambil jarak yang sama dengan semua partai politik yang ada. 12. Komitmen dan Konstituensi netralitas ABRI dalam pemilu. 13. Perubahan paradigma hubungan ABRI dan keluarga besar ABRI.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
14. Revisi piranti lunak berbagai doktrin ABRI disesuaikan era Reformasi dan peran ABRI abad ke-21. 15. Perubahan Staf Sosial Politik Menjadi Staf Teritorial 16. Perubahan nama ABRI menjadi TNI 17. Pembubaran Badan Koordinasi dan Strategi Nasional (Bakortanas) dan Badan Koordinasi dan Strategi Daerah (Bakorstanda). Berkenan dengan pelaksanaan paradigma baru dan Reformasi Internal, makat perlu melakukan upaya yang lebih konkrit. Oleh karena itulah, mabes TNI membuat tahapan sasaran Reformasi internal berdasrkan skala dann waktu. Salah satu perubahan yang paling strategis adalah perubahan Staf Sosial Politik menjadi Staf Teritorial yang merupakan tonggak awal dan sekaligus menetukan langkah Reformasi TNI selanjutnya menuju paradigma baru. Dengan digantinya Kasospolmenjadi Kaster berarti secara struktural peran sosial politik TNI sudah tidak ada. Keseriusan TNI untuk bisa melaksanakan paradigma baru dan Reformasi internal ini, juga di tunjukan dari target waktu yang ditetapkan. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya schedulle waktu yang telah ditetapkan untuk melakukan dan menjalankan beberapa langkah Reformasi yang telah ditentukan seperti yang tertuang dalam “Reformasi Internal dalam Rujukan Waktu”.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Tabel 2 Proses Reformasi Internal dalam Rujukan Waktu Tahapan sasaran
Dwi Fungsi
Jangka Pendek
Jangka Sedang
Jangka Panjang
0-3 Tahun
4-7 Tahun
8-12 Tahun
♦
Likuidasi Fraksi
♦
♦
Implementasi
♦
(peran Sospol)
Tanggalkan
peran
sospol ♦
♦
Tanggalkan
paradigma
kekaryaan
yang
Likuidasi
Bin
lebih
TNI
KB
Korpri
TNI
♦
ke
masa
Institusi menjalankan Politik Negara (Han)
bersifat
depan
sospol ♦
perseorangan warga Negara
baru
menjangkau
institusi
Hak &kewajiban politik sbg
♦
Likuidasi FTNI/POLRI MPR
♦
TNI lepas dari politik
♦
Pemantapan transisi dilanjut
&
fungsional
Pers Fungsi Teritorial
♦
Perumusan konsepsi
♦
refungsi & restruktur ♦
Pembahasan
linatas
Reorientasi
dan
Internalissi
Struktur dan Doktrin
♦
Penysutan selektif
♦
Pemisahan Polri dari
♦
♦
♦
Validasi dan
Penataan organisasi
secara fungsi sesuai dgn tata
♦
Penyusutan selektif
kewenangan yang ada
♦
Reorientasi
TNI
dan
♦
Evaluasi validasi
♦
Likuidasi staf kosmos
♦
Pemantapan peradilan
♦
♦
Struktur
Doktrin
dlm
Han
fungsi
Han
kesemestaan
sbg
doktrin nasional
system
♦
Postur efektif, (PEEM)
Susunan UU TNI
sebagai alat Han ♦
Fungsi
cerminkan Doktrin Gab
♦
organisasi
doktrin
Binpotnas di daerah untuk
institusi
♦
organisasi TNI
UU
pelaksanaan
mendukung
Penyelesaian
Penjabaran
dengan
pengganti
restrukturisasi
terkait ♦
Penyiapan
TNI
Turdang Han
turdang
Alih Fungsi
sektoral ♦
Penyelesaian
Transisi piranti lunak
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
TNI
professional,
efsien,
modern
system peradilan
Kesejahteraan
♦
Likuidasi kaster TNI
♦
Penerapan akuntabilitas
♦
yayasan-
yayasan
milik
TNI/Badan
♦
Kesejahteraan Prajurit
public
terhadap
Reformasi Badan Usaha
Kesejahteraan Prajurit melalui jemen
professional
dan
transparan
Usaha
Militer Kultur
♦
Sosialisasi peran TNI
♦
Revisi kurikulum Dik
♦
Prajurit professional
♦
Pergeseran
♦
Mempormulasikan
♦
Tegak hukum &harga HAM
sikap yang lebih adaptif
♦
Hargai
paradigma baru TNI
&kontekstual terhadapperubahan nilai
kewenanngan
pemerintah ♦
Konstitusional
dan kultur
Sumber : Mantan Danrem Baladika, 2003, Paradigma Baru TNI &Reformasi Internal Lanjutan TNI (Tahap II). Dalam ketetapan MPR No.VII/2000, TNI ditetapkan sebagai alat pertahanan Negara yang bertugas pokok menegakkan kedaulatan Negara, keutuhan wilayah, serta melindungi segenap dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan keutuhan bangsa dan Negara, serta melaksanakan tugas Negara dalam penyelenggaraan wajib militer. 2.3 Visi dan Langkah-langkah Reformasi Internal TNI Sebelum adanya Reformasi, beberapa kalangan ABRI sudah mulai menyadari perlunya ada beberapa perbaikan. Ide “Reformasi Internal“ ABRI telah dibicarakan oleh kalangan terbatas. Hal ini tidak terlepas oleh adanya beberapa pemikiran yang menghendaki adanya perubahan perann ABRI dalam masyarakat. Iklim politik pasca pertengahan 1990-an juga mulai mendukung hal itu.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
ABRI membagi visi menjadi dua, yakni dengan visi bersifat dasar dan yang bersifat visi konsektual. Visi dasar merupakan visi yang sangat esensial bagi upaya
menjaga
tetap
tegaknya
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia,
mengamankan dan menyelamatkan Pancasila dan UUD 1945, serta mengenal pembangunan nasional untuk mewujudkan cita-cita nasional. Sementara itu, visi konsektual berkembang sejalan dengan perkembangan masalah yang dihadapi bangsa sehingga akan melahirkan suatu persepsi untuk memecahkan masalah secara proporsional dan bersifat konsektual pada setiap aspek kehidupan nasional. Implementasi peranan ABRI sebagai stabilisator dan dinamisator nasioonal senantiasa berkembang sejalan dengan tuntutan perkembangan zamannya, namun harus tetap mengacu pada doktrin induk agar tidak terlepas dari nilai-nilai dasarnya. Visi dasar ABRI meliputi tiga masalah pokok terhadap kelangsungan kehidupan bangsa Indonesia. Ketiga visi tersebut adalah sebagai berikut: 1. visi ABRI terhadap Negara 2. visi ABRI terhadap Bangsa 3. visi ABRI terhadap perjuangan bangsa dalam pencapaian cita-cita nasional Visi dasar ABRI menjadi pijakan utama bagi kebijakan peran ABRI dalam masyarakat. Sebagai visi dasar, ABRI tidak dengan mudah akan mengubahnya, kecuali ada perubahan sangat mendasar. Sementara itu, visi konsektual meliputi beberapa hal yang dapatt disebutkan sebagai berikut: 1. visi ABRI terhadap aspek hankam
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
2. visi ABRI terhadap aspek ideologi 3. visi ABRI terhadap aspek politik 4. visi ABRI terhadap aspek ekonomi 5. visi ABRI terhadap aspek sosial budaya Berbagai visi tersebut di atas mencerminkan betapa ABRI mempunyai tanggung jawab untuk menyelamatkan Negara Indonesia dari berbagai ancaman, baik dari luar maupun luar negeri. Munculnya paradigma baru ABRI ini sebagai akibat dari gencarnya politik terhadap peran ABRI selama Orde Baru. Mereka tampaknya ingiin meredefinisi, mereposisi, dan mereaktualisasikan peran diri mereka. Dibawah pemerintahan Soeharto, fungsi sosial politik ABRI dilaksanakan secara eseksif. ABRI dijadikan sekedar alat dari rezim yang berkuasa, dan doktrin Dwi Fungsi ABRI direkayasa untuk mendukung dan memperkuat status quo kekuasaan. Sementara itu, fungsi sosial politik ABRI telah diartikan oleh masyarakat luas sebagai tidak lebih dari sekedar menempatkan perwira-perwira ABRI dalam berbagai jabatan sipil, sebagai bagian dari rekayasa Soeharto menarik simpati dan dukungan ABRI. Dengan kata lain, ABRI hanyalah “kuda troya” belaka dari sang penguasa. Oleh karena itu, ABRI mengubah dirinya, citranya, dan perannya. Mereka ingin memperbaiki, terutama dalam fungsi sosial politiknya. Fungsi itu dalam paradigma baru ABRI, mengambil bentuk implementasi sebagai berikut:
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Pertama, ABRI berusaha mengubah posisi dan metode yang dahulu selalu harus di depan. Kedua, ABRI mengubah konsep dari menduduki menjadi mempengaruhi. Ketiga, ABRI ingin mengubah cara-cara mempengaruhi secara langsung menjadi tidak langsung. Keempat, ABRI bersedia untuk melakukan politicall and role sharing (kebersamaan dalam pengambilan keputusan penting kenegaraan dan pemerintahan) dengan komponen bangsa lainnya. Dengan paradigma baru tersebut, visi ABRI di era Reformasi ini secara menyeluruh dapat disebutkan bahwa ABRI tetap merupakan kekuatan pertahanan dan keamanan yang professional, efektif, efisien dan modern, serta senantiasa siap uuntuk mengamankan dan memberikan sumbangan darma bakti yang diperlukan bagi kelancaran pembangunan bangsa menuju pencapaian tujuan nasional, bersama-sama dengan komponen strategis bangsa lainnya. Dari visi ABRI di masa Reformasi seperti tercantum di atas, terlihat adanya kemauan untuk berbagi peran dengan mitra sipil. ABRI mengakuu sebagai salah satu komponen dalam membangun bangsa dan Negara, serta mengaku sebagai salah satu bagian dari sitem nasional. Dalam implementasinya mestinya juga demikian. Artinya, ABRI tidak perlu berpihak pada suatu kekuatan apa pun, termasuk Golkar dan partai yang lain, yang menguasai pemerintahan. Jendral Wiranto, selaku Panglima ABRI, menjelaskan dalam suatu dialog interaktif yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa bahwa visi
ABRI
kedepan
“merupakan kekuatan
pertahanan
keamanan
yang
professional, efektif, efisien, danmodern yang senantiasa siap mengamankan dan
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
memberikan sumbangan darma bakti bagi kelancaran pembangunan bangsa (national building) dan pembangunan nasional (national development). Pengertian dasar itu kemudian dijabarkan kedalam enam peran ABRI yang meliputi: (1) mempertahankan kedaulatan tanah air dari ancaman eksternal; (2) menjaga keamanan dalam negeri dari ancaman internal; (3) memberikan sumbangan aktif kepada pembangunan bangsa; (4) mendorong perkembangan demokrasi dan masyarakat madani; (5) membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam arti seluasnya; dan (6) berperan aktif dalam tugas-tugas pemeliharaan peramaian dalam rangka upay ABRI mewujudkan perdamaian dunia.Oleh karena itu, menurut Wiranto dalam Pemilu 1999 , ABRI tidak lagi melakukan upaya dan rekayasa untuk membantu memenangkan salah satu partai. 2.4 Pemisahan Polisi dari ABRI Sebagaimana yang dikemukakan oleh Wiranto dalam pidato perintah harian Panglima ABRI (Pangab) pada tanggal 31 Maret 1999 yang disiarakn melalui media elektronik, pemisahan ABRI Polisi dan ABRI bertujuan untuk menampilkan postur dan penampilan Polri yang professional, mahir dan berwibawa sehingga mampu memberikan pelayanan masyarakatt serta berperan secara efektif dalam upaya penegakan hukum. Ihwal pemisahan Polri dan ABRI (TNI) sebenarnya bukanlah gagasan baru. Pada 1993, dalam suatu seminar, Prof. Sahetapy mengatakan bahwa pemisahan Polri dan ABRI mutlak dilakukan. Karena didalam menjalankan tugasnya, angkatan perang (AL, AD, dan AU) disahkan untuk menghancurkan
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
fasilitas musuh, membunuh musuh-musuh, bila perlu dengan kekerasan dan demi komandan, booleh melanggar dan mengesampingkan hak asasi manusia. Sedangkan Polisi, dalam menjalankan tugasnya sebagai penindak kejahatan harus berpedoman pada hukum dan tidak boleh melanggar hak asasi manusia, tidak boleh menggunakan kekerasan karena loyalitas aparat polisi bukan pada atasan, melainkan pada hukum. Lebih jauh lagi Prof. Sahetapy mengemukakan, dalam pasal 8 ayatt 1 UU Kepolisian dinyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Di kalangan masyarakat sendiri ada harapan bahwa pemisahan Polri dan ABRI dapat meningkatkan profesionalisme dan kemandirian Polri dari kecendrungan intervensi politik serta mempersempit ruang penggunaan kekerasan oleh polisi akibat posisi dan perilaku kemiliteran (combat). Selain itu, sebagai konsekuensi dari pemisahan tersebut, pemerintah harus mencabut UU No.20/1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan RI karena UU tersebut tidak mengatur dan memberikan batasan yang jelas antara tugas kepolisian dengan angkatan perang. 2.5 Reformasi Peran dan Fungsi TNI/ABRI 2.5.1 Dalam Lembaga Eksekutif Bagi kalangan sipil, melihat reformasi dalam bidang politik menjadi hal paling penting. Hal ini di karenakan oleh kondisi objektif masa orde baru yang begitu masifnya anggota TNI mengisi jabatan eksekutif di pusat maupun di
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
daerah. Keterlibatann TNI/ABRI di lembaga Eksekutif pada masa orde baru jumlahnya memang sangat fantastic baik sebagai anggota cabinet, Duta Besar, Gubernur, Bupati, serta jabatan-jabatan penting lain di birokrasi pemerintahan. Data ABRI sampai dengan Juli 1998 menunjukkan bahwa dari 27 Gubernur, sejumlah 14 orang (55,5%) berasal dari ABRI dan untuk kepala daerah TK II sejumlah 41,1% masih dijabat oleh anggota ABRI. 53 Menurut Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) TNI menentukan State Formation (Tim Peneliti PPW-LIPI, 1999). TNI memegang dominasi atas beberapa hal. Pertama, struktur politik Indonesia pada masa pemerintahan soeharto, khususnya pada lembaga birokrasi, terutama Departemen Dalam Negeri, banyak dikuasai oleh TNI-AD. Disamping presiden dari TNI-AD juga beberapa Pos keMentrian penting selalu dipegang TNI-AD. Misalnya menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan. Keterlibatan personel TNI-AD dalam cabinet bisa dilihat dalam table berikut ini : Tabel 3 Jumlah Personel TNI dalam kabinet Pembangunan Kabinet
Unsur
% Militer
Jumlah Nominal
Departemen Pembangunan I
8
34
23
Pembangunan II
6
24
25
53
Arif Yulianto, Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hal.441.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Pembangunan III
15
45
33
Pembangunan IV
17
42
40
Pemabangunan V
14
34
41
Pembangunan VI
10
24
42
Sumber: Mulyana W.Kusumah, Kompas 4 Mei 1995 Disamping itu dominasi TNI dalam birokrasi dan jabatan politik sangat besar jabatan politik itu merentang dari pusat pemerintah (Jakarta) samapai ke daerah-daerah, seperti yang terlihat dalam table di bawah ini: Tabel 4 Jumlah Anggota TNI dan Polri di Luar Bidang Hankam No
Jabatan/Penggolongan
1977/Mei
1980/November
1
Pusat Pemerintahan
17 (42,5%)
19 (47,5%)
2
Menteri/Pimpinan Lembaga Tinggi
14 (73,6%)
14 (73,6%)
3
Sekertaris Jendral
18 (29,5%)
18 (29,5%)
4
Inspektur Jendral
15 (78,9%)
15 (78,9%)
5
Direktur Jendral
8 (44,4%)
8 (44,4%)
6
Kepala
non-Departemen 21 (84%)
21 (84%)
Lembaga
Sekr..Asisten Mentri (setingkat)
7
Jumlah
76 (53,5%)
76 (53,5%)
Kepala Daerah
19 (70,3%)
19 (70,3%)
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
8
Gubernur
136 (50,4%)
137 (50,4%)
9
Bupati
19 (31,6%)
20 (33,6%)
Walikota 10
Luar Negeri
24 (41,0%)
28 (44,4%)
11
Duta Besar
1 (50,0%)
1 (50,0%)
12
Kuasa Usaha
4 (25,0%)
4 (25,0%)
Jumlah
31 (31,9%)
35 (34,3%)
1
Sumber
17,004
12.873
2
Angkatan Darat
926
825
3
Angkatan Laut
698
777
4
Angkatan Udara
2.490
2.357
Konsul Jendral
Kepolisian Sumber Data : Nugroho Notosusanto,1984, Sementara jumlah karyawan ABRI dilingkungan departemen dan nondepartemen samapai dengan juli 1998, besarnya jumlah anggota TNI yang dikaryakan cukup besar,seperti yang terlihat dalam table dibawah ini:
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Tabel 5 Jumlah Karyawan ABRI Juli 1998 Karyawan
Organic
Non organic/purn
Jumlah
Pusat
996
1.446
2.442
Daerah
5.903
4.101
10.004
Jumlah
6.899
5.547
12.446
Sumber : Data Staf Karyawan ABRI, dalam Arif Yulianto, hal.442. Begitupun keterlibatan TNI dalam eksekutif di Malang, khususnya yang menjadi Kepala Daerah, sebelum Reformasi cukup banyak. Dari mulai tahun 1969 sampai tahun 2000 Bupati/Kepala Daerah Kabupaten Malang semuanya dipimpin oleh tentara. Langkah Reformasi berkenan dengan keterlibatan ABRI/TNI dalam bidang politik, khususnya dibidang ekekutif dilakukan dengan cara mewajibkan calon Kepala Daerah dari TNI untuk pensiun sejak tahap penyaringan. Menurut Danrem Baladika Jaya, Kolonel Artleri Hadilukmono pengurangan TNI di eksekutif ini merupakan wujud dari TNI untuk meninggalkan Dwi Fungsi ABRI . 2.5.2Dalam Lembaga Legislatif Langkah Reformasi TNI di bidang Legislatif merupakan Reformasi yang paling jelas, artinya tahap perubahan yang terjadi bisa di hitung secara kuantitatif. Walaupun pada saat ini TNI belum pasti siap ikut memilih dalam Pemilihan Umum, tapi pada jangka waktu 12 tahun kedepan sesuai dengan langkah
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Reformasi hak dan kewajiban TNI sebagai warga Negara kemungkuinan akan digunkan. Keterlibatan TNI di legislatif pada masa Orde Baru tidak hanya dalam tataran kuatitas, melainkan juga kualitas. Artinya keberadaan mereka di legislatif mempunyai posisi yang strategis karena menjabat sebagai ketua lembaga legislatif di tingkat daerah. Namun setelah Reformasi, posisi ini berubah, baik secara kualitatif posisi TNI/POLRI di legislatif sudah beralih ketangan sipil. Jumlah anggota dewan di kabupaten dan kota periode 1999-2004 masing berjuumlah 5 orang yaitu 10% dari jumlah anggota DPRD secara keseluruhan. Posisi ketua dewan pun tidak lagi dipegang oleh anggota dari fraksi TNI /POLRI hanya menjabat sebagai wakil Ketua Dewan. 3. KESIMPULAN Pada masa Orde Baru peran sosial politik TNI (terutama pada AD) tumbuh dan berkembang, dan menjadi motor penggerak pembangunan. Hal ini dilakukan dengan cara menyusun kekuatan bangsa dan Negara untuk mencapai stabilitas nasional dalam upaya mendukung pertumbuhan ekonomi. Dalam rangka memberi jaminan hukum bagi peran sosial politik TNI,, Orde Baru membuat berbagai peraturan yang menyangkut Dwifungsi TNI yang dimulai dengan ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang mengukuh Dwifungsi TNI sebagai salah satu modal dasar pembangunan nasional. Selanjutnya, pada tanggal 19 September
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
1982 di undangkan Undang-Undang No.22 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara. 54 Dengan ikut sertanya TNI dalam memikul tanggung jawab social dan politik, baik pada tingkat supra struktur maupun infra struktur TNI pun menempatkan dirinya sebagai dinamisator dan stabilisator. Hal tersebut tercermin dalam tugas kekaryaan TNI di lembaga-lembaga, badan-badan, dan organisasiorganisasi diluar jajaran TNI. Secara histories, intervensi TNI terhadap peran social politik lebih banyak diakibatkan oleh kegagalan politik golongan sipil. Kegagalan politik golongan sipil ini berimbas pada terbengkalainya pembangunan ekonomi, sehingga melahirkan
kemiskinan
dan
keterbelakangan.
Momentum
iinilah
yang
dimanfaatkan oleh TNI untuk melakukan intervensi kedalam politik dan sekaligus menjadi nakodanya. Bagi TNI, sebenarnya tidaklah sukar untuk menduduki jabatan-jabatan sipil, sebab pada jaman demokrasi terpimpin, tentara menjadi bagian dari struktur politik, sehingga ketika Orde Baru muncul banyak dari para perwira yang sudah berpengalaman menjadi politisi. Begitupun dalam bidang ekonomi para perwira militer telah banyak memimpin berbagai perusahaan, perkebunan maupun perbankan bekas Belanda, Inggris dan Amerika Serikat yang telah dinasionalisasikan. Dibawah kekuasaan TNI, pada masa Orde Baru Indonesia berhasil menunjukkan pada Dunia mengenai keberhasilan pembangunan sehingga dapat 54
A.S. Tambunan, “Dwifungsi ABRI sebagai Konsep Politik”, dalam “Dwifungsi ABRI Perkembangan dan Peranannya Dalam Kehidupan Politik di Indonesia”, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1995, hal.120
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
meyakinkan Negara donor. Terutama dalam kemampuan dalam menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata 5%/ per tahun serta pembayaran peminjaman sesuai dengan rencana. Keberhasilan Orde Baru ini telah memperkokoh keyakinan masyarakat terhadap pemerintah. Namun demikian, sebenarnya disamping kemajuan dibidang ekonomi yang harus ditebus dengan hak-hak politik sipil \, strategi pertumbuhan ekonomi ini telah melahirkan sisi negative berupa ketimpangann sosial, ketidak adilan, ketiadaan jaminan keamanan sosial maupun budaya, dan berbagai ekses lainnya seperti korupsi, kkolusi dan nepotisme. Berbagai ekses negatif itulah yang menjadi senjata oleh masyarakat untuk mengkritisi pemeriintahan Orde Baru dan tuntutan untuk mereduksi peran sosial politik TNI. Apalagi keberhasilan ekonomi Indonesia yang dibangun dibawah rezim militer ini ternyata keropos, hal ini terbukti ketika virus krisis moneter menyerang Indonesia yang dimulai dari Thailand, Korsel menyebabkan ekonomi Indonesia mengalami kebangkrutan. Kebangkrutan Indonesia ini dijadikan momentumyang jitu bagi bangsa Indonesia, khususnya mahasiswa untuk melengsernya Presiden Soeharto yang menjadi symbol kepemimpinan militer di Indonesia. Maka pada tanggal 21 Mei 1998 terjadilah peristiwa politik terbesar berupa mundurnya Presiden Soeharto dan munculnya pemimpin baru diluar tentara yaitu B.J. Habibie. Momentum krisis ekonomi ini telah melahirkan berbagai gerakan, terutama dikalangan mahasiswa yang menuntut adanya Reformasi total, dengan mengusung isu-isu demokratisasi. Agenda pendemokratisasian ini sangat terkait
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
dengan upaya mereduksi peran militer dalam tanggung jawab sosial dan politik, kalau tidak menghilang sama sekali, yaitu mengembalikan TNI kedalam fungsinya yaitu dalam bidang pertahanan keamanan, tidak ikut campur dalam fungsi sosial politik. Namun dalam praktek, mereduksi peran TNI dalam bidang sosial politik ini tidaklah mudah karena sudah terlanjur lama dan menyatu dengan fungsi kemiliterannya. Dengan demikian, upaya melakukan reposisi TNI itu tidak bisa dilakukan secara drastic, melainkan secara bertahap. Kemudian pemisahan Polri dari TNI pada tahun 1993, pemisahan Polri dan ABRI (TNI) sebenarnya bukanlah gagasan baru. Pada 1993, dalam suatu seminar, Prof. Sahetapy mengatakan bahwa pemisahan Polri dan ABRI mutlak dilakukan. Karena didalam menjalankan tugasnya, angkatan perang (AL, AD, dan AU) disahkan untuk menghancurkan fasilitas musuh, membunuh musuh-musuh, bila perlu dengan kekerasan dan demi komandan, booleh melanggar dan mengesampingkan hak asasi manusia. Sedangkan Polisi, dalam menjalankan tugasnya sebagai penindak kejahatan harus berpedoman pada hukum dan tidak boleh melanggar hak asasi manusia, tidak boleh menggunakan kekerasan karena loyalitas aparat polisi bukan pada atasan, melainkan pada hukum. Dalam pasal 8 ayat 1 UU Kepolisian dinyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
BAB III KEKUTAN POLITIK MILITER ERA ORDE BARU DAN ERA REFORMASI 1. Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Lahirnya Dwifungsi ABRI Dwi Fungsi ABRI merupakan sebauh system yang telah diselewengkan oleh Soeharto dari doktrin awal Nasution. Pandangan yang besar yang lain yang mewakili oposisi terhadap dooktrin dwifungsi ini adalah Dwi Fungsi ABRI secara murni memang hanya untuk memastikan legitimasi kepentingan penguasa terhadap ekonomi politik tentara dari struktur nasional sampai yang terendah, sehingga sewaktu legitimasi tersebut dicabut berbagai respon pun dari bagianbagian tentara ikut mempengaruhi politik keamanan Negara. TNI adalah suatu alat pertahanan Negara sebenarnya telah mempunyai konsep yang baik dalam perannya sehingga stabilitas politik dan keamanan didalam negeri, yaitu Dwi Fungsi ABRI. Dwi Fungsi ABRI merupakan konsep dasar TNI yang dalam menjalankan peran sosial politik mereka di Negara ini. Adapun latar belakang lain tentang lahirnya konsep Dwi Fungsi ABRI harus kita lihat kembali. Doktrin Hankamrata yang masih digunakan sekarang masih sangat berhubungan dengan Dwi Fungsi ABRI. Dwi Fungsi ABRI yang kita ketahui oleh masyarakat diluar TNI adalah sebagai sebuah bentuk militerisme, campur tangan militer dalam permasalahan politik, campur tangan militer dalam permasalahan-permasalahan Negara lainnya
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
yang penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak.d dilihat sebagai sebuah intervensi militer dan legitimasi militer untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap rakyat. Dwi Fungsi berarti masuknya militer dalam posisi/jabatan penting dan mengurangi jatahh sipil. Selain itu dalam kenyataannya kekuatan politik sipil yang lemah dihadapkan pada kondisi stagnasi yang dilahirkan oleh system demokrasi parlementer, mudah bagi militer untuk mengambik posisi strategis dalam panggung politik pada waktu itu. Dalam pemerintahan Soeharto militer Indonesia memainkan peran politiknya secara luar biasa. Dari hal tersebut dapat ditarik kesiimpulan bahwa: 1. kondisi dalam masyarakat pemerintahan Soeharto belum berubah, sehingga belum memberi perhatian 2. peran sosial politik ABRI dapat berkiprah leluasa karena budaya politik yang tidak mampu membangun system kontrol politik yang efektif. Hal ini memungkinkan berkembangnya konsepsi Dwi Fungsi ABRI sehingga melebihi proprsisi sebagaimana tahap kelahirannya. Seperti ysang diuraikan diatas, ABRI lahir dalam kancah revolusi sejak semula melaksanakan funsi sosial politik. 55 Pengakuan yuridis dari bangsa Indonesia tantang fungsi sosial politik ABRI terlihat sejak berlakunya UndangUndang No.80 Tahun 1958. 56 Dengan berlakunya kembali UUD 1945, maka Dwi
55
Soebijiono, Dwi Fungsi ABRI , Yogyakarta :Gajah Mada University Press, 1992, hal.46. Pada tahun 1958 dibentuk Dewan Perancang Nasional dengan dasar UU No.8 Tahun 1958 tanggal 28 Oktober 1958. dalam Dapernas itu duduk pula wakil-wakil golongan fungsional lainnya. Ibid.,hal.47 56
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Fungsi
ABRI,
khususnya
fungsi
sosial
politik
mempunyai
landasan
kontitusional. 57 Landasan Kontitusional dari Dwi Fungsi ABRI tersebut kemudian disahkan lebih mantap dengan ketetapan MPRS/MPR. Setelah hasil pemilu 1971, maka fungsi ABRI sebagai kekuatan sosial selalu dicantumkan dalam TAP MPR. 58 Dalam setiap TAP MPR tentang GBHN Bab IV tentang pola umum pelita (pembangunan lima tahun) dan semenjak TAP MPR No.IV / 1981 tentang GBHN dalam Bab II dinyatakan bahwa sebagai salah satu modal dasar pembangunan nasional yang dimiliki rakyat dan bangsa Indonesia adalah ABRI sebagai kekuatan pertahanan dan kekuatan sosial yang tumbuh dari rakyat dan bersama rakyat menegakkan kemerdekaan bangsa dan Negara. Selain itu Dwi Fungsi ABRI pun dilegalkan dengan aadanya UU No.20/1982 tentang pokok Hankam Negara yang kemudian disempurnakan dengan UU No.1/1989 dan UU No. 2/1988 tentang poko-poko keprajuritan. 59 Campur tangan ABRI berdasarkan doktrin tersebut menjadikan bias mendominasi pola pengelolaan Indonesia. Konsep Dwi Fungsi ABRI dimanfaatkan kepemimpinan ABRI sendiri serta selalu mengedepankan aspek kuantitas dan mengabaikan aspek kualitas. 60 Militer Sebagai Bentuk Kekuatan Negara Militer sebagai bentuk kekuatan Negara merupakan bentuk keterlibatan militer dalam hal pertahanan dan keamanan untuk menjaga stabilitas keamanan. Fungsinya juga dapat sebagai alat penguasa melawan musuh Negara, contohnya 57
Ibid., hal.48. Ibid., hal.48 59 Syarwan Hamid, Kepemimpinan ABRI dalam Perspektif Sejarah, Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1998, hal.134-135. 60 Arief Budiiman, Op.Cit.,hal.175. 58
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
melalui perang. Militer sebagai bentuk kekuatan Negara, membuktikan bahwa kekuatan Negara terletak pada adanya kekuatan militer di Negara tersebut. Dalam hal ini militer berfungsi sebagai alat yang digunakan oleh penguasa untuk menjaga peertahanan dan keamanan suatu Negara dan juga sebagai bentuk perjuangan politik yang bentuknya dapat berupa peperangan. Tujuan dari adanya perperangan adalah untuk meluaskan wilayah kekuasaan Negara di luar dari wilayah pemimpinnya. Militer sebgai bentuk kekuatan Negara pada masa pemerintahan Soeharto dapat juga dilihat denagn jelas. Sebagai salah satu instansi yang berfungsi untuk menjaga pertahanan dan keamanan Negara, militer pada masa pemerintahan Soeharto mempunyai tugas pokok yang harus diembannya. Salah satunya ialah menjaga stabilitas keamanan Negara dari ancaman G 30 September 1965. Ancaman yang bersifat internal ini, secara tidak langsung telah membawa militer untuk dapat melakukan perannya secara maksimal. Gerakan 30 September adalah serangkaian ancaman dimana keterlibatan militer sebagai lembaga yang berfungsi untuk menyelamatkan Negara, dibutuhkan untuk pertahanan dan keamanan Negara juga. Selain menjaga keamanan dari ancaman G 30 S, militer juga mempunyai keterlibatan dengan PNI. Hal ini dikarenakan kedekatan PNI terhadap Presiden Soekarno. Dibentukya badan keamanan seperti kopkamtib yang bertujuan untuk kontiunitas melegitimasikan pembangunan dan Bakostranas yang beertujuan untuk menjaga stabilitas nasional dan memelihara ketertiban suattu keamanan
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
nasional untuk jalannya pembangunan ekonomi merupakan salah satu bukti fungsi militer sebagai kekuatan Negara pada masa pemerintahan Soeharto. TNI adalah alat Negara yang berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan tugas pokok menegakkan kedaulatan Negara, keutuhan wilayah Negara NKRI berdasrkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman serta gangguan atas keutuhan bangsa dan Negara. TNI juga berkewajiban melakukan penyelenggaraan tugas keamanan serta tugas keamanan seperti yang diatur dalam undang-undang jjuga aktif dalam tugas pemeliharaan peerdamaian dunia dibawah PBB. Militer sebagai Kekuatan Politik yang Dominan Peran militer dalam panggung politik Indonesia mempunyai sejarah yang panjang. Sejak awal, militer bukanlah institusi yang pasif. Militer menyediakan tangga alternatif untuk meraih sukses hingga periode pertama 1957 sampai 1958 bagi orang-orang yang mula-mula tidak memberi pada mereka tempatt diantara elit sosial politik dalam Republik yang baru. Menurut Crouch, militer Indonesia mendapatkan orientasi politik dan kepentingan-kepentingan politik lainnya tatkala revolusi melawan Belanda. Dan masa revolusi tahun 1945-1949, militer terlibat dalam perjuangan kemerdekaan
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
pada saat mana tindakan politik dan militer saling menjalin dan tidak terpisahkan. 61 Namun, acapkali peran militer dimaknai sebagai tindakan “damai” yang dipicu oleh kegagalan politisi sipil dalam menata politik nasional. Padahal setelah proklamasi kemerdekaan, militer berupaya membentuk dirinya sebagai organisasi yang solid. Dominasi militer dalam politik Indonesia di perkukuh sejak Soeharto mengambil alih kekuasaan pada tahun 1966 dan menjadi presiden pada tahun 1968. Selama periode awal Orde Baru, Soeharto banyak menempatkan perananperanan militer di dalam kabinetnya juga dalam institusi politik serta ekonomis yang strategis. Posisi-posisi kuunci dalam kabinet sepanjang kekuasaannya, seperti Menteri Sekertaris Negara, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan Keamanan senantiasa dipegang oleh para perwira militer. 62 Dominasi militer ini terus dipertahankan rezim Orde Baru melalui resepsi dan kontrol politik yang ketat. Dominasi militer dalam politik akan sulit dipertahankan tanpa di topang basis ekonomi yang kuat. Dimana basis ekonomi di bangun melalui strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan yang tinggi. Naiknya harga minyak (Oil Boom) pada dekade 1970-an memberi keuntungan yang besar pada elit militer dan sekutu bisnisnya. Dalam bahasa yang lain, Richard Tanter menyatakan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto telah menghasilkan 3 proses politik yang terpisah, secara bersama-sama menghasilkan pola-pola yang distinktif dan terlembaga dari kontrol 61
Budi Irawanto, Flim Ideology dan Militer; Hegemony Militer dalam Sinema Indonoesia, Yogyakarta : Media Pressindo,1999, hal.42 62 Budi Irwanto, Ibid., hal.43
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
terhadap masyarakat Indonesia. Militerisasi,pengawasan politik dosmestik yang komprehensif dan temporer tetpi dengn terror yang konstan dari Negara. Satu rumusan ideologis penting lainnya yang menegaskan totalitas Negara ialah gagasan mengenai wawasan nusantara-kesatuan kepulauan dari Negara Indonesia. Sistem Negara Orde Baru telah melembagakan suatu proses kompleks negoisasi antara tiga arus utama, yaitu : totalitariannisme politik, konstitusionalisme-Cum Legalisme dan Kemajemukkan Budaya. 63 Selama lebih dari dua decade, istilah “pembangunan” telah menjadi doktrin tetap untuk meligitimasi keberadaan Orde Baru. Seperti telah dikemukakan, pemeriintahan Orde Baru telah menampilkan militer sebagai pelaku utama dalam pentas perpolitikan di Indonesia, peran militer dalam bidang ekonomi sebenarnya sudah dimulai sejak zaman Demokrasi Liberal, yaitu sejak lahirnya konsep Dwi Fungsi ABRI . Tampilnya
ABRI
dalam tugas pembinaan
wilayah
(masyarakat)
dimaksudkan agar roda pemerintahan dan fungsi-fungsi masyarakat berjalan dengan wajar baik dan untuk itulah ABRI melakukan kegiatan-kegiatan non tempur yang disebut kekaryaan dalam arti luas yang kemudian dirinci sebagai penugasn dibidang-bidang sosial politik, sosial ekonomi, dan sosial budaya. Bagi nasution yang terpenting dalam konsep ini sebenarnya bukanlah fungsi non tempurnya melainkan identitas TNI yang tidak saja mampu mengadikan dirinya dibidang kemiliteran, tetapi bila sewaktu-waktu diperlukan berkesanggupan serta
63
Ibid., hal.56.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
berkemampuan
untuk
menyumbangkan
tenaganya
dibidang-bidang
kemasyarakatan lainnya agar kehidupan masyarakat tetap terbina dengan baik. 64 Seperti
dikemukakan
Arief
Budiman,
konsep
Dwi
Fungsi
ini
kenyataannya telah membukakan pintu bagi ABRI untuk masuk dalam kegiatan ekonomi dan politik. Golongan militer kemudian menjadi pengelolah dari berbagai perusahaan ketika terjadi nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan Belanda dan Amerika pada saat berlangsungnya konfrontasi dengan Malaysia. 65 Tahun-tahun berikutnya mereka harus mengatasi baik ancaman dari luar (Belanda) maupun krisis politik dari dalam yaitu peristiwa penculikan politik 3 Juli 1946 dan pembrontakan PKI di Madiun tahun 1948. Meskipun demikian turut sertanya militer secara terbuka dalam lapangan politik baru dimulai pada tahun 1952 ketika terjadi peristiwa 17 Oktober yang terkenal : pada tanggal 17 Oktober 1952 itu militer secara sangat terbuka melakukan konfrontasi dengan parlemen, dengan mendesak kepala Negara untuk membubarkan DPRS. Menurut Yahya A. Muhaimin peristiwa 17 Oktober 1952 yang kiranya disebut “Politico Military Simptom” itu meletus karena kepemimpinan sipil dianggap selfish, tidak bertanggung jawab, tidak efektif, penuh korupsi, dan tidak berhasil memerintah Negara yang baru merdeka ini dimana para perwira militer merasa memegang andil terbesar dalam mencapai dan menegakkan kemerdekaan antara 1945-1950.
64
Rezlan Izhar Jenie, Pemikiran Jendral A.H. Nasution tentang Peranan Militer dalam Politik di Indonesia, Skripsi FISIP UI, 1981, hal.72-73. 65 Moh Mahmud, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2000, hal.67.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Sejak tahun 1952 militer di Indonesia tampil dipentas politik dengan selalu bergulat sengit melawan kekuatan sipil (terutama melawan PKI yang mendapat perlindungan Soekarno) makaa pada tahuun 1966, pada saat lahirnya Orde Baru menjadi puncak dan akhirnya pergulatan itu dengan kemenangan militer. Dimana kemenangan itu diperoleh pada tanggal 11 Maret 1966 tatkala militer berhasilmeraih kekuasaan dengan keluarnya Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto. Pada umumnya diakui bahwa keluarnya Supersemar merupakan peristiwa besar yang telah mengantar tampilnya militer di Indonesia pada kekuasaan bidang eksekutif. Dan pada saat tampil sebagai pemegang kekuasaan politik di tahun 1966 militer sudah menguasai perusahaan-perusahaan Negara. Dan karena itu pulalah militer lama-kelamaan meletakkan dirinya diatas semua kelas yang ada sehingga tidak ada satu kekuasaan pun yang bisa menghalanginya. Rezim Orde Baru juga membangun opini masyarakat tentang sejarah ABRI, seakan-akan pada masa lalu ABRI, khususnya pihak TNI (militer) sudah ikut menentukan nasib Negara secara politik. Katanya, tanpa campur tangan pihak militer dalam politik, maka posisi Soekarno-Hatta lemah dimata Barat, khususnya penjajah Belanda. Tentu saja hal tersebut benar, tetapi tidak berarti militer harus ikut campur langsuung dalam politik penyelenggara Negara. Disinilah Soeharto
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
membangun suatu sistem pemerintah yang militeristis dengan mengikut sertakan ABRI dalam politik penyelenggara Negara (konsep Dwi Fungsi). 66 Dibawah Soeharto Dwi Fungsi ABRI dalam zaman Orde Baru membawa kekuasaan ABRI yang lebih besar dari kesempatan terjadinya peeristiwa 1965 itu. Meskipun begitu, konsep Dwi Fungsi ABRI tidak bisa dilepaskan dari masa Soekarno sendiri, yaitu melalui konsep “Jalan Tengah ABRI “ yang disodorkan oleh Nasution. Keikutsertaan ABRI dalam bidang politik, secara langsung juga memberi kesempatan kepada institusi dan para anggota ABRI untuk lebih besar dalam “mengatur” konflik yang terjadi diantara kekuatan-kekuatan politik yang ada. Peran tersebut menjadikan ABRI sebagaai stabilisator dan dinamisator Orde Baru, konflik politik hanya bisa “diatasi” melalui konsep “ mayoritas tunggal ”, yaitu dengan menjadikan Golkar sekaligus wadah politik ABRI dan Pegawai Negeri Sipil untuk bisa selalu menang dalam pemilu, serta dengan mendudukan ABRI bersama Golkar menguasai kursi DPR dan MPR. 67 Militer sebagai Instrumen Penguasa Dalam hal ini militer dipahami sebagai senjata penguasa untuk terus mempertahankan stabiilitas Negara, selain itu juga digunakan sebagai pendukung penguasa untuk menjalankan segala kebijakan Negara guna kepentingan masyarakatnya. Dalam mendapatkan dan mempertahankan politik, seorang penguasa harus memiliki kekuatan miiliter yang kuat. 66
Sri-Bintang Pamungkas, Dari Orde Baru ke Indonesia Baru Lewat Reformasi Total, Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama, 2001, hal. 5. 67 Sri-Bintang Pamungkas,Ibid.,hal.166
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Militer sebagai instrument penguasa pada masa pemerintahan Soeharto dapat dilihat dari digunakannya militer sebagai alat untuk mendapatkan mempertahankan kekuasaannya, militer sebagai instrument penguasa dikenal dengan istilah Arsitektur Soeharto. Sebagai salah satu Arsitek Soeharto, militer mempunyai peran yang mendukung dan terlibat secara langsung dalam usaha merangkaikekuasaan Soeharto menjaadi sebuah bentuk yang dicita-citakan. Presiden mengendalikan kekuatan politik militer. Hal ini dinyatakan Liddle 68 bahwa selama pemerintahannya, Soeharto mampuu melakkukan control dan penunjukkan jabatan dalam militer dan dalam doktrin Dwi Fungsi ABRI. Sebagai instrument kekuasaan ABRI juga diikutsertakan dalam modal pembangunan bersama, dalam hal ini dilegalisasikan dalam UU No.20 I/1989 tentang pokok-pokok keprajuritan. 69 Atas legalitas ini merupakan pelengkap penyempurnaan legalitas sejarah perjuangan bangsa. 70 Peran Militer Sebagai Dinamisator dan Stabilisator Peran ABRI sebagai stabilisator, didukung oleh kemampuannya untuk berkomunikasi dengan rakyat, untuk merasakan dinamika masyarakat dan untuk memahami aspirasi-aspirasi yang hidup dalam masyarakat, membuat ABRI menjadi salah satu jalur penting dalam rangka pengawasan sosial. Disamping itu kedasaran nasional yang tinggi yang dimiliki oleh setiap prajurit ABRI merupakan suatu penagkal yang efektifterhadap pengaruh sosial yang bersifat negatif dari 68
William Liddle, Indoonesia Soeharto’s Thigtening Grip, dalam Journal of Democracy, Vol.7, 4 Oktober 1996, hal.60-61. 69 Syarwan Hamid, Kepemimpinan ABRI dalam Prespektif Sejarah, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1998, hal.134-135. 70 Ibid., hal.135.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
budaya serta nilai-nilai asing yang kinimembanjiri masyarakat Indonesia. Sifat ABRI yang realistis dan pragmatis dapat mendorong masyarakat agar dalam menangulangi masalah-masalah berlandasnakan tata pikir yang nyata dan berpiijakpada
kenyataan
situasi
serta
kondisi
yang
dihadapi,
dengan
mengutamakan nilai kemanfaatan bagi kepentingan nasional. Dan kemudian akan dapat secara tepat menetukan prioritas-prioritas permasalahan dan sasaran-sasaran yang diutamakan. Yang lebih penting lagi dengan demikian ABRI dapat mendorong masyarakat agar menjadi mandiri artinya mampumengusahakan dan memelihara segenap sumber daya baik fisik
maupun yang bersifat non-fisik, mampu
menyadari kekeliruan serta mampu mengembangkan dan meningkatkan sumber daya yang ada, dan mampu mengadakan respon positif terhadap setiap perubahan yang terjadi. Kalau masyarakat kita telah memiliki kemampuan-kemampuan yang sedemikian itu maka bangsa Indonesia telah siap untuk tinggal landas. 71 2. Kekuatan Politik Militer Era Reformasi Tuntutan Reposisi TNI Berbarengan dengan munculnya era Reformasi gugatan terhadap ABRI mengalir secara bertubi-tubidari berbagai arah, yang pada intinya mempersoalkan peranan sosial politik ABRI. Peranan ganda ABRI dianggap sebagai penyebab utama terkooptasinya militer oleh kekusaan dan sampai pada akhirnya menjadi alat poltik kekuasaan.
71
Ibid.,hal.93.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Tuntutan terhadap perlunya reposisi ABRI bukan hanya pelanggaranpelanggaran HAM sebagai ekses negatif dari operasi tugas mereka, melainkan lebih jauh berkait erat dengan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat modern terutama menyangkut pembagian kerja sesuai dengan bidang masing-masing. Sebagian elit militer menganggap bahwa peran sosial politik ABRI masih diperlukan, tetapi akan dikurangi secara bertahap dan tidak mungkiin dihilangkan sama sekali. Sebagaimana dikatakan oleh Jendral Wiranto. Sikap defensif yang ditunjukan Wiranto terhadap serangan-serangan yang diajukan kepada diri ABRI bisa dilihat dari pernyataannya : “saya kira zaman dahulu kalau dikatakan salah, beluum tentu. Sebab dizaman Revolusi, waktu kita pertama kali merdeka belum ada yang menjadi lurah. Jadi, itu tuntutan sejarah dan tuntutan masyarakat. Selanjutnya itu berkembang menjadi suatu doktrin sekarang. Orang membuat doktrin tentu belajar dari sejarah. Jadi kalua pada waktu itu benar, ya memang pada waktu itu benar. Kalau salah, mengapa pada waktu zaman setelah kita merdeka tentara harus mengisi kekosongan pemimpin pemerintahan, melalui sejarah yang cukup panjang. Jadi kalau kita selanjutnya berjalan dengan perjalanansejarah itu, saya kira, kalau mau dikatakan salahnya pada saat itu benar”. Oleh karena itu, ditengah maraknya amuk massa dan kerusuhan sosial, sebagian besar militer berpendirian bahwa dimasa transisi saat ini, ABRI justru sangat dibutuhkan untuk mengawal keutuhan bangsa dan Negara, tapi ABRI juga dibutuhkan untuk mengawal agar tercipta suatu masyarakat yang demokratis. Untuk menuju proses demokratisasi maka mustahil mencabut peran sosial politik ABRI, yang tepat adalah mengurangi secara bertahapsesuai dengan situasi dan kondisinya,
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Momentum krisis ekonomi telah melahirkan berbagai gerakan, terutama dikalangan mahasiswa yang menuntut adanya Reformasi total, dengan mengusung issue demokratisasi. Agenda pendemokratisasian ini sangat terkait dengan upaya mereduksi peran militer dalam tanggung jawab sosial dan politik, kalau tidak menghilangkan sama sekali, yaitu mengembalikan TNI dalam fungsinya (repositioning) yaitu Pertahanan dan Keamanan, tidak ikut campur dalam fungsi sosial politik. Namun dalam praktek, mereduksi peran TNI dalam bidang sosial politik tidaklah gampang karena sudah terlanjur lama dan menyatu dengan fungsi kemiliterannya. Dengan demikian, upaya melakukan reposisi TNI itu tidaklah bisa dilakukan secaara drastis, melainkan secara bertahap. Hal ini juga terkait dengan kesiapan mental dari TNI untuk dapat kembali keposisi semula sebagai tentara yang professional. Tekad untuk kembali kepada posisi semula sebagai penjaga pertahanan dan keamanan Negara sudah banyak dirumuskan oleh petinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI) maupun oleh para pemimpin sipil di Jakarta. Beberapa langkah yang bisa dilihat adalah direduksinya perwakilan TNI di Parlemen, sampai pada akhirnya tahun 2004 dihilangkan sama sekali. Secara sepintas masalah struktural reposisi TNI ini sudah tidak ada masalah, namun dalam implementasinya reposisi ini masih tetap tidak berubah.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Profesionalisme TNI Profesionalisme menurut Huntington bercirikan keahlian yaitu tingkat ketrampilan dan pengetahuan militer yang tinggi; korporasi yang ditandai dengan keterikatan kelompok; solidaritas korp yang kuat; serta tanggung jawab yang mendalam terhadap profesi, yang itu semuadissebut sebagai military mind. Perkembangan situasi politik, ekonomi di tingkat global, maupun regional tidak dapat dipungkuri telah membawa dampak cukup besar pada dinamika serta perkembangan politik di tingkat nasional. Dampak nyata dari pengaruh global dan regional di Indonesia adalah terjadinya Reformasi politik yang sebelumnya sangat berat, kalau tidak dikatakan suatu hal yang mustahil (impossible). Salah satu agenda Reformasi yang berkembang dikalangan aktor Reformasi seperti mahasiswa, kalangan intelektual, dan LSM adalah pengembalian peran dan fungsi militer kedalam tugas aslinya (core business) yaitu fungsi pertahanan dan keamanan (Hankam). Kondisi internasional, regional maupun nasional secara langsung maupun tidak langsung juga berpengaruh pada dinamika internal TNI (sebagai penyokong utama tegaknya Orde Baru). Dan dinamika internal ini telah mendorong lahirnya kesadaran dan pemahaman baru di kalangan actor TNI mengenai peran dan fungsinya. Hambatan dan tantagan yang berkembang dalam upaya membangun profesionalisme TNI telah membuat ada sedikit keraguan dikalangan masyarakat
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
dan TNI dalam pelaksanaan di lapangan terkait dengan situasi dan kondisi, khususnya yang terjadi dikalangan sipil sendiri. Konsep profesionalisme keprajuritan TNI Angkatan Darat tidak sama dengan konsep profesionalisme keprajuritan yang umum dianut angkatan bersenjata Negara-negara lain. Profesionalisme keprajuritan Angkatan Darat tidak diukur semata-mata dengan ketrampilan dalam penguasaan taktik dan teknis kemiliteran, tetapi berdasarkan kepada ketrampilan, penguasa taktik dan teknik militer yang berlandaskan kepada jati diri Prajurit TNI sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional dan tentara professional. Berkenan dengan jati diri TNI, dalam pasal 2 Bab II Undang-undang no.34 Tahun 2004, tentang Tentara Nasional Indonesia, menyebutkan bahwa jati diri TNI sebagai berikut: a. Tentara Rakyat, yaitu tentara yang anggotanya berasal dari warga Negara Indonesia. b. Tentara Pejuang, yaitu tentara yang berjuang menegakan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak mengenal menyerah dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya. c. Tentara Nasional, yaitu tentara kebangsaan Indonesia yang bertugas demi kepentingan Negara di atas kepentingan daerah, suku, ras, dan golongan agama. d. Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik Negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang telah diratifikasi. 72 Menurut Oxford Advance Leaner’Soeharto Dictionary, yang dikatakan profesionalisme atau professionalism adalah “the skill or qualities required or expected of members of a profession”. Dengan demikian kata kunci dari profesionalisme adalah keahlian atau ahli. Profesionalisme sebagai orang yang ahli dalam bidangnya. Maka seseorang dapat dikatakan professional jika tentara itu dididik, dilatih, dan di persenjatai dengan baik. Profesionalisme TNI adalah TNI yang terlatih, terdidik, disenjatai dengan baik dan ahli dalam bidangnya yaitu sesuai dengan tugas pokok TNI menjaga dan mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Disamping itu prajurit TNI AD harus hidup dan mati untuk keprajuritan dan lebih daripada itu dia mencintai Negara dan bangsa diatas segala-galanya dan bersedia untuk berkorban dalam keadaan apapun juga meletakkan kepentingan Negara di atas kepentingan siapapun juga. Profesionalisme bagi TNI disamping menganut konsep profesionalisme bagi kebanyakan angkatan bersenjata di berbagai belahan dunia, juga masih ditambahkan dengan dilandasi dengan JATI DIRI PRAJURIT TNI sebagai efek pengganda (Multiple effect) bagi profesionalisme itu sendiri.
72
Undang-Undang No.34 Tahun 2004 pasal 2 bab II, tentang Tentara Nasional Indonesia, hal.6
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Prajurit professional disamping dididik dan dipersenjatai dengan baik, juga perlu memahami norma dan kaidah universal, dan mengakar kepada rakyat; profesionalitas TNI tidak seperti tentara luar negeri sebagai tentara bayaran; prajurit bagi TNI adalah prajurit yang tangguh, mahir, mempunyai pengetahuan yang handal, ahli dalam keprajuritan, hidup dan mati untuk keprajuritan dan lebih daripada itu dia menciintai Negara dan bangsa diatas segala-galanya Tipologi Profesionalisme Militer No.
Nama
Konsep
Isu Profesional
Karakteristik Militer
1
Huntington
Old
Supremasi
sipil, Expertise,
Professionalism dan kontrol sipil
Responsibility, Corporateness
2
Alferd Stefan
New
Profesi
militer Punya
professionalism
punya dua tugas terhadap sekaligus, tugas
perhatian masalah
yaitu masalah politik.
keamanan
nasional dan tugas pembangunan nasional
Sebagai tentara professional, TNI tanggap terhadap setiap perubahan dan perkembangan yang terjadi serta adaptif dengan lingkungan baik global, regional
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
maupun nasional. Disamping harus memahami norma dan kaidah tentara universal, TNI harus tetap mengakar pada kekuatann rakyat. Itulah sebabnya ketika terjadi perubahan berbagai aspek yang amat dramatis, respon TNI sebagai tantara nasional juga tanggap dan ikut mereposisi diri. Strategi TNI Dalam rencana stategis Pembangunan TNI Jangka Panjang 2005-2024, TNI telah merumuskan visi strategis yaitu: “Terwujudnya TNI Profesional dan Modern, memiliki kemampuan yang tangguh untuk menegakkan kedaulatan Negara, serta kelangsungan pembangunan nasional.” Dengan tetap memperhitungkan dinamika lingkungan yang stategis dan kemampuan dukungan pemerintah, TNI menyusun langkah-langkah yang strategis untuk pencapaian tujuan yang dikehendaki. Langkah Pertama, TNI akan tetap konsisten melanjutkan program Reformasi internal untuk menempatkan TNI dalam suatu tatanan system ketatanegaraan yang berlaku sesuai dengan amanat UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI. Konsep Reformasi internal dilaksanakan secara berkesinambungan yang telah dicanangkan sampai dengan tahun 2010 meliputi aspek-aspek sosial politik, doktrin dan struktur,konsep territorial, kesejahteraan dan kultur prajurit TNI . Langkah Kedua, dalam lingkungan system ketatanegaraan RI, TNI akan tetap menjaga konsitensi sebagai alat Negara di bidang pertahanan yang menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik Negara.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Langkah Ketiga, TNI tidak akan terlibat dalam kegiatan politik praktis,dan sebaliknya akan mendukung dan melaksanakan keputusan politiik Negara dalam menjaga stabilitas keamanan nasional sesuai dengan tugas, wewenang dan tanggung jawab yang diberikan oleh Negara dan bangsa. Langkah Keempat, melanjutkan upaya pembangunan dan pemeliharaan kekuatan menuju TNI yang professional dan dedikatif secara bertahap, dengan mewujudkan kekuatan TNI yang didukung oleh dedikasi, disiplin dan semangat juang tinggi, iptek yang memadai, mobilitas dan daya tempur yang tinggi, serta selalu membina sinkronisasi antar komponen pertahanan Negara. Langkah Kelima, melanjutkan tugas tim Verifikasi Gabungan teerhadap kegiatan bisnis TNI guna memperoleh keselarasan, kesiapan operasional TNI, dan kesejahteraan prajurit sesuai amanat UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI. Lagkah Keenam, TNI mendukung politik luar negeri yang bebas aktif, membangun rasa percaya antar Angkatan Bersenjata, bekerjasama antar prinsipprinsip kesetaraan, saling menghargai hak dan kemerdekaan masing-masing tanpa tekanan dengan seluruh Negara-negara di dunia, melalui koordinasi kewenagan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa atas payung kebijakan politik luar negeri pemerintah. 2.4 Kekuatan TNI Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas ribuan pulau besar dan kecil. Wilayah Negara kesatuan RI yang menurut amanat Undang-Undang, kedaulatannya harus
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
dipertahankan dan keutuhan harus dijaga serta keselamatan warga bangsanya harus dilindungi oleh TNI. Dan untuk itulah TNI dibangun dan dikembangkan berdasarkan dengan kemampuan Negara dengan postur yang sesuai dengan kebutuhan mempertahankan Negara. TNI yang terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara dibanguun kekuatannya dan dibina kemampuannya serta digelar berdasarkan pertimbangan strategis di seluruh wilayah Indonesia. Kekuatan Darat terstruktur dalam kekuatan terpusat yang setiap saat dapat diterjunkan ke daerah operasi dan kekuatan kewilayahan yang terdiri atas beberapa Komando Daerah Militer. Kekuatan Laut dan Kekuatan Udara tersturktur dalam dua Komando Operasional yang bertangguung jawab untuk wilayah barat dan timur. Ini kondisi nyata TNI yang tidak hanya menjadi tantangan bagi TNI sendiri, tetapi juga menjadi pemikiran segenap bangsa Indonesia. Walaupun TNI belum memperoleh anggaran yang mencukupi untuk membangun kkekuatan TNI yang ideal, karena anggaran Negara diprioritaskan untuk kepentingan rakyatt banyak, namun kebutuhan TNI yang kuat dan professional sudah menjadi dambaan bersama. Menyangkut stategi pertahanan Republik Indonesia yang seolah-olah berorientasi kepada matra darat darat, Marsekal TNI Djoko Suyanto lebih senang menamai sebagai strategi yang integrated, yang harus terkoordinasi sama satu sama lain dan saling terkait. Dihadapkan dengan kondisi Negara Indonesia saat
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
ini, maka dibutuhkan dua pendekatan. Pendekatan ideal kalau anggaran mencukupi, maka TNI bisa menyusun dan membangun kekuatan yang memiliki daya tangkal. Dan pendekatan aktualnya adalah pembangunann kekuatan TNI diarahkan untuk memiliki mobilitas tinggi. Sejak tahun 2002, istilah Komando Teritorial dirubah menjadi Komando Kewilayahan sebagaii bala pertahanan wilayah. Kosep Komando Kewilayahan ini merupakan strategi gelar pasukan berdasarkan pertimbangan keterbatasn. Sesuai Pasal 7 Ayat 2 UU No.34/2004 tentan TNI, salah satu tugas pokok TNI adalah memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini. Hal ini sangat situasional, tergantung eskalasi yang terjadi saat itu. Terkait degan bantuan TNI untuk membantu Pemda, khususnya dalam rangka menyiapkan potensi nasional menjadi kekuatan pertahanan, atas kemampuan TNI. Setiap penggunaan dan pengarahan pasukan TNI harus ada payung hukumnya. Setiap pergerakan TNI dalam melaksanakan operasi merupakann hasil dari keputusan otoritas politik. Panglima TNI harus memiliki payung politik untuk menggerakan pasukan. Tanpa payung politik, seorang panglima tidak punya legitimasi untuk bergerak melaksanakan tugasnya. Keputusan politik pemerintah dan parlemen yang harus dilaksanakan TNI. Selama belum ada keputusan yang dihasilkan antara pemerintah dan parlemen, maka TNI tidak bisa bergerak kecuali dalam situasi emergency. Kekuatan TNI saat ini yang belum memenuhi kebutuhan bangsa dan Negara. Apabila segenap komponen bangsa Indonesia mampu berperan optimal dalam kerangka system pertahanan semesta sesuai amanat
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
undang-undang, maka setiap ancaman militer dan nonmiliter akan dapat dihadapi bangsa ini. 2.5 Peran, Fungsi, dan Doktrin TNI ABRI di era Reformasi pada 5 Oktober 1998 mengeluarkan paradigma baru ABRI yang intinya akan merubah sikap ABRI ke depan, terutama menghadapi berbagai perkembangan sosial masyarakat. Tugas pokok ABRI adalah sebagai berikut: 1. mendukung dan memgamankan berbagai kepentingan nasional 2. melindungi dan mempertahankan integitas wilayah nasionala dari ancaman tindakan agresi pihak lawan. 3. mencegaha atau mengurangi dampak kerusuhan wilayah sebagai akiibat dari tindakan musuh,dan 4. memenuhi kewajiban-kewajiban internasionalnya. Jendral TNI Wiranto menegaskan bahwa TNI telah merumuskan lima peran dan misi strategisnya, yaitu: Pertama, mempertahankan kedaulatan dan integritas Negara terhadap ancaman dari luar; Kedua, menjaga keamanan dalam negeri terhadap ancaman dari dalam yang sifatnya mengganggu keamanan dan ketertiban; Keempat, turut serta dalam pembangunan bangsa; dan Kelima, turut serta secara aktif dalam tugas-tugas pemeliharaan perdamaian dan kerjasama regional dan internasional. Tugas-tugas pokok militer di seluruh Negara dan alasan kesejarahan yang diselewengkan di masa Orde Baru. ABRI kemudian melakukan reposisi dan
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
redefinisi, yang akhirnya melahirkan paradigma baru ABRI. Keberhasilan peran dan ABRI dimasa mendatang bergantung pada : berhasil melaksanakan tugas pookok dan tugas-tugas ABRI dalam ikut mendorong terwujudnnya masyarakat madani yang demokratis sehingga mayarakat madani memiliki ruang gerak yang luas secara fungsional dan proporsional dalam kehidupann berbangsa dan bernegara. Berdasarkan perubahan fungsi, peran dan tugasnya, TNI melaksanakan penyempurnaan doktrin. Mulai dari doktrinditnigkat kebijakan strategis sampai dengan doktrin di tingkat operasional yang harus mengikuti dan mengantisipasi perkembangan lingkungan strategis sejalan dengan peraturan perundangundangan dan sifatnya implementatif. Doktrin yang sesuai dengan perannya sebagai alat pertahanan Negara. Yang berbeda dengan ABRI sebelumnya pengemban Dwi Fungsi, Hankam, dan Sosial. Kini, TNI tidak lagi sebagai sebuah satu entitas yang saat dengan nuansa politis dan turut bermain dalam wilayah praksis bisnis. Melainkan sebuah entitas yang hendak menuju profesionalisme sejalan dengan tuntutan tugas dan fungsi sebagaiamana amanat UU No.34/2004 tentang TNI. TNI sebagai komponen utama pertahanan Negara berkomitmen untuk selalu berpedoman pada perundang-undangan yang belaku. Perungang-undangan yang juga menuntut penyesuaian terhadap doktrin TNI yang merupakan pedoman TNI dalam melaksanakan tugas pokok dan perannya sebagai alat pertahanan Negara.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Hal ini terjadi seharusannya penyusunan doktrin TNI mengacu kepada doktrin pertahanan Negara. Sayangnya, doktrin pertahanan Negara masih dalam penyusunan di Departemen Pertahanan. Kendatipun demikian, TNI secara proaktif telah menyusun doktrin baru TNI yang diberi nama Doktrin TNI Tri Dharma Eka Karma (Tridek) yang mencerminkan keutuhan dari ketiga Matra TNI. Terdapat perbedaan penting antara Doktrin ABRI Catur Dharma Eka Karma (Cadek) dengan Doktrin Tridek. Doktrin Cadek masih mewadahi Polri sebagai bagian dari ABRI, sedangkan dalam Tridek Polri sudah terpisah dengan TNI. Cadek menyatakan ABRI sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sosial politik, sementarara dalam Tridek, peran TNI hanya sebagai alat Negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik Negara. Dalam Doktrin Tridek, fungsi TNI adalah penangkal dan penindak terhadap setiap ancaman militer dan ancaman bersenjata serta pemulih kondisi keamanan Negara bersama dengan instansi pemerintah untuk mengembalikan kondisi keamanan Negara akibat kekacauan perang. Doktrin Tridek di tegaskan bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan Negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, serta melinduungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan Negara. Tugas pokok TNI dilakasankan melalui
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
operasi militer untuk perang yang meliputi Operasi Gabungan TNI, Operasi Darat, Operasi Laut, Operasi Udara, Kampanye Militer, dan Operasi Bantuan. Disamping itu TNI juga melaksanakan tugas mengamankan tamu Negara setingkat Kepala Negara dan perwakilan asing, membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian dan pemberian bantuan kemanusian, membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (Search and Rescue), dan membantu pemerintah untuk pengaman pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perampokan, dan penyeludupan. Dalam Doktrin Tridek, tidak terdapat lagi fungsi sosial politik. Sehingga jelas, TNI berkonsentrasi kearah pembinaan kedalam supaya lebih professional. Tidak ada lagi keterlibatan TNI dalam politik praktis maupun bisnis. Sejak TNI keluar dari lembaga Legislatif pada tahun 2004, tidak ada lagi Dandim atau Danrem yang bisa memaksa rakyat untuk memilih salah satu partai politik.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Kekuatan politik adalah segala sesuatu yang berperan dan berpengaruh didalam dunia politik. Kekuatan politik dapat juga diakatakan sebagai segala sesuatu yang terlihat secara aktif dalam kekuatan politik tertentu. Kekuatan politik sangat berperan didalam system politik di Indonesia. Ada banyak kekuatan politik di Indonesia, namun yang benar-benar berpengaruh dan hanya menonjol beberapa saja. Kekuatan-kekuatan politik tersebut adalah TNI / ABRI, POLRI, Organisasi Kecendikiawan, Lembaga-Lembaga Pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pers, Organisasi Penelitian, Kekiatan Politik yang tersebar di daerahdaerah, Kelompok Masyarakat yang berbasis pada agama (NU, Muhammadiyah, dll), buruh dan Pekerja, Mahasiswa, Partai-Partai Politik, dan masih banyak lagi kekuatan-kekuatan politik lainnya di Indonesia. ABRI merupakan salah satu kekuatan politik Indonesia yang tersebar dan dapat dikatakan sebagai kekuatan yang berpengaruh besar. Pada masa Orde Baru dimana kepemimpinan Soeharto, ABRI berperan cukup sentral dalam kehidupan sosial politik. Berdasarkan Undang-Undang yang ada, ABRI bukan hanya di perbolehkan, melainkan juga “bersama kekuatan Sosial Politik” lainnya diharapkan terlibat dalam kehidupan kenegaraan. Dengan mengaju pada doktrin Dwifungsi, selain kekuatan pertahanan keamanan (Hankam), ABRI merupakan Sosial Politik. Dalam UU No.20 tahun 1982 tentang Hankam, ABRI baru
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
dinyatakan sebagai “kekuatan Sosial”. Namun dalam UU No.21 tahun 1982 mengenai prajurit ABRI, secara tegas disebutkan ABRI merupakan “kekuatan Politik” disamping sebagai kekuatan Hankam. TNI adalah alat Negara yang berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan tugas pokok menegakkan kedaulatan Negara, keutuhan wilayah Negara NKRI berdasrkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman serta gangguan atas keutuhan bangsa dan Negara. TNI juga berkewajiban melakukan penyelenggaraan tugas keamanan serta tugas keamanan seperti yang diatur dalam Undang-Undang juga aktif dalam tugas pemeliharaan peerdamaian dunia dibawah PBB. Dominasi militer dalam politik akan sulit dipertahankan tanpa di topang basis ekonomi yang kuat. Dimana basis ekonomi di bangun melalui strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan yang tinggi. Presiden Soeharto telah menghasilkan 3 proses politik yang terpisah, secara bersama-sama menghasilkan pola-pola yang distinktif dan terlembaga dari kontrol terhadap masyarakat
Indonesia.
Militerisasi,pengawasan
politik
dosmestik
yang
komprehensif dan temporer tetpi dengn terror yang konstan dari Negara. Satu rumusan ideologis penting lainnya yang menegaskan totalitas Negara ialah gagasan mengenai wawasan nusantara-kesatuan kepulauan dari Negara Indonesia. Sistem Negara Orde Baru telah melembagakan suatu proses kompleks negoisasi antara tiga arus utama, yaitu: totalitariannisme politik, konstitusionalisme-Cum
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Legalisme dan Kemajemukkan Budaya. Khususnya pihak TNI (militer) sudah ikut menentukan nasib Negara secara politik. Katanya, tanpa campur tangan pihak militer dalam politik, maka posisi Soekarno-Hatta lemah dimata Barat, khususnya penjajah Belanda. Keikutsertaan ABRI dalam bidang politik, secara langsung juga memberi kesempatan kepada institusi dan para anggota ABRI untuk lebih besar dalam “mengatur” konflik yang terjadi diantara kekuatan-kekuatan politik yang ada. Peran tersebut menjadikan ABRI sebagaai stabilisator dan dinamisator Orde Baru, konflik politik hanya bisa “diatasi” melalui konsep “ mayoritas tunggal ”, yaitu dengan menjadikan Golkar sekaligus wadah politik ABRI dan Pegawai Negeri Sipil untuk bisa selalu menang dalam pemilu, serta dengan mendudukan ABRI bersama Golkar menguasai kursi DPR dan MPR. Sejak tanggal 21 Mei 1998, ketika Pak Harto menyatakan berhenti dari jabatan Presiden, dan digantikan oleh Habibie. Sebelum Habibie menjabat sebagai Presiden, Habibie menjabat sebagai Wakil Presiden (Maret !998- 21 Mei 1998), sebelumnya dalam cabinet Pembangunan VII di bawah Presiden Soeharto, ia menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi sejak tahun 1978 sampai Maret 1998. Habibie
berkomitmen
melakukan reformasi
secara bertahap
dan
konstitusional di segala bidang, dengan memulihkan kehidupan politik demokratis, mengikuti tuntutan zaman dan generasinya, dan menegakkan kepastian hukum sesuai Pancasila dan UUD 1945.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Tugas pokok kabinet adalah menyiapkan proses reformasi. Dibidang politik, antara lain dengan memperbaharui berbagai perundang-undangan dalam rangka yang lebih meningkatkan kualitas kehidupan berpolitik yang bernuansa pada Pemilu sebagaimana yang diamanatkan oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Kebijakan pemerintahan Habibie di bidang politik yang membawa misi amanah reformasi telah mengubah suasana kehidupan politik yang lebih merdeka. Muncul banyak partai tanpa ada pembatsan, muncul banyak organisasi perserikatan buruh, banyak lahirnya Undang-Undang politik yang digodok di DPR merupakan langkah reformis yang menciptakan kehidupan politik yang lebih kondusif. ABRI di era Reformasi pada 5 Oktober 1998 mengeluarkan paradigma baru ABRI yang intinya akan merubah sikap ABRI ke depan, terutama menghadapi berbagai perkembangan sosial masyarakat. Tugas pokok ABRI adalah sebagai berikut: 1. mendukung dan memgamankan berbagai kepentingan nasional 2. melindungi dan mempertahankan integitas wilayah nasionala dari ancaman tindakan agresi pihak lawan. 3. mencegaha atau mengurangi dampak kerusuhan wilayah sebagai akiibat dari tindakan musuh,dan 4. memenuhi kewajiban-kewajiban internasionalnya.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Jendral TNI Wiranto menegaskan bahwa TNI telah merumuskan lima peran dan misi strategisnya, yaitu: Pertama, mempertahankan kedaulatan dan integritas Negara terhadap ancaman dari luar; Kedua, menjaga keamanan dalam negeri terhadap ancaman dari dalam yang sifatnya mengganggu keamanan dan ketertiban; Keempat, turut serta dalam pembangunan bangsa; dan Kelima, turut serta secara aktif dalam tugas-tugas pemeliharaan perdamaian dan kerjasama regional dan internasional. 2. Saran Ada beberapa saran yang diberikan penulis berkaitan dengan peran militer pada masa pemerintahan Soeharto antara lain : 1. Militer seharusnya dapat memaksimalkan peran militernya yaitu salah satunya adalah menjaga pertahanan dan keamanan Negara dari dalam dan luar. 2. Keterlibatan militer dalam bidang sosial politik seharusnya ditiadakan karena hal ini akan berimplikasi terhaadap peran militernya. 3. Adanya pembatasan yang jelas antara peran militer dan sipil dalam menjaga kondisi Negara agar tetap stabil. 4. Fungsi militer sebagai pertahanan keamanan seharusnya berjalan dengan baik dalam militer seharusnya tidak dijadikan sebagai salah satu kekuatan politik dalam suatu Negara. 5. Dengan diberlakukannya Undang-Undang tahun 2004 tentang TNI yang mengembalikan peran dan fungsi TNI sebagai pertahanan keamanan
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Negara, diharapkan TNI tidak lagi ikut berkecimpung di dalam politik praktis. 6. Pendidikan politik bagi militer seharusnya tidak dapat dirubah jadi sebuah kekuatan politik untuk mendukung seorang penguasa apalagi memihak satu golongan atau partai.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
DAFTAR PUSTAKA Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik indonesia, Jakarta : Gramedia 1980 Anwari WMK&Maruto MD, Reformasi Politik & Kekuatan Masyarakat, Jakarta:LP3ES, 2002 Budi Priyo Santoso, Birokrasi Pemerintahan Orde Baru, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995. Bulkin Farchan, Analisa Kekuatan Politik di Indonesia, Jakarta :LP3ES, 1995 Crouch, Harold, Militer dan Politik Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1999 Djafar, Zainuddin. Soeharto; Mengapa Kekuasaannya Dapat Bertahan Selama 32 tahun, Jakarta : FISIP UI Press, 2005. Djoko Suyanto, Menuju TNI Profesional dan Dedikatif, Penerbit : Pusat Penerangan TNI, 2007. Effendy Bahtiar, Teologi Politik Baru Islam, Yogyakarta : Galang Press, Fattah Dr.Abdoel, Dimiliterisasi Tentara, Yogyakarta :LKIS, 2005 Furchan Arief, Metode Penelitian Sosial, Surabaya: Usaha Nasional, 1992 Gaffar Affan, Politik di Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Gafar Affan, Javanese Voters a Case Study of Election Under a Hegemonic Party System, Yogyakarta : UGM Press, 1992 Gregious, Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto, Jakarta : Pondok Edukasi, 2004
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Indira Samega, TNI di Era Peerubahan, Jakarta : Erlangga, 2000. Indira Samega, Bila ABRI Menghendaki : Desakan Kuat Reformasi atas Konsep Dwifungsi ABRI, Mizan, Bandung, 1998. Jun Honna, Soeharto dan ABRI ; Menjelang Runtuhnya Orde Baru, Yogyakarta : Center For Information Analysis, 2007. Karim, M.Rusli. Peranan ABRI dalam Poiltik, Jakarta : Yayasan Idayu, 1981. Kartodirjo, Sartono. Pendekatann Ilmu Sosial dan Metodelogi Sejarah, Jakarta : PT. Gramedia, 2002. Liddle William, Partisipasi dan Partai Politik: Indonesia Pada Masa Awal Orde Baru, Jakarta: Grafiti Press, 1992. Mardalis, Metode Penelitian, Jakarta : Bumi Aksara, 1995. Muhaimin, Yahya A. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 19451966, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1987. Muhadjir Effendy, Reposisi Peran dan Fungsi Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Era Reformasi, Malang : Universitas Muhammadiyah Press, 2007. Muhtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, Jakarta : LP3ES, 1989. Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta : Gajaj Mada University Press, 1995. Nazaruddin Syamsudin dan Alfian, Masa Depan Kehidupan Politik Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1988.
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Noer Deliar, Ideology, Politik dan Pembangunan, Jakarta : Yayasan Perkhidmatan, 1983. Nordlinger, Eric A. Militer dalam Politik, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994. Pamungkas, Sri-Bintang. Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total, Jakarta : Erlangga, 2001. Pabotinggo Mochtar, Suara Waktu, Jakarta : Erlangga, 1999. Sahdan Gregiours, Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto, Yogyakarta : Pustaka Yogya Mandiri, 2004. Singh Bilver, Dwifungsi ABRI, Jakarta : PT.Gramedia, SH Soebijiono, Dwifungsi ABRI, Yogyakarta : Gajah Mada University, 1992. Suhelmi Ahmad, Pemikiran Politik Barat, Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama, 2001. Sundhaussen, Ulf. Politik Militer Indonesia 1945-1967, Jakarta : LP3ES, 1986. Syafie Kencana Inu Kencana, Sistem Politik Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2002. Thaba Abdul Azis, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Yulianto Arief, Hubungan Sipil-Militer Indonesia Pasca Orde Baru Ditengah Pusaran Demokrasi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persad, 2002. Winarno, MA Budi Prof.Dr, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi, Yogyakarta : Med Press, 2007
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009
Undang-Undang UUD 1945 UU No.20 Tahun 1982 tentang Hankam UU No. 2 Tahun 1988 Tentang Prajurit TNI UU No.34 Tahun 2004 Tentang Tugas, Peran dan Fungsi TNI
Kiki Namira : Perbandingan Kekuatan Politik Militer Era Orde Baru Dengan Era Reformasi, 2009. USU Repository © 2009