Surat Kabar Harian “KEDAULATAN RAKYAT”, terbit di Yogyakarta, Edisi 6 April 1985 LEMBAGA PENDIDIKAN KITA MISKIN DEPARTEMEN TEKNOLOGI Oleh : Ki Supriyoko
"Kita memilih teknologi yang paling menguntungkan dalam proses nilai tambah guna kepentingan bangsa. Tidak berkiblat ke luar, tapi ke dalam, berorientasi pada kepentingan nasional. Bisa saja saya mengambil teknologi dari mana saja. Tapi saya tidak akan mengambil teknologi yang tidak sesuai dengan keadaan kita, seperti teknologi yang dimanfaatkan pada kapal pemecah lapisan es. Juga tidak akan mengambil teknologi dari sistem heating (pemanasan) di Eropa, sebab tidak sesuai dengan iklim di Indonesia. Saya cuma interest. Yang saya pikirkan; teknologi apa yang dibutuhkan bangsa ini !". Demikian salah satu point terpenting yang dikemukakan oleh Menristek RI, Prof. Dr. B.J. Habibie ketika beliau diwawancarai oleh wartawan ibukota baru-baru ini, kaitannya dengan kiblat teknologi kita. Apa yang dikemukakan oleh Pak Habibie diatas memang sangat perlu kita perhatikan untuk selanjutnya kita 'pegang' (jawa: gondheli), mengingat sampai saat ini masih banyak yang bertanya-tanya kemana kiblat teknologi kita. Apakah berkiblat ke Amerika? Ke Jepang? Ke negara-negara sosialis? Atau ke negara-negara Barat lainnya?! Ternyata buka itu semua, tapi kedalam. Ke negeri kita sendiri! Teknologi Tepat Guna Kalau sekarang sudah jelas bahwa kiblat atau orientasi teknologi kita adalah negeri kita sendiri, demi kepentingan nasional, maka kemudian timbul pertanyaan baru teknologi yang bagaimana yang kita butuhkan? Program-program pemerintah yang telah dijadwalkan dari Pelita ke Pelita untuk membangun setiap daerah di negara kita dengan segala kondisi fisiknya pasti menuntut penguasaan dan penerapan teknologi yang bervareasi. Apabila di tempattempat tertentu diperlukan 'teknologi berat' (membangun pabrik pupuk, jembatan
2
gantung, pelabuhan udara dengan segala fasilitasnya), maka ditempat lain justru penerapan 'teknologi ringan' merupakan alternatif yang paling tepat. Membuat jembatan bambu dengan konstruksi yang sederhana, WC apung, pemanfaatan kotoran hewan yang berserakan di pedesaan dsb. Ketepatan pemilihan teknologi untuk berbagai kondisi dan situasi memang tidak bisa dikesampingkan begitu saja mengingat penerapan teknologi yang kurang proporsional sangat dimungkinkan akan membawa dampak sosial yang kurang menguntungkan. Kesiapan masyarakat untuk menerima teknologi baru kiranya perlu dijajagi sebelumnya. Studi kelayakan (feasibility-study) perlu dilakukan sebelum teknologi diterapkan. Seperti kita ketahui bersama bahwa teknologi berjalan beriringan dengan modernisasi. Dimana teknologi diterapkan disitulah modernisasi akan berjalan. Logikanya, apabila suatu kelompok masyarakat belum siap untuk menerima dan menjalankan pembaharu-an, baik fisik maupun sosial, maka penerapan teknologi ditempat tersebut tentu tidak akan efektif bahkan justru akan menimbulkan kegoncangan-kegoncangan sosial. Kita ambil illustrasi yang sederhana. Disebuah desa masyarakatnya suka buang hajat besar disungai, pada hal sungai itu juga digunakan untuk mandi dan keperluankeperluan lainnya. Dari segi kesehatan dan lingkungan hal ini tentu kurang menguntungkan. Dibangunlah rumah-rumah kecil sebagai toilet dengan perlengkapan yang cukup modern. Mulanya ada satu dua anggota masyarakat yang memanfaatkan fasilitas tersebut tapi akhirnya mereka kembali buang hajat besar di sungai. Bahkan rumah-rumah kecil tersebut beralih fungsi sebagai tempat persembunyian untuk maksud-maksud jahat sehingga stabilitas keamanan desa tersebut menjadi terganggu. Illustrasi diatas menunjukkan pada kita betapa pentingnya penyesuaian teknologi terhadap kondisi dan situasi tempat dimana teknologi tersebut akan diterapkan. Dalam skala yang lebih besar, dan untuk menjawab teknologi yang bagaimana yang kita perlukan maka "teknologi tepat guna' (appropriate technology) kiranya merupakan alternatif yang sangat pantas untuk disodorkan. Kelebihan teknologi ini ialah mengacu kepada kepentingan pemakai dengan mempertimbangkan dampak sosial yang mungkin timbul. Pemasyarakatan Kancah teknologi dapat kita bedakan menjadi 4 kategori sebagai berikut: 1. Teknologi Tradisional. Misalnya pengeringan kayu bakar diatas tungku dapur (banyak dijumpai dipedesaan) untuk memanfaatkan panas dari asap api yang sering terbuang percuma, menagkap ikan dengan jala, menggemburkan tanah dengan cangkul, dan sebagainya.
3
2. Teknologi Semi-modern. Misalnya pencairan logam untuk mencetak benda/peralatan dengan profil tertentu menggunakan dapur tinggi, membuat dongkrak menggunakan jasa Mesin Bubut (Lathe Machine), membuat perkakas rumah tangga menggunakan jasa Las Listrik atau Las Oksigen dan sebagainya. 3. Teknologi Modern. Misalnya sistem komunikasi modern menggunakan jasa komputer, sistem belajar mandiri menggunakan jasa komputer, kegiatan instruksional dengan memanfaatkan penemuan-penemuan dibidang electric recording, dan sebagainya. 4. Teknologi Super-Modern. Misalnya penjelajahan ruang angkasa dengan pesawat ulang-alik yang melibatkan perpaduan beberapa penemuan-penemuan di bidang teknologi modern, pemanfaatan elektron sebagai perangkat persenjataan masa supermodern, dan sebagainya. Teknologi tepat guna dapat saja berupa teknologi tradisional, semi-modern, modern bahkan teknologi super-modern, yang benar-benar berguna bagi pemakai tanpa menimbulkan keguncangan sosial yang berarti. Teknologi tepat guna bisa memiliki sifat praktis, aplikatif, fungsional, netral dan relatif. Oleh karena bersifat relatif maka teknologi tepat guna untuk daerah dilereng Gunung Merapi Jawa Tengah belum tentu tepat guna untuk daerah lain, misalnya untuk Sumatra, Kalimantan dan sebaliknya. Sebagai misal pompa hidram yang memompa air dengan tenaga air itu sendiri adalah tepat guna untuk daerah Jawa Timur dan Bali (aliran sungai jatuh) akan tetapi menjadi tidak tepat guna untuk daerah Kalimantan (aliran sungai rata). Teknologi pengaman gedung bertingkat tepat guna untuk Jakarta tetapi tidak tepat guna untuk Jayapura, dsb. Sekalipun sifat relatif tetap melekat namun tidak mengurangi arti dan fungsi teknologi tepat guna itu sendiri. Bahkan dialam pembangunan dewasa ini maka skala prioritas akan penerapan teknologi tepaat guna dalam berbagai disiplin pembangunan merupakan alternatif yang tak boleh ditawar lagi. Sayangnya, pemasyarakatan teknologi tepat guna itu sendiri tidak mendapatkan jalan yang mulus. Kita masih mendambakan hadirnya tangan-tangan profesional untuk menekuninya. Kalau disatu pihak putra-putra Indonesia telah berhasil membangun proyekproyek besar seperti gedung-gedung megah bertingkat sampai pelud Cengkareng (walau masih dengan kerjasama dengan asing), atau membangun pabrik urea di Lhokseumawe Aceh secara mandiri (dari perencanaan sampai pembangunannya), akan tetapi dilain pihak masih banyak potensi teknologi yang dibiarkan begitu saja (tanpa mengurangi arti keberhasilan tersebut diatas). Angin yang bertiuap kencang dipegunungan baru bisa kita nikmati untuk
4
mengeringkan keringat sewaktu kita bekerja keras (mestinya dapat diubah menjadi tenaga gerak-tenaga panas atau pun tenaga listrik dsb). Air yang gemercik di desadesa baru bisa kita nikmati untuk MCK secara tradisional (sebenarnya sangat potensial untuk penerangan desa dsb). Tersendatnya pemasyarakatan teknologi tepat guna menyebabkan kekayaan potensi teknologi kita hilang percuma karena belum terimbangi oleh teknokratteknokrat yang profesional. Peran Lembaga Pendidikan Kita sebenarnya sangat menaruh harap pada lembaga pendidikan kita untuk mencetak tenaga-tenaga profesional guna menerapkan teknologi tepat guna bagi suksesnya pembangunan (walau harus diakui pula bahwa lembaga pendidik an bukan satu-satunya pencetak tenaga profesional dimaksud), akan tetapi nampaknya harapan tersebut terlaly besar dibanding kemampuan lembaga itu sendiri. Secara umum lembaga pendidikan kita miskin departemen (jurusan/program studi/bagian dsb) teknologi. Sedangkan dilain pihak departemen teknologi yang ada masih banyak yang belum memiliki fasilitas yang sempurna atau katakanlah lengkap. Kita dapat bandingkan misalnya di kota pelajar ini, dari sekitar 50 Perguruan Tinggi (PT) berapa prosenkah yang memiliki (baca: berani membuka) departemen teknologi? Kita dapat hitung dengan jari. Sedangkan dari departemen teknologi yang sudah ada, termasuk STM (baik negeri maupun swasta) umumnya mereka memiliki peralatan/ permesinan yang masih memprihatinkan. Hal ini tentunya merupakan hambatan bagi terpenuhinya tenaga-tenaga profesional yang kita inginkan, implikasinya juga akan menghambat pemasyarakatan teknologi tepat guna itu sendiri. Mudah-mudahan pemerintah telah cukup menaruh perhatian dalam hal penyempurnaan departemen teknologi kita dari segi kualitas maupun kuantitasnya, baik dalam rangka penambahan departemen maupun pendirian lembaga baru. Demikian juga halnya untuk swasta. Kita memang telah memiliki cukup banyak teknokrat yang berkualitas, akan tetapi kondisi (fisik) tanah air kita tercinta ini menuntut jauh lebih banyak lagi. Mari kita bangun tanah air tercinta ini dengan teknologi yang cocok, teknologi tepat guna !!!***** ============================================================= Ki Supriyoko, pernah menjadi Ketua Jurusan Teknik Mesin serta Dekan Fakultas Keguruan Teknik (sekarang JPTK) Sarjana Wiyata Tamansiswa Yogyakarta. Sekarang mengambil program pasca sarjana IKIP Jakarta di Yogyakarta Jurusan Pendidikan Teknologi dan
5
Kejuruan.