KOPERASI DAN KEKUASAAN DALAM ERA ORDE BARU Revrisond Baswir
eralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto merupakan tonggak yang sangat penting dalam sejarah nasional Indonesia. Peristiwa yang menandai
lahirnya
dibubarkannya
Orde
Partai
Baru
Komunis
itu,
tidak
Indonesia
hanya (PKI)
telah serta
menyebabkan dilarangnya
penyebarluasan ajaran Marxisme-Leninisme, tapi juga telah menyebabkan terjadinya perubahan mendasar dalam tatanan sosial dan politik Indonesia. Peranan politisi sipil yang dalam era pemerintahan Soekarno cenderung sangat menonjol, selanjutnya diambil alih oleh para perwira tinggi ABRI. Sedangkan sistem politik multi partai-multi ideologi, berubah wajah menjadi sistem politik tiga organisasi politik dengan asas tunggal (Crouch, 1986; Liddle, 1992). Sementara itu, walaupun tidak banyak mendapat perhatian, pergeseran corak yang cukup mendasar terjadi dalam lingkungan koperasi Indonesia. Sebagaimana dapat disaksikan dalam praktik di lapangan, corak koperasi secara keseluruhan dapat digolongkan berdasarkan tiga kategori: berdasarkan bidang usaha, berdasarkan jenis komoditi yang diusahakan, dan berdasarkan golongan fungsional para anggotanya. Bila berdasarkan bidang usaha koperasi dikelompokkan sesuai dengan ragam fungsi yang dilakukannya, dan berdasarkan jenis komoditi yang diusahakan koperasi dikelompokkan sesuai dengan ragam komoditi yang diusahakan oleh masing-masing koperasi, maka berdasarkan golongan fungsional anggotanya koperasi dikelompokkan sesuai dengan profesi atau jenis pekerjaan para anggotanya (lihat Penjelasan Pasal 17 UU No.12/1967). Sebelum tahun 1967 koperasi Indonesia pada umumnya dibangun berdasarkan dua kategori pertama (Kamaralsjah, 1954: 16). Jenis koperasi yang menonjol ketika itu adalah koperasi kredit dan koperasi produksi. Tetapi setelah 1967, corak koperasi yang berkembang di Indonesia cenderung
Jurnal Universitas Paramadina Vol.2 No. 3, Mei 2003: 247-263
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 246-263
berubah. Selain Koperasi Unit Desa (KUD), jenis koperasi yang sangat pesat perkembangannya dalam era Orde Baru adalah koperasi golongan fungsional. Hal itu tidak hanya terjadi dalam lingkungan pegawai negeri dan ABRI, tapi juga dalam lingkungan karyawan, wanita, mahasiswa, sekolah, pesantren, karyawan, serta dalam lingkungan berbagai golongan fungsional lainnya. Faktor apakah yang melatarbelakangi perubahan corak koperasi itu? Apakah perubahan corak tersebut semata-mata disebabkan oleh perubahan kebijakan perkoperasian atau adakah kaitannya dengan perubahan orientasi yang terjadi dalam pentas ekonomi-politik nasional? Bila perubahan corak itu berkaitan dengan perubahan orientasi ekonomi-politik nasional, pertimbanganpertimbangan apakah yang melatarbelakangi hal tersebut? Apakah hal itu dilakukan semata-mata berdasarkan pertimbangan rasional ekonomi, atau adakah kaitannya dengan kepentingan-kepentingan ekonomi-politik tertentu? Akhirnya, apakah dampak perubahan corak tersebut terhadap perkembangan koperasi sepanjang era Orde Baru?
Perubahan Kriteria Keanggotaan Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menjawab pertanyaanpertanyaan tersebut adalah dengan mengupas hakekat dan prinsip koperasi. Koperasi, sebagaimana dikemukakan oleh Bung Hatta (Hatta, 1954: 190 dan Book, 1994: 33), pada dasarnya adalah sebuah sistem nilai. Sebagai sebuah sistem nilai, koperasi tidak hanya ingin menampilkan perbedaan bentuknya dari bentuk-bentuk
perusahaan
yang
lain.
Koperasi
sesungguhnya
ingin
menegakkan seperangkat nilai tertentu dalam bidang perekonomian. Bahwa secara struktural koperasi tampil berbeda dari bentuk-bentuk perusahaan yang lain, hal itu semata-mata merupakan artikulasi dari nilai-nilai yang diembannya tersebut. Sebagai sebuah sistem nilai maka nilai-nilai koperasi dapat dikenali melalui apa yang disebut sebagai sendi dasar atau prinsip-prinsip koperasi. Sebagaimana dikemukakan oleh pasal 5 UU Koperasi No. 25/1992, prinsip koperasi Indonesia secara keseluruhan meliputi lima hal: (a) keanggotaan
248
Revrisond Baswir “Koperasi dan Kekuasaan dalam Era Orde Baru”
bersifat sukarela dan terbuka; (b) pengelolaan dilakukan secara demokratis; (c) pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan jasa usaha masing-masing anggota; (d) pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal; dan (e) kemandirian. Berdasarkan kelima prinsip tersebut dapat diketahui bahwa salah satu sendi
dasar
atau
prinsip
koperasi adalah keterbukaan keanggotaan.
Sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 5 ayat 1 UU No. 25/1992, yang dimaksud dengan keanggotaan yang bersifat terbuka adalah bahwa dalam keanggotaan koperasi tidak diberlakukan pembatasan atau diskriminasi dalam bentuk apa pun. Artinya, setiap orang yang mempunyai kepentingan dalam lapangan usaha yang dilakukan oleh koperasi, terlepas dari suku, agama, ras, golongan, atau pun jenis pekerjaannnya, dapat menjadi anggota sebuah koperasi. Dengan demikian, jangankan para karyawan koperasi (Hatta, 1954: 215), setiap pelanggan koperasi pun memiliki hak untuk menjadi anggota sebuah koperasi (Book, 1994: 41). Dibandingkan dengan prinsip-prinsip yang lain, prinsip keterbukaan keanggotaan ini menempati kedudukan yang sangat terhormat dalam sistem nilai koperasi. Ia boleh dikatakan merupakan jati diri dari setiap badan usaha yang ingin menyebut dirinya sebagai koperasi (Book, 1994). Tetapi dalam UU Koperasi No. 12/1967, yang disusun sebagai pengganti UU Koperasi No. 14/1965, prinsip keterbukaan keanggotaan itu cenderung dimanipulasi. Hal itu antara lain dilakukan dengan mengubah kriteria keanggotaan koperasi, yaitu dari yang mempunyai kepentingan dalam lapangan usaha yang dilakukan koperasi (pasal 18 UU No. 14/1958), menjadi berdasarkan kesamaan kepentingan dalam usaha koperasi (pasal 11 UU No. 12/1967). Sebagaimana dikemukakan dalam pasal 17 UU No. 12/1967, yang dimaksud dengan anggota yang memiliki kesamaan kepentingan adalah, "suatu golongan dalam masyarakat
yang
homogen
karena
kesamaan
aktivitas/kepentingan
ekonominya." Menyusul perubahan kriteria keanggotaan itu maka corak koperasi yang berkembang di Indonesia turut berubah. Sebelum tahun 1967, jenis
249
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 246-263
koperasi yang banyak berkembang di Indonesia adalah koperasi kredit dan koperasi produksi. Pada tahun 1953, dari sekitar 8.223 koperasi yang ada, koperasi kredit tercatat sebagai koperasi terbanyak. Sedangkan koperasi produksi tercatat sebanyak 1.237 unit, terdiri dari 700 koperasi pertanian, 225 koperasi perindustrian dan kerajinan, 93 koperasi perikanan, 20 koperasi peternakan, dan sekitar 199 koperasi produksi lainnya (Hatta, 1954: 236). Tetapi setelah 1967, terutama setelah dikeluarkannya Inpres No. 4/1973 tentang BUUD/KUD, perkembangan koperasi secara umum cenderung terbagi menjadi dua kategori: Koperasi Unit Desa (KUD) dan koperasi-koperasi non-KUD. KUD adalah koperasi serba usaha yang beranggotakan penduduk desa dan berlokasi di daerah perdesaan (Inpres No. 4/1973 dan Wahju Sukotjo dalam Hendrojogi, 1985: 16). Daerah kerjanya mencakup satu wilayah kecamatan. Sedangkan koperasi-koperasi non-KUD mencakup berbagai jenis koperasi lainnya seperti koperasi golongan fungsional, koperasi produsen, koperasi konsumen, dan koperasi simpan pinjam. Yang menarik, selain KUD yang pengembangannya memang dilakukan secara besar-besaran oleh Orde Baru, jenis koperasi yang sangat pesat perkembangannya setelah tahun 1967 adalah koperasi golongan fungsional. Pada tahun 1976 misalnya, dari sekitar 22.980 koperasi yang ada, jumlah KUD dan koperasi golongan fungsional masing-masing tercatat sebanyak 8.878 unit dan 7.875 unit. Sedangkan koperasi produsen, koperasi konsumen, dan koperasi simpan pinjam, masing-masing hanya berjumlah sebanyak 2.218 unit, 1.060 unit, dan 1.026 unit (Puslatpenkop, 1989: 291). Sedangkan pada tahun 1994, dari sekitar 44.294 unit koperasi, koperasi non-KUD mencapai 35.273 unit (RI, 1995: VI/82). Implikasi utama dari perkembangan koperasi golongan fungsional itu adalah berubahnya sifat keanggotaan koperasi dari terbuka menjadi tertutup. Sebagaimana telah disinggung pada bagian awal tulisan ini, keanggotaan koperasi dalam koperasi golongan fungsional hanya terbuka bagi mereka yang memiliki profesi sejenis. Bahkan, karena di belakang nama tiap-tiap koperasi golongan fungsional tercantum nama suatu instansi tertentu, keanggotaan
250
Revrisond Baswir “Koperasi dan Kekuasaan dalam Era Orde Baru”
koperasi jenis ini hanya berlaku bagi mereka yang bekerja pada instansi yang bersangkutan. Seorang konsumen atau karyawan pada Koperasi Serba Usaha Dosen Universitas X misalnya, selama tidak terdaftar sebagai dosen pada universitas yang bersangkutan, tidak mungkin diterima menjadi anggota koperasi itu. Perubahan corak dan pembatasan anggota yang dilatarbelakangi oleh perubahan kriteria keanggotaan koperasi itu tentu tidak dilakukan tanpa alasan. Menurut pasal 17 UU No. 12/1967, alasannya adalah untuk tujuan efisiensi. Namun bila ditelusuri karakterisitik dan sejarah perkembangan koperasi, serta orientasi ekonomi-politik Orde Baru, alasan tersebut jauh dari memuaskan. Alasan yang lebih mendasar tampaknya justru bersumber pada karakteristik koperasi sendiri. Sesuai
dengan
nilai-nilai
yang
diembannya,
koperasi
adalah
perkumpulan orang, bukan perkumpulan modal (Book, 1994: 50). Bahkan, sebagaimana dikemukakan dalam pasal 1 UU No. 25/1992, koperasi juga diakui sebagai gerakan ekonomi rakyat. Dengan karakterisitik seperti itu, koperasi memiliki dimensi yang sangat berbeda dari bentuk-bentuk perusahaan yang lain. Sebagai perkumpulan orang dan gerakan ekonomi rakyat yang juga berfungsi untuk mendemokratisasikan perekonomian nasional (lihat pasal 4 UU No. 12/1967), koperasi berpeluang untuk berkembang dan atau dikembangkan menjadi kekuatan politik (Soedjono dalam Hendrojogi, 1985 dan Baswir, 1993: 105). Tetapi karena secara historis koperasi dianjurkan untuk bersikap netral dalam bidang politik (Burger, 1954: 153), ia sekurang-kurangnya dapat digunakan sebagai alat untuk menggalang dukungan politik. Sebab itu wajar bila dalam sejarah perkembangan koperasi di Indonesia, koperasi hampir selalu menjadi ajang rebutan partai-partai politik yang ada. Pada tahun 1950-an misalnya, gerakan koperasi cenderung sangat dekat dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Hal itu tampak pada kegigihan PNI dalam memperjuangkan UU No. 79/1958 tentang perkumpulan koperasi (Kamaralsyah dkk., 1987: 18). Sedangkan dalam periode 1960 -1965, yang dikenal sebagai era demokrasi terpimpin, gerakan koperasi cenderung sangat
251
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 246-263
dekat dengan PKI. Hal itu tidak hanya tampak pada diterbitkannya UU No. 14/1965, tapi juga pada terjadinya peningkatan jumlah koperasi secara besarbesaran (Kamaralsyah dkk., 1987: 31). Bila tahun 1959 jumlah koperasi masih sekitar 16.600 unit, maka tahun 1965 membengkak menjadi 70.000 unit (Chaniago, 1984: 120). Tetapi kemudian, menyusul pembubaran PKI pada tahun 1966, jumlah koperasi di Indonesia mengalami penyusutan secara besar-besaran. Bila pada tahun 1966 jumlah koperasi sudah mencapai 73.400 unit, dengan jumlah anggota 11,7 juta orang, maka pada akhir tahun 1968 merosot menjadi 14.700 unit, dengan jumlah anggota 3,5 juta orang. Selain berkaitan dengan pembubaran PKI, penyusutan jumlah koperasi secara besar-besaran itu tentu tidak dapat dipisahkan dari upaya pemerintahan Orde Baru untuk menata arah perkembangan koperasi di Indonesia (Depdagkop, tanpa tahun: 44). Dalam rangka menata arah perkembangan koperasi itulah terutama UU Koperasi No. 12/1967 perlu diterbitkan. Koperasi-koperasi yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan kebijakan baru tersebut, terpaksa dibubarkan atau membubarkan diri (Puslatpenkop, 1989: 24).
Intervensi Militer Berdasarkan fakta-fakta tersebut, dapat disaksikan betapa cukup besarnya peranan faktor-faktor politik dan kekuasaan dalam mempengaruhi perkembangan koperasi di Indonesia. Walau pun demikian, tentu terlalu naif bila peranan faktor-faktor politik dan kekuasaan itu hanya dipahami dalam bentuk terjadinya perubahan undang-undang koperasi atau penerbitan peraturan baru dalam bidang perkoperasian. Artinya, bila dikaitkan dengan fenomena perubahan corak koperasi sebagaimana dikemukakan tadi, alasan bahwa hal itu semata-mata terjadi karena berubahnya kriteria keanggotaan koperasi terasa terlalu menyederhanakan masalah. Sebagaimana terjadi dalam berbagai bidang sosial dan politik lainnya, keterlibatan faktor-faktor politik dan kekuasaan dalam perkembangan koperasi di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua metode. Metode pertama
252
Revrisond Baswir “Koperasi dan Kekuasaan dalam Era Orde Baru”
adalah dengan melakukan intervensi legal. Melalui metode ini, perkembangan koperasi dicoba untuk dipengaruhi oleh pemerintah yang berkuasa dengan mengganti undang-undang atau peraturan perkoperasian. Dalam era demokrasi terpimpin hal itu antara lain dilakukan oleh pemerintahan Soekarno dengan mengganti PP No. 60/1959 dengan UU No. 14/1965. Sedangkan metode kedua adalah dengan melakukan intervensi institusional.
Melalui
metode
ini,
pemerintah
atau
kelompok-kelompok
kepentingan lainnya yang berkepentingan terhadap perkembangan koperasi, berusaha mempengaruhi perkembangan koperasi dengan menguasai berbagai organisasi gerakan koperasi yang ada. Dalam era Demokrasi Terpimpin hal itu antara lain dilakukan oleh pemerintahan Soekarno dengan menempatkan orang-orangnya dalam Kesatuan Organisasi Koperasi Seluruh Indonesia (KOKSI). Bahkan, sesuai dengan hasil kesepakatan Musyawarah Nasional Koperasi (Munaskop) II yang berlangsung pada bulan Agustus 1965, yaitu bahwa gerakan koperasi adalah bagian dari gerakan rakyat revolusioner yang berporoskan Nasakom, Pemimpin Tertinggi Gerakan Koperasi ketika itu langsung dipangku oleh Ir. Soekarno selaku Bapak Koperasi Indonesia1. Sedangkan jabatan Ketua KOKSI dipangku oleh Menteri Transmigrasi, Koperasi, dan Pembangunan Masyarakat Desa (Mentranskopemada) M. Achadi (Kamaralsyah dkk, 1987: 28, 66). Pertanyaannya adalah, selain menggunakan metode intervensi legal, apakah pemerintahan Orde Baru juga menggunakan metode intervensi institusional dalam mempengaruhi perkembangan koperasi setelah tahun 1967? Jawabannya sulit untuk dikatakan tidak. Walaupun bentuk intervensi yang 1
Selain Bung Hatta (Drs. H. Muhammad Hatta), Ir. Soekarno juga pernah ditetapkan sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Bila Bung Hatta ditetapkan sebagai Bapak Koperasi Indonesia oleh Kongres Besar Seluruh Koperasi Indonesia ke-2 yang berlangsung di Bandung tanggal 15-17 Juni 1953, Ir. Soekarno ditetapkan sebagai Bapak Koperasi Indonesia oleh Musyawarah Nasional Koperasi ke-2 yang berlangsung di Istora Senayan, Jakarta tanggal 2-10 Agustus 1965 (Kamaralsjah dkk, 1987). Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto memang hanya mengakui Bung Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia yang sah. Tetap setahun menjelang kejatuhannya pada tanggal 20 Mei 1998, Soeharto sendiri juga ditetapkan oleh Musyawarah Nasional Koperasi ke-14 yang berlangsung di Jakarta tanggal 11 Juli 1997, sebagai Bapak Penggerak Koperasi Indonesia (Djohan, 1997).
253
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 246-263
dilakukan oleh Orde Baru agak berbeda dari yang dilakukan oleh Soekarno, tapi upaya itu tetap dapat ditelusuri dengan mudah. Kata kuncinya terletak pada sangat mencoloknya keterlibatan ABRI dan Keluarga Besar ABRI (KBA)--yang menjadi tulang punggung pemerintahan Orde Baru (Suryadinata, 1995), dalam berbagai urusan perkoperasian di Indonesia. Selain beberapa jabatan tinggi pemerintahan yang berkaitan dengan perkoperasian tampak dipegang oleh para anggota ABRI dan KBA, intervensi institusional itu juga tampak secara mencolok melalui keterlibatan sejumlah anggota ABRI dan KBA dalam memimpin organisasi gerakan koperasi nasional. Pada awal 1966, jabatan Deputi Menteri Perdagangan Urusan Koperasi (Memperdagkop) dipangku oleh Letnan Jenderal (Letjen) TNI Achmad Tirtosudiro. Posisi itu dilanjutkan oleh Ir. Ibnoe Sudjono, yang kemudian juga bertindak selaku Ketua Panitia Penyusunan UU No. 12/1967. Sedangkan jabatan Menteri Transmigrasi dan Koperasi dalam Kabinet Pembangunan I (1969 -1973), dipegang oleh Letjen TNI Sarbini (Kamarlsyah dkk, 1987: 36, 61) Langkah-langkah yang ditempuh oleh Orde Baru dalam menguasai berbagai organisasi gerakan koperasi nasional itu antara lain dapat dicermati melalui pendirian koperasi-koperasi golongan fungsional dalam lingkungan ABRI dan KBA. Menyusul pendirian koperasi-koperasi primer pada masingmasing instansi dalam lingkungan ABRI dan KBA, selanjutnya didirikanlah beberapa induk koperasi. Pada setiap Angkatan misalnya, dibentuk satu induk koperasi. Selain itu, induk koperasi juga didirikan dalam lingkungan Mabes ABRI (Induk Koperasi ABRI), dalam lingkungan veteran (Induk Koperasi Veteran Republik Indonesia), dan dalam lingkungan purnawirawan ABRI (Induk Koperasi Purnawirawan ABRI). Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam penjelasan Pasal 17 UU No. 12/1967, yaitu bahwa koperasi angkatan bersenjata adalah wadah kegiatan kekaryaan anggota Angkatan, hal itu memang dimungkinkan (Djohan, 1986: 155). Tetapi karena dalam lingkungan profesi yang lain pada umumnya hanya terdapat satu induk koperasi, hal tersebut tentu mengundang kecurigaan. Selain itu, dilihat dari segi koperasi primernya, jumlah koperasi primer dalam
254
Revrisond Baswir “Koperasi dan Kekuasaan dalam Era Orde Baru”
lingkungan ABRI tergolong tidak banyak. Sebagaimana tampak pada Tabel 1, jumlah koperasi primer dalam lingkungan ABRI pada tahun 1977/1978 hanya 1.542 unit, meliputi 894 primkopad, 98 primkopal, 120 primkopau, dan 430 primkoppol. Karena pada masing-masing angkatan dan kepolisian dibentuk satu induk koperasi, ditambah dengan satu induk koperasi khusus bagi Markas Besar ABRI, maka dalam lingkungan ABRI otomatis terdapat lima induk koperasi. Padahal, dalam lingkungan pegawai negeri sipil, yang pada tahun yang sama memiliki 4.375 unit koperasi primer, hanya terdapat satu induk koperasi. Dengan dimilikinya beberapa induk koperasi oleh ABRI dan KBA, peranan militer dalam menentukan komposisi kepengurusan organisasi gerakan koperasi nasional, seperti Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), Institut Koperasi Indonesia (Ikopin), Bank Koperasi Indonesia (Bukopin), Koperasi Jasa Audit Nasional (KJAN), serta Koperasi Asuransi Indonesia (KAI), cenderung menjadi sangat dominan. Hasilnya antara lain tampak pada cukup besarnya tingkat keterlibatan para anggota ABRI dan KBA dalam kepengurusan masingmasing organisasi gerakan koperasi nasional tersebut. Baik dilihat dari segi tingkat jabatannya maupun dari segi jumlah posisi yang mereka duduki.
Tabel 1. Jumlah Koperasi Primer, Pusat, Gabungan, dan Induk Dalam Lingkungan Pegawai Negeri Sipil dan ABRI, 1977/1978 (Soedjono dalam Hendrojogi, 1985) Koperasi
Primer
Pusat
Pegawai Negeri
4.375
199
Angkatan Darat Angkatan Laut Angkatan Udara Kepolisian
894 98 120 430
-
5.917
199
90
Jumlah
Gabungan
Induk
Jumlah
25
1
4.600
18 8 20 19
1 1 1 1
913 107 141 450
5
6.211
Dalam kepengurusan Gerakan Koperasi Indonesia (Gerkopin) periode 1966 - 1969 misalnya, jabatan Ketua dipangku oleh Brigadir Jenderal (Brigjen) TNI KHMS Rahardjodikromo (Induk Koperasi Angkatan Darat). Sedangkan
255
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 246-263
jabatan Sekjen dipangku oleh Brigadir Jenderal Polisi (Brigjenpol) Taslan Karnadi SH (Induk Koperasi Kepolisian). Dari 12 posisi kepengurusan yang ada, lima di antaranya diduduki oleh anggota KBA. Hal yang sama berlanjut dalam kepengurusan Dekopin masa-masa berikutnya. Dalam kepengurusan Dekopin periode 1970 - 1973, jabatan Ketua dipangku oleh Komodor Laut R. Sardjono (Induk Koperasi Angkatan Laut), sedangkan jabatan Sekjen kembali dipangku oleh Brigjenpol Taslan Karnadi SH. Sekurang-kurangnya enam dari 11 posisi kepengurusan Dekopin diduduki oleh para anggota ABRI dan KBA. Gambaran selengkapnya mengenai tingkat keterlibatan anggota ABRI dan KBA dalam kepengurusan organisasi gerakan koperasi nasional dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Peranan Anggota ABRI dan KBA Dalam Kepengurusan Organisasi Gerakan Koperasi Nasional (Diolah dari berbagai sumber oleh Revrisond Baswir) Organisasi
Periode
Kursi
GERKOPIN DKI DKI DEKOPIN DEKOPIN DEKOPIN IKOPIN KAI KJAN BUKOPIN DEKOPIN DEKOPIN DEKOPIN
1966-1969 1970-1973 1974-1977 1977-1980 1980-1983 1983-1988 1982-1983 1983-1988 1984-1989 1985-1989 1988-1993 1993-1997 1997-1999
5 6 5 5 4 5 1 6 4 4 13 11 3
Posisi Kunci yang Diduduki Anggota KBA Ketua Umum dan Sekjen Ketua Umum, Ketua II, Sekjen, Komis, Umum Ketua I, Sekjen, Komisaris Umum Ketua Umum, Ketua II, Ketua V, Ketua BP Ketua I, Ketua IV, Sekjen, Ketua BP Ketua I, Ketua III, Ketua V, Sekjen, Ketua BP Ketua Rektorium Wk. Ketua I, Sekretaris I dan II, Ketua BP Ketua Umum, Ketua I, Bendahara I, Ketua BP Ketua II, Sekretaris, Ketua BP Ketua I, Ketua IV, Ketua XI, Sekjen, Ketua BP Ketua I, Ketua XI, Ketua XV, Sekjen, Ketua BP Ketua Umum, Ketua II, Penasihat
Berdasarkan data tabel 2 tersebut, dapat disaksikan betapa sangat besarnya campur tangan Orde Baru -yang antara lain diwakili oleh para anggota ABRI dan KBA, dalam mempengaruhi perkembangan koperasi di Indonesia. Perubahan mendasar yang dialami oleh koperasi sebagai akibat dari campurtangan itu tidak hanya terbatas dalam bentuk perubahan corak koperasi secara umum, tapi menukik jauh hingga ke perubahan watak ideologis dan
256
Revrisond Baswir “Koperasi dan Kekuasaan dalam Era Orde Baru”
orientasi koperasi dalam pentas ekonomi-politik nasional. Hal itu tidak hanya membuktikan dilakukannya intervensi legal dan institusional oleh Orde Baru untuk mempengaruhi perkembangan koperasi setelah tahun 1967, tapi juga membuktikan cukup strategisnya posisi koperasi dalam percaturan ekonomipolitik Orde Baru.
Keterbelakangan Koperasi Pertanyaannya adalah, setelah Orde Baru memegang tampuk kekuasaan selama lebih dari 30 tahun, sedangkan posisi koperasi dibandingkan dengan pelaku-pelaku usaha yang lain masih tetap terbelakang, bagaimanakah kaitan antara keterbelakangan koperasi dengan fenomena intervensi legal dan institusional tadi harus diterangkan? Artinya, apakah kondisi keterbelakangan yang dialami koperasi sepanjang era Orde Baru itu juga berkaitan dengan fenomena intervensi legal dan institusional tersebut?
Tabel 3.
Nilai Aset dan Nilai Usaha BUMN, Konglomerat, dan Koperasi Tahun 1993 dalam trilyun rupiah (Diolah dari beberapa sumber oleh Revrisond Baswir) Nilai Aset
%
Nilai Usaha
%
BUMN
Rp. 269.0
53.8
Rp 80.0
34.3
Konglomerasi*
Rp. 227.0
45.4
Rp. 144.0
61.7
Koperasi
Rp. 4.0
0.8
Rp. 9.5
4.0
Jumlah
Rp. 500.0
100.0
Rp. 233.5
100.0
Catatan: (*) Tidak termasuk usaha swasta non konglomerasi.
Setelah mengalami penyusutan secara besar-besaran pada tahun 1967, perkembangan koperasi dalam era Orde Baru sebenarnya tergolong lumayan. Hal itu tidak hanya dapat disaksikan pada perkembangan kelembagaan koperasi, tapi juga pada perkembangan usahanya. Secara kuantitatif, perkembangan kelembagaan koperasi dapat dicermati pada peningkatan jumlah koperasi dan jumlah anggotanya. Jumlah koperasi yang pada awal Pelita I masih sekitar 9.339 unit, pada tahun 1993 meningkat menjadi
257
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 246-263
42.061 unit. Peningkatan yang lebih drastis terjadi pada jumlah anggota koperasi. Dari hanya sekitar 1,5 juta orang, jumlah anggota koperasi meningkat menjadi 24,7 juta orang (RI, 1995: VI/82). Seiring dengan perkembangan kelembagaan tersebut, usaha koperasi juga turut berkembang. Simpanan anggota koperasi yang tahun 1969 masih sekitar Rp 0,3 miliar, pada tahun 1993 meningkat menjadi Rp1,8 triliun. Modal usahanya meningkat dari Rp 21,9 miliar menjadi Rp 3,5 triliun. Sedangkan nilai usaha koperasi, yang pada awal Pelita I masih sekitar Rp 74,0 miliar, pada tahun 1993 meningkat menjadi Rp 9,5 triliun (RI, 1995: VI/72). Walaupun demikian, bila dibandingkan dengan kelompok-kelompok usaha yang lain - BUMN dan konglomerasi, posisi koperasi ternyata masih sangat terbelakang. Sebagaimana tampak pada tabel 3, nilai aset koperasi pada tahun 1993 hanya sekitar Rp 4 triliun. Jumlah itu hanya meliputi 0,8 persen nilai aset berbagai sektor usaha di Indonesia. Nilai aset terbesar dimiliki oleh BUMN dengan jumlah Rp 269 triliun. Disusul oleh konglomerasi dengan jumlah Rp 227 triliun. Sedangkan dalam nilai usaha keadaannya sedikit berbeda. Konglomerasi berada di urutan pertama dengan nilai usaha Rp 144 triliun. BUMN di urutan kedua dengan nilai usaha Rp 80 triliun. Sedangkan koperasi, dengan nilai usaha Rp 9,5 triliun, kembali berada di urutan ketiga. Dengan nilai aset sebesar Rp 4 triliun tersebut, setiap koperasi pada tahun 1993 rata-rata hanya memiliki aset sebesar Rp 95 juta. Kalau nilai aset itu diperhitungkan dengan jumlah anggota koperasi yang tahun itu berjumlah 24,6 juta orang, sumbangan setiap anggota koperasi terhadap kekayaan seluruh koperasi rata-rata hanya meliputi Rp 162.000. Sedangkan bila dibandingkan dengan jumlah seluruh koperasi, setiap koperasi pada tahun 1993 rata-rata hanya memiliki nilai usaha sebesar Rp 226 juta (Baswir, 1997: 151). Memperhatikan data-data tersebut, dapat disaksikan betapa sangat jauhnya koperasi tertinggal dibandingkan dengan kelompok-kelompok usaha yang lain. Selain disebabkan oleh latar belakang pendirian koperasi yang sebagian besar dimulai dengan modal terbatas, hal itu tentu tidak dapat dipisahkan dari kehadiran kendala ekonomi-politik yang memang cenderung
258
Revrisond Baswir “Koperasi dan Kekuasaan dalam Era Orde Baru”
menelikung perkembangan koperasi. Orientasi ekonomi-politik Orde Baru secara umum lebih berpihak kepada usaha-usaha besar dan konglomerasi daripada kepada koperasi (Robison dalam Higgot dan Robison, 1985: 317). Akibatnya,
peranan
perusahaan-perusahaan
konglomerasi
dalam
perekonomian Indonesia cenderung menjadi sangat dominan. Nilai usaha 200 perusahaan kongklomerasi terbesar pada tahun 1993 diperkirakan telah meliputi sekitar 48 persen Produk Domestik Bruto (PDB) nasional (Wibisono, 1995). Padahal, tidak sebagaimana koperasi, ke 200 perusahaan konglomerasi tersebut hanya dimiliki oleh segelintir orang. Tetapi bila dilihat dari sudut intervensi legal dan institusional yang menelikung perkembangan koperasi sebagaimana dikemukakan tadi, kondisi keterbelakangan
koperasi
itu
sebenarnya
mudah
dipahami.
Dengan
berubahnya kriteria keanggotaan dan penjenisan koperasi berdasarkan kesamaan aktivitas/ kepentingan ekonomi para anggotanya, keberadaan koperasi secara sengaja diarahkan hanya sebagai sebuah usaha sampingan. Bahkan,
dengan
lebih
ditekankannya
pengembangan
koperasi
dalam
lingkungan masyarakat desa, pegawai negeri dan ABRI, serta golongan fungsional lainnya (yang secara politik cenderung sangat terkooptasi), pembangunan koperasi tampaknya memang sengaja diarahkan semata-mata sebagai usaha sampingan bagi kelompok masyarakat yang memiliki keterampilan, modal, dan posisi tawar politik terbatas. Sebaliknya, bila dilihat dari sudut orientasi ekonomi-politik Orde Baru, kondisi keterbelakangan koperasi itu lebih tepat disebut sebagai sebuah conditio sine qua non. Artinya, dengan menelikung perkembangan koperasi, Orde Baru tidak hanya berhasil mengubah corak dan watak ideologis koperasi, tapi sekaligus
berhasil
mengintegrasikannya
sebagai
bagian
dari
struktur
kekuasaan. Hal tersebut sejalan dengan watak Orde Baru sebagai sebuah negara otoriter birokratik rente (Budiman, 1991: 70), baik untuk menjaga stabilitas
kekuasan
maupun
untuk
menjamin
kesinambungan
strategi
pembangunannya. Dengan cara itulah antara lain Orde Baru melestarikan kekuasaannya selama 32 tahun.
259
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 246-263
Implikasi Kebijakan Berdasarkan uraian panjang lebar di muka, secara umum dapat disimpulkan betapa sangat besarnya peranan faktor-faktor politik dan kekuasaan terhadap perikehidupan bangsa Indonesia. Peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto ternyata tidak hanya telah menyebabkan terjadinya pergeseran corak dan orientasi politik nasional, tapi juga telah menyebabkan terjadinya pergeseran corak dan orientasi ekonomi Indonesia secara mendasar. Bahkan, walaupun jarang mendapat perhatian, peristiwa itu juga telah menyebabkan terjadinya perubahan corak dan watak koperasi Indonesia. Yang menarik, perubahan corak dan watak koperasi yang berlangsung sepanjang era Orde Baru itu ternyata tidak hanya terjadi sebagai akibat berubahnya undang-undang atau peraturan perkoperasian. Tetapi disertai pula oleh berlangsungnya intervensi institusional ke dalam organisasi gerakan koperasi. Sejalan dengan perubahan tatanan politik nasional, jabatan-jabatan teras dalam lingkungan Departemen Koperasi cenderung dipangku oleh para anggota ABRI dan KBA. Sedangkan keterlibatan anggota ABRI dan KBA sebagai pimpinan organisasi gerakan koperasi cenderung sangat menonjol. Dengan
latar
belakang
seperti
itu,
keterbelakangan
koperasi
dibandingkan kelompok-kelompok usaha yang lain dalam era Orde Baru, sebenarnya hanyalah konsekuensi logis dari perubahan orientasi ekonomipolitik nasional. Secara empirik hal tersebut berkaitan dengan intervensi legal dan institusional yang dialami oleh koperasi. Sebab itu, guna meningkatkan perkembangan koperasi di masa depan, kebijakan perkoperasian yang hanya berorientasi pada pembenahan kondisi internal koperasi tidak akan banyak artinya. Demikian pula halnya dengan penyediaan fasilitas permodalan atau berbagai fasilitas kemudahan lainnya. Tindakan-tindakan itu, selain akan semakin memperburuk tingkat ketergantungan koperasi terhadap kekuasaan, hanya akan menyebabkan semakin merajalelanya praktik korupsi dan kolusi dalam lingkungan perkoperasian.
260
Revrisond Baswir “Koperasi dan Kekuasaan dalam Era Orde Baru”
Agar di masa mendatang koperasi dapat berkembang secara demokratis dan mandiri, berbagai bentuk intervensi yang selama ini menelikung perkembangan koperasi harus segera diakhiri. Penyusunan UU Koperasi misalnya, harus diusahakan secara maksimal agar tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip koperasi universal. Keberadaan Departemen Koperasi harus dibatasi sedemikian rupa atau dihapuskan sama sekali. Sedangkan keberadaan Dekopin sebagai wadah tunggal gerakan koperasi harus dianulir, yaitu untuk memberi ruang bagi tumbuhnya organisasi-organisasi gerakan koperasi alternatif. Tanpa sejumlah tindakan tersebut, berlanjutnya penyalahgunaan kekuasaan untuk menelikung perkembangan koperasi akan sulit dihindari.
Daftar Pustaka Baswir, Revrisond. 1993. Kemandirian Koperasi dan Kewirausahaan, dalam Revrisond, Ekonomika, Manusia, dan Etika, Yogyakarta: BPFE.
261
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 246-263
Baswir, Revrisond. 1997. Ekonomi Politik Keterbelakang Koperasi, dalam Revrisond, Agenda Ekonomi Kerakyatan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Baswir, Revrisond. 1997,Koperasi Indonesia, Yogayakarta: BPFE. Book, Sven Ake. 1994, Nilai-nilai Koperasi Dalam Era Globalisasi, diterjemahkan oleh Djabarudin Djohan, Jakarta: KJAN. Budiman, Arief. 1991, Negara dan Pembangunan: Studi tentang Indonesia dan Korea Selatan, Jakarta: Yayasan Padi dan Kapas. Burger, D.H. 1954, Koperasi-koperasi Di Luar Indonesia, Jakarta: Kementerian PP dan K. Chaniago, Arifinal. 1984, Perkoperasian Indonesia, cetakan kedua, Bandung: Angkasa. Crouch, Harold. 1986, Militer dan Politik di Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta. Depdagkop (tanpa tahun), Kebijaksanaan dan Program Pembangunan Koperasi Dalam Pembangunan Lima Tahun ke III 1979 - 1983, Jakarta. Djamhari, Choirul dan Ahmad Dimyati. 1986, Koperasi Dalam Era Efisiensi Nasional, Jakarta: Balitbangkop. Djohan, Djabaruddin. 1986, Efisiensi Koperasi di Lingkungan ABRI, dalam Djamhari dan Dimyati, Koperasi Dalam Era Efisiensi Nasional, Jakarta: Balitbangkop. Djohan, Djabaruddin. 1997. Setengah Abad Pasang Surut Gerakan Koperasi Indonesia 12 Juli 1917 – 12 Juli 1997. Jakarta: Dekopin. Hatta, Mohammad. 1954, Kumpulan Karangan, Jakarta :Penerbit dan Balai Buku Indonesia. Hendrojogi.1985, Koperasi: Masalah Pengembangan dan Pembinaannya, Jakarta: LM-FE UI. Kamaralsjah. 1954, Tentang Pengertian Hal Perkumpulan Ko-operasi, J.B. Wolters, Jakarta: Groningen. Kamaralsyah dkk. 1987, Panca Windu Gerakan Koperasi Indonesia; 12 Juli 1947 - 12 Juli 1987, Jakarta: Dewan Koperasi Indonesia. Liddle, R. William. 1992, Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta: LP3ES. Puslatpenkop. 1989, Buku Pelajaran Koperasi Tingkat Lanjutan, cetakan keenam, Jakarta: tanpa penerbit. Redaksi Rineka Cipta. 1991, Pedoman Pelaksanaan Pengembangan dan Pembinaan Koperasi (Koperasi Unit Desa), Jakarta: Rineka Cipta.
262
Revrisond Baswir “Koperasi dan Kekuasaan dalam Era Orde Baru”
Republik Indonesia. 1992, Undang Undang No. 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian, Jakarta : Dewan Koperasi Indonesia. Republik Indonesia. 1995, Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia, Jakarta, 16 Agustus. Robison, Richard. 1985, Class, Capital and the State in New Order Indonesia, dalam Richard Higgott dan Richard Robison, Southeast Asia: Essays in the Political Economy of Structural Change, London : Routledge and Kegan Paul. Soedjono, Ibnu. 1985, Permasalahan Pengembangan Koperasi Sebagai Badan Usaha, dalam Hendrojogi, Koperasi: Masalah Pengembangan dan Pembinaannya, Jakarta: LM-FE UI. Sukotjo, Wahju. 1985, KUD Model: Semua Kita Berkepentingan Koperasi, dalam Hendrojogi, Koperasi: Masalah Pengembangan dan Pembinaannya, LM-FE UI, Jakarta. Sularso dan E.D. Damanik. 1988, Peraturan dan Undang Undang Koperasi di Indonesia, Jakarta : Puslatpenkop. Suryadinata, Leo. 1995, Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik, Jakarta: LP3ES. Wibisono, Christianto. 1995, Perkembangan Mutakhir Konglomerat Indonesia, dalam Warta Ekonomi No. 48 Th. VI.
263