i HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG PLEBITIS DENGAN KEPATUHAN MELAKSANAKAN STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PEMASANGAN INFUS PADA BBLR DI RSUD DR. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO WONOGIRI
SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan
Oleh : HARTATI NIM: ST. 14 027
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016 i
ii
ii
iii
iv
v KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha kuasa karena berkat petunjuk dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul: ”Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat tentang Plebitis dengan Kepatuhan Melaksanakan Standar Prosedur Operasional Pemasangan Infus pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari bahwa tanpa dorongan, bimbingan dan motivasi dari semua pihak, penulis tidak akan mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada : 1. Ns. Wahyu Rima Agustin, M.Kep., selaku Ketua STIKes Kusuma Husada Surakarta, yang telah memberi izin penelitian kepada penulis. 2. Ns. Atiek Murharyati, M.Kep., selaku Ketua Prodi S1 Keperawatan yang telah memberikan dukungan dan motivasi kepada semua mahasiswanya. 3. Ns. Happy Indri Hapsari, M.Kep., selaku pembimbing
yang telah
memberikan bimbingan dan arahan penulis dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 4. Ns. Ika Subekti Wulandari, M.Kep., selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan penulis dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 5. Ns. Galih Setia Adi, M.Kep., selaku penguji yang telah memberikan bimbingan dan arahan penulis dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
v
vi 6. dr. Setyorini, M.Kes., selaku Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri yang telah memberikan ijin penelitian kepada penulis. 7. Bapak dan Ibu Dosen STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan segenap ilmu dan pengalamannya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 8. Keluarga yang telah memberikan dukungan, doa, nasihat, kasih sayang dan semangat bagi penulis dalam mengerjakan skripsi ini. 9. Semua responden yang telah bersedia untuk menjadi responden dan bersedia untuk mengisi kuesioner yang diberikan dalam rangka penyusunan skripsi. 10. Teman Angkatan/Kelas ST14 yang telah memberikan dukungan dan bantuannya, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 11. RSUD DR. Soediran Mangun Soemarso sebagai tempat penelitian. Tiada kata yang pantas penulis sampaikan kepada semuanya, kecuali ucapan terima kasih yang tak terhingga serta iringan doa semoga
kebaikan
Bapak/Ibu/Saudara mendapat balasan dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Surakarta,12 Januari 2016
Hartati NIM. ST. 14 027
vi
vii DAFTAR ISI Halaman HALAMAN SAMPUL ..........................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................
iv
KATA PENGANTAR ...........................................................................
v
DAFTAR ISI ........................................................................................
vii
DAFTAR TABEL .................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
xi
ABSTRAK ... ........................................................................................
xii
ABSTRACH .. ........................................................................................
xiii
BAB
BAB
I. PENDAHULUAN .................................................................
1
2.1 Latar Belakang ..............................................................
1
2.2 Rumusan Masalah ..........................................................
5
2.3 Tujuan Penelitian ...........................................................
5
2.4 Manfaat Penelitian ........................................................
6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori ...............................................................
7
2.2. Keaslian Penelitian ........................................................
34
2.3 Kerangka Teori ..............................................................
35
2.4 Kerangka Konsep ...........................................................
36
2.5 Hipotesis ........................................................................
36
vii
viii BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian ......................................
37
3.2 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel.........
38
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian .........................................
39
3.4 Variabel, Definisi Operasional dan Skala Pengukuran .....
40
3.5 Unstrumen Penelitian .....................................................
40
3.6 Uji Validitas dan Reliabilitas .........................................
43
3.6. Teknik Pengumpulan Data .............................................
45
3.7 Pengolahan dan Analisis Data ........................................
46
3.8 Etika Penelitian .............................................................
49
BAB IV HASIL PENELITIAN
BAB
BAB
4.1. Analisis Univariat ...........................................................
51
4.2. Analisis Bivariat ............................................................
53
V PEMBAHASAN 5.1. Analisis Univariat ...........................................................
55
5.2. Analisis Bivariat ............................................................
61
VI PENUTUP 6.1. Simpulan ........................................................................
64
6.2. Saran ............................................................................
64
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN
viii
ix DAFTAR TABEL Nomor Tabel
Judul Tabel
Halaman
2.1
Keaslian Penelitian ...............................................................
33
3.1
Definisi Operasional Variabel ...............................................
38
3.2.
Kisi-kisi Angket Variabel Pengetahuan tentang Plebitis ........
39
4.1.
Karakteristik Responden Menurut Umur...............................
51
4.2.
Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin .....................................
51
4.3.
Distribusi Frekuensi Pendidikan Akhir .................................
52
4.4.
Karakteristik Responden Menurut Lama Bekerja ...................
52
4.5.
Distribusi Frekuensi tentang Tingkat Pengetahuan ................
52
4.6.
Distribusi Frekuensi tentang Kepatuhan Perawat ..................
53
4.7.
Hasil Crostab dan Analisis Uji Chi-Sqquare (χ2) ...................
53
ix
x DAFTAR GAMBAR Nomor Gambar
Judul Gambar
Halaman
2.1
Kerangka Teori .....................................................................
35
2.2
Kerangka Konsep ..................................................................
36
x
xi DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Lampiran
Nama Lampiran
1.
Surat Ijin Studi Pendahuluan
2.
Surat Balasan Ijin Pendahuluan
3.
Surat ijin Penelitian
4.
Surat Balasan Ijin Penelitian
5.
Surat Permohonan Menjadi Informan
6.
Surat Persetujuan Menjadi Informan
7.
Kuesioner
8.
Rekapitulasi Hasil Penelitian
9.
Hasil Penelitian
10.
Jadwal Penelitian
11.
Blangko Konsultasi
xi
xii PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016 Hartati HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG PLEBITIS DENGAN KEPATUHAN MELAKSANAKAN STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PEMASANGAN INFUS PADA BBLR DI RSUD DR. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO WONOGIRI
Abstrak Salah satu komplikasi pemberian terapi intravena adalah terjadinya phlebitis. Perawat profesional yang bertugas dalam memberikan pelayanan kesehatan tidak terlepas dari kepatuhan perilaku perawat dalam setiap tindakan prosedural yang bersifat invasif seperti halnya pemasangan infus. Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang plebitis dengan kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR. Metode yang digunakan adalah deskriptif korelasional dengan pendekatan case control. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2015 di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Jumlah sampel 18 responden dengan teknik total sampling. Alat analisis yang digunakan dengan analisis chisquare (X2). Hasil penelitian menunjukkan: Karakteristik responden nilai rata-rata umur 33 tahun, berjenis kelamin perempuan (100%), berpendidikan D-3 Keperawatan (88,9%), dan rata-rata lama bekerja 9 tahun; sebagian besar perawat mempunyai tingkat pengetahuan tinggi (83,3%); sebagian besar perawat mempunyai kepatuhan dalam pelaksanaan SPO pemasangan infus tergolong patuh (94,4%); ada hubungan signifikan tingkat pengetahuan perawat tentang plebitis dengan kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR (p-value = 0,021 < 0,05), adapun tingkat hubungan tergolong sedang. Kesimpulan dari penelitian, ada hubungan signifikan tingkat pengetahuan perawat tentang plebitis dengan kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR. Kata kunci: Tingkat Pengetahuan, Kepatuhan, SPO Pemasangan Infus, Plebitis, BBLR.
Daftar Pustaka: 47 (2005 – 2014)
xiii BACHELOR OF NURSING PROGRAM SCHOOL OF HEALTH SCIENCES OF KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016
Hartati
The Relationship between Knowledge Levels of Nurses on Phlebitis and Their Standard Operating Procedure Obedience when Setting Up IV fluid infusion for Low Birth Weight Infants at dr. Soediran Mangun Sumarso Regional Public Hospital of Wonogiri
Abstract One of intravenous therapy complications is known as phlebitis. A professional nurse serving as a health care service provider requires their obedience in every invasive procedural care, one of which is procedure to set up IV fluid infusion. The aim of the research is to analyze the relationship between knowledge levels of nurses on phlebitis and their standard operating procedure obedience when setting up IV fluid infusion for low birth weight infants. This research used descriptive correlational method with case control approach. It was conducted in October 2015 at perinatology suites of dr. Soediran Mangun Sumarso Regional Public Hospital of Wonogiri. Samples of 18 respondents were taken with total sampling technique. The data were later analyzed using chi-square (X2) analysis. The research findings indicate that 1) Respondents are characterized by average ages of 33 years, feminine gender (100%), educational background of three year nursing diploma (88.9%), and average length of work experience of 9 years; 2) Most nurses possess high level of knowledge (83.3%); 3) Most nurses (94.4%) are proven to be obedient when setting up IV fluid infusion; 4) there exists a significant relationship between knowledge levels of nurses on phlebitis and their standard operating procedure obedience when setting up IV fluid infusion for low birth weight infants (with p-value of 0.021 < 0.05) which is considered as moderate relationship. In conclusion, there is a significant relationship between knowledge levels of nurses on phlebitis and their standard operating procedure obedience when setting up IV fluid infusion for low birth weight infants.
Keywords Bibliography
: knowledge levels, obedience, SOP when setting up IV fluid infusion, phlebitis, low birth weight infants : 47 (2005 – 2014)
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Prevalensi bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) secara global hingga saat ini masih tetap berada di kisaran 10-20% dari seluruh bayi yang lahir hidup setiap tahunya (Sulani, 2014). World Health Organisation (WHO) (2011) memperkirakan sekitar 25 juta bayi mengalami BBLR setiap tahun dan hampir 5% terjadi di negara maju sedangkan 95% terjadi di negara berkembang. Prevalensi BBLR di India mencapai 26%, dan di Amerika Serikat mencapai 7%. Kematian bayi di seluruh dunia adalah 20 kali lebih besar pada bayi yang mengalami BBLR dibandingkan dengan yang tidak BBLR (Jayant, 2011). Menurut Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi bayi dengan BBLR Indonesia diperkirakan mencapai 2.103 bayi dari 18.948 bayi (11,1%) yang ditimbang dalam kurun waktu 6-48 jam setelah melahirkan. Prevalensi ini menyebar secara tidak merata antara satu provinsi dengan provinsi lainya dengan prevalensi tertinggi berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur sekitar 19.2%, dan terendah berada di Provinsi Sumatera Barat yakni 6,0% (Kemenkes RI, 2013). Berdasarkan profil kesehatan provinsi Jawa Tengah jumlah bayi dengan BBLR di Jawa Tengah pada tahun 2013 sebanyak 16.303 (2,81%) meningkat bila dibandingan tahun 2012 sebesar 11.865 (2.08,%). Banyaknya BBLR yang ditangani oleh tenaga kesehatan secara keseluruhan di tingkat Provinsi Jawa Tengah, cakupannya tidak selalu mengalami peningkatan. Pada 1 1
2 tahun 2011 sebesar 92,77% dan pada tahun 2012 sebesar 99,67 % sedang pada tahun 2013 bayi BBLR yang ditangani sebesar 96,67% (Dinkes Jateng, 2014). Menurut Profil Kesehatan Kabupaten Wonogiri (2013), di Kabupaten Wonogiri ditemukan angka kejadian BBLR sebanyak 133 kasus dari 17.296 bayi lahir hidup (0,77%) dan jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2007 yaitu 94 kasus dari 16.976 bayi lahir hidup (0,55%). Bayi dengan BBLR berisiko untuk hipotermia, apnue, hipoksemia, sepsis, intoleransi minum dan enterokolitis nekrotikan, semakin kecil bayi semakin tinggi resikonya. Salah satu tatalaksana bayi dengan BBLR adalah dengan pemberian cairan intravena yang bertujuan untuk mensuplai cairan, elektrolit, nutrisi dan obat. Salah satu komplikasi pemberian terapi intravena adalah terjadinya phlebitis. Bayi dengan BBLR risiko tinggi terjadinya phlebitis karena bayi dengan BBLR memiliki sistem imun yang belum aktif selama beberapa bulan kehidupan, sehingga menyebabkan rentang terhadap berbagai infeksi dan alergi, walaupun struktur kulit bayi sudah terbentuk saat lahir tetapi belum matang. Epidermis dan dermis tidak terikat dengan baik dan sangat tipis, kulit bayi sangat sensitif dan dapat rusak dengan mudah, kulit sering terlihat bercak-bercak, terutama di daerah sekitar ekstremitas, tangan dan kaki terlihat sedikit sianotik (IDAI, 2014). Akibat yang ditimbulkan dari komplikasi plebitis pada pasien adalah meningkatkan hari rawat di rumah sakit, menambah lama terapi, dan meningkatkan tanggung jawab perawat serta dapat menyebabkan pasien mendapatkan risiko masalah kesehatan lain, sehingga untuk mencegah
3 terjadinya plebitis diperlukan kepatuhan perawat dalam melaksanakan pemasangan infus sesuai dengan standar prosedur operational (Alexander at al, 2010) Perawat profesional yang bertugas dalam memberikan pelayanan kesehatan tidak terlepas dari kepatuhan perilaku perawat dalam setiap tindakan prosedural yang bersifat invasif seperti halnya pemasangan infus. Pemasangan infus dilakukan oleh setiap perawat. Semua perawat dituntut memiliki kemampuan dan keterampilan mengenai pemasangan infus yang sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO) (Hinlay, 2009). Hasil penelitian Andares (2009), menunjukkan bahwa perawat kurang memperhatikan kesterilan luka pada pemasangan infus. Perawat biasanya langsung memasang infus tanpa memperhatikan tersedianya bahan-bahan yang diperlukan dalam prosedur tindakan tersebut, tidak tersedia handscoen, kain kasa steril, alkohol, dan pemakaian yang berulang pada selang infus yang tidak steril. Hasil penelitian Pasaribu (2008), yang melakukan analisa pelaksanaan pemasangan infus diruang rawat inap Rumah Sakit Haji Medan menunjukkan bahwa pelaksanaan pemasangan infus yang sesuai Standar Prosedur Operasional katagori baik 27 %, sedang 40 % dan buruk 33 %. Kepatuhan
merupakan
bagian
dari
perilaku
individu
yang
bersangkutan untuk mentaati atau mematuhi sesuatu, sehingga kepatuhan perawat dalam melaksanakan SPO pemasangan infus tergantung dari perilaku perawat itu sendiri. Menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo (2010) perilaku seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu : faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), mencakup pengetahuan dan sikap, tradisi dan kepercayaan masyarakat, sistem budaya, tingkat pendidikan dan tingkat
4 sosial ekonomi, faktor-faktor pemungkin/pendukung (enabling factors), mencakup sarana dan prasarana/fasilitas, faktor-faktor penguat (reinforcing factor) meliputi sikap tokoh masyarakat, tokoh agama, petugas kesehatan, undang-undang dan peraturan-peraturan. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2010),. Penelitian yang dilakukan oleh Pamuji (2008) yang meneliti tentang hubungan pengetahuan perawat tentang Standar Prosedur Operasional dengan kepatuhan perawat terhadap pelaksanaan SPO profesi pelayanan keperawatan, hasil penelitian menjelaskan bahwa ada hubungan antara pengetahuan SPO dengan kepatuhan pelaksanaan SPO yang bersifat positip yaitu tingkat pengetahuan perawat yang tinggi diikuti dengan tingkat kepatuhan yang tinggi pula. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri menemukan bahwa pada tahun 2014-2015 terdapat 155 kasus bayi dengan BBLR dan 139 kasus yang diinfus, selain itu ditemukan juga kejadian phlebitis dari pasien yang telah dipasang infus terdapat 27 pasien yang mengalami phlebitis dari 139 pasien yang terpasang infus atau sekitar 18,6% yang sudah menampakan adanya tanda-tanda plebitis seperti bengkak disekitar tusukan jarum infus, kemerahan dan nyeri disepanjang vena. Hasil observasi terhadap 5 perawat menunjukkan bahwa 3 perawat patuh (60%) dan 2 perawat (40%) cenderung tidak patuh. Hasil wawancara terhadap perawat yang tidak patuh menyatakan bahwa mereka kurang mematuhi Standar Prosedur Operasional pemasangan infus karena lupa, repot, terlalu formal dan situasional.
5 Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini ditentukan judul : “Hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang plebitis dengan kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri.
1.2 Rumusan Masalah Data dari RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri diketahui pada tahun 2014-2015 terdapat 155 kasus bayi dengan BBLR dan 139 kasus yang di infus,selain itu ditemukan juga kejadian phlebitis dari pasien yang telah dipasang infus terdapat 27 pasien yang mengalami phlebitis dari 139 pasien yang terpasang infus atau sekitar 18,6% yang sudah menampakan adanya tanda-tanda plebitis seperti bengkak disekitar tusukan jarum infus, kemerahan dan nyeri disepanjang vena. Hasil wawancara terhadap 5 perawat menunjukkan bahwa 3 perawat patuh (60%) dan 2 perawat (40%) cenderung tidak patuh. Hasil wawancara terhadap perawat yang tidak patuh menyatakan bahwa mereka kurang mematuhi Standar Prosedur Operasional pemasangan infus karena lupa, repot, terlalu formal dan situasional. Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan masalah : “Apakah ada hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang plebitis dengan kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri?”
6 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat
pengetahuan
perawat
tentang
plebitis
dengan
kepatuhan
melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri. 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk : 1. Mendeskripsikan karakteristik responden dan tingkat pengetahuan perawat tentang plebitis di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri. 2. Mendeskripsikan
kepatuhan
melaksanakan
standar
prosedur
operasional pemasangan infus pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri 3. Untuk menganalisis hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang plebitis dengan kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain adalah : 1. Manfaat Teoritis a. Bagi peneliti Mengaplikasikan teori metodologi penelitian untuk diterapkan dalam kegiatan nyata di lapangan seperti rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan lainnya.
7 b. Bagi peneliti berikutnya Sebagai acuan untuk peneliti lebih lanjut yang melakukan penelitian khususnya
mengenai
pengetahuan
perawat
tentang
plebitis
hubungannya dengan kepatuhan melaksanakan SPO pemasangan infus. c. Bagi Institusi Pendidikan Penelitian
ini
memperkaya
ilmu
pengetahuan
dalam
bidang
keperawatan khususnya keperawatan maternitas untuk dimanfaatkan sebagai sumber belajar. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Rumah Sakit Sebagai masukan untuk meningkatkan pelayanan Rumah Sakit, terutama pelayanan keperawatan pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) untuk mengurangi kejadian plebitis. b. Bagi Perawat Perawat
dapat
mengetahui
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR selain pengetahuan tentang plebitis.
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori 2.1.1 Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) a. Pengertian Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia gestasi. BBLR dapat terjadi pada bayi kurang bulan (< 37 minggu) atau pada bayi cukup bulan (intrauterine growth restriction) (Pudjiadi, dkk., 2010). b. Klasifikasi Ada beberapa cara dalam mengelompokkan BBLR (Proverawati dan Ismawati, 2010) : 1) Menurut harapan hidupnya a) Bayi berat lahir rendah (BBLR) dengan berat lahir 1500-2500 gram. b) Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) dengan berat lahir 10001500 gram. c) Bayi berat lahir ekstrim rendah (BBLER) dengan berat lahir kurang dari 1000 gram. 2) Menurut masa gestasinya a) Prematuritas murni yaitu masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat badannya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi atau biasa disebut neonatus kurang bulan sesuai untuk masa kehamilan (NKB-SMK). 8
9 b) Dismaturitas yaitu bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya untuk masa gestasi itu. Bayi mengalami retardasi pertumbuhan intrauterin dan merupakan bayi kecil untuk masa kehamilannya (KMK). c. Faktor penyebab Beberapa penyebab dari bayi dengan berat badan lahir rendah (Proverawati dan Ismawati, 2010). 1) Faktor ibu a) Penyakit (1) Mengalami komplikasi kehamilan, seperti anemia, perdarahan antepartum, preekelamsi berat, eklamsia, infeksi kandung kemih. (2) Menderita penyakit seperti malaria, infeksi menular seksual, hipertensi, HIV/AIDS, TORCH, penyakit jantung. (3) Penyalahgunaan obat, merokok, konsumsi alkohol. b) Ibu (1) Angka kejadian prematitas tertinggi adalah kehamilan pada usia < 20 tahun atau lebih dari 35 tahun. (2) Jarak kelahiran yang terlalu dekat atau pendek (kurang dari 1 tahun). (3) Mempunyai riwayat BBLR sebelumnya. c) Keadaan sosial ekonomi (1) Kejadian tertinggi pada golongan sosial ekonomi rendah. Hal ini dikarenakan keadaan gizi dan pengawasan antenatal yang kurang.
10 (2) Aktivitas fisik yang berlebihan (3) Perkawinan yang tidak sah 2) Faktor janin Faktor janin meliputi : kelainan kromosom, infeksi janin kronik (inklusi sitomegali, rubella bawaan), gawat janin, dan kehamilan kembar. 3) Faktor plasenta Faktor plasenta disebabkan oleh : hidramnion, plasenta previa, solutio plasenta, sindrom tranfusi bayi kembar (sindrom parabiotik), ketuban pecah dini. 4) Faktor lingkungan Lingkungan yang berpengaruh antara lain : tempat tinggal di dataran tinggi, terkena radiasi, serta terpapar zat beracun. d. Permasalahan pada BBLR BBLR
memerlukan
perawatan
khusus
karena
mempunyai
permasalahan yang banyak sekali pada sistem tubuhnya disebabkan kondisi tubuh yang belum stabil (Surasmi dkk, 2007). 1) Ketidakstabilan suhu tubuh. Dalam kandungan ibu, bayi berada pada suhu lingkungan 36°C- 37°C dan segera setelah lahir bayi dihadapkan pada suhu lingkungan yang umumnya lebih rendah. Perbedaan suhu ini memberi pengaruh pada kehilangan panas tubuh bayi. Hipotermia juga terjadi karena kemampuan
untuk
mempertahankan
panas
dan
kesanggupan
menambah produksi panas sangat terbatas karena pertumbuhan
11 otototot yang belum cukup memadai, ketidakmampuan untuk menggigil, sedikitnya lemak subkutan, produksi panas berkurang akibat lemak coklat yang tidak memadai, belum matangnya sistem saraf pengatur suhu tubuh, rasio luas permukaan tubuh relatif lebih besar dibanding berat badan sehingga mudah kehilangan panas. 2) Gangguan pernafasan Akibat dari defisiensi surfaktan paru, toraks yang lunak dan otot respirasi yang lemah sehingga mudah terjadi periodik apneu. Disamping itu lemahnya reflek batuk, hisap, dan menelan dapat mengakibatkan resiko terjadinya aspirasi. 3) Imaturitas imunologis Pada bayi kurang bulan tidak mengalami transfer IgG maternal melalui plasenta selama trimester ketiga kehamilan karena pemindahan substansi kekebalan dari ibu ke janin terjadi pada minggu terakhir masa kehamilan. Akibatnya, fagositosis dan pembentukan antibodi menjadi terganggu. Selain itu kulit dan selaput lendir membran tidak memiliki perlindungan seperti bayi cukup bulan sehingga bayi mudah menderita infeksi. 4) Masalah gastrointestinal dan nutrisi Lemahnya reflek menghisap dan menelan, motilitas usus yang menurun, lambatnya pengosongan lambung, absorbsi vitamin yang larut dalam lemak berkurang, defisiensi enzim laktase pada jonjot usus, menurunnya cadangan kalsium, fosfor, protein, dan zat besi dalam
12 tubuh, meningkatnya resiko NEC (Necrotizing Enterocolitis). Hal ini menyebabkan nutrisi yang tidak adekuat dan penurunan berat badan bayi. 5) Imaturitas hati Adanya gangguan konjugasi dan ekskresi bilirubin menyebabkan timbulnya hiperbilirubin, defisiensi vitamin K sehingga mudah terjadi perdarahan. Kurangnya
enzim glukoronil transferase sehingga
konjugasi bilirubin direk belum sempurna dan kadar albumin darah yang berperan dalam transportasi bilirubin dari jaringan ke hepar berkurang. 6) Hipoglikemi Kecepatan glukosa yang diambil janin tergantung dari kadar gula darah ibu karena terputusnya hubungan plasenta dan janin menyebabkan terhentinya pemberian glukosa. Bayi berat lahir rendah dapat mempertahankan kadar gula darah selama 72 jam pertama dalam kadar 40 mg/dl. Hal ini disebabkan cadangan glikogen yang belum mencukupi. Keadaan hipotermi juga dapat menyebabkan hipoglikemi karena stress dingin akan direspon bayi dengan melepaskan noreepinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi paru. Efektifitas ventilasi paru menurun sehingga kadar oksigen darah berkurang. Hal ini menghambat metabolisme glukosa dan menimbulkan glikolisis anaerob yang berakibat pada penghilangan glikogen lebih banyak sehingga terjadi hipoglikemi. Nutrisi yang tak adekuat dapat
13 menyebabkan pemasukan kalori yang rendah juga dapat memicu timbulnya hipoglikemi.
2.1.2 Kepatuhan 1. Kepatuhan Kepatuhan adalah ketaatan seseorang dalam melaksanakan suatu perintah perawatan, pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh perawat, dokter atau tenaga kesehatan lainnya (Smeth, 2005). Perilaku kepatuhan bersifat sementara karena perilaku akan bertahan apabila ada pengawasan.bila kurang ada pengawasan maka akan timbul perilaku ketidakpatuhan. Perilaku kepatuhan ini dapat dicapai jika pengawas merupakan orang yang dapat dipercaya dan dapat memberikan motivasi (Purwanto, 2006). 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kepatuhan Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku untuk patuh adalah : (Niven, 2008) a. Faktor internal 1) Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan terjadi seseorang telah melakukan penginderaan terhadap suatu objek. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba (Notoatmodjo, 2010). Oleh karena itu pengetahuan menuntut adanya kesadaran obyek yang diketahui.
14 Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat dalam waktu yang lama, sebelum orang mengadopsi perilaku baru tersebut. 2) Sikap Sikap adalah bentuk suatu perasaan yang mendukung ( favourable ) dan perasaan yang tidak mendukung ( unfavourable ) pada obyek. Sikap berupa kesiapan untuk bereaki pada obyek tertentu. Sikap adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus. Stimulus merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. b. Faktor eksternal a) Karakteristik Organisasi Keadaan dari organisasi dan struktur organisasi ditentukan oleh filosofi dari manajer organisasi. Keadaan organisasi dan struktur organisasi akan memotivasi atau gagal memotivasi perawat profesional untuk berpartisipasi pada tingkatan yang konsisten sesuai dengan tujuan. Bahwa karakteristik organisasi meliputi komitmen organisasi dan hubungan antara teman sekerja dan supervisor yang akan berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan perilaku individu (Walgito, 2004). b) Karakteristik Kelompok Karakteristik kelompok adalah unit komunitas yang terdiri dari dua orang atau lebih yang memiliki suatu kesatuan tujuan dan pemikiran serta integritas antar anggota yang kuat.
15 c) Karakteristik Pekerjaan Karakteristik pekerjaan akan memberikan motivasi bagi karyawan untuk lebih bekerja dengan giat dan untuk menumbuhkan semangat kerja yang lebih produktif. Karakteristik pekerjaan adalah proses membuat pekerjaan akan lebih berarti, menarik dan menantang sehingga dapat mencegah seseorang dari kebosanan dan aktivitas pekerjaan yang monoton sehingga pekerjaan terlihat lebih bervariasi. d) Karakteristik Lingkungan Perawat harus bekerja dalam lingkungan yang terbatas dan berinteraksi secara konstan dengan staf lain, pengunjung, dan tenaga kesehatan lain. Kondisi seperti ini yang dapat menurunkan motivasi perawat terhadap pekerjaannya, dapat menyebabkan stress, dan menimbulkan kepenatan. 3. Pengukuran kepatuhan Pengukuran kepatuhan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden. Kedalaman tingkat kepatuhan yang ingin diketahui atau diukur dapat disesuaikan dengan tingkatan dari kepatuhan tersebut. Tingkat kepatuhan seseorang dapat diketahui dan diinterpretasikan dengan skala yang bersifat kuantitatif, yaitu: (Natasia, 2014) 1) Patuh
: bila (x) ≥ 50% dari nilai skor total
2) Kurang patuh : bila < 50% dari nilai skor total
16 3.1.3 Pengetahuan 1. Pengertian Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan
penginderaan
terhadap
suatu
obyek
tertentu,
penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2010). 2. Tingkat Pengetahuan Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang penting bagi terbentuknya perilaku seseorang. Pengetahuan yang mencakup domain kognitif mencakup 6 tingkatan: (Notoatmodjo, 2010) a. Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya termasuk dalam tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. b. Memahami (Comprehension) Memahami
diartikan
sebagai
suatu
kemampuan
untuk
menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat intrepretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap suatu obyek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebut
17 contoh, menyimpulkan dan meramalkan terhadap suatu obyek yang telah dipelajari. c. Aplikasi (Aplication) Aplikasi
diartikan
sebagai
suatu
kemampuan
untuk
menggunakan materi yang telah dipelajari dalam keadaaan yang nyata. Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai penggunaan hukum-hukum, rumus, metode dan prinsip dalam kontek dan situasi lain. d. Analisis (analyisis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi suatu obyek kedalam suatu struktur obyek kedalam komponenkomponen, tetapi masih dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu dengan yang lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat
dari
penggunaan
kata
kerja
seperti:
menggambarkan,
membedakan, memisahkan, mengelom-pokkan dan sebagainya. e. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjukkan pada satu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan
bagian-bagian
di
dalam
suatu
bentuk
keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada. f. Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian lain terhadap suatru obyek atau penilaian
18 terhadap suatu obyek atau materi. Penilain ini ditentukan oleh kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang telah ada. Tingkat
pengetahuan
seseorang
erat
hubungannya
dengan
pendidikan yang telah diperolehnya. Dalam arti luas pendidikan mencakup proses
kehidupan
dan segala
bentuk
interaksi individu
dengan
lingkungannya, baik secara formal maupun informal. Apabila seseorang mempunyai pendidikan lebih tinggi maka dirinya akan lebih mudah dalam mengetahui, mengerti dan memahami. Kemampuan mengetahui sesuatu dipengaruhi oleh kemampuan belajar dan daya ingat. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden (Sukanto, 2005). 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (Over behavior) perilaku yang didasari pengetahuan bersifat langgeng. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan (Soekanto, 2005) yaitu : a.
Tingkat pendidikan, pendidikan adalah upaya untuk memberikan pengetahuan sehingga terjadi perubahan perilaku positif yang meningkat.
b. Informasi, seseorang mempunyai sumber informasi lebih mempunyai pengetahuan lebih luas
akan
19 c.
Budaya, tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhan yang meliputi sikap dan kepercayaan.
d. Pengalaman, sesuatu yang pernah dialami seseorang akan menambah pengetahuan tentang sesuatu yang bersifat informal. e.
Sosial ekonomi, tingkat kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Semakin tinggi tingkat sosial ekonomi akan menambah tingkat pengetahuan, hal ini disebabkan oleh sarana prasarana serta biaya yang dimiliki untuk mencari ilmu pengetahuan terpenuhi.
4. Pengukuran Tingkat Pengetahuan Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat disesuaikan dengan tingkatan domain di atas (Notoatmodjo, 2010). Tingkat pengetahuan seseorang dapat diketahui dan diinterpretasikan dengan skala yang bersifat kuantitatif, yaitu: (Riwidikdo, 2010) 1) Pengetahuan Tinggi : bila (x) > mean + 1 SD 2) Pengetahuan Sedang : bila mean – 1 SD ≤ x ≤ mean + 1 SD 3) Pengetahuan Rendah : bila (x) < mean - 1 SD.
20 3.1.4 Standar Prosedur Operasional (SPO) Pemasangan Infus 1. Konsep Dasar Therapi Intravena (Infus) a. Pengertian Terapi intravena/Pungsi vena adalah sebuah teknik yang digunakan
untuk
memungsi
vena
secara
transkutan
dengan
menggunakan jarum (pemflon) yang tajam (jarum kupu-kupu atau jarum logam) yang sebagian dilapisi oleh kateter plastik atau dengan. jarum yang dipasangkan ke spuit (Perry dan Potter, 2005). Terapi intravena adalah bagian terpenting dari sebagian terapi yang diberikan di rumah sakit, dan merupakan prosedur umum yang diberikan kepada pasien yang membutuhkan akses vaskuler (Gabriel, 2010). Hal ini berarti terapi intravena merupakan suatu tindakan pemberian cairan atau obat ke dalam tubuh melalui pembuluh darah vena dengan menggunakan jarum logam atau jarum kupu-kupu. b. Ukuran, lamanya penggunaan jarum, dan daerah pemasangan infus Menurut Perry dan Potter (2005) ukuran jarum infus yang biasa digunakan adalah : 1) Untuk orang dewasa : 18 sampai 22-G 2) Untuk anak-anak : 23 sampai 25-G 3) Untuk bayi : Wings needle (jarum kupu-kupu) Lamanya penggunaan jarum infus menurut Kartono dalam Yansyah (2004) harus diganti paling sedikit setiap 24 jam, ganti lokasi vena yang ditusuk jarum therapi intravena setiap 48 Jam. Secara
21 teknis, lamanya penggunaan jarum kateter intravena (IV) tetap steril selama 48 sampai dengan 72 jam, disamping itu juga teknik ini lebih menghemat biaya dan tidak meningkatkan resiko infeksi. Adapun daerah penusukan therapi intravena (pemasangan infus) yang sering digunakan dan sangat efektif. Vena supervisial atau periferkutan yang terletak di dalam fasia subcutan dan merupakan akses paling mudah untuk terapi intravena. Daerah tempat infus yang memungkinkan adalah permukaan dorsal tangan (vena supervival dorsalis, vena basalika, dan vena sefalika), lengan bagian dalam (vena bosalika, vena sefalika, vena kubital median, vena median lengan bawah, dan vena radialis), permukaan dorsal (vena safena margna, ramus dorsalis). Vena kulit kepala (biasanya vena yang terletak di frontal, daerah tempotal, di atas atau di belakang telinga), sering digunakan pada anak umur kurang dari 2 tahun dan tebaik pada bayi muda (Perry dan Potter, 2005). 2. Prosedur Pemasangan Infus Prosedur pemasangan therapi intravena menurut Perry dan Potter (2005) dapat dikemukakan sebagai berikut : 1) Informed Concent 2) Persiapan Alat Dalam melakukan pemasangan infus dibutuhkan alat dan bahan yang sebelumnya harus dipersiapkan terlebih dahulu. (1). Sarung tangan nonsteril. (2). Kateter plastik yang menyelubungi jarum (jarum infus).
22 (3). Larutan IV untuk cairan. (4). Papan lengan (pilihan). (5). Slang infus. (6). Tiang IV (yang diletakkan di tempat tidur atau berdiri sendiri dengan roda) atau pompa IV. (7). Paket atau perlengkapan pemasangan IV, termasuk torniket (atau manset tekanan darah); plester-dengan lebar 2,5 cm (atau lebar plester 5 cm), potong); kapas alkohol (atau antiseptik yang telah direkomendasikan oleh institusi, seperti povidone); balutan kasa berukuran 5x5 cm; plester perekat ; label perekat. (8). Gunting dan sabun (opsional). (9). Handuk atau penglindung linen. 3) Persiapan Penolong a) Cuci tangan dengan sabun pada air mengalir dan keringkan dengan handuk/tissue/alat pengering b) Pasang sarung tangan 4) Pelaksanaan Tindakan a) Letakkan alat-alat disamping pasien lalu pengalas dibawah lokasi penusukan b) Pasang turniket sehingga vena tampak jelas c) Menghapushamakan kulit dengan cara memutar searah jarum jam dari dalam keluar dan lanjutkan dengan menghapus satu kali dari bagian atas ke bawah. d) Ibu jari dan telunjuk kanan memegang jarum infus, tangan kiri menyangga bagian akan ditusuk dengan posisi ibu jari dan telunjuk mengfikasasi vena yang akan ditusuk, tiga jari lainnya bagian bawah.
23 e) Tusukan ujung jarum dengan lubang mengarah ke atas dengan sudut 30 - 40 derajat, bila ujung jarum memasuki lumen vena maka darah akan. keluar melalui vena yang ditusuk f) Turniket dilonggarkan, selang kateter disejajarkan dengan jalan vena, dorong hingga kateter melewati tusukkan vena sambil ditarik sedikit kemudian dikeluarkan dengan cara tan an kiri menekan pangkal kateter untuk menekan darah tidak keluar dari posisi tangan sedikit pleksi. g) Sambungkan pangkal kateter dengan selang infus, lalu buka pengatur tetesan secara perlahan-lahan. h) Tutup pangkal tusukan dengan kasa steril yang telah diberi betadine kemudian fiksasi dengan plaster. i) Atur dan hitung tetesan sesuai kebutuhan pasien (8 tetes/menit, 10 tetes/menit, kocor atau asnet). j) Memasang bidai bila diperlukan k) Pasang kertas grafik pada botol infus l) Merapikan pasien kemudian alat-alat dibereskan m) Cuci tangan setelah tindakan Adapun Standar Operasional Prosedur (SOP) pemasangan infus menurut RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri (2014) adalah : 1) Cuci tangan Dalam melakukan tindakan perawat diharuskan mecuci tangan baik sebelum dan sesudah melakukan tindakan.
24 2) Dekatkan alat Peralatan yang dibutuhkan didekatkan agar mudah dijangkau dalam saat melakukan pemasangan infus. 3) Jelaskan kepada pasien dan keluarga tentang prosedur pemasangan infus dan efek samping setelah dipasang infus. Didalam melaksankan tindakan sebelum memasang infus perawat memberikan informasi pada pasien dan keluarga tentang maksud dan tujuan dipasang infus. 4) Atur posisi pasien Memberikan kenyamanan posisi pada pasien dan memudahkan perawat dalam menentukan vena sebelum dilakukan pemasangan infus. 5) Siapkan cairan, menyambung botol cairan dengan selang infus dan gantungkan pada standar infuse. Menyiapkan cairan sesuai dengan terapi dan menghilangkan udara yang ada didalam selang infus. 6) Menentukan area vena yang akan ditusuk Perawat
sebelum
menusukkan
kateter
ke
dalam
vena
harus
mempertimbangkan ukuran vena dengan ukuran kateter yang digunakan. 7) Pasang alas Pengalas yang diletakan dibawah tangan pasien dengan tujuan memberikan kenyamanan pasien dan menghindari kotoran (darah, cairan) yang tumpah tidak mengenai sprai atau pakaian pasien. 8) Pasang tourniket pembendung ± 15 cm diatas vena yang akan ditusuk Tindakan ini dilakukan dengan tujuan mempermudah vena kelihatan membesar dan tidak bergeser sebelum tusuk dengan kateter.
25 9) Pakai sarung tangan Bagian dari alat pelindung diri perawat dan mengurangi proses penularan infeksi. 10) Desinfeksi area yang akan ditusuk dengan diameter 5-10 cm Membersihkan area yang akan ditusuk dengan cairan disinfektan dengan tujuan mengurangi terjadinya infeksi. 11) Tusukan IV catheter ke vena dengan jarum menghadap ke jantung Mengarahkan jarum kateter keatas agar jarum keteter tajam masuk kedalam vena. 12) Pastikan jarum IV masuk ke vena Memastikan jarum keteter masuk kedalam vena dengan cara menarik mandrain atau jarum keluar disertai darah yang keluar lewat kateter hal ini menunjukan bahwa kateter intravena sudah masuk. 13) Sambungkan jarum IV dengan selang infus Menyambungkan selang infus yang telah disiapkan dengan kateter yang telah masuk kedalam vena. 14) Lakukan fiksasi ujung jarum IV ditempat insersi Mengikat kateter dengan hepafix atau plaster bertujuan untuk tidak lepas ataupun bergeser dari vena. 15) Tutup area insersi dengan kasa kering kemudian plester Menutup kateter dengan kassa steril untuk mengurangi bakteri masuk kedalam tempat penusukan.
26 16) Atur tetesan infus sesuai program medis Mengatur tetesan infus sesuai dengan kebutuhan. 17) Lepas sarung tangan Melepas sarung tangan yang infekius kedalam tempat infeksius yang telah disediakan. 18) Pasang label pelaksanaan tindakan yang berisi: nama pelaksana, tanggal dan jam pelaksanaan. Memberikan informasi tanggal berikutnya penggantian infus kepada team sejawat (perawat). 19) Bereskan alat. Membersihakan
peralatan
yang
telah
digunakan
dan
dilakukan
strerilisasi. 20) Cuci tangan. Mencuci tangan setelah melakuakan tindakan untuk mengurangi penularan infeksi. 21) Observasi dan evaluasi respon pasien, catat pada dokumentasi keperawatan. Mengawasi dan mengkaji keluhan pasien setelah dipasang infus dan melihat tanda tanda phlebitis.
3.1.5 Phlebitis 1. Pengertian Phlebitis adalah peradangan pada tunika intima vena yang terjadi karena komplikasi pemberian terapi intra vena ( IV) yang di tandai dengan
27 bengkak, kemerahan sepanjang vena, nyeri, peningkatan suhu pada daerah insersi kanula dan penurunan kecepatan tetesan infus (Smeltzer dan Bare, 2005). Phlebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena. Insiden plebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena. Komplikasi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama PH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula dimasukkan. Pemasangan jalur IV yang tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme pada saat penusukan (Brunner dan Sudarth, 2005). Menurut Infusion Nursing Society (INS, 2006) phlebitis merupakan peradangan pada tunika intima pembuluh darah vena, yang sering dilaporkan sebagai komplikasi pemberian terapi infus. Peradangan didapatkan dari mekanisme iritasi yang terjadi pada endhothelium tunika intima vena, dan perlekatan tombosit pada area tersebut. 2. Tanda dan gejala phlebitis Pasien yang dipasang infus dapat dikatakan mengalami flebitis jika pada daerah sekitar tempat penusukan kanula ditemukan tanda-tanda berikut: (INS/Infusion Nursing Society, 2006.) a. Rubor (Hyperemia) Kemerahan atau rubor biasanya merupakan kejadian pertama yang ditemukan di daerah yang mengalami peradangan. Pada reaksi peradangan arteriola yang mensuplai darah tersebut mengalami
28 pelebaran sehingga darah yang mengalir ke mikrosirkulasi lokal lebih banyak. b. Kalor (Hipertermi) Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan pada reaksi peradangan. Daerah sekitar peradangan menjadi lebih panas, karena darah yang disalurkan ke daerah tersebut lebih besar dibandingkan daerah lainnya yang normal c. Tumor (Oedem) Pembengkakan lokal terjadi karena pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi ke jaringan intrerstitiel, campuran antara sel yang tertimbun didaerah peradangan disebut eksudat. Pada keadaan ini reaksi peradangan eksudatnya adalah cairan d. Nyeri (Dolor) Rasa nyeri pada daerah peradangan dapat disebabkan oleh perubahan pH lokal ataupun konsentrasi ion-ion tertentu yang merangsang ujung saraf selain itu juga pembengkakan yang terjadi dapat juga menyebabkan peningkatan tekanan lokal yang dapat merangsang sakit. 3. Penyebab plebitis Penyebab plebitis yang dinyatakan oleh Workman (1999) terbagi atas 3 yaitu: (Pujasari, 2007). a. Iritasi kimia Biasanya iritasi ini bersumber dari cairan intravena atau obat-obatan yang digunakan umumnya cairan tersebut memiliki pH rendah dengan
29 osmolaritas tinggi, sebagai contoh adalah cairan dextrose hipertonik atau cairan yang mengandung kalium klorida. b. Iritasi fisik Terjadi karena faktor bahan kanul yang digunakan berdiameter besar, sehingga mempermudah pecahnya pembuluh darah flebitis dapat pula terjadi jika pemasangan tidak pada tempat yang baik, misalnya siku atau pergelangan tangan. c. Iritasi mekanik Misalnya fiksasi kurang baik sehingga menyebabkan kanul ber-gerakgerak dalam pembuluh darah dan menyebabkan iritasi pada pembuluh darah. Banyak hal yang dapat menyebabkan flebitis antara lain tindakan pembersihan yang akan dilakukan penusukan kateter intravena kurang baik dan juga adanya bakteri. Boker dan Ignaticus (1996) menyimpulkan bahwa bakteri-bakteri yang terdapat pada kulit yang mempunyai potensi menyebabkan flebitis adalah staphylococcus apidernidis dan staphylococcus aureus. 4. Skala Phlebitis Ada beberapa standar yang bisa digunakan untuk mengukur tingkat keparahan flebitis (Pujasari, 2007). a. Menurut Lai (1998), tingkat keparahan flebitis diidentifikasi sebagai berikut: Skala 0
: Tidak kemerahan, tidak nyeri, tidak terjadi pembengkakan lokal, tidak hangat dan tidak indurasi.
30 Skala 1
: Terjadi kemerahan, tidak nyeri, tidak terjadi pembengkakan lokal, tidak hangat dan tidak indurasi.
Skala 2
: Terjadi kemerahan, nyeri, terjadi pembengkakan lokal, tidak hangat dan tidak indurasi
Skala 3
: Terjadi kemerahan, nyeri, terjadi pembengkakan lokal, terasa hangat dan indurasi kurang dari 7 cm.
Skala 4
: Terjadi kemerahan, nyeri, terjadi pembengkakan lokal, terasa hangat dan indurasi lebih atau sama dengan 7 cm.
b. Skala phlebitis Menurut Intravenous Nurses Society (INS. 2006) keparahan flebitis diidentifikasi sebagai berikut : Skala 0 : Tidak nyeri, tidak kemerahan, tidak edema, tidak hangat dan tidak terjadi pembengkakan lokal Skala 1 : Terasa nyeri, kemerahan, tidak hangat, tidak terjadi pembengkakan lokal dan mungkin bisa terjadi edema atau tidak terjadi edema. Skala 2 : Terasa
nyeri,
kemerahan,
hangat,
tidak
terjadi
pembengkakan lokal dan mungkin bisa terjadi edema atau tidak terjadi edema Skala 3 : Terasa nyeri, kemerahan, hangat, terjadi pembengkakan lokal dan mungkin bisa terjadi edema atau tidak edema 5. Tindakan Pencegahan Phlebitis Kejadian phlebitis merupakan hal yang masih lazim terjadi pada pemberian terapi cairan baik terapi rumatan cairan, pemberian obat
31 melalui intravena maupun pemberian nutrisi parenteral. Oleh karena itu sangat diperlukan pengetahuan tentang faktor–faktor yang berperan dalam kejadian phlebitis serta pemantauan yang ketat untuk mencegah dan mengatasi kejadian phlebitis. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya phlebitis yang telah disepakati oleh para ahli, antara lain : (Nassaji dan Ghorbani, 2007) a. Mencegah phlebitis bakterial Pedoman yang lazim dianjurkan adalah menekankan pada kebersihan tangan, tehnik aseptik, perawatan daerah infus serta antisepsis kulit. Untuk
pemilihan
larutan
antisepsis,
CDC
merekomendasikan
penggunaan chlorhexedine 2%, akan tetapi penggunaan tincture yodium, iodofor atau alcohol 70 % bisa digunakan. b. Selalu waspada dan tindakan aseptic. Selalu berprinsip aseptic setiap tindakan yang memberikan manipulasi pada daerah infus. Studi melaporkan Stopcock (yang digunakan sebagai
jalan
pemberian
obat,
pemberian
cairan
infus
atau
pengambilan sampel darah ) merupakan jalan masuk kuman. c. Rotasi katheter Pemberian Perifer Parenteral Nutrition (PPN), di mana mengganti tempat (rotasi) kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada 15 pasien menyebabkan bebas flebitis. Namun, dalam uji kontrol acak yang dipublikasi baru-baru ini oleh Webster dkk disimpulkan bahwa kateter bisa dibiarkan aman di tempatnya lebih dari 72 jam jika tidak
32 ada kontraindikasi. The Centers for Disease Control and Prevention menganjurkan penggantian kateter setiap 72-96 jam untuk membatasi potensi infeksi. c. Aseptic dressing INS merekomendasikan untuk penggunaan balutan yang transparan sehingga
mudah
untuk
melakukan
pengawasan
tanpa
harus
memanipulasinya. Penggunaan balutan konvensional masih bisa dilakukan, tetapi kassa steril harus diganti tiap 24 jam. d. Kecepatan pemberian Para ahli umumnya sepakat bahwa makin lambat infus larutan hipertonik diberikan makin rendah risiko flebitis. Namun, ada paradigma berbeda untuk pemberian infus obat injeksi dengan osmolaritas tinggi. Osmolaritas boleh mencapai 1000 mOsm/L jika durasi hanya beberapa jam. Durasi sebaiknya kurang dari tiga jam untuk mengurangi waktu kontak campuran yang iritatif dengan dinding vena. Ini membutuhkan kecepatan pemberian tinggi (150 – 330 mL/jam). Vena perifer yang paling besar dan kateter yang sekecil dan sependek mungkin dianjurkan untuk mencapai laju infus yang diinginkan, dengan filter 0.45mm. Katheter harus diangkat bila terlihat tanda dini nyeri atau kemerahan. Infus relatif cepat ini lebih relevan dalam pemberian infus sebagai jalan masuk obat, bukan terapi cairan maintenance atau nutrisi parenteral.
33 e. Titrable acidity Titratable acidity mengukur jumlah alkali yang dibutuhkan untuk menetralkan pH larutan infus. Potensi phlebitis dari larutan infus tidak bisa ditaksir hanya berdasarkan pH atau titrable acidity sendiri. Bahkan pada pH 4.0, larutan glukosa 10% jarang menyebabkan perubahan karena titrable acidity nya sangat rendah (0.16 mEq/L). Dengan demikian makin rendah titrable acidity larutan infus makin rendah risiko phlebitisnya. f. Heparin dan hidrokortison Heparin sodium, bila ditambahkan ke cairan infus sampai kadar akhir 1 unit/mL, mengurangi masalah dan menambah waktu pasang katheter. Risiko phlebitis yang berhubungan dengan pemberian cairan tertentu (misal, kalium klorida, lidocaine, dan antimikrobial) juga dapat dikurangi dengan pemberian aditif IV tertentu, seperti hidrokortison. Pada uji klinis dengan pasien penyakit koroner, hidrokortison secara bermakna mengurangi kekerapan phlebitis pada vena yg diinfus lidokain, kalium klorida atau antimikrobial. Pada dua uji acak lain, heparin
sendiri atau
dikombinasi
dengan
hidrokortison
telah
mengurangi kekerapan phlebitis, tetapi penggunaan heparin pada larutan yang mengandung lipid dapat disertai dengan pembentukan endapan kalsium.
34 2.2. Keaslian Penelitian Sejauh penelusuran yang dilakukan, belum pernah ditemukan pada penelitian yang sama, namun ada beberapa penelitian terdahulu yang dapat dijadikan acuan, hal ini dapat disajikan dalam tabel berikut : Tabel 2.1. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu No Nama Peneliti Judul Metode Hasil 1 Triwidiyatmi, Hubungan Jenis penelitian Ada hubungan yang kepatuhan perawat deskriptif kore- signifikan antara dkk (2013) dalam menjalan lasional dengan kepatuhan perawat SOP Pemasangan pendekatan dalam menalan SOP infus dengan crossectional. pemasangan infus dengan kejadian kejadian phlebitis. Alat analisis yang digunakan phlebitis. uji ch-square. 2 Muspita Kepatuhan Jenis penelitian Hasil penelitian menunperawat dalam kualitatif dengan jukkan seluruh perawat (2014) melaksanakan rancangan studi tidak patuh (100%) dalam melaksanakan standar prosedur kasus yang SPO pemasangan infus. operasional hasilnya disajiHasil wawancara pemasangan infus. kan secara mendalam menunjukkan deskriptif. bahwa komitmen, hubungan sosial, kelangkaan, resiprositas, validasi sosial dan otoritas terkait kepatuhan perawat belum terwujud dengan baik dalam hal pelaksanaan 1SPO pemasangan infus. 3 Ratnawati Hubungan antara Jenis penelitian Tidak ada hubungan tingkat pengetayang bermakna antara (2012) deskriptif huan perawat analitik dengan tingkat pengetahuan tentang patient perawat tentang pendekatan safety dengan patient safety dan crossectional. tindakan pemasaAlat analisis uji tindakan pemasangan ngan infus sesuai infus. chi-square. dengan SOP.
35 2.3. Kerangka Teori Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, maka dapat dibuat kerangka teori sebagai berikut:
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan: Internal: 1. Pengetahuan a. Pendidikan b. Informasi c. Budaya d. Pengalaman e. Sosial ekonomi
Patuh : Masalah teratasi
Pengetahuan tentang plebitis
Kepatuhan SPO pemasangan infus Tidak patuh
2. sikap
Plebitis
Eksternal: a. Karakteristik organisasi b. Karakeristik kelompok c. Karakteristik pekerjaan
Masalah pada BBLR : a. Ketidakstabilan suhu tubuh b. Gangguan pernafasan c. Imaturitas imunologis d. Gastrointestinal dan nutrisi e. Imaturitas hati f. hipoglikemi
Keterangan :
Dampak ketidakpatuhan : 1. Meningkatkan hari rawat 2. Menambah lama terapi 3. Meningkatkan tanggung jawab perawat 4. Resiko masalah kesehatan lain
: Tidak Diteliti : Diteliti
Gambar 2.1. Kerangka Teori Sumber: Notoatmodjo (2010), Proverawati dan Ismawati (2010), Noven (2008)
36 2.4. Kerangka Konsep Untuk memperjelas alur pemikiran secara jelas, maka dapat dibuat suatu kerangka konsep seperti tampak pada gambar berikut: Variabel Independen :
Variabel Dependen :
Pengetahuan perawat tentang Plebitis
Kepatuhan Melaksanakan SPO Pemasangan Infus
Gambar 2.2. Kerangka Konsep
2.5. Hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara dari penelitian, patokan duga atau dalil
sementara
yang
kebenarannya
akan
dibuktikan
dalam
penelitian
(Notoatmodjo, 2010). Hipotesis dalam penelitian ini adalah : Ho : Tidak ada hubungan antara pengetahuan perawat tentang plebitis dengan kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri. Ha : Ada hubungan antara pengetahuan perawat tentang plebitis dengan kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri.
37 BAB III METODE PENELITIAN
3.1.Jenis dan Rancangan Penelitian 3.1.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif korelasional, dengan menggunakan pendekatan case-control yaitu dengan melakukan pengukuran sesaat untuk mengetahui hubungan pengetahuan perawat tentang plebitis dengan kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri. Faktor risiko serta efek tersebut diukur menurut keadaan atau status pada waktu observasi, jadi tidak ada tindak lanjut (Setiadi, 2007). 3.1.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian dalam penelitian ini dapat disajikan dalam gambar berikut :
X1
X2 N=
Keterangan : X1
: Pengetahuan perawat tentang plebitis
X2
: Kepatuhan melaksanakan SPO pemasangan infus : Hubungan Gambar 3.1. Rancangan Penelitian 37
38 3.2. Populasi dan Sampel Penelitian 3.2.1.
Populasi Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian yang akan diteliti
(Setiadi, 2007). Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat yang bekerja di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri. Hasil studi pendahuluan pada bulan Juli 2015 yang dilakukan oleh peneliti didapatkan bahwa jumlah perawat sebanyak 18 orang. 3.2.2. Sampel Sampel adalah sebagian dari populasi yang diteliti (Suharsimi, 2006). Penentuan jumlah sampel ditentukan bahwa apabila subyeknya kurang 100 lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi (Arikunto, 2006). Kriteria sampel : 3.2.2.1. Kriteria Inklusi : 1. Semua perawat di ruang Perinatologi 2. Minimal berpendidikan D-3 3. Pengalaman bekerja minimal 2 tahun. 3.2.2.2. Kriteria Eksklusi : 1. Perawat yang sedang cuti 2. Perawat yang sedang sakit 3. Tidak bersedia menjadi responden
39 3.2.3. Teknik Sampling Dalam penelitian ini seluruh populasi dijadikan sampel, sehingga penelitian ini menggunakan teknik total sampling. Total sampling adalah teknik pengambilan sampel dengan melibatkan semua populasi yang ada (Arikunto, 2006). Adapun jumlah sampel ditetapkan sebanyak 18 orang. 3.3. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2015. Tempat penelitian dilakukan di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. 3.4. Variabel, Definisi Operasional, dan Skala Pengukuran Variabel yang diteliti dalam penelitian ini meliputi: 3.4.1.
Variabel bebas : Variabel bebas adalah variabel yang berpengaruh yang menyebabkan berubahnya nilai dari variabel terikat dan merupakan variabel bebas pada penelitian ini adalah pengetahuan perawat tentang plebitis.
3.4.2.
Variabel terikat : Variabel terikat adalah variabel yang diduga nilainya akan berubah karena pengaruh dari variabel bebas. Variabel terikatnya adalah kepatuhan perawat dalam melaksanakan Standar Prosedur Operasional (SPO) Pemasangan Infus.
Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
40 Tabel 3.1. Definisi Operasional Variabel. No Variabel Definisi Operasional 1
Tingkat Pengetahuan perawat tentang plebitis
Segala sesuatu yang diketahui perawat terhadap plebitis pada bayi BBLR (Berat Badan Lahir Rendah).
Alat Hasil Ukur Skala Ukur Kuesione 1. Tinggi : Ordinal r (x) > mean + 1 SD 2. Sedang mean – 1 SD ≤ x ≤ mean + 1 SD 3. Rendah (x) < mean - 1 SD
2
Kepatuhan perawat dalam pelaksanaan SPO
(Riwidikdo, 2009) Suatu hal yang Lembar 1. Patuh : dilakukan perawat observasi (x) ≥ 50% dalam melaksanakan perawatan, 2. Kurang patuh pengobatan dan (x) < 50% perilaku yang disarankan oleh perawat lain, (Natasia, 2014) dokter atau tenaga kesehatan lainnya berkaitan dengan pelaksanaan SPO pemasangan infus pada BBLR di ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri.
Ordinal
3.5. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan kuesioner, yaitu: 1. Kuesioner pengetahuan tentang plebitis Instrumen ini digunakan untuk alat pengumpul data dalam pengambilan data variabel pengetahuan yang tertuang dalam point pernyataan yang berjumlah 18 item. Kuesioner ini berbentuk closed question/pertanyaan
41 tertutup, dengan pilihan jawaban dikotomi choice yaitu : apabila pertanyaan bersifat favourable jawaban salah nilainya 0 dan benar nilainya 1, sebaliknya apabila bentuk pertanyaan bersifat unfavourable jawaban benar nilainya 0 dan jawaban salah nilainya 1 (Wawan dan Dewi, 2010). Instrumen ini diisi oleh perawat pelaksana yang bertugas di ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Adapun kisikisi kuesioner untuk pengetahuan perawat tentang plebitis dapat dilihat pada tabel 3.1. Tabel 3.2 Kisi-kisi Angket Variabel Pengetahuan tentang Plebitis No.
Indikator
1. 2.
Pengertian Plebitis Proses Infeksi
3. 4. 5.
Cuci tangan Kewaspadaan isolasi Pencegahan dan penanganan infeksi pada petugas kesehatan Dekontaminasi Disinfeksi dan sterilisasi Aseptik bedah
6. 7. 8.
Item No.
Jml. Item
1, 2 3, 4, 5, 6, 7, 8 9, 10 11, 12 13, 14, 15
2 4 2 2 2 3
16 17 18 Total Item
1 1 1 18
Pengetahuan tentang plebitis dibagi menjadi 3 kategori, sehingga untuk menentukan pembagian intervalnya menggunakan rumus: Interval =
Nilai Tertinggi − Nilai Terendah Jumlah Kategori
Interval =
18 − 1 =5 3
Berdasarkan ketentuan tersebut maka tingkat pengetahuan tentang plebitis dapat dikategorikan dengan batasan sebagai berikut : (Riwidikdo, 2009) 1
: Rendah jika nilai skor antara 1 – 6
( (x) < mean - 1 SD)
42 2
: Sedang jika nilai skor antara 7 – 12 ( mean–1 SD ≤ x ≤ mean+1SD)
3
: Tinggi jika nilai skor antara 13 – 18 ( (x) > mean + 1 SD)
2. Lembar observasi tentang kepatuhan perawat dalam pelaksanaan SPO Pemasangan Infus pada BBLR Kepatuhan perawat dalam pelaksanaan SPO Pemasangan Infus pada BBLR diisi oleh observer (peneliti dan kepala ruang) yang berbentuk closed question/pertanyaan tertutup, alat pengumpulan data untuk pengambilan data variabel kepatuhan melaksanakan SPO pemasangan infus yang tertuang dalam point pernyataan 1-21. Masing-masing jawaban dari
pernyataan
dinyatakan
dengan: “melakukan“ dan “tidak
melakukan“. (jika melakukan nlai 1 dan tidak melakukan nilai 0). Kepatuhan perawat dalam pelaksanaan SPO Pemasangan infus pada BBLR dibagi menjadi 2 kategori, sehingga untuk menentukan pembagian intervalnya menggunakan rumus: Interval =
Nilai Tertinggi − Nilai Terendah Jumlah Kategori
Interval =
21− 1 = 10 2
Berdasarkan
ketentuan
tersebut
maka
kepatuhan
perawat
dalam
pelaksanaan SPO Pemasangan Infus pada BBLR dapat dikategorikan dengan batasan sebagai berikut : (Natasia, 2014) 1
: Kurang patuh jika nilai skor antara
2
: Patuh jika nilai skor antara
1 – 10
(< 50%)
11 – 21
(≥ 50%)
43 3.6. Uji Validitas dan Reliabilitas 1. Uji Validitas Uji Validitas merupakan tingkat kemampuan suatu instrumen untuk mengungkapkan sesuatu yang menjadi sasaran pokok pengukuran yang dilakukan dengan instrumen tersebut (Sugiyono, 2008). Untuk mengetahui validitas tiap item dari instrumen dengan menggunakan perhitungan korelasi point biserial dari Sugiyono (2008). Adapun rumus korelasi point biserial adalah : rpbi =
ெିெ௧
r
= koefisien korelasi point biserial
ௌ௧
୮
ට୯
Mp = jumlah responden yang menjawab benar Mq = jumlah responden yang menjawab salah St
= standar deviasi untuk semua item
P
=proporsi responden yang menjawab benar
Q
= proporsi responden yang menjawab benar Bila koefisien korelasi untuk seluruh item telah dihitung, perlu
ditentukan angka terkecil yang dapat dianggap cukup “ tinggi ” sebagai indikator adanya konsistensi antara skor item dan skor keseluruhan. Dalam hal ini tidak ada batasan yang tegas. Prinsip utama pemilihan item dengan melihat koefisien korelasi adalah mencari harga koefisien yang setinggi mungkin dan menyingkirkan setiap item yang mempunyai korelasi negatif (-) atau koefisien yang mendekati nol (0,00). Menurut Friedenberg (1995) dalam Sugiyono (2008) biasanya dalam pengembangan dan penyusunan skala-skala psikologi, digunakan harga koefisien korelasi yang minimal sama dengan 0,30. Dengan demikian, semua item yang memiliki korelasi
44 kurang dari 0,30 dapat disisihkan dan item-item yang akan dimasukkan dalam alat test adalah item-item yang memiliki korelasi diatas 0,30 dengan pengertian semakin tinggi korelasi itu mendekati angka satu (1,00) maka semakin baik pula konsistensinya (validitasnya). 2. Uji Reliabilitas Uji Reliabilitas adalah suatu uji yang digunakan untuk menguji sejauh mana alat ukur relatif konsisten apabila pengukuran diulang dua kali atau lebih. Untuk menguji reliabilitas kuesioner dalam penelitian ini digunakan nilai koefisien alpha Cronbach. Rumus alpha cronbach yang digunakan adalah : 2 k ∑ Si − 1 r11 = St 2 k − 1
Keterangan : r11
=
nilai reliabilitas yang dicari
k
=
banyaknya item
Si2
=
Jumlah varian item
St2
=
Varian total
Setelah harga r11 diketahui, kemudian diinterpretasikan dengan indeks korelasi > 0,600 berarti reliabilitas tinggi (Ghozali, 2009). Uji validitas dan reliabilitas dalam penelitian ini tidak dilakukan karena instrumen yang berupa lembar kuesioner pengetahuan perawat tentang plebitis sudah pernah dilakukan oleh Supatmono (2013) dengan tingkat reliabilitas sebear 0,893, sedangkan untuk instrumen kepatuhan perawat dalam
45 pelaksanaan SPO menggunakan lembar observasi yaitu pelaksanaan SPO pemasangan infus.
3.7. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara : 1. Peneliti mengajukan surat permohonan ijin penelitian dari institusi kepada Direktur RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri. 2. Setelah mendapatkan surat persetujuan dari Direktur RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri, selanjutnya peneliti menentukan waktu penelitian. 3. Peneliti bertemu dan meminta bantuan kepada Kepala Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri atau perawat yang bertanggung jawab di tempat penelitian untuk mengumpulkan data dari perawat berkaitan dengan tingkat pengetahuan tentang plebitis dan kepatuhan perawat dalam pelaksanaan SPO. 4. Peneliti mengadakan pendekatan kepada calon responden dengan menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian kemudian responden yang bersedia menjadi responden menandatangani informed consent dan responden diberi lembar kuesioner berkaitan dengan pengetahuan tentang plebitis dan lembar observasi tentang kepatuhan perawat dalam pelaksanaan SPO Pemasangan infus pada BBLR. 5. Setelah responden mengisi lembar kuesioner dan lembar observasi telah diisi oleh observer, peneliti mengambil lembar kuesioner dan lembar
46 observasi tersebut untuk dikumpulkan dan dianalisis data dalam rangka mengetahui hasil penelitian. 3.8. Pengolahan dan Analisis Data 1. Pengolahan Data Data yang telah terkumpul dalam tahap pengumpulan data, perlu diolah dulu. Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan melalui suatu proses dengan tahapan sebagai berikut: a.
Editing Proses editing dilakukan untuk meneliti kembali apakah isian lembar kuesioner sudah lengkap atau belum. Editing dilakukan di tempat pengumpulan data, sehingga apabila ada kekurangan dapat segera di lengkapi.
b.
Coding Coding adalah usaha mengklasifikasi jawaban-jawaban/hasilhasil yang ada menurut macamnya. Klasifikasi dilakukan dengan jalan manandai masing-masing jawaban dengan kode berupa angka, kemudian
dimasukkan
dalam
lembaran
tabel
kerja
guna
mempermudah membacanya. Hal ini penting untuk dilakukan karena alat yang digunakan untuk analisa data dalam komputer yang memerlukan suatu kode tertentu. Hal ini penting untuk dilakukan karena alat yang digunakan untuk analisa data dalam komputer yang memerlukan suatu kode tertentu. Adapun kode yang dimaksud dalam penelitian ini adalah:
47 1) Karakteristik responden a) Umur
: - 21 - 30 tahun
= code 1
- 30 – 40 tahun
= code 2
- > 40 tahun
= code 3
b) Tingkat pendidikan : - D3-Keperawatan
= code 1
- S1-Keperawatan
= code 2
2) Pengetahuan
3) Kepatuhan Perawat
: - Rendah
= code 1
- Sedang
= code 2
- Tinggi
= code 3
: - Kurang patuh - Patuh
c.
= code 1 = code 2
Scoring Pemberian nilai pada masing-masing jawaban dari pertanyaan yang diberikan kepada responden sesuai dengan ketentuan penilaian yang telah ditentukan.
d.
Tabulating Kegiatan memasukkan data-data hasil penelitian ke dalam tabel-tabel sesuai kriteria sehingga didapatkan jumlah data sesuai dengan kuesioner 2. Analisis Data Data yang terkumpul kemudian diolah dengan tahapan perbaikan
data, pemberian kode, dan setelah itu dilakukan tabulasi. Analisis data dilakukan dengan analisis univariate dan bivariate (Notoatmodjo, 2010), sebagai berikut:
48 a. Analisis Univariate Analisis univariate dilakukan terhadap tiap-tiap variabel dan hasil penelitian yang meliputi karakteristik responden, pengetahuan perawat tentang plebitis dan kepatuhan perawat dalam pelaksanaan SPO pemasangan infus. Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian (Notoatmodjo, 2010). Analisis univariat dalam penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan tingkat pengetahuan perawat tentang plebitis dan kepatuhan perawat dalam pelaksanaan SPO pemasangan infus. Pada analisis univariat, data yang diperoleh dari hasil pengumpulan dapat disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi atau grafik, yaitu menyajikan data yang bersifat ordinal yaitu tingkat pengetahuan perawat tentang plebitis dan kepatuhan perawat dalam pelaksanaan SPO pemasangan infus. b. Analisis Bivariate Hasil pengukuran dari dua variabel yang diteliti dikumpulkan dan diolah dalam bentuk tabel maupun paparan. Data dengan sampel besar dilakukan uji hipotesis dengan menggunakan uji hipotesis dengan analisis Chi-Square (χ2) yaitu untuk mencari hubungan antar variabel dengan syarat datanya berbentuk ordinal dan ordinal dengan kriteria lebih dari satu, tidak ada sel yang kosong (0) serta nilai expected lebih dari 5% (Dahlan, 2014). Untuk menjawab hipotesa yang
49 telah dibuat, digunakan interpretasi nilai korelasi menurut Sugiyono (2008), adalah: 1) Bila hasil χ2hit < χ2tab atau nilai p > 0,05, artinya bahwa tidak ada hubungan
pengetahuan
tentang
plebitis
dengan
kepatuhan
melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. 2) Bila hasil χ2hit ≥ χ2tab atau nilai p < 0,05, artinya bahwa ada hubungan
pengetahuan
tentang
plebitis
dengan
kepatuhan
melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Setelah diketahui apakah ada hubungan signifikan atau tidak, maka perlu diketahui pula seberapa kekuatan hubungan tersebut, untuk itu maka dilakukan uji Coeficien Contingency (CC). Uji CC bertujuan untuk mengetahui seberapa besar ukuran kekuatan hubungan antar variabel tersebut (Dahlan, 2014).
3.9. Etika Penelitian Dalam melakukan penelitian, seorang peneliti harus menerapkan etika penelitian : (Hidayat, 2011) 1. Informed Consent (lembar persetujuan menjadi responden) Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed consent ini
50 diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberi lembar persetujuan untuk menjadi responden. Hal ini bertujuan agar responden mengerti maksud dan tujuan penelitian serta mengetahui dampak yang ditimbulkan. 2. Anonimity (tanpa nama) Identitas responden tidak perlu dicantumkan pada lembar pengumpulan data, cukup menggunakan kode pada masing-masing lembar pengumpulan data. 3. Confidentialty (kerahasiaan) Kerahasiaan informasi dari responden dijamin oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan disajikan atau dilaporkan pada hasil penelitian
51 BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Analisis Univariat 4.1.1 Karakteristik Responden Karakteristik responden dalam penelitian ini membahas tentang umur, jenis kelamin, pendidikan dan masa kerja pada perawat di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Hal ini dapat dikemukakan seperti tampak pada pembahasan berikut : 1. Umur Tabel 4.1. Karakteristik Responden menurut Umur Keterangan Mean Minimum Maximum STD Umur
33,3
26
49
6,16
Tabel 4.1. menunjukkan bahwa rata-rata umur responden 33 tahun dengan standar deviasi sebesar 6,16 tahun. 2. Jenis Kelamin Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Jenis Kelamin Jumlah (%) Laki-laki
0
0,0
Perempuan
18
100,0
Jumlah
18
100,0
Tabel 4.2. menunjukkan bahwa semua responden mempunyai jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 18 responden (100%).
51
52 3. Pendidikan akhir Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Pendidikan Akhir Pendidikan Jumlah (%) D-3 Keperawatan 16 88,9 S1-Keperawatan 2 11,1 Jumlah 18 100,0 Tabel 4.3. menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai tingkat pendidikan D-3 Keperawatan yaitu sebanyak 16 responden (88,9%). 4. Lama Bekerja Tabel 4.4. Karakteristik Responden menurut Lama Bekerja Keterangan Mean Minimum Maximum STD Lama Bekerja 8,78 4 21 4,47 Tabel 4.1. menunjukkan bahwa rata-rata lama bekerja responden 9 tahun dengan standar deviasi sebesar 4,47 tahun. 4.1.2 Tingkat Pengetahuan Hasil distribusi frekuensi tentang tingkat pengetahuan perawat tentang plebitis disajikan dalam tabel 4.5 berikut: Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi tentang Tingkat Pengetahuan Perawat tentang Plebitis Tingkat Pengetahuan Frekuensi Persentase (%) Rendah 0 0,0 Sedang 3 16,7 Tinggi 15 83,3 Jumlah 18 100,0 Sumber: Data primer yang diolah, 2015. Distribusi data tentang tingkat pengetahuan tentang plebitis pada perawat di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri sebagian besar mempunyai pengetahuan tinggi yaitu sebanyak 15 orang (83,3%).
53
4.1.3 Kepatuhan perawat Hasil distribusi frekuensi tentang kepatuhan perawat dalam melaksanakan Standar Prosedur Operasional (SPO) Pemasangan Infus dapat disajikan dalam tabel 4.6. Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi tentang Kepatuhan Perawat Kepatuhan Perawat Frekuensi Persentase (%) Kurang patuh 1 5,6 Patuh 17 94,4 Jumlah 18 100,0 Sumber: Data primer yang diolah, 2015. Distribusi data tentang kepatuhan perawat dalam melaksanakan Standar Prosedur Operasional (SPO) Pemasangan Infus sebagian besar mempunyai kepatuhan tergolong patuh yaitu sebanyak 17 orang (94,4%).
4.2 Analisis Bivariat Penelitian ini menggunakan uji Chi-Square (χ2) untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan perawat tentang plebitis dengan kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR. Berikut hasil analisis yang telah diuji yang tersajikan dalam tabel 4.7. Tabel 4.7 Hasil Crostab dan analisis Uji Chi-Square (χ2) Kepatuhan χ2hit p-value Kurang Patuh Total Patuh f 1 2 3 Tingkat Sedang % 33.3% 66.7% 100,0% Pengetahua f 0 15 15 5,294 0,021 n Tinggi % 0.0% 100.0% 100,0% f 1 17 18 Total % 5.6% 94.4% 100,0%
54 Hasil analisis Chi-square (χ2) diketahui bahwa nilai chi-square hitung sebesar 5,294 dengan nilai probabilitas 0,021 (p value < 0,05), artinya ada hubungan antara pengetahuan perawat tentang plebitis dengan kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Hal ini dapat dikatakan bahwa semakin tinggi dan meningkat pengetahuan yang dimiliki perawat maka semakin patuh dan meningkat pula kepatuhan perawat dalam melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri, adapun kekuatan hubungan tergolong hubungan yang sedang, karena nilai coeficient contingency (CC) = 0,477 yang berada diantara 0,26 - 0,50.
55 BAB V PEMBAHASAN
5.1 Hasil Analisis Univariat 5.1.1 Karakteristik Responden 1. Umur Penelitian menunjukkan bahwa rata-rata umur responden 33 tahun dengan standar deviasi sebesar 6,16 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa responden memiliki usia yang matang dalam berfikir dan bekerja atau masih dalam usia produktif. Sejalan dengan pendapat Nursalam (2007) bahwa semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Karena dengan bertambahnya umur seseorang maka kematangan dalam berpikir semakin baik sehingga akan termotivasi setiap melakukan pekerjaan dalam melayani pasien secara profesional. Hal
ini
sejalan
dengan
penelitan
yang
dilakukan
oleh
Triwidyawati (2013) bahwa sebagian besar perawat yang diteliti adalah usia 21-40 tahun, dengan usia yang masih muda tersebut dilihat dari pengalaman-pengalaman yang didapat dari tindakan SPO pemasangan infuse belum banyak dibandingkan dengan perawat yang sudah berusia lebih tua. Hal ini diungkapkan oleh Potter dan Perry (2005) bahwa usia akan mempengaruhi jiwa seseorang yang menerima untuk mengolah kembali pengertian-pengertian atau tanggapan, sehingga dapat dilihat bahwa semakin tinggi usia seseorang, maka proses pemikirannya untuk 55
56 bekerja melakukan tindakan di rumah sakit lebih matang. Biasanya orang muda pemikirannya radikal sedangkan orang dewasa lebih moderat. 2. Pendidikan Penelitian didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden mempunyai tingkat pendidikan Diploma yaitu sebanyak 16 (88,9%). Di samping itu, menurut hasil observasi diketahui bahwa syarat minimal saat ini sebagai syarat tenaga perawat profesional yang disyaratkan oleh rumah sakit minimal memiliki tingkat pendidikan D-3 Keperawatan. Tingkat pendidikan perawat dengan rasio akademik lebih banyak akan memudahkan dalam menerima serta mengembangkan pengetahuan dan teknologi. Hasil ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Purwadi dan Sofiana (2006) yang membuktikan bahwa perawat dengan pendidikan minimal Diploma (D3) dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi mempunyai efisiensi kerja dan penampilan kerja yang lebih baik dari pada perawat dengan pendidikan SPK. Oleh karena itu, pendidikan seseorang merupakan faktor yang penting sehingga kinerja dalam
memberikan
asuhan
keperawatan
kepada
perawat
pasien
agar
mendapatkan hasil yang maksimal. 3. Masa Kerja Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata masa kerja perawat adalah 9 tahun. Hal ini juga didukung hasil observasi bahwa sebagian besar responden mempunyai masa kerja kurang dari 10 tahun, namun
57 juga ada beberapa responden mempunyai masa kerja lebih dari 10 tahun. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Pamuji dkk (2008) bahwa hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden mempunyai masa kerja antara 1-5 tahun (61,5%). Pada awal bekerja, perawat memiliki kepuasan kerja yang lebih, dan semakin menurun seiring bertambahnya waktu secara bertahap lima atau delapan tahun dan meningkat kembali setelah masa lebih dari delapan tahun, dengan semakin lama seseorang dalam bekerja, akan semakin terampil dalam melaksanakan pekerjaan (Hariandja, 2008). Seseorang yang sudah lama mengabdi kepada organisasi memiliki tingkat kepuasan yang tinggi. Hal ini juga dinyatakan oleh Sastrohadiworjo (2005), bahwa semakin lama seseorang bekerja semakin banyak kasus yang ditanganinya sehingga semakin meningkat pengalamannya, sebaliknya semakin singkat orang bekerja maka semakin sedikit kasus yang ditanganinya. Pengalaman bekerja banyak memberikan kesadaran pada seseorang perawat untuk melakukan suatu tindakan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, hal ini ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Arfianti (2010) yang menyatakan pengalaman merupakan salah satu faktor dari kepatuhan.
5.1.2 Tingkat Pengetahuan Hasil penelitian tentang tingkat pengetahuan perawat diketahui bahwa sebagian besar mempunyai tingkat pengetahuan tinggi yaitu sebanyak 15 orang (83,3%). Pengetahuan responden tergolong tinggi
58 disebabkan oleh tingkat pendidikan yang dimiliki responden, berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa mayoritas responden berpendidikan D3Keperawatan dan ada juga yang mempunyai pendidikan S1-Keperawatan namun belum ada perawat yang mempunyai pendidikan profesi (Ners). Tingkat mempengaruhi pendidikan
pendidikan tingkat
seseorang
merupakan
salah
pengetahuan
perawat,
berhubungan
dengan
satu dalam
faktor
yang
kesehariannya,
kehidupan
sosial
dan
perilakunya. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka perilaku seseorang itu akan semakin baik, oleh sebab itu perawat yang memiliki tingkat pendidikan tinggi cenderung memiliki tingkat pengetahuan yang baik. Pengetahuan merupakan faktor penting dalam seseorang mengambil keputusan
namun
tidak
selamanya
pengetahuan
seseorang
bisa
menghindarkan dirinya dari kejadian yang tidak diinginkannya, misalnya perawat yang tingkat pengetahuannya baik tidak selamanya melaksanakan keselamatan pasien dengan baik karena segala tindakan yang akan dilakukan beresiko untuk terjadi kesalahan (Notoatmodjo, 2010). Lamanya responden bekerja juga dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan perawat. Dalam penelitian ini responden sebagian besar bekerja antara 5-10 tahun. Masa kerja adalah (lama kerja) adalah merupakan pengalaman individu yang akan menentukan pertumbuhan dalam pekerjaan dan jabatan. Masa kerja yang lama akan cenderung membuat seseorang betah dalam sebuah organisasi hal ini disebabkan karena telah beradaptasi dengan lingkungan yang cukup lama sehingga akan merasa nyaman dalam pekerjaannya (Saragih, 2009).
59 Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Trianiza (2014) yang menjelaskan bahwa perawat sebagian besar mempunyai pengetahuan baik (55%), dengan lama bekerja sebanyak 68 orang atau 94 % bekerja ≤ 10 tahun. Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Mada (2012) yang menjelaskan bahwa ratarata perawat memiliki pengetahuan yang tinggi tentang infeksi nosokomial. Hasil ini menunjukkan bahwa dengan latar belakang pendidikan yang didominasi oleh D-3 keperawatan, perawat tetap memiliki pengetahuan tentang infeksi nosokomial dalam kategori tinggi berkaitan dengan penerapan prinsip steril pada pemasangan infus yang dilakukan oleh perawat 5.1.2 Kepatuhan Perawat Hasil penelitian diketahui bahwa kepatuhan perawat dalam melaksanakan Standar Prosedur Operasional (SPO) Pemasangan Infus di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri sebagian besar patuh terhadap SPO pemasangan infus yaitu sebanyak 17 orang (94,4%). Hal ini disebabkan sebagian besar perawat melakukan pengkajian tentang pemasangan infus yang berdampak pada terjadinya plebitis pada pasien hanya berdasarkan usia, keterbatasan mobilisasi dan terpasangnya infus/iv ataupun kateter. Kepatuhan merupakan ketaatan seseorang pada tujuan yang telah ditetapkan. Kepatuhan merupakan masalah utama kedisiplinan dalam pelayanan perawatan di rumah sakit. Menurut Setyarini, dkk (2013), bahwa perawat yang sudah mendapatkan sosialisasi atau memahami terkait dengan pengkajian
60 pemasangan infus dan dampaknya terhadap plebitis cenderung lebih baik dalam melakukan pengkajian resiko jatuh dibandingkan dengan perawat yang belum memahami dan mendapat sosialisasi SPO pemasangan infus, selain itu umur juga mempengaruhi kepatuhan perawat dalam SPO pemasangan infus. Seseorang yang dikatakan senior lebih cenderung memiliki sikap yang kurang dalam pengkajian SPO pemasangan infus. Mereka lebih sering menggunakan penilaian berdasarkan ketergantungan pasien (Setyarini, dkk, 2013). Sebagaimana dijelaskan dalam suatu penelitian yang dilakukan Triwidyawati (2013) bahwa kepatuhan perawat dalam menjalan SOP pemasangan infus sebagian besar termasuk dalam kategori patuh (70,3%). Dijelaskan pula bahwa dalam pelayanan keperawatan, kepatuhan terhadap standar sangat membantu perawat untuk mencapai asuhan yang berkualitas, sehingga perawat dan bidan harus berpikir realitis tentang pentingnya evaluasi sistematis terhadap semua aspek asuhan yang berkualitas tinggi (Simamora, 2012). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pamuji, dkk (2014) yang meneliti tentang kepatuhan perawat melaksanakan standar prosedur operasional pelayanan keperawatan, hasil penelitian menyebutkan bahwa sebagian besar tingkat kepatuhan perawat dalam pelaksanaan SPO profesi pelayanan tergolong patuh yaitu 24 orang (92,3%) namun demikian masih adanya responden yang mempunyai tingkat kepatuhannya rendah, hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan
61 karena kurang adanya penyegaran maupun pelatihan. Selain itu juga akibat kurangnya perawat mengikuti berbagai seminar. Pelatihan dan seminar pada program pengembangan staf keperawatan sebagian besar pelatihan bersifat untuk peningkatan spiritual dan kepribadian. Sedangkan untuk pelatihan dan penyegaran tentang standar prosedur operasional pelayanan keperawatan belum pernah dilakukan. Namun demikian, penelitan ini kurang didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Muspita (2014) yang meneliti tentang kepatuhan perawat dalam melaksanakan standar operasional prosedur pemasangan infus, hasil penelitian menjelaskan bahwa kepatuhan perawat terhadap SPO pemasangan infus diperoleh 42 orang kategori tidak patuh (100%). Berdasarkan SPO Pemasangan Infus di rumah sakit, terdapat beberapa poin yang tidak sesuai dengan Peripheral Intravenous Catheter Guideline (2013), poin-poin yang terdapat pada Guideline namun tidak terdapat pada SPO pemasangan infus di rumah sakit yaitu diantaranya pendokumentasian yang lebih terperinci mengenai tanggal dan jam pemasangan infus, termasuk tipe kateter intravena, lokasi anatomi penusukan, cairan desinfektan/ antiseptik yang digunakan dan nama operator.
5.2 Hasil Analisis Bivariat Hasil penelitian diketahui sebagian besar responden mempunyai tingkat pengetahuan tinggi dengan kepatuhan tergolong patuh yaitu sebanyak 15 orang (83,3%), dan hasil analisis Chi-Square (χ2) diketahui nilainya sebesar 5,294 dengan nilai probabilitas 0,021 (p value < 0,05), sehingga Ha
62 diterima dan Ho ditolak, artinya bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan perawat tentang plebitis dengan kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Hal ini dapat dikatakan bahwa semakin tinggi dan meningkat pengetahuan yang dimiliki perawat maka semakin patuh perawat dalam melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri, adapun kekuatan hubungan tergolong hubungan yang sedang, karena nilai coeficient contingency (CC) = 0,477 yang berada diantara 0,26 0,50. Hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan perawat dalam pelaksanaan Standar Prosedur Operasional dalam melaksanakan pemasangan infus dapat diasumsikan bahwa seseorang yang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi cenderung lebih baik dalam melakukan pengkajian pemasangan infus dan kejadian plebitis lebih baik dibandingkan dengan perawat yang memiliki tingkat pengetahuan rendah. Pengetahuan yang baik sebagian besar dimiliki oleh perawat berpendidikan sarjana dibandingkan D3. Tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mempermudah seseorang dalam melakukan sesuatu (Pamuji I, dkk, 2008). Depkes RI (2008) menjelaskan bahwa kepatuhan dalam melaksanakan SPO pengkajian pemasangan infus dan kejadian plebitis. Pengetahuan perawat yang baik akan mempengaruhi tingkat kepatuhan perawat sehingga mengurangi resiko komplikasi pada pasien. Pengkajian pemasangan infus dan
63 kejadian plebitis ini telah dapat dilaksanakan sejak pasien mulai mendaftar, yaitu dengan menggunakan skala jatuh. Pengalaman, pengetahuan dan sumber informasi merupakan hal yang mempengaruhi kejelian perawat dalam melakukan pengkajian pemasangan infus kejadian plebitis. Sumber informasi di sini didapat dalam pelatihan–pelatihan, seminar ataupun workshop tentang resiko jatuh pasien. Dalam pelatihan-pelatihan perawat dibekali ilmu, skill dan pengalaman terkait pasien safety (Anwar, 2012). Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Triwidyawati (2013) yang menyimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kepatuhan perawat dalam menjalankan SPO pemasangan infus dengan kejadian plebitis. Hasil penelitian lain yang juga memperkuat hasil penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Mada, dkk (2012), yang menjelaskan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan perawat tentang infeksi nosokomial dengan penerapan prinsip steril pada pemasangan infus di RS Kristen Lende Moripa, Sumba Barat. Penelitian lain yang dilakukan oleh Wayunah (2012) yang menjelaskan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan perawat tentang terapi infus dengan kejadian plebitis (p<0.01), dan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan perawat tentang terapi infus dengan kenyamanan (p<0.01).
64 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Karakteristik responden diketahui sebagian besar rata-rata umur 33 tahun, berjenis kelamin perempuan (100%), berpendidikan D-3 Keperawatan (88,9%), dan rata-rata lama bekerja 9 tahun. 2. Sebagian besar perawat mempunyai tingkat pengetahuan tentang plebitis tergolong tinggi yaitu sebanyak 15 orang (83,3%). 3. Sebagian besar perawat mempunyai kepatuhan dalam pelaksanaan SPO pemasangan infus tergolong patuh yaitu sebanyak 17 orang (94,4%). 4. Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara hubungan antara pengetahuan perawat tentang plebitis dengan kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri (p-value = 0,021), adapun tingkat hubungan tergolong sedang (C = 0,447).
B. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan beberapa saran : 1. Bagi Rumah Sakit Diharapkan untuk dilakukannya sosialisasi kepada seluruh perawat yang berkaitan dengan pengkajian pemasangan infus dan plebitis dan 64
65 bagaimana cara pengisian menggunakan form SPO pemasangan infus serta menetukan intepretasi secara benar. 2. Bagi Institusi Pendidikan Diharapkan dapat mempergunakan sebagai bahan acuan dalam menentukan kebijakan dalam menyusun panduan perkuliahan terutama yang berkaitan dengan tingkat pengetahuan hubungannya dengan kepatuhan perawat dalam pelaksanaan SPO pemasangan infus pada pasien di rumah sakit. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti faktor yang mempengaruhi kepatuhan perawat dalam pelaksanaan Standar Prosedur Operasional (SPO) pemasangan infus pada pasien misalnya sikap dan lingkungan kerja, serta meneliti cakupan sampel yang lebih luas. 4. Bagi Peneliti Bagi peneliti dapat menerapkan teori ke dalam kegiatan nyata di lapangan terutama penerapan metode penelitian berkaitan dengan tingkat pengetahuan
perawat tentang plebitis hubungannya dengan kepatuhan
perawat dalam pelaksanaan SPO pemasangan infus pada pasien di rumah sakit.
66 DAFTAR PUSTAKA Alphatino, (2009). Nutrisi Parenteral Total Pada Bayi Prematur. Jurnal Neonatal. Jakarta: UI. Andares, (2009), Analisa hubungan karakteristik perawat dan tingkat kepatuhan perawat dalam pelaksanaan protap pemasangan infus di Rumah Sakit Badrul Aini Medan, Tesis Program Pasca Sarjana, Minat Magister Kesehatan, Universitas Sumatera Utara, Medan. Brunner & Suddarth. (2005). Keperawatan Medikal Bedah.(edisi 8). Jakarta : EGC. Dinkes Kabupaten Wonogiri. (2013). Profil Kesehatan Kabupaten Wonogiri. Wonogiri: Dinkes Kab. Wonogiri. Gabriel, Dougherty; Bravery, K;; Kayley, J; Scales, K; & Inwood, S. (2010). Standards for Infusion Therapy. The RCN IV Therapy Forum 2010. Hinlay. (2006). Terapi Intravena pada Pasien di Rumah Sakit. Yogyakarta : Nuha Medika. IDAI, (2014). Buku Ajar Neonatologi. Edisi pertama. Jakarta: IDAI. INS. (2006). Setting the Standard for Infusion Care. Diperoleh tanggal 2 Juli 2015, dari http://www.ins1.org. Jayant D, Phalke DB, Bangal BV, Peeyuusha D, Sushen B. (2011). Maternal risk factor for low birth weight neonates: a hospital based case-control study in rural area of Western Maharshtra, India. Natl J Community Med. Kemenkes RI. (2013). Hasil Riskesdas 2013. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Mada MD, Susilo CB, Nekada CY. (2013). Hubungan Pengetahuan Perawat tentang Infeksi Nosokomial dengan Penerapan Prinsip Steril pada Pemasangan Infus di RS Kristen Lende Moripa, Sumba Barat. Mayunah, (2012). Hubungan Pengetahuan Perawat tentang Terapi Infus dengan Kejadian Plebitis dan Kenyamanan Pasien di Ruang Rawat Inap di RSUD Indramayu. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 8 No. 1, Juni 2012: 90-99. Mulyani. 2011. Tinjauan Pelaksanaan Standar Operasional Prosedur (SOP) Pemasangan Infus Pada Pasien Di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS PKU Muhammadiyah Gombong. Jurnal Keperawatan. Gombong. Muspita, M J. 2014. Gambaran Kepatuhan Perawat dalam Melaksanakan Standar Operasional Prosedur Pemasangan Infus di RS PKU Muhammadiyah Gombong. Naskah Publikasi. Yogyakarta: PPS UNY. Nassaji, M dan Ghorbani R. (2007). Peripheral Intravenous Catheter Re;ated Phlebitis and Related Risk Factors. Singapore Medicine Journal 48 (8): 733.
67 Niven, Niel. 2008. Psikologi Kesehatan : Pengantar Untuk Perawat Dan Profesional. Jakarta : EGC. Notoatmodjo, S. 2010. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Pamuji I, Asrin, Kamaludin A. 2008. Hubungan Pengetahuan Perawat tentang SPO dengan Kepatuhan Perawat terhadap Pelaksanaan SPO Profesi Pelayanan Keperawatan. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 3 No.1 Maret 2008. Pasaribu. 2008. Analisis Pelaksanaan Standar Operasional Prosedur Pemasangan Infus terhadap Kejadian Phlebitis di Ruang Rawat Inap RS Haji Medan. Jurnal Keperawatan. Medan: USU. Perry dan Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktek. Edisi 4. Alih bahasa Renata Komalasari. Jakarta : EGC. Proverawati Atikah, & Ismawati Cahyo, S. (2010). BBLR : Berat Badan Lahir Rendah. Yogyakarta: Nuha Medika. Pudjiadi Antonius, H., Hegar Badriul, dkk. (2010). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: IDAI. Pujasari, Hening. (2007). Angka kejadian phlebitis dan tingkat keparahanya di ruang penyakit dalam RSCM Jakarta, diakses dari http:/Pujasari pada tanggal 20 Juni 2015. Purwanto. (2006). Pengantar Perilaku Manusia Untuk Keperawatan, Jakarta: Buku Kedokteran. Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, (2005), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung Waluyo…(dkk), Jakarta: EGC. Smeth, Bart. (2005). Psikologi Kesehatan. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Soekanto, Soerjono. 2005. Sosiologi Ruang Lingkup dan Aplikasinya. Bandung: Remaja Rosda Karya Surasmi A., Handayani S., Kusuma H. (2007). Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: EGC. Trianiza, Efi. (2013). Faktor-faktor Penyebab Kejadian Phlebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Cengkareng. Tesis (tidak dipublikasikan). Jakarta: Universitas Esa Unggul. Triwidyawati, Kristiyawati dan Purnomo. (2013). Hubungan Kepatuhan Perawat dalam Menjalankan SOP Pemasangan Infus dengan Kejadian Plebitis. Jurnal Keperawatan. Semarang: STIKES Telogorejo Semarang.