ANALISIS EKOLOGI - EKONOMI EFEK PEMUTIHAN KARANG (CORAL BLEACHING) TERHADAP SUMBERDAYA IKAN (STUDI KASUS TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA, PROVINSI JAWA TENGAH)
NURUL KHOIRIYA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2010
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Ekologi Ekonomi Efek Pemutihan Karang Terhadap Sumberdaya Ikan (Studi Kasus Taman Nasional Karimunjawa, Provinsi Jawa Tengah) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2010
Nurul Khoiriya NIM C252080254
3
ANALISIS EKOLOGI - EKONOMI EFEK PEMUTIHAN KARANG (CORAL BLEACHING) TERHADAP SUMBERDAYA IKAN (STUDI KASUS TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA, PROVINSI JAWA TENGAH)
NURUL KHOIRIYA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Imu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
4
Judul Penelitian
:
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: : :
Analisis Ekologi - Ekonomi Efek Pemutihan Karang (Coral Bleaching) Terhadap Sumberdaya Ikan (Studi Kasus Taman Nasional Karimunjawa, Provinsi Jawa Tengah) Nurul Khoiriya C 252080254 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL)
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Ketua
Ir. Zairion, M.Sc Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.Si
Tanggal ujian : 03 September 2010
Tanggal lulus : ………………………..
5
ABSTRACT NURUL KHOIRIYA. Ecology and Economic Analysis of the Effect Coral Bleaching on Fish Resources (Case Study Karimunjawa National Park, Central Java Province). Under direction of LUKY ADRIANTO and ZAIRION. The 1998 mass bleaching that occurred, called attention. In addition, the ecosystem effects related to bleaching are just beginning to be investigated. The ecology impact of mass coral bleaching are theoretically known, and much less is known about the socioeconomic impacts. For the coastal developing countries, the most important socioeconomic considerations of the mass bleaching events are likely to be fisheries. Impacts on fisheries will become apparent as changes occur to the reef structure and consequently, the reef fisheries could collapse, affecting millions of small-scale fishermen. Studies undertaken in response to the 1997-98 bleaching event provide the estimates of such impacts, and better planning of effective responses. This research is conducted at Karimunjawa Archipelago on Maret 2010. Analysis showing that living reef coral cover decrease from 53% to 27% and have correlation with anomaly of sea surface temperature (R = 0.66 - 0.98). From 4 group of fish, show only 2 of fish decrease and associated with bleaching are Serranidae (t=20.41) and Caesionidae (t=22.59). Significant losses was estimated base on revenue of the fisherman. Understanding and anticipating fisherman behaviour will enable governments to changing strategies and retaining fisheries. Coral bleaching has not been able to decrease community income and refers to optimistic scenario. Community participation and regulation have high contribution on factors that influence the success of coral reef management. In order to manage the coral reef ecosystem, we should make priority to manage ecological and community specially the local genuine adaptive management and policy communities that significantly enhance the effectiveness of response from coral bleaching. Keywords : coral reef, coral bleaching, reef fishes, and social economic impact
6
RINGKASAN NURUL KHOIRIYA. Analisis Ekologi Ekonomi Efek Pemutihan Karang Terhadap Sumberdaya Ikan (Studi Kasus Taman Nasional Karimunjawa, Provinsi Jawa Tengah). Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO dan ZAIRION. Pemutihan karang merusak sekitar 18% dari luas karang dunia (Hughes et al. 2007 dan diperkirakan akan terjadi setiap tahun pada tahun 2030 (Hoegh-Guldberg 1999). Pemutihan karang memberikan efek terhadap ekologi dan ekonomi, seperti penurunan populasi ikan (Cole et al. 2009), hilangnya spesies ikan (Pratchett et al. 2008), Ciquatera fish poisoning (Susan & Christoper 1992) dan penurunan produksi ikan dan pendapatan nelayan (Cesar 2000). Bagi Indonesia, sebagai negara yang bergantung pada kekayaan alam, peristiwa coral bleaching akan menjadi permasalahan serius. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi adanya pemutihan karang di Taman Nasional Karimunjawa, (2) menganalisis kondisi ekologi dan ekonomi nelayan sebelum dan sesudah terjadinya coral bleaching dan (3) menyusun strategi pengelolaan berbasis mitigasi dan adaptasi. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret - Mei di Kepulauan Karimunjawa. Penilaian ekologi dilakukan dengan melihat status terumbu karang dan sumberdaya ikan sebelum peristiwa pemutihan karang (1997), saat pemutihan karang (1999) dan sesudah pemutihan karang (2002). Profil suhu dianalisis dengan software ODR Ver 3.2 dan komparasikan dengan data tutupan karang sehingga akan diketahui adanya anomali suhu perairan. Analisis kecenderungan sumberdaya ikan dilakukan terhadap 4 kelompok ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang yaitu : (1) ekor kuning (Caesionodae), (2) kerapu (Serranidae), (3) kakap (Lutjanidae), dan (4) kakak tua (Scaridae). Pendugaan efek coral bleaching terhadap ekonomi, dilakukan perhitungan prakiraan keuntungan ekonomi dan pendapatan nelayan. Penyusunan strategi pengelolaan dilakukan untuk menghasilkan alternatif pengambilan keputusan yang terbaik melalui analisis multi criteria decision making (MCDM) dan analisis prospektif. Secara keseluruhan kualitas perairan di kawasan penelitian masih tergolong sebagai lingkungan perairan laut secara alamiah dan berada di bawah baku mutu air laut. Rekonstruksi rata-rata sea surface temperatur menunjukkan bahwa tahun 1998 merupakan tahun terpanas, dengan peningkatan suhu lebih dari 1°C mencapai 38 minggu dengan anomali tertinggi mencapai 2.7°C dan masuk kategori status level bleaching alert level 2, yang artinya karang mengalami stress karena peningkatan suhu dan telah menunjukkan tanda-tanda pemutihan. Pemutihan karang berpengaruh secara nyata terhadap penutupan karang keras (sebelum bleaching 53% dan sesudah bleaching 27%) dan soft coral yang mengalami penurunan sebesar 3 - 10%. Kematian karang tertinggi terjadi pada awal tahun 1999 bersamaan dengan peningkatan suhu tertinggi, yang ditandai dengan ditemukannya recently killed coral lebih dari 50% dan nilai indek kematian karang cukup tinggi hampir mendekati 1 ( 0.62 - 0.95). Análisis regresi yang dilakukan terhadap variabel SST anomali dengan hard coral cover didapatkan nilai R yang cukup signifikan pada
7
kedalaman 3 m (0.66 - 0.98), sedangkan untuk kedalaman 10 m nilai R yang didapatkan rendah berkisar antara 0.15 - 0.55. Dengan demikian dikatakan bahwa anomali suhu perairan akan lebih berpengaruh pada tingkat kedalaman yang lebih rendah, sedangkan pada kedalaman yang lebih tinggi tidak terlalu berpengaruh. Efek pemutihan karang terhadap ikan belum dapat disimpulkan polanya, karena menunjukkan hasil yang bervariasi antar lokasi. Analisa kecenderungan terhadap 4 kelompok ikan didapatkan nilai ρ = 0.68 0.78 > ρ (α = 0.05), yang mengindikasikan telah terjadi perubahan sumberdaya ikan di kawasan tersebut secara signifikan. Namun, apabila dilihat lebih spesifik berdasarkan analisa hasil usaha per unit area maka terlihat hanya 2 kelompok mendapatkan nilai ρ > ρ (α=0.05). Hal ini mengindikasikan bahwa hanya 2 kelompok ikan yang telah mengangami perubahan biomasa per satuan luas dalam kawasan tersebut secara signifikan yaitu ikan kerapu (Serranidae) dan ekor kuning (Caesionidae). Hasil analisa menunjukkan kisaran nilai t test yang didapatkan bervariasi dari -7.71 sampai 22.72, dimana terdapat tiga kelompok ikan dengan nilai t test > t (α = 0.05) dan satu kelompok ikan dengan nilai t test < t (α = 0.05). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemutihan karang tahun 1998 berasosiasi dengan penurunan kelimpahan hasil tangkapan ikan kerapu, betet, dan ekor kuning. Analisis terhadap nilai hasil usaha per area (kg/orang/km²) menunjukkan hanya 2 kelompok ikan yang menunjukkan penurunan hasil tangkapan per area yang berasosiasi dengan pemutihan karang. Berdasarkan survey yang dilakukan, hasil tangkapan nelayan telah mengalami perubahan dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu, 6.89% responden mengatakan adanya peningkatan hasil tangkapan, 20.68% menyatakan tidak adanya perubahan, 72.41% menyatakan telah terjadi penurunan jumlah ikan hasil tangkapan. Responden juga menyatakan telah terjadi perubahan ukuran ikan hasil tangkapan 63.77% menyatakan ukuran ikan menjadi lebih kecil, 16.23% lebih besar dan 20% menyatakan tidak ada perubahan. Analisa terhadap persepsi responden menunjukkan bahwa skenario IV merupakan skenario yang terbaik untuk kelangsungan sumberdaya terumbu karang dengan skor 0.839. Skor akhir hasil analisis persepsi responden berdasarkan kriteria menunjukkan bahwa kriteria ekologi dan ekonomi bernilai lebih tinggi dibandingkan dengan kebijakan dan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang apabila kondisi ekologi baik, akan berimplikasi terhadap perekonomian masyarakat baik secara langsung maupun tidak. Analisis prospektif digunakan untuk mengeksplorasi kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang. Berdasarkan identifikasi didapatkan 21 faktor kunci yang dianggap berpengaruh dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang di Karimunjawa. Hasil analisis matriks hubungan antara faktor kunci terhadap pengaruh langsung dan tidak langsung antar faktor kunci didapatkan lima faktor yang mempunyai pengaruh tinggi terhadap kinerja yaitu : 1) kebijakan pemerintah, 2) adanya no take zone area, 3) motivasi dan partisipasi, 4) kemampuan pemulihan terumbu karang, dan 5) sumberdaya manusia. Analisis prospektif yang dilakukan menghasilkan nilai 33.188 % untuk skenario sangat optimis, 31.878 % untuk skenario
8
optimis, 20.087% untuk skenario optimis perlu biaya dan 14.847% untuk skenario pesimis. Faktor kunci dari dua skenario dengan nilai tertinggi (skenario sangat optimistik dan optimistik) adalah dukungan dari masyarakat, kemampuan SDM yang tinggi, kebijakan pemerintah yang adaptif dan implementasi yang efektif maka diharapkan apabila terumbu karang mengalami kerusakan akan segera pulih dan berfungsi kembali secara ekologi, sehingga mampu mendukung kehidupan masyarakatnya. Kebijakan pemerintah merupakan salah satu motor utama dalam pengelolaan suatu kawasan konservasi, karena pada umumnya masyarakat masih lebih mementingkan kebutuhan jangka pendek (ekonomi) dibandingkan jangka panjang. Implikasi dari skenario ini adalah terumbu karang dan sumberdaya ikan akan tetap mampu bertahan dan tetap dapat dijadikan andalan mata pencaharian masyarakat karena motivasi dan partisipasi masyarakat yang tinggi. Respon perikanan di kawasan Karimunjawa cenderung mengacu pada skenario optimistik yang dibuktikan dengan : (1) adanya recovery karang pada lokasi yang mengalami pemutihan,(2) komposisi ikan tangkapan mengalami sedikit perubahan dan penurunan net income per orang per hari yang tidak begitu besar (3) fungsi terumbu karang sebagai perlindungan pantai mengalami sedikit perubahan bahkan tidak terpengaruh dengan adanya pemutihan karang. Berdasarkan analisis yang dilakukan maka prioritas arahan strategis adaptasi dan mitigasi dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang lebih dititik beratkan pada pemulihan sumberdaya ikan dan karang melalui : (1) penegakan dan penatalaksanaan hukum dilakukan melalui peninjauan aturan dan regulasi yang berpotensi menimbulkan konflik dan bertentangan dengan norma konservasi, (2) peningkatan luasan zona inti, (3) peningkatan motivasi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan dengan penyuluhan, pelatihan dan sosialisasi serta pelibatan masyarakat melalui pengembangan Community coastal management model, (4) peningkatan sumberdaya manusia, melalui peningkatan pendidikan, perbaikan mekanisme harga, pendampingan, pelatihan, bantuan material, penciptaan mata pencaharian alternatif khususnya yang bisa dilakukan saat nelayan tidak melaut seperti budidaya rumput laut, karamba jaring apung dan diikutsertakan dalam kegiatan pariwisata misalnya sebagai guide turis, juru masak, keamanan dan lain sebagainya, (5) pemulihan terumbu karang melalui rehabilitasi terumbu karang (misal : transplantasi karang, pengembangan daerah perlindungan berbasis masyarakat).
Kata kunci: Terumbu karang, pemutihan karang, ikan karang, ekologi ekonomi
9
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
10
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Jamaludin Jompa, M.Sc
11
PRAKATA Puji syukur penulis penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Judul penelitian ini adalah Analisis Ekologi Ekonomi Efek Pemutihan Karang Terhadap Sumberdaya Ikan (Studi Kasus Taman Nasional Karimunjawa, Provinsi Jawa Tengah). Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Ir. Yaya Mulyana, Ir. Agus Dermawan, M.Si, Bapak Ir.M.Eko Rudianto, M.Bus.IT, dan Ibu Ir. Elvita Nezon, MM yang telah membantu dalam menyediaan pendanaan studi melalui COREMAP II dan mengijinkan penulis untuk mengikuti program ini. 2. Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc, selaku Ketua Komisi, dan Bapak Ir. Zairion, M.Sc selaku Anggota Komisi. 3. Bapak Prof.Dr.Ir. Jamaludin Jompa, M.Sc, yang telah berkenan menjadi dosen penguji luar komisi pada sidang pasca sarjana penulis. 4. Program COREMAP II yang telah membantu mendanai sekolah dan penelitian sehingga penulis dapat mengikuti program magister ini. 5. Balai Taman Nasional Laut Karimunjawa yang telah memberikan ijin melakukan penelitian di kawasan Taman Nasional Laut. 6. Marine Diving Club Universitas Diponegoro dan Reef Check Indonesia yang telah berkenan berbagi data dan informasi mengenai Karimunjawa. 7. Dr.Tess Brandon dan Dr.Gang Liu (NOAA) yang bersedia membantu menyediakan data untuk penelitian ini. 8. Rekan-rekan di Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jepara, Kantor Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah, Dinas Perhubungan Karimunjawa dan Kantor Kecamatan Karimunjawa, yang telah memberikan data dan informasi tentang kegiatan nelayan di Karimunjawa. 9. Rekan-rekan COREMAP II dan Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, yang telah memberikan bantuan, dukungan dan menjadi partner diskusi selama penulisan tesis ini. 10.Teristimewa suamiku, orang tua dan adik-adikku yang selalu memberikan doa, semangat dan dorongan, serta anak-anakku yang memberi motivasi dalam penyelesaian studi ini. 11.Rekan-rekan Mahasiswa SPL, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan tesis ini. Akhir kata, meskipun tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap semoga tesis ini dapat berguna bagi masyarakat yang membacanya dan menjadi barokah bagi penulis, Amin yaa Rabbal alamin. Bogor, 03 September 2010 Nurul Khoiriya
13
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Purwodadi pada tanggal 09 Juli 1977 dari ayah Muslich dan ibu Supiyati. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Diponegoro, lulus pada tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan ke master pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut diperoleh pada tahun 2008. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Program COREMAP II, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai Staf di Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2002 dan ditempatkan di Jakarta. Bidang pekerjaan yang menjadi tanggung jawab penulis adalah identifikasi potensi Kawasan Konservasi Perairan.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................... DAFTAR GAMBAR ................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
v vi vii
1. PENDAHULUAN ............................................................................. 1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1.2. Perumusan Masalah ..................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................... 1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................... 1.5. Kerangka Penelitian .....................................................................
1 1 2 3 4 4
2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 2.1. Terumbu Karang .......................................................................... 2.1.1. Asosiasi Karang dengan Zooxanthella ................................ 2.1.2. Distribusi dan Faktor Pembatas Terumbu Karang .......….. 2.1.3. Ikan Karang ......................................................................... 2.2. Fungsi Ekosistem Terumbu Karang ............................................. 2.2.1. Fungsi Ekologi .................................................................. 2.2.2. Fungsi Ekonomi ............................................................. 2.3. Ancaman terhadap Ekosistem Terumbu Karang ......................... 2.4. Perubahan Iklim Dunia dan Terumbu Karang ............................... 2.5. Pemutihan Karang (Coral Bleaching) ......................................... 2.6. Nilai Ekonomi Pemutihan Karang ................................................. 2.7. Analisis Alokasi Upaya dan Perilaku Nelayan .............................. 2.8. Strategi Mitigasi dan Adaptasi Terhadap Pemutihan Karang ........
6 6 6 7 8 9 9 9 11 12 13 18 21 22
3. METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 3.1. Metode penelitian ........................................................................ 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian.......................................................... 3.3. Metode Pengumpulan Data ......................................................... 3.3.1. Data Biofisik....................................................................... 3.3.2. Produksi Ikan ...................................................................... 3.3.3. Sosial Ekonomi ................................................................... 3.4. Analisis Data ................................................................................. 3.4.1.Analisis Kondisi Ekologi ……...………….……….……..…... 3.4.2.Analisis Kondisi Ekonomi .................................................. 3.4.3.Metode Penyusunan Strategi Pengelolaan Terumbu Karang 3.4.4.Uji Validitas dan Reabilitas ............................................... .
24 24 24 24 24 26 26 27 27 31 33 36
4. GAMBARAN WILAYAH STUDI .................................................... 4.1. Kondisi Umum .............................................................................. 4.2. Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat .......................................... 4.2.1. Demografi ……………….................................................
37 37 38 38
iii
iv 4.2.2. Sarana Prasarana dan Aksesibilitas .................................... 4.2.3. Perekonomian ……………................................................. 4.3. Pemanfaatan Sumberdaya ............................................................. 4.4. Taman Nasional Karimunjawa dan Masyarakat ...........................
39 40 40 42
5. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 5.1. Identifikasi dan Karakteristik Wilayah ......................................... 5.2. Kondisi Biofisik ............................................................................ 5.2.1. Suhu Permukaan Perairan ................................................... 5.2.2. Anomali, Hotspots dan Degree of Heating Weeks ............ 5.2.3. Terumbu Karang ................................................................. 5.2.4. Visual Sensus Ikan .............................................................. 5.3. Analisa Sumberdaya Ikan............................................................... 5.3.1. Analisa Kecenderungan Sumberdaya Ikan ........................ 5.3.2. Analisa Perubahan Sumberdaya Ikan …………….............. 5.4. Alokasi Upaya dan Perilaku Nelayan ............................................ 5.4.1. Indeks Musiman Bulanan .................................................... 5.4.2. Perhitungan Prakiraan Keuntungan ..........……….............. 5.4.3. Perhitungan Penerimaan Nelayan ............……….............. 5.5. Keadaan Sosial Ekonomi ............................................................... 5.5.1. Karakteristik Responden .................................................... 5.5.2. Persepsi Responden ..................................……….............. 5.6. Skenario Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan ....... 5.6.1. Analisis Multi Criteria Disicion Making ............................ 5.6.2. Analisis Prospektif ....................................………..............
44 44 45 45 46 49 53 56 57 59 62 62 63 65 66 66 67 71 72 79
6. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 6.1. Simpulan ....................................................................................... 6.2. Saran ..............................................................................................
90 90 91
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
100
iv
DAFTAR TABEL 1.
Potensi keuntungan bersih per tahun per Km2 dari terumbu karang dalam kondisi baik di Indonesia dan Filipina .....................
Halaman 10
2.
Fungsi dan manfaat dari terumbu karang........................................
11
3.
Status Level Pemutihan Karang .....................................................
17
4.
Total nilai estimasi kerugian dari kegiatan wisata dengan adanya pemutihan karang di El Nido berdasarkan Net Present Value (NPV) selama periode 2000 - 2025................................................
19
Estimasi efek coral bleaching berdasarkan perhitungan valuasi ekonomi di Indian Ocean................................................................
21
6.
Jenis dan sumber data biofisik ........................................................
24
7.
Jenis dan sumber data sosial ekonomi ............................................
27
8.
Matrik pembobotan kriteria dalam penentuan prioritas pemanfaatan sumberdaya di kawasan Taman Nasional Karimunjawa ..................................................................................
33
9.
Skala penilaian terhadap elemen-elemen permasalahan ................
34
10.
Pedoman penilaian analisis prospektif …………………………..
35
11.
Matrik pengaruh dan ketergantungan ......................... ................
12.
Data demografi Kecamatan Karimunjawa 2009 ...........................
35 38
13.
Fungsi pelayanan setiap kawasan .................................................
39
14.
Komposisi mata pencaharian penduduk Kecamatan Karimunjawa
40
15.
Jumlah armada penangkapan ikan per desa di kepulauan Karimunjawa ................................................................................
41
16. 17. 18. 19. 20. 21.
Jenis alat tangkap, musim (masa operasi) dan jenis ikan tangkap Pengelompokan jenis ikan ……………………………………….. Nilai indek keanekaragaman, keseragaman dan dominansi ……... Jenis ikan yang dikaji dalam penelitian ini ..................................... Analisis kecenderungan sumberdaya ikan ..................................... Perbandingan nilai hasil tangkapan per upaya sebelum karang dan sesudah pemutihan karang ............................................................. Perbandingan nilai hasil upaya per unit area sebelum dan sesudah pemutihan karang .......................................................................... Sebaran karakteristik responden .................................................... Skenario faktor terpilih dalam pengelolaan terumbu karang di Karimunjawa .................................................................................. Prospektif skenario pengelolaan terumbu karang di masa depan .............................................................................................
5.
22. 23. 24. 25.
v
42 54 55 57 58 60 61 67 83 83
DAFTAR GAMBAR 1.
Kerangka pemikiran penelitian ....................................................
Halaman 5
2.
Anatomi polip karang ...................................................................
6
3.
Feeding behavior Chaetodonthidae ................................................
9
4.
Diagram proses pemutihan karang .................................................
14
5.
Hipotesis kerangka ketahanan spasial hubungan perubahan iklim dan terumbu karang.........................................................................
16
Grafik hubungan anomali suhu dengan lama waktu pemanasan ......................................................................................
17
Kerangka hipotesa aliran perubahan iklim global terhadap ekologi dan sosial ekonomi ...........................................................
20
Kerangka hipotesis untuk mereduksi kerentanan terumbu karang karena kerusakan akibat peningkatan suhu .....…………....……...
23
9.
Peta lokasi penelitian biofisik dan ekonomi ...................................
25
10.
Kerangka pengambilan contoh sosial ekonomi ...........................
26
11.
Grafik curah hujan bulanan ………………...…………..………...
43
12.
Grafik kunjungan wisata TN Karimunjawa …..…………………..
40
13.
Rekonstruksi suhu permukaan laut rata-rata tahunan ....................
45
14.
Kondisi sea surface temparature tahunan di kawasan Karimunjawa pada tahun 1997 - awal 2010 ..................................
46
6. 7. 8.
15.
Kondisi sea surface temparature mingguan di kawasan Karimunjawa pada tahun 1997 - 1999 ...........................................
46
16.
Perkembangan anomali suhu perairan tahun 1997 - 1998 ..............
47
17.
Anomali suhu perairan karimunjawa pada tahun 1997 - 1998 …...
47
18.
Hotspot area Indonesia pada tahun 1997 - 1998 ………………...
48
19.
Gambar hubungan anomali dengan lama waktu pemanasan……...
48
20.
Rata-rata hard coral cover diseluruh stasiun pengamatan pada kedalaman 3 m dan 10 m ................................................................
49
21. 22.
Hard coral cover di stasiun pengamatan pada kedalaman 3 m dan 10 m ............................................................................................... Histogram proporsi kemunculan hard coral dan soft coral di stasiun pengamatan ……………………………………………….
49 50
23.
Komposisi kemunculan living reef, non living reef dan RKC pada kedalaman 3 m (%)………………………………………….
51
24.
Komposisi kemunculan living reef, non living reef dan RKC pada kedalaman 10 m (%)..............................................................
51
vi
vii
25.
Histogram indek mortalitas karang keras di stasiun pengamatan ..
51
26.
Kecenderungan recovery terumbu karang di Kepulauan Karimunjawa ..................................................................................
52
27.
Grafik hubungan hard coral cover dengan anomali suhu ………..
53
28.
Histogram perbandingan antara ikan coralivorre, herbivore, carnivore dan benthic invertebrate ................................................
54
Rata-rata hasil tangkapan nelayan per upaya dalam 1 trip penangkapan (CPUE) tahun 1995 - 2009 ......................................
57
Kecenderungan hasil tangkapan per unit area ikan kakap, kerapu, betet dan ekor kuning tahun 1995 - 2009 .....................................
58
Perbandingan hasil tangkapan per upaya antara pre bleaching dan post bleaching ikan kerapu kakap, betet dan ekor kuning .............
59
Kecenderungan hasil tangkapan per unit area ikan kakap, kerapu, betet dan ekor kuning tahun 1995 - 2009 .....................................
60
33.
Dinamika nilai indeks musiman .................................................
63
34.
Dinamika CPUE dan RPUE ......... .................................................
64
35.
Perbandingan prakiraan nilai keuntungan ....................................
65
36.
Perbandingan prakiraan perhitungan penerimaan nelayan .............
65
37.
Persepsi responden .........................................................................
69
38.
Struktur hirarki untuk analisis MCDM .........................................
74
39.
Skor akhir kontribusi persepsi responden terhadap kriteria ekologi ...........................................................................................
75
40.
Skor akhir kontribusi persepsi responden terhadap kriteria ekonomi ...........................................................................................
76
41.
Skor akhir kontribusi persepsi responden terhadap kriteria sosial
77
42.
Skor akhir kontribusi persepsi responden terhadap kriteria kebijakan ........................................................................................
78
43.
Skor akhir skenario pengelolaan perikanan berkelanjutan di TN Karimunjawa .................................................................................
78
44.
Skor akhir skenario pengelolaan perikanan berkelanjutan di TN Karimunjawa berdasarkan kriteria .................................................
29. 30. 31. 32.
45.
Tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada pengelolaan ekosistem terumbu karang .........................................
vii
79 81
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
100
2.
Lokasi pemutihan karang di Karimunjawa..................................... Hubungan anomali suhu dengan recently killed coral (RKC) .......
3.
Hubungan anomali suhu dengan indek kematian karang ...............
100
4.
Batasan suhu dan lama pemanasan yang berpotensi menimbulkan pemutihan .......................................................................................
101
5.
Data karakteristik responden nelayan Karimunjawa ......................
101
6.
Data karakteristik responden nelayan Kemujan dan Parang ..........
102
7.
Indeks musiman ikan kerapu dan kakap ........................................
103
8.
Indeks musiman ikan betet dan ekor kuning .................................
103
9.
Perhitungan prakiraan keuntungan ikan kerapu .............................
104
10.
Perhitungan prakiraan keuntungan ikan kakap ..............................
105
11.
Perhitungan prakiraan keuntungan ikan kakak tua ........................
106
12.
Perhitungan prakiraan keuntungan ikan ekor kuning .....................
107
13.
Data bobot persepsi responden untuk MCDM ............................... Hasil analisis prospektif pengaruh langsung antar faktor ...............
108
14.
100
109
15.
Pengaruh global, ketergantungan global dan kekuatan global tertimbang pada pengaruh langsung ...............................................
110
16.
Pengaruh tidak langsung antar faktor .............................................
111
17.
Pengaruh total antar faktor sistem ..................................................
112
18.
Total pengaruh global, total ketergantungan global, kekuatan global dan kekuatan global tertimbang ...........................................
113
19.
Hasil tangkapan nelayan Karimunjawa ..........................................
114
20.
Pengumpulan data dan informasi .................................................
114
21.
Uji validitas ....................................................................................
115
22.
Uji reabilitas ..................................................................................
115
viii
Kalau halaman terusan harus ditaruh kanan diatas ...................
ix
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanasan global dan perubahan iklim merupakan fenomena yang menjadi perhatian dunia. Iklim yang sulit diprediksi dan perubahan suhu laut merupakan salah satu indikasi fenomena perubahan iklim. Adaptasi terhadap perubahan iklim menyebabkan lebih dari 30 % tumbuhan dan hewan mengalami peningkatan risiko kepunahan, perubahan kisaran penyebaran, kelangkaan, perubahan waktu reproduksi, apabila kenaikan temperatur global di atas 1.5-2.5°C (IPCC 2007). Salah satu fenomena yang dijumpai pada ekosistem terumbu karang yang seringkali dianggap sebagai dampak dari perubahan iklim dan pemanasan global adalah pemutihan karang. Isu perubahan iklim dipandang sebagai ancaman terbesar kelangsungan hidup terumbu karang karena dapat terjadi berulang-ulang dalam wilayah yang luas (Baker &Romanski 2007). Pemutihan karang tahun 1997/1998 merupakan bencana terumbu karang yang terbesar, yang merusak sekitar 18% dari luas karang dunia termasuk Indonesia (Hughes et al. 2007) dan diperkirakan akan terjadi setiap tahun pada tahun 2030 (Hoegh-Guldberg 1999). Peristiwa tersebut diyakini akibat peningkatan durasi dan frekuensi El Nino karena pemanasan global (Brown &Suharsono 1990), atau kecenderungan pemanasan global yang lama (Sammarco 2006). Tahap awal pemutihan karang, akan diikuti dengan tumbuhnya beberapa jenis alga yang akan menghambat pertumbuhan karang. Salah satu kasus ekstrim di Virgin Island menunjukkan terjadinya Ciquatera fish poisoning pada beberapa famili Acanthuridae, Pomacentridae dan Scaridae (Susan & Christoper 1992) karena tumbuhnya alga beracun pada karang yang memutih. Pratchett et al. (2008) dan Cole et al.(2009) melakukan penelitian di Seychelles Islands dan Kimbe Bay menemukan bahwa empat spesies ikan kemungkinan telah hilang dari kawasan tersebut dan 6 spesies lainnya dalam level kritis. Ditunjukkan pula bahwa populasi ikan pada kawasan tersebut diperkirakan turun 50%. Glyn & D’Croz (1990) menyatakan bahwa peningkatan suhu yang ekstrim hingga 4ºC di Teluk Gulf telah menyebabkan kematian karang dalam waktu 5 minggu, dan hewan krustaceae yang berasosiasi dengan karang juga mengalami kematian massal selama 9 minggu.
2
Pemutihan karang pada tahun 1998/1999 hanya menimpa beberapa kawasan Indonesia seperti bagian timur Sumatera (Kepulauan Riau), Jawa (Karimunjawa), Bali (Pulau Menjangan, Tulamben, Amed), dan Lombok, sehingga kurang mendapatkan perhatian yang cukup serius. Namun pada tahun 2010 pemutihan karang menyerang lebih dari 11 provinsi di Indonesia. Lokasi-lokasi yang mengalami pemutihan karang adalah Sabang, Padang, Morella dan Ratuhalat Ambon, Parigi Teluk Tomini, Lypah Amed dan Pemuteran Bali, Gili Air Lombok, Pulau Badi Spermonde Sulsel, Wakatobi Sultra, Kofiau dan Misool Papua Barat, Tabulolong Kupang dan Situbondo Jawa Timur (Jompa et al. 2010). Bagi Indonesia, sebagai negara yang bergantung pada kekayaan alam, peristiwa coral bleaching akan menjadi permasalahan serius, karena dampak yang diakibatkannya tidak semata berhenti pada kematian massal koloni karang, namun juga dapat berakibat dalam banyak aspek, tidak terbatas pada aspek ekologis (perubahan utama pada struktur dan fungsi ekosistem, ancaman bagi pertumbuhan karang, kematian organisme terumbu karang berupa kematian massal ikan dan benthos), namun juga pada aspek sosial ekonomi masyarakat pesisir (Jompa et al. 2010). Beberapa tahun ke depan, peristiwa pemutihan karang dapat mengancam kehidupan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan yaitu nelayan. Kondisi tersebut akan menjadi lebih buruk apabila terdapat faktor kombinasi kerusakan karang seperti penangkapan ikan yang merusak, tidak ramah lingkungan, sedimentasi, pengembangan kawasan, pembukaan kawasan hutan dan lain sebagainya. Terjadinya gangguan terhadap terumbu karang akibat faktor perubahan iklim terhadap mata pencaharian tentunya akan dapat mengurangi pendapatan yang berdampak terhadap kesejahteraan nelayan. Atas dasar hal tersebut diatas, maka perlu dilakukan pengkajian efek pemutihan karang terhadap sumberdaya ikan sebagai satu kesatuan ekologi dan ekonomi yang terintegrasi dengan masyarakat sebagai salah satu penerima manfaatnya. 1.2. Perumusan Masalah Efek pemutihan karang terhadap perekonomian masih belum dipahami. Wilkinson et al. (1999) berasumsi bahwa pemutihan dan kematian karang di Indian Ocean menimbulkan kehilangan 25% secara linier
terhadap ikan yang
berhubungan dengan terumbu karang selama 5 sampai 25 tahun kedepan.
3
Kerugian yang ditimbulkan akibat coral bleaching dari kegiatan pariwisata di Filipina diperkirakan USD 1.5 milyar per tahun (Cesar 2000), selanjutnya penelitian yang dilakukan di Bolinao, Pangasinan, Philipina dan Indian Ocean (Wesmascot et al. 2000) juga menunjukkan bahwa coral bleaching yang terjadi pada tahun 1997- 1998 memberikan efek yang signifikan
terhadap nelayan
tradisional yang hidupnya hanya menggantungkan pada hasil tangkapan ikan. Disisi lain, studi yang dilakukan oleh Mc Clanahan & Pet Soede (2000) di Kenya menunjukkan
hasil yang berbeda, yang mana tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara coral bleaching dengan penurunan produksi perikanan di Kenya. Menilik dari dampak pemutihan karang yang masih belum jelas, maka hal yang perlu diketahui lebih lanjut adalah seberapa besar pengaruh pemutihan karang terhadap kondisi ekologi dan ekonomi masyarakat. Selain itu, seberapa besar kemampuan masyarakat dapat bertahan dan pulih kembali, serta kearifan lokal apa yang telah dilakukan oleh masyarakat selama ini dalam menghadapi pemutihan karang dan perubahan iklim global. Berdasarkan urian diatas maka permasalahan utama dalam penelitian ini adalah : 1. Peningkatan suhu global dapat meningkatkan frekuensi dan luasan pemutihan karang di perairan. 2. Pemutihan karang memberikan dampak terhadap
biota yang hidup dalam
ekosistem tersebut termasuk ikan, namun belum diketahui seberapa besar pengaruhnya. 3. Perubahan iklim akan mempengaruhi perilaku nelayan dalam melakukan penangkapan ikan. 4. Penurunan kelimpahan ikan perairan akan menurunkan jumlah hasil tangkapan nelayan, yang akan mempengaruhi pendapatannya. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi adanya pemutihan karang di Taman Nasional Karimunjawa. 2. Mengidentifikasi efek ekologi dan ekonomi nelayan di sekitar ekosistem terumbu karang sebelum dan sesudah terjadinya pemutihan karang. 3. Menyusun strategi adaptif pengelolaan terumbu karang dan sumberdaya ikan.
4
1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk : 1. Memberikan informasi kepada pihak yang membutuhkan tentang
dampak
ekologi dan ekonomi pemutihan karang. 2. Memberikan bahan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam menentukan arah pengelolaan ekosistem terumbu karang yang berkelanjutan dan berbasis mitigasi dan adaptasi dengan memperhatikan nilai sosial, ekonomi dan budayanya 1.5. Kerangka Penelitian Interaksi dalam sistem pengelolaan perikanan karang melibatkan banyak dimensi, dalam dimensi ekologi terdapat keterkaitan antara lingkungan biofisik perairan, terumbu karang dan ikan karang dalam suatu keseimbangan ekologi. Tingginya ketergantungan masyarakat pesisir terhadap sumberdaya laut khususnya terumbu karang akan mempunyai dampak terhadap terumbu karang baik secara langsung maupun tidak. Kerangka pikir yang mendasari penelitian ini adalah adanya peran dari faktor ekologi dan antropogenik terhadap faktor ekonomi, dalam kasus ini peningkatan suhu global akan mengakibatkan pemutihan karang yang memberikan konsekuensi ekologis (1) perubahan struktur dan fungsi ekosistem, (2) penurunan organisme penghuni terumbu karang. Identifikasi adanya pemutihan karang dilakukan dengan melihat perubahan data tutupan karang keras, dan identifikasi perubahan suhu. Identifikasi suhu permukaan perairan merupakan salah satu cara untuk mendeteksi adanya anomali suhu yang berkaitan erat dengan terjadinya pemutihan karang (Hoegh-Guldberg 1999) Penilaian dampak pemutihan karang dilakukan dengan melalui penilaian ekologi dan ekonomi. Penilaian ekologi dilakukan dengan melihat status terumbu karang dan sumberdaya ikan. Sedangkan penilaian ekonomi, dilakukan melalui perhitungan prakiraan keuntungan (Revenue per unit Effort/RPUE), sedangkan penilaian perilaku nelayan dilihat melalui indek musiman. Berdasarkan hasil analisa efek pemutihan karang terhadap ekologi dan ekonomi, maka disusunlah suatu strategi adaptif pengelolaan terumbu karang melalui analisis Multi Criteria Decision
Making dan analisis prospektif
untuk
menghasilkan
alternatif
5
pengambilan keputusan yang terbaik untuk pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa dan sekitarnya. Kerangka pikir penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1 dengan lingkup adalah sebagai berikut : (1) mendeskripsikan kondisi lingkungan dengan mengidentifikasi perubahan suhu permukaan laut dan mendeteksi anomali suhu, (2) mendeskripsikan kondisi terumbu karang dengan melihat persentase tutupan karang keras, (3) mendeskripikan kondisi ikan dengan melihat kelimpahan jenis ikan dan keanekaragamannya, (4) mendeskripsikan kondisi hasil tangkapan nelayan dengan melihat produksi ikan berdasarkan alat tangkap, (5) menganalisis hubungan parameter suhu dengan tutupan karang keras, (6) menganalisis perubahan sumberdaya ikan, (7) menganalisis perubahan pendapatan nelayan, dan (8) menyusun rekomendasi pengelolaan ekosistem terumbu karang.
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang Terumbu karang merupakan struktur di dasar laut berupa deposit kalsium karbonat di laut yang dihasilkan terutama oleh hewan karang. Karang adalah hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam Filum Coelenterata (hewan berongga) atau Cnidari, dan yang disebut sebagai karang (coral) mencakup karang dari Ordo scleractinia dan Sub kelas Octocorallia (kelas Anthozoa) maupun kelas Hydrozoa. Karang batu (Scleractina) merupakan penyusun yang paling penting dalam proses pembentukan terumbu karang (reef building corals). Terumbu karang merupakan koloni dari ribuan hewan kecil yang disebut dengan polip yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung. Secara lebih detail anatomi dari karang dapat dilihat pada Gambar 2. Bagian-bagian tubuh polip terdiri atas: (1) mulut dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi menangkap mangsa serta alat pertahanan diri, (2) rongga tubuh (coelenteron) yang merupakan saluran pencernaan (gastrovascular), (3) dua lapisan tubuh yaitu ektodermis dan endodermis yang lebih umum disebut gastrodermis karena berbatasan dengan saluran pencernaan.
Gambar 2 Anatomi polip karang (Levington 1995) 2.1.1. Asosiasi Karang dengan Zooxanthellae Pertumbuhan dan kelangsungan hidup koloni karang sangat tergantung pada simbiosisnya dengan zooxanthelae. Zooxanthellae merupakan tumbuhan bersel satu yang termasuk kedalam jenis dinoflagellata yang hidup di dalam jaringan karang. Zooxanthellae menghasilkan oksigen dan senyawa organik
7
melalui fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang menghasilkan komponen inorganik berupa nitrat, fosfat, dan karbon dioksida untuk keperluan hidup zooxanthellae. Adanya proses fotosintesa menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida dan merangsang reaksi kimia sebagai berikut : CO 2 + H 2 O ⇔ H 2 CO 3 ⇔ H+ + HCO3- ⇔ 2H+ + CO32Diambil dari perairan Ca2+ + 2HCO3- ⇔ Ca(HCO 3 ) 2
⇔ CaCO3 + H 2 CO 3
Karang memanfaatkan karbon yang terikat melalui proses fotosintesis yang menjadi salah satu sumber makanannya. Fotosintesa oleh algae yang bersimbiosis
membuat karang pembentuk terumbu menghasilkan deposit cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, kira-kira 10 kali lebih cepat daripada karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatipik) dan tidak bersimbiose. 2.1.2. Distribusi dan Faktor Pembatas Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang dapat dijumpai di kawasan tropis dan subtropis, dengan batas sebaran di sekitar perairan dangkal laut tropis, antara 30 °LU dan 30 °LS. Kehidupan karang dibatasi oleh kedalaman, biasanya kurang dari 25 m. Pertumbuhan maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang dari 10 m, karena sifat hidupnya maka terumbu karang banyak dijumpai di Indonesia (Dahuri et al. 2001). Distribusi dan pertumbuhan ekosistem terumbu karang tergantung dari beberapa parameter fisik, antara lain : (1) Kecerahan, tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan kemampuan membentuk terumbu (CaCO 3 ) juga berkurang. (2) Temperatur, terumbu karang tumbuh optimal pada kisaran suhu perairan laut rata-rata tahunan antara 23- 250C. Karang hermatifik jenis tertentu dapat bertahan pada suhu dibawah 200C derajat selama beberapa waktu dan dapat mentolerir suhu sampai 360C, (3) Salinitas, spesies karang peka terhadap perubahan salinitas yang besar. Umumnya terumbu karang tumbuh baik di sekitar wilayah pesisir pada salinitas 30-35‰. (4) Sirkulasi arus dan sedimentasi, arus diperlukan dalam proses pertumbuhan karang dalam hal menyuplai makanan berupa mikroplankton. Arus juga berperan dalam proses pembersihan dari endapan-endapan material dan menyuplai oksigen yang berasal
8
dari laut lepas. Partikel sedimentasi dapat menutupi permukaan terumbu karang, sehingga berdampak negatif terhadap hewan karang dan biota yang hidup pada terumbu karang (Nybakken 1997). 2.1.3. Ikan Karang Interaksi antara ikan karang dengan terumbu karang sebagai habitat sangat erat. Kerusakan terumbu karang akan mengakibatkan penurunan jumlah populasi ikan diperairan karang. Keberadaan ikan-ikan karang sangat dipengaruhi oleh kesehatan terumbu karang yang ditunjukkan oleh persentase tutupan karang (Hutomo & Adrim 1986). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Choat & Bellwood (1991) menyimpulkan bahwa terdapat 3 jenis pola interaksi antara ikan dengan terumbu karang, yaitu : (1) interaksi langsung sebagai tempat berlindung dari predator terutama bagi ikan yang masih muda, (2) interaksi dalam mencari makanan meliputi hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup di karang termasuk alga, dan (3) interaksi tak langsung akibat struktur karang, kondisi hidrologi dan sedimen. English et al. (1997) mengelompokkan ikan karang menjadi (3) tiga kategori yaitu : 1. Ikan target, yaitu ikan ekonomis penting dan biasa ditangkap untuk konsumsi. Kelompok ikan ini diwakili oleh famili Serranidae (ikan kerapu), Lutjanidae (ikan kakap), Lethrinidae (ikan lencam), Nemipteridae (ikan kurisi), Siganidae (ikan beronang), Haemulidae (ikan bibir tebal), Scaridae (ikan kakak tua), Caesionidae (ikan ekor kuning) dan Acanthuridae (ikan pakol). 2. Ikan indikator, yaitu ikan karang yang dinyatakan sebagai indikator kelangsungan hidup terumbu karang. Hanya satu yang termasuk dalam kelompok ikan indikator yaitu famili Chaethodontidae (ikan kepe-kepe). 3. Ikan utama (mayor), yaitu ikan yang berperan dalam rantai makanan, biasanya berukuran kecil (5 - 25 cm), karakteristik pewarnaan yang beragam dan cerah sehingga dikenal sebagai ikan hias, sebagai contohnya famili Pomacentridae (ikan betok laut), Apogonidae (ikan serinding), Labridae (ikan sapu-sapu) dan Blennidae (ikan peniru). Hal yang berbeda dinyatakan oleh Blum (1989) in Mireille & Vivien (2000) bahwa secara umum Chaetodontidae merupakan pemakan koral, namun
9
tidak semua Chaetodontidae merupakan corallivores. Beberapa Chaetodontidae merupakan zooplanktivores atau prey pada noncoralline invertebrate dan hanya 2 sub genera yang exclusive corallivores yaitu Corallochaetodon dan Citharoedus (Gambar 3).
Gambar 3 Feeding behavior Chaetodonthidae (Blum 1989 in Mirella & Vivien 2000)
2.2. Fungsi Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang tersebar di hampir dua per tiga garis pantai Indonesia, merupakan potensi sumber daya alam yang tidak ternilai harganya secara langsung maupun tidak langsung baik dari segi ekologi maupun ekonomi. 2.2.1. Fungsi Ekologi Ekosistem terumbu karang menyumbang berbagai biota laut seperti ikan karang, mollusca, crustacean (Cesar 2000). Secara alami, terumbu karang dengan ekosistem pesisir lainnya, merupakan habitat bagi berbagai jenis biota laut untuk melakukan pemijahan, peneluran, pembesaran anak, makan dan mencari makan, terutama spesies yang memiliki nilai ekonomis penting. Diperkirakan lebih dari 2500 jenis ikan dan 500 jenis karang yang hidup di dalamnya. Terumbu karang berfungsi menyediakan jasa biologi sebagai habitat dan suport mata rantai kehidupan, jasa biokimia (fiksasi nitrogen), jasa informasi (pencatatan iklim) dan jasa sosial budaya sebagai penyedia nilai keindahan, rekreasi dan permainan (Moberg & Folke 1999), serta pelindung pantai dari gelombang. 2.2.2. Fungsi Ekonomi Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem pantai yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Menurut Munro & William in Dahuri et al.(2001) dari perairan yang terdapat ekosistem terumbu karang pada kedalaman 30 m setiap
10
kilometer perseginya terkandung ikan sebanyak 15 ton. Hampir sepertiga spesies ikan laut dunia berada pada ekosistem terumbu karang (Mc Allister 1991 in Moberg & Folke 1999) dan dari perdagangan ikan hias laut saja menghasilkan nilai USD 20 - 40 juta/tahun (Wood 1985 in Moberg & Folke 1999). Terumbu karang memberikan kontribusi yang tinggi ke perikanan, yaitu menjamin rantai makanan, siklus hidup dan produktivitas serta penangkapan ikan di perairan lepas pantai dimana produktivias karang yang tinggi mendukung kehadiran spesies ikan laut lepas (Clark 1992 in Mann 2000). Ikan, udang, kepiting, bulu babi, teripang dan biota lain pada ekosistem terumbu karang dimanfaatkan manusia untuk dikonsumsi. Potensi keuntungan bersih per tahun per km² dalam kondisi baik di Indonesia dan Filipina mencapai kisaran USD20 000 151 000 untuk kegiatan perikanan dan perlindungan pantai, sedangkan potensi pariwisata dan estetika diestimasikan sebesar USD23 100 - 270 000 (Tabel 1). Tabel 1 Potensi keuntungan bersih per tahun per Km2 dari terumbu karang dalam kondisi baik di Indonesia dan Filipina No 1 2 3 4 5
Penggunaan sumberdaya
Perikanan lestari (konsumsi lokal) Perikanan secara lestari (ikan hidup) Perlindungan pantai Pariwisata dan rekreasi Nilai estetika dan keanekaragaman hayati Total perikanan dan perlindungan pantai Total potensi pariwisata dan estetika) WRI (World Resources Institute) 2002
Kisaran produksi 0 - 30 ton 0.5 - 1 ton 100 - 1000 individu 600 - 2000 individu
Potensi keuntungan bersih per tahun (USD) 12 000 - 36 000 2 500 - 5 000 5 500 - 110 000 700 - 111 000 2400 -8000 20000 - 151 000 23 100 - 270 000
Driml (1994) in Moberg & Folke (1999) mengestimasi nilai ekonomi terumbu karang dari kegiatan wisata di Great Barrier Reef mencapai AUS 682 juta/tahun, kegiatan wisata di Caribia tahun 1990 sebesar USD 8 900 juta dan mempekerjakan lebih dari 350 000 orang (Dixon et al. 1993 in Moberg & Folke 1999). Tabel 2, memberikan gambaran bahwa terumbu karang mempunyai nilai penting dan manfaat dalam banyak bidang, seperti : perikanan (Andersson & Ngazi 1995, Berg et al.1998, De Groot 1992, Hodgson & Dixon 1988 in Moberg & Folke 1999), perlindungan pantai, penyedia biota untuk perdagangan akuarium dan ikan hidup, waste assimilation, penelitian, pendidikan, inspirasi spiritual (De Groot 1992 in Moberg & Folke 1999), pariwisata (Hundloe 1990 in Moberg &
11
Folke 1999), dan bahan baku konstruksi bangunan (Matton & Defoor 1985 in Moberg & Folke 1999). Tabel 2 Fungsi dan manfaat dari terumbu karang No
Penulis
1
Andersson & Ngazi 1995
2 3
Berg et al. 1998 Cesar, 1996
4
De Groot 1992
5
Dixon et al 1993 Driml 1994 Hoagland et al 1995 Hodgson & Dixon 1988 Hundloe 1990 Johannses & Riepen 1995 Matton & Defoor 1985 Mc Allister 1988 Mc Alliste 1991
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pendleton 1995 van’t Hof 1985 Wood 1985
Fungsi ekologi BioBiotik geochemical -
-
pariwisata
-
-
-
pariwisata
-
-
-
pariwisata
Penguraian limbah
Penelitian/ pendidikan
Keindahan, inspirasi, spiritual,
-
Kontrol biologi, habitat -
-
pariwisata
Penelitian -
pariwisata
Barang Perikanan, produksi kapur, bahan bangunan Perikanan, kapur Perikanan, kapur Perikanan,, hiasan, konstruksi -
Struktuk fisik -
Perlindun gan pantai Perlindun gan pantai Perlindun gan pantai
Information
Sosial/ Budaya
Perikanan Perdagangan akuarium Perikanan
-
-
Netralisasi bahan buangan -
-
-
-
-
pariwisata
Ikan hidup
-
-
-
-
rekreasi -
Karang hidup
-
-
-
-
pariwisata
Perikanan
-
-
-
-
-
Perlindun gan pantai
-
-
-
Sumber kehidupan -
Perdagangan akuarium
-
-
-
-
pariwisata
pariwisata pariwisata Sumber penghidupa n
Sumber : Molberg & Folke (1999)
2.3. Ancaman terhadap Ekosistem Terumbu Karang Kerusakan terumbu karang pada dasarnya disebabkan oleh tiga faktor yakni faktor fisik, biologis, dan aktivitas manusia (Hoegh-Guldberg et al. 2009). Faktor fisik umumnya bersifat alami seperti perubahan suhu, badai, gelombang dan bencana alam seperti gempa dan tsunami. Faktor biologis, pemangsaan oleh biota yang berasosiasi dengan terumbu karang, misalnya hewan laut mahkota berduri (Achantaster plancii). Dari ketiga faktor tersebut, faktor aktivitas manusia yang memberikan andil sangat besar terhadap kerusakan terumbu karang. Beberapa aktifitas manusia yang menyebabkan kerusakan terumbu karang : (1) penangkapan ikan tidak ramah lingkungan, pengunaan bahan peledak, sianida dan trawl akan merusak habitat ikan, (2) sedimentasi menyebabkan perairan
12
menjadi keruh dan proses fotosintesis terganggu, (3) pencemaran menyebabkan penurunan kualitas air yang menurunkan fungsi ekologis perairan, (4) eutrofikasi, (5) penambangan karang, (6) reklamasi pantai dan pengerukan pasir pantai, dan (7) aktivitas pariwisata yang tidak ramah lingkungan. 2.4. Perubahan Iklim Dunia dan Terumbu Karang Terumbu karang dan pemanasan global mempunyai keterkaitan yang erat. Pemanasan global akan menimbulkan ancaman bagi kerusakan dan pemutihan terumbu karang, diantaranya : 1. Naiknya permukaan laut. Terumbu karang dengan kondisi sehat akan mempunyai peluang lebih besar
bertahan dengan naiknya permukaan laut
yang telah diperkirakan kurang lebih 50 cm hingga tahun 2100, sebaliknya karang yang tidak sehat mempunyai kemungkinan tidak dapat tumbuh dan membangun kerangka secara normal. 2. Kenaikan Suhu. Kenaikan suhu laut 1–2°C diperkirakan terjadi tahun 2100, bahkan telah terjadi kenaikan 0.5°C selama 2 dekade terakhir di daerah tropis (Strong et al. 2000 in Wesmascot et al.2000). Kenaikan suhu tersebut akan melebihi batas toleransi hampir semua jenis karang, dapat menaikkan frekuensi pemutihan (Hoegh Guldberg 1999). Peningkatan suhu juga akan meningkatkan radiasi sinar UV karena menipisnya lapisan ozon sehingga mempengaruhi tingkat kepekaan zooxanthellae bahkan dapat merusak sel-sel fotosintesisnya. 3. Berkurangnya tingkat pengapuran. Emisi global dari gas rumah kaca meningkatkan konsentrasi karbon dioksida di atmosfir dan lautan, sehingga akan meningkatkan keasaman air,
dan menurunkan tingkat pengapuran
karang. Diprediksikan pada tahun 2050 tingkat pengapuran menurun hingga 14–30% (Hoegh-Guldberg 1999), yang mengurangi kemampuan terumbu untuk menyesuaikan diri dan pulih. 4. Perubahan pola sirkulasi lautan. Global warming dapat mempengaruhi pola sirkulasi lautan dalam skala besar yang dapat mengubah distribusi dan transportasi larva karang (Wilkinson & Buddemeier 1994 in Wilkinson 2008). Hal ini dapat berdampak pada perkembangan dan distribusi terumbu karang diseluruh dunia.
13
5. Pertambahan frekuensi kejadian cuaca yang merusak. Perubahan pola tahunan atmosfir dapat mengakibatkan berubahnya frekuensi dan intensitas badai, serta pola presipitasi. Meningkatnya badai dapat mengakibatkan peningkatan kerusakan terumbu karang dan komunitas pesisir. 2.5. Pemutihan Karang (Coral Bleaching) a. Pengertian dan mekanisme pemutihan karang Pemutihan karang merupakan gangguan terhadap hubungan simbiosis antara karang dan alga fotositesisnya (Hoegh-Guldberg 1999; Wilkinson et al. 1999 in Fine et al. 2002) sehingga warna karang menjadi pudar atau putih (Brown 1997 in Downs et al. 2002). Pemutihan karang disebabkan berbagai macam faktor, diantaranya perubahan suhu, penyinaran matahari yang berlebihan, infeksi bakteri (Stone et al. 1999 in Downs et al. 2002), tekanan lingkungan seperti peningkatan salinitas, sedimentasi, kecerahan, radiasi matahari (Fitt et al. 2001) atau kombinasi faktor-faktor tersebut. Dalam hal pemutihan karang masal yang melibatkan banyak jenis karang dan areal luas, maka kenaikan suhu air laut merupakan faktor penyebab stress utama (Hoegh-guldberg 1999; Coles & Brow 2003 in Oliver et al. 2004). Mekanisme pemutihan karang sampai saat ini masih belum banyak dimengerti, namun diperkirakan dalam kasus tekanan termal, kenaikan suhu mengganggu kemampuan zooxanthellae berfotosisntesis. Jumlah zooxanthellae berubah sesuai musim sebagaimana penyesuaian karang terhadap lingkungannya (Fitt et al. 2000), dalam keadaan normal, jaringan karang hidup mengandung kurang lebih 1-5 x 106 zooxanthellae cm-2 dan 2-10 pg klorofil a per zooxanthella. Ketika terjadi pemutihan, secara biologi karang kehilangan 60– 90% zooxanthelae dan kehilangan 50-80% pigmen fotosistesis (Glyn 1996). Karang yang mengalami pemutihan, mempunyai potensi terinfeksi penyakit lebih besar (Sokolow 2009). Secara fisiologi, mengganggu fotosintesa, produksi senyawa kimia, penurunan dan efisiensi fotosintesis zooxanthella, sedangkan secara ekologi merubah struktur komunitas karang, menurunkan biodiversitas, produktivitas ekosistem terumbu karang, mengurangi kemampuan karang berkompetensi dengan organisme bentik lainnya, serta mengganggu proses peremajaan karang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jenis alga tertentu akan tumbuh pada jaringan karang yang
14
mati
sehingga dapat mengubah struktur komunitas pada kawasan tersebut
(Gambar 4).
Gambar 4 Diagram proses pemutihan karang (http://www.gbrmpa.gov.au [08-03-2010])
Perbedaan diantara spesies dalam kepekaannya terhadap gangguan merupakan aspek kritis dari dinamika komunitas, yang dapat mengarah pada perubahan struktur komunitas dan keberagaman spesies (Hughes & Connell 1999 in Marshall & Baird 2000, Mc Clanahan 2004). Meskipun, tidak semua spesies terpengaruh langsung oleh adanya pemutihan karang (Cheal et al. 2008), namun perubahan arah arus akan mempengaruhi supplai nutrien dan plankton yang akan mempengaruhi rantai makanan dan dinamika populasi ikan pada suatu kawasan (Cheal et al. 2007), sedangkan peningkatan suhu akan secara langsung dapat meningkatkan mortalitas larva ikan (Gagliano et al. 2007). Matinya karang akan mengubah komposisi dan dinamika kehidupan ekosistem. Spesies ikan yang memanfaatkan terumbu karang sebagai tempat perlindungan, akan terekspose dan lebih mudah dimangsa predator. Jenis ikan tertentu yang memanfaatkan karang sebagai sumber makanannya dengan memakan polip karang seperti butterfly fish akan mengalami penurunan yang signifikan dan bahkan mulai menghilang, sementara spesies tertentu lainnya meningkat (Bergman & Öhman 2001), berubah komposisinya menjadi lebih banyak ikan herbivora dibandingkan dengan ikan karnivora (Mohammed & Mohundo 2002). Cole et al. 2009 memonitor perubahan perilaku dari ikan pemakan koral Labrichthys unilineatus (Labridae) dan Chaetodon baronessa (Chaetodontidae).
Tiga hari setelah pemutihan terjadi peningkatan grazing,
namun setelah 7 hari grazing menurun drastis.
15
b. Kejadian pemutihan karang Kejadian pemutihan karang telah terjadi berulang-ulang (tahun 1983, 1987, 1991, 1995), yang melanda 60 negara pada kawasan tropis di Samudra Pasifik dan India, serta di Laut Karibia (Wesmascot et al. 2000). Diperkirakan pada tahun 2010, akan terjadi kerusakan karang sebesar 40% dan apabila kenaikan suhu terus berlanjut maka 58% terumbu karang akan hilang (Wilkinson 2008). Pemutihan karang telah mengakibatkan kematian karang 70–99% di kawasan timur Afrika, Arab (kecuali Laut Merah bagian utara), Kep. Komoros, sebagian Madagaskar, Kep. Seychelles, selatan India, Sri Langka, Kep. Maldiva dan Kepulauan Chagos (Linden & Sporrong 1999). Pemutihan karang juga menyerang TN Biscayne, Florida (89%), Puerto Rico (50 - 75%), Kep.Virgin, Kuba (Wilkinson et al. 1999), dan Great Barrier Reef dengan kematian karang mencapai 70–80% (Goreau et al. 2000). Kawasan Asia, seperti
Filipina, Papua Nugini dan Indonesia juga
mengalami pemutihan. Arus hangat yang berasal dari Laut China Selatan yang mengalir menuju Laut Jawa, Kepulauan Riau hingga Lombok pada tahun 1997/1998, menyebabkan terjadinya pemutihan karang pada kawasan timur Sumatera (Kep. Riau), Jawa (Kep. Seribu dan Karimunjawa), Bali (Menjangan, Tulamben, Amed), dan Lombok. Tercatat pula pemutihan karang di Karimunjawa mencapai 43 % pada kedalaman 3 m khususnya jenis Acropora dan Galaxea, sedangkan jenis Pachyseries, Hydnopora dan Galaxea tingkat kerusakannya 1 – 25% (Manuputty & Budiyono 2000). Tercatat pula, terumbu pada kawasan Indonesia bagian tengah selamat karena naiknya air dingin dari bawah laut. c. Adaptasi karang terhadap perubahan iklim Penelitian menunjukkan adanya perbedaan kepekaan terhadap perubahan suhu, karang dengan pertumbuhan cepat
(Acropora dan Pocillopora) lebih
banyak mengalami gangguan, apabila dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan lambat (Poritid dan Faviid) (Marshall & Baird 2000). Daya tahan koral ditentukan oleh bentuk fisiologisnya misalnya Scleractinian corals lebih fleksibel dibandingkan dengan Octocorals (Baker & Romanski 2007) termasuk dengan simbionnya zooxanthellae (Obura 2009 dan Baird et al.2007).
16
Pemutihan karang yang ekstensif dan masif, pada umumnya bertepatan dengan kehadiran udara panas dan anomali iklim seperti El Nino 1982/83 dan 1997/98, namun ada pula fenomena pemutihan karang terjadi tanpa kehadiran anomali tersebut. Hasil rekonstruksi Hadile &Ridd (2002) di salah satu gugus karang Great Barrier Reef menunjukkan bahwa fenomena pemutihan karang terjadi apabila suhu laut pada tahun tertentu lebih tinggi 0.37 ºC dari suhu laut tahun sebelumnya dan untuk menghindari terjadinya pemutihan, karang melakukan mekanisme aklimatisasi sebagai bentuk proses penyesuaian diri terhadap lingkungan. Hal tersebut sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Jos C Mieog et al. (2009), dimana simbiosis antara karang dan alga berfilogenik merupakan kombinasi dengan toleransi suhu yang besar. Ketika terjadi peningkatan suhu laut, alga yang tidak tahan terhadap perubahan suhu tinggi akan pergi meninggalkan karang dan selanjutnya akan pulih kembali ketika penghuninya yang secara alami digantikan simbion alga yang lebih toleran. Hal menarik, daerah yang telah terkena pemutihan karang tahun 1983, 1987, 1992, dan 1993, selamat dari peristiwa pemutihan karang tahun 1997, sementara daerah yang tidak pernah terkena sebelumnya mengalami kerusakan (Goreau et al. 2000). Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Obura (2004), yang merumuskan suatu hipotesis kerangka hubungan antara perubahan iklim dan ketahanan spasial dari pemutihan karang (Gambar 5).
Gambar 5
Hipotesis kerangka ketahanan spasial hubungan perubahan iklim dan terumbu karang (Obura 2004)
17
e. Identifikasi pemutihan karang Anomali suhu permukaan laut dapat digunakan untuk melihat resiko kejadian pemutihan karang (Strong e al. 1997 in Marshall & Baird 2000). Done et al. (2003) dan Mc Clanahan et al. (2009) menggunakan Degree Heating Weeks (DHWs) yang dikeluarkan NOAA untuk mencari hubungan antara perubahan iklim dengan pemutihan karang (Gambar 6), yang ternyata terdapat hubungan antara peningkatan suhu dengan pemutihan karang. Peningkatan temperature 1°C dalam waktu lebih dari empat minggu akan mengakibatkan stres pada terumbu karang dan peningkatan suhu 2°C dalam waktu tiga minggu akan mengakibatkan pemutihan karang.
Waktu (lama pemanasan)
Gambar 6 Grafik hubungan antara anomali suhu dengan lama waktu pemanasan (Marshall & Schuttenberg 2006) Secara lebih rinci status hubungan antara anomali suhu dan status level pemutihan karang dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Status level pemutihan karang No Level pemutihan 1
No stress
2
Bleaching watch
Hot spot dan Degree of Heating Week (DHWs) Hot spot ≤ 0 0 < Hot spot < 1
3 4 5
Bleaching warning
1 ≤ Hotspot and 0 < DHWs < 4
Bleaching Alert Level 1 Bleaching Alert Level 2
1 ≤ Hotspot and 4 ≤ DHWs < 8
Sumber : NOAA (2006)
1 ≤ Hotspot and DHWs ≥ 8
Keterangan Koral dalam kondisi baik tanpa tanda-tanda stres Temperatur berada di atas suhu rata-rata maksimum, tapi koral belum mengalami stres Fase awal stres karang karena perubahan suhu Koral stres, mulai menunjukkan tanda pemutihan Koral stres, tanda pemutihan makin parah dan menuju kematian
18
2.6. Nilai Ekonomi Pemutihan Karang Wilkinson et al.1999 melakukan estimasi nilai ekonomi yang hilang akibat pemutihan karang dengan membuat 2 alternatif skenario yaitu optimistik dan pesimistik. Asumsi yang digunakan skenario optimistik adalah : (1) terjadi sedikit perubahan terhadap lama waktu kunjungan, penurunan kunjungan wisata yang tidak mempengaruhi penghasilan pekerja sektor wisata (sedikit penurunan); (2) komposisi spesies ikan tangkapan mengalami sedikit perubahan (produksi ikan tangkapan yang didominasi ikan herbivora, penurunan jumlah ikan hias); (3) fungsi terumbu karang sebagai perlindungan pantai mengalami sedikit perubahan bahkan tidak terpengaruh dengan adanya pemutihan karang. Asumsi yang digunakan dalam skenario pesimistik adalah : (1) terjadi perubahan terhadap lama waktu kunjungan, penurunan kunjungan wisata menurunkan jumlah penghasilan pekerja sektor wisata; (2) produksi ikan tangkapan mengalami penurunan cukup besar dengan adanya pemutihan karang; (3) fungsi terumbu karang sebagai perlindungan pantai mengalami penurunan, bahkan mengakibatkan terjadinya erosi pantai. Mengacu pada 2 skenario tersebut diestimasikan nilai ekonomi akan hilang akibat adanya pemutihan karang terhadap kegiatan pariwisata, perikanan dan lainnya. (1) Kegiatan Wisata Terumbu karang yang menarik dan sehat akan menjadi daya tarik utama wisatawan khususnya kegiatan penyelaman. Pemutihan karang, dalam jangka pendek memberikan efek dramatis terhadap kegiatan wisata. Kerugiaan yang timbul dari pemutihan karang mencakup a) penurunan kunjungan wisatawan, b) berubahnya tujuan wisata, c) penurunan pendapatan masyarakat, d) penurunan nilai kepuasan wisatawan, e) penurunan nilai keindahan yang merubah status dan reputasi suatu kawasan. Pemutihan karang telah mengakibatkan kerugian cukup besar bagi kegiatan pariwisata di Zanzibar khususnya penyelaman turun 20%. Efek langsung yang timbul dari pemutihan karang terhadap kegiatan pariwisata di Zanzibar, Tanzania (USD 3-4.6 juta), Mombasa, Kenya (USD 13 - 20) dan penurunan kesejahteraan (Zanzibar USD 1.88 - 2.82 juta, Mombasa USD 10.06 - 15.09 juta (Schuttenberg 2001). Sedangkan untuk Kenya dan
19
Tanzania, berdasarkan hipotesis WTP (Willingness to pay), financial cost dari pemutihan karang di Zanzibar pada tahun 1998-1999 diperkirakan USD 3.8 juta, sedangkan untuk Mombasa sebesar USD 29.2 juta. Wisata dengan menggunakan kapal kaca dan snorkeling di Sri Lanka mengalami kemerosotan yang signifikan. Kerugian yang timbul akibat pemutihan karang pada aktivitas penyelaman di Palau ditaksir mencapai USD 350 000 dalam setahun. Nilai ekonomi yang hilang dari kegiatan wisata di Great Barrier Reef sebesar USD 1.5 juta, USD 2.5 juta dari terumbu karang di Florida (Birkeland 1997) dan USD 140 juta dari terumbu karang Caribia (Jameson et al. 1995). Sementara itu, Cesar (2000) menyatakan bahwa nilai kerugian akibat pemutihan karang dari kegiatan pariwisata di
El Nido,
Philippina ditaksir berkisar USD 6 - USD 7 juta tergantung pada suku bunga, dan apabila kerusakan tersebut bersifat permanen maka nilai kerugiannya akan lebih tinggi (Tabel 4). Tabel 4 Total nilai estimasi kerugian dari kegiatan wisata dengan adanya pemutihan karang di El Nido berdasarkan Net Present Value (NPV) selama periode 2000 - 2025 (000 USD) Keterangan Belanja wisata Biaya resort Total
Nilai kehilangan (USD)
NPV permanen 3% suku 9% suku bunga bunga
NPV tidak tetap 3% suku 9% suku bunga bunga
10 000
179
99
49
40
1500 000 1510 000
26.815 26.994
14.893 14.992
7.349 7.398
5.971 6.010
Sumber : Wilkinson et al.1999
(2) Kegiatan Perikanan Penghitungan nilai kerugian untuk kegiatan perikanan relatif lebih sulit dibandingkan dengan pariwisata. Pemutihan karang akan memberikan dampak secara langsung terhadap kegiatan pariwisata, nilai keindahan terumbu karang menjadi berkurang sehingga secara langsung mengakibatkan kujungan wisatawan berkurang. Sedangkan perikanan, pemutihan karang tidak memberikan efek secara langsung, namun jangka panjang. Berdasarkan studi yang dilakukan Mc Clanahan & Pet Soede (2000) di Kenya menunjukkan adanya kecenderungan mengacu pada skenario optimistik, yang mana terlihat tidak adanya hubungan yang signifikan antara
20
pemutihan karang dengan penurunan produksi perikanan di Kenya. Kenaikan suhu
dan pemutihan karang
diduga memberikan pengaruh terhadap
perubahan komposisi dan kelimpahan ikan. Dengan terjadinya perubahan struktur komunitas karang yang lebih didominasi oleh ikan herbivora, secara ekonomi cenderung merugikan nelayan tradisional karena dipasaran harga ikan herbivora relatif lebih rendah dibanding dengan jenis ikan lainnya (Wesmascot et al. 2000). Efek pemutihan karang terhadap hasil tangkapan ikan akan lebih tampak apabila terdapat kombinasi antara pemutihan karang dengan penangkapan ikan berlebih. Gambar 7 merupakan kerangka hipotesis perubahan iklim global terhadap ekologi dan ekonomi.
Gambar 7 Kerangka hipotesa aliran perubahan iklim global terhadap ekologi dan ekonomi (diadopsi dari Cesar (2000) dan Sokolow (2009))
21
Penelitian yang dilakukan di Pulau Zanzibar dan Mafia, Tanzania menyebutkan bahwa tutupan karang di Mafia mengalami penurunan dari 73% menjadi 19% dan di Zanzibar juga mengalami penurunan dari 46 % menjadi 32%. Selanjutnya, dilaporkan pula akibat dari pemutihan karang belum memberikan efek yang nyata terhadap hilangnya pendapatan masyarakat, efek yang signifikan akan terjadi apabila masyarakat hanya mengantungkan hidupnya pada terumbu karang. (3) Penyedia Jasa Lainnya Penyedia jasa lainnya : mengasumsikan nilai terumbu karang sebagai perlindungan pantai mengacu pada Wilkinson et al. 1999 sebesar USD 174/ha/tahun dan sebagai penyedia jasa lainnya sebesar USD 97/ha/tahun. Berdasarkan skenario pesimistik, nilai total kerusakan selama lebih dari 20 tahun diestimasikan sebesar
USD 8 juta, erosi pantai (USD 2.2 juta),
pariwisata (USD 3.3 juta), dan perikanan (USD 1.4 juta). Sedangkan berdasarkan optimistik skenario
nilai kerugian yang timbul diperkirakan
mencapai USD 0.5 juta. Tabel 5 menjelaskan estimasi secara keseluruhan nilai yang hilang akibat adanya pemutihan karang di Indian Ocean. Berdasarkan optimistik skenario nilai ekonomi yang hilang sebesar USD 608 juta, sedangkan pesimistik skenario sebesar USD 8 026 juta. Tabel . 5. Estimasi efek pemutihan karang berdasarkan perhitungan valuasi ekonomi di Indian Ocean 20 tahun kedepan. No 1 2 3 4
Keterangan
Sumber makanan (Perikanan) Pariwisata dan rekreasi Perlindungan pantai Jasa lainnya Total Sumber : Wilkinson et al. 1999
Skenario Optimistik (USD Milyar) 0 494 0 114 608
Skenario Pesimistik (USD Milyar) 1 361 3 313 2 152 1 200 8 026
2.7. Analisis Alokasi Upaya dan Perilaku Nelayan Pengelolaan suatu sumberdaya perikanan yang berkelanjutan harus mempertimbangkan aspek ekologi, biologi maupun sosial, termasuk didalamnya integrasi antara dinamika armada perilaku serta regulasi atau peraturan yang berlaku. Hilborn (1985) in Bene & Tewfik (2000) menggambarkan bahwa dinamika dalam kehidupan nelayan sangat mempengaruhi hasil tangkapan
22
nelayan di Canada. Pada kasus tersebut terlihat bahwa penurunan sumberdaya ikan Cod dan Salmon pada kawasan tersebut terjadi bukan karena ketidaktahuan nelayan dalam mengelola stok ikan, tetapi lebih karena faktor luar dan kurangnya pemahaman terhadap bioekologi kedua ikan tersebut serta pengaturan nelayan. Sementara, Glantz & Thompson (1981) in Bene &Tewfik (2000) menunjukkan dengan pengelolaan perikanan berkelanjutan akan terlihat penurunan tangkapan ikan ancovy tahun 1971 bukan disebabkan adanya El Nino melainkan karena penerapan regulasi penangkapan ikan yang mengurangi jumlah armada dan alat tangkap. Pendekatan analisis sistem dalam menentukan alokasi upaya penangkapan dan perilaku nelayan merupakan kerangka analisis multidisipliner terpadu untuk menganalisa interaksi antara komponen berbeda dari pengusahaan suatu sumberdaya perikanan. Pemahaman nelayan terhadap perubahan biologi, ekonomis dan kebijakan dapat digunakan sebagai masukan upaya pengelolaan sumberdaya. Keistimewaan analisis ini adalah data yang digunakan dapat berupa data harian, bulanan, atau tahunan tergantung kepada fenomena yang diamati. Disamping itu, dapat juga digunakan data kuantitatif seperti data hasil penelitian sebelumnya dan data pribadi yang tidak dipublikasikan untuk menggambarkan karakteristik sosial dari objek pengamatan (Bene & Tewfik 2000). 2.8. Strategi Mitigasi dan Adaptasi terhadap Pemutihan Karang Pengelolaan adaptif dilakukan untuk menghadapi perubahan dan ketidak pastian akibat dari proses alam dan sistem sosial. Mitigasi terhadap perubahan iklim global juga merupakan suatu hal yang harus dilakukan mengingat (1) perubahan iklim tidak bisa dihindari secara keseluruhan, (2) pemutihan karang datangnya tidak terduga, (3) antisipasi dan adaptasi akan lebih efektif dan hemat dibandingkan menanggulangi. Penanganan perubahan iklim global dan pemutihan karang membutuhkan manajemen variabilitas iklim secara efektif yang pada saat bersamaan mengantisipasi dampak perubahan iklim global jangka-panjang secara komprehensif. Pendekatan lintas-sektor baik pada tingkat nasional, regional, maupun lokal merupakan salah satu hal yang penting dalam perencanaan dan penentuan strategi mitigasi dan adaptasi. Upaya adaptasi dan mitigasi dalam menghadapi perubahan iklim dapat dilakukan melalui peningkatan ketahanan
23
sistem dalam masyarakat dan Ecosystem-Based Management merupakan salah satu manajemen pendekatan inovatif untuk mengatasi masalah tersebut karena menganggap seluruh ekosistem, termasuk manusia dan lingkungan, merupakan isu pengelolaan sumber daya yang tidak dapat dipisahkan dalam pelaksanaannya. Gambar 8. merupakan kerangka untuk mengatasi efek global climate change khususnya pemutihan karang berbasis adaptasi dan mitigasi melalui peningkatan ketahanan ekologi dan sosial.
Gambar 8 Kerangka hipotesis untuk mereduksi kerentanan terumbu karang akibat peningkatan suhu (Marshall & Schuttenberg 2006).
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Penelitian ini termasuk kedalam penelitian survei (Hasan 2002). Observasi dilakukan terhadap responden dari populasi nelayan untuk mengetahui kondisi, sifat dan fenomena pemutihan karang. 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Fokus penelitian ini adalah mengetahui kondisi eksisting secara ilmiah efek pemutihan karang terhadap ekologi dan ekonomi. Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional (TN) Karimunjawa, Jawa Tengah, dengan pertimbangan : (1) terumbu karang dikawasan ini berperan menunjang perekonomian, sehingga kerusakan terumbu karang akan berdampak terhadap ekonomi, (2) pemutihan karang di Karimunjawa diduga karena kenaikan suhu, (3) merupakan Taman Nasional yang mencakup wilayah perairan laut dan darat, (4) mayoritas penduduknya adalah nelayan. Penelitian dilaksanakan pada April - Mei 2010. 3.3. Metode Pengumpulan Data 3.3.1. Data Biofisik Data biofisik dibatasi pada data suhu permukaan laut, tutupan karang dan visual sensus ikan. Data suhu permukaan laut diperoleh dari World Ocean Database NOAA. Tutupan karang dan visual sensus ikan merupakan data sekunder hasil survey TN Karimunjawa, WCS, MDC UNDIP, dan Reef Check Indonesia dari tahun 1997 - 2006. Secara lebih jelas mengenai metode pengumpulan data biofisik dapat dilihat pada Tabel 6 dan ruang lingkup spasial penelitian disajikan pada Gambar 9. Tabel 6
Jenis dan sumber data biofisik
No Jenis Data 1. Suhu permukaan laut
Sumber Data NOAA
2.
Data tutupan karang
3.
Data ikan karang
BTN Karimunjawa MDC UNDIP Reefcheck Indonesia BTN Karimunjawa MDC UNDIP Reefcheck Indonesia
Satuan ºC
%
Ind/1000m²
Metode Pengumpulan Data Sortasi data dari citra satelit NOAA dalam format HDF4 Studi literatur/laporan (transek kuadrat) Studi literatur/laporan (transek kuadrat)
25
GAMBAR 9. PETA ..................77777
26
3.3.2. Produksi Ikan Pengamatan ikan hasil tangkapan dilakukan dengan mendata hasil tangkapan, alat tangkap, komposisi spesies dan harga spesies ikan tertentu. Data yang digunakan adalah data time series hasil tangkapan ikan sebelum dan sesudah pemutihan karang (dari tahun 1996 – 2008). Data produksi ikan diperoleh dari Pelabuhan Perikanan Pantai Karimunjawa. 3.3.3. Sosial Ekonomi Pengumpulan data primer untuk kategori sosial ekonomi dilakukan dengan wawancara terhadap beberapa responden kunci yaitu nelayan dari desa-desa TN Karimunjawa. Kerangka pengambilan contoh sosial ekonomi disajikan pada Gambar 10, . dari 2944 nelayan yang ada diambil sebanyak 61 responden yang dijadikan target wawancara. Data yang diambil antara lain komponen sosial ekonomi nelayan, pendapatan nelayan, aktivitas penangkapan ikan, aktivitas pemanfaatan ekosistem terumbu karang
oleh
masyarakat, aspek produksi,
tingkat harga, biaya operasi dan kelembagaan nelayan serta data karakteristik masyarakat yaitu : umur, mata pencaharian, pendapatan, pendidikan persepsi dan partisipasi masyarakat dalam pengembangan perikanan.
Gambar 10
Kerangka pengambilan contoh sosial ekonomi
Interview juga dilakukan dengan pengambil kebijakan, tokoh masyarakat, LSM serta pakar yang berkompeten dalam bidang perikanan. Jenis data sosial ekonomi, sumber data dan alat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 7.
27
Tabel 7 No. 1.
2.
3.
Responden Data Primer Nelayan
Pengambil kebijakan
Jenis dan sumber data sosial ekonomi Jenis Data
a. Identitas responden b. Jumlah tanggungan keluarga c. Dinamika penangkapan ikan d. Pengetahuan mengenai pemutihan karang e. Persepsi terhadap skenario adaptasi dan mitigasi pengelolaan TN Karimunjawa a. Identitas responden b. Program PEMDA dan BTNKJ c. Pengetahuan mengenai pemutihan karang d. Persepsi terhadap skenario adaptasi dan mitigasi pengelolaan TN Karimunjawa
Data Sekunder Kondisi umum a. Keadaan geografis (Letak daerah dan lokasi dan luas wilayah) b. Keadaan iklim penelitian c. Keadaan administrasi d. Keadaan sosial ekonomi (Demografi dan Aksesibilitas) e. Potensi kawasan dan ekosistem f. Peta pendukung
Sumber Data
Alat yang Digunakan
Wawancara
Kuisioner
Wawancara
Kuisioner
Studi literatur
BPS Kab.Jepara BAPPEDA Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Jepara BTN Karimunjawa
3.4. Analisis Data 3.4.1. Analisis Kondisi Ekologi Analisis ini digunakan untuk menjawab hipotesis terjadinya gejala penurunan sumberdaya baik secara ekologi sebagai akibat adanya pemutihan karang. Kondisi ekologi yang akan dianalisis, antara lain : (1) Suhu Permukaan Laut Kajian suhu permukaan laut dilakukan secara visual dalam rentang waktu tertentu. Suhu permukaan laut diperoleh dari satelit NOAA 13 dengan sensor Advance Very High Resolution Radiometer (AVHRR) dari tahun 1990 - 2009 dalam format HDF4 dengan file cortad_row04-col12.hdf yang telah disortasikan untuk wilayah kajian oleh Tim World Ocean Data Base NOAA. Data dapat di lihat pada http://data.nodc.noaa.gov/pathfinder/UserRequests/ Khoiriya/. Analisis
28
gambaran awal rekonstruksi rata-rata suhu permukaan laut diolah dengan menggunakan NOMADS Las Server. Data tersebut selanjutnya diolah dan diinterprestasikan menggunakan program Coastal watch utilities ver 3.2 untuk mengetahui anomali suhu yang terjadi dan lama waktu pemanasan (DHWs). (2) Data Tutupan Karang Analisis
data
tutupan
karang
dilakukan
secara
visual
dengan
membandingkan proporsi kemunculan living reef, non living reef dan recently killed coral (RKL) sebelum pemutihan (1997), saat pemutihan
(1999) dan
sesudah pemutihan (2001). Perbandingan antara karang keras dan karang lunak juga dilakukan untuk mengetahui perubahan komposisi substrat dasar sebelum sebelum pemutihan (1997), saat pemutihan (1999) dan sesudah pemutihan (2001). (3) Ikan Ikan yang dianalisis merupakan ikan yang mempunyai keterkaitan dengan terumbu karang yaitu familia Chaetodonthidae, Scaridae, Haemulidae, Serranidae, Lutjanidae dan Labridae. Analisis data dilakukan dengan melakukan sortasi terhadap data fish visual sensus yang dilakukan oleh MDC UNDIP dan Reef Check. Hasil análisis disajikan dalam bentuk grafik komposisi antara dengan membandingkan antara coralivore, carnivore, herbivore dan bentic intertebrata pada kondisi sebelum pemutihan (1997), saat pemutihan (1999) dan sesudah pemutihan (2001). (4) Pemutihan Karang Identifikasi lokasi pemutihan karang di Taman Nasional Karimunjawa didasarkan pada identifikasi yang telah dilakukan oleh Razak (1998) dan Manuputty & Budiyono (2000). Analisis pemutihan karang dilakukan dengan melakukan komparasi suhu permukaan laut dengan data tutupan karang keras sehingga akan diketahui adanya anomali suhu. Anomali perairan ini penting untuk mengetahui tingkat stres terumbu karang. Faktor anomali didasarkan pada penyimpangan suhu yang berada di atas 1°C. Anomali yang dikaji adalah anomali yang bersifat positif bukan anomali yang bersifat negatif, karena berdasarkan beberapa penelitian yang sebelumnya menduga bahwa pemutihan karang di TN Karimunjawa disebabkan oleh kenaikan suhu, bukan oleh penurunan suhu.
29
(5) Kecenderungan Sumberdaya Ikan Untuk menduga parameter biologis dan status sumberdaya ikan karang maka digunakan time series dari produksi dan upaya penangkapan. Data ikan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan ikan hasil tangkapan nelayan yang didaratkan di perairan Karimunjawa dari tahun 1995 sampai 2009. Analisis kecenderungan sumberdaya ikan dilakukan terhadap 4 jenis ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang yang dominan tertangkap pada kawasan penelitian ini, yaitu : (1) ikan ekor kuning (Caesio cuning, Caesionidae), (2) kerapu (Serranidae), (3) kakap merah/bambangan (Lutjanidae), dan (4) betet/kakak tua (Parrot fish, Scaridae). a. Hasil tangkapan per upaya Catch per unit of effort (CPUE) dari setiap jenis ikan yang tertangkap diklasifikasikan berdasarkan alat tangkap yang digunakan yaitu bubu (kg/orang/ trap), jaring (kg/orang/trip) dan pancing (kg/orang/trip). Hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) mencerminkan perbandingan antara hasil tangkapan dengan unit effort yang dicurahkan. Data produksi pertahun dibagi dengan upaya penangkapan pertahun untuk menghasilkan CPUE. Rumus perhitungan CPUE adalah sebagai berikut :
Keterangan : CPUE ti : CPUE pada waktu t untuk jenis ke-i (kg/orang/trip) Y ti : hasil tangkapan pada waktu t jenis ke-i (kg) E ti : upaya penangkapan pada waktu t jenis ikan ke-i (trip) b. Hasil tangkapan per unit area Analisa terhadap hasil usaha per unit area (kg/orang/Km²) yang dideterminasikan sebagai total estimasi penangkapan sesuai dengan fishing ground juga dilakukan untuk mengetahui jumlah biomasa (dalam kilogram) yang diekstrak dari suatu kawasan. Formula yang digunakan sebagai berikut : (2) Keterangan : FP : Hasil usaha per unit area (kg/orang/Km²)
30
CPUE ti : CPUE pada waktu t untuk jenis ke-i (kg/orang) Lj : Luas area fishing ground (Km²) n : Jumlah fishing ground Untuk menyeragamkan upaya-upaya penangkapan yang berbeda menjadi upaya penangkapan standar dilakukan standarisasi. Standarisasi alat tangkap dilakukan terhadap alat tangkap jaring dengan pertimbangan bahwa alat tangkap ini memiliki nilai tangkapan yang relatif besar, dengan persamaan :
Keterangan : E std : Upaya penangkapan total yang telah distandarisasi (trip) CPUE n : CPUE alat tangkap yang akan distandarisasi (kg/trip) CPUE std : CPUE alat tangkap standar (kg/trip) En : Upaya Penangkapan alat tangkap yang distandarisasi (trip) Ikan sering ditemukan mengelompok dan tidak mengikuti sebaran normal, mana akan digunakan analisis non parametrik dengan menggunakan metode statistik Spearman Rank Corelations dengan α = 0.05 untuk mendeterminasi indikasi kecenderungan kelimpahan relatif (CPUE) dan upaya tangkap per Km², dengan persamaan korelasi Sperman sebagai berikut :
Keterangan : di : selisih antara peringkat xi (data sebelum pemutihan tahun 1995 - 1997) dan yi (data keseluruhan 1995 - 2008) n : banyaknya pasangan data Interpretasi terhadap hasil produksi perikanan tangkap dibedakan menjadi dua keadaan yaitu : (1) Apabila hasil yang didapatkan menunjukkan nilai p < 0.05 maka dapat dikatakan bahwa sumberdaya ikan yang ada dalam kondisi stabil atau tidak ada perubahan (2) apabila nilai p ≥ 0.05 maka dikatakan bahwa kondisi sumberdaya ikan yang ada mengalami perubahan baik kenaikan ataupun penurunan. (6) Perubahan Hasil Tangkapan Perubahan hasil tangkapan per upaya dan hasil usaha per unit area sebelum pemutihan dan sesudah pemutihan, digunakan untuk menilai efek pemutihan karang terhadap hasil tangkapan ikan, dengan rumus sebagai berikut :
31
Keterangan : ΔCPUE : Perubahan hasil tangkapan per upaya penangkapan dari setiap jenis ikan yang tertangkap 3 tahun sebelum dan sesudah pemutihan karang (kg/orang/trip) CPUE pre : Hasil tangkapan per upaya penangkapan 3 tahun sebelum pemutihan karang (data tahun 1995 - 1997) (kg/orang/trip) CPUE post : hasil tangkapan per upaya penangkapan total 3 tahun setelah pemutihan karang (data tahun 1998 - 2000) (kg/orang/trip)
Keterangan : Δ FP : Perubahan hasil usaha per unit area dari setiap jenis ikan yang tertangkap 3 tahun sebelum dan sesudah pemutihan karang (kg/orang/trip) : Hasil usaha per unit area penangkapan 3 tahun sebelum pemutihan FP pre karang (data tahun 1995 - 1997) (kg/orang/Km²) FP post : Hasil usaha per unit area penangkapan total 3 tahun setelah pemutihan karang (data tahun 1998 - 2000) (kg/orang/ Km²) Data yang digunakan merupakan hasil tangkapan ikan sebelum dan sesudah pemutihan karang tahun 1998 dengan asumsi
tahun 1995 - 1997
merupakan data sebelum pemutihan dan sesudah 1998 - 2000 merupakan sesudah pemutihan. Prosedur t test digunakan untuk menguji perbedaan hasil tangkapan per upaya, dimana hasil yang signifikan (t hit > t (α = 0.05) menunjukkan perubahan sumberdaya berkorelasi dengan pemutihan karang. 3.4.2. Analisis Kondisi Ekonomi (1) Analisis Upaya Penangkapan dan Perilaku Nelayan Upaya penangkapan digunakan untuk menilai perilaku dari nelayan dalam menangkap ikan. CPUE juga dapat digunakan sebagai indikator untuk menduga kelimpahan suatu stok ikan. CPUE tersebut diasumsikan merupakan refleksi dari kelimpahan suatu stok ikan dalam suatu musim. Berdasarkan hasil tangkapan ikan, dapat dilakukan analisis terhadap indek musiman dan prakiraan keuntungan ekonomi (Bene &Tewfik 2000) sebagai berikut :
32
(a) Indeks Musiman (%) Perhitungan indeks musiman (Ij), dilakukan untuk membantu melihat fluktuasi kelimpahan ikan setiap bulan dalam persen (%). Tujuannya, sebagai dasar untuk mengetahui musim dengan kelimpahan maksimum dan atau minimun. Penentuan nilai Ij (%) digunakan persamaan Makridakis et al. (1983) in Bene & Tewfik (2000) sebagai berikut : ................................................................... (7) Keterangan : Ij = indeks musiman untuk bulan ke - j (j = 12 bulan), K = {1,...,K-1} adalah jumlah musim (waktu tangkap) untuk seluruh rangkaian waktu (selama 12 bulan), X j+12k = data hasil tangkapan dalam bulan ke j + 12k, dan T j+12k = nilai trend yang berhubungan dengan nilai rata-rata hasil tangkapan dalam bulan ke j +12k. (b) Prakiraan Keuntungan Ekonomi Tujuan dari analisa ini adalah untuk melihat apakah nelayan mengalokasikan upaya penangkapannya berdasarkan keuntungan atau laba yang akan diperoleh. Keuntungan ini dapat dilihat berdasarkan nilai pasar dari suatu komoditi atau jumlah hasil produksi. Prakiraan keuntungan ekonomi tidak dapat dihitung langsung tetapi dapat diperkirakan melalui perhitungan pendapatan bioekonomi/revenue per unit of effort (RPUE), dengan persamaan yang dimodifikasi dari Bene &Tewfik (2000) sebagai berikut : ................................................................ (8) Keterangan : RPUE : pendapatan per unit of effort pada waktu ke-j (asumsi untuk mencerminkan pendapatan yang diperoleh nelayan pada setiap trip penangkapan), CPUE j = hasil tangkap per usaha pada waktu ke-j (asumsi untuk memcerminkan ketersediaan atau kelimpahan ikan pada setiap waktu penangkapan), dan P = harga stok yang berlaku. Nilai CPUE j diperoleh dari persamaan : ................................................................................... ......... (9) Keterangan : C j = hasil tangkapan pada waktu ke-j dan E j = jumlah upaya pada waktu ke-j. (2) Analisis Dampak Sosial Ekonomi Perhitungan terhadap jumlah pendapatan nelayan, dilakukan untuk menduga efek pemutihan karang terhadap ekonomi masyarakat. Jumlah
33
pendapatan per trip dan laba bersih per nelayan per trip dihitung dengan menggunakan hasil tangkapan ikan dan harga dari setiap jenis ikan yang ada di pasaran, rumus yang digunakan adalah : Pi = Hi x Qi (10) Keterangan : Pi : Jumlah total pendapatan nelayan pada waktu t H i : Jumlah harga komoditas (ikan) yang berlaku dipasar (Rp/kg) Q i : Jumlah komoditas (ikan) yang diekstraksi selama waktu t (kg) Perbandingan dilakukan untuk data yang dikumpulkan 3 tahun sebelum dan setelah tahun 1998. ..................................................... (11) Keterangan : Δp : Perubahan pendapatan nelayan sebelum dan sesudah pemutihan karang P SbB : Jumlah total pendapatan nelayan 3 tahun sebelum pemutihan karang P StB : Jumlah total pendapatan nelayan 3 tahun setelah pemutihan karang 3.4.3. Penyusunan Skenario Strategi Pengelolaan Terumbu Karang Metode yang digunakan dalam menyusun strategi adaptif pengelolaan terumbu karang adalah metode analisis multi criteria disicion making (MCDM) dan analisis prospektif. (1) Analisis MCDM Analisis MCDM ini bertujuan untuk menghasilkan alternatif pengambilan keputusan yang terbaik untuk pengelolaan lingkungan kawasan Taman Nasional Karimunjawa dan sekitarnya. Pembobotan suatu alternatif dan kriteria yang diambil, disusun berdasarkan matrik pada Tabel 8. Tabel 8
Alternatif A1 A2 .... Am
Matrik Pembobotan Kriteria dalam Penentuan Prioritas Pemanfaatan Sumberdaya di Karimunjawa C1 W1 A 11 A 12 .... A m1
C2 W2 A 21 A 22 .... A m2
kriteria .... .... .... .... .... ....
Cn Wn A 1n .... .... A mn
Keterangan : A ( i = 1, 2, m) : Menunjukkan pilihan alternatif yang ada Cj (j = 1,2,n) : Menunjukkan pada kriteria dengan bobot Wj Aij (i=1..m, j=1..n) : Pengukuran keragaan dan satu alternatif Ai
34
berdasarkan pada kriteria Cj. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik SMART (simple multi attribute rating technique). Teknik SMART merupakan keseluruhan proses dari perantingan alternatif-alternatif dan pembuatan dari atribut yang ada. Tahap yang dilakukan adalah : (1) menyusun dan mengurutkan kriteria yang menjadi faktor pembatas dari pemanfaatan sumberdaya yang ada, (2) melakukan estimasi rasio kepentingan relative dari setiap atribut yang ada. Selanjutnya analisis yang ada, digabung menjadi satu dengan membuat rata-rata geometrik faktor-faktor yang menjadi pembatas setiap pemanfaatan sumberdaya dengan formulasi : ......................................................................................... (12) Keterangan : Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam penentuan prioritas pemanfaatan sumberdaya dilakukan dengan menggunakan metode skoring dan pembobotan dengan nilai-nilai ukuran kriteria pada Tabel 9. Tabel 9 Skala penilaian terhadap elemen permasalahan Skala perbandingan numerik 1 2 3
Definisi (verbal) Tidak penting Penting Sangat penting
Parameter-parameter yang menjadi indikator berdasarkan skor yang diinginkan adalah : (1) Kriteria ekologis, yang meliputi kondisi terumbu karang dan lingkungan biofisinya serta kondisi sumberdaya ikan, (2) Kriteria sosial, keharmonisan, pendidikan dan partisipasi, (3) Kriteria ekonomi meliput i produksi ikan dan pendapatan, (4) Kriteria kelembagaan meliputi lembaga pengelola dan efektivitasnya serta regulasi. (2) Analisis Prospektif Analisis prospektif digunakan untuk mengetahui kemungkinan yang terjadi di waktu mendatang. Analisis ini dilakukan dengan tujuan (1) mempersiapkan tindakan strategis, (2) melihat apakah perubahan dibutuhkan di masa depan. Analisis ini didasarkan pada jawaban responden dengan langkah sebagai berikut :
35
1. Mengidentifikasi faktor penentu dimasa depan, dengan cara: (1) mencatat seluruh elemen penting, (2) mengidentifikasi keterkaitan, (3) memilih kunci masa depan, dan (4) menentukan tujuan strategis. 2. Mendefinisikan dan menggambarkan evolusi kemungkinan masa depan, dengan tahapan : (1) mengidentifikasi bagaimana elemen kunci dapat berubah, (2) memeriksa perubahan mana yang dapat terjadi bersamaan, dan (3) menggambarkan skenario dengan memasang perubahan yang akan terjadi. Jawaban dari responden didasarkan pada skala penilaian yang telah ditentukan sebelumnya (Tabel 10). Nilai-nilai sel yang telah disepakati oleh responden dimasukkan kembali dalam program seleksi faktor dalam bentuk : (1) pengaruh langsung global, (2) ketergantungan global, (3) kekuatan global, dan kekuatan global tertimbang dan kemudian digambarkan dalam bentuk matrik hubungan faktor berdasarkan total pengaruh dan ketergantungan (Tabel 11). Hasil kombinasi beberapa faktor dibuat skenario-skenario yang mungkin terjadi di masa datang untuk kemudian dipilih skenario yang mungkin terjadi berdasarkan hasil identifikasi dari responden. Tabel 10 Skor 0
Pedoman penilaian analisis prospektif Keterangan Tidak ada pengaruh
1
Berpengaruh kecil
2
Berpengaruh sedang
3
Berpengaruh sangat kuat
Tabel 11 Matrik pengaruh dan ketergantungan faktor pada analisis prospektif DARI THDP
A
C
D
E
F
G
H
I
J
Total pengaruh
∑A yi
A B C D E F G H I J Total pengaruh
B
∑A zi
36
3.4.4. Uji Validitas dan Reabilitas Kuesioner
yang digunakan dapat
dinyatakan valid dan realibel
menggunakan uji validitas dan reabilitas. Uji validitas digunakan untuk menentukan tingkat kevalidan atau keshahihan suatu instrumen. Perhitungan validitas dilakukan dengan rumus teknik korelasi product moment (Singarimbun dan Effendi 1995), dengan formula sebagai berikut: rxy =
n∑ X i Yi − (∑ X i )(∑ Yi ) {n∑ X i − (∑ X i ) 2 }{n∑ Yi − (∑ Y ) 2 } 2
...................................... (13)
Keterangan : n : jumlah sampel, X : variabel independen, Y : variabel dependen Harga koefisien korelasi yang minimal sama dengan 0.30, semua item yang memiliki korelasi kurang dari 0.30 dapat disisihkan dan yang dimasukkan dalam alat test adalah item-item dengan korelasi diatas 0.30 dengan pengertian semakin tinggi korelasi (mendekati 1.00) maka semakin baik pula validitasnya. Uji reliabilitas digunakan untuk melihat apakah alat ukur (kuesioner) yang digunakan konsisten atau tidak. Besarnya koefisien reliabilitas berkisar antara 0.00 – 1.00, akan tetapi pada kenyataannya koefisien reliabilitas sebesar 1.00 tidak pernah dicapai dalam pengukuran karena manusia sebagai subjek pengukuran psikologis merupakan sumber kekeliruan yang potensial. Teknik perhitungan Koefisien Reliabilitas Alpha dihitung dengan formula :
ryx
k 1− =α = k −1
k
∑σ j =1
σ y2
2 xj
....................................... (14)
Keterangan: k
∑ σ : varian dari item ke -i j =1
2 xj
Keeratan hubungan digunakan kriteria Guilford (1956), yaitu: < 0.20 : hubungan sangat kecil dan bisa diabaikan, 0.20 - < 0.40 : hubungan yang kecil (tidak erat), 0.40 - < 0.70 : hubungan cukup erat, dan 0.70 - < 0.90 : hubungan erat (realibel), 0.90 - < 1.00 : sangat reliabel, 1.00 : sempurna.
25
Gambar 9
Peta lokasi penelitian biofisik dan sosial ekonomi
26
27
Hasan I. 2002. Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Ghalia Indonesia, 260 : p Jakarta. Suharsono. 1999. Bleachig event followed by mass motality of corals in Indonesian waters.Proc. 9t JSPS Joint Sem Mar, Sci, 179 –187. Peta diperbesar jadi satu saja .tabel lokasi diperbaiki............... and di beri keterangan S lokasi kajian ekologi E lokasi kajian sosial Cek lagi rumusnya pakai n atau i.... prhatikan/...
Rumus yang digunakan dalam análisis ini adalah : SST_anomali = SST - rata-rata SST climatologi harian
........ (1)
HotSpot = SST - rata-rata maksimum SST climatologi tahunan ........ (2) DHWs = 0.5 * jumlah 12 HotSpots
........ (3)
Keterangan : SST_anomali : anomali suhu perairan Hotspot : potensi tingkat stress karena pemanasan Degree of heating week (DHWs) : potensi akumulasi stress pada koral
4. GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI 4.1. Kondisi Umum Kepulauan Karimunjawa secara geografis berada 45 mil laut atau sekitar 83 kilometer di barat laut kota Jepara, dengan ketinggian 0-605 m dpl, terletak antara 50 40’39" - 50 57' 00" LS dan 1100 04' 57" - 1100 40' 00" BT, dengan luas wilayah 111 625 ha, terdiri dari luas daratan 1507.7 ha dan luas perairan 110 117.3 ha yang ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam (KPA) berdasarkan SK Menhut No. 74/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001. Hujan turun sepanjang tahun, dengan curah hujan rata-rata 3000 mm per tahun. Kepulauan Karimunjawa berada di bawah pengaruh musim kering yang lebih panjang dari pada musim basah. Curah hujan rata-rata tahunan disajikan pada Gambar 11.
bulan
Gambar 11
Grafik curah hujanan bulanan (mm) di Karimunjawa (Sumber : Kecamatan Karimunjawa dalam angka 2002)
Temperatur udara rata-rata 26-30º C, dengan suhu minimum 22ºC dan suhu maksimum 30ºC. Kelembaban nisbi antara 70-85% dengan tekanan udara berkisar pada 1012 mb. Musim kemarau terjadi pada bulan Juni - Agustus dan musim hujan terjadi pada bulan Desember - Maret. Musim peralihan pada kedua musim tersebut terjadi pada bulan September - Oktober dan April - Mei (Dinas Kelautan dan Perikanan Jepara 2006). Rata -rata penyinaran matahari sekitar 30 60% setiap harinya. Bulan Desember - Februari gelombang laut relatif besar, berkisar antara 0.4 - 1.25 m bahkan saat cuaca buruk di laut terbuka tinggi gelombang dapat mencapai > 1.7 m. TN Karimunjawa mempunyai lima tipe ekosistem yaitu hutan hujan tropis dataran rendah, hutan pantai, hutan bakau, ekosistem padang lamun, dan
38
ekosistem terumbu karang. Kawasan Karimunjawa merupakan hábitat penyu sisik dan penyu hijau. Kawasan Karimunjawa mempunyai keanekaragaman terumbu karang dan ikan yang tinggi, yaitu 64 genera karang dan 353 spesies ikan karang, (WCS Technical Report 2005) merupakan salah satu kawasan yang dapat mewakili kondisi terumbu karang yang baik untuk wilayah Indonesia Barat. Gugusan terumbu karang di Kepulauan Karimunjawa merupakan gugusan terumbu karang tepi dengan penutupan karang keras berkisar antara 6.7% hingga 68.9% dan indeks keragaman berkisar antara 0.43 hingga 0.91. Berdasarkan hasil pengamatan dan beberapa kajian yang pernah dilakukan di perairan Kepulauan Karimunjawa, kondisi terumbu karang mengalami kerusakan akibat bleaching, penggunaan potas/bom, jangkar perahu, patah terinjak yang diakibatkan oleh wisatawan ataupun penggunaan alat tangkap seperti bubu atau muroami, namun pada beberapa lokasi telah terjadi pemulihan yang ditandai dengan tumbuhnya cabang-cabang baru pada karang. 4.2. Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat 4.2.1. Demografi Kepulauan Karimunjawa merupakan salah satu kawasan yang unik dengan penghuni yang beragam berasal etnis Jawa, Madura, Bajo, Bugis, Muna, Luwu, Buton dan Mandar. Interaksi antar suku yang tinggal di Karimunjawa cukup baik dan telah terjadi perkawinan antar entis juga perpaduan budaya yang ada. Masyarakat telah tinggal di kepulauan ini jauh sebelum ditetapkan sebagai Taman Nasional. Jumlah penduduk Kecamatan Karimunjawa pada tahun 2009 sebanyak 10 273 jiwa yang terdiri dari 2 929 kepala keluarga (Tabel 12). Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Karimunjawa tahun 1995 ternyata pertambahan penduduk dalam kurun waktu 10 tahun telah mencapai 2690 jiwa (35.47%). Tabel 12 Data demografi Kecamatan Karimunjawa tahun 2009 No
1. 2. 3.
Desa
Karimunjawa Kemujan Parang
Luas Jumlah Daratan Penduduk (Ha)
KK
Kepadatan Penduduk
Lakilaki
Peremp uan
Pendidikan SD*) SLTP SLTA
4 624 4908 1530 0.94 2732 2176 3224 1626 2934 898 0.55 1528 1406 2580 870 2431 501 0.36 1214 1217 1260 Jumlah 7120 10273 2929 5474 4799 7064 Sumber : Survei Sosial Ekonomi Desa Kecamatan Karimunjawa Tahun 2009 *) data buta huruf, belum sekolah, tidak tamat SD dan tamat SD
397 205 111 713
197 118 54 369
PT
28 31 12 71
39
4.2.2. Sarana, Prasarana dan Aksesibiltas Sarana dan prasarana di Kepulauan Karimunjawa saat ini relatif sudah cukup bagus dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Penduduk Karimunjawa masyoritas beragama Islam, sehingga fasilitas peribadatan kaum muslim relatif cukup banyak. Fasilitas komunikasi dilayani oleh PT. Telkom, PT. Telkomsel dan Indosat melalui telepon kabel, telepon seluler dan jaringan internet terbatas. Pelayanan kesehatan di Desa Karimunjawa dilayani oleh Puskesmas, sedangkan Desa Kemunjan dan Desa Parang dilayani oleh Puskesmas Pembantu. Fasilitas pendidikan relatif lengkap mulai taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Namun penduduk di Kecamatan Karimunjawa lebih banyak yang hanya tamat sekolah dasar. Hal ini menunjukkan masih rendahnya tingkat pendidikan karena penduduk usia sekolah banyak bekerja membantu orang tua, rendahnya kesadaran dan keterbatasan biaya. Aksesibilitas di Kepulauan Karimunjawa merupakan suatu hal yang tidak mudah. Saat ini transportasi udara sudah tidak beroperasi lagi untuk umum dan hanya digunakan terbatas. Transportasi laut ditempuh dengan menggunakan kapal feri yaitu KM. Muria dan KM. Kartini I. Transportasi antar pulau sampai saat ini masih mengandalkan perahu-perahu kecil milik nelayan, dengan kapasitas kecil dan daya tempuh lama, serta tidak beroperasi jika badai (Desember - Maret). Berdasarkan analisis skalogram, dilihat dari fungsi pelayanan kawasan, disimpulkan bahwa Desa Karimunjawa merupakan pusat kawasan dan Kemujan sebagai daerah hinterland 1 atau orde 1 serta Parang sebagai hinterland 2 atau orde 2. Tabel 13 Fungsi pelayanan setiap kawasan Fasilitas Pelayanan Simpul
Ekonomi
Prasarana umum
Jml
Sosial
1
2
3
4
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
2
3
4
5
6
7
8
Karimunjawa
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
21
Kemujan
x
-
x
x
x
x
-
x
x
x
x
-
x
x
-
-
-
-
x
x
x
14
Parang
-
-
-
x
x
-
-
x
x
-
-
-
x
-
-
-
-
-
x
-
-
6
Keterangan : Pelayanan ekonomi : (1) KUD dan unit simpan pinjam, (2) TPI, (3) pasar, (4) kelompok nelayan. Prasarana : (1) Jalan, (2) irigasi, (3) pelabuhan dan penyeberangan utama, (4) jaringan komunikasi, (5) jaringan televisi, (6) internet, (7) lapangan olehraga, (8) hotel, (9) homestay. Pelayanan sosial : (1) SD dan SMP, (2) SMA, (3) sekolah kejuruan, (4) puskesmas, (5) klinik dan apotik, (6) bengkel, (7) masjid/mushola, (8) gereja.
40
4.2.3. Perekonomian Presentase mata pencaharian masyarakat Karimunjawa didominasi oleh nelayan (46.7%) dengan perincian Karimunjawa (33.5%), Kemujan (30.28%), dan Parang (64.57%). Hal ini mengindikasikan tingginya ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya perikanan relatif besar. Petani menempati urutan kedua (22%), pekerja konstruksi urutan ketiga (4.18%), diikuti PNS dan ABRI (3.62%). Tabel 14 Komposisi mata pencaharian penduduk Kecamatan Karimunjawa No.
Mata Pencaharian
Desa Karimunjawa
Kemujan
Parang
Petani 445 399 2 Buruh tani 194 97 3 Nelayan 1289 1211 4 Penggalian 21 12 5 Buruh Industri 113 15 6 Pedagang 97 22 7 Konstruksi 79 150 8 Angkutan 31 34 9 PNS dan ABRI 168 32 10 Pensiunan 14 3 11 Lainnya (jasa) 25 940 JUMLAH 2476 2915 Sumber Data : Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa 1
168 84 444 8 87 35 35 15 28 0 9 913 2008
Total
1012 375 2944 41 215 154 264 80 228 17 974 6304
Persentase (%)
16.05 5.95 46.70 0.65 3.41 2.44 4.18 1.27 3.62 0.27 15.45 100
4.3. Pemanfaatan Sumberdaya a. Kegiatan Pariwisata Kawasan Karimunjawa dengan arus yang tidak terlalu besar, pasir putih, laut jernih menjadikan suatu daya tarik tersendiri untuk wisatawan. Jumlah kunjungan ke Karimunjawa dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan (Gambar 12). Terlihat bahwa wisatawan dalam negeri (DN) cenderung meningkat sedangkan untuk wisatawan luar negeri (LN) berfluktuasi. 10000 DN LN
8000 6000 4000 2000 0
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Gambar 12 Grafik kunjungan wisata TN Karimunjawa (Sumber : Balai TN Karimunjawa 2008)
41
b. Kegiatan Budidaya Kepulauan Karimunjawa mempunyai potensi perikanan laut yang cukup besar seperti budidaya rumput laut, kerapu, tiram mutiara, teripang dan karang hias. Jenis rumput laut yang dibudidayakan pada kawasan ini adalah Eucheuma cottonii, dengan lahan budidaya tersebar mulai dari P. Karimunjawa, Kemujan sampai ke P. Parang. Budidaya ikan kerapu menggunakan karamba apung maupun tancap. Budidaya tiram mutiara
baru mulai dikembangkan di
Karimunjawa sekitar tahun 2005 di P. Menjangan Besar. Budidaya teripang masih dilakukan dengan cara sederhana, cukup memagari suatu lahan dengan jaring dan dan menempatkan teripang di dalam lahan tersebut. Meskipun budidaya terumbu karang masih suatu hal yang kontroversi. PT.Pura telah melakukan budidaya karang dengan cara transplantasi di P.Sambangan. c. Kegiatan Perikanan Tangkap Kepulauan Karimunjawa merupakan salah satu daerah perikanan artisanal penting di Laut Jawa. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh WCS (2006) komposisi hasil tangkapan ikan di Karimunjawa didominasi ikan ekor kuning yang mencapai 68.8%, diikuti oleh tongkol lurik (8.6%), tengiri (2.6%) dan tongkol hitam (2.2%). Jumlah armada tangkap yang dimiliki oleh nelayan (juragan) Karimunjawa (Tabel 15) terdiri atas dua jenis yaitu kapal motor sebanyak 691 unit dan perahu motor tempel sebanyak 127 unit, hanya 3 unit yang menggunakan perahu tanpa motor dan 9 unit tidak menggunakan perahu. Dari data tersebut terlihat bahwa hampir seluruh armada tangkap yang dioperasikan oleh nelayan kepulauan Karimunjawa sudah cukup maju dicirikan dengan penggunaan kapal motor sebagai armada tangkap yang dominan, meskipun kapasitasnya masih kecil (dibawah 5 GT). Tabel 15 Jumlah armada penangkapan di Karimunjawa Desa Karimunjawa Kemojan 1. Tanpa Perahu (Unit) 9 2. Perahu Tanpa Motor (Unit) 3 3. Motor Tempel (Unit) 72 36 4. Kapal Motor (Unit) 284 295 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jepara 2006 No.
Armada Penangkapan
Parang 7 112
Bagan perahu, pancing tonda, jaring insang dan bubu merupakan jenis alat tangkap utama yang dioperasikan oleh nelayan Kepulauan Karimunjawa. Alat
42
tangkap muroami merupakan alat tangkap yang saat ini sudah dilarang penggunaannya oleh pemerintah daerah. Berdasarkan data tahun 2005 tercatat kepemilikan alat tangkap muroami sebesar 18 unit, dan pada tahun 2007 kepemilikan muroami tercatat 2 unit (Tabel 16), namun saat ini alat tangkap tersebut sudah tidak dioperasikan lagi. Tabel 16 Jenis alat tangkap, musim (masa operasi) dan jenis ikan tangkap Jml Alat Produksi/ Jenis Ikan Tangkap Trip Tangkapan (Unit) (kg) Dominan 1 Muroami 2 100 Ikan karang 2 Bagan Perahu 90 100 Teri 3 Pancing tonda 617 25 Tongkol 4 Pancing edo 200 20 Ikan karang 4 Jaring 200 10 Ikan karang 5 Bubu 2000 0,5 Ikan karang Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jepara 2008 No.
Jenis Alat Tangkap
Waktu operasi September- Desember Juni - Agustus Juni - September Maret - Juni September - November Sepanjang musim
Hasil tangkapan nelayan kepulauan Karimunjawa pada umumnya didaratkan di Pulau Karimunjawa, untuk kemudian diterima oleh pemilik kapal untuk langsung dijual ke Jepara atau dibeli oleh pengumpul dan kemudian dipasarkan kembali ke Jepara (90%) dan hanya 10% yang digunakan untuk konsumsi pribadi. 4.4. Taman Nasional Karimunjawa dan Masyarakat Kepulauan Karimunjawa merupakan daerah konservasi Taman Nasional Laut (TNL) yang dikelola oleh unit pelaksana teknis pengelolaan taman nasional (Balai Taman Nasional (BTN) Karimunjawa) yang berada dibawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. TN Karimunjawa termasuk dalam kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, pengelolaannya dilakukan dengan sistem zonasi (PP No.68 tahun 1998 tentang kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam) dan dapat dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Dalam rangka meningkatkan efektifitas pengelolaan suatu kawasan, status TN Karimunjawa mengalami perubahan sebanyak empat kali. BTN Karimunjawa juga telah melakukan rezonasi pada tahun 2003 - 2004 secara bottom up dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Berdasarkan keputusan Direktur Jenderal PHKA No. SK 79/IV/Set-3/2005 tentang mintakat/ zonasi di TN Karimunjawa,
43
saat ini luas total Taman Nasional Karimunjawa sebesar 111.625.000 hektar yang terbagi dalam tujuh zona, yaitu : (1) Zona Inti, (2) Zona Perlindungan, (3) Zona Pemanfaatan Pariwisata, (4) Zona Pemukiman, (5) Zona Rehabilitasi, (6) Zona Budidaya dan (7) Zona Pemanfaatan Perikanan Tradisional yang meliputi seluruh perairan di luar zona yang telah ditetapkan yang berada di dalam kawasan TN Karimunjawa. Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil tidak terlepas dari kondisi sosial ekonomi masyarakat pulau tersebut yang masih memprihatinkan. Kondisi ini memungkinkan terjadinya proses pemanfaatan ekosistem pulau yang kurang sesuai. Semua itu berpangkal pada tuntutan kebutuhan hidup masyarakat kepulauan yang yang belum tercukupi, dengan terbatasnya sumber pendapatan yang dapat diandalkan, ada kecenderungan tindakan represif masyarakat Kepulauan Karimunjawa dalam pemanfaatan ekosistemnya. Tindakan masyarakat ini akan memberikan konsekuensi yang sulit dibendung termasuk dalam penebangan mangrove, pengeboman karang dan pemakaian potasium sianida. Penetapan revisi zonasi dilakukan dengan mempertimbangkan masukan masyarakat dan tenaga ahli, sosialisasi juga terus dilakukan terhadap revisi zonasi beserta disertai peraturan mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan di zona-zona yang telah ditetapkan. Saat ini, warga dengan kesadaran masing-masing ikut menjaga kawasan, baik buruh, nelayan, petani maupun pedagang untuk mengingatkan setiap orang. Dari fenomena-fenomena tersebut, maka
atensi
penduduk
Karimunjawa
terhadap
pentingnya
pengelolaan
sumberdaya pulau dan laut saat ini mulai meningkat, karena mereka sadar bahwa mata pencaharian sebagian besar penduduk tergantung pada sumberdaya pulau dan laut.
5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Identifikasi Lokasi dan Karakteristik Kawasan Lokasi penelitian terbagi menjadi 2 bagian yaitu untuk kajian ekologi dan sosial ekonomi. Lokasi kajian ekologi didasarkan pada survey dan monitoring yang dilakukan oleh Razak (1998), Mannuputy & Budiyanto (2000), MDC Universitas Diponegoro bekerjasama dengan Reef Check dan Balai Konservasi TN Karimunjawa. Lokasi kajian ekologi dilakukan pada 6 pulau pada kawasan TN Karimunjawa yaitu Pulau Burung (S1), Cemara Kecil (S2), Gelean (S3), Menjangan Kecil (S4), Menjangan Besar (S5) dan Menyawakan (S6). Pemilihan areal tersebut diasumsikan adanya keterwakilan zona yang ada pada kawasan TN Karimunjawa. Sedangkan untuk kajian sosial ekonomi didasarkan pada tempat tinggal penduduk, yang mana dari 27 pulau yang ada, hanya 5 pulau yang berpenghuni, maka dipilihlah tiga pulau yang dianggap mewakili kawasan tersebut untuk pengambilan responden yaitu Pulau Karimunjawa, Kemujan dan Parang. Diluar lokasi kajian yang merupakan zona perlindungan dan pariwisata merupakan fishing ground nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan. Pengambilan site pengamatan terumbu karang di zona perlindungan dan pariwisata diharapkan meminimalisir efek kerusakan karang oleh aktivitas lainnya seperti penangkapan ikan karena terinjak/patah oleh nelayan pada saat pemasangan ataupun pengambilan bubu, memanah ikan ataupun terkena jaring. Pengamatan oseanografi di Kepulauan Karimunjawa menunjukkan bahwa secara umum karakteristik oseanografi kawasan tersebut dipengaruhi oleh kondisi musim. Arus di perairan Karimunjawa pada musim barat berasal dari laut Cina Selatan yang menyeret massa air laut menuju ke Laut Jawa sampai kearah timur yaitu Laut Flores, Laut Banda, Laut Arafura dan sebaliknya pada musim tenggara. Kecepatan arus laut dari timur ke barat berkisar 18 - 34 cm/det, dengan rata-rata 25 cm/det. Sedangkan kecepatan arus laut dari barat ke timur berkisar 22 - 45 cm/det dengan rata-rata 38 cm/det. Secara keseluruhan kualitas perairan di kawasan penelitian masih tergolong sebagai lingkungan perairan laut secara alamiah dan berada di bawah baku mutu air laut. Suhu rata-rata perairan berkisar antara 28 - 29.6 ºC, nilai pH
45
bersifat alkalis dengan kisaran 7.6 - 8.2 yang mencerminkan sifat-sifat alami air laut berkaitan dengan kelarutan kadar garam serta mengindikasikan bahwa kondisi kawasan tersebut belum tercemar. Salinitas air laut yang terukur berada dalam kisaran 31 - 33 ppm, yang tidak mengalami perubahan cukup besar antara musim barat (rata-rata 32.6 ppm) dan musim timur (rata-rata 32.2 ppm). Kecerahan perairan masih sangat jernih, dengan kisaran tingkat kejernihan 70 100%, dan hampir sebagain besar spot pengamatan berada lebih besar pada kisaran > 80%. Pengukuran TSS yang terukur relatif masih rendah berkisar 12 58 mg/l yang jauh berada dibawah baku mutu air laut (≤ 80 mg/l). 5.2. Kondisi Biofisik 5.2.1. Suhu permukaan perairan Suhu permukaan laut penting dalam menduga potensi terjadinya pemutihan karang pada suatu kawasan tertentu. Sebagai gambaran awal rekonstruksi rata-rata suhu permukaan laut pada wilayah kajian dari tahun 1990 hingga 2008 yang diolah dengan menggunakan NOMADS Las Server disajikan pada pada Gambar 13, yang mana terlihat bahwa tahun 1998 merupakan tahun terpanas dengan suhu rata-rata tertinggi. Berdasarkan studi literatur yang dilakukan, pada tahun tersebut juga tercatat terjadinya pemutihan karang yang cukup luas di dunia termasuk Indonesia (Wilkinson 1998 dan Suharsono 1999).
30.15
30.38
30.20
Tahun
Gambar 13
Rekonstruksi suhu permukaan laut rata-rata tahunan (°C) di wilayah kajian (°C) (Sumber : diolah dari data NOAA 2008)
Secara lebih spesifik perubahan suhu permukaan laut tahunan pada 6 site lokasi kajian disajikan pada Gambar 14, terlihat bahwa rata-rata suhu permukaan
46
laut tahunan tertinggi terjadi pada tahun 1998 pada stasiun S6 yang mencapai 31.575°C dan suhu terendah 27°C (S3). Suhu permukaan laut (°C)
32 31
31,575
30 29 28 27 26
S1 S4
S2 S5
S3 S6
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Tahun
Gambar 14. Kondisi suhu permukaan laut tahunan di kawasan Karimunjawa pada tahun 1997 - awal 2010 (Sumber : diolah dari data NOAA http://data.nodc.noaa.gov /pathfinder/UserRequests/ Khoiriya/).
Selanjutnya berdasarkan profil suhu mingguan dari tahun 1997 - 1999 (Gambar 15) terlihat bahwa suhu tahun 1998 berada diatas rata-rata tahunan suhu kawasan tersebut (rata-rata suhu bulanan tercatat sebesar 28.8106ºC). 32
Suhu (°C)
31
31,725
31,575
30 29 28
28.8106
27
S1
S2
S3
S4
S5
S6
1997-1 1997-9 1997-12 1997-15 1997-18 1997-21 1997-24 1997-27 1997-30 1997-33 1997-36 1997-39 1997-42 1997-45 1997-48 1997-51 1998-2 1998-5 1998-8 1998-11 1998-14 1998-17 1998-20 1998-23 1998-26 1998-29 1998-32 1998-35 1998-38 1998-41 1998-44 1999-11 1999-14
26
waktu (tahun-minggu ke)
Gambar 15 Kondisi suhu permukaan laut mingguan di kawasan Karimunjawa pada tahun 1997 - 1999 (Sumber : diolah dari data NOAA http://data.nodc.noaa.gov/pathfinder/UserRequests/ Khoiriya/).
5.2.2. Anomali, Hotspot dan Degree of Heating Weeks Anomali suhu perairan merupakan penyimpangan suhu perairan yang berada di atas suhu rata-rata pada wilayah yang dikaji, dan digunakan untuk mengetahui tingkat stress yang dihadapi oleh terumbu karang selain stress lokal yang mengancam kehidupannya. Data anomali suhu untuk wilayah kajian pada
47
tahun 1997 - 1998 didapat dari satelit NOAA dengan sensor AVHRR dalam bentuk citra Pathfinder ver 5 (Gambar 16).
Gambar 16 Anomali suhu perairan tahun 1997 - 1998 (sumber : data NOAA http://www.osdpd. noaa.gov/ml/ocean/cb/ anomaly.html)
Berdasarkan Gambar 16, pada bulan Januari 1997, belum terlihat adanya indikasi kenaikan suhu terlihat pada citra adanya kecenderungan warna biru pada wilayah kajian. Selanjutnya berubah menjadi kuning pada bulan Agustus 1997 yang mengindikasikan adanya anomali suhu 0.5º C dan terus mengalami kenaikan pada akhir tahun 1997 hingga awal tahun 1998 dan menurun kembali. Faktor anomali didasarkan pada penyimpangan suhu diatas 1°C, Gambar 17 menunjukkan peningkatan anomali diatas 1°C dimulai pada bulan ke-7 tahun 1997 sampai bulan ke-5 tahun 1998, dan anomali tertinggi terjadi pada bulan Desember yang mencapai 2.7ºC. Berdasarkan analisa tercatat peningkatan suhu lebih dari 1ºC mencapai 38 minggu. anomali suhu (°C)
3 2 1 0 -1
01/01/97 01/02/97 01/03/97 01/04/97 01/05/97 01/06/97 01/07/97 01/08/97 01/09/97 01/10/97 01/11/97 01/12/97 01/01/98 01/02/98 01/03/98 01/04/98 01/05/98 01/06/98 01/07/98 01/08/98 01/09/98 01/10/98 01/11/98 01/12/98
-2
Gambar 17 Anomali suhu perairan Karimunjawa pada tahun 1997 - 1998 (Sumber : diolah dari data NOAA, http://data.nodc.noaa./ pathfinder/UserRequests/ Khoiriya/).
48
Komparasi SST dan penguatan anomali suhu yang mengindikasikan adanya hot spots area pada kawasan tersebut sebesar 1.00 - 1.30 (Gambar 18).
Gambar 18 Hotspot area Indonesia pada tahun 1997 - 1998 (Sumber : diolah dari data NOAA http://data.nodc.noaa./pathfinder/UserRequests/ Khoiriya/, insert NOAA/NESDIS 2008) Berdasarkan analisa diperoleh nilai DHWs sebesar 4.437 - 8.875. berdasarkan kategori status level pemutihan karang termasuk dalam bleaching alert level 1 dan level 2, yang artinya karang mengalami stress karena peningkatan suhu permukaan laut dan telah menunjukkan tanda-tanda pemutihan meskipun berdasarkan survey yang dilakukan belum dalam tahap yang kritis
Gambar 19 Gambar hubungan anomali suhu dengan lama waktu pemanasan (Sumber : diolah dari data NOAA http://data.nodc. noaa./ pathfinder/UserRequests/ Khoiriya/, insert Grafik Marshall & Schuttenberg 2006)
Hal tersebut sesuai dengan pencatatan yang dilakukan Reef base yang mana tercatat pemutihan di Karimunjawa di mulai bulan Januari, berlanjut hingga Mei dan mengakibatkan kematian pada Agustus 1998 jenis karang Acropora dan Galaxea yang mencapai 46% pada kedalaman 3 m dan 1 - 25% pada kedalaman 10 m (Wilkinson 1999), dengan kawasan yang terkena pemutihan adalah
49
Menyawakan dan Cemara Kecil (Naneng 2006), Gelean 6.7% - 16%, Menjangan Kecil 8.83% - 21.7%, Cemara Besar 13.06% - 21.33% (Mannuputy & Budiyono 2000). Secara lebih spesifik mengenai mengenai lokasi pemutihan karang disajikan pada Lampiran 1. 5.2.3. Terumbu Karang a. Hard coral cover (HCC) Secara umum terdapat perubahan rata-rata penutupan
karang keras
sebelum pemutihan (53%) dan sesudah pemutihan (27%) (Gambar 20). Penutupan karang keras terendah pada tahun 1999 sebesar 24 % (10 m) dan 30 % (3 m). Selanjutnya apabila dilihat secara lebih spesifik pada tiap lokasi pengamatan tutupan karang keras tahun 1999 selalu menunjukkan pola penurunan, begitu pula untuk tahun 2001 kecuali pada stasiun S1-10 (Burung) (Gambar 21). Karng keras (%)
80 60
63
58 49
40
48 47 30 24
20
31 29
40 34
43 35
45
6741 58 54 All03 All10
0
1997 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Hard coral (%)
Gambar 20 Rata-rata tutupan karang keras pada kedalaman 3 m dan 10 m (Sumber : diolah dari data MDC UNDIP dan Reefcheck). 60 40 20 0
80
60
0 2001
2002
2003
P. Geleang (S3)
1997 80
60
60
40
40
20
20
0
0
Hard coral (%)
P. Menjangan Besar (S5)
1999
2001
2002
P. Menjangan Kecil (S4)
199719992000200120022003200420052006
1997 1999 2000 2001 2002 2003 100
P. Cemara Kecil (S2)
40 20
1999
Hard coral (%)
3m 10 m
P. Burung (S1)
60
P. Menyawakan (S6)
40
50
20 0
0 1997 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
1997
1999
2001
2002
Gambar 21 Hard coral cover pengamatan pada kedalaman 3 m dan 10 m (Sumber : diolah dari data MDC UP dan Reefcheck 2007).
2003
50
b. Proporsi kemunculan karang keras dan karang lunak Proporsi kemunculan hard coral (HC) dan soft coral (SC) pada tiap stasiun pengamatan menunjukkan hasil yang bervariasi (Gambar 22). Secara umum terlihat bahwa hampir disemua lokasi terjadi penurunan penutupan soft coral sebesar 3 - 10%. Hal yang berbeda terjadi pada Geleang dan Menjangan Kecil pada kedalaman 10 m terlihat adanya peningkatan soft coral setelah 2 tahun adanya kejadian pemutihan karang tahun 1999. Pada kawasan dengan soft coral adanya peningkatan suhu mengakibatkan penurunan presentasenya, sebaliknya pada kawasan yang semula tidak terdapat soft coral, pemutihan karang keras
70 60 50 40 30 20 10 0
3m
10 m
Cemara kecil
Gambar 22
3m
10 m
3m
Geleang
post
bleach
pre
post
bleach
pre
post
bleach
pre
post
bleach
pre
post
bleach
pre
post
bleach
HC SC
pre
Presentase (%)
mengakibatkan tumbuhnya soft coral.
10 m
Menjangan kecil
Kemunculan hard coral dan soft coral di stasiun pengamatan (Sumber: diolah dari data MDC UNDIP dan Reefcheck)
c. Komposisi substrat dasar dan Indek Kematian Karang Persentase living reef (LR) tahun 1997 mencapai 57 % - 67%, selanjutnya pada tahun 1999 turun hingga 29% dan pada tahun 2000 kembali naik, selanjutnya tahun 2001 turun kembali dan dari tahun 2002 - 2005 menunjukkan peningkatan, dan pada tahun 2006 turun kembali. Penurunan living reef secara lebih spesifik dilihat berdasarkan komposisi substrat dasar khususnya kemunculan Recently Killed Coral (RKC)
yang merupakan karang yang baru saja mati.
Kematian karang tertinggi terjadi pada awal tahun 1999 bersamaan dengan peningkatan suhu tertinggi, yang ditandai dengan ditemukannya recently killed coral
lebih dari 60% dan secara bertahap menurun pada tahun berikutnya
(Gambar 23 dan Gambar 24).
51
Presentase (%)
100 80
NLR
LR
RKC
1999
2000
60 40 20 0
1997
2001
2002 tahun
2003
2004
2005
2006
Gambar 23 Komposisi kemunculan living reef (LR), non living reef (NLR) dan recently killed coral (RKC) pada kedalaman 3 m (%) (Sumber : diolah dari data MDC UNDIP dan Reefcheck) Presentase (%)
100
NLR
80
LR
RKC
60 40 20 0 1997
1999
2000
2001
2002
tahun
2003
2004
2005
2006
Gambar 24 Komposisi kemunculan living reef (LR), non living reef (NLR) dan recently killed coral (RKC) pada kedalaman 10 m (%) (Sumber : diolah dari data MDC UNDIP dan Reefcheck)
Nilai indek kematian karang berkisar 0.33 – 0.95. Indeks mortalitas karang tertinggi terdapat di Menjangan Kecil yaitu sebesar 0.95. Sedangkan yang terkecil terdapat Geleang sebesar 0.33. Nilai indeks kematian yang mendekati 1 menunjukkan bahwa terdapat kematian karang yang tinggi pada kawasan tersebut yang mengakibatkan ada perubahan berarti bagi kawasan tersebut. Karena keterbatasan data yang ada, dari 6 lokasi penelitian hanya 3 lokasi yang dapat diperbandingkan nilai indek kematian karang (IMK) yaitu Cemara Kecil, Geleang
IMK
dan Menjangan Kecil (Gambar 25). 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
pre bleach post
3m
10 m
Cemara kecil
3m
10 m Geleang
3m
10 m
Menjangan kecil
Gambar 25. Histogram indek kematian karang keras di stasiun pengamatan (Sumber : diolah dari data MDC UNDIP dan Reefcheck).
52
Kejadian pemutihan karang di Karimunjawa telah terjadi sebanyak dua kali yaitu tahun 1998 dengan tingkat pemutihan ringan hingga sedang (5 - 20%), dan tahun 2006 dengan tingkat pemutihan ringan, tercatat P. Menyawakan mengalami pemutihan hingga 19.5% di sebelah barat pulau dengan karang keras yang memutih sebesar 5-19.5% dan karang yang mati mencapai 20.4% (Razak 1998). Cemara kecil mengalami pemutihan 3 - 6.5%, Menjangan kecil (34%) dan Geleang (12%). Ketika kawasan Bali mulai mengalami pemutihan (Mei 2009),
Karimunjawa belum menunjukkan tanda-tanda pemutihan, selanjutnya survey pada November 2009 mulai menunjukkan adanya tanda pemutihan di Pulau Sintok Karimunjawa, sedangkan kawasan lainnya belum terlihat tanda pemutihan. Saat penelitian di lapangan bulan April - Mei 2010, pemutihan karang di Pulau Sintok masih berlangsung, tetapi sudah menunjukkan tanda-tanda recovery, terlihat dengan adanya spot-spot berwarna abu-abu yang menunjukkan telah adanya zooxanthellae pada karang yang memutih. Berdasarkan laporan program monitoring terumbu karang 2009,
dinyatakan hampir pada semua lokasi
monitoring dijumpai pemutihan dalam intensitas kecil dan bersifat sporadis dengan penyebab yang belum diketahui apakah karena perubahan iklim ataupun pengaruh lain. Namun dapat dipastikan pemutihan karang tahun 2009 bukan disebabkan oleh penyakit ataupun pemangsaan oleh predator baik bintang laut mahkota duri maupun oleh keong Druppella atau Coralliophylla. Seiring dengan berlalunya kematian karang, kecenderungan pemulihan juga tercatat di kawasan ini. Gambar 26 dibawah adalah pola kecenderungan pemulihan yang ada pada pulau Cemara Kecil dan pulau Menyawakan yang lokasinya berdekatan (Reefcheck 2006).
tahun
Gambar 26. Kecenderungan pemulihan karang di Kepulauan Karimunjawa. (Hasil olahan Reefcheck, data tahun 1998 diambil dari Razak 1998)
53
Selanjutnya berdasarkan wawancara terhadap responden diketahui bahwa sebesar 78.6% responden menyatakan bahwa kondisi terumbu karang di fishing ground mereka masih dalam kondisi yang relatif bagus meskipun ada kecenderungan telah mengalami penurunan yang cukup besar jika dibandingkan dengan kondisi 10 tahun yang lalu. d. Analisis tutupan karang keras dengan anomali suhu Data hubungan karang keras dengan anomali suhu disajikan pada Gambar 27. Berdasarkan análisis regresi yang dilakukan terhadap variabel SST anomali dengan tutupan karang keras pada 3 lokasi yang dapat diperbandingkan antara data sebelum dan sesudah pemutihan didapatkan nilai R yang cukup signifikan pada kedalaman 3 m (0.66 - 0.98), sedangkan untuk kedalaman 10 m nilai R yang didapatkan rendah berkisar antara 0.15 - 0.55. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perubahan suhu dalam hal ini anomali suhu perairan akan lebih berpengaruh pada tingkat kedalaman yang lebih rendah, sedangkan pada kedalaman yang lebih tinggi tidak terlalu berpengaruh. Hubungan indek kematian karang dan recently killed coral dengan anomali suhu disajikan pada Lampiran 23, sedangkan batas suhu yang berpotensi menimbulkan pemutihan disajikan pada
80 70 60 50 40 30 20 10 0
4 3.5 3 2.5 2 1.5 1
anomali All-03
Anomali suhu (°C)
karang keras (%)
Lampiran 4.
0.5 0
1997 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Gambar 27. Grafik hubungan tutupan karang keras dengan anomali suhu (Sumber: diolah dari data MDC UNDIP dan Reefcheck serta NOAA http://data.nodc.noaa.gov/pathfinder/UserRequests/ Khoiriya/)
5.2.4. Visual Sensus Ikan Ikan karang dan berbagai biota lainnya bersama-sama menciptakan suatu keseimbangan dalam ekosistem terumbu karang. Ikan yang disurvey dalam penelitian ini merupakan ikan yang mempunyai keterkaitan dengan terumbu
54
karang yaitu familia Chaetodonthidae, Scaridae, Haemulidae, Serranidae, Lutjanidae dan Labridae.(Tabel 17). Tabel 17. Pengelompokan jenis ikan Nama umum Butterflyfish (kepe-kepe) Bumphead parrotfish (kakak tua besar) Sweetlips/Margates (bibir tebal) Grouper (kerapu) Baramundi cod (kerapu tikus besar) Snapper (kakap)
Nama Latin Chaetodonthidae Bolbometopon muricatum , (Scaridae) Plectorinchus spp., (Haemulidae) Serranidae
Kelompok Coralivore
Cromileptes altivelis (Serranidae)
Carnivore
Lutjanus sp., (Lutjanidae)
Humphead wrasse (napoleon)
Cheilinus undulatus (Labridae)
Carnivore Benthic invertebrate
Herbivore Carnivore Carnivore
Analisis visual sensus ikan dilihat berdasarkan komposisi ikan herbívora, karnivora, pemakan koral, pemakan organisme benthik dan diperbandingkan antara sebelum pemutihan (1997), saat pemutihan (1999) dan setelah pemutihan (2001) (Gambar 28).
Gambar 28. Histogram perbandingan antara ikan coralivore, herbivore, carnivore dan benthic inverthebrate (Sumber: diolah dari data MDC UNDIP dan Reefcheck)
55
Berdasarkan análisis didapatkan hasil bahwa pola tiap kelompok ikan bervariasi. Ikan pemakan koral mengalami peningkatan sesaat setelah pemutihan karang dan menurun kembali, herbivora mengalami peningkatan setelah pemutihan karang. Rata-rata kelimpahan ikan herbívora pada tahun 2001 mencapai 24 ind/1000m³, tahun 1999 kelimpahan ikan herbívora 4 ind/1000m³. Sedangkan untuk ikan karnivora polanya bervariasi, dengan kecenderungan untuk menurun, 2 lokasi menunjukkan penurunan (Geleang dan Menjangan Kecil) dan 1 lokasi mengalami peningkatan (Cemara Kecil). Sedangkan untuk ikan benthic invertebrate, hanya ditemukan pada tahun 1997 pada Cemara Kecil pada kedalaman 10 sebanyak 1 ind/1000m³, sehingga tidak bisa diperbandingkan. Sedangkan untuk coralivore dari 6 site pengamatan, 3 site menunjukkan pola kecenderungan peningkatan kelimpahan (Cemara kecil 3 m, Cemara kecil 10 m dan Menjangan kecil 3 m) sedangkan lokasi lainnya menunjukkan pola peningkatan pada saat bleaching dan kemudian menurun. Berdasarkan perhitungan indek keanekaragaman (Tabel 18) didapatkan hasil bahwa pada ketiga stasiun pengamatan mempunyai kisaran indeks keanekaragaman rendah - sedang (0.23 - 1.33). Pada Cemara kecil terlihat adanya dominansi pada tahun 1999 dengan nilai indeks dominansi 1 oleh ikan Chaetodonthidae (pada saat visual sensus tidak ditemukan spesies lainnya). Sedangkan untuk lokasi pengamatan lainnya terlihat hasil yang bervariasi. Hasil indek dominansi pada lokasi Gelengan 3 m dari tahun 1997 (0.85), 1999 (0.41), 2001 (0.51), geleang 10 m terlihat adanyanya pola yang bervariasi dibandingkan dengan lokasi lainnya Tabel 18 Nilai indek keanekaragaman, keseragaman dan dominansi Lokasi Cmr kcl
Geleang
M kcl
H' C E H' C E H' C E
1997 0.36 0.59 0.42 0.29 0.85 0.27 0.64 0.56 1.33
3m 1999 1 1.04 0.41 0.58 1.02 0.44 0.69
2001 0.71 0.37 0.36 0.64 0.51 0.39 0.56 0.73 0.35
1997 0.33 0.32 0.25 0.35 0.25 0.45 1 -
(Sumber: diolah dari data MDC UNDIP dan Reefcheck 2006)
10 m 1999 0.65 0.55 0.47 1 0.47 0.42 1.31 0.33 0.68
2001 0.96 0.38 0.43 1.21 0.24 0.73 1.3 0.3 0.73
56
Secara ekologis, peningkatan ikan herbivora setelah pemutihan karang, dikaitkan dengan kelimpahan ketersediaan makanan yang ada. Setelah pemutihan karang, dalam banyak kasus selalu diikuti dengan tumbuhnya alga pada karang yang memutih, dengan melimpahnya alga maka ikan herbívora juga akan meningkat. Peningkatan kelimpahan ikan pemakan koral sesaat setelah pemutihan karang diduga berkaitan erat dengan hubungan ikan tersebut dalam menjaga keseimbangan ekosistem, yang mana pada saat pemutihan karang terdapat banyak polip karang yang berada dalam kondisi kritis, ikan corallivorus berperan membersihkan polip karang yang mati. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Glynn (1985), Pratchett et al. (2004) dan Berumen et al. (2005), yang mana respon ikan terhadap pemutihan karang sangat bervariasi tergantung pada daya adaptasi dan posisi sumberdaya tersebut. Beberapa spesies tertentu akan secara langsung terkena dampaknya setelah karang mengalami pemutihan dan mati dalam beberapa bulan bahkan tahun. Beberapa ikan tertentu mengalami pertambahan jumlah, pengurangan jumlah dan bahkan ada juga yang tidak terpengaruh. Sebagai contohnya di Panama pada saat pemutihan karang yang cukup luas dan parah pada tahun 1982-1983 pada kawasan tersebut, terjadi kematian sebesar 94% gastropod corallivore (Jenneria pustulata), tetapi tidak berdampak terhadap echinoderm pemakan karang (Acanthaster planci) dan ikan (Arothron meleagris) (Glynn, 1985). Selanjutnya Pratchett et al. (2004) dan Berumen et al. (2005) menyatakan bahwa efek secara langsung peningkatan suhu sangat kecil dan bahkan tidak berdampak terhadap kematian ikan dewasa. Sebagai gantinya, efek sublethal physiologisnya dapat mengurangi kesehatan ikan, seperti kecepatan pertumbuhan, ukuran tubuh saat dewasa, kemampuan berkompetisi dan kematangan gonat. 5.3. Analisa Sumberdaya Ikan Kawasan perairan Karimunjawa kaya akan sumberdaya ikan, baik ikan konsumsi maupun ikan hias. Sumberdaya ikan yang dianalisa dalam penelitian ini dibatasi pada 4 kelompok ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang dan merupakan ikan yang ditemukan dalam jumlah cukup banyak pada hasil tangkapan nelayan, yaitu : (1) ikan ekor kuning, (2) kerapu, (3) kakap merah/bambangan, dan (4) betet/kakak tua yang ditangkap dengan menggunakan
66
Apabila dilihat dari pendapatan yang diterima oleh nelayan maka secara nominal terlihat bahwa nilai uang yang yang diterima nelayan dalam satu kali penangkapan antara sebelum dan sesudah pemutihan karang tidak jauh berbeda, sehingga diasumsikan pemutihan karang yang terjadi di Karimunjawa tidak berdampak terhadap penerimaan pendapatan nelayan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Wilkinson et al.(1999), yang membuat estimasi nilai ekonomi
yang hilang akibat adanya pemutihan karang dengan membuat 2
alternatif skenario yaitu skenario optimistik dan skenario pesimistik. Mengacu pada skenario tersebut, dengan demikian dikatakan bahwa secara umum respon perikanan di Karimunjawa cenderung mengacu pada skenario optimistik yang dibuktikan dengan : (1) adanya recovery karang pada beberapa lokasi yang mengalami pemutihan, (2) komposisi spesies ikan tangkapan mengalami sedikit perubahan dan penurunan net income per orang per hari yang tidak begitu besar (3) fungsi terumbu karang sebagai perlindungan pantai mengalami sedikit perubahan bahkan tidak terpengaruh dengan adanya pemutihan karang. 5.5. Keadaan Sosial Ekonomi 5.5.1. Karakteristik Responden Masyarakat yang dijadikan responden adalah masyarakat yang berada di Kepulauan Karimunjawa, terutama yang terkait langsung dengan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang. Responden yang diambil sebagai sampel sebanyak 98 orang yang terbagi menjadi 3 kelompok responden, yaitu kelompok nelayan (68 orang), kelompok penentu kebijakan (23 orang) dan pelaku usaha (14 orang). Responden yang diwawancarai hampir seluruhnya berjenis kelamin lakilaki, hanya 2 responden wanita yaitu pemilik homestay. Umur responden bervariasi 18 - 70 tahun, dengan responden terbanyak berasal dari golongan umur dewasa (81.63%), yang menunjukkan bahwa masyarakat tersebut berada pada usia kerja produktif. Pendidikan masyarakat rendah yakni tamat SD sebanyak 55.10%, namun ada juga yang berpendidikan sedang (tamat SLTP–SMU) sebanyak 33.67%. Sedikit sekali masyarakat yang berpendidikan tinggi (11.22%) dan umumnya berasal
dari kalangan pemerintahan dan pendidikan (6.12% diploma dan 5.1% sarjana). Pendapatan masyarakat di sekitar TN Karimunjawa pada umumnya termasuk kategori rendah (59.02%), yang menunjukkan bahwa rataan pendapatan masyarakat relatif
67
masih rendah. Berdasarkan hasil survey terlihat bahwa responden pada umumnya
merupakan penduduk asli dan hanya sedikit pendatang (5.1%) Data responden selengkapnya Lampiran 5 - 6. Tabel 23 Sebaran karakteristik responden Karakteristik responden Umur
Pendidikan Jumlah tanggungan keluarga Asal responden
Lama domisili
Pendapatan
Kategori pengukuran Muda ( < 19 tahun) Dewasa (20 - 55 tahun) Tua ( > 56 tahun) Rendah (≤ SD tamat) Sedang (SLTP - SMU tamat) Tinggi (D1 - Sarjana) Rendah (< 3 orang) Sedang (3 - 4 orang) Tinggi (>5 orang) Karimunjawa Kemonjan Parang Rendah ( < 10 tahun) Sedang ( 10 - 25 tahun) Tinggi ( > 26 tahun) Rendah ( < Rp. 500.000,00) Sedang ( Rp. 500.000 - Rp. 1000.000,00) Tinggi ( > Rp. 1.000.000,00)
Jumlah 4 80 14 54 33 11 10 39 12 28 21 12 5 23 70 36 18 7
% 4.08 81.63 14.29 55.1 33.67 11.22 16.39 63.93 19.67 45.9 34.43 19.67 5.1 23.47 71.43 59.02 29.51 11.48
5.5.2. Persepsi Responden Berdasarkan interview yang dilakukan terhadap nelayan yang tinggal dan melakukan penangkapan ikan di kawasan perairan Karimunjawa diketahui lebih dari 90% nelayan yang melakukan penangkapan ikan di Karimunjawa merupakan nelayan yang berasal dari Karimunjawa. Nelayan luar yang melakukan penangkapan di kawasan tersebut umumnya berasal dari Jepara, Demak, Pati da Rembang. Berdasarkan interview, nelayan luar berada di Karimunjawa untuk mengisi perbekalan, berobat, dan berlindung dari badai, sebenarnya kawasan Karimunjawa merupakan incaran bagi nelayan di sekitar kawasan tersebut untuk melakukan penangkapan ikan karena ikan di kawasan tersebut relatif
lebih
banyak dibandingkan dengan kawasan lain di perairan utara Laut Jawa. Mayoritas nelayan Karimunjawa melakukan aktivitas penangkapan ikan secara maksimal pada musim barat atau sering disebut sebagai musim teduh, dengan kondisi perairan yang relatif tenang sehingga memudahkan mereka dalam melakukan pemasangan bubu maupun melakukan penangkapan dengan pancing, jaring, panah. Kegiatan penangkapan akan mulai berkurang pada saat musim
68
peralihan yang biasanya ditandai dengan gelombang besar, umumnya terjadi pada bulan Desember - Februari atapun kadangkala tidak menentu. Secara umum nelayan telah mengetahui dan mengenali kapan musim tersebut akan datang dengan melihat tanda-tanda alam, misalnya gelombang yang mulai besar, arah angin yang berubah. Berdasarkan wawancara dengan nelayan, nelayan tidak mempunyai preferensi terhadap jenis ikan target yang menjadi prioritas utama maupun terhadap jenis alat tangkap yang digunakan. Mereka hanya menyatakan jika menggunakan pancing tonda maka yang dominan tertangkap adalah ikan tongkol dan tengiri, pancing ulur/pancing edo maka yang dominan ikan kerapu dan kakap, alat tangkap bubu akan lebih banyak tertangkap ikan karang seperti kerapu, kakap, betet, kambing, jika menggunakan panah dan jaring ikan yang dominan tertangkap ikan ekor kuning. Berdasarkan wawancara juga diketahui bahwa sebesar 91.8% nelayan melakukan penangkapan terhadap semua ikan yang mereka temui dengan alat tangkap yang beragam (multi gears) serta dimanfaatkan semua, sehingga tidak ada hasil tangkapan yang terbuang (by cacth). Dalam melakukan operasi penangkapan adakalanya mereka menggunakan dua alat tangkap sekaligus misalnya sambil memancing mereka menanam bubu, atau sambil memanah mereka juga menanam bubu. Bubu berukuran kecil diambil setiap hari sedangkan bubu berukuran besar diambil dua hingga tiga hari sekali. Sedangkan mengenai kejadian pemutihan karang
hanya
24.9% yang
mengetahuinya, selebihnya 75.4% tidak mengetahuinya. Seluruh responden yang mengetahui pemutihan karang tidak menyadari kejadian tersebut dan menurut mereka hal tersebut adalah peristiwa alam yang biasa terjadi apabila ada pergantian musim. Lebih dari 80 % responden menyatakan bahwa kondisi terumbu
karang
di
Karimunjawa
bervariasi
antar
kawasan,
dan
jika
diperbandingkan dengan kondisinya 10 tahun yang lalu saat ini kondisinya cukup buruk. Pada saat jaman dahulu kerusakan terumbu karang pada umumnya hanya disebabkan oleh peristiwa alam seperti pasang surut yang menyebabkan karang terekspose pada saat surut terendah sehingga karang mengalami kematian sementara waktu, namun kemudian akan tumbuh kembali. Sedangkan saat ini kerusakan karang lebih banyak disebabkan oleh pengambilan karang untuk
69
fondasi bangunan dan penangkapan ikan yang merusak, meskipun saat ini penangkapan yang merusak dan pengambilan karang sudah sangat jauh berkurang. Menurut mereka kerusakan parah terjadi pada saat beroperasinya muroami pada tahun 2002 dan saat ini alat tersebut menurut catatan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Jepara sudah tidak beroperasi di kawasan perairan Jepara, namun pada saat peneliti melakukan survey di lapangan bertemu dengan nelayan yang menggunakan muroami dan menurut mereka hanya kelompok mereka yang mengoperasikan alat tangkap tersebut. Berdasarkan survey yang dilakukan, hasil tangkapan nelayan telah mengalami perubahan dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu. 6.89% responden mengatakan adanya peningkatan hasil tangkapan, 20.68% menyatakan tidak adanya perubahan, 72.41% menyatakan telah terjadi penurunan jumlah ikan hasil tangkapan. Responden juga menyatakan telah terjadi perubahan ukuran ikan hasil tangkapan 63.77% menyatakan ukuran ikan menjadi lebih kecil, 16.23% lebih besar dan 20 % menyatakan tidak ada perubahan (Gambar 37). meningkat tidak berubah/tetap menurun
Responden (%)
80 60 40 20 0 tangkapan nelayan
terumbu karang
ukuran ikan
pendapatan
Gambar 37 Persepsi responden terhadap hasil tangkapan, kondisi terumbu karang, ukuran ikan tangkapan dan pendapatan
Lebih lanjut, menurut mereka turunnya hasil tangkapan disebabkan oleh rusaknya hábitat tempat hidup ikan (36.07%), penangkapan ikan yang merusak dan tidak ramah lingkungan (22.95%), musim barat yang lebih lama (9.84%), penangkapan berlebih (8.20%), penggundulan hutan (1.64%), perluasan kawasan wisata yang merusak karang dan mengurangi kawasan penangkapan nelayan (13.11%), perluasan budidaya rumput laut dan kerapu (1.64), siklus alam (6.56%). Responden juga menyatakan solusi untuk hal tersebut misalnya dengan
70
peningkatan pengawasan maka ada kemungkinan akan memperbaiki kondisi yang ada, perbaikan hábitat ikan, menjaga terumbu karang. Secara umum masyarakat Karimunjawa sudah sangat sadar untuk tidak melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bom, racum atapun menangkap dengan menggunakan alat tangkap destruktif lainnya. Berdasarkan wawancara lebih dari 95% responden mengetahui bahwa kerusakan terumbu karang akan mempengaruhi hasil tangkapan mereka. Meskipun hingga saat ini masih ditemukan penangkapan ikan dengan alat yang merusak dan biasanya dilakukan oleh nelayan luar Karimunjawa. Program pengelolaan sumber daya perikanan di kawasan Karimunjawa kurang berjalan dengan baik karena banyaknya instansi yang ada, dengan tugas pokok dan fungsi yang tidak jelas dan tidak saling berkoordinasi. Program pengembangan perikanan yang pernah dilakukan adalah bantuan perahu dan unit budidaya rumput laut serta karamba ikan kerapu. Sedangkan pengelolaan yang dilakukan Balai Taman Nasional Karimunjawa cenderung bersifat represif khususnya dalam hal penentuan zonasi kawasan dan penangkapan serta penindakan terhadap pelaku penangkatan ikan dengan bom, sianida dan destructive fishing. Ketersediaan anggaran dan personil yang terbatas tidak dapat melakukan perlindungan dengan maksimal terhadap kawasan konservasi. Selain itu juga terdapat perwakilan Departemen Perhubungan, Dinas Perhubungan Provinsi, Polairud, TNI AL yang melakukan patroli dan pengamanan kawasan. Jalinan kerjasama juga dilakukan dengan beberapa LSM lokal dan internasional seperti LSM Kenari, LSM Kunci, Yayasan Taka, LSM Jambu, WCS (Wildlife Conservation Society) Marine Program untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan peran penting terumbu karang terhadap kelangsungan hasil tangkapan mereka. Meskipun ada juga nelayan yang apriori terhadap LSM-LSM yang ada di Karimunjawa, mereka menganggap bahwa LSM tersebut hanya kaki tangan pemerintah dalam menjalankan proyek. Selanjutnya berdasarkan wawancara dengan nelayan menyatakan bahwa 86.8% responden menyatakan bahwa kebijakan dan program pemerintah di bidang perikanan kurang menyentuh kebutuhan mereka.
71
5.6. Skenario Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan IPCC (2007) memproyeksikan akan terjadi peningkatan luasan dan frekuensi pemutihan karang, penurunan kelimpahan larva ikan di kawasan pesisir, peningkatan potensi penyebaran penyakit menular dan infeksi, hilangnya 2500 km² kawasan mangrove jika terjadi kenaikan permukaan laut setinggi 1 meter, potensi erosi dan penggenangan kawasan pantai meningkat, hilangnya kawasan terumbu karang hingga 30% di kawasan Asia 30 tahun kedepan. Dalam menentukan strategi mitigasi dan adaptasi terhadap adanya perubahan iklim global dan pemutihan karang dapat dilihat dari 2 kategori yaitu : 1. Strategi yang ditujukan kepada terumbu karang sebagai suatu kesatuan ekologi yang dapat menjaga keutuhan dan keseimbangan dalam ekosistem tersebut. 2. Strategi yang ditujukan kepada masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung menerima akibat dari pemutihan karang. Adaptasi merupakan tindakan penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi dampak negatif dari perubahan iklim, namun upaya tersebut akan sulit memberi manfaat secara efektif apabila laju perubahan iklim melebihi kemampuan beradaptasi. Oleh karena itu, adaptasi harus diimbangi dengan mitigasi. Wesmascot et al. 2000, mencoba menyusun beberapa prinsip dan strategi yang dapat dilakukan terhadap timbulnya pemutihan karang, dan pengelolaan adaptif adalah salah satu cara untuk mengatasi ketidakpastian ilmiah, dan harus mencakup pemantauan ekologis, sosial ekonomi, variabel dan manajemen untuk mengevaluasi dan menyesuaikan strategi. Penanganan perubahan iklim membutuhkan manajemen variabilitas iklim secara efektif yang pada saat bersamaan mengantisipasi dampak perubahan iklim global jangka-panjang secara komprehensif, untuk itu disusun suatu skenario (alternatif rancangan kebijakan) yang memungkinkan dapat dilakukan dalam kondisi nyata di lapangan. Berdasarkan hasil penelitian ternyata didapatkan fakta bahwa telah terjadi pemutihan karang di Kawasan Karimunjawa yang mengakibatkan perubahan komposisi ikan, penurunan sumberdaya ikan dan pendapatan nelayan. Skenario adaptif pengelolaan terumbu karang dan sumberdaya ikan di Karimunjawa merupakan jawaban atas permasalahan tersebut, dan dirancang berdasarkan pada hasil analisis multi criteria decision making dan analisis prospektif.
72
5.6.1. Analisis Multi Criteria Decision Making Perumusan skenario pengelolaan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi yang ada saat ini, dan hasil analisis sebelumnya. Saat ini kondisi terumbu karang di Karimunjawa terlihat menunjukkan kecenderungan untuk terus menurun, baik oleh peristiwa alam seperti peningkatan suhu yang mengakibatkan pemutihan karang, tetapi juga aktivitas manusia. Beberapa lokasi mengindikasikan kerusakan disebabkan oleh kegiatan destructive fishing. Disisi lain kawasan TN Karimunjawa bukan hanya kawasan untuk kegiatan perikanan tangkap, didalamnya juga terdapat aktivitas pariwisata, budidaya rumput laut, budidaya karang hias dan budidaya jaring apung. Sehingga pengelolaan dan pemanfaatan suatu kawasan dan sumberdaya alam berpotensi menimbulkan konflik baik konflik kepentingan maupun konflik pemanfaatan. Analisis Multi Criteria Decision Making (MCDM) digunakan untuk menentukan skenario adaptif terbaik pengelolaan sumberdaya perikanan di TN Karimunjawa, melalui pembobotan nilai yang paling berpengaruh
dari
kriteria dan sub kriteria. Penetuan kriteria dan sub kriteria diadaptasi dari Wilkinson & Buddemeier (1994), Wesmascot et al. 2000 dan Pomeroy et al. (2004) yang menyatakan bahwa indikator dalam evaluasi suatu model pengelolaan kawasan konservasi antara lain : biofisik (tutupan karang hidup, kelimpahan ikan), sosial ekonomi (pendidikan, pendapatan, persepsi dan partisipasi) dan pemerintah. Berdasarkan diskusi dengan pakar dan hasil wawancara dengan responden, selanjutnya ditetapkan kriteria yang paling penting dalam pengelolaan TN Karimunjawa, adalah : (1) kriteria ekologi, yang terdiri atas sub kriteria : (a) keberadaan ekosistem terumbu karang, (b) kelimpahan sumberdaya ikan, (c) aktivitas antropogenik (2) Kriteria ekonomi, yang terdiri atas sub kriteria : (a) produksi ikan, (b) pendapatan nelayan sebagai pemanfaat langsung sumberdaya terumbu karang (3) Kriteria sosial, yang terdiri atas sub kriteria : (a) peningkatan pendidikan, (b) keharmonisan hubungan antara pemanfaat teumbu karang, (c) partisipasi dalam pengelolaan TN Karimunjawa (4) Kriteria kebijakan, yang terdiri atas sub kriteria : (a) lembaga pengelola, (b) penerapan regulasi, (c) kepemimpinan formal
73
Selanjutnya, ke-empat subsistem tersebut dijabarkan dalam 4 skenario pengelolaan yaitu : (1) Skenario I : as Usual scenario, yaitu kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan dan terumbu karang berjalan seperti apa adanya dimana kondisi terumbu karang
dan sumberdaya ikan cenderung menurun, spesies langka jarang
ditemui, destructive fishing, pengambilan karang serta pengundulan hutan terus berlangsung, peningkatan sedimentasi pada kawasan tertentu, jumlah pendapatan meningkat tetapi tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup. (2) Skenario II : yaitu apabila pengambilan batu karang dihentikan, rehabilitasi terumbu karang dan mangrove ditingkatkan, kegiatan penangkapan ikan yang merusak dan pengendalian kegiatan wisata, tetapi sedimentasi tidak dikendalikan, (3) Skenario III : yaitu apabila pengambilan batu karang dihentikan, rehabilitasi terumbu karang dan mangrove ditingkatkan, sedimentasi di kendalikan, tetapi penangkapan ikan yang merusak dan aktivitas pariwisata tidak dikendalikan. (4) Skenario IV : yaitu pengelolaan sumberdaya ikan dan terumbu karang lebih dititik-beratkan
pada
kepentingan
konservasi
melalui
penghentian
penangkapan ikan yang merusak, pengambilan karang serta penggundulan hutan, monitoring dan rehabilitasi terumbu karang ditingkatkan, sedimentasi dikendalikan.
Dengan demikian tidak ada perubahan terhadap fungsi
terumbu karang sebagai perlindungan pantai, komposisi spesies ikan lebih banyak ikan herbivora
dan sedikit penurunan ikan karnivora, adanya
recruitment dan pertumbuhan terumbu karang setelah kejadian pemutihan karang, produktivitas dan komposisi ikan meningkat, pendapatan nelayan meningkat. Berdasarkan rumusan skenario, aspek yang diperhitungkan dan subkriteria yang terpilih, maka dibentuk struktur hirarki untuk menggambarkan model pengelolaan yang akan dilakukan guna menjaga keberadaan terumbu karang dan ketersediaan stok ikan pada kawasan tersebut (Gambar 38). Bobot persepsi responden didasarkan pada hasil skor dari suatu pertanyaan dengan asumsi bertambah, tetap atau berkurang. Persepsi responden ini selanjutnya diberi bobot dan dihitung rata-rata geometrik dan dianalisis untuk seluruh responden maupun
74
jenis responden. Nilai kontribusi kriteria dan sub kriteria tersebut akan dijadikan perhitungan dalam menentukan skenario terpilih yang terbaik. Persepsi responden dipengaruhi oleh tingkat kepentingan terhadap sub kriteria yang digunakan.
Gambar 38 Struktur hirarki untuk analisis MCDM Berdasarkan struktur hirarki yang dibentuk dan analisis data dengan program Criterium Decision Plus melalui metode SMART terhadap rata-rata geometrik dari bobot persepsi responden (Lampiran 13), maka hasilnya diuraikan menurut masing-masing kriteria keberlanjutan dari pengelolaan sumberdaya ikan dan terumbu karang di TN Karimunjawa, sebagai berikut : (a). Kriteria Ekologi Skor kriteria ekologi pada masing-masing skenario pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan di TN Karimunjawa dipengaruhi oleh skor akhir keberadaan terumbu karang, sumberdaya ikan dan aktivitas antropogenik. Hasil analisis persepsi yang dilakukan terhadap tiga kelompok responden menghasilkan skenario IV sebagai skenario yang terbaik. Hal tersebut menunjukkan bahwa seluruh responden sepakat bahwa terumbu karang dan sumberdaya ikan penting keberadaannya, dengan skenario IV apabila sedimentasi dikendalikan, rehabilitasi terumbu karang dan mangrove ditingkatkan, aktivitas penangkapan ikan yang merusak dihentikan, aktivitas pariwisata dimanagement dengan baik, maka keberadaan terumbu karang akan lebih baik dan kelimpahan ikan akan meningkat. Skor akhir subkriteria pada persepsi responden nelayan menunjukkan nilai yang sama dengan responden lainnya. Menurut nelayan dengan kondisi
75
terumbu karang yang baik maka kelimpahan ikan akan banyak. Oleh sebab itu bagi ketiga kelompok responden menyatakan bahwa skenario I, II dan III tidak berdampak terhadap peningkatan kelimpahan ikan maupun perbaikan kondisi terumbu karang. Kondisi saat ini penangkapan lebih sulit, karena penangkapan tidak dapat lagi dilakukan didekat pantai tetapi harus lebih jauh lagi. Menurut responden nelayan kelimpahan sumberdaya ikan lebih penting dibandingkan dengan keberadaan terumbu karang. Sedangkan menurut pelaku usaha yang umumnya penyedia jasa wisata keberadaan terumbu karang lebih penting untuk menunjang usaha mereka. Berdasarkan persepsi responden nelayan dan pelaku usaha, skor kriteria ekologi untuk skenario II lebih tinggi dibandingkan dengan skenario III, karena pada saat ini perekonomian di Karimunjawa ditunjang oleh kegiatan perikanan dan pariwisata yang mana keberlangsungan kedua sektor tersebut sangat ditentukan oleh kelimpahan ikan dan keberadaan terumbu karang. Sedangkan kontribusi sedimentasi tidak terlalu berpengaruh terhadap kelimpahan ikan dan keberadaan terumbu karang. Selain itu pada saat ini penebangan pohon relatif sudah berkurang jauh. Disisi lain responden penentu kebijakan menilai bahwa skenario II dan skenario III sama pentingnya sehingga skor nilai akhir yang dihasilkanpun sama. Jadi penghentian penangkapan ikan yang merusak mutlak dilakukan, aktivitas kegiatan pariwisata dimanajemen dengan baik dan sedimentasi harus dihentikan.
Gambar 39 Skor akhir kontribusi persepsi responden terhadap kriteria ekologi (b). Kriteria Ekonomi Skenario IV menghasilkan skor akhir dari kriteria ekonomi yang terbaik menurut responden nelayan, pelaku usaha dan penentu kebijakan. Skor akhir
76
skenario II selalu lebih tinggi dibandingkan skenario I dan III. Berdasarkan persepsi responden nelayan terlihat bahwa posisi pendapatan dan produksi ikan seimbang, yang mana keduanya saling mempengaruhi, apabila produksi ikan tinggi maka dapat diasumsikan bahwa pendapatan yang diterima akan lebih banyak. Sedangkan menurut responden pelaku usaha, pendapatan lebih penting dibandingkan dengan produksi ikan, jadi meskipun jumlah produksi ikan kecil bukanlah suatu masalah yang besar, yang terpenting adalah nilai keuntungan dari kegiatan perdagangan tersebut. Selanjutnya, menurut persepsi responden penentu kebijakan hanya skenario IV yang dapat meningkatkan produksi ikan dan pendapatan khususnya nelayan.
Gambar 40
Skor akhir kontribusi persepsi responden terhadap kriteria ekonomi
(c). Kriteria Sosial Skor akhir kriteria sosial dipengaruhi oleh pendidikan, partisipasi masyarakat dan keharmonisan antara pemanfaat sumberdaya yang ada. Hasil analisis terhadap persepsi responden nelayan, pelaku usaha dan penentu kebijakan menghasilkan skenario IV sebagai skenario yang terbaik untuk kriteria sosial. Penghentian destructive fishing, pengelolaan kegiatan wisata dengan baik, pengendalian sedimentasi akan memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan partisipasi masyarakat, keharmonisan hubungan antara sektor-sektor yang memanfaatkan kawasan terumbu karang, dan pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendidikan masyarakat. Karena dalam kasus Karimunjawa,
kecemburuan sosial merupakan salah satu isu yang hangat
77
disana. Para pemilik resort menuduh nelayan sengaja melakukan pengrusakan terhadap terumbu karang yang merupakan daya tarik utama wisata. Di sisi lain nelayan merasa bahwa dengan berkembangnya Karimunjawa sebagai kawasan wisata akan mempersempit lahan tangkapan nelayan. responden
yang
ada,
keterlibatan
masyarakat
Menurut
dalam
seluruh
mengelola TN
Karimunjawa saat ini sudah cukup baik, hanya tingkat pendidikan yang perlu ditingkatkan lagi karena kesadaran untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi masih kurang, banyak diantara mereka yang masih beranggapan bahwa tidak perlu bersekolah yang tinggi karena akhirnya hanya akan jadi nelayan.
Gambar 41
Skor akhir kontribusi persepsi responden terhadap kriteria sosial
(d). Kriteria Kebijakan Skor akhir kriteria kebijakan dipengaruhi oleh regulasi/aturan, lembaga pengelola dan kepemimpinan formal. Pengelola yang dimaksud disini adalah leading sektor dalam pengelolaan sumberdaya ikan dan terumbu karang. Berdasarkan analisis persepsi responden yang dilakukan ternyata regulasi/ aturan serta leading sektor sangat berpengaruh untuk dapat tercapainya skenario IV sebagai skenario pilihan yang terbaik. Dengan aturan yang jelas, termasuk
didalamnya
penegakan
peraturan
tersebut
maka
kegiatan
penangkapan ikan yang merusak dan sedimentasi akan terkendali, kegiatan wisata akan memberikan manfaat secara nyata bukan hanya pengelola tetapi juga masyarakat. Konflik antar pemanfaat sumberdaya ikan dan terumbu karang akan minimal.
78
Gambar 42 Skor akhir kontribusi persepsi responden terhadap kriteria kebijakan Analisa terhadap persepsi responden secara keseluruhan menghasilkan pilihan bahwa skenario IV merupakan skenario yang terbaik untuk kelangsungan sumberdaya terumbu karang melalui pendekatan adaptasi dan mitigasi. Hasil analisa keseluruhan responden disajikan pada Gambar 43.
Gambar 43 Skor akhir kontribusi persepsi responden Berdasarkan analisis tersebut terlihat bahwa skenario IV memiliki skor tertinggi (0.839), dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk mewujudkan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan harus
lebih dititik-beratkan pada
79
kepentingan konservasi melalui pengendalian penangkapan ikan yang merusak, penghentian pengambilan karang untuk bangunan serta penggundulan hutan, peningkatan monitoring dan rehabilitasi terumbu karang, serta pengendalian sedimentasi. Sehingga diharapkan fungsi ekologi terumbu karang tidak berubah, produktivitas dan komposisi ikan meningkat, pendapatan nelayan meningkat. Skor akhir hasil analisis persepsi responden pada masing-masing kriteria untuk skenario (Gambar 44) menunjukkan bahwa kriteria ekologi dan ekonomi bernilai lebih tinggi dibandingkan dengan kriteria kebijakan dan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang apabila kondisi ekologi baik, tentunya akan berimplikasi terhadap perekonomian masyarakat baik secara langsung maupun tidak. Dengan terpenuhinya kebutuhan hidup maka akan dapat meminimalisir konflik yang ada dan akan tercipta keharmonisan antara pemanfaat sumberdaya. Terciptanya keharmonisan dalam suatu komunitas, tentunnya akan memberikan sinergi kepada lingkungan tersebut motivasi kepada masyarakat
sehingga akan memberikan
untuk turut berpartisipasi dalam pengelolaan
kawasan tersebut.
Gambar 44
Skor akhir skenario pengelolaan perikanan berkelanjutan di TN Karimunjawa berdasarkan kriteria
5.6.2. Analisis Prospektif Pengelolaan kawasan pesisir dan laut harus dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan dengan mempertimbangkan ekologi dan ekonomi dalam rangka mengurangi efek perubahan iklim global sehingga diharapkan frekuensi dan luasan kejadian pemutihan karang tidak meningkat dan sumberdaya ikan tetap terjaga untuk kesejahteraan masyarakat. Skenario adaftif pengelolaan terumbu karang dirancang berdasarkan pada hasil analisis prospektif. Analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk mempersiapkan tindakan strategis di masa depan dengan cara
80
menentukan
faktor-faktor
kunci yang
berperan penting
terhadap
berbagai
kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Berdasarkan identifikasi dari expert
(pakar) didapatkan 21 faktor kunci yang dianggap berpengaruh dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang di Karimunjawa di masa depan, yaitu: (1) motivasi dan partisipasi, (2) kemampuan pemulihan alami terumbu karang pada kawasan tersebut, (3) kebijakan pemerintah, (4) sumberdaya manusia, (5) no take zone area, (6) keanekaragaman terumbu karang, (7) siswasmas, (8) kesadaran masyarakat dalam mengelola lingkungannya, (9) jaring sosial masyarakat, (10) biofisik lingkungan, (11) dukungan pihak lain, (12) akses terhadap sumberdaya alam, (13) kesempatan bekerja dan berusaha, (14) adanya investor, (15) kelembagaan nelayan, (16) pendanaan, (17) jaringan kemitraan, (18) infrastruktur, (19) ketahanan pangan, (20) ketersediaan air bersih, dan (21) produksi ikan. Hasil analisis matriks hubungan antara faktor kunci terhadap pengaruh langsung dan tidak langsung antar faktor kunci tersebut dari sistem yang dikaji, secara rinci disajikan pada Lampiran 14 - Lampiran 18, dan analisis silang antar faktor kunci tersebut dipresentasikan secara grafik (Gambar 44), dan akan terpilih faktor kunci (penting) dalam penentuan strategi adaptif pengelolaan TN Karimunjawa. Dari analisis prospektif terlihat bahwa faktor penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan terkelompokkan dalam 4 kuadran. Kuadran kiri atas (kuadran I) merupakan kelompok faktor yang memberikan pengaruh tinggi terhadap kinerja sistem dengan ketergantungan yang rendah terhadap keterkaitan antar faktor. Kuadran ini terdiri dari satu faktor, yaitu kebijakan pemerintah. Faktor ini akan digunakan sebagai input di dalam sistem yang dikaji. Kuadran kanan atas (kuadran II) merupakan kelompok faktor yang memberikan
pengaruh
tinggi terhadap
kinerja
sistem dan
mempunyai
ketergantungan antar faktor yang tinggi pula, sehingga digunakan sebagai stake (penghubung) di dalam sistem. Kuadran ini terdiri dari dua faktor yaitu: 1) no take zone area, 2) motivasi dan partisipasi, 3) kemampuan recovery, 4) sumberdaya manusia (SDM). Kuadran kanan bawah (kuadran III) memiliki pengaruh yang rendah terhadap kinerja sistem dan ketergantungan yang tinggi terhadap keterkaitan antar faktor, sehingga menjadi output di dalam sistem. Kuadran ini
81
terdiri dari enam faktor, yaitu: 1) keanekaragaman hayati, 2) infrasruktur/fasilitas, 3) jaringan kemitraan, 4) supplay air bersih, 5) food security, 6) produksi ikan. Kuadran kiri bawah (kuadran IV) mempunyai pengaruh rendah terhadap kinerja sistem dan ketergantungan juga rendah terhadap keterkaitan antar faktor. Kuadran ini terdiri dari empat faktor, yaitu: 1) siswasmas, 2) kelembagaan nelayan, 3) akses terhadap sumberdaya, 4) jaring sosial masyarakat, 5) pendanaan, 6) investor, 7) kesadaran masyarakat, 8) biofisik lingkungan, 9) dukungan pihak lain, 10) kesempatan kerja.
Gambar 45 Tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada pengelolaan ekosistem terumbu karang di Karimunjawa Berdasarkan pada penilaian pengaruh langsung antar faktor dari ke-21 faktor kunci tersebut didapatkan sebanyak dua faktor yang mempunyai pengaruh tinggi terhadap kinerja sistem dan ketergantungan antar faktor yang tinggi pula, yaitu: adanya (1) zona inti (no take zone area), (2) motivasi dan partisipasi, (3) kemampuan pemulihan terumbu karang, dan (4) sumberdaya manusia, serta satu faktor yang mempunyai pengaruh yang tinggi terhadap kinerja sistem walaupun ketergantungan antar faktor rendah, yaitu kebijakan pemerintah. Oleh sebab itu, kelima faktor tersebut perlu dikelola dengan baik dan dibuat state (kondisi) yang mungkin terjadi di masa depan sehubungan dengan pengendalian pemutihan karang. Deskripsi dari masing-masing faktor kunci hasil analisis pengaruh langsung antar faktor adalah sebagai berikut :
82
a) No take zone area, merupakan kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mana tidak diperbolehkan adanya aktivitas apapun. b) Motivasi dan partisipasi Persepsi masyarakat adalah pandangan responden tentang kegiatan pengelolaan kawasan
TN
Karimunjawa
khususnya
dalam
pemutihan
karang.
Cara
mengetahuinya adalah melalui beberapa indikator pertanyaan yang menjelaskan pandangan responden terhadap (1) kegiatan pencegahan pengrusakan dan pemutihan karang, (b) kegiatan penanggulangan pengrusakan dan
pemutihan
karang dan (3) kegiatan dalam partisipasi pada pencegahan dan penanggulangan kerusakan dan pemutihan karang. c) Kemampuan pemulihan, merupakan kemampuan suatu lingkungan untuk kembali pada kondisi awal (pulih)
setelah adanya gangguan. Pengurangan tekanan
terhadap ekosistem pesisir dan laut akan meningkatkan carrying capacity dan kapasitas adaptasi kawasan tersebut. d) Sumberdaya manusia, potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk
mewujudkan perannya sebagai makhluk sosial yang adaptif dan transformatif yang mampu mengelola dirinya sendiri serta seluruh potensi yang terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan yang seimbang dan berkelanjutan. e) Kebijakan pemerintah Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam bentuk aturan/regulasi dalam bidang pariwisata, perikanan, budidaya, penataan ruang, kehutanan dapat mempengaruhi sumberdaya perikanan dan terumbu karang.
Skenario adaptif pengelolaan
terumbu karang dan sumberdaya ikan
berkelanjutan dibuat berdasarkan perkiraan responden mengenai kondisi faktor kunci di masa mendatang. Dari perkiraan responden mengenai kondisi faktorfaktor penting tersebut di masa mendatang, disusun skenario yang mungkin terjadi di daerah penelitian. Hasil perkiraan responden mengenai kondisi faktor-faktor di masa datang, selanjutnya dilakukan kombinasi yang mungkin terjadi antar kondisi faktor tersebut (Tabel 25), dan didapatkan empat skenario yaitu : (1) skenario sangat optimis, (2) optimis, (3) optimis perlu biaya dan (4) pesimis. Nilai dan presentase dari keempat skenario disajikan pada Tabel 24.
83
Tabel 24 Skenario 5 faktor terpilih dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang hingga tahun 2020 KEADAAN FAKTOR
Kawasan perlindungan Motivasi dan partisipasi
Kemampuan pemulihan
Sumberdaya manusia
Kebijakan pemerintah
1A Makin luas, banyak, keanekaragaman tinggi, menunjang 2A Besar, tinggi Meningkat secara bertahap karena adanya sosialisasi 3A Meningkat, dengan kondisi biofisik yang mendukung maka akan pulih relatif cepat 4A
1B Tetap, keanekaragaman tinggi, menunjang 2B Meningkat, bertahap
1C Sempit, menunjang
1D Makin sempit, tidak menunjang, keanekaranan rendah
2C Sedikit, rendah
3B lambat, minim
4B
4C
Meningkat karena adanya training dan motivasi untuk maju
Besar, rendah
Sedikit, rendah
5A Mendukung dengan membuat kebijakan pengendalian, implementasi kebijakan yang efektif dan lebih memfasilitasi
5B Mendukung, tetapi kurang proaktif karena dianggap tidak berpengaruh terhadap kesejahteraan.
5C Mendukung tetapi tidak berpihak pada masyarakat
5D Tidak mendukung sama sekali
Tabel 25 Prospektif skenario pengelolaan terumbu karang di masa depan No
Skenario
Urutan faktor
Presentase (%)
1
Sangat Optimis
IA,2A,3A,4A,5A
33.188
2
Optimis
IA,2A,3A,4A, 5B
31.878
3
Optimis perlu biaya (Moderat)
IC,2B,3A,4B,5BC
20.087
4
Pesimis
ID,2C,3B,4C,5D
14.847
Jumlah
100.00
Jumlah skenario yang dapat dirumuskan dalam rangka pengelolaan adaptif terumbu karang dan sumberdaya ikan bisa lebih dari empat, namun dari keadaan dari masing-masing faktor kunci, kemungkinan yang paling besar diperkirakan akan terjadi di masa yang akan datang dari keempat skenario tersebut adalah : 1. Skenario pesimis merupakan suatu skenario yang dibangun berdasarkan
keadaan (state) dan faktor kunci dengan kondisi dimana : (1) jumlah dan luasan zona inti berkurang, (2) motivasi dan partisipasi masyarakat menurun karena
84
kurangnya sosialisasi dan penyuluhan dari pemerintah, (3) rusaknya lingkungan mengakibatkan kemampuan pemulihan menjadi rendah dan lambat, (4) rendahnya tingkat pendidikan menjadikan pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan terumbu karang dan sumberdaya ikan menurun, (5) pemerintah daerah kurang mendukung karena menganggap bahwa pemutihan karang kurang
berpengaruh
terhadap
kesejahteraan
masyarakat
sekitar
TN
Karimunjawa. Penerapan konsep skenario pesimistik ini akan memberikan implikasi berupa : (1) kerusakan terumbu karang semakin meningkat, (2) kepedulian masyarakat terhadap kerusakan terumbu karang semakin berkurang, (3) beban lingkungan semakin meningkat, (4) kerusakan lingkungan berimplikasi terhadap hasil tangkapan dan pendapatan nelayan, sehingga jika dimungkinkan akan terjadi penurunan sumberdaya manusia, (5) pemerintah daerah kurang memberi perhatian terhadap pengelolaan terumbu karang dan sumberdaya ikan. 2. Skenario optimis yang memerlukan biaya (moderat) adalah skenario moderat mengandung pengertian bahwa keadaan masa depan yang mungkin terjadi diperhitungkan dengan penuh pertimbangan sesuai dengan keadaan dan kemampuan sumberdaya yang dimiliki saat ini. Skenario ini dibangun berdasarkan state dari faktor kunci dengan kondisi sebagai berikut : (1) zona inti yang ada semakin sempit meskipun masih mampu menunjang keanekaragaman dan ekologi yang ada, (2) motivasi dan partisipasi meningkat secara bertahap sesuai dengan kemampuan
dan
pengetahuan
masyarakat,
(3)
rusaknya
lingkungan
mengakibatkan kemampuan pemulihan menjadi rendah dan lambat, (4) jumlah sumberdaya yang terdedia banyak, namun mempunyai kemampuan yang yang rendah, (5) kebijakan pemerintah mendukung, namun tidak berpihak pada
masyarakat dan kurang proaktif. Penerapan konsep skenario moderat ini akan memberikan implikasi berupa : (1) kerusakan terumbu karang akan tetap pada kondisinya semula, (2) kepedulian masyarakat akan meningkat secara bertahap, (3) sumberdaya manusia akan meningkat secara bertahap karena adanya sosialisasi.
3. Skenario optimistik dibangun berdasarkan keadaan (state) dan faktor kunci dengan kondisi : (1) luasan dan jumlah zona ini meningkat, (2) dukungan masyarakat meningkat karena motivasi dan partisipasi meningkat, (3) sumberdaya manusia yang tinggi dan semakin meningkat karena adanya
85
training dan kemauan untuk maju, (4) kebijakan pemerintah yang mendukung, meskipun kurang proaktif. 4. Skenario sangat optimis dibangun berdasarkan keadaan (state) dan faktor kunci dengan kondisi : (1) luasan dan jumlah zona ini meningkat, (2) dukungan masyarakat meningkat karena motivasi dan partisipasi meningkat, (3) sumberdaya manusia semakin meningkat, (4) kebijakan pemerintah yang mendukung, efektif, adaptif dan lebih memfasilitasi maka diharapkan apabila terumbu karang mengalami kerusakan baik oleh pemutihan karang maupun oleh antropogenic impact akan segera pulih dan berfungsi kembali baik secara ekologi, ekonomi maupun sosial sehingga mampu mampu mendukung kehidupan masyarakatnya. Keempat skenario yang terbentuk tersebut, menjelaskan strategi adaptasi dan mitigasi yang dapat dilakukan secara utuh dari hulu dan hilir sesuai dengan kondisi lingkungan yang ada ditentukan oleh faktor kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah merupakan salah satu motor utama dalam pengelolaan suatu kawasan konservasi, karena pada umumnya masyarakat masih lebih mementingkan kebutuhan jangka pendek (ekonomi) dibandingkan jangka panjang. Analisis prospektif yang dilakukan menghasilkan nilai 33.188 % untuk skenario sangat optimis, 31.878 % untuk skenario optimis, 20.087% untuk skenario optimis perlu biaya dan 14.847% untuk skenario pesimis. Berdasarkan analisis kondisi eksisting yang ada saat ini skenario yang berlaku adalah skenario moderat (pesimistik perlu biaya). Secara umum kualitas perairan di kawasan Karimunjawa masih dalam kisaran baik namun mempunyai kecenderungan menurun, peningkatan suhu permukaan laut akan terus meningkat, kejadian pemutihan karang telah terjadi sebanyak 3 kali (1999, 2006 dan 20092010) dengan intensitas semakin sering dan meluas, telah terbukti bahwa pemutihan karang telah menberikan efek terhadap ekologi (penurunan hard coral cover sebesar 26%, soft coral 3-10%, penurunan kelimpahan ikan karnivora, peningkatan ikan herbivora) dan ekonomi (penurunan hasil tangkapan nelayan yang berasosiasi dengan pemutihan karang yaitu ikan kerapu dan ekor kuning, penangkanan ikan kerapu dan betet tidak lagi menguntungkan, penurunan pendapatan nelayan dan terdapat kerugian nilai produksi). Kekurangtanggapan
86
dari skenario ini akan mengakibatkan kondisi TN Karimunjawa semakin terpuruk, dan tidak berdaya apabila faktor dan tingkat kerusakan bertambah (misal tingkat pemutihan karang menjadi berat dan luas, ditambah kombinasi dengan penangkapan yang berlebih dan merusak), maka beberapa rumusan strategi adaptif untuk menurunkan beban terumbu karang dalam upaya pengendalian kerusakan terumbu karang dan produksi ikan berdasarkan prioritas adalah sebagai berikut : 1) Kebijakan pemerintah
Di Karimunjawa terdapat beberapa regulasi yang bertentangan dengan norma konservasi dan berpotensi menimbulkan konflik dengan nelayan perlu dilakukan peninjauan ulang (misal : pengijinan pengoperasian muroami yang terbukti secara jelas merusak terumbu karang dan ditentang oleh masyarakat). Sehingga
direkomendasikan
pencabutan
peraturan
pemerintah
daerah
Kabupaten Jepara No.523/2813 tanggal 28 Juni 2002 yang melegalkan penggunaan muroami di Karimunjawa. 2) Adanya kawasan preservasi (no take zone area)
Dalam kasus pemutihan karang perlindungan perlu ditingkatkan terutama pada kawasan dengan keanekaragaman yang tinggi untuk menjaga suplai larva karang pada saat terjadi pemutihan karang, kawasan dengan aliran air yang cukup tinggi, kawasan yang mempunyai sistem pendinginan alami, ataupun kondisi perbaikan lainnya. No take zone area berfungsi sebagai pensuplai larva karang (Salm dan Cole 2001) dalam rangka meningkatkan ketahanan ekologi suatu kawasan. Luas total kawasan TN Karimunjawa adalah 111.625.000 hektar, dan hanya 444.629 hektar (0.398%) yang merupakan zona inti. Pembelajaran dari
Balicasag’s sanctuary di Filipina (8 ha), tutupan karang meningkat 119% dalam 5 tahun setelah ditetapkan sebagai no take zone (Christie et al. 2002). Dalam kasus Karimunjawa, P. Menyawakan dan P. Sintok yang rawan terjadi pemutihan perlu ditinjau lagi statusnya sebagai kawasan pemanfaatan pariwisata menjadi no take zone area. 3) Motivasi dan partisipasi Motivasi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan TN Karimunjawa relatif masih rendah, karena masyarakat masih ditemukan menggunakan alat tangkap yang merusak terumbu karang, selain itu adanya keberpihakan pemerintah
terhadap
sekelompok
masyarakat
(khususnya
pengembangan
87
pariwisata) menjadikan kelompok masyakat yang terpinggirkan menjadi kurang peduli dan tidak mempunyai keinginan berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan TN Karimunjawa. Maka perlu melakukan upaya peningkatan persepsi dan kesadaran masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam mengelola Karimunjawa melalui penyuluhan dan pelatihan serta sosialisasi pada masyarakat sekitar taman nasional. Selain itu perlu dilakukan pemberdayaan jaring sosial yang telah ada
dalam masyarakat melalui pengembangan Community coastal management model. Dengan adanya ko managemen antara pemerintah dan masyarakat diharapkan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan terciptanya pemulihan sumberdaya terumbu karang. Partisipasi masyarakat dapat dilakukan dalam melalui perencanaan dan penyusunan ketentuan-ketentuan penangkapan ikan yang terkontrol bersama dengan instansi terkait lainnya, misalnya dalam menentukan daerah tangkapan, terkait dengan zonasi taman nasional, jenis alat tangkap, jumlah alat tangkap yang diijinkan, jumlah nelayan terkait dengan kelayakan usaha penangkapan ikan. Saat ini di Karimunjawa telah
dibentuk
suatu
pengamanan
swadaya
oleh
masyarakat
untuk
meminimalisir kegiatan destructive fishing. 4 Pemulihan terumbu karang
Pemutihan karang yang menyerang karang dengan kondisi yang baik relatif akan lebih cepat pulih dibandingkan dengan karang
dalam kondisi rusak.
Pengurangan tekanan terhadap ekosistem pesisir dan laut akan meningkatkan carrying capacity dan kapasitas adaptasi kawasan tersebut. Selanjutnya, Cinner et al. 2009 menyatakan bahwa setiap ikan mempunyai posisi yang penting dalam kaitan ekologi dan mempunyai peranan penting dalam pemulihan terumbu karang. Beroperasinya alat tangkap dengan teknik yang merusak di Karimunjawa seperti penggunaan bahan beracun, bahan peledak, muroami, ambai, jaring pocong, mini trawl ataupun alat sejenis yang dimodifikasi, telah terbukti merusak kawasan terumbu karang secara luas (WCS 2005). Pelarangan penggunaan alat tangkap yang merusak terumbu karang dan menghabiskan stok ikan serta menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan diduga akan membantu mempercepat pemulihan terumbu karang. Pelarangan destructive fishing dan illegal fishing serta promosi penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan, sehingga kegiatan
88
penangkapan ikan diorientasikan pada penangkapan tradisional atau modern yang berwawasan lingkungan, seperti penggunaan pancing dan jaring. Upaya pemulihan terumbu karang dapat pula dilakukan melalui rehabilitasi terumbu karang (transplantasi karang, pengembangan daerah perlindungan berbasis masyarakat, pembuatan terumbu karang buatan). 5) Sumberdaya manusia
Rendahnya tingkat pendidikan manusia berpengaruh terhadap persepsi dan tindakannya terhadap pengelolaan suatu kawasan, masyakat Karimunjawa yang dominan bermata pencaharian sebagai nelayan lebih berorientasi untuk memenuhi
kebutuhan
hidupnya
dibandingkan
pendidikannya. Maka prioritas utamanya adalah
untuk
meningkatkan
peningkatan manejemen
sumberdaya manusia, perbaikan mekanisme harga, dan perbaikan ekonomi. Secara kasat mata dapat dilihat bahwa penerimaan pendapatan dan tingkat kesejahteraan masyarakat di Karimunjawa belum merata. Nelayan selalu dalam posisi yang lebih rendah dalam hal penerimaan pendapatan dan tingkat kesejahteraan dibandingkan pedagang pengumpul ikan, maupun dengan pengelola /pemilik industri pariwisata. Berdasarkan wawancara, muncul isu kecemburuan sosial antara pengelola kegiatan wisata dengan nelayan, karena dalam hal ini pendampingan dan bantuan kepada nelayan sangat minim sementara disisi lain para pemilik home stay selalu diberikan bantuan baik berupa pelatihan, pendampingan maupun material/peralatan untuk homestay. Sebagai langkah awal penulis
mengusulkan
kepada lembaga/instansi
pemerintah yang ada di Karimunjawa lebih memperhatikan nelayan sebagai salah satu pemanfaat sumberdaya alam di kawasan tersebut dengan memberikan pendampingan, pelatihan, bantuan material, penciptaan mata pencaharian alternatif khususnya yang bisa dilakukan saat nelayan tidak melaut seperti budidaya rumput laut, karamba jaring apung dan diikutsertakan dalam kegiatan pariwisata misalnya sebagai guide turis, juru masak, keamanan dan lain sebagainya. 6) Mitigasi terhadap perubahan iklim global melalui pengurangan emisi CO 2
International Energy Agency/IEA (2007) menyatakan bahwa total emisi CO 2 yang dihasilkan oleh negara-negara di Asia mencapai 9295 millions tons atau
89
34.25% dari total emisi CO 2 dunia (27136 millions tons), dari nilai tersebut Indonesia memberikan kontribusi sebesar 341 millions tons (3.67%). Dengan demikian maka upaya pengurangan emisi CO 2 menjadi suatu hal yang penting dilakukan. Pengurangan emisi CO 2 dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : (a) Pemberian pemahaman kepada masyarakat efek dari perubahan iklim global, pemutihan karang terhadap ekologi dan ekonomi masyarakat, sehingga dengan kesadaran masyarakat akan melakukan upaya untuk mengurangi efek perubahan iklim global dan pemutihan karang. (b) Penghentian penebangan hutan (illegal logging) dan melakukan rehabilitasi pada kawasan yang sudah rusak atau kritis. Penebangan dan penggundulan hutan merupakan sumber emisi CO 2 tertinggi kedua setelah penggunaan bahan bakar fosil. Kegiatan pencurian dan penengan pohon di Karimunjawa sampai saat ini masih sering terjadi. Berdasarkan laporan BTN Karimunjawa (2008) luasan kawasan hutan daratan di Karimunjawa menunjukkan kecenderungan untuk menurun. Dengan dilakukannya rehabilitasi dan reboisasi pada kawasan yang gundul dan kritis diharapkan akan mengurangi tingkat sedimentasi, meningkatkan suplai oksigen dan mengurangi emisi CO 2 . (c) Energy security, renewable energy dan low emission Peningkatan penggunaan alternatif energi yang aman dan tidak menambah emisi CO 2 ke atmosfer seperti penggunaan tenaga angin, tenaga air, tenaga surya, gas dan biofuel. Di Karimunjawa penggunaan energi ataupun bahan bakar sebenarnya minimal karena hanya digunakan untuk penerangan dan bahan bakar kendaraan bermotor serta perahu yang jumlahnya terbatas. Namun upaya penemuan dan penggunaan alternatif energi merupakan suatu langkah mitigasi dalam rangka perubahan iklim global penting dilakukan, mengingat potensi tenaga air, angin dan surya di kawasan ini cukup tinggi.
6. SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan Berdasarkan deskripsi lokasi dan analisis yang dilakukan, maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut : 1. Pemutihan karang di Karimunjawa telah terjadi sebanyak tiga kali yaitu pada tahun 1998, 2006 dan 2009. Kejadian pemutihan karang tersebut mempunyai hubungan erat dengan faktor kenaikan suhu (anomali terjadi selama 38 minggu dengan suhu perairan tertinggi 2.7ºC dan
termasuk kategori
bleaching alert level 1, yang artinya karang mengalami stress karena peningkatan suhu permukaan laut). 2. Dampak pemutihan karang secara ekologi dapat dibuktikan berpengaruh secara nyata terhadap : (a) penurunan penutupan karang keras dan soft coral, (b) perubahan komposisi ikan, (c)
penurunan 2 kelompok ikan yang
berasosiasi dengan terumbu karang (kerapu dan ekor kuning). Secara ekonomi, pemutihan karang dapat mempengaruhi pendapatan nelayan. 3. Strategi yang tepat untuk Karimunjawa adalah kegiatan adaptif pengelolaan sumberdaya ikan dan terumbu karang lebih dititik-beratkan pada kepentingan konservasi melaui perbaikan kebijakan /regulasi, peningkatan motivasi dan partisipasi, peningkatan SDM, penetapan no take zone area dan pemulihan terumbu karang
yang rusak sehingga diharapkan tidak ada perubahan
terhadap fungsi terumbu karang sebagai perlindungan pantai, adanya recruitment dan pertumbuhan terumbu karang setelah kejadian pemutihan karang, produktivitas dan komposisi ikan meningkat, pendapatan nelayan meningkat. Mitigasi yang dilakukan lebih bersifat menyiapkan masyarakat untuk lebih memahami kejadian
perubahan iklim global dan pemutihan
karang, serta melakukan upaya pengurangan emisi CO 2 melalui pengurangan penebangan hutan mangrove dan reboisasi.
91
6.2. Saran Mengacu pada hasil pengamatan dan pembahasan sebelumnya serta kesimpulan diatas, maka disarankan beberapa hal sebagai berikut : 1. Perlu dilakukan pendataan lebih spesifik terhadap faktor yang mengakibatkan timbulnya stres lokal pada karang. 2. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai resiliensi dan vulnerability terumbu karang sebagai satu kesatuan ekologi yang utuh antara habitat dan biota yang hidup didalamnya. 3. Diperlukan evaluasi terhadap zona-zona yang ada berdasarkan pengkajian dan penelitian lebih lanjut. 4. Dibutuhkan koordinasi antar stakeholder yang ada pada kawasan tersebut, serta partisipasi aktif untuk menghentikan kerusakan terumbu karang, menghentikan destructive fishing agar fungsi ekologis kawasan ini tetap berlangsung sehingga apabila terjadi pemutihan karang akan dapat secara cepat melakukan pemulihan diri. 5. Pengawasan dan pembinaan terhadap para pemanfaat sumberdaya terumbu karang harus terus dilakukan. Salah satu pembinaan yang perlu dilakukan adalah penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan. 6. Meningkatkan peran serta dari para pihak, stakeholder lainnya dalam mengelola
TN
Karimunjawa
sebagai
kawasan
konservasi
untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 7. Perlu dilakukan pengkajian terhadap
lokasi pemijahan ikan untuk
meningkatkan potensi ikan karang. 8. Perlu dilakukan penelitian kombinasi dampak aktivitas manusia dan alam
terhadap perkembangan terumbu karang dan ikan.
92
DAFTAR PUSTAKA Adrianto L., Kusumastanto T. 2004. Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan (Management Fisheries Plan) dan Rencana Pengelolaan Kawasan Pesisir (Coastal Management Plan). Working Paper. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor. Alllen, G.R., R Steene.1999. Indo Pacific Coral Reef Field Guide. Tropical Research Singapore. Baird AH, Cumbo VR, Leggat W, Mauricio Rodriquez-Lanatty.2007.Fidelity and flexibility in coral symbioses. Marine Ecology Progress Series Vol. 347: 307–309. Published Oktober 11. © Inter-Research 2008 · www.int-res.com. Baker A., Romanski AM. 2007. Multiple symbiotic partnerships are common in scleractinian corals, but not in octocorals. Marine Ecology Progress Series Vol. 335: 237–242, 2007. Published April 16. © Inter-Research 2007 · www.int-res.com. Barber PH, Palumbi SR. 2000. What Molecular Genetics Can Contribute to the Design of Sustainable Marine Protected Areas. Paper presented at the 9th International Coral Reef Symposium, October 23-27, 2000, Bali, Indonesia. Bene C. Tewfik A. 2000. Analysis of Fishing Effort Allocation and Fishermen Behaviour Through a System Approach. Centre for the Economics and Managemen of Aquatic Resources University of Portsmouth. Berg, H., Ohman, M.C., Troe¨ng, S., Linde´n, O., 1998. Environmental economics of coral reef destruction in Sri Lanka. Ambio 27 (8), 627–634. Bergman KC, Öhman MC . 2001. Coral reef community structure in Zanzibar,Tanzania. In Marine Science Development in Tanzania and Eastern Africa, Richmond, M.D. and Francis, J. (eds). Proc. 20th Anniversary Conference on Advances in Marine Science in Tanzania. 28 June 1 July, 1999, Zanzibar, Tanzania. 263–275. Berumen, M.L., Pratchett, M.S., McCormick, M.I., 2005. Within reef variation in the diet and condition of two coral feeding butterflyfish (Pisces: Chaetodontidae).Marine Ecology Progress Series 287, 217–227. Birkeland C. 1997. Symbiosis, fisheries and economic development on coral reefs. Trends in Ecology and Evolution 12: 364-367 Brown BE, Suharsono. 1990. Damage and recovery of coral reefs affected by El Nino related seawater warming in the Thousand Island, Indonesia. Coral Reefs 8: 163-170. BTNKJ [Balai Taman Nasional Karimunjawa]. 1988. Kegiatan inventarisasi dan identifikasi terumbu karang dan Pemasangan Plot Permanen. Balai Taman Nasional Karimunjawa. Semarang. BTNKJ [Balai Taman Nasional Karimunjawa]. 1999. Kegiatan inventarisasi dan identifikasi terumbu karang dan Pemasangan Plot Permanen. Balai Taman Nasional Karimunjawa. Semarang.
93
BTNKJ [Balai Taman Nasional Karimunjawa]. 2001. Laporan Kegiatan Survey Potensi dan Penyebaran Terumbu Karang dan Pemasangan Plot Permanen di Balai Taman Nasional Karimunjawa. BTN Karimunjawa. Departemen Kehutanan. BTNKJ [Balai Taman Nasional Karimunjawa]. 2002. Laporan Kegiatan Survey Kondisi Ekologi dan Sosial di Balai Taman Nasional Karimunjawa. BTN Karimunjawa. Departemen Kehutanan. BTNKJ [Balai Taman Nasional Karimunjawa]. 2008. Statistik BTN Karimunjawa, 2008. Balai Taman Nasional Karimunjawa. Semarang. BTNKJ [Balai Taman Nasional Karimunjawa]. 2009 Monitoring Terumbu Karang dan Ikan. BTN Karimunjawa. Departemen Kehutanan. Cesar H. 2000. Impacts of the 1998 Coral Bleaching Event on Tourism in El Nido, Philippines (report). Cesar Environmental Economics Consulting. The Netherlands. Cesar H. 1996. Economic Analysis of Indonesian Coral Reefs. The World Bank.de Groot, R.S., 1992. Functions of Nature: Evaluation of nature in environmental planning, management and decision making. Wolters, Nordhoff BV, Groningen, The Netherlands. Cheal AJ, Delean S, Sweatman H, Thompson AA .2007. Spatial synchrony in coral reef fish populations and the influence of climate. Ecology 88:158–169. Cheal AJ, Wilson SK, Emslie MJ, Dolman AM, Sweatman H. 2008. Responses of reef fish communities to coral declines on the Great Barrier Reef. Marine Ecology Progress Series Vol. 372: 211–223, 2008. Published Desember 9. © Inter-Research 2008 · www.int-res.com. Christie P, White A, Deguit E. 2002. Starting Point or Solution? Community-Based Marine Protected Areas in Philippines. Journal of Environmental Management 66 : 441 – 454. Choat JH, DR Bellwood. 1991. Reef Fish. Their history and evolution in Sale PF (Eds). The ecology of fishes on coral reef. Academic Press, INC, San Diego.754 p. Cinner J, McClanahan T, Daw T (2009) Linking Social and Ecological Systems to Sustain Coral Reef Fisheries. Current Biology 19:206-212 Cole AJ, Pratchett MS, Jones GP. 2009. Effects of coral bleaching on the feeding response of two species of coral-feeding fish. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 373 (2009) 11–15. CSIRO [Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation]. 2006. Climate Change in the Asia/Pasific Region A Consultancy Report Prepared for the Climate Change and Development Roundtable CSIRO Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Cetakan Kedua. Edisi Revisi. Pradnya Paramita. Jakarta.328 hal. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jepara. 2006. Buku Saku Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jepara. Semarang.
94
Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 2004. Profil Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. DKP. Jakarta. 157 hal. Done T, Whetton P, Jonnes R, Berkelmans R, Lough J, Skirving W, Wooldrige S. 2003. Global Climate Change and Coral Bleaching on the Great Barrier Reef. Final Report to the state of Queensland Taskforce through the Department of Natural Resources and Mines. CSIRO-Australian Institute of Marine Science-CRC. Downs CA, Fath JE, Halas JC, Dustan P, Bemiss J, Woodley CM. 2002. Oxidative stress and seasonal coral bleaching. Free Radical Biology & Medicine, Vol. 33, No. 4, pp. 533 – 543. IEA (International Energy Agency).. 2007. Tracking Industrial Energy Efficiency and CO2 Emissions: In support of the G8 Plan of Action. IEA: Paris, France. English S, Wilkinson C,Baker V. 1997. Survey manual for tropical marine resources. Townsville: Australian International Development Assistance Bureau (AIDAB). Fine M, Banin E, Israely T, Rosenberg E, Loya Y. 2002. Ultraviolet radiation prevents bleaching in the Mediterranean coral Oculina patagonica. Marine Ecology Progress Series, Vol. 226 : 249 – 254. Fitt WK, McFarland FK, Warner ME, Chilcoat GC. 2000. Seasonal patterns of tissue biomass and densities of symbiotic dinoflagellates in reef corals and relation to coral bleaching. Limnology and Oceanography Vol. 45, No. 3 : 677 -685. Fitt WK, Brown BE, Warner ME, Dunne RP. 2001. Coral bleaching : interpretation of thermal tolerance limits and thermal thresholds in tropical corals. Coral Reefs, 20 (report) : 51 – 65. Gagliano M, McCormick MI, Meekan MG 2007. Temperature-induced shifts in selective pressure at a critical developmental transition. Oecologia 152:219– 225 Goreau, T.J., McClanahan, T., Hayes, R., Strong, A.E. 2000.Conservation of coral reefs after the 1998 global bleaching event. Conservation Biology 14(1): 5– 15. Goreau TJ, Hayes RL, McAlllister D, 2005. Regional patterns of sea surface temperature rise : implications for global ocean circulation change and the future of coral reefs and fisheries. World Resource Review, Vol. 17, No. 3 : 350 – 374. Glynn, P.W., 1985. Corallivore population sizes and feeding effects following El Nin˜o (1982-1983) associated coral mortality in Panama´ . Proceedings of the Fifth International Coral Reef Congress. Tahiti 4, 183–188. Glynn PW. 1990. Global ecological consequences of the 1982-1983 El Nino southern oscillation. Elsevier Oceanography Series 52. Glynn PW. 1991. Coral Reef Bleaching in 1980s and possible conection with global warming. Trend Ecol. Evolution, 6, 175 - 179.
95
Glynn PW. 1996. Coral reef bleaching: facts, hypotheses and implications. Global Change Biology 2:495-509. Glynn PW.2001. Bioerosion and Coral-Reef Growth: A Dinamic Balance. Dalam: Birkeland, C. (ed.). Life and Death of Coral Reefs. Chapman & Hall, New York. Glyn, P.W., L.D’Croz.1990. Exprimental evidence for high temperature stress as the cause of El Nino coincident coral mortality. Coral Reffs (1990) 8:181-191 Guilford, J.P. 1956. Fundamental Statistics in Psychology and Education. (p. 145) New York: McGraw Hill. H. Hadile, P. Ridd. (2002) Modeling Coral Bleaching Event Using a Fuzzy Logic Technique. Vladimir Dimitrov dan Victor Karotkich (editors). 2002. Fuzzy Logic A Framework for the New Millenium. Physica Verlag. A Spinger Verlag Company Hasan I. 2002. Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Ghalia Indonesia, 260 : p Jakarta. Hoegh-Guldberg O. 1999. Climate change, coral bleaching and the future of the world’s coral reefs. Marine and Freshwater Research 50: 839-866. Hoegh-Guldberg, O., Hoegh-Guldberg, H., Veron, J.E.N., Green, A., Gomez, E. D., Lough, J., King, M., Ambariyanto, Hansen, L., Cinner, J., Dews, G., Russ, G., Schuttenberg, H. Z., Peñafl or, E.L., Eakin, C. M., Christensen, T. R. L., Abbey, M., Areki, F., Kosaka, R. A., Tewfi k, A., Oliver, J. 2009. The Coral Triangle and Climate Change: Ecosystems, People and Societies at Risk. WWF Australia, Brisbane, 276 pp. Hughes TP, Rodrigues MJ, Bellwood DR, Ceccarelli D, Hoegh-Guldberg O, McCook L, Moltschaniwskyj N, Pratchett MS, Steneck RS and Willis B. 2007. Phase shifts, herbivory, and the resilience of coral reefs to climate change. Current Biology 17: 1–6. Hutabarat S, Stewart ME. 1986. Pengantar Oseanografi. Jakarta: UI Press. Hutomo M, Adrim M. 1986. Distribution of reef fish along transects in Bay of Jakarta and Kepulauan Seribu. In: Brown, B. E. (ed.) Human-induced damage to coral reefs. Results of a regional UNESCO (COMAR) workshop with advanced training, Diponegoro University, Jepara, and National Institute of Oceanology, Jakarta, Indonesia, May 1985. UNESCO Reports in Marine Science 40, 135–56. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2007. Climate Change 2007 The Physical Science Basis (Vol. 1), Impacts, Adaptation and Vulnerability (Vol. 2), Mitigation of Climate Change (Vol. 3) and Synthesis Report. Contribution of Working Group I, II and III to the Fourth Assessment Report of the IPCC. Cambridge: Cambridge University Press. IUCN. [The International Union for Conservation of Nature].1999. IUCN Annual Report 1997-98 South & South East Asia - A Regional Perspective.
96
Jompa J, Yusuf S, Suharto, Satari D.Y. 2010. First Record of Relatively Severe Coral Bleaching in the Spermonde Archipelago, South Sulawesi Indonesia: Potential Consequences and Management Challenges. Center for Coral Reef Research Hasanuddin University. International Small Island and Coral Reef Symposium, Ambon 4-6 Augst 2010. Jos C Meiog. 2009. Flexibility of the coral-algal symbiosis in the face of climate change : investigating the adaptive bleaching hypothesis Printed by Ipskamp Drukkers, Enschede, The Netherlands. Jameson SC, McManus JW, Spalding MD. 1995. State of the Reefs: Regional and Global Perspectives. Background Paper, Executive Secretariat, International Coral Reef Initiative. Washington, D.C.: U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration. Keller BD, Daniel F, Gleason. MC Leod, Woodley CM, Airmare. 2009. Climate Change, Coral Reef Ecosystems, and Management Options for Marine Protected Areas. Spingerlink. Enviromental Management. Kenneth R. N. Anthony.KRN, Connolly SR, Hoegh-Guldberg O.2007. Bleaching, energetics, and coral mortality risk: Effects of temperature, light, and sediment regime Limnol. Oceanogr., 52(2), 2007, 716–726 Lida Pet Soede. 2000. Effects of coral bleaching on the socio-economics of the fishery in Bolinao, Pangasinan, Philippines. A report prepared for CORDIO. Linden, O., Sporrong, N. 1999. Coral Reef Degradation in the Indian Ocean: Status Reports and Presentations 1999. CORDIO / SAREC Marine Science Program, Stockholm. 108 pp. Levinton JS. 1995. Marine Biology: Function, Biodiversity, Ecology. New York: Oxford University Press, Inc. pp. 306-319. Mann KH. 2000. Ecology of Coastal Waters : With Implications for Management. Second Edition. Department of Fisheries and Oceans, Marine Environmental Science Division, Bedford Institute of Oceanography, Dartmouth, Nova Scotia. Manuputty A, Budiyanto A. 2000. Sebaran Spasial Karang Mati di Perairan Karimun Jawa, Jawa Tengah., Prosiding Lokakarya Pengelolaan dan IPTEK Terumbu Karang Indonesia. COREMAP LIPI. 22-23 Nop 1999. Marshall PA, Baird AH. 2000. Bleaching of corals on the Great Barrier Reef : differential susceptibilities among taxa. Coral Reefs, Vol. 19 : 155 – 163. Marshall PA, Schuttenberg HZ. 2006. A Reef Managers Guide to Coral Bleaching Great Barrier Reef Marine Park Authority, Townsville, Qld. Masri Singarimbun, Sofian Effendi 1995. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta McClanahan, T.R., Maina, J., Moothien-Pillai, K.R., Baker, A.C., 2005a. Effects of geography, taxa, water flow, and temperature variation on coral bleaching intensity in Mauritius. Marine Ecology Progress Series 298, 131–142.
97
McClanahan, T.R., Baker, A.C., Atweberhan, M., Maina, J., Moothien-Pillai, K.R., 2005b. Refining coral bleaching experiments and models through reiterative field studies. Marine Ecology Progress Series 305, 301–303. McClanahan TR, Baird AH, Marshall PA, Toscano MA. 2004.Comparing bleaching and mortality responses of hard corals between southern Kenya and the Great Barrier Reef, Australia. Marine Pollution Bulletin 48 (2004) 327–335 McClanahan TR, Mebrahtu Ateweberhan, Johnstone Omukoto, Louis Pearson.2009. Recent seawater temperature histories, status, and predictions for Madagascar’s coral reefs. Marine Ecology Progress Series Vol. 380: 117– 128, 2009. Published April 17. © Inter-Research 2009 · www.int-res.com. McClanahan, T.R, C. Pet-Soede. 2000. Kenyan Coral Reef Fish, Fisheries and Economics – Trends and Status After the 1998 Coral Mortality. In: Assessment of the Socioeconomic Impacts of the 1998 Coral Bleaching in the Indian Ocean. Westmacott, S., Cesar, H., and Pet-Soede, C. (eds.). A report prepared for CORDIO. Mireille L. Harmelin-Vivien. 2000. Energetics and Fish Diversity on Coral Reels . Their history and evolution in Sale PF (Eds). The ecology of fishes on coral reef. Academic Press, INC, San Diego.265.p. Moberg F, Folke C.1999.Ecological Goods and Services of Coral reef Ecosystems. Ecological Economics, Vol.29, pp.215-233. Mohammed M, Mohundo AT. 2002. Coral Reef Benthos and Fisheries in Tanzania Before and After the 1998 Bleaching and Mortality Event. Western Indian Ocean J. Mar. Sci. Vol. 1, No. 1, pp. 43–52, 2002.WIOMSA. Naneng Setiasih, Abdullah Habibi, Jensi Sartin .2007. Satu Dekade Pemantauan Reef Check: Kondisi dan Kecenderungan pada Terumbu Karang di Indonesia. Jaringan Reef Check Indonesia. NOAA [National Oceanic and Atmospheric Administration].2006. Satellites and Information, Operational Sattelitte Coral Bleaching Monitoring Products Methodology, Information Processing Division Office of Sattelite Data. NOAA [National Oceanic and Atmospheric Administration]. 2008. Satellites and Satellites Coral Bleaching Monitoring Products, Information Processing Division Office of Satellite Data. Nybakken JW. 1997. Marine Ecology : an Ecological Approach. Obura David.2004. Resilience and climate change: lessons from coral reefs and bleaching in the Western Indian Ocean. Estuarine, Coastal and Shelf Science 63 (2005) 353–372. Obura D. 2009. Reef corals bleach to resist stress. Marine Pollution Bulletin 58 : 206–212 Oliver JK, Marshall PA, Setiasih, N, Hansen L. 2004. A global protocol for assessement and monitoring of coral bleaching. WorldFish Centre and WWF Indonesia., Proceedings Report, Unpublished.
98
Pratchett MS, Munday PL, Wilson SK, Graham NAJ, Cinner JE, Bellwood DR, Jones GP, Polunin NVC; McClanahan TR. 2008. Effects of climate induced coral bleaching on coral reef fishes; ecological and economic consequences. Oceanography and Marine Biology 46: 251-296. Pratchett, M.S., Wilson, S.K., Berumen, M.L., McCormick, M.I., 2004. Sub-lethal effects of coral bleaching on an obligate coral feeding butterflyfish. Coral Reefs 23, 352–356. Pomeroy, R. S., J. E. Parks, L. M. Watson. 2004. How Is Your MPA Doing? A guidebook of natural and social indicators for evaluating marine protected area management effectiveness. The World Conservation Union (IUCN). Gland, Switzerland. 230 pp. Razak, T.B. 1998. Struktur Komunitas Karang Berdasarkan Metode Transek Garis dan Transek Kuadrat di Pulau Menyawakan, Taman Nasional Karimunjawa, Jawa Tengah. Roberts CM, Hawkins JP. 2000. Fully-protected marine reserves: A guide. WWF in Washington DC USA, University of York, York, UK. 131 p Salm, R.V., S.L. Coles (eds). 2001. Coral Bleaching and Marine Protected Areas.Proceedings of the Workshop on Mitigating Coral Bleaching Impact Through MPA Design, Bishop Museum, Honolulu, Hawaii, 29-31 May 2001. Asia Pacific Coastal Marine Program Report # 0102, The Nature Conservancy, Honolulu, Hawaii, U.S.A: 118 pp. Sammarco WP, Winter A, Stewart C.2006. Coefficient of variation of sea surface temperature (SST) as an indicator of coral bleaching. Marine Biology (2006) 149: 1337–1344 Schuttenberg HZ. 2001. Coral Bleaching : Cause, Consequences and Response “Coral Bleaching: Assessing and Linking Ecological and Socioeconomic Impacts, Future Trends and Mitigation Planning”. CRC Stefan Gelcich, Natalio Godoy, Juan C. Castilla 2009. Artisanal fishers’ perceptions regarding coastal co-management policies in Chile and their potentials to scale-up marine biodiversity conservation. Ocean & Coastal Management 52 (2009) 424–432 Suharsono. 1999. Bleaching event followed by mass motality of corals in Indonesian waters.Proc. 9t JSPS Joint Sem Mar, Sci, 179 –187. Supriharyono.2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Pesisir Tropis. Gramedia. Jakarta. Susanne Sokolow. 2009. Effects of a changing climate on the dynamics of coral infectious disease: a review of the evidence. Dis Aquat Org. Vol. 87: 5–18, 2009. Published November 16. © Inter-Research 2009 · www.int-res.com. Susan T. Kohlerl, Christopher C. Kohler. 1992. Dead bleached coral provides new surfaces for dinoflagellates implicated in ciguatera fish poisonings. Environmental Biology of Fishes 35: 413-416,1992.
99
WCS [Wildlife Conservation Society] Marine Program Indonesia. 2004. Laporan Teknis Wildlife Conservation Society Asia Pacific Coral Reef Program Indonesia Survei 2003 – 2004 di Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah. Wildlife Conservation Society Asia Pacific Coral Reef Program Indonesia, Bogor. 66 hlm. WCS [Wildlife Conservation Society].2005. Laporan Teknis Wildlife Conservation Society, Asia Pacific Coral Reef Program Indonesia Survei di Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah. WCS [Wildlife Conservation Society].2006. Laporan Monitoring. Kajian Pola Pemanfaatan Perikanan di Karimunjawa (2003-2005). Wildlife Conservation Society - Marine Program Indonesia. Bogor, Indonesia. 35pp. WCS [Wildlife Conservation Society].2007. Laporan Teknis – Monitoring Ekologi Taman Nasional Karimunjawa, Monitoring Fase 2. Wildlife Conservation Society – Marine Program Indonesia. Bogor, Indonesia. Westmacott S, Kristian Teleki, Sue Wells, Jordan West.2000. Pengelolaan Terumbu Karang yang Telah Memutih dan Rusak Kritis IUCN (The World Conservation Union) IUCN Publications Services Unit. Westmacott S., H. Cesar, L. Pet-Soede. 2000. Socioeconomic Assessment of the Impacts of the 1998 Coral Reef Bleaching in the Indian Ocean: A Summary. In: D. Souter, D. Obura, O. Linden (eds). Coral Reef Degradation in the Indian Ocean: Status Report 2000. CORDIO. SAREC Marine Science Program. Stockholm, Sweden. Pp.143-159. Wilkinson C.W., O. Linden, H. Cesar, G. Hodgson, J. Rubens, A. Strong. 1999. Ecological and Socioeconomic Impacts of 1998 Coral Mortality In The Indian Ocean: An ENSO Impact and a Warning of Future Change? AMBIO 28 (2):188-196. Wilkinson, C. R., Buddemeier, R. W. 1994. Global Climate Change and Coral Reefs: Implications for People and Reefs. Report of the UNEP-IOCASPEI-IUCN Global Task Team on the Implications of Climate Change on Coral Reefs. IUCN, Gland, Switzerland. Wilkinson, C.R. 1998. Status of Coral Reefs of the World: 1998.Australian Institute of Marine Science, Cape Ferguson, Queensland, Australia. 184 pp. Wilkinson, C. 2008. Status of coral reefs of the world: 2008. Global Coral Reef Monitoring Network and Reef and Rainforest Research Centre, Townsville, Australia, 296 p. WRI [World Resources Institute]. 2002.. Reefs at Risk in Southeast Asia, WRI, 2002. World Resources Institute © 2002. All rights reserved. Library of Congress Control Number: 2001099748.
100
Lampiran 1 Lokasi pemutihan karang di Karimunjawa No
Lokasi
1
Gelean)* Menjangan kecil)* Cemara besar)* Cemara kecil)** Menyawakan)** Sintok)***
2 3 4 5 6
% pemutihan kisaran rerata 6.5 - 16 9.45
Waktu pemutihan Apr-98
8.83 - 21.7
15.58
Apr-98
13.06 - 21.33 5 - 31.6 14 - 46 7.9 - 12.3
18.28 16.02 26.5 10.4
Apr-98 Apr-98 Apr-98, Juli-2006, Des 2009 Desember 2009
Sumber : )* : Manuputy & Budiyanto (2000) )** Naneng et al. (2007) dan Razak (1998) )*** BTNK (2009), MDC UNDIP & Reef Check Indonesia (2009) dan Reef base (2010)
Lampiran 2 Hubungan anomali suhu dengan recently killed coral (RKC) RKC 3 m
RKC (%)
RKC 10 m
60 50 40 30 20 10 0 -10
y = 14,05x + 0,128 R² = 0,602 y = 15,42x - 2,135 R² = 0,724 0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
Anomali suhu ( ˚C)
Lampiran 3 Hubungan anomali suhu dengan recently killed coral (RKC) 1,00 ,800 IMK
IMK 3 m
y = 0,277x + 0,070 R² = 0,766
,600
IMK 10 m
y = 0,254x + 0,038 R² = 0,729
,400 ,200 ,00 0
0,5
1
1,5
2
Anomali suhu ( ˚C)
2,5
3
101
Lampiran 4 Batasan suhu dan lama pemanasan yang berpotensi menimbulkan pemutihan Lama pemanasan (hari)
90
1996 1997 1998
70 50 30 10 -10
28,6
29
29,4
29,6
29,8
30,2
30,6
31
31,4
31,8
32
Suhu (˚C)
Lampiran 5 Data karakteristik responden nelayan Karimunjawa Responden
Jenis kelamin (L/P)
Umur (Th)
Pendidikan
Pekerjaan
Pendapatan (Rp/bulan)
1
L
24
SMA
Nelayan
150000
2
L
28
SD
Nelayan
800000
3
L
32
SD
Nelayan
500000
4
L
32
SD
Nelayan
500000
5
L
30
SD
Nelayan
850000
6
L
30
SD
Nelayan
1000000
7
L
38
SD
Nelayan
500000
8
L
38
SD
Nelayan
600000
9
L
37
SD
Nelayan
800000
10
L
42
SD
Nelayan
850000
11
L
30
SD
Nelayan
300000
12
L
45
SD
Nelayan
500000
13
L
45
T SD
Nelayan
350000
14
L
43
SD
Nelayan
850000
15
L
40
SD
Nelayan
700000
16
L
38
SD
Nelayan
1000000
17
L
39
SD
Nelayan
800000
18
L
18
T SD
Nelayan
1000000
19
L
20
SD
Nelayan
800000
20
L
43
SD
Nelayan
500000
21
L
23
T SD
Nelayan
800000
22
L
22
T SD
Nelayan
350000
23
L
28
SD
Nelayan
600000
24
L
18
SD
Nelayan
200000
25
L
28
SMP
Nelayan
650000
26
L
36
SMP
Nelayan
500000
27
L
38
SMP
Nelayan
600000
28
L
38
SMP
Nelayan
200000
102
Lampiran 6 Data karakteristik responden nelayan Kemujan dan Parang Jenis Kelamin (L/P)
Umur (Th)
Pendidikan
Pekerjaan
Pendapatan (Rp/bulan)
1
KEMUJAN Akadiah
L
42
SD
Nelayan
700000
2
Toha
L
38
SD
Nelayan
500000
3
Sujadi
L
26
T SD
Nelayan
200000
4
Asep
L
50
SD
Nelayan
150000
5
Agus
L
59
STM
Nelayan
150000
6
Kasman
L
32
SD
Nelayan
250000
7
Zulfadli
L
55
SD
Nelayan
600000
8
Yuza
L
65
SD
Nelayan
500000
9
Rifai
L
43
SD
Nelayan
850000
10
Karna
L
57
SD
Nelayan
500000
11
Darmono
L
42
T SD
Nelayan
200000
12
Nuarakadianto
L
33
SMP
Nelayan
200000
13
Lahari
L
24
SD
Nelayan
1500000
14
Sarwo
L
22
SD
Nelayan
200000
15
Narto
L
28
SD
Nelayan
600000
16
Maskamto
L
33
SD
Nelayan
350000
17
Kaeroni
L
40
SD
Nelayan
600000
18
Manaf
L
45
T SD
Nelayan
200000
19
Hanafi
L
31
SD
Nelayan
450000
20
Baedowi
L
42
SD
Nelayan
350000
21
Irzam
L
30
SMP
Nelayan
1500000
No
Responden (Nama)
PARANG 1
Rasmono
L
28
SD
Nelayan
500000
2
Hasmadi
L
30
SD
Nelayan
650000
3
Hartono
L
61
T SD
Nelayan
400000
4
Wignyo
L
53
SD
Nelayan
200000
5
Muhammad
L
54
SD
Nelayan
500000
6
Bambang
L
34
T SD
Nelayan
200000
7
Madik
L
47
SD
Nelayan
600000
8
Zamrori
L
40
SD
Nelayan
200000
9
Prastowo
L
38
SD
Nelayan
700000
10
Wicaksono
L
27
SD
Nelayan
350000
11
Taufiq
L
28
SD
Nelayan
500000
12
Anton
L
43
SD
Nelayan
350000
103
Lampiran 7 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Rata-rata
Indeks musiman ikan kerapu dan kakap
Ij produksi (%) 490.92 472.18 631.34 577.06 631.60 816.30 737.51 764.92 776.41 713.88 696.09 673.03 665.10
Kerapu Ij effort (%) 311.3207 368.2186 374.6389 337.0472 371.2956 407.5079 347.3101 384.5309 384.2776 415.3506 357.3725 344.5838 311.3207
Ij CPUE (%) 120.14 117.58 120.04 121.49 120.85 129.84 126.80 124.24 124.47 121.39 126.06 126.41 123.28
Ij produksi (%)
Kakap Ij effort (%)
Ij CPUE (%)
534.74 757.91 793.62 684.42 694.70 703.89 711.89 757.73 714.75 738.35 653.61 656.64 700.19
305.93 361.69 400.26 331.13 364.71 358.30 341.19 377.70 377.45 407.97 351.05 338.52 359.66
119.58 121.78 122.15 124.28 122.18 125.90 122.53 124.82 121.48 121.48 122.68 122.23 122.59
Lampiran 8 Indeks musiman ikan kakak tua dan ekor kuning
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Rata-rata
Ij produksi (%)
Betet Ij effort (%)
Ij CPUE (%)
350.33 354.08 331.33 353.20 220.79 233.22 265.15 289.48 325.71 280.94 351.40 385.33 311.75
369.03 377.53 317.82 345.50 280.69 373.98 356.05 394.27 394.01 425.86 366.39 353.25 362.86
113.99 114.66 113.46 115.41 111.28 112.10 112.58 111.95 111.91 110.81 114.92 114.97 113.17
Ekor kuning Ij produksi Ij effort Ij CPUE (%) (%) (%)
99.30 511.54 656.08 831.73 914.53 568.41 498.83 609.30 1211.53 1199.48 973.88 418.42 707.75
99.30 260.37 457.57 412.16 465.96 338.54 316.85 390.68 649.05 676.50 518.93 268.89 404.57
99.30 111.63 122.74 135.64 137.00 123.96 121.81 121.25 144.87 137.69 131.28 112.79 125.00
104
Lampiran 9 Perhitungan prakiraan keuntungan ikan kerapu No
Bulan
Pre bleaching 1 Januari 2 Februari 3 Maret 4 April 5 Mei 6 Juni 7 Juli 8 Agustus 9 September 10 Oktober 11 November 12 Desember Jumlah Rata-rata Post bleaching 1 Januari 2 Februari 3 Maret 4 April 5 Mei 6 Juni 7 Juli 8 Agustus 9 September 10 Oktober 11 November 12 Desember Jumlah Rata-rata
Catch (kg)
Effort (orang)
CPUE (kg/trip/org)
Pj (Rp)
RPUEij (Rp)
433 530 689 1450 776 4547 4136 5798 5308 3495 2933 4219 34314.00 2859.50
181 175 382 283 400 688 758 858 651 650 464 463 5953.00 496.08
2.39 3.03 1.80 5.12 1.94 6.61 5.46 6.76 8.15 5.38 6.32 9.11 62.08 5.17
5,000 5,000 5,000 5,000 5,000 5,000 5,000 5,000 5,000 5,000 5,000 5,000 60000.00 5000.00
11961.33 15142.86 9018.32 25618.37 9700.00 33045.06 27282.32 33787.88 40768.05 26884.62 31605.60 45561.56 310375.96 25864.66
504 589 2984 1514 2479 3479 2636 1807 2687 1690 1715 1364 23448.00 1954.00
205.00 212.00 514.00 618.00 672.00 553.00 465.00 609.00 717.00 743.00 574.00 564.00 6446.00 537.17
2.46 11,667 2.78 11,667 5.81 11,667 2.45 11,667 3.69 11,667 6.29 11,667 5.67 12,167 2.97 12,167 3.75 12,000 2.27 12,000 2.99 12,000 2.42 12,000 43.54 142333.33 3.63 11861.11
28682.93 32413.52 67730.22 28581.45 43038.19 73396.62 68970.61 36100.44 44970.71 27294.75 35853.66 29021.28 516054.38 43004.53
105
Lampiran 10 Perhitungan prakiraan keuntungan ikan kakap No
Bulan
Pre bleaching 1 Januari 2 Februari 3 Maret 4 April 5 Mei 6 Juni 7 Juli 8 Agustus 9 September 10 Oktober 11 November 12 Desember Jumlah Rata-rata Post bleaching 1 Januari 2 Februari 3 Maret 4 April 5 Mei 6 Juni 7 Juli 8 Agustus 9 September 10 Oktober 11 November 12 Desember Jumlah Rata-rata
Catch (kg)
Effort (orang)
CPUE (kg/trip/org)
Pj (Rp)
RPUEij (Rp)
576 1036 734 1613 1710 4439 5201 3793 4006 3499 3222 2875 32704.00 2725.33
181 175 382 283 400 688 758 858 651 650 464 463 5953.00 496.08
3.18 5.92 1.92 5.70 4.28 6.45 6.86 4.42 6.15 5.38 6.94 6.21 63.42 5.29
4,333 4,333 4,333 4,467 5,000 4,333 4,500 4,333 4,333 4,167 4,167 4,167 52466.67 4372.22
13790.06 25653.33 8326.35 25458.42 21375.00 27958.82 30876.65 19156.57 26665.64 22429.49 28933.19 25872.93 276496.44 23041.37
1068 631 2874 4494 4047 2405 2544 4463 3741 4401 2167 2369 35204.00 2933.67
205.00 212.00 514.00 618.00 672.00 553.00 465.00 609.00 717.00 743.00 574.00 564.00 6446.00 537.17
5.21 2.98 5.59 7.27 6.02 4.35 5.47 7.33 5.22 5.92 3.78 4.20 63.34 5.28
7,833 7,833 8,100 7,833 7,833 8,000 8,500 8,500 8,500 8,667 8,500 8,500 98600.00 8216.67
40809.76 23315.25 45290.66 56962.78 47174.85 34792.04 46503.23 62291.46 44349.37 51335.13 32089.72 35703.01 520617.27 43384.77
106
Lampiran 11 Perhitungan prakiraan keuntungan ikan kakak tua No
Bulan
Pre bleaching 1 Januari 2 Februari 3 Maret 4 April 5 Mei 6 Juni 7 Juli 8 Agustus 9 September 10 Oktober 11 November 12 Desember Jumlah Rata-rata Post bleaching 1 Januari 2 Februari 3 Maret 4 April 5 Mei 6 Juni 7 Juli 8 Agustus 9 September 10 Oktober 11 November 12 Desember Jumlah Rata-rata
Catch (kg)
Effort (orang)
CPUE (kg/trip/org)
251 294 190 197 180 77 113 169 352 236 177 140 2376.00 198.00
181 175 382 283 400 688 758 858 651 650 464 463 5953.00 496.08
1.39 1.68 0.50 0.70 0.45 0.11 0.15 0.20 0.54 0.36 0.38 0.30 6.76 0.56
3,500 3,500 3,500 3,500 3,500 3,500 3,500 3,500 3,500 3,500 3,500 3,500 42000.00 3500.00
4853.59 5880.00 1740.84 2436.40 1575.00 391.72 521.77 689.39 1892.47 1270.77 1335.13 1058.32 23645.39 1970.45
96 69 126 149 39 38 88 166 436 442 427 249 2325.00 193.75
205.00 212.00 514.00 618.00 672.00 553.00 465.00 609.00 717.00 743.00 574.00 564.00 6446.00 537.17
0.47 0.33 0.25 0.24 0.06 0.07 0.19 0.27 0.61 0.59 0.74 0.44 4.26 0.35
4,967 4,967 4,967 4,967 4,967 5,133 5,400 5,467 6,267 5,933 6,267 5,933 65233.33 5436.11
2325.85 1616.51 1217.51 1197.46 288.24 352.74 1021.94 1490.09 3810.69 3529.65 4661.79 2619.50 24131.99 2011.00
Pj (Rp)
RPUEij (Rp)
107
Lampiran 12 Perhitungan prakiraan keuntungan ikan ekor kuning No
Bulan
Pre bleaching 1 Januari 2 Februari 3 Maret 4 April 5 Mei 6 Juni 7 Juli 8 Agustus 9 September 10 Oktober 11 November 12 Desember Jumlah Rata-rata Post bleaching 1 Januari 2 Februari 3 Maret 4 April 5 Mei 6 Juni 7 Juli 8 Agustus 9 September 10 Oktober 11 November 12 Desember Jumlah Rata-rata
Catch (kg)
Effort (orang)
CPUE (kg/trip/org)
Pj (Rp)
RPUEij (Rp)
0 1512 1521 1409 1698 630 657 1190 7151 8766 6476 1311 32316.50 2693.04
0 223 299 224 233 126 133 425 1277 1770 938 146 5789.50 482.46
0 0 0 6 7 6 5 3 6 5 7 5 48.42 4.04
5667 5833 6000 6000 5833 6667 6417 6483 6583 7617 6667 7000 76766.67 6397.22
0 0 0 36364 38839 37630 29436 20159 37583 37706 47980 31536 317233.22 26436.10
0 1223 1230 540 1467 802 397 964 13509 9883 4246 605 34863.00 2905.25
0 173 190 105 338 263 164 389 1571 1218 748 404 5560.00 463.33
0 9333 0 9333 0 10500 0 11333 5 12851 4 9933 3 9600 2 9572 7 10133 8 10200 6 11417 1 12000 34.55 126206.00 2.88 10517.17
0 0 0 0 63374 35418 24345 19249 75292 76560 66448 8989 369673.30 30806.11
108
Lampiran 13 Data bobot persepsi responden untuk MCDM Bobot Penilaian Faktor Penilaian
Prioritas Pemanfaatan
Agregasi
Akar pangkat
Kriteria
Gabungan Aspek
2.8163
10.5510
1.8023
0.0919
0.2724
1.4286
2.8163
14.1009
1.9378
0.0988
1.9592
1.8367
1.0204
6.5945
1.6025
0.0817
S1
S2
S3
S4
1.2347
1.8469
1.6429
1.6837
2.0816
1.7959
1. Ekologi SDI (kelimpahan & keanekaragaman) Terumbu karang (tutupan terumbu karang, kualitas b. perairan, pemulihan karang, ekosistem pesisir lainnya) Aktivitas antropogenic (sedimentasi, pengambilan karang, c. destructive fishing, illegal fishing, eksploitasi yang berlebihan, dll) 2. Ekonomi a.
a.
Produksi ikan
1.4388
1.8776
1.5102
2.8673
11.6977
1.8494
0.0943
b.
Pendapatan
1.4082
1.6531
1.3776
2.8980
9.2927
1.7460
0.0890
0.1833
3. Sosial a.
Keharmonisan
1.5000
1.4490
1.3061
2.8673
8.1399
1.6891
0.0861
b.
Pendidikan
1.3163
1.3878
1.5000
2.7449
7.5213
1.6561
0.0844
c.
Partisipasi/motivasi
1.5204
1.7653
1.5204
2.8878
11.7842
1.8528
0.0945
0.2651
4. Kelembagaan a.
Pengelola
1.5204
1.6633
1.3367
2.8673
9.6928
1.7645
0.0900
b.
Regulasi Kepemimpinan formal
1.5816
1.6735
1.5714
2.8571
11.8837
1.8567
0.0947
1.4796
1.7755
1.7143
2.6224
11.8101
1.8538
0.0945
19.6108
1.0000
c.
Jumlah
0.2792
1.0000
109
Lampiran 14
Dari
thdp
A
A
Hasil analisis prospektif pengaruh langsung antar faktor
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
P
Q
R
S
T
U
3
1
3
2
2
1
1
1
3
2
1
2
3
1
2
2
1
3
2
3
2
2
2
3
-
1
-
3
1
-
-
2
-
2
1
-
2
-
3
2
3
3
1
1
-
1
2
1
1
2
-
1
1
1
2
1
2
2
3
2
2
2
3
2
1
3
1
1
-
-
-
2
-
3
3
3
2
2
2
2
1
2
3
3
1
1
1
3
2
3
1
2
2
1
2
1
1
2
1
2
2
2
2
2
2
2
1
-
-
-
-
-
1
-
-
-
1
-
2
2
2
1
1
1
-
1
1
1
-
1
1
2
1
1
1
2
1
2
1
3
2
2
2
2
2
2
-
2
-
2
2
2
2
2
2
2
1
2
2
2
2
2
1
1
1
3
3
1
2
2
3
3
3
2
2
2
2
1
1
3
3
2
2
3
2
3
2
2
2
1
1
-
2
1
2
1
2
2
1
2
1
2
1
2
2
2
1
-
2
B
3
C
3
2
D
3
2
1
E
2
2
2
2
F
1
3
2
2
2
G
2
2
1
2
3
3
H
2
3
1
2
2
3
2
I
1
1
-
1
2
1
2
3
J
3
3
1
3
2
2
2
2
-
K
1
1
-
2
1
1
-
1
-
2
L
1
2
1
1
1
-
2
1
1
2
1
M
2
1
1
1
3
1
2
2
2
1
-
1
N
2
1
2
1
2
2
-
1
1
1
-
-
-
P
2
1
-
2
2
1
3
3
1
1
1
1
-
1
Q
2
2
-
2
2
-
2
1
-
2
1
2
2
2
2
R
2
-
-
2
2
-
2
1
1
2
1
-
1
2
2
2
S
1
-
-
1
3
1
1
-
1
3
1
3
3
3
2
2
1
T
3
2
2
3
1
1
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
U
3
1
1
1
2
2
2
2
2
1
1
1
2
1
2
1
1
1
2
V
3
1
1
1
2
2
2
2
2
1
1
1
2
2
2
1
1
1
3
1
Keterangan : (A) Motivasi dan partisipasi, (B) Kemampuan recovery, (C) Kebijakan pemerintah, (D) SDM, (E) No take zone area, (F) Keanekaragaman terumbu karang, (G) Siswasmas, (H) Kesadaran masyarakat, (I) Jaring sosial masyarakat, (J) Biofisik lingkungan, (K) Dukungan pihak lain, (L) Akses SDA, (M) Kesempatan kerja, (N) Investor, (O) Kelembagaan nelayan, (P) Pendanaan, (Q) Jaringan kemitraan, (R) Infrastruktur, (S) Food security, (T) Water supplay dan (U) Produksi ikan. 0 : tidak ada pengaruh, 1 : pengaruhnya kecil, 2 : pengaruhnya sedang, 3 : pengaruhnya sangat kuat
110
Lampiran
15
Pengaruh global, ketergantungan global dan kekuatan global tertimbang pada pengaruh langsung.
Pengaruh Global Motivasi & partisipasi Kemampuan recovery Kebijakan pemerintah SDM No take zone area Keanekaragaman tk Siswasmas Kesadaran masyarakat Jaring sosial masyarakat Biofisik lingkungan Dukungan pihak lain Akses SDA Kesempatan kerja Investor Kelembagaan nelayan Pendanaan Jar. kemitraan Infrastruktur Food security Water supplay Produksi ikan
39 27 30 33 42 35 20 29 31 36 25 35 33 29 26 22 20 26 48 29 32
Kekuatan Global Motivasi & partisipasi Kemampuan recovery Kebijakan pemerintah SDM No take zone area Keanekaragaman tk Siswasmas Kesadaran masyarakat Jaring sosial masyarakat Biofisik lingkungan Dukungan pihak lain Akses SDA Kesempatan kerja Investor Kelembagaan nelayan Pendanaan Jar. kemitraan Infrastruktur Food security Water supplay Produksi ikan
0.03 0.02 0.03 0.02 0.03 0.03 0.01 0.02 0.03 0.03 0.02 0.03 0.03 0.02 0.02 0.02 0.01 0.02 0.04 0.02 0.02
Ketergantungan Global Motivasi & partisipasi Kemampuan recovery Kebijakan pemerintah SDM No take zone area Keanekaragaman tk Siswasmas Kesadaran masyarakat Jaring sosial masyarakat Biofisik lingkungan Dukungan pihak lain Akses SDA Kesempatan kerja Investor Kelembagaan nelayan Pendanaan Jar. kemitraan Infrastruktur Food security Water supplay Produksi ikan
Kekuatan Global Tertimbang Motivasi & partisipasi Kemampuan recovery Kebijakan pemerintah SDM No take zone area Keanekaragaman tk Siswasmas Kesadaran masyarakat Jaring sosial masyarakat Biofisik lingkungan Dukungan pihak lain Akses SDA Kesempatan kerja Investor Kelembagaan nelayan Pendanaan Jar. kemitraan Infrastruktur Food security Water supplay Produksi ikan
42 33 19 36 41 34 33 33 24 35 25 23 29 37 30 22 22 21 37 26 40
1.2 0.78 1.17 1.01 1.36 1.14 0.48 0.87 1.12 1.17 0.8 1.35 1.12 0.81 0.77 0.7 0.61 0.92 1.73 0.98 0.91
111
Lampiran 16 Pengaruh tidak langsung antar faktor
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
P
Q
R
S
T
U
Total pengaruh
A
3
3
2
3
2
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
2
3
43
B
3
3
2
3
2
2
2
2
2
3
2
2
2
3
2
2
2
2
3
2
3
35
C
2
3
2
3
2
3
3
2
2
3
2
2
2
3
3
2
2
2
3
2
3
37
D
3
3
2
3
3
2
2
2
2
3
2
2
2
3
2
2
2
2
3
3
3
36
E
3
3
2
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
2
2
44
F
2
2
2
1
3
G
2
2
3
2
3
H
2
2
2
2
3
I
2
2
2
2
2
J
2
2
3
2
3
K
1
2
2
2
2
L
3
3
3
3
2
M
3
3
3
2
3
N
2
2
2
2
2
O
2
2
2
1
2
P
2
2
2
2
2
Q
2
2
2
1
2
R
2
3
3
3
3
S
3
3
3
3
3
T
2
2
3
2
3
U
3
3
3
2
3
33
34
39
31
39
14
15
10
15
12
13
13
12
12
15
12
12
12
15
13
12
Keterangan : (A) Motivasi dan partisipasi, (B) Kemampuan recovery, (C) Kebijakan pemerintah, (D) SDM, (E) No take zone area, (F) Keanekaragaman terumbu karang, (G) Siswasmas, (H) Kesadaran masyarakat, (I) Jaring sosial masyarakat, (J) Biofisik lingkungan, (K) Dukungan pihak lain, (L) Akses SDA, (M) Kesempatan kerja, (N) Investor, (O) Kelembagaan nelayan, (P) Pendanaan, (Q) Jaringan kemitraan, (R) Infrastruktur, (S) Food security, (T) Water supplay dan (U) Produksi ikan.
112
Lampiran 17 Pengaruh total antar faktor sistem A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
P
Q
R
S
T
U
Total
A
3
6
3
6
4
5
4
4
4
6
5
4
5
6
4
5
5
4
6
4
6
69
B
6
3
4
5
4
5
2
3
2
6
3
2
2
5
2
4
3
2
5
2
6
54
C
5
5
2
5
5
6
4
3
2
4
4
3
3
5
3
3
3
3
5
3
5
59
D
6
5
3
3
5
5
4
4
4
6
4
3
5
4
3
2
2
2
5
3
6
64
E
5
5
4
5
3
6
6
5
5
5
5
4
5
6
6
4
4
4
6
4
5
75
F
1
3
2
2
2
1
2
2
1
2
1
1
2
1
2
4
4
4
3
5
23
G
2
2
1
2
3
3
2
1
-
-
-
-
-
2
2
4
2
5
17
H
2
3
1
2
2
3
2
2
1
1
1
I
1
1
1
2
1
2
3
1
1
1
2
J
3
3
3
2
2
2
2
2
2
K
1
1
2
1
1
L
1
2
1
1
1
M
2
1
1
1
3
1
N
2
1
2
1
2
2
O
2
1
2
2
1
P
2
2
2
2
Q
2
2
2
R
1
1
3
1
1
S
1 -
-
-
-
-
-
-
-
1
2 -
2
2
1
1
2
2
2
2
1
1
1
1
3
3
1
2
1
2
1
-
1 -
2 1
-
-
1
1
1
2
1
2
1
2
1
1
3
1
-
-
1 2
1
-
1
1
3
2
3
3
5
23
2
1
5
4
4
4
4
19
2
4
4
5
4
5
24
-
1
2
2
2
3
4
3
3
3
16
3
3
1
2
5
6
6
6
4
20
2
2
2
4
4
6
5
5
21
2
3
4
5
4
4
4
15
1
3
2
4
2
4
19
3
4
4
3
4
22
-
1
-
2
2
2
1
2
2
2
2
3
4
2
4
18
3
3
3
2
2
3
3
5
5
4
23
-
-
-
-
3
2
2
3
1
1
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
6
6
3
3
5
39
T
3
1
1
1
2
2
2
2
2
1
1
1
2
1
2
1
3
3
5
2
3
24
U
3
1
1
1
2
2
2
2
2
1
1
1
2
2
2
1
4
4
6
3
3
25
42
42
25
41
41
41
34
36
27
38
29
25
28
39
30
34
54.3
52
70
52.7
72
-
-
-
Keterangan : (A) Motivasi dan partisipasi, (B) Kemampuan recovery, (C) Kebijakan pemerintah, (D) SDM, (E) No take zone area, (F) Keanekaragaman terumbu karang, (G) Siswasmas, (H) Kesadaran masyarakat, (I) Jaring sosial masyarakat, (J) Biofisik lingkungan, (K) Dukungan pihak lain, (L) Akses SDA, (M) Kesempatan kerja, (N) Investor, (O) Kelembagaan nelayan, (P) Pendanaan, (Q) Jaringan kemitraan, (R) Infrastruktur, (S) Food security, (T) Water supplay dan (U) Produksi ikan.
113
Lampiran 18 Total pengaruh global, total ketergantungan global, kekuatan global dan kekuatan global tertimbang Pengaruh Global Motivasi & partisipasi Kemampuan recovery Kebijakan pemerintah SDM No take zone area Keanekaragaman tk Siswasmas Kesadaran masyarakat Jaring sosial masyarakat Biofisik lingkungan Dukungan pihak lain Akses SDA Kesempatan kerja Investor Kelembagaan nelayan Pendanaan Jar. kemitraan Infrastruktur Food security Water supplay Produksi ikan Kekuatan Global Motivasi & partisipasi Kemampuan recovery Kebijakan pemerintah SDM No take zone area Keanekaragaman tk Siswasmas Kesadaran masyarakat Jaring sosial masyarakat Biofisik lingkungan Dukungan pihak lain Akses SDA Kesempatan kerja Investor Kelembagaan nelayan Pendanaan Jar. kemitraan Infrastruktur Food security Water supplay Produksi ikan
69 54 59 64 75 23 17 23 19 24 16 20 21 15 19 22 18 23 39 24 25
0.06 0.05 0.06 0.06 0.07 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.02 0.01 0.01
Ketergantungan Global Motivasi & partisipasi Kemampuan recovery Kebijakan pemerintah SDM No take zone area Keanekaragaman tk Siswasmas Kesadaran masyarakat Jaring sosial masyarakat Biofisik lingkungan Dukungan pihak lain Akses SDA Kesempatan kerja Investor Kelembagaan nelayan Pendanaan Jar. kemitraan Infrastruktur Food security Water supplay Produksi ikan
42 42 25 41 41 41 34 36 27 38 29 25 28 39 30 34 54 52 70 53 72
Kekuatan Global Tertimbang Motivasi & partisipasi 2.77 Kemampuan recovery 1.96 Kebijakan pemerintah 2.67 SDM 2.52 No take zone area 3.13 Keanekaragaman tk 0.53 Siswasmas 0.37 Kesadaran masyarakat 0.58 Jaring sosial masyarakat 0.51 Biofisik lingkungan 0.6 Dukungan pihak lain 0.37 Akses SDA 0.57 Kesempatan kerja 0.58 Investor 0.27 Kelembagaan nelayan 0.48 Pendanaan 0.56 Jar. kemitraan 0.29 Infrastruktur 0.46 Food security 0.9 Water supplay 0.48 Produksi ikan 0.42
114
Lampiran 19 Hasil tangkapan nelayan Karimunjawa
Lampiran 20
Pengumpulan data dan informasi
115
Lampiran 21 Uji validitas
Lampiran 22 Uji reabilitas