KERAGAMAN GENETIK GEN HORMON PERTUMBUHAN (GH) DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS KARKAS PADA SAPI ACEH
Eka Meutia Sari
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Keragaman Genetik Gen Hormon Pertumbuhan dan Hubungannya dengan Kualitas Karkas pada Sapi Aceh adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, April 2011
Eka Meutia Sari NIM D161080021
ABSTRACT
EKA MEUTIA SARI. Genetic Polymorphism of Growth Hormone (GH) in Association with Carcass Quality of Aceh Cattle. Under the supervision of RONNY RACHMAN NOOR, CECE SUMANTRI, and ENDANG TRI MARGAWATI. This study was conducted in order to identify polymorphism of growth hormone gene and to characterize nucleotide changes and its position in the DNA sequence of the exon five in the bovine growth hormone gene. In addition, this study was done to determine the association of GH/AluI polymorphism with carcass quality and to describe D-Loop of mtDNA and microsatellite alleles in Aceh cattle. A total of 242 DNA genome samples were extracted from four Aceh cattle population, i.e., Banda Aceh (29), Aceh Besar (30), Indrapuri (129), and Saree (54), while for sample comparison was derived from the Gen Bank. The bGH gene was sequenced to identify new single nucleotide polymorphism (SNP). The sequence data were analyzed using BLAST and MEGA 4 software, and the PCR-RFLP was used to amplify 404 bp of GH gene. D-Loop sequences of mtDNA amplification were done by using specific primer with the PCR product of 980 bp, and the dnaSP program was used to build the NJ tree and to identify the haplotype. Three markers of BM1824, SPS115, and ILSTS028 were used for microsatellite DNA genotyping. The data of genotyping was analyzed using GeneMapper versi 4.0 software and Excel program. The result showed that one new SNP was found in the exon five of bGH gene, which located at position of 2.230 bp (C/T). Genotype frequencies of SNP in position 2.230 bp of Aceh cattle were 0.36; 0.14; and 0.50; for CC, TT, and CT respectively. On the contrary, the LL genotype was the only genotype which found in other Aceh cattle population. This finding indicated that there was not evidence of polymorphism of GH/AluI in Aceh cattle, and there was not correlation of GH/AluI gene with carcass quality of Aceh cattle. It could be affected by small number of sampling size. D-Loop mtDNA analyses showed that there was 27 haplotypes, and 28 Aceh cattle integrated into group of Buthan, China, India, and Zebu cattle with maternal origin of Bos indicus and one sample was from Bos taurus. These finding could be assumed that Aceh cattle has more genetic introgression of Bos indicus compared to that Bos taurus breeds. Microsatellite analyses showed that the average number of allele per locus was 7.6. The genotype of Indrapuri population was higher than those of Banda Aceh and Saree population. Based on the microsatellite alleles analyses, the frequency of C alele locus of SPS115 and ILSTS028 was higher in Indrapuri population. Nevertheless, these locus could be uses for further study to get more information about polymorphism in Indrapuri population. However, this study suggests that GH gene could be possible used as genetic marker. Key words: Aceh cattle, SNPs, GH gene, D-Loop, microsatellite, carcass
RINGKASAN
EKA MEUTIA SARI. Keragaman Genetik Gen Hormon Pertumbuhan (GH) dan Hubungannya dengan Kualitas Karkas pada Sapi Aceh. Dibimbing oleh RONNY RACHMAN NOOR, CECE SUMANTRI dan ENDANG TRI MARGAWATI. Sapi Aceh merupakan salah satu dari tujuh bangsa sapi asli yang ada di Indonesia, selain sapi Pesisir, Bali, Madura, Grati, Sumba Ongole, dan Ongole cross. Sapi Aceh jantan dan betina bertanduk, dengan warna bulu bervariasi yaitu putih, merah bata, hitam. Sapi Aceh resisten terhadap serangan parasit dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di daerah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Meskipun dengan tatalaksana pemeliharaan yang sederhana, tetapi sapi Aceh dapat berproduksi dan melahirkan anak sapi yang sehat dan induknya mampu merawat anak dengan baik. Daging sapi Aceh memiliki serat daging yang halus dan warna daging merah. Populasi sapi Aceh semakin lama semakin menurun, karena persilangan dengan bangsa sapi unggul lainnya, memiliki turunan anak sapi yang berukuran besar dan memiliki nilai jual yang tinggi. Apabila kondisi ini dibiarkan berlangsung, maka keberadaan sapi Aceh akan terancam punah, karena hilangnya sumber daya genetik sapi Aceh. Melestarikan dan mempertahankan keberadaan spesies dan bangsa sapi yang memiliki keunikan sangat diperlukan. Berdasarkan pemikiran tersebut maka dilakukan suatu penelitian yang bertujuan untuk identifikasi polimorfisme gen hormon pertumbuhan (GH) dan karakterisasi perubahan nukleotida dan posisinya di ekson lima pada gen GH, juga membuktikan hubungan polimorfisme gen GH/AluI dengan kualitas karkas pada sapi Aceh. Penelitian ini juga menentukan keragaman genetik D-Loop mtDNA dan DNA mikrosatelit yang berguna sebagai acuan dalam pelaksanaan program pelestarian plasma nutfah sapi Aceh untuk pengembangan dan pemanfaatannya yang berkelanjutan. Jumlah sampel sapi Aceh yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 242 ekor yang berasal dari Banda Aceh (29), Aceh Besar (30), Indrapuri (129) dan Saree (54), serta data sampel sapi pembanding berasal dari Gen Bank. Ekstraksi dan purifikasi DNA total dilakukan menurut metode Sambrook. Primer gen GH yang digunakan berasal dari Gen Bank (kode akses M577641.1). Sekuensing gen GH dilakukan untuk identifikasi adanya perubahan single nucleotide polymorphism (SNP). Data sekuensing dianalisis dengan BLAST dan MEGA 4 software, dan PCR-RFLP digunakan untuk amplifikasi gen GH sepanjang 404 bp. Sekuensing juga dilakukan pada D-Loop dengan produk PCR sepanjang 980 bp. Program dnaSP digunakan untuk pembentukan NJ tree serta untuk identifikasi jumlah haplotipe. Analisa DNA mikrosatelit menggunakan tiga lokus yaitu BM1824, SPS115 dan ILSTS028. Ukuran-ukuran alel mikrosatelit dianalisis dengan program GeneMapper versi 4.0 dan program Excel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan satu SNP baru di ekson lima gen GH, yang berlokasi pada 2.230 bp (C/T). Frekuensi genotipe SNP pada posisi 2.230 bp pada sapi Aceh adalah CC (0.36), TT (0.14) dan CT (0.50).
Selanjutnya, hanya genotipe LL yang dapat diidentifikasikan pada populasi sapi Aceh lainnya, dan frekuensi gen GH/AluI untuk alel L adalah 1. Hasil penemuan ini mengidentifikasikan bahwa belum ada bukti adanya polimorfisme gen GH/AluI pada sapi Aceh, dan membuktikan juga belum ada hubungan antara gen GH/AluI dengan kualitas karkas pada sapi Aceh. Keadaan ini disebabkan karena terbatasnya jumlah sampel yang dimiliki. Namun demikian, dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa gen GH dapat digunakan sebagai marker genetik untuk sapi Aceh. Hasil analisis D-Loop mtDNA menunjukkan bahwa terdapat 27 haplotype, dengan 28 sampel sapi Aceh menyebar luas diantara sampel sapi Buthan, China, India dan Zebu yang memiliki turunan Bos indicus dan hanya satu sampel yang memiliki turunan Bos taurus. Fenomena ini dapat diasumsikan bahwa sapi Aceh memiliki introgresi genetik dari Bos indicus dan Bos taurus. Hasil analisis DNA mikrosatelit menunjukkan, bahwa rataan alel per lokus adalah 7.6. Sapi Aceh memiliki derajat heterozigositas yang tinggi. Populasi sapi Aceh yang berasal dari Indrapuri memiliki genotipe yang lebih banyak dari populasi yang berasal dari Banda Aceh dan Saree. Hasil analisis alel mikrosatelit, frekuensi alel C pada lokus SPS115 dan ILSTS028 adalah tinggi pada populasi sapi Aceh di Indrapuri. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disarankan bahwa lokus-lokus mikrosatelit ini dapat digunakan sebagai genetik marker pada populasi sapi Aceh di Indrapuri. Kata kunci: sapi Aceh, SNPs, GH gene, D-Loop, mikrosatelit, karkas
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KERAGAMAN GENETIK GEN HORMON PERTUMBUHAN (GH) DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS KARKAS PADA SAPI ACEH
Eka Meutia Sari
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Penelitian
: Keragaman Genetik Gen Hormon Pertumbuhan (GH) dan Hubungannnya dengan Kualitas Karkas pada Sapi Aceh
Nama
: Eka Meutia Sari
NRP
: D161080021
Program Studi/Mayor
: Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc Ketua
Prof. Dr.Ir.Cece Sumantri, M.Agr.Sc Dr. Ir. Endang Tri Margawati, M.Agr.Sc Anggota Anggota
Diketahui
Koordinator Mayor
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Ilmu dan Teknologi Peternakan
Institut Pertanian Bogor
Dr.Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
PRAKATA
Alhamdullilah dan segala puji bagi Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Keragaman Genetik Gen Hormon Pertumbuhan (GH) dan Hubungannya dengan Kualitas Karkas pada Sapi Aceh. Salah satu alasan yang melatarbelakangi penelitian ini adalah pengamatan penulis terhadap keberadaan sapi Aceh yang sangat sulit ditemukan. Hal ini disebabkan karena peternak lebih menyenangi memelihara ternak yang menghasilkan anak sapi yang berukuran besar, sehingga banyak peternak mengawinkan ternaknya dengan bangsa sapi unggul, sementara sapi Aceh berdasarkan pertumbuhan ukuran tubuhnya, semakin lama semakin kecil. Apabila keadaan ini berlangsung terus menerus, kemungkinan keberadaan sapi Aceh akan semakin sulit ditemukan, sehingga diperlukan suatu pemikiran untuk dapat melestarikan keberadaan sapi Aceh. Melakukan karakterisasi keragaman genetik pada sapi Aceh merupakan suatu cara untuk dapat melestarikan keberadaan sapi Aceh. Karakterisasi genetik sapi lokal Indonesia sebenarnya telah lama dilakukan dan beberapa hasilnya telah dipublikasikan, diantaranya berdasarkan perbedaan golongan darah dan protein darah. Hasilnya bahwa sapi Bali memiliki alel HbX pada golongan darahnya yang tidak dimiliki sapi lokal lain. Tetapi, studi karakterisasi genetik di tingkat molekuler masih sangat kurang. Adanya pertimbangan perkembangan yang cepat pada sejumlah penciri genetik molekuler yang lebih akurat dibandingkan fenotipik, maka penggunaan marka ini akan sangat membantu dalam penanganan manajemen sistem seleksi pada ternak sapi potong. Informasi tentang alel-alel spesifik dari data molekuler sapi lokal Indonesia masih sangat terbatas. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya alel spesifik untuk sapi Bali pada lokus mikrosatelit INRA 023, HEL9 dan INRA 035 dibandingkan sapi Bos taurus (Simmental, Limousin, dan Brangus). Demikian pula hasil studi berdasarkan 16 lokus penciri mikrosatelit memberikan gambaran awal tentang hubungan genetik antara sapi Aceh, Bali, Madura, dan PO. Penggunaan gen GH sebagai marker genetik telah banyak digunakan dalam penelitian untuk melihat keterkaitan polimorfisme gen GH dengan sifat produksi, karena keragaman gen GH tersebut ditunjukkan dengan adanya polimorfisme pada situs tertentu yang kemungkinan ekspresi gen GH tersebut berhubungan dengan sifat produksi. Gen GH merupakan gen yang menyandi hormon pertumbuhan sebagai produknya dan terletak pada kromosom 19 pada ternak sapi. Namun hasil penelitian tersebut belum menunjukkan adanya hubungan antara penciri gen GH dengan sifat-sifat ekonomis sapi lokal, terutama terhadap kualitas karkas dan daging. Penelitian ini dapat terlaksana karena adanya dukungan dari semua pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr. Sc dan Dr. Ir. Endang Tri Margawati, M.Agr. Sc. sebagai Anggota Komisi Pembimbing, yang telah mendukung, membimbing dan meluangkan waktu serta pikirannya, sejak perancangan penelitian, penulisan proposal sampai terselesaikannya penulisan karya ilmiah ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Syiah Kuala atas izinnya untuk melanjutkan pendidikan Doktor di IPB. Terimakasih kepada Dikti atas dukungan dana pendidikan BPPS. Kepada Gubernur NAD yang telah memberikan bantuan dana penelitian. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada Ir. Ahmady sebagai Kepala BPTU Indrapuri, Ir Asnawi (STPP Saree), Dr. Yunus M.Agr.Sc (Dinas Peternakan Kabupaten Aceh Besar), drh. Ronny (RPH Kotamadya Banda Aceh) dan Bambang S.Pt yang telah membantu dalam pengambilan sampel darah dan daging sapi Aceh. Kepada seluruh staf di BPTU Indrapuri dan STPP Saree penulis ucapkan terima kasih atas bantuannya selama pengambilan sampel darah. Terimakasih kepada Kepala Bagian dan Staff Laboratorium Genetika Molekuler Ternak Bag. Pemuliaan dan Genetika Fapet IPB, atas segala fasilitas alat dan bahan yang dapat penulis gunakan untuk ekstrasi DNA, kepada Eryk Andreas, S.Pt, MSi, Restu Misrianti, S.Pt atas bantuannya selama melakukan ekstraksi DNA. Rasa terimakasih penulis ucapkan kepada guru yang senantiasa memberi semangat, bimbingan dan diskusi yang sangat berharga Prof. Gunawan, MS, Ir. Hasan Basri, MS, dan Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA. Kepada Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA sebagai Koordinator Mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan yang senantiasa memberikan bimbingan dan pemikiran yang sangat bermanfaat bagi penulis. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Prof. Han Jianlin selaku kepala CAAS (Chinese Academy of Agriculture Sciences) – ILRI Beijing – China, yang telah mengizinkan penulis melakukan research di Lab CAAS sebagai visiting scientist. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada Dikti atas beasiswa yang diberikan untuk program Sandwich ke Beijing, sehingga penulis dapat menyempurnakan penelitian di laboratorium. Terimakasih juga kepada Yayasan Toyota Astra atas bantuan dana penelitian dan SEARCA atas Thesis Grant yang diberikan kepada penulis. Terima kasih kepada Dr. Ir. Chalid Talid, MS dan Dr. Ir. Dedy Duryadi, DEA sebagai penguji luar komisi dan Dr. Ir. M. Yamin, M.Agr Sc sebagai pimpinan sidang pada ujian tertutup saya. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh teman dan kolega. Akhirnya, ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ayahanda H. Sadi Lubis (Alm), Ibunda Hj. Saadah AK (Alm) yang selalu memberikan nasehat bahwa ilmu pengetahuan merupakan harta yang sangat berharga, maka selalu belajarlah, adinda Elin Nita Sari Lubis SH dan Zul Azhar SE, adinda Drs. Nata Kurniawan Lubis dan Cut Maysarah SE, adinda Aldini Inda Sari Lubis. S.Pt (Alm), Ayahanda Husein Maun (Alm), Ibunda Nursyiah Taher (Alm), kakanda Dra. Mutmainah. MA, kakanda Dra. Ratna Sari, kakanda Dra. Mustabsyirah, MA, kakanda Ir. Ulil Azmi, kakanda Siti Bararah SH, kakanda dr. Siti Safarah, M.Sc (alm), adinda Abdul Qudus SH, dan adinda dr.Abdul Muhaimin M.Sc. Karya tulis ini penulis persembahkan kepada suami tercinta Abdul Qawi A.Md serta ananda Nabilah Putroe Agung, ananda Dwi Putroe Naulia, dan ananda Salsabilah Putroe Wieka atas pengertian, kesabaran dan doanya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dan kemajuan ilmu peternakan di Indonesia dan khususnya di Nanggroe Aceh Darussalam serta para pembaca. Bogor, April 2011 Eka Meutia Sari
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banda Aceh 24 Desember 1967 sebagai anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan H. Sadi Lubis (Alm) dan Hj. Saadah AK (Alm). Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Negeri 1 Banda Aceh (1980), SMP Negeri 1 Banda Aceh (1983), dan SMA Negeri 1 Banda Aceh (1986). Pada tahun 1986 penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala jurusan Peternakan Prodi Produksi Ternak dan pada tahun 1989 penulis mendapatkan beasiswa TID (Tunjangan Ikatan Dinas) dan lulus sebagai Sarjana peternakan pada tahun 1991. Pada tahun 1992 penulis diangkat menjadi Staff Pengajar di jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Unsyiah dalam bidang studi Ilmu Pemuliaan dan Genetika Ternak. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Master of Agriculture Science di University of New England, Armidale Australia NSW pada tahun 1997 – 1998 setelah penulis mendapatkan beasiswa dari pemerintahan Australia berupa Australian Development Scholarship (ADS) dalam bidang Quantitative Genetics. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan Doktor pada Institut Pertanian Bogor (IPB) pada program Mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan dengan beasiswa pendidikan dari BPPs Dikti Jakarta. Pada tahun 2009 penulis mendapatkan beasiswa program Sandwich dari Dikti dan penulis memperoleh kesempatan untuk melakukan penelitian di Laboratorium CAAS (Chinese Academy of Agriculture Sciences) – ILRI (International Livestock Research Institute) JLLFGR (Joint Laboratory on Livestock and Forage Genetic Resources) Beijing – China sebagai visiting scientist. Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul Identification of Genotype DNA Microsatellite in Association with Performance of Indonesian Aceh Cattle pada Journal of Genetic Engineering and Biotechnology (JGEB) National Research Centre, Cairo, Egypt, Vol. 8 No 1 2010. Artikel lain tentang D-Loop dan gen GH sedang dalam tahap penyelesaian. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL...........
..........................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR......
..........................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN...
..........................................................................
xvi
PENDAHULUAN........... ..........................................................................
1
Latar Belakang..................................................................................
1
Tujuan Penelitian...............................................................................
4
Manfaat Penelitian.............................................................................
4
Hipotesis............................................................................................
5
TINJAUAN PUSTAKA.. ..........................................................................
7
Sumber Daya Genetik Ternak Lokal Indonesia................................
7
Karakteristik Sapi Aceh....................................................................
8
Gen Hormon Pertumbuhan................................................................
10
Penanda Molekuler............................................................................
12
Faktor yang Berpengaruh pada Kualitas Daging dan Karkas..........
13
METODOLOGI PENELITIAN......
............................................................
15
Waktu dan Tempat Penelitian…………………………...………....
15
Sampel Darah Sapi Aceh………………………………....……......
15
Sampel Daging Sapi Aceh……………………………....…….........
16
Ekstraksi DNA Genom (Darah)…...………………………....….....
17
Ekstraksi DNA Genom (Daging).…………………………....….....
17
Identifikasi Single Nucleotide Polymorphism (SNP)..................…..
18
Identifikasi D-Loop…………………………………………….......
20
Identifikasi DNA Mikrosatelit……………………………………..
21
Identifikasi Gen GH/AluI.................................................................... HASIL DAN PEMBAHASAN.....
23
..............................................................
27
Identifikasi Single Nucleotide Polymorphism (SNP) Gen GH............
27
Identifikasi D-Loop.............................................................................
31
Identifikasi DNA Mikrosatelit.............................................................
41
Hubungan Kualitas Karkas Sapi Aceh dengan Gen Hormon Pertumbuhan (GH)..............................................................................
48
Pembahasan Umum...........................................................................
52
SIMPULAN DAN SARAN.. .......................................................................
57
DAFTAR PUSTAKA........... ......................................................................
59
DAFTAR TABEL Halaman 1 Jumlah sampel daging yang digunakan untuk analisis gen GH/SNP....
16
2 Jumlah sampel darah yang digunakan untuk analisis D-Loop..............
16
3 Jumlah sampel darah yang digunakan untuk analisis mikrosatelit........
16
4 Jumlah sampel daging yang digunakan untuk analisis gen GH/AluI....
17
5 Basa primer GH/AluI (Gen Bank M57764.1, Gordon et al. 1983).......
19
6 Basa primer D-Loop.............................................................................
20
7 Basa primer mikrosatelit lokus BM 1824, SPS 115 dan ILSTS 028....
21
8 Basa primer GH/AluI (Gen Bank M57764.1, Gordon et al. 1983).......
23
9 Variasi sekuen di daerah promotor dan ekson dari gen GH pada sapi..
28
10 Frekuensi alel dan genotipe SNP gen GH sapi Aceh pada posisi basa ke 2.291 bp............................................................................................
29
11 Frekuensi alel dan genotipe SNP gen GH sapi Aceh pada posisi basa ke 2.230 bp...........................................................................................
29
12 Maternal origin dari beberapa bangsa sapi...........................................
32
13 Persentase komposisi nukleotida D-Loop sapi Aceh..........................
35
14 Persentase komposisi nukleotida D-Loop sapi Aceh, Buthan, China India dan Zebu......................................................................................
36
15 Rataan jarak genetik sapi Aceh, Buthan, China, India dan Zebu berdasarkan metode 2 parameter Kimura..............................................
37
16 Genotipe, jumlah sampel dan frekuensi lokus BM1824 sapi Aceh......
41
17 Genotipe, jumlah sampel dan frekuensi lokus SPS115 sapi Aceh.......
42
18 Genotipe, jumlah sampel dan frekuensi lokus ILSTS028 sapi Aceh....
44
19 Kisaran ukuran alel, jumlah alel dan heterozigositas pada tiga lokus mikrosatelit pada sapi Aceh
45
20 Nilai heterozigositas lokus BM1824, SPS115, ILSTS028 sapi Aceh...
46
21 Perbandingan jumlah alel per lokus pada berbagai penelitian..............
47
22 Hasil analisa kualitas daging dan karkas sapi Aceh..............................
50
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Kerangka pemikiran alur penelitian.....................................................
6
2 Sapi Aceh di BPTU Indrapuri NAD...............................................
9
3 Grafik hasil elektroforesis Genetic Analyzer Applied Biosystem 3130x...................................................................................................
22
4 Posisi mutasi basa ke 2.230 bp pada gen GH ekson lima....................
30
5 Sketsa letak penempelan primer Forward dan Reverse untuk mengamplifikasi fragmen daerah D-Loop sapi Aceh.........................
31
6 Sketsa daerah D-Loop hasil perunutan 230 bp sekuen sapi Aceh, Buthan, China, India dan Zebu...........................................................
33
7 Konstruksi Median Joining Network dari 230 bp D-Loop sekuen sapi Aceh (kuning), Zebu dari Indonesia (biru), Zebu dari China (merah), India (pink) dan Buthan (pink muda)...................................
33
8 Dendogram Neighbour-Joining berdasarkan metode 2 parameter Kimura (230 bp) sapi Aceh, Buthan, China, India dan Zebu dengan pengolahan bootstrap 1000 ulangan...................................................
40
9 Posisi primer forward, primer reverse dan produk PCR gen GH................................................................................................
48
10 Visualisasi hasil amplifikasi ruas gen GH pada gel agarosa 1.5%. M: marker 100 bp, 1-11: Sampel penelitian.......................................
48
11 Visualisai PCR-RFLP ruas gen GH|AluI pada gel agarosa 1.5%. M: marker 100 bp, 1-16: Sampel penelitian.......................................
49
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Jenis kelamin dan nomor DNA sapi Aceh untuk analisa SNP, DLoop dan Mikrosatelit di BPTU Indrapuri...........................................
65
Jenis kelamin, lokasi dan nomor DNA sapi Aceh untuk analisa SNP, D-Loop dan Mikrosatelit dari Banda Aceh dan Saree........................
67
Sekuen sampel dari Gen Bank yang digunakan untuk alignments gen GH.......................................................................................................
68
4
Sekuen dari Gen Bank yang digunakan untuk alignments D- Loop...
69
5
Gen Bank M577641.1..........................................................................
70
6
Hasil BLAST (Basic local alignment search tool) sapi Aceh.............
72
7
Data Haplotype sapi Aceh (908 nt) menggunakan DnaSP Ver.4.10.3............................................................................................
73
Data Haplotype sapi Aceh (230 nt) menggunakan DnaSP Ver.4.10.3.............................................................................................
74
Jumlah nukleotida sapi Aceh, Buthan, China, India dan Zebu setelah disejajarkan dengan nukleotida Bos Taurus (Gen Bank V00645)................................................................................................
80
10
Komposisi nukleotida sapi Aceh, Buthan, China, India dan Zebu......
81
11
Jarak genetik menggunakan metode 2 parameter Kimura pada sapi Aceh, Buthan, China, India dan Zebu.................................................
83
12
Hasil elektroforesis lokus BM1824......................................................
86
13
Hasil elektroforesis lokus SPS115......................................................
87
14
Hasil elektroforesis lokus ILSTS028...................................................
88
2 3
8 9
PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha peternakan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara umum telah dilakukan secara turun temurun meskipun dalam jumlah kecil skala rumah tangga, namun usaha tersebut telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam menunjang pembangunan sub sektor peternakan. Kontribusi tersebut terutama dalam memenuhi kebutuhan penyediaan bahan pangan asal ternak, baik dalam bentuk ternak hidup maupun daging, khususnya kebutuhan domestik dan daerah. Meskipun kontribusi petani peternak cukup menentukan dan memegang peranan penting dalam penyediaan kebutuhan sapi potong, namun belum sepenuhnya mampu menjawab tantangan dan peluang pasar yang cenderung meningkat yang mengakibatkan tingginya harga daging sapi di pasaran Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Persilangan yang semakin luas dan tidak terkontrol terhadap sapi Aceh dengan bangsa sapi eksotik akan memberikan dampak terhadap peningkatan produktivitas sapi-sapi Aceh disatu sisi, namun menurunkan keaslian sapi Aceh. Kekhawatiran ini telah terjadi pada sapi di Lithuania (Eropah Timur) yang terancam punah (Maleviciute et al. 2002) akibat persilangan yang disengaja tetapi tidak terstruktur. Bahkan beberapa sapi asli di negara India telah punah sebelum sapi ini diidentifikasi dan dimanfaatkan (Sodhi et al. 2006). Hal demikian juga ditegaskan oleh FAO (2000) bahwa, sumber daya genetik ternak asli akan punah akibat permintaan pasar, persilangan yang tidak terkendali, pergantian breed (pergantian bangsa sapi yang sudah ada dengan bangsa sapi baru) dan kegiatan mekanisasi pertanian (pergantian penggunaan tenaga sapi dengan tenaga mesin untuk mengolah lahan pertanian). Mempertahankan sumber daya ternak lokal juga penting artinya untuk mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan bagi umat manusia, selain itu juga memperkaya daftar plasma nutfah sebagai sumber protein hewani. Oleh karena itu, dalam rangka mengurangi laju kepunahan, khususnya pada sumber genetik ternak lokal Indonesia, salah satu yang harus dilakukan yaitu menggali informasi genetik melalui upaya karakterisasi keanekaragaman genetik pada ternak lokal tersebut.
2
Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam menentukan tingkat produksi daging pada sapi, sehingga memiliki nilai ekonomi penting dalam budidaya sapi pedaging. Sapi Aceh merupakan salah satu jenis sapi pedaging di Indonesia yang telah dikenal sebagai jenis sapi yang cocok untuk dikembangkan di Indonesia. Sapi Aceh ini dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi lingkungan Indonesia, tahan terhadap iklim tropis, dapat hidup dengan kondisi pakan dan air setempat, dan tahan terhadap keberadaan bakteri dan parasit (Gunawan 1998). Meskipun sapi ini mampu beradaptasi dengan baik, namun produktivitasnya masih rendah jika dibandingkan dengan sapi impor. Melalui peningkatan produktivitas sapi lokal Indonesia, diharapkan minat para peternak untuk beternak sapi lokal akan meningkat. Dengan demikian, populasi sapi lokal akan meningkat dan dapat mengurangi ketergantungan Indonesia akan daging maupun sapi dari negara lain. Peningkatan produktivitas sapi pedaging Indonesia akan lebih tepat bila dilakukan melalui seleksi yang tidak hanya berdasarkan pada penampakan luar (fenotip), melainkan dikombinasikan dengan seleksi langsung pada tingkat DNA yang mengkodekan fenotip yang ingin diperbaiki kualitasnya. Peta genom pada sapi (bovine genome map) yang dibuat berdasarkan marker pada DNA genom menggunakan teknik molekuler seperti RFLP, mikrosatelit, minisatelit, PCRRFLP, dan PCR-SSCP dimungkinkan untuk mengidentifikasi lokus-lokus gen yang bertanggung jawab terhadap variasi sifat yang memiliki nilai ekonomi. Bruford et al. (2003) menyatakan bahwa diantara beberapa penanda molekuler yang digunakan pada genom inti, mikrosatelit merupakan penanda yang paling banyak digunakan. Hal ini karena mikrosatelit bersifat polimorfik dan sangat informatif, keberadaannya di dalam genom inti relatif banyak dan dapat diamplifikasi melalui PCR. Mikrosatelit telah digunakan untuk menjelaskan pola domestikasi dan migrasi pada sapi Eropa (Loftus et al. 1994) dan karakterisasi populasi ternak sapi dari turunan Bos indicus dan Bos taurus (Beja-Pereira et al. 2003). Lokus-lokus mikrosatelit juga digunakan oleh Machado et al (2003) untuk mengevaluasi keanekaragaman genetik dalam masing-masing bangsa sapi dan perbedaan genetik di antara setiap bangsa, sehingga informasi tersebut dapat
3
digunakan untuk membuat keputusan tentang konservasi pada ternak sapi (Sodhi et al. 2006). Patricia
et
al.
(2002)
mengggunakan
DNA
mitokondria
untuk
membuktikan dan menganalisa variasi dalam dan antarspesies, stuktur populasi dan filogeni. Hal ini juga dibenarkan oleh Muladno (2006) bahwa DNA mitokondria terutama daerah D-loop, sangat baik digunakan untuk analisis keragaman hewan, baik intraspesies maupun antarspesies. Penelitian yang dilakukan oleh Nijman et al. (2003) dan Edwards et al. (2007), penentuan daerah D-loop mtDNA pada sapi telah dapat menunjukkan sejarah sapi, dan hibridisasi yang terjadi pada Banteng dan sapi Madura. Berdasarkan penelitian Abdulah (2008), runutan daerah D-loop DNA mitokondria sapi Aceh berada satu klaster dengan sapi Pesisir dan PO serta mempunyai jarak genetik yang lebih dekat dengan bangsa-bangsa sapi Bos indicus (zebu) dari India, sedangkan sapi Bali dan Madura membentuk klaster sendiri. Dengan menggunakan analisis DNA mikrosatelit dibuktikan bahwa sapi Aceh memiliki klaster yang sama dengan sapi PO dan Pesisir serta satu kelompok dengan sapi Madura. Penanda genetik molekuler yang terbaru yaitu SNP (Single Nucleotide Polymorphism), yang dapat mengidentifikasikan dengan jelas posisi perubahan hanya satu basa nukleotida pada sekuen DNA. Lucy et al. (1993) dan Zhang et al. (1992) menemukan SNP pada ekson lima (codon 127) dimana terjadi perubahan leusina ke valina (CTG – GTG) pada molekul GH. Ge et al. (2003) menggunakan metode sekuensing pada sapi Angus dan menemukan tiga SNP yang baru pada daerah promotor. Yao et al. (1996) mengidentifikasikan SNP pada ekson lima gen GH, dimana terjadi perubahan basa A menjadi basa C. Penggunaan gen GH sebagai marker genetik telah banyak digunakan dalam penelitian, karena gen hormon pertumbuhan (GH) merupakan salah satu gen yang berpengaruh terhadap pertumbuhan (Di Stasio et al. 2005). Casas et al. (2004) melaporkan QTL untuk sifat pertumbuhan, komposisi karkas dan kualitas daging sapi tersebar pada kromosom 1, 2, 3, 16, 17, 19, 20, 21 dan 26. Peran gen GH terhadap performans ternak sapi sangat jelas pengaruhnya (Breier. 1999), sehingga polimorfisme gen GH pada sapi Aceh sangat menarik untuk dikaji.
4
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengindentifikasikan keragaman genetik gen hormon petumbuhan (GH) dan hubungannya dengan kualitas karkas sapi Aceh. Penentuan keragaman genetik ini dapat dipakai sebagai indikator untuk melakukan seleksi genetik sapi Aceh. Perbaikan kualitas karkas dan daging pada sapi Aceh melalui penggunaan marka gen hormon pertumbuhan (GH) dapat meningkatkan nilai ekonomis ternak sapi Aceh. Selanjutnya melestarikan keberadaan sapi Aceh dapat juga dilakukan dengan mengkarakterisasikan keragaman genetik dengan
penanda genetik
molekuler SNPs, D-Loop dan mikrosatelit, sehingga seluruh informasi yang didapat dari hasil penelitian dapat melengkapi data yang telah ada untuk dijadikan sebagai database dalam melakukan kebijakan pelestarian sapi Aceh dan penggunaannya yang berkelanjutan.
Tujuan Penelitian a.
Mengidentifikasi posisi perubahan basa nukleotida sekuen DNA gen GH pada ekson lima, dan mempelajari jumlah dan frekuensi alel SNPs pada populasi sapi Aceh.
b.
Mendeterminasi polimorfisme genotipe dan alel gen GH/AluI serta pengaruh dari masing-masing genotipe terhadap kualitas karkas pada sapi Aceh
c.
Mengidentifikasi
keragaman
pada
populasi
sapi
Aceh
dengan
menggunakan marker genetik D-Loop dan Mikrosatelit
Manfaat Penelitian a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam rangka perbaikan mutu genetik sapi Aceh melalui aplikasi teknik biologi molekuler b. Dimungkinkan penciri genetik yang diperoleh dapat digunakan sebagai MAS (Marker Assisted Selection) dalam percepatan perbaikan mutu genetik sapi Aceh dan pengembangan ternak nasional pada umumnya. c. Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan Biologi Molekuler/Genetika Molekuler, khususnya penerapan teknologi marker genetik pada sapi Aceh.
5
Hipotesis 1. Penciri PCR-RFLP fragmen gen GH/AluI dan marker genetik D-Loop serta mikrosatelit memiliki polimorfisme yang tinggi pada sapi Aceh. 2. Terdapat korelasi yang nyata antara polimorfisme gen GH/AluI dengan kualitas karkas pada sapi Aceh.
• •
Pemotongan Persilangan
Kehilangan/Punahnya Plasma Nutfah
SAPI ACEH
• •
Data Kuantitatif/Kualitatif Data Molekuler terbatas
PEMECAHAN MASALAH
FENOTIPIK
GENETIK
GEN GH
PERFORMANS SEKUENSING DARAH/DAGING
POLIMORFISME PRODUKSI KUALITAS KARKAS
Pemanfaatan Genetik Marker
Program Pemuliaan & Pemanfaatan Secara Berkelanjutan
Gambar 1. Kerangka pemikiran alur penelitian
TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal Indonesia Sumber daya ternak sapi di Indonesia saat ini terdiri atas tiga kelompok, yakni (1) ternak asli, (2) ternak impor dan (3) ternak yang telah beradaptasi. Sehubungan dengan pentingnya nilai konservasi pada kelompok ternak ini, beberapa bangsa sapi menjadi target konservasi sekaligus pemanfaatannya (Utoyo 2002). Sumber daya ternak sapi tersebut diantaranya ialah sapi Aceh, Bali, Peranakan Ongole, Sumba Ongole, Madura, Jawa, Pesisir dan Grati. Keanekaragaman sapi di Indonesia menurut Utoyo (2002) terbentuk dari sumber daya genetik asli dan impor. Bos indicus Ongole dari India telah diimpor mulai pada awal abad ke-20 dan bangsa sapi ini memegang peranan penting dalam program pengembangan peternakan di Indonesia. Sapi Ongole murni pertama dibawa ke pulau Sumba kemudian disebut sebagai Sumba Ongole. Sapi ini kemudian dibawa ke tempat-tempat lain untuk disilangkan dengan sapi asli Jawa dan terbentuk Peranakan Ongole dan sapi Madura. Hasil domestikasi spesies liar Bos (bibos) banteng adalah sapi Bali (Bos sondaicus) atau Bos javanicus (Talib et al. 2002) yang sekarang telah menjadi salah satu bangsa ternak asli Indonesia (Martojo 2003). Sumber daya genetik ternak merupakan kerangka dasar acuan
bagi
peternakan dan pengembangan galur dan bangsa ternak untuk masa yang akan datang. Berlimpahnya keanekaragaman bangsa ternak asli yang mampu beradaptasi secara lokal dapat menyelamatkan petani dalam menghadapi iklim yang sulit dan wilayah yang marjinal. Sumber daya genetik ternak lokal dapat dimanfaatkan dengan biaya (input) minimum dan memegang peranan penting dalam budaya masyarakat pedesaan (FAO 2001). Keragaman genetik pada ternak penting dalam rangka pembentukan rumpun ternak modern dan akan terus berlanjut sampai masa yang akan datang (Soebandriyo dan Setiadi 2003). Punahnya keragaman plasma nutfah ternak tidak akan dapat diganti meskipun dengan kemajuan bioteknologi paling mutakhir, karena itu, pelestarian sumber daya genetik ternak perlu dilakukan.
8
Menurut ILRI (1995), terdapat tujuh ternak sapi asli di Indonesia, yaitu Sumba Ongole, Ongole cross, Bali, Madura, Aceh, Pesisir dan Grati. Sapi Aceh sebagai salah satu sumber daya genetik ternak lokal dan menjadi aset plasma nutfah nasional berperan sangat penting sebagai sumber daging bagi masyarakat di Nanggroe Aceh Darussalam dan sekitarnya. Selain berperan sebagai sumber daging, sapi Aceh juga sangat populer untuk kebutuhan hewan kurban dan hari besar Islam lainnya. Keunggulan sapi Aceh lainnya mempunyai daya tahan terhadap lingkungan yang buruk seperti krisis pakan, air dan pakan berserat tinggi, penyakit parasit, temperatur panas dan sistem pemeliharaan tradisional (Gunawan 1998). Pelestarian terhadap sumber daya genetik ternak lokal sebagai bagian dari komponen keanekaragaman hayati adalah penting untuk memenuhi kebutuhan pangan di masa yang akan datang. Ada beberapa alasan untuk hal tersebut, antara lain (1) lebih dari 60 persen dari bangsa-bangsa ternak di dunia berada di negara sedang berkembang, (2) konservasi bangsa ternak lokal tidak menarik bagi petani, (3) secara umum tidak ada program monitoring yang sistematis dan tidak tersedianya informasi deskriptif dasar sumber daya genetik hewan ternak dan (4) sedikit sekali bangsa-bangsa ternak asli yang telah digunakan dan dikembangkan secara aktif (FAO 2001). Karakteristik Sapi Aceh Sapi Aceh merupakan jenis sapi yang telah lama dikenal sebagai salah satu jenis ternak yang dipelihara masyarakat tani di pedesaan (Gambar 2). Pada awalnya penggunaan sapi Aceh sebagai ternak kerja untuk mengolah lahan pertanian dan ternak potong serta sebagian kecil untuk hewan kesenangan atau tabungan. Sapi Aceh memiliki beberapa variasi pada warna tubuhnya (merah bata, cokelat, hitam, putih dan kombinasi yang mengarah ke warna gelap dan terang dengan warna dominan merah bata dan coklat muda), berpunuk, bergelambir, mempunyai garis muka dan garis punggung yang cekung, bertanduk dengan bentuk tanduk sapi betina mengarah ke samping melengkung ke atas kemudian ke depan dan pada jantan mengarah ke samping melengkung ke atas (Abdullah, 2008). Sapi Aceh mempunyai rataan bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh yang lebih kecil dibanding dengan rataan bobot badan dan ukuran tubuh sapi Bali,
9
Madura dan PO, namun lebih besar dari rataan bobot badan dan ukuran tubuh sapi Pesisir di Sumatera Barat. Keragaman yang cukup tinggi pada karakter bobot badan, lebar dada, dalam dada, lebar pinggul dan lingkar dada pada semua kelompok umur, dapat digunakan sebagai suatu ukuran seleksi pada sifat-sifat tersebut. Menurut Astuti (2004), seleksi sapi lokal dengan memanfaatkan keragaman karakteristik sifat produksi dan reproduksi akan meningkatkan produktivitas, disamping itu dapat meningkatkan pelestarian terhadap sumber daya genetik ternak sapi
Gambar 2. Sapi Aceh di BPTU Indrapuri NAD Pada umumnya sapi Aceh bertemperamen agresif dan pada sapi jantan dewasa memiliki sifat menyerang. Sifat tersebut akan berkurang jika digunakan cincin hidung dan sering diusap-usap pada tubuhnya oleh peternak. Sapi Aceh jantan yang dipelihara secara kereman dijumpai dalam keadaan yang sangat agresif, tanduk digosok-gosokkan pada bagian-bagian kandang, bahkan akan ditanduk apa saja yang ditemuinya jika sewaktu-waktu dikeluarkan dari kandang (Gunawan, 1998). Sifat agresif yang dimiliki sapi Aceh merupakan keunikan tingkah laku yang tidak dimiliki oleh sapi Bali, Madura, PO dan Pesisir. Sifat tersebut merupakan suatu keuntungan dalam pemeliharaan sapi Aceh yaitu untuk menghindarkan dirinya dari hewan buas pemangsa apabila sapi ini digembalakan di hutan dan disamping itu juga tidak mudah dicuri.
10
Gen Hormon Pertumbuhan Pertumbuhan merupakan suatu proses deposisi, pemindahan substansi selsel, peningkatan ukuran dan jumlah pada tingkat dan titik berbeda dalam suatu waktu tertentu (Lawrence dan Fowler 2002). Pertumbuhan secara efektif dikontrol oleh hormon dan salah satu hormon yang penting dalam mengatur proses pertumbuhan adalah Growth Hormone (hormon pertumbuhan). Hormon pertumbuhan (GH) dibutuhkan untuk pertumbuhan jaringan, metabolisme lemak, metabolisme protein, pengaturan reproduksi, laktasi dan pertumbuhan tubuh normal (Akers 2006, Beauchemin et al. 2006, ThidarMyint et al. 2008) Pertumbuhan sapi dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor genetis. Faktor lingkungan meliputi: pakan, baik hijauan maupun konsentrat, air, iklim, manajemen dan fasilitas pemeliharaan yang lain. Pengaruh pertumbuhan yang disebabkan faktor lingkungan ini tidak diturunkan kepada anaknya, sedangkan faktor genetis yang dikendalikan oleh gen akan diturunkan kepada keturunannya. Pertumbuhan dikendalikan oleh beberapa gen yang dibedakan menjadi major gene yang pengaruhnya besar/utama dan minor gene yang pengaruhnya kecil. Salah satu gen yang diduga merupakan gen utama dalam mempengaruhi pertumbuhan adalah gen pengkode hormon pertumbuhan yang berperan terhadap sekresi hormon pertumbuhan (Sutarno et al. 2005). Hormon pertumbuhan merupakan hormon anabolik yang disintesis dan disekresikan oleh sel somatotrof pada lokus anterior (Ayuk dan Sheppard 2006). Hormon pertumbuhan pada sapi memiliki ukuran sebesar 22 kilo Dalton (kDa) (Dybus 2002) yang tersusun oleh 190-191 asam amino sebagai produk dari gen hormon pertumbuhan. Target utama hormon pertumbuhan adalah hati (Hartman 2000). Hormon pertumbuhan di dalam permukaan sel hati akan mengatur dan mengubah reaksi biokimia yang berkaitan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan komponen tubuh dan bekerja pada sel-sel target melalui ikatan reseptor hormon pertumbuhan. Hati akan memproduksi insulin-like growth factor-1 (IGF-1) dengan aktivasi tirosin kinase yang memiliki potensi untuk mengatur metabolisme dengan mempercepat pengangkutan asam amino melalui membran sel ke dalam sitoplasma. Meningkatnya konsentrasi asam amino di dalam sel akan
11
meningkatkan kecepatan sintesis protein dan berdampak pada peningkatan jumlah sel sehingga mempercepat laju pertumbuhan jaringan di berbagai bagian tubuh. Zakizadeh et al. (2006) menyatakan bahwa gen hormon pertumbuhan (GH) pada sapi Bos taurus memiliki panjang sekuens nukleotida 2856 bp dengan bagian open reading frame-nya 1800 bp. Selanjutnya dinyatakan bahwa gen GH terdiri atas lima ekson dan dipisahkan oleh empat intron dengan panjang sekuens nukleotida yang berbeda antara ekson dan intron. Gen GH merupakan gen yang menyandi hormon pertumbuhan sebagai produknya dan terletak di kromosom 19 pada ternak sapi (Tatsuda et al. 2007). Gen GH berdasarkan data PCR-RFLP telah diketahui memiliki keragaman yang tinggi (Curi et al. 2006) dan polimorfisme untuk enzim pemotong AluI di ekson lima, yaitu tranversi dari nukleotida sitosin (C) menjadi guanin (G) pada posisi asam amino 127 yang menyebabkan asam amino berubah dari leusin menjadi valin (Lucy et al. 1993). Adanya polimorfisme pada gen GH juga berhubungan dengan sifat produksi (Pereira et al. 2005), deposisi daging (Oprzadek et al. 2003) dan bobot karkas (Beauchemin et al. 2006). Hubungan yang nyata didapatkan antara genotipe LL dan LV dari gen GH dengan rataan bobot badan hidup ternak dari bangsa sapi Alentejana, Marinhoa dan Preta asal Portugis (Reis et al. 2001) Unanian et al. (2000) melaporkan, bahwa adanya polimorfisme GH AluI dan GH MspI mungkin dapat dijadikan sebagai penciri genetik yang potensial untuk sifat pertumbuhan bobot badan pada sapi pejantan muda. Grochowska et al. (2001) mendapatkan sapi perah bergenotipe LV memproduksi susu dengan persentase protein lebih tinggi dibandingkan genotipe LL dan VV, tetapi genotip VV mempunyai kadar lemak lebih tinggi. Di Stasio et al. (2005) melaporkan hormon pertumbuhan GH sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan metabolisme melalui interaksi dengan spesifik receptor (GHR) pada permukaan sel target, sehingga GHR menjadi gen kandidat yang berpengaruh terhadap produksi daging pada sapi. Pada sapi Zebu dan silangannya, Curi et al. (2006) mengidentifikasi pengaruh dari gen GH (P<0.01) terhadap pertumbuhan dan kualitas karkas, sedangkan genotipe LL mempunyai pertambahan bobot badan harian dan bobot karkas lebih tinggi (P<0.05) dari pada genotipe LV.
12
Penanda Molekuler Aplikasi penanda molekuler dapat digunakan dan relatif lebih tepat dalam pembuatan peta genetik, selanjutnya digunakan untuk identifikasi lokasi suatu gen yang bertanggung jawab terhadap suatu sifat. Penanda molekuler ini berada pada tingkat DNA, maka penanda ini bebas dari pengaruh epistasis, lingkungan dan fenotip. Dengan demikian, penanda molekuler menyediakan informasi genetik yang definitif untuk mempelajari keragaman genetik, mendeteksi gen-gen mayor dan mempelajari sifat-sifat genetik yang komplek (Paterson et al. 1991). Marker genetik merupakan gen atau DNA sekuen yang telah diketahui letaknya pada sebuah kromosom, yang dapat digunakan untuk identifikasi sel, individu atau spesies. Marker genetik dapat didiskripsikan sebagai sebuah variasi (yang disebabkan oleh mutasi dalam lokus genom) yang dapat diamati. Marker genetik dapat berupa sekuen DNA yang pendek, seperti SNP (single nucleotide polymorphism) dan sekuen yang panjang seperti minisatelit (Rayaa et al. 2002) Beberapa jenis marker genetik yang biasa digunakan adalah Restriction fragment length polymorphism (RFLP),
Microsatellite polymorphism SSR
(Simple sequence repeat) dan SNP (Single nucleotide polymorphism). Marker kodominan (RFLPs, mikrosatelit) hanya menganalisa satu lokus, sehingga informasi yang didapat lebih akurat, karena variasi alel pada lokus tersebut dapat dihindari. Identifikasi linkage group antara kelompok genetik yang berbeda sebagai konsekuensinya menjadi lebih mudah (Rayaa et al. 2002)
Single-nucleotide polymorphism (SNP) adalah suatu variasi yang terjadi pada sekuen DNA ketika satu nukleotida – A, T, C, atau G- dalam genom berbeda antara satu individu dengan individu yang lain dalam suatu populasi. Sebagai contoh, ada dua sekuen fragmen DNA dari dua individu yang berbeda: AAGCCTA dan AAGCTTA, terdapat berbedaan pada satu basa nukleotidanya. Pada kasus ini terdapat dua alel yaitu alel C dan T dan biasanya SNPs hanya memiliki dua alel (Rapley dan Harbron. 2004). SNP dapat ditemukan pada coding sequences, non-coding sequences gen, atau pada daerah intergenic antara gen. SNPs pada coding sequence tidak akan merubah sekuen asam amino dari protein yang dihasilkan, karena degenerasi dari
13
kode genetik. SNP yang terbentuk dalam sekuen polipeptida yang sama disebut synonymous atau silent mutation, jika pada sekuen polipeptida yang berbeda disebut nonsynonymous. Perubahan pada nonsynonymous dapat berupa perubahan missense atau nonsense, yaitu missense mengakibatkan perubahan pada asam amino, sedangkan nonsense mengakibatkan perubahan yang tidak sempurna pada stop codon (Syvanen 2001).
DNA mikrosatelit. Penanda mikrosatelit digunakan secara luas sebagai penanda genetik di dalam studi populasi dan verifikasi silsilah keturunan (Cervini et al. 2006). Hal ini dikarenakan mikrosatelit mengandung informasi polimorfisme yang tinggi dan tersebar luas di dalam genom eukariot. Mikrosatelit digunakan Mukesh et al. (2004) untuk mengkaji keragaman genetik dan menetapkan hubungan di antara tiga bangsa sapi zebu India (Sahiwal, Hariana dan Deoni). Penggunaan QTL dengan mikrosatelit untuk sifat pertumbuhan dan komposisi karkas pada sapi telah dilaporkan oleh sejumlah peneliti (Casas et al. 2004; Curi et al. 2006).
D-Loop DNA. DNA mitokondria telah banyak digunakan sebagai penanda molekul untuk studi genetika populasi dan penelusuran asal-usul (Wandia 2001). DNA mitokondria hewan secara umum memiliki jumlah dan jenis gen yang sama yaitu 13 daerah yang mengkode protein dan 22 gen pengkode tRNA (Duryadi 1994). Daerah bukan pengkode hanya terdiri atas daerah kontrol yang memegang peranan penting dalam proses transkripsi dan replikasi genom mitokondria. Daerah bukan penyandi utama terletak pada wilayah displacement-loop (D-loop). D-loop pada DNA mitokondria memiliki laju perubahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah DNA mitokondria lainnya, sehingga DNA mitokondria terutama daerah D-loop sangat baik digunakan untuk analisis keragaman hewan, baik di dalam spesies maupun antarspesies (Muladno 2006).
Faktor yang Berpengaruh pada Kualitas Daging dan Karkas Penelitian tentang kualitas daging dan karkas pada ternak sapi telah banyak dilakukan (Sanudo et al. 2004; Monson et al. 2004; Cuvelier et al. 2006).
14
Hasil penelitian mengindentifikasikan bahwa bangsa dari suatu ternak berperan penting terhadap kualitas daging dan karkas ternak tersebut. Perbedaan kualitas daging dan karkas ditentukan oleh periode penggemukan, bobot badan, skor lemak dan kandungan lemak intramuskuler. Perbedaan ukuran pada saat mencapai dewasa merupakan komponen utama perbedaan karkas pada bangsa ternak (Sanudo et al. 2004). Bobot potong dan umur ternak merupakan dua faktor yang berpengaruh terhadap kualitas karkas dan daging dari ternak dengan bangsa yang sama. Beberapa penelitian menunjukkan adanya pengaruh yang nyata dari umur saat pemotongan terhadap bobot potong, tebal lemak punggung (Du Plessis dan Hoffman. 2007), bobot karkas (Mojto et al. 2009), pH dan daya putus Warner Bratzler (Irurueta et al. 2008; Rao et al. 2009). Du Plesis dan Hoffman (2007) menyatakan, bahwa sapi yang lebih tua menghasilkan daging yang lebih alot. Sementara sapi yang berumur 30 bulan memiliki bobot badan dan bobot karkas yang lebih tinggi dari sapi umur 18 bulan, kandungan lemak dan persentase susut masak yang lebih tinggi serta rib eye area yang lebih besar (Mojto et al. 2009). Berdasarkan Badan Standardisasi Nasional (SNI 3932, 2008), karkas adalah bagian dari tubuh sapi sehat yang telah disembelih secara halal sesuai dengan CAC/GL 24-97, telah dikuliti, dikeluarkan jeroan, dipisahkan kepala dan kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, organ reproduksi dan ambing, ekor serta lemak yang berlebih. Daging merupakan bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin dan daging beku.
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini meliputi kegiatan lapang dan kegiatan laboratorium. Kegiatan lapang dilakukan melalui pengamatan dan pengambilan data di Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Indrapuri dan Saree Kabupaten Aceh Besar, Rumah Potong Hewan (RPH) kota Banda Aceh dan RPH Kabupaten Aceh Besar. Kegiatan laboratorium ekstraksi DNA dan karakterisasi keragaman gen GH/Alu I dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak Bagian Pemuliaan dan Genetika Fapet IPB, sedangkan identifikasi SNP, D-Loop dan DNA Mikrosatelit dilakukan di Laboratorium Molekuler dan Genetik CAAS (Chinese Academy of Agricultural Sciences)-ILRI (International Livestock Research Institute) Beijing-China. Pengujian kualitas karkas dan daging dilakukan di Laboratorium Ruminansia Besar, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober 2009 – November 2010. Sampel Darah Sapi Aceh Penelitian ini menggunakan sapi Aceh yang merupakan sapi lokal yang berasal dari Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Penentuan sampel penelitian di BPTU Indrapuri (Lampiran 1) dan Saree (Lampiran 2), karena kedua tempat tersebut merupakan Balai pembibitan Ternak Unggul sapi Aceh dan RPH Kotamadya Banda Aceh (Lampiran 2) mewakili populasi sapi Aceh di Kotamadya Banda Aceh. Jumlah sampel dari BPTU Indrapuri sebanyak 129 sampel, Saree Aceh Besar sebanyak 54 sampel dan RPH Kotamadya Banda Aceh sebanyak 17 sampel. Pengambilan sampel darah sapi Aceh menggunakan tabung venojact 5 ml pada vena jugularis, kemudian disimpan pada kotak es (ice box) untuk dibawa ke Laboratorium Genetika dan Pemuliaan Ternak Fapet IPB. Sampel darah sapi Aceh untuk sekuensing gen GH (Tabel 1) berasal dari Banda Aceh (14), Saree (17) dan Indrapuri (26). Sekuen sapi pembanding dari Gen Bank (Lampiran 3).
16
Tabel 1 Jumlah sampel darah yang digunakan untuk analisis gen GH/SNP Populasi Banda Aceh Saree Indrapuri Total
n 17 54 129 200
Disekuen 14 17 26 57
Hasil sekuen 9 12 23 44
Sampel DNA yang digunakan untuk sekuensing D-Loop (Tabel 2) berasal dari Banda Aceh (11), Saree (20) dan Indrapuri (29). Sekuen sapi pembanding yang digunakan berasal dari sekuen sapi yang berasal dari GenBank (Lampiran 4).
Tabel 2 Jumlah sampel darah yang digunakan untuk analisis D-Loop Populasi Banda Aceh Saree Indrapuri Total
n 17 54 129 200
Disekuen 11 20 29 57
Hasil sekuen 7 2 20 29
Pengambilan sampel darah sapi Aceh untuk DNA mikrosatelit (Tabel 3) berasal dari Banda Aceh (17), Saree (54) dan Indrapuri (129).
Tabel 3 Jumlah sampel darah yang digunakan untuk analisis mikrosatelit Populasi Banda Aceh Saree Indrapuri Total
n 17 54 129 200
BM1824 8 37 81 126
Hasil sekuen SPS115 3 9 40 52
ILSTS028 7 31 81 119
Sampel Daging Sapi Aceh Penelitian ini menggunakan daging (otot) sapi Aceh yang merupakan sapi lokal yang berasal dari Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pengambilan sampel di RPH Kotamadya Banda Aceh sebanyak 12 sampel dan RPH Antasalam Kabupaten Aceh Besar sebanyak 30 sampel (Tabel 4). Sampel otot yang digunakan merupakan otot longisimus dorsi pada bagian rusuk ke 12 -13. Sapi yang dipotong merupakan sapi yang dipelihara secara tradisional, yaitu
17
digembalakan pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari. Pemotongan dilakukan secara tradisional.
Tabel 4 Jumlah sampel daging yang digunakan untuk analisis gen GH/AluI Populasi RPH Banda Aceh RPH Aceh Besar Total
Jumlah sample 12 30 42
Jumlah sapi yang dipotong sekitar 2-3 ekor/minggu. Pengambilan sampel otot sapi Aceh sebanyak 500 g. Pembekuan sampel otot dilakukan 4-5 jam setelah pemotongan, kemudian disimpan pada kotak es (ice box) dan dibawa ke Laboratorium Genetika dan Pemuliaan Ternak Fapet IPB untuk ekstrasi DNA dan Laboratorium Ruminansia Besar, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan untuk pengujian kualitas karkas dan daging.
Ekstraksi DNA Genom (Darah) Ekstraksi DNA genom yang berasal dari darah sapi Aceh dilakukan dengan metoda Sambrook et al. (1989) yang telah dimodifikasi dengan menggunakan buffer lysis sel (400 µl 1 x STE, dan 40 µl 10% SDS dan 10 µl proteinase-K). DNA dimurnikan dengan metode fenol-kloroform, yaitu dengan menambahkan 40 µl 5 M NaCl dan 400 µl fenol dan kloroform iso amil alkohol (CIAA). DNA diendapkan dengan 40 µl 5 M NaCl dan 800 µl etanol absolut. Endapan dicuci satu kali dengan menambahkan 800 µl 70% etanol, disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit, etanol (supernatan) dibuang dan pelet diuapkan. Endapan/pelet DNA dilarutkan dengan 10 µl 80% TE (Elution buffer).
Ekstraksi DNA Genom (Daging) Ektraksi DNA dilakukan dari daging sapi. Prosedur ektraksi mengikuti metode fenol-kloroform (Sambrook et al. 1989). Sampel yang berasal dari daging dalam alkohol sebanyak 70 mg dimasukan ke dalam tabung 1,5 ml. Alkohol dihilangkan dari sampel dengan menambahkan air destilasi sampai 1000
18
µl, dan dibiarkan selama 20 menit. Sampel kemudian diendapkan dengan sentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm selama 5 menit. Sampel yang telah bersih dari alkohol ditambahkan 1x STE (sodium tris EDTA) sampai volume 340 µl, 40 µl sodium dosesil sulfat 10% dan 20 µl proteinase-K 5 mg/ml. Campuran diinkubasi pada suhu 50 ºC selama semalam sambil digoyang pelan. Sampel yang telah diinkubasi ditambahkan 400 µl larutan fenol, 400 µl kloroform iso amil alkohol (24:1) dan 40 µl NaCl 5M. Campuran digoyang pada suhu ruang selama satu jam. Sampel selanjutnya disentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm selama 10 menit hingga fase air terpisah dengan fase fenol. Fase air dipindahkan dalam tabung baru dengan volume terukur. Molekul DNA diendapkan dengan cara menambahkan 2x volume alkohol absolut dan 0,1x volume NaCl 5M. Campuran kemudian diinkubasi pada suhu -20 ºC selama semalam. Pengendapan DNA selanjutnya dilakukan dengan sentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 10 menit. Endapan DNA yang diperoleh dicuci dengan alkohol 70%, kemudian diendapkan lagi. Endapan DNA yang telah bersih dari alkohol dipulihkan dengan menambahkan 100 µl TE (Tris EDTA). Sampel DNA disimpan pada suhu -20 ºC dan siap untuk digunakan.
Identifikasi Single Nucleotide Polymorphism (SNP) Amplifikasi DNA. DNA diamplifikasi dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Mesin PCR yang digunakan adalah GeneAmp PCR System 9700 Applied Biosystem. Setiap reaksi PCR dibuat dengan volume 50 µl terdiri atas 5 µl 1x buffer PCR; 4µl dNTP;1 µl Taq DNA Polymerase; 1 µl Primer Forward dan Reverse; 3 µl DNA dan 35 µl dH 2 O. Program PCR diatur sebagai berikut: Denaturasi awal pada suhu 94 ºC selama 5 menit
dilakukan 1x ulangan,
dilanjutkan dengan 33 x ulangan, setiap ulangan terdiri atas denaturasi pada suhu 94 ºC selama 30 detik, 30 detik annealing pada suhu 59 ºC, elongasi pada suhu 72 ºC selama 30 detik, dilanjutkan ekstensi pada suhu 72 ºC selama 5 menit. Produk PCR disimpan pada suhu 4 ºC selama 25 menit. Susunan basa primer yang digunakan ditampilkan pada Tabel 5, sementara susunan keseluruhan basa gen GH dengan kode akses M577641.1 dapat dilihat pada Lampiran 5.
19
Tabel 5 Basa primer GH/AluI (Gen Bank M57764.1, Gordon et al. 1983)
Lokus GH
Suhu Annealing 59 ºC
Produk PCR 404 bp
Sekuen Primer F:5'-TAGGGGAGGGTGGAAAATGGA-3' R:5'-GACACCTACTCAGACAATGCG-3'
Elektroforesis Produk PCR. Produk PCR dielektroforesis dengan mesin Applied Biosystem 3130x Genetic Analyzer dan dianalisis dengan software GeneMapper versi 4.0. Hasil analisis pada layar monitor akan menunjukkan grafik dengan puncak-puncak (peak) dalam ukuran base pairs (bp) pada masingmasing sampel. Tampilan grafik yang konsisten membentuk satu ukuran puncak yang sama menunjukkan bahwa sampel teramplifikasi dan memiliki alel yang homozigot. Sementara sampel yang memiliki dua puncak dengan ukuran berbeda menunjukkan dua alel yang heterozigot. Apabila terdapat tampilan grafik yang tidak beraturan, ini menandakan hasil yang kosong atau tidak bisa dinilai. Apabila diperoleh tanda sinyal yang lebih dari dua grafik, maka sampel tersebut tercemar dengan DNA yang lain dan tidak digunakan. Analisis Data. Analisis data SNP dari hasil sekuen fragmen gen GH sapi Aceh di analisis kesamaan sekuensnya (homology) dengan sekuen yang terdapat di GenBank (Lampiran 3) dengan software program Basic Local Alignment Search Tool (BLAST) (Altchul et al. 1997) [www.ncbi.nhl.nih.gov./BLAST]. Analisis ini bertujuan untuk memastikan bahwa sekuen yang dianalisis adalah fragmen gen GH dengan melihat ukuran panjang basanya, dapat juga untuk mengetahui ada tidaknya mutasi yang terjadi pada gen GH dan sekuen basa nukleotida spesifik. Kesamaan suatu sekuen adalah tinggi apabila nilai yang didapat > 200 bits (Lampiran 6).
Frekuensi Gen. Frekuensi genotipe merupakan rasio dari jumlah suatu genotipe terhadap jumlah populasi. Frekuensi alel merupakan rasio suatu alel terhadap keseluruhan alel pada suatu lokus dalam suatu populasi. Frekuensi masingmasing alel setiap lokus dihitung berdasarkan rumus Nei dan Kumar (2000):
20
X i = (2n ii + ∑n ij ) / (2N) Keterangan: Xi : frekuensi alel ke-i n ii : jumlah individu untuk genotipe ii n ij : jumlah individu untuk genotipe ij N : jumlah sampel Identifikasi D-Loop Amplifikasi
DNA . DNA D-Loop diamplifikasi dengan Polymerase Chain
Reaction (PCR). Mesin PCR yang digunakan adalah GeneAmp PCR System 9700 Applied Biosystem. Setiap reaksi PCR memerlukan volume 50 µl dengan komposisi sebagai berikut: 5 µl 1x buffer PCR; 4µl dNTP; 1 µl Taq DNA Polymerase; 1 µl primer Forward; 1 µl primer Reverse, 4 µl DNA; dan 34 µl dH 2 O. Denaturasi awal pada suhu 95 ºC selama 5 menit dilakukan 1x ulangan, dilanjutkan dengan 31 x ulangan masing-masing dengan langkah denaturasi pada suhu 94 ºC selama 30 detik, 30 detik annealing pada suhu 60 ºC, elongasi pada suhu 72 ºC selama 30 detik, dilanjutkan ekstensi pada suhu 72 ºC selama 5 menit. Produk PCR disimpan pada suhu 4 ºC selama 25 menit. Susunan basa primer yang digunakan, ditampilkan pada Tabel 6 .
Tabel 6 Basa primer D-Loop Primer Reff Loftus et al. 1994
Suhu annealing
Produk PCR Sekuen Primer
60 ºC
980 bp
F:5'-CTGCAGTCTCACCATCAACC-3' R:5'-GCTGGGACCAAACCTATGTC-3'
Elektroforesis Produk PCR. Produk PCR dielektroforesis dengan mesin Applied Biosystem 3130x Genetic Analyzer dan dianalisis dengan software GeneMapper versi 4.0. Hasil analisis pada layar monitor menunjukkan grafik dengan puncak-puncak (peak) dalam ukuran base pairs (bp) pada masing-masing sampel.
Analisa Data. Analisis data D-Loop dilakukan dengan pensejajaran runutan basa nukleotida D-Loop dengan menggunakan software program MEGA versi 4.1 (Tamura et al. 2007), dengan membandingkan sekuen yang berasal dari
21
GenBank (Lampiran 4). Program dnaSP (http://www.ub.es/dnasp) digunakan untuk mendapatkan NJ tress dan mengidentifikasikan haplotipe, kemudian digunakan software NETWORK 4.510 (www.fluxus engineering.com/network).
Identifikasi DNA Mikrosatelit Amplifikasi DNA Mikrosatelit . Mikrosatelit diamplifikasi melalui Polymerase Chain Reaction (PCR). Mesin PCR yang digunakan GeneAmp PCR System 9700 Applied Biosystem. Setiap reaksi PCR dibuat volume 15 µl dengan komposisi reaksi PCR mengandung 1.5 µl 1x buffer PCR; 1µl dNTP; 0.25 µl Taq DNA Polymerase; 0.25 µl primer; 1.5 µl DNA dan 10.5 µl dH 2 O. Denaturasi awal pada suhu 94 ºC selama 5 menit dilakukan 1x ulangan, dilanjutkan dengan 33 x ulangan dengan langkah denaturasi pada suhu 94 ºC selama 30 detik, 30 detik annealing pada suhu 55.5 ºC - 62 ºC, elongasi pada suhu 72 ºC selama 30 detik, dilanjutkan ekstensi pada suhu 72 ºC selama 5 menit, dan suhu penyimpanan 4 ºC selama 25 menit. Susunan basa primer yang digunakan, ditampilkan pada Tabel 7. Tabel 7 Basa primer mikrosatelit lokus BM1824, SPS115 dan ILSTS028 Lokus BM1824
Suhu Produk annealing PCR (bp) 58 ºC 180-194
SPS115
65 ºC
234-254
ILSTS028 55 ºC
131-165
Elektroforesis
Produk
Sekuen Primer F:5'-GAGCAAGGTGTTTTTCCAATC-3' R:5'-CATTCTCCAACTGCTTCCTTG-3' F:5'-AAAGTGACACAACACGTTCTCCAG-3' R:5'-AACGAGTGTCCTAGTTTGGCTGTC-3' F:5'-TCCAGATTTTGTACCAGACC-3' R:5'-GTCATGTCATACCTTTGAGC-3'
PCR. Produk PCR dielektroforesis dengan mesin
Applied Biosystem 3130x Genetic Analyzer dan dianalisis dengan software GeneMapper versi 4.0. Hasil analisis pada layar monitor menunjukkan grafik dengan puncak-puncak (peak) dalam ukuran base pairs (bp) pada masing-masing sampel. Tampilan grafik yang konsisten membentuk satu ukuran puncak yang sama yang menunjukkan sampel teramplifikasi dan memiliki alel yang homozigot dan sampel yang memiliki dua puncak dengan ukuran berbeda menunjukkan dua alel yang heterozigot (Gambar 3). Apabila ada tampilan grafik
22
yang tidak beraturan, ini menandakan hasil yang kosong, bila diperoleh tanda sinyal yang lebih dari dua grafik, maka sampel tersebut tercemar dengan DNA yang lain dan tidak digunakan.
Gambar 3. Grafik hasil elektroforesis Genetic Analyzer Applied Biosystem 3130x
Analisis
Data.
Analisis
data mikrosatelit
dilakukan
dengan
software
GeneMapper versi 4.0 (Applied Biosystems) dan hasil yang di peroleh di masukkan ke dalam tabulasi data sheet Excel. Frekuensi masing-masing alel setiap lokus mikrosatelit dihitung berdasarkan rumus Nei dan Kumar (2000): X i = (2n ii + ∑n ij ) / (2N) Keterangan: X i : frekuensi alel ke-i n ii : jumlah individu untuk genotipe AiAi n ij : jumlah individu untuk genotipe AiAj N : jumlah sampel Derajat heterozigositas (ĥ) dihitung berdasarkan frekuensi alel pada tiap lokus DNA mikrosatelit dengan rumus Nei dan Kumar (2000) sebagai berikut: ĥ= 2n (1-∑x i 2)/(2n-1) Keterangan: x i : frekuensi alel lokus ke-i n : jumlah sampel ĥ : heterozigositas lokus
23
Identifikasi Gen GH/AluI Amplifikasi Gen GH. Amplifikasi ruas gen GH dilakukan dengan metode PCR (polymerase chain reaction). Mesin PCR yang digunakan mesin thermal cycler (Ependorf 5332). Pereaksi yang digunakan untuk amplifikasi ruas gen target adalah 2 µl sampel DNA, masing-masing primer 25 pmol, campuran dNTP 200 µM, MgCl 2 1 mM, taq polymerase 0.5 unit dan bufernya dalam larutan total 25 µl. Amplifikasi in vitro dengan mesin thermal cycler dilakukan dengan kondisi denaturasi awal pada suhu 94 ºC selama 5 menit, 35 siklus yang terdiri atas denaturasi pada suhu 94 ºC selama 30 detik, penempelan primer pada suhu 63 ºC selama 45 detik dan pemanjangan DNA baru pada suhu 72 ºC selama 1 menit, dan pemanjangan akhir pada suhu 72 ºC selama 5 menit. Susunan basa primer yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Basa primer GH/AluI (Gen Bank M57764.1, Gordon et al. 1983) Suhu Produk Lokus annealing PCR Sekuen Primer GH/AluI 59 ºC 404 bp F:5'-TAGGGGAGGGTGGAAAATGGA-3' R:5'-GACACCTACTCAGACAATGCG-3' Penentuan Genotipe dengan Pendekatan PCR-RFLP Penentuan pendekatan
genotipe
restriction
masing-masing
fragment
length
individu
dilakukan
polymorphism
(RFLP)
dengan yang
divisualisasikan pada gel agarosa 1.5% dengan bufer 0,5x TBE (tris borat EDTA) yang difungsikan pada tegangan 100 V selama 40 menit yang diwarnai dengan etidium bromida diatas UV trans illuminator. Enzim pemotong yang digunakan untuk ruas gen target adalah AluI. Analisa Data Frekuensi Gen. Frekuensi genotipe merupakan rasio dari jumlah suatu genotipe terhadap jumlah populasi. Frekuensi alel merupakan rasio suatu alel terhadap keseluruhan alel pada suatu lokus dalam suatu populasi. Frekuensi masingmasing alel setiap lokus dihitung berdasarkan rumus Nei dan Kumar (2000): X i = (2n ii + ∑n ij ) / (2N)
24
Keterangan: n ii : jumlah individu untuk genotipe ii i n ij : jumlah individu untuk genotipe ij
X i : frekuensi alel keN: jumlah sampel
Metode Penilaian Kualitas Karkas dan Daging Sapi Aceh. Penilaian kualitas karkas meliputi bobot potong dan luas urat daging mata rusuk. Prosedur penilaian sebagai berikut: Bobot Potong: Bobot potong merupakan bobot sapi yang dihitung pada saat sapi akan dipotong. Bobot sapi diestimasi dari lingkar dada dengan menggunakan pita ukur. Luas Urat Daging Mata Rusuk: Pengukuran luas urat daging mata rusuk dilakukan pada irisan rusuk 12 dan 13. Patron permukaan irisan luas urat daging mata rusuk dicetak pada plastik dan digambar dengan spidol. Gambar bidang permukaan penampang melintang urat daging mata rusuk ditera dengan plastik grid (satuan satu inchi2 tiap 10 titik) selanjutnya dihitung dalam satuan cm2, jumlah titik yang tercakup pada bidang penampang melintang dijadikan ukuran luas urat daging mata rusuk. Penilaian kualitas daging meliputi nilai pH, persentase susut masak, nilai keempukan daging, daya mengikat air dan warna daging. Prosedur untuk pengukuran parameter tersebut diatas diuraikan sebagai berikut: Nilai pH Daging: pengukuran nilai pH daging menggunakan alat pH meter. Sampel daging sebanyak 10 gram ditambahkan 100 ml aquades, kemudian dicampur dengan mixer selama 1 menit selanjutnya diukur dengan pH meter yang telah dikalibrasi pada buffer 4.0 dan 7.0 dan dicatat hasilnya. Nilai keempukan daging: dilakukan dengan menggunakan alat pengukur keempukan. Sampel daging sebesar 200 gram dengan ketebalan ± 10 cm ditusukkan termometer bimetal sampai menembus bagian dalam daging, kemudian dimasukkan ke dalam panci berisi air hingga daging terendam semuanya, selanjutnya daging direbus sampai termometer menunjukkan angka 81 C. Daging dicetak dengan alat pengebor (corer) berdiameter 1.27 cm dan daging diukur untuk mengetahui daya putusnya (kg/cm2). Semakin tinggi nilai yang didapat maka keempukan daging yang diukur semakin rendah.
25
Persentase Susut Masak (cooking loss): yaitu perbedaan antara bobot daging sebelum dan sesudah dimasak dan dinyatakan dalam persentase (%). Sampel daging sekitar 100 g dimasukkan ke dalam air rebus, namun terlebih dahulu ditancapkan termometer bimetal sampai menembus bagian dalam daging. Sampel daging harus terendam dalam air rebusan sampai suhu dalam daging menunjukkan angka 81 C lalu diangkat. Setelah itu sampel didinginkan selama 60 menit lalu ditimbang, selanjutnya setiap 30 menit ditimbang sampai sampel daging mempunyai berat konstan. Warna daging: ditentukan standar warna daging berdasarkan skor warna yaitu dengan menggunakan Photo Graphic Colour Standard. Skor warna tersebut memiliki skala angka dari 1 – 7, semakin besar skor maka warna daging dinyatakan semakin gelap. Cara mengukur yaitu dengan menentukan kesesuaian warna daging dengan standar warna daging, namun sebelumnya sampel daging disayat terlebih dahulu. Daya mengikat air: dilakukan dengan metode penekanan (press method) sesuai dengan petunjuk Hamm (Swatland 1984) yaitu sampel daging sebanyak 0.3 gram dibebani pada kertas saring diantara dua plat kaca dengan beban tekan sebesar 35kg selama lima menit. Daerah yang tertutup sampel daging dan telah menjadi rata dan luas daerah basah di sekitarnya ditandai dan diukur dengan planimeter. Daerah basah diperoleh dengan perhitungan selisih daerah yang tertutup daging dari daerah total yang meliputi pula area basah pada kertas saring. Jumlah air yang keluar dari daging dihitung dengan rumus: Area basah (cm2) Mg H2O =
- 0.8 0.0948
Area basah adalah luas air yang diserap pada kertas saring akibat penjepitan selama lima menit, yaitu selisih luas lingkaran luar dan dalam pada kertas saring. Pengukuran luas lingkaran dilakukan dengan planimeter (merk Hruden). Nilai kandungan air yang diperoleh berdasarkan rumus selanjutnya dipersentasikan terhadap bobot sampel, dengan demikian besar nilai yang didapat daya mengikat air daging akan semakin rendah.
26
HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Single Nucleotide Polymorphism (SNP) Gen GH Penelitian untuk mengidentifikasi polimorfisme gen GH pada sapi Aceh menggunakan beberapa sampel DNA untuk sekuensing yang berasal dari sapi Banda Aceh (14), Saree (17) dan Indrapuri (26), tetapi sampel DNA yang berhasil disekuen berjumlah empat puluh empat sampel, masing-masing berasal dari Banda Aceh (9), Saree (12) dan Indrapuri (23) sampel. Kegagalan sekuensing terhadap sampel disebabkan amplifikasi yang tidak berhasil dan terlalu banyak duplikasi puncak pada grafik sekuen. Analisis keragaman runutan nukleotida dilakukan setelah runutan DNA sapi Aceh disejajarkan dengan sampel sekuen pembanding yang berasal dari Gen Bank (Lampiran 3). Polimorfisme pada gen GH telah banyak diidentifikasikan pada hewan ternak, tetapi hanya beberapa yang telah tepat ditandai untuk suatu perubahan basa nukleotida dan posisinya dalam urutan DNA. Efek dari beberapa polimorfisme gen GH telah dipelajari secara luas pada ternak sapi (Switonski 2002) dan terdapat beberapa polimorfisme yang dapat ditandai dengan penggunaan enzim restriksi yang berbeda. Kehadiran situs AluI sebagai pembatas menandakan adanya asam amino leusin (L) di posisi 127 dalam rantai polipeptida GH, sedangkan tidak adanya situs ini menunjukkan adanya valin (V) pada posisi yang sama. Polimorfisme ini dapat digunakan sebagai penanda tetapi belum banyak penelitian mengenai penggunaan marker atau penanda genetik ini pada sifat produksi ternak. Oleh karena itu, gen GH adalah kandidat gen penting sebagai marker genetik untuk identifikasi pertumbuhan dan karkas pada ternak. Ge et al. (2003) mengidentifikasi tiga SNP dalam wilayah 61 bp (253-313 bp) pada gen GH pada sapi Angus, tetapi tidak menemukan polimorfisme baru dalam ekson lima. Hecht dan Geldermann (1996) membandingkan urutan dari wilayah ekson lima yang mengapit gen GH pada delapan keturunan ternak dan menemukan satu penyisipan/penghilangan dua nukleotida dan lima SNP di wilayah putative promoter, termasuk tiga SNP yang diidentifikasi pada sapi Angus. Beberapa polimorfisme telah diidentifikasi dalam ekson lima dari gen GH sapi dalam berbagai keturunan ternak (Tabel 9).
28
Tabel 9 Variasi sekuen di daerah promotor dan ekson dari gen GH pada sapi Posisi
Perubahan basa
Breed sapi
Referensi
125 170 253 303 313 502 591 2141* 2291* 2230*
TGC TG CT CT CT CT GC CG AC CT
Holstein Multiple Multiple, Angus Multiple, Angus Multiple, Angus Multiple Multiple Holstein, Angus Holstein, Aceh Aceh
Yao et al. 1996 Hecht and Gelderman 1996 Hecht and Gelderman 1996, Ge et al. 2003 Hecht and Gelderman 1996, Ge et al. 2003 Hecht and Gelderman 1996, Ge et al. 2003
Hecht and Gelderman 1996 Hecht and Gelderman 1996 Ge et al. 2003, Lagziel et al. 2000
Yao et al. 1996, Hasil Penelitian ini Hasil Penelitian
Ket: Multiple: multiple breeds ( German Friesian, German Simmental, Jersey,Galloway, Scottish Highland, Charolais dan Ceylon Dwarf Zebu). * Ekson lima gen GH
Perunutan nukleotida telah dilakukan pada ruas gen GH pada tiga populasi sampel sapi Aceh (Banda Aceh, Indrapuri dan Saree), analisis kesamaan runutan DNA hasil sekuensing dengan runutan nukleotida gen GH yang ada di Genbank (Lampiran 3) dilakukan dengan pendekatan BLAST (basic local alignment search tool). Pada runutan nukleotida gen GH sapi Aceh tidak ditemukan adanya perubahan basa C menjadi basa G pada posisi ke 2.141 bp, tetapi ditemukan perubahan basa A menjadi basa C pada posisi ke 2.291 bp (Tabel 10). Hasil ini penelitian ini sesuai dengan Yao et al. (1996) yang telah mengidentifikasikan adanya penyisipan dari tiga pasangan basa (TGC) di daerah promotor dan terjadi berubahan basa A ke basa C pada ekson lima pada sapi Holstein. Sembilan sampel sapi Aceh yang berasal dari Banda Aceh hanya memiliki basa C, sementara dua belas sampel sapi Aceh dari Saree, sembilan sampel diantaranya memiliki basa C dan hanya tiga sampel yang memiliki basa A/C (M), demikian juga dua puluh tiga sampel sapi Aceh dari Indrapuri, dua puluh satu sampel sapi Aceh memiliki basa C dan hanya dua sampel yang memiliki basa A/C (M). Frekuensi alel dan genotipe gen GH sapi Aceh pada posisi ke 2.291 bp dari tiga populasi sampel (Banda Aceh, Saree, dan Indrapuri) dapat dilihat pada Tabel 10.
29
Tabel 10 Frekuensi alel dan genotipe SNP gen GH sapi Aceh pada posisi basa ke 2.291 bp Populasi Banda Aceh Saree Indrapuri Total
Jumlah sampel 9 12 23 44
AA 0.00 0.13 0.05 0.00
Genotipe CC 1.00 0.75 0.90 0.89
Alel AC 0.00 0.12 0.05 0.11
A 0.00 0.12 0.07 0.05
C 1.00 0.88 0.93 0.95
Pada Tabel 10 terlihat bahwa populasi sapi Aceh yang berasal dari Banda Aceh hanya memiliki genotipe CC, sementara genotipe AA, AC dan CC dimiliki oleh populasi sapi Aceh yang berasal dari Saree dan Indrapuri. Genotipe CC memiliki nilai frekuensi yang lebih tinggi dari genotipe AA dan AC pada seluruh sampel populasi sapi Aceh (Banda Aceh, Saree, Indrapuri), sehingga frekuensi alel C memiliki nilai yang lebih tinggi dari frekuensi alel A. Populasi sampel sapi Aceh dari Banda Aceh yang mengalami mutasi pada posisi ke 2.230 bp berjumlah empat sampel, dengan dua sampel memiliki basa T dan dua sampel lainnya memiliki basa C/T (Y). Selanjutnya tujuh sampel sapi Aceh yang berasal dari Saree memiliki basa C/T (Y) dan tidak ada satu pun sapi Aceh dari Saree yang memiliki basa T. Sementara sapi Aceh dari Indrapuri, empat sampel memiliki basa T dan tiga belas sampel memiliki basa C/T (Y). Frekuensi alel dan genotipe gen GH sapi Aceh pada posisi basa 2.230 bp dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Frekuensi alel dan genotipe SNP gen GH sapi Aceh pada posisi basa ke 2.230 bp Populasi Banda Aceh Saree Indrapuri Total
Jumlah sampel 9 12 23 44
CC 0.56 0.42 0.26 0.36
Genotipe TT 0.22 0.00 0.17 0.14
Alel CT 0.22 0.58 0.57 0.50
C 0.67 0.71 0.55 0.61
T 0.33 0.29 0.45 0.39
Pada Tabel 11 dapat diidentifikasi bahwa genotipe TT tidak dimiliki oleh populasi sapi Aceh yang berasal dari Saree, tetapi dimiliki oleh populasi sapi Aceh yang berasal dari Banda Aceh dan Indrapuri, dengan nilai yang lebih kecil
30
dari genotipe CC dan CT. Genotipe CC memiliki nilai yang lebih tinggi dari genotipe CT pada populasi sapi Aceh di Banda Aceh, sebaliknya genotipe CT memiliki nilai yang lebih tinggi dari genotipe CC pada populasi sampel sapi Aceh yang berasal dari Indrapuri. Hasil penelitian terhadap populasi sampel sapi Aceh, mendapatkan bahwa jumlah frekuensi alel C memiliki nilai yang lebih tinggi dari frekuensi alel A (Tabel 10) dan alel T (Tabel 11). Posisi mutasi pada basa ke 2.230 bp gen GH ekson lima dapat dilihat pada Gambar 4. 2041 ttctccaagc ctgtagggga gggtggaaaa tggagcgggc F 2101 ggcccttcgg cctctctgtc tctccctccc ttggcaggag 2161 ggctgggcag atcctcaagc agacctatga caaatttgac 2221 cgcgctgctc aagaactacg gtctgctctc ctgcttccgg
aggagggagc tgctcctgag ctggaagatg gcaccccccg acaaacatgc gcagtgacga aaggacctgc ataagacgga
2281 gacgtacctg agggtcatga agtgccgccg cttcggggag gccagctgtg ccttctagtt 2341 gccagccatc tgttgtttgc ccctcccccg tgccttcctt gaccctggaa ggtgccactc 2401 ccactgtcct ttcctaataa aatgaggaaa ttgcatcgca ttgtctgagt aggtgtcatt
R
Gambar 4 Posisi mutasi basa ke 2.230 bp pada gen GH ekson lima
Hasil penelitian terhadap tiga populasi sapi Aceh yang berasal dari Banda Aceh, Saree dan Indrapuri pada sekuen gen GH, terdapat satu titik mutasi baru pada ekson lima diposisi basa ke 2.230 bp yaitu perubahan basa C menjadi basa T, yang diistilahkan sebagai Silent Mutation yaitu perubahan Leusin menjadi Leusin (CTC–CTT).
Fenomena ini mengidentifikasikan bahwa populasi sapi Aceh
memiliki mutasi yang tinggi pada sekuen gen GH diposisi basa ke 2.230 bp. Hasil penelitian ini merupakan penemuan baru terhadap titik mutasi yang terdapat diekson lima sekuen gen GH pada sapi Aceh, setelah runutan sekuen sapi Aceh disejajarkan dengan sekuen yang berasal dari Gen Bank (Lampiran 3). Berdasarkan hasil runutan sekuen dapat diidentifikasikan bahwa mutasi yang terjadi pada sekuen gen GH sapi Aceh diposisi basa ke 2.230 bp sama dengan titik mutasi yang ditemukan pada sapi Zebu di China (kode akses EU344985) dan sapi Sahiwal (kode akses EF451795). Sementara sekuen gen GH dari gen bank lainnya tidak memiliki mutasi diposisi basa ke 2.230 bp.
31
Identifikasi D-Loop Sampel DNA yang digunakan untuk sekuensing berasal dari Banda Aceh (11), Saree (20) dan Indrapuri (29), tetapi sampel DNA yang berhasil disekuen berjumlah dua puluh sembilan sampel dengan rincian yang berasal dari Banda Aceh (7), Saree (2) dan Indrapuri (20) sampel. Kegagalan sekuensing terhadap sampel disebabkan jumlah DNA yang terbatas dan terlalu banyak duplikasi puncak pada grafik sekuen. Analisa keragaman runutan nukleotida dilakukan setelah runutan DNA sapi Aceh disejajarkan dengan sampel sekuen pembanding yang berasal dari Gen Bank (Lampiran 4), yang akan digunakan untuk dianalisis dengan Neighbour Joining (NJ). Berdasarkan panjang sekuen 968 bp D-Loop sapi Aceh dari 29 sampel didapat 8 haplotype (Lampiran 7). Sketsa letak penempelan priner untuk mengamplifikasi fragmen D-Loop sapi Aceh dapat dilihat pada Gambar 5.
F: 20 bp
R: 20 bp
tRNA pro
tRNAphe Teramplifikasi 908 bp (73 bp tRNA pro, D-Loop utuh, 365 bp tRNA phe)
Gambar 5 Sketsa letak penempelan primer Forward dan Reverse untuk mengamplifikasi fragmen daerah D-Loop sapi Aceh Setelah dilakukan perunutan sekuen sapi Aceh dengan sapi Buthan, China, India dan Zebu, dianalisa berdasarkan Neighbour Joining (NJ) tree maka seluruh sampel terbagi dalam dua kelompok yaitu Bos taurus dan Bos indicus. Pada NJ tree, individu yang memiliki maternal origin yang sama akan membentuk klaster/kelompok bersama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar sampel sapi Aceh memiliki maternal origin dari Bos indicus, hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan terhadap sapi Aceh (Uggla 2008). Dua puluh delapan sampel sapi Aceh yang berasal dari Indrapuri, Banda Aceh dan
32
Saree memiliki maternal origin Bos indicus, sedangkan satu sampel dari Saree memiliki maternal origin Bos taurus. Berdasarkan analisis daerah D-Loop mtDNA sapi Aceh dengan ukuran sekuen 230 bp, sapi Aceh tersebar menjadi 8 haplotypes dari 27 haplotypes yang ada (Lampiran 8), dimana penyebaran sapi Aceh pada 7 haplotypes dari 27 haplotypes memiliki persamaan dengan 8 haplotypes berdasarkan panjang sekuen 968 bp, kecuali pada haplotype 3. Penelitian yang dilakukan oleh Nijman et al. (2003) dan Uggla (2008) menggambarkan bahwa sapi Pesisir dan sebagian besar sapi Ongole memiliki maternal origin Bos indicus, sedangkan sapi Bali yang berasal dari pulau Bali berasal dari Bos banteng (Tabel 12). Tabel 12 Maternal origin dari beberapa bangsa sapi Bangsa sapi Aceh Aceh Aceh Aceh Aceh Aceh Aceh Aceh Madura Pesisir Ongole Bali Bali
Daerah asal B.Aceh Saree Indrapuri Pidie B.Aceh A. Besar Pidie A. Utara Madura Sum.Bar Jatim Bali
Aceh
Aceh
Jumlah Banteng sampel 7 2 20 15 38 40 36 40 2 2 2 1 1 6 6 57 57
Taurin Indicine Referensi
1
7 1 20 15 38 40 36 40
Hasil penelitian Hasil penelitian Hasil penelitian Abdullah (2008) Uggla (2008) Uggla (2008) Uggla (2008) Uggla (2008) Uggla (2008) 2 Uggla (2008) 1 Uggla (2008) Uggla (2008)
12
12
Pesisir
24
24
Ongole
5
2
3
Galekan
48
6
42
Madura
42
21
21
11
11
Bali
Bali
Lenstra & Bradley (1999) Lenstra & Bradley (1999) Lenstra & Bradley (1999) Lenstra & Bradley (1999) Lenstra & Bradley (1999) Lenstra & Bradley (1999)
Nijman et al. (2003)
Pengamatan terhadap korelasi phylogenetic pada NJ tree dapat dibentuk dan dibangun dengan median joining network (Gambar 4) dari 230 bp mtDNA daerah control region atau dikenal dengan D-Loop dari sapi Aceh, Buthan, China,
33
India, Zebu dan sampel referensi dari Gen Bank (Lampiran 4) untuk mengetahui hubungan antara sapi Aceh dengan sapi Buthan, China, India dan Zebu. Program Phylip file sangat diperlukan untuk membentuk median joining network, dari NJ tree seluruh kode harus ditransformasikan. Daerah sekuen 230 bp (Gambar 6) merupakan fragmen yang sangat variabel dari mtDNA daerah control region yang telah banyak digunakan pada penelitian lainnya (Nijman et al. 2003, Baig et al. 2005, Kim et al. 2003, Loftus et al. 1994, Uggla 2008).
D-Loop utuh 908 bp (Gen Bank) Forward
Reverse 289 bp 389 bp 230 bp
Teramplifikasi utuh 908 bp Gambar 6 Sketsa daerah D-Loop hasil perunutan 230 bp sekuen sapi Aceh, Buthan, China, India dan Zebu Hasil sekuen D-Loop pada penelitian ini membentuk dua klaster yang berbentuk bintang dimana predominan haplotype berada tepat ditengah-tengah diantara dua klaster yang berbentuk bintang (Gambar 7).
Gambar 7. Konstruksi Median Joining Network dari 230 bp D-Loop sekuen sapi Aceh (kuning), Zebu dari Indonesia (biru), Zebu dari China (merah), India (pink)dan Buthan (pink muda).
34
Empat mutasi dan satu haplotype unik dari 29 sampel sapi Aceh memisahkah dua klaster yang berbentuk bintang. Sapi Zebu yang berasal dari beberapa negara terdapat pada kedua klaster yang berbentuk bintang dan tidak ada perbedaan yang nyata terhadap daerah asal sampel sapi Aceh. Polimorfisme D-Loop sapi Aceh, Buthan, China, India dan Zebu Hasil penelitian terhadap sapi Aceh menggunakan analisa D-Loop sekuensing menggambarkan variasi genetik dalam dan antar populasi dengan referensi populasi sampel dari Gen Bank (Lampiran 4). Pada NJ tree, korelasi genetik diantara sekuens mtDNA menggambarkan bahwa sampel yang berasal dari berbagai daerah akan membentuk klaster/kelompok yang sama, Bos taurus, Bos indicus dan Bos banteng. Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian Uggla (2008) yang menggunakan referensi sekuen yang sama. Uggla (2008) menemukan 53 haplogrup dari sapi Aceh dengan hampir 53% terbagi ke dalam dua haplogrup. Penelitian lainnya menggambarkan bahwa 240 bp dari mtDNA daerah control region Bos indicus terbagi dalam dua klaster yang berbentuk bintang yang dipisahkan oleh empat titik mutasi (Baig et al. 2005). Pada hasil penelitian ini sekuen sapi Zebu juga terbagi dalam dua klaster dan tepat diantara dua klaster tersebut terdapat haplotypes yang dipisahkan oleh empat mutasi dan merupakan haplotype yang khas pada sapi Aceh. Lai et al. (2006) menemukan lima titik mutasi diantara dua klaster, hal ini membuktikan bahwa jumlah titik mutasi diantara dua klaster tidak memiliki nilai yang sama. Berdasarkan dari beberapa penelitian sebelumnya, dapat diidentifikasi bahwa satu dari beberapa mutasi yang ada pada hasil penelitian ini merupakan haplotype yang baru, sesuai dengan hasil penelitian Uggla (2008). Sapi Zebu dari beberapa negara terdapat pada dua klaster yang berbentuk bintang dan tidak ada perbedaan yang nyata terhadap asal usul sapi Aceh yang digunakan sebagai sampel.
35
Komposisi Nukleotida D-Loop Jumlah nukleotida dari semua sampel sapi penelitian tidak memiliki frekuensi yang sama (Lampiran 9), sejalan dengan hasil penelitian Abdullah (2008). Berdasarkan ukuran runutan nukleotida sepanjang 230 bp yang dianalisis, komposisi nukleotida daerah D-Loop sapi Aceh dari tiga populasi dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Persentase komposisi nukleotida D-Loop sapi Aceh (228 nt) Nomor Populasi 1 2 3
Banda Aceh Saree Indrapuri
Jumlah sampel 7 2 20
T
C
A
G
Total
27.0 28.0 27.0
26.0 25.3 26.0
32.4 31.0 32.4
14.6 15.7 14.6
100.0 100.0 100.0
Pada Tabel 13 terlihat bahwa komposisi nukleotida A pada tiga populasi sapi Aceh memiliki persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan persentase nukleotida T, C dan G. Nukleotida G pada populasi Banda Aceh dan Saree memiliki persentase yang sama (14.60%). Hasil pensejajaran runutan nukleotida sapi Aceh, Buthan, China, India dan Zebu dari Gen Bank dapat dilihat pada Tabel 14, sementara komposisi nukleotida daerah D-Loop untuk masing-masing sapi disajikan dalam Lampiran 10. Perbedaan nukleotida antara sapi Aceh dan Bos taurus dari Gen Bank (Kode akses V00645) yaitu, T = 1.90%; C = 1.80%; A = 1.00%; dan G = 1.20%. Hasil penelitian ini memiliki nilai yang lebih tinggi dari penelitian Abdullah (2008) yang membandingkan sapi Aceh dengan Bos taurus (AY126697) yaitu T = 1.16%; C = 0.57%; A = 0.58%; dan G = 0.07%. Jumlah rataan komposisi nukleotida A+T dan G+C antara sapi Aceh dengan Bos taurus masing-masing 2.90% dan 3.00%, hasil rataan penelitian ini juga memiliki nilai yang lebih tinggi dari penelitian Abdullah (2008) yaitu 0.59% dan 0.50%. Fenomena ini disebabkan karena penggunaan sampel sapi Aceh pada penelitian ini (29 sampel) lebih banyak dari sampel sapi Aceh pada penelitian sebelumnya yang hanya menggunakan delapan sampel sapi Aceh. Sapi Aceh mempunyai frekuensi nukleotida T tertinggi (27.10%) diantara sapi Buthan, China, India dan Zebu. Hasil penelitian ini memiliki nilai frekuensi yang sama dengan penelitian Abdullah (2008).
36
Tabel 14 Persentase komposisi nukleotida D-Loop sapi Aceh, Buthan, China, India dan Zebu Bangsa sapi Jumlah sampel Aceh 29 Buthan 5 China 6 India 24 Zebu 2 B. taurus 1
T
C
A
G
A+T
G+C
27.1 26.8 26.5 26.3 26.3 29.0
26.0 26.3 26.6 26.8 26.8 24.2
32.3 32.5 32.4 32.5 32.5 33.3
14.6 14.5 14.6 14.5 14.5 13.4
59.4 59.2 58.8 58.8 58.8 62.3
40.6 40.8 41.2 41.2 41.2 37.7
Frekuensi nukleotida T juga memiliki nilai tertinggi diantara sapi-sapi lokal Indonesia (Bali, Madura, Pesisir, dan PO), kemudian diikuti Buthan (26.80%), China (26.50%), serta India dan Zebu (26.30%). Nukleotida C mempunyai frekuensi terendah pada sapi Aceh (26.00%) diikuti oleh Buthan (26.30%) dan China (26.60%), frekuensi yang sama ditemukan pada sapi India dan Zebu (26.80%). Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Abdulah (2008) yang menemukan frekuensi nukleotida C memiliki nilai terendah diantara sapi-sapi lokal Indonesia (Bali, Madura, Pesisir, dan PO) yang menjadi sampel pembanding. Sapi Buthan, India dan Zebu memiliki nilai frekuensi nukleotida A yang sama (32.50%) diikuti oleh sapi China (32.40%) dan sapi Aceh (32.30%). Nukleotida G daerah D-Loop mempunyai frekuensi terendah pada sapi penelitian dibandingkan dengan komposisi nukleotida A, T dan C dengan urutan tertinggi (14.60%) ditemukan pada sapi Aceh dan China, sedangkan sapi Buthan, India dan Zebu memiliki frekuensi yang sama (14.50%). Berdasarkan Tabel 14 dapat disimpulkan bahwa komposisi nukleotida ATGC pada sapi India dan Zebu memiliki nilai frekuensi yang sama. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa sapi India dan Zebu memiliki maternal origin yang sama. Pernyataan ini mendukung pendapat Nozawa (1979) yang menyatakan bahwa pusat gen sapi Zebu (Bos indicus) ada di India. Patricia et al. (2002) mengemukakan, bahwa pewarisan mtDNA mamalia melalui induk mempunyai tingkat substitusi yang tinggi. Sapi Aceh memiliki susunan basa yang bervariasi, hal ini menandakan bahwa pada daerah D-Loop mtDNA sapi Aceh telah terjadi mutasi. Hasil penelitian Abdullah (2008), sapi
37
Aceh memiliki sebagian susunan basa nukleotida daerah D-Loop mtDNA yang khas yang tidak dimiliki sapi-sapi dari golongan Bos indicus dan Bos taurus, hal ini dapat dibuktikan juga dari hasil penelitian ini seperti terlihat pada Gambar 4. Konstruksi
median joining network dari 230 bp D-Loop sekuen sapi Aceh
(kuning), Zebu dari Indonesia (biru), Zebu dari China (merah), India (pink) dan Buthan (pink muda), diantara empat titik mutasi yang ada terdapat haplogrup yang khas untuk sapi Aceh yang terletak diantara dua klaster yang berbentuk bintang.
Jarak Genetik Sapi Aceh, Buthan, China, India dan Zebu Analisis perhitungan Pairwise Distance Calculation dengan model 2 parameter Kimura digunakan untuk analisis jarak genetik atau kedekatan hubungan genetik sapi Aceh, Buthan, China, India dan Zebu yang berasal dari Gen Bank (Lampiran 4). Jarak genetik dari sapi Aceh dan sapi pembanding yang berasal dari Gen Bank berkisar antara 0.0000 sampai 0.0165. Jarak genetik dalam kelompok sapi Aceh berkisar antara 0.0040 sampai 0.1500. Hasil dari penelitian ini mengidentifikasi jarak genetik dalam kelompok sapi Aceh lebih tinggi dari penelitian Abdullah (2008) yang menemukan jarak genetik dalam kelompok sapi Aceh berkisar dari 0.0025 sampai 0.0075. Jarak genetik sapi Buthan berkisar dari 0.005 sampai 0.028, China berkisar dari 0.014 sampai 0.033, India berkisar dari 0.005 sampai 0.029 dan Zebu (0.00) (Lampiran 11). Jarak genetik terkecil yang dimiliki sapi Aceh dengan sapi pembanding (Tabel 15) berkisar 0.0138 yaitu antara sapi Aceh dengan Zebu, sedangkan nilai terbesar antara sapi Aceh dengan sapi India yaitu berkisar 0.0193. Tabel 15 Rataan jarak genetik sapi Aceh, Buthan, China, India dan Zebu berdasarkan metode 2 parameter Kimura
Aceh Buthan China India Zebu
Aceh 0.0000 0.0156 0.0190 0.0193 0.0138
Buthan
China
India
Zebu
0.0000 0.0184 0.0179 0.0113
0.0000 0.0171 0.0103
0.0000 0.0134
0.0000
Urutan kedekatan hubungan genetik dari seluruh sampel sapi yang digunakan mulai yang terdekat sampai yang terjauh adalah China – Zebu
38
(0.0103); Buthan – Zebu (0.0113); India – Zebu ( 0.0134); Aceh – Zebu (0.0138); Aceh – Buthan (0.0156); China – India (0.0171); Buthan – India ( 0.0179); Buthan – China ( 0.0184); Jarak genetik antara sapi Aceh - China (0.0190) dan Aceh – India (0.0193). Nilai jarak genetik dari beberapa sampel sapi yang digunakan kurang dari 0.5, berarti secara umum sapi-sapi tersebut secara genetik cukup dekat. Nijman et al. (2003) menyatakan, bahwa berdasarkan daerah kontrol DNA mitokondria pada sapi Madura dan sapi Bali-Malaysia ditemukan pula alel dari sapi Zebu (Bos indicus). Analisis Filogenetik Pada penelitian ini pengelompokan sapi berdasarkan jarak genetik dengan metode Neighbor-Joining dalam program MEGA 4 (Tamura et al. 2007), dengan Bootstrap (1000 kali pengulangan) yang dapat digunakan sebagai selang kepercayaan pada proses analisis filogenetik dan merupakan metode untuk menguji tingkat kepercayaan cabang-cabang yang terbentuk pada phylogenetic tree (Heber et al. 2000). Semua posisi yang mengandung data senjang (gap) dan data hilang dieliminasi dari dataset (opsi penghapusan lengkap). Hasilnya menunjukkan bahwa populasi sapi Aceh (Banda Aceh, Indrapuri, Saree) menyebar luas diantara sapi Buthan, China, India dan Zebu (Gambar 8). Dua puluh delapan sampel sapi Aceh yang berasal dari Banda Aceh, Indrapuri dan Saree membentuk klaster bersama dengan sapi Buthan, China, India dan Zebu yang memiliki maternal origin Bos indicus, sementara satu sampel sapi Aceh yang berasal dari Saree membentuk satu klaster tersendiri terpisah dari sampel sapi Aceh lainnya yang memiliki maternal origin Bos taurus. Jarak genetik terdekat antara sapi Aceh dengan sapi Buthan, China, India dan Zebu adalah antara sapi Aceh-Zebu (0.0138), Aceh-Buthan (0.0156), AcehChina (0.0190) dan Aceh-India (0.0193). Pohon filogeni yang dibentuk berdasarkan metode dua parameter Kimura dalam uji bootstrap 1000 kali pengulangan (Gambar 8), menghasilkan pembobotan antarindividu dalam kelompok sapi Aceh berkisar 16-52%. Pensejajaran nukleotida D-Loop sapi Aceh menghasilkan sekuen utuh dengan ukuran 908 bp, hal ini berbeda dengan penelitian Abdullah (2008) yang
39
hanya berhasil melakukan pensejajaran dengan ukuran 476 nt (nukleotida), tetapi untuk membentuk median joining network (Gambar 4) diperlukan Phylip file dan seluruh kode harus ditransformasikan. Penggunaan daerah sekuen 230 bp dikarenakan daerah sekuen ini merupakan fragmen yang sangat variabel dari mtDNA daerah control region dan telah banyak digunakan pada penelitian lainnya (Nijman et al. 2003, Baig et al. 2005, Kim et al. 2003, Loftus et al. 1994, Uggla 2008). Berdasarkan analisis daerah D-Loop mtDNA, hasil yang diperoleh dalam penelitian ini telah dapat membuktikan bahwa sapi Aceh adalah sapi yang lebih dekat dengan sapi Bos indicus (Zebu), juga memiliki pengaruh dari Bos taurus. Hasil penelitian membuktikan bahwa dari dua puluh sembilan sampel sapi Aceh, terdapat satu sampel yang memiliki turunan Bos taurus, sehingga dapat disimpulkan bahwa satu dari empat mutasi yang berada diantara klaster yang berbentuk bintang pada median joining network merupakan haplogrup baru yang khas pada bangsa sapi Aceh. Pada dendogram (Gambar 8) terlihat dengan jelas bahwa sebagian besar sapi Aceh yang berasal dari Indrapuri membentuk klaster terpisah dari sapi Buthan, China, India dan Zebu. Fenomena ini menggambarkan bahwa sapi Aceh yang berasal dari Indrapuri membentuk satu haplotype spesifik yang mengidentifikasikan bahwa sapi Aceh yang berasal dari Indrapuri merupakan sumber genetik ternak sapi Aceh asli yang harus dilestarikan.
40
ACEH CATTLE 114 Indrapuri ACEH CATTLE 186 Indrapuri ACEH CATTLE 126 Indrapuri ACEH CATTLE 161 Indrapuri ACEH CATTLE 193 Indrapuri ACEH CATTLE 104 Indrapuri ACEH CATTLE 197 Indrapuri
16
ACEH CATTLE 3 Banda Aceh ACEH CATTLE 101 Indrapuri ACEH CATTLE 65 Banda Aceh ACEH CATTLE 107 Indrapuri
11
ACEH CATTLE 125 Indrapuri ACEH CATTLE 61 Banda Aceh ACEH CATTLE 112 Indrapuri 5
ACEH CATTLE 1 Banda Aceh 52
ACEH CATTLE 67 Banda Aceh
28
ACEH CATTLE 97 Indrapuri ACEH CATTLE 200 Indrapuri
12
Buthan cattle AB268578.1
36 35
Indian cattle AY972147.1
57
Zebu cattle AF162484.1 Zebu cattle AF162485.1 52
Indian cattle AY972152.1
17
Indian cattle AY972154.1 Indian cattle AY972149.1
34
Indian cattle AY972130.1 23
Indian cattle AY972133.1 China cattle AY902403
29
Indian cattle AY972144.1 20
Indian cattle AY972140.1 China cattle AY378136.1
10
Indian cattle AY972148.1 India cattle AY972153.1 Indian cattle AY972150.1
0
Buthan cattle AB268581.1 Indian cattle AY972146.1
1
Indian cattle AY972136.1
5
Indian cattle AY972131.1
17 15
63
Indian cattle AY972132.1
ACEH CATTLE 182 Indrapuri ACEH CATTLE 102 Indrapuri China cattle EF417971.1 China cattle EF417985.1 ACEH CATTLE 196 Indrapuri Indian cattle AY972134.1 Indian cattle AY972142.1 Buthan cattle AB268579.1 China cattle EF417974.1 24
China cattle EU856762.1 Indian cattle AY972135.1 Indian cattle AY972141.1 ACEH CATTLE 69 Banda Aceh Indian cattle AY972139.1 ACEH CATTLE 134 Indrapuri
26
Indian cattle AY972137.1 ACEH CATTLE 20 Saree Buthan cattle AB268577.1
6
ACEH CATTLE 4 Banda Aceh ACEH CATTLE 106 Indrapuri
6
ACEH CATTLE 187 Indrapuri Indian cattle AY972145.1
35
Buthan cattle AB268580.1 Indian cattle AY972143.1 ACEH CATTLE 140 Indrapuri
Indian cattle AY972138.1 ACEH CATTLE 13 Saree 0.01
Gambar 8 Dendogram Neighbour-Joining berdasarkan metode 2 parameter Kimura (230 bp) sapi Aceh, Buthan, China, India dan Zebu dengan pengolahan bootstrap 1000 ulangan
41
Identifikasi DNA Mikrosatelit Keragaman dan Distribusi Genotipe DNA Mikrosatelit Keragaman genotipe lokus BM1824 ditampilkan pada Tabel 16. Secara keseluruhan ditemukan 13 genotipe. Keragaman genotipe pada ketiga lokus (BM1824, SPS115, ILSTS028) yang diamati pada tiga populasi sapi Aceh secara umum menghasilkan variasi yang beragam. Tabel 16 Genotipe, jumlah sampel dan frekuensi lokus BM1824 sapi Aceh Genotipe AB AC AD AF BB BC BD BE BF CC CD DD DF Jumlah
Banda Aceh (n)/(%) 0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 2 (25.00) 1 (12.50) 0 (0.00) 0 (0.00) 3 (37.50) 2 (25.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 8 (100)
Saree (n)/(%) 0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 6 (16.22) 13 (35.14) 0 (0.00) 0 (0.00) 4 (10.81) 8 (21.62) 4 (10.81) 1 (2.70) 1 (2.70) 37 (100)
Indrapuri (n)/(%) 7 (8.64) 4 (4.94) 2 (2.47) 1 (1.23) 12 (14.82) 25 (30.87) 7 (8.64) 1 (1.23) 2 (2.47) 14 (17.28) 6 (7.41) 0 (0.00) 0 (0.00) 81 (100)
Total (n)/(%) 7 (5.55) 4 (3.17) 2 (1.58) 1 (0.79) 18 (14.28) 40 (31.75) 8 (6.35) 1 (0.79) 6 (4.76) 25 (19.84) 12 (9.52) 1 (0.79) 1 (0.79) 126 (100)
Populasi sapi Aceh yang berasal dari Indrapuri memiliki genotipe yang paling banyak dibandingkan dengan dua populasi sapi Aceh lainnya yaitu 11 macam genotipe. Keragaman genotipe lokus BM1824 dari dua populasi lainnya memiliki jumlah genotipe yang lebih sedikit dibandingkan dengan populasi sapi Aceh di Indrapuri, Saree (7 macam genotipe: BB, BC, BF, CC,CD, DD dan DF) dan populasi sapi Aceh di Banda Aceh hanya memiliki empat macam genotipe yaitu BC, BD, CC dan CD. Pengamatan terhadap frekuensi genotipe antara tiga kelompok sapi Aceh menunjukkan total genotipe BC memiliki frekuensi tertinggi (31.75%), sebaliknya frekuensi terendah ditemukan pada AF, BE, DD dan DF yang mempunyai frekuensi yang sama (0.79%). Genotipe BC mempunyai frekuensi sangat tinggi pada populasi sapi Aceh yang ada di Saree (35.14%), kemudian pada populasi sapi Aceh di Indrapuri (30.87%) dan sapi Aceh yang ada di Banda Aceh
42
(25.00%). Sementara genotipe AF dan BE hanya ditemukan pada populasi sapi Aceh yang ada di Indrapuri dengan frekuensi yang relatif sama dan rendah (1.23%). Genotipe DD dan DF hanya ditemukan pada populasi sapi Aceh yang ada di Saree dengan frekuensi yang sama dan relatif rendah (2.70%). Frekuensi genotipe CC (19.84%) merupakan genotipe kedua yang memiliki nilai frekuensi tinggi setelah genotipe BC. Frekuensi genotipe CC ini memiliki nilai yang tinggi pada populasi sapi Aceh di Banda Aceh sebesar 37.50%, diikuti populasi sapi Aceh yang ada di Saree (21.62%) dan populasi sapi Aceh yang ada di Indrapuri (17.28%). Hasil pengamatan dari ketiga populasi sapi Aceh yang ada di Banda Aceh, Saree dan Indrapuri, ternyata tidak ada satupun populasi sapi Aceh yang memiliki seluruh genotipe (13 genotipe) dari lokus BM1824. Keragaman genotipe mikrosatelit DNA pada lokus SPS115 dari tiga populasi sapi Aceh yang terdapat pada daerah Banda Aceh, Saree dan Indrapuri diperlihatkan pada Tabel 17. Tabel 17 Genotipe, jumlah sampel dan frekuensi lokus SPS115 sapi Aceh Genotipe AB AE BB BC BD BE CC CD CE EE Jumlah
Banda Aceh (n)/(%) 1 (33.33) 2 (66.66) 0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 3 (100)
Saree (n)/(%) 0 (0.00) 0 (0.00) 1 (11.11) 2 (22.23) 0 (0.00) 2 (22.22) 0 (0.00) 1 (11.11) 1 (11.11) 2 (22.22) 9 (100)
Indrapuri (n)/(%) 1 (2.50) 1 (2.50) 1 (2.50) 5 (12.50) 1 (2.50) 8 (20.00) 7 (17.50) 0 (0.00) 12 (30.00) 4 (10.0) 40 (100)
Total (n)/(%) 2 (3.85) 3 (5.77) 2 (3.85) 7 (13.46) 1 (1.92) 10 (19.23) 7 (13.46) 1 (1.92) 13 (25.00) 6 (9.61) 52 (100)
Pada lokus SPS115 terdapat 10 genotipe, dari ketiga populasi sapi Aceh hanya populasi sapi Aceh yang ada di Indrapuri yang memiliki 9 genotipe dari lokus SPS115 kecuali genotipe CD. Sementara dua populasi sapi Aceh lainnya yang terdapat di Banda Aceh hanya memiliki dua genotipe yaitu AB dan AE, dan populasi sapi Aceh di Saree memiliki enam genotipe dari lokus SPS 115 yaitu BB, BC, BE, CD, CE dan EE.
43
Berdasarkan pengamatan dari tiga populasi sapi Aceh yang ada, genotipe CE memiliki frekuensi yang tinggi dibandingkan dengan genotipe lainnya yaitu sebesar 25.00%, diikuti oleh genotipe BE (19.23%), genotipe BC dan CC memiliki nilai frekuensi yang sama yaitu sebesar 13.46%.Genotipe CE memiliki nilai frekuensi yang tinggi pada populasi sapi Aceh di Indrapuri sebesar 30.00%, diikuti populasi sapi Aceh yang ada di Saree sebesar 11.11%. Pada populasi sapi Aceh yang ada di Banda Aceh, genotipe AE memiliki frekuensi yang sangat tinggi (66.66%), sementara genotipe AE pada populasi sapi Aceh yang ada di Indrapuri hanya memiliki frekuensi 2.50%. Keragaman genotipe mikrosatelit DNA lokus SPS115 memperlihatkan bahwa hanya empat genotipe (CE, BE, BC, dan CC) yang memiliki frekuensi yang lebih besar dari 10.00%, sementara enam genotipe lainnya (AB, AE, BB, BD, CD, EE) hanya memiliki frekuensi genotipe kurang dari 10.00%. Keragaman genotipe mikrosatelit DNA lokus ILSTS028 dari tiga populasi sapi Aceh di Banda Aceh, Saree dan Indrapuri dapat di lihat pada Tabel 18. Genotipe CH (24.36%) merupakan genotipe yang memiliki frekuensi yang tertinggi dibandingkan dengan 27 genotipe lainnya dari lokus ILSTS 028, diikuti genotipe CC (11.76%) dan genotipe HH (10.08%). Sementara genotipe lainnya dari lokus ILSTS 028 memiliki frekuensi dibawah 10.00%. Secara umum ketiga genotipe CH, CC dan HH dimiliki oleh ketiga populasi sapi Aceh yang ada di daerah Banda Aceh, Saree, dan Indrapuri. Frekuensi genotipe CH (28.58%) pada populasi sapi Aceh di Saree memiliki nilai frekuensi yang tertinggi, diikuti populasi sapi Aceh di Indrapuri (24.69%) dan populasi sapi Aceh yang ada di Saree (22.60%). Hasil pengamatan dari tiga populasi sapi Aceh yang ada di Banda Aceh, Saree dan Indrapuri, ditemukan bahwa populasi sapi Aceh di Indrapuri memiliki 22 genotipe dari lokus ILSTS 028, diikuti populasi sapi Aceh di Saree (15 genotipe), dan populasi sapi Aceh di Banda Aceh yang hanya memiliki 5 genotipe (AH, CC, CH, HH, dan IK) dari lokus ILSTS 028.
44
Tabel 18. Genotipe, jumlah sampel dan frekuensi lokus ILSTS028 sapi Aceh Genotipe AB AE AF AH BB BC BG BH BK BL CC CD CE CF CG CH CI CJ CK DD DH EH GH GK HH HJ HK IK Jumlah
Banda Aceh (n)/(%) 0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 1 (14.28) 0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 1 (14.28) 0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 2 (28.58) 0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 2 (28.58) 0 (0.00) 0 (0.00) 1 (14.28) 7 (100)
Saree (n)/(%) 0 (0.00) 0 (0.00) 1 (3.32) 1 (3.22) 1 (3.22) 4 (12.90) 2 (6.46) 0 (0.00) 0 (0.00) 1 (3.22) 2 (6.46) 0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 2 (6.46) 7 (22.60) 0 (0.00) 1 (3.22) 0 (0.00) 1 (3.22) 0 (0.00) 2 (6.46) 1 (3.22) 0 (0.00) 4 (12.90) 1 (3.22) 0 (0.00) 0 (0.00) 31 (100)
Indrapuri (n)/(%) 1 (1.23) 1 (1.23) 0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 6 (7.42) 1 (1.23) 4 (4.94) 1 (1.23) 0 (0.00) 11 (13.59) 1 (1.23) 1 (1.23) 1 (1.23) 3 (3.70) 20 (24.69) 1 (1.23) 2 (2.47) 3 (3.70) 0 (0.00) 1 (1.23) 3 (3.70) 7 (8.66) 1 (1.23) 6 (7.42) 4 (4.94) 2 (2.47) 0 (0.00) 81 (100)
Total (n)/(%) 1 (0.84) 1 (0.84) 1 (0.84) 2 (1.68) 1 (0.84) 10 (8.40) 3 (2.52) 4 (3.36) 1 (0.84) 1 (0.84) 14 (11.76) 1 (0.84) 1 (0.84) 1 (0.84 5 (4.20) 29 (24.36) 1 (0.84) 3 (2.52) 3 (2.52) 1 (0.84) 1 (0.84) 5 (4.20) 8 (6.72) 1 (0.84) 12 (10.08) 5 (4.20) 2 (1.68) 1 (0.84) 119 (100)
Berdasarkan hasil pengamatan dari tiga populasi sapi Aceh yang ada di Banda Aceh, Saree dan Indrapuri dari tiga lokus yang diamati (BM1824, SPS115 dan ILSTS028), sapi Aceh bergenotipe BE pada lokus BM1824 dan CE pada lokus ILSTS028 memiliki bobot badan yang tinggi, yang hanya dimiliki oleh sapi Aceh yang ada di Indrapuri, sementara sapi Aceh yang bergenotipe CD pada lokus SPS 115 hanya terdapat pada populasi di Saree. Distribusi Alel. Polimorfisme alelik dari ketiga lokus mikrosatelit BM1824, SPS115 dan ILSTS028 yang diamati pada tiga populasi sapi Aceh secara umum menunjukkan tingkat variasi yang berbeda. Pada Tabel 19, teridentifikasi lokus
45
BM1824 memiliki enam alel (A, B, C, D, E dan F) dengan kisaran panjang 171 – 193 bp. Tabel 19 Kisaran ukuran alel, jumlah alel dan heterozigositas pada tiga lokus mikrosatelit pada sapi Aceh Lokus BM1824 SPS115 ILSTS028
Ukuran alel 171 A- 193 F 242 A- 252 E 129 A- 159 L
Banda Aceh 2 1 4
Jumlah alel dan heterozigositas Saree Indrapuri h 3 3 0.66 3 4 0.71 7 7 0.75
Hasil penelitian ini memiliki jumlah alel yang lebih sedikit dibandingkan dengan penelitian Abdullah (2008), dengan menggunakan lokus BM1824 pada 160 sampel sapi Aceh ditemukan tujuh alel dengan kisaran panjang 190 – 212 bp. Hasil elektroforesis lokus BM1824 dapat dilihat pada Lampiran 12. Lokus SPS115 hanya memiliki lima jenis alel (A, B, C, D, E) dengan panjang alel berkisar antara 242-252 bp dan lokus ILSTS 028 memiliki duabelas alel dengan kisaran panjang basa antara 129 -159 bp (Tabel 19). Hasil elektroforesis lokus SPS115 dan lokus ILSTS 028 dapat dilihat pada Lampiran 13 dan 14. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa semua lokus yang digunakan (BM1824, SPS115 dan ILSTS028) dapat teramplifikasi dengan baik pada semua populasi sampel. Berdasarkan hasil penelitian dapat diidentifikasikan bahwa ketiga lokus mikrosatelit yang digunakan dapat digolongkan lokus yang polimorfik, dengan demikian mikrosatelit ini dapat diuji lebih lanjut untuk dapat dijadikan kandidat marker. Upaya untuk menjamin akurasi serta kestabilan alel yang dihasilkan, maka penggunaan mikrosatelit tersebut sebaiknya perlu dilakukan dengan jumlah individu lebih banyak serta cakupan geografis yang luas sehingga dapat digunakan untuk estimasi evaluasi genetik maupun filogenetik bagi ternak-ternak lokal di Indonesia. Nilai Heterozigositas (h). Efek yang dapat dimunculkan dari nilai heterozigositas adalah dapat dihasilkannya heterosis positif atau over dominance dalam suatu bangsa (Baker dan Manwell 1991), walaupun kemungkinan tersebut memerlukan proses seleksi yang panjang. Nilai heterozigositas rendah yang ditemukan pada
46
suatu populasi mengindikasikan bahwa bangsa sapi lokal diduga mengalami seleksi ke arah peningkatan silang dalam atau inbreeding dan ada kecenderungan pula menurunnya beberapa karakter fenotipik dibandingkan sebelumnya. Nilai heterozigositas pada lokus BM1824 dari tiga populasi sapi Aceh adalah antara 53% - 68% (Tabel 20). Lokus SPS115 dan ILSTS028 pada populasi sapi Aceh dari Banda Aceh dan Saree memiliki nilai heterozigositas 57%-100% Hasil penelitian pada sapi Aceh dengan menggunakan 16 lokus memiliki rataan heterozigositas genetik 62% (Abdullah. 2008). Heterozigositas yang tinggi dalam populasi sapi Aceh menunjukkan bahwa sapi Aceh ini mengandung alelalel sapi lain atau mutasi alel dengan frekuensi rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya program inseminasi buatan yang diterapkan di Aceh yang mengakibatkan adanya segregasi gen-gen sapi lain yang sangat beragam, serta belum dilakukan seleksi terhadap sapi Aceh. Hasil ini berbeda jauh jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya oleh Ginja et al. (2009), yang menganalisis variasi genetik pada sapi Portugis (Bos taurus) dengan sapi Brahman (Bos indicus) menggunakan mikrosatelit. Nilai heterozigositas (h) rata-rata pada sapi Portugis antara 0.09 (9%) hingga 0.30 (30%) dan sapi Brahman 0 (0%). Nilai heterozigositas sapi Aceh yang berkisar 53% - 100% dari ketiga populasi sampel dengan menggunakan tiga lokus mikrosatelit (BM1824, SPS115, ILSTS028) mengidentifikasikan bahwa sapi Aceh memiliki keragaman genetik yang sangat tinggi (Tabel 20). Tabel 20 Nilai heterozigositas lokus BM1824, SPS115, ILSTS028 sapi Aceh Populasi Banda Aceh Saree Indrapuri Total x
BM1824 0.62 0.53 0.68 0.66
Lokus SPS115 1.00 0.66 0.70 0.71 0.71
ILSTS028 0.57 0.74 0.73 0.75
Nilai rata-rata heterozigositas dari ketiga lokus (BM1824, SPS115, ILSTS028) yang diteliti pada tiga populasi (Banda Aceh, Saree, Indrapuri) adalah 0.71. Pandey et al. (2006) menyatakan bahwa untuk menilai variasi genetik antar breed minimum harus terdapat empat alel yang berbeda per lokus, sehingga dalam
47
penelitian ini semua lokus telah memenuhi kriteria tersebut. Perbandingan jumlah alel per lokus pada berbagai penelitian dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21 Perbandingan jumlah alel per lokus pada berbagai penelitian Jumlah Rataan alel
Sampel
Sumber
126 (Aceh)
Hasil Penelitian ini
lokus 3
7.6
16
10.25
160 (Aceh), 10 (Bali)
Abdullah (2008)
9
7.11
18 (Zebu)
Machado et al. (2003)
2
3.5
294 (Bali)
Handiwirawan et al. (2003)
6
11.70
189 (Pesisir)
Sarbaini (2004)
20
11.40
546 sampel dari 14 bangsa sapi
Loftus et al. (1994)
20
8.40
728 (African Zebu)
MacHugh (1996)
25
6.20
105 (Tharpakar)
Sodhi et al. (2006)
Penggunaan 16 lokus mikrosatelit pada sapi Aceh mendeteksi 148 alel mikrosatelit dari total 160 sampel sapi yang digunakan, dengan rataan dalam populasi sebanyak 9.25 (Abdullah 2008), sedangkan studi Sarbaini (2004) pada 189 sapi Pesisir di Sumatera Barat, terdapat rataan jumlah alel per lokus 11.7. Hasil penelitian ini dengan menggunakan 3 lokus (BM1824, SPS115 dan ILSTS028) pada 126 sampel sapi Aceh, memiliki rataan alel per lokus 7.6 ( Tabel 21), hal ini mengidentifikasikan bahwa banyaknya keragaman jenis alel yang dimiliki sapi Aceh.
48
Hubungan Kualitas Karkas Sapi Aceh dengan Gen Hormon Pertumbuhan (GH) Hasil Amplifikasi Gen GH. Amplifikasi fragmen gen hormon pertumbuhan (GH) yang dilakukan pada sapi Aceh menunjukkan primer forward berada pada posisi intron 4 dan primer reverse berada pada posisi flanking region 3 (Gambar 9). Amplifikasi ruas gen GH dilakukan pada mesin thermal cycler (Ependorf 5332) dengan suhu annealing 63oC. Hasil amplifikasi ruas gen yang divisualisasikan pada gel agarosa 1.5% disajikan pada Gambar 10. Panjang produk hasil amplifikasi ruas gen GH adalah 404 bp. Intron 4 1865 bp – 2137 bp
Ekson 5 2138 bp- 2439 bp
Flanking region 3 2440 – 2856 bp
F
R 2054 bp-2074 bp
2437 bp – 2457 bp
Produk PCR 2457 bp – 2054 bp = 404 bp
Gambar 9. Posisi primer forward, primer reverse dan produk PCR gen GH
M
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
404 bp
400 bp
100 bp
Gambar 10. Visualisasi hasil amplifikasi ruas gen GH pada gel agarosa 1.5% (M: marker 100 bp, 1 -11: sampel penelitian) Hasil amplifikasi yang dilakukan oleh Gordon et al. (1983), Yao et al. (1996), Ge et al. (2003) dan Zakizadeh et al. (2006) dengan primer yang sama, bahwa annealing (penempelan) primer fragmen gen GH/AluI masing-masing pada suhu 59 ºC selama 80 detik, 65 ºC selama 30 detik, dan 57 ºC selama 60
49
detik menghasilkan produk PCR yang baik. Suhu annealing yang gunakan dalam penelitian ini adalah 63 ºC selama 45 detik untuk mendapatkan produk PCR yang optimal agar dapat terbaca dengan jelas. Identifikasi varian gen GH dengan pendekatan PCR-RFLP. Penentuan genotipe gen GH dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan PCR-RFLP dengan AluI sebagai enzim pemotong. Enzim AluI mengenali situs pemotongan AG|CT. Berdasarkan sekuen DNA ruas gen GH yang diamplifikasi, didapatkan dua situs pemotongan AluI, yaitu fragmen dengan panjang 87, 132 dan 185 yang dikenal dengan alel leusin (L) (Gambar 11). Hasil pemotongan dengan enzim AluI pada fragmen gen GH AluI sebesar 404 bp hanya diperoleh satu macam fragmen, yaitu fragmen yang dapat dipotong (dua pita) yang dikenal dengan genotipe LL, sedangkan fragmen yang tidak dapat dipotong (satu pita) yang dikenal dengan genotipe VV dan fragmen gabungan (tiga pita) yang dikenal dengan genotipe LV tidak ditemukan pada penelitian ini (Gambar 11).
M
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11
12
13
14
15
16
500 bp
200 bp
185 bp
100 bp 132 bp
Gambar 11. Visualisai PCR-RFLP ruas gen GH|AluI pada gel agarosa 1.5% (M: Marker 100 bp, 1-16: Sampel penelitian) Hasil visualisasi menggunakan agarose 1.5% menunjukkan bahwa lokus GH/AluI pada populasi sampel sapi Aceh yang diamati adalah seragam. Genotipe yang ditemukan pada sapi Aceh dalam penelitian ini adalah genotipe LL. Berdasarkan analisis, didapatkan frekuensi genotipe LL adalah satu (1), hal ini mengakibatkan frekuensi genotipe LV dan VV menjadi nol (0). Berdasarkan
50
persamaan Nei dan Kumar (2000) maka frekuensi alel L adalah 1 dan frekuensi alel V adalah 0. Hasil ini kemungkinan disebabkan oleh penggunaan sampel yang sangat terbatas. Hasil Analisis Kualitas Karkas dan Daging Sapi Aceh Nilai rataan parameter kualitas karkas dan daging sapi Aceh dapat dilihat pada Tabel 20. Nilai pH daging pada penelitian ini rata-rata 5.46, yang menunjukkan pada kisaran pH daging normal yaitu 5.4 – 5.8. Warna daging termasuk dalam kategori I (skor 1 – 5) sesuai SNI (Standart Nasional Indonesia, 2008). Tingkat keempukan daging 4 – 5 dalam kategori sedang, daging tidak empuk juga tidak terlalu alot (BSN. 2008) Tabel 22 Hasil analisis kualitas daging dan karkas sapi Aceh Nomor
Parameter
n
Rata-rata ± simpangan baku
1 2 3 4 5 6 7
Bobot potong (kg) Luas udamaru (cm2) pH Keempukan (kg/cm2) Susut masak (%) DMA (%) Warna daging
42 42 42 42 42 42 42
301.88 ± 125.59 34.19 ± 3.51 5.46 ± 0.39 4.79 ± 1.74 35.38 ± 6.24 29.94 ± 4.55 3.8 ± 1.81
Standar Nasional Indonesia (BSN, 2008) 5.4-5.8 4-5 1-5
Hasil penelitian mengidentifikasikan bahwa karkas/daging sapi Aceh mempunyai serat daging lebih halus dan warna daging merah. Kualitas dan struktur daging tersebut sangat tergantung pada jenis daging dan lokasi atau letak daging. Demikian juga jaringan lemak (marbling) sangat dipengaruhi oleh sistem pemeliharaan dan pakan yang diberikan. Berdasarkan dari hasil penelitian ini dapat diidentifikasikan bahwa penggunaan gen GH/AluI hanya menghasilkan genotipe LL dan monomorfik, sehingga belum dapat digunakan sebagai marker untuk menghubungan dengan kualitas karkas pada sapi Aceh. Fenomena ini kemungkinan disebabkan oleh keterbatasan jumlah sampel yang digunakan dan adanya seleksi alam terhadap genotipe LV dan VV sebagai konsekuensi adaptasi sapi Aceh pada lingkungan setempat. Dengan demikian masih diperlukan penelitian lebih lanjut, dengan
51
menggunakan sampel yang lebih banyak dan bila ditemukan keragaman dilanjutkan dengan sekuensing, agar mendapatkan hasil penelitian yang lebih akurat.
52
Pembahasan Umum Sapi Aceh merupakan jenis sapi lokal yang telah lama dikenal sebagai salah satu ternak peliharaan masyarakat tani di pedesaan. Pada awalnya penggunaannya sebagai ternak kerja mengolah lahan pertanian dan ternak potong serta sebagian kecil untuk tabungan. Secara genetik, sapi Aceh merupakan jenis sapi Zebu yang berasal dari Bos indicus yang dibawa oleh para pedagang India, dan hasil perkawinan dengan bangsa sapi Bos taurus yang dibawa bangsa Belanda ketika bermukim di Aceh. Secara fenotipe sapi Aceh tidak mempunyai ciri-ciri tertentu baik dalam bentuk, rupa maupun warna bulu, namun sapi Aceh telah diakui sebagai salah satu sumber daya genetik ternak lokal yang harus dilestarikan keberadaannya. Sapi Aceh berpenampilan agak gesit, proporsional, ukuran badan mengarah ideal dan kompak antara kaki depan dan belakang seimbang, jantan biasanya berpunuk, sapi jantan dan betina bertanduk. Sapi Aceh dipelihara secara ekstensif, tidak diberi pakan dan tidak disediakan kandang oleh pemiliknya, kalaupun ada bentuknya sangat sederhana. Sepanjang hari ternak dilepas secara berkelompok, biasanya terdiri atas satu atau beberapa orang pemilik. Keberadaan sapi Aceh semakin lama semakin berkurang jumlahnya hal ini disebabkan pemotongan sapi dan persilangan terhadap sapi Aceh. Pemotongan sapi Aceh di Nanggroe Aceh Darussalam biasanya dilakukan pada saat acara kenduri sunatan, pesta perkawinan, kenduri pada hari-hari besar Islam, kenduri turun kesawah, kenduri membersihkan saluran irigasi dan masih banyak lagi kenduri-kenduri yang merupakan kegiatan adat serta kebiasaan yang berlaku didalam masyarakat. Secara umum penyembelihan ternak sapi tidak terdaftar di kantor pemerintahan desa, sehingga pengurangan populasi ternak tersebut tidak tercatat. Persilangan ternak merupakan salah satu program perbaikan mutu genetik sapi Aceh yang dilakukan oleh pemerintah. Persilangan sapi Aceh dengan sapi Sumba Ongole/Peranakan Ongole (PO) yang didatangkan dari Sumba telah dilakukan sejak tahun 1968, yaitu dilakukan penyebaran sapi PO di kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Seiring dengan dimulainya program inseminasi buatan di NAD pada bulan April 1972, maka difokuskan
53
kegiatan inseminasi buatan pada Balai Peternakan Saree dan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar. Semen beku yang digunakan pertama sekali adalah bangsa sapi Santagertrudis dan Brahman. Akseptor pertama adalah sapi betina lokal Aceh dan sapi betina Ongole. Program persilangan dengan menggunakan semen beku dari sapi Simental, Brahman, Limousin dan Charollais yang tersedia di Dinas Peternakan Prov. NAD masih berlangsung sampai sekarang. Adanya intrograsi berbagai jenis ternak dari luar telah ikut menambah keragaman warna dan ragam genetik sapi Aceh. Perkawinan silang yang berlangsung secara alami antara sapi eksotik dengan sapi Aceh, menghasilkan turunan yang dengan mudah dapat dilihat dari performans dan sifat-sifat dominan yang muncul seperti bentuk telinga, bentuk kepala, bentuk tanduk dan warna bulu. Hasil turunan silang tersebut dalam kurun waktu yang panjang telah ikut mengubah performans sapi-sapi Aceh asli, sehingga permasalahan yang muncul adalah kehilangan dan punahnya plasma nutfah sapi Aceh. Permasalahan lain yang dihadapi adalah terbatasnya data kuantitatif dan kualitatif sapi Aceh, karena penelitian terhadap sapi Aceh tidak dilakukan secara berkesinambungan. Penelitian sapi Aceh dengan menggunakan data molekuler belum banyak diteliti, sehingga data molekuler yang dimiliki sangat terbatas. Berdasarkan hasil penelitian untuk melihat keragaman pada tingkat molekuler pada populasi sapi Aceh dengan menggunakan penanda genetik SNPs (gen GH), D-Loop dan mikrosatelit dapat diidentifikasi bahwa penggunaan ketiga marker genetik tersebut sangat bermanfaat, meskipun masing-masing marker genetik tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya. Penggunaan D-Loop dapat mengidentifikasikan posisi sapi Aceh diantara sapi-sapi yang berasal dari Buthan, China, India dan Zebu, dengan penyebaran sapi Aceh, terutama sapi Aceh yang berasal dari Indrapuri menyebar merata diantara sapi-sapi Buthan, China, India dan Zebu. Hal ini membuktikan bahwa sapi Aceh memiliki hubungan kekerabatan yang erat dengan sapi Buthan, China, India dan Zebu, karena memilik tetua yang sama dari Bos indicus. Dua puluh delapan sampel sapi Aceh yang berasal dari Indrapuri, Banda Aceh dan Saree memiliki maternal origin Bos indicus, sedangkan satu sampel dari Saree memiliki
54
maternal origin Bos taurus. Keberadaan maternal origin dari Bos taurus masih merupakan suatu tantangan untuk mendapatkan informasi lebih lanjut, kemungkinan juga disebabkan adanya intrograsi pada saat dilakukan Inseminasi Buatan (IB) Penanda genetik mikrosatelit telah dapat membuktikan banyaknya variasi genotipe yang dimiliki oleh sapi Aceh, terutama pada populasi sapi Aceh yang berasal dari Indrapuri. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa semua lokus yang digunakan (BM1824, SPS115 dan ILSTS 028) dapat teramplifikasi dengan baik pada semua populasi sampel, sehingga mikrosatelit ini dapat diuji lebih lanjut untuk dapat dijadikan kandidat marker, terutama pada sapi-sapi yang ditetapkan sebagai ternak lokal. Suatu upaya untuk jaminan akurasi serta kestabilan alel yang dihasilkan, maka penggunaan mikrosatelit tersebut sebaiknya perlu dilakukan dengan jumlah individu yang lebih banyak serta cakupan geografis yang luas sehingga dapat digunakan untuk estimasi evaluasi genetik maupun filogenetik bagi ternak-ternak lokal di Indonesia. Penggunaan SNP telah dapat mengidentifikasikan satu titik mutasi baru pada gen GH pada ekson lima diposisi basa ke 2.230 bp, yaitu menunjukkan terjadi perubahan satu basa nukleotida C-T, tetapi dalam penelitian ini belum dapat menghubungkan keragaman tersebut dengan kualitas karkas pada sapi Aceh. Populasi yang berasal dari Indrapuri memiliki tingkat keragaman SNP yang tinggi dibandingkan populasi yang berasal dari Banda Aceh dan Saree. Sebanyak lebih dari 75% populasi sampel Indrapuri memiliki SNP pada posisi basa ke 2.230 bp, dengan jumlah frekuensi alel C memiliki nilai yang lebih tinggi dari frekuensi alel A dan alel T. Keragaman SNP yang ditemukan dalam penelitian ini dapat menjadi salah satu marker genetik yang potensial untuk melihat keragaman pada populasi sapi Aceh. SNP tidak berfungsi secara individual melainkan bekerjasama dengan SNP lainnya untuk mengekspresikan suatu perubahan kondisi pada suatu individu. Ketiadaan sampel sebagai akibat keterbatasan mendapatkan sapi Aceh merupakan salah satu sebab ketiadaan sampel karkas sebagai bahan penelitian. Oleh sebab itu, dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan sampel karkas yang berasal dari RPH, dengan menggunakan gen GH/AluI sebagai marker genetik.
55
Hasil visualisasi menggunakan agarose 1.5% menunjukaan bahwa lokus GH/AluI pada populasi sampel sapi Aceh yang diamati adalah seragam (monomorfik). Genotipe yang ditemukan pada sapi Aceh dalam penelitian ini adalah genotipe LL, kondisi ini kemungkinan disebabkan terbatasnya jumlah sampel yang digunakan. Oleh karena lokus GH/AluI pada populasi sampel sapi Aceh yang diamati bersifat monomorfik, sehingga gen GH/AluI belum dapat digunakan sebagai marker genetik untuk mengidentifikasikan hubungan antara gen GH/AluI dengan kualitas karkas pada sapi Aceh. Pemanfaatan marker genetik dari hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam program pemuliaan dan pelestarian plasma nutfah sapi Aceh. Kemungkinan penggunaan marker genetik ini dapat diterapkan pada BPTU (Balai Pembibitan Ternak Unggul) sapi Aceh di Indrapuri. Berdasarkan dari sampel sapi Aceh yang digunakan dalam penelitian, sapi Aceh yang berasal dari Indrapuri memiliki keragaman yang tinggi dibandingkan sampel dari Banda Aceh dan Saree. SNPs yang ditemukan pada populasi sapi Aceh Indrapuri dapat dijadikan dasar untuk melakukan penelitian lanjutan. Berdasarkan data keragaman tersebut, peneliti dapat mengidentifikasikan ternak, melakukan pencatatan semua data fenotipe dan mendapatkan data karkas secara rinci, sehingga seluruh informasi yang didapat sangat bermanfaat untuk mendukung program pelestarian plasma nutfah sapi Aceh. Strategi pemanfaatan sapi Aceh kepada masyarakat secara berkelajutan dapat dilakukan dengan cara peningkatan mutu genetik sapi Aceh (seleksi). Pemahaman yang sederhana untuk tidak mengawinkan sapi betina Aceh yang mempunyai silsilah dan turunan sapi Aceh dengan bangsa sapi lainnya baik secara kawin alami maupun inseminasi buatan perlu ditekankan kepada masyarakat. Klasifikasi yang jelas mengenai tanda-tanda fenotipe sapi Aceh sangat penting untuk dijadikan dasar dalam penentuan sapi Aceh murni atau sebagai turunan sapi Aceh, misalnya warna bulu, bentuk tanduk, ukuran dan bentuk kaki dan kemampuan produksi. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dokumentasi plasma nutfah yang ada serta sebagai dasar pengambilan kebijakan guna menerapkan keputusan yang lebih tepat dan terarah dalam program pelestarian plasma nutfah sapi Aceh,
56
pengembangan dan pemanfaatannya secara berkelanjutan, karena sapi Aceh termasuk salah satu ternak yang menjadi target konservasi. Peningkatan eksistensi spesifikasi sapi-sapi lokal Indonesia masih memerlukan kegiatan penelitian berbasis molekuler yang lebih banyak, sebab teknologi ini masih diakui dunia sebagai teknologi yang tepat untuk identifikasi genetik. Pada masa mendatang diharapkan sapi-sapi lokal dapat diakui konservasi genetiknya secara internasional dengan data yang memadai untuk mendukung pelestarian plasma nuftah sapi Aceh yang jumlahnya semakin berkurang akibat seleksi alam maupun seleksi buatan
57
SIMPULAN DAN SARAN
1. Polimorfisme yang dapat diidentifikasikan pada ekson lima dari gen Growth Hormone (GH) pada posisi basa ke 2.230 pada penelitian ini dapat menjadi marker genetik yang potensial pada sapi Aceh. 2. Berdasarkan analisis daerah D-Loop mtDNA dibuktikan bahwa sapi Aceh adalah sapi secara genetik lebih dekat dengan sapi Bos indicus (Zebu), dan juga memiliki pengaruh dari Bos taurus. 3. Lokus GH/AluI pada populasi sampel sapi Aceh yang diamati adalah seragam (monomorfik), dengan genotipe LL. 4. Gen GH/AluI belum dapat digunakan sebagai marker genetik penanda kualitas karkas pada sapi Aceh.
SARAN Penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan gen GH sebagai marker genetik untuk kualitas karkas masih sangat perlu dilakukan, disarankan juga untuk melakukan sekuen dengan sampel yang lebih banyak dan berasal dari beberapa sampel sapi lokal yang ada di Indonesia, juga melakukan penelitian pada ekson dan intron lain dari gen GH.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Jenis kelamin dan nomor DNA sapi Aceh untuk analisa SNP, DLoop dan Mikrosatelit di BPTU Indrapuri No. sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43
Jenis kelamin B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B
No. DNA 128 165 108 151 157 87 81 146 121 105 135 127 110 99 84 139 134 112 88 90 198 133 193 197 129 189 190 117 167 96 160 74 131 163 72 130 172 154 126 152 100 114 92
No. sampel 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106
Jenis kelamin B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B J J J J J J J J J J J J J J J J J J
No. DNA 111 179 186 86 199 194 170 106 156 97 196 147 113 199 132 188 187 191 192 195 71 77 85 176 184 171 182 173 175 164 125 159 136 95 119 145 102 91 89 166 109 150 104
65
Lampiran 1. Lanjutan No. Jenis No. No. sampel kelamin DNA sampel 44 J 141 107 45 J 143 108 46 J 107 109 47 J 78 110 48 J 144 111 49 J 200 112 50 J 162 113 51 J 149 114 52 J 115 115 53 J 183 116 54 J 116 117 55 J 103 118 56 J 123 119 57 J 169 120 58 J 118 121 59 J 161 122 60 J 127 123 61 J 73 124 62 J 142 125 63 J 124 126 Keterangan; B: Betina, J: Jantan
Jenis kelamin J J J J J J J J J J J J J J J J J J J J
No. DNA 138 158 166 174 168 181 82 178 185 140 122 76 75 155 83 153 120 180 93 94
66
Lampiran 2. Jenis kelamin, lokasi dan nomor DNA sapi Aceh untuk analisa SNP, D-Loop dan Mikrosatelit dari Banda Aceh dan Saree No. Jenis Lokasi No. sampel kelamin DNA 1 B B.Aceh 1 2 B B.Aceh 2 3 J B.Aceh 3 4 B B.Aceh 4 5 B B.Aceh 5 6 B Saree 6 7 B Saree 7 8 B Saree 8 9 B Saree 9 10 B Saree 10 11 B Saree 11 12 B Saree 12 13 B Saree 13 14 B Saree 14 15 B Saree 15 16 B Saree 16 17 B Saree 17 18 B Saree 18 19 B Saree 19 20 B Saree 20 21 B Saree 21 22 B Saree 22 23 B Saree 23 24 B Saree 24 25 B Saree 25 26 B Saree 26 27 B Saree 27 28 B Saree 28 29 B Saree 29 30 B Saree 30 31 B Saree 31 32 B Saree 32 33 B Saree 33 34 B Saree 34 35 B Saree 35 Keterangan; B: Betina, J: Jantan
No. sampel 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70
Jenis kelamin B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B J B B J J J J B J B J J B J
Lokasi Saree Saree Saree Saree Saree Saree Saree Saree Saree Saree Saree Saree Saree Saree Saree Saree Saree Saree Saree Saree Saree Saree Saree Saree B. Aceh B. Aceh B. Aceh B. Aceh B. Aceh B. Aceh B. Aceh B. Aceh B. Aceh B. Aceh B. Aceh
No. DNA 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70
67
Lampiran 3. Sekuen sampel dari Gen Bank yang digunakan untuk alignments gen GH Nomor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Breed sapi Nelore/Zebu Butana/Zebu Taurine/MG4 Taurine/MG3 Taurine Tharri malir Taurine Taurine Taurine Red Sindhi Dhanni Taurine Taurine Taurine Taurine Taurine Taurine Taurine Taurine Taurine Taurine Taurine Taurine/MG1 Taurine/MG2 Kamori/Taurine LQ1 Zebu LQ2 Zebu Kenana/Zebu Sahiwal Dhanni x Australian Holstein
Kode akses AF034386 EF592533 EU344993 EU344992 EF470979 EF451796 NM180996 AY912488 DQ184480 DQ307370 DQ307369 M23813 J00008 M27325 AY775050 M16253 A06834 E00183 E00057 AF117349 AY775050.1 V00111 EU344990 EU344991 EF451794 EU344985 EU344986 EF592534 EF451795 DQ307371
68
Lampiran 4. Sekuen dari Gen Bank yang digunakan untuk alignments D- Loop Nomor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Breed sapi Buthan Buthan Buthan Buthan Buthan China China China China China China Zebu Zebu India India India India India India India India India India India India India India India India India India India India India India India India
Spesies Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus Bos indicus
Kode akses AB268577.1 AB268578.1 AB268579.1 AB268580.1 AB268581.1 AY378136.1 AY902403.1 EF417971.1 EF417974.1 EF417985.1 AB268579 AF162484.1 AF162485.1 AY972130 AY972131 AY972132 AY972133 AY972134 AY972135 AY972136 AY972137 AY972138 AY972139 AY972140 AY972141 AY972142 AY972143 AY972144 AY972145 AY972146 AY972147 AY972148 AY972149 AY972150 AY972152 AY972153 AY972154
Referensi Lin et al. 2007 Lin et al. 2007 Lin et al. 2007 Lin et al. 2007 Lin et al. 2007 Baig et al. 2005 Baig et al. 2005 Baig et al. 2005 Baig et al. 2005 Baig et al. 2005 Baig et al. 2005 Nijman et al. 2003 Nijman et al. 2003
Baig et al. 2005 Baig et al. 2005 Baig et al. 2005 Baig et al. 2005 Baig et al. 2005 Baig et al. 2005 Baig et al. 2005 Baig et al. 2005 Baig et al. 2005 Baig et al. 2005 Baig et al. 2005 Baig et al. 2005 Baig et al. 2005 Baig et al. 2005 Baig et al. 2005 Baig et al. 2005 Baig et al. 2005 Baig et al. 2005 Baig et al. 2005 Baig et al. 2005 Baig et al. 2005 Baig et al. 2005 Baig et al. 2005 Baig et al. 2005
69
Lampiran 5. GenBank: M57764.1 Bovine growth hormone gene, complete cds LOCUS: BOVGHGH 2856 bp DNA linear MAM 27-APR-1993 DEFINITION: Bovine growth hormone gene, complete cds. ACCESSION: M57764 M28453 ORGANISM: Bos taurus Eukaryota; Metazoa; Chordata; Craniata; Vertebrata; Euteleostomi; Mammalia; Eutheria; Laurasiatheria; Cetartiodactyla; Ruminantia; Pecora; Bovidae; Bovinae; REFERENCE: 1 (bases 1 to 2856) AUTHORS: Gordon,DF, Quick,DP, Erwin,CR, Donelson,JE and Maurer,RA. TITLE: Nucleotide sequence of the bovine growth hormone chromosomal gene JOURNAL: Mol.Cell. Endocrinol 33 (1), 81-95 (1983) gene join(649..723,971..1131,1359..1475,1703..1864,2138..2439) mRNA join(649..723,971..1131,1359..1475,1703..1864,2138..2439) exon 649..723 /gene="GH1" /number=1 CDS join(711..723,971..1131,1359..1475,1703..1864,2138..2338) /gene="GH1" /codon_start=1 /product="growth hormone" intron 724..970 /gene="GH1" /number=1 exon 971..1131 /gene="GH1" /number=2 intron 1132..1358 /gene="GH1" /number=2 exon 1359..1475 /gene="GH1" /number=3 intron 1476..1702 /gene="GH1" /number=3 exon 1703..1864 /gene="GH1" /number=4 intron 1865..2137 /gene="GH1" /number=4 exon 2138..2439 /gene="GH1" /number=5
70
ORIGIN 1 61 121 181 241 301 361 421 481 541 601 661 721 781 841 901 961 1021 1081 1141 1201 1261 1321 1381 1441 1501 1561 1621 1681 1741 1801 1861 1921 1981 2041 2101 2161 2221 2281 2341 2401 2461 2521 2581 2641 2701 2761 2821
gtactggggt tgagtctcct cttctgctgc agacagcagc ttgccatttc tccgaccctc ctcgcttctg ccctgtgtgc gacatgaccc ttagcacagg ggagagagag aggacccagt caggtaagct ctgccgatgg ctacacccag ggggctggca ctctccctag actcaggtgg ctccgggctc cgagggatgc agtgggagga gcagaaacgg caccagctta gacagagata cccccacggg gcaggggacc cttctccccg ggcaggaggt ccgaccaccc gtcgtggctt cacctcggac gcgggtgggg cttagccagg agcagtccag ttctccaagc ggcccttcgg ggctgggcag cgcgctgctc gacgtacctg gccagccatc ccactgtcct ctattctggg ggcatgctgg cctcctgggc cctggttctt caatcccacc aaacctagcc agagaaaatg
gggttgcctt gcatttgcag tgctgctgct ccaccaggtc ctcctccaat agcgacccca ctacctcccc acagccctct cagagaagga ctgccagtgg aagaagccag tcaccagacg cgctaaaatc atgtgttcag acatttggcc ggagatcagg gcccccggac tgggcgcctt agcacctgca gtcctagggg aactgaggag gggtgtgtgg gacctgggtg ctccatccag caagaatgag tccttcatcc aggtggcgga cctcgggcag acctgccagc gggcccctgc cgtgtctatg atggcgttgt agaatgcacg ccttgaccca ctgtagggga cctctctgtc atcctcaagc aagaactacg agggtcatga tgttgtttgc ttcctaataa gggtggggtg ggatgcggtg cagaaagaag agttccagcc cgctaaagta tccaagagtg cctccaacat
tctcttctcc ctagattctt gctaagttgc cccgtccctg gcatgaaagt tggactgcag tttaaaaaga ggctggtggc acgggaacag tccttgcata ggtataaaaa actcagggtc ccctccattc agctttgggc aagtttgaaa cgtctagctc ctccctgctc cccagccatg tcagctggct tggggaggca ttcagccgta ggtggggagg ggtgtgttct aacacccagg gcccagcaga taagtaggct ggttgttgga aggccgacct aggacttgga agttcctcag agaagctgaa gggtcccttc tgggcttggg ggggaaacct gggtggaaaa tctccctccc agacctatga gtctgctctc agtgccgccg ccctcccccg aatgaggaaa gggcaggaca ggctctatgg caggcacatc ccactcatag cttggagcgg ggaagaaatt gtgaggaagt
aggggattta tacggctgag ttcagtcgtg ggattctcca gaaaagtgaa ccttccagaa aaacctatgg agtggagacg gatgagtgag aatgtataga tggcccagca ctgtggacag gcgtgtccta tttagggctt tgttctcagt cctggggccc ctggctttcg tccttgtccg gctgacacct ggaaggggtg ttttatccaa gttccgaata tcccccagga ttgccttctg aatcagtgag gccccagctc tggcagtgga tgcagggctg gctgcttcgc cagagtcttc ggacctggag catgtggggg gagacagatc tttccccttt tggagcgggc ttggcaggag caaatttgac ctgcttccgg cttcggggag tgccttcctt ttgcatcgca gcaaggggga gtacccaggt cccttctctg gacactcata tctctccctc aaagcaagat aatgag
tctgacccag ccacctggga tccgacctgt ggcaagaaca agtgaagtca tggggtgcca ggtgggctct ggatgatgac aggaggttct gcacacaggt gggaccaatt ctcaccagct aaggggtaat ccgaatgtga ccctggaggg tccgtcgcgg ccctgctctg gcctgtttgc tcaaagagtt aatccacacc gtagggatgt aggcggggag gcgcacctac cttctctgaa tggcaacctc ccgcaccggc ggatgatggt ccccagaccc atctcactgc accaacagct gaaggcatcc ccatgcccgc cctgctctct tgaaacctcc aggagggagc ctggaagatg acaaacatgc aaggacctgc gccagctgtg gaccctggaa ttgtctgagt ggattgggaa gctgaagaat tgacacaccc gctcaggagg cctcatcagc aggctattaa
ggattgaacc agcccattcg gcgacgccat ttggagtggg ctcagttgtg ttgccttctc caagctgaga aagcctgggg aaattatcca ggggggaaag ccaggatccc atgatggctg gcggggggcc acataggtat aagggtaggt ccctcctggt cctgccctgg caacgctgtg tgtaagctcc ccctccacac ggttagggga gggaaccgcg atcccggagg accatcccgg ggaccgagga ctggggcggc gggcggtggt gcggcaccca tcctcatcca tggtgtttgg tggccctgat cctctcctgg ccctctttct ttcctcgccc tgctcctgag gcaccccccg gcagtgacga ataagacgga ccttctagtt ggtgccactc aggtgtcatt gacaatagca tgacccggtt tgtccacgcc gctccgcctt ccaccaaacc gtgcagaggg
71
Lampiran 6. Hasil BLAST (Basic local alignment search tool) sapi Aceh Accession
Description
Bos indicus (Butana) growth hormone gene, complete cds Bos grunniens growth hormone gene, complete AY271297.1 cds Bos indicus (Kenana) growth hormone gene, EF592534.1 complete cds M57764.1 Bovine growth hormone gene, complete cds bovine growth hormone (presomatotropin) J00008.1 gene and flanks Bos taurus gene for growth hormone C variant, D30713.1 partial cds Bovine alternative growth hormone mRNA, M16253.1 exon 4, and the boundaries of the normally excised intron D Bubalus bubalis gene encoding growth AJ011533.1 hormone, exons 1-5 NM180996.1 Bos taurus growth hormone (GH1), mRNA Bos indicus growth hormone mRNA, complete AF034386.1 cds Bos taurus adrenocorticotropic hormone M23813.1 (ACTH) mRNA, complete cds V00111.1 Bovine mRNA for growth hormone M27325.1 Bovine growth hormone mRNA, complete cds EF592533.1
Total Query score coverage
Max ident
664
99%
99%
664
99%
99%
658
99%
98%
658
99%
98%
658
99%
98%
612
94%
98%
606
94%
98%
586
94%
97%
549
82%
99%
549
82%
99%
549
82%
99%
549 545
82% 82%
99% 99%
72
Lampiran 7. Data Haplotype sapi Aceh menggunakan DnaSP Ver.4.10.3 Jumlah Haplotipe, h:8 Nomor 1 2
3 4 5 6 7 8
Haplotipe diversity, Hd: 0.4803
Nomor Jumlah sampel sapi Haplotipe Hap-1 2 [1 8] Hap-2 21 [2-3 5-7 9 11-19 22-24 26 -28]
Hap-3 Hap-4 Hap-5 Hap-6 Hap-7 Hap-8
1[4] 1 [10] 1 [20] 1 [21] 21[25] 1 [29]
Asal sapi Aceh Aceh 1, 67 (Banda Aceh Aceh 3, 4, 20, 61, 65, 69, 101, 102, 104, 106, 107, 112, 114, 125, 126, 161, 182, 186, 193, 198, 197 (Banda Aceh, Indrapuri) Aceh 13 (Saree) Aceh 97 (Indrapuri) Aceh 134 (Indrapuri) Aceh 140 (Indrapuri) Aceh 187 (Indrapuri) Aceh 200 (Indrapuri)
MATRIX Hap_1
GCGAGATCTATCAATACTCACACCCCCCAGTTGTACGAGCCCTCCA
Hap_2
.................C............................
Hap_3
ATCGAGC..GCTGGCGT.TGTGT.TTTTGACCACGTAGATTTCTTG
Hap_4
.......................T......................
Hap_5
.................C..............A.............
Hap_6
.....G.....T.....C............................
Hap_7
......C..........C............................
Hap_8
.......TC........C............................
; END;
73
Lampiran 8. Data Haplotype sapi Aceh menggunakan DnaSP Ver.4.10.3 Jumlah Haplotipe, h:27 Nomor 1 2 3
Nomor Haplotipe Hap-1 Hap-2 Hap-3
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Hap-4 Hap-5 Hap-6 Hap-7 Hap-8 Hap-9 Hap-10 Hap-11 Hap-12 Hap-13 Hap-14 Hap-15 Hap-16 Hap-17 Hap-18 Hap-19 Hap-20 Hap-21 Hap-22 Hap-23
24 25 26 27
Hap-24 Hap-25 Hap-26 Hap-27
Haplotipe diversity, Hd: 0.8821
Jumlah sampel sapi
Breed sapi
1 [1] 1 [2] 17 [3 7-10 19 21 24 27 40 42 46 49 51 57 60 64 3 [4 26 58] 7 [5 11 23 28 32 34 36] 1 [6] 2 [12 13]
Buthan Buthan Aceh (8), Buthan (1), China (4), India (4) Aceh (1), Buthan (1), India (1) Buthan (1), China (1), India (5) China (1) Zebu (2) India (1) India (1) India (1) India (1) India (1) India (1) India (1) India (1) India (1) India (1) India (1) India (1) India (1) India (1) Aceh (2) Aceh (14)
1 [14] 1 [15] 1 [16]
1 [17] 1 [18] 1 [20] 1 [22] 1 [25] 1 [29] 1 [30] 1 [31] 1 [33] 1 [35] 1 [37] 2 [38 45] 14 [39 43-44 48 50 52-56 59 61 63 65 1 [41] 1 [47] 1 [62] 1 [66]
Aceh (1) Aceh (1) Aceh (1) Aceh (1)
Asal sapi Aceh
Aceh 4, 20, 68, 102, 106, 134, 182, 196 (Banda Aceh, Saree, Indrapuri) Aceh 140
Aceh 1, 67 (Banda Aceh) Aceh 3, 61, 65, 101, 104, 107, 112, 114, 125, 126, 161, 186, 193, 197 (Banda Aceh, Indrapuri Aceh 13 Aceh 97 Aceh 187 Aceh 200 74
DIMENSIONS NCHAR=230; FORMAT DATATYPE=DNA 'ACEH_CATTLE_1_Banda Aceh CATGCATATAAGCAAGTACATGATCTCTATAATAGTACATAATACATACAATTATTAATTGTACATAGTACATTATATCAAATCCATTCTCAACAACATATCTACTA TATACCCCTTCCACTAGATCACGAGCTTAATTACCATGCCGCGTGAAACCAGCAACCCGCTAAGCAGAGGATCCCTCTTCTCGCTCCGGGCCCATAGACCGTG-GGGGTCGCTATTTAATGA 'ACEH_CATTLE_3_Banda Aceh .......................................................................................C................... ...................................................................................................-..TG.................. 'ACEH_CATTLE_4_Banda Aceh .......................................................................................C................... ...................................................................................................-C.TG.................. 'ACEH_CATTLE_61_Banda Aceh .......................................................................................C................... ...................................................................................................--..G.................. 'ACEH_CATTLE_65_Banda Aceh .......................................................................................C................... .......................................................................................................TG.. ................ 'ACEH_CATTLE_67_Banda Aceh ........................................................................................................... .......................................................................................................TG.. ................
75
'ACEH_CATTLE_69_Banda Aceh .......................................................................................C....................... ...............................................................................................-C.TG.................. 'ACEH_CATTLE_13_Saree .......................C.......GC...............TG......G.C.................G......T......TG.T.GT.......T...... TT.......T................................................G................................A..--C.TG..........CC..... 'ACEH_CATTLE_20_Saree .......................................................................................C....................... ...............................................................................................-C.TG.................. 'ACEH_CATTLE_97_India .....................................................................................................T......... ...................................................................................................-.................. 'ACEH_CATTLE_101_India .......................................................................................C....................... ...............................................................................................T..-G.................. 'ACEH_CATTLE_102_India .......................................................................................C....................... ...............................................................................................-C.TG.................. 'ACEH_CATTLE_104_In' .......................................................................................C....................... ...............................................................................................-..TG..................
76
'ACEH_CATTLE_106_India .......................................................................................C....................... ...............................................................................................-C.TG.................. 'ACEH_CATTLE_107_India .......................................................................................C....................... ...............................................................................................T...TG.......... ........ 'ACEH_CATTLE_112_India .......................................................................................C....................... ...............................................................................................AC..TG.......... ........ 'ACEH_CATTLE_114_India .......................................................................................C....................... ...............................................................................................-..TG.................. 'ACEH_CATTLE_125_India .......................................................................................C....................... ...............................................................................................T..TG.................. 'ACEH_CATTLE_126_India .......................................................................................C....................... ...................................................................................................TG.......... ........ 'ACEH_CATTLE_134_India .......................................................................................C....................... ..........................................................................................-....-C.TG..................
77
'ACEH_CATTLE_140_India ................................................T......................................C....................... ..........................................................................................-....-C.TG.................. 'ACEH_CATTLE_161_India .......................................................................................C....................... ..................................................................................................TG.................. 'ACEH_CATTLE_182_India .......................................................................................C....................... ...............................................................................................--C.TG................. 'ACEH_CATTLE_186_India .......................................................................................C....................... ...............................................................................................T..TG.................. 'ACEH_CATTLE_187_India .......................C...............................................................C....................... .........................................................................................-.....-C.TG.................. 'ACEH_CATTLE_193_India .......................................................................................C....................... ...............................................................................................T...TG.......... ........ 'ACEH_CATTLE_196_India .......................................................................................C....................... ...............................................................................................-C.TG..................
78
'ACEH_CATTLE_197_India .......................................................................................C....................... ...............................................................................................T...TG.......... ........ 'ACEH_CATTLE_200_India ........................TC.............................................................C....................... ...............................................................................................T...TG.......... ........
79
Lampiran 9. Jumlah nukleotida sapi Aceh, Buthan, China, India, dan Zebu setelah disejajarkan dengan nukleotida Bos Taurus (Gen Bank V00645) Bangsa sapi
Bos Taurus Aceh cattle 1 Aceh cattle 3 Aceh cattle 4 Aceh cattle 61 Aceh cattle 65 Aceh cattle 67 Aceh cattle 68 Aceh cattle 69 Aceh cattle 13 Aceh cattle 20 Aceh cattle 97 Aceh cattle 101 Aceh cattle 102 Aceh cattle 104 Aceh cattle 106 Aceh cattle 107 Aceh cattle 112 Aceh cattle 114 Aceh cattle 125 Aceh cattle 126 Aceh cattle 130 Aceh cattle 134 Aceh cattle 140 Aceh cattle 143 Aceh cattle 153 Aceh cattle 161 Aceh cattle 182 Aceh cattle 186 Aceh cattle 187 Aceh cattle 193 Aceh cattle 196 Aceh cattle 197 Aceh cattle 200
Jumlah nukleotida 899 908 908 909 908 908 908 908 908 908 908 908 908 908 908 909 908 908 908 908 908 909 908 909 909 911 908 909 908 909 908 909 908 908
Bangsa sapi
Buthan cattle AB268577.1 Buthan cattle AB268578.1 Buthan cattle AB268579.1 Buthan cattle AB268580.1 Buthan cattle AB268581.1 China cattle AY378136.1 China cattle EU856762.1 China cattle EF417971.1 China cattle EF417974.1 China cattle EF417985.1 Indian cattle AY972130.1 Indian cattle AY972131.1 Indian cattle AY972132.1 Indian cattle AY972133.1 Indian cattle AY972134.1 Indian cattle AY972135.1 Indian cattle AY972136.1 Indian cattle AY972137.1 Indian cattle AY972138.1 Indian cattle AY972139.1 Indian cattle AY972140.1 Indian cattle AY972141.1 Indian cattle AY972142.1 Indian cattle AY972143.1 Indian cattle AY972144.1 Indian cattle AY972145.1 Indian cattle AY972146.1 Indian cattle AY972147.1 Indian cattle AY972148.1 Indian cattle AY972149.1 Indian cattle AY972150.1 Indian cattle AY972152.1 Indian cattle AY972153.1 Indian cattle AY972154.1
Jumlah nukleotida 910 910 910 910 909 911 910 909 909 909 228 228 228 228 228 228 228 228 228 228 228 228 228 228 228 228 228 228 228 228 228 228 228 228
80
Lampiran 10. Komposisi nukleotida sapi Aceh, Buthan, China, India dan Zebu Nomor 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 6 1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Bangsa sapi Buthan AB268577.1 Buthan AB268578.1 Buthan AB268579.1 Buthan AB268580.1 Buthan AB268581.1 Avg. Buthan China AY378136.1 China EU856762.1 China EF417971.1 China EF417974.1 China EF417985.1 China AY902403 Avg, China Zebu AF162484.1 Zebu AF162485.1 Avg. Zebu India AY972130.1 India AY972131.1 India AY972132.1 India AY972133.1 India AY972134.1 India AY972135.1 India AY972136.1 India AY972137.1 India AY972138.1 India AY972139.1 India AY972140.1 India AY972141.1 India AY972142.1 India AY972143.1 India AY972144.1 India AY972145.1 India AY972146.1 India AY972147.1 India AY972148.1 India AY972149.1 India AY972150.1 India AY972152.1 India AY972153.1 India AY972154.1 Avg. India
T 26.3 27.6 26.8 27.2 25.9 26.8 25.9 26.8 26.8 26.8 26.8 25.9 26.5 26.3 26.3 26.3 26.3 25.9 25.4 25.4 26.8 26.3 26.3 26.8 26.8 26.8 25.9 26.8 26.8 27.2 25.9 26.3 25.9 27.2 25.9 26.3 25.9 26.3 25.9 26.3 26.3
C 26.8 25.4 26.3 25.9 27.2 26.3 27.2 26.3 26.3 26.3 26.3 27.2 26.6 26.8 26.8 26.8 26.8 27.2 27.6 27.6 26.3 26.8 26.8 26.3 26.3 26.3 27.2 26.3 26.3 25.9 27.2 26.8 27.2 25.9 27.2 26.8 27.2 26.8 27.2 26.8 26.8
A 32.5 32.5 32.5 32.5 32.5 32.5 32.0 32.5 32.5 32.5 32.5 32.5 32.4 32.5 32.5 32.5 32.5 32.0 32.0 32.5 32.5 32.5 32.5 32.5 32.5 32.5 32.5 32.5 32.9 32.5 32.5 32.5 32.9 32.5 32.5 32.5 32.5 32.5 32.5 32.9 32.5
G 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.9 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.6 14.5 14.5 14.5 14.5 14.9 14.9 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.0 14.5 14.5 14.5 14.0 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.0 14.5
Total 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0
81
Lampiran 10. Lanjutan Nomor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Bangsa sapi Aceh 1 Banda Aceh Aceh 3 Banda Aceh Aceh 4 Banda Aceh Aceh 61 Banda Aceh Aceh 65 Banda Aceh Aceh 67 Banda Aceh Aceh 69 Banda Aceh Aceh 13 Saree Aceh 20 Saree Aceh 97 Indrapuri Aceh 101 Indrapuri Aceh 102 Indrapuri Aceh 104 Indrapuri Aceh 106 Indrapuri Aceh 107 Indrapuri Aceh 112 Indrapuri Aceh 114 Indrapuri Aceh 125 Indrapuri Aceh 126 Indrapuri Aceh 134 Indrapuri Aceh 140 Indrapuri Aceh 161 Indrapuri Aceh 182 Indrapuri Aceh 186 Indrapuri Aceh 187 Indrapuri Aceh 193 Indrapuri Aceh 196 Indrapuri Aceh 197 Indrapuri Aceh 200 Indrapuri Avg. Aceh
T 27.2 27.2 26.8 26.9 27.0 27.4 26.8 29.2 26.8 27.6 27.2 26.8 27.2 26.8 27.4 27.0 27.2 27.5 27.0 26.4 26.9 26.6 26.9 27.5 26.4 27.4 26.8 27.4 27.4 27.1
C 25.9 25.9 26.3 26.0 26.1 25.7 26.3 24.3 26.3 25.4 25.9 26.3 25.9 26.3 25.7 26.1 25.9 25.8 26.1 26.4 26.0 26.2 26.4 25.8 26.9 25.7 26.3 25.7 25.7 26.0
A 32.5 32.5 32.5 32.6 32.2 32.2 32.5 29.6 32.5 32.5 32.5 32.5 32.5 32.5 32.2 32.6 32.5 32.3 32.2 32.6 32.6 32.3 32.6 32.3 32.2 32.2 32.5 32.2 32.2 32.3
G 14.5 14.5 14.5 14.5 14.8 14.8 14.5 16.8 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.8 14.3 14.5 14.4 14.8 14.5 14.5 14.8 14.1 14.4 14.5 14.8 14.5 14.8 14.8 14.6
Total 228.0 228.0 228.0 227.0 230.0 230.0 228.0 226.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 228.0 230.0 230.0 228.0 229.0 230.0 227.0 227.0 229.0 227.0 229.0 227.0 230.0 228.0 230.0 230.0 228.4
82
Lampiran 11. Jarak genetik menggunakan metode 2 parameter Kimura pada sapi Aceh, Buthan, China, India, dan Zebu [ 1] Buthan_cattle_AB268577.1; [ 2] Buthan_cattle_AB268578.1; [ 3] Buthan_cattle_AB268579.1; [ 4] Buthan_cattle_AB268580.1; [ 5] Buthan_cattle_AB268581.1; [ 6] China_cattle_AY378136.1; [ 7] China_cattle_EU856762.1; [ 8] China_cattle_EF417971.1; [ 9] China_cattle_EF417974.1; [10] China_cattle_EF417985.1; [11] China_cattle_AY902403; [12] Zebu_cattle_AF162484.1; [13] Zebu_cattle_AF162485.1; [14] Indian_cattle_AY972130.1; [15] Indian_cattle_AY972131.1 [16] Indian_cattle_AY972132.1; [17] Indian_cattle_AY972133.1; [18] Indian_cattle_AY972135.1; [19] Indian_cattle_AY972134.1; [20] Indian_cattle_AY972136.1; [21] Indian_cattle_AY972137.1; [22] Indian_cattle_AY972138.1; [23] Indian_cattle_AY972140.1; [24] Indian_cattle_AY972141.1; [25] Indian_cattle_AY972142.1; [26] Indian_cattle_AY972143.1; [27] Indian_cattle_AY972139.1; [28] Indian_cattle_AY972144.1; [29] Indian_cattle_AY972145.1; [30] Indian_cattle_AY972146.1; [31] Indian_cattle_AY972147.1; [32] Indian_cattle_AY972148.1; [33] Indian_cattle_AY972149.1; [34] Indian_cattle_AY972150.1; [35] Indian_cattle_AY972152.1; [36] Indian_cattle_AY972153.1; [37] Indian_cattle_AY972154.1; [38] ACEH_CATTLE_1_Banda_Aceh; [39] ACEH_CATTLE_3_Banda_Aceh; [40] ACEH_CATTLE_4_Banda_Aceh; [41] ACEH_CATTLE_61_Banda_Aceh; [42] ACEH_CATTLE_65_Banda_Aceh; [43] ACEH_CATTLE_67_Banda_Aceh;[44] ACEH_CATTLE_69_Banda_Aceh; [45] ACEH_CATTLE_13_Saree; [46] ACEH_CATTLE_20_Saree; [47] ACEH_CATTLE_97_Indrapuri; [48] ACEH_CATTLE_101_Indrapuri; [49] ACEH_CATTLE_102_Indrapuri; [50] ACEH_CATTLE_104_Indrapuri; [51] ACEH_CATTLE_106_Indrapuri; [52] ACEH_CATTLE_107_Indrapuri; [53] ACEH_CATTLE_112_Indrapuri; [54] ACEH_CATTLE_114_Indrapuri; [55] ACEH_CATTLE_125_Indrapuri; [56] ACEH_CATTLE_126_Indrapuri; [57] ACEH_CATTLE_134_Indrapuri; [58] ACEH_CATTLE_140_Indrapuri; [59] ACEH_CATTLE_161_Indrapuri; [60] ACEH_CATTLE_182_Indrapuri; [61] ACEH_CATTLE_186_Indrapuri; [62] ACEH_CATTLE_187_Indrapuri; [63] ACEH_CATTLE_193_Indrapuri; [64] ACEH_CATTLE_196_Indrapuri; [65] ACEH_CATTLE_197_Indrapuri; [66] ACEH_CATTLE_200_Indrapuri [1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
[17]
[18]
[19]
[20]
[21]
[22]
[1] [2]
0.014
[3]
0.005
0.009
[4]
0.009
0.014
[5]
0.023
0.028
0.019
0.023
[6]
0.038
0.033
0.033
0.038
0.014
[7]
0.005
0.009
0.000
0.005
0.019
0.033
[8]
0.005
0.009
0.000
0.005
0.019
0.033
[9]
0.005
0.009
0.000
0.005
0.019
0.033
0.000
0.000
[10]
0.005
0.009
0.000
0.005
0.019
0.033
0.000
0.000
0.000
[11]
0.023
0.028
0.019
0.023
0.000
0.014
0.019
0.019
0.019
0.019
[12]
0.009
0.014
0.005
0.009
0.014
0.028
0.005
0.005
0.005
0.005
[13]
0.009
0.014
0.005
0.009
0.014
0.028
0.005
0.005
0.005
0.005
0.014
0.000
[14]
0.028
0.023
0.023
0.028
0.005
0.019
0.023
0.023
0.023
0.023
0.005
0.019
0.019
[15]
0.028
0.033
0.023
0.028
0.005
0.019
0.023
0.023
0.023
0.023
0.005
0.019
0.019
0.005
0.000
0.014
0.009
83
Lampiran 11. Lanjutan [1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
0.033
0.038
0.028
0.033
0.009
0.024
0.028
0.028
0.028
0.028
0.009
0.023
0.023
0.014
0.005
[16]
[17]
[18]
[19]
[20]
[21]
[22]
[17]
0.028
0.033
0.023
0.028
0.005
0.019
0.023
0.023
0.023
0.023
0.005
0.019
0.019
0.009
0.009
[18]
0.009
0.014
0.005
0.009
0.023
0.028
0.005
0.005
0.005
0.005
0.023
0.009
0.009
0.028
0.028
0.033
0.028
[19]
0.005
0.009
0.000
0.005
0.019
0.033
0.000
0.000
0.000
0.000
0.019
0.005
0.005
0.023
0.023
0.028
0.023
0.005
[20]
0.028
0.033
0.023
0.028
0.005
0.019
0.023
0.023
0.023
0.023
0.005
0.019
0.019
0.009
0.009
0.014
0.009
0.028
0.023
[21]
0.005
0.009
0.000
0.005
0.019
0.033
0.000
0.000
0.000
0.000
0.019
0.005
0.005
0.023
0.023
0.028
0.023
0.005
0.000
0.023
[22]
0.014
0.019
0.009
0.005
0.019
0.033
0.009
0.009
0.009
0.009
0.019
0.014
0.014
0.023
0.023
0.028
0.023
0.014
0.009
0.023
[23]
0.023
0.028
0.019
0.023
0.000
0.014
0.019
0.019
0.019
0.019
0.000
0.014
0.014
0.005
0.005
0.009
0.005
0.023
0.019
0.005
0.019
0.019
[24]
0.005
0.009
0.000
0.005
0.019
0.033
0.000
0.000
0.000
0.000
0.019
0.005
0.005
0.023
0.023
0.028
0.023
0.005
0.000
0.023
0.000
0.009
[25]
0.009
0.014
0.005
0.009
0.023
0.038
0.005
0.005
0.005
0.005
0.023
0.009
0.009
0.028
0.029
0.033
0.028
0.009
0.005
0.028
0.005
0.014
[26]
0.009
0.014
0.005
0.000
0.023
0.038
0.005
0.005
0.005
0.005
0.023
0.009
0.009
0.028
0.028
0.033
0.028
0.009
0.005
0.028
0.005
0.005
[27]
0.005
0.009
0.000
0.005
0.019
0.033
0.000
0.000
0.000
0.000
0.019
0.005
0.005
0.023
0.023
0.028
0.023
0.005
0.000
0.023
0.000
0.009
[28]
0.023
0.028
0.019
0.023
0.000
0.014
0.019
0.019
0.019
0.019
0.000
0.014
0.014
0.005
0.005
0.009
0.005
0.023
0.019
0.005
0.019
0.019
[29]
0.009
0.014
0.005
0.009
0.023
0.038
0.005
0.005
0.005
0.005
0.023
0.009
0.009
0.028
0.028
0.033
0.028
0.009
0.005
0.028
0.005
0.014
[30]
0.028
0.033
0.023
0.028
0.005
0.019
0.023
0.023
0.023
0.023
0.005
0.019
0.019
0.009
0.009
0.014
0.009
0.028
0.023
0.009
0.023
0.023
[31]
0.009
0.005
0.005
0.009
0.023
0.028
0.005
0.005
0.005
0.005
0.023
0.009
0.009
0.028
0.028
0.033
0.028
0.009
0.005
0.028
0.005
0.014
0.014
0.009
[32]
0.023
0.028
0.019
0.023
0.000
0.014
0.019
0.019
0.019
0.019
0.000
0.014
0.014
0.005
0.005
0.009
0.005
0.023
0.019
0.005
0.019
0.019
[33]
0.019
0.023
0.014
0.019
0.005
0.019
0.014
0.014
0.014
0.014
0.005
0.019
0.019
0.009
0.009
0.014
0.009
0.019
0.014
0.009
0.014
0.014
[34]
0.023
0.028
0.019
0.023
0.000
0.014
0.019
0.019
0.019
0.019
0.000
0.014
0.014
0.005
0.005
0.009
0.005
0.023
0.019
0.005
0.019
0.019
[35]
0.019
0.023
0.014
0.019
0.005
0.019
0.014
0.014
0.014
0.014
0.005
0.009
0.009
0.009
0.009
0.014
0.009
0.019
0.014
0.009
0.014
0.023
[36]
0.023
0.028
0.019
0.023
0.000
0.014
0.019
0.019
0.019
0.019
0.000
0.014
0.014
0.005
0.005
0.009
0.005
0.023
0.019
0.005
0.019
0.019
[37]
0.023
0.028
0.019
0.023
0.009
0.024
0.019
0.019
0.019
0.019
0.009
0.014
0.014
0.014
0.014
0.019
0.014
0.023
0.019
0.014
0.019
0.028
[38]
0.014
0.009
0.009
0.014
0.019
0.033
0.009
0.009
0.009
0.009
0.019
0.014
0.014
0.014
0.023
0.028
0.023
0.014
0.009
0.023
0.009
0.019
[39]
0.009
0.014
0.005
0.009
0.014
0.028
0.005
0.005
0.005
0.005
0.014
0.009
0.009
0.019
0.019
0.023
0.019
0.009
0.005
0.019
0.005
0.014
[40]
0.005
0.009
0.000
0.005
0.019
0.033
0.000
0.000
0.000
0.000
0.019
0.005
0.005
0.023
0.023
0.028
0.023
0.005
0.000
0.023
0.000
0.009
[41]
0.009
0.014
0.005
0.009
0.014
0.028
0.005
0.005
0.005
0.005
0.014
0.009
0.009
0.019
0.019
0.023
0.019
0.009
0.005
0.019
0.005
0.014
[42]
0.009
0.014
0.005
0.009
0.014
0.028
0.005
0.005
0.005
0.005
0.014
0.009
0.009
0.019
0.019
0.023
0.019
0.009
0.005
0.019
0.005
0.014
[43]
0.014
0.009
0.009
0.014
0.019
0.033
0.009
0.009
0.009
0.009
0.019
0.014
0.014
0.014
0.023
0.028
0.023
0.014
0.009
0.023
0.009
0.019
[44]
0.005
0.009
0.000
0.005
0.019
0.033
0.000
0.000
0.000
0.000
0.019
0.005
0.005
0.023
0.023
0.028
0.023
0.005
0.000
0.023
0.000
0.009
[45]
0.135
0.129
0.129
0.122
0.142
0.165
0.129
0.129
0.129
0.129
0.142
0.135
0.135
0.135
0.151
0.158
0.135
0.135
0.129
0.149
0.129
0.116
[46]
0.005
0.009
0.000
0.005
0.019
0.033
0.000
0.000
0.000
0.000
0.019
0.005
0.005
0.023
0.023
0.028
0.023
0.005
0.000
0.023
0.000
0.009
[47]
0.019
0.014
0.014
0.019
0.023
0.038
0.014
0.014
0.014
0.014
0.023
0.019
0.019
0.019
0.028
0.033
0.028
0.019
0.014
0.028
0.014
0.023
[48]
0.009
0.014
0.005
0.009
0.014
0.028
0.005
0.005
0.005
0.005
0.014
0.009
0.009
0.019
0.019
0.023
0.019
0.009
0.005
0.019
0.005
0.014
84
Lampiran 11. Lanjutan [49]
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
[17]
[18]
[19]
[20]
[21]
[22]
0.005
0.009
0.000
0.005
0.019
0.033
0.000
0.000
0.000
0.000
0.019
0.005
0.005
0.023
0.023
0.028
0.023
0.005
0.000
0.023
0.000
0.009
[50]
0.009
0.014
0.005
0.009
0.014
0.028
0.005
0.005
0.005
0.005
0.014
0.009
0.009
0.019
0.019
0.023
0.019
0.009
0.005
0.019
0.005
0.014
[51]
0.005
0.009
0.000
0.005
0.019
0.033
0.000
0.000
0.000
0.000
0.019
0.005
0.005
0.023
0.023
0.028
0.023
0.005
0.000
0.023
0.000
0.009
[52]
0.009
0.014
0.005
0.009
0.014
0.028
0.005
0.005
0.005
0.005
0.014
0.009
0.009
0.019
0.019
0.023
0.019
0.009
0.005
0.019
0.005
0.014
[53]
0.009
0.014
0.005
0.009
0.014
0.028
0.005
0.005
0.005
0.005
0.014
0.009
0.009
0.019
0.019
0.023
0.019
0.009
0.005
0.019
0.005
0.014
[54]
0.009
0.014
0.005
0.009
0.014
0.028
0.005
0.005
0.005
0.005
0.014
0.009
0.009
0.019
0.019
0.023
0.019
0.009
0.005
0.019
0.005
0.014
[55]
0.009
0.014
0.005
0.009
0.014
0.028
0.005
0.005
0.005
0.005
0.014
0.009
0.009
0.019
0.019
0.023
0.019
0.009
0.005
0.019
0.005
0.014
[56]
0.009
0.014
0.005
0.009
0.014
0.028
0.005
0.005
0.005
0.005
0.014
0.009
0.009
0.019
0.019
0.023
0.019
0.009
0.005
0.019
0.005
0.014
[57]
0.005
0.009
0.000
0.005
0.019
0.033
0.000
0.000
0.000
0.000
0.019
0.005
0.005
0.023
0.023
0.028
0.023
0.005
0.000
0.023
0.000
0.009
[58]
0.009
0.014
0.005
0.000
0.023
0.038
0.005
0.005
0.005
0.005
0.023
0.009
0.009
0.028
0.028
0.033
0.028
0.009
0.005
0.028
0.005
0.005
[59]
0.009
0.014
0.005
0.009
0.014
0.028
0.005
0.005
0.005
0.005
0.014
0.009
0.009
0.019
0.019
0.023
0.019
0.009
0.005
0.019
0.005
0.014
[60]
0.005
0.009
0.000
0.005
0.019
0.033
0.000
0.000
0.000
0.000
0.019
0.005
0.005
0.023
0.023
0.028
0.023
0.005
0.000
0.023
0.000
0.009
[61]
0.009
0.014
0.005
0.009
0.014
0.028
0.005
0.005
0.005
0.005
0.014
0.009
0.009
0.019
0.019
0.023
0.019
0.009
0.005
0.019
0.005
0.014
[62]
0.009
0.014
0.005
0.009
0.023
0.038
0.005
0.005
0.005
0.005
0.023
0.009
0.009
0.028
0.028
0.033
0.019
0.009
0.005
0.028
0.005
0.014
[63]
0.009
0.014
0.005
0.009
0.014
0.028
0.005
0.005
0.005
0.005
0.014
0.009
0.009
0.019
0.019
0.023
0.019
0.009
0.005
0.019
0.005
0.014
[64]
0.005
0.009
0.000
0.005
0.019
0.033
0.000
0.000
0.000
0.000
0.019
0.005
0.005
0.023
0.023
0.028
0.023
0.005
0.000
0.023
0.000
0.009
[65]
0.009
0.014
0.005
0.009
0.014
0.028
0.005
0.005
0.005
0.005
0.014
0.009
0.009
0.019
0.019
0.023
0.019
0.009
0.005
0.019
0.005
0.014
[66]
0.019
0.014
0.014
0.019
0.023
0.028
0.014
0.014
0.014
0.014
0.023
0.019
0.019
0.028
0.028
0.033
0.028
0.019
0.014
0.028
0.014
0.023
85
Lampiran 12. Hasil elektroforesis lokus BM1824
Ket: Alel B: 179; C:181; D:183 Populasi Indrapuri (no sampel 120, 113, 114, 121).
86
Lampiran 13. Hasil elektroforesis lokus SPS115
Ket: Alel A: 244; C: 246; E:252 Populasi Indrapuri (no sampel 173, 194, 195, 196).
87
Lampiran 14. Hasil elektroforesis lokus ILSTS028
Ket: Alel C: 137; H:145 Populasi Indrapuri (no sampel 113, 114, 120, 121).
88