PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF K. H. ABDURRAHMAN WAHID
SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Oleh NANDIROTUL UMAH NIM. 11109081
JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2014
PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF K. H. ABDURRAHMAN WAHID
SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Oleh NANDIROTUL UMAH NIM. 11109081
JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2014
MOTTO
*Ing ngarso sung tulodho ing madya mangun karso tut wuri handayani* Umat beragama yang berpandangan luas mampu memahami orang lain menumpahkan kebersamaannya yang utuh dengan segala pihak menjunjung tinggi kebebasan sebagai sarana demokrasi (Gus Dur) *Berbanggalah menjadi manusia berbudaya Indonesia*
PERSEMBAHAN
Skripsi Ini Kupersembahkan Kepada: Kampus tercinta STAIN Salatiga, semoga kampus ini semakin tambah maju dan berkembang pesat Kedua orang tuaku yang telah memberikan restu dalam menuntut ilmu*Ayahanda Muslim dan Ibunda Junainah* semoga dengan keridhoan mereka dapat menjadi rahmat dalam hidupku Suamiku tercinta abang Ahmad Yunus, S. H. I yang senantiasa mengajariku dalam bersabar dalam segala hal, dan senantiasa menemani memotivasi dalam perjuangan ini Kedua mertuaku yang telah memberikan restu dalam menuntut ilmu *Ayahanda Waryanto dan Ibunda Riyami* semoga dengan keridhoan mereka dapat menjadi rahmat dalam hidupku Kakak tercinta Nasehatul Khasanah beserta suami mas Robi beserta keponakanku Alif Maulana Satriya yang sangat lucu dan lincah, selalu mengganggu dalam proses pengetikan, semoga kelak dia menjadi anak yang hebat Adek tercinta Maslakhatun Hafiyya yang telah mendukungku dalam menuntut ilmu Dan terakhir teman-teman seperjuangan yang menemaniku dalam susah maupun senang
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمه الرحيم الحمد هلل رب العا لميه أشهد أن الإله إالٌهلل وأشهد أن محمدا رسىل اهلل اللهم صل وسلم على سيدوا محمد وعلى أله وأصحا به أجمعيه أما بعد
Tak ada satu kata pun yang lebih pantas penulis persembahkan kepada Allah SWT kecuali puji-pujian dan ungkapan syukur pada-Nya, yang maha segalanya, maha sempurna, penuh perhatian dan penuh cinta. Tanpa cinta-Nya, proses penulisan skripsi ini tidak akan dapat terselesaikan. Anugerah dan kemuliaan
semoga
senantiasa
tercurahkan
kepada
baginda
Rasullullah
Muhammad SAW, yang dengan tabah, tulus dan sabar dalam mengemban misi suci kenabian. Skripsi yang berjudul “Model Pendidikan Partisipatif di Indonesia (Telaah Praktek Pendidikan Islam Dalam perspektif K. H. Abdurrahman Wahid)” telah selesai disusun. Penulis mengakui bahwa penulisan skripsi ini diwarnai oleh berbagai kendala, akan tetapi dengan dukungan berbagai pihak alhamdulillah skripsi ini dapat diselesaikan. Banyak pihak yang telah berperan dalam penyelesaian skripsi ini. Untuk itu, sepantasnya penulis mengucapkan terimakasih yang tulus kepada yang terhormat: 1. Dr. Imam Sutomo, M.Ag selaku ketua STAIN Salatiga. 2. Suwardi, M.Pd selaku ketua Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga.
3. Dra. Siti Asdiqoh, M.Si selaku ketua program studi pendidikan agama islam STAIN Salatiga. 4. Achmad Maimun, M. Ag selaku pembimbing akademik. 5. Prof. Dr. H. Mansur, M. Ag. Selaku pembimbing, yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya, dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaannya dalam
memberikan
bimbingan
dan
arahan
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi ini. 6. Bapak/Ibu dosen yang dengan semangat serta tulus mendidik dan memberikan jasanya selama menuntut ilmu di STAIN Salatiga. 7. Seluruh staf dan karyawan perpustakaan dan tata usaha (TU) STAIN Salatiga yang telah mempermudah proses penelitian ini. 8. Seluruh pengarang buku, yang buku-bukunya penulis jadikan sumber dalam penelitiaan ini baik primer maupun sekunder. 9. Ayahanda Muslim dan Ibunda Junaenah kedua orang tua penulis, yang tiada henti memanjatkan doa serta memberi motivasi dalam menuntut ilmu guna menjalani kehidupan. Ya Allah, lindungilah setiap tarikan nafas mereka di manapun mereka berada. 10. Suami tercinta abang Ahmad Yunus, S. H. I yang tanpa lelah menemani saatsaat suka maupun duka dalam penelitian ini. 11. Teman-teman jurusan PAI 2009 yang senantiasa saling melengkapi dan saling memberikan saran, semoga paseduluran kita akan terus berlanjut dan dipertemukan dalam aktifitas yang berbeda dengan kondisi yang lebih baik
lagi. Serta konco-konco ngrumpi marai kuliah jadi berwarna terutama (simuk). 12. Semua pihak yang ikut serta memberikan motivasi dan dorongan dalam penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Hanya ungkapan terimakasih yang dapat saya haturkan, dan semoga karya ini dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi saya pribadi, seluruh umat manusia dimanapun mereka berada, dan lebih berterimakasih lagi bagi mereka yang mau melihat dan mengoreksi dan menyempurnakan tulisan ini dengan penelitian yang lebih mendalam. Amin. Salatiga, 08 Rabiul Al-Tsani 1435 H 10 Februari 2014 M
Penulis
ABSTRAK Umah, Nandirotul. 2013. Pendidikan Islam di Indonesia Dalam Perspektif K. H. Abdurrahman Wahid). Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. STAIN Salatiga. Dosen Pembimbing: Prof. Dr. H. Mansur. M. Ag.
Kata Kunci: Pendidikan Islam, persepektif Abdurrahman Wahid. Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui pendidikan Islam di Indonesia serta melihat pendidikan Islam dengan persepektif Abdurrahman wahid. Pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah 1) bagaimana pendidikan Islam di Indonesia? 2) bagaimana pendidikan Islam perspektif Abdurrahman Wahid? Analisis ini menggunakan metode analisa isi. Yaitu menghimpun dan menganalisa dokumen-dokumen resmi, buku-buku, kemudian diklarifikasi sesuai dengan masalah yang dibahas dan dianalisa isinya. Karya-karya Gus Dur baik berupa buku, koran, majalah dan sebagainya dikumpulkan kemudian diadakan analisis yang terkait dengan pembahasan tersebut. Setelah semua data terkumpul, kemudian mendelegasikan pemikiran Gus Dur kepada pendidikan Islam. Berdasarkan hasil analisis dapat dirumuskan bahwa pendidikan Islam di Indonesia sudah banyak mengalami kemajuan, sejalan dengan hal tersebut pendidikan Islam menurut Gus Dur harus dapat mencakup segala aspek geografis, sosiologis dan budaya Indonesia. Pemikiran beliau seperti demokrasi, pluralisme dan pribumisasi Islam dapat dilakukan dan dijalankan guna untuk memajukan pendidikan Islam di Indonesia dalam jangka panjang. Demokratisasi pendidikan melihat pendidikan Islam harus mampu menampung segala bentuk ideologi pendidikan namun tetap memilih dan memilah yang sesuai dengan budaya dan karakter bangsa dan melihat segala bentuk perbedaan baik budaya, pendapat, kompetensi siswa dalam satu bangunan kesempurnaan serta menghapus generalisir dengan pluralisme dan menjadikan nilai-nilai Islam sebagai pedoman dalam bertindak, mengamalkan nilai-nilai Islam dimulai dari diri sendiri, keluarga, masyarakat dan sebagainya. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Gus Dur merupakan tokoh negarawan yang pluralis dan pemikir progresif serta dinamis. Sebagai agamawan, ia konsisten dalam pemikiran keislaman. Dalam khazanah keilmuan pendidikan ia tergolong pemikir pembaharu. Demokrasi, pluralisme dan pribumisasi Islam merupakan buah pemikiran beliau. Setelah dikaji secara mendalam pemikiranpemikiran tersebut diharapkan bisa diterapkan di dunia pendidikan Islam di Indonesia untuk kemajuan pendidikan Islam di Indonesia. Baik dalam konteks pendidikan lokal (pembelajaran di kelas) maupun sekala nasional.
DAFTAR ISI
JUDUL ....................................................................................................................... i LEMBAR BERLOGO ............................................................................................... ii PENGESAHAN KELULUSAN ................................................................................ iii PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................. iv PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ................................................................. v MOTTO .................................................................................................................... vi PERSEMBAHAN ...................................................................................................... vii KATA PENGANTAR ............................................................................................... viii ABSTRAK ................................................................................................................. xi DAFTAR ISI .............................................................................................................. xii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ............................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 7 C. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 7 D. Kegunaan Penelitian ..................................................................................... 8 E. Metode Penelitian .......................................................................................... 8 F. Penegasan Istilah ............................................................................................ 10 G. Sistematika Penulisan ................................................................................... 11 BAB II SKETSA BIOGRAFI DAN INTELEKTUAL ABDURRAHMAN WAHID A. Biografi Abdurrahman Wahid ....................................................................... 13
1. Keluarga ..................................................................................................... 13 2. Pendidikan.................................................................................................. 14 3. Jabatan yang Pernah di Duduki .................................................................. 22 B. Karya-karya Intelektual Abdurrahman Wahid ............................................... 26 C. Pemikiran Abdurrahman Wahid .................................................................... 27 1.Pribumisasi Islam ........................................................................................ 27 2. Pluralisme .................................................................................................. 30 3. Demokrasi .................................................................................................. 33 4. Pendidikan Islam ........................................................................................ 34 BAB III PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA A. Pengertian ..................................................................................................... 39 B. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam ............................................................. 40 C. Konsep Pendidikan Islam ............................................................................. 43 D. Ideologi Pendidikan Islam ............................................................................ 44 E. Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia ....................................................... 46 F. Permasalahan Pendidikan Islam di Indonesia ............................................... 49 BAB IV PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF K. H. ABDURRAHMAN WAHID A. Paradigma Pendidikan Islam.......................................................................... 52 B. Aspek Pendidik .............................................................................................. 57 C. Aspek Peserta Didik ....................................................................................... 61 D. Aspek Materi .................................................................................................. 63 E. Aspek Evaluasi ............................................................................................... 66
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................................... 70 B. Saran .............................................................................................................. 71 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada hakekatnya, kedudukan manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, makhluk biologis dan makhluk psikologis (spiritual). Manusia adalah gabungan antara unsur material (basyari) dan unsur ruhani. Dari segi hubungannya dengan Tuhan, kedudukan manusia adalah sebagai hamba (makhluk); dan kedudukan manusia dalam konteks makhluk Tuhan adalah makhluk yang terbaik (Atang Abdul Hakim, 2010: 209). Sebagai makhluk Tuhan yang terbaik, manusia berhak memilih untuk menjadi makhluk yang luar biasa dibanding makhluk lainnya. Manusia yang memiliki berbagai potensi yang dapat dikembangkan dan mampu berkembang dalam proses formal (pendidikan) dan non formal (belajar kehidupan secara mandiri). Dalam rangka mengembangkan potensi yang ada pada diri setiap manusia, dibutuhkan pendidikan sebagai alat penunjang. Karena sasaran pendidikan
adalah
manusia
maka
pendidikan
bertujuan
menumbuhkembangkan potensi manusia agar menjadi dewasa, beradab, dan normal. Dengan bekal yang diberikan Tuhan, manusia mempunyai indera dan akal yang dapat memaksimalkan pencapaian dalam proses belajar yang meliputi tiga aspek yaitu, aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Aspek
tersebut hanya akan dicapai secara ideal jika di dalamnya ada peran aktif dari peserta didik, karena pembelajaran menitikberatkan pada keterlibatan siswa bukan pada dominasi guru dalam penyampaian materi pelajaran (teacher center). Jadi pembelajaran akan lebih bermakna bila siswa diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam aktivitas kegiatan pembelajaran, sementara guru berperan sebagai fasilitator dan mediator sehingga siswa mampu
berperan
dan
berpartisipasi
aktif
dalam
mengaktualisasikan
kemampuannya di dalam dan luar kelas (Rusman, 2011: 323). Ini menjadi menarik karena dalam sebuah praktek pendidikan mempunyai
tujuan,
tidak
hanya
tujuan
yang
lingkupnya
sebatas
memaksimalkan potensi yang ada pada peserta didik akan tetapi pendidikan Islam juga mempunyai tujuan yang sangat penting untuk kelangsungan kehidupan beragama, kehidupan bernegara, dan kehidupan bermasyarakat sehingga dapat ikut serta dalam membentuk sebuah peradaban yang Islami. Tujuan pendidikan Islam yang ada sekarang ini, dirasakan tidaklah benar-benar diarahkan kepada tujuan positif, tetapi tujuan pendidikan Islam hanya diorientasikan kepada kehidupan akhirat semata dan cenderung bersifat defensif, yaitu upaya menyelamatkan kaum muslimin dari pencemaran dan pengrusakan yang ditimbulkan oleh dampak gagasan barat yang datang melalui berbagai disiplin ilmu, terutama gagasan-gagasan yang mengancam akan meledakkan standar-standar moralitas tradisional Islam (Hujair AH. Sanaky, 2003: 154). Namun jika pendidikan masih belum mampu menaikkan eksistensi dan potensi dalam kehidupan manusia, bisa jadi dikarenakan
minimnya keseriusan dan keahlian dalam memperbaiki sistem pendidikan itu sendiri. Dalam sejarah hal tersebut sudah terbukti ketika Rasullullah memimpin sendiri masyarakat Madinah, sehingga manciptakan masyarakat madani atau peradaban madani menjadi cita-cita pendidikan Islam, karena tidak hanya iptek yang maju, tetapi segala lini kehidupan dapat berjalan maksimal. Pada hakekatnya bertolak dari wawasan tentang pendidikan, yakni dalam konsep mendidik tidak ada unsur perintah, paksaan atau hukuman, tidak ada campur tangan yang dapat mengurangi kebebasan anak untuk berjalan sendiri dengan kekuatan sendiri. Dari sisi lain, pendidik setiap saat memberikan uluran tangan apabila diperlukan oleh anak. Dalam konteks tersebut, menarik untuk diamati pemikiran-pemikiran Abdurrahman Wahid, dalam masalah-masalah keagamaan, kemasyarakatan, kebudayaan, kebangsaan, demokrasi dan lain-lain terasa terlalu kritis, bahkan oleh sebagian orang dianggap nyleneh. Oleh karena itu, gagasan-gagasannya menjadi kontroversial, tetapi meski demikian gagasan-gagsannya itu dianggap discourse atau wacana oleh pemerhati intelektualitas atau kecendekiawanan di Indonesia sendiri maupun di luar negeri sehingga gagasan-gagasannya selalu dibicarakan dan pribadinya yang public figure selalu menjadi sumber berita bagi pers. Seperti halnya pemikiran beliau dalam dunia pendidikan. Beliau melihat seyogyanya pendidikan Islam mampu memberikan pembelajaran yang
membebaskan manusia dari belenggu-belenggu tradisionalis yang kemudian ingin didaur ulang dengan melihat pemikiran kritis yang terlahir oleh Barat modern. Dengan demikian, akan memunculkan term pembebasan dalam pendidikan Islam dalam koridor ajaran Islam yang harus dipahami secara komprehensif, bukan pemahaman yang parsial. Gus Dur menginginkan agar pendidikan Islam disamping mampu membuat peserta didik mahir dalam ilmu agama, juga mampu mencetak manusia yang memiliki keahlian dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang akhirnya berguna bagi umat manusia (Faisol, 2011: 88). Perlu ditelaah kembali bahwa pemikiran pendidikan islam dalam konteks ini memang sangat terkesan defensif. Pembaharuan pemikiran pendidikan Islam yang selaras dan sesuai dengan kondisi zaman perlu ditelaah. Artinya, tidak hanya pendidikan Islam yang sifatnya non-formal, semisal pondok pesantren yang nilai-nilai ajaran islam masih tetap kukuh sampai detik ini, tetapi perlu adanya sinergitas antara pendidikan islam yang bergerak dalam dunia pesantren. Dengan demikian, metode baru terhadap pendidikan islam merupakan urgensi, dalam rangka mempertahankan dan memperjuangkan nilai-nilai ajaran islam di era modernis ini (Faisol, 2011: 22). Karenanya, dalam melakukan modernisasi atas konsep pendidikan kita, haruslah diketahui aspek-aspek budaya seperti ini. Kalau kita serampangan menerapkan konsep-konsep budaya orang Barat, hasilnya adalah kita akan kehilangan sesuatu yang besar tentang konsep budaya kita sendiri di
masa lampau. Konsep inilah yang membentuk pandangan hidup generasi lampau dan generasi sekarang dari bangsa kita yang sadar. Konsep budaya Barat yang materialistik, karena ukuran-ukuran yang digunakan hanya didasarkan pada capaian materialistik dari filsafat positivisme yang dibawakan oleh tokoh pendidik Amerika Serikat, John Dewey, jelas menunjukkan adanya hal ini. Dua konsep budaya/ pendidikan tersebut menunjukkan kepada kita perkembangan yang tidak simetris dalam proses modernisasi (Abdurrahman Wahid, M Imam Azis (ed), 2010: 48-49). Kita kehilangan gambaran sejarah/historis dan hanya melihat positivisme dari sudut konseptualnya belaka. Akibatnya, yang terjadi adalah penguasaan kecakapan/keterampilan yang diukur secara materialistik, yang berakhir pada ujung tercapainya pengakuan dalam bentuk gelar yang kosong dari etika/moralitas/akhlak yang baik. Padahal, etika dalam bentuk tanggung jawab sosial para perenggut gelar, adalah kejadian biasa dalam masyarakat Barat yang dianggap materialistik itu. Dalam hal ini, terjadi lompatan teknis dari masyarakat Barat ke masyarakat kita, dengan akibat menciutnya pengertian akan konsep-konsep budaya/pendidikan yang kita gunakan. Sebuah peristiwa yang luput dari perhatian kita sama sekali, yaitu pemindahan kemahiran/keterampilan kemari tanpa adanya pengertian yang mendalam akan latar belakang historisnya (Abdurrahman Wahid, M Imam Azis (ed), 2010: 50-51).
Pendidikan yang dapat menjadi wadah bagi kebebasan berfikir mutlak dibutuhkan, guna mempribumisasikan nilai-nilai Islam. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
لقد خلقٌا اإلًساى في أحسي تقوين Artinya: sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (Q. S. At-Tin [95]: 4). Modal yang sangat berharga bagi manusia adalah akal, karena dengan akal manusia dapat mempelajari apapun saja seperti mempelajari Al-Qur‟an, Al-Hadis dan sebagainya. Hal ini yang membuat manusia mempunyai posisi sebagai karya Allah yang terunggul dibandingkan dengan makhluk lain, setiap makhluk mempunyai otak tetapi hanya manusia yang mempunyai akal, oleh karena itu prinsip utama menjalani Islam adalah ijtihad. Kalau jihad itu segala upaya perjuangan manusia menghidupi kehidupan. Ijtihad itu perjuangan intelektual. Mujahadah itu perjuangan spiritual. Ratusan kali Allah memfirmankan “apakah engkau tidak berfikir?” “apakah engkau tidak menggunakan akal?”. Masyarakat Barat dan Jepang Korea Cina sangat aktif melakukan ijtihad dan menguasai peradaban. Kaum muslimin terlalu aktif bermujahadah tanpa imbangan ijtihad sehingga produknya adalah dekadensi dan inferioritas (Emha Ainun Nadjib, 2009: 247-249). Abdurrahman Wahid (dalam Budhy Munawar (ed), 1995: 546) mengatakan salah satu ajaran yang dengan sempurna menampilkan universalisme Islam adalah lima buah jaminan dasar yang diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga masyarakat, baik secara perorangan maupun
sebagai kelompok. Lima jaminan dasar tersebut adalah: Agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Untuk menyelamatkan akal Islam mewajibkan belajar disepanjang hayatnya, demi kelancaran proses tersebut dibutuhkan lembaga pendidikan sekaligus melarang hal-hal yang merusak akal seperti minuman keras. Upaya
untuk
mewujudkan
pendidikan
sebagai
sarana
untuk
melindungi akal menjadi wajib dilakukan, karena ini merupakan salah satu bentuk pribumisasi Islam. Dengan cara yang demokratis, semua bisa ikut serta dan berpartisipasi dalam proses pembelajaran serta menghargai pendapat orang lain dan melihat perbedaan sebagai kemajemukan menjadi pilihan penulis untuk memaparkan sekaligus melihat lebih mendalam pendidikan Islam di Indonesia dalam prespektif Abdurrahman Wahid. B. Rumusan Masalah 1.Bagaimana pendidikan Islam di Indonesia? 2.Bagaimana pendidikan Islam di Indonesia dalam perspektif Abdurrahman wahid? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian yang ingin dicapai oleh penulis dalam kaitannya dengan judul penelitian ini antara lain: a. Untuk mengetahui pendidikan Islam di Indonesia b. Untuk mengetahui pendidikan Islam di Indonesia dalam perspektif Abdurrahman Wahid
D. Kegunaan Penelitian 1. Untuk menambah wawasan keilmuan penulis dalam memahami pendidikan Islam. 2. Memberikan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan mengenai pemikiran Abdurrahman Wahid mengenai pendidikan Islam. E. Metode Penelitian Metode adalah suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah sistematis (Pius A Partanto, 2001: 461). 1. Sifat Penelitian Sifat penelitian skripsi ini adalah deskriptif-analitik. Peneliti menguraikan secara teratur seluruh konsepsi tokoh (Anton Bakker, 1994: 65). Kemudian data terkumpul disusun sebagaimana mestinya, kemudian diadakan analisis. 2. Jenis Penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research) dengan mencari data atau informasi riset melalui membaca jurnal ilmiah, buku-buku referensi dan bahan-bahan publikasi yang tersedia di perpustakaan (Rossady Ruslan, 2010: 31). Adapun kategori penelitianya adalah kualitatif yaitu penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Dari segi pengertian ini, dimaksud agar hasilnya dapat digunakan untuk
menafsirkan fenomena dan yang dimanfaatkan untuk penelitian. Dalam penelitian kualitatif metode yang biasanya dimanfaatkan adalah wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan dokumen (Lexy J. Moleong, 2009: 5). 3. Metode Pengumpulan Data. Dalam
pengambilan
dan
pengumpulan
data
penelitian
ini
menggunakan metode dokumentasi. Pengumpulan data yang dapat berupa buku, kitab, jurnal, artikel, dokumen dan lain sebagainya. Dengan demikian, penelitian ini berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut (Sumadi Suryabrata, 1995: 66). 4. Sumber Data Penelitian ini menggunakan sumber data yang bersifat kepustakaan yang sumber datanya diambil dari dokumen-dokumen kepustakaan seperti buku, majalah, paper, koran, kitab dan sumber literatur lainnya yang dibutuhkan. Dalam pengumpulan data ini penulis menggunakan dua sumber data yaitu: a. Sumber Data Primer Sumber data primer adalah sumber data yang paling utama digunakan dan sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini. Adapun sumber data primer dalam penelitian ini adalah 1) Prisma Pemikiran Gus Dur, 2) Menggerakkan Tradisi, 3) Tabayun Gus Dur , 4) Membaca Sejarah Nusantara, 5) Tuhan Tak Perlu Dibela, semua buku ini adalah karya Gus Dur.
b. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder adalah buku-buku, dan sumber lain yang mendukung penelitian ini seperti buku Biografi Gus Dur Karya Greg Barton, Gus Dur Dan Pendidikan Islam karya Faisol, Paradigma Pendidikan Islam karya Hujair AH. Sanaky, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia karya Mansur dan Mahfud Junaedi, Pendidikan Rusak-Rusakan karya Darmaningtyas, dan lain-lain. 5. Metode Analisis Data Setelah data dikumpulkan, langkah berikutnya adalah menganalisa data. Metode pengolahan data yang dipakai adalah metode analisa isi, yaitu menghimpun
dan
menganalisa
dokumen-dokumen
resmi,
buku-buku
kemudian diklarifikasi sesuai dengan masalah yang di bahas dan dianalisa isinya. Karya-karya Gus Dur baik yang berupa buku, Koran, majalah dan sebagainya dikumpulkan kemudian diadakan analisis yang terkait dengan pembahasan skripsi tersebut. F. Penegasan Istilah Agar mudah dipahami dan Untuk menghindari terjadinya kesalahan pengertian dalam judul penelitian ini maka, penulis berusaha memaparkan beberapa kata yang dipandang perlu supaya pengertiannya menjadi lebih jelas dan mudah untuk dipahami. Adapun penjelasannya sebagai berikut: 1. Pendidikan adalah suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik.
2. Islam adalah nama dari sebuah agama yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW. 3. Perspektif adalah peninjauan 4. Abdurrahman Wahid atau biasa dipanggil Gus Dur merupakan presiden ke-IV di Indonesia. Jadi dalam judul penelitian ini bertujuan untuk mendelegasikan pemikiran Abdurrahman Wahid terhadap pendidikan Islam di Indonesia. G. Sistematika Pembahasan Dalam rangka mempermudah penulisan skripsi ini, maka penulis membagi menjadi lima bab yang dijabarkan menjadi sub-sub bab yang utuh dan integral. Adapun sistematikannya sebagai berikut: Bab pertama, pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitan, dan sistematika pembahasan. Bab kedua, terdiri dari a) biografi Abdurrahman Wahid yang meliputi kelahiran, keluarga, pendidikan, jabatan yang pernah di duduki, b) karyakarya intelektual Abdurrahman Wahid, c) pemikiran Abdurrahman Wahid yang meliputi pribumisasi Islam, pluralisme, demokrasi, dan pendidikan Islam. Bab ketiga berisi tentang pendidikan Islam di Indonesia yang meliputi: pengertian, dasar pendidikan Islam, serta kelebihan dan kekurangan pendidikan islam di Indonesia.
Bab keempat berisi tentang pendidikan Islam dalam perspektif Abdurrahman Wahid yang meliputi paradigma pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam, aspek pendidik, aspek peserta didik dan aspek materi. Bab kelima, berisi tentang penutup yang di dalamnya terdapat kesimpulan, saran-saran dan penutup.
BAB II SKETSA BIOGRAFI DAN INTEKTUAL ABDURRAHMAN WAHID A. Biografi Abdurrahman Wahid 1. Keluarga Gus Dur, panggilan populer K.H. Abdurrahman Wahid lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil pada tanggal 4 Agustus 1940 di Denanyar Jombang, anak pertama dari enam bersaudara, ayahnya, K.H. Abdul Wahid Hasyim, adalah putra K.H. Hasyim Asy‟ari, pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang dan pendiri jamiyyah Nahdlatul Ulama‟ (NU), organisasi terbesar di Indonesia, bahkan barang kali di dunia, melalui jumlah anggota sedikitnya 40 juta orang. Ibunya, Ny Hj Solehah juga putri tokoh besar NU, K.H Bisri Samsuri, pendiri pondok pesantren Denanyar Jombang dan Rois Amm Syuriah PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, secara genetik, Gus Dur memang keturunan darah biru dan meminjam istilah Clifford Geertz, ia termasuk seorang santri dan priyayi sekaligus. Baik dari keturunan ayah maupun ibu, Gus Dur menempati strata sosial yang tinggi dalam masyarakat Indonesia. Gus Dur cucu dari dua ulama‟ terkemuka NU dan tokoh besar bangsa Indonesia. Lebih dari itu Gus Dur adalah keturunan Brawijaya IV (Lembu Peteng) lewat dua jalur yakni ki Ageng Tarub I dan Joko Tingkir. Bersama Ir. Soekarno, presiden pertama republik Indonesia dan kawan-kawan ayah Gus Dur termasuk salah satu tokoh perumus Piagam Jakarta. Ia pun pernah menjabat Menteri Agama pada masa Republik Indonesia Serikat.
Meski demikian, sejarah kehidupan Gus Dur tidak mencerminkan kehidupan seorang ningrat, dia berproses dan hidup sebagaimana layaknya masyarakat pada umumnya. Gus Dur dengan pernikahannya sama Nuriyah dikaruniai empat anak, semuanya perempuan: Alisa Qotrunnada Munawaroh (Lisa), Zannuba Arifah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatun Nufus (Nufus), dan Inayah Wulandari (Ina). 2. Pendidikan Gus Dur kecil belajar di pondok pesantren, dalam usia lima tahun, ia sudah lancar membaca al-Qur‟an, gurunya waktu itu adalah kakeknya sendiri, K.H Hasyim Asy‟ari. Pada saat kanak-kanak, tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya, Gus Dur tidak memilih bertempat tinggal dengan ayahnya, tetapi ikut bersama kakeknya. Dia diajari ngaji dan membaca Al Qur‟an oleh kakeknya sendiri di pondok pesantren Tebuireng Jombang. Di saat serumah dengan kakeknya itulah Gus Dur banyak belajar ilmu agama dan ilmu politik dari orangorang yang berkunjung di kediaman kakeknya. Gus Dur menyelesaikan pendidikan dasarnya di Jakarta. Untuk menambah pengetahuan dan keterampilan, Gus Dur dikirim ayahnya untuk ikut les privat bahasa Belanda. Gus Dur menempuh pendidikan ini dengan naik sepeda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam dan mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran bahasa Belanda, Buhl selalu menyajikan musik klasik barat yang bisa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali Gus Dur bersentuhan dengan budaya barat. Dari Buhl lah, gus Dur mencintai musik klasik.
Karena kedudukan ayahnya, Gus Dur kecil kian akrab dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering berkunjung di rumahnya. Buku, bola, catur, dan musik merupakan empat hal yang tidak pernah lepas dari Gus Dur kecil. Dalam soal informasi dan pengetahuan, di samping rajin memanfaatkan perpustakaan ayahnya, Gus Dur kecil aktif ke perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur kecil akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel, dan buku-buku yang agak serius. Tentang wacana filsafat, dokumendokumen sejarah manca negara, cerita silat, hingga fiksi sastra Gus Dur banyak mengenalnya. Maka tak heran jika Gus Dur mengaku, “saya ini gak punya pacar dari kecil saya takut dengan cewek, teman main saya Cuma buku dan bola,” menjelang kelulusannya di sekolah dasar, Gus Dur memenangkan lomba karya tulis se-wilayah kota Jakarta dan menerima hadiah dari pemerintah. Setelah tamat dari sekolah dasar di Jakarta, Gus Dur melanjutkan ke SMEP ( Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Tanah Abang Jakarta, sekelas dengan Rima Melati dan Alwi, dua orang bintang film, dan sekelas di bawah Amipriyono, sutradara kenamaan. Setelah satu tahun, dia pindah ke SMEP Gowongan Yogyakarta, ibunya berharap, kepindahannya ke Jogja agar ia bisa melepaskan diri dari lingkungan lama di Jakarta, juga kembali pada latar belakangnya sebagai anak kiyai yang mendekati pondok pesantren (Dedy Junaedi, 2000: 6). Di Yogyakarta, akhirnya Gus Dur tinggal di pondok pesantren Krapyak, asuhan K. H Ali Maksum. Karena merasa terkekang hidup di dalam pondok pesantren, Gus Dur minta pindah untuk tinggal di kota. Atas bantuan ibunya, dia memperoleh
kost
di
rumah
Haji
Junaedi,
seorang
pemimpin
lokal
Muhammadiyah, dan orang berpengaruh di SMEP Yogyakarta. Gus Dur merasa kerasan tinggal di sini, selanjutnya, ia terlibat dalam kehidupan rutin. Setiap pagi, setelah solat subuh dia mengaji pada kiai Ali Maksum di pondok pesantren Krapyak. Siang harinya, dia berangkat sekolah di SMEP. Pada malam hari, dia ikut berdiskusi dengan Haji Junaedi dan anggota Muhammadiyah lainnya. Di sini Gus Dur pun lagi-lagi mendapatkan pengalaman baru berinteraksi dengan kalangan lain di luar habitatnya. Kehidupan Gus Dur mulai berkembang dan meningkat. Di SMEP Yogyakarta, Gus Dur bertemu dengan perempuan dengan nama Rufiah, guru bahasa Inggris yang banyak menempa Gus Dur untuk belajar bahasa asing. Gus Dur memang menguasai benar bahasa Inggris sejak di SMEP dulu. Selain rajin mengikuti pelajaran bahasa Inggris di kelas, Gus Dur juga belajar lewat radio Voice of America dan BBC London. Ia rajin membaca buku berbahasa Inggris. Kegemarannya membaca buku berbahasa asing diketahui oleh guru bahasa Inggrisnya, Rufiah. Di antara buku-buku yang pernah dibaca Gus Dur ketika berusia lima belas-an tahun ialah Das Kapital karya Karl Mark, buku-buku filsafat Plato, Thelles, novel-novel dan romantine revolutioner karangan Lenin tokoh revolusi Rusia dan pendiri negara Uni Soviet. Selain buku-buku tersebut, Gus Dur juga membaca buku-buku karya penulis terkenal (Dedy Junaedi, 2000: 9). Gus Dur menghabiskan waktunya di Yogya sampai akhir tahun 1957 ketika ia lulus dari SMEP. Selanjutnya, Gus Dur memasuki dunia pendidikan secara intensif, untuk memenuhi harapan keluarga sebagai orang yang alim dalam agama. Pada tahun itu juga kakeknya K. H Bisri Samsuri mengantarkan Gus Dur
ke pondok pesantren Tegalrejo Magelang asuhan K. H Khudlori. Sewaktu mondok di pesantren Tegalrejo, meski siang malam dikuliahi hal yang bagusbagus, kebandelan Gus Dur tak sepenuhnya punah. Kiai Khudlori inilah yang memperkenalkan Gus Dur pada ritus-ritus sufi dan menanamkan praktik ritual mistik secara mendalam dalam Islam Jawa. Di bawah kiai Khudlori Gus Dur melakukan ziarah ke makam keramat para wali di Jawa (Greg Barton, 2011: 52). Setelah dua tahun berkutat di pesantren Tegalrejo, pada tahun 1959, K. H Abdul Fatah Hatsim, pamannya meminta Gus Dur (usia 19 tahun) membantu mengurusi sekolah mualimat di pondok pesantren Tambak Beras Jombang, jabatannya lumayan keren, sekretaris pondok pesantren. Tak sampai setahun dia naik menjadi guru. Namun belajar mengaji tak pernah ia tinggalkan. Di madrasah Tambak Beras inilah, ia jatuh hati pada muridnya bernama Siti Nuriyah yang sejak 12 tahun belajar di sana. Siti Nuriyah adalah anak haji Abdus Syukur, teman akrab pamannya dan murid kakeknya. Pada usia 22 tahun, Gus Dur menamatkan beberapa kitab ternama standar pesantren, sehingga dia dapat dikatakan telah memenuhi syarat untuk menjadi seorang alim (Greg Barton, 2011: 58). Dalam usia itu, dia berangkat menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan studinya di Timur Tengah. Pada tahun 1964, Gus Dur melanjutkan studinya di Al-Azhar Islamic University Mesir. Sebelum berangkat, pamannya yang amat menyayangi Gus Dur menganjurkan agar dia mencari istri terlebih dahulu. Akhirnya dengan hati masghul, Gus Dur berangkat juga ke Mesir menumpang kapal laut. Sesampainya di Mesir ijazah sekolahnya tak berlaku di
negeri piramida itu. Praktis selama dua tahun di sana, waktunya terbuang hanya untuk mengurus hal ihwal ijazah tadi (Greg Barton, 2011: 59). Akhirnya dia bisa diterima di fakultas syari‟ah, universitas Al-Ahzar, hatinya malah tak terpuaskan, “belajar kami di masjid, materi yang diajarkan persis di pesantren, misalnya saya harus belajar alfiyah lagi, padahal di pesantren sudah katam”. Untuk menghilangkan rasa bosan, sebagai gantinya, gus dur menghabiskan waktunya di salah satu perpustakaan yang lengkap di Kairo, termasuk di Amerika university library, pusat pelayanan informasi amerika, dan toko-toko buku di mana dia dapat memperoleh buku yang ia kehendaki (Greg Barton, 2011: 87). Di sini Gus Dur menemukan buku mengenai John F. Kenedy dan novel-novel serta sejumlah karya tentang sejarah, filsafat dan musik. Setiap hari Gus Dur menyempatkan diri melihat film-film Perancis. Di sini Gus Dur tampak menikmati kembali musik kesukaannya, yaitu musik-musik klasik, nonton film dan main sepak bola. Ada kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir. Di bawah pemerintahan presiden Gamal Abdul Nasser, seorang nasionalis yang dinamis. Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk bertukar pendapat mendapat perlindungan yang cukup. Misalnya, para pendukung negara Islam di Mesir melakukan debat terbuka dengan sosialis di buku-buku, surat kabar dan kolom-kolom majalah. Perdebatan ini lebih menarik Gus Dur daripada kuliah di Al-Azhar. Dia menyimak debat tersebut secara sungguhsungguh (Dedy Junaedi, 2000: 15).
Hal ini dilakukan sebagai respek atas pemikir-pemikir Mesir modern. Menurut salah satu rekan dekatnya ketika belajar di Mesir, Gus Dur adalah pengagum dan pemerhati pandangan-pandangan Toha Husein dan Ali Abd AlRozik yang menurut kalangan Al-Azhar, dianggap kontroversial, sekuler, dan membias dari akidah Islam. Akibatnya Gus Dur tidak naik tingkat dalam kuliahnya di Al Azhar, ia lebih aktif pergi ke perpustakaan, nonton film, dan kegiatan organisasi PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Kairo, suatu organisasi mahasiswa Indonesia untuk Timur Tengah. Gus Dur menjadi ketua PPI masa bakti 1964-1970. Mendengar kegagalan kuliah Gus Dur di Mesir, gadis Nuriyah mengirim surat kepadanya bernada menghibur. Meski begitu, bagi Gus Dur bukan tanpa kesan. Menurut pengakuannya, di Mesir itulah dia banyak memperoleh paham “sosialisme yang berbudaya”. Orang-orang Arab, kata Gus Dur sering mempersoalkan sosialisme dari sudut budaya (Greg Barton, 2011: 91). Hal itu dilakukan karena mereka tidak punya tempat mempersoalkan sosialisme dari sudut agama. Merasa tak berkembang, Gus Dur lalu memutuskan keluar dari universitas Al Azhar. Dari Mesir, ia pergi ke Irak. Kebetulan, dia mengetahui banyak tentang fakultas sastra universitas Bagdad, yang mutunya cukup bagus. Ia berniat mendaftar ke sana. Pada tahun 1996, dalam usia 26 tahun Gus Dur masuk ke dalam departemen of religion di universitas Bagdad Irak. Sebuah negara yang modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Dari tahun 1996-1997, di Bagdad Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak penah ia dapatkan di Mesir. Dia menyatakan ”di Bagdad, saya mulai berfikir secara sistematis.” Di sini masyarakat Arab klasik dikaji secara empiris
dengan metodologi yang tajam. Dia menemukan gairah intelektualnya kembali di lingkungan yang baru itu (Greg Barton, 2011: 103). Gus Dur banyak membaca karya-karya sosiologi seperti Emiel Durhaim. Pada waktu yang sama, Gus Dur benyak bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis barat. Di samping itu yang menarik lagi adalah perpustakaan universitas penuh dengan buku-buku mengenai Indonesia. Karena itu, universitas Bagdad Gus Dur diminta, untuk meneliti asal-usul historis Islam di Indonesia. Di luar studi, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk makam syekh Abdul Qadir Al-Jailani, pendiri thariqah qadiriyah. Gus Dur juga menggeluti ajaran imam Junaidi Al-Bagdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU (Dedy Junaedi, 2000: 18). Di Bagdad, Gus Dur memperoleh gelar Lc setingkat S1 di Indonesia sastra Arab. Kemudian melanjutkan S2 setingkat MA, judul tesisnya sudah diajukan. Tapi sayangnya, si pembimbing meninggal dunia, untuk mencari pengganti ia sangat
kesulitan.
Akhirnya
ia
pulang
kembali
ke
Indonesia.
Setelah
menyelesaikan studinya di Bagdad tahun 1970, Gus Dur berharap bisa mendaftar di perguruan tinggi di Eropa. Dia merancang untuk melakukan penjajakan. Untuk masuk di perguruan tinggi tersebut, dibutuhkan persyaratan bahasa yang ketat yang tidak dapat dipenuhi tanpa ikut pendidikan satu tahun di sana. Harapan untuk memperoleh penempatan di sebuah universitas di Eropa pupus, karena ternyata kualifikasi-kualifikasi mahasiswa dari Timur Tengah tidak diakui di sana. Inilah salah satu yang memotivasi Gus Dur untuk berangkat ke Mc Gill university Canada, untuk mempelajari kajian-kajian keislaman secara mendalam. Namun
juga akhirnya tidak jadi. Karenanya, Gus Dur menjadi pelajar keliling, belajar dari universitas satu ke universitas yang lain. Setengah bulan di sana, akhirnya ia menetap di Belanda, dia tinggal selama enam bulan dan mendirikan perkumpulan pelajar muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Oganisasi ini sampai sekarang masih hidup. Untuk biaya hidup selama di rantau, dua kali sebulan dia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker Adapun sketsa singkat perjalanan sosial Gus Dur (Dedy Junaedi, 2000: 23-24): 1. Belajar di Sekolah Dasar (SD) Jakarta, 1947-1953. 2. Belajar di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Jakarta dan Yogyakarta, 1953-1957. 3. Belajar di pondok pesantren Krapyak, Yogyakarta, 1954-1957. 4. Belajar di pondok pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, 1957-1959. 5. Belajar di pondok pesantren Tambak Beras, sambil mengajar di madrasah mualimat Tambak Beras, Jombang, 1959-1963. 6. Belajar di ma‟had Al-Dirasat Al-Islamiyah (Departemen Of Higer Islamic And Arabic Studies) Al Azhar Islamic University, Cairo, Mesir, 1964-1969. 7. Belajar di fakultas sastra universitas Bagdad Irak, 1970-1974. 8. Menjadi dekan dan dosen fakultas ushuluddin universitas Hastim As‟ari, Tebuireng, Jombang Jawa Timur, 1974-1979. 9. Sekretaris pondok pesantren Tebuireng, Jombang Jawa Timur. 1974-1979. 10. Pengasuh pondok pesantren Ciganjur, Jakarta selatan 11. Pengasuh yayasan pondok pesantren Denanyar, Jombang, 1996. 12. Anggota dewan kehormatan universitas Saddam Husein Bagdad.
13. Manggala BP7 3. Jabatan yang pernah di duduki Perjalanan panjang Gus Dur di luar negeri berakhir pada bulan juni tahun 1971, ketika akhirnya dia harus kembali ke pangkuan ibu pertiwi, di pondok pesantren tempat habitat asalnya. Dengan bekal ijasah S1 univesitas Bagdad, pada tahun 1974, ia menjadi dosen sekaligus dekan fakultas ushuluddin universitas Hasyim Asy‟ari Jombang hingga tahun 1974. Ketika itu pula, ia menekuni kembali bakatnya menulis dan menjadi kolumnis. Tulisannya yang analitik dan kritis, tajam dan reflektif, tentang pesantren, toleransi beragama, pluralisme, demokratisasi, dan filsafat, tersebar ke berbagai media massa, terutama majalah tempo, surat kabar kompas pelita, dan jurnal prisma. Gagasannya menarik perhatian banyak orang, tidak sedikit mengundang kontroversi (Dedy Junaedi, 2000: 19). Dalam
tulisannya,
Gus
Dur
mengembangkan
gaya
bahasa
yang
menggabungkan bahasa harian dan humor dengan topik yang serius. Maka tak heran jika tulisannya jarang memakai footnote. Dia mempunyai daya refleksi yang luar biasa atas bacaan dan pengalaman yang dijalaninya. Tahun 1974, Gus Dur diminta pamanya untuk membantu pondok pesantren Tebuireng di Jombang. Gus Dur menjadi sekretaris umum pondok pesantern Tebuireng hingga tahun 1980. Selama inilah ia terlibat aktif dalam kepengurusan NU dengan menjadi wakil katib awal Syuriah PBNU. Dari sini, Gus Dur mulai sering di undang diskusidiskusi keagamaan dan kepesantrenan di berbagai tempat, dalam maupun luar negri. Gus Dur pun kemudian terlibat aktif dan terjun di dunia LSM, menjadi
tenaga pengajar pada program training-training, termasuk juga dengan pendeta protestan (Dedy Junaedi, 2000: 20). Di LP3ES dalam perkembangannya bersama para kiai yang dimotori oleh LP3ES, Gus Dur mendirikan P3M (perhimpunan pengembangan pesantren dan masyarakat), suatu LSM yang sekarang melakukan pemberdayaan terhadap para kiai dan santri. Di sekitar medio 1970-an inilah, secara beraturan menjalin hubungan dengan intelektual muslim modernis seperti Nurkholis Madjid (alm), Ahmad Wahib (alm), Djohan Effendi, dan M. Dawam Rahardjo. Ia semakin intens bergabung dengan teman-teman ini dalam rangkaian forum akademik dan kelompok kajian. Di yayasan Samanhudi mereka bertemu, yayasan Samanhudi merupakan satu tempat berkumpulnya intelektual muda melahirkan gagasan saat itu akan tetapi usahanya untuk mendapatkan gelar doktor tetap tidak surut. Pada tahun 1979, Gus Dur pernah ditawari belajar di sebuah universitas di Australia untuk mendapatkan gelar doktor. Dan, berangkatlah Gus Dur dengan semangat secepatnya mengantongi gelar doktor. Tapi, semua promotor tidak ada yang sanggup. Malah mereka menyuruh pulang Gus Dur. Para promotor di sana menganggap Gus Dur tak membutuhkan gelar itu, dia malah lebih pantas disuruh menguji kandidat doktor. Dan benar, beberapa disertasi calon doktor dari Australia itu, justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi, dibimbing, dan kemudian dipertahankan di hadapan sidang akademik. Kemudian, pada awal tahun 1980, Gus Dur dipercaya menjadi wakil katib awwal Syuriyah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial, dan politik dengan berbagai tokoh lintas agama, sosial, dan politik.
Gus Dur semakin serius menulis dan bergulat dengan dunianya baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Pada seluruh waktu sepanjang dekade 80-an, Gus Dur tampak meyakinkan sebagai seorang pemikir, intelektual, budayawan, dan agamawan (Dedy Junaedi, 2000: 21). Darah seniman yang kental sempat menarik jalan hidupnya. Tiba-tiba pada tahun 1983. Gus Dur ditawari menjadi ketua dewan kesenian Jakarta (DKJ), taman Ismail Marzuki. Tanpa berfikir panjang, tawaran itupun Gus Dur terima. Bahkan tanpa memperdulikan cibiran kanan kiri, ia juga menjadi ketua juri festival film Indonesia (FFI), 1986-1987. Itulah awal aktualiasasi perjalanan kebudayaan Gus Dur, yang dalam posisinya sebagai ketua umum PBNU dipertanyakan banyak kiai, dan juga banyak kiai yang menjulukinya sebagai “kiai ketoprak” (Greg Barton, 2011: 84). Di kapal besar NU, melalui tawaran pemikirannya yang brilian tentang “kembali ke khittah 1926” dengan meninggalkan gelanggang politik praktis, Gus Dur pada tahun 1984 dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahlul halli wal „aqdi, yang diketuai oleh K. H. R. Asad Syamsul Arifin, untuk menduduki jabatan sebagai ketua umum PBNU dalam muktamar ke-27 NU, melalui tawaran pemikirannya yang brilian tentang “kembali ke khittah
1926” dengan
meninggalkan gelanggang politik praktis, Gus Dur pada tahun 1984 dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahlul halli wal „aqdi, yang diketuai oleh K.H.R. Assad Syamsul Arifin, untuk menduduki jabatan sebagai ketua umum PBNU dalam muktamar ke-27 NU di pondok pesantren salafiah, Sukarejo, Situbondo(Gus Dur, Kompas 1999). Jabatan ketua umum PBNU sebelumnya dijabat oleh K.H. Idham
Chalid. Bersama kiyai Ahmad Shiddiq selaku Rois Amm Syuriyah PBNU, Gus Dur memimpin organisasi para ulama yang populer dengan sebutan “kaum sarungan”. Kemenangannya sekaligus menumbangkan kubu Cipete, sarang para politisi NU. Kemudian, Dalam muktamar berikutnya, dengan berbagai tantangan yang seru, baik di Krapyak (1989) maupun di Cipasung (1994), Gus Dur terpilih lagi sebagai ketua umum PBNU, praktis dia memimpin NU selama 15 tahun. Adapun guru-guru Gus Dur, selain kiai di pondok pesantren yang telah disebut di muka adalah Kim Dai Jung (Seul), Sulaksi Bharaska (Thailand), Sun Yat Sen (China), Soekarno (Indonesia), dan Mahatma Gandhi (India). Hal ini dikatakan langsung oleh Gus Dur. Sementara tokoh yang dikagumi Gus Dur adalah Gamal Abdul Naser dari Mesir, adapun jabatan yang pernah diduduki dalam bidang sosial-politik dan keagamaan sebagai berikut: (Dedy Junaedi, 2000: 24). 1. Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI), di Mesir, 1964-1970. 2. Konsultan LP3ES Jakarta, 1973. 3. Konsultan Departemen Koperasi, Departemen Agama, dan Departemen Hankam, sejak 1976. 4. Wakil Katib Syuriah PBNU tahun 1981-1984. 5. Mendirikan P3M (perhimpunan pengembangan pesantren dan masyarakat) Jakarta, 1983 6. Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), di Jakarta, 1983-1986. 7. Ketua Umum PBNU 1984-1999. 8. Tokoh tahun 1989 versi Surat Kabar Pikiran Rakyat. 9. Ketua Dewan Festifal Film Indonesia dua kali, 1986.
10. Aggota MPR, Fraksi Karya Pembangunan, di Jakarta, 1987-1992. 11. Tokoh Tahun 1990 versi Majalah Editor. 12. Mendirikan Forum Demokrasi (Fordem), di Jakarta, 16-17 Maret 1991. 13. Penerima penghargaan Ramon Mogsaysay Award dari Philipina, 31 Agustus 1993 di Manila 14. Penasehat The International Dialogue Foundation Project on Perspektif Studies and Secular Law di Den Hag, sejak 1994. 15. Anggota Dewan International Perez Center For Peace (PCP) atau Institut Shimon Perez untuk perdamaian di Tel Aviv Israel. 16. Anggota Komisi Agama-agama Ibrahimi di Madrid Spanyol. 17. Deklarator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), di Ciganjur Jakarta, 1998, bersama K.H. Ilyas Ruhiyat, K.H. Muchid Muzadi, K.H. Munasir Ali, K.H. Mustofa Bisri. 18. Anggota MPR, Utusan Golongan, 1999. 19. Tokoh terpopuler 1999 versi Surat Kabar Harian Umum Kompas. 20. Presiden Republik Indonesia, 1999-2001. B. Karya-Karya Intelektual Abdurrahman Wahid Adapun karya intelektual Abdurrahman Wahid sebagai berikut: (Dedy Junaedi, 2000: 257). 1. Bunga Rampai Pesantren, Jakarta: CV Dharma Bhakti, 1978. 2. Muslim di Tengah Pergumpulan, Jakarta: Lappenas, 1981. 3. Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab, Sebuah Pergumulan Wacana dan Transformasi, Jakarta: Fatma Press, 1989.
4. Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, Yogyakarta: LkiS, 1998. 5. Tabayyun Gus Dur, Yogyakarta: LkiS, 1998.s 6. Islam, Negara, dan Demokrasi, Himpunan Percikan Perenungan Gus Dur, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999. 7. Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: LkiS, 1999. 8. Tuhan Tak Perlu Dibela, Yogyakarta: LkiS, 1999. 9. Gus Dur Menjawab Perubahan, Jakarta: Kompas, 1999. 10. Membangun Demokrasi, Bandung: Rosda, 1999. 11. Mengurai Hubungan Agama dan Negara. Jakarta: Grasindo, 1999. 12. Melawan Melalui Lelucon, Jakarta: Tempo, 2000. 13. Islamku Islam Anda Islam Kita, Jakarta: Wahid Institut, 2006. 14. Islam Kosmopolitan, Jakarta: Wahid Institut, 2007. C. Pemikiran Abdurrahman Wahid 1. Pribumisasi Islam Pribumusasi Islam bukanlah‟jawanisasi‟, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa merubah hukum itu sendiri. Juga bukannya upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan qaidah fiqh (Abdurrahman Wahid dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun‟im Sholeh, 1989: 83).
Pribumisasi Islam adalah bagian dari sejarah Islam, baik dari negeri asalnya maupun di negeri lain, termasuk indonesia. Kedua sejarah itu membentuk sebuah sungai besar yang terus mengalir dan kemudian dimasuki lagi oleh kali cabangan sehingga sungai itu semakin membesar. Bergabungnya kali baru, berarti masuknya air baru yang merubah warna air yang telah ada. Bahkan pada tahap berikutnya, aliran sungai ini mungkin terkena „limbah industri‟ yang sangat kotor. Tapi toh, tetap merupakan sungai yang sama dan air yang lama. Maksud dari perumpamaan itu adalah bahwa proses pergulatan dengan kenyataan sejarah tidaklah merubah manifestasi dari kehidupan agama Islam. Sebagai contoh, pada mulanya ditetapkan haramnya berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang ajnabi. Ketentuan ini merupakan bagian dari keseluruhan perilaku atau akhlak orang islam. Ketika ketentuan ini masuk ke Indonesia, masyarakatnya telah memiliki berbagai kebudayaan. Misalnya, ada sunda mempunyai jabatan tangan „ujung jari‟. Setelah berjalan sekian abad, masuk pula budaya barat dengan jabatan tangannya yang tegas dan tak pilih-pilih. Hasilnya di masyarakat Islam saat ini adalah sebagian mereka, termasuk para birokrat dalam bidang agama dan para pemimpin organisasi, melakukan jabatan tangan dengan lawan jenis, sedang para kiai yang hidup dengan fiqh secara tuntas tetap bertahan untuk tidak melakukannya. Hal ini tidak bisa disimpulkan bahwa Islam telah mengalami erosi di Indonesia. Karena para pemeluknya tetap melakukan shalat, pergi ke masjid, membayar zakat, pergi ke madrasah dan sebagainya. Dengan kata lain, secara kultural adanya perubahan pada partikel-partikel dan tidak pada aliran besarnya. Umat
Islam tetap melihat berpacaran bebas model barat sebagai tidak islami dan berusaha agar anak-anak mereka tidak melakukannya (Muntaha Azhari dan Abdul Mun‟im Sholeh, 1989: 84). Pentingnya pribumisasi Islam dalam kontek lokal ini merupakan hal yang sangat penting dilakukan, karena dengan demikian Muslim Indonesia dapat tetap mempertahankan identitas ke-Indonesia-annya yang khas, dan pada saat yang sama dapat mengejawentahkan nilai-nilai Islam dalam praktik kehidupannya. Bagi Gus Dur agama Islam adalah sumber inspirasi, wacana pribumisasi Islam sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni arabisasi. Mainstream pemikiran Gus Dur tentang gagasan itu adalah bagaimana Islam sebagai ajaran normatif yang berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitas masing-masing. Kata Gus Dur, “arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah adalah tercabutnya dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan”. Islam menjadi akomodatif tanpa meremehkan kebudayaan lokal. Gus Dur ingin mencoba melepaskan paket ajaran Islam yang sampai ke Indonesia dari unsur lokal Arab, untuk diganti menjadi lokal Indonesia (Ali Masykur Musa, 2002: 143). Namun, sekali lagi harus ada upaya yang lebih operasional dari para penggagas pribumisasi Islam untuk memberikan koridor mana ajaran Islam yang substantif dan mana yang bersifat teknis-instrumen. Meskipun di sana ada perdebatan, tapi setidaknya ada upaya ijtihad yang serius dan bertanggung
jawab secara akademik. Saya melihat bahwa gagasan tentang pentingnya pribumisasi Islam dalam kontek lokal ini merupakan hal yang sangat penting dilakukan, karena dengan demikian Muslim
Indonesia dapat
tetap
mempertahankan identitas ke-Indonesia-annya yang khas, dan pada saat yang sama dapat mengejawentahkan nilai-nilai Islam dalam praktik kehidupannya. Salah satu ciri masyarakat Indonesia yang sopan dan ramah dapat menjadi modal berharga terhadap konsep toleransi yang semakin lama semakin tidak “terngiang” lagi. Pribumisasi
bukan
upaya
menghindarkan
timbulnya
perlawanan dari kekuatan-kekuatan budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya tidak hilang. Inti pribumisasi adalah kebutuhan, bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dengan budaya, sebab polarisasi memang tak terhindarkan (Muntaha Azhari dan Abdul Mun‟im Sholeh, 1989: 82). Kultur Islam yang lain yang dapat menopang kemajuan Bangsa Indonesia seperti sikap disiplin, toleransi, kepedulian sosial, etos kerja yang tinggi. Tidak bisa dipungkiri dalam masalah praktik sosial kemasyarakatan, masih perlu belajar banyak dari banyak negara non-Muslim di Barat dan Eropa : tradisi disiplin, keteraturan, pengorganisasian, kepekaan sosial, etos kerja, kompetisi positif, sportivitas, komitmen dan lain-lain. 2. Pluralisme Pluralisme berasal dari kata “plural” yang berarti sesuatu atau bentuk yang lebih dari satu. Secara bahasa, istilah ini memiliki pengertian, antara lain: keberadaan sejumlah kelompok orang dalam satu masyarakat yang berasal dari ras, pilihan politik dan kepercayaan agama yang berbeda. Istilah
pluralisme sering dipakai beriringan dengan kata pluralitas. Namun pluralitas lebih mengaruh pada realitas keberagaman itu sendiri. Pluralisme bagi Gus Dur adalah sikap kerelaan dalam menerima perbedaan baik yang ada kaitannya dengan agama, suku dan bangsa. Bagi Gus Dur perbedaan memang sudah menjadi sunnatullah yang tidak boleh dipaksakan. Justru perbedaan akan memberi keindahan hidup supaya saling mengenal dan menyapa. Kosmopolitanisme peradaban Islam itu muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, agama, kuatnya pluralitas budaya dan heterogenitas politik. Kosmopolitanisme itu bahkan menempakan diri dalam unsur dominan yang menakjubkan, yaitu kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad. Kalau ditelusuri dengan cermat perdebatan sengit di bidang teologi dan hukum agama selama empat abad pertama sejarah Islam, akan nampak secara jelas betapa beragamnya pandangan yang dianut oleh umat Islam pada waktu itu (Abdurrahman Wahid dalam Budy Munawar Rahman, 1994: 594 ). Dalam proses perubahan sosial, agama hanya berfungsi suplementar dan hanya menyediakan sarana bagi proses perubahan itu sendiri, bukan agama yang membuat perubahan itu. Dunia itu berkembang menurut perkembangan dunianya sendiri. Gus Dur sebagai pelopor Islam seharusnya tidak menampilkan diri dalam bentuknya yang eksklusif dan simbolik. Islam harus mengintegrasikan kegiatannya dalam aktifitas bangsa secara keseluruhan. Paradigmanya adalah merawat bangsa dengan agama (Ali Masykur Musa, 2002: 110).
Setiap agama memiliki watak transformatif, yaitu berusaha menanamkan nilai-nilai yang lama yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Dengan watak yang demikian itu agama tidak selalu menekankan segi-segi harmoni dan aspek-aspek integratif dalam kehidupan masyarakat, tetapi seringkali justru menimbulkan konflik baru karena misinya yang transformatif itu mendapat tantangan dari sebagian masyarakat. Contoh ketika umat Islam meminta dicantumkannya kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya di bagian tubuh Undang-undang dasar kita tahun 1945 (Abdurrahman Wahid, 2010: 75). Menurut penulis, Gus Dur memaknai agama Islam sangat terbuka. Ia sosok pribadi yang bebas dari kepicikan, primordialistik dan sektarian. Ia jelas seorang yang beragama Islam. Tetapi, keislamanya begitu mantap sehingga ia tidak terancam oleh pluralitas. Ada beberapa ciri khas dalam pemaknaan Gus Dur terhadap Islam. Pertama, bahwa agama Islam menuntut sikap toleran dan besar hati terhadap keyakinan agama lain. Kedua, karena mantap Islamnya, ia tidak sulit melihat berbagai kekurangan dalam Islam. Islam disini dipahami bukan sebagai Agama yang dimaknai dan dijalankan umat. Karena itu Gus Dur mau belajar dari pihak lain, ia mengakui Nabi Muhammad yang menganjurkan umat Islam untuk menuntut ilmu sampai ke negeri Cina. Ketiga, Gus Dur itu mirip seperti raja jawa. Dalam dirinya terdapat sifat para penguasa Islam besar sepanjang zaman, yang selalu bertanggung jawab atas kesejahteraan dan ketentraman rakyatnya dari agama Islam maupun agama
lain, karena dalam agama Islam sangat dianjurkan untuk bersikap toleran dan pluralis serta dapat menjadi pengayom bagi semua lapisan masyarakat. 3. Demokrasi Pluralitas bangsa Indonesia harus berjalan seiring dengan demokrasi yang di dalamnya terdapat nilai persamaan dan kebebasan. Dengan demokrasi, masing-masing komunitas dapat mengembangkan kreatifitas dan belajar untuk menyamakan pandangan serta bersikap dewasa dalam berbeda pendapat. Karena itu, dalam pandangan gus dur perlu dilakukan upaya saling memahami dalam konteks kedewasaan demokrasi, bukan sikap harus saling menyamakan atau menyeragamkan. Demokratisasi merupakan tumpuan harapan bagi mereka yang menolak penggunaan negara untuk kepentingan agama, sekaligus memberikan tempat untuk agama. Kalau suatu masyarakat hidup dalam iklim demokratis, islam akan terjamin. Ini merupakan himbauan kepada orang-orang yang fanatik terhadap simbol-simbol Islam. Demokratisasi justru akan menampilkan wajah Islam yang damai, tanpa kecurigaan dan kemarahan. Demokratisasi gerakan Islam menghendaki agar umat Islam sendiri siap menyambutnya, dikarenakan kelemahan utama mayoritas umat Islam adalah berpikir untuk dirinya sendiri. Dalam konteks ini Gus Dur mengatakan; demokrasi itu harus take and give. Tidak ada orang yang bisa memaksa orang lain untuk meninggalkan keyakinan agamanya. Tapi, baha masyarakat juga memberi tempat kepada pemikiran yang bukan agama, itu juga tidak bisa dihindari. Isu semacam prinonpri maupun kristenisasi, sebenarnya muncul dari semangat sektarianisme.
Pluralisme terjaga kalau ada demokrasi. Kita kaya dan kuat karena menjaga jiwa pluralistik (Ali Masykur Musa, 2002: 112). Konsistensi Gus Dur
untuk mengembangkan demokrasi dan toleransi
dalam negara pancasila dapat dilihat pada pembentukan Forum demokrasi menyimpulkan bahwa proses pendewasaan bangsa tidak lain adalah melalui pencerdasan masyarakat lewat proses demokratisasi. Demokrasi yang diinginkan oleh gus dur adalah demokrasi yang beroperasi dalam kenyataan kemajemukan masyarakat. Yaitu adanya berbagai golongan dan kelompok yang berbeda-beda bahkan bertentangan, baik yang berdasarkan suku, agama keyakinan, kepentingan maupun pengelompokan dengan dasar lainnya, yang sama-sama berhak untuk dipertimbangkan aspirasinya dalam mengambil keputusan politi (Ali Masykur Musa, 2002: 115). Gus Dur ingin menunjukkan sebetulnya perbedaan harus disyukuri, bukan untuk dijadikan alasan buat permusuhan. Ia siap membangun demokrasi dengan harga apapun atas dirinya. Gus Dur menyarankan hal itu menjelaskan bahwa demokrasi butuh perjuangan keras yang luar biasa. Sebab, jangan salah, demokrasi itu tidak mengobati apa-apa demokrasi hanya ingin meluruskan pemerintahan yang tadinya otoriter menjadi lebih pedulli pada rakyat. 4. Pendidikan Islam Pendidikan yang mampu menampung semua hal terkait dengan budaya bangsa Indonesia dan tetap mengkritisi budaya asing yang masuk atau terbuka dengan kemoderenan telah dibuktikan berabad-abad yang lalu dan sampai
sekarang masih eksis sebagai salah satu lembaga pendidikan yaitu pendidikan Islam berbasis pondok pesantren. Tawaran model pendidikan seperti ini yang kemudian harus diadopsi sehingga kita tidak kehilangan budaya sendiri dengan model pembelajaran yang tentu agak berbeda dengan model pembelajaran yang ditawarkan oleh sekolah-sekolah pada umumnya. Ada kecenderungan model pendidikan di pesantren lebih mengetahui kebutuhan anak didiknya dari pada model pendidikan yang ditawarkan oleh sekolah-sekolah pada umumnya. Kenapa penulis berpandangan demikian karena, secara teknis, pesantren adalah “tempat di mana para santri tinggal”. Frasa ini merupakan gambaran paling penting dari pesantren, yaitu sebagai suatu lingkungan pendidikan dalam pengertiannya yang menyeluruh. Pesantren mirip dengan akademi militer atau biara dalam arti bahwa mereka yang berada di sana mengalami suatu kondisi totalitas. Dibandingkan dengan lingkungan pendidikan parsial yang ditawarkan oleh sistem pendidikan publik Indonesia sekarang, yang menjadi „kultur pendidikan umum‟ bangsa, pesantren
dengan
sendirinya
merupakan
sesuatu
kultur
yang
unik
(Abdurrahman Wahid, 2010: 233). Tanpa melalui proses pembelajaran dengan sendirinya para santri belajar untuk bersosialisasi dengan teman-temannya, tidak hanya itu santri juga dituntut untuk bisa mandiri. Model totalitas itulah yang sedikit membedakan dengan pendidikan pada umumnya, jika dilihat lebih dalam, proses sosialisasi dengan teman-temannya mendapatkan waktu yang cukup jika dibandingkan dengan proses sosialisasi dengan teman-teman
dalam lingkup- sekolah pada umumnya, pada akhirnya setelah selesai sekolah waktunya tidak digunakan untuk belajar tetapi untuk menutupi kebutuhan bersosialisasi dengan teman-teman. Hal ini memang sesuatu yang kecil tetapi lambat laun efeknya akan dirasakan. Jika dilihat dari sudut pengelolaan pendidikan di dalamnya, watak mandiri pesantren dapat dilihat, baik dalam sistem pendidikan dan strukturnya maupun dalam pandangan hidup yang ditimbulkannya dalam diri santri. Struktur pendidikan di pesantren berwatak populis dan memiliki kelenturan sangat besar. Seperti halnya dalam penerimaan siswa dilakukan tanpa seleksi, inilah yang memaksa pesantren untuk melenturkan struktur pendidikannya. Pada dasarnya, tidak ada keseragaman kurikulum di pesantren yang berlaku bagi semua santri: seorang dapat menjadi santri untuk waktu 20tahun, dapat pula sehari saja sehingga penyusunan kurikulumnya bersifat individu berdasarkan kemampuan santri. Sistem pendidikan pesantrenpun memiliki watak mandiri seperti itu, bila dilihat secara keseluruhan. Bermula dari pengajaran sorogan, di mana seorang kiai mengajar santrinya yang masih berjumlah sedikit secara bergilir santri persantri, pendidikan di pesantren kemudian berkembang menjadi sistem yang komplek. Pengajian sorogan diikuti oleh pengajian weton, di mana sang kiai didik di lantai masjid atau beranda rumahnya sendiri membacakan dan menerangkan teks-teks keagamaan dengan dikerumuni oleh santri-santri yang mencatat uraiannya. Dari gugusan pengajaran sorogan dan weton ini di mana secara kolektif pesantren menawarkan pengajaran dalam
unit-unit yang terpisah satu dari yang lain dan berdiri sendiri (Ali Masykur Musa, 2002: 140). Selain itu, Gus Dur menyigung juga satu hal penting, yakni kesalahan konsepsi pendidikan kita yang dikatakannya berjalan diatas konsepsi yang salah sehingga tidak mapu membebaskan manusia dari kebodohan dan keterbelakangan. menekankan
Letak
pada
kesalahanya
ijasah
formal,
adalah bukan
karena pada
pendidikan
substansinya
kita untuk
memanusiakan manusia. Dengan sistem pendidikan yang menekankan pada “ijazah sekolah formal” yang dianut seperti sekarang, jabatan seseorang ditengah-tengah masyarakat ditentukan oleh ijazah sekolah yang dimilikinya, bukan ditentukan oleh kompetensi dan kualitas riilnya. Semakin tinggi ijazah formal yang dimiliki seseorang, semakin tinggi kedudukannya dalam masyarakat. Jabatan-jabatan penting di pemerintahan dan kedudukan bergengsi ditengah-tengah masyarakat biasanya bisa dimasuki oleh seseorang dengan ukuran ijazah tertentu. Akibat konsepsi pendidikan yang seperti itu, di negara kita banyak sekali orang memburu ijazah formal karena ingin gengsigengsian dan meraih jabatan resmi. Orang belajar disekolah bukan untuk mencari ilmu, melainkan untuk mencari ijazah demi syarat formal meraih jabatan atau kedudukan (Mahfud MD, 2010: 205-206). Padahal, belajar sebetulnya merupakan proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan,
pendewasaan
diri,
pematangan
pribadi,
berkomunikasi,
berorganisasi, dan membangun relasi dengan sesama agar menjadi pribadi yang dewasa, berwawasan luas, berjiwa matang, tidak kuper, punya prinsip
hidup yang kuat, memiliki intergritas yang tinggi dan tidak plin-plan. Sebagai proses, ukuran keberhasilan bukan hanya produk akhir saja, tapi juga terlaksananya proses itu sendiri. Dengan kata lain, indikator yang perlu dilihat bujan hanya indikator hasil tapi juga indikator proses.
BAB III PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
A. Pengertian Pendidikan menurut Islam ialah keseluruhan pengertian yang terkandung di dalam istilah ta‟lim, tarbiyyah, dan ta‟dib. Menurut Naquib Al-Attas istilah ta‟dib adalah istilah yang paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan, sementara istilah tarbiyyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah ini mencakupi juga pendidikan untuk hewan. Istilah ta‟dib merupakan masdar kata kerja addaba yang berarti pendidikan. Dari kata addaba ini diturunkan juga kata addabun yang berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan berbagai tingkat dan derajat tingkatan mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang. Berdasarkan ketiga kata itu, Abdurrahman Al-Bani menyimpulkan bahwa pendidikan (tarbiyyah) terdiri atas empat unsur, yaitu: pertama, menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang dewasa (baligh); kedua, mengembangkan seluruh potensi; ketiga, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan; keempat, dilaksanakan secassra bertahap. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah pengembangan seluruh potensi anak didik secara bertahap menurut ajaran Islam. Pendidikan Islam ialah bimbingan yang
diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Bila disingkat, pendidikan Islam ialah bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi muslim semaksimal mungkin (Ahmad Tafsir, 2010: 30-32). B. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam Sebagai aktivitas yang bergerak dalam proses pembinaan kepribadian muslim, maka pendidikan Islam memerlukan asas atau dasar yang dijadikan landasan kerja. Dengan dasar ini akan memberikan arah bagi pelaksanaan pendidikan yang telah diprogramkan. Dalam konteks ini, dasar yang menjadi acuan pendidikan Islam hendaknya merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan peserta didik kea rah pencapaian pendidikan. Oleh karena itu, dasar yang terpenting dari pendidikan Islam adalah Al-Qur‟an dan sunnah rasulullah (Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, 2005: 34). Menetapkan Al-Qur‟an dan hadis sebagai dasar pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan dapat dibuktikan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan. Sebagai pedoman, AlQur‟an tidak ada keraguan padanya dan tetap terpelihara kesuciannya. Islam adalah agama ilmu dan cahaya, bukanlah suatu agama kebodohan dan kegelapan. Wahyu yang pertama-tama diturunkan, mengandung perintah membaca kepada rasulullah SAW. Pengulangan atas perintah tersebut dan penyebutan kembali mengenai masalah ilmu dan
pendidikan itu, dapat kita rasakan dalam menghubungkan soal pendidikan dengan Allah dalam ayat 1-5 surat Al-Alaq:
) اقزأوربك2() خلق اإلًسي هي علق1(اقزأ با سن ربك الذى خلق )5() علن اإلًسي ها لن يعلن4() ألذى علن با القلن3(األكزم Artinya: Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan(1), dia menciptakan manusia dari segumpal darah(2), bacalah dan Tuhanmulah yang paling pemurah(3), yang mengajari manusia dengan qalam(4), dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya(5) (Q. S. Al-Alaq [96]: 1-5). Dari ayat di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Islam memerintahkan supaya belajar, karena belajar adalah kewajiban bagi setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan dan merupakan sarana terbaik guna mencerdaskan ummat dan menghadapi tantangan globalisasi. Kewajiban mencari ilmu juga ditegaskan oleh rasulullah SAW.
طلب العلن فزيضة علي كل هسلن و هسلوا ت Artinya: Mencari ilmu itu wajib bagi orang muslim dan muslimat (H. R. Ibnu Majah). Dalam pandangan Islam, seorang yang berilmu (berpengetahuan) tetap memiliki kedudukan tinggi sekalipun ia berasal dari golongan rendah, karena Islam tidak memandang kepada darah dan keturunan, tetapi menggarisbawahi ilmu, amal, takwa, kejujuran, dan kesucian. Dengan berawal dari dasar-dasar pendidikan Islam di atas selanjutnya dalam pendidikan Islam pastinya mempunyai sebuah tujuan. Adanya tujuan dalam pendidikan Islam akan memungkinkan berjalannya antara teori dan praktek pendidikan Islam secara beriringan.
Tujuan sebagai suatu yang akan dicapai oleh peserta didik ialah terjadinya perubahan tingkah laku, sikap dan kepribadian setelah peserta didik mengalami proses pendidikan yang menjadi masalah adalah bagaimana sifat dan tanda-tanda (indikator) orang yang iman dan bertaqwa, orang yang sudah mencapai ma‟rifah Allah, dan indikator ulul albab (Achmadi, 2005: 92). Sedangkan tujuan dari pendidikan Islam sesuai dengan kongres seDunia ke II tentang pendidikan Islam tahun 1980 di Islamabad, menyatakan bahwa: Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia (peserta didik). Secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran (intelektual), diri manusia yang rasional; perasaan dan indera. Karena itu, pendidikan hendaknya mencakup pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik; aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah, dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif; dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah, baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia (Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, 2005: 37-38). Bagi umat Islam, tujuan merupakan rancangan yang harus diaplikasikan untuk keberlangsungan pendidikan Islam. Dengan tetap
mengacu pada dasar-dasar pendidikan Islam yaitu Al-Qur‟an dan sunnah sebagai pedoman utama. C. Konsep Pendidikan Islam Konsep filosofis pendidikan islam, adalah berpangkal tolak pada hablun min Allah (hubungan dengan allah) dan hablun min al-nas (hubungan manusia dengan manusia), dan hablun min al-alam (hubungan manusia dengan alam sekitarnya), menurut ajaran islam. Dari semua makhluk, hanyalah manusia yang memperoleh kebebasanb relatif, kesadaran relatif dan kekuatan kreatif yang relatif. Menurut Iqbal, semua manusia seharusnya ikut mengarungi aspirasi-aspirasi yang lebih dalam di alam sekitarnya dan menentukan nasibnya sendiri maupun nasib alam alam dengan menyesuaikan dirinya dengan
kekuatan-kekuatannya,
dengan
mengarahkan
kekuatan-
kekuatannya menuju tercapainya maksud-maksud dan tujuan sendiri. Dan dalam proses progresif ini, Tuhan menjadi teman sekerjannya, asalkan manusia mengambil inisiatif (H. A. R. Gibb, 1993: 135-136). Senada dengan hal tersebut di atas, Fazlur Rahman berpendapat, bahwa manusia mempunyai pengetahuan yang kreatif tidak seperti Malaikat. Allah berpihak kepada manusia asalkan manusia melakukan usaha-usaha. Manusia harus melakukan usaha-usaha ini karena diantara ciptaan-ciptaan Allah, ia memiliki posisi yang unik, ia diberi kebebasan berkehendak agar ia dapat menyempurnakan misinya sebagai khalifah di bumi. Misi inilah perjuangan untuk menciptakan sebuah tata sosial yang
bermoral di atas dunia, yang dikatakan al-Qur‟an sebagai amanah (Fazlurrahman, 1980: 27-28). Jika diamati lebih mendalam Konsep dasar pendidikan Islam sebenarnya dapat di analisa dari proses Allah mendidik manusia (dalam arti menumbuhkan dan mengembangkannya secara bertahap) sepanjang sejarah kehidupan manusia untuk mengembangkan potensi fitrahnya sekaligus menjalankan tugas kekhalifahan. D. Ideologi Pendidikan Islam Islam sebagai agama lahir bersamaan dengan hadirnya manusia pertama, Nabi Adam A. S. Saat itu pula pendidikan Islam dimulai oleh Allah yang mendidik dan membimbing manusia pertama yaitu Adam sebagai subyek didik, dengan mengajarkan ilmu pengetahuan (nama-nama benda), yang tidak diajarkan kepada makhluk lain termasuk kepada malaikat sekalipun. Selain itu Allah juga memberikan bimbingan “norma kehidupan” untuk memelihara harkat dan martabat manusia (larangan untuk mendekati pohon terlarang) (Achmadi, 2005: 17). Senada dengan hal tersebut, Allah juga mengajarkan kepada Nabi Adam sebuah konsekuensi pilihan dengan dikeluarkannya Adam dari surga serta mengembangkan kemampuan akalnya untuk berfikir walaupun mendapat petunjuk untuk menutupi anggota tubuhnya dengan daun. Ajaran Islam sebagai pedoman hidup yang universal mampu menghadapi masalah dan perubahan tantangan hidup yang dihadapi oleh manusia dari waktu ke waktu. Oleh karena itu ajaran Islam pada
hakikatnya sesuai dengan fitrah manusia serta menjadi pedoman hidup dengan nilai-nilai yang memang sesuai dan menjadi kebutuhan hidup manusia. Pendidikan termasuk wilayah muamalah duniawiyah., maka menjadi tugas manusia untuk memikirkannya terus menerus seirama dengan perubahan zaman. Prinsip-prinsip pendidikan Islam telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW dan telah terlihat hasilnya karena beliau mampu mengkomunikasikan Islam agama fitrah dengan fitrah manusia. Zaman terus berkembang dan persepsi manusiapun terus mengalami perubahan sejalan dengan tantangan yang dihadapi. Disinilah lahan garapan yang menurut para pendidik muslim untuk menyusun konsep pendidikan Islam yang relevan dengan perubahan zaman dan mampu menatap masa depan, berdasarkan nilai-nilai dasar Islam (Achmadi, 2005: 19) Dalam dua atau tiga dekade terakhir ini ideologi-ideologi klasik seperti kapitalisme, sosialisme dan nasionalisme mulai kehilangan momentumnya, disusul dan diganti dengan ideologi kontemporer seperti feminisme, pluralisme, dan postmodernisme. Khusus bidang pendidikan juga diramaikan dengan ideologi-ideologi baru yang menawarkan doktrindoktrin pendidikan sebagai terapi atas krisis yang melanda dunia pendidikan di satu sisi hadirnya ideologi-ideologi tersebut memperkaya khazanah pemikiran pendidikan, tetapi di sisi lain bisa membingungkan para perencana dan praktisi pendidikan.
Sistem
pendidikan di
Indonesia sudah memiliki
ideologi
pendidikan sendiri yaitu Pancasila. Pancasila merupakan tata nilai yang menjadi pegangan bagi segenap rakyat Indonesia. Dengan mengamati model pendidikan yang dilakukan oleh Allah kepada Nabi Adam yang dimana Adam di posisikan sebagai subyek, menurut penulis pendidikan harus mempunyai metode pengajaran yang mampu memahami anak didiknya. E. Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia Ada beberapa jenis lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia, diantaranya pondok pesantren, madrasah dan perguruan tinggi Islam. 1. Pondok pesantren Pesantren dalam perjalanan sejarahnya telah menjadi objek para sarjana barat yang mempelajari islam. Pesantren berasal dari kata santri yang mendapat awalan pe dan akhiran an, berarti tempat tinggal para santri. Istilah santri berasal dari bahasa tamil yang berarti guru ngaji, dan ada juga yang mengatakan bahwa santri mempunyai arti orang yang tahu buku-buku suci, buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan (zamakhsari dhofier dalam Mansur dan mahfud junaedi, 2005: 95). Tegak berdirinya sebuah pesantren sekurang-kurangnya harus didukung oleh lima unsur atau elemen yaitu adanya pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab klasik, santri dan kyai (Zamakhsari Dhofier dalam Mansur dan Mahfud Junaedi, 2005: 97).
Dalam konteks sebagai salah satu lembaga pendidikan, pesantren mempunyai prinsip-prinsip pendidikan sendiri. Secara teknis, pesantren adalah “tempat dimana para santri tinggal”. Frasa ini merupakan gambaran paling penting dari pesantren, yaitu sebagai suatu lingkungan pendidikan dalam pengertiannya yang menyeluruh. Pesantren mirip dengan akademi militer atau biara dalam arti bahwa mereka yang berada di sana mengalami suatu kondisi totalitas. Dibandingkan dengan lingkungan pendidikan parsial yang ditawarkan oleh system pendidikan republik Indonesia sekarang, yang menjadi „kultur pendidikan umum‟ bangsa, pesantren dengan sendirinya merupakan suatu kultur yang unik. Pola kepemimpinan di dalamnya yang berada di luar kepemimpinan pemerintahan desa, literatur universalnya yang terus dipelihara selama berabad-abad, dan sistem nilainya sendiri yang terpisah dari yang diikuti oleh masyarakat luas (Abdurrahman Wahid, 2010: 233), secara tidak langsung diterangkan bahwa pendidikan di tiap mengembangkan kurikulum dan membangun lembaga-lembaga pendidikannya sendiri. 2. Madrasah Istilah madrasah di tanah Arab ditujukan untuk semua sekolah secara umum, namun di Indonesia ditujukan untuk sekolah-sekolah Islam yang mata pelajaran dasarnya adalah mata pelajaran agama islam. Lahirnya lembaga ini merupakan kelanjutan sistem di dunia pesantren yang di dalamnya terdapat unsur-unsur pokok dari suatu pesantren. Unsurunsur tersebut adalah: kyai, santri, pondok, masjid dan pengajaran mata
pelajaran agama Islam. Sedangkan pada sistem madrasah, tidak harus ada pondok , masjid dan pengajian kitab-kitab islam klasik. Unsur-unsur yang diutamakan di madrasah adalah pimpinan, guru, siswa, perangkat keras, perangkat lunak, dan pengajaran mata pelajaran agama islam. Madrasah adalah tempat pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran yang berada di bawah naungan departemen agama sekarang kementrian agama. Yang termasuk kategori lembaga pendidikan: ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah, mu‟allimin, mu‟allimat serta diniyah (Ridlwan Nasir, 2005: 90). 3. Perguruan Tinggi Islam Pendidikan di Indonesia harus siap untuk memajukan bangsa, seluruh rakyat Indonesia maupun umat Islam pada khususnya harus ikut andil di dalamnya. Pendidikan pada mulanya berfungsi sebagai sarana untuk mensosialisasikan nilai-nilai dan tradisi yang dianut oleh masyarakat. Ia merupakan pranata sosial yang sangat penting dan lahir bersamaan dengan kelahiran masyarakat itu sendiri. Hingga kini institusi pendidikan itu tetap ajeg dan tampil dalam sosok yang semakin pelik dan rumit. Dalam perjalanannya lebih lanjut, sehubungan dengan dikelola secara profesional dan fungsinya berkembang. Secara vertikal ia dibagi atas berbagai jenjang, dan secara horisontal ia dikembangkan ke dalam berbagai bidangf keahlian dan spesialisasi (Cik Hasan Bisri dalam Mansur dan Mahfud Junaedi, 2005: 108).
F. Permasalahan Pendidikan Islam di Indonesia Pengembangan pendidikan Islam pada awalnya lebih tertuju pada pemberdayaan aqidah, yang diupayakan nabi dengan menempatkan pendidikan sebagai aspek yang sangat penting, yang tercermin dalam usaha nabi dengan menggalakkan umat melalui bahasa wahyu agar mencari ilmu sebanyak-banyaknya dan setinggi-tingginya. Masjid-masjid, pada periode awal itu bahkan menjadi pusat pengembangan ilmu dan pendidikan, sekalipun masih mengkhususkan pada menghafal Al-Qur‟an, belajar hadis, dan sirah nabi. Disiplin-disiplin lain seperti filsafat, ilmu kimia, matematika, dan astrologi kemudian juga berkembang, namun tidak dimasukkan dalam kurikulum formal. Semua disiplin ini diajarkan atas dasar kesdaran orang tua untuk mencarikan guru demi kemajuan anaknya (Aziz Talbani dalam Muslih Usa dan Aden Wijdan (penyunting), 1997: 212). Pada era abad ke-20 ini, pendekatan pendidikan Islam berlangsung melalui proses operasional menuju pada tujuan yang diinginkan, memerlukan model yang konsisten yang dapat mendukung nilai-nilai moral spiritual dan intelektual yang melandasinya, sebagaimana yang pertama kali dibangun nabi. Nilai-nilai tersebut dapat diaktualisasikan berdasarkan kebutuhan perkembangan manusia yang dipadukan dengan pengaruh lingkungan kultural yang ada, sehingga dapat mencapai cita-cita dan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia di segala kehidupannya. Secara global, lembaga pendidikan Islam di Indonesia
adalah pondok pesantren dan madrasah, walaupun sebenarnya selain kedua lembaga tersebut masih ada lagi, yaitu IAIN/UIN/STAIN, dan pelajaran agama Islam di sekolah umum atau perguruan tinggi umum (Ridlwan Nasir, 2005: 79). Pendidikan Islam yang bermakna usaha untuk mentransfer nilainilai budaya Islam kepada generasi mudanya, masih dihadapkan pada persoalan dikotomis dalam sistem pendidikannya. Pendidikan Islam bahkan diamati dan disimpulkan terkungkung dalam kemunduran, kekalahan,
keterbelakangan,
ketidakberdayaan,
keterpecahan,
dan
kemiskinan, sebgaimana pula yang dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat Islam dibandingkan mereka yang non Islam. Bahkan, pendidikan yang apabila diberi embel-embel Islam, juga dianggap berkonotasi kemunduran dan keterbelakangan, meskipun sekarang secara berangsur-angsur banyak diantara lembaga pendidikan Islam yang telah menunjukkan kemampuan (Soeroyo dalam Muslih Usa dan Aden Wijaya (penyunting), 1997: 214).. Untuk penataan kembali pendidikan Islam, perlu menoleh sejarah perkembangan pendidikan Islam pada abad ke-9, di mana dunia Islam mulai mengenal sistem madrasah yang ternyata telah menimbulkan perubahan radikal dalam sistem pendidikan Islam. Sistem madrasah yang diorganisasika secara formal, secara berangsur-angsur mengalahkan pusatpusat pendidikan yang lebih liberal. Inti kurikulum madrasah terpusat pada Al-Qur‟an, hadis, fiqh. Dan bahasa Arab. Bentuk-bentuk pengetahuan
yang tidak diperoleh madrasah seperti filsafat, kimia, astronomi, dan matematika, dipelajari secara individual dan dalam lingkungan yang terbatas. Bahkan disiplin-disiplin ini ditempatkan di bawah payung disiplin lain seperti ilmu perobatan (George Makdisi dalam Muslih Usa dan Aden Wijaya (penyunting), 1997: 216). Penataan
pada
fungsi
pendidikan
Islam,
tentu
dengan
memperhatikan pula dunia kerja. Sebab, dunia kerja mempunyai andil yang cukup besar dalam jangka kehidupan yang kolektif. Pembenahan pendidikan Islam dapat memilih sasaran model pendidikan bagi kelompok masyarakat yang kurang beruntung di kalangan orang dewasa. Perbaikan wawasan,
sikap,
pengetahuan,
ketrampilan,
diharapkan
akan
memeperbaiki kehidupan sosio-kultural ekonomi mereka. Pada tahap lanjut, menjadi suatu kesatuan berbagai jenis lembaga pendidikan Islam yang dapat mengambil peran ini, yaitu pendidikan pondok pesantren, masjid, madrasah, dan pendidikan umum yang bernafaskan Islam.
BAB IV PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF K. H. ABDURRAHMAN WAHID
G. Paradigma Pendidikan Islam Adanya pendidikan Islam merupakan sebuah keharusan universal untuk menyampaikan pesan-pesan Tuhan yang tertuang dalam firman-Nya yang berbentuk mushaf Al-Qur‟an. Hal tersebut sebenarnya sudah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW., untuk mentransformasikan nilai-nilai yang islami kepada kaum jahiliah untuk mendapatkan pencerahan pengetahuan menuju masyarakat yang ilmiah, atau masyarakat yang beradab. Tugas pokok utama peran kerasulan Muhammad pada hakikatnya adalah membentuk dan menyempurnakan moralitas umat manusia (Faisol, 2011: 48). Jika kita amati secara seksama, paradigma pembelajaran tradisional pada umumnya masih terkesan mengesampingkan peran pengembangan potensi nalar dan berkreasi. Banyak orang menimba ilmu pengetahuan, namun mereka ibarat alat perekam bagi ilmu-ilmu yang mereka pelajari, tidak lebih kurang. Kadang mereka mempelajari sebuah kitab dari guru mereka dengan tekun dan konsentrasi, mereka berusaha memahami bacaan bahkan menghafalnya dan mencatatnya (Murtadha Muthahhari, 2005: 20). Terdapat dua persoalan dalam pengembangan potensi akal dan berfikir yang penting untuk dikaji. Pertama, adalah pengembangan potensi akal dan potensi berfikir kreatrif. Kedua, tentang pengembangan kajian keilmuan.
Persoalan yang kita hadapi sekarang adalah, pendidikan nasional sudah lama dirasakan tidak memberi ruang bagi tumbuhnya pribadi-pribadi manusia yang memiliki nilai dasar seperti keteguhan hati seperti keteguhan dalam berprinsip, konsistensi, integritas, disiplin, bertanggung jawab, kerelawanan, solidaritas sosial, dan toleran terhadap segala bentuk perbedaan. Sebaliknya pendidikan nasional hanya menawarkan sesuatu yang sifatnya material dan positivistik (Darmaningtyas, 2007: 313). Dengan melihat praktek pendidikan yang ada sekarang ini belum ada yang mengacu pada konsep tidak dholim (menempatkan porsi metode pengajaran sesuai dengan kebutuhan anak) dan penetuan kapan menggunakan model pembelajaran partisipatif kapan tidak, kapan anak didik diposisikan sebagai subyek kapan tidak dan kapan anak didik diajak untuk berdiskusi. Hal ini sangat penting dilakukan oleh pendidik. Wujud dari pendidikan seperti yang menekankan pada pengembangan kompetensi, perlindungan hak, kebebasan, serta menimbang problem-problem sebagai upaya menjaga stabilitas masa yang akan datang. Pendidikan Islam sebagai warisan periode klasik akhir, bukan lagi ditegaskan atas fondasi intelektual spiritual yang kokoh dan anggun. Diterimanya prinsip dikotomik antara ilmu agama dan ilmu umum, adalah di antara indikasi rapuhnya dasar filosofis pendidikan Islam dimaksud. Dikotomi ini terlihat dengan jelas pada dualisme sistem pendidikan di negara-negara muslim: sistem pesantren dengan segala variasi dan implikasinya terhadap pembentukan wawasan intelektual keislaman umat dan sistem pendidikan sekuler dengan segala dampak dan akibatnya dalam persepsi keagamaan kita.
Dualisme dikotomi ini, kemudian diperkuat oleh sistem penjajahan barat atas Islam dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Antara dua sistem hampir tidak ada komunikasinya di masa lampau dan yang kelihatan di permukaan adalah sikap dan budaya yang saling mencurigai dan saling mencemburui (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif dalam Muslih Usa, 1991: 18). Pendidikan Islam memberi ruang yang seluas-luasnya bagi perubahan. Pendidikan Islam jangan sampai terjebak pada kemunduran dan keterpurukan, pendidikan Islam harus menjadi wadah bersama jangan sampai dikuasai oleh aliran-aliran yang membawa pada kehancuran pendidkan Islam itu sendiri. Pendidkan Islam memberikan tempat bagi anak didik guna meluapkan segala ekspresi untuk mengekspresikan pemikiran dan sikapnya tentang agamanya, tanpa harus ada perbedaan. Eksistensi agama dalam kaitannya dengan pendidikan lebih bersifat implisit, dalam kaitannya dengan nilai-nilai. Dari pandangan yang sekuler itu pula timbul kecenderungan baru, yaitu menyamakan agama dengan humanisme universal sebagaimana yang tampak di dunia barat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini. Konsep pendidikan model Islam, tidak hanya melihat bahwa pendidikan itu tentang manusia dan hakekatnya (M. Rusli Karim dalam Muslih Usa, 1991: 29). Pandangan Gus Dur terkait dengan paradigma pendidikan Islam adalah terkait konsep pembaharuan pendidikan Islam dan modernisasi pendidikan Islam. Dalam liputan istilah yang pertama, tentu saja ajaran-ajaran formal Islam harus diutamakan, dan kaum muslimin harus dididik mengenai ajaran-ajaran agama mereka. Yang diubah adalah cara menyampaikan kepada
peserta
didik,
sehingga
mereka
akan
mampu
memahami
dan
mempertahankan”kebenaran”. Bahwa hal ini memiliki validitas sendiri, dapat dilihat pada kesungguhan anak muda muslimin terpelajar, untuk menerapkan apa yang mereka anggap sebagai ajaran-ajaran yang benar tentang Islam (Abdurrahman Wahid, 2006: 225). Pendidikan Islam tidak hanya disampaikan di dalam ajaran-ajaran formal Islam di sekolah-sekolah agama/madrasah belaka, melainkan juga melalui sekolah-sekolah non agama yang berserek-serek di seluruh penjuru dunia. Hal lain yang harus diterima sebagai kenyataan hidup kaum muslimin di manamana, adalah respon umat Islam terhadap”tantangan modernisasi”. Tantangan seperti pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup dan sebagainya, adalah respon yang tak kalah bermanfaatnya bagi pendidikan Islam, yang perlu kita renungkan secara mendalam, pendidikan Islam yang peduli terhadap lingkungan hidup, kemiskinan, dan masalah sosial yang lain. Pendidikan Islam harus mampu”meluruskan” responsi terhadap tantangan modernisasi itu, namun kesadaran akan hal itu justru belum ada dalam pendidikan Islam di mana-mana (Abdurrahman Wahid, 2006: 225). Lembaga pendidikan, utamanya pendidikan jalur sekolah, haruslah mampu mengakomodasi dan mengantisipasi perkembangan iptek. Bahan ajaran seyogianya hasil perkembangan iptek mutakhir, baik yang berkaitan dengan hasil perolehan informasi, maupun cara memperoleh informasi, maupun cara memperoleh informasi itu dan manfaatnya bagi masyarakat. Relevansi bahan ajaran dan cara penyajiannya dengan hakekat ilmu, sumber bahan ajaran itu
merupakan satu tuntutan yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Peserta didik seyogianya sedini mungkin mengalami sosialisasi ilmiah meskipun dalam bentuk yang masih sederhana. Dengan demikian, baik kemampuan maupun sikap ilmiah sedini mungkin dikembangkan dalam diri peserta didik. Seperti diketahui, beberapa tahun terakhir di sekolah telah digalakkan pelaksanaan cara belajar siswa aktif dengan pendekatan keterampilan proses. Beberapa keterampilan dibentuk sedini mungkin mulai dari sekolah dasar (SD), seperti: observasi, perhitungan, pengukuran, klasifikasi, mencari hubungan ruang/waktu, pembuatan
hipotesis,
perencanaan
penelitian
(utamanya
eksperimen),
pengendalian variabel, interpretasi data, kesimpulan sementara (inferensi), peramalan, penerapan dan komunikasi. Pembentukan keterampilan dan sikap ilmiah sedini mungkin tersebut secara serentak akan meletakkan dasar terbentuknya masyarakat yang sadar iptek dan calon-calon pakar iptek kelak kemudian hari (Umar Tirta Rahardja dan S. L. La Suto, 2005: 116). Khusus untuk pendidikan di Indonesia, terdapat sejumlah asas yang memberi arah dalam merancang dan melaksanakan pendidikan itu. Asas-asas tersebut bersumber baik dari kecenderungan umum di dunia maupun yang bersumber dari pemikiran dan pengalaman sepanjang sejarah upaya pendidikan di Indonesia. Di antara berbagai asas tersebut, tiga buah asas tut wuri handayani, asas belajar sepanjang hayat, dan asas kemandirian dalam belajar. Ketiga asas itu dipandang sangat relevan dengan upaya pendidikan, baik masa kini maupun masa depan. Oleh karena itu, setiap tenaga kependidikan harus memahami dengan tepat ketiga asas tersebut agar dapat menerapkannya dengan semestinya
dalam penyelenggaraan pendidikan sehari-hari (Umar Tirta Rahardja dan S. L. La Suto, 2005: 117). Baik pendidikan formal maupun informal tidak dipungkiri sejarah sangatlah penting dijadikan cermin bagi perkembangan pendidikan ke depannya. Pendidikan yang baik adalah mampu berkaca dari pengalaman masa lampau, sehingga dari masa ke masa pendidikan akan semakin maju dan memiliki citra yang baik. H. Aspek Pendidik Pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam Islam, orang yang paling bertanggung jawab tersebut adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik. Tanggung jawab itu disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal: pertama karena kodrat, yaitu skarena orang tua ditakdirkan menjadi orang tua anaknya, dan karena itu ditakdirkan pula bertanggung jawab mendidik anaknya; kedua karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang tua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang tua juga. Tanggung jawab pertama dan utama terletak pada orang tua berdasarkan juga pada firman Allah seperti yang tersebut dalam Al-Qur‟an:
قوا أًفسكن وأُليكن ًارا Artinya:” Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. (Q. S. AtTahrim [66]: 6 )
“Dirimu” yang disebut dalam ayat itu adalah diri orang tua anak tersebut, yaitu ayah dan ibu; “anggota keluarga” dalam ayat ini ialah terutama anak-anaknya (Ahmad Tafsir, 2008: 74). Sama dengan teori pendidikan Barat, tugas pendidik dalam pandangan Islam secara umum ialah mendidik, yaitu mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi psikomotor, kognitif maupun potensi afektif. Potensi itu harus dikembangkan secara seimbang sampai ke tingkat setinggi mungkin, menurut ajaran Islam. Karena orang tua adalah pendidik pertama dan utama, maka inilah tugas orang tua tersebut. Namun pada zaman yang telah maju ini semakin banyak tugas orang tua sebagai pendidik yang diserahkan kepada sekolah. Itu lebih murah, lebih efisien, dan juga lebih efektif. Sekalipun demikian, secara teoritis sekolah dan rumah tangga seharusnya tetap menyadari sejarah pendidikan tersebut. Kesadaran itu akan mengingatkan orang tua dan sekolah tentang perlunya dijalin kerja sama sebaik-baiknya antara sekolah dan rumah tangga. Kerja sama itu dimulai sejak perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan. Oleh karena itu, terasa amat janggal apa yang dikemukakan oleh salah seorang anggota DPR-RI seperti yang dimuat harian pikiran rakyat bandung tanggal 11 mei 1991, yang mengatakan, “terlalu banyak orang ikut bicara soal pendidikan......” menurut uraian di atas, tidak pernah terlalu banyak orang berbicara tentang pendidikan. Yang wajib membicarakan pendidikan bukanlah menteri pendidikan saja. Pendidikan pada hakekatnya bukan kepentingan negara, melainkan kepentingan rakyat, tegasnya kepentingan orang tua. Perlu diketahui bahwa pendidikan jauh lebih dahulu adanya
dibandingkan dengan munculnya negara. Semakin rakyat berbicara tentang pendidikan, itu semakin baik; menteri pendidikan memerlukan masukan sebanyak-banyaknya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Prinsip dasarnya ialah kaidah yang mengatakan bahwa kerja sama rumah tangga dan sekolah perlu dijalin sebaik-baiknya dalam penyelenggaraan pendidikan, bahkan juga dalam perencanaan dan evaluasi pendidikan. (Ahmad Tafsir, 2008: 75) Hal ini sesuai dengan jawaban Gus Dur dalam wawancaranya mengenai pendidikan yang diberikan kepada anak-anaknya ”saya menanamkan tanggung jawab. Jadi terserah mereka mau jadi apa. Dari satu segi, anak saya‟kan perempuan semua. Saya cukup realistis. Kalau saya tanamkan supaya mereka bercita-cita, pertama, „kan itu memaksakan kehendak kepada mereka. Kedua, toh mereka kawin dan nanti harus menyesuaikan diri dengan suami, he-he-he. Jadi udah, saya tekankan rasa tanggung jawab itu saja. Dan itu namanya......saya ingin memperingatkan kepada orang tua yang ingin anaknya berprestasi. Menurut saya, kita tidak boleh mendera mereka. Biar dia muncul dari kebutuhan mereka sendiri. Karena itu saya nanti saja kalau mengajarka disiplin, tapi bukan supaya mereka mengejar angka-angka di kelas, misalnya. Umumnya, orang tua kalau anaknya tidak masuk rangking sepuluh, lalu kecewa. Saya nggak ada itu, karena saya dulu pernah nggak naik kelas, kok. Jadi bagi saya itu bukan apa-apa, ha-ha-ha. Dan saya juga biasa-biasa saja, bukan orang yang punya prestasi hebat”(Abdurrahman Wahid, 2010: 205). Dalam wawancara tersebut, Gus Dur menjadi contoh sosok pendidik yang berani dalam menerapkan kebebasan bagi kemajuan pendidikan anak-anaknya. Gus Dur menerapkan kebebasan dalam
mendidik anak-anak beliau, beliau menghargai hak dan kewajiban setiap anaknya. Memberikan ruang sebebas-bebasnya dalam mengekspresikan pemikirannya masing-masing. menurut penyusun, pendidik model Gus Dur inilah yang perlu diadakan di dunia pendidikan kita saat ini. Pendidik
dituntut
untuk
sebisa
mungkin
menjadi
mediator
(mengembalikan fungsi utama pendidik), karena yang dapat mengetahui kondisi kapan menggunakan metode pembelajaran partisipatif atau kapan murid sebagai subyek sehingga nantinya diharapkan anak didik dapat memunculkan kreatifitasnya. Karena yang dapat mengetahui kebutuhan anak didik adalah para pendidik. Sehingga nantinya dapat terjadi kondisi kelas yang sangat kondusif dan ideal sehingga diharapkan dengan penerapan seperti ini anak didik akan merasa lebih siap dalam menerima pelajaran dan memunculkan kreatifitasnya. Dunia pendidikan adalah dunia yang sangat kompleks, menantang, dan mulia. Kompleks, karena spektrumnya sangat luas, menantang karena menentukan masa depan bangsa, dan mulia karena memanusiakan manusia. Kompleksitas tersebut dapat teratasi jika guru yang menjadi ujung tombak pelaksanaan pendidikan bisa memahami peran dan fungsinya sebagai pendidik (Mohammad Nuh dalam Eko Prasetyo dan Mohammad Ihsan, 2011: v). Dalam hal pendidikan, yang benar-benar saya (Gus Dur) rasakan adalah generasi muda memerlukan contoh yang baik, atau sosok yang dapat ditauladani dalam kehidupan. Bukan hanya didoktrinasi saja, tetapi perlu seorang figur yang dapat menjadi tauladan, tumpuan hati, dan harapan secara nyata. Masalah
generasi muda di Indonesia sekarang berarti hilangnya mereka figur yang menjadi contoh (Abdurrahman Wahid, 2010: 120). Kehadiran pendidik yang berkualitas baik segi intelektual maupun spiritual sangatlah didambakan bagi lajunya pendidikan. Karena maju mundurnya pendidikan di sebuah Negara juga difaktori oleh kredibilitas seorang pendidik. I. Aspek Peserta Didik Bukan rahasia umum jika sebagian besar dari sistem budaya pendidikan kita, terlanjur menempatkan anak didik sebagai ”objek” dari satu proses belajar mengajar. Tujuannya memang baik, dalam arti bagaimana agar para murid menjadi orang yang berilmu dan berguna kelak bagi nusa dan bangsa (negara), bahkan, maunya, bagi dunia. Akan tetapi, karena tujuan terssebut, para murid diproses berdasarkan target-target
yang harus dicapai sesuai dengan
perhitungan-perhitungan periodik (kuartalan/ semesteran). Target-target tersebut membuat sistem pendidikan menjadi tidak kreatif, atau minimal tidak terlalu memberi peluang kepada para siswa melakukan kreatifitas dan menjadi manusia yang menaruh kepercayaan pada kemampuan kemanusiaannya. Target menjadi tujuan itu sendiri dan mengabaikan proses yang sebetulnya justru bagian penting (Emha Ainun Nadjib, 2001: 162). Oleh karena ia diproses berdasarkan target-target kurikulum, tidak jarang pendidikan berjalan secara ketat, kaku, bahkan irrasional. Juga, dibanyak kesempatan, tidak jarang pendidikan kita menempatkan gurunya sebagai orang yang tidak sekadar disegani, tetapi lebih-lebih ditakuti. Padahal, dilain pihak
sosial kita terlanjur memberi kepercayaan kepada seseorang yang secara “formal” telah menyelesaikan suatu jenjang pendidikan. Artinya, ada perbedaan “harga” terhadap seseorang yang secara formal berpendidikan atau tidak, terlepas dari apakah seseorang yang berpendidikan formal lebih bermutu atau tidak dibanding dengan mereka yang tidak memiliki “sertifikat formal”. Sebagai implikasi lebih lanjut, pendidikan kita membuat nasib seorang siswa ada di tangan gurunya. Akibatnya, para murid tidak memiliki kesempatan atau tidak berani untuk melakukan dialog atau proses terbuka apa yang selama ini dirasakannya sebagai sesuatu yang menekan. Konsekuensi lebih jauh, ia membalas dengan cara-cara tertentu yang aman. Nah, ungkapan gurune gendeng itu memang “pembalasan” dalam konotasi yang sesungguhnya. Mungkin ungkapan ini senada dengan guru kencing berdiri, murid mengencingi guru. Kita tidak tahu pasti dimana letak kesalahan sejarah ini sehingga kita selalu gagal memproyeksikan agar anak didik kita menjadi subjek-subjek yang memiliki integritas utuh, berani, bertanggung jawab, serta menjadi pribadi kreatif dan mandiri. Pada sisi lain pendidikan kita telah melahirkan para pelajar dengan kelas “lempar batu sembunyi tangan”. Ada ketakutan yang tidak jelas, perlawanan terpendam, dan rasa tak percaya diri yang aneh (Emha Ainun Nadjib, 2001: 164). Allah menciptakan setiap manusia dalam keadaan fitrah (suci) tergantung pendidikan yang diperoleh selama masa fase pertumbuhannya. Sudah menjadi tugas bagi pendidik untuk membimbing dan setiap generasi. Seperti dalam hadis nabi:
mengarahkan
حق الولد علي والدٍ اى يحسي اسوَ و يحسي هوضعَ ويحسي َادب Artinya: Hak anak terhadap orang tuanya adalah agar orang tuanya membaguskan
namanya,
memperindah
tempatnya,
dan
memperbaiki
pendidikannya (H. R. Baihaqi). Dalam pendidikan Islam, hak anak untuk mendapat pendidikan yang membebaskan dan terarah adalah suatu hal yang mutlak harus diterapkan. Dengan generasi yang berpotensi dan berakhlakul karimah maka pendidikan Islam akan segera terangkat derajatnya. J. Aspek Materi Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah “daya upaya untuk memajukan perekembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek), dan jasmani anak-anak, selaras dengan alamnya dan masyarakatnya”. Ada tiga komponen yang harus dimajukan pendidikan, yaitu budi pekerti (afektif), pikiran (kognitif), dan jasmani (psikomotorik). Tiga komponen di atas harus berjalan beriringan, tidak boleh mengesampingkan antara satu dan yang lain. Ketika mengembangkan kognitif siswa, maka afektif dan psikomotorik tidak boleh dilewatkan. Begitu juga dengan mengembangkan afektif siswa, maka komponen kognitif dan psikomotorik harus dikembangkan juga. Sinergi ketiga komponen tersebut diselaraskan dengan alam dan masyarakat di mana siswa berada (Ki Hajar Dewantara dalam Aziz Safa, 2011: 79). Gagasan yang menarik dikaji dari Ki Hajar (dalam Aziz Safa, 2011: 8082) adalah konsep panca darma perguruan tamansiswa yang disusun pada 1947
konsep ini juga dikenal dengan nama “asas-asas 1922”. Melalui konsep ini Ki Hajar seolah ingin mengungkapkan bahwa usaha-usaha mencerdaskan kehidupan bangsa harus memiliki landasan yang kuat. Asas-asas panca darma ini merupakan intisari dari karakter pendidikan Indonesia. Pertama, asas kemerdekaan. Hakekat kemerdekaan bagi Ki Hajar bukan sekadar kebebasan seseorang dari segala macam perintah dan kekuasaan orang lain, melainkan kesanggupan untuk mandiri, berdikari, tidak selalu bergantung kepada bantuan orang lain. Lebih lanjut penjelasan ini adalah sebagai berikut: “Berdiri sendiri dalam soal kemerdekaan itu tidak hanya berarti “berdiri yang tidak berdaya, ”berdiri asal berdiri, dalam arti yang sempit . berdiri sendiri harus diartikan sebagai ketegakan berdiri karena kekuatan sendiri...... juga dalam hal ini janganlah hak dan kewajiban urus-mengurus hidupnya sendiri itu diartikan sebagai “mengurus asal mengurus saja,” tetapi mengurus dengan beres, yaitu dapat mewujudkan tertib dan damai di dalam hidup dan penghidupannya. Kemerdekaan yang tidak dapat mewujudkan hidup lahir yang tertib dan hidup batin yang damai, bukan kemerdekaan yang sejati, tetapi kemerdekaan anak-anak belaka. ” Kedua, asas kodrat alam: “Pendidikan dan pengajaran yang terluhur adalah yang terdapat kodrat alam di dalamnya; untuk mengetahui kodrat alam itu, orang perlu mempunyai wijsheid, atau kebersihan budi, yang harus terdapat pada tujuan berpikir, halus rasa, dan kekuatan kemauan, atau dengan kata lain yaitu kesempurnaan ciptarasa-karsa. Tujuan pendidikan ialah kesempurnaan hidup manusia sehingga dapat memenuhi segala keperluan lahir dan batin yang kita peroleh dari kodrat alam.”
Perbedaan lingkungan membuat sifat manusia beragam, ada yang buruk dan ada yang baik. Sehingga, dengan budi pekerti itulah sifat-sifat buruk seseorang dihilangkan atau dinetralisasi. Kesadaran terhadap kodrat alam hanya akan tumbuh jika kebersihan budi pekerti atau pikiran, rasa, dan kemauan menjadi acuan kehidupan. Tentunya timbal balik dari kesadaran inilah yang akan memberikan rahayu (kebahagiaan) atas apa yang diperoleh dari alam. Ketiga, asas kebudayaan. Ki Hajar berpendapat bahwa kebudayaan adalah buah budi manusia atas perjuangan terhadap alam dan waktu. Oleh karena itulah, peran pendidikan adalah memberikan pengaruh batin kepada masyarakat berkebudayaan kebudayaan
untuk
kepada
memelihara, nilai-nilai
memajukan,
kebudayaan
dan
universal.
mengembangkan Keempat,
asas
kebangsaan. Dalam pandangan Ki Hajar, asas kebudayaan belumlah cukup untuk mencapai kebahagiaan manusia, maka diperlukanlah asas kebangsaan. Fungsi asas ini adalah menyatukan multikultural menjadi sebuah kebudayaan yang “tunggal ika”. Kebangsaan menjadi faktor perekat masyarakat plural menjadi kesatuan sehingga demi kepentingan bangsa masalah-masalah primordial harus dikesampingkan. Kelima, asas kemanusiaan. Asas ini memberikan ukuran yang jelas bahwa dasar kebangsaan adalah selama ia tidak melanggar prinsip kemanusiaan universal. Dalam kehidupan berbangsa sepatutnya menyampaikan pesan-pesan kedamaian, cinta kasih, saling bergotong
royong,
melaksanakan
prinsip-prinsip
kekerasan tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun.
keadilan.
Sikap-sikap
Peran agama menjadi landasan penting bagi pendidikan untuk memasukkan nilai-nilai kemanusiaan kepada anak didik, supaya anak mampu menyelesaikan masalah dan konflik secara bijak. K. Aspek Evaluasi Rangkaian akhir dari suatu proses pendidikan Islam adalah evaluasi atau penialaian. Berhasil tidaknya pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya dapat dilihat setelah dilakukan evaluasi terhadap output yang dihasilkan. Jika hasilnya sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam tujuan pendidikan Islam, maka usaha pendidikan itu dapat dinilai berhasil, tetapi jika sebaliknya, maka dinilai gagal. Dari sini dapat difahami betapa urgennya dalam proses pendidikan Islam (Samsul Nizar, 2002: 77). Sebagai bahan evalusi terhadap pendidikan Islam, salah satu penyebab kemunduran umat Islam adalah melemahnya atau merosotnya kualitas pendidikan Islam. Masalahnya pendidikan Islam yang berlaku sekarang ini hanya berkutat pada sejarah padahal sejarah itu sebagai sebuah pengalaman dan elemen positif sebagai pijakan. Pada dasarnya sejarah terbatas pada ruang dan waktu, sedangkan pendidikan itu mengikuti perubahan zaman yang baru berkembang(Mansur dan Mahfud Junaedi, 2005: 29). Hal ini sesuai dengan maqolah khalifah Umar Bin Khatab “Addibu auladakum bighairi tarbiyatikum fainnahum khuliqu lizamanin ghairi zamanikum”. Artinya: ”Didiklah anak-anakmu dengan pola pendidikan yang berbeda dengan pola pendidikan yang kalian dapatkan karena sesungguhnya mereka itu
dilahirkan
untuk
zaman
yang
berbeda
dengan
zamanmu”
(Yyulio.blogspot.com/2013/07/kata-kata-bijak-Umar-Bin-Khatab. html), sudah
menjadi tugas semua elemen
dalam mencetak generasi-generasi yang bisa
diandalkan demi masa depan Indonesia. Evaluasi itu adalah tindakan mengukur atau menilai berapa banyak tujuan telah dapat dicapai. Agar dapat mengevaluasi dengan benar, kita pun harus menguasai lebih dahulu teori-teorinya yang ada di dalam disiplin teknik evaluasi (Ahmad Tafsir, 2008: 73). Terkait dengan hal tersebut, evaluasi harus menyentuh ranah yang menjadi tujuan pendidikan Islam
yang meliputi:
pertama, mencapai
keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia (peserta didik). kedua, pendidikan harus mampu mengembangkan seluruh aspek fitrah peserta didik; aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah, dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif; dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan dan kesempurnaan. Ketiga, mewujudkan ketundukan yang sempurna kepada Allah, baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia. Posisi yang kita hadapi dalam konteks pendidikan islam yang berada di wilayah Indonesia merupakan realitas dengan berbagai permasalahan dan penanganan yang berbeda. Dalam suatu bangsa tentu mempunyai ideologi yang dapat merangkul semua pihak serta menjadi pedoman dalam menyelesaikan berbagai masalah. Dalam dunia pendidikan ideologi yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia tidak lain dan tidak bukan adalah pancasila.
Hal ini yang membuat kondisi masyarakat dan karakter orang Indonesia menjadi sedemikian unik. Melihat pendidikan model barat ada beberapa aliran ideologi. Berdasarkan pemetaan William O‟Neil ada dua aliran ideologi besar yang cukup berpengaruh, dengan varian masing-masing, yaitu pertama, ideologi konservatif
dengan
konservatisme;
kedua,
variasi: ideologi
fundamentalisme, liberalis
dengan
intelektualisme, variasi:
dan
liberalisme,
liberasionisme, dan anarkisme (William F. O‟ Neil, 2002: 120). Ideologi-ideologi tersebut yang didasarkan atas filsafat pendidikan yang berkembang dibarat khususnya Amerika, satu dengan lainnya terjadi tarik ulur, walaupun yang dominan adalah ideologi liberal dengan ketiga variasinya. Hal ini wajar karena Amerika Serikat sebagai negara yang menganut paham liberal tentu berpengaruh terhadap dinamika pendidikannya. Dalam era global wajar pula kalau budaya negara maju berpengaruh bahkan mendominasi budayabudaya negara dan bangsa lain yang sedang berkembang (Achmadi, 2005: 7). Dengan membanjirnya ideologi-ideologi pendidikan kontemporer barat yang hampir semuanya berlatar filsafat pendidikan sekuller yakni liberalisme dan pragmatisme dan pengaruhnya di negeri kita cukup besar, apakah tidak seyogyanya Islam yang sarat nilai-nilai transendental, universal, dan memenuhi hajat hidup manusia tidak bisa menawarkan ideologi pendidikan islam yang secara paradigmatik didasarkan pada bilai-nilai Islam tersebut. Hal ini sekurangkurangnya dapat digunakan sebagai ideologi alternatif, sedang dikalangan pendidik muslim menjadi tempat kembali “back to basic” (Achmadi, 2005: 8).
Hal tersebut menjadi relevan ketika penulis mencoba mengambil pemikiran-pemikiran Abdurrahman Wahid yang merupakan seorang ulama‟ sekaligus menjadi pemikir islam kontemporer ditambah dengan anak bangsa Indonesia sendiri. Demokrasi, pluralisme, dan pribumisasi Islam merupakan buah pemikiran beliau yang koheren dengan ideologi pendidikan bangsa Indosesia (pancasila) yang menjunjung tinggi demokrasi dalam berbagai aspek termasuk aspek pembelajaran. pancasila mempunyai nilai yang dapat merangkul semua suku, budaya dan berbagai perbedaan., hal ini sejalan dengan pluralisme pemikiran Gus Dur. Sejauh pengamatan dan analisa penulis, pancasila sebagai ideologi bangsa dan sekaligus menjadi ideologi pendidikan dalam konteks nasional sejalan dengan ideologi pendidikan Islam dengan melihat semua aspek baik dari al-Qur‟an, hadis dan ijtihad ulama‟ dalam memberikan arah pendidikan Islam.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat disimpulkan, sebagai berikut: 1.
Pendidikan Islam di Indonesia berpedoman pada hablun min Allah (hubungan dengan Allah) dan hablun min al-naas (hubungan dengan manusia), dan hablun min al-alam (hubungan dengan manusia dan alam sekitarnya). Pendidikan islam di Indonesia memiliki tujuan merubah tingkah laku, sikap dan kepribadian setelah peserta didik mengalami proses pendidikan, serta memiliki keseimbangan antara potensi akal, intelektual, bahasa sebagai wujud rasa tanggung jawab dan ketundukan seorang muslim sebagai khalifah fil ardhi baik secara individu maupun kelompok. untuk kemajuan Islam itu sendiri, pendidikan Islam di Indonesia terdiri dari lembaga-lembaga diantaranya pondok pesantren, madrasah dan perguruan tinggi, dalam perkembangannya, perlahan tapi pasti pendidikan Islam di Indonesia sudah sedemikian maju dan menunjukkan
eksistensinya,
walaupun
dahulu
sempat
dianggap
pendidikan yang ada embel-embel Islam identik dengan kemunduruan, keterpurukan dsb. Dikotomipun masih dijumpai, program studi yang ada embel-embel Islam dianggap kurang mumpuni serta ada anggapan bahwa ketika ingin menjadi ilmuan dalam bidang-bidang fisika, kimia dsb harus
mendaftar di universitas-universitas dibawah naungan tanpa embel-embel Islam. Untuk itu pendidikan Islam dari berbagai lembaga baik pondok pesantren, madrasah, dan perguruan tinggi masih perlu koreksi kekurangan dan kelemahan sehingga pendidikan Islam di Indonesia semakin berkembang. 2.
Pendidikan Islam dalam perspektif K. H. Abdurrahman Wahid adalah pendidikan yang menjadikan masyarakat beradab (berakhlak mulia), yaitu masyarakat yang mempunyai dan menerapkan nilai-nilai kebenaran hakiki yang bersumber dari agama, masyarakat yang mempunyai tata karma, sopan santun dan berperilaku menempatkan sesuatu secara proporsional, masyarakat yang menjunjung tinggi hak asasi manusia; masyarakat yang demokratis serta menjunjung tinggi kebebasan setiap individu untuk berkreasi dan berprestasi serta masyarakat yang menghargai kemampuan dan keunggulan pihak lain. Pendidikan yang menjadi alat memanusiakan manusia, sebagai rumah pembebasan bagi pluralitas peserta didik, serta menghargai pendapat dalam pengambilan keputusan bagi setiap individu tanpa meninggalkan budaya lokal sebagai alat menggapai kredibilitas yang mencakup segala aspek keilmuan.
B. Saran 1. Bagi Pendidik Dengan penelitian ini diharapkan para pendidik supaya memperhatikan setiap anak didiknya dalam proses pembelajaran. Pendidik diharapkan dapat
membantu
setiap
anak
didik
dalam
memunculkan
dan
mengembangkan potensi yang ada. Karena tidak lain dan tidak bukan anak didik adalah makhluk sosial yang membutuhkan bimbingan orang lain di sisinya. 2. Bagi Orang Tua Dengan penelitian ini diharapkan para orang tua lebih memperhatikan pendidikan anak, sebab pendidikan anak tersebut sangat berpengaruh dalam pembentukan karakternya. Sosok pendidik, materi dan metode dalam mendidik anak akan menjadi unsur yang menentukan tercapainya tujuan pendidikan, sehingga penyampaian dan penggunaannya harus disesuaikan dan diperhatikan secara benar. 3. Bagi Pemerhati Pendidikan Penelitian ini adalah langkah awal untuk mengurai konsep pendidikan anak yang menuntut tanggung jawab orang tua guna mencapai tujuan pendidikan Islam secara umum yaitu: terbentuknya seorang anak muslim yang berakhlak mulia dan mampu menjalankan tugasnya sebagai makhluk Allah di muka bumi baik dalam kerangka kehidupan individu maupun kemasyarakatan melalui pendidikan Islam dalam perspektif Abdurrahman Wahid. Kepada peneliti yang hendak meneliti lebih lanjut, dapat mengambil pembahasan yang lebih mendalam lagi tentang tanggung jawab pendidikan anak.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim, Atang. Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam. Cet ke-XII, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2010 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam “Paradigma Humanisme Teosentris”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005 Ainun Nadjib, Emha. Demokrasi La Roiba Fih, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009 Alfan Alfian, M. dkk, Kitab Ketentraman Emha Ainun Nadjib, Yogyakarta: Zaituna dan Republika, 2001 Al-Rasyidin, Samsul Nizar. “Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis” Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Prees, 2005 A Partanto, Pius & M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 2001 Azis, M Imam. Membaca Sejarah Nusantara “25 Kolom Sejarah Gus Dur”,cet ke-1, Yogyakarta: LkiS, 2010 Azhari, Muntaha. dan Abdul Mun‟im Sholeh, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M, 1989 Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999 Azwar, Syaifudin. Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005 Baker, Anton. Metode Filsafat, Jakarta: Galia Indonesia, 1996 Barizi, Ahmad. Pendidikan Integratif “Akar Tradisi Dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam”, Malang: UIN-MALIKI PRESS, 2011 Barton, Greg. Biografi Gus Dur. Alih bahasa: Lie Hua. Cet ke-XI, Yogyakarta: LkiS, 2011 Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, Yogyakarta: LkiS, 2005 Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Islam “Upaya Mengembalikan Esensi pendidikan di Era Global ”, Yoyakarta: Ar-ruz Media, 2011 J. Moleong, Lexy. Metodologi penelitian kualitatif, Bandung: Rosdakarya, 2009
Junaedi, Dedy. dkk, Beyond The Symbol”Jejak Antropropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur”, Bandung: Rosdakarya, 2000 Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2005 Mas‟ud, Abdurrahman. Menggagas Pendidikan Non Dikotomik, Yogyakarta: Gama Media, 2002 Muslich, Masnur. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual “Panduan Bagi Guru, Kepala sekolah dan pengawas Sekolah”. Cet ke-VI, Jakarta: Bumi Aksara, 2009 Nasir, Ridlwan. Mencari Tipoloigi Format Pendidikan Ideal “Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005 Prasetyo, Eko dan Mohammad Ihsan, Apa Yang Berbeda Dari Guru Hebat “12 Kisah Inspiratif Bagi Para Pendidk”, Jakarta: Esensi Erlangga Group, 2011 Rahman, Budy Munawar. Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1994 Ruslan, Rossady. Metode Penelitian”Public Relation Dan Komunikasi”, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010 Rusman. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011 Safa, Aziz. Restorasi Pendidikan Indonesia “Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya”, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011 Sanaky, Hujair AH. Paradigma Pendidikan Islam : Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003 Suprijono, Agus. Cooperative Learning, cet ke-v, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011 Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian. Cet-IX, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1995 Suyudi, Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur‟an, Yogyakarta: Mikraj, 2005 Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2008 Tafsir, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islam “Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia”, cet ke-IV, Bandung: PT. Remaja rosda Karya, 2010
Tirta Rahardja, Umar Dan S. L. La Sulo, Pengantar Pendidikan, Jakarta: PT. RINEKA CIPTA, 2005 Usa, Muslih. Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991 Wahid, Abdurrahman. Tabayyun Gus Dur”Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural”, Yogyakarta: LkiS, 2010 ,
Menggerakkan Tradisi”Esai-Esai Yogyakarta: LkiS, 2010.
Pesantren”.
cet
ke-III
, Tuhan Tak Perlu Dibela, Yogyakarta: LkiS, 1999 , Islamku Islam Anda Dan Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Jakarta: Wahid Institut, 2006. , Tabayun Gus Dur, cet ke-III, Yogyakarta: LKiS, 2010 , Islam Kosmopolitan, Jakarta: The Wahid Institut, 2007 Wahyudi, Yudian. Ushul Fiqih versus Hertmeneutika “membaca Islam dari Kanada dan Amerika”, cet ke-VII, Yogyakarta: Nawesea Press, 2007 http://Ilmu Pendidikan- Demokrasi pendidikan dalam pandangan Islam.htm
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya: Nama Tempat/tanggal lahir NIM Jurusan Alamat Asal Jenis Kelamin Agama Warga Negara Nama Orang Tua a. Ayah b. Ibu Jenjang Pendidikan
: NANDIROTUL UMAH : Kab. Semarang, 24 april 1991 : 11109081 : Tarbiyah/PAI : Dsn. Kalongan RT 002 RW 008, Ds. Kalongan, Kec. Ungaran Timur, Kab Semarang, 50551. : Perempuan : Islam : Indonesia : Muslim : Junainah : 1. RA Mendiro 2. MI Mendiro 3. MTs Diponegoro Mendiro 4. MAN Semarang I 5. STAIN Salatiga
Demikian riwayat hidup ini dibuat dengan sebenar-benarnya.
Salatiga, 10 Februari 2014 Penulis
Nandirotul Umah 111 09 081