PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, KETIMPANGAN PENDAPATAN DAN PENGANGGURAN TERHADAP KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA PENERIMA PROGRAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR (PEMP)
MEITY TRISNOWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan, dan Pengangguran Terhadap Tingkat Kemiskinan di Kabupaten/Kota Penerima Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkam dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2011
Meity Trisnowati NRP : H151064084
Halaman ini sengaja dikosongkan
ABSTRACT MEITY TRISNOWATI. The Impact of Economic Growth, Income Inequality, and Unemployment on the Poverty Rate in Districs of Coastal Communities Economic Empowerment Recipient. Under direction of NUNUNG NURYARTONO and ARIEF DARYANTO.
Reducing poverty is one of the government objective in the coastal region. The government is implementing some programs to achieve this goal by raising up the social welfare of the poorer. To accelerate the goal, the Ministry of Marine and Fisheries Affairs of the Republic of Indonesia is implementing PEMP, means an economic empowerment program in the coastal region. The purpose of this study is to analyse whether this program has an impact on economy, inequality, and unemployment as well as the indirect effect on the poverty reduction. Using static panel data model, the result shows that the PEMP has a significant and positive impact on per capita GDRP as well as a significant impact on reducing the inequality. Thus, the PEMP program is one way to reduce the poverty on the coastal region.
Keywords: PEMP, poverty reduction, inequality, static panel data model
Halaman ini sengaja dikosongkan
RINGKASAN MEITY TRISNOWATI. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Pengangguran Terhadap Kemiskinan di Kabupaten/Kota Penerima Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO dan ARIEF DARYANTO. Secara umum, pembangunan perikanan dan kelautan pada masa lalu kurang mendapat perhatian dari pemerintah sehingga wajar apabila masyarakat pesisir sering diidentikkan sebagai masyarakat miskin, terbelakang dan termarjinalkan. Wilayah pesisir memiliki potensi sumberdaya alam yang berlimpah, namun masyarakatnya masih menerima warisan kemiskinan karena sektor tersebut masih terpinggirkan oleh kebijakan yang terpaku pada tanah daratan (Widodo, 2000). Sebagai faktanya, nelayan Indonesia masih tergolong masyarakat termiskin dengan pendapatan per kapita perbulan sekitar 7-10 dollar AS (Fauzi, 2009). Kabupaten/kota di Indonesia sebagian besar berada di wilayah pesisir yaitu sebanyak 307 kabupaten/kota pada tahun 2009 atau sebesar 65,18 persen dari 471 total kabupaten/kota. Mayoritas jumlah penduduk berada di wilayah pesisir yaitu sekitar 145,92 juta jiwa atau sebesar 63,2 persen dari sekitar 230,87 juta jiwa penduduk Indonesia di tahun 2009. Banyaknya penduduk di wilayah pesisir membawa konsekuensi konsentrasi penduduk miskin terbanyak berada di kabupaten/kota pesisir. Hasil Susenas 2009 menunjukkan bahwa dari sekitar 31,76 juta jiwa penduduk miskin, sebanyak 21,36 juta jiwa atau 67,3 persen berada di kabupaten/kota pesisir. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), berupaya meluncurkan bantuan bagi masyarakat pesisir yaitu berupa program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP). Secara umum, PEMP bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan penguatan kelembagaan sosial ekonomi dengan mendayagunakan sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal dan berkelanjutan. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak bantuan PEMP terhadap pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran di wilayah pesisir yang berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Cakupan analisis dalam penelitian ini adalah kabupaten/kota pesisir di Indonesia yang ditetapkan oleh KKP. Pada tahun 2009, dari 307 kabupaten/kota pesisir sebanyak 20 kabupaten/kota mendapat PEMP secara rutin setiap tahun, 257 kabupaten/kota memperoleh PEMP tidak rutin dan 30 kabupaten/kota lainnya belum pernah mendapat PEMP dalam periode 2005-2009. Analisis difokuskan pada 20 kabupaten/kota pesisir yang memperoleh PEMP secara rutin setiap tahun dalam periode 2005-2009, selain juga mempertimbangkan faktor ketersediaan data. Penerimaan PEMP secara rutin berdasarkan penilaian hasil kinerja kabupaten/kota terhadap kegiatan PEMP yang dilaporkan secara baik. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan KKP, periode 2005-2009. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis ekonometrik.
Analisis deskriptif berupa dinamika kemiskinan, pertumbuhan ekonomi (PDRB), ketimpangan pendapatan (indeks gini) dan pengangguran (TPT) di kabupaten/kota pesisir selama 4 tahun implementasi PEMP. Analisis ekonometrik untuk melihat pengaruh program PEMP terhadap PDRB, indeks gini, TPT dan kemiskinan. Pengaruh program bantuan selain program PEMP dalam penelitian ini tidak diteliti (tidak diperhatikan), sehingga untuk penelitian ini diasumsikan sebagai keterbatasan bahwa pengaruh program lain dianggap tidak ada, meski nilai bantuannya mungkin jauh lebih besar dibandingkan PEMP M etode ekonometrik yang digunakan adalah metode data panel statis. Ketimpangan pendapatan di kabupaten/kota pesisir sejalan dengan kondisi pada level nasional, dimana terdapat tren penurunan tiap tahunnya. Indeks gini kabupaten/kota pesisir penerima PEMP rutin pada tahun 2009 lebih rendah dibandingkan dengan indeks gini kabupaten/kota pesisir dan penerima PEMP tidak rutin. Terdapat 5 kabupaten/kota yang memiliki persentase penduduk miskin lebih tinggi di tahun 2009 dibandingkan tahun 2005 yaitu Kota Banda Aceh, Kota Padang, Kota Bengkulu, Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Minahasa Utara. Kota Bengkulu merupakan kota pesisir yang mengalami peningkatan persentase penduduk miskin paling tinggi. Terdapat dua hal yang diduga merupakan penyebab tidak tercapainya target penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran pada RPJM 2005-2009. Pertama, adanya pengurangan subsidi yang mengakibatkan kenaikan harga BBM hingga 2 kali lipat pada tahun 2005. Kedua, adanya krisis ekonomi global (external shock) pada tahun 2008 (Alisjahbana, 2010). Selain dua hal tersebut diatas, kelima wilayah juga merupakan daerah rawan gempa. Dinamika perekonomian dan kemiskinan periode 2005-2009 secara umum menunjukkan arah yang membaik, baik pada capaian pertumbuhan ekonomi, penurunan ketimpangan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan. Selain itu, didukung GIC yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi di periode ini bersifat pro poor growth, yang berarti pula memberikan manfaat bagi penduduk miskin. Hasil estimasi dampak PEMP terhadap PDRB, indeks gini dan TPT, terlihat PEMP nyata positif memengaruhi PDRB. Hasil estimasi menunjukkan bahwa program PEMP di daerah pesisir, ceteris paribus, bermanfaat dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. Program PEMP juga nyata negatif memengaruhi indeks gini. Hasil estimasi pengaruh perekonomian, ketimpangan pendapatan dan pengangguran terhadap kemiskinan, terlihat dari Peubah PDRB yang nyata negatif memengaruhi tingkat kemiskinan Hal ini terjadi mengingat adanya kecenderungan pertumbuhan ekonomi yang didukung dengan penurunan tingkat ketimpangan bagi penduduk miskin. Berdasarkan hasil estimasi yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa pengaruh bantuan program PEMP nyata meningkatkan PDRB dan menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan kabupaten/kota pesisir serta secara tidak langsung memengaruhi penurunan kemiskinan.
Kata kunci : PEMP, penurunan kemiskinan, ketimpangan pendapatan, model data panel statis
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
Halaman ini sengaja dikosongkan
PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, KETIMPANGAN PENDAPATAN DAN PENGANGGURAN TERHADAP KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA PENERIMA PROGRAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR (PEMP)
MEITY TRISNOWATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Wiwiek Rindayati
Judul Penelitian : Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan PengangguranTerhadap Kemiskinan di Kabupaten/Kota Penerima Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) Nama
: Meity Trisnowati
NRP
: H151064084
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. R.Nunung Nuryartono,M.Si Ketua
Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono,M.Si Tanggal Ujian : 27 September 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc.Agr Tanggal Lulus: 30September 2011
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi. Ketimpangan Pendapatan dan Pengangguran Terhadap Kemiskinan di Kabupaten/Kota Penerima Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PEMP) dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. A r i e f D a r y a n t o , M.Ec selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr.Wiwiek Rindayati atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi, dan Dr Lukytawati Anggraeni, SP,M.Si selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi. Rasa terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Dedikasi para dosen yang tinggi dan dukungan rekan-rekan kuliah, telah banyak membantu penulis selama ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada suami tercinta yaitu Danang Satria,M.A serta anak-anak terkasih yaitu: dr. Pandu Ranggabirawa, Arsyidana Prabowo dan Kurniawan Adji Pamungkas, atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan. Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada segenap pimpinan BPS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada teman-teman di SubDirektorat Statistik Pendidikan dan Kesos, BPS yang telah membantu memberi dukungan moril, materiil dan doa selama proses perkuliahan hingga dalam penyelesaian tesis ini. Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya hanya Allah SWT yang Maha Kuasa yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis. Bogor, September 2011 Meity Trisnowati
Halaman ini sengaja dikosongkan
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Meity Trisnowati lahir pada tanggal 30 Mei 1959, di Jakarta. Penulis merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara, dari pasangan Bapak R.M Soemardjo bin Soerodirdjo (Alm) dan Ibu Dendamas Kadarwati binti Datoek Pangeran Abdoel Madjid (Almh). Penulis menamatkan sekolah dasar di SDK Dinojo I, Surabaya pada tahun 1971, selanjutnya menamatkan jenjang SLTP di SMP Negeri XII Kebun Bibit, Surabaya pada tahun 1974. Pada tahun 1975 penulis diterima di SMA Negeri IV, Surabaya dan lulus pada tahun 1977. Setelah menamatkan pendidikan di tingkat SMU, pada tahun 1979 penulis melanjutkan pendidikan ke Akademi Ilmu Statistik (AIS) Jakarta, tamat pada tahun 1982 dengan gelar Bachelor of Statistics (B.St) sebagai mahasiswa ikatan dinas. Setelah lulus dari AIS, penulis langsung bekerja dan ditempatkan di Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta sampai sekarang. Saat ini penulis menjabat sebagai Kasubdit Statistik Pendidikan dan Kesejahteraan Sosial di Direktorat Statistik Kesejahteraan Rakyat, BPS, Jakarta. Disamping bekerja, penulis juga melanjutkan pendidikan S1 jurusan Statistika FMIPA IPB melalui tugas belajar dana APBN, tamat pada tahun 1992. Selanjutnya penulis diterima sebagai mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Ekonomi IPB pada tahun 2007.
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xxiii DARTAR GAMBAR .................................................................................................. xxiv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................... xxv I.
II.
PENDAHULUAN .........................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ........................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................................
12
1.3. Tujuan Penelitian .....................................................................................
14
1.4. Manfaat Penelitian ...................................................................................
14
1.5. Ruang Lingkup Penelitian .......................................................................
15
1.6. Keterbatasan Penelitian ..........................................................................
16
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ....................
17
2.1. Kerangka Teori ........................................................................................
17
2.1.1. Masyarakat Pesisir .........................................................................
17
2.1.2. Pengertian Pemberdayaan .............................................................
18
2.1.3. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) ...
20
2.1.4. Pertumbuhan Ekonomi ...................................................................
21
2.1.5. Ketimpangan Pendapatan................................................................
24
2.1.6. Tingkat Pengangguran Terbuka .....................................................
28
2.1.7. Konsep Kemiskinan .......................................................................
29
2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu .................................................................
32
2.2.1. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir ...................
32
2.2.2. Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi dengan Ketimpangan Pendapatan .....................................................................................
33
2.2.3. Hubungan Antara Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, dan Ketimpangan Pendapatan ..............................................................
35
2.2.4. Hubungan antara Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi Ketimpangan Pendapatan dan Pengangguran ................................
37 xxi
Halaman
III.
2.3. Kerangka Pemikiran ................................................................................
38
2.4. Hipotesis Penelitian .................................................................................
39
METODE PENELITIAN .............................................................................
41
3.1. Jenis dan Sumber Data ...........................................................................
41
3.1.1.Data yang Digunakan Untuk Peubah Data Panel .........................
41
3.1.2.Data yang Digunakan Untuk Menghitung GIC............................
41
3.2. Metode Analisis ......................................................................................
IV.
xxii
42
3.2.1. Analisis Deskriptif .........................................................................
43
3.2.2. Analisis Kuadran ..........................................................................
43
3.2.3. Analisis Pro Poor Growth (Growth Incidence Curve/GIC)..........
43
3.2.3.1. Tahapan Pengolahan GIC ................................................
44
3.2.4. Analisis Data Panel .......................................................................
44
3.2.4.1. Model Regresi Data Panel ................................................
46
3.2.4.2. Uji Signifikansi Model Regresi Data Panel .....................
49
3.2.4.3.Spesifikasi Model ..............................................................
52
3.2.4.4.Tahapan Pengolahan Data Panel .......................................
53
3.2.5. Definisi Operasional ......................................................................
54
DINAMIKA KABUPATEN/KOTA PESISIR DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MELALUI PROGRAM PEMP .......................................................................................
57
4.1. Dinamika Kabupaten/Kota Pesisir ...........................................................
57
4.1.1. Gambaran Kemiskinan ..................................................................
58
4.1.2. Gambaran Pertumbuhan Ekonomi ................................................
60
4.1.3. Gambaran Ketimpangan Pendapatan ............................................
61
4.1.4. Gambaran Pengangguran ................……......................................
62
4.2. Dinamika 20 Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP ..........................
62
4.2.1. Dinamika Kemiskinan ...................................................................
63
4.2.2. Dinamika Pertumbuhan Ekonomi ..................................................
65
4.2.3. Dinamika Ketimpangan Pendapatan ..............................................
66
4.2.4. Dinamika Pengangguran ................................................................
67
4.3. Analisis Kuadran ......................................................................................
68
4.3.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan .......................................
68
4.3.2. Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan ...................................
70
4.3.3. Pengangguran dan Kemiskinan ..................……............................
71
4.4. Pro Poor Growth ( Growth Incidence Curve /GIC)..............
V.
VI.
xxii
73
4.4.1. GIC Periode 2005-2004 .................................................................
73
HASIL ESTIMASI PENGARUH PEMP TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT ......................................................
75
5.1. Hasil Estimasi Pengaruh Program PEMP terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Pengangguran ........................
75
5.2. Hasil Estimasi Pengaruh pertumbuhan ekonomi, Ketimpangan pendapatan dan Pengangguran terhadap Kemiskinan ............................
76
KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................................
79
6.1. Kesimpulan ..............................................................................................
79
6.2. Saran ........................................................................................................
80
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
81
DAFTAR TABEL Nomor 1.1.
Halaman Jumlah Pendudukdan Penduduk Miskin di Kabupaten/Kota Pesisir dan Bukan Pesisir, Tahun 2005-2009 ................................................................
3
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Kabupaten/Kota Pesisir dan Bukan Pesisir, Tahun 2006 dan 2009 .............................................................................................
5
Jumlah Bantuan Program PEMP untuk Kabupaten/Kota Pesisir Tahun 2005-2009 (Milyar rupiah) .........................................................................
11
Dinamika Pertumbuhan, Ketimpangan dan Kemiskinan Kabupaten Pesisir menurut Penerima PEMP, Periode 2005-2009 ...............................
58
5.1.
Hasil Estimasi Pengaruh PEMP terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Pengangguran ...........................................
75
5.2.
Hasil Estimasi Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Pengangguran terhadap Kemiskinan (persamaan 4) ......
77
1.2.
1.3. 4.1.
xxiii
DAFTAR GAMBAR Nomor
1.1.
Halaman
Jumlah Penduduk dan Penduduk Miskin di Kabupaten/Kota Pesisir dan Bukan Pesisir, Tahun 2009 .........................................................................
1.2. Perbandingan Rata-Rata PDRB Kabupaten/Kota Pesisir dan Kabupaten/ Kota Bukan Pesisir dengan Rata-Rata PDRB Nasional ............................. 1.3. Perkembangan Indeks Gini di Kabupaten/Kota Pesisir dan Bukan Pesisir, Tahun 2005-2009 ........................................................................................
4 6 7
1.4. Persentase Penduduk Miskin (Po) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Kabupaten/Kota Pesisir dan Bukan Pesisir, Tahun 2005-2009 ..
8
2.1. The Poverty-Growth-Inequality Triangle ...................................................
24
2.2. Kurva Lorenz .............................................................................................. 2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian ..................................................................
27 38
4.1. Tingkat Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP, Tahun 2005 dan 2009 .................................................................................
59
4.2. Rata-Rata PDRB menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima Program PEMP, Tahun 2005 dan 2009 (jutaan rupiah) ............................................
60
4.3. Indeks Gini menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima Program PEMP, Tahun 2005 dan 2009 .................................................................................
61
4.4. TPT menurut Kabupaten/ Kota Pesisir Penerima Program PEMP, Tahun 2005 dan 2009 ............................................................................................
62
4.5.
Perbandingan Persentase Penduduk Miskin menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009 .........................................
63
4.6. Penduduk Miskin di 5 Kabupaten/Kota Pesisir yang Mengalami Peningkatan Persentase Kemiskinan, Tahun 2005-2009 ............................
64
4.7. Perbandingan PDRB menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009 .................................................................................
65
4.8. Perbandingan Indeks Gini menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009 ......................................................................
66
4.9. Perbandingan TPT menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009 ................................................................................
67
4.10. Perbandingan Kondisi Pertumbuhan dan Kemiskinan menurut Kabupaten/ Kota Pesisir penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009 ..............
69
4.11. Perbandingan Kondisi Indeks Gini dan Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009 ..............
70
4.12. Perbandingan Kondisi Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dan Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009 ............................................................................................
72
4.13. Growth Incidence Curve (GIC) 20 Kabupaten/Kota Penerima Program PEMP Periode 2005-2009 .........................................................................
74
xxiv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Peta Kabupaten/Kota Wilayah Pesisir Di Indonesia..........................................
87
2.
Nama Kabupaten/Kota Penerima PEMP Rutin ….............................................
88
3.
Persentase Penduduk Miskin menurut Golongan Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005-2009 .....................................................................
88
PDRB menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005-2009 (jutaan rupiah) .....................................................................................................
89
Indeks Gini menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 20052009 .......................................................................................................................
90
6.
TPT menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005-2009 ..…....
91
7.
Alokasi Besaran PEMP menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005-2009 (ribuan rupiah) ...................................................
92
8.
Data Pengeluaran Perkapita menurut Persentil Tahun 2005 dan 2009 .................
93
9.
Hasil Analisis Kuadran menurut Kab/Kota Pesisir Penerima PEMP …….
93
10.
Output Hasil Pengolahan ……………………………………………….… 100
4. 5.
xxv
Halaman ini sengaja dikosongkan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum, pembangunan perikanan dan kelautan pada masa lalu kurang mendapat perhatian yang serius dari pemerintah sehingga permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat pesisir dan nelayan seolah-olah diwarisi secara turun-temurun dari generasi sebelumnya. Salah satu indikasi kurangnya perhatian pemerintah adalah kecilnya jumlah alokasi kredit perbankan yang teralokasikan untuk usaha perikanan dan kelautan (hanya 0,02% dari total kredit) selama Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I hingga pertengahan PJP II (Dahuri, 2004). Sehingga sangatlah wajar apabila masyarakat pesisir sering diidentikkan sebagai masyarakat miskin, terbelakang dan termarjinalkan. Departemen Eksplorasi Laut yang didirikan pada tahun 1999, menjadi cikal bakal Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang membawa harapan baru dalam pembangunan perikanan dan kelautan Indonesia. DKP menjadi ujung tombak dalam membuat kebijakan dan
meyakinkan pemerintah bahwa sektor
perikanan dan kelautan memiliki potensi yang sama dengan sektor lain, kalau tidak ingin dikatakan memiliki potensi yang lebih. Dalam platform pembangunan ekonomi nasional menuju Indonesia yang maju, makmur, berkeadilan dan di ridhoi Tuhan Yang Maha Esa, ada enam sektor yang menjadi andalan pembangunan. Enam sektor tersebut adalah sektor kelautan dan perikanan, sektor pertanian, sektor kehutanan, sektor energi dan sumberdaya mineral, sektor pariwisata dan sektor Usaha Kecil Menengah Mikro (Dahuri, 2004). Masuknya sektor kelautan dan perikanan menjadi sektor andalan pembangunan nasional tentu dapat dikatakan sebagai salah satu keberhasilan perjuangan DKP, karena untuk pertama kali dalam sejarah pembangunan Indonesia sektor perikanan dan kelautan menjadi sektor andalan. Menurut Dahuri (2004), setidaknya ada enam alasan utama yang dapat dijelaskan sehingga sektor perikanan dan kelautan layak menjadi sektor andalan yaitu: 1. Secara fisik laut merupakan faktor dominan dan pemersatu, Indonesia memiliki wilayah territorial laut sebesar 3,1 juta km persegi, serta luas laut ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) 2,7 juta km persegi. Sebagai negara kepulauan terbesar
2
didunia (lebih dari 17.500 pulau) dan memiliki 81.000 km garis pantai terpanjang ke dua di dunia setelah Kanada. Indonesia memiliki potensi ekonomi yang besar dan beragam. Garis pantai terpanjang mengindikasikan bahwa Indonesia memiliki kawasan pesisir yang sangat luas. Kawasan pesisir adalah kawasan yang berada disekitar pantai kearah laut dan ke arah darat. 2. Semakin meningkatnya jumlah penduduk dunia dan kesadaran tentang gizi ikan yang lebih sehat dan mencerdaskan sehingga permintaan produk dan jasa kelautan dan perikanan terus meningkat. 3. Industri kelautan menciptakan backward dan forward linkage yang tinggi. 4. Sumberdaya kelautan sebagian besar merupakan sumberdaya renewable sehingga dapat menjadi basis pembangunan ekonomi berkelanjutan. 5. Sebagian besar kegiatan ekonomi kelautan dan perikanan terdapat di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil sehingga membantu masalah urbanisasi. 6. Penguasaan dan penegakan kedaulatan dilaut yang memberi jaminan
atas
pertahanan, keamanan dan kedaulatan NKRI sebagai suatu kesatuan. Meskipun memiliki potensi sumberdaya alam yang berlimpah, masyarakat pesisir masih menerima warisan kemiskinan karena sektor tersebut masih dipinggirkan oleh kebijakan yang berazaskan pada tanah daratan (Widodo, 2000). Suatu gambaran paradoks, sumberdaya alam melimpah namun tidak tercermin dari kesejahteraan para pelaku disektor itu sendiri. Sebagai faktanya, nelayan Indonesia masih tergolong kelompok masyarakat termiskin dan terpinggirkan dengan pendapatan per kapita perbulan sekitar 7-10 dollar AS (Fauzi, 2009). Pendapatan masyarakat pesisir yang rendah diperkuat oleh kajian yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Yayasan Smeru pada tahun 2002. Kajian ini menunjukan bahwa dari 8090 desa pesisir di Indonesia, diperoleh nilai Indeks Kemiskinan atau Poverty Headcount Index (PHI) untuk masyarakat pesisir adalah sebesar 0,3214 atau 32,14 persen berada dibawah garis kemiskinan (Arichansyah,2009) Kemiskinan masyarakat pesisir bersifat multidimensi dan ditengarai oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, infra struktur. Disamping kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi, teknologi dan permodalan, budaya
3
dan gaya hidup yang cenderung boros menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Pada saaat yang sama, kebijakan pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir. Berbagai upaya untuk penanggulangan kemiskinan telah banyak dilakukan, namun pemerintah belum memiliki konsep yang jelas,sehingga penanganan masih bersifat parsial dan tidak terpadu. Akibatnya angka kemiskinan belum dapat diturunkan secara signifikan, justru dengan adanya penanggulangan kemiskinan, penduduk miskin malah bertambah (Azman,2009). Persentase penduduk miskin yang tinggal di wilayah kabupaten/kota pesisir lebih besar dibandingkan bukan pesisir, walau keduanya terlihat adanya kecenderungan penurunan dalam periode 2005-2009 seperti yang disajikan pada Tabel 1.1. Pada tahun 2009 persentase jumlah penduduk miskin di kabupaten pesisir dan bukan pesisir masing-masing sebesar 14,64persen dan 12,24persen. Tabel 1.1. Persentase Penduduk Miskin di Kabupaten/Kota Pesisir dan Bukan Pesisir, Tahun 2005-2009 Tahun
Wilayah Pesisir
Bukan Pesisir
Nasional
2005 2006 2007 2008 2009
17.78 18,96 17,74 16,09 14,64
14,61 15,68 14,51 13,55 12,24
16,62 17,74 16,54 15,15 13,76
Sumber : BPS (2009),diolah Gambar 1.1. memperlihatkan
fakta
bahwasanya
masih
banyak
penduduk miskin yang berlokasi di wilayah pesisir yaitu sebanyak 21,36 juta orang atau sekitar 67,3% dari total penduduk miskin di Indonesia. Kondisi ini sangatlah ironis, hal ini memperkuat dugaan awal bahwa kemiskinan yang terjadi di kabupaten/kota pesisir merupakan warisan sehingga masuk sebagai kategori kemiskinan
yang
kronis (chronic poverty) yaitu miskin
yang tidak hanya
sekedar dari sisi konsumsinya saja atau yang biasa disebut kemiskinan sementara (transitory poverty) tapi juga menyangkut pada berbagai aspek pengukuran kemiskinan
lainnya. Dugaan ini cukup beralasan mengingat sejak Indonesia
merdeka kantong-kantong kemiskinan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil belum juga mendapat sentuhan dari pemerintah sehingga sampai saat ini tidak
4
terjadi perubahan yang berarti. Sarana-prasarana informasi yang minim, moda transportasi laut yang tidak memadai, rendahnya kualitas maupun kuantitas infrastruktur menjadi gambaran tentang perhatian pemerintah yang kurang terhadap masyarakat pesisir.
Jumlah Penduduk Miskin
Sumber: BPS (2009),diolah Gambar 1.1. Jumlah Penduduk dan Penduduk Miskin di Kabupaten/Kota Pesisir dan Bukan Pesisir, Tahun 2009
Gambaran kehidupan penduduk miskin pesisir dapat dilihat berdasarkan Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2). Tabel 1.2. memperlihatkan bahwa P1 dan P2 di kabupaten/kota pesisir maupun bukan pesisir pada tahun 2009 lebih rendah dibandingkan tahun 2006. Indeks kedalaman kemiskinan (P1) merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks ini semakin besar kesejangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Indeks keparahan kemiskinan (P2) sampai batas tertentu dapat memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin.
5
Jika dibandingkan antara kabupaten/kota pesisir dan bukan pesisir maupun nasional, P1 untuk kabupaten/kota pesisir paling rendah. Pada tahun 2006, P1 kabupaten/kota pesisir sebesar 3,20 sementara di kabupaten/kota bukan pesisir mencapai 4,14 dan nasional 3,79. Demikian pula pada tahun 2009, P1 kabupaten/ kota pesisir hanya 2,21 sementara di kabupaten/kota bukan pesisir mencapai 2,83 dan nasional 2,61. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya kesenjangan rata-rata pendapatan penduduk miskin terhadap garis miskinnya cenderung mengecil, atau rata-rata pendapatan penduduk miskin di kabupaten/kota pesisir cenderung makin mendekati garis kemiskinan.
Tabel 1.2. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Kabupaten/Kota Pesisir dan Bukan Pesisir, Tahun 2006 dan 2009
Tahun
Pesisir
Bukan Pesisir
Nasional
3,20
4,14
3,79
2,21
2,83
2,61
0,88
1,19
1,08
0,63
0,81
0,74
Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1 ) 2006 2009 Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2 ) 2006 2009 Sumber: BPS (2009), diolah
Sejalan dengan P1, P2 di kabupaten/kota pesisir maupun bukan pesisir juga menunjukkan kecenderungan yang menurun. Besarnya penurunan persentase untuk kabupaten/kota pesisir lebih rendah dibanding bukan pesisir. Ini berarti upaya pemerintah dalam melakukan
penurunan ketimpangan kemiskinan di
kabupaten/kota bukan pesisir lebih berhasil dibanding kabupaten/kota pesisir. Penurunan P2 di kabupaten/kota pesisir tahun 2009 dibandingkan tahun 2006, menunjukkan bahwa ketimpangan rata-rata pendapatan diantara penduduk miskin di kabupaten/kota
pesisir mengalami penurunan atau distribusi rata-rata
pendapatan diantara penduduk miskin cenderung makin merata.
6
Rendahnya P1 dan P2 di kabupaten pesisir menunjukkan bahwa kemiskinan di wilayah pesisir cenderung homogen. Hal ini terjadi mengingat rata-rata pengeluaran penduduk dan tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir cenderung sama dibandingkan di wilayah bukan pesisir. Kemiskinan di kabupaten/kota pesisir ini semakin parah apabila didukung oleh rendahnya output maupun pertumbuhan ekonomi wilayah kabupaten/kota pesisir. Data empiris yang diperlihatkan pada Gambar 1.2 menunjukkan bahwa meskipun tiap tahun rata-rata produk domestik regional bruto (PDRB) kabupaten/kota pesisir mengalami kenaikan, namun besaran nominalnya masih dibawah capaian rata-rata nasional. Gambar 1.2 juga menunjukkan bahwa pada Tahun 2008, rata-rata PDRB kabupaten/kota pesisir hanya sebesar Rp 3,811 milyar, sedangkan rata-rata PDRB kabupaten/kota bukan pesisir sebesar Rp 4,924 milyar, sementara rata-rata PDRB nasional sebesar Rp 4,188 milyar. Perbedaan yang cukup signifikan dari rata-rata output antara wilayah pesisir dan bukan pesisir mengindikasikan bahwa di Indonesia masih terjadi ketimpangan pembangunan ekonomi yang cukup besar antar wilayah.
5000
4000
3000
2000
1000
0 2005
2006 Pesisir
2007 Bukan Pesisir
2008
2009
Nasional
Sumber: BPS (2009), diolah Gambar 1.2. Perbandingan Rata-Rata PDRB Kabupaten/Kota Pesisir dan Kabupaten/Kota Bukan Pesisir dengan Rata-Rata PDRB Nasional
7
Ketimpangan pembangunan ekonomi tersebut juga diikuti dengan ketimpangan pendapatan antar pendapatan rumahtangga. Hal ini terlihat dari ketimpangan pendapatan kabupaten/kota pesisir, bukan pesisir maupun nasional , yang tercermin dari indeks gini yang fluktuatif selama periode tahun 2005-2009, namun masih dalam level sedang setiap tahunnya seperti yang disajikan pada Gambar 1.3. Pada Tahun 2009, indeks Gini pesisir sebesar 0,33, mendekati angka nasional sebesar 0,34 sementara kabupaten /kota bukan pesisir mencapai angka sebesar 0,36 dimana menurut Todaro dan Smith (2006) angka ini sudah tidak lagi mencerminkan pendapatan masyarakat yang relatif merata.
Sumber: BPS (2009), diolah Gambar 1.3. Perkembangan Indeks Gini di Kabupaten/Kota Pesisir dan Bukan Pesisir, Tahun 2005-2009 Pengangguran merupakan salah satu penyebab terjadinya kemiskinan. Komisi Kemiskinan Dunia (The Poverty Comission) menyebutkan bahwa pengangguran
merupakan
penyebab
utama
kemiskinan
(Saunders,2002).
Pengangguran dapat menimbulkan berbagai dampak sosial dan implikasinya bukan hanya terhadap si penganggur, tetapi juga pada keluarga dan masyarakat sekitarnya. Pengangguran, selain menimbulkan konsekwensi kemiskinan, juga berkontribusi
terhadap
ketimpangan
distribusi
pendapatan.
Gambar
1.4
menyajikan perkembangan persentase penduduk miskin (Po) dan tingkat
8
pengangguran terbuka (TPT) di kabupaten/kota pesisir dan bukan pesisir tahun 2005-2009.
Sumber: BPS(2009), diolah Gambar 1.4. Persentase Penduduk Miskin (Po) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Kabupaten/Kota Pesisir dan Bukan Pesisir Tahun 2005-2009. Kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan
melalui
peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan dan penurunan pengangguran di wilayah pesisir direalisasikan pada berbagai program bantuan. Hal tersebut merupakan stimulus bagi wilayah pesisir untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan adanya pemerataan pendapatan serta penyerapan tenagakerja. Salah satu bantuan stimulus di kabupaten/kota pesisir adalah program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang dilaksanakan oleh DKP sejak tahun 2001. DKP saat
ini beralih nama menjadi
Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP). Kegiatan PEMP diinisiasi untuk mengatasi berbagai permasalahan akibat krisis ekonomi, kenaikan BBM, kesenjangan dan kemiskinan. Kualitas sumberdaya manusia (masyarakat) pesisir yang rendah dan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang belum dimanfaatkan secara optimal merupakan tantangan bagi pelaksanaan program PEMP. Upaya yang
9
dilakukan oleh KKP melalui pemberdayaan
nelayan dan masyarakat pesisir,
dinilai sudah cukup tepat. Pemberdayaan berarti apa yang telah dimiliki oleh masyarakat yaitu sumberdaya pembangunan yang perlu dikembangkan sehingga makin nyata kegunaannya bagi masyarakat pesisir itu sendiri. Hal ini sesuai dengan kajian para pakar ekonomi sumberdaya, bahwasanya kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayan lebih banyak disebabkan faktor sosial ekonomi yang terkait sumberdaya serta teknologi yang digunakan. Faktor tersebut membuat nelayan tetap dalam kemiskinannya. Beberapa
program
pemberdayaan
masyarakat yang telah dilakukan
pemerintah antara lain : − CERD (Community Empowerment for Rural Development) − KPEL (Kemitraan Pengembangan Ekonomi Lokal) − WSLIC (Water and Sanitation for Low Income Communities) − P2D (Program Pengembangan Prasarana Pedesaan) − PEMP (Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir) − P4K (Proyek Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani Kecil) Bappenas telah melakukan kajian kebijakan pemberdayaan masyarakat miskin umtuk Kajian
ke-6 jenis program pemberdayaan masyarakat tersebut diatas.
menggunakan 10 elemen kunci sebagai bobot keberhasilan program.
PEMP merupakan program yang memiliki keunggulan sebanyak 4 elemen kunci (Kelembagaan, Akunbilitas, Transparansi dan Keberlanjutan) dari 10 elemen kunci yang diteliti. PEMP termasuk program yang mempunyai keunggulan yang lebih dibandingkan program pemberdayaan lainnya. Studi
terdahulu Smith (1979)
mengadakan
kajian
pembangunan
perikanan di berbagai negara Asia dan Anderson (1979) juga melakukan kajian namun di negara-negara Eropa dan Amerika Utara yang menyimpulkan tentang kekakuan asset perikanan (fixity and rigidity of fishing assets). Kekakuan aset adalah suatu sifat asset yang sulit dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain, sehingga nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan walau sesungguhnya tidak lagi efisien secara ekonomis. Dalam era pembangunan yang semakin kompleks dan kompetitif nelayan dihadapkan pada
10
tantangan dan persaingan yang semakin besar dengan berbagai aspek lingkungan yang memengaruhinya. Untuk mengatasi hal itu diperlukan perubahan mainstream pembangunan masyarakat dari program pembinaan ke program pemberdayaan.
Pemberdayaan
nelayan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya khususnya meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir menurut Haque, et.al dalam Nikijuluw (2000) merupakan pemberdayaan ekonomi untuk masyarakat pesisir yang diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Daerah dengan kawasan pesisir yang luas dan mempunyai sumberdaya alam yang melimpah seyogianya mempunyai keuntungan yang lebih besar dalam menarik investasi. Salah satu kebijakan yang diambil oleh KKP adalah pemberdayaan nelayan yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir dengan cara meningkatkan kinerjanya melalui program PEMP. Kebijakan ini merupakan bagian dari tiga pilar pembangunan
dalam
Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2009-2014 yang tertuang dalam Peraturan Menteri KKP Nomor PER.06/MEN/2010. Tiga pilar pembangunan tersebut antara lain pro-poor (pengentasan kemiskinan), pro-job (penyerapan
tenaga kerja), dan pro-growth
(pertumbuhan). Secara umum,
PEMP bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan penguatan kelembagaan sosial ekonomi dengan mendayagunakan sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal dan berkelanjutan. Program PEMP dirancang untuk 3 periode: yaitu inisiasi (tahun 2001-2003), institusionalisasi (tahun 2004-2006) dan diversifikasi (tahun 2007-2009). Pada tahun 2001, program PEMP dilaksanakan di 125 daerah kabupaten/ kota, tahun 2002 dilaksanakan di 91 daerah kabupaten/kota dan tahun 2003 dilaksanakan di 128 daerah kabupaten/kota, yang selama 3 tahun pelaksanaan tersebar di 30 propinsi. Pada periode tahun 2001-2003, program PEMP telah disalurkan kepada 79.480 orang masyarakat pesisir dan nelayan yang tergabung dalam 8.138 KMP/kelompok masyarakat pemanfaat (DKP, 2003). Selama tiga tahun pertama dana ekonomi produktif (DEP) PEMP telah disalurkan sebanyak 344 kabupaten/ kota, dimana ada beberapa kabupaten dan
11
kota mendapat DEP PEMP setiap tahunnya atau hanya 1-2 tahun saja. Jika setiap kabupaten/ kota menerima alokasi DEP Rp 800 juta per tahun, maka selama tiga tahun telah dialokasikan dana sebesar Rp 275,2 M untuk program PEMP. Jumlah ini belum termasuk dana pendampingan dari APBD, dana untuk konsultan manajemen kabupaten/kota dan dana untuk operasional PEMP di KKP. Pada beberapa tahun yang akan datang diharapkan dana yang telah digunakan untuk program PEMP di Indonesia (dengan jumlah yang tidak sedikit) memberikan manfaat dan pengaruh dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan nelayan. Tabel 1.3.
Jumlah Bantuan Program PEMP untuk Kabupaten/Kota Pesisir Tahun 2005-2009 (Milyar rupiah) 2005
2006
Tahun 2007
Sumatera
40,780 (24,90)
40,660 (27,81)
31,450 (26,99)
24,259 (24,25)
28,715 (25,83)
Jawa
34,330 (20,96)
26,050 (17,82)
23,350 (20,04)
19,920 (19,92)
24,083 (21,67)
Sulawesi
28,380 (17,33)
28,035 (19,17)
20,700 (17,76)
20,913 (20,91)
21,306 (19,17)
Lainnya
60,270 (36,81)
51,480 (35,20)
41,025 (35,21)
34,933 (34,92)
37,052 (33,33)
Nasional
163,760 (100,00)
146,225 (100,00)
116,525 (100,00)
100,025 (100,00)
111,157 (100,00)
Pulau
2008
2009
Sumber:Kementerian Kelautan dan Perikanan (2009), diolah Cat: Angka dalam kurung menunjukkan nilai proporsi Pemerintah dalam hal ini KKP, telah berupaya memberikan bantuan stimulus untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP). Tabel 1.3 memperlihatkan bahwa dana yang digulirkan KKP untuk program PEMP di kabupaten pesisir mengalami penurunan. Tercatat pada Tahun 2005 KKP mengucurkan dana untuk program PEMP sebesar Rp 163,760 milyar dan cenderung menurun sampai dengan tahun 2008 menjadi Rp 100,025 milyar, namun pada tahun 2009 kembali meningkat menjadi sebesar Rp111,157 milyar . Penurunan bantuan diduga akibat
keterbatasan anggaran pemerintah, namun
12
demikian untuk pulau Jawa dan Sulawesi bantuan yang diperoleh pada tahun 2009 lebih besar dibanding bantuan pada tahun 2007 walau pada tahun 2008 mengalami penurunan. Kondisi ini mencerminkan bahwa pemerintah memiliki perhatian yang cukup serius untuk melakukan pemberdayaan ekonomi di wilayah pesisir. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,menurunkan ketimpangan pendapatan dan pengangguran di kabupaten/kota pesisir sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui PEMP. Hingga saat ini belum ada studi empirik yang mengkaji dampak kebijakan tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi ,ketimpangan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan di kabupaten/kota pesisisr. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini berusaha
untuk
mengkaji
peran
program
PEMP
dalam
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi yang berkaitan dengan ketimpangan pendapatan, pengangguran, dan kemiskinan di kabupaten/kota pesisir.
1.2. Perumusan Masalah Upaya pemerintah saat ini adalah mengurangi keterpurukan ekonomi dan mengurangi jumlah penduduk miskin di kabupaten/kota pesisir.
Departemen
Eksplorasi Laut yang didirikan pada tahun 1999, menjadi cikal bakal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membawa harapan baru dalam pembangunan perikanan dan kelautan Indonesia. Kebijakan yang diusung KKP antara lain untuk mengurangi kemiskinan melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan ketimpangan pendapatan di wilayah pesisir. Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya KKP membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang Kelautan dan Perikanan (Perpres No.94, Tahun 2006).
Sejak tahun 2001, KKP meluncurkan bantuan stimulus bagi
masyarakat pesisir yaitu program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP). Pada tahun 2009, KKP melaksanakan berbagai program bantuan yang diberikan pada 120 (seratus dua puluh) kabupaten /kota pesisir di Indonesia, dengan maksud membantu kabupaten/kota pesisir agar dapat menjadi suatu kabupaten/kota
yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir
secara menyeluruh dan terencana dengan prinsip pemberdayaan, yaitu helping the
13
poor to help themselves yang pada gilirannya dapat membuka peluang semakin bergeraknya perekonomian kabupaten/kota pesisir. Penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa program bantuan yang dilaksanakan mampu secara signifikan meningkatkan pendapatan kabupaten/kota pesisir (Ariansyach, 2009). Penelitian yang dilakukan Subagio (2007) juga menunjukkan bahwa program PEMP di Subang dan Cirebon memberikan dampak nyata pada peningkatan pendapatan masyarakat. Selama ini, penelitian yang dilakukan terhadap dampak program PEMP masih sebatas kajian secara mikro yaitu pada kelompok sasaran penerima bantuan. Namun kajian mengenai dampak program terhadap penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan masih belum banyak dilakukan. Berdasarkan latar belakang
tersebut, perlu dilakukan studi mengenai
dinamika pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan , pengangguran terhadap kemiskinan di kabupaten/kota pesisir. Terkait dengan besaran belanja modal pemerintah pusat yang dilakukan oleh KPP, dalam hal ini program PEMP, perlu dilakukan kajian apakah program ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota pesisir. Oleh karena itu menarik untuk dikaji, sejauh mana manfaat PEMP mendongkrak pertumbuhan ekonomi, mengurangi ketimpangan pendapatan, mengurangi pengangguran dan menurunkan kemiskinan secara makro di tingkat kabupaten/kota. Hal ini perlu dilakukan mengingat masih banyaknya penduduk miskin yang tinggal di kabupaten/kota pesisir (67,3% dari total jumlah penduduk miskin di Indonesia). Berdasarkan fakta tersebut, penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1.
Bagaimana gambaran pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan, dan pengangguran terhadap kemiskinan yang terjadi di kabupaten/kota pesisir dalam periode implementasi program PEMP?
2.
Bagaimana pengaruh program PEMP terhadap pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan kabupaten/kota pesisir?
14
3.
Bagaimana hubungan antara program PEMP, pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan, dan pengangguran terhadap penurunan kemiskinan di kabupaten/kota pesisir?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai pada penelitan ini antara lain: 1. Memberikan gambaran umum mengenai dinamika pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan, dan pengangguran terhadap kemiskinan yang terjadi di kabupaten/kota pesisir pada periode 4 tahun implementasi program PEMP. 2. Memberikan gambaran mengenai manfaat pertumbuhan ekonomi bagi penduduk miskin di kabupaten/kota pesisir penerima program PEMP. 3. Menganalisis pengaruh program PEMP terhadap pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran di kabupaten/kota pesisir. 4. Menganalisis hubungan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran terhadap kemiskinan di kabupaten/kota pesisir penerima program PEMP. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain: 1. Gambaran
mengenai
pendapatan dan
dinamika
pertumbuhan
ekonomi,
ketimpangan
pengangguran terhadap kemiskinan yang terjadi di
kabupaten/kota pesisir selama 4 tahun
implementasi program PEMP
diharapkan dapat digunakan untuk menilai dampak dari program PEMP di kabupaten/kota pesisir, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu alat evaluasi bagi KKP. 2. Analisis dampak program PEMP melalui studi ekonometrik diharapkan dapat memberikan masukan bagi KKP tentang pentingnya program PEMP bagi kesejahteraan masyarakat kabupaten/kota pesisir. 3. Analisis mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran diharapkan dapat memberikan masukan bagi KKP maupun pemangku kebjakan yang lain untuk lebih memfokuskan kebijakan maupun programnya sehubungan faktor-faktor yang memengaruhi peningkatan pertumbuhan ekonomi.
15
4. Analisis
mengenai
hubungan
pertumbuhan
ekonomi,
ketimpangan
pendapatan, pengangguran dan kemiskinan diharapkan dapat digunakan oleh KKP dan pemangku kebijakan yang lain sebagai bahan masukan dalam perumusan kebijakan yang tidak hanya pro pada pertumbuhan (pro growth) namun juga pro terhadap rakyat miskin (pro poor).
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi tiga hal. Pertama, memberikan gambaran mengenai dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di kabupaten/kota pesisir selama 4 tahun implementasi program PEMP. Kedua, melakukan studi ekonometrik mengenai pengaruh program PEMP terhadap pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran. Ketiga,
melakukan
studi
ekonometrik
untuk
melihat
hubungan
antara
pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan di kabupaten/kota penerima PEMP. Cakupan analisis dalam penelitian ini adalah kabupaten/kota pesisir. Analisis difokuskan pada 20 kabupaten/kota pesisir di Indonesia yang termasuk dalam 307 kabupaten/kota pesisir yang telah ditetapkan oleh KKP. Dasar pemilihan 20 kabupaten/kota pesisir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pada saat dimulainya periode inisiasi (tahun 2001) melalui sosialisasi bantuan PEMP di wilayah pesisir diberitahukan mengenai program PEMP dari KKP. Untuk memperoleh bantuan PEMP setiap kabupaten/kota pesisir diminta untuk membuat proposal terkait program pemberdayaan masyarakat pesisir. Dari proposal yang masuk, kabupaten/kota yang memiliki potensi daerah pesisir khususnya di sektor perikanan diberi bantuan PEMP
melalui kelompok-
kelompok usaha. Di daerah yang telah ditetapkan sebagai penerima program PEMP dibentuk wadah LKM (Lembaga Keuangan Mikro). 2. Daerah yang menerima bantuan PEMP rutin dan berkelanjutan ditentukan dari hasil evaluasi terhadap LKM. Bagi daerah yang evaluasinya dinilai baik atau kinerja program PEMP dianggap berhasil (diketahui berdasarkan hasil laporan pertanggungjawaban kegiatan dan pengawasan)
maka program
bantuan
PEMP dapat terus dilanjutkan tahun berikutnya. Namun, jika gagal program
16
bantuan dihentikan. Daerah diberi kesempatan tahun berikutnya untuk memperoleh bantuan kembali dengan catatan memperbaiki kesalahannya serta diminta untuk mengajukan proposal kembali dengan jenis kegiatan yang berbeda atau menyempurnakan proposal sebelumnya. Dengan demikian, 20 kabupaten/kota pesisir dalam penelitian ini adalah kabupaten/kota yang terus menerus dan berkesinambungan setiap tahun mendapat bantuan program PEMP karena dinilai memiliki kinerja kegiatan pemberdayaan cukup berhasil, selain juga mempertimbangkan faktor ketersediaan data pendukung. 1.6. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh program PEMP terhadap pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran serta pengaruhnya terhadap penurunan kemiskinan di 20 kabupaten/kota pesisir penerima PEMP. Kabupaten/kota pesisir penerima PEMP, mungkin memperoleh bantuan dari program pemerintah lainnya selain bantuan dari program PEMP seperti program KPEL (Kemitraan Pengembangan Ekonomi Lokal), P2D (Program Pengembangan Prasarana Pedesaan) dan sebagainya. Bantuan program PEMP khusus diberikan pada masyarakat pesisir melalui pemberdayaan masyarakat yang sifatnya langsung dan berkelanjutan. Bantuan dari program lain mungkin dilaksanakan secara adhoc untuk kepentingan umum, tidak dikhususkan bagi kepentingan masyarakat pesisir dan tidak diberikan secara rutin berkelanjutan, walaupun mungkin memiliki nilai bantuan yang jauh lebih besar dibanding bantuan dari program PEMP. Sinergi pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran tidak terbatas pada program bantuan PEMP. Namun demikian, pengaruh dari program lainnya tidak tertangkap dalam model yang dikembangkan dalam penelitian ini, sehingga tidak dapat menjelaskan secara detail.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1.
Kerangka Teori
2.1.1. Masyarakat Pesisir Menurut Saad dan Basuki (2004), masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan ekonomi penduduk bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Definisi inipun bisa juga dikembangkan lebih jauh karena pada dasarnya banyak orang yang hidupnya bergantung pada sumberdaya laut. Mereka terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, pemasok faktor sarana produksi perikanan. Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa pariwisata, penjual jasa transportasi, serta kelompok masyarakat lainnya yang memanfaatkan sumberdaya non-hayati laut dan pesisir untuk menyokong kehidupannya. Untuk lebih operasional, Nikijuluw (2002) berpendapat, bahwa definisi masyarakat pesisir yang luas ini tidak secara keseluruhan diambil, tetapi hanya difokuskan pada kelompok nelayan dan pembudidaya ikan serta pedagang dan pengolah ikan. Kelompok ini secara langsung mengusahakan dan memanfaatkan sumberdaya ikan melalui kegiatan penangkapan dan budidaya. Kelompok ini pula yang mendominasi pemukiman di wilayah pesisir di seluruh Indonesia, di pantai pulau-pulau besar dan kecil seantero nusantara. Sebagian besar masyarakat nelayan pesisir ini adalah pengusaha skala kecil dan menengah. Namun lebih banyak dari mereka yang bersifat subsisten, menjalani usaha dan kegiatan ekonominya untuk menghidupi keluarga sendiri, dengan skala yang begitu kecil sehingga hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam jangka waktu yang sangat pendek. Dari sisi skala usaha perikanan, kelompok masyarakat pesisir miskin di antaranya terdiri dari rumah tangga perikanan yang menangkap ikan tanpa menggunakan perahu, menggunakan perahu tanpa motor, dan perahu bermotor tempel. Dengan skala usaha ini, rumah tangga ini hanya mampu menangkap ikan di daerah dekat pantai. Dalam kasus tertentu, memang mereka
18
dapat pergi jauh dari pantai dengan cara bekerjasama sebagai mitra perusahaan besar. Namun usaha dengan hubungan kemitraan seperti tidak begitu banyak dan berarti dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang begitu banyak. Menurut Mubyarto et. al. (1984) masyarakat pesisir, khususnya nelayan secara umum, dikategorikan lebih miskin daripada keluarga petani atau pengrajin. Kemiskinan ini dicirikan oleh pendapatan yang berfluktuasi, pengeluaran yang konsumtif, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, unit kelembagaan yang tersedia belum mendukung terjadinya pemerataan pendapatan, potensi tenaga kerja keluarga (istri dan anak) belum dapat dimanfaatkan dengan baik, serta akses terhadap permodalan rendah. Kusnadi (2006) mengemukakan berdasarkan aspek geografis, masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang hidup, tumbuh dan berkembang dikawasan pesisir. Mereka menggantungkan kelangsungan hidupnya dari upaya mengelola sumber daya alam yang tersedia dilingkungannya, yakni di kawasan pesisir, perairan (laut). Secara umum, sumberdaya perikanan (tangkap dan budidaya) merupakan salah satu sumberdaya yang sangat penting untuk menunjang kelangsungan hidup masyarakat pesisir. 2.1.2. Pengertian Pemberdayaan Pemberdayaan atau empowerment merupakan istilah yang akhir-akhir ini banyak didengar. Ini terkait dengan ketidakpuasan masyarakat terhadap model pembangunan yang bersifat top down dan centralized, sebagaimana yang telah dipraktekkan pada jaman Orde Baru. Dengan pendekatan tersebut, maka yang diuntungkan
dalam
pembangunan
hanya sekelompok
kecil
masyarakat,
diharapkan dari kelompok kecil tersebut akan muncul efek menetes ke bawah (trickle down effect). Akan tetapi, sampai dengan runtuhnya rezim Orde Baru,ternyata trickle down effect itu tidak pernah terjadi, bahkan yang muncul adalah kesenjangan ekonomi yang cukup besar antara sekelompok elit masyarakat dengan masyarakat kebanyakan. Selain itu, dengan kebijakan pembangunan yang bersifat terpusat, maka roda ekonomi hanya cenderung bergerak di pusat, sementara daerah yang sebenarnya memiliki kekayaan alam yang melimpah, tetap saja miskin.
19
Nikijuluw (2002), menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses untuk berdaya, memiliki kekuatan, kemampuan dan tenaga untuk menguasai sesuatu. Sebagai suatu proses, maka pemberdayaan itu tidak habis-habisnya. Selagi ada masyarakat, maka pemberdayaan masyarakat tetap dilakukan. Bisa saja masyarakat sudah memiliki kekuatan atau sudah berdaya dalam suatu hal tertentu tapi kemudian disadari bahwa masih ada aspek-aspek lain yang melekat dengan masyarakat yang perlu diberdayakan. Sebagai suatu proses, maka pemberdayaan juga menyangkut kualitas. Kegiatan pemberdayaan, semula hanya mencapai tataran kualitas tertentu. namun tahap selanjutnya ingin dicapai kualitas kehidupan atau status sosial ekonomi yang lebih baik. Masyarakat biasanya tidak puas dengan status ekonomi yang sudah diraihnya, oleh karena itu pemberdayaan perlu terus dilaksanakan. Menurut Haque et al. (1996) , seorang ahli pembangunan desa dari Bangladesh, proses memberdayakan masyarakat adalah membangun mereka. Selanjutnya Haque mengemukakan bahwa pembangunan masyarakat itu adalah collective action yang berdampak pada individual welfare, sehingga arti membangun adalah memberdayakan individu dalam masyarakat. Memberdayakan berarti bahwa keseluruhan personalitas seseorang yang menyangkut kesejahteraan lahir dan batin masyarakat, ditingkatkan. Departemen Kelautan dan Perikanan melakukan perombakan total, yaitu berusaha menggunakan pendekatan berkelanjutan, holistik dan berbasis pada masyarakat (Dahuri 2002). Pendekatan ini berusaha untuk semakin menyadari bahwa tanpa keberlanjutan suatu ekosistem, maka sesungguhnya tidak akan memakmurkan pada kehidupan saat ini maupun saat mendatang. Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses untuk membuat masyarakat menjadi berdaya. Pemberdayaan itu diperlukan terutama karena didasarkan pada asumsi bahwa suatu masyarakat sedang dalam kondisi tidak berdaya atau kurang berdaya. Adapun secara sosiologis keadaan kurang berdaya itu diidentikkan dengan keadaan keterbelakangan.
20
2.1.3. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) merupakan salah satu program pemerintah yang diluncurkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang ditujukan untuk pengentasan kemiskinan di daerah pesisir melalui pemberdayaan masyarakat. Secara umum, PEMP mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan penguatan kelembagaan sosial ekonomi dengan mendayagunakan sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal dan berkelanjutan (DKP 2003). Secara khusus, program PEMP mempunyai tujuan sebagai berikut : 1.
Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat yang didampingi dengan pengembangan kegiatan sosial, pelestarian lingkungan dan pengembangan infrastruktur untuk mendorong kemandirian masyarakat pesisir.
2.
Menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha utnuk meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir yang terkait dengan sumberdaya perikanan dan kelautan.
3.
Mengelola dan memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan sesuai dengan kaidah kelestarian lingkungan.
4.
Memperkuat kelembagaan sosial ekonomi masyarakat dan kemitraan dalam mendukung perkembangan wilayahnya.
5.
Mendorong terwujudnya mekanisme manajemen pembangunan yang partisipasif dan transparan dalam kegiatan masyarakat. Sasaran PEMP adalah masyarakat pesisir yang memiliki mata pencaharian
atau berusaha dengan memanfaatkan potensi pesisir seperti nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan dan kelautan, yang kurang berdaya dalam peningkatan/ penguatan usahanya. PEMP bukan bersifat hadiah, melainkan pemberdayaan sehingga diharapkan dapat terus berkembang dan menyentuh sebagian besar masyarakat pesisir yang menjalankan jenis usaha yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut serta usaha lain yang terkait.
21
2.1.4. Pertumbuhan Ekonomi Tingkat pertumbuhan perekonomian adalah kondisi dimana nilai riil produk domestik bruto (PDB) mengalami peningkatan (Dornbusch et al, 2008). Penyebab utama dari pertumbuhan ekonomi adalah tersedianya sejumlah sumber daya dan peningkatan efisiensi penggunaan faktor produksi. Pertumbuhan
ekonomi
dalam
pengertian
ekonomi
makro
adalah
penambahan nilai PDB riil, yang berarti peningkatan pendapatan nasional. Pertumbuhan ekonomi ada dua bentuk: ekstensif yaitu dengan penggunaan lebih banyak sumber daya atau intensif yaitu dengan penggunaan sejumlah sumber daya yang lebih efisien (lebih produktif). Ketika pertumbuhan ekonomi dicapai dengan menggunakan banyak tenaga kerja, hal tersebut tidak menghasilkan pertumbuhan pendapatan per kapita, karena pertumbuhan ekonomi yang dicapai harus dibagi juga dengan pertambahan penduduk (dalam hal ini tenaga kerja). Namun ketika pertumbuhan ekonomi dicapai melalui penggunaan sumberdaya yang lebih produktif, termasuk tenaga kerja, hal tersebut menghasilkan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dan meningkatkan standar hidup rata-rata masyarakat. Nafziger (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan produksi suatu negara atau pendapatan per kapita. Produksi tersebut dihitung dengan GNP (Gross National Product – Produk Nasional Bruto) atau GNI (Gross National Income – Pendapatan Nasional Bruto) yang merupakan total output dari negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi berarti juga peningkatan kapasitas perekonomian suatu wilayah dalam suatu waktu tertentu. Konsep PDB digunakan pada tingkat nasional, sedangkan untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota digunakan konsep produk domestik regional bruto (PDRB). PDB atau PDRB dapat diukur dengan 3 macam pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran (Tambunan, 2003). Pendekatan produksi dan pendekatan pendapatan adalah pendekatan dari sisi penawaran agregat (Aggregate Supply - AS) sedangkan pendekatan pengeluaran adalah pendekatan dari sisi permintaan agregat (Aggregate Demand - AD).
22
PDRB adalah jumlah nilai output dari semua sektor ekonomi atau lapangan usaha jika dilihat dari pendekatan produksi. Penghitungan PDRB dapat dikelompokkan menjadi 9 sektor lapangan usaha, yaitu: 1. pertanian 2. pertambangan dan penggalian 3. industri pengolahan 4. listik, gas dan air bersih 5. bangunan 6. perdagangan, hotel dan restoran 7. pengangkutan dan komunikasi 8. keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 9. jasa-jasa Sehingga PDRB dapat dirumuskan sebagai:
PDRB
=
9
∑
NO
i =1
dimana:
(2.1)
i
i = 1,2,3, ..., 9 NOi = nilai output sektor ke – i
Penghitungan PDRB dengan pendekatan pendapatan dirumuskan sebagai jumlah pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi di masing-masing sektor. Pendapatan itu berupa upah/gaji bagi tenaga kerja, bunga atau hasil investasi bagi pemilik modal, sewa tanah bagi pemilik lahan dan keuntungan bagi pengusaha. Sehingga PDRB dapat dirumuskan sebagai PDRB
=
9
∑
NTB
i =1
dimana:
i
(2.2)
i = 1,2,3, ..., 9 NTBi = nilai tambah bruto sektor ke – i
PDRB menurut pendekatan pengeluaran adalah jmlah dari semua komponen dari permintaan akhir, yaitu: konsumsi rumahtangga (C), pembentukan modal tetap
23
bruto (I), konsumsi pemerintah (G), ekspor (X) dan impor (M). Sehingga PDRB dirumuskan sebagai : PDRB
= C + I + G + X − M
(2.3)
Pertumbuhan PDRB atau biasa disebut pertumbuhan ekonomi dirumuskan sebagai: y = ∆ PDRB
=
PDRB t − PDRB PDRB t − 1
t −1
(2.4)
Dimana: y = ∆PDRB = pertumbuhan ekonomi PDRBt = PDRB tahun ke - t PDRBt −1 = PDRB tahun sebelumnya (t-1) PDRB per kapita dirumuskan sebagai: y
perkapita
=
PDRB jumlah penduduk
(2.5)
Pertumbuhan PDRB per kapita dirumuskan sebagai:
∆ y perkapita =
y t − y t −1 y t −1
(2.6)
Sukirno (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan persentase kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya. Pendapatan nasional ini dihitung berdasarkan jumlah seluruh output barang dan jasa yang dihasilkan oleh perekonomian suatu negara. Pengaruh program PEMP dalam penelitian ini diukur dengan melakukan pendekatan kuantitatif pada indikator pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi seperti yang dijelaskan oleh Sukirno (2004) tersebut, merupakan indikator yang tepat untuk digunakan dalam penelitian ini, yang dapat diukur melalui nilai Produk Domestik Bruto (PDB) maupun Produk Domestik Regional
24
Bruto (PDRB). PDB maupun PDRB secara umum digunakan sebagai pendekatan dalam mengukur kinerja pembangunan ekonomi (Sen, 1988). PDB merupakan pendapatan total dan pengeluaran total nasional atas output barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara. PDB dapat mengukur pertumbuhan ekonomi suatu negara, karena PDB merupakan nilai tambah yang merupakan refleksi dari seluruh kegiatan ekonomi di suatu negara (Mankiw, 2007). Nilai PDB ini merupakan indikator yang umum digunakan sebagai gambaran tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
2.1.5. Ketimpangan Pendapatan Ketimpangan pendapatan adalah suatu kondisi dimana distribusi pendapatan yang diterima masyarakat tidak merata. Ketimpangan ditentukan oleh tingkat pembangunan, heterogenitas etnis, ketimpangan juga berkaitan dengan kediktatoran dan pemerintah yang gagal menghargai property rights (Glaeser,2006). Alesina dan Rodrik (1994) menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan akan menghambat pertumbuhan dan tentunya menyebabkan kebijakan redistribusi pendapatan akan menjadi mahal.
Kemiskinan absolut dan penurunan kemiskinan
“Strategi Pembangunan” Distribusi dan Perubahan Distribusi pendapatan
Tingkat pendapatan agregat dan pertumbuhan
Sumber: Bourguignon (2004) Gambar 2.1. The Poverty-Growth-Inequality Triangle
25
Bourguignon (2004) menyatakan bahwa ketimpangan merujuk pada adanya disparitas pendapatan relatif penduduk. Disparitas dalam pendapatan ini didapat setelah menormalisasi seluruh pengamatan dengan rata-rata populasi sehingga membuatnya sebagai skala yang independen terhadap pendapatan. Ketimpangan pendapatan memiliki hubungan yang cukup erat dengan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan, sehingga dikembangkanlah kerangka konseptual the poverty-growth-inequality triangle untuk melihat hubungan ketiga variabel ini (Gambar 2.1). Ketimpangan pendapatan terjadi apabila sebagian besar penduduk memperoleh pendapatan yang rendah dan pendapatan yang besar hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduk. Semakin besar perbedaan pendapatan yang diterima masing-masing kelompok menunjukkan semakin besarnya ketimpangan. Adanya ketimpangan yang tinggi antara kelompok kaya dan miskin menurut Todaro dan Smith (2006) akan menimbulkan setidaknya dua dampak negatif yaitu: 1. Terjadinya inefisiensi ekonomi. Hal ini dikarenakan semakin banyak penduduk yang kesulitan mengakses kredit terutama penduduk miskin, sedangkan penduduk kaya cenderung lebih konsumtif untuk barang mewah. 2. Melemahkan stabilitas dan solidaritas sosial.
Terdapat beragam ukuran dalam menilai ketimpangan pendapatan suatu wilayah. Indeks gini adalah salah satu ukuran dalam mengukur ketimpangan, selain itu terdapat beberapa ukuran lainnya, antara lain Indeks Theil, kriteria Bank Dunia dan Indeks Williamson. Indeks gini merupakan ukuran ketimpangan yang paling sering digunakan. Hal ini disebabkan penghitungan indeks gini yang relatif mudah dan dapat menggunakan berbagai pendekatan baik pengeluaran atau pendapatan, sehingga dapat mengukur perbedaan tingkat daya beli masyarakat secara riil. Berdasarkan alasan tersebut, penelitian ini menggunakan indeks gini dalam mengukur ketimpangan pendapatan. Penghitungan indeks gini menggunakan data pengeluaran rumahtangga yang dikumpulkan oleh BPS setiap tahun melalui SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional). Data nilai besarnya pengeluaran digunakan sebagai
26
pendekatan untuk menghitung pendapatan rumahtangga. Pendekatan ini dianggap lebih mencerminkan keadaan sebenarnya, meskipun ada juga kelemahan-kelemahan dari pendekatan ini. Hidayat dan Patunru (2007) mengungkapkan bahwa penghitungan indeks gini dengan menggunakan data pengeluaran cenderung lebih rendah daripada indeks gini yang dihitung dengan data pendapatan. Hal ini karena data pengeluaran kemungkinan hanya dapat menggambarkan besarnya pendapatan pada penduduk berpendapatan rendah dan menengah, tetapi tidak untuk penduduk berpendapatan tinggi. Indeks gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang nilainya berkisar antara nol dan satu. Nilai indeks gini 0 (nol) artinya tidak ada ketimpangan (pemerataan sempurna) sedangkan nilai 1 (satu) artinya ketimpangan sempurna. Ketimpangan pendapatan dalam masyarakat dapat dikelompokkan sebagai ketimpangan rendah, sedang atau tinggi. Pengelompokkan ini sesuai dengan ukuran ketimpangan yang digunakan. Nilai indeks gini pada negara-negara yang ketimpangannya tinggi berkisar antara 0,50 hingga 0,70, sedangkan untuk negara-negara yang distribusi pendapatanya relatif merata, nilainya antara 0,20 hingga 0,35 (Todaro dan Smith, 2006). Indeks gini dihitung dengan menggunakan Kurva Lorenz. Indeks gini dirumuskan sebagai rasio antara luas bidang yang terletak antara Kurva Lorenz dan garis diagonal (luas bidang A) dengan luas separuh segi empat dimana Kurva Lorenz berada (luas bidang BCD). Rumusan ini di ilustrasikan pada Gambar 2.2. di bawah ini. Luas bidang A Indeks Gini = Luas bidang BCD
. (2.7)
27
Sumber: Todaro dan Smith (2006) Gambar 2.2. Kurva Lorenz
Cara lain untuk menghitung Indeks Gini adalah dengan menggunakan formula berikut (Wodon dan Yitzhaki, 2002):
Gini
=
2 Cov ( y , F ) y
(2.8)
dimana: y = pendapatan individu atau rumahtangga F = rank individu atau rumahtangga dalam distribusi pendapatan (nilainya antara 0 = paling miskin dan 1 = paling kaya) y = pendapatan rata-rata
Indeks Gini relatif mudah untuk diinterpretasikan. Misalkan diketahui Indeks Gini dalam suatu masyarakat adalah 0,4. Artinya, jika rata-rata pendapatan per kapita masyarakat tersebut sebesar Rp 1 juta, maka ekspektasi perbedaan pendapatan per kapita antara dua individu yang diambil secara acak akan sebesar Rp 0,4 juta (0,4 x Rp 1 juta). Interpretasi melalui kurva Lorenz juga relatif mudah. Jika kurva Lorenz terletak relatif jauh dari garis 450 , berarti ketimpangan besar. Semakin mendekati garis 450, maka ketimpangan semakin kecil (semakin merata).
28
2.1.6. Tingkat Pengangguran Terbuka Salah satu persoalan mendasar dalam aspek ketenagakerjaan adalah pengangguran. Mulai tahun 2001 definisi pengangguran terbuka mengikuti rekomendasi International Labour Organization (ILO). Pengangguran Terbuka (Open Unemployment) adalah orang yang masuk dalam angkatan kerja (15 tahun keatas) yang sedang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan dan yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja, dan pada waktu yang bersamaan mereka tidak bekerja (jobless). Penghitungan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menggunakan data ketenagakerjaan yang dikumpulkan oleh BPS setiap tahun melalui SAKERNAS (Survei Angkatan Kerja Nasional). TPT dihitung dengan rumus:
(2.9) Selain pengangguran terbuka, juga dikenal istilah Setengah Pengangguran (Under Unemployment) yaitu tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal yang bekerja kurang dari 35 jam selama seminggu. Permasalahan pengangguran dan setengah
pengangguran
ini
merupakan
persoalan
serius
karena
dapat
menyebabkan tingkat pendapatan nasional dan tingkat kemakmuran masyarakat tidak mencapai potensi maksimal. Pengangguran dapat dibedakan beberapa jenis berdasarkan penyebabnya antara lain : a.
Pengangguran Struktural adalah pengangguran yang terjadi karena adanya perubahan dari struktur perekonomian. Penduduk yang tidak mempunyai keahlian yang cukup untuk memasuki sektor baru sehingga mereka menganggur. Contoh : Para petani kehilangan pekerjaan karena daerahnya berubah fungsi dari daerah agraris menjadi daerah industri.
b.
Pengangguran Siklus adalah pengangguran yang terjadi karena menurunnya kegiatan perekonomian (seperti resesi) sehingga menyebabkan berkurangnya permintaan masyarakat.
c.
Pengangguran Musiman adalah pengangguran yang muncul akibat adanya pergantian musim misalnya pergantian musim panen ke musim tanam.
29
d.
Pengangguran friksional adalah pengangguran yang muncul akibat adanya ketidaksesuaian antara pemberi kerja dan pencari kerja.
e.
Pengangguran teknologi adalah pengangguran yang terjadi karena adanya penggunaan alat-alat teknologi yang semakin modern sebagai subtitusi tenaga kerja manusia.
2.1.7. Konsep Kemiskinan Berbagai konsep mengenai kemiskinan dikemukakan oleh para ahli, diantaranya Bellinger (2007) yang berpendapat bahwa kemiskinan memiliki dua dimensi yaitu dimensi pendapatan dan non pendapatan. Kemiskinan dalam dimensi pendapatan didefinisikan sebagai keluarga yang memiliki pendapatan rendah, sedangkan dari dimensi non pendapatan ditandai dengan adanya ketidakmampuan, ketiadaan harapan, tidak adanya perwakilan dan kebebasan. Kemiskinan dari sisi pendapatan lebih sering didiskusikan karena lebih mudah diukur, dan dapat dibedakan menjadi kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Todaro dan Smith (2006) berpendapat bahwa kemiskinan absolut adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu, atau dapat dikatakan hidup di bawah garis kemiskinan internasional,
selain
kemiskinan
absolut,
beberapa
ekonom
mencoba
mengkalkulasikan indikator jurang kemiskinan total yang mengukur pendapatan total yang diperlukan untuk mengangkat mereka yang masih di bawah garis kemiskinan ke atas garis tersebut. Kemiskinan relatif merupakan ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya berkaitan dengan ukuran di bawah tingkat rata-rata distribusi pendapatan nasional, gini rasio merupakan salah satu contoh ukuran kemiskinan relatif. Bank Dunia (1990) menyatakan bahwa garis kemiskinan berbeda untuk tiap negara, tetapi yang umum dijadikan standar untuk membandingkan antar negara adalah garis kemiskinan internasional yang menggunakan pendapatan perkapita sebesar US$ 1 per hari. US dollar yang digunakan adalah US $ PPP (Purchasing Power Parity), bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Studi yang dilakukan oleh Chen dan Ravallion (2008) menyatakan bahwa menurut standar
30
PPP dari International Comparison Program (ICP) tahun 2005 bahwa garis kemiskinan internasional sebesar US$ 1 per hari tidak lagi sesuai dengan nilai PPP tahun 2005, untuk itu Chen dan Ravallion menyatakan bahwa garis kemiskinan internasional yang lebih tepat dengan menggunakan nilai PPP tahun 2005 dari ICP adalah sebesar US$ 1,25 per hari. Badan Pusat Statistik (2007) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2100 kalori perkapita per hari yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480 kg/kapita/tahun di daerah perkotaan. Garis kemiskinan yang ditetapkan BPS pada tahun 2008 sebesar Rp 204,896 untuk daerah perkotaan dan Rp 161,831 untuk daerah pedesaan. Garis kemiskinan juga berbeda-beda untuk tiap daerah tergantung besarnya biaya hidup minimum masing-masing daerah. Penghitungan indikator kemiskinan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tidak terbatas pada jumlah dan persentase penduduk miskin, BPS juga menghitung rasio kedalaman kemiskinan (poverty gap ratio) dan Indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index) dengan menggunakan metode Foster-Greer-Thorbecke (FGT), yang dirumuskan sebagai:
1 q z − yi Pα = ∑ N i =1 z
α
(2.10)
dimana: z
= besarnya garis kemiskinan yang ditetapkan.
N
= jumlah penduduk.
q
= banyaknya penduduk yang di bawah garis kemiskinan.
yi
= rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (i = 1, 2, 3, .......q), yi < q.
α
= 0,1 dan 2.
Jika α = 0 maka diperoleh persentase penduduk miskin (P0); jika α = 1 adalah Indeks kedalaman kemiskinan (P1); dan jika α = 2 adalah Indeks keparahan kemiskinan (P2). Indeks kedalaman kemiskinan P1 merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas kemiskinan. Semakin tinggi nilai P1 berarti semakin besar kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan atau menunjukkan
31
kehidupan ekonomi penduduk miskin semakin terpuruk. Sedangkan P2 sampai batas tertentu dapat memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin, dan dapat juga untuk mengetahui intensitas kemiskinan. Metode penghitungan penduduk miskin yang dilakukan BPS sejak pertama kali hingga saat ini menggunakan pendekatan yang sama yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Dengan kata lain, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar. Beberapa ahli yang mendalami masalah kemiskinan membagi ukuran kemiskinan tidak hanya berdasarkan P1 dan P2 saja, namun berdasarkan tipe kemiskinan. Tipe kemiskinan menurut Jalan dan Ravallion (1998) dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu chronic poverty dan transient poverty. Kemiskinan kronis (chronic poverty) dapat diartikan kondisi dimana suatu individu yang tergolong miskin pada suatu waktu, kemiskinannya terus meningkat dan berada pada tingkat kesejahteraan yang rendah dalam jangka panjang. Kemiskinan sementara (transient poverty) adalah kondisi kemiskinan yang terjadi pada suatu waktu hanya bersifat sementara (tidak permanen), yang dikarenakan penurunan standar hidup individu dalam jangka pendek. Kebijakan yang berbeda diperlukan dalam menangani kedua tipe kemiskinan ini. Investasi jangka panjang untuk orang miskin seperti peningkatan modal fisik maupun modal manusia merupakan kebijakan yang sesuai untuk menangani kemiskinan chronic poverty, sedangkan asuransi dan skema stabilisasi pendapatan yang memproteksi rumahtangga dari guncangan ekonomi (economic shocks) akan menjadi kebijakan yang penting ketika tipe kemiskinan yang terjadi adalah transient poverty.
32
2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu 2.2.1. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) Penelitian mengenai program PEMP pernah dilakukan oleh Subagio (2007) dengan tujuan untuk menganalisis dampak PEMP terhadap pendapatan sasaran program dan mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan sasaran program. Hasilnya menunjukkan bahwa program PEMP di Subang dan Cirebon memberikan dampak nyata pada peningkatan pendapatan masyarakat. Bandjar (2009) meneliti tentang program PEMP dari sisi strategi peningkatan mutu program PEMP di Kabupaten Maluku Tenggara. Dalam penelitiannya, Bandjar menggunakan 5 elemen kinerja program antara lain kelembagaan PEMP, pengelolaan Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir (LEPP), kapasitas pemanfaat, kemitraan dan pemangku kepentingan. Analisis yang digunakan adalah Multi Dimentional Scalling (MDS) yang hasilnya menunjukkan bahwa kinerja program PEMP secara menyuluruh tergolong cukup. Penelitian Astuti (2004) mengenai Manfaat PEMP terhadap Pendapatan Masyarakat Nelayan Tradisional di Kabupaten Lamongan memberikan hasil bahwa selisih pendapatan sesudah dan sebelum mengikuti program PEMP terdapat perbedaan peningkatan pendapatan nelayan dengan taraf signifikansi sebesar 0,037. Penelitian mengenai adanya program PEMP tidak selalu memberikan hasil yang positif, terutama dari sisi mekanisme pengelolaan program pelaksanaannya. Kajian yang dilakukan oleh Aisyah et. al. (2010) mengenai Prestasi Program PEMP di Jakarta Utara diperoleh temuan sebagai berikut: 1)Pelaksanaan program di tingkat kabupaten dan kecamatan tidak sesuai prosedur yang sudah ditentukan. 2) Hasil evaluasi menunjukkan bahwa Dana Ekonomi Produktif banyak dimanfaatkan oleh pedagang yang tidak miskin. 3) Masyarakat pesisir tidak mampu untuk mengajukan pinjaman, jika meminjam umumnya tidak mampu untuk melunasi pinjaman.
33
2.2.2. Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi dengan Ketimpangan Pendapatan Penelitian mengenai hubungan korelasi yang positif antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan pendapatan dilakukan dengan fokus negara tunggal. Ravallion dan Datt (1996) menggunakan data time series (1951-1991), melakukan penelitian di India mengenai dampak pertumbuhan ekonomi sektoral dan migrasi dari desa ke kota terhadap kemiskinan di daerah perkotaan dan perdesaan. Sebagai pendekatan pendapatan per kapita, digunakan jumlah produk domestik (GDP) riil per kapita, sedangkan indikator ketimpangan pendapatan menggunakan indeks gini yang dihitung berdasarkan konsumsi per kapita. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa selama periode tersebut, rata-rata pendapatan per kapita meningkat. Sementara itu, pada waktu yang bersamaan tingkat ketimpangan pendapatan terjadi kecenderungan penurunan. Wodon (1999) dengan menggunakan spesifikasi model data panel dalam bentuk log-log dan melibatkan 70 observasi secara nasional (30 observasi untuk daerah perkotaan dan 40 observasi untuk daerah perdesaan) selama periode tahun 1983-1996, juga melakukan penelitian mengenai pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan baik secara nasional maupun menurut daerah perkotaan dan daerah perdesaan di Bangladesh. Untuk menggambarkan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketidakmerataan, Wodon mengajukan model: Log Gkt = αk + β Log Rkt + ξkt
(2.11)
dimana: Gkt : indeks Gini untuk area ke k-periode ke t, Rkt : pertumbuhan ekonomi untuk area ke k periode ke t, αk : common/fixed/random effect untuk area ke k, ξkt : disturbance term Berdasarkan hasil penelitiannya, Wodon menyimpulkan bahwa terdapat hubungan korelasi yang positif antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan pendapatan baik secara nasional maupun di daerah perkotaan, dimana nilai estimasi parameternya untuk daerah perkotaan lebih besar daripada secara
34
nasional. Sedangkan untuk daerah perdesaan tidak terdapat hubungan yang sistematik antara pertumbuhan ekonomi dengan ketidakmerataan pendapatan. Ketimpangan pendapatan yang telah diterima oleh berbagai kelompok masyarakat (kondisi awal), dalam jangka panjang akan mengakibatkan terjadinya ketimpangan dalam distribusi kekayaan. Ketimpangan ini mendorong terjadinya perbedaan baik dalam kepemilikan aset dan tabungan masyarakat (investasi) serta status sosial-politik, bahkan dapat mendorong terjadinya ketidakstabilan politik. Penelitian yang telah dilakukan peneliti-peneliti berikut ini telah menunjukkan adanya pengaruh dari ketimpangan terhadap pertumbuhan ekonomi. Alesina dan Rodrik (1994), melakukan penelitian mengenai pengaruh dari ketidakmerataan pendapatan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui ekonomi politik, yaitu dengan menggunakan indeks Gini pendapatan dan kepemilikan tanah sebagai dua indikator ketidakmerataan. Hasilnya ketidakmerataan pendapatan dan kepemilikan tanah mempunyai korelasi negatif dengan laju pertumbuhan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakmerataan pendapatan dan kepemilikan tanah yang semakin membesar akan mengurangi laju pertumbuhan ekonomi selanjutnya. Alesina dan Perotti (1996), meneliti pengaruh ketidakmerataan pendapatan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui ketidakstabilan politik dan investasi. Hasilnya ketidakmerataan pendapatan meningkatkan ketidakstabilan politik dan pada
gilirannya
menurunkan
investasi.
Konskwensinya,
ketidakmerataan
pendapatan dengan investasi mempunyai mempunyai hubungan korelasi yang negatif. Karena investasi adalah pendorong utama dari pertumbuhan ekonomi, maka
peningkatan
ketidakmerataan
pendapatan
akan
menurunkan
laju
pertumbuhan ekonomi . Chambers (2003), meneliti hubungan antara ketidakmerataan pendapatan, investasi dan pengeluaran pemerintah dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasilnya adalah tanpa investasi dan atau pengeluaran pemerintah yang cukup, ketidakmerataan pendapatan yang lebih tinggi justru meningkatkan pertumbuhan ekonomi selanjutnya. Akan tetapi, jika investasi dan atau pengeluaran pemerintah adalah hal yang substansil, ketimpangan pendapatan yang lebih tinggi boleh jadi mengurangi pertumbuhan ekonomi selanjutnya.
35
2.2.3. Hubungan antara Tingkat Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan Dalam penelitiannya mengenai kemiskinan di daerah pedesaan di Republik Rakyat China (RRC), Lin (2003) menggunakan data time series yang terdiri dari data pendapatan bersih per kapita, indeks gini, dan berbagai ukuran kemiskinan, serta dengan mengasumsikan bahwa distribusi pendapatan mengikuti suatu pola distribusi log normal dan dengan melakukan dekomposisi indeks pengurangan kemiskinan menurut pendapatan per kapita dan ketimpangan pendapatan. Lin (2003) menemukan fakta bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi di RRC antara tahun 1985 dan 2001 selain mengurangi kemiskinan juga meningkatkan ketimpangan
yang pada akhirnya mengurangi
efektifitas
pengurangan kemiskinan. Telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh yang positif terhadap pengurangan kemiskinan, yang berarti terdapat hubungan korelasi negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan angka kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi juga diasosiasikan dengan ketidakmerataan pendapatan, dimana meningkatnya ketidakmerataan pendapatan akan mengurangi efektifitas pengurangan kemiskinan, terdapat trade-off antara ketidakmerataan pendapatan dengan pengurangan kemiskinan. Untuk itu telah banyak dilakukan penelitian dengan tujuan melakukan dekomposisi terhadap pengurangan kemiskinan, yaitu yang berasal dari pertumbuhan ekonomi dan dari ketimpangan pendapatan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lin (2003) di daerah perdesaan (RRC) menunjukkan adanya konsistensi terhadap komposisi penyebab terjadi penurunan kemiskinan, dimana pertumbuhan ekonomi selalu mengurangi kemiskinan sedangkan ketidakmerataan pendapatan juga selalu mengurangi efektifitas pengurangan kemiskinan yang disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi. Adam (2004) melakukan penelitian mengenai elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi (komponen pengurangan kemiskinan yang berasal dari pertumbuhan ekonomi), yaitu dengan menggunakan panel data 60 negara berkembang (tidak termasuk negara-negara Eropa Timur dan Asia Tengah), garis kemiskinan sebesar 1 Dollar/ kapita/ hari, dan dengan model first
36
difference log-log. Penelitiannya menghasilkan kesimpulan bahwa elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi mempunyai nilai berbeda tergantung proxy
terhadap
data
pertumbuhan
ekonomi
yang
digunakannya.
Jika
menggunakan data konsumsi, elastisitasnya adalah -2,79, yang berarti bahwa kenaikan 10 persen dari konsumsi akan menurunkan kemiskinan sebesar 27,9 persen. Sedangkan bila pertumbuhan ekonomi diukur dengan menggunakan data perubahan GDP per kapita akan menghasilkan elastisitas sebesar -2,27 (tidak signifikan). Wodon (1999) juga melakukan dekomposisi terhadap pengurangan kemiskinan, yaitu dengan mengukur elastisitas (gross) dari kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi (J),elastisitas dari ketidakmerataan pendapatan terhadap pertumbuhan ekonomi (E), elastisitas dari kemiskinan terhadap ketidakmerataan pendapatan (G ) dan elastisitas (net) dari kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi (O ). Untuk mengukur elastisitas-elastisitas tersebut diatas, Wodon menggunakan model sebagai berikut: Log Pkt = ϖ
k
+ γ LogRkt + δ LogGkt + vkt
(2.12)
dimana: Pkt
: angka kemiskinan (Head Count Index) untuk area ke k, periode ke t,
Rkt
: Pertumbuhan ekonomi untuk area ke k, periode ke t,
Gkt
: Indeks Gini untuk area ke k, periode ke t,
ϖk
: common/fixed/random effect untuk area ke k,
vkt
: disturbance term Hasil penelitian Wodon untuk angka kemiskinan (HCI) dengan
menggunakan batas bawah dari garis kemiskinan dan model fixed effect, terlihat adanya
konsistensi arah (positif/negatif) untuk setiap estimasi parameter
elastisitas baik secara nasional, daerah perkotaan maupun untuk daerah perdesaan. Namun ada parameter yang tidak signifikan untuk daerah perdesaan, yaitu parameter antara pertumbuhan ekonomi dengan ketidakmerataan pendapatan. Pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan kemiskinan lebih terasa didaerah perdesaan daripada secara nasional maupun daerah perkotaan.
37
2.2.4. Hubungan antara Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Pengangguran Model regresi yang dipakai untuk menjelaskan hubungan antara kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran mengacu kepada model yang dikembangkan oleh Xin Meng dkk pada tahun 2005 dalam penelitiannya yang berjudul “Poverty, Inequality, and Growth in Urban China, 1986-2000”. Dalam penelitiannya,
Xin Meng et. al. (2005)
mengembangkan suatu model kemiskinan, dalam modelnya tersebut kemiskinan merupakan fungsi dari pendapatan, tingkat ketimpangan, tingkat tabungan, tingkat kenaikan harga, persentase pengeluaran untuk pendidikan, perumahan dan kesehatan terhadap total pengeluaran serta fungsi dari suatu variabel kontrol dalam hal ini pengangguran. Mengacu kepada model Xin Meng, model persamaan regresi yang dibentuk
yaitu
untuk peubah tidak bebas (dependent variable) digunakan
persentase penduduk miskin sedangkan peubah bebasnya (independent variable) adalah PDRB harga konstan, gini rasio, tingkat pengangguran terbuka (TPT). Data yang digunakan adalah data kabupaten/kota (cross section). Model selengkapnya adalah sebagai berikut: P0it = β 0 + β 1 * (PDRBit ) + β 2 * (Giniit) + β 3* (TPTit ) + eit dimana: P0
= % penduduk miskin (Head Count Index)
PDRBHK = Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan Gini
= Gini rasio
TPT
= Tingkat Pengangguran Terbuka
i
= Kabupaten/kota ke-i
t
= Tahun pengamatan
eit
= disturbance term
(2.13)
38
2.3.
Kerangka Pemikiran Untuk
mendapatkan
keterkaitan
antara
program
PEMP
dengan
pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan, berikut dalam penelitian ini disampaikan kerangka penelitian yang dibangun (Gambar 2.3).
KEBIJAKAN KKP (3 PILAR PEMBANGUNAN KKP)
PROGRAM PEMP DI KABUPATEN PESISIR
IMPLEMENTASI PROGRAM PEMP
Perekonomian
Peningkatan Pertumbuhan
Penyerapan Tenaga Kerja
Penurunan Pengangguran
Dinamika Kabupaten/Kota Pesisir (ANALISIS DESKRIPTIF)
ANALISIS KUADRAN
Peningkatan Pendapatan Riil/Konsumsi Maasyarakat Penurunan Ketimpangan Pendapatan
Penurunan Kemiskinan
ANALISIS PRO POOR GROWTH /GIC
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Kesimpulan dan Saran
Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian
ANALISIS DATA PANEL
39
2.4. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang disusun dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Program PEMP dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi tingkat regional di kabupaten/kota pesisir. 2. Program PEMP mampu menurunkan ketimpangan pendapatan masyarakat di kabupaten/kota pesisir. 3.
Program PEMP dapat menurunkan pengangguran melalui penciptaan lapangan pekerjaan masyarakat di kabupaten/kota pesisir.
4. Program PEMP dapat menurunkan kemiskinan di kabupaten/kota pesisir. 5. Terdapat pola hubungan antara program PEMP, pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan di kabupaten/kota pesisir.
III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi: 1. Data panel hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dan Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 2005-2009 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) antara lain jumlah dan persentase penduduk miskin, garis kemiskinan, indeks gini dan tingkat pengangguran terbuka. 2. Data yang diperoleh dari berbagai publikasi BPS, diantaranya publikasi indikator kesejahteraan rakyat dan produk domestik regional bruto (PDRB). 3. Data berupa informasi kabupaten/kota pesisir dan bukan pesisir, data mengenai besarnya bantuan dari program PEMP tahun 2005-2009, serta publikasi PEMP yang bersumber dari KPP. 3.1.1. Data yang Digunakan Untuk Peubah Data Panel Data yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 3 s.d 7. 1. Pertumbuhan ekonomi: PDRB perkapita atas dasar harga konstan tahun 20052009, sumber BPS. 2. Ketimpangan pendapatan: Indeks gini yang dihitung berdasarkan pendekatan pengeluaran hasil SUSENAS tahun 2005-2009, sumber BPS. 3. Pengangguran: Tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang dihitung dari hasil SAKERNAS tahun 2005-2009, sumber BPS. 4. Kemiskinan: Persentase penduduk miskin yang dihitung berdasarkan pendekatan garis kemiskinan hasil SUSENAS 2005-2009, sumber BPS. 5.
PEMP: Alokasi besaran dana PEMP yang diberikan pada kabupaten/kota pesisir penerima program PEMP tahun 2005-2009, sumber KKP.
3.1.2. Data yang Digunakan Untuk Menghitung GIC Data yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 8. Data yang berasal dari pengeluaran perkapita dilihat melalui persentil hasil SUSENAS tahun 2005 dan tahun 2009. Penghitungan untuk sumber data pengeluaran berasal dari data konsumsi rumahtangga yang dikumpulkan oleh BPS setiap tahun melalui
42
SUSENAS.
Pendekatan
untuk
menghitung
pendapatan
rumahtangga
menggunakan nilai besarnya pengeluaran. Pendekatan ini dianggap lebih mencerminkan keadaan sebenarnya, meskipun ada juga kelemahan-kelemahan dari pendekatan ini. Coudovel et al. (2002) mengungkapkan bahwa konsumsi merupakan indikator yang lebih baik untuk mengukur kemiskinan karena: 1. Konsumsi adalah indikator yang lebih baik untuk mengukur outcome daripada pendapatan. Konsumsi lebih terkait dengan keadaan seseorang, sehingga bisa digunakan untuk ukuran kebutuhan dasar. Dilain pihak, pendapatan adalah salah satu elemen yang memungkinkan untuk mengkonsumsi barang. Data pendapatan juga lebih sulit diakses dan mungkin tidak tersedia. 2. Konsumsi bisa diukur lebih baik daripada pendapatan. Pada perekonomian agraris yang miskin, pendapatan rumahtangga berfluktuasi, sehingga lebih sulit diukur. Pada daerah perkotaan, dengan sektor informal yang besar, pendapatan juga sulit diukur. Sehingga rumahtangga yang menjadi responden akan kesulitan untuk memberikan data pendapatannya. 3. Konsumsi lebih merefleksikan standar hidup yang sebenarnya dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Pengeluaran untuk konsumsi tidak hanya merefleksikan barang dan jasa yang bisa dibeli oleh rumahtangga,
tapi
juga
kemungkinan
rumahtangga
tersebut
bisa
mengakses pasar kredit ketika pendapatannya rendah. Hidayat dan Patunru (2007) mengungkapkan bahwa penghitungan indeks gini dengan menggunakan data pengeluaran cenderung lebih rendah daripada indeks gini yang dihitung dengan data pendapatan. Hal ini karena data pengeluaran kemungkinan hanya dapat menggambarkan besarnya pendapatan pada penduduk berpendapatan rendah dan menengah, tetapi tidak untuk penduduk berpendapatan tinggi. 3.2
Metode Analisis Metode analisis yang digunakan antara lain: Analisis deskriptif, analisis
kuadran, analisis growth incidence curve (GIC) dan analisis data panel.
43
3.2.1. Analisis Deskriptif Analis deskriptif merupakan suatu teknik analisis sederhana yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi suatu observasi dengan menyajikan dalam bentuk ulasan, tabel maupun grafik dengan tujuan memudahkan dalam menafsirkan hasil observasi. 3.2.2. Analisis Kuadran Analisis kuadran dalam penelitian ini digunakan untuk melihat dampak implementasi program PEMP periode 2005-2009 terhadap 20 kabupaten/kota pesisir, yaitu berupa analisis dinamika dan perkembangan pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran terhadap kemiskinan yang terjadi di kabupaten/kota pesisir pada awal periode (tahun 2005), dan setelah 4 tahun implementasi program PEMP (tahun 2009). Gambaran kedua waktu tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran dinamika kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran di kabupaten/kota pesisir.
3.2.3. Analisis Pro Poor Growth ( Growth Incidence Curve/GIC) Analisis Pro Poor Growth ( Growth Incidence Curve/GIC) yang digunakan dalam penelitian ini untuk melihat apakah pertumbuhan ekonomi di wilayah pesisir (20 kabupaten/kota pesisir) memberikan manfaat bagi penduduk miskin atau mengarah ke pro poor growth (PPG), digunakan analisis growth incidence curve (GIC). PPG yang digunakan dalam penelitian ini diukur melalui pendekatan agregat. Ravallion (2005) menggunakan GIC untuk mengukur PPG, dengan rumus:
g ( p) = γ + dLn( L' ( p))
(3.1)
Dimana γ = dLn(µ) yaitu tingkat pertumbuhan rata-rata pendapatan (pengeluaran) dari keseluruhan penduduk. g(p) = GIC. Jika g(p) >nol (0), artinya GIC bernilai positif di keseluruhan penduduk persentil-p, maka pertumbuhan bersifat pro poor growth. Sebaliknya, jika g(p) bernilai negatif atau tidak semua positif di keseluruhan penduduk persentil-p, maka pertumbuhan belum bersifat pro poor growth. Selain itu, GIC dapat menunjukkan perubahan ketimpangan pendapatan antara penduduk miskin
44
dan kaya. Jika GIC merupakan fungsi turun, maka ketimpangan menurun demikian pula sebaliknya. 3.2.3.1
Tahapan Pengolahan GIC Pengolahan Growth Incidence Curve (GIC) menggunakan SPSS 13.
Tahapan sebagai berikut: 1. Data yang digunakan yaitu rata-rata pengeluaran penduduk perkapita hasil SUSENAS 2005 dan 2009, masing-masing dari 20 kabupaten/kota pesisir. 2. Distribusi pengeluaran menurut persentil, diurutkan dari pengeluaran rendah sampai dengan tertinggi (100 persen) dihitung masing-masing untuk tahun 2005 dan 2009. 3. Dihitung masing-masing persentil nilai growth (pertumbuhan) rata-rata pengeluaran penduduk tahun 2009 dibanding tahun 2005. 4. Nilai growth menurut persentil dibuat kurva dengan rata-rata pertumbuhan (mean growth)
growth
p − p 5 = 9 p9
x 100
Atau menggunakan rumus pertumbuhan geometrik
P r = 9 P5
1 n
− 1
Dimana: r = pertumbuhan P5 = rata-rata pengeluaran perkapita tahun 2005 P9 = rata-rata pengeluaran perkapita tahun 2009 n = selisih periode tahun (2009-2005=4) 3.2.4. Analisis Data Panel Untuk melihat pengaruh program PEMP serta keterkaitan antara pertumbuhan
ekonomi,
ketidakmerataan
pendapatan,
pengangguran
dan
kemiskinan digunakan analisis kuantitatif yaitu dengan menggunakan analisis data panel. Data panel adalah gabungan antara data silang (cross section) dan data runtun waktu (time series), sehingga periode waktu yang digunakan tidak terlalu panjang dan data silangnya dapat berupa karakteristik suatu perusahaan /wilayah/
45
negara . Jadi, data panel terdiri dari beberapa atau banyak objek yang meliputi beberapa periode. Nama lain data panel antara lain: Panel Pooled data, combination of time series and cross section data, longitudinal data, pooled-time series data. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel. Sebaliknya, jika unit-unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang berbeda maka disebut unbalanced panel. Regresi dengan menggunakan data panel disebut dengan model regresi data panel. Penggunaan model regresi data panel memungkinkan untuk menangkap karakteristik antar individu dan antar waktu. Selain itu, data panel digunakan apabila observasi dari cross section saja atau data time series saja tidak cukup untuk dilakukan analisis, karena dengan data panel observasinya akan lebih banyak. Hsiao (1990) menyatakan bahwa model regresi data panel memiliki beberapa keuntungan, antara lain: 1.
Data panel mampu menyediakan data yang lebih banyak dan informasi yang lebih lengkap, karena merupakan gabungan antara data cross section dan data time series, sehingga model regresi data panel akan menghasilkan degree of freedom (df) yang lebih besar yang selanjutnya akan meningkatkan presisi dari estimasi regresi;
2.
Penggabungan informasi dari data time series dan data cross section, dapat mengatasi masalah yang timbul akibat penghilangan variabel (ommited variable);
3.
Data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregasi individu karena unit data lebih banyak;
4.
Data panel mampu mengindikasikan dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diperoleh dengan data cross section murni atau time series murni;
5.
Data panel mampu mengurangi kolinieritas antar variabel;
6.
Suatu hal yang penting dalam data panel yang diabaikan dalam penggunaan OLS adalah heterogenitas antara unit-unit cross section. Asumsi yang mendasari OLS tersebut sangat jarang berlaku dalam kenyataan sehari-hari.
46
Heterogenitas dapat terjadi pada intercept, slope, atau keduanya. Perbedaan antar individu tersebut dapat diperoleh dengan menggunakan data panel. Kelebihan analisis regresi data panel yang fundamental ditambahkan oleh Greene (2005) yaitu adanya fleksibilitas yang lebih besar bagi peneliti dalam memodelkan perbedaan perilaku diantara individu-individu. Didalam model regresi klasik, gangguan (errorterms/disturbanced) selalu dinyatakan bersifat homoskedastik dan serial uncorrelated. Dalam kondisi tersebut, penggunaan metode OLS akan menghasilkan estimator yang memiliki sifat Best Linear Unbiased Estimator (BLUE). Sedangkan dalam metode regresi data panel, yang merupakan gabungan data beberapa individu dalam beberapa periode, asumsi model regresi klasik tersebut tidak dapat diterapkan. Hal ini terjadi karena dalam data panel terdapat tiga macam gangguan, yaitu: gangguan antar waktu (time series related disturbances), gangguan antar individu (cross section disturbance), serta gangguan antar waktu dan antar individu. Pengujian dalam analisis regresi data panel berbeda dengan pengujian dalam persamaan tunggal. Dalam analisis persamaan tunggal, pengujian dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi gejala homoskedastik, heteroskedastik, atau autokorelasi untuk satu individu. Perbaikan (remidial) model dilakukan jika berdasarkan hasil pengujian terdapat asumsi regresi linier klasik yang terlanggar, sehingga diperoleh hasil estimasi yang bersifat BLUE. Kemudian pengujian dalam analisis data panel dilakukan untuk menentukan estimator yang lebih baik, disesuaikan dengan kondisi matriks varians-covarians residual (Ekananda, 2006). Dalam penelitian ini, penulis membatasi pembahasan pada data panel yang bersifat balanced panel, yang mana tiap-tiap individu (kabupaten/kota) memiliki jumlah observasi time series yang sama. Jadi, total observasi adalah N (jumlah cross section) x T (jumlah time series)
3.2.4.1. Model Regresi Data Panel Analisis regresi yang menggunakan data panel mempunyai tiga macam model, yaitu Common Effect, Fixed Effect dan Random Effect.
47
a. Model Common Effects Model common effects merupakan pendekatan data panel yang paling sederhana, yaitu hanya dengan mengombinasikan data time series dan data cross section dalam bentuk pool, dan teknik estimasinya menggunakan pendekatan kuadrat terkecil/pooled least squares. Model ini tidak memperhatikan dimensi individu maupun waktu, sehingga diasumsikan bahwa perilaku antar individu sama dalam berbagai kurun waktu. Persamaan regresi dalam model common effects dapat ditulis sebagai berikut: Common Effect Model: ;
(3.2)
Dimana : i = 1, 2, 3, … , N; t = 1, 2, 3, … , T N = jumlah observasi / unit cross section / individu T = jumlah periode waktu NT = jumlah data panel m = jumlah variabel bebas Dimana komponen error mengikuti asumsi seperti dalam pengolahan kuadrat terkecil (OLS), sehingga proses estimasi secara terpisah untuk setiap unit cross section dapat dilakukan. Untuk periode t=1, akan diperoleh persamaan regresi cross section sebagai berikut: (3.3) dengan i = 1, 2, 3, …, N Implikasinya, akan diperoleh sebanyak T persamaan cross section yang sama. Begitu juga sebaliknya, kita juga dapat memperoleh persamaan deret waktu (time series) sebanyak N persamaan untuk setiap T periode observasi. Namun, untuk mendapatkan parameter yang konstan dan efisien akan lebih baik jika diperoleh dalam bentuk regresi yang lebih besar dengan melibatkan sebanyak N × T observasi.
48
b. Model Fixed Effects Model ini mengasumsikan bahwa perbedaan antar individu dapat diakomodasi melalui perbedaan intersepnya. Intersep pada setiap individu merupakan parameter yang tidak diketahui dan akan diestimasi. Misalkan dan merupakan T pengamatan untuk setiap unit ke-i, dan yang disusun dalam vektor T × 1 merupakan vektor gangguan, maka model fixed effects dapat ditulis sebagai berikut: Fixed Effect Model: (3.4) Untuk mengestimasi model fixed effects, dimana intersep berbeda antar individu, maka digunakan teknik variable dummy. Metode estimasi ini sering disebut dengan teknik Least Squares Dummy Variable (LSDV). Dengan demikian, persamaan diatas dapat ditulis sebagai berikut: (3.5) c. Model Random Effects Estimasi model regresi data panel dengan fixed effect melalui teknik LSDV menunjukkan ketidakpastian model yang digunakan. Untuk mengatasi masalah ini, bisa menggunakan variabel residual yang dikenal sebagai metode random effects. Pada model ini, akan dipilih estimasi model regresi data panel dimana residual saling berhubungan antar waktu dan antar individu. Oleh karena itu, pada model ini diasumsikan bahwa ada perbedaan intersep untuk setiap individu dan intersep tersebut merupakan variabel random atau stokastik. Dengan demikian, dalam model random effects terdapat dua komponen residual, yaitu residual secara menyeluruh (ξit) dan residual secara individu (ui). Persamaan regresi untuk model random effects dapat ditulis sebagai berikut:
dimana
(3.6)
Beberapa asumsi yang harus dipenuhi dalam model random effects, antara lain:
49
Hal ini berarti bahwa komponen error tidak berkorelasi satu sama lain dan tidak ada autokorelasi antara cross section dan time series. 3.2.4.2. Uji Signifikansi Model Regresi Data Panel Dari ketiga model yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu model common effects, model fixed effects, dan model random effects, selanjutnya akan ditentukan model yang paling tepat untuk mengestimasi regresi data panel. Terdapat tiga prosedur pengujian secara formal yang digunakan untuk memilih model regresi data panel yang terbaik, yaitu uji statistik F yang digunakan untuk memilih antara model common effects atau model fixed effects; uji Langrange Multiplier (LM) yang digunakan untuk memilih antara model common effects atau model random effects; dan uji Hausman yang digunakan untuk memilih antara model fixed effects atau model random effects. Selanjutnya, untuk model estimasi regresi data panel terpilih, akan dilakukan pengujian untuk memilih estimator dengan struktur varians-covarians dari residual yang lebih baik. Model random effects sangat berguna jika individu yang dijadikan sampel adalah dipilih secara random dan merupakan wakil dari populasi (Widarjono, 2005). Sementara itu, Judge dalam Manurung (2005) menyatakan ada empat pertimbangan pokok yang dapat digunakan untuk memilih antara model fixed effects atau random effects, yaitu: Jika jumlah time series (T) besar dan jumlah cross section (N) kecil, maka nilai taksiran parameter berbeda kecil, sehingga pilihan didasarkan pada kemudahan penghitungan, yaitu model fixed effects. a.
Bila N besar dan T kecil, maka penaksiran dengan model fixed effects dan model random effects akan menghasilkan perbedaan yang signifikan. Pada model random effects diketahui bahwa
, dimana
merupakan
komponen acak cross section. Sementara itu, pada model fixed effecs bersifat tidak acak. Bila diyakini bahwa individu atau cross section tidak acak
50
maka model fixed effects lebih tepat. Sebaliknya, jika cross section acak maka model random effects lebih tepat. b.
Jika komponen error
individu berkorelasi, maka penaksir dengan model
random effects adalah bias dan penaksir dengan model fixed effects tidak bias. c.
Jika N besar dan T kecil serta asumsi model random effects terpenuhi, maka penaksir model random effects lebih efisien dari penaksir model fixed effects. Dalam penelitian ini, pemilihan model estimasi terbaik akan dilakukan
dengan menggunakan pengujian secara formal, yaitu dengan tiga jenis pengujian Ketiga pengujian tersebut antara lain: 1.
Uji signifikansi Model Fixed Effects Untuk menguji signifikansi fixed effects dilakukan dengan statistik uji F.
Uji F digunakan untuk mengetahui apakah model regresi data panel dengan fixed effect melalui teknik variabel dummy lebih baik dari model regresi data panel tanpa variabel dummy (common effect) dengan melihat sum square residual (SSR). Hipotesis nul (H0) yang digunakan adalah bahwa intersep dan slope adalah sama. Adapun uji F statistiknya adalah sebagai berikut:
(3.7) dimana n = jumlah individu; k = jumlah parameter dalam model fixed effects tidak termasuk intersep; SSR1 = sum square residual model tanpa variabel dummy (common effect), dan SSR2 = sum square residual model fixed effects dengan variabel dummy. Nilai statistik F hitung akan mengikuti distribusi statistik F dengan derajat bebas (df) sebanyak n-1 untuk pembilang dan sebanyak nT-n-k untuk penyebut. Jika nilai statistik F hitung lebih besar daripada F tabel pada tingkat signifikansi tertentu, maka hipotesis nul akan ditolak, yang berarti asumsi koefisien intersep dan slope adalah sama menjadi tidak berlaku, sehingga model regresi data panel dengan fixed effects lebih baik dari model regresi data panel tanpa variabel dummy (common effects).
51
2.
Uji signifikansi Model Random Effects Untuk mengetahui apakah model random effects lebih baik dari model
common effects, dapat digunakan uji Langrange Multiplier (LM) yang dikembangkan oleh Breusch-Pagan (1980). Pengujian ini didasarkan pada nilai residual dari metode common effects. Hipotesis nul (H0) yang digunakan adalah bahwa intersep bukan merupakan variabel random atau stokastik. Dengan kata lain varians dari residual ui bernilai nol. Adapun nilai statistik LM dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:
(3.8) dimana n = jumlah individu; T = jumlah periode waktu; dan eit adalah residual metode common effects (OLS). Uji LM ini didasarkan pada distribusi chi-square dengan derajat bebas (df) sebesar 1. Jika hasil LM statistik lebih besar dari nilai kritis statistik chi-square, maka hipotesis nul akan ditolak, yang berarti estimasi yang tepat untuk model regresi data panel adalah model random effects daripada model common effects.
3.
Pengujian signifikansi Fixed Effects atau Random Effects (Signifikansi Hausman) Uji Hausman digunakan untuk mengetahui apakah model fixed effects
lebih baik dari model random effects. Uji ini didasarkan pada gagasan bahwa hipotesis nol menyatakan tidak adanya korelasi, baik OLS (dalam model LSDV) maupun GLS adalah konsisten, akan tetapi OLS tidak efisien, sedangkan hipotesis alternatifnya yaitu OLS konsisten tetapi GLS tidak konsisten. Oleh karena itu, di bawah hipotesis nol, kedua estimasi seharusnya tidak berbeda secara sistematik, dan ujinya dapat dilakukan berdasarkan pada perbedaan. Unsur penting untuk metode ini adalah matriks kovarians dari perbedaan vektor
: (3.9)
52
dimana
untuk OLS (dalam model LSDV), dan
untuk model GLS. Hasil
metode Hausman adalah bahwa perbedaan kovarians dari estimator yang efisien dengan estimator yang tidak efisien adalah nol, sehingga atau
(3.10)
Kemudian, dengan mensubstitusikan kedua persamaan diatas akan menghasilkan matriks kovarians sebagai berikut: (3.11) Selanjutnya mengikuti kriteria Wald, nilai statistik Hausman ini akan mengikuti distribusi chi-square sebagai berikut: (3.12) Statistik uji Hausman di atas mengikuti distribusi statistik chi-square dengan derajat bebas sebanyak k, yaitu sejumlah parameter tanpa intersep. Jika nilai statistik Hausman lebih besar daripada nilai kritis statistik chi-square, maka hipotesis nul akan ditolak, yang berarti estimasi yang tepat untuk regresi data panel adalah metode fixed effects daripada metode random effects.
3.2.4.3. Spesifikasi Model Metode ekonometrik yang digunakan untuk melihat pengaruh program PEMP
terhadap
pertumbuhan
ekonomi,
ketimpangan
pendapatan
dan
pengangguran menggunakan metode data panel. Metode data panel juga digunakan untuk melihat pengaruh pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran terhadap kemiskinan. Penggunaan metode estimasi ini diharapkan dapat menunjukkan variasi hasil estimasi, melihat kebaikan, robustness model, serta validitas dari metode estimasi yang digunakan. Berdasarkan pertimbangan dari beberapa penelitian terdahulu, maka model pengaruh PEMP terhadap pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran direpresentasikan dalam model persamaan 1 s.d 3 sebagai berikut: (3.13)
53
(3.14)
Model regresi
(3.15) yang digunakan untuk melihat hubungan antara
pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran terhadap kemiskinan di kabupaten/kota pesisir menggunakan model yang dikembangkan oleh Xin Meng et al. ( 2005), dalam penelitiannya yang berjudul ”Poverty, Inequality, and Growth in Urban China, 1986-2000. Bourguignon (2004) juga mengembangkan kerangka konseptual the poverty-growth-inequality triangle untuk melihat hubungan antara kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan. Berdasarkan penelitian tersebut, maka dikembangkan untuk persamaan ke-4 adalah sebagai berikut : (3.16) Dimana : Rnt : pertumbuhan ekonomi untuk area ke n, periode ke -t, Gnt : ketimpangan pendapatan untuk area ke n, periode ke -t, Tnt : tingkat pengangguran untuk area ke n, periode ke -t, P nt : program PEMP untuk area ke n, periode ke -t Mnt: persentase penduduk miskin untuk area ke n, periode ke -t, αn: common/fixed/random effect untuk area ke- n, ξnt : disturbance term 3.2.4.4. Tahapan Pengolahan Data Panel Dalam penelitian ini pengolahan data panel menggunakan Eviews 6, persamaan PEMP terhadap PDRB, Indeks Gini dan TPT (persamaan 1 s.d 3) dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Memilih model estimasi yang terbaik dari 2 model yaitu Model Fixed effects atau Random effects dengan cara melakukan pengolahan untuk masing-masing persamaan antara peubah PEMP dengan PDRB, peubah PEMP dengan Gini dan peubah PEMP dengan TPT dengan menggunakan Fixed effects dan Random effects. 2. Selanjutnya dilakukan Uji Hausman untuk membandingkan model estimasi mana yang dipilih Fixed effects atau Random effects.
54
3. Dari hasil Uji Hausman, jika peluang (probabilita) < 0,05 maka model estimasi yang dipilih adalah Fixed Effects. Sebaliknya jika peluang > 0,05 maka keputusan adalah model Random Effects. 4. Untuk melihat apakah persamaan atau model yang dipilih sudah bebas dari asumsi regresi, maka dilakukan pengujian asumsi dengan melihat autokorelasi dan heteroskedastik. 5. Autokorelasi dapat diketahui dengan melihat angka Durbin Watson pada persamaan yang telah ditetapkan (fixed atau random). Jika angka Durbin diluar wilayah keputusan
maka terdeteksi adanya autokorelasi
(persamaan 1 s.d 3 nilai dL=1.65 dan dU=1.69, utk pers 4 nilai dL=1.61 dan dU=1.73) 6. Heteroskedastik diketahui dengan Uji White yaitu dengan cara melihat angka R-Squared pada persamaan yang telah ditetapkan (fixed atau random) dikalikan dengan jumlah observasi. Hasil uji White ini kemudian dibandingkan dengan Tabel Chi square. Jika hasil uji White > tabel Chi square, maka terdeteksi adanya heteroskedastik ( persamaan 1 s.d 3, tabel Chi square =6.63 dan untuk persaman 4, tabel Chi square =11.34) 7. Jika tidak terdeteksi adanya autokorelasi dan heteroskedastik maka persamaan yang digunakan adalah persamaan yang telah ditetapkan dari hasil uji Hausman (Model estimasi fixed effect atau random effect). 8.
Jika persamaan terdeteksi adanya autokorelasi dan heretoskedastik, maka dilakukan pengolahan kembali dengan menggunakan model yg ditetapkan (fixed atau random) dan menggunakan COVARIANCE METHOD CROSSSECTION WEIGTH/SUR(PCSE). Output hasil pengolahan data panel dapat dilihat pada Lampiran 10.
3.2.5. Definisi Operasional Deskripsi operasional dari peubah-peubah yang digunakan dalam model antara lain: 1. Angka Kemiskinan (Head Count Index) Angka kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah persentase penduduk miskin (HCI) di kabupaten/kota pesisir dalam periode tahun 2005-2009. Konsep dan definisi penduduk miskin mengacu pada konsep
55
dan definisi yang digunakan BPS, yaitu dihitung berdasarkan tingkat pengeluaran (rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan setara dengan 2.100 kkal perkapita, serta kebutuhan dasar non makanan (papan, sandang, sekolah, transportasi, dan kebutuhan rumahtangga serta individu yang mendasar lainnya) disebut garis kemiskinan. 2. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) PEMP adalah program bantuan yang diluncurkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mulai tahun 2001. Program ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan ekonomi masyakarat di daerah pesisir. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) merupakan besaran dana bantuan pemberdayaan ekonomi yang diperoleh dari KPP. Dana bantuan stimulus tersebut merupakan salah satu mata anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 3. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita riil dalam rupiah (berdasarkan harga konstan tahun 2000) di kabupaten pesisir. Penggunaan PDRB per kapita riil ini yang merupakan besaran agregat, dimaksudkan agar sesuai dengan istilah pertumbuhan ekonomi yang juga merupakan angka agregat dasar. 4. Ketimpangan Pendapatan Dalam penelitian ini ukuran ketimpangan pendapatan yang digunakan adalah indeks gini menurut kabupaten/kota di pesisir. Penghitungan indeks gini oleh Badan Pusat Statistik (BPS) melalui pendekatan pengeluaran perkapita. 5. Tingkat Pengangguran Terbuka Pengangguran
adalah
mereka
yang sedang mencari pekerjaan,
mempersiapkan usaha, yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja, dan pada waktu yang bersamaan mereka tidak bekerja (jobless). Pengangguran dengan konsep/definisi tersebut biasanya disebut sebagai pengangguran terbuka (open unemployment).
56
BAB IV. DINAMIKA KABUPATEN/KOTA PESISIR DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MELALUI PROGRAM PEMP Analisis deskriptif dan kuadran dalam penelitian ini digunakan untuk memberikan gambaran mengenai dinamika kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran di kabupaten/kota pesisir pada awal periode (tahun 2005) dan setelah 4 tahun implementasi program PEMP (tahun 2009).
4.1. Dinamika Kabupaten/Kota Pesisir Sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia merupakan wilayah pesisir atau berbatasan langsung dengan laut. Jumlah kabupaten/kota pesisir di Indonesia pada tahun 2009 sebanyak 307 kabupaten/kota atau sebesar 65,18 persen dari total 471 kabupaten/kota. Mayoritas jumlah penduduk berada di wilayah pesisir yaitu sekitar 145,92 juta jiwa atau sebesar 63,2 persen dari sekitar 230,87 juta jiwa penduduk Indonesia. Banyaknya penduduk di wilayah pesisir membawa konsekuensi konsentrasi penduduk miskin terbanyak berada di kabupaten/kota pesisir. Hasil Susenas 2009 memperlihatkan bahwa dari sekitar 31,76 juta jiwa penduduk miskin, sebanyak 21,36 juta jiwa atau 67,3 persen berada di kabupaten/kota pesisir. Sebagai upaya mengurangi tingkat kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir, sejak tahun 2001 pemerintah melalui DKP memberikan bantuan kepada masyarakat pesisir yaitu berupa program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP). Kegiatan PEMP diluncurkan secara khusus untuk mengatasi berbagai permasalahan akibat krisis ekonomi, kenaikan BBM, kesenjangan, kemiskinan, dan rendahnya kapasitas sumberdaya manusia (masyarakat) pesisir serta upaya mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan. Dalam pelaksanaan program PEMP, tidak semua kabupaten/kota di pesisir mendapatkan stimulus secara berkesinambungan (rutin) setiap tahun. Sesuai petunjuk pelaksanaan program PEMP yang disusun, kabupaten/kota
yang mendapatkan bantuan PEMP secara rutin setiap tahun
adalah kabupaten/kota pesisir yang secara berkala memberikan laporan
58
pertanggungjawaban kegiatan dan progresnya secara baik. Pada tahun 2009, terdapat 307 kabupaten/kota pesisir. Selama periode 2005-2009 ,dari sejumlah kabupaten/kota pesisir tersebut sebanyak 20 kabupaten/kota mendapat program PEMP secara rutin, 257 kabupaten/kota mendapat program PEMP tidak rutin dan 30 kabupaten/ kota pesisir lain yang sama sekali belum pernah mendapat program PEMP (tanpa PEMP).
Tabel 4.1. Dinamika Pertumbuhan, Ketimpangan dan Kemiskinan Kabupaten Pesisir menurut Penerima PEMP, Periode 2005-2009
Indikator Perekonomian PDRB Konstan (2005)* PDRB Konstan (2009)* Pertumbuhan PDRB Ketimpangan Gini Rasio (2005) Gini Rasio (2009) Pertumbuhan Gini Rasio Pengangguran TPT (2005) TPT(2009) Pertumbuhan Pengangguran Kemiskinan PersentaseKemiskinan (2005) PersentaseKemiskinan (2009) Pertumbuhan Kemiskinan
Pesisir PEMP Rutin
Pesisir PEMP Tidak Rutin
Pesisir Lain (Tanpa PEMP)
Total Pesisir
Nasional
2.335 2.915 5,70
3.634 4.340 4,54
2.881 3.590 5,66
3.503 4.201 4,64
3.775 4.480 4,38
0,35 0,32 -1,75
0,37 0,33 -2,76
0,32 0,31 -0,55
0,37 0,33 -2,66
0,38 0,34 -2,61
10,60 7,71 -7,64
10,93 7,65 -8,52
10,75 6,37 -12,24
10,90 7,59 -8,63
11,24 7,87 -8,52
16,24 13,83 -3,95
17,80 14,58 -4,86
20,21 16,72 -4,63
17,78 14,64 -4,74
16,62 13,76 -4,61
Sumber: BPS (2009), diolah *) dalam juta rupiah
4.1.1. Gambaran Kemiskinan Persentase kemiskinan di tingkat nasional menunjukkan nilai yang menurun pada periode 2005-2009. Angka kemiskinan Indonesia tahun 2009 tercatat sebesar 13,76 persen, atau mengalami perbaikan bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 15,15 persen. Demikian pula dengan kondisi kabupaten/kota pesisir, capaian indikator kemiskinan pesisir juga membaik seperti yang tersaji pada Tabel 4.1.
59
Rata-rata persentase kemiskinan kabupaten/kota pesisir menurut penerima PEMP mengalami penurunan dalam kurun waktu 2005-2009, dengan laju penurunan sebesar -3,95% untuk kabupaten/kota pesisir penerima PEMP Rutin. Persentase penurunan penduduk miskin tertinggi adalah kabupaten/kota penerima PEMP tidak rutin dengan laju penurunan penduduk miskin sebesar -4,86% (Tabel 1.).
25.00 20.21
20.00 15.00
17.80
16.24
16.72 14.58
13.83
16.69 14.15
10.00 5.00 0.00 PEMP Rutin
PEMP Tidak Rutin 2005
Pesisir Lain
Total Pesisir
2009
Sumber: BPS (2009), diolah Gambar 4.1. Tingkat Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP, Tahun 2005 dan 2009 Gambar 4.1. memberi gambaran tingkat kemiskinan di kabupaten/kota pesisir penerima program PEMP secara rutin, kabupaten/kota pesisir penerima PEMP tidak rutin dan kabupaten/kota pesisir lain (tanpa bantuan PEMP) dalam rentang waktu 2005-2009. Kabupaten/kota pesisir yang memperoleh program PEMP rutin memiliki persentase penduduk miskin yang paling rendah bila dibandingkan dengan kabupaten/kota penerima PEMP tidak rutin maupun kabupaten/kota pesisir lainnya. Pada tahun 2005, wilayah pesisir yang mendapat program PEMP rutin persentase penduduk miskinnya sebesar 16,24 persen turun menjadi 13,83 persen pada tahun 2009. Sementara itu persentase penduduk miskin di kabupaten pesisir lainnya (kabupaten/kota tanpa PEMP) cukup tinggi, di tahun 2005 sebesar 20,21 persen turun menjadi 16,72 persen di tahun 2009.
60
4.1.2. Gambaran Pertumbuhan Ekonomi Capaian pengentasan kemiskinan kabupaten/kota pesisir diikuti dengan perbaikan pada capaian indikator perekonomian. Pada Tabel 4.1. terlihat bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota pesisir (2005-2009) sebesar 4,64 %. Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota pesisir lebih banyak ditopang melalui pendapatan asli daerah dari sektor non migas.
5000
4324 3620
4000 3000
4198 3590
2890
3491
2881
2305
2000 1000 0 PEMP Rutin
PEMP Tidak Rutin 2005
Pesisir Lain
Total Pesisir
2009
Sumber: BPS (2009), diolah Gambar 4.2. Rata-Rata PDRB menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima Program PEMP, Tahun 2005 dan 2009 (jutaan rupiah) Gambaran rata-rata PDRB di kabupaten/kota pesisir yang memperoleh program PEMP secara rutin, kabupaten/kota penerima PEMP tidak rutin dan kabupaten/kota pesisir lainnya kurun waktu 2005-2009 disajikan pada Gambar 4.2. Pada gambar tersebut terlihat bahwa kabupaten/kota pesisir yang memperoleh program PEMP rutin memiliki rata-rata PDRB paling rendah bila dibandingkan dengan kabupaten/kota penerima PEMP tidak rutin maupun kabupaten/kota pesisir lainnya (tanpa PEMP). Namun demikian, bila dilihat dari capaian rata-rata pertumbuhan ekonomi, kabupaten/kota pesisir penerima PEMP rutin mengalami pertumbuhan yang paling tinggi dibanding capaian wilayah pesisir lainnya yaitu tercatat sebesar 5,70 % per tahun. Kondisi ini salah satunya diduga adanya upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui program PEMP secara rutin setiap tahun (Tabel 4.1.).
61
Rata-rata PDRB di wilayah pesisir baik yang mendapat program PEMP maupun tidak, pada tahun 2009 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2005. Rata-rata PDRB di kabupaten/kota pesisir menerima PEMP tidak rutin cukup tinggi, yaitu sebesar Rp 3,620 milyar pada tahun 2005 meningkat menjadi Rp 4,324 milyar pada tahun 2009. 4.1.3. Gambaran Ketimpangan Pendapatan Gambaran ketimpangan pendapatan melalui pendekatan peubah indeks gini di kabupaten/kota pesisir disajikan pada Gambar 4.3. Ketimpangan pendapatan di kabupaten/kota pesisir sejalan dengan kondisi pada level nasional, dimana terdapat tren penurunan tiap tahunnya. Ketimpangan pendapatan menurut Oshima (1970) dapat dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan indeks gini yaitu: 1. ketimpangan rendah apabila indeks gini lebih kecil dari 0,3. 2. ketimpangan sedang apabila indeks gini terletak antara 0,3 - 0,4. 3. ketimpangan tinggi apabila indeks gini lebih besar dari 0,4. Berdasarkan kiteria tersebut, ketimpangan pendapatan kabupaten/kota pesisir penerima PEMP yang diukur dengan indeks gini tergolong sedang. Indeks gini kabupaten/kota pesisir penerima PEMP rutin pada tahun 2009 sebesar 0,32 lebih rendah dibandingkan dengan ketimpangan pendapatan kabupaten/kota pesisir dan kabupaten/kota penerima PEMP tidak rutin yaitu sebesar 0,33.
0,37
0,38 0,36
0,37
0,35 0,33
0,33
0,34 0,32
0,32
0,32
0,31
0,30 0,28 PEMP Rutin
PEMP Tidak Rutin
2005
Pesisir Lain
Total Pesisir
2009
Sumber: BPS (2009),diolah Gambar 4.3. Indeks Gini menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima Program PEMP Tahun 2005 dan 2009
62
4.1.4. Gambaran Pengangguran Gambaran pengangguran didekati oleh peubah tingkat pengangguran terbuka (TPT). Pada tahun 2005, TPT di ketiga kelompok kabupaten/kota pesisir tidak terlihat perbedaan yang berarti (Gambar 4.4). 15.00 10.93
10.60
10.00
7.71
11.24
10.75
7.87
7.65 6.37
5.00
0.00 PEMP Rutin
PEMP Tidak Rutin
2005
Pesisir Lain
Total Pesisir
2009
Sumber: BPS (2009), diolah Gambar 4.4. TPT menurut Kabupaten/ Kota Pesisir Penerima Pogram PEMP Tahun 2005 dan 2009 Gambaran pengangguran didekati oleh peubah tingkat pengangguran terbuka (TPT). Pada tahun 2005, TPT di ketiga kelompok kabupaten/kota pesisir tidak terlihat perbedaan yang berarti (Gambar 4.4). TPT kabupaten/kota pesisir penerima program PEMP rutin pada tahun 2005 sebesar 10,60 persen turun menjadi 7,71 persen pada tahun 2009. Sementara itu TPT di kabupaten pesisir lainnya (kabupaten/kota tanpa PEMP) mengalami penurunan sebesar 4,38 persen, dimana pada tahun 2005 sebesar 10,75 persen turun menjadi persen 6,37 pada tahun 2009. Analisis selanjutnya difokuskan pada 20 kabupaten/pesisir penerima PEMP secara rutin, untuk melihat gambaran secara rinci dampak program PEMP. 4.2. Dinamika 20 Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Analisis dinamika dan perkembangan pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan, dan pengangguran terhadap kemiskinan di kabupaten/kota pesisir dilakukan untuk melihat dampak implementasi program PEMP yang dilaksanakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terhadap 20 kabupaten/kota pesisir dalam periode 2005-2009. Tahun 2005 dan 2009 adalah kondisi awal dan akhir periode bantuan PEMP, sehingga dapat diketahui secara sederhana
63
implementasi program PEMP di 20 kabupaten/kota pesisir pada kurun waktu 2005-2009. 4.2.1. Dinamika Kemiskinan Ukuran kemiskinan merupakan tolok ukur keberhasilan pembangunan pemerintah dimana salah satu target RPJMN pemerintah antara lain yaitu penurunan persentase penduduk miskin. Capaian angka kemiskinan di Indonesia cukup menggembirakan, persentase penduduk miskin pada periode 2005 hingga 2009 menunjukkan kecenderungan menurun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin pada tahun 2005 sebesar 16,62 persen, sementara itu persentase penduduk miskin pada tahun 2009 tercatat sebesar 13,76 persen. Selama periode tersebut persentase penduduk miskin di Indonesia berkurang dengan laju penurunan sebesar -4,61 persen. Demikian pula penduduk miskin di 20 kabupaten/kota pesisir penerima program PEMP mengalami penurunan persentase pada periode 2005-2009 dengan laju penurunan sebesar - 0,39 persen seperti yang disajikan pada Tabel 4.1.
Sumber: BPS (2009), diolah Gambar 4.5. Perbandingan Persentase Penduduk Miskin menurut Kabupaten/ Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009 Biak Numfor merupakan kabupaten yang memiliki penurunan persentase terbesar dalam periode tahun 2005-2009 yaitu sebesar 10,85 persen (Gambar 4.5). Meskipun memiliki penurunan persentase terbesar, namun Biak Numfor merupakan kabupaten yang masih memiliki persentase penduduk miskin terbesar
64
di tahun 2005 dan 2009 yaitu sebesar 47,36 persen pada tahun 2005 dan 36,51 persen pada tahun 2009. Pada tahun 2005 kabupaten yang memiliki penurunan kemiskinan terkecil selama periode 2005 sampai 2009 adalah Kabupaten Bantul yaitu sebesar 0,57 persen. Hal ini dapat dimaklumi karena dalam periode ini Kabupaten Bantul mengalami gempa bumi yang cukup parah . Pada tahun 2005 kabupaten yang memiliki persentase kemiskinan terkecil adalah Kota Padang yaitu sebesar 4,41 persen, sedangkan pada tahun 2009 adalah Kabupaten Pontianak sebesar 5,46 persen. Pada Gambar 4.5 juga terlihat bahwa diantara 20 kabupaten/kota penerima program PEMP, ada 5 (lima) kabupaten/kota yang memiliki persentase penduduk miskin lebih tinggi pada tahun 2009 dibandingkan keadaan tahun 2005. Kabupaten/ kota yang mengalami kenaikan persentase penduduk miskin antara lain Kota Banda Aceh, Kota Padang, Kota Bengkulu, Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Minahasa Utara. Kota Bengkulu adalah kota pesisir yang mengalami peningkatan persentase penduduk miskin paling tinggi yaitu sebesar 8,92 persen. Peningkatan persentase kemiskinan di 5 kabupaten/kota pesisir terlihat wajar pada tahun 2005 hingga tahun 2007. Kota Banda Aceh mengalami penurunan disebabkan cakupan penelitian diluar wilayah yang terkena gempa. Kota Bengkulu terlihat mengalami pelonjakan kemiskinan pada periode 2007-2009 (Gambar 4.6).
Sumber: BPS (2009), diolah Gambar 4.6. Penduduk Miskin di 5 Kabupaten/Kota Pesisir yang Mengalami Peningkatan Persentase Kemiskinan, Tahun 2005-2009 Terdapat dua hal yang diduga merupakan penyebab tidak tercapainya target penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran pada RPJM 2005-2009. Pertama, adanya pengurangan subsidi yang mengakibatkan kenaikan harga BBM
65
hingga 2 kali lipat pada tahun 2005. Kedua, adanya krisis ekonomi global (external shock) pada tahun 2008 (Alisjahbana, 2010). Selain dua hal yang diduga sebagai penyebab tersebut diatas, kelima kabupaten/kota pesisir tersebut juga merupakan wilayah atau daerah rawan gempa.
4.2.2. Dinamika Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting guna melakukan evaluasi dan koreksi terhadap program pembangunan ekonomi yang telah dilaksanakan pada masa atau periode yang lalu. Dalam mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi digunakan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan, karena dalam penghitungan PDRB atas dasar harga konstan tersebut, pengaruh perubahan harga telah dieliminasi. Dengan demikian pertumbuhan yang dicerminkan merupakan pertumbuhan riil barang dan jasa dalam suatu periode waktu tertentu.
Sumber: BPS (2009), diolah Gambar 4.7. Perbandingan PDRB menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009 (juta rupiah) Capaian rata-rata pertumbuhan ekonomi 20 kabupaten/kota pesisir penerima PEMP cukup tinggi, tercatat beberapa kabupaten/kota memiliki pertumbuhan ekonomi di atas 4 % (Gambar 4.7). PDRB kabupaten/kota pesisir tertinggi dicapai oleh Kota Padang baik pada tahun 2005 (9.111 juta rupiah)
66
maupun tahun 2009 ( 11.346 juta rupiah ). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Kota Padang lebih banyak ditopang melalui pendapatan asli daerah dari sektor non migas. Sektor non migas khususnya sektor andalan antara lain bahari dan kelautan mampu memberikan kontribusi penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Kontribusi sektor
bahari dan kelautan sekitar 20 persen dari total
PDRB. Implikasi dari hal tersebut bahwa dengan nilai pertumbuhan yang tinggi, Kota Padang berhasil menurunkan ketimpangan pendapatannya. 4.2.3 Dinamika Ketimpangan Pendapatan Ketimpangan pendapatan atau kesenjangan ekonomi dan tingkat kemiskinan yang tinggi merupakan dua masalah besar di banyak negara berkembang, tidak terkecuali di Indonesia
Sumber: BPS (2009), diolah Gambar 4.8. Perbandingan Indeks Gini menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009 Berdasarkan
kiteria
ketimpangan
pendapatan
Oshima
(1970),
ketimpangan distribusi pendapatan di 20 kabupaten/kota pesisir penerima PEMP yang diukur dengan indeks gini masih tergolong sebagai ketimpangan rendah sampai sedang namun tetap perlu diwaspadai karena ada beberapa wilayah memiliki kecenderungan untuk meningkat seperti yang terlihat pada Gambar 4.8. Pada Gambar 4.8 juga terlihat bahwa indeks gini di 20 kabupaten/kota pesisir penerima PEMP berada pada kisaran 0,25 hingga 0,36. Pada tahun 2009, indeks gini tertinggi adalah Kabupaten Pontianak sebesar 0,30. Sebaliknya indeks
67
gini terendah adalah Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Ciamis dengan nilai indeks gini sebesar 0,25. Kondisi ini berarti ketimpangan distribusi pendapatan di Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Ciamis termasuk kategori ketimpangan rendah. 4.2.4. Dinamika Pengangguran Salah satu isu penting dalam ketenagakerjaan, di samping keadaan angkatan kerja (economically active population) dan struktur ketenagakerjaan adalah isu pengangguran. Pengangguran dari sisi ekonomi merupakan produk dari ketidakmampuan pasar kerja dalam menyerap angkatan kerja yang tersedia. Ketersediaan lapangan kerja yang relatif terbatas tidak mampu menyerap masyarakat pencari kerja yang senantiasa bertambah setiap tahun seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Pengurangan subsidi yang mengakibatkan kenaikan harga BBM hingga 2 kali lipat pada tahun 2005 dan Krisis ekonomi global pada tahun 2008 diduga merupakan salah satu penyebab tidak tercapainya target pengurangan tingkat kemiskinan dan pengangguran pada RPJM 2005-2009.
Sumber: BPS (2009), diolah Gambar 4.9. Perbandingan TPT menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009
68
4.3.
Analisis Kuadran Analisis yang lebih mendalam mengenai gambaran dinamika kemiskinan
kabupaten/kota pesisir dapat dilihat dengan membandingkan kondisi pertumbuhan, ketimpangan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan pada tahun 2005 dan 2009, melalui analisis kuadran. Berdasarkan hasil analisis kuadran diketahui bahwa dari 20 kabupaten/kota penerima PEMP rutin, di tahun 2005 ada sebanyak 10 kabupaten/kota memiliki persentase penduduk miskin dibawah rata-rata, sedangkan
pada tahun 2009
meningkat menjadi 11 kabupaten/kota. Perkembangan ketimpangan pendapatan mengalami perbaikan dalam periode 2005-2009. Jumlah kabupaten yang memiliki indeks gini di atas rata-rata pada tahun 2005 sebanyak 4 kabupaten/kota dan turun menjadi 1 kabupaten di tahun 2009. Pada tahun 2005, jumlah kabupaten/kota yang memiliki
pertumbuhan
ekonomi
(PDRB)
diatas
rata-rata
sebanyak
6
kabupaten/kota dan bertambah menjadi 7 kabupaten/kota pada tahun 2009. Secara umum, tingkat pengangguran di 20 kabupaten/kota mengalami penurunan dalam periode 2005-2009. Jumlah kabupaten/kota yang memiliki pengangguran dibawah rata-rata di tahun 2005 sebanyak 11 kabupaten/kota dan turun menjadi 9 kabupaten/kota di tahun 2009. 4.3.1
Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Gambar 4.9. menunjukkan dinamika pertumbuhan dan kemiskinan di 20
kabupaten pesisir penerima PEMP. Gambar tersebut menunjukkan bahwa kabupaten/kota memiliki karakteristik yang hampir homogen, hal ini terlihat dari pola analisis kuadran yang Kuadran
III dan IV.
banyak mengumpul pada kuadran tertentu yaitu
Kuadran I menunjukkan kondisi terbaik yaitu apabila
kabupaten/kota memiliki persentase kemiskinan yang rendah (dibawah rata-rata) dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (diatas rata-rata). Kuadran II menunjukkan kondisi dimana kabupaten/kota memiliki karakteristik pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun disertai dengan persentase kemiskinan yang juga tinggi. Kuadran III menunjukkan kondisi yang terburuk dimana kabupaten/kota memiliki karakteristik yaitu pertumbuhan ekonomi yang rendah dan persentase kemiskinan yang tinggi. Sementara itu, Kuadran IV memperlihatkan kondisi kabupaten/kota yang memiliki
69
pertumbuhan ekonomi yang rendah disertai persentase kemiskinan yang juga rendah.
50.00
40.00 Biak Numfor Biak Numfor Fakfak
Seram Bagian Timur
Seram Bagian Timur
40.00 Fakfak Maluku Tengah
Maluku Tengah
30.00
II
Buru
III
Aceh Besar
30.00
II
III
Kulon Progo
Nunukan
20.00
miskin2009
miskin2005
Buru
Bantul
Aceh Besar Bantul
Bengkulu
IV
I
Tasikmalaya
Nunukan
Pontianak
Kotawaringin Barat
II
III
20.00
Ciamis
Tanjung Jabung Barat
Banda Aceh
III
Tasikmalaya
Sambas
10.00
II
Kulon Progo
IV
Tanjung Jabung Barat
Ciamis
I
Sambas
Minahasa Utara
Bengkulu
10.00
Gianyar IV
I
Padang
Minahasa Utara Banda Aceh
IV
0.00
0
I Padang
Pontianak
Kotawaringin Barat Gianyar
2000
4000
6000
pdrb2005
8000
10000
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
pdrb2009
Sumber: BPS (2009), diolah Gambar 4.10. Perbandingan Kondisi Pertumbuhan dan Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota Pesisir penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009 Berdasarkan analisis kuadran pertumbuhan ekonomi (PDRB) dan kemiskinan pada tahun 2005, terlihat bahwa kabupaten/kota yang berada dalam Kuadran 1 (kuadran terbaik) sebanyak 4 kabupaten/kota (Gianyar, Ciamis, Pontianak dan Kota Padang). Kabupaten/kota yang masuk Kuadran II ada 2 yaitu Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Bantul. Sementara itu hampir separuh kabupaten/kota ( 9 kabupaten/kota) masuk dalam kuadran terburuk (Kuadran III), sedangkan kuadran IV dihuni oleh 7 kabupaten/kota. Jika dibandingkan dengan keadaan tahun 2009, analisis kuadran untuk peubah PDRB dan kemiskinan tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Perkembangan yang baik hanya dialami oleh Kabupaten Tasikmalaya dimana pada tahun 2005 berada di Kuadran II dan pada tahun 2009 berpindah ke kuadran terbaik yaitu Kuadran I. Kondisi ini dapat diartikan sebagai perbaikan dalam hal penurunan persentase kemiskinan di
70
Kabupaten Tasikmalaya. Sementara itu kabupaten/kota lain tidak menunjukkan perubahan yang berarti (Gambar 4.10). 4.3.2
Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan Dalam analisis kuadran antara ketimpangan pendapatan (Indeks Gini) dan
kemiskinan, Kuadran I (terbaik) didefinisikan oleh kabupaten/kota yang memiliki persentase kemiskinan yang rendah disertai indeks gini yang juga rendah. Kuadran II, menunjukkan kondisi kabupaten/kota yang memiliki indeks gini yang tinggi namun persentase kemiskinan yang rendah. Kuadran III merupakan kondisi terburuk dimana kabupaten/kota pesisir memiliki kondisi kemiskinan dan indeks gini yang tinggi. Sementara itu Kuadran IV menunjukkan kondisi kemiskinan yang tinggi namun memiliki indeks yang rendah.
50.00
40.00 Biak Numfor Biak Numfor Fakfak
Seram Bagian Timur
Seram Bagian Timur
40.00 Maluku Tengah
Fakfak
Maluku Tengah
30.00
30.00
Buru
Aceh Besar
IV 20.00
miskin2009
miskin2005
Buru
Nunukan
Tasikmalaya
Kulon Progo
IV
III
Kulon Progo
III
Aceh Besar
20.00
Bantul
Bantul
Bengkulu
Sambas Tanjung Jabung Barat
10.00
Minahasa Utara
Pontianak
Sambas
Bengkulu Padang Gianyar
I
0.00
Nunukan
Ciamis
Banda Aceh Kotawaringin Barat
Tasikmalaya
Ciamis
10.00
I
Tanjung Jabung Barat
Banda Aceh Gianyar
II
II
Minahasa Utara Pontianak
Kotawaringin Barat Padang
0.26
0.28
0.30
0.32
gini2005
0.34
0.36
0.24
0.26
0.28
0.30
0.32
0.34
gini2009
Sumber: BPS (2009), diolah Gambar 4.11. Perbandingan Kondisi Indeks Gini dan Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009 Gambar 4.11 menunjukkan bahwa posisi kabupaten/kota pesisir pada tahun 2005 dan 2009 memiliki karakteristik yang mayoritas menyebar di Kuadran I dan IV. Pada tahun 2005 terlihat bahwa kabupaten/kota pesisir yang masuk dalam Kuadran I
71
(kuadran terbaik) sebanyak 6 kabupaten/kota (Ciamis, Pontianak, Kota Banda Aceh, Kotawaringin Barat, Sambas dan Kota Padang). Kabupaten/kota pesisir yang masuk Kuadran II, hanya satu yaitu Kota Bengkulu. Sementara itu, Kabupaten Bantul dan Biak Numfor berada di posisi kuadran terburuk (Kuadran III). Pada tahun 2009, analisis kuadran untuk peubah Indeks Gini dan kemiskinan terjadi perubahan yang cukup berarti jika dibandingkan kondisi tahun 2005. Perkembangan yang baik dialami oleh Kabupaten Bantul, yang posisinya dari kuadran terburuk beralih ke Kuadran IV (ketimpangan rendah, kemiskinan tinggi). artinya mengalami perbaikan karakteristik ketimpangan pendapatan namun tidak dalam karakteristik kemiskinan. Sebaliknya Kabupaten Biak Numfor merupakan satu-satunya kabupaten/kota pesisir yang tetap dalam kondisi terburuk berada di Kuadran III ( kemiskinan dan indeks gini tinggi). Sementara itu kabupaten/kota lain tidak menunjukkan perubahan yang berarti.
4.3.3
Pengangguran dan Kemiskinan Analisis kuadran antara tingkat pengangguran terbuka (TPT) dan tingkat
kemiskinan, disajikan pada Gambar 4.11. Jika dilihat dari posisi kuadran, Kuadran I (terbaik) didefinisikan sebagai kabupaten/kota yang memiliki persentase tingkat kemiskinan yang rendah disertai TPT yang juga rendah. Kuadran II menunjukkan kondisi kabupaten/kota yang memiliki TPT yang tinggi namun persentase kemiskinan yang rendah.
Kuadran III merupakan kondisi terburuk dimana
kabupaten/kota memiliki kondisi kemiskinan dan TPT yang tinggi. Sementara itu Kuadran IV menunjukkan kondisi kemiskinan yang tinggi namun memiliki TPT yang rendah. Pada Gambar 4.12, terlihat bahwa kabupaten/kota yang masuk dalam Kuadran I (kuadran terbaik) sebanyak 5 kabupaten/kota (Ciamis, Pontianak, Gianyar, Kotawaringin Barat dan Sambas). Kabupaten/kota yang berada di Kuadran II yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kota Bengkulu, Kabupaten Minahasa Utara,Kota Padang, dan Kota Banda Aceh. Sementara itu terdapat 4 kabupaten/kota yang masuk Kuadran III yaitu Kabupaten Nunukan, Biak Numfor, Aceh Besar dan Maluku Tengah.
72
40.00
50.00 Biak Numfor
Biak Numfor Seram Bagian Timur Fakfak
Seram Bagian Timur
40.00 Maluku Tengah
Fakfak
Maluku Tengah
30.00 Buru Aceh Besar
30.00 Kulon Progo
IV 20.00
Sambas
Bantul
Tasikmalaya
0.00
Sambas
10.00
II
Banda Aceh
Minahasa Utara
I
Padang
10.00
III
Nunukan
Tanjung Jabung Barat
Bengkulu
20.00
tpt2005
30.00
40.00
2.00
Ciamis
Banda Aceh
II Minahasa Utara
Kotawaringin Barat Gianyar
4.00
Padang
Pontianak
IV
0.00
Bengkulu
IV
Pontianak
I
Aceh Besar
20.00
Tanjung Jabung Barat
Ciamis
Gianyar
Kulon Progo
Tasikmalaya
Kotawaringin Barat
10.00
III
Nunukan
Bantul
miskin2009
miskin2005
Buru
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
tpt2009
Sumber: BPS (2009), diolah Gambar 4.12. Perbandingan Kondisi Tingkat Pengangguran Terbuka(TPT) dan Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009 Analisis kuadran untuk peubah TPT dan tingkat kemiskinan pada tahun 2009 menunjukkan perbedaan yang berarti jika dibandingkan dengan keadaan tahun 2005. Perkembangan yang baik dialami oleh Kabupaten Tasikmalaya dan Tanjung Jabung Barat pada tahun 2005 posisi masing-masing berada di kuadran 4 dan 2, pada tahun 2009 berubah posisinya berada di kuadran terbaik yaitu kuadran 1. Perkembangan yang baik untuk Kabupaten Tasikmalaya dalam analisis kuadran dapat diartikan sebagai perbaikan dalam hal pertumbuhan ekonomi, penurunan pengangguran dan penurunan persentase kemiskinan di kabupaten Tasikmalaya. Berdasarkan SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41 Tahun 2009 tentang penetapan lokasi minapolitan, Kabupaten Tasikmalaya merupakan salah satu kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengembangan kawasan minapolitan dari 41 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Kawasan minapolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi perikanan dan pengeloaan sumberdaya alam tertentu. Saat ini sedang dibangun PPI (Pangkalan Pendaratan Ikan) di Kampung Pamayang, Desa Cikawungading, Kecamatan Cipatujah, selanjutnya pembangunan TPI (Tempat
73
Pendaratan Ikan) di beberapa desa. Pengembangan kawasan minapolitan merupakan upaya dalam mendorong pengembangan kawasan budidaya perikanan di daerah. Kegiatan di kawasan minapolitan ini bertujuan untuk meningkatkan perekonomian dan pertumbuhan wilayah dengan kegiatan budidaya perikanan sebagai penggerak utamanya (Saefulah, 2009). Berdasarkan analisis kuadran pengangguran dan kemiskinan kabupaten yang mengalami kemunduran atau berada diposisi sangat buruk (tingkat pengangguran dan kemiskinan sangat tinggi) adalah Kabupaten Seram Bagian Timur, Biak Numfor, Maluku Tengah dan Fak-Fak. Kabupaten-kabupaten tersebut terletak di Indonesia bagian timur, posisinya sangat buruk, yang dapat diartikan bahwa kabupaten tersebut masih memiliki tingkat pengangguran sekaligus tingkat kemiskinan yang sangat tinggi. Kebijakan pemerintah dengan adanya program PEMP di kawasan timur kiranya belum dapat mendorong penurunan angka pengangguran dan kemiskinan. Krisis ekonomi global diduga merupakan salah satu penyebab tidak tercapainya target pengurangan
tingkat kemiskinan dan
pengangguran pada periode 2005-2009, selain akibat faktor alam yang kurang mendukung masyarakat pesisir wilayah timur untuk bekerja dalam mencari penghasilan. 4.4 Pro Poor Growth ( Growth Incidence Curve /GIC) Analisis tentang Pro Poor Growth dengan menggunakan GIC berguna untuk mengetahui derajat manfaat pertumbuhan ekonomi di 20 kabupaten/kota penerima program PEMP bagi penduduk miskin. Distribusi pendapatan terjadi perbaikan jika GIC merupakan fungsi turun. Dalam analisis ini, GIC dilakukan dalam periode 2005-2009. Penyesuaian pada data pengeluaran di tiap kabupaten/ kota dilakukan untuk memenuhi keterbandingan data antar kabupaten dan antar periode, karena perbedaan garis kemiskinan antar kabupaten/kota dan antar waktu. 4.4.1 GIC Periode 2005-2009 Gambar 4.12. menunjukkan GIC dari 20 kabupaten/kota penerima program PEMP periode 2005-2009. Pada gambar tersebut memperlihatkan nilai pertumbuhan yang selalu positif di setiap persentil penduduk selama periode tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di periode ini bersifat
74
pro poor growth, yang berarti pula telah memberikan manfaat bagi penduduk miskin. Bahkan GIC tersebut juga menunjukkan sebagai fungsi turun, dimana pertumbuhan di kelompok persentil teratas justru lebih rendah dibandingkan pertumbuhan di kelompok persentil terendah (hingga persentil-60).
Sumber: BPS (2009), diolah Gambar 4.13. Growth Incidence Curve (GIC) 20 Kabupaten/Kota Penerima Program PEMP Periode 2005-2009 Hal ini menunjukkan terjadinya perbaikan distribusi pendapatan di 20 kabupaten/kota penerima program PEMP selama periode tersebut. Meskipun secara keseluruhan terjadi pertumbuhan positif di semua kelompok persentil, akan tetapi pertumbuhan yg lebih tinggi di kelompok persentil terendah mempersempit kesenjangan pendapatan yang ada. Setidaknya program PEMP memberikan dampak positif bagi penduduk miskin dengan meningkatnya pendapatan mereka melalui peningkatan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kaya.
V. HASIL ESTIMASI PENGARUH PEMP TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Pengaruh program PEMP terhadap kesejahteraan masyarakat dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode panel data statis. Mekanisme transmisi pengaruh PEMP terhadap kemiskinan di analisis melalui jalur pertumbuhan ekonomi (PDRB), ketimpangan pendapatan (indeks gini) dan pengangguran (TPT) yang dalam penelitian ini direpresentasikan ke dalam persamaan (1) s.d (3). Selanjutnya, ketiga peubah tersebut dilihat pengaruhnya terhadap kemiskinan di kabupaten penerima program PEMP yang dalam penelitian ini direpresentasikan dalam persamaan (4). 5.1. Hasil Estimasi Pengaruh Program PEMP terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Pengangguran Hasil estimasi pengaruh PEMP terhadap pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran disajikan pada Tabel 5.1. Pada Tabel 5.1 menunjukkan bahwa program PEMP signifikan memengaruhi PDRB dan indeks gini namun tidak signifikan dalam memengaruhi TPT. Peubah PEMP nyata positif memengaruhi PDRB dengan elastisitas sebesar 0,031. Hal ini berarti peningkatan program PEMP sebesar 10 persen akan meningkatkan PDRB sebesar 0,31 persen. Hasil estimasi ini menunjukkan bahwa program PEMP yang dilaksanakan pemerintah di daerah pesisir bermanfaat dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. Peningkatan perekonomian ini dapat diakibatkan oleh berhasilnya program PEMP dalam memberdayakan masyarakat pesisir sehingga mampu menggerakkan roda perekonomian sehingga aktifitas ekonomi di kabupaten/kota pesisir penerima program PEMP menjadi meningkat yang pada gilirannya juga dapat meningkatkan nilai tambah kabupaten/kota. Tabel 5.1. Hasil Estimasi Pengaruh PEMP terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Pengangguran Peubah Bebas: PEMP Koefisien Elastisitas Probabilita PDRB (pers 1) 9.52E-05 0.031 0.0779 GINI (pers 2) -2.12E-08 -0.062 0.0780 TPT (pers 3) -1.09E-06 -0.088 0.4341 Sumber: Hasil Pengolahan Data Panel Persamaan 1 s.d 3 Peubah Takbebas
76
Hasil estimasi pada Tabel 5.1 juga menunjukkan bahwa program PEMP nyata negatif memengaruhi indeks gini yang merupakan ukuran ketimpangan distribusi pendapatan, dengan nilai elastisitas sebesar -0,06. Nilai elastisitas tersebut menunjukkan bahwa kenaikan program PEMP sebesar 1 persen akan menurunkan indeks gini sebesar 0,06 persen. Kondisi ini berarti program PEMP berhasil menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan di masyarakat dan berpotensi menjadi alat yang efektif dalam menciptakan pemerataan distribusi pendapatan masyarakat. Program PEMP yang berhasil menurunkan ketimpangan pendapatan ini dapat terjadi mengingat program PEMP merupakan program pemberdayaan masyarakat pesisir yang mampu berperan dalam meningkatkan pendapatan masyarakat pada lapisan bawah. Seperti diketahui bahwa masyarakat pesisir didominasi oleh masyarakat yang bekerja di subsektor perikanan yang notabene memiliki tingkat pendapatan yang rendah. Data BPS menunjukkan bahwa angka nasional jumlah tenaga kerja usia 15 tahun ke atas di sektor
pertanian (di
dalamnya termasuk subsektor perikanan) menempati posisi teratas, dimana sebesar 38,35 persen penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian. Hal tersebut menjadi dasar mengapa program PEMP berhasil menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat pesisir. Hal lain yang patut dicermati adalah, lapangan kerja di sektor pertanian ternyata didominasi oleh golongan menengah ke bawah (penduduk miskin). Data BPS tahun 2010 menunjukkan bahwa penduduk miskin di Indonesia didominasi oleh penduduk yang bekerja di sektor pertanian (57,78 persen), sehingga pengaruh ketimpangan pendapatan terhadap kemiskinan juga perlu dianalisis. 5.2.
Hasil Estimasi Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan dan Pengangguran terhadap Kemiskinan
Ketimpangan
Hasil estimasi pengaruh pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran terhadap kemiskinan disajikan pada Tabel 5.2. Indikator pertumbuhan ekonomi dalam model ini didekati dengan menggunakan PDRB, indikator ketimpangan pendapatan didekati dengan peubah indeks gini, pengangguran didekati dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) dan ukuran kemiskinan menggunakan tingkat kemiskinan.
77
Tabel 5.2. Hasil Estimasi Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Pengangguran terhadap Kemiskinan (persamaan 4) Peubah Bebas
Peubah Tak bebas: Miskin Koefisien
Elastisitas
Probabilita
PDRB
-0.0022
-0.2914
0.0104
GINI
0.9403
0.0140
0.9083
TPT
0.0755
0.0407
0.1429
Sumber: Hasil Pengolahan Data Panel Persamaan 4 Tabel 5.2 menunjukkan bahwa peubah PDRB signifikan memengaruhi penurunan tingkat kemiskinan, sedangkan peubah indeks gini dan tingkat pengangguran tidak signifikan memengaruhi tingkat kemiskinan. Peubah PDRB nyata negatif memengaruhi tingkat kemiskinan dengan elastisitas sebesar -0,29. Nilai elastisitas sebesar ini dapat diartikan sebagai peningkatan sebesar 1 persen pada PDRB dapat menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0,29 persen. Hal ini dapat terjadi mengingat adanya kecenderungan pertumbuhan ekonomi yang didukung dengan penurunan tingkat ketimpangan (persamaan 1 dan 2). Kondisi tersebut merupakan salah satu faktor pendukung penurunan tingkat kemiskinan masyarakat kabupaten/kota pesisir.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Penelitian ini mengkaji pengaruh bantuan program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP) yang diberikan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) di kabupaten/kota pesisir. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat dampak bantuan PEMP tersebut terhadap penurunan penduduk miskin di wilayah pesisir. Penelitian dilakukan pada 20 (dua puluh) kabupaten /kota pesisir yang selama periode 2005-2009 mendapatkan bantuan PEMP secara kontinu atau rutin setiap tahun. Berdasarkan pembahasan yang dipaparkan sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.
Dinamika perekonomian dan kemiskinan pada periode 2005-2009 secara umum menunjukkan arah yang membaik, baik pada capaian pertumbuhan ekonomi,
penurunan
ketimpangan
pendapatan,
pengangguran
dan
kemiskinan. Selain itu, didukung pula oleh hasil Growth Incidence Curve yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi di periode ini bersifat pro poor growth, yang berarti memberikan manfaat bagi penduduk miskin. 2.
Umumnya hubungan pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan disertai peningkatan ketimpangan seperti hasil penelitian Lin (2003). Lin menemukan fakta bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi di RRC antara tahun 1985 dan 2001 selain mengurangi kemiskinan juga meningkatkan ketimpangan yang pada akhirnya mengurangi efektifitas pengurangan kemiskinan. Namun hasil penelitian ini memperlihatkan pertumbuhan ekonomi yang disertai penurunan ketimpangan pendapatan khususnya pada periode bantuan PEMP 2005-2009.
3.
Hasil estimasi pengaruh bantuan PEMP terhadap perekonomian, ketimpangan dan pengangguran di 20 kabupaten/kota pesisir (dengan keterbatasan model yang dikembangkan dalam penelitian ini) menunjukkan bahwa program bantuan tersebut nyata bermanfaat meningkatkan perekonomian, serta berhasil menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat
4.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa peubah PDRB signifikan memengaruhi penurunan tingkat kemiskinan, sedangkan peubah indeks gini dan peubah TPT
80
tidak nyata memengaruhi tingkat kemiskinan. Kondisi tersebut dapat terjadi mengingat adanya kecenderungan pertumbuhan ekonomi yang didukung dengan penurunan tingkat ketimpangan yang merupakan salah satu faktor pendukung penurunan tingkat kemiskinan masyarakat kabupaten/kota pesisir, dalam arti PEMP secara tidak langsung memengaruhi penurunan kemiskinan melalui PDRB.
6.2. Saran 1.
Pemerintah perlu memperbanyak program-program pemberdayaan masyarakat pesisir semacam PEMP secara lebih luas, karena berpengaruh nyata pada peningkatan perekonomian secara makro sekaligus memberi dampak terhadap penurunan kemiskinan.
2.
Perlu adanya koordinasi kebijakan pengentasan kemiskinan antara pusat dan daerah serta lebih dititikberatkan pada kawasan timur, mengingat masih tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan di wilayah pesisir kawasan timur Indonesia.
3.
Hasil penelitian dapat dijadikan acuan pemerintah khususnya pemerintah daerah dalam membuat perencanaan pembangunan berkaitan dengan program pemberdayaan, walaupun saat ini program-program pemberdayaan telah dikemas dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri).
4.
Model penelitian ini sifatnya makro dan belum dikembangkan oleh para peneliti sehingga masih mengandung kelemahan dan keterbatasan. Bagi peneliti-peneliti selanjutnya dapat mengembangkan model penelitian ini dengan cara
memasukkan pengaruh program-program pemerintah lainnya
yang ada di wilayah pesisir selain program PEMP ke dalam model.
DAFTAR PUSTAKA Adam Jr, Richard H. 2004. Economic Growth, Income Inequality dan Poverty reduction in People’s Republik of China, asia Review Vol (20). Hal 105124 Asian Development Bank. 1999. Fighting Poverty in Asia and the Pacific: The Poverty Reduction Strategy. Manila: Asian Development Bank. Aisyah, Dara et al. 2010. Prestasi Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir di Jakarta Utara, Indonesia: Satu Penilaian Awal. Geografia Online Malaysian Journal of Society and space 6 issues 3(13-29), ISSN 2180-2491 [2 Maret 2011]. Astuti, Irma. 2008. Manfaat Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PEMP) terhadap Pendapatan Masyrakat Nelayan Tradisional di Kabupaten Lamongan. ADLN Digital Collection [terhubung berkala],http://top/unair thesis /pengembangan SDM/jiptunair-gdl-s22004-astusti/irma-118 [17 Februari 2011]. Azman, Syaiful. 2009. Konsep Penanganan Kemiskinan Nelayan. Blogspot.com [terhubung berkala].http://suara anak-nelayan.blogspot.com/8282.html [31 Januari 2011] Alesina A, Rodrik D. 1994. Distributive Politics and Economic Growth, The Quarterly Journal of Economics 109: 465-490. Alisjahbana, Armida S. 2010. Kemiskinan dan Pengangguran. http:\\www.detik finance. com. Kemiskinan dan pengangguran tak turun pemerintah salahkan krisis global [4 Feb 2010]. Ariansyach. 2009. Pengaruh Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Terhadap Pendapatan Masyarakat Pesisir Kabupaten Sukabumi, UT-Agribisnis. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan 2009. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2007. Jakarta: BPS. Bandjar, Sitti Bulkis. 2009. Strategi Peningkatan Mutu Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) di Kabupaten Maluku Tenggara. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bellinger, W. K. 2007. The Economics Analysis of Routledge.
Public
Policy. Oxon:
82
Bourguignon, F. 2004. The Poverty - Growth - Inequality Triangle. Washington DC: World Bank. Chambers, Dustin. 2003. Semiparametric Analysis of the Role of Inequality, Investment, and Government Expenditure in Economic Growth. Mimeo, Riverside: University of California Chen, Shaohua dan Ravallion M. 2008. The Developing World is Poorer than We Thought, But No Less Successful in the Fight Against Poverty. Policy Research Working Paper, The World Bank Development Research Group 4703. Coudouel A, Hentschel JS, Wodon QW. 2002. Poverty Measurement and Analysis. Di dalam Klugman J, editor. A Sourcebook for Poverty Reduction Strategies. Washington: World Bank. [DKP]
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Pedoman Umum Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) 2003. Jakarta: DKP.
Dahuri R. 2002. Membangun Kembali Perekonomian Indonesia melalui Sektor Perikanan dan Kelautan. Jakarta: LISPI. Hal: 80-81; 124-128 Dahuri R. 2004. Kebijakan dan Program Pembangunan Kelautan dan Perikanan Nasional. Makalah Seminar. Bogor: IPB. Dornbusch R, Fischer S, Startz R. 2008. Macroeconomics 8th Edition. New York: McGraw-Hill. Fauzi, Akhmad. 2009. Turning the Tide: Kebijakan Ekonomi Perikanan(makalah tidak dipublikasikan).8 hal. Foster, Greer, and Thorbecke. 1984. A Class of Decomposable Poverty Easures, Econometrica, Vol. 52, No. 3, pp. 761-766. Glaeser El. 2006. Inequality. Di dalam Barry R Weingast BR, Wittman DA, editor. The Oxford Handbook of Political Economy. New York: Oxford University Press Inc. Haque S.M. 1996. Former Director, Center of Excellentin Marine Biology, University of Karachi. Pakistan. Response to ICM crosss-national survey, Newark : University of Delaware. Center for the Study of Marine Policy. P. 517. Hidayat S, Patunru AA. 2007. Pertumbuhan Ekonomi, Ketidakmerataan Pendapatan dan Kemiskinan: Estimasi Parameter Elastisitas Kemiskinan Tingkat Provinsi di Indonesia tahun 1996-2005. Jakarta: Universitas Indonesia. Hsiao, C. 1990. Analysis of Panel Data, Cambridge University Press, New York.
83
Green, William H, (2000), Econometrics Analysis, Fouth Editions Prentice Hill, Inc. Kakwani, N and Pernia Ernesto M. 2000. What is Pro Poor Growth?. Asian Development Bank, Vol. 18, No.1. pp. 1-16. Kusnadi. 2006. Filosofi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Bandung: Humaniora Lin BQ. 2003. Economic Growth, Income Inequality, and Poverty Reduction in people’s Republic of China. Asian Development Review 20:105-124. Mankiw NG. 2007. Makroekonomi. Edisi keenam. Jakarta: Erlangga Manurung, Jonni J. 2005. Ekonometrika Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Mubyarto, Loekman Soetrisno & Michael Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan, Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai. Hal 18-19;175-176. Jakarta: Rajawali Press Nafziger WE. 2006. Economic Development 4th ed. Cambridge: Cambridge University Press. Nikijuluw, V.P.H.. 2000. Kebijakan dan Program Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat di Kawasan Pesisir dalam Prosising Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor: PKSPL IPB dan Proyek Pesisir (Coastal Resources Management Project, Coastal Resources Center University of Rhode Island) Nikijuluw, V.P.H.. 2002, Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Kerjasana Pusat Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional. Jakarta: PT. Pustaka Cidesindo. 254 hal Oshima HT. 1970. Income Inequality and Economic Growth: The Postwar Experiences of Asian Countries. Malayan Economic Review 15(2): 13. Ravallion, M. 2005. Pro Poor Growth: A Primer. Washington DC: Development Research Group, World Bank. Ravallion M. 2005. A poverty-inequality Trade-off, Journal of Economic Inequality 3: 169-181. Ravallion M, Datt G. 1996. How Important to India’s Poor is Sektoral Composition of Economic Growth? The World Bank Economic Review; 10: 1-25. Saad, S dan Basuki R. 2004. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Upaya Meningkatkan Kemandirian. Makalah Seminar Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Jakarta. Saefulah, Amran. 2009. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Kabupaten Tasikmalaya. www. Kabar Priangan .com
Pesisir
84
Saunders, Peter. 2002. The Direct and Indirect Effects of Unemployment on Poverty and Inequality. SPRC Discussion Paper No. 118, The Social Policy Research Centre University of South Wales, Sydney 052, NSW 2Australia. Sen, A. 1988, The concept of development, dalam HB Chenery & TN Srinivasan (eds). Handbook of development economics, Edisi 1, Vol.1, No.1, Elsevier Science Publishers, Amsterdam, The Netherlands. Smith. I.R. 1979. A Research Framework for Traditional Fisheries. ICLARM Studies and Reviews Subagio, Drajat. 2007. Analisis Dampak Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) terhadap Pendapatan Anggota Kelompok Masyarakat. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sukirno, Sadono . 2004. Makroekonomi Teori Pengantar. Edisi Ketiga Cetakan Kelimabelas. Jakarta: Raja Grafindo Persada Tambunan, T. H. 2003. Perekonomian Indonesia: Beberapa Permasalahan Penting. Jakarta: Ghalia Indonesia. Todaro MP dan Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Edisi Kesembilan. Jakarta: Erlangga. Widarjono, Agus.2005. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis. Yogyakarta: Ekonisia FE-UI Widodo, Sutejo Kuwat. 2000. Dinamika Kebijakan terhadap Nelayan: Tinjauan Historis pada Nelayan Pantai Utara Jawa, 1900-2000. Wodon, Quentin. 1999. Growth, Poverty and Inequality: A Region Panel for Banglades. Policy Research Working Paper No. 2072. World Bank South Asia Region Xin Meng, Robert Gregory, Youjuan Wong, 2005. Poverty, Inequality and Growth in Urban China,Discussion Paper No. 1452. Bonn, Germani: The Institute for the Study of Labor (IZA).
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Kabupaten/Kota Wilayah Pesisir Di Indonesia
87
88 Lampiran 2. Nama Kabupaten/Kota Penerima PEMP Rutin
No
Provinsi
Kabupaten/Kota
No
Provinsi
Kabupaten/Kota
1
Aceh
Aceh Besar
11 Kalimantan Barat
Sambas
2
Aceh
Banda Aceh
12 Kalimantan Barat
Pontianak
3
Sumatera Barat
Padang
13 Kalimantan Tengah Kotawaringin Barat
4
Jambi
Tj Jabung Barat
14 Kalimantan Timur
Nunukan
5
Bengkulu
Bengkulu
15 Sulawesi Utara
Minahasa Utara
6
Jawa Barat
Tasikmalaya
16 Maluku
Maluku Tengah
7
Jawa Barat
Ciamis
17 Maluku
Buru
8
DI Yogyakarta
Kulon Progo
18 Maluku
Seram Bagian Timur
9
DI Yogyakarta
Bantul
19 Papua Barat
Fakfak
10
Bali
Gianyar
20 Papua
Biak Numfor
Sumber : Kementerian kelautan dan Perikanan (2009)
Lampiran 3. Persentase Penduduk Miskin menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005-2009 Persentase Penduduk Miskin No
Kabupaten/Kota 2005
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Aceh Besar Banda Aceh Padang Tanjung Jabung Barat Bengkulu Tasikmalaya Ciamis Kulon Progo Bantul Gianyar Sambas Pontianak Kotawaringin Barat Nunukan Minahasa Utara Maluku Tengah Buru Seram Bagian Timur Fakfak Biak Numfor
28,81 8,20 4,41 13,28 8,65 18,23 15,07 26,80 18,21 5,09 15,10 9,82 8,79 19,13 7,61 37,14 33,00 39,98 39,88 47,36
2006
28,66 8,25 5,15 12,48 9,28 20,27 16,13 28,39 20,25 6,33 16,77 10,95 8,88 21,66 10,29 38,21 33,34 40,18 41,64 47,54
2007
26,69 6,61 4,97 12,79 9,20 18,15 13,94 28,61 19,43 5,98 14,00 8,26 8,66 20,02 10,14 36,03 31,34 39,83 39,57 46,98
2008
21,52 9,56 6,40 13,43 18,16 14,70 12,32 26,85 18,54 6,61 11,51 7,03 7,76 14,96 8,35 32,61 29,17 36,98 37,55 37,06
2009
20,09 8,64 5,72 11,65 17,57 13,5 11,23 24,65 17,64 5,76 9,96 5,46 6,87 13,47 7,98 30,48 27,57 34,67 35,29 36,51
89
Lampiran 4. PDRB menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005-2009 (jutaan rupiah) PDRB (juta rupiah) No
Kabupaten/Kota 2005
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Aceh Besar Banda Aceh Padang Tanjung Jabung Barat Bengkulu Tasikmalaya Ciamis Kulon Progo Bantul Gianyar Sambas Pontianak Kotawaringin Barat Nunukan Minahasa Utara Maluku Tengah Buru Seram Bagian Timur Fakfak Biak Numfor
1.732 1.504 9.111 1.618 1.589 4.337 5.890 1.465 3.234 2.551 2.274 4.788 1.887 1.186 1.006 484 238 119 456 631
2006
1.875 2.172 9.577 1.746 1.695 4.511 6.116 1.525 3.300 2.684 2.364 5.035 2.009 1.202 1.037 508 248 125 486 682
2007
2.135 2.585 10.166 1.885 1.807 4.884 6.422 1.588 3.449 2.842 2.491 5.294 2.147 1.247 1.095 534 258 128 519 734
2008
2.258 2.734 10.797 1.998 1.904 5.081 6.740 1.662 3.618 3.009 2.629 5.569 2.296 1.298 1.163 562 269 133 551 776
2009
2.405 2.900 11.346 2.126 1.998 5.291 7.071 1.728 3.780 3.188 2.771 5.842 2.444 1.344 1.242 591 167 139 585 836
90 Lampiran 5. Indeks Gini menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005-2009 Indeks Gini No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Kabupaten/Kota Aceh Besar Banda Aceh Padang Tanjung Jabung Barat Bengkulu Tasikmalaya Ciamis Kulon Progo Bantul Gianyar Sambas Pontianak Kotawaringin Barat Nunukan Minahasa Utara Maluku Tengah Buru Seram Bagian Timur Fakfak Biak Numfor
2005
2006
2007
2008
2009
0,26 0,29 0,33 0,31 0,36 0,27 0,32 0,31 0,36 0,33 0,31 0,30 0,29 0,33 0,35 0,28 0,29 0,30 0,31 0,35
0,26 0,29 0,29 0,31 0,33 0,27 0,26 0,31 0,34 0,29 0,31 0,30 0,29 0,31 0,35 0,27 0,26 0,30 0,31 0,33
0,26 0,27 0,29 0,30 0,29 0,26 0,26 0,30 0,33 0,25 0,31 0,30 0,29 0,31 0,34 0,27 0,26 0,30 0,31 0,33
0,26 0,27 0,29 0,30 0,29 0,27 0,25 0,29 0,33 0,25 0,31 0,30 0,29 0,31 0,30 0,27 0,26 0,30 0,31 0,33
0,25 0,27 0,29 0,29 0,28 0,26 0,25 0,27 0,30 0,25 0,28 0,30 0,29 0,31 0,30 0,27 0,25 0,28 0,28 0,33
91 Lampiran 6. TPTmenurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005-2009 TPT No
Kabupaten/Kota 2005
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Aceh Besar Banda Aceh Padang Tanjung Jabung Barat Bengkulu Tasikmalaya Ciamis Kulon Progo Bantul Gianyar Sambas Pontianak Kotawaringin Barat Nunukan Minahasa Utara Maluku Tengah Buru Seram Bagian Timur Fakfak Biak Numfor
35,88 20,92 19,23 11,60 17,98 10,04 8,04 6,85 7,64 4,06 6,27 9,72 8,54 23,56 16,75 19,14 7,72 8,52 9,84 10,89
2006
15,12 30,70 19,33 8,26 10,72 11,09 8,19 5,35 6,47 6,47 6,85 12,45 6,31 41,27 16,21 12,94 10,71 18,14 2,49 4,76
2007
12,99 7,91 17,63 4,52 9,47 8,48 4,39 4,34 5,17 2,80 6,27 9,23 7,25 14,34 13,68 12,80 10,69 10,04 14,56 7,52
2008
12,05 11,43 14,61 4,31 8,87 8,02 6,00 3,56 5,06 2,84 3,89 9,07 5,43 13,17 13,20 12,24 10,17 7,57 13,66 7,38
2009
13,54 9,78 15,86 4,38 11,97 6,81 6,31 4,31 5,85 2,91 6,09 7,98 4,74 9,43 11,95 12,41 6,65 8,24 13,33 12,12
92 Lampiran 7. Alokasi Besaran PEMP menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005-2009 (ribuan rupiah) Besaran PEMP No
Kabupaten/Kota 2005
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Aceh Besar Banda Aceh Padang Tanjung Jabung Barat Bengkulu Tasikmalaya Ciamis Kulon Progo Bantul Gianyar Sambas Pontianak Kotawaringin Barat Nunukan Minahasa Utara Maluku Tengah Buru Seram Bagian Timur Fakfak Biak Numfor
853.125 853.125 150.000 550.000 1.120.000 1.520.000 150.000 1.120.000 550.000 550.000 550.000 1.520.000 970.000 150.000 970.000 852.500 852.500 852.500 150.000 550.000
2006 1.000.000 1.000.000 525.000 1.200.000 1.475.000 800.000 550.000 550.000 550.000 550.000 1.200.000 525.000 550.000 1.000.000 1.200.000 525.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.200.000
2007 850.000 1.250.000 400.000 850.000 400.000 850.000 850.000 850.000 850.000 850.000 475.000 1.250.000 850.000 850.000 850.000 700.000 700.000 700.000 1.325.000 1.125.000
2008
2009
865.000 865.000 865.000 865.000 865.000 865.000 865.000 865.000 865.000 856.000 865.000 865.000 865.000 900.000 865.000 865.000 865.000 865.000 865.000 957.000
926.300 926.300 926.300 926.300 926.300 926.300 926.300 926.300 926.300 926.300 926.300 926.300 926.300 926.300 926.300 926.300 926.300 926.300 926.300 926.300
93 Lampiran 8. Data Pengeluaran Perkapita Menurut Persentil Tahun 2005 dan 2009 Per sentil
Pengeluaran 2005
PengeGrowth Mean Per luaran 2005-2009 Growth sentil 2009
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
66.434 74.878 81.000 85.378 90.098 94.008 97.149 100.040 102.753 105.945 108.526 111.054 113.877 115.774 118.030 120.279 122.302 124.171 126.355 128.046 129.879 131.652 133.661 135.548 137.619 139.517 141.191 143.114 145.103 147.048 149.185 151.116 153.128 155.176 157.540 160.060 162.345 164.569 166.581 169.006 171.161 173.921 176.185 178.788 181.121 183.619 186.384 189.390 192.407 194.819
127.672 142.343 155.622 165.794 173.150 178.542 184.168 188.321 193.199 198.552 204.038 208.552 212.332 216.185 220.698 224.864 229.247 232.860 236.787 240.411 243.683 247.151 251.048 254.371 258.506 261.861 265.649 269.924 273.881 277.419 280.827 284.439 287.807 291.973 295.758 299.369 303.304 306.938 310.724 314.280 318.514 322.756 327.774 332.270 337.196 342.099 346.363 350.580 355.350 360.600
17,74 17,42 17,73 18,05 17,74 17,39 17,34 17,13 17,10 17,00 17,10 17,06 16,85 16,90 16,94 16,93 17,01 17,02 17,00 17,06 17,04 17,05 17,07 17,04 17,07 17,05 17,12 17,19 17,21 17,20 17,13 17,13 17,09 17,12 17,05 16,94 16,91 16,86 16,87 16,78 16,80 16,72 16,79 16,76 16,81 16,83 16,76 16,64 16,58 16,64
16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59
51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99
Pengeluaran 2005 197.045 200.229 202.976 205.940 209.347 212.551 215.417 218.909 222.662 225.746 229.270 233.359 237.202 240.848 244.470 249.166 252.861 258.413 262.473 266.374 271.036 276.991 281.492 287.207 293.298 299.571 306.532 312.599 319.360 326.405 333.323 342.460 352.816 361.821 371.498 380.714 393.934 408.972 423.849 442.148 460.221 482.113 510.657 541.912 574.804 625.088 692.066 792.143 1.023.524
PengeGrowth Mean luaran 2005-2009 Growth 2009 365.397 369.981 375.173 381.309 386.797 391.695 397.393 403.952 410.103 416.170 422.914 428.198 434.321 440.223 447.060 452.980 460.494 469.426 478.196 486.717 494.028 503.022 511.755 521.015 532.248 542.644 554.631 565.850 577.149 594.487 607.336 622.589 638.514 652.845 670.711 690.254 715.278 741.643 766.843 797.297 834.534 875.009 914.008 961.103 1.036.804 1.130.257 1.241.522 1.408.347 1.763.839
16,69 16,59 16,60 16,65 16,59 16,51 16,54 16,55 16,50 16,52 16,54 16,39 16,32 16,27 16,29 16,12 16,17 16,09 16,18 16,26 16,19 16,09 16,12 16,05 16,07 16,01 15,98 15,99 15,94 16,17 16,18 16,12 15,99 15,90 15,92 16,04 16,08 16,04 15,98 15,88 16,04 16,07 15,67 15,40 15,89 15,96 15,73 15,47 14,58
16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59 16,59
94 Lampiran 9. Hasil Analisis Kuadran menurut Kab/Kota Pesisir Penerima PEMP Analisis Kuadran Pertumbuhan dan Kemiskinan menurut Kab/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005
50.00 Biak Numfor
Seram Bagian Timur
40.00 Fakfak
Maluku Tengah
II
Buru
miskin2005
III Aceh Besar
30.00
II
III Kulon Progo
Nunukan
20.00
Bantul
Tasikmalaya
Sambas
Ciamis
I
Tanjung Jabung Barat
10.00
Banda Aceh Minahasa Utara
Pontianak
Kotawaringin Barat
IV Bengkulu
Gianyar
Padang
0.00
0
2000
4000
6000
pdrb2005
8000
10000
95
Analisis Kuadran Pertumbuhan dan Kemiskinan menurut Kab/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2009
40.00 Biak Numfor Fakfak Seram Bagian Timur Maluku Tengah
30.00 Buru
miskin2009
II II
Kulon Progo III
III Aceh Besar
20.00 Bantul
Bengkulu
IV Tasikmalaya
Nunukan
I
Tanjung Jabung Barat
Ciamis
Sambas
10.00 Minahasa Utara Banda Aceh Padang
Pontianak
Kotawaringin Barat Gianyar
0
2000
4000
6000
pdrb2009
8000
10000
12000
96
Analisis Kuadran Indeks Gini dan Kemiskinan menurut Kab/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005
50.00 Biak Numfor
Seram Bagian Timur
40.00 Maluku Tengah
Fakfak
miskin2005
Buru
30.00
Aceh Besar
20.00
III
IV
Kulon Progo
Nunukan
Tasikmalaya
Bantul
Sambas Tanjung Jabung Barat
10.00
Ciamis
Banda Aceh Kotawaringin Barat
Minahasa Utara
Pontianak
Bengkulu Padang Gianyar
I
II
0.00
0.26
0.28
0.30
0.32
gini2005
0.34
0.36
97
Analisis Kuadran Indeks Gini dan Kemiskinan menurut Kab/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2009
40.00 Biak Numfor Fakfak Seram Bagian Timur Maluku Tengah
30.00
miskin2009
Buru
IV
III
Kulon Progo
Aceh Besar
20.00 Bantul
Bengkulu
Tasikmalaya
Nunukan
Ciamis Sambas
10.00
I
Tanjung Jabung Barat
II
Minahasa Utara Banda Aceh Gianyar
Pontianak
Kotawaringin Barat Padang
0.24
0.26
0.28
0.30
gini2009
0.32
0.34
98
Analisis Kuadran Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dan Kemiskinan menurut Kab/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005
50.00 Biak Numfor
Seram Bagian Timur
40.00 Maluku Tengah
Fakfak
miskin2005
Buru
Aceh Besar
30.00 Kulon Progo
IV III 20.00
Nunukan
Bantul Sambas
Tasikmalaya Tanjung Jabung Barat
Ciamis Kotawaringin Barat
10.00
Bengkulu Pontianak
I
Gianyar
II Banda Aceh
Minahasa Utara
Padang
0.00
0.00
10.00
20.00
tpt2005
30.00
40.00
99
Kondisi Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dan Kemiskinan menurut Kab/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2009
40.00 Biak Numfor Seram Bagian Timur Fakfak Maluku Tengah
30.00
miskin2009
Buru Kulon Progo
Aceh Besar
20.00 Bantul
IV
III
Bengkulu
Tasikmalaya
Nunukan
Tanjung Jabung Barat
II Sambas
10.00
I
Banda Aceh
Minahasa Utara
Kotawaringin Barat Gianyar
2.00
Ciamis
4.00
Padang
Pontianak
6.00
8.00
10.00
tpt2009
12.00
14.00
16.00
100 Lampiran 10. Output Hasil Pengolahan Data Panel
PENGARUH PEMP TERHADAP PDRB FIXED Dependent Variable: PDRB Method: Panel Least Squares Date: 08/24/11 Time: 14:12 Sample: 2005 2009 Periods included: 5 Cross-sections included: 20 Total panel (balanced) observations: 100 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PEMP
2337.714 0.000309
118.7268 0.000135
19.68987 2.294240
0.0000 0.0244
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.986879 0.983557 312.7759 7728472. -704.6564 297.0926 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
2600.480 2439.185 14.51313 15.06021 14.73454 0.629569
RANDOM Dependent Variable: PDRB Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 08/24/11 Time: 14:13 Sample: 2005 2009 Periods included: 5 Cross-sections included: 20 Total panel (balanced) observations: 100 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PEMP
2345.533 0.000300
516.2781 0.000135
4.543158 2.226966
0.0000 0.0282
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
2247.037 312.7759
Rho 0.9810 0.0190
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.046272 0.036540 319.4390 4.754645 0.031613
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
161.5667 325.4401 10000043 0.481309
101 Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
-0.012013 5.96E+08
Mean dependent var Durbin-Watson stat
2600.480 0.008074
UJI HAUSMAN – PEMP terhadap PDRB Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects
Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
5.219871
1
0.0223
Random
Var(Diff.)
Prob.
0.000300
0.000000
0.0223
Cross-section random effects test comparisons: Variable PEMP
Fixed 0.000309
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: PDRB Method: Panel Least Squares Date: 08/24/11 Time: 14:14 Sample: 2005 2009 Periods included: 5 Cross-sections included: 20 Total panel (balanced) observations: 100 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PEMP
2337.714 0.000309
118.7268 0.000135
19.68987 2.294240
0.0000 0.0244
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.986879 0.983557 312.7759 7728472. -704.6564 297.0926 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
2600.480 2439.185 14.51313 15.06021 14.73454 0.629569
PEMP Terhadap PDRB KEPUTUSAN UJI HAUSMAN FIXED AUTOKORELASI : ADA (DURBIN WATSON= 0,63) HO: HOMOSKEDASTIK H1: HETEROSKEDASTIK HETEROSKEDASTIK: 100*0.9868=98.68 CHI SQUARE TABEL (0,01)=6.63 TOLAK HO (HETEROSKEDASTIK)
102 ADA AUTOKORELASI DAN ADA HETEROSKEDASTIK, ESTIMASI YANG DIGUNAKAN : COVARIANCE METHOD CROSSSECTION
SUR(PCSE)
Dependent Variable: PDRB Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 08/24/11 Time: 14:19 Sample: 2005 2009 Periods included: 5 Cross-sections included: 20 Total panel (balanced) observations: 100 Linear estimation after one-step weighting matrix Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PEMP
2519.588 9.52E-05
49.04720 5.33E-05
51.37067 1.786154
0.0000 0.0779
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.991594 0.989466 284.0324 465.9577 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
3165.360 1338.461 6373277. 0.626862
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.986460 7975158.
Mean dependent var Durbin-Watson stat
2600.480 0.524956
PENGARUH PEMP TERHADAP INDEKS GINI FIXED Dependent Variable: GINI Method: Panel Least Squares Date: 08/24/11 Time: 14:20 Sample: 2005 2009 Periods included: 5 Cross-sections included: 20 Total panel (balanced) observations: 100 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PEMP
0.309874 -2.26E-08
0.009586 1.09E-08
32.32677 -2.073536
0.0000 0.0414
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)
103 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.478762 0.346803 0.025253 0.050378 237.7745 3.628111 0.000021
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.290700 0.031245 -4.335490 -3.788404 -4.114075 1.529747
RANDOM Dependent Variable: GINI Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 08/24/11 Time: 14:20 Sample: 2005 2009 Periods included: 5 Cross-sections included: 20 Total panel (balanced) observations: 100 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PEMP
0.308726 -2.12E-08
0.010236 1.06E-08
30.16138 -2.008030
0.0000 0.0474
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
Rho
0.018871 0.025253
0.3583 0.6417
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.039804 0.030006 0.025158 4.062537 0.046583
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.149278 0.025544 0.062028 1.240519
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.021962 0.094528
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0.290700 0.814003
UJI HAUSMAN - PEMP Terhadap INDEKS GINI Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects
Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
0.267796
1
0.6048
Random
Var(Diff.)
Prob.
-0.000000
0.000000
0.6048
Cross-section random effects test comparisons: Variable PEMP
Fixed -0.000000
104 Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: GINI Method: Panel Least Squares Date: 08/24/11 Time: 14:21 Sample: 2005 2009 Periods included: 5 Cross-sections included: 20 Total panel (balanced) observations: 100 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PEMP
0.309874 -2.26E-08
0.009586 1.09E-08
32.32677 -2.073536
0.0000 0.0414
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.478762 0.346803 0.025253 0.050378 237.7745 3.628111 0.000021
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.290700 0.031245 -4.335490 -3.788404 -4.114075 1.529747
PEMP Terhadap INDEKS GINI KEPUTUSAN UJI HAUSMAN : RANDOM EFFECT AUTOKORELASI : ADA (DURBIN WATSON: 1,24) HO: HOMOSKEDASTIK H1: HETEROSKEDASTIK HETEROSKEDASTIK: 0,0398*100=3.98 CHI SQUARE TABEL=6.63 TERIMA HO (HOMOSKEDASTIK) ADA AUTOKORELASI DAN TIDAK ADA HETEROSKEDASTIK, ESTIMASI YANG DIGUNAKAN : COVARIANCE METHOD CROSSSECTION
WEIGHT (PCSE)
Dependent Variable: GINI Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 08/25/11 Time: 12:44 Sample: 2005 2009 Periods included: 5 Cross-sections included: 20 Total panel (balanced) observations: 100 Swamy and Arora estimator of component variances Cross-section weights (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PEMP
0.308726 -2.12E-08
0.010849 1.19E-08
28.45676 -1.781146
0.0000 0.0780
Effects Specification S.D. Cross-section random
0.018871
Rho 0.3583
105 Idiosyncratic random
0.025253
0.6417
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.039804 0.030006 0.025158 4.062537 0.046583
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.149278 0.025544 0.062028 1.240519
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.021962 0.094528
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0.290700 0.814003
PEMP TERHADAP PENGANGGURAN(TPT) FIXED Dependent Variable: TPT Method: Panel Least Squares Date: 08/25/11 Time: 12:50 Sample: 2005 2009 Periods included: 5 Cross-sections included: 20 Total panel (balanced) observations: 100 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PEMP
11.46289 -1.15E-06
1.850322 2.10E-06
6.195079 -0.549029
0.0000 0.5845
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.535918 0.418429 4.874522 1877.117 -288.5100 4.561433 0.000001
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
10.48290 6.391912 6.190199 6.737285 6.411614 1.865527
RANDOM Dependent Variable: TPT Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 08/25/11 Time: 12:50 Sample: 2005 2009 Periods included: 5 Cross-sections included: 20 Total panel (balanced) observations: 100 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PEMP
11.41156 -1.09E-06
2.060756 2.05E-06
5.537562 -0.532061
0.0000 0.5959
106 Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
Rho
4.387809 4.874522
0.4476 0.5524
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.002909 -0.007265 4.850060 0.285951 0.594038
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
4.664199 4.832538 2305.262 1.518289
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.001246 4039.758
Mean dependent var Durbin-Watson stat
10.48290 0.866402
UJI HAUSMAN- PEMP Terhadap PENGANGGURAN (TPT) Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects
Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
0.018871
1
0.8907
Random
Var(Diff.)
Prob.
-0.000001
0.000000
0.8907
Cross-section random effects test comparisons: Variable PEMP
Fixed -0.000001
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: TPT Method: Panel Least Squares Date: 08/25/11 Time: 12:51 Sample: 2005 2009 Periods included: 5 Cross-sections included: 20 Total panel (balanced) observations: 100 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PEMP
11.46289 -1.15E-06
1.850322 2.10E-06
6.195079 -0.549029
0.0000 0.5845
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.535918 0.418429 4.874522 1877.117 -288.5100 4.561433 0.000001
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
10.48290 6.391912 6.190199 6.737285 6.411614 1.865527
107
PEMP Terhadap PENGANGGURAN (TPT) KEPUTUSAN UJI HAUSMAN : RANDOM AUTOKORELASI : ADA (DURBIN WATSON: 1,52) HO: HOMOSKEDASTIK H1: HETEROSKEDASTIK HETEROSKEDASTIK: 0,0029*100=0.29 CHI SQUARE TABEL=6.63 TERIMA HO (HOMOSKEDASTIK) ADA AUTOKORELASI DAN TIDAK ADA HETEROSKEDASTIK , ESTIMASI YANG DIGUNAKAN: COVARIANCE METHOD CROSSSECTION
SUR (PCSE)
Dependent Variable: TPT Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 08/25/11 Time: 12:53 Sample: 2005 2009 Periods included: 5 Cross-sections included: 20 Total panel (balanced) observations: 100 Swamy and Arora estimator of component variances Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PEMP
11.41156 -1.09E-06
2.249113 1.39E-06
5.073806 -0.785504
0.0000 0.4341
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
4.387809 4.874522
Rho 0.4476 0.5524
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.002909 -0.007265 4.850060 0.285951 0.594038
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
4.664199 4.832538 2305.262 1.518289
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.001246 4039.758
Mean dependent var Durbin-Watson stat
10.48290 0.866402
108
PDRB, GINI, PENGANGGURAN TERHADAP MISKIN FIXED Dependent Variable: MISKIN Method: Panel Least Squares Date: 08/25/11 Time: 12:55 Sample: 2005 2009 Periods included: 5 Cross-sections included: 20 Total panel (balanced) observations: 100 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PDRB GINI TPT
21.45566 -0.001456 2.859503 0.091824
4.949510 0.001013 11.87735 0.065346
4.334905 -1.438002 0.240753 1.405186
0.0000 0.1545 0.8104 0.1640
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.962992 0.952418 2.642497 537.6749 -225.9980 91.07429 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
19.46190 12.11420 4.979961 5.579150 5.222464 0.949977
RANDOM Dependent Variable: MISKIN Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 08/25/11 Time: 12:55 Sample: 2005 2009 Periods included: 5 Cross-sections included: 20 Total panel (balanced) observations: 100 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PDRB GINI TPT
24.06846 -0.002181 0.940267 0.075529
4.839676 0.000709 11.68571 0.062834
4.973155 -3.075884 0.080463 1.202046
0.0000 0.0027 0.9360 0.2323
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
10.62755 2.642497
Rho 0.9418 0.0582
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.131550 0.104411 2.615054 4.847249 0.003488
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
2.150865 2.763288 656.4966 0.774707
109 Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.313283 9977.067
Mean dependent var Durbin-Watson stat
19.46190 0.050976
UJI HAUSMAN-PDRB,INDEKS GINI,TPT Terhadap KEMISKINAN Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects
Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
1.016361
3
0.7973
Random
Var(Diff.)
Prob.
-0.002181 0.940267 0.075529
0.000001 4.515418 0.000322
0.3165 0.3664 0.3639
Cross-section random effects test comparisons: Variable PDRB GINI TPT
Fixed -0.001456 2.859503 0.091824
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: MISKIN Method: Panel Least Squares Date: 08/25/11 Time: 12:55 Sample: 2005 2009 Periods included: 5 Cross-sections included: 20 Total panel (balanced) observations: 100 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PDRB GINI TPT
21.45566 -0.001456 2.859503 0.091824
4.949510 0.001013 11.87735 0.065346
4.334905 -1.438002 0.240753 1.405186
0.0000 0.1545 0.8104 0.1640
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.962992 0.952418 2.642497 537.6749 -225.9980 91.07429 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
19.46190 12.11420 4.979961 5.579150 5.222464 0.949977
110 PDRB,INDEKS GINI,TPT Terhadap KEMISKINAN KEPUTUSAN UJI HAUSMAN : RANDOM AUTOKORELASI : ADA (DURBIN WATSON: 0.77) HO: HOMOSKEDASTIK H1: HETEROSKEDASTIK HETEROSKEDASTIK: 0,1315*100=13.15 CHI SQUARE TABEL=6.63 TOLAK HO (HETEROSKEDASTIK) ADA AUTOKORELASI DAN ADA HETEROSKEDASTIK ,ESTIMASI YANG DIGUNAKAN: GLS KARENA SUDAH RANDOM TIDAK DIGUNAKAN WEIGHT GLS LAGI COVARIANCE METHOD CROSSSECTION SUR (PCSE) Dependent Variable: MISKIN Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 08/25/11 Time: 13:01 Sample: 2005 2009 Periods included: 5 Cross-sections included: 20 Total panel (balanced) observations: 100 Swamy and Arora estimator of component variances Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PDRB GINI TPT
24.06846 -0.002181 0.940267 0.075529
6.964162 0.000835 8.143073 0.051127
3.456045 -2.612007 0.115468 1.477275
0.0008 0.0104 0.9083 0.1429
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
10.62755 2.642497
Rho 0.9418 0.0582
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.131550 0.104411 2.615054 4.847249 0.003488
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
2.150865 2.763288 656.4966 0.774707
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.313283 9977.067
Mean dependent var Durbin-Watson stat
19.46190 0.050976