SELEKSI DAN PENGUJIAN BAKTERI ASAM LAKTAT KANDIDAT PROBIOTIK HASIL ISOLAT LOKAL SERTA KEMAMPUANNYA DALAM MENGHAMBAT SEKRESI INTERLEUKIN-8 DARI ALUR SEL HCT 116
EKO FARIDA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :
SELEKSI DAN PENGUJIAN BAKTERI ASAM LAKTAT KANDIDAT PROBIOTIK HASIL ISOLAT LOKAL SERTA KEMAMPUANNYA DALAM MENGHAMBAT SEKRESI INTERLEUKIN-8 DARI ALUR SEL HCT 116
Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan diperiksa kebenarannya.
Bogor, 8 Februari 2006
Eko Farida NRP.F 251024031
ABSTRAK EKO FARIDA. Seleksi dan Pengujian Bakteri Asam Laktat Kandidat Probiotik Hasil Isolat Lokal serta Kemampuannya dalam Menghambat Sekresi Interleukin -8 dari Alur Sel HCT 116. Dibimbing oleh DEDDY MUCHTADI dan RETNO DUMILAH ESTI WIDJAYANTI.
Probiotik adalah sediaan sel mikroba hidup atau komponen dari sel mikroba yang memiliki pengaruh menguntungkan terhadap kesehatan dan kehidupan inangnya. Kelompok Bakteri Asam Laktat (BAL) merupakan salah satu kultur yang sering digunakan sebagai probiotik karena kebanyakan strainnya tidak patogen, bahkan beberapa strain telah mendapatkan status GRAS (Generally Recognized As Safe) dari FDA. Pada penelitian ini dilakuka n seleksi terhadap 20 isolat BAL hasil isolat lokal (susu kuda liar, feses bayi, whey dan tanah di sekitar kandang) yang berpotensi sebagai probiotik. Pengujian yang dilakukan meliputi ketahanan terhadap asam (pH 2,5), ketahanan terhadap garam empedu (bile salt), aktivitas antagonis terhadap bakteri patogen (Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus) dan kemampuannya menempel pada permukaan stainless steel (SS). Enam belas isolat mampu tumbuh pada pH 2,5 selama 90 menit dan semua isolat mampu tumbuh pada garam empedu 1% dan 5% dengan ketahanan yang beragam untuk masing-masing isolat. Semua isolat juga mempunyai sifat antagonistik terhadap bakteri patogen enterik (Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus) dengan derajat penghambatan yang berbeda. Dari ketiga uji tersebut, lima isolat BAL terpilih sebagai kandidat probiotik yaitu (SK2, SK3, WT1, WT2 dan FS1) dan diuji kemampuannya menempel pada permukaan SS. Hasilnya kelima isolat tersebut mampu menempel pada permukaan SS. Isolat SK3 dan WT1 diuji lebih lanjut untuk mengetahui kemampuannya sebagai imunomodulator. Parameter yang diamati adalah kemampuan isolat SK3 dan WT1 tersebut dalam menghambat sekresi interleukin-8 dari alur sel HCT 116. Hasilnya menunjukkan kecenderungan peningkatan kadar interleukin-8 dengan meningkatnya konsentrasi BAL yang ditambahkan. Kedua isolat, pada konsentrasi 107 dan 108 cfu/ml mampu menurunkan sekresi interleukin-8 jika dibandingkan dengan kontrol. Sebaliknya pada konsentrasi 109 cfu/ml, terjadi peningkatan sekresi interleukin-8. Pada penyakit tertentu dimana sel-sel berada dalam kondisi inflamasi (seperti pada kasus Inflamatory Bowel Disease), maka penurunan sekresi interleukin-8 lebih diharapkan. Pada kondisi tersebut, suplementasi probiotik dapat membantu mengatasi penyakit ini. Sedangkan pada saat kondisi tubuh melemah, maka pemberian probiotik pada dosis yang tepat dapat memacu peningkatan kekebalan tubuh. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa BAL hasil isolat lokal yang diisolasi dari berbagai sumber dapat dipertimbangkan sebagai kultur probiotik yang memiliki pengaruh yang menguntungkan sebagai imunomodulator, yaitu mampu menurunkan sekresi interleukin-8.
SELEKSI DAN PENGUJIAN BAKTERI ASAM LAKTAT KANDIDAT PROBIOTIK HASIL ISOLAT LOKAL SERTA KEMAMPUANNYA DALAM MENGHAMBAT SEKRESI INTERLEUKIN-8 DARI ALUR SEL HCT 116
EKO FARIDA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Tesis
:
Seleksi dan Pengujian Bakteri Asam Laktat Kandidat Probiotik Hasil Isolat Lokal serta Kemampuannya dalam Menghambat Sekresi Interleukin -8 dari Alur Sel HCT 116
Nama Mahasiswa
:
Eko Farida
NRP
:
F251024031
Program Studi
:
Ilmu Pangan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS
Dr. Ir. Retno Dumilah Esti Widjayanti
Ketua
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS
Tanggal Lulus : 8 Februari 2006
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 13 Januari 1979 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dengan orang tua Supadi Mardi Utomo dan Sri Dwiyanti. Penulis telah menikah dengan Edi Marwanto pada tahun 2005. Jenjang pendidikan yang ditempuh yaitu pada tahun 1997 lulus dari SMU Negeri 1 Semarang dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB mela lui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima pada Program Studi Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada Oktober 2001. Pada tahun 2003, penulis mengikuti pendidikan Program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB dengan melakukan penelitian yang bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta.
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
serta
kemudahan
yang
diberikan
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS dan Ibu Dr. Ir. Retno Dumilah Esti Widjayanti selaku komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk membimbing dan mengarahkan penulis sejak awal penelitian hingga akhir penulisan tesis ini. 2. Ibu Dr. Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum, M.Sc selaku Dosen Penguji Luar yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikiran untuk menguji dan memberikan arahan terhadap penulisan tesis ini. 3. Badan Pengka jian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta yang telah memberikan dana penelitian ini. 4. Suamiku Edi Marwanto yang telah banyak membantu baik dalam bentuk moril maupun materiil, dan ananda Rafa (almarhum), semoga Allah SWT memberikan tempat yang terbaik di sisi-Nya. Amin. 5. Keluarga besar Bpk. Supadi Mardi Utomo di Semarang dan Bpk. Sapon di Lampung atas doa yang tiada pernah putusnya kepada penulis. 6. Keluarga Ir. Joko Sutrisno dan Dr. Ir. Dyah Wulandani, M.Si yang telah memberikan bantuan dana untuk penyelesaian studi selama ini. 7. Ibu Ida Susanti, Ibu Retno Windya K, Bpk. Karnadi, Mbak Fatim, Mas Udin dan seluruh warga Laboratorium Teknologi Bioproses, BPPT Serpong atas kebersamaan, bantuan dan doanya. 8. Mbak Ari dan teman-teman IPN serta semua pihak yang telah membantu penulis selama menyelesaikan penelitian dan tesis ini.
Bogor, 8 Februari 2006 Eko Farida
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI.................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL .........................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xi
PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................
1
Tujuan Penelitian.....................................................................................
5
Manfaat Penelitian...................................................................................
5
TINJAUAN PUSTAKA Probiotik ..................................................................................................
6
Bakteri Asam Laktat sebagai Probiotik...................................................
8
Karakteristik Probiotik ............................................................................
11
Aktivitas antagonis terhadap bakteri enterik patogen.......................
11
Ketahanan terhadap asam lambung...................................................
16
Ketahanan terhadap garam empedu (bile salt) ..................................
19
Penempelan bakteri pada permukaan padat ......................................
22
Respon Imun ...........................................................................................
26
Respon imun non spesifik .................................................................
27
Respon imun spesifik ........................................................................
28
Reaksi Inflamasi......................................................................................
29
Probiotik sebagai Imunomodulator .........................................................
31
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Penelitian.......................................................................
38
Metode Penelitian....................................................................................
40
Tahap persiapan.................................................................................
40
Persiapan stok kultur ...................................................................
40
Penentuan fase logaritmik bakteri patogen.................................
41
Seleksi Bakteri Asam Laktat Kandidat Probiotik .............................
41
Uji ketahanan terhadap asam.......................................................
42
Uji ketahanan terhadap garam empedu .......................................
42
Uji antagonis terhadap bakteri enterik patogen...........................
43
Uji Kemampuan Penempelan secara In Vitro ...................................
44
Persiapan lempeng Stainless steel...............................................
44
Uji penempelan pada lempeng Stainless steel.............................
44
Pengaruh Bakteri Probiotik terhadap Sekresi Interleukin-8..............
45
Persiapan kultur sel HCT 116 .....................................................
45
Kurva relasi OD dengan jumlah sel bakteri probiotik .................
46
Persiapan kultur bakteri probiotik ...............................................
47
Stimulasi sekresi interleukin-8 oleh bakteri probiotik ................
47
Deteksi sekresi interleukin-8 dengan metode ELISA .................
48
HASIL DAN PEMBAHASAN Ketahanan terhadap pH rendah...............................................................
50
Ketahanan terhadap garam empedu ........................................................
53
Aktivitas antagonistik BAL terhadap bakteri enterik patogen................
59
Pemilihan isolat untuk uji penempelan secara in vitro............................
65
Uji penempelan pada lempeng stainless steel secara in vitro .................
68
Pengaruh penambahan bakteri probiotik terhadap sekresi interleukin-8
70
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan..................................................................................................
74
Saran........................................................................................................
76
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
77
LAMPIRAN..................................................................................................
83
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Populasi kelompok bakteri utama pada usus manusia ................................. 21
2
Bakteri asam laktat yang digunakan............................................................. 39
3
Ketahanan bakteri asam laktat terhadap pH rendah..................................... 51
4
Ketahanan bakteri asam laktat terhadap garam empedu 1% ........................ 54
5
Ketahanan bakteri asam laktat terhadap garam empedu 5% ........................ 56
6
Perbandingan ketahanan BAL terhadap garam empedu 1% dan 5% ...........57
7
Aktivitas antagonistik bakteri asam laktat terhadap Escherichia coli..........60
8
Aktivitas antagonistik bakteri asam laktat terhadap S. aureus..................... 62
9
Aktivitas antagonistik bakteri asam laktat terhadap Bacillus cereus ...........63
10 Perbandingan diameter penghambatan antar bakteri enterik patogen..........64 11 Urutan isolat berdasarkan rangking untuk setiap sifat yang diuji ................ 67
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Struktur dinding sel bakteri gram negatif dan gram positif ...........................13 2 Proses terjadinya inflamasi............................................................................. 30 3 Penempelan bakteri asam laktat pada lempeng stainless steel.......................68 4 Konsentrasi interleukin-8 pada berbagai konsentrasi BAL ............................ 71
DAFTAR LAMPIRAN
.................................................................................................................................... Halaman 1
Data pengujian pengaruh pH rendah terhadap penurunan jumlah koloni BAL yang tumbuh pada kontrol dan perlakuan ...................................................83
2
Analisis ragam pengaruh pH rendah terhadap penurunan jumlah koloni BAL yang tumbuh pada kontrol dan perlakuan ...................................................83
3
Data pengujian pengaruh garam empedu 1% terhadap penurunan jumlah koloni BAL yang tumbuh pada kontrol dan perlakuan...............................84
4
Analisis ragam pengaruh garam empedu 1% terhadap penurunan jumlah koloni BAL yang tumbuh pada kontrol dan perlakuan...............................84
5
Data pengujian pengaruh garam empedu 5% terhadap penurunan jumlah koloni BAL yang tumbuh pada kontrol dan perlakuan...............................85
6
Analisis ragam pengaruh garam empedu 5% terhadap penurunan jumlah koloni BAL yang tumbuh pada kontrol dan perlakuan...............................85
7
Perbandingan pengaruh garam empedu 1% dan 5% terhadap penurunan jumlah koloni BAL ......................................................................................86
8
Analisis ragam pengaruh garam empedu 1% dan 5% terhadap penurunan jumlah koloni BAL ..................................................................................... 86
9
Data pengujian aktivitas antagonistik BAL terhadap Escherichia coli.......87
10 Analisis ragam pengujian aktivitas antagonistik BAL terhadap Escherichia coli ...............................................................................................................87 11 Data pengujian aktivitas antagonistik BAL terhadap Staphylococcus aureus ..................................................................................................................... 88 12 Analisis
ragam
pengujian
aktivitas
antagonistik
BAL
terhadap
Staphylococcus aureus ................................................................................ 88 13 Data pengujian aktivitas antagonist ik BAL terhadap Bacillus cereus ........ 89 14 Analisis ragam pengujian aktivitas antagonistik BAL terhadap Bacillus cereus ..................................................................................................................... 89
15 Perbandingan pengujian aktivitas antagonistik BAL terhadap Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus........................................ 90 16 Analisis ragam pengujian aktivitas antagonistik BAL terhadap Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus........................................ 90 17 Data pengamatan uji penempelan pada lempeng stainless steel................. 91 18 18a Data pertumbuhan bakteri enterik patogen...........................................92 19 18b Kurva pertumbuhan bakteri enterik patogen........................................ 92 20 19 Kurva relasi OD dengan jumlah sel BAL ............................................ 93 21 20 Data standar interleukin-8.................................................................... 94 22 21 Data konsentrasi interleukin-8 ............................................................. 95 23 22 Analisis ragam konsentrasi interleukin -8............................................. 95
PENDAHULUAN
Latar Belakang Minat masyarakat terhadap makanan dan minuman kesehatan akhirakhir ini cenderung meningkat, terutama untuk produk-produk yang dapat menstimulasi sistem kekebalan tubuh. Hal ini disebabkan oleh adanya pergeseran gaya hidup, semakin meningkatnya ilmu pengetahuan tentang siste m pencernaan dan metabolisme di dalam tubuh, munculnya beberapa gejala penyakit yang disebabkan oleh mikroba-mikroba yang terdapat di dalam usus dan tuntutan manusia untuk dapat memperoleh makanan dan minuman dengan kondisi nutrisi yang baik. Pengetahuan gizi yang semakin meningkat, mengakibatkan orang akan lebih selektif dalam memilih dan menentukan jenis makanan dan minuman yang akan dikonsumsinya. Salah satu jenis produk makanan dan minuman kesehatan yang berkembang pesat adalah probiotik dengan bermacam bentuk dan kultur yang digunakan. Konsep tentang probiotik sebenarnya telah muncul sejak dahulu kala, saat ilmuwan Rusia Elie Metchnikoff (penerima hadiah Nobel) pada tahun 1907 menyampaikan hipotesisnya bahwa orang Bulgaria memiliki umur yang panjang dan sehat dikarenakan konsumsi susu yang telah mengalami fermentasi. Beliau meyakini bahwa konsumsi susu yang difermentasi oleh Lactobacillus memberikan efek yang menguntungkan pada mikroba usus dan dapat menurunkan aktivitas toksin yang dihasilkan mikroba. Selanjutnya konsep probiotik telah mengalami beberapa perubahan definisi seiring dengan perkembangan hasil penelitian ilmiah tentang pengaruh, mekanisme kerja dan aplikasinya. Definisi probiotik terbaru
diusulkan oleh Salminen et al. (1999) menyatakan bahwa probiotik adalah sediaan sel mikroba hidup atau komponen dari sel mikroba yang memiliki pengaruh menguntungkan terhadap kesehatan dan kehidupan inangnya. Syarat utama suatu isolat bermanfaat sebagai probiotik adalah memiliki ketahanan terhadap asam dan garam empedu sehingga dapat mencapai usus dalam keadaan hidup, serta memiliki kemampuan menempel (adherence ) dan berkolonisasi pada mukosa usus. Menurut Chou dan Weimer (1999), stres terhadap bakteri probiotik di mulai dari lambung, dimana bakteri ini harus mampu bertahan terhadap pH yang sangat rendah. Waktu yang dibutuhkan bakteri mulai masuk sampai keluar lambung adalah 90 menit. Setelah bakteri probiotik berhasil melalui lambung, mereka akan memasuki saluran usus bagian atas dimana garam empedu disekresikan. Setelah perjalanan melalui lingkungan yang sulit, bakteri probiotik harus mampu menempel pada mukosa usus. Kemampuan menempel pada sel epitel merupakan indikasi bahwa bakteri ini dapat melakukan kolonisasi di dalam usus. Untuk mendapatkan isolat yang memiliki sifat-sifat ini, sumber yang paling ideal adalah isolat berasal dari jalur intestin manusia. Diperkirakan isolat yang mampu tumbuh pada jalur intestin memiliki resistensi terhadap asam dan garam empedu. Syarat lain bakteri probiotik adalah
kemampuannya
menghasilkan
senyawa
antimikroba
sehingga
mampu
menekan
pertumbuhan bakteri patogen enterik. Berbagai jenis senyawa antimikroba yang dihasilkan oleh bakteri probiotik adalah asam organik, hidrogen peroksida, diasetil dan diperkirakan juga bakteriosin (protein atau polipeptida yang memiliki sifat antibakteri).
Rolfe (2000) menyatakan bahwa probiotik dapat berupa bakteri Gram positif, Gram Negatif, khamir atau fungi. Namun mikroba-mikroba yang umum digunakan dalam pembuatan minuman dan makanan probiotik terutama berasal dari kelompok bakteri asam laktat (BAL). BAL sering digunakan sebagai
probiotik karena kebanyakan strainnya tidak patogen, bahkan beberapa strain telah mendapatkan status GRAS (Generally Recognized As Safe) dari FDA. Selain itu, kemampuannya untuk hidup di dalam saluran pencernaan dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen enterik sehingga dapat dimanfaatkan untuk menjaga kesehatan tubuh dan potensi ini yang menyebabkan BAL digunakan sebagai probiotik. Beberapa strain BAL yang berpotensi sebagai probiotik antara lain Lactobacillus reuteri , Lactobacillus casei, Lactobacillus acidophillus dan Bifidobacterium. Penelitian mengenai BAL sebagai probiotik dilakukan baik pada galur bakteri itu sendiri atau pada produk pangan yang mengandung bakter i tersebut. Produk pangan yang umum diteliti adalah produk susu, termasuk susu fermentasi seperti yoghurt dan susu nonfermentasi yang ditambahkan kultur mikroba (Sanders, 2000). Salah satu pengaruh probiotik yang menguntungkan bagi kesehatan adalah mempertahankan keseimbangan mikroflora usus. Mikroflora usus adalah ekosistem yang kompleks, yang terdiri dari berbagai jenis bakteri dalam jumlah yang besar. Aktivitas dan kapasitas metabolik bakteri penghuni usus sangat beragam yang dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif pada fisiologi
usus.
Penelitian
untuk
mengubah
mikroflora
usus
ke
arah
menguntungkan dengan tujuan akhir untuk meningkatkan kesehatan adalah topik yang sangat menarik. Terkait dengan kemampuan BAL sebagai probiotik, maka salah satu pendekatan yang potensial adalah penggunaannya sebagai imunomodulator. Menurut Tzianabos (2000), imunomodulator atau biologic respon modifier (BRM)
adalah komponen yang mampu berinteraksi dengan sistem imun serta menimbulkan efek menstimulasi atau menekan sistem imun. Bakteri probiotik telah banyak digunakan untuk terapi berbagai penyakit pencernaan baik pada manusia maupun hewan. Mekanismenya belum begitu jelas tetapi hal ini terkait langsung dengan sel epitel usus yang diinduksinya. Sel epitel usus merupakan pertahanan utama pada usus dan berpartisipasi dalam respon imun non spesifik. Sel epitel usus akan melepaskan beberapa proinflamatory cytokine seperti interleukin-8 sebagai respon terhadap bakteri patogen enterik. Untuk menggambarkan kondisi inflamasi pada usus secara in vitro , maka digunakan alur sel HCT 116, yang merupakan sel kanker usus stadium lanjut pada manusia (late phase adenocarcinoma). Alur sel HCT 116 berada dalam kondisi inflamasi, sehingga banyak mensekresikan interleukin-8. Penelitian yang berkembang selama ini adalah mengisolasi BAL dari berbagai makanan fermentasi Indonesia seperti kecap ikan, asinan kubis, growol, gatot, tempoyak, tape ketan, bekasam, dan lain -lain, dimana isolat- isolat tersebut mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan sebagai kultur probiotik. Sementara itu, kemampuan dan sifat yang dimiliki oleh masing-masing isolat yang berhasil diisolasi sangat bervariasi, hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya kondisi lingkungan pertumbuhan. Maka perlu dicoba untuk menyeleksi BAL hasil isolat lokal sehingga akan didapatkan isolat yang potensial sebagai probiotik. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menyeleksi BAL hasil isolat lokal (susu kuda liar, feses bayi, whey dan tanah di sekitar kandang laboratorium P3 Teknologi Bioindustri, Serpong) sehingga didapatkan isolat unggul probiotik
dengan karakteristik terbaik dalam hal ketahanan terhadap asam (pH rendah), ketahanan terhadap garam empedu (bile), aktivitasnya sebagai penghambat bakteri patogen, dan kemampua nnya menempel pada permukaan usus secara in vitro. Kemudian dilihat pengaruh isolat unggul probiotik tersebut terhadap sekresi interleukin-8 dari alur sel HCT 116 (sebagai model dari sel epitel usus). Interleukin-8 merupakan salah satu proinflammatory cytokine yang dikeluarkan oleh sel epitel usus saat terinfeksi oleh enterik patogen.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah untuk mendapatkan isolat BAL yang berpotensi sebagai probiotik, sehingga dapat digunakan sebagai kultur dalam pembuatan dan pengembangan produk probiotik yang disertai dengan bukti ilmiah mengenai potensinya sebagai imunomodulator.
TINJAUAN PUSTAKA
Probiotik Istilah probiotik yang berasal dari bahasa Yunani yang artinya for life memiliki pengertian yang berbeda-beda. Istilah probiotik yang pertama kali dilontarkan oleh Lilley dan Stiwell pada tahun 1965, yang mendefinisikan probiotik sebagai senyawa yang dihasilkan mikroba untuk menstimulir pertumbuhan mikroba lainnya, sehingga merupakan lawan kata dari antibiotik yaitu senyawa yang digunakan untuk membunuh mikroba. Kemudian definisi probiotik berkembang menjadi organisme atau senyawa yang memiliki kontribusi terhadap keseimbangan mikroflora saluran pencernaan. Pada mulanya probiotik dikembangkan sebagai tambahan pada pakan ternak untuk meningkatkan produktivitas dan kesehatan ternak. Definisi probiotik selanjutnya diperbaiki oleh Fuller (1989) yang mendefinisikan probiotik sebagai mikroba hidup yang disuplementasikan ke dalam makanan atau pakan dan memiliki efek menguntungkan bagi inang yang mengkonsumsi melalui keseimbangan mikroflora saluran pencernaan. Definisi yang hampir sama juga disampaikan oleh Havenar et al. (1992) yang mengartikan probiotik sebagai kultur mikroba tunggal atau campuran yang dapat diaplikasika n pada hewan atau manusia yang memiliki efek menguntungkan dengan cara memperbaiki sifat-sifat mikroflora indigenus pada saluran pencernaan. Salminen dan Wright (1993) berpendapat bahwa probiotik adalah sejumlah bakteri hidup, produk susu yang difermentasi atau suplemen makanan yang mengandung BAL dalam kondisi hidup. Pernyataan ini kemudian
diperbaharui lagi oleh Salminen et al. (1999) yang menyatakan bahwa probiotik adalah sediaan sel mikroba hidup atau komponen dari sel mikroba yang memiliki pengaruh menguntungkan terhadap kesehatan dan kehidupan inangnya. Mikroba probiotik pada umumnya dimasukkan dalam makanan fermentasi yang berbasis susu. Alasan pemilihan produk ini adalah bahwa susu yang sudah difermentasi (contohnya yoghurt) telah dikenal sebagai makanan yang menyehatkan. Makanan yang mengandung mikroba probiotik untuk konsumsi manusia tersebut telah dipasarkan di Jepang sejak tahun 1920. Bakteri yang pertama digunakan adalah Lactobacillus acidophilus dan Lactobacillus casei yang merupakan mikroba pada produk susu fermentasi. Saat ini jumlah spesies mikroba yang digunakan dalam makanan probiotik sudah meningkat dengan pesat, tetapi makanan pembawa kultur probiotik yang utama tetap susu fermentasi dengan berbagai variasi produk olahannya. Di Jepang Fermented Milks and Lactic Acid Bacteria Association mensyaratkan jumlah minimal 1 x 107 bifidobacteria setiap g atau ml produk makanan probiotik. Jumlah minimal sel probiotik yang dapat memberikan efek kesehatan masih tetap belum jelas (kontroversial), tetapi peneliti yang lain menyebutkan dosis terapi minimum 1 x 105 sel hidup setiap g atau ml produk. Namun demikian dosis ini sebetulnya sangat tergantung dari jenis makanan serta strain yang digunakan (Rahayu, 2004).
Bakteri Asam Laktat sebagai Probiotik Bakteri asam laktat (BAL) adalah bakteri Gram positif yang bersifat mikroaerofilik, tidak berspora, dan mampu memfermentasi karbohidrat menjadi
asam laktat. BAL ada yang berbentuk batang (Lactobacillus, Carnobacterium dan Bifidobacterium) dan koki (Lactococcus, Vagococcus, Leuconostoc, Pediococcus, Aerogonococcus dan Tetragenococcus). Perkembangan klasifikasi BAL yang terbaru menurut Salminen dan Wright (1998), terdiri atas 16 genera yaitu Aerococcus, Alloiococcus, Dolosigranulum, Globicatella, Carbobacterium, Enterococcus,
Lactococcus,
Lactobacillus,
Lactosphera,
Leuconostoc,
Oenococcus, Pediococcus, Streptococcus, Tetragenococcus, Vagococcus dan Weissela. Sedangkan genus Lactobacillus dibagi lagi menjadi 3 subgenera yaitu Betabacterium, Streptobacterium dan Thermobacterium. Berdasarkan kemampuannya dalam metabolisme glukosa dan produk akhir yang dihasilkan, BAL dibagi menjadi dua kelompok yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. BAL homofermentatif merupakan BAL yang memproduksi asam laktat sebagai produk utama atau satu-satunya produk hasil fermentasi glukosa, sedangkan BAL heterofermentatif yaitu BAL yang memproduksi laktat, CO 2 dan etanol dari metabolisme heksosa. BAL homofermentatif digunakan dalam pengawetan makanan karena produksi asam laktat dalam jumlah besar dan mampu menghambat bakteri penyebab kebusukan makanan dan bakteri patogen lainnya.
Sedangkan
golongan
heterofermentatif
lebih
ditujukan
kepada
pembentukan flavour dan komponen aroma, seperti asetaldehid dan diasetil (Fardiaz, 1989). BAL memiliki peranan yang penting pada kehidupan manusia, karena kemampuannya untuk menghasilkan makanan fermentasi maupun kemampuannya untuk hidup di dalam saluran pencernaan. Menurut Kozaki (1998), BAL berperan pada beberapa proses fermentasi tradisional di Asia Tenggara. Dari penelitian
Rahayu dkk. (1996), yang mengisolasi beberapa makanan tradisional Indonesia yaitu asinan rebung, asinan terong, growol, moromi, tape ubi kayu, tempe dan tempoyak, diperoleh BAL yaitu Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus pento sus sebagai Lactobacillus yang dominan. Pada penelitian tersebut juga diketahui potensi BAL yang lain, yaitu kemampuannya menghasilkan senyawasenyawa tertentu selain asam laktat yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri lain yang tidak dikehendaki. Kemampuan BAL untuk hidup di dalam saluran pencernaan dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen enterik sehingga dapat dimanfaatkan untuk menjaga kesehatan tubuh dan potensi ini yang menyebabkan BAL digunakan sebagai probiotik. Menurut Mitsuoka (1990), BAL dapat dibagi atas 4 grup, berdasarkan keberhasilan hidupnya di dalam saluran pencernaan manusia, yaitu : A. Grup yang berhasil hidup di dalam lumen usus dan merupakan organisme yang paling banyak ditemukan dalam spesimen usus manusia, contohnya galur-galur dari Bifidobacterium. B. Grup yang berhasil hidup di dalam lumen usus dan sering ditemukan dalam spesimen usus manusia, contohnya Lactobacillus (Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus reuteri). C. Grup yang berhasil hidup di dalam lumen usus dan kadang-kadang ditemukan dalam spesimen usus manusia, contohnya Lactobacillus (Lactobacillus casei, Lactobacillus brevis). D. Grup yang sering digunakan dalam pembuatan produk susu dan tidak dapat dijumpai
dalam
spesimen
usus
manusia,
contohnya
Lactobacillus
(Lactobacillus bulgaricus) dan laktokoki (Streptococcus thermophilus, Streptococcus cremoris). Menurut Bennet et al. (1993) bakteri dari genus Bifidobacteria dan Lactobacillus telah terbukti memiliki efek probiotik pada manusia. Keberadaan Lactobacillus dalam saluran pencernaa n penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem mikroba dalam usus. Bakteri ini menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap
pertumbuhan
bakteri
patogen
seperti
Listeria
monocytogenes,
Escherichia coli, Salmonella sp dan lainnya (Jacobsen et al. 1999). Penghambatan ini disebabkan oleh produksi komponen penghambat seperti asam organik, hidrogen peroksida, bakteriosin atau kompetisi dalam penempelan pada sel epitel usus. BAL dengan aktivitas probiotiknya berperan penting dalam mengatur ekosistem saluran pencer naan. Aktivitas probiotik terbagi atas 3 spektrum, yaitu nutrisi, fisiologi dan efek antimikroba (Naidu dan Clemens, 2000). Aspek nutrisi berupa penyediaan enzim untuk membantu metabolisme komponen makanan (laktase), sintesis beberapa jenis vitamin (K, folat, piridoksin, pantotenat, biotin dan riboflavin) dan menghilangkan racun bagi metabolit komponen makanan di dalam usus. Aspek fisiologi meliputi kemampuan menjaga keseimbangan komposisi mikroflora usus dan menstimulasi sistem kekebalan usus. Dan yang terakhir efek antimikroba meliputi kemampuan untuk memperbaiki ketahanan terhadap bakteri patogen.
Karakteristik Probiotik Karakteristik suatu isolat bakteri untuk dapat dikategorikan sebagai probiotik antara lain memiliki aktivitas antagonis terhadap bakteri patogen, mampu bertahan pada kondisi asam lambung dan tahan terhadap garam empedu serta menempel pada permukaan usus.
Aktivitas Antagonis terhadap Bakteri Enterik Patogen Bernett et al. (1997) menyatakan bahwa terdapat dua hipotesa mengenai penurunan jumlah bakteri patogen dalam usus manusia. Dua hipotesa tersebut adalah (1) sel BAL mampu mengganti posisi penempelan bakteri patogen di usus dan (2) komponen antimikroba yang dimiliki BAL dapat menghambat bakteri patogen. Hipotesa ini didukung oleh banyak penelitian yang menunjukkan aktivitas antimikroba yang dimiliki galur -galur BAL dan terbukti mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Sifat antimikroba adalah suatu kemampuan antagonistik suatu senyawa kimia untuk menghambat pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan. Menurut Frazier dan Westhoff (1988), efektifitas antimikroba dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain (1) jenis, jumlah, umur dan latar belakang kehidupan mikroba, (2) konsentrasi zat antimikroba, (3) suhu dan waktu kontak, (4) sifat fisika-kimia substrat (pH, kadar air, tegangan permukaan, jenis dan jumlah zat terlarut, dan senyawa lainnya). Pelczar et al. (1993) mengemukakan bahwa senyawa antimikroba dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuh mikroba dengan mekanisme berupa perusakan dinding sel dengan cara menghambat proses pembentukannya atau menyebabkan lisis pada dinding sel yang sudah terbentuk, dan perubahan permeabilitas membran sitoplasma sehingga terjadi kebocoran zat nutrisi dari dalam sel. Dengan rusa knya membran sitoplasma akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan atau matinya sel. Pada umumnya bakteri Gram negatif mempunyai ketahanan yang lebih baik terhadap senyawa antimikroba dibanding bakteri Gram positif. Struktur dinding sel bakteri Gram negatif lebih kompleks
yaitu lapisan luar berupa lipoprotein, lapisan tengah berupa polisakarida dan lapisan paling dalam adalah peptidoglikan (5-10%). Sedangkan struktur dinding sel bakteri Gram positif lebih sederhana (90% dinding selnya terdiri dari peptidoglikan), sehingga memudahkan senyawa antimikroba untuk dapat masuk ke dalam sel (Gambar 1 ). Drago et al. (1997) berhasil menguji kemampuan beberapa galur isolat klinis Lactobacillus dalam menghambat bakteri patogen (E. coli, S. enteridis dan Vibrio cholerae).
Hasil
penelitiannya
menunjukkan
bahwa
kemampuan
penghambatan BAL ini disebabkan oleh produksi senyawa antimikroba berupa asam laktat dan metabolit lainnya seperti bakteriosin, hidrogen peroksida dan asam lemak rantai pendek. Sebagian dari senyawa ini me mperlihatkan aktivitas antagonistik terhadap banyak mikroba perusak dan patogen makanan (Havenar et al. 1992).
Gambar 1. Struktur dinding sel bakteri Gram negatif dan Gram positif (Lohner, 2001)
Menurut Ouwehand (1998), komponen antimikroba dari bakteri asam laktat antara lain adalah asam organik, hidrogen peroksida, karbondioksida,
diasetil, reuterin dan bakteriosin. Asam organik yang dihasilkan BAL mengakibatkan
akumulasi
produk
akhir
asam
dan
turunnya
pH
yang
menyebabkan penghambatan yang luas terhadap bakteri baik Gram positif maupun negatif. Nilai pH rendah yang dicapai, konstanta disosiasi dan konsentrasi asam menentukan aktivitas penghambatan dari asam yang dihasilkan. Asam-asam lipofilik seperti asam laktat dan asetat dalam bentuk tidak terdisosiasi dapat menembus sel mikroba dan pada pH intraseluler yang lebih tinggi, berdisosiasi menghasilkan ion-ion hidrogen dan mengganggu fungsi metabolik esensial seperti translokasi substrat dan fosforilasi oksidatif, dengan demikian mereduksi pH intraseluler. Pada kondisi aerob, BAL mampu memproduksi hidrogen peroksida melalui transpor aktif dengan bantuan enzim flavin. Hidrogen peroksida dapat merusak susunan membran lipid dan meningkatkan permeabilitas membran. Hal ini merupakan efek bakterisidal dengan cara mengoksidasi sel bakteri dan menyebabkan kerusakan asam nukleat dan protein sel (Naidu dan Clemens, 2000). Di dalam susu, hidrogen peroksida mampu bereaksi dengan senyawa lain membentuk senyawa yang mempunyai pengaruh antimikroba yang dis ebut sistem laktoperoksidase (sistem LP). Dalam susu mentah, tiosianat (SCN-) pada konsentrasi 1-10 ppm dioksidasi oleh enzim laktoperoksidase dengan adanya hidrogen peroksida pada konsentrasi sekitar 10 mmol/L, menjadi senyawa antibakteri yaitu hipotiosia nat (OSCN). Senyawa tersebut dapat mengganggu enzim-enzim yang berperan dalam metabolisme bakteri yang dapat menyebabkan kematian (Reiter dan Harnulv, 1984).
Karbondioksida (CO 2) adalah produk akhir terbesar pada fermentasi heksosa oleh BAL yang bersifat heterofermentatif. Beberapa BAL dapat menghasilkan CO2 dari malat, sitrat dan arginin melalui jalur arginin deaminase. Sifat antimikroba yang dimiliki karbondioksida berupa kemampuan menciptakan kondisi lingkungan yang anaerobik dengan cara mengganti posisi oksigen, menurunkan nilai pH dan merusak membran sel. Oleh sebab itu karbondioksida mempunyai spektrum penghambatan yang relatif luas (Naidu dan Clemens, 2000). Diasetil (2,3-butanedione) adalah produk akhir pada metabolisme piruvat melalui fermentasi sitrat oleh BAL. Sifat antimikroba yang dimiliki diasetil lebih efektif terhadap bakteri Gram negatif, khamir dan kapang. Diasetil mengganggu penggunaan arginin oleh bakteri Gram negatif dengan cara bereaksi dengan arginin yang terikat pada protein sel. Diasetil sebagai senyawa antimikroba terbukti efektif terhadap bakteri Gram negatif seperti Salmonella typhimurium dan Escherichia coli (Davidson dan Hoover, 1993). Reuterin adalah senyawa antimikroba dengan spektrum luas yang efektif terhadap bakteri Gram nega tif, khamir, kapang dan protozoa. Senyawa ini menghambat enzim-enzim sulfhidril seperti ribonukleotida reduktase, suatu enzim yang terlibat dalam biosintesis DNA. Reuterin dihasilkan oleh Lactobacillus reuterii yang terdapat dalam alat pencernaan manusia dan hewan. Berat molekul reuterin adalah kurang dari 200 Da dan tahan terhadap aktivitas protease. Reuterin merupakan campuran dengan komposisi berimbang dari monomer hidrat dan dimer siklik dari â-hidroksipropionaldehida yang terbentuk selama metabolisme anaerobik gliserol dan gliseraldehid (Talarico dan Dobrogosz, 1989).
Bakteriosin
merupakan
produk
metabolit
sekunder
BAL
yang
mempunyai kesamaan kerja seperti antibiotik, yaitu mampu menghambat pertumbuhan beberapa bakteri tertentu. Bakteriosin adalah senya wa protein, oleh karena itu disintesis melalui mekanisme biosintesis protein secara umum yang melibatkan transkripsi dan translasi (Davidson dan Hoover, 1993). Sifat antimikroba yang dimiliki bakteriosin adalah spesifik untuk spesies tertentu dan aktivitas penghambatannya melalui adsorpsi pada reseptor spesifik atau nonspesifik yang terdapat pada permukaan luar sel bakteri yang dituju. Adsorpsi ini diikuti dengan perubahan metabolik, biologi dan morfologi, selanjutnya bakteri yang diserang akan mati (Naidu dan Clemens, 2000). Target utama dari bakteriosin yang diproduksi BAL kemungkinan besar adalah membran sitoplasma, permeabilitas
karena
bakteriosin
membran
sehingga
memulai
reaksi-reaksi
mengganggu
transpor
yang
mengubah
membran
atau
menghilangkan tenaga gerak proton yang mengakibatkan terhambatnya produksi energi dan biosintesis protein atau asam nukleat (Nissen-Meyer, 1992). Galur murni Lactobacillus sp. yang diisolasi dari produk probiotik komersial mampu menghambat Listeria monocytogenes, Escherichia coli, Salmonella typhimurium dan Salmonella enteridis (Chateu et al. 1993). Menurut Salminen et al. (1993), Lactobacillus acidophilus bersifat antagonistik terhadap pertumbuhan Salmonella typhimurium. Pada penderita yang terinfeksi Salmonella pada
ususnya, terbukti akan sembuh bila mengkonsumsi Lactobacillus
acidophilus dalam jumlah besar (3,0 x 10 12 cfu/ml). Namun pemberian probiotik tidak mempengaruhi lamanya diare, hanya menurunkan frekuensinya (Naidu dan Clemens, 2000). Lactobacillus acidophilus merupakan bakteri yang secara normal
terdapat di saluran usus manusia dan mampu memproduksi senyawa antimikroba seperti hidrogen peroksida, asam organik dan antibiotik.
Ketahanan terhadap Asam Lambung Ketahanan terhadap asam lambung merupakan syarat penting sua tu isolat untuk dapat menjadi probiotik. Hal ini disebabkan bila isolat tersebut masuk ke dalam saluran pencernaan manusia, maka ia harus mampu bertahan dari pH asam lambung yaitu sekitar 2,5 (Jacobsen et al. 1999). Hasil sekresi lambung yang dikenal dengan istilah getah lambung merupakan cairan jernih berwarna kuning pucat yang mengandung HCl 0,2 – 0,5% dengan pH sekitar 1 (bila lambung dalam kondisi benar-benar kosong). Getah lambung terdiri atas air (97 – 99%), musin (lendir) serta garam anorganik, enzim pencernaan (pepsin serta renin) dan lipase. Berrada et al. (1991) yang dikutip oleh Chou dan Weimer (1999) menyatakan bahwa waktu yang diperlukan mulai saat bakteri masuk sampai keluar dari lambung sekitar 90 menit. Jadi isolat yang diseleksi untuk diguna kan sebagai probiotik harus mampu bertahan dalam keadaan asam lambung selama sedikitnya 90 menit. BAL adalah mikroorganisme fermentatif yang dapat hidup pada kisaran pH yang luas. Pertahanan utama sel bakteri dari lingkungannya adalah membran seluler yang terdiri atas struktur lemak dua lapis. Bila sel bakteri terpapar pada kondisi yang sangat asam, maka membran sel dapat mengalami kerusakan dan berakibat hilangnya komponen-komponen intraseluler, seperti Mg, K dan lemak dari sel. Biasanya kerusakan ini me nyebabkan kematian pada sel. Kondisi ini dapat dideteksi dengan cara mengukur konsentrasi komponen intraseluler yang
keluar dari dalam sel. Bakteri yang toleran terhadap asam, membran selnya lebih tahan terhadap kebocoran akibat pH rendah dibandingkan dengan yang tidak tahan asam. Toleransi BAL yang cukup tinggi terhadap asam juga disebabkan oleh kemampuannya untuk mempertahankan pH sitoplasma lebih basa daripada pH ekstraseluler. Menurut Siegumfeldt et al. (2000), pada BAL terjadi perubahan dinamis pH intraseluler seiring dengan terjadinya penurunan pH ekstraseluler sehingga tidak terjadi gradien proton yang besar. Bagi BAL gradien proton yang besar tidak menguntungkan sebab translokasi proton menggunakan banyak energi. Selain itu gradien proton yang besar mengakibatkan akumulasi anion, asam organik dalam sitosol yang bersifat toksik bagi sel tersebut. BAL tidak hanya tumbuh dengan lambat pada pH rendah, tapi kerusakan akibat asam dan hilangnya viabilitas juga dapat terjadi pada sel bakteri yang terpapar pa da pH rendah. Tiap galur memiliki ketahanan yang berbeda terhadap asam atau pH rendah. Contohnya Lactobacillus lebih toleran terhadap pH rendah daripada laktokoki dan streptokoki. Zavaglia et al. (1998) telah menguji ketahanan isolat klinis Bifidobacteria bila terpapar pada pH 3,0 selama 1 jam. Hasilnya menunjukkan bahwa sebanyak 11 dari 25 isolat klinis Bifidobacteria berhasil hidup dalam kondisi pH rendah, dengan ketahanan lebih besar dari 1%. Jacobsen et a.l (1999) menguji ketahanan 47 isolat BAL dari berbagai sumber pada pH 2,5. Dari 47 isolat tersebut hanya 29 isolat yang mampu bertahan pada pH 2,5 dan tidak ada satupun yang mampu tumbuh setelah inkubasi 4 jam. Sedangkan Chou dan Weimer (1999) menyeleksi 7 isolat Lactobacillus acidophilus dan hasilnya menunjukkan bahwa semua isolat tahan terhadap pH 3,5 selama 90 menit.
Isolat BAL dari dadih yang berhasil diisolasi oleh Elida (2002) ternyata menunjukkan ketahanan yang cukup tinggi saat dipaparkan pada pH 3,5 selama 24 jam. BAL yang diisolasi dari dadih tersebut (Lactobacillus brevis ae4, Streptococcus lactis subsp. diacetylactis abk1, Leuconostoc mesenteroides abk1 dan Leuconostoc paramesenteroides dk7) memiliki ketahanan terhadap asam berkisar antara 70-90% dengan penurunan sebesar 1 log dari jumlah awal 108 cfu/ml. Sedangkan isolat BAL dari tempoyak mempunyai ketahanan yang lebih rendah yaitu sebesar 40% pada pH 2,5 yang berarti bahwa BAL yang diisolasi dari tempoyak tersebut lebih sensitif terhadap asam (Wirawati, 2002). Kusumawati (2002) melakukan sele ksi BAL asal makanan fermentasi Indonesia dan hasilnya menunjukkan hampir semua isolat memiliki ketahanan yang baik untuk tumbuh pada pH rendah dengan penurunan jumlah koloni pada pH rendah dibandingkan kontrol tidak sampai 1 unit log/ml, kecuali Lactobacillus Plantarum FNCC 107 mengalami penurunan 1,1 unit log/ml. Sedangkan Evanikastri (2003) menguji ketahanan 17 isolat klinis BAL yang diisolasi dari feses bayi. Dari 17 isolat ternyata terdapat 13 yang mengalami penurunan jumlah koloni kurang dari 1 unit log/ml (paling resisten), sedangkan 4 isolat lainnya mengalami penurunan jumlah koloni antara 1,5 – 3,5 unit log/ml (resisten).
Ketahanan terhadap Garam Empedu (Bile Salt) Lactobacillus adalah mikroflora normal yang terdapat di dalam saluran pencernaan manusia dan mempunyai ketahanan yang bervariasi terhadap garam empedu. Ketahanan isolat klinis BAL terhadap garam empedu juga merupakan syarat penting untuk probiotik. Seperti halnya ketahanan terhadap asam, menurut
Zavaglia et al. (1998) dan Jacobsen et al. (1999), semua mikroba yang berhasil hidup setelah ditumbuhkan dalam MRSA yang ditambah 0,3% oxgal, dinyatakan bersifat tahan terhadap garam empedu. Konsentrasi garam empedu sebesar 0,3% merupakan konsentrasi yang kritikal, nilai yang cukup tinggi untuk menyeleksi isolat yang resisten terhadap garam empedu. Asam empedu disintesa dalam hati dari kolesterol, menghasilkan senyawa asam empedu primer. Asam empedu ini berkonjugasi dengan glisin atau taurin dan disekresikan ke dalam kantung empedu sebagai asam empe du terkonjugasi. Asam empedu di dalam kantung empedu dilepaskan ke dalam lumen duodenum dalam bentuk misel dengan asam lemak dan gliserol yang dihasilkan oleh pencernaan lipase pankreatik. Menurut Corzo dan Gilliland (1999), antara 5.500 sampai 35.500 mg asam empedu terkonjugasi disekresikan ke dalam usus kecil manusia setiap harinya untuk membantu absorpsi lemak makan, kolesterol, vitamin hidrofobik dan senyawa larut lemak yang lain. Asam empedu terkonjugasi diserap dari usus kecil (sekitar 97%) dan dikembalikan ke dalam hati melalui sirkulasi hepatik. Sebagian kecil dari asam empedu (250–400 mg) yang tidak terserap hilang dari tubuh manusia sebagai asam empedu bebas di feses. Mekanisme di mana asam empedu diserap dalam usus kecil dan kolon, disintesa kembali dan disekresikan lagi dikenal sebagai sirkulasi hepatik. Laktobasili yang paling bersifat resisten terhadap garam empedu terdapat pada bagian atas usus halus (jejunum). Hal ini juga dilaporkan oleh Ray (1996) dan Drouault et al. (1999), bahwa jumlah BAL yang terdapat di jejunum lebih rendah dibanding ileum, caecum dan colon (Tabel 1). Hal ini disebabkan
konsentrasi garam empedu pada bagian jejunum paling tinggi daripada ileum, karena lokasinya paling dekat bila garam empedu masuk ke dalam saluran usus.
Tabel 1. Populasi kelompok bakteri utama pada usus manusia (Ray, 1996) Kelompok Bakteri
Lactobacillus Gram positif, tidak berspora, anaerob Enterococcus Bacteroides Enterobacteriaceae
Jumlah bakteri (log10 CFU/ml) Jejunum
Ileum
Colon
Feses
3 2
5 2
6 5
6 6
3 3 3
5 3 4
7 7 6
7 9 8
Menurut Smet et al. (1995) beberapa Lactobacillus mempunyai enzim dengan aktivitas untuk menghidrolisa garam empedu (bile salt hydrolase, BSH). Enzim ini mampu mengubah kemampuan fisika-kimia yang dimiliki oleh garam empe du, sehingga tidak bersifat racun bagi BAL. Semakin tinggi konsentrasi garam empedu, maka jumlah sel Lactobacillus yang mati juga akan meningkat (Ngatirah et al. 2000 ; Kusumawati, 2002). Hal ini disebabkan karena peningkatan aktivitas enzim β-galaktosidase terhadap garam empedu, sehingga meningkatkan permeabilitas membran sel. Bila permeabilitas membran sel meningkat maka banyak materi intraseluler yang keluar dari dalam sel. Bila hal ini berlangsung terus-menerus akan menyebabkan lisis sel bakteri. Ngatirah et al. (2000) menguji ketahanan isolat BAL yang diisolasi dari makanan fermentasi dan feses bayi terhadap garam empedu. Pengujian dilakukan pada MRSB yang mengandung garam empedu 10% selama 24 jam. Ketahanan
terhadap garam empedu dihitung berdasarkan se lisih unit OD (Optical Density) pada panjang gelombang 660 nm yang dicapai setelah inkubasi 24 jam dengan OD pada awal inkubasi yang hasilnya berkisar antara 1,16-2,34. Dari penelitian tersebut terungkap bahwa isolat yang diisolasi dari sumber yang sama me miliki ketahanan terhadap garam empedu yang beragam atau ketahanan terhadap garam empedu bersifat strain dependent. Kusumawati (2002) melaporkan bahwa isolat BAL yang diisolasi dari makanan fermentasi asal Indonesia menunjukkan perbedaan ketahanan untuk tumbuh pada lingkungan yang mengandung garam empedu 1% dan 5%, dimana perbedaan tersebut bersifat beragam untuk masing-masing galur. Pada konsentrasi 1%, Lactobacillus acidophilus FNCC 116 memiliki selisih log yang terkecil yaitu 0,73 unit log/ml dan pada konsentrasi 5% Lactobacillus plantarum To22 memiliki selisih log yang terkecil yaitu 0,68 unit log/ml, dimana hasil tersebut tidak berbeda nyata dengan beberapa galur yang lain. Menurut Wirawati (2002), ketahanan isolat BAL asal tempoyak terhadap garam empedu 0,3% berkisar antara 34,8% - 100%. Berdasarkan kisaran tersebut terlihat bahwa isolat BAL asal tempoyak relatif tahan terhadap garam empedu. Bahkan isolat To 8 tidak menunjukkan penurunan selama inkubasi 24 jam. Evanikastri (2003) menguji ketahanan 17 isolat klinis bakteri asam laktat terhadap garam empedu 0,5%. Hasilnya menunjukkan bahwa Lactobacillus G1 mempunyai ketahanan yang baik terhadap garam empedu kemudian disusul berturut -turut oleh F1, G2, M, Kk, Nkp, En6, K, F2 dan Ae1 (penurunan log < 1,0 cfu/ml). Lactobacillus N merupakan isolat yang paling sensitif terhadap 0,5% garam empedu.
Penempelan Bakteri pada Permukaan Padat Kemampuan menempel suatu isolat BAL untuk dapat dijadikan sebagai probiotik merupakan syarat penting bagi bakteri untuk dapat mendatangkan manfaat bagi manusia yang mengkonsumsinya. Bakteri akan mengkolonisasi dan membentuk biofilm pada permukaan padat bila telah dapat menempel secara tetap (reversibel). Pada BAL yang akan digunakan sebagai probiotik, biofilm pada permukaan padat diharapkan dapat menjadi indikasi kemampuan membentuk biofilm yang stabil di permukaan usus manusia sehingga mampu mendominasi dan mencegah bakteri lain untuk tumbuh. Biofilm pada permukaan ini harus stabil terhadap gerakan peristaltik usus, sehingga bakteri yang sudah menempel tidak mudah lepas. Salah satu sifat yang mempengaruhi sifat penempelan bakteri pada permukaan padat adalah sifat hidrofobisitas sel bakteri. Sifat hidrofobisitas menunjukkan kecenderungan bakteri untuk saling menempel, semakin tinggi sifat hidrofobisitasnya maka semakin besar kecenderungan mikroba tersebut untuk mengkolonisasi, membentuk agregasi atau menempel (Zavaglia et al. 1998). Namun penelitian yang dilakukan Elida (2002), Wirawati (2002) dan Syafia (2002) menunjukkan bahwa sifat hidrofobik tidak mempengaruhi sel BAL untuk dapat membentuk agregat atau menempel pada permukaan padat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa BAL yang bersifat hidrofilik baik dari isolat makanan (Elida, 2002; Wirawati, 2002 dan Syafia, 2002) maupun isolat klinis (Syafia, 2002) ternyata mampu membentuk agregat dan menempel dengan baik pada stainless steel. Penempelan bakteri dapat dilihat dengan menggunakan
mikroskop epifluoresens, mikroskop elektron dan mikroskop SEM (Scanning Electron Microscope). Pengujian penempelan bakteri terhadap sel inangnya dapat dilakukan secara in vitro maupun in vivo. Pengujian secara in vitro dapat dilakukan dengan cara menggunakan permukaan padat seperti lempeng baja (stainless steel), karet atau kultur sel seperti sel Caco-2. Pengujian dengan stainless steel diharapkan dapat memberikan indikasi sifat penempelan bakteri tersebut pada usus manusia yang mengindikasikan pula bahwa bakteri dapat melakukan kolonisasi di dalam usus. Morita et al. (2002) melakukan penelitian penempelan 11 isolat Lactobacilli dan 19 isolat Bifidobacterium pada sel Caco-2 dan melihat efeknya terhadap sekresi cytokine. Hasilnya tidak ada korelasi antara sifat penempelan BAL dengan produksi cytokine oleh sel epitel usus. Hal ini berarti, BAL dengan sifat penempelan yang kuat belum tentu dapat merespon proses inflamasi dengan maksimal. Menurut Ouwehand et al. (1999), sifat penempelan BAL merupakan suatu prasyarat utama dan sering diklaim sebagai kelebihan bakteri ini dibanding bakteri lainnya, tetapi sebenarnya penelitian tentang mekanisme penempelan BAL pada saluran usus belum banyak dilaporkan. Tannock (1990) menyimpulkan bahwa Lactobacillus menempel pada dinding usus melalui zat ekstraseluler yang mengandung polisakarida, protein, lipid dan asam lipoteikoat. Asam teikoat juga berpartisipasi dalam penempelan Streptococci pada sel mamalia. Menurut Jay (1996), flora normal yang berada pada permukaan sel mukosa mempunyai sifat penempelan yang lebih tinggi dibanding bakteri pembusuk dan bakteri patogen. Hal ini penting untuk mencegah bakteri pembusuk
dan bakteri patogen menempel dan merusak usus. Bila flora normal berhasil menempel pada permukaan sel mukosa, maka bakteri ini akan mengkolonisasi seluruh permukaan usus sehingga bakteri lain tidak dapat hidup. Bakteri yang tidak dapat mengkolonisasi sel mukosa tidak bertahan lama karena tidak mampu bersaing dalam memperoleh makanan. Beberapa penelitian melaporkan bahwa penempelan bakteri pada permukaan padat berhubungan dengan asal isolat. Kusumawardhani (2002) melaporkan bahwa isolat klinis BAL yang terdiri dari Lactobacillus brevis, lactobacillus casei subsp. rhamnosus dan Lactobacillus acidophilus mempunyai kemampuan menempel pada stainless steel yang lebih rendah (3,85 - 4,05 log sel/cm2) dibanding isolat makanan yaitu Lactobacillus brevis (4,4 log sel/cm2 ). Hal yang sama juga ditemukan oleh Triputro (2002), Senjani (2002) dan Syafia (2002) walaupun perbedaan yang terjadi tidak begitu besar. Todoriki et al. (2001) melaporkan bahwa Lactobacillus yang diisolasi dari saluran pencernaan mempunyai kemampuan menempel yang lebih baik dibandingkan Lactobacillus yang diisolasi dari makanan hasil fermentasi. Morata et al. (1999) melakukan penelitian mengenai penempelan Lactobacillus casei CRL 431 pada sel usus tikus. Hasilnya menunjukkan bahwa Lactobacillus casei yang diisolasi dari usus manusia mempunyai kemampuan menempel yang lebih baik dibanding Lactobacillus casei yang diisolasi dari produk susu. Penempelan tersebut terjadi pada suhu 37 0 C dengan pH 6-7,5. Kimoto et al. (1999), melaporkan bahwa Lactococcus johnsonii La1 dan Lactococcus lactis ssp. lactis NIAI 527 memiliki kemampuan menempel dengan kuat pada sel Caco-2. Sedangkan 5 isolat lainnya yaitu menempel dengan
intensitas yang bervariasi. Penempelan diamati dengan Scanning Electron Microscope. Greene dan Klaenhammer (1994) melaporkan bahwa Lactobacillus yang berasal dari isolat klinis memiliki kemampuan menempel pada sel Caco-2 manusia lebih tinggi jika dibandingkan dengan kultur yang berasal dari produk susu. Salminen (1992) melaporkan bahwa Lactobacillus GG yang merupakan isolat klinis dapat mengkolonisasi saluran usus manusia dan menempel lebih kuat jika dibandingkan dengan Lactobacillus dan Streptococcus yang digunakan sebagai kultur starter dalam industri susu.
Respon Imun Respon imun merupakan sistem interaktif komplek dari beragam jenis sel imunokompeten yang bekerjasama dalam proses identifikasi dan eliminasi mikroorganisme patogen dan zat–zat berbahaya lainnya yang masuk ke dalam tubuh. Semakin baik respon imun tubuh, semakin baik status kesehatan seseorang. Gangguan respon imun berakibat pada penurunan daya tahan tubuh sehingga meningkatkan angka kesakitan, menurunkan stamina, kemampuan belajar dan produktivitas kerja. Respon imun dibedakan dalam respon imun non spesifik dan spesifik. Respon
imun
non
spesifik
timbul
sebagai
reaksi
terhadap
serangan
mikroorganisme patogen dan zat asing lainnya melalui fagositosis oleh netrofil dan monosit (makrofag). Respon imun spesifik meliputi respon imun seluler dan humora l. Leukosit khususnya limfosit berperan penting dalam respon imun spesifik. Respon imun seluler memberikan pertahanan terhadap mikroorganisme intra dan ekstraseluler melalui sekresi limfokin seperti interferon dan interleukin.
Sedangkan respon imun humoral memberi pertahanan melalui produksi antibodi terhadap antigen spesifik (Roitt, 1991 ; Kuby, 1992 ; Kresno, 1996).
Respon Imun Non Spesifik Proses pertahanan tubuh melawan serangan mikroorganisme patogen dan zat asing berbahaya lainnya pada respon imun non spesifik melibatkan fagositosis oleh netrofil dan monosit (makrofag). Makrofag berperan penting dalam pertahanan badan melawan infeksi dan penting dalam pengaturan kondisi fisiologi. Makrofag berperan dalam proses fagositosis, pengaturan respon imun, sekresi dan sebagai scavenger. Karena merupakan fagosit profesional, makrofag mampu menelan dan menghancurkan patogen yang tidak dapat secara efektif dikontrol netrofil, terutama organisme intraseluler dan yang menyebabkan respon inflamasi. Selama fagositosis dan aktivasi, makrofag melepaskan produk toksik seperti radikal oksigen dan enzim proteolitik ke lingkungan. Penambahan produk toksik yang terlalu besar mungkin berperan pada timbulnya berbagai penyakit karena mengakibatkan kerusakan jaringan lokal oleh reaksi inflamasi. Pada pengaturan respon imun, makrofag dapat bertindak sebagai fagosit profesional dan antigen presenting cell (APC). Sebagai fagosit profesional, makrofag dan monosit menelan dan menghancurkan patogen yang dijumpai karena mengandung hidrolase asam dan peroksidase (Roitt, 1991). Sebagai APC, makrofag membantu aktivasi set T dengan cara mengikat antigen yang masuk ke badan sebelum dikenal sel limfosit T. APC memproduksi dan melepaskan sitokin seperti interleukin.
Respon Imun Spesifik Limfosit merupakan sel imunokompeten non fagositik yang berfungsi dalam respon imun spesifik yaitu respon imun seluler dan humoral. Pada manusia normal, limfosit B (sel B) berjumlah 5-15% dan limfosit T (sel T) berjumlah 6580% dari total limfosit (Kresno, 1996). Sel B berperan dalam respon imun humoral yaitu produksi antibodi terhadap antigen spesifik yang masuk ke dalam tubuh, sedangkan sel T berfungsi dalam respon imun seluler. Proses produksi antibodi oleh sel B dibantu oleh subset sel T yaitu sel Th (Thelper). Ketika terekspos pada antigen eksogenous, sel B mengenali epitop pada antigen dan menangkapnya secara spesifik melalui reseptor sIg membran dan diproses melalui jalur endosomal. Fragmen antigen dipresentasikan pada permukaan membran bersama dengan molekul Major Histocompatibility Complex kelas II (MHC II) membentuk komplek antigen-MHC II. Molekul CD4 pada sel Th mengenali antigen pada komplek tersebut, sehingga sel Th teraktivasi dan terstimulasi untuk mensekresi sejumlah sitokin seperti interleukin dan interferon yang dapat menstimulasi berbagai tahap pembelahan dan diferensiasi sel B menjadi sel-sel plasma yang dapat mensekresi antibodi dan sel memori (Roitt, 1991). Satu sel plasma dapat mensekresi beribu-ribu molekul antibodi setiap detik. Sel B yang teraktivasi mengalami serangkaian proses pembelahan dan diferensiasi sel setiap 24 jam selama periode 5 hari. Sel T memiliki molekul T Cell Antigen Reseptor (TCR) yang dapat mengenali epitop suatu antigen melalui kerjasama dengan molekul protein permukaan pada APC yaitu MHC. Sel T teraktivasi oleh antigen spesifik sehingga terstimulasi untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel T memori dan berbagai sel T efektor yang mensekresi berbagai limfokin. Limfokin tersebut
berpengaruh pada aktivasi sel B, sel Tc, sel-sel fagositik, sel NK dan sel lain yang terlibat dalam respon imun.
Reaksi Inflamasi Bila sel-sel atau jaringan tubuh mengalami cidera maka akan timbul respon pada sistem pertahanan tubuh yang dinamakan inflamasi. Inflamasi adalah pengiriman cairan, zat-zat terlarut dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan interstitial pada daerah cidera yang diikuti dengan pengeluaran zat-zat penyebab luka. Proses terjadinya inflamasi dan beberapa faktor yang terlibat didalamnya dapat dilihat pada Gambar 2. Pada Gambar 2 terlihat adanya dua jalur utama pada proses inflamasi. Jalur pertama merupakan proses pelepasan beberapa meditor yang berbeda jenisnya. Mediator yang terpenting adalah prostaglandin dan mediator lainnya adalah histamin dan serotonin. Jalur kedua merupakan jalur aktivasi sistem imun yang melibatkan sistem imun seluler dan sistem imun humoral. Pada jalur sistem imun seluler, sel-sel secara aktif memproduksi bermacam-macam faktor terutama interleukin. Pada jalur sistem imun humoral melibatkan aktivasi leukosit. Sebelum aktivasi leukosit terjadi proses pembentukan antibodi dan pengaktifan sistem komplemen yang merupakan tahapan proses yang sangat penting dalam proses peradangan. Setelah terjadi infiltrasi leukosit, proses selanjutnya adalah fogositosis dan pelepasan enzim-enzim lisosomal (Timmerman, 1995).
KERUSAKAN
Aktivasi sistem imun
JARINGAN
Respon imun Pelepasan mediator (prostaglandin,
humoral
Respon imun
histamin, serotonin) Pembentukan Vasodilatasi
antibodi Faktor-faktor
Kemerahan
Kemotaksis
Infiltrasi
Beberapa
Peningkatan permeabilitas Fagositosis : Enzim-enzim lisosomal
edema
Kerusakan jaringan Sakit demam
Reaksi-reaksi
Gambar 2. Proses terjadinya inflamasi (Timmerman, 1995) Probiotik sebagai Imunomodulator Imunomodulator adalah senyawa atau sekelompok senyawa yang mampu memodifikasi
respon biologi sehingga mempengaruhi respon imun
apakah akan distimulasi atau disupresi (Stites et al. 1997). Sedangkan Tzianabos (2000) mendefinisikan imunomodulator atau biologic respon modifier (BRM) sebagai komponen yang mampu berinteraksi dengan sistem imun serta menimbulkan efek menstimulasi atau menekan sistem imun. Komponen bakteri adalah salah satu imunomodulator yang pertama dikenal. Lipopolisakarida (LPS) yang berasal dari membran sel bakteri dan phytohemaglutinin
(PHA)
yang
berasal
dari
tanaman
adalah
contoh
imunomodulator yang bersifat menstimulasi proliferasi sel B dan T (Stites et al., 1997). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi suatu komponen bersifat
imunomodulator seperti dosis, cara dan waktu pemberian. Faktor lain yang juga berperan adalah bentuk dan lokasi terjadinya mekanisme imunomodulasi oleh komponen tersebut (Tzianabos, 2000). Mekanisme imunomodulasi bakteri probiotik adalah melalui sel epitel usus yang diinduksinya. Sel epitel usus merupakan membran pertahanan dan berperan dalam proses inflamasi atau respon imun di usus. Pada kasus infeksi saluran pencernaan atau kondisi peradangan di usus seperti Inflamatory Bowel Disease (IBD), sel-sel yang berperan dalam proses inflamasi seperti monosit dan limfosit akan teraktivasi. Sel tersebut mengeluarkan berbagai macam produk inflamasi seperti sitokin dan kemokin. Sekresi sitokin yang berlebihan menyebabkan tindakan biologis dari sel epitel usus. Sebagai contoh, TNF-á akan menginduksi sel epitel usus untuk mensekresikan interleukin-8. Sitokin adalah protein yang diproduksi oleh banyak jenis sel yang berperan dalam inflamasi dan respon imun (merupakan mediator utama dalam komunikasi antar sel sistem imun). Sedangkan kemokin adalah sitokin yang berperan dalam pergerakan (kemotaksis) sel-sel leukosit (limfosit, monosit dan neutrofil) ke tempat infeksi atau kerusakan jaringan sehingga mempermudah interaksi antar sel. Mikroflora normal pada saluran pencernaan manusia terdiri dari bermacam-macam populasi bakteri yang berperan penting dalam pertahanan mukosa usus dan kekebalan non spesifik. Penelitian untuk memanipulasi flora normal usus menggunakan probiotik memiliki efek yang menguntungkan terhadap kesehatan dengan meningkatnya bakteri yang menguntungkan di usus. Penelitian untuk mempelajari mekanisme aksi probiotik di epitel usus dan sistem imun yang berperan di dalamnya sangatlah menarik.
Bai AP et al. (2004) melakukan penelitian untuk mempelajari efek probiotik terhadap sekresi interleukin-8 dari sel epitel usus ketika distimulasi oleh proinflamatory cytokine. Untuk menggambarkan kondisi inflamasi pada usus secara in vitro , maka digunakan TNF-á untuk menstimulasi alur sel HT 29 mensekresikan interleukin-8. Kedua isolat probiotik yaitu Bifidobacterium longum dan Lactobacillus bulgaricus mampu menurunkan sekresi interleukin-8 dari alur sel HT 29. Hal ini membuktikan bahwa kedua isolat probiotik tersebut dapat menekan proses inflamasi (anti-inflamasi) di sel epitel usus. Karena perannya sebagai anti-inflamasi, maka probiotik dapat digunakan untuk terapi penderita IBD (Inflamatory Bowel Disease). Penelitian yang hampir sama dilakukan oleh Donglai Ma et al. (2004) yang mempelajari efek Lactobacillus reuterii terhadap produksi sitokin dan respon interleukin -8 yang diinduksi TNF-á pada sel epitel usus menggunakan alur sel T84 dan HT 29. Dosis penghambatan yang efektif terhadap sekresi interleukin8 dari alur sel T84 adalah pada konsentrasi 10 7 cfu/ml dan pada kedua alur sel tersebut, Lactobacillus reuterii mampu menurunkan sekresi interleukin -8. Penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan Neish et al. (2000), dimana Salmonella pullorum yang bersifat non patogen mampu menurunkan sekresi interleukin-8 yang diinduksi TNF-á pada alur sel T84, tetapi sebaliknya Salmonella enterica serovar Typhimurium yang bersifat patogen dapat meningkatkan sekresi interleukin -8 dari alur sel T84. Selain itu, mengkonsumsi BAL yang berpotensi sebagai probiotik baik melalui produk fermentasi susu atau sebagai sel hidup memberikan keuntungan terhadap kesehatan manusia, termasuk keuntungan melawan penyakit pada
saluran pencernaan misalnya diare, konstipasi, kanker usus dan lain sebagainya. Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan mengkonsumsi BAL antara lain : 1. Melawan pertumbuhan mikroflora indigenus usus yang tidak menguntungkan dan mengontrol infeksi usus yang disebabkan oleh patogen enterik (Klaenhammer, 2000; Rolfe, 2000). 2. Mengurangi lactose intolerance dengan jalan meningkatkan aktivitas dan produksi β-galaktosidase (Ray, 1996 ; Sanders, 2000 ; Klaenhammer, 2000). 3. Mengurangi kanker usus besar dan organ-organ pencernaan lainnya (Ray, 1996 ; Galllaher et al. 1999 ; Sanders, 2000 ; Brady et al. 2000 ; Klaenhammer, 2000). 4. Mengurangi kadar kolesterol darah dan penyakit jantung koroner (Ray, 1996 ; Sanders, 2000 ; Ngatirah dkk. 2000 ; Kusumawati, 2002). 5. Menstimulir sistem imunitas dan pergerakan usus (Ray, 1996 ; Erikcson et al. 2000 ; Klaenhammer, 2000). 6. Menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi (Sanders, 2000 ; Klaenhammer, 2000). Vanderhoof et al. (1999) melakukan penelitian dengan memberikan terapi probiotik menggunakan Lactobacillus GG pada anak-anak penderita diare dengan hasil yang memuaskan, yaitu 85% pasien tidak lagi menderita diare setelah pemberian Lactobacillus GG selama 2 minggu. Infeksi usus yang menyebabkan diare ini disebabkan oleh bakteri patogen yang masuk melalui makanan dan minuman atau tidak terkontrolnya bakteri indigenus yang terkait dengan gejala -gejala tersebut. Diduga bakteri ini dapat dikurangi keberadaannya karena sensitivitasnya terhadap metabolit antimikroba yang diproduksi oleh BAL. Rolfe (2000) menyatakan mekanisme mikroba probiotik dalam melindungi usus dari gangguan bakteri enterik adalah : (1) produksi senyawa-senyawa penghambat seperti asam organik, hidrogen peroksida dan bakteriosin, (2) memblokade sisi
penempelan melalui kompetisi pada permukaan epitel usus, (3) kompetisi perolehan nutrisi, (4) degradasi reseptor toksin, dan (5) menstimulir sistem imunitas. Lactose intolerance pada manusia diakibatkan ketidakmampuan tubuh manusia untuk memproduksi β-galaktosidase oleh sel-sel epitel usus karena kerusakan genetik. Mengkonsumsi makanan yang mengandung BAL terutama dari golongan Lactobacillus acidophilus dan Lactobacillus reuteri mampu meningkatkan sistem β-galaktosidase, sehingga dapat digunakan sebagai sumber β-galaktosidase pada saat dikonsumsi. Selain itu, susu fermentasi yang mengandung Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus juga mampu mengurangi lactose intolerance walaupun tidak seefektif kedua mikroba sebelumnya. Hal ini telah dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh Lin et al. (1991) dan Vesa et al. (1996) dengan hasil secara umum kultur starter yogurt (Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus delbruechii subsp. bulgaris) dalam keadaan normal dengan jumlah sel lebih besar dari 108 cfu/ml sangat efektif meningkatkan daya cerna laktosa pada penderita lactose intolerance. Pengaruh dari mengkonsumsi mikroba ini lebih ditentukan oleh jumlah sel daripada jenis galur. Penurunan resiko kanker usus besar mungkin diperoleh melalui kontrol pertumbuhan bakteri patogen seperti E. coli, S. faecalis dan C. paraputrificum pada usus melalui kompetisi sisi penempelan dan nutrisi. Dinding sel BAL menunjukkan kemampuannya menstimulir fagositosis dari makrofag sehingga menekan terbentuknya tumor dan kanker usus. Enzim-enzim yang berperan mengubah komponen-komponen prokarsinogen menjadi komponen karsinogen seperti β-glukosidase, β-glukoronidase, nitroreduktase dan azoreduktase terbukti
ditekan jumlahnya dengan mengkonsumsi susu fermentasi yang mengandung Bifidobacterium longum dan Lactobacillus acidophilus. Kebutuhan tubuh akan kolesterol tersedia melalui sintesis kolesterol di hati dan pencernaan melalui konsumsi makanan. Konsentrasi kolesterol yang terlalu tinggi dapat menimbulkan resiko penyakit kardiovaskuler. Penelitianpenelitian yang telah dilakukan menunjukkan beberapa galur Lactobacillus acidophilus dapat
menurunkan
kadar
kolesterol
darah
terkait
dengan
kemampuannnya mendekonjugasi glukokholat dan taurokholat menjadi asam empedu, yang kemudian dibuang melalui feses. Akibat kekurangan asam empedu ini, maka hati akan memetabolisme kolesterol dalam darah menjadi asam empedu sehingga menurunkan konsentrasi kolesterol darah. Mekanisme lain dikemukakan oleh De Smet et al. (1994) yang dikutip oleh Sanders (2000) bahwa mikroba probiotik dari golongan Lactobacillus dan Bifidobacteria memiliki kemampuan untuk mendekonjugasi garam empedu secara enzimatik yang kemudian dibuang melalui feses. Oleh karena kolesterol merupakan prekursor dari asam empedu, maka hal ini dapat menurunkan kadar kolesterol dalam serum darah karena molekul kolesterol dikonversi menjadi asam empedu. Keuntungan lain dari konsumsi BAL adalah menstimulir pergerakan usus dan meningkatkan sistem imunitas. Stimulasi pergerakan usus terkait dengan waktu transit di dalam usus (lamanya transit). Jika BAL mampu bertahan lama di dalam usus maka akan menstimulir gerak peristaltik di usus, sehingga waktu transit feses lebih singkat. Lactobacillus acidophilus dan Bifidobacterium bifidum memiliki efek menguntungkan dalam peningkatan fungsi kekebalan tubuh dengan mekanisme yang sampai saat ini tidak begitu jelas, tetapi diduga komponen
khusus dinding sel atau lapisan sel menjadi prekursor dan meningkatkan respon imunitas (Erickson dan Hubbard, 2000). Hal senada dikemukakan oleh Ouwehand et al. (1999) berpendapat bahwa stimulasi sistem imun BAL adalah melalui komponen dinding sel, yaitu peptidoglikan yang menginduksi pada permukaan mukosa. Glukan pada dinding sel bakteri akan merangsang makrofag memproduksi interleukin, meningkatkan aktivitas proliferasi sel limfosit. Sel limfosit membelah menjadi limfosit T dan limfosit B. Limfosit T akan melepaskan interferon, kembali mengaktifkan makrofag dan limfosit B dalam memproduksi antibodi. Selain itu glukan juga akan merangsang makrofag lebih banyak memproduksi lizozim. Antibodi yang dihasilkan ini merupakan respon mekanisme humoral dalam mekanisme kekebalan spesifik. Furushiro et al. (1993) melakukan penelitian mengenai antihipertensi dari Lactobacillus casei pada tikus hipertensi (SHR = Spontaneously hypertensive Rats). Pemberian secara oral Lactobacillus casei dengan dosis 100 mg/kg BB pada tikus normal jenis Wistar ternyata tidak ada efeknya, tetapi jika diberikan pada tikus SHR mampu menurunkan tekanan darah. Prinsip mencegah hipertensi adalah mencegah perubahan Angiotensin I menjadi Angiotersin II dengan Angiotensin Conversion Enzyme (ACE) inhibitor (penghambat kerja ACE). Lactobacillus casei dan Lactobacillus helveticus menghasilkan bioactive peptide (protein) yang memiliki aktivitas terhadap ACE inhibitor.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat Penelitian Bakteri asam laktat (BAL) yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari koleksi Food and Nutrition Culture Collection (FNCC) Universitas Gajah Mada, Yogyakarta dan hasil isolasi dari berbagai sumber nabati dan bahan berbasis susu oleh Laboratorium Teknologi Bioindustri, Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Bioindustri, BPPT Serpong seperti yang tercantum pada Tabel 2. Sedangkan bakteri patogen yang digunakan untuk uji aktivitas antagonistik yaitu Bacillus cereus, Staphylococcus aureus dan Escherichia coli diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB Bogor. Alur sel HCT 116 diperoleh dari ATCC (American Type Culture Collection). Bahan kimia yang digunakan untuk pembuatan stok kultur adalah pepton water 0,1%, susu skim 10%, MSG 1% dan gliserol 20%. Untuk uji antagonis terhadap enterik patogen digunakan media MRSB / deMan Rogosa and Sharp Broth (Oxoid), media NA / Nutrien Agar (Oxoid) dan NB / Nutrient Broth (Oxoid). Sedangkan untuk uji ketahanan terhadap asam digunakan media MRSB (Oxoid), MRSA (Oxoid), NaCl 0,85% steril dan HCl. Uji ketahanan terhadap garam empedu menggunakan media MRSB (Oxoid), MRSA (Oxoid), NaCl 0,85% steril dan oxgall (Oxoid). Uji kemampuan menempel pada permukaan stainless steel menggunakan MRSB (Oxoid), PBS (Phosphat Buffer Saline), dan acridine orange (Sigma). Reagen untuk pewarnaan Gram yaitu kr istal violet, garam yodium, alkohol aseton dan safranin yang merupakan produk dari Sigma.
Tabel 2. Bakteri asam laktat yang digunakan No
Isolat BAL
Asal isolat
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Pediococcus pentosaceus FNCC 018 Streptococcus lactis FNCC 086 Lactobacillus delbrueckii FNCC 160 Lactobacillus bulgaricus Streptococcus thermophilus T1A T1B T2A T3 SK2 SK3 TT1 TT2 TT3A TT3B WT1 WT2 W1 W2 FS1
IFO 12230* IFO 12007* JCM 1012** Yoghurt Yoghurt Tanah Tanah Tanah Tanah Susu kuda Susu kuda Tanah Tanah Tanah Tanah Whey Whey Whey Whey Feses bayi umur 18 hari
* Institute for Fermentation Osaka ** Japan Collection of Microorganism
Untuk persiapan kultur sel digunakan media Dulbecco’s Modified Eagle Medium (DMEM) dari Gibco, Fetal Bovine Serum (FBS) dari Gibco, MRSB (Oxoid), Tryphan blue, PBS pH 7,4 dan BD OptEIATM Set Human Interleukin-8 dari BD Biosciences Pharmingen dengan nomor katalog 555244. Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi biosafety cabinet, laminar flow type BSL II, alat-alat gelas, spektrofotometer, autoklaf, inkubator, timbangan analitis, refrigerator, vortex, pipet mikro dan tip, bunsen, sentrifus, pH meter, pinset, lempeng stainless steel tipe 304,
mikroskop epifluoresens,
mikroskop inverte d tipe CKX merk Olympus, hemasitometer, plate kultur, flask kultur merk Nunc atau Falcon, inkubator 5% CO 2 dan 95% O2 dan ELISA Reader merk Tecan-Magellan.
Metode Penelitian Penelitian ini terbagi atas tiga tahap yaitu tahap pertama mencakup persiapan stok kultur dan penentuan fase logaritmik bakteri patogen. Pada tahap kedua dilakukan seleksi BAL sebagai kandidat probiotik. Parameter yang diuji adalah ketahanan terhadap asam, ketahanan terhadap garam empedu dan aktivitas antagonis terhadap enterik patogen. Isolat potensial yang diperoleh dari tahap seleksi, kemudian diuji secara in vitro untuk mengetahui kemampuan penempelan isolat BAL terpilih pada lempeng stainless steel. Pada tahap ketiga dilakukan uji pengaruh bakteri probiotik (2 isolat yang terpilih pada tahap dua) terhadap sekresi interleukin-8 dari alur sel HCT 116 dengan metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay).
Tahap Persiapan Persiapan Stok Kultur Semua isolat BAL ditumbuhkan secara fakultatif-aerob pada media MRSB (Oxoid) suhu 37 °C selama 18-20 jam.
Kultur stok dibuat dengan
menumbuhkan isolat BAL selama 18-20 jam, kemudian dipanen dengan sentrifugasi pada 3500 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang dan pelet dicuci dua kali dengan 0,1% pepton water, kemudian direkonstitusi dengan larutan 10% susu skim + 1% MSG steril, dan ditambahkan 20% glycerol. Setiap cryotubes segera dibekukan dan disimpan pada suhu –80 °C untuk pemakaian selanjutnya. Setiap percobaan menggunakan kultur stok yang kemudian diinokulasikan ke dalam media. Masing-masing isolat bakteri disubkultur dalam MRSB sebanyak dua kali sebelum digunakan dalam pengujian.
Penentuan Fase Logaritmik Bakteri Patogen Penentuan fase logaritmik bakteri patogen dilakukan untuk mengetahui fase pertumbuhan dari masing-masing Bacillus cereus, Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Hal ini penting untuk mengetahui jumlah bakteri patogen yang akan digunakan dalam uji antagonis BAL terhadap bakteri patogen. Masingmasing isolat ditumbuhkan dalam media cair NB sebanyak 1%, yang kemudian diinkubasi pada suhu 37 0C selama 24 jam. Pengamatan dilakukan setiap 2 jam. Tabung divortex selama 1 menit dan dilakukan serial pengenceran dan pemupukan dengan media padat NA. Kemudian diinkubasi pada suhu 37 0 C selama 24 jam. Jumlah koloni yang tumbuh dinyatakan dalam unit koloni per ml (cfu/ml). Selain itu dilakukan pula pengukuran Optical Density (OD) pada panjang gelombang 546 nm setiap 2 jam seperti terlihat pada Lampiran 18.
Seleksi Bakteri Asam Laktat Kandidat Probiotik Sebanyak 20 isolat BAL seperti yang tercantum pada Tabel 2 dan diduga berpotensi sebagai probiotik diseleksi melalui sejumlah uji sehingga didapatkan 5 isolat unggul BAL untuk uji penempelan secara in vitro. Uji yang dilakukan meliputi :
Uji Ketahanan terhadap Asam (Chou dan Weimer, 1999) Uji ketahanan terhadap asam dilakukan dengan metode hitungan cawan seperti yang dilakukan oleh Chou dan Weimer (1999) dengan modifikasi pada kondisi sentrifugasi dan pH media. Kultur bakteri asam laktat dalam 10 ml MRSB berumur 24 jam dipanen dengan sentrifugasi pada 3500 rpm selama 15 menit pada suhu 4 o C. Pelet dicuci dengan NaCl steril 0,85%, dan resuspensi sel dimasukkan
1% (v/v) dalam 10 ml MRSB (Kontrol) dan MRSB yang diatur pada pH 2,5 menggunakan HCl, selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 oC selama 90 menit. Setelah diinkubasi dilakukan hitungan cawan pada MRSA dengan metode tuang, dan diinkubasi pada suhu 37 o C selama 48 jam. Ketahanan terhadap asam dihitung berdasarkan selisih unit log jumlah koloni yang tumbuh pada kontrol dengan perlakuan. Semakin kecil selisih semakin tahan kultur bakteri asam laktat yang diuji terhadap pH rendah.
Uji Ketahanan terhadap Garam Empedu (Ngatirah et al., 2000) Uji ketahanan terhadap garam empedu dilakukan menurut Ngatirah et al (2000) tetapi konsentrasi garam empedu yang digunakan hanya 1% dan 5% dengan penentuan akhir menggunakan metode hitungan cawan. Sebanyak 1 ml kultur BAL dalam MRSB berumur 24 jam dimasukkan ke dalam 9 ml MRSB (kontrol) dan MRSB yang mengandung garam oxgal 1% dan 5% (b/v) kemudian diinkubasi pada 37 o C selama 24 jam. Jumlah BAL dihitung pada MRSA dengan metode tuang, kemudian diinkubasi pada 37 o C selama 48 jam. Ketahanan terhadap garam empedu dihitung berdasar selisih unit log jumlah koloni yang tumbuh pada kontrol dengan perlakuan. Semakin kecil selisih, semakin tahan kultur BAL yang diuji terhadap garam empedu.
Uji Antagonis terhadap Bakteri Enterik Patogen (Jin et al., 1996) Uji antagonis terhadap enterik patogen dilakukan dengan metode difusi agar seperti yang dilakukan oleh Jin et al. (1996) dengan modifikasi pada penuangan kultur bakteri patogen. Kultur BAL ditumbuhkan pada medium MRSB
selama 18-20 jam pada suhu 37 o C. Bakteri patogen diinokulasikan 1 ose ke dalam NB, kemudian diinkubasi pada suhu 37 o C selama 24 jam. Diambil sebanyak 0,2 ml, dimasukkan ke dalam 100 ml NA (0,2%) dan dicampur sampai homogen, kemudian dipindahkan ke dalam cawan petri masing-masing 15-20 ml, dan dibiarkan sampai memadat. Setelah agar memadat, dibuat lubang sumur pada agar dengan diameter 6 mm dan 5 lubang untuk setiap cawan petri. Kultur BAL dari MRSB dispotkan ke dalam lubang sumur sebanyak 50 µl, kemudian diinkubasi pada suhu 37 o C selama 24 jam dan sebagai kontrol digunakan medium MRSB tanpa BAL. Pengamatan dilakukan dengan mengukur areal bening diluar sumur menggunakan jangka sorong. Aktivitas antagonis BAL terhadap enterik patogen dinyatakan sebagai diameter areal bening (hasil pengukuran jari-jari dikali dua) yang terbentuk.
Uji Kemampuan Penempelan secara in vitro (Dewanti, 1995) Persiapan Lempeng Stainless Steel (SS) Potongan lempeng SS berukuran 1 x 1 cm direndam dalam detergen panas selama 1 jam, kemudian dibilas dengan air destilata sebanyak 2 kali. Lempeng SS dikeringanginkan di udara dan sebelum digunakan lempeng SS yang telah bersih tersebut disterilisasi pada suhu 121 0C selama 20 menit.
Uji Penempelan pada Lempeng Stainless Steel (SS) Isolat BAL ditumbuhkan pada media MRSB selama 18-20 jam kemudian dipanen dengan sentrifugasi pada 3500 rpm selama 15 menit pada suhu
4 0 C. Pelet dic uci dengan PBS hingga mencapai jumlah sel 105 cfu/ml dan diinokulasikan ke dalam 100 ml MRSB yang mengandung 3 lempeng SS. Setelah 1 jam pada suhu kamar, lempeng SS dibilas sebanyak 2 kali dengan air destilata kemudian ditetesi pewarna 0,026% acridine orange dan dibiarkan selama 5 menit. Selanjutnya lempeng SS tersebut dibilas dengan air destilata sebanyak 5 kali dan siap untuk dilakukan penghitungan jumlah sel bakteri yang menempel menggunakan mikroskop epifluoresen. Pembesaran yang digunakan adalah 1000 kali dengan minyak imersi. Jumlah sel bakteri yang menempel dihitung dengan melakukan pergeseran sebanyak 10 kali untuk setiap lempeng SS dan dirata-ratakan. Jumlah sel bakteri yang menempel per cm2 dihitung dengan rumus :
∑ sel per cm
2
=
100 x jumlahrata − rata sel per pengama tan 0 .0227
Keterangan : 100
: faktor konversi (1 cm2 = 100 mm2 ) 0,0227 : luas bidang pandang yang diamati (1/4 ð d 2 ) d
: diameter bidang pandang mikroskop epifluoresens =
0,17 mm Pengaruh Bakteri Probiotik terhadap Sekresi IL-8 (Bai AP et al. 2004) Persiapan Kultur Sel HCT 116 Alur sel HCT 116 merupakan sel kanker usus stadium lanjut pada manusia (late phase adenocarcinoma ). Kultur sel dilakukan dalam laminar flow type BSL II yang sebelumnya telah dibersihkan dengan alkohol 70% dan disterilisasi dengan UV selama 15 menit. Alur sel HCT 116 dari cryotubes dibiarkan terlebih dahulu dalam suhu ruang, kemudian dituangkan seluruhnya
dalam tabung sentrifus yang berisi 10 ml DMEM dan disuplementasi dengan 10% FBS (Fetal Bovine Serum). Setelah itu disentrifus dengan kecepatan 800 rpm, suhu 4 0C selama 5 menit. Supernatan dibuang ke dalam wadah yang berisi chlorox (desinfektan) dan sel diresuspensi kembali dengan 10 ml DMEM baru (dikocok bolak-balik). Kemudian dituang dalam flask kultur steril dan diinkubasi pada suhu 37 0C, 5% CO2 dan 95% O2 selama 48 jam. Setelah inkubasi, medium la ma dibuang (sel harus ada sekitar 70% -80% confluent) dan dicuci dengan 10 ml PBS (Phosphate Buffer Saline) sebanyak 3 kali. Kemudian ditambahkan 1 ml trypsin -EDTA ke dalam flask kultur dan diinkubasi pada suhu ruang selama 1 menit. Trypsin-EDTA berfungsi untuk memisahkan sel yang bergerombol sehingga diperoleh sel tunggal. Ke dalam flask kultur ditambahkan 10 ml medium DMEM yang baru, kemudian diamati dibawah inverted mikroskop tipe CKX atau KX merk Olympus dan sel harus kelihatan tunggal.
Lalu isi flask kultur dipindahkan secara aseptis ke dalam
tabung sentrifuse dengan pipet volume dan disentrifuse pada kecepatan 800 rpm selama 5 menit. Supernatan dibuang ke dalam beaker berisi chlorox (desinfektan) dan sel diresuspensi dengan 10 ml medium DMEM yang baru. Kemudian 100 ìl suspensi sel ditransfer ke dalam tabung eppendorf dan ditambah 100 ìl pewarna trypan blue, dikocok-kocok sebentar, kemudian dilakukan penghitungan sel dengan hemasitometer. Sel kemudian diencerkan dengan medium DMEM untuk memperoleh suspensi sel dengan konsentrasi 105 cfu/ml. Kemudian sebanyak 1 ml suspensi sel ditransfer ke dalam plate kultur dengan 24 sumur dan diinkubasi pada 37 0 C, 5% CO 2 dan 95% O2, selama 24 jam.
Kurva Relasi OD (Optical Density) dan Jumlah Sel Bakteri Probiotik Masing-masing isolat bakteri probiotik sebanyak 2-3 loop dari agar miring, diinokulasikan ke dalam 7 ml MRSB, dan diinkubasi pada suhu 37 0 C, selama 24 jam. Sebanyak 1 ml kultur broth (1% inokulum) diinokulasikan pada labu erlenmeyer yang berisi 100 ml MRSB dan diinkubasi pada suhu 37 0 C sampai fase eksponensial (sekitar 18 jam). Selanjutnya dari masing-masing isolat bakteri probiotik dibuat beberapa serial pengenceran dan dibaca absorbansinya pada 600 nm. Selain itu, dilakukan penghitungan sel dengan metoda tuang pada MRSA. Sel bakteri probiotik dihitung berdasarkan persamaan linier kurva OD dengan jumlah sel (cfu/ml).
Persiapan Kultur Bakteri Probiotik Masing-masing isolat bakteri probiotik sebanyak 2-3 loop dari agar miring, diinokulasikan ke dalam 4 ml MRSB, dan diinkubasi pada suhu 37 0 C, selama 24 jam. Sebanyak 2 ml kultur broth (5% inokulum) ditransfer ke dalam erlenmeyer yang berisi 40 ml MRSB dan diinkubasi pada 37 0C sampai fase eksponensial (sekitar 18 jam). Kemudian 10 ml kultur broth disentrifuse pada 5000 rpm selama 5 menit. Supernatan dibuang dan sel dicuci 2 kali dengan serum free medium (SF-DMEM). Sel diresuspensi dalam 10 ml DMEM. Untuk menghitung konsentrasi sel dilakukan pembacaan pada OD 600 nm. Nilai OD kemudian dikonversikan dengan persamaan yang telah diperoleh dari kurva relasi OD dengan jumlah sel yang telah dibuat sebelumnya.
Stimulasi Sekresi Interleukin-8 oleh Bakteri Probiotik Kultur bakteri probiotik diencerkan pada tabung-tabung terpisah sehingga diperoleh konsentrasi 107 , 10 8 dan 109 cfu/ml. Dari masing-masing isolat diambil sebanyak 1 ml dan ditambahkan ke dalam plate kultur sel HCT 116 yang sebelumnya telah diinkubasi selama 24 jam.
Lalu plate kokultur yang berisi
suspensi sel HCT 116 dan bakteri probiotik tersebut diinkubasi pada 37 0C, 5% CO 2 dan 95% O2 selama 6 jam. Setelah inkubasi, suspensi sel dan bakteri diambil dengan pipet ke dalam tabung eppendorf volume 2 ml dan disentrifuse pada 12.000 rpm, 0 0 C, selama 10 menit. Supernatan dimasukkan pada tabung eppendorf baru dan disimpan pada -20 0 C untuk analisa berikutnya.
Deteksi Sekresi Interleukin-8 dengan metoda ELISA Pada plate ELISA ditambahkan 100ìl/sumur capture antibody yang diencerkan dalam coating buffer. Kemudian plate ditutup dan diinkubasi 24 jam pada suhu 4 0C. Setelah inkubasi, larutan capture antibody dari plate dibuang dan dicuci 3 kali dengan washing buffer. Pada pencucian terakhir, plate dibalikkan pada gumpalan tissue tebal, lalu dibalut dan diketuk-ketuk sampai tidak ada cairan buffer tersisa. Plate diblok dengan assay diluent sebanyak 200 ìl/sumur, dan diinkubasi pada suhu ruang selama 1 jam. Kemudian plate dicuci dengan washing buffer seperti langkah sebelumnya. Selanjutnya dilakukan pengenceran larutan standar (0; 3,1; 6,25; 12,5; 25; 50; 100 pg/ml) dari Human Interleukin-8 ELISA Set (BD Biosciences) mengikuti manual yang telah ada pada kit tersebut.
Larutan standar dalam
berbagai konsentrasi, sampel, kontrol positif (sel HCT 116 tanpa BAL), dan kontrol negatif (BAL tanpa sel HCT 116) masing-masing sebanyak 100 ìl
ditambahkan ke dalam sumur. Plate ditutup dan diinkubasi pada suhu ruang selama 2 jam. Lalu dilakukan pencucian seperti tahap di atas sebanyak 5 kali. Setelah dicuci, ke dalam setiap sumur ditambahkan 100 ìl working detector (detection antibodi + avidin -HRP reagen), plate ditutup dan diinkubasi pada suhu ruang selama 1 jam. Kemudian dilakukan pencucian seperti tahap di atas sebanyak 7 kali. Pada pencucian terakhir, sumur dibiarkan terendam dengan washing buffer selama 30 detik - 1 menit. Kemudian ke dalam setiap sumur ditambahkan larutan substrat sebanyak 100 ìl, dan diinkubasi dalam gelap selama 30 menit pada suhu ruang. Larutan substrat ini akan memberikan warna sebagai akibat adanya reaksi antara detektor antibody dengan interleukin-8 yang ada pada setiap sumur. Untuk menghentikan reaksi, kedalam setiap sumur ditambahkan 50 ìl stop solution. Kemudian dibaca dengan ELISA reader merk Tecan-Magellan absorbansi pada 450 nm dikurangi dengan absorbansi pada 570 nm dalam waktu 30 menit setelah reaksi dihentikan. Data dianalisa berdasarkan persamaan dalam kurva kalibrasi standar.
Analisis Dat a Data kuantitatif yang diperoleh dalam penelitian ini diuji dengan analisis sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mengetahui perbedaan antar isolat dan perlakuan. Data selanjutnya dianalisis menggunakan software SPSS release 12.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketahanan terhadap pH Rendah Stress yang pertama terjadi pada sel bakteri yang memasuki saluran pencernaan adalah terpapar pada asam lambung (Chou dan Weimer, 1999). BAL tidak hanya tumbuh lambat pada pH rendah tetapi mungkin juga mengalami kerusakan asam dan menurun viabilitasnya jika sel bakteri berada pada kondisi pH rendah. Pada penelitian ini ketahanan BAL terhadap pH rendah dilakukan pada pH medium 2,5 selama 90 menit. Hasil uji ketahanan BAL terhadap pH rendah dapat dilihat pada Tabe l 3. Penurunan jumlah koloni yang terkecil menunjukkan ketahanan yang besar terhadap pH rendah. Sebaliknya penurunan jumlah koloni yang besar menunjukkan ketahanan isolat BAL yang rendah terhadap kondisi asam. Jumlah koloni yang tumbuh pada kontrol berkisar antara 8,00-9,11 log cfu/ml dan pada media dengan pH rendah berkisar antara 5,48-8,04 log cfu/ml (Lampiran 1). Pada Tabel 3 terlihat bahwa dari 20 isolat yang diuji, terdapat 4 isolat yang tidak mampu tumbuh sama sekali pada pH 2,5 yaitu isolat FNCC 018, T2A, T3 dan TT1. Nilai pH 2,5 yang digunakan dalam penelitian ini tampaknya memiliki sifat merusak pada isolat BAL yang diuji tersebut. Isolat FS1 memiliki ketahanan yang baik terhadap pH rendah. Hal ini ditunjukkan oleh penurunan jumlah koloni pada kontrol dibandingkan pada pH rendah kurang dari 1 unit log/ml. Isolat FS1 yang diisolasi dari feses bayi memiliki penurunan jumlah koloni terkecil yaitu 0,73 unit log/ml, dimana hasil tersebut tidak berbeda nyata dengan isolat W1 (dari whey), T1A (dari tanah kandang) dan SK3 (dari susu kuda). Sedangkan 15 isolat lainnya mengalami penurunan lebih dari 1 unit log/ml, tetapi isolat TT2 adalah yang paling rentan terhadap pH 2,5 dengan penurunan jumlah koloni terbesar yaitu 2,83 unit log/ml. Hal ini tidak menjadi masalah, seperti yang dikemukakan oleh Jacobsen et al. (1999), bahwa semua bakteri yang berhasil bertahan pada kondisi pH rendah dinyatakan bersifat tahan/resisten terhadap asam. Jadi walaupun penurunannya lebih dari 1 unit log/ml bukan berarti isolat tersebut tidak tahan terhadap pH rendah, kecuali 4 isolat yang memang tidak mampu tumbuh pada pH 2,5 tersebut.
Tabel 3. Ketahanan bakteri asam laktat terhadap pH rendah Isolat
Penurunan Jumlah Koloni (Unit log/ml) Rerata Ulangan 1 Ulangan 2 (Unit log/ml)
FNCC 018 FNCC 086 2,16 2,91 2,54fg FNCC 160 2,32 3,19 2,76fg Lb 3,19 2,12 2,65fg St 2,68 1,80 2,24efg T1A 1,00 1,08 1,04bcd T1B 2,08 2,66 2,37efg T2A SK2 2,00 2,88 2,44efg SK3 1,18 1,82 1,50bcde WT1 2,23 1,74 1,99defg WT2 2,90 2,20 2,55fg W1 1,27 0,73 1,00bc W2 2,25 2,00 2,13efg T3 TT3A 1,89 2,95 2,42efg TT3B 1,75 1,84 1,79cdef TT1 TT2 2,78 2,89 2,83g FS1 0,55 0,92 0,73ab Keterangan : Angka pada kolom rerata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% pada uji Duncan Hasil analisis ragam pada Lampiran 2 menunjukkan terdapat perbedaan nyata (p<0,05) pada ketahanan asam dari masing-masing isolat BAL yang diuji. Hal ini berarti bahwa isolat yang diisolasi dari sumber yang sama tidak memiliki ketahanan terhadap asam yang sama, sehingga masing-masing isolat bersifat strain dependent. Kondisi asam pada penelitian ini diperoleh dengan menambahkan HCl 3N dalam media pertumbuhan, untuk mendekati kondisi lambung yang juga mengandung HCl. HCl adalah asam kuat yang mudah terdisosiasi menghasilkan proton, menyebabkan penurunan pH medium di luar sel atau pH ekstraseluler. Paparan pada kondisi yang sangat asam dapat mengakibatkan kerusakan membran dan lepasnya komponen intraseluler yang dapat menyebabkan kematian. Bakteri tahan asam memiliki ketahanan yang lebih besar terhadap kerusakan membran
akibat terjadinya penurunan pH ekstraseluler dibandingkan bakteri yang tidak tahan asam. Menurut Hutkins dan Nannen (1993), BAL yang tahan terhadap kondisi asam disebabkan ole h kemampuan BAL tersebut untuk mempertahankan pH sitoplasma lebih basa daripada pH ekstraseluler. Supaya pH sitoplasma lebih basa, maka sel harus memiliki pertahanan terhadap aliran proton yaitu melalui membran sitoplasma. Membran sitoplasma bakteri terdir i dari 2 lapis fosfolipid (lipid bilayer ) dimana pada masing-masing permukaan lapisan tersebut melekat protein dan glikoprotein. Lipid bilayer bersifat semipermeabel yang akan membatasi pergerakan senyawa yang keluar masuk antara sitoplasma dengan lingkungan luar. Karakteristik dan permeabilitas membran sitoplasma dipengaruhi oleh keragaman komposisi asam lemak penyusun membran sitoplasma dan hal ini sangat beragam diantara spesies bakteri. Selain itu, komposisi dan struktur protein yang berbeda pada membran sitoplasma juga berpengaruh terhadap karakteristik dan permeabilitasnya. Keragaman asam lemak dan protein pada membran sitoplasma ini diduga mempengaruhi keragaman ketahanan bakteri terhadap pH rendah. Mekanisme bakteri untuk mengatur pH internalnya adalah melalui translokasi proton oleh enzim ATP -ase (Hutkins dan Nannen, 1993). Enzim yang terikat pada membran sel bertindak sebagai pompa yang akan memindahkan ion dan reaksinya bersifat reversibel. Enzim tersebut juga akan mengkatalisa gerakan proton menye berangi membran sel sebagai akibat dari hidrolisis dan sintesis ATP. Pada bakteri yang tahan asam, pH optimal enzim tersebut lebih rendah dibandingkan dengan bakteri yang kurang tahan terhadap asam.
Ketahanan terhadap Garam Empedu Untuk dapat bertahan dan tumbuh pada saluran pencernaan, BAL sebagai kultur probiotik harus mampu melewati berbagai kondisi lingkungan yang menekan. Salah satunya adalah pada saat BAL memasuki bagian atas saluran usus dimana empedu disekresikan ke dalam usus. Penambahan oxgal 0,3% merupakan konsentrasi kritis yang disarankan oleh Gilliland et al. (1984) dan cukup tinggi untuk menseleksi galur-galur yang resisten. Namun pada penelitian ini,
konsentrasi garam empedu yang digunakan adalah 1% dan 5% (Ngatirah et al. 2000). Hasil penelitian pengaruh garam empedu 1% terhadap penurunan jumlah koloni BAL disajikan pada Tabel 4 dan pengaruh garam empedu 5% disajikan pada Tabel 5. Tabel 4. Ketahanan bakteri asam laktat terhadap garam empedu 1% Isolat FNCC 018
Penurunan Jumlah Koloni (Unit log/ml) Rerata Ulangan 1 Ulangan 2 (Unit Log/ml) 1,36 1,19 1,27abcd
FNCC 086 2,98 2,35 2,67ef FNCC 160 1,13 1,11 1,12abcd Lb 2,02 2,05 2,04cde St 1,57 1,82 1,70bcd T1A 1,60 1,35 1,47abcd T1B 2,21 1,81 2,01cde T2A 0,89 1,03 0,96ab SK2 1,47 1,52 1,49 abcd SK3 1,42 1,97 1,69bcd WT1 1,06 1,42 1,24abcd WT2 0,82 1,35 1,09abc W1 2,74 2,77 2,75ef W2 1,21 2,96 2,08de T3 3,08 2,78 2,93f TT3A 1,00 1,27 1,14abcd TT3B 1,96 1,17 1,56bcd TT1 1,37 1,04 1,21abcd TT2 1,61 1,56 1,58bcd FS1 0,71 0,41 0,56a Keterangan : Angka pada kolom rerata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% pada uji Duncan
Hasil analisis ragam pada Lampiran 4 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata (p<0,05) pada ketahanan isolat-isolat yang diu ji untuk tumbuh pada media yang mengandung garam empedu 1%. Pada Tabel 4 terlihat bahwa pada penambahan garam empedu 1%, penurunan jumlah koloni berkisar antara 0,56 – 2,93 unit log/ml, dimana jumlah koloni pada kontrol berkisar antara 8,15 –
9,95 log cfu/ml dan pada media yang mengandung garam empedu 1% adalah 6,00 – 8,39 log cfu/ml (Lampiran 3). Pada Tabel 4 terlihat bahwa dari 20 isolat yang diuji, semuanya mampu bertahan pada kondisi garam empedu 1%, dengan penurunan jumlah koloni yang bervariasi. Pada penambahan garam empedu 1%, isolat FS1 yang diisolasi dari feses bayi menunjukkan penurunan jumlah koloni terkecil yaitu 0,56 unit log/ml dimana hasil tersebut tidak berbeda nyata dengan beberapa isolat lain yaitu T2A (dari tanah kandang), WT2 (dari whey) , FNCC 160, TT3A (dari tanah kandang), TT1 (dari tanah kandang), WT1 (dari whey), FNCC 018, T1A (dari tanah kandang) dan SK2 (dari susu kuda). Sedangkan isolat T3 (dari tanah), W1 (dari whey), FNCC 086, W2 (dari whey), Lb dan T1B (dari tanah) adalah isolat yang paling rentan terhadap garam empedu 1% dengan penurunan jumlah koloni pada kontrol dan perlakuan berkisar antara 2,01-2,93 unit log/ml (Tabel 4). Pada penambahan garam empedu 5% penurunan jumlah koloni berkisar antara 0,56 – 2,38 unit log/ml (Tabel 5), dimana jumlah koloni pada kontrol berkisar antara 8,15 – 9,95 log cfu/ml (Lampiran 5) dan pada media yang mengandung garam empedu 5% berkisar antara 6,18 – 8,14 log cfu/ml (Lampiran 5). Pada penambahan garam empedu 5%, isolat FS1 yang diisolasi dari feses bayi memiliki penurunan jumlah koloni yang terkecil yaitu 0,56 unit log/ml, dimana hasil tersebut berbeda nyata dengan isolat lainnya. Hal ini berarti, isolat tersebut memiliki ketahanan yang baik terhadap garam empedu 5%. Isolat yang paling rentan terhadap garam empedu 5% adalah T3 (dari tanah kandang), T1B (dari tanah kandang) dan Lactobacillus bulgaricus, dengan penurunan jumlah koloni lebih dari 2 unit log/ml (Tabel 5). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi garam empedu, secara umum menyebabkan penurunan jumlah koloni BAL yang lebih besar. Tabel 5. Ketahanan bakteri asam laktat terhadap garam empedu 5 % Isolat
FNCC 018 FNCC 086 FNCC 160 Lb
Penurunan Jumlah Koloni (Unit log/ml) Ulangan 1 1,49 1,43 2,19 2,00
Ulangan 2 1,60 1,67 1,76 2,02
Rerata
1,54bcd 1,55 bcd 1,98 bcd 2,01 cde
St 1,23 1,23 1,23 b T1A 1,43 1,75 1,59 bcd T1B 2,40 1,81 2,10 de T2A 1,22 1,69 1,46 bcd SK2 1,52 1,44 1,48 bcd SK3 1,10 1,54 1,32 bc WT1 1,52 1,36 1,44 bcd WT2 1,51 1,28 1,39 bcd W1 1,47 1,33 1,40 bcd W2 1,81 1,99 1,90 bcde T3 1,85 2,90 2,38 e TT3A 1,56 1,01 1,29 bc TT3B 2,40 1,51 1,95 bcde TT1 1,57 1,45 1,51 bcd TT2 1,75 1,55 1,65 bcde FS1 0,87 0,25 0,56 a Keterangan : Angka pada kolom rerata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% pada uji Duncan Hasil analisis ragam pada Lampiran 8 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05) antara konsentrasi garam empedu yang digunakan terhadap ketahanan dari masing-masing isolat terhadap garam empedu. Jadi penggunaan konsentrasi garam empedu 1% dan 5% tidak berpengaruh terhadap ketahanan masing-masing isolat. Tetapi terdapat perbedaan nyata (p<0,05) dari masing-masing isolat terhadap ketahanan terhadap garam empedu, Hal ini membuktikan bahwa masing-masing isolat bersifat strain dependent.
Tabel 6. Perbandingan ketahanan BAL terhadap garam empedu 1% dan 5% Isolat
FNCC 018 FNCC 086 FNCC 160 Lb St T1A T1B T2A
Penurunan Jumlah Koloni (Unit log/ml) Rerata 1% 1,27 2,67 1,12 2,04 1,70 1,47 2,01 0,96
5% 1,54 1,55 1,98 2,01 1,23 1,59 2,10 1,46
1,41b 2,11f 1,55bcdef 2,02 cdef 1,46 bc 1,53 bcde 2,06 def 1,21 b
SK2 1,49 1,48 1,49 bcd SK3 1,69 1,32 1,51 bcde WT1 1,24 1,44 1,34 b WT2 1,09 1,39 1,24 b W1 2,75 1,40 2,08 ef W2 2,08 1,90 1,99 cdef T3 2,93 2,38 2,65 g TT3A 1,14 1,29 1,21 b TT3B 1,56 1,95 1,76 bcdef TT1 1,21 1,51 1,36 b TT2 1,58 1,65 1,62 bcdef FS1 0,56 0,56 0,56a Keterangan : Angka pada kolom rerata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% pada uji Duncan
Dari hasil analisis ragam (Lampiran 8) dan uji lanjut (Tabel 6) menunjukkan bahwa isolat yang diisolasi dari sumber yang sejenis tidak memberikan karakteristik ketahanan terhadap garam empedu yang sama. Misalnya T1A dan T1B, TT3A dan TT3B, TT1 dan TT2
yang sama -sama
diisolasi dari tanah di sekitar kandang menunjukkan ketahanan yang berbeda terhadap garam empedu, begitu pula dengan SK2 dan SK3 yang diisolasi dari susu kuda, W1 dan W2, WT1 dan WT2 yang diisolasi dari whey juga menunjukkan ketahanan yang berbeda pula. Selain itu dari hasil penelitian juga terlihat bahwa keragaman toleransi BAL terhadap garam empedu tidak berhubungan dengan perbedaan spesies akan tetapi tergantung dari masing-masing galur atau bersifat strain dependent. Hal ini seiring dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa diantara galur -galur BAL dari spesies yang sama serta diisolasi dari sumber yang sama, mempunyai keragaman pada toleransinya terhadap garam empedu (Chou dan Weimer, 1999). Pada penelitian tersebut, ga lur-galur dari spesies Lactobacillus acidophilus memiliki ketahanan yang berbeda terhadap garam empedu. Menurut Sanders (2000) Lactobacillus dan Bifidobacterium secara umum lebih resisten terhadap garam empedu dibandingkan genus Streptococcus dan genus lainnya, terutama bakteri asam laktat yang digunakan sebagai kultur starter yogurt. Toleransi terhadap garam empedu ini diduga disebabkan oleh
peranan polisakarida sebagai salah satu komponen penyusun dinding sel bakteri gram positif , tetapi mekanisme yang terlibat di dalamnya belum diketahui dengan jelas. Garam empedu berpengaruh terhadap permeabilitas sel bakteri, Penelitian yang dilakukan Noh dan Gilliland (1993) menunjukkan bahwa Lactobacillus acidophilus memiliki ketahanan terhadap garam empedu, sebab pada sel yang diinkubasi pada media yang mengandung oxgal masih terjadi pertumbuhan dan tidak terjadi lisis. Akan tetapi pada penelitian tersebut terbukti pula bahwa sel yang diinkubasi pada media yang mengandung oxgal mengalami peningkatan kebocoran materi intraseluler yang terabsorpsi pada panjang gelombang 260 nm, yang berarti terjadi perubahan sifat permeabilitas pada membran sel bakteri. Pada bakteri yang tidak tahan terhadap garam empedu diduga bahwa perubahan permeabilitas seluler dan kebocoran materi intraseluler yang dialami lebih besar sehingga menyebabkan lisisnya sel, mengakibatkan kematian. Empedu bersifat sebagai senyawa aktif permukaan sehingga dapat menembus dan bereaksi dengan sisi membran sitoplasma yang bersifat lipofilik, menyebabkan perubahan dan kerusakan struktur membran. Sifat aktif permukaan ini menyebabkan aktifnya pula enzim lipolitik yang disekresikan oleh pankreas. Enzim ini mungkin bereaksi dengan asam lemak pada membran sitoplasma bakteri sehingga mengakibatkan perubahan struktur membran dan sifat permeabilitasnya. Keragaman struktur asam lemak pada membran sitoplasma bakteri menyebabkan perbedaan permeabilitas dan karakteristik membran sehingga mempengaruhi ketahanan bakteri terhadap garam empedu.
Aktivitas Antagonistik Bakteri Asam Laktat terhadap Bakteri Patogen Salah satu kriteria BAL yang digunakan untuk kultur probiotik adalah kemampuannya
untuk
menghambat
bakteri
patogen
sehingga
mampu
berkompetisi dengan bakteri patogen untuk mempertahankan keseimbangan mikroflora normal dalam usus. Pada penelitian ini digunakan 3 spesies bakteri patogen yaitu Bacillus cereus, Staphylococcus aureus dan Escherichia coli yang berturut-turut mewakili bakteri Gram positif pembentuk spora, Gram positif tidak membentuk spora serta bakteri Gram negatif.
Tujuan dari tahap penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi penghambatan
isolat
BAL
dan
menyeleksi
isolat
yang
paling
besar
penghambatannya terhadap bakteri patogen. Hal ini berkaitan dengan kemampuan isolat BAL dalam mencegah pertumbuhan bakter i patogen yang masuk ke dalam saluran pencernaan. Hasil uji aktivitas antagonistik BAL terhadap bakteri patogen menunjukkan bahwa semua isolat BAL memiliki aktivitas penghambatan yang beragam terhadap bakteri patogen. Kisaran diameter penghambatan isolat BAL terhadap Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus berturutturut adalah 4,0 – 7,8 mm (Tabel 7); 3,0 – 6,5 mm (Tabel 8) dan 3,8 – 7,5 mm (Tabel 9) Tabel 7. Aktivitas antagonistik bakteri asam laktat terhadap Escherichia coli Kode Isolat
Diameter penghambatan (mm) Rerata (mm) Ulangan 1 Ulangan 2 FNCC O18 7,5 7,5 7,5 fg FNCC O86 7,0 7,0 7,0 defg FNCC 160 6,0 6,0 6,0 cde Lb 5,0 4,0 4,5 ab St 5,0 5,0 5,0 abc T1A 4,0 4,0 4,0 a T1B 6,0 5,5 5,8 bcd T2A 5,0 5,5 5,3 abc SK2 7,5 6,5 7,0 defg SK3 8,0 7,5 7,8 g WT1 8,0 6,5 7,3 efg WT2 6,0 6,5 6,3 cdef W1 5,5 5,5 5,5 bc W2 6,0 5,5 5,8 bcd T3 5,0 5,0 5,0 abc TT3A 4,0 4,0 4,0 a TT3B 4,5 3,5 4,0 a TT1 7,5 5,0 6,3 cdef TT2 6,0 5,0 5,5 bc FS1 5,0 5,0 5,0 abc Keterangan : Angka pada kolom rerata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% pada uji Duncan
Hasil analisis ragam pada Lampiran 10 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara isolat yang diuji (p<0,05). Hasil uji aktivitas antagonistik BAL terhadap Escherichia coli disajikan pada Tabel 7 dan terlihat bahwa SK3 yang diisolasi dari susu kuda memiliki diameter penghambatan terbesar terhadap Escherichia coli (7,8 mm), dimana hasil tersebut tidak berbeda nyata dengan isolat FNCC 086, FNCC 018, SK2 dan WT1. Diameter penghambatan yang terkecil adalah TT3A (4,0 mm), TT3B (4,0 mm) dan T1A (4,0 mm). TT3A dan TT3B adalah isolat BAL yang diisolasi dari tanah disekitar kandang yang bersifat termofilik. Sebagian besar isolat BAL yang diisolasi dari tanah di sekitar kandang yang bersifat termofil memiliki aktivitas antagonistik yang rendah terhadap Escherichia coli, yaitu TT2 (5,5 mm), TT3A (4,0 mm) dan TT3B (4,0 mm) kecuali TT1 (6,3 mm). Tetapi tidak semua isolat BAL yang diisolasi dari tanah memiliki aktivitas antagonistik yang rendah terhadap Escherichia coli karena isolat T1B (5,8 mm) memiliki aktivitas antagonistik yang tinggi terlihat dari lebarnya diameter penghambatan. Tetapi sebaliknya, isolat BAL yang diisolasi dari whey yang bersifat termofilik justru memiliki aktivitas penghambatan yang lebih besar (WT1=7,3 mm; WT2=6,3 mm) dibanding isolat W1 (5,5 mm) dan W2 (5,8 mm). Aktivitas antagonistik isolat BAL terhadap Staphylococcus aureus berturut-turut dari yang paling besar adalah Streptococcus thermophilus (6,5 mm), Lactobacillus bulgaricus (6,5 mm), FNCC 086 (6,5 mm), SK3 (6,3 mm) dan FNCC 018 (6,3 mm) seperti terlihat pada Tabel 8. Hasil analisis ragam pada Lampiran 12 menunjukkan terdapat perbedaan nyata antara isolat BAL yang diuji (p<0,05). Isola t BAL yang diisolasi dari tanah di sekitar kandang memiliki diameter penghambatan yang rendah terhadap Staphylococcus aureus (T3, TT1, TT2, T1A, T1B dan T2A) seperti halnya terhadap Escherichia coli.
Tabel 8. Aktivitas antagonistik bakteri asam laktat te rhadap S, aureus Kode Isolat FNCC O18 FNCC O86 FNCC 160
Diameter penghambatan (mm) Ulangan 1 Ulangan 2 6,5 6,0 6,0 7,0 6,0 5,0
Rerata (mm) 6,3 fg 6,5 g 5,5 defg
Lb 6,0 7,0 6,5 g St 6,0 7,0 6,5 g T1A 3,0 3,5 3,3 ab T1B 3,0 3,5 3,3 ab T2A 3,0 3,0 3,0 a SK2 4,5 4,0 4,3 bc SK3 6,0 6,5 6,3 fg WT1 5,5 6,0 5,8 defg WT2 5,0 5,5 5,3 cdef W1 5,0 6,0 5,5 defg W2 5,5 5,5 5,5 defg T3 5,0 5,0 5,0 cde TT3A 4,5 5,0 4,8 cd TT3B 6,5 5,5 6,0 efg TT1 5,0 5,0 5,0 cde TT2 5,0 5,0 5,0 cde FS1 6,0 4,5 5,3 cdef Keterangan : Angka pada kolom rerata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% pada uji Duncan Pada Tabel 9 terlihat bahwa isolat W1 (7,5 mm) yang diisolasi dari whey memiliki aktivitas antagonistik terbesar terhadap Bacillus cereus. Seperti halnya terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus , isolat yang diisolasi dari tanah juga memiliki aktivitas antagonistik yang rendah terhadap Bacillus cereus. Hasil analisis ragam pada Lampiran 14 menunjukkan bahwa isolat BAL yang diuji memiliki aktivitas antagonistik terhadap bakteri patogen dengan derajat penghambatan yang berbeda secara nyata (p<0,05). Hal ini membuktikan bahwa masing-masing isolat bakteri bersifat strain dependent. Tabel 9. Aktivitas antagonistik bakteri asam laktat terhadap Bacillus cereus Kode Isolat FNCC O18 FNCC O86 FNCC 160 Lb St T1A T1B
Diameter penghambatan (mm) Ulangan 1 Ulangan 2 6,5 5,5 7,0 6,0 5,5 3,5 5,5 4,5 7,5 6,0 5,0 4,5 4,5 3,5
Rerata (mm) 6,0 cdef 6,5 def 4,5 abc 5,0 abcd 6,8 ef 4,8 abc 4,0 ab
T2A 5,5 4,5 5,0 abcd SK2 6,5 6,5 6,5 def SK3 6,0 6,0 6,0 cdef WT1 5,5 5,5 5,5 bcde WT2 7,0 6,5 6,8 ef W1 8,5 6,5 7,5 f W2 8,0 6,5 7,3 f T3 7,5 6,5 7,0 ef TT3A 5,0 5,0 5,0 abcd TT3B 5,0 5,0 5,0 abcd TT1 4,5 5,5 5,0 abcd TT2 5,5 5,5 5,5 bcde FS1 3,5 4,0 3,8 a Keterangan : Angka pada kolom rerata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% pada uji Duncan Hasil penelitian ini lebih baik bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wirawati (2002). Isolat BAL yang diisolasi dari tempoyak tidak menghasilkan penghambatan yang baik terhadap Escherichia coli, Staphylococcus
aureus
dan
Salmonella
typhymurium
dengan
diameter
penghambatan sekitar 0,7 – 1,0 mm. Sehingga diduga isolat BAL tersebut tidak mempunyai senyawa antimikroba yang cukup untuk menghambat bakteri patogen. Dari hasil secara keseluruhan terlihat bahwa aktivitas antagonistik terhadap bakteri patogen oleh BAL tidak tergantung dari spesiesnya, sebab galurgalur dari spesies yang sa ma menunjukkan perbedaan derajat penghambatan. Selain itu juga terlihat bahwa galur yang diisolasi dari jenis yang sama tidak memberikan derajat penghambatan yang sama, dengan demikian aktivitas penghambatan terhadap bakteri patogen oleh BAL bersifat strain dependent. Hal ini didukung oleh hasil analisis ragam (Lampiran 16) yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antar isolat yang diuji (p<0,05). Selain itu terdapat pula perbedaan nyata antar perlakuan terhadap ketiga bakteri patogen yang diuji (p<0,05).
Tabel 10. Perbandingan diameter penghambatan antar bakteri enterik patogen Perlakuan
Rerata diameter penghambatan (mm)
Escherichia coli
5,7333b
Staphylococcus aureus 5,2250a Bacillus cereus 5,8833b Keterangan : Angka pada kolom rerata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% pada uji Duncan Ada beberapa senyawa yang dihasilkan oleh BAL yang bersifat antimikroba, diantaranya adalah asam-asam organik, hidrogen peroksida dan senyawa protein atau kompleks protein spesifik yang disebut bakteriosin. Dalam penelitian ini tidak diidentifikasi jenis senyawa antimikroba yang dihasilkan oleh galur-galur BAL yang digunakan, akan tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa BAL menghasilkan beberapa senyawa yang menghambat pertumbuhan mikroba. Asam laktat dan asetat adalah salah satu senyawa antimikroba yang dihasilkan oleh BAL. BAL juga menghasilkan hidrogen peroksida yang cukup besar. Akumulasi senyawa tersebut di dalam sel terjadi karena BAL tidak menghasilkan enzim kata lase (Salminen dan Wright, 1993). Pelczar et al, (1993) mengemukakan bahwa senyawa antimikroba dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuh mikroba dengan mekanisme berupa perusakan dinding sel dengan cara menghambat proses pembentuka nnya atau menyebabkan lisis pada dinding sel yang sudah terbentuk dan perubahan permeabilitas membran sitoplasma sehingga terjadi kebocoran zat nutrisi dari dalam sel. Dengan rusaknya membran sitoplasma akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan atau matinya sel. Pada umumnya bakteri Gram negatif mempunyai ketahanan yang lebih baik terhadap senyawa antimikroba dibanding bakteri Gram positif. Struktur dinding sel bakteri Gram negatif lebih kompleks yaitu lapisan luar berupa lipoprotein, lapisan tengah berupa polisakarida dan lapisan paling dalam adalah peptidoglikan (5-10%). Sedangkan struktur dinding sel bakteri Gram positif lebih sederhana (90% dinding
selnya terdiri dari peptidoglikan), sehingga memudahkan senyawa antimikroba untuk dapat masuk ke dalam sel (Gambar 1 ).
Pemilihan Isolat untuk Uji Penempelan secara in vitro Pemilihan isolat BAL yang akan digunakan untuk uji penempelan secara in vitro berdasarkan pada sifat terbaik untuk uji ketahanan terhadap pH rendah, ketahanan terhadap garam empedu dan aktivitas antagonistik terhadap enterik patogen yang dipilih berdasarkan ranking dengan mempertimbangkan uji statistik yang dilakukan. Isolat yang potensial pada uji ketahanan terhadap pH rendah dan ketahanan terhadap garam empedu 1% dan 5% adalah isolat yang menunjukkan penurunan jumlah koloni yang kecil pada uji tersebut. Sedangkan pada uji aktivitas antagonis terhadap enterik patogen, isolat yang dianggap potensial adalah yang menunjukkan diameter penghambatan yang besar. Urutan isolat BAL berdasarkan rangking untuk masing-masing sifat yang diuji terlihat pada Tabel 11. Ranking 1 menunjukkan sifat yang paling baik dan seterusnya menjadi menurun, sehingga rangking 20 adalah yang paling buruk. Penentuan isolat terpilih berdasarkan isolat yang mempunyai frekue nsi berada di rangking 1 sampai 10 lebih banyak dibanding isolat lainnya. Berdasarkan pada uji-uji sebelumnya seperti terlihat pada Tabel 11, ternyata tidak semua karakteristik probiotik yang diinginkan berada pada satu jenis isolat, sehingga diperlukan beberapa pertimbangan dengan mengutamakan hal-hal yang paling penting untuk memenuhi persyaratan sebagai probiotik. Berdasarkan pada Tabel 11 terdapat 10 isolat yang berpotensi untuk pengujian selanjutnya, tetapi hanya 5 yang akan diuji kemampuan penempelan pada lempeng SS. Isolat W1, W2, FNCC 086 dan St tidak diuji penempelannya karena
walaupun aktivitas antagonisnya terhadap enterik patogen bagus tetapi ternyata isolat tersebut tidak tahan terhadap garam empedu. Sedangkan isolat TT3A mampu bertahan dalam lingkungan pH rendah dan mengandung garam empedu, tetapi isolat tersebut memiliki aktivitas antagonis terhadap enterik patogen yang rendah. Untuk itu hanya isolat SK2, SK3, WT1, WT2 dan FS1 yang akan diuji kemampuan penempelannya pada lempeng SS.
Uji Penempelan Pada Lempeng Stainless Steel Secara In Vitro Pengujian penempelan bakteri terhadap sel inangnya dapat dilakukan secara in vitro maupun in vivo. Pada penelitian ini dilakukan uji secara in vitro. Salah satu cara pengujian secara in vitro yaitu dilakuka n dengan menggunakan permukaan padat seperti lempeng baja (stainless steel). Pengujian dengan stainless steel pada penelitian ini diharapkan dapat memberikan indikasi sifat penempelan bakteri tersebut pada usus manusia yang mengindikasikan pula bahwa bakteri dapat melakukan kolonisasi di dalam usus.
5 4.9 Log sel per cm
4.8 4.7 4.6 4.5 4.4 4.3 4.2 4.1 SK2
SK3
FS
WT1
WT2
Kode isolat bakteri asam laktat
Gambar 3. Penempelan bakteri asam laktat pada lempeng stainless steel
Jumlah awal BAL yang diinokulasikan ke dalam media adalah 105 sel per ml dan diinkubasi selama 1 jam. Kemampuan penempelan BAL pada lempeng SS berkisar antara 4,4 – 4,9 log sel per cm2 seperti terlihat pada hasil lengkapnya pada Lampiran 17. Dari Gambar 3 dapat dilihat data bahwa isolat BAL yang paling besar kemampuan menempelnya adalah WT1, diikuti berturut-turut WT2, SK3, SK2 dan FS1. Jenis dan spesies bakteri yang berbeda mempunyai kemampuan penempelan yang berbeda pula. Selain itu asal isolat juga akan berpengaruh terhadap kemampuan penempelan bakteri. Dari hasil yang diperoleh pada Gambar 3 menunjukkan bahwa isolat yang berasal dari produk berbasis susu (SK2 dan SK3) dan produk yang berasal dari sumber nabati (WT1 dan WT2) mempunyai kemampuan penempelan yang lebih tinggi dibandingkan dengan isolat yang berasal dari isolat klinis (FS1). Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Triputro (2002) yang menyatakan bahwa isolat dadih memiliki kemampuan penempelan lebih besar dibandingkan dengan isolat klinis. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Greene dan Klaenhammer (1994) yang melaporkan bahwa 3 kultur Lactobacillus yang berasal dari isolat klinis memiliki kemampuan menempel pada sel Caco-2 manusia lebih tinggi jika dibandingkan dengan kultur yang berasal dari produk susu. Hasil penelitian yang sama juga dilaporkan oleh Todoriki et al. (2001), dimana isolat Lactobacillus yang diisolasi dari saluran pencernaan mempunyai kemampuan menempel yang lebih baik pada sel Caco-2 manusia dibandingkan isolat Lactobacillus yang diisolasi dari makanan hasil fermentasi.
Lebih besarnya jumlah sel yang menempel pada lempeng SS dari isolat WT1, WT2, SK2 dan SK3 dibandingkan dengan isolat klinis (FS1) ini diduga karena tidak semua BAL yang diisolasi dari feses memiliki kemampuan menempel yang sama. Beberapa bakteri yang berasal dari isolat klinis mungkin memiliki kemampuan menempel yang lebih baik dibandingkan dengan bakteri yang berasal dari isolat makanan ataupun produk berbasis susu, sedangkan beberapa bakteri lain sebaliknya. Disamping itu, isolat SK2 dan SK3 yang biasa tumbuh pada lingkungan kaya nutrisi (susu) akan lebih sensitif terhadap adanya perubahan nutrisi dalam media pertumbuhannya dibandingkan isolat klinis yang biasa tumbuh pada lingkungan yang lebih sedikit nutrisinya (usus). Oleh sebab itu, isolat WT1, WT2, SK2 dan SK3 akan lebih menempel dibandingka n isolat klinis di dalam MRSB yang digunakan sebagai medium penempelan. Selain itu, perbedaan hasil mungkin juga disebabkan karena BAL lebih dapat menempel dengan baik pada sel Caco-2 manusia dibandingkan pada SS.
Pengaruh Penambahan Bakteri Probiotik terhadap Sekresi Interleukin -8 BAL yang telah lolos sebagai kandidat probiotik melalui sejumlah uji, kemudian dilihat kemampuannya sebagai imunomodulator. Pada penelitian ini dilihat pengaruh bakteri probiotik tersebut terhadap sekresi interleukin-8 dari alur sel HCT 116. Interleukin-8 merupakan senyawa yang berperan dalam proses inflamasi (peradangan). Sekresi interleukin-8 dapat diinduksi oleh adanya bakteri enterik patogen. Pada sel kanker (alur sel HCT 116), sel sudah berada dalam kondisi inflamasi, sehingga banyak mensekresikan interleukin-8. HCT 116 merupakan sel kanker usus stadium lanjut pada manusia (late phase adenocarcinoma). Untuk melihat pengaruh bakteri probiotik terhadap sekresi
interleukin-8 serta mengetahui pada dosis berapa dan pengaruh apa ya ng diakibatkannya, maka dibuat beberapa konsentrasi isolat BAL yaitu 107 , 108 dan 109 cfu/ml. Peradangan (inflamasi) pada usus adalah salah satu target potensial bagi bakteri probiotik. Proinflamatory cytokine yang dihasilkan oleh sel epitel usus, seperti TNF-á, interleukin-1, interleukin-6, interleukin-8 dan interleukin 12 adalah tanda adanya respon terhadap peradangan di dalam sel Caco-2. Namun begitu, tidak ada korelasi antara penempelan BAL dengan produksi sitokin. BAL yang mampu menempel dengan kuat pada sel Caco-2 belum tentu dapat merespon proses inflamasi dengan maksimal pula (Morita et al. 2002). Mikroflora normal pada saluran pencernaan manusia terdiri dari bermacam-macam populasi bakteri yang berperan penting dalam pertahanan mukosa usus dan kekebalan non spesifik. Beberapa mikroflora usus dapat melawan pertumbuhan bakteri enterik patogen. Penyimpangan mikroflora usus terjadi pada kasus Inflamatory Bowel Disease (IBD). Penyimpangan ini menyebabkan disregulasi sistem imun. Masuknya beberapa strain virulen ke sel epitel usus dapat menyebabkan rusaknya integritas membran usus dan menginduksi masuknya sel-sel yang berperan dalam proses inflamasi.
Konsentrasi IL-8 (pg/ml)
40 35 30 25 20 15 10 5 0 K(+)
K(-)
SK3-7 SK3-8 SK3-9 WT1-7 WT1-8 WT1-9 Isolat BAL
Gambar 4. Konsentrasi interleukin-8 pada berbagai konsentrasi BAL Konsentrasi interleukin-8 pada isolat SK3 dengan jumlah sel 107 , 108 dan 109 cfu/ml berturut-turut adalah 21,472 pg/ml ; 23,163 pg/ml dan 36,600 pg/ml. Sedangkan pada isolat WT1 dengan jumlah sel yang sama berturut-turut adalah 17,198 pg/ml; 22,179 pg/ml dan 35,247 pg/ml. Interleukin-8 yang diskresikan oleh kontrol positif yaitu sel HCT 116 adalah 24,578 pg/ml, sedangkan isolat BAL sebagai kontrol negatif tidak mensekresikan interleukin -8 (Lampiran 21). Dari Gambar 4 terlihat adanya respon yang berbeda-beda dari isolat SK3 dan WT1 terhadap sekresi interleukin -8. Walaupun begitu hasil ELISA menunjukkan
kecenderungan
peningkatan
kadar
interleukin -8
dengan
meningkatnya konsentrasi SK3 dan WT1 yang diberikan (Lampiran 21). Hasil analisis ragam menunjukkan terdapat perbedaan nyata antar konsentrasi BAL yang ditambahkan (p<0,05). Kedua isolat, pada konsentrasi 107 dan 108 cfu/ml mampu menurunkan sekresi interleukin-8, jika dibandingkan dengan kontrol. Hal ini membuktikan bahwa isolat SK3 dan WT1 dapat digunakan untuk menekan proses inflamasi (anti-inflamasi). Sebaliknya, pada konsentrasi 109 cfu/ml, terjadi
peningkatan sekresi interleukin-8. Hal ini menunjukkan bahwa respon probiotik terhadap sekresi interleukin -8 selain bersifat strain dependent juga bersifat dose dependent. Adanya peningkatan sekresi interleukin-8 menandakan bahwa isolat tersebut mempunyai kemampuan dalam respon imun seluler, dimana pada respon imun tersebut pertahanan terhadap mikroorganisme intra dan ekstraseluler dilakukan melalui sekresi limfokin seperti interferon dan interleukin. Untuk mengetahui kemampuan isolat tersebut terhadap respon imun seluler, sebaiknya diuji lebih lanjut pengaruhnya terhadap sekresi interleukin -10. Menurut Donglai Ma et al. (2004), interleukin-10 merupakan anti-inflamatory cytokine. Kedua respon ini sebenarnya mempunyai arti yang baik tergantung pada aplikasi yang diinginkan. Pada penyakit tertentu dimana sel-sel berada dalam kondisi inflamasi (seperti pada kasus Inflamatory Bowel Disease), maka penurunan sekresi interleukin-8 lebih diharapkan (Bai, 2004). Pada kondisi tersebut, suplementasi probiotik dapat membantu mengatasi penyakit ini. Sedangkan pada saat kondisi tubuh melemah, maka pemberian probiotik pada dosis yang tepat dapat memicu peningkatan kekebalan tubuh.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Isolat BAL yang diuji memiliki ketahanan yang baik terhadap pH rendah dan dari hasil analisis ragam diketahui terdapat perbedaan nyata dari masing -masing isolat terhadap pH rendah. Enam belas isolat mampu tumbuh pada pH 2,5 selama 90 menit dengan penurunan jumlah koloni yang bervariasi (antara 0,73-2,83 unit log/ml), sedangkan 4 isolat tidak mampu tumbuh pada pH rendah yaitu isolat FNCC 018, T2A, T3 dan TT1. Isolat BAL yang diuji juga memiliki ketahanan yang berbeda untuk tumbuh pada lingkungan yang mengandung garam empedu 1% dan 5%. Pada konsentrasi garam empedu 1%, isolat FS1 memiliki penurunan jumlah koloni yang terkecil yaitu 0,56 unit log/ml, dimana hasil ini berbeda nyata dengan isolat-isolat lainnya. Sedangkan pada konsentrasi garam empedu 5%, isolat FS1 juga memiliki penurunan jumlah koloni yang terkecil yaitu 0,56 unit log/ml. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05) antara konsentrasi garam empedu yang digunakan terhadap ketahanan dari masing-masing isolat terhadap garam empedu. Jadi penggunaan konsentrasi garam empedu 1% dan 5% tidak berpengaruh terhadap ketahanan masing -masing isolat. Tetapi terdapat perbedaan nyata (p<0,05) dari masing -masing isolat terhadap ketahanan terhadap garam empedu. Hal ini membuktikan bahwa masing-masing isolat bersifat strain dependent. Isolat BAL yang diuji memiliki aktivitas antagonistik terhadap patogen enterik dengan derajat penghambatan yang berbeda-beda. Kisaran diameter penghambatan isolat BAL terhadap Escherichia coli adalah 4,7–6,8 mm, dan
Staphylococcus aureus adalah 3,8–7,2 mm. Isolat FNCC 018 menunjukkan penghambatan tertinggi terhadap kedua bakteri patogen tersebut. Diameter penghambatan terhadap Bacillus cereus adalah dan 3,5–7,2 mm, dimana penghambatan terbesar oleh isolat SK2. Berdasarkan pada uji ketahanan terhadap asam dan garam empedu serta aktivitas antagonis terhadap patogen enterik, maka isolat BAL yang terpilih sebagai probiotik dan diuji kemampuan penempelannya pada lempeng SS adalah WT2, WT1, SK2, SK3 dan FS. Dari uji penempelan tersebut, semua isolat mampu menempel dengan baik pada lempeng SS. Isolat yang paling menempel adalah WT1 yaitu 4,9 log sel per cm2 , disusul oleh WT2 (4,8 log sel per cm2), SK3 (4,8 log sel per cm2), SK2 (4,7 log sel per cm2) dan FS1 (4,4 log sel per cm2 ). Hasil uji pengaruh bakteri probiotik terhadap sekresi interleukin-8 dari alur sel HCT 116 menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan peningkatan sekresi interleukin-8
dengan
meningkatnya
konsentrasi
bakteri
probiotik
yang
ditambahkan. Namun demikian, isolat SK3 dan WT1 pada konsentrasi 107 dan 108 cfu/ml dapat menurunkan sekresi interleukin-8 dari alur sel HCT 116 jika dibandingkan dengan kontrol, sebaliknya pada konsentrasi 109
mampu
meningkatkan sekresi interleukin-8. Hal ini menunjukkan bahwa respon probiotik terhadap sekresi interleukin -8 selain bersifat strain dependent juga bersifat dose dependent.
Saran Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi isolat BAL yang berpotensi sebagai probiotik yang dihasilkan dari penelitian ini dan akan lebih baik pula jika dilakukan identifikasi terhadap senyawa antimikroba yang
dihasilkan. Isolat SK3 dan WT1 mempunyai potensi untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai imunomodulator. Untuk itu perlu penelitian lebih mendalam untuk mempelajari kemungkinan penerapan isolat tersebut untuk terapi penyakit Inflamatory Bowel Disease (IBD). Untuk mengetahui efek isolat probiotik terhadap respon imun seluler, maka perlu dilihat pengaruh isolat tersebut terhadap sekresi interleukin-10.
DAFTAR PUSTAKA
Bai AP, Q Ouyang, W Zhang, CH Wang dan SF Li. 2004. Probiotics inhibit TNFá-induced interleukin-8 secretion of HT29 cells. World Journal Gastroenterology. 10(3) : 455-457 Bender GR dan RE Marquis. 1987. Membran ATP-ase and acid tolerance of Actinomyces viscosus and Lactobacillus casei. Applied And Environmental Microbiology. 59(12) : 2124-2128 Bernett MF, D Brassart, JR Neeser dan AL Servin. 1993. Adhesion of human Bifidobacteria strains to cultured human intestinal epithelial cells and inhibition of Enteropathogen-cell interaction. Applied And Environmental Microbiology. 59(12) : 4121-4128 Brady LJ, Gallaher DD dan Busta FF. 2000. The role of probiotic cultures in the prevention of colon cancer. Journal Nutrition. 130 : 410S-414S Chateu N, I Castenallos dan AM Deschamps. 1993. Heterogeneity of bile salt resistance in the Lactobacilllus isolates of a comercial probiotic consortium. Journal Applied Microbiology. 84 : 759-768 Chou LS dan B Weimer. 1999. Isolation and characterization of acid and bile tolerant isolates from strains of Lactobacillus acidophilus. Journal Dairy Science. 62 : 23-31 Corzo G, Gilliland SE. 1999. Measurement of bile salt hydrolase activity from Lactobacillus acidophilus based on dissapearance of conjugated bile salts. Journal Dairy Science. 82 : 466-471 Davidson PM dan DG Hoover. 1993. Antimicrobial component from lactic acid bacteria. Di Dalam : Salminen S dan AV Wright. Lactic Acid Bacteria. Marcell Dekker. Inc. New York Dewanti R. 1995. Studies on Biofilm Formation by Escherichia coli O157:H7. Disertasi. University of Wisconsin-Madison Donglai Ma, P Forsythe dan J Bienenstock. 2004. Live Lactobacillus reuteri is essential for the inhibitory effect on tumor necrosis factor alpha-induced interleukin-8 expression. Infection and Immunity. 72(9) : 5308-5314 Drago L, MR Gismondo, A Lombardi, C de Haen, dan L Gozzini. 1997. Inhibition of in vitro growth of Enteropathogens by New Lactobacillus isolates of human intestinal origin. FEMS Microbiology Letters. 153 : 455-463
Drouault S, G Corthier, SD Erlich dan P Renault. 1999. Survival physiology and lysis of Lactococcus lactis in the digestive tract. Applied And Environmental Microbiology. 65 : 4881-4886 Elida M. 2002. Profil bakteri asam laktat dari dadih yang difermentasi dalam berbagai jenis bambu dan potensinya sebagai probiotik. Tesis. Institut Pertanian Bogor : Program Studi Ilmu Pangan Erickson KL dan Hubbard NE. 2000. Probiotic imunomodulation in health and disease. Journal Nutrition. 130 : 403S-409S Evanikastri. 2003. Isolasi dan karakterisasi bakteri asam laktat dari sampel klinis yang berpotensi sebagai probiotik. Tesis. Institut Pertanian Bogor : Program Studi Ilmu Pangan Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi pangan I. PT Gramedia, Jakarta Fuller R. 1989. Probiotic in man and animals. Journal Applied Bacteriology. 66 : 365-378 Furushiro M, Hashimoto S, Hamura M dan Yokokura T. 1993. Mechanism of the antihypertensive effect of a polysaccharide-glycopeptide complek from Lactobacillus casei in spontaneously hypertensive rats (SHR). Bioscience Biotechnology Biochemistry. 57 : 978-981 Frazier WC dan DC Westhoff. 1988. Food Microbiology. 4th ed. Mc Graw-Hill Book Co., New York Gallaher DD, Khil J. 1999. The effect of synbiotics on colon carcinogenesis in rats. American Society for Nutritional Sciences Greene JD dan TR Klaenhammer. 1994. Factors involved in adherence of Lactobacilli to human Caco-2 cells. Journal Applied and Environmental Microbiology. 60(12) : 4487-4494 Harrigan WF dan ME Mc Cance. 1976. Laboratory Methods in Food and Dairy Microbiology. Academic Press. New York Havenar R, BT Brink dan JHJ Huis in’t Veld. 1992. Selection of strains for probiotic use. Di Dalam : Fuller R, editor. Probiotics : The Scientific Basic. Chapman & Hall. London Hutkins RW, Nannen NL. 1993. pH homeostatis in lactic acid bacteria. Journal Dairy Science. 76 : 2354-2365 Jacobsen CN, VR Nielsen, AE Hayford, PL Moller, KF Michaelsen, AP Erregaard, B Sandstrom, M Tvede dan M Jakobsen. 1999. Screening of
probiotic activities of forty seven strains of Lactobacillus spp. by in vitro techniques and evaluation of the colonization ability of five selected strains in human. Applied And Environmental Microbiology. 65 : 49494956 Jay JM. 1996. Modern Food Microbiology. Cha pman and Hall. New York, USA Jin LZ, YW Ho, N Abdullah, MA Ali dan S Jalaludin. 1996. Antagonistic effect of intestinal Lactobacillus isolates on pathogens of chicken. Letters in Applied Microbiology. 23 : 67-71 Kimoto H, J Kurisaki, NM Tsuji, S Ohmomo dan T Okamoto. 1999. Lactococci as probiotic strains : adhesion to human enterocyte-like Caco-2 cells and tolerance to low pH and bile. Letters in Aplied Microbiology. 29 : 313-316 Klaenhammer TR. 2000. Probiotic bacteria : Today and Tomorrow. Journal Nutrition. 130 : 415S-416S Kozaki M. 1998. Microorganism and their function in “Tradisional Fermented Food” in Southeast Asia. Proceeding of International Conference on Asia Network on Microbial Researches. Yogyakarta, 23th-25t h February Kresno KB. 1996. Imunologi : diagnosis dan prosedur laboratorium. Edisi ketiga. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta Kuby J. 1992. Immunology. WH Freeman and Company. New York Kusumawati N. 2002. Seleksi bakteri asam laktat indigenus sebagai galur probiotik dengan kemampuan mempertahankan keseimbangan mikroflora usus feses dan mereduksi kolesterol serum darah tikus. Tesis. Institut Pertanian Bogor : Program Studi Ilmu Pangan Liao CC, AE Yousef, GW Chism dan ER Richter. 1994. Inhibition of S. aureus in buffer, culture media in food by lacidin A, a bacteriocin produced by Lactobacillus acidophilus OSV 133. Journal Food Safety. 4(2) Lin M, Savaiano Y dan Harlander S. 1991. Influence of nonfermented dairy product containing bacterial starter cultures on lactose maldigestion in huma ns. Journal Dairy Science. 74 : 87-95 Lohner K. 2001. Development of novel antimicrobial agents : emerging strategies. Horizon Scientific Press, Wymondham, UK Mitsuoka T. 1990. Profile of intestinal bacteria : our lifelong partners. Yakult Honsa co. Ltd
Morata VI, Silvia N Gonzalez dan G Oliver. 1999. Study of adhesion of Lactobacillus casei CRL 431 to ileal intestinal cells of mice. Journal Food Protection. 62 : 1430-1434 Morita H, Fang He, T Fuse, AC Ouwehand, H Hashimoto, M Hosoda, K Mizumachi dan J Kurisaki. 2002. Adhesion of lactic acid bacteria to Caco2 cells and their effect on cytokine secretion. Microbiol Immunol. 46(4) : 293-297 Naidu AS dan RA Clemens. 2000. Probiotics. Di Dalam Natural Food Antimicrobial Systems. Naidu AS (Ed). CRC Press, LLC Neish AS, AT Gewirtz, H Zeng, AN Young, ME Hobert, V Karmali, AS Rao dan JL Madara. 2000. Prokaryotic regulation of epithelial responses by inhibition of ikappa B-alpha ubiquitination. Science. 289 : 1560-1563 Ngatirah A, Harmayanti ES dan T Utami. 2000. Seleksi bakteri asam laktat sebagai agensia probiotik yang berpotensi menurunkan kolesterol. Di Dalam : Prosiding Seminar Nasional Industri Pangan. PATPI (II) : 63-70 Nissen-Meyer J, Holo H, Havastein S, Sketten K, Nes IF. 1992. A novel lactococcal bacteriocin whose activity depend on the complementary action of two peptides. Journal Bacteriology. 174 : 5686-5692 Ouwehand AC, PV Kirjavainen, C Shortt dan S Salminen. 1999. Probiotic : Mechanism and established effect. International Dairy Journal. 9 : 43-52 Ouwehand AC. 1998. Antimicrobial components from lactic acid bacteria. Di Dalam : Salminen S dan AV Wright. Lactic Acid Bacteria. Marcell Dekker Inc. New York Pelczar MC, ECS Chan dan Krieg NR. 1993. Microbiology Concept and Application. Mc Graw-Hill, Inc., New York Purwandhani SN, ES Rahayu dan E Harmayani. 2000. Isolasi Lactobacillus yang berpotensi sebagai probiotik. Di Dalam : Prosiding Seminar Nasional Industri Pangan. PATPI (II) : 125-133 Rahayu ES. 2004. Makanan fermentasi dan probiotik. Pusat Studi Pangan dan Gizi, Universitas Gajah Mada Rahayu ES, Djafar TF, Wibowo D dan Sudarmadji S. 1996. Lactic acid bacteria from indigenus fermented foods and their antimicrobial activity. Journal Indonesian Food & Nutrition Progress. 3 : 21-27 Ray B. 1996. Probiotic of lactic acid bacteria. Science or Myth. Di Dalam: NATO ASI Series, editor. Lactic acid bacteria. Current advances in metabolism, genetic and application. Volume V(98). Springer-Verlag. Germany
Reid G. 1999. The Scientific basic for probiotic strains of Lactobacillus. Minireview. Applied And Environmental Microbiology. 65 : 3763-3766 Reiter B, G Harnulv. 1984. Lactoperoxidase antibacterial system : natural occurrence, biological function and practical applications . Journal Food Protect. 47 : 724-732 Roitt IM. 1991. Essential Immunology. Blackwell Scientific Publication. London
Rolfe RD. 2000. The role of probiotic culture in the control of gastrointestinal health. Journal Nutrition. 130 : 396S-402S Salminen S dan Deighton M. 1992. Lactic acid bacteria in the gut in normal and disordered states. Digestive disease. 10 : 227-238 Salminen S, M Deighton, dan S Gorbach. 1993. Lactic Acid Bacteria in Health and Disease. Di Dalam : Salminen, S. dan AV Wright, editor. Lactic Acid Bacteria Salminen S, A Ouwehand, Y Beno dan YK Lee. 1999. Probiotic : how should they be defined?. Trends in Food Science and Technology Salminen S dan AV Wright. 1998. Lactic Acid Bacteria. Marcell Dekker Inc. New York Sanders ME. 2000. Consideration for use of probiotic bacteria to modulate human health. Journal Nutrition. 130 : 384S-390S Senjani D. 2002. Pembentukan biofilm oleh isolat lokal bakteri asam laktat pada permukaan stainless steel [Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Fakultas Teknologi Pertanian Siegumfeldt H, Rechninger BK, Jacobsen M. 2000. Dynamic changes of intracellular pH in individual lactic acid bacterium cells in response to a rapid drop in extracellular pH. Applied and Environmental Microbio logy. 66 : 2330-2335 Smet ID, L van Hoorde, MV Woestyne, H Christiaens dan W Verstraete. 1995. Significance of bile salt hydrolytic activities of lactobacilli. Journal Applied Bacteriology. 79 : 292-301 Syafia R. 2002. Penempelan dan pembentukan biofilm bakteri asam laktat pada permukaan stainless steel dan pengujian sifat hidrofobisitasnya [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Fakultas Teknologi Pertanian
Stites DP, Terr AL and Parslow TG. 1997. Medical Immunology. 9 Singapore. Simon & Schuster Co
th
ed.
Talarico TL, Dobrogosz WJ. 1989. Chemical caracterization of an antimicrobial substances produced by L. reuteri. Antimicrobial Agents Chemother. 33 : 674-679 Tannock GW. 1990. The microecology of Lactobacilli inhibiting the gastrointestinal tract. Advance Microbiology Ecology. 11 : 147 Timmerman H. 1995. Relationship between structure and inhibition of lipoxygenase activity of curcumin derivatives. Di dalam : Recent development in curcumin phamacochemistry. Proceeding of the International Symposium on Curcumin Pharmacochemistry (ISCP). Fakultas Farmasi UGM Yogyakarta Triputro A. 2002. Penempelan dan pembentukan biofilm bakteri asam laktat pada permukaan stainless steel dan pengujian kandungan polisakarida ekstraselulernya [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Fakultas Teknologi Pertanian Todoriki M, T Mukai, S Sato dan T Toba. 2001. Inhibition of adhesion of foodborne pathogen to caco-2 cells by Lactobacillus strains. Journal Applied Microbiology. 91 : 154-159 Tzianabos AO. 2000. Polysaccharides immunomodulatory as therapeutic agents : structural aspect and biological function. Clin Microbiol Review. 523-533 Vanderhoof JA, Whitney DB dan Antonson DL. 1999. Lactobacillus GG in prevention of antibiotic associated diarrhea in children. Journal Pediatric. 135-143 Vesa T, Marteau H, Briet F, Pochart F and Rambaud JC. 1996. Digestion and tolerance of lactose from yogurt and different semisolid fermented dairy product containing Lactobacillus acidophilus and Bifidobacteria. Europe Journal Clinical Nutrition. 50 : 730-733 Vuys L de, Vandamme EJ. 1994. Antimicrobial potential of lactic acid bacteria. Di dalam : De Vuys L, EJ Vandamme. Bacteriocins of lactic acid bacteria : microbiology, genetic and application. London : Blackie Academic & Profesional Wirawati CU. 2002. Potensi bakteri asam laktat yang diisolasi dari tempoyak sebagai probiotik. Tesis. Institut Pertanian Bogor : Program Studi Ilmu Pangan Yu B dan HY Tsen. 1993. Lactobacillus cells in the rabbit digestive tract and the factors affecting their distribution. Journal Applied Bacteriology. 75 : 269275
Zavaglia AG, G Kociubinski, P Perez dan G De Antoni. 1998. Isolation and characterization of Bifidobacterium strains for probiotic formulation. Journal Food Protect. 61(7) : 865-873