STRATEGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DALAM MENDUKUNG KEBIJAKAN KLASTER INDUSTRI GULA TEBU DI INDONESIA
BAMBANG SUHADA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “ Strategi Peningkatan Produktivitas Dalam Mendukung Kebijakan Klaster Industri Gula Tebu Di Indonesia” merupakan gagasan dan hasil penelitian saya dengan arahan komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Maret 2012
Bambang Suhada
ABSTRACT BAMBANG SUHADA. Productivity Improvement Strategy for Supporting National Cane-Sugar Industrial Cluster Policy. Under direction of E. GUMBIRA SA’ID, I WAYAN RUSASTRA and SUKARDI. Indonesian cane-sugar industry face several serious problems indicated by increasing of sugar imported amount of 1.27 million ton in the year 2006 compared with 1.49 million ton in 2007. If such condition continued, Indonesian sugar factories sustainability, esspecially those in BUMN affiliation will be threated. This research was aimed to formulate the strategy for productivity improvement of national cane-sugar industry. The stages of this research consisted of national cane-sugar factories performance evaluation, problem identification and strategy formulation on cane-sugar industrial productivity improvement. The methods used were institutional analysis and Interpretive Structural Modelling, Policy Analysis Matrix, Objective Matrix, Porter’s Diamond Model and SWOT-AHP. Survey, interviews and data collection for productivity measurement were conducted at four cane sugar factories, i.e. Gunung Madu, Bungamayang, Kebon Agung and Pesantren Baru cane sugar factories which represented national cane sugar industry. The results showed that natioan cane sugar industry productivity improvement can be reached through intensification of sugar cane cultivation through implementation of Good Agricultural Practises (GAP), improvement of factories efficiency through implementation of Good Manufacturing Practises (GMP), and sincronizing of government policy and regulation on national cane-sugar industral productivity improvement. Keywords: Productivity Improvement, cane-sugar industry, strategy, industrial cluster, Good Agricultural Practices (GAP), Good Manufacturing Practices (GMP).
RINGKASAN BAMBANG SUHADA. Strategi Peningkatan Produktivitas Dalam Mendukung Kebijakan Klaster Industri Gula Tebu di Indonesia. Dibimbing oleh E. GUMBIRA SA’ID, I WAYAN RUSASTRA dan SUKARDI. Rendahnya kinerja industri gula Indonesia dapat diketahui dari tingkat produktivitas tebu, rendemen serta produktivitas hablur gula yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik gula di Indonesia selama kurun waktu 2005 sampai 2009. Tingkat produktivitas tebu hanya bergerak pada kisaran angka 67,61 ton per hektar sampai 81,83 ton per hektarnya. Demikian juga dengan tingkat rendemen, hanya mencapai rata-rata 7,54 persen. Begitupun dengan tingkat produktivitas hablur yang dihasilkan masih relatif rendah dengan rata-rata 5,79 ton per hektarnya (Kementerian Pertanian, 2010). Penelitian ini bertujuan untuk: 1) memperoleh struktur kelembagaan kemitraan antara pabrik gula (PG) dengan petani tebu. 2) Mendapatkan tingkat daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap kinerja industri gula tebu nasional, 3) memperoleh tingkat produktivitas di tingkat kebun dan pabrik gula secara terintegrasi dan 4) mendapatkan strategi peningkatan produktivitas industri gula tebu nasional. Tahapan dari penelitian ini dimulai dengan pemetaan kondisi eksisting di tingkat kebun dan pabrik gula (PG). Dalam pemetaan tersebut dieksplorasi sejumlah data dan informasi terkait masukan dan keluaran dari tingkat kebun dan pabrik gula melalui proses tabulasi. Dari hasil tabulasi tersebut, kemudian dilakukan analisis kelembagaan untuk mengkaji kondisi awal relasi fungsional antara pabrik gula dengan petani tebu dan kemudian dengan interpretive Structural Modelling (Metode ISM) di susun rekayasa kelembagaan kemitraan kemitraan antara pabrik gula dengan petani tebu. Selain itu, juga dilakukan analisis tingkat daya saing industri gula tebu serta perkiraan dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah dalam upaya meningkatkan kinerja industri gula tebu nasional (Metode PAM). Pada tahap selanjutnya, dilakukan pengukuran produktivitas untuk memperoleh indeks produktivitas (Metode Objective Matrix) agar dapat diketahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kondisi produktivitas baik di tingkat kebun maupun di tingkat pabrik gula (PG). Terakhir dilakukan pemetaan faktor-faktor internal dan eksternal pabrik gula (kekuatan, kelemahan, tekanan dan peluang) dan diberikan bobot (Kombinasi metoda SWOT-AHP), kemudian dilakukan agregasi atas informasi yang diperoleh untuk menyusun strategi nasional dalam peningkatan produktivitas industri gula tebu nasional. Hasil penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut : 1) struktur kelembagaan kemitraan antara pabrik gula dengan petani tebu kedepannya memerlukan penyempurnaan dengan mempertimbangkan berbagai elemen kunci sebagai berikut : (1). Tujuan kuncinya berupa peningkatan mutu bahan baku tebu dan produksi gula, (2). Tolok ukur keberhasilan kunci dari sistem kelembagaan kemitraan adalah : peningkatan rendemen tebu, peningkatan pendapatan pabrik gula dan petani tebu, perluasan akses informasi tentang perkembangan harga jual gula terkini, peningkatan kapasitas pabrik gula dan jaminan jumlah pasokan tebu petani (TR), (3). Kendala kunci bagi pengembangan kelembagaan kemitraan yang
perlu dicermati adalah : penghargaan (reward) dan sanksi (punishment) belum berjalan secara seimbang, koordinasi antar pemangku kepentingan masih lemah, masih maraknya berbagai pungutan di daerah serta kebijakan pemerintah yang belum terintegrasi, (4). Sektor masyarakat kunci yang terpengaruh dari adanya sistem kelembagaan kemitraan adalah : usaha pembibitan tebu rakyat, industri pupuk dan obat-obatan serta lembaga litbang dan sertifikasi, (5). Program kunci yang diharapkan dapat memperkuat kelembagaan kemitraan adalah : arah pengembangan industri gula tebu dengan pendekatan klaster industri, implementasi Standard Operating Procedure pertebuan dan pergulaan secara konsisten serta keberlanjutan program perkreditan dan bongkar keprasan (ratoon cane), 2) terkait dengan daya saing masing-masing pabrik gula, hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut : nilai keuntungan pasar dan keuntungan sosial pada seluruh pabrik gula bernilai positif lebih dari satu, sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh pabrik gula (PG) memiliki keuntungan di atas normal. Nilai efisiensi finansial (PCR) pada seluruh pabrik gula bernilai kurang dari 1, sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh pabrik gula bekerja secara efisien dari segi finansial. Begitupun halnya dengan nilai efisiensi ekonomi (DRCR), seluruh pabrik gula yang diteliti memiliki nilai DRCR bernilai kurang dari satu, sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh pabrik gula memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. 3) dalam hal tingkat produktivitas, diperoleh posisi produktivitas dari masing-masing pabrik gula sebagai berikut: posisi produktivitas PG GM masuk kategori produktivitas tinggi (nilai efisiensi 311,16 dan nilai efektivitas 149,03), posisi produktivitas PG KA masuk kategori produktivitas sedang (nilai efisiensi 259,9 dan nilai efektivitas 140,82, posisi produktivitas PG PB masuk kategori produktivitas sedang (nilai efisiensi 233,4 dan nilai efektivitas 125,79) dan posisi produktivitas PG BM masuk kategori produktivitas rendah (nilai efisiensi 225 dan nilai efektivitas 99,9). 4) adapun strategi peningkatan produktvitas industri gula tebu nasional dapat dicapai melalui upaya-upaya sebagai berikut: (1). untuk tingkat kebun tebu, strategi yang diperlukan adalah intensifikasi budidaya tanaman tebu melalui pemanfaatan Good Agricultural Practises (GAP), (2). Untuk tingkat pabrik, strategi yang diperlukan adalah peningkatan efisiensi pabrik melalui pemanfaatan Good Manufacturing Practises (GM), dan (3). Untuk tingkat makro, strategi yang diperlukan adalah sinkronisasi Kebijakan Pemerintah Dalam meningkatkan produktivitas industri gula tebu nasional. Adapun saran yang perlu dipertimbangkan adalah : 1) Neraca gula nasional yang memuat tentang cadangan (stok), produksi, impor, penyediaan dan penyaluran dibuat oleh dua instansi, yaitu : (1). Badan Ketahanan Pangan (BKP) dan Badan Pusat Statistik serta (2). Dewan Gula Indonesia (DGI). Namun besaran angka-angka untuk unsur yang sama dalam neraca gula yang dibuat oleh BKP dan BPS berbeda dengan neraca yang disusun oleh DGI. Perbedaan neraca gula nasional tersebut disebabkan karena kedua instansi tersebut (BKP dan BPS serta DGI) menggunakan konsep yang berbeda tentang unsur-unsur yang membentuk neraca gula tersebut. Data neraca gula nasional yang berbeda tersebut akan membawa implikasi terhadap formulasi kebijakan yang disusun, baik terhadap kebijakan impor gula, tarif bea masuk, bongkar keprasan maupun besaran subsidi yang sebaiknya diberikan baik kepada pabrik gula maupun petani tebu. Oleh karena itu, kedepan perlu untuk dirumuskan model neraca gula nasional tunggal
yang disusun oleh satu lembaga sehingga menjadi acuan semua pihak terkait pergulaan untuk merumuskan langkah-langkah strategis yang diperlukan dalam rangka meningkatkan daya saing industri gula nasional. 2). Salah satu permasalahan carut marutnya tata kelola industri gula nasional disebabkan karena terjadinya tumpang tindih kewenangan yang ada pada Kementerian / Lembaga. Kementerian yang seharusnya cukup bertanggungjawab dalam peningkatan produktivitas lahan dan menghasilkan bibit unggul (rendemen tinggi) ternyata juga ikut menentukan besaran target produksi gula nasional. Agar pengembangan industri gula nasional lebih baik kedepannya, maka salah satu aspek penting yang perlu dipertimbangkan adalah memperbaiki sistem koordinasi yang ada dan implementasinya diterjemahkan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masingmasing kementerian / lembaga. Selain itu, Dewan Gula Indonesia perlu direvitalisasi tugas pokok dan fungsinya, merepresentasikan seluruh pemangku kepenitngan, termasuk memperbesar kewenangannya dalam merumuskan informasi tunggal dan memiliki validitas tinggi yang dapat digunakan oleh Kementerian terkait dalam menyusun kebijakan pergulaan nasional. 3). Target pancapaian swasembada gula nasional akan sulit dicapai, mengingat industri gula nasional masih menghadapi persoalan struktural sistem produksi, khususnya tentang ketersediaan lahan, kualitas bibit tebu unggul, manajemen usahatani tebu, pendirian pabrik gula baru, penyediaan lahan, belum dapat diselesaikan dalam waktu dekat. Dalam rangka pencapaian target swasembada gula sebesar 5,7 juta ton terdiri atas 2,96 juta gula kristal putih (GKP) dan 2,74 juta ton gula kristal rafinasi (GKR) pada tahun 2014 nanti, setidaknya dibutuhkan tambahan lahan usahatani dan perkebunan tebu. Akan tetapi persoalan pengadaan lahan secara administrasi dan sosial-ekonomi tidak sesederhana yang diduga, sehingga pengadaan lahan baru untuk perkebunan tebu itu pun masih cukup sulit untuk direalisasikan. Oleh karena itu, dalam rangka pencapaian target swasembada gula, maka yang perlu dilakukan adalah secara simultan menambah luas areal sebesar 766.613 hektar, meningkatkan rendemen 8,5 persen dan produktivitas lahan 87 ton per hektar serta produktivitas hablur sebesar 7,4 ton per hektarnya. Namun demikian, penambahan luas areal dan peningkatan rendemen perlu didukung oleh penambahan jumlah pabrik gula baru.
Kata Kunci: Peningkatan Produktivitas, Industri Gula Tebu, Strategi, Klaster Industri,Good Agricultural Practices (GAP), Good Manufacturing Practices (GMP).
© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan kepada khalayak dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bantuk apapun tanpa izin IPB.
STRATEGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DALAM MENDUKUNG KEBIJAKAN KLASTER INDUSTRI GULA TEBU DI INDONESIA
BAMBANG SUHADA
DISERTASI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Ujian Tertutup
:
1. Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA 2. Dr. Ir. Wayan R. Susila
Penguji Ujian Terbuka
:
1. Prof. Dr. A. Azis Darwis, M.Sc 2. Prof. (R) Dr. Bambang Haryanto
Judul Disertasi
:
Strategi Peningkatan Produktivitas Dalam Mendukung Kebijakan Klaster Industri Gula Tebu Di Indonesia
Nama
:
Bambang Suhada
Nomor Pokok
:
F361070031
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. E. Gumbira-Sa’id, M.A.Dev Ketua
Prof. (R) Dr. Ir. I Wayan Rusastra, APU Anggota
Dr. Ir. Sukardi, M.M Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Teknologi Industri Pertanian
Dr. Ir. Machfud, M.S
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karuniaNYA, Disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini merupakan hasil penelitian yang disusun dalam rangka memenuhi salahs atu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini berjudul Strategi Peningkatan Produktivitas Dalam Mendukung Penguatan Klaster Industri Gula Tebu Nasional yang diselesaikan dengan maksud memberikan kontribusi pemikiran bagi peningkatan produktivitas dan perbaikan tata kelola industri gula tebu nasional. Disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan banyak pihak. Dalam kesempatan ini,penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada pihak-pihak sebagai berikut : 1. Prof. Dr. Endang Gumbira-Sa;id. M.A, Dev. Selaku ketua komisi pembimbing yang telah memberikan curahan dan pengayaan ilmu pengetahuan, bimbingan yang sangat sistematis, alokasi waktu yang efisien serta dorongan motivasi yang kuat sehingga penulis memperoleh semangat besar untuk segera menyelesaikan penulisan Disertasi ini. 2. Prof. (R) Dr. I Wayan Rusastra,APU selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, motivasi dan diskusi dan akses literatur yang sangat membantu dalam penulisan Disertasi. 3. Dr. Ir.Sukardi, M.M, selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, motivasi dan diskusi selama penelitian dan penulisan Disertasi serta memberikan landasan berfikir filosofis yang kuat untuk perbaikan Disertasi. 4. Dr. Ir. Machfud, M.S. selaku Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan semangat dan kemudahan yang diberikan selama penulis menyelesaikan studi.
5. Dekan Fakultas Teknologi Pertanian IPB beserta civitas akademika yang telah memberikan dorongan dan motivasi dalam penyelesaian studi pada program studi Teknologi Industri Pertanian 6. Ayahku (Mursyid Arsyad) dan Ibunda (Sutilah) yang telah dengan sabar, selalu memberikan dorongan dan semangat serta doa yang tulus dan tiada henti diberikan kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan studi pada Program Studi Teknologi Industri IPB. 7. Istriku (Dwi Untari) beserta anak-anakku (Hadri Febrianto, Kartika Wulandari dan Marlinda Dini Hapsari), Adik-adikku (Dra.Yulita, Dra. Syafarina, Drs. M. Zulkarnain,M.Si, Ir. M. Taufiqullah, MT dan Ir. Agus Setiawan), Mbk Dra. Djati Purwaningsih, Drh. Dedy Kurniawan, Drs. Deni, M.Si yang telah dengan kesabaran tinggi dan selalu berdo’a yang tulus dan memberikan kekuatan mental penulis dalam menyelesaikan studi ini. 8. Rektor UMM, Dekan-Dekan di Lingkungan UMM, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Metro Lampung yang telah memberikan kesempatan serta dukungan pembiayaan bagi penulis dalam menyelesaikan studi pada program studi Teknologi Industri Pertanian IPB. 9. Prof. Dr. Juhri AM, M.Pd, Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Syamsul Ma’arif dan Prof. Dr. Ir. Irawadi Jamaran yang telah memberikan rekomendasi akademik kepada penulis sehingga dapat diterima sebagai mahasiswa S3 pada program studi TIP IPB. 10. Sahabat-sahabatku Dr. Afdal Mazni, S.E. M.Si.M (Pembantu Rektor Bidang Keuangan UMM), Drs. Djiman Murdiman,M.Ma (Mantan Direktur Pengembangan Ekonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri) serta
rekan-rekan
Kasubdit,
Kepala
Seksi
dan
Staf
Direktorat
Pengembangan Ekonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Mbak Diah, Mbk Widya, Fitri dan Joe, Ir, Suparno, M.S (UBH), Dr. Cahyo dan Dr. Budi (UNSOED) yang dengan tulus memberikan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan studi. 11. Rekan-rekan sesama mahasiswa program studi Industri Teknologi Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB angkatan 2007, khususnya kepada Dr.
Alexi, Dr. Dwi Purnomo, Ir. K. Gunarta, MT, dan Dr. Suharjito yang telah meluangkan waktu dan memberikan pencerahan kepada penulis dalam pengayaan substansi materi Disertasi yang penulis kerjakan. 12. Rekan-rekan dari Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) khususnya Prof (R) Dr. Ir. Erizal Jamal, M.Sc, Dr. Ir. Sumaryanto, M.Si (Sonny) dan Ir. Adi Setiyanto, M.Si yang telah membantu penulis dalam mempertajam daya analisis Disertasi. 13. Seluruh staf karyawan Departemen Teknologi Industri Pertanian yang telah banyak membantu
penulis
dalam
menyelesaikan
dokumen
administrasi dalam rangka penyelesaian studi pada program studi Teknologi Industri Pertanian IPB. Akhirnya, semoga Disertasi ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi para pembacanya. Bogor,
Maret 2012
Bambang Suhada
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jogjakarta pada tanggal 4 Desember 1964, anak pertama dari enam bersaudara, pasangan Mursyid Arsyad dan Sutilah. Gelar Sarjana Ekonomi diperoleh dari Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) pada tahun 1988. Penulis menyelesaikan pendidikan S2 pada program studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) Sekolah Pascasarjaa IPB pada tahun 1998. Selanjutnya pada tahun 2007, menempuh pendidikan program Doktor di program studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun 1989 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Metro Lampung. Selama mengikuti pendidikan program Doktor, penulis telah menulis dan melakukan publikasi beberapa artikel ilmiah sebagai berikut : 1. Bambang Suhada, E. Gumbira Sa'id, Sukardi. 2012. Strategi Peningkatan Daya Saing Dalam Mendukung Penguatan Klaster Industri Gula Tebu Nasional, pada Jurnal Analisis dan Kebijakan Pertanian, Kementerian Pertanian RI, yang akan diterbitkan pada Volume 10 Nomor 2 Juni Tahun 2012 2. Bambang Suhada, E. Gumbira Sa'id, I .W. Rusastra, Sukardi. 2012. Kajian Produktivitas Dalam Mendukung Penguatan Klaster Industri Gula Tebu Nasional, pada Jurnal Ekonomi, Bisnis dan Akuntansi (JEBA) Fakultas Ekonomi Universitas Jendral Sudirman (UNSOED) yang akan diterbitkan pada Volume 14 Nomor 1 Maret Tahun 2012 3. Bambang Suhada, E. Gumbira Sa'id, I .W. Rusastra, Sukardi. 2012. Rekayasa Kelembagaan Kemitraan Pabrik Gula Dengan Petani Tebu Dalam Mendukung Penguatan Klaster Industri Gula Tebu Nasional, pada Jurnal Fakultas Ekonomi Universitas Haluoleo (UNHALU) yang akan diterbitkan pada Volume 4 Nomor 1 Januari Tahun 2012
I . PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu produk agroindustri potensial yang sangat menarik untuk dikaji, mengingat peranannya cukup strategis dalam mendorong kemajuan pembangunan ekonomi bangsa, dengan sasaran: terpenuhinya kebutuhan gula nasional, perluasan kesempatan kerja dan meningkatnya devisa negara. Produk gula yang diproduksi oleh industri gula nasional memiliki sejarah panjang dan masih banyak permasalahan yang perlu dipecahkan secara terintegrasi agar peran industri gula nasional dapat lebih ditingkatkan secara optimal. Di Indonesia, gula dikategorikan sebagai salah satu produk yang paling sensitif setelah beras. Status produk gula yang penting tersebut terutama disebabkan oleh dua faktor berikut : (1) Gula merupakan kebutuhan pokok penduduk. Fakta tersebut membawa konsekuensi berupa kewajiban pemerintah untuk menjamin ketersediaan gula di pasar domestik pada tingkat harga yang dapat diterima bagi seluruh kelompok pendapatan masyarakat dan (2) Industri gula merupakan sumber penghidupan lebih dari satu juta petani di pulau Jawa dan menyediakan lapangan kerja bagi lebih dari setengah juta buruh tani di pedesaan, terutama di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Fakta diatas membawa konsekuensi bagi pemerintah untuk menjaga keberlangsungan serta meningkatkan manfaatnya (Susmiadi et al., 2005). Indonesia mempunyai keunggulan komparatif sebagai produsen gula tebu dikaji dari sisi sumberdaya alam dan iklim, mengingat tebu merupakan tanaman tropis yang secara alamiah telah tumbuh secara meluas di daerah tropis (Sawit et al. 2003). Hal ini dapat dibuktikan dari kenyataan bahwa pada periode penjajahan Belanda khususnya pada periode 1930 – 1940, Indonesia pernah mengalami masa kejayaan industri gula. Pada saat itu, produktivitas tebu hampir mendekati 140 ton per hektar, rendemen 12 persen lebih dan produktivitas hablurnya mendekati 18
2
ton per hektar, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas tebu, rendemen dan hablur pada tahun 2005 berturut-turut sebesar 78 ton per hektar, rata-rata 7 persen dan 6 ton per hektar. Berbagai pogram peningkatan industri gula yang dijalankan pemerintah sejak tahun 1950 hingga saat ini belum terintegrasi dan masih memperlihatkan relatif rendahnya kinerja industri gula nasional. Bahkan selama diberlakukannya program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI), yang ditetapkan melalui INPRES Nomor 9 Tahun 1975, produktivitas tebu dan hablur terus mengalami penurunan dibandingkan periode sebelumnya (Simatupang et al. 2005). Saat ini, industri gula Indonesia menghadapi berbagai masalah yang cukup serius. Salah satu indikasi masalah industri gula nasional adalah volume impor gula sebesar 1,271 juta ton pada tahun 2006 dan terus mengalami peningkatan pada tahun 2007 menjadi 1,492 juta ton, dengan laju pertumbuhan impor sebesar 0,20 persen per tahunnya (Departemen Pertanian, 2008). Jika kondisi tersebut terus dibiarkan berlangsung, maka pabrik-pabrik gula, terutama yang berada di bawah naungan manajemen Badan Usaha Milik Negara (PTPN) akan terancaman eksistensinya. Rendahnya kinerja industri gula Indonesia dapat diketahui dari tingkat produktivitas tebu, rendemen serta produktivitas hablur gula yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik gula di Indonesia selama kurun waktu 2003 sampai 2009, seperti diperlihatkan pada Tabel 1 bahwa tingkat produktivitas tebu hanya bergerak pada kisaran angka 76,1 ton per hektar sampai 81,83 ton per hektarnya, dengan tingkat rendemen, hanya mencapai rata-rata 7,54 persen. Begitupun dengan tingkat produktivitas hablur yang dihasilkan masih relatif rendah dengan rata-rata 5,79 ton per hektarnya (Kementerian Pertanian, 2010). Apabila dibandingkan antara pulau Jawa dan luar pulau Jawa, perbedaan kinerja industri gulanya semakin terlihat. Rata-rata rendemen gula pada area tebu luar pulau Jawa meningkat dari 8,32 persen pada tahun 2006, menjadi 8,44% pada tahun 2007. Sebaliknya, rendemen gula di pulau Jawa turun dari 7,31 persen menjadi 6,91%. Namun, karena perbaikan rendemen yang signifikan di luar pulau Jawa belum diimbangi dengan peningkatan produktivitas di tingkat kebun, maka secara rata-rata
3
produktivitas gula yang dihasilkan turun dari 5,88 ton/ha menjadi 5,66 ton/ha. Produktivitas tebu luar pulau Jawa menurun dari 70,70 ton per hektar pada tahun 2006 menjadi 69,42 ton per hektar pada tahun 2007 (Dewan Gula Indonesia, 2008). Tabel 1. Produksi dan Produktivitas Tebu dan Gula Indonesia Tahun 2005 – 2009
No 1 2 3 4 5 6
Perkembangan Kinerja Industri Gula 2005 2006 2007 2008 2009 Tebu Nasional Luas Areal Panen (Ha) 381786 396440 428401 436505 422935 Produksi Tebu (Ton) 31242271 30232835 33289452 32960165 32165572 Produktivitas Tebu (Ton / Ha) 81,83 76,3 77,7 75,5 76,1 Rendemen (%) 7,1 7,63 7,35 8,1 7,83 Produksi Hablur (Ton) 2217794 2307027 24481342 2703976 2624068 Produktivitas Hablur (Ton / Ha) 5,82 5,82 5,71 6,2 5,96
Sumber : Kementerian Pertanian, 2010 Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kinerja industri gula nasional, namun pencapaiannya belum memberikan hasil yang optimal, khususnya dalam peningkatan kesejahteraan petani tebu. Dalam rangka peningkatan produktivitas gula secara nasional, pemerintah dan pemangku kepentingan telah menyusun agenda penting bersama, yaitu program “Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional” untuk kurun waktu pelaksanaan lima tahun (2002 – 2007). Program tersebut bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, produksi dan mutu tebu untuk memenuhi kapasitas terpasang pabrik agar dapat beroperasi secara efisien dan menghasilkan gula dengan biaya produksi yang kompetitif. Pendekatan pelaksanaannya dilakukan secara terpadu dan simultan sejak dari aspek budidaya, tebang-muat-angkut (TMA) dan pasca panen dengan penerapan fungsi-fungsi manajemen. Program akselerasi produktivitas gula nasional 2002 – 2007 tersebut memiliki sasaran jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek, sasaran yang ingin dicapai adalah melakukan konsolidasi areal tanam di pulau Jawa dan luar pulau Jawa, rehabilitasi tanaman keprasan, penyediaan bibit
4
bermutu, peningkatan mutu budidaya, peningkatan kinerja pabrik gula dan penyesuaian tarif bea masuk. Dilain pihak dalam jangka panjang, sasaran yang ingin dicapai adalah pemberdayaan Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR), pemberdayaan penelitian dan pengembangan pabrik gula dan lembaga riset, peningkatan
sumberdaya
manusia
(SDM),
kerjasama
antar
perusahaan
(PTPN/PG) dan pengembangan produk (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2002) Kebijakan pengembangan industri gula nasional seyogyanya dilakukan dengan memperhitungkan seluruh aspek yang ada, mengingat nilai investasi pada industri gula relatif mahal. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh P3GI (2009), untuk pendirian satu pabrik gula dengan kapasitas produksi sebesar 8.733 ton gula per harinya dibutuhkan biaya investasi sebesar Rp. 1,648 trilyun atau kurang lebih 165 juta US Dolar. Untuk itu, penurunan produktivitas pada industri gula perlu dicermati secara mendalam agar industri gula Indonesia tidak semakin terpuruk dan dapat diminimalisir ketergantungan konsumsi domestik pada gula impor yang berdampak terhadap berkurangnya cadangan devisa nasional. Dalam konteks sistem, produksi gula di tingkat pabrik sangat dipengaruhi oleh tingkat produksi di tingkat kebun. Hal tersebut berarti, sub sistem kebun dan sub sistem pengolahan gula (Pabrik Gula) adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Selama ini sudah cukup banyak penelitian dilakukan dalam mengkaji peningkatan kinerja industri gula nasional. Namun, penelitian yang ada masih parsial dan belum menemukan strategi yang sesuai dengan kondisi riil yang dihadapi oleh industri gula nasional. Untuk itu diperlukan studi peningkatan produktivitas industri gula nasional, melalui kajian yang komprehensif baik di tingkat kebun maupun di tingkat pabrik gula secara terintegrasi. Dengan menemukan strategi peningkatan produktivitas industri gula nasional yang tepat, akan dapat diketahui secara objektif dan mutakhir strategi dan peningkatan produktivitas industri gula tebu nasional ke depannya agar memiliki dampak pengganda (multiplier effect) yang besar bagi akselerasi perkembangan ekonomi nasional. Pengembangan industri gula tebu nasional perlu diarahkan ke pengembangan klaster, mengingat melalui pendekatan tersebut akan berdampak terhadap
5
pembangunan ekonomi daerah. Dalam pendekatan klaster tersebut, dirancang dan diimplementasikan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai sasaran utamanya. Dalam kaitan dengan konsep klaster tersebut, beragam kajian konsep dan empiris klaster industri mengungkapkan beragam ”temuan” penting, sebagai berikut (Nugroho, 2011) : 1. Kesejahteraan/kemakmuran sangat ditentukan oleh daya saing. Karenanya, di antara berbagai tujuan/kepentingan pembangunan yang multi dimensi (dan seringkali berbeda, bahkan “bertentangan”), peningkatan daya saing merupakan salah satu fokus orientasi agenda yang sangat penting. 2. Di antara ukuran yang paling sesuai dari daya saing adalah produktivitas, yang merupakan hasil dari pemanfaatan SDM, modal dan SDA, dan tercermin dalam nilai produk (barang dan/atau jasa) dan efisiensi bagaimana produk tersebut dihasilkan. 3. Sumber terpenting kesejahteraan/kemakmuran (yaitu daya saing) pada dasarnya “diciptakan,” bukan diwariskan 4. Beragam faktor alamiah (seperti melimpahnya sumber daya alam) tentu sangat penting, namun hal ini bermakna sangat terbatas jika tidak diimbangi dengan kemajuan dalam kemampuan faktor-faktor “buatan” seperti SDM yang semakin berkualitas, infrastruktur, teknologi dan lainnya. 5. Produktivitas
suatu
negara/daerah
bergantung
pada
keseluruhan
industrinya, yang pada dasarnya tercermin dalam “klaster industri-klaster industri”. Keunggulan daya saing klaster industri mencerminkan keadaan perkembangan ekonomi (the state of economy’s development). 6. Inovasi semakin penting dalam
menentukan produktivitas dan
peningkatannya dalam jangka panjang. 7. Faktor spesifik lokal/daerah seperti pengetahuan, hubungan, dan motivasi, semakin menentukan keunggulan daya saing global. Suatu Daerah akan
mampu
bersaing dalam menawarkan lingkungan paling
produktif bagi bisnis/industri. Binis/perusahaanlah yang
pada dasarnya akan
6
bersaing (di arena persaingan global) dalam pendekatan ini menjadi kunci bagi pengembangan ekonomi daerah, di mana klaster
industri yang kompetitif
menjadi tulang punggung sistem perekonomian daerah yang sekaligus juga sebagai pilar daya saing ekonomi nasional, karena (Nugroho, et.al, 2011): 1. Memungkinkan strategi, kebijakan, dan program/upaya partisipatif yang memiliki kememadaian cakupan (adequacy of scope) dan daya dongkrak tinggi (high leverage effects) bagi peningkatan produktivitas, kesetaraan posisi tawar, kemampuan inovasi industri, dan penguatan peran industri dalam sistem perekonomian. 2. Memberikan platform sistemik dan sistematik, serta fokus dan terpadu, bagi pengembangan unggulan daerah: Peningkatan daya saing daerah dalam kompetisi global. 3. Lebih memungkinkan strategi dan kebijakan yang sinergis untuk mengembangkan kondisi sistemik yang mendukung bagi keterpaduan dan koherensi rantai nilai dan aliran rantai teknologi/inovasi: Peletakan instrumen iptek dalam peningkatan kapasitas dan integrasi rantai nilai (value chain). 4. Mendukung akselerasi pengembangan/penguatan jaringan dan kolaborasi para stakeholders, khususnya di tingkat lokal: Prakarsa kolaborasi batas daerah (kabupaten/kota) menunjukkan adanya kebutuhan pendekatan yang lebih komprehensif namun fokus dalam proses penciptaan nilai tambah. 5. Memfasilitasi pragmatisasi alternatif pengembangan sejalan dengan karakteristik lokal dan dinamika perubahan global: Penguatan sistem dukungan yang terintegrasi bagi sentra industri sebagai salah satu prioritas dan opsi entry point agenda implementasi. Kunci keberhasilan dalam upaya pengembangan klaster industri dan jaringan bisnis adalah partisipasi aktif dari semua stakeholders dalam membuat dan mengimplementasikan strategi pengembangan klaster
7
1.2. Perumusan Permasalahan Prospek industri gula pada masa mendatang diyakini akan semakin penting, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri makanan dan minuman di Indonesia. Hal ini menjadi peluang bagi industri gula dalam negeri untuk lebih meningkatkan kinerjanya. Prospek industri gula juga akan semakin strategis dengan dimulainya pengembangan bahan bakar nabati (biofuel), khususnya berbahan baku tebu. Namun, prospek tersebut sulit direalisasikan jika tidak ada kebijakan tata niaga gula yang terintegrasi dari hulu sampai hilir. Dengan peranannya sebagai komoditas strategis, maka keberadaan produk gula dalam perekonomian nasional selalu mendapat perlindungan dari pemerintah, dengan cara mengeluarkan kebijakan proteksi harga terhadap keluaran industri gula. Hal tersebut dimaksudkan untuk mendorong peningkatan produksi gula nasional
dalam
mencukupi
kebutuhan
dalam
negeri.
Namun
dalam
perkembangannya, produktivitas gula nasional menunjukkan kecenderungan yang stagnan. Pertumbuhan produktivitas tebu dari tahun 2003 sampai 2009 sebesar 2,31 persen, sedangkan pertumbuhan produktivitas hablur sebesar 3,84 persen. Mengingat produksi gula dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan rumahtangga dan industri, maka pemerintah setiap tahunnya membuka keran impor. Besarnya impor gula dari tahun 2003 sampai 2010 menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat, dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 27,65 persen per tahun. Pertumbuhan impor gula yang relatif besar tersebut berdampak terhadap pengurangan cadangan devisa nasional (Dewan Gula Indonesia, 2012). Pada dekade terakhir, kinerja pabrik gula cenderung menurun. Di samping disebabkan oleh umur pabrik yang sudah tua, kapasitas dan hari giling pabrik gula cenderung tidak mencapai standar. Sebagai contoh, pabrik-pabrik gula yang ada di Jawa mempunyai kapasitas giling 23.8 juta ton tebu per tahun (180 hari giling). Bahan baku yang tersedia hanya sekitar 12.8 juta ton sehingga pabrik-pabrik gula di Jawa mempunyai idle capacity sekitar 46.2persen. Selanjutnya, pabrik gula diluar pulau Jawa yang mempunyai kapasitas 14.2 juta ton, hanya memperoleh
8
bahan baku sebanyak 8.6 juta ton, sehingga idle capacity mencapai 39.4 persen (Susila, 2006). Menurut Mardianto et al. (2005), salah satu penyebab kemunduran industri gula di Indonesia adalah rusaknya relasi fungsional antar komponen sistem agribisnis gula. Integrasi antara usaha perkebunan tebu dan pabrik gula pengolahan tebu merupakan faktor kunci efisiensi industri gula. Pada zaman kolonial, integrasi sistem agribisnis gula dapat dijamin melalui kuasi organisasi yang melibatkan kekuatan memaksa dari pemerintah. Petani dipaksa oleh pemerintah kolonial menanam tebu, sesuai dengan luasan, teknologi, jadwal tanam dan jadwal panen yang ditetapkan oleh pabrik. Menanam tebu merupakan prioritas dan wajib bagi petani. Prioritas peruntukkan lahan di pulau Jawa adalah untuk perkebunan tebu dan bukan untuk padi. Dengan begitu, pabrik gula dapat memperoleh pasokan bahan baku yang cukup sepanjang musim giling. Hal ini yang membuat industri gula di pulau Jawa pada zaman kolonial kompetitif. Permasalahan rendahnya produktivitas industri gula nasional dapat dikaji dari dua sisi, yaitu sistem usahatani dan kinerja pabrik gula. Menurut Arifin (2008), sistem usaha tani tebu telah mengalami pergeseran signifikan, karena beberapa komoditas lain bernilai ekonomis tinggi semakin dikenal petani tebu. Apabila tidak mampu dikelola dengan baik, tingkat substitusi komoditas seperti itu dapat menimbulkan dampak negatif
bagi pencapaian tingkat ketahanan
pangan, diversifikasi produksi dan keuntungan ekonomis usahatani. Penurunan penerimaan ekonomis usaha tani telah membuat banyak petani tebu mengkonversi lahannya menjadi usahatani lain atau dengan pola tanam lain yang lebih menguntungkan. Karena fenomena substitusi tersebut, petani tebu juga mengalihkan tebu lahan sawah ke lahan kering karena pertimbangan rasional ekonomis. Di sisi lain, langkah-langkah pembenahan aspek mikro bisnis dan reposisi strategi mengarah pada perubahan budaya perusahaan (corporate culture) wajib segera dilakukan untuk pabrik-pabrik gula di pulau Jawa, terutama yang berada di bawah manajemen PT. Perkebunan Nusantara (PTPN).
9
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi peningkatan produktivitas industri gula tebu nasional sebagai hasil dari peningkatan produktivitas di tingkat kebun dan pabrik gula (PG) secara terintegrasi. Secara lebih rinci, tujuan penelitian ini dijabarkan sebagai berikut : 1. Memperoleh struktur kelembagaan kemitraan antara pabrik gula (PG) dengan petani tebu. 2. Mendapatkan tingkat daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap kinerja industri gula tebu nasional. 3. Memperoleh tingkat produktivitas di tingkat kebun dan pabrik gula secara terintegrasi. 4. Mendapatkan strategi peningkatan produktivitas industri gula tebu nasional .
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Berguna bagi para pengambil keputusan untuk menyusun kebijakan pengembangan industri gula tebu nasional, sehingga memiliki arah yang jelas dalam pengembangannya dan berdaya saing dalam persaingan global.
2. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun strategi korporasi yang lebih baik dalam meningkatkan produktivitasnya.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dari penelitian strategi peningkatan produktivitas industri gula tebu nasional ini meliputi hal-hal sebagai berikut :
10
1. Penelitian ini dilaksanakan pada empat pabrik gula dengan mempertimbangkan status perusahaan (BUMN dan BUMS), masingmasing Pabrik Gula Pesantren Baru di Kediri (BUMN), Pabrik Gula Kebon Agung di Malang (BUMS), Pabrik Gula Bungamayang di Lampung Utara (BUMN) dan Pabrik Gula Gunung Madu di Lampung Tengah (BUMS). 2. Pengkajian dilakukan secara khusus pada keempat pabrik gula terpilih dan agar lebih lengkap, penelitian ini juga mempelajari sistem usahatani yang berada di sekitar pabrik gula tersebut. 3. Khusus untuk kajian produktivititas, fokus dari penelitian ini adalah pada dimensi pengukuran (measurement) dan evaluasi (evaluation) untuk menghasilkan rumusan strategi peningkatan produktivitas industri gula tebu nasional. 4. Penelitian ini mengkaji tentang posisi masing-masing pabrik gula dalam sistem klaster serta menyusun struktur klaster industri gula tebu nasional.
1.6. Kebaruan Penelitian Pada hakekatnya, peningkatan daya saing di pabrik gula dipengaruhi oleh besaran tingkat produktivitasnya. Kajian mengenai produktivitas pabrik gula yang pada penelitian ini menggunakan metoda indeks produktivitas sebagai hasil pengembangan metoda objective matrix serta metoda baru skoring produktivitas untuk menentukan posisi dari tingkat produktivitas masing-masing pabrik gula yang diteliti. Relasi fungsional yang terjadi selama ini antara pabrik gula dengan petani tebu dalam wadah kelembagaan kemitraan dapat menentukan tingkat produktivitas pabrik gula. Untuk itu, diajukan rumusan baru dari kelembagaan kemitraan melalui rekayasa sub-sub sistem dari kelembagaan kemitraan, agar mekanisme kerjasama antar kedua pihak tersebut berlangsung secara seimbang.
11
II . TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perspektif Industri Gula Dunia Periode
tahun
2004-2005
merupakan
periode
yang
cukup
menggembirakan industri gula dunia, khususnya dari sisi produsen. Pada periode tersebut, rata-rata harga gula mencapai US$ 261,92./ton untuk gula putih (white sugar) dan US$193,78/ton untuk gula mentah (Raw Sugar), atau meningkat sekitar 9,8 persen untuk gula putih dan 24 persen untuk gula mentah dari rata-rata harga tahun 2003-2004. Hal ini disebabkan pada periode 2004-2005, untuk kedua kalinya pasar gula dunia kembali mengalami defisit sekitar 3 juta ton. Pada periode 2004-2005, produksi gula dunia mencapai 142,5 juta ton atau meningkat sekitar 1 persen dari periode sebelumnya. Disisi lain, konsumsi meningkat lebih pesat yaitu 1,3 persen, dari 143,3 juta ton pada tahun 2004 menjadi 145,1 juta ton pada tahun 2005 (FAO, 2008). Peningkatan produksi gula dunia kembali dipimpin oleh Brazil sebagai negara produsen terbesar. Pada periode 2005-2006, produksi gula Brazil diperkirakan mencapai 30 juta ton atau meningkat sekitar 3,5 persen bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kondisi iklim yang baik merupakan salah satu faktor pendukung peningkatan produksi tersebut. Kondisi iklim yang baik juga terjadi di Meksiko sehingga negara tersebut diperkirakan akan mengalami peningkatan produksi dengan volume produksi sekitar 6.1 juta ton. Setelah mengalami penurunan produksi selama dua tahun, India diperkirakan akan mengalami proses pemulihan sehingga produksi diperkirakan kembali meningkat, mencapai 18.5 juta ton pada tahun 2005-2006. Peningkatan tersebut terkait dengan perluasan areal sebagai akibat harga gula yang cukup tinggi pada periode 2004-2005. China sebagai salah satu produsen besar juga diperkirakan akan mengalami peningkatan produksi cukup signifikan (6 persen) sehingga produksinya diperkirakan mencapai sekitar 10,7 juta ton pada tahun 2005/06 (Susila, 2008)
12
Kendati secara agregat produksi gula dunia meningkat, namun ada beberapa negara yang mengalami penurunan produksi, khususnya di negaranegara produsen gula di Eropa Barat (EU). Meski didukung cuaca baik dan peningkatan produktivtas, produksi gula di Eropa Barat (EU) diproyeksikan menurun menjadi sekitar 2,7 persen atau menjadi sekitar 20 juta ton, karena penurunan luas areal. Penurunan ini tampaknya merupakan respon produsen terhadap perubahan regim kebijakan pergulaan di negara tersebut, yang diperkirakan akan efektif pada tahun 2006-2007. Dengan kebijakan tersebut, dukungan harga gula akan diturunkan sebesar 36 persen, walau negara-negara produsen gula di Uni Eropa mendapat paket kompensasi sebesar 64,2 persen dari penurunan harga tersebut, dalam bentuk decoupled payment, yang dikaitkan dengan lingkungan dan standar pengelolaan lahan. Australia juga diperkirakan mengalami penurunan produksi menjadi 5,3 juta ton atau sekitar 3,5 persen. Hal ini diduga berkaitan dengan restrukturisasi industri gula Australia yang menyiapkan dana sekitar AUS$ 444 juta paket program pada tahun 2004, termasuk AUS$ 96 juta untuk petani yang tidak efisien agar dapat keluar dari industri gula (FAO, 2008). Negara-negara eksportir gula seperti Brazil dan Cuba diperkirakan mengalami penurunan produksi dengan tingkat produksi turun menjadi 1,3 juta ton. Penurunan produksi tersebut disebabkan oleh kemarau yang parah ketika musim tanam serta kebijakan restrukturisasi industri gula di negara tersebut. Kebijakan diversifikasi produk dari gula ke beberapa komoditi seperti buahbuahan tropis, umbi-umbian, dan peternakan merupakan penyebab penurunan produksi gula di negara tersebut. Afrika secara agregat juga mengalami penurunan produksi sekitar 4 persen dengan volume produksi tahun 2005-2006 diperkirakan mencapai 5 juta ton. Beberapa negara Afrika yang mengalami penurunan produksi adalah Swazilan, Kenya, dan Malawi. Thailand kembali diperkirakan akan mengalami penurunan produksi sebagai akibat kemarau yang dihadapi negara tersebut. Produksi Thailand pada tahun 2005-2006 hanya sekitar 4,6 juta ton, atau mengalami penurunan sebesar 16% dibandingkan dengan periode sebelumnya. Amerika sebagai salah satu produsen utama, produksinya diperkirakan relatif stabil pada kisaran 7,9 juta ton (Susila at al. 2008).
13
Berdasarkan data UNDP (2010), produksi gula dunia (dalam bentuk gula mentah) diperkirakan meningkat sebesar 1,7 persen per tahunnya antara tahun 2000 sampai 2010. Jumlah total produksi gula dunia diperkirakan mencapai 161 juta ton pada tahun 2008, dan mengalami peningkatan menjadi 163 juta ton pada periode 2009 – 2010, atau mengalami peningkatan sebesar 1,1 persen. Lebih dari 50 persen dari produksi gula dunia dihasilkan oleh negara-negara berkembang. Brazil, Australia dan Thailand telah menunjukkan sebagai tiga besar negara produsen gula yang memproduksi gula dengan biaya rendah dan sangat efisien diantara produsen gula dunia lainnya. Pada Tabel 2 berikut disajikan tujuh negara produsen besar gula dunia.
Tabel 2. Produksi Gula Tujuh Negara Produsen Utama Gula Dunia Tahun 2005 No
Negara Produsen Gula
Produksi (Juta Ton)
1
Brazilia
28,13
2
India
21,70
3
China
15,22
4
Meksiko
5,62
5
Australia
5,39
6
Thailand
4,59
7
Pakistan
2,84
Total Produksi
83,49
Total Produksi Dunia
141,31
Prosentase Terhadap Produksi Dunia
59
Sumber : UNDP (2010)
Pada tahun 2008, Brazilia, India dan China merupakan tiga negara produsen gula terbesar dunia yang sangat terkonsolidasi (Gambar 1). Brazilia sendiri menghasilkan hampir sepertiga dari total produksi gula dunia, sementara India, China dan Meksiko sebagian besar produksi gulanya untuk memenuhi kebutuhan domestiknya. Hal penting untuk diperhatikan dari tabel 4 berikut adalah bahwa negara-negara yang memiliki volume produksi tertinggi, ternyata tidak selalu berarti memiliki tingkat produktivitas yang tinggi juga. Colombia, Guetemala dan
14
Australia adalah tiga negara dari sepuluh negara produsen utama gula yang memiliki produktivitas tertinggi.
Gambar 1. Produksi Tebu dan Produktivitas sepuluh Negara Produsen Gula Dunia (FAO, 2008) Dalam kaitannya dengan produktivitas lahan, industri gula Filipina memiliki efisiensi lebih rendah dibandingkan negara-negara produsen yang menjadi pesaing negara ini, sebagai contoh produktivitas lahannya hanya menghasilkan 58,06 ton per hektarnya yang berarti 25 persen lebih rendah dari usahatani tebu di Brazilia. Kemudian terkait dengan tingkat pengembalian keuntungan (return on investment), Philippina memiliki tingkat pengembalian rata-rata sebesar 10 persen, sementara Brazilia mencapai tingkat pengembalian investasi sebesar 15,6 persen. Hal tersebut berarti industri gula di Brazilia lebih efisien 32 persen dibandingkan industri gula di Filipina (Tabel 3).
15
No
Tabel 3. Produktivitas dan Tingkat Pengembalian Investasi Pada Negara Produsen Gula Negara Produsen Produktivitas Lahan Tingkat Pengembalian Gula (Ton / Hektar) Investasi (%)
1
Brazil
77,63
14,6
2
Colombia
75,28
11,5
3
India
72,56
10
4
Indonesia
62,52
8
5
Mauritius
64,91
10,3
6
Filipina
58,06
10
7
Thailand
63,71
10,8
Sumber : Pakisama, Inc (2010)
2.2. Kinerja Industri Gula Nasional Dalam konstelasi geografi ekonomi pergulaan dunia, Republik Rakyat China telah memantapkan dirinya menjadi negara adidaya baru dalam industri gula dunia (the new emerging world superpower in sugar). Brasil dengan pilihan kebijakannnya yang dicanangkan pada awal tahun 70-an juga telah menjadi negara penting di bidang produksi gula dunia. Di lain pihak, Australia dan Thailand, juga telah mengukuhkan negaranya menjadi negara pengekspor gula penting dunia. Namun, perkembangan menarik dari industri pergulaan di beberapa negara tersebut ternyata sampai saat ini belum terjadi di Indonesia. Salah satu keberhasilan negara-negara eksportir gula dunia tersebut adalah dengan menerbitkan instrumen kebijakan proteksi kepada industri gulanya seperti pengenaan tarif bea masuk (BM) yang cukup tinggi dan instrumen komplemen lainnya seperti pengaturan, pengawasan dan pembatasan impor gula yang memungkinkan industri gula negara-negara eksportir gula dunia tersebut mampu menekan biaya pokok produksinya. Dengan demikian, biaya pokok produksi gula di negara-negara eksportir tersebut telah mengalami distrosi sebagai dampak dari kebijakan yang protektif.
16
Dalam kondisi pasar gula di dalam negeri terintegrasi terhadap pasar gula dunia, biaya pokok produksi merupakan tolok ukur dari kinerja industri gula. Industri gula dapat bertahan, jika biaya pokok berada di bawah harga paritas impornya. Hal yang sangat unik bagi industri gula di Indonesia adalah adanya disintegrasi vertikal dalam memproduksi gula. Pada lahan non Hak Guna Usaha (HGU), proses produksi dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu memproduksi tebu (usahatani tebu) yang dilaksanakan oleh petani dan memproses tebu menjadi gula (pengolahan) yang dilaksanakan oleh pabrik gula (PG). Keunikan ini membawa implikasi bahwa daya saing industri gula tidak hanya ditentukan oleh biaya pokok industri yang dibandingkan dengan harga paritas impornya, tetapi juga ditentukan oleh kualitas bahan baku tebu. Dengan demikian, jika biaya pokok industri gula berada di bawah harga paritas impor, tetapi kualitas tebu memiliki rendemen yang rendah, maka produk gula yang dihasilkan tetap saja tidak akan memiliki daya saing (Indraningsih et al., 2004).
Jika dibandingkan dengan negara-negara eksportir gula dunia, kondisi kinerja industri gula nasional hingga saat ini memang belum mampu menunjukkan daya saing yang tinggi. Bahkan menurut Pakpahan (2009), saat krisis multidimensi terjadi tahun 1997-1998, pabrik gula di Indonesia jumlahnya telah berkurang dengan ditutupnya sebelas pabrik gula, yaitu sepuluh di pulau Jawa dan satu di luar pulau Jawa. Dari 178 pabrik gula dengan kapasitas 240.000 ton tebu giling per hari (TCD) pada 1930-an, dewasa ini Indonesia tinggal memiliki 60 pabrik gula dengan kapasitas 206.00 TCD. Berkurangnya jumlah pabrik gula di pulau Jawa selain disebabkan kurangnya pasokan tebu sebagai bahan baku, juga dikarenakan umur mesin produksi yang digunakan relatif tua sehingga kurang efisien jika tetap dioperasikan.
Untuk mengkaji inefisiensi yang terjadi pada industri gula nasional, berikut diperlihatkan gambaran tentang indikator efisiensi teknis dari pabrikpabrik gula yang berada di pulau Jawa, khususnya yang pengelolaannya dibawah manajemen PTPN. Menurut Indraningsih et al. (2004), untuk komponen mill extraction (ME) diperoleh angka sebesar 84 - 85% dari tingkat efisiensi normal
17
sebesar 95 persen, boiling house recovery (BHR) memberikan angka 70 – 80 persen dari efisiensi normal 90%, dan overall recovery (OR) yang memberikan angka 59 – 79 persen dari efisiensi normal sebesar 85 persen. Sementara itu, pol tebu memberikan angka 8 – 11 persen dari efisiensi normal 14 persen, dan rendemen 5 - 8,5 persen dari efisiensi normal sebesar 12 persen. Akibatnya, rendemen gula yang diterima petani menjadi rendah dan harga pokok gula hablur yang dihasilkan tidak memiliki daya saing (Tabel 4) :
Tabel 4. Beberapa Indikator Efisiensi Teknis Pabrik Gula di Indonesia Komponen
Efisiensi Pabrik Gula
Efisiensi Normal
(%)
(%)
84 – 85
95
(BHR)
70 -80
90
Overall Recovery (OR)
59 – 79
85
Pol Tebu
8 – 11
14
Rendemen
5 – 8.5
12
Mill Extraction (ME) Boiling
House
Recovery
Sumber : P3GI Dalam Indraningsih et al. (2004)
Selain karena faktor indikator efisiensi teknis di tingkat pabrik gula, gambaran inefisiensi dari pabrik-pabrik gula dibawah manajemen PTPN di pulau Jawa tersebut juga dipicu akibat berkurangnya luas areal tanaman tebu yang menyebabkan pasokan bahan baku menjadi terbatas. Dengan demikian, adanya keterbatasan pasokan tebu sebagai bahan baku tersebut (disintegrasi vertikal), maka terjadi perebutan tebu yang dihasilkan oleh petani oleh banyak pabrik gula.
Deskripsi tentang kinerja industri gula nasional juga dapat dilihat dari kinerja produksi dan tingkat rendemen yang dihasilkannya. Berdasarkan hasil kajian P3GI (2007), produksi gula nasional pada tahun 2007 diperkirakan mencapai 2,43 juta ton atau bertambah 125 ribu ton dibanding tahun lalu. Namun, rendemen atau kandungan gula tebu tahun 2006 malah anjlok dibanding sebelumnya. Rendemen gula secara nasional turun dari 7,63 persen pada 2006
18
menjadi 7,42 persen pada 2007. Penurunan sebanyak 0,21 poin ini setara dengan kehilangan potensi produksi gula sedikitnya 70 ribu ton. Kenaikan produksi gula tampaknya lebih banyak disebabkan oleh perluasan areal. Pada 2006 area tebu sekitar 397 ribu ha, tahun ini bertambah 7,1 persen menjadi 425 ribu ha. Pertambahan areal tersebut pada gilirannya meningkatkan pasokan tebu dari 30,2 juta ton menjadi 32,8 juta ton atau bertambah 8,5 persen. Di sisi lain, kinerja produktivitas gula tak beranjak naik. Pada tahun 2007, produktivitas gula lebih rendah 1,4 persen, atau berkurang dari 5,81 ton per hektar pada tahun 2006 menjadi 5,73 ton per hektar pada tahun 2007.
2.3. Kinerja Pabrik Gula Nasional
Pada umumnya, pabrik-pabrik gula yang berada di pulau Jawa dan dibawah manajemen PTPN memiliki kapasitas giling kurang lebih 46 persen. Hal tersebut disebabkan oleh karena sebagian besar pabrik-pabrik gula tersebut kesulitan dalam memperoleh bahan baku tebu. Menurut sawit et al. (2003), sebagian besar (53 persen) pabrik gula di pulau Jawa didominasi oleh pabrikpabrik dengan kapasitas giling kecil (kurang dari 3.000 TCD), 44 persen berkapasitas giling antara 3.000-6.000 TCD, dan hanya 3 persen yang berkapasitas giling lebih dari 6.000 TCD. Sekitar 68 persen dari jumlah pabrik gula yang ada telah berumur lebih dari 75 tahun (umumnya berskala kecil) serta kurang mendapat perawatan secara memadai. Akibatnya, biaya produksi gula/ton pada pabrik gula berskala kecil jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pabrik gula berskala besar atau yang menggunakan mesin relatif baru (P3GI, 2007) Berbeda halnya dengan pabrik-pabrik gula di pulau Jawa. Produktivitas gula yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik gula di luar pulau Jawa, khususnya pabrik-pabrik gula milik swasta yang berlokasi di Propinsi Lampung lebih tinggi dan cenderung terus meningkat. Menurut Mardianto et al. (2005), pabrik-pabrik gula swasta di Propinsi Lampung menguasai 95 persen lahan berupa hak guna usaha (HGU) dengan total luas sebesar 114,5 ribu hektar dengan kemampuan produksi sebesar lebih dari 8.000 TCD. Pada Tabel 3 terlihat perbedaan kinerja
19
yang cukup signifikan antara pabrik gula di pulau Jawa dan luar pulau Jawa baik terutama tingkat rendeman dan produktivitas hablur yang dihasilkan. Tabel. 5. Perbandingan Kinerja Produksi Tebu dan Gula Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa Komponen Luas Areal Tanam Tebu (Ribu ha) Produksi Tebu (Ribu Ton) Produksi Gula (Ribu ton) Rendemen (%) Hablur (ton / ha) Sumber : P3GI (2007) Berdasarkan
kondisi
tersebut
Pulau Jawa
Luar pulau Jawa
269 21.975 1.519 6,91 5,65
156 10.814 913 8,44 5,86
diatas,
maka
seyogianya
program
peningkatan produksi gula di pulau Jawa hendaknya tidak lagi bertumpu kepada perluasan areal, mengingat areal yang sesuai untuk tebu dalam hamparan luas saat ini sulit diperoleh. Menurut Toharisman (2007), di masa mendatang persaingan antar komoditas akan semakin ketat. Petani secara rasional akan memilih komoditas yang memberikan
keuntungan lebih banyak. Selain harga,
produktivitas menjadi kunci yang melatar belakangi pemilihan komoditas oleh petani. Berbeda dengan komoditas lain yang produktivitasnya cenderung naik, produktivitas gula boleh dibilang turun drastis. Di era 30-an, rata-rata gula yang dihasilkan dari satu hektar lahan tebu bisa mencapai 17,6 ton dengan rendemen 13 persen. Kini produktivitas gula menurun tinggal 40 persennya saja. Keberhasilan
masa
lalu
mungkin
bisa
dijadikan
motivasi
untuk
mengembalikan kejayaan industri gula Indonesia. Dengan asumsi luas areal tetap seperti yang ada pada 2007, kemudian produktivitas gula pada 2009 dapat pulih pada kisaran 8 ton/ha saja, maka produksi gula nasional dapat mencapai 3,4 juta ton atau cukup untuk konsumsi gula langsung.
20
2.4. Kebijakan Industri Gula Nasional Dalam rangka peningkatan kinerja industri gula nasional, pemerintah telah mengeluarkan beberapa instrumen kebijakan pergulaan seperti subsidi input produksi, pengenaan tarif bea masuk, subsidi ekspor, kebijakan impor dan lainlain, yang ditujukan untuk melindungi dan mengembangkan industri gula nasional. Beberapa kebijakan pergulaan yang sudah diterapkan sejak tahun 1975 sampai dengan tahun 2004 dijalankan dibawah ini : Kebijakan pergulaan yang paling signifikan diantara berbagai kebijakan produksi dan input adalah kebijakan TRI (tebu rakyat intensifikasi) yang tertuang dalam Inpres Nomor 9 Tahun 1975. Tujuan dari Inpres tersebut adalah untuk meningkatkan produksi gula nasional dan pendapatan petani tebu (Soentoro et al., 2005). Ada dua hal yang menjadi dasar dikeluarkan kebijakan pemerintah tersebut, yaitu (1) Terjadinya defisit penyediaan gula domestik sebagai akibat meningkatnya konsumsi gula penduduk serta (2) Tingginya harga gula di pasar internasional. Kebijakan pemerintah tersebut difokuskan kepada para petani tebu dengan pemberian kredit bimas, bimbingan teknis, perbaikan sistem pemasaran dan menciptakan pola hubungan kelembagaan yang proporsional antara petani tebu dengan pabrik gula (PG). Sejak pertengahan tahun 1997 terjadi krisis ekonomi nasional yang dirasakan, telah memporakporandakan fundamental ekonomi Indonesia. Krisis ekonomi mengakibatkan harga pangan dan non pangan meningkat dan berfluktuasi serta terjadinya pemutusan hubungan kerja, karena sebagian besar pabrik yang menggunakan bahan baku impor dalam jumlah besar mengalami gulung tikar. Akibatnya, terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin dan penurunan daya beli masyarakat. Di sisi lain, industri pergulaan Indonesia juga menghadapi berbagai permasalahan yang belum dapat diselesaikan secara tuntas, seperti penurunan areal dan produktivitas serta rendemen. Pada awal tahun 90-an, pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan berupa
Inpres
Nomor
5
Tahun
1997.
Kebijakan
tersebut
bertujuan
mengoptimalkan sinergitas antara petani tebu, PTPN dan koperasi dalam
21
pengembangan industri gula tebu nasional (Sudana et al., 2000). kinerja pergulaan nasional terus menurun, baik dari segi areal, produktivitas maupun produksi. Kebijakan tersebut juga telah memperkuat peran Menteri Pertanian dalam pengembangan industri gula nasional melalui fasilitasi penyediaan bibit unggul dan bimbingan teknis budidaya kepada petani tebu, pemberdayaan lembaga peneltian serta menghilangkan berbagai pungutan (red tape) terkait dengan usaha tani tebu rakyat. Pada tahun 2003, Pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan produksi yang cukup signifikan berupa program akselerasi peningkatan produksi dan produktivitas gula nasional. Melalui program tersebut, pemerintah ingin agar tercapai swasembada gula dapat dicapai pada tahun 2007 dengan target tiga juta ton dan produktivitas sebesar 8 ton gula per hektar (Mardianto et al. 2005). Pada intinya, program tersebut diarahkan pada pembongkaran tanaman ratoon (ratoon cane) mengingat tanaman ratoon oleh petani tebu rakyat di pulau Jawa digunakan lebih dari 4 (empat) kali. Perkembangan industri gula nasional sangat dipengaruhi oleh berbagai bentuk kebijakan dari pemerintah. Beberapa kebijakan pemerintah di bidang pergulaan sejak tahun 1975 sampai tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 6 berikut : Tabel 6. Kebijakan Pemerintah di Bidang Pergulaan (1997 – 2010) No 1 2 3 4
5 6 7
Jenis Kebijakan Inpres No. 5/1997 Inpres No. 5/1998 SK Memperindag No. 25/1998 SK Menhutbun No. 282/1999 SK Memperindag No. 363/1999 SK Memperindag No. 717/1999 SK Memperindag No. 141/2002
Substansi Kebijakan Program pengembangan tebu rakyat Penghentian pelaksanaan Inpres No. 5/199 Impor yang semula hanya dilakukan oleh Bulog dapat dilakukan oleh importer umum (IU) dengan bea masuk 0% Penetapan harga provenue gula pasir produksi petani Impor gula hanya dapat dilakukan oleh pabrik gula di Pulau Jawa yang telah diakui sebagai importer produsen (IP) Pembebasan tataniaga gula dan beras Komoditas gula termasuk salah satu barang impor yang wajib menggunakan NPIK
22
Lanjutan Tabel 6 8
SK Memperindag No. 456/2002
9
Sk Memperindag No.643/2002
Raw sugar dan refine sugar diimpor oleh IP dan gula kristal putih oleh importer tebu (IT) apabila harga di tingkat petani sudah mencapai diatas Rp. 3100/kg
10
Keppres No. 63/2002
Tentang Dewan Gula Indonesia
11
SK Memperindag No. 328/2003
Pembentukan tim pemantauan pengadaan, pendistribusian dan perkembangan harga gula yang terdiri dari para pejabat, Deperindag, Ditjen Bea dan Cukai, Depkeu
SK Menko Bid. Perekonomian No KEP21/M.EKON/05/2003
Tentang tim koordinasi pelaksanaan evaluasi tataniaga gula, beranggotakan instansi terkait dan diketuai Sesmenko
SK Menperindag No 61/MPP/Kep/2/2004 Keppres Nomor 57 Tahun 2004, 26 Juli 2004 Keppres Nomor 58 Tahun 2004, 26 Juli 2004 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 522 / MPP/Kep/9/2004 Kep Menperindag No. 527/MPP/Kep/2004 jo Kep Menperindag No. 02/M/Kep/XII/2004 jo Kep Menperindag No. 08/MDAG/ Per/4/2005 Peraturan Menteri Perdagangan No. 08/MDag/Per/4/2005 Peraturan Menteri Perdagangan No. 19/MDag/Per/4/2006 Peraturan Menteri Perindustrian No. 83/MIND/PER/11/2008
Perdagangan gula antar pulau
Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008
Kebijakan Industri Nasional
12
13 14 15
16
17
18
19
20
21
Impor gula kasar dilakukan oleh IP
Penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan Penanganan gula yang diimpor secara tidak sah Tentang Ketentuan Impor Gula
Pengaturan Impor, kualitas gula, dan hara referen gula petani
Tentang Penetapan Harga Gula Putih di Tingkat Petani (Rp. 3.800 / Kg) Tentang Penetapan Harga Gula Putih di Tingkat Petani (Rp. 4.800 / Kg) Tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Untuk Gula Kristal Rafinasi Secara Wajib
23
Lanjutan Tabel 6 22
23
24
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 10 Tahun 2009 Peraturan Menteri Perindustrian RI Nomor 12/M-IND/PER/1/2010 Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011
Peta panduan klaster industri
Tim pelaksana rencana aksi revitalisasi industri gula
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011 2025 Sumber : Sudana et al. (2000); Susila 2002), Arifin (2003), DGI (2005) www.deprin.go.id dan www.depdag.go.id (Diakses 19 November Juli 2011)
2.5. Konsep Strategi dan Daya Saing Pada hakekatnya, perusahaan sebagai sebuah organisasi bisnis bukan semata memfokuskan pada upaya memperoleh keuntungan, namun yang lebih penting adalah menciptakan nilai (values creation). Dengan demikian, strategi korporasi hendaknya diarahkan pada pencapaian nilai tersebut. Menurut Kaplan dan Norton (2004), strategi organisasi (perusahaan) seyogianya dapat menjelaskan cara menciptakan nilai bagi pemegang sahamnya, pelanggan serta penduduk (konsumen). Semua organisasi (bisnis) saat ini berupaya menciptakan nilai yang berkelanjutan melalui pemanfaatan aset non fisiknya (tangible assets), yaitu : sumber daya manusia (SDM), sistem informasi dan basis data, daya responsivitas, proses bermutu tinggi, hubungan dengan pelanggan dan pencitraan, kemampuan inovasi dan budaya korporasi. Dalam prakteknya, penciptaan nilai oleh perusahaan umumnya didasarkan atas empat prinsip, yaitu sebagai berikut : (1) Nilai yang tercipta biasanya tidak secara langsung dapat dirasakan hasilnya saat itu juga (indirect), (2) Nilai aset non fisik yang tercipta hendaknya kontekstual, dalam arti nilai tersebut terkait erat dengan problematika kekinian yang dihadapi oleh perusahaan, (3) Nilai aset non fisik haruslah potensial. Proses internal seperti desain, produksi, pendistribusian dan pelayanan kepada pelanggan sangat dibutuhkan untuk mentranformasikan aset non fisik menjadi nilai fisikal, dan (4) Nilai maksimum akan dapat tercipta
24
jika seluruh aset non fisik perusahaan berkaitan dengan keseluruhan komponenkomponen strategis lainnya (Kaplan dan Norton, 2004). Menurut Saptana (2009), daya saing merupakan kemampuan suatu sektor industri atau perusahaan untuk bersaing dengan sukses dalam mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan di dalam lingkungan global, selama biaya imbangannya lebih rendah dari penerimaan sumberdaya yang digunakan. Dapat terjadi bahwa di tingkat produsen, suatu komoditas atau produk memiliki keunggulan komparatif dan biaya kesempatan yang relatif rendah, namun di tingkat konsumen komoditas atau produk tersebut tidak memiliki daya saing (keunggulan komparatif), karena adanya distorsi pasar dan/atau biaya transaksi yang tinggi. Sebaliknya, dapat juga terjadi, karena adanya intervensi kebijakan pemerintah, suatu komoditas atau produk memiliki daya saing di tingkat konsumen, namun komoditas atau produk tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif. Kajian mengenai daya saing industri menarik dipelajari untuk mengetahui perkembangan industri tertentu dalam konteks persaingan global. Porter (2000) dalam telah merumuskan sebuah model tentang keunggulan kompetitif (diamond of competitive advantage) dari industri seperti disajikan pada Gambar 2 berikut :
PELUANG
STRATEGI PERUSAHAAN, STRUKTUR DAN PERSAINGAN
KONDISI FAKTOR
PEMERINTAH
PEMERINTAH
KONDISI PERMINTAAN
INDUSTRI PENDUKUNG DAN TERKAIT
PELUANG
Gambar 2. Model Keunggulan Kompetitif (Porter, 2000)
25
Kondisi faktor yaitu posisi negara dalam hal penguasaan faktor produksi (tenaga kerja terampil atau infrastruktur yang dibutuhkan) merupakan syarat kecukupan untuk bersaing dalam suatu industri. Kondisi permintaan yaitu karakteristik besarnya permintaan pasar domestik untuk produk-produk atau jasajasa dari suatu industri. Industri pendukung dan terkait adalah kehadiran industri yang menyediakan bahan baku dan lain-lain dalam suatu negara sangat berkaitan dengan kemampuan daya saing industri-industri di pasar internasional.Strategi perusahaan, struktur dan persaingan yaitu kondisi pemerintahan dalam suatu negara bagaimana perusahaan diciptakan, diorganisasikan dan dikelola serta karakteristik persaingan domestik.
2.6. Perspektif Produktivitas Produktivitas pada dasarnya merupakan hubungan antara keluaran dan masukan dalam sebuah produksi. Produktivitas dapat diukur secara parsial maupun total. Produktivitas parsial merupakan hubungan antara keluaran dengan satu masukan. Contoh produktivitas parsial yang sering digunakan adalah produktivitas tenaga kerja yang menunjukkan rata-rata keluaran per tenaga kerja, atau produktivitas kapital yang menggambarkan rata-rata keluaran per kapital. Produktivitas total, atau biasa disebut Total Factor Productivity (TFP), mengukur hubungan antara keluaran dengan beberapa masukan secara serentak. Hubungan tersebut dinyatakan dalam nisbah dari indeks keluaran terhadap indeks masukan agregat. Kalau ratio meningkat berarti lebih banyak keluaran dapat diproduksi dengan menggunakan jumlah masukan tertentu atau sejumlah keluaran tertentu dapat diproduksi dengan menggunakan lebih sedikit masukan (Avenzora dan Moeis, 2008). Menurut Gaspersz (2000), unsur-unsur yang terdapat dalam produktivitas adalah sebagai berikut : (1) Efisiensi. Dalam dimensi efisiensi, produktivitas dinyatakan sebagai rasio output/input yang merupakan ukuran efisiensi pemakaian sumberdaya (input). Efisiensi merupakan suatu ukuran dalam membandingkan penggunaan masukan (input) yang direncanakan dengan penggunaan masukan yang sebenarnya terlaksana. Pengertian efisiensi berorientasi kepada masukan. (2)
26
Efektivitas. Efektivitas merupakan suatu ukuran yang memberikan gambaran seberapa jauh target yang dapat tercapai baik secara kuantitas maupun waktu. Makin besar presentase target tercapai, makin tinggi tingkat efektivitasnya. Konsep ini berorientasi pada keluaran. Peningkatan efektivitas belum tentu dibarengi dengan peningkatan efisiensi dan sebaliknya. Gabungan kedua hal diatas membentuk pengertian produktivitas dengan cara sebagai berikut :
Efektivitas Pencapaian Tujuan Produktivitas = Efisiensi Penggunaan Sumber Masukan (3) Mutu. Secara umum mutu adalah ukuran yang menyatakan seberapa jauh pemenuhan persyaratan, spesifikasi, dan harapan konsumen. Mutu merupakan salah satu ukuran produktivitas. Meskipun kualitas sulit diukur secara matematis melalui rasio output/input, namun jelas bahwa kualitas input dan kualitas proses akan meningkatkan kualitas keluaran. Tangen (2002) menjelaskan tentang hubungan antara kinerja, keuntungan dan produktivitas serta memberikan definisinya sebagai berikut (Gambar 2) : (1) Produktivitas merupakan sentral dari model 3-P (Performance, Profitability dan Productivity) dan memiliki definisi yang lebih operasional sebagai nisbah keluaran terhadap keluaran (jumlah barang yang diproduksi dengan berbagai spesifikasinya) dibagi jumlah masukannya (keseluruhan sumberdaya yang digunakan dalam proses transformasi). (2) Profitabilitas juga merupakan nisbah antara keluaran dan masukan, tetapi didalamnya telah terkandung pengaruh faktor harga). (3) Kinerja merupakan terminologi payung yang menggambarkan capaian keunggulan pengolahan dan termasuk didalamnya profitabilitas seperti kualitas, kecepatan, pengangkutan / distribusi dan fleksibilitas. (4) Efektivitas adalah terminologi yang digunakan ketika keluaran dari proses tranformasi di fokuskan. Sementara efisiensi menggambarkan tentang cara penggunaan masukan-masukan dalam proses tranformasi dengan baik.
27
EFEKTIVITAS
[ Mutu, Distribusi, Kecepatan dan fleksibilitas]
KINERJA PROFITABILITAS PRODUKTIVITAS
[Pengembalian Harga] KELUARAN ------------MASUKAN
EFISIENSI
Gambar 3. Hubungan Kinerja, Profitabilitas dan Produktivitas (Tangen, 2002)
Dari Gambar 3 diatas terlihat bawa produktivitas merupakan inti dari pembentukan profitabilitas dengan parameter tingkat pengembalian harga serta mendukung pencapaian kinerja korporasi, yang dapat diukur dari parameter mutu produksi, efisiensi distribusi produk dengan tepat waktu dan jumlah, kecepatan dalam memberikan pelayanan prima serta fleksibilitas dalam pengambilan keputusan manajemen.
Siklus Produktivitas.
Sumanth (1984) memperkenalkan suatu konsep formal yang disebut sebagai siklus produktivitas untuk dipergunakan dalam peningkatan produktivitas terus-menerus. Terdapat empat tahap siklus yang saling berkaitan dan berkesinambungan, yaitu : (1) Pengukuran Produktivitas. (2) Evaluasi Produktivitas. (3) Perencanaan Produktivitas. Dan (4) Perbaikan Produktivitas.
Apabila produktivitas dari sistem industri tersebut telah dapat diukur, langkah berikut adalah mengevaluasi tingkat produktivitas aktual tersebut untuk
28
diperbandingkan dengan rencana yang telah ditetapkan. Kesenjangan yang terjadi antara produktivitas aktual dan rencana merupakan masalah produktivitas yang harus dievaluasi dan dicari akar penyebab yang menimbulkan kesenjangan produktivitas itu. Berdasarkan evaluasi ini, selanjutnya dapat direncanakan kembali target produktivitas yang akan dicapai, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk mencapai target produktivitas yang telah direncanakan berbagai program formal dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas terus-menerus. Siklus produktivitas itu diulang kembali secara terusmenerus untuk mencapai peningkatan produktivitas terus-menerus dalam sistem industri.
Faktor penting yang menyebabkan naik turunnya tingkat produktivitas adalah pihak manajemen, karena pihak manajemen merupakan faktor yang paling berpengaruh, terutama dalam proses perencanaan dan penjadwalan, pengaturan beban kerja, kejelasan instruksi kerja dan evaluasi, serta dalam menumbuhkan motivasi kerja dan loyalitas pekerja terhadap institusi (Gambar 4) :
Pengukuran Produktivitas (Measurement)
[Mengembangkan Tindakan Pencegahan dan Korektif]
[Identifikasi Penurunan Produktivtas]
I Perbaikan Produktivitas (Improvement)
IV
II III
[Melaksanakan Rencana Tindakan]
Penilaian Produktivitas (Evaluation)
[Analisis Penyebab Masalah Produktivitas]
Perencanaan Produktivitas (Planning)
Gambar 4. Siklus Produktivitas Organisasi (Sumanth, 1984)
29
Produktivitas seringkali memiliki terminologi yang membingungkan dan dikaitkan dengan efisiensi dan efektivitas. Meskipun sebenarnya ketiga terminologi tersebut terkait, namun masing-masing memiliki makna yang berbeda. Efisiensi (η) merupakan rasio dari keluaran aktual terhadap keluaran yang diharapkan. Kendati demikian, efisiensi memberikan indikasi tentang bagaimana mengukur sumberdaya yang digunakan untuk mencapai target yang telah ditetapkan, sedangkan efektivitas (Ø) memberikan gambaran dalam mengukur bagaimana target tersebut dicapai (kinerja). Produktivitas pada dasarnya merupakan integrasi dari efisiensi dan efektivitas. Produktivitas mengindikasikan kombinasi dari pengaruh pemanfaatan sumberdaya (efisiensi) dan kinerja (efektivitas). Kombinasi dari pengaruh efisiensi dan efektivitas inilah yang seringkali disebut dengan indeks produktivitas. Indeks Produktivitas = Kinerja yang dicapai / sumberdaya masukan yang digunakan = efektifitas / efisiensi (www.transtutor.com). Secara skematis, hubungan ketiganya disajikan pada Gambar 5 berikut :
30
LEGISLASI PERMINTAAN PRODUK
LINGKUNGAN EKSTERNAL
SISTEM PRODUKSI
MASUKAN
OPERASI
KELUARAN
PELANGGAN
UMPAN BALIK DAN PENGENDALIAN
EFISIENSI
SISTEM PRODUKTIVITAS
KONVERSI MASUKAN KE KELUARAN (SISTEM PRODUKTIVITAS)
EFEKTIVITAS
1) Modal 2) Mutu Bahan Baku Tebu 3) Ketersediaan Bahan Baku Tebu 4) Mutu Tenaga Kerja 5) Energi 6) Kapasitas Pabrik
Dengan penggunaan masukanyang tepat, diharapkan memperoleh keluaran yang lebih baik + peningkatan mutu pikiran
1) Organisasi 2) Produk 3) Manajemen 4) Level Teknologi 5) Utilisasi Mesin / Peralatan 6) Utilisasi Pabrik
1) Mutu Produk 2) Mutu Pelayanan 3) Kepuasan Pelanggan 4) Biaya Rendah 5) Produksi Tinggi 6) Utilisasi Sumberdaya Lebih Baik 7) Penggunaan sumberdaya secara optimum
Dengan penggunaan sistem dan alat bantu yang tepat, menghasilkan tindakan yang baik + Perbaikan secara kontinyu
PRODUKTIVITAS
Gambar 5. Keterkaitan Efisiensi, Efektivitas dan Produktivitas (www.transtutor.com, diakses tanggal 19 November 2011)
2.7. Penelitian Terdahulu dan Posisi Penelitian
Penelitian yang dilakukan Anindita (2007) menemukan bahwa kebijakan pemerintah
terhadap
industri
gula
lebih
difokuskan
pada
peningkatan
produktivitas tebu dan minim sekali perhatian diberikan pada peningkatan efisiensi pada industri gula. Banyak pakar percaya bahwa permasalahan industri gula nasional disebabkan karena penurunan produktivitas tebu per hektarnya dan
31
menyebabkan rendahnya tingkat rendemen yang dihasilkan. Pemikiran yang sama dikemukakan oleh Kuntohartono et al. (1998) dalam Anindita (2007), yang menemukan bahwa rendahnya produktivitas tebu lebih disebabkan oleh lemahnya sistem usahatani yang dilakukan oleh petani tebu dalam menggarap lahan pertaniannya dan menghasilkan rendahnya produktivitas gula dan tingkat kandungan sukrosa. Dalam penelitianya tersebut, membandingkan antara produktivitas tebu di lahan basah di Jawa dan tingkat produktivitas tebu dilahan kering di luar jawa, dengan hasil yang relatif tidak berbeda. Pada kenyataannya, hampir sebagian besar industri gula masih menggunakan mesin-mesin produksi yang tua dari warisan era Belanda. Namun ironisnya, pemerintah percaya bahwa pabrik-pabrik gula yang ada dapat bekerja dengan menghasilkan produksi yang baik. Padahal, jika kinerja industri gula masih beroperasi secara inefisien, maka hal tersebut akan berpengaruh terhadap kandungan sukrosa yang dihasilkan dan menyebabkan rendahnya tingkat produktivitas tebu. Penelitian yang dilakukan Mardianto et al, (2005) dalam Anindita (2007) juga memperkuat temuan para peneliti sebelumnya yang menyatakan bahwa rendahnya tingkat produktivitas industri gula diduga disebabkan oleh masih digunakannya mesin produksi yang tua dan berpotensi menyebabkan pabrik-pabrik gula cenderung memproduksi gula secara inefisien. Jika pada akhirnya pabrik-pabrik gula memproduksi gula dengan tingkat kandungan sukrosa rendah, maka hal tersebut potensial menyebabkan terjadinya konflik kepentingan antara pabrik gula dengan petani, terutama jika pabrik gula lebih memprioritaskan keuntungan dan menyebabkan menurunnya pendapatan petani tebu Dalam perspektif perdagangan gula internasional, Rusastra (1999) dalam penelitiannya menemukan bahwa telah terjadi perbaikan yang sangat berarti dari kelayakan ekonomis industri gula di dalam negeri, walaupun pada tingkat koefisien DCRC (Domestic Resouerces Cost Ratio) yang relatif marjinal. Sedikit saja terjadi penurunan produktivitas atau peningkatan harga gula di pasar dunia, maka pengembangan gula untuk memenuhi kebutuhan domestik menjadi tidak layak secara ekonomis. Dari perspektif kebijakan, Malian et al. (2001) menemukan bahwa deregulasi industri gula yang berlangsung sejak tahun 1998 telah menyebabkan
32
penurunan luas areal pertanaman tebu dan produksi gula nasional. Dalam jangka panjang kecenderungan penurunan ini diduga akan terus berlanjut, karena tidak efektifnya penerapan tarif impor akibat penguatan nilai tukar rupiah, kurang mampu bersaing dengan komoditas pesaingnya, serta kurang efisiennya usahatani tebu dan pada industri pabrik gula. Dari sisi kemitraan antara pabrik gula dengan petani tebu, Sriati et al. (2007) dalam penelitiannya tentang kelembagaan kemitraan antata petani tebu dengan pabrik gula (PG) menemukan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan keputusan petani menjadi anggota TRK adalah faktor modal, akses ke lahan, dan pengalaman. Sedangkan faktor luas lahan tidak berhubungan dengan keputusan petani menjadi anggota TRK (Tebu Rakyat Kredit), dan Pendapatan rata-rata petani TRK lebih besar dari pendapatan rata-rata petani TRB yaitu Rp 15.969.443,23 untuk petani TRK dan Rp 13.591.636,84 untuk petani TRB (Tebu Rakyat Bebas). Terkait dengan analisis daya saing usahatani tebu, Abidin et al. (2004) dalam penelitiannya di Propinsi Lampung menemukan bahwa kebijakan pemerintah dalam melindungi (kebijakan proteksi) produksi gula telah meningkatkan keuntungan baik petani tebu peserta TRI maupun pabrik gula. Namun, kebijakan pemerintah tersebut telah menyebabkan konsumen gula harus membayar dua kali lebih mahal dari harga gula impor (consumers transfer). Dalam kaitannya dengan tata niaga pergulaan, penelitian Maria (2007) menemukan bahwa ketersediaan gula pasir secara signifikan dipengaruhi oleh luas areal, jumlah pabrik gula dan selisih antara harga domestic dengan harga gula dunia. Sedangkan Harga gula domestic dipengaruhi oleh kebijakan tata niaga di setiap periode produksi, konsumsi, harga gula dunia dan nilai tukar rupiah. Kinerja industri gula nasional telah dikaji dalam penelitian yang dilakukan oleh Priyono (2008) menemukan bahwa : (a). Produksi gula nasional dipengaruhi secara signifikan oleh luas areal lahan tebu, produktivitas lahan, dan rendeman tebu. (b). Konsumsi gula nasional dipengaruhi secara signifikan oleh jumlah penduduk, dan harga gula dalam negeri (c). Impor gula nasional dipengaruhi secara signifikan oleh konsumsi gula, dan produksi gula.
33
Terkait dengan daya saing industri gula, penelitian yang dilakukan oleh Arkeman et al. (2001) menemukan bahwa faktor utama yang sangat berperan dalam meningkatkan daya saing industrigila di Jawa adalah biaya produksi (bobot 0,31), aktor utama yang berperan adalah manajemen perusahaan (bobot 0,26) dan tujuan yang ingin dicapai dalam peningkatan daya saing industri gula di Jawa adalah maksimalisasi laba (bobot 0,36). Tabel 7. Penelitian Terdahulu Tentang Industri Gula Nasional No
1
2
Nama
Anindita (2008)
Rusastra (1999)
3
Malian dan Saptana (2001)
4
Sriyati (2007)
Judul Inefficiency Source of Indonesian Sugar Mill Industry Keunggulan Komparatif, Struktur Proteksi dan Perdagangan Internasional
Dampak Peningkatan Tarif Impor Gula Terhadap Pendapatan Petani Tebu
Pola Kemitraan Petani Tebu rakyat Dengan PTPN VII Unit Usaha PG Bunga Mayang Dalam Usahatani Tebu
Metoda Analisa
Hasil Penelitian
Menemukan bahwa Produksi pabrik gula secara signifikan dipengaruhi oleh jumlah produksi tebu,tingkat rendemen dan teknologi. Menemukan bahwa telah Policy terjadi perbaikan yang Analysis sangat berarti dari Matrix kelayakan ekonomis (PAM) industri gula di dalam negeri, walaupun pada tingkat koefisien DCRC yang relatif marjinal. Menemukan bahwa Analisis deregulasi industri gula pendapatan yang berlangsung sejak usahatani tahun 1998 telah tebu dan menyebabkan penurunan analisis biaya luas areal pertanaman pokok tebu dan produksi gula nasional. Menemukan bahwa Uji Chi – Faktor yang Kuadrat berhubungan dengan keputusan petani menjadi anggota TRK adalah faktor modal, akses ke lahan, dan pengalaman. Total Factors Productivity (TFP)
34
Lanjutan Tabel 7
5
6
Abidin dan Ismono (2004)
The Impact of Government Policy On The Competitiveness of Sugarcane Farming in Lampung Province
Analisa Kebijakan Tata Maria (2007) Niaga Gula Terhadap Ketersediaan dan Harga Domestik Gula Pasir Di Indonesia
Policy Analysis Matrix (PAM)
Menemukan bahwa kebijakan pemerintah dalam melindungi produksi gula telah meningkatkan keuntungan baik petani tebu peserta TRI maupun pabrik gula .
Persamaan Regresi LInear
Ketersediaan gula pasir secara signifikan dipengaruhi oleh luas areal, jumlah pabrik gula dan selisih antara harga domestic dengan harga gula dunia. Sedangkan Harga gula domestic dipengaruhi oleh kebijakan tata niaga di setiap periode produksi, konsumsi, harga gula dunia dan nilai tukar rupiah.
35
Lanjutan Tabel 7.
7
Priyono (2008)
8
Arkeman et al. (2002)
Analisis Kebijakan Industri Gula Nasional Dengan Model Ekonometrika
Strategi Peningkatan Daya Saing Industri Gula Di Jawa
Persamaan Two Stage Least Square
Metode AHP
Hasil yang diperoleh menunjukkan keragaan hasil empiris pendugaan model ekonominya cukup baik. Sedangkan hasil dari persamaan strukturalnya adalah : (a). Produksi gula nasional dipengaruhi secara signifikan oleh luas areal lahan tebu, produktivitas lahan, dan rendeman tebu. (b). Konsumsi gula nasional dipengaruhi secara signifikan oleh jumlah penduduk, dan harga gula dalam negeri (c). Impor gula nasional dipengaruhi secara signifikan oleh konsumsi gula, dan produksi gula. Faktor utama yang sangat berperan dalam meningkatkan daya saing industrigila di Jawa adalah biaya produksi (bobot 0,31), aktor utama yang berperan adalah manajemen perusahaan (bobot 0,26) dan tujuan yang ingin dicapai dalam peningkatan daya saing industri gula di Jawa adalah maksimalisasi laba (bobot 0,36)
36
Dari berbagai kajian yahg telah dilakukan oleh para peneliti tersebut diatas, dapat disintesakan bahwa rendahnya daya saing maupun produktivitas baik di tingkat kebun maupun di pabrik gula disebabkan oleh faktor kebijakan pemerintah yang belum menyentuh akar permasalahan sebenarnya yang dihadapi oleh industri gula yang ada (parsial) serta belum terintegrasinya antara kebun dan pabrik dalam satu manajemen. Atas dasar pemikiran tersebut, maka posisi penelitian yang dilakukan dalam kaitan dengan penelitian sebelumnya adalah mendapatkan rumusan strategi peningkatan produktivitas industri gula tebu nasional, dengan mempertimbangkan kebijakan makro (macro side) dan perbaikan produktivitas di level mikro (kebun dan pabrik gula) secara terintegrasi.
37
III. METODE PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian Kecenderungan masih maraknya impor gula mengindikasikan belum mampunya produksi pada industri gula nasional memenuhi kebutuhan pasar domestik, baik untuk konsumsi rumahtangga maupun bagi kebutuhan industri makanan dan minuman. Pemerintah memiliki kekhawatiran besar atas besarnya impor gula nasional, karena dipandang sebagai ancaman riil terhadap kemandirian pangan. Bagi Indonesia, kemandirian pangan sangat strategis, mengingat jumlah penduduknya yang cukup besar namun memiliki daya beli yang rendah. Sementara itu, pasar internasional gula yang dikuasai hanya oleh sejumlah kecil negara produsen utama dan pedagang besar, menunjukkan bahwa struktur pasar bersifat oligopolisitik. Lebih jauh lagi, harga internasional tidak menggambarkan tingkat efisiensi (artificial) karena telah terdistorsi oleh berbagai bantuan, subsidi domestik, pembatasan akses pasar serta subsidi ekspor. Kebijakan pembatasan impor gula tidak saja dilakukan oleh negara net importir, tetapi juga oleh negara net eksportir (Mardianto et al., 2005). Sebagai negara dengan basis sumberdaya agraris, Indonesia pernah menjadi salah satu produsen dan eksportir gula yang terbesar di dunia pada dekade 1930-an. Namun seiring dengan semakin menurunnya produktivitas gula nasional, predikat negara pengekspor gula yang disandang Indonesia berganti menjadi negara pengimpor gula yang cukup besar saat ini. Perkembangan yang kurang menggembirakan tersebut menunjukkan bahwa industri gula nasional sedang menghadapi suatu permasalahan yang kompleks (Simatupang et al.,2005). Beberapa faktor yang diduga menjadi faktor penyebab rendahnya tingkat produktivitas industri gula nasional adalah : (1) Mutu bahan tanam yang rendah. Kebanyakan petani tebu tidak melakukan peremajaan tanaman (Plant Cane) secara berkala, sehingga tanaman tebu umumnya adalah tanaman keprasan (Ratoon Cane). (2) Sistem bagi hasil antara petani dengan pabrik gula. Sistem yang berlaku sekarang masih dianggap kurang adil dan merugikan petani tebu.
38
Akibatnya, petani sebagai pemilik lahan yang memiliki kebebasan dalam berbudidaya dapat mengganti tanaman tebu ke tanaman lain yang lebih menguntungkan (misalnya padi). Kondisi ini yang pada akhirnya menyebabkan pasokan tebu untuk pabrik gula menjadi berkurang dan kontinyuitas produksi tidak terjamin; (3) Harga gula yang rendah. Walaupun respon produktivitas terhadap harga inelastis, menurunnya harga gula akan menyebabkan penurunan produktivitas serta (4). Kebijakan pemerintah yang bias ke usahatani padi, pencabutan
subsidi
pupuk
dan
sering
terjadi
kesulitan
dalam
mengimplementasikan jaminan harga (provenue price) juga berdampak terhadap produktivitas tebu (Susila dan Susmiadi, 2000; Abidin, 2000) Problematika rendahnya produktivitas industri gula nasional tersebut perlu dicarikan jalan keluar, agar target swasembada gula nasional yang telah dicanangkan oleh pemerintah dapat terealisir, sehingga impor gula dapat dikurangi dan devisa negara dapat dihemat. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah dengan cara meningkatkan daya saing industri gula nasional melalui penyusunan strategi yang komprehensif dengan mengintegrasikan aspek kebun dan aspek pabrik gula khususnya dalam peningkatan produktivitasnya secara integratif. Dari aspek kebun, fokus penyusunan strategi diarahkan dalam upaya meningkatkan sistem budidaya, penggunaan bibit, pemupukan, alokasi tenaga kerja, pasca panen dan sistem bagi hasil yang proporsional. Sementara dari aspek pabrik gula, penekanan lebih pada tinjauan mengenai sistem tebang, muat dan angkut (TMA), adopsi teknologi, struktur modal, manajemen, sistem produksi dan sumberdaya manusia (SDM). Kedua aspek tersebut merupakan masukan penting dalam proses elaborasi melalui revitalisasi kebijakan dalam peningkatan keunggulan
komparatif
dan
kompetitif
(aspek
makro),
penyempurnaan
manajemen operasi, peningkatan mutu produksi gula, penurunan harga pokok (HPP), inovasi teknologi, redesain kebijakan korporasi (business policy) dan pola kemitraan (aspek mikro) secara terintegrasi. Perumusan strategi peningkatan produktivitas industri gula nasional dapat dirumuskan dalam kerangka pikir berikut (Gambar 6) :
39
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS KEBUN
Program Revitalisasi Industri Gula Nasional
KEBIJAKAN INDUSTRI GULA NASIONAL
KINERJA EKSISTING INDUSTRI GULA NASIONAL
KECENDERUNGAN MENURUNNYA PRODUKTIVITAS INDUSTRI GULA TEBU
URGENSI PENINGKATAN KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF INDUSTRI GULA TEBU NASIONAL
REKAYASA KELEMBAGAAN KEMITRAAN PABRIK GULA DENGAN PETANI
INTEGRASI HULU - HILIR
PENGUATAN KLASTER INDUSTRI GULA TEBI
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS INDUSTRI GULA TEBU NASIONAL
PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI GULA TEBU
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PABRIK
[UMPAN BALIK]
Gambar 6. Kerangka Pemikiran Peningkatan Produktivitas Industri Gula Tebu 3.2. Tahapan Penelitian Penelitian dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu dimulai dengan pemetaan kondisi eksisting di tingkat kebun dan pabrik gula (PG). Dalam pemetaan tersebut dieksplorasi sejumlah informasi terkait data masukan dan keluaran dari level kebun dan pabrik gula melalui proses tabulasi. Dari hasil tabulasi tersebut, kemudian dilakukan analisis kelembagaan untuk mengkaji kondisi awal relasi fungsional antara para pemangku kepentingan dengan petani tebu dan kemudian dengan metode interpretive Structural Modelling (ISM) di susun rekayasa kelembagaan kemitraan antara pabrik gula dengan petani tebu. Selain itu, juga dilakukan analisis tingkat daya saing industri gula tebu serta perkiraan dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah dalam upaya meningkatkan kinerja industri gula tebu nasional (Metode PAM). Pada tahap selanjutnya, berdasarkan hasil analisis kelembagaan dan tingkat daya saing, kemudian dilakukan pengukuran produktivitas untuk memperoleh indeks produktivitas (Metode Objective Matrix) agar dapat diketahui faktor-faktor yang
40
berpengaruh terhadap kondisi produktivitas baik di tingkat kebun maupun di tingkat pabrik gula (PG). Langkah selanjutnya adalah melakukan pemetaan faktor-faktor internal dan eksternal pabrik gula (kekuatan, kelemehan, tekanan dan peluang) dan dilakukan pembobotan dari faktor-faktor yang dihasilkan dari analisa sebelumnya melalui Metode SWOT. Setelah diketahui sejumlah informasi yang merupakan masukan dan keluaran dari variabel produktivitas, kemudian melalui Metode AHP dilakukan agregasi atas informasi tersebut melalui proses eloborasi untuk menyusun strategi nasional dalam peningkatan produktivitas industri gula tebu nasional (Gambar 7).
41
STRATEGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DALAM MENDORONG PENGUATAN KLASTER INDUSTRI GULA TEBU NASIONAL
PEMETAAN ELEMEN – ELEMEN KLASTER INDUSTRI GULA TEBU NASIONAL 1
KONDISI EKSISTING PABRIK GULA DAN REKAYASA KELEMBAGAAN KEMITRAAN PABRIK GULA PETANI
INTERPRETATIVE STRUCTURAL MODELING (ISM)
1) Kebijakan Revitalisasi Industri Gula
2) Kemitraan Pabrik Gula Dengan Petani
2
DAYA SAING PABRIK DAN REVITALISASI KEBIJAKAN NASIONAL
PG PG PG GMP BUMA KBA
PG PB
POLICY ANALYSIS MATRIX (PAM) 1) Keuntungan Pabrik (Pasar dan sosial)
3
INDEKS PRODUKTIVITAS PABRIK GULA YANG DITELITI
ANALISIS OBJECTIVE MATRIX (OMAX)
1) Desain Kriteria – Kriteria Produktivitas Usahatanai dan PG 2) Pengukuran Tingkat Produktivitas Usahatani dan PG
2) Kebijakan Output 3) Ekonomi Usahatani Tebu
3) Rasio Biaya Domestik 4) Transfer Output
4) Kondisi Eksisting Pabrik Gula Sampel
5) Peran Pemerintah Daerah
5 Responden
4) Perbaikan Produktivitas Usahatani dan Pabrik Gula
ANALISIS SWOT KUANTITATIF& AHP
ALTERNATIF STRATEGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS KEBUN
ALTERNATIF STRATEGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PABRIK GULA (PG)
ALTERNATIF STRATEGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TINGKAT MAKRO
5) Kebijakan Transfer
6) Kebijakan Input 7) Transfer Input
RESPONDEN
3) Evaluasi Tingkat Produktivitas Usahatani danPG
4
8) Transfer Faktor
9) Kebijakan Input - Output
INDEKS PRODUKTIVITAS
TUJUAN
PRIORITAS STRATEGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS
PRIORITAS PEMILIHAN STRATEGI
RESPONDEN
RESPONDEN
16 Karyawan Pabrik Gula
16 Karyawan Pabrik Gula dan 5 Pakar
Memperoleh struktur kelembagaan kemitraan antara petani tebu dengan pabrik gula (PG). Mendapatkan tingkat daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap kinerja industri gula nasional
Memperoleh indeks produktivitas total di tingkat kebun dan pabrik gula
Mendapatkan strategi peningkatan produktivitas nasional yang mengintegrasikan kebun, pabrik gula (PG) dan makro
Gambar 7. Tahapan Penelitian Strategi Peningkatan Produktivitas Industri Gula Tebu Nasional
42
3.3. Tata Laksana Penelitian 3.3.1. Pengumpulan Data, Informasi dan Pengetahuan Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Untuk Data primer tentang usahatani dan pabrik gula, data dan informasi yang dikumpulkan adalah sebagai berikut : 1. Tingkat usahatani (Kebun) meliputi : (1) Luas lahan dan produktivitas tebu rakyat (TR), (2) Tingkat penggunaan masukan yang digunakan, (3) Pengalaman, (4) Kelembagaan Kemitraan, (5) Produksi, rendemen dan harga jual, (6) Sistem penjualan gula, (7). Biaya usahatani, (8). Sistem budidaya, (9) Sistem bagi hasil, (10) Sewa lahan, dan (11) Tingkat upah yang berlaku 2. Tingkat pabrik gula (PG) meliputi : (1) Pendapat karyawan PG dalam pemberian bobot dari variabel-variabel produktivitas serta informasi dan bobot tentang kekuatan, kelemahan, tekanan dan peluang (SWOT) dari kinerja pabrik gula, (2) Pendapat pakar pergulaan dan pertebuan tentang bobot dari SWOT masing-masing pabrik gula.
Untuk data sekunder diperoleh dari pabrik gula (PG) maupun dari sumbersumber data lainnya seperti dari jurnal Badan Litbang Kementerian Pertanian, P3GI, BPS dan Kementerian. Untuk informasi dari pabrik gula yang dikumpulkan terdiri dari: (1) Perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas tebu sendiri (TS), (2) Kapasitas Produksi, (3) Spesifikasi peralatan pabrik yang digunakan, (4) Sistem Tebang-Muat-Angkut (TMA), (5) Sistem bagi hasil dengan petani, (6) Jadwal giling, (7) Produktivitas Hablur, (8) Rendemen (9) Mutu Produksi, dan (10) Manajemen Operasi sebagainya. Sedangkan data yang diperoleh dari jurnal Badan Litbang Kementerian Pertanian, P3GI, BPS dan Kementerian meliputi : perkembangan produksi, produktivitas, kebijakan pergulaan, impor, harga gula maupun kebijakan terkait sistem bagi hasil antara petani dan pabrik gula. Pengumpulan data primer dilakukan melalui beberapa cara, yaitu: observasi / survey lapangan, wawancara dengan petani, ketua-ketua kelompok tani
43
maupun dengan pihak manajemen pabrik gula / Korporasi serta pendapat pakar dan praktisi pergulaan dan pertebuan nasional.
3.3.2. Prosedur Pengolahan Data
Dalam melakukan pengolahan data, beberapa metoda analisa yang akan digunakan dalam rangka menyusun strategi peningkatan produktivitas industri gula tebu nasional adalah sebagai berikut : 1. Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matris) Untuk menganalis dampak kebijakan terhadap daya saing pabrik gula digunakan metode Policy Analysis Matrix (PAM). Menurut Monke dan Pearson (1989), penggunaan PAM ditujukan untuk mengetahui efisiensi ekonomi dan insentif yang diperoleh dari intervensi pemerintah, serta dampaknya terhadap aktivitas pabrik gula. Dalam model PAM penerimaan, biaya dan keuntungan dibedakan menurut harga pasar (pasar) dan harga sosial. Perbedaan kedua harga tersebut dapat dilihat pada Tabel 6, yang merupakan dampak kebijakan yang ditempuh pemerintah, serta terjadinya distorsi di pasar masukan dan atau keluaran. Harga pasar untuk gula adalah tingkat harga yang akan diterima oleh pabrik gula, berdasarkan harga lelang gula yang dilakukan. Sementara untuk menghitung harga sosial diperoleh dari harga gula impor (franco on board = fob) di pelabuhan terdekat, ditambah biaya pengangkutan (freight) dan asuransi serta bongkar-muat di pelabuhan dan ongkos angkut ke PG. Dengan demikian, harga sosial gula dihitung dengan formula berikut (Monke dan Person, 1989) :
Harga sosial gula =
[(harga fob gula putih + biaya freight dan asuransi) x nilai tukar rupiah] + biaya bongkar-muat di pelabuhan dan ongkos angkut ke Pabrik Gula.
Biaya produksi dibedakan menurut masukan yang dapat dipertukarkan (input tradable) dan input domestik. Untuk masukan yang dapat dipertukarkan (Input tradable) adalah input yang diperdagangkan di pasar internasional,
44
sedangkan input yang tidak diperdagangkan di pasar internasional dimasukkan ke dalam kelompok input domestik. Harga pasar masukan adalah harga yang dibayar pabrik gula untuk musim giling 2008/2009. Sementara itu, harga sosial input adalah harga yang terbentuk dalam suatu kondisi perekonomian yang tidak mengalami distorsi. Untuk harga sosial input tradable digunakan harga di pelabuhan (border price), yaitu harga fob (free on board) untuk input yang diekspor, dan harga cif (cost insurance and freight) untuk input yang diimpor, sedang untuk harga sosial input domestik, seperti bibit, upah dan gaji tenaga kerja, serta sewa tanah, digunakan harga yang berlaku. Pendekatan yang seharusnya digunakan dalam penentuan nilai tukar rupiah untuk menghitung harga sosial output dan input tradable adalah pendekatan moneter (monetary approach). Pendekatan ini mempostulasikan bahwa nilai tukar uang dapat tercipta pada titik keseimbangan antara permintaan dan penawaran dari mata uang nasional di masing-masing negara. Penawaran uang diasumsikan dapat diciptakan secara independen oleh otoritas moneter di negara itu, sedangkan untuk permintaan uang ditentukan oleh tingkat pendapatan riil negara itu, atau tingkat harga umum yang berlaku serta tingkat bunga (Tabel 8).
Tabel 8. Metode Analisis Policy Analysis Matrix (PAM). Biaya Uraian
Penerimaan
Input
Input Non
Tradable
Tradable
Keuntungan
Harga Pasar
A
B
C
D
Harga Sosial
E
F
G
H
Divergensi
I=A–E
J=B–F
K=C–G
L = I – J – K = D–H
Sumber: Monke dan Pearson (1989) Penerapan nilai tukar keseimbangan dengan pendekatan moneter seperti ini sangat sulit dilakukan, khususnya pada saat perekonomian masih berada dalam tahap pemulihan dari krisis ekonomi seperti yang dialami Indonesia sekarang. Untuk mengatasi hal itu, dalam penelitian ini digunakan nilai tukar rupiah yang
45
berlaku dari Kurs Tengah Bank Indonesia (BI) sebesar Rp. 10.000/US dollar. Nilai pada masing-masing sel dalam Tabel PAM di atas untuk pabrik gula dihitung dalam periode satu siklus produksi. Dari data tersebut, selanjutnya dianalisis berbagai indikator dibawah ini (Monke dan Person et al. 1989) :
1. Keuntungan Perusahaan
a.
Keuntungan Pasar (Private Profitability)
Keuntungan pasar merupakan indikator daya saing dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Apabila keuntungan provit lebih besar dari nol, berarti sistem komoditas itu memperoleh keuntungan di atas normal. Hal ini memberikan implikasi bahwa komoditi itu mampu melakukan ekspansi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya komoditi alternatif yang lebih menguntungkan. b.
Keuntungan Sosial (Social Profitability)
Keuntungan sosial merupakan indikator keunggulan komparatif atau efisiensi dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada divergensi dan penerapan kebijakan yang efisien, apabila nilai SP lebih besar dari nol. Sebaliknya, bila nilai SP kurang dari nol, berarti komoditi itu tidak mampu bersaing tanpa bantuan atau intervensi dari pemerintah.
2.
Efisiensi Finansial dan Efisiensi Ekonomi
a.
Rasio Biaya Pasar (Private Cost Ratio)
Rasio
Biaya
Pasar
merupakan
indikator
profitabilitas
pasar
yang
menunjukkan kemampuan sistem untuk membayar biaya domestik dan tetap kompetitif. Sistem bersifat kompetitif jika nilia PCR kurang dari satu. Semakin kecil nilai PCR, berarti pabrik gula tersebut semakin kompetitif.
46
b.
Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resource Cost Ratio)
Rasio Biaya Sumberdaya Domestik
merupakan indikator keunggulan
komparatif yang menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa. Sistem mempunyai keunggulan komparatif, jika niliai DRCR kurang dari satu. Semakin kecil nilai DRCR, berarti pabrik gula tersebut semakin efisien dan keunggulan komparatifnya makin tinggi. 3.
Dampak Kebijakan Pemerintah Untuk mengukur dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing pabrik gula, ada 3 (tiga) alat analisis yang digunakan, yaitu sebagai berkut :
a.
Koefisien Proteksi Nominal Terhadap Keluaran (Nominal Protection Coefficient on Output) Koefisien Proteksi Nominal Terhadap Keluaran (NPCO) merupakan tingkat proteksi pemerintah terhadap output domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap output, jika nilai NPCO lebih besar dari satu. Semakin besar nilai NPCO, berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap keluaran.
b.
Koefisien Proteksi Nominal Terhadap Masukan Yang Dapat Dipertukarkan (Nominal Protection Coefficient on Tradable Input
Koefisien Proteksi Nominal Terhadap Masukan Yang Dapat Dipertukarkan (NPCI) merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga masukan domestik. Jika nilai NPCI lebih besar dari satu, berarti ada kebijakan yang bersifat protektif terhadap input tradable.
c.
Koefisien Proteksi Efektif (Effective Protection Coefficient) Koefisien Proteksi Efektif (EPC) merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi simultan terhadap keluaran dan masukan yang dapat dipertukarkan (output and input tradable). Kebijakan masih bersifat
47
protektif, jika nilai EPC lebih besar dari satu . Semakin besar nilai EPC, berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap komoditas domestik.
2. Analisis Kelembagaan Kata “institusi” sering diterjemahkan sebagai “organisasi”, namun institusi memiliki definisi yang berbeda dalam New Instituional Economics. Menurut Williamson (2000), institusi didefinisikan sebagai aturan formal dan informal beserta mekanisme penegakannya yang membentuk perilaku individu dan organsiasi dalam masyarakat. Menurut Williamson (2000), institusi memiliki 4 (empat) tingkatan yang saling berhubungan secara timbal balik , yaitu sebagai berikut : 1. Tingkatan pertama berhubungan dengan social theory yang merupakan institusi informal yang telah melekat dalam masyarkat luas, seperti tradisi, norma, adat dan sebagainya. 2. Tingkatan yang kedua berhubungan dengan economics of property right atau positive political theory yang merupakan lingkungan institusi yang terdiri dari aturan main (hukum), politik, lembaga hukum dan birokrasi. 3. Tingkatan ketiga adalah transaction cost of economics atau biaya transaksi, dimana tingkatan ini terdiri dari pelaksanaan kontrak, pengaturan dan penegakannya, yang semuanya tidak terlepas dari biaya transaksi. 4. Tingkatan keempat adalah agency theory yang terkait dengan pengaturan sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia.
Menurut Syahyuti (2004), terdapat 4 (empat) dimensi untuk mempelajari suatu kelembagaan, yaitu sebagai berikut : 1. Kondisi
lingkungan
eksternal.
Lingkungan
sosial
dimana
suatu
kelembagaan hidup merupakan faktor pengaruh yang dapat menjadi pendorong dan sekaligus pembatas seberapa jauh suatu kelembagaan dapat
48
beroperasi. Lingkungan yang dimaksud berupa kondisi politik dan pemerintahan
(administrative
sosiokultural
(sociocultural
and
external
environment),
policies
environment),
teknologi
(technologival
environment), kondisi perekonomian (economic environment), berbagai kelompok kepentingan (stakeholders), infrastruktur serta kebijakan terhadap pengelolaan terhadap sumberdaya alam (policy natural resources environment). Seluruh komponen lingkungan tersebut perlu dipelajari dan dapat dianalisa bentuk pengaruhnya terhadap kelembagaan yang dipelajari. Sebagian memiliki pengaruh yang lebih kuat dan langsung, sebagian tidak. 2.
Motivasi kelembagaan (institutional motivation). Kelembagaan dipandang sebagai suatu unit kajian yang memiliki jiwanya sendiri. Terdapat empat yang dapat dipelajari untuk mengetahui motivasi kelembagaan, yaitu sejarah kelembagaan (institutional history), misi yang diembannya, kultur yang menjadi pegangan dalam bersikap dan berprilaku anggotanya, serta pola penghargaan yang dianut (incentive schemes). Suatu fakta sosial adalah fakta historik. Sejarah perjalanan kelembagaan merupakan pintu masuk yang baik untuk mengenali secara cepat aspek-aspek kelembagaan yang lain.
3. Kapasitas kelembagaan (institutional capacity). Pada bagian ini dipelajari bagaimana kemampuan kelembagaan untuk mencapai tujuan-tujuannya sendiri. Kemampuan tersebut diukur dari 5 (lima) aspek, yaitu : strategi kepemimpinan yang dipakai (strategic leadership), perencanaan program (program planning), manajemen dan pelaksanaannya (management and execution), alokasi sumberdaya yang dimiliki (resources allocation) dan hubungan dengan pihak luar, yaitu clients, partners, government policymakers, dan external donors. 4. Kinerja kelembagaan (institutional performance). Terdapat tiga hal pokok yang harus diperhatikan yaitu : (1) keefektifan kelembagaan dalam mencapai tujuannya, (2) efisiensi penggunaan sumberdaya dan (3) keberlanjutan
kelembagaan
berinteraksi
dengan
para
kelompok
kepentingan di luarnya. Kinerja kelembagaan dari perspektif ekonomi merupakan prinsip yang menjadi latar belakangnya. Untuk mengukur
49
efektivitas dan efisiensi misalnya dapat digunakan analisis kuantitatif sederhana, misalnya dengan membuat rasio antara perolehan yang seharusnya dengan yang aktual tercapai atau rasio biaya dengan produktivitas.
Penelitian tentang rekayasa kelembagaan kemitraan antara pabrik gula (PG) dengan petani tebu peserta kemitraan, dilakukan untuk menemukan elemen-elemen kunci dari relasi fungsional yang selama ini terbangun. Adapun elemen-elemen kunci dari rekayasa kelembagaan kemitraan tersebut adalah : (1). Penentuan elemen kunci tujuan; (2). Penentuan elemen kunci kendala; (3). Penentuan elemen kunci perubahan yang diinginkan; (4). Penentuan elemen pengaruh terhadap masyarakat; (5). Penentuan elemen kunci kebutuhan program; dan (6). Penentuan elemen kunci tolok ukur keberhasilan. Untuk menemukan elemen-elemen kunci dari rekayasa kelembagaan kemitraan antara pabrik gula (PG) dengan petani tebu, digunakan metode Interpretive Structural Modeling (ISM). Salah satu teknik permodelan yang dikembangkan untuk merencanakan kebijakan strategis adalah Interpretive Structural Modeling (ISM). Eriyatno (1999) menyatakan bahwa teknik ISM adalah salah satu teknik permodelan sistem yang menangani kebiasaan yang sulit dirubah dalam perencanaan jangka panjang yang sering menerapkan teknik penelitian operasional dan atau aplikasi deskriptif. Menurut Kholil (2008), teknik ISM dapat digunakan untuk melakukan analisis program yang sesuai dengan visi dan misi. Secara garis besar, teknik ISM dibagi menjadi dua bagian , yaitu : klasifikasi elemen dan penyusunan hierarkhi. Teknik ISM ini intinya adalah klasifikasi elemen dan penyusunan hierarkhi. Klasifikasi elemen didasarkan pada Structural Self Matrix (SSM) yang dibuat berdasarkan sistem VAXO, yaitu :
V jika eij = 1 dan eji = 0; A jika eij = 0 dan eji = 1; X jika eij = 1 dan eji = 1; O jika eij = 0 dan eji = 0
50
Nilai 1 berarti ada hubungan kontekstual antara elemen ke i dan elemen ke j, sedangkan eij = 0 berarti tidak ada hubungan kontekstual antara elemen ke i dengan elemen ke j. Kemudian SSM diubah menjadi Reachability Matrix (RM) dengan merubah VAXO menjadi 1 dan 0 dan selanjutnya dilakukan pengujian terhadap aturan transivity sampai terbentuk matriks yang tertutup. Matriks yang telah memenuhi kaidah transivity dilanjutkan pengolahannya untuk mendapatkan matriks reachability untuk memperoleh Driver Power (DP) dan Dependent (D). Tahapan selanjutnya adalah mengelompokkan sub-sub elemen ke dalam empat sektor, yaitu : (1). Weak driver, weak dependent variables (Autonomous), peubah pada sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem atau memiliki hubungannya yang kecil, (2). Weak driver, strong dependent (Dependent), peubah yang masuk kedalam kelompok ini merupakan peubah tidak bebas / terikat, (3) Strong driver, strong dependent variabel (Linkage), perubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati karena interkasinya dapat memberikan dampak dan umpan balik terhadap sistem, dan (4). Strong driver, strong dependent variables (Independent), perubah sektor ini memiliki pengaruh yang kuat dalam sistem dan sangat menentukan keberhasilan program. Secara garis besar pengembangan model ISM meliputi tiga langkah, yaitu : (1). Menentukan elemen penting yang harus dikaji sesuai dengan visi dan misi, (2). Menguraikan elemen-elemen terpilih menjadi sub elemen yang lebih rinci, dan (3). Melakukan pengolahan matriks dan dilanjutkan dengan pengelompokkan sub elemen berdasarkan Driver Power (DP) dan Dependent (D). Alur analisis ISM secara garis besar tersaji pada Gambar 8 berikut :
51
PROGRAM REKAYASA KELEMBAGAAN KEMITRAAN
PERENCANAAN REKAYASA KELEMBAGAAN KEMITRAAN
TRANSFORMASI ELEMEN SISTEM MENJADI SUB ELEMEN
RELASI KONTEKSTUAL ANTAR SUB ELEMEN PADA SETIAP ELEMEN
KONSTRUKSI MATRIKS SSIM UNTUK SETIAP ELEMEN
DESAIN MATRIKS REACHABILITY SETIAP ELEMEN
PENGUJIAN MATRIKS DENGAN KAIDAH TRANSIVITY
TIDAK
OK ?
MODIFIKASI SSIM
YA
STRATIFIKASI LEVEL MELALUI PEMILAHAN
TRANSFORMASI REACHABILITY MATRIX MENJADI FORMAT LOWER TRIANGULAR REACHABILITY MATRIX
PENYUSUNAN DRIVER DAN DRIVER POWER SETIAP SUB ELEMEN
RANKING DAN HIERARKHI DARI SUB ELEMEN
PENYUSUNAN DRIVER POWER DAN DEPENDENT MATRIKS
LEVELITAS MELALUI PEMILAHAN
PLOTTING SUB ELEMEN PADA EMPAT SEKTOR
KLASIFIKASI SUB ELEMEN PADA EMPAT PEUBAH KATEGORI STRUKTUR ISM DARI SETIAP ELEMEN
Gambar 8. Diagram Alir Analisis Kelembagaan Dengan Metode ISM (Diadaptasi Dari Kholil, 2008)
52
3. Analisis Klaster Industri Gula Tebu Nasional
Pada
hekakatnya
klaster
industri
berkembang sesuai
dengan
kematangannya. Secara teoritik, terdapat empat tahapan dalam pengembangan klaster industri, yaitu sebagai berikut (Munir, 2008):
a. Klaster Statis (Sentra)
Sebetulnya klaster statis tersebut belum dapat dikatakan sebagai klaster, tetapi sentra produksi yang pasif. Sentra merupakan kelompok atau kumpulan para produsen suatu produk sejenis di kawasan yang sama. Kerjasama usaha antar pelaku masih terbatas persaudaraan. Sebagian besar produsen tersebut belum mampu menggali peluang pasar, bahkan tidak mampu mengenali siapa target pasar mereka di luar kawasannya, berapa volume permintaannya. Para produsen ini hanya mengetahui pelanggan tertentu atau tengkulak, yang biasanya datang ke masing-masing produsen.
b. Klaster Pemula
Klaster pemula disebut juga klaster aktif. Klaster ini sudah mampu melakukan pengembangan PUD dalam hal teknik produksi, serta sudah mampu mengembangkan pemasaran domestik atau ekspor ke luar daerah. Tapi klaster jenis tersebut masih terkendala dengan masalah kualitas dan kuantitas produk, serta kontinitas permintaan. Pelaku klaster ini mencari pasar biasanya melalui perantaraan jasa pedagang dari luar daerah.
c. Klaster Dinamis
Pada klaster ini pemarasan produk sudah menjangkau ke luar negeri, tidak hanya domestik. Heterogenitas internal merupakan kata kunci kemajuan klaster dinamis. Namun msih ada kendala yang menghambat, yaitu biasanya pelaku usaha yang menjadi pelopor umumnya jauh lebih berkembang pesat
53
dibanding dengan pelaku-pelaku usaha atau anggota lainnya dalam klaster ini. Pada umumnya pelaku usaha pelopor cenderung lebih mudah menjalin hubungan dengan pihak di luar klaster.
d. Klaster Maju (advance)
Hanya sedikit klaster yang sudah masuk dalam kategori ini. Cirinya adalah mereka sudah dapat mengembangkan kerjasamanya dengan berbagai pemangku kepentingan lain yang terlibat dalam perkembangannya, yaitu sektor perbankan atau lembaga keuangan, lembaga pendidikan, penyedia bahan baku, Business Development Service (BDS), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Pemerintah Daerah. Bahkan kelompok ini sudah mampu memanfaatkan kerjasama dengan lembaga riset dan perguruan tinggi dalam pengembangan produk dan inovasi untuk meningkatkan daya saingnya. Klaster kelompok ini mampu memperluas keunggulan geografisnya dengan semakin menyebar dan membuat kerja sama dengan daerah sekitarnya.
Kata kunci keberhasilan kelompok ini adalah derajat spesialisasi antar-pelaku usaha yang tinggi, diimbangi tingkat kerjasama atau kemitraan di antara mereka. Selain itu mereka secara kelompok sudah mampu menjalin kerjasama dengan berbagai pihak penunjangnya. Namun sebenarnya tingkat pencapaian tertinggi dari klaster jenis ini adalah apabila sudah mampu membentuk sinergitas antar daerah dan saling melengkapi (komplementer). Kerjasama ini diperluas menjadi antar daerah antar sektor, misalnya klaster-klaster produksi kerajinan tertentu, akan bisa dirangkai menjadi klaster besar kepariwisataan, dalam wujud daerah tujuan wisata, sehingga berbagai klaster produksi lainnya, baik industri kerajinan atau klaster produk pertanian. Sehingga secara keseluruhan membentuk sinergi daya saing daerah yang kokoh dan kuat. Penjelasan tentang tahapan perkembangan klaster (umum), mulai dari sentra sebagai tahap awal sampai dengan klaster maju dapat dilihat pada Gambar 9 dibawah ini :
54
Mengandalkan Inovasi dan Manajemen Mutu
Variasi kegiatan, usaha besar menjadi “lokomotif”
Pemasaran via perantara
Targeting, Positioning pasar, standar manajemen mutu
KLASTER DINAMIS
KLASTER PEMULA
SENTRA
KLASTER MAJU
Sinergitas antar industri, antar daerah
Sinergi intern klaster, dominasi yang besar
Mulai Kerjasama Antar kegiatan
Mengandalkan SDA dan SDM Tradisional Tergantung Pada Pemerintah Daerah
Mengandalkan Kemitraan
Gambar 9. Skema Tahapan Pengembangan Klaster (Diadaptasi dari Munir Dalam Kementerian Dalam Negeri, 2008)
Kendati klaster dipahami banyak pihak sebagai pengelompokkan dari unitunit usaha sejenis, namun pada hakekatnya klaster yang banyak dikembangkan dalam praktek keseharian adalah klaster industri. Berdasarkan pohon industri yang telah dikembangkan oleh Kementerian Perindustrian, klaster industri akan diarahkan pada pengembangan industri hilir agar nilai tambah diperoleh dan memiliki dampak pengganda yang besar bagi ekonomi daerah dan masyarakat. Selain itu, pengembangan klaster industri dapat berdampak pada peningkatan daya saing industri tersebut. Menurut Nugroho (2010), klaster perlu terus dievaluasi untuk dapat menelaah perkembangannya agar bermuara pada pembentukan klaster maju (advance cluster). Pada Gambar 10 berikut diperlihatkan tahapan pengembangan klaster industri :
55
PENGGALIAN / PENENTUAN SDM, SUMBER DANA DAN SD LAIN AKTIVITAS AWAL INISIATIF/ PRAKARSA PENGEMBANGAN
PENYUSUNAN STRATEGI & AGENDA PENGEMBANGAN
EKSPLORASI / ANALISIS
PEMBELAJARAN & KEPEMIMPINAN
PERUMUSAN STRATEGI & IMPLIKASI KEBIJAKAN
PENGELOLAAN TUGAS, SDM & HUBUNGAN
IMPLEMENTASI MOBILISASI SUMBERDAYA & PELAKSANAAN AKTIVITAS
INISIASI
EKSPLORASI ANALISIS
KELEMBAGAAN KOLABORASI DAN STRUKTUR OPERASIONAL
KONSENSUS RENCANA
PENGELOLAAN SINERGI
PENGELOLAAN KEBERTERIMAAN, KOMITMEN & SINERGI POSITIF
PENCAPAIAN MILESTONES PENGAMANAN KESEPAKATAN / PERSETUJUAN
PERENCANAAN AKSI EKSPLORASI / ANALISIS
PENGELOLAAN KETERLIBATAN & KOMUNIKASI
PENINGKATAN KAPASITAS
PEMANTAUAN, EVALUASI DAN PERBAIKAN
Gambar.10 Kerangka Tahapan Pengembangan Klaster Industri (Nugroho, 2010)
4. Analisis SWOT – AHP Analisis SWOT adalah indentifikasi berbagai faktor secara sistematika untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan perusahaan. Dengan demikian perencana strategi (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis perusahaan (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini.
56
a. Matrik SWOT Analisis SWOT adalah indentifikasi berbagai faktor secara sistematika untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan perusahaan. Dengan demikian perencana strategi (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis perusahaan (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hal ini disebut dengan Analisis Situasi. Model yang paling populer untuk analisis situasi adalah Analisa SWOT. Matrik ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matriks ini dapat menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategis . Menurut Rangkuti (1997), diagram tersebut dapat mengidentifikasi sembilan sel strategi
perusahaan,
tetapi
pada
prinsipnya
kesembilan
sel
itu
dapat
dikelompokkan menjadi tiga strategi utama, yaitu : Growth Strategy yang merupakan pertumbuhan perusahaan itu sendiri (sel 1, 2, dan 5) atau upaya diversifikasi (sel 7 dan 8). Stability Startegy adalah strategi yang diterapkan tanpa mengubah arah strategi yang telah ditetapkan. Retrenchment Strategy (sel 3, 6, dan 9) adalah usaha memperkecil atau mengurangi usaha yang dilakukan perusahaan. b. Analitycal Hierarchy Process (AHP) Metode AHP merupakan salah satu metoda yang dapat digunakan oleh pengambil keputusan untuk bisa memahami kondisi suatu sistem dan membantu dalam melakukan prediksi dan pengambilan keputusan. Prinsip kerja AHP adalah
57
penyederhanaan suatu persoalan yang tidak terstruktur, strategik dan dinamik menjadi bagian-bagiannya serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subyektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan variabel lainnya. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin, 2004). Prinsip kerja AHP adalah sebagai berikut: a. Dekomposisi Memecahkan persoalan yang utuh menjadi unsur-unsurnya, yaitu kriteria dan alternatif. Jika ingin mendapatkan hasil yang lebih akurat, pemecahan juga dilakukan terhadap unsur-unsurnya sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut sehingga didapatkan tingkatan dari persoalan tadi (membentuk struktur hirarki).
b. Pertimbangan Komparatif
Prinsip ini membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat diatasnya. Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan (pairwise comparison).
Menurut Saaty, untuk berbagai
persoalan, skala 1 – 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat dilihat pada Tabel 7. Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. Baik kriteria kualitatif maupun kriteria kuantitatif dapat dibandingkan sesuai dengan judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas.
c. Sintesa Prioritas
Dari setiap matriks pairwise comparison kemudian dicari vektor prioritasnya (eigen vector) untuk mendapatkan local priority.
Karena matriks-matriks
58
pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesis di antara local priority.
d. Konsistensi Legal Konsistensi logis menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria logis. Indikator konsistensi dalam AHP diukur melalui Consistency Index (CI). AHP mengukur seluruh konsistensi penilaian menggunakan Consistency Ratio (CR) yang merupakan perbandingan antara CI dengan Random Inconsistency Index (RI). Jika nilai CR adalah kurang dari 0,1 (CR < 0,1), dikatakan bahwa elemen-elemen telah dikelompokkan secara konsisten.
Persoalan pengambilan keputusan dengan AHP dapat diselesaikan secara matematis untuk menyusun prioritas elemen keputusan setiap tingkat hirarki keputusan.
Tahapan metode AHP dengan pengolahan secara horizontal
ditunjukkan pada persamaan (1) sampai persamaan (7).
1. Perkalian baris (Z) n
Zi
n j 1
aij
2. Perkalian vektor prioritas atau vektor eigen n n
eVP1
j 1 n i 1
a ij n j 1
eVPi adalah elemen vektor prioritas ke-i.
3. Perhitungan nilai eigen maksimum (λmax) VA = aij x VP dengan VA = (Vai) VB = VA/VP dengan VB = (Vbi)
59
m ax
1 n
n
aij i 1
VA = VB = Vektor antara Vbi untuk i = 1, 2, ..., n 4. Perhitungan nilai indeks konsistensi (CI) Pengukuran ini dimaksudkan untuk mengetahui konsistensi jawaban yang akan berpengaruh kepada kesahihan hasil.
CI ditentukan berdasarkan
persamaan (6). m ax
CI
n
n 1
Untuk mengetahui apakah CI dengan besaran tertentu cukup baik atau tidak, perlu diketahui rasio yang dianggap baik, yaitu apabila CR ≤ 0.1. CR ditentukan berdasarkan persamaan (7). CI . RI
CR
Nilai RI merupakan nilai random indeks yang dikeluarkan oleh Oarkridge Laboratory yang disajikan pada Tabel 8 sebagai berikut: Tabel 9. Random Inconsistency (RI) N
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
RI 0.00 0.00 0.58 0.90 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49 1.51 1.48 1.56 dimana Zi eVPi
: vektor eigen baris ke-i : elemen vektor prioritas ke-i.
aij : elemen untuk baris ke-i lalu ke-j n : jumlah elemen VPi : vektor prioritas baris ke-i VAi : vektor antar baris ke-i λmax : nilai eigen maksimum CI : consistency index CR : consistency ratio RI : random consistency index Marimin (2004)
60
Penggunaan analisis SWOT untuk membedah lingkungan internal dan eksternal seringkali masih mengabaikan bobot dari masing-masing faktor dalam kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan. Untuk itulah, salah satu upaya yang perlu dilakukan dalam dalam mengatasi kelemahan dalam metode SWOT perlu di kombinasikan dengan metode AHP. Pada Gambar 11 diperlihatkan tahapan analisis dengan menggunakan metode kombinasi SWOT-AHP :
KELUARAN
KEGIATAN
TAHAPAN
TAHAP 1
TAHAP 2
ANALISIS SITUASIONAL (SWOT)
STRUKTUR HIERARKHIAL
Penentuan Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman
Strukturisasi Hierarkhial dari perbandingan berpasangan untuk faktor-faktor pada SWOT
Matriks SWOT
Struktur Hierarkhial
TAHAP 3
TAHAP 4
PERBANDINGAN BERPASANGAN (AHP)
MATRIKS SWOT & PENGEMBANGAN STRATEGI
1) Perbandingan berpasangan untuk setiap faktor SWOT 2) Prioritasisasi untuk kelompok SWOT berdasarkan skala urutan 3) Perhitungan prioritas keseluruhan dari faktorfaktor SWOT
1) Faktor-faktor yang telah diprioritaskan diletakkan pada matriks SWOT 2) Temukan strategi berdasarkan kombinasinya (SO, ST, WO, WT) 3) Hilangkan strategistrategi yang bersifat pengulangan / identik
Prioritas Keseluruhan dan Parsial dari faktorfaktor SWOT
Urutan ranking dari straetgi yang terpilih untuk dioperasionalkan
Gambar.11 Metode Analisis Hibrida SWOT – AHP (Diadaptasi dari Wickramasinghe, 2009)
TAHAP 5
MATRIKS EVALUASI STRATEGI
1) Hubungkan alternatif strategi yang telah diperoleh dengan faktorfaktor SWOT dengan skala urutan 2)Susun rangking strategi
1) Susun program taktis berdasarkan prioritas strategi 2) Validasi Metodologi
61
4. Metode Objective Matrix (OMAX)
Objective matrix (OMAX) adalah suatu metode penilaian terhadap kinerja perusahaan yang dikembangkan oleh James L. Riggs (1988), dimana penilaian dilakukan terhadap kriteria yang berhubungan dengan kinerja perusahaan tersebut. Konsep dari penilaian ini yaitu penggabungan beberapa kriteria kinerja kelompok kerja ke dalam sebuah matrik. Setiap kriteria kinerja memiliki sasaran berupa jalur khusus
untuk
perbaikan
serta
memiliki
bobot
sesuai
dengan
tingkat
kepentingannya terhadap tujuan organisasi (Kurniawan, 2005) Struktur dasar dari penyusunan
OMAX dipengaruhi oleh beberapa
tahapan sebagai berikut (Riggs, 1987): a. Pendefinisian (defining) Pada bagian atas matriks terdapat kriteria produktivitas yang merupakan perbandingan yang menyatakan definisi untuk kerja produktif suatu unit kerja. Kriteria-kriteria tersebut harus tidak saling tergantung satu sama lainnya dan merupakan faktor yang dapat diukur. Ukuran-ukuran mengenai volume dan waktu harus benar-benar mempertimbangkan kriteria produktivitas sebagai sesuatu yang akan dikembangkan. b.Pengukuran (Quantifying) Badan matriks menunjukkan tingkat pencapaian untuk kriteria produktivitas. Tingkatan tersebut ditunjukkan dengan 10 skala. Nilai 3 menunjukkan tingkat dimana matriks pengukuran dimulai. Kurang dari hasil minimum yang dapat diterima dianggap nol. Tujuan-tujuan nyata untuk periode evaluasi dinyatakan dalam 10 tingkatan. Hasil pengukuran bagian-bagian dari unit kerja yang dikembangkan harus disertakan dalam masukan yang dicatat pada baris nilai 0, 3 dan 10. c. Pencatatan (Monitoring) Dasar dari matriks adalah perhitungan dari performance indicators, yang hasil perhitungan tersebut diletakkan di bagian bawah matriks.
62
Tingkat operasi yang berlangsung dimasukkan kedalam baris unjuk kerja diatas badan matriks dan diubah ke dalam nilai pada bagian bawah badan matriks. Angka pada baris bobot (weight) menunjukkan hubungan dari setiap kriteria produktivitas. Skor yang diperoleh dikalikan dengan bobot dan dimasukkan ke dalam baris nilai (value). Jumlah dari nilai ini adalah performance indicators untuk periode tertentu. Langkah-langkah yang digariskan dalam pengukuran produktivitas dengan menggunakan metode OMAX yang diadaptasi dari Nurdin dan Zabidi (2005) sebagai berikut: 1. Menetapkan kriteria-kriteria produktivitas integrasi pabrik gula dan usahatani tebu 2. Perhitungan rasio-rasio produktivitas integrasi pabrik gula dan usahatani tebu 3. Pengukuran kinerja pabrik gula dan usahatani standar 4. Penetapan sasaran akhir pabrik gula dan usahatani sebagai tujuan yang diharapkan 5. Penetapan bobot rasio dari masing-masing rasio produktivitas pabrik gula dan usahatani 6. Pembentukan matriks sasaran untuk mewadahi nilai rasio dan nilai sasaran 7. Penentuan nilai aktual dari rasio-rasio produktivitas pabrik gula dan usahatani 8. Penentuan skor aktual dari rasio-rasio produktivitas pabrik gula dan usahatani 9. Penentuan nilai produktivitas tiap rasio-rasio produktivitas pabrik gula dan usahatani 10. Penentuan produktivitas secara keseluruhan (indeks produktivitas) dari masing-masing pabrik gula dan usahatani yang terintegrasi.
63
IV. GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
4.1. Pabrik Gula Kebon Agung (Kabupaten Malang) Pabrik Gula Kebon Agung mulai didirikan pada tahun 1905 di Malang oleh seorang pengusaha bernama Tan Tjwan Bie. Kapasitas giling pada waktu adalah 500 TCD. Sekitar tahun 1917 pengelolaan PG Kebon Agung diserahkan kepada NV. Handel & Landbouws Maatschapij Tideman van Kerchem sebagai Direksinya, kemudian dibentuk perusahaan dengan nama NV. Suiker Fabriek Kebon Agoeng yang disebut PT PG Kebon Agung dan disahkan dengan akte Notaris Hendrik Willem Hazenberg pada tanggal 20 Maret 1918 dengan No. 155, dan disahkan dengan Surat Keputusan Sekretaris Gubernur Hindia Belanda tanggal 30 Mei 1918 No. 42, didaftar dalam register Kantor Pengadilan Negeri, Surabaya dengan No. 143. Pada tahun 1932 seluruh saham PT PG Kebon Agung tergadaikan kepada de Javasche Bank Malang dan pada tahun 1936 PT PG Kebon Agung dimiliki oleh de Javasche Bank. Dalam RUPS Perseroan tahun 1954 ditetapkan bahwa Pemegang Saham PT PG Kebon Agung adalah Spaarfonds voer Beamten van de Bank Indonesia (yang kemudian bernama Yayasan Dana Tabungan Pegawai Bank Indonesia) dan Bank Indonesia (atas nama Yayasan Dana Pensiun dan Tunjangan Hari Tua Bank Indonesia). Pada tahun 1957 PT PG Kebon Agung dikelola oleh Badan Pimpinan Umum Perusahaan Perkebunan Gula atau BPU-PPN Gula dan tahun 1962 perseroan ini membeli seluruh saham NV Cultuur Matschapij Trangkil di Pati yang didirikan tahun 1835 (semula dimiliki oleh Ny. A de Donariere EMSDA Janiers van Hamrut) dengan kapasitas giling 300 TCD. Pada saat itu pula Pemegang Saham bergabung menjadi satu badan hukum sendiri bernama Yayasan Dana Pensiun dan Tunjangan Hari Tua Bank Indonesia (YDP THT BI) sebagai Pemegang Saham tunggal.
64
Setelah BPU-PPN Gula dilikuidasi pada tahun 1967, PT PG Kebon Agung dikembalikan kepada YDP THT BI, dan pada tanggal 17 Juli 1968 Direksi Bank Indonesia Unit I (sekarang bernama Bank Indonesia) yang merupakan Pemegang Saham tunggal PT PG Kebon Agung menunjuk PT Biro Usaha Manajemen Tri Gunabina atau PT Tri Gunabina sebagi pengelola PG Kebon Agung di Malang dan PG Trangkil di Pati. Masa pengoperasian PT PG Kebon Agung yang berakhir pada tanggal 20 Maret 1993, diperpanjang hingga 75 tahun mendatang dengan Akte Notaris Achmad Bajumi, S.H. dengan No. 120 tanggal 27 Februari 1993, disahkan dengan Keputusan Menteri Kehakiman RI tanggal 18 Maret 1993 No. C2-1717 HT.01.04.Th.93, didaftar dalam register Kantor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 1099/1993 dan telah diumumkan dalam Berita Negara RI No. 2607 tanggal 8 Juni 1993, Tambahan Berita Negara RI No.46 tanggal 8 Juni 1993. Dengan didirikannya Yayasan Kesejahteraan Karyawan Bank Indonesia (YKKBI) oleh Direksi Bank Indonesia pada tanggal 25 Februari 1992 yang diresmikan dengan akte Notaris Abdul Latif dengan No. 29 tanggal 23 Februari 1992 dan adanya kebijakan dari Departemen Kehakiman yang mengatur bahwa Direksi suatu Perseroan tidak boleh berupa badan hukum tetapi harus orang perseorangan, maka dalam RUPS-LB tanggal 22 Maret 1993 diputuskan bahwa YKK-BI menjadi Pemegang Saham tunggal PT Kebon Agung. Dan pada tanggal 1 April 1993 bertempat di Kantor Bank Indonesia Cabang Surabaya dilakukan serah terima pengurusan dan pengelolaan PT Kebon Agung dari Direksi PT Tri Gunabina kepada Sukanto (alm.) selaku Direktur PT Kebon Agung. Perubahan Anggaran Dasar terakhir dibuat berdasarkan akte Notaris Hartati Marsono, SH No. 58 tanggal 22 Juli 1996 Jo akte No. 32 tanggal 31 Januari 1997 dan akte No. 8 tanggal 15 Juli 1997, yang telah disetujui oleh Menteri Kehakiman RI dengan Surat Keputusan No.C2.11161 MT 01.04.Th.97 tanggal 28 Oktober 1997 dan telah diumumkan dalam Berita Negara RI No. 743/1998 tanggal 3 Februari 1998, Tambahan Berita Negara RI No. 10 Tanggal 3 Februari 1998.
65
Berdasarkan Undang-Undang No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, maka dalam RUPS-LB tanggal 26 Juli 1996 diputuskan bahwa Pemegang Saham PT Kebon Agung terdiri dari YKK-BI dengan pemilikian saham sebanyak 2.490 lembar atau sebesar 99,6 % dan Koperasi Karyawan PT Kebon Agung “Rosan Agung” dengan pemilikan saham sebanyak 10 lembar atau sebesar 0,4 %. PG Kebon Agung berdiri tahun 1905, sejak didirikan dengan kapasitas giling terpasang 1.500 TCD. Tahun 1937 kapasitas giling dinaikkan menjadi 1.800 TCD. Pada tahun 1976 sampai dengan tahun1978 diadakan rehabilitasi, perluasan dan modernisasi (RPM) kapasitas giling menjadi 3.000 TCD, tahun 1998 sampai dengan 2001 dilakukan Program Penyehatan sehingga kapasitas giling menjadi 4.700 TCD. Dari tahun 2001 hingga 2004 dilakukan perbaikan dan penggantian mesin untuk meningkatkan kemantapan kinerja dan efisiensi pabrik dengan sasaran kapasitas giling 5.000 TCD. Sejak tahun 2005 PG Kebon Agung melakukan Program Pengembangan PT Kebon Agung dengan sasaran kapasitas giling 5.750 TCD. Pabrik gula Kebon Agung terletak 110 km dari Ibukota Propinsi Jawa Timur (Surabaya) atau 5 km dari Kota Malang dan berada ketinggian diatas permukaan laut 500 – 700 m. Adapun jenis tanah yang berada disekitar PG Kebon Agung adalah aluvial, litosol, andosol dan mediterian. Sekitar 90 persen kebutuhan pabrik gula Kebon Agung dipasok oleh tebu yang berasal dari tebu rakya (TR). Pada Tabel 9 berikut digambarkan tentang luas areal (panen) tanaman tebu rakyat, produksi dan produktivitas tanaman.
66
Tabel 10. Luas Areal, Produksi Tebu dan Produktivitas Tanaman Tebu Rakyat
Tahun
Luas Areal Panen (Ha)
Produksi Tebu (Ton)
Produktivitas (Ton/Ha)
2005 2006 2007 2008 2009
11.521,86 13.747,66 14.643,60 16.103,09 17.757,32
10.821.057 11.339.396 12.862.915 13.141.488 12.551.462
93,92 82,48 87,84 81,61 70,68
Sumber : PG kebon Agung (2010) Dari Tabel diatas tampak bahwa luas areal tebu rakyat dari tahun ke tahun terus mengalami perkembangan. Hal ini mengindikasikan bahwa tanaman tebu memiliki prospek usaha yang baik dan menguntungkan petani. Jika dilihat dari tingkat produksi tebu rakyat yang dihasilkan, ada kecenderungan meningkat, namun dilihat dari produktivitasnya terjadi kecenderungan yang semakin menurun. Menurut informasi dari Dinas Pertanian Kabupaten Malang, kecenderungan penurunan tersebut lebih disebabkan karena faktor cuaca, dimana curah hujan relatif tinggi dan terjadinya anomali cuaca sehingga kandungan rendemen dalam tebu lebih sedikit. Upaya peningkatan produktivitas tanaman tebu dengan kualitas baik di PG kebon Agung Malang antara lain dilakukan dengan upaya-upaya sebagai berikut (PPKA Kebon Agung Tahap I Tahun 2005 sampai 2007) : Perluasan areal tanaman tebu baru di daerah-daerah perluasan, dengan sasaran seluas 1.100 hektar Mendorong terus dilaksanakannya bongkar ratoon (ratoon cane) bagi tanaman-tanaman yang telah di kepras berulang kali dan mengganti dengan bibit dan varietas unggul baru, yang memiliki potensi rendemen lebih tinggi. Selain itu juga dilakukan rawat ratoon dengan cara “pedot oyot” (pemutusan akar) bagi tanaman baru dikepras.
67
Peningkatan produktivitas lahan untuk tanaman tebu rakyat (TR) sebenarnya telah di programkan oleh PG Kebon Agung dengan menganjurkan petani untuk menanam tebu dengan varietas-varietas yang sesuai dengan kondisi agroklimat. Pada Tabel 11 dibawah diperlihatkan jenis-jenis varietas tebu yang banyak ditanam oleh petani binaan PG Kebon Agung
Tabel 11. Varietas Tebu Di Wilayah Pabrik Gula Kebon Agung (Umur 12 Bulan)
No 1 2 3 4 5 6 7
Varietas SS 57 PSBM 88 - 113 PSBM 88 - 45 PSBM 88 - 144 PSJT 941 PSCO 902 BL
Jumlah Batang
Diameter (Cm)
Tinggi (Cm)
Rendemen (%)
92 100 100 85 100 100 120
5 3 2,5 2,8 2,7 2,6 3,1
298 298 295 300 306 300 300
8,04 7,13 8,02 8,01 8 8,14 7,54
Sumber : PG Kebon Agung (2010) Dari ketujuh jenis varietas tanaman tebu tersebut, diperoleh informasi bahwa petani lebih menyukai (48,06 %) jenis varietas BL (Bululawang). Selain tingginya mampu mencapai rata-rata 3 meter dengan diameter rata-rata 3,1 cm, jenis varietas ini memiliki bobot /berat yang lebih besar ketimbang jenis varietas lainnya. Padahal kandungan rendemen jenis varietas BL tidak lebih baik ketimbang jenis varietas tebu lainnya. Pilihan jenis varietas tebu jenis BL ini diduga terkait dengan jenis kemasakan tebu (masak akhir) dan sistem bagi hasil yang ada. Untuk menggantikan secara bertahap varietas lama dengan varietas unggul baru yang mengarah pada komposisi varietas yang ideal, PG Kebon Agung melakukan upaya-upaya sebagai berikut : Menyediakan jasa pengolahan lahan dengan sarana traktor untuk pembukaan lahan di wilayah perluasan maupun bongkar ratoon.
68
Meningkatkan budidaya tanaman tebu terutama dilahan sawah dan mengembangkan kembali kultur teknis reynoso yang baku pada tanaman tebu sendiri (TS). Menggalakkan penggunaan pupuk majemuk yang dikaitkan dengan penyaluran fasilitas kredit KKP-E
Dengan upaya-upaya tersebut maka diharapkan produktivitas tanaman tebu dapat meningkat, juga ketersediaan tebu dapat terjamin dan terus meningkat. Upaya pembinaan yang dilakukan oleh PG Kebon Agung kepada petani binaan dalam memasok mutu tebu menunjukkan kecenderungan yang baik. Pada Tabel 12 berikut diperlihatkan kecenderungan yang terus menurun jenis kotoran (trash) yang terbawa pada tebu petani yang akan masuk dalam proses produksi PG Kebon Agung.
Tabel 12. Perkembangan Kotoran (Trash) Di PG Kebon Agung Jenis Kotoran Tali Pucuk Daduk Akar Sogolan Pucuk Tebu Tanah Lain-Lain Jumlah Non MBS Jumlah MBS
2005 (%)
2006 (%)
2007 (%)
2008 (%)
2009 (%)
2,15 15,49 0,26 0,44 0,9 0,007 0,685 19,93 80,07
1,5 10,65 0,28 0,17 1,98 0,001 0,421 15,003 84,007
1,5 10 0,1 0,1 1,5 13,3 86,8
1 6,1 6,1 0,1 0,1 0,5 8 92
0,8 5 0,1 0,1 0,1 0,5 6,7 93,3
Sumber : PG Kebon Agung (2010) Dari Tabel 12 diatas tampak bahwa prosentase tebu non MBS (Manis, Bersih dan Segar) dari tahun 2005 sebesar 19,93 % menurun menjadi 6,7 % pada tahun 2009. Penurunan kadar kotoran (trash) ini penting, mengingat berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kent et.al (1999) dalam Martoyo (2000), di beberapa pabrik gula di Australia ditemukan bahwa kotoran tebu akan
69
menyebabkan kapasitas giling turun 8 % dan rendeman turun 6,8 % untuk setiap 5 % kadar kotoran yang ada. Perkembangan produksi gula PG Kebon Agung (GKP 1) dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pada tabel 13 berikut digambarkan perkembangan produks gula dan tingkat produktivitasnya. Tabel 13. Perkembangan Produksi dan Produktivitas Gula PG Kebon Agung
Tahun
Jumlah Hari Giling
2005 2006 2007 2008 2009
235,1 213,7 325,7 215 196,5
Jumlah Tebu Yang Digiling Produksi Gula (Ku) Produksi Tetes (ku) (Ku) 10962293 11339396 12862915 13141488 12551482
777.333 840.862 895.100 1.039.748 933.658
489316 563764 599191 635147 552165
Produktivitas Hablur (Ku/Ku) 0,0709 0,0742 0,0696 0,0791 0,0744
Sumber : PG Kebon Agung (2010) Pada tahun 2005, produksi gula PG Kebon Agung sebesar 77.333 kuintal dengan tingkat produktivitas 0,0709. Pada tahun 2009 mengalami peningkatan menjadi 933.658 kuintal dengan tingkat roduktivitas sebesar 0,0744. Kendati dari sudut produksi mengalami peningkatan namun dari sisi produktivitas gula kecenderungannya tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Masih relatif lemahnya peningkatan produktivitas gula yang dihasilkan oleh PG Kebon Agung tampaknya terkait dengan jenis mesin yang digunakan relatif tua dan perlu diganti dengan mesin-mesin produksi yang baru. Pada Tabel 14 berikut diperlihatkan tingkat efisiensi yang terjadi dalam proses produksi :
70
Tabel 14. Perkembangan Tingkat Efisiensi Pabrik Gula Kebon Agung
Tahun
Mill Extraction (ME)
Boiler House Recovery (BHR)
Overall Recover (OR)
2005 2006 2007 2008 2009
0,93 0,93 0,93 0,94 0,93
81,58 80,91 79,23 81,37 81,31
75,72 75,18 73,65 76,09 75,32
Sumber : PG Kebon Agung (2010) Dari Tabel 14 diatas tampak bahwa sudut pandang efisiensi penggilingan nilai rata-rata ME PG Kebon Agung adalah 93. Berdasarkan ketentuan umum tentang norma standar efisiensi, maka nilai tersebut masih dibawah norma standar sebesar 95. Hal ini menggambarkan bahwa tingkat efisiensi pengilingan tebu di PG Kebon Agung masih perlu ditingkatkan. Kemudian dari sisi efisiensi pengolahan, nilai BHR dari PG Kebon Agung rata-rata sebesar 81, sementara norma standar efisiensi BHR adalah 90. Dengan demikian tergambar bahwa tingkat efisiensi BHR di PG Kebon Agung juga masih perlu ditingkatkan. 4.2. Pabrik Gula Pesantren Baru (Kabupaten Kediri) Pabrik gula Pesantren Baru adalah salah satu pabrik gula diantara 11 (sebelas) pabrik gula di lingkungan
PTPN X. Pabrik PG Pesantren Lama
didirikan tahun 1849 dan dikelola oleh Nationale Industrie En Lanbouw Maatschappij (NILM) dengan kapasitas giling 15.000 kuintal per hari dan dihentikan operasinya tahun 1978 (ditutup). Pabrik gula Pesantren Baru dibangun pada tahun 1976 dan diresmikan pada tanggal 19 Juli 1978 oleh Menteri Pertanian RI dengan kapasitas giling 40.000 kuintal / hari. Setelah diadakannya rehabilitasi pada tahun 1994 kapasitas giling menjadi 52.500 kuintal / harinya. Adapun wilayah kerja PG Pesantren Baru meliputi kecamatan Kota, Pesantren, Wates, Plemahan, Pagu, Pare, Gampengrejo, Kepung, Gurah, Puncu, Plosoklaten, Kandangan dan Kasembon. Sebagian besar kebutuhan bahan baku untuk memprosduksi gula di PG Pesantren dipenuhi dari tebu rakyat (TR). Pada
71
Tabel 15 berikut diperlihatkan tentang luas areal, produksi dan produktivitas lahan, baik untuk TR maupun TS. Tabel 15. Perkembangan Luas Areal, Produksi dn Produktivitas Tanaman Tebu
Tahun 2005 2006 2007 2008 2009
Luas Areal (Ha) TS
Produksi Tebu (Ton) TR
1.271,20 1.058,30 1.326,40 1.024 1.034
TS 8.732,30 9.193,60 9.330,80 9.583,60 9.500
1.188.057 915.465 1.215.780 779.967,90 83.926
Produktivitas (Ton/Ha) TR
TS
7.825.601 8.194.340 8.855.982 841.598,70 691.568
TR 93,46 86,50 91,66 76,17 81,17
89,62 89,13 94,91 87,82 72,80
Keterangan : TS = Tebu Sendiri (Milik PG) TR = Tebu Rakyat Sumber : PG Pesantren Baru (2010)
Dari Tabel 15 diatas tampak bahwa jika dirata-rata selama kurun waktu 2005 sampai 2009, luas areal panen tebu sendiri (TS) sebesar 1.142,78 hektar dan tebu rakyat (TR) sebesar 9.268, 06 hektar. Jenis lahan yang digunakan oleh petani tebu di sekitar lokasi PG Pesantren Baru adalah lahan basah (sawah dan tegalan). Pada jenis lahan basah, tingkat produktivitasnya relatif tinggi ketimbang jenis lahan kering. Hal ini dapat dilihat pada rata-rata tingkat produktivitas lahan, baik untuk jenis tebu sendiri (TS) dan tebu rakyat (TR) masing-masing sebesar 85,79 ton / hektar untuk TS dan 86,79 untuk TR. Bahkan menurut informasi dari petani tebu, ada beberapa lahan yang tingkat produktivitas lahannya mampu mencapai lebih dari 100 ton / hektar khususnya pada jenis lahan sawah. Perhatian kepada tanaman tebu rakyat (TR) sudah sepatutnya diberikan oleh PG Pesantren Baru, mengingat pasokan tebu dari TR merupakan jumlah terbesar untuk bahan baku pembuatan gula di pabrik ini. Pada Tabel 16 berikut diperlihatkan tentang klasifikasi mutu dari jenis tanaman tebu rakyat (TR).
72
Tabel 16. Perkembangan Produksi Tebu Rakyat Berdasarkan Klasifikasi Mutu
Tahun 2005 2006 2007 2008 2009
Tebu MBS (Ton)
Tebu Non MBS (Ton)
653.569,40 721.764,50 833.676,80 772.659,60 698.373,20
236.827 183.842 111.801,10 84.149,80 84.549,20
Tebu Terbakar (Ton) 10.965,40 5.373,10 11.539,10 890,2 3.999
Keterangan : MBS = Manis, Bersih dan Segar Sumber : PG Pesantren Baru (2010) Seperti diperlihatkan pada Tabel 16 diatas tampak bahwa mutu tebu rakyat yang berkategori manis, bersih dan segar (MBS) rata-rata sebesar 84 persen, sedangkan sisanya (16 persen) adalah jenis tebu non MBS dan tebu terbakar yang turut dipasok oleh petani tebu. Jenis tebu non MBS dan terbakar umumnya karena mengandung kotoran (trash). Di bidang produksi, PG Pesantren Baru telah melakukan perencanaan guna menyusun langkah-langkah agar rencana yang diharapkan (RKO) mendekati realisasinya. Pada Tabel 17 berikut digambarkan tentang perbandingan rencana kerja operasional (RKO) dengan realisasinya.
73
Tabel 17. Kinerja Produksi Gula Pesantren Baru Tahun 2009 Keterangan Luas Areal (Hektar) 1.1. Tebu Sendiri (TS) 1.2. Tebu Rakyat (TR) Produksi Tebu (Ton) 2.1. Tebu Sendiri (TS) 2.2. Tebu Rakyat (TR) Produktivitas Lahan (Ton/Ha) 3.1. Tebu Sendiri (TS) 3.2. Tebu Rakyat (TR) Rendemen (%) 4.1. Tebu Sendiri (TS) 4.2. Tebu Rakyat (TR) Produksi Hablur (Ton) 5.1. Tebu Sendiri (TS) 5.2. Tebu Rakyat (TR) Produktivitas Hablur (Ton Hablur / Ha) 6.1. Tebu Sendiri (TS) 6.2. Tebu Rakyat (TR)
Rencana (RKO) 11.162,70 1.026,70 10.136 960.000 87.500 872.500 86 85,22 86,08 8,5 9,6 8,39 81.600 8.400 73.203 7,31 8,18 7,22
Realisasi 10.534 1.034 9.500 775.494 83.926 691.568 73,62 81,17 72,80 8,53 9,3 7,76 66.150 7.805 53.666 6,28 7,55 5,65
Sumber : PG Pesantren Baru (2010) Dari Tabel 17 diatas tampak bahwa untuk tahun 2009, total luas areal tanaman tebu sebesar 10.534 Hektar, dengan komposisi tebu rakyat (TR) sebesar 90 persen, sedangkan sisanya sebesar 10 persen adalah tebu sendiri (TS). Dilihat dari tingkat produktivitas dan rendemennya, maka jenis tebu sendiri yang diusahakan oleh PG Pesantren Baru memiliki tingkat produktivitas dan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan tebu rakyat (TR). Hal ini wajar mengingat pola usahatani yang dilakukan oleh PG Pesantren Baru telah menggunakan standar Good Agricultural Practise (GAP). Selain itu, sebelum tanaman masuk ke kebun tebu giling (KTG) telah melalui proses panjang disiapkan di kebun bibit nenek (KBN) dan kebun bibit Dasar (KBD). Sementara, bibit tebu yang diperoleh petani khususnya dari petani bibit tebu, mutunya belum terstandarisir. Selain itu, dengan jenis tebu rakyat yang tingkat rendemennya yang lebih rendah daripada tebu sendiri (TS), maka perolehan hablur dan produktivitasnya juga lebih rendah.
74
PG Pesantren Baru mulai beroperasi kembali sejak Tahun 1978 dengan menggunakan mesin-mesin produksi yang relatif usang. Hal tersebut jelas akan mempengaruhi jumlah hari giling, tingkat efisiensi dan produksi gula kristal putih (GKP). Pada Tabel 18 berikut diperlihatkan tentang kinerja PG Pesantren Baru untuk tahun 2009. Tabel 18. Kinerja Pabrik Gula Pesantren Baru Tahun 2009 Keterangan Kapasitas Inclusif (Ton) Kapasitas Exclusif (Ton) Jumlah Hari Giling (Hari) Nilai NPP Potensi Rendemen (%) HPB Total PSHK Efisiensi Gilingan (Mill Extraction) Winter Rendemen Efisiensi Pabrik Rendemen Sementara Rendemen Efektif Produksi GKP Produksi Tetes Ratio Tetes terhadap Tebu (Ku Tetes / Ku Tebu) Penggunaan Residu (Liter / Ku Tebu)
Rencana (RKO) 60.000 63.600 160 12,17 9,77 91,73 97,48 89,41 97,35 87,04 8,5 8,5 817.632 432.000 4,5 0,0700
Realisasi 54.834 61.408 145 11,62 9,27 90,97 96,79 88,05 96,78 85,21 7,97 7,91 621.245 414.056 5,26 0,0752
Sumber : PG Pesantren Baru (2010) Dari Tabel 18 diatas terlihat bahwa diperkirakan (RKO) jam hari giling adalah 160 hari , namun dalam realisasinya 145 hari giling. Hal ini mengindikasikan bahwa masih relatif banyaknya jam berhenti giling khususnya akibat dari dalam pabrik (mesin rusak). Indikasi tersebut tampak dari tingkat efisiensi gilingan (ME) maupun efisiensi pabrik yang masih dibawah norma tingkat efisiensi yang ada. Implikasinya, produksi GKP lebih rendah dari rencana yang disusun yaitu 621.245 ton dan akan bertambah besarnya penggunaan residu sebagai suplesi bahan bakar akibat ampas/bagas kurang mencukupi kebutuhan energi dalam proses produksi.
75
Jumlah tebu yang digiling di PG Pesantren Baru dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, namun pada tahun 2009 yang lalu justru mengalami penurunan. Berdasarkan informasi dari petani maupun pihak PG Pesantren Baru (divisi tanaman), hal tersebut disebabkan karena relatif tingginya curah hujan sehingga jadwal tebang mundur dan jumlah hari giling turun drastis. Gambaran tersebut dapat dilihat pada Tabel 19 dibawah ini. Tabel 19. Kinerja Pabrik Gula Pesantren Baru Tahun 2009
Tahun Tebu Yang Digiling (Ton) Jumlah Hari Giling (Hari) Produksi Gula (Ton) 2005 2006 2007 2008 2009
901.361,80 910.980,50 956.837 919.566 786.921,40
172 164,72 176,50 153,41 129,64
63.170,90 73.662,50 65.994,80 78.663 62.124,50
Produktivitas Gula (Ton Gula/Ton Tebu) 7,0084 8,0861 6,8972 8,5544 7,8946
Produksi Tetes (Ton) 51.096,65 52.732,25 53.675,21 47.983,80 41.405,60
Sumber : PG Pesantren Baru (2010) Mesin-Masin produksi yang digunakan di PG Pesantren Baru adalah mesin-mesin produksinya yang relatif lama, kendatipun telah dilakukan dilakukan penggantian untuk mesin baru secara bertahap. Hal ini disebabkan karena untuk mengganti semua mesin yang ada dibutuhkan investasi yang besar. Tabel 20. Perkembangan Tingkat Efisiensi Pabrik Gula Pesantren Baru Tahun 2005 2006 2007 2008 2009
Mill Extraction (ME) 92,20 92,60 90,70 92,80 92,34
Boiler House Recovery (BHR) 79,96 82,56 75,01 85,22 82,79
Overall Recovery (OR) 73,72 76,45 68,03 79,08 76,45
Sumber : PG Pesantren Baru (2010) Dari Tabel 20 diatas ditunjukkan bahwa rata-rata tingkat efisiensi gilingan (mill extraction) pada PG Pesantren Baru adalah 92,13 yang berarti masih dibawah norma yang ada (95). Sementara untuk efisiensi pengolahan nilai rata-
76
rata BHR nya adalah 81,11 yang berarti masih jauh dibawah angka normatifnya sebesar 90. Hampir sebagian besar kebutuhan energi untuk proses produksi di PG Pesantren Baru menggunakan ampas/bagas untuk menghasilkan energi uap. Melihat perkembangan residu dan solar selama kurun waktu 2005 sampai 2009 tampak seperti pada Tabel 21 dibawah ini, kecenderungan berkurangnya pemakaian residu dan solar. Hal ini mengindikasikan bahwa ampas/bagas telah mampu memasok kebutuhan energi yang ada. Tabel 21. Perkembangan Pemakaian Energi Tambahan Tahun
Residu (Ton)
Solar (Ton)
2005 2006 2007 2008 2009
1.324,74 1.521,95 2.262,15 724,48 528,76
41.000,00 25.500,00 20.665,80 16.340,70 959,80
Sumber : PG Pesantren Baru (2010) 4.3. Pabrik Gula Bungamayang (Kabupaten Lampung Utara) Unit usaha Bungamayang merupakan salah satu unit usaha dari PTPN VII yang masuk dalam wilayah operasioal Distrik Way Seputih Propinsi Lampung yang bergerak dalam budidaya tanaman tebu dan Pabrik gula. Unit usaha Bungamayang terletak di desa Negara Tulang Bawang, Kecamatan Bungamayang, Kabupaten Lampung Utara, ± 157 km dari Bandar Lampung sebagai Ibukota Propinsi Lampung dan ± 45 km dari Kotabumi Lampung Utara. Lokasi pabrik gula Bungamayang berada pada ketinggian 10 – 50 meter diatas permukaan laut dengan topografi bergelombang dan kemiringan 0 – 8 %. Adapun jenis tanah dan iklim yang mempengaruhi kondisi produksi tebu dan gula yang diproduksi Bungamayang selama ini adalah sebagai berikut : Jenis tanah podzlik Merah Kuning, Ph 4,5 – 5,0, Ketebalan top soil 5 – 15 cm, Kedalaman air tanah 40 – 50 cm, Curah hujan rata-rata 2.500 mm per tahun, kelembaban udara sebesar 81 % dan jumlah hari hujan rata-rata 200 hari per tahunnya.
77
PTPN VII Bungamayang mulai melaksanakan giling tebu perdana pada tahun 1984. Pada tahun 2008 ini telah memasuki masa giling tebu yang ke 25 hingga kini mempunyai kapasitas giling tebu 4.500 ton tebu per hari hingga 7.000 ton tebu per hari pada 2010.
Kapasitas giling tersebut masih belum mampu
mengakomodasi tebu hasil petani mitra. Hasil panen tebu dari kebun PG sendiri (seluas 6.000 ha) maupun petani rakyat (8.600 ha) dan pihak swasta (5.000 ha) yang masuk PG Bungamayang terus meningkat, bahkan cenderung tak tertampung dengan kapasitas giling yang masih terbatas tersebut. Upaya yang ditempuh untuk mengatasi persoalan kapasitas giling yang belum memadai adalah dengan memperpanjang masa giling.
Saat ini masa giling diperpanjang dari
normalnya 150 hari hingga 160 hari menjadi 250 hari.
Pabrik Gula (PG) Bunga Mayang yang dikelola PTPN VII di Provinsi Lampung menargetkan dapat meningkatkan kapasitas giling tebu yang kini hanya 4.000 ton per hari menjadi 10.000 ton per hari, untuk menampung tebu rakyat yang dikembangkan petani setempat.
Perkembangan terakhir menunjukkan
bahwa banyak petani yang berebut ingin menanam tebu dan ingin bermitra dengan PTPN. Manajemen perusahaan PTPN VII Bungamayang menyebutkan kedepannya kapasitas gilingnya akan ditingkatkan dari 4.000 ton tebu perhari menjadi 6.000 ton tebu per hari dan secara bertahap dapat ditingkatkan lagi kapasitas gilingnya menjadi 10.000 ton tebu per hari.
Salah satu upaya untuk
merealisasikan target peningkatan kapasitas giling pabrik adalah dengan menjajaki kerjasama dengan pihak ketiga sebagai penyandang dananya.
PTPN VII Unit Usaha Bungamayang melakukan hubungan kemitraan dengan petani tebu melalui Program Tebu Rakyat Kredit (TRK) untuk memenuhi kebutuhan bahan baku tebu. TRK memiliki arti penting sebab melalui program ini peserta diberikan kemudahan kredit dan sarana produksi dalam rangka peningkatan pendapatan petani tebu melalui peningkatan produktivitas usahatani tebu. Selain itu, berkembang pula pola kemitraan bebas atau Tebu Rakyat Bebas (TRB) dimana kemitraan terjalin antara perusahaan dan petani tanpa sarana kredit. Pola kemitraan ini diharapkan menunjang pembangunan di sektor pertanian dan
78
dapat meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan petani tebu di Lampung Utara.
PG Bungamayang mulai melaksanakan giling tebu tahun 1984 (giling perdana). Hasil panen tebu dari kebun sendiri maupun petani rakyat dan pihak swasta yang masuk PG Bungamayang terus meningkat, bahkan cenderung tak tertampung dengan kapasitas giling terbatas itu. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala keterbatasan kapasitas giling adalah memperpanjang masa giling. Masa giling saat ini diperpanjang dari normalnya 150 hari hingga 160 hari menjadi 250 hari. Areal tanam tebu PTPN VII di Bungamayang seluas 6.000 ha (TS) ditambah areal tanam milik petani sekitar 8.600 ha (TR) dan tanaman tebu dari pihak ketiga seluas sekitar 5.000 ha (TRB). Pangsa produksi gula yang dihasilkan oleh PG Bungamayang mencapai 14,19% dari total seluruh produksi gula yang dihasilan PG di Propinsi Lampung.
Dalam perjalanan produksi tebu dan rendemen mengalami pasang surut. Hal ini disebabkan oleh antara lain belum ditemukannya teknologi budidaya tanaman tebu yang mantap dan baik terutama pada tahun-tahun awal dimana tenaman tebu di lahan kering dikembangkan di luar Pulau Jawa. Faktor iklim terutama curah hujan merupakan faktor pembatas yang menjadi kendala terutama penanaman pada saat musim kering, selain belum ditemukannya varietas unggulan di lahan kering. Dalam upaya menemukan paket teknologi yang tepat, maka peran dan fungsi riset dan pengembangan menjadi motor penggerak dalam upaya peningkatan produksi pada tahun-tahun berikutnya. Berdasarkan informasi dari pihak manajemen PG Bungamayang, kebutuhan bahan baku tebu PG Bungamayang dipasok oleh tebu rakyat (TR). Pada tabel 22 berikut digambarkan tentang kinerja usahatani pada tanaman tebu rakyat (TR).
79
Tabel 22. Perkembangan Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Tebu Rakyat PG Bungamayang
Tahun
Luas Areal (Ha)
Produksi Tebu (Ton)
2005 2006 2007 2008 2009
8.470,07 8.639,53 8.293,30 9.550,95 7.162,45
589.137 609.921 668.071 673.614,90 471.637,30
Produktivitas Rata-Rata Rendemen Produktivitas Lahan Produksi Hablur (Ton) Hablur (Ton (%) (Ton /Ha) Hablur/Ton 7,62 69,56 44892,24 5,30 Tebu) 7,76 70,60 47329,87 5,48 7,22 80,56 48234,73 5,82 7,01 70,53 47220,40 4,94 7,8 65,85 36787,71 5,14
Sumber : PG Bungamayang (2010) Dari 2005 sampai 2009, luas areal tanaman tebu rakyat (TR) di PG Bungamayang adalah 8.411 hektar dengan tingkat produksi tebu sebesar 605.811,5 ton dengan rata-rata rendemen sebesar 7,45 %. Dengan demikian, ratarata tingkat produktivitas lahan TR adalah 71,83 ton/ hektarnya. Jika dibandingkan, maka komposisi luas areal panen antara tebu sendiri (TS) dan tebu rakyat (TR) adalah 43 % berbanding 57 %. Dilihat dari rata-ratanya, tingkat produktivitas tanaman tebu di PG Bungamayang yang berlahan kering adalah 66,73 ton / hektarnya. Tabel 23. Perkembangan Kinerja Produksi PG Bungamayang Tahun 2009
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Keterangan
Tebu Sendiri (TS)
Luas Areal (Ha) 6.021 Produksi Tebu (Ton) 405.439 Produkitivitas (Ton/Ha) 67,33 Rendemen (%) 8,18 Produksi Hablur (Ton) 33.784,39 Produktivfitas (Ton Hablur/Ha) 5,61 Produksi SHS (Ton) 33.226,20 Produktivitas SHS (Ton Hablur/Ton8,20 Tebu) Produksi Tetes (Ton) 16.473,38
Tebu Rakyat (TR)
Tebu Rakyat Bebas (TRB)
Total
7.161 471.637,3 65,87 7,46 35.194,50 4,91 35.238,17 7,47 19.163,08
1.061,10 73.302,3 69,08 8 5.529 5,21 5.535,63 7,55 2.978,34
14.243 950.379 66,73 7,88 74.507,66 5,23 74.000,00 7,79 38.614,80
Sumber : PG Bungamayang (2010)
80
Melihat Tabel 23 diatas, untuk tingkat rendemen, tebu yang berasal dari tanaman sendiri (TS) memang cenderung lebih tinggi, namun perbedaan dengan rendemen tebu rakyat (TR) dan tebu rakyat bebas (TRB) tidak terlalu signifikan. Dari hasil pengamatan lapangan tidak ada perbedaan tipologi yang mencolok antara tebu sendiri dengan tebu rakyat dan tebu rakyat bebas. Kendati jumlah tebu yang digiling selama kurun waktu 2005 sampai 2009 rata-rata lebih dari 1,3 juta ton ternyata produksi justru cenderung menurun ratarata 19.087 ton per tahunnya. Penurunan kinerja PG Bungamayang tersebut terkait dengan mesin pabrik yang berhenti dan tingkat rendemen yang rata-rata 7,56 %. Seperti dapat dilihat pada Tabel 24 berikut. Tabel 24. Perkembangan Kinerja PG Bungamayang
Tahun 2005 2006 2007 2008 2009
Jumlah Tebu Yang Rata-Rata Rendemen Digiling (Ton) (%) 1.325.780,20 7,65 1.362.393,00 7,72 1.356.226,40 7,25 1.330.688,00 7,35 950.378 7,78
Produksi Gula (Ton) 101.540,30 105.296,70 98.444,40 97.898,00 73.999,55
Produktivitas (Ton Gula/Ton Tebu) 7,66 7,73 7,26 7,36 7,79
Produksi Tetes (Ton) 55.742,40 56.989.30 57.438,10 53.223,40 43.332,46
Sumber : PG Bungamayang (2010) 4.4. Pabrik Gula Gunung Madu (Kabupaten Lampung Tengah) PT Gunung Madu Plantations (GM) didirikan di tahun 1975 untuk membangun dan menjalankan usaha perkebunan tebu dan pabrik gula di Lampung. Perusahaan ini merupakan perusahaan patungan berstatus PMA dengan Kuok Investment (HK) Ltd., PT Rejo Sari Bumi, dan PT Pipit Indah sebagai pemegang sahamnya. Lokasi perkebunan tebu dan pabrik gula terletak di desa Gunung Batin, 90 km arah utara Bandar Lampung, ibukota Provinsi Lampung.
Total luas lahan yang dikelola sekitar 35,000 Ha, dengan luas kebun produksi sekitar 25,000 Ha. Sisa lahan di luar kebun produksi merupakan jalan, sungai-sungai,
kawasan
konservasi,
bangunan
pabrik,
perkantoran
dan
81
pemukiman. Topografi wilayah pada umumnya datar. Sepanjang bentang darat dijumpai adanya lebung-lebung (rawa) yang potensial sebagai tandon air, sementara beberapa sungai cukup besar melintas di wilayah timur. Jenis tanah termasuk Podsolik Merah Kuning (Ultisol) dengan lapisan-olah (top soil) sangat tipis. Kelemahan sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi yang melekat pada jenis tanah ini menuntut diterapkannya teknologi budidaya yang cermat dan bijaksana. Curah hujan tahunan sekitar 2,500 mm. Musim tebang dan giling dilaksanakan dari bulan April hingga Oktober, bersamaan dengan berlangsungnya periode yang relatif kering.
Perkembangan PT GM sangat menggembirakan dan telah memacu tumbuhnya perkebunan tebu dan pabrik gula lainnya di Provinsi Lampung, yakni Bungamayang, Gula Putih Mataram (GPM), Sweet Indo Lampung (SIL), Indo Lampung Perkasa, dan Pemukasakti Manis Indah. Propinsi Lampung kini telah tumbuh menjadi lumbung gula nasional yang baru, sekaligus menjadi tolok-ukur kemajuan dan keberhasilan industri gula di Indonesia.
Musim tebang dan giling pertama dilaksanakan di tahun 1978. Pabrik mengikuti proses sulfitasi untuk menghasilkan gula kristal putih (GKP). Kapasitas giling terpasang mula-mula sebesar 4,000 TCD (ton tebu per hari), kemudian diperbesar secara bertahap hingga mencapai 12,000 TCD (sejak tahun 1994). Teknologi maju diterapkan di kebun dan di pabrik, termasuk pemanfaatan alat mesin pertanian secara luas di kebun, serta pemanfaatan teknologi instrumentasi di pabrik. Sekalipun demikian sejumlah 8,000 orang lebih tenaga kerja masih dapat diserap setiap harinya selama musim tebang dan giling. Tingkat produksi kini mencapai rata-rata 2,122 juta ton tebu dan memproduksi sekitar 197.702 ton gula per tahun.
Kebutuhan tebu sebagai bahan baku di PG Gunung Madu dipenuhi dari hasil produksi tebu yang dikelola sendiri (TS) dan tebu rakyat (TR) dengan pola kemitraan. Volume pasokan tebu dari tebu rakyat kurang selama kurun waktu 2005 sampai 2009 rata-rata 13 % dari kebutuhan totalnya.
82
Tabel 25. Perkembangan Produksi dan Produktivitas Tebu Rakyat (TR)
Tahun
Luas Areal (Ha)
Produksi Tebu (Ton)
2005 2006 2007 2008 2009
968,69 1.987,72 2.829,63 5.747,13 5.799,84
73.668,87 159.171,68 229.219,74 465.569,79 460.513,54
Produktivitas Lahan (Ton/Ha) 76,0500 80,0775 81,0070 81,0091 79,4011
Sumber : PG Gunung Madu (2010)
Berbeda dengan produktivitas lahan kering di PG Bungamayang, tingkat produktivitas lahan pada PG Gunung Madu relatif lebih tinggi. Hal ini tidak mengherankan, mengingat pola usahatani pada PG Gunung Madu sebagian besar dikelola dengan peralatan modern. Sebagai contoh, untuk merencanakan pola tanam, pola tebang dan pola angkut telah digunakan GIS (geograpic information system), penggunaan pesawat terbang khusus untuk penyemprotan zat perangsang kemasakan (ZPK) dan pembakaran tebu dalam pemanenannya.
Dapat dikatakan bahwa PG Gunung Madu telah menjadi referensi utama oleh pabrik-pabrik gula di Indonesia, khususnya dalam manajemen kebun. Gambaran kinerja produksi dan produktivitas tebu sendiri (TS) tersebut akan dapat dilihat pada Tabel 26 berikut :
Tabel 26. Perkembangan Produksi dan Produktivitas Tebu Sendiri (TS) Tahun
Luas Areal (Ha)
Produksi Tebu (Ton)
2005 2006 2007 2008 2009
23.345,71 23.304,94 23.331,51 23.422,97 23.336,21
1.775.399,37 1.873.869,45 1.797.490,65 1.908.748,80 1.868.751,13
Sumber : PG Gunung Madu (2010)
Produktivitas Lahan (Ton/Ha) 76,04821 80,40653 77,04133 81,49047 80,07946
83
Dengan luas areal rata-rata sebesar 23.489 hektar (87 %) dari total luas lahan yang diusahakan sebesar 40.862 hektar, maka produksi rata-rata yang dapat dihasilkan adalah 1.844.852 ton tebu dengan tingkat produktivitas sebesar 79,01 ton / hektarnya.. Kekuatan PG Gunung Madu sebagai pabrik gula terdepan di Indonesia salah satunya didukung oleh riset dan pengembangan (risbang) dalam menemukan varietas tebu unggul baru. Pada Tabel 27 berikut terlihat ragam varietas tebu yang selama ini digunakan oleh PG Gunung Madu.
Tabel 27. Jenis Varietas Tebu Pada PG Gunung Madu Tahun 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Varietas Tebu GM 19 GM 21 GM 25 GP 11 SS 57 GMP 01 GMP 02 RGM 599 RGM 8837 RGM 857 Lainnya
Komposisi Penggunaan Varietas (%) 3,92 11 5,09 17,41 5.03 15,93 9,21 10.16 8,54 6,58 7,13
Sumber : PG Gunung Madu (2010)
Secara umum kinerja produksi PG Gunung Madu memiliki keunggulan dibandingkan 3 (tiga) pabrik gula yang menjadi sampel penelitian. Keunggulan komparatif PG Gunung Madu tersebut dapat dilihat pada Tabel 28, dengan tingkat produktivitas gula yang dihasilkan oleh pabrik relatif stabil dengan angka rata-rata sebesar 9,33 ton per hektar.
84
Tabel 28. Perkembangan Kinerja Produksi Gula PG Gunung Madu
Jumlah Tebu Yang Di Giling (Ton) 1.849.068 2.033.041 2.026.710 2.374.619 2.329.265
Tahun 2005 2006 2007 2008 2009
Produksi Gula (Ton) 179.025 189.716 191.275 218.248 210.244
Produktivitas (Ton Gula/Ton Tebu) 9,6819 9,3316 9,4377 9,1909 9,0262
Produksi Tetes (Ton) 71.202,12 78.867,93 94.135,23 94.135,23 89.544,32
Sumber : PG Gunung Madu (2010)
Sejatinya PG Gunung Madu sering menjadi referensi bagi pabrik gula lainnya (khususnya pabrik gula di Jawa) dalam mengembangkan kinerjanya. Pada Tabel 29 berikut terlihat bawa tingkat efisiensi gilingan (ME) pada PG Gunung Madu secara rata-rata telah melampaui norma ME (95). Akan tetapi untuk efisiensi BHR, perkembangan nilainya masih dibawah norma standar (90) yaitu rata-rata 87,25.
Tabel 29. Perkembangan Tingkat Efisiensi Pengohan Gula PG Gunung Madu Tahun
Mill Extraction (ME)
2005 2006 2007 2008 2009
97,72 95,41 95,13 95,22 94,89
Boiler House Recovery Overall Recovery (OR) (BHR) 87,54 85,54 87,10 83,10 87,51 83,25 87,24 83,07 86,89 82,45
Sumber : PG Gunung Madu (2010)
Dalam penanaman dan pemeliharaan tanaman tebu, PG Gunung Madu melakukannya sesuai dengan prinsip-prinsip Good Agricultural Practise (GAP) dan penggunaan peralatan modern.Hasilnya dapat dilihat dari perkembangan tingkat rendemen tebu berdasarkan kemasakan tebu yang diperolehnya relatif tinggi. Pada Tabel 30 berikut diperlihatkan tentang tingkat rendemen rata-rata dari tebu yang masuk ke PG Gunung Madu berdasarkan kemasakannya.
85
Tabel 30. Perkembangan Tingkat Rendemen Berdasarkan Kemasakan Tebu
Tahun 2005 2006 2007 2008 2009
Rendemen Masak Awal (%) 9,27 9,32 8,52 9,7 9,46
Rendemen Masak Tengah (%) 9,6 8,99 9,53 9,66 9,07
Rendemen Masak Akhir (%) 10,02 10,07 10,23 7,33 8,48
Sumber : PG Gunung Madu (2010) Berdasarkan perkembangannya, maka varietas tebu yang masuk kategori masak awal (Panen Bulan April, Mei, Juni) memiliki tingkat rendemen rata-rata sebesar 9,26 persen, untuk kategori masak tengah (panen bulan Juli, Agustus dan September) rendemen rata-ratanya sebesar 9,37 persen dan dan jenis tebu dengan kategori masak akhir (Oktober, November dan Desember) sebesar rata-rata 9,23 persen. Jika dibandingkan dengan 3 (tiga) pabrik gula sampel lainnya, maka perolehan tingkat rendemen di PG Gunung Madu adalah tertinggi. Untuk tahun 2009, komposisi pemanenan tebu berdasarkan tingkat kemasakannya adalah sebagai berikut: untuk masak awal 25 persen, masak tengah 55 persen dan masak akhir 20 persen. Salah satu indikator efisiensi dalam proses produksi gula adalah pemanfaatan ampas/bagas sebagai sumber energi utama. Pada Tabel 31 berikut digambarkan tentang produksi ampas/bagas dan produksi energi yang dihasilkan dari ampas/bagas dimaksud.
86
Tabel 31. Perkembangan Produksi dan Kebutuhan Energi Proses Produksi
Tahun
Jumlah Tebu Yang Di Giling (Ton)
2005 2006 2007 2008 2009
1.849.068 2.033.041 2.026.710 2.374.619 2.329.265
Produksi Ampas/Bagas Produksi Energi Dari Kebutuhan Energi (Ton) Ampas/Bagas (Kwh) (Kwh / Ton) 613 685 693 820 809
42.654.513 45.154.240 45.114.564 51.457.993 50.032.612
41.493.086 45.580.779 45.114.565 51.457.994 50.032.612
Sumber : PG Gunung Madu (2010) Dari Tabel 31 diatas terlihat bahwa selama kurun waktu 2005 sampai 2009, rata-rata jumlah tebu yang digiling sebesar 2.122.541 ton per tahunnya. Dari sejumlah tebu tersebut dapat dihasilkan rata-rata ampas/bagas sebesar 724 ton dan dari ampas/bagas tersebut dapat memproduksi energi (uap) untuk menggerakkan mesin produksi (termasuk kebutuhan listrik bagi kantor dan perumahan karyawan) sebesar 46.882.784 Kwh. Sementara kebutuhan energi per tahunnya rata-rata sebesar 46.735.807 Kwh. Kondisi ini memperlihatkan bahwa mesin produksi PG Gunung Madu relatif efisien, mengingat kebutuhan energinya dapat terpenuhi secara memadai dari ampas/bagas. Dalam kondisi tersebut, maka PG Gunung Madu dalam proses produknya tidak memerlukan tambahan energi (suplesi) dari residu maupun solar. Guna menjamin mutu, keamanan dan kehalalan produk, baik gula maupun tetes (molasses), PG Gunung Madu telah menerapkan secara konsisten Quality And Management System yang mengacu pada standar HACCP (SNI 01-45821988) dan Good Manufacturing Practise (GM) standar B2, telah memperoleh sertifikasi dari PDV – The Netherland (Certificate No. GM B20016), HACCP (Certificate No. FSC 00015) dan sertifikat halal dari MUI (Halal No. 02100005008608).
87
V . KINERJA PRODUKTIVITAS DAN KELEMBAGAAN PABRIK GULA 5.1. Kinerja Produktivitas Dari informasi umum yang diperoleh, baik terkait dengan budidaya tanaman tebu maupun pengolahan gula di ke empat pabrik gula yang diteliti, maka dapat disarikan informasinya seperti terlihat pada Tabel 32 berikut : Tabel 32. Kinerja Produktivitas Pabrik Gula Yang Diteliti Tahun 2010
No
Uraian
PG Kebon Agung PG Pesantren Baru PG Gunung Madu PG Bungamayang
1 2 3 4 5 6 7 8
Pasokan Tebu Rakyat /TR (%) Kapasitas Pengolahan Tebu (TCD) Rataan Produktivitas Lahan (Ton/Ha) Rataan Produktivitas Hablur (Ton/Ha) Rataan Rendemen (%) Rataan Efisiensi Gilingan / ME (%) Rataan Efisiensi Pengolahan / BHR (%) Rataan Efisiensi Pabrik / OR (%)
90 7.000 83,31 7,36 7,84 93 80,88 78
90 6.140 86,32 6,59 7,68 92,13 81,11 74,72
12,92 12.767 79,26 9,33 9,28 95,67 87,25 83,48
54,32 5.756 71,88 5,34 7,45 91 80,54 73,46
Sumber : Pabrik Gula Yang Diteliti ( 2010) Dari Tabel 32 terlihat bahwa PG Kebon Agung (Malang) dan PG Pesantren Baru (Kediri) memiliki ketergantungan pasokan yang besar dari sumber tebu rakyat (TR), sedangkan pabrik gula di Lampung yaitu PG Gunung Madu dan PG Bungamayang memiliki pasokan tebu dari peserta kemitraan masing-masing 12,92 persen dan 54,32 persen. Untuk kapasitas produksi giling tebu per harinya (TCD), PG Gunung Madu memiliki kapasitas pabrik tertinggi yaitu sebesar 12.767 TCD dan yang terendah kapasitas pabriknya adalah PG Bungamayang yaitu 5.756 TCD. Untuk pemakaian varietas tebu, jenis yang paling dominan digunakan oleh PG Kebon Agung adalah varietas BL, SS dan KK. Untuk PG Pesantren Baru, jenis varietas yang dominan digunakan adalah jenis PS, BL dan KK. Sementara untuk jenis varietas tebu di PG Gunung Madu lebih dominan menggunakan jenis GM yang merupakan bibit hasil produksi bagian riset dan pengembangannya
sendiri
dan
untuk
PG
Bungamayang
lebih
banyak
88
menggunakan varietas PSBM, yang merupakan hasil kerjasama antara P3GI Pasuruan dan PG Bungamayang. Penggunaan varietas tebu yang dominan tersebut berdampak terhadap tingkat rendemen tebu yang dihasilkan. Pabrik Gula Gunung Madu memiliki tingkat rendemen tebu tertinggi sebesar 9,28 persen. Sementara untuk ketiga pabrik gula contoh lainnya, rataan rendemen yang dihasilkan relatif sama pada rentang 7,45 persen sampai 7,84 persen Tingkat produktivitas lahan dan hablur yang dihasilkan masing-masing oleh keempat pabrik gula contoh cukup bervariasi. Pada Pabrik Gula Kebon Agung, rataan produktivitas lahannya adalah 83,31 ton tebu per hektar dengan rataan produktivitas hablur sebesar 7,36 ton per hektar. Sama halnya dengan lahan basah yang digunakan untuk tanaman tebunya, tingkat produktivitas lahan dan produktivitas hablur pada PG Pesantren baru masing-masing 86,32 ton per hektar dan 6,59 ton per hektar. Sementara di kedua pabrik gula lainnya yang berada di Propinsi Lampung menggunakan lahan kering, sehingga produktivitas lahannya tidak begitu jauh berbeda, masing-masing 79,26 ton per hektar (PG Gunung Madu) dan 71,88 ton per hektar (PG Bungamayang). Mengingat pabrik gula Gunung Madu menggunakan mesin / peralatan produksi modern dibandingkan dengan mesin / peralatan yang digunakan oleh pabrik gula Bungamayang, maka terdapat perbedaan yang mencolok dalam hal tingkat produktivitas hablurnya, yaitu masing-masing 8,33 ton per hektar (PG Gunung Madu) dan 5,34 ton per hektar. Dalam hal tingkat efisiensi, baik efisiensi dalam penggilingan (mill extraction) maupun efisiensi dalam pengolahan tebu menjadi gula (Boiler House Recovery), maka secara umum dapat dikatakan bahwa baru PG Gunung Madu yang memiliki tingkat efisiensi penggilingan diatas norma mill extraction (95) pada level nasional yaitu sebesar 95,67. Sementara ketiga pabrik gula lainnya angka mill extraction-nya dibawah norma nasional. Sementara untuk tingkat efisiensi pengolahan (bioler house recovery), keempat pabrik gula contoh masih mengalami inefisiensi, mengingat angka untuk boiler house recovery-nya masih dibawah norma BHR nasional (90). Dengan demikian, kedepannya memang masih diperlukan upaya yang lebih keras lagi bagi manajemen pabrik gula untuk
89
meningkatkan efisiensi pabriknya agar memiliki nilai efisiensi penggilingan (ME) dan efisiensi pengolahan (BHR) diatas norma nasional.
5.2. Kinerja Kelembagaan Kemitraan 5.2.1. Pabrik Gula Kebon Agung (Kabupaten Malang) Dari informasi yang diperoleh dari manajemen PG Kebon Agung, komposisi pasokan tebu dari sumber tebu rakyat (TR) adalah 98,40 % dan tebu sendiri (TS) sebesar 1,6 %. Dengan demikian PG Kebon Agung memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap keberadaan tanaman tebu yang diusahakan oleh rakyat. Untuk itu, manajemen PG Kebon Agung memberikan beragam insentif yang menarik kepada petani agar memasok tebunya hanya kepada PG Kebon Agung. Dalam upaya untuk memperoleh tebu yang kebutuhannya terus meningkat dari tahun ke tahun serta dalam rangka meningkatkan kemampuan berkompetisi dengan pabrik-pabrik gula lainnya, maka perusahaan terus berupaya melakukan langkah-langkah perbaikan. Berdasarkan informasi dari manajemen pabrik gula Kebon Agung, beberapa insentif ekonomi yang diberikan kepada petani tebu peserta kemitraan adalah sebagai berikut (Pelaksanaan Program Pengembangan PT. Kebon Agung Tahap I, 2005 – 2007) : 1.
Memberikan bagi hasil yang lebih menarik terutama pada saat rendemen rendah di awal giling (subsidi rendemen)
2.
Meningkatkan fasilitas kredit ketahanan pangan dan energi (KKP-E) kepada petani TR sesuai dengan kebutuhan
3.
Meningkatkan pemberian pinjaman uang muka tebang dan angkut bagi petani
4.
Melanjutkan pemberian subsidi angkutan dan premi tebangan tebu atas dasar formula MBS (Manis, bersih dan segar) bagi tebu-tebu petani yang memenuhi persyaratan
5.
Meningkatkan pelayanan khususnya pada saat penerimaan tebu di emplasemen
90
6.
Memperpendek waktu tunggu (antrian truk tebu), sehingga tebu dapat digiling lebih cepat
7.
Meningkatkan mutu gula yang diproduksi sehingga diperoleh harga gula yang lebih tinggi dibandingkan pabrik gula lainnya
8.
Meningkatkan pelaksanaan uji rendemen yang lebih bersifat individual
Mutu produksi gula yang dihasilkan dipengaruhi oleh mutu produksi tebu. Selain menggunakan tebu sendiri, PG Kebon Agung banyak menggunakan tebu rakyat (TR) dengan beragam mutunya. Untuk itu, dalam upaya meningkatkan mutu produksi tebu dari petani tebu peserta kemitraan, upaya-upaya yang dilakukan oleh manajemen pabrik gula Kebon Agung untuk meningkatkan rendemen tebu rakyat (TR), antara lain :
1.
Melaksanakan penyemprotan zat pemacu kemasakan (ZPK)
2.
Melaksanakan analisa rendemen per angkutan tebu dengan menerapkan reward dan punishment
3.
Melaksanakan tebang pilih
4.
Meningkatkan efisiensi pengolahan gula di dalam pabrik agar hasil gula yang diperoleh besar dan berimplikasi pada peningkatan pendapatan petani tebu
5.
Meningkatkan kualitas hubungan kemitraan dengan petani / Organisasi petani (APTRI)
6.
Pemberian bantuan traktor untuk membantu pengolahan lahan
7.
Menjadi penjamin (avalist) bagi bantuan kredit untuk biaya garap atau pemupukan
8.
Menyediakan bibit varietas unggul secaar berkesinambungan
9.
Memberikan penyuluhan lebih intensif sehingga timbul jiwa yang inovatif di kalangan petani TR
91
Dari pemberian insentif tersebut dapat dilihat pengaruhnya pada tingkat keuntungan yang diperoleh para petani TR yang selama ini telah memasok kebutuhan PG Kebon Agung. Pada Tabel 33 berikut diperlihatkan perolehan keuntungan dari petani dengan kategori lahan dan jenis tanamannya. :
Tabel 33. Keuntungan Usahatani Petani TR di PG Kebon Agung 2009
Kategori Lahan dan Tanaman Penerimaan (Rp) Biaya Usahatani (Rp) A. Tegalan 1. Tanaman Baru (PC) 34.622.750 26.270.892 2. Tanaman Keprasan (RC) 35.264.000 21.270.892 B. Sawah 1. Tanaman Baru (PC) 50.112.000 31.108.888 2. Tanaman Keprasan (RC) 49.322.000 21.270.892
Keuntungan (Rp) 8.351.858 13.993.108 19.003.112 28.051.108
Sumber : Data Primer (2010)
Dari Tabel 33 diatas tampak bahwa keuntungan usahatani tertinggi di wilayah PG Kebon Agung diperoleh oleh petani dengan jenis lahan sawah dengan jenis tanaman keprasan (Ratoon Cane), sedangkan keuntungan terendah diperoleh petani dengan jenis lahan tegalan dengan jenis tanaman baru (Plant Cane).
Untuk memperkuat posisi tawarnya, para petani tebu membentuk tim 5 (lima) yang terdiri dari para ketua KUD yang selama ini menjadi rekanan PG Kebon Agung yang mewakili kepentingan para petani tebu dalam rangka pengurusan negosiasi terkait dengan lelang gula milik petani. Dengan berbagai pemangku kepentingan yang ada (PG Kebon Agung, Bank Bukopin, Bank BNI 46, Dinas Pertanian Kabupaten Malang, KUD dan APTRI) telah dibentuk Forum Temu Kemitraan (FTK) yang menjadi wadah bersama untuk menyelesaikan semua permasalahan yang terkait dengan pertebuan dan pergulaan. Mekanisme hubungan kemitraan yang terjadi pada PG Kebon Agung dapat dilihat pada Gambar 12 berikut :
92
e [ {P
nja
n( mi
Av
] s t) ali
BANK (BUKOPIN DAN BNI’46)
en ya
lur an
Kr
ed it]
FORUM TEMU KEMITRAAN (FTK)
PABRIK GULA KEBON AGUNG
[P e
[D
[P
k pu Pu a n ] n at ra alu -Ob ny bat e [P n O da
rja
nji Kr an / ed Ak it] ad
uk u da nga nM nK on eb ito ija rin kan g]
PETANI TEBU
KOPERASI UNIT DESA (DESA)
n ka ija eb an] K an luh ng yu k u Pe n u [D an d
DINAS PERKEBUNAN
Gambar 12. Ilustrasi Kemitraan Pada Pabrik Gula Kebon Agung
Pertemuan dari forum temu kemitraan (FTK) tersebut umumnya dilakukan setiap bulan untuk membahas hal-hal krusial tentang permasalahan yang dihadapi oleh petani tebu, pabrik gula, diseminasi informasi tentang rencana tebang dan giling, persyaratan tebu yang diterima dan pemberian premi dari tebu MBS (Masak, Bersih dan Segar) PG Kebon Agung, berbagai jenis potongan yang akan dibebankan kepada petani maupun dalam rangka mengambil kesepakatan bersama tentang ketentuan besaran bagi hasil gula dan tetes.
Berdasarkan hasil rapat dari Forum Temu Kemitraan (FTK) pada tanggal 4 Mei 2009, telah dihasilkan kesepakatan sebagai berikut : 1.
Kapasitas giling akan ditingkatkan dari 63.000 kuintal per hari (2008) menjadi 75.000 kuintal per harinya (2009)
2.
Semua gula petani peserta kemitraan diwajibkan ikut lelang dengan biaya lelang sebesar Rp. 5,- / Kg
3.
Nilai ganti tetes petani sebesar Rp. 900,- per Kg atau Rp. 2.250,- kuintal tebu
93
4.
Persyaratan tebu yang diterima oleh PG Kebon Agung harus memenuhi persyaratan tebu MBS dengan kotoran tebu (trash) maksimal 5 % dari setiap truknya
5.
Persyaratan brix rata-rata saat tebu berada di emplasemen adalah 15 % yang pengujiannya disaksikan oleh pemilik tebu atau supir truk
6.
Premi tebu MBS sebesar Rp. 300,- sampai Rp. 1000,- per kuintal tebu dan subsidi angkutan Rp. 200,- kuintal tebu akan diberikan kepada pemilik tebu yang memenuhi persyaratan tebu MBS berdasarkan hasil pengamatan oleh petugas di meja tebu
Ketentuan bagi hasil dalam nota gula petani didasarkan pada pengamatan angka brix pada gilingan di muka meja tebu per alat angkut sebagai berikut (Tabel 34) :
Tabel 34. Bagi hasil gula milik Petani Berdasarkan kadar Brix Ketentuan Brix
Besarnya Bagi Hasil Milik Petani
Brix Rata-Rata Antara 15,1 – 16,0
4,3 Kg / kuintal Tebu
Brix Rata-Rata Antara 16,1 – 17,0
4,4 Kg / kuintal Tebu
Brix Rata-Rata Antara 17,1 – 18,0
4,5 Kg / kuintal Tebu
Brix Rata-Rata Antara 18,1 – 19,0
4,6 Kg / kuintal Tebu
Brix Rata-Rata Antara 19,1 – 20,0
4,7 Kg / kuintal Tebu
Brix Rata-Rata Antara ≥ 20
4,8 Kg / kuintal Tebu
Sumber : PG Kebon Agung (2010)
Selain melalui ketentuan persyaratan brix tersebut, PG Kebon Agung juga memberikan persyaratan kepada jenis tebu dalam kaitannya dengan bagi hasil yang masuk dengan ketentuan sebagai berikut (Tabel 35) :
94
Tabel 35. Bagi Hasil Milik Petani Berdasarkan Varietas Tebu Varietas Tebu
Besarnya Bagi Hasil Milik Petani
PS 862, PS 863, Kidang Kencono dan 4,5 Kg / kuintal Tebu Kenthung Tebu aplikasi ZPK / ZPT
Minimal 4,3 Kg / kuintal Tebu
Tebu Terbakar lebih dari 36 Jam
3,5 Kg / kuintal Tebu
Tebu Moket (Setelah Bulan Juli 2009)
3,5 Kg / kuintal Tebu
Sumber : PG Kebon Agung (2010)
Potongan yang disepakati untuk tebu (TR) kemitraan adalah sebagai berikut : Keamanan Jalan.................................Rp. 15,- / Kuintal Tebu Biaya Tebang Oleh Pabrik ................Rp. 2.460,- / Kuintal Tebu Harga Karung....................................Rp. 70,- / Kg Tebu Fee KUD ............................. ........... Rp. 25,- / Kg Tebu Biaya Lelang gula...............................Rp. 5,- / Kg Tebu
Untuk mengetahui mekanisme sistem bagi hasil yang diterapkan di PG Kebon Agung, berikut diperlihatkan hasilnya sebagai berikut (Tabel 36) :
95
Tabel 36. Sistem Bagi Hasil Milik Petani Kemitraan PG Kebon Agung Keterangan I. JUMLAH PENDAPATAN 1. Jumlah tebu tertimbang (netto) *) 2. Gula a. Gula Petani / Kuintal Tebu **) b. Jumlah Gula Petani c. Diberikan Dalam Bentuk Natura (10 %) d. Dijual Oleh Petani (90 %) e. Penjualan Gula Petani *) Brix 20 **) Bagi hasil gula petani 66 % II. HUTANG / PIUTANG PETANI PIUTANG : a. Nilai Tetes Petani b. Premi Tebu MBS c. Bantuan Peningkatan Mutu Tebangan d. Bantuan Angkutan Truk
III. HUTANG : a. Tebang Sendiri b.Tebang Pabrik c. Angkutan Truk d. Penebusan Karung Gula e. Bibit f. Traktor g. Kompos h. Biaya Lelang Gula i. Fee KUD j. Angsuran kredit petani
Ukuran Tebu MBS Tebu Non MBS Kuintal
0
711
Kg Kg Kg Kg Rp
6 6 0 4.266 0 426,6 0 3839,4 3.839,9 Kg @ Rp. 8000,-
Rp Rp Rp Rp
711 kuintal tebu @ Rp. 2.2.50
Tebu Terbakar
Jumlah
0
711
0 0 0 0
6 4.266 426,6 3839,4 30.715.200
711 kuintal tebu @ Rp. 300 711 Kuintal tebu @ Rp. 200 Jumlah Piutang.........................
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Jumlah Hutang.................................................... Jumlah Diterima Petani Dari Pabrik Gula IV = (II - III) Jumlah Total Pendapatan Petani (I + IV)...............
1.599.750 213.300 142.200 1.955.250
0 0 0 298.620 0 0 0 10.665 115.170 0 424.455 1.530.795 32.245.995
Sumber : PG Kebon Agung (2009)
Pada hakekatnya, dimensi kelembagaan memuat tentang hak dan kewajiban dari pihak-pihak yang melakukan kemitraan, termasuk jika dimungkinkan adanya bentuk penghargaan (reward) dan sanksi (punishment). Begitupun halnya di PG Kebon Agung, mekanisme kelembagaan yang telah berlangsung antara PG Kebon Agung dengan petani TR peserta kemitraan juga
96
memiliki mekanisme serupa. Berikut ini dijelaskan mekanisme kelembagaan dimaksud. A. Kewajiban Petani 1. Memasok seluruh tebunya ke PG Kebon Agung sesuai dengan ketentuan brix yang disepakati 2. Mematuhi ketentuan dalam akad kredit maupun hasil rapat FTK 3. Membayar potongan sesuai kesepakatan dalam FTK yang dipotong pada saat pembayaran bagi hasil 4. Wajib Mengikuti Lelang Gula 5. Memenuhi persyaratan batas maksimal kotoran tebu yang dipasok 5 % dari setiap alat angkut tebunya 6. Mematuhi ketentuan pola tanam dan pemupukan yang direkomendasikan oleh petugas lapangan Pabrik gula Kebon Agung
B. Hak Petani
1. Memperoleh bagi hasil sebesar 66 % dari jumlah gula yang diproduksi 2. Memperoleh informasi tentang rendemen tebu, jadwal penebangan dan jumlah tebu yang dihasilkan 3. Memperoleh hasil bagi tetes sebesar Rp.2.250,- per kuintal tebu 4. Memperoleh Premi tebu MBS sebesar Rp. 300,- sampai RP. 1000,- per kuintal tebu 5. Memperoleh Subsidi angkutan sebesar Rp. 200,- per kuintal tebu 6. Memperoleh bantuan peningkatan mutu tebangan
Kendati mekanisme kelembagaan telah memuat beberapa ketentuan yang memberikan manfaat yang besar kepada petani, namun beberapa hal yang tampaknya masih perlu dilakukan untuk perbaikan mekanisme kelembagaan kedepannya adalah sebagai berikut :
97
1. Tim 5 (lima) yang dipercayakan oleh petani tebu kemitraan untuk mewakili kepentingan petani dalam bernegosiasi dengan pihak investor saat lelang gula perlu lebih transparan untuk memberikan informasi yang simetris kepada para petani.
2. Mekanisme kelembagaan masih perlu memasukkan dimensi penghargaan dan sanksi bagi kedua belah pihak (PG Kebon Agung dan Petani tebu kemitraan). Hal ini penting, mengingat petani tebu yang memiliki kotoran (trash) lebih dari 5 % diberikan sanksi pembersihan kembali tebunya dengan biaya sendiri, namun pada saat pabrik mengalami kerusakan maka pengurangan rendeman dan bobot dari tebu tetap menjadi tanggungan petani.
5.2.2. Pabrik Gula Gunung Madu Plantation (Kabupaten Lampung Tengah) PG Gunung Madu Plantation mengembangkan kemitraan melalui dua sistem yang berbeda. Sistem kemitraan yang pertama dikembangkan adalah sistem Kerja Sama Operasional (KSO). Sistem Kerja Sama Operasional (KSO) dikelola oleh PT GM melalui Koperasi Gunung Madu (KGM). Hak dan kewajiban kemitraan KSO tersebut mengikat kedua belah pihak. Syarat utama peserta KSO adalah petani dengan lahan kepemilikan (sertifikat hak milik) dan jarak areal yang diajukan dengan pabrik PT GM tidak lebih dari 50 km serta lahannya cocok untuk ditanami tebu. Pada implementasi pelaksanaan budidaya tebu dilakukan sepenuhnya oleh pihak PT GM. Pada Tabel 36 dibawah ini diperlihatkan petani peserta kemitraan akan mendapatkan bagi hasil usaha pada saat musim panen/giling tebu sebesar antara Rp. 18 Juta sampai Rp. 24 Juta per hektarnya.
98
Tabel 37. Keuntungan Usahatani Petani Tebu Kemitraan
Jenis Tanaman
Penerimaan (Rp)
Biaya (Rp)
Keuntungan (Rp)
1. Tanaman Baru (PC)
36.231.360
17.807.500
18.423.860
2. Tanaman Keprasan (RC)
38.452.500
14.637.500
23.815.000
Sumber : Data Primer (2010) Sistem kemitraan mandiri dikembangkan oleh PT GM sebagai salah satu upaya mengakomodasi animo masyarakat yang sangat tertarik melakukan usahatani tebu (Gambar 13). Sistem kemitraan mandiri arealnya terpisah dengan areal PT GM. Sistem kemitraan mandiri memberikan kesempatan kepada petani untuk mengelola sendiri kebunnya.
Petani juga tidak harus menyerahkan
sertifikat kepemilikan lahan, petani dimungkinkan untuk menyewa lahan sesuai kemampuan yang akan usahakan untuk usahatani tebu. Petani tebu anggota mengusahakan sendiri segala keperluan usahataninya mulai dari bibit, pupuk, herbisida, dan tenaga kerja. Petani mandiri tidak mendapatkan paket kredit dan juga jaminan apapun dari PT GM. Petani mitra mandiri akan mengetahui jadwal penebangan, jumlah tebu yang dihasilkan, dan rendemen tebu. Petani mitra mandiri boleh menyerahkan sebagian atau seluruh hasil usahatani tebunya kepada PT GM. Selain membayar biaya tebang angkut setelah selesai giling. petani tebu mitra mandiri dimungkinkan memperoleh keuntungan usaha yang lebih tinggi sesuai dengan kemampuan teknis produksi dan pengelolaan usahatani tebu.
99
KELOMPOK TANI
Ko nt ra
k
Ke O rja rg da an n is Pe as m i bi na a
n
n da n aa an ot ing gg nt an pe Ke i Ke n ta a s ra nt ya se rs re Pe Rep PETANI TEBU KEMITRAAN
KEMITRAAN FUNGSIONAL
as
ed it da n
ris to O
Sa pr ot a
n
PG GUNUNG MADU
iD n
Pe ny a
lu ra
n
ra po la Pe
Kr
an KOPERASI GUNUNG MADU / PT. BMM
Gambar 13. Ilustrasi Kemitraan Mandiri Pada PG Gunung Madu Plantation Pada prinsipnya kemitraan usaha yang dilakukan oleh PG Gunung Madu (GM) dilakukan atas dasar prinsip tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibilities), mengingat kebutuhan bahan baku pabrik sepenuhnya dapat dipasok dari kebun milik sendiri (TS). Namun demikian seiring dengan target swasembada gula nasional, PG Gunung Madu ikut memiliki tanggungjawab dalam mengemban tugas nasional tersebut. Oleh karenanya, didesain pola-pola kelembagaan yang ada dalam bermitra dengan petani tebu. Untuk petani tebu yang kebunnya berdekatan dengan (melekat) dengan kebun milik PG Gunung Madu dikembangkan pola kerjasama operasional (KSO), sedangkan untuk kebun petani yang berada diluar kawasan kebun pabrik digunakan pola kemitraan mandiri dengan sistem bagi hasil yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pada Gambar 14 berikut terlihat skema kemitraan yang telah dibangun bersama oleh PG Gunung Madu (GMNP) dan petani peserta kemitraan.
100
[SISTEM BAGI HASIL PABRIK GULA DENGAN PETANI (34 % : 66 %)]
KERJASAMA OPERASIONAL (KSO)
POLA KEMITRAAN EKSISTING
KOPERASI GUNUNG MADU DAN PETANI
Jika Biaya dari PG GMP, alokasi 66 % terdiri dari : 77 % petani, 3 % Koperasi, 1 % Pembinaan dan 19 % PG GMP
LAHAN MILIK PETANI DIKELOLA OLEH PT. BMM
Jika biaya dari PT.BMM, alokasi 66 % terdiri dari : 77 % petani, 20 % PT. BMM dan 3 % pembinaan
LAHAN MILIK PETANI DIKELOLA OLEH PETANI
Jika biaya dari petani, alokasi 66 % terdiri dari 90 % petani, 7,5 % PT. BMM dan 2,5 % pembinaan
MANDIRI
Jika biaya dari PG GMP, alokasi 66 % terdiri dari : 92,5 % petani, 2,5 % Poktan, 1,5 % pembinaan kelompok dan 3,5 % PG GMP MITRA MANDIRI
LAHAN MILIK PETANI OLEH PETANI
Jika biaya dari petani, alokasi 66 % terdiri dari : 100 % bagian petani
Gambar.14 Pola Kelembagaan dan Sistem Bagi Hasil Pada PG Gunung Madu (2010) Sesuai dengan ketentuan yang berlaku di PG Gunung Madu (GM) terkait dengan sistem bagi hasil gula dan tetes yang ada, berikut digambarkan penerimaan (groos margin) yang diperoleh petani tebu kemitraan (Tabel 38)
101
Tabel 38. Sistem Bagi Hasil Milik Petani Kemitraan Pada PG Gunung Madu Keterangan Produksi Tebu Rendemen Rata-Rata Produksi Gula Bagi Hasil Gula Petani Bagi Hasil Tetes Harga Tetes Harga Gula Nilai Penjualan Gula Nilai Penjualan Tetes Jumlah Diterima Petani
Unit
Nilai
Ton % Ton Ton Ton Rp/Kg Rp/Kg Rp Rp Rp
100 8 8 5,28 2 1000 7.300 38.544.000 2.000.000 40.544.000
Sumber : Data Primer (2010) 5.2.3. PG Bungamayang (Kabupaten Lampung Utara) Hubungan kemitraan diawali dengan pengajuan permohonan bermitra dengan program kredit BRI melalui PTPN VII Bungamayang (Gambar 15). PTPN VII Bungamayang akan melakukan verifikasi terhadap kesesuaian kondisi lahan. Kondisi lahan petani mitra harus bebas sengketa dan merupakan hak milik. Selain itu, kondisi lahan juga dapat diakses oleh lalu lintas kendaraan angkut (truk). Petani tebu mendapatkan kredit modal kerja berupa pupuk dan tenaga kerja dari BRI melalui PTPN VII Bungamayang (sebagai penjamin kredit) dengan bunga kredit 17 % per tahun pada saat bagi hasil. Pembayaran kredit dilakukan melalui PTPN VII Bungamayang.
Petani berhak mendapatkan paket kredit BRI melalui PTPN VII Bungamayang sesuai luas garapan yang telah disetujui. Bagi hasil yang akan diperoleh petani sebesar 66% gula hasil tebu yang diolah dan tetes 2,5 %. Petani juga akan memperoleh bimbingan dan pengarahan dari mandor PTPN VII Buma dalam pengelolaan usahatani tebu. Selain itu, informasi tentang jadwal penebangan, jumlah tebu yang dihasilkan, dan rendemen tebu juga dapat diketahui petani mitra. Petani mitra berkewajiban mengelola usahatani tebu sesuai bimbingan PTPN VII Bungamayang. Petani juga berkewajiban menyerahkan semua hasil usahatani tebunya kepada PTPN VII Bungamayang.
102
[Penyimpanan Dana Kredit] Kantor Direksi PTPN VII [Penjamin / Avalis]
APTR
Unit Usaha Bungamayang
[Kerjasama dan Diseminasi Informasi]]
Bagian Litbang
Bank Umum
BPR
[Penyaluran Dana Kredit]
Bagian Tebu Rakyat
[Pembinaan dan Penyuluhan]
Kelompok Tani (Poktan)
Gambar 15. Mekanisme Pembinaan dan Penyediaan Dana Pola Kemitraan (2010)
Dalam gambar diatas, pinjaman pre financing oleh PTPN VII kepada petani dalam bentuk pupuk dan bibit dalam rangka menjaga kualitas bibit dan ketepatan dalam waktu pemupukan. Kemudian, penyaluran dana hasil pengajuan kredit oleh PTPN VII dilakukan melalui Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Penyaluran dana dari Bank umum untuk disalurkan kepada petani langsung kepada PTPN VII sebagai penjamin (avalis) dan PTPN VII melalui BPR akan membayarkan sendiri atau dikuasakan kepada unit usaha Bungamayang untuk keperluan pengolahan tanah, pembelian bibit, pupuk, biaya perawatan tanaman dan tebang angkut tebu dari kebun ke pabrik. Dalam mekanisme kelembagaan yang dikembangkan di PG Bungamayang, bentuk dari hak dan kewajiban petani tebu dalam kemitraan adalah sebagai berikut:
103
A. Hak petani
1.
Mendapatkan paket kredit BRI melalui PTPN VII Unit Usaha Bungamayang sesuai luas garapan yang telah disetujui.
2.
Memperoleh 66% gula hasil tebu yang diolah dan tetes 2,5 %
3.
Memperoleh bimbingan dan pengarahan dari mandor PTPN VII Unit Usaha Bungamayang dalam berusahatani tebu.
4.
Dijamin dalam pengembalian kredit oleh PTPN VII Unit Usaha Bungamayang.
5.
Mengetahui jadwal penebangan, jumlah tebu yang dihasilkan, dan rendemen tebu.
B. Kewajiban
1.
Mengelola usahatani tebu sebaik-baiknya dan mematuhi bimbingan yang dilakukan oleh PTPN VII
2.
Menyerahkan semua hasil usahatani tebunya kepada PTPN VII Unit Usaha Bungamayang selaku Pabrik Gula
3.
Mengembalikan bunga kredit 17% per tahun pada saat selesai giling dan membayar biaya tebang angkut
4.
Menyerahkan fotocopy bukti kepemilikan lahan.
Dalam ketentuan bagi hasilnya, PG Bungamayang menggunakan formulasi sebagai berikut : Ton Tebu X Rendemen Efektif X Faktor SHS (1,003) X {(66 % + 2,5 %) X Ton Tebu) Dibawah ini diperlihatkan mekanisme bagi hasil yang diterapkan oleh PG Bungamayang kepada petani peserta kemitraannya (Tabel 39).
104
Tabel 39. Sistem Bagi Hasil Gula dan Tetes Petani Kemitraan I. PERHITUNGAN BAGI HASIL : Jumlah Tebu (Ton) Luas Areal Poktan (Ha) Rendemen (%) Produksi Hablur (Kuintal) Faktor
Ton Hektar % Kuintal Satuan
II. PENDAPATAN KELOMPOK TANI Penerimaan Gula Bagian Petani (90 %) Gula Bagian Petani Natura (10 %) Tetes Bagian Petani (2,5 %)
Rp Rp Rp Rp
III. POTONGAN BIAYA Kepada Pabrik Gula Karung Finalty Tebu Trash Finalty Rendemen Finalty Tebu Terbakar Lain-Lain
Rp Rp Rp Rp Rp
PINJAMAN Pupuk Bibit Perawatan Tebang, Muat dan Angkut Pokok dan bunga
7.320 8,5 6,32 462,62 1,003
Produksi Tetes (Kuintal) Produksi Gula (Kuintal) Gula Bagian PG Bungamayang (34 %) Gula Bagian Petani (66 %) Bagian Gula Yang dijual (90 %) Bagian Gula Natura (10 %)
183 464,01 157,7634 306,2466 275,62 30,62
275,62 X 710000 30,62 X 710000 183 X 350.000 Jumlah Penerimaan .........................
195.690.200 21.740.200 64.050.000 281.480.400
Rp Rp Rp Rp Rp
2.258.905 0 0 0 0 Jumlah Biaya Ke Pabrik Gula..............
2.258.905
39.709.025 0 11.900.000 28.266.825 3.751.851 Jumlah Pinjaman.............................. Total Potongan .................................
83.627.701 85.886.606
IV. PENDAPATAN POKTAN Pedapatan Poktan / Hektar
195.593.794 23.011.035
Sumber : PG Bungamayang (2010)
5.2.4. Pabrik Gula Pesantren Baru (Kabupaten Kediri) Ketergantungan pihak PG Pesantren Baru pada tebu milik petani relatif besar yaitu sekitar 90 persen kebutuhan tebunya dipasok oleh petani tebu kemitraan dan petani tebu bebas. Sementara sisanya sebesar 10 persen adalah tebu
105
milik pabrik gula (TS). Ketergantungan yang cukup besar ini memberikan konsekwensi bagi pabrik gula untuk melakukan kemitraan dengan petani sebaikbaiknya, mengingat di Kediri dan wilayah sekitarnya banyak pabrik gula yang juga membutuhkan tebu, sehingga terkadang terjadi persaingan yang tajam dalam memperoleh tebu milik rakyat tersebut. Tingkat pendapatan petani tebu di wilayah PG Pesantren Baru relatif lebih besar jika dibandingkan petani di wilayah pabrik gula di luar Kediri. Hal ini dimungkinkan mengingat tingkat produktivitas lahannya untuk menghasilkan tebu dapat diatas 100 ton per hektarnya. Pada tabel berikut digambarkan tentang keuntungan usahatani dari jenis lahan (tegalan dan sawah) maupun berdasarkan kategori tanamannya (Tanaman baru dan tanaman keparasan), yaitu sebagai berikut (Tabel 40) : Tabel 40. Keuntungan Usahatani Tebu di Wilayah PG Pesantren Baru
Jenis Lahan dan Kategori Tanaman A. TEGALAN Tanaman Baru (PC) Tanaman Keprasan (RC) B. SAWAH Tanaman Baru (PC) Tanaman Keprasan (RC)
Penerimaan (Rp)
Biaya (Rp)
Keuntungan (Rp)
54.236.000 54.236.000
39.448.650 34.948.650
14.787.350 19.287.350
64.742.500
41.412.000
23.330.500
68.883.200
39.264.400
29.618.800
Sumber : Data Primer (2010) Untuk menarik minat petani tebu agar konsisten dalam memasok kebutuhan tebunya, pabrik gula merumuskan bentuk kemitraan dengan membangun kesepakatan dengan petani yang diwakili oleh Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR). Adapun bentuk mekanisme kelembagaan yang berlaku di Pabrik Gula Pesantren Baru dilakukan dengan membangun hak dan kewajiban antara PG Pesantren Baru dengan petani peserta kemitraan sebagai berikut :
106
A. Kewajiban 1.
Sanggup dan wajib mengirim tebu miliknya atau yang dikuasainya
2.
Pengiriman tebu tiap harinya menyesuaikan dengan penjatahan yang sudah ditetapkan dalam rapat FTK
3.
Biaya kemasan gula (karung) untuk gula natura (10 %) menjadi tanggungan petani
4.
Petani tidak diperkenankan mengambil tebu diluar yang telah didaftarkannya
B. Hak 1.
Menerima / mendapatkan blanko surat perintah tebang angkut (SPTA) yang berlaku
2.
Menerima pembayaran bagi hasil dari hasil penggilingan tebu sesuai ketentuan yang berlaku di PG Pesantren Baru
3.
Memperoleh bagian gula 66 % jika rendemen dibawah 6 %, dan jika rendemen diatas 6 %, selain memperoleh bagi hasil 66 %, selisih lebih rendemen dibagi dengan komposisi 70 % untuk petani dan 30 % bagian pabrik gula
4.
Memperoleh bagi hasil tetes sebesar 3 Kg dari setiap kuintal tebu tertimbang Mengingat pabrik gula Pesantren Baru telah cukup lama beroperasi (sejak
Tahun 1976), maka manajemen pabrik ini telah memiliki pengalaman panjang dalam membangun hubungan saling menguntungkan (symbiose mutualism) dengan petani, termasuk dalam melakukan kerjasama yang baik dengan Asosiasi Petani tebu Rakyat (APTR) yang ada. Hubungan yang harmonis juga dilakukan pihak manajemen PG Pesantren dengan pihak Dinas Perkebunan dengan selalu mengundang aparat Dinas Perkebunan Kabupaten Kediri untuk ikut dalam pertemuan antara PG Pesantren dengan petani / APTR.
107
Ilustrasi tentang mekanisme kerjasama antara PG Pesantren Baru dengan petani tebu kemitraan dan pemangku kepentingan lainnya dapat disajikan pada Gambar 16.
K
i as si] ein sia sm ego i ,D N lis dan va [ A kan ija eb
PBARIK GULA PESANTREN BARU
ASOSIASI PETANI TEBU RAKYAT (APTR)
FORUM KEMITRAAN
[P
erj an ji Kr an / [D ed Ak uk it] u ad da nga nM nK on eb ito ijak rin an g]
KOPERASI PETANI TEBU RAKYAT (KPTR)
[W ad ah M Ke em pe pe nti rju ng an an gk an ]
PETANI TEBU
k pu Pu an] n t a ba lur an ya t-O ak en ba bij n] e [P n O n K ha da ga ulu un eny k P u [ D an d
DINAS PERKEBUNAN
Gambar16. Ilustrasi Hubungan Kelembagaan Pada PG Pesantren Baru Pada hakekatnya penyusunan kelembagaan dimaksudkan untuk mencapai tujuan peningkatan pendapatan bagi petani tebu. Salah satu mekanisme tersebut dilakukan melalui bentuk kelembagaan bagi hasil. Adapun gambaran tentang sistem bagi hasil yang selama ini diterapkan pada PG Pesantren Baru adalah sebagai berikut :
108
Tabel 41. Sistem Bagi Hasil Milik Petani Kemitraan PG Pesantren Baru Keterangan Harga Jual Gula Produksi Tebu Rendemen Produksi Gula Bagi Hasil Gula Bagi Hasil Tetes Harga Tetes PERHITUNGAN BAGI HASIL : PenerimaanBagi Hasil Gula PenerimaanBagi Hasil Tetes Penerimaan Total Bagi Hasil Petani
Satuan Rp/Kuintal Kuintal % Kuintal Kuintal Kg / Kuintal Rp/Kg Rp Rp
Nilai 850.000 1300 7,12 92,56 61,09 3 1000 51.926.160 4.333.333 56.259.493
Sumber : PG Pesantren baru (2010) Dari Tabel 41 diatas tergambar bahwa penerimaan kotor (gross margin) yang diperoleh petani tebu peserta kemitraan di PG Pesantren Baru relatif tinggi, selain disebabkan karena tingkat produktivitas lahannya yang mampu diatas 100 ton per hektarnya, juga pemberian insentif yang memadai sehingga petani cukup memiliki loyalitas untuk tetap memasok kebutuhan PG Pesantren Baru. Dari pengamatan lapangan tampak masih adanya tindakan kecurangan (moral hazard) yang dilakukan petani yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh manajemen Pabrik Gula. Tindakan tersebut terkait dengan pemberian kotoran (trash) berupa batang pisang atau pucuk tebu dengan sengaja, untuk menambah bobot tebu pada saat ditimbang.
Untuk menghindari tindakan moral hazard
tersebut, sebaiknya perlu
untuk dipikirkan oleh manajemen Pabrik Gula untuk memberikan insentif tambahan berupa bagi hasil dari sumber bagas / ampas tebu. Hal ini dimungkinkan karena ampas / bagas digunakan oleh pabrik gula sebagai energi yang menggerakkan proses produksi. Jika pabrik gula tidak menggunakan ampas/bagas, maka pabrik gula akan mengeluarkan biaya tambahan yang besar untuk pembelian residu. Ampas tebu memiliki nilai ekonomis sebagai bahan baku utama pembuatan kertas. Menurut informasi dari manajemen pabrik kercas leces
109
di Purbolinggo diketahui bahwa harga ampas / bagas basah rata-rata Rp. 300,sampai 350,- per Kg nya atau Rp. 3 Juta sampai Rp. 3,5 Juta per tonnya. Sebagai contoh, jika rata-rata ampas/bagas yang dihasilkan setiap tahunnya 33 % dari jumlah tebu yang digiling oleh PG Kebon Agung (401.061 Ton Tebu) atau diperoleh pendapatan sebesar Rp. 1,23 Trilyun per tahunnya. Dengan demikian rasional dan layak apabila petani juga dapat memperoleh dari bagi hasil ampas (bagas).
Dari kajian tentang kelembagaan kemitraan aktual pada ke empat pabrik gula yang diteliti, tergambarkan adanya persamaan dan perbedaan dalam sistem bagi hasil, persyaratan pasokan tebu dari petani peserta kemitraan, pembiayaan usahatani tebu rakyat, aturan tentang sistem tebang, muat dan angkut dari kebun ke pabrik gula, sistem penjualan gula dari bagi hasil, sistem penentuan rendemen, organisasi petani tebu, penyuluhan / pembinaan serta akses informasi tentang perkembangan harga jual gula. Pada Tabel 42 berikut disajikan perbedaan dan kesamaan dari mekanisme kelembagaan kemitraan yang masih berlangsung sampai saat ini.
110
Tabel 42. Kesamaan dan Perbedaan Dimensi Kelembagaan Kemitraan Antara Pabrik Gula Dengan Petani Tebu
No
Uraian
Kesamaan
1 Sistem Bagi Hasil
Besaran Bagi Hasil Mengikuti Ketentuan SK Menteri Pertanian No. 04/SK/Mentan/BIMAS/V/1992
2 Persyaratan Pasokan Tebu
Tebu yang disyaratkan secara ideal adalah tebu petani yang memenuhi Ketentuan MBS (Manis, Bersih, Segar)
3 Pembiayaan Usahatani
Pada umumnya pabrik gula menjadi penjamin kredit (Avalist) bagi petani peserta kemitraan
4
Penebangan dan Pengangkutan Pabrik gula memberikan pengetahuan tentang / antrian Tebu teknik penebangan serta aturan tentang antrian
5 Sistem Penjualan Gula
Pabrik gula membantu petani dalam menjual gula bagi hasilnya
6 Penentuan Rendemen Tebu
Pabrik gula menginformasikan tentang besaran rendemen tebu milik petani
7 Organisasi Petani
Pabrik gula memberikan kesempatan kepada petani untuk mengorganisir diri (Kelompok tani)
8 Penyuluhan / Pembinaan
Penyuluhan / pembinaan dalam rangka peningkatan mutu budidaya dilakukan
9 Akses Informasi
Pabrik gula selalu memberikan informasi tentang jadwal tebang, kuota pasokan tebu dan harga gula
Perbedaan Dalam prakteknya terjadi bagi hasil dapat lebih tinggi atau lebih rendah dari ketentuan yang telah digariskan oleh Menteri Pertanian Setiap pabrik gula memberikan persyaratan khusus yang berbeda terutama jumlah maksimal kotoran (Trash) dalam setiap pasokan tebu petani Masing -masing pabrik gula memiliki kebijakan yang berbeda, khususnya dalam fasilitasi kredit saprotan Dalam penebangan bagi tebu petani yang telah masak, tidak semua pabrik gula memfasilitasi pemberian zat perangsang Kemasakan (ZPK), pemberian uang muka untuk tebangan dan pengangkutan dari kebun ke pabrik Hanya pabrik gula di Jawa yang memfasilitasi pelelangan pembelin gula petani oleh pihak ketiga Tidak semua pabrik gula menerapkan penentuan rendemen individual berdasarkan per angkutan yang masuk ke pabrik Hanya pabrik gula di Jawa yang telah memfasilitasi terbentuknya asosiasi petani tebu (APTRI) Tidak semua pabrik gula memberikan peluang kepada wakil pemerintah daerah untuk terlibat aktif dalam kemitraan dan melakukan pembinaan secara intensif kepada petani Ada perbedaan akses informasi yang dapat diakses oleh petani khususnya dalam kaitan dengan ketersediaan dan harga pupuk
Hubungan baik pabrik gula dengan petani peserta kemitraan perlu terus dijaga agar komitmen petani peserta kemitraan tinggi dan menjamin pasokan kebutuhan bahan baku tebu pabrik gula. Dalam rangka memperkuat kemitraan
111
tersebut, masing-masing pabrik gula memiliki insentif / penghargaan dan disinsentif /sanksi yang berbeda. Dari Tabel 42 terlihat adanya kesamaan dan perbedaan dalam upaya pabrik gula memperkuat mekanisme kemitraan yang dijalankan. 1. Sistem Bagi Hasil Secara umum keempat pabrik gula yang diteliti menggunakan dasar dari ketentuan yang telah digariskan oleh Kementerian Pertanian dalam sistem bagi hasil gula antara petani tebu peserta kemitraan dengan pabrik gula dengan komposisi 67 persen dan 33 persen. Namun demikian, dalam prakteknya seringkali terjadi perbedaan dalam besaran bagi hasil tersebut, khususnya pada awal-awal pabrik mulai musim giling tebu (April atau Mei). Pada saat awal panen tebu, umumnya brix kurang dari 17 yang berarti tingkat rendemennya kurang dari 6 persen. Dalam kondisi demikian, pabrik gula ada yang memberlakukan ketentuan sistem bagi hasil dibawah ketentuan dari Menteri Pertanian, dan ada pabrik gula yang tetap menekankan pada ketentuan sistem bagi hasil tersebut.
2. Persyaratan Pasokan Tebu Setiap pabrik gula mensyaratkan ketentuan khusus tentang persyaratan pasokan tebu sesuai dengan kontrak kerjasama yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak (pabrik gula dan petani). Kesamaan dari keempat pabrik gula yang diteliti dalam kaitannya dengan persyaratan pasokan tebu adalah bahwa tebu dari petani (TR) sebaiknya manis, bersih dan segar (MBS) karena dengan mutu tebu tersebut, maka produksi dan produktivitas gula dapat meningkat. Perbedaannya adalah, dalam kaitannya dengan jumlah maksimal kotoran tebu (trash) yang terbawa dari tebu yang dikirim petani ke pabrik gula dengan rentang antara 3 persen sampai 5 persen dari total berat tebu.
3. Pembiayaan usahatani, penebangan dan pengangkutan tebu Kesamaan dari keempat pabrik gula dalam kaitannya dengan pembiayaan usahatani, penebangan dan pengangkutan tebu (pembelian pupuk dan obatanobatan) adalah pabrik gula bertindak sebagai penjamin (avalist) dari kredit yang dikucurkan oleh Pemerintah lewat Bank-Bank BUMN yang oleh pabrik gula
112
disalurkan melalui kelompok tani atau koperasi. Sedangkan perbedaannya, pabrik gula dalam memfasilitasi petani peserta kemitraannya, berbeda khususnya dalam pemberian subsidi biaya angkut, fasilitasi penyemprotan zat kemasakan tebu (ZPK), penyediaan bibit unggul dan sebagainya.
4. Sistem Penjualan Gula Pada
umumnya,
keempat
pabrik
gula
yang
diteliti
memiliki
tanggungjawab terhadap penentuan harga gula milik petani dari bagi hasil. Namun demikian, khususnya pabrik gula di pulau Jawa menetapkan harga gula milik petani peserta kemitraan dengan sistem lelang dan memfasilitasi dana talangan dari pihak ketiga (pembeli gula). Mekanisme penentuan harga jual gula milik petani di lakukan dengan sistem lelang terbuka yang difasilitasi oleh pabrik gula.
5. Penentuan Rendemen Tebu Setiap pabrik gula menggunakan aturan terhadap penentuan rendemen tebu milik petani yang dipasok secara kontinyu. Akan tetapi, tiap pabrik gula yang diteliti memberlakukan ketentuan yang berbeda dalam perhitungan rendemen tebu milik petani , seperti penentuan rendemen dari keseluruhan jumlah tebu yang dipasok dengan cara mengambil sampel tertentu dari brix tebu petani atau mengambil sampel brix dari setiap truk tebu yang masuk ke meja penimbangan (crane).
6. Organisasi Petani Secara umum, petani yang menjadi peserta kemitraan telah memiliki kelompok tani (Poktan) dan terdaftar sebagai anggota koperasi. Namun demikian, untuk penguatan posisi tawarnya, pabrik gula di Jawa lebih memberikan keleluasaan kepada petani mitranya untuk mengkonsolidasikan dalam wadah Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI).
113
7. Penyuluhan / Pembinaan Peran Pemerintah Daerah (Khususnya Dinas Pertanian) di masing-masing pabrik gula berbeda perannya dalam melakukan pembinaan / penyuluhan kepada petani dalam peningkatan mutu usahataninya. Aparatur Pemerintah Daerah di lokasi pabrik gula di pulau Jawa berperan aktif dan intensif dalam memberikan penyuluhan / pembinaan serta pendampingan kepada para petani tebu yang ada. Sementara di Lampung, peran aparatur Pemerintah Daerah masih belum signifikan dalam membina / memberikan penyuluhan kepada petani tebu yang ada.
8. Akses Informasi Dari keempat pabrik gula yang diteliti, semuanya telah memberikan akses informasi tentang rencana jadwal giling, penggiliran tebang tebu, maupun kuota pasokan tebu kepada petani tebu peserta kemitraannya.
Akan tetapi hanya
sebagian pabrik gula (khususnya di Jawa) yang memberikan informasi terkait dengan jumlah pasokan pupuk dan harga pupuk yang berlaku kepada petani peserta kemitraannya.
VI. KAJIAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING INDUSTRI GULA TEBU 6.1. Kajian Produktivitas Secara substansial, produktivitas merupakan rasio antara keluaran (output) dan masukan (input). Menurut Nurdin dan Zabidi (2005), Kriteria Produktivitas dapat dibangun berdasarkan kategori efisiensi, efektivitas dan inferensial. Namun untuk penelitian ini,
kriteria-kriteria yang digunakan untuk mengkaji
produktivitas keempat pabrik gula terpilih adalah sebagai berikuti : (1) Kriteria efisiensi, menunjukkan bagaimana penggunaan sumber daya perusahaan, seperti tenaga kerja, energi, material serta modal yang sehemat mungkin (Kriteria 3,4,5,6,7, 8, 11 dan 12) dan (2) Kriteria efektivitas, menunjukkan bagaimana perusahaan mencapai hasil bila dilihat dari sudut akurasi dan kualitasnya (Kriteria 1,2,9 dan 10). Dalam melakukan analisis produktivitas di 4 (empat) pabrik gula contoh, beberapa kriteria produktivitas yang digunakan adalah sebagai berikut : Tabel 43. Kriteria- Kriteria Produktivitas Pabrik Gula Contoh Kriteria
Kriteria – Kriteria Produktivitas
Kriteria 1
Produksi Tebu (Ton) / Luas Areal Panen (Ha)
Kriteria 2
Jumlah Tebu Giling (Ton) / Kapasitas Pabrik (Ton)
Kriteria 3
Jumlah Tebu Giling (Ton)/ Produksi Energi Bagas (Kwh)
Kriteria 4
Jumlah Tebu Giling (Ton) / Kebutuhan Energi (Kwh)
Kriteria 5
Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Hari Berhenti Giling (Hari)
Kriteria 6
Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Kotoran Tebu (Trash) (Ton)
Kriteria 7
Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Pemakaian Kapur (Ton)
Kriteria 8
Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Pemakaian Belerang (Ton)
Kriteria 9
Jumlah Produksi Gula (Ton) / Luas Areal Panen (Ha)
Kriteria 10
Jumlah Produksi Gula (Ton) / Jumlah Tebu Giling (Ton)
Kriteria 11
Mill Extraction (ME) / Norma Mill Extraction
Kriteria 12
Boiler House Recovery (BHR) / Norma BHR
116
Data yang dianalisis merupakan data 5 (lima) tahun, sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2009. Untuk melihat perkembangan indeks produktivitas, nilai produktivitas tahun 2005 dijadikan tahun dasarnya (100 %). 6.1.1. Tingkat Produktivas Pabrik Gula Untuk menentukan posisi tingkat produktivitas dari masing-masing pabrik gula yang diteliti, maka nilai-nilai yang membentuk produktivitas tersebut di elaborasi lebih lanjut, dengan menempatkan masing-masing pabrik gula dalam matriks produktivitas. Untuk mengetahui posisi produktivitas pabrik gula dalam matriks produktivitas, digunakan penilaian dari masing-masing kriteria produktivitas yang diperoleh dengan menggunakan skala likert dengan nilai 1 sampai 5 dan kemudian dikalikan dengan bobotnya (Gambar 17).
EFEKTIVITAS
TINGGI KUADRAN II (PRODUKTIVITAS SEDANG)
KUADRAN I (PRODUKTIVITAS TINGGI)
KUADRAN III (PRODUKTIVITAS RENDAH)
KUADRAN IV (PRODUKTIVITAS SEDANG)
SEDANG
RENDAH
SEDANG
TINGGI
EFISIENSI Gambar 17. Matriks Produktivitas Industri Gula Tebu Nasional Untuk menentukan posisi tingkat produktivitas masing-masing pabrik gula yang diteliti, digunakan parameter yang mengkombinasikan ukuran dari kriteria efisiensi dan efektivitas. Penjelasan tentang ukuran yang menentukan tingkat produktivitas tersebut adalah sebagai berikut :
117
1. Jika nilai total efisiensi dan nilai total efektivitas diatas rataan totalnya, maka tingkat produktivitas pabrik gula tersebut disebut produktivitas tinggi (Berada pada kuadran I) 2. Jika nilai total efisiensi dan nilai total efektivitas mendekati nilai rataan total,
maka
tingkat
produktivitas
pabrik
gula
tersebut
disebut
produktivitas sedang (Berada pada kuadran II dan Kuadran IV) 3. Jika nilai total efisiensi dan nilai total efektivitas dibawah rataan totalnya, maka tingkat produktivitas pabrik gula tersebut disebut produktivitas rendah (Berada pada kuadran III) Untuk mengetahui posisi tingkat produktivitas digunakan skala likert (1 sampai 5) untuk masing-masing rasio produktivitas yang diperoleh keseluruhan (kebun dan pabrik), selanjutnya dilakukan perkalian antara nilai dengan bobot masing-masing kriteria (Tabel 44) : Tabel 44. Perhitungan skor Produktivitas Pabrik Gula
Kriteria
Ratio Produktivitas
EFISIENSI 3 Jumlah Tebu Giling (Ton)/ Produksi Energi Bagas (Kwh) 4 Jumlah Tebu Giling (Ton) / Kebutuhan Energi (Kwh) 5 Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Hari Berhenti Giling (Hari) 6 Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Kotoran Tebu (Trash ) (Ton) 7 Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Pemakaian Kapur (Ton) 8 Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Pemakaian Belerang (Ton) 11 Mill Extraction (ME) / Norma Mill Extraction 12 Boiler House Recovery (BHR) / Norma BHR
Total Hasil Efisiensi EFEKTIVITAS 1 Produksi Tebu (Ton) / Luas Areal Panen (Ha) 2 Jumlah Tebu Giling (Ton) / Kapasitas Pabrik (Ton) 9 Jumlah Produksi Gula (Ton) / Luas Areal Panen (Ha) 10 Jumlah Produksi Gula (Ton) / Jumlah Tebu Giling (Ton) Total Hasil Efektivitas
PG Gunung PG PG Kebon Madu Bungamayang Agung
PG Pesantren Baru
Nilai x Bobot Nilai x Bobot 43,7 35,08 46,1 25,56 41,25 25,56 43,7 31,04 33 24,06 31,08 25,56 41,25 34,08 31,08 24,06 311,16 225
Nilai x Bobot 35,32 25,74 33,32 31,28 31,28 35,32 34,32 33,32 259,9
Nilai x Bobot 34,44 25,83 22,95 32,52 22,95 25,83 34,44 34,44 233,4
42,9 30,28 34,32 33,32 140,82
43,05 25,83 24,39 32,52 125,79
43,7 41,25 33 31,08 149,03
26,31 24,81 24,81 24,06 99,99
118
Dari hasil perkalian antara nilai dan bobot dari masing-masing kriteria (efisiensi dan efektivitas), diperoleh posisi produktivitas dari masing-masing pabrik gula sebagai berikut (Gambar 18) : 1. Posisi Produktivitas Pabrik Gula GM masuk kategori produktivitas tinggi (nilai efisiensi 311,16 dan nilai efektivitas 149,03) 2. Posisi Produktivitas Pabrik KA masuk kategori produktivitas sedang (nilai efisiensi 259,9 dan nilai efektivitas 140,82) 3. Posisi Produktivitas Pabrik PB masuk kategori produktivitas sedang (nilai efisiensi 233,4 dan nilai efektivitas 125,79) 4. Posisi Produktivitas Pabrik
BM masuk kategori produktivitas rendah
(nilai efisiensi 225 dan nilai efektivitas 99,9)
TINGKAT PRODUKTIVITAS PABRIK GULA EFEKTIVITAS
160 150 Kuadran II (Sedang)
140
Kuadran I (Tinggi)
130
311,16 PG GM
120
Kuadran III (Rendah)
110
225BM PG
Kuadran IV (Sedang)
259,9 PG KA PG PB 236,4
100 90 200
220
240
260
280
300
320
EFISIENSI Gambar 18 Posisi Tingkat Produktivitas Pabrik Gula Yang Diteliti
119
6.1.2. Indeks Produktivitas Untuk melihat perkembangan produktivitas dari masing-masing pabrik gula yang diteliti digunakan indeks produktivitas, yang diperoleh dari hasil penjumlahan antara nilai dan bobot dari masing-masing elemen dari kriteria produktivitas, dengan menggunakan tahun dasar 2005. Adapun perkembangan dari indeks produktivitas masing-masing pabrik gula tersaji dibawah ini :
6.1.2.1. Pabrik Gula Gunung Madu (Lampung Tengah) Pabrik gula Gunung Madu memiliki rataan indeks produktivitas yang tertinggi dibandingkan ketiga pabrik gula lainnya. Berikut diperlihatkan perkembangan indeks produktivitas pabrik gula Gunung Madu (Tabel 45) : Tabel 45. Indeks Produktivitas PG Gunung Madu
Tahun 2005 2006 2007 2008 2009
Nilai Produktivitas 191 241,67 274,24 334,85 292,17
Indeks Produktivitas 100 126,53 143,58 175,31 152,97
Sumber : Hasil Pengolahan Data Perkembangan indeks produktivitas PG Gunung Madu sejak tahun 2006 terus mengalami peningkatan dengan angka indeks tertinggi 175,31 (tahun 2008) dan indeks terendah 126,53 (tahun 2006). Peningkatan produktivitas sebesar 26,53 persen yang terjadi pada tahun 2006 dibandingkan tahun 2005 (base
year)
dipengaruhi oleh kriteria : (1). Produksi tebu / luas areal panen ; (2). Jumlah tebu giling / kotoran tebu (trash) ; (3). Jumlah tebu giling / pemakaian belerang ; (4). Produksi gula / jumlah tebu giling dan (5). Mill extraction / norma mill extraction (efisiensi penggilingan). Peningkatan produktivitas sebesar 43,58 persen yang terjadi pada tahun 2007 dibandingkan tahun dasar 2005, dipengaruhi oleh kriteria sebagai berikut :
120
(1). Produksi tebu / luas areal panen; (2). Jumlah tebu giling / kapasitas pabrik ; (3). Jumlah tebu giling / produksi energi dari bagas ; (4). Jumlah tebu giling / hari berhenti giling ; (5). Jumlah tebu giling / kotoran tebu (trash); (6). ). Jumlah tebu giling / pemakaian belerang ; (7). Produksi gula / jumlah tebu giling ; dan (8) Mill extraction / norma mill extraction (efisiensi penggilingan). Peningkatan produktivitas sebesar 75,31 persen yang terjadi pada tahun 2008 dibandingkan tahun dasar 2005, dipengaruhi oleh kriteria sebagai berikut : (1). Produksi tebu / luas areal panen; (2). Jumlah tebu giling / kapasitas pabrik ; (3). Jumlah tebu giling / pemakaian belerang ; (4). Produksi gula / luas areal panen ; (5). Produksi gula / jumlah tebu giling; dan (6) Mill extraction / norma mill extraction (efisiensi penggilingan). Peningkatan produktivitas sebesar 52,97 persen yang terjadi pada tahun 2009 dibandingkan tahun dasar 2005, dipengaruhi oleh kriteria sebagai berikut : (1). Produksi tebu / luas areal panen; (2). Jumlah tebu giling / kapasitas pabrik ; (3). Jumlah tebu giling / hari berhenti giling; (4). Jumlah tebu giling / kotoran tebu (trash); (5). Jumlah tebu giling / pemakaian kapur. 6.1.2. 2. Pabrik Gula Bungamayang (Lampung Utara) Dari hasil perhitungan yang dilakukan, diperoleh nilai dari masing-masing faktor pembentuk indeks produktivitas dari pabrik gula Bungamayang sebagai berikut (Tabel 46): Tabel 46. Indeks Produktivitas PG Bungamayang
Tahun 2005 2006 2007 2008 2009
Nilai Produktivitas 160,15 166,67 175,68 208,27 165,41
Sumber : Hasil Pengolahan Data
Indeks Produktivitas 100 104 109,7 130,05 103,29
121
Perkembangan indeks produktivitas PG Bungamayang sejak tahun 2006 terus mengalami peningkatan dengan angka indeks tertinggi 130,05 (tahun 2008) dan indeks terendah 104 (tahun 2006). Peningkatan produktivitas sebesar 4 persen yang terjadi pada tahun 2006 dibandingkan tahun 2005 (base year) dipengaruhi oleh kriteria : (1). Jumlah Tebu Giling (Ton)/ Produksi Energi Bagas (Kwh); (2). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Kebutuhan Energi (Kwh); (3). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Kotoran Tebu (Trash) (Ton); (4). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Pemakaian Belerang (Ton); (5). Jumlah Produksi Gula (Ton) / Luas Areal Panen (Ha); (6). Mill Extraction (ME) / Norma Mill Extraction. Peningkatan produktivitas sebesar 9,7 persen yang terjadi pada tahun 2007 dibandingkan tahun 2005 (base year) dipengaruhi oleh kriteria : (1). Jumlah Tebu Giling (Ton)/ Produksi Energi Bagas (Kwh); (2). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Kebutuhan Energi (Kwh); (3). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Kotoran Tebu (Trash) (Ton); (4). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Pemakaian Belerang (Ton) (5). Boiler House Recovery (BHR) / Norma BHR. Peningkatan produktivitas sebesar 30,05 persen yang terjadi pada tahun 2008 dibandingkan tahun 2005 (base
year) dipengaruhi oleh kriteria : (1).
Produksi Tebu (Ton) / Luas Areal Panen (Ha); (2). Jumlah Tebu Giling (Ton)/ Produksi Energi Bagas (Kwh); (3). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Kotoran Tebu (Trash) (Ton); (4). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Pemakaian Kapur (Ton); (5). Jumlah Produksi Gula (Ton) / Luas Areal Panen (Ha); (6). Boiler House Recovery (BHR) / Norma BHR. Peningkatan produktivitas sebesar 3,29 persen yang terjadi pada tahun 2009 dibandingkan tahun 2005 (base year) dipengaruhi oleh kriteria : (1). Jumlah Tebu Giling (Ton)/ Produksi Energi Bagas (Kwh); (2). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Kebutuhan Energi (Kwh); (3). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Kotoran Tebu (Trash) (Ton); (4). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Pemakaian Belerang (Ton); (5). Jumlah Produksi Gula (Ton) / Luas Areal Panen (Ha); (6). Jumlah Produksi Gula (Ton) / Jumlah Tebu Giling (Ton);
122
6.1.2.3. Pabrik Gula Pesantren Baru (Kediri) Dari hasil perhitungan yang dilakukan, diperoleh nilai dari masing-masing faktor pembentuk indeks produktivitas dari Pabrik gula Pesantren Baru sebagai berikut (Tabel 47):
Tabel 47. Indeks Produktivitas PG Pesantren Baru
Tahun 2005 2006 2007 2008 2009
Nilai Produktivitas 174,75 214,65 242,42 265,91 234,34
Indeks Produktivitas 100 122,83 138,73 152,17 134,1
Sumber : Hasil Pengolahan Data Perkembangan indeks produktivitas PG Pesantren Baru sejak tahun 2006 terus mengalami peningkatan dengan angka indeks tertinggi 152,17 (tahun 2008) dan indeks terendah 122,83 (tahun 2006). Peningkatan produktivitas sebesar 22,83 persen yang terjadi pada tahun 2006 dibandingkan tahun 2005 (base
year)
dipengaruhi oleh kriteria : (1). Produksi Tebu (Ton) / Luas Areal Panen (Ha); (2). Jumlah Tebu Giling (Ton)/ Produksi Energi Bagas (Kwh); (3). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Hari Berhenti Giling (Hari); (4). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Kotoran Tebu (Trash) (Ton); dan (5). Mill Extraction (ME) / Norma Mill Extraction. Peningkatan produktivitas sebesar 38,73 persen yang terjadi pada tahun 2007 dibandingkan tahun 2005 (base
year) dipengaruhi oleh kriteria : (1).
Produksi Tebu (Ton) / Luas Areal Panen (Ha); (2). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Kebutuhan Energi (Kwh); (2). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Pemakaian Belerang (Ton); dan (3). Mill Extraction (ME) / Norma Mill Extraction. Peningkatan produktivitas sebesar 52,17 persen yang terjadi pada tahun 2008 dibandingkan tahun 2005 (base
year) dipengaruhi oleh kriteria : (1).
Produksi Tebu (Ton) / Luas Areal Panen (Ha); (2). Jumlah Tebu Giling (Ton)/
123
Produksi Energi Bagas (Kwh); (3). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Hari Berhenti Giling (Hari); (4). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Pemakaian Kapur (Ton); (5). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Penggunaan Belerang (Ton); dan (6). Mill Extraction (ME) / Norma Mill Extraction. Peningkatan produktivitas sebesar 34,10 persen yang terjadi pada tahun 2009 dibandingkan tahun 2005 (base year) dipengaruhi oleh kriteria : (1). Jumlah Produksi Gula (Ton) / Jumlah Tebu Giling (Ton); dan (2). Boiler House Recovery (BHR) / Norma BHR. 6.1.2.4. Pabrik Gula Kebon Agung (Malang) Dari hasil perhitungan yang dilakukan, diperoleh nilai dari masing-masing faktor pembentuk indeks produktivitas dari Pabrik Kebon Agung Baru sebagai berikut (Tabel 48) : Tabel 48. Indeks Produktivitas PG Kebon Agung
Tahun 2005 2006 2007 2008 2009
Nilai Produktivitas 199,75 216,46 275,81 283,29 254,86
Indeks Produktivitas 100 108,36 138,08 141,82 127,59
Sumber : Hasil Pengolahan Data Perkembangan indeks produktivitas PG Kebon Agung sejak tahun 2006 terus mengalami peningkatan dengan angka indeks tertinggi 141,82 (tahun 2008) dan indeks terendah 108,36 (tahun 2006). Peningkatan produktivitas sebesar 8,36 persen yang terjadi pada tahun 2006 dibandingkan tahun 2005 (base
year)
dipengaruhi oleh kriteria : (1). Produksi Tebu (Ton) / Luas Areal Panen (Ha); (2). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Kapasitas Pabrik (Ton); (3). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Pemakaian Kapur (Ton); dan (4). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Pemakaian Belerang (Ton).
124
Peningkatan produktivitas sebesar 38,08 persen yang terjadi pada tahun 2007 dibandingkan tahun 2005 (base
year) dipengaruhi oleh kriteria : (1).
Produksi Tebu (Ton) / Luas Areal Panen (Ha); (2). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Kebutuhan Energi (Kwh); (3). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Hari Berhenti Giling (Hari); (4). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Kotoran Tebu (Trash) (Ton); (5). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Pemakaian Belerang (Ton); (6). Jumlah Produksi Gula (Ton) / Luas Areal Panen (Ha); dan (7). Mill Extraction (ME) / Norma Mill Extraction. Peningkatan produktivitas sebesar 41,82 persen yang terjadi pada tahun 2008 dibandingkan tahun 2005 (base year) dipengaruhi oleh kriteria : (1). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Kapasitas Pabrik (Ton); (2). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Kebutuhan Energi (Kwh); (3). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Kotoran Tebu (Trash) (Ton); (4). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Pemakaian Belerang (Ton); (5). Jumlah Produksi Gula (Ton) / Luas Areal Panen (Ha); (10). Jumlah Produksi Gula (Ton) / Jumlah Tebu Giling (Ton); dan (6). Mill Extraction (ME) / Norma Mill Extraction. Peningkatan produktivitas sebesar 27,59 persen yang terjadi pada tahun 2009 dibandingkan tahun 2005 (base year) dipengaruhi oleh kriteria : (1). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Kebutuhan Energi (Kwh); (2). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Hari Berhenti Giling (Hari); (3). Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Pemakaian Kapur (Ton); dan (4). Jumlah Produksi Gula (Ton) / Jumlah Tebu Giling (Ton). 6.2. Kajian Peningkatan Produktivitas Para pengamat pergulaan masih skeptis bahwa target swasembada gula 2014 yang dicanangkan oleh pemerintah akan tercapai. Kondisi tersebut disebabkan belum terintegrasinya usahatani (hulu) dan industri (hilir) serta masih terkendala administrasi birokrasi pemerintahan saat ini. Di era Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, target swasembada gula sampai tahun 2014 adalah 5,7 juta ton, yang akan diperoleh dari pabrik gula yang ada sebesar 3,57 juta ton (sebanyak 2,32 juta ton dari pabrik gula BUMN dan 1,25
125
juta ton pabrik gula swasta), serta harus ada tambahan gula dari pembangunan 1025 pabrik gula baru yang akan menghasilkan 2,13 juta ton gula. Pada tahun 2011, gula konsumsi untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga ditargetkan mencapai 2,7 juta ton, menggunakan basis konsumsi 214 ribu ton per bulan atau sekitar 12 kilogram per kapita. Sementara itu, konsumsi gula industri mencapai 1,98 juta ton dengan rincian konsumsi gula industri oleh industri besar mencapai 1,65 juta ton dan konsumsi gula oleh industri kecil dan menengah 330 ribu ton. Total konsumsi gula pada tahun 2011 diperkirakan mencai 4,67 juta ton, suatu jumlah yang sangat tinggi dilihat dari kinerja produksi atau jumlah yang masih rendah (dilihat dari tingkat konsumsi gula di pasar domestik dan kemampuan industri gula rafinasi yang masih beroperasi sekitar 70 persen). Akan tetapi, produksi gula pada tahun 2011 diperkirakan hanya 2,35 juta ton (Arifin, 2012). Masih mengemukanya masalah struktural sistem produksi (khususnya tentang ketersediaan lahan, kualitas bibit tebu unggul, dan manajemen usahatani tebu) masih belum akan dapat diselesaikan dalam waktu dekat. Untuk mencapai produksi gula 5,7 juta ton itu setidaknya diperlukan tambahan lahan usahatani dan perkebunan tebu seluas 350 ribu hektare. Demikian pula, klaim pemerintah bahwa terdapat 900 ribu hektare lahan bekas hutan yang telah dicabut izin pengelolaannya karena aktivitasnya tidak pernah jelas sebenarnya telah siap untuk dikonversi menjadi lahan perkebunan tebu. Akan tetapi, persoalan lahan secara administrasi dan sosial-ekonomi tidak sesederhana yang diduga, sehingga realiasi pengadaan lahan baru untuk perkebunan tebu itu pun masih cukup sulit. Apabila pemerintah lamban merealisasikan pengadaan lahan seluas 350 ribu hektare itu, maka produksi gula maksimal yang akan dihasilkan Indonesia pada tahun 2014 hanya 3,2 juta ton dan tidak akan mencapai sasaran swasembada gula sebesar 5,7 juta ton (Arifin et al. 2012). Dari perspektif spasial, pemerintah belum mempunyai kebijakan tata ruang yang jelas dan memungkinkan tebu dibudidayakan dalam satu hamparan agroekosistem. Situasi pengusahaan tanaman budi daya yang terpencar-pencar dan berdampingan banyak komoditas sementara persyaratan tumbuh masing-masing berbeda,
menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan efisiensinya rendah serta
126
menyulitkan penanganan panen. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, PG dan petani harus memiliki satu persepsi yang sama tentang pentingnya pola tanam dan tata ruang. Selain itu, sampai saat ini sebagian besar pabrik gula di pulau Jawa mengalami disintegrasi vertikal dalam pengadaan bahan bakunya (tebu). Untuk itu diperlukan konsolidasi lahan yang memungkinkan tanaman, mekanisasi, budidaya dan tebang-angkut dilakukan dalam satu manajemen. Apabila lahan yang digunakan untuk budi daya tebu diasumsikan tetap seperti sekarang, maka produktivitas harus ditingkatkan menjadi sekurangkurangnya 9 sampai 10 ton gula per hektar sampai tahun 2014. Sementara kinerja produktivitas hablur nasional dari tahun 2003 sampai 2010 cenderung stagnan, dengan rataan produktivitas hablur sebesar 5,72 (Tabel 49). Dengan demikian, untuk 4 (empat) tahun kedepan (tahun 2011 – 2014), diperlukan peningkatan produktivitas hablur sebesar 3,28 – 4,28 ton per hektar atau rata-rata sebesar 0,656 sampai 0,856 ton per hektar setiap tahunnya. Tabel 49. Perkembangan Luas Areal, Produksi, Rendemen dan Produktivitas Hablur Nasional Tahun 2005 – 2010
No 1 2 3 4 5 6
Uraian Luas Areal (Ha) Produksi Tebu (Ton) Produktivitas Tebu (Ton/Ha) Rendemen (%) Produksi Hablur (Ton) Produktvitas Hablur (Ton/Ha)
2005 2006 2007 2008 2009 2010 381.786 396.440 428.401 436.505 422.935 418.259 31.242.271 30.232.835 33.289.452 32.960.165 32.165.572 34.216.548 81,83 76,26 77,71 75,51 76,05 81,81 7,1 7,63 7,35 8,1 7,83 6,47 2.218.201 2.306.765 2.446.775 2.669.773 2.518.564 2.214.488 5,81 5,82 5,71 6,12 5,95 5,29
Sumber : Dewan Gula Indonesia (2012) Peningkatan Produktivitas tebu dan hablur ditentukan oleh faktor luas areal dan rendemen. Dalam kaitannya dengan areal, tingkat kesuburan lahan memiliki pengaruh yang signifikan dalam peningkatan produktivitas (tebu dan hablur). Untuk menunjukkan bahwa peningkatan atau penurunan produktivitas dipengaruhi oleh faktor luas lahan dan rendemen, disusun skenario dengan
127
menggunakan faktor luas areal lahan dan faktor rendemen. Dengan menggunakan data target swasembada gula dan basis data tahun 2011 (DGI, 2012), hasil simulasi dari skenario dapat diperlihatkan sebagai berikut (Tabel 50 sampai Tabel 53): Tabel 50. Skenario I (Jika Luas Areal Tetap dan Rendemen Tetap)
No
Uraian
2011
1 2 3 4 5 6
Luas Areal (Ha) Produksi Tebu (Ton) Produktivitas Tebu (Ton/Ha) Rendemen (%) Produksi Hablur (Ton) Produktvitas Hablur (Ton/Ha)
572.122,0 47.743.581,0 83,5 8,1 3.867.230,1 6,8
2012
2013
2014
572.122,0 572.122,0 572.122,0 47.743.581,0 47.743.581,0 47.743.581,0 83,5 83,5 83,5 8,1 8,1 8,1 3.867.230,1 3.867.230,1 3.867.230,1 6,8 6,8 6,8
Dari Tabel 50 terlihat bahwa dengan skenario luas areal tetap dan rendemen tetap, maka produktivitas tebu maupun hablur tidak mengalami peningkatan atau laju pertumbuhan nol. Tabel 51. Skenario II (Jika Luas Areal Naik dan Rendemen Tetap)
No 1 2 3 4 5 6
Uraian Luas Areal (Ha) Produksi Tebu (Ton) Produktivitas Tebu (Ton/Ha) Rendemen (%) Produksi Hablur (Ton) Produktvitas Hablur (Ton/Ha)
2011
2012
2013
572.122,0 631.846,0 691.952,0 47.743.581,0 53.612.133,0 58.746.725,0 83,5 84,8 84,9 8,1 8,1 8,1 3.867.230,1 4.342.582,8 4.758.484,7 6,8 6,87 6,88
2014 766.613,0 67.061.705,0 87,5 8,1 5.431.998,1 7,1
Dari tabel 51 terlihat bahwa dengan skenario luas areal meningkat sedangkan rendemen tetap, maka produktivitas tebu maupun hablur meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 1,01 persen.
128
Tabel 52. Skenario III (Jika Luas Areal Tetap dan Rendemen Naik)
No 1 2 3 4 5 6
Uraian Luas Areal (Ha) Produksi Tebu (Ton) Produktivitas Tebu (Ton/Ha) Rendemen (%) Produksi Hablur (Ton) Produktvitas Hablur (Ton/Ha)
2011
2012
2013
572.122 47.743.581 83 8,1 3.867.230 6,76
572.122 47.743.581 83 8,2 3.914.974 6,84
572.122 47.743.581 83 8,4 4.010.461 7,0
2014 572.122 47.743.581 83 8,5 4.058.204 7,1
Dari tabel 52 terlihat bahwa jika luas areal selama 4 (empat) tahun tidak mengalami peningkatan sementara rendemen meningkat, maka laju produktivitas tebu besar nol. Sedangka laju pertumbuhan produktivitas hablur meningkat dengan rataan sebesar 0,39 persen. Tabel 53. Skenario IV (Jika Luas Areal Naik dan Rendemen Naik)
No 1 2 3 4 5 6
Uraian Luas Areal (Ha) Produksi Tebu (Ton) Produktivitas Tebu (Ton/Ha) Rendemen (%) Produksi Hablur (Ton) Produktvitas Hablur (Ton/Ha)
2011 572.122 47.743.581 83 8,1 3.867.230 6,8
2012
2013
631.846 691.952 53.612.133 58.746.725 85 85 8,2 8,4 4.396.195 4.934.725 7,0 7,1
2014 766.613 67.061.705 87 8,5 5.700.245 7,4
Dari Tabel 53 terlihat bahwa jika luas areal maupun rendemen sama-sama meningkat, maka laju peningkatan produktivitas tebu sebesar 1,01 persen, sedangkan laju peningkatan produktivitas hablur meningkat sebesar 1,42 persen. Skenario IV merupakan skenario terbaik. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk dapat meningkatkan produktivitas tabu dan hablur diperlukan tambahan luas areal dan peningkatan rendemen.
129
6.3. Kinerja Efisiensi Pabrik Gula Untuk melihat seberapa besar tingkat efisiensi yang telah dicapai pabrik gula yang diteliti, digunakan indikator mill extraction (ME), Boiler House Recovery (BHR) dan Overall Recovery (OR). Dari data yang diperoleh (Tabel 49), nilai rataan efisiensi penggilingan (ME) tertinggi diperoleh pabrik gula Gunung Madu (95,67 persen) dan berada diatas norma ME (95 persen) dan yang terendah diperoleh pabrik gula Bungamayang (91,21 persen). Sementara ketiga pabrik gula lainnya memiliki nilai mendekati norma ME. Untuk nilai rataan efisiensi pengolahan (BHR), keempat pabrik gula masih dibawah norma BHR (90 persen). Hal tersebut mengindikasikan di keempat pabrik gula tersebut masih kurang efisien. Secara keseluruhan, nilai OR untuk pabrik gula swasta (PG Gunung Madu dan PG Kebon Agung) lebih tinggi dibandingkan nilai OR dari pabrik gula BUMN (PG Pesantren Baru dan PG Bungamayang). Tabel 54. Indikator Rataan Efisiensi Pabrik Gula Tahun 2005 – 2009
Pabrik Gula BUMS Pabrik Gula BUMN PG Gunung Madu PG Kebon Agung PG Pesantren Baru PG Bungamayang 1. Mil Extraction (ME) 95,67 93 92,13 91,21 2. Boiler House Recovery (BHR) 87,26 83,88 81,11 80,54 3. Overall Recovery (OR) 83,48 78,01 74,73 73,46 Indikator Efisiensi
Sumber : Pabrik Gula Yang Diteliti (2010) Perbedaan tingkat efisiensi (penggilingan dan pengolahan) pabrik gula swasta dan BUMN disebabkan oleh perbedaan dalam hal penggunaan peralatan pabrik dan manajemen.
Pada pabrik gula BUMN, umur peralatan pabriknya
sudah lebih dari 75 tahun serta kurang mendapat perawatan secara memadai. Sementara, pabrik gula swasta dikelola dengan skala produksi cukup besar (lebih dari 7000 TCD) yang didukung oleh penguasaan lahan HGU dalam luasan yang memadai. Pabrik gula swasta mampu meningkatkan efisiensi dengan menerapkan pola pengelolaan budidaya dan pengolahan tebu dalam satu manajemen yang sama serta mampu menerapkan peralatan pabrik modern (capital intensive) pada budidaya tebu, kegiatan tebang tebang angkut serta penyediaan air.
130
6.4. Kajian Daya Saing Industri Gula Tebu Untuk mengkaji struktur daya saing dari masing-masing pabrik gula, digunakan metode Policy Analysis Matrix (Tabel 55).
Tabel 55. Kerangka Analisis Dengan Metode Policy Analysis Matrix (PAM). Biaya Uraian
Penerimaan
Input
Input Non
Tradable
Tradable
Keuntungan
Harga Pasar
A
B
C
D
Harga Sosial
E
F
G
H
Divergensi
I=A–E
J=B–F
K=C–G
L=I–J–K=D–H
Sumber: Monke And Pearson. (1989) Keterangan:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Keuntungan Pasar (PP) : D = A – (B + C) Keuntungan Sosial (SP) : H = E – (F + G) Efisiensi Finansial (Keunggulan Kompetitif) dengan indikator rasio biaya pasar (PCR) = C/(A – B) Efisiensi ekonomi (keunggulan komparatif) dengan indikator rasio biaya sumberdaya domestik (DRCR) = G / (E – F) Transfer Output (OT) = A – E Koefisien Proteksi Nominal Output (NPCO ) = A / E Transfer Input (IT) = B – F Koefisien Proteksi Nominal input (NPCI) = B / F Transfer Faktor ( FT) = C – G Koefisien Proteksi Efektif (EPC) = (A – B) / (E – F) Transfer Bersih (NT) = D – H Koefisien Keuntungan (PC) = D /H Rasio Subsidi Bagi Produsen (SRP) = L / E.
Dalam analisis PAM ini lebih difokuskan pada struktur daya saing pabrik gula. Adapun hasil dari analisis PAM dapat disajikan berikut ini :
6.4.1. Profitabilitas (Keuntungan)
Keuntungan Pasar (PP) atau keuntungan pasar merupakan indikator daya saing dari sistem komoditi berdasarkan teknologi, nilai keluaran, biaya masukan dan transfer kebijaksanaan yang ada. Apabila nilai PP lebih besar dari
131
nol, berarti sistem komoditi itu memperoleh profit di atas normal yang mempunyai implikasi bahwa komoditi itu mampu ekspansi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya komoditi alternatif yang lebih menguntungkan. Adapun hasil analisis profitabilitas disajikan pada Tabel 56 dibawah ini.
Tabel 56. Profitabilitas Pabrik Gula Contoh Berdasarkan Jenis Lahan PG KA
Profitabilitas
Sawah PP (Rp. Juta/Ton) SP (Rp. Juta/Ton)
PG PB Tegal
Sawah
Tegal
PG BM
PG GM
Tegal
Tegal
PC
RC
PC
RC
PC
RC
PC
RC
PC
RC
PC
RC
1.17
1.86
1.29
2.04
1.65
2.37
2.37
3.09
1.81
2.62
1.86
2.70
0.38
1.04
0.56
1.23
0.87
1.49
1.57
2.21
1.86
2.44
1.97
2.72
Sumber : Hasil pengolahan Data
Tabel 56 menunjukkan nilai PP pada seluruh pabrik gula bernilai positif lebih dari satu, sehingga seluruh pabrik gula memiliki keuntungan di atas normal. Keuntungan pasar pada pabrik swasta di Jawa Timur yaitu PG Kebon Agung (PG KA) relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN yaitu PG Pesantren Baru (PG PB). Namun di Lampung terjadi sebaliknya dimana pabrik gula swasta yaitu PG Gunung Madu Plantation (PG GM) memiliki keuntungan pasar lebih tinggi dibandingkan pabrik BUMN yaitu PG Bunga Mayang (PG BM). Hasil analisis juga menunjukkan bahwa keuntungan pasar pengolahan tebu menjadi gula pada lahan tegalan juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan tebu lahan sawah dan tebu produksi tanaman ratoon (RC) lebih tinggi dibanding tanaman baru (PC). Dengan dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pabrik gula BUMN di Jawa lebih mampu bersaing dibanding dengan pabrik gula swasta, sedangkan di luar Jawa sebaliknya. Sementara itu dari sumber bahan baku tebu, daya saing PG yang menggunakan bahan baku tebu lahan tegalan pada tanaman RC memiliki daya saing yang lebih tinggi jika dibandingkan menggunakan tebu bahan baku lahan sawah dan tebun tanaman PC.
Keuntungan Sosial (SP) atau keuntungan sosial merupakan indikator keunggulan komparatif atau efisiensi dari sistem komoditi pada kondisi tidak ada divergensi dan penerapan kebijaksanaan efisien, apabila SP lebih besar dari nol.
132
Sebaliknya, bila nilai SP lebih kecil dari nol, berarti sistem komoditi tidak mampu bersaing tanpa bantuan atau intervensi pemerintah.
Tabel 56 juga menunjukkan nilai SP pada seluruh pabrik gula bernilai positif lebih dari, sehingga seluruh pabrik gula memiliki keuntungan di atas normal. Keuntungan sosial pada pabrik swasta di Jawa Timur yaitu KA relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN yaitu PG PB. Namun di Lampung terjadi sebaliknya dimana pabrik gula swasta yaitu PG GM memiliki keuntungan sosial lebih tinggi dibandingkan pabrik BUMN yaitu PG PG BM. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa keuntungan sosial
pengolahan tebu
menjadi gula pada lahan tegalan juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan tebu lahan sawah dan tebu produksi tanaman keprasan (RC) lebih tinggi dibanding tanaman pertama (PC). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pabrik gula BUMN di Jawa lebih mampu bersaing dibanding dengan pabrik gula swasta, sedangkan di luar Jawa sebaliknya. Sementara itu dari sumber bahan baku tebu, daya saing PG yang menggunakan bahan baku tebu lahan tegalan pada tanaman RC memiliki daya saing yang lebih tinggi jika dibandingkan menggunakan tebu bahan baku lahan sawah dan tebu tanaman PC. Disamping itu, tanpa bantuan atau intervensi pemerintah seluruh PG mampu memiliki daya saing dari sudut pandang pasar maupun sosial, PG GM memiliki daya saing yang paling tinggi dengan indikatior profitabilitas baik finansial maupun ekonomi. Implikasi dari dari ini adalah bahwa pengembangan pabrik gula BUMN di Jawa lebih bersaing dibandingkan pabrik gula swastanya, sedangkan di luar Jawa sama-sama menguntungan, baik pabrik gula dalam bentuk BUMN maupun Swasta. Pengembangan pabrik gula di luar pulau Jawa yang menggunakan lahan kering, dapat dianjurkan selama sistem pengairan memadai seperti yang telah dilakukan PG Gunung Madu.
6.4.2. Efisiensi Finansial dan Efisiensi Ekonomi
Rasio Biaya Pasar (PCR) merupakan indikator profitabilitas privat yang menunjukkan kemampuan sistem untuk membayar biaya domestik dan tetap
133
kompetitif. Sistem bersifat kompetitif jika PCR lebih kecil dari satu. Semakin kecil nilai PCR berarti sistem semakin kompetitif.
Tabel 57. Efisiensi Finansial dan Ekonomi Pabrik Gula Contoh Berdasarkan Jenis Lahan PG KA Sawah
Efisiensi
PG PB Tegal
Sawah
Tegal
PG BM
PG GM
Tegal
Tegal
PC
RC
PC
RC
PC
RC
PC
RC
PC
RC
PC
RC
PCR
0.84
0.77
0.83
0.74
0.77
0.69
0.67
0.60
0.74
0.64
0.72
0.62
DRCR
0.94
0.85
0.91
0.82
0.86
0.77
0.74
0.66
0.71
0.64
0.69
0.60
Sumber : Hasil pengolahan data
Tabel 57 menunjukkan nilai PCR pada seluruh pabrik gula bernilai kurang dari 1, sehingga seluruh pabrik gula bekerja secara efisien dari segi finansial. Tingkat efisiensi finansial pada pabrik swasta di Jawa Timur yaitu PG KA relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN yaitu PG PB. Namun di Lampung terjadi sebaliknya dimana pabrik gula swasta yaitu PG GM memiliki efisiensi finansial lebih tinggi dibandingkan pabrik BUMN yaitu PG Bunga Mayang (PG BM). Hasil analisis juga menunjukkan bahwa efisiensi finansial pengolahan tebu menjadi gula pada lahan tegalan juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan tebu lahan sawah dan tebu produksi ratoon cane (RC) lebih tinggi dibanding plant cane (PC). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pabrik gula BUMN di Jawa lebih mampu bersaing dibanding dengan pabrik gula swasta, sedangkan di luar Jawa sebaliknya. Sementara itu dari sudut pandang sumber bahan baku tebu, daya saing pabrik gula
yang menggunakan lahan
tegalan dengan tanaman keprasan memiliki daya saing yang lebih tinggi dibandingkan pabrik gula yang menggunakan lahan sawah dengan tanaman tebu baru (PC). Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRCR) merupakan indikator keunggulan komparatif yang menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa. Sistem mempunyai keunggulan komparatif jika DRCR lebih kecil dari satu. Semakin kecil nilai
134
DRCR berarti semakin efisien dan mempunyai keunggulan komparatif makin tinggi.
Tabel 57 juga menunjukkan nilai DRCR pada seluruh pabrik gula bernilai kurang dari satu, sehingga seluruh pabrik gula memiliki keunggulan komparatif. Keunggalan pada pabrik swasta di Jawa Timur yaitu KA relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN yaitu PG PB. Namun di Lampung terjadi sebaliknya dimana pabrik gula swasta yaitu PG GM memiliki keuntungan sosial lebih tinggi dibandingkan pabrik BUMN yaitu PG PG BM. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa keunggulan komparatif pengolahan tebu menjadi gula pada lahan tegalan juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan tebu lahan sawah dan tebu produksi ratoon cane (RC) lebih tinggi dibanding plant cane (PC). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pabrik gula BUMN di Jawa lebih mampu bersaing dibanding dengan pabrik gula swasta, sedangkan di luar Jawa sebaliknya. Sementara itu dari sumber bahan baku tebu, daya saing PG yang menggunakan bahan baku tebu lahan tegalan pada tanaman RC memiliki daya saing yang lebih tinggi jika dibandingkan menggunakan tebu bahan baku lahan sawah dan tebun tanaman PC. Disamping itu, seluruh PG mampu memiliki daya saing secara kompetitif maupun komparatif dan PG GM memiliki daya saing yang paling tinggi dengan indikator efisiensi baik finansial maupun ekonomi. Implikasi dari ini adalah bahwa pengembangan pabrik gula di Jawa lebih bersaing apabila memiliki bentuk BUMN, sedangkan di luar Jawa lebih menguntungkan baik dalam bentuk BUMN maupun Swasta, sekalipun Swasta lebih mampu bersaing. Pada industri gula sebaiknya dilakukan di luar Jawa pada lahan kering, selama sistem pengairan memadai seperti pada PG GM.
6.4.3. Kebijaksanaan Keluaran
Transfer Keluaran (OT) atau Transfer output merupakan selisih antara penerimaan dihitung atas harga privat (finansial) dengan penerimaan dihitung berdasarkan harga sosial (bayangan). Nilai OT lebih besar dari nol menunjukkan adanya transfer dari masyarakat (konsumen) ke produsen, demikian
135
juga sebaliknya.
Tabel 58 menunjukkan nilai OT pada seluruh pabrik gula
bernilai lebih dari nol, sehingga seluruh pabrik gula memperoleh tranfer dari masyarakat kepada industri atau produsen gula (pabrik gula). Nilai OT pada pabrik swasta di Jawa Timur yaitu PG KA relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN yaitu PG PG PB.
Namun di Lampung terjadi
sebaliknya dimana pabrik gula swasta yaitu PG GM memiliki nilai OT lebih rendah dibandingkan pabrik BUMN yaitu PG BM.
Hasil analisis juga
menunjukkan bahwa OT pengolahan tebu menjadi gula pada lahan sawah sama dengan tegalan dan tanaman PC juga sama dengan tanaman RC. Dengan dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pabrik gula BUMN di Jawa maupun yang berada di luar Jawa memiliki nilai OT lebih tinggi jika dibandingan dengan pabrik gula swasta. Dari sudut pandang OT. baik pabrik gula di Jawa maupun luar Jawa, tidak ada perbedaan antara pabrik gula yang menggunakan lahan sawah mupun tegalan, termasuk juga dalam penggunaan tanaman PC maupun RC.
Tabel 58. Dampak Kebijakan Output Pabrik Gula Contoh Berdasarkan Jenis Lahan PG KA Kebijakan Output
Sawah
PG PB Tegal
Sawah
Tegal
PG BM
PG GM
Tegal
Tegal
PC
RC
PC
RC
PC
RC
PC
RC
PC
RC
PC
RC
OT (Rp. Juta/Ton)
1.23
1.23
1.23
1.23
1.24
1.24
1.24
1.24
0.73
0.73
0.72
0.72
NPCO
1.16
1.16
1.16
1.16
1.17
1.17
1.17
1.17
1.08
1.08
1.08
1.08
Sumber : Hasil Pengolahan Data
Koefisien Proteksi Nominal Terhadap Keluaran (NPCO) merupakan tingkat proteksi pemerintah terhadap output domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap output jika nilai NPCO lebih besar dari satu. Semakin besar nilai NPCO, berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap output.
Tabel 58 menunjukkan nilai NPCO pada seluruh pabrik gula bernilai lebih dari satu, sehingga seluruh pabrik gula memperoleh proteksi dari pemerintah. NilaiNPCO pada pabrik swasta di Jawa Timur yaitu PG KA relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN yaitu PG PB. Namun di Lampung,
136
nilai NPCO yang terjadi adalah sama antara pabrik gula swasta dan pabrik gula BUMN. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa NPCO pengolahan tebu menjadi gula pada lahan sawah sama dengan tegalan dan tanaman PC juga sama dengan tanaman RC. Dengan dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pabrik gula BUMN di Jawa memiliki proteksi pemerintah yang lebih tinggi dibanding di luar Jawa dan tidak ada beda antara bahan baku tebu berasal dari lahan sawah mupun tegalan dan juga tanaman PC maupun RC. Implikasi dari hal ini adalah pengembangan pabrik gula diluar Jawa mampu bersaing sekalipun memperoleh transfer keluaran (OT) dan proteksi yang lebih rendah.
6.4.4. Kebijaksanaan Masukan
Transfer Masukan (IT) adalah selisih antara biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga privat dengan biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga sosial. Nilai IT menunjukkan adanya kebijaksanaan pemerintah yang diterapkan pada masukan yang diperdagangkan (input tradable). Jika nilai IT lebih besar dari nol menunjukkan adanya transfer dari pabrik gula /produsen pada masukan yang diperdagangkan.
Tabel 59 menunjukkan bahwa nilai IT yang bervariasi dan memiliki sebagian besar lebih dari nol yang menunjukkan bahwa ada kebijakan pemerintah yang diterapkan pada masukan-masukan yang diperdagangkan, misalnya bahan bakar minyak dan lain-lain. Nilai IT pada pabrik swasta di Jawa Timur yaitu PG KA relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN yaitu PG PB. Namun di Lampung nilai IT yang terjadi adalah pabrik gula swasta yaitu PG GM mendapat transfer masukan lebih rendah jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN yaitu PG BM. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa IT pengolahan tebu menjadi gula pada lahan sawah sama dengan lebih tinggi dari tegalan, namun memiliki nilai yang sama antara tanaman PC maupun tanaman RC. Dengan dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pabrik gula BUMN di Jawa dan diluar Jawa memiliki tarnsfer masukan dari pemerintah yang lebih tinggi dari pada pabrik gula swasta. Nilai transfer masukan di luar Jawa lebih tinggi dibanding di
137
Jawa dan namun tidak ada bedanya antara bahan baku tebu dari lahan sawah mupun tegalan. Sementara, nilai input dengan bahan baku tanaman PC di Jawa lebih rendah, sedangkan nilai input di luar Jawa lebih tinggi dari RC. Implikasi dari hal ini adalah nilai transfer masukan lebih berpengaruh pada PG di luar Jawa di banding di Jawa, sehingga pengembangan pabrik gula di luar Jawa lebih mampu bersaing jika dibandingkan di Jawa.
Tabel 59. Dampak Kebijakan masukan Terhadap Pabrik Gula Contoh Berdasarkan Jenis Lahan PG KA
Kebijakan masukan
Sawah
IT (Rp. Juta/Ton) NPCI FT (Rp. Juta/Ton)
PG PB Tegal
Sawah
Tegal
PG BM
PG GM
Tegal
Tegal
PC
RC
PC
RC
PC
RC
PC
RC
PC
RC
PC
RC
0.00
0.06
0.03
0.03
0.07
0.07
0.05
0.06
0.26
0.13
0.32
0.31
1.00
1.06
1.02
1.04
1.06
1.11
1.05
1.09
1.23
1.16
1.26
1.37
0.45
0.36
0.47
0.39
0.38
0.28
0.38
0.30
0.43
0.33
0.41
0.34
Sumber : Hasil Pengolahan Data
Koefisien
Proteksi
Nominal
Bagi
Masukan
Yang
Dapat
Dipertukarkan (NPCI) merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap input jika nilai NPCI lebih dari satu dan berarti ada kebijakan masukan yang diperdagangkan (input tradable).
Tabel 59 menunjukkan bahwa nilai NPCI memiliki nilai lebih dari satu yang menunjukkan bahwa ada kebijakan pemerintah tidak protektif terhadap harga input domestik. Nilai NPCI pada pabrik swasta di Jawa Timur yaitu PG KA relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN yaitu PG PB. Namun di Lampung nilai NPCI yang terjadi adalah pabrik gula swasta yaitu PG GM lebih tinggi jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN yaitu PG BM. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa nilai NPCI pengolahan tebu menjadi gula pada lahan sawah lebih rendah dari lahan tegalan dan nilai NPCI untuk tanaman PC lebih rendah dari tanaman RC. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pabrik gula di luar pulau Jawa lebih merasakan kebijakan proteksi dari pemerintah
138
ketimbang pabrik gula di pulau Jawa. Implikasi dari hal tersebut adalah bahwa pemerintah tidak melakukan proteksi yang berlebihan terhadap masukan pabrik gula, khususnya di Jawa. Kebijakan pemerintah tersebut berarti memberikan insentif kepada investor pabrik gula baru di luar pulau Jawa untuk menanamkan investasinya agar mampu bersaing dalam produksi gulanya.
Transfer Faktor (FT) merupakan nilai yang menunjukkan perbedaan harga pasar dengan harga sosial yang diterima produsen untuk pembayaran faktorfaktor produksi yang tidak diperdagangkan. Jika nilai FT lebih besar dari nol berarti ada transfer dari pabrik gula sebagai produsen kepada produsen faktor produksi yang diperdagangkan. Sebaliknya, jika nilai FT kurang dari nol, berarti tidak ada transfer dari pabrik gula sebagai produsen kepada produsen faktor produksi yang diperdagangkan.
Tabel 59 menunjukkan bahwa nilai FT memiliki nilai lebih dari nol yang menunjukkan bahwa ada transfer faktor dari pabrik gula ke produsen faktor produksi yang diperdagangkan. Nilai FT pada pabrik gula swasta di Jawa Timur yaitu PG KA relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN yaitu PG PB. Namun di Lampung nilai FT yang terjadi sebaliknya, yaitu nilai FT PG GM relatif lebih rendah dibandingkan nilai FT PG BM. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa FT pengolahan tebu menjadi gula pada lahan sawah lebih relatif sama dengan tegalan, namun untuk nilai FT pada tanaman PC lebih tinggi dari tanaman RC. Dengan dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pabrik gula BUMN di pulau Jawa (PG PB) tidak memberikan transfer faktor kepada produsen faktor produksi yang diperdagangkan dibandingkan pabrik swasta (PG KA), namun di luar pulau Jawa transfer faktor pada pabrik gula BUMN lebih tingi jika dibandingkan dengan pabrik swasta. Implikasinya adalah pengaruh kebijakan transfer masukan tersebut lebih dirasakan oleh pabrik gula swasta di Jawa dibandingkan pabrik gula BUMN, sedangkan yang terjadi di luar pulau Jawa justru sebaliknya.
139
6.4.5. Kebijaksanaan Masukan - Keluaran
Kofisien
Proteksi
Efektif
(EPC)
merupakan
indikator
yang
menunjukkan tingkat proteksi simultan terhadap output dan input tradable. Kebijakan masih bersifat protektif jika nilai EPC lebih besar dari satu. Semakin besar nilai EPC berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap komoditas domestik.
Tabel 60 menunjukkan bahwa nilai EPC memiliki nilai lebih dari satu yang menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah protektif terhadap input dan output pabrik gula. Nilai EPC pada pabrik swasta di Jawa Timur yaitu PG KA relatif relatif sama dengan pabrik gula BUMN yaitu PG PB. Namun di Lampung, nilai EPC yang terjadi adalah pabrik gula swasta yaitu PG GM relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN yaitu PG BM. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa nilai EPC pengolahan tebu menjadi gula pada lahan sawah lebih relatif sama dengan tegalan, namun untuk nilai EPC pada tanaman PC lebih tinggi dari tanaman RC. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pabrik gula BUMN di Jawa lebih mendapatkan proteksi dibandingkan di luar Jawa. Implikasinya adalah pengaruh kebijakan prroteksi pemerintah lebih dirasakan oleh pabrik gula di pulau Jawa dibandingkan dibandingkan di luar Jawa.
Transfer Bersih (NT) merupakan selisih antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen (privat) dengan keuntungan bersih sosialnya. Nilai NT lebih besar dari nol, menunjukkan tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijaksanaan pemerintah yang diterapkan pada input dan output. Sebaliknya jika nilai NT lebih kecil dari nol. Tabel 60 menunjukkan bahwa nilai NT memiliki nilai lebih dari nol di Jawa dan kurang dari nol di Luar Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa pabrik gula di Jawa lebih menikmati tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijaksanaan pemerintah yang diterapkan pada input dan output dibandingkan dengan pabrik gula di luar pulau Jawa. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa NT pengolahan tebu menjadi gula pada lahan sawah lebih relatif tinggi jika dibandingkan dengan tegalan, namu untuk nilai NT pada tanaman PC lebih rendah dari tanaman RC. Dengan dengan demikian dapat
140
disimpulkan bahwa pabrik gula BUMN di pulau Jawa lebih mendapatkan tambahan surplus dibandingkan pabrik gula di luar Jawa. Implikasinya adalah bahwa pemerintah perlu meningkatkan dampak kebijakan khususnya terhadap pabrik gula di luar pulau Jawa, baik pada pabrik gula BUMN maupun swasta.
Tabel 60. Dampak Kebijakan masukan dan keluaran Terhadap Pabrik Gula Contoh Berdasarkan Jenis Lahan Kebijakan Input dan Output
PG KA Sawah
PG PB
Tegal
Sawah
Tegal
PG BM
PG GM
Tegal
Tegal
PC
RC
PC
RC
PC
RC
PC
RC
PC
RC
PC
RC
EPC
1.20
1.17
1.19
1.10
1.19
1.18
1.20
1.18
1.06
1.07
1.05
1.05
NT (Rp. Juta/Ton)
0.79
0.82
0.73
0.81
0.78
0.88
0.80
0.88
-0.06
0.18
-0.10
-0.02
PC
3.06
1.79
2.30
1.66
1.91
1.59
1.51
1.40
0.97
1.07
0.95
0.99
SRP
0.10
0.11
0.10
0.11
0.11
0.12
0.11
0.12
-0.01
0.02
-0.01
0.00
Sumber : Hasil Pengolahan Data
Koefisien Keuntungan (PC) adalah perbandingan antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. Jika nilai PC lebih besar dari nol , berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen, demikian sebaliknya. Tabel 60 menunjukkan bahwa nilai PC memiliki nilai lebih dari nol baik di Jawa maupun di Luar Jawa.
Hanya saja nilai PC pabrik swasta di Jawa lebih besar jika
dibandingkan BUMN dan sebaliknya di luar Jawa pabrik gula BUMN yang lebih besar dibandingkan pabrik swasta. Di samping itu nilai PC di Jawa lebih besar dari pada di luar Jawa Hal ini menunjukkan bahwa menunjukkan pabrik gula di Jawa lebih menikmati tambahan keuntungan yang disebabkan oleh kebijaksanaan pemerintah yang diterapkan pada input dan output, dibandingkan di Luar Jawa. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa NT pengolahan tebu menjadi gula pada lahan sawah lebih relatif tinggi jika dibandingkan dengan tegalan dan tanaman PC juga lebih tingi dari tanaman RC, namun di luar Jawa sebaliknya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pabrik gula di Jawa lebih mendapatkan tambahan surplus keuntungan dibandingkan pabrik gula di luar Jawa, dan di penggunaan bahan baku tebu lahan sawah dan penanaman PC juga lebih tinggi
141
dibanding pada RC di Jawa. Namun di luar Jawa pada lahan tegalan nilai PC lebih rendah dari RC. Implikasi dari hal ini adalah bahwa pemerintah perlu meningkatkan dampak kebijakan terhadap pabrik gula di luar Jawa, baik pada pabrik gula BUMN maupun swasta.
Rasio Subsidi Produen (SRP) menunjukkan proporsi dari penerimaan total pada harga sosial yang diperlukan apabila subsidi yang digunakan sebagai satu-satunya kebijakan untuk menggantikan seluruh kebijakan komoditi dan ekonomi makro. SRP memungkinkan untuk membuat perbandingan tentang besarnya subsidi perekonomian bagi sistem komoditas. Nilai SRP negatif menunjukkan bahwa kebijaksanaan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya imbangan untuk berproduksi dan sebaliknya jika nilai SRP positif berarti produsen mengeluarkan biaya produksi lebih kecil dari biaya imbangan untuk berproduksi. Tabel 54 menunjukkan bahwa nilai SRP pabrik gula di pulau Jawa positif di Jawa dan cenderung negatif di luar pulau Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa adanya subsidi terhadap industri gula menyebabkan industri di luar pulau Jawa mengeluarkan biaya imbangan lebih besar jika dibandingkan di Jawa, baik untuk pabrik gula swasta maupun BUMN. Di samping itu tidak perbedaan yang berarti antara nilai SRP untuk lahan sawah maupun lahan tegalan, namun nilai SRP dalam penggunaan bahan baku berasal dari tanaman PC lebih rendah dari tanaman RC. Dengan dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pabrik gula di pulau Jawa lebih mendapatkan dampak positif berupa pengeluaran biaya lebih rendah akibat adanya subsidi dibanding pabrik gula di luar pulau Jawa. Implikasinya adalah bahwa pemerintah perlu meningkatkan dampak kebijakan terhadap pabrik gula di luar Jawa, baik pada pabrik gula BUMN maupun swasta.
Dari hasil analisis diatas tampak bahwa masing-masing pabrik gula yang diteliti memiliki tingkat daya saing yang berbeda. Dibawah ini digambarkan tentang posisi daya saing dari masing-masing pabrik gula yang diteliti sebagai berikut (Gambar 19 dan Gambar 20):
142
SRP
PP (Rp. Juta/Ton) 2,50
SRP
SP (Rp. Juta/Ton)
1,50
PC
PCR
1,50
0,50
DRCR
NT (Rp. Juta/Ton)
0,50
EPC
EPC
OT (Rp. Juta/Ton)
NPCO NPCI
DRCR
-
-
FT (Rp. Juta/Ton)
PCR
1,00
1,00 NT (Rp. Juta/Ton)
SP (Rp. Juta/Ton)
2,00
2,00 PC
PP (Rp. Juta/Ton) 2,50
FT (Rp. Juta/Ton)
NPCO NPCI
IT (Rp. Juta/Ton)
PG KA
PG PB
STANDAR (MINIMUM)
STANDAR (MINIMUM)
(a) PG KA
OT (Rp. Juta/Ton)
IT (Rp. Juta/Ton)
(b) PG PB
Gambar 19. Kinerja Daya Saing PG KA dan PG PB Untuk menjelaskan tentang ukuran daya saing antar pabrik gula, digunakan ukuran keuntungan pasar (PP), keuntungan sosial (SP), efisiensi finansial (PCR) dan efisiensi ekonomi (DRCR). Dari Gambar 28 diatas terlihat bahwa PG KA memiliki daya saing yang lebih tinggi dibandingkan dengan dengan PG PB. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai rataan PCR PG KA sebesar 0,79 sedangkan nilai PCR PG PB sebesar 0,68. Selain itu, nilai DRCR PG KA juga masih lebih tinggi dibandingkan nilai DRCR PG PB, yaitu masing-masinf 0,88 dan 0,75. Namun untuk tingkat keuntungan, hasil analisis memperlihatkan nilai rataan PP dan SP PG PB (nilai PP 2,37 dan nilai SP 1,53) lebih tinggi dibandingkan PG KA (nilai PP 1,59 dan nilai SP 0,81). Untuk daya saing pabrik gula di Lampung (PG GM dan PG BM), kedua pabrik gula tersebut relatif memiliki tingkat daya saing yang sama (nilai PCR dan DRCR). Akan tetapi, dari sudut keuntungan yang diperoleh, nilai PP (2,28) dan SP (2,34) PG Gunung Madu lebih tinggi dibandingkan nilai PP (2,22) dan SP dari PG (2,28) Bungamayang (Gambar 20).
143
PP (Rp. Juta/Ton) 2,50
SRP
SP (Rp. Juta/Ton)
SRP
2,00 1,50
PC
PCR
PC
1,50
DRCR
NT (Rp. Juta/Ton)
0,50
-
DRCR
-
EPC
OT (Rp. Juta/Ton)
NPCO NPCI
PCR
1,00
0,50
FT (Rp. Juta/Ton)
SP (Rp. Juta/Ton)
2,00
1,00 NT (Rp. Juta/Ton)
PP (Rp. Juta/Ton) 2,50
EPC
OT (Rp. Juta/Ton)
FT (Rp. Juta/Ton)
IT (Rp. Juta/Ton)
NPCO NPCI
PG BM
PG GMP
STANDAR (MINIMUM)
STANDAR (MINIMUM)
(c). PG BM
IT (Rp. Juta/Ton)
(d). PG GM
Gambar 20. Kinerja Daya Saing PG BM dan PG GM
6.5. Kinerja Klaster Industri Gula Tebu Nasional 6.5.1 Pohon Industri Gula Tebu Tebu memiliki potensi untuk menghasilkan sekitar seratus lima puluh jenis produk, di antaranya asam amino, vitamin, asam organik, pelarut, polimer, protein, enzim, alkohol, silase, selulosa, listrik, dan biodegradable plastic. Dari lima puluh produk yang dapat dihasilkan dari tebu dan sudah masuk kancah dunia perdagangan, Indonesia telah mengembangkan industri untuk mengolah sepuluh jenis produk unggulan dari tebu, yaitu enam jenis produk berbahan baku tetes (etanol hydrous, monosodium glutamat, L-lysine, aceti acid, ethyl acetat, asam sitrat, dan ragi roti), satu produk berbahan baku tetes atau nira (ethanol ahydrous), dan tiga jenis produk berbahan baku ampas yaitu kertas, papan particle, dan listrik (Gambar 20).Sebagai ilustrasi, dewasa ini dari 437.000 hektar kebun bobot tebu yang digiling mencapai 33 juta ton. Jumlah tebu ini memberikan potensi ekonomi setara dengan 10,59 juta ton ampas (32 persen), 1,62 juta ton tetes (4,9 persen), 1,16 juta ton belotong (3,5 persen), serta 4,4 juta ton pucuk dan serasah tebu. Yang menarik sebetulnya adalah ampas tebu hasil penggilingan (Bagas). Surplus ampas tebu dapat menghasilkan berbagai macam produk, termasuk listrik serta produk industri lain. Sebagai ilustrasi, dari setiap pabrik gula dengan kapasitas
144
6.000 TCD dapat dihasilkan listrik 12 MW. Karena itu, dengan merevitalisasi pabrik gula yang ada sekarang dengan kapasitas 206 TCD, dapat diproduksi 412 MW. Ini merupakan jumlah yang tidak kecil untuk mendukung ketersediaan listrik di pedesaan. Hasil riset juga menunjukkan bahwa sekitar 60 persen pendapatan perusahaan bisa diperoleh dari hasil penjualan produk non-gula. Apabila proses pengolahan berlanjut dan menghasilkan produk derivat tebu pada tingkat akhir, nilainya bisa mencapai 500-700 persen lebih tinggi dibandingkan dengan harga gula (Pakpahan, 2009). Berikut ini dibahas mengenai pemanfaatan tebu dan hasil samping pengolahannya yang dapat dikembangkan (Misran, 2005).
a. Pemanenan Tebu Dari proses pemanenan tebu dihasilkan hasil samping berupa daun tebu kering yang disebut klethekan atau daduk dan pucuk tebu (sogolan). Pucuk tebu khususnya dapat diolah menjadi pakan ternak (sapi) dengan harga jual antara RP. 300 – 400 per kg dan harga ekspor sebesar 0,5 dollar AS. Jumlah hasil samping pucuk tebu ini dapat mencapai 15 persen dari total berat tanaman tebu.
b. Ampas Tebu (Bagas) Ampas tebu merupakan hasil samping selulosik yang banyak sekali potensi pemanfaatannya. Selain untuk makanan ternak, hasil samping ampas tebu juga dapat menjadi bahan baku untuk pembuatan pupuk (organik), pulp, particle board serta seringkali digunakan sebagai bahan bakar boiler di pabrik gula. Ampas tebu juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk pembuatan kanvas rem, furfural, sirup glukosa, ethanol, carboxylmetil cellulosa dan bahan penyerap zat warna (adsorben). Bahkan di Kuba, ampas tebu telah digunakan sebagai sumber energi listrik yang dapat memenuhi 30 persen kebutuhan listrik di Kuba.
c. Tetes Tebu (Molase) Selain untuk pembuatan etanol, tetes tebu juga dapat dipakai sebagai bahan baku pembuatan monosodium glutamat (MSG).
145
d. Blotong Selama ini blotong dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik. Pencampuran bahan dari blotong, tetes, abu dan ampas tebu yang dicampur dengan kotoran hewan dapat menghasilkan pupuk kompos unggul (fine compost). Prospek bisnis pada industri berbasis tebu cukup menjanjikan, mengingat untuk kebutuhan seperti furfural, adsorben masih diimpor dari luar negeri. Dibawah ini disajikan pohon industri dari basis tebu dari Gambar 21 berikut :
PUCUK DAUN
MAKANAN TERNAK
GULA
BAHAN MAKANAN
GULA CAIR
MAKANAN & MINUMAN
GULA PADAT
TEBU
NIRA
MOLASE
ASAM ASETAT
L-LYSIN
ETHANOL
ASAM GLUTAMAT
MONO SODIUM GLUTAMAT
ESTER ASETAT
BAHAN BAKAR
ASAM ORGANIK BAHAN KIMIA MAKANAN TERNAK PROTEIN SEL TUNGGAL
MAKANAN TERNAK RAGI ROTI
SEMEN
BLOTONG
MANSORY CEMENT BAHAN CAT PUPUK
BAHAN BAKAR PARTICLE BOARD
AMPAS
FURNITURE
MAKANAN TERNAK
FLAVOR
PULP SELULOSA
KERTAS
POLLIMER
FURFURAL
FURFURY ALCOHOL
PELARUT BAHAN PENOLONG INDUSTRI LOGAM
Gambar 21 Pohon Industri Berbasis Tebu (Diadaptasi dari www.Kemenperind.go.id, Diakses tanggal 1 November 2010)
146
6.5.2 Evaluasi Klaster Industri Gula Tebu Pembahasan klaster industri gula tebu nasional dalam penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran Porter (1990), yang memberikan definisi klaster sebagai konsentrasi geografis perusahaan-perusahaan yang saling terhubung, para pemasok khusus dan penyedia jasa, perusahaan-perusahaan dalam industri terkait, serta lembaga-lembaga yang terasosiasi (misalnya universitas, agen dan asosiasi perdagangan) dalam bidang-bidang tertentu. Dalam melakukan evaluasi klaster industri gula tebu nasional, digunakan metode yang dikembangkan oleh Porter (Monstead, 2010 dalam Pahan, 2011). Dalam melakukan evaluasi klaster industri gula tebu, sumber informasi diperoleh dari delapan orang pakar, masing-masing dari Peneliti P3GI Pasuruan, Dewan Gula Indonesia (DGI), Kementerian Pertanian, Perguruan Tinggi dan empat orang dari pabrik gula. Dengan menggunakan empat sistem dengan sub sistemnya masing-masing, hasil evaluasi klaster industri gula tebu disajikan pada Tabel 61 berikut :
147
Tabel 61. Komponen Evaluasi Klaster Industri Gula Tebu Komponen Evaluasi Klaster Kinerja Klaster Industri 1.1. Biaya Transaksional 1.2. Pengaruh Jejaring Kerja Integrasi Rantai Pasokan 2.1. Pemasok 2.2. Perkebunan 2.3. Pengolah 2.4. Pemasar Infrastruktur Pendukung 3.1. Universitas / Litbang 3.2. Lembaga Keuangan 3.3. Ketersediaan Bakat (SDM) 3.4. Lembaga Techno-prenuer 3.5. Infrastruktur Fisik Lingkungan Ekonomi dan Bisnis 4.1. Efisiensi Pemerintahan 4.2. Efisiensi Bisnis 4.3. Kinerja Ekonomi 4.4. Efisiensi Infrastruktur
PG PB
PG KA
PG BM
PG GM
3,4 3,4
3,4 3,6
3,2 2,8
4 3,6
3 3,8 3,8 3,25
3,2 3,4 4,2 3,75
3,4 3,6 3,6 3,25
3,6 4,8 5 3,8
3,8 3,8 3,6 3,6 3,8
4 4,2 4,2 3,4 4,4
3,2 3,6 3,25 3,4 2,2
3,2 3,6 4 3,4 3,8
3,6 3,2 3,6 4,2
3,8 3,6 4,4 3,8
3,2 3,2 3,2 3
3,2 4 3,2 3
Skala Penilaian 1 = Sangat Buruk, 2 = Buruk, 3 = Sedang, 4 = Baik, 5 = Sangat Baik
Dari hasil analisis dengan menggunakan
empat sistem yang mempengaruhi
kinerja klaster industri gula tebu nasional tersebut, jika distrukturkan maka posisi dari masing-masning pabrik gula dalam kerangka klaster industri tersebut dapat diringkas seperti terlihat pada Gambar 22 sebagai berikut :
148
POSISI PABRIK GULA DALAM SISTEM KLASTER INDUSTRI Efisiensi Infrastruktur
Biaya Transaksional 5 Pengaruh Jejaring Kerja 4
Kinerja Ekonomi
Pemasok 3
Efisiensi Bisnis
2
Perkebunan
1
PG PB PG KA PG BM
0 Efisiensi Pemerintahan
Pengolah
PG GM Rataan
Infrastruktur Fisik Lembaga Techno-prenuer Ketersediaan Bakat (SDM)
Pemasar Universitas / Litbang Lembaga Keuangan
Gambar 22. Posisi Klaster Dari Pabrik Gula Yang Diteliti
1. Pabrik Gula Gunung Madu Pabrik gula Gunung Madu memiliki posisi yang terbaik dalam konteks sistem klaster, mengingat sebagian besar dari sub sistemnya memiliki nilai yang cenderung tinggi. Sub-sub sistem pendukung klaster yang memiliki nilai tinggi adalah : 1) Pengaruh jejaring kerja. 2) Pemasok 3) Perkebunan 4) Pengolah 5) Universitas / Litbang 6) Sumberdaya Manusia (SDM) 7) Infrastruktur fisik dan 8) Efisiensi bisnis. Saat ini dapat dikatakan bahwa PG Gunung Madu telah menjadi referensi utama (best practises) dari pabrik gula swasta maupun dibawah afiliasi BUMN di Indonesia dalam manajemen perkebunan maupun pengolahan gula. Hubungan yang terjalin dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) relatif intensif. Pabrik gula Gunung Madu memiliki efisiensi tinggi dalam hal penyediaan pasokan bahan baku mengingat 90 persen lebih kebutuhan proses produksinya di pasok dari kebun sendiri (TS) sehingga mutu tebu dapat dikatakan memiliki tingkat rendemen yang relatif seragam dan tinggi.
149
2. Pabrik Gula Bungamayang Berbeda dengan PG Gunung Madu yang memiliki posisi terbaik, pabrik gula Bungamayang justru sebaliknya memiliki posisi yang
terburuk dalam
konteks sistem klaster, mengingat sebagian hanya sebagian kecil saja dari sub sistemnya memiliki nilai yang cenderung tinggi. Sub sistem pendukung klaster yang memiliki nilai tinggi hanyalah pengolah. 3. Pabrik Gula Kebon Agung Pabrik gula Kebon Agung memiliki posisi yang relatif baik dalam konteks sistem klaster, mengingat sebagian besar dari sub sistemnya memiliki nilai yang cenderung tinggi. Sub-sub sistem pendukung klaster yang memiliki nilai tinggi adalah : 1) Pengaruh jejaring kerja 2) Pengolah 3) Infrastruktur fisik 4) Efisiensi bisnis 5) Efisiensi bisnis 6) Kinerja ekonomi dan 7) Efisiensi infrastruktur. 4. Pabrik Gula Pesantren Baru Pabrik gula Pesantren Baru memiliki posisi yang
relatif baik dalam
konteks sistem klaster, mengingat sebagian besar dari sub sistemnya memiliki nilai yang cenderung tinggi. Sub-sub sistem pendukung klaster yang memiliki nilai tinggi adalah : 1) Pengaruh jejaring kerja 2) Pemasok 3) Perkebunan 4) Pengolah 5) Universitas / Litbang 6) Sumberdaya Manusia (SDM) 7) Infrastruktur fisik dan 8) Efisiensi bisnis. Dari hasil kajian terhadap elemen-elemen sistem klaster tersebut, terlihat bahwa PG GM dalam sistem klaster industri memiliki posisi terbaik, kemudian diikuti oleh PG KA dan PG PB relatif baik. Sedangkan untuk PG BM menempati posisi yang buruk, mengingat sub-sub sistem pendukung klasternya hanya beberapa yang relatif unggul. Agar klaster industri gula tebu nantinya bertambah baik dan memberikan dampak pengganda yang besar, elemen-elemen yang masih perlu ditingkatkan perannya adalah biaya transaksional, ketersediaan bakat (SDM), lembaga techno-preneur, efisiensi bisnis dan kinerja ekonomi. Dari hasil evaluasi kondisi klaster dari keempat pabrik gula yang diteliti tersebut, maka dapat distrukturkan skema tentang perwujudan dari kondisi eksisting model
150
klaster industri gula tebu nasional, seperti yang terlihat pada Gambar.23 sebagai berikut :
PEMERINTAH PUSAT PEMASARAN
1) Kebijakan Impor Gula 2) Kebijakan Investasi 3) Kebijakan Perkreditan 4) Penyediaan Infrastruktur 5) Standarisasi dan Sertifikasi
PEMERINTAH DAERAH 1) Administrasi dan Regulasai Daerah 2) Koordinasi Lintas Sektor 3) Penyediaan Sarana dan Prasarana 4) Penyusunan Masterplan dan Tata Ruang Wilayah 5) Kebijakan Pengembangan SDM dan Inkubator Bisnis
1) Dalam Negeri
MANAJEMEN KLASTER
INSTITUSI PENDUKUNG 1) Perguruan Tinggi 2) Litbang 3) Lembaga Keuangan
INDUSTRI HILIR 1) Makanana dan Minuman 2) Ethanol 3) Mono Sodium Glutamat (MSG) 4) Particle Board 5) Flavor 6) Ester Asetat 7) Alkohol
INDUSTRI HULU
INDUSTRI INTI 1) Perkebunan Tebu 2) Industri Bibit
Industri Gula Tebu Nasional
INDUSTRI TERKAIT ASOSIASI PENGUSAHA
1) Perbengkelan, Penyedia Alat dan mesin Pengolahan 2) Transportasi 3) Pergudangan 4) Bibit Tebu 5) Pupuk dan Obat-Obatan
1) Pengembangan Pasar 2) Pembinaan Petani
Gambar.23 Struktur Klaster Industri Gula Tebu (Diadaptasi Dari Pahan, E.Gumbira-Sa’id, Tambunan, Asmono dan Suroso, 2011)
6.5.3. Pengembangan Klaster Industri Gula Klaster
sebagai
pendekatan
terbukti
diterima
dalam
pendekatan
pembangunan yang melibatkan pola pengelompokkan, baik institusi maupun infrastruktur, sehingga hakekat klaster akan semakin digunakan. Dengan otonomi daerah,
pembangunan
wilayah
akan
menempati
posisi
sentral
dalam
pembangunan daerah, implikasinya pengembangan tempat usaha merupakan
151
komponen penting yang akan menjadi bagian pengembangan model di masingmasing daerah (Soetrisno, 2009). Tidak semua klaster yang terdapat di Indonesia berkembang sesuai dengan yang diharapkan. Beberapa klaster setelah diimplementasikan dapat beroperasi dengan baik, namun sebagian klaster terlihat tidak dapat beroperasi seperti yang diharapkan. Kegagalan berfungsinya klaster tersebut, karena pembentukan klaster tersebut kurang mempertimbangkan prinsip berorientasi kepada pelanggan (customer oriented). Pengembangan klaster yang berorientasi pada pelanggan dimaksudkan untuk menyesuaikan hasil produksi klaster dengan permintaan pasar. Dengan demikian unit usaha yang terdapat dalam klaster tidak menjalankan usahanya berdasarkan supply oriented, sehingga unit usaha tersebut dapat berkompetisi untuk memperoleh pangsa pasar dengan menentukan cara (teknologi dan jaringan kerja) dalam memenuhi permintaan pasar sesuai dengan standar yang diinginkan konsumen. Klaster yang dikembangkan merupakan kumpulan dari unit-unit usaha yang secara kolektif dapat memperbaiki kinerja dari klaster. Kumpulan dari unit usaha yang mempunyai orientasi yang sama ini dapat mengurangi berbagai biaya transaksi dalam distribusi barang. Sebagai contoh, kolektivitas sangat diperlukan jika pasar meminta pasokan dalam jumlah besar, jumlah yang demikian tidak dapat dipenuhi oleh satu unit usaha kecuali dipenuhi oleh beberapa unit usaha didalam klaster tersebut. Dengan tindakan kolektif, unitunit usaha tersebut dapat memperbaiki tingkat efisiensi dan membangun suatu kerja sama dengan memanfaatkan potensi dari setiap unit usaha dalam memenuhi permintaan pasar. Unit usaha dalam klaster yang telah berkembang secara kolektif dapat mendorong peningkatan akumulasi kinerja klaster tanpa tergantung dari upaya (intervensi) dari luar. Walaupun pada awalnya untuk membangun klaster diperlukan intervensi dari luar, namun tujuan dari intervensi ini adalah untuk memperbaiki kapabilitas dari masing-masing unit usaha untuk mendorong terjadinya hubungan usaha yang sinergis antara seluruh unit usaha secara kumulatif dengan pasar secara independen (Zulham, 2007). Pengembangan klaster industri akan memberikan dampak pengganda (multiplier effect) yang besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah.
152
Oleh karenanya, pengembangan klaster industri (khususnya klaster agro) sesuai dengan substansi dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI). MasterPlan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 disusun untuk menjawab tantangan dan dinamika pembangunan Indonesia saat ini, yaitu: 1) menguatnya kompetisi regional dan global, 2) optimalisasi pengembangan potensi daerah, 3) peningkatan sinergi antara pengembangan ekonomi kewilayahan dengan pengembangan ekonomi sektoral, dan iv) peningkatkan daya dukung infrastruktur. Dalam konsep awal masterplan ini disampaikan bahwa strategi percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia terdiri dari 3 (tiga) elemen utama yaitu: 1) pengembangan 6 (enam) koridor ekonomi Indonesia (KEI), dengan membangun pusat-pusat pertumbuhan disetiap koridor dan mengembangkan klaster industri dan atau kawasan ekonomi khusus yang berbasis sumber daya unggulan (komoditi); 2) penguatan konektivitas nasional, yang meliputi konektivitas intra dan inter pusat-pusat pertumbuhan, intra pulau (koridor), dan pintu perdagangan internasional; 3) peningkatan kemampuan iptek nasional untuk mendukung pengembangan program utama pada setiap KEI. Pada masing-masing KEI akan dikembangkan pusat-pusat pertumbuhan melalui pendekatan klaster industri dan atau kawasan ekonomi khusus yang berbasis komoditi unggulan. Ada 8 (delapan) program utama yang terdiri dari 18 (delapanbelas) kegiatan ekonomi dalam pendekatan klaster industri (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011). Dalam konteks pengembangan klaster industri gula, kendati tidak eksplit tertuang dalam dokumen MP3EI, namun berdasarkan
sebaran program utama dan aktivitas
ekonomi menurut koridor ekonomi, maka klaster industri gula terkait erat dengan pengembangan industri makanan dan minuman dengan lokus Jakarta, Semarang, Surabaya dan Makasar, dengan koridor Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku Utara. Terkait
dengan
pengembangannya
perlu
pengembangan dilakukan
klaster
dengan
industri
memperhatikan
gula,
arah
keterkaitan
kebelakang (bacward linkages) dan keterkaitan kedepan (forward linkages) yang didukung oleh sistem koordinasi yang lebih solid antar sub sistem yang ada. Diperlukan syarat keharusan untuk memperkuat keterkaitan fungsional antar sub
153
sistem yang ada, agar klaster industri gula dapat menjadi klaster yang matang (advanced cluster). Adapun skema pengembangan klaster industri gula dapat diperlihatkan sebagai berikut (Gambar 24) :
[SISTEM KOORDINASI] PEMERINTAH PUSAT (KANTOR MENKO PEREKONOMIAN, KEMENTERIAN BUMN, PERINDUSTRIAN, PERTANIAN, PERDAGANGAN) DAN DGI
FORUM KOMUNIKASI / MASYARAKAT KLASTER INDUSTRI GULA (MAKIGA)
PEMERINTAH DAERAH (DINAS PERINDAG DAN SKPD TERKAIT]
[DUKUNGAN KEBIJAKAN]
[DUKUNGAN KEBIJAKAN]
KETERKAITAN KEBELAKANG
PERKEBUNAN TEBU DAN PEMBIBITAN
KETERKAITAN KEDEPAN IMPOR GULA
GULA MENTAH (RAW SUGAR)
INDUSTRI BAHAN PENOLONG / PENGEPAKAN
GULA KRISTAL PUTIH (GKP)
INDUSTRI MESIN / PERALATAN
GULA KRISTAL RAFINASI (GKR)
[DUKUNGAN TEKNIS]
LEMBAGA LITBANG / PERGURUAN TINGGI (IPB, UGM, UB, UNEJ DLL)
INDUSTRI MAKANAN DAN MINUMAN EKSPORTIR
PASAR LUAR NEGERI
DISTRIBUTOR
PASAR DALAM NEGERI
INDUSTRI FARMASI DAN KOSMETIKA
INDUSTRI ALKOHOL – BIO ETANOL
[DUKUNGAN TEKNIS]
[DUKUNGAN TEKNIS]
LEMBAGA JASA : TRANSPORTASI, PERBANKAN, ASURANSI DAN EMKL
ASOSIASI : AGI, APTRI, AGRI, PPGI,AKANI, KADIN/KADINDA, FIPG, GAPMMI
Gambar 24. Kerangka Pengembangan Klaster Industri Gula Nasional (Diadaptasi dari Kementerian Perindustrian, 2009)
154
(Halaman ini sengaja dibiarkan kosong)
155
VII. REKAYASA KELEMBAGAAN KEMITRAAN INDUSTRI GULA TEBU
7.1. Strukturisasi Sistem Kelembagaan Kemitraan Untuk strukturisasi sistem kelembagaan kemitraan antara pabrik gula dengan petani tebu, elemen-elemen sistem yang dikaji adalah sebagai berikut : 1) elemen tujuan dari sistem, 2) elemen tolok ukur keberhasilan dari sistem, 3) elemen kendala dari sistem, 4) elemen perubahan yang diinginkan dari sistem, 5) elemen kebutuhan program dari sistem, dan 6) elemen sektor masyarakat yang terpangaruh dari sistem. Dari keenam elemen sistem tersebut, masing-masing elemen dijabarkan menjadi sejumlah sub elemen sistem berdasarkan pendapat pakar dan pemangku kepentingan dalam industri gula tebu nasional. Kemudian dilakukan penilaian hubungan kontekstual antar sub elemen pada setiap elemen dalam sistem yang hasilnya dirangkum dalam bentuk Structural Self Interaction Matrix (SSIM). Selanjutnya disusun tabel Reachability Matrix (RM) dengan mengganti empat simbol (V, A, X, O) yang digunakan untuk mewakili tipe hubungan yang ada antara dua elemen dari sistem menjadi bilangan 1 dan 0. 7.1.1. Elemen Tujuan Sistem Kelembagaan Kemitraan Elemen yang digunakan pada tujuan kelembagaan kemitraan adalah : 1. Meningkatkan mutu bahan baku dan jumlah produksi gula (T1) 2. Meningkatkan kepercayaan (trust) kedua belah pihak (T2) 3. Memperoleh kepastian pasokan tebu (T3) 4. Membangun sistem bagi hasil yang adil (T4) 5. Mempermudah mekanisme pengendalian dan pengawasan (T5) 6. Mewujudkan industri gula tebu secara berkelanjutan (T6) 7. Memperluas lapangan kerja (T7) 8. Mengurangi kehilangan kandungan sukrosa secara berlebihan (T8) 9. Meningkatkan kegiatan perekonomian daerah (T9) 10. Membangun kesejahteraan bersama. Strukturisasi sub elemen tujuan sistem kelembagaan kemitraan pabrik gula dengan petani tebu dari hasil analisis dengan menggunakan ISM dapat dilihat pada Gambar 25 berikut.
156
Gambar. 25 Pemetaan driver power-dependent sub-elemen tujuan sistem kelembagaan kemitraan industri gula tebu
Dari Gambar 25 terlihat bahwa sub elemen T1 meningkatkan mutu bahan baku tebu dan produksi gula merupakan sub elemen yang menjadi pendorong utama demi tercapainya tujuan sub elemen lainnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa sub elemen tersebut menjadi sub elemen kunci dari elemen tujuan dari sistem kelembagaan kemitraan antara pabrik gula dengan petani tebu. Peningkatan mutu bahan baku tebu yang khususnya berasal dari tebu rakyat (TR) dimaksudkan agar pabrik gula mampu meningkatkan produktivitas hablurnya, karena bahan baku tebu yang dipasok memiliki kandungan sukrosa yang cukup tinggi. Untuk itu, petani tebu perlu meningkatkan rendemen tebunya, melalui pola usahatani yang memanfaatkan prinsip-prinsip usahatani yang baik (Good Agricultural Practises). Dengan pasokan bahan baku yang bermutu manis,
157
bersih dan segar (MBS), maka perolehan pendapatan dari bagi hasil milik petani semakin besar. Peningkatan produksi gula yang dihasilkan oleh pabrik gula diperoleh dari pasokan input bahan baku tebu yang bermutu, sistem tebang, muat dan angkut yang tepat waktu serta manajemen produksi pabrik yang efisien. Dengan meningkatknya produksi gula setiap tahunnya, berarti pabrik gula mampu mengurangi resiko hari berhenti giling baik akibat kerusakan peralatan (breakdown) maupun karena perbaikan peralatan menyeluruh (overhoul) serta mengurangi potensi kehilangan kandungan sukrosa dalam proses produksinya (losses).
7.1.2. Elemen Tolok Ukur Keberhasilan Sistem Kelembagaan Kemitraan Elemen yang digunakan pada tolok ukur keberhasilan kelembagaan kemitraan adalah : 1. Peningkatan rendeman (U1) 2. Proses perencanaan produksi gula
(U2) 3. Peningkatan pendapatan asli daerah (U3) 4. Meningkatnya
pendapatan kedua belah pihak (U4) 5. Peningkatan akses informasi harga jual gula (U5) 6. Peningkatan kapasitas produksi (U6) 7. Peningkatan akses informasi mutu produksi (U7) 8. Peningkatan rasa saling percaya (U8) 9. Keterjaminan jumlah dan mutu pasokan tebu (U9) 10. Peningkatan jumlah kredit yang tersalurkan ke petani (U10). Hasil strukturisasi sub elemen tolok ukur keberhasilan dari sistem kelembagaan kemitraan pabrik gula dengan petani tebu dari hasil analisis dengan menggunakan ISM dapat dilihat pada Gambar 26 berikut.
158
Gambar 26. Pemetaan driver power-dependent sub-elemen tokok ukur keberhasilan sistem kelembagaan kemitraan industri gula tebu
Dari Gambar 26 terlihat bahwa sub elemen U1 peningkatan rendemen, U4 Peningkatan pendapatan kedua belah pihak (Pabrik Gula dan Petani Tebu), U5 Peningkatan akses informasi harga jual gula, U6 peningkatan kapasitas produksi dan U9 keterjaminan jumlah dan mutu pasokan tebu merupakan sub-sub elemen yang menjadi pendorong utama yang menjadi tolok ukur keberhasilan dari sistem kelembagaan kemitraan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sub-sub elemen tersebut menjadi sub elemen kunci dari elemen tolok ukur keberhasilan dari sistem kelembagaan kemitraan antara pabrik gula dengan petani tebu. Peningkatan rendemen tebu khususnya dari tebu rakyat (TR) merupakan fungsi dari kesuburan lahan (land fertility), penggunaan bibit tebu unggul, curah hujan, pola usahatani yang menggunakan prinsip-prinsip good agricultural practises (GAP), umur tebangan (tingkat kemasakan) serta penanganan pasca
159
panen. Peningkatan rendemen tebu akan mendorong jumlah produksi gula yang dihasilkan oleh pabrik gula serta pendapatan petani. Peningkatan pendapatan bagi kedua belah pihak yang bermitra umumnya dilakukan dengan sistem bagi hasil dengan komposisi 67 persen untuk petani dan 33 persen untuk pabrik gula. Peningkatan pendapatan yang signifikan bagi kedua belah pihak akan mendorong tumbuhnya rasa saling percaya (trust) sebagai jiwa dari kemitraan yang terbangun. Peningkatan akses informasi harga jual gula diperlukan agar aliran informasi tentang perkembangan harga gula dipasaran dapat berlangsung secara simetris
(symetric
information).
Dengan
demikian,
perlu
keterbukaan
(transparancy) dalam memperoleh informasi perkembangan harga gula di pasaran secara seimbang, mengingat harga lelang gula pada umumnya mendasarkan diri pada perkembangan harga gula di pasar. Peningkatan kapasitas produksi gula perlu dilakukan agar tidak terjadi idle capacity. Hal ini mendorong perlunya perencanaan produksi yang matang, mulai dari perencanaan tanam, taksasi, tebang, muat dan angkut tebu dari kebun sampai ke pabrik. Pada umumnya, pasokan tebu dari petani peserta kemitraan harus memenuhi ketentuan yang telah digariskan oleh manajemen pabrik gula, baik dalam jumlah maupun mutu yang diminta. Keterjaminan jumlah dan mutu pasokan bahan dari petani tebu kepada pabrik gula tersebut mendorong petani tebu harus mematuhi ketentuan yang ada, mengingat jumlah dan mutu tebu tersebut telah direncanakan sesuai dengan perencanaan produksi oleh pabrik gula. Dengan demikian, jika jumlah dan mutu tebu tidak sesuai, maka dipastikan proses produksi terhambat dan hasil produksi gula tidak akan memenuhi target yang telah ditetapkan oleh manajemen pabrik gula.
7.1.3. Elemen Kendala Sistem Kelembagaan Kemitraan Elemen yang digunakan pada kendala kelembagaan kemitraan adalah : 1. Sistem penghargaan dan sangsi yang kurang seimbang (H1) 2. Masih kurangnya pembinaan terhadap petani (H2) 3. Masih lemahnya pengendalian dan pengawasan mutu produksi tebu rakyat (H3) 4. Masih lemahnya koordinasi antar pemangku kepentingan (H4) 5. Komposisi kemasakan tebu belum seimbang (H5) 6. Budaya petani belum mengedepankan varietas tebu unggul (H6) 7. Rumitnya
160
persyaratan mutu tebu manis, bersih dan segar (MBS) yang harus dipenuhi (H7) 8. Kegiatan bongkar ratoon belum dilaksanakan secara berkesinambungan (H8) 9. Masih relatif tingginya pungutan di daerah (H9) 10. Kebijakan pemerintah yang belum terintegrasi (H10). Hasil strukturisasi sub elemen kendala sistem kelembagaan kemitraan pabrik gula dengan petani tebu dari hasil analisis dengan menggunakan ISM dapat dilihat pada Gambar 27 berikut.
Gambar 27. Pemetaan driver power-dependent sub-elemen kendala sistem kelembagaan kemitraan industri gula tebu Dari Gambar 27 terlihat bahwa sub elemen H1 sistem penghargaan (reward) dan sangsi (punishment) yang kurang seimbang, H4 Masih lemahnya koordinasi antar pemangku kepentingan, H9 Masih relatif tingginya pungutan di daerah serta H10 kebijakan pemerintah yang belum terintegrasi, merupakan subsub elemen yang menjadi pendorong utama yang menjadi kendala dari sistem kelembagaan kemitraan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sub-sub
161
elemen tersebut menjadi sub elemen kunci dari elemen kendala dari sistem kelembagaan kemitraan antara pabrik gula dengan petani tebu. Dalam kerangka kemitraan, selain hak dan kewajiban, maka aturan main yang diperlukan adalah adanya keseimbangan antara penghargaan dan sangsi yang mengikat kedua belah pihak (pabrik gula dan petani tebu). Dalam kenyataannya, perjanjian kerjasama antara manajemen pabrik gula dengan petani tebu belum memuat tentang penghargaan maupun sangsi yang seimbang. Sebagai contoh, jika petani tebu tidak memasok sesuai dengan kontrak kerja yang ada, maka akan dikenakan sangsi oleh pabrik gula, akan tetapi jika terjadi kerusakan mesin produksi pabrik yang menyebabkan gagal giling, maka tebu yang sudah dipasok menjadi tertunda di giling, padahal dengan penundaan waktu giling akan menyebabkan terjadinya kehilangan kandungan sukrosa pada tebu petani. Seyogianya, menurunnya kandungan sukrosa sebagai akibat gagal giling menjadi resiko yang harus ditanggung oleh pabrik gula dan bukan menjadi beban petani. Dengan demikian, perjanjian kerjasama (kemitraan) antara pabrik gula dan petani dengan memasukkan unsur penghargaan dan sangsi yang seimbang merupakan penyempurnaan terhadap soliditas relasi fungsional dari kedua belah pihak. Koordinasi dari pemangku kepentingan terkait dengan industri gula tebu (Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, DGI, APTRI, Perguruan Tinggi, Lembaga Riset, Pabrik Gula) tampaknya merupakan permasalahan tersendiri yang dapat menghambat kinerja industri gula nasional. Sebagai contoh, informasi tentang neraca gula yang beragam versinya, ataupun kebijakan pendirian pabrik gula baru di Pulau Jawa merupakan gambaran kurang terkoordinasinya peran masingmasing pemangku kepentingan yang dapat merugikan petani maupun pabrik gula. Adanya pungutan di daerah, baik resmi ataupun tidak yang menjadi beban petani ataupun pabrik gula akan berdampak terhadap besaran biaya produksi, karena biaya-biaya tersebut akan dibebankan pada harga pokok produksi. Contoh, biaya pengamanan transportasi dari kebun ke pabrik yang menjadi beban petani ataupun biaya yang harus dikeluarkan oleh pabrik gula untuk para pejabat di daerah khususnya menjelang hari raya merupakan beban tetap yang sudah berlangsung cukup lama. Dengan demikian biaya transaksi yang tinggi tersebut
162
telah menyebabkan menurunnya kemampuan daya saing tebu ataupun gula yang dihasilkan. Kebijakan tentang pertebuan dan pergulaan dari antara Kementerian Perdagangan,
Kementerian
Perindustrian,
Kementerian
Pertanian
dan
Kementerian BUMN tampaknya belum terpadu. Sebagai contoh, kebijakan terus membuka keran impor gula oleh Kementerian Perdagangan belum mengacu pada data / informasi dari Kementerian Pertanian tentang prakiraan
produksi
gula
domestik. Akibatnya, dengan dibukanya keran impor gula, maka volume gula dipasaran semakin besar dan berakibat terhadap turunnya harga gula. Menurunnya harga gula sebagai akibat pasokan gula yang berlebih di pasar domestik tersebut menjadi
disinsentif
bagi
petani
untuk
meningkatkan
produksi
dan
produktivitasnya. 7.1.4. Elemen Perubahan Yang Diinginkan Sistem Kelembagaan Kemitraan Elemen yang digunakan pada perubahan yang diinginkan dalam kelembagaan kemitraan pabrik gula dengan petani tebu adalah : 1. Soliditas kemitraan sebagai inti klaster industri gula tebu (L1) 2. Revitalisasi manajemen tanam, tebang dan angkut tebu (L2) 3. Pengendalian dan pengawasan mutu dapat dilakukan lebih ceapt (L3) 4. Pola budidaya tebu secara GAP dan proses produksi secara GMP (L4) 5. Harga gula lebih stabil (L5) 6. Kebijakan pemerintah yang terintegratif (L6) 7. Impor gula dapat dikurangi (L7) 8. Harga pokok produksi gula mendekati harga pokok gula dunia (L8) 9. Kepercayaan kedua belah pihak meningkat (L9) 10. Aliran sistem informasi berjalan simetris (L10). Hasil strukturisasi sub elemen perubahan yang diinginkan dari sistem kelembagaan kemitraan pabrik gula dengan petani tebu dari hasil analisis dengan menggunakan ISM dapat dilihat pada Gambar 28 berikut.
163
Gambar 28. Pemetaan driver power-dependent sub-elemen perubahan yang diinginkan pada sistem kelembagaan kemitraan industri gula tebu Hasil analisis dengan ISM menunjukkan bahwa sub elemen L1 (Soliditas kemitraan sebagai inti klaster industri gula tebu), L4 (Pola budidaya tebu secara GAP dan proses produksi secara GMP) dan L5 (Harga gula lebih stabil), merupakan sub-sub elemen yang menjadi pendorong utama yang menjadi perubahan yang diinginkan dari sistem Kelembagaan Kemitraan Pabrik gula dengan petani tebu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sub-sub elemen tersebut menjadi sub elemen kunci dari elemen perubahan yang diinginkan dari sistem Kelembagaan Kemitraan Pabrik gula dengan petani tebu antara pabrik gula dengan petani tebu. Pola budidaya tebu petani dengan menggunakan prinsip-prinsip Good Agricultural Practises (GAP) serta proses produksi gula dengan menggunakan prinsip-prinsip good manufacturing practises (GMP) merupakan tuntutan yang sebaiknya dilakukan oleh petani maupun pabrik gula untuk menghasilkan tebu dan gula yang bermutu. Melalui penggunaan prinsip-prinsip GAP, petani tebu mengacu pada Standard Operating Procedure (SOP) terkait dengan pola usahatani yang optimum, mulai dari penggunaan varietas unggul, perencanaan
164
tanam, pemeliharaan tanaman, sampai dengan penanganan pasca panennya. Sementara, penggunaan prinsip-prinsip GMP oleh pabrik gula, dapat menjadikan pabrik gula beroperasi secara lebih efektif dan efisien. Kemitraan antara pabrik gula dengan petani merupakan hubungan yang saling menguntungkan, dibangun dengan rasa saling percaya (trust) dan sudah berlangsung cukup lama, khususnya bagi pabrik gula yang memiliki ketergantungan tinggi pada pasokan tebu rakyat (TR). Kepercayaan telah menjadi prinsip nilai yang dibangun bersama oleh kedua belah pihak, sehingga hubungan kemitraan masih berjalan sampai saat ini. Namun demikian, dari observasi lapangan masih terdapat ketidakpuasan dari kedua belah pihak. Petani menganggap pabrik gula kurang adil dalam penentuan rendemen tebu milik petani dan pabrik gula masih merasakan petani seringkali melakukan tindakan yang kurang patut (moral hazard) dengan memasukkan berbagai kotoran tebu (trash) dari tebu yang dipasok ke pabrik. Dengan demikian, soliditas kemitraan antara pabrik gula dengan petani tebu dengan meningkatkan jalinan komunikasi dan transparansi agar relasi fungsional tersebut berkelanjutan. Beragam
faktor
yang telah menyebabkan
harga
gula domestik
berfluktuasi. Selain akibat kebijakan impor, harga gula yang rendah juga dipengaruhi oleh karena inefisiensi pabrik gula serta fluktuasi harga gula dunia. Bagi kedua belah pihak yang bermitra, harga gula yang lebih stabil merupakan harapan agar petani maupun pabrik gula memperoleh pendapatan sesuai dengan hasil yang diharapkan. Untuk itu, pemerintah perlu menetapkan harga dasar gula yang tidak saja mempertimbangkan kapasitas produksi nasional, namun juga kebutuhan konsumsi gula oleh masyarakat.
7.1.5. Elemen Kebutuhan Dari Program Sistem Kelembagaan Kemitraan Elemen yang digunakan pada kebutuhan dari program dalam kelembagaan kemitraan
pabrik gula dengan petani tebu adalah : 1. Dukungan kebijakan
perkreditan dan bongkar ratoon (K1) 2. Sertifikasi varietas tebu unggul (K2) 3. Jaminan keamanan gula (HACCP) (K3) 4. Audit teknologi secara menyeluruh pada pabrik gula (K4) 5. Pembinaan dari pemerintah daerah yang lebih intensif
165
(K5) 6. Pengembangan kearah klaster industri gula tebu (K6) 7. Adanya implementasi SOP Pertebuan dan pergulaan yang memadai (K7) 8. Diversifikasi produk gula (K8) 9. Implementasi peta jalan (roadmap) pengembangan industri gula secara konsisten (K9) 10. Regulasi Peraturan pemerintah pusat dan daerah yang kondusif (K10). Hasil strukturisasi sub elemen tujuan sistem kelembagaan kemitraan pabrik gula dengan petani tebu dari hasil analisis dengan menggunakan ISM dapat dilihat pada Gambar 29 berikut.
K7
K1 K9
Independent
K6 K5
Linkage K2
K10
K8
Autonomus
Dependent K4 K3
Gambar 29. Pemetaan driver power-dependent sub-elemen kebutuhan program pada sistem kelembagaan kemitraan industri gula tebu
Dari Gambar 29 terlihat bahwa bahwa sub elemen K1 (Dukungan kebijakan perkreditan dan bongkar ratoon), K6 (Pengembangan kearah klaster industri gula tebu), dan K7 (Adanya implementasi SOP Pertebuan dan pergulaan yang memadai), merupakan sub-sub elemen yang menjadi pendorong utama dari kebutuhan program dari sistem Kelembagaan Kemitraan Pabrik gula dengan petani tebu. Kedepannya, pengembangan industri gula nasional perlu diarahkan dalam rangka memperkuat sistem klaster industri gula tebu. Kendati industri gula termasuk jenis industri yang telah lama berkembang, namun penguatan unsur-
166
unsur pembentuk klaster industri gula tebu seperti : pemasok, pemroses, perbankan, jasa transportasi, lembaga penelitian dan pengembangan dan sebagainya belum merupakan sistem yang saling mendukung. Melalui penguatan sistem klaster industri gula tebu, unsur-unsur dari sub sistem pembentuk klaster industri dapat saling bersinergi sesuai dengan kapasitas sumberdaya yang dimiliki masing-masing. Kedepannya, pengembangan industri gula nasional perlu diarahkan dalam rangka memperkuat sistem klaster industri gula tebu. Kendati industri gula termasuk jenis industri yang telah lama berkembang, namun penguatan unsurunsur pembentuk klaster industri gula tebu seperti : pemasok, pemroses, perbankan, jasa transportasi, lembaga penelitian dan pengembangan dan sebagainya belum merupakan sistem yang saling mendukung. Melalui penguatan sistem klaster industri gula tebu, unsur-unsur dari sub sistem pembentuk klaster industri dapat saling bersinergi sesuai dengan kapasitas sumberdaya yang dimiliki masing-masing. Kebutuhan program lainnya yang diperlukan dalam rangka memperkuat sistem kelembagaan kemitraan antara pabrik gula dengan petani tebu adalah implementasi dari SOP pertebuan oleh petani dan SOP dalam proses produksi oleh pabrik gula. Dengan penerapan SOP pertebuan, maka jumlah dan mutu produksi tebu akan sesuai dengan target yang diharapkan. Demikian halnya dengan penerapan SOP pada proses produksi pabrik gula, maka kapasitas pabrik dapat dioptimalkan, kehilangan kandungan sukrosa dalam blotong ataupun molasses dapat ditekan. Struktur permodalan petani masih memerlukan penguatan khususnya dari sumber kredit pemerintah yang bunganya telah disubsidi, termasuk juga dengan keberlanjutan program bongkar ratoon yang telah dilaksanakan selama ini. Dengan permodalan yang kuat, petani dapat memobilisir sumberdaya modalnya untuk menggunakan bibit unggul, sewa / membeli traktor, membeli pupuk dan obat-obatan dengan tepat waktu, membayar tenaga kerja untuk penyulaman, pemeliharaan tanaman dan penanganan pasca panenya. Kebutuhan program yang juga sebaiknya terus dilanjutkan adalah bongkar ratoon, mengingat tanaman tebu
167
berdasarkan ketentuan yang ada maksimal 3 (tiga) kali dilakukan bongkar keparasan. Jika kebijakan bongkar keprasan terus dilanjutkan dan menjangkau lebih besar jumlah petani tebu, maka produktivitas tebu dapat ditingkatkan. 7.1.6. Elemen Dari Sektor Masyarakat Yang Terpengaruh Dari Sistem Kelembagaan Kemitraan Elemen yang digunakan pada sektor masyarakat yang terpengaruh dalam kelembagaan kemitraan adalah : 1. Sektor industri kecil dan rumahtangga makanan dan minuman (M1) 2. Sektor retail / perdagangan (M2) 3. Sektor transportasi (M3) 4. Sektor Perbankan (M4) 5. Sektor usaha pembibitan tebu rakyat (M5) 6. Sektor industri pupuk dan obat-obatan (M6) 7. Sektor koperasi (M7) 8. Sektor Pemerintah Daerah (M8) 9. Sektor industri permesinan (M9) 10. Sektor litbang dan sertifikasi (M10). Hasil strukturisasi sub elemen tujuan sistem kelembagaan kemitraan pabrik gula dengan petani tebu dari hasil analisis dengan menggunakan ISM dapat dilihat pada Gambar 30 berikut. Grafik Daya Dorong & Ketergantungan Sektor Masyarakat Yang Terpengaruh Kunci Kelembagaan Kemitraan 12 11
M5
M6
M10
10
M3, M7
Daya Dorong
9
Independent
8
M1
7
M2, M8
6 0
1
2
3
4
5
Autonomous
5 6
7
4
8
9
10
11
12
M4, M9
Dependent
3 2 1 0
Ketergantungan Gambar 30. Pemetaan driver power-dependent sub-elemen sektor masyarakat yang terpengaruh pada sistem kelembagaan kemitraan industri gula tebu
168
Dari Gambar 30 terlihat bahwa sub elemen M5 (sektor usaha pembibitan tebu rakyat), M6 (sektor industri pupuk dan obat-obatan) dan M10 (sektor litbang dan sertifikasi) merupakan sub-sub elemen yang menjadi pendorong utama dari sistem kelembagaan kemitraan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa subsub elemen tersebut menjadi sub elemen kunci dari elemen masyarakat yang terpengaruh dari sistem kelembagaan kemitraan antara pabrik gula dengan petani tebu. Sektor usaha pembibitan tebu rakyat cukup banyak berkembang di sekitar lokasi pabrik gula. Dari usaha pembibitan inilah kebutuhan bibit tanaman tebu rakyat diperoleh. Namun demikian, kedepannya usaha pembibitan tersebut perlu dilakukan pembinaan, baik oleh pabrik gula maupun oleh Pemerintah Daerah (Dinas Pertanian). Sektor usaha lainnya yang juga terpengaruh adalah industri pupuk dan obat-obatan. Industri ini telah berperan besar dalam memberikan kontribusinya dalam peningkatan produksi dan produktivitas tebu rakyat selama ini. Ketersediaan pupuk dan obat-obatan yang tepat jumlah, tepat harga dan tepat waktu distribusi sangat menentukan jumlah dan mutu produksi tebu rakyat. Permasalahan distribusi pupuk yang selama ini menjadi kendala bagi petani tebu perlu untuk disempurnakan agar tidak terjadi kelangkaan pupuk pada saat petani memerlukannya. Kegiatan penelitian dan pengembangan serta sertifikasi, khususnya dalam kaitan dengan penemuan varietas unggul dan perbaikan sistem operasi dalam proses produksi cukup siginifikan membantu petani dan pabrik gula dalam peningkatan kinerja produksinya. Kegiatan litbang baik di institusi Pemerintah maupun di pabrik gula sendiri perlu terus diperkuat, sehingga ditemukan varietas unggul baru dan metode yang lebih efektif dan efisien dalam proses produksi gula. 7.2. Mekanisme Kelembagaan Kemitraan Dari hasil strukturisasi terhadap elemen-elemen kunci dari sistem kelembagaan kemitraan antara pabrik gula dengan petani, maka skema yang tersusun untuk penyempurnaan mekanisme kerjasama kedepannya adalah sebagai berikut (Gambar 31) :
169
TUJUAN KUNCI
Meningkatkan Mutu Bahan Baku Tebu dan Produksi Gula TOLOK UKUR KEBERHASILAN KUNCI
PROGRAM KUNCI 1) Mengarah pada klaster industri 2) Implementasi SOP Pertebuan dan Pergulaan 3) Kebijakan kredit dan bongkar keprasan SEKTOR MASYARAKAT KUNCI
REKAYASA KELEMBAGAAN KEMITRAAN PABRIK GULA DAN PETANI TEBU
1) Pembibitan Tebu Rakyat 2) Industri pupuk dan obat-obatan 3) Litbang dan sertifikasi
1) Peningkatan Rendemen 2) Peningkatan Pendapatan 3) Akses Informasi Harga Jual 4) Peningkatan Kapasitas Produksi 5) Jaminan jumlah dan pasokan Tebu PERUBAHAN KUNCI 1) Usahatani Dengan GAP dan Proses Produksi Dengan GMP 2) Soliditas Kemitraan Sebagai Inti Klaster Industri 3) Stabilitas Harga Jual Gula
KENDALA KUNCI 1) Penghargaan dan Sangsi yang seimbang 2) Koordinasi Pemangku Kepentingan 3) Pungutan di Daerah 4) Kebijakan Pemerintah yang belum terintegra
Gambar 31. Strukturisasi Elemen-Elemen Kunci Rekayasa Kelembagaan Kemitraan
Setelah diketahui struktur dari elemen-elemen kunci yang mempengaruhi Kelembagaan Kemitraan Pabrik Gula dengan petani tebu peserta kemitraan, maka ilustrasi bentuk struktur Kelembagaan Kemitraan Pabrik Gula dengan petani tebu dapat disajikan pada Gambar 32 sebagai berikut :
170
TUJUAN KUNCI Meningkatkan Mutu Bahan Baku Tebu dan Produksi Gula
PROGRAM KUNCI 1) Mengarah pada klaster industri 2) Implementasi SOP Pertebuan dan Pergulaan 3) Kebijakan kredit dan bongkar keprasan SEKTOR MASYARAKAT KUNCI 1) Pembibitan Tebu Rakyat 2) Industri pupuk dan obat-obatan 3) Litbang dan sertifikasi
TOLOK UKUR KEBERHASILAN KUNCI 1) Peningkatan Rendemen 2) Peningkatan Pendapatan 3) Akses Informasi Harga Jual 4) Peningkatan Kapasitas Produksi 5) Jaminan jumlah dan pasokan Tebu
[Sanksi] [Penghargaan] [Sistem Kontrak] PABRIK GULA (PG)
PETANI TEBU [Kepercayaan] [Sanksi] [Penghargaan]
PERUBAHAN KUNCI 1) Usahatani Dengan GAP dan Proses Produksi Dengan GMP 2) Soliditas Kemitraan Sebagai Inti Klaster Industri 3) Stabilitas Harga Jual Gula
KENDALA KUNCI 1) Penghargaan dan Sangsi yang seimbang 2) Koordinasi Pemangku Kepentingan 3) Pungutan di Daerah 4) Kebijakan Pemerintah yang belum terintegra
Gambar 32. Ilustrasi Struktur Kelembagaan Kemitraan Pabrik gula dengan petani tebu
Hakekat dari kemitraan antara pabrik gula dan petani tebu peserta kemitraan adalah pada pencapaian tujuan kunci berupa peningkatan mutu tebu dan produksi gula secara periodik dan berkelanjutan. Dengan adanya peningkatan mutu tebu (rendemen tebu tinggi dan kemasakan tebu terjamin), maka pabrik gula dapat meningkatkan produksi dan produktvitas gulanya. Dengan meningkatnya produksi dan produktivitas gula berarti akan banyak pendapatan yang diperoleh pabrik gula dan berpengaruh terhadap peningkatan bagian gula milik petani dalam sistem bagi hasil. Oleh karena itu, dengan tercapainya tujuan kunci tersebut, maka kedua belah pihak (Pabrik gula dan petani tebu) akan sama-sama meningkat pendapatan dan kesejahteraannya.
VIII. PRIORITAS STRATEGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS INDUSTRI GULA TEBU NASIONAL
8.1. Formulasi Strategi Peningkatan Produktivitas Untuk mendapatkan strategi peningkatan produktivitas industri gula tebu nasional yang tepat, digunakan metoda SWOT yang di kombinasikan dengan metode AHP, baik untuk tingkat kebun maupun tingkat pabrik seperti dijelaskan dibawah ini : 8.1.1. Analisis Lingkungan Strategis Dalam melakukan analisis lingkungan strategis, analisis dilakukan dengan membagi kondisi lingkungan strategis menjadi dua, yaitu : lingkungan mikro (usahatani tebu dan pabrik gula) dan lingkungan makro (atribut-atribut lingkungan luar negeri yang memiliki pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap dinamika pergulaan nasional). 8.1.1.1. Lingkungan Internal Berdasarkan hasi kajian dan pengamatan (observasi) terhadap usahatani tebu dan pabrik gula yang diteliti, maka kekuatan (Strength) dan kelemahan (Weaknesses) yang dapat dihimpun adalah sebagai berikut : A. Tingkat Internal Kebun Kekuatan dan Kelemahan (IFE) Kekuatan 1. Potensi pengembangan areal tanam tebu khususnya pada lahan kering di luar pulau Jawa masih luas 2. Penelitian terhadap jenis varietas tebu unggul dilakukan secara kontinyu, baik yang dilakukan oleh pabrik gula sendiri, P3GI Pasuruan maupun oleh Perguruan Tinggi; 3. Kondisi Agroklimat tanaman tebu sangat kondusif baik pada lahan basah maupun lahan kering
172
4. Kemitraan Pabrik Gula – Petani telah terjalin lama dan signifikan dalam membangun interaksi usaha secara sinergis 5. Pemerintah telah merumuskan program revitalisasi kebijakan terkait dengan peningkatan mutu produksi tebu. Kelemahan (Weaknesses) 1. Budidaya usahatani tebu rakyat (TR) masih bersifat tradisional 2. Belum terstandarisasinya mutu produksi tebu rakyat 3. Sistem bagi hasil yang dilaksanakan belum sepenuhnya mengacu pada ketentuan 4. Produksi tebu petani berfluktuasi sebagai akibat adanya pengaruh terjadinya anomali cuaca 5. Struktur permodalan petani masih lemah dalam upaya meningkatkan volume dan mutu produksi. B. Tingkat Internal Pabrik Kekuatan 1. Dalam perkembangannya peremajaan peralatan / mesin produksi di pabrik gula selalu dilakukan secara bertahap 2. Bisnis pergulaan memiliki tingkat pengembalian yang tinggi (quick yielding) 3. Keberadaan pabrik gula di suatu daerah telah memberikan dampak pengganda (multiplier effect) yang besar bagi perekonomian daerah 4. Eksistensi pabrik gula telah memperoleh dukungan penuh dari masyarakat sekitar dan berada dekat dengan sumber bahan baku (tebu) 5. Pemerintah secara kontinyu memberikan dukungan melalui program revitalisasi industri gula nasional.
173
Kelemahan 1. Dibandingkan dengan negara exportir gula, harga pokok produksi (HPP) gula nasional masih relatif lebih tinggi 2. Kebijakan Pemerintah dalam pengembangan industri gula masih belum komprehensif
dan menyentuh akar permasalahan yang dihadapi oleh
industri gula nasional 3. Diperlukan pengembangan SDM khususnya dalam rangka diversifikasi produk 4. Manajamen pabrik gula masih dihadapkan lemahnya ketersediaan modal terutama untuk digunakan dalam penggantian mesin-mesin produksi baru secara total 5. Sebagian besar pabrik gula khususnya dibawah afiliasi BUMN masih banyak menggunakan mesin-mesin produksi yang relatif usang. C. Tingkat Eksternal Kekuatan dan Kelemahan Kekuatan 1. Telah dikeluarkannya aturan tentang standar nasional Indonesia (SNI) gula 2. Telah tersedianya lembaga penelitian dan pengembangan (Litbang) di lembaga pemerintah maupun swasta 3. Kebutuhan gula untuk pasokan pasar gula domestik masih relatif besar. Kelemahan 1. Koordinasi antar kementerian dalam menangani permasalahan gula nasional masih relatif parsial 2. Penelitian dan pengembangan varietas dan produk hilir relatif relatif belum terstandarisasi
174
3. Belum ada kebijakan pergulaan yang
terintegrasi dan menjamin
keberlangsungan industri gula nasional. 8.1.1.2. Lingkungan Eksternal Berdasarkan
hasi
kajian
dan
pengamatan
terhadap
faktor-faktor
yang
mempengaruhi usahatani tebu dan pabrik gula, maka peluang (Opportunity) dan ancaman (Threat) yang dapat dihimpun adalah sebagai berikut : A. Tingkat Internal Kebun Peluang 1. Peningkatan produksi tebu rakyat masih memerlukan budidaya melalui pola intensifikasi 2. Program konsolidasi lahan dapat dilakukan dalam rangka penyeragaman mutu produksi tebu rakyat 3. Penguatan struktur permodalan petani memerlukan dukungan pemupukan modal melalui kelompok atau koperasi 4. Pemerintah secara kontinyu berupaya memberikan dukungan kebijakan bongkar keprasan (ratoon), perkreditan dan subsidi input produksi 5. Untuk meningkatkan posisi tawar, diperlukan penguatan organisasi petani. Ancaman 1. Masih maraknya pungutan di daerah yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi 2. Lokasi kebun tebu milik petani yang berada dekat dengan kota cenderung terus mengalami alih fungsi lahan 3. Harga gula yang diterima petani seringkali kurang memuaskan karena turunnya harga gula di pasar akibat membanjirnya gula rafinasi ke pasar konsumsi
175
4. Penetapan harga gula dasar yang dilakukan oleh pemerintah masih relatif rendah dan berdampak terhadap pendapatan dan kesejahteraan petani 5. Gula bagian petani dari hasil bagi yang dijual menghadapi struktur pasar yang oligopsonistik. B. Pabrik Internal Gula Peluang 1. Proses produksi pada industri gula dapat dilakukan dengan sistem produksi bersih (zero waste) 2. Peningkatan mutu produksi gula dan efisiensi pabrik dapat dilakukan melalui pemanfaatan Good Manufacturing Practises (GM) 3. Semakin berkembangnya pusat-pusat pelatihan dan pendidikan bagi peningkatan kapasitas SDM 4. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan tingkat konsumsi total terhadap gula mengalami peningkatan 5. Kebutuhan produksi sampingan dari pengolahan gula menyebabkan diperlukan adanya diversifikasi produk. Ancaman 1. Peningkatan akses informasi masyarakat terhadap kesehatan akan menyebabkan perubahan pola konsumsi atas gula berubah 2. Tingkat Persaingan Industri gula (PG) dalam memperoleh bahan baku tebu relatif tajam 3. Kapasitas produksi masih banyak menganggur (idle capacity) sebagai akibat kerusakan mesin / peralatan produksi. 4. Harga gula dalam negeri sering berfluktuasi sebagai pengaruh dari perkembangan harga gula internasional
176
5. Ketidakstabilan ekonomi nasional akibat baik akibat tekanan luar negeri maupun kebijakan makro ekonomi akan mempengaruhi perkembangan kinerja indsutri gula. C.Tingkat Eksternal Peluang 1. Terbangunnya sistem koordinasi antar kementerian terkait dalam menangani permasalahan yang dihadapi pergulaan nasional 2. Semakin berkembangnya penelitian dan pengembangan varietas tebu dan produk hilir 3. Mewujudkan komitmen nasional dalam membangun sistem pergulaan nasional yang lebih terintegrasi. Ancaman 1. Fluktuasi harga gula dunia dapat berpengaruh terhadap harga gula domestik 2. Kebijakan proteksi melalui subsidi harga input produksi dari negaranegara eksportir gula mempengaruhi tingkat daya saing harga gula domestik 3. Semakin
langkanya
pasokan
gula
dunia
sebagai
akibat
dari
berkembangnya konsumsi bioenergi berasal dari limbah tebu. 8.1.2. Analisis Matriks SWOT Untuk menghasilkan alternatif strategi peningkatan produktivitas baik di tingkat kebun maupun di tingkat pabrik, maka digunakan matriks SWOT dengan cara mengkombinasikan strategi kekuatan dan peluang (SO), strategi kekuatan dan ancaman (ST), strategi kelemahan dan peluang (WO) dan strategi kelemahan dan ancaman (WT).
177
8.1.2.1. Alternatif Strategi Tingkat Internal Kebun Berdasarkan hasil analisis, maka diperoleh lima alternatif strategi yang selanjutnya akan dipilih berdasarkan skala prioritas. Pada Tabel 62 berikut digambarkan hasil dari lima alternatif strategi dalam meningkatkan produktivitas industri gula nasional. Tabel 62. Alternatif Strategi Peningkatan Produktivitas Tingkat Kebun
Alternatif Strategi
Kombinasi Strategi
Strategi 1
Intensifikasi budidaya tanaman tebu melalui Good Agricultural Practises (GAP) (O1 dan W1)
Strategi 2
Perlu dilakukannya konsolidasi lahan tebu rakyat (TR) agar mutu produksi tebu memenuhi standar (O2 dan W2)
Strategi 3
Kemitraan antara pabrik gula dengan petani tebu melalui perkuatan organisasi petani (S4 dan O5)
Strategi 4
Revitalisasi kebijakan melalui keberlanjutan program bongkar keprasan (ratoon), perkreditan dan subsidi input produksi (S5 dan O4)
Strategi 5
Penguatan permodalan petani melalui pemupukan modal kelompok atau koperasi (W5 dan O3)
8.1.2.2. Alternatif Strategi Tingkat Internal Pabrik Hasil analisis terhadap kondisi lingkungan strategis pada pabrik gula yang diteliti, telah menghasilkan lima alternatif strategi, yang selanjutnya akan dipilih berdasarkan skala prioritas. Pada Tabel 63 berikut digambarkan hasil dari lima alternatif strategi tingkat pabrik gula dalam meningkatkan produktivitas industri gula nasional.
178
Tabel 63. Alternatif Strategi Peningkatan Produktivitas Tingkat Pabrik
Alternatif Strategi
Kombinasi Strategi
Strategi 1
Peremajaan peralatan produksi pabrik secara kontinyu menuju produksi bersih (S1 dan O1)
Strategi 2
Kebijakan subsidi impor barang modal dalam mendorong peningkatan kapasitas produksi pabrik gula (S5 dan T3)
Strategi 3
Peningkatan kapasitas SDM melalui pendidikan dan pelatihan (W3 dan O3)
Strategi 4
Penguatan struktur permodalan dalam mendukung efektivitas kinerja proses produksi / operasional (O5 dan W4)
Strategi 5
Peningkatan efisiensi produksi melalui pemanfaatan Good Manufacturing Practises (GM) (W5 dan O2)
8.1.2.3 Alternatif Strategi Tingkat Eksternal Pada tingkat makro, dari hasil analisis diperoleh lima alternatif strategi yang selanjutnya akan dipilih berdasarkan skala prioritas. Pada Tabel 64 berikut digambarkan hasil dari lima alternatif strategi makro dalam meningkatkan produktivitas industri gula nasional.
179
Tabel 64. Alternatif Strategi Peningkatan Produktivitas Tingkat Eksternal
Alternatif Strategi
Kombinasi Strategi
Strategi 1
Antisipasi fluktuasi harga gula dunia melalui penyempurnaan kebijakan klaster industri gula yang terintegrasi (O1 dan T1)
Strategi 2
Sinkronisasi kebijakan pemerintah melalui mekanisme koordinasi antar kementerian terkait (W3 dan T1)
Strategi 3
Peningkatan kompetensi penelitian dan pengembangan melalui pengembangan inovasi (S2 dan O1)
Strategi 4
Standarisasi dan jaminan mutu produksi gula sesuai dengan ketentuan dalam SNI (S1 dan O2)
8.1.3. Analisis Matriks Internal dan Eksternal (IE) Dari hasil analisis SWOT kualitatif diatas, maka dilakukan penilaian dari masingmasing faktor yang membentuk kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut : 8.1.3.1. Tingkat Internal Kebun Faktor internal merupakan gambaran kekuatan maupun kelemahan yang dapat dijadikan dasar bagi pengembangan usaha. Untuk tingkat kebun, secara umum kekuatan dan kelemahan yang ada disajikan pada Tabel 65 berikut :
180
Tabel 65. Faktor Penentu Internal Kekuatan dan Kelemahan Tingkat Kebun No Faktor Penentu Internal - Kekuatan S1 Potensi Pengembangan Areal Tanam S2 Penelitian Varietas Tebu Unggul S3 Kondisi Agroklimat yang mendukung S4 Kemitraan Pabrik Gula - Petani S5 Adanya revitalisasi Kebijakan Pemerintah TOTAL KEKUATAN
Rating 4 4 4 4 4
Bobot 0,1376 0,1473 0,1420 0,1238 0,1426 0,6933
Skor 0,5503 0,5890 0,5682 0,4953 0,5705 2,7733
No Faktor Penentu Internal - Kelemahan W1 Budidaya Tanaman tebu rakyat masih tradisonal W2 Belum terstandarisasinya mutu produksi tebu W3 Belum Optimalnya Sistem Bagi Hasil W4 Pengaruh Anomali Cuaca W5 Lemahnya struktur permodalan petani TOTAL KELEMAHAN
Rating 2 2 1 2 2
Bobot 0,0736 0,0502 0,0456 0,0736 0,0636 0,3067
Skor 0,1473 0,1004 0,0456 0,1473 0,1272 0,5677
Sementara faktor eksternal perlu dicermati oleh organisasi untuk mengantisipasi berbagai
kecenderungan
yang
terjadi
dan
akan
berdampak
terhadap
perkembangan usaha kedepannya. Untuk tingkat kebun, secara umum peluang dan ancaman yang ada disajikan pada Tabel 66 berikut :
181
Tabel 66. Faktor Penentu Internal Peluang dan Ancaman Tingkat Kebun
No O1 O2 O3
Faktor Penentu Internal - Peluang Intensifikasi Budidaya Tanaman Tebu Konsolidasi Lahan Tanaman tebu rakyat Pemupukan modal melalui kelompok tani atau koperasi Keberlanjutan program bongkar ratoon, perkreditan dan O4 subsidi input O5 Penguatan Organisasi Petani TOTAL PELUANG No Faktor Penentu Internal - Ancaman T1 Retribusi dan Pungutan Di Daerah T2 Kecenderungan alih fungsi lahan T3 Masuknya gula rafinasi ke pasar konsumsi T4 Penetapan harga gula dasar T5 Struktur Pasar oligopsonstik TOTAL ANCAMAN
Rating 3 3 4
Bobot 0,0993 0,1030 0,1223
Skor 0,2980 0,3091 0,4893
3 3
0,1033 0,0804 0,5083 Bobot 0,1070 0,1027 0,0875 0,0993 0,0952 0,4917
0,3098 0,2411 1,6472 Skor 0,4281 0,3080 0,2625 0,2980 0,2856 1,5822
Rating 4 3 3 3 3
8.1.3.2. Tingkat Internal Pabrik DI tingkat pabrik, faktor internal menjadi fokus perhatian untuk diperhatikan mengingat dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan yang ada, pabrik gula dapat bersaing dengan pabrik gula yang lainnya. Untuk tingkat pabrik, secara umum kekuatan dan kelemahan yang ada disajikan pada Tabel 67 berikut :
Tabel 67. Faktor Penentu Internal Kekuatan dan Kelemahan Tingkat Pabrik
182
No Faktor Penentu Internal - Kekuatan S1 Permajaan Peralatan Produksi S2 Bisnis Pergulaan Prospektif S3 Kontribusi Terhadap Perekonomian Daerah S4 Daya Dukung Lingkungan S5 Kebijakan revitalisasi industri gula nasional TOTAL KEKUATAN No W1 W2 W3 W4
Faktor Penentu Internal - Kelemahan Harga Pokok Produksi Yang relatif tinggi Kebijakan Pemerintah Yang belum terintegrasi Pengembangan SDM yang belum terstruktur Ketersediaan Modal Masih relatif inefisien dalam produksi akibat W5 peralatan pabrik yang usang TOTAL KELEMAHAN
Rating 4 4 4 4 4
Bobot 0,1367 0,1465 0,1420 0,1284 0,1240 0,6775
Skor 0,5466 0,5859 0,5680 0,5137 0,4959 2,7101
Rating 2 2 1 2
Bobot 0,0634 0,0732 0,0634 0,0590
Skor 0,1268 0,1465 0,0634 0,1179
2
0,0634 0,3225
0,1268 0,5815
Sementara faktor eksternal perlu dicermati oleh pabrik gula dalam mengantisipasi berbagai kecenderungan permasalahan teknis yang terjadi dan dapat berpengaruh terhadap perkembangan usaha kedepannya. Untuk tingkat pabrik, secara umum peluang dan ancaman yang ada disajikan pada Tabel 68 berikut :
Tabel 68. Faktor Penentu Internal Peluang dan Ancaman Tingkat Pabrik
183
No O1 O2
Faktor Penentu Internal - Peluang Produksi bersih (zero waste) Pemanfaatan Good Manufacturing Practises Berkembanganya pusat-pusat Pelatihan dan O3 Pendidikan O4 Pertumbuhan Penduduk O5 Diversifikasi Produk TOTAL PELUANG No Faktor Penentu Internal - Ancaman T1 Perubahan pola konsumsi masyarakat T2 Tingkat Persaingan Industri gula yang tajam Kebijakan proteksi melalui subsidi oleh negaraT3 negara eksportir gula T4 Fluktuasi harga gula T5 Instabilitas ekonomi nasional TOTAL ANCAMAN
Rating 3 4
Bobot 0,0971 0,1200
Skor 0,2914 0,4799
4
0,1200
0,4799
3 3 Rating 3 4
0,0788 0,0973 0,5133 Bobot 0,0823 0,1048
0,2365 0,2920 1,7798 Skor 0,2469 0,4192
3
0,0750
0,2251
4 4
0,1084 0,1162 0,4867
0,4335 0,4648 1,7896
8.1.3.3. Tingkat Eksternal Pada tingkat makro (kebijakan nasional), faktor internal perlu untuk lebih diperhatikan, untuk dapat menentukan langkah-langkah penyempurnaan kebijakan nasional. Untuk tingkat makro, secara umum kekuatan dan kelemahan yang ada disajikan pada Tabel 69 berikut :
Tabel 69. Faktor Penentu Internal Kekuatan dan Kelemahan Tingkat Eksternal
184
No Faktor Penentu Internal - Kekuatan S1 Telah Dikeluarkannya aturan tentang SNI Gula Telah tersedianya litbang di lembaga-lembaga S2 pemerintah dan swasta S3 Pasar gula domestik relatif besar TOTAL KEKUATAN
Rating 4
Bobot 0,1366
Skor 0,5464
4
0,3646
1,4584
4
0,1420 0,6432
0,5680 2,5728
No Faktor Penentu Internal - Kelemahan Koordinasi antar sektor dalam menangani W1 dinamika pergulaan nasional Penelitian dan pengembangan varietas dan W2 produk hilir W3 Kebijakan pergulaan yang lebih terintergrasi TOTAL KELEMAHAN
Rating
Bobot
Skor
2
0,1858
0,3716
4
0,1274
0,5096
3
0,0634 0,3766
0,19020 1,0714
Mengingat faktor internasional memiliki pengaruh terhadap perkembangan kinerja industri gula nasional, maka eksternal juga perlu dicermati oleh para pemangku kepentingan, khususnya oleh pemerintah (pusat dan daerah). Untuk tingkat makro, secara umum peluang dan ancaman yang ada disajikan pada Tabel 70 berikut :
Tabel 70. Faktor Penentu Internal Peluang dan Ancaman Tingkat Eksternal
185
No Faktor Penentu Internal - Peluang Koordinasi antar sektor dalam menangani O1 dinamika pergulaan nasional Penelitian dan pengembangan varietas dan O2 produk hilir O3 Kebijakan pergulaan yang lebih terintergrasi TOTAL PELUANG No Faktor Penentu Internal - Ancaman Fluktuasi harga gula dunia berpengaruh T1 terhadap harga gula domestik Kebijakan proteksi melalui subsidi kepada T2 produsen gula di negara-negara eksportir gula T3 Kebijakan impor gula nasional TOTAL ANCAMAN
Rating
Bobot
Skor
3
0,2971
0,8914
3
0,1300
0,3899
2
Rating
0,1600 0,5870 Bobot
0,3200 1,6013 Skor
3
0,0823
0,2469
2
0,1548
0,3096
2
0,1750 0,4121
0,3501 0,9066
8.1.4. Alternatif Penetapan Prioritas Strategi Untuk memperoleh prioritas strategi yang diinginkan, baik di tingkat kebun maupun di tingkat pabrik gula, digunakan metoda Analytical Hierarchi Process (AHP). Dari hasil perhitungan dengan metode AHP , maka prioritas strategi yang diperlukan dalam upaya meningkatkan produktivitas, baik di tingkat internal (kebun dan pabrik gula) maupun tingkat eskternal adalah sebagai berikut : 8.1.4.1. Tingkat Internal Kebun Dari hasil analisis dengan menggunakan metode SWOT-AHP, diperoleh informasi tentang prioritas strategi peningkatan produktivitas industri gula tebu nasional dalam penyempurnaan di tingkat kebun. Pada Tabel 71 berikut disajikan prioritas strategi di tingkat kebun :
Tabel 71. Bentuk Strategi Peningkatan Produktivitas Di Tingkat Internal Kebun
186
Alternatif Strategi Strategi 1 Strategi 2 Strategi 3 Strategi 4 Strategi 5
Bentuk Strategi Intensifikasi budidaya tanaman tebu melalui pemanfaatan Good Agricultural Practises (GAP) Konsolidasi lahan menuju standarisasi mutu produksi tebu Kemitraan pabrik gula dengan petani tebu melalui penguatan organsiasi petani Revitalisasi kebijakan Pemerintah melalui keberlanjutan program bongkar keprasan, perkreditan dan subsidi saprotan Penguatan permodalan usaha melalui kelompok tani atau koperasi
Skor
Prioritas Strategi
0,2936
1
0,0978
5
0,2380
2
0,1926
3
0,1778
4
8.1.4.2. Tingkat Internal Pabrik Gula Dengan menggunakan menggunakan metode SWOT-AHP, diperoleh hasil tentang prioritas strategi peningkatan produktivitas industri gula tebu nasional dalam penyempurnaan di tingkat pabrik. Pada Tabel 66 berikut tersaji prioritas strategi di tingkat pabrik : Tabel 72. Bentuk Strategi Peningkatan Produktivitas Di Tingkat Internal Pabrik
Alternatif Strategi Strategi 1 Strategi 2 Strategi 3 Strategi 4 Strategi 5
Bentuk Strategi Peremajaan peralatan produksi secara kontinyu menuju produksi bersih (zero waste ) Kebijakan subsidi impor barang modal dalam peningkatan kapasitas produksi Peningkatan kapasitas SDM melalui pendidikan dan pelatihan Penguatan stuktur permodalan dalam rangka diversifikasi produk Peningkatan efisiensi produksi melalui pemanfaatan Good Manufacturing Practises (GMP)
8.1.4.3. Tingkat Eksternal
Skor
Prioritas Strategi
0,2374
3
0,0464
5
0,2708
2
0,1185
4
0,3267
1
187
Di tingkat makro, dengan menggunakan metode SWOT-AHP, diperoleh hasil tentang prioritas strategi peningkatan produktivitas industri gula tebu nasional dalam penyempurnaan di tingkat kebun. Pada Tabel 73 berikut tersaji prioritas strategi di tingkat eksternal : Tabel 73. Bentuk Strategi Peningkatan Produktivitas Di Tingkat Eksternal
Alternatif Strategi Strategi 1 Strategi 2 Strategi 3 Strategi 4
Bentuk Strategi Antisipasi fluktuasi harga gula dunia melalui penyempurnaan kebijakan yang terintegrasi Sinkronisasi kebijakan pemerintah melalui mekanisme koordinasi antar sektor Peningkatan kompetensi penelitian dan pengembangan melalui peningkatan daya inovasi Standarisasi dan jaminan mutu produksi gula sesuai dengan dorongan keinginan pasar (Market driven )
Skor
Prioritas Strategi
0,1163
4
0,3837
1
0,3421
2
0,1524
3
Dari hasil analisis dengan menggunakan AHP. Telah diperoleh alternatif strategi sebagai berikut : (1). Strategi di tingkat kebun sebanyak lima alternatif (2) Strategi di tingkat pabrik sebanyak lima alternatif dan (3) Strategi di tingkat makro sebanyak empat alternatif. Dari masing-masing alternatif tersebut diperoleh ranking alternatif seperti terlihat pada Gambar 33 berikut :
188
INTENSIFIKASI (GAP) (0,2936) PELUANG KEBERHASILAN (0,107)
INTERNAL KEBUN (0,57)
KOMPETENSI MANAJEMEN (9,356)
KEBERLANJUTAN (0,282)
NILAI TAMBAH (0,255)
PELUANG KEBERHASILAN (0,191)
STRATEGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS INDUSTRI GULA TEBU NASIONAL
INTERNAL PABRIK (0,33)
KOMPETENSI MANAJEMEN (0,647)
KEBERLANJUTAN (0,059)
NILAI TAMBAH (0,103)
PELUANG KEBERHASILAN (0,068)
TATA KELOLA (0,504)
EKSTERNAL (0,10) KEBERLANJUTAN 0,235) KONTRIBUSI THD PENYELESAIAN MASALAH (0,193)
[KRITERIA]
KONSOLIDASI LAHAN (0,0978)
KEMITRAAN PABRIK GULA DG PETANI (0,238) KEBIJAKAN PEMERINTAH (0,1926) PENGUATAN PERMODALAN (0,1778)
PEREMAJAAN PERALATAN (0,2374)
KEBIJAKAN SUBSIDI IMPOR BARANG MODAL (0,0464)
PENINGKATAN KAPASITAS SDM (0,2708) STRUKTUR PERMODALAN (0,1185) PENINGKATAN EFISIENSI (GMP) (0,3267)
ANTISIPASI FLUKTUASI HARGA GULA DUNIA (0,1163)
SINKRONISASI KEBIJAKAN (0,3873) PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN (0,3421) STANDARISASI DAN JAMINAN MUTU (0,1542)
[ALTERNATIF STRATEGI]
Gambar 33. Hasil Perumusan Strategi Peningkatan Produktivitas Industri Gula Tebu Nasional
8.1.5. Implikasi Manajerial / Kebijakan Dari hasil analisis terhadap kondisi eksisting baik terhadap kebun, pabrik gula maupun kondisi makro, diperoleh informasi yang berguna dalam membangun sistem pembinaan dan bantuan teknis yang diperlukan bagi peningkatan produktivitas.
189
8.1.5.1. Tingkat Internal Kebun Berdasarkan hasil analisis dengan manggunakan AHP diperoleh strategi utama dalam upaya peningkatan produktivitas di tingkat kebun. Strategi tersebut adalah Intensifikasi budidaya tanaman tebu melalui pemanfaatan Good Agricultural Practises (GAP), dengan implikasi manajerial sebagai berikut : a. Pemerintah Daerah (khususnya Dinas Pertanian) selaku pembina perlu secara intensif melakukan pembinaan kepada petani tebu di wilayahnya dengan menyusun standard operating procedure (SOP) mulai
dari
pemilihan
bibit,
pemeliharaan
sampai
dengan
penanganan pasca panen tebu rakyat (TR) b. Pemerintah perlu melakukan kerjasama yang sinergis dengan perguruan tinggi setempat untuk menemukan varietas tebu unggul yang sesuai dengan kondisi agroklimatnya (rendemen tinggi dan tahan serangan hama) c. Pemerintah perlu melakukan pembinaan teknis yang intensif kepada para petani penangkar bibit tebu yang cukup berkembang di sekitar lokasi pabrik gula, agar tebu yang dihasilkan petani mampu ditingkatkan produktivitasnya d. Mengingat pupuk anorganik seringkali digunakan aver dosis oleh petani tebu, sebaiknya perlu dipertimbangkan penggunaan pupuk organik
secara
berimbang
agar
kesuburan
tanah
dapat
dipertahankan secara berkelanjutan
Implikasi manajerial di tingkat kebun tersebut diatas melibatkan bentuk strategi, peran pemangku kepentingan, bentuk program dan keluaran yang diharapkan. Alur implementasi strategi tersebut dapat disajikan pada Gambar 34 sebagai berikut :
190
STRATEGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TINGKAT KEBUN
INTENSIFIKASI BUDIDAYA TEBU RAKYAT MELALUI PEMANFAATAN GOOD AGRICULTURAL PRACTISES (GAP)
PEMANGKU KEPENTINGAN
BENTUK PROGRAM / KEGIATAN
PEMERINTAH DAERAH
Pembinaan intensif kepada petani tebu dengan menggunakan SOP
PERGURUAN TINGGI
Melakukan riset yang mendalam dan kontinyu terhadap varietas tebu unggul
PETANI TEBU
Pemanfaatan lahan dengan kombinasi pupuk anorganik dan organik yang seimbang
PENANGKAR BIBIT TEBU
Penangkaran bibit unggul yang telah memperoleh sertifikasi
TUJUAN AKHIR
PERUBAHAN SIKAP MENTAL PETANI UNTUK BERORIENTASI PADA MUTU PRODUKSI TEBUNYA (RENDEMEN TINGGI)
Gambar 34. Kerangka Implementasi Strategi Peningkatan Produktivitas Tingkat Internal Kebun
8.1.5.2. Tingkat Internal Pabrik Berdasarkan hasil analisis dengan manggunakan proses hirarkhi analitik (AHP) diperoleh strategi utama dalam upaya peningkatan produktivitas di tingkat pabrik gula. Strategi tersebut adalah Peningkatan efisiensi pabrik melalui
pemanfaatan Good Manufacturing Practises (GM) , dengan implikasi manajerial sebagai berikut : .
a. Pemerintah
(khususnya
Kementerian
Perindustrian)
perlu
menyusun kebijakan pengurangan bea impor atas mesin-mesin produksi yang diperlukan oleh pabrik gula untuk mengganti mesinmesin produksinya yang sudah usang agar efisiensi pabrik gula meningkat b. Pabrik gula dalam rangka meningkatkan produktivitasnya dan meminimalisir penurunan rendemen perlu menggunakan Standar Operating Procedure (SOP).
191
c. Pabrik gula hendaknya menerapkan konsep produksi bersih sehingga produksi buangannya termanfaatkan semua baik untuk kepentingan internal maupun masyarakat sekitar d.
Untuk meningkatkan kepercayaan konsumen atas hasil produksi gulanya, pabrik gula perlu untuk melakukan sertifikasi proses produksi (ISO) maupun keamanan pangan (HACCP) dari lembaga internasional
e. Mengingat konsumen terbesar gula adalah masyarakat yang beragama Islam, maka sebaiknya pabrik gula memperoleh sertifikasi halal dari Majlis Ulama Indonesia (MUI)
Implikasi manajerial di tingkat pabrik tersebut diatas melibatkan bentuk strategi, peran pemangku kepentingan, bentuk program dan keluaran yang diharapkan. Alur implementasi strategi tersebut dapat dilihat pada Gambar 35 sebagai berikut :
STRATEGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TINGKAT PABRIK
PEMANGKU KEPENTINGAN
PEMERINTAH PUSAT
PENINGKATAN EFISIENSI PABRIK DENGAN PEMANFAATAN GOOF MANUFACTURING PRACTISES (GMP)
BENTUK PROGRAM / KEGIATAN
Reformulasi Kebijakan Pengenaan bea impor mesin / peralatan produksi pabrik gula
Pemanfaatan SOP dalam proses produksi gula
PABRIK GULA
TUJUAN AKHIR
Optimalisasi proses produksi dan menghasilkan volume produksi yang sesuai target dan mutu
Mengarahkan proses produksinya pada produksi bersih (zero waste)
Pendaftaran produksi pabrik gula untuk memperoleh serifikasi halal dari MUI
Gambar 35. Kerangka Implementasi Strategi Peningkatan Produktivitas Tingkat Internal Pabrik
192
8.1.5.3. Tingkat Eksternal
Berdasarkan hasil analisis dengan manggunakan proses hirarkhi analitik (AHP) diperoleh strategi utama dalam upaya peningkatan produktivitas di tingkat makro. Strategi tersebut adalah Sinkronisasi Kebijakan Pemerintah dalam meningkatkan produktivitas industri gula tebu nasional, dengan implikasi kebijakan sebagai berikut : a. Pemerintah (khususnya Badan Pusat Statisik) perlu menyusun satu neraca (Produksi dan konsumsi Gula Domestik) gula yang standar dan menjadi acuan bagi semua pemangku kepentingan yang terkait dengan pergulaan nasional b. Agar kebijakan impor gula (GKP) tidak terus dilakukan dan menghemat devisa negara, maka perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah untuk menyusun kebijakan yang memperbolehkan industri gula rafinasi untuk memproduksi gula kristal putih (GKP) untuk keperluan konsumsi masyarakat c. Pemerintah perlu memberikan insentif, kemudahan pelayanan perizinan dan membuka peluang bagi investor (PMDN maupun PMA) untuk mendirikan pabrik gula baru di luar pulau Jawa agar terpenuhinya kebutuhan domestik. d. Pemerintah perlu menyusun kebijakan pergulaan yang lebih komprehensif dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan untuk berkontribusi dengan arah pengembangan industri gula yang terstruktur dan sistematis atas target-target yang ingin dicapai. e. Untuk mengurangi aktivitas pencarian rente ekonomi (rent seeking behavior) secara bertahap yang berdampak terhadap munculnya biaya transaksi yang tinggi dan mengurangi daya saing gula nasional, maka diperlukan tata kelola pergulaan nasional yang baik (good governance dan good corporate governance)
193
Implikasi kebijakan di tingkat makro tersebut diatas melibatkan bentuk strategi, peran pemangku kepentingan, bentuk program dan keluaran yang diharapkan. Alur implementasi strategi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : STRATEGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TINGKAT MAKRO
PEMANGKU KEPENTINGAN
BADAN PUSAT STATISTIK (BPS) SINKRONISASI KEBIJAKAN ANTAR KEMENTERIAN TERKAIT INDUSTRI GULA NASIONAL TENTANG : Penyediaan Data Persediaan Gula, Pasokan Pupuk, Volume Impor gula, Penetapan Harga Dasar gula, Penetapan Bea Masuk Mesin/Peralatan pabrik gula dan lain-lain)
BENTUK PROGRAM / KEGIATAN
Standarisasi Neraca Gula Nasional (Referensi Utama)
Reformulasi Kebijakan Impor Gula (GKP)
PEMERINTAH PUSAT
TUJUAN AKHIR
Menuju Industri gula nasional yang berdaya saing tinggi
Kebijakan pemberian insentif dan kemudahan pelayanan perizinan bagi investor baru pabrik gula khususnya di luar Pulau Jawa
Tata Kelola pergulaan nasional (Good Sugarcane industry Governance)
Gambar 36. Kerangka Implementasi Strategi Peningkatan Produktivitas Tingkat Eksternal
194
(Halaman ini sengaja dibiarkan kosong)
195
IX . SIMPULAN DAN SARAN 9.1. Simpulan 1. Struktur kelembagaan kemitraan antara pabrik gula dengan petani tebu
kedepannya memerlukan penyempurnaan dengan mengarahkan tujuan yang ingin dicapai melalui peningkatan mutu bahan baku tebu dan produksi gula. Keberhasilan kemitraan antara pabrik gula dengan petani tebu perlu diukur melalui peningkatan rendemen tebu, peningkatan pendapatan pabrik gula dan petani tebu, perluasan akses informasi tentang perkembangan harga jual gula terkini, peningkatan kapasitas pabrik gula dan jaminan jumlah pasokan tebu petani (TR). Kendala-kendala yang diperkirakan masih mengemuka dalam implementasi kemitraan adalah belum berjalan secara seimbang antara penghargaan (reward) dan sanksi (punishment), masih lemahnya koordinasi antar pemangku kepentingan, masih maraknya berbagai pungutan di daerah serta kebijakan pemerintah yang belum terintegrasi. Adapun sektor-sektor yang perlu diperkuat dalam mendukung kemitraan adalah : usaha pembibitan tebu rakyat, industri pupuk dan obat-obatan serta lembaga litbang dan sertifikasi. Agar kemitraan berjalan dengan lebih optimal, maka program-program yang perlu untuk terus diimplementasikan adalah pengembangan industri gula tebu diarahkan melalui sistem klaster industri, implementasi SOP pertebuan dan pergulaan secara konsisten serta adanya keberlanjutan program perkreditan dan bongkar keprasan (ratoon cane).
2. Terkait dengan daya saing, masing-masing pabrik gula memiliki daya saing berupa keuntungan finansial dan ekonomi diatas normal. Dalam rangka peningkatan daya saing, Pemerintah telah memberikan kebijakan proteksi berupa subsidi maupun pengenaan tarif impor gula sehingga industri gula memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Pabrik gula juga telah diuntungkan karena memperoleh transfer dari konsumen ke produsen (PG).
196
3. Dalam hal tingkat produktivitas, yang diukur dari efisiensi dan efktivitas, diperoleh posisi produktivitas dari masing-masing pabrik gula sebagai berikut : posisi produktivitas pabrik gula GM masuk kategori produktivitas tinggi (nilai efisiensi 311,16 dan nilai efektivitas 149,03), posisi Produktivitas Pabrik KA masuk kategori produktivitas sedang (nilai efisiensi 259,9 dan nilai efektivitas 140,82), posisi Produktivitas Pabrik PB masuk kategori produktivitas sedang (nilai efisiensi 233,4 dan nilai efektivitas 125,79) dan posisi Produktivitas Pabrik BM masuk kategori produktivitas rendah (nilai efisiensi 225 dan nilai efektivitas 99,9).
4. Adapun strategi peningkatan produktvitas industri gula tebu nasional dapat
dicapai melalui upaya-upaya sebagai berikut: (1). untuk tingkat kebun tebu, strategi yang diperlukan adalah intensifikasi budidaya tanaman tebu melalui pemanfaatan Good Agricultural Practises (GAP), (2). Untuk tingkat pabrik, strategi yang diperlukan adalah peningkatan efisiensi pabrik melalui pemanfaatan Good Manufacturing Practises (GM), dan (3). Untuk tingkat makro, strategi yang diperlukan adalah sinkronisasi Kebijakan Pemerintah Dalam meningkatkan produktivitas
industri gula tebu
nasional.
9.2. Saran Upaya untuk meningkatkan produktivitas industri gula tebu nasional tidak saja tergantung dari perbaikan pada tingkat usahatani maupun pabrik gula. Diperlukan perbaikan menyeluruh terhadap berbagai komponen strategis lainnya dan karenanya urgen untuk dilakukan penelitian lebih lanjut. Adapun saran-saran yang diperlukan tersebut adalah sebagai berikut : Neraca gula nasional yang memuat tentang cadangan (stok), produksi, impor, penyediaan dan penyaluran dibuat oleh dua instansi, yaitu : (1). Badan Ketahanan Pangan (BKP) dan Badan Pusat Statistik serta (2). Dewan Gula Indonesia (DGI). Namun besaran angka-angka untuk unsur
197
yang sama dalam neraca gula yang dibuat oleh BKP dan BPS berbeda dengan neraca yang disusun oleh DGI. Perbedaan neraca gula nasional tersebut disebabkan karena kedua instansi tersebut (BKP dan BPS serta DGI) menggunakan konsep yang berbeda tentang unsur-unsur yang membentuk neraca gula tersebut. Data neraca gula nasional yang berbeda tersebut akan membawa implikasi terhadap formulasi kebijakan yang disusun, baik terhadap kebijakan impor gula, tarif bea masuk, bongkar keprasan maupun besaran subsidi yang sebaiknya diberikan baik kepada pabrik gula maupun petani tebu. Oleh karena itu, kedepan perlu untuk dirumuskan model neraca gula nasional tunggal yang disusun oleh satu lembaga sehingga menjadi acuan semua pihak terkait pergulaan untuk merumuskan langkah-langkah strategis yang diperlukan dalam rangka meningkatkan daya saing industri gula nasional. Salah satu permasalahan carut marutnya tata kelola industri gula nasional disebabkan karena terjadinya tumpang tindih kewenangan yang ada pada Kementerian / Lembaga. Kementerian yang seharusnya cukup bertanggungjawab
dalam
peningkatan
produktivitas
lahan
dan
menghasilkan bibit unggul (rendemen tinggi) ternyata juga ikut menentukan besaran target produksi gula nasional. Agar pengembangan industri gula nasional lebih baik kedepannya, maka salah satu aspek penting yang perlu dipertimbangkan adalah memperbaiki sistem koordinasi yang ada dan implementasinya diterjemahkan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing kementerian / lembaga. Selain itu, Dewan Gula Indonesia perlu direvitalisasi tugas pokok dan fungsinya, merepresentasikan seluruh pemangku kepenitngan, termasuk memperbesar kewenangannya dalam merumuskan informasi tunggal dan memiliki validitas tinggi yang dapat digunakan oleh Kementerian terkait dalam menyusun kebijakan pergulaan nasional. Target pancapaian swasembada gula nasional akan sulit dicapai, mengingat industri gula nasional masih menghadapi persoalan struktural sistem produksi, khususnya tentang ketersediaan lahan, kualitas bibit tebu unggul, manajemen usahatani tebu, pendirian pabrik gula baru, penyediaan
198
lahan, belum dapat diselesaikan dalam waktu dekat. Dalam rangka pencapaian target swasembada gula sebesar 5,7 juta ton terdiri atas 2,96 juta gula kristal putih (GKP) dan 2,74 juta ton gula kristal rafinasi (GKR) pada tahun 2014 nanti, setidaknya dibutuhkan tambahan lahan usahatani dan perkebunan tebu. Akan tetapi persoalan pengadaan lahan secara administrasi dan sosial-ekonomi tidak sesederhana yang diduga, sehingga pengadaan lahan baru untuk perkebunan tebu itu pun masih cukup sulit untuk direalisasikan. Oleh karena itu, dalam rangka pencapaian target swasembada gula, maka yang perlu dilakukan adalah secara simultan menambah luas areal sebesar 766.613 hektar, meningkatkan rendemen 8,5 persen dan produktivitas lahan 87 ton per hektar serta produktivitas hablur sebesar 7,4 ton per hektarnya. Namun demikian, penambahan luas areal dan peningkatan rendemen perlu didukung oleh penambahan jumlah pabrik gula baru.
199
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, B. (2008). Ekonomi Swasembada Gula Indonesia. Buletin Economic Review Nomor 211 Maret 2008 Arifin. B. (2012). Swasembada Gula Sulit Tercapai. Hasil Wawancara Dengan Metro TV (www.metrotvnews Diakses Pada tanggal 25 Februari 2012 Arkeman, Y, Fewidarto, Wiryastuti (2002). Strategi Peningkatan Daya Saing Industri Gula Di Jawa. Jurnal Teknologi Industri Pertanian. Vol 11 (1). 27 - 34 Anindita, R. (2008). Inefficiency Source of Indonesia Sugar Mill Industry . Paper presented in the Sixth Asian Society of Agricultural Economists (ASAE) International Conference titled, “The Asian Economic Renaissance: What’s in It for Agriculture?” in Manila, Philippines Abidin, Z dan Ismono (2004) . The Impact Of Government Policy On The Competitiveness Of Sugarcane Farming In Lampung Province. Universitas Lampung. Avenzora, A dan Moeis, J.P (2008). Analisis Produktivitas dan Efisiensi Industri Tekstil dan Produk Tekstil di Indonesia. Paralel Sesion IV B. Jakarta
Dewan Gula Indonesia (1999). Restrukturisasi Gula Indonesia April 1999. Bahan Diskusi Reformasi Gula Indonesia, Jakarta Dewan Gula Indonesia (2012).Bahan Perumusan Kebijakan Pergulaan Nasional. Jakarta Departemen Pertanian (2007). Program Dan Arah Pengembangan Agribisnis Tebu. Balitbang Departemen Pertanian, Jakarta Ditjen Bina Produksi Perkebunan (2002). Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional : 2002 – 2007, (buku 1). Ditjen BPP Deptan, Jakarta Eriyatno (1999). Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press, Bogor FAO (2008). Food Outlook : Global Market Analysis. (www.fao.org diakses tanggal 12 Desember 2011)
200
Gumbira - Sa’id, E dan Rahayu (2006). Pengembangan Desain dan Teknologi Untuk Peningkatan Daya Saing Potensi Unggulan Daerah. Makalah Pada Pertemuan Pusat dan Daerah tentang “Strategi Penggalian dan Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah”, Jakarta 17-19 Juli 2006. Gaspersz, V. (2000). Manajemen Produktivitas Total. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz, V. (2001). Manajemen Kualitas, Penerapan Konsep-Konsep Kualitas dalam Manajemen Bisnis Total. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Indraningsih, K.S dan Malian, A.H. (2005). Perspektif Pengembangan Industri Gula di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol. 23 No.1 Tahun 2005 Kaplan dan Norton (2004). Strategy Maps : Converting Intangible Assets Into tangible Outcomes. Harvard Business School Press. Kholil, Eriyatno, Sutjahyo,S.H., Soekarto, S.H (2008). Pengembangan model kelembagaan pengelola sampah kota dengan menggunakan Interpretive Structural Modeling. Jurnal Transdisiplin sosiologi, komunikasi dan ekologi manusia, April 2008. Kementerian Perindustrian (2010). Peta Panduan (Roadmap) Pengembangan Klaster Industri Gula, Jakarta Kementerian Pertanian (2010). Kebijakan Pergulaan Nasional Pusat data dan informasi pertanian, Ditjenbun, Jakarta Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2011). Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)Tahun 2011 2025. Jakarta Litbang Kompas (2009). Memberdayakan “Si Manis” dari hulu ke hilir. Jakarta: Harian Kompas Mardianto, S., Simatupang P.,. Hadi P.U, Malian A.H dan Susmiadi A. (2005). Peta Jalan (Road Map) dan Kebijakan Pengembangan Industri Gula Nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol. 23 No. 1 Juli 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Maria (2009). Kebijakan Tataniaga Gula Terhadap Ketersediaan dan Harga Domestik Gula Pasir. Makalah Seminar Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani, Bogor Mardianto, S. (2005). Peta jalan (Road map) dan Kebijakan Pengembangan Industri Gula Nasional. FAE, Vol 23, No.1. 1 Juli 2005. Pulitbangsosek Departemen Pertanian
201
Martoyo, T. (2000). Masalah Kritis Dalam Pengolahan Gula Kaitannya Dengan Kualitas Bahan Baku. Majalah Gula Indonesia XXV (1). P3GI, Pasuruan Malian, A.H dan Saptana (2004). Revitalisasi Sistem dan Usaha Agribisnis Gula. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian. Marimin. (2005). Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grasindo. Jakarta. Monke dan Person (1989). The Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornell University Press, Ithaca (USA) and London. Malian, A.H, Ariani, M., Indraningsih, K.S,. Zakaria, A.K,. Askin, A dan Hestina, J. (2004). Revitalisasi Sistem dan Usaha Agribisnis Gula; Laporan Akhir. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Malian, A.H. dan Saptana (2006). Dampak Peningkatan Tarif Impor Gula Terhadap Pendapatan Petani Tebu. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor Munir,R (2007) Peranan Klaster Industri Dalam Kaitannya Dengan Pengembangan Produk Unggulan Daerah. Makalah disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Produk Unggulan Daerah, Departemen Dalam Negeri, 2007. Misran, E (2005). Industri Tebu Menuju Zero Waste Industry. Jurnal Teknologi Proses No. 4 Juli 2005, Fakultas Teknik Univsersitas Sumatera Utara, Medan Nurdin, R dan Zabidi,Y. (2005). Pengukuran dan Analisis Produktivitas Lini Produksi PT. XYZ Dengan Menggunakan Metode Objective Matrix. Jurusan Teknik Industri, STTA. Jogjakarta. Nugroho, B.P (2011). Panduan Pengembangan Klaster Industri. Pusat Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi, BPPT, Jakarta P3GI (2007). Konsep Peningkatan Rendemen Untuk Mendukung Program Akselerasi Industri Gula Nasional. Pasuruan. P3GI (2008). Konsep Peningkatan Rendemen Untuk Mendukung Akselerasi Industri Gula Nasional. Pasuruan Pahan, I., Gumbira-Sa’id, E., Tambunan, M, Asmono .D, Suroso A.I (2011). The future palm oil industrial cluster of Riau Region – Indonesia, Europena Journal of Social Science, volume 24, Number 3 (2011)
202
Pakpahan, A (2009). Transformasi Industri Nasional Berbasis Tebu. Makalah pada Simposium Pergulaan. KADIN, Jakarta Pakisama Inc (2010). 2010 – 2015 : Threat Of Extinction Or Opportunity For Liberation. Pakisama Policy Paper Porter, Michael E (1990). The Competitive Advantage of Nations. The Free Press. Priyono (2008). Analisis Kebijakan Industri Gula Nasional Dengan Model Ekonometrika., Jurnal Perencanaan Iptek BPPT, Volume 6 No. 2 Tahun 2008, ISSN : 1412-5583 Penelitian dan Pengembangan PG Kebon Agung (2005). Program Pengembangan Kebon Agung (PPKA) Tahun 2005 -2007. Malang Rangkuti, F (2003). Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Rusastra I.W, Suprihatini, R, dan Iqbal,M (1999). The Anticipative Sugar Development Strategy Facing Economics Crisis And Competitive market. Centre For International Economics Studies. University Of Adelaide. Rusastra,I.W.(1998). Keunggulan Komparatif, Struktur Proteksi dan Perdagangan Internasional. Dalam Buku Ekonomi Gula Di Indonesia. Penerbit IPB, Bogor. Rigss. J.L. (1988). Production Systems : Planning, Analysis and Control. Fourth Edition. John Willey and Sons, New York. Saptana (2010). Tinjauan Konseptual Mikro Makro Daya Saing dan Strategi Pembangunan Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang , Kementerian Pertanian, Bogor Sawit, H, Erwidodo, Kuntohartono dan Siregar, H (2003). Penyehatan dan Penyelamatan Industri Gula Nasional. Jornal Analisa Kebijakan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Social Ekonomi Pertanian. Vol 1 No. 3 September 2003. Bogor Sriyati, Junaidi, Y. Gusniati, L.A (2007). Pola Kemitraan Antara Petani Tebu Rakyat Dengan PTPN VII Unit Usaha Bungamayang Dalam Usahatani Tebu. Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya, Palembang Susmiadi,A, Toharisman, A dan Bakrie, S (2005). Swasembada Gula : Mungkinkah Tercapai ?. Majalah Gula Indonesia Vo. XXIV No.1 Febriari 1005.
203
Sumanth. D.J (1984). Poductivity Engineering And Management, International Student Edition. McGrw-Hill Book Company, New York Sudana, A, Simatupang, P, Friyatno, Muslim dan Sulistyo (2000). Dampak Deregulasi Industri Gula Terhadap Realokasi Sumberdaya, Produksi Pangan dan pendapatan petani. Laporan penelitian, Pusat penelitian sosial Ekonomi Pertanian , Bogor Susila W.R (2006). Pasar Gula Dunia Menuju Keseimbangan Baru : Industri Gula Indonesia Berpeluang Kembali Ke Era Kejayannya. IDEAL. Jakarta Susila, W.R dan Susmiadi,A (2000). Analisa Dampak pembebasan Tarif Impor dan Perdagangan Bebas Terhadap Industri Gula. Laporan Penelitian, Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, Bogor Susila, W.R, (2005). Pengembangan Industri Gula Indonesia : Analisis Kebijakan Dan Keterpaduan Sistem Produksi . Disertasi S3 Institut pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Susila W.R dan Sinaga, B.M. (2005). Analisis Kebijakan Industri Gula Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi Vol. 23 No. 1 Mei 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian. Susila W.R (2008). Pasar Gula Dunia Menuju Keseimbangan Baru : Industri Gula Indonesia Berpeluang Kembali Ke Era Kejayaannya. IDEALS, Jakarta Soetrisno. H (2009). Pengembangan Klaster UKM / IKM Di Indonesia : Pengalaman dan Prospek. Makalah pada Seminar Pengembangan Klaster UMKM, Surakarta Syahyuti (2004). Model Kelembagaan Penunjang Pembanguna Pertanian Di Lahan Lebak. Makalah pada Workshop Nasional Pengembangan Lahan Rawa Lebak, Balitra Oktoebr 2004, Kalimantan Selatan. Soentoro, N. Indiarto, dan A.M.S. Ali. (1999). Usahatani dan Tebu Rakyat Intensifikasi di Jawa. Dalam Ekonomi Gula di Indonesia. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Stainer, A (1997). Capital Input And Total Productivity Management. MCB University Press. Midllesex University. London Toharisman, A. (2007). Kinerja Industri Gula Indonesia 2007. P3GI Pasuruan
204
Tangen S (2002). Understanding The Concept Productivity. Proceedings of The 7 th Asia Pacipic Industrial Engineering and Management System (APIEMS2002). Taipei UNDP (2010). Green Commodities Facilities : Sugar Scoping Paper Williamson (1987). The Economic Institution Of Capitalism. The Free Press. Maxmilan Inc. New York. Wickramasinghe and Takano (2009). Application of Combined SWOT and Analytic Hierarchy Process (AHP) for Tourism Revival Strategic Marketing Planning: A Case of Sri Lanka Tourism. Journal of the Eastern Asia Society for Transportation Studies, Vol.8, 2009
Willamson, O. E. (1985). The Economic of Institutions of Capitalism, New York: The Free Press Zulham. A (2007). Assestment Klaster Perikanan : Studi Pengembangan Klaster Rumput Laut Di Kabupaten Sumenep. Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Jakarta www. transtutor.com (diakses pada tanggal 19 November 2011)
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................. xxi DAFTA TABEL ........................................................................................... xv DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xxix DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xxxi I
PENDAHULUAN ................................................................................. 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6
1
Latar Belakang ................................................................................ Perumusan Masalah ......................................................................... Tujuan Penelitian ............................................................................. Manfaat Penelitian ........................................................................... Ruang Lingkup Penelitian ............................................................... Kebaruan Penelitian.........................................................................
1 7 9 9 9 10
II TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
11
2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7
Perspektif Industri Gula Dunia ........................................................ Kinerja Industri Gula Nasional ........................................................ Kinerja Pabrik Gula Nasional .......................................................... Kebijakan Industri Gula Nasional ................................................... Konsep Strategi dan Daya Saing ..................................................... Perspektif Produktivitas................................................................... Penelitian Terdahulu dan Posisi Penelitian ....................................
11 19 18 20 23 25 30
III METODE PENELITIAN .......................................................................
37
3.1 3.2 3.3
Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian .................................... Tahapan Penelitian .......................................................................... Tata Laksana Penelitian ................................................................... 3.3.1 Pengumpulan Data, Informasi dan Pengetahuan ................... 3.3.2 Prosedur Pengolahan Data .....................................................
37 39 42 42 43
IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN ....................................
63
4.1. 4.2. 4.3. 4.4.
Pabrik Gula Kebon Agung (Kabupaten Malang) ........................... Pabrik Gula Pesantren Baru (Kabupaten Kediri) ........................... Pabrik Gula Bungamayang (Kabupaten Lampung Utara).............. Pabrik Gula Gunung Madu ( kabupaten Lampung Tengah) ..........
63 70 76 80
xxi
V KINERJA PRODUKTIVITAS DAN KELEMBAGAAN PABRIK GULA ......................................................................................
87
5.1. Kinerja produktivitas ..................................................................... 5.2. Kinerja kelembagaan Kemitraan.................................................... 5.2.1 Pabrik Gula Kebon agung (Kabupaten Malang) ............. 5.2.2 Pabrik Gula Gunung madu Plantation (Kabupaten Lampung Tengah)............................................................ 5.2.3 Pabrik Gula Bungamayang (Kabupaten Lampung Utara) ............................................................................... 5.2.4 Pabrik Gula Pesantren Baru (Kabupaten Kediri) ............
101 104
VI KAJIAN PRODUKTIVITAS DAYA SAING INDUSTRI GULA TEBU ......................................................................................
115
6.1. Kajian Produktivitas....................................................................... 6.1.1 Tingkat Produktivitas Pabrik Gula .................................. 6.1.2 Indeks Produktivitas ........................................................ 6.1.2.1 Pabrik Gula Gunung madu (Lampung Tengah) .. 6.1.2.2 Pabrik Gula Bungamayang (Lampung Utara) ..... 6.1.2.3 Pabrik Gula pesantren Baru (Kediri) ................... 6.1.2.4 Pabrik Gula Kebon agung (Malang) .................... 6.2 Kajian Peningkatan Produktivitas .................................................. 6.3 Kinerja Efisiensi Pabrik Gula ........................................................ 6.4 Kajian Daya Saing Industri Gula Tebu .......................................... 6.4.1 Profitabilitas (Keuntungan) ............................................. 6.4.2 Efisiensi Finansial dan Efisiensi Ekonomi ...................... 6.4.3 Kebijakan Keluaran ......................................................... 6.4.4 Kebijakan Masukan ......................................................... 6.4.5 Kebijaksanaan Masukan – Keluaran ............................... 6.5 Kinerja Klaster Industri Gula Tebu Nasional ................................ 6.5.1 Pohon Industri Gula Tebu ............................................... 6.5.2 Evaluasi Klaster Industri Gula Tebu ............................... 6.5.3 Pengembangan Klaster Industri Gula ..............................
115 116 119 119 120 122 123 124 129 130 130 132 134 136 139 143 143 146 150
VII REKAYASA KELEMBAGAAN KEMITRAAN INDUSTRI GULA TEBU ....................................................................................... 7.1. Strukturisasi Sistem Kelembagaan Kemitraan............................... 7.1.1 Elemen Tujuan Sistem Kelembagaan Kemitraan ............ 7.1.2 Elemen Tolok Ukur Keberhasilan Sistem Kelembagaan Kemitraan ........................................................................ 7.1.3 Elemen Kendala Sistem Kelembagaan Kemitraan .......... 7.1.4 Elemen Perubahan Yang Diinginkan Sistem Kelembagaan Kemitraan ................................................. 7.1.5 Elemen Kebutuhan Dari Program Sistem Kelembagaan Kemitraan ...................................................................... 7.1.6 Elemen Dari Sektor Masyarakat Yang Terpengaruh Dari Sistem Kelembagaan Kemitraan ........................... 7.2 Mekanisme Kelembagaan Kemitraan ............................................ xxii
87 89 89 97
155 155 155 157 159 162 164 167 168
VIII PRIORITAS STRATEGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS INDUSTRI GULA TEBU NASIONAL ............................................. 171 8.1. Formulasi Strategi Peningkatan Produktivitas ............................... 8.1.1 Analisis Lingkungan Strategis ......................................... 8.1.1.1 Lingkungan Internal ............................................. 8.1.1.2 Lingkungan Eksternal ..........................................
171 155 171 174
8.1.2 Analisis Matriks SWOT ................................................................. 8.1.2.1 Alternatif Strategi Tingkat Kebun ...................................... 8.1.2.2 Alternatif Strategi Tingkat Pabrik ...................................... 8.1.2.3 Alternatif Strategi Tingkat Eksternal.................................. 8.1.3 Analisis Matriks Internal dan Eksternal (IE) .................................. 8.1.3.1 Tingkat Internal Kebun....................................................... 8.1.3.2 Tingkat Internal Pabrik ....................................................... 8.1.3.3 Tingkat Eksternal................................................................ 8.1.4 Alternatif Penetapan Prioritas Strategi........................................... 8.1.4.1 Tingkat Internal Kebun....................................................... 8.1.4.2 Tingkat Internal Pabrik Gula .............................................. 8.1.4.3 Tingkat Eksternal................................................................ 8.1.5 Implikasi Manajerial/Kebijakan ..................................................... 8.1.5.1 Tingkat Internal Kebun....................................................... 8.1.5.2 Tingkat Internal Pabrik ....................................................... 8.1.5.3 Tingkat Eksternal................................................................
176 177 177 178 179 179 181 183 185 185 186 187 188 189 190 192
IX SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 195 9.1 9.2
Simpulan .................................................................... …………… 195 Saran ........................................................................................ 196
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 199 LAMPIRAN ........................................................................................ 205
xxiii
xxiv
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6. 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Produksi dan Produktivitas Tebu dan Gula Indonesia Tahun 2005 – 2009 .......................................................................................................... Produksi Gula Tujuh Negara Produsen Utama Gula Dunia Tahun 2006 . Produktivitas dan Tingkat Pengembalian Investasi Pada Negara Produsen Gula ........................................................................................... Beberapa Indikator Efisiensi Teknis Pabrik Gula di Indonesia ................ Perbandingan Kinerja Produksi Tebu dan Gula pulau Jawa dan Luar pulau Jawa................................................................................................. Kebijakan Pemerintah di Bidang Pergulaan (1997 – 2010)...................... Penelitian Terdahulu Tentang Industri Gula Nasional.............................. Metoda Analisis Policy Analysis Matrix (PAM) ..................................... Random Inconsistency (RI) ...................................................................... Luas Areal, Produksi Tebu dan Produktivitas Tanaman Tebu Rakyat ..... Varietas Tebu Di Wilayah Pabrik Gula Kebon Agung (Umur 12 Bulan)........................................................................................................ Perkembangan Kotoran (Trash) Di PG Kebon Agung ............................. Perkembangan Produksi dan Produktivitas Gula PG Kebon Agung ........ Perkembangan Tingkat Efisiensi Pabrik Gula Kebon Agung................... Perkembangan Luas Areal, Produksi dn Produktivitas Tanaman Tebu ... Perkembangan Produksi Tebu Rakyat Berdasarkan Klasifikasi Mutu ..... Kinerja Produksi Gula Pesantren Baru Tahun 2009 ................................ Kinerja Pabrik Gula Pesantren Baru Tahun 2009 ..................................... Kinerja Pabrik Gula Pesantren Baru Tahun 2009 ..................................... Perkembangan Tingkat Efisiensi Pabrik Gula Pesantren Baru ................. Perkembangan Pemakaian Energi Tambahan ........................................... Perkembangan Luas Areal, Produksi dan Produktivitas TR PG Bungamayang ........................................................................................... Perkembangan Kinerja Produksi PG Bungamayang Tahun 2009 ............ Perkembangan Kinerja PG Bungamayang ............................................... Perkembangan Produksi dan Produktivitas Tebu Rakyat ......................... Perkembangan Produksi dan Produktivitas Tebu Sendiri ......................... Jenis Varietas Tebu Pada PG Gunung Madu Tahun 2009........................ Perkembangan Kinerja Produksi Gula PG Gunung Madu ....................... Perkembangan Tingkat Efisiensi Pengohan Gula PG Gunung Madu ...... Perkembangan Tingkat Rendemen Berdasarkan Kemasan Tebu ............. Perkembangan Produksi dan Kebutuhan Energi Proses Produksi ............ Kinerja Produktivitas Pabrik Gula Yang Diteliti Tahun 2010 .................. Keuntungan Usahatani Petani TR di PG Kebon Agung 2009 ..................
3 13 15 17 19 21 33 44 59 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 75 76 79 79 80 82 82 83 84 84 85 86 87 91 xxv
34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68
Bagi Hasil Gula Milik Petani Berdasarkan Kadar Brix ........................... Bagi Hasil Milik Petani Berdasarkan Varietas Tebu................................ Sistem Bagi Hasil Milik Petani Kemitraan PG Kebon Agung ................. Keuntungan Usahatani Petani Tebu Kemitraan ....................................... Sistem bagi Hasil Milik Petani Kemitraan Pada PG Gunung Madu ........ Sistem Bagi Hasil Gula dan Tetes petani Kemitraan ............................... Keuntungan Usahatani Tebu di Wilayah PG Pesantren Baru .................. Sistem Bagi Hasil Milik Petani Kemitraan Pesantren Baru ..................... Kesamaan dan Perbedaan Dimensi Kelembagaan Kemitraan Pabrik Gula Dengan Petani Tebu ........................................................................ Kriteria-kriteria Produktivitas Pabrik Gula Contoh ................................. Perhitungan Skors produktivitas Pabrik Gula .......................................... Indeks Produktivitas PG Gunung Madu................................................... Indeks Produktivitas PG Bungamayang ................................................... Indeks Produktivitas PG Pesantren Baru ................................................. Indeks Produktivitas PG Kebon Agung ................................................... Perkembangan Luas Areal, Produksi, Rendemen dan Produktivitas Hablur Nasional Tahun 2005-2012 .......................................................... Skenario I (Jika Luas Areal Tetap dan Rendemen Tetap)........................ Skenario II (Jika Luas Areal Naik dan Rendemen Tetap)........................ Skenario III (Jika Luas Areal Tetap dan Rendemen Naik) ...................... Skenario IV (Jika Luas Areal Naik dan Rendemen Naik) ....................... Indikator Rataan Efisiensi Pabrik Gula Tahun 2005 – 2009 .................... Kerangka Analisis Dengan Metode Policy Analysis Matrix (PAM)....... Profitabilitas Pabrik Gula Contoh Berdasarkan Jenis Lahan ................... Efisiensi Finansial dan Ekonomi Pabrik Gula Contoh Berdasarkan Jenis Lahan ........................................................................................... Dampak Kebijakan Output Pabrik Gula Contoh Berdasarkan Jenis Lahan ............................................................................................. Dampak Kebijakan masukan Terhadap Pabrik Gula Contoh Berdasarkan Jenis Lahan ..................................................................... Dampak Kebijakan masukan dan keluaran Terhadap Pabrik Gula Contoh Berdasarkan Jenis Lahan ............................................................. Komponen Evaluasi Klaster Industri Gula Tebu ..................................... Alternatif Strategi Peningkatan Produktivitas Tingkat Kebun ................. Alternatif Strategi Peningkatan Produktivitas Tingkat Pabrik ................. Alternatif Strategi Peningkatan Produktivitas Tingkat Eksternal ............ Faktor Penentu Internal Kekuatan dan Kelemahan Tingkat Kebun ......... Faktor Penentu Internal Peluang dan Ancaman Tingkat Kebun .............. Faktor Penentu Internal Kekuatan dan Kelemahan Tingkat Pabrik ......... Faktor Penentu Internal Peluang dan Ancaman Tingkat Pabrik ..............
xxvi
93 94 95 98 101 104 105 108 110 115 117 119 120 122 123 126 127 127 128 128 129 130 131 133 135 137 140 147 177 178 179 180 181 182 183
69 70 71 72 73
Faktor Penentu Internal Kekuatan dan Kelemahan Tingkat Eksternal .... Faktor Penentu Internal Peluang dan Ancaman Tingkat Eksternal ......... Bentuk Strategi Peningkatan Produktivitas Di Tingkat Internal Kebun .. . Bentuk Strategi Peningkatan Produktivitas Di Tingkat Internal Pabrik .. Bentuk Strategi Peningkatan Produktivitas Di Tingkat Eksternal ...........
184 185 186 186 187
xxvii
xxviii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Produksi Tebu dan Produktivitas sepuluh Negara Produsen Gula Dunia (FAO, 2008) ...................................................................................... 14
2
Model Keunggulan Kompetitif (Porter, 2000) ............................................ 24
3
Hubungan Kinerja, Profitabilitas dan Produktivitas (Tangen, 2002) .......... 27
4
Siklus Produktivitas Organisasi (Sumanth, 1984) ..................................... 28
5
Keterkaitan Efisiensi, Efektivitas dan Produktivitas .................................. 30
6
Kerangka Pemikiran Peningkatan Produktivitas Industri Gula Tebu .......... 39
7
Tahapan Penelitian Strategi Peningkatan Produktivitas Industri Gula Tebu Nasional ............................................................................................. 41
8
Diagram Alir Analisis Kelembagaan Dengan Metode ISM (Diadaptasi Dari Kholil, 2008) ........................................................................................ 51
9
Skema Tahapan Pengembangan Klaster ...................................................... 54
10 Kerangka Tahapan Pengembangan Klaster Industri (Nugroho, 2010) ........ 55 11 Metode Analisis Hibrida SWOT – AHP...................................................... 60 12 Ilustrasi Kemitraan Pada Pabrik Gula Kebon Agung .................................. 92 13 Ilustrasi Kemitraan Mandiri Pada PG Gunung Madu Plantation ................ 99 14 Pola Kelembagaan dan Sistem Bagi Hasil Pada PG Gunung Madu (2010) ........................................................................................................... 100 15 Mekanisme Pembinaan dan Penyediaan Dana Pola Kemitraan (2010) ...... 102 16 Ilustrasi Hubungan Kelembagaan Pada PG Pesantren Baru ........................ 107 17 Matriks Produktivitas Industri Gula Tebu Nasional .................................... 116 18 Posisi Tingkat Produktivitas Pabrik Gula Yang Diteliti .............................. 118 19 Kinerja Daya Saing PG KA dan PG PB ...................................................... 142 20 Kinerja Daya Saing PG BM dan PG GM .................................................... 143 21 Pohon Industri Berbasis Tebu ...................................................................... 145 22 Posisi Klaster Dari Pabrik Gula Yang Diteliti ............................................. 148 23 Struktur Klaster Industri Gula Tebu .......................................................... 150 24 Kerangka Pengembangan Klaster Industri Gula Nasional ........................ 153 25 Pemetaan driver power-dependent sub-elemen tujuan sistem Kelembagaan kemitraan industri gula tebu ............................................... 156 26 Pemetaan driver power-dependent sub-elemen tokok ukur keberhasilan sistem kelembagaan kemitraan industri gula tebu ............ 158 xxix
27 Pemetaan driver power-dependent sub-elemen kendala system kelembagaan kemitraan industri gula tebu ..............................................
160
28 Pemetaan driver power-dependent sub-elemen perubahan yang diinginkan pada sistem kelembagaan kemitraan industri gula tebu .......
163
29 Pemetaan driver power-dependent sub-elemen kebutuhan program pada sistem kelembagaan kemitraan industri gula tebu ........................... 30 Pemetaan driver power-dependent sub-elemen sektor masyarakat yang terpengaruh pada sistem kelembagaan kemitraan industri gul tebu ........................................................................................................... 31 Strukturisasi Elemen-Elemen Kunci Rekayasa Kelembagaan Kemitraan ................................................................................................. 32 Ilustrasi Struktur Kelembagaan Kemitraan Pabrik gula dengan petani tebu ................................................................................................ 33 Hasil Perumusan Strategi Peningkatan Produktivitas Industri Gula Tebu Nasional ........................................................................................... 34 Kerangka Implementasi Strategi Peningkatan Produktivitas Tingkat Internal Kebun .......................................................................................... 35 Kerangka Implementasi Strategi Peningkatan Produktivitas Tingkat Internal Pabrik .......................................................................................... 36 Kerangka Implementasi Strategi Peningkatan Produktivitas Tingkat Eksternal ...................................................................................................
xxx
165
167 169 170 188 190 191 193
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Pabrik Gula Gunung Madu (Lampung) ....................................................... 205
2
Pabrik Gula Bungamayang (Lampung Utara) ............................................. 210
3
Pabrik Gula Pesantren Baru Kediri .............................................................. 215
4
Pabrik Gula Kebon Agung (Malang) ........................................................... 220
xxxi
Lampiran – Lampiran 1. PABRIK GULA GUNUNG MADU (LAMPUNG TENGAH) Indeks Produktivitas Tahun Dasar (2005)
KRITERIA - KRITERIA PRODUKTIVITAS Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria 3
Kriteria 4
Kriteria 5
Kriteria 6
Kriteria 7
Kriteria 8
Kriteria 9
Kriteria 10
Kriteria 11
Kriteria 12
76,0483
0,8005
0,0446
0,0572
165552,8810
26,3050
790,4284
3169,2654
7,3629
0,1005
1,0076
0,9727
PERFORMANCE
84,9813 84,0360 83,0907 82,1454 81,2001 80,2548 79,3095 78,3643 77,5923 76,8203 76,0483
0,7900 0,7877 0,7855 0,7832 0,7809 0,7786 0,7764 0,7741 0,7653 0,7565 0,7477
0,0462 0,0460 0,0458 0,0455 0,0453 0,0451 0,0449 0,0446 0,0434 0,0422 0,0410
0,0541 0,0545 0,0549 0,0553 0,0557 0,0561 0,0565 0,0569 0,0577 0,0585 0,0593
96971,2239 104837,0657 112702,9075 120568,7494 128434,5912 136300,4330 144166,2748 152032,1166 161220,2938 170408,4709 179596,6480
13,6571 15,1097 16,5622 18,0148 19,4673 20,9199 22,3724 23,8250 25,9828 28,1405 30,2983
757,8457 768,7963 779,7469 790,6975 801,6481 812,5987 823,5493 834,4999 860,9177 887,3355 913,7533
4072,8201 4086,1917 4099,5633 4112,9349 4126,3065 4139,6781 4153,0497 4166,4213 4432,6268 4698,8323 4965,0378
7,4671 7,4539 7,4407 7,4274 7,4142 7,4010 7,3878 7,3746 7,3217 7,2688 7,2159
0,0985 0,0984 0,0983 0,0982 0,0981 0,0980 0,0979 0,0978 0,0970 0,0962 0,0954
1,0063 1,0058 1,0053 1,0048 1,0044 1,0039 1,0034 1,0029 1,0015 1,0002 0,9988
0,9896 0,9867 0,9838 0,9810 0,9781 0,9752 0,9724 0,9695 0,9682 0,9668 0,9654
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
0 8,5859 0,0000
0 8,5859 0,0000
3 8,3333 25,0000
2 8,3333 16,6667
2 8,3333 16,6667
2 8,3333 16,6667
7 8,3333 58,3333
0 8,0808 0,0000
3 8,3333 25,0000
0 8,3333 0,0000
0 8,3333 0,0000
4 8,0808 32,3232
SKOR BOBOT NILAI INDEKS PRODUKTIVITAS
INDIKATOR PENCAPAIAN
Indeks Produktivitas Tahun Dasar (2005)
191
100
Indeks Produktivitas Tahun 2006
KRITERIA - KRITERIA PRODUKTIVITAS Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria 3
Kriteria 4
Kriteria 5
Kriteria 6
Kriteria 7
Kriteria 8
Kriteria 9
Kriteria 10
Kriteria 11
Kriteria 12
80,3807
0,7477
0,0410
0,0521
119459,5077
21,1406
814,8431
4165,7017
7,5009
0,0977
1,0043
0,9678
PERFORMANCE
84,9813 84,0360 83,0907 82,1454 81,2001 80,2548 79,3095 78,3643 77,5923 76,8203 76,0483
0,7900 0,7877 0,7855 0,7832 0,7809 0,7786 0,7764 0,7741 0,7653 0,7565 0,7477
0,0462 0,0460 0,0458 0,0455 0,0453 0,0451 0,0449 0,0446 0,0434 0,0422 0,0410
0,0541 0,0545 0,0549 0,0553 0,0557 0,0561 0,0565 0,0569 0,0577 0,0585 0,0593
96971,2239 104837,0657 112702,9075 120568,7494 128434,5912 136300,4330 144166,2748 152032,1166 161220,2938 170408,4709 179596,6480
13,6571 15,1097 16,5622 18,0148 19,4673 20,9199 22,3724 23,8250 25,9828 28,1405 30,2983
757,8457 768,7963 779,7469 790,6975 801,6481 812,5987 823,5493 834,4999 860,9177 887,3355 913,7533
4072,8201 4086,1917 4099,5633 4112,9349 4126,3065 4139,6781 4153,0497 4166,4213 4432,6268 4698,8323 4965,0378
7,4671 7,4539 7,4407 7,4274 7,4142 7,4010 7,3878 7,3746 7,3217 7,2688 7,2159
0,0985 0,0984 0,0983 0,0982 0,0981 0,0980 0,0979 0,0978 0,0970 0,0962 0,0954
1,0063 1,0058 1,0053 1,0048 1,0044 1,0039 1,0034 1,0029 1,0015 1,0002 0,9988
0,9896 0,9867 0,9838 0,9810 0,9781 0,9752 0,9724 0,9695 0,9682 0,9668 0,9654
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
5 8,5859 42,9293
0 8,5859 0,0000
0 8,3333 0,0000
0 8,3333 0,0000
0 8,3333 0,0000
5 8,3333 41,6667
5 8,3333 41,6667
3 8,0808 24,2424
0 8,3333 0,0000
3 8,3333 25,0000
6 8,3333 50,0000
2 8,0808 16,1616
SKOR BOBOT NILAI INDEKS PRODUKTIVITAS
INDIKATOR PENCAPAIAN
Indeks Produktivitas Tahun Dasar (2005)
191
241,67
126,53
Indeks Produktivitas Tahun 2007
KRITERIA - KRITERIA PRODUKTIVITAS Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria 3
Kriteria 4
Kriteria 5
Kriteria 6
Kriteria 7
Kriteria 8
Kriteria 9
Kriteria 10
Kriteria 11
Kriteria 12
77,4702
0,7680
0,0449
0,0574
140129,7550
23,8040
848,8450
4178,7082
7,3113
0,0973
1,0014
0,9723
PERFORMANCE
84,9813 84,0360 83,0907 82,1454 81,2001 80,2548 79,3095 78,3643 77,5923 76,8203 76,0483
0,7900 0,7877 0,7855 0,7832 0,7809 0,7786 0,7764 0,7741 0,7653 0,7565 0,7477
0,0462 0,0460 0,0458 0,0455 0,0453 0,0451 0,0449 0,0446 0,0434 0,0422 0,0410
0,0541 0,0545 0,0549 0,0553 0,0557 0,0561 0,0565 0,0569 0,0577 0,0585 0,0593
96971,2239 104837,0657 112702,9075 120568,7494 128434,5912 136300,4330 144166,2748 152032,1166 161220,2938 170408,4709 179596,6480
13,6571 15,1097 16,5622 18,0148 19,4673 20,9199 22,3724 23,8250 25,9828 28,1405 30,2983
757,8457 768,7963 779,7469 790,6975 801,6481 812,5987 823,5493 834,4999 860,9177 887,3355 913,7533
4072,8201 4086,1917 4099,5633 4112,9349 4126,3065 4139,6781 4153,0497 4166,4213 4432,6268 4698,8323 4965,0378
7,4671 7,4539 7,4407 7,4274 7,4142 7,4010 7,3878 7,3746 7,3217 7,2688 7,2159
0,0985 0,0984 0,0983 0,0982 0,0981 0,0980 0,0979 0,0978 0,0970 0,0962 0,0954
1,0063 1,0058 1,0053 1,0048 1,0044 1,0039 1,0034 1,0029 1,0015 1,0002 0,9988
0,9896 0,9867 0,9838 0,9810 0,9781 0,9752 0,9724 0,9695 0,9682 0,9668 0,9654
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
2 8,5859 17,1717
2 8,5859 17,1717
4 8,3333 33,3333
2 8,3333 16,6667
4 8,3333 33,3333
3 8,3333 25,0000
3 8,3333 25,0000
3 8,0808 24,2424
2 8,3333 16,6667
2 8,3333 16,6667
2 8,3333 16,6667
4 8,0808 32,3232
SKOR BOBOT NILAI INDEKS PRODUKTIVITAS
INDIKATOR PENCAPAIAN
Indeks Produktivitas Tahun Dasar (2005)
191
274,24
143,58
Indeks Produktivitas Tahun 2008
KRITERIA - KRITERIA PRODUKTIVITAS Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria 3
Kriteria 4
Kriteria 5
Kriteria 6
Kriteria 7
Kriteria 8
Kriteria 9
Kriteria 10
Kriteria 11
Kriteria 12
77,9778
0,7916
0,0461
0,0587
179596,6480
30,2983
913,7533
4433,3931
7,4819
0,0970
1,0023
0,9693
PERFORMANCE
84,9813 84,0360 83,0907 82,1454 81,2001 80,2548 79,3095 78,3643 77,5923 76,8203 76,0483
0,8050 0,7877 0,7855 0,7832 0,7809 0,7786 0,7764 0,7741 0,7653 0,7565 0,7477
0,0462 0,0460 0,0458 0,0455 0,0453 0,0451 0,0449 0,0446 0,0434 0,0422 0,0410
0,0541 0,0545 0,0549 0,0553 0,0557 0,0561 0,0565 0,0569 0,0577 0,0585 0,0593
96971,2239 104837,0657 112702,9075 120568,7494 128434,5912 136300,4330 144166,2748 152032,1166 161220,2938 170408,4709 179596,6480
13,6571 15,1097 16,5622 18,0148 19,4673 20,9199 22,3724 23,8250 25,9828 28,1405 30,2983
757,8457 768,7963 779,7469 790,6975 801,6481 812,5987 823,5493 834,4999 860,9177 887,3355 913,7533
4072,8201 4086,1917 4099,5633 4112,9349 4126,3065 4139,6781 4153,0497 4166,4213 4432,6268 4698,8323 4965,0378
7,5671 7,4539 7,4407 7,4274 7,4142 7,4010 7,3878 7,3746 7,3217 7,2688 7,2159
0,0985 0,0984 0,0983 0,0982 0,0981 0,0980 0,0979 0,0978 0,0970 0,0962 0,0954
1,0063 1,0058 1,0053 1,0048 1,0044 1,0039 1,0034 1,0029 1,0015 1,0002 0,9988
0,9896 0,9867 0,9838 0,9810 0,9781 0,9752 0,9724 0,9695 0,9682 0,9668 0,9654
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
2 8,5859 17,1717
9 8,5859 77,2727
9 8,3333 75,0000
1 8,3333 8,3333
0 8,3333 0,0000
0 8,3333 0,0000
0 8,3333 0,0000
2 8,0808 16,1616
9 8,3333 75,0000
2 8,3333 16,6667
3 8,3333 25,0000
3 8,0808 24,2424
SKOR BOBOT NILAI INDEKS PRODUKTIVITAS
INDIKATOR PENCAPAIAN
Indeks Produktivitas Tahun Dasar (2005)
191
334,85
175,31
Indeks Produktivitas Tahun 2009
KRITERIA - KRITERIA PRODUKTIVITAS Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria 3
Kriteria 4
Kriteria 5
Kriteria 6
Kriteria 7
Kriteria 8
Kriteria 9
Kriteria 10
Kriteria 11
Kriteria 12
79,9444
0,7626
0,0466
0,0563
155421,7913
17,5771
804,6298
4965,0378
7,3159
0,0974
0,9988
0,9654
PERFORMANCE
84,9813 84,0360 83,0907 82,1454 81,2001 80,2548 79,3095 78,3643 77,5923 76,8203 76,0483
0,7900 0,7877 0,7855 0,7832 0,7809 0,7786 0,7764 0,7741 0,7653 0,7565 0,7477
0,0462 0,0460 0,0458 0,0455 0,0453 0,0451 0,0449 0,0446 0,0434 0,0422 0,0410
0,0541 0,0545 0,0549 0,0553 0,0557 0,0561 0,0565 0,0569 0,0577 0,0585 0,0593
96971,2239 104837,0657 112702,9075 120568,7494 128434,5912 136300,4330 144166,2748 152032,1166 161220,2938 170408,4709 179596,6480
13,6571 15,1097 16,5622 18,0148 19,4673 20,9199 22,3724 23,8250 25,9828 28,1405 30,2983
757,8457 768,7963 779,7469 790,6975 801,6481 812,5987 823,5493 834,4999 860,9177 887,3355 913,7533
4072,8201 4086,1917 4099,5633 4112,9349 4126,3065 4139,6781 4153,0497 4166,4213 4432,6268 4698,8323 4965,0378
7,4671 7,4539 7,4407 7,4274 7,4142 7,4010 7,3878 7,3746 7,3217 7,2688 7,2159
0,0985 0,0984 0,0983 0,0982 0,0981 0,0980 0,0979 0,0978 0,0970 0,0962 0,0954
1,0063 1,0058 1,0053 1,0048 1,0044 1,0039 1,0034 1,0029 1,0015 1,0002 0,9988
0,9896 0,9867 0,9838 0,9810 0,9781 0,9752 0,9724 0,9695 0,9682 0,9668 0,9654
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
4 8,5859 34,3434
1 8,5859 8,5859
0 8,3333 0,0000
4 8,3333 33,3333
3 8,3333 25,0000
8 8,3333 66,6667
7 8,3333 58,3333
0 8,0808 0,0000
2 8,3333 16,6667
3 8,3333 25,0000
0 8,3333 0,0000
3 8,0808 24,2424
SKOR BOBOT NILAI INDEKS PRODUKTIVITAS
INDIKATOR PENCAPAIAN
Indeks Produktivitas Tahun Dasar (2005)
191
292,17
152,97
2. PABRIK GULA BUNGAMAYANG (LAMPUNG UTARA) Indeks Produktivitas Tahun Dasar (2005)
KRITERIA - KRITERIA PRODUKTIVITAS Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria 3
Kriteria 4
Kriteria 5
Kriteria 6
Kriteria 7
Kriteria 8
Kriteria 9
Kriteria 10
Kriteria 11
Kriteria 12
69,5000
0,8685
0,0500
0,0430
73791,6642
24,6305
87,2596
203,5304
5,1454
0,0739
1,0119
0,9437
PERFORMANCE
76,4331 75,2427 74,0522 72,8618 71,6713 70,4809 69,2904 68,1000 67,6333 67,1667 66,7000
0,9800 0,9646 0,9491 0,9337 0,9183 0,9028 0,8874 0,8720 0,7922 0,7124 0,6325
0,0550 0,0546 0,0542 0,0537 0,0533 0,0529 0,0525 0,0521 0,0514 0,0507 0,0500
0,0457 0,0458 0,0459 0,0460 0,0460 0,0461 0,0462 0,0463 0,0468 0,0473 0,0478
68520,5000 68930,7602 69341,0205 69751,2807 70161,5410 70571,8012 70982,0615 71392,3217 88762,5639 106132,8060 123503,0482
18,5672 18,9523 19,3375 19,7226 20,1078 20,4929 20,8780 21,2632 22,3856 23,5081 24,6305
103,4378 103,6650 103,8922 104,1194 104,3466 104,5738 104,8010 105,0282 112,7077 120,3872 128,0667
241,5567 242,2907 243,0248 243,7588 244,4928 245,2268 245,9609 246,6949 253,6754 260,6559 267,6364
5,2580 5,2371 5,2161 5,1952 5,1742 5,1533 5,1323 5,1114 5,0225 4,9336 4,8447
0,0765 0,0763 0,0761 0,0759 0,0757 0,0755 0,0753 0,0751 0,0743 0,0734 0,0726
1,0211 1,0197 1,0183 1,0170 1,0156 1,0142 1,0129 1,0115 1,0104 1,0093 1,0082
0,9444 0,9463 0,9462 0,9460 0,9459 0,9458 0,9457 0,9456 0,9450 0,9443 0,9437
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
4 8,7719 35,0877
3 8,2707 24,8120
0 8,7719 0
0 8,5213 0
3 8,5213 25,5639
0 7,7694 0
0 8,0201 0
0 8,5213 0
4 8,2707 33,0827
2 8,0201 16,0401
3 8,5213 25,5639
0 8,0201 0
SKOR BOBOT NILAI INDEKS PRODUKTIVITAS
INDIKATOR PENCAPAIAN
Indeks Produktivitas Tahun Dasar (2005)
160,150
100
Indeks Produktivitas Tahun 2006
KRITERIA - KRITERIA PRODUKTIVITAS Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria 3
Kriteria 4
Kriteria 5
Kriteria 6
Kriteria 7
Kriteria 8
Kriteria 9
Kriteria 10
Kriteria 11
Kriteria 12
67,4000
0,8913
0,0505
0,0470
123503,0482
20,9203
98,2259
263,7485
5,0108
0,0773
1,0146
0,9437
PERFORMANCE
76,4331 75,2427 74,0522 72,8618 71,6713 70,4809 69,2904 68,1000 67,6333 67,1667 66,7000
0,9800 0,9646 0,9491 0,9337 0,9183 0,9028 0,8874 0,8720 0,7922 0,7124 0,6325
0,0550 0,0546 0,0542 0,0537 0,0533 0,0529 0,0525 0,0521 0,0514 0,0507 0,0500
0,0457 0,0458 0,0459 0,0460 0,0460 0,0461 0,0462 0,0463 0,0468 0,0473 0,0478
68520,5000 68930,7602 69341,0205 69751,2807 70161,5410 70571,8012 70982,0615 71392,3217 88762,5639 106132,8060 123503,0482
18,5672 18,9523 19,3375 19,7226 20,1078 20,4929 20,8780 21,2632 22,3856 23,5081 24,6305
103,4378 103,6650 103,8922 104,1194 104,3466 104,5738 104,8010 105,0282 112,7077 120,3872 128,0667
241,5567 242,2907 243,0248 243,7588 244,4928 245,2268 245,9609 246,6949 253,6754 260,6559 267,6364
5,2580 5,2371 5,2161 5,1952 5,1742 5,1533 5,1323 5,1114 5,0225 4,9336 4,8447
0,0765 0,0763 0,0761 0,0759 0,0757 0,0755 0,0753 0,0751 0,0743 0,0734 0,0726
1,0211 1,0197 1,0183 1,0170 1,0156 1,0142 1,0129 1,0115 1,0104 1,0093 1,0082
0,9444 0,9463 0,9462 0,9460 0,9459 0,9458 0,9457 0,9456 0,9450 0,9443 0,9437
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
2 8,7719 17,5439
4 8,2707 33,0827
1 8,7719 8,7719
1 8,5213 8,5213
0 8,5213 0,0000
4 7,7694 31,0777
0 8,0201 0,0000
1 8,5213 8,5213
2 8,2707 16,5414
0 8,0201 0,0000
5 8,5213 42,6065
0 8,0201 0,0000
SKOR BOBOT NILAI INDEKS PRODUKTIVITAS
INDIKATOR PENCAPAIAN
Indeks Produktivitas Tahun Dasar (2005)
160,15
166,67
104,0691
Indeks Produktivitas Tahun 2007
KRITERIA - KRITERIA PRODUKTIVITAS Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria 3
Kriteria 4
Kriteria 5
Kriteria 6
Kriteria 7
Kriteria 8
Kriteria 9
Kriteria 10
Kriteria 11
Kriteria 12
66,7000
0,9180
0,0525
0,0475
73724,6514
22,9601
128,0667
260,7891
4,8447
0,0726
1,0112
0,9443
PERFORMANCE
76,4331 75,2427 74,0522 72,8618 71,6713 70,4809 69,2904 68,1000 67,6333 67,1667 66,7000
0,9800 0,9646 0,9491 0,9337 0,9183 0,9028 0,8874 0,8720 0,7922 0,7124 0,6325
0,0550 0,0546 0,0542 0,0537 0,0533 0,0529 0,0525 0,0521 0,0514 0,0507 0,0500
0,0457 0,0458 0,0459 0,0460 0,0460 0,0461 0,0462 0,0463 0,0468 0,0473 0,0478
68520,5000 68930,7602 69341,0205 69751,2807 70161,5410 70571,8012 70982,0615 71392,3217 88762,5639 106132,8060 123503,0482
18,5672 18,9523 19,3375 19,7226 20,1078 20,4929 20,8780 21,2632 22,3856 23,5081 24,6305
103,4378 103,6650 103,8922 104,1194 104,3466 104,5738 104,8010 105,0282 112,7077 120,3872 128,0667
235,5567 242,2907 243,0248 243,7588 244,4928 245,2268 245,9609 246,6949 253,6754 260,6559 267,6364
5,2580 5,2371 5,2161 5,1952 5,1742 5,1533 5,1323 5,1114 5,0225 4,9336 4,8447
0,0765 0,0763 0,0761 0,0759 0,0757 0,0755 0,0753 0,0751 0,0743 0,0734 0,0726
1,0211 1,0197 1,0183 1,0170 1,0156 1,0142 1,0129 1,0115 1,0104 1,0093 1,0082
0,9444 0,9463 0,9462 0,9460 0,9459 0,9458 0,9457 0,9456 0,9450 0,9443 0,9437
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
0 8,7719 0,0000
6 8,2707 49,6241
4 8,7719 35,0877
1 8,5213 8,5213
3 8,5213 25,5639
3 7,7694 23,3083
0 8,0201 0,0000
1 8,5213 8,5213
0 8,2707 0,0000
0 8,0201 0,0000
2 8,5213 17,0426
1 8,0201 8,0201
SKOR BOBOT NILAI INDEKS PRODUKTIVITAS
INDIKATOR PENCAPAIAN
Indeks Produktivitas Tahun Dasar (2005)
160,15
175,6892
109,70
Indeks Produktivitas Tahun 2008
KRITERIA - KRITERIA PRODUKTIVITAS Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria 3
Kriteria 4
Kriteria 5
Kriteria 6
Kriteria 7
Kriteria 8
Kriteria 9
Kriteria 10
Kriteria 11
Kriteria 12
70,2
0,8795
0,0513
0,0478
35673,2890
20,6186
121,1049
267,6364
5,1643
0,0736
1,0117
0,9442
PERFORMANCE
76,4331 75,2427 74,0522 72,8618 71,6713 70,4809 69,2904 68,1000 67,6333 67,1667 66,7000
0,9800 0,9646 0,9491 0,9337 0,9183 0,9028 0,8874 0,8720 0,7922 0,7124 0,6325
0,0550 0,0546 0,0542 0,0537 0,0533 0,0529 0,0525 0,0521 0,0514 0,0507 0,0500
0,0457 0,0458 0,0459 0,0460 0,0460 0,0461 0,0462 0,0463 0,0468 0,0473 0,0478
68520,5000 68930,7602 69341,0205 69751,2807 70161,5410 70571,8012 70982,0615 71392,3217 88762,5639 106132,8060 123503,0482
18,5672 18,9523 19,3375 19,7226 20,1078 20,4929 20,8780 21,2632 22,3856 23,5081 24,6305
103,4378 103,6650 103,8922 104,1194 104,3466 104,5738 104,8010 105,0282 112,7077 120,3872 128,0667
241,5567 242,2907 243,0248 243,7588 244,4928 245,2268 245,9609 246,6949 253,6754 260,6559 267,6364
5,2580 5,2371 5,2161 5,1952 5,1742 5,1533 5,1323 5,1114 5,0225 4,9336 4,8447
0,0765 0,0763 0,0761 0,0759 0,0757 0,0755 0,0753 0,0751 0,0743 0,0734 0,0726
1,0211 1,0197 1,0183 1,0170 1,0156 1,0142 1,0129 1,0115 1,0104 1,0093 1,0082
0,9444 0,9463 0,9462 0,9460 0,9459 0,9458 0,9457 0,9456 0,9450 0,9443 0,9437
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
5 8,7719 43,8596
3 8,2707 24,8120
2 8,7719 17,5439
0 8,5213 0,0000
0 8,5213 0,0000
4 7,7694 31,0777
1 8,0201 8,0201
0 8,5213 0,0000
5 8,2707 41,3534
1 8,0201 8,0201
3 8,5213 25,5639
1 8,0201 8,0201
SKOR BOBOT NILAI INDEKS PRODUKTIVITAS
INDIKATOR PENCAPAIAN
Indeks Produktivitas Tahun Dasar (2005)
160,15
208,27
130,05
Indeks Produktivitas Tahun 2009
KRITERIA - KRITERIA PRODUKTIVITAS Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria 3
Kriteria 4
Kriteria 5
Kriteria 6
Kriteria 7
Kriteria 8
Kriteria 9
Kriteria 10
Kriteria 11
Kriteria 12
66,7000
0,6325
0,0510
0,0462
50268,9558
21,1864
90,4838
259,7701
5,1919
0,0752
1,0082
0,9521
PERFORMANCE
76,4331 75,2427 74,0522 72,8618 71,6713 70,4809 69,2904 68,1000 67,6333 67,1667 66,7000
0,9800 0,9646 0,9491 0,9337 0,9183 0,9028 0,8874 0,8720 0,7922 0,7124 0,6325
0,0550 0,0546 0,0542 0,0537 0,0533 0,0529 0,0525 0,0521 0,0514 0,0507 0,0500
0,0457 0,0458 0,0459 0,0460 0,0460 0,0461 0,0462 0,0463 0,0468 0,0473 0,0478
68520,5000 68930,7602 69341,0205 69751,2807 70161,5410 70571,8012 70982,0615 71392,3217 88762,5639 106132,8060 123503,0482
18,5672 18,9523 19,3375 19,7226 20,1078 20,4929 20,8780 21,2632 22,3856 23,5081 24,6305
103,4378 103,6650 103,8922 104,1194 104,3466 104,5738 104,8010 105,0282 112,7077 120,3872 128,0667
241,5567 242,2907 243,0248 243,7588 244,4928 245,2268 245,9609 246,6949 253,6754 260,6559 267,6364
5,2580 5,2371 5,2161 5,1952 5,1742 5,1533 5,1323 5,1114 5,0225 4,9336 4,8447
0,0785 0,0763 0,0761 0,0759 0,0757 0,0755 0,0753 0,0751 0,0743 0,0734 0,0726
1,0211 1,0197 1,0183 1,0170 1,0156 1,0142 1,0129 1,0115 1,0104 1,0093 1,0082
0,9444 0,9463 0,9462 0,9460 0,9459 0,9458 0,9457 0,9456 0,9450 0,9443 0,9437
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
0 8,7719 0,0000
0 8,2707 0,0000
2 8,7719 17,5439
4 8,5213 34,0852
0 8,5213 0,0000
3 7,7694 23,3083
0 8,0201 0,0000
1 8,5213 8,5213
7 8,2707 57,8947
3 8,0201 24,0602
0 8,5213 0,0000
0 8,0201 0,0000
SKOR BOBOT NILAI INDEKS PRODUKTIVITAS
INDIKATOR PENCAPAIAN
Indeks Produktivitas Tahun Dasar (2005)
160,15
165,41
103,29
3. PABRIK GULA PESANTREN BARU (KEDIRI) Indeks Produktivitas Tahun Dasar (2005)
KRITERIA - KRITERIA PRODUKTIVITAS Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria 3
Kriteria 4
Kriteria 5
Kriteria 6
Kriteria 7
Kriteria 8
Kriteria 9
Kriteria 10
Kriteria 11
Kriteria 12
90,1046
0,8073
0,0411
0,0524
29123,1599
25,0000
760,6429
1916,7715
6,3149
0,0701
0,9705
0,8884
PERFORMANCE
86,1068 86,0953 86,0839 86,0724 86,0609 86,0495 86,0380 86,0266 82,2497 78,4728 74,6959
0,9312 0,9144 0,8975 0,8807 0,8639 0,8470 0,8302 0,8134 0,7872 0,7611 0,7349
0,0489 0,0483 0,0478 0,0473 0,0467 0,0462 0,0457 0,0451 0,0437 0,0423 0,0408
0,0498 0,0506 0,0514 0,0522 0,0530 0,0538 0,0546 0,0554 0,0574 0,0593 0,0613
35521,5458 35754,7833 35988,0207 36221,2581 36454,4956 36687,7330 36920,9704 37154,2079 41846,7592 46539,3106 51231,8620
25,0000 25,0977 25,1954 25,2931 25,3908 25,4885 25,5862 25,6839 26,6464 27,6089 28,5714
834,4839 838,2683 842,0527 845,8371 849,6215 853,4059 857,1903 860,9747 906,5646 952,1546 997,7445
1915,1158 1977,4664 2039,8169 2102,1674 2164,5179 2226,8685 2289,2190 2351,5695 2570,9914 2790,4133 3009,8352
6,8454 6,8105 6,7756 6,7407 6,7058 6,6709 6,6360 6,6011 6,3664 6,1317 5,8970
0,0879 0,0863 0,0847 0,0832 0,0816 0,0800 0,0785 0,0769 0,0742 0,0716 0,0690
0,9737 0,9731 0,9726 0,9720 0,9714 0,9709 0,9703 0,9698 0,9648 0,9597 0,9547
0,9472 0,9406 0,9341 0,9275 0,9209 0,9143 0,9078 0,9012 0,8786 0,8560 0,8334
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
0 8,58586 0,0000
3 7,57576 22,7273
0 8,83838 0,0000
7 8,58586 60,1010
0 8,33333 0,0000
2 7,82828 15,6566
0 7,82828 0,0000
0 8,83838 0,0000
2 8,58586 17,1717
1 8,08081 8,0808
4 8,58586 34,3434
2 8,33333 16,6667
SKOR BOBOT NILAI INDEKS PRODUKTIVITAS
INDIKATOR PENCAPAIAN
Indeks Produktivitas Tahun Dasar (2005)
174,75
100
Indeks Produktivitas Tahun 2006
KRITERIA - KRITERIA PRODUKTIVITAS Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria 3
Kriteria 4
Kriteria 5
Kriteria 6
Kriteria 7
Kriteria 8
Kriteria 9
Kriteria 10
Kriteria 11
Kriteria 12
88,8597
0,8305
0,0453
0,0546
42809,2340
25,0000
794,2289
2576,5154
7,1853
0,0749
0,9747
0,9173
PERFORMANCE
86,1068 86,0953 86,0839 86,0724 86,0609 86,0495 86,0380 86,0266 82,2497 78,4728 74,6959
0,9312 0,9144 0,8975 0,8807 0,8639 0,8470 0,8302 0,8134 0,7872 0,7611 0,7349
0,0489 0,0483 0,0478 0,0473 0,0467 0,0462 0,0457 0,0451 0,0437 0,0423 0,0408
0,0458 0,0506 0,0514 0,0522 0,0530 0,0538 0,0546 0,0554 0,0574 0,0593 0,0613
35521,5458 35754,7833 35988,0207 36221,2581 36454,4956 36687,7330 36920,9704 37154,2079 41846,7592 46539,3106 51231,8620
23,0000 23,3834 23,7668 24,1502 24,5337 24,9171 25,3005 25,6839 26,6464 27,6089 28,5714
834,4839 838,2683 842,0527 845,8371 849,6215 853,4059 857,1903 860,9747 906,5646 952,1546 997,7445
1915,1158 1977,4664 2039,8169 2102,1674 2164,5179 2226,8685 2289,2190 2351,5695 2570,9914 2790,4133 3009,8352
6,8454 6,8105 6,7756 6,7407 6,7058 6,6709 6,6360 6,6011 6,3664 6,1317 5,8970
0,0859 0,0863 0,0847 0,0832 0,0816 0,0800 0,0785 0,0769 0,0742 0,0716 0,0690
0,9737 0,9731 0,9726 0,9720 0,9714 0,9709 0,9703 0,9698 0,9648 0,9597 0,9547
0,9472 0,9406 0,9341 0,9275 0,9209 0,9143 0,9078 0,9012 0,8786 0,8560 0,8334
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
0 8,5859 0,0000
4 7,5758 30,3030
3 8,8384 26,5152
4 8,5859 34,3434
2 8,3333 16,6667
4 7,8283 31,3131
0 7,8283 0,0000
2 8,8384 17,6768
0 8,5859 0,0000
2 8,0808 16,1616
0 8,5859 0,0000
5 8,3333 41,6667
SKOR BOBOT NILAI INDEKS PRODUKTIVITAS
INDIKATOR PENCAPAIAN
Indeks Produktivitas Tahun Dasar (2005)
174,75
214,65
122,83
Indeks Produktivitas Tahun 2007
KRITERIA - KRITERIA PRODUKTIVITAS Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria 3
Kriteria 4
Kriteria 5
Kriteria 6
Kriteria 7
Kriteria 8
Kriteria 9
Kriteria 10
Kriteria 11
Kriteria 12
89,7832
0,8349
0,0458
0,0498
43625,6049
26,5714
907,7445
2345,4187
6,1925
0,0690
0,9547
0,8334
PERFORMANCE
86,1068 86,0953 86,0839 86,0724 86,0609 86,0495 86,0380 86,0266 82,2497 78,4728 74,6959
0,9312 0,9144 0,8975 0,8807 0,8639 0,8470 0,8302 0,8134 0,7872 0,7611 0,7349
0,0489 0,0483 0,0478 0,0473 0,0467 0,0462 0,0457 0,0451 0,0437 0,0423 0,0408
0,0498 0,0506 0,0514 0,0522 0,0530 0,0538 0,0546 0,0554 0,0574 0,0593 0,0613
35521,5458 35754,7833 35988,0207 36221,2581 36454,4956 36687,7330 36920,9704 37154,2079 41846,7592 46539,3106 51231,8620
25,0000 25,0977 25,1954 25,2931 25,3908 25,4885 25,5862 25,6839 26,6464 27,6089 28,5714
834,4839 838,2683 842,0527 845,8371 849,6215 853,4059 857,1903 860,9747 906,5646 952,1546 997,7445
1915,1158 1977,4664 2039,8169 2102,1674 2164,5179 2226,8685 2289,2190 2351,5695 2570,9914 2790,4133 3009,8352
6,8454 6,8105 6,7756 6,7407 6,7058 6,6709 6,6360 6,6011 6,3664 6,1317 5,8970
0,0879 0,0863 0,0847 0,0832 0,0816 0,0800 0,0785 0,0769 0,0742 0,0716 0,0690
0,9737 0,9731 0,9726 0,9720 0,9714 0,9709 0,9703 0,9698 0,9648 0,9597 0,9547
0,9472 0,9406 0,9341 0,9275 0,9209 0,9143 0,9078 0,9012 0,8786 0,8560 0,8334
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
0 8,59 0
4 7,58 30,3030303
4 8,8384 35,35353535
10 8,5859 85,8586
2 2 3 8,3333 7,8283 7,8283 16,66666667 15,65656566 23,48484848
3 8,8384 26,5152
1 8,5859 8,5859
0 8,0808 0
0 8,5859 0
0 8,3333 0
SKOR BOBOT NILAI INDEKS PRODUKTIVITAS
INDIKATOR PENCAPAIAN
Indeks Produktivitas Tahun Dasar (2005)
174,75
242,42
138,73
Indeks Produktivitas Tahun 2008
KRITERIA - KRITERIA PRODUKTIVITAS Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria 3
Kriteria 4
Kriteria 5
Kriteria 6
Kriteria 7
Kriteria 8
Kriteria 9
Kriteria 10
Kriteria 11
Kriteria 12
86,6894
0,7993
0,0461
0,0601
38981,1785
21,2766
920,6800
2309,3069
7,4157
0,0855
0,9768
0,9269
PERFORMANCE
86,1068 86,0953 86,0839 86,0724 86,0609 86,0495 86,0380 86,0266 82,2497 78,4728 74,6959
0,9312 0,9144 0,8975 0,8807 0,8639 0,8470 0,8302 0,8134 0,7872 0,7611 0,7349
0,0489 0,0483 0,0478 0,0473 0,0467 0,0462 0,0457 0,0451 0,0437 0,0423 0,0408
0,0498 0,0506 0,0514 0,0522 0,0530 0,0538 0,0546 0,0554 0,0574 0,0593 0,0613
35521,5458 35754,7833 35988,0207 36221,2581 36454,4956 36687,7330 36920,9704 37154,2079 41846,7592 46539,3106 51231,8620
25,0000 25,0977 25,1954 25,2931 25,3908 25,4885 25,5862 25,6839 26,6464 27,6089 28,5714
834,4839 838,2683 842,0527 845,8371 849,6215 853,4059 857,1903 860,9747 906,5646 952,1546 997,7445
1915,1158 1977,4664 2039,8169 2102,1674 2164,5179 2226,8685 2289,2190 2351,5695 2570,9914 2790,4133 3009,8352
6,8454 6,8105 6,7756 6,7407 6,7058 6,6709 6,6360 6,6011 6,3664 6,1317 5,8970
0,0879 0,0863 0,0847 0,0832 0,0816 0,0800 0,0785 0,0769 0,0742 0,0716 0,0690
0,9737 0,9731 0,9726 0,9720 0,9714 0,9709 0,9703 0,9698 0,9648 0,9597 0,9547
0,9472 0,9406 0,9341 0,9275 0,9209 0,9143 0,9078 0,9012 0,8786 0,8560 0,8334
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
0 8,59 0,0000
3 7,58 22,7273
5 8,8384 44,1919
0 8,5859 0,0000
3 8,3333 25,0000
0 7,8283 0,0000
2 7,8283 15,6566
4 8,8384 35,3535
0 8,5859 0,0000
8 8,0808 64,6465
0 8,5859 0,0000
7 8,3333 58,3333
SKOR BOBOT NILAI INDEKS PRODUKTIVITAS
INDIKATOR PENCAPAIAN
Indeks Produktivitas Tahun Dasar (2005)
174,75
265,91
152,17
Indeks Produktivitas Tahun 2009
KRITERIA - KRITERIA PRODUKTIVITAS Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria 3
Kriteria 4
Kriteria 5
Kriteria 6
Kriteria 7
Kriteria 8
Kriteria 9
Kriteria 10
Kriteria 11
Kriteria 12
74,6959
0,8349
0,0473
0,0613
51231,8620
28,5714
831,5771
3009,8352
5,8970
0,0789
0,9720
0,9199
PERFORMANCE
86,1068 86,0953 86,0839 86,0724 86,0609 86,0495 86,0380 86,0266 82,2497 78,4728 74,6959
0,9312 0,9144 0,8975 0,8807 0,8639 0,8470 0,8302 0,8134 0,7872 0,7611 0,7349
0,0489 0,0483 0,0478 0,0473 0,0467 0,0462 0,0457 0,0451 0,0437 0,0423 0,0408
0,0498 0,0506 0,0514 0,0522 0,0530 0,0538 0,0546 0,0554 0,0574 0,0593 0,0613
35521,5458 35754,7833 35988,0207 36221,2581 36454,4956 36687,7330 36920,9704 37154,2079 41846,7592 46539,3106 51231,8620
25,0000 25,0977 25,1954 25,2931 25,3908 25,4885 25,5862 25,6839 26,6464 27,6089 28,5714
834,4839 838,2683 842,0527 845,8371 849,6215 853,4059 857,1903 860,9747 906,5646 952,1546 997,7445
1915,1158 1977,4664 2039,8169 2102,1674 2164,5179 2226,8685 2289,2190 2351,5695 2570,9914 2790,4133 3009,8352
6,8454 6,8105 6,7756 6,7407 6,7058 6,6709 6,6360 6,6011 6,3664 6,1317 5,8970
0,0879 0,0863 0,0847 0,0832 0,0816 0,0800 0,0785 0,0769 0,0742 0,0716 0,0690
0,9737 0,9731 0,9726 0,9720 0,9714 0,9709 0,9703 0,9698 0,9648 0,9597 0,9547
0,9472 0,9406 0,9341 0,9275 0,9209 0,9143 0,9078 0,9012 0,8786 0,8560 0,8334
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
0 8,5859 0,0000
4 7,5758 30,3030
7 8,8384 61,8687
0 8,5859 0,0000
0 8,3333 0,0000
0 7,8283 0,0000
0 7,8283 0,0000
0 8,8384 0,0000
0 8,5859 0,0000
5 8,0808 40,4040
7 8,5859 60,1010
5 8,3333 41,6667
SKOR BOBOT NILAI INDEKS PRODUKTIVITAS
INDIKATOR PENCAPAIAN
Indeks Produktivitas Tahun Dasar (2005)
174,75
234,34
134,10
4. PABRIK GULA KEBON AGUNG (MALANG)
Indeks Produktivitas Tahun 2006
KRITERIA - KRITERIA PRODUKTIVITAS Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria 3
Kriteria 4
Kriteria 5
Kriteria 6
Kriteria 7
Kriteria 8
Kriteria 9
Kriteria 10
Kriteria 11
Kriteria 12
81,2185
0,8600
0,0556
0,0505
69780,8985
5,0176
475,9812
243,3347
13,5884
0,1673
1,0043
0,9678
PERFORMANCE
89,8714 88,2053 86,5392 84,8730 83,2069 81,5407 79,8746 78,2085 75,7026 73,1968 70,6910
0,9035 0,8991 0,8947 0,8903 0,8860 0,8816 0,8772 0,8728 0,8459 0,8189 0,7920
0,0570 0,0568 0,0566 0,0564 0,0563 0,0561 0,0559 0,0557 0,0557 0,0556 0,0556
0,0451 0,0458 0,0465 0,0472 0,0479 0,0485 0,0492 0,0499 0,0501 0,0503 0,0505
70000,0000 73077,9623 76155,9247 79233,8870 82311,8493 85389,8117 88467,7740 91545,7363 95990,5547 100435,3731 104880,1915
6,5500 6,6897 6,8295 6,9692 7,1090 7,2487 7,3885 7,5282 9,1855 10,8427 12,5000
450,2152 457,7740 465,3328 472,8916 480,4504 488,0092 495,5679 503,1267 522,5406 541,9545 561,3684
230,4521 233,2760 236,0999 238,9237 241,7476 244,5715 247,3954 250,2193 261,0685 271,9178 282,7670
12,7580 12,7495 12,7410 12,7325 12,7240 12,7155 12,7070 12,6985 12,4127 12,1269 11,8411
0,1755 0,1737 0,1718 0,1700 0,1681 0,1663 0,1644 0,1626 0,1580 0,1533 0,1487
1,0035 1,0034 1,0033 1,0032 1,0031 1,0031 1,0030 1,0029 0,9961 0,9975 0,9988
1,0020 0,9974 0,9927 0,9881 0,9834 0,9788 0,9742 0,9695 0,9682 0,9668 0,9654
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
5 8,4788 42,3940
3 8,4788 25,4364
3 8,4788 25,4364
0 8,4788 0,0000
0 7,9800 0,0000
0 8,2294 0,0000
8 7,9800 63,8404
5 8,4788 42,3940
0 8,2294 0,0000
0 8,2294 0,0000
0 8,4788 0,0000
2 8,4788 16,9576
SKOR BOBOT NILAI INDEKS PRODUKTIVITAS
INDIKATOR PENCAPAIAN
Indeks Produktivitas Tahun Dasar (2005)
199,75
216,46
108,36
Indeks Produktivitas Tahun 2007
KRITERIA - KRITERIA PRODUKTIVITAS Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria 3
Kriteria 4
Kriteria 5
Kriteria 6
Kriteria 7
Kriteria 8
Kriteria 9
Kriteria 10
Kriteria 11
Kriteria 12
82,2884
0,9080
0,0556
0,0496
92672,2983
6,6653
561,3684
271,0607
12,2363
0,1487
1,0014
0,9723
PERFORMANCE
89,8714 88,2053 86,5392 84,8730 83,2069 81,5407 79,8746 78,2085 75,7026 73,1968 70,6910
0,9035 0,8991 0,8947 0,8903 0,8860 0,8816 0,8772 0,8728 0,8459 0,8189 0,7920
0,0570 0,0568 0,0566 0,0564 0,0563 0,0561 0,0559 0,0557 0,0557 0,0556 0,0556
0,0451 0,0458 0,0465 0,0472 0,0479 0,0485 0,0492 0,0499 0,0501 0,0503 0,0505
70000,0000 73077,9623 76155,9247 79233,8870 82311,8493 85389,8117 88467,7740 91545,7363 95990,5547 100435,3731 104880,1915
6,5500 6,6897 6,8295 6,9692 7,1090 7,2487 7,3885 7,5282 9,1855 10,8427 12,5000
450,2152 457,7740 465,3328 472,8916 480,4504 488,0092 495,5679 503,1267 522,5406 541,9545 561,3684
230,4521 233,2760 236,0999 238,9237 241,7476 244,5715 247,3954 250,2193 261,0685 271,9178 282,7670
12,7580 12,7495 12,7410 12,7325 12,7240 12,7155 12,7070 12,6985 12,4127 12,1269 11,8411
0,1755 0,1737 0,1718 0,1700 0,1681 0,1663 0,1644 0,1626 0,1580 0,1533 0,1487
1,0035 1,0034 1,0033 1,0032 1,0031 1,0031 1,0030 1,0029 0,9961 0,9975 0,9988
1,0020 0,9974 0,9927 0,9881 0,9834 0,9788 0,9742 0,9695 0,9682 0,9668 0,9654
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
5 8,4788 42,3940
0 8,4788 0,0000
3 8,4788 25,4364
4 8,4788 33,9152
3 7,9800 23,9401
9 8,2294 74,0648
0 7,9800 0,0000
1 8,4788 8,4788
1 8,2294 8,2294
0 8,2294 0,0000
3 8,4788 25,4364
4 8,4788 33,9152
SKOR BOBOT NILAI INDEKS PRODUKTIVITAS
INDIKATOR PENCAPAIAN
Indeks Produktivitas Tahun Dasar (2005)
199,75
275,81
138,08
Indeks Produktivitas Tahun 2008
KRITERIA - KRITERIA PRODUKTIVITAS Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria 3
Kriteria 4
Kriteria 5
Kriteria 6
Kriteria 7
Kriteria 8
Kriteria 9
Kriteria 10
Kriteria 11
Kriteria 12
76,7283
0,8640
0,0556
0,0501
100880,1915
7,5758
533,6103
258,8997
12,7427
0,1661
1,0023
0,9693
PERFORMANCE
89,8714 88,2053 86,5392 84,8730 83,2069 81,5407 79,8746 78,2085 75,7026 73,1968 70,6910
0,9035 0,8991 0,8947 0,8903 0,8860 0,8816 0,8772 0,8728 0,8459 0,8189 0,7920
0,0570 0,0568 0,0566 0,0564 0,0563 0,0561 0,0559 0,0557 0,0557 0,0556 0,0556
0,0451 0,0458 0,0465 0,0472 0,0479 0,0485 0,0492 0,0499 0,0501 0,0503 0,0505
70000,0000 73077,9623 76155,9247 79233,8870 82311,8493 85389,8117 88467,7740 91545,7363 95990,5547 100435,3731 104880,1915
6,5500 6,6897 6,8295 6,9692 7,1090 7,2487 7,3885 7,5282 9,1855 10,8427 12,5000
450,2152 457,7740 465,3328 472,8916 480,4504 488,0092 495,5679 503,1267 522,5406 541,9545 561,3684
230,4521 233,2760 236,0999 238,9237 241,7476 244,5715 247,3954 250,2193 261,0685 271,9178 282,7670
12,7580 12,7495 12,7410 12,7325 12,7240 12,7155 12,7070 12,6985 12,4127 12,1269 11,8411
0,1755 0,1737 0,1718 0,1700 0,1681 0,1663 0,1644 0,1626 0,1580 0,1533 0,1487
1,0035 1,0034 1,0033 1,0032 1,0031 1,0031 1,0030 1,0029 0,9961 0,9975 0,9988
1,0020 0,9974 0,9927 0,9881 0,9834 0,9788 0,9742 0,9695 0,9682 0,9668 0,9654
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
2 8,4788 16,9576
3 8,4788 25,4364
1 8,4788 8,4788
2 8,4788 16,9576
1 7,9800 7,9800
3 8,2294 24,6883
1 7,9800 7,9800
2 8,4788 16,9576
8 8,2294 65,8354
5 8,2294 41,1471
3 8,4788 25,4364
3 8,4788 25,4364
SKOR BOBOT NILAI INDEKS PRODUKTIVITAS
INDIKATOR PENCAPAIAN
Indeks Produktivitas Tahun Dasar (2005)
199,75
283,29
141,82
Indeks Produktivitas Tahun 2009
KRITERIA - KRITERIA PRODUKTIVITAS Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria 3
Kriteria 4
Kriteria 5
Kriteria 6
Kriteria 7
Kriteria 8
Kriteria 9
Kriteria 10
Kriteria 11
Kriteria 12
77,6910
0,7920
0,0556
0,0492
88515,2468
12,5000
458,2498
282,7670
11,8411
0,1675
0,9958
0,9654
PERFORMANCE
89,8714 88,2053 86,5392 84,8730 83,2069 81,5407 79,8746 78,2085 75,7026 73,1968 70,6910
0,9035 0,8991 0,8947 0,8903 0,8860 0,8816 0,8772 0,8728 0,8459 0,8189 0,7920
0,0570 0,0568 0,0566 0,0564 0,0563 0,0561 0,0559 0,0557 0,0557 0,0556 0,0556
0,0451 0,0458 0,0465 0,0472 0,0479 0,0485 0,0492 0,0499 0,0501 0,0503 0,0505
75000,0000 77363,6766 79727,3532 82091,0298 84454,7065 86818,3831 89182,0597 91545,7363 95990,5547 100435,3731 104880,1915
6,5500 6,6897 6,8295 6,9692 7,1090 7,2487 7,3885 7,5282 9,1855 10,8427 12,5000
450,2152 457,7740 465,3328 472,8916 480,4504 488,0092 495,5679 503,1267 522,5406 541,9545 561,3684
230,4521 233,2760 236,0999 238,9237 241,7476 244,5715 247,3954 250,2193 261,0685 271,9178 282,7670
12,7580 12,7495 12,7410 12,7325 12,7240 12,7155 12,7070 12,6985 12,4127 12,1269 11,8411
0,1755 0,1737 0,1718 0,1700 0,1681 0,1663 0,1644 0,1626 0,1580 0,1533 0,1487
1,0035 1,0034 1,0033 1,0032 1,0031 1,0031 1,0030 1,0029 0,9961 0,9975 0,9988
1,0020 0,9974 0,9927 0,9881 0,9834 0,9788 0,9742 0,9695 0,9682 0,9668 0,9654
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
3 8,4788 25,43640898
0 8,4788 0
4 7,9800 31,9201995
0 8,2294 0
9 7,9800 71,82044888
0 8,4788 0
0 8,2294 0
6 8,2294 49,3765586
2 8,4788 16,95760599
0 8,4788 0
SKOR BOBOT NILAI
3 4 8,4788 8,4788 25,43640898 33,91521197
INDEKS PRODUKTIVITAS
INDIKATOR PENCAPAIAN
Indeks Produktivitas Tahun Dasar (2005)
199,7500
254,86
127,59