PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN ASUPAN CAIRAN DENGAN MEDIA AUDIOVISUAL TERHADAP KEPATUHAN PEMBATASAN CAIRAN PADA PASIEN HEMODIALISA DI RUANG HEMODIALISA RSUD DR. SOEHADI PRIJONEGOROSRAGEN SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan
Oleh: Sri Hartati NIM. ST14056
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016
PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN ASUPAN CAIRAN DENGAN MEDIA AUDIOVISUAL TERHADAP KEPATUHAN PEMBATASAN CAIRAN PADA PASIEN HEMODIALISA DI RUANG HEMODIALISA RSUD DR. SOEHADI PRIJONEGORO SRAGEN SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan
Oleh: Sri Hartati NIM. ST14056
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016 i
ii
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Sri Hartati NIM
: ST14056
Dengan ini menyatakan bahwa : 1) Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (sarjana), baik di Stikes Kusuma Husada Surakarta maupun di perguruan tinggi lain. 2) Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan masukan Tim Penguji. 3) Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan dalam daftar pustaka. 4) Pernyataan ini saya buat sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi ini.
Surakarta,
Januari 2016
Yang membuat pernyataan,
(Sri Hartati) NIK. ST14056 iii
KATA PENGANTAR Segala puji hanya bagi Allah SWT yang telah menciptakan langit dan bumi beserta semua pengetahuan di dalamnya, atas rahmat dan karunia-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pendidikan Kesehatan Asupan Cairan Dengan Media Audiovisual Terhadap KepatuhanPembatasan Cairan Pada Pasien HemodialisaDi Ruang Hemodialisa RSUDdr. Soehadi Prijonegoro Sragen”. Peneliti banyak mendapat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak dalam penyusunan skripsi ini,, untuk itu peneliti mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Ns. Wahyu Rima Agustin, M.Kep., selaku Ketua STIKes Kusuma Husada Surakarta dan juga selaku penguji, yang telah memberikan kesempatan untuk studi di STIKes Kusuma Husada Surakarta dan memberikan masukan dan arahan serta bimbingan selama penyusunan skripsi ini. 2. Ns. Atiek Murharyati, M.Kep., selaku Ketua Program Studi Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta, yang telah memberikan ijin dan kesempatan untuk mengikuti perkuliahan di STIKes Kusuma Husada Surakarta.. 3. Ns. Anita Istiningtyas, M.Kep., selaku pembimbing utama yang telah memberikan masukan dan arahan serta bimbingan selama penyusunan skripsi ini. 4. Ns. Ika Subekti Wulandari, M.Kep., selaku pembimbing pendamping yang telah memberikan masukan dan arahan serta bimbingan selama penyusunan skripsi ini. 5. dr. Djoko Sugeng P, M.Kes., selaku direktur RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen yang memberikan kesempatan kepada peneliti untuk melakukan penelitian di RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. 6. Direktur RSUD Sukoharjo beserta Kabid Diklat yang memberikan kesempatan kepada peneliti untuk melakukan uji instrumen penenlitian di RSUDSukoharjo.
iv
7. Dhiding Supariti, S.Kep.,Ns, selaku Kasie keperawatan RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen yang telah mendukung dan bekerja sama selama proses penelitian dilakukan. 8. Kepala Bidang Diklat RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen (dr. Aminan, Sp.JP) beserta staf-stafnya yang senantiasa memberikan dukungan dan kemudahan dalam proses administratif dan teknik dalam pengumpulan data penelitian. 9. Staf non akademik Program Studi Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah membantu menyediakan fasilitas yang dibutuhkan peneliti. 10. Orang tua, suami dan anak-anakku tersayang yang tiada henti dan jemu mendoakan dan memberikan dukungan. 11. Rekan-rekan Program Studi Ilmu keperawatan angkatan 2014 yang saling mendukung.
Harapan peneliti semoga skripsi ini membawa manfaat bagi kita sebagai profesi dalam peningkatan mutu pendidikan dan pelayanan keperawatan.
Surakarta,
Januari 2016
Peneliti
v
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL………………………………………………………..
i
LEMBAR PENGESAHAN...……………………………………………....
ii
SURAT PERNYATAAN...............................................................................
iii
KATA PENGANTAR....................................................................................
iv
DAFTAR ISI...................................................................................................
vi
DAFTAR TABEL........................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR......................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................
x
ABSTRAK......................................................................................................
xi
ABSTRACT....................................................................................................
xii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................
1
1.1.Latar Belakang.............................................................................
1
1.2.Rumusan Masalah........................................................................
6
1.3.Tujuan Penelitian.........................................................................
7
1.4.Manfaat Penelitian.......................................................................
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
10
2.1.Tinjauan Teori..............................................................................
10
2.1.1. Konsep CKD....................................................................
10
2.1.2. Hemodialisa......................................................................
26
2.1.3. Kepatuhan.........................................................................
42
2.1.4. Pembatasan Asupan Cairan..............................................
47
vi
2.1.5. Pendidikan Kesehatan......................................................
49
2.2.Keaslian Penelitian.......................................................................
52
2.3.Kerangka Teori............................................................................
53
2.4.Kerangka Konsep ........................................................................
54
2.5.Hipotesis.......................................................................................
54
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
55
3.1.Jenis dan Rancangan Penelitian.....................................................
55
3.2.Populasi dan Sampel......................................................................
57
3.3.Tempat dan Waktu Penelitian........................................................
58
3.4.Variabel, Definisi operasional dan Skala Pengukuran...................
59
3.5.Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data.................................
60
3.6.Teknik Pengolahan dan Analisis Data...........................................
65
3.7.Etika Penelitian............................................................................
68
BAB IV HASIL PENELITIAN
70
4.1. Analisa Univariat.........................................................................
70
4.2. Analisa Bivariat...........................................................................
74
BAB V PEMBAHASAN
76
5.1. Uji Univariat.................................................................................
76
5.2. Uji Bivarat....................................................................................
87
BAB VI PENUTUP
94
6.1. Simpulan......................................................................................
94
6.2. Saran............................................................................................
95
DAFTAR PUSTAKA
96
LAMPIRAN vii
DAFTAR TABEL Nomor Tabel
Judul Tabel
Halaman
2.1.
Klasifikasi CKD
12
3.1
Definisi Operasional Variabel Penelitian
59
4.1.
Karakteristik Usia Responden
70
4.2.
Karakteristik Jenis Kelamin Responden
70
4.3.
Karakteristik Tingkat Pendidikan Responden
71
4.4.
Karakteristik Status Pernikahan Responden
71
4.5.
Karakteristik Lama HD Responden
72
4.6.
Kepatuhan Pembatasan Cairan pada Kelompok
72
Kontrol dan Eksperimen Sebelum Pendidikan Kesehatan 4.7.
Kepatuhan Pembatasan Cairan pada Kelompok
73
Kontrol dan Eksperimen Sebelum Pendidikan Kesehatan pada Observasi 1, Observasi 2 dan Observasi 3 4.8.
Perbedaan Tingkat Kepatuhan Pembatasan Cairan
74
pada Kelompok Eksperimen 4.9.
Perbedaan Tingkat Kepatuhan Pembatasan Cairan
74
pada Kelompok Kontrol 4.10.
Pengaruh
Pendidikan
Kepatuhan
viii
Kesehatan
terhadap
75
DAFTAR GAMBAR Nomor Gambar
Judul Gambar
Halaman
2.1
Kerangka Teori Penelitian
53
2.2
Kerangka Konsep Penelitian
54
3.1
Desain Penelitian
56
ix
DAFTAR LAMPIRAN Nomor Lampiran
Keterangan
1
Surat Permohonan Ijin Studi Pendahuluan Penelitian
2
Surat
Jawaban
Permohonan
Ijin
Studi
Pendahuluan
Penelitian 3
Time Schedule Penelitian
4
Kuesioner Penelitian
5
SAP & Materi
6
Surat Permohonan Ijin Uji Validitas Reliabilitas
7
Surat Jawaban Permohonan Uji Validitas Reliabilitas
8
Surat Keterangan Telah Melakukan Uji Validitas Reliabilitas
9
Surat Permohonan Ijin Penelitian
10
Surat Jawaban Permohonan Ijin Penelitian
11
Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian
12
Data Penelitian
13
SPSS Penelitian
x
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016
Sri Hartati
Pengaruh Pendidikan Kesehatan Asupan Cairan Dengan Media Audiovisual Terhadap Kepatuhan Pembatasan Cairan Pada Pasien Hemodialisa Di Ruang Hemodialisa RSUDdr. Soehadi Prijonegoro Sragen ABSTRAK
Pasien Chronic Kidney Disease (CKD) yang secara rutin menjalani hemodialisa biasanya mengalami kelebihan volume cairan karena penurunan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan. Ketidakpatuhan pasien dalam pembatasan cairan merupakan diagnosa keperawatan utama yang memerlukan asuhan keperawatan terbaik dari perawat hemodialisa. Tujuan penelitian adalah mengetahui adanya pengaruh antara pengaruh pendidikan kesehatan dengan menggunakan meode audio visual terhadap kepatuhan pembatasan cairan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif menggunakan metode quasi experiment non randomized pretest-posttest with control group design. Sampel penelitian berjumlah 40 pasien hemodialisa. Penelitian ini menggunakan uji wilcoxon dan mann whitney. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh pendidikan kesehatan dengan menggunakan metode audio visual terhadap kepatuhan pembatasan cairan dengan p value 0,000. Pendidikan kesehatan dengan menggunakan metode audiovisual dapat meningkatkan kepatuhan karena menampilkan gerak, gambar dan suara sehingga lebih menarik dan tidak monoton. Kata Kunci: pendidikan kesehatan, audio visual, kepatuhan, Chronic Kidney Disease, hemodialisa Daftar Pustaka : 68 (2000-2015)
xi
BACHELOR OF NURSING PROGRAM SCHOOL OF HEALTH SCIENCES OF KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016
Sri Hartati
The Contribution of Healthcare Education with Audiovisual Media on Fluid Intake to the Adherence to Fluid Restrictions in Hemodialysis Patients in Hemodialysis Room at Dr. Soehadi Prijonegoro Regional Public Hospital of Sragen
Abstract Patients with Chronic Kidney Disease (CKD) regularly undergoing hemodialysis tend to have excess fluid volume as a result of decreased kidney function to remove extra fluids. Patients’ poor adherenceto fluid intake restrictions is a major nursing diagnosis which requires good nursing service. This study aims at investigating the relationship between the contributions of healthcare education on the use of audiovisual media to the adherence on fluid restrictions. This is a quantitative research using quasi-experimentaldesign with nonrandomized control group pretest and post-test. A total of 40 patients with hemodialysis were used as samples. This research applied Wilcoxon and MannWhitney tests. The results demontrate the contribution of health education on the use of audiovisual media method to adherence on fluid restrictions with p-value of 0.000. It is concluded that using audiovisual method can improve adherence on fluid restrictions since the media present motion, picture and voice to makemore interesting and engaging education. Keywords : health education, audiovisual, adherence, Chronic Kidney Disease, hemodialysis. Bibliography : 68 (2000-2015)
xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Chronic Kidney Disease (CKD) kini telah menjadi masalah kesehatan serius di dunia. Penyakit ginjal dan saluran kemih telah menyebabkan kematian sebesar 850.000 orang setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit ini menduduki peringkat ke-12 tertinggi angka kematian (WHO, 2002). CKD merupakan proses patofisiologi dengan etiologi yang multipel, menyebabkan pengurangan sejumlah nefron dan fungsinya secara progresif yang mendasari terjadinya penyakit ginjal terminal (Sukandar, 2006). CKD mulai secara perlahan-lahan, menjadi penyakit kronik dan akhirnya menjadi masalah yang serius dalam fungsi ginjal. Terapi pengobatan yang dilakukan harus sesuai dengan kondisi fungsi ginjal tersebut (Leather Land, 2007). CKD adalah satu dari penyakit kronik terbanyak yang dialami masyarakat dunia, dimana hampir mengenai dua sampai tiga persen (Tavangar & Sadeghian, 2003). Prevalensi CKD meningkat setiap tahunnya. Prevalensi CKD meningkat sebanyak delapan persen dari tahun 2004 sampai dengan 2009. Terdapat 16,8 % dari populasi penduduk usia di atas 20 tahun mengalami CKD dari kurun waktu 1999 sampai dengan 2004. Persentase ini meningkat bila dibandingkan data enam tahun sebelumnya, yaitu 14,5% (CDC, 2007).
1
2
Penatalaksanaan pasien CKD salah satunya adalah dengan hemodialiasa (HD). HD masih menjadi alternatif yang baik bagi para penderita CKD. Kualitas hidup pasien CKD yang menjalani hemodialisa cukup baik dan panjang usia hidup sampai sekarang adalah 14 tahun (Rahardjo, 2006). Pasien yang menjalani HD tiga kali dalam seminggu sejumlah 15.000 pasien di Iran. Kementerian Kesehatan Iran mengeluarkan data statistik bahwa jumlah tersebut 20% dari seluruh pasien HD (Ghasemi, 2006). Amerika sejumlah 280.000 pasien menjalani hemodialisa, lebih dari 120.000 (28%) menjalani transplantasi ginjal dan lebih dari 24.000 (7%) menjalani Countinous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) (Brunner & Suddarth, 2008). HD di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di rumah sakit-rumah sakit rujukan maupun pelayanan kesehatan lain. Jumlah Unit Renal yang melayani pelayanan HD berjumlah 244, dengan jumlah mesin HD 2242 dari berbagai merk. Jumlah pasien yang menjalani HD di Indonesia sampai tahun 2012 berjumlah 15980 pasien dengan jumlah perawat HD yang tersertifikasi sejumlah 1319 (IRR, 2012). HD dapat memperpanjang usia hidup pasien, tetapi tidak bisa memperbaiki fungsi ginjal yang telah rusak karena proses penyakit dan HD tidak secara total menggantikan fungsi ginjal. Pasien HD menghadapi beberapa masalah dan efek samping yang merugikan (Brunner & Suddarth, 2008). HD adalah terapi jangka panjang, oleh karena itu pasien membutuhkan adanya panduan untuk berkompromi dengan penyakitnya agar tidak menjadi
3
parah dan dapat menjaga kualitas hidup (Sajjadi, et al, 2008). Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk menjaga kualitas hidup pasien CKD adalah konsumsi obat setiap hari, perubahan gaya hidup serta pembatasan asupan makanan dan cairan. Pembatasan asupan cairan adalah hal yang penting dilakukan pasien HD. Batas asupan cairan yang bisa dikonsumsi pasien perhari adalah 500-750 ml ditambah jumlah urine/24 jam sehingga kenaikan berat badan pasien tidak lebih dari 0,45 kg/hari (Almatsier, 2005). Ketidakpatuhan terhadap pembatasan cairan adalah hal yang banyak ditemui pada pasien HD. Diperkirakan 50% pasien tidak mengikuti secara benar diet makanan maupun asupan cairan (Kutner, 2001). Selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Kugler, dkk (2011) yang menemukan hasil bahwa ketidakpatuhan pasien HD di Amerika dan Jerman terhadap pembatasan asupan makanan adalah 80,4%, sedangkan ketidakpatuhan pembatasan cairan adalah 75,3%. Penelitian yang dilakukan oleh Ramelan, Ismonah, Hendrajaya (2013) menemukan bahwa ketidakpatuhan asupan cairan pasien HD di RS Telogorejo Semarang adalah 35,4%. Ketidakpatuhan terhadap pembatasan cairan membahayakan karena mortalitas akan meningkat pada pasien hemodialisa apabila terjadi peningkatan cairan tubuh 5,7% dari berat badan kering klien selama sesi hemodialisa (Fisher, 2006). Peningkatan berat badan akibat asupan cairan pasien yang tidak terkontrol tersebut yang menyebabkan terjadinya hipertensi dan edema paru. Pasien juga akan merasa tidak nyaman karena sesak nafas, lelah dan lemas (Fisher, 2004 cit. Fisher 2006). Kelebihan volume cairan
4
tubuh
yang menyebabkan
hipertensi dan odema
pulmonum, akan
meningkatkan kemungkinan terjadinya kegawatdaruratan hemodialisis dan meningkatkan risiko dilatasi dan hipertropi jantung. Sirkulasi volume darah yang efektif dan optimal sangat diperlukan untuk menghindari komplikasi sirkulasi (Lubis, 2008). Pasien penyakit ginjal tahap akhir baik sebelum dan sesudah dilakukan terapi hemodialisis cenderung mengalami fluktuasi volume cairan tubuh (Lubis, 2008). Fluktuasi atau kelebihan cairan tersebut disebabkan oleh penurunan fungsi ginjal dalam mengekresikan cairan dan kurangnya kepatuhan pasien dalam membatasi asupan cairan pada pasien hemodialisa rutin,. Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan, alasan ketidakpatuhan tersebut adalah keterbatasan informasi yang didapatkan pasien (Barnett, Li Yoong & Pinikahana, 2008). Intervensi yang tepat untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pembatasan asupan cairan adalah pendidikan kesehatan. Pasien yang mendapatkan informasi yang tepat tentang penyakitnya lebih efektif berpartisipasi dalam proses terapi adalah pendidikan kesehatan (Brunner & Suddart, 2008). Peran perawat adalah memberikan pendidikan kesehatan yang dibutuhkan kepada pasien dan keluarga (Kallenbach, et, al., 2003). Perawat sebagai edukator dapat menggunakan berbagai metode dan media yang dibutuhkan agar pendidikan kesehatan yang diberikan kepada pasien menimbulkan hasil yang baik yaitu perubahan perilaku hidup sehat. Berbagai media dapat
5
dipakai untuk memberikan pendidikan kesehatan seperti metode diskusi, ceramah, audio visual maupun dengan media pamlet. Informasi akan disimpan dalam memory 20% jika disampaikan dengan menggunakan media visual, 50% jika menggunakan media audiovisual dan 70% jika dilakukan dalam praktek nyata. Pertimbangan pengaruh budaya dalam proses belajar diketahui bahwa intruksi akan lebih efektif
apabila disampaikan dalam
bentuk video yang menampilkan pesan menyerupai benda asli (Notoatmodjo, 2007). Penelitian Hare, Carter, & Forshaw (2013) membuktikan bahwa metode terapi kognitif dapat menurunkan adanya oedema setelah 6 minggu intervensi sebagai indikasi peningkatan terhadap kepatuhan pembatasan asupan cairan. Penelitian Parvan et, al (2015) menemukan hasil bahwa penggunaan metode pamflet dan tatap muka dalam memberikan pendidikan kesehatan meningkatkan nilai pengetahuan dan juga kepatuhan terhadap terapi dan diet. Fernandez, et al (2014) menggunakan berbagai metode untuk meningkatkan kepatuhan pasien yaitu dengan audio visual, dose reminder, pelatihan tehnis dan juga pemberian motivasi. Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada tanggal 1 Juni 2015 di RSUD dr. Soehadi Prijonegoro, CKD merupakan penyakit nomor satu terbanyak pada tahun 2014 yaitu berjumlah 683 kasus. Sebanyak 549 pasien harus menjalani hemodialisa karena sudah merupakan CKD grade V, akan tetapi yang melaksanakan HD 336 pasien.
Data lain yang didapatkan adalah
sembilan pasien dari 20 pasien yang menjalani HD dua kali dalam seminggu
6
dengan lama HD lima jam mengalami ascites, oedema ekstremitas dan susah buang air kecil sedangkan kadar albumin dalam rentang normal. Hasil wawancara dengan pasien didapatkan hasil bahwa karena merasa haus maka pasien cenderung tidak membatasi asupan cairan. Pasien mengetahui bahwa harus membatasai asupan cairan tetapi tidak tahu secara pasti jumlah asupan cairan yang diperbolehkan. Pendidikan kesehatan oleh perawat dan dokter HD telah dilakukan pada saat pertama akan mulai HD, pendidikan kesehatan yang dilakukan dengan metode ceramah dan diskusi dan belum menggunakan media. Berdasarkan data di atas, peneliti mencoba untuk meneliti pengaruh pendidikan kesehatan
asupan cairan dengan media audiovisual terhadap
kepatuhan pembatasan cairan pada pasien hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen.
1.2. Rumusan Masalah Ketidakpatuhan terhadap pembatasan cairan adalah hal yang banyak ditemui pada pasien HD. Peran perawat adalah memberikan pendidikan kesehatan yang dibutuhkan kepada pasien dan keluarga. Perawat sebagai edukator dapat menggunakan berbagai metode dan media yang dibutuhkan agar pendidikan kesehatan yang diberikan kepada pasien menimbulkan hasil yang baik yaitu perubahan perilaku hidup sehat dan salah satu metode yang dianggap efektif adalah media audiovisual.
7
Berdasarkan fenomena yang terjadi di RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen maka rumusan masalah penelitian ini adalah pendidikan kesehatan
“adakah pengaruh
asupan cairan dengan media audiovisual terhadap
kepatuhan pembatasan cairan pada pasien hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen?”
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan dengan media audiovisual terhadap kepatuhan pembatasan cairan pada pasien hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. 1.3.2. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini untuk: 1. Mengidentifikasi karakteristik pasien HD di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. 2. Mengidentifikasi tingkat kepatuhan pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pasien HD di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. 3. Mengidentifikasi perbedaan kepatuhan pada kelompok eksperimen di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. 4. Mengidentifikasi perbedaan kepatuhan pada kelompok kontrol di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen.
8
5. Menganalisis perbedaan tingkat kepatuhan setelah dilakukan pendidikan kesehatan media audio visual pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol HD di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Bagi Pasien Pasien HD mendapatkan intervensi pendidikan kesehatan dengan menggunakan media audio visual yang efektif untuk meningkatkan kepatuhan pasien. 1.4.2. Manfaat Bagi Perawat Ruang HD 1. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi managemen rumah sakit bahwa dengan teridentifikasinya efektifitas pendidikan kesehatan dengan menggunakan media audiovisual dalam meningkatkan kepatuhan pasien maka perawat ruang HD dapat menyusun pedoman baku tentang pendidikan kesehatan bagi pasien CKD yang menjalani hemodialisa. 2. Masukan bagi perawat ruang HD untuk membuat rencana intervensi terhadap upaya peningkatan kepatuhan pasien terhadap program terapi yang diberikan. 1.4.2. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan Hasil penelitian ini bermanfaat bagi khasanah keilmuan keperawatan dan pendidikan keperawatan, bahwa dengan teridentifikasinya efektifitas pendidikan kesehatan dalam meningkatkan kepatuhan pasien maka institusi pendidikan dapat melakukan upaya untuk meningkatkan
9
kemampuan peserta didik perawat dalam memberikan pendidikan kesehatan. 1.4.3. Manfaat Bagi Peneliti Lain Hasil penelitian ini bermanfaat bagi peneliti lain yang mempunyai minat dan fokus mengenai pendidikan kesehatan untuk meningkatkan kepatuhan pembatasan asupan cairan pada pasien CKD, peneliti lain dapat mengembangkan penelitian sejenis dengan perbaikan yang menjadi keterbatasan dalam penelitian ini dan meneliti pendidikan kesehatan dengan menggunaan metode lainnya yang tidak diteliti dalam penelitian ini, misal dengan metode pamlet, tatap muka, terapi kognitif dan yang lainnya. 1.4.4. Manfaat Bagi Peneliti Merupakan media pembelajaran dalam menerapkan ilmu dan pengetahuan yang didapatkan selama menempuh perkuliahan akademik pada suatu tatanan praktek pelayanan keperawatan yang nyata di rumah sakit dan merupakan pengalaman berharga dalam melakukan penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teori 2.1.1.Konsep CKD 2.1.1.1. Definisi National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome Quality
Initiative
(K/DOQI)
telah
menyusun
pedoman
praktis
penatalaksanaan klinik tentang evaluasi, klasifikasi, dan stratifikasi penyakit ginjal kronik. Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari tiga bulan, berdasarkan kelainan patologis pada tahun 2002. Diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerolus kurang dari 60 ml/menit/1,73 m² jika tidak ada tanda kerusakan ginjal. Kriteria bukan CKD adalah pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari tiga bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73 m² (Konsensus Hemodialisa Pernefri, 2013). CKD merupakan suatu penurunan fungsi jaringan ginjal secara progresif sehingga massa ginjal yang masih ada tidak mampu lagi mempertahankan lingkungan internal tubuh (Black & Hawks, 2005). Adapun batasan penyakit ginjal kronik menurut Suwitra (2006) bahwa penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan
10
11
pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialysis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Chronic Kidney Disease( CKD ) atau End Stage Renal Disease (ESRD) adalah kerusakan fungsi ginjal yang progresif dan tidak dapat pulih kembali, dimana tubuh tidak mampu memelihara metabolisme dan gagal
memelihara
keseimbangan
cairan
dan
elektrolit
berakibat
peningkatan ureum (azotemia) (Smeltzer, et al. 2008). 2.1.1.2. Klasifikasi CKD CKD dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat penurunan fungsi ginjal. Fungsi ginjal dapat dilihat berdasarkan nilai Laju Filtrasi Glomerolus (LFG)/ Glomerular Filtration Rate (GFR), yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault. Derajat glomurular filtration
rate
(GFR)
normal
adalah
:
125
mL/min/1,73
(Smeltzer,et.al., 2008). Klasifikasi CKD dapat dilihat pada tabel 2.1.
m²
12
Tabel 2.1. Klasifikasi Chronic Kidney Disease Derajat 1 2 3 4 5
Penjelasan Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat Gagal ginjal
LFG (ml/mnt/1,73m²) ≥ 90 60 – 89 30 – 59 15 – 29 < 15 atau dialisis
(Konsensus Hemodialisa, Pernfri, 2013) 2.1.1.3. Etiologi CKD Penyebab CKD di Indonesia menurut Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2012, adalah: 1. Penyakit ginjal hipertensi 35% 2. Nefropati diabetika
26%
3. Glumerulopati primer
12%
4. Nefropati obstruksi
8%
5. Pielonefritik kronik
7%
6. Lain-lain
6%
7. Tidak diketahui
2%
8. Nefropati asam urat
2%
9. Ginjal polikistik
1%
13
2.1.1.4. Patofisiologi Patofisiologi awalnya tergantung dari penyakit yang mendasari dan pada perkembangan lebih lanjut proses yang terjadi hampir sama (Black & Hawks, 2005). Adanya pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor sehingga menyebabkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, yang diikuti proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa dan pada akhirnya akan terjadi penurunan fungsi nefron secara progresif. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal yang dipengaruhi oleh growth factor Transforming Growth Factor β (TGF-β) menyebabkan hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas. Progresifitas penyakit ginjal kronik juga dipengaruhi oleh albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia (Price & Wilson, 2005). Stadium awal penyakit ginjal kronik mengalami kehilangan daya cadangan ginjal (renal reverse) dimana basal laju filtrasi glomerulus (LFG) masih normal atau malah meningkat dan dengan perlahan akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif ditandai adanya peningkatan kadar urea dan kreatinin serum (Suwitra, 2006). Laju Filtrasi Glomerulus sebesar 60%, masih belum ada keluhan atau asimptomatik tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan
14
kreatinin serum. LFG sebesar 30% mulai timbul keluhan seperti nokturia, lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan dan setelah terjadi penurunan LFG dibawah 30% terjadi gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan juga mudah terjadi infeksi pada saluran perkemihan, pencernaan dan pernafasan, terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yaitu hipovolemia, hipervolemia, natrium dan kalium. LFG kurang dari 15% merupakan stadium gagal ginjal yang sudah terjadi gejala dan komplikasi yang lebih berat dan memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal (Price & Wilson, 2005). Perubahan fisiologis yang dapat terjadi sebagai dampak CKD adalah: 1. Ketidakseimbangan Cairan Mula-mula ginjal kehilangan fungsinya sehingga tidak mampu memekatkan urine (hipothenuria) dan kehilangan cairan yang berlebihan berhubungan
(poliuria). dengan
Hipothenuria penurunan
tidak
jumlah
disebabkan
nefron,
tetapi
atau oleh
peningkatan beban zat tiap nefron. Hal ini terjadi karena keutuhan nefron yang membawa zat tersebut dan kelebihan air untuk nefronnefron tersebut tidak dapat berfungsi lama. Terjadi osmotik diuretik, menyebabkan seseorang menjadi dehidrasi (Brunner & Sudarth, 2012).
15
Ginjal tidak mampu menyaring urine (isothenuria), jika jumlah nefron yang tidak berfungsi meningkat. Tahap ini, glomerulus menjadi kaku dan plasma tidak dapat difilter dengan mudah melalui tubulus, maka akan terjadi kelebihan cairan dengan retensi air dan natrium (Brunner & Sudarth, 2012). 2. Ketidak seimbangan natrium Ketidakseimbangan natrium merupakan masalah yang serius dimana ginjal dapat mengeluarkan sedikitnya 20-30 mEq natrium setiap hari atau dapat meningkat sampai 200 mEq perhari. Variasi kehilangan natrium berhubungan dengan “intact nephron theory”. Nefron menerima kelebihan natrium sehingga menyebabkan GFR menurun dan dehidrasi. Kehilangan natrium lebih meningkat pada gangguan gastrointestinal, terutama muntah dan diare. Keadaan ini memperburuk hiponatremia dan dehidrasi (Brunner & Sudarth, 2012). CKD yang berat keseimbangan natrium dapat dipertahankan meskipun terjadi kehilangan yang fleksibel nilai natrium. Orang sehat dapat pula meningkat di atas 500 mEq/hari. GFR menurun di bawah 25-30 ml/menit, maka ekskresi natrium kurang lebih 25 mEq/hari, maksimal ekskresinya 150-200 mEq/hari. Natrium dalam diet dibatasi 1-1,5 gram/hari pada kondisi ini (Suwitra, 2006). 3. Ketidakseimbangan Kalium Hiperkalemia keseimbangan
jarang
cairan
terjadi
dan
sebelum
asidosis
stadium
metabolik
4,
jika
terkontrol.
16
Keseimbangan kalium berhubungan dengan sekresi aldosteron. Selama output urine dipertahankan kadar kalium biasanya terpelihara. Hiperkalemia terjadi karena pemasukan kalium yang berlebihan, dampak pengobatan, hiperkatabolik (infeksi), atau hiponatremia. Hiperkalemia juga merupakan karakteristik dari tahap uremia. Hipokalemia terjadi pada keadaan muntah atau diare berat. Pada penyakit tubuler ginjal, nefron ginjal meresorbsi kalium sehingga ekskresi kalium meningkat. GFR menurun dan produksi NH3 meningkat jika hipokalemia persisten. HCO3 menurun dan natrium bertahan (Brunner & Sudarth, 2012). 4. Ketidakseimbangan Asam Basa Asidosis
metabolik
terjadi
karena
ginjal tidak
mampu
mengekskresikan ion Hidrogen untuk menjaga pH darah normal. Disfungsi renal tubuler mengakibatkan ketidakmampuan pengeluaran ioh H. Pada umumnya penurunan ekskresi H sebanding dengan penurunan GFR. Asam yang secara terus-menerus dibentuk oleh metabolisme dalam tubuh tidak difiltrasi secara efektif melewati glomerolus, NH3 menurun dan sel tubuler tidak berfungsi. Kegagalan pembentukan bikarbonat memperberat ketidakseimbangan. Sebagian kelebihan hidrogen dibuffer oleh mineral tulang. Akibatnya asidosis metabolik memungkinkan terjadinya osteodistrophy (Brunner & Sudarth, 2012).
17
5. Ketidakseimbangan magnesium Magnesium pada tahap awal CKD adalah normal, tetapi menurun secara progresif dalam ekskresi urine menyebabkan akumulasi. Kombinasi penurunan ekskresi dan intake yang berlebihan mengakibatkan henti napas dan jantung (Brunner & Sudarth, 2012). 6. Ketidakseimbangan Calsium dan Fosfor Secara normal calsium dan pospor dipertahankan oleh parathyroid hormon yang menyebabkan ginjal mereabsorbsi kalsium, mobilisasi calsium dari tulang dan depresi resorbsi tubuler dari pospor. Hiperpospatemia dan hipocalsemia terjadi sehingga timbul hiperparathyroidisme sekunder bila fungsi ginjal menurun 20-25 % dari normal. Metabolisme vitamin D terganggu. Osteorenaldystrophy dapat terjadi bila hiperparathyroidisme berlangsung dalam waktu lama (Brunner & Sudarth, 2012). 7. Gangguan Fungsi Hematologi Ginjal merupakan tempat produksi hormon eritropoetin yang mengontrol produksi sel darah merah. Produksi eritropoetin mengalami gangguan sehingga merangsang pembentukan sel darah merah oleh bone marrow pada gagal ginjal. Akumulasi racun uremia akan menekan produksi sel darah merah dalam bone marrow dan menyebabkan masa hidup sel darah merah menjadi lebih pendek. Manifestasi klinis anemia diantaranya adalah pucat, takikardia, penurunan toleransi terhadap aktivitas, gangguan perdarahan dapat
18
terjadi epistaksis, perdarahan gastrointestinal, kemerahan pada kulit dan jaringan subkutan. Meskipun produksi trombosit masih normal akan tetapi mengalami penurunan dalam fungsinya sehingga menyebabkan terjadinya perdarahan. Peningkatan kehilangan sel darah merah dapat terjadi akibat pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium dan selama dialisis. Gagal ginjal juga dapat menurunkan hematokrit (Brunner & Sudarth, 2012). 8. Retensi Ureum Kreatinin Urea yang merupakan hasil metabolik protein meningkat (terakumulasi). Kadar BUN bukan indikator yang tepat dari penyakit ginjal sebab peningkatan BUN dapat terjadi pada penurunan GFR dan peningkatan intake protein. Kreatinin serum adalah indikator yang lebih baik pada gagal ginjal sebab kreatinin diekskresikan sama dengan jumlah yang diproduksi tubuh secara konstan (Suwitra, 2006). 2.1.1.5. Manifestasi Klinis Manifestasi klinik yang dapat muncul pada klien dengan CKD dapat mengenai semua sistem diantaranya yaitu (Kallenbach, et.al., 2005) : 1. Gangguan pada sistem gastrointestinal a. Anoreksia, nausea dan vomitus, berhubungan dengan gangguan metabolisme protein didalam usus, terbentuknya zat –zat toksik akibat metabolisme bakteri usus seperti amonia dan metal guanidine, serta sembabnya mukosa usus.
19
b. Foetor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur diubah oleh bakteri di mulut menjadi amonia sehingga napas berbau amonia. Akibat yang lain adalah timbulnya stomatitis dan parotitis. c. Cegukan (hiccup) sebabnya yang pasti belum diketahui. d. Gastritis erosif, ulkus peptik, dan kolitis uremik. 2. Kulit a. Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat penimbunan urokrom, gatal-gatal dengan ekskoriasi akibat toksin uremik dan pengendapan kalsium di pori-pori kulit. b. Ekimosis akibat gangguan hematologis. c. Urea fros, akibat kristalisasi urea yang ada pada keringat, (jarang dijumpai) d. Bekas-bekas garukan karena gatal. 3. Sistem Hematologi a. Anemia dapat disebabkan berbagai faktor antara lain: 1) Berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga rangsangan eritropoesis pada sumsum tulang menurun. 2) Hemolisis, akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik. 3) Defisisensi besi, asam folat, dan lain-lain, akibat nafsu makan yang berkurang. 4) Perdarahan, paling sering pada saluran cerna dan kulit.
20
5) Fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatirodisme sekunder. b. Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia Mengakibatkan perdarahan akibat agregasi dan adhesi trombosit yang berkurang serta menurunnya faktor trombosit III dan ADP (adenosin difosfat) c. Gangguan Fungsi Leukosit Fagositosis dan kemotaksis berkurang, fungsi limfosit menurun sehingga imunitas juga menurun. 4. Sistem Saraf dan Otot a. Restless leg syndrome Pasien merasa pegal pada kakinya sehingga selalu digerakkan. b. Burning feat syndrome Rasa semutan dan seperti terbakar, terutama di telapak kaki. c. Ensefalopati metabolik Lemah , tidak bisa tidur, gangguan konsentrasi, tremor, asteriksis, mioklonus, kejang. d. Miopati Kelemahan dan hipotrofi otot-otot terutama otot-otot ekstermitas proksimal. 5. Sistem Kardiovaskuler a. Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron.
21
b. Nyeri dada dan sesak napas akibat perikarditis, efusi perikardial, penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan gagal jantung akibat penimbunan cairan hipertensi. c. Gangguan irama jantung akibat elektrolit dan klasifikasi metafisik. d. Edema akibat penimbunan cairan. 6. Sistem Endokrin a. Gangguan seksual: libido, fertilitas dan ereksi menurun pada lakilaki akibat produksi testoteron dan spermatogenesis yang menurun. Sebab yang lain juga dihubungkan dengan metabolik tertentu (seng,
hormon
paratiroid).
Pada
wanita
timbul
gangguan
menstruasi, gangguan ovulasi sampai amenorea. b. Gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Pada gagal ginjal yang lanjut (klirens keratinin < 15 mL/
menit),
terjadi
penurunan
klirens
metabolik
insulin
menyebabkan waktu paruh hormon aktif memanjang. Keadaan ini dapat menyebabkan kebutuhan obat penurun glukosa darah akan berkurang. c. Gangguan metabolisme lemak. d. Gangguan metabolisme vitamin D 7. Gangguan Sistem Lain a. Tulang: osteodistrofi renal,yaitu osteomalasia, osteitis fibrosa, osteoklerosis, dan klasifikasi metastatik.
22
b. Asidosis metabolik akibat penimbunan asam organik sebagai hasil metabolisme. c. Elektrolit: hiperfosfatemia, hiperkalemia, hipokalsemia. 2.1.1.6. Penatalaksanaan CKD 1. Terapi konservatif Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara
progresif,
meringankan
keluhan-keluhan
akibat
akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006). a. Peranan diet Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen. b. Kebutuhan jumlah kalori Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat
dengan
tujuan
utama,
yaitu
mempertahankan
keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi. c. Kebutuhan cairan Kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari bila ureum serum > 150 mg%.
23
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease). 2. Terapi simptomatis a. Asidosis metabolik Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Suplemen alkali dapat diberikan untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L. b. Anemia Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak. c. Keluhan gastrointestinal Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama
(chief
complaint)
dari
GGK.
Keluhan
gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
24
d. Kelainan kulit Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit. e. Kelainan neuromuskular Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi. f.
Hipertensi Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita. 3. Terapi pengganti ginjal Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium lima, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut
dapat
berupa
hemodialisis,
dialisis
peritoneal,
dan
transplantasi ginjal (Shagolian, et al, 2008). a. Hemodialisis Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG) (Potter & Perry, 2005).
25
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006). Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya
dipergunakan
ginjal
buatan
yang
kompartemen
darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006). b. Dialisis peritoneal (DP) Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang
cenderung akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal
26
ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006). c. Transplantasi ginjal Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu (Wilson, et.al., 2005) : 1) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah 2) Kualitas hidup normal kembali 3) Masa hidup (survival rate) lebih lama 4) Komplikasi
(biasanya
dapat
diantisipasi)
terutama
berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan 5) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi 2.1.2. Konsep Hemodialisa 2.1.2.1.Definisi Hemodialisis merupakan suatu cara untuk mengeluarkan produk sisa metabolisme berupa larutan (ureum dan kreatinin) dan air yang ada pada darah melalui membran semipermeabel atau yang disebut dengan
27
dialyzer (Thomas, 2002). Prinsip kerja fisiologis dari hemodialisis adalah difusi dan ultra filtrasi (Smeltzer, et al, 2008). Difusi merupakan proses perpindahan molekul dari larutan dengan konsentrasi tinggi ke daerah dengan larutan berkonsentrasi rendah sampai tercapai kondisi seimbang (Smeltzer, et al, 2008). Proses terjadinya difusi dipengaruhi oleh suhu, visikositas dan ukuran dari molekul (Price & Wilson, 2005). Membran akan mengeluarkan tekanan positif saat darah dipompa melalui dialyser, sehingga tekanan diruangan yang berlawanan dengan membran menjadi rendah. Hal ini mengakibatkan cairan dan larutan dengan ukuran kecil bergerak dari daerah yang bertekanan tinggi menuju daerah yang bertekanan rendah (tekanan hidrostatik). Cairan dapat bergerak menuju membran semipermeabel karena adanya tekanan hidrostatik tersebut. Proses ini disebut dengan ultrafiltrasi (Daugirdas & Wilson, 2005). 2.1.2.2.Persiapan Pasien hemodialisa Periode waktu dari mulai dialysis sampai memulai terapi pengganti ginjal atau Renal Replacement Therapy (RRT), biasanya hanya dalam waktu yang pendek, tetapi sering ada periode waktu dari beberapa bulan sampai beberapa tahun ketika pasien harus diberikan waktu untuk menyesuaikan gaya hidup mereka dan mempersiapkan apapun bentuk dialysis yang sesuai. Keperluan penanganan pre-dialysis meliputi bantuan psikologis, termasuk monitor klinis tentang kondisi gangguan ginjal (Lemone & Burke, 2008).
28
Semua pasien dengan kondisi CKD dengan creatinine plasma diatas 150 mmol L- 1 dan /atau signifikansi proteinuria (<1 g 24 h-1) sebaiknya dirujuk kepada ahli nephrologis. Pasien dengan kreatinin di atas 300 mmol L-1 sebaiknya dirujuk secepat mungkin. Struktur pendidikan dan konseling bagi gangguan ginjal tahap akhir ini harus diberikan oleh tim multi disiplin ilmu (Kidney Alliance, 2001). Ada sejumlah pilihan yang perlu dipertimbangkan sehubungan dengan lokasi treatmen haemodialysis untuk
keperluan hemodialisa
jangka panjang. 1. Inserting Accses Hemodialysis Keberhasilan suatu hemodialisis tergantung pada keadekuatan aliran darah yang melalui dialyser. Bersihan yang optimal pada produk sisa tergantung pada aliran dialisat, permeabilitas membran, area permukaan membran, durasi dilaksanakannya dialisa, dan yang paling penting yaitu kecepatan aliran darah (Roesli, 2006). Dua kategori tempat inserting hemodialysis yaitu (Thomas, 2003): a. Melalui perkutaneus, termasuk jugularis, subklavia dan femoralis. Akses perkutaneus menggunakan kanula atau kateter yang dimasukkan ke vena mayor atau vena besar. Kateter digunakan sementara apabila anastomosis fistula belum matang. Pembuluh darah vena yang dapat digunakan yaitu subclavia, femoralis dan vena jugularis internal. Pemasangan kateter dapat berupa satu atau dua lumen yang dimasukkan dengan menggunakan anastesi lokal
29
atau general. Ketepatan posisi kateter dapat dicek melalui sinar Xray (Daugirdas, Blake & Ing, 2007). Peran perawat disini yaitu perawat dapat memberikan pendidikan kesehatan, memelihara kepatenan letak kateter, mencegah infeksi dan memberikan perawatan bila terjadi infeksi. Perawat harus ketat terhadap pencegahan infeksi, untuk itu selalu dilakukan observasi ada tidaknya bengkak, kemerahan atau eksudat pada luka tempat penusukan. Luka tempat penusukan ditutup dengan kasa yang tidak terlalu basah atau terlalu kering (Kallenbach, et.al., 2005). b. Arteriovenous fistulae (AVF) dan Arteriovenous graft Arteriovenous fistulae (AVF) dikerjakan melalui prosedur operasi anastomosis antara arteri brakialis dan vena sefalika pada tangan kiri pasien. Kecepatan aliran darah berkisar antara 800 – 1000 mL/menit. Arteriovenous fistulae (AVF) dapat dilakukan tiga sampai empat bulan sebelum hemodialysis diberikan dengan tujuan agar terjadi proses kematangan jaringan pada daerah anastomosis saat hemodialysis dilakukan (Daugirdas, Blake & Ing, 2007). Perawatan preoperatif pada AVF yaitu perawat memberikan kesempatan kepada pasien untuk berpartisipasi selama pelaksanaan dan memberikan penjelasan kepada pasien selengkap-lengkapnya tentang prosedur pembedahan dan perawatan yang dilakukan
30
setelah dilakukan tindakan anastomosis. Perawat memfasilitasi pasien untuk dapat bertemu dengan pasien lain yang telah berpengalaman dengan pemasangan AVF (Kallenbach, et.al., 2005). Perawatan
pasien
post
operasi
AVF
menurut
Konsensus
Hemodialisan Penferi (2013) yang harus diberikan perawat yaitu : 1) Tubuh dalam kondisi hangat agar dapat membantu sirkulasi perifer. 2) Monitor tekanan darah dan pertahankan tekanan sistole minimal 100 mmHg, jika tekanan darah kurang dari 100 mmHg maka akan beresiko terjadi trombosis fistula sehingga dilarang untuk memberi obat antihipertensi. 3) Kaji daerah luka secara teratur, observasi adanya perdarahan atau bengkak. 4) Observasi aliran darah yang melalui fistula dengan cara : tempatkan stetoskop pada daerah insisi dan dengarkan suara ”bruits” disebut dengan bruit; Letakkan tangan pada daerah insisi akan terasa seperti ada aliran, hal ini disebut dengan thrill. 5) Observasi bruit dan thrill secara teratur misalnya 15 menit sekali pada jam pertama dan ajarkan pada pasien untuk merasakan sensasi ini segera mungkin. 6) Sebelum pasien dipindahkan, perawat dapat memberikan penjelasan kepada pasien agar pasien tidak menggunakan
31
tangannya untuk mengangkat beban yang berat. Ajarkan latihan tangan dengan menggunakan bola sehingga mempercepat kematangan fistula. Informasikan pada pasien agar memberitahu kepada perawat atau dokter agar tidak menggunakan tangan dengan fistula untuk melakukan plebotomi, pengukuran tekanan darah atau kanulasi karena dapat menyebabkan kerusakan permanen pada fistula. 7) Sarankan pada pasien jika terjadi perdarahan, bengkak dan tidak adanya bruit atau thrill untuk segera datang ke rumah sakit terdekat. 2. Dosis, Adekuasi dan Durasi Hemodialisa a. Dosis Dosis HD yang diresepkan menurut K/DOQI (2006) yaitu : 1) Tentukan tinggi badan dan berat badan pasien untuk mengukur volume 2) Tentukan volume yang mengacu pada normogram 3) Tentukan klirens urea dari dializer yang dipakai sesuai dengan laju aliran darah (Qb). Lihat petunjuk pada kemasan dializer. 4) Lama dialisis yang diinginkan dalam jam (T) : KT/V = 1,2 (untuk HD 3X seminggu). Dosis
HD
yang
sebenarnya
dapat
ditentukan
setelah
hemodialisis, dengan rumus Daugirdas, Blake & Ing (2007) : ( )
Kt/V=-ln(R–0,008t) + (4 – 3,5R)X
32
Ket : ln = logaritma natural R = Ureum pasca dialisis/ureum pra dialisis t = Lama dialisis (jam) b. Adekuasi Kecukupan dosis hemodialysis yang diberikan diukur dengan istilah adekuasi dialisis. Terdapat korelasi yang kuat antara adekuasi dialisis dengan angka morbiditas dan mortalitas (Septiwi, 2011). Adekuasi dialisis diukur dengan menghitung Urea reduction Ratio (URR) dan KT/V. URR dihitung dengan rumus yaitu : URR = 100 X (1 – Ct/Co) Ket: Ct : ureum post dialisis, Co : ureum predialisis Rumus lain berdasarkan Jindal (2006) dalam menghitung dosis dialisis yaitu : KT/V Ket : K : bersihan ureum dialyser T : waktu pemberian dialysis V : jumlah ureum yang terdistribusi dalam cairan tubuh Target KT/V yang ideal adalah 1,2 (URR 65%) untuk HD 3X perminggu selama 4 jam perkali HD dan 1,8 untuk HD 2X perminggu selama 4 – 5 jam perkali HD. Frekuensi pengukuran adekuasi HD sebaiknya dilakukan secara berkala (idealnya 1 kali
33
tiap bulan) minimal tiap 6 bulan. (Konsensus Hemodialisis Pernefri, 2013). c. Durasi Berdasarkan pengalaman selama ini tentang durasi HD, frekuensi 2X perminggu telah menghasilkan nilai KT/V yang mencukupi (> 1,2) dan juga pasien merasa lebih nyaman. Dana asuransi kesehatan yang tersedia juga terbatas dan hanya dapat menanggung HD dengan frekuensi rata-rata 2X perminggu. Hemodialisa di Indonesia biasa dilakukan HD 2X/minggu selama 4 – 5 jam dengan memperhatikan kebutuhan individual (Konsensus Hemodialisa Pernefri, 2013). d. Komplikasi HD Komplikasi HD kepada pasien antara lain sebagai berikut (Konsensus Hemodialisa Pernefri, 2013): 1) Komplikasi intradialitik a) Gangguan hemodinamik Komplikasi yang sering terjadi pada HD adalah gangguan hemodinamik (Chou, et.al, 2006). Hipotensi intradialitik terjadi pada 20-30% pasien yang menjalani HD secara reguler (Tatsuya, et al, 2004).
34
Penyebab hipotensi menurut Daugirdas, Blake & Ing (2007): (1) Gangguan kecepatan pengisian plasma karena kecepatan ultrafiltrasi yang tinggi, hematokrit predialisis yang rendah, dialisat rendah natrium, dialisat asetat. (2) Peningkatan kapasitas vena yang tidak tepat akibat makan saat dialisis berlangsung, demam, dialisat rendah natrium, (3) Penurunan resistensi pembuluh darah akibat anemia, demam, makan, dialisat asetat (4) Disfungsi kardiak (5) Penyebab yang jarang seperti tamponade perikard, aritmia, reaksi terhadap dialiser, hemolisis, emboli udara, infark miokard, perdarahan samar, sepsis. Strategi pencegahan hipotensi: (1) Penilaian ulang berat badan kering (2) Hindari ultrafiltrasi yang terlalu cepat dan agresif (3) Hindari penambahan berat badan interdialitik yang besar, pertahankan <3% berat badan kering (4) Pertimbangkan pemakaian dialisat dengan kadar natrium yang lebih tinggi atau profiling natrium/UF (5) Pertimbangkan pemakaian suhu dialisat yang lebih rendah (34360C) (6) Hindari pemakaian dialisat asetat (7) Hentikan pemakaian obat antihipertensi pre-dialisis
35
(8) Ultrafiltrasi sekuensial (9) Pertahankan hemoglobin 10-12 g/dl (Konsensus Hemodialisa Pernefri, 2013) b) Sindrom disekuilibrium Sindrom disekuilibrium adalah serangkaian gejala sistemik dan neurologis yang dapat terjadi selama atau setelah dialisis (Brunner & Sudarth, 2012). Pasien dengan gangguan neurologis sebelumnya (misalnya stroke, trauma kepala, hematom subdural atau hipertensi maligna) memeliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami. Tanda dan gejala yaitu mual, muntah, sakit kepala, pandangan kabur, gelisah, kejang dan koma (Daugirdas, Blake & Ing, 2007). Strategi pencegahan : (1) Hindari dilisat yang agresif. Pada beberapa sesi HD awal harus perlahan, memakai Qb yang rendah (150 ml/menit) dan durasi yang lebih pendek (2) Pemakaian dialisat tinggi natrium minimal 140 meg/L (3) Pemakaian natrium profilling (Konsensus Hemodialisa Pernefri, 2013)
36
c) Perdarahan Pasien dialisis mempunyai angka insiden perdarahan yang tinggi. Penyebabnya meliputi disfungsi platelet atau gangguan interaksi platelet-endotelium, pemakaian antikoagulan selama HD, interaksi
platelet-membran
dialiser
yang
mengakibatkan
trombositonia. d) Emboli udara Sumber udara yang memasuki sirkuit dialisis antara lain tubing bagian pre-pompa, set infus intravena, bagian lain dari tubing dialisis, udara dari dialisat dan dari ujung kateter vena sentra yang tidak sengaja terbuka (Kallenbach, et.al., 2005). Tanda dan gejala yang muncul tergantung dari volume udara yang masuk ke dalam sistem pembuluh darah dan posisi pasien. Udara akan masuk ke dalam sistem saraf pusat dan menyebabkan kejang jika posisi pasien duduk. Udara akan memasuki jantung dan menyebabkan penurunan curah jantung, sesak napas mendadak, batuk serta sianosis sentral jika posisi pasien tidur (Daugirdas, Blake & Ing, 2007). Strategi pencegahan: (1) Dialisis tidak boleh dilakukan apabila sistem alarm udara tidak aktif (2) Cairan intravena sebaiknya dalam kantong yang collapsible.
37
(3) Lakukan aspirasi kateter untuk darah yang kembali ke pasien dan berikan bolus salin sebelum disambungkan ke sirkuit dilaisis. (4) Bilas
dialiser
dengan
salin
secara
menyeluruh
untuk
mengeluarkan gelembung udara. (Konsensus Hemodialisa Pernefri, 2013) e) Hemolisis Hemolisis adalah kerusakan atau pecahnya sel darah merah akibat pelepasan kalium intraseluler (Thomas, 2003). Hemolisis akut menurut Kallenbach, et.al. (2005) biasanya disebabkan oleh: (1) Kontaminasi dialiser/dialisat dengan formaldehid, pemutih, tembaga, nitrat atau kloramin (2) Perlengkapan dialisis yang rusak atau kesalahan prosedur (3) Kateter/tube kinking (4) Dialisat yang hiperosmolar (5) Faktor terkait pasien Gambaran klinis yang tampak adalah perubahan warna darah yang kembali ke pasien dari gelap menjadi merah terang. Gejala hemolisisis akut adalah nyeri pinggang, nyeri dada dan sesak napas (Kallenbach, et.al., 2005). Strategi pencegahan: (1) Kualitas air harus mengikuti rekomendasi (2) Proses pembilasan dialiser proses ulang dengan menyeluruh
38
(3) Persiapan
dialisat
yang
baik
untuk
menghindari
hipoosmolaritas (4) Monitor temperatur dialisat (Konsensus Hemodialisa Pernefri, 2013) f) Reaksi terhadap dialiser (1) Tipe A (tipe anafilaksis) Pasien dengan riwayat atopi memiliki resiko tinggi. Biasanya terjadi pada beberapa menit pertama dialisis. Tanda dan gejala yang muncul meliputi reaksi ringan (urtikaria, gatal, batuk, bersin, mata berair, nyeri perut diare) sampai berat (reaksi anafilaksis). Strategi pencegahan: (a) Pembilasan dialiser yang baik sebelum digunakan (b) Hindari strerilisasi dialiser dengan ETO pada pasien dengan riawayat alergi terhadap dialiser tipe A (c) Antihistamin predialisis pada pasien dengan reaksi ringan dan persisten. (2) Tipe B (tipe reaksi dialiser non spesifik) Manifestasinya adalah muncul rasa nyeri dada dengan atau tanpa keluhan nyeri pinggang. Kondisi ringan maka dialisis dapat dilanjutkan. Onset dapat terjadi dalam beberapa menit setelah HD dimulai. Pencegahan dengan menggunakan tipe membran dialiser yang berbeda.
39
g) Kram otot Penyebab kram otot adalah perfusi ke otot yang menurun serta kontraksi volume intravaskuler yang muncul sebagai akibat dari proses ultrafiltrasi yang berlebihan (Brenner, 2004). Kram otot dalam penelitian yang dilakukan oleh Armiyati (2009) terjadi pada 18% responden. Strategi pencegahan : (1) Kurangi penambahan berat badan intradialitik (2) Turunkan kecepatan ultrafiltrasi (3) Kaji ulang berat badan kering (4) Pakai dialisat bikarbonat (5) Naikkan natrium bikarbonat (6) Pemakaian obat quinine sulphate 300 mg, benzodiazepine kerja pendek atau menengah. (7) Latihan peregangan otot (Konsensus Hemodialisa Penferi, 2013) h) Komplikasi akibat kesalahan teknik Biasanya disebabkan oleh proporsi air dan dialisat yang tidak tepat sehingga kadar natrium, kalium, kalsium dan pH dialisat salah. Hal ini diakibatkan oleh wadah dialisat yang kosong, sambungan
konsentrat dialisat
salah,
mesin
rusak,
alarm
konduktivitas rusaka atu tidak aktif dan gangguan suplai air. Gambaran klinis meliputi hipo/hipernatremia, asidosis/alkalosis,
40
hiperkalsemia, asidosis hiperkloremik. Tatalaksana sesuai dengan penyebab dasar (Konsensus Hemodialisa Pernefri, 2013). i) Kontaminasi mikroba/endotoksin Gambaran klinis meliputi demam dan hipotensi. Kontaminasi dapat disebabkan oleh proses pakai ulang dialiser yang tidak benar atau dialist yang terkontaminasi. Resiko meningkat pada pemakaian dialisat bikarbonat dan dialisis high-flux (Konsensus Hemodialisa Pernefri, 2013). j) Reaksi pirogenik 2) Komplikasi jangka panjang Komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi yaitu anemia renal, gangguan mineral dan tulang, toksisitas alumunium serta amiloidosis terkait dialisis (Konsensus Hemodialisa Pernefri, 2013) e. Peran Perawat Hemodialisa Perawat hemodialisa adalah perawat profesional bersertifikat pelatihan dialisis yang bertanggungjawab melaksanakan perawatan dan bekerja secara tim di unit dialisis (Dirjend Yanmed, 2008) . Perawat hemodialisa mempunyai peran penting sebagai pemberi asuhan, advokasi, konsultan, pemberi edukasi untuk membantu pasien CKD mencapai adekuasi hemodialisa (Smeltzer, et al, 2008). Perawat juga mempunyai peran sebagai peneliti dalam rangka meningkatkan kualitas asuhan dalam mencapai adekuasi berdasarkan fenomena atau masalah yang ada di ruang hemodialisa (Kallenbach, et.al., 2005). Perawat hemodialisa harus
41
mempunyai kemampuan profesional dalam mempersiapkan pasien sebelum proses hemodialisa berlangsung, memantau kondisi pasien selama hemodialisa dan berkolaborasi dalam melakukan evaluasi pencapaian adekuasi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien hemodialisa (Braun, 2008). Perawat harus menyiapkan latihan pre dialysis yang lengkap. Termasuk mendiskusikan hal yang menjadi perhatian pasien atau tentang sesi terakhir dialysis, membaca semua catatan tentang sesi dialysis terakhir dan menanyakan permasalahan intra dialysis. Pengukuran tekanan darah, pemberian cairan dan latihan klinis, semuanya memberikan kontribusi terhadap latihan dry-weight yang benar (Lewis, Stabler & Welch, 200). Latihan
reguler
tentang dry
weight
sangat
penting
untuk
memungkinkan perawat dan pasien menentukan jumlah cairan yang dibuang yang dibutuhkan selama dialysis. Satu Kg sama dengan 1 L cairan, artinya berat pasien merupakan metode yang sederhana dan akurat untuk menentukan penambahan dan pengurangan cairan selama dialysis. Istilah ”dry weight” merujuk pada berat dimana tidak ada bukti klinis oedema, nafas yang pendek, peningkatan tekanan nadi leher atau hipertensi (Reams & Elder, 2003). Penentuan dry weight harus berdasarkan
hasil
pemeriksaan
perawat,
dokter
dan
ahli
diet.
Bagaimanapun juga, dari hari ke hari menjadi tanggung jawab perawat dan sudah banyak perawat yang dilatih dalam hal skill klinis rutin tentang latihan cairan
42
Perawat menjelaskan kepada pasien tentang tujuan, persiapan, pelaksanaan dan evaluasi pasca hemodialysis. Perawat memberikan dukungan psikologis agar pasien dapat bekerjasama dengan tim hemodialysis selama pasien membutuhkan terapi dialysis ini (Thomas, 2003). 2.1.3. Konsep Kepatuhan 2.1.3.1.Definisi Kepatuhan Kepatuhan (adherence) secara umum didefinisikan sebagai tingkatan perilaku seseorang yang mendapatkan pengobatan, mengikuti diet, dan atau melaksanakan gaya hidup sesuai dengan rekomendasi pemberi pelayanan kesehatan (WHO, 2003). Kepatuhan didefinisikan sebagai keterlibatan pasien yang bersifat aktif, sukarela dan kolaboratif dalam menerima perilaku untuk mencapai hasil yang terapeutik (Thorm, 2006). Kepatuhan merupakan suatu perilaku dalam bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme. Respon sangat bergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain. Green (1980, dalam Notoatmodjo, 2007) menjabarkan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat. Penelitian menunjukkan kepatuhan lebih besar terhadap obat daripada pada perubahan gaya hidup (Anderson, 1993, cit. Delamater, 2006). Ketidakpatuhan terhadap pembatasan cairan adalah hal yang banyak ditemui pada pasien HD. Diperkirakan 50% pasien tidak mengikuti secara
43
benar diet makanan maupun asupan cairan (Kuthner, 2001). Selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Kugler, dkk (2011) yang menemukan hasil bahwa ketidakpatuhan pasien HD di Amerika dan Jerman terhadap pembatasan asupan makanan adalah 80,4%, sedangkan ketidakpatuhan pembatasan
cairan adalah 75,3%.
Penelitian yang
dilakukan oleh Ramelan, Ismonah, Hendrajaya (2013) menemukan bahwa ketidakpatuhan asupan cairan pasien HD di RS Telogorejo Semarang adalah 35,4%. Penelitian Sitanggang (2010) menemukan hasil bahwa 100% dari kelompok kontrol yang ditelitinya mempunyai tingkat kepatuhan pembatasan cairan yang buruk. 2.1.3.2.Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Pasien Hemodialisa Faktor- faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien hemodialisis adalah : 1. Faktor pasien Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien meliputi sumber daya, pengetahuan, sikap, keyakinan, persepsi dan harapan pasien. Faktor-faktor ini analog dengan Faktor Predisposisi (Predisposing factors) dari Green. Pengetahuan pasien dan keyakinan tentang penyakit, motivasi untuk mengelolanya, kepercayaan (self efficacy) tentang kemampuan untuk terlibat dalam perilaku manajemen penyakit, dan harapan mengenai hasil pengobatan serta konsekuensinya dari ketidakpatuhan
44
berinteraksi untuk mempengaruhi kepatuhan dengan cara yang belum sepenuhnya dipahami (Sabate, 2001) Penelitian
tidak menunjukkan hubungan yang jelas antara
demografi pasien dan kepatuhan, tetapi beberapa hasil riset mencoba menghubungkannya dengan kepatuhan terapi dialisis. Saran et al, 2003 menunjukkan hasil studi DOPPS (the Dialysis Outcomes and Practice Patterns Study), bahwa prediktor peluang ketidakpatuhan lebih tinggi mengenai usia yang lebih muda (untuk melewatkan dan memperpendek dialisis, IDWG berlebihan, dan hiperfosfatemia), ras Afrika Amerika (untuk melewatkan dan memperpendek dialysis), jenis kelamin perempuan (untuk IDWG berlebihan), status bekerja (untuk hiperposfatemia), merokok (untuk melewatkan dialisis dan IDWG berlebihan), depresi (untuk melewatkan dan memperpendek dialysis), status perkawinan (untuk hiperfosfatemia), dan waktu pada dialysis (untuk memperpendek dialysis, IDWG berlebihan, dan hiperkalemia). Beberapa bukti menunjukkan bahwa tingkat pendidikan pasien berperan dalam kepatuhan, tetapi memahami intruksi pengobatan dan pentingnya perawatan mungkin lebih penting daripada tingkat pendidikan pasien. Penelitian telah menunjukkan bahwa peningkatan pengetahuan tidak berarti meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang diresepkan. Yang paling penting, seorang pasien
45
harus memiliki sumber daya dan motivasi untuk mematuhi protokol pengobatan (Krueger et al, 2005). 2.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Fasilitas pelayanan Hemodialisis dapat dikaitkan dengan ketidakpatuhan. Fasilitas ukuran besar (10 atau lebih pasien di HD) dihubungkan dengan reaksi melewatkan dan memperpendek waktu pengobatan dialysis, serta kelebihan IDWG. Fasilitas dengan lebih dari 60 pasien, resiko pasien melewatkan dialysis meningkat 77 % (P=0,0001). Pada fasilitas dengan lebih dari 75 pasien, kemungkinan memperpendek waktu dialysis meningkat 57 % (P=0,0006). Fasilitas lebih besar dari 125 pasien dihubungkan dengan peluang yang lebih besar untuk IDWG berlebihan (P=0,03) (Saran et al, 2003). Tekanan waktu dalam pengaturan klinis merupakan hambatan utama
untuk
memahami
atau
memperbaiki
ketidakpatuhan.
Komunikasi dengan pasien adalah komponen penting dari perawatan, sehingga pemberi pelayanan kesehatan harus mempunyai waktu yang cukup untuk berbagi dengan pasien dalam diskusi tentang perilaku mereka dan motivasi untuk perawatan diri. Perilaku dan penelitian pendidikan menunjukkan kepatuhan terbaik mengenai pasien yang menerima perhatian individu. Fasilitas hemodialisis yang besar dengan beberapa perubahan dan pergantian cepat pasien dapat membuat situasi yang lebih sulit untuk memberikan perawatan pribadi. Tampaknya sistem pelayanan kesehatan sendiri menjadi
46
tantangan yang paling berat untuk kemampuan pasien berpartisipasi secara efektif dalam perawatan mereka sendiri dan pengobatan. Banyak penyedia layanan kesehatan cenderung untuk menekankan kepatuhan yang ketat dan mungkin mempercayai bahwa pasien hemodialisis mampu mengelola dirinya sendiri. Pada model perilaku Green, faktor-faktor ini analog dengan faktor-faktor pemungkin (enabling factors). 3. Petugas Hemodialisa Salah satu faktor penting yang mempengaruhi kepatuhan adalah hubungan yang dijalin oleh anggota staf hemodialisis dengan pasien (Krueger dkk, 2005). DOPPS menunjukkan hubungan antara kehadiran seorang ahli diet di fasilitas tersebut dan kemungkinan lebih rendah dalam hal ketidakpatuhan kelebihan IDWG (Odds ratio [OR] = 0,75, P=0,08). Keberadaan staf terlatih juga berhubungan dengan kepatuhan pasien. Hasil penelitian menunjukkan kemungkinan melewatkan waktu hemodialisis adalah 11 % lebih rendah untuk setiap kenaikan 10 % staf yang sangat terlatih dalam unit (staf dengan pelatihan keperawatan formal 2 tahun atau lebih) (OR = 0,89, P = 0,06) (Saran et al, 2003 dalam Kamerrer, 2007). Persentase jam staf yang sangat terlatih maupun jumlah staf yang sangat terlatih dalam fasilitas tampaknya memiliki efek pada kepatuhan pasien. Waktu yang didedikasikan perawat untuk konseling pasien dapat meningkatkan kepatuhan pasien. Kehadiran ahli diet
47
terlatih (teregistrasi) tampaknya juga menurunkan kemungkinan kelebihan IDWG. Pada model perilaku Green, faktor-faktor tersebut analog dengan faktor-faktor penguat (reinforcing factors) (Kamerrer, 2007) 2.1.4. Konsep Pembatasan Asupan Cairan Kondisi yang menggambarkan asupan cairan yang sesuai adalah : tekanan darah normal, tidak adanya edema atau pembengkakan, tidak adanya indikasi kelebihan cairan saat pemeriksaan paru – paru, tidak ada indikasi sesak nafas (Hare, Carter & Forshaw, 2013). Pembatasan cairan juga merupakan bagian dari resep diet untuk pasien ini. Cairan dibatasi, yaitu dengan menjumlahkan urin/24jam ditambah 500-750 ml (Almatsier, 2004). Pembatasan asupan cairan sampai 1 liter perhari sangat penting karena meminimalkan resiko kelebihan cairan antar sesi hemodialisa (Patrocinio & Rafael, 2003). Jumlah cairan yang tidak seimbang dapat menyebabkan terjadinya edema paru ataupun hipertensi pada 2-3 orang pasien hemodialisa. Ketidakseimbangan cairan juga dapat menyebabkan terjadinya hipertropi pada ventrikel kiri (Villaverde, 2005). Beberapa laporan menyatakan bahwa pembatasan cairan pada pasien hemodialisa sangat dipengaruhi oleh perubahan musim dan masa-masa tertentu dalam hidupnya. Penelitian Argiles (2004) menyatakan bahwa asupan cairan pasien akan sangat tidak terkontrol pada musim panas dan pada masa liburan Natal dan Tahun Baru karena pada musim panas
48
merangsang rasa haus dan pada masa liburan natal dan tahun baru banyak mengonsumsi makanan ringan yang kering dan mengandung garam sehingga memacu keinginan untuk minum (Welch, 2006). Jumlah asupan cairan pasien baik cairan yang diminum langsung ataupun yang dikandung oleh makanan dapat dikaji secara langsung dengan mengukur kenaikan berat badan antar sesi hemodialisa (Interdialytic weight gain/IDWG) (Welch, 2006). IDWG adalah peningkatan berat badan antar hemodialisa yang paling utama dihasilkan oleh asupan garam dan cairan (Geddes, 2003). Teorinya adalah asupan air dan salin dapat bekerja sama dengan kalori dan protein dalam makanan, yang akan disatukan untuk memperoleh status nutrisi yang lebih baik. Asupan air dan garam dapat menimbulkan peningkatan cairan tubuh yang menjadi kunci untuk kejadian hipertensi dan hipertropi ventrikel kiri (Villaverde, 2005). IDWG yang dapat ditoleransi oleh tubuh adalah tidak lebih dari 1,0-1,5 kg (Lewis et al., 1998) atau tidak lebih dari 3 % dari berat kering (Fisher, 2006). Berat kering adalah berat tubuh tanpa adanya kelebihan cairan yang menumpuk diantara dua terapi hemodialisa (Mitchel, 2002). Berat kering ini dapat disamakan dengan berat badan orang dengan ginjal sehat setelah buang air kecil. Berat kering adalah berat terendah yang dapat ditoleransi oleh pasien sesaat setelah terapi dialisis tanpa menyebabkan timbulnya gejala turunnya tekanan darah, kram atau gejala lainnya yang merupakan indikasi terlalu banyak cairan dibuang. (Reams & Elder, 2003).
49
2.1.5. Pendidikan Kesehatan 2.1.5.1.Definisi Pendidikan Kesehatan Pendidikan kesehatan diartikan sebagai suatu proses yang terdiri dari pengkajian, intervensi dan evaluasi (Edelman & Mandle, 2010). Pengkajian berguna menentukan kebutuhan, motivasi dan tujuan pembelajaran yang dibuat bersama klien. Intervensi dilakukan untuk menyediakan sumber pelajaran sesuai kebutuhan klien dan evaluasi dilakukan selama proses pembelajaran maupun setiap tahap belajar untuk mengetahui pencapaian kemampuan. Pembelajaran ulang dan follow up kemampuan yang dimiliki dapat dilakukan jika perlu (Redman, 2007). 2.1.5.2.Tujuan Tujuan pendidikan kesehatan secara umum adalah mengubah perilaku individu atau masyarakat di bidang kesehatan (WHO, 1954 cit. Bastable, 2002). Rincian tujuan pendidikan kesehatan sebagai berikut: 1. Menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang bernilai di masyarakat. Pendidik kesehatan bertanggung jawab mengarahkan cara-cara hidup sehat menjadi kebiasaan hidup. 2. Menolong
individu
agar
mampu
mandiri
dan
berkelompok
mengadakan kegiatan untuk mencapai tujuan hidup. 3. Mendorong pengembangan dan penggunaan secara tepat sarana pelayanan kesehatan.
50
2.1.5.3.Media Media pembelajaran merupakan alat yang digunakan dalam pemberian informasi kesehatan. Notoatmodjo (2009) menyatakan media pendidikan adalah alat yang digunakan untuk membantu dalam menyampaikan bahan pendidikan atau pengajaran. Media pendidikan disusun berdasarkan prinsip bahwa semakin banyak indra yang terlibat dalam menerima stimulus, maka semakin banyak informasi yang diserap. Informasi yang diberikan kepada seseorang pada awalnya akan tersimpan dalam memori jangka pendek. Informasi akan bertahan selama 20 detik sebelum akhirnya dilupakan atau diproses untuk masuk ke dalam memori jangka panjang. Informasi akan disimpan di memori jangka panjang bila pembelajaran diterapkan ke situasi yang nyata sehingga tidak mudah dilupakan (Edelman & Mandle, 2010). Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa informasi akan disimpan dalam memory 20% jika disampaikan dengan menggunakan media visual, 50% jika menggunakan media audiovisual dan 70% jika dilakukan dalam praktek nyata. Pertimbangan pengaruh budaya dalam proses belajar diketahui bahwa intruksi akan lebih efektif
apabila
disampaikan dalam bentuk video yang menampilkan pesan menyerupai benda asli. Media pendidikan kesehatan sebaiknya menggunakan film atau permainan untuk memberikan gambaran yang hidup atau nyata yang dapat diingat. Empat metode untuk memudahkan mengingat pelajaran,
51
yaitu gunakan kata dan kalimat yang pendek; pertegas kategorisasi; pengulangan dan gunakan pernyataan yang konkrit dan spesifik; hindari pernyataan yang umum dan abstrak (Ley, 1979, cit. Redman, 2007). Media pembelajaran dapat diklasifikasikan berdasarkan sifatnya : 1. Media Auditif, yaitu media yang hanya dapat didengar saja, atau media yang hanya memiliki unsur suara, seperti radio dan rekaman suara. 2. Media Visual, yaitu media yang hanya dapat dilihat saja, tidak mengandung unsur suara. Contoh yang termasuk ke dalam media ini adalah film slide, foto, tranparansi, lukisan, gambar, dan berbagai bentuk bahan yang dicetak seperti media grafis dan lain sebagainya. 3. Media Audiovisual, yaitu jenis media yang selain mengandung unsur suara juga mengandung unsur gambar yang bisa dilihat, misalnya rekaman video, berbagai ukuran film, slide suara, dan lain sebagainya. Kemampuan media ini dianggap lebih baik dan lebih menarik, sebab mengandung kedua unsur jenis media yang pertama dan kedua (Sanjaya, 2010). 2.1.5.4.Peran Media Pendidikan Kesehatan terhadap Perubahan Perilaku Individu Penelitian yang dilakukan Kapti (2010) di dua RS di Kota Malang membuktikan bahwa penggunaan media audio visual dalam pendidikan mampu meningkatkan pengetahuan dan sikap ibu dalam tata laksana diare pada anak. Hasil yang sama juga didapatkan dari penelitian yang
52
dilakukan oleh Davis (2011), di mana media audio visual efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan keinginan mengkonsumsi buah dan sayuran bagi penderita diabetes. Dewi (2012) melakukan penelitian yang hasilnya adalah pendidikan kesehatan dengan media audio visual efektif meningkatkan pengetahuan, sikap terhadap nutrisi dan perawatan luka serta penyembuhan luka caesar.
2.2. Keaslian Penelitian No
Nama
Judul
Metode
Hasil
1.
Ridlwan Kamaludin, Eva Rahayu (2009)
Metode penelitian menggunakan deskriptif analitikf. Pendekatan cross sectional. Jumlah responden 51 pasien.
Faktor yang mempengaruhi kepatuhan pembatasan intake cairan adalah peran perawat, tingkat pengetahuan, pendidikan, peran keluarga, konsep diri
2.
Kartika Sitanggang (2010)
Desain quasi eksperimen. Pengambilan sampel dengan purposive sampling, jumlah sampel 26 pasien
Tidak ada pengaruh terapi perilaku kognitif terhadap pembatasan asupan cairan pasien hemodialisa di RSUP Haji Adam Malik Medan.
3.
Mia Intania Ramelan, Ismonah, Hendrajaya (2013)
Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Asupan Cairan pada Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan Hemodialisis di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Pengaruh Terapi Perilaku Kognitif terhadap Pembatasan Asupan Cairan Pasien Hemodialisa di RSUP Haji Adam Malik Medan Analisis FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Pembatasan Asupan Cairan Pada Klien Dengan Chronic Kidney Disease Yang Menjalani Hemodialisa
Pendekatan Cross sectional. Pengambilan sampel dengan purposive sampling, jumlah 48 responden.
Faktor yang mempengaruhi adalah pengetahuan, dukungan keluarga dan IDGW.
53
2.3. Kerangka Teori Etiologi 1. Penyakit ginjal hipertensi 2. Nefrotika diabetika 3. Glomerulopati primer 4. Nefropati obstruksi 5. Pielonefrotik kronik 6. Lain-lain 7. Tidak diketahui 8. Nefropati asam urat 9. Ginjal polikistik
Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3
CKD (Chronic Kidney Disease)
Stadium 4 Stadium 5
Penatalaksanaan
Terapi Konservatif
Terapi Ginjal Pengganti Peritoneal dialisis
Transplantasi ginjal
Komplikasi HD 1. Komplikasi intradialitik 2. Komplikasi Jangka Panjang
Terapi Simptomatis
Hemodialisis Kepatuhan Pembatasan Makanan Pencegahan Kepatuhan Pembatasan Cairan
Auditif
Visual
Sumber: Kamerrer (2007); Suwitra (2006); Notoadmodjo ( 2007) Gambar 2.1. Kerangka Teori Penelitian : Diteliti : Tidak diteliti
Pendidikan Kesehatan
Audiovisual
54
2.4. Kerangka Konsep Variabel Dependen
Variabel Independen
Pendidikan Kesehatan tentang Pembatasan cairan dengan media audio visual
Kepatuhan pembatasan cairan
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
2.4. Hipotesis Hipotesis penelitian yaitu jawaban sementara atau kesimpulan yang diambil untuk menjawab permasalahan yang diajukan dalam penelitian (Arikunto, 2009). Hipotesis dalam penelitian ini adalah : Ha:
Ada pengaruh pendidikan kesehatan menggunakan media audiovisual terhadap kepatuhan pembatasan cairan pada pasien hemodialisa
Ho:
Tidak ada pengaruh pendidikan kesehatan menggunakan media audiovisual terhadap kepatuhan pembatasan cairan pada pasien hemodialisa
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan rancangan penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain Quasi Experiment dengan pendekatan pretest-posttest with control group design untuk mengukur pengaruh pendidikan kesehatan yang diberikan pada pasien HD terhadap kepatuhan pembatasan cairan. Pendekatan pretest-posttest with control group design digunakan untuk melihat efektifitas perlakuan melalui perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (Arikunto, 2009). Pendekatan pretest-posttest control group design atau desain eksperimen semu berupa non equivalent control group pada dasarnya merupakan desain penelitian yang diterapkan pada kondisi yang lebih memungkinkan untuk membandingkan dengan kelompok kontrol serupa tetapi tidak perlu dengan kelompok yang benar-benar sama dan kelompok yang diberi intervensi pada desain penelitian ini tidak mungkin sama betul dengan kelompok kontrol (Notoatmodjo, 2010). Kepatuhan pasien HD sebagai variabel dependen diukur sebelum dan setelah pendidikan kesehatan dilakukan. Pengukuran mengenai kepatuhan pasien diambil dari sumber primer yaitu pasien HD secara langsung dengan menggunakan kuesioner yang disusun dan dikembangkan sendiri oleh peneliti. Deskripsi dari penelitian ini sesuai dengan pendapat Arikunto (2009) adalah sebagai berikut:
55
56
O1
E:
X3
Intervensi
X4
X1
O3
P:
O2
O4
X2
Gambar 3.1 Desain Penelitian Menggunakan Pendekatan Pretest-posttest Control Group Design
Keterangan: O1
: Kepatuhan pasien HD pada kelompok eksperimen yang diukur sebelum dilakukan pendidikan kesehatan
O2
: Kepatuhan pasien HD pada kelompok eksperimen yang diukur setelah dilakukan pendidikan kesehatan
O3
: Kepatuhan pasien HD pada kelompok kontrol yang diukur sebelum dilakukan pendidikan kesehatan
O4
: Kepatuhan pasien HD pada kelompok kontrol yang diukur setelah dilakukan pendidikan kesehatan
X1
: O2 – O1 = Perubahan atau deviasi kepatuhan pasien HD pada kelompok eksperimen sebelum dan setelah pendidikan kesehatan dilakukan
57
X2
: O4 – O3 = Perubahan atau deviasi kepatuhan pasien HD pada kelompok kontrol sebelum dan setelah pendidikan kesehatan dilakukan pada kelompok eksperimen
X3
: O1 – O3 = Perbedaan kepatuhan pasien antara kelompok eksperimen dan kelompok control
X4
: O2 – O4 = Perbedaan kepatuhan pasien HD antarakelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah dilakukan Pendidikan kesehatan
E
: Kelompok eksperimen
P
: Kelompok kontrol
3.3. Populasi dan sampel 3.3.1. Populasi Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang memiliki kualitas dan karakteristik tertentu untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya oleh peneliti. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien HD yang berjumlah 40 di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen (Sugiyono, 2008). 3.3.2. Sampel Sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2008). Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang akan diteliti (Arikunto, 2009).
58
Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik non propability sampling dengan menggunakan purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu, dengan demikian sampel dalam penelitian ini adalah pasien hemodialisa yang memenuhi kriteria inklusi.
20 sampel untuk kelompok eksperimen dan 20 sampel untuk
kelompok kontrol. Penentuan responden yang termasuk kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dilakukan secara acak. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah: 1. Menjalani HD secara rutin dua kali seminggu 2. Dapat membaca dan menulis. 3. Mampu berbahasa indonesia. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah: 1. Mengalami komplikasi 2. Mengalami penurunan kesadaran dan kondisi 3. Mengalami gangguan pendengaran dan penglihatan 4. Meninggal
3.3. Tempat dan waktu penelitian 3.3.1. Tempat penelitian Penelitian ini mengambil tempat di RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen dengan menggunakan Instalasi Hemodialisa.
59
3.3.2. Waktu penelitian Penelitian ini sudah dilaksanakan pada tanggal 1 sampai dengan 16 Januari 2016. Secara lengkap tabel waktu dan tahapan penelitian dapat dilihat pada lampiran 1. 3.4. Variabel, definisi operasional dan skala pengukuran Tabel 3.1. Variabel penelitian, definisi operasional dan skala pengukuran No
Variabel Penelitian Variabel independen 1. Pendidikan kesehatan asupan cairan media audiovisual
Variabel dependen 2. Kepatuhan pembatasan cairan
Definisi Operasional
Cara Ukur
Hasil Ukur
Skala
Media pendidikan kesehatan yang menyajikan informasi dalam bentuk audiovisual
1. Yang diberikan Nominal pendidikan kesehatan menggunakan media audiovisual 2. Yang tidak diberikan pendidikan kesehatan menggunakan media audiovisual
Perilaku pasien Kuesioner untuk mengikuti pembatasan cairan
Ordinal Pre Test Eksperimen 1: Tidak patuh (<7,10) 2: Patuh ≥ 7,10) Kontrol 1: Tidak patuh (<6,7) 2: Patuh ≥6,7) Observasi Pertama Eksperimen 1: Tidak patuh (<9,55) 2: Patuh ≥9,55) Kontrol 1: Tidak patuh (<7,75) 2: Patuh ≥7,75)
60
No
Variabel Penelitian Variabel independen
Definisi Operasional
Cara Ukur
Hasil Ukur
Skala
Observasi Kedua Eksperimen 1: Tidak patuh (<11,75) 2: Patuh ≥11,75) Kontrol 1: Tidak patuh (<7,30) 2: Patuh ≥7,30) Observasi Ketiga Eksperimen 1: Tidak patuh (<13,55) 2: Patuh ≥13,55) Kontrol 1: Tidak patuh (<7,70) 2: Patuh ≥7,70)
3.5. Alat penelitian dan cara pengumpulan data 3.5.1. Alat penelitian Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik (cermat, lengkap dan sistematis) sehingga lebih mudah diolah (Saryono, 2008). Alat pengumpul data atau instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan data karakteristik pasien HD, dan kepatuhan pembatasan cairan pasien HD (lampiran 2) serta alat bantu audiovisual seperti laptop, speaker aktif untuk kelompok eksperimen dan kuesioner untuk kelompok kontrol. Kuesioner kepatuhan merupakan modifikasi dari kuesioner kepatuhan
61
yang disusun oleh Hirmawati (2014) yang terdiri dari 19 pernyataan, enam pernyataan negatif dan 13 pernyataan positif. Pernyataan positif dengan nilai satu untuk jawaban “ya” dan nilai nol untuk jawaban “tidak”, sedangkan untuk pernyataan negatif nilai nol untuk jawaban “ya” dan nilai satu untuk jawaban “tidak”. 1. Uji Validitas Uji validitas dilakukan untuk mengetahui ketepatan alat ukur (kuesioner) mengukur variabel-variabel yang diteliti. Pengukuran validitas kuesioner dilakukan melalui uji korelasi dengan cara membandingkan antara skor setiap pernyataan dengan skor totalnya (Hastono, 2007). Teknik korelasi menggunakan Pearson product moment (r). Masing-masing nilai signifikan dari item pertanyaan dibandingkan nilai r tabel pada tingkat kemaknaan 5%, jika lebih besar maka item pertanyaan tersebut valid (Notoatmodjo, 2005). Rumus: r=
(∑ ) –(∑ ∑ )
∑ (∑ )( ∑ (∑ )
Keterangan: rxy
= korelasi antara x dan y
x
= skor nilai x
y
= skor nilai total
N
= jumlah sampel
62
Uji coba instrumen untuk menilai validitas dan reliabilitas kuesioner yang dimodifikasi peneliti dilakukan pada bulan Oktober 2015 sejumlah 30 pasien HD di RSUD Sukoharjo. Variabel kuesioner telah diukur dengan menggunakan uji korelasi Pearson Product Moment dan reliabilitas telah diukur dengan menggunakan alpha cronbach. Hasil uji coba intrumen menunjukkan bahwa kuesioner kepatuhan dari 22 item pernyataan yang valid berjumlah 19 item pernyataan, sedangkan item pernyataan yang tidak valid berjumlah 3 item pernyataan. Item pernyataan yang tidak valid selanjutnya 3 item pernyataan dibuang. Item pernyataan yang valid merupakan item pernyataan yang mempunyai nilai validitas yang lebih dari nilai r tabel (r = 0, 361). Semua item pernyataan sudah mewakili variabel yang akan diteliti. 2. Uji Reliabilitas Pernyataan yang sudah valid kemudian diukur reliabilitasnya. Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui sejauhmana hasil perngukuran tetap konsisten bila dilakukan lebih dari satu kali terhadap pernyataan yang sama dengan alat ukur yang sama. Metode cronbach alpha test merupakan salah satu metode yang cukup handal dan terpercaya untuk mengukur konsistensi internal reliabilitas. Burn dan Grove (1997 dalam Hamid, 2008) menyatakan bahwa untuk instrumen yang baru dikembangkan, tingkat koefisien reliabilitas 0,70
63
masih dapat diterima akan tetapi untuk intrumen yang telah dikembangkan dengan baik tingkat koefisien reliabilitas yang dapat diterima lebih dari 0,80. Rumus:
R11 = () (
∑
)
Keterangan: R11
= reliabilitas instrument
K = banyaknya butir pertanyaan ∑ = jumlah varian butir = varian total Reliabilitas
kuesioner
pernyataan
telah
diukur
dengan
menggunakan alpha cronbach. Hasil uji intrumen menunjukkan bahwa kuesioner kepatuhan mempunyai nilai alpha cronbach 0,908 sehingga kuesioner dinyatakan reliabel dan dapat digunakan dalam penelitian untuk mengukur variabel yang diteliti. 3.5.2. Cara pengumpulan data Cara pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner dan pada responden yang memenuhi kriteria inklusi sampel penelitian ini. Pengambilan data dilakukan sebanyak dua kali, dengan selang waktu 1 minggu. Langkah-langkah penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Peneliti menjelaskan tujuan penelitian, manfaat penelitian dan proses penelitian.
64
2. Peneliti menyerahkan kuesioner dan responden dipersilahkan untuk memahami penelitian yang dilaksanakan dengan membaca petunjuk penelitian (pre test). 3. Peneliti mempersilahkan responden untuk menandatangani lembar persetujuan atas keikutsertaannya sebagai subjek penelitian dan mengisi kuesioner tentang kepatuhan. 4. Waktu pengisian kuesioner adalah 10 – 15 menit. 5. Kuesioner yang telah selesai diisi diserahkan kembali kepada peneliti dan peneliti melakukan pengecekan terhadap kelengkapan dan kejelasan isian kuesioner. 6. Peneliti mengumpulkan kuesioner-kuesioner yang telah diisi oleh responden dalam satu dokumen. 7. Responden diberikan pendidikan kesehatan dengan menggunakan media audiovisual pada kelompok eksperimen selama 15 menit. 8. Peneliti menyerahkan kuesioner dan responden dipersilahkan untuk mengisi kuesioner tentang kepatuhan (Observasi 1). 9. Observasi 2 dilakukan 3 hari setelah observasi 1. 10. Observasi 3 (Post test) dilakukan 3 hari setelah observasi 2. 11. Waktu pengisian kuesioner adalah 10 – 15 menit. 12. Kuesioner yang telah selesai diisi diserahkan kembali kepada peneliti dan peneliti melakukan pengecekan terhadap kelengkapan dan kejelasan isian kuesioner.
65
13. Peneliti mengumpulkan kuesioner-kuesioner yang telah diisi oleh responden dalam satu dokumen.
3.6. Teknik pengolahan dan analisa data 3.6.1. Pengolahan data Proses analisis data terhadap variabel penelitian didahului oleh pengolahan data yang terdiri dari proses editing, coding, processing dan cleaning (Hastono, 2007). 1. Editing Editing adalah kegiatan untuk mengecek kelengkapan, kejelasan, relevan dan konsistensi data yang diberikan responden. Editing dilakukan peneliti dengan cara langsung mengecek kuesioner pada saat dikumpulkan responden, jika ada responden yang tidak lengkap dan jelas dalam mengisi, peneliti meminta responden untuk melengkapi dan juga meminta kejelasan langsung kepada responden. 2. Coding Coding berarti merubah data yang berbentuk huruf menjadi data yang berbentuk angka atau bilangan. Hal ini dilakukan dengan cara membuat koding pada lembar kuesioner untuk memudahkan pada waktu memasukkan data. Responden 1 sampai dengan 20 adalah kelompok kontrol, responden 21 sampai dengan 40 adalah kelompok eksperimen. Coding untuk pre tes adalah huruf A dan coding untuk observasi 1, 2 dan 3 adalah huruh B 1, B2, B3. Coding jawaban benar
66
adalah 1 dan jawaban salah adalah 0. Tingkat kepatuhan diberikan kode 0 jika tidak patuh dan kode 1 jika patuh. Kode untuk laki-laki dibuat 1 dan perempuan dibuat 2. Kode untuk tingkat pendidikan SD/Tidak Sekolah = 1, SMP/SMU = 2 dan PT = 3. Kode untuk status nikah responden 0 = tidak menikah dan 1 = menikah. 3. Processing Processing yaitu proses data dengan cara menganalisis data yang dimulai dengan cara memasukkan data dalam lembar rekap yang selanjutnya data yang telah terkumpul dimasukkan dalam program analisis data menggunakan komputer. 4. Cleaning Cleaning yaitu mengecek kembali kemungkinan kesalahan dalam memasukkan data. Setelah dipastikan data dimasukkan dengan benar, maka dapat dilanjutkan ke tahap analisis data menggunakan program analisis data terkomputerisasi. 3.6.1. Analisa data Analisis data dalam penelitian menjadi dua bagian yaitu analisis univariat, analisis bivariat: 1. Analisis Univariat Analisis
univariat
bertujuan
untuk
mendeskripsikan
atau
menjelaskan karakteristik variabel-variabel yang diteliti. Karakteristik responden yang terdiri dari jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, status
67
marital, lama HD, serta kepatuhan pasien HD disajikan dalam bentuk proporsi yang disajikan dalam distribusi frekuensi. 2. Analisis Bivariat Berdasarkan variabel dalam penelitian ini yaitu pendidikan kesehatan terhadap kepatuhan pasien pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol maka uji statistik bivariat yang akan dilakukan adalah dengan metode mann whitney u-test. Uji ini digunakan untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel independen bila datanya berbentuk ordinal (Sugiyono, 2010). Rumus: U1 = n1n2 +
( )
– R1
U2 = n1n2 +
( )
– R2
Keterangan: n1
= Jumlah sampel 1
n2
= Jumlah sampel 2
U1
= Jumlah peringkat 1
U2
= Jumlah peringkat 2
R1
= Jumlah rangking pada sampel n1
R2
= Jumlah rangking pada sampel n2
Uji statistik bivariat yang akan dilakukan untuk mengidentifikasi perbedaan kepatuhan pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
68
adalah dengan menggunakan wilcoxon match pairs test.. Uji ini merupakan suatu uji yang menghitung tanda dan besarnya selisih dua buah rerata populasi. Uji ini untuk menguji signifikasi hipotesis komparatif dua sampel yang berkorelasi bila datanya berbentuk ordinal (Sugiyono, 2010). Rumus: Z=
!"!
µT =
#!
( )
%T =
$
( )( ) $
3.7. Etika penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika penelitian dengan memberikan perlindungan terhadap responden yang menjadi subjek dalam penelitian ini. Hal ini dilakukan untuk mencegah timbulnya masalah etik yang dapat terjadi selama proses penelitian berlangsung dengan menerapkan prinsip etika riset penelitian yaitu beneficence, prinsip menghargai martabat manusia dan prinsip mendapatkan keadilan (Hamid, 2007).
69
Aplikasi Prinsip Etik Penelitian 3.7.1. Anomynity Responden tidak perlu menuliskan nama pada kuesioner yang diisi. Kuesioner dalam penelitian ini menggunakan kode responden yang diisi oleh peneliti (Hamid, 2007). 3.7.2. Confidentiality Informasi yang didapatkan dalam penelitian hanya digunakan untuk keperluan penelitian dan analisis data serta tidak dapat diketahui secara luas untuk kepentingan publikasi (Hamid, 2007). 3.7.3. Informed Concent Informed concent atau persetujuan menjadi responden dibuktikan dengan penanda tanganan surat persetujuan seperti tercantum pada lampiran 2 oleh responden menjadi subjek penelitian secara sukarela dan tanpa paksaan dengan didahului dengan penjelasan oleh peneliti secara lengkap dan adekuat dengan bahasa yang mudah dipahami oleh responden tentang tujuan, prosedur penelitian, manfaat, dan jaminan kerahasiaan informasi yang diberikan responden (Hamid, 2007).
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1. Analisa Univariat 4.1.1. Karakteristik Responden 1.
Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Tabel 4.1 Karakteristik Usia pada Pasien HD di Ruang HD RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen 2016 (n = 20) Klasifikasi Umur 17-25 Tahun 26-35 Tahun 36-45 Tahun 46-55 Tahun 56-65 Tahun Total
Kelompok Kontrol Frekuensi Persen (%) 0 0 1 5 10 50 4 20 5 25 20 100
Kelompok eksperimen Frekuensi Persen (%) 1 5 1 5 5 25 7 35 6 30 20 100
Karakteristik responden berdasarkan umur yang paling banyak pada kelompok kontrol adalah umur 36-45 tahun sebanyak 10 orang (50%) dan kelompok eksperimen adalah umur 46-55 tahun sebanyak 7 orang (35%). 2.
Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 4.2 Karakteristik Jenis Kelamin pada Pasien HD di Ruang HD RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen 2016 (n = 20) Jenis Kelamim Laki-laki Perempuan Total
Kelompok Kontrol Frekuensi Persen (%) 17 85 3 15 20 100
70
Kelompok Eksperimen Frekuensi Persen (%) 16 80 4 20 20 100
71
Karakteristik responden yang paling banyak pada kelompok kontrol berdasarkan jenis kelamin adalah laki-laki sebanyak 17 orang (85%) dan kelompok eksperimen adalah laki-laki sebanyak 16 orang (80%) 3.
Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tabel 4.3 Karakteristik Tingkat Pendidikan pada Pasien HD di Ruang HD RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen 2016 (n = 20)
Tingkat Pendidikan SD/Tidak Bersekolah SMP/SMU DIII/S1/S2 Total
Kelompok Kontrol
Kelompok eksperimen
Frekuensi 3
Persen (%) 15
Frekuensi 5
Persen (%) 25
15 2 20
75 10 100
14 1 20
70 5 100
Karakterisik responden berdasarkan tingkat pendidikan yang paling banyak pada kelompok kontrol adalah SMP/SMU sebanyak 15 orang (75%) dan kelompok eksperimen adalah SMP/SMU sebanyak 14 orang (70%). 4.
Karakteristik Responden Berdasarkan Status Pernikahan Tabel 4.4 Karakteristik Status Pernikahan pada Pasien HD di Ruang HD RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen 2016 (n = 20) Status Nikah Menikah Belum Menikah Total
Kelompok Kontrol Frekuensi Persen (%) 20 100 0 0 20 100
Kelompok eksperimen Frekuensi Persen (%) 20 100 0 0 20 100
Karakteristik responden berdasarkan status pernikahan menunjukkan semua sudah menikah baik kelompok kontrol maupun perlakuan
72
sebanyak 20 orang (100%) pada kelompok kontrol dan 20 orang (100%) pada kelompok eksperimen. 5. Karakteristik Responden Berdasarkan Lama HD Tabel 4.5 Karakteristik Lama HD pada Pasien HD di Ruang HD RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen 2016 (n = 20) Lama HD 0 - 1 Tahun >1 – 3 Tahun >3 Tahun Total
Kelompok Kontrol Frekuensi Persen (%) 2 10 16 80 2 10 20 100
Kelompok eksperimen Frekuensi Persen (%) 7 35 12 60 1 5 20 100
Karakteristik responden berdasarkan lama HD yang paling banyak pada kelompok kontrol adalah >1 - 3 tahun sebanyak 16 orang (80%) dan kelompok eksperimen adalah >1 - 3 tahun sebanyak 12 orang (60%). 4.1.2. Kepatuhan Pembatasan Cairan Responden pada Kelompok Kontrol dan Eksperimen Sebelum Pendidikan Kesehatan Tabel 4.6 Kepatuhan Pembatasan Cairan Responden pada Kelompok Kontrol dan Eksperimen Sebelum Pendidikan Kesehatan Tingkat Kepatuhan Patuh Tidak Patuh Total
Kelompok Kontrol Frekuensi Persen (%) 13 65 7 35 20 100
Kelompok eksperimen Frekuensi Persen (%) 9 45 11 55 20 100
Kepatuhan pada kelompok kontrol sebelum pendidikan kesehatan yang paling banyak adalah patuh sebanyak 13 orang (65%) dan kelompok eksperimen adalah tidak patuh sebanyak 11 orang (55 %).
73
4.1.3. Kepatuhan Pembatasan Cairan pada Kelompok Kontrol dan Eksperimen Sesudah Pendidikan Kesehatan pada Observasi 1, Observasi 2 dan Observasi 3 Tabel 4.7 Kepatuhan Pembatasan Cairan pada Kelompok Kontrol dan Eksperimen Sesudah Pendidikan Kesehatan pada Observasi 1, Observasi 2, Observasi 3
Observasi 1 Tingkat Kepatuhan Patuh Tidak Patuh Total
Observasi 2
Observasi 3
Kelompok Kontrol
Kelompok Eksperimen
Kelompok Kontrol
Kelompok Eksperimen
Kelompok Kontrol
Kelompok Eksperimen
F 13 7 20
F 11 9 20
F 13 7 20
F 9 11 20
F 13 7 20
F 12 8 20
% 65 35 100
% 55 45 100
% 65 35 100
% 45 55 100
% 65 35 100
Kepatuhan pada kelompok kontrol setelah pendidikan kesehatan pada observasi 1 yang paling banyak adalah patuh sebanyak 13 orang (65%) dan kelompok eksperimen adalah patuh sebanyak 11 orang (55%). Kepatuhan pada kelompok kontrol setelah pendidikan kesehatan pada observasi 2 yang paling banyak adalah patuh sebanyak 13 orang (65%) dan kelompok eksperimen adalah tidak patuh sebanyak 11 orang (55%). Kepatuhan pada kelompok kontrol setelah pendidikan kesehatan pada observasi 3 yang paling banyak adalah patuh sebanyak 13 orang (65%) dan kelompok eksperimen adalah patuh sebanyak 12 orang (60%).
% 60 40 100
74
4.2. Analisa Bivariat 4.2.1. Perbedaan Tingkat Kepatuhan Pembatasan Cairan pada Kelompok Eksperimen Tabel 4.8 Perbedaan Tingkat Kepatuhan pada Kelompok Eksperimen Sebelum dan Sesudah Pendidikan Kesehatan Tingkat Kepatuhan Patuh Tidak Patuh
Pre
Post (Obs 3)
p value
9 11
12 8
0,000
Hasil tingkat kepatuhan pada kelompok eksperimen sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan menggunakan uji wilcoxon didapatkan hasil p value 0,000 sehingga p value< 0,05 maka Ha diterima dan H0 ditolak artinya ada perbedaan kepatuhan pembatasan cairan pada pasien hemodialisa pada kelompok eksperimen. 4.2.2. Perbedaaan Tingkat Kepatuhan Pembatasan Cairan pada Kelompok Kontrol Tabel 4.9 Perbedaan Tingkat Kepatuhan pada Kelompok Kontrol
Tingkat Kepatuhan Patuh Tidak Patuh
Pre
Post (Obs 3)
p value
13 7
13 7
1,000
Hasil kepatuhan pada kelompok kontrol menggunakan uji wilcoxon didapatkan hasil p value 1,000 sehingga p value > 0,05 maka Ha ditolak dan H0 diterima artinya tidak ada perbedaan kepatuhan pembatasan cairan pada pasien hemodialisa pada kelompok kontrol.
75
4.2.3. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Kepatuhan Tabel 4.10 Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Kepatuhan
Tingkat Kepatuhan Patuh Tidak Patuh
Kontrol 13 7
Perlakuan 12 8
p value 0,000
Hasil tingkat kepatuhan pada kelompok kontrol dan eksperimen sesudah pendidikan kesehatan menggunakan uji Mann Whitney didapatkan hasil p value 0,000 sehingga p value< 0,05 maka Ha diterima dan H0 ditolak artinya ada pengaruh pendidikan kesehatan menggunakan metode audio visual terhadap tingkat kepatuhan.
BAB V PEMBAHASAN
5.1. Uji Univariat 5.1.1. Umur Karakteristik responden berdasarkan umur yang paling banyak pada kelompok kontrol adalah umur 36-45 tahun sebanyak 10 orang (50%) dan kelompok eksperimen adalah umur 46-55 tahun sebanyak 7 orang (35%). Gambaran usia demikian menunjukkan bahwa mayoritas pasien berada pada kelompok usia dewasa. Semakin tua individu maka akan semakin tahan terhadap persuasi (Azwar, 2005). Seseorang akan lebih rawan terhadap persuasi sewaktu muda dan kemudian dengan bertambah usia, akan semakin kuat sehingga menjadi semakin stabil (Rohman, 2007). Usia berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan atau maturitas, semakin meningkat usia maka semakin meningkat juga kedewasaan atau kematangan baik secara teknik, maupun psikologis, serta akan semakin mampu melaksanakan tugasnya (Siagian, 2001). Usia yang semakin meningkat akan meningkatkan pula kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan, berfikir rasional, mengendalikan emosi, toleran dan semakin terbuka terhadap pandangan orang lain (Rohman, 2007). Seiring dengan bertambahnya usia, fungsi ginjal juga dapat menurun. Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia (YGDI, 2006) menyatakan bahwa penderita CKD yang menjalani HD 49% berusia antara 35-55
76
77
tahun. Kasus CKD cenderung meningkat pada usia dewasa karena proses perjalanan penyakitnya yang bersifat progresif dan kronis (Smeltzer, et al, 2008). Usia dewasa pada umumnya merupakan seseorang yang aktif dengan memiliki fungsi peran yang banyak, mulai perannnya sebagai individu sendiri, keluarga, di tempat kerja, maupun di kelompok sosial. Ketika seorang dewasa mengalami sakit kronik, maka akan terdapat konflik dalam dirinya sehingga dapat mempengaruhi kepatuhan individu. 5.1.2. Jenis Kelamin Mayoritas jenis kelamin responden pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen adalah laki-laki. Jumlah pasien pria lebih banyak dari perempuan dapat disebabkan karena beberapa hal. Perbesaran prostat pada laki-laki dapat menyebabkan terjadinya obstruksi dan infeksi yang dapat berkembang menjadi gagal ginjal. Selain itu, pembentukan batu renal lebih banyak diderita oleh laki-laki karena saluran kemih pada laki-laki lebih panjang sehingga pengendapan zat pembentuk batu lebih banyak pada laki-laki dari pada perempuan. Lakilaki juga lebih banyak mempunyai kebiasaan yang dapat mempengaruhi kesehatan seperti merokok, minum kopi, alkohol, dan minuman suplemen yang dapat memicu terjadinya penyakit sitemik yang dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal (Black & Hawks, 2005). Berdasarkan literatur menyatakan tidak terdapat perbedaan kejadian CKD pada usia dan jenis kelamin tertentu karena CKD dapat mengenai segala macam usia dan jenis kelamin sesuai dengan etiologinya. Jenis
78
kelamin laki-laki dan perempuan mempunyai resiko yang sama untuk menderita CKD. Pengaruh pola hidup
yang menyebabkan seseorang
menderita CKD dan harus menjalani HD. Kemampuan memecahkan masalah, keterampilan analisis, dorongan kompetitif, motivasi, sosiabilitas, dan kemampuan belajar adalah sama antara laki-laki dan perempuan (Rohman, 2007). 5.1.3. Tingkat Pendidikan Mayoritas rensponden pada kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen
mempunyai
tingkat
pendidikan
SMP/SMU.
Tingkat
pendidikan merupakan indikator bahwa seseorang telah menempuh jenjang pendidikan formal di bidang tertentu, namun bukan indikator bahwa seseorang telah menguasai beberapa bidang ilmu. Seseorang dengan pendidikan yang baik, lebih matang terhadap proses perubahan pada dirinya, sehingga lebih mudah menerima pengaruh luar yang positif, objektif dan terbuka terhadap berbagai informasi termasuk informasi tentang kesehatan (Notoatmodjo, 2003). Azwar (2005) mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka ia akan cenderung berperilaku positif karena pendidikan yang diperoleh dapat meletakkan dasar-dasar pengertian dalam diri seseorang. 5.1.4. Status Pernikahan Seluruh responden mempunyai status menikah (100%). Semua responden masih mempunyai pasangan hidup dan ini dapat merupakan support system yang baik dalam meningkatkan kondisi kesehatan pasien.
79
Status pernikahan merupakan prediktor terbaik dari kualitas hidup secara keseluruhan. Ketegangan peran berupa perubahan peran sehat sakit akibat kegagalan fungsi ginjal, perubahan bentuk dan penampilan fisik akibat ascites, dapat diminimalkan dengan adanya dukungan dari pasangan. Hal ini dapat meningkatkan rasa percaya diri, optimis dan motivasi yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien CKD. Sesuai dengan kultur Jawa, dukungan dari keluarga besar juga ikut berperan dalam memberikan dukungan bagi pasien HD (Septiwi, 2011). Hal ini secara keseluruhan menunjukkan bahwa individu yang menikah memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi daripada individu yang tidak menikah, bercerai, ataupun janda/duda akibat pasangan meninggal. Keluarga memiliki fungsi untuk memberikan dukungan (baik material, sosial, maupun emosional) (Brunner & Suddart, 2012). Dukungan keluarga akan mempengaruhi kesehatan secara fisik dan psikologis, di mana dukungan keluarga tersebut dapat diberikan melalui dukungan emosional, informasi dan nasihat, dukungan dalam masalah finasial, dukungan untuk mengurangi tingkat depresi dan ketakutan terhadap kematian, serta pembatasan asupan cairan (Brunner & Suddart, 2012). 5.1.5. Lama Menjalani HD Mayoritas responden pada kelompok kontrol dan kelompok ekperimen menjalani HD > 1 – 3 tahun. Ketidakpatuhan seringkali muncul pada saat kondisi kesehatan kronik, ketika penyebab timbulnya bervariasi,
80
atau apabila gejala tidak nampak, program pengobatan komplek dan rumit, dan ketika pengobatan membutuhkan perubahan gaya hidup (Delamater, 2006). Kebermaknaan durasi menderita penyakit ini disebabkan timbulnya perasaan jenuh, bosan, dan depresi pada sebagian besar pasien CKD yang menjalani terapi jangka panjang (Ciechhanowski, 2000). 5.1.6. Kepatuhan Pembatasan Cairan pada Kelompok Kontrol di Ruang HD RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen Kepatuhan pada kelompok kontrol sebelum pendidikan kesehatan yang paling banyak adalah patuh sebanyak 13 orang (65%). Kepatuhan dimaknai sebagai perilaku seseorang dalam meminum obat, mengikuti anjuran diet dan atau melakukan perubahan gaya hidup yang sesuai dengan rekomendasi dari tenaga kesehatan profesional (WHO, 2003). Kepatuhan berkenaan dengan kemampuan dan kemauan individu untuk mengikuti cara sehat yang berkaitan dengan nasehat, aturan yang ditetapkan, mengikuti jadwal. Kepatuhan adalah tingkat perilaku klien dalam mengambil suatu tindakan untuk pengobatan seperti diet, kebiasaan hidup sehat, dan ketepatan berobat (Niven, 2002). Kepatuhan dalam menjalani HD dan pembatasan cairan penting agar pasien merasa nyaman pada saat sebelum, selama dan sesudah terapi HD (Imelda, 2012). Kepatuhan pembatasan cairan bagi pasien HD merupakan hal penting untuk dilakukan, jika pasien tidak patuh akan terjadi penumpukan zat-zat berbahaya dalam tubuh hasil metabolisme dalam darah.
81
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien CKD dalam pembatasan asupan cairan adalah faktor pendidikan, konsep diri, pengetahuan pasien, keterlibatan tenaga kesehatan dan keterlibatan keluarga (Kamaluddin & Rahayu, 2009). Peneliti berpendapat pendidikan pasien CKD di RSUD dr. soehadi Prijonegoro yang sebagian besar SMP/SMU yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Pendidikan merupakan faktor yang penting pada pasien untuk dapat memahami dan mengatur dirinya sendiri dalam makan maupun minum (Liu, 2010). Beberapa bukti menunjukkan bahwa tingkat pendidikan pasien berperan dalam kepatuhan, tetapi memahami instruksi pengobatan dan pentingnya perawatan mungkin lebih penting daripada tingkat
pendidikan
pasien.
Penelitian
telah
menunjukkan
bahwa
peningkatan pengetahuan tidak berarti meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang diresepkan. Yang paling penting, seorang pasien harus memiliki sumber daya dan motivasi untuk mematuhi protokol pengobatan (Krueger et al, 2005). Status pernikahan responden dalam penelitian ini 100% menikah. Dukungan sosial khususnya dari keluarga mempunyai pengaruh yang besar untuk mengurangi dampak stres yang diakibatkan penyakit CKD dan terapi HD. Hal ini disebabkan karena mereka dapat berpikir lebih realistik dan mendapatkan perspektif lain yang lebih positif dari keluarga sehingga dapat mengembangkan mekanisme koping yang adaptif sehingga pada
82
akhirnya mematuhi rekomendasi terapi CKD yang dianjurkan petugas kesehatan, khususnya perawat. 5.1.7. Kepatuhan Pembatasan Cairan pada Kelompok Eksperimen di Ruang HD RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen Sebelum Diberikan Pendidikan Kesehatan Kepatuhan pada kelompok eksperimen adalah tidak patuh sebanyak 11 orang (55 %). Kepatuhan pasien dalam mengurangi asupan cairan dirasakan masih kurang oleh kebanyakan perawat ruangan hemodialisa, dan merupakan salah satu prioritas utama diagnosa keperawatan yang ditegakkan dalam memberikan pelayanan keperawatan, pasien CKD yang menjalani HD rutin di rumah sakit Prof dr. Margono Soekarjo Purwokerto 32,7 % penderita CKD tidak patuh dalam mengurangi asupan cairan (Kamaluddin & Rahayu, 2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien HD secara garis besar adalah faktor pasien, fasilitas pelayanan kesehatan dan petugas hemodialisis (Kamerrer, 2007). Pendapat peneliti terkait kepatuhan kelompok eksperimen yang tidak patuh adalah pada kelompok eksperimen hanya dua pasien dari 20 pasien yang menjalani HD dua kali dalam seminggu dengan lama HD lima jam mengalami ascites, oedema ekstremitas dan susah buang air kecil. Pasien belum merasakan ketidaknyaman akibat kelebihan cairan sehingga cenderung tidak patuh.
83
Lama seseorang untuk menderita penyakit tidak dapat dicegah atau diprediksi, namun perawat harus mengoptimalkan peran dan fungsinya sebagai caregiver yang bermakna perawat mengintegrasikan perannnya sebagai communicator, teacher, conselor, advocate dan leader untuk mencegah, meminimalisir, dan mengatasi masalah kepatuhan melalui pemberian asuhan keperawatan yang holistik dan spesifik sesuai dengan karakteristik pasien (Bangun, 2009). 5.1.8. Kepatuhan Pembatasan Cairan pada Kelompok Kontrol (Post Tes) Kepatuhan pada kelompok kontrol setelah pendidikan kesehatan pada observasi 1 yang paling banyak adalah patuh sebanyak 13 orang (65%), pada observasi 2 yang paling banyak adalah patuh sebanyak 13 orang (65%) dan pada observasi 3 yang paling banyak adalah patuh sebanyak 13 orang (65%). Fernandez (2014) dalam penelitiannya menemukan hasil bahwa pada observasi 2 responden pada kelompok kontrol lebih patuh dari pada kelompok intervensi, meskipun pada observasi 3 kelompok intervensi lebih patuh. Faktor yang dapat mempengaruhi perilaku adalah pengalaman pribadi, pengaruh orang lain
yang dianggap penting, pengaruh
kebudayaan, media massa, agama, dan faktor emosional dan pendidikan formal dan informal (Azwar, 2011). Pendapat peneliti terkait kepatuhan kelompok kontrol yang cenderung tetap tingkat kepatuhan adalah pada kelompok kontrol sebagian
84
responden telah mengalami tanda-tanda kelebihan cairan. Sembilan pasien dari 20 pasien kelompok kontrol yang menjalani HD dua kali dalam seminggu dengan lama HD lima jam mengalami ascites, oedema ekstremitas dan susah buang air kecil sedangkan kadar albumin dalam rentang normal. Pasien yang mengalami kelebihan cairan merasa tidak nyaman karena sesak nafas, lelah dan lemas (Fisher, 2004 cit.
Fisher 2006).
Pengalaman itu yang mendorong pasien untuk mematuhi pembatasan asupan cairan. Pasien yang telah mengalami komplikasi akibat penyakit membutuhkan komitmen yang positif dari pasien CKD untuk melakukan serangkaian perubahan gaya hidup untuk meminimalkan dampak komplikasi terhadap organ atau sistem tubuh yang lain (Bangun, 2009). 5.1.9. Kepatuhan Pembatasan Cairan pada Kelompok Eksperimen Sesudah Pendidikan Kesehatan Kepatuhan pada kelompok eksperimen setelah pendidikan kesehatan pada observasi 1 yang paling banyak adalah patuh sebanyak 11 orang (55%), pada observasi 2 yang paling banyak adalah tidak patuh sebanyak 11 orang (55%) dan pada observasi 3 yang paling banyak adalah patuh sebanyak 12 orang (60%). Pendidikan kesehatan diartikan sebagai suatu proses yang terdiri dari pengkajian, intervensi dan evaluasi (Edelman & Mandle, 2010). Pengkajian berguna menentukan kebutuhan, motivasi dan tujuan pembelajaran yang dibuat bersama klien. Intervensi dilakukan untuk
85
menyediakan sumber pelajaran sesuai kebutuhan klien dan evaluasi dilakukan selama proses pembelajaran maupun setiap tahap belajar untuk mengetahui pencapaian kemampuan. Pembelajaran ulang dan follow up kemampuan yang dimiliki dapat dilakukan jika perlu (Redman, 2007). Tujuan pendidikan kesehatan secara umum adalah mengubah perilaku individu atau masyarakat di bidang kesehatan (WHO, 1954 cit. Bastable, 2002).Notoatmodjo (2009) menyatakan media pendidikan adalah alat yang digunakan untuk membantu dalam menyampaikan bahan pendidikan atau pengajaran. Faktor lain yang mendukung adalah adalah sebagian besar responden berada pada rentang usia dewasa. Usia reponden yang lebih matang menyebabkan pengajaran dewasa dapat terjadi dengan baik. Sesuai dengan pendapat Potter & Perry (2005) yang menyatakan bahwa pertambahan usia meningkatkan kemampuan untuk membimbing dan menilai diri secara mandiri. Pengetahuan yang dimiliki responden sebelumnya ditambah dengan informasi yang diberikan dapat meningkatkan pengetahuan menjadi lebih baik. Faktor lain yang dapat meningkatkan pengetahuan responden adalah media yang digunakan berupa gambar, tulisan dan suara. Penelitian ini selain pemberian pendidikan kesehatan 1 x, kemudian adaya reinforcement sebanyak 3x semakin menguatkan responden untuk meningkatkan kepatuhan. Materi informasi juga merupakan hal yang menarik bagi
86
responden karena berkaitan dengan upaya yang harus dilakukan pasien HD agar dapat merasa nyaman sebelum, selama dan sesudah HD. Keberhasilan dapat dicapai seseorang dengan melewati 3 (tiga) tahapan kepatuhan, yaitu pertama adalah percaya pada akurasi dari diagnosa, kesesuaian terapi, kemampuan untuk melaksanakan terapi dan validasi serta kecenderungan terapi untuk mencapai keberhasilan. Ketika pasien CKD memiliki dasar kepercayaan, maka pasien CKD akan beradaptasi terhadap kondisi sakitnya serta terapi yang harus dijalani akibat menderita penyakit tersebut. Tahap kedua adalah pengetahuan. Seseorang perlu mengetahui apa yang harus dilakukan agar dapat mengerjakan tindakan tersebut dengan tepat dan benar. Instruksi yang jelas dan model mental yang dikembangkan dengan baik membantu individu dalam melakukan tindakan dengan efektif. Pengetahuan yang baik tentang kapan dan bagaimana melaksanakan suatu terapi akan membantu pasien CKD untuk mengembangkan petunjuk-petunjuk kritis dan mengingatkan untuk selalu patuh terhadap rekomendasi terapi. Tahap yang terakhir adalah tindakan. Pasien CKD akan patuh melaksanakan rekomendasi terapi jika percaya pada tujuan dan efektifitas dari terapi, tahu bagaimana melaksanakan dengan sesuai dan mampu melaksanakan terapi yang dianjurkan karena setiap kali dilaksanakan (atau tidak) adalah penegasan ulang dari kepercayaan, pengetahuan dan kemampuan bertindak (Klein, 2006).
87
5.2. Uji Bivariat 5.2.1. Perbedaan Tingkat Kepatuhan Pembatasan Cairan pada Kelompok Eksperimen Hasil tingkat kepatuhan pada kelompok eksperimen sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan menggunakan uji wilcoxon didapatkan hasil p value 0,000 sehingga p value< 0,05 maka Ha diterima dan H0 ditolak artinya ada perbedaan kepatuhan pembatasan cairan pada pasien hemodialisa pada kelompok eksperimen. Tidak ada intervensi standar yang dapat meningkatkan kepatuhan, karena ada banyak aspek yang berperan mempengaruhi kepatuhan. Penelitian Hare, Carter, & Forshaw (2013) membuktikan bahwa metode terapi kognitif dapat menurunkan adanya oedema setelah 6 minggu intervensi sebagai indikasi peningkatan terhadap kepatuhan pembatasan asupan cairan. Penelitian Parvan et, al (2015) menemukan hasil bahwa penggunaan metode pamflet dan tatap muka dalam memberikan pendidikan kesehatan meningkatkan nilai pengetahuan dan juga kepatuhan terhadap terapi dan diet. Ketidakpatuhan adalah individu tidak melaksanakan sebuah program pengobatan yang disarankan dari pihak luar, yakni otoritas individu yang kuat yang menyebabkan individu enggan untuk melaksanakan kepatuhan yang disarankan. Dalam hal ini sosial preasure atau tekanan sosial baik dari petugas kesehatan atau keluarga tidak memberikan efek pada perubahan individu dalam melaksanakan
88
pengobatan atau terapi. Ketidakpatuhan dapat mendatangkan beberapa konsekuensi yang harus ditanggung individu. Beberapa konsekuensi yang harus ditanggung individu mungkin tidak dirasakan secara langsung, namun dampak serius akibat sikap tidak patuh mampu memberikan efek dikemudian waktu (Saifunurmazah, 2013). Pendapat peneliti terkait pengaruh intervensi terhadap kepatuhan responden terjadi karena informasi yang diberikan merupakan informasi yang secara umum sudah diketahui kebenarannya. Pasien CKD mengetahui bahwa pembatasan cairan diperlukan agar tidak mengalami komplikasi yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan bahkan kematian. Kebenaran informasi menimbulkan keinginan untuk merubah nilai-nilai yang dianut selama ini dan menerima informasi yang diberikan. 5.2.2. Perbedaaan Tingkat Kepatuhan Pembatasan Cairan pada Kelompok Kontrol Hasil kepatuhan pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan menggunakan uji wilcoxon didapatkan hasil p value 1,000 sehingga p value > 0,05 maka Ha ditolak dan H0 diterima artinya tidak ada perbedaan kepatuhan pembatasan cairan pada pasien hemodialisa pada kelompok kontrol. Perilaku tidak mudah untuk diubah. Kepatuhan pembatasan asupan cairan tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan dan sikap. Terdapat faktor lain yang mempengaruhi, baik internal maupun eksternal. Faktor ekternal yang turut berperan pada kepatuhan pembatasan cairan. Beberapa laporan menyatakan bahwa pembatasan cairan pada pasien hemodialisa
89
sangat dipengaruhi oleh perubahan musim dan masa-masa tertentu dalam hidupnya. Penelitian Argiles (2004) menyatakan bahwa asupan cairan pasien akan sangat tidak terkontrol pada musim panas dan pada masa liburan Natal dan Tahun Baru karena pada musim panas merangsang rasa haus dan pada masa liburan natal dan tahun baru banyak mengonsumsi makanan ringan yang kering dan mengandung garam sehingga memacu keinginan untuk minum (Welch, 2006). Penelitian dilakukan pada bulan Januari tahun 2016, cuaca pada saat penelitian panas pada siang maupun malam hari. Musim hujan seharusnya, akan tetapi di daerah Sragen, hujan masih jarang turun. Pasien HD lebih sulit melakukan pembatasan cairan karena rasa haus yang dirasakan. Peneliti berpendapat kelompok kontrol tidak mengalami perubahan tingkat kepatuhan yang bermakna karena tidak mendapat pendidikan kesehatan dengan menggunakan audio visual. Pengetahuan kelompok kontrol tentang pembatasan asupan cairan hanya didapatkan dari informasi petugas kesehatan pada awal pasien akan menjalani HD. Pemberian informasi yang minimal menyebabkan pemahaman pasien CKD tentang penyakit, terapi, pembatasan asupan cairan, perawatan di rumah dan komplikasi yang tidak optimal. Ketidakpahaman ini diakibatkan tidak adekuatnya implementasi peran dan fungsi perawat sebagai caregiver di ruang HD RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. Hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti saat studi pendahuluan maupun selama proses pengumpulan data penelitian, perawat cenderung
90
hanya berfokus untuk menyelesaikan tugas dan memenuhi kebutuhan biologis dan fisik pasien. Hal ini menyebabkan perawat mengabaikan kebutuhan pasien akan informasi mengenai terapi dan perawatan diri selama di rumah. Hal ini menjelaskan sebab meskipun hampir sebagian besar tingkat pendidikan pasien CKD di RSUD dr. Soehadi Prijonegoro berpendidikan menengah (SMP/SMU) namun pengetahuannya terkait perawatan diri di rumah masih kurang sehingga cenderung tidak memperdulikan dan tidak mematuhi rekomendasi terapi yang diberikan. Faktor lain yang dapat mempengaruhi kepatuhan pasien adalah keterlibatan petugas kesehatan. Persentase jam staf yang sangat terlatih maupun jumlah staf yang sangat terlatih dalam fasilitas tampaknya memiliki efek pada kepatuhan pasien. Waktu yang didedikasikan perawat untuk konseling pasien dapat meningkatkan kepatuhan pasien. Kehadiran ahli diet terlatih (teregistrasi) tampaknya juga menurunkan kemungkinan kelebihan IDWG. Pada model perilaku Green, faktor-faktor tersebut analog dengan faktor-faktor penguat (reinforcing factors) (Kamerrer, 2007). Informasi tertentu dapat mempengaruhi perilaku. Informasi yang dapat mempengaruhi perilaku sangat tergantung dari isi, sumber dan media informasi, yang bersangkutan. Dilihat dari segi isi informasi, bahwa informasi yang menumbuhkan perilaku adalah yang menimbulkan pesan persuasif. Pesan yang disampaikan dalam proses komunikasi haruslah
91
memiliki kemmapuan untuk mempengaruhi keyakinan sasaran didik (Simamora, 2009). 5.2.3. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Kepatuhan Pendidikan kesehatan tentang pembatasan asupan cairan merupakan suatu upaya memberikan informasi kepada pasien CKD yang menjalani HD di RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. Materi yang disampaikan berkaitan dengan komposisi cairan tubuh, masalah kelebihan cairan, batasan asupan cairan, cara menghitung kebutuhan cairan dan tips cara membatasai asupan cairan pada pasien HD. Hasil tingkat kepatuhan pada kelompok kontrol dan eksperimen sesudah pendidikan kesehatan menggunakan uji Mann Whitney didapatkan hasil p value 0,004 sehingga p value< 0,05 maka Ha diterima dan H0 ditolak artinya ada pengaruh pendidikan kesehatan menggunakan metode audio visual terhadap tingkat kepatuhan. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Fernandez, et al (2014) bahwa pendidikan kesehatan dengan menggunakan multimedia mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien PPOK terhadap terapi. Penelitian yang dilakukan Kapti (2010) di dua RS di Kota Malang membuktikan bahwa penggunaan media audio visual dalam pendidikan mampu meningkatkan pengetahuan dan sikap ibu dalam tata laksana diare pada anak. Hasil yang sama juga didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Davis (2011), di mana media audio visual efektif untuk meningkatkan
92
pengetahuan dan keinginan mengkonsumsi buah dan sayuran bagi penderita diabetes. Dewi (2012) melakukan penelitian yang hasilnya adalah pendidikan kesehatan dengan media audio visual efektif meningkatkan pengetahuan, sikap terhadap nutrisi dan perawatan luka serta penyembuhan luka caesar. Pendapat peneliti terkait bermaknanya intervensi pendidikan kesehatan dengan media audio visual terhadap kepatuhan dapat terjadi karena kesiapan responden untuk belajar. Hal ini dapat dilihat dari jumlah responden pada kelompok eksperimen yang sebagian besar berpendidikan SMP/SMU sejumlah 14 pasien (70%). Selain itu, kesadaran responden terhadap manfaat tindakan secara langsung juga memotivasi responden untuk memperhatikan informasi yang diberikan. Pemahaman responden terhadap informasi yang disampaikan berdampak terhadap tingkat pengetahuan responden sehingga responden memilih perilaku yang lebih baik. Selama pendidikan kesehatan berlangsung responden menyimak dengan seksama video yang ditayangkan. Antusias responden juga terlihat ketika video selesai ditayangkan, hal-hal yang kurang dipahami ditanyakan secara langsung kepada peneliti. Faktor lain yang mendukung adalah sebagian besar responden berada pada rentang usia dewasa (36 – 65 tahun). Usia responden yang telah matang menyebabkan pengajaran dewasa dapat terjadi dengan baik. Sesuai dengan teori yang mengungkapkan bahwa pertambahan usia
93
meningkatkan kemampuan untuk membimbing diri secara mandiri (Potter & Perry, 2006). Pengetahuan yang dimiliki responden sebelumnya ditambah dengan informasi yang diberikan saat ini dapat meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan menjadi lebih baik. Faktor lain yang dapat meningkatkan kepatuhan responden adalah media yang digunakan yang berupa gambar, tulisan dan suara. Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa informasi akan disimpan dalam memory 20% jika disampaikan dengan menggunakan media visual, 50% jika menggunakan media audiovisual dan 70% jika dilakukan dalam praktek nyata. Pertimbangan pengaruh budaya dalam proses belajar diketahui bahwa intruksi akan lebih efektif apabila disampaikan dalam bentuk video yang menampilkan pesan menyerupai benda asli.Pemilihan audiovisual sebagai media pendidikan kesehatan dapat diterima dengan baik oleh respnden, media ini menampilkan gerak, gambar, dan suara lebih menarik dan tidak monoton. Media pendidikan kesehatan menggunakan film atau permainan dapat memberikan gambaran yang hidup atau nyata yang dapat diingat. Empat metode untuk memudahkan mengingat pelajaran, yaitu gunakan kata dan kalimat yang pendek; pertegas kategorisasi; pengulangan dan gunakan pernyataan yang konkrit dan spesifik; hindari pernyataan yang umum dan abstrak (Ley, 1979, cit. Redman, 2007).
BAB VI PENUTUP
6.1. Simpulan 1. Karakteristik usia pasien CKD yang menjalani HD adalah 36-55 tahun, lama menjalani HD >1 – 3 tahun, sebagian besar berjenis kelamin laki-laki dan berpendidikan SMP/SMU, serta seluruh responden menikah. 2. Kepatuhan pada kelompok eksperimen sebelum pendidikan kesehatan yang paling banyak adalah tidak patuh, observasi 1 adalah patuh, observasi 2 adalah tidak patuh dan observasi 3 adalah patuh. Kepatuhan pada kelompok kontrol yang paling banyak pada
pre test adalah patuh,
observasi 1 adalah patuh, observasi 2 adalah patuh dan observasi 3 adalah patuh. 3. Ada perbedaan kepatuhan pembatasan cairan pada pasien hemodialisa pada kelompok eksperimen. 4. Tidak ada perbedaan kepatuhan pembatasan cairan pada pasien hemodialisa pada kelompok kontrol. 5. Ada pengaruh pendidikan kesehatan menggunakan media audiovisual terhadap kepatuhan pembatasan cairan pada pasien hemodialisa pada kelompok eksperimen.
94
95
6.2. Saran 1. Bagi Pasien HD Pasien mendapatkan pengetahuan tentang pembatasan cairan yang benar bagi pasien HD sehingga dapat meningkatkan kepatuhan. 2. Bagi Perawat HD Perawat HD dapat menggunakan media pendidikan kesehatan dengan mendia audio visual dalam kegiatan pendidikan kesehatan bagi pasien dalam upaya meningkatkan kepatuhan pembatasan cairan bagi pasien HD serta dapat meningkatkan kualitas hidup pasien HD 3. Bagi Institusi Pendidikan Hasil penelitian ini dapat dimasukkan dalam materi tentang media pendidikan
kesehatan
sehingga
meningkatkan
praktikum
tentang
pendidikan kesehatan dengan berbagai jenis media dan pembuatan media yang sesuai dengan sasaran penyuluhan. 4. Bagi Peneliti Lain Penelitian ini dapat dikembangkan oleh peneliti lain dengan mengubah metode penelitian, misal membandingkan efektifitas pendidikan kesehatan dengan menggunakan audio visual dan pendidikan kesehatan dengan demontrasi, sehingga pasien HD tidak hanya melihat dan mendengarkan tetapi juga dapat mempraktekkan sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Almatseir, S. (2005). Pemilihan Diet. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Arikunto, S. (2009). Manajemen penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Azwar, S. (2005). Sikap manusia: teori dan pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bangun, A.V. (2009). Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kepatuhan pasien tipe 2 dalam konteks asuhan keperawatan di poliklinik endokrin rshs bandung. Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Jakarta. Barnett, T., Li Yoong, T., Pinikahana, J., Si-Yen, T. (2008). Fluid compliance among patients having hemodialysis: can an educational programme make a difference?. J Adv Nurs. 61 (3), 300-306. Bastable, S.B. (2002). Perawat sebagai pendidik: prinsip-prinsip pengajaran dan pembelajaran. Jakarta: EGC. Black, J.M. & Hawks, J.H. (2009). Medical surgical nursing : Clinical management for positive outcome. 8th Edition. St. Louis Missouri: Elsevier Saunders. Braun, C.A. (2008). The nurse practitioner’s role: vital in nephrology. Diakses tanggal 20 Mei 2015, dari http://www.medscape.com/viewarticle/570414. Brunnert & Suddarth’s. (2012). Texbook of medical surgical nursing. Lippincot: Williams & Wilkins. Cavanaugh, K.L., Wingard, R.L., Hakim, R.M., Elasy, T.A., Ikizler, T.A. (2009). Patient dialysis knowledge is associated with permanent arteriovenous access use in chronic hemodialysis. Clin J Am SocNephrol. 4 (5), 950-956. Centers for Disease Control and Prevention. (2007). CKD in the United States: An Overview of the USRDS Annual Data Report, Volume 1. Chou, K.J., Lee, T., Chen, C.L., Hsu, C.Y., Chung, H.M., Liu, C.P., & Fang, H.C. (2006). Physiological changes during hemodyalisis in patient with intradialysis hypertension. Kidney Int. 69 (10):1833-8. Diakses tanggal 20 Mei 2015, dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16691262. Davis, R.L. (2011). Short nutritional videos and knowledge change in a population of low income individual in a community outreach setting. Tesis. Graduated program in Allied Medicine.
Daugirdas, J.T., Blake, P.G., Ing, T.S. (2007). Handbook of dialysis. 4th Edition. Philadelphia: Lippincott. Delamater, A.M. (2006). Improving patient adherence. Diakses tnggal 25 Mei 2015, dari http://www.clinical. diabetesjournals.org/cgi/content/full/242/71. Dewi, S. (2012). Efektivitas pendidikan kesehatan tentang nutrisi dan perawatan luka dengan video terhadap penyembuhan luka cesar. Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medis. (2008). Pedoman pelayanan hemodialisis di saranan pelayanan kesehatan. Edelman, C.L. & Mandle, C.L. (2010). Health promotion throught out the lifepan. 7th Edition. St. Louis Missouri: Elsevier Saunders. Fernández, J.L., Fernández, F.L., Ruiz, A.G., Torres, D.P., & Fonseca, P.B. (2014). Efficacy of a multifactorial intervention on therapeutic adherence in patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD): a randomized controlled trial. BMC Pulmonary Medicine. 14, 70. http://www.biomedcentral.com/1471-2466/14/70. Fisher, L. (2006). Physhicological intervention in fluid management. Diakses 17 Mei 2015, dari http://proquest.umi.com/pqdweb?index=16&did=1456931461&SrchMode=1 &sid=7&Fmt=6&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQD& TS=1240993656&clientId=63928. Geddes, C.C. Houston, M., & Pediani, L. (2003). Excess interdialytic sodium intake is not always dietery. Nephrol Dial Transflant. 18, 223-224. Ghasemi H. The number of dialysis patients doubled. Resalat Newspaper [Internet]. (2006). Diakses tanggal 14 Maei 2015, dari http:// magiran.com/n1262136. Gunatillake, N. D., Jarvis, E.M., & Johnson, D.W. (2011). Hemodialysis Access Infections, Epidemiology, Pathogenesis and Prevention. INTECH Open Access Publisher. Diakses tanggal 20 Mei 2015, dari http://www.intechopen.com/books/howtoreference/technical-problems-inpatients-on-hemodialysis/hemodialysis-access-infections-epidemiologypathogenesis-and-prevention. Hamid, A.Y.S. (Ed.). (2008). Riset keperawatan: Konsep, etika & instrumentasi. (Vol 2). Jakarta: EGC. Hare, J., Carter, D.C., & Forshaw, M. (2013). A randomized controlled trial to evaluate the effectiveness of a cognitive behavioural group approach to
improve patient adherence to peritoneal dialysis fluid restrictions: a pilot study. Nephrol Dial Transplant. 0, 1–13. doi: 10.1093/ndt/gft477. Hastono, S.P. (2007). Basic data analysis for health research training: Analisis data kesehatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Hirmawaty, T. (2014). Pengaruh Metode Pendidikan Kesehtan Individual Terhadap Kepatuhan Dalam Pembatasan Asupan Cairan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik di RSUD Tarakan. Skripsi. Universitas Esa Unggulan, Jakarta.
Indonesian Renal Registry. (2012). Report 5th. Kallenbach, et.al (2005). Review of hemodialysis for nursing and dialysis personal. 7th Edition. St. Louis Missouri: Elsevier Saunders. Kamalludin, R & Rahayu, E. (2009). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan asupan cairan pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis di rsud prof.dr. margono soekarjo purwokerto. The Soedirman Journal of Nursing. 4(1), 20-31. Kammerer, J., Garry, G., Hartigan, M, Carter, B., Erlich, L. (2007). Adherence in patients on dialysis: Strategy for succes. Nephrology Nursing Journal. 34 (5), 479-485. Kapti, R.E. (2010). Efektivitas audiovisual sebagai media penyuluhan kesehatan terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap ibu dalam tata laksana balita dengan diare di dua rumah sakit kota malang. Tesis. Universitas Indonesia, Depok. Kidney Alliance. (2001). End stage renal failure – A framework for planning and service delivery. London: Kidney Delivery. Klein, et. al. (2006). Medication adherence: many condition, a common problem. Diakses pada tanggal 27 Desember 2015, dari http://www.proquest.umi.com/pqdweb. Kugler, C., Maeding, I., & Russel, C.L. (2011). Non-adherence in patients on chronic hemodialysis: an international comparation study. Jnephrol. 26(03), 366-375. Kutner, N. G. (2001). Improving compliance in dialysis patients: does anything work? Semin Dial. 14 (5), 324-327. Le Mone, P. & Burke, K.M. (2008). Medical surgical nursing: critical nursing in client care. 6th Edition. New Jersey: Prentice Hall Health. Leather land S. (2007). Continuing care of the renal patient: a guide for nurses. Dialysis & Transplantation. 36 (11), 572-83.
Lewis, A. L., Stabler, K.A., & Welch, J.L. (2010). Perceived informational needs, problem, or concern among patients with stage 4 chronic kidney disease. Nephrology Nursing Journal. 37(2), 143-149. Lubis, A.J. (2008). Dukungan keluarga pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Diakses 12 Mei 2015, dari http://library.usu.ac.id/download/fk/06010311. Michell. (2002). Estimated dry weight (EDW): Aiming for accuracy. Nephrol Nurs J. 29(5), 421-428. National Kidney Foundation. (2000). K/DOQI Clinical practice guideline for chronic kidney disease: Evaluations, classification and stratification. Diakses 12 Mei 2015, dari http://www.kidneyorg/profesional/kdoqi/guidelineckd/htm. Notoatmodjo, S. (2009). Metodologi penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. (2009). Pengembangan sumber daya manusia. Jakarta: PT Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. (2007). Perilaku kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta: Rineka. Parvan, K., Hasankhani, H., Seyyedrasoolli, A., Riahi, S.M., & Ghorbani, M. (2015). The effect of tho educational methods on knowledge and adherence to treatment in hemodialysis patients: Clinical trial. Journal of Caring Sciences. 4(1), 83-93. Pernefri. 2013. Konsensus hemodialisis perhimpunan nefrologi indonesia. Jakarta. Potter, P.A. & Perry, A.G. (2005). Fundamental of nursing: concepts, procces and practice. 6th Edition. Philadelphia: by Mosby Year Booc Inc. Price, S.A. & Wilson, L.M. (2003). Pathophysiology: Clinical concepts of dissease processes. Philadelphia: by Mosby Year Booc Inc. Rahardjo P., Susalit, E., Suhardjon. (2006). Hemodialisis. Dalam Sudoyo, dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ramelan, M.I., Ismonah, & Hendrajaya. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pembatasan asupan cairan pada klien dengan chronic kidney disease yang menjalani hemodialisis. Skripsi. STiKes Telogorejo, Semarang. Ream, Elder, V. (2003). Dry weight: To be set or not to be that is a good question. Nephrology Nursing Journal. 30(2). 236.
Redman, B.K. (2007). Practice of patient education: A case study approach. 3rd Edition. St. Louis Missouri: Mosby Elsevier. Roesli, R. (2006). Terapi pengganti ginjal berkesinambungan (CRRT). Dalam Sudoyo, dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Rohman. (2007). Faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian asuhan spiritual oleh perawat di RS Islam Jakarta. Thesis. Jakarta: Universitas Indonesia. Sajjadi, M., Akbari, A, Kianmehr, M., Atarodi, A.R. (2008). The relationship between self-care and depression in patients undergoing hemodialysis. Quarterly of the Horizon of Medical Sciences. 14 (1), 13-7. Sanjaya, W. (2010). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standart Proses Pendidikan. Edisi I.Jakarta : Kencana Prenada Media. Saryono. (2008). Metodologi penelitian kesehatan: penuntun praktis bagi pemula. Mitra Cendikia: Jogjakarta Septiwi, W. (2010). Hubungan antara edukasi hemodialisis dengan kualitas hidup pasien hemodialisis di unit hemodialisis rs prof. dr. margono soekarjo purwokerto. Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok. Shahgholian, N., Ghafourifard, M., Rafieian, M., & Mortazavi, M. (2008). Impact of two types of sodium and ultra filtration profile on intradialytic hypotension in hemodialysis patients. IJNMR Autumn. 13(4). 135-136. Sitanggang, K. (2009). Pengaruh terapi perilaku kognitif terhadap pembatasan asupan cairan pasien hemodialisa di rsup haji adam malik medan. Skripsi. Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, Medan. Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., Cheever, K.H. (2008). Texbook of medical surgical nursing. 12th Edition. Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins. Sukandar, E. (2006). Gagal ginjal dan panduan terapi dialisis. Bandung: FK UNPAD. Suwitra, K. (2006). Penyakit ginjak kronik. Dalam Sudoyo, dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tavangar, H, & Sadeghian H.A. (2003). A study of the relation of coping methods with psychological complications in hemodialysis patients. Journal of Shaheed Sadoughi University of Yazd. 11 (3), 39-45.
Thorm. (2006). Overview of patient adherence to medication. Diakses tanggal 20 Mei 2015, dari http://www.clinical.DMjournals.org/cgi/content/full/24/2/71. Thomas, N. (2003). Renal nursing. 2nd Edition. St. Louis Missouri: Elsevier Saunder. WHO. (2003). Adherence long term therapy: Evidence for action. Diakses tanggal 20 Mei 2015, dari http://www.emro.who.int/ncd/publicity/adherencereportindiabetespatient/. WHO. (2003). World health organization : departement of measurement and health information. Diakses 24 Mei 2015, dari http://who.int/evidence/bod. Wilson, B., Harwood, L., Cusolito, H.L., Heidenheim, P., Craik, D & Clark, W.F. (2006). Gender differences in the timing of initiation of chronic hemodialysis. London, ontario: CANNT 2006 in partnership with RPN, London Convention Centre.
LAMPIRAN
WAKTU PENELITIAN
Bulan No
Kegiatan 1
1. 2. 3. 4. 5. No 6. 7. 8. 9. No
Juni 2 3
4
1
Juli 2 3
4
1
Agustus 2 3 4
5
September 1 2 3 4
Memilih Judul Studi Pendahuluan Menyusun Proposal Seminar Proposal Revisi Proposal Kegiatan
Oktober 1 2 3 4
Bulan November Desember 1 2 3 4 5 1 2 3 4
1
Januari 2 3 4
Februari 1 2 3 4
Bulan Februari Maret 1 2 3 4 5 1 2 3 4
1
April 2 3 4
Uji Coba Instrumen Sosialisasi dan Perijinan Pelaksanaan Penelitian Analisis Data Kegiatan
10. Penyusunan Laporan 11. Seminar Skripsi 12. Revisi dan Penyerahan Skripsi
STIKES KUSUMA HUSADA
KUESIONER PENELITIAN PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN ASUPAN CAIRAN DENGAN MEDIA AUDIOVISUAL TERHADAP KEPATUHAN PEMBATASAN CAIRAN PADA PASIEN HEMODIALISA DI RUANG HEMODIALISA RSUD DR. SOEHADI PRIJONEGOROSRAGEN
KUESIONER A: Karakteristik Demografi KUESIONER B: Kepatuhan
PENELITI: Sri Hartati NIM. ST14056
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016
SURAT PERMOHONAN UNTUK BERPARTISIPASI SEBAGAI RESPONDEN PENELITIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya: Nama : Sri Hartati Pekerjaan : Mahasiswa Program Sarjana STIKes Kusuma Husada Surakarta Nomor kontak : Ponsel 08122762304 Dengan ini mengajukan dengan hormat, kepada Bapak/Ibu/Saudara untuk bersedia menjadi responden penelitian yang akan saya lakukan, dengan judul “Pengaruh Pendidikan Kesehatan Asupan Cairan Dengan Media Audiovisual Terhadap Kepatuhan Pembatasan Cairan Pada Pasien HemodialisaDi Ruang Hemodialisa Rsud Dr. Soehadi Prijonegoro Sragen”. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keefektifan pendidikan kesehatan dengan media audio visual terhadap kepatuhan pasien HD di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Soehadi PrijonegoroSragen. Data yang diperoleh akan dipergunakan untuk kepentingan akademik dan sebagai masukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan di RSUD dr. Soehadi PrijonegoroSragen. Bapak/Ibu/Saudara akan diminta mengisi kuesioner yang terdiri dari kuesioner data demografi & Kejadian kejang demam, dan kuesioner pengetahuan orang tua tentang penanganan demam selama kira-kira 10-15 menit. Saya menjamin bahwa penelitian ini tidak akan menimbulkan dampak negatif dan tidak akan mempengaruhi pelayanan kesehatan terhadap Bapak/Ibu/Saudara sebagai responden. Saya menjamin kerahasian identitas dan data yang diperoleh, baik dalam pengumpulan, pengolahan dan penyajian nanti. Apabila ada pertanyaan lebih dalam tentang penelitian ini dapat menghubungi peneliti pada alamat dan nomor kontak yang tercantum di atas. Demikian surat permohonan ini saya buat, atas partisipasi dan kerja sama yang baik saya ucapkan terima kasih.
Sragen, ………………… 2016 Hormat saya, ________________ Sri Hartati
SURAT PERNYATAAN BERSEDIA BERPARTISIPASI SEBAGAI RESPONDEN PENELITIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : _______________________________________________ Umur : _______________________________________________ Alamat : _______________________________________________ _______________________________________________ Manyatakan bahwa: 1. Telah mendapatkan penjelasan tentang “Pengaruh Pendidikan Kesehatan Asupan Cairan Dengan Media Audiovisual Terhadap Kepatuhan Pembatasan Cairan Pada Pasien Hemodialisa Di Ruang Hemodialisa Rsud Dr. Soehadi Prijonegoro Sragen”. 2. Telah diberikan kesempatan untuk bertanya dan mendapatkan jawaban terbuka dari peneliti 3. Memahami prosedur penelitian yang akan dilakukan, tujuan, manfaat dan kemungkinan dampak yang dapat timbul dari penelitian ini. Dengan pertimbanagn di atas, maka dengan ini saya memutuskan tanpa paksaan dari pihak manapun juga, bahwa saya bersedia/tidak bersedia* berpartisipasi menjadi responden dalam penelitian ini. Demikian pernyataan ini saya buat agar dapat dipergunakan seperlunya.
Sragen, ………………..2016 Peneliti
Yang membuat pernyataan
__________________ Sri Hartati
___________________ Nama dan tanda tangan
Catatan: * Coret yang tidak perlu