PROSES EDITING FILM “SANG DEWI”
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Ilmu Komunikasi
Disusun oleh : Nama : Agus Zubaidi Isroil Nim : 4410411-037 Jurusan : Broadcasting
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA 2008
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA
LEMBAR PERSETUJUAN SIDANG SKRIPSI
Nama
: Agus Zubaidi Isroil
NIM
: 4410411-037
Fakultas
: Ilmu Komunikasi
Bidang Studi : Broadcasting Judul
: Proses Editing Film “Sang Dewi”
Jakarta, 17 April 2008
Disetujui oleh : Pembimbing
(Ponco Budi Sulistyo, S.Sos., M.Comm)
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA
LEMBAR LULUS SIDANG SKRIPSI
Nama
: Agus Zubaidi Isroil
NIM
: 4410411-037
Fakultas
: Ilmu Komunikasi
Bidang Studi : Broadcasting Judul
: Proses Editing Film “Sang Dewi”
Jakarta, 29 April 2008 Mengetahui
1. Ketua Sidang Drs. Riswandi, M.Si
(
)
(
)
(
)
2. Penguji Ahli Drs. Morissan, SH., MA 3. Pembimbing Skripsi Ponco Budi Sulistyo, S.Sos., M.Comm
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN PERBAIKAN SKRIPSI
Nama
: Agus Zubaidi Isroil
NIM
: 4410411-037
Fakultas
: Ilmu Komunikasi
Bidang Studi : Broadcasting Judul
: Proses Editing Film “Sang Dewi”
Jakarta, Juni 2008 Disetujui dan diterima oleh :
(Ponco Budi Sulistyo, S.Sos., M.Comm) Mengetahui :
Dekan Fikom UMB
(Dra. Diah Wardhani, M.Si)
Kabid Boradcasting
(Drs. Riswandi, M.Si)
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI JURUSAN BROADCASTING UNIVERSITAS MERCU BUANA Nama : Agus Zubaidi Isroil NIM : 4410411-037 Judul : Proses Editing Film “Sang Dewi” x + 117 halaman + 4 lampiran + Biodata Penulis Bibliografi : 25 bahan acuan ABSTRAKSI Film merupakan media komunikasi massa. Film memiliki bahasanya sendiri dalam menyampaikan pesan-pesannya, yang merupakan perpaduan antara cerita dan teknik-teknik pemvisualannya dalam bentuk gambar-gambar gerak. Sebagai sebuah bentuk seni, pada prakteknya film selalu mengandalkan pada teknologi dalam produksinya khususnya dalam shooting dan editing-nya. Shooting sendiri sebenarnya adalah tahap pra editing. Dan dalam menjalankan kerja editing itu ada konsep, teknis, estetis editing yang mendasarinya yang harus juga dipertimbangkan dan terapkan. Begitu juga yang ada dalam proses editing film ”Sang Dewi”. Film “Sang Dewi” ini menyajikan cerita dari sudut pandang yang berbeda dari umumnya, menuturkan dengan cara yang berbeda dan dengan konsep editing-nyapun berbeda dari biasanya. Berdasarkan alasan tersebut penulis ingin mengetahui lebih lanjut mengenai proses editing film “Sang Dewi” Kerangka konsep yang penulis gunakan dalam penelitian ini antara lain adalah mengenai komunikasi massa, tentang film dan bahasanya, tahapan editing, fungsi kerja editing, teknik dan prinsip estetis editing. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data-data diperoleh melalui wawancara dengan para nara sumber terkait yaitu Dwi Ilalang selaku sutradara dan editor film “Sang Dewi”, Regina Anindita selaku DOP film “Sang Dewi dan Sastha Sunu selaku editor film yang berlaku sebagai nara sumber pembanding. Hasil penelitian ini memberikan gambaran mengenai proses editing film “Sang Dewi”. Agar hasil shooting efektif dan efisien sesuai dengan yang diinginkan, sutradara beserta timnya membuat decupase shot, hunting lokasi, recee, membuat floorplan. Sinematografinya dikerjakan tidak seperti biasanya, untuk menghasilkan gambar yang indah sesuai tuntutan cerita dan berbeda dari film-film lainnya. Fungsi kerja editing, penggunaan teknik dan penerapan estetis editing disesuaikan dengan konsep filmnya, struktur berceritanya yang non linear dan konsep editing-nya yang disebut elips.
KATA PENGANTAR
Sujud syukur dan segala puji syukur hanya pantas penulis panjatkan kepada ALLAH SWT, karena atas karunia rahmat dan hidayahNYA, penulis dapat menyelesaikan skripsi dan studi ini. Tentu penulis tidak sendiri hingga bisa menyelesaikan skripsi ini. Penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan serta dukungan dari berbagai pihak, baik itu berupa moril maupun materiil. Oleh karena itu penulis patut menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Ibu kandungku atas do`a, kasih sayangnya, ketulusan hatinya membantu, mendorong, menyemangati penulis dalam menyelesaikan skripsi dan studi ini. Juga kepada almarhum Bapak kandungku atas semua apa saja yang telah Bapak berikan pada penulis. 2. Saudara-saudara kandungku, kakak-kakak dan adikku, saudara-saudara iparku dan semua keponakanku atas semua do`a dan bantuan kalian. 3. Bapak Ponco Budi Sulistyo, S.Sos., M.Comm, selaku pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan masukan, arahan pada penulis. Terimakasih atas
kesabarannya
dalam
membimbing
penulis,
atas
kerelaannya
meminjamkan buku-bukunya kepada penulis, atas kesediaannya mambalas SMS dan mengangkat telpon dari penulis. Sehingga berkat kesediaan Bapak itu, skripsi ini dapat terselesaikan. 4. Bapak Drs. Riswandi, M.Si, selaku Ketua Bidang Studi Broadcasting Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana.
5. Bapak Drs. Morissan, SH, MA, selaku penguji ahli. 6. Ibu Dra. Diah Wardhani, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana. 7. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana yang telah menyumbangkan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis. 8. Seluruh Staf Tata Usaha Fakultas Ilmu Komunikasi, seluruh staf perpustakaan, seluruh staf administrasi dan keuangan Universitas Mercu Buana yang telah banyak membantu penulis selama ini. 9. Mas Dwi Ilalang yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk melakukan penelitian ini. Terimakasih atas kesediaannya menjawab pertanyaan-pertanyaan dari penulis. 10. Mbak Regina Anindita yang telah bersedia menjadi nara sumber penulis. 11. Mbak Lastri yang telah banyak membantu penulis dalam mendapatkan dokumen-dokumen pendukung skripsi ini. 12. Mas Sastha Sunu yang sudah berkenan meluangkan waktunya untuk wawancara dengan penulis. 13. Segenap pimpinan dan karyawan PT. Dwi Adri Selaras/Big Daddy Production yang telah memberikan kesempatan dan membantu penulis dalam proses penelitian ini. 14. Dinda, Ika, Lukman, Roma Pradah, Yula yang telah membantu penulis. Terimakasih atas kesediaan kalian untuk sharing dan menyemangati penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 15. Seluruh teman-teman angkatan V Broadcasting Universitas Mercu Buana.
16. Adit yang dengan rela meminjamkan labtopnya untuk penulis gunakan mengerjakan tugas-tugas kuliah dan skripsi ini. 17. Bu Farida selaku ibu kos yang murah hati pada penulis. 18. Mbak Wahyu dan Nyak kos yang murah hati pada penulis. 19. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga kebaikan kalian dibalas dengan setimpal oleh ALLAH SWT. Amin ya robbal alamin. Mengingat bahwa hanya ALLAH SWT sajalah yang memiliki kemaha sempurnaan, maka dari itu penulis sangat menyadari bahwa secara keseluruhan penulisan skripsi ini masih jauh dari bentuk kesempurnaan itu. Untuk itu penulis mengharapkan saran, kritikan, dan masukan yang membangun demi lebih baiknya skripsi ini. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya, dan yang memerlukannya.
Jakarta, April 2008 Penulis
Agus Zubaidi Isroil
DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI LEMBAR LULUS SIDANG SKRIPSI LEMBAR PENGESAHAN PERBAIKAN SKRIPSI ABSTRAKSI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR LAMPIRAN
Hal. i ii iii iv v viii x
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Siginifikansi Penelitian 1.4.1 Signifikansi Akademis 1.4.2 Signifikansi Praktis
1 11 12 12 12 12
BAB II. KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Komunikasi Massa 2.1.1 Pengertian Komunikasi Massa 2.1.2 Fungsi Komunikasi Massa 2.2 Film 2.2.1 Pengertian Film 2.2.2 Film Sebagai Media Massa 2.2.3 Jenis-Jenis Film 2.2.4 Genre Film 2.2.5 Produksi film 2.3 Editing Film 2.3.1 Pengertian Editing 2.3.2 Fungsi Editing 2.3.3 Metode dan Teknik Editing 2.3.4 Prinsip Editing 2.3.5 Alat Editing 2.3.6 Tahapan Editing
13 13 15 16 16 20 21 22 26 30 30 32 38 39 44 45
BAB III. METODOLOGI 3.1 Tipe dan Sifat Penelitian 3.2 Metode Penelitian 3.3 Teknik Pengumpulan Data 3.3.1 Data Primer 3.3.2 Data Skunder 3.4 Nara Sumber (Key Informan) 3.5 Fokus Penelitian 3.6 Definisi Konsep 3.7 Teknik Analisis Data
58 58 59 59 60 60 61 62 62
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Film “Sang Dewi” 64 4.1.1 Profil Film “Sang Dewi” 64 4.1.2 Sinopsis Film “Sang Dewi” 66 4.2 Hasil Penelitian 70 4.2.1 Pra Editing (Preediting) 70 4.2.1.1 Tahap Pengambilan Gambar (The Shooting Phase) Film “Sang Dewi” 70 4.2.1.2 Tahap Pemeriksaan (The Review Phase) Film “Sang Dewi” 80 4.2.1.3 Tahap Pengambilan Keputusan (The Decision Making Phase) Film “Sang Dewi” 81 4.2.1.4 Tahap Operasional (The Operational Phase) Film “Sang Dewi” 82 4.2.2 Editing 84 4.2.2.1 Fungsi Kerja Editing Film “Sang Dewi” 84 4.2.2.2 Teknik Dan Estetis Editing Film “Sang Dewi” 93 4.3 Pembahasan 100 BAB V. PENUTUP 5.1 Kesimpulan 5.2 Saran LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR PUSTAKA BIODATA PENULIS
113 116
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia teknologi komunikasi khususnya komunikasi bermedia yang demikian pesat ini memungkinkan manusia untuk menyebarkan dan mendapatkan segala informasi dengan serba cepat dan sangat mudah. Manusia bisa memanfaatkan media massa maupun media nirmassa untuk menyebarkan dan mendapatkan informansi dengan berbagai isi dan bentuknya. Sehingga komunikasipun dengan mudah dilakukan. Komunikasi meliputi berbagai dimensi, salah satu diantaranya adalah komunikasi massa yakni komunikasi dengan melalui media massa sebagai salurannya. Dan media massa ini adalah media massa cetak seperti surat kabar dan media massa elektronik seperti radio dan televisi.1 Di zaman serba modern ini kebutuhan manusia terhadap informasi semakin meningkat, sehingga berbagai upaya dilakukan untuk memenuhi kebutuhannya akan informasi. Salah satu alat yang bisa memenuhi kebutuhan itu adalah media massa. Dengan adanya kebutuhan manusia terhadap informasi yang tinggi ini, membuat media massa memiliki peranan yang sangat penting dalam masyarakat. Sejalan dengan pentingnya kehadiran media massa sebagai saluran dalam berkomunikasi massa, Onong menyebutkan ada tiga fungsi komunikasi massa, yaitu menyiarkan (to inform), mendidik (to educate) dan menghibur (to
1
. Onong, Dinamika Komunikasi, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1993, h. 49 -50
entertaint). Dari ketiga fungsi tersebut, mana yang utama, bergantung kepada jenis media massa. Salah satu fungsi dari surat kabar adalah menyebarkan informasi. Khalayak berlangganan atau membeli surat kabar karena memerlukan informasi mengenai berbagai peristiwa atau hal yang terjadi. Kalau ada fungsifungsi lainnya seperti memuat artikel yang mengandung pendidikan, atau cerpen, cerita bergambar yang mengandung hiburan, hanyalah merupakan fungsi pelengkap saja terhadap fungsi utama menyiarkan informasi. Salah satu fungsi dari film, radio, dan televisi adalah menghibur. Khalayak menonton film, membeli pesawat radio, atau televisi, adalah untuk mencari hiburan. Kalau dalam kisah film, programa radio dan televisi disajikan segi-segi informasi dan pendidikan, hanyalah sebagai pelengkap saja terhadap fungsi utama. Karena itu ada ketentuan dalam ilmu pengetahuan tentang siaran, bahwa program-program yang mengandung pendidikan dan informasi harus diolah sedemikian rupa sehingga bersifat hiburan. Program yang bersifat informatif seperti perogram berita, atau yang bersifat edukatif seperti ceramah dapat diolah dengan ramuan musik, sound effect dan bisa juga dengan menambahkan efek-efek visual
yang menunjang dan menarik. Dalam hubungannya dengan ini, produk
teknologi dalam bentuk video tape recorder, kamera video, komputer yang ditunjang dengan teknologi yang serba digital telah menunjukkan peranan yang sangat penting dalam mengefektifkan program. Pada akhirnya semua media massa, apapun bentuknya, dalam melakukan fungsinya harus saling mengisi
dengan menyesuaikan diri pada fungsi utama yang dimiliki masing-masing, tanpa harus mengecilkan fungsi antar media massa satu dengan yang lain. 2 Seiring dengan terus berjalannya waktu, media massa terus mengalami perkembangannya baik dari segi jumlah maupun teknologinya termasuk juga film. Film sendiri kini tidak hanya bisa dinikmati di gedung-gedung bioskop saja namun bisa juga ditonton di hampir semua saluran televisi, karena stasiun-stasiun televisi menayangkan khusus program-program film baik dari dalam maupun luar negeri. Film merupakan salah satu bentuk hiburan hasil jangkauan kemajuan peradaban dan kebudayaan manusia modern. Hingga saat ini, film masih juga terus berproses untuk mencapai kesempurnaan yang paripurna. Di negara kita, film baru dikenal dan diperkenalkan pada tahun 1960, tidaklah mengalami proses pengembangan yang mendasar dan rumit, tetapi sekedar mengalami proses pengembangan lanjutan sesuai dengan kondisi dan kemampuan. Banyak karya filmis hasil garapan seniman bangsa kita dapat dinikmati masyarakat luas. 3 Dalam beberapa pengertian, sejarah film merupakan kisah ratusan tahun dari sebuah perubahan, sebagaimana para pembuat film berusaha menerjemahkan cerita-cerita ke dalam gambar-gambar bergerak. Kenyataannya film selalu mengandalkan teknologi; sebagai sebuah bentuk seni, itu merupakan suatu yang sangat berkenaan dengan teknologi. Sangat beralasan bila perfilman itu adalah teknologi dan selanjutnya menguji dan mempraktekkan teknologi itu penting sekali untuk memahami film itu sendiri. Perkembangan teknologi telah 2
. Op.cit., 54 -55 . Askurifai Baksin, Membuat Film Indie Itu Gampang, Bandung, Katarsis, 2003, h. 8
3
mempengaruhi dua hal yaitu: para pembuat film telah menggunakan atau memanfaatkan teknologi-teknologi baru untuk membuat film, dan oleh karenanya maka film-film makin bertambah menggambarkan akibat dari penggunaan teknologi tersebut. Dan ini menunjukkan bahwa perkembangan-perkembangan teknologi mengalami kemajuan yang terus meningkat tak henti-hentinya. Komputer
dan
proses
digital
secara
relatif
merupakan
perkembangan
perkembangan baru. Pengadopsian teknologi oleh industri film meliputi perpaduan pertimbangan estetis dan komersil. Teknologi digital telah menawarkan fasilitas untuk menciptakan imagi/gambar-gambar efek spesial yang berbeda dan memudahkan bagi penggunanya. 4
Editing. Untuk membuat sebuah film ada proses yang harus dilalui, salah satu dari rangkain proses pembuatan film tersebut adalah editing yang dikerjakan pada tahap paska produksi, editing tergolong bagian yang dapat berdiri sendiri seperti bagian-bagian lainnya. Dan editing merupakan keharusan dalam pembuatan sebuah film. Pembuat film boleh saja mengklaim bahwa film itu sudah berada di dalam kepalanya (pikirannya) dan juga sudah ada di atas kertas yakni di dalam naskah/skenario, namun tidak di kepala (pikiran) maupun di atas kertas orangorang. Untuk itu hanya melalui proses editing-lah bahwa materi-materi diwujudkan/diterjemahkan ke dalam bentuk yang dapat mengkomunikasikan 4
. Nathan Abrams, Ian Bell, Jan Udris, Studying film, New York, Oxford University Press Inc, 2001, h. 70-86
cerita dan maksudnya kepada audien. Brownlow dalam Parade`s Gone menuliskan : ”Editing adalah penyutradaraan film untuk kedua kalinya”, untuk mengukur momen-momen kejiwaan, untuk mengetahui secara pasti dimana harus memotongnya, membutuhkan keterampilan intuitif yang sama seperti yang diperlukan oleh sutradara. 5 Orang yang mengerjakan proses editing ini disebut editor. Anthony Wollner dalam American Cinemeditor (Spring 1965) menulis : Seorang editor tidak perlu menjadi penulis, tetapi dia harus mengetahui struktur cerita; dia tidak perlu menjadi kamerwan, tapi dia harus memahami komposisi gambar dan kesesuaian sudut pandang; dia juga tidak harus menjadi sutradara, tapi dia harus dapat merasakan penampilan aktor atau dramatik atau komedi sebagaimana sutradara.6 Menurut Pudovkin, seorang sutradara asal Rusia yang juga seorang pakar editing film pada tahun 1928 pernah menulis : ” sekali lagi saya ulangi, bahwa editing adalah merupakan kekuatan yang kreatif dari pada realitas filmis”. Dengan meneliti film-film produksi masa itu dan berkat pengalamannya yang luas sebagai sutradara, Pudovkin sampai pada kesimpulan bahwa editing, memilih, mengatur timing (durasi) dan menyususn shot-shot ke dalam kontiniti film yang utuh merupakan kegiatan kreatif yang paling penting dari suatu produksi film. 7 Bila demikian wajarlah kiranya bilamana Pudovkin menyebut bahwa editor adalah sutradara kedua,
5
karena tugasnya tidaklah gampang untuk
. Rogger Crittenden, Manual of Film Editing, London, The Thames and Hudson, 1981, h. 74 . Op.cit., 7 7 . Farel Reisz and Gavin Millar, The Technique of Film Editing, London and New York, Focal Press, 1968, h. 15 6
menjadikan penggalan-penggalan materi cerita hingga menjadi film yang utuh. Karena bukan hanya kemampuan memotong sambung gambar saja tuntutannya, namun diperlukan keahlian-keahlian yang lainnya, sehingga menjadikan editing film memainkan peranan utamanya. Bila demikian betapa penting peran editing dalam pembuatan sebuah film, kehadiran editing melengkapi lingkaran proses produksi sebuah film. Berbicara editing, perlu juga mengetahui sekilas tentang sejarahnya, karena editing memiliki sejarahnya sendiri. Ada tiga periode atau tiga jaman dalam sejarah editing, yaitu realisme, classicisme, dan formalisme. Pada jaman realisme belum ada editing. Tokohnya yaitu Lumiere. Pada saat Lumiere mulai membuat film, editing belum menjadi bagian dari proses pembuatan film, karena pada saat itu film-film Lumiere hanya terdiri dari satu buah shot (single shot). Tidak ada manipulasi waktu. Antara jaman realisme dan classicissme sudah dimulai yang namanya cutting to continuity (memotong sambung gambar untuk kesinambungan cerita). Tokoh yang menjadi pelopor cutting to continuity adalah Melies. Dia adalah orang pertama ynag membuat film dengan melalui proses editing. Editing yang dilakukannya masih sangat sederhana. Film pertamanya yang menggambarkan perjalanan orang ke bulan (a trip to the moon) hanya menggunakan editing untuk kesinambungan bercerita (cutting to continuity). Melies melakukan editing untuk menyambung tiap-tiap adegan yang hanya dari satu shot untuk tiap adegannya (sequence shot).
Jaman classicisme, di jaman ini editing tidak hanya cutting to continuity (memotong sambung gambar untuk kesinambungan cerita), namun juga sudah menerapkan cutting to clarify, cutting to underline, cutting to connect dan cutting to dramatize. Tokoh jaman ini adalah DW. Griffith. DW. Griffith, Edwin S. Porter dan para seniman film Eropa - Amerika lainnya sangat menyadari bahwa masyarakat bioskop yang jadi publik karya-karya mereka berpaling dan tidak menghargai karya-karya film karena dalam karyakarya filmis itu sektor pembuatan gambar/penanganan kamera yang merekam elemen-elemen visual dirasa dan dinilai lemah. Akibatnya ketika film diproyeksikan sebagai suatu sajian, tidak terjalin sutu poroses konunikasi yang baik sesuai dengan harapan. Edwin S Porter membuat prestasi gemilang, yakni berkreasi hanya ”mempermainkan” kamera yang ditanganinya ketika merekam elemen-elemen visual film The Life of an American Fireman (1902) atau film The Great Tain Roberry (1903) (Effendy, 1981 : 186). Adapun DW Griffith berprestasi gemilang dengan keberhasilannya menuangkan ide kreatifnya secara visual melalui gerakan-gerakan kamera yang bersifat dramatis dalam film Birth of Nation (1913) dan film Intolerence (1916). Tidak ada unsur suara dalam film-film tersebut, tetapi penonton dapat mengerti, memahami, dan merasa puas atas sajian film itu. Film-film bisu itu demikian dekatnya, komunikatif serta meyakinkan publik yang menikmatinya (Effendy, 1981 : 187).8
8
. Op.cit., Askurifai Baksin, h. 9-10
Berikutnya adalah jaman formalisme. Aliran ini melawan semua aliran yang ada sebelumnya. Menurut mereka yang menganut aliran ini, film itu tidak harus mengajak berfikir, tidak harus menghibur, dan tidak harus realis. Formalisme berusaha untuk menciptakan bentuk yang belum pernah ada. Seiring dengan perkembangan jaman, editing juga mengalami perubahan. Sebuah film tidak lagi terdiri dari satu shot untuk tiap adegannya. Kita juga kemudian mengenal adanya tipe shot. Sehingga editing memegang perenan yang cukup penting dalam pembuatan sebuah film. Dengan adanya editing, kita akhirnya mengenal adanya film time (waktu yang terjadi dalam film). Sehingga waktu yang diciptakan bisa menjadi lebih singkat, atau malah sebaliknya menjadi lebih lambat. Editing juga bisa untuk memanipulasi ruang. Melalui editing, bisa membuat ruang yang jauh seolah-olah menjadi dekat atau sebaliknya. Editing film yang dulu dikerjakan secara manual, yaitu degan memotong film (pita seluloid) dengan gunting selanjutnya dengan adanya teknologi video, editing bisa dilakukan dengan cara merekam dari pita kaset ke pita kaset lainnya (linear editing). Namun berkat perkembangan teknologi editing kini bisa dikerjakan
dengan
sistem
komputer.
Adanya
perkembangan
tersebut
menunjukkan bahwa dari waktu ke waktu editing tidak hanya terus mengalami perkembangan dari sisi konsep saja namun juga sari sisi teknologi. Sehubungan dengan hal tersebut Zettl menyebutkan bahwa editing mesti memperhatikan dan mempertimbangkan persoalan estetis dan etis. Menurutnya juga, bahawa pekerjaan di meja editing sebagian besar juga ditentukan oleh
bagaimana shooting dilakukan. Ini berarti bahwa ketika shooting, sebenarnya disitulah kerja editing dimulai. 9 Saat shooting berlangsung seorang juru kamera harus mengambil shot dengan dasar yang jelas. Setiap shot yang diambilnya harus memiliki keterkaitan. Dengan demikian, ketika setiap shot disusun menjadi scene, dan setiap scene disusun menjadi squences, memiliki cerita yang dapat dimengerti oleh penonton. Bahkan, kalau memungkinkan tanpa narasipun penonton sudah dapat mengerti makna gambar yang telah dirangkai tersebut. 10 Seperti telah disinggung di atas, bahwa teknologi komunikasi terus mengalami perkembangan. Industri penyiaran film dan televisi terus pesat laju perkembangannya. Masing-masing production haouse juga stasiun televisi terus selalu berbenah baik dari segi infrastruktur maupun suprastrukturnya. Ragam film dan program yang diproduksi semakin beragam dan cara menyajikannyapun terus memerlukan inovasi-inovasi baru demi meningkatkan kualitasnya. Begitupun dalam hal kemasan program (program montage) atau editing, dari waktu ke waktu terus mengalami kemajuan dari segi teknologi, gaya, tampilan. Ini semua demi memberikan nilai lebih pada film atau program yang diproduksinya. Pada tahapan editing ini bagi saya menarik untuk diteliti. Karena pada tahapan inilah semua hasil shooting diseleksi dan dikemas atau dikreasi menjadi lebih menarik hingga menjadi film utuh. Bila demikian tentunya editing bukanlah sekedar pekerjaan potong sambung gambar dan suara. Ada pertimbanganpertimbangan lainnya selain yang sifatnya teknis belaka. 9
. Zettl, Television Poduction Handbook, Amerika, Thompson Wadsorth, 2003, h. 310-328 . Arifin S Harahap, Jurnalistik Televisi Teknik Mememburu dan Menulis Berita, Jakarta, PT. Indeks, 2006, h. 44
10
Atas dasar itu semua; sebagaimana yang penulis paparkan di atas dan juga karena masih jarangnya penelitian di bidang editing film, maka peneliti perlu melakukan penelitian pada bidang editing film ini. Bagaimana editing bisa memberi nilai lebih pada sebuah film sehingga suatu film menjadi tampil lebih menarik, komunikatif, menghibur, dan berkualitas tentunya, serta mampu meningkatkan apresiasi penontonnya. Untuk bisa mencapai itu semuanya tentu ada proses editing yang diterapkannya, atau bahkan mungkin diperlukan strategi editing khusus. Tak terkecuali dalam editing Film ”Sang Dewi”. Film ”Sang Dewi” yang diproduksi oleh PT Dwi Adri Selaras/Big Daddy Production ini disutradarai oleh Dwi Ilalang. Adapun Dwi Ilalang sendiri telah lama malang melintang di industri film dan televisi, terutama dalam membidangi editing-nya.
Film ”Sang Dewi” Film ”Sang Dewi” ini hadir di tengah-tengah maraknya film bergenre horor, sehingga kemunculan film ”Sang Dewi” yang bergenre drama action ini menjadi terlihat berbeda dari film-film yang ada, khususnya film-film produksi dalam negeri saat itu (sepanjang tahun 2007). Dalam ceritanya film ini mencoba mengangkat fenomena dalam masyarakat dan memotretnya dari sudut pandang yang berbeda yaitu mengenai orang cacat (bisu) yang berpotensi dan sisi kehidupan seorang pelacur (Pekerja Seks Komersil), yang mana keduanya akhirnya menjalin hubungan asmara. Film ini diceritakan dengan cara yang berbeda dari umumnya dan juga terkait dari sisi editing-nya. Film ”Sang Dewi”
ini sempat bertahan selama hampir satu bulan di bioskop-bioskop Indonesia khususnya Jakarta.11 Dalam Fetival Film Jakarta (FFJ) 2007, film ”Sang Dewi” mendapatkan dua penghargaan sekaligus, kedua pemeran utamanya yaitu Volland Humonggio dan Sabai Morscheck mendapatkan penghargaan yaitu terpilih sebagai pendatang baru terbaik. Penghargaan lainnya didapat oleh Regina Anindita sebagai DOP di film ini yang masuk dalam nominasi DOP terpilih. 12 Juga dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2007, film ”Sang Dewi” untuk DOP-nya masuk nominasi, termasuk yang diunggulkan. 13 Film ”Sang Dewi” juga mendapatkan penghargaan lain dari Indonesia Movie Award (IMA) 2008 untuk kategori aktor pendatang baru terbaik yaitu Volland Humonggio, yang dalam film ”Sang Dewi” berperan sebagai pemeran utama pria.14 Film ”Sang Dewi” ini menceritakan suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda dan diceritakan dengan cara yang berbeda (dengan struktur bercerita yang berbeda dari umumnya) yang mana ini terkait dari sisi editing-nya. Yang menonjol dalam film ini adalah cara sutradara menyampaikan masalah dari sudut pandang yang berbeda tersebut, dan cara menceritakannya lewat bahasa gambarnya. Dari cara bertuturnya, tampilan visual dan editing-nya berbeda dari film umunya. Film ini menjadi tontonan yang menarik dan tidak biasa. Justru itu
11
. Wawancara dengan Dwi Ialang . Wawancara dengan Dwi Ilalang, Regina Anindita dan Festival Film Jakarta 2007. 13 . Wawancara dengan Dwi Ilalang, Regina Anindita dan Festival Film Indonesia 2007 14 . Wawancara dengan Dwi Ilalang dan Indonesia Movie Award 2008 12
menjadikan film ini sangat menarik untuk diteliti. Untuk itulah maka peneliti memfokuskan penelitian pada editing-nya.
1.2. Rumusan Masalah Atas dasar uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat peneliti tarik rumusan masalah sebagai berikut : Bagaimanakah proses editing Film ”Sang Dewi” ?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses editing Film ”Sang Dewi”.
1.4. Signifikansi Penelitian 1.4.1. Signifikansi Akademis : Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran dalam bidang komunikasi massa khususnya yang berkaitan dengan produksi film (editing film). 1.4.2. Signifikansi Praktis : Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para film makers dalam memproduksi film khususnya yang berkaitan dengan pengerjaan editing film.
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Komunikasi Massa 2.1.1. Pengertian Komunikasi Massa Yang dimaksudkan dengan komunikasi massa ialah komunikasi melalui media massa modern. Dan media massa ini adalah surat kabar, film, radio, dan televisi. Jadi yang diartikan komunikasi massa ialah penyebaran pesan dengan menggunakan media yang ditujukan kepada massa yang abstrak, yakni sejumlah orang yang tidak tampak oleh si penyampai pesan.15 Komunikasi massa adalah proses dimana organisasi media memproduksi dan menyebarluaskan pesan kepada publik secara luas. Komunikasi massa juga berarti sebagai bentuk komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen dan anonim melalui media cetak maupun elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat. 16 Komunikasi massa juga diartikan sebagai keterampilan. Pendapat Werner I Severin dan James W Tankard, Jr dalam bukunhya Communication Theories, Origins, Methods, Uses, mengatakan secara tepat pengertian komunikasi massa sebagai berikut : Komunikasi massa adalah sebagian keterampilan, sebagian seni, dan sebagian ilmu. Ia adalah keterampilan dalam pengertian bahwa ia meliputi teknik-teknik fundamental tertentu yang dapat dipelajari seperti memfokuskan kamera televisi, mengoperasikan tape recorder, atau mencatat ketika melakukan 15
. Onong, Dinamika Komunikasi, Bandung, PT. Remaja Rosdkarya, 1993, h. 50 Elvinaro Ardianto & Lukiatkomaki Erdinaya, Bandung, Komunikasi Massa, Simbiosa Rekatama Media, 2004, h. 31
16
wawancara. Ia adalah seni dalam pengertian bahwa ia meliputi tantangantantangan kreatif seperti menulis skrip untuk program televisi, mengembangkan tata letak yang estetis untuk iklan majalah, atau menampilkan teras berita yang memikat bagi sebuah kisah berita. 17 Secara umum komunikasi massa memiliki ciri-ciri khusus sebagai berikut: 1. Komunikasi massa berlangsung satu arah. Maksud satu arah adalah komunikasi itu tidak ada umpan balik dari komunikan. Artinya wartawan sebagai komunikator tidak megetahui tanggapan pembaca atau pemirsanya terhadap pesan yang diberitakan atau disiarkannya. 2. Media massa sebagai saluran komunikasi massa merupakan lembaga, yakni suatu institusi atau organisasi. Oleh karena itu komunikatornya melembaga. Komunikator pada komunikasi massa, seperti wartawan surat kabar atau penyiar televisi, karena media yang digunakannya adalah lembaga maka dalam menyebarluaskan pesan komunikasinya bertindak atas nama lembaga. 3. Pesan yang disebarluaskan melalui media massa bersifat umum karena ditujukan kepada umum dan mengenai kepentingan umum. Jadi tidak ditujukan kepada perseorangan atau sekelompok orang. 4. Media massa menimbulkan keserempakan. Media massa mampu menimbulkan keserempakan pada pihak khalayak dalam menerima pesan-pesan yang disebarluaskan. Hal inilah yang merupakan ciri paling hakiki debandingkan dengan media komunikasi lainnya.
17
. Onong, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2001, h. 21
5. Komunikan komunikasi massa bersifat heterogen. Komunikan atau khalayak yang merupakan kumpulan anggota masyarakat yang terlibat proses komunikasi massa sebagai sasaran yang dituju komunikator bersifat heterogen. Dalam keberadaannya terpencar-pencar, dimana satu sama lainnya tidak saling mengenal dan tidak memiliki kontak pribadi. Artinya masing-masing berbeda dalam berbagai hal, misal umur, jenis kelamin, pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya. 18
2.1.2 Fungsi Komunikasi Massa Fungsi komunikasi massa menurut pendapat Harold D. Lasswell antara lain : 1. Surveillance of the environment. Fungsinya sebagai pengamatan lingkungan. 2. Correlation of parts of society in responding to the environment. Fungsinya menghubungkan bagian-bagian dari masyarakat agar sesuai dengan lingkungan. 3. Transmission of the social heritage from one generation to the next. Fungsinya sebagai penerus atau pewaris sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya.19 Lasswell tidak memberikan rincian lebih lanjut mengenai fungsi-fungsi yang ia kemukakan itu, sehingga terbuka kesempatan terhadap berbagai spekulasi dan penafsiran. Seorang ahli sosiologi, Charles R. Wright, menambahkan fungsi
18
. Op.cit., 20 . Wiryanto, Teori Komunikasi Massa, Jakarta, PT. Grasindo, 2000, h. 11
19
keempat, yaitu entertainment dan menjabarkan keempat fungsi itu sebagai berikut: 1. Surveillance. Menunjukkan pada fungsi pengumpulan dan penyebaran informasi mengenai kejadian-kejadian dalam lingkungan, baik di luar maupun di dalam masyarakat. 2. Correlation. Meliputi fungsi interpretrasi pesan yang menyangkut lingkungan dan tingkah laku tertentu dalam interaksi kejadiankejadian. 3. Transmission.
Menunjukkan
pada
fungsi
mengkomunikasikan
informasi, nilai-nilai dan norma-norma sosial, budaya dari satu generasi ke generasi yang lain atau dari anggota-anggota satu masyarakat kepada pendatang baru. Fungsi ini didefinisikan sebagai fungsi pendidikan. 4. Entertainment. Menunjukkan pada kegiatan-kegiatan komunikasi yang dimaksudkan untuk memberikan hiburan tanpa mengharapkan efekefek tertentu.
2.2. Film 2.2.1. Pengertian Film Pengertian film berkembang seiring dengan kemajuan teknologi, film yang dulu awalnya bisu atau film tak bersuara, namun akhirnya berkat perkembangan teknologi, film bersuara muncul tahun 1927. Dan hingga kini film terus mengalami perkembanganya.
Setelah berkembang pesat, pengertian film juga meluas. Undang-Undang Perfilman Indonesia No. 6 Tahun 1992, Bab I, Pasal 1, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam bentuk, jenis, ukuran, melalui kimiawi, proses elektronik atau proses lainya atau tanpa suara yang dapat dipertunjukkan dan atau ditayangkan dengan sistem produksi mekanik, elektronik dan atau lainnya. Kalau kita menggunakan kriteria film dari undang-undang itu, asosiasi kita tidak sekedar film cerita untuk konsumsi TV (sinetron) dan video, bahkan hasil temuan lain di masa depan yang menggunakan asas sinemtografi masuk sebagai kategori keluarga besar citra bergerak. Atau menggunakan istilah moving images yang digunakan oleh lembaga kebudayaan PBB – UNESCO (Irawan dalam Majalah Film No. 173/140/1993). Dalam konteks ini, film yang dimaksud yakni film sebagai media komunikasi massa yang dipertunjukkan di bioskop dengan jenis cerita yang terdiri atas film drama, musik, komedi, action, horor, anak-anak, dan science fiction.20 Menurut Edison Naiggolan (mantan ketua Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia, Cabang Jawa Barat), film sebagai komoditi merupakan karya
20
. Askurifai Baksin, Membuat Film Indie Itu Gampang, 2003, h. 6
kolektif karena begitu banyak pihak yang terlibat di dalam pembuatannya, mulai produser, sutradara, karyawan film hingga artis film. 21 Sebagai sebuah bentuk kesenian, film adalah sama dengan media artistik lainnya, karena ia memiliki sifat-sifat dasar dari media lain tersebut yang terjalin dalam susunannya yang beragam. Tapi biarpun antara film dan media lain terdapat kesamaan-kesamaan, film adalah sesuatu yang unik, yang dibedakan dari segenap media lainnya.22 Film sendiri merupakan media untuk berkomunikasi. Sedang semua bentuk komunikasi memiliki bahasanya sendiri-sendiri. Apapun bahasa yang digunakan pastilah terdiri dari codes ( sandi/lambang) dan conventions (aturan/kaidah). Codes merupakan cara-cara khusus untuk mengkomunikasikan arti/pesan atau simbol-simbol yang digunakan. Conventions merupakan kaidah/aturan-aturan bagaimana cara-cara khusus tersebut digunakan. Bahasa Inggris menggunakan kata-kata khusus dan struktur gramatikal (grammer). Musik menggunakan bahasa tulis notasi musik. Fotografi mengkomunikasikan maksudmaksudnya dengan menggunakan bahasa yang terdiri dari konsep-konsep seperti komposisi, framing, camera angle, lighting, colour dll. Lantas bagaimana dengan film, film memiliki bahasanya sendiri. Bahasa film digunakan untuk menyampaikan cerita. Bentuknya film ditentukan oleh caracara dimana cerita itu disampaikan oleh film dan merupakan kombinasi antara gaya (gaya bahasa) dan isi. Isi tersusun dari ceritanya dan gaya bahasa dibentuk 21
. Ibid. . Joseph M Boggs, Asrul Sani, The Art of Watching Film, Cara Menilai Sebuah Film, Jakarta, Yayasan Citra, h. 4 -5
22
oleh teknik-teknik film yang diterapkan. Adapun teknik-teknik tersebut meliputi empat terminologi yaitu : 1. Mise En Scene adalah merujuk pada segala apa yang ditempatkan di depan kamera/obyek bidikan kamera. 2. Cinematography adalah berkutat pada bagaimana kamera merekam elemen-elemen visual/obyek bidikan kamera (moving images) dengan shot. 3. Editing adalah menyeleksi shot-shot dan menggabungkannya hingga menjadi film yang utuh. 4. Sound adalah suara, yang dimaksudkan adalah suara dialog, musik, suara natural, sound effect, voice over dan suara-suara lain yang mendukung suasana film menjadi lebih hidup dan berkarakter. 23 Komunikasi yang tercipta melalui media film hanya berjalan satu arah, yakni kepada komunikan atau penonton. Untuk menyampaikan amanat film tersebut, dibutuhkan suatu media. Oleh karena itu terdapat 3 faktor utama yang medasari bahasa film, yaitu : 1. Gambar/visual. Gambar dalam karya film berfungsi sebagai sarana utama. Oleh karena itu, andalkan terlebih dahulu kemampuan penyampaian melalui media gambar tersebut untuk menanamkan informasi. Gambar menjadi daya tarik tersendiri di luar alur cerita. Tak mustahil bila pemain yang bagus lebih bisa mempertajam atau menarik
23
. Nathan Abrams, Ian Bell Jan Udris, Studying Film, New York, Oxford University Press Inc, 2001, h. 92 - 111.
perhatian penonton, di samping set, properti, dan tata cahaya yang memesona sebagai pendukung suasana. 4. Suara/audio. Keberadaan suara berfungsi sebagai sarana penunjang untuk memperkuat atau mempertegas informasi yang hendak disampaikan melalui bahasa gambar. Hal tersebut dikarenakan sarana gambar belum mampu menjelaskan atau kurang efektif dan efisien, selain juga kurang realistis. Sound effect dan ilustrasi musik akan sangat berguna untuk menciptakan suasana kejiwaan, memperkuat informasi. 3. Keterbatasan waktu. Faktor keterbatasan waktulah yang mengikat dan membatasi penggunaan kedua sarana bahasa film di atas. Oleh karena keterbatasan waktu itulah, perlu diingat bahwa hanya informasi yang penting saja yang diberikan. Penonton terbiasa menganggap bahwa segala sesuatu yang ditampilkan pastilah merupakan informasi penting. Jika ada informasi yang tidak penting, penonton akan tetap menganggapnya penting sehingga akan membigungkan imajinasi. 24
2.2.2. Film Sebagai Media Massa Film merupakan salah satu dari sekian media massa. Dalam film melekat ciri-ciri media massa. Film diproduksi secara kolektif, diperuntukkan khalayak yang menyebar dan heterogen. Bisa berfungsi menghibur, mendidik, memberi informasi. Sebagai suatu bentuk komunikasi massa, film dikelola menjadi suatu 24
.M Bayu Widagdo, Wianstwan Gora S., Bikin Film Indie Itu Mudah, Yogyakarta, CV. Andi Offfset, 2007, h. 2-3
komuditi. Di dalamnya memang kompleks, dari produser, pemain hingga seperangkat kesenian lain yang sangat mendukung seperti musik, seni rupa, dan seni suara. Semua unsur tersebut terkumpul menjadi komunikator dan bertindak sebagai agen transformasi budaya. Adapun pesan-pesan komunikasi terwujud dalam cerita dan misi yang dibawa film tersebut terangkum dalam bentuk drama, action, komedi, horor, dan sebagainaya. Jenis-jenis film inilah yang dikemas oleh sutradara sesuai tendensi masing-masing. Ada yang tujuannya sekedar menghibur, memberi penerangan, atau mungkin kedua-duanya. Ada juga yang ingin memasukkan dogma-dogma tertentu sekaligus mengajarkan pada khalayak penonton. Bersama dengan radio dan televisi, film termasuk kategori media massa pereodik. Artinya, kehadirannya tidak secara terus menerus tetapi berperiode dan termasuk media elektronik, yakni media yang dalam penyajian pesannya sangat bergantung pada adanya listrik. Sebagai media massa elektronik dan adanya banyak unsur kesenian lain, film menjadi media massa yang memerlukan proses lama dan mahal.25
2.2.3. Jenis-Jenis Film Berdasarkan panjang pendek durasi, film bisa dibedakan ke dalam 2 bagian yaitu : 1. Film Cerita Pendek (Short Films). Durasi film cerita pendek biasanya dibawah 60 menit. Di banyak negara seperti Jerman., Australia, Kanada, 25
. Askurifai Baksin, Op.cit., h. 1 - 3
dan Amerika Serikat, film cerita pendek dijadikan laboratorium eksperimen dan batu loncatan bagi seseorang/sekelompok orang untuk kemudian memproduksi film cerita panjang. 2. Film Cerita Panjang (Feature-Lenght Films). Film dengan durasi lebih dari 60 menit lazimnya berdurasi 90-100 menit. Film yang diputar di bioskop umumnya termasuk dalam kelompok ini. Beberapa film, misalnya Dances With Wolves, bahkan berdurasi lebih dari 120 menit. Film-film produksi India rata-rata berdurasi hingga 180 menit. 26
2.2.4. Genre Film Genre merupakan Bahasa Prancis yang artinya dalam Bahasa Inggris adalah type yang berarti golongan, jenis. Film seringkali dikategorikan ke dalam seperti kriminal, roman, komedi, fantasi atau aktual. Perlu dicatat bahwa, meskipun deskripsi-deskripsi yang diberikan pada tipe-tipe film khususnya, seringkali masih mengalami perubahan bersamaan dengan pengembangan genregenre baru. The Great Train Roberry karya Edwin Porter (1903) pada awalnya dideskripsikan sebagai film kriminal, namun sekarang dianggap sebagai film koboi (cowboy/western) . Seperti halnya Journey to The Moon karya Melies (1901) merujuk pada fantasi, padahal sekarang dinamakan sebagai fiksi ilmiah. Ini menunjukkan bahwa kategori-kategori genre tidak statis dan tema-tema juga gayagaya berkembang terus. Dan genre-genre itu pun dapat dikombinasikan satu dengan yang lainnya. Genre dapat dikenali melalui isi visual dan tema-tema cerita
26
. Heru Effendy, Mari Membuat Film, Jakarta, Panduan, 2002, h. 13.
(jenis cerita), dan itu merupakan pengulangan-pengulan yang umum dan melingkupi sejumlah film yang membuat kemungkinan adanya kategorisasi tersebut.27 Adapun cerita dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis. Setiap jenis tentunya memiliki cirinya masing-masing. Beberapa jenis itu adalah : 1. Drama Cerita drama adalah jenis cerita fiksi yang bercerita tentang kehidupan dan perilaku manusia sehari-hari.
Jenis drama masih diklasifikasi
menjadi beberapa jenis lagi diantaranya : a. Drama Tragedi. Cerita drama yang termasuk jenis ini adalah cerita yang berakhir dengan duka lara, kesedihan atau kematian. b. Drama Komedi Jenis drama ini dapat digolongkan menjadi beberapa jenis lagi : 1). Komedi Situasi, cerita lucu yang kelucuannya bukan berasal dari para pemain, melainkan karena situasinya. 2). Komedia Slapstik, cerita lucu yang diciptaan dengan adegan menyakiti para pemainnya, atau dengan gerak vulgar dan kasar. 3). Komedi Satire, cerita lucu yang penuh sindiran tajam. 4). Komedi Farce, cerita lucu yang bersifat dagelan, sengaja menciptakan kelucuan-kelucuan dengan dialog dan gerak laku lucu. 27
. Nathan Abrams, Ian Bell Jan Udris, Studying Film, New York, Oxford University Press Inc, 2001, h. 174.
c. Drama Misteri. Jenis ini dapat dibagi lagi menjadi beberapa bagian : 1).
Kriminal,
misteri
yang
sangat
terasa
unsur
ketegangan/suspense, dan biasanya menceritakan seputar kasus pembunuhan atau pemerkosaan. Si pelaku biasanya akan menjadi misteri karena penulis skenario memperkuat alibinya. Seringkali dalam cerita jenis ini, beberapa tokoh bayangan dimasukkan untuk mengecoh penonton. 2). Horor, misteri yang bercerita tentang hal-hal yang berkaitan dengan roh halus atau makhluk yang menakutkan, semacam setan. Skenario jenis ini harus mampu membuat penonoton merasa takut, ngeri dan tegang. 3). Mistik, misteri yang bercerita tentang hal-hal yang bersifat klenik, perdukunan atau unsur gaib. Dalam hal ini, observasi menjadi satu hal yang perlu dilakukan oleh penulis skenario, jika memang tidak paham tentang masalah klenik ini. d.
Drama Laga/Action. 1). Modern, cerita drama yang lebih banyak menampilkan adegan perkelahian atau pertempuran, namun dikemas dalam setting yang modern. 2). Tradisional, cerita drama yang juga menampilkan adegan laga. Namun dikemas secara tradisional.
e. Melodrama. Cerita jenis ini bersifat sentimental dan melankolis. Ceritanya cenderung terkesan mendayu-dayu dan mendramatisir kesedihan. f. Drama Sejarah. Drama sejarah adalah cerita jenis drama yang menampilkan kisahkisah sejarah masa lalu, baik tokoh maupun peristiwanya. 2. Dokumenter. Dokumter berisi kisah non-fiksi atau non-drama. Biasanya jenis ini menampilkan sebuah kisah nyata dan dibuat di tempat aslinya, apa adanya tanpa rekayasa. Adapun jenis-jenisnya : a Adat Istiadat Cerita jenis ini berbicara seputar adat istiadat. Bisa yang bersifat keagamaan, hukum adat dan sebagainya. c Tempat Bersejarah. Cerita ini megangkat cerita seputar tempat-tempat bersejarah. c Biografi. Biografi bercerita tentang perjalanan seorang tokoh beserta kisah yang sesungguhnya, tanpa dibumbui pemanis. 3. Propaganda. Kisah ini bertujuan untuk mempromosikan sesuatu. Isi harus bisa mempengaruhi orang agar tertarik mengkonsumsi pereodik yang ditarwarkan. Adapun jenisnya :
a. Layanan Masyarakat, berisi propaganda yang memuat hal-hal berkaitan masalah kemasyarakatan. Bahasa yang digunakan lebih sederhana, lugas dan mudah dipahami oleh orang banyak. b. Layanan Niaga, berisi penerangan atau prmosi suatu produk. Dari berbagai jenis cerita tersebut, bukannya tidak mungkin dibuat sebuah skenario yang merupakan penggabungan dari beberapa cerita. Misalnya, cerita komedi-misteri, misteri-laga, legenda-misteri, tregedi-komedi, komedi-laga, dokumenter-drama, atau yang lainnya. 28
2.2.5. Produksi Film Berbicara produksi berarti akan berbicara pula proses yang terkait dengan urusan manajemen, tentunya manajemen yang dimaksud di sini adalah manajemen produksi film. Manajemen produksi film, merupakan semua aktifitas untuk mewujudkan sebuah karya film sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. Sangat berbeda dengan manajemen produksi umumnya, sebab film adalah hasil paduan antara unsur kesenian dan teknologi. Jadi di samping mengurusi hal fisik juga berhubungan dengan usaha penciptaan/kreatifitas, artistik, teknologi, dan manusia. Semua langkah/proses manajemen akan menggeluti semua unsur tersebut di atas. Adapun langkah-langkah/proses manajemen produksi film adalah sebagai berikut :
28
. Elizabeth Lutters, Kunci Sukses Menulis Skenario, Jakarta, PT. Gramedia Widia Sarana, 2004, h. 35 - 40
1. Merancang produk film; aktifitas merumuskan pesan, bentuk, karakter, cara/teknik mewujudkannya. 2. Merancang proses pembuatan (produksi) produk film; aktifitas merumuskan segala kegiatan dalam rangka mewujudkan rancangan produk film. 3. Menjadwalkan proses pembuatan produk film; menyusun waktu yang akan digunakan untuk melaksanakan proses pembuatan. 4. Menyusun pembiayaan/budget; menyusun biaya yang diperlukan untuk pembuatan produk yang telah ditetapkan. 5. Melaksanakan
pembuatan
produk;
melaksankan
persiapan,
melaksanakan shooting, processing I, editing, rekaman suara, processing II 6. Melacak kemajuan; membuat laporan shooting, processing, editing, rekaman suara dan processing II. 7. Merevisi rencana; melakukan shooting ulang, memperbaiki anggaran biaya, memperbaiki editing dan sebagainya. Ada yang menyebutkan proses 1,2,3,4, pre production, sedangkan shooting disebut production sedangkan prosessing, editing dan recording disebut post production.29 Tak begitu berbeda dengan apa yang disebutkan oleh Alan dan Stephen dalam bukunya television production. Untuk membuat produk film atau video program ada tahapan / proses yang mesti dilalui oleh pembuat program tersebut.
29
. Bustal Nawawi, Manajemen Produksi Film, Jakarta, Yayasan Citra, 1992, h. 5 – 6.
Proses produksi umumnya terbagi kedalam empat tahapan, yaitu pra produksi (preproducion planning), penataan dan gladi bersih (set and rehearsal), produksi (production) dan paska produksi (postproduction). Praproduksi (preproduction planning) merupakan tahap awal dari keseluruhan proses produksi, pada tahap ini membahas ide atau rencana produksi nantinya, dengan pendekatan seperti apa produksi yang hendak dikerjakan, dan menuangkannya ke dalam kertas semua rencana sampai paska produksi. Penataan dan latihan/gladi bersih (set up and rehearsal) penataan dan gladi bersih adalah segala kegiatan yang bersangkutan dengan penataan lokasi atau dekor, posisi kamera, lampu, audio
dan peralatan teknis lainya yang
dibutuhkan serta latihan semua kru dan pemain yang terlibat. Produksi adalah seluruh kegiatan shooting/pengambilan gambar baik di dalam maupun di luar studio. Adapun shooting format, kita dapat memilih antara dua format, yakni film atau video. Saat ini setidaknya ada tiga macam ukuran film yang diproduksi secara massal, yakni 35 mm, 16 mm, 8 mm. Angka-angka tersebut menunjukkan lebarnya pita seluloid. Semakin lebar pita seluloid, semakin baik pula kualitas gambar yang dihasilkan. Namun, semakin lebar pita seluloid, semakin langka pula alat perekam dan alat proyeksi yang tersedia. Video merupakan format berbahan dasar pita magnetik. Pita magnetik ini bisa merekam gambar dan suara sekaligus, sementara film hanya mampu merekam gambar saja. Untuk suara digunakan medium lain , semisal DAT (digital audio tape). Seperti juga film, video mempunyai berbagai jenis untuk berbagai keperluan, seperti
U Matic, Betacam SP, Digital Betacam, Betamax, VHS, S-VHS, Mini DV, DV, DVCAM, dan DVCPPRO. Hingga 1980-an, perbedaan format memunculkan dua kelompokkelompok film dan kelompok video yang tak saling berurusan satu sama lain. Kelompok film pengguna pita seluloid nyaris tak pernah menyentuh ranah video. Sementara itu kelompok video menghasilkan karyanya tanpa pernah mengenal film. Selama dua puluh tahun terakhir, format video mengalami perkembangan pesat sehingga saat ini dimungkinkan kedua kelompok melebur jadi satu dalam memproduksi film. Format film maupun video, keduanya sama-sama bisa dinikmati oleh publik televisi maupun bioskop 30 Paska produksi (postproduction). Semua kegiatan dalam tahap ini adalah editing (penyuntingan), menambah illustrasi musik, efek visual, efek suara dan lain-lain.31 Secara mekanis tentu pula tergantung dari media rekam yang digunakan. Bila menggunakan film seluloid, proses paska produksinya akan berbeda dengan bila mengunakan pita magnetik. Teknologi apa yang dipilih/gunakan menentukan bagaimana proses paska produksi itu harusnya dikerjakan. Bila dibentuk skema, shooting format yang bisa dipilih dan digunakan dari proses produksi sampai dengan paska produksi /editing adalah sebagai berikut :
30
. Heru Effendy, Mari Membuat Film, Jakarta, Panduan, 2004, h. 19 - 25 Alan Wurtzel, Stephen R Acker, Television Production, Amerika, Thomson Wadsworth, 1989, h. 14 - 20
31
Shooting
Editing
Penyiaran
Film
Film
Film
Film
Video
Film
Film
Video
Video
Video
Video
Video
Video
Video
Film
Sumber : Heru Effendy, Mari Membuat Film, 2004, h. 25
2.3. Editing Film 2.3.1. Pengertian Editing Setelah pengambilan gambar selesai, langkah selanjutnya adalah menyusun gambar-gambar tersebut menjadi sebuah film yang utuh. Dan ini merupakan kerja editing. Menurut
J.M.
Peters,
yang
dimaksud
editing
film
adalah
mengkombinasikan atau memisah-misahkan rangkaian film sehingga tercapai sintesis atau analisis dari bahan yang diambil (Peters, 1980: 9). Di sini, Peters mengungkapkan, dengan penyuntingan, film sintesis atau sutradara dapat menghidupkan cerita, menjernihkan suatu keterangan, menyatakan ide-ide, atau menimbulkan rasa haru pada penonton. 32 Sementara D.W. Griffith berpendapat, editing film merupakan suatu hal yang terpenting dalam film karena editing film itu merupakan suatu seni yang tinggi. Menyunting film adalah 32
. Askurifai Baksin, Op.cit., h. 83
menyusun gambar-gambar film untuk
menimbulkan tekanan dramatik dari cerita film itu sendiri. Sutradara dan editor harus pandai dalam selection of shot, selection of action (scene demi scene yang harus dirangkaikan) (Griffith, 1972:20-25). Adapun Pudovkin mengatakan perlu adanya constructive editing, yakni pelaksanaan penyuntingan film yang sudah dimulai dari penulisan dan membuat shot-shot sebagai materi penyuntingan. Dalam hal penyuntingan ini, Pudovkin mempunyai sebuah prinsip, yaitu peristiwa-peristiwa yang akan direkam dalam gambar tidak terlepas dari tiga faktor: watak manusia, ruang, dan waktu. Di samping tidak terlepas dari `lirik editing` , yakni bagaimana caranya mengeksploitasi sesuatu yang tidak tampak seperti kegembiraan, kesenangan, kesedihan, dan lain-lain (Pudovkin, 1972:26). Pendapat Grffith dan Pudovkin ditentang oleh Esenstein, seorang arsitek yang lari ke dunia film. Dia mengecam Griffith dan Pudovkin dengan alasan keduanya hanya bisa menyambung gambar dengan mengharapkan penonton ikut tertawa atau menangis. Menurut dia, dalam proses penyuntingan film harus dilakukan dengan cara menyambung dua buah shot atau adegan yang dapat menimbulkan pengertian baru melalui cara pemikiran dan selalu menimbulkan istlah pemikiran baru. Untuk itu, dia menghadapkan pada kiasan melalui lambanglambang sehingga penonton turut berfikir secara intelektual terhadap adegan yang dilihatnya (1972: 23).33 Pada adasarnya, editing film dan video tidak ada bedanya. Hal yang membedakannya
33
. Ibid., 84
adalah
pada
aspek
teknologinya.
Secara
sederhana
editing/penyuntingan film atau video adalah usaha merapikan dan membuat sebuah tayangan film/video menjadi lebih berguna dan enak ditonton. Tentunya penyuntingan ini dapat dilakukan jika bahan dasarnya berupa shot (gambar hasil rekaman juru kamera), dan unsur pendukung seperti suara, musik dan efek suara sudah mencukupi. Selain itu, dalam kegiatan editing seorang editor harus betulbetul mampu menata ulang/merekonstruksi potongan-potongan gambar-gambar yang diambil oleh juru kamera. 34 Jadi bisa disimpulkan bahwa kegiatan editing, bukanlah sekedar memotong dan menyambung gambar belaka dengan menghubung-hubungkan secara rasional, akan tetapi diperlukan suatu seni agar hasilnya enak untuk ditonton dan dapat memberikan kepuasan pada pemirsa. Di sini ada tuntutan bagi editor untuk bisa merangkai gambar-gambar tadi agar lebih bermakna, meramunya dengan efek suara, ilustrasi musik, efek visual bila dirasa perlu, sehingga pesan yang hendak dikomunikasikan melalui media film bisa dipahami dan enak ditonton.
2.3.2. Fungsi Editing Editing memiliki beberapa fungsi, antara lain adalah : 1. Combine, yaitu menggabungkan bagian-bagian shot, ini merupakan perkerjaan editing yang paling sederhana, yaitu dengan cara mengaitkan gambar-gambar/ video yang bervariasi bersama-sama ke dalam skuens
34
. Ibid., 84
yang tepat. Ini artinya melalui editing kita bisa memilih shot mana saja yang sekiranya sesuai untuk saling digabungkan satu dengan berikutnya. 2. Shorten, yaitu memperpendek, maksudnya adalah
memotong atau
mengurangi durasi (waktu). Beberapa tugas atau pekerjaan editing termasuk diantaranya adalah memotong atau mengurangi materi yang tersedia untuk membuat hasil akhir video sesuai dengan waktu yang telah ditentukan atau untuk menghilangkan materi yang kurang/tidak ada hubungannya dengan cerita/kisah yang hendak disampaikan. 3. Correct, yaitu mengoreksi masalah-masalah yang ada, yaitu dengan mengurangi /membuang bagian-bagian yang tidak tepat dari sebuah adegan maupun mengganti bagian-bagian tersebut dengan gambar lain yang lebih bagus. 4. Build, yaitu membangun atau menyusun gambar-gambar dengan berbagai variasinya menjadi sebuah program yang utuh. Ini tugas yang paling sulit, namun juga bisa memuaskan bila kita dapat berhasil menyusun satu skuens utuh sesuai dengan maksud/cerita yang diinginkan.35 Supaya berhasil dalam membangun bagian-bagian (shot-shot) hingga efektif, seorang editor harus berhasil melakukan setiap fungsi yang disebutkan di bawah ini : 1. Selektifitas (pemilihan), fungsi editing yang paling dasar ialah memilih shot terbaik diantara sejumlah pengambilan (take) yang dibuat oleh
35
. Zettl, Television Production Handbook, Amerika, Thomson Wadsworth, 2003, h. 318-319
sutradara, memilih bagian-bagian yang memiliki efek visual dan suara yang paling kuat, efektif atau penting, mengenyampingkan bahan yang buruk, tidak perlu dan tidak penting. 2. Keterpaduan (Coherence) dan kesinambungan (Continuity). Untuk mencapai tujuan ini seorang editor harus mempertimbangkan dengan teliti sekali efek estetik, dramatik, dan psikologik dari penyambungan gambar yang satu ke gambar yang lain, dari suara yang satu ke suara yang lain. 3. Transisi. Transisi-transisi formula itu mencakup efek-efek berikut : a. Wipe. Sebuah gambar baru dipidahkan dari gambar sebelumnya oleh sebuah garis horisontal, vertikal atau diagonal yang bergerak melintasi layar untuk ”mendorong” citra yang ada ke luar layar. b. Flipframe.
Seluruh
bingkai
gambar
seakan-akan
terbalik
dan
mengungkapkan adegan baru, sehingga kita memperoleh efek mirip orang membalik halaman buku. c. Dissolve. Perpaduan bertahap dari akhir sebuah shot ke dalam awal shot berikutnya, yang dihasilkan dengan jalan mendempetkan (super impose) sebuah fade-out ke dalam fade-in yang sama panjang, atau dengan mendempetkan adegan yang satu ke atas adegan lainnya. d. Fade-out – fade-in. Gambar terakhir dari sekwen pertama perlahan-lahan tenggelam dalam kegelapan untuk sesaat disusul dengan makin terangnya gambar sekwen berikut. Masing-masing transisi memberikan efek-efek tersendiri terhadap tempo film dan sifat transisi yang terjadi. Secara umum dissolve adalah transisi yang
dianggap lambat dan dipergunakan untuk menyadarkan penonton tentang perubahan adegan besar atau peralihan waktu. Flips dan wipe temponya lebih cepat dan dipergunakan jika logika peralihan waktu dan tempat bagi penonton lebih dapat ditangkap. Di masa lampau para pembuat film banyak sekali menggunakan berbagai efek optikal khusus untuk memperoleh sambungan yang lancar dan jelas antara bagian-bagian terpenting. Tapi kebanyakan pembuat film modern sekarang ini sudah meninggalkan formula-formula tradisional secara luas. Mereka seringkali mempergunakan sambungan langsung dari sekwen satu ke sekwen yang lain (cut to cut) tanpa tanda-tanda transisi yang jelas. Jalur suara juga sudah mengambil alih fungsi-fungsi transisi yang selama ini dikerjakan secara optik. 4. Irama-irama, tempo dan pengendali waktu. Dalam sebuah film, irama adalah hasil dari berbagai faktor yang bekerjasama dan secara terpisahpisah : obyek fisik yang bergerak di atas layar, gerak kamera yang nyata atau menonjol, skor musik, irama dialog dan irama alamiah percakapan manusia dan kecepatan plot film itu sendiri : kesemua faktor ini meramu sebuah irama yang unik yang berpadu menjadi suatu keseluruhan. 5. Pemekaran waktu. Editing yang trampil juga dapat memekarkan konsep waktu kita yang biasa dengan memasukkan sejumlah detail yang saling berhubungan dalam sebuah sekwen laku yang biasa. 6. Pemerasan waktu. Dengan jalan menggunakan sambungan sekilas yang sepotong-sepotong, seorang editor dapat memperpendek kejadian yang berlangsung selama satu jam menjadi beberpa menit. Sebuah teknik
editing lain untuk memeras waktu adalah jump-cut (sambungan melompat), ini dapat mempercepat laku atau action dengan jalan membuang bagian yang tidak diperlukan, bagian yang masih dapat dipahami dengan mudah jika adegan, subyek yang bergerak dan arah gerak masih sama. Teknik lain lagi yang efektif adalah dengan cara parallel cutting (sambungan sejajar) yaitu sambungan bolak-nalik yang cepat antara dua laku yang berlangsung di tempat yang berbeda dan terpisah. 7. Penjajaran kreatif. Melalui penjajaran gambar-gambar dan suara yang unik, editor seringkali dapat mengutarakan suatu sikap atau nada terhadap materi itu sendiri atau mereka diminta untuk menciptakan, melalui serentetan citra-citra visual dan aural yang singkat, apa yang biasanya disebut montage. Isilah montage menunjuk pada suatu rentetan gambar dan suara yang amat efektif, yang tanpa pola logis atau runtunan yang jelas membentuk semacam puisi visual dalam bentuk miniatur. 36 Pada dasarnya editing meliputi pekerjaan tiga unsur yang terkait yaitu : 1. The juxtaposition of shots, yaitu penempatan posisi shot yang berarti menaruh atau menyusun satu shot ke shot berikutnya. Ini merupakan konsep yang paling fundamental dalam editing. Karena shot yang tersusun hingga menjadi skuens itu berpengaruh terhadap persepsi penonton nantinya dan bagaimana penonton merasakan pesan anda. 2. The timing of shots, yaitu pengaturan durasi shot atau panjang pendek shot, dalam penyusunan shot demi shot harus memperhatikan seberapa 36
. Joseph M. Boggs, The Art o Watching Film, Cara Menilai Sebuah Film, Terjemahan Asrul Sani, Yayasan Citra, h. 105 - 114
perlu sebuah shot itu cepat atau lambat (panjang atau pendek) pemunculannya, tentunya tergantung isi, kompleksitas, dan konteksnya apa, dengan kata lain tergantung kebutuhan. Ini akan sangat berpengaruh terhadap langkah atau irama keseluruhan skuens atau program. Sehingga the timing of shots ini merupakan konsep yang amat relatif. 3. The transition devices used to go from shot to shot, yaitu transisi yang digunakan untuk menyambung dari satu shot ke shot berikutnya. Ada empat transisi dasar dalam editing, yaitu : a. Cut yaitu perpindahan seketika dari satu shot ke shot yang lain. b. Fade yaitu gambar muncul secara pelan-pelan dari tidak ada atau gelap ke nampak penuh atau terang (fade-in) bisa juga dari gambar penuh atau terang ke tidak ada atau gelap (fade-out). c. Dissolve yaitu perpindahan satu shot ke shot berikutnya dengan gradasi, dimana shot kedua lambat laun muncul ketika shot pertama lambat laun menghilang. d. Wipe yaitu perpindahan satu shot ke shot berikutnya, dimana shot kedua mulai di bagian luar layar dan menghapus shot pertama sampai dengan garis yang masih terlihat hingga akhirnya menutupi gambar pertama. Bentuk dan arah wipe ini bervariasi. 37
2.3.3. Metode dan Teknik Editing Secara umum, proses editing film dibedakan menjadi dua metode, yakni :
37
. Alan Wurtzel, Stephen R Acker, Op.cit., 563 -568
1. Continuity Cutting Metode ini merupakan , metode editing film yang berisi penyambungan dari dua buah adegan yang mempunyai kesinambungan. 2. Dynamic Editing. Metode editing film yang berisi penyambungan dari dua buah adegan yang tidak mempunyai kesinambungan. Adapun teknik editing film dikategorikan menjadi empat jenis, yaitu : 1. Paralel Editing Yaitu kalau ada dua adegan yang mempunyai persamaan waktu, harus dirangkaikan silih berganti. 2. Cross Cutting Yaitu beberapa adegan yang diselang atau penyilangan dua adegan dalam waktu tidak bersamaan. 3. Contras Editing Yaitu susunan gambar yang memperlihatkan kontradiksi dua adegan atau lebih. 4. Montage Trope Yaitu sistem editing/penyuntingan yang mempergunakan simbol atau lambang-lambang yang menimbulkan pemikiran pada penonton. (Yahya, 1984: 10 – 19)38
38
. Askurifai Baksin, Op.cit., h. 88.
2.3.4. Prinsip Editing Untuk memberi arah bagi editing anda dan membuat pilihan-pilihan rangkaian shot anda berkurang perubahan-perubahannya, maka perlu mengetahui konteks peristiwa/cerita secara spesifik. Pemilihan shot umumnya didasarkan pada kontinuitas cerita. Kaitannya dengan ini ada aspek editing yang sama pentingnya, menyangkut 3 prinsip estetis utama yaitu: 1. Continuity Editing. Kontinuitas
mengacu
pada
pencapaian
kesinambungan
cerita.
Kaitannya dengan kontinuitas, anda perlu memperhatikan faktor-faktor estetis berikut: a. Subject identification. Penonton seharusnya mengenali subyek atau objek dari satu shot ke shot berikutnya. Jika anda tidak dapat mengatur kontinuitas gambar untuk identifikasi, maka jembatani gap/celah antara dua shot dengan memberi tahu penonton bahwa sesungguhnya itu merupakan orang/benda yang sama. Jump cut bisa terjadi ketika anda mengedit shot-shot yang serupa dalam subyek namun berbeda dalam lokasi layar; subyek terlihat jumping/loncat dari lokasi layar ke layar berikutnya. Untuk menghindari jump cut ini, coba temukan satu shot yang berurutan, yang menunjukkan objek dari sudut/arah pandang yang berbeda atau insert-lah dengan cutaway.
b. The Mental map. Anda secara normal akan menyaksikan sedikit dari keseluruhan adegan di dalam layar. Untuk itu pemakaian gambar close-up (CU) dianjurkan. Sebuah kejadian /gambar yang terlihat dalam layar menegaskan pula luar ruang layar. Contoh: bila anda menyaksikan seorang A melihat ke arah kanan layar dalam keadan CU dengan jelas sedang berbincang dengan seorang B di luar ruang layar, maka anda mengira bahwa orang B melihat ke arah kiri layar di CU berikutnya. Untuk membantu anda memudahkan dan mengatur mental map anda perlu mengetahui lebih tentang vector line (garis vektor/garis lintasan objek). c. Vectors. Satu bantuan yang penting dalam memelihara mental map penonton dan menjaga subyek-subyek dalam ruang layar sebagaimana diharapkan (tidak mengalami kekeliruan) dalam shooting berbalik sudut pandang adalah vector line (garis vektor). Vector line (juga disebut the line, the line of conversation and action atau the hundredeighty) merupakan garis pemandu arah lintasan objek. Ini penting sekali untuk shot-shot over- the-shoulder, juga shot tunggal, orang dalam ukuran CU yang saling berbincang. Prinsipnya saat shooting (misal mengambil 2 orang yang sedang berbincang), anda harus menaruh kamera 1 dan kamera 2 pada sisi vector line yang sama. Jangan sampai salah satu kamera ditaruh pada posisi menyeberangi
vector line. Bila anda menaruh salah satu kamera menyeberangi vector line, akan menghasilkan gambar yang membingungkan penonton. d. Movement. Untuk menjaga kontinuitas pergerakan, ada beberapa poin yang perlu anda ingat: 1). Lakukan cutting (pemotongan) pada saat gerakan subyek, tidak pada sebelum atau setelahnya. 2). Jika satu shot berisi objek yang sedang bergerak, jangan mengikutinya dengan satu shot yang memperlihatkan objek bergerak. Demikian pula jika anda mengikuti objek yang bergerak dalam satu shot dengan pergerakan camera pan (kamera bergerak dari kiri ke kanan atau sebaliknya), jangan memotong (cut to) ke kamera tak bergerak pada shot berikutnya. Keduanya sama-sama mengejutkan, untuk itu anda perlu memiliki subyek atau kamera bergerak pada shot terdahulu maupun yang berikutnya/setelahnya. 3). Jika anda mendapati gambar yang berisi aksi yang diambil dari dua sisi vector line (menghasilkan arah layar yang berlawanan), maka anda harus memisah kedua shot tersebut dengan cutaway atau teruskan saja satu shot sehingga arah layar yang terbalik dapat terasa berkesinambungan. e. Color. Satu dari sekian banyak masalah kontinuitas yang paling serius terjadi ketika warna-warna dalam sebuah adegan (scene) yang sama tidak
sesuai atau berbeda. Untuk itu kesinambungan warna dari satu shot ke shot berikutnya terlebih dalam satu adegan yang sama perlu dijaga dan diperhatikan. f. Sound. Ketika meng-edit dialog atau komentar haruslah berhati-hati dalam menjaga keseluruhan irama percakapan/pembicaraan. Jeda shot-shot percakapan yang berkesinambungan seharusnya tidak lebih pendek maupun lebih panjang. Suara-suara sekitar (ambient/background) adalah sangat penting juga guna mengatur kontinuitas. Anda perlu memelihara suara disepanjang adegan agar kontinuitas tetap terjaga. 2. Complexity Editing. Yang dimaksudkan complexity editing ini adalah pelanggaran kaidahkaidah atau aturan-aturan editing secara sengaja untuk menambah kompleksitas dan intensitas adegan. Pilihan dan penyusunan shot-shot tidak lagi ditentukan/dituntun oleh keperluan untuk menjaga kontinuitas visual atau aural, akan tetapi ditentukan oleh cara mendapatkan dan menjaga perhatian penonton dan untuk menambah keterlibatan emosional mereka. Tapi bukan berarti anda bebas melanggar aturan dan kontinuitas editing tanpa tujuan yang jelas. Anda boleh melanggar ketentuan-ketentuan editing dengan sengaja untuk mengintensifkan tujuan komunikasi anda.
3. Context. Khususnya dalam meng-edit berita atau dokumenter, anda harus menjaga/memelihara konteks yang benar dimana peristiwa itu terjadi (diambil). Oleh karena itu anda harus berhati-hati khususnya saat menggunanakan shot-shot dalam editing. 39 Disamping prinsip estetis ada prinsip lainnya yang sama pentingnya adalah prinsip etis yang tak boleh dikesampingkan. Dalam bukunya Television Production Handbook, Zettl menyebutkan bahwa dalam editing nonfiksi (program berita dan dokumenter) etika menjadi prinsip editing yang mutlak harus diperhatikan. Pelanggarana aturan-aturan
yang sengaja dalam editing bukan
semata karena pertimbangan estetis, akan tetapi persoalan etis juga, ini karena mengingat program berita atau dokumenter harus disajikan sebenar dan seaktual mungkin.40 Beberapa hal yang harus diperhatikan terkait dengan prinsip etis ini adalah: 1. Hati-hati ketika menempatkan shot-shot, karena bila tidak, bisa menimbulkan
pengertian
lain
bagi
pemirsa
dan
ini
bisa
membahayakan. 2. Jangan mengada-adakan kejadian/peristiwa hanya karena ingin mendapatkan gambar bagus. 3. Untuk menjaga pemirsa dari pengaruh dan manipulasi yang tidak bertanggung jawab, anda sebagai komunikator profesional harus 39
. Zettl, Op.cit., 320-328. . Ibid., 328-329
40
bertanggung
jawab
serta
menghormati
audien.
Jangan
menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan oleh audien kepada anda.41
2.3.5. Alat Editing Berdasarkan alat yang digunakan, secara teknis alat editing digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu linear editing dan non-linear editing. Pada linear editing, proses pengerjaannya dilakukan dengan merekam gambar dari pita kaset ke pita kaset lainnya (dari master shots yang ditaruh di video player ke master tape yang ditaruh di video recorder) secara langsung sesuai dengan urutan gambar yang diinginkan. Pada non linear editing, proses pengerjaannya berbasis komputer. Semua gambar atau materi audio visual hasil rekaman juru kamera ditransfer atau dipindahkan terlebih dahulu ke komputer, baru selanjutnya bisa dilakukan penyuntingan. Kelebihan non-linear editing adalah, kita dapat setiap saat mengubah atau mengganti urutan gambar tanpa perlu melakukan perekaman kembali gambar-gambar tersebut. Kelemahan alat ini terletak pada waktu yang dihabiskan untuk menuangkan gambar mentah ke dalam komputer. Namun apapun tipe alat editing yang digunakan, prinsip bagaimana gambar dalam video disatukan adalah sama saja.42 Pada perkembangannya alat non linear editing-lah yang banyak digunakan oleh industri film dan televisi saat ini. Teknologi ini memungkinkan dilakukannya eksplorasi seluas-luasnya atas citra audio-visual. Penggunaan disk-based editing selain sederhana, juga praktis, 41
. Ibid. . Salajan Horea, Video Instruksional PJTV, Jakarta, Internews Indonesia, 2001.
42
dan berbiaya semakin murah dari waktu ke waktu. Dengan cara memanfaatkan teknologi ini setidaknya menjamin kemudahan proses pengeditan gambar, suara, pemanipulasian gambar dalam tiga dimensi, koreksi warna, pembuatan animasi dan seterusnya.43 Apalagi dengan semakin beragamnya jenis serta harga perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) editing yang ditawarkan dipasaran memberikan kemudahan dan pilihan pada film makers untuk menentukan dan menggunakan alat mana yang bisa mendukung proses paska produksinya. Tentunya disesuaikan pula dengan kemampuan anggaran yang tersedia.
2.3.6. Tahapan Editing Saat shooting berlansung sudah seharusnya orang produksi / kamerawan / sutradara berfikir secara editing. Maskudnya berfikir bagaimana dan akan seperti apa nantinya bila gambar-gambar hasil shooting itu digabungkan. Sebelum gambar-gambar yang terpilih dususun/disatukan, ada beberapa tahapan editing sebelumnya yang harus dilalui. Tahapan tersebut adalah Preediting Phase, yaitu tahap praediting yang meliputi : 1. The Shooting Phase, yaitu tahap pengambilan gambar. Sebagian besar kerja editing detentukan sebelumnya oleh cara bagaimana materimateri diambil saat shooting berlangsung. Pada tahap ini kuncinya adalah, seorang kamerawan
dalam memvisualisasikan tidak hanya
menghasilkan shot-shot secara individu, tapi sebuah shot skuens.
43
. Purnama Suwardi, Op.cit., 56.
Kamerawan harus bisa membayangkan sebuah shot skuens atau membayangkan akan seperti apa shot-shot itu nantinya bila digabungkan bersama-sama dan halus perpindahan antar gambarnya. Berikut adalah beberapa saran : a. Saat perekaman gambar, jangan menghentikan tepat pada akhir sebuah
adegan,
lebihkan
barang
beberapa
detik
sebelum
mematikan kamera video perekam. Jedah waktu ini akan memberikan kelonggaran antar gambar saat gambar-gambar itu digabungkan, ini juga akan membuat potongan gambar (cutting) menjadi halus. b. Selalu dapatkan shot-shot cutaway. Shot cutaway merupakan sebuah shot singkat guna membentuk kesinambungan antara dua shot. Cutaway ini akan sangat membantu dalam menjembatani loncatan waktu atau lokasi yang mendadak atau tidak logis saat shot-shot itu disusun/digabungkan. Cutaway yang bagus umumnya berupa shot statis dan netral terhadap arah layar. Usahakan pula untuk mendapatkan shot-shot cutaway yang mengidentifikasikan lokasi kejadian peristiwa. Rekam gambar dengan berbagai ukuran dan sudut pengambilan. Rekam pula suara sekitar lokasi yang menyertai cutaway. Ini semua akan membantu memperhalus transisi gambar dan juga dapat memberi informasi lokasi kejadian peristiwa dengan lebih lengkap.
c. Selalu rekam satu atau dua menit room tone ( bunyi ruangan) atau hal lain dari suara sekitar lokasi shooting walau kamera tidak merekam gambarnya. d. Identifikasi semua shot yang telah diambil/direkam dengan cara mencatat/mendaftarnya atau bisa juga dengan menyebutkannya melalui mikrofon kamera saat hendak merekam gambar yang dimaksud. Ini nantinya akan sangat membantu mempercepat proses editing, disamping juga akan dengan mudah mengenali shot demi shot. 2. The Review Phase, yaitu tahap pemeriksaan. Sebelum memutuskan gambar apa saja yang akan dimasukkan, dipotong, disatukan, anda perlu mengetahui materi apa saja yang telah didapat dari lapangan. Anda harus melihat dan memperhatikan segala sesuatunya hasil dari rekaman. Tanyakan pada yang tahu, bila anda tidak mengerti maksud dari gambar-gambar yang terekam saat preview. Ketahui maksud dan tujuan cerita atau komunikasi
karena ini akan mempengaruhi
pemilihan shot dalam pembuatan skuens. Baca naskah dan diskusilah dengan produser, sutradara atau penulis. Diskusikan pula tentang keseluruhan cerita, yang hendak diinformasikan, suasana dan gaya yang ingin ditampilkan. Sehingga anda bisa memilah dan memilih gambar-gambar yang semestinya terpakai atau tidak. 3. The Decision-Making Phase, yaitu tahap pengambilan keputusan. Tahap ini meliputi pekerjaan memilih dan mengurutkan shot dalam
konteks sesuai dengan keseluruhan cerita/ kisah dan tujuan komunukasi. Anda perlu memilih shot atau gambar yang mampu bercerita sendiri, akurat dan kuat. 4. The Operational Phase, yaitu tahap operasional. Dalam tahap ini ada langkah-langkah dasar operasional untuk pengerjaan editing baik dengan menggunakan tape-based (linear editing) maupun disk-based system (non linear editing) a. Bila anda memakai fasilitas-fasilitas editing, perikasalah terlebih dahulu keberadaannya. Sudahkah anda meminta peralatan tambahan yang
diperlukan, mungkin anda memerlukan pendukung seperti
komputer grafis, peralatan audio atau digital video effect. b. Bila bekerja dengan tape-based system, periksalah tape yang akan digunakan
untuk
pengeditan.
Gunakan
kaset
baru
untuk
perekaman. Untuk keperluan insert editing (penyisipan), berilah black atau colour bar pada kaset untuk menjaga pengontrol track tetap berkesinambungan. c. Aturlah dan tandailah tape-tape sumber/materi sesuai daftarnya. Lindungi tape dari kecelakaan penghapusan. Bila anda mengedit berita, buatlah salinan untuk semua tape sumber/materi sebelum memulai kegiatan editing yang pastinya. d. Dalam tape-based system aturlah VTR sumber dan perekam dalam kondisi insert atau assemble sesuai kebutuhan. Sesuaikan level audio pada keduanya.
e. Bila bekerja dengan disk-based system, luangkan waktu cukup untuk mentransfer materi dari tape sumber ke hard disk komputer editing. Back up (buatlah salinan/kopiannya) walau akan memakan waktu, daripada harus mentransfer kembali keseluruhan materi bila data terhapus atau hilang begitu saja, akan lebih membuang-buang waktu. Maka akan lebih aman bila anda masih punya kopiannya. f. Buatlah file secara rapi untuk mengidentifikasi tape, shot, adegan. Ini bisa anda jadikan dalam satu file tersendiri (biasa disebut bin) Metode penyimpanan yang rapi akan memudahkan anda nantinya dalam melihat/mencari dimana file itu berada. 44 Sehubungan dengan tahap shooting, dimana pada tahap ini kamerawan bertugas merekam shot demi shot untuk keperluan sebuah film , maka tentunya dalam menghasilkan sebuah shot perlu memperhatikan elemen-elemen yang ada dalam sebuah shot, agar shot yang dihasilkan memiliki arti dan makna. Thompson menegaskan bahwa sebuah shot hanyalah bagian kecil dari sebuah proses produksi. Namun mempunyai arti yang sangat penting. Untuk mendukung peran dan makna dari sebuah shot maka Thompson telah membedah shot menjadi beberapa elemen yang terkandung di dalamnya yang disebut The Elements Of Shots, sebuah teori tentang arti dan makna sebuah shot yang dipaparkan sebagai berikut :
44
. Zettl, Op.cit., 310-316
1. Motivation. Sebuah shot harus mempunyai motivasi yang akan memberikan alasan bagi editor untuk memotong dan menyambungnya ke shot berikutnya. Intinya setiap shot harus ada motivasi dan tujuannya. 2. Information. Sebuah shot harus menggambarkan informasi yang ingin disampaikan kepada pemirsa. 3. Composition. Anda harus memperhatikan komposisi gambar agar dapat berbicara dengan sendirinya. Ada empat bagian yang perlu anda perhatikan, yaitu Framing (pembingkaian gambar), Illusion of Depth (kedalaman dalam dimensi gambar), Subject or Object (subyek atau objek gambar), dan Colour (warna). Keempat bagian ini akan menyatu dalam komposisi shot yang anda bangun. Bila satu saja anda kehilangan bagian, misalnya framing-nya baik, depth-nya cantik, warnanya indah, tetapi objeknya kurang tepat, maka shot anda sudah gagal. 4. Sound. “You don`t have to see what you hear, but you have to hear what you see”, tulis Thompson. Ungkapan itu agaknya cocok untuk menjelaskan faktor suara yang sangat mempengaruhi makna gambar. Shot sangat dipengaruhi dan mempengaruhi kebutuhan suara, baik dalam bentuk sound effect (efek suara), live sound record (suara yang terekam
langsung saat shooting, bisa berarti suara sekitar, suara nara sumber) hingga ke pembuatan musik ilustrasi pendukung suasana. 5. Camera angle. Sudut pengambilan gambar yang diatur oleh peñata kamera / kamerawan akan memberikan kekuatan dari sebuah shot itu sendiri. Point of view ini akan menempatkan arah pandangan mata dari penonton sehingga apabila arah ini salah maka penonton juga akan mempunyai pandangan yang salah dari sebuah shot. Bila hal itu terjadi maka seluruh elemen yang ada dalam sebuah shot menjadi tidak berlaku lagi. Biarpun warnanya indah, suaranya sempurna dan objeknya tepat, tetapi kalau camera angle-nya salah, maka arah pandang shot menjadi gagal 6. Continuity. Continuity bisa disebut sebagai kontinuitas dari sambungan shot-shot yang dapat melengkapi isi cerita maupun karya visual. Ingat yang anda lakukan sebagai sutradara / kamerawan adalah membuat potonganpotongan gambar yang akan disambung dalam proses editing. Potongan
gambar
tersebut
haruslah
disiapkan
sesuai
dengan
kontinuitas yang diinginkan. Ada 5 faktor kontinuitas yang harus anda perhatikan pada saat shooting, yaitu: a. Content continuity adalah kontinuitas atau kesinambungan gambar pada isi cerita yang terangkum dalam sambungan berbagai shot.
Content continuity bisa berbentuk benda (tata artistik, properti), sinar cahaya (tata cahaya), wardrobe dan make up. b. Movement continuity adalah kontinuitas atau kesinambungan gambar pada gerakan yang direkayasa ataupun yang terjadi dengan sendirinya (natural). c. Position continuity adalah kontinuitas atau kesinambungan gambar untuk blocking pemain, posisi property (tata artistik), dan berbagai posisi lainnya yang disesuaikan dengan komposisi gambar dalam berbagai sudut arah kamera. d. Sound continuity adalah kontinuitas atau kesinambungan suara dalam gambar, baik yang bersifat direct sound (suara yang direkam langsung pada saat shooting) maupun indirect sound ( sound effect & illustrasi musik). e. Dialogue continuity adalah kontinuitas atau kesinambungan dialog yang terwujud dalam percakapan para pemeran sesuai dengan tuntutan cerita dan logika visual (kebutuhan gambar sesuai dengan naskah). Seluruh elemen dalam shot ini sangat penting sekali. Semuanya saling terkait, saling terangkai, dan saling terikat satu dengan yang lainnya. Satu saja elemen ini hilang maka lenyap sudah karya visual anda. Jadi elemen shot ini jangan pernah abaikan.45
45
. Naratama, Menjadi Sutradara Televisi Dengan Single dan Multi Camera, Jakarta, PT. Gramedia Widia Sarana, 2004, h. 79 - 83
Sehubungan dengan shot tersebut ada beberapa sudut pandangan kamera yang harus diperhatikan oleh kamerawan. Dengan sudut pandangan apa gambar dalam sebuah shot direkam. Ini menentukan akan seperti apa sutradara menceritakan subyeknya. Pada dasarnya ada empat sudut pandangan yang berbeda-beda yang dipergunakan dalam film : 1. Sudut pandangan obyektif. Sudut pandangan obyektif diillustrasikan oleh John Ford, ia menganggap kamera sebagai sebuah ”jendela”, dengan penonton yang berada di luar jendela menonton orang-orang dan peristiwa yang terjadi di dalam. Kita tidak diminta untuk melibatkan diri atau ikut serta dalam kejadian tersebut. 2. Sudut pandangan subyektif. Sudut pandangan subyektif memberikan pada kita sudut pandangan visual dan intensitas emosional yang dirasakan oleh suatu tokoh yang terlibat dalam suatu kejadian. Salah satu alat penting untuk menciptakan keterlibatan subyektif ini menurut Hitchock ialah melalui editing yang trampil sekali dan dengan mempergunakan sudut pandangan yang dekat pada kejadian. Makin subyektif sudut pandangan yang kita pergunakan, maka makin dalam dan lebih langsung jadinya penghayatan kita, karena makin lama makin terlibat dalam peristiwa yang diperlihatkan. 3. Sudut pandangan interpreatif sutradara. Dalam type shot yang lain, seorang sutradara tidak saja ingin memperlihatkan apa yang terjadi, tapi juga bagaimana kita harus melihat kejadian tersebut, dengan jalan memotret
adegan dari sudut-sudut pandanagan yang khusus, efek khusus, emosional, atau gaya tertentu. 4. Sudut pandangan subyektif tak langsung. Sudut pandangan subyektif tak langsung sebetulnya tidak menghasilkan suatu sudut pandangan seseorang peserta, ia hanya mendekatkan kita pada peristiwa hingga kita merasa diri kita terlibat dengan sungguh-sungguh, dan penghayatan visual kita menjadi lebih dalam. 46 Setelah tahap pra editing dilalui maka tahap selanjutnya adalah editing. Pada tahap ini editor mulai menyusun gambar-gambar terpilih sesuai dengan skenario/tujuan dari program. Kadang-kadang narasi dimasukkan/disusun terlebih dahulu, kemudian gambar/visual menyesuaikan. Biasanya untuk sementara, editing ini dilakukan secara kasar terlebih dahulu atau sering disebut rought-cut. Pada tahap ini bila dirasa perlu, produser akan melihat dan memberi masukan terhadap rought-cut yang telah dibuat oleh editor, sebelum program diedit ke dalam versi final. Kemudian setelah mendapatkan pengecekan awal dari produser, selanjutnya editor merefisi bila memang perlu dilakukan refisi. Dan selanjutnya ditambahkan efek visual atau grafis, efek suara dan musik untuk ilustrasi dan audio mixing (penyelarasan suara) hingga hasilnya siap untuk disiarkan. 47 Sehubungan dengan proses editing ini, Bustal Nawawi secara ringkas menerangkan, yang dimaksud dengan melaksanakan editing atau cutting adalah sebuah proses dimana bahan baku film atau video tape recording dirakit dan 46
. Joseph M Boggs, Asrul Sani, Op.cit., h. 117 - 122 . Alan Wurtzel, Stephen R Acker, Op.cit., 321 - 325
47
disunting ke dalam bentuk utuh dan berkesinambungan. Proses pembentukan ini melalui tahapan-tahapan perakitan berlanjut ke tahapan rought cut/rought edited atau susunan kasar dan akhirnya fine cut/final edited atau susunan halus (sempurna). Perekaman suara dan musik, dilakukan setelah editing selesai. Proses ini terdiri dari : 1. Perekaman dialog bila perlu harus ada dubbing-nya. 2. Perekaman khusus untuk efek suara untuk menghidupkan suasana, 3. Perekaman musik illustrasi untuk mempertajam emosi dan suasana adegan dalam film. 4. Proses mixing yaitu proses dimana suara-suara tersebut disesuaikan dengan gambarnya dan diatur level volume tinggi rendahnya disesuaikan dengan suasana adegannya. 48 Proses tahapan editing diatas masih bersifat umum. Mengingat editing film saat ini lebih banyak dikerjakan dengan sistem non-linear editing, berikut ada tahapan dalam mengerjakan editing dengan sistem non-linear : 1. Looging. Proses editor mencatat waktu pengambilan gambar, dan memilih shot-shot yang ada disesuaikan dengan camera report. Proses logging itu diperlukan sebagai antisipasi dari penuhnya kapasitas hardisk sehingga pemilihan gambar yang paling baik akan membantu hardisk tidak terlalu penuh.
48
. Bustal Nawawi, Diktat Manajemen Produksi Film, Jakarta, Yayasan Citra, 1992, h. 17
2. Digitizing. Digitizing adalah proses merekam/memasukkan gambar dan suara yang telah di-logging. Di sini editor mulai mengontrol kualitas gambar dan suara yang disetarakan dan sesuai dengan konsep film dan konsep edit yang telah disetujui oleh sutradara. 3. Offline Editing. Offline editing merupakan sebuah proses menata gambar digitized sesuai dengan skenario dan urutan shot yang telah ditentukan oleh sutradara. Dalam proses offline editing terdapat aktivitas memanggil file gambar yang telah di-logging dan di-digitezed untuk diurutkan sesuai konsep cerita. 4. Online Editing. Online editing adalah proses editing ketika seorang editor mulai memperhalus hasil offline, memperbaiki kulitas hasil, dan memberikan tambahan transisi serta efek khusus yang dibutuhkan. 5. Mixing. Mixing berkaitan dengan proses synchronizing audio dan juga pemberian ilustrasi musik maupun audio effect. Bagian yang harus dimixing pada proses ini adalah dialog, efek, dan ,musik. 49 Bila proses editing dan mixing telah selesai dan telah didapatkan film versi dub release maka selanjutnya tahap akhir adalah mastering, yaitu proses pembuatan hasil akhir film ke dalam bentuk kaset video, DVD ataupun film seluloid. Bentuk kaset bisa dipilih formatnya, bisa Betacam, DV dan lain-lain. Hasil kopi master kaset video inilah yang akhirnya dikirimkan ke stasiun-stasiun televisi untuk kemudian disiarkan. Sedang DVD untuk diperjual belikan. Dan hasil kopi master film seluloid selanjutnya dikirimkan ke bioskop-bioskop untuk 49
. M. Bayu Widagdo, Winastwan Gora S., Bikin Film Indie Itu Mudah, Yogyakarta, CV. Andi Offset, 2007, h. 105-106.
diputar. Terserah pada pilihan masing-masing produsen terhadap format hasil akhir master film dan penggandaannya tersebut.
BAB III METODOLOGI
3.1. Tipe dan Sifat Penelitian Sifat penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Pengertian kualitatif di sini adalah sebagai prosedur penelitian yang mengasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.50 Sejalan dengan pengertian di atas, tipe kualitatif nantinya akan menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkripsi, wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video dan lain sebagainya. 51 Pada penelitian kualitatif bersifat deskriptif, karena data yang dianalisis tidak untuk menerima atau menolak hipotesis (jika ada), melainkan hasil analisis itu berupa deskripsi dari gejala-gejala yang diamati, yang tidak selalu harus berbentuk angka-angka atau koefisien antar variabel. 52
3.2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian dekskriptif menuturkan dan menafsirkan data yang berkenaan dengan fakta, keadaan, variabel, dan fenomena yang terjadi saat penelitian berlangsung dan
50
. Lexy. J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2003, h. 3 . Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia, 2001, h. 22. 52 . M Subana, Sudrajat; Dasar-Dasar Peneltian Ilmiah, 2001, h. 17 51
menyajikannya apa adanya.53 Penelitian ini hanya melukiskan secara sistematis data atau kerakteristik populasi atau bidang tertentu dengan faktual dan cermat. Dalam penelitian ini peneliti hanya akan menjabarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan dilengkapi dokumen-dokumen terkait. Dalam konteks ini, peneliti mencoba menjabarkan dan menjelaskan secara valid mengenai proses editing Film ”Sang Dewi”.
3.3. Teknik Pengumpulan Data 3.3.1. Data Primer Teknik pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Untuk mendapatkan data primer yang diperlukan penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara wawancara. Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data yaitu dimana dalam mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada responden.54 Wawancara ini bisa dilakukan dengan cara terstruktur dan mendalam ditujukan kepada responden sebagai nara sumber dalam penelitian ini (pihak yang terkait dengan fokus penelitian ini) dengan stratifikasi yang ketat. Dalam wawancara menggunakann petunjuk umum berupa daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya. Disamping
menggunakan
wawancara
terstruktur,
peneliti
juga
menggunakan teknik wawancara tidak terstruktur, artinya peneliti bebas
53
. Ibid, h. 89 . Jalaludin Rahmat, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya 1999, h. 25
54
mengajukan pertanyaan, dapat beralih dari satu pokok pertanyaan ke pertanyaan lain, namun masih tetap berpedoman kepada tema yang diteliti.
3.3.2. Data Skunder Data skunder peneliti dapatkan dari sejumlah referensi yang ada, baik berupa cetakan, video audio, internet yang berkaitan dengan penelitian ini. Data skunder ini dimaksudkan sebagai pelengkap penelitian ini.
3.4. Nara Sumber (Key Informan) Key informan merupakan nara sumber yang kepada mereka wawancara akan dilakukan. Wawancara dilakukan antara lain kepada : 1. Dwi Ilalang adalah Sutradara sekaligus Editor Film ”Sang Dewi”. Sebagai sutradara tugasnya memvisualisasikan cerita yang sudah dirangkai dan visual itu yang bisa mewakili apa yang ada dipikiran sutradara untuk menjadi bahasa gambar yang bisa dinikmati oleh penonton. Tanggung jawabnya adalah mengepalai seluruh kru yang ada di film ”Sang Dewi”, karena sutradra adalah leader selain membuat visual juga bertanggung jawab terhadap semua yang berkaitan dengan proses film ”Sang Dewi”. Sebagai Editor tugasnya adalah merangkai visual yang dihasilkan sutradara itu menjadi satu bagian sehingga tampil dalam cerita utuh. Adapun tanggung jawab, dia bertanggung jawab kepada sutradara atas apa yang sudah dia rangkai
2. Regina Anindita : DOP & Cameraperson Film ”Sang Dewi”. Tugasnya adalah merekam, mengatur dan atau menghasilkan gambar yang menunjang kebutuhan cerita film sebagaimana diarahkan oleh sutradara. Bertanggung jawab terhadap semua hasil rekaman visual, dan dia bertanggung jawab ke pada sutradara.55 3. Sastha Sunu : Praktisi editor film dan juga sebagai Dosen editing film di Istitut Kesenian Jakarta (IKJ). Dalam penelitian ini dia sebagai nara sumber eksternal/nara sumber pembanding.
3.5. Fokus Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada Film ”Sang Dewi”, sebagai fokusnya adalah proses editing sesuai tahapannya, sebaga berikut : 1. Pre Editing yang meliputi : a. The shooting phase (tahap pengambilan gambar) b. The review phase (tahap pemeriksaan) c. The decision making phase (tahap pengambilan keputusan) d. The operasional phase (tahap operasional) 2. Editing : a. Fungsi Kerja editing b. Teknik dan Estetis editing
55
. Hasil wawancara dengan Dwi Ilalang & Regina Anindita.
3.6. Definisi Konsep 1.
Editing : sebuah tahapan dari serentetan proses produksi, dalam hal ini produksi
film/video, yang meliputi pekerjaan seperti mengoreksi hasil
rekaman audio video, merangkaikan shot, mengatur durasi, memperindah tampilan, hingga menghasilkan sebuah film cerita utuh yang siap untuk disaksikan/disiarkan pada khalayak. 2. Film : Karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang
dengar
yang
dibuat
berdasarkan
asas
sinematografi
yang
perekamannya pada pita seluloid, video atau teknologi lainnya dan selanjutnya diproses sedemikian rupa dan dipertunjukkan pada publik.
3.7. Teknik Analisis Data Analisis data adalah mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. 56 Tujuan dari analisis data di dalam penelitian adalah menyempitkan dan membatasi penemuan-penemuan hingga menjadi data yang teratur. Proses analisis merupakan usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan perihal objek penelitian. Karena metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, artinya setelah semua data dihimpun dan disusun secara sistematis, cermat, dan kemudian dipelajari dan dianalisa secara dekriptif, yang
56
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2002, h. 103
hanya memaparkan situasi atau peristiwa tanpa mencari atau menjelaskan hubungan variabel, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. 57 Maka cara yang digunakan adalah melalui prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
yaitu berupa
kata-kata dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati, dan peneliti hanya memaparkan ada adanya . Dengan kata lain, analisis data merupakan kegiatan yang peneliti gunakan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah untuk diinterpretasikan. Data yang diperoleh dari hasil wawancara akan dikumpulkan dan kemudian dari jawaban yang diperoleh dari hasil wawancara akan dianalisa dan ditarik sebuah kesimpulan yang layak diyakini pertanggungjawaban ilmiahnya.
57
Jalaludin Rahmat, Op.cit., 24
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Film ”Sang Dewi” 4.1.1. Profil Film ”Sang Dewi” Film yang berjudul ”Sang Dewi” ini diproduksi oleh PT Dwi Adri Selaras/ Big Daddy Production. Film ini bergenre drama action, dengan tokoh utama lakilaki diperankan oleh Volland Humoggio sebagai Beno dan tokoh utama perempuan diperankan oleh Sabai Morscheck sebagai Laras, keduanya merupakan pendatang baru dalam kancah acting dunia perfilman di Indonesia. Dan sejumlah artis pendukung dalam Film ”Sang Dewi” ini diantranranya adalah Ria Irawan, Chaty Sharon, Donny Alamsyah, Deddy Subangil, Choky Sitohang, Dolly Martin dan Riki Trifarisa. Cerita dalam film ini mencoba mengangkat fenomena di sekitar kita dan menampilkannya dari sudut pandang yang berbeda dan dengan cara tutur yang berbeda pula dari umumnya. Film ini menyampaikan pada audiens bahwa ada banyak potensi di sekitar kita yang terabaikan, seperti digambarkan dalam film ini seorang cacat yang memiliki potensi tak kalah dengan orang normal. Dari potensi yang dimilikinya itu dan berkat kegigihannya, akhirnya berhasil mengangkat karirnya hingga menjadi petinju profesional kaliber nasional. Film ini menyampaikan pula pada kita tentang potret dunia pelacuran dari sudut pandang lain yang tidak seperti umumnya biasa digambarkan oleh media massa; seronok, vulgar penggambranya dan yang sudah terstereotip selama ini. Untuk
mendukung itu, mengenai tampilan visual dalam Film ”Sang Dewi” dibuat berbeda dengan film yang sudah ada, sebagaimana Dwi Ilalang katakan : ”Kita berusaha untuk membuat supaya tampilan visual dalam Film ”Sang Dewi” itu lain dari pada yang lain. Secara visual itu diaplikasikan seperti itu.” Film ”Sang Dewi” juga bercerita tentang kehidupan seorang pelacur dan membingkai pelacur dari sudut pandangan yang berbeda. sebagaimana diungkapkan oleh Dwi Ilalang : ”Orang sudah terdoktrin bahwa seorang pelacur itu notabene pakaian harus seronok, saya ingin membuat yang beda, saya tidak mau menampilkan pelacur yang pada umumnya. Pelacur yang tidak pada umumnya seperti inilah yang ingin saya tampilkan.” Sedangkan mengenai penceritaan, biasanya cara bercerita dalam film itu linear (bertutur secara urut), tapi dalam film ini tidak seperti itu. Dalam Film struktur ceritnya nonlinear (bertutur secara tidak berurutan). Proses produksi Film ”Sang Dewi” dari praproduksi, produksi hingga paska produksi dilakukan dari November 2006 sampai dengan Juni 2007, dan dirilis pada tanggal 2 Agustus 2007. Beberapa penghargaan yang didapat oleh film ini antara lain dari Festival Film Jakarta 2007, yaitu mendapatkan nominasi kategori DOP, Pemain Pendatang Baru terbaik Laki-laki dan Perempuan. Masuk nominsasi DOP terbaik di Festival Film Indonesia 2007. Dalam Indonesia Movie Award 2008, Volland Humonggio menang sebagi aktor pendatang baru terbaik. Adapun tim inti dalam Film ”Sang Dewi” diantaranya adalah : Executive Produser
: Kemal Chand Parwez
Produser
: Adrianus Yoga
Sutradara
: Dwi Ilalang
DOP dan Kameraman
: Regina Anindita
Editor
: Dwi Ilalang
Penulis Skenario
: Republik Tebe, Jeremias Nyagoen, Masree Ruliat, Dwi Ialang
4.1.2. Sinopsis Film ”Sang Dewi”. Brak! Brak! Kawanan anak jalanan pimpinan Piyek mengejar Laras dan Beno dengan beringas. Memburu dari berbagai arah. Menerjang segala yang ada. Bakul buah dan sayuran sampai berhamburan. Laras dan Beno di depan berlari kencang, menikung-nikung di keramaian dan diantara barang barang. Sesekali Laras tergelincir, terguling. Bungkusan di tangannya jatuh. Beno berhenti dan cepat menarik Laras sambil mengambil bungkusan yang terjatuh, Lalu berlari lagi. Sementara Piyek cs terus mengejar tanpa henti. Di salah satu sudut, Beno menyembunyikan Laras. kemudian mengubur isi bungkusan ditanah. Piyek datang terus berusaha menangkap Beno. Beno yang berusaha lari dintara kapal kapal nelayan yang bersandar. Satu langkah dia gagal melompat dan terjatuh. Piyek berhasil mendapatinya lalu menghajar beramairamai. Laras yang melihat dari kejauhan ketakutan, menangis. Piyek cs terus menghajar Beno, dan memasukkan Beno kedalam karung kemudian melempar ke laut. Bungkusan yang dipegang Piyek dibuka, ternyata berisi tanah saja. Marahlah Piyek.
Sebuah RoofTop gedung berisi orang orang yang bertaruh dalam pertandingan tarung ilegal, tampak seorang petarung Aliang melawan musuhnya, tampak Aliang berada diatas angin dan dengan mudah mengalahkannya dalam pertarungan itu. Hari berikutnya Aliang bertemu temannya Beno, mereka sesungguhnya adalah petinju profesional. Namun karena desakan ekonomi Aliang megambil pekerjaan sampingan menjadi seorang petarung ilegal yang dijadikan sebagai taruhan oleh cukong cukong penjudi. Sementara Beno tetap menjadi petinju profesional yang setia berlatih di sasana, dia tidak mengetahui sahabatnya adalah seorang petarung ilegal. Kemenangan Aliang, mengajak Beno jalan jalan dan membelikan sepatu untuknya, kemudian bersenang senang dengan wanita malam. Sementara Beno asyik mabuk dengan teman mereka Jessi, seorang karyawan tempat billiard. Di suatu saat tempat bilyard Jessi, Beno melihat wanita melintas yang membuat hatinya jatuh cinta, sedikit wanita itu melirik Beno dan memberikan senyum padanya. Ketika beno keluar dari toilet wanita tersebut tidak ada dan ternyata HP wanita itu tertinggal dan kemudian diambil Beno untuk mau dikembalikan. Di tempat
bilyard Beno, Aliang, Jessi saling kumpul dan saling berbagi dan
bercerita. HP yang diambil Beno berbunyi tetapi tampak dilayar foto teman wanita itu, Beno tidak menjawabnya. Beno menceritakan temuan HP itu kepada Aliang, lalu ada SMS yang menanyakan HP tersebut dan memintanya kembali dengan memberikan alamat rumahnya. Beno mengantarkan HP tersebut namun sesampai didepan rumahnya ia tidak berani masuk karena ada seorang lelaki tua di teras rumahnya. Sesaat jantungnya berdegup kencang ternyata yang keluar dari
rumah tersebut seorang wanita yang diimpikannya. Keesokan hari Beno kembali mencoba kerumah dan mengembalikan HP wanita tersebut. Wanita itu keluar rumah dan mengucapkan terima kasih sambil memberikan tip uang kepada Beno, namun Beno menolak. Kemudian wanita tersebut memberikan undangan pernikahannya. Pupuslah hati Beno karena wanita yang di dambakan sudah mau menikah. Suatu hari Beno diajak Aliang pergi ke suatu tempat yang ternyata adalah tempat pertarungan ilegal, dan Beno baru mengetahui kalau ternyata Aliang salah satu petarungnya. Baru beberapa saat pertarungan dimulai terdengar bunyi sirene polisi, ada penggerebekan. Seluruh penonton lari kocar- kacir. Begitu juga Beno dan Aliang mereka melarikan diri berpencar. Dalam pelariannya Beno melewati jembatan, dan melihat ada seorang wanita berbaju putih terjun ke sungai, spontan Beno langsung menyebur dan menyelamatkannya. Tak disangka wanita tersebut adalah Laras, wanita yang di impikan selama ini. Dari situ dimulai awal cerita Laras hingga akhirnya ia ingin bunuh diri. Beno sangat menyayangi Laras semenjak terjalin hubungan persahabatan namun ia tidak tahu kalau sebenarnya Laras juga seorang pelacur. Beno kemudian menceritakan tentang laras kepada Aliang, setelah Beno memperkenalkan Laras kepada Aliang kagetlah mereka namun disimpan dalam hati. Esoknya Aliang menceritakan siapa laras sebenarnya kepada Beno, karena Aliang pernah menidurinya. Beno tidak peduli siapa Laras sebenarnya walaupun Laras juga menceritakan siapa diri dia sebenarnya, karena mereka saling cerita dan ternyata mereka pernah bertemu sewaktu kecil ketika Beno menyalamatkan Laras dari
gangguan preman Piyek cs, dan kalung jam yang dulu mereka tanam dekat pelabuhan ternyata masih ada dan makin mempererat persahabatan mereka. Sementara persahabatan Beno dengan Aliang menjadi renggang karena Aliang berusaha memutuskan hubungan mereka, dan mereka sempat berkelahi, ada Jessi teman mereka yang merasa kesal dengan ulah mereka. Suatu ketika beno merasa kecewa karena ternyata Laras masih jalan bareng dengan Om Krisna laki laki yang dilihatnya di rumah pertama kali. Ketika Beno melihat laras dibelikan kalung berlian dan menanggalkan kalung jam yang dulu mereka temukan. Aliang pergi bertanding tarung liar dan pamitan kepada Beno, yang ternyata pertarungannya mengantarkannya kepada maut. Sehingga ketika Beno tahu temannya wafat menyesallah Beno karena ditinggal sahabatnya, begitu juga Jessi yang merasa kaget dengan kejadian ini. Esoknya Beno selalu berusaha berlatih untuk mengalahkan petinju profesional bernama Dendy Trendy, banyak pertandingan yang dimenangkan Beno untuk menuju pertandingan profesional yang lebih tinggi. Sementara percintaan dengan Laras terus berjalan hingga pada akhirnya Beno memergoki Laras pergi dengan Om Krisno. Jessi memberikan pengertian pada Laras bahwa Beno sungguh sungguh mencintai Laras yang sesungguhnya terjadi bahwa Jessi pun juga mencintai Beno, namun karena persahabatan ia tidak ingin temannya kecewa dan jessi memberikan kalung jam titipan Beno yang dulu pernah ditinggalkan di toko berlian. Pada akhirnya Beno dapat bertemu juara dunia Dendy Trendy. Beno terlihat tenang namun gelisah tanpa persiapan yang matang, sementara di tempat Laras pun juga bimbang. Namun akhirnya Laras menemukan
pilihan yaitu kembali kepada Beno, ia menyusul ke pertandingan dimana keadaan Beno mulai melemah karena serangan lawan. Setelah melihat Laras datang, Beno kembali bersemangat dan akhirnya memenangkan pertandingan tinju profesional melawan Dendy.
4.2. Hasil Penelitian 4.2.1. Preediting
4.2.1.1. Tahap Pengambilan Gambar (The Shooting Phase) Film “Sang Dewi”. Shooting untuk keperluan film cerita akan sangat berbeda mekanismenya dengan shooting untuk keperluan program berita. Dalam menghasilkan gambar berita, kamerawan umumnya tidak tahu sebelumnya seperti apa gambar-gambar di lapangan yang akan dilihat dan direkamnya. Dia juga belum tahu persis apa saja dan mana saja yang perlu dan tidak untuk direkam. Dia akan mengetahuinya setelah dia berada di lokasi atau tempat kejadian peristiwa. Baru kemudian mengidentifikasi apa saja yang perlu direkam dan bagaimana merekamnya, serta improve di situ. Namun kalau untuk keperluan khususnya film fiksi, shooting dikerjakan berdasar yang sudah direncanakan. Jadi apa yang akan direkam bagaimana merekamnya semua sudah direncanakan sebelumnya. Lalu bagaimana prosesnya dalam Film “Sang Dewi” ini, Dwi Ilalang berkata : “Makanya dalam Film “Sang Dewi” ini saya beserta DOP jauh hari sebelumnya kita melakukan hunting lokasi untuk mencari tempat-tempat yang representatif dan memungkinkan untuk keperluan cerita filmnya. Selanjutnya bila sudah mendapatkan tempat yang sesuai, kami melakukan recee di lokasi tersebut. Recee adalah konsep detail shot mengenai blocking kamera, lighting, pemain, set dekor dan sekaligus merekam
lokasi tersebut. Dari recee inilah kita akan terbantu dalam membuat konsep sinematografinya nanti seperti apa dan bagaimana harus merealisasikannya.”
Apa yang dikatakan Dwi Ilalang tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Regina Anindita: “Recee itu sudah dibuat shot by shot, urutan shotnya udah jelas, jadi ketika shooting gak ribet lagi mau ambil scene mana shotnya gimana. Dengan adanya proses recee ini kita jadi tahu persis blocking kamera dan linghtingnya harus gimana. Angle shot ini apa saja, tracknya akan seperti apa, camera movement-nya bagaimana. Berapa lampu yang aku perlukan, harus aku taruh lampunya dimana aja, semua terencana rapi. Dari situ aku buat floorplannya yang menggambarkan set-nya seperti apa, biar jelas posisi kamera dan lampu terhadap obyek itu dimana saja, berapa jumlahnya Dengan demikian itu akan sangat mempermudah proses shootingnya nanti”
Shooting merupakan kegiatan pengambilan gambar baik dalam ruangan (indoor) maupun luar rangan (outdoor). Kegiatan ini tidak bisa dipisahkan dengan pekerjaan editing, keduanya saling terkait satu sama lain. Sehingga saat shooting sebenarnya pekerjaan editing sudah dimulai, sehingga shot-shot yang dihasilkan saling berkesinambungan. Dengan demikian singkron dengan kerja editing. Lantas apa yang seharusnya dilakukan, terkait dengan ini Dwi Ilalang mengatakan : “Dalam mengerjakan Film “Sang Dewi” ini, sebelum shooting berlangsung saya selaku sutradara telah membuat decupase shot atau director shot, yang mana itu dibagikan kepada masing-masing kru agar masing-masing kru tahu apa yang dimaksud dengan decupase shot. Decupase shot adalah pembagian scene yang dibagi ke dalam beberapa shot. Nah dari situ sutradara mempunyai visi pada saat membaca skenario atau mempunyai tema cerita, dia sudah menggambarkan secara konsep editing, cara bercerita hasil akhirnya nanti akan bagaimana. Jadi di shooting-pun itu sudah dilakukan pembagian-pembagian shot, sehingga akan lebih mempermudah dalam proses editing nantinya. Jadi saat
shooting sebenarnya sudah berjalan pula proses editing itu. Sehingga antara shooting dan editing sudah menjadi satu kesatuan”. Terutama sekali bagi DOP atau kameraman, dia ini selaku orang yang bertugas menghasilkan gambar-gambar untuk kebutuhan cerita film. Tentu dia tidak seenaknya sendiri saja menentukan apa dan bagaimana shot-shot itu akan direkam. Tentunya ada arahan dari sutradara, apa saja dan seperti apa gambar yang dikehendaki. Sehubungan dengan ini Regina berkata : ”Agar shooting itu singkron dengan editing, dalam melakukan shooting saya selaku DOP juga kameraman berpedoman dengan decupase shot yang telah dibuat oleh sutradara, dan setia pada storyboard, sehingga gambar-gambar yang diambil memang sesuai dengan kebutuhan cerita, dengan begitu shooting tidak melenceng dan tidak wast of time. Decupase shot itulah yang menjadi koridor kami dalam mengahasilkan gambar”. Namun demikian decupase shot bukan harga mati, karena DOP masih bisa mengembangkannya, sebagaimana Regina katakan: “Sutradara kan punya director shot/decupase shot, ya kita tinggal menterjemahkan director shot tersebut. Director shot itu nanti akan aku kembangkan, aku kasih angle-anglenya seperti apa, posisi kamera dimana sebaiknya dan movementnya yang menunjang, aku yang tambahkan, tapi patokannya sutradaranya dulu, yang penting blocking dia udah jelas, baru aku menawarkan angle-angle, jadi koordinasi antara sutradara dengan DOP/kameraman jadi sinergis di sini.”
Sebelum menuju lokasi shooting, segala keperluan yang berhubungan dengan kamera dan asesorisnya serta segala peralatan khusus yang mendukung dalam pengambilan gambar, property dan segala macamnya harus dipastikan siap pakai dan tidak bermasalah. Semuanya harus berada di lokasi sebelum shooting berlangsung, sehinnga saat shooting semua bisa berjalan lancar.
Sesampai di lokasi shooting yang dilakukan adalah gladi bersih (rehearsal). Rehearsal atau tahap latihan yang juga dikenal dengan istilah gladi bersih ini berperan sangat penting dalam pembuatan Film “Sang Dewi” ini. Rehearsal di sini meliputi latihan para pemainnya, blocking pemain dan kamera. Ini dilakukan untuk meminimalisir kesalahan saat shooting berlangsung nantinya. Sehubungan dengan ini, Dwi ilalang berkata : “Rehearsal selalu kami lakukan pada setiap adegan, bahkan untuk setiap shot kami lakukan rehearsal terlebih dahulu agar saat record didapat shot yang diinginkan dan tidak harus retake beberapa kali, bahkan kalau bisa one take ok. Untuk itu apapun yang berhubungan dengan shooting ketika rehearsal-pun harus tersiapkan semua. Dengan demikian tidak akan memakan banyak kaset, waktu juga. Ini dimaksudkan agar shooting berjalan efektif dan efisien.”
Agar shooting berjalan sesuai dengan yang diinginkan bersama, sesuai dengan yang telah direncanakan, berjalan efektif dan efisien, selain hal-hal tersebut diatas, Regina menjelaskan: “Agar shooting berjalan seperti yang diinginkan, efektif dan efisien, maka harus ada pertama adalah komunikasi antar departemen, khususnya dengan departemen sutradara. Ya intinya persiapan yang matang seperti memahami dulu cerita filmnya, dibuat decupase shot, hunting lokasi, recee dan sebagainya. Kemudian yang kedua adalah toleransi masing-masing departemen, bekerja secara kolaborasi, gak bisa individu karena ini adalah kerja tim. Yang ketiga adalah tiap departemen harus merasa memiliki film yang sedang diproduksinya. Keempat adalah setiap departemen harus masuk ke dalam cerita filmnya, dengan demikian otomatis ide-ide untuk menambah nilai estetika akan bertambah.” Regina juga menambahkan bahwa agar shooting berjalan efektif dan efisien harus membuat camera report. Camera report ini selain memuat floorplan (tata letak kamera dan lampu) juga berisi tentang catatan penggunaan menu kamera yang digunakan, setting kelvin meter dalam setiap pengambilan gambar.
Pekerjaan ini dilakuan oleh asisten kamera. Ini mengingat karena shooting dilakukan di tempat yang berbeda dan waktu yang berbeda pula dengan cuaca yang bisa saja berubah-ubah setiap saat. Dengan memiliki catatan ini akan menjadi lebih aman dan mudah dalam menyamakan warna gambarnya. Disamping itu, agar shooting bisa membantu proses kerja editing nantinya lebih efektif dan efisien, shot-shot yang telah dihasilkan oleh juru kamera harus tercatat secara
rapi dan jelas. Dan diusahakan jangan sampai keliru dalam
melabel kaset, makanya harus dipastikan dulu sebelum melabelnya, sehingga gambar apa saja yang terdapat di dalam kaset tersebut sesuai dengan apa yang tercatat dalam script-nya. Pekerjaan ini dilakukan oleh asisten kamera. Dalam catatan ini setiap shot terindentifikasi dengan jelas, mulai dari nomor adegan, nomor shot, nomor take, time code in dan out, deskripsi adegan dan tokoh yang tampil di adegan teresebut serta nomor roll atau kaset yang digunakan untuk merekam. Shot ini kemudian ditandai mana saja yang telah diputuskan bagus (Good/G) dan Tidak bagus (No Good/NG) oleh sutradara. Berdasarkan catatancatatan inilah nantinya editor memasukkan data-data gambar filmnya ke dalam komputer. Sehubungan denga ini Regina berkata : ”Pengadministrasian semua gambar hasil shooting harus serapi mungkin dan jelas, bila tidak, hal ini akan merepotkan kerja editing. Pencatatan ini harus dikerjakan segera setelah gambar shot demi shot terekam kamera. Dengan cara begini agar nantinya akan memudahkan editor dalam mengindentifikasi banyak shot. Dengan demikian editor tidak harus mencari-cari sendiri di setiap kaset mana saja gambar-gambar yang good and no good.”
Dari sisi teknis, pembuat Film ”Sang Dewi” sangat memperhatikan yang namanya teknologi dan teknik-teknik dalam menghasilkan gambar-gambar untuk
kebutuhan cerita filmnya. Karena mau tidak mau pembuatan film pasti berhubungan dengan teknologi dan teknisnya. Apalagi dalam hal untuk mendapatkan hasil gambar yang menunjang cerita dan bagus, pertimbangan teknis ataupun teknologi yang digunakan sangat mempengaruhi nilai estetis visual yang dihasilkannya nanti. Memang film tidak bisa lepas dari yang namanya teknologi, film tidak bisa dihasilkan tanpa adanya teknologi. Artinya ketergantungan film dengan teknologi itu amat tinggi. Dan dari waktu ke waktu teknologi film yang digunakan terus mengalami penyesuaian dengan perkembangan jaman. Terkait dengan masalah teknolgi ini Regina berkata : ”Pemanfaatan teknolgi adalah mutlak dalam pembuatan film, kalau mau menghasilkan output bagus. Masak kalau kita ingin gambar bagus tapi teknologi kuno atau kurang mendukung, tentu tidak bisa demikian. Dalam shooting di Film Sang Dewi kami menggunakan kamera Panasonic HDC am Vericam, dengan kamera jenis ini film look-nya lebih dapat.”
Dwi Ilalang pun mengatakan bahwa dalam memproduksi Film ”Sang Dewi” ini memanfaatkan kemajuan teknologi. Penggarapan Film “Sang Dewi” memang menggunakan teknologi terkini, dengan menggunakan kamera HD. Teknologi yang digunakan kamera ini adalah HD (Hight Definition), dengan pertimbangan karena teknologi HD ini kualitas gambarnya hampir setara dengan kualitas film 16 mm, disamping juga memenuhi standard budget yang ada. Namun demikian adanya teknologi tanpa diimbangi wawasan dan skill penggunanya juga akan percuma. Untuk itu harus pandai-pandai memanfaatkan dan mengoptimalkan teknolgi film itu. Sehingga The man behind the camera sangat berpengaruh terhadap hasil. Untuk itu Dwi Ilalang menambahkan :
” Kami tidak mau dengan teknologi yang kita pakai bagus, tapi hasilnya sama saja dengan teknolgi sebelum-sebelumnya, atau malah biasa-biasa saja tampilannya, untuk itu kami memadukan antara teknologi dan skill serta penataan sinematografi yang berbeda dari umumnya, sehingga mengahasilkan gambar yang bagus dan menarik. Dengan demikian nilai estetisnyapun juga akan tinggi. Sehubungan dengan nilai estetis, sebenarnya ini sudah kami perhitungkan dari awal.”
Mengingat Film ”Sang Dewi” adalah film drama roman action, maka visual yang ditampilkannya akan berbeda ketika pada adegan drama dan actionnya. Teknik pengambilan gambarnya berbeda sekali. Ini dimaksudkan agar gambar-gambar tersebut dapat bercerita dengan lebih dinamis dan sesuai dengan karakter masing-masing adegannya atau sesuai dengan irama ceritanya. Sehingga shot-shot-nya lebih berkarakter dan menarik. Sehubungan dengan ini Regina mengatakan : “Film Sang Dewi ini kan drama action, maka untuk itu saya bedakan sinematografinya antara yang action dan dramanya. Untuk adegan dramanya, camera movement atau pergerakan kameranya sedikit, sedangkan pada adegan actionnya pergerakan kamera labih banyak dan beragam, angle-angle-nya juga lebih beragam. Sementara konsep lightingnya, untuk adegan drama aku buat high key atau lebih soft, sedang pada adegan actionnya aku buat low key atau lebih kontras. Sementara untuk adegan-adegan flash back warnanya aku buat lebih pucat, sedangkan untuk adegan yang realtime-nya warnanya kembali normal.”
Bagaimana gambar-gambar dalam film “Sang Dewi” ini dihasilkan, lebih lanjut Regina menjelaskan : ”Untuk menghasilkan gambar terutama pada adegan fighting atau pertarungannya, kami menggunakan permainan hand held camera dan dipadu juga dengan hely shot dari jarak jauh, kemudian medekat dengan men-shot hingga close up to close up, sehingga dengan demikian mampu menangkap moment-moment pertarungan dengan lebih gaya dan terlihat cukup riil, gambar akan terlihat cukup dinamis bila dipadukan nantinya, dan lebih dapat emosinya, lebih keren. Sementara untuk shot-shot pada
adegan-adegan lain kami garap dengan penataan sinematografi yang variatif.” Semua peralatan yang menunjang kebutuhan dalam pengambilan gambar seperti kamera, track reel, jimmy jip dan yang lainnya dipergunakan dalam menghasilkan gambar sesuai dengan yang diinginkan. Regina juga menyebutkan bahwa untuk dapat menghasilkan beautiful shot harus memperhatikan unsur-unsur yang terkandung dalam sebuah shot, seperti komposisi gambar yang berkaitan dengan seni menempatkan objek, size shot dengan berbagai ukurannya, camera angle, camera movement, warna gambar, dan bagaimana teknik pengambilannya. Dalam film “Sang Dewi” hal-hal tersebut dibuat secara beragam. Sehingga secara estetis film ini tampil menarik dan beda. Namun
demikian
bila
shooting
hanya
memperhatikan
teknik
pengambilan gambar dan penataan sinematografinya saja tanpa mengindahkan mise en scene atau subyek/objek yang direkam maka tidak akan dapat menghasilkan film yang bagus, untuk itu Dwi Ilalang berupaya bagaimana agar apa yang ada dalam shot-shot di Film ”Sang Dewi” itu terlihat jauh lebih menarik. Sehubungan dengan ini Dwi Ilalang mengatakan : ”Untuk set sendiri, dalam Film ”Sang Dewi”, saya ingin tampilkan berbeda dari film lain. Makanya dalam shooting banyak tantangan, dalam kondisi apapun, meskipun banjir tetap menset lokasi.” Untuk membuat gambar benar-benar menarik memang diperlukan upaya yang keras. Tidak hanya persoalan menset lokasi saja, namun memilih lokasi shooting-nya sendiri menjadi amat teramat penting
dan mesti mendapat
perhatian yang serius juga, seperti yang Dwi Ilalang katakan :
”Adegan pertarungan liarnyapun, kita memilih lokasinya itu juga tidak gampang, karena itu akan menampilkan gambar-gambar yang indah dan bisa saya sampaikan dalam film ini. Kita harus benar-benar bekerja keras karena itu tantangan banget untuk menjadikan itu suatu tontonan yang menarik.” Terkait denga hal ini Regina juga mengatakan: “Bukan hanya memperhatikan sisi sinematografinya saja untuk menghasilkan gambar sesuai dengan yang diinginkan, namun menset lokasi merupakan hal yang tidak bisa dipungkiri, art directionnya, pengaturan pengadeganan seperti apa dan bagaimana sangat berpengaruh terhadap nilai estetis gambar yang akan dihasilkan.” Tentu bukan hanya set dan lokasi yang direkam kamera, namun juga para pemain. Untuk pemilihan pemain dalam Film ”Sang Dewi” dilakukan casting secara ketat, terutama buat pemeran utamanya, dipilih yang benar-benar sesuai dengan tuntutan karakter dalam ceritanya. Makanya dalam Film ”Sang Dewi” ini tidak mesti memasang pemain/bintang film utama yang sudah terkenal. Buktinya pemeran utamanya terpilih pendatang baru semua, baik peran utama laki-laki maupun perempuan. Tujuannya adalah agar apa yang tampil dalam shot-shot film ini benar-benar sesuai dengan tuntutan ceritanya. Sehubungan dengan pemilihan pemain ini Dwi Ilalang mengatakan : ”Kami benar-benar melakukan casting dan survei untuk mendapatkan tokoh pemain yang tepat dalam film ini. Mereka yang terpilih sebagai pemeran utama semuanya baik laki-laki maupun perempuan bukan dari kalangan artis yang sudah terkenal. Justru kita pakai artis-artis terkenal itu buat peran-peran pembantu/pendukung. Ini karena saya ingin yang memerankan tokoh yang memainkan film ini benar-beanr sesuai dengan karakternya.” Sementara untuk membuat agar para pemain dalam film ini bisa tampil optimal sesuai dengan tuntutan ceritanya, Dwi Ilalang benar-benar berupaya untuk hal tersebut, sebagaimana dia katakan :
”Karena dalam Film ”Sang Dewi” ini banyak adegan tinju, makanya saya pengen menggodok pemain-pemain saya itu. Agar mereka bisa berlatih secara benar, masalah teknis itu mereka dilatih oleh orang yang betul-betul mengerti pada bidang masing-masing. Pertarungan liar yang dilakukan Aliang memakan waktu 3 bulan training untuk penyesuaian terhadap teknik-teknik, untuk melengkapi adegan pertarungan yang saya inginkan. Dan dalam hal tinju kita masukkan unsur-unsur petinju yang sebenarnya. Saya pengen adegan-adegan yang ditampilkan dalam film ini betul-betul real, kayak adegan memukul, adegan mengelak dan sebagainya.”
Dengan teknik-teknik pengambilan gambar yang tidak biasa seperti yang dikatakan Regina tersebut, memilih lokasi dan mengatur setnya serta penentuan dan pengaturan pemain filmnya sebagaimana Dwi Ilalang jelaskan tersebut, teryata berhasil membuat Film ”Sang Dewi” secara estetis dalam menuturkan filmnya tampil dengan kemasan gambar-gambar yang berbeda dan sangat menarik. Adapun suara yang meyertai gambar seperti dialog dan suara sekitar atau ambience agar terkesan real, maka suara direkam secara langsung (live sound recording) dan tidak dilakukan dubbing (perekaman suara dialog di dalam studio), kecuali yang benar-benar terdapat noise (suara gangguan yang tidak diinginkan) Mengenai keberadaan sound ini Dwi Ilalang mengatakan : ”Sound di sini juga mendapat perhatian yang khusus, karena saya ingin penonton itu merasakan sesuatu yang benar-benar yang sangat real. Suasananya, gegap gempitanya, semua yang ada di adegan-adegan film ini penonton itu merasa bahwa sangat-sangat real. Dalam beberapa adegan tertentu saya ingin penonton itu hanyut dalam suasana tersebut.”
Semua apa yang dilakukan dan pertimbangkan dalam proses shooting tersebut dimaksudkan untuk kepentingan cerita agar bahasa gambar yang
terbentuk bisa membuat film ”Sang Dewi” ini tidak hanya indah dan menarik dari sisi gambar, tapi komunikatif dan dapat menghibur penonton.
4.2.1.2. Tahap Pemeriksaan (The Review Phase) Film ”Sang Dewi”.. Hasil gambar yang telah berhasil direkam oleh juru kamera sudah pasti akan disaksikan oleh sutradara. Proses ini biasa dinamakan review, yaitu melihat keseluruhan gambar yang telah terekam. Sehubungan dengan review ini, Dwi Ilalang mengatakan : ”Review dilakukan di lokasi shooting, bukan dilakukan di meja editing. Artinya jangan sampai review ini dilakukan setelah keseluruhan shooting selesai, Ini agar lebih efektif. Bila review dilakukan di meja editing, bisa berakibat fatal. Fatalnya adalah bilamana ternyata ada kekurangan gambar atau gambarnya ternyata masih kurang bagus. Bila ini terjadi, sama halnya dengan ketololan sang sutradara. Untuk itu kami lakukan review di lokasi shooting, sehingga akan ketahuan bila masih ada kekurangan gambar atau gambar kurang bagus bisa langsung revisi shot Dengan demikian agar ketika masuk tahap paska produksi, tidak perlu kembali produksi lagi atau shooting lagi.” Walau sudah ada decupase shot dari sutradara, namun bisa saja terjadi kasalahan atau kekurangan dalam mengashasilkan gambar ketika shooting. Ini bisa saja pada decupase shot-nya yang kurang atau memang kekeliruan dalam pembuatan shot. Terhadap persoalan seperti ini Dwi Ilalang menjelaskan : “Bila kameraman kurang dalam menghasilkan gambar untuk keperluan lengkapnya visual, kita pada saat itu kan sudah lihat di monitorkan, kurang tidak kira-kira gambarnya. Kalau misal itu terjadi harus refisi shot, ya harus diambil gambar pada saat di lapangan. Pada saat sutradara sudah nonton monitorkan dia tau kebutuhan apa shot yang mau diambil.” Dengan demikian ketika semua materi sudah masuk di ruang editing, tidak akan ada lagi istilah retake. Di ruang editing tidak bisa berbuat apa-apa lagi,
ketika sudah di meja editing yang bisa dilakukan hanyalah mengolah materi hasil shooting. Terhadap hal ini Dwi Ilalang menegaskan : ”Review setelah selesai shooting, misalkan ternyata ada yang kurang. Itu berarti sutradara tidak mempersiapkan materi itu sepenuhnya, dan di sini tidak terjadi seperti itu. Kan itu sebelumnya, semua sudah kita persiapkan, semua adegan sudah dibagi ke dalam decupase shot. Decupase shot itu adalah pemecahan shot. Kalau seandainya ada yang lalai, sutradara sudah tau apa yang akan diambil di lapangan, bukan diputuskan di meja editing, salah besar itu . Kalau ini masalahnya, dalam editing tidak bisa berbuat apa-apa lagi.”
Artinya di sini bahwa shooting adalah sepenuhnya dikerjakan di tahap produksi dan editing sepenuhnya adalah paska produksi. Akan menjadi tidak profesional ketika materi shooting sudah masuk di ruang editing, ternyata ada gambar-gambar yang masih kurang untuk kelengkapan cerita, atau ada gambar yang perlu untuk di-take ulang. Sehingga betapa pentingya decupase shot dan review yang jeli di lokasi shooting.
4.2.1.3. Tahap Pengambilan Keputusan (The Decision Making Phase) Film ”Sang Dewi”. Ketika review sudah selesai, tahap selanjutnya adalah menentukan atau memutuskan mana saja gambar-gambar hasil shooting tersebut yang akan digunakan. Di sini editor akan bekerja berdasarkan hasil catatan pencatat adegan. Editor harus mengecek terlebih dahulu kesesuaian antara kaset dan catatan adegan, untuk melihat apakah gambar yang ada dalam kaset yang dimaksudkan sudah sesuai dengan apa yang tertulis di catatan adeganya. Ini penting dilakukan karena bisa saja terjadi apa yang tertulis di dalam catatan ternyata tidak sesuai
dengan gambar yang ada dalam kaset. Ini dikarenakan kesalahan melabel kaset, atau salah dalam pencatatan. Sehubungan dengan ini Dwi Ilalang mengatakan bahwa: ”Dalam catatan adegan sudah terdapat keterangan mana saja gambar yang bagus dan tidak. Ini memudahkan kerja editor. Maka hanya yang dinilai baguslah yang digunakan, dan memang ada gambar yang dinilai choise, ini bisa menjadi alternatif juga untuk digunakan”. Keberadaan shot-shot yang dinilai choise ini juga kemungkinan dapat dijadikan variasi untuk dikombinasikan dengan yang dinilai good nanti saat di editing. Editor dalam hal ini akan terbantu dengan adanya catatatan shot-shot/ camera report dari pencatat adegan. Sehingga mana gambar yang layak diapakai dan tidak sudah jelas.
4.2.1.4. Tahap Operasional (The Operational Phase) Film ”Sang Dewi”. Ketika semua materi yang akan diedit sudah siap, baik kaset dan berkasberkas administratif yang menunjang telah siap dan dirapikan, maka selanjutnya tahap operasional editing bisa dimulai. Adapun untuk keperluan operasional teknis pengerjaan editing, Film “Sang Dewi” proses editing-nya dikerjakan dengan menggunakan serba komputerisasi (disk based system) atau nonlinear editing. Sehubungan dengan ini, Dwi Ilalang menjelaskan : ”Kalau operasional teknis itu sebetulnya, kalo sekarangkan editor sudah dimanjakan dengan teknis, masalah kayak komputerisasi, atau apapun yang berkaitan dengan komputer. Semuanya saya rasa editing sudah dipermudah dengan itu dan kitapun dalam proses editing menggunakan alat nonlinear editing yang serba komputerisasi, dalam hal ini kami pakai Avid system.”
Penggunaan Avid system ini dengan pertimbanagan karena Avid dinilai Dwi Ilalang memiliki kelebihan manajemen file yang bagus. Maka dengan penggunaan mesin editing Avid akan sangat membantu dalam hal memenej filefile atau footages. Dan fitur-fitur yang disediakan dalam Avid system sangat sesuai dengan yang dibutuhkan dalam penegerjaan editing film. Sehingga ukuran saat ini dengan menggunakan sistem Avid ini proses editing akan menjadi lebih efektif dan efisien. Berhubung editing dikerjakan dengan sistem komputer, maka shot-shot yang dimasukkan ke dalam hard disk harus benar-benar yang terpilih saja, ini mengingat kapasitas hard disk terbatas. Dan agar tidak memberatkan kerja mesin komputer. Sehubungan dengan ini Dwi Ilalang menjelaskan : ”Karena kita mengerjakan seluruh editing-nya dengan non linear, berarti kan disk based system. Secara otomatis kita tidak bisa memasukkan keseluruhan gambar hasil shooting kedalam hard disk komputerkan. Jadi ya, yang bagus-bagus saja. Bolehlah yang choise juga. Kan editor sudah dikasih catatan hasil shooting. Berdasarkan itu saja editor memasukkan materinya.” Lebih lanjut Dwi Ilalang menerangkan bahwa kita harus menyiapkan semua keperluan yang terkait dengan editing, peralatan teknis, apapun itu, agar kerja editing lancar dan hasil sesuai dengan yang diinginkan. Berhubung Film ”Sang Dewi” dikerjakan editing-nya dengan menggunakan sistem non-linear maka yang perlu dilakukan sebelum meng-edit (memotong sambung gambar) antara lain adalah : 1. Logging, atau data entry yaitu memasukkan semua data time code sesuai dengan yang ada di catatan adegan ke dalam komputer. Masukan juga semua data yang memuat keterangan seperti nomor adegan, nomor shot,
nomor take dan kaset yang digunakan. Data-data ini harus diatur secara rapi. Dengan begitu nanti akan memudahkan editor saat bekerja. 2. Digitizing atau batch digitize yaitu mentransfer data gambar ke dalam komputer sesuai time code yang telah di-logging. Tahapan tersebut harus dikerjakan demikian karena bila tidak akan menyulitkan editor sendiri nantinya.
4.2.2. Editing 4.2.2.1.Fungsi Keja Editing Film ”Sang Dewi”. Pengerjaan editing di Film “Sang Dewi” dikerjakan oleh editor yang dibantu oleh beberapa asistennya. Editor juga berkoordinasi dengan sutradara dalam mengerjakan editing filmnya. Adapun peran sutradara dalam editing Dwi Ilalang menjelaskan : “Karena sutradara adalah komandan dari sebuah project, dia mengepalai seluruh divisi termasuk divisi editing, dalam proses editing sutradara memiliki peran penting, walau hanya sebatas memberi input/masukan saja. Tetap saja fungsi kerja editing sepenuhnya menjadi tugas dan tanggung jawab editor. Struktur dan gaya editing mutlak merupakan haknya editor. Namun hasil akhir dari keseluruhan proses termasuk apa yang diproses dalam editing adalah tanggung jawab sutradara. Berarti editor bertanggung jawab pada sutradara. Berhubung editor Film ”Sang Dewi” adalah saya juga, sekaligus konsepsi itu sudah menyatu”.
Adapun mekanismenya bagaimana lebih lanjut Dwi Ilalang menjelaskan : ”Saya rasa mekanisme kerja editing baku banget, karena dari proses offline sampai online itu termasuk mekanisme kerja editing. “Mekanisme kerja editing yang diberlakukan dalam pengerjaan Film ”Sang Dewi” sebenarnya standard saja, ada proses offlline terus online editing. Bikin rought cut dulu sampai sesuai dengan yang diinginkan terus bikin fine cut sampai online-nya.”
Offline editing pengerjaannya dilakukan dengan menggunakan resolusi gambar yang rendah, warna dibiarkan apa adanya terlebih dahulu, dengan pertimbangan agar lebih efektif, film jadi terlebih dahulu secara kasarnya, sehingga segera mengetahui gambaran keseluruhan film. Hasil akhir dari offline editing ini adalah bila durasi film sudah didapat sesuai yang ditetapkan, struktur editing sudah sesuai dengan konsep filmnya. Bila versi offline film sudah didapat, baru selanjutnya masuk pada tahap online editing, yaitu mengoreksi warna dan menaikkan resolusi gambarnya, mengatur dan memperhalus potongan antar shotshot-nya, dan memberi visual effect tambahan. Bila versi online selesai selanjutnya preview final hasil online-nya, selanjutnya bila sudah selesai proses editing, baru dilakukan mixing suara (memasukkan dan mengatur sound effect, illustrasi musik) yang mana ini dilakukan pada tahapan tersendiri. Bila mixing sudah selesai, selanjutnya dibuatkan master edit untuk selanjutnya digandakan dengan berbagai tipe kaset video seperti: Betacam SP dan Digital, DV. Bentuk kaset video inilah yang nantinya akan dikirim ke stasiun tv untuk disiarkan. Sementara yang untuk diputar di bioskop, master edit tadi ditransfer terlebih dahulu ke dalam format film 35 mm. Proses transfer ini dinamakan Blow Up atau Digital Intermediate. Sebelum
editor
menjalankan
fungsi
kerja
editing,
editor
harus
berkoordinasi dengan sutradara untuk lebih dahulu mengetahui mengenai film yang akan dikerjakan editing-nya. Ini karena editor perlu lebih dahulu memahami cerita filmnya tentang apa dan bagaimanan struktur berceritanya, konsep penyutradaraannya, genre filmnya, berapa durasi film seharusnya, kenapa
demikian, karena ini yang akan mendasari dia dalam membangun shot-shot hingga menjadi cerita yang utuh. Mengenai penceritaan dalam film “Sang Dewi”Dwi Ilalang menerangkan : ”Jalinan cerita dalam Film ”Sang Dewi” adalah jalinan/cara bercerita yang berbeda dalam mengungkapkan satu masalah, yakni itu berkaitan dari sisi editing, dalam Film ”Sang Dewi” itu bedanya mengenai struktur bercerita, yang dibentuk secara visual, diarahkan ke dalam bahasa gambar sehingga bahasa gambar dan suara itu menjadi satu kesatuan. Jadi Film ”Sang Dewi” ini menawarkan cara bercerita yang betul-betul berbeda yang tidak linear. Kalau saya bilang editing saya tidak konnvensional. Konvensional adalah dari A sampai Z bertutur rata linear.” Mengenai konsep editing dalam Film ”Sang Dewi” seperti apa, Dwi Ilalang lebih lanjut menjelaskan : ”Dalam Film ”Sang Dewi”, teknik editing yang dipakai baku, konsep dasar editing pasti pakai, itu dasar bakunya orang membuat film. Dalam hal ini saya memakai konsep dasar editing, cuma cara berceritanya seperti apa, konsepnya saya yang membuat. Konsep editing dalam Film ”Sang Dewi” adalah konsep editing elips yaitu rangkaian cerita yang berputar-putar di situ atau dalam cerita ada cerita tapi dalam sudut pandang yang berbeda yang terangkai dalam satu kesatatuan cerita”.
Berhubung konsep editing yang diterapkan dalam Film ”Sang Dewi” adalah editing elips. Jadi editor dalam menjalankan fungsi kerja editing-nya sejak dari awal sudah harus berdasar pada konsep ini. Terhadap konsep editing elips yang Dwi Ilalang katakan tersebut, Sastha Sunu berpandangan lain sebagaimana dia katakan: ” Editing elips itu tidak ada. Elips itu sebenarnya struktur cerita, yaitu cerita yang mundur berputar dan kembali ke titik yang pertama. Sebetulnya elips itu adalah salah satu bentuk struktur cerita non linear. Padahal yang dimaksud editing elips itu pemahamannya maksudnya adalah struktur ceritanya elips dimana editing membantu mewujudkan itu. Sebenarnya struktur ceritanya memang sudah elips.”
Tentang apakah struktur cerita itu nantinya akan selalu sejalan dengan editing-nya, Sastha Sunu menambahkan: ”Mau struktur ceritanya linear atau non linear, mau elips, mau tidak, ya bisa saja editingnya berkesinambungan atau tidak. Tidak ada ikatan yang mutlak, kalau kamu ceritanya linear maka editingnya harus berkesinambungan. Kalau non linear berarti editing kamu tidak berkesinambungan. Tidak ada cara paham seperti itu. Semua ini adalah dunia kreatif, kita mau pakai pendekatan apa, itu sah-sah saja.”
Genre film juga berpengaruh terhadap editing, irama editing dalam film drama, film action jelas akan sangat berbeda. Cepat lambat perpindahan antar gambar, jenis shot yang dipadukan pasti berbeda, sebagaimana Dwi Ilalang sebutkan : ”Film ”Sang Dewi” ini bergenre drama acition, maka ritme atau irama editing-nya berbeda saat pada adegan drama dan berbeda lagi ketika jatuh pada adegan action atau pertarungannya, ini karena karakter masing-masing adegan tersebut berbeda. pada aksi pertarungan irama editing-nya lebih cepat dan lebih variatif perpaduan shot-shot-nya.” Sastha Sunu berpendapat lain mengenai pengaruh genre film ini terhadap editing-nya: ”Genre film tidak berpengaruh terhadap editingnya, tapi itu directingnya. Tergantung apa maunya, apa yang mau dibawa. Konsep penyutradaraan itu menjadi tonggak bagi yang lain untuk mengembangkan juga menginterpretasikan skenario. Yang menentukan betul konsep editing sebenarnya adalah konsep penyutradaraannya. Tidak hanya editing, namun juga yang menentukan konsep sinematografi, lighting, acting, art directing, sound, semua bergantung pada konsep penyutradaraan, konten film, sama sekali bukan genre.”
Irama editing bervariasi, kadang cepat kadang pula lambat, tergantung bagaimana satu adegan itu akan disampaikan melalui shot-shot tersebut, ini terkait dengan lama ataupun tidak pemunculan gambar atau panjang pendek shot.
Dengan demikian perpaduan shot-shot yang membentuk adegan-adegan dalam film ini tampil lebih menarik dan dinamis, sehingga film terasa tidak membosankan. Dalam
menjalankan
fungsi
kerja
editing
yang
pertama
adalah
mengkombinasikan/menggabungkan shot demi shot (combine) yang bervariasi sebenarnya adalah pekerjaan menempatkan shot-shot ke dalam time line yang disebut juga dengan istilah juxtaposition of shot. Untuk menjaga agar shot-shot yang akan disusun berkesinambungan cerita maupun gambar-gambarnya, maka ada hal-hal yang mesti diperhatikan sebagaimana Dwi Ilalang katakan : ”Dalam menempatkan shot demi shot dalam sebuah time line, editor harus memperhatikan betul-betul aksi reaksi tokoh yang ada dalam adegan, screen direction, warna gambar, komposisi gambar, dialog disesuaikan dengan maksud ceritanya. Bisa saja terjadi suara bagus, warna gambar sesuai, aksi reaksi benar tapi screen direction-nya keliru, atau screen direction-nya tepat tapi warna gambar tidak sesuai.”
Dalam menyusun shot demi shot ini dilakukan secara assemble terlebih dahulu, yaitu dengan cara menyusun shot-shot dari semua jenis variasi shot yang ada secara apa adanya disesuaikan dengan cerita dalam naskahnya sampai membentuk keseluruhan cerita terlebih dahulu. Untuk itu editor harus benar-benar memperhatikan skenario dan ragam shot yang ada. Semua ragam shot ditampilkan dalam penyusunan awal ini, walau mungkin nantinya ada yang dibuang atau diganti dengan yang lain yang lebih sesuai. Target dari penyusunan awal shot-shot ini adalah susunan shot secara kasar (rought cut), yaitu penyambungan shot-shot yang masih kasar dan apa adanya terlebih dulu.
Bila rought cut sudah didapat maka selanjutnya mengatur panjang pendek adegan/durasi shot disesuaikan dengan panjang film yang dikehendaki. Dengan demikian menjalankan fungsi kerja editing yang kedua yaitu shorten atau the timing of shot. Dari rought cut yang telah dibuat akan diketahui total durasi awal dari film tersebut. Biasanya durasi lebih panjang dari yang seharusnya. Dan dalam Film ”Sang Dewi” terjadi yang demikian ini. Ceritanya panjang dan harus selesai dalam 90 menit, ini memang menjadi kendala dalam Film ”Sang Dewi”, namun masalah ini teratasi dengan solusi sebagaimana Dwi Ilalang terangkan : ”Dalam Film Sang Dewi masalahnya adalah ceritanya panjang dan harus dibuat 90 menit maka sebagai solusinya selain mengurangi shot dan membuang adegan yang bisa dibuang tanpa merusak keutuhan cerita, cara lain adalah dengan membuat montage, namun montage yang bercerita. Cerita dimampatkan dengan menggunakan montage dan dibuatkan narasinya.” Sejak selesai versi rought cut-nya, saat itu pula fungsi kerja editing yang ketiga bisa dikerjakan, yaitu koreksi (correct) sudah bisa dijalankan. Terhadap fungsi koreksi Dwi Ilalang mengatakan : ”Fungsi koreksi sangat penting dalam editing, dalam hal ini editor harus jeli dan sudah seharusnya bekerjasama dengan sutradara. Berhubung di Film ”Sang Dewi” Editor dan Sutradaranya saya sendiri maka yang mengoreksi adalah saya juga. Adapun produser, itu lebih pada marketingnya.” Mengenai apa saja yang perlu untuk dikoreksi diantaranya adalah seperti penggabungan shot-shot-nya sudah sesuai dengan urut-urutan ceritanya apa belum, shot-shot yang digunakan sudah tepat apa belum, irama cutting-nya sudah pas belum, warna gambar, suara dialog, kesinambungan shot demi shot dalam hal
apapun. Dari pengoreksian ini didapat versi offline-nya. Sedang pada versi onlinenya pengoreksian dilakukan pada warna gambar, paduan dialognya, visual effect. Transisi yang digunakan dalam editing Film ”Sang Dewi” adalah cut, sebagaimana Dwi Ilalang katakan bahwa penggunaan cut sebagai transisi dalam Film ”Sang Dewi” karena memang tuntutan cerita lebih tepat menggunakan cut bukan jenis transisi yang lain. Pada adegan flash back-pun mengunakan cut, karena transisi ini dirasa lebih dinamis dan lebih tidak memakan waktu. Fungsi kerja editing yang keempat adalah membangun shot-shot hingga menjadi cerita utuh (build). Agar dapat membangun shot demi shot (build) hingga menjadi cerita film yang utuh, maka seorang editor dituntut untuk dapat membuat keputusan setiap saat. Dia menentukan shot mana yang akan dipakai, berapa lama shot akan dimunculkan, kapan sebuah shot harus dipotong atau bahkan dibuang, bagaimana urutan shot yang seharusnya. Sebagaimana Dwi Ilalang katakan bahwa kalau menyangkut soal struktur editing, gaya editing, bagaimana shot-shot itu dirangaki, adalah sepenuhnya tanggung jawab editor, itu merupakan otoritas editor. Sastha Sunu menjelaskan bahwa untuk membantu editor dalam menentukan keputusan-keputusan tersebut diperlukan semacam kontrol. Ada tiga aspek dari shot-shot/scene yang perlu diperhatikan yaitu : 1. Aspek fungsional. Melihat shot/scene berdasarkan fungsinya. Carilah shot-shot dan susunlah sesuai dengan fungsinya. Kalau fungsinya untuk menginformasikan sekitar/lingkungan obyek, bisa dipakai Wide
Shot. Namun kalau ingin menunjukkan emosi/ekspresi tokoh misalnya, maka pakailah shot Close Up atau Big Close Up. 2. Aspek proporsional. Seberapa seharusnya lamanya shot yang kita pakai itu di menit ini, di detik ini. Ini menyangkut kemampuan rasa, kepekaan rasa seorang editor. Tempatkan shot sesuai dengan proporsinya. Biarkan shot itu panjang kalau memang perlu lama kemunculannya dan pendekkan saja kalau memang seharusnya sebuah shot muncul dengan sekilas saja cukup. 3. Aspek struktural. Harus ditaruh dimana sebuah shot/scene, di awal, tengah, akhir. Susunlah shot sesuai dengan strukturnya. Pamahi dahulu bagaimana struktur cerita yang mau dibangun yang akan diterapkan dalam film yang akan digarap, apakah harus berurutan atau tidak. Struktur editing tidak harus urut dari a sampai dengan z. Bisa saja strukturnya dari c-b-e-a-f-g dan seterusnya. Pertimbangan tersebut dimaksudkan agar tujuan dari pesan yang ingin di sampaikan bisa tercapai dengan baik, atau bahkan bisa lebih menarik dari sisi cara bertuturnya. Lebih lanjut Dwi Ilalang juga mengatakan : ”Untuk membangun shot-shot hingga menjadi cerita utuh, editor harus benar-benar memahami ceritanya, struktur berceritanya seperti apa yang diharapkan, konsep editing yang diterapkan dalam filmnya bagaimana. Saya memang ingin membuat cerita dari sudut pandang yang berbeda dengan cara bertutur yang berbeda dari biasanya. Kalau orang biasanyakan konvensional. Konvensional adalah bercerita secara urut dari A sampai Z, bertutur rata atau linear. Kalau saya bilang, editing saya tidak konvensional, tidak linear. Dan konsep editing dalam film ”Sang Dewi” adalah konsep editing elips.”
Untuk mendukung agar shot-shot yang telah terbangun tersebut menjadi cerita yang utuh, dan terbangun suasananya juga, maka dibutuhkan suara (sound). Suara disini bisa berupa suara asli bawaan videonya berupa dialog, suara atmosfir, suara sekitar (ambience), efek suara (sound effect) juga ilustrasi musik. Terhadap keberadaan sound ini Dwi Ilalang mengatakan : ”Sound di sini juga mendapat perhatian yang khusus, karena saya ingin penonton itu merasakan sesuatu yang benar-benar yang sangat real. Suasananya, gegap gempitanya, semua yang ada di adegan-adegan film ini penonton itu merasa bahwa sangat-sangat real. Dalam dialogdilaognyapun kita tidak menggunakan dubbing tapi live record saja. Dalam beberapa adegan tertentu saya ingin penonton itu hanyut dalam suasana tersebut. Begitu pula dengan balutan musik yang kompilasi, saya harapkan itu juga akan menunjang daripada adegan-adegan itu sendiri, sehingga penonton juga merasa akan terhayut dalam film itu.”
Disamping memahami hal-hal tersebut di atas, masih ada lagi hal-hal yang sifatnya teknis dan non teknis yang harus diperhatikan oleh editor dalam menjalankan fungsi kerja editing, sebagaimana Sastha Sunu jelaskan: Hal-hal non teknis: a. Kita harus paham betul film ini mau dibawa kemana. Kita harus tahu bagaimana konsep penyutradraannya. b. Editor harus mengenal sutradara, adalam arti penting mengenal karakter sutradara. Perlu adanya sebuah hubungan yang setidaknya cukup nyaman. Kerja seperti ini merupakan hubungan person ke person, jadi human relation yang baik itu penting. c. Sabar. Editor harus memiliki kesabaran dalam menghadapi/melihat shot yang ribuan jumlahnya, dalam shot ada ribuan frame.
d. Editor sudah seharusnya terbuka terhadap ktitikan/masukan yang membangun, harus punya kemampuan mendengarkan opini orang lain. Karena membuat karya film itu adalah kerja tim. Hal-hal teknis: a. Teknologi. Teknis itu begitu banyak dan tidak begitu sederhana atau complicated. Karena mau tidak mau pekerjaan editing berhubungan dengan yang namanya teknologi. Dan teknologi itu berkembang terus apalagi komputer, setiap tahun bahkan setiap beberapa bulan mengalami kemajuan.
Maka
perlu
bagi
editor
menyesuaikan
diri
dengan
perkembangan teknologi ini. Tidak harus menjadi ahli/menguasai, tapi bila kita paham dasar-sadar persoalan teknisnya, bisa membantu pekerjaan kita. b. Mengetahui work flow (aliran kerja) yang akan digunakan dalam editing.
4.2.2.2. Teknik dan Estetis Editing Film ”Sang Dewi”.
Dalam editing film pasti ada teknik-teknik editing yang digunakan, begitu juga dalam pengerjaan editing Film ”Sang Dewi”. Mengenai teknik editing ini, Dwi Ilalang menjelaskan: ”Teknik editing yang dipakai baku, konsep dasar editing pasti dipakai, itu dasar bakunya orang buat film seperti itu, cuma ada pakem yang lari, makanya kita sebut ketika itu sudah menjadi satu kesatuan cerita, genrenya dibilang genre baru, padahal sesungguhnya membolak-balikan dasar editing saja. Cuma bagaimana kita menerapkan dasar-dasar editing itu dalam film, terus bagaimana kita menceritakan sesuatu yang kita ceritakan. Dalam film itu ada konsep-konsep dasar editing, konsep-konsep dasar editing yang baku bisa kamu pakai dan tidak, tapi dalam hal ini
saya pakai konsep dasar editing, Cuma cara berceritanya seperti apa, saya yang bikin.”
Teknik editing memang diterapkan dalam Film ”Sang Dewi”. Beberapa teknik editing secara baku digunakan, namun ada yang berbeda dalam penerapannya, seperti penggunan teknik montage. Montage yang pada umumnya digunakan hanya untuk cuplikan-cuplian gambar untuk sekedar selingan sebuah program atau film, atau kalau tidak , montage biasanya berisi gambar-gambar berupa simbol atau lambang-lambang, namun dalam Film ”Sang Dewi” justru montage dibuat untuk kepentingan lain. Montage di Film ”Sang Dewi” diterapkan untuk keperluan mamanipulasi waktu. Sangat beralasan memang, karena menurut sutradaranya, cerita Film ”Sang Dewi” memang sebenarnya panjang dan materi juga banyak. Bila cerita dikupas tuntas dengan banyaknya materi yang ada, film akan berdurasi panjang sekali. Untuk itu sutradara menyiasatinya salah satunya dengan montage. Montage di sini dibuat dalam bentuk cerita (montage yang bercerita), jadi berupa cuplikan-cuplikan shot yang bercerita. Agar lebih jelas maksudnya montage, maka montage yang dibuat diiringi dengan sedikit narasi dan agar lebih menarik ditambahkakan musik ilustrasi pada montage tersebut. Mengenai montage ini, Dwi Ilalang menjelaskan : ”Saya menggunakan montage untuk mempersingkat cerita tanpa mengurangi makna. Ini adalah solusi, bagaimana agar cerita tetap tersampaikan walau dengan waktu yang singkat. Saya menggunakan montage ini pada adegan ketika Beno melewati prosesi kesuksesan demi kesuksean dalam pertarungan tinju. Bila kesuksesan-kesuksesan itu diceritakan dengan adegan-adegan tersendiri maka akan memakan waktu lama dalam penceritaannya. Untuk itu saya menggunakan montage untuk membuat cerita singkat. Sehingga durasi bisa dimampatkan.”
Pembuatan montage bukan hanya sekedar gabungan shot-shot pendek yang memuat cerita secara singkat begitu saja, tapi harus mempertimbangkan keindahan tampilan, untuk itu dalam pembuatan montage ini diberikan juga efekefek visual untuk membuat lebih menarik visualnya. Sedangkan penggunaan teknik editing lain Dwi Ilalang menjelaskan : ”Pemakaian teknik editing lainnya disesuaikan dengan mau kita gimanakan adegan itu, mau pakai cros cut, paralel cut atau yang lainnya yang jelas saya memadukan semua teknik-teknik editing untuk membuat agar film ini tampil menarik komunikatif dan dinamis.” Adapun penerapan prinsip estetis kaitannya dengan editing seperti soal continuity (kesinambungan), complexity (kompleksitas), context (konteks) merupakan hal mendasar yang dipergunakan dalam film ini, Dwi Ilalang mengatakan : ”Kalau saya pribadi sebagai sutradara Film ”Sang Dewi”, saya menganggap bahwa secara visual yang saya buat itu adalah mengandung seni, karena seni itu karya, kita membuat film itu adalah seni yang tidak bisa diukur pakai materi. Misalnya dalam Film ”Sang Dewi” sendiri, nilai estetis ini sudah dipertimbangkan sebelumnya pada saat sutradara membuat sebuah adegan dalam bentuk visual. Baru masuk ke editing kesinambungannya. Kalau antara itu nyambung atau tidaknya itu kan nanti diperhitungkan bagaimana kita, cara kita menyampaikan lewat struktur bercerita sebetulnya. Jadi bagaimana cara orang itu bercerita, itu lebih mempengaruhi nilai estetiknya. Saya rasa lebih ke arah itu.”
Selebihnya secara khusus terkait mengenai penerapan continuity dalam Film “Sang Dewi”, Dwi Ilalang mengatakan : ”Kontiniti itu pasti dipakai, cut to cut antara shot to shot berikutnya saja kita harus menggunakan kontiniti. Kontiniti itu bermacam-macam, ada kontiniti cerita, shot dsb. Dan itu memang berlaku dan selalu berlaku. Untuk yang dikedepankan dalam Film ”Sang Dewi” adalah keutuhan cerita, dalam Film ”Sang Dewi” itu semua menggunaan prinsip editing.”
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan cut to cut film cerita, agar terbentuk kesinambungan. Hal yang harus diperhatikan adalah : 1. Matching the look, yaitu menyamakan arah pandang tiap-tiap subyek pada tiap-tiap gambar yang disambung. 2. Matching the position, yaitu menyamakan posisi obyek pada tiap-tiap gambar yang disambung. 3. Matching the movement, yaitu menyamakan arah gerak subyek pada tiaptiap gambar yang disambung. Apabila kita tidak menghiraukan ke tiga hal di atas, maka akan terasa ada loncatan shot dalam penggabungan gambar yang kita lakukan. Dengan memperthatikan match cut maka akan tercipta adanya continuity editing. Mengenai complexity (kompleksitas) dalam Film ”Sang Dewi” memang diterapkan, karena pada dasarnya memang dari konsep editing-nya saja sudah menyimpang dari umumnya, seperti yang Dwi Ilalang sebutkan bahwa struktur berceritanya tidak konvensional. Ini berarti sangat terkait dengan editing-nya akan seperti apa. Adapun mengenai konsep editing yang dimaksudkan adalah seperti yang Dwi Ilalang jelaskan : ”Sebetulnya konsep-konsep dasar editing sudah saya pakai. Cuma yang berbeda dalam Film “Sang Dewi” itu adalah cara bertutur dan konsep editing. Konsep editing dalam Film ”Sang Dewi” adalah konsep editing elips, yaitu rangkaian cerita yang berputar-putar di situ atau dalam cerita ada cerita tapi dalam sudut pandang yang berbeda yang terangkai dalam satu kesatatuan cerita. Contohnya pada saat laras mencoba bunuh diri, dia cerita lagi di gambar waktu dia ketemu Beno. Di situ dia bercerita, ada gambar dari depan yang fokus dimana si Beno itu lari, jadi cerita itu kembali lagi ke situ sebetulnyakan, tapi dari sudut pandang yang berbeda. Cara bercerita yang beda, bedanya apa, namanya tidak konvensional. Kalau orang biasanyakan konvensional. Konvensional
adalah dari A sampai Z bertutur rata linear. Film “Sang Dewi” tidak bertutur secara urut.” Dengan demikian secara otomatis akan sangat berpengaruh terhadap juxstaposition of shots (penempatan shot-shot) dalam rangkaian sequnces, apakah shot-shot-nya akan continuity apakah akan kompleks. Kompleksitas shot-shot-nya dikerjakan atas dasar konsep editing-nya dan cara bertuturnya. Menyangkut struktur dan gaya editing seperti apa, dan siapa yang menentukan, Dwi Ilalang menjelaskan : ”Kalau struktur dan gaya editing, yang menentukan tetap editor. Sutradara itu hanya memberi masukan. Kalau menyangkut struktur dan gaya editing itu adalah sudah menjadi tanggung jawab editor sepenuhnya. Itu egoisme editor. Sutradara tidak berhak untuk itu. Itu gaya, style editing. Masing-masing editor punya stylist, punya struktur sendiri. Itu struktur editor.”
Adapun mengenai penerapan konteks (context) dalam Film ”Sang Dewi”, Dwi Ilalang menjelaskan ” ”Konteks, kami selalu menjaga konteks. Baik dalam shot-shot-nya juga adegan-adegannya. Bukan maksud saya mengada-ada menampilkan sosok pelacur yang sopan. Secara visual saya menampilkan adegan-adegan yang tak menggambarkan seperti umumnya, yang sudah terstereotip. Seperti adegan pelukan, ciuman, adegan panas atau adegan ranjang, seronok segala macam. Kamu tidak akan menemukan adegan seperti itu dalam film saya, walau ini sebagaian bercerita tentang sosok kehidupan pelacur.” Memang Film ini tidak luput dari kritik publik, sebagaimana Dwi Ilalang katakan bahwa ada juga yang mengomentari tentang Pekerja Sek Komersil yang di tampilkan dalam film ini. Seperti yang dia ungkapkan : ”Ada juga yang mengritik Film ”Sang Dewi”, bahkan ada yang bilang, loh pelacur kok ditampilkan sopan begitu, apa tidak keliru. Mana ada pelacur sopan, bahkan tidak ada vulgar-vulgarnya.”
Tentu sutradara memiliki pandangan/alasannya sendiri mengenai hal tersebut, kenapa dia membuat cerita dan tampilan visualnya demikian itu, lebih lanjut Dwi Ilalang menjelaskan : ”Memang saya ingin menampilkan sosok pelacur yang berbeda dari umumnya tidak seperti orang-orang menggambarkan dalam film atau media-media lain. Bukan maksud saya mengada-ada dan asal beda, tapi di realita kehidupan ada yang demikian. Saya ingin mengangkat pelacur yang model begini ini. Kalu bicara konteks. Ini adalah konteks seorang pelacur yang tampil sopan. Kalau saya menampilkan sosok pelacur yang model begini tapi saya menyajikannya secara vulgar, seronok, justru keluar dari konteks yang saya maksudkan. Saya sangat menjaga konteks dalam kerangka cerita yang saya maksudkan.” Lebih lanjut Dwi Ilalang menerangkan bahwa sebenarnya banyak di sekitar kita para pelacur dari berbagai usia, mulai dari remaja, anak-anak sekolah, dewasa, tapi mereka ini tidak kelihatan seperti pelacur, mereka tampil sopan, tidak mengumbar sensualitas, tidak vulgar penampilannya di hadapan umum, atau bahkan berseragam sekolah, padahal mereka ini melacurkan diri juga. Di samping juga itu merupakan realita (bukan realita ansich) namun boleh jadi sosok Pekerja Seks Komersil (PSK) pada diri Laras yang diperankan oleh Sabai Morscheck dalam Film ”Sang Dewi” itu merupakan simbol tentang kemunafikan di sekitar kita. Film ini sebagian ceritanya memang mengangkat tentang kehidupan Pekerja Seks Komersil dari sudut pandang yang berbeda. Barangkali dalam cerita lain, dengan sutradara yang berbeda, boleh jadi akan menampilkan sosok pelacur seperti umumnya, itu kembali ke sutadaranya sendiri, apa dan dari sisi mana sutradara tersebut mau menampilkan tentang sosok pelacur itu. Seperti yang Dwi Ilalang katakan : ”Dalam hal ini saya yakin semua sutradarapun pasti semuanya dalam memvisualkan cerita, berdasarkan apa yang diperoleh, maksudnya
pengalaman mereka, riset mereka, menurut mereka pelacur ini seperti ini. Menurut mereka seorang pengusaha itu harus pakai dasi. Orangkan sudah terdoktrin bahwa seorang pelacur itu notabene pakaian harus seronok. Saya pengen buat yang beda, Cuma sesuatu yang beda itu belum tentu diterima masyarakat. Itu poinnya kan. Kadang-kadang orang bilang masak sih pelacur kayak gitu. Tapi kalau kamu pernah terjun ke dunia pelacuran misalnya, terus kamu pernah menjajaki pelacur-pelacur seperti itu, kadang-kadang adakan tampilan tokoh-tokoh yang seperti itu, yang terlihat sopan dari busananya dan sikapnya, namun tak memperlihatkan seperti pelacur. Saya tidak mau pelacur yang pada umumnya. Pelacur yang seperti ini yang mau saya tampilkan. Seorang ekskutif muda misal, tak semua ekskutif muda pakai dasikan. Kalau saya mau gambarkan ekskutif muda yang tak pakai dasi, itukan menurut saya.”
Sebuah film dengan tema sama, menceritakan tentang hal yang sama, tapi dari sudut pandang yang berbeda maka akan menghasilkan film yang berbeda pula. Ini berarti ada banyak cara untuk menyampaikan cerita itu. Tergantung dari sisi mana dan dengan cara bagaimana sutradara menceritakannya dengan media filmnya.
Untuk menjadikan film berkualitas, tentunya masing–masing sutradara memiliki cara-caranya sendiri yang mungkin sama mungkin juga berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam Film ”Sang Dewi”, Dwi Ilalang juga pastinya memiliki caranya sendiri untuk membuat film yang digarapnya berkualitas sebagaimana Dia ungkapkan : ”Untuk membuat film berkualitas, dalam film saya terutama, ada hal-hal yang mesti diperhatikan seperti dari ceritanya sendiri, kemudian memilih cara menceritakanya dengan cara bagaimana, seperti yang saya bilang cara bertuturnya tadi, terus bagaimana memvisualkannya, setting lokasinya, editing-nya, audio pendukungnya, pemainnya dan aktingnya, semuanya harus benar-benar dipikirkan matang-matang dan didesain sedemikian rupa agar menarik untuk ditonton. Itulah semua elemen tadi digabung jadi satu, saya merasa yakin bahwa film ini bakal bisa diterima oleh masyarakat dan akan beda dengan film-film yang lain.”
4.3. Pembahasan. Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan dengan cara wawancara terhadap sumber yang berkompeten, yaitu Dwi Ilalang selaku Sutradara merangkap Editor film ”Sang Dewi”, Regina Anindita selaku Director Of Photographi (DOP) dan Cameraperson dan Sastha Sunu sebagai editor film sekaligus Dosen Institut Kesenian Jakarta (IKJ), mengamati dokumen perusahaan, membaca berbagai literatur/referensi yang terkait dengan penelitian ini, maka penulis dapat menjelaskan secara terperinci mengenai proses editing film ”Sang Dewi”. Materi film apa saja terutama film cerita fiksi (narratif story) yang dikerjakan dimeja editing, sebenarnya sebagiannya telah dikerjakan di saat shooting berlangsung. Sehingga editorial thinking itu penting keberadaannya. Maka dari itu shooting termasuk dalam tahap preediting, dalam arti bahwa apapun gambar yang direkam saat shooting sudah seharusnya dapat berkesinambungan saat diedit nantinya. Dengan demikian shooting harus dipersiapkan dengan matang. Masing-masing film dalam proses pembuatannya memiliki pendekatan yang mungkin saja bisa berbeda-beda. Proses yang dijalankan dalam Film ”Sang Dewi” jauh hari sebelum shooting dikerjakan, Dwi Ilalang selaku sutradara telah membuat semacam pemandu bagi semua kru, terutama DOP dan atau Cameraperson-nya. Pemandu ini biasa dinamakan decupase shot/director shot, yaitu berupa pemecahan adeganadegan yang ada dalam skenario ke dalam bentuk shot-shot. Jadi konsep-konsep dasar visualisasi cerita dalam skenario dan editorial thinking sutradara
dituangkan semua ke dalam decupase shot/director shot tersebut. Decupase shot/director shot ini kemudian dibagikan kepada para kru, selanjutnya para kru menerjemahkan maksud dari decupase shot/director shot tersebut. Sutradara beserta timnya terutama DOP/camera person juga mencari (hunting) lokasi yang representatif sesuai dengan tuntutan ceritanya. Hasil dari pencarian lokasi ini selanjutnya dibuat konsep-konsep sinematografinya, ini dilakukan untuk membuat shot-shot terencana, yang akan dikerjakan nanti saat shooting berlangsung. Untuk memperjelas shot-shot yang dimaksudkan kemudian dibuatkan storyboard-nya. Storyboard merupakan sketsa/gambaran shot-shot yang dimaksudkan, sehingga secara visual lebih jelas. Itu saja belum cukup, ada tahap lagi yang disebut recee. Recee merupakan penentuan secara mendetail shot demi shot dari setiap adegan yang disesuaikan sekalian dengan lokasi shooting dan maksud cerita yang diinginkan. Dengan adanya recee ini setiap shot akan menjadi lebih jelas bagaimana blocking kamera, pergerakan kamera, lighting, blocking pemain, set dekornya. Dari sini kemudian DOP membuat floorplan yaitu berupa peta/gambaran penempatan kamera dan lampu-lampu yang akan diperlukan. Dan sebelum shooting berlangsung, dilakukan gladi bersih (rehearsal) terlebih dahulu untuk semuanya, sehingga dengan demikian diharapkan sekali shot hasilnya sesuai dengan yang diinginkan bersama (one take ok), sehingga shooting-pun tidak akan mengalami pemborosan waktu, dana, tenaga, pikiran dan lain sebagainya. Ketika shooting berlangsung, setiap kali selesai mengambil gambar dibuat camera report yang salah satunya berisi pencatatan mengenai penggunaan menu
kamera, ukuran kelvin yang dipergunakan, lensa dan filter yang digunakan. Dengan begitu bilamana diperlukan retake kapan saja akan lebih memudahkan dalam menset kamera agar gambar yang didapat bisa sama warnanya. Dengan demikian kerja shooting menjadi sangat efektif. Adapun teknologi yang digunakan untuk merekam gambar dalam film ini adalah teknologi HD yaitu menggunakan kamere video HD (Higt Definition) Panasonic Vericam, dengan pertimbagan bahwa dengan memanfaatkan tekologi ini gambar yang dihasilkan sangat bagus dan kualitasnya mendekati kualitas film 16 mm. Untuk menghasilkan gambar-gambar film yang indah, hidup, dinamis, berkarakter, tentunya diperlulakan skill, wawasan, pengalaman, kepandaian penataan sinematografi dari
seorang DOP juga Camera person. Untuk itu
pemilihan sumber daya manusia sangat menentukan hasil. The man bihind the camera sangatlah penting. Untuk mendukung agar shooting berjalan efektif dan efisien dan hasil sesuai dengan yang diinginkan, Regina Anindita menekankan hal-hal yang tidak boleh diabaikan, pertama adalah perlunya ada komunikasi yang baik antar departemen, terutama dengan departemen sutradara. Kedua yaitu persiapan yang benar-benar matang. Ketiga yaitu toleransi terhadap masing-masing yang terlibat dalam tiap departemen, berkerja secara kolaborasi, karena ini merupakan kerja tim. Keempat yaitu setiap departemen harus masuk ke dalam cerita (memahami skenario dengan benar), dengan demikian otomatis ide-ide untuk nilai-nilai estetikanya akan bertambah. Kelima yaitu tahu benar lokasi atau set yang
digunakan, sehingga bisa menentukan alat yang menunjang keindahan gambar tanpa mengurangi maksud dan tujuan yang akan dicapai. Keenam yaitu masingmasing yang terlibat dalam produksi harus mempunyai rasa memiliki terhadap film yang digarapnya. Agar shot-shot yang dihasilkan tidak hanya sesuai dengan tuntutan cerita namun juga indah dan menarik maka konsep sinematografinya dibuat bervariasi, mengingat film “Sang Dewi” ini bergenre drama action. Maka treatment sinematografinya dibuat berbeda oleh Regina Anindita, tentunya menyesuaikan dengan adegan dalam cerita yang dimaksudkan. Pergerakan kamera pada adegan drama
sedikit, sedang pada adegan action pergerakan kamera lebih banyak,
angle-angle-nyapun lebih beragam. Bahkan sebagian shooting-nya dikerjakan secara handheld camera dan dipandu juga dengan helyshot pada adegan pertarungan liarnya. Untuk lighting juga dibedakan, pada dramanya dibuat soft/lembut (high key) sedangkan pada action-nya dibuat kontras (low key). Dari sisi warna, khususnya untuk adegan flash back dibuat lebih pucat, ini untuk membedakan antara adegan flash back dan real time-nya. Persoalan shooting bukanlah sekedar sinematografi, teknik pengambilan gambar, tapi apa yang ada di depan kamera (mise en scene) ini akan menentukan isi sebuah shot, maka itu mutlak diperhatikan. Untuk itu dalam penggarapan film ”Sang Dewi” dipilihlah lokasi yang benar-benar representatif dan diset sesuai dengan tuntutan ceritanya. Untuk itu set dekor dalam film ini tidak menggunakan virtual set (set yang dikerjakan dengan komputer animasi). Pemilihan dan penggarapan acting pemainnya juga dikerjakan dengan serius, sehingga dalam
film ini pemeran utamnya justru diperankan oleh artis yang belum terkenal namun memiliki karakter yang tepat dengan tuntutan cerita, dan para pemain dilatih oleh ahli-ahli yang membidanginya. Agar gambar-gambar yang telah berhasil direkam teradministasi dengan baik, maka dihadirkan seorang pencatat adegan (pencatat script), yang bertugas mencatat keseluruhan shot yang dihasilkan, baik yang oleh sutradara distatuskan Good, No Good maupun Choise. Ini agar dapat diketahui persis berapa kali take sebuah shot itu, pada time code ke berapa shot-shot tersebut berada. Dan juga perlu diperhatikan adalah jangan sampai salah dalam mencatat shot-shot tersebut dan dalam melabel kasetnya. Ini untuk memudahkan proses editing nanti, terutama ketika proses logging dan digitizing. Tahap preediting selanjutnya adalah review, yaitu melihat ulang apa saja hasil shooting. Dalam Film ”Sang Dewi”, me-review gambar-gambar hasil shooting-nya dilakukan oleh sutradra bersama DOP-nya ketika di lokasi shooting, bukan dilakukan di paska produksi, ini untuk mehindari agar tidak terjadi retake/shooting ulang ketika tahap produksi telah selesai. Jadi ketika diketahui ada gambar yang tidak bagus atau kurang materi gambarnya, di lokasi shooting saat itu juga bisa langsung refisi shot atau menambah kekurangan shot bilamana ada. Decision making (pengambilan keputusan mana gambar yang terpakai dan tidak) dikerjakan setelah shooting selesai dan dikerjakan di ruang editing. Pekerjaan ini dilakukan oleh editor. Editor melakukan pekerjaan tahap ini terbantu oleh dengan adanya catatan pencatat adegan. Catatan tersebut (script) berisi keterangan tentang nomor scene, nomor shot, nomor take, nomor kaset, gambar
yang bagus dan tidak bagus (biasa ditandai dengan G/NG), gambar yang dinilai bisa menjadi alternatif (choise), time code (in dan out piont), keterangan tokoh yang dialog, dan keterangan action-nya. Selebihnya untuk memilih lagi gambargambar yang bagus (good) dan (choise) tersebut untuk dipilih yang bagian mananya, editorlah yang menentukan. Operational editing dalam Film ”Sang Dewi” dikerjakan dengan nonlinear editing Avid system. Pemilihan peralatan ini dengan alasan karena dengan menggunakan nonlinear editing, kerja editing menjadi lebih mudah. Dan pemilihan Avid karena Avid memiliki kelebihan dibanding dengan software editing yang lain. Disamping Avid memiliki kelebihan dalam manajemen file, fitur-fitur Avid banyak menawarkan kemudahan untuk pengerjaan film. Pemilihan fasilitas untuk keperluan operasional editing yang tepat akan sangat menentukan kelancaran kerja editing, dan lebih dari itu akan dapat menghasilkan output/hasil yang berkualitas. Prosedur Editing dalam Film ”Sang Dewi” dijalankan secara standard sebagaimana yang Dwi Ilalang sampaikan bahwa mekanisme kerja editing dalam film ini standard, mulai dari offline sampai online editing-nya. Sebelum editor menjalankan fungsi kerja editing, maka dia harus memahami terlebih dahulu skenarionya, film ini mau dibawa ke mana, struktur ceritanya, konsep penyutradaraannya, genre filmnya, durasi film yang telah ditetapkan.
Adapun
fungsi
kerja
editing
tersebut
pertama
adalah
mengkombinasikan (to combine) yaitu menyusun shot-shot ke dalam adeganadegan, skuens hingga tersusun cerita penuh. Menyusun shot-shot tersebut ada
tahapannya, pertama dibuat secara assemble, yaitu susun shot-shot apa adanya sesuai dengan skenario atau urut-urutan ceritanya terlebih dahulu. Menyusun shot ini disebut juga juxstapositon of shot. Berhubung dalam film ”Sang Dewi” ini cara bertuturnya adalah tidak berurutan dan konsep editing-nya sebagaimana Dwi Ilalang kemukakan adalah elips sedangkan genrenya adalah drama action, maka dari itu struktur shot-shot-nya harus disesuaikan dengan konsep tersebut. Dan yang harus diperhatikan lagi dalam menyusun shot-shot-nya adalah mengenai aksi reaksi yang tergambar dalam sebuah shot, screen direction, warna gambar, komposisi dan suara disesuaikan. Makanya editor harus jeli terhadap hal-hal tersebut dalam mengkombinasikan shot-shot. Selanjutnya dari assemble tersebut mulai dibuat rought cut-nya, yaitu susunan gambar sesuai cerita secara kasar terlebih
dahulu,
yang
dimaksudkan
adalah
susunan
dan
pemotongan/penyambungan antar shot-shot-nya. Rought cut dibuat sampai didapatkan total durasi yang ditetapkan. Fungsi kerja editing yang kedua adalah yaitu mengatur panjang pendek shot (to shorten atau the timing of shot). Dalam menyiasati agar film tidak terlalu panjang, tapi sesuai dengan panjang durasi yang telah ditetapkan, maka Dwi Ilalang membuat solusi yaitu dengan mengangkat scene atau shot yang dirasa kurang perlu tanpa kehilangan makna cerita dan menggunakan teknik montage, namun montage yang bercerita. Semacam cerita singkat. Agar terlihat menarik dan informatif, montage dibuat semenarik mungkin, diberi efek visual, narasi dan illustrasi musik.
Fungsi kerja editing yang ketiga yaitu pengoreksian (to correct) ini dilakukan sejak dari awal selesai rought cut pertama sampai dengan fine cut/final edit-nya. Banyak hal yang harus dikoreksi, seperti, mengganti shot-shot yang kurang tepat keberadaannya dengan shot-shot yang lebih tepat, warna gambar, suara dialog, irama cutting-nya sudah dirasa enak dilihat apa belum, visual effectnya, sementara pengoreksian audio dilakukan sekalian saat singkronisasi dan mixing dikerjakan. Fungsi kerja editing yang keempat yaitu membangun shot-shot hingga menjadi cerita yang utuh (to build). Untuk dapat membangun shot-shot hingga menjadi cerita utuh, editor dituntut tidak hanya bisa memotong sambung gambar atau hanya mampu mengoperasikan hardware software editing. Akan tetapi seorang editor harus juga memiliki kemampuan selection of shot (memilih shot yang tepat untuk digunakan) dan selection of action (memilih aksi reaksi pemain yang tepat untuk digunakan). Untuk itu memilih editor film harus yang memiliki kemampuan tersebut, jadi pemilihan editor film sangat menentukan kualitas film nantinya. Editor menentukan shot mana yang akan dipakai, berapa lama shot akan dimunculkan, kapan sebuah shot harus dipotong atau bahkan dibuang, bagaimana urutan shot yang seharusnya. Maka editor harus memahami struktur editing yang baik. Sebagaimana Dwi Ilalang katakan bahwa kalau menyangkut soal struktur editing, gaya editing, bagaimana shot-shot itu dirangaki, adalah sepenuhnya tanggung jawab editor, itu merupaka otoritas editor. Dalam rangka membantu editor agar lebih mudah dalam menentukan keputusan-keputusan tersebut, ada hal-hal yang penting untuk diperhatikan
sebagaimana Sasta Sunu kemukakan, yaitu dengan memperhatikan tiga aspek yaitu pertama aspek fungsional. Editor harus tahu fungsi dari masing-masing shot dan scene yang disusunnya, maksudnya adalah berfungsi untuk apa ketika sebuah shot diletakkan sesudah atau sebelum sebuah shot, untuk apa motifasinya penaruhan shot di suatu tempat tertentu, apakah sekedar untuk memberikan informasi ruang, memberi tekanan emosi dan sebagainya. Kedua yaitu aspek proporsional. Ini berarti editor harus tahu betul seberapa lama/panjang dan pendek shot atau scene muncul dalam serangkaian cerita filmnya itu, artinya bahwa panjang pendek harus ditempatkan pada proporsiya dan cutting poin harus tepat adanya. Ketiga adalah aspek struktural. Maksudnya adalah bagaimana konsep cerita
film
tersebut
haruslah
dipahami,
sehingga
tidak
keliru
dalam
menstrukturkan shot-shot-nya. Editor harus memahami struktur ceritanya bagaimana, sehingga di dalam menyusun shot-shot dan scene-scene yang ada tepat adanya. Dengan
memahami
cerita
filmnya,
struktur
penceritaan,
konsep
penyutradaraannya, genre filmnya, konsep editing yang mendasari, maka editor akan menjadi lebih mudah dalam membangun shot-shot hingga menjadi cerita film yang utuh. Namun sumber lain menjelaskan bahwa tidak ada istilah atau konsep editing elips itu. Sasta Sunu menyebut bahwa elips adalah bagian dari struktur cerita nonlinear. Jadi elips itu merupakan struktur cerita, sementara editing mewujudkannya. Dia juga menjelaskan bahwa genre film sama sekali tidak berpengaruh terhadap konsep editing film. Namun yang lebih tepat adalah konsep
penyutradaraanlah yang sebenarnya mempengaruhi konsep editing. Karena konsep penyutradaraan merupakan tonggak bagi yang lain untuk mengembangkan konsepnya. Konsep sinematografi, art direction, sound, acting dan lain-lainnya semua berdasar pada konsep penyutradaraanya. Untuk menunjang agar editor dapat menjalankan fungsi kerja editing dengan baik Sastha Sunu menekankan bahwa ada faktor teknis dan non teknis yang harus editor ketahui. Adapun faktor teknis itu pertama yaitu editor harus selalu menyesuaikan dengan teknologi, dia harus paham minimal dasar-dasarnya agar memparlancar pekerjaannya. Kedua harus mengetahui urutan kerjanya (work flow), dan work flow mana yang akan digunakan. Sedangkan faktor non teknis adalah pertama editor harus paham betul film itu mau dibawa kemana, harus tahu konsep penyutradaraannya. Kedua mengenal sutradara, penekanannya adalah menjalin hubungan baik (human relation) yaitu dengan mengenali karakter sutradara. Ketiga sabar, tanpa kesabaran, editor tidak akan membuahkan hasil karya yang berkualitas. Dalam megerjakan editing sebuah film ada teknik-teknik dasar yang bisa digunakan. Dan umumnya teknik-teknik ini selalu dipakai, seperti paralel cutting, intercutting, cross cutting, montage, dan lain sebagainya. Dan teknik-teknik tersebut menjadi sebagian dari konsep dasar editing. Pemakaian ini dadasarkan atas konteks adegannya seperti apa. Dalam Film ”Sang Dewi” konsep dasar editing duterapkan. Adapun yang berbeda dalam prakteknya adalah teknik montage yang dipergunakan untuk keperluan mempersingkat cerita, agar durasi tidak terlalu panjang dan maksud/pesan ceritapun bisa tersampaikan.
Penerapan prisip estetis editing dalam film ”Sang Dewi” yang diantaranya pertama adalah Continuity (kesinambungan). Kesinambungan merupakan konsep dasar editing, maka dari itu sangat penting untuk diperhatikan dalam penerapannya, agar film bisa bercerita. Tanpa adanya kesiambungan, film akan sulit untuk dipahami penonton. Continuity itu bermacam-macam, bisa kontiniti shot, cerita, warna gambar, screen direction, dialog-dialognya. Continuity dalam Film ”Sang Dewi” dianggap hal yang mendasar dan jelas diterapkan dalam membangun shot-shot-nya. Seperti yang Dwi Ilalang katakan bahwa cut to cut antara shot to shot harus kontiniti, namun dalam film ini yang dikedepankan adalah keutuhan cerita yang berarti kesinambungan ceritanya. Dalam mengerjakan cut to cut ada yang mesti diperhatikan antara lain adalah matching the look, yaitu menyamakan arah pandang tiap-tiap subyek pada tiap-tiap gambar yang disambung, matching the position, yaitu menyamakan posisi obyek pada tiap-tiap gambar yang disambung, matching the movement, yaitu menyamakan arah gerak subyek pada tiap-tiap gambar yang disambung. Dengan memperhatikan match cut maka sambungan yang melocat (jump cut) akan dapat dihindari, disamping juga selalu menyediakan shot cut away sebagai penyelamat kesinambunganya. Dengan demikian akan tercipta continuity editing. Yang kedua adalah complexity (kompleksitas), yaitu editing yang menyimpang
dari
umumnya
atau
bahkan
melanggar
kaidah-kaidah
kesinambungan dalam editing, dengan maksud untuk mengintensifkan cerita yang dibangun, sangat diperbolehkan dalam editing film. Dalam Film ”Sang Dewi”
menerapkan hal ini, yaitu dengan cara bertutur yang tidak linear dan konsep editing elips sebagaimana yang Dwi Ilalang sampaikan. Secara otomatis susunan shot-shot-nya menyesuaikan. Penerapan struktur yang tidak berurutan (nonlinear) dan editing elips sebagaimana Dwi Ilalang maksudkan adalah sengaja karena dia memang ingin bertutur dengan cara demikian, sehingga berbeda dari film umumnya dan tampil berbeda dari film-film lain, namun film tetap komunikatif, menarik dan menghibur. Adapun yang menentukan struktur dan konsep editingnya seperti apa dalam film ”Sang Dewi” ini adalah editor. Untuk itu seorang editor harus tahu bagaimana struktur cerita yang baik. Dia bertanggung jawab dalam pengerjaan akhir sebuah film. Tanpa proses editing yang baik, sebuah produksi yang telah mengorbankan banyak uang dan tenaga menjadi sia-sia. Memang benar bahwa seorang editor hanya bisa menghasilkan film yang baik, sebaik meteri yang diterima. Yang ketiga adalah context (konteks), dalam program berita atau dokumenter merupakan hal yang harus dijaga, yakni konteks dimana peristiwa itu terjadi, hubungan antar content of shots, maka dalam penempatan shot-shot haruslah berhati-hati jangan sampai keliru/keluar dari konteksnya. Namun dalam film, khususnya film fiksi, koteks di sini berarti disesuaikan dengan koteks yang mendasari ceritanya. Dengan kata lain film tersebut bercerita tentang apa, bagian mana yang diceritakan, bagaimana
menceritakannya, akan berpengaruh
bagaimana (impact) gambar-gambar film itu nantinya pada audien. Film yang mengisahkan tentang kehidupan pelacur sendiri banyak, baik dalam format Sinetron, Film TV ataupun Film Layar Lebar, namun bangaimana
ceritanya, cara menceritakannya, juga tampilan visual filmnya masing masing berbeda. Dalam Film ”Sang Dewi” oleh umumnya orang mungkin apa yang tergambar dalam film tersebut tidak kontekstual, karena penampilan sosok pelacur yang ditampilkan dalam film tersebut tidak seperti biasanya terlihat dan tergambar di film-film dan media lain umumnya namun sopan dan tidak biasa. Orang sudah terdoktrin
bahwa
Pekerja
Seks
Komersil
(PSK)
itu
seronok,
vulgar
penampilannya, dan dalam film-film umumnya dan media-media lain PSK seringkali ditampilkan/digambarkan adalah PSK yang seronok, vulgar dan kurang sopan (”genit/nakal”). Karena Dwi Ilalang selaku sutradara dan pencetus ide ceritanya mengangkat kehidupan PSK dari sudut pandang yang berbeda, yaitu sosok PSK yang terlihat sopan, tidak seronok/tidak vulgar penampilannya, maka shot-shot, adegan-adegan yang digunakannyapun tentunya disesuaikan dengan konteks konsep yang mendasari film ini. Jadi akan tidak kontekstual bila yang diangkat adalah kehidupan para PSK model yang Dwi Ilalang maksudkan, sementara gambar-gambar yang ditampilkan adalah yang memperlihatkan sebagaimana pandangan orang umumnya, yaitu seronok, vulgar dan sebagainya yang negatif. Maka dari itu context dalam Film ”Sang Dewi” merupakan salah satu hal yang ditekankan agar pesan film dapat tersampaikan.
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan. Editing adalah tahap akhir dari serangkaian proses produksi film, tahap ini biasa disebut paska produksi (post production). Dan dalam pelaksanaannya ada tahapannya tersendiri. Yang pertama yaitu pre editing phases (tahap pra editing), yang meliputi pengambilan gambar (shooting phase), pemeriksaan hasil shooting (review phase), menentukan gambar mana saja yang terpakai (decision making phase), mempersiapkan fasilitas teknik untuk mengerjakan editing (operational phase). Yang kedua yaitu editing phase yang meliputi offline editing dan online editing. Adapun proses Editing dalam film “Sang Dewi” bisa saya simpulkan sebagai berikut : 1. Agar shooting berjalan efektif dan efisien dan hasilnya sesuai dengan yang diinginkan, maka sebelum shooting dikerjakan, sutradara membuat decupase shot/didrector shot sebagai panduan bagi semua kru terutama DOP/cameraperson dalam menghasilkan gambar. Melakukan hunting (mencari) lokasi yang reprensentatif sesuai dengan tuntutan cerita, melakukan recee yaitu memperjelas konsep shot demi shot secara detail, kemudian DOP membuat floorplan (peta tata letak kamera dan lampu), serta melakukan gladi bersih (rehearsal). Departeman kamera harus selalu membuat camera report yang berisi catatan mengenai menu kamera yang digunakan, lensa, dan filter yang digunakan agar lebih aman dan mudah menyamakan warna gambarnya bila mana terjadi retake. Juga mencatat
dan mengidentifikasi semua gambar yang berhasil direkam. Dan yang tidak kalah pentingnya agar shooting berjalan efeltif dan efisien, hasil sesuai dengan yang diinginkan maka harus memperhatikan pertama adalah komunikasi antar departemen harus terjalin baik. Kedua yaitu harus malakukan persiapan yang matang. Ketiga yaitu harus ada toleransi antar departemen. Keempat adalah masing-masing harus merasa memiliki film yang diproduksinya. Kelima adalah semua harus masuk ke dalam cerita filmnya, sehingga akan lebih mudah dalam eksplorasi ide-ide. Konsep sinematografinya
dibedakan
antara
yang
drama
dan
action-nya.
Pergerakan kamera untuk adegan-adegan drama lebih sedikit sedangkan untuk action-nya dibuat lebih banyak dan beragam angle-nya. Lighting untuk drama dibuat soft/lembut (high key) sedang lighting untuk actionnya dibuat kontras (low key). Warna gambar untuk adegan flashback dibuat lebih pucat, sedang untuk diluar flashback/yang real time-nya dibuat normal. Review phase (nemeriksa hasil shooting) dilakukan di lokasi shooting, bukan di meja editing, ini untuk menghindari agar jangan sampai retake ketika materi sudah sampai di ruang editing. Decision making phase (memutuskan mana gambar yang terpakai dan tidak) bedasar pada cacatatan adegan (script) di lapangan. Operational phase (operasional teknis alat yang digunakan untuk proses editing) yaitu menggunakan Avid system agar editing bisa berjalan efektif dan efisien.
2. Dalam menjalakan fungsi kerja editing, editor harus memahami skenario terlebih
dahulu
sehingga
mengetahui
maksud
ceritanya,
konsep
penyutradaraannya, struktur ceritanya, genre film, durasi film. Agar editor terbantu dalam membangun shot-shot-nya maka dia harus memperhatikan tiga aspek dari shot/scene, yaitu aspek fungsional, aspek proporsional dan aspek struktural. Untuk menunjang agar editor dapat menjalankan fungsinya dengan baik maka sacara teknis pertama harus mengenal betul teknologi yang digunakannya. Kedua harus memahami work flow-nya Sedangkan non teknisnya pertama yaitu harus memahami film itu akan dibagaimanakan, konsep penyutradaraannya bagaimana. Kedua mengenal karakter sutradara. Ketiga editor harus memiliki kesabaran yang lebih dalam bekerja. 3. Untuk menghasilkan gambar berkualitas, pelaksanaan shooting Film “Sang Dewi” menggunakan teknologi kamera Video HD (Hight Definition) Panasonic Vericam. Dengan menggunakan teknologi ini didapatkan gambar yang mendekati kualitas film 16 mm. Sedangkan dari sisi estetis dalam Film “Sang Dewi” menerapkan penataan sinematografi dan mise en scene yang tidak biasa untuk mengahasilkan tampilan visual sesuai dengan tuntutan cerita dan yang telah dikonsepkan, menarik dan berbeda dari film-film umumnya. 4. Teknik editing yang berbeda dalam Film “Sang Dewi” adalah penerapan teknik montage untuk keperluan pemampatan durasi cerita film.
5. Struktur bercerita dalam Film “Sang Dewi” adalah non linear dan konsep editing yang diterapkan adalah elips, ini adalah versi Dwi Ilalang. Namun elips sebenarnya sebagaimana diungkapkan oleh Satha Sunu adalah salah satu bagian dari struktur cerita non linear. Sehingga yang lebih tepat adalah editing mewujudkan konsep struktur cerita elips. Konsep editing dikerjakan berdasar pada konsep penyutradaraannya. 6. Dalam film “Sang Dewi”, prinsip estetis editing tidak dilupakan seperti continuity, complexity, context diterapkan, karena ini juga yang akan membentuk estetika filmnya.
5.2. Saran. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan dan sejauh yang peneliti ketahui/amati dari film “Sang Dewi” maka saran yang dapat penulis berikan adalah : 1. Struktur cerita dan konsep editing dalam film “Sang Dewi” ini memungkinkan untuk membolak-balikan adegan, atas dasar ini pula akan lebih baik bilamana dimunculkan cerita misalkan dalam bentuk kilas balik (flashback) walau singkat tentang terselamatkannya Beno dari laut dan terjerumusnya
Laras
dalam
dunia
pelacuran,
dengan
demikian
kesinambungan cerita terjaga dan lebih informatif tentunya. 2. Masih ada pada beberapa adegan yang memerlukan shot-shot close up atau variasi shot lagi agar film bisa bercerita lebih dekat dengan penonton.
3. Ada beberapa peralihan shot dan adegan yang terasa jump cut (meloncat) yang mungkin seharusnya tidak terjadi. Bila ini bisa dihindari maka film akan lebih berkesinambungan cerita ataupun shot-nya. 4. Apa yang diceritakan dalam Film “Sang Dewi”, bagaimana cara menuturkan ceritanya dan visual yang ditampilkannya serta konsep editing-nya yang berbeda dari film umunya itu, adalah sangat bagus untuk meningkatkan apresiasi penonton terhadap film kita. Untuk itu saya berharap akan muncul film-film yang demikian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, Nathan, Ian Bell, Jan Udris. 2001. Studying Film. New York : Oxford University Press Inc. Ardianto, Elvinaro dan Lukiatkomaki Erdinaya. 2004. Komunikasi Massa. Bandung : Simbiosa Rekatama Media Baksin, Askurifai. 2003. Membuat Film Indie Itu Gampang. Bandung : Katarsis. Effendy, Heru. 2004. Mari Membuat Film, Panduan Untuk Menjadi Produser. Jakarta : Panduan Effendy, Onong Uchjana. 1993. Dinamika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Effendy, Onong Uchjana. 2001. Ilmu Teori Komunikasi dan Praktek. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Jahja, Rusfadia Saktiyani dan Irvan, Muhammad. 2006. Menilai Tanggung Jawab Televisi. M Boggs, Joseph. The Art of Watching Film : Cara Menilai Sebuah Film. Terjemahan Asrul Sani. Jakarta : Yayasan Citra J. Moleong, Lexy. 2003. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Lutters, Elizabeth. 2004. Kunci Sukses Menulis Skenario. Jakarta : PT. Gramedia Widia Sarana Naratama. 2004. Menjadi Sutradara Televisi dengan Single dan Multi Camera. Jakarta : PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia, Poerwandari, Kristi. 2001. Pendekatan Kualitatif Penelitian Prilaku Manusia. Rahmat, Jalaludin. 1999. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya S Harahap, Arifin. 2006. Jurnalistik Televisi Teknik Memburu dan Menulis Berita. Jakarta :PT. Indeks Subana, M, Sudrajat. 2001.Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah.
Suwardi, Purnama. 2006. Seputar Bisnis dan Siaran Televisi. Sumatara Barat : TVRI Wiryanto. 2000. Teori Komunikasi Massa. Jakarta : PT. Grasindo Wahyudi J.B. 1986. Media Komunikasi Massa Televisi. Widagdo, M. Bayu dan Gora S., Winastwan. 2007. Bikin Film Indie Itu Mudah. Yogayakarta : CV. Andi Offset Zettl. 2003. Television Production Handbook. Amerika : Thomson Wadsworth Wurtzel, Alan and Stephen R Acker.1989. Television Production. Singapure : MacGraw Hill Inc.
Lain-Lain DVD Production Work, Behind The Scene, Training Day dan Promo Film Sang Dewi Film Sang Dewi. 2007. Jakarta : Big Daddy Production Nawawi, Bustal. 1992. Diktat Manajemen Produksi Film. Jakarta : Yayasan Citra Salajan, Horea. 2001. Video Instruksional. Jakarta : PJTV Internews Indosesia
Dieses Dokument wurde mit Win2PDF, erhaeltlich unter http://www.win2pdf.com/ch Die unregistrierte Version von Win2PDF darf nur zu nicht-kommerziellen Zwecken und zur Evaluation eingesetzt werden.