Majalah Bulanan ”FORUM KEADILAN”, Terbit di Jakarta, Edisi 9 Januari 2000 _____________________________________________ KI HADJAR DEWANTARA PELETAK DASAR PENDIDIKAN NASIONAL Oleh : Ki Supriyoko
"Sungguh, seandainya saja aku ini seorang Nederlander, tidaklah aku akan merayakan peringatan kemerdekaan di negeri yang masih terjajah. Lebih dahulu memberi kemerdekaan kepada rakyat atau bangsa yang masih aku kuasai, barulah boleh orang memperingati kemerdekaan sendiri". Kalimat yang bernada protes tersebut ditulis oleh Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1913 ketika kaum kolonial Belanda berencana mengadakan perayaan seratus tahun kemerdekaannya dari jajahan Perancis; dan perayaan kemerdekaan itu akan dilakukan di tanah jajahan Indonesia dengan menarik uang dari rakyat. Ki Hadjar yang berusia 24 tahun menganggap rencana itu benar-benar menyinggung perasaan rakyat Indonesia; dan akhirnya ditulislah protes melalui tulisan yang sangat terkenal, 'Als Ik Eens Nederlander Was' (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan 'Een voor Allen maar Ook Allen voor Een' (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan ini pula yang menghantarkan seorang putra bangsa pada perjalanan panjang perjuangan menuju Indonesia Merdeka. Itu adalah sekilas potongan sejarah perjuangan Ki Hadjar; bahwa jiwa kebangsaan yang telah tertanam semenjak mudanya telah memberikan kontribusi dan dorongan kuat untuk melahirkan konsep-konsep pendidikan yang berwawasan kebangsaan. Ki Hadjar memang tidak sendirian berjuang menanamkan jiwa merdeka bagi rakyat melalui bidang pendidikan; namun telah diakui dunia bahwa kecerdasan, keteladanan dan kepemimpinannya telah menghantarkan ia sebagai seorang yang berhasil meletakkan dasar pendidikan nasional Indonesia. Ki Hadjar bukan saja seorang tokoh dan pahlawan pendidikan; tetapi beliau merupakan seorang Bapak Pendidikan Nasional yang sangat dihormati. Sejajar Rabindranath Tagore Ki Hadjar lahir di Yogyakarta, Indonesia pada tanggal 2 Mei 1889 dengan nama
2
Soewardi. Ia berasal dari keluarga Soerjaningrat maka ketika kecil lebih dikenal dengan nama Soewardi Soerjaning-rat. Oleh karena keluarga Soerjaningrat merupakan keluarga raja maka Soewardi yang berdarah biru itu memperoleh gelar kebangsawanan Raden Mas di depan namanya; dengan demikian lengkaplah nama beliau menjadi Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Belakangan akan terlihat bahwa tepat satu abad atau seratus tahun sejak hari kelahirannya, yaitu tanggal 2 Mei 1989, bangsa Indonesia baru bisa memiliki Undang-Undang Pendidikan Nasional yang dijadikan pedom-an pelaksanaan pendidikan nasional di Indonesia. Sesuai dengan tradisi orang Jawa saat itu maka ketika genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka ia berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Yang bukan tradisi adalah semenjak saat itu Ki Hadjar tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya beliau dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya. Semenjak usia 19 tahun Ki Hadjar sudah aktif berorganisasi secara politik dan sosial. Pada tahun 1908 ia aktif di Boedi Oetama (BO) dan mendapatkan tugas yang cukup menantang di seksi pro-paganda. Atas posisinya itu ia tidak saja harus aktif mensosialisasi BO akan tetapi lebih daripada itu ia harus aktif menggugah kesadaran manusia Indonesia, meskipun terminologi Indonesia ketika itu belum digunakan secara luas, mengenai pentingnya kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara. Ki Hadjar berjuang melalui berbagai dimensi sekaligus; dari politik, pers, sosial, kesenian dan akhirnya pendidikan dan kebudayaan. Sejak muda ia senang mengekspresikan ide dan kreativitas perjuangannya melalui tulisan. Beliau adalah penulis yang tangguh pada masanya; tulisan-tulisannya sangat tegar dan patriotik, serta mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembaca. Tulisan beliau tersebar di berbagai media massa ternama waktu itu; antara lain Sedya Tama, Midden Java, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, De Express, Tjahaja Timoer, Poesara, dan sebagainya. Semenjak Ki Hadjar, bersama teman-teman seperjuangannya mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguru-an Nasional Tamansiswa sebagaimana yang kita kenal sekarang ini pada tanggal 3 Juli 1922 maka tulisantulisan Ki Hadjar beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan. Ratusan tulisan pen-didikan dan kebudayaan Ki Hadjar berisi konsep-konsep pendidikan dan kebudayaan yang berwawasan kebangsaan. Melalui konsep-kon-sep pendidikan dan kebudayaan itulah Ki Hadjar berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia. Kalau nama Ki Hadjar sering disejajarkan dengan Rabindranath Tagore, seorang pemikir, pendidik, dan pujangga besar kelas dunia yang telah berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasio-nal India, kiranya memang sangat beralasan. Di samping keduanya bersahabat, antara Ki Hadjar dengan Tagore memang memiliki kesamaan visi dan misi dalam perjuangannya. Kalau Tagore mendirikan Shanti Niketan sebagai ladang untuk merealisasi ide-
3
idenya di bidang pendidikan dan kebudayaan maka Ki Hadjar mendirikan Tamansiswa. Pada tahun 1927, Tagore disertai pendampingnya antara lain Prof. Chatterjee berkunjung ke Tamansiswa. Kunjungan ini diimbangi oleh Ki Hadjar dengan mengirimkan beberapa siswa, yaitu Subroto, Rusli dan S. Harahap untuk belajar di Shanti Niketan. Kemudian Tagore juga mengirim beberapa siswa, yaitu Mrinallini, Ammu Swaminadan, Shanti Deva Gose dan Nataraj Vashi untuk belajar kesenian di Tamansiswa. Tagore sangat sering merekomandasi orang-orang India (dan Colombo), antara lain Prof. Khair dan Prof. Pandia yang akan menemui Ki Hadjar untuk bertukar wawasan. Tagore dan Ki Hadjar sama-sama dekat dengan rakyat, cinta kemerdekaan dan bangga atas budaya bangsanya sendiri. Apabila Tagore pernah mengembalikan gelar kebangsawanan (Sir) pada raja Inggris sebagai protes atas keganasan tentara Inggris dalam kasus 'Amritsar Affair' maka hal itu dilatarbelakangi kecintaannya kepada rakyat. Begitu juga halnya, ditanggalkannya gelar kebangsawanan (Raden Mas) oleh Ki Hadjar juga dilatarbelakangi keinginan untuk lebih dekat dengan rakyat dari segala lapisan. Antara Ki Hadjar dengan Tagore juga merupakan sosok yang sama-sama cinta kemerdekaan. Dipilihnya bidang pendidikan dan kebudayaan sebagai medan perjuangan tidak terlepas dari "strategi" untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah. Adapun logika ber-pikirnya relatif sederhana; apabila rakyat diberi pendidikan yang memadai maka wawasannya semakin luas, dengan demikian keinginan untuk merdeka jiwa dan raganya tentu akan semakin tinggi. Kei- nginan ini merupakan modal utama bagi bangsa untuk melepaskan diri dari cengkeraman penjajah. Pada sisi lain kecintaan terhadap budaya bangsanya sendiri merupakan kesamaan sifat antara kedua tokoh. Dalam tulisan-tulisan dan puisi-puisi yang diciptakan Tagore tergambar kecintaan terhadap budaya bangsanya; demikian pula di dalam tulisan-tulisan dan syair-syair yang diciptakan Ki Hadjar tercermin rasa cinta kepada budaya "adhiluhung" warisan nenek moyang. Konsep Pendidikan Ki Hadjar melalui konsep-konsep pendidikan telah berhasil meletakkan dasar pendidikan nasional Indonesia. Konsep-konsep ini digali dari nilai-nilai kultural religius yang berkembang di negara Indonesia sendiri. Konsep-konsep pendidikan yang dimaksud antara lain kemerdekaan, kebangsaan, kebudayaan, kemandirian, kemanusiaan, kekeluargaan, keseimbangan, budi pekerti, dan sebagainya. Sekarang ketika bangsa Indonesia berangkat memasuki Era Milenium Ke-3 ternyata konsep-konsep Ki Hadjar masih tetap relevan; bahkan terkesan semakin menunjukkan kadar relevansitasnya. Tentang konsep kemerdekaan misalnya. Pelaksanaan pendi-dikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang azasi. Tuhan memberi manusia
4
kemerdekaan untuk mengembangkan diri dari ikatan "natuur" menuju tingkatan "cultuur". Kemerdekaan me-ngembangkan diri itulah hakekat pendidikan. Jadi, pendidikan itu tidak dapat dibatasi oleh tirani kekuasaan, politik atau kepentingan tertentu. Sejarah membuktikan tidak pernah ada pendidikan yang berhasil kalau tumbuh di dalam alam keterkungkungan. Apakah kemerdekaan masih diperlukan? Sudah barang tentu masih sangat diperlukan. Meskipun secara politik bangsa Indonesia telah merdeka semenjak tanggal 17 Agustus 1945 akan tetapi secara budaya kita masih dijajah oleh bangsa lain; demikian pula secara ekonomi, sosial, teknologi, pendidikan, lingkungan, keamanan, dan sebagainya. Tanpa pendidikan maka keterjajahan bangsa Indonesia di berbagai bidang kehidupan ini akan sulit dihilangkan. Tentang konsep kebangsaan sebagai contoh yang lain. Pen-didikan itu hendaknya didasarkan pada nilai-nilai kebangsaan yang hakiki. Realitas tentang adanya perbedaan agama, etnis, budaya, suku, adat, kebiasaan, dsb, hendaknya justru menjadi dasar dalam pengembangan sistem pendidikan nasional. Tujuan pendidikan ialah memajukan bangsa secara keseluruhan yang didalamnya ada perbedaan itu; dan implikasinya dalam pelaksanaan pendidikan itu sendiri tidak boleh membedabedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya. Sekarang dengan pendidikan yang meningkat ada sekelompok masyarakat yang ingin merdeka dan memisahkan diri dari negara dan bangsa Indonesia. Hal ini berarti jiwa dan semangat kebangsa-an yang dimiliki kelompok tersebut sangatlah rendah. Seharusnya tingginya pendidikan justru memperkokoh persatuan dan kesatuan karena jelas bahwa tujuan pendidikan itu adalah memajukan bangsa yang didalamnya terdapat perbedaan-perbedaan. Jadi, konsep ke-bangsaan bukan saja relevan akan tetapi menjadi sangat kontekstual untuk direaktualisasi. Mengenai kemandirian sama saja halnya. Kemandirian merupakan dasar bagi segala bentuk usaha dalam pencapaian kemajuan hidup. Kemandirian juga merupakan dasar bagi setiap bangsa untuk bersanding dan bersaing dengan bangsabangsa lain. Tanpa adanya kemandirian maka usaha pencapaian kemajuan hidup sulit membuahkan hasil yang optimal. Tanpa kemandirian maka sulit bagi bangsa kita untuk mensejajarkan diri dengan bangsa lain yang lebih dulu maju. Sudah barang tentu kemandirian ini dalam pelaksanaannya tidak harus dilalui dengan meniadakan kerja sama dengan kelompok lain atau bangsa lain. Apakah bangsa kita sekarang sudah mandiri? Rasanya belum (sepenuhnya). Di dalam banyak hal bangsa Indonesia masih sangat tergantung kepada kelompok atau bangsa lain. Dalam masalah eko-nimi kita masih bergantung kepada lembaga International Monetery Fund (IMF), di dalam masalah politik kita masih bergantung kepada Amerika Serikat, dalam masalah sosial budaya kita masih harus ber-gantung kepada Cina, India, Meksiko, Perancis dan banyak negara lain pada umumnya. Ini sebuah realitas. Dengan demikian konsep kemandirian dalam pendidikan memang harus terus dipacu.
5
Memang harus diakui bersama bahwa ada pula konsep-konsep pendidikan dan kebudayaan Ki Hadjar yang sampai sekarang masih tidak kunjung selesai diperdebatkan; misalnya konsep pendidikan dengan Teori Tri Pusatnya, konsep kebudayaan dengan Teori Pun-cak-Puncak Budayanya, dan sebagainya. Konsepkonsep Ki Hadjar memang sangat terbuka untuk dideskusikan; meskipun demikian hal ini tidak akan mengurangi keteladanan dan ketokohannya sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia !!!*****
-------------------------------------------------------BIODATA SINGKAT; *: DR. Ki Supriyoko, M.Pd. *: Ketua Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Majelis Luhur Tamansiswa; Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN); Direktur Pan-Pacific Association of Private Education (PAPE); dan Ketua Redaksi Majalah Poesara yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara