NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SHALAWAT BURDAH (Studi Kasus pada Jamaah Burdahan Pondok Pesantren Kramat Desa Kesongo Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang Tahun 2010-211)
SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Oleh MISBAKHUL MUNIR NIM 11105052
JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2011
iii
iv
MOTTO
“Bodho, Remeh, Asor, lan Ino”
v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Misbakhul Munir
NIM
: 11105052
Jurusan
: Tarbiyah
Program Studi
: Pendidikan Agama Islam (PAI)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 13 September 2011 Yang menyatakan,
Misbakhul Munir
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
Allah Subhaanahu wa Ta’ala serta Kekasih-Nya al-Habib al-Mushthafa Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Orang tuaku, Bapak Sujono dan Ibu Waginah (almarhum) yang selalu memberikan cinta kasih dan sayangnya, lahir maupun batin, tanpa batas yang tak dapat terukur dalamnya. Khusus kepada Ibuku, semoga Allah Azza wa Jalla selalu merahmati engkau di sana.
Kakak-kakakku, ‘Abdul Mu’in dan Ummi, Muhammad Sholihin dan Amalia, Sulyono dan Wiji, Mistriono, yang telah memberi dukungan moril
dan
materiil,
Adik-adikku
tercinta,
Satrio
Utomo
yang
membantuku menyusun skripsi, Ilham Maulana yang menumbuhkan semangatku.
Sahabat-sahabat seperjuanganku di Penjara Suci Pondok Pesantren KRAMAT.
Sahabat-sahabat karibku keluarga besar Teater GETAR.
Teman istimewaku yang selalu mendukungku, teman seperjuanganku yang selalu memotivasi diriku
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur bagi Allah SWT., Dzat yang memberi keutamaan ilmu dan amal kepada anak cucu Nabi Adam a.s. melebihi seluruh Alam. Sehingga penulis dapat dan mampu menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan selalu kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW. yang menjadi tuannya orang Arab dan ‘Ajam, juga kepada keluarga, sahabat-sahabat, dan keturunannya yang menjadi sumbernya ilmu dan hikmah. Dengan bershalawat dan salam semoga kita termasuk golongan yang memperoleh syafaat Rasulullah SAW. Amin. Kemudian dengan selesainya skripsi ini,
perkenankanlah penulis
menyampaikan rasa terima kasih kepada mereka yang berjasa, khusunya kepada: 1.
Bapak Dr. Imam Sutomo, M. Ag. selaku Ketua STAIN Salatiga.
2.
Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Kajur Tarbiyah dan Penasehat Akademik, Progdi PAI juga Ibu bagi para mahasiswa Dra. Siti Asdiqoh, M.Si., serta para bapak ibu Dosen yang dengan rendah hati telah menularkan ilmu-ilmunya.
3.
Bapak Muhammad Ghufran, M.Ag. selaku Dosen Pembimbing yang telah bersabar dan banyak memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
4.
Murabbil Ma’had Pondok Pesantren ‘Kramat’ yang membimbingku lahiriah dan ruhaniah dengan keluasan samudra hati beliau.
viii
5.
Kedua orang tuaku tercinta, yang telah merawatku menasehatiku dengan penuh kasih sayang yang tiada tanding.
6.
Kakak-kakak serta Adik-adik kandungku tersayang, yang telah memberikan dukungan moril maupun materiil tanpa mengharap balasan.
7.
Teman-teman seperjuangan di Pondok Pesantren Kramat, serta jamaah burdahan yang telah memberikan bantuan selama penyusunan skripsi ini.
Tiada kata yang paling pantas penulis ucapkan untuk mereka, kecuali untaian doa, “Semoga budi kebaikan dan keikhlasan mereka mendapatkan balasan yang tak terhingga atas rahmat dari Allah SWT.” Akhirnya hanya kepada Allah SWT. penulis berserah diri dan semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan pada pembaca umumnya. Amin ya Rabbal ‘Alamin.
Salatiga, 13 Agustus 2011 Penulis
Misbakhul Munir NIM. 11105052
ix
ABSTRAK Munir, Misbakhul. 2011. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Shalawat Burdah (Studi Kasus pada Jama’ah Burdahan di Pondok Pesantren Kramat Desa Kesongo Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang Tahun 2010-2011). Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: M. Ghufron M. Ag. Kata kunci: nilai, pendidikan akhlak, shalawat burdah, burdahan. Penelitian ini merupakan upaya untuk menggali nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Shalawat Burdah serta dalam tradisi ritual burdahan di Pondok Pesantren Kramat (Majelis Shalawat Burdah). Pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana tradisi ritual burdahan di Pondok Pesantren Kramat? (2) apa nilai-nilai pendidikan akhlak dalam tradisi ritual burdahan di pondok Pesantren Kramat? dan (3) bagaimana implikasi nilainilai akhlak dalam Shalawat Burdah dalam kehidupan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan sekaligus jenis penelitian kualitatif dengan mengembangkan model penelitian etnografi. Shalawat Burdah adalah syair ungkapan cinta al-Bushiri kepada Rasulullah SAW. Burdah merupakan salah satu kitab Maulid yang sering dibaca dalam peringatan maulid Nabi SAW. Dalam ritual pembacaannya diiringi dengan shalawat, sehingga ritualnya difungsikan sebagai tarekat. Sebagaimana tradisi ritual burdahan di Pondok Pesantren Kramat yang merupakan bentuk praktik tarekat yang disebut tarekat akmaliyah. Nilai-nilai akhlak yang terkandung dalam Shalawat Burdah antara lain sekitar taubat, zuhud, khawf dan raja', sabar, ikhlas, tawakal, mahabbah yang ditandai syawq, nafsu, Nur Muhammad dan Hakikat Muhammad. Akhlak-akhlak tersebut merupakan akhlak tasawufan yang dikenal dengan istilah maqamat dan ahwal. Seorang salik yang menjalani tasawuf haruslah melalui maqamat dan ahwal tersebut dengan bimbingan seorang mursyid yang berpengalaman dalam ma’rifat Allah. Dalam wacana tasawuf juga dikenal dengan takhalli, tahalli, tajalli. Majelis Shalawat Burdah merupakan majelis pendidikan tasawuf atau penyucian jiwa. Pada pengamalannya jamaah harus mengutamakan akhlak dalam kehidupan. Implikasi akhlak-akhlak tersebut pada kehidupan tersimpan dalam pencarian jati diri seorang hamba atau murid atau salik. Mereka akan mengetahui dari mana asalnya, harus bagaimana, dan kemana akan kembali. Jika sudah ketemu maka mereka akan dikaruniai rahasia-rahasia ketuhanan. Hal ini disimbolkan dengan “Golekana wong tuamu, nak wis ketemu mulyakna; golekana awakmu, nak wis ketemu takna seka dunya; golekana tipak lakumu nak wis
x
ketemu noleha mburi, terus tangisana.” Carilah orang tuamu, kalau sudah ketemu muliakanlah mereka; carilah dirimu, bila sudah ketemu keluarkanlah dari dunia; carilah bekas tingkah lakumu, bila sudah ketemu tengoklah kebelakang kemudian tangisi dosa-dosa dan kelakuan burukmu. Kemudian, “Wong tuo seko nduwur ngedonke, guru seko ngisor ngunggahke,” orang tua di sini diibaratkan dengan ‘klapa loro’, yaitu guru dan kedua orang. Orang tua dari atas melahirkan ke dunia, guru dari dunia membimbing murid kembali ke jalan menuju pada Allah. Bilangan tarekat itu sebanyak nafas makhluk-makhluk Allah Azza wa Jalla. Maka bertarekatlah selagi masih hidup, sesuai dengan tarekat yang diyakini.
xi
DAFTAR GAMBAR Gambar 1: Sanad Shalawat Burdah Pondok Pesantren Kramat .....................
88
Gambar 2: Sanad Guru Hakikat/ Tarekat/ Tasawuf pada Umumnya ............
94
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN BERLOGO ............................................................................
i
HALAMAN JUDUL ..................................................................................
ii
NOTA PEMBIMBING ..............................................................................
iii
PENGESAHAN ........................................................................................
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ................................................
v
MOTTO .....................................................................................................
vi
PERSEMBAHAN .....................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ..............................................................................
viii
ABSTRAK ................................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
xii
DAFTAR ISI .............................................................................................
xiii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Penegasan Istilah ....................................................................
11
C. Rumusan Masalah ................................................................... 13 D. Tujuan Penelitian ....................................................................
13
E. Manfaat Penelitian ..................................................................
14
F. Tinjauan Pustaka ....................................................................
14
G. Metode Penelitian ...................................................................
15
1.
Sumber Data ....................................................................... 16
2.
Teknik Pengumpulan Data ................................................. 18
xiii
3.
Analisi Data ........................................................................ 20
4.
Keabsahan Data ................................................................. 22
H. Sistematika Penulisan ............................................................. BAB II
23
SISTEMATIKA PENULISAN SYAIR BURDAH A. Biografi Imam Al-Bushiri ....................................................... 25 1.
Kondisi Sosial Politik ....................................................... 26
2.
Kesustraan Arab ............................................................... 28
3.
Kehidupan Ekonomi ......................................................... 29
4.
Guru dan Tarekat Al-Bushiri ............................................ 31
5.
Pemikiran Fikih ................................................................ 32
6.
Karya Sastra Al-Bushiri ................................................... 33
B. Latar Belakang Penulisan Syair Burdah .................................. 35 C. Kandungan Syair Burdah .......................................................
38
1.
Liku-liku Cinta dan Kerinduan ............................................ 42
2.
Nasihat Akan Hawa Nafsu ................................................
45
3.
Puji-pujian Kepada Rasulullah SAW.................................
48
4.
Maulid Nabi Muhammad SAW.........................................
59
5.
Mukjizat .............................................................................
61
6.
Keistimewaan Al-Qur’an ...................................................
63
7.
Isra’ Mi’raj .........................................................................
65
8.
Perjuangan Nabi SAW. di Medan Perang .........................
67
9.
Penyesalan Al-Bushiri ........................................................ 70
10. Penutup ............................................................................... 75
xiv
BAB III TRADISI RITUAL BURDAHAN DI PONDOK PESANTREN KRAMAT A. Proses Pelaksanaan Ritual Burdahan di Pondok Pesantren Kramat ........................................................................................ 77 B. Tradisi Ritual Burdahan di Pondok Pesantren Kramat .............. 92 1. Inti Ajaran dalam Majelis Shalawat Burdah ........................ 92 2. Hubungan Murid dengan Guru ............................................ 106 BAB IV NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM TRADISI RITUAL BURDAHAN DI PONDOK PESANTREN KRAMAT A. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Tradisi Ritual Buradahan di Pondok Pesantren Kramat ..................................................... 112 B. Implikasi Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Shalawat Burdah dalam Kehidupan .......................................................... 116 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................. 127 B. Saran ........................................................................................... 128
DAFATAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xv
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Bulan Rabi’ul Awal adalah bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Di Indonesia, banyak masyarakat muslim memperingatinya dengan membaca kitab-kitab maulid yang berisi kisah-kisah keagungan, puji-pujian, dan shalawat atas Rasulullah SAW. Hal ini dilaksanakan pada tanggal 1-12 Rabi’ul Awal setiap tahunnya. Tradisi maulid diadakan sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat Allah SWT. yang telah mengutus beliau Rasulullah SAW. manusia paling sempurna. Di samping itu, peringatan maulid Nabi juga sebagai ungkapan rasa rindu dan cinta kasih, pengakuan, juga pengharapan syafaat kepada Nabi SAW. di dunia maupun akhirat. Di antara tanda-tanda cinta adalah banyak menuturkan tentang sesuatu yang dicintai. Mujab Mahali (1996:8), mengutip syair arab bunyinya sebagai berikut:
“Barang siapa mencintai sesuatu maka dia akan banyak menuturkannya, dan barang siapa mencintai sesuatu maka dia akan menjadi hambanya.” Ada banyak sekali kitab-kitab maulid, ada yang berbentuk puisi, prosa, dan syair. Di antara yang masyhur di Indonesia adalah Qasidah alBurdah karya Imam Muhammad al-Bushiri, Qasidah Diba’iyyah karya Syekh Abd ar-Rahman ibn ad-Diba’i asy-Syaibani, Qasidah Syaraf al-Anam karya Syekh Ahmad ibn al-Qasim al-Hariri, Qasidah al-Barzanji karya Syekh Ja’far ibn Hasan al-Barzanji, Syi’iran Maulid karya Muhammad al1
2
‘Azab. Kelima syair ini biasanya dicetak dalam satu kitab, yaitu Majmu’ah al-Mawalid wa Ad’iyah. Di antara lima syair di atas Burdah-lah yang paling menarik perhatian. Kasidah Burdah merupakan pelopor yang
menghidupkan kembali
penyusunan syair-syair pepujian kepada Nabi Muhammad SAW. Ia adalah syair al-mada’ih an-Nabawiyyah paling awal pasca terjadinya kekosongan yang sangat panjang. Barulah syair-syair al-mada’ih lainnya muncul setelahnya. Burdah adalah syair mada’ih (puji-pujian) kepada Rasulullah SAW. yang ditulis oleh Imam Bushiri. Beliau mengungkapkan perasaan cinta dan rindu kepada Rasulullah SAW. lewat syair-syairnya yang berjudul “alKawakib al-Durriyah fi Madh Khayr al-Bariyyah” (Bintang Kemilau dalam Memuji Makhluk Terbaik) yang kemudian terkenal dengan Qasidah alBurdah. Syair ini termasuk kekayaan kesustraan Arab yang memiliki pola sejati dan sempurna dalam memuji Rasulullah SAW. Di dalamnya berisi mutiara pelajaran yang langka tentang sikap hormat di hadapan Makhluk Pilihan dan Kekasih Tuhan seluruh alam (Kabbani, 2007: 98). Keindahan susunan bahasanya yang teratur membuat syair yang menggunakan akhiran mimiyat ini mudah dihafal. Selain itu, Burdah juga dapat dibaca dengan berbagai lagu. Sehingga Burdah menjadi satu-satunya puisi kesustraan bahasa arab yang paling kuat bertahan. Banyak para sastrawan tertarik pada keindahan bahasanya terutama dalam mathla’ (awal bait kasidah Burdah). Pernah sebagian sastrawan ada
3
yang mencoba menirukan syair Burdah yang ternyata sulit ditirukan. Dalam ilmu sastra kepiawian seorang penyair diukur dengan keindahan awal dari syair (syakwa al-gharam) yang disusunnya (Adib, 2009: 33). Dr. Zaki Mubarok, kritikus sastra arab yang semula menganggap remeh Burdah, ternyata berbalik mengakui nilai-nilai estetika yang amat tinggi pada karya Imam Bushiri (Baharun, 1996: 19). Bahkan De Tascy, pengamat sastra arab dari Universitas Sorbonne Prancis, yang pertama kali menerjemahkan Burdah dalam bahasa Prancis, menyatakan sampai saat ini belum ada penyair kontemporer Arab yang dapat menirukan kasidah Burdah (Baharun, 1996: 19). Puisi cinta Rasul Imam Bushiri ini sudah banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa (India, Pakistan, Persia, Turki, Punjabi, Swahili, Urdu, Indonesia, Inggris, Prancis, Spanyol, Jeman, dan Italia). Di antaranya adalah Seorang sastrawan dari Belanda yaitu Uri (1861) orang yang pertama kali menerjemahkan Burdah dalam bahasa Latin dengan judul Carmen Mysticum Borda Dictum. Di Jerman, ada dua edisi terjemahan yaitu Funkelnde Wandelsterne Zum Lobe des Besten Der Geschopfe oleh Von Rosenweig (1824) dan Die Burda ein Lohgedicht of Muhammed terjemahan Rolfs dan Behrnaver (1860). Di Prancis, selain De Tascy ada juga Redhouse (1881) yang menerjemahkan Burdah dalam bahasa Prancis dengan judul The Burda. Di Italia, diterjemahkan oleh Gabrielli (1901) dengan judul alBurdatain (Adib, 2009: 3).
4
Banyak juga para ulama besar menulis ulasan-ulasan tentang syair Burdah. Di antaranya adalah ulama ahli hadis ternama, yaitu Imam Sakhawi dan Suyuthi bersama-sama dengan murid mereka Hafiz Abu Syamma ‘Abd ar-Rahman ibn Isma’il ad-Dimasyqi, bukunya masih berupa manuskrip yang tersimpan rapi di sebuah perpustakaan daerah di Paris Prancis. Ibn al-Halbi dengan buku Wasyy al-Burda, Ibn Marzuq at-Tilimsani menulis dua buku syarah al-Burdah yaitu al-Isti’ab dan Izhhar Shidq al-Mawaddah, Khalid ibn ‘Abd Allah al-Azhari menulis syarah Burdah dan baru selesai dua tahun sebelum beliau meniggal, Ibrahim al- Bajuri, dan Ibn ‘Asyur al-Qahiri (Adib, 2009: 26). Syekh Muhammad Hisyam Kabbani (2007: 99), mengutip pendapat Ibnu Taimiyah tentang Burdah dalam karya berjudul al-Sharim alMaslul ‘ala Syatim al-Rasul (Pedang terhunus bagi orang-orang yang tidak menghormati Rasulullah SAW.) berkata: “Dasar agama Islam dibangun di atas pujian, pemuliaan, dan penghormatan pemimpin semua nabi. Pujian, pemuliaan, dan penghormatan semacam itu merupakan pujian terhadap agama seutuhnya, dan kehilangannya merupakan akhir agama. Tanpa penghormatan semacam itu kepada Nabi SAW., semua agama akan binasah.” Sebagai syair cinta Rasul, sudah jelas bahwa yang dibicarakan adalah sosok Rasulullah SAW. yang tidak asing lagi bagi kita semua. Beliau adalah Nabi terakhir sekaligus Sulthan al-Anbiya’ wa al-Mursaliin. Kekaguman yang diungkapkan dalam kasidah Burdah, merupakan apresiasi terhadap sosok Muhammad SAW. yang begitu besar pengaruhnya bagi umat manusia. Beliau adalah sebaik-baiknya ciptaan, manusia yang paling baik akhlaknya, berbudi pekerti halus, santun dan disegani oleh para sahabatnya.
5
Kasidah Burdah juga merupakan cermin perjalanan hidup Imam Bushiri sebagai seorang sufi (ahli tasawuf). Beliau juga penganut tarekat Sadziliyah, yaitu tarekat yang didirikan oleh Syekh Abu Hasan asy-Syadzili. Allah SWT. menganugrahi perasaan cinta kasih dan rindu kepada RasulNya ke dalam lubuk hati beliau, yang kemudian beliau ungkapkan lewat Shalawat Burdah. Dengan cintanya al-Bushiri kepada Rasulullah SAW., Allah SWT. menunjukkan cinta-Nya terhadap Rasulullah sebagai al-habib al-mushthafa (Kekasih Pilihan). Makna itulah yang hendak disampaikan oleh al-Bushiri dalam puisi-puisi cintanya. Selain itu, di dalam cinta dan diri tersebar pandangan dunia dan kerohanian seorang penyair yang sebenarnya. Cinta dipandang penting dan dijadikan tumpuan oleh banyak penyair muslim khususnya oleh penulispenulis sufistik, karena seperti yang dikatakan Rumi, “Cinta adalah lautan tanpa tepi, cinta adalah alat penangkap rahasia-rahasia ketuhanan” (Nurbakhsy, 1992: 225-226). Abdul Hadi mengutip pendapat Happold yang juga dikutip oleh Ahmad Muradi (tt: 8), mengatakan : "Tasawuf, menghasilkan himpunan penyair, yang penglihatan batinnya tentang Tuhan sebagai Keindahan dan Cinta Mutlak, dan kepadanya cinta kebumian membayangkan dan menyingkap Keindahan dan Cinta Ilahi… Uraian tentang pencarian dan persatuan dengan Tuhan oleh para sufi tidak hanya merupakan pencerahan kalbu dan intelektual, tetapi juga sering diberi ekpresi yang indah, …" Penulisan Burdah juga dilatarbelakangi atas sakit berkepanjangan (stroke) yang dialami beliau. Sampai suatu malam ia melihat Nabi SAW. dalam tidurnya. Nabi SAW. mengusapkan tangan ke wajah al-Bushiri dan
6
menyelimuti tubuhnya dengan baju hangat dari kulit binatang (burdah). Kemudian al-Bushiri terbangun dari mimpinya dan seketika itu juga sakitnya sembuh. Dari peristiwa ini menunjukkan bahwa syair Burdah memiliki keunikan, yang boleh dikatakan bersifat mistik (Muradi, tt: 9). Dari dimensi mistik ini banyak umat Islam menjadikan Burdah sebagai wasilah untuk memperoleh syafaat Rasulullah SAW. serta berkah dan rahmat Allah SWT. Salah satu contohnya adalah sahabat al-Bushiri dari kalangan pejabat Mesir, yaitu ash-Shahib Baha’ ad-Din ibn Ali Muhammad ibn Salim ibn Hana meminta salinan Burdah al-Bushiri. Dia mempunyai sekretaris pribadi bernama Sa’d ad-Din al-Fariqi yang menderita penyakit mata mendekati kebutaan. Setelah salinan Burdah diusapkan pada matanya, penyakitnya tersembuhkan. Sejak saat itu as-Shahib bersumpah untuk selalu berdiri, memiliki wudlu’, memakai jubah dan mengenakan tutup kepala di saat membaca syair Burdah. Semua itu dilakukannya sebagai bentuk penghormatan terhadap syair madah Nabi tersebut (Adib, 2009: 81-82). Di Indonesia sendiri, Burdah sudah sangat populer. Hal ini disebabkan Burdah merupakan salah satu kitab-kitab maulid yang sering dibaca pada peringatan maulid Nabi SAW. Sedangkan peringatan maulid Nabi SAW. di Indonesia sudah menajadi tradisi bagi masyarakat pada umumnya, khususnya di kalangan pesantren. Diketahui bahwa tradisi peringatan maulid Nabi SAW. sudah ada di Indonesia sejak abad ke-13 dan ke-16, pada awal perkembangan Islam di Nusantara (Muthohar, 2011: 50). Akan tetapi model peringatannya belum
7
dengan membaca kitab-kitab maulid. Kemudian sampai pada masuk dan berkembangnya organisasi tarekat (Naqsyabandiyah, Qadiriyah, asySyuhrawardiyah, asy-Syaththariyah) ke wilayah Nusantara, yaitu pada abad ke-16 hingga sebelum akhir abad ke-18 dan abad ke-19, barulah tradisi pembacaan kitab-kitab maulid dalam rangka peringatan maulid Nabi ini dikenal (Muthohar, 2011: 54). Hal ini ditandai dengan banyaknya pelajar Indonesia telah berguru pada keturunan al-Barzanji (pengarang kitab maulid al-Barzanji juga Manaqib Syeikh Abdul Qadir al-Jailani). Tentunya mereka akan mengajari tentang pembacaan maulid dan manaqib pada muridmuridnya, sehingga kini menjadi bacaan yang populer di Indonesia. Bersamaan dengan itu pula tarekat Qadiriyah mempunyai banyak pengikut, hal ini ditandai dengan populernya pembacaan Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang diperkirakan terjadi pada abad ke-18 (Muthohar, 2011: 59). Sejak saat itu, pelantunan kitab maulid menjadi tradisi di Indonesia dalam rangka peringatan maulid Nabi SAW. Meskipun demikian, dalam pembacaannya tidak sebatas di bulan Rabi’ul Awal saja, yang disepakati sebagai bulan kelahiran Nabi SAW. Tetapi oleh masyarakat pada umumnya dilaksanakan pada setiap malam Jumat, malam Senin, dalam hajatan pernikahan, memasuki rumah baru, aqiqah-an, atau ketika terjadi situasi krisis dan bencana (bala’), bahkan ada yang menjadikannya sebagai wirid tetap (dawam). Karena sejak awal perkembangan pembacaan kitab-kitab maulid dibawa oleh organisasi tarekat yang ada di Indonesia (khususnya Tarekat Qadiriyah). Termasuk di dalamnya adalah maulid Burdah al-
8
Bushiri, pertama kali masuk di Indonesia (Jawa Tengah) dibawa oleh Mbah Shaleh Darat Semarang (Pengajian malam Rabu tanggal 11 Mei 2010 di Pon-Pes Kramat). Beliau hidup pada paruh kedua abad ke-19 dan awal abad ke-20, sezaman dengan Syekh Nawawi al-Bantani Jawa Barat dan Mbah Khalil Bangkalan Madura Timur pulau Jawa, ketiganya adalah ulama besar di pulau Jawa (Wibowo, 2011). Maulid Burdah juga disebut shalawat, karena dalam pembacaanya wajib disahuti dengan bacaan shalawat. Islam mengkategorikan shalawat sebagai salah satu ibadah sunnah yang diutamakan. Ada janji pahala yang sangat tinggi bagi orang-orang yang melakukannya. Firman Allah SWT.,
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. [QS. AlAhzab: 56] (al-Qur’an Digital) Dalam hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
“Barangsiapa yang bersholawat atasku sekali, maka Allah akan bersholawat untuknya sepuluh kali.” [HR. Muslim nomor 70; Ahmad nomor 10292] (Ibnu Katsir, 2000: 892).
“Barangsiapa bershalawat kepadaku Allah akan bershalawat padanya sepuluh kali dan menghapuskan sepuluh kesalahan dari dia, dan meninggikan derajatnya sepuluh derajat.” [HR. an-Nasai nomor 1926] (‘Iyad, 2001: 62).
9
“Barangsiapa bershalawat kepadaku dalam kitab, maka para malaikat tidak akan berhenti memohonkan ampunan kepadanya sampai namaku hilang dalam kitab tersebut.” [HR. Ibnu Majjah nomor 907; Ahmad nomor 445] (‘Iyadl, 2001: 63). Shalawat juga dapat dijadikan wasilah mendekatkan diri kepada Allah. Seperti yang dikatakan oleh Sayyid Syeikh Yusuf an-Nabhani yang dikutip oleh Sokhi Huda (2008: 119), yaitu jalan tercepat menuju whusul kepada Allah adalah memperbanyak istighfar dan membaca shalawat kepada Nabi SAW. Kaitannya dengan wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah, dalam dunia tasawuf dikenal dengan tarekat. Pondok Pesantren Kramat Desa Kesongo, Kec. Tuntang, Kab. Semarang, adalah salah satu pesantren salaf yang menjadikan shalawat Burdah sebagai dawam (mujahadah tarekat). Seperti daya tarik magnet, ketika Burdah dilantunkan ratusan jamaah berdatangan dari berbagai kota dengan penuh khidmat. Para jamaah sami’in bershalawat dengan penuh perasaan cinta terhadap Kekasih Allah, Nabi Agung Muhammad SAW. Sehingga rindu bertemu dengan cintanya (Rasulullah SAW.) kian mendalam. Kata pepatah, “Cinta bukanlah cinta jika orang itu tidak terlibat langsung ke dalamnya.” Ketika syair Burdah dilantunkan, para jamaah larut dalam puisi madah Imam Bushiri ini. Seperti menghadirkan Insan yang tersanjung itu, dengan penuh sikap hormat, cinta, rindu, dan pengharapan menyambut kedatangan kekasih yang ditunggu. Seorang yang tinggi derajatnya, mulia akhlaknya,
10
lembut tutur katanya, penerang hati yang gelap, Makhluk Pilihan dan Kekasih Tuhan seluruh alam. Pondok Pesantren Kramat juga menjadikan Shalawat Burdah sebagai wasilah ber-taqarrub ilallah. Dalam Pembacaannya, Burdah berfungsi sebagai tarekat (seorang murid di bimbing oleh seorang guru mursyid). Jadi pembacaan Burdah tidak hanya sebatas ritual saja, karena Burdah menyimpan banyak nilai-nilai moral dan sufistik yang harus diamalkan oleh seorang murid (jamaah). Sehingga Majelis Shalawat Burdah juga merupakan sarana pendidikan moral dan spiritual jamaah Berdasarkan
yang penulis
lihat,
tidak sedikit
jamaah
yang
menunjukkan perubahan perilaku dalam kehidupannya setelah menjadi jamaah Majelis Shalawat Burdah. Misalkan dalam keberagamaannya, interaksinya dalam lingkungan keluarga maupun pekerjaan, menjadi lebih baik. Minimal jamaah yang baru mengikuti akan merasakan ketenangan hati, meskipun di luar sana banyak terjadi kekacauan. Atas dasar latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengkaji dan meneliti Shalawat Burdah serta dalam pelaksanaan ritual pembacaanya di Pondok Pesantren Kramat Desa Kesongo Kec. Tuntang, Kab. Semaramg, yang diyakini memiliki nilai-nilai moral dan spiritual yang tinggi. Untuk itu penelitian ini diberi judul: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SHALAWAT BURDAH (Studi Kasus pada Jamaah Burdahan di Pondok Pesantren Kramat Desa Kesongo, Kecamatan Tunatang, Kabupaten Semarang Tahun 2010-2011).
11
B.
Penegasan Istilah Sebelum mengadakan pembahasan terhadap judul : “NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SHALAWAT BURDAH (Studi Kasus Pada Jamaah Burdahan di Pondok Pesantren Kramat Desa Kesongo, Kecamatan Tunatang, Kabupaten Semarang Tahun 2010-2011),” terlebih dahulu penulis membahas tentang pengertian judul dari kata per kata agar tidak terjadi kesalah pahaman bagi pembaca dalam memahami judul tersebut. 1.
Nilai-nilai Nilai-nilai berasal dari kata ‘nilai’ yang berarti sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan (Poerwadarminta, 2007: 801).
2.
Pendidikan Akhlak Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang (Mansur, 2004: 57). Akhlak adalah hal keadaan atau kondisi, dimana jiwa mempunyai potensi yang bisa memunculkan dari padanya manahan atau memberi. Jadi akhlak itu adalah ibarat dari “Keadaan jiwa dan bentuknya yang batiniah” (alGhazali, jilid 2, 2000: 599). Jadi pengertian di atas dapat difahami bahwa pendidikan adalah proses bimbingan oleh pendidik (guru, orang tua, masyarakat, lingkungan) kepada peserta didik baik jasmani maupun rohani yang dilakukan
12
secara sadar dan sengaja agar terbentuk kepribadian atau perilaku yang utama sebagai manusia seutuhnya (insan kamil). 3.
Shalawat Shalawat adalah bentuk jamak dari kata shalat yang berarti doa, menyebut yang baik, ucapan yang mengandung kebajikan, dan curahan rahmat (Maksum, 2009: 2). Membaca shalawat untuk Nabi, memiliki maksud mendoakan atau memohonkan berkah rahmat kepada Allah SWT untuk Nabi SAW. dengan ucapan, pernyataan serta pengharapan, semoga sejahtera selalu.
4.
Burdah adalah syair puji-pujian (madaih) terhadap Rasulullah SAW. yang ditulis oleh Imam Bushiri (Poerwadarminta, 2007: 195), sebagai ungkapan rasa rindu dan cinta yang dalam terhadap Nabi Muhammad SAW. dengan segala implikasinya.
5.
Jamaah burdahan adalah sekumpulan orang-orang yang membaca Shalawat Burdah secara terus menerus pada setiap malam Jumat (sebagai dawam), kegiatan ini merupakan bentuk tarekat yang dipimpin oleh seorang Imam (guru mursyid). Dimana seorang guru membimbing jamaah (murid) dalam menjalani hidup ini dengan berperilaku atau berakhlak mulia. Agar memperoleh, syafaat Rasulullah SAW. serta ridla Allah SWT. Dari uraian di atas, yang penulis maksudkan dengan judul: “Nilai-nilai
Pendidikan Akhlak dalam Shalawat Burdah (Studi Kasus pada Jamaah Burdahan di Pondok Pesantren Kramat Desa Kesongo Kecamatan Tuntang
13
Kabupaten Semarang Tahun 2010-2011)” adalah adanya dimensi akhlak dalam Shalawat Burdah dan ritual burdahan yang dilakukan secara rutin dan berjamaah pada setiap minggunya di Pondok Pesantren Kramat. Dalam pengamalannya mengutamakan perilaku akhlakul karimah dalam kehidupan yang dibimbing oleh seorang guru mursyid. Dengan kata lain burdahan adalah sebagai tarekat (jalan) untuk mendapatkan syafaat Rasulullah SAW. dan menuju wushul pada Allah SWT. C.
Rumusan masalah Berangkat dari latar belakang masalah dan penegasan istilah judul di atas, maka penulis dapat mengemukakan permasalahan sebagai berikut : 1.
Bagaimana pelaksanaan burdahan di Pondok Pesantren Kramat Desa Kesongo, Kecamatan Tunatang, Kabupaten Semarang?
2.
Apa nilai-nilai pendidikan akhlak dalam tradisi ritual burdahan di Pondok Pesantren Kramat Desa Kesongo, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang?
3.
Bagaimana implikasi nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Shalawat Burdah dalam kehidupan?
D.
Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui pelaksanaan ritual burdahan di Pondok Pesantren Kramat Desa Kesongo, Kecamatan Tunatang, Kabupaten Semarang.
14
2.
Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan akhlak dalam tradisi ritual budahan di Pondok Pesantren Kramat Desa Kesongo, Kecamatan Tunatang, Kabupaten Semarang.
3.
Untuk mengetahui implikasi nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Shalawat Burdah dalam kehidupan.
E.
Manfaat Penelitian 1.
Bagi penulis pribadi dapat menambah kecintaan terhadap Allah SWT. dan Nabi Muhammad SAW., itba’ ajaran beliau yaitu keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. serta dapat berperilaku seperti akhlak Rasulullah SAW.
2.
Bagi STAIN Salatiga dapat dijadikan salah satu hasanah ilmu pendidikan dalam mencapai visinya, yaitu spiritualitas dan moralitas mahasiswa.
3.
Secara umum dapat menambah pengetahuan tentang karya-karya besar Islam dan menghidupkan tradisi-tradisi para salafu ash-shaleh.
F.
Tinjauan Pustaka Untuk menghindari duplikasi penelitian, penulis akan memaparkan beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian penulis. Ahmad Muradi dalam artikelnya yang berjudul “Syair Burdah alBushiri dalam Perspektif Sufistik” yang merupakan intisari tesisnya yang berjudul “Dimensi Sufistik dalam Syair Burdah al-Bushiri” IAIN Antasari Banjarmasin tahun 2003, menjelaskan tentang dimensi sufistik yang
15
terkandung dalam syair Burdah. Menurutnya, kandungan dalam syair Burdah ini selain memuat ajaran tasawuf sunni juga tasawuf falsafi yang ditunjukkan oleh bait yang menerangkan Nur Muhammad dan Hakikat Muhammad. Penelitian yang dilakukannya terfokus pada teks syair Burdah saja. Dalam buku yang berjudul “Burdah: Antara Kasidah, Mistis, dan Sejarah” oleh Muhammad Adib, penerbit Pustaka Pesantren (kelompok penerbit LKiS) tahun 2009 menjelaskan bahwa syair Burdah merupakan sebuah karya sastra bukan kitab sejarah, meskipun di dalamnya terdapat sedikit ulasan tentang sejarah Nabi SAW. Menurutnya, Burdah juga mengandung mistis sebagaimana peristiwa kesembuhan penyakit yang diderita pengarangnya. Penelitian yang dilakukannya juga terfokus pada syair Burdah saja. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan yaitu tentang Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Shalawat Burdah (Syair Burdah) beserta tradisi ritual pembacaan syair Burdah (burdahan) di Pondok Pesantren Kramat. G.
Metode Penelitian Metode penelitian adalah suatu cara yang ditempuh dalam mencari, menggali, mengolah dan membahas data dalam suatu penelitian. Berdasarkan objek penelitian, yaitu Shalawat Burdah yang berbentuk syair dan Tradisi Ritual Burdahan (Majelis Shalawat Burdah), maka penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan sekaligus jenis penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian untuk menghasilkan data deskriptif.
16
Dalam penelitian ini mengembangkan model penelitian etnografi. Etnografi adalah uraian dan penafsiran suatu budaya atau sistem kelompok sosial. Peneliti menguji kelompok tersebut dan mempelajari pola perilaku, kebiasaan, dan cara hidup. Etnografi adalah sebuah proses dan hasil dari sebuah penelitian. Sebagai proses, etnografi melibatkan pengamatan yang cukup panjang terhadap suatu kelompok, dimana dalam pengamatan tersebut peneliti terlibat dalam keseharian hidup responden atau melalui wawancara dengan anggota kelompok tersebut. Peneliti mempelajari arti atau makna dari setiap perilaku, bahasa, dan interaksi dalam kelompok (Afriyani, 2009: 3). Sebagai objek penelitiannya adalah perilaku-perilaku jamaah burdahan. Sedangkan metode-metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: 1.
Sumber Data Penelitian ini menggunakan 2 (dua) jenis sumber data yaitu: a.
Data Primer Data-data pokok untuk penelitian lapangan diambil langsung dari sumber utama yaitu tradisi ritual burdahan di Pondok Pesantren Kramat Desa Kesongo Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang (Majelis Shalawat Burdah) tentang nilainilai pendidikan akhlak dalam Shalawat Burdah. Untuk keperluan data pokok penelitian kepustakaan, teks Qasidah Burdah yang dikaji adalah teks dalam Majmu’ al-
17
Mawalid wa al-Ad’iyah, kumpulan kitab-kitab maulid Nabi SAW., yaitu Maulid ad-Diba’i, al-Barzanji Natsar dan Nadhaman, Syaraf al-Anam, Burdah, dan Maulid al-‘Azab. b.
Data Sekunder Yaitu data-data penunjang yang berasal dari bahan-bahan pustaka antara lain buku-buku literatur. Di antaranya adalah “Mengenal Qasidah Burdah” karya A. Mudjab Mahali, berisi terjemahan serta keterangan-keterangan pada tiap bait Burdah, “Burdah; Madah Rasul dan Pesan Moral” terjemahan alBurdah yang dipuisisasikan oleh M. Baharun, “Burdah; Antara Kasidah, Mistis, dan Sejarah” karya Muhammad Adib, menjelaskan bahwa Burdah adalah sebuah karya sastra yang memuat sejarah dan mempunyai mistis tersendiri, “Energi Zikir dan shalawat” terjemahan dari ”Volume 2 Encyclopedia of Islamic Doctrine: Remembrance of Allah and Praising the Prophet” karya Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, yang berisi tentang tanggapan atas bantahan kaum salafi terhadap syair Burdah, Ibrahim al-Bajuri, ”Hasyiah al-Bajuri ‘Ala Matan alBurdah,” mengenai penjelasan perkata dalam bait-bait Burdah, serta buku-buku lain yang mendukung dalam penelitian ini.
18
2.
Teknik Pengumpulan Data a.
Metode Deduksi Prinsip deduksi adalah apa saja yang dipandang benar pada semua peristiwa-peristiwa dalam suatu kelas atau jenis, berlaku juga sebagai hal yang benar pada semua peristiwa yang termasuk dalam kelas jenis itu (Hadi, 1990: 36). Dalam hal ini terkait dengan kandungan syair Burdah yang kemudian diselaraskan dengan dalil-dalil dan pendapat para ilmuan.
b.
Metode Induksi Berfikir induksi adalah berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang konkret kemudian dari faktafakta yang khusus itu ditarik generalisasi yang mempunyai sifat umum (Hadi, 1990: 42). Dalam hal ini bahan yang diperoleh adalah pendapat-pendapat khusus mengenai syair Burdah yang kemudian ditarik kesimpulan secara umum.
c.
Observasi Observasi yaitu mengadakan pengamatan secara langsung ataupun tidak langsung mengenai apa yang terjadi dan menyangkut objek penelitian kemudian mengadakan pencatatan dari fenomena-fenomena yang diselidiki (Kartono, 1990: 157). Sedangkan metode observasi yang digunakan adalah observasi partisipasi (participant observation), yaitu metode observasi dimana observer atau peneliti benar-benar ikut ambil dalam
19
perikehidupan responden (Hadi, jilid 2, 1995: 142). Dalam hal ini peneliti mengamati secara langsung dan mengikuti semua kegiatan yang ada dalam Majelis Shalawat Burdah di Pondok Pesantren Kramat. Metode ini dilakukan untuk mendiskripsikan pelaksanaan ritual burdahan di Pondok Pesantren Kramat serta tatacaranya. d.
Wawancara Wawancaara
atau
interview
adalah
suatu
bentuk
komunokasi verbal, sebuah dialog yang dilakukan interviewer kepada terwawancara untuk memperoleh informasi (Hadi, jilid 2, 1995: 136). Dengan teknik ini peneliti mewawancarai beberapa jamaah burdahan sebagai informan untuk memberikan informasi tentang Shalawat Burdah. Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara informal, yaitu pertanyaan yang diajukan bergantung pada spontanitas pewawancara itu sendiri (Moleong, 2009: 187). Peneliti mengambil informasi dari infoman kunci (key informant), yang dianggap benar-benar mengetahui secara detail tentang Majelis Shalawat Burdah. Informasi yang penulis dapatkan ialah tentang ajaran-ajaran dalam Majelis Shalawat Burdah serta pengamalan ajaranajarannya dalam kehidupan. Penulis juga melakukan wawancara dengan imam Majelis Shalawat Burdah sebagai sumber pengetahuan yang berkaitan tentang Shalawat Burdah.
20
e.
Dokumenter Adalah sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi (Arikunto, 1991: 131). Datadata dokumenter bisa berbentuk data-data historis, referensi, buletin, majalah, artikel, e-mail, website, maupun dokumen bentuk lainnya. Teknik ini penulis gunakan untuk memperoleh data terkait dengan Shalawat Burdah. Data dokumenter yang dipakai berbentuk buletin yang dikeluarkan Majelis Shalawat Burdah, refrensi, serta artikel-artikel yang mengenai Shalawat Burdah.
3.
Analisis Data Setelah
data
terkumpul,
langkah
selanjutnya
adalah
mengadakan analisa data terhadap data dan informasi yang di peroleh melalui pengurutan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja (Moleong, 2002: 103). Metode yang digunakan penulis adalah analisis deskriptif. Secara garis besar, proses pengolahan dan analisis data meliputi tiga tahap, yakni (1) deskripsi, (2) formulasi, (3) interpretasi. Deskripsi diawali dengan menguraikan tradisi ritual burdahan di pondok pesantren Kramat dan informasi jamaah sebagai pelaku tradisi Burdahan. Kemudian data dan informasi yang diperoleh diproses dalam kategorisasi untuk memilah data sesuai dengan substansi temuan. Pada saat yang sama juga dilakukan pembuangan
21
data yang tidak perlu, karena dalam penelitian kualitatif yang fleksibel dan terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan baru di lapangan, dengan metode wawancara dan observasi, dapat menghasilkan data yang sangat banyak namun tidak semuanya diperlukan. Proses selanjutnya berupa formulasi, yakni dengan membuat uraian mengenai kasus dan konteksnya, kemudian menetapkan pola dan mencari hubungan
antara
kategori
untuk
selanjutnya
data
tersebut
diinterpretasikan secara rasional dan sistematis. Peneliti juga memasukkan analisis Hermeneutik (Muhadjir, 1998:166), sebagai analisa dari karya sastra yang mana aspek bahasa memerlukan pemahaman secara konfrehensif. Jenis dari analisis ini yang penulis gunakan adalah objektif-subjektif. Ricoeur menawarkan empat kategori metodologis, yakni objektivasi melalui struktur, distansiasi melalui tulisan, distansiasi melalui dunia teks, dan apropriasi (pemahaman diri). Jika teks (objek) dipahami melalui analisis relasi antar unsurnya (struktural), bidang-bidang lain yang belum tersentuh bisa dipahami melalui bidang-bidang ilmu dan metode lain yang relevan dan memungkinkan (Saidi, 2008: 378). Pertama-tama syair Burdah ditempatkan sebagai objek penelitian lalu
menganalisis struktur
isi dari syair
Burdah.
Selanjutnya, penulis memasukkan unsur refrensial tentang biografi alBushiri sebagai pengarang Burdah dalam menemukan makna
22
konteksnya. Dengan analisis tersebut berupaya menggali maknamakna yang terkandung dalam syair Burdah secara keseluruhan. 4.
Keabsahan Data Dalam upaya mencapai validitas dan kredibilitas data (Afriyani, 2009: 7), penulis menggunakan empat teknik, yaitu: a.
Memperkaya referensi. Peneliti memperkaya informasi tentang shalawat Burdah dari sejumlah referensi berupa buku-buku literatur, hasil-hasil penelitian, serta data-data dokumenter.
b.
Diskusi dengan teman sejawat, teknik ini penulis gunakan untuk mempertimbangkan dan mempertajam data penelitian dengan para ahli dibidangnya, teknik ini cukup membantu dalam pemeriksaan keabsahan data.
c.
Memperpanjang masa observasi. Teknik ini memungkinkan peningkatan validitas dan kredibilitas data yang dikumpulkan. Penulis melakukan pengamatan secara terus menerus untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan yang sedang diteliti, serta memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.
d.
Metode triangulasi data, yaitu pemeriksaan keabsahan data yang diperoleh dengan memanfaatkan data yang lain sebagai pembanding. Tehnik ini penulis terapkan untuk memperoleh keterangan tentang sikap perilaku keseharian dan akhlak jamaah shalawat Burdah. Keterangan para informan sangat membantu
23
untuk memahami dan mengamati nilai-nilai pendidikan akhlak dalam shalawat Burdah. Dalam hal ini, data primer yang diperoleh ditunjang
oleh data sekunder
yang
kira-kira
mendukung. H.
Sistematika Penulisan BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah
B.
Penegasan Istilah
C.
Rumusan Masalah
D.
Tujuan Penelitian
E.
Manfaat Penelitian
F.
Tinjauan Pustaka
G.
Metode Penelitian
H.
Sistematika Penulisan
SISTEMATIKA PENULISAN SYAIR BURDAH A.
Biografi Imam Al-Bushiri
B.
Latar Belakang Penulisan Syair Burdah
C.
Kandungan Syair Burdah
TRADISI RITUAL BURDAHAN DI PONDOK PESANTREN KRAMAT A.
Proses Pelaksanaan Ritual Burdahan di Pondok Pesantren Kramat
B.
Tradisi Ritual Burdahan di Pondok Pesantren Kramat
24
BAB IV
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM TRADISI RITUAL BURDAHAN DI PONDOK PESANTREN KRAMAT A.
Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Tradisi Ritual Buradahan di Pondok Pesantren Kramat
B.
Implikasi Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Shalawat Burdah dalam Kehidupan
BAB V
PENUTUP A.
Kesimpulan
B.
Saran
DAFATAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB II SISTEMATIKA PENULISAN SYAIR BURDAH A.
Biografi Imam al-Bushiri Nama asli al-Bushiri adalah Abu ‘Abdillah Syaraf ad-Din Muhammad bin Sa’id bin Hammad bin Muhsin bin ‘Abdillah bin al-Shanhaj bin Mallal al-Bushiri (Adib, 2009: 11-12). Beliau dilahirkan di desa Dallas dekat kota Bani Suwaif di Mesir, pada tahun 608 H./ 1212 M. (Muradi, tt: 4). Dalam The First Ensyclopaedia of Islam (Brill’s 1987: 804), mencatat bahwa alBushiri lahir pada tanggal 1 Syawal 608 H./ 7 Maret 1213 M. Nama al-Bushiri dinisbahkan kepada tanah airnya bernama Bushir. Sementara ayahnya berasal dari Dallash. Karenanya beliau disebut juga orang al-Dallashi dan oleh As-Suyuti dipanggil dengan al-Dilasi (Brill’s, 1987: 804). Menurut As-Sayyid Mahmud, kedua orang tuanya pernah tinggal di Maghrib. Bersama dengan orang tuanya al-Bushiri tinggal di Dallash, beliau hidup di Bilbeis, sebuah kota di kawasan propinsi asy-Syarqiyyah Mesir (Adib, 2009: 12). Di bawah bimbingan orang tuanya al-Bushiri tumbuh menjadi seorang yang gemar terhadap ilmu pengetahuan, menghafal alQuran, dan datang berkunjung kepada para ulama pada masanya untuk belajar. Sejak kecil ia belajar bahasa dan sastra arab, sehingga pada masa mudanya sudah dapat bersyair. Kemudian beliau hidup merantau di Kairo karena kota ini terkenal sebagai pusat kemajuan ilmu pengetahuan Islam.
25
26
Beliau mendalami lagi ilmu satra dan sejarah. Selain itu, di bidang seni dan keterampilan, beliau suka mempelajari kaligrafi (Brill’s, 1982: 804). 1.
Kondisi Sosial Politik Muhammad ibn Sa’id al-Bushiri hidup pada masa terjadinya pergolakan politik, baik di Baghdad maupun Mesir. Di Baghdad, kekuasaan Dinasti ‘Abbassiyah mulai melemah. Kekuatan militernya tidak mampu meredam api pemberontakan yang bergejolak di manamana. Hingga pada 1256, khalifah al-Musta’shim tewas pada peperangan melawan pasukan Mongol yang dipimpin Hulegu Khan. Bersama dengan runtuhnya dinasti ‘Abbassiyah yang telah berkuasa selama lima abad lebih, hancur pula peradaban dan khazanah Keilmuan Islam. Pasukan Hulegu Khan melakukan penghancuran terhadap aset-aset pendidikan dan perpustakaan di Baghdad (Adib, 2009: 8). Sama halnya di Mesir, pergolakan politik yang semakin memanas dengan kudeta-kudeta dalam pemerintahan. Ensiklopedi Islam Indonesia (1992: 143), mencatat bahwa peralihan kekuasaan dari Dinasti Bani Ayyub ke Dinasti Mameluk, pada tahun 1250, berlangsung melalui proses perebutan kekuasaan dan kudeta. Itulah sebabnya, masa kekuasaan masing-masing sultan rata-rata cukup singkat. Hanya beberapa saja di antaranya yang berkuasa cukup lama. Ditambah lagi, perang melawan tentara Salib terus berkecamuk sejak 1096. Akibatnya, para elit politik lebih berkonsentrasi untuk merebut
27
ataupun mempertahankan kekuasaan. Rakyat relatif tidak terurus dan terjerat oleh kesulitan ekonomi. Kondisi semakin parah menyusul diberlakukannya aturan wajib militer. Meskipun demikian, banyak prestasi yang berhasil dicapai oleh dinasti ini. Ferdinan Tutle (Adib, 2009: 9), menuliskan salah satu prestasi yang dicapai Dinasti Mameluk, yaitu Sultan Qalawun (w. 1290), mengakhiri ekspansi tentara salib dan mengusirnya dari kawasan Arab pada 1289. Dia juga berhasil meneruskan kesuksesan pendahulunya, yaitu Sultan Baibars I (w. 1277), dalam memulihkan kehidupan ekonomi Mesir. Salah satu langkah strategisnya adalah melakukan kerjasama ekonomi dengan India dan Byzantium (Nasution, 1992: 610). Akhirnya Mesir mengalami peningkatan di bidang pendidikan dan sosial budaya. Sehingga Mesir berkembang menjadi salah satu pusat kebudayaan Islam (Nasution, 1992: 810). Bidang seni budaya pun (termasuk seni arsitektur dan kaligrafi) memeroleh momentum yang luar biasa. Gedung-gedung sekolah, masjid, dan klinik kesehatan rata-rata sangat indah dan artistik. Bahkan arsitektur Masjidil Haram di Makah dan Masjid an-Nabawi di Madinah merupakan hasil mengagumkan dari kemajuan seni masa itu. Sayangnya, kemajuan yang dicapai tersebut hanya terjadi pada masa kekuasaan Sultan Baibars I dan Sultan Qalawun. Selebihnya, kondisi politik tidak stabil dan sarat dengan konflik internal. Para elit
28
politik lebih berkonsentrasi merebut dan mempertahankan kekuasaan daripada mengurus rakyat. Akibatnya merebaklah kemiskinan dan kesenjangan sosial. 2.
Kesustraan Arab Pada masa Dinasti Abbasiyyah berkuasa (750-1258), Sastra Arab benar-benar berkembang pesat. Para khalifah menjadikan sastra Arab (terutama syairnya) sebagai lambang kebesaran dan legitimasi informal kekuasaan. Mereka sering mengundang atau kedatangan para penyair untuk menyenandungkan syair-syair yang berisi sanjungan terhadap penguasa. Tentu saja, imbalan materi yang besar adalah kompensasinya (Adib, 2009: 10). Namun pada masa kekuasaan Dinasti Mameluk (1250-1517), produktivitas dan kreativitas sastra Arab mengalami kemunduran, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Hal ini disebabkan oleh sedikitnya ahli Sastra Arab yang mumpuni, juga tidak adanya minat dan dukungan para penguasa. Bisa dimaklumi, para penguasa Dinasti Mameluk
adalah
orang-orang
berkebangsaan
Turki,
sehingga
kemampuan dan daya apresiasi mereka terhadap karya Sastra Arab terhitung sangat minim. Kalaupun ada karya sastra yang muncul, kualitas redaksioal dan muatan isinya sudah jauh dari standar yang berlaku di era sebelumnya (Adib, 2009:11).
29
3.
Kehidupan Ekonomi Al-Bushiri dalam kehidupan ekonominya serba kekurangan. Beliau tidak memiliki pekerjaan yang tetap. Untuk mencukupi kebutuhan nafkah keluarga, beliau bekerja keras dan sering bergantiganti pekerjaan (Adib: 2009: 13). Beliau tidak memiliki keterampilan dan pengalaman kerja apapun, selain membuat lukisan kaligrafi dan menggubah syair. Dengan keahlian kaligrafinya, al-Bushiri sering menghias batu nisan dengan imbalan yang tidak seberapa (Adib, 2009: 14). Menurut Ibrahim Zaky Khursyid dalam Daairat al-Ma'arif al-Islamiyyah (Muradi, tt: 4), al-Bushiri datang ke kota Konstantinopel pada masa sultan Bayazid II dengan membawa kumpulan syair untuk dijual secara umum. Sejumlah besar dari syair-syairnya berisi sanjungan terhadap penguasa ataupun tokoh masyarakat. Dengan demikian beliau mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan syair Usmani. Al-Bushiri adalah seorang penyair Usmani pada abad ke-10 hijriyah (Muradi, tt: 4). Di samping sebagai penyair yang terkenal, ia juga dikenal sebagai seorang penulis kenamaan. Beliau pernah dekat dengan para raja. Karena kedekatannya itu beliau diangkat menjadi pegawai administrasi sebuah pasar di Kairo. Pernah juga menjabat sebagi notaris yang cukup lama dan sempat menikmati kehidupan yang layak. Akan tetapi, dengan minimnya keterampilan dan
30
pengalaman kerja membuatnya sering kewalahan. Akhirnya, setelah mendapat kritik dari para atasannya, dia memutuskan untuk mengundurkan diri dan kembali ke Bilbeis untuk menekuni profesinya semula, yaitu melukis kaligrafi dan menjual syair-syair (Adib, 2009: 14). Kehidupannya yang getir, ditambah dengan fisiknya yang kecil sering
mengundang
ejekan
orang-orang
sekitarnya,
sehingga
membentuknya menjadi seorang yang sensitif dan temperamental yang sering mengundang perselisihan. Akibatnya, beliau dikucilkan dari pergaulan. Sebuah kenyataan yang membuat hatinya semakin susah dan gundah. Oleh karena itu, untuk mengobati kesusahan hatinya itu, dia menekuni amalan tasawuf Tarekat Syadziliyyah hingga akhir hayatnya (Adib, 2009: 16). Ada beberapa perbedaan tentang tahun wafatnya Al-Bushiri. Ahmad Muradi (tt: 5) mencatat beberapa perbedaan tersebut, menurut Bathrus al-Bustani dan J. Spencer Trimingham mengatakan bahwa alBushiri wafat pada tahun 694 H./ 1296 M. Yunus Ali al-Muhdar dan H. Bey Arifin, mengemukakan, al-Bushiri wafat tahun 695 H./ 1297 M., demikian pula A. Hasjmy. Adapun Ahmad Athiyatullah, Annemarie Schimmel (1991: 245), dan al-Nabhani mengatakan bahwa al-Bushiri wafat pada tahun 696 H./ 1298 M. Berbeda dengan ketiga pendapat diatas Mahmud Ali Makky mengungkapkan tahun wafat al-
31
Bushiri adalah 698 H./ 1302 M. Menurut Makky, pendapat inilah yang lebih kuat. Sebagaimana dikemukakan di atas, ada lima pendapat tentang tahun wafat al-Bushiri, yaitu tahun 674 H./1278 M oleh As-Sayyid Mahmud, 694 H./ 1296M oleh Bahtrus al-Bustani dan J. Spencer Trimingham. Yunus Ali al-Muhdar, H. Bey Arifin dan A. Hasjmy tahun 695 H./ 1297 M. Adapun Ahmad Athiyatullah, Annemarie Schimmel, dan al-Nabhani mengatakan bahwa al-Bushiri wafat pada tahun 696 H./ 1298 M, 698 H./ 1302 M bagi Mahmud Ali Makki. Sejumlah pembahasan tentang riwayat hidup mengungkapkan, untuk usia al-Bushiri adalah 86, 87, 88, dan 90 tahun. al-Bushiri menghembuskan nafas terakhirnya dengan tenang di Iskandaria. Konon, jenazahnya dikebumikan di dekat bukit al-Mughaththam, berdekatan dengan makam Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (w. 820), tokoh sentral madzhab Syafi’i. 4.
Guru dan Tarekat Al-Bushiri Semasa kecil al-Bushiri hidup di lingkungan keluarga yang saleh. Dalam didikan dan bimbingan ayahnya ia mampu belajar dengan baik. Setelah itu ia belajar dengan para ulama pada masanya pada berbagai bidang. Seperti belajar bahasa Arab, syair, ilmu AlQuran dan ilmu agama lainnya.
32
a.
Guru al-Bushiri Dalam bidang tasawuf guru al-Bushiri adalah Abul Abbas Ahmad al-Mursi (Brill, 1987: 804). Abul Abbas ini adalah seorang sufi lagi seorang wali yang tinggal di kota Iskandariyah, beliau adalah murid Abu Hasan asy-Syadzily. Ia lahir di Kota Andalus tepatnya di desa Mursiyah pada tahun 616 H./ 1219 M, dan wafat di Iskandariyah pada tahun 685 H, dan pada riwayat yang lain menyebutkan. Ia wafat pada tahun 686 H. Nama lengkap Abul Abbas adalah Abul Abbas Ahmad bin Umar bin Muhammad al-Andalusi al-Mursi al-Anshari (Muradi, tt: 6)
b.
Tarekat al-Bushiri Yang dimaksudkan di sini adalah tarekat yang dianut oleh al-Bushiri. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa al-Bushiri adalah murid dari Abul Abbas al-Mursi di bidang tasawuf. Dari Abul Abbas inilah, al-Bushiri belajar tarekat, yakni tarekat Syadziliyah, tarekat yang didirikan oleh Abul Hasan al-Syadzily.
5.
Pemikiran Fikih Pada tahun 1265, sultan Baibars I melakukan perubahan sistem peradilan. Dia membentuk empat kelompok hakim dari empat madzhab fikih yang dianut oleh rakyat Mesir, yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Kebijakan tersebut ternyata mengundang kontroversi. Sejumlah besar ahli fikih menyampaikan keberatan dan protes. Alasannya,
33
kebijakan
tersebut
mengacaukan
berpotensi
stabilitas
memecah-belah
keberagamaan
persatuan
masyarakat.
dan
Sementara
kelompok yang lain, termasuk di antaranya al-Bushiri, mendukung penuh kebijakan itu. Menurut mereka, kebijakan itu justru sangat positif. Pluralitas madzhab yang memang sudah menjadi realitas keberagamaan rakyat
Mesir
bisa terakomodasi dengan baik.
Kebebasan pendapat akan lebih terjamin. Semua madzhab pada dasarnya memiliki relativitas kebenaran yang setara. Masing-masing memiliki potensi yang sama untuk benar dan salah. 6.
Karya Sastra al-Bushiri Dalam bidang karya sastra al-Bushiri banyak menulis syair. Secara garis besar tema-tema syairnya terbagi menjadi dua, yaitu tentang keagamaan (madah al-nabawiyah) dan umum (keluhan hati, ekspresi kebahagiaan, dan pujian atau kritikan). Syair-syair beliau diakui memiliki nilai sastra yang sangat tinggi, terutama pada syair madah al-nabawiyah. Menurut para pengamat Sastra Arab, al-Bushiri dianggap sebagai pelopor penulisan syair puji-pujian kepada Rasulullah SAW. pasca sahabat. Berikut ini adalah beberapa contoh karya-karya syairnya yang dicatat oleh Muhammad Adib (2009: 18-19), tentang puji-pujian pada Nabi SAW.:
34
a.
Al-kawakib ad-Durriyyah fi Madh khair al-Bariyyah, yang kemudian dikenal dengan nama Burdah yang tengah kita kaji dalam buku ini.
b.
Al-Qshidah al-Muhammadiyyah, syair berjumlah 15 bait yang menjadi salah satu tembang dalam album pertama grup Langitan pada sekitar 1997.
c.
Al-Hamziyyahfi al-Mada’ih an-Nabawiyyah, berjumlah sekitar 427 bait, sehingga di anggap sebagai salah satu karya terbesar al-Bushiri.
d.
Dzakhr al-Ma’ad fi wazn Banat Su’ad, syair berjumlah sekitar 204 bait yang dia gubah sebagai pembanding syair Banat Su’ad gubahan Ka’b ibn Zuhair yang sangat legendaris itu.
e.
Al-Qashidah al-Mudhariyyah fi ash-shalah ‘ala khair alBariyyah, berjumlah sekitar 39 bait.
f.
Hukm al-Hawa, syair berjumlah 30 bait yang memuat tentang bahaya menuruti hawa nafsu. Berikut ini adalah beberapa syair-syair yang berisi keluhan hati,
ekspresi kebahagiaan, dan pujian atau kritikan terhadap seseorang: a.
Katab al-Masyib, syair berjumlah sekitar 141 bait yang mengekspresikan rasa kagumnya terhadap dua guru Tarekat Syadziliyyah yang dianutnya, yaitu Abu al-Hasan asy-Syadzili (w. 656) dan Abu al-Abbas al-Mursi (w. 686).
35
b.
‘Asy ba’d Maut, syair berjumlah empat bait yang memuat kegelisahannya setelah disiarkan telah meninggal dunia oleh seseorang.
c.
Mustakhdimun wa syayathin, syair berjumlah empat bait yang digubahnya sebagai reaksi setelah keledai kesayangannya hilang dicuri orang.
d.
Fadhluk Awwal, syair berjumlah lebih dari 150 bait yang menuturkan rasa kagumnya terhadap Sultan al-‘Izz Aibak (w. 1227), penguasa Damaskus, atas beragam prestasinya dalam bidang pendidikan.
B.
Latar Belakang Penulisan Syair Burdah Seperti yang dikatakan di atas bahwa judul asli dari syair Burdah adalah “Al-Kawakib ad-Durriyyah fi al-Madala Khair al-Bariyyah” (Bintang-bintang gemerlap tentang pepujian terhadap sang manusia terbaik). Akan tetapi, sebutan “Burdah” lebih populer sebagai identitas syair tersebut. E.J. Brill’s (1987: 796) dalam The First Encyclopaedia of Islam 19131936 Volume II, menuliskan dua pengertian Burdah, yaitu : 1. “Apiece of woollen cloth used since pre-Muhammad times, which was worn as a colak bay day used a blanket by night. That of the Prophet has become famous. As a reward for Ka'b b. Zuhayr's poem, he made him a present of the Burda he was wearing. It was bought from the son of oh the poet by Mu'awiya and was preserved in the treasury of the 'Abbasid caliphs until the uccupation of Baghdad by the Mongols, Hulegu caused it to be burned but it was afterward claimed that the real Burda of the Prophet was saved and ia still preserved in Constantinople. 2. “The name of a celebrated poem by al-Busiri. According to the legend he composed it when he was cured of a paralytic stroke
36
which had seized him by the Prophet's throwing his mantle over his shoulders as he had done on a previous occasion for Ka'b b. Zuhayr. The fame oh this miraculous cure spread and the poem, which was entitled al-Kawakib al-Durriyya fi Madh Khayr alBariyya, came to bear the name Burdah…" Pada pengertian pertama, kata “Burdah” berarti “Jubah dari kulit atau bulu binatang.” Pada awalnya, “Burdah” hanyalah sebutan sebuah baju hangat atau jubah sederhana yang biasa dipakai oleh orang-orang Arab. Baru setelah Rasulullah SAW. menghadiahkan baju burdah yang biasa dipakai kepada Ka’b ibn Zuhair (w. 662), sebagai penghargaan atas syairsyair penghormatan dan sanjungannya terhadap Nabi SAW. dan agama Islam yang dibawanya. Syair yang berjudul Banat Su’ad itu disusun oleh Ka’b sebagai simbol penyesalan dan taubatnya, setelah sebelumnya dia mencerca Nabi Muhammad SAW. Sejak saat itu, baju burdah tersebut sepenuhnya menjadi hak milik Ka’b ibn Zuhair, sebagai kenang-kenangan dari Nabi Muhammad SAW. yang menurutnya tidak terhingga nilainya. Dia pun menyimpan baju itu baik-baik hingga akhir hayatnya, yaitu pada 662, bertepatan dengan masa awal pemerintahan Mu’wiyah ibn Abi Sufyan (w. 680). Muatan nilai sakral baju tersebut semakin besar, setelah pada 679, Mu’awiyah membelinya dari ahli waris Ka’ab seharga 10.000 dirham. Uniknya, kholifah pertama dinasti Umayyah itu kemudian memakainya sebagai busana kebesaran pada setiap upacara kenegaraan. Tujuannya satu, yaitu untuk menambah pamor dan kewibawaan kholifah. Tradisi ini terus
37
dilestarikan secara turun-temurun oleh para kholifah dinasti Umawiyyah berikutnya. Tradisi tersebut terus berlanjut bahkan setelah dinasti Umawiyyah runtuh dan diganti oleh dinasti ‘Abbasiyyah. Dimulai ketika kholifah Ja’far al-Manshur (w. 775) membeli baju itu entah dari siapa-seharga 40.000 dirham dan memakainya sebagai busana kebesarannya. Secara turuntemurun, para kholifah dinasti ‘Abbasiyyah melakukan hal yang sama. Sampai akhirnya, ketika Dinasti ‘Abbasiyyah runtuh di tangan pasukan Mongol pada tahun 1258 M./ 656 H., baju Burdah tersebut hancur dibakar bersama Khazanah Islam lainnya (Nasution, 1992: 182). Sedangkan
pada
pengertian
kedua,
penulisan
syair
Burdah
dilatarbelakangi oleh penyakit lumpuh (stroke) yang diderita cukup lama oleh al-Bushiri. Sudah banyak tabib yang menangani beliau, namun tidak satupun yang berhasil. Akhirnya, pada suatu malam beliau bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW. Nabi mengusap ubun-ubunnya dan menyelimuti tubuhnya dengan Burdah, baju hangat yang terbuat dari kulit binatang, yang biasa dipakai Nabi SAW. Pagi harinya, al-Bushiri sembuh total dari penyakitnya, dia keluar rumah dalam keadaan segar bugar. Kemudian beliau menuyusun sebuah syair yang berisi penghormatan dan pepujian terhadap Nabi Muhammad SAW., yang kemudian syair ini terkenal dengan Burdah (Nasution, 1992: 182). Menariknya, burdah mendapat tempat khusus di hati sebagian orang Islam karena dianggap mempunyai nilai mistis. Sebagaimana dialami oleh
38
pengarangnya
sendiri
yang tersembuh dari
sakitnya.
Kepopuleran
Burdahnya al-Bushiri ini mengilhami penyair-penyair lain sesudahnya. Ada yang membuat komentar (syarah) dan ringkasan atas burdah karya alBushiri ataupun ungkapan-ungkapan madah al-nabawiyah yang baru. C.
Kandungan Syair Burdah Penulis mengambil data teks Burdah dari Majmu’ Maulid wa Ad’iyah, bacaan harakatnya disesuaikan dengan tradisi burdahan di Pondok Pesantren Kramat yang diambil dari “Hasyiah Bajuri ‘Ala Matn Al-Burdah” oleh Ibrahim Bajuri (tt). Kemudian penulis mengambil data terjemahan burdah oleh Ahmad Mujab Mahalli (1996), dalam bukunya “Mengenal Qasidah Burdah”. Pada pembagian bab syair burdah penulis mengambil dari “Burdah: Antara Kasidah, Mistis, dan Sejarah” oleh Muhammad Adib (2009). Dalam Syarah lathifan ‘Ala Burdah al-Madih, Khalid al-Azhar (tt:3) menyebutkan, Burdah berisi tentang kondisi al-Bushiri pada waktu itu, yaitu pengakuan dosa, duka cita, kelalaian dan kealfaan al-Bushiri. Pada bait syair yang lain al-Bushiri mengutarakan tentang berpegang pada nasihat yang baik, mukjizat, I'tikad, doa, munajat, serta harap dan cemas terhadap akibat dunia. Al-Bustani dalam 'Daairat al-Ma'arif', secara rinci mengungkapkan tema dan jumlah baitnya dalam syair Burdah al-Bushri , yaitu: Pembukaan berjumlah 12 bait, 16 bait mengenai hawa nafsu, 30 bait tentang puji-pujian kepada Nabi, 19 bait tentang kelahiran Nabi, 1 (satu) bait beris doa al-
39
Bushiri, pujian terhadap al-Quran berjumlah 17 bait, 13 bait tentang mikraj, 22 bait mengenai perjuangan Nabi, dan 14 bait mengenai istighfar, serta 9 bait mengenia munajat al-Bushiri. Jadi jumlah bait dari tema yang disebutkan adalah 153 bait. Sedangkan jumlah syair Burdah adalah 160 bait. Berdasarkan analisis struktur intertekstualitas kasidah Burdah, Syihabudin (tt: 10), memaparkan bahwa penulisan Burdah itu berpedoman kepada wazan, qafiah, dan bahar tertentu. Wazan yang digunakan adalah mustaf'ilun fa'ilun, mustaf'ilun fa'ilu, baik untuk larik shadr maupun 'ajaz. Dan jenis bahar yang demikian disebut bahar basith. Burdah menggunakan huruf mim sebagai qafiahnya secara tetap. Oleh karena itu Burdah disebut juga kasidah al-Mimiyah. Al-Bushiri tidak mengawali Burdahnya dengan pujian kepada Allah Ta'ala atau dengan basmalah. Namun, dia mengikuti konvensi sastra Arab jahiliyah dalam hal mengawali kasidah, yaitu mengawalinya dengan gazal (romansa). Dalam hal ini Al-Bushiri mengikuti Umru'ul Qais, seorang penyair periode jahiliah (Al-Bajuri, 1972: 2-3). Demikianlah, kasidah Burdah terdiri atas 160 bait. Setiap bait dibangun oleh dua larik. Larik pertama disebut shadr dan larik kedua disebut 'ajaz. Kata terakhir dari larik shadr disebut 'arudh dan kata terakhir 'ajaz disebut dharab, sedangkan sisanya disebut hasywu. Wazan yang digunakan Al-Bushiri terdiri atas 8 taf'ilat: 4 pada shadr dan 4 lagi pada 'ajaz. Taf'ilat tersebut tersusun dari maqtha' sabab khafif, watad majmu', dan fashilah shugra. Dalam taf'ilat yang digunakan Al-
40
Bushiri terjadi perubahan yang dikenal dengan gejala al-khabnu dan aththayy. Wazan yang memiliki karakteristik seperti itu disebut bahar basith. Huruf yang dijadikan qafiah oleh Al-Bushiri dalam seluruh kasidahnya ialah huruf mim. Huruf-huruf qafiah lainnya ialah washl dan radf, sedangkan jenis harakatnya ialah majra dan hadzwu. Dan jenis qafiahnya ialah mutaraqib dan mutawatir. Kemudian pada analisis isi kasidah Burdah memperlihatkan bahwa ke-160 bait "Burdah" tersebut dibangun oleh sebuah struktur. Struktur itu berpusat pada pujian kepada Nabi SAW. (29-58) yang didorong oleh kedalaman cinta beliau (1-11) dan oleh penyesalan, harapan, dan doa (140160). Pujian tersebut dibangun oleh cerita-cerita tentang berbagai mukjizat Nabi SAW. (71-90), kemukjizatan Al-Qur'an (91-106), kemuliaan maulid (59-71), isra' dan mikraj (107-117), dan keberanian Nabi SAW. dan sahabatnya dalam berjihad (118-139). Struktur isi tersebut disampaikan oleh Al-Bushiri dengan perasaan takzim, haru, sedih, dan menyesal serta diungkapkan dalam nada bercerita, berdoa, dan menasehati. Tema-tema kasidah Burdah disampaikan untuk mengungkapkan perasaan cinta al-Bushiri yang dalam kepada Nabi SAW. dalam bentuk untaian pujian. Pujian itu dimaksudkan agar al-Bushiri memperoleh syafaat Nabi dan ampunan Allah. Di samping itu, pujian tersebut dimaksudkan agar para pembaca mengetahui berbagai jenis mukjizat Nabi SAW. Kemudian
41
pengetahuan itu diharapkan akan semakin menambah kecintaan kepadanya, memujinya, dan meneladaninya. Dengan demikian, bisa dikatakan kasidah Burdah bukan merupakan puisi ketasaufan, namun sebagai kasidah pujian (madah). Dalam analisis struktur tersebut, jelas tidak memakai refrensial tentang pengarang. Oleh sebab itu, pada tahap selanjutnya, penulis memasukkan hal-hal yang berkaitan dengan al-Bushiri. Mengingat bahwa Al-Bushiri masuk dalam dunia tasawuf (walaupun bukan seorang sufi) pada usia yang matang, yakni pada usia 46 tahun. Gurunya Abul Abbas al-Mursi adalah seorang khalifah kedua dalam tarikat Syadziliyah setelah Abul Hasan al-Syadzily. Melalui gurunya ini, al-Bushiri memperoleh ajaran yang bermanfaat terutama di bidang tasawuf. Hal ini tercermin dari isi dan kandungan yang terdapat dalam syair-syairnya, terutama syair Burdah. Sesuai dengan ajaran dalam tarekat Syadziliyah, syair Burdah mengandung ajaran-ajaran tasawuf yang patut untuk dikemukakan. Walaupun ajaran-ajaran yang ditampilkan berupa syair dengan bahasa yang penuh dengan nasihat-nasihat yang berbentuk perumpamaan-perumpamaan. Adapun tema-tema yang terdapat dalam syair Burdah yang bernuansa tasawuf, yaitu sekitar taubat, zuhd, khauf dan raja',dan mahabbah. Dalam dunia psikologi sufi, Burdah juga menampilkan term nafs, dan dalam tasawuf falsafi, Burdah dengan interpretasinya, terdapat tema Nur Muhammad dan Hakikat Muhammad. Untuk lebih jelasnya, penulis
42
tampilkan tema-tema tersebut dengan penjelasannya yang dikutip dari berbagai literatur, guna memperjelas tema-tema, sehingga akan terlihat dimensi tasawuf yang dimaksud. 1.
Liku-liku Cinta dan Kerinduan Dalam ilmu sastra awal penulisan atau muqadimah dari syair biasa disebut syakwa al-gharam (ekspresi batin sang penyair) (Adib, 2009: 33). Pada bagian ini, seorang penyair mengungkapakan isi hatinya dengan bahasa kiasan dan perlambang (hiperbolis). Keindahan dalam penyusunan matla’ (awal dari bait Burdah) menunjukkan kepiawaian seorang penyair. Di sini, para penyair akan mengerahkan seluruh kemampuannya (Baharun, 1996: 19). Imam
al-Bushiri
menyusun
matla’
kasidah
Burdah
membayangkan seolah-olah dirinya dalam keadaan bingung dan tak sadar, beliau bertanya-tanya pada dirinya sendiri yang mengalami kerinduan yang mendalam, hingga meneteskan air mata darah. Di sisi dirinya yang lain, bertubi-tubi menegur dirinya yang rindu. Rindu (syawq) adalah cirri-ciri orang yang sedang cinta. Keadaan ini menunjukkan mahabbah-nya al-Bushiri pada Rasulullah SAW. Menurut
al-Ghazali, al-mahabbah, cinta, adalah puncak
perjalanan keberagamaan kita. Secara harfiah kata mahabbah berasal dari kata habba, yuhibbu, mahabbatan, berarti mencintai secara mendalam, atau cinta yang mendalam. Mahabbah bisa juga berasal dari kata hubbun yang berarti cinta kasih, dan bisa juga dari kata
43
habba-hubban yang berarti mencintai atau menyukai, dan bisa juga yang mengandung makna al-hawa yang berarti kasih, cinta. Sebagian sufi mengatakan bahwa hubb terdiri dari dua kata, ha dan ba. Huruf ha artinya ruh, dan ba berarti badan. Karena itu, hubb merupakan ruh dan badan dari proses keagamaan kita (Jalaluddin Rakhmat , 2000: 16-17). Mahabbah adalah cinta. Cinta merupakan sesuatu yang melambung di atas air ketika hujan turun deras. Di atas cinta ini hati terasa mendidih dan semakin meluap ketika haus berkobar kerinduannya untuk bertemu sang kekasih. Dikatakan juga cinta iru menetapai, seolah-olah orang yang jatuh cinta itu hatinya tidak pernah melupakan untuk mengingat kekasihnya. Dikatakan juga cinta itu tiang karena cinta menanggung kesenangan dan penderitaan (alQusyairi, 2007: 477-478). Rasanya sulit mengetahui pengertian cinta secara defenitif, kecual bila kita mencintai dan dicintai secara langsung. Sementara itu al-Bushiri dalam Burdahnya, memberikan ungkapan dan kiasan cinta yang ia alami dalam cinta dan rindu pada sang 'kekasih'. Seluruh tumpahan rasa cinta dan rindu hanyalah untuk Nabi SAW. atas segala sifat dan gejolak cintanya. Al-Bushiri juga mengatakan, bahwa orang yang sudah jatuh dalam taman cinta, ia tidak bisa lagi menghiraukan segala nasihat dan anjuran dari orang lain, kecuali pada diri sang pujaan hati. Cinta dan kerinduannya diungkapkan pada bait 1-12.
44
“Apakah sebab dikau ingat tetangga yang berada di desa Dzi Salam (suatu desa antara Makkah dan Madinah), hingga dikau mencampur air mata yang mengalir dari matamu dengan darah?”
“Ataukah karena bertiupnya angin dari arah jalan “Kadzimah” (suatu jalan menuju Mekah); ataukah akrena terlihat kilat menyambar dalam kegelapan dari jurang “Idham” (nama suatu jurang di Madinah)?”
“Apakah gerangan yang ada di kedua matamu bila kau berkata “berhentilah,” tetapi air matamu malah mengalir dengan deras, apakah yang ada dalam hatimu bila kau berkata “sadarlah” namun hatimu malah tergila-gila.”
“Adakah orang yang memendam rindu itu menduga bahwa sesungguhnya “cinta” itu bisa disimpan antara derasnya air mata dan hatinya yang terbakar?”
“Bila tiada perasaan “cinta” maka kau takkan melelehkan dan mencucurkan air mata karena mengenang tongkat-tongkat itu, Dan kau tiada kan sukar untuk memejamkan mata (tidur) bila hanya karena mengenang pohon-pohonan dan gunung-gunung itu.”
“Maka bagaimana kau akan memungkiri cintamu, setelah air mata dan penderitaan itu menjadi saksi atas dirimu.”
“Penderitaan itu telah menetapkan dua garis, yaitu garis cucuran air mata dan derita yang bisa diibaratkan bunga mawar yang kuning di kedua belah pipimu dan kayu ‘anam (kayu yang merah warnanya).”
45
“Memang benar (aku mengakui), di malam yang gelap-gulita itu bayangan orang yang kucintai telah berjalan-jalan di otakku hingga menyebabkan aku tak bisa memejamkan mata (tidur). Karena cinta itu adalah kebahagiaan (keindahan) yang harus disertai penderitaan.”
“Hai orang-orang yang membohongkan cinta “udzrahku”, maaf kupohonkan padamu. Bila kau sadar pasti kau kan percaya.”
“Sudah sampai kehadapanmu segala perilakuku, dan rahasiaku tiada tertutup lagi bagi orang yang mengadu domba. Sedang deritaku tiada berakhir.”
“Kau dengan ikhlas memberikan nasehat kepadaku, tapi aku tak bisa mendengar segala nasehatmu. Sesungguhnya orang yang sedang dirundung rindu itu, tiada memperdulikan suara orang yang membohongi dirinya.”
“Sesungguhnya aku mencurigai nasehat-nasehat itu, walau nasehat itu dari ubanku. Sedang uban itu dalam menasehati tak boleh dicurigai.”
2.
Nasihat Akan Hawa Nafsu Bagian kedua dari syair Burdah berisi peringatan akan bahaya hawa nafsu. Term ini pada umumnya digunakan dalam psikologi sufi. Menurut Al-Tirmidzi yang dikutip oleh Amir An Najar (Muradi, tt: 15-16) jiwa memiliki tiga makna yaitu :
46
1)
Nafs (jiwa) bermakna nafas yang dapat memberikan hidup, dimana nafas itu terpencar dari ruh, seperti meluapnya sesuatu dari atas ke bawah.
2)
Nafs (jiwa) sebagai gharizah (insting) yang dihiasi oleh setan dengan segala bentuk tipu daya, yang bertujuan untuk menang dan merusak. Dalam posisi ini, jiwa sangat lemah dihadapan Setan.
3)
Nafs (jiwa) sebagai teman dan penolong setan, dan jiwa semalam ini ikut serta didalam kejahatan, bahkan merupakan bagian dari kejahatan itu sendiri. Sementara itu watak dari nafsu bisa menjerumuskan manusia dalam lembah kehinaan. Terkait dengan nafsu di atas, al-Bushiri mengungkapkan watak
dari nafsu di dalam Burdah, jumlahnya ada 16 bait dimulai dari bait 13-28, sebagaimana tercantum di bawah ini:
“Sesungguhnya nafsu amarahku tidak mau menerima nasehatnasehat dari ubanku dan sifat tuaku, sebab nafsu itu terlalu tolol.”
“Dan nafsu amarah itu tidak mau menyediakan amal perbuatan yang baik untuk menyambut kedatangan tamu yang berkunjung di kepalaku (uban) yang tiada bermalas datang itu.”
“Seandainya aku tahu bahwa diriku tidak bisa menghormati tamu itu, niscaya semua itu aku rahasiakan dengan rahasia yang benar-benar tersimpan”.
47
“Siapakah yang mau menolong aku untuk menahan diri dari nafsu jahat; seperti dihentikannya kuda yang lari kencang dengan tali pengikatnya?”
“Janganlah kau bermaksud memecah nafsu syahwatmu dengan maksiat, Sesungguhnya makanan itu memperkuat syahwatnya orang terlalu banyak makan.”
“Nafsu itu ibarat bayi, bila anda membiarkan bayi itu begitu saja, niscaya sampai dewasa ia tetap menetek pada ibunya. Tapi bila anda menyapihnya niscaya bayi itu berhenti pula dari menetek kepada anda.”
“Maka cegahlah segala kehendak hawa nafsu, dan waspadalah jangan sampai nafsu itu anda beri kesempatan. Kalau sampai nafsu itu anda beri kesempatan pasti ia mencelakakan bahkan membunuhmu.”
“Jagalah hawa nafsumu. Sebab hawanafsu itu selalu mengikuti dan bercampur dalam segala amal perbuatanmu. Bila nafsu itu sudah merasakan nikmatnya rumput (maksiat) maka jangan anda biarkan begitu saja.”
“Banyak sekali nafsu memberikan hiasan-hiasan keindahan kepada seseorang yang akhirnya bisa membunuh orang itu sendiri. Sebab orang itu tak tahu bahwa dalam minyak (kenikmatan) itu terdapat upas (bisa).”
“Takutlah engkau dari tipu muslihat yang tak kelihatan, yaitu lapar dan kenyang. Maka banyak sekali lapar itu menimbulkan kejelekan dan kejahatan dibanding dengan kenyang.”
“Curahkanlah air mata dari matamu yang dipenuhi dengan barang-barang haram dan sediakanlah perasaan menyesal.”
48
“Ingkarilah hawa nafsu dan syaitan; serta tentanglah keduanya, walaupun nafsu dan syaitan itu memberikan nasehat-nasehat indah kepadamu. Dan hendaklah anda curiga terhadap ajakanajakan nafsu dan syaitan itu.”
“Janganlah taat kepada nafsu dan syaitan yang dia berpurapura jadi lawan ataupun juru hakim. Sedangkan kau tahu tipu daya dari lawan atau hakim itu.”
“Aku mohon ampunan kepada Allah dari perkataan tanpa amal. Benar-benar ucapan itu kuibaratkan anak yang keluar dari orang yang mandul (tiada turunan).”
“Aku perintahkan mengerjakan kebaikan, tapi aku tiada mengamalkan kebaikan itu. Sedangkan aku memerintahkan Istiqamah (berjiwa tenang dalam segala hal) kepadamu, padahal aku sendiri tiada Istiqamah. Maka apa arti katakataku?”
“Aku tiada memiliki perbekalan dan persiapan sebelum matiku dengan amal-amal sunat. Sedangkan diriku tak pernah sholat dan puasa kecuali sholat dan puasa fardhu.”
3.
Puji-pujian Kepada Rasulullah SAW. Bagian
ketiga
dari
Burdah
berisi
puji-pujian
terhadap
keistimewaan-keistimewaan Rasulullah SAW. Bagian ini merupakan inti dari Burdah yaitu tentang Rasulullah SAW. Bila memuji Beliau SAW. termasuk ibadah shalawat, maka Burdah juga dikatakan shalawat. Bab ini dimulai dari bait 29-58.
49
Adapun nilai yang terkandung di dalamnya yaitu pujian-pujian tentang ke-zuhudan Rasulullah sampai pada Hakikat Muhammad dan Nur Muhammad. Tentang zuhud secara etimologi berakar dari kata alZuhd, masdar dari kata zahada atau zahida, zahada fi al-syai'i au 'anhu berarti raghiba 'anhu artinya meniggalkan dan tidak menyukai. Zahada fi al-dunya artinya menjauhkan diri dari kesenangan dunia untuk beribadah. Orang yang melakukan zuhud disebut al-Zahid maksudnya orang yang meninggalkan kesenangan duniawi dan memilih akhirat (Munawwir, 1997: 588). Kemudian dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, disebutkan bahwa zuhud (zuhd) terhadap sesuatu berarti tidak terpikat olehnya. Dalam kajian tasawuf, kata zuhud biasanya dikaitkan dengan dunia (kesenangan duniawi yang meliputi kesenangan materi atau fisik, harta, pangkat, dan lain sebagainya). Zuhud terhadap dunia berarti tidak mencintai dunia, tidak tertarik, tidak tergiur, dan tidak terlena oleh kesenangan duniawi (Nasution, 1992: 1011). Syekh Abdul Qadir Jailani dalam Adab as-Suluk wa at-Tawassul ila Manazil al-Muluk (al-Jailani, 2010: 205), menyebutkan dua hal kezuhudan, yaitu zuhud duniawi dan zuhud ukhrawi. Pertama, barang siapa menghendaki kehidupan akhirat, maka dia harus mengabaikan dunia. Jika keinginan duniawi (seperti makan, minum, tidur, berbusana,
menikah,
kekeyaan,
kendaraan,
jabatan,
dan
lai
sebagainya) masih bersemayam dalam benak seseorang, maka dia
50
bukan termasuk orang saleh. Karena, di dalam segala keinginan duniawi ada kenikmatan bagi diri manusia dan keselarasan dengan kehendak jasmani, kesenangan jiwa dan kecintaannya. Hal-hal ini merupakan kehidupan duniawi, yang di dalamnya orang senang kebaikan, dan dengannya orang coba mendapatkan kepuasan dan ketentraman jiwa. Kedua, barang siapa menghendaki Allah, maka wajib baginya mengabaikan akhirat. Keingininan ukhrawi itu seperti, menghendaki kedudukan dan derajat tinggi, pembantu-pembantu cantik, rumahrumah surga, dan lain sebagainya, yang disediakan Allah bagi hamba yang beriman kepada-Nya. Maka janganlah coba mendapatkan balasan atas sesuatu tindakan, dari Allah di dunia maupun akhirat. Beliau juga mengatakan bahwa orang yang zuhud menerima pahala dua kali. Pertama, karena penolakaannya terhadap dunia, sehingga ia tidak mencintainya dan mengikuti nafsunya, akan tetapi ia hanya mengikuti perintah. Bila ia telah benar-benar menjadi musuh yang menentang nafsu dan hawa kecenderungan naturalnya, maka ia termasuk kalangan empu kewalian, serta dimasukkan pula ke dalam barisan kaum Abdal dan kaum ‘Arif bi Allah. jika sudah demikian halnya,
barulah
ia
diperintahkan
untuk
berhubungan
dan
berkecimpung dengan dunia, sebab dunia adalah bagiannya yang harus diambil, dan tidak diciptakan untuk selainnya, pena telah kering
51
menulisnya dan ilmu secara mutlak menetukannya (al-Jailani, 2010: 194). Al-Bushiri
mengungkapkan
zuhd
yang
dilakukan
oleh
Rasulullah SAW. dalam syairnya, yaitu pada bait 29-32:
“Aku menganiaya segala perilaku orang yang memelihara kegelapan, sehingga kedua telapak kaki orang itu melaporkan penderitaannya sebab bengkak.”
“Orang itu mengikat perutnya sebab lapar, hingga ia mengikatkan batu di perutnya yang berkulit halus itu sekedar untuk menahan laparnya.”
“Hingga gunung-gunung yang tinggi itu menawarkan diri untuk menjadi emas kepadanya. Namun ia tetap menolak tawaran itu.”
“Penderitaan-penderitaan itu bahkan menguatkan Zuhudnya (menjauhhi barang haram) di dunia ini. Sedangkan penderitaan-penderitaan itu baginya tidak akan mengurangi martabat dan derajatnya yang luhur.” Selanjutnya, isi dari bab puji-pujian terhadap Rasulullah SAW. adalah pemahaman tentang Hakikat Muhammad atau Nur Muhammad. Ini merupakan salah satu tema pokok dari profetologi tasawuf. Nur Muhammad itu seperti cahaya matahari, yang di sekitarnya segala sesuatu berputar, ia adalah 'cahaya nama'. Gagasan ini telah mewarnai setiap ungkapan kesusastraan dari tasawuf, dan juga telah menjadi ciri
52
luas dalam Islam rakyat, sejak masa-masa awal hingga abad kita sekarang ini. (Annemarie Schimmel, 1998: 173). Yang menjadi pegangan para sufi adalah hadits qudsi, 'laulaka Ma khalaqtu`l-aflaka', kemudian 'kuntu kanzan makhfiyyan'. Allah karena ingin sekali dalam kesendirian pra-keabadian-Nya untuk dikenal dan dicintai, menciptakan Muhammad sebagai cermin pertama cahaya dan kehendaknya. Suatu cermin dimana Dia dapat melihat diriNya sendiri dengan penuh kecintaan. Oleh karena itu, hadits yang berbunyi : "Siapa yang pernah melihatku, telah melihat al Haqq" (telah melihat realitas, kebenaran, yaitu Allah). Mengenai pembahasan ini, dalam Burdah juga diberikan ungkapan Nur Muhammad pada bait 33:
“Seperti apakah penderitaan orang itu bisa menarik dunia ini. Seandainya orang itu tiada, pasti dunia ini tiada diciptakan.” Dalam ungkapan tersebut, Al-Badjuri, dalam kitab Hasyiyah alBadjuri ’ala Matn al-Burdah (tt: 23), mengatakan bahwa Nabi-lah yang menjadi sebab terciptanya seluruh makhluk dunia ini. Jika bukan karena Nabi ()ﻟﻮﻻه, niscaya dunia ini tidak ada (adam). Adanya Muhammad adalah sebagai sebab adanya alam ini. Maka adanya Adam sebagai ( )اﺑﻮ اﻟﺒﺶ, bapak manusia adalah dengan sebab adanya Muhammad SAW. Begitu pula dengan alam dan manusia seluruhnya. Syekh Abdul Qadir al-Jailani (2010: 20-21), menjelaskan secara rinci bahwa Nur Muhammad adalah cahaya atau nur yang pertama kali
53
diciptakan oleh Allah ta’ala dari sifat Jamal-Nya. Nur Muhammad adalah suatu realitas yang gaib dan bersifat ruhani yang disebut Nur, Ruh, ‘Aql, maka Nur Muhammad disebut juga Ruh Muhammadiyyah. Dia adalah hakikat awal terjadinya alam semesta. Dari Ruh Muhammadiyyah
ini
Allah
SWT.
menciptakan
segala
ruh.
‘Muhammad’ adalah nama bagi insan dalam alam gaib (alam berkumpulnya ruh-ruh). Ia menjadi sumber dan asal segala perkara. Allah menciptakan alam karena Allah akan menciptakan Muhammad SAW. Tanda-tanda ini tepat, seperti yang dilihat oleh bapak semua umat manusia, yaitu Adam as. ketika selesai proses penciptaannya. Adam melihat nama Muhammad di pintu surga bersanding dengan nama Allah. Dengan tanda-tanda itu mengertilah Adam bahwa orang yang memiliki nama itu adalah semulia-mulia manusia yang akan diciptakan Tuhan di antara semua ciptaan-Nya di kemudian hari. Setelah lahirnya Nur Muhammad, Allah menciptakan pula ‘Arsy. Kelahiran Nur Muhammad ini juga diikuti dengan penciptaan makhluk-makhluk atau ruh yang lain serta ‘Arsy-Nya. Peristiwa ini berlaku menurut kehendak Allah dan masyi’ah-Nya. Kemudian Allah akan menurunkan ruh-ruh itu ke peringkat yang paling rendah, yaitu ‘Alam Ajsam atau Alam Kebendaan yang konkret dan nyata.
54
Firman Allah:
“Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendahrendahnya.” (at-Tiin: 5) (al-Jailani, 2010: 20). Allah turunkan Nur itu dari tempat asal kejadiannya, yaitu ‘Alam Labut (Alam Ketuhanan) ke ‘Alam asma’ Allah (nama-nama yaitu Alam Penciptaan sifat-sifat Allah atau Alam Akal Ruh Semesta). Dari ‘Alam asma’ Allah ruh-ruh itu turun ke ‘Alam Malakut. Di situ ruh-ruh itu dipakaikan dengan pakaian kemalaikatan yang gemerlap. Kemudian mereka diturunkan ke Alam Kebendaan atau ‘Alam Ajsam yang terjadi dari unsur api, air, angin (udara), dan tanah. Maka ruh itu dibentuk dengan diberi badan yang terjadi dari darah, daging, tulang, urat, dan sebagainya. Sesungguhnya memahami hakikat Nabi Muhammad SAW. yang sebenarnya itu dapat melumpuhkan seseorang. Sebab, manusia itu berada dalam ‘Alam Ajsam, alam yang terendah. Sementara Nabi SAW. berada pada tingkat tertinggi dan darinya makhluk-makhluk diciptakan. Al-Bushiri mengibaratkannya seperti matahari yang dapat dilihat dari jauh, tetapi jika matahari didekati, maka mata tidak akan sanggup memandangnya, dia akan dibutakan oleh matahari. Seperti yang tertulis dalam bait 34-50 di bawah ini:
“Yaitu Nabi Muhammad SAW. yang menguasai (jadi pimpinan) dunia dan akhirat, pemimpinnya manusia dan jin serta pemimpinnya bangsa Arab dan Ajam.”
55
“Nabi kita (Muhammad SAW.) yang selalu memerintahkan (kebaikan) dan selalu mencegah (dari kemungkaran). Maka tiada seorang pun yang lebih baik dalam perkataan dan perbuatan dibanding dengan Beliau.”
“Beliau adalah kekasih Allah yang selalu dinanti dan diharapkan syafa’atnya (pertolongannya), dari segala mala petaka yang menimpa”.
“Nabi Muhammad SAW. mengajak (kepada) agama Allah. Adapun berpegang pada agama Allah (Islam) itu ibarat berpegang pada suatu tali (tampar/ ikatan) yang takkan putus.”
“Nabi Muhammad SAW. itu lebih unggul dibanding dengan Nabi-nabi yang lain dalam hal asal kejadian (bentuk tubuh) dan budi pekertinya. Dan tak seorang Nabi pun yang bisa menyamai ilmu dan mulyanya dengan Nabi Muhammad SAW.”
“Adapun para Nabi itu hanyalah mengambil (ilmu) dari Rasulullah SAW.; ibarat mengambil air dari lautan dengan tangan atau ibarat minum dari air hujan.”
“Para Nabi itu terhenti di sisi Rasulullah sesuai dengan batasnya; dari ilmu pengetahuan dan sekelumit hikmah.”
“Rasulullah SAW. adalah manusia yang paling sempurna makna (batin) dan bentuk wajahnya. Kemuliaan Allah memiliki beliau sebagai kekasih-Nya.”
“Beliau dibersihkan dari hal-hal yang menyerupai dari kebagusannya, Sedang kebagusan beliau itu tidak dapat terbagi-bagi.”
56
“Tinggalkanlah seruan orang Nasrani kepada Nabinya, Lakukanlah pujian kepada Rasul SAW. dengan sekehendak hatimu, dan bantahlah pendapat orang Nasrani itu.”
“Umpamakanlah kemuliaan dzat Beliau SAW. dengan sekehendak hatimu, dan umpamakanlah keagungan derajat Beliau dengan sekehendak hatimu pula.”
“Sesungguhnya keutamaan Beliau itu tiada batasnya, maka orang yang bicara (da’i) bisa menerangkan keutamaan beliau.”
“Umpama ayat-ayat Beliau (Nabi SAW.) itu bisa menyamai derajatnya, maka orang yang hancur luluh tulangnya bisa hidup kembali bila asma Beliau disebut.”
“Nabi Muahammad SAW. tidak pernah mencobaku dengan sesuatu perkara yang akal tiada mampu memikirkannya. Sebab Beliau merasa kasihan kepadaku, maka aku tiada bimbang dan ragu.”
“Memahami artinya Nabi SAW. yang sebenarnya itu bisa melumpuhkan manusia. Maka tiada sesuatu dapat dilihat dari jarak jauh dan dekat Nabi SAW. kecuali barang sesuatu itu lumpuh.”
“Ibarat matahari yang kelihatan kecil di hadapan mata dari jarak jauh; tapi matahari itu sendiri sanggup melumpuhkan mata bila didekati.”
“Seperti apa kaum itu akan menemukan hakekat (kenyataan) Nabi Muhammad di dunia ini, sedang kaum itu sudah terima bertemu dengan Beliau lewat mimpi.”
57
Pada bait di atas diawali dengan kata وﻛﻴﻒdan bagaimana. Dalam bahasa Arab, kata ini menunjukkan اﻻﻧﻜﺎرى ﻟﻼﺳﺘﻔﻬﺎمpertanyaan yang tidak mungkin bisa dijawab. Jadi arti , ﻛﻴﻒ ﻳﺪرك, adalah ﻻ ﻳﺪرك artinya tidak mungkin bisa diperoleh (al-Bajuri, tt: 30). Bait ini merupakan penegasan bahwa bagi mereka yang ingin mengetahui hakikat Nabi SAW., yakni dengan mencari dan menyempurnakan nur yang ada pada mata hati mereka untuk dapat mengetahui segala hakikat dan rahasianya serta kedudukannya.
“Maka adapun puncak pengertian tentang Beliau SAW. sesungguhnya Beliau Nabi adalah manusia. Dan sesungguhnya beliau adalah sebaik-baik makhluk Allah.” Pada bait ke-51 di atas merupakan puncak pemahaman tentang hakikat Nabi Muhammad SAW. Konon di tengah bait ini al-Bushiri tidak sanggup meneruskannya. Benarlah demikian, al-Bushiri itu seorang pecinta Rasulullah, beliau tahu bahwa Muhammad alMushthafa adalah Hakikat Mutlak dan Kesempurnaan Mutlak. Bagi para pecinta yang memahami Hakikat Muhammad, dia akan dibuatnya diam (Armstrong, 1996: 260). Dalam kebingungan yang sangat ini, suatu ketika beliau bermimpi bertemu Rasulullah SAW. dan memberikan lanjutan setengah dari bait ini. Peristiwa tersebut merupakan stempel pengesahan syair Burdah oleh Rasulullah SAW.
58
“Semua ayat (mukjizat) yang dibawa para Rasul itu merupakan sebagian saja dari Nur (mukjizat) Nabi Muhammad SAW.” Sedangkan pada bait ke-52 maksud dari , ﻣﻦ ﻧﻮرهadalah dari nur Muhammad. Sebab Nur Muhammad adalah awal makhluk yang diciptakan Allah. Ibnu Marzuq mengibaratkan Nur Muhammad seperti matahari kesempurnaan, sementara para rasul yang lain diumpamakan seperti bintang-bintang. Cahaya bintang merupakan pantulan dari cahaya matahari. Dan bintang itu bisa dilihat disebabkan karena adanya cahaya matahari. Sedangkan cahaya matahari tidak kurang sedikitpun (Kabbani, 2007: 125). Seperti pada bait 53-58 di bawah ini:
“Sesungguhnya Beliau SAW. itu adalah ibarat matahari dari segala keutamaan, sedang para Rasul itu ibarat bintang-bintang yang memancarkan sinar kepada manusia di waktu gelap gulita.”
“Benar-benar mulia kejadian Nabi Muhammad yang dihiasi dengan budi pekerti yang mulia dan sifat peramah.”
“Kehalusan Beliau ibarat bunga, ibarat bulan purnama dalam kemuliaannya, ibarat lautan dalam dermanya, serta beliau berhimah ibarat Zaman/ Waktu (selalu berputar).”
“Seakan-akan Beliau SAW. itu adalah seorang diri dalam keagungannya di kalangan bala tentara di kala kau menjumpai Beliau di dalam pembantu tentara.”
59
“Ibarat mutiara yang tersimpan di dalam bokor (tempat terbuat dari perak) dari tempat perkataan dan tempat senyum simpulnya Beliau SAW.”
“Tiada bau wangi yang sempat menyamai dengan debu yang menyimpan dan mengumpulkan tulang-tulang beliau. keuntungan yang besar bagi seseorang yang sempat menikmati bau tanah debu tadi dan sempat menciumnya.” 4.
Maulid Nabi Muhammad SAW. Bagian Burdah yang keempat berisi cerita tentang kelahiran Nabi Muhammad SAW. beserta berbagai peristiwa menakjubkan di sekitarnya sebagai tanda kelahiran Rasulullah. Jumlah baitnya ada 13, dimulai dari bait 59-71.
“Kelahiran Nabi SAW. menerangkan kemurnian asal kejadian Beliau dan betapa murninya akhir keturunan Beliau SAW.”
“Hari kelahiran Nabi SAW. yaitu pada hari di kala orang-orang persi menyangka dengan kuat bahwa di hari itu dirinya akan menerima siksa dan bahaya.”
“Semalam suntuk Iwan Kisra telah retak; seperti keadaan bala tentara raja Kisra yang tiada bisa utuh kembali.”
“Api itu padam sebab resah, karena Iwan runtuh. Sedangkan sungai kering sumber airnya sebab sedih.”
60
“Dan menyusahkan kota “sawah” sebab sungainya kering; hingga orang yang mencari air ditolak dengan keadaan marah.”
“Seakan-akan api itu basah seperti air karena sedih; demikian pula seakan-akan air itu menyala/ berasap seperti halnya api.”
“Jin-jin bersuara, sinar-sinar bercahaya, barang yang haq (benar) kelihatan dari ma’na dan dari perkataan-perkataan.”
“Kaum-kaum itu sama buta dan tuli, maka berita yang menggembirakan itu tiada di dengarnya. Sedang ancaman yang besar itu tiada dilihatnya.”
“Setelan pendeta-pendeta kaum itu memberikan berita kepadanya sesungguhnya agama mereka itu adalah tak lurus dan tiada benar, namun mereka tetap membandel.”
“Setelah kaum itu membuktikan bintang-bintang di ufuq berjatuhan; demikian pula mereka membuktikan hal di dunia ini, yaitu hancurnya berhala-berhala.”
“Sehingga syaitan itu lari dari jalan wahyu untuk mencari jejak di balakang bintang yang lari.”
“Seakan-akan syetan-syetan itu lari seperi pahlawanpahlawannya raja Abrahah, atau bala tentara yang dilempari batu dari kedua telapak tangan Nabi SAW.”
“Dilempar dengan batu benar-benar setelah membaca tasbih dengan kedua telapak tangan Beliau SAW., seperti
61
dilemparkannya orang yang membaca tasbih dari perut ikan yang memakannya.” 5.
Mukjizat Bagian Burdah yang kelima adalah cerita tentang mukjizatmukjizat Nabi Muhammad SAW. yang bersifat lahiriah. Jumlah baitnya ada 16 dimulai dari bait 72-87.
“Pohon-pohon itu berjalan tanpa kaki kepada Nabi Muhammad SAW. karena memenuhi panggilan Beliau.”
“Kedatangan pohon-pohon itu seakan membentuk garis-garis, sedang cabang-cabangnya seakan menulis di garis-garis itu dengan indah di tengah jalan.”
“Bagai mendung yang selalu menjaga Beliau dalam perjalanan dari teriknya panas matahari.”
“Aku bersumpah demi Dzat yang menjadikan rembulan yang pecah (terbelah), sesungguhnya terbelahnya rembulan itu adalah mengibaratkan hati Beliau SAW.”
“Semua mata orang-orang kafir itu buta hingga tiada melihat kebagusan dan kemuliaan yang berada di dalam gua itu.”
“Adapun orang yang benar dan yang membenarkan itu keduaduanya berada di dalam gua tiada pergi; tetapi oran-orang kafir berkata bahwa di dalam gua itu tiada seorang pun yang tinggal.”
62
“Orang-orang kafir menduga bahwa burung merpati dan ‘Angkabut (kemlandingan: jawa) itu adalah sebaik-baik makhluk, yang keduanya tak mau membuat sarang dan beterbangan di dekat orang.”
“Penjagaan Allah itu lebih kuat daripada baju besi dan benteng kuat yang tinggi.”
“Zaman tiada menghadap kepadaku dengan penganiayaan; dan aku minta pertolongan kepada Nabi, walau aku sudah tentu mendapat pertolongan dari Beliau.”
“Dan aku tiada meminta kecukupan dunia akhirat dari tangan Beliau, kecuali menerima pemberian dari sebaik-baik orang yang dimintai.”
“Janganlah kau pungkiri wahyu dari mimpi Beliau (Nabi Muhammad SAW.). Sesungguhnya dikala kedua mata Beliau itu tidur, namun hati Beliau selamanya tidak pernah tidur.”
“Adapun wahyu yang demikian itu datang sebagai tanda kenabian Beliau SAW. Maka pada saat itu segala tingkah laku Beliau tidak boleh diingkari.”
“Allah Maha Besar; tiada wahyu itu dapat dicari dan tiada Nabi dalam perkara ghaib itu dicurigai.”
“Berkali-kali Beliau menyembuhkan orang sakit dengan usapan (rabaan) telapak tangan. Dan tangan Beliau bisa melepaskan (menyembuhkan) orang gila yang sangat berkehendak untuk sembuh.”
63
“Do’a Rasulullah SAW. bisa menghidupkan tahun di kala kurang hujan, sehingga tahun itu menyerupai gemilangnya saat (waktu) yang hitam.”
“Engkau menduga dengan adanya mendung yang tebal bahwa di padang pasir yang luas itu terdapat sumber air dan banjir dari irigasi.” 6.
Keistimewaan Al-Qur’an Bagian enam Burdah menuturkan keistimewaan-keistimewaan mukjizat Rasulullah SAW. yang berupa al-Qur’an. Jumlah baitnya ada 17, dari bait 88-104.
“Sudahlah; biarkan aku menutur ayat-ayat yang terang; seperti terangnya api yang dihidupkan di waktu malam hari di atas gunung untuk menghormat tamu.”
“Maka mutiara itu tetap mutiara, bila tersusun rapi malah bertambah harganya dan indah; seandainya tidak disusun rapi juga tudak mengurangi harga.”
“Adakah semua itu hanya pujian-pujian yang berlebih-lebihan kepada orang yang memiliki Akhlaq dan watak yang mulia?”
“Ayat-ayat yang haq dari Dzat Yang Maha Pengasih baik yang baru ataupun yang terdahulu itu bersifat Qadim (dahulu) bagi Dzat yang disifati Qadim.”
“Ayat-ayat itu tidak bertepatan dengan zaman (terjadinya peristiwa); tetapi ayat-ayat itu memberi khabar kepadaku
64
tentang kembaliku (kepada Allah), tentang kaum ’Ad dan kota Irom.”
“Ayat-ayat itu tetap disisi kita dan dapat mengalahkan semua Mukjizat para Nabi, sebab mukjizat para Nabi itu tak tahan lama.”
“Bagi orang-orang yang khilaf ayat-ayat itu bila dijadikan hakim maka tiada ragu-ragu lagi; dan tiada perlu lagi mendirikan hakim yang lain.”
“Ayat-ayat Al-Qur’an itu tidak dapat dibandingi sama sekali oleh lawan sebab balaghahnya, maka musuh-musuh itu meletakkan senjata perangnya.”
“Balaghahnya ayat-ayat Al-Qur’an itu bisa menolak dakwanya musuh seperti menolaknya orang yang cemburu kepada datngnya orang yang menganggu istrinya.”
“Ayat-ayat Al-Qur’an itu memiliki beberapa makna bagaikan ombak samudra yang bergumpal-gumpal. Sedang harga dan indahnya ayat-ayat itu lebih tinggi daripada mutiara yang ada di dalam samudra.”
“Keanehan-keanehan ayat-ayat itu tidak dapat dihitung dan dikira-kirakan; dan ayat-ayat itu tiada membosankan walau dibaca (didengar) berkali-kali.”
“Orang yang membaca Al-Qur’an, hati dan matanya bisa tenang. Maka aku berkata pada pembaca Al-Qur’an: sungguh kau telah mendapatkan kebahagiaan dengan tali Allah; maka berpeganglah kuat-kuat!”
65
“Bila kau membaca ayat-ayat Al-Qur’an karena takut panasnya api neraka, maka kau bisa memadamkan api itu dengan air yang dingin yang terkandung dalam ayat-ayat itu.”
“Seakan-akan ayat-ayat itu telaga yang sanggup membersihkan muka yang hitam sebab terlalu banyak dosa.”
“Dan ayat-ayat itu ibarat jembatan dan timbangan di dalam keadilannya, yang keadilan itu tak bisa ditemui dalam pribadi manusia.”
“Janganlah engkau tercengang kepada orang yang dengki dan bertindak mengingkari ayat-ayat Al-Qur’an, karena nerpurapura tolol padahal dia lincah dan sangat pandai.”
“Kadang-kadang mata itu mengingkari matahari sebab sakit; kadang-kadang pula mulut itu mengingkari rasanya air sebab sakit pula.” 7.
Isra’ Mi’raj Bagian tujuh menuturkan isra’ mi’raj, perjalanan suci Rasulullah SAW. dari Masjidil Haram sampai Sidratul Muntaha. Jumlah baitnya ada 13, dari bait 105-117.
“Hai sebagus-bagusnya orang yang dicari oleh orang banyak yang meminta kebaikan yang berkunjung ke halamannya dengan berjalan kaki dan naik unta.”
“Dan hai orang yang merupakan pertanda besar bagi orang yang berfikir, dan hai orang yang merupakan nikmat besar bagi orang yang mencari untung.”
66
“Kau berjalan di waktu malam dari tanah haram (Mekah) sampai ke tanah haram (medinah) seperti perjalanannya bulan purnama di dalam malam yang gelap-gulita dari beberapa kegelapan.”
“Dan semalam suntuk kau naik hingga sampai tingkatan “Qoba Qusaini” yaitu tempat yang tiada tertutup dan yang tak mungkin dicapai.”
“Para Rasul dan Nabi telah mengajukanmu ke suatu tempat yang lebih mulia; bagaikan seorang pembesar di kalangan rakyat yang menghormatinya.”
“Kau telah menempuh tujuh tingkat (langit) bertemu dengan para Nabi dan utusan dalam suatu jama’ah, sedang kau dalam jama’ah itu yang membawa bendera.”
“Hingga tatkala kau tidak meninggalkan setapak pun bagi orang yang ingin menyalip (mendahului)mu dari jarak dekat dan jalan yang naik bagi orang yang ingun mencari keluhuran.
“Maka kau telah mengalahkan segala tingkatan (derajat) bila dibanding dengan tingkatanmu; karena kau telah diundang bertepatan dengan diluhurkan bagai “isim mufrod ‘alam.”
“Supaya kau sampai kepada Dzat yang tertutup bagi mata dan rahasia yang tersimpan.”
“Maka kau telah mengumpulkan segala kebanggaan yang tiada duanya, dan kau telah mengumpulkan segala pangkat dengan tiada seorang pun yang mendobraknya.”
67
“Dan segala pangkat yang diserahkan padamu semakin agung, dan semua nikmat yang diberikan padamu semakin mulia.”
“Sebagai tanda kegembiraan bagi kita Umat Islam, sebab kita mendapat perhatian, yaitu pusaka yang tidak bisa hancur.”
“Sewaktu Allah mengundang Beliau supaya Tho’at kepada Allah dengan sebutan “Akromir-rusul” maka kita mendapat sebutan “Akromil-umam.” 8.
Perjuangan Nabi SAW. di Medan Perang Bagian kedelapan berisi kisah tentang perjuangan Nabi. Keperkasaan Nabi Muhammad SAW. dan para sahabat dalam peperangan
melawan
musuh-musuh
Islam.
Di
dalamnya
menggambarkan betapa keberanian dan kegagahan Nabi SAW. membuat musuh lari ketakutan. Jumalah baitnya ada 22 bait, dari ba118-139 di bawah ini:
“Khabar terutusnya nabi SAW. membuat hati musuh menjadi takut; bagaikan suara harimau yang menakut-nakuti sekelompok domba.”
“Rasulullah SAW. tiada henti-hentinya menghadapi orangorang kafir dalam pertempuran, hingga mereka bagaikan daging di atas tempat pemotongannya.”
“Para musuh itu suka berlari; mereka berharap dengan lari itu agar anggota badannya bisa terbang bersama-sama burung rajawali dan burung Rokhom.”
68
“Malam demi malam telah berlalu, tapi mereka (kafir) tiada mengerti hitungan malam yang sudah mereka lalui, selagi malam-malam itu bukan bulan-bulan suci”
“Seakan-akan agama (Islam) itu adalah tamu yang mendatangi tempat-tempat lawan, yang agama itu dikawal oleh sekumpulan pemberani yang buas terhadap daging-daging lawan.”
“Agama Islam membawa bala tentara yang bagaikan samudra, mereka naik kuda dengan cepat seperti berenang. Mereka memanah berulang-ulang dengan gagah beraninya.”
“Mereka menggempur lawan demi memenuhi panggilan Ilahi dan mencari pahala semata. Mereka menggempur dengan alat yang bisa menghabiskan kekufuran yang merusak.”
“Agama Islam beserta para sahabat menjadi terpelihara lagi hubungan persaudaraannya, setelah beberapa lama tidak terpelihara persaudaraan itu.”
“Dan agama Islam tiada yatim dan janda lagi untuk selamalamanya, karena sudah di tanggung oleh seorang ayah yang baik dan suami yang setia.”
“Mereka (Nabi dan sahabatnya) itu merupakan gunung, maka bertanyalah kau kepada para musuh yang menghadapi mereka, apakah yang musuh lihat sewaktu mereka dalam pertempuran.”
“Bertanyalah kau kepada Hunain, Badar dan Uhud. Yaitu saatsaat banyaknya kematian bagi orang kafir, yang kematian itu melebihi daripada ‘Kagebluk’.”
69
“Yang sama mengembalikan pedang-pedang yang putih menjadi merah setelah mendatangi musuh-musuh yang masih berambut hitam (masih muda).”
“Dan yang sama menulis dengan tombak dari kaju “Khat” yang Qolam (pena-pena) itu tiada meninggalkan satu huruf pun yang kurang titik.”
“Mereka mempertajam alat-alat perang sebagai tanda untuk membedakan antara lawan. Adapun bunga mawar itu lain dengan tanda-tanda pohon ‘Salam’.”
“Angin kemenangan itu mengirimkan kepadamu bau-bau mereka, dan kau menduga prajurit-prajurit yang pemberani itu bagai bunga di dalam potnya”.
“Para sahabat di atas kuda itu seakan-akan tanaman di tanah yang tinggi yang sangat kuat; bukan karena ikat “Lapak” yang kuat”.
“Hati musuh semakin kebingungan karena sangat takut dengan pukulan para sahabat. Maka mereka tidak membedakan antara anak-anak kambing dan prajurit yang gagah berani.”
“Baranngsiapa kemenangannya itu atas pertolongan Rasulullah, walaupun harimau di tengah rimba yang menghalangi maka harimau itu ‘kan berhenti.”
“Engkau tidak akan melihat kekasih yang kalah dan musuh yang tidak hancur luluh.”
70
“Rasulullah menempatkan para umatnya di dalam benteng agama yang kuat; bagaikan harimau dan anak-anaknya yang bertempat dalam persembunyiannya.”
“Berkali-kali “Kalimatullah” memutus orang yang membantah kenabian Rasulullah dan berkali-kali dalil yang kuat itu membantah kepada jago-jago debat.”
“Ilmu beliau yang sebagai mukjizat itu bisa mencukupimu, walaupun Beliau “Ummi” (tidak bisa membaca dan menulis) dan dalam zaman jahiliyyah Beliau dididik dalam keadaan yatim.” 9.
Penyesalan Al-Bushiri Bagian kesembilan dari Burdah permohonan ampunan.
Dalam
bait-bait
berisi penyesalan dan ini
Imam
al-Bushiri
menggambarkan penyesalan yang mendalam atas kebiasaannya menyusun syair pujian terhadap penguasa untuk mendapatkan imbalan materi. Menurutnya, kebiasaan ini sangat buruk dan harus segera dijauhi. Ini menggambarkan pertaubatan al-Bushiri. Taubat secara bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu taaba, yatubu, taubatan. Kata tersebut memiliki arti menyesal atas berbuat dosa (Mahmud Yunus, 1973: 79) atau bermakna penyesalan, kembali. Dikatakan 'penyesalan' karena orang yang bertaubat senantiasa menyesali atas kesalahan dan kekhilapan yang telah dilakukannya. Ulama sufi menandai taubat sebagai awal pendakian dan maqam petama bagi salik. Hakikat taubat menurut bahasa artinya ‘kembali’.
71
Kata taubat berasal dari kata taba yang berarti kembali. Artinya, kembali dari sesuatu yang dicela dalam syariat menuju sesuatu yang dipuji dalam syariat. Proses pertama yang mengawali taubat adalah keterjagaan hati dari keterlupaan dan kemampuan salik melihat sesuatu pada dirinya yang hakikatnya merupakan bagian dari keadaannya yang buruk. Proses awal ini tidak lepas dari peran taufik Allah. Dengan taufik Allah, salik mampu mendengar kata hati nuraninya tentang larangan-larangan al-Haqq yang dilanggarnya. Jika dengan hatinya seseorang berpikir tentang keburukan perilakunya dan melihat kenyataan-kenyataan negatif di dalamnya, maka dalam sanubarinya timbul kehendak untuk taubat, tekad melepaskan diri dari semua perilaku buruk. Sebuah usaha tulus untuk membebaskan diri dari penentangan kepada esensi Ilahi dalam perasaan, pikiran, niat, dan tindakan, serta secara tulus tunduk kepada perintah dan larangan-Nya. Taubat senantiasa menjauh dari apa saja yang dibenci dan dilarang Allah, walaupun sesuatu itu tampaknya masuk akal (al-Qusyairi, 2007: 116). Al-Qusyairi ( 2007: 117), menyebutkan pendapat orang-orang yang berpegang pada prinsip-prinsip ahli sunah bahwa, diterimanya taubat diharuskan memenuhi tiga syarat utama, yaitu menyesali atas pelanggaran-pelanggaran yang pernah diperbuatnya, meninggalkan jalan kesesatan pada saat bertaubat, dan berketetapan hati untuk tidah
72
mengulangi pelanggaran-pelanggaran yang serupa. Rasulullah SAW. bersabda bahwa, “Penyesalan adalah taubat” (HR. Ibnu Mas’ud dikeluarkan Imam Ahmad dalam Musnad 1 nomor 376, 423, 433). Penyesalan al-Bushiri tersebut dituangkan dalam bab ini. Jumlah syairnya ada 12 bait, dari bait 140-151.
“Aku melayani (Beliau SAW.) dengan puji-pujian; yang dengan pujian-pujian itu aku berharap agar dosaku yang telah lalu dalam bersyi’ir dan melayani bisa diampuni.”
“Sebab aku membaca syair dan melayani itu karena leherku diikat, seakan-akan diriku adalah unta hadiah.”
“Aku taat kepada sesatnya masa muda dalam dua perkara. Aku tiada menghasilkan sesuatu kecuali dosa dan penyesalan.”
“Maka aduh kerugian badanku dalam berdagang. Badan tidak membeli agama dengan dunia dan tiada menawarnya.”
“Barangsiapa menjual persoalan nanti (akherat) dengan harga persoalan sekarang (dunia), maka baginya kerugian yang besar di dalam jual-beli dan Salam.” Kemudian
ber-taubat
yang
sebenar-benarnya
(taubatan
nashuhan) tidak akan tercapai sebelum muncul sifat khauf (takut) dan raja’ (harap) pada Allah (al-Jailani, 2010: 102). Syekh Abdul Qadir al-Jailani mengatakan bahwa khauf dan raja’ adalah sayap-sayap iman (2010: 77). Sesungguhnya Allah setiap hari berkuasa mengubah dan mengganti, meninggikan dan merendahkan. Ada golongan yang Allah
73
naikkan derajatnya sampai kepuncak tertinggi, dan ada pula golongan yang Allah campakkan di kerak terendah dasar terbawah. Ketakukan orang-orang yang Allah angkat derajatnya kepuncak tertinggi adalah jika mereka dicampakkan ke derajat terendah dasar terbawah.
Sementara
harapan
mereka
adalah
semoga
Allah
mengukuhkan dan memelihara mereka di atas ketinggian posisi yang mereka nikmati. Adapun ketakutan yang dicampakkan ke derajat terendah dasar terbawah adalah jika Allah menetapkan mereka selamanya dalam keterpurukan yang mereka alami. Sedangkan harapan mereka adalah semoga Allah mengangkat mereka ke derajat tertinggi. Kemudian al-Qusyairi mengatakan bahwa takut mempunyai arti yang berhubungan dengan masa yang akan datang, karena orang akan takut menghalalkan hal yang makruh dan meninggalkan sunah. Hal ini tidak begitu penting kecuali jika membawa dampak positif dimasa yang akan datang. Jika pada saat sekarang hal itu datang, maka pengertian takut tidak terkait. sedangkan pengertian takut kepada Allah ialah takut kepada siksaan-Nya, baik dunia maupun akhirat ( alQusyairi, 2007: 167). Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya agar takut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:
“Takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. al-Imran [3]: 175) (al-Qur’an Digital)
74
Raja’ (harapan, berharap) adalah ketergantungan hati pada sesuatu yang dicintai yang akan terjadi di masa yang akan datang. Sebagaimana khauf (takut) yang berhubungan dengan sesuatu yang akan terjadi di masa yang akan datang, maka demikian juga raja’ (harapan) akan membawa implikasi terhadap hal yang dicita-citakan di masa yang akan datang. dengan raja’, maka hati akan menjadi merdeka ( al-Qusyairi, 2007: 178). Kaitannya dengan khauf dan raja’, al-Bushiri menyatakan kecemasannya akan 'keterpisahannya' dengan sang idaman dan pujian, yaitu Nabi SAW. Selanjutnya diungkap pula pengharapannya dengan jaminan nama yang sama dengan Rasul SAW. Semua yang ia lakukan hanyalah mengharap syafaatnya. Berikut ini syair yang dimaksud:
“Apabila aku mendatangi dosa, maka janjiku dengan Rasulullah tidak akan rusak dan tali pengikatku tiada akan putus.”
“Maka sesungguhnya bagiku ada jaminan dari Nabi Muhammad SAW.; sedangkan Beliau adalah sejujur-jujur makhluk dalam janjinya.”
“Apabila Nabi tidak memegang tanganku dengan anugerah di hari Qiamat nanti, maka aduh celakanya (tergelincirnya) telapak kakiku
“Nabi suci dari mengecewakan orang yang mengharap anugerahnya dan dari menolak tetangga dengan tiada dimuliakan.”
75
“Sewaktu aku menetapkan fikiranku untuk memuji Nabi, maka aku mendapatkan keselamatan yang bagus sekali kesanggupannya.”
“Dan Beliau tidak meninggalkan kecukupan pada tangan yang dikotori debu. Sesungguhnya air hujan itu bisa menumbuhkan bunga di tanah yang kering.”
“Aku tidak mengharapkan keindahan dunia, seperti kedua tangan Zuhair mengambil keindahan dunia sebab memuji Harim bin Sinan.” 10.
Penutup Bagian kesepuluh, penutup dan doa. Pada bagian penutup ini juga kemahiran penyair menjadi tolak ukur sebagaimana pada matla’. Sehingga di akhir bab seorang penyair akan menyusun dengan kalimat seindah mungkin. Bagian ini juga masih dalam rangka harapan alBushiri agar dosa-dosanya terampuni. Jumlah syairnya ada 10 bait, dari bait 152-161.
“Hai semulia-mulia makhluk; tiada seorang pun yang bisa melindungiku selain dirimu di kala datangnya bahaya yang merata.”
“Dan tidak sempit ya! Rasulullah derajatmu sebab diriku sewaktu Dzat yang mulia menurunkan siksa.”
“Sesungguhnya dari kemurahanmulah dunia dan musuhnya; dan dari ilmumulah ilmu Lauh dan ilmu Qolam.”
76
“Hai nafsuku janganlah kau putus harapan sebab dosa-dosa yang besar. Sesungguhnya dosa-dosa besar itu di sisi keampunan Allah kelihatan kecil.”
“Moga-moga nanti sewaktu Tuhanku membagi rohmat, aku bisa mendapatkan bagian yang cukup untuk menghapus dosadosaku.”
“Duhai Tuhanku; semogalah harapanku Engkau jadikan harapan yang sukses dihadapan-Mu. Dan semogalah Engkau jadikan hisabku, hisab yang tiada putus.”
“Semogalah kasih sayang terhadap hamba-hamba-Mu di dua desa (dunia dan akherat) benar-benar Engkau curahkan. Sesungguhnya hamba-hamba-Mu itu memiliki kesabaran; tetapi kalau mendapat cobaan mereka tentu berlari.”
“Semogalah Engkau idzinkan kepada mendung rahmat-Mu yang kekal abadi; bagi Nabi SAW. dengan hujan yang lebat yang sempat mengalir.”
“Dan semoga tetap buat keluarga Rasulullah, para Sahabat dan Tabi’in; Adapun mereka semua itu adalah ahli taqwa, bersih, arif dan mulia.”
“Selagi cabang-cabang pohin “Ban” itu masih memanggilmanggil ditiup angin timur (pagi); masih memberi semangat kepada penuntun onta dengan dendang lagu.”
BAB III TRADISI RITUAL BURDAHAN DI PONDOK PESANTREN KRAMAT A.
Proses Pelaksanaan Ritual Burdahan di Pondok Pesantren Kramat Berdasarkan data yang diperoleh melalui teknik observasi pada tanggal 11 Maret 2010 s/d 15 Juli 2011, pelaksanaan ritual burdahan (disebut maulid Burdah) di Pon-Pes Kramat dilakukan satu kali pada setiap minggunya, tepatnya pada hari Kamis malam Jumat. Setiap tahunnya diadakan khataman maulid sebanyak dua kali, yaitu pada bulan Rabi’ul Awal dan Sya’ban. Ritual ini dipimpin oleh seorang imam (mursyid) dan diikuti oleh para jamaah yang berlaku sebagai murid. Dalam pembacaan maulid ini adalah sebagai mujahadah (dawam) wajib bagi imam dan para jamaah. Adapun proses ritual pembacaan maulid Burdah, persiapannya dimulai jauh lebih awal. Misalnya, persiapan tempat, sound system, makanan dan minuman yang akan dihidangkan, semuanya dipersiapkan sejak sore hari. Hal ini dimaksudkan untuk memuliakan para tamu Rasulullah SAW. (jamaah) yang hadir dalam pembacaan maulid Burdah. Setelah shalat isya’, sebelum ritual burdahan dimulai, sekitar pukul 19.30 para jamaah bersiap-siap dengan duduk bersila di tempat yang disediakan. Dengan mendengarkan lantunan syair kepada Syeikh Abdul Qadir al-Jailani yang diiringi seni rebana hadlrah, para jamaah mulai berdatangan mempersiapkan ke-khusu’-an diri menghadirkan sepenuh hati
77
78
dalam memuji penuh cinta dan kerinduan, bermunajat, penuh harapan syafaat dari kekasih sejati. Adapun syairnya diambil dari kitab an-Nur al-Burhaniyy fi Manaqib Syeikh Abdul Qadir al-Jailani (al-Barzanji, tt: 16-19) sebagai berikut:
(lihat lampiran) ...
Dalam pembacaan maulid Burdah ini dipenuhi dengan nuansa sufistik. Hal ini ditunjukkan pada praktik hadlrah yang dilakukan selama pelaksanaan ritual burdahan. Hadlrah secara etimologi berarti hadir, kehadiran yang dimaksud bukanlah kehadiran Allah, melainkan kehadiran Rasulullah (Muthohar, 2011: 72). Karena burdahan merupakan pembacaan maulid Nabi SAW. dengan membaca Maulid Burdah. Adapun prosesi pembacaan maulid Burdah, melaui beberapa tahap. Tahap pertama, tepat pukul 20.00 ritual burdahan diawali dengan membaca al-Fatihah secara bersama-sama yang dipimpin oleh imam. Pembacaan alFatihah dikhususkan kepada Nabi SAW., Imam Bushiri sebagai pengarang Burdah, para auliya illah, guru mursyid, dan orang-orang yang dituakan. Kemudian Imam membaca shalawat dan diikuti para jamaah secara bersamaan. Selanjutnya, Imam membaca syair doa pembuka maulid yang diambil dari maulid ad-Diba’I. Setelah selesai membaca syair pembuka maulid ditutup dengan bacaan shalawat sebagai berikut:
susunan pembacaaanya adalah
79
(lihat lampiran) ...
Selanjutnya pembacaan beberapa ayat al-Qur’an. Ayat-ayat tersebut secara urut adalah QS. al-Fath ayat 1-3, Q.S. at-Taubah ayat 128-129, QS. al-Ahzab ayat 56, susunannya sebagai berikut:
80
Pada setiap akhir ayat para jamaah berdzikir dengan lafadh اﷲ. Ketika sampai pada ayat sebagai berikut:
Para jamaah membacanya bersama-sama seiring dengan bacaan imam. Lalu diakhiri dengan bacaan shalawat bersama-sama, yaitu:
Tahap kedua adalah pelantunan maulid Nabi SAW., yaitu syair-syair Burdah
yang
terbagi
dalam
sepuluh
bab.
Dalam
Pembacaannya
menggunakan berbagai lagu. Dalam hal melagukan syair atau kasidah disebut ‘arudl (Adib, 2009: 28). Adapun lagu-lagu yang dipakai sebanyak tujuh perubahan lagu yang diiringi dengan rebana klasik hadlrah, sebagaimana dalam lantunan syair doa sebagai wasilah pada Shultan alAuliya Syeikh Abdul Qadir al-Jailani di atas. Sama dengan tahap pertama, pembacaan maulid Burdah diawali dengan shalawat. Selanjutnya Imam membaca ungkapan mahabbah-nya alBushiri terhadap Rasulullah. Kecintaan beliau ditandai dengan penderitaan atas kerinduan (syawq) yang mendalam. Kemudian menasihati dirinya akan bahaya hawa nafsu yang sifatnya merusak dan menjadikan dirinya termasuk orang dhalim. Pembacaan oleh Imam ini menggunakan lagu yang pertama.
81
Adapun Susunan pembacaannya adalah sebagai berikut:
... (lihat bab II) Selanjutnya ungkapan pertaubatan al-Bushiri dengan kalimat istighfar. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan bait keistimewaan Nabi SAW. sampai pada pemahaman tentang hakikat Muhammad SAW. dan awal bab kelahirannya. Pada ungkapan istighfar ini pembacaannya dilanjutkan oleh salah satu jamaah yang sudah diberi tugas oleh Imam. Dalam pembacaanya mengunakan dua lagu syair. Lagu pertama pada bait sebagai berikut:
... Lagu kedua pada syair sebagai berikut:
... Pada bab-bab ini, di setiap baitnya jamaah merespon dengan shalawat sebagai berikut:
82
“Hai Tuhanku, berilah rahmat dan salam selama-lamanya, atas kekasih-Mu yang merupakan makhluk terbaik.” Setelah bait tentang awal kelahiran Rasulullah selesai dibacakan, para jamaah serentak berdiri dengan membaca shalawat. Pada posisi ini disebut dengan asyraqal, dilakukan dalam rangka penyambutan Rasulullah. Ini adalah puncak dari praktik hadlrah. Dalam hati jamaah meyakini akan kehadiran Rasulullah SAW., sehingga jamaah semakin khidmat dan khusu’. Pada asyraqal shalawat yang dibaca adalah sebagai berikut:
َ
(lihat lampiran) ...
Setelah asyraqal selesai, para jamaah duduk bersila kembali. Kemudian pembacaan tentang kelahiran Nabi SAW. dilanjutkan. Penuturan mengenai peristiwa-peristiwa
besar
yang
menunjukkan tanda-tanda
kelahiran Beliau SAW. Sesudah itu, pelantunan bait-bait tentang mukjizat berupa sesuatu yang dilakukan Rasulullah diluar logika. Selanjutnya penuturan bait tentang Mukjizat serta keistimewaan al-Qur’an. Pada bagian ini dibacakan oleh jamaah yang lain menggunakan lagu yang keempat. Pembacaannya dimulai daru bait 60- 106, susunannya di bawah ini:
83
... Pada bagian ini dijawab dengan,
“Beliau adalah kekasih Allah yang selalu dinanti dan diharapkan syafa’atnya (pertolongannya), dari segala mala petaka yang menimpa.” Selanjutnya pelantunan bab isra’ mi’raj dan perjuangan Nabi SAW. dalam menyebarkan Islam. Bagian ini dibaca oleh dua jamaah yang lain menggunakan lagu ketujuh. Susunannya sebagai berikut: Pembaca pertama pada bait 107-121,
... Pembaca kedua pada bait 122-139,
... Selanjutnya penbacaan bait tentang penyesalan al-Bushiri atas perbuatan maksiat yang pernah dilakukannya sehingga ia mersa takut dan malu pada Allah. Kemudian ditutup dengan doa dan harapan al-Bushiri untuk memperoleh syafaat dari Rasulullah. Pada bagian ini dibaca oleh
84
Imam dengan menggunakan dua lagu yang berbeda. Susunannya dibawah ini: Lagu pertama pada bait 140-154,
... Lagu kedua pada bait 155-161,
... Jawaban dari bab isra’ mi’raj sampai pada bab penyesalan al-Bushiri adalah sebagai berikut:
“Ya Tuhanku, melalui kekasih-Mu sampaikan (berikan) maksud dan tujuanku, dan ampunilah dosa-dosa kami yang telah lalu, duhai Tuhan Maha Pemurah.” Kemudian ditutup dengan bacaan shalawat dibawah ini:
Setelah bait-bait Burdah selesai dibacakan, dilanjutkan dengan doa permohonan syafaat. Doa ini berbentuk syair yang diambil dari maulid adDiba’i. Berikut ini adalah syairnya:
85
(lihat lampiran) ...
Lalu pada tahap akhir ditutup dengan doa yang dibaca oleh Imam. Akan tetapi, pada waktu-waktu tertentu dilanjutkan dengan dzikir tahlil (tahlilan). Misalnya, pada saat khataman maulid di bulan Rabi’ul Awal dan Sya’ban, pada malam Jumat kliwon, wafatnya seorang ulama besar atau wali-wali Allah, bencana, dan sebagainya. Setelah ritual burdahan selesai berbagai hidangan makanan ringan dan minuman seperti kopi dan teh, disajikan. Dari keseluruhan tahap pelaksanaan ritual burdahan akan memakan waktu ± 2,5 jam, jadi sekitar pukul 22.30 baru selesai. Kemudian sebagian jamaah mengikuti majelis di rumah imam yang disebut majelasan, dan ada pula yang langsung pulang. Majelasan di sini merupakan salah satu sarana penyampaian ajaran-ajaran akhlak ketasawufan. Pelaksanannya dilakukam sampai fajar datang sekitar pukul 03.00 majelasan ditutup dengan doa. Dalam prosesi ritual burdahan ada etika-etika yang harus diterapkan. Penulis mencatat beberapa etika tersebut berdasarkan observasi pada tanggal 18-19 Maret 2010 sebagai berikut: 1. Etika di dalam ritual burdahan: a. Niat, datang hormat maulid, cinta Rasulullah. b. Datang lebih awal, dan segera masuk dalam ruangan.
86
c. Dawamkan tempat duduk yang tetap dengan datang lebih awal d. Duduk kaki bersila/ bersimpuh e. Telapak tangan terkatup jari-jari rata lurus, tidak bersilang seperti orang nasrani yang berdoa. f. Barisan yang rajin, urut dan rapat. Utamakan mengisi baris depan yang kosong daripada dawam temapt duduk. g. Diam, konsentransi namun tidak tegang. h. Mendengarkan dan menjawab bacaan bait burdah dengan shalawat. i. Jangan menoleh-noleh atau ngantuk/ tidur. j. Jangan bersandar/ senden, duduk tegap tapi pandangan dan hati tetap hormat tawadluk. k. Berdoalah pada saat maqam mustajabah, atau pada saat bacaan yang menggetarkan hati. l. Antara rasa dan akal jangan diputus. Biarkan pikiran tetap membatasi keberadaan kita dalam tempat dan kondisi yang jelas. m. Jika ada gaharu jalan, rengkuh asapnya 3x. n. Saat berdiri asyraqal telapak tangan kanan membuka diatas tangan kiri seperti orang shalat. o. Jika sedang mengucap doa pribadi jangan terdengar suaranya oleh teman duduk disebelah. p. Berdoa kedua tangan diangkat jangan sampai melebihi pundak. q. Bila timbul rasa haru tidak boleh meratap. r. Jamaah yang ada diluar tetap ikut khidmat.
87
s. Tidak boleh merekam dalam bentuk apapun. 2. Etika di dalam Majelasan. a. Duduk rapi tidak berbicara terlalu keras. Bila bicara dan tertawa dengan suara yang redah dan lirih. b. Makan dan minum sesuai dengan adab. c. Menghormati guru dengan tidak merokok. d. Mendengarkan petuah dan anjuran dengan senang hati. Menerima nasihat dengan pikiran terbuka. e. Meng-iya-kan kata-kata perintah meski belum dapat mengerjakannya. f. Menerima pesan-pesan dengan melibatkan perasaan penuh dalam kalbu. g. Tidak perlu mencatat, dan jangan bertanya. h. Jangan terbersit sedikitpun dalam hati sikap suudhon. Pembacaan maulid Nabi SAW. seperti di atas, dalam kalangan masyarakat secara umum, maksud dan tujuannya tidak semata-mata untuk merayakan maulid Nabi SAW., tetapi juga untuk tujuan tertententu dalam berbagai ritual yang mengiringi siklus kehidupan seseorang. Misalnya, untuk memenuhi nadzar, menangkal bahaya (bala’), acara pernikahan, selapanan kelahiran anak, dan sebagainya. Sedangkan pada kalangan tertentu pembacaan maulid Nabi SAW. digunakan sebagai bentuk praktik tarekat. Model pembacaan maulid ini sering dilakukan organisasi tarekat yang ada di Indosesia (Muthohar, 2011: 77). Begitu juga di Pondok Pesantren Kramat yang menjadikan pembacaan maulid Nabi sebagai tarekat
88
yang disebut Tarekat Akmaliyah, dimana seorang murid (jamaah) mengikuti mujahadah tertentu (burdahan) secara continue dan dalam pengamalannya diutamakan dengan akhlak (wawancara dengan Imam tanggal 15 Juli 2010). Dalam hal bertarekat, ritual burdahan adalah sebagai mujahadah wajib (dawam). Ini dimaksudkan untuk menyambung ikatan batin dengan Rasulullah SAW. kerena di dalam burdahan terdapat bacaan shalawat. Ikatan batin juga dilakukan dengan imam sebagai guru yang membimbing murid dalam perjalanan penyucian jiwa untuk menuju Allah. Oleh karena itu, pembacaan maulid Burdah tidak boleh dilakukan sembarang orang. Hanya orang yang mendapat perintah dari guru mursyidnya (sebagai ilmu yang sanadnya sampai pada pengarang dan Rasulullah SAW.) saja yang boleh. Bila digambarkan runtutan sanadnya terlihat pada gambar 1. Untuk nama-nama jelas pada sanad tarekat itu bersifat rahasia, hanya orang-orang dalam yang tahu. Gambar 1: Sanad Shalawat Burdah Pondok Pesantren ‘Kramat’ Allah SWT. Rasulullah SAW. Imam al-Bushiri Mursyid/ Syaikh Sufi Imam (Mursyid) Murid (jamaah)
Dari Rasulullah langsung pada imam Bushiri sebab mimpi beliau bertemu Rasulullah saat menysun shalawat burdah pada bait yang diteruskan oleh Rasulullah Melalui perjalanan ruhani, dan mendapat perintah langsung dari Imam Bhusiri Proses baiat (janji setia) murid dihadapan mursyid, dan mengikuti mujahadah burdahan secara continue.
89
Ritual Burdahan dijadikan sebagai tarekat karena di dalam Burdah itu terdapat shalawat, bahkan dalam setiap baitnya dijawabi dengan shalawat. Sedangkan shalawat itu sendiri dapat dijadikan wasilah (perantara) memperoleh syafaat Rasulullah. Wasilah merupakan peran penting dalam perjalanan menuju kepada Allah. Para sufi menjelaskan bahwa jalan yang paling dekat (menuju wushul) kepada Allah pada akhir zaman, khususnya bagi orang yang senantiasa berbuat dosa, adalah memperbanyak istighfar (memohon
ampun)
dan
membaca
shalawat
kepada
Nabi
SAW.
Sesungguhnya membaca shalawat kepada nabi dapat menerangi hati dan me-wushul-kan tanpa guru kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib. Secara umum, membaca shalawat kepada nabi dapat me-wushulkan kepada Allah tanpa guru karena sesungguhnya guru dan sanad di dalam shalawat adalah shahib ash-shalawat (pemilik shalawat) itu sendiri, yakni Rasulullah SAW. ketiga pendapat tersebut adalah menurut Syekh Yusuf anNabhani. Para ulama sufi lain juga berpendapat bahwa semua amal perbuatan ada yang diterima dan ada yang ditolak, terkecuali shalawat kepada nabi karena sesungguhnya shalawat kepada nabi itu maqbulatun qath’an (diterima secara pasti) (Huda, 2008: 61). Meskipun demikian, bertarekat tetaplah harus melalui seorang mursyid sebagai guru ilmu keruhanian dan ketuhanan, guru yang telah berpengalaman dalam ma’rifat pada Allah, dan guru yang dihormati dan dimuliakan banyak orang. Peranan guru mursyid adalah sebagai dokter yang mendiagnosa
penyakit-penyakit
hati pada
murid
dan
menentukan
90
pengobatannya. Sehingga hati murid menjadi bersih berkilau dan dapat menangkap kehadiran dan rahasia-rahasia Tuhan. Kaitannya dengan guru mursyid, dalam kitab Tanwirul Qulub dijelaskan kriteria guru mursyid secara detail, yaitu: 1.
Harus ‘alim dalam hal-hal yang diperlukan muridnya, baik dibidang syariat maupun hakikat
2.
Mengetahui tentang kesempurnaan hati dan adab-adabnya, tentang perusk (afat) jiwa dan penyakit-penyakitnya.
3.
Bersifat kasih sayang terhadap sesama muslim, terutama kepada muridnya.
4.
Selalu menutupi aib (kekurangan) yang ada pada muridnya.
5.
Bersih dari keinginan untuk memroleh harta dan hak milik muridnya.
6.
Selalu menjadi teladan bagi para muridnya.
7.
Membatasi pertemuan dengan muridnya.
8.
Perkataannya bersih dari dorongan hawa nafsu, humor, dan sesuatu yang tidak berguna
9.
Memberi kelonggaran kepada muridnya dalam hak dirinya sehingga dia tidak menuntut agar diagungkan dan dimuliakan serta tidak menuntut muridnya untuk melakukan sesuatu yang berbeda di luar kemempuannya. Al-Jailani juga menjelaskan bahwa guru mursyid (sufi) dalam
perjalanannya turun ke dunia untuk menjalankan tugasnya, si Sufi harus mengikuti jejak Nabi Besar Muhammad SAW. Tetapi tugas atau fungsi
91
mereka berbeda dari fungsi kenabian. Para Rasul diutuskan untuk semua manusia, baik yang umum maupun khusus (manusia sejati, Sufi, Waliyyullah, dan lain-lain). Guru yang diutus Allah ini datang tidak untuk mengajar semua orang, melainkan hanya untuk orang-orang pilihan. Para Rasul diberi kebebasan penuh untuk menjalankan tugas mereka, sedangkan guru-guru sufi tidak dapat sepenuhnya menjalankan tugas seperti yang dilakukan para Rasul. Mereka harus mencontoh amalan yang dilakukan Nabi Besar Muhammad SAW. Dengan kata lain, guru Sufi ini dilarang membuat syariat baru, dilarang berbuat seolah dirinya pandai sehingga menyimpang dari garis yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan asSunnah. Guru mursyid atau syekh Sufi ini mengikuti jalan dan contoh yang dibawa oleh sahabat-sahabat Nabi, yang telah meninggalkan segala hal keduniaan dan berada dekat dengan Nabi. Mereka menerima ajaran dari Nabi. Karena dekatnya para sahabat itu dengan Nabi, mereka dapat mencapai suatu tingkat yang membolehkan mereka berbicara tentang rahasia-rahasia Mi’raj Nabi. Dari segi keruhanian, kedekatan guru yang bertaraf Waliyullah ini dengan Nabi, seperti kedekatan Nabi dengan Allah. Mereka dianugerahi oleh Allah suatu amanah untuk menyimpan ilmu-ilmu dan rahasia-rahasia Ketuhanan. Mereka adalah penanggung atau pemikul sebagian tugas kenabian. dalam hadis nabi disebutkan bahwa, “Ulama adalah pewaris nabi” (al-Jailani, 2010: 95-96).
92
B.
Tradisi Ritual Burdahan di Pondok Pesantren Kramat 1.
Inti Ajaran dalam Majelis Shalawat Burdah Perolehan data ini berdasarkan teknik dokumenter yang berbentuk buletin yang dikeluarkan pada malam Jumat dan teknik wawancara pada key informant. Data yang diperoleh adalah tentang ajaran-ajaran dalam majelis shalawat burdah. Secara garis besar ajaran pokok dalam majelis shalawat Burdah adalah untuk menjadi hamba yang bertakwa dengan sebaik-baiknya. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa tingginya derajat seorang hamba tergantung pada ketakwaannya. Untuk mencapai ketakwaan ini seorang hamba harus melalui tiga jalan yaitu: syariat, tarikat, dan hakikat. Sesungguhnya hakikat tanpa syariat adalah batal, dan syariat tanpa hakikat adalah kosong (Anwar, 1980: 10). Syariat merupakan jalan awal yang ditempuh seorang hamba untuk beribadah kepada Allah dengan sebaik-baiknya. Memegang teguh agama Allah dan menjalankan perintah-Nya dan menjahui larangan-Nya dengan jelas. Yaitu beribadah berdasarkan dalill-dalil al-Qur’an dan hadits. Beribadah dengan menetapi syarat syah, wajib, rukunnya yang telah ditentukan untuk mendapatkan kesempurnaan Islam. Syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji adalah rukun Islam yang tata cara pengmalannya dibahas dalam fiqih. Tarekat adalah perjalanan menuju wushul pada Allah, beribadah dengan penuh keyakinan sebenar-benarnya yang akan membuahkan
93
ketauhidan dalam hati. Mengambil hukum yang paling ahwat (berhatihati), yaitu wira’i dan dengan kesungguhan hati, seperti mengerjakan riyadlah dengan meninggalkan segala sesuatu yang dapat melupakan dari ingat kepada Allah ta’ala. Tauhid membahas bagaimana cara seorang hamba beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitabkitab-Nya, rasul-rasul-Nya, qadla qadar-Nya, dan hari akhir dengan sebenar-benarnya. Hakekat adalah kebenaran sejati yang akan menghantarkan kema’rifat-an pada Allah dalam beribadah. Ini yang disebut ihsan, beribadah dengan penuh ikhlas seolah-olah menyaksikan Allah. Sehingga timbul mahabbah dan kerinduan pada Sang Maha Pencipta. Uraian tentang hakikat beribadah yang disebut ihsan terhimpun dalam tasawuf. Dalam hal syariat, sudah banyak guru-guru yang tersebar di seluruh dunia, bukan hal yang sulit untuk mencari guru syariat. Akan tetapi, untuk mencari guru hakikat (mursyid) bukanlah hal yang mudah. Sebab, seorang mursyid bukanlah sembarang guru, seorang mursyid diangkat menjadi mursyid oleh seorang guru mursyid pula yang sanadnya sampai pada Rasulullah. Melalui proses keruhanian yang sangat berat dalam membersihkan jiwa dari hawa nafsu untuk menuju Allah, sehingga dia dapat membimbing para murid (salik) dalam pembersihan jiwa untuk menuju Allah. Bila digambarkan akan terlihat seperti di bawah ini:
94
Gambar 2: Sanad Guru Hakikat/ Tarekat/ Tasawuf pada Umumnya Allah SWT. Malaikat Jibril a.s. Rasulullah SAW. Pendiri Tarekat Mursyid/ Syaikh Sufi Mursyid/ SyaikhSufi Mursyid/ Syaikh Sufi Dan seterusnya
Dari Rasulullah sampai murid disebut “jalur silsilah”. Jalur silsilah diperoleh dengan proses baiat (janji setia) murid dihadapan mursyid. Jalur silsilah semakin lama semakin panjang karena semakin jauhnya masa hidup antara murid dan pendiri tarekat. Target ketasawufannya adalah kesucian jiwa dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dan mengharapkan ridla-Nya.
Mursyid/ Syaikh Sufi Murid
Majelis shalawat itu sebagai majelis pembersihan jiwa (tasawuf), dalam pustaka Majelis Shalawat Burdah disebut “ngaji ati” (hati). Hal ini mengharuskan jamaah dalam prosesnya mengutamakan tingkah laku dalam hidup (berakhlakul karimah) (Buletin malam Jumat edisi 30, 2011). Karena akhlak yang baik itu dapat membersihkan dan menghaluskan hati. Bukan suatu hal yang mudah untuk mempraktikannya, memerlukan upaya yang sungguh-sungguh, tidak hanya sekedar datang bernyanyi dan berkumpul di setiap malam Jumat. Namun, yang harus banyak diperhatikan adalah permasalahan perjalanan dari murid dalam menggapai ridla Allah. Demikian pula dalam mencari syafa’at
95
Rasulullah, jamaah harus mempersiapkan niat dengan tulus dan benar. Jika belum mencapai apa yang seharusnya tercapai, jangan lelah untuk terus bershalawat tanpa henti. Dalam bershalawat tidak hanya membaca, memperbanyak, dan mengeraskan shalawat saja. Tetapi bershalawat juga merupakan perjalanan murid untuk menemukan rasa dalam bershalawat. Hal ini merupakan bagian dari pendidikan akhlak hati. Akhlak adalah dasar dari proses pembersihan jiwa, menghaluskan hati dengan upaya membaguskan tingkah laku seperti akhlak Rasulullah SAW. untuk kembali pada Sang Khaliq. Bapak Sudarlan berpendapat bahwa, “Termasuk orang-orang yang beruntung, orang yang mengikuti majelis Shalawat, dan beruntung sekali di zaman sekarang masih bisa belajar akhlak dari seorang mursyid.” (wawancara tanggal 12 Februari 2011). Begitu juga menurut Mas Amin, bahwa “Seseorang akan dihantarkan ke hadapan Rasulullah jika akhlaknya pantas.” (wawancara tanggal 25 Februari 2011). Dalam Majelis Shalawat Burdah, perjalanan seorang murid menuju Allah mengutamakan akhlak. Akhlak adalah perilaku-perilaku seseorang, di sini disebut juga laku. Laku-laku yang dilatih adalah sabar, ikhlas, dan tawakal (Buletin malam Jumat edisi 24, 2011). Menurut keterangan Imam, sabar, ikhlas, tawakal itu adalah inti dari ajaran-ajaran burdahan (wawancara tanggal 15 Juli 2010).
96
a.
Sabar Sabar termasuk ibadah batin yang memiliki nilai tinggi dalam
pandangan
Allah.
Banyak
ayat
al-Qur’an
yang
menerangkan tentang sabar, antara lain:
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang sabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar [39]: 10) (al-Qur’an Digital).
“Hai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan menjalankan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al-Baqarah [2]: 153) (al-Qur’an Digital). Sebagaimana sabda Nabi SAW. sabar itu sendiri mencakup tiga hal yakni, bersabar atas musibah yang menimpanya (shabrun ‘ala al-mushibah), sabar dalam ketaatan (shabrun ‘ala ath-tha’ah) dan bersabar untuk tidak melakukan maksiat (shabrun ‘an-al ma’shiyah) (al-Khaibawi Jilid 3, tt: 348-349) . 1) Sabar dalam menghadapi musibah Adalah sikap sabar dan tabah dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan hidup, sabar dalam menghadapi mushibah. Bersabar atas musibah yang diterimanya merupakan bentuk ibadah yang sangat besar pahalanya.
97
2) Sabar dalam ketaatan Adalah bersikap tabah, kuat, tekun, rajin, dan bersungguhsungguh dalam menjalankan kataatan dan tidak terpengaruh oleh kondisi apapun juga. 3) Sabar untuk tidak melakukan maksiat Adalah kuat menahan diri untuk tidak berbuat maksiat sekalipun ada banyak tekanan dan ancaman. Dalam Majelis Shalawat Burdah mengibaratkan bahwa, “Sabar iku nyenengi barang sing ora nyenengake, ora nyenengi barang sing nyenengake” (Sabar itu menyukai sesuatu yang tidak
menyenagkan,
tidak
menyukai
sesuatu
yang
menyenangkan). Artinya, melatih diri untuk selalu tidak menyenangkan atau memanjakan diri dalam ber-taqarrub ila Allah (Buletin malam Jumat edisi 24, 2011). Suatu kenyataan bahwa apa yang diperintahkan dalam agama itu tidak mengenakkan, dan yang dilarang itu adalah halhal yang menyenangkan menurut hawa nafsu kita. Misalnya saja, malam hari kita enak-enak tidur, ketika waktu Subuh datang kita diwajibkan untuk shalat, apalagi saat musim dingin, tentunya kebanyakan dari kita akan merasa enggan untuk melaksanakannya. Sabar bukanlah hal yang mudah dalam praktiknya, memerlukan waktu bertahun-tahun bahkan sampai mati pun belum tentu bisa bersabar. Oleh karena itulah
98
seseorang harus berlatih terus menerus dan bersabar untuk mengendalikan nafsu yang sifatnya cenderung merusak. Beribadah akan lebih bermakna disertai dengan rasa sabar. Sungguh-sungguh dalam beribadah dan tidak merusaknya dengan penyakit riya’ (pamer). Sabar itu menggunakan pengetahuan, keadaan, dan pengamalan. Ibarat pepohonan adalah pengetahuan, cabang-cabangnya adalah keadaan, dan buahnya adalah pengamalannya. Artinya seseorang tidak akan bisa bersabar jika seseorang itu tidak tahu ilmunya sabar, bagaimana keadaannya, dan cara pengamalannya (Buletin malam Jumat edisi 13, 2010: 1). Pada praktinya, sabar diterapkan dalam setiap aspek kehidupan. Bapak Arif Syamsudin mengatakan, “Setiap permasalahan hidup akan terselesaikan bila menghadapinya dengan sabar.” (wawancara tanggal 12 Desember 2010). Benarlah demikian, bila masalah dihadapi dengan amarah dan tidak lapang dada, maka masalah akan menjadi lebih rumit dengan munculnya permasalahan-permasalahan baru. Sabar itu menjadi kunci keselamatan dan alat peraih bermacam-macam
pertolongan,
taufik,
hidayah,
dan
perlindungan Allah. Oleh karena itu, siapa saja yang ingin dikasihi dan dicintai oleh Allah maka dia harus bersikap sabar dan juga ridla terhadap apa yang sudah digariskan oleh-Nya. Ini
99
menunjukkan betapa dan juga tingginya nilai sebuah kesabaran. Bahkan dikatakan bahwa orang yang sabar tehadap apa yang telah ditakdirkan oleh Allah lebih utama daripada orang yang bersyukur atas nikmat yang Allah berikan kepadanya. Sebab, Allah hanya menjanjikan kelipatan tambahan nikmat kepada orang yang besyukur (syakir), sedangkan terhadap orang yang sabar (shabir) Allah menjanjikan akan senantiasa menyertainya. Syeikh Abdul Qadir al-Jailani mengatakan bahwa, “Orang fakir yang sabar lebih utama dari pada orang kaya yang syukur, orang fakir yang syukur lebih utama dari fakir yang sabar dan orang kaya yang syukur, orang fakir yang sabar dan syukur lebih utama dari dari ketiganya” (al-Barzanji, tt: 50). Artinya, orang fakir yang tidak sabar dan syukur atas kehendak Allah maka dia mendekati kafir. Seperti halnya sabda Rasulullah SAW., “Sifat fakir itu bisa menjadikan kufur.” Jadi, sikap sabar dibarengi dengan rasa syukur atas nikmat Allah, ini akan menurunkan karunia besar dari Allah berupa kasih sayang Allah pada hamba-Nya. Dalam rangka pendidikan sabar dalam hati itu melatih seorang hamba mengahancurkan kerasnya hati. Jika hati seorang hamba sudah hancur dengan sabar dan bersyukur, maka hatinya akan menjadi halus. Kehalusan hati seorang hamba ini akan menimbulkan rasa ikhlas dan berserah diri dalam hati kepada Allah.
100
b.
Ikhlas Secara bahasa, ikhlas berarti “memurnikan” (Munawir, 1997: 359). Jika dikaitkan dengan ibadah hati, maka yang dimaksud dengan ikhlas adalah menjalankan ibadah dengan disertai niat yang ikhlas tanpa pamrih duniawi maupun ukhrawi, baik pamrih yang bersifat spiritual maupun materiil. Hal ini berlaku pada semua bentuk ibadah, baik ibadah yang berhubungan dengan Allah dan Rasul-Nya maupun yang berhubungan dengan sesama manusia. Di dalam beribadah, kita memang dianjurkan untuk bersikap ikhlas. Ikhlas itu sendiri dapat dikategorikan dalam tiga tingkatan, yakni: ikhlash al-‘abidin, ikhlash az-zahidin, dan ikhlash al‘arifin (Huda, 2008: 181). Pertama, ahli
ibadah
ikhlash al-‘abidin, yakni ikhlasnya golongan yang
didalam
menjalankan
ibadah
masih
mengharapkan imbalan pahala, ingin surga, dan mengharapkan terhindar dari neraka. Golongan ini biasanya bersemangat, tekun, dan rajin di dlam menjalankan ibadah namun semuanya itu didorong oleh pamrih agar mendapatkan pahala, surga, dan terhindar dari neraka. Termasuk ikhlasnya orang-orang pada umumnya. Kedua, ikhlash az-zahidin, atau ikhlash al-muhibbin ialah sikap ikhlas yang ditunjukkan oleh ahli zuhud dan mahabbah.
101
Mereka ini menjalankan ibadah dengan ikhlas tanpa pamrih, tidak karena ingin surga dan juga tidak karena takut neraka. Dengan kata lain, ibadah yang dilakukan oleh ahli zuhud dan mahabbah ini benar-benar lillahi ta’ala, semata-mata mengharap keridlaan Allah. Ini adalah ikhlas tingkatan kedua yang hanya bisa dilaksanakan oleh para ahli zuhud dan mahabbah. Ketiga, ikhlash al-‘arifin adalah bersikap ikhlas dalam mengerjakan ibadah semata-mata karena ingin mendapatkan ridla Allah, bukan karena surga dan takut neraka. Ikhlas ini hampir mirip dengan ikhlasnya ahli zuhud dan mahabbah. Hanya saja ikhlas para ahli makrifat ini lebih tinggi, di dalam beribadah bukan saja lillahi ta’ala, tetapi disertai dengan keyakinan bahwa kemampuannya beribadah dan juga bersikap ikhlas semata-mata karena pertolongan Allah. Mereka tidak mengaku dan juga tidak merasa dapat melakukan ibadah sendiri, tetapi atas kehendak Allah semata. Inilah ikhlas yang dimaksud dengan tidak merasa ikhlas di dalam keadaan ikhlas, al-ikhlash tarku al-ikhlash fi al-ikhlash. Menurut, bapak Sudarlan, ikhlas yang kedua dan ketiga adalah “Ikhlasnya para Nabi Allah dan Auliya’illah.” Beliau melanjutkan, “Ikhlasnya diri kita itu masih mengharapkan surga dan takut akan siksa Allah. Karena, sepercik saja dalam
102
hati menginginkan surga, dan takut akan siksa neraka, maka ikhlasnya itu batal.” Ikhlasnya hati seorang salik akan membawanya masuk ke dalam tawakal pada Allah. Membuang semua ketergantungan kepada selain Allah, untuk mendapatkan kemuliaan di hadapan Allah. c.
Tawakal Tawakal
berarti
‘berserah
diri’,
maksudnya
yaitu
menyerahkan dirinya secara total pada Allah. Perumpamaan peyerahan diri seorang hamba pada Allah seperti orang yang meninggal dunia di hadapan orang yang memandikan. Dia dapat membolak-balik sekehendak hatinya, tidak ada gerakan dan pengaturan. Imam menggambarkan untuk lebih mudah memahami tawakal itu seperti orang yang harus bepergian naik bus, tetapi ia tidak punya ongkos. Kemudian dia tetap berangkat, dalam hati berniat
tawakal sepenuhnya pada Allah dengan penuh
keyakinan, apa yang terjadi nanti diserahkan pada Allah. Di sini bukan berarti ‘pasrah’, seseorang berserah diri kepada Allah juga disertai dengan ikhtiar. Pada gambaran tersebut ikhtiarnya adalah ia tetap berangkat karena harus berangkat, masalah ongkos nanti ditarik atau tidak, ia serahkan pada Allah. Apabila seorang hamba menyerahkan dirinya secara penuh, maka Allah
103
akan memberikan apa yang dimintanya. Karena, orang yang bertawakal itu sudah tidak butuh selain kepada Allah (Pengajian malam Minggu tanggal 22 Januari 2011). Menurut Hamdun al-Qashshar, tawakal adalah berpegang teguh kepada Allah. Tidak ada keragu-raguan dalam diri seseorang yang menyebabkan kesusahan dirinya. Oleh karena itu, akan selalu memperoleh hakikat ketenangan menuju pada kebenaran yang ditempuh. Kemudian menurut Abu Ali adDaqaq, tawakal adalah permulaan, taslim adalah pertengahan, tafwidh adalah akhir. Ini adalah tiga tingkatan dalam penyerahan diri pada Allah. Tawakal adalah orang yang merasa tenang dengan janji Allah, sifatnya orang awam. Taslim adalah orang yang merasa cukup dengan ilmu-Nya, sifatnya orang khawwash. Tafwidh adalah orang yang rela dengan hukum-Nya, sifatnya khawwashul khawwash (al-Qusyairi, 2007: 228-232). Al-Jailani (2010: 301-304), menjelaskan bahwa tawakal adalah salah satu sifat mulia yang harus dimiliki seorang salik dalam mengenal Tuhannya. Orang yang dadanya tidak terisi tauhid, maka dia harus memahami bahwa segala sesuatu atas kehendak Allah, Dialah yang menentukan segala yang Dia mau, dan bahwa ketentuan-Nya itu berlaku dengan penuh bijaksana dan adil sesuai dengan ilmu dan masyi’ah-Nya. Artinya,
104
membuang
jauh semua sebab
yang
membuat
manusia
menggantungkan diri kepadanya. Apabila seorang hamba telah mengetahui liku-liku ketentuan Allah, maka ia akan menyadari bahwa itulah yang disebut sebagai buah tawakal. Kekuatan ilmu dalam hati mereka itu akan menarik mereka kepda tindakan beramal yang lebih banyak
dan
lebih
ikhlas
terhadap
Allah
SWT.
tanpa
menghiraukan keadaan sekelilingnya. Bila mendapat kebaikan, terlebih lagi hal-hal yang buruk, ia tetap bersyukur terhadap segala takdir dan keputusan Allah untuk dirinya. Semakin hari semakin kuat keyakinannya sehingga dari dalam dirinya muncul berbagai perilaku halus, yang membawanya terus naik ke tingkat kedudukan yang mulia di hadapan Allah. Semua itu terjadi berkat tawakal yang sepenuh hati dan penyerahan dirinya kepada Tuhan Sang Pencipta yang kini sedang dituju dan dijadikan tumpuan perhatiannya. Bila seseorang menyerahkan dirinya secara penuh kepada Allah, maka Allah akan mengaruniakan apa saja yang dimintanya. Begitu pula sebaliknya, bila dengan bulat ia menyerahkan dirinya pada dunia, maka Allah akan membiarkan dirinya dikuasai oleh dunia (al-Jailani, 2010: 33). Di sini adalah letak perbandingan manusia yang mengejar dunia, sehingga semua hati dan perhatiannya ditumpukan pada
105
dunia yang dikejarnya. Berusahalah dia siang dan malam karena dunia, padahal urusan dunia itu tidak ada akhirnya. Semakin banyak yang diraihnya, semakin serakah ia terus berusaha untuk mendapatkannya. Sampai-sampai urusan akhirat terabaikan olehnya, malah semakin hari semakin kurang. Begitu pula sebaliknya, bila ingatan manusia lebih condong kepada akhirat maka ingatan terhadap dunia akan berkurang. Karena itu, pilihlah akhirat dari pada dunia. Allah swt, berfirman,
“Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-
sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 3) (al-Qur’an Digital). Ketiga pokok ajaran Majelis Shalawat Burdah di atas, merupakan inti ajarannya. Sebagai bekal perjalanan panjang seorang salik untuk menuju Allah. Maka dari itu, prosesnya haruslah dengan guru yang wushul (mursyid). Sehingga si murid tidak salah jalur dalam menuju Allah. Tidak sedikit murid yang tersesat karena dia berjalan tanpa bimbingan guru.
106
2.
Hubungan Murid dengan Guru Dalam Majelis Shalawat Burdah hubungan murid dengan guru dikenal dengan istilah, “Wong tuo iku ana loro, yaiku guru lan wong tuo loro, wong tuo saka nduwur ngedonke, guru saka ngisor ngunggahke” (Buletin malam Jumat edisi 27, 2010). Artinya, lewat kedua orang tua kita dilahirkan di dunia dengan memegang janji pada Allah dan akan kembali kepada-Nya. Melalui guru kita dihantarkan menuju wushul pada Allah yang sebelumnya melalui perjuangan penyucian jiwa dengan mengendalikan hawa nafsu. Ia akan mengajari dan membimbing kita untuk berani mengenal, mempelajari dan menguasai semua jenis hawa nafsu dan syahwat (khawatir, kecewa, ragu-ragu, takut, cemas, tinggi hati , bangga, sombong, iri, minder, tidak percaya diri, dan sebagainya) yang ada dalam diri kita sendiri. Terkuasainya bala tentara nafsu, hati semakin jernih, dan hati yang jernih itu menyebabkan hidayah Allah akan turun. Sehingga kita dapat menuju Allah dengan jiwa yang suci. Dalam hal ber-mursyid, kita setiap saat memohon untuk diantarkan ke seorang mursyid (pemimpin yang dapat memberi petunjuk). Namun banyak murid setelah bertemu justru berlari meninggalkannya. Memang tidak mudah bersama seorang mursyid, karena murid akan menjalani pendidikan yang ketat dan berat, yaitu ‘ngaji perintah’. Seorang murid harus rela dalam menjalankan
107
perintah guru, ini dimaksudkan untuk mendidik hati murid untuk beristiqamah dengan sabar, ikhlas, tawakal. Jika sebuah perintah yang datang dari guru dikatakan sebuah anugrah, maka tidak ada satu murid pun yang berani menolaknya. Karena hakekatnya semua anugrah berasal dari Allah SWT., yang diturunkan melalui Nabi SAW., waliyullah, dan guru-guru sufinya. Artinya, seberat apapun perintah pasti akan dilaksanakan dengan senang hati. Bukan dengan muka masam dan pucat karena takut tidak dapat melaksanakannya. Bukan pula dengan hati yang mengganjal karena prasangka buruknya, memandang remeh karena hilang niat tulusnya, juga menjauhinya karena kesedihannya. Sebab, Allah SWT. berfirman,
“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya (3). ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (4).” (QS. an-Najm [53]: 3-4) (Al-Quran Digital). Oleh sebab itu, sebuah perintah guru yang menjadi pewaris Nabi SAW. itu dikatakan berasal dari Illahi. Tidak ada seorang murid yang berani menyangkalnya. Karena hanya Allah ta’ala yang mampu mengatur seluruh lintasan alam semesta. Artinya, seluruh model pengaturan berasal dari-Nya. Tetapi yang pandai menyangkal hanyalah nafsu diri akibat dari kesombongan dan hati yang terbisiki syetan. Sehingga anggota tubuh melakukan dosa yang mengakibatkan
108
gelapnya
hati dan
menjadi terhalang akan
ilmu-ilmu
yang
disampaikan guru. Sebuah perintah guru bermakna lebih dari sebuah petuah, sehingga tidak sedikitpun murid bergeming dan pindah guru. Sebab perintah guru ia artikan tak ternilai bagi murid sebagai hadiah. Memahami itu adalah sebuah siasat dari guru mendidik hati bagi jamaah. Jika murid sedang dalam kesulitan, biasanya siasat yang datang akan mengurainya. Siasat akan berbentuk perintah-perintah njero (dalam), yang kelihatannya tidak berkaitan, namun sesungguhnya bertalian.
Seperti
tidak
memecahkan,
namun
sebenarnya
menjembatani. Diperintah mundur, barangkali untuk siap-siap melompat pagar. Diperintah maju barangkali akan kejatuhan batu. Disuruh duduk, mungkin ada waktu perjamuan makan. Diperintah berdiri mungkin waktunya untuk perkenalan diri. Ibarat bayi masih dikempongi, dipopoki, digendong. Ibarat orang buta yang butuh dituntun tongkat unuk berjalan. Ibarat orang tua harus dibantu karena renta. Ibarat anak muda harus banyak pengalaman dan asam garam hidupnya. Karena itulah murid menjadikan
gurunya
sebagai
orang
tua
yang
melindungi,
mendampingi, dan mengasihinya dengan perintah. Dan perintah sebagai tanda dan bukti kedewasaan dalam kehidupannya. Tanggapan terhadap perintah menjadi tanda bagai jawaban dari sebuah
109
pertanyaan. Jawaban akan menjadi angka-angka yang menunjukkan besar kecilnya sebuah penilaian. Tanggapan dan proses penuntasan jawaban akan menjadi momen penilaian sendiri oleh guru secara khusus, bukan besar kecil yang didapat (Buletin malam Jumat edisi 31, 2011). Maksud dari perintah guru adalah membimbing hati murid. Dengan mengutamakan akhlak, budi pekerti yang luhur akan menjernihkan hati. Oleh sebab itu, akhlak adalah bahan pokok yang harus dimiliki oleh seorang murid dalam perjuangan pembersihan jiwa hingga dia menjadi hamba yang bertakwa. Akhlak itu merupakan aturan untuk menata hidup dan kehidupan. Karena, jiwa dari agama Islam adalah akhlak. Rasulullah diutus untuk menyempurnakan Islam dengan akhlak dan akhlak Rasulullah SAW. adalah al-Quran. Murid belum menjadi hamba yang bertakwa bila dalam dirinya belum terdapat budi pekerti yang luhur. Sebab, jiwa yang tanpa akhlak adalah jiwa-jiwa yang kotor. Sehingga hatinya menjadi tertutup, ilmu yang disampaikan lewat mursyid akan menjadi terhalang dan hidayah Allah tak bersinar dalam hati (Buletin malam Jumat edisi 24, 2011). Maka dari itu, seorang murid harus menerapkan pula adab-adab dalam mencari ilmu dari seorang mursyid (Buletin malam Jumat edisi 9, 2010). Adapun adab murid adalah sebagai berikut: a. Mendahulukan kebersihan jiwa dari akhlak yang rendah. Selama batin tidak dibersihkan dari hal-hal yang keji, ia pun tidak akan
110
menerima yang bermanfaat dalam agama dan tidak diterangi dengan cahaya ilmu. b. Mengurangi kesenangan-kesenangan duniawinya dan menjauh dari kampung halamannya, sehingga hatinya terpusat untuk ilmu. Ilmu tidak akan memberikan sebagiannya hingga engkau memberinya seluruh milikmu. c. Tidak sombong dan tidak membantah perintah guru. Seperti orang yang sakit parah memberi kebebasan dokter dan tidak menuntut macam obat tertentu. Ilmu tidak dapat masuk pada orang yang sombong, seperti banjir yang tidak dapat mencapai tempat yang tinggi. d. Menghindar dari mendengarkan perselisihan di antara sesama manusia. Hal ini dikarenakan dapat menimbulkan kebingungan hatinya condong pada segala yang disampaikan, terutama hal-hal yang menyebabkan kemalasan dan penganguran. e. Tidak menolak suatu bidang ilmu yang terpuji. f. Mengalihkan perhatiannya pada ilmu yang terpenting, yaitu akhirat. Ilmu yang paling mulia dan pucaknya adalah lautan yang tidak terjangkau dasarnya. g. Bila tujuan pelajar dalam keadaan itu ialah menghiasi batinnya dengan sifat yang menyampaikannya kepada Allah dan derajat tertinggi di antara malaikat muqarrabin, sedang dengan itu ia tidak mengharapkan kepemimpinan, harta dan kedudukan.
111
Pada pengamalan ajaran-ajarannya, Majelis Shalawat Burdah memberikan kata kunci yang disebut sanepan (bahasa isyarat). Yaitu, “Golekana wong tuamu, nak wis ketemu mulyakna; golekana awakmu, nak wis ketemu takna seka dunya; golekana tipak lakumu nak wis ketemu noleha mburi, terus tangisana.” Maksudnya, carilah orang tuamu, kalau sudah ketemu muliakanlah mereka; carilah dirimu, bila sudah ketemu keluarkanlah dari dunia; carilah bekas tingkah lakumu, bila sudah ketemu tengoklah kebelakang kemudian tangisi dosa-dosa dan kelakuan burukmu (Buletin malam Jumat edisi 18, 2010). Hal ini akan dibahas pada sub bab berikutnya.
BAB IV NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM TRADISI RITUAL BURDAHAN DI PONDOK PESANTREN KRAMAT A.
Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Tradisi Ritual Buradahan di Pondok Pesantren Kramat Nilai-nilai akhlak dalam tradisi ritual burdahan di Pondok Pesantren Kramat terletak pada kasidah Burdah dan ritual burdahannya. Dalam syair Burdah nilai-nilai akhlaknya terletak pada kandungan syair Burdah, yaitu taubat, zuhud, nafsu, khawf, raja’, mahabbah yang ditandai dengan syawq (rindu), dan Hakikat Muhammad atau Nur Muhammad SAW. Sedangkan dalam ritual burdahan nilai-nilai akhlaknya terletak pada inti ajarannya, yaitu sabar, ikhlas, tawakal. Akhlak-akhlak tersebut merupakan ajaranajaran ketasawufan. Majelis Shalawat Burdah dimaksudkan sebagai majelis pendidikan tasawuf bagi jamaah. Sedangkan makna tasawuf itu sendiri menurut Abu Muhammad al-Jariri adalah memasuki dalam akhlak Nabi SAW. dan keluar dari akhlak yang buruk. Menurut Muhammad al-Kattani akhlak tercermin dalam sifat orang-orang ahli tasawuf. Artinya, tasawuf adalah akhlak yang menjadi bekal dalam perjalanan kebersamaan dengan Allah (al-Qusyairi, 2007: 352). Menurut Ahmad an-Nuri, tasawuf adalah akhlak, barang siapa yang bertambah bagus akhlaknya, maka akan bertambah mantap tasawufnya (semakin bersih jiwanya) (al-Qusyairi, 2007: 417). Pada intinya tasawuf
112
113
adalah proses pembersihan diri sesuci mungkin dalam rangka mendekatkan diri pada Allah. Proses penyucian jiwa dalam rangka mendekatkan diri pada Allah akan melewati jalan panjang dengan pemberhentian-pemberhentian yang disebut maqamat, dan dalam proses ini seseorang akan memasuki kondisi mental tertentu yang disebut hal. Maqamat adalah bentuk jamak dari maqam yang berarti posisi, kedudukan, dan tingkatan. Dalam tasawuf, maqamat lazim dipahami sebagai tempat pemberhentian atau stasiun dalam sebuah perjalanan panjang menuju Tuhan. Maqamat adalah kedudukan seorang hamba di hadapan Allah yang berhasil diperolehnya melalui ibadah, bentuk amalan mujahadah tertentu, perjuangan melawan hawa nafsu (jihad an-nafs). Ketika itu, seseorang yang menduduki sebuah maqam harus menegakkan nilai-nilai yang terkandung dalam maqam yang dikuasainya. Karena itu, dia akan disibukkan dengan berbagai latihan spiritual (riyadhah). Maqam seseorang dianggap sah jika seseorang menghapdakan segenap jiwa raganya kepada Allah (al-Qusyairi 2007: 58). Maqamat yang harus dijalani oleh seorang Sufi atau calon Sufi terdiri atas beberapa peringkat. Abu Bakar al-Kalabadzi (w. 380 H./ 990 M.), tokoh sufi asli Bukhara, Asia Tengah, menyebutkan tujuh maqam yang harus dilalui seorang sufi menuju Tuhan, yaitu: taubat, zuhud, sabar, tawakal, ridha, mahabbah (cinta), dan ma’rifah (Huda, 2008: 59).
114
Selain istilah maqam, didalam literatur tasawuf juga terdapat istilah hal (bentuk jamaknya adalah ahwal). Hal adalah rasa yang hadir dalam hati secara otomatis tanpa unsur kesengajaan atau usaha manusia, seperti perasaan senang, sedih, takut, gemetar, lapang, dan lain sebagainya. Hal berlainan dengan maqam yang dicapai dengan perjuangan secara terus menerus. Hal merupakan anugrah dan rahmat dari Tuhan. Sifatnya sementara, ia datang dan pergi; dalam arti datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan (al-Qusyairi, 2007: 59). Meskipun kondisi atau sikap mental itu semata anugerah Allah, bukan karena latihan dan perjuangaan, namun bagi setiap orang yang ingin meningkatkan intensitas jiwanya maka dia harus berusaha menjadikan dirinya sebagai orang yang berhak menerima anugerah Allah tersebut. Hal itu bisa dilakukan dengan meningkatkan amal perbuatanya, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Selain itu, mutu iman dan ma’rifah-nya kepada Allah juga harus lebih diefektifkan. Jika seseorang telah memenuhi tugas-tugas tersebut, niscaya dia berhak menerima anugerah atau karunia dari Tuhan; dan jika Allah menghendaki niscaya kondisi jiwanya akan naik dari satu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih sempurna. Dengan demikian, maqam dan hal adalah dua keadaan atau aspek yang saling terkait. Makin tinggi maqam yang dicapai oleh seseorang maka semakin tinggi pula hal yang ia peroleh. Dengan demikian, hal sebenarnya merupakan manifestasi dari maqam yang dicapai. Dengan kata lain, ia merupakan kondisi mental yang diperoleh seorang sufi sebagi anugerah dari
115
amalan yang ia lakukan. Hanya saja, oleh karena seorang sufi senantiasa bersikap hati-hati dan berserah diri kepada Allah maka biasanya ia segan untuk mengatakannya (Huda, 2008: 61). Sebagaimana maqam, jumlah dan formasi hal juga diperselisihkan oleh kaum sufi. Di antara sekian banyak nama dan sifat hal tersebut, ada empat yang terpenting, yakni: (1) Khawf, yakni sikap mental merasa takut kepada Allah; (2) Raja’, yaitu sikap mental yang optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat Ilahi; (3) Syawq, yakni kondisi kejiwaan yang menyertai mahabbah, yaitu rasa rindu yang memancar dari kalbu karena gelora cinta sejati kepada Allah; dan (4) Uns, yaitu terpusatnya ekspresi ruhani kepada Allah (Huda, 2008: 61) . Kemudian dalam wacana tasawuf juga dikenal takhalli, tahalli, dan tajalli. Maksud dari takhalli yaitu membersihkan diri dari perbuatan atau sifat-sifat tercela, seperti: sombong, dengki, iri hati, cinta kepada dunia, cinta kedudukan, riya’, dan sebagainya. Ini merupakan langkah awal untuk membersihkan hati bagi seorang salik. Sedangkan tahalli adalah menghiasi diri dengan sifat-sifat luhur, seperti: kejujuran, kasih sayang, tolong menolong, kedermawanan, sabar, keikhlasan, tawakal, kerelaan, cinta kepada Allah SWT, dan sebagainya. Ia merupakan tangga berikutnya untuk mencapai tingkat spiritualitas yang lebih tinggi yaitu tajalli. Kemudian tajalli adalah terbukanya tabir yang menghalangi hamba dengan-Nya sehingga hamba menyaksikan tanda-tanda kekuasaan dan keagungan-Nya. Istilah lain yang memiliki kedekatan arti dengan tajalli adalah ma’rifah,
116
mukasyafah, dan musyahadah. Semua itu menunjuk pada keadaan di mana terbukanya tabir (kasfu al-hijab) yang menghalangi hamba dengan Allah SWT. (Huda, 2007: 52-57).
B.
Implikasi Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Shalawat Burdah dalam Kehidupan Dalam kehidupan ini manusia pasti memerlukan kebersihan diri. Manusia yang hidupnya kotor, tidak seorang pun yang ingin berkawan dengannya. Ia akan dibenci dan dipandang sebagai orang yang menjijikkan di mata umum. Karena itulah, Islam menganjurkan supaya manusia senantiasa dalam keadaan bersih suci, baik secara lahir maupun batin. Tetapi yang selalu diutamakan dan menjadi perhatian manusia selama ini hanyalah yang tampak secara lahir saja, sedangkan yang ada di dalam batin seringkali terlalaikan dan tidak terurus, sehingga tercemarlah keadaan batin manusia. Hakikat batin yang tercemar akan dikotori oleh perangai dan perbuatan yang jahat, serta tindakan yang membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Semua tingkah laku yang buruk akan membahayakan batin seseorang, termasuk akhlak-akhlak tercela, seperti sombong, takabur, dengki, ujub, riya’, sum’ah, suka mengadu domba manusia, fitnah, marah, hasut, iri, syirik, dan masih banyak lagi. Ruh dan jiwa juga bisa kotor karena memakan yang haram, lisan yang mengeluarkan
kata-kata
kotor
dengan
ungkapan-ungkapan
yang
117
menyakitkan hati, taling yang mendengar fitnah dan mengumpat orang, tangan dan kaki yang melakukan perbuatan buruk, dan kemaksiatankemaksiatan yang mengikuti perbuatan orang-orang zhalim. Hendaknya cepat-cepat disadari akan adanya kotoran dalam jiwa atau batin kita. Kotoran itu adalah dosa dan kesalahan kita sendiri. Cara menyucikannya adalah dengan bertaubat sebenar-benarnya taubat. Cara menyicikan batin kita ialah dengan masuk atau menempuh suatu jalan ruhani atau tarekat yang dibimbing oleh guru ruhani (mursyid) atau sufi. Majelis Shalawat Burdah juga sebagai majelis pembersihan jiwa atau disebut dengan tasawuf. Hal ini terlihat dalam ajaran-ajaran dan praktik tarekatnya (tradisi ritual burdahan) yang ternyata terdapat nilai-nilai akhlak, yaitu akhlak ketasawufan. Misalnya saja taubat, zuhud, sabar, ikhlas, tawakal, mahabbah, khauf dan raja’, hal tentang nafsu bahkan mengenai hakikat Nur Muhammad SAW. Maka dari itu, tradisi ritual burdahan di Pondok Pesantren Kramat juga merupakan sarana pendidikan tasawuf bagi jamaah. Sedangkan makna tasawuf itu sendiri menurut Abu Muhammad alJariri adalah memasuki dalam akhlak nabi dan keluar dari akhlak yang buruk. Menurut Muhammad al-Kattani akhlak tercermin dalam sifat orangorang ahli tasawuf. Artinya, tasawuf adalah akhlak yang menjadi bekal dalam perjalanan kebersamaan dengan Allah (al-Qusyairi, 2007: 352). Menurut Ahmad an-Nuri, tasawuf adalah akhlak, barang siapa yang bertambah bagus akhlaknya, maka akan bertambah mantap tasawufnya
118
(semakin bersih jiwanya) (al-Qusyairi, 2007: 417). Pada intinya tasawuf adalah proses pembersihan diri sesuci mungkin dalam rangka mendekatkan diri pada Allah. Pada pengamalan akhlaknya, Majelis Shalawat Burdah mengenal dengan ‘sanepan’ (bahasa isyarat), “Golekana wong tuamu, nak wis ketemu mulyakna; golekana awakmu, nak wis ketemu takna seka dunya; golekana tipak lakumu nak wis ketemu noleha mburi, terus tangisana.” Maksudnya, carilah orang tuamu, kalau sudah ketemu muliakanlah mereka; carilah dirimu, bila sudah ketemu keluarkanlah dari dunia; carilah bekas tingkah lakumu, bila sudah ketemu tengoklah kebelakang kemudian tangisi dosadosa dan kelakuan burukmu. Kaitannya dengan orang tua, di sini diibaratkan dengan ‘klapa loro’, yaitu guru dan kedua orang tua, sanepannya, “Wong tuo seko nduwur ngedonke, guru seko ngisor ngunggahke.” Maksudnya, orang tua dari atas melahirkan ke dunia, guru dari dunia membimbing murid kembali ke jalan menuju pada Allah. Makna dari ungkapan-ungkapan isyarat di atas menunjukkan bahwa hidup adalah sebuah pencarian. Seperti ungkapan bapak Khambali berdasakan pengalaman hidupnya, dia mengatakan bahwa, “Hidup adalah perjalanan panjang perjalanan panjang dalam pencarian Tuhan dan akan kembali pada-Nya” (wawancara tanggal 5 Mei 2011). Pertama kali murid disuruh mencari orang tua dan memuliakannya. Orang tua yang dimaksudkan adalah guru dan orang tua yang melahirkan. Pembahasan pertama adalah mengenai kedua orang tua, melalui mereka
119
manusia dilahirkan ke dunia, yang sebelumnya ruh-ruh mereka dijanji persaksian pada Allah sebagai Tuhan mereka. Dari orang tua, kita akan menemukan dari mana kita berasal. Hakikatnya ruh-ruh manusia itu diciptakan berasal dari Nur Ilahiyah. Pertama kali Allah SWT. menjadikan Nur Muhammad sebagai makhluk yang pertama, dan dari nurnya diciptakan seluruh makhluk, termasuk di dalamnya adalah ruh-ruh manusia. Kemudian ruh-ruh itu diturunkan ke ‘Alam Ajsam dan ditiupkan dalam badan-badan yang telah dikhususkan masing-masing. Sebagaimana yang diuraikan oleh al-Jailani pada sub bab sebelumnya tentang Nur Muhammad atau Hakikat Muhammad. Firman Allah SWT.,
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orangorang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS. al-A’raf [7]: 172) (al-Qur’an Digital) Atas perjanjian dengan Allah, seperti ayat di atas, kemudian manusia dilahirkan ke dunia. Agar tidak lupa dalam memegang janji Allah, manusia haruslah menghambakan diri pada Allah secara total dalam kehidupannya di dunia. Ini merupakan wujud akhlak kepada Allah, yaitu memposisikan diri
120
sebagai hamba (Halim, 2000: 44). Sedangkan tugasnya seorang hamba adalah beribadah. Sebagaiman firman Allah,
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 56) (alQur’an Digital). Satu contoh, bapak Khambali, salah satu jamaah burdah yang dulunya dia adalah seorang hamba yang tidak taat, dosa-dosa besar sudah pernah dijalaninya. Hidup merantau di Jakarta membuat dirinya terpuruk dalam melakukan hal-hal yang haram, dan meninggalkan yang wajib. Suatu hari dia berkunjung ke Pondok Pesantren Kramat, sowan Pak Kyai, dengan penampilan seperti seorang preman. Lalu dia disarankan untuk ngaji burdahan tiap malam Jumat. Lambat laun penampilan fisiknya berubah rapi dan sopan, semangat ibadahnya pun bertambah. Shalat lima waktu tak pernah terlewatkan. Menurutnya “Hidup itu adalah tanggung jawab pada diri sendiri, tanggung jawab itu berupa ibadah pada Allah, itu termasuk akhlak kita kepada Allah. Ibadah juga harus diniati karena Allah serta sabar, ikhlas, tawakal.” (wawancara tanggal 5 Mei 2011). Dalam beribadah hendaknya diniatkan semata-mata karena Allah, bukan karena yang lain, bahkan karena dirinya sendiri. Sebab itu, diperlukan sikap sabar, ikhlas, dan tawakal dalam menjalankan ibadah. Kesabaran adalah sumber segala kebajikan dan keselamatan dunia akhirat. Melalui sabar orang-orang mukmin mencapai keikhlasan kepasrahan penyerahan diri terhadap kehendak Allah (tawakal).
121
Akan tetapi, untuk mencapai keadaan sabar, ikhlas, dan tawakal, semata-mata karena Allah bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Perlu adanya perjuangan yang sungguh-sungguh, karena ketiga sifat ini letaknya dalam hati dan berurusan dengan batin. Sedangkan batin, sering kali terlupakan dan tidak terurus. Padahal hidup di dunia ini hanya sementara, kebanyakan dari kita tidak mengira bahwa kita akan kembali pada-Nya. Allah berfirman,
“... dan mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada kami. (QS. al-Qashash [28]: 39) (al-Qur’an Digital) Begitulah sikap manusia yang melupakan dirinya, sehingga tidak mengenali Tuhan yang menciptakannya. Manusia hendaknya menyadari bahwa yang berasal dari Allah pasti akan kembali pada-Nya. Allah itu Maha Suci, manusia akan tertolak di hadapan Allah jika jiwanya kotor. Maka dari itu, seseorang harus membersihkan jiwanya sebelum kembali pada Allah. Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Allah tidak akan membiarkan ruh-ruh berada dalam kesesatan dan kebodohan. DisadarkanNya mereka seperti semula dengan mengutus para rasul dan kitab-kitab agar mereka tidak lupa dan lalai. Para Rasul terus berdatangan silih berganti sampai kepada Nabi Muhammad SAW., yaitu Nabi terakhir dan Rasul terakhir. Allah menurunkan para Rasul itu untuk membuka mata hati manusia supaya tersadar dan kembali masuk ke dalam golongan manusia yang mengenal sifat al-Jamal (Indah), karena Allah itu Indah, bersifat dengan semua sifat-
122
sifat yang indah, dan Dia gemar memperhatikan segala yang indah-indah, termasuk sifat yang indah dari para hamba-Nya, yang hanya dari sanalah manusia kemudian akan menjejakkan kakinya di titian Haqiqah, yakni ke peringkat hakikat untuk mengenal Allah SWT. yang menciptanya, serta bertaqarrub kepada dzat-Nya Yang Mahabesar (al-Jailani, 2010: 22-23). Allah berfirman:
“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik." (QS. Yusuf [12]: 108) (al-Qur’an Digital). Maka dari itu, itba’ (mengikuti) ajaran-ajaran Rasulullah SAW. termasuk pokok penghambaan diri secara total kepada Allah. Karena, jika bukan karena Rasulullah SAW., kita tidak akan bisa mengenali kembali Tuhan kita, yaitu Allah. Itba’ Rasulullah juga berarti menempatkan kedudukan beliau sebagai manusia pilihan (al-mushthafa), mengakui kerasulannya,
membenarkan
risalahnya,
mencintainya,
bershalawat
untuknya, menaati perintahnya dan menjahui larangannya. Semua itu termasuk cara ber-akhlak seorang hamba kepada Rasulullah SAW. (Halim, 2000: 90). Pada Majelis Shalawat Burdah, akhlak ini ditunjukkan pada pelaksanaan tradisi ritual burdahan. Tradisi ini dimaksudkan untuk
123
menumbuhkan rasa cinta pada Rasulullah di dalam hati dengan cara banyak bershalawat untuknya. Sehingga, murid akan mengenal lebih dekat dengan Rasulullah. Pepatah mengatakan, “Tak kenal maka tak sayang”, lalu dalam pepatah jawa juga disebutkan, “Witing trisna jalaran saking kulina.” Jika sudah demikian, maka murid akan timbul keinginan untuk mengikuti jejak Rasulullah SAW., karena hati itu cenderung melakukan apa yang sering dilakukan yang dicintainya. Sebab itu pula tradisi ritual burdahan dijadikan sebagai tarekat yang harus diikuti murid secara terus-menerus. Selain itu, di atas telah dijelaskan bahwa Majelis Shalawat Burdah adalah majelis pembersihan jiwa (tasawuf). Dalam prosesnya murid akan dibimmbing oleh seorang mursyid yang berpengalaman dalam makrifat pada Allah. Peran mereka adalah sebagai penerus Rasulullah, menanggung sebagian tugas kenabian. Jadi, tugasnya hanya pada muruid-muridnya dalam membantu membersihkan jiwa mereka masing-masing. Kebersihan jiwa atau hati seorang murid akan menghantarkannya menuju wushul pada Allah. Oleh sebab itu, guru dikatakan “Seka ngisor ngunggahke”. Sebagai contoh, Ibu Mimah, jamaah yang sudah ikut burdahan selama dua tahun. Dia mempunyai seorang ibu yang sudah jompo yang berwatak keras. Hampir-hampir dia tidak kuat menahannya. Beliau mengatakan, “Jika bukan karena dawuhe Yai, saya sudah melepaskan ibuku.” Sementara itu, nasehatnya pak Kyai adalah “Nak njenengan sabar ngrumat ibu’e nganti sedo, ya bakal ntuk ridlone Allah, Iku termasuk birrul walidain.” (Obaservasi tanggal 3 April 2011).
124
Dengan demikian, sudah sepatutnya murid mematuhi gurunya, memasrahkan diri sebagai murid yang akan dibimbing ber-taqarrub pada Allah. Ini termasuknya cara ber-akhlak pada guru mursyid dalam bertarekat (suluk). Dalam Majelis Shalawat Burdah, cara ber-akhlak pada guru mursyid terlihat pada pola hubungan guru dengan murid. Yaitu dalam istilah ‘Ngaji perintah’, perintah guru yang dijatuhkan pada murid sesuai dengan kadar penyakit yang ada dalam hati atau jiwa. Kesucian hati guru seperti lautan, dalam hatinya menerima hikmah atau ilham ketuhanan, yang berasal darinya adalah dari Rasulullah SAW., segala yang dari Rasulullah dari Allah dan bukan karena hawa nafsunya. Jadi, Murid harus menjalankan perintah guru dengan sabar, ikhlas, dan tawakal. Demikian itu termasuk akhlaknya murid pada guru. Di dalam kitab Tanwirul Qulub (Huda, 2008: 222-223), menyebutkan akhlak murid pada guru mursyid, yaitu: 1.
Harus menghormati dan memuliakan gurunya lahir dan batin, berkeyakinan atas bimbingan gurunya dalam mencapai tujuannya.
2.
Harus menyerah, tunduk, dan rela pada kehendak gurunya, dan berkhidmat dengan sepenuh hati.
3.
Sikapnya tidak bertentangan dengan apa yang diperbuat gurunya dan tidak menegurnya, yang datang dari guru itu bukan dari hawa nafsunya karena beliau adlah orang pilihan yang berpengalaman dalam bidang ruhani dan bermakrifat pada Allah.
125
4.
Bekumpul
dengan
guru
tanpa
tujuan
apa-apa
selain
untuk
mendekatkan diri pada Allah. 5.
Harus meleburkan ikhtiar dirinya ke dalam ikhtiar guru dalam segala urusan, baik secara keseluruhan maupun sebagian, baik urusan ibadah maupun kebiasaan.
6.
Tidak mengoreksi perilaku gurunya secara mutlak, dan selalu berprasangka baik kepada gurunya dalam segala hal.
7.
Hatinya selalu merasa bersama gurunya dan menerima bimbingannya dalam segala urusan, baik saat bepergian maupun di rumah, agar memperoleh berkahnya.
8.
Segera melaksanakan perintah guru tanpa menunda-nunda dengan istirahat dan berdiam sebelum selesainya suatu perintah.
9.
Menjahui segala yang dibenci oleh gurunya.
10.
Tidak bergaul erat dengan orang yang tidak disenangi oleh gurunya dan mencintai orang yang dicintai oleh gurunya.
11.
Tidak duduk di tempat duduk yang dipersiapkan khusus untuk gurunya.
12.
Tidak menyampaikan kata-kata gurunya kepada orang lain kecuali seukuran dengan pemahaman dan akal pikiran mereka. Dalam perjalanan pembersihan jiwanya, murid akan masuk dalam
pencarian jati dirinya. Di dalam pencarian jati dirinya, murid akan mengenali ‘nafsu’. Nafsu sifatnya sangat lembut dan halus, berada pada satu sisi hati khusus untuk akhlak-akhlak berpenyakit (al-Qusyairi, 2007: 111).
126
Nafsu sifatnya cenderung merusak yang menyebabkan dosa dan keburukan, akibatnya hati menjadi kotor. Cara menghilangkan kotoran dalam hati adalah dengan menyesali dosa-dosa dan perilaku buruk yang telah diperbuat. Kemudian ber-taubat yang sebenar-benarnya (taubatan nashuhan), yang sebelumnya akan muncul sifat khauf (takut) dan raja’ (harap) pada Allah (al-Jailani, 2010: 102). Selanjutnya, murid akan berusaha mengeluarkan diri dari dunia yang fana’ (zuhud) menuju Sang Maha Pencipta. Dari sikap ketidak peduliannya, murid akan menemukan mahabbah pada Allah, lalu hatinya menjadi jernih tempat rahasia-rahasia ketuhanan dan makrifat billah. Dari proses pembersihan jiwa tersebut, murid menerapkan akhlak-akhlak yang terkandung dalam Shalawat Burdah.
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan 1.
Tradisi ritual burdahan di Pondok Pesantren Kramat adalah termasuk peringatan maulid Nabi SAW. dengan membaca maulid Burdah karya Imam al-Bushiri. Dalam pembacaannya dipenuhi dengan nuansa sufistik. Terlihat pada model pembacaannya yang mempraktikan hadlrah (kehadiran Rasulullah SAW.) serta diiringi shalawat. Prosesnya dimulai dengan membaca al-Fatihah secara bersama-sama, selanjutnya pembacaan maulid secara keseluruhan, dan ditutup dengan doa. Model pembacaan maulid seperti ini sering dilakukan organisasi tarekat yang ada di Indosesia. Begitu juga di Pondok Pesantren Kramat, yang menjadikan pembacaan maulid Nabi sebagai tarekat, yaitu Tarekat Akmaliyah, yang harus diikuti oleh jamaah secara continue dan dalam pengamalannya mengutamakan akhlak. Burdahan di sini sebagai mujahadah wajib (dawam) bagi para jamaah. Ini dimaksudkan untuk menyambung ikatan batin dengan Rasulullah, kerena di dalam burdahan terdapat bacaan shalawat. Ikatan batin juga dilakukan dengan imam sebagai guru yang membimbing murid dalam perjalanan penyucian jiwa untuk menuju Allah.
2.
Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam tradisi ritual burdahan ada dua. Pertama, nilai-nilai pendidikan akhlak dalam syair Burdah atau Shalawat Burdah termasuk akhlak tasawuf. Misalnya, taubat, zuhud,
127
128
nafsu, khauf dan raja’, mahabbah, dan Nur Muhammad. Kemudian yang kedua, nilai-nilai pendidikan akhlak yang terdapat pada inti ajaran Majelis Shalawat Burdah, Yaitu sifat sabar, ikhlas, dan tawakal. Maka dari itu, tradisi ritual burdahan di Pondok Pesantren Kramat merupakan sarana pendidikan tasawuf pada jamaah (murid atau salik). Dalam bertasawuf sifat-sifat di atas termasuk maqamat (tempat pemberhentian) bagi salik yang menjalani suluk. 3.
Implementasi nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Shalawat Burdah dalam kehidupan diungkapkan dengan bahasa isyarat (sanepan), “Golekana wong tuamu, nak wis ketemu mulyakna; golekana awakmu, nak wis ketemu takna seka dunya; golekana tipak lakumu nak wis ketemu noleha mburi, terus tangisana.” Kaitannya dengan orang tua, di sini diibaratkan dengan ‘klapa loro’, yaitu guru dan kedua orang tua, bahasa isyratnya, “Wong tuo seko nduwur ngedonke, guru seko ngisor ngunggahke.” Dalam ungkapan di atas ternyata mengandung akhlak seorang hamba pada Allah, Rasulullah SAW., guru mursyid, dan diri sendiri seorang murid atau salik.
B.
Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dan kesimpulan hasil penelitian, maka penulis memberikan saran sebagai berikut: Dalam kehidupan di dunia ini, manusia tidak akan luput dari dosadosa dan perilaku buruk, hingga membuat hati menjadi kotor. Hati yang kotor akan tertolak oleh Allah, padahal setiap manusia pasti akan kembali
129
pada-Nya. Cara membersihkannya adalah masuk dalam tarekat, jalan pembersihan jiwa menuju Sang Khalik. Ada banyak sekali tarekat, bilangannya sebanyak nafas makhluk-makhluk yang diciptakan Allah. Maka bertarekatlah dengan tarekat yang diyakini selagi masih ada kesempatan hidup di dunia, sebelum semua jalan pertaubatan ditutup. Karena didalam jiwa yang bersih akan tercermin akhlak-akhlak dalam dirinya dan menghantarkan pada Allah.