Status Quo LGBT Wisnu Adihartono Tanggal 1 Maret memang sudah berlalu, tetapi mungkin tidak banyak yang tahu bahwa tanggal 1 Maret adalah tanggal yang dirayakan oleh lesbian, gay, biseks, transgender, interseks, dan queer (LGBTIQ) di Indonesia sebagai hari LGBTIQ Nasional. Ya, memang “hari” dan “tanggal” ini belum terlalu dikenal oleh masyarakat Indonesia karena mendengar LGBTIQ saja sudah dirasa aneh, tabu, selalu diasosiasikan dengan seks dan pantas untuk dihancurkan karena mengancam seluruh sistem, dari mikro sampai makro. Di dalam salah satu artikel yang saya tulis untuk media online etnohistori.org edisi 30 Juni 2013 – Salah dan Berdosakah Kami?, dijelaskan bahwa fenomena dan fakta sosial kehadiran kelompok ini bukanlah sesuatu yang baru, akan tetapi kajian LGBTIQ adalah kajian yang tergolong baru di dunia akademis. Kajian ini memiliki banyak varian dan dikaji dengan tema-tema yang interdisipliner. Akar pemikiran dari kajian LGBTIQ dapat ditarik dari pemikiran-pemikiran Women’s Studies dan kajian gender, yaitu pemberontakan akan sistem penindasan yang telah terstruktur cukup lama dan mengakar dalam pikiran masyarakat. Kajian LGBTIQ hampir sama sekali tidak berkembang di era Perang Dingin karena pada saat itu homoseksualitas dikecam dengan satu set ideologi heteroseksualitas yang secara tidak langsung turut dilegalkan oleh pemerintah, pengadilan, gereja, universitas, media massa, dan lain sebagainya. Kajian LGBTIQ mendapat angin segar melalui gerakan perempuan gelombang ke dua (second wave feminism) di era tahun 1970an yang melawan penindasan ideologi heteroseksualitas. Dalam perlawanannya, ilmuwan-ilmuwan studi LGBTIQ banyak yang mengikuti pemikiran Women’s Studies karena pada dasarnya memiliki tujuan yang sama. Perkembangan studi LGBTIQ cukup pesat ditandai dengan banyaknya universitas yang mulai membuka jurusan studi LGBTIQ, khususnya di Amerika Serikat dan di Eropa. Begitu juga dengan universitas-universitas di kawasan Asia, khususnya di Filipina, Thailand, Singapura, Cina, Taiwan, dan Korea yang turut mencoba membuka jurusan ini, akan tetapi masih banyak pula universitas-universitas di seluruh dunia yang masih menempatkan studi LGBTIQ di bawah departemen Women’s Studies. Mengenai kajian Queer (Q) dan kajian Interseks (I) yang saat ini sudah dikembangkan oleh universitas-universitas di Amerika Serikat dan di Eropa, belum begitu mendapat tempat yang begitu dalam di universitas di Indonesia. Kajian Queer dan kajian Interseks masih dianggap sebagai kajian yang belum mumpuni dalam menganalisa kelompok-kelompok gay, lesbian dan transgender di Indonesia. Meskipun demikian, kajian Queer dan kajian Interseks di Indonesia cukup mendapat porsi kajian lebih pada
departemen ilmu susastra, karena dua kajian tersebut sangat terkait erat dengan kajian budaya atau yang lebih dikenal dengan Cultural Studies.
Imajinasi LGBT yang Selalu di-”sakit”-kan dan di-”rumah sakit”kan Giust-Desprairies dalam karyanya l’Imaginaire Collectif mengatakan bahwa konsep representasi sosial mengkonsentrasikan dirinya pada pengkonstruksian sebuah realita bersama dalam sebuah kelompok sosial dimana konsep tersebut menyerupai instrumen-instrumen orientasi persepsi yang digabungkan dengan berbagai macam tanggapan. Dan karena representasi sosial sangat berhubungan dengan interaksi-interaksi yang ada, maka ia juga berkonsentrasi pada bagaimana mengarahkan sebuah konsep bersama dalam kerangka komunikasi sosial dan dirangkum dalam sebuah legitimasi perasaan umum (la légitimation du sens commun). Bagi saya sebuah catatan menarik adalah bagaimana isu LGBT tampaknya selalu dikaitkan dengan orang yang sakit dan rumah sakit. Hal ini cukup mengganggu pikiran saya. Secara tidak langsung proses merekonstruksi LGBT dalam kerangka “orang sakit” adalah sama sekali tidak benar. “Orang (yang) sakit” adalah orang yang terkena sebuah virus, harus mengkonsumsi obat-obatan dan bahkan harus tinggal di rumah sakit untuk beberapa waktu dalam rangka penyembuhan. Apabila individu LGBT terjangkit penyakit tumor atau kanker, jelas LGBT adalah orang yang sakit, oleh karena itu Ia adalah seorang individu yang “sakit” dan perlu diobati. Dimana mereka harus diobati? Jelas jawabannya adalah di rumah sakit. Akan tetapi apabila individu LGBT tidak sedang terkena flu, maka Ia adalah seorang umat manusia seperti individu-individu yang lain. Tidak ada diskriminasi dalam hal itu. Bronislaw Baczko menambahkan bahwa imajinasi sosial dapat melakukan intervensi pada kehidupan bersama sehingga sebuah imajinasi sosial seperti memiliki kekuatan untuk melakukan oposisi terhadap apapun ; sah (légitimer)/tidak sah (invalider), membenarkan (justifier)/menuduh (accuser), meyakinkan (rassurer)/mendiskriminasi (discriminer), termasuk (inclure)/tidak termasuk (exclure), dan lain sebagainya. Maka muncul kelompok yang merasa ekslusif, yaitu para heteroseksual. LGBT dalam Pembentukan sebuah Negara Mari kita melihat Benedict Anderson dalam kajian “Masyarakat Imajiner”nya yang menurut saya masih begitu relevan dalam mengkaji LGBT di Indonesia. Anderson mendefinisikan masyarakat imajiner sebagai, “it is imagined because the members of even the smallest nation will never
know most of their fellow-members, meet them, or even hear of them, yet in the minds of each lives the image of their communion”. Penjelasan tersebut memberikan sebuah pendekatan bahwa imajinasi berfungsi untuk membangun sebuah bangsa dengan mentransformasikan semua kemungkinan dalam satu imajinasi saja. Oleh karena itu, sebuah bangsa tidak dibangun dan diberikan begitu saja, akan tetapi ia secara simultan ditemukan. Itzigson dan vom Hau menambahkan bahwa sebuah bangsa dibangun melalui norma-norma, nilai-nilai, orientasi kognitif, dan simbol-simbol. Sebagai konsekuensinya, bangsa merupakan sebuah komunitas terbatas yang memproduksi pembedaan (une distinction) antara yang “termasuk” dan yang “tidak termasuk”. Sehingga, diskursusdiskursus gender dan seksualitas, secara kesejarahan, sosial, budaya, dan metafisika, merupakan sebuah konstruksi antara “mereka” dan “kita”. Dalam kasus gender dan seksualitas, norma-norma heteroseksual sangat berperan penting dalam membentuk pola kerangka hidup bermasyarakat. Dengan demikian, secara tidak sadar, masyarakat diperkenalkan dengan sistem kepercayaan gender. Sistem ini terdiri dari kepercayaankepercayaan budaya dalam memandang seseorang melalui stereotipnya yang maskulin dan feminin. Dalam hal ini, homoseksualitas dianggap sebagai sebuah ancaman besar di dalam tatanan mikro (keluarga) sampai pada tatanan makro (ketahanan bangsa dan negara) dalam sebuah sistem kepercayaan gender. Meminjam istilah Sidanius dan Pratto, sistem kepercayaan gender adalah mitos yang dilegitimasikan (legitimizing myths). Mitos seperti ini didefinisikan sebagai, “values, attitudes, beliefs, causal attributions, and ideologies that provide moral and intellectual justification for social practices that increase, maintain or decrease levels of social inequality among social groups”. Mitos ini beroperasi dalam masyarakat melalui nilai, tingkah laku, kepercayaan, stereotip, dan ideologi budaya. Ia berpengaruh pada tataran persepsi dan pengetahuan tentang pasangan-pasangan yang benar, relasi-relasi seksual yang seharusnya muncul, dan emosi-emosi seksual. Pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa kelompok LGBTIQ adalah korban dari norma-norma sosial yang muncul. Menafsir Dasar Negara dengan Bijak Lantas saya teringat dengan sebuah artikel yang ditulis oleh seorang antropolog yang khusus meneliti LGBT di Indonesia, Tom Boellstorff di tahun 2006 bahwa negara bangsa kini menjadi alat dominan untuk mengorganisasikan masyarakat-masyarakat di dunia di mana gagasan heteronormatif terbukti menjadi elemen pembentuk dasar yang diacu oleh banyak negara bangsa terlepas dari perbedaan-perbedaan agama, kesukuan, geografis dan tingkat kemakmuran. Dari pernyataan ini begitu jelas terlihat bahwa ide heteronormatifitas sangat menonjol, sehingga akan menimbulkan sebuah rasa ketakutan berlebihan terhadap LGBT yang secara umum disebut dengan homophobia.
Padahal kita perlu mengingat bahwa Indonesia tidak memiliki sebuah produk hukum yang spesifik untuk menghukum LGBT. Frederick Martel seorang sosiolog Perancis dalam bukunya ‘’Global Gay’’ menjelaskan bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang tidak memiliki sebuah produk hukum khusus untuk homoseksual, jadi homoseksualitas di Indonesia adalah legal. Homoseksualitas di terima secara informal oleh masyarakat. Meskipun Indonesia disebut sebagai negara yang memiliki komunitas Muslim cukup banyak di dunia seperti diungkap Michael Buehler (2009), “Indonesia is the largest Muslim-majority country in the world. Home to approximately 230 million people of which more than 85% follow Islam, there are almost as many Muslims living in Indonesia as in the entire Arab-speaking world combined”, namun Indonesia secara efektif bukan sebuah negara Islam meskipun agama mempenetrasi hampir ke seluruh kehidupan masyarakat Indonesia. Indonesia menganut paham Pancasila yang kaya akan simbol-simbol keberagaman dengan keunikannya sendiri-sendiri. Pancasila sebagai dasar negara seharusnya dijadikan dasar negara yang diintepretasikan dengan bijak. Pancasila seharusnya tidak direkonstruksi oleh satu pihak untuk kemudian dipaksakan kepada pihak lain. Misalnya, kelompok Islam fundamentalis yang justru disinyalir dapat mengancam keamanan dan keutuhan bangsa. Saya sama sekali tidak mendeskriditkan Islam sebagai agama yang sudah di lihat sebagai sebuah “agama negara”, namun fakta berbicara bahwa kelompok semacam inilah yang nyatanya ditakuti oleh hampir seluruh elemen masyarakat di Indonesia. Pada akhirnya, LGBT khususnya yang gay, lesbian dan biseksual harus merahasiakan keberadaan mereka dengan berbagai cara, salah satunya dengan konsep seksualitas tersembunyi atau hidden sexuality (penyembunyian preferensi seksual). Tidak ada data khusus mengenai kelompok gay yang memilih untuk melakukan hidden sexuality, akan tetapi fenomena dan fakta sosial memperlihatkan bahwa ada beberapa gay yang sengaja menikah dengan pasangan hidupnya karena paksaan dari orang tua. Hidden sexuality memunculkan sebuah identitas bikultural yang menyebabkan hilangnya kebebasan seorang gay. Seorang gay yang covert (tertutup) yang menjalani hidup dalam kerangka hidden sexuality adalah menjalani kehidupan seperti seorang yang heteroseksual, menikah, memiliki anak dan bersosialisasi dengan wajar dengan orang lain. Covert homosexual adalah mereka (dalam artikel ini adalah seorang gay) yang masih berada di dalam sebuah kloset (in the closet) untuk menjaga identitas seksual mereka sebagai sesuatu yang sifatnya sangat rahasia. Tulisan ini mungkin saja tidak begitu komprehensif karena sangat sulit dan kompleks menganalisa LGBT dalam rangka ketahanan bangsa apabila elemen-elemen yang ada tidak berinisiatif untuk menghapus stigma yang dikenakan kepada LGBT. Namun setidaknya tulisan ini dapat memberikan sebuah pencerahan bahwa apabila negara mampu memberikan hak-
haknya kepada LGBT, khususnya dalam kerangka individu, maka kontribusi-kontribusi yang diberikan oleh LGBT dalam dimensi apapun dapat dilihat sebagai kemampuan negara dalam mempertahankan bangsanya. Terakhir, kiranya perlu ditegaskan sekali lagi bahwa LGBT bukan sebuah penyakit yang dapat mengancam kesatuan dan persatuan bangsa. *Wisnu Adihartono adalah kandidat Ph.D. di bidang sosiologi di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Marseille, Perancis. Ia mempunyai ketertarikan pada bidang sosiologi gender, gay dan lesbian, sosiologi migrasi, sosiologi keluarga dan sosiologi keseharian (sociology of everyday lifes). Bisa dihubungi melalui email
[email protected].