Majalah Bulanan“PUSARA”, terbit di Yogyakarta, Edisi September 1996 _____________________________________________ PESAN PENDIDIKAN RADIO INDONESIA Oleh : Ki Supriyoko
Kalau saja perjalanan sejarah lima puluh tahun atau setengah abad yang lalu, tepatnya tanggal 11 September 1945, bisa diputar ulang lagi maka hari ini kita akan menyaksikan kegembiraan dan kebahagiaan yang sangat dalam dengan berdirinya sebuah radio kebangsaan rakyat Indonesia; Radio Republik Indonesia (RRI). RRI memang merupakan perwujudan dari radio rakyat, radio kebangsaan, radio perjuangan dan entah apa lagi sebutannya. Ya ..., RRI berdiri tanggal 11 September 1945 hanya dua puluh lima hari setelah bangsa kita menyatakan kemerdekaannya. Apabila momentum proklamasi kemerdekaan merupakan puncak perjuangan bangsa Indonesia pada saat itu maka berdirinya RRI juga merupakan puncak perjuangan putra-putra bangsa di bidang keradioan; kalau pro-klamasi merupakan pintu gerbang kemerdekaan maka berdirinya RRI merupakan pintu depan informasi. Kiasan kalimat ini menggambarkan demikian pentingnya suatu bangsa memiliki pemancar radio rakyat, radio kebangsaan dan radio perjuangan. Memang, apabila kita runut secara historis berdirinya RRI yang mengawali berkembangnya radio Indonesia (RRI dan nonRRI) pada umumnya ternyata harus melalui berbagai tahapan perjuangan yang cukup melelahkan; bukan hanya perjuangan ideologis, akan tetapi juga perjuangan fisik. Perintisan berdirinya RRI memang sudah dimulai belasan tahun sebelumnya sejak pemerintah kolonial Belanda masih mencengkeramkan kuku-kukunya di bumi pertiwi ini. Dengan begitu sangat mudah dibayangkan bila masa perintisan RRI pun tidak luput dari perjuangan fisik; bagaimana putra-putra kita harus melindungi peralatan pemancar dari rampasan musuh, bagaimana mereka harus menyembunyikan alat-alat penting ketika ada "kunjungan" tentara kolonial, bagaimana mereka harus mempertahankan idealisme secara fisik, dsb. Riwayat RRI dan Radio Indonesia Apabila kita lihat ke belakang tentang perintisan berdirinya RRI maka akan didapatkan bukti mengenai kontribusi strategis putra-putra kita dalam mendirikan stasiun pendahulu (privious radio stations) di berbagai kota; termasuk yang paling
2
awal adalah Radio Mataram yang ada di Yogyakarta waktu itu. Secara historis berdirinya stasiun pendahulu tersebut tidak lepas dari "kejengkelan" rakyat terhadap kaum kolonial yang memanfaatkan media massa auditif untuk kepentingan politik. Secara riil pemerintah kolonial memulainya tahun 1925 dengan mendirikan pemancar radio yang dikenal dengan nama Bataviasche Radio Vereniging (BRV) di Batavia atau sekarang disebut Jakarta. Waktu itu pesawat radio masih cukup elite; hanya dapat dimiliki oleh orang-orang Belanda dan kaum bangsawan tertentu saja. Radio Belanda ini difungsikan menjadi alat perjuangan kaum kolonial dengan cara menyajikan berbagai informasi yang salah terhadap kaum pribumi. Secara psikologis radio Belanda ini dapat mempererat ikatan batin antara sesama kaum penjajah yang sekaligus dapat menanamkan rasa benci kepada rakyat Indonesia. Kepentingan politik kaum kolonial benar-benar terjembatani dan teraudiensi pada saat itu melalui radionya. Meskipun yang mempunyai pesawat radio masih sangat terbatas akan tetapi informasi yang tidak seimbang (disbalance information) itu tidak urung tertangkap pula oleh putra-putra Indonesia. Inilah yang "menjengkelkan" kita; apalagi setelah itu kaum kolonial sengaja mendirikan stasiun pemancar yang lebih banyak lagi di luar Batavia. Sepertinya mereka melakukan suatu "show of force" dengan pemancar-pemancar yang baru, dan puncaknya terjadi di awal tahun 1930-an ketika kaum kolonial mendirikan organisasi persatuan antar pengelola radio kolonial yang diberi nama Nederlands Indishe Radio Omroep Maatchappij (NIROM). Hal itu ternyata mengandung hikmah; putra-putra bangsa waktu itu menjadi sadar tentang tersimpannya potensi siaran radio (broadcasting) sebagai media komunikasi dan sarana politik. Semenjak saat itulah dimulai rintisan berdirinya stasiun pemancar oleh putra-putra bangsa dan untuk kepentingan bangsa sendiri. Dua stasiun pemancar radio rakyat yang menandai dimulainya secara nyata perjuangan di bidang keradioan berdiri di kota Solo dan di Yogyakarta; masingmasing dengan nama Solosche Radio Vereni-ging (SRV) atau dikenal Radio Solo serta Mataramsche Vereniging voor Radio Omroep (MAVRO) atau dikenal Radio Mataram. Peristiwa ini terjadi tahun 1933 dan 1934. Kalau kata atau bahasa Belanda dipakai dalam penamaannya tentu tidak terlepas dari strategi. Munculnya dua stasiun pemancar radio rakyat tersebut kemudian diikuti oleh yang lain-lainnya; misalnya di Jakarta muncul Vereniging Oosterse Radio Omroep (VORO), di Bandung didirikan Vereniging Oosterse Radio Luisteraars (VORL), menyusul kemudian di kota pahlawan Surabaya berdiri Chinece-Inheemse Radio Luisteraars Vereniging Oost Java (CIRVO), dan masih disusul lagi berdirinya stasiun siaran keradioan yang sama di kota pantai utara Semarang dengan nama atau sebutan Radio Semarang. Munculnya beberapa stasiun pemancar di berbagai kota itu dapat dipandang sebagai embrio atau "bayi-bayi mungil" untuk mewujudkan cita-cita mendirikan stasiun siaran keradioan yang berjiwa kebangsaan untuk kepentingan bangsa
3
Indonesia, khususnya pada saat itu sebagai sarana untuk membangkitkan semangat perjuangan bangsa. Beberapa tokoh radio waktu itu, misalnya saja Sarsito Mangunkusumo, Sutardjo Kartohadikusumo, dsb, mempunyai pemikiran untuk bisa menyatukan "bayi-bayi mungil" tersebut. Dan pada tahun 1937, jauh hari sebelum bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya, dibentuklah Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK). Setelah itu pejuang-pejuang bangsa diuji oleh "masa berkabung" dengan datangnya kolonial baru Jepang. Jepang ternyata tidak kalah "jeli" dibandingkan Belanda yang sama-sama kolonial. Melihat siaran radio mempunyai potensi yang besar untuk membangkitkan semangat perjuangan bangsa maka siaran radio rakyat dilumpuhkan. Lebih dari itu sarana dan fasilitas keradioan sebagian besar kemudian diambil alih Jepang untuk kepentingan mereka. Ini tentu merupakan pukulan berat bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi mereka yang berkecimpung langsung pada masalah keradioan termasuk pendengar setianya yang sebagian adalah pejuangpejuang bangsa kita saat itu. Keadaan tersebut berlangsung sampai kemerdekaan bangsa kita diproklamasikan. Hanya 25 hari setelah bangsa kita memproklamirkan kemerdekaannya segera dibentuk "organisasi" radio kebangsaan yang menggunakan nama Radio Republik Indonesia,nama yang benar-benar sangat tepat pada situasi politik waktu itu dan ternyata tetap relevan sampai sekarang ini. Itulah riwayat singkat berdirinya RRI yang menjadi titik awal ber-kembangnya radio Indonesia yang sekarang jumlahnya bukan hanya puluhan tetapi mencapai ratusan. Radio Indonesia, baik RRI maupun nonRRI, semuanya menyiarkan pesanpesan pembangunan; yang dida-lamnya meliputi pesan pendidikan. Siaran radio Indonesia memang tak lepas dari misi yang diemban; dan kalau dilihat dari misinya maka perjalanan radio kita sampai sekarang ini sudah memasuki revolusinya yang keempat. Revolusi Pertama Revolusi pertama radio Indonesia (RRI dan non-RRI) sudah dia-wali sebelum proklamasi kemerdekaan dikumandangkan ketika kaum penjajah masih mencengkeramkan kukunya di negara kita. Dari awal tulisan ini telah diceritakan di tahun 20-an pemerintah kolonial sudah mendirikan beberapa stasiun pemancar radio baik di Jawa dan luar Jawa, antara lain Bataviasche Radio Vereniging (BRV) di Jakarta. Radio-radio Belanda itu kemudian membentuk perkumpulan disebut Nederlander Indische Radio Omroep Maatschappij (NIROM). Si-aran radio ini amat efektif untuk berkomunikasi antar orang Belanda, sekaligus untuk mengadu domba rakyat Indonesia melalui informasi-informasi yang menyesatkan. Hal tersebut memberikan inspirasi bagi putra-putra bangsa untuk mendirikan stasiun pemancar bagi kepentingan kita, sekaligus sebagai tandingan radio Belanda.Pada akhirnya berdirilah pemancar-pemancar radio "boemi poetra" di Solo, Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Sura-baya, Semarang, dsb. Peristiwa ini terjadi tahun
4
30-an yang menandai berlangsungnya revolusi pertama radio Indonesia. Tahun 1937 radio-radio "boemi poetra" ini bahkan berhasil membentuk organisasi yang disebut dengan Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK). Di dalam revolusi yang pertama ini (RRI belum lahir) misi utama ialah misi perjuangan. Siaran radio lebih banyak bermaterikan hal-hal yang bisa membangkitkan semangat juang masyarakat untuk melawan penjajah, misalnya dengan menyiarkan pidato-pidato para pemimpin perjuangan. Rakyat yang mendengarkan siaran radio dimotivasi untuk mengadakan gerakan-gerakan menentang penjajah; paling tidak sikap anti kolonialisme menjadi timbul karena siaran radio. Revolusi Kedua Revolusi kedua dimulai tahun 1945, tepatnya setelah proklamasi kemerdekaan berhasil dikumandangkan. Beberapa stasiun radio masih dikuasai dan dipakai untuk kepentingan Jepang, namanya pun diganti nama Jepang misalnya Hoso Kanti Kyoku, Hoso Kyoku, dsb; namun satu persatu dapat kita rebut kembali sampai pada akhirnya tanggal 11 September 1945 lahirlah RRI. Materi siaran yang bertujuan membangkitkan semangat dan tekad juang rakyat masih nampak dalam revolusi kedua, tetapi misi utama yang diemban ialah ikut mewujudkan stabilitas negara dalam berbagai dimensi. Kalau pada revolusi pertama warna siaran radio yang sangat menonjol adalah warna politis, maka dalam revolusi kedua di samping warna politis maka mulai berkembang pula "warna-warna" yang lain; seperti ekonomis, kesenian, kebudayaan, kemasyarakatan, dsb. Pada tahuntahun awal revolusi kedua ini "warna politis" masih menonjol, misalnya membangkitkan semangat juang untuk mengusir tentara Je-pang yang masih tercecer di Indonesia, melawan Belanda yang ingin merampas kemerdekaan kita, dsb. Setelah itu warna-warna lain dalam siaran radio mulai bermunculan; misalnya informasi tentang langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah untuk mengadakan perbaikan ekonomi negara yang bobrok ketika dipegang oleh kaum kolonial, meminta masyarakat agar dapat menggalang persatuan guna membentuk struktur dan sistem sosial kemasyarakatan yang mantap, dsb. Kalau dalam revolusi pertama kerangka misinya ialah bagaimana mencapai kemerdekaan, maka dalam revolusi kedua adalah bagaimana mewujudkan stabilitas negara atas kemerdekaan itu. Revolusi Ketiga Revolusi ketiga dimulai sekitar tahun 1966, tepatnya ketika masa pemerintahan orde baru hadir untuk menggantikan masa pemerintahan orde lama. Apabila dalam revolusi kedua misi utama adalah stabilitas negara maka di dalam revolusi ketiga ini misi utama radio kita adalah pada siaran pembangunan yang termanifestasikan ke dalam tiga aspek program radio; yaitu penerangan, pendidikan dan hiburan.
5
Mengenai hal ini tercerminkan dalam beberapa GBHN, misalnya dalam GBHN 1978 yang menegaskan bahwa bahwa tugas media massa (di dalamnya termasuk radio Indonesia) ialah menggelorakan semangat pengabdian perjuangan bangsa, memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional, mempertebal rasa tanggung jawab dan disiplin nasional, serta menggairahkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Di dalam revolusi ketiga ini siaran radio dituntut harus mampu memberikan berbagai informasi motivatif mengenai berbagai rencana dan kegiatan pembangunan kepada masyarakat sehingga menimbulkan motivasi dan minat masyarakat untuk berpartisipasi aktif dan berperan serta dalam kegiatan pembangunan tersebut. Pembangunan di segala bidang, baik fisik maupun nonfisik, memerlukan partisipasi dan peran serta masyarakat. Untuk itu siaran radio haruslah mampu memotivasi masyarakat berpartisipasi dan berperan-serta di dalamnya. Apabila dibandingkan dengan revolusi pertama maka jelas sekali bedanya; kalau dalam revolusi pertama persoalannya ialah bagaimana mencapai kemerdekaan, maka dalam revolusi ketiga ini adalah bagaimana mengisi kemerdekaan. Revolusi Keempat Revolusi keempat tertandai dengan terembannya misi pendidikan masyarakat yang cara penyiarannya lebih terprogram dan sistematis. Kalau dalam revolusi ketiga misi pendidikan disiarkan secara implisit dalam paket program, maka dalam revolusi keempat misi pendidikan disiarkan secara eksplisit dalam paket-paket khusus pendidikan. Ada kemenonjolan dalam revolusi keempat ini; yaitu siaran pendidikan yang lebih efektif dan sistematis. Banyak negara manca yang lebih dahulu merintis pemanfaatan siaran radio untuk penyiaran program-program pendidikan secara sis-tematis. Hal ini terjadi baik di negara maju seperti Inggris dan Jepang maupun negara berkembang seperti Nepal, Meksiko, Nicaragua, dan sebagainya. Inggris memanfaatkan siaran radio untuk mendalamkan dan meluaskan (enrichment programme) bagi masyarakat; hal mana juga terjadi di negara maju yang lain seperti Australia. Pada sisi yang lain negaranegara berkembang pun juga banyak yang memanfaatkan potensi radio untuk keperluan pendidikan. Honduras misalnya; negara ini kaya penduduk buta aksara yang kebanyakan dari mereka berdomisili di daerah pedesaan. Dikarenakan kondisi fisik alamnya sangat menyulitkan untuk mengadakan komunikasi langsung antar kelompok warga maka pihak pemerintah akhirnya memutuskan melakukan pelayanan pendidikan lewat siaran radio yang mendapat tanggapan positif dari warga masyarakat. Keadaan yang sama terjadi juga di Nepal, negara yang memberi pelayanan pendidikan masyarakat lewat siaran radio. Meksiko bahkan memberi jasa pendidikan formal melalui siaran radio, yang terkenal dengan "Radio Primaria". Demikian pula dengan negara-negara lain di Asia, Afrika dan Amerika Selatan.
6
Di negara kita gejala semacam ini sebenarnya juga sudah muncul sejak beberapa tahun yang silam, misalnya pada awal tahun 1970-an secara resmi siaran radio digunakan di Irian Jaya untuk penyetaraan guru SD yang belum memiliki ijazah SPG, yang selanjutnya dikenal dengan program 'KPG Udara'. Siaran radio juga dipergunakan untuk menatar guru-guru SD dan calon guru SD di seluruh Indonesia dengan programnya yang kita kenal dengan sebutan Siaran Radio Pendidikan (SRP). Sampai detik ini SRP masih berkumandang di seluruh persada Nusantara. Meskipun pengembangan siaran radio bagi keperluan pendidikan sudah dimulai tahun 70-an akan tetapi baru intensif sejak tahun 80-an yang menandai dimulainya revolusi keempat radio kita. Pada revolusi keempat ini fungsi siaran radio menjadi dua, di satu sisi sebagai media massa dan di sisi lainnya sebagai media pendidikan masyarakat. Jadi jelaslah bahwa dalam revolusi keempat sekarang ini pesan-pesan pendidikan melalui radio Indonesia, RRI maupun nonRRI, men-jadi makin efektif; meskipun belum optimal. Yang menjadi persoalan kita sekarang ini adalah bagaimana bisa mengoptimalkan pesan-pesan pendidikan melalui siaran radio kita !!!*****
-------------------------------BIODATA SINGKAT; DR. Ki Supriyoko, M.Pd; Ketua Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Majelis Luhur Tamansiswa; Penulis Naskah Siaran Radio Pendidikan Balai Produksi Media Radio (BPMR) Yogyakarta; serta Ketua Umum Wahana Konsultasi Pendidikan (WKP) Propinsi D.I. Yogyakarta