Majalah Bulanan Tamansiswa “PUSARA”, terbit di Yogyakarta, Edisi Mei 1990
PERAN SEKOLAH KEJURUAN MEMECAHKAN PROBLEMATIKA KETENAGAKERJAAN Oleh : Ki Supriyoko
A. PENDAHULUAN: Salah satu tradisi kependidikan di Indonesia yang sampai sekarang ini masih setia dipertahankan adalah diterapkannya sistem dikotomi sekolah, yaitu dengan membentangkan seutas "benang merah" di antara sekolah umum (academic school) dengan sekolah kejuruan (vocational school). Hal ini secara eksplisit juga telah ditegaskan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomer:2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sistem dikotomi sekolah tersebut manifestasi dari "double track schools system" atau sistem sekolah alur ganda; yaitu setelah siswa selesai mengikuti pendidikan dasar maka dihadapannya telah disediakan dua pilihan untuk menempuh pendidikan lanjut-annya, adalah sekolah umum dan sekolah kejuruan. Secara konsepsual sekolah umum bertugas menyiapkan para lulusannya untuk melanjutkan studinya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, sementara itu sekolah kejuruan bertugas menyiapkan para lulusannya untuk mampu terjun langsung ke lapangan atau dunia kerja. Salah satu keuntungan atas diterapkannya sistem dikotomi sekolah ini adalah disiplin dan kualifikasi tenaga kerja sebagai produk lembaga pendidikan (formal) dapat diidentifikasi secara lebih jelas. Sekolah kejuruan bertugas mencetak tenaga kerja terampil menengah (middle skilled worker); sementara itu di lain pihak sekolah umum bertugas untuk mencetak para lulusan yang disiapkan menjadi tenaga kerja terampil tinggi (upper skilled worker) dan/atau tenaga kerja ahli (professional) setelah melewati pendidikan lanjutan. Melalui sebuah pendekatan kuantitatif dapat ditentukan proporsi tenaga kerja dengan berbagai disiplin beserta kualifikasinya yang dapat dan harus diproduksi oleh lembaga pendidik-an. Indonesia yang tengah gencar-gencarnya melaksanakan pembangunan di segala
2
bidang sangatlah membutuhkan tenaga kerja dari berbagai disiplin dan kualifikasinya, sehingga atas pertimba-ngan ini maka kebijakan mengenai dipertahankannya sistem dikotomi sekolah mempunyai argumentasi yang sangat rasional; meskipun dalam pelaksanaannya banyak mengalami hambatan serta romantika akademis yang penuh "ganjalan". B. MASALAH TENAGA KERJA: Dewasa ini dalam struktur ketenagakerjaan di Indonesia masih dijumpai ratio kuantitatif yang kurang seimbang antara jumlah tenaga kerja terampil (skilled worker) dengan jumlah tenaga kerja ahli (professional). Secara kuantitatif pada satu pihak jumlah atau proporsi tenaga kerja tidak terampil sangat berlebihan, sementara itu di pihak yang lain jumlah atau proporsi tenaga kerja terampil dan tenaga kerja ahli sangat terbatas. Akhirnya terjadilah apa yang disebut dengan disbalansi jumlah tenaga kerja. Kiranya perlu dicatat bahwa menurut klasifikasi tenaga kerja di Indonesia, tenaga kerja tidak terampil merupakan ekuivalensi dari lulusan sekolah dasar serta yang sama sekali tidak pernah sekolah, tenaga kerja terampil tingkat menengah merupakan ekuivalensi dari para lulusan sekolah menengah kejuruan, sementara itu tenaga kerja ahli merupakan ekuivalensi dari lulusan perguruan tinggi. Menurut Ketua Kamar Dagang Industri Indonesia, Soekamdani S. Gitosardjono (1987), dalam sebuah program wawancara TVRI Pusat yang pernah ditayangkan pada awal tahun 1987 dikatakan bahwa 80% dari seluruh tenaga kerja yang ada di Indonesia "hanya" lulusan Sekolah Dasar. Data tersebut membuktikan bahwa kualitas tenaga kerja di Indonesia masih relatif rendah; karena begitu dominannya tenaga kerja tidak terampil dalam struktur ketenagakerjaan. Terbatasnya tenaga kerja terampil dan melimpahnya tenaga kerja tidak terampil ini merupakan masalah yang sangat kompleks di dalam siklus ketenagakerjaan di Indonesia. Pada hal idealnya tenaga kerja terampil justru harus lebih banyak proporsinya. Pada tahun 1969, Bank Dunia pernah mengirimkan tim kerja untuk mengadakan survey tentang perkiraan kebutuhan tenaga kerja menurut kualitas keahliannya di Indonesia. Terdapat empat kategori tenaga kerja yang dikembangkan oleh tim tersebut, ma-sing-masing ialah sbb: "semi skilled and un-skilled worker" (tenaga kerja setengah terampil serta tidak terampil), "skilled worker" (tenaga kerja terampil), "technician" (teknisi), serta "professional" (tenaga kerja ahli). Hasil survey yang dilakukan oleh tim Bank Dunia tersebut mengatakan bahwa kebutuhan tenaga kerja di Indonesia dari tahun ke tahun senantiasa akan meningkat jumlahnya; hal ini berlaku bagi tenaga kerja dari yang berkualifikasi paling rendah, yaitu tenaga kerja setengah terampil dan tenaga kerja yang tidak terampil, sampai yang berkualifikasi paling tinggi, yaitu tenaga kerja ahli.1)
3
Rincian prediksi perkembangan jumlah tenaga kerja di Indonesia menurut Bank Dunia disajikan dalam Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1: PERKIRAAN KEBUTUHAN TENAGA KERJA DI INDONESIA MENURUT TINGKAT KEAHLIANNYA _______________________________________________ Jumlah (ribu) Tingkat ------------------------ 1971 1975 1990 ________________________________________________ Professionals 180 230 440 Technicians 540 700 1.330 Skilled Workers 1.450 2.050 4.960 Semi-skilled and unskilled workers 12.300 15.700 28.700 ________________________________________________ T o t a l 14.470 18.680 35.430 ________________________________________________ Sumber: Wolrd Bank, "Indonesia Staff Appraisal Report: Polytechnic Project", 1979
_________________ 1) World Bank, Indonesia Staff Appriasial Report : Poli(Washington DC: WB, 1979).lh14
technic Project
Totty Rodiah Sw. yang pernah memimpin "Proyek Pembinaan Kurikulum Pendidikan Menengah Kejuruan tahun 1980/1981" dalam "Kurikulum Pendidikan Menengah Kejuruan 1976-1977" mempresentasikan bahwa di Indonesia ada enam kelompok tingkat keahlian tenaga kerja yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan; dari kelompok paling rendah, "tidak terlatih" (unskilled) sampai paling tinggi, "sarnana" (professional). Di Indonesia kondisinya untuk dua kelompok ini cukup memadai, namun untuk kelompok lainnya sangat kurang memadai.2)
4
Untuk lebih jelasnya apa yang dikemukakan oleh penulis disajikan dalam gambar-gambar berikut. -------------------------------------------------------- Sarjana (Professional) -------------------------------------------------------- Teknisi Ahli / Penata Ahli (Higher Technician)------------------------------------------------------- Teknisi Industri / Pengatur (Trade Technician) -------------------------------------------------------- Juru Teknik / Juru (Tradesman)------------------------------------------------------- Setengah Terlatih (Semi Skilled) -------------------------------------------------------- Tidak Terlatih (Unskilled)------------------------------------------------------- ________________________________________________________ Gambar 1: PIRAMIDA TENAGA KERJA DAN TINGKAT KEAHLIANNYA
_________________ 2) Totty Rodiah Sw, "Kurikulum Pendidikan Menengah Keju- ruan, Latar Belakang dan Permasalahannya", Analisis Pendidikan, Jakarta: 1981, p. 109 --------------------------------------------------------Program Sarjana di Universitas --------------------------------------------------------Politeknik, Akademi dan Prog. Diploma di Univ/Ins.------------------------------------------------------- SMTK, SMIK, SMPS, SMSR, SMM, SMKI, STM Pembg, SMEA Pembn-------------------------------------------------------STM, SMT Pertn, SMT
5
Khusus, SMEA dan SMKK------------------------------------------------------- ST, SKK dan Kursus-kursus singkat --------------------------------------------------------Sekolah Dasar, termasuk Madrasah Ibtidaiyah-------------------------------------------------------________________________________________________________ Gambar 2: PIRAMIDA TENAGA KERJA DAN LEMBAGA PENDIDIKAN PENGHASILNYA
Dari dua gambar tersebut di atas secara ringkas dapat disajikan dalam sebuah tabel berikut. Tabel 2: TINGKAT KEAHLIAN DAN JUMLAH TENAGA KERJA SERTA LEMBAGA PENDIDIKAN DI INDONESIA ______________________________________________________ Tingkat Keahlian Lembaga Produksi Lama* Jumlah** ______________________________________________________ Sarjana Perguruan Tinggi 4-6 Cukup Teknisi Ahli Politeknik 3 Kurang Teknisi Industri SMTA Kejuruan 4 Kurang Juru Teknik SMTA Kejuruan 3 Kurang Setengah Terlatih SMTP Kejuruan 4 Kurang Tidak Terlatih Sekolah Dasar 6 Cukup ______________________________________________________ Keterangan: * Lama pendidikan dalam tahun ** Jumlah terhadap kebutuhan Penulis sangat sependapat dengan apa yang ditulis oleh Tutty Rodiah SW tersebut di atas, meskipun ada satu hal yang kiranya masih perlu didiskusikan lebih lanjut; yaitu apakah benar jumlah sarjana atau tenaga profesional di Indonesia sudah cukup memenuhi kebutuhan tenaga kerja di lapangan? Pada negara-negara yang sudah maju perbandingan ketenagakerjaan antara sarjana teknik, teknisi ahli, teknisi industri dan juru teknik ialah 1:2:3:25; artinya setiap terdapat 25 orang juru teknik maka akan dijumpai tiga orang teknisi industri, dua orang teknisi, beserta seorang sarjana teknik. Data perbandingan ini setidaktidaknya untuk sementara waktu kiranya dapat dianggap sebagai "data ideal";
6
meskipun secara rinci jenis pekerjaan akan lebih memberikan variasi angka dalam susunan perbandingan tersebut. Beberapa tahun yang lalu bertempat di kota Pert dan di kota Whellington pernah dilakukan konferensi teknik, "Pan Indian Asean Coference on Technical Education and Training". Satu kesimpulan yang ditarik konferensi tersebut mengatakan bahwa di negara berkembang umumnya kekurangan tenaga kerja pada tingkat teknisi ahli, teknisi industri serta juru teknik. Sedangkan untuk tingkat tenaga tidak terlatih pada umumnya terdapat persediaan yang berlebihan. Dari berbagai uraian tersebut di atas menjadi makin jelaslah bahwa Indonesia yang tengah giat-giatnya membangun masih sangat kekurangan tenaga kerja yang terampil dan terlatih, terutama yang diproduksi oleh sekolah menengah kejuruan. C. RENDAHNYA MINAT: Melalui uraian tersebut di atas tergambarkan bahwa Indonesia masih kekurangan tenaga kerja terampil yang sangat banyak. Keadaan ini secara teoretis akan membuat kondisi masyarakat untuk memasuki sekolah-sekolah kejuruan yang ada; akan tetapi ternyata dewasa ini justru terdapat gejala bahwa minat masyarakat terhadap sekolah kejuruan semakin lama terasa semakin menurun. Makin lama justru semakin jarang para lulusan sekolah, khususnya Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama (SMP) yang ingin melanjutkan studi ke sekolah kejuruan. Sebuah studi tentang aspirasi studi dan aspirasi kerja pernah penulis lakukan pada sebuah SMP Negeri di Yogyakarta. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa persentase siswa yang ingin melanjutkan studinya ke sekolah kejuruan dengan berbagai jenisnya ternyata lebih kecil dibandingkan siswa yang ingin melanjutkan studinya ke sekolah umum. Dari sebanyak 176 siswa SMP yang dijadikan anggota sampel dalam studi tersebut ternyata yang menyatakan keinginannya atau bercita-cita melanjutkan studinya ke sekolah menengah umum, SMA, setelah lulus sebanyak 84 siswa (47,7%), melanjutkan ke SPG sebanyak 51 siswa (29,0%), melanjutkan ke STM sebanyak 14 siswa (8,0%), melanjutkan ke SMEA sebanyak 9 siswa (5,1%), melanjutkan ke sekolah lain sebanyak 12 siswa (6,8%), bekerja sambil sekolah sebanyak 6 siswa (3,4%), dan ternyata tidak ada satu siswa pun yang menyatakan keinginannya atau bercita-cita bekerja setelah lulus. Untuk jelasnya periksa Tabel 3 berikut ini! Tabel 3:CITA-CITA SETELAH LULUS SEKOLAH PADA SISWA SMP NEGERI SENDANGSARI YOGYAKARTA.lh6 __________________________________________ Keinginan Jumlah Persen Setelah Lulus Peminat Peminat
7
__________________________________________ Melanjutkan ke SMA 84 47,7 Melanjutkan ke SPG 51 29,0 Melanjutkan ke STM 14 8,0 Melanjutkan ke SMEA 9 5,1 Melanjutkan ke Sek. lain 12 6,8 Bekerja sambil sekolah 6 3,4 Bekerja 0 0,0 __________________________________________ Sumber: Supriyoko, "Aspirasi Studi Siswa SMP Sendangsari Yogyakarta", 1986
Hasil studi tersebut diatas sekaligus merupakan indikator tentang belum tingginya minat siswa terhadap sekolah kejuruan (SPbMA, STM, SMEA, SKKA, dsb) sebagaimana yang diharapkan oleh pemerintah.3) Secara nasional juga dijumpai data tentang lebih terkonsentrasikannya minat masyarakat pada salah satu jalur pendidikan; di dalam hal ini adalah jalur sekolah umum. Sementara itu peminat sekolah kejuruan dapat dikatakan makin lama makin menipis saja. Berikut disertakan tabel tentang perkembangan jumlah siswa SMTP dan SMTA di Indonesia.
_________________ 3) Supriyoko, Aspirasi Studi Siswa Sekolah Menengah Pertama Sendangsari Yogyakarta (Yogyakarta: Putra Mataram, 1986).pn10 Tabel 4: PERKEMBANGAN JUMLAH SISWA SMTP DAN SMTA DI INDONESIA Periode 1983/1984 - 1985/1986 ______________________________________________________ Sekolah 1983/1984 1984/1985 1985/1986 ______________________________________________________ SMTP: - SMP 4.629.000 5.257.000 6.085.000
8
- SMTP Kejuruan 84.000 85.000 80.000 SMTA: - SMA 1.697.000 1.874.000 2.083.000 - SMTA Kejuruan 552.000 601.000 675.000 - SPG/SGO 241.000 257.000 264.000 ______________________________________________________ Sumber: RI, "Pidato Kenegaraan Presiden RI Soeharto (Lampiran)", 1986
Dari tabel tersebut di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa pertumbuhan jumlah siswa sekolah kejuruan tidaklah selaju pertumbuhan jumlah siswa sekolah umum. Untuk tingkat SMTP, jumlah siswa sekolah kejuruan pada tahun 1985/1986 justru lebih sedikit kalau dibandingkan dengan jumlah siswa dua tahun sebelumnya, 1985/1986. Hal ini cukup kontroversial dengan laju pertumbuhan jumlah siswa sekolah umum (SMP) yang cukup menonjol. Pada tingkat SMTA tidak ditemui selisih angka laju pertumbuhan yang berarti. Pada tahun 1983/1984 jumlah SMA sebesar 1.697.000 orang dan pada tahun 1985/1986 naik menjadi 2.083.000 orang. Dengan demikian ada kenaikan jumlah siswa sebanyak 386.000 orang, 22,75%. Sementara itu jumlah siswa sekolah kejuruan pada tahun 1983/1984 secara keseluruhan adalah 552.000 orang, dan pada tahun 1985/1986 naik menjadi 675.000 orang. Dengan demikian besarnya kenaikan adalah 123.000 orang, atau 22,28%. Meskipun tidak ditemui selisih laju pertumbuhan jumlah siswa akan tetapi dari angka-angkanya terlihat jelas bahwa jumlah siswa SMTA Umum (SMA) selalu jauh lebih besar kalau dibandingkan dengan jumlah siswa SMTA Kejuruan. Pada tahun akademik 1985/1986 jumlah siswa SMA mencapai 2.083.000 orang, sedangkan untuk SMTA Kejuruan hanya sebanyak 675.000 orang. Pada skala nasional, melalui uraian tersebut di atas dengan berbagai ilustrasinya telah tergambarkan adanya fenomena tentang betapa tipisnya minat masyarakat terhadap sekolah kejuruan, sekolah yang menjanjikan penguasaan disiplin keterampilan dan "pekerjaan" kepada para lulusannya. Keadaan ini tidak hanya terjadi pada sekolah menengah tingkat pertama (SMTP) akan tetapi juga terjadi pada sekolah menengah tingkat atas (SMTA). D. DITERMINASI FAKTOR Faktor utama yang diprediksi berpengaruh pada rendahnya minat masyarakat terhadap sekolah kejuruan adalah faktor "reward" (external reward). Belum adanya "reward" yang riil bagi para lulusan sekolah kejuruan menyebabkan minat masyarakat terhadap lembaga pencetak tenaga kerja ini makin lama makin menipis. Para pakar pendidikan sependapat bahwa hidup-matinya sekolah kejuruan sangat
9
tergantung pada "reward" yang diberikan; dan "reward" yang paling menarik adalah berupa pekerjaan. Apabila bagi lulusan sekolah kejuruan diberikan persediaan pekerjaan yang sesuai dengan disiplin keterampilannya maka minat masyarakat terhadap sekolah kejuruan akan makin meningkat. Pada sisi yang lain apabila tidak disediakan pekerjaan yang relevan dengan disiplin ilmu dan keterampilannya kiranya sulit diharapkan sekolah kejuruan sanggup hidup dan tumbuh sebagaimana yang diharapkan. Idealnya para lulusan sekolah kejuruan memang mempunyai potensi yang berupa disiplin ilmu dan keterampilan untuk dapat terjun langsung ke dunia kerja, tetapi potensi ini akan dapat menjadi tidak berfungsi apabila sistem yang berlaku kurang mendukung, atau bahkan tidak mendukung sama sekali. Sistem pendidikan dan ketenagakerjaan di Indonesia saat ini kiranya memang belum mendukung terciptanya peningkatan minat masyarakat terhadap sekolah kejuruan. Hal ini dapat dilihat pada adanya kebijakan "pembatasan" pada lulusan sekolah kejuruan yang ingin melanjutkan studinya ke perguruan tinggi, sementara itu "pembatasan" serupa tidak dikenakan pada lulusan sekolah iumum yang ingin terjun langsung ke lapangan kerja. Pembatasan lulusan sekolah kejuruan yang ingin melanjutkan studinya ke perguruan tinggi, misalnya tercermin dalam SK Dirjen Dikti No:212/D/Q/1983 yang mengatur lulusan sekolah kejuruan yang ingin masuk perguruan tinggi, memang wajar karena lulusan sekolah kejuruan tidak dipersiapkan melanjutkan studi. Peraturan ini akan lebih sempurna bila didampingi dengan "pembatasan" seru- pa bagi lulusan sekolah umum yang akan memasuki dunia kerja secara langsung, karena lulusan sekolah umum tidak dipersiapkan untuk terjun langsung ke dunia kerja. Tentu saja untuk merealisirnya perlu adanya keterpaduan yang efektif antara Depdikbud dengan Depnaker. Dengan adanya peraturan seperti tersebut di atas wajarlah apabila minat masyarakat terpupuk pada sekolah umum yang memberi kesempatan lebih luas. Faktor lain yang diprediksi menyebabkan rendahnya minat masyarakat terhadap sekolah kejuruan adalah harapan orang tua yang sangat berlebihan pada putraputrinya. Banyak orang tua yang mengharapkan anaknya menjadi "ambtenaar"; atau mempunyai pekerjaan "white color" lainnya, pada hal sekolah kejuruan tidak dapat menyediakan kesempatan untuk itu. Akibatnya banyaklah para orang tua yang mengarahkan putra-putrinya untuk belajar di sekolah yang membuka kemungkinan untuk itu; yaitu sekolah umum. Sekolah kejuruan akhirnya tidak menjadi pilihan lagi. Kurangnya informasi tentang sekolah kejuruan bagi masyara-kat kiranya juga merupakan faktor yang pantas diperhitungkan. Dengan terbatasnya informasi ini mengakibatkan banyak anggota masyarakat yang kurang mengenal lembaga pendidikan kejuruan, akhirnya minat masyarakat menjadi sangat terbats pula.
10
E. KESIMPULAN Dari uraian tersebut di atas dapat diidentifikasi butir-butir kesimpulan sbb: 1. Sampai sekarang ini Indonesia masih mempertahankan system dikotomi persekolahan; yaitu adanya pilihan sekolah umum bagi yang ingin meneruskan jenjang studinya ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi, serta sekolah kejuruan yang akan terjun langsung ke lapangan kerja. 2. Sampai sekarang ini tenaga kerja terampil tingkat menengah yang terdidik masih tetap diperlukan untuk mensukseskan jalannya roda-roda pembangunan nasional Indonesia yang sedang digencarkan; dengan kata lain sampai sekarang ini Indonesia masih mengalami banyak kekurangan tenaga kerja tingkat terampil menengah yang terdidik. 3. Dengan kondisi masih kurangnya tenaga terampil tingkat menengah yang terdidik tersebut maka seharusnya eksistensi dan kehadiran sekolah kejuruan sangatlah diperlukan; akan tetapi sekarang ini justru terdapat fenomena yang "sebaliknya", yaitu semakin menipisnya minat masyarakat terhadap sekolah kejuruan itu sendiri. 4. Faktor utama yang diprediksi menyebabkan rendahnya minat masyarakat terhadap sekolah kejuruan adalah sistem pendidikan dan ketenagakerjaan yang kurang mendukung berkembangnya sekolah kejuruan; sebagai contoh di satu pihak diadakan "pembatasan" bagi para lulusan yang akan melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, akan tetapi sebaliknya tidak dilaksanakan "pembatasan" serupa bagi lulusan sekolah umum yang akan terjun langsung ke lapangan kerja. 5. Faktor-faktor lainnya yang diprediksi telah menyebabkan rendahnya minat masyarakat terhadap sekolah kejuruan adalah harapan sebagian orang tua kepada putra-putrinya untuk menjadi "ambtenaar", atau memiliki pekerjaan "white color", ataupun pegawai tinggi "tangan bersih" lainnya. F. SARAN-SARAN Untuk mencari alternatif-solutif terhadap permasalahan tersebut di atas maka dua saran berikut kiranya sangat pantas dijadikan pertimbangan. 1. Dilaksanakan kerjasama yang lebih efektif di antara Depdikbud dengan Depnaker untuk memecahkan berbagai persoalan pendidikan kejuruan dan masalah ketenagakerjaan. Hal ini tentu sangat relevan dengan fungsi Depdikbud sebagai pencetak tenaga kerja (produsen) serta fungsi Depnaker sebagai pengelola tenaga kerja (konsumen). 2. Lembaga pendidikan kejuruan sendiri harus meningkatkan pelayanan akademiknya kepada para siswa untuk menciptakan mutu lulusan yang lebih tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan melengkapi fasilitas belajar (mesin-mesin, peralatan praktek, dsb), meningkatkan kualitas tutor/instruktor, mengadakan komunikasi dengan berbagai
11
pemakai tenaga kerja, dsb. Dengan cara pendekatan seperti ini kiranya minat masyarakat terhadap sekolah kejuruan dapat ditumbuh-kembangkan kembali. DAFTAR PUSTAKA: Ajzen, Icek and Fishbein, Martin. Understanding Atttudes and Predicting Behavior. New Jersey: Prentice Hall, 1975 Ansetal, R. Human Capital and The Economic Benefits of Educa tion. New Jersey: Prentice Hall, 1983 Holland, John L. Making Vocational Choices. New Jersey: Prentise Hall, Inc, 1985 Mani, A. Determinants of Educational Aspira tions among Indonesian Youth (Research). Singapore: Maruzen Asia PTE, 1983 Republik Indonesia. Pidato Kenegaraan Presiden RI Soeharto 1986 (lampiran). Jakarta: RI, 1986 Sumadi, dkk. Minat terhadap Jabatan Guru bagi Siswa SPG Negeri II Yogyakarta. Yogyakarta: DPP IKIP Yogyakarta, 1982 Supriyoko. Aspirasi Studi Siswa Sekolah Menengah Pertama Sendangsari Yogyakarta (Laporan Penelitian). Yogyakarta: Putra Mataram, 1986 Treiman, Donald. Occupational Prestige in Comparative Perspec tive. New York: Academic Press, (?) World Bank. Indonesia Staff Appraisal Report : Politechnic Project. Washington DC: World Bank, 1979 ***** Yk, 26/8/90