EVALUASI PENERAPAN TEKNIK PEMOTONGAN AYAM DITINJAU DARI KEAMANAN PANGAN DAN KEHALALAN DI TEMPAT PEMOTONGAN AYAM (TPA) DI EMPAT KECAMATAN, KABUPATEN BOGOR
FERA SIBARANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Penerapan Teknik Pemotongan Ayam Ditinjau dari Keamanan Pangan dan Kehalalan di Tempat Pemotongan Ayam (TPA) di Empat Kecamatan, Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.
Bogor, 19 Agustus 2011
Fera Uli Basa Sibarani D151090031
ABSTRACT Evaluation the Application of Slaughter Chicken Techniques that Observated from Food Safety and Halal Food in Slaughter Houses at Four Subdistricts of Bogor Fera Sibarani, Henny Nuraini, Rarah Ratih Adjie Maheswari Many of slaughter houses in Bogor still not appropiate to regulation of Indonesian National of Standarditation (SNI 01-6160-1999) that can causes contamination to carcass that produce in those slaugter houses. The equipments, the techniques of slaughter and the handling practices still not comply to request of sanitation and hygiene. The objective of this study was to evaluate the application of slaughter chicken technique that observated from food safety and halal food in slaughter houses in four subdictricts of Bogor. The experiment was used t-test to compare two types of slaughtering houses (coached and not coached) in building expedience, bacteria contamination and halal slaugtering. The results showed that the building expedience was significantly different (P>0,05) between those two tyes of slaughtering houses. The halal slaugtering practice was not significantly different for those two types of slaughtering houses. TPC contamination for all slaughtering houses was underneath from standard BMCM of SNI, except for not coached slaughtering houses of Dramaga was over than 1x106cfu/g. The coliform contamination for all slaughtering houses was over than 1x102cfu/g, but the numeric for TPC and coliform of coached slaughtering houses more better than not coached slaughtering houses. This evaluation of slaughtering houses showed that all slaughtering houses did not yet implemented the good slaughtering practice and good sanitation and hygiene practice totally. Key words : Slaugtering houses, TPC, Coliform, halal slaughtering
RINGKASAN FERA ULI BASA SIBARANI. D151090031. 2011. Evaluasi Penerapan Teknik Pemotongan Ayam Ditinjau dari Keamanan Pangan dan Kehalalan di Tempat Pemotongan Ayam (TPA) di Empat Kecamatan, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh HENNY NURAINI dan RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI. Daging ayam merupakan bahan pangan asal ternak yang digemari oleh masyarakat Indonesia karena harganya tergolong murah dan penting untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat. Permintaan terhadap daging ayam semakin bertambah seiring dengan meningkatnya penghasilan dan kesadaran penduduk akan pentingnya protein hewani. Keamanan dan kehalalan produk pangan asal ternak harus diperhatikan agar produk dapat dipasarkan sesuai ketentuan yang berlaku. Keamanan pangan yang perlu diperhatikan bukan hanya pada pihak produsen, tetapi juga dari konsumen sendiri. Di Indonesia, tempat pemotongan ayam, kelengkapan peralatan, teknik pemotongan dan cara penanganannya masih banyak yang belum memenuhi aspek kebersihan dan kesehatan. Sebagian besar produsen daging ayam masih menggunakan peralatan yang seadanya untuk melakukan pemotongan ayam. Kabupaten Bogor terdiri atas 40 buah kecamatan. Dari 40 kecamatan tersebut empat TPA di empat kecamatan telah mendapat pembinaan dari Dinas Peternakan dan Perikanan. Bentuk pembinaan yang diberikan sendiri adalah pengarahan dan pelatihan dalam sanitasi dan higiene pada saat proses produksi, sanitasi dan higiene di sekitar lingkungan TPA, juga bantuan peralatan seperti scalder, plucker, bak pencuci karkas, meja eviserasi dan freezer. Menurut data dari Dinas Pertanian Kota Bogor kebutuhan daging ayam di Kabupaten Bogor untuk tahun 2010 adalah 7.779.277 kg, sedangkan ketersediaan daging ayam di Kabupaten Bogor adalah 16.000.000 kg. Permintaan akan daging ayam yang cukup tinggi ini menyebabkan tumbuhnya tempat pemotongan unggas skala kecil (rumahan) dan dipasar. Pemilik tempat pemotongan ayam skala kecil belum menerapkan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) ketika melaksanakan proses produksi, sehingga produk yang dihasilkan dapat terkontaminasi bakteri sangat tinggi. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, mengingat daging ayam adalah bahan makanan yang mudah rusak dan sangat peka terhadap bakteri. Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam, maka proses pemotongan harus mengikuti tata cara penyembelihan ayam sesuai dengan syariat hukum Islam sehingga daging yang dihasilkan benar-benar dapat dijamin kehalalannya. Dari pengamatan diperoleh hasil bahwa semua TPA dibina berada pada kriteria kurang layak (54-64%), dan TPA belum dibina berada pada kriteria tidak layak dan kurang layak (22-39%), karena banyak dari persyaratan sesuai Permentan (2005) yang belum dipenuhi oleh semua TPA. Untuk hasil untuk penilaian tata cara pemotongan ayam yang halal pada TPA penelitian adalah telah sesuai (100%) dengan tata cara pemotongan ayam yang halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI (2011). Tidak ada perbedaan pada semua TPA penelitian, karena tidak adanya perbedaan dalam tata cara penyembelihan ayam yang dilakukan di semua TPA penelitian.
Jumlah TPC pada karkas ayam dari TPA dibina adalah 0.62 log cfu/g lebih rendah dari TPA belum dibina. Hasil uji kualitas mikrobiologi untuk TPC pada karkas ayam menunjukkan kesesuaian dengan batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) menurut SNI 01-7388 (BSN 2009) yaitu ≤1x106 cfu/g untuk semua TPA, kecuali untuk TPA belum dibina di Kecamatan Dramaga dengan angka cemaran TPC sebesar 6.11 log cfu/g. Tingginya angka cemaran ini disebabkan sanitasi yang tidak baik pada saat proses produksi. Jumlah TPC pada air cucian karkas ayam dari TPA dibina adalah 0.71 log cfu/ml lebih rendah dari TPA belum dibina. Jumlah TPC air cucian karkas ayam pada TPA belum dibina pada Kecamatan Dramaga lebih tinggi dari TPA lainnya (6.72 log cfu/ml). Tingginya angka cemaran ini karena air cucian dicemari oleh karkas ayam dengan jumlah TPC yang tinggi. Jumlah coliform pada karkas ayam dari TPA dibina adalah 0.41 log cfu/g lebih rendah dari TPA belum dibina. Hasil uji kualitas mikrobiologi untuk coliform pada karkas ayam belum sesuai dengan batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) menurut SNI 01-7388 (BSN 2009) yaitu >102cfu/g untuk semua TPA. Untuk meminimalkan kontaminasi bakteri terhadap produk akhir, sanitasi pada proses penanganan daging di tempat pemotongan ayam harus dilakukan secara benar. Karkas ayam dan jeroan dari tempat pemotongan ayam dijual dipasarpasar tradisional yang sebagian besar konsumen belum mengetahui tentang keamanan pangan khususnya kontaminasi bakteri. Kurangnya disiplin sumber daya manusia pada saat melakukan proses produksi dan proses produksi dilakukan dalam satu ruangan, dapat mengakibatkan kontaminasi pada hasil akhir. Kata-kata kunci : tempat pemotongan ayam, TPC, coliform, pemotongan halal
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tersebut tidak tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi Institut Pertanian Bogor. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh hasil karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
EVALUASI PENERAPAN TEKNIK PEMOTONGAN AYAM DITINJAU DARI KEAMANAN PANGAN DAN KEHALALAN DI TEMPAT PEMOTONGAN AYAM (TPA) DI EMPAT KECAMATAN, KABUPATEN BOGOR
FERA ULI BASA SIBARANI D151090031
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Rukmiasih, MS
Judul Tesis
:
Nama NRP
: :
Evaluasi Penerapan Teknik Pemotongan Ayam Ditinjau dari Keamanan Pangan dan Kehalalan di Tempat Pemotongan Ayam (TPA) di Empat Kecamatan, Kabupaten Bogor Fera Uli Basa Sibarani D151090031
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si Ketua
Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari, DEA Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari, DEA
Tanggal Ujian : 12 Agustus 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.Si
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya hingga Penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul Evaluasi Penerapan Teknik Pemotongan Ayam Ditinjau dari Keamanan Panganan dan Kehalalan di Tempat Pemotongan Ayam (TPA) di Empat Kecamatan, Kabupaten Bogor. Penulisan tesis ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Peternakan, Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih Penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si dan Dr. Ir. Rarah Ratih A. Maheswari, DEA selaku komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan arahan serta bimbingan kepada Penulis dalam penulisan tesis ini. Terima kasih juga Penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Rukmiasih, MS selaku penguji luar komisi pada ujian, yang telah memberikan masukan yang bermanfaat bagi penyempurnaan tesis ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu atas dukungan yang diberikan. Semoga tesis ini bermanfaat bagi Penulis sendiri, akademisi serta pihak lain. Tesis ini masih jauh dari kata sempurna dan banyak kekurangan, karena itu Penulis meminta maaf atas ketidaksempurnaan tersebut.
Bogor, Agustus 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kisaran 4 April 1976, Sumatera Utara. Penulis adalah anak kelima dari lima bersaudara dari pasangan Bapak W. Sibarani dan Ibu A.N. Hutapea. Pendidikan SD, SMP dan SMA penulis tempuh di Medan. Pendidikan sarjana ditempuh di Departemen Peternakan, Fakultas Pertanian USU. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Peternakan. Dalam rangka penyelesaian studi, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Evaluasi Penerapan Teknik Pemotongan Ayam Ditinjau dari Keamanan Pangan dan Kehalalan di Tempat Pemotongan Ayam (TPA) di Empat Kecamatan, Kabupaten Bogor” dibawah bimbingan Dr. Ir. Henny Nuraini, Msi dan Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI …………………...…………………………………………
i
DAFTAR TABEL …………………………………………….......….......
iii
DAFTAR GAMBAR …………………..……………………………….....
iv
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………
v
PENDAHULUAN ………………………………………………………..... Latar Belakang …………………………………………………...... Tujuan Penelitian ...……………….………………………………... Manfaat Penelitian ..………………………………………………..
1 1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………… Keamanan Pangan Asal Hewan ………………………………...…. Kontaminasi pada Daging Ayam …………………………………. 1. Cemaran Biologi ……………………………………………… a. Total Plate Count (TPC) ..………………………………… .. b. Coliform …….………..…………………………………..... 2. Cemaran Kimia ……………………………………………….. 3. Cemaran Fisik ………………………………………………... Teknik Pemotongan Ayam ………….…………………………....... 1. Tata cara penyembelihan …………………………………….. 2. Tahapan proses pemotongan …………………………………. Persyaratan Tempat Pemotongan Ayam ……………..……………. Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) .……..………....
5 5 7 7 8 9 10 10 10 10 11 14 15
MATERI DAN METODE ……...………………………………………….. Waktu dan Tempat Penelitian…………………...………………….. Materi Penelitian ……………………………………………….. Prosedur Penelitian ………….……………………………………… Peubah yang Diamati …………………..…………………………..
17 17 17 18 19
HASIL DAN PEMBAHASAN ….………………………………………… Evaluasi Kelayakan Bangunan TPA ………………………………. Proses Pemotongan Ayam yang Halal …………………………….. Kontaminasi Bakteri pada Karkas Ayam dan Air Cucian Karkas …. 1. Total Plate Count (TPC) pada Karkas Ayam dan Air Cucian Karkas Ayam ………………………………………………….. 2. Coliform pada Karkas Ayam …………………………………..
23 24 43 46 49 55
KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………. Kesimpulan ………………………………………………………... Saran ………………………………………………………………..
59 59 59
DAFTAR PUSTAKA ………………………………...……………………..
61
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 2
Aplikasi SSOP pada seluruh TPA dibina dan Kondisi Seharusnya yang mengacu pada Permentan 2005 ………………………………………….. Aplikasi SSOP pada seluruh TPA belum dibina dan Kondisi Seharusnya yang mengacu pada Permentan 2005 ……………………………………..
3 Aplikasi Kehalalan di TPA dibina dan belum dibina dan Kondisi Seharusnya yang mengacu pada LPPOM MUI 2011 ……………… 4 Penetapan Titik Kritis pada Proses Produksi di TPA penelitian …………
67 75
83 89
5
Kuisioner Unit Usaha Rumah Potong Unggas (Mengacu pada Permentan 2005) ………………………………………………………….
91
6
Pemotongan Ternak Secara Halal di PRU (Mengacu pada LPOM MUI 2011) …
101
DAFTAR GAMBAR
1 2
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Halaman Tahapan Proses Pemotongan Ayam ………………………………… 10 Bantuan peralatan dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor; (a) meja eviserasi, (b) plucker,(c) bak pencuci, (d) scalder, (e) freezer…………………………………………… 24 (a) TPA belum dibina A Dramaga, (b) TPA belum dibina B Dramaga, (c) TPA belum dibina A Parung ……………………………………. 37 Contoh bangunan TPA dibina: (a) bangunan TPA dibina di KecamatanCibungbulang, (b) TPA dibina di Kecamatan Dramaga … 37 (a) fasilitas cuci tangan, (b) toilet …………………………………... 42 Tahapan proses produksi pada TPA penelitian ………………….. 46 Histogram jumlah TPC karkas ayam pada TPA dibina .…………. 51 Histogram jumlah TPC karkas ayam pada TPA belum dibina ....... 52 Histogram jumlah TPC air cucian karkas ayam pada TPA dibina ... 53 Histogram jumlah TPC air cucian karkas ayam pada TPA belum dibina ……………………………………………………………….. 54 Histogram kandungan coliform karkas ayam pada TPA dibina …. 56 Histogram kandungan coliform karkas ayam pada TPA belum Dibina ………………………………………………………………. 57
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Beberapa gejala penyakit dan media pencemaran mikroba pada bahan pangan asal ternak ……………………………………………………… Batas maksimum mikroba pada karkas ayam ………………...………... Penilaian Kelayakan Unit Usaha TPA Penelitian ...…............................. Daftar Pengecekan Kelayakan Dasar Unit Usaha TPA yang mengacu pada Permentan (2005) …………………………………………………. Kesesuaian tata cara penyembelihan ayam yang halal di TPA penelitian mengacu pada LPPOM MUI (2011) …………………………………… Hasil evaluasi terhadap kesesuaian hasil pemotongan ayam yang Halal pada TPA penelitian mengacu pada LPPOM MUI (2011) ……… Rataan jumlah TPC pada karkas ayam dari TPA penelitian …………… Rataan jumlah TPC air cucian karkas ayam pada 12 TPA penelitian ..... Rataan kandungan coliform pada karkas ayam pada 12 TPA penelitian ..
6 8 24 25 43 45 50 53 55
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Daging ayam merupakan bahan pangan asal ternak yang digemari oleh masyarakat Indonesia karena harganya tergolong murah dan penting untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat. Permintaan terhadap daging ayam semakin bertambah seiring dengan meningkatnya penghasilan dan kesadaran penduduk akan pentingnya protein hewani. Keamanan dan kehalalan produk pangan asal ternak harus diperhatikan agar produk dapat dipasarkan sesuai ketentuan yang berlaku. Keamanan pangan yang perlu diperhatikan bukan hanya pada pihak produsen, tetapi juga dari konsumen sendiri. Pada umumnya konsumen di Indonesia belum memahami masalah keamanan pangan secara utuh, sehingga tidak peduli dengan kebersihan daging ayam yang dipasarkan. Dilain pihak kesulitan ekonomi pada masyarakat tertentu juga mempengaruhi konsumen, sehingga daging ayam dengan harga murah dan terjangkau tetapi tidak terjamin kebersihannya akan tetap diterima dalam pemasaran. Hal ini berdampak pada produsen untuk tidak begitu memperhatikan kebersihan produk yang dihasilkan. Tempat pemotongan ayam yang masih bersifat tradisional, masih banyak kelengkapan peralatan, teknik pemotongan dan cara penanganannya yang belum memenuhi aspek kebersihan dan kesehatan. Sebagian besar produsen daging ayam masih menggunakan peralatan yang seadanya untuk melakukan pemotongan ayam. Tempat pemotongan ayam yang layak berperan penting dalam menghasilkan karkas ayam yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut, sehingga sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut guna menjamin perlindungan terhadap konsumen untuk mendapatkan daging yang aman dan halal. Kabupaten Bogor terdiri atas 40 buah kecamatan. Pada masing-masing Kecamatan terdapat beberapa tempat pemotongan ayam (TPA) yang mempunyai total 170 buah TPA. Dari 40 kecamatan yang ada, sebanyak empat TPA di empat kecamatan telah mendapat pembinaan dari Dinas Peternakan dan Perikanan. Bentuk pembinaan yang diberikan sendiri adalah pengarahan dan pelatihan dalam sanitasi dan higiene pada saat proses produksi, sanitasi dan higiene di sekitar
2
lingkungan TPA, juga bantuan peralatan seperti scalder, plucker, bak pencuci karkas, meja eviserasi dan freezer. Kecamatan lainnya yaitu sebanyak 36 kecamatan dengan jumlah TPA 150 buah belum mendapat pembinaan dan menerapkan sistem keamanan pangan, sehingga beresiko besar belum sepenuhnya tidak memberikan jaminan kesehatan dan kehalalan kepada konsumen terhadap produk yang dikonsumsinya. Menurut data dari Dinas Pertanian Kota Bogor kebutuhan daging ayam di Kabupaten Bogor untuk tahun 2010 adalah 7.779.277 kg, sedangkan ketersediaan daging ayam di Kabupaten Bogor adalah 16.000.000 kg. Daging ayam yang dihasilkan dari tempat pemotongan ayam yang berada di Kabupaten Bogor tidak hanya dipasarkan di wilayah Bogor, tetapi dipasarkan sampai juga ke daerahdaerah sekitar Bogor, seperti Jakarta, Tangerang, Depok, Bekasi, bahkan hingga keluar pulau Jawa, sebagai contoh ke Propinsi Papua. Permintaan akan daging ayam yang cukup tinggi ini menyebabkan tumbuhnya tempat pemotongan ayam skala kecil baik secara rumahan dan di pasar. Bila dilihat dari segi bangunan dan prosedur produksi, tempat pemotongan unggas skala kecil ini belum sesuai dengan persyaratan SNI Rumah Pemotongan Unggas. Pemilik tempat pemotongan ayam skala kecil belum sepennuhnya menerapkan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) ketika melaksanakan proses produksi, sehingga resiko produk yang dihasilkan terkontaminasi bakteri adalah sangat tinggi. Penggunaan obat-obatan untuk pencegahan penyakit dan obat-obatan yang merangsang pertumbuhan untuk mengoptimalkan produksi juga dapat menimbulkan residu pada karkas ayam dan bahkan beberapa diantaranya bersifat karsinogen, sehingga mempunyai kemungkinan produk tidak memenuhi keamanan pangan. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, mengingat daging ayam adalah bahan makanan yang mudah rusak dan sangat peka terhadap bakteri. Proses pemotongan ayam, penyimpanan dan pemasaran harus memenuhi syarat kesehatan, terutama jika produk ini akan dijual dalam bentuk segar karena sebagian besar kebutuhan daging ayam dan hasil sampingannya (jeroan, kepala, kaki) di pasarkan dalam bentuk segar. Selain itu, kehalalan produk juga harus mendapatkan perhatian khususu mengingat sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam. Proses pemotongan harus mengikuti tata cara penyembelihan ayam sesuai dengan syariat
3
hukum Islam sehingga daging yang dihasilkan benar-benar dapat dijamin kehalalannya. Berdasarkan keadaan ini maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang evaluasi sanitasi dan higiene pada tempat pemotongan ayam skala kecil, yang hasilnya nanti dapat dipergunakan untuk perbaikan kualitas tempat pemotongan ayam di Kabupaten Bogor. Aspek mutu dan keamanan merupakan bagian penting dalam bidang pangan dan perlu mendapat perhatian khusus. Pendekatan preventif seperti halnya penerapan SSOP dianggap paling baik untuk menangani masalah keamanan pangan. Peningkatan kualitas produk daging unggas yang ASUH juga
diharapkan akan meningkatkan nilai jual produk tersebut,
sehingga dapat meningkatkan pangsa pasar dan jaminan konsumen terhadap produk yang sehat, aman, utuh dan halal.
Tujuan Penelitian Melakukan kajian terhadap penerapan SSOP untuk menjamin keamanan pangan serta mempelajari teknik pemotongan (yang sesuai dengan syariat Islam) untuk menghasilkan produk yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) di tempat pemotongan unggas yang berlokasi di beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor.
Manfaat Penelitian 1. Memberi informasi kepada konsumen tempat pemotongan ayam (TPA) yang telah melaksanakan SSOP dan menghasilkan produk yang aman untuk dikonsumsi. 2. Memberikan kesadaran kepada konsumen akan pentingnya proses pemotongan yang baik, higienis dan halal.
4
5
TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan Asal Hewan Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia, sehingga perlu diperhatikan kualitas dan kuantitasnya. Perhatian pemerintah terhadap ketersediaan pangan diimplementasikan melalui program ketahanan pangan, agar masyarakat memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, aman, bergizi, sehat, dan halal untuk dikonsumsi (Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat 2004). Bahan pangan asal ternak merupakan sumber gizi utama untuk pertumbuhan dan kehidupan manusia, namun menjadi tidak berguna dan membahayakan kesehatan manusia apabila tidak aman untuk dikonsumsi (Bahri 2008). Daging dengan kadar air yang tinggi (68.75%) merupakan bahan pangan yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroba, karena kaya nitrogen dan mineral, dan mengandung mikroorganisme yang menguntungkan bagi mikroba lain. Jumlah mikroba dalam daging juga dipengaruhi perlakuan ternak sebelum pemotongan (Betty & Yendri 2007). Murdiati (2006) mengatakan mikroba dapat mencemari ternak saat masih hidup, dan selanjutnya mikroba masuk dalam rantai pangan. Menurut Syukur (2006), mikroba dapat tumbuh dengan baik dan dapat merusak bahan pangan asal ternak, sehingga dapat membahayakan kesehatan manusia. Daging yang tercemar mikroba melebihi ambang batas akan berlendir, berjamur, daya simpannya menurun, berbau busuk, rasa tidak enak, dan menyebabkan gangguan kesehatan bila dikonsumsi manusia (Djaafar & Rahayu 2007). Menurut Budinuryanto et al. (2000) jumlah dan jenis mikroba yang berbahaya pada daging ayam yang dipotong dan dijual di pasar tradisional cukup mengkhawatirkan. Mikroba yang berbahaya pada produk segar antara lain adalah Salmonella sp., Shigella sp., dan E. coli. (Pusat Standarisasi dan Akreditasi 2004). Beberapa contoh mikroba yang dapat membahayakan kesehatan manusia adalah Coliform, Escherichia coli, Enterococci, Staphylococcus aureus, Clostridium sp., Salmonella sp., Camphylobacter sp., dan Listeria sp (Syukur 2006). Foodborne disease adalah suatu penyakit yang merupakan hasil dari pencemaran dan penyerapan makanan yang mengandung mikroba oleh tubuh manusia, mikroba
6
masuk ke dalam saluran pencernaan manusia melalui makanan, yang kemudian diserap oleh tubuh, sehingga menyebabkan gejala penyakit (Gustiani 2009). Tabel 1. Beberapa gejala penyakit dan media pencemaran bahan pangan asal ternak Agens Coliform
Media Makanan yang tercemar feses
Salmonella Campylobacter
Air pencuci terkontaminasi Kontak dengan permukaan karkas unggas yang terinfeksi, atau mengonsumsi daging ayam yang masih mentah Makanan mentah, susu yang dipasteurisasi, keju lunak
mikroba
pada
Gejala Mual, nyeri perut, diare, muntah, berak darah, demam, kejang, kekurangan cairan/ dehidrasi Escherichia coli Makanan/minuman yang tercemar Diare berdarah dan oleh feses kesakitan karena kram perut yang disertai demam
Listeria
Demam, diare, kram perut Diare, demam, kram perut
Infeksi di selaput otak, infeksi meluas ke dalam saluran darah
Sumber : Andriani (2005)
Menurut Gustiani (2009) penyediaan pangan asal ternak yang memenuhi keamanan pangan yaitu aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) perlu dilakukan melalui pengendalian residu dan cemaran mikroba. Jaminan keamanan pangan diperoleh melalui penerapan sistem keamanan pangan dalam setiap proses produksi, yaitu: 1) Good Farming Practices (GFP) dan Good Hygiene Practice yang meliputi sanitasi dan lingkungan sekitar kandang, dan pemberian pakan ternak yang bebas dari jamur atau toksin; 2) Good Manufacture Practices (GMP) perhatian pada peralatan/mesin saat pascapanen; 3) Good Handling Practices (GHP) agar produk yang dihasilkan aman dan sehat konsumsi oleh manusia. Selain produsen, distributor, penjual produk dan bahan pangan juga tidak kalah pentingnya dalam menjamin keamanan pangan yang beredar di pasaran. Distributor pangan di Indonesia masih banyak yang belum memahami dan menerapkan Good Distribution Practice (GDP). Hasil pemeriksaan dalam tahun 1995/1996 terhadap sarana distribusi dan penjualan produk pangan menunjukkan, bahwa lebih dari 40% sarana tidak memenuhi syarat sebagai distributor pangan
7
karena faktor sanitasi, bangunan dan fasilitas yang tidak memenuhi syarat, dan menjual produk-produk yang tidak memenuhi syarat (Ditjen POM 1996). Pengawasan pangan
merupakan salah satu faktor penting untuk
meningkatkan keamanan dan mutu pangan. Beberapa hambatan dalam program pengawasan pangan di Indonesia seperti: (a) belum mantapnya kelembagaan dan koordinasi pengawasan pangan, (b) peraturan dan pedoman yang belum lengkap, (c) jumlah dan kualitas sumber daya manusia yang terbatas, (d) sumber dana yang terbatas, dan (e) kemampuan laboratorium analisis pangan yang terbatas. Keterbatasan dalam jumlah tenaga pengawas pangan dan dana pengawasan mengakibatkan rendahnya jumlah sarana produksi pangan yang mendapatkan pengawasan (Ditjen PPM PLP 1994).
Kontaminasi pada Daging Ayam Cemaran atau masuknya zat asing yang tidak diinginkan dalam makanan dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu : cemaran biologi, kimia dan fisik. 1. Cemaran Biologi Mikroba yang biasanya terdapat pada karkas ayam adalah Campylobacter, Clostridium, Listeria, Salmonella, Staphylococcus, E. coli dan Yersinia (Cox et al. 2005). Salah satu persyaratan kualitas produk unggas adalah bebas mikroba patogen. Pencemaran daging oleh mikroba dapat terjadi sebelum dan setelah hewan dipotong. Sumber pencemaran tersebut antara lain adalah : 1) hewan (kulit, bulu, isi jeroan), 2) pekerja/manusia yang mencemari produk ternak melalui pakaian, rambut, hidung, mulut, tangan, jari, kuku, alas kaki, 3) peralatan (pisau, alat potong/talenan, pisau, boks), 4) bangunan (lantai), 5) lingkungan (udara, air, tanah), dan 6) kemasan. Sesaat setelah dipotong, darah masih bersirkulasi ke seluruh anggota tubuh hewan, sehingga penggunaan pisau yang tidak bersih dapat menyebabkan mikroorganisme masuk ke dalam darah. Pencemaran daging dapat dicegah jika proses pemotongan dilakukan secara higienis (Gustiani 2009). Jumlah bakteri
pada
2
kulit 2
ayam
sebelum
pemotongan
ayam
adalah
2,
6.0x10 -68.1x10 cfu/cm dan setelah pemotongan dan pengeluaran jeroan menjadi 1.1x104-9.3x104 cfu/cm2 (Mountney 1983). Banyak kasus penyakit yang diakibatkan oleh cemaran mikroba patogen (foodborne diseases) pada daging ayam maupun produk olahannya. Daging ayam
8
cocok sebagai medi perkembangan mikroba, karena ayam dalam kehidupannya selalu bersentuhan dengan lingkungan yang kotor. Karkas ayam mentah paling sering dikaitkan dengan cemaran Salmonella dan Campylobacter yang dapat menginfeksi manusia (Raharjo 1999). Menurut Poloengan et al. (2005) 20-100% daging ayam yang dipasarkan di Jakarta, Bogor, Sukabumi dan Tangerang tercemar bakteri Campylobacter. Tabel 2. Batas maksimum cemaran mikroba pada karkas ayam No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis Total Plate Count Coliform Staphylococcus aureus Escherichia coli Salmonella sp Campylobacter sp
Satuan cfu/g cfu/g cfu/g cfu/g per 25 g per 25 g
Persyaratan maksimum 1 x 106 maksimum 1 x 102 maksimum 1 x 102 maksimum 1 x 101 negatif negatif
SNI 01-7388 (BSN 2009)
a. Total Plate Count (TPC) Jumlah cemaran dalam suatu pangan dapat ditentukan melalui metode Total Plate Count (TPC) atau disebut juga Angka Lempeng Total (ALT). Jumlah mikroorganisme pada contoh pangan yang diperoleh pada metode ini merupakan gambaran populasi mikroorganisme yang terdapat pada contoh tersebut. Jumlah mikroorganisme
yang
tumbuh
(membentuk
koloni)
yang
berasal
dari
mikroorganisme yang dapat tumbuh pada kondisi yang ditetapkan (misalnya jenis media, ketersediaan oksigen, suhu dan lama inkubasi), karena mikroorganisme lain yang terdapat pada contoh tidak dapat tumbuh atau bahkan menjadi mati. Metode hitung cawan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: pour plate methode (metode tuang) dan surface or spread plate method (metode permukaan atau metode sebar). Jumlah koloni yang diperoleh dinyatakan dengan colony forming unit (cfu) per gram atau per ml luasan tertentu dari contoh (per cm2). Ketepatan metode ini dipengaruhi beberapa faktor, antar lain : a) media dan kondisi inkubasi (ketersediaan oksigen, suhu dan waktu inkubasi), b) kondisi sel mikroorganisme (cedera atau injured cell), c) adanya zat penghambat pada peralatan atau media yang dipakai, atau yang diproduksi oleh mikroorganisme lainnya, d) kemampuan pemeriksa untuk mengenal koloni, e) peralatan, pelarut dan media yang kurang steril, ruang kerja yang tercemar, f) pengocokan pada saat pengenceran yang
9
kurang sempurna, g) adanya artifak yang sulit dibedakan dengan koloni, h) kesalahan menghitung koloni dan perhitungan yang kurang tepat terhadap koloni yang menyebar atau yang sangat kecil (Lukman dan Purnawarman 2009). b. Coliform Coliform merupakan suatu grup bakteri yang digunakan sebagai indikator adanya polusi kotoran dan kondisi sanitasi yang tidak baik terhadap air dan makanan, yang menunjukkan kemungkinan adanya mikroorganisme yang bersifat toksogenik yang berbahaya bagi kesehatan. Bakteri coliform terbagi dua yaitu: coliform faecal (contohnya Escherichia coli) yang berasal dari kotoran hewan maupun manusia, dan coliform non faecal (contohnya Enterobacter aerogenes) yang ditemukan pada hewan atau tanam-tanaman yang telah mati (Fardiaz 1989). Coliform adalah bakteri berbentuk batang, gram negatif dan tidak berspora, dan dapat tumbuh pada suhu 2-50°C dan pada kisaran pH 4.4-9.0 (Jay 2000). Kelompok bakteri coliform terdiri atas jenis Escherichia, Enterobacter dan Klebsiella. Keberadaannya di dalam bahan pangan sering digunakan sebagai indikator kontaminasi asal kotoran (McGraw 1999). Coliform terdapat dimanamana dan ditemukan pada bermacam-macam produk bahan pangan terutama yang berasal dari hewan. Pada ayam hidup coliform biasanya terdapat pada bulu, kulit dan kuku, sehingga pada saat proses pemotongan ayam coliform dapat mencemari karkas. Kontaminasi coliform pada karkas ayam juga berasal dari isi saluran pencernaan pada saat dilakukan eviserasi (Banwart 1989). Kontak langsung antara peralatan dan tangan pekerja dengan karkas serta air yang digunakan dalam pencucian karkas selama proses produksi memungkinkan terjadinya kontaminasi sejumlah
coliform
pada
permukaan
karkas
ayam
broiler
(Cunningham & Cox 1987). 2. Cemaran Kimia Pada tahap praproduksi, penggunaan obat hewan merupakan suatu keharusan agar produktivitas ternak dapat dipertahankan atau ditingkatkan. Pemakaian antibiotik terutama pada peternakan ayam pedaging dan petelur cenderung berlebihan tanpa memperhatikan aturan pemakaian yang benar (Bahri et al. 2000). Menurut Murdiati dan Widiastuti (2003) daging dan hati ayam banyak juga yang tercemar residu antibiotika, terutama golongan penisilin dan
10
tetrasiklin dan cemaran pada organ hati lebih tinggi dibanding pada daging. Pada tahap produksi, cemaran kimia dapat terjadi karena penggunaan pewarna pada karkas ayam. Pada tahap pascaproduksi, deterjen yang digunakan untuk membersihkan peralatan dan ruang pengolahan yang tidak dibersihkan secara tuntas dapat mencemari karkas. 3. Cemaran Fisik Cemaran fisik yang tidak boleh/hanya sedikit sekali dalam makanan dan tidak boleh menimbulkan luka bahkan patah gigi, yang umumnya disebabkan beberapa faktor sebagai berikut: cemaran dari bahan baku (batu/kerikil, potongan tulang, ranting, duri rumput, kotoran dan serangga), cemaran dari manusia (rambut, potongan kuku dan perhiasan), cemaran pada saat proses pengolahan (pecahan kaca/gelas, logam, pengemas dan plastik) (Thaheer 2005). Pengujian fisik dilakukan secara visual (inspeksi), perabaan (palpasi) dan penyayatan (insisi) (BSN 2009).
Teknik Pemotongan Ayam 1. Tata Cara Penyembelihan Daging yang berasal dari hewan dapat menjadi tidak halal jika disembelih tanpa mengikuti aturan syariat Islam. Hal-hal yang menjadi titik kritis proses penyembelihan hewan adalah sebagai berikut : penyembelih (harus seorang muslim yang taat dan melaksanakan syariat Islam sehari-hari), pemingsanan (tidak menyebabkan hewan mati sebelum disembelih), peralatan/pisau (harus tajam), dan proses pasca penyembelihan (hewan harus benar-benar mati sebelum proses selanjutnya dan darah harus keluar secara tuntas) (LPPOM MUI 2008). Penyembelihan harus memutuskan trachea, kerongkongan dan pembuluh darah arteri utama dan daerah leher (CAC 1997). 2. Tahapan Proses Pemotongan Ayam Berikut ini adalah diagram tahapan pemotongan ayam pada tempat pemotongan ayam (USDA 1999) :
11
Penerimaan bahan-bahan yang dikemas
Penerimaan/penyimpanan ayam hidup
Menggantung/stunning/menyembelih/pengeluaran darah Scalding/pemotongan kepala/mencuci/ hock cutter/menggantung Membuang kelenjar minyak/memotong leher/venting/opening Eviceration Pengeluaran paru-paru/tembolok/pemanenen hati Pemanenan hati, gizzard
Inspeksi Pencucian akhir Processing
Penyimpanan
ChillingKarkas/leher/jeroan Penyimpanan bahan-bahan yang dikemas
Pengemasan/pelabelan Penyimpanan produk akhir
Pengiriman Gambar 1. Tahapan Proses Pemotongan Ayam
a. Penerimaan/penyimpanan ayam hidup. Ayam yang datang dari peternakan biasanya ditempatkan dalam keranjang bambu/plastik. Ayam diistirahatkan selama beberapa jam hingga tiba proses penyembelihan. b. Menggantung. Sebelum proses penyembelihan, ayam digantung pada bagian sendi kaki dengan posisi kepala di bawah. Ini untuk memudahkan proses penyembelihan. c. Stunning. Pencegahan ayam agar tidak stres dan tidak memberontak pada saat proses penyembelihan, maka ayam dipingsankan (stunning) dengan melewatkan
12
kepala ayam ke dalam bak air yang diberi Automatic Stunner dengan tegangan 60-70 volt pada bak air selama 3 detik hingga tubuh dan jaringan otot ayam melemas, sehingga ayam tidak banyak bergerak saat disembelih. d. Menyembelih. Proses penyembelihan dilakukan dengan pemotongan ketiga urat yang terletak di leher, yaitu saluran makanan (oesophagus), saluran pernafasan (trachea), dan pembuluh darah di kanan dan kiri leher (vena jugularis dan arteri carotis) sampai putus, sehingga darah dapat mengucur keluar sampai habis. e. Mengeluarkan darah. Darah kemudian dikeluarkan, dengan cara menggantung ayam dengan posisi kepala di bagian bawah selama 3-5 menit. Pengeluaran darah harus tuntas sehingga tidak menurunkan mutu karkas ayam, juga akan mempengaruhi warna kulit ayam dan berpotensi sebagai media pertumbuhan mikroba, sehingga daging cepat busuk. f. Scalding. Setelah darah ayam ditiriskan, kemudian ayam dimasukkan ke dalam bak atau panci berisi air panas dengan suhu 52-55°C selama 45 detik. Proses ini bertujuan agar memudahkan dalam proses pencabutan bulu. g. Mencabut bulu. Proses ini dapat dilakukan dengan mencabut bulu (mesin pencabut bulu/plucker) atau dapat juga dilakukan dengan tangan. Pembersihan bulu-bulu kecil dilakukan dengan tangan. Saat proses berlangsung, air dingin disiramkan ke dalam mesin plucker agar kulit ayam tidak rusak, juga untuk membersihkan bulu-bulu pada tubuh ayam. h. Pemotongan kepala. Proses ini sebaiknya dilakukan di atas meja yang dilapisi keramik atau porselen, atau baja tahan karat yang dilengkapi dengan keran air. i. Pencucian. Pencucian dilakukan pada karkas ayam untuk membersihkan ayam dari kotoran dan darah yang masih menempel pada karkas ayam. j. Penggantungan kembali. Karkas yang telah dicuci kemudian digantung kembali, untuk meniriskan air yang terdapat pada karkas, sehingga pada saat pengemasan bobot karkas tidak bertambah. k. Membuka rongga abdomen dan dada. Rongga perut dibuka dengan cara mengiris kulit perut melintang dari anus hingga ke ujung tulang dada dengan menggunakan pisau yang tajam. Proses ini harus dilakukan dengan hati-hati agar daging dada dan usus tidak ikut terpotong.
13
l. Pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan untuk menentukan kesesuaian proses pemotongan sudah sesuai, dan tidak sampai membelah perut dan dada terlalu lebar yang nantinya akan mengurangi nilai jual karkas. m. Pemanenan hati, jantung. Karkas dipegang dengan tangan kiri, dada karkas menghadap ke atas. Menggunakan jari-jari tangan kanan, pertautan antara saluran pernafasan, saluran pencernaan dan pembuluh darah ayam dilonggarkan. Ampela dijepit di antara jari telunjuk dan jari tengah, lalu ditarik. n. Pemotongan saluran pencernaan. Pemotongan usus buntu dari usus halus kemudian dilakukan. Pada beberapa tempat pemotongan unggas, usus dibersihkan, dengan menyobek usus membujur searah panjang usus, dan isi usus dikeluarkan dengan menyemprotkan air ke usus yang telah terbelah tersebut. Kemudian usus dicuci bersih, selanjutnya direbus setengah matang, didinginkan, dan dikemas. o. Pemanenan ampela. Ampela dipisahkan dari hati dan jantung serta usus secara hati-hati hingga tidak rusak dan empedu tidak pecah. Ampela dipisahkan dari tembolok dan dicuci bersih, lalu dikemas. p. Pengambilan paru-paru. Menggunakan jari tangan kanan paru-paru kemudian dilepaskan dari karkas ayam. q. Pemotongan leher. Leher kemudian dipisahkan dari kepala dan karkas, dicuci dan dikemas. r. Pemotongan kaki (ceker). Pemotongan dilakukan pada sendi di bawah lutut sehingga hasil pemotongan membentuk seperti angka 8. s. Pemotongan retail. Pemotongan retail dilakukan sesuai dengan permintaan. Karkas dipotong menjadi delapan potong yang terdiri atas dua paha bawah, dua paha atas, dua sayap, dua bagian dada. t. Pencucian akhir. Setelah isi rongga perut dikeluarkan dan karkas dipotongpotong, lalu karkas dicuci bersih. u. Penyortiran. Klasifikasi kualitas karkas dapat dibagi menjadi tiga, yaitu kualitas A (untuk pasar swalayan, rumah makan siap hidang, dan hotel-hotel), kualitas B (untuk rumah makan padang atau pasar tradisional), dan kualitas C (untuk karkas potongan dan karkas tanpa tulang/boneless). v. Packing. Setelah proses pemotongan dan penyortiran, kemudian karkas dikemas. Kemasan dapat berupa kantung plastik, styrofoam atau coolbox.
14
Ukuran kemasan disesuaikan dengan karkas atau produk sampingan yang akan dibungkus. w. Penyimpanan karkas dingin. Karkas yang telah dibungkus lalu diatur rapi dalam keranjang karkas. Pada bagian atas dan samping keranjang ditutup dengan hancuran es setebal kurang lebih 5-10 cm, lalu diatas lapisan es ini diletakkan lagi bungkusan karkas. Demikian selanjutnya hingga keranjang penuh. Selanjutnya semua produksi yang telah dikemas dan akan dikirim dimasukkan ke dalam boks kendaraan pengangkut yang dilengkapi dengan pendingin dengan suhu 0-15°C (TAS 2006). Proses
penyembelihan
harus
memenuhi
persyaratan
teknis
dan
kesejahteraan ternak, ayam yang akan disembelih, penyembelih dan proses pemotongan. Sebelum pemotongan, ayam-ayam tidak boleh makan, tetapi harus diberi air minum, minimal 8-12 jam. Hal ini bertujuan untuk mengosongkan tembolok ayam sebelum menyembelih, untuk mencegah kemungkinan ekskresi isi usus, kemudian dilakukan pemeriksaan ante-mortem yaitu pemeriksaan kesehatan ayam sebelum menyembelih. Kesejahteraan ternak juga harus diperhatikan, yaitu: bebas dari lapar dan haus, bebas dari ketidaknyamanan, bebas dari rasa sakit, cedera dan penyakit, bebas untuk mengekspresikan perilaku normal, bebas dari rasa takut dan stres (Deptan 2006).
Persyaratan Tempat Pemotongan Ayam Rumah pemotongan unggas adalah kompleks bangunan dengan desain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu, serta digunakan sebagai tempat memotong unggas bagi konsumsi masyarakat umum. Menurut SNI 01-6160 (BSN 1999), Rumah Pemotongan Unggas harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut : 1.
Tidak bertentangan dengan Rancangan Umum Tata Ruang (RUTR), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) setempat dan/atau Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK).
2.
Tidak berada di bagian kota yang padat penduduknya, dan letaknya lebih rendah dari rumah penduduk.
15
3.
Memiliki sarana jalan yang baik untuk kendaraan pengangkutan daging unggas.
4.
Memiliki sumber air dan listrik yang cukup.
5.
Memiliki tempat penurunan unggas hidup (unloading).
6.
Memiliki kamar mandi dan wc.
7.
Memiliki sarana penanganan limbah.
8.
Memiliki
daerah
kotor
(penurunan,
pemeriksaan
antemortem
dan
penggantungan unggas hidup, pemingsanan, penyembelihan, scalding, pencabutan bulu, pencucian karkas, pengeluaran jeroan dan pemeriksaan postmortem, penanganan jeroan). 9.
Memiliki daerah bersih (pencucian karkas, pendinginan karkas, seleksi, penimbangan karkas, pemotongan karkas, pemisahan daging dan tulang, pengemasan, penyimpanan segar).
10. Sistem saluran pembuangan limbah cair. 11. Seluruh peralatan pendukung dan penunjang di rumah pemotongan unggas harus terbuat dari bahan yang tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan didensinfeksi serta mudah dirawat. 12. Peralatan yang langsung berhubungan dengan daging harus terbuat dari bahan yang tidak mudah korosif, tidak toksik, mudah dibersihkan dan didensinfeksi serta mudah dirawat.
Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) Sanitasi diperlukan untuk menghilangkan kontaminan dan mencegah terjadinya kontaminasi kembali pada karkas. Sumber kontaminasi dapat berasal dari karkas itu sendiri, peralatan, air atau ruangan tempat penyembelihan. Prosedur standar dalam proses sanitasi (Sanitation Standard Operating Procedure – SSOP) meliputi delapan aspek, yaitu : 1. Keamanan air, yang didalamnya akan ditetapkan tahapan-tahapan perlakuan untuk air yang diterapkan agar diperoleh air dengan kualitas tertentu. 2. Kondisi/kebersihan permukaan yang kontak dengan karkas, yang berisi standar prosedur pembersihan dan sanitasi alat, frekuensi pembersihan dan petugas yang bertanggung jawab.
16
3. Pencegahan kontaminasi silang, yang bertujuan untuk menghindari kontaminasi silang dari pekerja dan karkas. 4. Kebersihan pekerja, meliputi fasilitas cuci tangan, sanitasi tangan. 5. Pencegahan atau perlindungan dari adulterasi, untuk mencegah tercampurnya bahan-bahan nonpangan seperti senyawa pembersih, sanitizer, serta cemaran kimia dan fisik dengan karkas. 6. Penyimpanan karkas yang tepat sebelum dibeli konsumen. 7. Pengendalian kesehatan karyawan, agar karyawan yang menderita sakit tidak menjadi sumber kontaminasi bagi karkas. 8. Pemberantasan hama yang tidak dikehendaki keberadaannya, seperti: tikus, burung, nyamuk, kecoa, semut, lalat dan lebah (Winarno & Surono 2004).
Penyusunan
SSOP
harus
memenuhi
kelayakan
antara
lain:
pendokumentasian program sanitasi, pemantauan program kelayakan, penerapan kelayakan dasar, melakukan tindakan koreksi jika kelayakan dasar tidak memenuhi syarat, dan perekam program yang dilaksanakan (Wiryanti 2002). Juga perlu dipertimbangkan tata letak bangunan, lantai, dinding, langit-langit, ventilasi, jendela dan pintu yang tidak mudah memunculkan penyebaran serangga. Bangunan dapat terbuat dari bahan besi, kayu, stainless steel, logam monel, karet dan bahan enamel. Sanitasi pada peralatan, ruang, pekerja, penanganan dan pengolahan limbah juga perlu diperhatikan (Ditjen Keswan 1987).
17
MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, mulai bulan Oktober 2010 April 2011. Pengambilan sampel pada titik kritis dilakukan pada 2 jenis tempat pemotongan unggas yang berbeda (dibina dan belum dibina) pada empat kecamatan di Kabupaten Bogor. Pada penelitian ini, lokasi yang dipilih berdasarkan rekomendasi dari Dinas Peternakan Kabupaten Bogor. Bentuk pembinaan yang telah diberikan oleh Dinas Peternakan setempat adalah pengarahan dan pelatihan terhadap sanitasi dan higiene di lingkungan TPA, juga bantuan berupa beberapa peralatan yang dibutuhkan untuk proses produksi seperti scalder, plucker, bak pencucian karkas, meja eviserasi dan juga freezer. Kecamatan yang diamati adalah Kecamatan Parung, Cibinong, Dramaga dan Cibungbulang. Pada Kecamatan Parung, TPA binaan dan belum dibina berada di Desa Waru, TPA binaan berlokasi di sekitar pemukiman penduduk, sedangkan TPA belum dibina berlokasi di pasar Parung. Pada Kecamatan Cibinong TPA binaan dan belum dibina berada pada satu desa, yaitu Desa Pakan Sari dan berlokasi di daerah pemukiman penduduk. Pada Kecamatan Dramaga TPA binaan berlokasi di Desa Sinar Sari yang dekat dengan pemukiman penduduk, TPA belum dibina berada di Desa Kidul yang juga dekat dengan pemukiman penduduk. Kecamatan Cibungbulang TPA dibina dan belum dibina berada pada satu desa yaitu Desa Dukuh dan berada di daerah pemukiman penduduk.
Materi Penelitian Bahan. Adapun bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah: sampel dari pengamatan terhadap titik kritis di TPA; PCA; larutan Buffered Pepton Water (BPW) 0.1 %; Brilliant Green Lactose Bile Broth (BGLBB), Lauryl Sulfate Tryptose Broth (LSTB). Alat. Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah: termometer untuk mengukur suhu air scalding; tabung Durham; cawan petri; pipet ukuran 1ml, 2ml, 5ml, 10ml; pipet volumetrik; botol media; penghitung koloni; gunting, pinset; ose (jarum inokulasi); stomacher; pembakar bunsen; pH meter; timbangan; magnetic
18
stirer; pengocok tabung (vortex); inkubator; penangas air; autoklaf; lemari steril; lemari pendingin; freezer. Prosedur Penelitian Diagram Alir Penelitian. Penelitian dimulai dengan menentukan jumlah TPA yang akan diamati dan dijadikan tempat pengambilan sampel. Kabupaten Bogor terdiri atas 40 kecamatan, dan pada masing-masing kecamatan terdapat 5-20 buah tempat pemotongan ayam (TPA). Dari 40 kecamatan tersebut, telah empat kecamatan yang mendapat pembinaan dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor dalam sanitasi dan hygiene, juga pemberian bantuan peralatan berupa mesin plucker, scalder, meja eviserasi, bak pencuci karkas, dan freezer. Pada empat kecamatan tersebut terdapat 20 buah TPA, dengan 4 buah TPA yang telah dibina dan 16 buah TPA yang belum dibina. Untuk menentukan jumlah TPA yang akan diamati dan dijadikan sebagai tempat pengambilan sampel, maka digunakan rumus Levy dan Lameshow (1999), dan didapatkan hasil sebanyak
12
buah TPA yang akan diamati dan dijadikan tempat sebagai pengambilan sampel, dengan 1 buah TPA dibina dan 2 buah TPA yang belum dibina pada masingmasing kecamatan. Penentuan TPA yang diamati sesuai dengan rekomendasi yang diberikan oleh Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. Pengamatan di lapangan dilengkapi dengan kuisioner yang menilai kelayakan unit usaha TPA yang mengacu pada Permentan (2005) dan kuisioner yang menilai tata cara pemotongan ayam yang halal yang mengacu pada LPPOM MUI (2011). Pemberian nilai pada masing-masing persyaratan dalam kuisioner dilakukan dengan mempertimbangkan persyaratan yang terutama dan yang terpenting dari kuisioner yang dapat menjamin keamanan dan kehalalan dari produk akhir yang dihasilkan. Dari kuisioner tersebut didapat bobot penilaian untuk masing-masing TPA, apakah TPA tersebut sudah memenuhi persyaratan yang sesuai dengan Permentan (2005) dan LLPOM MUI (2011). Sampel. Setelah dilakukan pengamatan dan penilaian pada masing-masing TPA kemudian dilakukan penentuan titik kritis pada masing-masing TPA. Dari titik kritis yang telah ditentukan kemudian dilakukan pengambilan sampel. Sampel yang diambil berupa karkas ayam bagian dada dan air cucian karkas ayam. Sampel yang diteliti diambil sebanyak tiga ulangan, yaitu pada awal, tengah dan akhir produksi.
19
Masing-masing sampel kemudian ditempatkan di dalam plastik yang telah disterilkan. Sampel-sampel lalu ditempatkan ke dalam cool box dan diberi batu es selama dalam perjalanan, untuk mencegah tumbuhnya mikroba pada sampel. Sampel-sampel yang diambil pada malam hari atau subuh langsung dibawa ke Laboratorium Kesmavet J. Bambu Apus II Jaktim pada pagi harinya, lalu dianalisa untuk mengetahui tingkat cemaran TPC pada karkas ayam dan air cucian karkas ayam dan coliform pada karkas ayam. Jumlah TPA pada empat kecamatan tersebut adalah 20 buah TPA dengan 4 buah TPA dibina dan 16 buah TPA yang belum dibina. Untuk menentukan jumlah TPA yang akan dijadikan sebagai tempat pengamatan dan pengambilan sampel yang diperlukan, menurut Levy dan Lemeshow (1999) dihitung dengan rumus: n ≥
z2 N Py (1-Py) (N-1) ε2 Py2 + z2 Py (1-Py)
Keterangan : N = jumlah populasi tempat pemotongan ayam n = jumlah sampel yang diperlukan ε = nilai error sebesar 30% z = 1.96 dengan α = 0.05 Py = ppeluang jawaban 50% karena ada 2 pilihan jawaban, yaitu dan tidak (0)
ya (1)
Melalui rumus diatas didapat hasil 12 TPA sebagai tempat pengamatan. Pada masing-masing kecamatan terdapat satu buah TPA dibina dan dua buah TPA belum dibina.
Peubah yang Diamati Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah kelayakan bangunan, proses pemotongan ayam yang halal dan penghitungan jumlah mikroba. 1. Evaluasi Kelayakan Unit Usaha TPA Pengamatan yang dilakukan di lapangan dilengkapi dengan kuisioner yang berisi pengamatan tentang kelayakan unit usaha TPA yang mengacu pada Permentan (2005) yang meliputi: a) bangunan, b) fasilitas, c) sanitasi dan higiene, d) higiene personal, serta e) bahan baku, penanganan dan pengolahan (yang disesuaikan dengan jenis usaha). Dari bobot penilaian kelayakan unit usaha pada
20
masing-masing TPA lalu dapat dibandingkan kelayakan unit usaha antara TPA dibina dan TPA belum dibina. 2. Proses Pemotongan Ayam yang Halal Pengamatan yang dilakukan dilapangan dilengkapi dengan kuisioner yang mengacu pada LPPOM MUI (2011) yang berisi: a) sumber daya manusia, b) prasarana, c) penyembelihan unggas, d) penanganan dan penyimpanan, e) pengemasan dan pelabelan, f) transportasi. Dari bobot penilaian pemotongan ayam yang halal pada masing-masing TPA lalu dapat dibandingkan pemotongan ayam yang halal antara TPA dibina dan TPA belum dibina. 3. Penghitungan Jumlah Mikroba Sampel yang diambil dari masing-masing TPA adalah karkas ayam bagian dada dan air cucian karkas. Pengambilan sampel dilakukan pada akhir pengamatan. Sampel yang diambil pada hari itu langsung dibawa ke Laboratorium Kesmavet Jl. Bambu Apus II-Jaktim untuk langsung dianalisa jumlah TPC pada karkas ayam dan air cucian karkas ayam, dan jumlah coliform pada karkas ayam. Prosedur analisa penghitungan Total Plate Count (TPC) dan coliform yang di lakukan di laboratorium adalah sebagai berikut : a. Total Plate Count (TPC) Total Plate Count dimaksudkan untuk menunjukkan jumlah mikroba yang terdapat dalam suatu produk dengan cara menghitung koloni bakteri yang ditumbuhkan pada media agar. Media dan reagen yang digunakan: PCA dan BPW 0.1%. Peralatan yang digunakan: cawan petri, tabung reaksi, pipet volumetrik, botol media, penghitung koloni, gunting, pinset, ose (jarum inokulasi), stomacher, pembakar bunsen, pH meter, timbangan, magnetic stirer, pengocok tabung (vortex), inkubator, penangas air, autoklaf, lemari steril, lemari pendingin, freezer. Metode pengujian: a. Contoh padat dan semi padat ditimbang sebanyak 25g lalu masukkan ke dalam wadah steril.
21
b. 225 ml larutan BPW 0.1% steril ditambahkan ke dalam kantong steril yang berisi contoh, dihomogenkan dengan stomacher selama 1-2
menit. Ini
merupakan larutan dengan pengenceran 10-1. c. Sebanyak 1 ml suspensi pengenceran 10-1 tersebut dipindahkan dengan pipet steril ke dalam larutan 9 ml BPW untuk mendapatkan pengenceran 10-2. d. Pengenceran 10-3, 10-4, 10-5 dibuat dan seterusnya dengan cara yang sama seperti pada butir c), sesuai kebutuhan. e. Selanjutnya dimasukkan sebanyak 1 ml suspensi dari setiap pengenceran ke dalam cawan petri secara duplo. f. Sebanyak 15-20 ml PCA yang telah didinginkan hingga temperatur 45°C ± 1ºC ditambahkan pada masing-masing cawan yang sudah berisi suspensi. Agar larutan contoh dan media PCA tercampur seluruhnya, dilakukan pemutaran cawan ke depan dan ke belakang atau membentuk angka delapan dan didiamkan sampai menjadi padat. g. Diinkubasi pada temperatur 34ºC-36ºC selama 24-48 jam dengan meletakkan cawan pada posisi terbalik. b. Coliform Metode Most Probable Number (MPN) terdiri atas uji presumtif (penduga) dan uji konfirmasi (peneguhan), dengan menggunakan media cair di dalam tabung reaksi dan dilakukan berdasarkan jumlah tabung positif. Pengamatan tabung positif dapat dilihat dengan timbulnya gas di dalam tabung Durham. Media dan Reagen yang digunakan: larutan Buffered Pepton Water (BPW)
0.1
%, Brilliant Green Lactose Bile Broth (BGLBB), Lauryl Sulfate Tryptose Broth (LSTB). Peralatan: tabung Durham; tabung reaksi; pipet ukuran 1ml, 2ml, 5ml, 10ml; botol media; gunting; pinset; jarum inokulasi (ose); stomacher; pembakar bunsen; ph meter; timbangan; magnetic stirer; pengocok tabung (vortex); inkubator; penangas air; autoclaf; lemari steril; lemari pendingin; freezer. Metode pengujian: a. Contoh padat dan semi padat ditimbang sebanyak 25 g lalu masukkan ke dalam wadah steril.
22
b. Sebanyak 225 ml larutan BPW 0.1% steril ditambahkan ke dalam kantong steril yang berisi contoh, homogenkan dengan stomacher selama 1-2
menit. Ini
merupakan larutan dengan pengenceran 10-1. Uji Pendugaan:
a. Sebanyak 1 ml suspensi pengenceran 10-1 tersebut dipindahkan dengan pipet steril ke dalam larutan 9 ml BPW untuk mendapatkan pengenceran 10-2. Dengan cara yang sama seperti di atas dibuat pengenceran 10-3.
b. Masing-masing 1 ml dari setiap pengenceran dipipet ke dalam 3 seri tabung LSTB yang berisi tabung Durham.
c. Diinkubasi pada temperatur 35ºC selama 24-48 jam. Diperhatikan adanya gas yang terbentuk di dalamm tabung Durham. Hasil uji dinyatakan positif apabila terbentuk gas. Uji Peneguhan (Konfirmasi): a. Pengujian selalu disertai dengan kontrol positif. b. Biakan positif dari Butir c) Uji Pendugaan dipindahkan dengan menggunakan jarum inokulasi dari setiap tabung LSTB ke dalam tabung BGLBB yang berisi tabung Durham. c. Diinkubasi pada temperatur 35ºC selama 48 jam. d. Diperhatikan adanya gas yang terbentuk di dalam tabung Durham. Hasil uji dinyatakan positif bila terbentuk gas. Selanjutnya digunakan tabel (Most Probable Number (MPN) untuk menentukan nilai MPN berdasarkan jumlah tabung BGLBB yang positif sebagai jumlah koliform per milimeter atau per gram (BSN 2008).
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini melakukan evaluasi terhadap kelayakan bangunan, proses pemotongan yang halal serta penghitungan jumlah mikroba yang terdapat pada karkas ayam dan air cucian karkas ayam. Penentuan lokasi pengamatan diambil berdasarkan rekomendasi dari Dinas Peternakan Kabupaten Bogor terhadap TPA binaan dan TPA belum dibina pada empat kecamatan di Kabupaten Bogor. Empat kecamatan yang telah mendapat pembinaan dari Dinas Peternakan Kabupaten Bogor adalah Kecamatan Cibinong, Kecamatan Parung, Kecamatan Dramaga dan Kecamatan Cibungbulang, dan pada masing-masing kecamatan terdapat satu buah TPA yang telah dibina. Jumlah TPA pada kecamatan tersebut adalah 20 buah TPA dengan 4 buah TPA dibina dan 16 buah TPA yang belum dibina. Untuk menentukan jumlah TPA yang akan dijadikan sebagai tempat pengamatan dan pengambilan sampel, maka digunakan rumus Levy & Lameshow (1999), sehingga didapat hasil 12 TPA sebagai tempat pengamatan, dengan satu TPA dibina dan dua TPA belum dibina untuk masing-masing kecamatan. Bentuk pembinaan yang telah diberikan oleh Dinas Peternakan Kabupaten Bogor adalah pengarahan dan pelatihan untuk sanitasi dan higiene di lingkungan TPA, juga pemberian beberapa peralatan yang dibutuhkan untuk proses produksi seperti scalder, plucker, bak pencucian karkas, meja eviserasi dan juga freezer. Di Kecamatan Parung, TPA dibina dan belum dibina berada di Desa Waru, TPA dibina berlokasi disekitar pemukiman penduduk sedangkan TPA belum dibina berlokasi di pasar Parung. Di Kecamatan Cibinong TPA binaan dan belum dibina berada pada satu desa, yaitu Desa Pakan Sari. Di Kecamatan Dramaga TPA binaan berlokasi di Desa Sinar Sari, TPA belum dibina berada di Desa Kidul. Kecamatan Cibungbulang TPA dibina dan belum dibina berada pada satu desa, yaitu Desa Dukuh.
(a)
(b)
(c)
24
(d)
(e)
Gambar 2. Bantuan peralatan dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor; (a) meja eviserasi, (b) plucker, (c)bak pencuci, (d) scalder, (e) freezer
Evaluasi Kelayakan Unit Usaha TPA Evaluasi kelayakan unit usaha TPA ini menggunakan kuisioner berdasarkan Permentan (2005) yang berisi tentang bangunan, fasilitas, sanitasi dan higiene unit usaha rumah pemotongan unggas yang terdiri atas: a) penanggung jawab kesehatan hewan dan kesmavet; b) bangunan, fasilitas, sanitasi dan higiene; c) higiene personal serta d) bahan baku, penanganan dan pengolahan (yang disesuaikan dengan jenis usaha). Berdasarkan data kuisioner tersebut terhadap 12 TPA penelitian maka didapatkan hasil seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Penilaian kelayakan unit usaha TPA penelitian Kecamatan
TPA dibina (%)
Cibinong Dramaga Cibubulang Parung
54 55 64 55
Bobot penilaian:
75-100% 50-75% 25-50% 0-25%
= = = =
Status Binaan TPA belum dibina (%) A B 34 39 35 29 38 39 22 32
layak kurang layak tidak layak sangat tidak layak
Kriteria kelayakan pada bobot penilaian unit usaha TPA pada tabel diatas diberikan sesuai dengan tingkatan persentase. Untuk penilaian tertinggi (75-100%) diberikan kriteria layak, dan yang terendah (0-25%) diberikan kriteria sangat tidak layak. Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa semua TPA dibina berada pada kriteria kurang layak (54-64%), dan TPA belum dibina berada pada kriteria tidak layak dan kurang layak (22-39%), karena banyak dari persyaratan sesuai Permentan (2005) yang belum dipenuhi oleh semua TPA.
25
Beberapa TPA belum dibina belum memiliki perijinan unit usaha yang dikeluarkan oleh Dinas Peternakan setempat karena merupakan anak usaha dari TPA dibina, dan bangunan belum bersifat permanen. Beberapa TPA dibina dan TPA belum dibina belum melakukan pemisahan fisik antara ruangan kotor dan bersih sehingga seluruh proses produksi dilakukan dalam satu ruangan yang tidak dapat mencegah terjadinya kontaminasi pada karkas ayam selama proses produksi. TPA di Kecamatan Parung baik binaan maupun belum dibina memiliki bobot penilaian kelayakan bangunan terkecil dibandingkan dengan TPA pada kecamatan lainnya karena bangunan merupakan bangunan terbuka dan bukan bangunan permanen, dan tidak ada pemisahan fisik antara ruangan bersih dan kotor dan seluruh proses produksi dilakukan pada satu ruangan.
26
Tabel 4 Daftar Pengecekan Kelayakan Dasar Unit Usaha TPA yang mengacu pada Permentan (2005) No
Aspek yang dinilai
Bobot Nilai (%) Cibinong
TPA dibina Dramaga Cibungbulang I. Penanggung Jawab Kesehatan Hewan dan Kesmavet 1. Tersedia dokter hewan 1.0 0* 0 0 penanggung jawab kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner II. Lokasi dan Lingkungan 2. Lokasi unit usaha sesuai 1.0 1** 1 1 dengan alamat yang tercantum dalam perijinan 3. Ada pemisahan fisik antara 1.0 1 1 1 PRB dan RPH/RPU 4. Penyimpanan dan penanganan 1.0 1 1 1 sampah, limbah dan peralatan baik 5. Tidak terdapat debu yang 1.0 1 1 1 berlebihan di jalanan dan tempat parkir 6. Sistem pembuangan limbah 1.0 1 1 1 cair/saluran baik III. Konstruksi Bangunan Utama 7. Dilakukan pemisahan secara 2.0 0 0 1 fisik antara ruangan bersih dan kotor * 0 = tidak ** 1 = ya
Status Binaan Parung
Cibinong A B
TPA belum dibina Dramaga Cibungbulang A B A B
Parung A B
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
0
0
1
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
No
8.
9. 10.
11. 12.
13. 14. 15. 16.
Aspek yang dinilsi
Ruang pengolahan tidak berhubungan langsung dengan toilet/kamar mandi, tempat ganti pakaian, tempat tinggal, garasi dan bengkel Ada langit-langit (plafon) Langit-langit bebas dari kemungkinan catnya rontok/jatuh atau dalam keadaan kotor dan tidak terawat Langit-langit rata, tidak retak atau berlubang Dinding setinggi 2 meter terbuat dari bahan yang kedap air, mudah dibersihkan dan didisinfeksi Permukaan rata, tidak retak atau berlubang Dinding di ruang pengolahan tidak berwarna gelap Pertemuan antara lantai dan dinding lengkung Bahan lantai kedap air, tidak licin, mudah dibersihkan dan didisinfeksi
Bobot Nilai (%)
Cibinong
1.0
1
1.0 1.0
1 1
1 1
1 1
1 1
1 1
1 1
1 0
0 0
1 1
1 1
0 0
0 0
1.0
1
1
1
1
1
1
0
0
1
1
0
0
1.0
1
1
1
0
1
1
0
1
1
1
0
0
1.0
1
1
1
0
1
1
0
1
1
1
0
0
1.0
1
1
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1.0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1.0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
TPA dibina Dramaga Cibungbulang 0 1
Status Binaan TPA belum dibina Parung Cibinong Dramaga A B A B 1 0 0 1 1
Cibungbulang A B 0 0
Parung A B 0 0
27
Aspek yang dinilai
17. Tidak ada bagian dinding yang memungkinkan untuk meletakkan/menyimpan barang/peralatan 18. Tidak banyak genangan cairan, tumpukan kotoran/air tidak mengalir ke saluran pembuangan IV. Bangunan utama RPU Daerah Kotor: 19. Tempat penurunan unggas hidup, pemeriksaan antemortem dan penggantungan unggas hidup 20. Pemingsanan (stunning) 21. Penyembelihan (killing) 22. Pencelupan ke air panas (scalding tank) 23. Pencabutan bulu 24. Pencucian karkas 25. Pengeluaran jeroan 26. Pemeriksaan postmortem 27. Penanganan jeroan Daerah Bersih: 28. Tempat pencucian karkas 29. Tempat pendinginan karkas
28
No
Bobot Nilai (%)
Status Binaan Cibinong
1.0
1
1.0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1.0
0
0
1
1
0
0
1
0
0
0
0
1
1.0 1.0 2.0
0 1 1
0 1 1
0 1 1
0 1 1
0 1 1
0 1 1
0 1 1
0 1 1
0 1 1
0 1 1
0 1 1
0 1 1
2.0 2.0 2.0 1.0 2.0
1 0 1 0 1
1 0 1 0 1
1 0 1 0 1
1 0 1 0 1
1 0 1 0 1
1 0 1 0 1
0 0 1 0 1
1 1 1 0 1
1 0 1 0 1
1 0 1 0 1
1 1 1 0 1
0 0 1 0 1
2.0 1.0
1 1
1 1
1 1
1 1
1 0
1 0
1 0
0 0
1 0
1 0
0 0
1 0
TPA dibina Dramaga Cibungbulang 0 1
Parung 0
Cibinong A B 1 1
TPA belum dibina Dramaga Cibungbulang A B A B 1 1 1 1
Parung A B 0 1
No
30. 31. 32. 33. 34. 35.
Aspek yang dinilai
Status Binaan Cibinong
1.0 1.0 2.0 1.0 2.0 1.0
0 0 0 0 1 0
1.0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1.0
1
1
1
0
1
1
0
1
1
1
0
1
1.0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1.0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1.0
1
1
1
1
0
1
1
0
1
1
1
1
2.0
1
1
1
0
0
1
1
0
1
1
0
1
TPA dibina Dramaga Cibungbulang 0 0 1 1 1 1 0 0 1 1 0 0
Parung 1 1 1 0 1 0
Cibinong A B 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0
TPA belum dibina Dramaga Cibungbulang A B A B 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0
Parung A B 0 0 1 0 1 0 0 0 1 1 0 0
29
Seleksi (grading) Penimbangan karkas Pemotongan karkas (cutting) Pemisahan daging dari tulang Pengemasan Penyimpanan segar (chilling room) V. Penerangan 36. Lampu di ruang pengolahan, pengemasan dan penyimpanan bahan baku perpelindung 37. Penerangan pada tempat pemeriksaan (inspeksi) cukup (<540 luks) VI. Ventilasi 38. Sirkulasi udara di ruang proses produksi baik (tidak pengap) 39. Terjadi akumulasi kondensasi di atas proses pengolahan dan penyimpanan produk VII. Saluran Pembuangan 40. Kapasitas saluran pembuangan lancar 41. Saluran pembuangan tertutup dan dilengkapi bak kontrol
Bobot Nilai (%)
Aspek yang dinilai
Bobot Nilai (%)
30
No
Status Binaan Cibinong
VIII. Pasokan Air 42. Jarak terdekat sumber air 1.0 dengan tempat pembuangan limbah cair/septic tank lebih dari 8m 43. Tersedia pasokan air bersih 2.0 dalam jumlah cukup 44. Dilakukan pemeriksaan 1.0 kualitas air bersih di laboratorium minimal sekali dalam setahun IX. Es (Persyaratan Khusus TPA) 45. Terbuat dari air yang 1.0 memenuhi persyaratan air bersih 46. Ditangani secara higienis 1.0 X. Penanganan Limbah dan Kotoran 47. Limbah ditangani dengan baik 1.0 48. Fasilitas pembuangan 1.0 sampah/kotoran dalam ruang proses tertutup XI. Toilet 49. Terpelihara dengan baik 1.0 50. Fasilitas untuk pencucian 1.0 tangan, seperti sabun, cukup atau tersedia
TPA dibina Dramaga Cibungbulang
Parung
Cibinong A B
TPA belum dibina Dramaga Cibungbulang A B A B
Parung A B
1
1
1
1
1
1
0
0
1
1
0
0
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1 1
1 1
1 1
1 0
1 0
1 1
0 1
0 0
1 1
1 1
0 0
1 1
1 0
1 1
1 1
0 1
0 0
0 0
1 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
No
Aspek yang dinilai
Bobot Nilai (%)
Status Binaan Cibinong
Parung
Cibinong A B
TPA belum dibina Dramaga Cibungbulang A B A B
Parung A B
1
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 1
1 1
1 1
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
31
XII. Ruang Ganti Pakaian 51. Ada, terawat dan tidak kotor 1.0 1 XIII. Fasilitas Cuci Tangan dan Foot Deep 52. Memiliki fasilitas untuk 1.0 0 membesihkan sepatu boot 53. Fasilitas cuci tangan berfungsi 1.0 0 54. Fasilitas cuci tangan 1.0 0 dioperasikan dengan tangan dan dilengkapi dengan petunjuk mencuci tangan 55. Setiap pintu masuk ruang 1.0 0 pengolahan memiliki fasilitas cuci tangan dan foot deep XIV. Peralatan dan Wadah 56. Terbuat dari bahan yang 1.0 1 kedap air, mudah korosif, toksik, mudah dibersihkan dan didisinfeksi 57. Terawat dengan baik atau 1.0 1 disimpan ditempat yang seharusnya XV. Kemasan 58. Terbuat dari bahan yang tidak 2.0 1 toksik, tidak bereaksi dengan produk, dan mampu mencegah terjadinya kontaminasi terhadap produk
TPA dibina Dramaga Cibungb ulang
Aspek yang dinilai
Bobot Nilai (%)
TPA dibina Cibinong Dramaga Cibungbulang 59. Disimpan pada ruang khusus 1.0 1 0 0 XVI. Program Pengendalian Serangga dan Rodensia 60. Program pengendalian 1.0 1 0 1 serangga, tikus/rodensia dan binatang pengganggu lainnya di lingkungan unit usaha efektif 61. Memiliki program tertulis 1.0 1 1 1 dalam pengendalian serangga dan rodensia 62. Lubang angin dilengkapi 1.0 1 1 1 dengan kasa untuk mencegah masuknya serangga 63. Tirai udara (air curtain), tirai 1.0 0 0 1 plastik dan alat pencegah serangga lainnya ada dan efektif XVII. Pembersihan dan Desinfeksi 64. Memiliki program 1.0 1 1 1 pembersihan dan disinfeksi 65. Metode pembersihan dan 1.0 0 0 1 disinfeksi efektif 66. Peralatan dan wadah dicuci 1.0 1 1 1 dengan air bersih dan disanitasi setelah digunakan
32
No
Status Binaan Parung 1
Cibinong A B 0 0
TPA belum dibina Dramaga Cibungbulang A B A B 0 0 0 0
Parung A B 0 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
1
1
0
1
No
Apek yang dinilai
Bobot Nilai (%)
Status Binaan Cibinong
TPA dibina Dramaga Cibungbulang
Cibinong A B
Parung A B
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
0
1
1
0
1
1
1
0
0
0
0
0
1
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
33
XVIII. Bahan-bahan Kimia 67. Bahan kimia, sanitizer dan 1.0 0 0 bahan tambahan pangan diberi label dan disimpan dengan baik 68. Penggunaan bahan kimia dan 1.0 0 0 bahan tambahan pangan yang diizinkan XIX. Higiene Personal 69. Karyawan yang berhubungan 1.0 1 1 langsung dengan produk dalam kondisi sehat 70. Kebersihan karyawan yang 1.0 1 1 berhubungan langsung dengan produk terjaga dengan baik 71. Tidak ada kontaminasi silang 1.0 1 0 (makan, meludah, merokok) 72. Pelatihan pekerja dalam hal 1.0 0 0 sanitasi dan higienis cukup XX. Penerimaan Bahan Baku, Penanganan dan Pengolahan 73. Pemeriksaan ante mortem 1.0 0 0 pada ternak yang akan dipotong dilakukan oleh dokter hewan/para medik veteriner 74. Pemeriksaan ante mortem 1.0 0 0 dilakukan secara teratur
Parung
TPA belum dibina Dramaga Cibungbulang A B A B
Aspek yang dinilai
75. Dilakukan pencatatan terhadap hasil pemeriksaan antemortem 76. Penanganan hewan hidup memenuhi aspek kesrawan 77. Pemeriksaan post mortem dilakukan secara teratur 78. Pemeriksaan post mortem pada setiap hewan dilakukan oleh dokter hewan /para medik veteriner 79. Dilakukan pencatatan terhadap hasil pemeriksaan post mortem XXI. Pembekuan 80. Memiliki fasilitas blast freezer 81. Dilengkapi dengan display themometer pada ruangan blast freezer dan cold storage XXII. Pelabelan 82. Produk yang sudah dalam bentuk beku mempunyai label dan tanda atau etiket XXIII. Penyimpanan 83. Memiliki chill room untuk penyimpanan produk segar
34
No
Bobot Nilai (%)
Status Binaan Cibinong
1.0
0
1.0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1.0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1.0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1.0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1.0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1.0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1.0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1.0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
TPA dibina Dramaga Cibungbulang 0 0
Parung 0
Cibinong A B 0 0
TPA belum dibina Dramaga Cibungbulang A B A B 0 0 0 0
Parung A B 0 0
Bobot Nilai (%)
Cibinong
84. Memiliki cold storage untuk penyimpanan produk beku
1.0
0
85. Produk akhir yang disimpan dalam gudang beku terpisah dengan bahan lain XXIV. Pengujian Laboratorium 86. Ada program pengujian laboratorium terhadap produk akhir 87. Ada program monitoring efektivitas program sanitasi 88. Dilakukan dokumentasi terhadap hasil pengujian laboratorium Total
1.0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1.0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1.0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1.0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
100
54
55
64
54
34
39
35
29
38
39
22
32
No
Aspek yang dinilai
Bobot penilaian:
75-100% 50-75% 25-50% 0-25%
= = = =
Status Binaan TPA dibina Dramaga Cibungbulang 0 0
Parung 1
Cibinong A B 0 0
TPA belum dibina Dramaga Cibungbulang A B A B 0 0 0 0
Parung A B 0 0
layak kurang layak tidak layak sangat tidak layak
35
36
Dari tabel 4 dapat dilihat pada semua TPA penelitian tidak tersedia dokter hewan yang bertanggung jawab terhadap kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner. Pada semua TPA penelitian tidak dilakukan pemeriksaan ante mortem secara visual pada ternak yang akan disembelih, seperti bersin-bersin, mata kemerahan, mata sayu, feses kehijauan, lesu, pucat, pial berdiri, jengger berwarna kebiruan, perut kembung, dari mulut keluar lendir, bulu berdiri/kusam, dubur agak panjang. Ayam-ayam yang datang dari peternakan hanya ditempatkan di dalam keranjang yang disusun bertumpuk ke atas, dan hanya beberapa TPA yang menyediakan kandang sebagai tempat istirahat ayam sebelum disembelih. Tidak tersedianya dokter hewan pada semua TPA penelitian karena merupakan TPA skala kecil/rumahan, dengan total produksi ±100-1500 ekor/hr. Pemasaran produk hanya pada pasar tradisional yang tidak dapat menjamin kebersihan produk, dan sebagian besar konsumennya berasal dari kalangan menengah kebawah yang tidak peduli dengan jaminan keamanan produk yang dibeli. Perijinan lokasi unit usaha untuk kedua TPA belum dibina di Kecamatan Cibungbulang belum ada, karena kedua TPA tersebut masih merupakan anak usaha dari TPA dibina di Kecamatan Cibungbulang. Semua bangunan TPA penelitian merupakan bangunan yang berdiri sendiri dan tidak terdapat rumah potong babi (RPB) disekitar lokasi TPA penelitian. Sistem penanganan sampah dan limbah cair untuk semua TPA penelitian telah sesuai dengan persyaratan Permentan (2005), kecuali untuk kedua TPA belum dibina di Kecamatan Dramaga dan TPA A di Kecamatan Parung. Pada TPA belum dibina A di Kecamatan Dramaga, limbah dari proses produksi dibuang ke kolam ikan lele yang terdapat di sebelah ruang produksi, dan limbah dari proses prduksi dari TPA belum dibina B di Kecamatan Dramaga disalurkan ke kali yang berada di depan bangunan TPA. Jarak antara kali dengan sumur yang berada di dalam bangunan TPA kurang dari 8 m, sehingga tidak sesuai dengan persyaratan Permentan (2005), yaitu jarak antara sumur dan tempat pembuangan limbah tidak boleh kurang dari 8 m. TPA belum dibina A di Kecamatan Parung berlokasi disekitar Pasar Parung yang kotor dan becek, dan sistem pembuangan limbah dan sampah pada TPA tersebut tidak tertutup dan tidak lancar, dan bangunan TPA berada di sebelah tempat pembuangan sampah yang sudah menggunung, sehingga tidak menjamin kebersihan produk akhir yang dihasilkan.
37
(a)
(b)
(c)
Gambar 3. (a) TPA belum dibina A Dramaga, (b) TPA belum dibina B Dramaga, (c) TPA belum dibina A Parung
Konstruksi bangunan utama pada TPA dibina di Kecamatan Cibungbulang telah sesuai dengan Permentan (2005), yaitu telah ada pemisahan fisik antara ruang bersih dan kotor, ruang pengolahan tidak berhubungan langsung dengan toilet/kamar mandi; langit-langit rata, tidak retak/berlubang; permukaan dinding rata dan tidak retak/berluang, berwarna terang dan terbuat dari bahan yang kedap air, mudah untuk dibersihkan dan didesinfetsi; lantai terbuat dari bahan yang tidak licin, mudah dibersihkan dan didesinfeksi, dan tidak banyak genangan cairan/tumpukan kotoran pada permukaan lantai.
(a)
(b)
Gambar 4. Contoh bangunan TPA dibina: (a) bangunan TPA dibina di KecamatanCibungbulang, (b) TPA dibina di Kecamatan Dramaga.
Banguna TPA penelitian selebihnya belum sesuai dengan kelayakan bangunan yang mengacu pada Permentan (2005), terutama untuk semua bangunan TPA belum dibina yang belum melakukan pemisahan fisik antara ruang bersih dan
38
kotor. Bangunan TPA belum dibina A di Kecamatan Dramaga berukuran 10x6 m, bukan merupakan bangunan permanen yang terbuat dari bambu, dan pada lantai masih banyak terdapat genangan air dan kotoran pada saat proses produksi. Ruang produksi bersebelahan dengan kandang unloading, dan di bawah kandang terdapat kolam ikan lele, dan keadaan ini tidak sesuai dengan Permentan (2005). Bangunan TPA belum dibina A di Kecamatan Parung berukuran 4x4 m, bukan bangunan permanen dan merupakan bangunan terbuka. Kandang unloading adalah kandang tempat penerimaan ayam, pemeriksaan ante mortem, penghitungan jumlah ayam dan pengistirahatan ayam sebelum disembelih. Hanya empat dari 12 TPA penelitian yang memiliki kandang unloading yaitu TPA dibina di Kecamatan Cibungbulang, TPA dibina di Kecamatan Parung, TPA belum dibina A di Kecamatan Dramaga dan TPA belum dibina B di Kecamatan Parung. TPA selebihnya tidak memiliki kandang unloading karena keterbatasan lahan sehingga tidak dapat disediakan kandang unloading. Ayam-ayam yang akan disembelih ditempatkan di dalam keranjang plastik dan ditumpuk bersusun ke atas, sehingga kotoran ayam yang berada di dalam keranjang teratas jatuh dan mengotori ayam-ayam yang berada di bawah. Kontaminasi pada ayam di TPA dimulai pada saat unloading. Kotoran fekal merupakan sumber kontaminasi bakteri coliform, E.coli dan Campylobacter pada karkas ayam (Smith et al. 2007). Kontaminasi pada ayam dapat terjadi sewaktu ayam masih berada di peternakan. Campylobacter, Clostridium, Listeria, Salmonella, Staphylococcus, Escherichia coli dan Yersinia merupakan bakteri patogen utama yang menkontaminasi ayam di peternakan (Cox et al. 2005). Ayam yang mati pada saat diperjalanan atau pada saat istirahat dipisahkan dari ayam hdup. Stunning (pemingsanan) tidak dilakukan pada semua TPA penelitian, tetapi hanya dilakukan pada RPA skala industri. Fungsi stunning adalah untuk pemingsanan ayam dalam waktu sementara, dengan mencelupkan kepala ayam ke dalam bak berisi air yang dialiri listrik bertegangan 60-70 volt selama tiga detik. Proses penyembelihan ayam di TPA penelitian dilakukan di atas keranjang tempat ayam, sehingga darah ayam dan kotoran ayam yang dikeluarkan ayam pada saat penyembelihan jatuh dan mengotori ayam-ayam yang berada di dalam keranjang di bawahnya. Kontaminasi Campylobacter jejuni pada karkas dapat terjadi pada saat proses penyembelihan (Mead 2004). Campylobacter terdapat pada
39
sistem sirkulasi darah ayam (Richardson et al. 2011). Penyembelihan dilakukan dengan memotong saluran makanan (oesophagus), saluran pernafasan (trachea), dan pembuluh darah di kanan dan kiri leher (vena jugularis dan arteri carotis) sampai putus, sehingga darah dapat mengucur keluar sampai habis (CAC 1997). Penyembelihan dilakukan oleh seorang muslim yang berumur lebih dari 18 tahun, menghadap
kiblat
dan
mengucapkan
kalimat
“Bismillahirrahmanirrahim”
(LPPOM MUI 2011). Setelah disembelih, ayam-ayam kemudian diletakkan bertumpuk di dalam tong plastik untuk proses pengeluaran darah, sehingga darah ayam tidak keluar dengan sempurna, dan darah ayam dan kotoran ayam mengotori bulu-bulu dan kulit ayam,. Pengeluaran darah harus dilakukan sampai tuntas, karena darah yang tersisa akan menyebabkan penurunan mutu karkas ayam dan mempengaruhi warna kulit, juga berpotensi sebagai media pertumbuhan mikroorganisme, sehingga pada proses penyimpanan karkas akan cepat rusak. Ayam yang telah disembelih dan dikeluarkan darahnya kemudian direbus di dalam scalder, dengan suhu air 55-60ºC selama 45 menit. Scalding bertujuan untuk mempermudah proses pembuluan pada saat proses pencabutan bulu. Scalder yang digunakan pada beberapa TPA penelitian terbuat dari tong besi yang sudah hitam dan kotor, kecuali TPA dibina Cibinong dan TPA dibina Cibungbulang menggunakan scalder yang terbuat dari stainless steel. Kotoran dari bulu dan kulit ayam mencemari air di dalam scalder yang tidak pernah diganti dari awal hingga akhir proses. Air di dalam scalder hanya ditambah jika air telah berkurang. Kontaminasi Salmonella, colyform dan e.coli pada karkas ayam dapat terjadi pada saat porses scalding (Liljebjelke et al. 2009). Kontaminasi silang mikroba antara karkas dapat terjadi saat proses scalding (Cason dan Hinton 2006). Api yang digunakan pada proses scalding pada semua TPA dibina dan beberapa TPA belum dibina berasal dari gas elpiji, sehingga tidak menimbulkan asap, tetapi pada beberapa TPA belum dibina masih menggunakan kayu bakar, sehingga asap yang ditimbulkan dari kayu bakar berbahaya bagi kesehatan para pekerja yang menghirupnya dalam jangka waktu panjang. Asap kayu bakar memiliki ukuran partikel yang cukup kecil sehingga bila terhirup hingga ke bagian terdalam dari paru-paru dapat menyebabkan peradangan. Ayam yang telah direbus kemudian dimasukkan ke dalam plucker untuk mencabut bulu. Pada saat proses plucking, air dingin disiramkan ke dalam mesin
40
plucker agar kulit ayam tidak rusak dan untuk membersihkan bulu-bulu yang tercabut dari tubuh ayam. Bulu-bulu yang telah dicabut dengan plucker kemudian dikumpulkan di dalam karung plastik. Karkas ayam kemudian ditumpuk di lantai bangunan tanpa dialasi, sehingga karkas kembali terkotori oleh darah dan kotoran ayam. Eviserasi adalah proses pengeluaran jeroan dari dalam tubuh ayam dengan cara membuat irisan yang cukup besar pada bagian kloaka dan seuruh isi perut ditarik keluar. Proses eviserasi pada TPA penelitian dilakukan di lantai, sehingga karkas ayam bercampur dengan darah dan kotoran ayam. Jeroan ayam kemudian dipisah antara jantung, ampela, empedu dan usus. Jeroan ayam mengandung Campylobacter, colyform dan E.coli (Windham 2005). Isi usus dikeluarkan di lantai, sehingga mengotori karkas ayam yang masih tersisa di lantai tanpa alas, lalu usus dicuci dan direbus di dalam tong yang tadi dipergunakan untuk proses scalding. Usus kemudian dikemas di dalam kantung plastik yang terpisah dengan jeroan lainnya. Proses pencucian karkas ayam dilakukan dua kali, yaitu sebelum dan setelah proses eviserasi. Pada TPA belum dibina B di Kecamatan Dramaga dan TPA belum dibina A di Kecamatan Parung proses pencucian dilakukan sebelum proses eviserasi, karena kedua TPA tersebut tidak melakukan proses plucking (pembuluan), melainkan langsung melakukan pengulitan pada ayam. Ayam yang telah dikuliti kemudian langsung dikeluarkan jeroannya dan tidak dicuci kembali setelah proses eviserasi. Hal ini sesuai dengan permintaan konsumen, yang bertujuan agar darah ayam tetap menempel pada karkas ayam, sehingga dapat meningkatkan kegurihan pada saat proses pemasakan ayam. Pada TPA penelitian lainnya proses pencucian karkas ayam dilakukan setelah proses eviserasi. Karkas ayam direndam di dalam tong yang berisi air yang tidak pernah diganti dari awal hingga akhir proses, sehingga air dapat mencemari karkas yang direndam berikutnya. Pendinginan karkas ayam hanya dilakukan pada keempat TPA dibina, karena hanya TPA dibina yang mendapat fasilitas freezer dari Dinas Peternakan Kabupaten Bogor, sedangkan TPA belum dibina tidak memiliki freezer karena karkas ayam langsung dibawa ke pasar, dan dijual dalam bentuk segar. Proses seleksi hanya dilakukan oleh TPA dibina Kecamatan Parung, karena pemasaran
41
telah telah memasuki supermarket dan pemasaran hingga sampai keluar propinsi. Proses penimbangan karkas tidak dilakukan oleh semua TPA penelitian, karena setelah proses pencucian, karkas ayam langsung dikemas ke dalam karung plastik atau kantung plastik. Pemotongan karkas ayam menjadi beberapa bagian hanya dilakukan oleh TPA dibina di Kecamatan Dramaga, Kecamatan Cibungbulang dan Kecamatan Parung, juga pada kedua TPA belum dibina di Kecamatan Dramaga dan TPA belum dibina A di Kecamatan Parung. Proses deboning tidak dilakukan oleh semua TPA penelitian karena deboning hanya dilakukan pada RPA skala besar/industri. Fungsi kemasan adalah menjaga kebersihan produk, melindungi produk dari kerusakan fisik, perubahan kimiawi ataupun kontaminasi mikroorganisme, menambah umur simpan produk, melindungi produk dari perubahan kadar air dan penyinaran, mempermudah pengangkutan produk dari produsen hingga sampai ke konsumen dan agar dapat menampilkan produk dengan cara yang menarik. Pengemasan biasanya menggunakan bahan yang baik, tidak merusak produk dan tidak membahayakan kesehatan manusia. Pengemasan karkas pada TPA penelitian masih menggunakan karung plastik bekas yang dicuci di dalam tong yang juga dipergunakan untuk mencuci karkas ayam, kantung plastik dan keranjang plastik. TPA dibina Parung menggunakan kemasan wadah styrofoam untuk produk-produk jeroan dan karkas ayam yang telah dipotong partial, seperti dada, paha, sayap, kaki bawah dan bagian lainnya yang sesuai dengan pesanan konsumen. Chilling room merupaka tempat penyimpanan sementara produk, dan tidak tersedia fasilitas chilling room untuk semua TPA penelitian. Bangunan TPA dibina dan belum dibina A di Kecamatan Parung merupakan bangunan terbuka, sehingga tidak terdapat ventilasi pada bangunan. Proses produksi dilakukan pada pagi hari, sehingga kedua TPA tersebut tidak menggunakan penerangan pada saat melakukan proses produksi walaupun fasilitas penerangan tersedia pada kedua TPA tersebut. Sumber air yang digunakan pada semua TPA penelitian berasal dari sumur yang jaraknya dengan ruang proses produksi tidak kurang dari 8 m, kecuali untuk kedua TPA belum dibina di Kecamatan Dramaga dan TPA beum dibina A di Kecamatan Parung. Jarak antara sumur dan ruang proses produksi pada ketiga TPA tersebut kurang dari 8 m, sehingga hal ini tidak sesuai dengan Permentan (2005).
42
Pemberian es pada kemasan produk hanya dilakukan oleh TPA dibina di Kecamatan Parung. Karkas yang telah dikemas di dalam cool box kemudian ditambahi dengan batu es, agar pertumbuhan mikroba pada karkas dapa dicegah. Fasilitas toilet dan ruang ganti pakaian hanya tersedia pada TPA dibina di Kecamatan Cibinong, Kecamatan Dramaga, Kecamatan Cibungbulang dan pada TPA belum dibina A di Kecamatan Dramaga. FAsilitas cuci tangan hanya tersedia pada TPA dibina di Kecamatan Dramaga dan Kecamtan Cibungbulang.
(a)
(b)
Gambar 5. (a) fasilitas cuci tangan, (b) toilet
Setelah seluruh proses selesai, peralatan, lantai dan keranjang-keranjang hanya disiram dengan air dan disikat tanpa didesinfeksi, sehingga kotoran masih menempel pada peralatan, lantai dan terutama keranjang. Fungsi desinfektan dalam proses sanitasi adalah untuk membunuh mikroorganisme yang terdapat pada karkas. Desinfektan yang biasanya digunakan pada RPA adalah Chlorine Dioxide dan
Quartenary
Ammonium
Chloride
(QAC)
yang
dapat
mereduksi
mikroorganisme stabil terhadap reaksi dengan bahan organic, tahan terhadap korosi logam, stabil terhadap panas, tidak menyebabkan iritasi terhadap kulit, dan efektif pada pH tinggi. Keranjang-keranjang kemudian ditumpuk kembali di sudut ruangan. Keranjang nanti akan dipergunakan untuk memuat ayam-ayam. Campylobacter adalah bakteri patogen yang dapat berasal dari feses, jika tertinggal pada keranjang ayam dapat menyebabkan kontaminasi silang pada ayam yang akan menempati keranjang selanjutnya (Berrang et al. 2004). Pekerja yang bekerja pada TPA penelitian seringkali tidak menjaga kebersihan pada saat melakukan proses produksi. Pekerja tidak menggunakan
43
sarana pengaman pada saat melakukan proses produksi seperti masker, sepatu boot, dan harnet rambut. Pada saat melakukan proses produksi tak jarang para pekerja melakukannya sambil merokok, meludah dan bahkan makan/minum, sehingga dapat menyebabkan kontaminasi silang antara pekerja dan produk yang dihasilkan. Abu rokok, rambut, dan sisa makanan/minuman yang berasal dari para pekerja dapat mengotori produk akhir, sehingga dapat mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan. Pemeriksaan postmortem adalah pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas ayam setelah disembelih akibat penyakit yang belum teramati pada pemeriksaan antemortem yang dilakukan oleh petugas pemeriksa berwenang
(BSN 1999).
Pemeriksaan post mortem tidak dilakukan pada semua TPA penelitian. Penyimpanan produk beku hanya dilakukan oleh TPA dibina di Kecamatan Parung. Karkas ayam disimpan di dalam empat buah consolite dengan suhu yang mencapai -10ºC, karena karkas akan dipasarkan hingga ke luar propinsi, bahkan hingga ke propinsi Papua. Pengujian laboratorium terhadap produk akhir dan kualitas air tidak pernah dilakukan oleh semua TPA penelitian, sehingga tidak tersedia dokumentasi dan informasi tentang jaminan keamanan dari produk akhir yang dihasilkan kepada konsumen. Proses Pemotongan Ayam yang Halal Untuk melakukan proses pemotongan ayam yang halal diperlukan sumber daya manusia (SDM), prasarana, penyembelihan ayam, penanganan dan penyimpanan, pengemasan dan pelabelan serta transportasi. Berdasarkan kuisioner tata cara pemotongan ayam yang halal ditempat pemotongan ayam pada TPA penelitian, maka didapat data sebagai berikut. Tabel 5. Kesesuaian tata cara penyembelihan ayam yang halal di TPA penelitian mengacu pada LPPOM MUI (2011) Kecamatan Cibinong Dramaga Cibubulang Parung Bobot penilaian:
TPA dibina (%) 100 100 100 100 75-100% 50-75% 25-50% 0-25%
= = = =
Status Binaan TPA belum dibina (%) 100 100 100 100 100 100 100 100
sesuai kurang sesuai tidak sesuai sangat tidak sesuai
44
Pada tabel diatas didapat hasil untuk penilaian tata cara pemotongan ayam yang halal pada TPA penelitian adalah telah sesuai (100%) dengan tata cara pemotongan ayam yang halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI (2011). Tidak ada perbedaan pada semua TPA penelitian, karena tidak adanya perbedaan dalam tata cara penyembelihan ayam yang dilakukan di semua TPA penelitian. Tidak adanya perbedaan pada tata cara pemotongan halal karena seluruh proses pemotongan ayam halal pada 12 TPA penelitian adalah sama. Sebelum disembelih, ayam-ayam diistirahatkan, agar ayam tidak stress, sehingga pada proses pengeluaran darah, darah yang keluar menjadi lancar. Petugas penyembelih adalah seorang muslim yang berusia lebih dari 18 tahun. Petugas penyembelih dalam keadaan sehat dan tidak merangkap sebagai pekerja di rumah potong babi (RPB).
Penyembelihan
“Bismillahirrahmanirrahim”.
menghadap Penyembelihan
kiblat dilakukan
dan
mengucapkan
dengan
memotong
oesophagus, trachea, vena jugularis dan arteri carotis, melakukan satu kali sembelih (tidak mengangkat pisau ketika menyembelih), dan penyembelihan dilakukan dari leher bagian depan dan tidak memutus tulang leher. Sebelum memasuki proses berikutnya unggas harus benar-benar mati (2 menit). Karkas dan jeroan yang tidak halal dimusnahkan. Pada prinsipnya bangunan fisik yang digunakan dalam proses produksi pangan halal dapat dirancang sedemikian rupa sehingga produk yang dihasilkan terhindar dari kontaminasi dan masuknya barang-barang najis atau haram ke dalam produk yang dihasilkan. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam bangunan fisik ini antara lain adalah: bangunan harus terletak di lokasi yang cukup jauh dari peternakan babi atau hewan yang tidak halal yang dapat mengkontaminasi proses produksi halal, memiliki sistem sanitasi dan fasilitas pembuangan yang dapat menjamin kebersihan produk dari barang haram atau najis, memiliki sistem pengamanan dari masuknya binatang haram dan najis di lingkungan pabrik, memiliki sumber air yang sehat dan tidak tercemar oleh barang-barang najis dan kotor (Apriyantono et al. 2007). Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap kesesuaian pemotongan ayam yang halal untuk mengetahui sejauh mana tingkat kehalalan ayam-ayam yang disembelih di 12 TPA di Empat Kecamatan di Kabupaten Bogor. Hasil evaluasi
45
terhadap kesesuaian hasil pemotongan ayam yang halal pada TPA binaan dan belum dibina yang mengacu pada LPPOM MUI (2011) tersaji pada Tabel 9. Tabel 6. Hasil evaluasi terhadap kesesuaian hasil pemotongan ayam yang halal pada TPA penelitian mengacu pada LPPOM MUI (2011) No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Proses pemotongan Petugas penyembelih dikontrol dan disuprevisi LPPOM MUI Penyembelih beragama Islam, berumur >18 tahun dan sehat jiwa dan jasmani Penyembelih lulus pelatihan halal oleh lembaga Islam/instnasi terkait Penyembelih memahami tata cara penyembelihan sesuai Syariat Islam Penyembelih memiliki kartu identitas dari Lembaga Sertifikasi Halal oleh MUI/lembaga yang berwenag TPA hanya untuk daging halal Lokasi TPA terpisah dari RPH/peternakan babi Fasilitas TPA tidak terkontaminasi dengan produk non halal Alat penyembelih harus tajam, bukan kuku, gigi/taring, tulang Sebelum disembelih ayam diistirahatkan Pengendalian ayam seminimal mungkin sehingga tidak stress dan kesakitan Penyembelihan menghadap kiblat dan mengucapkan “Bisillahirrahmanirrahim” Memotong oesophagus, trachea, vena jugularis dan arteri carotis Penyembelihan hanya sekali dari leher depan dan tidak memutus tulang leher Karkas dan jeroan tidak halal harus dimusnahkan Ruang penyimpanan bebas dari produk babi Kemasan memiliki identitas/label halal Alat transportasi tidak digunakan untuk produk non halal, bebas dari najis dan cemaran lain
TPA* Dibina Belum dibina 0/4 0/8 4/4
8/8
0/4
0/8
4/4
8/8
0/4
0/8
4/4 4/4 4/4
8/8 8/8 8/8
4/4
8/8
4/4 4/4
8/8 8/8
4/4
8/8
4/4
8/8
4/4
8/8
4/4 4/4 0/4
8/8 8/8 0/8
4/4
8/8
*) jumlah TPA yang telah sesuai per jumlah yang diamati untuk masing-masing jenis TPA
Ada beberapa dari kesesuaian hasil pemotongan ayam yang halal yang mengacu pada LPPOM MUI (2011) yang belum dipenuhi oleh TPA penelitian, seperti seluruh petugas penyembelih pada 12 TPA penelitian mendapatkan pelatihan tata cara pemotongan halal dari Mesjid setempat dan bukan dari LPPOM MUI atau dari instansi terkait, sehingga belum memiliki kartu identitas, petugas
46
belum dikontrol dan disupervisi oleh LPPOM MUI/Lembaga Sertifikasi Halal yang diakui LPPOM MUI dan belum ada label halal pada kemasan produk. Jika semua kesesuaian telah dipenuhi, maka tinggal selangkah lagi bagi semua TPA penelitian untuk mendapatkan sertifikat halal dari LPPOM MUI/Lembaga Sertifikasi yang diakui LPPOM MUI.
Kontaminasi Bakteri pada Karkas Ayam dan Air Cucian Karkas Proses produksi pada TPA penelitian terdiri dari 10 tahapan. Pada masingmasing tahapan dapat terjadi titik kritis. Pada penelitian ini ditentukan titik yang paling kritis, lalu dilakukan pengambilan sampel pada titik yang paling kritis tersebut. Penerimaan ayam hidup
1 2
Penyembelihan
3
Pengeluaran darah
4
Scalding 5
Plucking Eviserasi
6
9 7 10 7
Eviserasi
7
Pencucian karkas
8
Penanganan jeroan Pengemasan karkas dan jeroan
Pembersihan peralatan dan bangunan
Gambar 6. Tahapan proses produksi pada TPA penelitian
1. Penerimaan/penyimpanan ayam hidup. Ayam yang datang dari peternakan biasanya ditempatkan dalam keranjang bambu/plastik kecuali untuk TPA dibina
47
Cibungbulang, TPA belum dibina B Kecamatan Parung dan TPA belum dibina B Kecamatan Dramaga, ayam ditempatkan di dalam kandang unloading. Ayam diistirahatkan selama beberapa jam hingga tiba proses penyembelihan. Tidak dilakukan pemeriksaan antemortem secara visual (bersin-bersin, menunduk, mata kemerahan, mata sayu, perut kembung, jengger berwarna kebiruan, keluar lendir dari mulut, muka bengkak, dubur agak panjang, feses kehijauan, bulu berdiri/kusam, ngorok, pial berdiri, lesu dan pucat) dan secara fisik ( kapalan pada dada dan kaki, keropeng, memar dada, sayap patah, paha patah, leher patah). Ayam yang mati dipisahkan dari yang hidup. 2. Menyembelih. Proses penyembelihan dilakukan di atas keranjang tempat ayam, sehingga darah mengotori ayam yang berada di dalam keranjang. Penyembelihan dilakukan secara Islami dengan memotong oesophagus, trachea, vena jugularis dan arteri carotis sampai putus, sehingga darah dapat mengucur
keluar
sampai
habis,
disertai
dengan
menyebut
“Bismillahirrahmanirrahim” dan menghadap kiblat. Pisau yang digunakan untuk menyembelih ayam juga digunakan pada proses eviserasi, sehingga mikroba yang tertinggal pada pisau kembali mencemari karkas ayam. 3. Mengeluarkan darah. Darah kemudian dikeluarkan dari tubuh ayam. Pada proses ini ayam tidak digantung dengan posisi kepala di bagian bawah. Ayamayam yang telah disembelih ditumpuk di dalam tong plastik atau keranjang plastik agar ayam tidak melompat keluar, dan ditunggu selama 3-5 menit hingga ayam tidak bergerak lagi. Proses pengeluaran darah seperti ini tidak sempurna, karena ayam tidak digantung, sehingga darah tidak tuntas keluar dan dapat menurunkan mutu ayam seperti mempengaruhi warna kulit ayam dan berpotensi sebagai media pertumbuhan mikroorganisme sehingga daging akan cepat busuk. Darah dan kotoran ayam yang keluar pada saat penyembelihan mengotori bulu-bulu dan kulit ayam. 4. Scalding. Setelah darah ayam ditiriskan kemudian ayam dimasukkan ke dalam bak stainless steel atau tong besi berisi air panas dengan suhu 52-55°C selama 45 detik. Proses ini bertujuan agar memudahkan dalam proses pencabutan bulu. Api yang digunakan untuk mendidihkan air adalh menggunakan kayu bakar, sehingga menimbulkan asap di dalam ruangan. Asap dari kayu bakar
48
mengandung hidrokarbon aromatik polisiklik (PAH) yang dapat menyebabkan radang pada manusia/pekerja yang menghirupnya. 5. Mencabut bulu. Proses ini dapat dilakukan dengan mesin pencabut bulu (plucker). Sesekali air dingin disiramkan ke dalam mesin plucker agar kulit ayam tidak rusak dan agar tubuh ayam bersih dari bulu-bulu. Pembersihan bulu-bulu halus dilakukan dengan tangan. Tapi untuk TPA belum dibina A Kecamatan Parung dan TPA belum dibina A Kecamatan Dramaga tidak dilakukan pencabutan bulu, namun ayam langsung dikuliti, hal ini sesuai dengan permintaan konsumen. 6. Eviserasi. Proses eviserasi dilakukan dengan menyayat bagian kloaka, seluruh isi perut dikeluarkan (hati, jamtung, empedu, ampela, usus dan tembolok). Empedu langsung dipisahkan dari jeroan lainnya untuk mencegah kemungkinan pecah dan mengotori jeroan lainnya dan karkas ayam. 7. Pencucian karkas. Pencucian karkas pada TPA penelitian dilakukan di dalam tong plastik dengan air yang tidak pernah diganti dari awal hingga akhir proses produksi, sehingga jumlah bakteri (TPC) pada air pencuci bertambah dari awal hingga akhir proses. TPA dibina Kecamatan Parung pencucian karkas dilakukan di dalam bak marmer dan diberi es batu yang bertujuan mencegah pertumbuhan bakteri. TPA dibina Kecamatan Dramaga pencucian karkas dilakukan pada bak pencuci, tetapi air tidak pernah diganti dari awal hingga akhir proses produksi dan ditempat yang sama juga dicuci keranjang tempat mengemas karkas ayam, sehingga semakin menambah jumlah bakteri (TPC) pada air pencuci karkas ayam. 8. Penanganan jeroan. Penanganan usus dilakukan yaitu dengan mengeluarkan isi usus, mencuci usus lalu merebus usus. Pengemasan hati, ampela dan jantung terpisah dengan usus. Karkas ayam yang diletakkan di lantai berdekatan dengan jeroan kembali terkotori oleh isi usus ayam. 9. Pengemasan. Karkas dan jeroan pada TPA dibina Kecamatan Parung dikemas dengan menggunakan styrofoam dan pada bagian atasnya ditutup dengan plastik transparan, sehingga memudahkan pembeli untuk menilai mutu karkas, lalu dikemas lagi ke dalam coolbox dan diberi es batu untuk mencegah kebusukan pada karkas dan mengurangi pertumbuhan mikroba. TPA penelitian lainnya menggunakan kantung plastik dan karung plastik bekas sebagai bahan
49
pengemas dan tidak diberi batu es ke dalam plastik kemasan, sehingga kontaminasi masih terus berlanjut pada saat perjalanan. 10. Pembersihan peralatan dan bangunan. Pembersihan peralatan dan bangunan hanya dilakukan dengan sikat dan siraman air. Tidak dilakukan program desinfeksi. Desinfekktan yang digunakan biasanya adalah Chlorine Dioxide dan Quartenary Ammonium Chloride yang sangat aktif terhadap bakteri Gram positif, non-iritasi kulit, tahan terhadap korosi logam, dapat mereduksi mikroorganisme, stabil terhadap panas, stabil pada reaksi dengan bahan organik dan efektif pada pH tinggi. Kontaminasi pada daging dapat terjadi pada proses penyembelihan dan pada saat scalding karena masuknya kontaminan dari air scalding ke sistem peredaran darah dan pernafasan. Pada saat eviserasi kontaminasi bakteri dari usus dan feses dapat berpindah dari karkas ke karkas melalui peralatan dan tangan pekerja. Kontaminasi terjadi melalui permukaan daging selama proses pemotongan karkas, pendinginan, pembekuan, pembuatan produk daging olahan, pengawetan, pengepakan, penyimpanan dan pemasarannya (Soeparno 1998). Menurut SNI 01-6366 (BSN 2000) Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) adalah jumlah jasad renik/mikroba maksimum (cfu/gr) yang diizinkan atau direkomendasikan dapat diterima dalam bahan makanan asal hewan. Batas maksimum cemaran mikroba pada daging untuk Total Plate Count (TPC) adalah 1x106cfu/g dan untuk coliform adalah 1x102cfu/g SNI 01-7388 (BSN 2009). 1. Total Plate Count (TPC) pada Karkas Ayam dan Air Cucian Karkas Ayam Total Plate Count (TPC) merupakan suatu metode pengujian untuk menghitung jumlah mikroba dalam cawan petri yang berisi media agar. Metode ini mempunyai manfaat untuk mengetahui tingkat higienitas dari suatu pengolahan daging dengan indicator bahwa telah terjadi pencemaran pada daging. Hasil uji mikrobiologi yang dilakukan di laboratorium terhadap sampel karkas ayam pedaging yang diambil secara acak dari TPA penelitian, didapatkan data seperti pada tabel 7.
50
Tabel 7. Rataan jumlah TPC pada karkas ayam dari TPA penelitian Kecamatan Cibinong Dramaga Cibubulang Parung Rataan
Status Binaan TPA dibina (log cfu/g) TPA belum dibina (log cfu/g) (5.11±0.29) (4.88±0.83) (4.72±0.79) (6.11±0.91) (4.42±0.82) (4.42±0.49) (4.11±0.09) (5.44±0.44) (4.59±0.49) (5.21±0.67)
Jumlah TPC pada karkas ayam dari TPA dibina adalah 0.62 log cfu/g lebih rendah dari TPA belum dibina. Hasil uji kualitas mikrobiologi untuk TPC pada karkas ayam menunjukkan kesesuaian dengan batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) menurut SNI 01-7388 (BSN 2009) yaitu ≤1x106 cfu/g untuk semua TPA, kecuali untuk TPA belum dibina di Kecamatan Dramaga dengan angka cemaran TPC sebesar 6.11 log cfu/g. Tingginya angka cemaran ini disebabkan sanitasi yang tidak baik pada saat proses produksi. Setelah ayam-ayam disembelih, ayam-ayam hanya diletakkan di lantai tanpa alas. Darah ayam dan kotoran ayam kemudian menempel pada bulu-bulu ayam-ayam tersebut. Scalding merupakan proses berikutnya untuk melepaskan bulu-bulu dari karkas ayam. Ayam-ayam yang telah dibului langsung dikuliti dan dicuci seadanya, sehingga darah masih menempel pada daging ayam yang telah dikuliti, dan karkas-karkas tersebut kemudian kembali diletakkan dilantai berdekatan dengan bulu-bulu ayam. Keadaan ini disengaja sesuai dengan permintaan konsumen, karena darah ayam yang menempel pada daging ayam tersebut diyakini dapat meningkatkan kegurihan pada daging ayam setelah proses pemasakan. Ayam kemudian masuk ke dalam proses eviserasi dan pemotongan kaki dan kepala. Penanganan jeroan juga dilakukan di lantai bangunan yang berdekatan dengan karkas ayam, sehingga karkas-karkas tersebut kembali terkotori oleh kotoran yang berasal dari jeroan ayam. Karkas ayam kemudian dibagi menjadi dua bagian yaitu dada dan paha. Kemudian langsung dikemas kedalam kantung plastik tanpa dicuci terlebih dahulu. Menurut Nugroho (2004), tahap-tahap yang berpotensi terjadinya pencemaran silang mikroba pada pemrosesan karkas ayam di RPA dapat terjadi pada saat penerimaan dan penggantungan ayam, penyembelihan, scalding dan pencabutan bulu, pengeluaran jeroan, pendinginan, grading serta
51
pemotongan. Jumlah awal mikroba pada karkas ayam di awal pemotongan dapat mempengaruhi jumlah mikroba pada karkas berikutnya, setelah pencucian, sehingga
akan
meningkatkan
jumlah
cemaran
pada
karkas
(Setiowati dan Mardiastuti 2009). Histogram-histogram dibawah ini memperlihatkan angka cemaran TPC karkas untuk 12 TPA penelitian. Dari histogram-histogram berikut dapat dilihat bahwa angka cemaran TPC untuk TPA dibina pada Kecamatan Cibinong lebih tinggi dibangdingkan dengan TPA dibina lainnya (5.11 log cfu/g). Angka cemaran untuk ketiga ulangan pada pengambilan sampel karkas menunjukkan peningkatan cemaran mikroba. Hal ini menunjukkan bahwa cemaran mikroba pada karkas meningkat dari awal hingga akhir proses produksi. Tingginya angka cemaran ini dapat disebabkan karena tata letak bangunan yang belum layak. Bangunan merupakan bangunan permanen tetapi belum ada pemisahan fisik antara ruang bersih dan kotor. Karkas yang telah terkotori oleh darah dan kotoran selama proses bleeding kemudian masuk ke scalder, sehingga kotoran yang menempel pada bulu-bulu dan kulit ayam mencemari air scalding. Air pada proses scalding tidak pernah diganti dari awal hingga akhir produksi.
Karkas yang
diletakkan di atas lantai setelah proses plucking kemudian terkotori oleh kotoran dan darah ayam. Karkas ayam semakin tercemar oleh kotoran yang berasal dari jeroan ayam yang di letakkan berdekatan dengan karkas-karkas tersebut. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah TPC pada karkas ayam yang berasal dari TPA dibina pada Kecamatan Cibinong.
Jumlah TPC (log cfu/g)
6 5
4.99 5.44 4.90
5.11
5.23
3.81
4
5.27 4.34 3.64
4.14 4.17 4
3 2 1 0 Cibinong
1
Dramaga
2
Cibungbulang
3
TPA Gambar 7. Histogram jumlah TPC karkas ayam pada TPA dibina
Parung
4
52
Pada histogram dibawah ini dapat dilihat bahwa angka cemaran TPC pada TPA belum dibina di Kecamatan Dramaga lebih tinggi dibandingkan TPA belum dibina lainnya (6.11 log cfu/g). Setiap ulangan pada pengambilan sampel karkas ayam dapat dilihat peningkatan angka cemaran mikroba. Penggunaan air yang tidak bersih dikhawatirkan menjadi penyebab tingginya angka cemaran tersebut. Air yang digunakan untuk seluruh proses produksi berasal dari sumur yang jaraknya kurang dari 8 m dari kali yang berada tepat di depan bangunan TPA. Setelah selesai digunakan, keranjang tempat menampung ayam direndam di dalam kali tersebut, sehingga mikroba yang melekat pada keranjang semakin bertambah dan menempel pada bulu-bulu dan kulit ayam selanjutnya yang ditempatkan pada keranjang tersebut.
Jumlah TPC (log cfu/g)
6 5 4
5.54 5.07 5.14
5.56 5.61
5.25 5.49 5.14
5.07 3.23 3.04
3.34
3 2 1 0 Cibinong
1
Dramaga 2
Cibungbulang 3
Parung 4
TPA Gambar 8. Histogram jumlah TPC karkas ayam pada TPA belum dibina
Penelitian ini mengambil sampel air cucian karkas ayam dari setiap TPA penelitian. Hasil uji mikrobiolgi untuk jumlah TPC pada air cucian karkas ayam pada TPA penelitian tertera pada tabel di bawah ini. Tabel 8. Rataan jumlah TPC pada air cucian karkas ayam pada TPA penelitian Kecamatan Cibinong Dramaga Cibubulang Parung Rataan
Status Binaan TPA dibina (log cfu/ml) TPA belum dibina (log cfu/ml) (4.52±1.02) (5.12±0.70) (5.57±0.03) (6.72±1.07) (5.30±0.18) (5.26±0.27) (3.78±1.12) (4.90±1.19) (4.79±0.59) (5.50±0.81)
53
Jumlah TPC pada air cucian karkas ayam dari TPA dibina adalah 0.71 log cfu/ml lebih rendah dari TPA belum dibina. Jumlah TPC air cucian karkas ayam pada TPA belum dibina pada Kecamatan Dramaga lebih tinggi dari TPA lainnya (6.72 log cfu/ml). Tingginya angka cemaran ini karena air cucian dicemari oleh karkas ayam dengan jumlah TPC yang tinggi. Air yang dipergunakan selama proses produksi bukan merupakan air yang terjamin kebersihannya. Air berasal dari sumur yang jaraknya kurang dari 8 m dengan kali kotor yang berada tepat di depan bangunan TPA sehingga kemungkinan tercemar sangat tinggi. Proses produksi masih dilakukan dilantai, sehingga karkas yang sudah terkotori oleh darah ayam dan kotoran yang berasal dari jeroan semakin mencemari air cucian karkas ayam. Pada histogram dibawah ini dapat dilihat bahwa angka cemaran TPC untuk TPA
Jumlah TPC (log cfu/ml)
dibina di Kecamatan Dramaga lebih tinggi dibandingkan TPA dibina lainnya.
8 7 6 5 4 3 2 1 0
6.60 6.81 6.51 5.33 5.35 5.11 4.19
Cibinong
1
Dramaga
2
4.51 4.97
Cibungbulang
3
5.61 5.63 5.56
Parung 4
TPA Gambar 9. Histogram jumlah TPC air cucian karkas ayam pada TPA dibina
Terjadi peningkatan jumlah TPC pada air cucian karkas ayam untuk setiap ulangan pada pengambilan sampel air cucian karkas ayam. Hal ini terjadi karena karkas yang dicuci pada bak pencuci memang telah terkotori oleh darah dan kotoran ayam. Air yang dipergunakan untuk mencuci juga tidak diganti mulai dari awal hingga akhir proses produksi. Kemasan yang dipergunakan untuk memuat karkas ayam juga dicuci pada bak pencuci, sehingga kotoran-kotoran yang menempel pada kemasan juga mencemari air cucian. Semakin tinggi jumlah TPC pada karkas ayam maka jumlah TPC pada air karkas ayam juga semakin tinggi.
54
Pada histogram dibawah ini dapat dilihat bahwa angka cemaran TPC untuk TPA belum dibina di Kecamatan Dramaga lebih tinggi dibandingkan TPA belum dibina lainnya. Terjadi peningkatan jumlah TPC untuk setiap ulangan pada pengambilan sampel air cucian karkas ayam. Hal ini disebabkan seluruh proses produksi yang tidak higienis yang dilakukan di lantai bangunan. Kotoran dari ayam dan darah ayam mengotori karkas ayam. Kemudian karkas ayam hanya dicuci seadanya dengan menggunakan air yang juga tidak terjamin kebersihannya. Air yang diperguanakn berasal dari sumur yang berjarak kurang dari 8 m dengan kali yang berada di depan TPA, sehingga air tercemar oleh kali. Karkas yang telah tercemar yang kemudian dicuci dengan air yang tidak bersih menyebabkan
Jumlah TPC (log cfu/ml)
tingginya angka jumlah TPC pada air cucian karkas ayam.
8 7 6 5 4 3 2 1 0
7.10 5.33 4.44
7.44 7.61 5.61 5.67 5.25 5.47 5.50 5.14
5.79
Cibinong 1
2
3
4
TPA Gambar 10. Histogram jumlah TPC air cucian karkas ayam pada TPA belum dibina
2. Coliform pada Karkas Ayam Umumnya kontaminasi coliform dapat berasal dari kontaminasi fekal lingkungan TPA yang berkaiatan dengan pengulitan dan pengeluaran isi usus serta pencemaran dari TPA itu sendiri. Kontaminasi bakteri coliform juga dapat terjadi karena penggunaan air yang telah terkontaminasi, dan jumlah cemaran coliform yang tinggi dapat menyebabkan gangguan pada pencernaan. Hasil uji mikrobiologi untuk kandungan coliform pada sampel daging ayam yang diambil secara acak dari TPA penelitian tertera pada Tabel 9.
55
Tabel 9. Rataan kandungan coliform pada karkas ayam pada TPA penelitian Kecamatan Cibinong Dramaga Cibubulang Parung Rataan
Status Binaan TPA dibina (log cfu/g) TPA belum dibina (log cfu/g) (3.27±0.19) (2.91±0.73) (2.91±0.22) (3.03±0.55) (1.88±0.69) (2.58±0.42) (1.86±0.86) (3.04±0) (2.48±0.49) (2.89±0.42)
Jumlah coliform pada karkas ayam dari TPA dibina adalah 0.41 log cfu/g lebih rendah dari TPA belum dibina. Hasil uji kualitas mikrobiologi untuk coliform pada karkas ayam belum sesuai dengan batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) menurut SNI 01-7388 (BSN 2009) yaitu >102cfu/g untuk semua TPA. Pada saat ayam diistirahatkan, ayam tidak ditempatkan di dalam kandang, tetapi ayam hanya ditempatkan pada keranjang yang disusun bertumpuk keatas, sehingga kotoran ayam berjatuhan dan mengotori ayam lain yang berada dibawahnya. Kotoran ayam atau feses inilah yang menyebabkan kontaminasi coliform pada karkas ayam. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa angka cemaran coliform pada TPA dibina di Kecamatan Cibinong lebih tinggi dibandingkan dengan TPA dibina lainnya (3.27 log cfu/g). Tingginya angka cemaran ini disebabkan seluruh proses produksi yang dilakukan di dalam satu ruangan. Karkas-karkas ayam yang telah melewati proses plucking hanya diletakan di lantai bangunan tanpa alas, sehingga karkas-karkas tersebut terkotori oleh darah dan kotoran ayam. Proses eviserasi dilakukan berdekatan dengan tumpukan karkas, sehingga karkas kembali tercemari oleh kotoran yang berasal dari jeroan ayam. Menurut Lu et al. (2003) pengeluaran jeroan yang kurang hati-hati dapat mengakibatkan kontaminasi coliform yang ditemukan pada caecum dan ileum pada karkas ayam. Tembolok dan ampela ayam mengandung coliform dan merupakan sumber kontaminasi selama pengolahan karkas ayam (Windham et al. 2005). Histogram dibawah ini menunjukkan tingginya angka cemaran bakteri coliform pada TPA dibina di Kecamatan Cibinong dibandingkan dengan TPA dibina lainnya (3.27 log cfu/g). Terjadi peningkatan jumlah bakteri coliform untuk setiap ulangan pada pengambilan sampel karkas ayam.
Jumlah coliform (log cfu/g)
56
4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
3.38 3.38 3.04
3.04 3.04 2.66
2.66 1.63 1.36
2.66 1.96 0.95
Cibinong
1
Dramaga
2
Cibungbulang
3
Parung
4
TPA Gambar 11. Histogram kandungan coliform pada karkas ayam pada TPA dibina
Setelah disembelih ayam-ayam dimasukkan ke dalam tong plastik untuk proses bleeding sehingga ayam bercampur dengan darah dan kotoran ayam. Ayam kemudian masuk proses scalding sehingga air scalding tercemar oleh kotoran yang melekat pada bulu dan kulit ayam. Air yang digunakan untuk scalding tidak pernah diganti sehingga kontaminasi pada ayam terus berlanjut yang dapat menyebabkan tingginya jumlah coliform. Menurut Buhr et al. (2003) bulu dan permukaan kulit karkas ayam broiler yang tercemar oleh feses dan tanah memiliki jumlah coliform lebih tinggi dibandingkan dengan karkas dengan bulu yang bersih, sebelum dilakukan scalding dan plucking. Setelah proses scalding dan plucking karkas-karkas ayam diletakkan dilantai tanpa alas. Kotoran yang berasal dari ayam dan darah yang terdapat pada lantai bangunan tidak pernah dibersihkan atau disiram dengan air dari awal hingga akhir proses produksi. Karkas-karkas ayam yang ditumpuk di lantai bangunan terkotori oleh kotoran tersebut, sehingga terjadi peningkatan angka cemaran bakteri coliform pada karkas ayam dari awal hingga akhir proses produksi. Angka cemaran bakteri coliform pada karkas ayam semakin meningkat karena proses eviserasi dilakukan di dekat tumpukan karkas sehingga semakin mencemari karkas-karkas tersebut. Umumnya jumlah bakteri coliform tinggi pada saat eviserasi yaitu mencapai 1.1x105cfu/cm2 (Bara et al. 2002). Histogram dibawah ini tingkat cemaran bakteri coliform pada TPA belum dibina pada TPA penelitian. Terjadi peningkatan jumlah bakteri coliform untuk setiap ulangan pada pengambilan sampel karkas ayam.
Jumlah coliform (log cfu/g)
57
4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
3.09 3.38 3.24 3.24 3.09 3.09
Cibinong 1
Dramaga 2
3.04 2.54 2.22
Cibungbulang 3
3.04 3.04 3.04
Parung 4
TPA Gambar 12. Histogram kandungan coliform pada karkas ayam pada TPA belum dibina
Ulangan ketiga pada sampel karkas ayam yang diambil dari TPA belum dibina di Kecamartan Cibinong menunjukkan peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ulangan pertama dan kedua, namun rataan cemaran bakteri coliform pada TPA belum dibina pada Kecamatan Dramaga adalah yang tertinggi dibandingkan TPA belum dibina lainnya (3.03 log cfu/g). Tingginya angka cemaran bakteri coliform ini disebabkan sanitasi yang tidak baik pada seluruh proses produksi. Seluruh proses produksi dilakukan di dalam satu ruangan. Setelah disembelih ayam-ayam hanya ditumpuk di atas lantai sehingga bulu-bulu dan kulit ayam terkotori oleh darah dan kotoran ayam, kemudian ayamayam di masukkan ke dalam scalder yang airnya tidak pernah diganti dari awal hingga akhir peoses, sehingga jumlah bakteri yang terdapat pada air scalder semakin bertambah dari waktu ke waktu, dan bakteri tersebut yang menempel pada karkas ayam. Menurut Cason (2004) kontaminasi pada karkas dapat berasal dari folikel yang terbuka pada saat scalding karena bulu itu sendiri membawa sejumlah populasi bakteri. Pencabutan bulu dapat mengurangi kontaminasi bakteri terhadap karkas dan kontaminasi silang. Setelah proses pencabutan bulu ayam dicuci seadanya dengan air yang tidak terjamin kebersihannya. Proses eviserasi dilakukan dilantai sehingga kotoran yang berasal dari jeroan ayam menempel pada karkas ayam. Setelah proses eviserasi selesai, karkas dikemas dengan menggunakan plastik atau karung. Karung yang digunakan adalah karung bekas pakai yang dicuci dan dicelupkan ke dalam tong untuk mencuci karkas, sehingga terjadi kontaminasi
58
ulang pada karkas ayam, karena kotoran yang terdapat pada karung mencemari karkas ayam yang masih terdapat di dalam tong pencuci karkas. Untuk meminimalkan kontaminasi bakteri terhadap produk akhir, sanitasi pada proses penanganan daging di tempat pemotongan ayam harus dilakukan secara benar. Karkas ayam dan jeroan dari tempat pemotongan ayam dijual dipasarpasar tradisional yang sebagian besar konsumen belum mengetahui tentang keamanan pangan khususnya kontaminasi bakteri. Kurangnya disiplin sumber daya manusia pada saat melakukan proses produksi dan proses produksi dilakukan dalam satu ruangan, dapat mengakibatkan kontaminasi pada hasil akhir.
59
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesesuaian tata cara penyembelihan ayam yang halal pada semua TPA telah sesuai dengan persyaratan yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI (2011). Ayam-ayam yang disembelih dan dijual dipasar-pasar tradisional Bogor adalah ayam-ayam yang halal. Proses penyembelihan ayam yang sesuai dengan SNI 016160 (BSN 1999) belum dapat dipenuhi oleh semua TPA binaan atau belum dibina. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka cemaran TPC dan coliform dari uji mikrobiologi yang dilakukan terhadap karkas ayam.
Saran 1. Perlunya pembinaan dari Dinas Peternakan setempat terhadap sumber daya manusia agar melakukan proses produksi yang aman dan higienis, sehingga produk yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi masyarakat. 2. Masih perlu dilakukan perbaikan di lingkungan TPA dibina dan belum dibina, sehingga kekurangan-kekurangan yang terdapat pada kedua jenis TPA tersebut dapat diminimalkan atau dihilangkan sama sekali.
60
61
DAFTAR PUSTAKA Apriyanto A., Hermanianto J., Wahid N. 2007. Pedoman Produksi Pangan Halal. Jakarta: Khairul Bryan Press. Andriani. 2005. Escherichia coli 0157:H7 sebagai penyebab penyakit zoonosis. Prosiding Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. PPPP. Bogor. Bahri S., Kusumaningsih A., Murdiati T.B., Nurhadi A., Masbulan E. 2000. Analisis kebijakan keamanan pangan asal ternak (terutama ayam ras petelur dan broiler). Laporan Penelitian. PPPP. Bogor. Bahri S. 2008. Beberapa aspek keamanan pangan asal ternak di Indonesia. PIP 1(3): 225-242. Banwart G.J. 1989. Basic Food Microbiology. 2nd Edition. New York: Chapman and Hall. Bara V., Lasto C., dan Bodog M. 2002. The level of bacteria load on technological flow in abattoirs and their influences on hygenic quality of bird food. Intl J Poult Sci 1(4): 94-97. Berrang M.E., Buhr R.J., Cason Jr J.A., Dickens J.A. 2001. Microbiological consequences of skin removal prior to evisceration of broiler carcasses. Poult Sci 81:134-138. Berrang M.E., Northcutt J.K., Cason Jr J.A. 2004. Recovery of campylobacter from broiler feces during extended storage of transport cages. Poult Sci 83(7):1213-1217. Betty dan Yendri. 2007. Cemaran mikroba terhadap telur dan daging ayam. Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat. Padang. (BSN) Badan Standarisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia 01-6160-1999. Rumah Pemotongan Unggas. Jakarta. (BSN) Badan Standarisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia 01-6366-2000. Batas maksimum cemaran mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Jakarta. (BSN) Badan Standarisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia 2897:2008. Metode pengujian cemaran mikroba dalam daging, telur dan susu, serta hasil olahannya. Jakarta. (BSN) Badan Standarisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia 01-7388-2009. Batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan. Jakarta.
62
(BSN) Badan Standarisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia 3924-2009. Mutu karkas dan daging ayam. Jakarta. Budinuryanto D.C., Hadiana M.H., Balia R.L., Abubakar, Widosari E. 2000. Profil keamanan daging ayam lokal yang dipotong di pasar tradisional dalam kaitannya dengan penerapan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Laporan Hasil Penelitian Lembaga Penalitian Universitas Padjajaran dan ARMP II Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Buhr R.J., Berrang M.E., Cason J.A. 2003. Bacterial recovery from breast skin of genetically feathered and featherlesss broiler carcasses immediately following scalding and picking. Intl J Poult Sci 2(6): 81-86. Cason J.A. 2004. Impact of feathers and feather follicles on broiler carcass bacteria. Intl J Poult Sci 1(5): 110-119. Cason Jr J.A., Hinton Jr A. 2006. Coliforms, e. coli, camplobacter, and salmonellai, in a counterflow broiler scalder with a dip tank. Intl J Poult Sci 5:846-849. Codex Alimentarius Commission. GL 24-1997. General guidelines for use of the term “Halal”. Cox Jr N.A., Richardson L.J., Bailey J.S., Cosby D.E., Cason Jr J.A., Musgrove M.T., Mead G.C. 2005. Bacterial contamination of poultry as a risk to human health. Book Chapter. In: Food Safety Control in the Poultry Industry. (Ed. G. C. Mead). Ch 2. p. 21-43. Cunningham F.E., Cox N.A. 1987. The Microbiology of Poultry Meat Products. Academic Press, Inc. San Diego. California. (Permentan) Peraturan Pemerintah. 2005. Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan. Sub Dinas Kesehatan Hewan dan Masyarakat Veteriner. Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan. (Deptan) Departemen Pertanian. 2006. Petunjuk penyembelihan ayam dan penanganan daging ayam pada rumah potong ayam skala kecil. Badan Kesehatan Hewan. Direktorat Jendral Peternakan. (Disnakprov Jabar) Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat. 2004. Laporan Tahunan. Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat. Bandung. (Dirjenkeswan) Direktorat Jendral Kesehatan Hewan. 1987. Peraturan PerundangUndangan Kesehatan Hewan Edisi III. Dirjen Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta. (Ditjen POM) Direktorat Jendral Pengawas Obat dan Makanan. 1996. BahanBahan Mengenai Pengawasan Makanan Minuman Tahun 1994/1995. Ditwas Makanan dan Minuman, Ditjen POM, Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
63
(Ditjen PPM PLP) Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. 1994. Pembinaan keamanan makanan pada tempat pengelolaan makanan. Makalah pada Lokakarya Koordinasi Pengamanan Makanan, Mega Mendung, 17-20 Oktober 1994. Djaafar T.F., Rahayu S. 2007. Cemaran mikroba pada produk pertanian, penyakit yang ditimbulkan dan pencegahannya. JPPP 26 (2): 67-75. Fardiaz S. 1989. Analisis mikrobiologi pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Bogor. Gustiani E. 2009. Pengendalian Cemaran Mikroba pada Bahan Pangan Asal Ternak (Daging dan Susu) Mulai dari Peternakan sampai Dihidangkan. JPPP 28(3): 96-100). Jay J.M. 2000. Modern Food Microbiology, 6th Edition. Aspen Publisher, Inc. Gathersburg. Maryland. Levy P.S., Lemeshow S. 1999. Sampling of Population. Third Edition. John Wiley and Sons. Inc. Kanada. Liljebjelke K.A., Ingram K.D., Hinton Jr, A., Cason Jr J.A. 2009. Scald tank water and foam as sources of carcass contamination during early poultry processing [abstract]. Meeting Abstract. January 26-27, 2009. p. 28. (LPPOM MUI) Lembaga Pengkajian Paangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia. 2008. Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOMMUI. Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia. (LPPOM MUI) Lembaga Pengkajian Paangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia. 2011. Pedoman Pengelolaan Rumah Potong Unggas (RPU) Halal. Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika. Majelis Ulama Indonesia. Lu J.U., Idris B., Harmon C., Hofacre J.J., Maurer, Lee M.D. 2003. Diversity and succession of the intestinal bacterial community of the maturing broiler chicken. Appl Environ Microbiol. 64(11): 6816-6824. Lukman D.W., Purnawaman T. 2009. Penuntun Praktikum Higiene Pangan Asal Ternak. Bogor : Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet. Fakultas Kedokteran Hewan. IPB. McGraw L. 1999. Battling Food-poissoning Bacteria. Agricultural Research. February 1999. Mead G. C. 2004. Current trends in the microbiologicalsafety of meat poultry. World’s Poult Sci J 60:112-118.
64
Mountney G.J., 1983. Poultry Product Tecnology 3rd Ed. The AVI Publishing Company Inc., Westport. Connecticut. Murdiati T.B., Widiastuti R. 2003. Teknik deteksi residu antibiotika dalam produk ternak. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Veteriner. Bogor. Murdiati T.B. 2006. Jaminan keamanan pangan asal ternak: dari kandang hingga piring. JPPP 25(1): 22-30. Nugroho W.S. 2004. Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner Staphylococcus, Bakteri Jahat yang Sering Disepelekan. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Poloengan M., Noor S.M., Komala I., Andriani. 2005. Patogenosis Campylobacter terhadap hewan dan manusia. Prosiding Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Bogor, 14 September 2005. PPPP. Bogor. hlm. 82-90. Pusat Standarisasi dan Akreditasi. 2004. Info Mutu. Berita Standarisasi Mutu dan Keamanan Pangan. Sekretariat Jendral Departemen Pertanian. Edisi April 2004. hlm. 4-7. Raharjo S. 1999. Teknik dekontaminasi cemaran bakteri pada karkas dan daging. Agritech, Majalah Ilmu dan Teknologi Pertanian 19(2): 8. Richardson L., Cox N., Buhr R., Harrison M. 2011. Isolation of Campylobacter from circulating blood of commercial broilers. Poult Sci 46 : 959-964. Setiowati W.E., Mardiastuti E.S. 2009. Tinjauan Bahan Pangan Asal Hewan yang Asuh Berdasarkan Aspek Mikrobiologi di DKI Jakarta. Prosiding PPI Standardisasi. Laboratorium Kesmavet Jakarta. Smith D. P., Northcutt J. K., Cason J. A., Hinton Jr. A., Buhr R. J., Ingram K. D. 2007. Effect of External or Internal Fecal Contamination on Numbers of Bacteria on Prechilled Broiler Carcasses. Poult Sci 86:1241–1244. Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi ke-3. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Syukur D.A. 2006. Biosecurity terhadap Cemaran Mikroba dalam Menjaga Keamanan Pangan Asal Hewan. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung. Bandar Lampung. Thai Agricultural Standard. 2006. Good Manufacturing Practices for Poultry Abbattoir. National Bureau of Agricutural Commodity and Food Standarda Ministry of Agriculture and Cooperatives. Thaheer H. 2005. Sistem Manajemen HACCP: Hazard analysis critical control points. Jakarta: Bumi Aksara.
65
(USDA) United State Department of Agriculture. 1999. Generic HACCP Model for Poultry Slaughter. Food Safety and Inspection Service. United States Department of Agriculture. Walpole R.E. 1995. Pengantar Statistika. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Winarno F.G., Surono. 2004. GMP Cara Pengolahan Pangan yang Baik. Bogor: Mbrio Press. Windham W.R., Heitschmidt G.W., Smith D.P., Berrang M.E. 2005. Detection of Ingesta on Pre-Chilled Broiler Carcasses by Hyperspectral Imaging. Intl J Poult Sci 4 (12): 959-964. Wiryanti J. 2002. Makalah tentang penyusunan Good Manufacturing Practices (GMP) dan Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP). Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Lampirran 1 Aplikasi SSOP pada seluruh TPA dibina dan Kondisi Seharusnya yang mengacu pada Permentan 2005 Aspek SSOP Penanggung Jawab Kesehatan Hewan dan Kesmavet (1%) * Lokasi dan Lingkungan (5%)
Konstruksi Bangunan Utama (13%)
Kondisi TPA dibina Penanggung Jawab Kesehatan Hewan dan Kesmavet Tidak ada dokter hewan penanggung jawab kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner Lokasi dan Lingkungan Perijinan Unit Usaha diberikan oleh Dinas Peternakan Kabupaten Bogor Disekitar TPA tidak terdapat RPB Penanganan dan sistem pembuangan sampah, limbah cair dan peralatan cukup baik hanya pada TPA Cibungbulang dan Cibinong Tidak terdapat debu yang berlebihan dijalanan dan tempat parkir
Keterangan Aplikasi SSOP terhadap aspek Penanggung Jawab Kesehatan Hewan dan Kesmavet belum terpenuhi sepenuhnya 4%* Aplikasi SSOP terhadap Lokasi dan Lingkungan hanya terpenuhi sebagian
5.5% Aplikasi SSOP terhadap Konstruksi Bangunan Utama hanya terpenuhi sebagian
67
Konstruksi Bangunan Utama Hanya TPA dibina Cibungbulang yang melakukan pemisahan fisik antara ruangan bersih dan kotor Hanya pada TPA dibina Cibungbulang ruang pengolahan tidak berhubungan langsung dengan toilet/kamar mandi, tempat ganti pakaian, tempat tinggal, garasi dan bengkel TPA dibina Parung tidak memiliki langit-langit, dinding (bangunan terbuka), TPA lainnya merupakan bangunan permanen
Kondisi Seharusnya Penanggung Jawab Kesehatan Hewan dan Kesmavet Dokter hewan penanggung jawab kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner Lokasi dan Lingkungan Lokasi unit usaha sesuai dengan alamat yang tercantum dalam perijinan Ada pemisahan fisik antara RPB dan RPH/RPU Penyimpanan dan penanganan sampah, limbah dan peralatan baik Debu yang tidak berlebihan di jalanan dan tempat parkir Sistem pembuangan limbah cair/saluran baik Konstruksi Bangunan Utama Dilakukan pemisahan secara fisik antara ruangan bersih dan kotor Ruang pengolahan tidak berhubungan langsung dengan toilet/kamar mandi, tempat ganti pakaian, tempat tinggal, garasi dan bengkel Ada langit-langit (plafon); Langitlangit bebas dari kemungkinan catnya rontok/jatuh atau dalam keadaan tidak kotor dan terawat; Rata, tidak retak/berlubang Dinding setinggi kurang dari 2 meter terbuat dari bahan yang kedap air, mudah
68
Lampiran 1 Lanjutan .. Aspek SSOP
Kondisi TPA dibina Ada lengkungan pada pertemuan lantai dan dinding pada TPA dibina Dramaga Lantai pada semua TPA licin, tidak kedap air, ada genangan cairan
Bangunan Utama TPA (25%)
Bangunan Utama TPA Pada TPA dibina Parung dan Cibungbulang tersedia tempat penurunan unggas hidup berupa kandang Tidak ada pemeriksaan antemortem dan postmortem untuk semua TPA dibina Tidak dilakukan stunning untuk semua TPA dibina Pada TPA dibina Parung dilakukan seleksi, pemotongan karkas, penyimpanan segar Hanya TPA dibina Cibinong yang tidak melakukan penimbangan karkas Seluruh TPA dibina tidak melakukan deboning Pengemasan TPA dibina Parung menggunakan styrofoam dan coolbox
Kondisi Seharusnya dibersihkan dan didisinfeksi; Permukaan rata, tidak retak atau berlubang; Tidak ada bagian dinding yang memungkinkan untuk meletakkan/menyimpan barang/peralatan; Dinding di ruang pengolahan berwarna terang Bahan lantai kedap air, tidak licin, mudah dibersihkan dan didisinfeksi; Pertemuan antara lantai dan dinding lengkung; Tidak ada genangan cairan, tumpukan kotoran dan air mengalir ke saluran pembuangan Bangunan Utama TPA Daerah Kotor: Tempat penurunan unggas hidup, pemeriksaan antemortem dan penggantungan unggas hidup Pemingsanan (stunning) Penyembelihan (killing) Pencelupan ke air panas (scalding tank) Pencabutan bulu (defeathering) Pencucian karkas Pengeluaran jeroan/evisceration Pemeriksaan postmortem Penanganan jeroan Daerah Bersih: Tempat pencucian karkas. Tempat pendinginan karkas. Seleksi (grading) Penimbangan kark
Keterangan
17.75% Aplikasi SSOP terhadap Bangunan Utama TPA hanya terpenuhi sebagian
Lampiran 1 Lanjutan .. Aspek SSOP
Penerangan (2%)
Ventilasi (2%)
Saluran Pembuangan (3%)
Pasokan Air (4%)
Kondisi TPA dibina dan pemasaran telah sampai ke luar provinsi
Keterangan
1% Aplikasi SSOP terhadap Penerangan hanya terpenuhi sebagian
2% Aplikasi SSOP terhadap Ventilasi hanya terpenuhi sebagian
2.5% Aplikasi SSOP terhadap Saluran Pembuangan hanya terpenuhi sebagian 3% Aplikasi SSOP terhadap Pasokan Air hanya terpenuhi sebagian
69
Kondisi Seharusnya Pemotongan karkas (cutting) Pemisahan daging dari tulang Pengemasan Penyimpanan segar (chilling room) Penerangan Penerangan Lampu TPA dibina Cibungbulang telah Lampu di ruang pengolahan, pengemasan berpelindung dan penyimpanan bahan baku perpelindung Proses produksi pada TPA dibina Parung dilakukan pada pagi hari Penerangan pada tempat pemeriksaan sehingga tidak dibutuhkan penerangan (inspeksi) cukup (kurang dari 540 luks) Ventilasi Ventilasi Sistem ventilasi pada seluruh TPA Sirkulasi udara di ruang proses produksi dibina baik, sehingga tidak terjadi baik (tidak pengap) akumulasi kondensasi di atas proses Tidak terjadi akumulasi kondensasi di pengolahan dan penyimpanan produk atas proses pengolahan dan penyimpanan produk Saluran Pembuangan Saluran Pembuangan Saluran pembuangan pada TPA dibina Kapasitas saluran pembuangan lancar Parung tidak tertutup Saluran pembuangan tertutup (grill) dan Tidak ada bak kontrol pada sistem dilengkapi bak kontrol saluran pada semua TPA dibina Pasokan Air Pasokan Air Air yang digunakan untuk seluruh Tersedia pasokan air bersih dalam jumlah proses produksi pada semua TPA cukup dibina berasal dari sumur dengan Jarak terdekat sumber air dengan tempat kedalaman lebih dari 8 m dan jaraknya pembuangan limbah cair/septic tank 8m dengan tempat penampungan limbah Dilakukan pemeriksaan kualitas air bersih di cair dan sampah lebih dari 8 m laboratorium minimal sekali dalam setahun Tidak pernah dilakukan pemeriksaan kualitas air di laboratorium
Aspek SSOP Es (Persyaratan Khusus RPU) (2%) Penanganan Limbah dan Kotoran (2%) Toilet (2%)
Ruang Ganti Pakaian (1%) Fasilitas Cuci Tangan dan Foot Deep (4%)
Peralatan dan Wadah (2%)
70
Lampiran 1 Lanjutan .. Kondisi TPA dibina Es (Persyaratan Khusus RPU) Hanya TPA dibina Parung yang menggunakan es yang berasal dari es balok dari pabrik setempat Penanganan Limbah dan Kotoran Penampungan limbah pada TPA dibina Parung berjarak kurang dari 8 m dengan ruang produksi
Kondisi Seharusnya Es (Persyaratan Khusus RPU) Terbuat dari air yang memenuhi persyaratan air bersih Ditangani secara higienis Penanganan Limbah dan Kotoran Limbah ditangani dengan baik Fasilitas pembuangan sampah/kotoran dalam ruang proses tertutup
Toilet Toilet pada TPA dibina Cibungbulang terpelihara dengan baik, dan tidak pada TPA dibina lainnya Ruang Ganti Pakaian Ruang Ganti pada TPA dibina Cibungbulang terpelihara dengan baik, dan tidak pada TPA dibina lainnya Fasilitas Cuci Tangan dan Foot Deep Pada TPA dibina Dramga tersedia fasilitas cuci tangan dan foot deep tapi tidak berfungsi Pada TPA dibina Cibungbulang tersedia fasilitas cuci tangan
Toilet Terpelihara dengan baik Fasilitas untuk pencucian tangan, seperti sabun, cukup atau tersedia Ruang Ganti Pakaian Ada, terawat dan tidak kotor
Fasilitas Cuci Tangan dan Foot Deep Setiap pintu masuk ruang pengolahan memiliki fasilitas cuci tangan dan foot deep Fasilitas cuci tangan berfungsi Fasilitas cuci tangan dioperasikan dengan tangan dan dilengkapi dengan petunjuk mencuci tangan Memiliki fasilitas untuk membesihkan sepatu boot Peralatan dan Wadah Peralatan dan Wadah Peralatan pada semua TPA dibina terbuat Terbuat dari bahan yang kedap air, tidak dari bahan yang kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik, mudah
Keterangan 0.5% Aplikasi SSOP terhadap Es hanya terpenuhi sebagian 1.75% Aplikasi SSOP terhadap Penanganan Limbah dan Kotoran hanya terpenuhi sebagian 1.25% Aplikasi SSOP terhadap Toilet hanya terpenuhi sebagian
0.75% Aplikasi SSOP terhadap Ruang Ganti Pakaian hanya terpenuhi sebagian 2% Aplikasi SSOP terhadap Fasilitas Cuci Tangan dan Foot Deep hanya terpenuhi sebagian
1.5% Aplikasi SSOP terhadap Peralatan dan Wadah hanya terpenuhi
Lampiran 1 Lanjutan .. Aspek SSOP
Kemasan (3%)
Program Pengendalian Serangga dan Rodensia (4%)
Pembersihan dan Desinfeksi (3%)
Kondisi TPA dibina mudah korosif, tidak toksik, mudah dibersihkan dan didisinfeksi dan disimpan ditempat yang seharusnya Kemasan TPA dibina Parung menggunakan kemasan dari styrofoam dan cool box, sehingga kebersihan produk lebih terjaga dibandingkan dengan kemasan pada TPA dibina lainnya yang menggunakan kantung plastik dan karung plastik bekas Program Pengendalian Serangga dan Rodensia Tidak ada program pengendalian serangga dan rodensia pada TPA Parung, karena bangunan merupakan bangunan terbuka
Pembersihan dan Desinfeksi Pemberishan pada semua TPA dibina hanya menggunakan sikat dan air, belum melakukan desinfeksi
Kondisi Seharusnya dibersihkan dan didisinfeksi Terawat dengan baik atau disimpan ditempat yang seharusnya Kemasan Terbuat dari bahan yang tidak toksik, bereaksi dengan produk, dan mampu mencegah terjadinya kontaminasi terhadap produk Disimpan pad ruang khusus
Keterangan sebagian
Program Pengendalian Serangga dan Rodensia Memiliki program tertulis dalam pengendalian serangga dan rodensia Program pengendalian serangga, tikus/rodensia dan binatang pengganggu lainnya di lingkungan unit usaha efektif Lubang angin dilengkapi dengan kasa untuk mencegah masuknya serangga Ada tirai udara (air curtain), tirai plastik dan alat pencegah serangga lainnya dan efektif Pembersihan dan Desinfeksi Memiliki program pembersihan dan desinfeksi Metode pembersihan dan disinfeksi efektif Peralatan dan wadah dicuci dengan air bersih dan disanitasi setelah digunakan
1.25% Aplikasi SSOP terhadap Program Pengendalian Serangga dan Rodensia hanya terpenuhi sebagian
1.25% Aplikasi SSOP terhadap Kemasan hanya terpenuhi sebagian
2.75% Aplikasi SSOP terhadap Pembersihan dan Desinfeksi hanya terpenuhi sebagian
71
72
Lampiran 1 Lanjutan .. Aspek SSOP Bahan-bahan Kimia (2%)
Higiene Personal (4%)
Bahan Baku, Penanganan dan Pengolahan (8%)
Kondisi TPA dibina Bahan-bahan Kimia Tidak dipergunakan bahan-bahan kimia pada produk olahan
Kondisi Seharusnya Bahan-bahan Kimia Bahan kimia, sanitizer dan bahan tambahan pangan diberi label dan disimpan dengan baik Penggunaan bahan kimia dan bahan tambahan pangan yang diizinkan Higiene Personal Higiene Personal Kesehatan pekerja terjaga dengan baik Karyawan yang berhubungan langsung dengan produk dalam kondisi sehat Masih terjadi kontaminasi silang antara Pekerja dan Produk Kebersihan karyawan yang berhubungan langsung dengan produk terjaga dengan Ada pelatihan sanitasi dari Dinas baik Peternakan Tidak terjadi kontaminasi silang (makan, meludah, merokok di ruang proses) Pelatihan pekerja dalam hal sanitasi dan higienis cukup Bahan Baku, Penanganan dan Bahan Baku, Penanganan dan Pengolahan Pengolahan Tidak ada pemeriksaan ante mortem Pemeriksaan ante mortem pada ternak dan post mortem pada bahan baku yang akan dipotong dilakukan oleh dokter pada semua TPA dibina hewan atau para medik veteriner Pemeriksaan ante mortem dilakukan secara teratur Dilakukan pencatatan terhadap hasil pemeriksaan ante mortem Penanganan hewan hidup memenuhi aspek kesrawan Pemeriksaan post mortem pada setiap hewan dilakukan oleh dokter hewan atau para medik veteriner
Keterangan Aplikasi SSOP terhadap Bahanbahan Kimia belum terpenuhi oleh semua TPA
2.25% Aplikasi SSOP terhadap Higiene Personal hanya terpenuhi sebagian
Aplikasi SSOP terhadap Bahan Baku, Penanganan dan Pengolahan hanya terpenuhi sebagian
Lampiran 1 Lanjutan .. Aspek SSOP
Kondisi TPA dibina
Pembekuan (2%)
Pembekuan Seluruh TPA dibina tidak memiliki fasilitas blast freezer Pelabelan Tidak ada pemberian label pada produk beku Penyimpanan Hanya TPA dibina Parung yang memiliki fasilitas cold storage untuk produk beku
Pelabelan (1%) Penyimpanan (3%)
Pengujian Laboratorium (3%)
Pengujian Laboratorium Tidak pernah dilakukan pengujian laboratorium untuk produk akhir, program sanitasi dan tidak dokumentasi terhadap hasil pengujian laboratorium
Kondisi Seharusnya Keterangan Pemeriksaan post mortem dilakukan secara teratur Dilakukan pencatatan terhadap hasil pemeriksaan post mortem Pembekuan Memiliki fasilitas blast freezer Aplikasi SSOP terhadap Dilengkapi dengan display themometer pada ruangan blast freezer dan cold storage Pembekuan belum terpenuhi Pelabelan Produk yang sudah dalam bentuk beku mempunyai label dan tanda/etiket Penyimpanan Memiliki chill room untuk penyimpanan produk segar Memiliki cold storage untuk penyimpanan produk beku Produk akhir yang disimpan dalam gudang beku terpisah dengan bahan lain Pengujian Laboratorium Ada program pengujian laboratorium terhadap produk akhir Ada program monitoring efektivitas program sanitasi Dilakukan dokumentasi terhadap hasil pengujian laboratorium
0.75% Aplikasi SSOP terhadap Penyimpanan hanya terpenuhi sebagian
Aplikasi SSOP terhadap Pengujian Laboratorium belum terpenuhi
73
*) persentase kondisi seharusnya **) persentase kondisi seharusnya yang telah terpenuhi pada 8 TPA dibina
Aplikasi SSOP terhadap Pelabelan belum terpenuhi
Lampiran 2 Aplikasi SSOP pada seluruh TPA belum dibina dan Kondisi Seharusnya yang mengacu pada Permentan 2005 Aspek SSOP Penanggung Jawab Kesehatan Hewan dan Kesmavet (1%) * Lokasi dan Lingkungan (5%)
Konstruksi Bangunan Utama (13%)
Kondisi TPA belum dibina Penanggung Jawab Kesehatan Hewan dan Kesmavet Tidak ada dokter hewan penanggung jawab kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner Lokasi dan Lingkungan Perijinan hanya dimiliki oleh sebagian TPA Disekitar TPA tidak terdapat rumah potong babi (RPB) Penanganan dan sistem pembuangan sampah, limbah cair dan peralatan cukup baik hanya pada semua TPA belum baik Terdapat debu yang berlebihan dijalanan dan tempat parkir Konstruksi Bangunan Utama Belum ada pemisahan fisik antara ruangan bersih dan kotor pada semua TPA belum dibina TPA belum dibina Parung tidak memiliki langit-langit Lantai untuk semua TPA belum dibina licin, ada genangan air dan tidak kedap air Dinding pada semua TPA selum dibina berwarna gelap, retak/berlubang
Keterangan Aplikasi SSOP terhadap aspek Penanggung Jawab Kesehatan Hewan dan Kesmavet belum terpenuhi sepenuhnya 3% * Aplikasi SSOP terhadap Lokasi dan Lingkungan hanya terpenuhi sebagian
1.5% Aplikasi SSOP terhadap Konstruksi Bangunan Utama hanya terpenuhi sebagian
75
Kondisi Seharusnya Penanggung Jawab Kesehatan Hewan dan Kesmavet Dokter hewan penanggung jawab kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner Lokasi dan Lingkungan Lokasi unit usaha sesuai dengan alamat yang tercantum dalam perijinan Ada pemisahan fisik antara RPB dan RPH/RPU Penyimpanan dan penanganan sampah, limbah dan peralatan baik Debu yang tidak berlebihan di jalanan dan tempat parkir Sistem pembuangan limbah cair/saluran baik Konstruksi Bangunan Utama Dilakukan pemisahan secara fisik antara ruangan bersih dan kotor Ruang pengolahan tidak berhubungan langsung dengan toilet/kamar mandi, tempat ganti pakaian, tempat tinggal, garasi dan bengkel Ada langit-langit (plafon); Langit- langit bebas dari kemungkinan catnya rontok/jatuh atau dalam keadaan tidak kotor dan terawat; Rata, tidak retak/berlubang Dinding setinggi kurang dari 2 meter terbuat dari bahan yang kedap air, mudah
76
Lampiran 2 Lanjutan .. Aspek SSOP
Kondisi TPA dibina
Bangunan Utama TPA (25%)
Bangunan Utama TPA Tempat penurunan unggas hidup terdapat pada TPA belum dibina Dramaga dan Parung Tidak ada pemeriksaan antemortem dan postmortem untuk semua TPA belum dibina Tidak dilakukan stunning untuk semua TPA belum dibina Tidak ada daerah bersih pada semua TPA belum dibina, pengemasan dilakukan pada ruang produksi
Kondisi Seharusnya dibersihkan dan didisinfeksi; Permukaan rata, tidak retak atau berlubang; Tidak ada bagian dinding yang memungkinkan untuk meletakkan/menyimpan barang/peralatan; Dinding di ruang pengolahan berwarna terang Bahan lantai kedap air, tidak licin, mudah dibersihkan dan didisinfeksi; Pertemuan antara lantai dan dinding lengkung; Tidak ada genangan cairan, tumpukan kotoran dan air mengalir ke saluran pembuangan Bangunan Utama TPA Daerah Kotor: Tempat penurunan unggas hidup, pemeriksaan antemortem dan penggantungan unggas hidup Pemingsanan (stunning) Penyembelihan (killing) Pencelupan ke air panas (scalding) Pencabutan bulu (defeathering) Pencucian karkas Pengeluaran jeroan/evisceration Pemeriksaan postmortem Penanganan jeroan Daerah Bersih: Tempat pencucian karkas. Tempat pendinginan karkas. Seleksi (grading) Penimbangan karkas Pemotongan karkas (cutting)
Keterangan
14.125% Aplikasi SSOP terhadap Bangunan Utama TPA hanya terpenuhi sebagian
Lampiran 2 Lanjutan .. Kondisi TPA dibina
Penerangan (2%)
Penerangan Lampu pada semua TPA belum dibina tidak berpelindung Proses produksi pada TPA belum dibina Parung dan Dramaga dilakukan pada pagi hari sehingga tidak digunakan penerangan Ventilasi Sistem ventilasi pada seluruh TPA belum dibina baik, sehingga tidak terjadi akumulasi kondensasi di atas proses pengolahan dan penyimpanan produk Saluran Pembuangan Saluran pembuangan pada seluruh TPA belum dibina belum tidak tertutup Tidak ada bak kontrol pada sistem saluran pada semua TPA belum dibina Pasokan Air Air yang digunakan untuk seluruh proses produksi pada semua TPA belum dibina berasal dari sumur dengan kedalaman lebih dari 8 m Jarak sumur dengan tempat penampungan limbah cair pada sebagian TPA belum dibina kurang dari 8 m
Ventilasi (2%)
Saluran Pembuangan (3%)
Pasokan Air (4%)
Kondisi Seharusnya Pemisahan daging dari tulang Pengemasan Penyimpanan segar (chilling room) Penerangan Lampu di ruang pengolahan, pengemasan dan penyimpanan bahan baku perpelindung Penerangan pada tempat pemeriksaan (inspeksi) cukup (kurang dari 540 luks)
Keterangan
Ventilasi Sirkulasi udara di ruang proses produksi baik (tidak pengap) Tidak terjadi akumulasi kondensasi di atas proses pengolahan dan penyimpanan produk Saluran Pembuangan Kapasitas saluran pembuangan lancar Saluran pembuangan tertutup (grill) dan dilengkapi bak kontrol
1.375% Aplikasi SSOP terhadap Ventilasi hanya terpenuhi sebagian
Pasokan Air Tersedia pasokan air bersih dalam jumlah cukup Jarak terdekat sumber air dengan tempat pembuangan limbah cair/septic tank 8m Dilakukan pemeriksaan kualitas air bersih di laboratorium minimal sekali dalam setahun
2% Aplikasi SSOP terhadap Pasokan Air hanya terpenuhi sebagian
0.25% Aplikasi SSOP terhadap Penerangan hanya terpenuhi sebagian
0.875% Aplikasi SSOP terhadap Saluran Pembuangan hanya terpenuhi sebagian
77
Aspek SSOP
78
Lampiran 2 Lanjutan .. Aspek SSOP
Es (Persyaratan Khusus RPU) (2%) Penanganan Limbah dan Kotoran (2%)
Kondisi TPA dibina Tidak pernah dilakukan pemeriksaan kualitas air di laboratorium Es (Persyaratan Khusus RPU) Tidak ada penggunaan es pada seluruh TPA belum dibina
Ruang Ganti Pakaian (1%)
Penanganan Limbah dan Kotoran Penampungan limbah pada TPA belum dibina Dramaga dan Cibungbulang berjarak kurang dari 8 m dengan ruang produksi Toilet Tidak tersedia sarana toilet pada TPA belum dibina Parung, Cibungbulang dan Dramaga Ruang Ganti Pakaian Tidak tersedia Ruang Ganti pada TPA belum dibina Parung
Fasilitas Cuci Tangan dan Foot Deep (4%)
Fasilitas Cuci Tangan dan Foot Deep Tidak tersedia fasilitas cuci tangan dan foot deep untuk semua TPA belum dibina
Toilet (2%)
Kondisi Seharusnya
Keterangan
Es (Persyaratan Khusus RPU) Terbuat dari air yang memenuhi persyaratan air bersih Ditangani secara higienis Penanganan Limbah dan Kotoran Limbah ditangani dengan baik Fasilitas pembuangan sampah/kotoran dalam ruang proses tertutup
Aplikasi SSOP terhadap Es belum terpenuhi
Toilet Terpelihara dengan baik Fasilitas untuk pencucian tangan, seperti sabun, cukup atau tersedia Ruang Ganti Pakaian Ada, terawat dan tidak kotor
0.25% Aplikasi SSOP terhadap Toilet hanya terpenuhi sebagian
Fasilitas Cuci Tangan dan Foot Deep Setiap pintu masuk ruang pengolahan memiliki fasilitas cuci tangan dan foot deep Fasilitas cuci tangan berfungsi Fasilitas cuci tangan dioperasikan dengan tangan dan dilengkapi dengan petunjuk mencuci tangan Memiliki fasilitas untuk membesihkan sepatu boot
0.375% Aplikasi SSOP terhadap Penanganan Limbah dan Kotoran hanya terpenuhi sebagian
0.125% Aplikasi SSOP terhadap Ruang Ganti Pakaian hanya terpenuhi sebagian Aplikasi SSOP terhadap Fasilitas Cuci Tangan dan Foot Deep belum terpenuhi
Lampiran 2 Lanjutan .. Aspek SSOP Peralatan dan Wadah (2%)
Kemasan (3%)
Kondisi TPA dibina Peralatan dan Wadah Peralatan pada semua TPA belum dibina terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik, mudah dibersihkan dan didisinfeksi dan disimpan ditempat yang seharusnya Kemasan Seluruh TPA belum dibina menggunakan kemasan dari kantung plastik dan karung plastik yang tidak dapat mencegah kontaminasi lanjutan
Program Pengendalian Serangga dan Rodensia (4%)
Program Pengendalian Serangga dan Rodensia Tidak ada program pengendalian serangga dan rodensia pada semua TPA belum dibina
Pembersihan dan Desinfeksi (3%)
Pembersihan dan Desinfeksi Pemberishan pada semua TPA belum dibina hanya menggunakan sikat dan air, belum didesinfektan
Keterangan 0.375% Aplikasi SSOP terhadap Peralatan dan Wadah hanya terpenuhi sebagian
1.125% Aplikasi SSOP terhadap Kemasan hanya terpenuhi sebagian
Aplikasi SSOP terhadap Program Pengendalian Serangga dan Rodensia belum terpenuhi
0.875% Aplikasi SSOP terhadap Pembersihan dan Desinfeksi hanya terpenuhi sebagian 79
Kondisi Seharusnya Peralatan dan Wadah Terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik, mudah dibersihkan dan didisinfeksi Terawat dengan baik atau disimpan ditempat yang seharusnya Kemasan Terbuat dari bahan yang tidak toksik, bereaksi dengan produk, dan mampu mencegah terjadinya kontaminasi terhadap produk Disimpan pad ruang khusus Program Pengendalian Serangga dan Rodensia Memiliki program tertulis dalam pengendalian serangga dan rodensia Program pengendalian serangga, tikus/rodensia dan binatang pengganggu lainnya di lingkungan unit usaha efektif Lubang angin dilengkapi dengan kasa untuk mencegah masuknya serangga Ada tirai udara (air curtain), tirai plastik dan alat pencegah serangga lainnya dan efektif Pembersihan dan Desinfeksi Memiliki program pembersihan dan desinfeksi Metode pembersihan dan disinfeksi efektif Peralatan dan wadah dicuci dengan air bersih dan disanitasi setelah digunakan
80
Lampiran 2 Lanjutan .. Aspek SSOP Bahan-bahan Kimia (2%)
Higiene Personal (4%)
Penerimaan Bahan Baku, Penanganan dan Pengolahan (8%)
Kondisi TPA dibina Bahan-bahan Kimia Tidak dipergunakan bahan-bahan kimia pada produk olahan
Kondisi Seharusnya Bahan-bahan Kimia Bahan kimia, sanitizer dan bahan tambahan pangan diberi label dan disimpan dengan baik Penggunaan bahan kimia dan bahan tambahan pangan yang diizinkan Higiene Personal Higiene Personal Kesehatan pekerja terjaga dengan baik Karyawan yang berhubungan langsung dengan produk dalam kondisi sehat Masih terjadi kontaminasi silang antara Kebersihan karyawan yang berhubungan Pekerja dan Produk langsung dengan produk terjaga dengan Ada pelatihan sanitasi dari Dinas baik Peternakan Tidak terjadi kontaminasi silang (makan, meludah, merokok di ruang proses) Pelatihan pekerja dalam hal sanitasi dan higienis cukup Penerimaan Bahan Baku, Penanganan Penerimaan Bahan Baku, Penanganan dan Pengolahan dan Pengolahan Tidak ada pemeriksaan ante mortem Pemeriksaan ante mortem pada ternak dan post mortem pada bahan baku yang akan dipotong dilakukan oleh dokter pada semua TPA belum dibina hewan atau para medik veteriner Pemeriksaan ante mortem dilakukan secara teratur Dilakukan pencatatan terhadap hasil pemeriksaan ante mortem Penanganan hewan hidup memenuhi aspek kesrawan Pemeriksaan post mortem pada setiap hewan dilakukan oleh dokter hewan atau para medik veteriner
Keterangan Aplikasi SSOP terhadap Bahanbahan Kimia belum terpenuhi oleh semua TPA
1.625% Aplikasi SSOP terhadap Higiene Personal hanya terpenuhi sebagian
Aplikasi SSOP terhadap Bahan Baku, Penanganan dan Pengolahan hanya terpenuhi sebagian
Lampiran 2 Lanjutan .. Aspek SSOP
Pembekuan (2%)
Pelabelan (1%) Penyimpanan (3%)
Pengujian Laboratorium (3%)
Kondisi TPA dibina
Kondisi Seharusnya Pemeriksaan post mortem dilakukan secara teratur Dilakukan pencatatan terhadap hasil pemeriksaan post mortem Pembekuan Pembekuan Seluruh TPA belum dibina tidak Memiliki fasilitas blast freezer memiliki fasilitas blast freezer Dilengkapi dengan display themometer pada ruangan blast freezer dan cold storage Pelabelan Pelabelan Tidak ada pemberian label pada produk Produk yang sudah dalam bentuk beku beku mempunyai label dan tanda/etiket Penyimpanan Penyimpanan Tidak tersedia fasilitas cold storage Memiliki chill room untuk penyimpanan untuk produk beku pada semua TPA produk segar belum dibina Memiliki cold storage untuk penyimpanan produk beku Produk akhir yang disimpan dalam gudang beku terpisah dengan bahan lain Pengujian Laboratorium Pengujian Laboratorium Tidak pernah dilakukan pengujian Ada program pengujian laboratorium laboratorium untuk produk akhir, terhadap produk akhir program sanitasi dan tidak Ada program monitoring efektivitas dokumentasi terhadap hasil pengujian program sanitasi laboratorium pada semua TPA belum Dilakukan dokumentasi terhadap hasil dibina pengujian laboratorium
Aplikasi SSOP terhadap Pembekuan belum terpenuhi
Aplikasi SSOP terhadap Pelabelan belum terpenuhi Aplikasi SSOP terhadap Penyimpanan belum terpenuhi
Aplikasi SSOP terhadap Pengujian Laboratorium belum terpenuhi
81
*) persentase kondisi seharusnya **) persentase kondisi seharusnya yang telah terpenuhi pada 8 TPA belum dibina
Keterangan
Lampiran 3 Aplikasi Kehalalan di TPA dibina dan belum dibina dan Kondisi Seharusnya yang mengacu pada LPPOM MUI 2011 Aspek Kehalalan Sumber Daya Manusia (24.5%) *
Kondisi Seharusnya Sumber Daya Manusia Personel yang melaksanakan pekerjaan yang mempengaruhi status kehalalan produk unggas yang dihasilkan harus memiliki kompetensi yang sesuai
Keterangan 16.5% ** Aplikasi Kehalalan terhadap aspek SDM belum memenuhi
Personel harus mengikuti pelatihan/tindakan lain untuk mencapai kompetensi yang diperlukan Manajemen TPA harus memelihara rekaman mengenai pelatihan, ketrampilan dan pengalaman personel Personel harus dikontrol dan disupervisi oleh LPPOM MUI/Lembaga Sertifikasi Halal yang diakui LPPOM MUI Personael halal tidak boleh merangkap sebagai pekerja /karyawan pada RPH babi Petugas penyembelih beragama Islam Petugas penyembelih berumur minimal 18 tahun Berbadan dan berjiwa sehat serta memiliki catatan kesehatan yang baik Taat dalam menjalankan ibadah wajib Lulus pelatihan penyembelihan halal yang dilakukan oleh lembaga Islam/lembaga sertifikasi halal yang bekerjasama dengan instansi teknis terkait Memahami tata cara penyembelihan sesuai Syariat Islam
83
Kondisi di TPA dibina dan belum dibina Sumber Daya Manusia Personel yang bekerja pada semua TPA memiliki kemampuan untuk menyembelih ayam secara halal, tidak merangkap sebagai pekerja pada RPB Pekerja beragama Islam, berusia lebih dari 18 tahun, sehat jasmani dan rohani Pelatihan penyembelihan ayam halal didapat dari Mesjid setempat Tidak ada kontrol dan supervisi dari LPPOM MUI/Lembaga Sertifikasi Halal yang diakui LPPOM MUI Pekerja belum memiliki kartu identitas sebagai penyembelih halal dari Lembaga Sertifikasi Halal yang diakui oleh LPPOM MUI/Lembaga yang berwewenang dalam sertifikasi halal
Aspek Kehalalan
Prasarana (14.5%)
Kondisi di TPA dibina dan belum dibina
Prasarana TPA penelitian hanya memproduksi daging unggas Tidak terdapat peternakan hewan non halal disekitar TPA penelitian Alat untuk menyembelih adalah pisau yang tajam
Penyembelihan Penyembelihan Unggas Tidak dilakukan pemeriksaan Unggas ante mortem pada semua TPA (36.5%) penelitian
84
Lampiran 3 Lanjutan .. Kondisi Seharusnya Memiliki kartu identitas sebagai penyembelih halal dari Lembaga Sertifikasi Halal yang diakui oleh MUI/Lembaga yang berwewenang dalam sertifikasi halal Prasarana Dalam satu RPU hanya dikhususkan untuk produksi daging unggas halal Lokasi RPU harus terpisah dari RPH/peternakan babi (min 2km) dan tidak terjadi kontaminasi silang antara RPU halal dan babi Fasilitas RPU dirancang sedemikian rupa agar produk yang halal tidak terkontaminasi dengan produk non halal maupun dengan barang haram dan najis Tidak terjadi penggunaan fasilitas, mesin, dan alat secara bersama-sama antara RPU halal dan babi Alat yang digunakan untuk menyembelih harus tajam dan bukan berasal dari kuku, gigi/taring/tulang Ukuran alat penyembelih harus sesuai dengan ukuran dari leher unggas yang akan dipotong Alat penyembelih tidak dipertajam didepan unggas yang akan disembelih Penyembelihan Unggas Unggas yang akan disembelih harus mempunyai waktu istirahat yang cukup dan mengikuti kaidah kesejahteraan unggas yang berlaku
Keterangan
14.5% Aplikasi Kehalalan terhadap aspek Prasarana memenuhi
24.5% Aplikasi Kehalalan terhadap aspek Penyembelihan Unggas belum memenuhi
Lampiran 3 Lanjutan .. Aspek Kehalalan
Kondisi Seharusnya
Keterangan
Dilakukan pemeriksaan ante mortem oleh lembaga yang memiliki kewenangan Rekaman unggas mati sebelum sempat disembelih harus disimpan dan dipelihara Pengendalian unggas harus seminimal mungkin menjadikan unggas stress dan kesakitan Segera dilakukan penyembelihan bila ungggas telah terkendali dengan baik dan tenang Kalimat “Bisillahirrahmanirrahim” harus diucapkan oleh penyembelih sebelum melakukan penyembelihan Penyembelihan harus dilakukan dengan memotong oesophagus, trachea, vena jugularis dan arteri carotis Hendaklah melakukan satu kali sembelih (tidak mengangkat pisau ketika menyembelih). Proses penyembelihan dilakukan dari leher bagian depan dan tidak memutus tulang leher Penyembelihan menghadap kiblat Rekaman setiap pemotongan yang tidak sesuai dengan persyaratan halal harus disimpan dan dipelihara Harus dilakukan pemeriksaan untuk memastikan unggas mati sebelum dilakukan penanganan/proses selanjutnya Waktu minimal antara pemotongan dan proses selanjutnya adalah 2 menit
85
Kondisi di TPA dibina dan belum dibina Tidak dilakukan rekaman terhadap unggas mati yang belum sempat disembelih Ayam mendapat istirahat yang cukup sebelum disembelih, tidak stress Penyembelihan menghadap kiblay dan kalimat “Bisillahirrahmanirrahim” hanya diucapkan pada awal penyembelihan, mewakili seluruh proses penyembelihan Penyembelihan memotong oesophagus, trachea, vena jugularis, arteri carotis dan hanya dilakukan satu kali penyembelihan dan minimal waktu 2 menit sebelum masuk ke proses berikutnya Pada semua TPA penelitian, penanganan karkas dan jeroan dilakukan di dalam satu ruangan Tidak dilakukan pemeriksaan post mortem
Aspek Kehalalan
Penanganan dan Penyimpanan (10.5%)
Kondisi di TPA dibina dan belum dibina pada semua TPA penelitian
86
Lampiran 3 Lanjutan .. Kondisi Seharusnya
Ruang/lokasi penanganan karkas dan jeroan harus dipisah Karkas dan jeroan yang berasal dari unggas yang disembelih tidak memenuhi persyaratan halal maka harus dimusnahkan Pemeriksaan post mortem harus dilakukan oleh petugas yang berwenang Rekaman karkas dan jeroan yang tidak memenuhi persyaratan halal harus disimpan dan dipelihara Penanganan dan Penyimpanan Penanganan dan Penyimpanan Semua TPA penelitian hanya memproduksi unggas, tidak ada produk non halal yang dihasilkan
Karkas/daging/jeroan halal dan non halal harus ditangani dan disimpan pada tempat yang terpisah Karkas/daging/jeroan halal harus ditangani dan disimpan dengan baik untuk menghindari kontaminasi silang dengan bahan najis dan cemaran lainnya Ruang/gudang penyimpanan harus bebas dari produk babi Jika di RPU menghasilkaan produk halal dan non halal maka dilakukan penandaan dan penyimpanan yang terpisah Rekaman karkas/daging/jeroan non halal harus disimpan dan dipelihara
Keterangan
8.5% Aplikasi Kehalalan terhadap aspek Penanganan dan Penyimpanan belum memenuhi
Lampiran 3 Lanjutan .. Aspek Kehalalan Pengemasan dan Pelabelan (10%)
Transportasi (4%)
Kondisi di TPA dibina dan belum dibina Pengemasan dan Pelabelan Belum ada label/logo halal pada kemasan
Transportasi Karena semua TPA penelitian hanya memproduksi karkas ayam, maka tidak terdapat produk non halal pada semua TPA penelitian
Kondisi Seharusnya Pengemasan dan Pelabelan Kemasan harus memiliki identitas halal Pemberian identitas halal dicantumkan pada kemasan produk sebelum memasuki ruang/gudang penyimpanan Label harus secara spesifik menjelaskan perbedaan halal dan non halal Proses pengiriman daging /jeroan harus disertai dengan label Label memuat logo halal, tgl penyembelihan, nama RPU dan berat bersih Transportasi Alat pengiriman harus khusus untuk daging halal dan tidak digunakan untuk daging non halal Alat pengiriman harus bebas dari najis dan cemaran lain
Keterangan Aplikasi Kehalalan terhadap aspek Pengemasan dan pelabelan tidak memenuhi untuk semua TPA penelitian
4% Aplikasi Kehalalan terhadap aspek Transportasi telah memenuhi
*) persentase kondisi seharusnya **) persentase kondisi seharusnya yang telah terpenuhi pada TPA penelitian
87
Lampiran 4 Penetapan Titik Kritis pada Proses Produksi di TPA penelitian Tahapan Proses Penerimaan Ayam Hidup
Bahaya Fisik: tanah, debu, pasir, kerikil Kimia: residu antibiotika Biologi: Coliform, Campylobacter, E.coli, Clostridium perfringens, Streptococcus, Staphylococcus Fisik: abu rokok, rambut, debu Kimia: asap rokok Biologi: Coliform, Campylobacter, Salmonella E.coli, Staphylococcus Fisik: abu rokok,rambut, debu Kimia: asap rokok Biologi: Coliform, E.coli, Campylobacter, Salmonella, Staphylococcus
Sumber Bahaya Kotoran dan darah pada keranjang Bulu ayam Lantai
Pencegahan Dilakukan pencucian keranjang yang benar Pembersihan lantai yang benar Penerimaan ayam sehat
Kotoran, darah dan bulu ayam Pekerja Lantai Pisau Darah Kotoran ayam Tong tempat menampung ayam
Scalding
Fisik: abu rokok, rambut Kimia: asap kayu bakar, asap rokok Biologi: Clostridium perfringens, Staphylococcus
Plucking
Fisik: abu rokok, rambut Kimia: asap rokok Biologi: E.coli, Staphylococcus aureus Fisik: rambut, abu rokok, debu, kerikil Kimia: asap rokok Biologi: Coliform, Campylobacter, Salmonella, E.coli, Clostridium perfringens Fisik: abu rokok, rambut Kimia: asap rokok
Darah dan kotoran ayam yang menempel pada bulu-bulu dan kulit ayam Air scalding Tong scalding Darah, kotoran, bulu ayam Air mesin plucker
Pemisahan ruang penyembelihan dan ruang produksi, sehingga darah dan kotoran tidak mencemari karkas ayam Pekerja yang bersih, tidak merokok Tidak menggunakan tong sebagai tempat mengeluarkan darah Pemisahan ruang pengeluaran darah dengan ruang proses produksi, sehingga darah dan kotoran ayam tidak mengotori ayam Tidak merokok, memakai masker dan penutup rambut Menggunakan gas sebagai pembakar Tong scalding yang dicuci bersih
Penyembelihan
Pengeluaran Darah
Eviserasi
Pencucian Karkas
Pekerja memakai pengaman Mencuci plucker secara benar Tidak menempatkan karakas dilantai berdekatan dengan jeroan Pekerja menggunakan pengaman
Air tercemar oleh karkas Pencucian kemasan, karkas dan
Penggantian air cucian Pekerja menggunakan pengaman 89
Pisau, peralatan, pekerja Isi usus, empedu Lantai
Tahapan Proses Penanganan Jeroan
Pengemasan Karkas dan Jeroan
Bahaya Biologi: coliform, Salmonella sp, S. aureus Fisik: abu rokok, rambut, debu, kerikil Kimia: asap rokok Biologi: Coliform, Salmonella sp, S. aureus, Clostridium perfringens Fisik: debu jalanan, rambut, abu rokok Kimia: asap rokok Biologi: Clostridium perfringens, Salmonella, Staphylococcus
90
Lampiran 4 Lanjutan .. Sumber Bahaya jeroan di tempat yang sama Pekerja Isi usus Empedu Isi ampela Lantai Kantung plastik Karung plastik Karkas
Pencegahan Dilakukan pemisahan proses penanganan jeroan dan karkas
Digunakan kemasan yang dapat mencegah kontaminasi lanjutan pada karkas dan jeroan seperti styrofoam dan kemasan hampa udara
91
Lampiran 5
Kuisioner Unit Usaha Rumah Potong Unggas (Mengacu pada Permentan 2005)
I. DATA UMUM 1. Nama perusahaan 2. Jenis Unit Usaha 3. Alamat : a). Kantor Pusat b). Unit usaha 4. Perizinan Usaha : a. Izin Prinsip b. HO c. Izin Usaha d. SIUP 5 a. Tahun Unit Usaha didirikan: b. Mulai operasi 6 Kapasitas (disesuaikan dengan jenis unit usaha*) : a. RPU b. Tempat Pengolahan Daging (TPD) c. Cold Storage 7 Produksi rata-rata per hari (disesuaikan dengan jenis usaha) 8 Jenis produk akhir (disesuaikan dengan jenis usaha) 9
Pemasaran Produk ke : (disesuaikan dengan jenis usaha) a. Luar Negeri b. Dalam Negeri Merk Dagang (disesuaikan dengan jenis usaha)
11
Jumlah Karyawan
a. Penanggung Jawab
13
1. Unit Usaha 2. Unit Produksi 3. Mutu 4. Sanitasi & Higiene b. Dokter Hewan Perusahaan Asal Bahan Baku Pangan Asal Hewan Yang Digunakan a. Dari Perusahaan sendiri b. Dari anak perusahaan 1. Nama : 2. Alamat :
a. b. c.
Jenis Produk
Negara
Jenis Produk
10
12
…….………... ekor/hari ; ton/bulan ………………. ekor/hari ; ton/bulan ………………. ekor/hari ; ton/bulan
a. b. c. Laki-laki Pengolahan
% %
Perempuan Adm Pengolahan
Adm
(ada/tidak)*(nama) ….……….………………. (ada/tidak)*(nama) ………….……...……..…. (ada/tidak)*(nama) ……………........……..…. (ada/tidak)*(nama) …….………………….…. (ada/tidak)*(nama) …..…………………….....
……………………………………………………... ……………………………………………………… ………………………………………………………
92
14 .
15 .
3. Jenis Bahan Baku : c. Dari Pemasok Suplier 1. Nama : 2. Alamat : 3. Jenis Bahan Baku : Suplai air bersih berasal dari
Es Berasal dari
……………………………………………………… ……………………………………………………… a. Air tanah : ………………………m3/hari Sumur dangkal Sumur dalam Danau Sungai b. Air ledeng (dari Perusahaan Air Minum) dengan kapasitas :…………….…m3/hari a. Produksi sendiri dengan kapasitas : ..........................................................ton/hari b. Pembelian dari : ........................................... c. Bentuk es : (balok, curah) ............................
16 .
Kebutuhan es rata-rata per hari (disesuaikan dengan …………………………...…………… ton/hari jenis usaha) 17 Sistem Pembekuan Produk a. Air Blast Freezer (ya/tidak)* . (disesuaikan dengan jenis b. Contact Plate Freezer (ya/tidak)* usaha) c. Brine Freezer (ya/tidak)* d. Cryogenic Freezer (ya/tidak)* e. Individual Quick Freezer (ya/tidak)* Keterangan : *) Coret yang tidak perlu II. DATA KHUSUS No. Kriteria 1 Apakah RPU sudah mempunyai Standar Operasional Prosedur (SOP) Panduan Mutu 2 Unit Pengolahan sudah menerapkan Sistem Jaminan Keamanan Pangan (Program Bintang, Sistem HACCP atau ISO 22000) a. Jika sudah bagian apa saja yang terlibat? b. Jika belum, apa alasannya? 3. Jenis formulir apa saja yang didokumentasikan dalam rangka menjamin keamanan produk 4. Kesulitan apa saja yang dihadapi dalam penerapan praktek higienis-sanitasi? 5. Bimbingan apa saja yang diperlukan dalam penerapan praktek higienesanitasi? 6. Selama ini apakah sudah mendapatkan pelatihan tentang praktek higiene? a. Jika sudah, siapa penyelenggara, tenaga pelatih, waktu dan tempat pelaksanaan? b. Berapa orang dan bagian apa saja yang
Keterangan (sudah/belum)*
(sudah/belum)*
(Sudah/Belum)*
93
terlibat dalam pelatihan? Keterangan : *) Coret yang tidak perlu III. DAFTAR PENGECEKAN KELAYAKAN DASAR UNIT RPU A. Penanggung Jawab Kesehatan Hewan dan Kesmavet : Aspek yang dinilai
1 Tidak ada dokter hewan penanggung jawab kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner
Bobot Nilai (%) 1.0
Ya(1)/ Tidak (0)
MN
B. Bangunan, Fasilitas, Sanitasi dan Higiene. (Disesuaikan dengan jenis usaha) Aspek yang dinilai Bobot Ya(1)/ MN Nilai Tidak (%) (0) I. Lokasi dan Lingkungan 1. Lokasi unit usaha tidak 1.0 sesuai dengan alamat yang tercantum dalam perijinan 2. Tidak ada pemisahan 1.0 fisik antara PRB dan RPH/RPU 3. Penyimpanan dan 1.0 penanganan sampah, limbah dan peralatan tidak baik 4. Terdapat debu yang 1.0 berlebihan di jalanan dan tempat parkir 5. Sistem pembuangan 1.0 limbah cair/saluran tidak baik II. Konstruksi Bangunan Utama 6. Tidak dilakukan 2.0 pemisahan secara fisik antara ruangan bersih dan kotor 7. Ruang pengolahan 1.0 berhubungan langsung dengan toilet/kamar mandi, tempat ganti pakaian, tempat tinggal, garasi dan bengkel 8. Tidak ada langit-langit 1.0 (plafon) 1.0 9. Langit-langit tidak bebas
MY
SR
KT OK
Ket.
MY
SR
KT OK
Ket.
94
dari kemungkinan catnya rontok/jatuh atau dalam keadaan kotor dan tidak terawat 10. Tidak rata, retak atau berlubang 11. Dinding setinggi kurang dari 2 meter terbuat dari bahan yang tidak kedap air, tidak mudah dibersihkan dan didisinfeksi 12. Permukaan tidak rata, retak atau berlubang 13. Ada bagian dinding yang memungkinkan untuk meletakkan/menyimpan barang/peralatan 14. Dinding di ruang pengolahan berwarna gelap 15. Bahan lantai tidak kedap air, licin, tidak mudah dibersihkan dan didisinfeksi 16. Pertemuan antara lantai dan dinding tidak lengkung 17. Banyak genangan cairan, tumpukan kotoran atau air tidak mengalir ke saluran pembuangan III. Bangunan utama RPU Daerah Kotor: 18. Tempat penurunan unggas hidup, pemeriksaan antemortem dan penggantungan unggas hidup 19. Pemingsanan (stunning) 20. Penyembelihan (killing) 21. Pencelupan ke air panas (scalding tank) 22. Pencabutan bulu (defeathering) 23. Pencucian karkas 24. Pengeluaran jeroan/evisceration 25. Pemeriksaan postmortem 26. Penanganan jeroan
1.0
1.0
1.0 1.0 1.0
1.0 1.0 1.0
1.0 1.0 1.0 2.0 2.0 2.0 2.0 1.0 2.0 2.0 1.0 1.0 1.0 2.0 1.0 2.0 1.0
95
Daerah Bersih: 27. Tempat pencucian karkas. 28. Tempat pendinginan karkas. 29. Seleksi (grading) 30. Penimbangan karkas 31. Pemotongan karkas (cutting) 32. Pemisahan daging dari tulang 33. Pengemasan 34. Penyimpanan segar (chilling room) IV. Penerangan 35. Lampu di ruang pengolahan, pengemasan dan penyimpanan bahan baku tidak perpelindung 36. Penerangan pada tempat pemeriksaan (inspeksi) tidak cukup (kurang dari 540 luks) V. Ventilasi 37. Sirkulasi udara di ruang proses produksi tidak baik (pengap) 38. Terjadi akumulasi kondensasi di atas proses pengolahan dan penyimpanan produk VI. Saluran Pembuangan 39. Kapasitas saluran pembuangan tidak lancar 40. Saluran pembuangan tidak tertutup (grill) dan tidak dilengkapi bak kontrol VII. Pasokan Air 41. Tidak tersedia pasokan air bersih dalam jumlah cukup 42. Jarak terdekat sumber air dengan tempat pembuangan limbah cair/septic tank kurang dari 8m 43. Tidak dilakukan pemeriksaan kualitas air bersih di laboratorium minimal sekali dalam setahun
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0 2.0
2.0
1.0
1.0
96
VIII. Es (Persyaratan Khusus RPU) 44. Tidak terbuat dari air 1.0 yang memenuhi persyaratan air bersih 45. Tidak ditangani secara 1.0 higienis IX. Penanganan Limbah dan Kotoran 46. Limbah tidak ditangani 1.0 dengan baik 47. Fasilitas pembuangan 1.0 sampah/kotoran dalam ruang proses tidak tertutup X. Toilet 48. Tidak terpelihara dengan 1.0 baik 49. Fasilitas untuk pencucian 1.0 tangan, seperti sabun, tidak cukup atau tidak tersedia XI. Ruang Ganti Pakaian 50. Tidak ada atau jika ada 1.0 tidak terawat dan kotor XII. Fasilitas Cuci Tangan dan Foot Deep 51. Setiap pintu masuk ruang 1.0 pengolahan tidak memiliki fasilitas cuci tangan dan foot deep 52. Fasilitas cuci tangan tidak 1.0 berfungsi 53. Fasilitas cuci tangan 1.0 dioperasikan dengan tangan dan tidak dilengkapi dengan petunjuk mencuci tangan 54. Tidak memiliki fasilitas 1.0 untuk membesihkan sepatu boot XIII. Peralatan dan Wadah 55. Terbuat dari bahan yang 1.0 tidak kedap air, mudah korosif, toksik, tidak mudah dibersihkan dan didisinfeksi 56. Tidak terawat dengan 1.0 baik atau disimpan ditempat yang seharusnya XIV. Kemasan 57. Terbuat dari bahan yang 2.0 toksik, bereaksi dengan produk, dan tidak mampu mencegah terjadinya
97
kontaminasi terhadap produk 58. Tidak disimpan pad ruang 1.0 khusus XV. Program Pengendalian Serangga dan Rodensia 59. Tidak memiliki program 1.0 tertulis dalam pengendalian serangga dan rodensia 60. Program pengendalian 1.0 serangga, tikus/rodensia dan binatang pengganggu lainnya di lingkungan unit usaha tidak efektif 61. Lubang angin tidak 1.0 dilengkapi dengan kasa untuk mencegah masuknya serangga 62. Tirai udara (air curtain), 1.0 tirai plastik dan alat pencegah serangga lainnya tidak ada atau jika ada tidak efektif XVI. Pembersihan dan Desinfeksi 63. Tidak memiliki program 1.0 pembersihan dan disinfeksi 64. Metode pembersihan dan 1.0 disinfeksi tidak efektif 65. Peralatan dan wadah 1.0 tidak dicuci dengan air bersih dan disanitasi setelah digunakan XVII. Bahan-bahan Kimia 66. Bahan kimia, sanitizer 1.0 dan bahan tambahan pangan tidak diberi label dan tidak disimpan dengan baik 67. Penggunaan bahan kimia 1.0 dan bahan tambahan pangan yang tidak diizinkan C. Higiene Personal Aspek yang dinilai
68. Karyawan yang berhubungan langsung dengan produk dalam
Bobot Nilai (%) 1.0
Ya(1)/ Tidak (0)
MN
MY
SR
KT OK
Keterangan
98
kondisi tidak sehat 69. Kebersihan karyawan yang berhubungan langsung dengan produk tidak terjaga dengan baik 70. Kontaminasi silang (makan, meludah, merokok di ruang proses) 71. Pelatihan pekerja dalam hal sanitasi dan higienis tidak cukup
1.0
1.0
1.0
D. Bahan Baku, Penanganan dan Pengolahan (Disesuaikan dengan jenis usaha) Aspek yang dinilai Bobot Ya(1)/ MN MY Nilai Tidak (%) (0) I. Penerimaan 72. Pemeriksaan ante 1.0 mortem pada ternak yang akan dipotong tidak dilakukan 1.0 oleh dokter hewan atau para medik 1.0 veteriner 73. Pemeriksaan ante 2.0 mortem tidak dilakukan secara teratur 74. Tidak dilakukan pencatatan terhadap hasil pemeriksaan antemortem 75. Penanganan hewan hidup tidak memenuhi aspek kesrawan 76. Pemeriksaan post 1.0 mortem pada setiap hewan tidak dilakukan oleh 1.0 dokter hewan atau para medik 1.0 veteriner 77. Pemeriksaan post mortem tidak dilakukan secara teratur 78. Tidak dilakukan
SR
KT OK
Keterangan
99
pencatatan terhadap hasil pemeriksaan post mortem II. Pembekuan 79. Tidak memiliki 1.0 fasilitas blast 1.0 freezer 80. Tidak dilengkapi dengan display themometer pada ruangan blast freezer dan cold storage III. Pelabelan 81. Produk yang sudah 1.0 dalam bentuk beku tidak mempunyai label dan tanda atau etiket IV. Penyimpanan 82. Tidak memiliki 1.0 chill room untuk penyimpanan 1.0 produk segar 83. Tidak memiliki 1.0 cold storage untuk penyimpanan produk beku 84. Produk akhir yang disimpan dalam gudang beku tidak terpisah dengan bahan lain V. Pengujian Laboratorium 85. Tidak ada program 1.0 pengujian laboratorium terhadap produk akhir 86. Tidak ada program 1.0 monitoring efektivitas program sanitasi 87. Tidak dilakukan 1.0 dokumentasi terhadap hasil pengujian laboratorium Total 100.0
100
Keterangan :
MN SR MY KT OK
= Penyimpangan Minor = Penyimpangan Serius = Penyimpangan Mayor = Penyimpangan Kritis = Tidak Ada Penyimpangan
Bobot penilaian :
100 % 75-100% 50-75% 25-50% 0-25%
= kritis = cukup kritis = kurang kritis = sangat kurang kritis = tidak kritis
2 1. a. b. c. d. 2.
I II III IV 3. 1. 2. 3. 4.
Unit Usaha Rumah Pemotongan Unggas (RPU) Jumlah Penyimpangan Penyimpangan Minor ......... Penyimpangan Penyimpangan Mayor ......... Penyimpangan Penyimpangan Serius ......... Penyimpangan Penyimpangan Kritis ......... Penyimpangan Level/Tingkat Unit Usaha Level/Tingkat Jumlah Penyimpangan MN (Minor) MY (Mayor) SR (Serius) KT (Kritis) 0 0 0 0 <7 <8 <5 0 NA <15 <10 <4 NA NA NA S4 Keterangan Level/Tingkat Usaha Level I Berhak memperoleh NKV dengan kategori sangat baik (Kualifikasi ekspor) Level II Berhak memperoleh NKV dengan kategori baik (Menuju kualifikasi ekspor) Level III Berhak memperoleh NKV dengan kategori cukup Level IV Masih dalam tahap pembinaan untuk memperoleh NKV
101
Lampiran 6 Pemotongan Ternak Secara Halal di PRU (Mengacu pada LPOM MUI 2011) Nama RPA Alamat
: : Parameter
I. SDM 1. Personel yang melaksanakan pekerjaan yang mempengaruhi status kehalalan produk unggas yang dihasilkan harus memiliki kompetensi yang sesuai 2. Personel harus mengikuti pelatihan/tindakan lain untuk mencapai kompetensi yang diperlukan 3. Manajemen RPU harus memelihara rekaman mengenai pelatihan, ketrampilan dan pengalaman personel 4. Personel harus dikontrol dan disupervisi oleh LPPOM MUI/Lembaga Sertifikasi Halal yang diakui LPPOM MUI 5. Personael halal tidak boleh merangkap sebagai pekerja /karyawan pada RPH babi 6. Petugas penyembelih beragama Islam 7. Petugas penyembelih berumur minimal 18 tahun 8. Berbadan dan berjiwa sehat serta memiliki catatan kesehatan yang baik 9. Taat dalam menjalankan ibadah wajib 10. Lulus pelatihan penyembelihan halal yang dilakukan oleh lembaga Islam/lembaga sertifikasi halal yang bekerjasama dengan instansi teknis terkait 11. Memahami tata cara penyembelihan sesuai Syariat Islam 12. Memiliki kartu identitas sebagai penyembelih halal dari Lembaga Sertifikasi Halal yang diakui oleh MUI/Lembaga yang berwewenang dalam sertifikasi halal II.Prasarana 13. Dalam satu RPU hanya dikhususkan untuk produksi daging unggas halal 14. Lokasi RPU harus terpisah dari RPH/peternakan babi (min 2km)
Bobot Nilai 2.00
2.00
2.00
2.00
2.00
2.50 2.00 2.00
2.00 2.00
2.00
2.00
2.50
2.00
Ya/ Tdk
MN
Penilaian NKV MY SR KT
Ket. OK
102
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
dan tidak terjadi kontaminasi silang antara RPU halal dan babi Fasilitas RPU dirancang sedemikian rupa agar produk yang halal tidak terkontaminasi dengan produk non halal maupun dengan barang haram dan najis Tidak terjadi penggunaan fasilitas, mesin, dan alat secara bersama-sama antara RPU halal dan babi Alat yang digunakan untuk menyembelih harus tajam dan bukan berasal dari kuku, gigi/taring/tulang Ukuran alat penyembelih harus sesuai dengan ukuran dari leher unggas yang akan dipotong Alat penyembelih tidak dipertajam didepan unggas yang akan disembelih III. Penyembelihan Unggas Unggas yang akan disembelih harus mempunyai waktu istirahat yang cukup dan mengikuti kaidah kesejahteraan unggas yang berlaku Dilakukan pemeriksaan ante mortem oleh lembaga yang memiliki kewenangan Rekaman unggas mati sebelum sempat disembelih harus disimpan dan dipelihara Pengendalian unggas harus seminimal mungkin menjadikan unggas stress dan kesakitan Segera dilakukan penyembelihan bila ungggas telah terkendali dengan baik dan tenang Kalimat “Bisillahirrahmanirrahim” harus diucapkan oleh penyembelih sebelum melakukan penyembelihan Penyembelihan harus dilakukan dengan memotong oesophagus, trachea, vena jugularis dan arteri carotis Hendaklah melakukan satu kali sembelih (tidak mengangkat pisau ketika menyembelih). Proses penyembelihan dilakukan dari leher bagian depan dan tidak memutus tulang leher Penyembelihan menghadap kiblat
2.00
2.00
2.00
2.00
2.00
2.00
2.00
2.00
2.00
2.00
3.00
2.50
2.50
2.00
2.50
103
30. Rekaman setiap pemotongan yang tidak sesuai dengan persyaratan halal harus disimpan dan dipelihara 31. Harus dilakukan pemeriksaan untuk memastikan unggas mati sebelum dilakukan penanganan/proses selanjutnya 32. Waktu minimal antara pemotongan dan proses selanjutnya adalah 2 menit 33. Ruang/lokasi penanganan karkas dan jeroan harus dipisah 34. Karkas dan jeroan yang berasal dari unggas yang disembelih tidak memenuhi persyaratan halal maka harus dimusnahkan 35. Pemeriksaan post mortem harus dilakukan oleh petugas yang berwenang 36. Rekaman karkas dan jeroan yang tidak memenuhi persyaratan halal harus disimpan dan dipelihara II. Penanganan dan Penyimpanan 37. Karkas/daging/jeroan halal dan non halal harus ditangani dan disimpan pada tempat yang terpisah 38. Karkas/daging/jeroan halal harus ditangani dan disimpan dengan baik untuk menghindari kontaminasi silang dengan bahan najis dan cemaran lainnya 39. Ruang/gudang penyimpanan harus bebas dari produk babi 40. Jika di RPU menghasilkaan produk halal dan non halal maka dilakukan penandaan dan penyimpanan yang terpisah 41. Rekaman karkas/daging/jeroan non halal harus disimpan dan dipelihara III. Pengemasan dan Pelabelan 42. Kemasan harus memiliki identitas halal 43. Pemberian identitas halal dicantumkan pada kemasan produk sebelum memasuki ruang/gudang penyimpanan 44. Label harus secara spesifik menjelaskan perbedaan halal dan non halal 45. Proses pengiriman daging /jeroan harus disertai dengan label 46. Label memuat logo halal, tgl penyembelihan, nama RPU dan
2.00
2.00
2.00
2.00 2.00
2.00
2.00
2.50
2.00
2.00 2.00
2.00
2.00 2.00
2.00
2.00
2.00
104
berat bersih IV. Transportasi 47. Alat pengiriman harus khusus untuk daging halal dan tidak digunakan untuk daging non halal 48. Alat pengiriman harus bebas dari najis dan cemaran lain TOTAL
2.00
2.00 100,00