PERENCANAAN PRODUKSI PANGAN BERDASARKAN DAYA DUKUNG PANGAN WILAYAH UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN KONSUMSI PANGAN PENDUDUK DI KABUPATEN NGANJUK, PROPINSI JAWA TIMUR
ULIANA DIAN ABSARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang berjudul :
PERENCANAAN PRODUKSI PANGAN BERDASARKAN DAYA DUKUNG PANGAN WILAYAH UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN KONSUMSI PANGAN PENDUDUK DI KABUPATEN NGANJUK, PROPINSI JAWA TIMUR merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Mei 2007
Uliana Dian Absari
ABSTRAK ULIANA DIAN ABSARI. Perencanaan Produksi Pangan Berdasarkan Daya Dukung Pangan Wilayah untuk Memenuhi Kebutuhan Konsumsi Pangan Penduduk di Kabupaten Nganjuk, Propinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh SITI MADANIJAH dan YAYUK FARIDA BALIWATI Setiap wilayah memiliki kemampuan masing-masing untuk mendukung kelangsungan hidup penduduknya, salah satunya dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) menganalisis daya dukung pangan wilayah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan aktual (tahun 2006) penduduk; (2) mengestimasi kemampuan daya dukung pangan wilayah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan penduduk menuju ideal (tahun 2008 dan 2010); dan (3) perumusan implikasi pemenuhan kebutuhan pangan menuju ideal dari aspek produksi pada tahun 3008 dan 2010. Desain penelitian ini adalah retrospective dan cross sectional. Pengambilan data primer menggunakan metode survei, dilakukan di Kabupaten Nganjuk, Propinsi Jawa Timur. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive). Penelitian dilakukan mulai April sampai Juli 2006. Cara penentuan sampel menggunakan cluster sampling. Jumlah kecamatan yang menjadi lokasi penelitian sebanyak tujuh, dimana setiap kecamatan diambil 30 rumah tangga, sehingga jumlah seluruh sampel adalah 210 rumah tangga. Situasi konsumsi pangan penduduk menunjukkan TKE aktual mencapai 79,9% AKE termasuk dalam kategori defisit ringan dan skor PPH 77,2. Hal ini menunjukkan konsumsi penduduk belum cukup dari segi kuantitas maupun kualitas. Kemampuan aktual produksi daging ruminansia, daging unggas, susu, ikan, kelapa dan kacang tanah belum mampu memenuhi kebutuhan penyediaan konsumsi pangan aktual.penduduk Sedangkan produksi beras, jagung, ketela pohon, ubi jalar, kacang kedelai, kacang hijau,gula, sayur dan buah telah mampu memenuhi kebutuhan. Potensi produksi padi, jagung, kacang tanah, kacang hijau, sayur-sayuran, buah-buahan, telur, daging unggas dan ikan diperkirakan akan meningkat, sedangkan ketela pohon, ubi jalar, kedelai, daging ruminansia diperkirakan akan mengalami penurunan pada tahun 2008 dan 2010. Ketersediaan lahan sawah dan kering tahun 2008 dan 2010 diperkirakan akan berkurang menjadi 42.230 ha dan 31.196 ha pada tahun 2008, sedangkan tahun 2010 kembali berkurang menjadi 42.067 ha dan 30.941 ha. Pada tahun 2008 jumlah pangan utama pada setiap kelompok pangan yang dibutuhkan : beras (107.169 ton), ketela pohon (20.808 ton), telur (4.273 ton), kelapa (11.001ton), gula pasir (3.666 ton), kacang kedelai (11.440 ton), sayur (34.424 ton), dan buah (34.424 ton). Pada tahun 2010 : beras (108.175 ton), ketela pohon (22.507 ton), telur (4.674 ton), kelapa (9.945 ton), gula pasir (4.607 ton), kacang kedelai (11.362 ton), sayur (37.153 ton) dan buah (37.153 ton). Potensi produksi pangan tahun 2008 yang tidak memenuhi target penyediaan adalah : daging ruminansia, susu, ikan, kelapa, kacang tanah dan kedelai. Potensi produksi pangan tahun 2010 yang tidak memenuhi target penyediaan adalah : ubi jalar, daging ruminansia, susu, ikan, kelapa dan kedelai. Lahan pertanian yang tersedia pada tahun 2008 dan 2010
masih mampu memenuhi kebutuhan luas tanam bagi produksi minimal pangan nabati on farm sesuai potensi produksi. Kata kunci : perencanaan produksi pangan, daya dukung pangan wilayah, pola pangan harapan (PPH)
ABSTRACT ULIANA DIAN ABSARI. Food Production Planning Based on Nuritional Carrying Capacity to Fulfill Consumption Demand in Nganjuk Regency, East Java. Under the direction of SITI MADANIJAH dan YAYUK FARIDA BALIWATI Every area have its own capacity to support their own population, one of the capacity is to fulfill food concumption demand. Because of thet reason, the aim of this research is to : 1) analysis nutritional carrying capacity on food production to fulfill consumption demand in actual condition; 2) to estimate nutritional carrying capacity to fulfill ideal consumption demand for 2008 and 2010; 5) to arranged implication planning of food production to fulfill citizen ideal consumption demand for 2008 and 2010. The design of this research is retrospective and cross sectional study. Survey method was used to get primary data from responden. This research was take placed in Nganjuk Regency, East Java, these location where choosen by purposive. Seven sub district was choosen by cluster sampling method to be location for research. 30 household taked from every sub district, so total sample of this research is 210 household. This research was done from April until Juli 2006. Analysis of citizen food consumption situation was showed that level of energy consumption on 2006 is 79,9%, classified in light deficite category and desirable dietary pattern score 77,2Based condition shows that energy consumption of Nganjuk citizen in 2006 is not yet sufficien, variated, and balanced. Actual production capacity of meat, poultry, milk, fish, coconut, and peanut doesn’t capable to fulfill actual consumption demand. While, actual production capacity of rice, maize, cassava, sweet potato, soybean, mung bean, sugar, egg, vegetables and fruits have been able to fulfill actual consumption demand. Potential production of rice, corn, peanut, mung bean, vegetables, fruits, egg, poultry and fish were expected increase for 2008 and 2010. While, potential production of cassava, sweet potato, soybean, meat were expected decrease. Available field and upland for 2008 and 2010 expected will have been decreased from 42.155 ha and 31.114 ha at 2005 became 42.230 ha and 31.196 ha in 2008. While, for 2010 were decreased to 42.067 ha and 30.941 ha. In 2008 amount of dominant food from each food category which needed were : rice (107.169 ton), cassava (20.808 ton), egg (4.273 ton), coconut (11.001 ton), sugar (3.666 ton), soybean (11.440 ton), vegetables (34.424 ton), and fruits (34.424 ton). In 2010 : rice (108.175 ton), cassava (22.507 ton), egg (4.674 ton), coconut (9.945 ton), sugar (4.607 ton), soybean (11.362 ton), vegetables (37.153 ton), and fruits (37.153 ton. Production potential of meat, milk, fish,coconut, peanut and soy bean in 2008 will have been not capable to fulfill food supply target. In 2010, food productions potential which will have been not capable to fulfill food supply target is sweet potato, meat, milk, fish, coconut and soy bean. Available land farm in 2008 and 2010 will have been capable to fullfil planted area demand for food crop. Key words : food production planning, nutritional carrying capacity, Desirable Dietary Pattern (DDP)
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.
PERENCANAAN PRODUKSI PANGAN BERDASARKAN DAYA DUKUNG PANGAN WILAYAH UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN KONSUMSI PANGAN PENDUDUK DI KABUPATEN NGANJUK, PROPINSI JAWA TIMUR
Oleh : Uliana Dian Absari A551040101
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Judul Tesis
Nama Mahasisiwa Nomor Pokok Mahasiswa Program Studi
: Perencanaan Produksi Pangan Berdasarkan Daya Dukung Pangan Wilayah untuk Memenuhi Kebutuhan Konsumsi Pangan Penduduk di Kabupaten Nganjuk, Propinsi Jawa Timur : Uliana Dian Absari : A551040101 : Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Siti Madanijah, MS Ketua
Dr. Ir. Yayuk F. Baliwati, MS Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS
Tanggal Ujian Sidang : 15 Maret 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Disetujui :
2007
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah dalam bentuk tulisan (tesis) ini berdasarkan hasil penelitian dengan judul ”PERENCANAAN PRODUKSI
PANGAN
BERDASARKAN DAYA DUKUNG PANGAN
WILAYAH UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN KONSUMSI PANGAN PENDUDUK DI KABUPATEN NGANJUK, PROPINSI JAWA TIMUR” . Sebagai bentuk penghargaan penulis, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, masukan dan kepercayaan sehingga penelitian hingga penyusunan tulisan ini dapat terselesaikan dengan baik. 2. Dr. Ir. Budi Setiawan, M.Sc selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Sidang atas saran, masukan dan kesediaanya dalam membantu penulis untuk melakukan perbaikan dalam tulisan ini. 3. Kantor Urusan Ketahanan Pangan Kabupaten Nganjuk atas bantuan dan kesediaannya melakukan kerjasama dengan penulis selama pelaksanaan penelitian ini. 4. Dinas Ketahanan Pangan Propinsi Jawa Timur atas segala bentuk bantuan dan kemudahan yang telah diberikan selama proses pelaksanaan penelitian ini. 5. Berbagai dinas terkait di lingkungan Kabupaten Nganjuk dan Propinsi Jawa Timur atas ijin, bantuan, dan kemudahan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk penelitian ini. 6. Prof. Dr. Ir, Ali Khomsan, MS, Dr. Drh. Clara M. Kusharto, M. Sc dan Dr. Ir. Euis Sunarti, MS selaku Pimpinan PS GMK atas segala kemudahan yang telah diberikan selama menyelesaikan kuliah S2 ini.
7. Kedua orangtua tercinta, Bapak Muslih, S.Sos dan Ibu Aya Shofia serta adik tersayang Diah Rahmawati atas ijin, dukungan, kepercayaan, semangat, pengertian dan doa yang diberikan selama ini kepada penulis. 8. Dikfa Nurhadi, SP atas kerjasama, bantuan, masukan dan kebersamaan selama melaksanaan penelitian sampai penulisan hasil penelitian ini. 9. Keluarga Bapak Dudi di Nganjuk atas tempat, bantuan dan kemudahan yang telah diberikan kepada penulis selama melaksanakan penelitian ini. 10. Segenap aparat pemerintah baik di tingkat desa maupun kecamatan tempat penelitian dilaksanakan serta Bapak/Ibu responden yang telah bersedia
memberikan
informasi
dan
kerjasamanya
sehingga
terlaksananya penelitian ini. 11. Rekan-rekan PS GMK tahun 2004 : Fia, Kak Maryam, Kak Leli, Inne, Anna dan Pak Edi atas persahabatan dan kebersamaannya selama penempuh pendidikan ini serta saran, kritik dan semangat yang membangun terutama dalam penyelesaian tugas akhir ini. 12. Niken dan Mbak Indy atas segala bentuk bantuan, masukan, semangat, persahabatan dan kebersamaan yang sangat berarti bagi penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan pendidikan ini. Semoga persahabatan ini akan terus terpelihara. 13. Keluarga Budhe Mug dan Paklek Dawud yang telah memberikan tempat singgah dan pinjaman alat transportasi selama penulis melaksanakan penelitian ini. 14. Teman-teman di Malang yang selalu memberikan semangat dan doa serta mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan pendidikan ini. Terima kasih atas persahabatan yang tetap terjaga meskipun terpisahkan jarak. Bogor, Mei 2007
Uliana Dian Absari
RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Muslih S.Sos dan Ibu Aya Shofia. Penulis dilahirkan di Kota Kediri, Jawa Timur pada tanggal 19 April 1981. Riwayat pendidikan penulis diawali selama dua tahun di bangku Taman Kanak-Kanak Perwanida Kediri. Selanjutnya pada tahun 1987 sampai 1993 penulis menjadi siswa Sekolah Dasar Negeri Sukorame II, Kediri, Jawa Timur. Selama tiga tahun selajutnya penulis menempuh pendidikan di SMPN IV Kediri pada tahun 1993-1996. Pada tahun 1996-1999 penulis terdaftar sebagai siswa di SMU Negeri II Kediri. Pada tahun 1999, penulis diterima sebagai mahasiswa di Universitas Brawijaya Malang melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) di Program Studi Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian dan lulus menjadi Sarjana Pertanian pada tahun 2003. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan studi Program Magister di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... viii PENDAHULUAN Latar Belakang ..................................................................................... Perumusan Masalah ............................................................................... Tujuan Penelitian ................................................................................. Manfaat Penelitian ...............................................................................
1 5 5 6
TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan ................................................................................ Konsep Ketahanan Pangan .............................................................. Kebijakan dan Program Ketahanan Pangan .................................. Indikator Ketahanan Pangan .................................................................. Daya Dukung Pangan Wilyah (Nutritionall Carrying Capacity) .......... Produksi Pangan ..................................................................................... Faktor-faktor Produksi Pangan ...................................................... Permasalahan Produksi dan Ketersediaan Pangan .......................... Perencanaan Pangan Berdasarkan PPH ..............................................
7 7 9 11 14 16 17 19 22
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran ............................................................................. 29 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu .................................................................. Cara Pengambalan Sampel ................................................................... Jenis dan Cara Pengumpulan Data ....................................................... Pengolahan dan Analisis Data .............................................................. Keterbatasan dan Asumsi dalam Penelitian ........................................... Keterbatasan Penelitian ................................................................... Asumsi-Asumsi dalam Penelitian .................................................... Difinisi Operasional .............................................................................
33 33 34 35 40 40 41 43
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Wilayah ............................................................................ Karakteristik Sampel .............................................................................. Pola Pangan Harapan (PPH) Regional Jawa Timur ............................... Angka Kecukupan Energi (AKE) Penduduk ................................... Pola Ketersediaan Pangan................................................................ Pola Konsumsi Pangan Penduduk ...................................................
47 47 53 53 54 57
i
Susunan PPH Regional Jawa Timur ................................................ Daya Dukung Pangan Kabupaten Nganjuk untuk Memenuhi Kebutuhan Konsumsi Pangan Aktual Penduduk ................................... Angka Kecukupan Energi (AKE) Penduduk ................................... Situasi Aktual Konsumsi Pangan Penduduk.................................... Daya Dukung Pangan Wilayah ........................................................ Kemampuan Wilayah untuk Memenuhi Kebutuhan Aktual Pangan Penduduk............................................................................. Estimasi Daya Dukung Pangan Kabupaten Nganjuk untuk Memenuhi Kebutuhan Pangan Ideal Penduduk ........................................................ Perencanaan Konsumsi Pangan Penduduk Menuju Ideal ................ Perencanaan Penyediaan Pangan Penduduk Menuju Ideal .............. Kemampuan Wilayah untuk Memenuhi Kebutuhan Pangan Penduduk Menuju Ideal ................................................................... Perumusan Implikasi Rencana Produksi Pangan Menuju Ideal.............. Jangka Pendek (Tahun 2008)........................................................... Jangka Menengah (Tahun 2010) .....................................................
58 59 59 64 77 87 90 90 97 107 128 128 133
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ................................................................................................. 137 Saran........................................................................................................ 138 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 139 LAMPIRAN ..................................................................................................... 144
ii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Indikator penentu kerawanan pangan wilayah............................................ 14
2
Potensi lahan budidaya perikanan menurut daerah..................................... 21
3
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ........................... 35
4
Sebaran rumah tangga sampel menurut besar keluarga .............................. 48
5
Sebaran rumah tangga sampel menurut tingkat pendidikan kepala keluarga....................................................................................................... 48
6
Sebaran rumah tangga sampel menurut jenis pekerjaan kepala keluarga ... 49
7
Komposisi anggota rumah tangga sampel menurut umur dan jenis kelamin ....................................................................................................... 52
8
Angka Kecukupan Energi (AKE) Jawa Timur tahun 2000 ........................ 53
9
Angka Kecukupan Energi (AKE) Jawa Timur tahun 2004 ........................ 54
10 Perbandingan data ketersediaan pangan dari NBM Jawa Timur dengan NBM Nasional tahun 2000-2003 ................................................................ 55 11 Perbandingan data konsumsi dari Susenas Jawa Timur tahun 1999 dan 2002 dengan Indonesia tahun 1999 dan 2002............................................. 57 12 Susunan PPH ideal regional Jawa Timur pada tahun 2020 ........................ 59 13 Komposisi penduduk Kabupaten Nganjuk berdasarkan umur dan jenis kelamin pada tahun 2004 ............................................................................ 60 14 Perhitungan AKE Kabupaten Nganjuk tahun 2006 dengan Unit Konsumen Energi (UKE) ........................................................................... 62 15 Perhitungan AKE berdasarkan wilayah ekonomi Kabupaten Nganjuk tahun 2006 dengan Unit Konsumen Energi (UKE) .................................... 64 16 Tingkat konsumsi penduduk terhadap AKE di Kabupaten Nganjuk tahun 2006 ............................................................................................................ 65 17 Sebaran rumah tangga menurut tingkat konsumsi energi ........................... 66 18 Tingkat konsumsi energi penduduk Kabupaten Nganjuk tahun 2006 menurut wilayah ekonomi .......................................................................... 68
iii
19 Sebaran rumah tangga menurut tingkat konsumsi protein.......................... 70 20 Susunan PPH Kabupaten Nganjuk tahun 2006 .......................................... 73 21 Perbandingan skor PPH wilayah menurut klasifikasi tingkat ekonomi ...... 75 22 Produksi dan tren produksi padi dan palawija pada tahun 1996 dan 2005 di Kabupaten Nganjuk ................................................................................ 78 23 Produksi dan tren produksi sayuran pada tahun 1997 dan 2005 di Kabupaten Nganiuk .................................................................................... 79 24 Produksi dan laju produksi buah-buahan tahun 1997 sampai 2005 di Kabupaten Nganjuk .................................................................................... 80 25 Produksi dan laju produksi komoditas perkebunan selama tahun 2000 sampai 2005 di Kabupaten Nganjuk ........................................................... 81 26 Produksi dan laju produksi komoditas pangan hewani selama beberapa tahun terkahir di Kabupaten Nganjuk ......................................................... 82 27 Produksi dan laju produksi komoditas perikanan mulai tahun 1997 sampai 2005 di Kabupaten Nganjuk ........................................................... 83 28 Laju perubahan lahan pertanian selama tahun 1996-2005 dan proyeksi luas lahan pertanian pada tahun 2006-2010 di Kabupaten Nganjuk .......... 85 29 Perbandingan produksi aktual pangan dengan target penyediaan pangan pada tahun 2006 .......................................................................................... 88 30 Gap Skor Pola Pangan Harapan (PPH) tahun aktual (2006) dan ideal (2020) .......................................................................................................... 90 31 Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Kabupaten Nganjuk pada tahun 2006 sampai 2010 ................................................................................................ 91 32 Kontribusi energi menurut kelompok pangan dan gap antara tahun aktual dan ideal ...................................................................................................... 92 33 Sasaran konsumsi pangan berdasarkan PPH pada tahun 2006 sampai 2020 di Kabupaten Nganjuk ....................................................................... 94 34 Proyeksi kebutuhan pangan berdasarkan PPH pada tahun 2008, 2010 dan 2020 di Kabupaten Nganjuk ....................................................................... 96 35 Kontribusi pangan pada setiap kelompok pangan berdasarkan PPH pada keadaan aktual dan target di Kabupaten Nganjuk ...................................... 98
iv
36 Target penyediaan pangan pada tahun 2008 dan 2010 serta gap penyediaan pangan terhadap tahun 2020 .................................................... 102 37 Target penyediaan pangan dari impor dan produksi dalam wilayah di Kabupaten Nganjuk pada tahun 2008 ......................................................... 104 38 Target penyediaan pangan dari impor dan produksi dalam wilayah di Kabupaten Nganjuk pada tahun 2010 ......................................................... 106 39 Perbandingan produksi aktual pangan dengan target penyediaan pangan dari produksi sendiri pada tahun 2008 ........................................................ 108 40 Perbandingan produksi aktual pangan dengan target penyediaan pangan dari produksi sendiri pada tahun 2010 ........................................................ 109 41 Target produksi Disperta dan proyeksi produksi komoditas tanaman pangan pada tahun 2008 dan 2010 di Kabupaten Nganjuk ........................ 110 42 Proyeksi produksi pangan hewani, kelapa, serta sayur dan buah pada tahun 2007 sampai 2010 di Kabupaten Nganjuk ........................................ 112 43 Perbandingan antara potensi produksi dan target penyediaan pangan dari produksi tahun 2008 di Kabupaten Nganjuk .............................................. 114 44 Kebutuhan impor dan kemampuan ekspor Kabupaten Nganjuk pada tahun 2008 .................................................................................................. 115 45 Kebutuhan luas tanam produksi pangan minimal untuk memenuhi target penyediaan pangan tahun 2008 ................................................................... 118 46 Perbandingan antara kebutuhan dan ketersediaan luas tanam untuk produksi minimal pangan nabati tahun 2008 .............................................. 119 47 Perbandingan antara potensi produksi dan target penyediaan pangan dari produksi sendiri tahun 2020 di Kabupaten Nganjuk .................................. 122 48 Kebutuhan impor dan kemampuan ekspor Kabupaten Nganjuk pada tahun 2010 .................................................................................................. 124 49 Kebutuhan luas tanam produksi pangan minimal untuk memenuhi target penyediaan pangan tahun 2010 ................................................................... 125 50 Perbandingan antara kebutuhan dan ketersediaan luas tanam untuk produksi minimal pangan nabati pada tahun 2010 ..................................... 127 51 Total biaya dan keuntungan usahatani produksi pangan minimal untuk memenuhi target penyediaan pangan tahun 2008 di kabupaten Nganjuk .. 129
v
52 Perbandingan kebutuhan pupuk aktual dan ideal untuk produksi pangan minimal sesuai potensi produksi pada tahun 2008 ..................................... 130 53 Jumlah populasi ternak dan ikan minimal untuk memenuhi target penyediaan pangan hewani tahun 2008 ...................................................... 132 54 Total biaya dan keuntungan usahatani produksi tanaman pangan minimal untuk memenuhi target penyediaan pangan tahun 2010 di Kabupaten Nganjuk....................................................................................................... 134 55 Perbandingan kebutuhan pupuk aktual dan ideal untuk produksi pangan minimal sesuai potensi produksi pada tahun 2010 ..................................... 135 56 Jumlah populasi ternak dan ikan minimal untuk memenuhi target penyediaan pangan hewani tahun 2010 ...................................................... 136
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Hubungan dan timbal balik antara kebijakan dan data ............................... 23
2
Faktor yang mempengaruhi penyusunan PPH ............................................ 28
3
Kerangka pemikiran perencanaan produksi pangan berdasarkan PPH ..... 32
4
Kerangka pengambilan sampel .................................................................. 34
5
Karakteristik rumah tangga sampel di wilayah ekonomi tinggi menurut ada tidaknya balita dan lansia ..................................................................... 50
6
Karakteristik rumah tangga sampel di wilayah ekonomi sedang menurut ada tidaknya balita dan lansia ..................................................................... 50
7
Karakteristik rumah tangga sampel di wilayah ekonomi rendah menurut ada tidaknya balita dan lansia ................................................................... 51
8
Kontribusi kelompok pangan untuk memenuhi kebutuhan protein di wilayah ekonomi tinggi .............................................................................. 71
9
Kontribusi kelompok pangan untuk memenuhi kebutuhan protein di wilayah ekonomi sedang ............................................................................. 71
10 Kontribusi kelompok pangan untuk memenuhi kebutuhan protein di wilayah ekonomi rendah ............................................................................. 72
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Peta Kabupaten Nganjuk ............................................................................ 144
2
Klasifikasi kecamatan di wilayah Kabupaten Nganjuk ............................ 145
3
Daftar Ukuran Rumahtangga (URT) di kabupaten Nganjuk ..................... 146
4
Metode Pengali Sprague (Multiple Sprague) untu memecah kelompok umur demografi menjadi kelompok umur kecukupan gizi ....................... 148
5
Komposisi penduduk Jawa Timur menurut umur dan jenis kelamin tahun 2000 dan 2004............................................................................................. 150
6
Pola konsumsi pangan dan tingkat kecukupan energi penduduk Kabupaten Nganjuk tahun 2006 ................................................................. 152
7
Pola Pangan Harapan (PPH) Kabupaten Nganjuk berdasarkan pembagian wilayah ekonomi tahun 2006 ................................................... 153
8
Proyeksi dan gap kebutuhan pangan tahun 2008 dan 2010 ........................ 154
9
Produksi pangan nabati di Kabupaten Nganjuk .......................................... 155
10 Produksi pangan hewani di Kabupaten Nganjuk ........................................ 157 11 Hasil proyeksi produksi pangan menggunakan Metode Least Squares Model Linier ............................................................................................... 159 12 Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan lahan ............................ 161 13 Analisis usahatani on farm pangan nabati di Kabupaten Nganjuk ............. 162
viii
PENDAHULUAN
Latar Belakang Perolehan pangan yang cukup baik dalam jumlah maupun mutu merupakan sesuatu yang penting bagi setiap manusia agar dapat hidup secara berkualitas. Oleh karena itu hak atas kecukupan pangan merupakan hak azasi setiap manusia yang telah dideklarasikan melalui perjanjian internasional, diantaranya dalam pembukaan Konstitusi FAO dan Konvenan Internasional hakhak Ekonomi Sosial dan Budaya (ECOSOC) pada 1968 (Nainggolan, 2005). Untuk menjamin kecukupan pangan atas penduduknya maka, ketersediaan pangan bagi suatu bangsa atau wilayah mempunyai arti strategis. Ketersediaan pangan merupakan salah satu sub sistem ketahanan pangan yang saling berinteraksi dengan sub sistem distribusi dan sub sistem konsumsi. Pembangunan ketahanan pangan memerlukan harmonisasi dari pembangunan ketiga sub sistem tersebut. Pembangunan sub sistem ketersediaan pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan yang berasal dari produksi, cadangan dan impor (Suryana, 2001). Di dalam UU Pangan No 7 Th. 1996 diamanatkan bahwa Pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab mewujudkan ketahanan pangan. Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik dalam jumlah dan mutunya, aman, bergizi, beragam, merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat, sedangkan masyarakat berperan dalam menyelenggarakan produksi dan penyediaan, perdagangan dan distribusi, serta sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang aman dan bergizi. Untuk itu diperlukan produksi pangan yang cukup dalam jumlah serta beragam jenisnya. Keberlanjutan ketersediaan pangan dihadapkan pada beberapa masalah dan tantangan, salah satunya adalah kapasitas produksi pangan yang semakin terbatas karena adanya peningkatan jumlah penduduk beserta aktivitas ekonominya yang berakibat pada konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian, sehingga rata-rata penguasaan lahan pertanian oleh petani menjadi semakin kecil. Sebagian besar petani di pedesaan adalah petani berlahan sempit atau pun para
34
petani penggarap yang tidak memiliki lahan sendiri. Kendala yang sering dihadapi oleh para petani ini untuk melakukan proses usahatani biasanya adalah karena keterbatasan modal yang dimiliki. Akibat terbatasnya kemampuan berproduksi menyebabkan produktivitas usahatani relatif stagnan (Baliwati & Roosita, 2004). Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2000 oleh BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk Jawa Timur sebesar 34.783.640 jiwa, merupakan propinsi dengan jumlah penduduk terbesar kedua dengan laju pertumbuhan sebesar 0,7% per tahun (BPS, 2000). Jumlah penduduk yang cukup besar tersebut dapat menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian untuk memenuhi kebutuhan penduduk, seperti untuk perumahan dan keperluan ekonomi lainnya. Pada periode 1997 sampai 2003 terjadi penyusutan lahan sawah seluas 12.691 di Jawa Timur (Abdurachman et al, 2004). Hal ini akan berimbas pada semakin sempitnya penguasaan lahan oleh petani. Rata-rata penguasaan lahan pertanian yang semakin sempit disebabkan oleh terjadinya fragmentasi pemilikan dan karena alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian (Husodo & Muchtadi, 2004). Petani berlahan sempit memiliki keterbatasan dalam menerapkan teknologi tepat guna sehingga produktivitas usahataninya relatif stagnan. Keterbatasan ini lebih disebabkan oleh faktor ekonomi, yaitu terbatasnya modal serta harga input yang relatif mahal dibandingkan dengan penghasilan yang diperoleh petani dari lahannya (Suryana, 2001). Di Jawa Timur, produksi padi pada tahun 2000 sampai 2005 rata-rata mengalami penurunan sebesar 0,85%, produksi jagung mengalami peningkatan rata-rata sebesar 4,74%, produksi kedelai menurun rata-rata sebesar 21,47%, dan produksi ketela pohon meningkat rata-rata sebesar 0,76% (www.dipertajatim.org). Produksi pangan hewani, seperti daging ruminansia rata-rata meningkat sebesar 4,76% dan telur meningkat sebesar 17,7% pada tahun 2000 sampai tahun 2001 (Dinas Peternakan Prop. Jatim, 2005). Kebupaten Nganjuk adalah salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Timur yang berbasis pertanian. Dari 38 kabupaten/kota yang terdapat di Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Nganjuk memberikan kontribusi padi rata-rata sebesar 4%, jagung sebesar 4% dan kedelai 5% selama kurun waktu tahun 2000-2005. Selain
35
itu, hal tersebut juga ditunjukkan oleh sumbangan sektor pertanian pada perolehan Produk Domestik Bruto (PDRB) pada tahun 2004 di Kabupaten Nganjuk adalah yang paling besar dibanding sektor lain (BPS Kab. Nganjuk, 2004). Selain itu Kabupaten Nganjuk juga memiliki potensi peternakan serta budidaya perikanan air tawar. Berdasarkan peta potensi peternakan Jawa Timur tahun 2005 yang dikeluarkan oleh Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur, disebutkan bahwa wilayah Kabupaten Nganjuk adalah merupakan wilayah produksi daging kambing, domba, telur ayam buras dan daging ayam ras pedaging. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Nganjuk memiliki kemampuan produksi pangan yang cukup baik. Keadaan tersebut juga didukung dengan struktur penggunaan lahan di Kabupaten Nganjuk yang lebih didominasi untuk persawahan (35,12%) dan hutan (38,4%) daripada untuk pemukiman (26,5%) (www.ardinej.com). Meskipun memiliki potensi produksi pangan yang cukup lengkap didukung dengan struktur penggunaan lahan yang dominan pertanian wilayah Kabupaten Nganjuk masih tergolong wilayah dengan tingkat kerawanan pangan sedang (KUKP Kab. Nganjuk, 2005). Hal ini berdasarkan identifikasi peta kerawanan pangan yang dasar penilaiannya merupakan gabungan dari indikator persentase keluarga miskin, prevalensi kekurangan energi protein (KEP) dan indikator produksi pertanian. Skor paling rendah yang menyebabkan Kabupaten Nganjuk dikategorikan rawan pangan tingkat sedang adalah tingginya jumlah keluarga miskin, dimana golongan ini termasuk rentan terhadap kekurangan pangan karena memiliki keterbatasan untuk mengakses pangan yang disebabkan rendahnya
tingkat
pendapatan.
Sedangkan
apabila
dilihat
perwilayah
desa/kelurahan maka ada 55% desa di wilayah Kabupaten Nganjuk yang termasuk kategori resiko tinggi rawan pangan. Sedangkan untuk kasus balita gizi buruk yang ditemukan pada tahun 2005 menurut data Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Nganjuk termasuk dalam 10 wilayah dengan kasus terbanyak yaitu sebanyak 503 kasus. Menurut penjelasan pemerintah atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, Indonesia sebagai negara agraris dan maritim yang memiliki sumberdaya alam dan sosial yang beragam dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus bertumpu pada
36
sumberdaya pangan lokal yang mengandung keragaman antar daerah dan harus dihindari sejauh mungkin ketergantungan pada pemasukan pangan. Sedangkan UU No. 32 tahun 2004 telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten/kota) untuk lebih banyak mengatur dan mengelola pembangunan daerah, termasuk pembangunan ketahanan pangan. Masing-masing daerah di era otonomi daerah harus memposisikan pembangunan pangan daerahnya sebagai bagian dari pembangunan pangan nasional. Berdasarkan paparan diatas dirasa perlu untuk membuat suatu perencanaan produksi pangan di Kabupaten Nganjuk, Propinsi Jawa Timur, mengingat potensi di bidang pertanian, peternakan dan perikanan yang dimilikinya cukup besar. Perencanaan produksi pangan dilakukan berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) agar pangan yang diproduksi benar-benar mampu memenuhi danm sesuai dengan kebutuhan konsumsi pangan ideal penduduk. Hal ini perlu dilakukan mengingat bahwa selama ini perencanaan produksi pangan lebih banyak dilakukan dengan pendekatan tren semata. Padahal tujuan produksi pangan wilayah yang terpenting adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan penduduknya bukan hanya mengejar target produksi yang terus meningkat. Penilaian pola dan kondisi konsumsi pangan penduduk dapat dilakukan melalui kegiatan Survei Konsumsi Pangan. Dalam membuat perencanaan produksi pangan faktor penting yang harus diperhatikan adalah bagaimana potensi wilayah tersebut, termasuk di dalamnya ketersediaan lahan dan potensi pangan lokal yang dapat dikembangkan. Selain itu peneliti juga merasa perlu untuk melakukan analisis usahatani on farm pada produk-produk pangan strategis dan potensial untuk dikembangkan baik nabati maupun hewani agar dapat diketahui perkiraan modal dan lahan yang dibutuhkan untuk memproduksi pangan sesuai kebutuhan dan pendapatan yang diperoleh dari usahatani produksi pangan tersebut.
37
Perumusan Masalah Berdasarkan hal-hal di atas maka ada beberapa permasalahan yang ingin diketahui dan dianalisis melalui penelitian ini. Permasalahan tersbut adalah : 1. Bagaimana daya dukung pangan wilayah dalam produksi pangan yang dimiliki oleh Kabupaten Nganjuk untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan aktual penduduknya ? 2. Apakah daya dukung pangan wilayah yang dimiliki oleh Kabupaten Nganjuk untuk produksi pangan mampu memenuhi kebutuhan konsumsi pangan menuju ideal bagi penduduknya pada tahun 2008 dan 2010 ?
Tujuan Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis daya dukung pangan wilayah yang dimiliki Kabupaten Nganjuk dalam produksi pangan guna memenuhi kebutuhan konsumsi pangan penduduknya berdasarkan Pola Konsumsi Pangan Harapan (PPH) pada tahun 2008 dan 2010.
Tujuan Khusus 1. Menganalisis daya dukung pangan wilayah Kabupaten Nganjuk dalam produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan aktual (tahun 2006) penduduk. 2. Mengestimasi daya dukung pangan wilayah Kabupaten Nganjuk untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan penduduk menuju ideal pada tahun 2008 dan 2010. 3. Perumusan implikasi pemenuhan kebutuhan pangan menuju ideal dari aspek produksi pada tahun 3008 dan 2010.
38
Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif baru bagi pemerintah daerah, terutama Kabupaten Nganjuk, Propinsi Jawa Timur maupun pihak terkait lainnya untuk membuat perencanaan pembangunan pangan dan gizi di wilayahnya agar kebutuhan konsumsi pangan penduduknya menjadi lebih baik dengan seoptimal mungkin memanfaatkan daya dukung yang dimiliki. Selain itu implikasi dari hasil penelitian ini dapat menjadi bahan penyusunan rencana strategis diberbagai bidang yang terkait dengan pangan dan gizi, seperti sektor pertanian tanaman pangan, perkebunan dan peternakan, sektor perdagangan dan perindustrian, sektor kesehatan, sektor perbankan serta sektor terkait lainnya.
TINJAUAN PUSTAKA
Ketahanan Pangan Konsep Ketahanan Pangan Berdasarkan UU No, 7 tahun 1996 tentang Pangan, diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau (Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, 1996). Dengan demikian di dalam ketahanan pangan mencakup aspek produksi dan penyediaan, distribusi serta konsumsi pangan. Penyediaan pangan yang cukup merupakan prasyarat untuk memenuhi konsumsi pangan rumah tangga yang akan terus berkembang dari waktu ke waktu. Menurut Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, untuk mewujudkan penyediaan pangan dapat dilakukan melalui kegiatan : (1) mengembangkan sistem produksi pangan yang bertimpu pada sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal (2) mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan (3) mengembangkan teknologi produksi pangan (4) mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan (5) mengembangkan dan mempertahankan lahan produktif. Sebagai salah satu subsistem dari sistem ketahanan pangan maka FAO mengedepakan sistem penyediaan pangan dengan lima karakterisrik yang harus dipenuhi, yaitu : (1) kapasitas (capacity) : mampu menghasilkan, mengimpor, dan menyimpan makanan pokok dalam jumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan semua penduduk (national food suficiency) (2) pemerataan (equity) : mampu mendistribusikan makanan pokok sehingga tersedia dalam jangkauan seluruh keluarga (3) kemandirian (self-relience) : mampu menjamin kecukupsediaan makanan pokok dengan mengandalkan kekuatan sendiri sehingga ancaman fluktuasi pasar dan tekanan politik internasional dapat ditekan seminimum mungkin (4) kehandalan (reliability) : mampu meredam dampak variasi musiman maupun siklus tahunan sehingga kecukupansediaan pangan dapat dijamin setiap saat (5) keberlanjutan (sustainability) : mampu menjaga keberlanjutan
dan
8
kecukupsediaan pangan dalam jangka panjang dengan tanpa merusak kualitas hidup (Soetrisno, 2005). Mewujudkan ketahanan pangan adalah kewajiban bersama seluruh komponen bangsa, yaitu pemerintah, pemerintah daerah, masyrakat termasuk para pelaku usaha yang terkait dengan pangan. Pada era otonomi daerah saat ini, peran pemerintah aalah menyediaan fasilitas dan rambu-rambu bagi masyarakat untuk mengembangkan usaha produksi, pengolahan dan perdagangan pangan secara efisien, adil dan bertanggungjawab (Suryana, 2004). Ketahanan pangan sendiri sebenarnya mengandung makna makro dan mikro. Makna makro terkait dengan ketersediaan pangan di seluruh wilayah setiap saat. Sedangkan unsur mikro terkait dengan kemampuan rumah tangga dan individu dalam mengakses pangan sesuai kebutuhan dan pilihannya untuk tumbuh, hidup sehat dan produktif. Pada sisi makro elemen utama ketahanan pangan adalah subsistem produksi, distribusi, pengolahan dan pemasaran pangan, termasuk di dalamnya ekspor dan impor dan pengelolaan konsumsi pangan. Sisi makro dan mikro ketahanan pangan ditunjang oleh kinerja ekonomi secara keseluruhan yang menyediakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi masyarakat (Suhardjo, 1998; Suryana, 2004). Menurut Soetrisna (2005), ada dua pilihan untuk mencapai ketahanan pangan pada tingkat nasional atau wilayah, yaitu dengan mencapai swasembada pangan atau mencapai kecukupan pangan. Swasembada pangan diartikan sebagai pemenuhan kebutuhan pangan, yang sejauh mungkin berasal dari pasokan domestik dengan meminimalkan ketergantungan pada perdagangan pangan. Sedangkan kecukupan pangan memasukkan variabel perdagangan internasional atau antar wilayah. Dengan konsep ini dituntut kemampuan untuk menjaga tingkat produksi domestik ditambah dengan kemampuan untuk mengimpor agar dapat memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Pemerintah Indonesia saat ini, tampakanya lebih memilih menggunakan konsep kecukupan pangan untuk mencapai ketahanan pangan nasional.
9
Konsep dari ketahanan pangan berkelanjutan adalah menkombinasikan pangan, pertanian dan penduduk menjadi tujuan dan dasar dari pembangunan. Untuk mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan dibutuhkan lebih dari sekedar meningkatkan produktivitas pertanian dan keuntungan usahatani serta meminimalisasi kerusakan lingkungan. Konsepnya lebih luas daripada pertanian berkelanjutan, yaitu menggabungkan tujuann dari ketahanan pangan rumah tangga dan pertanian berkelanjutan. Sehingga tidak hanya berbicara tentang jumlah ketersediaan pangan tetapi juga mengenai pendapatan dan distribusi lahan, mata pencaharian rumah tangga dan kebutuhan konsumsi pangan, distribusi pangan dan pangan tercecer, status perempuan dan posisi tawar mereka, tingkat kelahiran dan populasi penduduk, perlindungan dan regenerasi sumberdaya vital bagi produksi pangan (Speth, 1993). Kebijakan dan Program Ketahanan Pangan Pembangunan
ketahanan
pangan
memerlukan
harmonisasi
dari
pembangunan subsistem ketersediaan, subsistem distribusi, dan subsistem konsumsi. Keberhasilan pembangunan ketiga subsistem ketahanan pangan tersebut perlu didukung oleh faktor-faktor input berupa sarana, prasarana dan kelembagaan dalam kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, pengolahan dan sebagainya. Disamping itu, juga perlu ditunjang oleh faktor-faktor seperti kebijakan,
peraturan,
pembinaan
dan
pengawasan.
Ketahanan
pangan
diselenggarakan oleh banyak pelaku yang dibina oleh institusi sektoral, subsektoral, serta dipengaruhi oleh interaksi lintas wilayah. Tujuan yang diharapkan dari pembangunan ketahanan pangan adalah terpenuhinya hak azasi manusia akan pangan, meningkatnya kualitas sumberdaya manusia, serta meningkatnya ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional (BBKP, 2001). Dalam rangka melaksanakan dan mencapai sasaran pembangunan ketahanan pangan, pemerintah berperan dalam memfasilitasi penciptaan kondisi yang kondusif bagi masyarakat dan swasta untuk berperan dalam pembangunan ketahanan pangan. Sedangkan program pemantapan ketahanan pangan perlu dirumuskan dan dimantapkan di daerah dengan lebih mempertibangkan permasalahan serta kondisi agroekosistem dan sosial budaya pangan lokal daerah. Agar lebih efektif dan berdaya guna, perlu menggunakan pendekatan
10
pengembangan wilayah dengan memperhatikan tiga kriteria utama, yaitu wilayah rawan pangan, wilayah perbatasan dan wilayah sentra produksi pangan. Hal ini perlu dilakukan karena permasalahan ketahanan pangan di masing-masing wilayah tersebut memerlukan penanganan yang berbeda-beda (Suryana, 2001). Tujuan program ketahanan pangan yang terdapat dalam Rencana Pembangunan Pertanian 2005 – 2009 adalah untuk memfasilitasi terjaminnya masyarakat untuk memperoleh pangan yang cukup setiap saat, sehat dan halal. Untuk mencapai tujuan di atas, Program Peningkatan Ketahanan Pangan dijabarkan lebih lanjut ke dalam beberapa subprogram, yaitu: (1) Peningkatan Produksi dan Ketersediaan Pangan, (2) Pengembangan Diversifikasi Produksi dan Konsumsi Pangan, (3) Penerapan Standar Kualitas dan Keamanan Pangan, (4) Penurunan Tingkat Kerawanan Pangan, (5) Pengembangan dan Diseminasi Inovasi Pertanian Mendukung Ketahanan Pangan, dan (6) Pengembangan Manajemen Pembangunan Ketahanan Pangan. Secara lebih spesifik tujuan pembangunan ketahanan pangan yang ditetapkan dalam Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2005-2009 adalah untuk memperkuat ketahanan pangan di tingkat mikro/tingkat rumah tangga dan individu serta ditingkat makro/nasional, sebagai berikut : 1. Mempertahankan ketersediaan energi pr kapita minimal 2200 kkal/hari, dan penyediaan protein perkapita minimal 57 gram/hari. 2. Meningkatkan konsumsi pangan perkapita untuk mmenuhi kecukupan nergi minimal 2.000 kkal/hari dan protein sebesar 52 gram/hari. 3. Meningkatkan kualitas konsumsi pangan masyarakat dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) minimal 80. 4. Meningkatkan keamanan, mutu dan higiene pengan yang dikonsumsi masyarakat. 5. mengurangi jumlah/presentase penduduk rawan pangan kronis (yang mengkonsumsi kurang dari 80% AKG) dan penduduk miskin minimal 1 persen per tahun. 6. Meningkatkan kemandirian pangan melalui pencapaian swasembada beras berkelanjutan, swasembada jagung pada tahun 2007, swasembada kedelai pada tahun 2015, swasembada gula pada tahun 2009 dan swasembada daging
11
sapi pada tahun 2010; serta meminimalkan impor pangan utama yaitu lebih rendah 10% dari kebutuhan nasional. 7. Meningkatan rasio lahan per orang (land-man-ratio) melalui penetapan lahan abadi beririgasi minimal 15 juta ha dan lahan kering minimal 15 juta ha. 8. Meningkatkan kemampuan pengelolaan cadangan pangan pemerintah daerah dan pemerintah. 9. Meningkatkan jangkauan jaringan distribusi dan pemasaran pangan ke seluruh daerah. 10. Meningkatkan kemampuan nasional dalam mengenali, mengantisipasi dan menangani secara dini serta dalam melakukan tanggap darurat terhadap masalah kerawanan pangan dan gizi ( DKP, 2006). Keberhasilan upaya penganekaragaman di bidang penyediaan dan konsumsi pangan penduduk diperlukan suatu parameter. Parameter tingkat keanekaragaman pangan dapat menggunakan Pola Pangan Harapan (PPH). Dengan pendekatan PPH, keadaan perenanaan penyediaan dan konsumsi pangan penduduk diharapakan dapat memenuhi tidak hanya kecukupan gizi (nutritional adequancy), akan tetapi sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi (nutritional balance) yang didukung oleh cita rasa (palatability), daya cerna (digestability), daya terima masyarakat (acceptability), kuantitas dan kualitas daya beli (affortability) (Hardinsyah, Madanijah & Baliwati, 2002).
Indikator Ketahanan Pangan Ketahanan pangan memiliki tiga sub sistem: ketersediaan, akses/distribusi dan konsumsi. Ketersediaan pangan adalah kombinasi dari fungsi stok pangan dalam negeri, impor pangan, bantun pangan dan produksi pangan sehingga tersedia untuk konsumsi baik ditingkat rumah tangga maupun wilayah. Akses/distribusi pangan dipengaruhi oleh ketersediaan dan harga pangan di pasar. Selain itu akses pangan juga merupakan fungsi dari kondisi fisik lingkungan, lingkungan
sosial
dan
politik/kebijakan.
Sedangkan
konsumsi
pangan
direfleksikan oleh status gizi individu, yang dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas konsumsi pangan, pola pengasuhan serta kondisi kesehtan. Oleh karena itu analisis kondisi ketahanan pangan pada negara berkembang umumnya
12
menggunakan banyak indikator untuk merefleksikan beragam aspek yang melingkupinya. Beberapa tipe indikator yang sering digunakan untuk mengukur kondisi ketahanan pangan adalah sebagai berikut : (1) produksi pangan; (2) pendapatan; (3) total pengeluaran; (4) pengeluaran untuk kebutuhan pangan; (5) persentase pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan pangan; (6) konsumsi kalori, dan (7) status gizi (Riely et al, 1999) Dimensi ketahanan pangan sangat luas mencakup dimensi waktu, dimensi sasaran dan dimensi sosial ekonomi masyarakat, sehingga diperlukan banyak indikator untuk mengukurnya. Dari dimensi waktu, pengukuran ketahanan pangan dilakukan diberbagai tingkatan, dari tingkat global, nasional, regional sampai tingkat rumah tangga dan individu. Pada tingkat global, nasional dan regional indikator ketahanan pangan yang dapat digunakan adalah tingkat ketersediaan pangan
dengan
memperhatikan
variabel
tingkat
kerusakan
tanaman/ternak/perikanan, rasio stok dengan konsumsi pangan; skor PPH; keadaan keamanan pangan; kelembagaan pangan dana pemerintah dan harga pangan (Handewi, Rachman, Ariani, 2002). Sumarwan dan Sukandar (1998) mengukur ketahanan pangan wilayah yaitu ketahanan pangan kabupaten di seluruh Indonesia yang diukur dari kemampuan wilayah untuk memproduksi empat jenis pangan (padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar). Selai itu juga digunakan peubah jumlah penduduk, curah hujan dan Produk Domestik Regional/Broto (PDRB). Metode penentuan ketahanan pangan yang dilakukan tersebut mengacu pada formula yang dikembangkan oleh Syarief (1991) sebagai berikut : TP = 0,089 + 272×10χ1 – 2,25χ2 + 2,0355χ3 + 2,8542χ4 + 0,9966χ5 + 1,1032χ6 Dimana TP adalah Ketahanan Pangan, sementara χ1 sampai χ6 secara berturutturut adalah fungsi dari : curah hujan bulan Februari (mm); pendapatan daerah (Rp/kap/thn); produksi gabah (ton/kap/thn); produksi jagung pipil (ton/kap/thn); produksi ubi kayu (ton/kap/thn); dan produksi ubi jalar (ton/kap/thn). Kriteria yang digunakan untuk menentukan derajat ketahanan pangan wilayah adalah :
13
1. Jika TP < k/1,2 maka wilayah tersebut kurang tahan pangan 2. Jika k1/2 < TP < k maka wilayah tersebut tahan pangan 3. Jika TP > k maka wilayah tersebut sangat tahan pangan Ketahanan pangan adalah merupakan kebutuhan dasar penduduk yang harus dipenuhi, untuk dapat mencapai situasi ketahanan pangan yang mantap maka dibutuhkan sumberdaya. Salah satu kegiatan penting untuk menunjang ketahanan
pangan
dan
membutuhkan
ketersediaan
sumberdaya
secara
berkelanjutan untuk memproduksi pangan adalah kegiatan pertanian secara luas. Sumberdaya dapat dikategorikan menjadi sumberdaya alam (tanah, air, dll), sumberdaya produksi (jalan, pabrik, dll), dan sumberdaya manusia (tenaga kerja, tingkat ketrampilan tenaga kerja, dll). Sumberdaya merupakan faktor kritis dari ketahanan pangan karena mempengaruhi kemampuan rumah tangga, individu maupun wilayah untuk memperoleh pangan melalui produksi dan perdagangan. Sementara konsumsi dan belanja dapat dilihat sebagai bentuk alternatif dari penggunaan sumberdaya, dimana konsumsi dalam bentuk konsumsi pangan merupakan bentuk dasar dari penggunaan sumberdaya oleh manusia. Sehingga kertesediaan sumberdaya dan pengguaan sumberdaya yang terkait dengan produksi dan konsumsi pangan dapat dijadikan indikator mengukur ketahanan pangan (www.ers.usda.gov). Sementara itu untuk menentukan sitausi pangan pada suatu wilayah Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian bekerjasama dengan World Food Programmed United Nation, berdasarkan data tahun 2002 telah menebitkan peta kerawanan pangan wilayah kabupaten/kota di Indonesia. Ada 14 indikator yang digunakan untuk menentukan apakah suatu wilayah tergolong rawan pangan atau tidak. Indikator-indikator tersebut dapat dilihat pada tabel 1.
14
Tabel 1 Indikator penentu kerawanan pangan wilayah Dimensi Kelompok Indikator Indikator Ketersediaan pangan 1. Konsumsi normative perkapita terhadap rasio ketersediaan bersih padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar Akses pangan dan mata 2. % penduduk yang hidup dibawah garis pencaharian kemiskinan 3. % desa yang tidak bisa dilaui roda empat 4. % desa yang tidak mempunyai akses listrik Kesehatan dan gizi 5. Angka harapan hidup pada saat lahir 6. Berat badan balita dibawah standart 7. % perempuan buta huruf 8. % penduduk tanpa akses ke air bersih 9. Angka kemiskinan bayi 10. % penduduk yang tinggal > 5 km dari Puskesmas Kerawanan Pangan 11. % daerah berhutan 12. % daerah puso 13. Daerah rawan banjir 14. Penyimpangan curah hujan (BKP Prop. Jawa Timur, 2006)
Daya Dukung Pangan Wilayah (Nutritional Carrying Capacity) Carrying capaity dari ekosistem didefinisikan sebagai jumlah maksimum populasi dari suatu spesies yang dapat disupport oleh suatu wilayah tanpa mengurangi kemampuan wilayah tersebut untuk mensupport spesies yang sama pada masa yang akan datang, hal ini juga berlaku untuk populasi manusia. Namun manusia memiliki kemampuan untuk memodifikasi lingkungan dan menciptakan teknologi untuk memproduksi pangan dan energi (Richard, 2002). Human carrying capacity dapat diterjemahkan sebagai tingkat maksimal penggunaan sumberdaya alam dan akibat yang ditimbulkan dimana sumberdaya tersebut masih bisa digunakan secara berkelanjutan di masa yang akan datang tanpa mempengaruhi keselarasan dan kemampuan produksinya. Pada masa awal perkembangan konsep mengenai human carrying capacity, menurut Erlich dan Holdren (1971; 1974 dalam Anonymous, 1994) menyebutkan bahwa akibat yang yang ditimbulkan dari adanya manusia pada suatu wilayah adalah sejumlah populasi, adanya kebutuhan konsumsi dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Poin penting yang tersirat adalah besarnya sumberdaya yang mampu
15
diberikan wilayah untuk mendukung sejumlah sedikit penduduk dengan berkualitas atau penduduk dalam jumlah yang lebih besar pada tingkat yang beragam. Namun perkembangan saat ini, untuk memperhitungkan jumlah sumberdaya alam yang dibutuhkan lebih mengacu pada kebutuhan lahan yang produktif. Pertanyaan yang berkembang saat ini bukan lagi berapa jumlah populasi penduduk yang dapat disupprot secara berkelanjutan oleh sebuah wilayah, tetapi menjadi berapa banyak sumberdaya alam (lahan produktif dan air bersih) yang dibutuhkan pada berbagai macam ekosistem untuk mensupport populasi wilayah tersebut pada tingkat konsumsi yang ideal dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Ada dua ukuran yang dapat digunakan untung memperhitungkan human carrying capacity: yaitu biophysical carrying capacity dan social carrying capacity. Biophysical carrying capacity adalah jumlah maksimum populasi manusia yang dapat disupport oleh sumberdaya yang dimiliki oleh suatu wilayah tanpa penggunaan teknologi. Sedangkan social carrying capacity adalah biophysical carrying capacity yang berkelanjutan dengan melakukan menejemen sosial termasuk diantaranya pola konsumsi dan perdagangan (Richard, 2002). Untuk memperkiraan besarnya regional carrying capacity dapat menggunakan ketersediaan suatu sumberdaya baik secara tunggal maupun kombinasi dari beberapa sumberdaya. Sumberdaya yang digunakan harus dibedakan antara yang dapat diperbarui dan yang tidak dapat diperbarui. Energi matahari, air bersih, lahan yang dipergunakan untuk pertanian, kayu untuk bahan bangunan dan beberapa jenis hewan (untuk transportasi, makanan, dan obatobatan) termasuk sumberdaya yang dapat diperbarui. Produksi pangan juga dapat digunakan untuk memperkirakan regional carrying capacity, yaitu dengan mengukur total pangan yang dapat diproduksi kemudian dibagi dengan tingkat kebutuhan konsumsi pangan standar per orang. Apabila menggunakan metode yang lebih rumit maka akan mempertimbangkan perubahan pada produksi pangan dengan semakin meningkatnya teknologi, distribusi pangan, variasi pola konsumsi penduduk, dan ketersedian sumberdaya yang lain seperti bahan bakar minyak (Richard, 2002).
16
Nutritional Carrying capacty dari wilayah adalah jumlah maksimum manusia atau penduduk yang dapat dipenuhi kebutuhan pangannya pada saat tertentu tanpa menyebabkan berkurangnya kemampuan wilayah tersebut untuk mendukung manusia atau penduduk pada masa yang akan datang. Inovasi budaya dan teknologi dapat meningkatkan nutritional carrying capacity, namun dalam kurun waktu yang cukup lama apabila inovasi tersebut menyebabkan kerusakan sumberdaya alam esensial yang tidak tergantikan maka hal tersebut pada akhirnya akan menurukan nutritional carrying capacity dari wilayah. Meskipun faktor biofisik merupakan faktor pembatas utama dari nutritional carrying capacity, akan tetapi, tekanan sosial, politik dan ekonomi adalah faktor yang menentukan sampai dimana nutritional carrying capacity suatu wilayah dapat terwujud (Paul, Anne & Gretchen, 1993). Untuk itu diperlukan suatu sistem pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) pada suatu wilayah agar produksi pangan bagi
kepentingan
konsumsi
penduduknya
dapat
terwujud
secara
berkesinambungan.
Produksi Pangan Pertanian berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai praktek usahatani yang dapat memberikan hasil guna memenuhi kebutuhan pangan dan serat pada saat sekarang maupun yang akan datang untuk kepentingan ekosisitem dan untuk hidup
sehat,
selain
itu
praktek
usahatani
tersebut
dilakukan
dengan
memaksimalkan manfaat bagi masyarakat saat semua biaya dan keuntungan dari usaha tersebut telah terpenuhi. Namun praktek usahatani dapat menurunkan kemampuan ekosistem untuk mendukung produksi, misalnya penggunaan pupuk dan pestisida dalam dosis tinggi. Tugas utama dari usahatani dalam arti luas adalah untuk menyediakan pangan bagi penduduk, jika kemampuan produksi pertanian meningkat secara berkelanjutan maka proporsi penduduk yang mengalami kelaparan akan berkurang (Tilma et al, 2002). Produksi pangan secara berkelanjutan mengahdapi banyak tantangan, terutama dari ketersedian dalam jumlah dan mutu dari sumberdaya atau input produksi yang semakin lama semakin mengalami penurunan. Sumberdaya tersebut diantaranya adalah ketersediaan lahan pertanian, kesuburan tanah,
17
ketersediaan air, dan keberagaman biotik. Namun demikian dengan semakin berkembangnya teknologi, tercipta pula teknologi yang dapat meningkatkan kemampuan produksi pangan. Misalnya adalah terciptanya sistem irigasi, penemuan bibit unggul melalui proses bioteknologi, adanya pupuk dan pestisida, teknologi pasca panen yang mengurangi rasio pangan terbuang akibat pengolahan saat panen, dan diversifikasi pakan ternak yang akan meningkatkan ketersediaan pangan hewani (Ehrlich, Ehrlich & Daily, 1993) Faktor-faktor Produksi Pangan Istilah faktor produksi sering pula disebut dengan ’korbanan produksi”, karena faktor produksi tersebut ”dikorbankan” untuk menghasilkan produksi. Faktor produksi ini disebut dengan input. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi pertanian dapat dibedakan menjadi dua kelompok : (1) faktor biologi, seperti lahan pertanian dengan macam dan tingkat kesuburannya, bibit, varitas, pupuk, obat-obatan, gulma, dan sebagianya dan (2) faktor sosial ekonomi, seperti biaya produksi, harga, tenaga kerja, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, risiko dan ketidakpastian, kelembagaan, tersedianya kredit dan sebagainya (Soekartawi, 2003). Dalam model Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang dikembangkan oleh Puslitbag Tanaman Pangan (2003), efek sinergisme antar komponen produksi perlu digali dan dikembangkan agar diperoleh manfaat yang lebih besar. Beberapa komponen produksi yang memiliki efek sinergis antara lain adalah: 1. Pengolahan tanah secara sempurna yang dikombinasikan dengan pengairan berselang (intermittent) memberikan ruang yang kondusif bagi pertumbuhan dan distribusi akar tanaman padi, sehingga dapat menyerap hara dan air pada lapisan tanah lebih dalam. Dampak selanjutnya, meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk, tanaman lebih sehat, tahan rebah, dan toleran kekeringan. 2. Dengan pengairan berselang akan terjadi pengeringan lahan sesaat. Kondisi ini dapat mengurangi akumulasi gas beracun dalam tanah. 3. Pengendalian gulma
secara
mekanis bukan hanya bertujuan untuk
membebaskan ahan dari gulma, tetapi juga untuk memperbaiki aerasi tanah, merangsang pertumbuhan akar tanaman padi, dan mengembalikan bahan organik ke dalam tanah.
18
4. Sinergisme lainnya dapat terjadi pada interaksi bibit muda dengan teknik irigasi berselang (intermittent) dan bahan organik dengan pemberian pupuk. 5. Pengeringan lahan sawah dapat menekan perkembangan beberapa hama dan penyakit tanaman. Hasil
tanaman
erat
berkaitan
dengan
kondisi
cuaca
selama
pertumbuhannya. Di lain pihak, varietas tanaman dengan karakter morfofisiologis tertentu merespon kondisi cuaca itu dengan pola pertumbuhan dan potensi hasil yang berbeda. Maka hasil tanaman berbeda sesuai musim dan varietasnya. Perbedaan itu pada gilirannya juga membedakan kebutuhan hara tanaman. Ketersediaan hara dalam tanah sangat bergantung pada sifat tanah. Karenanya takaran pupuk yang diperlukan juga sangat spesifik lokasi. Nilai status hara tanah yang didapatkan melalui analisis atau uji tanah dapat digunakan sebagai dasar penentuan takaran keperluan pupuk secara lebih cepat dan spesifik (Makarim A, 2005). Pertimbangan utama dalam pengembangan komoditas tanaman pertanian adalah kesesuaian/kecocokan tanaman terhadap lahan, sedangkan untuk peternakan, selain kecocokan tanaman pakan terhadap lahan, juga perlu diperhatikan
kecocokan
lingkungan
terhadap
ternak.
Di
samping
itu,
pengembangan peternakan berkaitan dengan benda yang sifatnya mobil/aktif. Peternakan, selain memerlukan lahan tersendiri juga dapat dikombinasikan dengan usaha pertanian lainnya, misalnya perkebunan atau tanaman pangan. Ada tiga pola pengembangan peternakan yang dikenal, yaitu: (1) pola ekstensif, ternak digembalakan atau dilepaskan begitu saja, (2) pola semiekstensif, ternak digembala secara terkendali sambil diaritkan, dan pada malam hari ternak dikandangkan, dan (3) pola intensif, yaitu ternak dikandangkan dan diaritkan. Pola yang pertama sesuai untuk daerah yang masih mempunyai padang penggembalaan Pada pola kedua dan ketiga, usaha peternakan tidak memerlukan lahan khusus untuk ternak. Biasanya pola ini terintegrasi dengan usaha pertanian lainnya. Usaha ini sangat tergantung pada keberadaan lahan yang dapat menyediakan pakan ternak, baik itu limbah pertanian maupun hijauan pakan ternak (Suratman, 2004).
19
Permasalahan Produksi dan Ketersediaan Pangan Pembangunan ketahanan pangan diharapkan mampu menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, terutama berasal dari produksi dalam negeri, dalam jumlah dan keragaman yang cukup aman, dan terjangkau dari waktu ke waktu. Permasalahan dalam pengembangan ketahanan pangan antara lain : 1. Jumlah penduduk yang cukup besar dengan laju pertumbuhan sebesar 1,5% per tahun membawa konsekuensi adanya peningkatan permintaan pangan terus menerus dengan jumlah besar 2. Meningkatnya
kompetisi
pemanfaatan
sumberdaya
lahan
dan
air,
menyebabkan terganggunya kapasitas produksi pangan 3. Pola konsumsi pangan masyarakat masih belum beragam (didominasi sumber karbohidrat beras dan sumber protein nabati) 4. Kebijakan pengembangan pangan yang selama ini masih terfokus pada beras sehingga mengurangi penggalian dan pemanfaatan potensi pangan yang lain 5. Masyarakat di beberapa daerah masih terdapat yang mengalami kerawanan pangan, baik karena musim paceklik ataupun karena bencana alam (Krisnamurthi, 2003; Suryana 2005). Kebijakan pembangunan pertanian untuk mewujudkan ketahanan pangan seharusnya tidak hanya berorientasi pada pemenuhan target produksi saja. Tetapi juga harus memperhatikan petani dalam arti luas yang memiliki peran ganda yaitu sebagai produsen sekaligus konsumen pangan. Karena ternyata sebagian besar masyarakat Indonesia termasuk golongan miskin adalah mereka yang berprofesi sebagai petani. Beberapa persoalan umum petani dan pertanian di Indonesia menurut Saragih (2005) adalah : 1. Indonesia terperangkap dalam kebijakan pangan yang menokultur, yakni kebijakan yang mengarah menuju ketergantungan pada tanaman padi untuk menghasilkan beras sebagai bahan pokok pangan 2. Indonesia terjebak dalam kebijakan harga pangan yang murah, untuk menopang pengembangan industri, dan pengembangan sektor lainnya 3. Harga beras impor yang lebih rendah dari beras produksi lokal mengakibatkan petani
yang
memproduksi
pangan
semakin
miskin
dan
menggantikan tanaman pangannya dengan tanaman pertanian lainnya
berupaya
20
4. Adanya dorongan pada petani dan perusahaan-perusahaan untuk menanam tanaman ekspor seperti sawit dan karet, akibatnya tanah-tanah yang seharusnya cocok untuk tanaman pangan dialihfungsikan untuk tanaman perkebunan 5. Pengadaan sarana produksi pertanian seperti bibit, benih dan alat-alat teknologi pertanian yang hanya dikuasai oleh segelintir perusahaan internasional 6. Semakin berkurangnya peran pemerintah dalam mengatur kebijakan pangan 7. Terjadinya penguasaan dan pemilikan sumber agraria terutama tanah dan air pada orang atau pihak-pihak tertentu saja. Permasalahan produksi pangan untuk menunjang ketahanan pangan juga tercermin dari banyaknya bahan pangan yang masih diimpor, antara lain beras (Indonesia importir terbesar di dunia), kedelai (importir terbesar di dunia), gula pasi (importir terbesar kedua di dunia), pangan hewani (daging sapi dan susu serta produk olahannya), serta buah dan sayur segar. Besarnya impor menyebabkan ketahanan pangan suatu negara atau wilayah rapuh (Husodo & Muchtadi, 2004). Hal tersebut dapat terjadi karena laju peninggakatan kebutuhan pangan domestik lebih cepat dibandingkan dengan laju kemampuan produksi. Ketersediaan lahan yang semakin berkurang karena penduduk, persaingan dengan sektor ekonomi non pangan, menurunnya kualitas lahan karena eksploitasi yang eksesif, berkurangnya fungsi penyimpaanan air karena kerusakan hutan dan daerah tangkapan air. Pada produksi pangan nabati, produktivitas tanaman pada berbagai komoditas pangan relatif stagnan, yang antara lain disebabkan lambatnya penemuan penemuan dan pemasyarakatan teknologi inovasi serta rendahnya insentif finansial untuk menetapkan teknologi secara maksimal. Melemahnya sistem penyuluhan pertanian juga merupakan kendala bagi proses penyebaran teknologi kepada para petani pengguna (Suryana, 2004). Berdasarkan hasil perhitungan skor PPH Nasional pada tahun 2003 menunjukkan bahwa pangan hewani masih jauh dibawah ideal menurut PPH. Salah satu sumber pangan hewani adalah ikan, Indonesia sebagai negara maritim memiliki potensi perikanan laut yang besar selain itu juga potensial untuk
21
dikembangkan perikanan budidaya (Dahuri, 2004: Nikijuluw & Abdurahman, 2004). Pulau-pulau
besar
di
kawasan
barat
Indonesia
berpotensi
untuk
pengembangan budidaya air tawar. Sementara pengembangan budidaya laut lebih berpotensi dikembangkan di kawasan timur. Pulau Jawa, baik di pantai utara maupun selatan adalah lokasi yang potensial untuk pengembangan budidaya terpadu mina-padi dan kolam air tawar berpotensi untuk dikembangkan di seluruh wilayah Jawa. Pada tabel 2 berikut ini dapat dilihat potensi budidaya perikanan di Indonesia berdasarkan lokasinya. Tabel 2 Potensi lahan budidaya perikanan menurut daerah Budidaya Lokasi (rangking) Kalimantan (1), Maluku dan Papua (2), Jawa (3) Tambak Jawa (1), Sumatera (2), Sulawesi (3) Kolam air tawar Kalimantan (1), Sumatera (2), Sulawesi (3) Perairan umum Jawa (1), Sumatera (2), Sulawesi (3) Mina-padi Kalimantan (1), Sumatera (2), Sulawesi (3) Budidaya pantai : udang Sumatera (1), Sulawesi (2), Kalimantan (3) Budidaya laut : kakap Jawa (1), Bali dan NT (2), Maluku dan Papua (3) Budidaya laut : kerapu (Nikijuluw & Abdurahman, 2004). Saat ini, banyak ekspor pangan dari Indonesia ditolak oleh konsumen luar negeri sehingga menjadikan harga ekspor produk-produk pertanian dan pangan tertekan. Pada waktu yang akan datang, peningkatan kualitas pertanian dan pangan perlu memperoleh perhatian yang memadai. Tantangan yang harus dihadapi di bidang produksi pangan, yaitu peningkatan volume produksi, peningkatan kualitas produk dan penganekaragaman produk serta meningktakan daya saing. Secara umum di bidang pertanian juga peternakan dan perikanandiperlukan perubahan-perubahan yang mendasar, terutama dengan meningkatkan skala usaha petani, perikanan dan peternakan, menjadikan setiap usaha tani, usaha peternakan dan usaha perikanan mencapai skala ekonomi yang dapat membuat pelakunya sejahtera (Husodo, 2003).
22
Perencanaan Pangan Berdasarkan PPH Perencanaan pembangunan suatu wilayah seharusnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi penduduknya. Kebutuhan dasar tersebut meliputi pangan, sandang dan tempat tinggal. Pembangunan dilakukan guna memenuhi kebutuhan dasar penduduk tersebut dengan memperhitungkan alokasi sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut. Tingkat kebutuhan gizi bagi konsumsi penduduk dapat digunakan sebagai salah satu standar untuk mengukur kebutuhan dasar penduduk. khususnya dalam hal pangan. Segala sumberdaya yang berhubungan dengan produksi dan penyediaan pangan harus dialokasikan sesuai kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan minimal tersebut (Nagamine, 1981). Perencanaan
sistem
pangan
adalah
suatu
bentuk
perencanaan
multidisipliner yang mencakup aspek lingkungan, transportasi, kondisi sosial, kesehatan masyarakat dan lain sebainya. Sedangkan sistem pangan sendiri adalah rantai aktivitas yang diawali dari produksi pangan beserta seluruh pergerakannya meliputi proses produksi, panen dan pasca panen, distribusi, perdagangan sampai konsumsi pangan bahkan masalah pangan tercecer atau terbuang selama semua proses tersebut (APA Division Council, 2006). Sistem pangan yang kokoh dalam suatu komunitas dapat membantu para petani dan keluarnya tetap memiliki mata pencaharian yang layak, memastikan setiap anggota masyarakat tersebut memiliki akses yang sama terhadap pangan yang berkualitas, menciptakan lapangan pekerjaan di bidang pangan, dan memberikan pendapatan bagi masyarakat. Perhatian khusus yang diberikan pemerintah suatu daerah dalam perencanaan sistem pangan dapat membantu daerah tersebut untuk mencapai kehidupan masyarakat yang berkualitas secara lebih komperhensif (Abel & Thomson, 2006). Seiring dengan dilakukannya pembangunan di bidang ekonomi dan perbaikan gizi penduduk, maka diperlukan juga peningkatna produksi pertanian agar tercipta surplus pangan di pasar, selain untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan, juga untuk kebutuhan pakan ternak dan industri lainnya. Peningkatan produksi pangan juga dibutuhkan untuk mendukung stok cadangan pangan guna menjamin ketersediaan pangan sepanjang waktu, baik dimasa paceklik atau saat darurat akibat adanya bencana alam atau masalah lainnya (College of Human Ecology – University of the Philippines Los Banos, 1999).
23
Dalam melakukan perencanaan pangan, keberadaan data sangat penting artinya. Keberhasilan suatu perencanaan pangan sangat tergantung dari keakuratan data yang dipakai sebagai dasar pembuatan perencanaan. Untuk itu kualitas data yang dikumpulkan harus menjadi perhatiaan. Akan tetapi data-data yang dikumpulkan harus sesuai dengan landasan teori serta permasalahan kebijakan pangan yang akan dianalisis. Sehingga data yang dikumpulkan akan mampu memberikan informasi dan menjawab permasalahan pangan tersebut. Data-data tersebut dapat bersumber dari data primer yang biasanya berasal dari rumah tangga serta data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai institusi terkait. (Braun, 1993). Sehingga hubungan antara data yang dikumpulkan dan permasalahan kebijakan pangan adalah timbal balik seperti yang terlihat pada gambar 1. Masalah Kebijakan Pangan Konsep/Teori
Pengumpulan Data
Analisa Data / Generalisasi Informasi Gambar 1 Hubungan dan timbal balik antara kebijakan dan data (Braun, 1993) Terdapat
beberapa
permasalahan
yang
cukup
serius
dalam hal
pengumpulan data dan pada akhirnya banyak data yang telah dikumpulkan menjadi tidak berguna. Banyak kegiatan pengumpulan data yang terfokus pada proses pengumpulan data itu sendiri, tetapi tidak pada pemanfaatan data yang telah dikumpulkan. Data dasar yang sering digunakan untuk melakukan perencanaan pangan adalah data konsumsi pangan di tingkat rumah tangga. Data konsumsi pangan biasanya merupakan data primer. Selama ini data hasil survei konsumsi pangan belum banyak digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan
24
dalam hal perencanaan pangan yang lebih luas dan hanya terbatas pada perencanaan program intervnsi gizi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar informasi yang diperoleh dari survei ditingkat rumah tangga dapat digunakan untuk perencanaan. Pertama, informasi yang dikumpulkan harus dapat dipercaya, yang berarti bahwa data tersebut harus berkualitas dan dianalisis dengan benar pula. Kedua, informasi yang dikumpulkan harus relevan dengan permasalahan yang ingin dianalisis. Ketiga, informasi tersebut haruslah tepat waktu atau aktual sehingga dapat memberikan gambaran keadaan sebenarnya. Tepat waktu ini sangat penting, karena setiap data memiliki karakteristik sendiri kapan seharusnya dikumpulkan misalnya setiap minggu, bulan atau tahun. Keempat, informasi yang diperoleh harus dapat dipresentasikan pada orang lain sebagai sumber acuan yang terpercaya (Andersen, 1993). Kegiatan pengumpulan data survei tingkat rumah tangga menjadi penting diperhatikan karena merupakan salah satu informasi dasar yang digunakan untuk membuat perencanaan pangan bersama-sama dengan data-data indikator makroekonomi, jumlah konsumsi dan produksi di tingkat nasional atau wilayah, serta informasi demografi. Hal tersebut diperlukan agar data hasil survei rumah tangga dapat memberikan gambaran secara agregat keadaan masyarakat atau populasi suatu wilayah. Oleh karena itu suatu kerjasama lintas institusi untuk memenuhi berbagai macam data yang diperlukan untuk melakukan perencanaan pangan agar lebih akurat dan terpercaya (Mule, 1993). Survei Konsumsi Gizi (SKG) adalah dalah satu contoh kegiatan survei rumah tangga yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan untuk mengetahui tingkat konsumsi pangan masyarakat. Data konsumsi pangan meliputi jenis dan jumlah pangan oleh seseorang atau kelompok orang (keluarga/rumah tangga) pada saat atau periode tertentu. Bila data konsumsi pangan dikumpulkan dalam kurun waktu yang panjang maka data konsumsi pangan tersebut dapat mencerminkan kebiasaan atau perilaku makan kelompok yang disurvei. Data konsumsi pangan dapat diperoleh berupa data sekunder maupun data primer. Data sekunder konsumsi pangan tersedia berupa data konsumsi pangan Susenas maupun data hasil Survei/Pemantauan Konsumsi Gizi (S/PKG). Dalam konteks ketahanan
25
pangan, survei konsumsi pangan diperlukan untuk menilai situasi konsumsi pangan atau perilaku konsumsi pangan masyarakat (Hardinsyah et al, 2003). Informasi-informasi yang dibutuhkan untuk perencanaan dalam sistem pangan adalah sebagai berikut : 1. Data produksi pertanian : data peramalan panen, monitoring produksi/panen tiap bulan (luas, hasil, produksi panen), produksi pertanian dan makanan olahan, penjualan hasil panen dan hasil peternakan/perikanan, hasil tangkapan ikan, harga yang diterima dan yang harus dikeluarkan oleh petani, input tenaga kerja serta hasil pertanian tercecer. 2. Data proses pengolahan makanan dan statistik pasar : data pengolahan pangan nabati maupun hewani, harga pada setiap tahap pengolahan yang berbeda dan rantai pemasaran, biaya, margin, dan keuntungan pada jalur pemasaran, data inventaris pangan dan kesejahteraan rumah tangga, struktur dan organisasi pasar, dan inefisiensi pasar. 3. Data perdagangan pangan : volume dan harga dari ekspor dan impor pangan, kondisi permintaan dan harga yang relevan pada pasar dunia, informasi tentang suplier utama pada komoditas pangan tertentu. 4. Data mengenai konsumsi pangan : Neraca Bahan Makanan (NBM), rata-rata konsumsi aktual, konsumsi pangan berdasarkan kelompok pendapatan, harga pangan di tingkat konsumen pada berbagai tempat dan konsumsi pangan on farm. 5. Data kondisi sosial dan gizi masyarakat : monitoring data-data sosial, data pada kelompok dengan pendapatan rendah, pola konsumsi pangan, konsumsi pangan pada kelompok masyarakat yang menjadi target. 6. Informasi dan analisis kebijakan : informasi mengenai kebijakan tentang siste pangan, analisis dari dampak dari kebijakan yang diberlakukan (Muller, 1993). Pangan adalah bagian vital dalam suatu masyarakat, sehingga perencanaan pangan harus diintegrasikan dalam rencana pembangunan sutau wilayah. Untuk mewujudkan hal tersebut hal-hal yang perlu dilakukan adalah :
26
1. Mengumpulkan informasi mengenai sistem pangan dalam masyarakat misalnya : produksi, proses, distribusi, konsumsi dan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan pangan. 2. Menentukan hubungan antara pangan dan fokus perencanaan pembangunan lainnya. 3. Mempertimbangkan
pengaruh
rencana
pembangunan
yang
saat
ini
berlangsung terhadap sistem pangan di masyarakat. 4. Memasukkan ketahanan pangan ke dalam tujuan pembangunan masyarakat. 5. Memberikan pengetahuan dan informasi kepada para pembuat kebijakan dan rencana pembangunan mengenai masalah-masalah pangan. (Abel & Thomson, 2006). Perencanaan pangan berorientasi pada kebutuhan konsumen, permintaan yang dikaitkan dengan suplai pangan serta keadaan sosial ekonomi penduduk. Perencanaan
adalah
suatu
syarat
mutlak
untuk
mengendalikan
dan
mengefisienkan pelaksanaan pembangunan, termasuk di bidang pangan. Perencanaan pangan merupakan perencanaan multisektoral yang dipengaruhi oleh situasi nasional atau wilayah yang mencakup berbagai bidang seperti kesehatan, pertanian, ekonomi dan lain-lain (Suhardjo, 1989). Pendekatan yang digunakan untuk perencanaan penyediaan pangan dalam pembangunan pangan ada tiga macam, yaitu : (1) pendekatan kecenderungan (tren) konsumsi/permintaan, (2) pendekatan kecenderungan produksi dan (3) pendekatan gizi seimbang dan permintaan (PPH). Sejak tahun 1988, FAO-RAPA mencetuskan pendekatan yang diharapkan dapat membantu perencanaan produksi dan konsumsi pangan dengan pendekatan Desirable Dietary Pattern atau Pola Pangan Harapan (PPH) (Hardinsyah, Madanijah & Baliwati, 2002). Selain itu dapat pula digunakan informasi-informasi dari Neraca Bahan Makanan (NBM) sebagai penunjangnya. Pola Pangan Harapan (PPH) atau Desirable Dietary Pattern adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama (baik secara absolut maupun relatif) dari suatu pola ketersediaan
27
dan atau konsumsi pangan. Dengan pendekatan PPH mutu konsumsi pangan penduduk dapat dilihat dari skor pangan (dietary score) dan dikenal sebagai skor PPH. Semakin tinggi skor PPH, konsumsi pangan semakin beragam dan berimbang. PPH dapat diimplementasikan dalam perencanaan kebutuhan konsumsi dan penyediaan pangan untuk dikonsumsi (BKP-Deptan & GMSK-IPB, 2005). Untuk menjadikan PPH sebagai instrumen perencanaan pangan disuatu wilayah diperlukan kesepakatan tentang pola konsumsi pangan dengan mempertimbangkan : (1) pola konsumsi pangan penduduk saat ini, (2) kebutuhan gizi yang dicerminkan oleh pola kebutuhan energi, (3) mutu gizi pangan yang dicerminkan oleh kombinasi makanan yang mengandung pangan nabati dan hewani, (4) permasalahan pangan dan gizi di wilayah tersebut, (5) kecenderungan permintaan pangan, dan (6) kemampuan penyediaan pangan daerah (Suryana, 2001). Pola pikir perencanaan dengan pendekatan PPH merupakan konsep perencanaan pangan untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang dan jangka pendek. Berbagai aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pemenuhan kebutuhan jangka panjang adalah sebagai berikut : 1. Kondisi atau situasi pangan saat ini. Kondisi saat ini didasarkan pada situasi produksi, penyediaan dan konsumsi pangan saat ini serta pada tren produksi, tren ketersediaan, dan tren konsumsi pangan dan gizi masa lalu. 2. Kondisi yang diharapkan. Perumusan perencanaan pangan tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan menjamin ketersediaan pangan bagi seluruh penduduk dalam jumlah, mutu gizi dan keragaman konsumsi gizi sesuai dengan angka kecukupan gizi secara berkelanjutan. 3. Kondisi dan potensi sosial ekonomi, dan agroekologi juga turut menetukan, yang meliputi pendapatan keluarga, potensi agroekologi untk produksi pangan, potensi agroindustri pangan dan potensi ekspor serta laju pertumbuhan penduduk. 4. Aspek regulasi dan kebijakan pangan, seperti kebijakan dan regulasi global, nasional maupun lokal (PSKPG dan BBKP-Deptan, 2001).
28
Ketersedian gizi saat ini
Angka Kecukupan Gizi
- pendapatan
Tingkat kecukupan gizi
- potensi agroekologi - tantangan global & lingk - ekspor
Laju keters pangan Laju ekonomi Laju penduduk Kebijkan & regul
Pola ketersediaan pangan saat ini (jumlah & jenis)
Pola Pangan Harapan (PPH)
Gambar 2 Faktor yang mempengaruhi penyusunan PPH Di Indonesia, PPH telah digunakan sebagai basis perencanaan dan penilaian kecukupan gizi seimbang pada tingkat makro. Skor PPH juga telah dijadikan indikator output dalam kebijakan pembangunan pangan termasuk evaluasi penyediaan pangan dan diversifikasi pangan.
KERANGKA PEMIKIRAN
Memperoleh pangan yang cukup, beragam dan bermutu adalah hak azasi setiap manusia. Pemerintah bersama pihak swasta bertanggungjawab sepenuhnya untuk mengupayakan atas hak tersebut bagi penduduk di wilayahnya. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka pemerintah di tingkat kabupaten/kota memiliki kewenangan yang lebih luas untuk melaksanakan pembangunan termasuk dalam hal pemantapan ketahanan pangan guna memenuhi kebutuhan penduduknya. Pembangunan ketahanan pangan memiliki tiga sub sistem, salah satunya adalah sub sistem ketersediaan. Ketersediaan pangan wilayah sejauh mungkin diupayakan berasal dari produksi sendiri. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu perencanaan produksi yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk dan berdasarkan atas sumberdaya lokal yang tersedia. Nutritional carrying capacity suatu wilayah adalah kemampuan wilayah tersebut untuk mendukung pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan sejumlah penduduk secara berkelanjutan tanpa mengabaikan kemampuannya untuk mendukung pemenuhan kebutuhan tersebut dimasa yang akan datang. Sehingga nutritonal carrying capaity adalah upaya untuk memproduksi pangan bagi pemenuhan kebutuhan konsumsi penduduk yang sesuai dengan daya dukung wilayah yang dimiliki. Daya dukung wilayah dalam produksi pangan dapat didekati salah satunya dengan memperhitungkan potensi produksi pangan serta ketersediaan
lahan
pertanian
di
wilayah
tersebut.
Kemampuan
untuk
memproduksi pangan salah satunya dapat dilihat dari tren produksi selama beberapa
tahun
terakhir,
karena
hal
tersebut
diasumsikan
telah
mempertimbangkan perubahan produktivitas, luas panen dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyangkut produksi pangan. Sedangkan lahan adalah faktor utama untuk produksi pangan, terutama pangan nabati. Ketersediaan pangan wilayah sejauh mungkin diupayakan berasal dari produksi sendiri tanpa mengabaikan adanya perdagangan antar wilayah (ekspor/impor). Oleh sebab itu perencanaan produksi pangan utamanya adalah didasarkan untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk terlebih dahulu agar pangan yang tersedia dapat mendorong konsumsi penduduk kearah yang lebih
30
ideal. Tidak menutup kemungkinan suatu wilayah memiliki potensi produksi pangan unggulan yang produksinya telah melebihi target penyediaan untuk konsumsi penduduk sehingga mampu menjadi komoditas ekspor. Hal ini akan menjadi berimbang mengingat ada beberapa komoditas pangan lain yang tidak mampu diproduksi sendiri sehingga harus diimpor dari luar. Pendekatan yang dapat digunakan untuk menilai dan merencanakan konsumsi serta produksi pangan secara cukup, bermutu dan beragam adalah Pola Pangan Harapan (PPH). Setelah diketahui jumlah dan jenis pangan yang dibutuhkan untuk memenuhi konsumsi pangan penduduk agar mencapai ideal sesuai PPH pada masa yang akan datang maka hal tersebut dijadikan dasar untuk membuat perencanaan produksi pangan wilayah dengan memperhatikan kemempuan yang dimiliki untuk memproduksinya. Setiap daerah memiliki keragaman dalam potensi sumberdaya alam (potensi produksi), daya beli masyarakat, faktor sosial budaya (kebiasaan makan, tingkat pengetahuan gizi) dan sebagainya yang pada akhirnya akan mempengaruhi pola konsumsi pangan penduduknya. Sehingga PPH Nasional belum tentu tepat untuk diterapkan sebagai pedoman dalam penyusunan target produksi pangan regional berdasarkan
kebutuhan konsumsi penduduk. Oleh karena itu
perencanaan produksi pangan dengan pendekatan PPH harus didahului dengan upaya penyusunan PPH regional. Pada penelitian ini PPH regional yang akan digunakan sebagai dasar perencanaan produksi pangan adalah PPH regional Jawa Timur. Hal ini karena penyusunan PPH regional tingkat kabupaten biasanya kurang memungkinkan untuk dilakukan sebab data-data yang tersedia untuk menyusunnya kurang memadai. Konsumsi pangan aktual penduduk Kabupaten Nganjuk sebagai dasar perencanaan produksi pangan dapat diketahui melalui kegiatan Survei Konsumsi Pangan (SKP). Konsumsi pangan aktual tersebut dinilai dengan menggunakan PPH regional agar selanjutnya dapat diproyeksikan kebutuhan pangan yang ideal pada masa mendatang. Berdasarkan proyeksi kebutuhan konsumsi tersebut maka dapat diproyeksikan penyediaan dan produksi pangan.
31
Dalam melaksanakan produksi pangan, baik nabati maupun hewani, khususnya on farm, faktor-faktor yang mempengaruhi adalah luas lahan, jumlah input yang dipergunakan dan modal usaha yang dimiliki. Selain itu, kebijakan pemerintah dalam sektor pertanian dalam arti luas dan khususnya dalam hal ketahanan pangan akan berdampak pada produksi pangan wilayah. Berdasarkan hasil proyeksi target produksi pangan untuk memenuhi target kebutuhan konsumsi pangan ideal penduduknya akan dapat diketahui modal usaha, luas lahan dan input usahatani (misal pupuk) yang dibutuhkan dalam usahatani on farm produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan penduduknya pada tahun tertentu. Besarnya sumberdaya yang dibutuhkan untuk memenuhi target produksi pangan tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan dan masukan untuk mengambilan kebijakan serta program pembangunan masa mendatang di bidang pangan dan gizi dengan tetap memperhatikan sumberdaya lokal yang tersedia. Diharapkan perencanaan produksi pangan yang dilakukan tidak lagi hanya berorientasi pada target peningkatan produksi tetapi lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduknya. Dengan demikian diharapkan masalah-masalah gizi, seperti timbulnya kejadian gizi buruk di masyarakat dapat diantisipasi dan diminimalisasi.
32
Input Produksi Pangan (Pupuk)
Kebutuhan Lahan
Analisis Kebutuhan Pupuk
Modal Usahatani
Analisis Usahatani
Analisis Gap Kebutuhan vs Ketersediaan Lahan
Kemampuan Daya Dukung Wilayah : - Potensi produksi pangan - Ketersediaan Lahan
Pangan Nabati Produksi Pangan Pangan Hewani
Kebutuhan Populasi
Penyediaan Pangan
Cadangan Pangan
Kontribusi komoditas pangan sasaran
Kebutuhan Konsumsi Pangan Ideal
Berdasarkan PPH
Konsumsi Pangan Aktual
Impor Pangan
Gambar 3 Kerangka pemikiran perencanaan produksi pangan berdasarkn pola konsumsi pangan harapan (PPH) : Aspek yang diteliti : Aspek yang tidak diteliti : Alat analisis yang digunakan
METODE PENELITIAN
Desain, Tempat, dan Waktu Desain penelitian ini adalah retrospektive dan cross sectional. Sedangkan pengambilan data primer menggunakan metode survei yang dilakukan di Kabupaten Nganjuk Propinsi Jawa Timur. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan : (1) merupakan salah satu wilayah yang berbasis pertanian di Jawa Timur dan (2) Kabupaten Nganjuk melakukan kegiatan Pemantauan Konsumsi Gizi (PKG) pada bulan April sampai Juli 2006. Penelitian dilakukan dilakukan mulai bulan April sampai Juli 2006.
Cara Pengambilan Sampel Cara penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan cluster sampling, dimana unit cluster yang digunakan adalah kecamatan. Di Kabupaten Nganjuk terdapat 20 kecamatan yang dapat digolongkan menjadi tiga kelompok berdasarkan kondisi ekonominya, yaitu wilayah ekonomi tinggi, wilayah ekonomi sedang
dan
wilayah
ekonomi
rendah.
Dasar
yang
digunakan
untuk
mengelompokan adalah besarnya persentase keluarga miskin, pengelompokanya adalah sebagai berikut : persentase keluarga miskin <30% termasuk wilayah ekonomi tinggi, 30–40% termasuk wilayah ekonomi sedang dan >40% termasuk wilayah ekonomi rendah. Unit cluster terkecil yang diambil adalah kecamatan, dimana jumlah kecamatan yang diambil sebagai sampel ditentukan secara proporsional sesuai pengelompokan. Secara keseluruhan 25% atau 5 kecamatan di Kabupaten Nganjuk termasuk dalam kategori ekonomi tinggi, 45% atau 9 kecamatan termasuk ekonomi sedang dan 30% atau 6 kecamatan termasuk ekonomi rendah. Berdasarkan hal tersebut maka diambil sampel yang mewakili wilayah ekonomi tinggi sebanyak 2 kecamatan yaitu Kecamatan Ngronggot dan Tanjunganom, yang mewakili wilayah ekonomi sedang 3 kecamatan yaitu Kecamatan Prambon, Pace dan Berbek dan 2 kecamatan yang mewakili wilayah ekonomi rendah yaitu Kecamatan Lengkong dan Ngluyu. Kecamatan yang diambil adalah kecamatan yang posisinya saling berdekatan agar memudahkan mobilitas penelitian, sehingga
34
secara keseluruhan jumlah kecamatan yang menjadi lokasi penelitain sebanyak tujuh kecamatan. Dari setiap kecamatan yang menjadi sampel diambil 30 rumah tangga, sehingga jumlah seluruh sampel adalah 210 rumah tangga. Rumah tangga sampel diambil secara purposive dengan mempertimbangkan keberagaman family life cycle agar semua komposisi populasi penduduk terwakili. Bagan kerangka pengambilan sampel dapat dilihat pada gambar berikut ini : Kecamatan Nganjuk (20 Kecamatan)
Kec. Ekonomi Tinggi (30 RT)
Kec. Ekonomi Tinggi (30 RT)
Kec. Ekonomi Sedang (30 RT)
Kec. Ekonomi Rendah (30 RT)
Kec. Ekonomi Sedang (30 RT)
Kec. Ekonomi Rendah (30 RT)
Kec. Ekonomi Sedang (30 RT)
Gambar 2. Kerangka pengambilan sampel Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa data konsumsi pangan penduduk yang dilakukan dengan cara survei konsumsi pangan (SKP) dan data mengenai pembiayaan serta pendapatan usahatani pangan on farm. Pelaksanaan SKP dilakukan dengan kerjasama bersama Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Nganjuk. Metode pengumpulan data konsumsi pangan menggunakan metode recall 1 x 24 jam yang lalu. Jumlah sampel keluarga yang digunakan sebanyak 210 keluarga. Sedangkan data sekunder yang digunakan mencakup data SUSENAS, NBM dan komposisi penduduk Propinsi Jawa Timur untuk menyusun PPH regional. Data sekunder lainnya adalah data produksi pangan nabati dan hewani, luas lahan pertanian dan penggunaannya, serta data harga komoditas pangan dan sarana produksi pertanian on farm yang diperoleh dari dinas-dinas terkait di Kabupaten Nganjuk.
35
Tabel 3 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian Data Konsumsi pangan, umur & jenis kelamin, tingkat pendidikan dan mata pencaharian Biaya usahatani pangan nabati dan hewani Susenas tahun 1996, 1999, dan 2002 NBM tahun 2000 – 2004
Jenis Data Primer
Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin (2004) Produktivitas dan produksi pangan; luas baku lahan pertanian; luas tanam; luas panen; impor dan ekspor pangan (20002005)
Sekunder
Panel harga pangan (2000-2005)
Sekunder
Primer Sekunder
Sekunder
Sumber Rumahtangga sample (Ibu RT) Petani spesifik komoditas Badan Ketahanan Pangan dan BPS Prop. Jawa Timur. BPS Prop. Jawa Timur Dinas Pertanian, Peternakan, Perinanan, Perkebunan, BPS Kabupaten Nganjuk Dinas Industri dan Perdagangan
Pengolahan dan Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan program komputer Microsoft Excell, kemudian dianalisis secara deskriptif. Pengolahan data tersebut dibagi dalam beberapa kelompok sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui potensi produksi pangan, dianalisis berdasarkan tren produksi pangan wilayah selama sembilan sampai sepuluh tahun terakhir. Setelah tren produksi diketahui maka akan dapat dilakukan peramalan produksi pangan pada tahun 2007 dan 2010. Analisis tren dan peramalan produksi pangan menggunakan metode Least Square dengan model persamaan linier. Persamaan tren linier tersebut adalah sebagai berikut : Yn = b0 + b1Xn Dimana : Yn = besarnya produksi pada tahun ke-n (tahun dasar adalah tahun ke-0) b0 = nilai tren yang merefleksikan produksi pangan sejak tahun dasar b1 = nilai slope, yang menggambarkan meningkat/menurunnya produksi pangan per tahunnya
36
Xn = kode tahun ke-n yang diramalkan (Hakin, 2004) 2. Proyeksi ketersediaan lahan pertanian pada tahun 2007 dan 2010 dicari dengan menggunakan tren perubahan luas lahan pertanian baik lahan sawah maupun lahan kering selama sepuluh tahun terakhir. Dengan demikian dapat diperkirakan luas lahan pertanian yang tersedia pada tahun tersebut beserta fungsinya. 3. Menyusun PPH regional Jawa Timur, dengan tahap-tahap sebagai berikut : •
Menetapkan AKE regional dengan menggunakan metode Multiple Spraque, dimana AKE rata-rata penduduk dihitung berdasarkan komposisi penduduk dan jenis kelamin. Pengelompokan menurut umur dan jenis kelamin yang tersedia di BPS adalah dengan jenjang umur lima tahunan. Pengelompokan tersebut harus diubah menjadi kelompok umur kecukupan energi dengan menggunakan metode Multiple Spraque. Prinsip dari metode ini adalah memecah jumlah penduduk menurut kelompok umur lima
tahunan
menjadi
jumlah
penduduk
umur
tunggal
dengan
menggunakan Faktor Pengali Spague (FPS) dikelompokkan menjadi lima kelompok, yaitu First End Panel (FEP), Fisrt Next End Panel (FNEP), Mid Panel (MP), Last Next to End Panel (LNEP) dan Last End Panel (LEP). FPS yang akan digunakan tergantung pada kelompok yang akan dipecah. Rata-rata berat badan sehat menurut umur dan jenis kelamin yang digunakan adalah berat badan hasil WKNPG VIII tahun 2004, sedangkan Energi Metabolisme Basal (EMB) yang digunakan direkomendasikan oleh FAO/WHO/UNU tahun 1985. Sedangkan untuk mengetahui tingkat kegiatan penduduk, diasumsikan bahwa untuk penduduk dengan kelompok umur 20 – 59 tahun baik laki-laki maupun perempuan memiliki tingkat kegiatan sedang, begitu juga wanita hamil. Sedangkan pada kelompok umur 60 tahun ke atas, tingkat kegiatannya ringan. Tambahan energi digunakan untuk ibu hamil adalah 300 kkal/orang/hari dan untuk ibu menyusui digunakan tambahan energi sebesar 500 kkal/orang/hari meurut hasil WKNPG VIII tahun 2004. •
Menetapkan komposisi pangan (baik data konsumsi maupun ketersediaan) berdasarkan kontribusi energi menurut kelompok pangan (%). Kontribusi
37
tersebut dihitung berdasarkan perbandingan konsumsi atau ketersediaan setiap kelompok pangan aktual dengan AKE regional. •
Untuk menetapkan komposisi pangan dari sisi konsumsi diguankan data Susenas Jawa Timur dan nasional tahun 1999 dan 2002. Data Susenas yang diperoleh kemudian diolah dengan
menggunakan software
Perencanaan Pangan dan Gizi Wilayah yang dikembangkan oleh Tim Pengembang Dep. GMSK IPB tahun 2004. Setelah itu dapat diketahui kontribusi masing-masing kelompok pangan (%) terhadap AKG. •
Sedangkan untuk menetapkan komposisi pangan dari sisi ketersediaan digunakan data NBM. NBM Jawa Timur yang digunakan adalah tahun 2000 sampai 2003 dan sebagai pembanding NBM Indonesia tahun 2000 sampai 2003. Data NBM tersebut juga diolah dengan menggunakan software Perencanaan Pangan dan Gizi Wilayah yang dikembangkan oleh Tim Pengembang Dep. GMSK IPB tahun 2004 untuk mengetahui tingkat kontribusi masing-masing kelompok pangan terhadap AKG.
•
Menetapkan prosentase AKE ideal regional dengan mempertimbangkan : (a) prosentase AKE konsumsi dan ketersediaan pangan, (b) kisaran % AKE menurut FAO-RAPA 1989 sebagai acuan menuju komposisi pangan ideal, (c) konsep kecukupan dan keseimbangan gizi, dimana konsumsi pangan sumber karbohidrat maksimal 60 % dan lemak antara 10 – 25 % berdasarkan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS).
•
Menghitung skor PPH dengan cara mengalikan % AKE ideal dengan bobot sehingga diperoleh skor PPH ideal regional yaitu 100 (BKP-Deptan & GMSK-IPB, 2005).
4. Menentukan AKG (energi) wilayah dengan Metode Rataan Tertimbang dengan Faktor Unit Konsumen Energi (UKE). Faktor UKE ditetapkan dengan menggunakan anggota rumah tangga tetentu sebagai patokan kecukupan energi, yaitu AKE pria dewasa (30 – 49 tahun). Prinsip perhitungannya adalah AKE individu setiap anggota rumah tangga dibandingkan dengan AKE pria dewasa. Dengan demikian faktor UKE untuk pria dewasa adalah 1,0 (BKPDeptan & GMSK-IPB, 2005). Dengan menggunakan rataan UKE dari rumah tangga sampel, maka akan diketahui Tingkat Kecukupan Energi (TKE) untuk
38
wilayah Kabupaten Nganjuk, yang telah sekaligus memperhitungkan variasi jumlah anggota rumah tangga dan komposisi umur serta jenis kelamin setiap anggota rumah tangga pada wilayah tersebut. 5. Data primer berupa data survei konsumsi pangan yang diperoleh sebelum dianalisis terlebih dahulu diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut : •
Data jumlah konsumsi pangan yang diperoleh dari hasil recall 1 x 24 jam dalam bentuk ukuran rumah tangga (URT) terlebih dahulu dikonversi ke dalam satuan gram dengan menggunakan bantuan daftar URT yang secara umum berlaku di daerah tersebut.
•
Daftar URT dibuat dengan cara melakukan survei ke pasar-pasar serta warung terdekat dengan lokasi penelitian kemudian menimbang bahanbahan makanan yang tersedia dipasar atau warung tersebut dalam ukuran yang umum tersedia. Sedangkan untuk makanan masak, seperti nasi goreng, nasi pecel, bakso dan lainnya perlu diperhatikan masing-masing bahan makanan penyusunya. Kemudian masing-masing bahan tersebut ditimbang untuk ukuran satu porsinya.
•
Untuk bentuk pangan yang telah masak, bila dalam daftar komposisi bahan makanan (DKBM) telah tersedia maka dapat langsung dimasukkan dalam software tetapi untuk bentuk pangan masak yang tidak terdapat dalam DKBM maka dikonversi terlebih dahulu ke bentuk mentah dengan menggunakan rumus sebagai berikut : BMj = (Fj) × (Boj) Dimana, BMj = Berat bahan makanan j dalam bentuk mentah Fj
= Faktor konversi mentah-masak bahan makanan j
Boj = Berat bahan makanan j dalam bentuk olahan (masak) (Hardinsyah & Briawan, 1994) •
Untuk makanan masak yang diolah dengan cara digoreng atau ditumis maka kandungan minyak di dalamnya akan diperhitungkan dengan menggunakan rumus penyerapan minyak sebagai berikut : BKj = (Mj) × (BMj) / 100 Dimana, BKj = Minyak yang diserap bahan makanan j (gram) Mj = Faktor konversi penyerapan minyak pada pangan j (%)
39
BMj = Berat bahan pangan j dalam bentuk mentah BDD (gram) (Hardinsyah & Briawan, 1994) •
Untuk bahan pangan yang tidak terdapat di dalam DKBM maka diganti dengan bahan pangan lain yang komposisinya hampir mendekati atau mirip dengan bahan pangan tersebut.
6. Penilaian keragaman dan mutu konsumsi pangan penduduk Kabupaten Nganjuk berdasarkan data PKG tahun 2006 dengan standart skor PPH regional Jawa Timur serta proyeksi kebutuhan konsumsi hingga target penyediaan pangan pada tahun 2007 dan 2010 dilakukan dengan menggunakan Program Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan yang dikembangkan Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan (BKP-Deptan) bekerjasama dengan Departemen GMSK IPB tahun 2005. Sedangkan proyeksi target produksi dilakukan dengan memperhitungkan faktor konversi dari bahan makanan hasil olahan ke hasil asli usahatani on farm. Data yang digunakan untuk menilai konsumsi pangan dan memproyeksikan kebutuhan konsumsi serta produksi pangan adalah data hasil Pemantauan Konsumsi Pangan yang dilakukan bersama Kantor Urusan Ketahanan Pangan Kabupaten Nganjuk. 7. Analisis situasi ketersediaan pangan dilakukan berdasarkan informasi pengadaan pangan wilayah (data produksi, ekspor, impor dan stok) dengan melihat rasio swasembada dari masing-masing jenis pangan strategis. Untuk mengetahui besarnya rasio swasembada suatu jenis pangan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Produksi Rasio Swasembada = —————————————— ×100 (Produksi + Impor - Ekspor)
8. Analisis daya dukung wilayah untuk memenuhi target penyediaan pangan pada tahun 2008 dan 2010. Analisis tersebut meliputi analisis gap antara potensi produksi wilayah dengan target penyediaan pangan pada tahun 2008 dan 2010 serta analisis gap ketersediaan lahan dengan kebutuhan lahan untuk produksi pangan guna memenuhi target penyediaan pangan pada tahun 2008 dan 2010.
40
9. Analisis usahatani dilakukan terhadap usahatani pangan on farm (nabati) yang strategis. Analisis ini meliputi besarnya modal yang dibutuhkan dan keuntungan yang dapat diproleh oleh usahatani tersebut per satu luasan usaha. Keuntungan = Total Biaya – Total Pendapatan Dimana, Total Biaya = Biaya tetap + Biaya variabel (Soekartawi, dkk. 1986). Dengan asumsi bahwa tidak ada perubahan harga berbagai input dalam usahatani dan harga produk yang dihasilkan maka dapat diperkirakan besarnya biaya produksi yang dibutuhkan untuk memproduksi pangan sesuai target penyediaan pada tahun 2007 dan 2010 serta besarnya pendapatan dari sektor produksi pangan (nabati). 10. Penyusunan rencana strategis produksi pangan berdasarkan potensi wilayah untuk memenuhi target penyediaan pangan pada tahun 2008 dan 2010. Rencana strategis produksi meliputi kebutuhan modal usahatani pangan nabati on farm, tingkat keuntungan yang dapat dicapai dari usahatani tersebut, kebutuhan pupuk serta kebutuhan populasi ternak dan ikan untuk produksi pangan hewani.
Keterbatasan dan Asumsi dalam Penelitian
Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu : 1. Daya dukung pangan wilayah diukur dari kemampuan produksi pangan wilayah, terutama dalam hal potensi produksi pangan dan ketersediaan lahan pertanian. 2. Potensi produksi pangan wilayah hanya dicari melalui analisis data time series produksi pangan selama sembilan sampai 10 tahun terkahir kemudian diramalkan secara linier untuk produksi pada tahun-tahun yang akan datang. 3. Perencanaan produksi pangan hanya dilakukan pada dua titik tahun sasaran, yaitu tahun 2008 sebagai perencanaan jangka pendek dan tahun 2010 sebagai perencanaan jangka menengah.
41
4. Survei konsumsi pangan dilakukan dengan menggunakan metode recall 1× 24 jam dengan satu kali ulangan, sehingga kurang mampu menggambarkan kebiasaan konsumsi pangan penduduk. 5. Perencanaan produksi pangan ini bersifat studi kasus, sehingga pola produksi pangan yang dihasilkan belum tentu cocok untuk diterapkan pada wilayah lain. Akan tetapi metode atau cara perencanaan yang dipergunakan dalam penelitian ini dapat diterapkan pada wilayah lain terutama yang memiliki karakteristik budaya dan agroekosistem seperti wilayah penelitian. 6. Ketersedian lahan pertanian hanya digunakan untuk memperhitungkan kebutuhan produksi pangan nabati on farm saja. Asumsi-asumsi dalam Penelitian Penelitian ini menggunakan beberapa asumsi, yaitu : 1. Dalam memperhitungkan kebutuhan lahan pertanian untuk produksi pangan nabati secara on farm pada tahun sasaran diasumsikan bahwa tingkat produktivitas masing-masing komoditas tanaman pangan adalah sama dengan produktivitas pada tahun aktual. 2. Diasumsikan bahwa tren produksi pangan nabati maupun hewani selama 10 tahun terakhir mengikuti tren linier, sehingga untuk peramalan produksi pangan pada tahun sasaran menggunakan metode Least Square dengan model persamaan linier. 3. Untuk mengetahui potensi ketersedian lahan pertanian pada tahun sasaran menggunakan asumsi bahwa perubahan luas lahan baku pertanian selama sepuluh tahun terakhir mengikuti tren linier, sehingga peramalan luas lahan baku pertanian yang tersedia menggunakan metode Least Square dengan model persamaan linier. 4. Pencapaian konsumsi pangan ideal sesuai pola pangan harapan (PPH) yang ditunjukkan dengan skor PPH mendekati 100 diasumsikan akan dicapai oleh Kabupaten Nganjuk pada tahun 2020. 5. Dalam menentukan target penyediaan pangan tahun sasaran yang diharapkan dapat dipenuhi dari produksi sendiri dan yang berasal dari impor ditetapkan dengan mempertimbangkan besarnya rasio swasembada masing-masing
42
komoditas pangan tersebut dengan asumsi bahwa besarnya rasio swasembada pada tahun sasaran sama dengan tahun aktual (tahun 2005). 6. Pada penyusunan rencana strategis produksi pangan untuk produksi pangan nabati secara on farm dilakukan analisis usahatani untuk mengetahui kebutuhan modal dan tingkat keuntungan yang diperoleh dari usahatani tersebut. Perhitungan analisis usahatani tersebut dilakukan berdasarkan harga yang berlaku saat ini, sehingga diasumsikan bahwa harga tersebut akan tetap pada tahun sasaran. 7. Untuk mengetahui gap antara ketersedian dan kebutuhan lahan pertanian bagi usahatani pangan nabati on farm dilakukan dengan mempertimbangkan pergiliran tanam yang biasa dilakukan oleh petani setempat, sehingga pada tahun sasaran diasumsikan bahwa pola pergiliran tanam yang dilakukan petani sama dengan pergiliran tanam saat ini. 8. Pada
setiap
kelompok
pangan
digunakan
pangan
acuan
untuk
memperhitungkan total kebutuhan masing-masing kelompok pangan. Pangan acuan yang digunakan adalah komoditas pangan yang paling dominan pada setiap kelompok pangan. Pangan acuan tersebut adalah : (a) beras giling untuk kelompok padi-padian; (b) ketela pohon untuk kelompok umbi-umbian; (c) telur ayam untuk kelompok pangan hewani; (d) minyak kelapa untuk kelompok minyak dan lemak; (e) kelapa tua, daging untuk kelompok buah/biji berminyak; (f) kacang kedelai, kering untuk kelompok kacang-kacangan; (g) gula pasir untuk kelompok gula; (h) pisang ambon untuk kelompok sayur dan buah; dan (i) merica untuk kelompok lain-lain. 9. Perhitungan usahatani untuk kebutuhan luas lahan, modal usaha dan kebutuhan pupuk pada kelompok sayur diasumsikan dengan komoditas kacang panjang, sedangkan buah diasumsikan dengan pisang. 10. Perhitungan kebutuhan populasi terb\nak dan ikan pada setiap sub kelompok pangan hewani juga diasumsikan dengan salah satu komoditas yang paling dominan : daging ruminansia dengan sapi, daging unggas dengan ayam, telur dengan telur ayam dan ikan dengan ikan gurame.
43
Definisi Operasional
Daya dukung pangan wilayah : Kemampuan suatu wilayah untuk mendukung kehidupan secara layak sejumlah populasi penduduk di atasnya dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan dengan memanfaatkan sumberdaya baik alam maupun sosial yang dimilikinya secara berkelanjutan dari waktu ke waktu. Dalam penelitian ini daya dukung pangan wilayah dispesifikkan dalam hal produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk yang diukur melalui dua variabel yaitu potensi produksi pangan serta ketersediaan lahan pertanian. Perencanaan produksi pangan : Suatu usaha untuk menyusun jumlah dan ragam pangan baik nabati maupun hewani yang harus diproduksi oleh suatu wilayah untuk memenuhi target penyediaan pangan bagi konsumsi penduduk kearah ideal dengan mempertimbangkan potensi produksi dan ketersediaan lahan yang dimiliki pada tahun sasaran, yaitu jangka pendek tahun 2008 dan jangka menengah tahun 2010. Kebutuhan konsumsi pangan penduduk : Jumlah pangan baik nabati maupun hewani yang harus disediakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk pada tahun sasaran, dimana pangan yang disediakan harus cukup dari segi jumlah dan beragam sesuai pola pangan harapan agar konsumsi pangan penduduk pada tahun sasaran menjadi lebih baik menuju ideal (ton). Produksi pangan : Jumlah produk pangan baik nabati maupun hewani yang diproduksi (secara wilayah) dalam satu satuan waktu (tahun) dinyatakan dalam satuan ton. Pola Pangan Harapan (PPH) : adalah susunan pangan yang didasarkan pada sumbangan energi masing-masing kelompok pangan utama (baik secara absolut maupun relatif) dari suatu pola ketersediaan maupun konsumsi untuk memenuhi kebutuhan energi. Pola pangan tersebut disusun dengan tujuan untuk memberikan acuan bagi pola ketersediaan dan konsumsi yang ideal yaitu pola konsumsi dan ketersediaan pangan yang bermutu dan beragam dalam jumlah maupun kualitasbagi suatu wilayah. Kualitas konsumsi dan ketersediaan pangan dapat diketahui melalui skor PPH.
44
Skor Pola Pangan Harapan : adalah nilai yang menunjukkan tingkat mutu pangan (beragam) baik dari sisi ketersediaan maupun konsumsi pada suatu wilayah. Skor PPH maksimal adalah 100, dimana nilai ini menunjukkan kondisi konsumsi atau ketersediaan pangan ideal. Semakin mendekati angka 100 maka kualitas konsumsi/ketersediaan pangan di suatu wilayah semakin bermutu, begitu pula sebaliknya. Neraca Bahan Makanan (NBM) : adalah tabel yang menyajikan gambaran menyeluruh tentang penyediaan (supply) dan penggunaan (utilization) pangan di suatu wilayah dalam periode tertentu (biasanya dalam satu tahun). Komoditas pangan yang disajikan salam NBM terdiri dari komoditas utama (asal) dan komoditas atau produk turunan yang tersedia untuk dikonsumsi penduduk. Pangan Acuan : adalah jenis pangan baik nabati maupun hewani yang jumlah produksi dan sumbangan energinya terbesar, selain itu juga disukai oleh masyarakat dalam setiap masing-masing kelompok pangan yang terdapat dalam PPH dan berpotensi untuk dikembangkan di Kabupaten Nganjuk. Proyeksi Kebutuhan Konsumsi : adalah jumlah pangan (menurut jenis) yang diperkirakan akan dikonsumsi oleh penduduk Kabupaten Nganjuk pada tahun 2008 dan 2010 (ton/kap/tahun) sesuai dengan skor PPH yang ingin dicapai pada tahun tersebut. Proyeksi Ketersediaan Pangan : adalah perkiraan jumlah pangan (menurut jenis) yang harus tersedia untuk konsumsi penduduk di Kabupaten Nganjuk pada tahun 2008 dan 2010 (ton/kap/tahun) baik yang berasal dari produksi sendiri dan atau melalui pengadaan dari luar wilayah (impor). Target Penyediaan Pangan : adalah besarnya pangan yang harus disediakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan penduduk Kabupaten Nganjuk pada tahun 2008 dan 2010 sesuai skor PPH yang ingin dicapai. Target penyediaan pangan tersebut diharapkan dapat dipenuhi dari produksi dalam wilayah berdasarkan rasio swasembada yang berlaku di wilayah setempat dan sisanya dipenuhi dari luar wilayah (impor).
45
Proyeksi Produksi Pangan : adalah perkiraan jumlah pangan baik nabati maupun hewani yang mampu diproduksi oleh Kabupaten Nganjuk pada tahun 2008 dan 2010 berdasarkan tren laju produksi pangan tersebut selama beberapa tahun terakhir. Tren laju produksi dicari dengan menggunakan model tren linier (ton). Potensi Produksi Pangan : adalah hasil perbandingan antara target produksi pangan yang ditetapkan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Nganjuk dan proyeksi produksi. Apabila angka target produksi pangan yang ditetapkan oleh Dinas Pertanian berada di bawa angka proyeksi maka yang dianggap sebagai potensi produksi adalah angka taget tersebut. Namun apabila angka target lebih tinggi daripada angka hasil proyeksi maka yang dianggap sebagai potensi produksi adalah hasil proyeksi. Diasumsikan bahwa hasil proyeksi produksi sudah memperhitungkan sumberdaya lokal yang dimiliki oleh wilayah tersebut dalam menunjang terjadingan produksi pangan (pangan utama) (ton). Ketersediaan lahan pertanian : Jumlah luasan lahan baku yang memiliki fungsi untuk budidaya atau usaha pertanian, khususnya produksi pangan nabati on farm yang tersedia dan siap digunakan untuk proses produksi dengan karakteristik dan kecocokan untuk budidaya tanaman yang berbeda-beda. Kebutuhan Luas Lahan : adalah jumlah lahan yang dibutuhkan pada tahun 2008 dan 2010 untuk melakukan produksi pangan nabati on farm secara minimal guna memenuhi target penyediaan pangan berdasarkan potensi produksi pada tahun sasaran. Penentuan kebutuhan luas lahan diasumsikan dengan menggunakan
kebutuhan
luas
tanam,
sehingga
memperhitungkan
produktivitas dan intensitas tanam masing-masing komoditas (ha). Proyeksi Ketersediaan Lahan : adalah lahan pertanian yang diproyeksikan tersedia di Kabupaten Nganjuk pada tahun 2008 dan 2010 dalam bentuk lahan sawah maupun lahan kering yang berfungsi untuk melakukan usahatani on farm produksi tanam pangan nabati. Peruntukan lahan pertanian tersebut dibagi menurut komdoitas pangan pangan dengan memperhatikan pola pergiliran tanam yang sering/biasa dilakukan di wilayah setempat (ha).
46
Angka Kecukupan Energi (AKE) Regional : adalah angka yang menunjukkan kebutuhan energi rata-rata penduduk suatu wilayah agar semua penduduk di wilayah tersebut dapat berada dalam kondisi sehat dan dapat beraktifitas secara normal. AKE regional Jawa Timur ditetapkan dengan menggunakan Metode Mulltiple Sprague, sedangkan AKE Kabupaten Nganjuk ditetapkan dengan menggunakan Metode Rataan Tertimbang dengan faktor Unit Konsumen Energi (UKE) (kkal/kap/hari). Perbedaan metode penetapan AKE yang digunakan disebabkan karena data yang tersedia untuk Jawa Timur adalah data komposisi penduduk berdasarkan umur dan jenis kelamin. Sedangkan data yang diperoleh di Kabupaten Nganjuk adalah umur dan jenis kelamin anggota rumah tangga sampel. Sehingga penggunaan faktor UKE dianggap dapat mewakili keberagaman populasi penduduk Kabupaten Nganjuk. Produktivitas produksi : Rata-rata produksi pangan yang dapat dihasilkan dalam satu satuan usaha. Untuk produksi pangan nabati on farm satuan produktivitas adalah ton/ha. Sedangkan untuk pangan hewani biasanya dalam satuan ton/tahun. Untuk melakukan perencanaan pada tahun 2008 dan 2010 diasumsikan bahwa tingka produktivitas adalah sama dengan tahun aktual (2005). Implikasi rencana produksi pangan : Tingkat perencanaan produksi pangan secara teknis, pada pangan nabati akan dilakukan analisis usahatani sehingga diketahui perkiraaan modal usaha yang dibutuhkan (hanya dilakukan pada usahatani on farm untuk pangan utama), kebutuhan pupuk berdasarkan jenisnya serta luas lahan yang dibutuhkan untuk produksi tersebut. Sedangkan pada kelompok pangan hewani, diperkirakan jumlah populasi ternak yang harus disediakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Wilayah Kabupaten Nganjuk merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Timur yang terletak dibagian barat dari wilayah Propinsi Jawa Timur. Kabupaten Nganjuk terletak pada koordinat 111°5' sampai dengan 111°13' BT dan 7°20' sampai dengan 7°50' LS. Batas wilayah Kapubaten Ngajuk, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bojonegoro, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kediri dan Trenggalek. Pada sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Jombang dan Kediri, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Ponorogo dan Madiun. Kabupaten Nganjuk memiliki wilayah seluas 122.433 ha, terbagi menjadi 20 kecamatan dan 284 desa. Sebagian besar kecamatan berada pada dataran rendah dengan ketinggian antara 46 sampai 95 meter di atas permukaan laut. Sedangkan 4 kecamatan yang berada pada daerah pegunungan dengan ketinggian 150 sampai 750 meter dari permukaan laut. Dengan wilayah yang terletak di dataran rendah dan pegunungan, Kabupaten Nganjuk memiliki kondisi dan struktur tanah yang cukup produktif untuk berbagai jenis tanaman, baik tanaman pangan maupun tanaman perkebunan. Kondisi dan struktur tanah yang produktif ini sekaligus ditunjang penyediaan air dari Kali Widas yang mengalir sepanjang 69,322 km dan mengairi daerah seluas 430.150 km2.
Karakteristik Sampel Menurut Slamet (1993) besar keluarga dikategorikan menjadi tiga yaitu keluarga dengan jumlah ≤4, 5-6 dan ≥7 anggota keluarga. Sebagian besar sampel memiliki ≤4 anggota keluarga yaitu 77,1% dari keseluruhan sampel. Sedangkan rumah tangga sampel yang merupakan keluarga besar atau jumlah anggota keluarganya ≥7 hanya sebesar 1%. Sedangkan apabila dilihat menurut pembagian wilayahnya, maka pada semua wilayah jumlah keluarga kecil lebih mendominasi. Bahkan pada wilayah ekonomi sedang sama sekali tidak terdapat rumah tangga sampel yang termasuk rumah tangga sedang.
48
Tabel 4 Sebaran rumah tangga sampel menurut besar keluarga Jumlah Anggota runah tangga (orang)
No 1 2 3
≤4 5-6 ≥7 Total
Wilayah Ekonomi Wilayah Ekonomi Wilayah Ekonomi Tinggi
Sedang
Total
Rendah
n 45 14 1
% 75,0 23,3 1,7
n 64 26 0
% 71,0 29,0 0,0
n 53 6 1
% 88,0 10,0 2,0
n 162 46 2
% 77,1 21,9 1,0
60
100.0
90
100.0
60
100.0
210
100.0
Jumlah anggota rumah tangga yang besar berarti semakin besar pula tanggung jawab rumah tangga tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk kebutuhan pangannya. Pada sebuah rumah tangga, anggota rumah tangga yang tidak bekerja dapat diangga sebagai tanggungan bagi anggota rumah tangga lainnya yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Apabila tingkat pendapatan rumah tangga sama maka rumah tangga dengan jumlah anggota lebih banyak memiliki alokasi pengeluaran pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya lebih kecil daripada rumah tangga yang jumlah anggotanya lebih sedikit. Hal ini berlaku pula untuk konsumsi pangan, apalagi bagi anggota rumah
tangga yang
termasuk
kelompok
rawan
gizi
(balita
dan
ibu
hamil/menyusui). Sebarab rumah tangga sampel menurut tingkat pendidikan kepala keluarganya dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini : Tabel 5
Sebaran rumah tangga sampel menurut tingkat pendidikan kepala keluarga
No
Pendidikan
1 2 3 4 5 6
Tidak SD SMP SMA Perguruan Tinggi Lainnya Total
Pembagian Wilayah Berdasarkan Ekonomi Tinggi Sedang Rendah n % n % n % 0 0,0 1 1,1 3 5,0 16 26,7 59 65,6 31 51,6 18 30,0 13 14,4 15 25,0 16 26,7 15 16,7 9 15,0 5 8,3 1 1,1 1 1,7 5 8,3 1 1,1 1 1,7 60 100 90 100 60 100
Total n 4 106 46 40 7 7 210
% 1,9 50,5 21,9 19,1 3,3 3,3 100
Sebagian besar KK contoh merupakan lulusan SD (50.5%) dan hanya empat KK yang tidak bersekolah. Pendidikan KK di wilayah ekonomi tinggi lebih baik dibandingkan wilayah lainnya, dilihat dari jumlah lulusan perguruan tinggi yang lebih banyak, lulusan SD paling sedikit dan tidak ada yang tidak bersekolah. Suhardjo (1989) menyatakan bahwa jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi
49
keluarga dipengaruhi oleh status ekonomi. Rendahnya konsumsi pangan disebabkan oleh pemanfaatan pangan yang tersedia belum optimal, distribusi belum merata, kurangnya pengetahuan gizi dan pangan, dan faktor sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan, besar keluarga, tingkat pendapatan, serta faktor budaya setempat. Jenis pekerjaan kepala keluarga sampel dikelompokkan dalam 9 jenis mata pencaharian seperti dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Sebaran rumah tangga sampel menurut jenis pekerjaan kepala keluarga No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pekerjaan Wiraswasta Petani Buruh tani Guru Aparat PNS Pensiunan Militer Tidak kerja Total
Pembagian wilayah berdasarkan ekonomi Tinggi Sedang Rendah n % n % n % 19 31,7 25 27,8 18 30,0 8 13,3 7 7,8 4 6,6 14 23,3 46 51,1 29 48,3 3 5,0 1 1,1 1 1,7 2 3,3 1 1,1 1 1,7 3 5,0 2 2,2 1 1,7 2 3,3 3 3,3 5 8,3 3 5,0 0 0,0 0 0,0 6 10,0 5 5,6 1 1,7 60 100 90 100 60 100
Total n 62 19 89 5 4 6 10 3 12 210
% 29,5 9,0 42,4 2,4 1,9 2,9 4,8 1,4 5,7 100
Pekerjaan KK sampel sebagian besar ialah buruh tani dan wiraswasta. Pada wilayah ekonomi rendah lebih dari sedang (51,1%) KK sampel berprofesi sebagai buruh tani. Wilayah ekonomi tinggi memiliki paling sedikit KK sampel yang berprofesi sebagai buruh tani dibandingkan wilayah lain. Menurut Saliem dkk (2005), rumah tangga dengan sumber mata pencaharian utama KK di sektor pertanian cenderung memiliki ragam sumber pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang lain terutama di daerah pedesaan. Faktor relatif rendahnya pendapatan rumah tangga menjadi pendorong, sehingga dibutuhkan pemasukan dari berbagai mata pencaharian sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, salah satunya untuk kebutuhan konsumsi pangan seluruh anggota rumah tangga. Pada penelitian ini terdapat 59 balita dan 48 lansia yang terdapat pada rumah tangga sampel. Lansia paling banyak terdapat pada daerah dengan ekonomi sedang sebesar 18 orang sementara jumlah lansia paling sedikit terdapat pada wilayah ekonomi tinggi yaitu tujuh orang. Wilayah ekonomi rendah memiliki
50
jumlah balita terkecil dibandingkan kedua wilayah lainnya, yaitu sebesar sembilan orang. Berdasarkan gambar 5, dapat dilihat bahwa pada wilayah ekonomi tinggi karakteristik keluarga sampelnya lebih dominan rumah tangga tanpa lansia dan balita sebesar 59%, sedangkan yang paling sedikit adalah rumah tangga yang memiliki balita dan lansia (3%).
Karakteristik RT Wilayah Ekonomi Tinggi RT Balita saja 30%
RT Lansia saja RT Balita & Lansia
59%
8% 3%
RT tanpa Balita & Lansia
Gambar 5 Karakteristik rumah tangga sampel di wilayah ekonomi tinggi menurut ada tidaknya balita dan lansia
Karakteristik RT Wilayah Ekonomi Sedang
RT Balita saja
17% 12% 61%
RT Lansia saja RT Balita & Lansia
10%
RT tanpa Balita & Lansia
Gambar 6 Karakteristik rumah tangga sampel di wilayah ekonomi sedang menurut ada tidaknya balita dan lansia Pada wilayah dengan tingkat ekonomi sedang, seperti yang dapat dilihat pada gambar 6, karateristik rumah tangga sampel yang memiliki balita dan lansia paling besar dibandingkan wilayah lainnya yaitu sebesar 10%, namun demikian karakteristik rumah tangga yang paling dominan tetaplah rumah tangga tanpa balita dan lansia yaitu sebesar 61%. Kelompok balita dan lansia apabila ditinjau dari sisi produktifitas kerja maka termasuk anggota rumah tangga yang tidak
51
produktif atau menjadi tanggungan anggota rumah tangga lainnya dalam pemenuhan kebutuhan hidup termasuk kebutuhan pangannya.
Karakteristik RT Wilayah Ekonomi Rendah RT Balita saja
15%
RT Lansia saja 17% 66%
2%
RT Balita & Lansia RT tanpa Balita & Lansia
Gambar 7 Karakteristik rumah tangga sampel di wilayah ekonomi rendah menurut ada tidaknya balita dan lansia Sementara pada wilayah ekonomi rendah rumah tangga sampel yang memiliki balita dan lansia persentasenya paling kecil jika dibandingkan pada wilayah lainnya yaitu hanya sebanyak 2%. Karakteristik rumah tangga sampel yang paling dominan diambil adalah keluarga tanpa balita dan lansia yaitu sebesar 66%, secara lebih jelas dapat dilihat pada gambar 5 di atas. Besarnya persentase rumah tangga tanpa balita dan lansia di wilayah ekonomi rendah ini adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Keadaan ini menunjukkan bahwa anggota rumah tangga sampel pada wilayah ekonomi rendah lebih dominan berada pada usia produktif dan anak-anak yang dalam masa perkembangan. Apabila dilihat dari besarnya kebutuhan energi, maka kelompok usia produktif dan anak-anak adalah kelompok usia yang membutuhkan energi paling besar jika dibandingkan lansia dan balita. Secara keseluruhan rumah tangga yang memiliki balita sebanyak 52 rumah tangga, hal ini disebabkan ada rumah tangga yang memiliki lebih dari satu balita. Sementara itu ada 36 rumah tangga sampel yang terdiri atas lansia maupun terdapat lansia pada rumah tangga tersebut. Rumah tangga yang terdapat keduanya, yaitu balita dan lansia ada 11 rumah tangga (6%), berarti ada 41 rumah tangga yang memiliki balita saja dan 25 rumah tangga yang memiliki atau terdiri dari lansia saja. Rumah tangga sampel yang tidak memiliki keduanya sebesar 57%. Hal ini menunjukkan bahwa sampel yang diambil cukup beragam, hal ini
52
dapat dilihat dari beragamnya karakteristik komposisi rumah tangga yang menjadi sampel. Apabila anggota rumah tangga sampel dikelompokkan berdasarkan umur dan jenis kelamin seperti susunan komposisi penduduk Kabupaten Nganjuk di Tabel 7 maka dapat dilihat bahwa anggota rumah tangga sampel yang diambil dapat dikatakan mewakili komposisi penduduk Kabuapten Nganjuk. Hal ini salah satunya dapat dilihat dari komposisi yang lebih didominasi kelompok umur produktif dengan tingkat presentase yang relatif sama. Presentase anggota rumah tangga sampel yang berada pada kelompok usia produktif (19-49 tahun) adalah sebesar 49,2% sedangkan menurut komposisi penduduk Kabuapten Nganjuk hasil Susenas 2004 Propinsi Jawa Timur adalah sebesar 46,9%. Tabel 7 Komposisi anggota rumah tangga sampel menurut umur dan jenis kelamin Kelompok Umur (tahun) 0--4 5--9 10--14 15--19 20--24 25--29 30--34 35--39 40--44 45--49 50--54 55--59 60--64 65+ Total
Laki-Laki n % 36 9,2 28 7,2 43 11,0 38 9,7 25 6,4 24 6,1 28 7,2 38 9,7 33 8,4 29 7,4 19 4,9 21 5,4 10 2,6 19 4,9 391
Perempuan n % 23 5,8 33 8,3 34 8,6 42 10,6 23 5,8 31 7,8 44 11,1 49 12,3 31 7,8 33 8,3 21 5,3 9 2,3 15 3,8 9 2,3 397
Total n 59 61 77 80 48 55 72 87 64 62 40 30 25 28 788
% 7,5 7,7 9,8 10,2 6,1 7,0 9,1 11,0 8,1 7,9 5,1 3,8 3,2 3,6
53
Pola Pangan Harapan (PPH) Regional Jawa Timur
Angka Kecukupan Energi (AKE) Rata-rata Penduduk Untuk mengetahui AKE rata-rata penduduk Jawa Timur digunakan data komposisi penduduk tahun 2000 dan 2004. Dipergunakan dua titik untuk melihat rata-rata serta perbandingan sebagai dasar penetapan AKE rata-rata penduduk regional Jawa Timur. Perhitungan AKE pada tahun 2000 sebesar 1.997 kkal/kap/hari, dapat dilihat pada Tabel 8, sedangkan AKE berdasarkan komposisi penduduk tahun 2004 sebesar 2.000 kkal/kap/hari (Tabel 9). Tabel 8 Angka Kecukupan Energi (AKE) Jawa Timur tahun 2000 PRIA
KEL UMUR
JIWA
%
W ANITA AKG
JIWA
%
ENERGI JAWA
JUMLAH AKG
TIMUR
JIWA
%
AKG
kkal
0,5—1 1—3
471.266 1.719.362
1,36 4,95
650 1.000
306.322.900 1.719.362.000
4—6
1.817.626
5,24
1.550
2.817.320.300
1.800
3.206.246.400
1.781.248
5,13
10—12
940.041
51,69 2.050 878.617
48,31
2.050
1.818.658
5,24
3.728.248.900
13—15
968.450
51,27 2.400 920.540
48,73
2.350
1.888.990
5,44
4.487.549.000
16—18
1.051.932 50,57 2.600 1.028.238 49,43
2.200
2.080.170
5,99
4.997.146.800
19—29
3.330.527 48,35 2.550 3.558.046 51,65
1.900
6.888.573
19,85
15.253.131.250
30-49
5.088.468 49,82 2.350 5.125.361 50,18
1.800 10.213.829 29,43
21.183.549.600
50—64
1.919.203 48,46 2.250 2.041.245 51,54
1.750
3.960.448
11,41
7.890.385.500
1.600
2.069.278
5,96
3.715.016.350
7—9
65+
898.159
43,40 2.050 1.171.119 56,60 TOTAL
ENERGI RATA-RATA JAWA TIMUR=
34.709.448
69.304.279.000 1.997 kkal/kap/hari
Besarnya AKE tahun 2000 dan 2004 tidak terlalu jauh berbeda, karena hanya terdapat selisih 3 kkal/kap/hari. Hal ini terjadi karena komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin di Jawa Timur antara tahun 2000 dan 2004 relatif sama, masih didominasi oleh kelompok umur produktif (19-49 tahun). Kebutuhan energi pada masa-masa produktif lebih besar jika dibanding pada kurun usia lainnya, terutama untuk laki-laki.
54
Tabel 9 Angka Kecukupan Energi (AKE) Jawa Timur tahun 2004 PRIA
KEL UMUR
JIWA
%
AKG
JIWA
%
ENERGI
JUMLAH
WANITA AKG
JAWA TIMUR
JIWA
%
AKG
kkal
0,5—1 1—3
260.069 1.726.173
0,72 4,78
650 1.000
169.044.850 1.726.173.000
4—6
1.876.786
5,19
1.550
2.909.018.300
7—9
1.926.906
5,33
1.800
3.468.430.800
10—12
981.814
51,40
2.050 928.330
48,60
2.050 1.910.144
5,29
3.915.795.200
13-45
949.483
51,60
2.400 890.718
48,40
2.350 1.840.201
5,09
4.371.946.500
16—18 1.150.895 52,00
2.600 1.062.365 48,00
2.200 2.213.260
6,12
5.329.530.000
19—29 3.014.609 48,36
2.550 3.218.470 51,64
1.900 6.233.079
17,25
13.802.345.950
30-49
5.480.413 48,99
2.350 5.707.235 51,01
1.800 11.187.648 30,96
23.151.993.550
50—64 2.273.136 49,42
2.250 2.326.694 50,58
1.750 4.599.830
12,73
9.186.270.500
65+
2.050 1.353.501 57,30
1.600 2.362.213
6,54
4.233.461.200
1.008.712 42,70
TOTAL
36.136.309 100,00
ENERGI RATA-RATA JAWA TIMUR
72.264.009.850
2000 kkal/kap/hari
Berdasarkan basil perhitugan AKE dari komposisi penduduk tahun 2.000 adalah sebesar dan 2004 diperoleh hasil yang tidak jauh berbeda. Jika hasil tersebut dibulatkan ke atas maka akan diperoleh AKE rata-rata penduduk Jawa Timur sebesar 2.000 kkal/kap/hari. Hasil tersebut sama dengan AKE Nasional berdasarkan WKNPG VIII tahun 2004 yaitu sebesar 2.000 kkal. Sehingga standar AKE regional Jawa Timur dan Nasional bisa dianggap sama. Keadaan ini salah satunya disebabakan komposisi penduduk Jawa Timur hampir sama dengan komposisi penduduk nasional. Penetapan AKE regional perlu dilakukan karena setiap wilayah belum tentu sesuai menggunakan AKE nasional. AKE rata-rata penduduk suatu wilayah merupakan data dasar yang diperlukan untuk melakukan penilaian status dan situasi ketahanan pangan wilayah tersebut berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH). Pola Ketersediaan Pangan Penetapan PPH regional dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan yaitu kemampuan wilayah dalam memproduksi bahan pangan, pola konsumsi pangan dan kebiasaan makan setempat, serta kondisi sosial ekonomi, misalnya pendapatan (daya beli) serta memperhatikan Angka Kecukupan Gizi (AKG). Kemampuan suatu wilayah untuk memproduksi pangan dapat dilihat dari Neraca Bahan Makanan (NBM). Informasi yang diperoleh dari NBM adalah merupakan
55
gambaran ketersediaan pangan untuk penduduk wilayah tersebut dalam jumlah maupun sumbernya. Untuk mengetahui pola ketersediaan pangan di Jawa Timur digunakan NBM mulai tahun 2000 sampai tahun 2003. Sedangkan sebagai perbandingan digunakan NBM nasional pada tahun yang sama, perbandingan data ketersediaan pangan di Jawa Timur dan Nasioanal dapat dilihat pada Table 10. Tabel 10 Perbandingan data ketersediaan pangan dari NBM Jawa Timur dengan NBM Nasional tahun 2000-2003 No
Kelompok Pangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total
2000 % AKE 2200
Jawa Timur 2001 2002 % % AKE AKE 2200 2200
2003 % AKE 2200
2000 % AKE 2200
Nasional 2001 2002 % % AKE AKE 2200 2200
2003 % AKE 2200
100,9 20,9 3,5 20,8 1,6 13,7 11,4 5,7 0 178,5
110,4 20,5 3,4 3,6 1,6 10,3 26,4 5,6 0 181,8
107,9 19,9 3,7 1,2 0,7 12,3 18,6 5,4 0
98,8 19,8 4,5 5,4 3,6 18 13,1 5,4 0
86,7 19,4 4,5 14,4 3,4 7,4 7,3 3,6 0
81,2 18,5 4,8 19,3 3,5 6,6 6,9 4 0
87,1 17,5 5,1 18,2 3,4 6,8 6,2 4,4 0
84,2 15,6 5 17,3 3,3 6,2 5,3 4,7 0
169,9
168,7
146,6
144,7
148,6
141,7
Tingkat ketersediaan pangan untuk konsumsi baik di Jawa Timur maupun nasional berdasarkan data NBM tahun 2000 sampai 2003 semuanya lebih dari 100% terhadap AKE 2200 kkal/kap/hari. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya dari sisi ketersediaan, jumlah pangan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan penduduk sangat memadai. Tingkat ketersediaan pangan di Jawa Timur lebih tinggi jika dibandingkan nasional, hal ini karena Jawa Timur adalah merupakan salah satu wilayah lumbung pangan nasional. Ketersediaan di Jawa Timur lebih dominan jika dibandingkan dengan ketersediaan di tingkat nasional, terdapat selisih sekitar 20%. Hal ini disebabkan karena Jawa Timur adalah merupakan salah satu daerah lumbung beras nasional selain Jawa Barat. Pada tahun 2004 Propinsi Jawa Timur menghasilkan gabah kering giling (GBK) sebesar 9 juta ton, merupakan terbesar kedua setelah Propinsi Jawa Barat yang menghasilkan 9,6 juta ton (WKNPG VIII, 2004). Apabila dilihat dari tahun 2000 sampai 2003 tingkat ketersediaan padi-padian di Jawa Timur sedikit mengalami penurunan, terutama dari tahun 2002 ke tahun 2003. Kondisi tersebut juga sama dengan kondisi nasional, pada kurun waktu yang sama tren ketersediaan padi-
56
padian juga cenderung mengalami penurunan. Selain itu ketersediaan kelompok pangan umbi-umbian, kacang-kacangan dan gula di Jawa Timur juga lebih besar presentasenya dibandingkan di tingkat nasional. Ketersediaan kelompok pangan kacang-kacangan di Jawa Timur yang besar disebabkan karena Jawa Timur adalah merupkan daerah penghasil kacangkacangan terbesar di Indonesia. Sebagai contoh, produksi kedelai Jawa Timur pada tahun 2004 mencapai 0,32 juta ton biji kering (BK), yaitu 44,4% dari keseluruhan produksi kedelai di Indonesia. Sedangkan produksi kacang tanah dan kacang hijau masing-masing sebesar 212 ribu ton dan 83 ribu ton BK adalah merupakan yang tertinggi di Indonesia. Kontribusi ketersediaan kacang-kacangan terhadap AKE di Jawa Timur menunjukkan tren yang meningkat selama kurun waktu 2000 sampai 2003. Peningkatan paling tinggi terjadi pada tahun 2001 yaitu dari 1,6% pada tahun 2000 menjadi 10,3% pada tahun 2001. Peningkatan yang cukup tinggi ini salah satunya disebabkan karena terjadi peningkatan produksi kacang-kacangan Presentase ketersediaan gula terhadap AKE di Jawa Timur dan nasional selisih sekitar 10%. Presentase ketersediaan gula yang besar ini disebabkan karena di Jawa Timur banyak terdapat pabrik gula mulai dari yang berskala kecil sampai besar seperti yang terdapat di Kabupaten Kediri. Sementara itu tingkat ketersediaan kelompok pangan hewani di Jawa Timur lebih rendah jika dibandingkan dengan situasi nasional, yaitu hanya berkisar antara 3-4% sedangkan nasional berkisar antara 4-5% AKE 2200 kkal/kap/hari. Selama kurun waktu 2000 sampai 2003 terdapat tren ketersediaan pangan hewani yang meningkat di Jawa Timur sama halnya dengan nasional. Potensi perikanan di Jawa Timur lebih dominan perikanan air tawar, sedangkan untuk produksi daging yang paling besar adalah daging ayam. Dari tingkat ketersediaan yang meningkat tersebut dapat dilihat bahwa baik di tingkat nasional dan Jawa Timur terdapat usaha untuk meningkatkan konsumsi pangan hewani yang masih kurang. Berdasarkan basil perbandingan data ketersediaan di atas dapat dilihat bahwa pola ketersediaan pangan di Jawa Timur relatif sama dengan pola ketersediaan pangan nasional. Ketersediaan pangan untuk memenuhi kebutuhan energi masih sangat didominasi oleh kelompok padi-padian yaitu diatas 80%,
57
kemudian dari kelompok umbian-umbian yang berkisar antara 15 sampai 20%. Ketersediaan pangan hewani juga tidak terlalu jauh berbeda mekipun situasi nasional lebih baik, namun adanya tren yang meningkat dapat menjadi tanda yang positif. Meskipun pada kelompok pangan kacang-kacangan dan gula tingkat ketersediaanya jauh di atas nasional karena Jawa Timur merupakan salah satu sentra produksi. Pola Konsumsi Pangan Penduduk Pola konsumsi penduduk suatu daerah dapat diketahui dari data Susenas yang dilakukan setiap tiga tahun sekali oleh BPS. Data Susenas yang digunakan untuk mengetahui pola konsumsi penduduk Jawa Timur adalah tahun 1999 dan 2002 (data Susenas Jawa Timur terakhir yang telah dipublikasi). Sedangkan data konsumsi penduduk Indonesia diperoleh dari data Susenas tahun 1999 dan 2002 sebagai pembanding. Perbandingan tersebut dapat dilihat pada Tebel 11 berikut ini : Tabel 11 Perbandingan data konsumsi dari Susenas Jawa Timur tahun 1999 dan 2002 dengan Indonesia tahun 1999 dan 2002. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total
Indonesia 1999 2002 % AKE % AKE (2000) (2000) 56.3 62.7 3.1 3.5 4.0 5.9 7.8 10.3 1.8 2.6 2.4 3.1 4.2 4.8 3.2 3.9 1.2 2.7 84.2 99.3
Jawa Timur 1999 2002 % AKE % AKE (2000) (2000) 57.0 56.3 2.9 3.9 5.7 7.7 7.6 9.5 2.2 2.9 3.7 4.9 4.6 5.5 3.2 4.0 3.8 2.1 90.7 96.9
Berdasarkan hasil perbandingan pola konsumsi di atas, diketahui bahwa pola konsumsi penduduk Jawa Timur relatif sama dengan pola konsumsi penduduk Indonesia. Pemenuhan kebutuhan energi didominasi dari kelompok pangan padi-padian yaitu berkisar antara 55-63%. Kontribusi energi yang berasal dari karbohidrat menurut anjuran FAO-RAPA adalah berkisar antara 50-60%. Sehingga dapat dikatakan bahwa konsumsi penduduk Jawa Timur terhadap padipadian masih berada pada level yang standart. Kontribusi terbesar kedua untuk
58
memenuhi AKE sama berasal dari kelompok minyak dan lemak. Kontribusi pangan hewani dan kacang-kacangan untuk memenuhi AKE penduduk Jawa Timur lebih besar jika dibandingkan dengan penduduk Indonesia. Selain itu, tingkat konsumsi kacang-kacangan dari tahun 2002 meningkat dibandingkan tahun 1999, hal ini sesuai dengan tren ketersediaan kacangkacangan yang juga mengalami peningkatan. Kebiasaan makan penduduk Jawa Timur yang lebih sering mengkonsumsi tempe dan tahu merupakan faktor yang meningkatkan kontribusi kacang-kacangan dalam memenuhi AKE penduduk serta didukung pula oleh tingkat ketersediaan yang cukup tinggi pula. Meskipun tingkat ketersediaan pangan hewani di Jawa Timur lebih rendah jika dibandingkan nasional, tetapi tingkat konsumsi pangan hewani penduduk Jawa Timur lebih tinggi. Tingkat kesejahteraan penduduk Jawa Timur yang tergolong cukup tinggi diperkirakan mempengaruhi tingkat konsumsi pangan hewani, mengingat harga pangan hewani yang relatif lebih mahal jika dibandingkan dengan jenis pangan lainnya. Sedangkan untuk kelompok pangan lainnya relatif sama dengan nasional.
Susunan Pola Pangan Harapan (PPH) Regional Jawa Timur Setelah mengetahui pola ketersediaan, pola konsumsi dan AKE regional Jawa Timur dengan membandingkannya dengan nasional maka dapat disimpulkan bahwa pola ketersedian, pola konsumsi dan AKE regional Jawa timur relatif sama dengan nasional. Dengan demikian susunan Pola Pangan Harapan (PPH) regional Jawa Timur dapat menggunakan PPH nasional. Susunan pola pangan harapan ideal Jawa Timur dengan skor 100 akan dicapai pada tahun 2020 dapat dilihat pada Tabel 12. Sehingga PPH nasional relevan digunakan untuk menilai dan merencanakan situasi ketahanan pangan di wilayah Jawa Timur termasuk semua kabupaten/kota yang termasuk di dalamnya.
59
Tabel 12 Susunan PPH ideal regional Jawa Timur pada tahun 2020 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total
% AKE FAO-RAPA
% AKE Ideal Reg
40,0-60,0 0,0-8,0 5,0-20,0 5,0-15,0 0,0-3,0 2,0-10,0 2,0-15,0 3,0-8,0 0,0-5,0
50 6 12 10 3 5 5 6 3 100
Bobot 0,5 0,5 2,0 0,5 0,0 2,0 0,5 5,0 0,0
Skor PPH Ideal Reg 25,0 2,5 24,0 5,0 1,0 10,0 2,5 30,0 0,0 100
Daya Dukung Pangan Kabupaten Nganjuk untuk Memenuhi Kebutuhan Konsumsi Pangan Aktual Penduduk
Angka Kecukupan Energi (AKE) Penduduk Penduduk Kabupaten Nganjuk berdasarkan Hasil Registrasi akhir tahun 2004 sebanyak 1.027.371 jiwa, dengan perincian 49% laki-laki dan 51% perempuan. Dengan luas wilayah 122.433 ha berarti kepadatan penduduk ratarata sebesar 839 jiwa/km2. Laju pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu 2000-2004 adalah sebesar 0,36%. Jumlah penduduk yang besar ini merupakan modal sumberdaya manusia dalam proses pembangunan, namun di lain pihak dapat menimbulkan masalah dalam hal pemukiman, penyediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan, kesempatan kerja dan fasilitas umum lainnya. Masalah ketenagakerjaan sampai saat ini masih menjadi perhatian khusus bagi pemerintah Kabupaten Nganjuk sehubungan dengan jumlah pencari kerja yang naik dari tahun ke tahun. Dari hasil pendataan kemiskinan tahun 2001 diketahui bahwa 28,8% rumah tangga di Kabupaten Nganjuk tergolong sebagai rumah tangga miskin. Presentase rumah tangga miskin yang paling tinggi berada di Kecamatan Ngluyu, yaitu seesar 47,2%. Sedangkan Kecamatan Nganjuk merupakan kecamatan dengan prosentase rumah tangga miskin paling kecil (13,1%). Komposisi penduduk Kabupaten Nganjuk berdasarkan umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 13.
60
Tabel 13 Komposisi penduduk Kabupaten Nganjuk berdasarkan umur dan jenis kelamin pada tahun 2004 Kelompok Umur 0--4 5--9 10--14 15--19 20--24 25--29 30--34 35--39 40--44 45--49 50--54 55--59 60--64 65+ Total
Laki-Laki n 43.074 44.979 43.313 44.766 46.548 44.908 39.193 41.976 36.190 33.471 25.063 19.367 24.133 35.092 522.073
% 8,3 8,6 8,3 8,6 8,9 8,6 7,5 8,0 6,9 6,4 4,8 3,7 4,6 6,7 50,7
Perempuan n 36.119 39.264 48.744 32.186 43.171 40.497 42.480 40.620 37.262 35.951 27.207 19.251 19.464 44.572 506.788
% 7,1 7,7 9,6 6,4 8,5 8,0 8,4 8,0 7,4 7,1 5,4 3,8 3,8 8,8 49,3
Total n 79.193 84.243 92.057 76.952 89.719 85.405 81.673 82.596 73.452 69.422 52.270 38.618 43.597 79.664 1.028.861
% 7,7 8,2 8,9 7,5 8,7 8,3 7,9 8,0 7,1 6,7 5,1 3,8 4,2 7,7
Berdasarkan Tabel 13 diketahui bahwa komposisi penduduk laki-laki dan perempuan di Kabuaten Nganjuk cukup berimbang, yaitu sebesar 50,7% dan 49,3%. Pembagian kelompok umur di atas berdasarkan kelompok umur lima tahunan, kelompok umur yang tergolong sebagai usia produktif adalah 19 sampai 49 tahun. Apabila diperhatikan maka komposisi penduduk Kabupaten Nganjuk lebih didominasi oleh kelompok umur produktif yaitu sebesar 46,9%. Jumlah penduduk yang didominasi kelompok usia produktif ini merupakan salah satu sumberdaya
dan
modal
untuk
melaksanakan
pembangunan,
termasuk
pembangunan ketahanan pangan. Pendekatan faktor Unit Konsumen Energi (UKE) digunakan untuk mewakili komposisi dalam umur dan jenis kelamin setiap anggota rumah tangga dalam populasi tersebut (PPKP BKP Deptan & GMSK IPB, 2005). Perhitungan AKE rata-rata suatu rumahtangga dengan menggunakan Faktor UKE dilakukan dengan menggunakan konsumen (anggota rumahtangga) tertentu sebagai patokan kecukupan energi. Sebagai patokan dapat digunakan AKE pria dan wanita dewasa, namun lazimnya yang sering digunakan sebagai patokan adalah AKE pria dewasa (30-49 tahun). Prinsip perhitungannya adalah AKE individu setiap anggota rumahtangga dibandingkan dengan AKE pria dewasa.
61
Angka Kecukupan Energi (AKE) Kabupaten Nganjuk diperoleh dari hasil Survei Konsumsi Pangan yang dilakukan dengan menggunakan contoh yang terdiri dari 210 keluarga. Dari 210 keluarga tersebut terdapat 788 individu yang terdiri dui 397 laki-laki dan 391 perempuan. Dalam contoh yang diambil untuk mewakili populasi penduduk Kabupaten Nganjuk tersebut terdapat tujuh peerempuan menyusui bayi dibawah satu tahun. Dari hasil perhitungan AKE dengan menggunakan faktor UKE tersebut diperoleh bahwa AKE wilayah Kabupaten Nganjuk adalah 2008 kkal/kap/hari. AKE Kabupaten Nganjuk berdasarkan hasil survei konsumsi pangan tahun 2006 jika dibandingkan dengan AKE Propinsi Jawa Timur berdasarkan perhitungan dengan Metode Sprague Multiple tahun 2000 dan 2004 nilainya lebih besar. Tetapi nilainya bila dibulatkan kebawah maka akan muncul angka 2000 kkal/kap/ hari, nilai ini juga sama dengan AKE nasional. Hal ini dapat disebabkan karena kaomposisi penduduk Kabupaten Nganjuk hampir sama dengan komposisi penduduk Propinsi Jawa Timur dan Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebutuhan energi rata-rata penduduk Kabupaten Nganjuk relatif sama dengan penduduk Indonesia pada umumnya. Perhitungan AKE penduduk Kabupaten Nganjuk dengan menggunakan Unit Konsumen Energi (UKE) dapat dilihat pada Tabel 14 berikut ini:
62
Tabel 14 Perhitungan AKE Kabupaten Nganjuk tahun 2006 dengan Unit Konsumen Energi (UKE) Jenjang Usia 0 - 6 bulan 7 - 11 bulan 1--3 4--6 7--9 Laki-laki 10--12 13--15 16--18 19--29 30--49 50--64 ≥65 Perempuan 10--12 13--15 16--18 19--29 30--49 50--64 ≥65 Total Ibu Hamil Ibu Menyusui 1 - 6 bln 7 - 12 bln Total AKE Kab. Nganjuk
Jumlah Contoh
AKE pria 30-49 th kkal/hari
Faktor UKE
Hasil Perkalian
3 5 37 38 37
2.350 2.350 2.350 2.350 2.350
0,2 0,3 0,4 0,7 0,8
1.621,5 3.290,0 37.388,5 55.836,0 65.142,0
34 18 22 56 130 52 19
2.350 2.350 2.350 2.350 2.350 2.350 2.350
0,9 1,0 1,1 1,1 1,0 1,0 0,9
69.513,0 43.146,0 57.387,0 143.444,0 305.500,0 117.312,0 38.845,5
27 20 22 60 155 42 11 788 0
2.350 2.350 2.350 2.350 2.350 2.350 2.350
0,9 1,0 0,9 0,8 0,8 0,7 2,7
55.201,5 47.000,0 48.598,0 114.210,0 280.472,5 73.038,0 69.278,0
2.350
0,1
0,0
3 4
2.350 2.350
0,2 0,2
1.480,5 2.162,0 1.582.819,0 2.008,4
Berdasarkan pengelompokan wilayah yang menjadi tempat pelaksanaan survei konsumsi pangan maka AKEnya adalah sebagai berikut : wilayah dengan kondisi ekonomi tinggi sebesar 1.981 kkal/kap/hari, wilayah dengan kondisi ekonomi sedang sebesar 2.012 kkal/kap/hari dan wilayah dengan kondisi ekonomi rendah sebesar 2.031 kkal/kap/hari. Perbedaan besarnya AKE antar wilayah tersebut dapat disebabkan karena pada wilayah yang memiliki AKE lebih tinggi individu anggota keluarga yang menjadi contoh banyak yang berada pada kelompok umur produktif dan pada masa tumbuh kembang. Karena pada masa masa tumbuh kembang dan pada usia produktif kebutuhan energinya lebih besar, mengingat tingkat aktivitas pada usia produktif lebih berat. Selain itu pada masa
63
tumbuh kembang energi tidak hanya digunakan untuk melakukan aktivitas tapi untuk pertumbuhan dan perkembangan sel-sel tubuh. Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 15, pada setiap wilayah ekonomi, anggota rumah tangga yang paling dominan adalah kelompok usia 30-49 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Persentase tertinggi terdapat pada wilayah ekonomi rendah yaitu 18,4% untuk laki-laki dan 22,8% untuk perempuan, hal ini merupakan salah satu sebab wilayah ekonomi rendah memiliki AKE paling tinggi. Selain itu pada wilayah ekonomi rendah jiga tidak terdapat bayi, anak kelompok usia 1 sampai 9 tahunnya juga paling sedikit. Mulai umur 10 tahun anak akan dibedakan menurut jenis kelamin karena pada saat itu anak-anak mulai memasuki masa pubertas, terutama anak perempuan, sehingga kebutuhan energinya sudah mulai berbeda. Perempuan usia 10 sampai 18 tahun kebutuhan energinya lebih besar jika dibandingkandengan perempuan pada kelompok usia lainnya, sedangkan pada laki-laki kebutuhan energi paling besar adalah pada kelompok usia 13 sampai 29 tahun.
64
Tabel 15 Perhitungan AKE berdasarkan wilayah ekonomi Kabupaten Nganjuk tahun 2006 dengan Unit Konsumen Energi (UKE) Jenjang Usia
AKE pria 30-49 th
0 - 6 bulan 2.350 7 - 11 bulan 2.350 1--3 2.350 4--6 2.350 7--9 2.350 Laki-laki 10--12 2.350 13--15 2.350 16--18 2.350 19--29 2.350 30--49 2.350 50--64 2.350 65 2.350 Perempuan 10--12 2.350 13--15 2.350 16--18 2.350 19--29 2.350 30--49 2.350 50--64 2.350 65 2.350 Total Ibu Hamil 2.350 Ibu Menyusui 1 - 6 bln 2.350 7 - 12 bln 2.350 Total AKE Menurut Wilayah (kkal/kap/hari)
0,2 0,3 0,4 0,7 0,8
Wilayah Ekonomi Tinggi Jml Contoh Hasil n % Perkalian 1 0,4 470,0 2 0,9 1.316,0 15 6,7 14.805,0 10 4,5 15.510,0 13 5,8 23.218,0
Wilayah Ekonomi Sedang Jml Contoh Hasil n % Perkalian 2 0,6 940,0 3 0,8 1.974,0 13 3,6 13.014,3 21 5,9 32.571,0 16 4,5 28.801,6
Wilayah Ekonomi Rendah Jml Contoh Hasil n % Perkalian 0 0,0 0,0 0 0,0 0,0 9 4,4 9.094,5 7 3,4 10.857,0 8 3,9 14.476,0
0,9 1,0 1,1 1,1 1 1 0,9
9 4 6 14 33 20 3
4,0 1,8 2,7 6,3 14,8 9,0 1,3
18.400,5 9.400,0 15.510,0 35.532,0 77.550,0 47.000,0 6.133,5
12 10 12 27 57 16 13
3,4 2,8 3,4 7,5 15,9 4,5 3,6
24.534,0 23.500,0 31.189,2 68.843,3 133.950,0 37.600,0 26.578,5
12 4 4 15 38 15 4
5,8 1,9 1,9 7,3 18,4 7,3 1,9
24.590,4 9.597,4 10.434,0 38.775,0 89.300,0 35.250,0 8.196,8
0,9 1 0,9 0,8 0,8 0,7 0,7
2,7 4,5 1,3 8,1 20,2 4,5 0,4 100,0
12.267,0 23.500,0 6.345,0 33.840,0 81.004,5 17.390,0 1.598,0
13 9 13 29 65 22 5 358 -
3,6 2,5 3,6 8,1 18,2 6,1 1,4 100,0
26.578,5 21.150,0 28.594,8 55.133,4 117.006,5 38.516,5 7.990,0
8 1 6 13 47 12 3 206 -
3,9 0,5 2,9 6,3 22,8 5,8 1,5 100,0
16.393,6 2.350,0 13.254,0 24.745,5 85.046,5 21.150,0 4.794,0
0,1
6 10 3 18 45 10 1 223 -
0,2 0,2
1 1
Faktor UKE
470,0 470,0 441..729,5
2 3
1.981
940,0 1.410,0 720..345,5
0 0
2.012
Situasi Aktual Konsumsi Pangan Penduduk Aspek Kuantitas Berdasarkan basil dari survei konsumsi pangan yang telah dilakukan dapat diketahui situasi konsumsi pangan penduduk Kabupaten Nganjuk pada tahun 2006 dibandingkan dengan standart AKE rata-rata penduduk Kabupaten Nganjuk. Selain itu juga diperoleh informasi mengenai mutu dan keragaman pangan yang dikonsumsi penduduk Kabupaten Nganjuk berdasarkan standar skor PPH regional Jawa Timur yang telah disusun di atas.
0,0 0,0 0,0 418..304,7 2.031
65
Perhitungan AKE penduduk Kabupaten Nganjuk dengan menggunakan faktor UKE adalah sebesar 2.008 kkal/kap/hari. Sedangkan dari hasil survei konsumsi pangan besarnya konsumsi energi penduduk hanya mencapai 1604 kkal/kap/hari atau hanya mencapai sebesar 79,9% dari AKE (Tabel 23). Masih terdapat kekurangan sebesar 405 kkal/kap/hari yang harus dipenuhi agar dapat hidup dalam kondisi sehat. Hasil tersebut menunjukkan bahwa jumlah konsumsi pangan penduduk Kabupaten Nganjuk masih harus ditingkatkan. Tabel 16 Tingkat konsumsi penduduk terhadap AKE di Kabupaten Nganjuk tahun 2006 Hasil Survei Konsumsi No Kelompok Pangan Energi % % AKE*) (Kalori) 1. Padi-padian 946 59,0 47,1 2. Umbi-umbian 634 4,0 3,2 80 5,0 4,0 3. Pangan Hewani 4. Minyak dan Lemak 185 11,6 9,2 5. Buah/Biji Berminyak 55 3,4 2,7 6. Kacang-kacangan 129 8,0 6,4 33 2,1 1,7 7. Gula 8. Sayur dan Buah 111 6,9 5,5 9. Lain-lain 1 0,1 0,0 Total 1.604 100,0 79,9 Ket ; *) AKE = 2.008 kkal/kap/hari
Klasifikasi tingkat konsumsi pangan menurut Departemen Kesehatan (1996) adalah a) defisit berat (< 70% AKG); b) defisit sedang (70-79% AKG); c) defisit ringan (80-89% AKG); d) normal (90-119% AKG); dan e) kelebihan (> 120% AKG). Tabel 23 menjelaskan bahwa tingkat konsumsi energi (TKE) Kabupaten Nganjuk adalah 79,9% yang berarti termasuk kategori defisit normal menurut Departemen Kesehatan (1996). Keadaan ini perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, terutama pemerintah Kabupaten Nganjuk, karena keadaan defisit energi, walupun hanya dalam kategori ringan, akan dapat menurunkan kualitas kesehatan seseorang. Secara luas, keadaan defisit energi dapat menurunkan kualitas sumber manusia, terutama anak-anak dan remaja yang masih berada dalam masa tumbuh kembang. Pada Tabel 17 dapat dilihat sebarab rumah tangga menurut TKE pada berbagai wilayah ekonomi.
66
Tabel 17 Sebaran rumah tangga menururt tingkat konsumsi energi Sebaran Rumah Tangga Menurut Tingkat Konsumsi Energi < 70% 70-80% 80-90% 90-119% 120% Total
Wilayah Menurut Karakteristik Lokal Wilayah Ekonomi Wilayah Ekonomi Wilayah Ekonomi Tinggi Sedang Rendah n % n % n % 21,0 35,0 37,0 41,1 16,0 26,6 11,0 18,3 20,0 22,2 14,0 23,3 8,0 13,3 20,0 22,2 12,0 20,0 14,0 23,3 12,0 13,3 14,0 23,3 6,0 10,0 1,0 1,2 4,0 6,8 60 100,0 90 100,0 60 100,0
Menurut tingkat konsumsi energinya sebanyak 35,2% rumah tangga tingkat konsumsi energinya < 70% AKE yang berarti termasuk dalam kategori defisit berat. Sedangkan rumah tangga yang tingkat konsumsi energinya berada dalam ketgori normal hanya sebesar 19% saja. Hal ini berarti sebagian besar rumah tangga di Kabupaten Nganjuk berada pada kategori defisit energi, mulai dari ringan sampai berat. Keadaan ini sangat ironis mengingat Kabupaten Nganjuk adalah termasuk sentra pertanian di Propinsi Jawa Timur. Berdasarkan pembagian wilayah menurut kondisi ekonominya, rumah tangga yang konsumsi energinya termasuk defisit terdapat pada setiap kategori wilayah mulai dari yang tingkat ekonomi tinggi hinggga tingkat ekonomi rendah. Bahkan pada daerah dengan kategori ekonomi sedang rumah tangga dengan tingkat konsumsi energi > 70% mencapai 41,1%. Hal ini membuktikan bahwa masalah konsumsi pangan tidak hanya tergantung dari pendapatan, tetapi ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi diantaranya adalah kebiasaan makan, dan pengetahuan gizi. Pada Tabel 18 dapat dilihat tingkat konsumsi energi pada kategori wilayah menurut tingkat ekonomi dan secara keseluruhan di Kabupaten Nganjuk. Tingkat konsumsi energi paling tinggi justru dialami oleh penduduk wilayah ekonomi rendah yaitu sebesar 84%, sedangkan yang paling rendah adalah pada wilayah ekonomi sedang yaitu hanya mencapai 74,5%. Berdasarkan pengkategorian di atas maka wilayah ekonomi tinggi dan rendah tingkat konsumsinya termasuk dalam kategori defisit ringan. Sementara itu pada wilayah ekonomi sedang tingkat konsumsi energinya termasuk dalam kategori defisit sedang. Meskipun tingkat knsumsi energinya berbeda-beda, tetapi pada semua wilayah tersebut kontribusi
67
energi terbesar sama-sama diberikan oleh kelompok pangan padi-padian dam minyak dan lemak. Kontribusi energi kelompok padi-padian tertinggi terjadi pada wilayah ekonomi rendah yaitu mencapai 53,6% AKE. Sementara wilayah yang paling rendah kontribusi padi-padiannya adalah wilayah ekonomi rendah yaitu hanya sebesar 43,3%. Hal ini menunjukkan bahwa pada masayarakat dengan tingkat pendapatan lebih rendah fokus utama untuk pemenuhan kebutuhan pangan adalah pada makanan pokok dalam hal ini beras. Tingkat kontribusi kelompok padipadian di wilayah ekonomi rendah sudah melebihi persentase ideal berdasarkan PPH regional sehingga secara ideal harus konsumsi padi-padiannya harus diturunkan. Kelompok pangan yang tingkat kontribusinya dalam memenuhi energi masih sangat jauh di bawah standart adalah kelompok pangan hewani. Secara umum tingkat konribusi pangan hewani di kabupaten Nganjuk baru mencapai 4% AKE sedangkan standart menurut PPH regional adalah sebesar 10%. Tingkat kontribusi pangan hewani paling tinggi terjadi pada wilayah ekonomi tinggi, yaitu mencapai 4,8% sedangkan yang paling rendah terdapat pada wilayah ekonomi sedang yaitu hanya sebesar 3,5%. Hal ini mengindikasikan bahwa pada penduduk dengan pendapatan yang lebih tinggi memiliki kemampuan untuk mengakses pangan hewani lebih baik dengan dukungan pendapatannya mengingat harga pangan hewani yang biasanya lebih mahal dibanding kelompok pangan lainnya.
Tabel 18 Tingkat konsumsi energi penduduk Kabupaten Nganjuk tahun 2006 menurut wilayah ekonomi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok Pangan
Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total Keterangan : AKE *) = 1.981 kkal/kap/hari AKE **) = 2.012 kkal/kap/hari AKE ***) = 2.031 kkal/kap/hari AKE ****) = 2.008 kkal/kap/hari
% AKE Ideal Reg 50 6 12 10 3 5 5 6 3
Wilayah Ekonomi Tinggi Energi % % (Kalori) AKE*) 857,1 51,7 43,3 54,1 3,3 2,7 95,5 5,8 4,8 263,7 15,9 13,3 53,6 3,2 2,7 153,8 9,3 7,8 35,8 2,2 1,8 140,8 8,5 7,1 3,5 0,2 0,2 1.657,9 100,0 83,7
Tingkat Konsumsi Energi Wilayah Ekonomi Sedang Wilayah Ekonomi Rendah Energi % Energi % % % (Kalori) AKE**) (Kalori) AKE***) 911,6 60,8 45,3 1087,9 63,8 53,6 61,3 4,1 3,0 77,4 4,5 3,8 70,1 4,7 3,5 76,7 4,5 3,8 139,3 9,3 6,9 176,4 10,3 8,7 50,6 3,4 2,5 62,0 3,6 3,1 131,0 8,7 6,5 100,3 5,9 4,9 32,7 2,2 1,6 31,3 1,8 1,5 103,2 6,9 5,1 93,9 5,5 4,6 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1.499,7 100,0 74,5 1.706,0 100,0 84,0
Kabupaten Nganjuk Energi % % (Kalori) AKE ****) 946,4 59,0 47,1 63,5 4,0 3,2 79,6 5,0 4,0 185,4 11,6 9,2 54,7 3,4 2,7 128,7 8,0 6,4 33,2 2,1 1,7 111,4 6,9 5,5 0,9 0,1 0,0 1.603,8 100,0 79,9
69
Penyumbang energi terbesar kedua adalah dari kelompok minyak dan lemak yaitu sebesar 11,6%. Hal ini salah satunya disebabkan karena kebiasaan penduduk mengolah makanannya dengan cara digoreng. Sehingga energi yang berasal dari minyak goreng yang terserap dalam makanan menyumbangkan energi cukup besar. Selain itu, kontribusi energi dari kelompok kacang-kacangan serta dan sayur dan buah juga cukup besar (kacang-kacangan : 8% ; buah dan sayur 6,9%). Kontribusi energi kacang-kacangan yang cukup besar disebabkan karena kebiasaan penduduk untuk mengkonsumsi tempe dan tahu sebagai lauk-pauk sehari-hari. Apabila persentase kontribusi energi masing-masing kelompok pangan terhadap AKE Kabupaten Nganjuk dibandingkan dengan standart kontribusi energi tiap kelompok pangan yang digunakan dalam PPH Regional Jawa Timur, maka hampir semua kelompok pangan konsumsinya masih perlu ditingkatkan. Hanya kacang-kacangan yang kontribusi energinya perlu diturunkan karena telah melebihi standart yang digunakan dalam PPH Regional Jawa Timur. Kacangkacangan perlu diturunkan dan 6,4% menjadi 5%. Tingkat kontribusi kacangkacangan terbesar adalah pada wilayah ekonomi tinggi yaitu sebesar 7,8%. Sedangkan pada wilayah ekonomi rendah tingkat kontribusi kacang-kacangannya justru berada dibawah standart yaitu hanya sebesar 4,9%. Keadaan ini menunjukkan bahwa untuk lauk pauk pada daerah ekonomi rendah masih banyak yang memilih pangan hewani, walaupun pangan hewani yang dipilih adalah pangan hewani yang harganya murah seperti ikan asin, teri, dan telur. Sementara itu kontribusi kelompok sayur-sayuran secara umum memang masih dibawah satandart, yaitu baru sebesar 5,5% dari 6%. Akan tetapi pada wilayah ekonomi tinggi kontribusi kelompok sayur dan buah telah melampaui satnadar PPH regional yaitu sebesar 7,1%. Hal ini menunjukkan bahwa pada masyarakat dengan tingkat pendapatan lebih tinggi memiliki alokasi pengeluaran untuk pangan yang lebih beragam dan tidak terfokus pada pangan pokok saja. Tingkat konsumsi sayur dan buah di Kabupaten Nganjuk bisa dikatakan cukup tinggi karena hampir mendekati standar.
70
Sedangkan untuk rata-rata kecukupan protein adalah sebesar 52,1 g/kap/hari. Sementara dari hasil survei konsumsi pangan menunjukkan bahwa konsumsi protein penduduknya baru mencapai 45 g/kap/hari (86%). Kelompok pangan yang merupakan sumber protein adalah pangan hewani dan kacangkacangan, sehingga kekurangan sebesar 7,1 g/kap/hari dapat dipenuhi dengan meningkatkan jumlah konsumsi pangan dari kedua jenis kelompok pangan tersebut. Keadaan ini perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah setempat, mengingat protein berperan penting dalam pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh. Bila kekurangan protein berlangsung dalam waktu lama terutama pada anakanak dan remaja maka akan menyebabkan gangguan tubuh kembang serta rentan terhadap penyakit. Tabel 19 Sebaran rumah tangga menurut tingkat konsumsi protein Sebaran Rumah Tangga Menurut Tingkat Konsumsi Protein < 70% 70-80% 80-90% 90-119% 120% Total
Wilayah Menurut Karakteristik Lokal Daerah Ekonomi Daerah Ekonomi Daerah Ekonomi Tinggi Sedang Rendah n % n % n % 20,0 33,3 37,0 41,1 21,0 35,0 8,0 13,3 11,0 12,2 8,0 13,3 3,0 5,0 16,0 17,8 8,0 13,3 15,0 25,0 18,0 20,0 17,0 28,4 14,0 23,3 8,0 8,9 6,0 10,0 60,0 10,0 90,0 100,0 60,0 100,0
Rumah tangga yang konsumsi proteinnya berada pada kategori defisit berat sebanyak 37,1%, sedangkan yang termasuk dalam kategori normal adalah > 80% sebanyak 50%. Sehingga bisa dikatakan bahwa keadaan tersebut menggambarkan bahwa hampir setengah rumah tangga di Kabupaten Nganjuk masih mengalami kekurangan konsumsi protein. Apabila dilihat dari kategori daerahnya, maka rumah tangga yang termasuk defisit berat protein terbanyak terdapat di daerah ekonomi sedang. Sedangkan untuk rumah tangga dengan konsumsi protein < 80% paling banyak terdapat di daerah ekonomi tinggi. Hal ini disebabkan pada penduduknya lebih banyak mengkonsumsi pangan hewani dibandingkan daerah lainya. Harga pangan hewani yang relatif lebih mahal dibanding pangan nabati membuat warga dengan penghasilan lebih rendah cenderung memilih lauk yang berasal dari pangan nabati. Padahal bahan pangan hewani kaya dalam protein bermutu tinggi dan
71
memiliki susunan asam amino yang paling sesuai untuk kebutuhan manusia (Almatsier, 2002). Berdasarkan keadaan aktual konsumsi pangan yang telah diperoleh, maka diketahui bahwa rumahtangga yang tingkat konsumsi energinya > 70% AKE sebanyak 35,2% sedangkan yang tingkat konsumsi energinya < 70% AKE sebanyak 64,8%. Menurua Azwar (2004), rumah tangga yang TKE > 70% AKE tergolong sebagai rumah tangga yang tidak tahan pangan, sedangkan yang TKE < 70% AKE sudah tergolong tahan pangan. Maka dapat dikatakan bahwa terdapat sekitar 35,2% rumah tangga di Kabupaten Nganjuk yang masih berada dalam kategori tidak tahan pangan.
32%
Kontribusi Kelompok Pangan untuk Memenuhi Kebutuhan Protein di Wilayah Ekonomi Tinggi Padi-padian Umbi-umbian 0% 9% 0% Pangan Hewani 35% Minyak & Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan 1% Gula 2% 0% 21% Sayur & Buah Lain-lain
Gambar 8 Kontribusi kelompok pangan untuk memenuhi kebutuhan protein di wilayah ekonomi tinggi Kontribusi Kelompok Pangan untuk Memenuhi Kebutuhan Protein di Wilayah Ekomi Sedang 0% 8%
0% 42%
30% 2% 0%
17%
1%
Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak & Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur & Buah Lain-lain
Gambar 9 Kontribusi kelompok pangan untuk memenuhi kebutuhan protein di wilayah ekonomi sedang
72
Kelompok pangan padi-padian merupakan kelompok pangan yang memberikan kontribusi terbesar dalam pemenuhan kebutuhan protein penduduk baik pada semua wilayah. Seperti yang terlihat pada gambar 7, 9 dan 10 kontribusi padi-padian pada wilayah ekonomi tinggi sebesar 35%, pada wilayah ekonomi sedang sebesar 42% sedangkan pada wilayah ekonomi rendah serbesar 47%. Kontribusi kelompok padi-padian terbesar pada wilayah ekonomi rendah menunjukkan indikasi bahwa pengeluaran utama rumah tangga digunakan untuk membeli makanan pokok seperti beras. Sehingga kelompok padi-padian selain sebagai sumber energi kelompok padi-padian juga berperan sebagai sumber protein. Pada wilayah ekonomi tinggi, kontribusi protein terbesar berikutnya adalah kacang-kacangan (32%) dan pangan hewani (21%). Dari ketiga wilayah tersebut kelompok kacang-kacangan lebih banyak kontribusinya dalam memenuhi kebutuhan protein penduduk dibandingkan pangan hewani. Kontribusi pangan hewani terendah ditunjukkan pada wilayah ekonomi sedang (17%). Kontribusi Kelompok Pangan untuk Memenuhi Kebutuhan Protein di Wilayah Ekonomi Rendah 0% 7% 0% 24% 2% 0%
47% 18%
2%
Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak & Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur & Buah Lain lain
Gambar 10 Kontribusi kelompok pangan untuk memenuhi kebutuhan protein di wilayah ekonomi rendah Aspek Kualitas Pola Pangan Harapan (PPH) adalah sebuah pedoman mengenai komposisi dari kelompok-kelompok pangan utama yang jika dikonsumsi akan memnuhi kebutuhan kalori dan semua zat gizi lainnya. Dengan mgnggunakan pendekatan PPH, maka akan dapat dinilai mutu pangan yang dikonsumsi oleh penduduk. Interpretasi tersebut adalah beradasarkan skor pangan (dietary score), dimana
73
semakin tinggi skor mutu pangan berarti konsumsi pangan penduduknya semakin beragam serat semakin baik pula komposisi dan mutu gizinya. Pola Pangan Harapan yang digunakan untuk mengetahui situasi konsumsi pangan penduduk Kabupaten Nganjuk adalah PPH Regional Jawa Timur yang telah disusun di atas. Dengan menggunakan PPH regional diharapkan dapat lebih sesuai dengan pola konsumsi dan pola ketersediaan di wilayah tersebut. Susunan PPH Kabupaten Nganjuk berdasarkan hasil survei konsumsi pangan tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 20 berikut ini : Tabel 20 Susunan PPH Kabupaten Nganjuk tahun 2006 Perhitungan Skor Pola Pangan Harapan (PPH) regional No
Kelompok Pangan
1. Padi-padian 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total
Energi (Kalori)
%
% AKE*)
Bobot
Skor Aktual
Skor AKE
Skor Maks
Skor PPH
946,4
59,0
47,1
0,5
29,5
23,6
25,0
23,6
63,5 79,6 185,4 54,7 128,7 33,2 111,4 0,9 1.603,8
4,0 5,0 11,6 3,4 8,0 2,1 6,9 0,1 100
3,2 4,0 9,2 2,7 6,4 1,7 5,5 0,0 80,0
0,5 2 0,5 0,5 2 0,5 5 0 11,.5
2,0 9,9 5,8 1,7 16,1 1,0 34,7 0,0 100,7
1,6 7,9 4,6 1,4 12,8 0,8 27,7 0,0 80,4
2,5 24,0 5,0 1,0 10,0 2,5 30,0 0,0 100
1,6 7,9 4,6 1,0 10,0 0,8 27,7 0,0 77,2
Keterangan = *) Angka Kecukupan Energi (AKE) : 2.008 Kkal/Kap/Hari
Seperti terlihat pada Tabel 20, skor PPH Kabupaten Nganjuk adalah sebesar 77,2. Skor tersebut masih kurang jika dibandingkan dengan skor PPH ideal yaitu 100. Untuk mencapai skor ideal Kabupaten Nganjuk perlu meningkatkan skor PPHnya sebanyak 22,8 poin. Keadaan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan penduduk Kabupaten Nganjuk masih belum beragam dan bermutu untuk memenuhi kebutuhan gizi. Jika dibandingkan dengan skor PPH nasional tahun 2005 sebesar 78,2 (DKP, 2006), maka skor PPH Kabupaten Nganjuk masih dibawah skor nasional tersebut walupun tidak terlalu jauh berbeda (1 poin). Sehingga bisa dikatakan bahwa pola konsumsi penduduk Kabupaten Nganjuk hampir sama dengan pola konsumsi penduduk Indonesia secara umum. Apabila skor PPH ini digunakan untuk menilai situasi ketahanan pangan wilayah, maka Kabupaten Nganjuk belum memadai untuk menunjang terciptanya ketahanan pangan di wilyahnya. Karena wilayah yang tahan pangan adalah
74
wilayah yang mampu menyediakan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Apabila dilihat dari pemenuhan terhadap kebutuhan energinya, maka Kabupaten Naganjuk baru mampu memenuhi 79,9% dari AKEnya. Keadaan ini semakin mempertegas bahwa perlu dilakukan upayaupaya untuk meningkatkan jumlah, mutu dan keberagaman pangan yang dikonsumsi penduduknya. Skor PPH untuk masing-masing kelompok pangan dapat dibandingkan dengan skor PPH maksimalnya sehingga diketahui kelompok pangan mana saja yang telah melebihi atau masih perlu ditingkatkan konsumsinya. Kelompok pangan yang skor PPHnya masih dibawah ideal adalah : padi-padian (23,6); umbiumbian (1,6); pangan hewani (7,9); minyak dan lemak (4,6); gula (0,8) dan buah dan sayur (27,7). Sedangkan kelompok pangan buah/biji berminyak dan kacangkacangan. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi padi-padian penduduk Kabupaten Nganjuk masih perlu ditingkatkan. Kondisi ini sedikit berbeda dengan kecenderungan yang terjadi secara umum di Indonesia yang konsumsi padipadian, terutama beras sudah melebihi skor maksimal. Skor PPH yang paling kurang jika dinamdingkan dengan skor maksimal adalah kelompok pangan hewani, yaitu masih terdapat kekurangan sebesar 16,1 poin. Sumber pangan hewani yang sering dikonsumsi penduduk adalah telur dan ikan asin (pindang). Karena kedua jenis pangan hewani tersebut memiliki harga yang lebih murah jika dibandingkan jenis pangan hewani lainnya. Sedangkan kelompok umbi-umbian jenis pangan yang paling sering dikonsumsi adalah ketela pohon dan ubi jalar. Tingginya skor kacang-kacangan dalam hal ini adalah kedelai, disebabkan karena kebiasaan makan masyarakat setempat yang hampir setiap hari mengkonsumsi tempe dan tahu sebagai lauk-pauk. Selain dari kedelai, jenis kacang-kacangan lain yang banyak dikonsumsi adalah kacang tanah, karena menu makanan tradisonal jawa, yaitu nasi pecel menggunakan bahan sambel dari kacang tanah. Kacang-kacangan adalah salah satu sumber protein seperti halnya pangan hewani. Apabila dilihat skor PPH pangan hewani, masih terdapat kekurangan sebesar 16,1 poin maka dapat dikatakan bahwa kebutuhan protein penduduk lebih banyak dipenuhi dari protein nabati. Seperti telah diketahui di atas bahwa konsumsi protein penduduk Kabupaten Nganjuk masih kurang dari AKP,
75
salah satu faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut terjadi adalah sumber protein yang berasal dari pangan nabati. Karena protein yang berasal dari pangan nabati kurang lengkap bila dibandingkan yang berasal dari pangan hewani. Selain itu sususnan asam amino protein hewani lebih sesuai dengan kebutuhan tubuh manusia, sehingga akan lebih diserap. Analisis situasi konsumsi pangan penduduk juga dilakukan berdasarkan kalsifikasi wilayah menurut keadaan ekonomi. Pada Tabel 21 berikut ini dapat susunan PPH pada masing-masing wilayah ekonomi. Tabel 21 Perbandingan skor PPH wilayah menurut klasifikasi tingkat ekonomi No
Kelompok Pangan
Skor Maks PPH Reg
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain lain Total
25,0 2,5 24,0 5,0 1,0 10,0 2,5 30,0 0,0 100,0
Ekonomi Tinggi Skor Skor AKE*) PPH 21,6 21,6 1,4 1,4 9,6 9,6 6,7 5,0 1,4 1,0 15,5 10,0 0,9 0,9 35,6 30,0 0,0 0,0 79,5
Ekonomi Sedang Skor Skor AKE**) PPH
22,7 1,5 7,0 3,5 1,3 13,0 0,8 25,7 0,0
22,7 1,5 7,0 3,5 1,0 10,0 0,8 25,7 0,0 72,1
Ekonomi Rendah Skor Skor AKE***) PPH
26,8 1,9 7,6 4,3 1,5 9,9 0,8 23,1 0,0
25,0 1,9 7,6 4,3 1,0 9,9 0,8 23,1 0,0 73,6
Ket : *) Angka Kecukupan Energi (AKE) = 1.981 kkal/kap/hari **) Angka Kecukupan Energi (AKE) =2.012 kkal/kap/hari ***) Angka Kecukupan Energi (AKE) = 2.031 kkal/kap/hari
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa skor PPH tertinggi dimiliki oleh wilayah dengan tingkat ekonomi tinggi (79,5), kemudian berturut-turut wilayah ekonomi rendah (73,6) dan tingkat ekonomi sedang (72,1). Sehingga bisa disimpulkan bahwa konsumsi penduduk di wilayah dengan tingkat ekonomi tinggi adalah yang paling beragam dan bermutu. Keberagaman dan mutu pangan yang dikonsumsi diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya ketersediaan pangan yang memang beragam, kemudahan untuk mengakses pangan yang sangat terkait dengan pendapatan, serta kondisi fasilitas-fasilitas umum seperti jalan dan pasar. Tingkat pendapatan yang relatif lebih tinggi dan ketersedianan sarana dan prasarana yang menunjang penyediaan pangan biasanya lebih mudah dijumpai pada wilayah dengan tingkat ekonomi tinggi.
76
Namun pendapatan bukan menjadi satu-satunya faktor penentu mutu konsumsi pangan, hal ini terlihat dari skor PPH daerah ekonomi sedang yang lebih rendah dibandingkan daerah ekonomi rendah. Selain pendatan, faktor pengetahuan gizi serta kebiasaan makan masyarakat setempat juga dapat mempengaruhi jenis dan jumlah konsumsi pangan penduduk. Rendahnya mutu dan jumlah konsumsi pangan penduduk pada daerah ekonomi sedang juga diperkuat dengan bukti bahwa tingkat pencapaian konsumsinya terhadapa AKE maupun AKP juga paling rendah dibandingkan daerah lainnya, yaitu masingmasing sebesar 74,9% dan 79,2%. Selain itu skor PPH untuk kelompok padi-padian pada daerah ekonomi tinggi juga yang paling rendah (21,6) sedangkan di wilayah ekonomi rendah adalah yang paling tinggi (25,6). Hal ini menunjukkan bahwa pada penduduk dengan pendapatan rendah konsumsi lebih dititik beratkan pada bahan makanan pokok seperti beras. Begitu pula pada kelompok pangan hewani, skor PPH tertinggi dimiliki oleh wilayah ekonomi tinggi (9,6). Oleh karena itu tingkat konsumsi protein pada wilayah ekonomi tinggi juga paling tinggi yaitu 48,9 g/kap/hari atau sekitar 94,8% AKP. Konsumsi sayur dan buah pada penduduk di daerah ekonomi tinggi juga paling besar, bahkan melibihi skor ideal berdasarkan PPH regional sebesar 35,6. Sedangkan pada wilayah lainnya skor PPH untuk buah dan sayur semuanya masih berada dibawah skor ideal PPH regional. Hal ini menunjukkan bahwa keadaran untuk mengkonsumsi sayur dan buah sudah cukup tinggi, bahkan jika dibandingkan dengan masyarakat Indonesia yang secara umum masih kurang konsumsi sayur dan buahnya. Berdasarkan hasil survei konsumsi, jenis buah yang paling banyak dikonsumsi adalah pisang dan jeruk.
77
Daya Dukung Pangan Wilayah Potensi Produksi Pangan Wilayah Kabupaten Nganjuk memiliki kondisi dan struktur tanah yang cukup produktif untuk berbagai jenis tanaman. Keadaan ini jugs ditunjang dengan tersedianya pengairan yang cukup dari beberapa sungai besar yang mengalir di wilayah tersebut, selain yang berasal dari air hujan. Sektor pertanian merupakan sektor pertanian di Kabupaten Nganjuk, terutama pertanian tanaman pangan. Hal ini tercermin dari sumbangan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDRB) regional merupakan yang terbesar kedua setelah sektor perdagangan, yaitu sebesar 31% pada tahun 2004 (BPS Kabupaten Nganjuk, 2004). Komoditas tanaman pangan, terutama palawija merupakan hasil pertanian terbesar di Kabupaten Nganjuk yaitu padi, jagung, ketela pohon, kedelai dan kacang tanah. Sedangkan jenis sayuran yang banyak diusahakan adalah bawang merah, cabe dan kacang panjang. Sedangkan untuk komoditas buah-buahan adalah tanaman mangga, pepaya dan pisang. Namun akhir-akhir ini mulai banyak petani yang mencoba untuk membudidayakan melon. Komoditas peternakan yang paling menonjol adalah peternakan ayam pedaging dan ayam petelur, sedangkan untuk perikanannya adalah perikanan darat terutama kolam (ikan lele dan mujaer). Wilayah Kabupaten Nganjuk yang membudidayakan ternak, terutama ternak kecil, tersebar hampir di seluruh wilayah. Sedangkan untuk ternak besar seperti sapi, hanya terdapat dibeberapa kecamatan dengan populasi yang tidak terlalu banyak. Tanaman perkebunan yang paling banyak ditemukan adalah tanaman kelapa dan tebu, paling banyak terdapat di Kecamatan Ngronggot dan Prambon. Komoditas pertanian unggulan Kabupaten Nganjuk yang terutama adalah padi dan palawija. Seperti terlihat pada Tabel 14, selama kurun waktu sepuluh tahun terkahir jenis tanaman palawija tren produksi per tahunnya mengalami peningkatan adalah padi, jagung, kacang tanah dan kacang hijau. Sedangkan yang tren produksinya mengalami penurunan adalah ketela pohon, ubi jalar dan kedelai. Tren produksi tersebut diperoleh dengan menggunakan analisis data time series dengan metode Lesat Squares, model persamaan yang digunakan adalah model
78
linier. Model garis persamaan tren untuk masing-masing komoditas kelompok padi-padian, umbi-umbian dan kacang-kacangan dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Produksi dan tren produksi padi dan palawija pada tahun 1996 dan 2005 di Kabupaten Nganjuk No 1 2 3 4 5 6 7
Komoditas Padi Jagung Ketela Pohon Ubi Jalar Kacang Tanah Kedelai Kacang Hijau
Produksi/thn (ribu ton) 1996 355 120 88 4 0,8 23 0,4
2005 389 185 82 3 3 14 1,4
Persamaan Garis Tren
Keterangan
Yi=348 + 4 Xi Yi= 101 + 7 X1 Y1 = 87 – 1,17 X1 Y1 = 4,9 – 0,22 X1 Y1 = 0,7 + 0,26 X1 Y1 = 27,2 – 1,6 X1 Y1 = 0,26 + 0,12 X1
Meningkat Meningkat Menurun Menurun Meningkat Menurun Meningkat
Pada komoditas pangan yang tren produksinya mengalami penurunan harus mendapat perhatian yang serius sebab dikhawatirkan produksinya pada tahun-tahun yang akan datang tidak mampu memenuhi permintaan dalam wilayah sendiri. Tren produksi tanaman padi di Kabupaten Nganjuk mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sehingga bisa dikatakan bahwa ketersediaan beras sebagai pangan pokok bagi konsumsi penduduk juga mengalami peningkatan. Sedangkan pada komoditas kedelai mengalami tren penurunan menjadi hal yang cukup mengkhawatirkan mengingat konsumsi penduduk terhadap bahan makanan yang berbahan baku kedelai cukup tinggi. Menurunnya produksi kedelai salah satunya disebabkan karena menurunnya tingkat produktivitas, jika pada tahun 2000 tingkat produktivitas kedelai sebesar 19,58 ton/ha maka pada tahun 2005 tingkat produktivitasnya hanya sebesar 1,73 ton/ha. Penurunan produktivitas ini tidak hanya dialami oleh Kabupaten Nganjuk tetapi terjadi secara merata diseluruh wilayah Jawa Timur. Selain itu berdasarkan hasil analisis usahatani kedelai di lokasi penelitian menunjukkan bahwa tingkat keuntungan yang diperoleh dalam usahatani kedelai paling sedikit jika dibandingkan jenis tanaman palawija lainnya (Lampiran 8). Keadaan ini juga menjadi salah satu faktor yang menurut petani setempat membuat mereka enggan untuk mengusahakan kedelai. Sedangkan pada Tabel 23 dapat dilihat produksi dan tren produksi komoditas sayur-sayuran.
79
Tabel 23 Produksi dan tren produksi sayuran pada tahun 1997 dan 2005 di Kabupaten Nganiuk No 1 2 3 4 5 6 7
Komoditas Bawang Merah Cabai Kacang Panjang Terong Bayam Tomat Ketimun
Produksi/tahun (ton) 1997 2005 78.207 56.840 1.997 1.094 594 625 33,7 44,6 37,6 17,7 65 24,6 16,5 41,8
Persamaan Garis Tren Yi= 2.597 + 5.870 X1 Yi= 2.582 – 46 X1 Yi= 590 + 22 X1 Yi= 28,1 + 1,6 X1 Yi= 37,4 – 2,7 X1 Yi= 30 - 0,8 X1 Yi= 17,8 + 3,1 X1
Keterangan Meningkat Menurun Meningkat Meningkat Menurun Menurun Meningkat
Apabila dilihat pada Tabel 23 diketahui bahwa macam sayuran yang diproduksi di Kabupaten Nganjuk hanya sedikit saja. Hal ini salah satunya disebabkan karena wilayah Kabupaten Nganjuk yang sebagian besar terdapat pada dataran rendah sehingga kurang cocok untuk budidaya sayuran. Karena kebanyakan sayuran misalnya : wortel, kentang, kubis, selada dan lain-lain lebih cocok untuk ditanam di dataran tinggi yang berhawa lebih sejuk. Sebenarnya ada dua jenis sayuran, yaitu kangkung dan bawang putih yang juga diproduksi oleh Kabupaten Nganjuk. Tetapi karena produksinya tidak setiap tahun ada maka tidak dimasukkan dalam daftar di atas. Jenis sayuran yang tren produksi per tahunnya mengalami peningkatan adalah bawang merah, kacang panjang, terong, dan ketimun. Sedangkan sayuran yang tren produksi per tahunnya mengalami penurunan adalah cabai, bayam dan tomat. Komoditas sayur paling diunggulkan di Kabupaten Nganjuk adalah bawang merah, karena wilayah ini adalah merupakan sentra penghasil bawang merah terbesar di Jawa Timur. Apabila dilihat dari segi produksi, maka produksi bawang merah paling besar dibanding komoditas sayuran yang lainnya mulai dari tahun 1997 (56.840 ton) sampai tahun 2005 (78.207 ton). Sedangkan kacang panjang, menurut hasil survei konsumsi pangan, adalah jenis sayuran yang cukup sering dikonsumsi oleh penduduk. Sementara bawang merah yang hanya berfungsi sebagai bumbu dalam masakan jumlah konsumsinya tidak terlalu besar walupun selalu digunakan dalam setiap masakan. Ada beberapa jenis sayuran lain yang sering dikonsumsi penduduk tetapi jumlah produksinya tidak tercatat seperti daun ketela pohon, daun ubi jalar, kenikir, dan nangka muda, hal ini karena jenis
80
sayuran tersebut bukan merupakan hasil utama yang diperoleh dari usaha budidaya tanamannya. Tren produksi buah-buahan dari tahun 1997 sampai 2005 ada yang mengalami peningkatan namun ada pula yang mengalami penurunan (Tabel 24). Jenis buah-buahan yang tren produksinya mengalami peningkatan adalah mangga, duku/langsep, jambu, sawo dan pisang. Buah-buahan yang produksinya paling banyak adalah pisang sedangkan yang paling sedikit adalah duku/langsep (tahun 1997) dan salak (tahun 2005). Sedangkan tren produksi buah-buahan yang mengalami penurunan adalah alpokad, rambuatan, durian, papaya dan salak. Garis persamaan tren yang menggambarkan perkembangan produksi buah-buahan tersebut dapat dilihat pada tabel di atas. Jumlah produksi buah-buahan yang besar selama kurun waktu sembilan terakhir agaknya menjadi salah satu faktor cukup tingginya konsumsi buah-buahan penduduk. Hal ini terlihat pada skor PPH kelompok pangan dan sayur yang hampir mendekati skor ideal berdasarkan PPH regional, yaitu hanya terdapat kekurangan sebesar 2,3 poin. Tabel 24 Produksi dan laju produksi buah-buahan tahun 1997 sampai 2005 di Kabupaten Nganjuk No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Komoditas Alpokad Mangga Rambutan Duku/Langsep Durian Jambu Air/Biji Sawo Pepaya Pisang Salak
Produksi Buah-buahn (ton) 1997 2005 521 431 10.874 5.984 856 516 53,5 146,8 469 703,9 572 2.565 183,5 794,5 3.622 2.563 23.579 30.202 1024 162
Persamaan Garis Tren
Keterangan
Yi= 748 – 43,3 X1 Yi= 19.610 + 621 X1 Yi= 1.313 - 59 X1 Yi= 60,2 + 9,3 X1 Yi= 1.618 - 117 X1 Yi= 68 + 467 X1 Yi= 163 + 58,9 X1 Yi= 2.699 – 2,5 X1 Yi= 25.886 + 62,6 X1 Yi= 128 – 1,8 X1
Menurun Meningkat Menurun Meningkat Menurun Meningkat Meningkat Menurun Meningkat Menurun
Hasil survei konsumsi pangan, jenis buah yang paling sering dikonsumsi oleh penduduk adalah pisang dan jeruk. Tingginya jumlah produksi pisang agaknya menjadi salah satu faktor yang mendukung hal tersebut. Karena jumlah produksinya paling banyak maka paling mudah ditemui di pasar dan harganya relatif lebih murah dibanding jenis buah lainnya. Selain itu tanaman pisang merupakan tanamana yang banyak dijumpai di pekarangan penduduk, sehingga
81
mereka tidak perlu membeli pisang yang akan dikonsumsi. Hal ini menunjukkan peran pekarangan sebagai tempat cadangan pangan bagi keluarga. Selain jenis buah yang terdapat pada Tabel 24, sebenarnya masih ada beberapa jenis buah yang diproduksi di Kabupaten Nganjuk yaitu nanas dan jeruk besar, tetapi karena tidak selalu berproduksi tiap tahun maka tidak dicantumkan dalam tabel. Akhirakhir ini di Kabupaten Nganjuk mulai dikembangkan budidaya tanaman melon karena menurut beberapa petani di daerah tersebut hasilnya cukup memuaskan. Potensi perkebunan yang dimiliki Kabupaten Nganjuk tidak terlalu besar. Jenis tanaman perkebunan yang paling banyak diusahakan adalah kelapa dan tebu. Pada Tabel 25 dapat dilihat produksi dan tren produksi komoditas perkebunan di kabupaten Nganjuk. Tabel 25 Produksi dan laju produksi komoditas perkebunan selama tahun 2000 sampai 2005 di Kabupaten Nganjuk No 1 2 3 4 5 6
Komoditas Kelapa Kopi Cengkeh Jambu Mete Tebu )* Wijen
Produksi/tahun (ton) 1997 2005 2.559 3.755 102 70 1.539 475 196 168 17.987 21.635 168 206
Persamaan Garis Tren Yi= 2.195 + 117 X1 Yi= 92,8 – 0,1 X1 Yi= 1.587 - 58 X1 Yi= 257 - 16,5X1 Yi=18..392 – 746X1 Yi= 335 - 18,8 X1
Keterangan Meningkat Menurun Menurun Menurun Menurun Menurun
Keterangan : )* = kristal gula (hablur)
Besar produksi tebu di atas adalah dalam betuk kristal gula, hasil kristal gula (hablur) dari tanaman tebu tergantung dari tingkat rendemennya. Komditas kelapa biasanya tidak dibudayakan secara khusus, tetapi hanya ditanam di pekarangan atau kebun saja. Sedangkan perkebunan tebu yang banyak terdapat di Kabupaten Nganjuk adalah perkebunan rakyat. Selama kurun waktu 1997 sampai 2005, komoditas kelapa mengalmi tren produksi yangmeningkat sedangkan tebu mengalami tren produksi yang menurun. Dari semua jenis tanaman perkebunan yang tercantum dalam Tabel 25, hanya tanaman kelapa yang produksinya cenderung mengalami peningkatan. Meskipun jumlah produksi kopi cukup tinggi, tapi produksi kopi hanya terdapat pada tiga kecamatan saja, yaitu kecamatan Sawahan, Ngetos dan Loceret. Sedangkan lokasi usahatani tebu tersebar hampir diseluruh wilayah Kabupaten Nganjuk. Banyaknya petani yang mengusahakan tebu salah satunya didukung karena wilayah Kabupaten Nganjuk berdekatan dengan Pabrik Gula Mrican yang terdapat di Kabupaten Kediri. Sehingga hasil
82
produksi tebu masyarakat setempat banyak disetorkan sebagai bahan baku gula ke pabrik gula tersebut. Kabupaten Nganjuk memang dikenal sebagai daerah pertanian tanaman pangan, namun demikian potensi produksi peternakan dan perikanan daratnya cukup besar. Pada Tabel 26 berikut dapat dilihat perkembangan produksi pangan hewani selama beberapa tahun terakhir. Tabel 26 Produksi dan laju produksi komoditas pangan hewani selama beberapa tahun terkahir di Kabupaten Nganjuk No
Komoditas pangan
1 2 3
Telur Ayam Buras Telur Ayam Ras Telur Itik
4 5 6 7 8 9 10 11 12
Susu Sapi (ribu liter) Daging Sapi Daging Kerbau Daging Kambing Daging Domba Daging Babi Daging Ayam Buras Daging Ayam Ras Daging Itik
Produksi/tahun (ton) 1996 2005 866 1409 1.500 5356 479 343 1997 2005 131 67 2.134 608 64 1 1.364 126 852 113 19 0 1.255 47 1.130 1700 21 6
Persamaan Garis Tren Yi= 886 – 1,2 X1 Yi= 51,47 + 289 X1 Yi= 435 – 13 X1 Yi= 148 + 4,1 X1 Yi= 3.318 – 285 X1 Yi= 74 – 9,6 X1 Yi= 1.213 – 54 X1 Yi= 717 – 28,4 X1 Yi= 24 – 3,2 X1 Yi= 2.087 – 174 X1 Yi= 342 + 796 X1 Yi= 30,4 - 2 X1
Keterangan Menurun Meningkat Menurun Meningkat Menurun Menurun Menurun Menurun Menurun Menurun Meningkat Menurun
Produksi telur lebih didominasi oleh telur ayam, terutam ayam ras dibandingkan telur itik. Begitu pula dengan daging unggas, paling besar adalah produksi daging ayam. Sedangkan pada hasil peternakan hewan ruminansia selama tahun 1999 sampai 2005 cenderung mengalami penurunan. Hasil produksi daging ruminansia yang paling banyak adalah daging sapi yaitu sebesar 608 ton pada tahun 2005. Sedangkan yang paling kecil adalah daging kerbau. Produksi daging babi pada tahun 1999 adalah yang paling kecil, namun pada tahun 2005 tidak memberikan hasil lagi. Karena harga daging hewan ruminansia relatif lebih mahal dibandingkan ikan maupun daging ayam, maka berdasarkan hasil survei konsumsi pangan menunjukkan bahwa konsumsi jenis pangan ini sangat sedikit. Produksi telur ayam ras mengalami tren yang meningkat salah satunya disebabkan karena semakin banyak penduduk yang membudidayakan ayam ras petelur. Peningkatan produksi telur ayam ras terbesar terjadi pada tahun pada 2004/2005 yang meningkat dari 1.815 ton menjadi 5.356 ton.Telur adalah jenis pangan
83
hewani yang memiliki kandungan protein yang bermutu tinggi. Sehingga dijadikan patokan pengukuran kandungan protein pada bahan pangan lain. Harga telur relatif lebih murah dibandingkan dengan pangan hewani lain, sehingga menjadi alternatif pilihan yang baik untuk meningkatkan konsumsi pangan hewani. Sedangkan produksi daging unggas yang paling besar adalah daging ayam ras, yaitu sebesar 1.700 ton pada tahun 2005. Padahal pada tahun 1997 produksi daging ayam buras yang lebih tinggi. Kemungkinan hal ini disebabkan karena jumlah populasi ayam buras (kampung) yang semakin berkurang. Selain itu jumlah penduduk yang mulai membudidayakan ayam juga semakin meningkat. Peningkatan produksi terbesar selama kurun waktu 2000 sampai 2005 terjadi pada tahun 2002/2003, dimana produksinya naik sebesar 9.033 ton. Produksi sektor perikanan yang ada di Kabupaten Nganjuk adalah perairan darat. Budidaya perikanan yang dilakukan adalah perikanan kolam, mina padi, sawah tambak, waduk, rawa dan sungai. Sehingga jenis ikan yang bayak tersedia di pasar adalah ikan air tawar seperti lele, gurame, mujaer dan wader. Perikanan kolam adalah yang paling banyak memberikan hasil. Pada Tabel 27 berikut ini dapat dilihat produksi serta laju produksi per tahun perikanan menurut jenisnya mulai tahun 2000 sampai 2005. Tabel 27 Produksi dan laju produksi komoditas perikanan mulai tahun 1997 sampai 2005 di Kabupaten Nganjuk No 1 2 3 4 5 6 7
Komoditas Mujair Tombro Tawes Lele Gurame Lain-lain Bandeng
Produksi (ton) 1997 2005 110 323 18 90 136 350 824 1.495 108 130 324 293 0 3
Garis Persamaan Tren Yi= 62,7 + 26,7 X1 Yi= 1 + 11,8 X1 Yi= 137,7 + 17 X1 Yi= 729,6 + 95,6 X1 Yi= 114,8 + 2 X1 Yi= 513,4 – 11,6 X1 Yi= 0,1 + 0,3 X1
Keterangan Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat Menurun Meningkat
Jenis ikan air tawar yang paling besar produksinya adalah ikan lele, jenis ikan lele yang dibudidayakan di tempat ini ada dua macam yaitu lele dumbo dan lele lokal. Sedangkan jenis lele yang lebih banyak dibudidayakan adalah lele dumbo. Produksi ikan lele pada tahun 2005 mencapai 1.495 ton. Sedangkan jenis ikan yang produksinya paling kecil adalah bandeng, hanya sebesar 3 ton pada
84
tahun 2005. Secara keseluruhan produksi perikanan di Kabupaten Nganjuk menunjukkan kecenderungan peningkatan, karena hanya jenis ikan lain-lain yang tren produksinya mengalami penurunan. Jenis ikan yang paling banyak dikonsumsi oleh penduduk adalah ikan olahan (pindang). Ikan jenis ini adalah ikan air laut, karena tidak diproduksi di dalam wilayah maka harus didatangkan dari daerah lain. Sedang jenis ikan segar yang paling banyak dikonsumsi adalah ikan lele. Ketersediaan Lahan Pertanian Faktor terpenting yang dibutuhkan untuk produksi pangan adalah tersediaanya lahan, pada produksi tanaman pangan lahan dipergunakan sebagai tempat bercocok tanam sedangkan pada produksi pangan hewani (peternakan dan perikanan) lahan dibutuhkan untuk membangun kandang, kolam atau tambak serta sumber pakan. Namun seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang pesat, persaingan terhadap kebutuhan lahan khususnya untuk pemukiman dan kegiatan publik lainnya semakin meningkat. Lahan merupakan sumberdaya yang sifatnya konstan, sehingga persaingan ini menyebabkan tingkat konversi lahan pertanian semakin meningkat terutama di Pulau Jawa. Sebagai wilayah yang berbasis pertanian, seperti Kabupaten Nganjuk ketersediaan lahan pertanian memiliki arti yang penting, tidak hanya sebagai sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan pangan tetapi juga menjadi sumber pendapatan dan perekonomian wilayah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Irawan dkk (2001), mengenai pencadangan lahan pertanian di Jawa menyebutkan bahwa Kabupaten Nganjuk termasuk salah satu wilayah dari 13 kabupaten di Jawa Timur layak dicadangkan bagi kawasan produksi pangan dengan alasan wilayah tersebut pada umumnya memiliki produktivitas usahatani yang relatif tinggi, terkait dengan potensi sumberdaya lahan dan ketersediaan sarana/prasarana pertanian yang relatif baik serta memiliki tekanan dari rumah tangga buruh tani yang relatif tinggi. Selama sepuluh tahun terakhir, perubahan luas lahan baik yang berupa sawah maupun lahan kering di Kabupaten Nganjuk tidak terlalu besar. Seperti yang telihat pada Tabel 28, selama tahun 1996 sampai 2000 tidak terjadi perubahan luas sawah maupun lahan kering. Bahkan pada tahun 2001 terdapat
85
penambahan luas lahan sawah sebanyak 50 ha, tetapi untuk lahan kering menurun dari 32.423 ha menjadi 32.374 ha, akan tetapi pada saat itu tidak diikuti dengan peningkatan produksi komoditas tanaman pangan yang dibudidayakan di sawah seperti padi, jagung dan kacang-kacangan. Kemudian luas lahan sawah dan lahan kering di Kabupaten Nganjuk kembali mengalami penurunan pada tahun 2003 dan berkurang kembali pada tahun 2004. Sehingga selama sepuluh tahun terakhir tren perubahan luas lahan sawah mengikuti persamaan Yi = 42.209 – 82 Xi sedangkan untuk lahan kering mengikuti bentuk persamaan Yi =32.727 – 128Xi. Lahan sawah tersebut dibedakan berdasarkan jenis irigasinya, yaitu lahan sawah dengan irigasi teknis, irigasi setengah teknis, irigasi sederhana, irigasi desa/non PU serta sawah tadah hujan. Sedangkan lahan kering meliputi pekarangan, tegal, ladang/huma dan perkebunan. Tabel 28 Laju perubahan lahan pertanian selama tahun 1996-2005 dan proyeksi luas lahan pertanian pada tahun 2006-2010 di Kabupaten Nganjuk Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Luas Lahan (ha) Sawah Kering 43.003 32.423 43.003 32.423 43.003 32.423 43.003 32.423 43.003 32.423 43.053 32.374 43.053 32.374 42.986 32.440 42.155 31.114 42.155 31.114
Tahun 2006 2007 2008 2009 2010
Proyeksi Luas Lahan (ha) Sawah Kering 42.393 31.451 42.312 31.324 42.230 31.196 42.149 31.068 42.067 30.941
Berdasarkan tren perkembangan luas lahan selama sepuluh tahun tersebut, maka dapat diperkirakan luas lahan sawah dan lahan kering yang tersedia pada tahun yang akan datang. Pada tahun 2008 diperkirakan luas lahan sawah yang tersedia sebesar 42.230 ha dan lahan kering seluas 31.196 ha. Sementara itu pada tahun 2010 luas lahan sawah yang tersedia menurun menjadi 42.067 ha dan lahan kering seluas 30.941 ha. Pertumbuhan penduduk akan meningkatkan kompetisi pemanfaatan lahan yang dapat mengancam keberadaan lahan-lahan pertanian yang subur. Selain itu pertambahan penduduk juga menyebabkan lahan pertanian yang sifatnya konstan dipergunakan secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk sehingga secara berlahan-lahan akan menyebabkan degradasi
86
lahan. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh faham Malthus gaya baru yang menganggap tekanan penduduk adalah faktor utama penyebab terjadinya degradasi lahan (Arifin, B. 2002). Oleh karena itu, penting kiranya bagi suatu wilayah untuk melakukan perencanaan tata wilayah dengan memperhatikan penyediaan lahan pertanian sebagai faktor sumberdaya yang sangat dibutuhkan untuk produksi pangan di wilayah tersebut agar dapat meminimalkan ketergantungannya terhadap wilayah lain dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan bagi penduduknya. Berdasarkan sasaran target penyediaan pangan yang diharapkan dapat dipenuhi dari produksi sendiri akan diperkirakan kebutuhan luas lahan untuk keperluan produksi pangan minimal bagi pemenuhan kebutuhan pangan penduduk. Target penyediaan pangan dijadikan acuan karena jumlah tersebut adalah merupakan jumlah minimal yang diharapkan dapat diproduksi agar kebutuhan pangan penduduk dapat terpenuhi. Karena tujuan utama produksi pertanian, perikanan dan peternakan adalah untuk kebuyuhan pangan penduduk, jika terjadi surplus baru disa dijual ke luar wilayah. Sehingga luas lahan yang minimal harus tersedia untuk menunjang hal tersebut perlu dipertahankan. Alokasi
penggunaan
lahan
pertanian
sawah
dilakukan
dengan
mempertimbangkan system pergiliran tanaman yang biasa dilakukan di daerah setempat. Tanaman padi biasanya ditanam saat memasuki musim hujan, sedangkan
tanaman
jagung
ditanam
ketika
musim
kemarau
karena
karakteristiknya yang tidak banyak membutuhkan air. Pola tanam yang banyak diterapkan oleh petani di Kabupaten Nganjuk adalah pola tanam bergilir. Suatu petakan lahan sawah dalam satu tahun bisa ditanami sebanyak empat kali. Jika dua kali ditanami padi maka musim tanam berikutnya diselingi tanaman jagung, sayur seperti kacang panjang dan tanaman kacang-kacangan seperti kacang tanah. Lahan sawah yang dapat ditanami padi sampai dua kali dalam setahun biasanya memiliki sistem irigasi yang baik sehingga suplai air dapat terpenuhi. Sedang pada lahan sawah yang sistem irigasinya kurang memadai atau sawah tadah hujan padi hanya ditanam satu kali dan diselingi dengan jagung yang lebih sedikit membutuhkan air. Berdasarkan data selama sepuluh tahun terakhir, persentase lahan sawah yang ditanamai padi dua kali sebesar 66% dan yang ditanamai padi
87
satu kali sebesar 33%. Sementara lahan sawah setelah musim tanam padi selesai akan digunakan untuk menanam jagung, sayur-sayuran dan kacang-kacangan. Diasumsikan bahwa pada satu musim tanam setelah tanam padi keseluruhan lahan sawah digunakan untuk jagung, kemudian satu musim tanam berikutnya digunakan untuk sayuran dan kacang-kacangan secara bersamaan. Keberadaan lahan kering dibagi menjadi tiga yaitu pekarangan, tegal dan perkebunan dengan proporsi masing-masing 50%, 30% dan 20%. Proporsi pembagian jenis lahan tersebut dilakukan berdasarkan luasan lahan yang aktual terdapat di Kabupaten Nganjuk. Lahan pekarangan akan diperuntukkan guna memenuhi kebutuhan lahan untuk tanaman buah-buahan dan kelapa yang biasanya banyak ditanam penduduk di pekarangan sekitar rumah. Sedangkan lahan tegal diperuntukkan guna memenuhi kebutuhan luas tanam komoditas ketela pohon dan ubi jalar, kedua jenis tanaman ini tidak terlalu banyak membutuhkan air sehingga dapat ditanam di lahan yang sifatnya kering seperti tegal, sedangkan lahan perkebunan digunakan untuk menanam tebu.
Kemampuan Wilayah untuk Memenuhi Kebutuhan Aktual Pangan Penduduk Berdasarkan kemampuan produksi aktual yang dicapai Kabupaten Nganjuk pada tahun 2005 bila dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi pangan penduduk pada tahun aktual (tahun 2006) maka ada beberapa komoditas yang produksinya saat ini telah mampu memenuhi target tersebut. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa potensi produksi komoditas pangan yang dimiliki Kabupaten Nganjuk harus minimal dipertahankan, sedangkan untuk komoditas pangan yang belum memenuhi target maka pemenuhan kebutuhannya dapat diperoleh dari luar wilayah. Produksi komoditas pangan yang belum memenuhi target apabila memungkinkan untuk tahun-tahun yang akan datang harus ditingkakan. Pada Tabel 29 berikut ini dapat dilihat tingkat pencapaian produksi aktual pangan terhadap kebutuhan konsumsi pangan aktual penduduk di Kabupaten Nganjuk.
88
Tabel 29 Perbandingan produksi aktual pangan dengan target penyediaan pangan pada tahun 2006 No 1
2
3
4
Kelompok Pangan
Produksi Aktual (ton)
Tahun 2006 Target Peny Pangan (ton)
Pencapaian (%)
Keterangan
Padi-padian Padi (gabah) Jagung
388.628 185.130
167.152 2.224
232 8.324
Memenuhi Memenuhi
Umbi-umbian Ketela Pohon Ubi Jalar
81.927 3.298
19.132 1.962
428 168
Memenuhi Memenuhi
848 1.753 7.108 67 2.684
1.385 3.463 3.463 4.155 10.619
61 51 205 2 25
Tdk Memenuhi Tdk Memenuhi Memenuhi Tdk Memenuhi Tdk Memenuhi
Pangan Hewani Daging Ruminansia Daging Unggas Telur Susu Ikan Buah/Biji Berminyak Kelapa
3.755
12.042
31
Tdk Memenuhi
5
Gula Gula Pasir
17.987
2.739
657
Memenuhi
6
Kacang-kacangan Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau
3.419 14.156 1.413
3.620 11.517 658
94 123 215
Tdk Memenuhi Memenuhi Memenuhi
Sayur dan Buah Sayur-Sayuran Buah-Buahan
80.400 43.734
31.732 31.732
253 138
Memenuhi Memenuhi
7
Pada tabel di atas hanya disajikan mengenai komoditas pangan yang mampu diproduksi oleh Kabupaten Nganjuk. Sedangkan untuk komoditas pangan lain yang tidak tercantum dalam Tabel 29 maka pemenuhan kebutuhannya seluruhnya berasal dari luar wilayah. Jenis komoditas pangan tersebut adalah : tepung terigu, sagu, kentang, talas, minyak sawit, kemiri, gula kelapa dan lainlain. Berdasarkan data di atas diketahui bahwa tingkat produksi pangan aktual pangan hewani di Kabupaten Nganjuk masih banyak yang belum memenuhi target, hanya komoditas telur saja yang tingkat pencapaiannya sudah diatas 100%. Hal ini menunjukkan bahwa daya dukung produksi pangan yang dimiliki Kabupaten Nganjuk saat ini untuk produksi pangan hewani masih kurang memadai. Apabila dilihat dari tren produksi selama sepuluh tahun terakhir maka tren produksi sub kelompok pangan hewani mengalami peningkatan kecuali daging ruminansia. Sehingga hal ini dapat menjadi acuan bahwa pada tahun-tahun
89
yang akan datang produksi sub kelompok pangan daging unggas, susu, dan ikan dapat ditingkatkan agar mampu memenuhi target penyediaan pangan. Pada sub kelompok pangan daging ruminansia, tren produksi yang mengalami penurunan akan dapat menjadi suatu masalah karena pada tahun-tahun yang akan datang target penyediaan akan meningkat sementara produksinya cenderung turun. Agar tingkat ketergantungan Kabupaten Nganjuk terhadap impor daging ruminansia semakin tinggi maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk mendorong tingkat produksinnya, misalnya dengan menggalakkan usaha peternakan. Pada kelompok pangan padi-padian dan umbi-umbian tingkat produksi aktual telah mampu memenuhi target penyediaan pangan. Keadaan ini cukup memberikan jaminan ketersediaan makanan pokok bagi penduduk di kabupaten Nganjuk. Tingkat produksi komoditas-komoditas pangan tersebut harus dipertahankan, bahkan apabila memungkinkan harus senantiasa diupayakan untuk meningkat. Apabila dilihat dari tren produksi selama sepuluh tahun terakhir maka produksi padi, jagung, dan ubi kayu mengalami peningkatan. Harapannya pada tahun-tahun yang akan datang tingkat produksi komoditas-komoditas pangan tersebut tetap akan mampu memenuhi target penyediaan pangan yang tentunya juga akan mengalami peningkatan. Sementara tren produksi ubi jalar mengalami penurunan. Agar pada tahun-tahunmendatang target penyediaan ubi jalar tetap dapat terpenuhi atau meminimalkan kebutuhan impor maka hal yang harus dilakukan adalah meningupayakan penigkatan produksi atau setidaknya mempertahankan tingkat produksi seperti tahun aktual. Komoditas kacang tanah produksi aktualnya belum mampu memenuhi target penyediaan pangan aktual, namun tren produksi kacang tanah yang meningkat memungkinkan pada tahun yang akan datang target penyediaannya akan dapat terpenuhi. Keadaan yang cukup mengkhawatirkan adalah pada komoditas kacang kedelai karena tren produksinya mengalami penurunan sementara tingkat kebutuhan penduduk cukup tinggi. Hal ini terkait dengan pola konsumsi pangan penduduk yang banyak menjadikan makanan berbahan baku kacang-kacangan khususnya kedelai sebagai lauk-pauk sehari-hari. Sebaiknya ada upaya dari pemerintah setempat dan berbagai pihak terkait lainnya untuk meningkatkan produksi kacang-kacangan misalnya dengan penerapan sistem
90
usahatani yang efisien sehingga petani dapat menerima keuntungan dengan layak, menjaga kestabilan harga produk lokal dan sebagainya.
Estimasi Daya Dukung Pangan Kabupaten Nganjuk untuk Memenuhi Kebutuhan Pangan Ideal Penduduk
Perencanaan Konsumsi Pangan Penduduk Menuju Ideal Berdasarkan hasil survei konsumsi pangan yang telah dilakukan diketahui bahwa skor PPH Kabupaten Nganjuk baru mencapai 77,2. Skor tersebut masih jauh dari skor ideal PPH 100. Skor ideal PPH tersebut menurut acuan yang dikeluarkan oleh BBKP-Deptan tahun 2001 secara ideal akan dicapai pada tahun 2020. Sehingga mulai tahun aktual, secara simultan skor PPH akan ditingkatkan hingga mencapai 100 pada tahun 2020. Skor ideal tersebut menunjukkan bahwa pangan yang dikonsumsi penduduk telah memenuhi syarat keberagaman dan mutu gizi untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk agar dapat berada dalam keadaan aktif dan sehat. Pada Tabel 30 berikut ini dapat dilihat gap antara skor PPH tahun aktual dan tahun ideal. Tabel 30 Gap Skor Pola Pangan Harapan (PPH) tahun aktual (2006) dan ideal (2020) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Skor PPH
Skor Pola Pangan Harapan 2006 23.6 1.6 7.9 4.6 1.0 10.0 0.8 27.7 0.0 77.2
2020 25 2.5 24 5 1 10 2.5 30 0 100
Gap 1.4 0.9 16.1 0.4 0.0 0.0 1.7 2.3 0.0 22.8
Skor PPH yang telah dicapai pada tahun 2006 bila dibandingkan dengan skor PPH ideal yang dicanangkan dicapai pada tahun 2020 masih terdapat gap sebesar 22,8 poin. Gap tersebut akan dikurangi secara bertahap dari tahun ke tahun. Gap skor PPH terbesar dialami oleh pangan hewani yaitu sebesar 16,1 poin. Keadaan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan hewani penduduk
91
Kabupaten Nganjuk masih jauh dari harapan dan perlu ditingkatkan. Selain pangan hewani, kelompok pangan lain yang masih perlu ditingkatkan konsumsinya adalah padi-padian (1,4), umbi-umbian (0,9), minyak dan lemak (0,4), gula (1,7), serta sayur dan buah (2,3). Usaha-usaha yang dapat ditempuh oleh pihak-pihak terkait salah satunya adalah dengan melakukan program diversifikasi pangan serta penyuluhan mengenai pentingnya makanan bergizi dan beragam kepada penduduk, terutama pada kelompok-kelompok rawan pangan. Tabel 31 Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Kabupaten Nganjuk pada tahun 2006 sampai 2010 Skor Pola Pangan Harapan No Kelompok Pangan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Skor PPH
2006 23.6 1.6 7.9 4.6 1.0 10.0 0.8 27.7 0.0 77.2
2007 23.7 1.6 9.1 4.6 1.0 10.0 0.9 27.9 0.0 78.9
2008 23.8 1.7 10.2 4.7 1.0 10.0 1.1 28.1 0.0 80.5
2009 23.9 1.8 11.4 4.7 1.0 10.0 1.2 28.2 0.0 82.1
2010 24.0 1.8 12.5 4.7 1.0 10.0 1.3 28.4 0.0 83.7
Berdasarkan hasil proyeksi skor PPH untuk mencapai skor ideal pada tahun 2020 maka diketahui bahwa secara bertahap pada tahun 2008 skor PPH harus ditingkatkan menjadi 80,5 dan menjadi 83,7 pada tahun 2010 seperti dapat dilihat pada Tabel 32. Target skor PPH pada mulai tahun 2008 hingga tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 29. Berdasarkan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) 2006-2010 sasaran yang ingin dicapai salah satunyaa adalah skor PPH minimal 80. Dengan menggunakan model perencanaan di atas maka target tersebut dapat terealisasi. Pada tahun 2008 dan 2010 untuk mencapai skor PPH sasaran maka, kelompok pangan yang skornya perlu ditingkatkan adalah : padipadian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, gula, serta sayur dan buah. Pada kelompok pangan buah/biji berminyak dan kacang-kacangan skornya adalah tetap, hal ini dikarenakan pada kelompok kacang-kacangan dan biji/buah berminyak skor aktualnya telah melebihi skor maksimal.
92
Tabel 32 Kontribusi energi menurut kelompok pangan dan gap antara tahun aktual dan ideal No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Kecukupan Gizi
Kontribusi Energi Menurut Kelompok Pangan (%) 2006 2007 2008 2009 2010 (1) (2) (3) (4) (5) 47,1 47,3 47,5 47,7 47,9 3,2 3,4 3,6 3,8 4,0 4,0 4,5 5,1 5,7 6,3 9,2 9,3 9,3 9,4 9,5 2,7 2,7 2,8 2,8 2,8 6,4 6,3 6,2 6,1 6,0 1,7 1,9 2,1 2,4 2,6 5,5 5,6 5,6 5,6 5,7 0,0 0,3 0,5 0,7 0,9 80,0 81,3 82,7 84,2 85,6
Ideal 2020 (6) 50,0 6,0 12,0 10,0 3,0 5,0 5,0 6,0 3,0 100,0
Gap (6)-(1) 2,9 2,8 8,0 0,8 0,3 -1,4 3,3 0,5 3,0 20,1
Selain Skor PPH menggambarkan mutu dan keragaman pangan yang dikonsumsi oleh penduduk, pencapaian konsumsi terhadap AKE dan kontribusi energi menurut kelompok pangan juga merupakan hal yang harus diperhatikan untuk mencapai konsumsi sesuai pola pangan harapan. Pada tahun 2006 tingkat konsumsi penduduk baru mencapai 79,9% dari AKE. Apabila tingkat konsusmi 100% AKE ingin dicapai pada tahun 2020, maka masih terdapat gap sebesar 20,1%. Kekurangan tersebut secara bertahap akan dicapai tiap tahunnya seiring dengan peningkatan skor PPH tiap tahun sasaran. Pada tahun 2008 tingkat pencapain konsumsi diharapkan sebesar 82,7%, sedangkan pada tahun 2010 sebesar 84,6%. Pencapaian secara bertahap ini dilakukan agar tidak terlalu memberatkan pemerintah dan berbagai pihak terkait untuk melaksanakannya. Kelompok pangan yang kontribusi energinya perlu ditingkatkan dari tahun ke tahun sampai mencapai ideal adalah padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, buah/buji berminyak, minyak dan lemak, gula, sayur dan buah serta lainlain. Pangan hewani merupakan kelompok pangan yang kontribusi energinya paling besar untuk ditingkatkan, yaitu sebesar 8%. Sedangkan kelompok pangan yang kontribusi energinya harus diturunkan adalah kelompok kacang-kacangan, yaitu sebesar 1,4%. Kelompok pangan lain-lain yang pada tahun 2006 kontribusinya masih 0%, pada tahun 2008 harus ditingkatkan menjadi 0,5% dan menjadi 0,9% pada tahun 2010. Kontribusi energi yang diharapkan dipenuhi dari kelompok pangan lain-lain memang sedikit, mengingat yang termasuk dalam
93
kelompok pangan ini adalah bumbu dan minuman. Kandungan energi dalam jenis pangan ini biasanya lebih sedikit jika dibandingkan dengan jenis pangan dari kelompok pangan yang lain. Kontribusi energi dari padi-padian yang harus ditingkatkan sebesar 2,9% seharusnya dapat dengan mudah dilakukan mengingat produksi kelompok padipadian, terutama beras dan jagung, di Kabupaten Nganjuk cukup besar. Sehingga dari sisi ketersediaan bisa dikatakan tidak ada masalah. Kurangnya konsumsi padi-padian yang merupakan makanan pokok ini, salah satunya bisa disebabkan karena akses penduduk untuk mendapatkan pangan ini terbatas, terutama karena terbatasnya pendapatan mereka. Selain itu kebiasaan penduduk yang hanya makan dua kali dalam sehari juga ikut mempengaruhi kurangnya konsumsi padi-padian. Waktu makan yang banyak ditinggalkan adalah sarapan, padahal sarapan adalah waktu makan yang penting karena memberikan asupan energi pada awal hari untuk melakukan berbagai aktivitas selama setengah hari sampai tiba waktu makan siang. Komoditas pangan pada kelompok padi-padian yang paling banyak dikonsumsi adalah beras dan tepung terigu, sehingga yang dijadikan sebagai pangan acuan dalam kelompok ini adalah beras. Pada kelompok umbi-umbian, komoditas pangan yang paling banyak dikonsumsi adalah ketela pohon. Sedangkan pada kelompok pangan hewani, yang paling sering dikonsumsi adalah telur, dan ikan asin, oleh sebab itu yang menjadi pangan acuan dalam kelompok pangan ini adalah telur ayam. Selain itu potensi produksi telur ayam di Kabupaten Nganjuk cukup besar dan memiliki tren produksi meningkat sehingga sangat menunjang untuk penyediaana pangan hewani. Untuk kelompok kacang-kacangan yang paling banyak dikonsumsi adalah kedelai dan kacang tanah, komoditas pangan yang dijadikan pangan acuan dalam kelompok ini adalah kedelai. Kedelai banyak dikonsumsi penduduk dalam bentuk tempe dan tahu, kedua jenis makanan ini hampir selalu dikonsumsi oleh penduduk sebagai lauk pauk. Sementara itu pada kelompok sayur-sayuran yang paling banyak dikonsumsi adalah kacang panjang dan pada buah-buahan adalah pisang. Karena sayur dan buah menjadi satu kelompok pangan, maka yang dijadikan pangan acuan dalam kelompok ini adalah pisang.
94
Berdasarkan hasil survei konsumsi pangan yang telah dilakukan, diketahui pula bahwa konsumsi protein penduduk Kabupaten Nganjuk juga masih kurang dari AKPnya. Belum memadainya kualitas konsumsi pangan penduduk, terutama dalam hal untuk memenuhi kebutuhan protein, diindikasikan oleh masih rendahnya kontribusi protein hewani dalam menu makanan sehari-hari. Hal ini salah satunya disebabkan karena sebagian besar protein tersebut umumnya dipenuhi dari pangan nabati. Sehingga perlunya meningkatkan kontribusi pangan hewani terhadap pemenuhan AKE harus menjadi perhatian yang serius. Sumber pangan hewani yang banyak terdapat di wilayah Kabupaten Nganjuk adalah yang berasal dari unggas baik daging maupun telur serta ikan air tawar. Harga telur dan beberapa jenis ikan air tawar, seperti lele dan wader relatif lebih murah jika dibandingkan dengan harga daging ayam atau daging sapi. Jenis pangan hewani yang harganya lebih terjangkau oleh masyarakat tersebut bisa menjadi alternatif pilihan konsumsi pangan hewani untuk memenuhi AKP dan otomatis untuk mencapai AKE yang telah ditetapkan. Tabel 33 Sasaran konsumsi pangan berdasarkan PPH pada tahun 2006 sampai 2020 di Kabupaten Nganjuk No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total pangan
Rata-Rata Konsumsi Pangan Menurut Kelompok Pangan PPH (Gram/Kapita/Hari)
Gap
2006 (1)
2007 (2)
2008 (3)
2009 (4)
2010 (5)
2020 (6)
(6)- (1)
262,9 58,0 54,6 21,3 28,8 38,9 9,1 150,0 0,3 623,8
263,8 60,3 60,7 21,6 27,4 38,6 10,6 155,8 1,3 640,2
264,8 62,6 66,9 21,9 26,1 38,4 12,1 161,6 2,4 656,6
265,7 64,9 73,0 22,1 24,7 38,1 13,6 167,4 3,4 673,0
266,7 67,2 79,1 22,4 23,4 37,8 15,1 173,2 4,5 689,5
276,2 90,4 140,6 25,1 10,0 35,1 30,1 231,0 15,1 853,6
13,3 32,4 86,0 3,8 -18,8 -3,8 21,0 81,0 14,8 51,4
Setelah diketahui kontribusi energi masing-masing kelompok pangan untuk memenuhi kebutuhan energi dan mencapai pola konsumsi yang lebih beragam dan bermutu, maka dapat diketahui berapa gram seharusnya masingmasing kelompok pangan tersebut harus dikonsumsi oleh setiap penduduk per harinya. Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 33, pada tahun 2006 konsumsi padi-padian baru mencapai 262,9 g/kap/hari padahal seharusnya adalah sebesar
95
276,2 g/kap/hari masih terdapat kekurangan sebesar 13,3 g/kap/hari. Sehingga berdasarkan proyeksi dari pola konsumsi pangan penduduk berdasarkan PPH sasaran yang ingin dicapai pada tahun 2008, maka konsumsi padi-padian harus ditingkatkan menjadi 264,8 g/kap/hari dan menjadi 266,7 g/kap/hari pada tahun 2010. Kelompok pangan yang konsumsinya per kapitanya paling besar untuk ditingkatkan agar mencapai ideal adalah pangan hewani. Tingkat konsumsi pada tahun 2006 baru mencapai 54,6 g/kap/hari sedangkan kondisi ideal konsumsinya harus sebesar 140,6 g/kap/hari sehingga masih terdapat gap sebesar 86 g/kap/hari. Kurangnya tingkat konsumsi pangan hewani menjadi masalah umum yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Berdasarkan hasil data Susenas 2005 BPS yang diolah BKP diketahui bahwa konsumsi pangan hewani penduduk Indonesia sebesar 87,6 g/kap/hari. Dengan demikian maka konsumsi pangan hewani penduduk Kabupaten Nganjuk jika dibandingkan dengan keadaan nasional memang masih berada di bawahnya. Sehingga upaya-upaya untuk meningkatkan konsumsi pangan hewani penduduk harus dilakukan, misalnya dengan diversifikasi pangan memanfaatkan pangan lokal. Jumlah konsumsi kelompok pangan yang harus diturunkan agar mencapai ideal menurut Tabel 33 adalah kacang-kacangan dan buah/biji berminyak. Pada buah/biji berminyak jumlah yang dikonsumsi harus diturunkan, yaitu sebesar 28,8 g/kap/hari pada tahun 2006 menjadi 26,1 g/kap/hari pada tahun 2008 dan menjadi 23,4 g/kap/hari pada tahun 2010. Sedangkan pada kelompok kacang-kacangan jumlah konsumsi yang harus dikurangi adalah sebesar 38,9 g/kap/hari pada tahun 2006 menjadi 38,4 g/kap/hari pada tahun 2008 dan menjadi 37,8 g/kap/hari pada tahun 2010. Pada tahun ideal (2020) konsumsi kacang-kacangan penduduk Kabupaten Nganjuk harus diturunkan sebesar 3,7 g/kap/hari. Setelah diketahui jumlah konsumsi pangan per kapita per hari yang dibutuhkan pada masing-masing kelompok pangan pada tiap tahun sasaran, maka dapat diketahui pula jumlah pangan yang dibutuhkan pada masing-masing kelompok pangan tersebut selama setahun pada tahun 2008 dan 2010. Besarnya pangan yang dibutuhkan ini sesuai dengan besarnya proyeksi konsumsi pangan penduduk pada tahun sasaran (2008 dan 2010) ditambah 10% dari jumlah
96
proyeksi konsumsi tersebut. Penambahan 10% dimaksudkan sebagai level aman untuk memperkirakan kebutuhan pangan penduduk agar terdapat cadangan pangan untuk keadaan darurat yang terjadi di wilayah tersebut. Tabel 34 Proyeksi kebutuhan pangan berdasarkan PPH pada tahun 2008, 2010 dan 2020 di Kabupaten Nganjuk NO
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok/Jenis Pangan Total Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-Lain
Proyeksi Kebutuhan Pangan Tahun 2008 Tahun 2010 Kebt Pangan Gap Kebt Pangan Gap (ton) (ton) (ton) (ton) 112.810 26.677 28.486 9.312 11.113 16.343 5.164 68.847 1.011
10.032 13.526 34.052 1.855 -6.646 -709 8.237 33.893 5.689
114.437 28.855
33.965 9.612 10.046 16.231 6.489 74.306 1.926
8.404 11.348 28.573 1.556 -5.579 -597 6.912 28.435 4.774
Tahun 2020 Kebt Pangan (ton) 122..842 40.203
62.538 11.167 4.467 15.634 13.401 102.740 6.700
Seperti yang terlihat pada Tabel 34 di atas, maka pada tahun 2008 jumlah kebutuhan paling besar adalah pada kelompok padi-padian, karena kelompok pangan ini adalah merupakan jenis makanan pokok bagi penduduk, dalam hal ini khususnya adalah beras. Kebutuhan padi-padian pada tahun 2008 sebesar 112.810 ton dan meningkat menjadi sebesar 114.437 ton pada tahun 2010. Kelompok pangan yang jumlah kebutuhannya terbesar kedua adalah kelompok sayur dan buah. Hampir semua kelompok pangan kebutuhannya selalu meningkat dari tahun ke tahun kecuali pada kelompok biji/buah berminyak dan kacang-kacangan, hal ini disebabkan karena kontribusi energi dari kedua kelompok pangan tersebut harus diturunkan agar mencapai ideal pada tahun 2020. Kabupaten Nganjuk sebagai wilayah pertanian memiliki peluang untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduknya berasal dari produksi dalam wilayah. Seperti yang telah diuraikan di atas, potensi produksi pertanian, peternakan dan perikanan yang menunjang penyedian pangan cukup besar walaupun ada beberapa komoditas pangan yang memiliki laju produksi menurun selama beberapa tahun terakhir ini. potensi tersebut harus benar-benar dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh pemerintah Kabupaten Nganjuk untuk mewujudkan ketahanan pangan di wilayahnya. Karena tujuan utama dari
97
pembangunan pertanian adalah untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduk, meyediakan kesempatan kerja sehingga akan meningkatkan kesejahteraan petani yang berarti memiliki akses untuk mendapatkan pangan secara cukup dan bermutu.
Perencanaan Penyediaan Pangan Penduduk Menuju Ideal Secara teoritis, ketahanan pangan merupakan fungsi dari jumlah penduduk dan ketersediaan pangan yang berasal dari dalam wilayah maupun dari luar wilayah atau impor. Ketahanan pangan yang mantap perlu dibangun dengan membina sisi peningkatan produksi dalam wilayah yang berdaya saing tinggi, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan para petani. Apalagi pada wilayah yang sebagaian besar penduduknya bekerja pada sektor pertanian seperti di Kabupaten Nganjuk. Menggantungkan penyediaan bahan pangan dari luar wilayah atau impor tentunya dapat menjadi sebuah pilihan, tetapi hal ini akan beresiko tinggi karena memerlukan biaya yang cukup besar. Oleh karena itu pilihan untuk mengembangkan sistem ketahanan pangan yang bersumber pada keragaman sumber daya hayati serta budaya lokal menjadi lebih baik. (Riyadi, M. 2002). Dalam melakukan perencanaan penyediaan pangan harus memperhatikan pola konsumsi penduduk, AKE rata-rata regional, potensi wilayah tersebut dalam memproduksi bahan pangan, baik dalam bentuk produksi pertanian dan perikanan asli maupun hasil olahannya serta pola pangan harapan yang ingin dicapai pada tahun tertentu. Pola konsumsi penduduk dapat diketahui melalui pelaksanaan survei konsumsi pangan maupun melalui data Susenas. Pola konsumsi pangan penduduk dapat menunjukkan jenis-jenis pangan yang tingkat konsumsinya kurang atau berlebih, jenis pangan dominan yang dikonsumsi penduduk serta kualitas konsumsi tersebut dibandingkan AKE, AKP dan PPH. Jenis pangan dominan yang dikonsumsi penduduk perlu mendapat perhatian khusus, karena berarti jenis pangan tersebut memiliki peran penting dalam masyarakat, seperti misalnya beras. Selain itu pangan yang banyak dikonsumsi oleh penduduk berarti merupakan pangan yang disukai dan dapat diterima serta dijangkau oleh hampir seluruh lapisan masyarakat. Sehingga dalam merencanakan penyediaan pangan
98
sebaiknya diprioritaskan terhadap jenis-jenis pangan yang memang dapat diterima oleh masyarakat luas. Tabel 35 Kontribusi pangan pada setiap kelompok pangan berdasarkan PPH pada keadaan aktual dan target di Kabupaten Nganjuk No
Kelompok Pangan
1
Padi-padian Beras giling Jagung Pipilan Tepung Terigu Umbi-umbian Ketela Pohon Ubi Jalar Kentang Talas Pangan Hewani Daging Ruminansia Daging Unggas Telur Susu Ikan Minyak dan Lemak Minyak Kelapa Minyak Sawit
2
3
4
Kontribusi Pangan (%) Aktual Target
100 97 0 2 100 78 6 9 6 100 4 15 15 20 46 100 0 100
100 95 2 3 100 78 8 6 8 100 4 15 15 20 46 100 0 100
No
Kelompok Pangan
5
Buah/Biji Berminyak Kelapa Kemiri Kacang-kacangan Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Kacang Merah Gula Gula Pasir Gula Kelapa Sayur dan Buah Sayur-Sayuran Buah-Buahan Lain-Lain Minuman Bumbu
6
7
8
9
Kontribusi Pangan (%) Aktual Target
100 99 1 100 21 74 1 4 100 71 29 100 47 53 100 0 100
100 99 1 100 22 70 4 4 100 71 29 100 50 50 100 0 100
Seperti yang terlihat pada Tabel 35 di atas, berdasarkan hasil survei konsumsi pangan yang telah dilakukan diketahui bahwa pada setiap kelompok pangan pasti terdapat satu atau dua komoditas pangan yang kontribusinya paling besar. Hal ini menunjukkan bahwa jenis pangan tersebut banyak dikonsumsi dan diterima oleh masyarakat secara luas. Pada kelompok padi-padian, kontribusi terbesar diberikan oleh beras sebagai makanan pokok penduduk yaitu sebesar 97%. Sedangkan pada kelompok umbi-umbian, kontribusi terbesar diberikan oleh ketela pohon sebesar 78%. Untuk kelompok pangan hewani, ikan memberikan kotribusi sebesar 46%, jenis ikan yang banyak dikonsumsi oleh penduduk adalah ikan lele, pindang dan ikan asin. Sementara itu pada kelompok kacang-kacangan, kacang kedelai adalah merupakan komoditas pangan dengan kontribusi terbesar yaitu 74%. Secara lebih lengkap besarnya masing-masing komoditas pangan pada setiap kelompok pangan dapat dilihat pada Tabel 35.
99
Dalam melakukan perencanaan penyediaan pangan pada tahun sasaran, kontribusi masing-masing komoditas pada setiap kelompok pangan akan ditentukan dengan mempertimbangkan kontribusi masing-masing komoditas tersebut pada tahun aktual serta potensi wilayah dalam memproduksi komoditas pangan tersebut. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk lebih memanfaatkan pangan lokal sehingga akan mengurangi ketergantungan Kabupaten Nganjuk terhadap wilayah lain dalam hal peyediaan pangan bagi penduduknya. Pada kelompok padi-padian, beras tetap merupakan komoditas utama, tetapi pada tahun sasaran kontribusinya akan dikurangi menjadi 95%, sedangkan jagung dari 0% menjadi 2% dan tepung terigu dari 2% menjadi 3%. Penurunan kontribusi beras dilakukan untuk sedikit mengurangi ketergantungan dan memberikan sebagian pada komoditas lain yaitu jagung. Potensi produksi jagung di Kabupaten Nganjuk sangat besar, tetapi sebagian besar digunakan untuk bahan baku industri dan tidak untuk konsumsi. Dengan potensi yang dimiliki, kontribusi jagung dalam konsumsi pangan penduduk berpeluang untuk ditingkatkan, tetapi karena kurang disukai paka konstribusi sebesar 2% dirasa cukup untuk komoditas ini. Selain itu, produksi beras di Kabupaten Nganjuk selama beberapa tahun terakhir menunjukkan laju yang terus meningkat, sehingga kontribusi sebesar 95% tidak akan terlalu sulit untuk dipenuhi. Tepung terigu adalah komoditas pangan yang tidak
dapat diproduksi sendiri oleh
Indonesia, sehingga semua
pemenuhannya berasal dari impor. Akan tetapi tingkat konsumsinya cukup tinggi, karena dapat diolah menjadi berbagai bentuk makanan seperti mie. Oleh sebab itu pada tahun sasaran kontribusi diperkirakan akan naik mengingat masyarakat sangat menggemari makanan olahan dari tepung terigu. Kelompok umbi-umbian, pada tahun sasaran kontribusi ketela pohon tetap paling dominant yaitu 78%, konsumsi penduduk yang cukup tinggi ini juga diimbangi dengan potensi produksi yang tinggi pula. Pada komoditas kentang, Kabupaten Nganjuk tidak memiliki produksi karena iklim di sana yang tidak sesuai untuk tanaman kentang. Sehingga kontribusi kentang akan diturunkan menjadi 6% untuk mengurangi impor komoditas ini dari luar wilayah. Sementara itu kontribusi ubi jalar dan talas pada tahun sasaran akan ditingkatkan masing-
100
masing menjadi 8%. Besarnya produksi talas di Kabupaten Nganjuk tidak tercatat secara resmi karena budidaya talas yang tidak dilakukan secara intensif, tetapi talas sangat mudah ditemui di pasar-pasar dan banyak ditemui di kebun para penduduk. Sehingga kontribusinya dapat ditingkatkan dengan asumsi bahwa produksi talas di sana sebenarnya cukup memadai jika dilihat dari besar kontribusi talas pada konsumsi pangan penduduk dalam kelompok pangan umbi-umbian. Pangan hewani merupakan kelompok pangan yang konsumsinya paling jauh dari ideal berdasarkan PPH. Dengan demikian penyediaan kelompok pangan ini perlu mendapat perhatian serius, karena dengan penyediaan yang cukup maka dapat membantu mendorong peningkatan konsumsi pangan hewani. Kontrobusi komoditas pangan dalam kelompok ini tidak banyak diubah pada tahun sasaran. Kontribusi daging ruminansia dan telur tetap sebesar 15% sedangkan ikan tetap 46%. Potensi produksi daging unggas (daging ayam), telur (telur ayam) dan ikan (ikan mujaer dan lele) di Kabupaten Nganjuk selama beberapa tahun terakhir menunjukkan laju peningkatan. Sehingga diperkirakan akan cukup mampu untuk memenuhi besarnya kontribusi yang telah ditetapkan tersebut. Sedangkan pada komoditas daging ruminansia, pada tahun sasaran penyediaannya juga masih tetap sama yaitu 4%, karena harga daging ruminansia seperti daging sapi, lebih mahal jika dibandingkan komoditas pangan hewani lainnya maka diperkirakan tingkat konsumsi penduduk terhadap daging ruminansia tidak akan jauh berbeda pada tahun-tahun yang akan dating kecuali terjadi tingkat perbaikan ekonomi yang cukup singnifikan. Selain itu tren produksi daging ruminansia di Kabupaten Nganjuk dari tahun ke tahun cenderung mengalami penurunan. Kontribusi susu pada kelompok pangan hewani cukup besar yaitu 20%. Meskipun produksi susu di Kabupaten Nganjuk tidak terlalu besar, tetapi konsumsi susu penduduk yang cukup besar ini merupakan hal yang positif. Sehingga pada tahun-tahun sasaran kontribusinya tidak akan diturunkan. Kelompok pangan minyak dan lemak, buah/biji berminyak, gula dan lainlain tidak mengalami perubahan pada kontribusi masing-masing komoditas pangan anggotanya, sehingga besar kontribusi pangan masing-masing komoditas tersebut akan disamakan antara tahun aktual dan tahun sasaran. Kelompok pangan yang mengalami perubahan adalah kelompok kacang-kacangan serta sayur dan
101
buah. Pada kelompok sayur dan buah kontribusi sayur-sayuran dan buah-buahan akan dianggap sama yaitu sebesar 50%. Pada kelompok pangan ini tidak terperinci menjadi komoditas-komoditas pangan, akan tetapi melalui hasil survei konsumsi pangan dapat diketahui bahwa jenis sayur-sayuran yang banyak dikonsumsi penduduk adalah kacang panjang, daun singkong, bayam, kangkung, terong dan beberapa jenis sayurlainnya. Sedangkan untuk buah-buahan yang paling sering dikonsumsi adalah pisang dan jeruk. Pada kelompok kacang-kacangan, kontribusi komoditas pangan paling besar adalah kacang kedelai. Dalam perencanaan penyediaan pangan yang dilakukan kontribusi kacang kedelai tetap paling besar yaitu sebesar 70%, akan tetapi kontribusi tersebut sengaja diturunkan mengingat tren produksinya dalam beberapa tahun terakhir cenderung mengalami penurunan. Meskipun demikian, selera penduduk yang cukup tinggi terhadap konsumsi kedelai membuat kontribusi kedelai pada perencanaan penyediaan pada tahun-tahun sasaran tetap paling tinggi dibandingkan jenis kacang-kacangan lainnya. Kacang merah termasuk komoditas pangan yang tidak diproduksi oleh Kabupaten Nganjuk, oleh karena itu kontribusinya pada tahun sasaran dibuat sama dengan tahun aktual yaitu sebesar 4%. Sedangkan kacang tanah dan kacang hijau kontribusinya akan ditingkatkan pada tahun sasaran, masing-masing akan menjadi 22% dan 4%. Kabupaten Nganjuk memiliki potensi produksi kacang tanah dan kacang hijau yang cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Keadaan ini merupakan peluang yang baik untuk dapat mendorong peningkatan konsumsi penduduk pada jenis pangan tersebut, selain itu penduduk juga cukup sering mengkonsumsinya.
102
Tabel 36 Target penyediaan pangan tahun 2008 dan 2010 serta gap penyediaan pangan terhadap tahun 2020 No 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kelompok Pangan Padi-padian Beras giling Jagung Pipilan Tepung Terigu Umbi-umbian Ketela Pohon Ubi Jalar Kentang Talas Pangan Hewani Daging Ruminansia Daging Unggas Telur Susu Ikan Minyak dan Lemak Minyak Kelapa Minyak Sawit Buah/Biji Berminyak Kelapa Kemiri Kacang-kacangan Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Kacang Merah Gula Gula Pasir Gula Kelapa Sayur dan Buah Sayur-Sayuran Buah-Buahan Lain-Lain Minuman Bumbu
Tahun 2008 Target Peny Gap (ton) (%)
Tahun 2010 Target Peny Gap (ton) (%)
Tahun 2020 Target Peny (ton)
107.169 2.256 3.384
-8,2 -8,2 -8,2
108.715 2.289 3.433
-6,8 -6,8 -6,8
116.700 2.457 3.685
20.808 2.134 1.601 2.134
-33,6 -33,6 -33,6 -33,6
22.507 2.308 1.731 2.308
-28,2 -28,2 -28,2 -28,2
31.358 3.216 2.412 3.216
1.709 4.273 4.273 5.127 13.104
-54,4 -54,4 -54,4 -54,4 -54,4
1.870 4.674 4.674 5.609 14.334
-50,2 -50,2 -50,2 -50,2 -50,2
3.752 9.381 9.381 11.257 28.767
0 9.312
-16,6
0 9.612
-13,9
0 11.167
11.001 111
148,8 148,8
9.945 100
124,9 124,9
4.422 45
3.595 11.440 654 654
4,5 4,5 4,5 4,5
3.571 11.362 649 649
3,8 3,8 3,8 3,8
3.440 10.944 625 625
3.666 1.498
-61,5 -61,5
4.607 1.882
-51,6 -51,6
9.515 3.886
34.424 34.424
-33,0 -33,0
37.153 37.153
-27,7 -27,7
51.370 51.370
0 1.011
-84,9
0 1.926
-71,3
0 6.700
Setelah merubah kontribusi masing-masing komoditas pangan pada tiap kelompok pangan dengan mempertimbangkan pola konsumsi dan potensi wilayah maka dapat diketahui target penyediaan pangan komoditas-komoditas pangan tersebut pada tahun 2008 dan 2010 seperti yang dapat dilihat pada Tabel 36. Seiring dengan jumlah penduduk yang akan terus bertambah maka total pangan yang harus disediaakan pun akan semakin meningkat, jumlah total pangan yang
103
harus disediakan pada tahun 2008 sebesar 279.763 ton dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 293.062 ton. Namun demikian untuk mencapai kondisi ideal pada tahun 2020, target penyediaan pangan tersebut masih terdapat kekurangan sebesar 26,3% pada tahun 2008 dan kekurangan sebesar 22,8% pada tahun 2010. Apabila dilihat dari skor PPHnya maka kelompok pangan hewani adalah yang paling besar gapnya dengan skor ideal. Sehingga target penyediaan pangan hewani patut menjadi perhatian serius dari berbagai pihak. Pada tahun 2008 target penyediaan pangan hewani adalah sebesar 28.486 ton dan pada tahun 2010 sebesar 31.161 ton. Komoditas pangan hewani yang paling besar target penyediaanya adalah ikan, hal ini dikarenakan masyarakat setempat cukup banyak mengkonsumsinya sedangkan yang paling rendah adalah daging ruminansia. Target penyediaan pangan kelompok kacang-kacangan dan biji/buah berminyak harus dikurangi sampai mencapai ideal pada tahun 2020. Pada tahun 2008 target penyediaan kacang-kacangan sebesar 16.343 ton dan menurun menjadi 16.231 ton pada tahun 2010. Kontribusi terbesar pada kelompok kacangkacangan diberikan oleh kedelai. Sedangkan untuk buah/biji berminyak target penyediaan pada tahun 2008 sebesar 11.113 ton dan menurun menjadi 10.046 ton pada tahun 2010, dimana kontribusi terbesarnya adalah dari kelapa.
104
Tabel 37 Target penyediaan pangan dari impor dan produksi dalam wilayah di Kabupaten Nganjuk pada tahun 2008 No 1
2
3
4
5
6
7
Target Penyediaan (ton)
Rasio Swasembada
Target Peny dr Impor (ton)
Target Peny dr Produksi (ton)
Padi-padian Beras giling Jagung Pipilan Tepung Terigu
107.169 2.256 3.384
1,01 0,99 0.00
23 3.384
106.403 2.234 -
Umbi-umbian Ketela Pohon Ubi Jalar Kentang Talas
20.808 2.134 1.601 2.134
1.00 1.00 0.00 0.00
1.601 2.134
20.808 2.134 -
Pangan Hewani Daging Ruminansia Daging Unggas Telur Susu Ikan
1.709 4.273 4.273 5.127 13.104
1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
-
1.709 4.273 4.273 5.127 13.104
Buah/Biji Berminyak Kelapa Kemiri
11.001 111
1.00 0.00
111
11.001 -
Gula Gula Pasir Gula Kelapa
3.666 1.498
0,80 1,00
733 -
2.933 1.498
Kacang-kacangan Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Kacang Merah
3.595 11.440 654 654
0,8 0,86 1.00 0.00
719 1.602 654
2.876 9.839 654 -
Sayur dan Buah Sayur-Sayuran Buah-Buahan
34.424 34.424
1.00 1.00
-
34.424 34.424
Kelompok Pangan
Penyediaan pangan pada suatu wilayah dapat berasal dari produksi dalam wilayah itu sendiri dan berasal dari perdagangan dengan wilayah lain atau impor. Informasi mengenai impor, produksi dan ekspor bahan pangan pada suatau wilayah dapat diperoleh melalui NBM. Apabila sebagian besar penyediaan pangan berasal dari produksi sendiri, maka rasio swasembadanya akan lebih besar. Jadi rasio swasembada adalah nilai yang menunjukkan besarnya kemampuan suatu wilayah untuk memenuhi penyediaan pangannya dari produksi sendiri. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari NBM Kabupaten Nganjuk tahun 2003 dan 2004 diketahui besarnya rasio swasembada komoditas-komoditas pangan utama anggota kelompok pangan dalam PPH. Dengan menggunakan
105
asumsi bahwa rasio swasembada di Kabupaten Nganjuk pada tahun-tahun yang akan datang akan selalu sama, maka dapat diperhitungkan besarnya target penyediaan pangan yang harus dipenuhi dari produksi sendiri maupun dari impor pada tahun 2008 dan 2010. Pada Tabel 37 hanya disajikan rasio sawasembada, target penyediaan dari impor, dan dari produksi sendiri dari kelompok-kelompok pangan yang mampu diproduksi di dalam wilayah. Untuk kelompok pangan gula, potensi yang dimiliki wilayah Nganjuk adalah produksi tebu sebagai bahan baku gula. Oleh sebab itu, maka diasumsikan bahwa potensi produksi tebu tersebut akan digunakan untuk memenuhi target penyediaan gula di dalam wilayah meskipun proses pengolahannya dilakukan oleh pabrik gula di luar wilayah. Dari tabel tersebut diketahui bahwa sebagian besar rasio swasembada komoditas-komoditas pangan tersebut adalah 1,00, hal ini berarti semua penyediaan pangan tersebut berasal dari produksi sendiri. Beberapa komoditas pangan yang penyediaannya juga berasal dari impor adalah jagung pipilan, kentang, talas, kemiri, kacang tanah, kacang kedelai dan kacang merah. Besarnya rasio swasembada masing-masing komoditas pangan tersebut secara lebih lengkap dapat dilihat pada tabel di atas. Sementara itu pada komoditas beras, rasio swasembadanya adalah sebesar 1,01 yang berarti bahwa Kabupaten Nganjuk mampu melakukan ekspor. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa pada tahun 2008 Kabupaten Nganjuk harus mampu setidaknya memproduksi beras sebesar 106.403 ton dan jagung pipil sebesar 2.234 ton, sehingga secara keseluruhan padi-padian yang harus disediaan dari produksi sendiri sebesar 108.637 ton. Pada kelompok umbi-umbian, sebagian besar juga harus dipenuhi dari produksi sendiri yaitu sebesar 22.942 ton. Sedangkan pada kelompok pangan hewani seluruh target penyediaan pangan akan dipenuhi dari produksi sendiri sebesar 22.170 ton. Sementara itu untuk kelompok kacang-kacangan sebesar 13.414 ton target penyediaan harus dipenuhi dari produksi sendiri dan sebesar 2.984 ton sisanya akan dipenuhi dari impor.
106
Tabel 38 Target penyediaan pangan dari impor dan produksi dalam wilayah di Kabupaten Nganjuk pada tahun 2010 No 1
2
3
4
5
6
7
Target Penyediaan (ton)
Rasio Swasembada
Target Peny dr Impor (ton)
Target Peny dr Produksi (ton)
Padi-padian Beras giling Jagung Pipilan Tepung Terigu
108.715 2.289 3.433
1,01 0,99 0.00
23 3.433
108.715 2.266 -
Umbi-umbian Ketela Pohon Ubi Jalar Kentang Talas
22.507 2.308 1.731 2.308
1.00 1.00 0.00 0.00
1.731 2.308
22.507 2.308 -
Pangan Hewani Daging Ruminansia Daging Unggas Telur Susu Ikan
1.870 4.674 4.674 5.609 14.334
1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
-
1.870 4.674 4.674 5.609 14.334
Buah/Biji Berminyak Kelapa Kemiri
9.945 100
1.00 0.00
100
9.945 -
Gula Gula Pasir Gula Kelapa
4.607 1.882
0,00 1,00
1.882
4.607 -
Kacang-kacangan Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Kacang Merah
3.571 11.362 649 649
0,8 0,86 1.00 0.00
714 1.591 649
2.857 9.771 649 -
Sayur dan Buah Sayur-Sayuran Buah-Buahan
37.153 37.153
1.00 1.00
-
37.153 37.153
Kelompok Pangan
Seperti pada tahun 2008, target penyediaan pangan pada tahun 2010 juga diperhitungkan dengan mempertimbangkan rasio swasembada yang sama. Pada tahun 2010 target penyediaan beras yang akan dipenuhi dari produksi sendiri sebesar 108.715 ton dan secara keseluruhan kelompok padi-padian sebesar 110.981 ton yang harus dipenuhi dari produksi sendiri. Hampir pada semua kelompok pangan jumlah pangan yang harus diproduksi meningkat jika dibandingkan tahun 2008, karena telah memperhitungkan pertambahan jumlah penduduk yang dilakukan dengan melakukan proyeksi dari jumlah penduduk tahun 2005. Namun ada dua kelompok pangan yaitu, buah/biji berminyak serta kacang-kacangan yang target penyediaan dari produksinya justru berkurang. Hal
107
ini berkaitan dengan penetapan pola pangan harapan yang menunjukkan bahwa tingkat konsumsi kedua jenis kelompok ini harus diturunkan agar bisa mencapai ideal, sehingga tingkat penyediaan untuk konsumsi pun harus dikurangi. Secara lebih lengkap besarnya target penyediaan yang harus dipenuhi dari produksi sendiri dan impor pada masing-masing komoditas pangan pada tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 38 di atas.
Kemampuan Wilayah untuk Memenuhi Kebutuhan Pangan Penduduk Menuju Ideal Berdasarkan rasio swasembada, dapat ditentukan target penyediaan pangan yang harapannya dapat dipenuhi dari produksi sendiri. Target tersebut dapat menjadi patokan besar produksi komoditas pangan yang harus dicapai pada tahun sasaran. Potensi pertanian dan perikanan yang dimiliki oleh Kabupaten Nganjuk cukup besar, hal tersebut sudah menjadi salah satu modal utama untuk mencapai target penyediaan pangan bagi kebutuhan konsumsi penduduknya. Berdasarkan kemampuan produksi aktual yang dicapai Kabupaten Nganjuk pada tahun 2005 bila dibandingkan dengan target penyedian pangan yang diharapkan dapat dipenuhi dari produksi sendiri maka ada beberapa komoditas yang produksinya saat ini telah mampu memenuhi target tersebut. Sehingga bila diasumsikan bahwa produksi pangan di Kabupaten Nganjuk pada tahun 2008 dan 2010 tetap sama dengan saat ini maka kondisi yang terjadi adalah seperti yang dapat dilihat pada Tabel 39 di bawah ini:
108
Tabel 39 Perbandingan produksi aktual pangan dengan target penyediaan pangan dari produksi sendiri pada tahun 2008 No 1
2
3
4
Kelompok Pangan
Produksi Aktual (ton)
Tahun 2008 Target Peny dr Prod (ton)
Pencapaian (%)
Keterangan
Padi-padian Padi (gabah) Jagung
388.628 185.130
168.359 2.234
231 8.288
Memenuhi Memenuhi
Umbi-umbian Ketela Pohon Ubi Jalar
81.927,0 3.298,0
20.808 2.134
394 155
Memenuhi Memenuhi
848 1.753 7.108 67 2.684
1.709 4.273 4.273 5.127 13.104
50 41 166 1,3 20
Tdk Memenuhi Tdk Memenuhi Memenuhi Tdk Memenuhi Tdk Memenuhi
Pangan Hewani Daging Ruminansia Daging Unggas Telur Susu Ikan Buah/Biji Berminyak Kelapa
3.755
11.001
34
Tdk Memenuhi
5
Gula Gula Pasir
17.987
2.933
613
Memenuhi
6
Kacang-kacangan Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau
3.419 14.156 1.413
2.876 9.839 654
119 144 216
Memenuhi Memenuhi Memenuhi
Sayur dan Buah Sayur-Sayuran Buah-Buahan
80.400 43.734
34.424 34.424
234 127
Memenuhi Memenuhi
7
Pada tahun 2008 produksi pangan aktual yang belum mampu memenuhi target penyediaan adalah kelapa pada pangan nabati dan daging ruminansia, daging unggas, susu, dan ikan untuk pangan hewani. Presentase pencapaian diatas 100% menunjukkan bahwa produksi aktual telah mampu memenuhi target peyediaan pangan dari produksi sendiri. Semakin besar presentase menunjukkan semakin besar pula surplus produksi aktual terhadap target penyediaan pangan. Tingkat pencapaian terbesar pada tahun 2008 dialami oleh jagung yaitu sebesar 8.288% sedangkan yang paling rendah adalah susu karena hanya sebesar 1,3%. Dari kondisi di atas dapat dilihat bahwa produksi pangan hewani di Kabupaten Nganjuk sangat kurang jika dibandingkan produksi pangan nabatinya. Satusatunya produksi aktual pangan hewani yang telah mampu memenuhi target adalah telur. Pada komoditas padi, bentuk hasil produksi biasanya dalam bentuk gabah sedangkan sedangkan bentuk bahan pangan siap konsumsi adalah beras.
109
Maka untuk perencanaan produksi ini bentuk beras akan dikonversi ke bentuk gabah dengan memperhatikan angka konversi gabah ke beras sebesar 63,2% (BBKP, 2005). Sehingga pada tahun 2008 target penyediaan yang diharapakan dapat dipenuhi dari produksi sendiri untuk padi (GKG) adalah sebesar 168.359 ton. Tabel 40 Perbandingan produksi aktual pangan dengan target penyediaan pangan dari produksi sendiri pada tahun 2010 No 1
2
3
4 5 6
6
Kelompok Pangan Padi-padian Padi (gabah) Jagung Umbi-umbian Ketela Pohon Ubi Jalar Pangan Hewani Daging Ruminansia Daging Unggas Telur Susu Ikan Buah/Biji Berminyak Kelapa Guka Gula Pasir Kacang-kacangan Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Sayur dan Buah Sayur-Sayuran Buah-Buahan
Tahun 2010 Pencapaian (%)
Produksi Aktual (ton)
Target Peny (ton)
388.628 185.130
172.017 2.266
226 8.170
Memenuhi Memenuhi
81.927,0 3.298,0
22.507 2.308
364 143
Memenuhi Memenuhi
848 1753 7.108 67 2684
1.870 4.674 4.674 5.609 14.334
45 38 152 1 19
Tdk Memenuhi Tdk Memenuhi Memenuhi Tdk Memenuhi Tdk Memenuhi
3.755
9.945
38
Tdk Memenuhi
17.987
4.607
390
Memenuhi
3.419,0 14.156,0 1.413
2.857 9.771 649
120 145 218
Memenuhi Memenuhi Memenuhi
80.400 43.734
37.153 37.153
216 118
Memenuhi Memenuhi
Keterangan
Jika dibandingkan dengan target penyediaan pangan yang diharapkan dapat dipenuhi dari produksi sendiri pada tahun 2010, maka produksi aktual pangan nabati telah mampu memenuhi target kecuali kelapa. Sedangkan untuk pangan hewani, tetap hanya produksi telur yang mampu memenuhi target. Keadaan ini menunjukkan bahwa untuk komoditas-komoditas pangan yang produksi aktualnya belum memenuhi target penyediaan pagan produksinya harus ditingkatkan pada tahun 2008 dan 2010 tidak ingin terlalu bergantung dengan suplai dari wilayah lain.
110
Apabila dilihat dari tren produksi berbagai komoditas pangan selama sembilan sampai 10 tahun terakhir sebagian besar produksi pertanian, peternakan dan perikanan mengalami peningkatan. Hanya pada produksi daging hewan ruminansia saja yang semuanya mengalami penurunan. Keadaan ini harus menjadi perhatian serius dari berbagai pihak terkait mengingat konsumsi pangan hewani penduduk Kabupaten Nganjuk masih rendah dan perlu untuk ditingkatkan, maka penyediaan kelompok pangan hewani juga harus ditingkatkan dari tahun ke tahun. Tabel 41 Target produksi Disperta dan proyeksi produksi komoditas tanaman pangan pada tahun 2008 dan 2010 di Kabupaten Nganjuk No 1 2 3 4 5 6 7
Komoditas Padi Jagung Ketela Pohon Ubi Jalar Kacang Tanah Kedelai Kacang Hijau
Produksi Tahun 2008 (ton) Target Proyeksi Gap Disperta 383.382 392.065 -8.683 157.748 190.793 -33.045 81.314 73.148 8.166 3.733 2.284 1.449 1.749 4.113 -2.364 14.552 7.542 7.010 1.254 1.743 -489
Produksi Tahun 2010 (ton) Target Proyeksi Gap Disperta 397.249 399.367 -2.118 166.506 205.697 -39.191 99.900 70.800 29.100 5.094 1.845 3.249 2.956 4.742 -1.786 17.831 4.265 13.566 1.998 1.990 8
Semua komoditas pangan di atas ditargetkan mengalami kenaikan produksi dari tahun 2008 sampai 2010. Padahal jika dilihat dari tren produksi selama sepuluh tahun terkahir, produksi kedelai, ketela pohon dan ubi jalar mengalami penurunan. Keadaan ini tentu membutuhkan usaha yang lebih keras untuk meningkatkan produksi komoditas-komoditas yang tren produksinya menurun dibandingkan komoditas lainnya yang mengalami kecenderungan peningkatan produksi. Salah satu penyebab yang menyebabkan turunnya produksi kedelai selama beberapa tahun terakhir di Nganjuk adalah semakin berkurangnya petani yang tertarik menanam kedelai, karena berdasarkan hasil survei biaya usahatani yang dibutuhkan untuk budidaya kedelai pada luasan yang sama lebih besar jika dibandingkan dengan jenis kacang-kacangan yang lain sehingga jumlah keuntungan yang diterima petani kurang maksimal. Banyaknya kedelai impor yang masuk ke pasar domestik Indonesia membuat kedelai produksi lokal sulit bersaing karena harga kedelai impor cenderung lebih murah. Sedangkan untuk komoditas yang lain seperti padi, jagung kacang tanah dan kacang hijau, tren produksinya selama beberapa tahun terakhir memang mengalami peningkatan, sehingga yang diperlukan adalah usaha untuk terus
111
menjaga laju peningkatan tersebut. Target produksi yang ditetapkan oleh pihak Dinas Pertanian tersebut dilakukan melalui salah satunya adalah usaha untuk meningkatkan produktivitas. Peningkatan produktivitas dapat dilakukan melalui penggunaan bibit unggul serta perbaikan tata cara budidaya. Selama ini, sebagian petani memiliki kecenderungan untuk meningkatkan produktivitas dengan cara penambahan pupuk. Hal ini sebenarnya kurang bijaksana, karena tanah memiliki tingkat kejenuhan terhadapa pupuk dan akan menyebabkan petani semakin tergantunga pada pupuk, terutama pupuk anorganik buatan pabrik yang akhirakhir ini harganya semakin mahal dan langka keberadaanya di pasar. Pada Tabel 41 dapat dilihat bahwa semua komoditas tanaman pangan yang tren produksinya meningkat pada tahun 2008 dan 2010 produksinya diproyeksikan mampu memenuhi target produksi yang dicanangkan oleh Dinas Pertanian setempat, kecuali kacang hijau. Proyeksi produksi kacang hijau pada tahun 2010 tidak mampu memenuhi target produksi yang ditetapkan oleh Disperta. Sedangkan
pada komoditas yang tren produksinya
diproyeksikan bahwa produksinya
menurun
pada tahun 2008 dan 2010 tidak mampu
memenuhi target yang disiapkan. Nilai gap yang positif menunjukkan bahwa surplus proyeksi produksi terhadap target produksi sedangkan nilai minus menunjukkan defisit proyeksi produksi terhadap target produksi. Apabila target produksi yang ditetapkan oleh pihak Dinas Pertanian setempat berada dibawah hasil proyeksi produksi maka dapat dikatakan bahwa penentuan target produksi tersebut telah mempertimbangkan sumberdaya lokal. Karena proyeksi produksi dilakukan dengan melihat tren produksi selama 10 tahun terakhir sehingga disumsikan sudah memperhitungkan adanya perubahanperubahan yang mempengaruhi produksi, seperti luas panen, luas tanam, produktivitas, daya dukung lingkungan dan kebijakan pertanian. Akan tetapi apabila target produksi yang ditetapkan jauh di atas hasil proyeksi produksi, maka penetapan target produksi tersebut dianggap belum mempertimbangkan potensi lokal yang dimiliki. Sehingga untuk perencanaan produksi akan digunakan angka hasil proyeksi.
112
Untuk komoditas-komoditas pangan yang lain pihak dinas terkait tidak menetapkan target atau sasaran produksi pada tahun-tahun yang akan datang. Sehingga
akan
digunakan
hasil
dari
persamaan
tren
produksi
untuk
memproyeksikan produksi pangan tersebut mulai tahun 2007 sampai tahun 2010. Hasil proyeksi tersebut akan disumsikan sebagai potensi produksi yang akan dicapai pada tahun sasaran. Secara lebih lengkap hasil proyeksi produksi dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 42 Proyeksi produksi pangan hewani, kelapa serta sayur dan buah pada tahun 2007 sampai 2010 di Kabupaten Nganjuk No
Kelompok Pangan
2007
Proyeksi Produksi (ton) 2008 2009
1.571 8.664 4.396 189 2.979
1.204 9.285 4.670 193 3.120
941 9.905 4.945 197 3.262
859 10.695 5.220 201 3.404
3.366
3.483
3.600
3.717
10.930
10.184
9.438
8.692
87.663 62.248
93.510 63.244
99.359 64.240
105.205 65.234
2010
1
Pangan Hewani Daging Ruminansia Daging Unggas Telur Susu )* Ikan 2 Buah/Biji Berminyak Kelapa 3 Gula Gula Pasir 4 Sayur dan Buah Sayur-Sayuran Buah-Buahan Keterangan : )* = ribu liter
Pada Tabel 42 hasil proyeksi produksi tidak disajikan menurut komoditas pangan, tetapi berdasarkan sub kelompok pangan seperti yang terdapat dalam pembagian dalam pola pangan harapan, kecuali kelapa dan gula. Produksi pada sub kelompok pangan tersebut merupakan jumlah dari seluruh komoditas pangan anggota sub kelompok pangan tersebut. Pada tahun 2008 produksi kelompok daging ruminansia dengan jumlah produksi sebesar 1.204 ton akan mengalami penurunan menjadi 859 ton pada tahun 2010. Daging ruminansia dan tebu (kristal gula) adalah kelompok pangan yang produksinya diproyeksikan akan mengalami penurunan. Pada sub kelompok pangan daging ruminansia hal ini disebabkan tren perkembangan produksi semua komoditas anggotanya menurun. Sedangkan untuk kelompok sayur-sayuran dan buah-buahan ada beberapa komoditas pangan anggotanya yang memiliki tren produksi menurun, tetapi jumlah penurunan tersebut dapat tertutupi oleh komoditas lainnya yang tren produksinya meningkat
113
sehingga secara keseluruhan produksinya diproyeksikan akan meningkat dari tahun 2008 sampai 2010. Jangka Pendek Tahun 2008 Potensi produksi yang dimaksud pada Tabel 43 untuk komoditas tanaman pangan utama diambil dari perbandingan antara target produksi yang ditetapkan oleh Dinas Pertaniandan proyeksi produksi berdasarkan tern laju produksi per tahun. Apabila target produksi lebih rendah dari proyeksi produksi maka yang diambil sebagai potensi produksi adalah target produksi. Sebaliknya jika target produksi yang ditetapkan nilainya diatas hasil proyeksi maka yang dianggap sebagai potensi produksi adalah hasil proyeksi. Berikutnya besarnya potensi produksi dibandingkan dengan target penyediaaan pangan yang diharapkan dapat dipenuhi dari produksi sendiri dilakukan untuk mengetahui apakah hasil potensi produksi yang dimiliki oleh Kabupaten Nganjuk telah mampu memenuhi target tersebut. Seperti yang terlihat pada Tabel 43, ada beberapa komoditas pangan potensi produksinya belum memenuhi target penyediaan. Komoditas-komoditas tersebut adalah susu, ikan, kelapa, kacang tanah dan kedelai. Sementara potensi produksi yang telah mencapai target adalah kelompok padi-padian, umbi-umbian, gula pasir, kacang hijau, sayur dan buah serta sub kelompok pangan hewani telur, daging ruminansia, dan daging unggas. Keadaan ini terjadi dengan asumsi bahwa pada tahun 2008 Kabupaten Nganjuk mampu memproduksi pangan sesuai potensi produksi tersebut. Potensi produksi menggambarkan daya dukung wilayah Kabupaten Nganjuk dalam hal produksi pangan pada tahun-tahun yang akan datang tanpa memperhitungkan adanya kejadian luar biasa yang dapat mempengaruhi produksi.
114
Tabel 43 Perbandingan antara potensi produksi dan target penyediaan pangan dari produksi tahun 2008 di Kabupaten Nganjuk No
Kelompok Pangan
Potensi Produksi (ton)
Target Peny dari Prod (ton)
383.3821 157.7481
Gap (ton)
Keterangan
168.359 2.234
215.023
Memenuhi
155..514
Memenuhi
73.1482 2.2842
20.808 2.134
52.340 150
Memenuhi Memenuhi
1.204 9.285 4.670 193 3.120
1.709 4.273 4.273 5.127 13.104
-505 5.012 397 -4.934 -9.984
Tdk Memenuhi Memenuhi Memenuhi Tdk Memenuhi Tdk Memenuhi
3.483
11.001
-7.818
Tdk Memenuhi
10.184
2.933
7.251
Memenuhi
1.7491 7.5422 1.2541
2.876 9.839 654
-1.127 -2.297 600
Tdk Memenuhi Tdk Memenuhi Memenuhi
93.510 63.244 Keterangan : 1 = target produksi Disperta 2 = proyeksi produksi
34.424 34.424
59.086 28.820
Memenuhi Memenuhi
1
2
3
4 5 6
7
Padi-padian Padi (GKG) Jagung Umbi-umbian Ketela Pohon Ubi Jalar Pangan Hewani Daging Ruminansia Daging Unggas Telur Susu Ikan Buah/Biji Berminyak Kelapa Gula Gula Pasir Kacang-kacangan Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Sayur dan Buah Sayur-Sayuran Buah-Buahan
Pada tahun 2008 target penyediaan padi (GKG) yang diharapkan dipenuhi dari produksi sendiri sebesar 168.359 ton sedangkan potensi produksi dimiliki Kabupaten Nganjuk sebesar 383.382 ton. Potensi produksi tersebut mampu memenuhi target penyediaan bahkan terdapat surplus sebesar 215.023 ton. Surplus ini dapat menjadi komoditas ekspor ke luar wilayah, mengingat selama ini Kabupaten Nganjuk merupakan salah satu lumbung beras di Jawa Timur. Apabila dilihat dari rasio swasembada sebesar 1,01 maka Kabupaten Nganjuk selqmq ini telah mampu mengekspor padi ke wilayah lain. Berdasarkan data Dewan Ketahanan Pangan tahun 2006 Jawa Timur menyumbang 17,8% produksi beras nasional. Apabila disumsikan pada tahun 2008 kontribusi Jawa Timur tetap, maka dari target produksi padi (GKG) nasional sebesar 55.767.000 ton Jawa Timur akan menyumbang sebesar 9.926.526 ton. Dengan potensi produksi padi sebesar 383.382 ton maka Kabupaten Nganjuk memberikan kontribusi sebesar 4% terhadap produksi padi Jawa Timur pada tahun 2008.
115
Pada komoditas-komoditas pangan lain, yang potensi produksinya telah melampuai target penyediaan pangan yang diharapkan dapat dipenuhi dari produksi sendiri dapat menjadi komodoti ekspor bagi Kabupaten Nganjuk. Akan tetapi pada komoditas pangan yang potensi produksinya belum memenuhi, maka harus menutupi kekurangan tersebut dengan melakukan impor. Komoditas pangan yang potensi produksi pada tahun 2008 tidak mampu memenuhi target adalah daging ruminansia, susu, ikan, kelapa, kacang tanah dan kedelai. Gap terbesar dialami oleh ikan, dimana kekurangannya adalah sebesar 9.984 ton. Sedangkan gap paling kecil adalah untuk komoditas daging ruminansia, yaitu hanya sebesar 505 ton. Tabel 44 Kebutuhan impor dan kemampuan ekspor Kabupaten Nganjuk pada tahun 2008 No
Kelompok Pangan
Potensi Produksi (ton)
Target Penyediaan Dari Dari Produksi Impor (ton) (ton)
Padi-padian Padi 383.3821 168.359 Jagung 157.7481 2.234 23 2 Umbi-umbian Ketela Pohon 20.808 73.1482 2.134 Ubi Jalar 2.2842 3 Pangan Hewani Daging Ruminansia 1.2042 1.709 4.273 Daging Unggas 9.2852 Telur 4.6702 4.273 5.127 Susu 1932 Ikan 3.1202 13.104 4 Buah/Biji Berminyak Kelapa 3.4832 11.001 5 Gula Gula Pasir 10.1842 2.933 6 Kacang-kacangan Kacang Tanah 2.876 719 1.7491 9.839 1.602 Kacang Kedelai 7.5422 Kacang Hijau 654 1.2541 7 Sayur dan Buah Sayur-Sayuran 93.5102 34.424 Buah-Buahan 63.2442 34.424 Keterangan : 1 = target produksi dari Disperta Kab. Nganjuk 2 = proyeksi produksi berdasarkan tren linier
Kebutuhan Impor (ton)
Kemampuan Ekspor (ton)
-
215.023 155.491
-
52.340 150
505 4.934 9.984
5.012 397 -
7.518
-
-
7.251
1.846 3.899 -
600
-
59.086 28.820
1
116
Untuk komditas ikan perlu mendapat perhatian serius, karena apabila dilihat dari pola konsumsi pangannya penduduk Kabupaten Nganjuk lebih banyak memilih untuk mengkonsumsi ikan daripada jenis pangan hewani lainnya seperti daging ruminansia dan daging unggas. Penduduk banyak memilih ikan, terutama ikan asin karena harganya yang lebih murah. Karena Kabupaten Nganjuk tidak memiliki wilayah pantai dan potensi perikanannya hanya ikan air tawar, maka untuk memenuhi target penyediaan ikan tetap harus mendatangkan dari luar wilayah. Apabila diasumsikan bahwa pada tahun 2008 tingkat produksi pangan di Kabupaten Nganjuk sesuai dengan potensi produksi seperti terlihat pada Tabel 43, maka mereka memiliki kemampuan ekspor padi (GKG) sebesar 215.023 ton. Pada komoditas jagung juga terlihat bahwa potensi produksi telah jauh melampaui target penyediaan jagung yang diharapkan dapat dipenuhi dari produksi sendiri. Perhitungan dengan memperhatikan besarnya rasio swasembada diketahui bahwa pada tahun tersebut sebesar 23 ton kebutuhan jagung dipenuhi dari impor. Tetapi apabila melihat produksi jagung pada tahun 2008 yang sangat besar maka pemenuhan kebutuhan pangan dari impor tidak perlu untuk dilakukan. Bahkan Kabupaten Nganjuk memiliki kemampuan ekspor jagung sebesar 155.491 ton. Pada kelompok umbi-umbian, baik komoditas ketela pohon dan ubi jalar keduanya memiliki peluang untuk dijual ke luar wilayah. Sedangkan pada komoditas gula pasir, potensi produksi tebu yang hasilnya disetarakan kristal gula telah mampu memenuhi target penyediaan gula pasir pada tahun 2008 bahkan masih terdapat surplus sebesar 7.251 ton. Keadaan ini menunjukkan bahwa Kabupaten Nganjuk merupakan salah satu daerah pensuplai bahan baku bagi perusahaan gula yang terdapat di Kabupaten Kediri. Sedangkan pada kelompok pangan hewani, berdasarkan rasio swasembada yang selama ini terjadi di Kabupaten Nganjuk, semua target penyediaannya diharapkan dapat terpenuhi dari produksi sendiri. Pada sub kelompok pangan susu terdapat kekurangan sebesar 4.934 ton, dan ikan sebesar 9.984 ton. Pada komoditas susu, jika disumsikan bahwa 1 liter susu adalah sama dengan 1 kg susu, maka besar produksi yang diproyeksikan dicapai pada tahun 2008 hanya sebesar 193 ton. Sebenarnya konsumsi susu penduduk sebagian besar adalah
117
merupakan susu bubuk atau kental manis yang memang harus diperoleh dari luar wilayah. Kemungkinan data mengenai besarnya volume perdagangan susu tidak tercatat dalam NBM, sehingga seakan-akan semua penyediaan susu untuk konsumsi penduduk semua berasal dari produksi sendiri. Kekurangan produksi yang diproyeksikan tercapai pada tahun 2008 untuk memenuhi target penyediaan pangan dapat dipenuhi dengan cara mengimpor komoditas pangan tersebut dari luar wilayah. Komoditas pangan yang lain seperti daging unggas, telur, kacang hijau, sayur-sayuran dan buah-buahan, semua produksinya pada tahun 2008 telah mampu memenuhi target penyediaan bahkan berlebih sehingga perpeluang untuk dijual ke wilayah lain. Sedangkan untuk komoditas kelapa, kacang tanah dan kedelai produksinya masih kurang sehingga harus dilakukan impor dari luar wilayah. Nilai gap antara potensi paroduksi dan target penyediaan dari produksi sendiri pada tahun 2008 secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 44. Untuk melakukan produksi pangan dibutuhkan input yang memadai agar produksi yang tercapai sesuai dengan harapan. Input untuk produksi pangan tanaman pangan antara lain adalah benih/bibit, alat-alat pertanian, pupuk, obatobatan, tenaga kerja dan lahan. Lahan adalah merupakan salah satu faktor produksi yang sifatnya tetap, bahkan lebih mungkin mengalami penurunan baik dalam hal daya dukung maupun luasannya. Oleh sebab itu ketersediaan lahan untuk produksi pangan harus mendapat perhatian serius. Produksi pertanian tujuan utamanya diharapkan adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan penduduk. Sehingga untuk tahun 2008 akan diperhitungkan kebutuhan luas lahan untuk memproduksi pangan minimal bagi pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan penduduk. Pada komoditas-komoditas pangan yang berdasarkan rasio swasembada membutuhkan impor tetapi berdasarkan potensi produksi ternyata mampu memenuhi semua target penyediaan pangan dari produksi sendiri maka besar kebutuhan lahan akan diperhitungkan sebesar target penyediaan. Sementara untuk komoditas pangan yang potensi produksinya belum memenuhi target penyediaan, maka akan diambil adalah nilai potensi produksi.
118
Tabel 45 Kebutuhan luas tanam produksi pangan minimal untuk memenuhi target penyediaan pangan tahun 2008 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kelompok Pangan Padi Jagung Ketela Pohon Ubi Jalar Kelapa Tebu )* Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Sayur-Sayuran Kacang Panjang Buah-Buahan Pisang )**
Produksi Pangan (ton)
Produktivitas Aktual (ton/ha)
Kebutuhan Luas Tanam (ha)
168.3591 2.2571 20.8081 2.1341 3.4832 2.9331 1.7492 7.5422 6541
5,6 5,3 17,5 10,5 1,71 5,2 2,8 1,45 0,98
30.064 426 1.189 203 2.037 564 625 5.201 667
34.4241
5,8
5.935
34.4241
16,96
2.030
Keterangan : )* =produktivitas (kristal gula/ha) 1 = target penyediaan 2 = potensi produksi
Apabila diasumsikan bahwa produktivitas masing-masing komoditas pangan tersebut sama dengan keadaan aktual yaitu tingkat produktivitas tahun 2005, maka dapat diketahui kebutuhan luas tanamnya. Produktivitas padi di Kabupaten Nganjuk lebih besar dibandingkan dengan nasional pada tahun yang sama (4,56 ton/ha). Pada komoditas padi dan jagung nilai minimal produksi adalah sebesar target penyedian karena potensi produksinya lebih tinggi. Jumlah produksi padi terbesar dibandingkan komoditas pangan lainnya maka kebutuhan luas tanamnya pun paling besar yaitu sebesar 30.064 ha. Sedangkan untuk komoditas jagung, besarnya target penyediaan jagung untuk konsumsi pangan sangat rendah jika dibandingkan dengan potensi produksi. Maka luas tanam untuk memenuhi produksi jagung tersebut hanya sebesar 426 ha. Sementara itu untuk komoditas kelapa, kacang tanah, dan kedelai produksi pangan yang digunakan adalah potensi produksi. Pada komoditas kacang-kacangan, kebutuhan luas tanam yang paling besar adalah untuk kedelai yaitu sebesar 5.201 ha, karena produksi minimal kedelai adalah yang paling besar. Besar produksi pangan minimal untuk mencapai target penyediaan untuk komoditas kelapa, kacang tanah dan kedelai menggunakan nilai potensi produksi karena potensi produksi ketiga komoditas tersebut dibawah nilai target penyediaan.
119
Untuk komoditas sayur-sayuran akan digunakan acuan jenis sayur kacang panjang sedangkan untuk buah-buahan digunakan acuan pisang. Kacang panjang dipilih dengan alasan merupakan jenis sayuran yang sering dikonsumsi masyarakat dan potensi produksinya cukup besar. Begitu pula dengan pisang, karena jumlah produksi pisang adalah yang paling besar dibandingkan komoditas buah lainnya. Produksi minimal untuk memenuhi kebutuhan pangan pada sayur dan buah digunakan nilai target penyediaan, sehingga pada tahun 2008 kebutuhan luas tanam kacang panjang adalah sebesar 5.935 ha dan luas tanam untuk pisang seluas 2.030 ha. Tabel 46 Perbandingan antara kebutuhan dan ketersediaan luas tanam untuk produksi minimal pangan nabati pada tahun 2008 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Komoditas Pangan
Kebutuhan Luas Tanam (ha)
Padi Jagung Ketela Pohon Ubi Jalar Tebu Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Sayur-Sayuran Kacang Panjang Buah-Buahan
30.064 426 1.189 203 564 625 5.201 667
Pisang
2.030 2.037
Kelapa
Ketersediaan Luas Tanam (ha) 69.680 42.230 9.359 6.239 42.230
Gap (ha)
Keterangan
39.616 41.804
Memenuhi Memenuhi
7.967
Memenuhi
4.202
Memenuhi
35.737
Memenuhi
11.531
Memenuhi
5.935 15.598
Dalam memperhitungkan ketersediaaan lahan untuk memenuhi kebutuhan luas tanam komoditas pangan nabati mempertimbangkan pergiliran tanam yang sering dilakukan oleh para petani di daerah setempat serta intensitas tanm masingmasing komoditas. Komoditas-komoditas pangan di atas dibagi menjadi komoditas pangan yang diusahakan di lahan sawah dan di lahan kering. Perhitungan lebih rinci mengenai ketersediaan luas tanam dapat dilihat pada Lampiran 5. Lahan yang tersedia untuk produksi pangan minimal sesuai potensi wilayah bagi penyediaan pangan pada tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 46. Semua kebutuhan luas tanam untuk masing-masing komoditas pangan terpenuhi, bahkan masih terdapat kelebihan lahan. Ketersediaan luas tanam yang paling banyak kelebihannya adalah untuk tanaman jagung, yaitu terdapat sisa sebesar
120
41.804 ha. Hal ini menunjukkan bahwa potensi lahan yang tersedia untuk produksi jagung masih sangatluas sehingga Kabupaten Nganjuk dapat memproduksi jagung diluar untuk pemenuhan kebutuhan pangan bagi penduduknya. Ketersediaan lahan untuk usahatani padi juga masih luas, terdapat sisa sebesar 39.616 ha. Sisa lahan tersebut dapat digunakan untuk mengusahakan padi yang nantinya akan menjadi surplus produksi yang dapat dijual ke luar wilayah. Keadaan yang sama juga dialami oleh komoditas yang lain, lahan yang diperuntukkan bagi usahatani tebu adalah lahan perkebunan sehingga selain untuk budidaya tebu lahan tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk mengusaakan komoditas perkebunan lainnya seperti kopi. Sedangkan yang diperuntukkan bagi produksi buah-buahan (pisang) dan kelapa adalah lahan pekarangan. Ketersediaan lahan pekarangan yang cukup luas tersebut harus dimanfaatkan dengan baik karena pekarangan dapat berperan sebagai tempat cadangan pangan bagi rumah tangga dengan cara menanaminya dengan tanaman-tanaman yang dapat menambah konsumsi pangan rumah tangga. Pada tahun 2008, potensi produksi kelapa, kacang tanah dan kedelai tidak memenuhi target penyediaan. Namun apabila dilihat dari ketersediaan lahan, sebenarnya lahan untuk budidaya ketiga komoditas pangan tersebut masih tersisa. Sehingga usaha untuk meningkatkan produksi komoditas tersebut masih dapat dilakukan. Produksi pangan sesuai potensi produksi diasumsikan tercapai apabila semua faktor produksi bergerak searah dengan tren produksi. Misalnya pada komoditas kedelai, produktivitas, luas tanam, dan luas panennya cenderung mengalami penurunan. Apabila pada tahun 2008 produktivitas, luas tanam dan luas panen kedelai dapat dinaikkan maka produksi kedelai juga ada kemungkinan lebih besar daripada potensi produksi.
121
Jangka Menengah Tahun 2010 Kondisi pada tahun 2010 tidak terlalu jauh berbeda dengan tahun 2007. Pada tahun 2010, potensi produksi untuk padi diambil dari target produksi yang ditetapkan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Nganjuk. Selain padi, besarnya potensi produksi yang menggunakan target produksi dari dinas Pertanian adalah jagung, dan kacang tanah. Sedangkan untuk komoditas pangan yang lain potensi produksinya menggunakan angka hasil proyeksi berdasarkan garis persamaan tren linier produksi. Pada Tabel 44 dapat dilihat perbandingan antara potensi produksi dan target penyediaan pangan yang diharapkan dapat dipenuhi dari produksi sendiri pada tahun 2010. Komoditas-komoditas pangan utama seperti padi, jagung, dan ketela pohon potensi produksi menunjukkan tetap lebih besar dibandingkan dengan target penyediaan. Sementara itu, ubi jalar hasil potensi produksinya tidak mampu memenuhi target penyediaan, terdapat defisit sebesar 463 ton. Untuk komoditas padi dan jagung gap antara potensi produksi dan target penyediaan pangan semakin meningkat, karena peningkatan target produksi yang ditetakan Dinas Pertanian Kabupaten Nganjuk dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan pangan. Dimana surplus yang paling besar dialami oleh padi sebesar 225.232 ton. Apabila target nasional produksi padi pada tahun 2010 sebesar 56.721.000 ton dan Jawa Timur memberikan kontribusi sebesar 10.096.338 ton (17,8%), maka potensi produksi Kabupaten Nganjuk memberikan kontribusi sebesar 4% terhadap produksi padi (GKG) Jawa Timur. Besar kontribusi produksi padi Kabupaten Nganjuk terhadap Jawa Timur sama sejak tahun 2000.
122
Tabel 47 Perbandingan antara potensi produksi dan target penyediaan pangan dari produksi sendiri tahun 2010 di Kabupaten Nganjuk No 1
2
3
Target Peny dari Prod (ton)
(ton)
Keterangan
Padi-padian Padi (GKG) Jagung
397.249 166.506
172.017
225.232
Memenuhi
2.266
164.240
Memenuhi
Umbi-umbian Ketela Pohon
70.800
22.507
48.293
Ubi Jalar Pangan Hewani
1.845
2.308
-463
Memenuhi Tdk Memenuhi
Daging Ruminansia Daging Unggas Telur
859 10.695 5.220
1.870 4.674 4.674
-1.011 6.021 546
201
5.609
-5.408
Ikan Buah/Biji Berminyak
3.404
14.334
-10.930
Tdk Memenuhi Memenuhi Memenuhi Tdk Memenuhi Tdk Memenuhi
Kelapa
3.717
9.945
-6.228
Tdk Memenuhi
8.692
4.607
4.085
Memenuhi
2.956
2.857
99
4.265 1.990
9.771 649
-5.506 1.341
Memenuhi Tdk Memenuhi Memenuhi
105.205 65.234
37.153 37.153
68.052 28.081
Memenuhi Memenuhi
Susu
4
5 6
7
Gap
potensi Produksi (ton)
Kelompok Pangan
Gula Gula Pasir Kacang-kacangan Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Sayur dan Buah Sayur-Sayuran Buah-Buahan
Produksi jagung di Kabupaten Nganjuk yang cukup besar ternyata sebagian besarnya tidak dipergunakan untuk konsumsi penduduk. Komoditas jagung lebih banyak digunakan sebagai bahan baku industri, baik pangan maupun pakan serta digunakan sebagai bibit. Petani jagung di Kabupaten Nganjuk banyak yang melakukan kerjasama dengan perusahaan benih BISI 2, yaitu dengan cara perusahaan tersebut menyediaan saprodi untuk budidaya jagung kemudian hasil panen petani dijual ke perusahaan tersebut. Sementara itu pada kelompok pangan hewani, sub kelompok daging ruminansia yang pada tahun 2007 potensi produksinya masih mampu memenuhi target penyediaan, pada tahun 2010 menjadi tidak mampu memenuhi target tersebut. Terdapat kekurangan sebesar 1.011 ton, hal ini disebabkan karena potensi produksi yang ditetapkan berdasarkan tren produksi mengalami
123
penurunan, sedangkan target penyediaanya harus ditingkatkan. Untuk sub kelompok pangan hewani lainnya kondisinya sama dengan tahun 2007, pada sub kelompok pangan yang menagalami kelebihan jumlah gapnya semakin besar begitu juga sebaliknya. Pada sub kelompok pangan yang mengalami kelebihan dapat dijadikan komoditas perdagangan dengan dijual keluar wilayah, sedangkan yang mengalami kekurangan harus dipenuhi dari impor. Pada komoditas kelapa, proyeksi produksi pada tahun 2010 tetap belum mampu memenuhi target penyediaan walaupun tren produksinya mengalami kenaikan dan target penyediaannya mengalami penurunan. Sedangkan pada komoditas kedelai, defisit yang dialami menjadi semakin meningkat yaitu sebesar 5.506 ton hal ini disebabkan karena potensi produksi yang berdasarkan hasil proyeksi menunjukkan tren menurun.
Karena target penyediaan kelompok
kacang-kacangan menurun, maka kacang tanah dan kacang hijau yang tren produksinya menunjukkan peningkatan surplusnya terhadap target penyediaan menjadi semakin besar. Sementara itu, sayuran dan buah-buahan potensi produksi yang berdasarkan hasil proyeksi produksi dapat memenuhi target penyediaan dengan tingkat surplus yang semakin meningkat dibandingkan tahun 2007. Apabila besarnya produksi pangan di Kabupaten Nganjuk pada tahun 2010 sesuai dengan potensi produksi seperti pada Tabel 47, maka komoditas ubi jalar dan daging ruminansia yang pada tahun 2007 tidak membutuhkan impor pada tahun 2010 menjadi membutuhkan impor untuk memnuhi target penyediaannya. Kebutuhan impor untuk ubi jalar adalah sebesar 463 ton, sedangkan daging ruminansia sebesar 1.011 ton. Sementara itu kebutuhan impor kacang tanah dapat dikurangi dari 2.029 ton pada tahun 2007 menjadi hanya 615 ton pada tahun 2010. Hal ini disebakan karena target penyediaan kelompok kacang-kacangan yang harus diturunkan untuk mencapai tingkat konsumsi ideal berdasarkan PPH. Potensi produksi ubi jalar pada tahun 2010 didasarkan pada hasil proyeksi produksi, tren produksi ubi jalar selama sepuluh tahun terakhir cenderung mengalami penurunan sedangkan target penyediaannya semakin bertambah sehingga potensi produksi tidak mampu memenuhi target penyediaan. Keadaan yang sama juga dialami oleh sub kelompok pangan daging ruminansia.
124
Tabel 48 Kebutuhan impor dan kemamapuan ekspor Kabupaten Nganjuk pada tahun 2010 No 1
2
3
4 5 5
6
Kelompok Pangan Padi-padian Padi (GKG) Jagung Umbi-umbian Ketela Pohon Ubi Jalar Pangan Hewani Daging Ruminansia Daging Unggas Telur Susu Ikan Buah/Biji Berminyak Kelapa Gula Gula Pasir Kacang-kacangan Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Sayur dan Buah Sayur-Sayuran Buah-Buahan
Potensi Produksi (ton)
Target Penyediaan Dari Dari Impor Produksi (ton) (ton)
Kebutuhan Impor (ton)
Kemampuan Ekspor (ton)
397.249 166.506
172.017 2.266
23
-
225.232 164.217
70.800 1.845
22.507 2.308
-
463
48.293 -
859 10.695 5.220 201 3.404
1.870 4.674 4.674 5.609 14.334
-
1.011 5.408 10.930
6.021 546 -
3.717
9.945
-
6.228
-
8.692
4.607
-
-
4.085
2.956 4.265 1.990
2.857 9.771 649
714 1.591 -
615 7.097 -
1.341
105.205 65.234
37.153 37.153
-
-
68.052 28.081
Sementara itu untuk komoditas kelapa, target penyediaan pada tahun 2010 sebenarnya mengalami penurunan tetapi karena potensi produksi mengalami penurunan maka target penyediaan kelapa masih membutuhkan impor dari luar wilayah. Namun demikian besar kebutuhan impornya mengalami penurunan menjadi 6.228 ton. Untuk komoditas padi, jagung, daging unggas, kacang hijau, dan sayur-sayuran kemampuan ekspornya mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena potensi produksi mengalami peningkatan yang mampu mengimbangi target penyediaan pangan, kecuali pada komoditas kacang hijau yang juga disebabkan karena target penyediaanya mengalami penurunan. Besarnya kemampuan ekspor masing-masing komoditas tersebut dapat dilihat pada Tabel 48.
125
Pada komoditas tebu (kristal gula) potensi produksinya menurun tetapi masih mampu memenuhi target penyediaan meskipun target penyediaan tersebut meningkat dibandingkan tahun 2008. Keadaan ini menyebabkan kemampuan ekspor tebu untuk tahun 2010 menurun menjadi 4.085 ton. Sedangkan komoditas ketela pohon, telur dan buah-buahan kemampuan ekspor pada tahun 2010 menjadi berkurang. Hal ini disebabkan karena peningkatan target penyediaan pangan lebih besar daripada peningkatan potensi produksi. Kemampuan ekspor paling kecil dialami oleh komoditas telur, yaitu hanya sebesar 546 ton. Komditas pangan yang memiliki kemampuan ekspor terbesar adalah padi (GKG) yaitu sebesar 225.232 ton. Untuk komoditas kedelai, potensi produksi pada tahun 2010 mengalami penurunan yang cukup besar dibandingkan tahun 2008. Hal ini menyebabkan kebutuhan impor kedelai menjadi semakin besar dari 3.899 ton pada tahun 2008 meningkat menjadi 7.079 ton pada tahun 2010.Target penyediaan kedelai adalah yang paling besar dibandingkan jenis kacang-kacangan yang lain meskipun untuk menuju tahun ideal penyediaanya secara bertahap akan dikurangi. Tabel 49 Kebutuhan luas tanam produksi pangan minimal untuk memenuhi target penyediaan pangan tahun 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kelompok Pangan
Padi Jagung Ketela Pohon Ubi Jalar Kelapa Tebu )* Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Sayur-Sayuran Kacang Panjang 11 Buah-Buahan Pisang
Produksi Pangan (ton)
Produktivitas Aktual (ton/ha)
Kebutuhan Luas Lahan (ha)
172.0171 2.2891 22.5071 1.8452 3.7172 4.6071 2.9562 4.2652 6491
5,6 5,3 17,5 10,5 1,71 5,2 2,8 1,45 0,98
30.717 432 1.286 176 2.174 886 1.056 2.941 662
37.1531
5,8
6.406
37.1531
16,96
2.191
Keterangan : )* = produktivitas (kristal gula/ha) ; produksi (kristal gula) 1 = target penyediaan 2 = potensi produksi
Produksi pangan minimal untuk memenuhi target penyediaan pangan pada tahun 2010 menggunakan asumsi-asumsi yang sama seperti pada tahun 2008. Komoditas pangan yang nilai produksi minimal untuk menmenuhi target penyediaan pangannya menggunakan angka target penyediaan berarti potensi
126
produksinya lebih besar dari target penyediaan sehingga produksi minimalnya adalah sebesar target penyediaan. Pada tahun 2010, komoditas-komoditas pangan nabati tersebut adalah padi, jagung, ketela pohon, tebu, kacang hijau, sayuran (kacang panjang) dan bua-buahan (pisang). Sedangkan komoditas pangan yang nilai produksi minimal untuk memenuhi target penyediaan pangan menggunakan angka potensi produksi berarti nilai potensi produksinya lebih kecil dari target penyediaan, sehingga kemampuan produksi minimal untuk memenuhi target penyediaan pangan adalah sebear potensi produksi. Sebagian besar luas tanam untuk komoditas tanaman pangan pada tahun 2010 semakin meningkat jika dibandingakan dengan tahun 2008, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 50. Kebutuhan luas tanam terbesar masih dibutuhkan untuk tanaman padi. Karena produktivitas diasumsikan tetap seperti tahun aktual maka penambahan luas tanam ini dikarenakan target penyediaan padi (GKG) yang meningkat. Hal yang sama juga terjadi pada komoditas jagung, ketela pohon, tebu, sayuran (kacang panjang) dan buah-buahan (pisang). Sedangkan untuk komoditas ubi jalar luas tanamnya menjadi lebih rendah dibandingkan tahun 2008 yaitu sebesar 432 ha. Hal ini terjadi karena produksi minimal ubi jalar adalah sebesar potensi produksi sedangkan potensi produksi ubi jalar memiliki tren yang menurun. Luas tanam yang dibutuhkan untuk komoditas ubi jalar ini adalah yang paling sedikit dibandingkan komoditas tanaman pangan yang lain. Keadaan ini juga terjadi pada komoditas kelapa. Pada kelompok pangan kacang-kacangan target penyediaan tahun 2010 menurun daripada tahun 2008. Kacang tanah dan kedelai, produksi minimal untuk memenuhi target penyediaan adalah menggunakan angka potensi produksi. Potensi produksi kacang tanah dan kedelai mengalami tren yang menurun sehingga kebutuhan luas tanam untuk kedua jenis komoditas ini menjadi berkurang. Sedangkan untuk komoditas kacang hijau, produksi minimal untuk memenuhi target penyediaan adalah sebesar target penyediaan itu sendiri karena potensi produksinya lebih besar. Namun karena target penyediaan kacang hijau menurun maka luas tanam yang dibutuhkan juga menurun, yaitu hanya sebesar 662 ha.
127
Tabel 50 Perbandingan antara kebutuhan dan ketersediaan luas tanam untuk produksi minimal pangan nabati pada tahun 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Komoditas Pangan
Kebutuhan Luas Tanam (ha)
Padi Jagung Ketela Pohon Ubi Jalar Tebu Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Sayur-Sayuran Kacang Panjang Buah-Buahan Pisang Kelapa
30.717 432 1.286 176 886 1.056 2.941 662
Ketersediaan Luas Tanam (ha) 69.814 42.312
Gap (ha)
Keterangan
39.097 41.880
Memenuhi Memenuhi
9.397
7.935
Memenuhi
6.265
5.379
Memenuhi
42.312
31.247
Memenuhi
15.662
11.297
Memenuhi
6.406 2.191 2.174
Meskipun ketersediaan lahan baik lahan sawah maupun lahan kering di Kabupaten Nganjuk memiliki tren yang menurun tetapi lahan yang diproyeksikan tersedia pada tahun 2010 masih dapat memenuhi kebutuhan luas tanam bagi produksi pangan minimal sesuai potensi wilayah guna memenuhi target penyediaan pangan. Pada Tabel 50 dapat dilihat bahwa ketersediaan luas tanam pada tahun 2010 jika dibandingkan dengan kebutuhan luas tanam masih terdapat sisa yang cukup besar. Sisa lahan yang tersedia untuk usahatani komoditaskomoditas pangan nabati pada tahun 2010 memang lebih sedikit jika dibandingkan dengan tahun 2008. Selain karena luas lahan yang tersedia semakin berkurang target penyediaan pangan yang harus dipenuhi pun juga semakin meningkat. Pada komoditas-komoditas pangan yang potensi produksinya menurun seperti ubi jalar, tebu dan kedelai sebenarnya tingkat produksinya masih dapat dipacu mengingat lahan yang tersedia untuk melakukan usaha budidaya masih luas. Apabila pemerintah daerah beserta masyarakat dapat bekerjaama dan berusaha untuk meningkatkan produksi komoditas-komoditas tersebut, maka kemampuan ekspor wilayah dapat ditingkatkan atau dapat mengurangi kebutuhan impor bahan pangan tersebut.
128
Perumusan Implikasi Rencana Produksi Pangan Menuju Ideal Jangka Pendek Tahun 2008 Modal
adalah
faktor
produksi
pertanian
yang
penting,
karena
permasalahan yang menjadi kendala dalam usahatani adalah modal. Sebagian besar petani yang ada di Indonesia adalah termasuk petani gurem dengan penguasaan lahan kecil dan biasanya juga dengan modal yang terbatas. Keterbatasan modal dapat menyebabkan terhambatnya proses usahatani karena untuk memenuhi input usahatani lainnya diperlukan biaya yang tidak sedikit. Berdasarkan data yang dapat dilihat pada Tabel 51, diketahui bahwa usahatani padi adalah usahatani yang paling banyak membutuhkan biaya per ha nya, yaitu sebesar Rp. 5.707.500,-. Sedangkan biaya yang paling sedikit diperlukan untuk usahatani kacang hijau yaitu Rp. 2.406.000,- per ha. Data mengenai jumlah biaya usahatani dan tingakat keuntungan masing-masing komoditas pangan tersebut diperoleh dari hasil wawancara dengan petani yang sedang/pernah mengusahakan komoditas tersebut di daerah setempat. Berdasarkan hasil kebutuhan luas tanam maka dapat diketahui total biaya usahatani untuk masing-masing komoditas. Pada tahun 2008 total biaya usahatani yang dibutuhkan untuk memproduksi padi secara minimal sesuai potensi wilayah adalah sebesar 343,2 milyar rupiah. Jumlah biaya usahatani ini adalah yang paling besar jika dibandingkan dengan usahatani komoditas lainnya karena jumlah luas tanam yang dibutuhkan untuk produksi padi adalah yang paling besar. Sedangkan total biaya usahatani yang paling sedikit pada tahun 2008 adalah untuk komoditas ubi jalar yaitu hanya sebesar 1,1 milyar rupiah. Selain karena biaya usahatani per ha nya paling besar kebutuhan luas tanam minimal sesuai potensi wilayah untuk padi juga paling banyak sehingga total biaya usahatani padi pun juga besar. Secara keseluruhan pada tahun 2008 total biaya usahatani yang dibutuhkan untuk memproduksi pangan nabati minimal sesuai potensi wilayah guna memenuhi target penyediaan pangan sebesar 445,8 milyar rupiah. Total biaya usahatani untuk produksi pangan nabati on farm ini bisa juga dikatakan sebagai jumlah investasi yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah setempat bersama dengan masyarakat dan swasta guna memenuhi target penyediaan pangan penduduk minimal sesuai potensi wilayah.
129
Tabel 51 Total biaya dan keuntungan usahatani produksi pangan minimal untuk memenuhi target penyediaan pangan tahun 2008 di Kabupaten Nganjuk No
30.064 426 1.189 203 625 5.201 667
Biaya Usahatani Per ha (Rp) 5.707.500 3.550.000 5.435.000 5.180.000 4.665.000 3.411.000 2.406.000
Biaya Usahatani Total (Milyar Rp) 343,2 1,5 6,5 1,1 2,9 17,7 1,6
5.935
5.228.000
34.424 Pisang 2.030 4.569.000 Total Keterangan :1 = target penyediaan; 2 = potensi produksi
Komoditas Pangan
1 2 3 4 5 6 7 8
Padi Jagung Ketela Pohon Ubi Jalar Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Sayur-Sayuran Kacang Panjang
9
Buah-Buahan
Produksi Minimal (ton)
Kebutuhan Lahan (ha)
168.3591 2.2571 20.8081 2.1341 1.7492 7.5422 6541 34.4241 1
Keuntungan per ha (Rp)
Keuntungan Total (Milyar Rp)
3.252.500 2.450.000 3.215.000 2.520.000 3.505.000 939.000 1.404.000
195,6 1,0 3,8 0,5 2,2 4,9 0,9
62,1
1.652.000
19,6
9,3 445,8
5.840.000
11,9 240,4
Dari hasil usahatani produksi pangan nabati on farm tersebut juga akan diperoleh keuntungan yang bisa menjadi pemasukan bagi daerah maupun secara mikro menjadi sumber pendapatan bagi rumah tangga petani. Pada level wilayah, keuntungan dari usahatani tersebut dapat menjadi bagian dari pendapatan asli daerah (PDRB) khususnya dari sektor pertanian. Sedangkan pada tingkat rumah tangga berarti memberikan kesempatan bagi rumah tangga yang bergerak di bidang pertanian memperoleh pendapatan yang berguna sebagai akses untuk memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk kebutuhan pangan. Dengan asumsi bahwa total kebutuhan biaya untuk usahatani produksi pangan nabati pada tahun 2008 dapat dipenuhi maka tingkat keuntungan total yang dapat diperoleh adalah sebesar 240,4 milyar rupiah. Jenis usahatani tanaman pangan yang memberikan kontribusi keuntungan terbesar adalah padi (195,6 milyar rupiah) sedangkan yang paling kecil tingkat keuntungan totalnya adalah ubi jalar (0,5 milyar rupiah). Apabila tingkat keuntungan usahatani masing-masing kemoditas pangan nabati pada Tabel 51, maka usahatani kedelai tingkat keuntungan per ha nya adalah yang paling kecil yaitu hanya sebesar Rp. 939.000,-. Sedangkan komoditas pangan semusim yang tingkat keuntungannya paling tinggi adalah kacang tanah yaitu sebesar Rp.3.505.000,- per ha. Sebenarnya tingkat keuntungan terbesar dalam per ha adalah usahatani pisang, namun karena pisang adalah merupakan tanaman tahunan maka tingkat keuntungan tersebut adalah merupakan keuntungan
130
rata-rata selama 4 tahun usahatani. Mengenai data dan hasil analisis usahatani masing-masing komoditas tanaman pangan tersebut dapat dilihat secara lebih lengkap pada Lampiran 13. Tabel 52 Perbandingan kebutuhan pupuk aktual dan ideal untuk produksi pangan minimal sesuai potensi produksi pada tahun 2008 No 1 2 3 4 5 6 7 8
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Komoditas Pangan Padi Jagung Ketela Pohon Ubi Jalar Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Sayur-Sayuran Kacang Panjang Total Komoditas Pangan
Urea (ton/thn) Aktual1 Ideal2 Gap 9.019 6.013 3.006 128 128 0 297 238 59 51 41 10 125 63 62 520 260 260 33 33 0
ZA (ton/thn) Aktual Ideal Gap 6.013 1.503 4.510 -
SP – 36 (ton/thn) Aktual Ideal Gap 6.013 3.006 3.007 43 43 0 1.040 650 390 50 50 0
1.781 1.781 0 11.954 8.555 3.399 KCL (ton/thn) Aktual Ideal Gap 4.510 2.255 2.255 43 21 22 238 238 0 41 20 21 63 31 32 33 33 0
6.013 1.503 4.510 Ponska (ton/thn) Aktual Ideal Gap 6.013 6.013 0 -
594 594 0 7.739 4.343 3.396 TSP (ton/thn) Aktual Ideal Gap 178 119 59 20 10 10 94 63 31 -
Padi Jagung Ketela Pohon Ubi Jalar Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Sayur-Sayuran Kacang Panjang 594 594 0 Total 5.520 3.192 2.328 6.013 6.013 0 292 192 Sumber : 1 = data primer, diolah 2 = Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pupuk merupakan salah satu input dalam usahatani pangan nabatai yang kebutuhannya cukup besar dan keberadaannya sangat penting. Pupuk dapat membatu tanaman agar dapat memberikan hasil yang lebih baik. Pupuk bagi tanaman pangan perlu diberikan dalam dosis yang tepat agar tidak memberikan dampak buruk bagi lingkungan dalam jangka waktu panjang. Kecenderungan petani saat ini menggunakan pupuk dalam dosisi yang banyak untuk meningkatkan hasil produksi. Proses usahatani tanaman pangan dan hortikultura (sayur-sayuran) yang saat ini banyak diusahakan oleh petani sangat bergantung dengan keberadaan pupuk terutama pupuk anorganik. Kelangkaan atau kenaikan harga pupuk dapat membuat para petani kesusahan. Oleh sebab itu suplai pupuk
100
131
yang memadai dan harga yang terjangkau merupakan hal yang diharapkan para petani. Pemakaian jenis dan jumlah pupuk dalam uasahatani pangan nabati berbeda pada setiap komoditas. Kebutuhan total pupuk berdasarkan jenisnya tersebut dibandingkan antara kondisi aktual dan ideal. Kebutuhan pupuk berdasarkan kondisi aktual diperoleh dari hasil wawancara dengan para petani setempat. Setelah diketahui jumlah dan jenis pupuk yang dibutuhakan untuk ushatani setiap komoditas pangan nabati di atas per ha akan dapat diketahui kebutuhan totalnya dengan memperhitungkan kebutuhan luas tanam setiap komdoitas pangan nabati tersebut. Sedangkan kebutuhan pupuk ideal dalam usahatani setiap komoditas pangan nabati tersebut per ha nya diperoleh data dari Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Pupuk Urea adalah jenis pupuk yang dibutuhkan oleh semua jenis komoditas tanaman pangan seperti yang dapat dilihat pada Tabel 52. Pupuk urea juga merupakan jenis pupuk yang jumlah kebutuhannnya paling banyak, pada tahun 2008 berdasarkan kondisi pemakaian pupuk aktual di Kabupaten Nganjuk kebutuhan pupuk urea sebanyak 11.954 ton. Besar kebutuhan pupuk aktual lebih besar apabila dibandingkan dengan tingkat pemakaian pupuk ideal, terdapat kelebihan sebesar 3.399 ton. Kebutuhan dan jenis pupuk yang dibutuhkan pada usahatani masing-masing pangan nabati tersebut per ha nya secara aktual dapat dilihat pada Lampiran 13. Total kebutuhan pupuk TSP pada tahun 2008 adalah yang paling sedikit, berdasarkan kondisi aktual kebutuhannnya sebesar 292 ton sedangkan berdasakan kondisi ideal sebesar 192 ton sehingga terdapat kelebihan sebesar 100 ton. Apabila dibandingkan anatara kebutuhan pupuk aktual dan ideal maka kebutuhan aktual lebih tinggi. Hanya pada ponska yang total kebutuhan aktual dan idealnya sama, jenis pupuk ini hanya digunakan pada usahatani padi. Dengan adanya informasi mengenai perkiraaan kebutuhan jumlah dan jenis pupuk untuk menunjang usahatani produksi pangan, khususnya nabati di atas diharapakan akan membuat pihak-pihak yang terkait dengan pengadaan sarana produksi pertanian khususnya pupuk dapat menjamin ketersediaannya.
132
Tabel 53 Jumlah populasi ternak dan ikan minimal untuk memenuhi target penyediaan pangan hewani tahun 2008 No
Komoditas Pangan Hewani
1 2 3
Daging Ruminansia (Sapi) Daging Unggas (Ayam Ras) Ikan (Gurame)
No
Komoditas Pangan
4 Telur (Telur Ayam Ras) Keterangan : 1 = target penyediaan 2 = potensi produksi
300 1,75 0,75
Produksi Minimal (ton) 1.2042 4.2731 3.1202
9.413 2.441.714 4.160.000
Produktivitas (butir/ekor/thn)
Berat rata2 per butir (gr)
Potensi Prod (ton)
Populasi (ekor)
146
60
4.2731
48.779
Konversi Karkas % 74,93 -
% Karkas
Berat rata2 per ekor (kg)
56,9 -
Populasi (ekor)
Sementara itu untuk kelompok pangan hewani dibagi menjadi sub kelompok pangannya. Sub kelompok pangan daging ruminansia diacu dengan komoditas daging sapi, untuk daging unggas digunakan acuan daging ayam ras, untuk komoditas telur digunakan acuan telur ayam ras dan untuk komoditas ikan digunakan acuan ikan gurame. Masing-masing komoditas tersebut dipilih dengan alasan sebagai komoditas yang paling banyak diproduksi. Jumlah minimal produksi pangan hewani juga merupakan hasil perbandingan antara potensi produksi dan target penyediaan pangan. Pada sub komoditas daging ruminansia, daging unggas dan telur menggunakan nilai target penyediaan karena potensi produksinya lebih besar daripada target penyediaan. Sedangkan untuk sub kelompok pangan ikan menggnakan nilai potensi produksi karena nilai potensi produksinya lebih rendah daripada target penyediaan. Satuan yang digunakan untuk menggambarkan besarnya usahatani produksi pangan hewani adalah ekor (populasi). Apabila diasumsikan bahwa berat rata-rata satu ekor sapi adalah 300 kg dan setiap ekor sapi menghasilkan 74,93% karkas, kemudian dari karkas menjadi daging memiliki nilai konversi sebesar 56,9% (www.warintek-ristek.go.id) maka kebutuhan populasi ternak sapi minimal untuk memenuhi target penyediaan daging ruminansia pada tahun 2008 adalah sebesar 9.413 ekor. Sementara itu untuk daging unggas menggunakan asumsi bahwa berat rata-rata satu ekor ayam ras pedaging adalah 1,75 kg maka jumlah populasi ayam ras pedaging yang dibutuhkanadalah sebesar 2.441.174 ekor.
133
Pada sub kelompok pangan telur, asumsi yang digunakan adalah bahwa produktivitas ayam ras petelur adalah 146 butir telur/ekor/tahun dengan berat ratarata satu butir telur adalah 60 g. Dengan menggunakan asumsi tersebut maka jumlah populasi ayam ras petelur yang harus disediakan untuk memenuhi target penyediaan telur secara minimal adalah sebanyak 48.779 ekor. Hal yang sama juga berlaku untuk ikan, asumsi yang digunakan adalah berat rata-rata satu ekor ikan gurame yang siap panen adalah 0,75 kg. Sehingga jumlah populasi ikan gurame yang harus disediakan untuk produksi ikan guna memenuhi target penyediaan ikan secara minimal adalah sebanyak 4.160.000 ekor. Jangka Menengah (Tahun 2010) Biaya usahatani untuk produksi minimal pangan nabati guna memenuhi target penyediaan pangan berdasarkan potensi produksi wilayah dapat dikatakan sebagai modal lancar usahatani. Modal tersebut akan digunakan untuk membeli input produksi yang sifatnya sekali pakai seperti benih/bibit, pupuk, pestisida, biaya tenaga kerja, pengolahan tanah, transportasi dan serta bahan lainnya. Sehingga total biaya usahatani tersebut adalah merupakan investasi rutin yang harus disediakan setiap kali akan melakukan usahatani. Total biaya usahatani produksi pangan nabati pada tahun 2010 sebesar 244,8 milyar rupiah. Nilai ini jika dibandingkan dengan tahun 2008 maka jumlahnya menurun. Jumlah total biaya usahatani masing-masing komoditas pada tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 54. Penurunan total biaya usahatani yang dibutuhkan disebabkan karena berdasarkan potensi produksi wilayah kemampuan minimal produksi kedelai dan ubi jalar untuk memenuhi target penyediaan berkurang sehingga berakibat pada kebutuhan luas tanam dan juga biaya usahataninya. Selain itu target penyediaan pangan untuk kacang tanah dan kacang hijau juga menurun. Pemerintah, swasta dan masyarakat harus bekerjasama untuk menyediakan modal guna memenuhi kebutuhan biaya usahatani pangan nabati tersebut. Pemerintah dapat berperan dengan memberikan kredit bantuan modal dengan bunga lunak terhadap petani, selain itu juga dapat membantu dengan cara mebuat kebijakan yang memihak pada petani sehingga mendorong petani mau berusahatani misalnya dengan memberikan jaminan pemasaran, memberikan subsidi terhadap input produksi yang vital dan lain-lain. Sementara itu pihak
134
swasta juga dapat berperan sebagi mitra petani dalam melaksanakan usahatani, memberikan bantuan modal atau sarana produksi lainnya maupun kerjasama pemasaran dan apabila memungkinkan dapat ikut berinvestasi pada usahatani tanaman pangan tersebut. Tabel 54 Total biaya dan keuntungan usahatani produksi tanaman pangan minimal untuk memenuhi target penyediaan pangan tahun 2010 di Kabupaten Nganjuk No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Komoditas Pangan
Produksi Minimal (ton)
Kebutuhan Lahan (ha)
Biaya Usahatani Per ha (Rp) 5.707.500 3.550.000 5.435.000 5.180.000 4.665.000 3.411.000 2.406.000
Padi 30.717 1.720.171 Jagung 432 22.891 Ketela Pohon 1.286 225.071 176 Ubi Jalar 18.452 Kacang Tanah 1.056 29.562 2.941 Kacang Kedelai 42.652 Kacang Hijau 662 6.491 Sayur-Sayuran Kacang Panjang 6.406 5.228.000 371.531 Buah-buahan Pisang 2.191 4.569.0001 371.531 Total Keterangan : 1 = data Dinas Pertanian Kab. Nganjuk
Biaya Usahatani Total (Milyar Rp) 350,6 1,5 7,0 0,9 4,9 10,0 1,6
Keuntungan per ha (Rp)
Keuntungan Total (Milyar Rp)
3.252.500 2.450.000 3.215.000 2.520.000 3.505.000 939.000 1.404.000
199,8 1,1 4,1 0,4 3,7 2,8 0,9
67,0
1.652.000
21,2
100,1 543,7
5.840.000
12,8 246,8
Total biaya usahatani untuk produksi minimal pangan nabati pada tahun 2010 jika dibandingkan dengan tahun 2008 mengalami peningkatan menjadi sebesar 543,7 milyar rupiah atau 97,9 milyar rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah investasi dalam produksi pangan nabati on farm harus ditingkatkan dari tahun ke tahun. Sedangkan keuntungan dari usahatani produksi pangan nabati pada tahun 2010 sebesar 246,8 milyar rupiah atau meningkat sebesar 6,4 milyar rupiah. Meskipun tingkat keuntungan usahatani tersebut mengalami peningkatan namun besarnya peningkatan yang dibutuhkan untuk investasi lebih besar.
135
Tabel 55 Perbandingan kebutuhan pupuk aktual dan ideal untuk produksi pangan minimal sesuai potensi produksi pada tahun 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Komoditas Pangan Padi Jagung Ketela Pohon Ubi Jalar Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Sayur-Sayuran Kacang Panjang Total Komoditas Pangan Padi Jagung Ketela Pohon Ubi Jalar Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Sayur-Sayuran Kacang Panjang Total
Urea (ton) Ideal Gap 6.143 3.072 130 0 257 64 35 9 106 106 147 147 33 0
ZA (ton) Aktual Ideal Gap 6.143 1.536 4.608 -
SP – 36 (ton) Aktual Ideal Gap 6.143 3.072 3.072 43 43 0 588 368 221 50 50 0
1.922 0 8.773 3.397 KCL (ton) Aktual Ideal Gap 4.608 2.304 2.304 43 22 22 257 257 0 35 18 18 106 53 53 33 33 0
6.143 1.536 4.608 Ponska (ton) Aktual Ideal Gap 6.143 6.143 0 -
641 7.465
641 5.722
6.143
Aktual 9.215 130 322 44 211 294 33 1.922 12.170
641 3.327
0 2.396
6.143
0
641 0 4.173 3.292 TSP (ton) Aktual Ideal Gap 193 129 64 18 9 9 158 106 53 369
243
Apabila diasumsikan bahwa penggunaan pupuk aktual pada tahun 2010 tetap sama dengan tahun 2008 per ha nya, maka total kebutuhan pupuk paling besar masih tetap jenis urea yaitu sebesar 12.170 ton. Sedangkan kebutuhan berdasarkan pemakaian pupuk aktual yang paling sedikit adalah jenis TSP, yaitu hanya sebesar 369 ton. Sebenarnya dosis pemakaian pupuk dalam proses usahatani on farm tergantung dari keadaan tanah dan komdoitas yang sedang diusahakan. Keadaan ideal hanya digunakan sebagai pembanding karena data tersebut dianggap cukup mencerminkan penggunaan pupuk rata-rata per ha pada komoditas-komoditas pangan tersebut. Berdasarkan hasil perbandingan antara kebutuhan pupuk aktual dan ideal maka diketahui bahwa penggunaan pupuk oleh petani di daerah setempat lebih tinggi dibandingkan keadaan yang dijadikan kondisi ideal. Meskipun jumlah penggunaan pupuknya berbeda namun jenis pupuk yang dipakai sama, hanya pada usahatani padi di daerah setempat menambahkan penggunaan pupuk Ponska.
126
136
Tabel 56 Jumlah populasi ternak dan ikan minimal untuk memenuhi target penyediaan tahun 2010 No
Komoditas Pangan Hewani
1 2 3
Daging Ruminansia (Sapi) Daging Unggas (Ayam Ras) Ikan (Gurame)
No
Komoditas Pangan
4 Telur (Telur Ayam Ras) Keterangan : 1 = target penyediaan 2 = potensi produksi
Konversi Karkas % 74,93 -
% Karkas
Berat rata2 per ekor (kg)
Potensi Prod (ton)
Populasi (ekor)
56,9 -
300 1,75 0,75
8592 4.6741 3.4042
6.716 2.670.857 4.538.667
Produktivitas (butir/ekor/thn)
Berat rata2 per butir (gr)
Potensi Prod (ton)
Populasi (ekor)
146
60
4.6741
533.562
Asumsi-asumsi yang digunakan untuk menghitung kebutuhan populasi ternak guna produksi minimal untuk memenuhi target penyediaan pangan hewani pada tahun 2010 sama dengan pada tahun 2008. Jumlah produksi minimal daging ruminansia (daging sapi) dan ikan (ikan gurame) menggunakan angka potensi produksi sedangkan untuk daging unggas (daging ayam ras pedaging) dan telur (teluar aym ras petelur) adalah menggunakan angka target penyediaan. Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 56 jumlah populasi sapi yang harus disediakan pada tahun 2010 sebesar 6.716 ekor menurun jika dibandingkan tahun 2008. Sedangkan untuk komoditas ikan, karena potensi produksinya mengalami peningkatan maka jumlah populasi ikan (gurame) yang harus disediakan minimal meningkat menjadi 4.538.667 ekor. Sementara itu pada komoditas telur dan daging unggas karena target penyediaan kedua komoditas tersebut harus ditingkatkan maka jumlah populasi ternak ayam ras ras petelur dan pedaging juga mengalami peningkatan. Potensi produksi pangan hewani di Kabupaten Nganjuk memang tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan potensi produksi pangan nabatinya, maka pemenuhan bagi target penyediaan pangan hewani bagi konsumsi penduduk tidak perlu mendapat bantuan dari wilayah lain. Potensi produksi pangan nabati yang besar dapat menjadi peluang bagi wilayah Nganjuk melakukan ekspor. Komoditas-komoditas pangan nabati yang berlebih, setelah digunakan untuk meemnuhi kebutuhan bagi konsumsi penduduk dapat dijual sebagai komoditas ekspor wilayah. Hasil dari perdagangan komoditas pangan nabati tersebut dapat digunakan untuk mengimpor pangan hewani dari luar wilayah.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai Perencanaan produksi pangan berdasarkan daya dukung pangan wilayah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan penduduk yang dilakukan di Kabupeten Nganjuk Propinsi Jawa Timur dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Konsumsi penduduk Kabupaten Nganjuk belum cukup dari segi kuantitas maupun kualitas, hal ini ditunjukkan oleh tingkat konsumsi energi (TKE) penduduk Kabupaten Nganjuk tahun 2006 mencapai sebesar 1.604 kkal/kap/hari atau 79,9% AKE yang termasuk dalam kategori defisit ringan dan skor PPH 77,2. 2. Kemampuan produksi aktual komoditas daging ruminansia, daging unggas, susu, ikan, kelapa dan kacang tanah belum mampu memenuhi kebutuhan penyediaan konsumsi pangan aktual penduduk. Sedangkan produksi beras, jagung, ketela pohon, ubi jalar, telur, kacang kedelai, kacang hijau, gula, sayur dan buah telah mampu memenuhi kebutuhan penyediaan pangan. 3. Potensi produksi padi, jagung kacang tanah, kacang hijau, sayur-sayuran, buah-buahan, telur, daging unggas dan ikan akan meningkat pada tahun 2008 dan 2010. Sedangkan ketela pohon, ubi jalar, kedelai, daging ruminansia akan mengalami penurunan. 4. Lahan sawah dan kering yang tersedia pada tahun 2008 dan 2010 diperkirakan akan berkurang. Ketersediaan lahan sawah dan kering pada tahun 2008 sebesar 42.230 ha dan 31.196 ha. Sedangkan tahun 2010 sebesar 42.067 ha dan 30.941 ha. 5. Pada tahun 2008, energi yang harus dikonsumsi penduduk menuju ideal sebesar 1.662 kkal/kap/hari dan jumlah pangan utama pada setiap kelompok pangan yang dibutuhkan : beras (107.169 ton), ketela pohon (20.808 ton), telur (4.273 ton), kelapa (11.001 ton), gula pasir (3.666 ton), kacang kedelai (11.440 ton), sayur (34.424 ton) dan buah (34.424 ton). Pada tahun 2010 konsumsi penduduk sebesar 1.719 kkal/kap/hari dan pangan utama yang dibutuhkan : beras (108.175 ton), ketela pohon (22.507 ton), telur (4.674 ton),
133
kelapa (9.945 ton), gula pasir (4.607 ton), kacang kedelai (11.362 ton), sayur (37.153 ton) dan buah (37.153 ton) 6. Potensi produksi pangan pada tahun 2008 yang tidak memenuhi target penyediaan adalah : daging ruminansia, susu, ikan, kelapa, kacang tanah dan kedelai. Sedangkan potensi produksi pangan pada tahun 2010 yang tidak memenuhi target penyediaan adalah : ubi jalar, daging ruminansia, susu, ikan, kelapa dan kedelai. 7. Lahan pertanian yang tersedia pada tahun 2008 dan 2010 masih mampu memenuhi kebutuhan luas tanam bagi produksi minimal pangan nabati on farm sesuai potensi produksi.
Saran 1. Potensi lahan pertanian yang tersedia untuk produksi pangan nabati maih cukup luas, sehingga perlu dimanfaatkan untuk usahatani pangan lain terutama pengembangan pangan lokal untuk menambah ketersediaan dan keberagaman pangan penduduk. 2. Dengan diketahuinya target penyediaan pangan yang dibutuhkan untuk konsumsi penduduk diharapkan dapat menjadi dasar perencanaan produksi pangan
wilayah
menuju
tercapainya
ketahanan
pangan
dengan
memprioritaskan pada usaha kemandirian pangan. 3. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dan lengkap dari kajian mengenai perencanaan produksi pangan sesuai pola pangan harapan, sebaiknya data yang dipakai lebih lengkap terutama mengenai potensi wilayah serta perencanaan pengembangan wilayah. Selain itu tingkat keakuratan dan keaktualan data akan sangat menentukan hasil akhir penelitian ini, sehingga diharapkan
berbagai
dinas
terkait
pengumpulan dan penyajian datanya.
dapat
meningkatkan
menejemen
DAFTAR PUSTAKA Abdurachman A, Mulyani A, Heryanti N, Irianto G. 2004. Analisis Potensi Sumberdaya Lahan dan Air dalam Mendukung Pemantapan Ketahanan Pangan. Di dalam: Soekirman, Ananto KS, Ning P, Drajat M, Mewa A, Indrus J, Hardinsyah, Dahrulsyah, Carunia MF, editor. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII; Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). hlm 245-263. Abel J, Thomson J. 2006. Food System Planning : A Guide For County Municipal Planners, Extension Educators, And Community Organizations. http://www.kaic.psu.edu/chad/cbad2-4.htm [26 Februari 2007] Andersen P. 1993. Policy Issues and Problem of Data Collection and Analysis dalam Data Nedds for Food Policy In Developing Countries, New Directions for Household Surveys. J, Braun, D. Puetz (eds) International Food Plicy Research Institute. Washington, D. C. APA Divisions Council. 2006. Food System Planning – Why Is It a Planning Issue?. An Overview from APA’S Divisions Council. http://www.planning.org/divisions/initiatives/foodsystem.htm [26 Februari 2007] Azwar A. 2004. Aspek Kesehatan dan Gizi Dalam Ketahanan Pangan. Di dalam: Soekirman, Ananto KS, Ning P, Drajat M, Mewa A, Indrus J, Hardinsyah, Dahrulsyah, Carunia MF, editor. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII; Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). hlm 101-109. [BBKP] Badan Bimas Ketahanan Pangan. 2001. Rencana Strategis dan Program Kerja Pemantapan Ketahanan Pangan 2001-2004. Jakarta. Departemen Pertanian RI. [BBKP] Badan Bimas Ketahanan Pangan. 2005. Pedoman Penyusunan Neraca Bahan Makanan (NBM). Jakarta. Departemen Pertanian RI. [BPS] Badan Pusat Statistik dan Bappeda kabupaten Nganjuk. 2004. Kabupaten Nganjuk dalam Angka 2004. Nganjuk. BPS. Baliwati YF, K Roosita. 2004. Sistem Pangan dan Gizi dalam Pengantar Pangan dan Gizi. YF Baliwati, A Khomsan, CM Dwiariani (eds). Penebar Swadaya. Jakarta. Braun J. 1993. Orientation of Data for Food Policy Needs dalam Data Nedds for Food Policy In Developing Countries, New Directions for Household Surveys. J, Braun, D. Puetz (eds) International Food Plicy Research Institute. Washington, D. C.
140
Regional Training Programme on Food and Nutrition Planning. Institute of Human Nutrition and Food. College of Human Ecologi. University of the Philippines Los Banos. 1999. Course Syllabus on Food and Nutrition Planning and Management. Laguna. Philippines. Deshaliman. 2003. Arti Strategis Neraca Bahan Makanan http://www.suarapembaruan.com/News/2003/07/08/index.html November 2005]
Regional. [12
[Depkes] Departemen Kesehatan. 1996. Pedoman Survei Konsumsi Gizi Tingkat Kecamatan. Ditjen Pembinaan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. [Deptan] Departemen Pertanian. 2006. Rencana Pembangunan Pertanian 20052009. Jakrata. Departemen Pertanian. [DKP] Dewan Ketahanan Pangan. 2006. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009. Jakrata. Dewan Ketahanan Pangan. Makarim AK. 2005. Pemupukan Berimbang Pada Tanaman Pangan: Khususnya Padi Sawah. Di dalam: Seminar Rutin Puslitbang Tanaman Pangan; Bogor, 17 Maret 2005. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. [Disperta] Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur. 2005. Peternakan dalam Data Tahun 2005. Surabaya. Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur. Ehrlich PR, Anne HE & Gretchen CD. 1993. Food Security, Population, and Environmnet. Population and Development Review 19, No : 1. Maret, 1993. Hakim A. 2004. Statistika Deskriptif untuk Ekonomi dan Bisnis. Penerbit Ekonisia. Yogyakarta. Hardinsyah, S. Madanijah, & Y. F. Baliwati. 2002. Analisis Neraca Bahan Makanan dan Pola Pangan Harapan untuk Perencanaan Ketersediaan Pangan. PSKPG-IPB & Pusat Pengembangan Ketersediaan Pangan, Departemen Pertanian RI. Jakarta. Hardinsyah et al. 2003. Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan. PSKPG-IPB & Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan, BBKP-Deptan, Jakarta. Handewi PS, Rachman , Mewa A. 2002. Ketahanan Pangan : Konsep, Pengukuran dan Strategi. FAE. Volume 20 No 1 : 12-24 www.litbangdeptan.go.id/ind//pdffiles/Mono26-4.pdf [14 Mei 2007] Husodo SY, Tien RM. 2004. Alternatif Solusi Permasalahan Ketahanan Pangan. Di dalam: Soekirman, Ananto KS, Ning P, Drajat M, Mewa A, Indrus J, Hardinsyah, Dahrulsyah, Carunia MF, editor. Prosiding Widyakarya
141
Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII; Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). hlm 111-116. Husodo SY. 2003. Membangun Kemandirian di Bidang Pangan : Suatu Kebutuhan Bagi Indonesia. Artikel – Tahun II. Nomor 6, September. Jurnal Ekonomi Rakyat. Irawan B. 2003. Tipologi Kecamatan di Jawa Dalam Rangka Pencadangan Kawasan Produksi Pangan. Jurnal Agro Ekonomi Volume 21:145-174. [KUKP] Kantor Urusan Ketahanan Pangan Kabupaten Nganjuk. 2005. Peta Wilayah Kerawanan Pangan dan Gizi Kabupaten Nganjuk. Nganjuk. Kantor Urusan Ketahanan Pangan. Krisnamurti B. 2003. Penganekaragaman-Pangan : Pengalaman 40 Tahun dan Tantangan ke Depan. Artikel – Tahun II. No 7, Oktober. Jurnal Ekonomi Rakyat. Muller CC. 1993. Information Needs for Food System : Conceptual Framework and Institutional dalam Data Nedds for Food Policy In Developing Countries, New Directions for Household Surveys. J, Braun, D. Puetz (eds) International Food Plicy Research Institute. Washington, D. C. Mule H. 1993. Lingkages Between Food Policymaking, Policy Analysis, and Data Collection dalam Data Nedds for Food Policy In Developing Countries, New Directions for Household Surveys. J, Braun, D. Puetz (eds) International Food Plicy Research Institute. Washington, D. C. Nagamine H. 1981. Human Need and Regional Development. United Nations Center for Regional Development. Nagoya. Japan. Nainggolan K. 2005. Implikasi Hak Atas Kecukupan Pangan terhadap Kebijakan Ketahanan Pangan. Makalah Seminar Sehari Pemenuhan Hak Atas Kecukupan Pangan, Jakarta, 13 April. Nikijuluw V, Abdurahman. 2004. Analisis Potensi Kelautan dalam Mendukung Pemantapan Ketahanan Pangan. Di dalam: Soekirman, Ananto KS, Ning P, Drajat M, Mewa A, Indrus J, Hardinsyah, Dahrulsyah, Carunia MF, editor. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII; Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). hlm 229-243. [PSKPG IPB & BBKP] Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor & Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan Badan Bimas Ketahanan Pangan. 2001. Pengembangan Konsumsi Pangan dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan. PSKPG & BBKP, Bogor.
142
Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan (PPKP) Deptan & GMSK IPB. 2005. Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan. GMSK IPB. Bogor. Richard G. 2002. Human Carrying Capacity of Earth. ILEA Leaf. http://www.unu.edu/unupress/unupbooks/uu03pe/uu03pe0b.htm [16 Februari 2007] Riely F, Mock N, Cogill B, Bailey L & Kenefick E. 1999. Food Security Indicators and Framework for Use in the Monitoring and Evaluation of Food Aid Programs. Food and Nutrition Technical Assistance. USAID. http://www.fantaproject.otg/publications/fisind.shtml [13 Mei 2007] Saliem HP et al. 2005. Analisis Diversifikasi Rumah Tangga Dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Penanggulangan Kemiskinan. Laporan Hsil Penelitian Tahun 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertaian, Departemen Pertanian. Jakarta. Saragih B. 2005. Kedaulatan Pangan, Tidak Sekedar Berkecukupan Pangan. Makalah Seminar Sehari Pemenuhan Hak Atas Kecukupan Pangan, Jakarta, 13 April. Suratman. 2004. Perwilayahan Peternakan Mau Dibawa Kemana ?. Pusat Penelitian Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Suhardjo. 1989. Perencanaan Pangan dan Gizi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Bogor. Sumarwan U, Sukandar D. 1998. Identivikasi Indikator dan Variabel derta Kelaompok Sasaran dan Wilayah Rawan Pangan Nasional. Jurusan GMSK Faperta IPB, UNICEF dan Biro Perencanaan, Departemen Pertanian RI. Widuri Press. Bogor. Suryana A. 2001. Harmonisasi Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional dan Daerah dalam Prosiding Dialog dan Lokakarya Kebijakan dan Program pangan Prakarsa Swasta dan Pemerintah Daerah. P. Hariyadi, B. Krisnamurti, F. G Winarno (eds). Forum Kerja Penganekaragaman Pangan. Jakarta. Suryana A. 2004. Ketahanan Pangan Indonesia. Di dalam: Soekirman, Ananto KS, Ning P, Drajat M, Mewa A, Indrus J, Hardinsyah, Dahrulsyah, Carunia MF, editor. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII; Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). hlm39-51. Soekartawi A, Soeharjo, Dillon JL, Hardaker JB. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. UI Press. Jakarta. Soetrisna N. 2005. Strategi Pengembangan Ketahanan Pangan. Artikel – Tahun XIV. No 44, Januari. Majalah Pangan. Puslitbang Bulog. Jakarta.
143
Soekartawi. 2003. Teori Ekonomi Produksi Dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb-Douglas. PT Raja Grafindo Perkasa. Jakarta. Speth JG. 1993. Towards Sustainable Food Security. International Agricultural Research. Washington, D.C. Syarief H. 1991. Studi Identifikasi Daerah Rawan Pangan. Kerjasama Proyek Pengembangan Diversifikasi Pangan dan Gizi, Departemen Pertanian RI dan Jurusan GMSK, IPB. Bogor. Tilman D, Kenneth G, Cassman, Pamela A, Matson, Rosamond N & Stephen P. 2002. Agricultural Sustainability and Intensuve Production Practices. Nature Vol : 418. 8 Agustus. www.nature.com/nature [16 Februari 2007] , Produksi Produk Unggulan Jawa Timur. http://www.dispertajatim.org/produk-unggulan/index.html [23 Desember 2006] , Pedoman Budidaya Sapi Potong. http://www.warintekristek.go.id/budidaya/sapipotong.htm [23 Desember 2006] , Pedoman Budidaya Ayam Ras Petelur. http://www.warintekristek.go.id/budidaya/ayamraspetelur.htm [23 Desember 2006] , 1994. Investing in Natural Capital : The Ecological Approach to Sustainability. The International Society for Ecological Economics & Island Press. http://dieoff.org/page112.htm [15 Februari 2007] , Rekapitulasi Standart Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Timur Tahun 2005. www.dinkesjatim.go.id/images/datainfo/200606221512-DATA% [13 Mei 2007] , Peta Kerawanan Pangan di Indonesia. http://www.bkpjatim.or.id/pages/kewaspadaan-pangan/peta-kerawananpangan.php [13 Mei 2007] , Sustainable Resource Use and Global Food Security.. http://www.ers.usda.gov/publications/areai/ah722/areai7_1/BDGen.htm [13 Mei 2007]
144
Lampiran 1 Peta Kabupaten Nganjuk
145
Lampiran 2 Klasifikasi Kecamatan di Wilayah Kabupaten Nganjuk Berdasarkan Tingkatan Ekonomi
No
Kecamatan
Proporsi Keluarga Miskin (%) 47,35
Klasifikasi Ekonomi Rendah
1
Sawahan
2
Ngetos
42,47
Rendah
3
Berbek
39,21
Sedang
4
Loceret
36,53
Sedang
5
Pace
31,58
Sedang
6
Tanjunganom
34,05
Sedang
7
Prambon
19,09
Tinggi
8
Ngronggot
24,79
Tinggi
9
Kertosono
23,43
Tinggi
10
Patianrowo
38,73
Sedang
11
Baron
36,09
Sedang
12
Gondang
39,86
Sedang
13
Sukomoro
45,75
Rendah
14
Nganjuk
28,4
Tinggi
15
Bagor
24,43
Tinggi
16
Wilangan
35,64
Sedang
17
Rejoso
32,09
Sedang
18
Ngluyu
45,45
Rendah
19
Lengkong
40,67
Rendah
20
Jatikalen
51,16
Rendah
Ket : < 30 % = tinggi ; 30 – 40 % = sedang ; > 40 % = rendah Sumber : Kantor Urusan Ketahanan Pangan Kabupaten Nganjuk, 2005.
146
Lampiran 3 Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT) di Kabupaten Nganjuk
No
Jenis Bahan Pangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Daun Ubi Jalar Daun Ketela Pohon Daun Kenikir Daun Pepaya Gambas (Oyong) Kacang Panjang Daun Bayam Kangkung Daun Kemangi Sawi Hijau Kecipir Sawi Daging Sawi Putih Kelapa
15 16 17
Bistru Ketimun Nangka Muda/ Tewel
18
Jagung Muda
19
Pepaya Muda
20 21 22 23 24 25 26 27
Kelewih Lamtoro Kembang Turi Jantung Pisang Terong Bulat Rebung Bligo Manisa/ Gondes
28
Ketang
URT 1 ikat 1 ikat 1 ikat 1 ikat 1 buah (sedang) 1 ikat (kecil) 1 ikat (kecil) 1 ikat 1 ikat 1 ikat 1ikat 1 ikat 1 buah (sedang) 1 butir (besar) 1 butir (kecil) 1 buah (sedang) 1 buah (sedang) 1/2 buah (sedang) 1 bungkus (kecil) 1 buah (sedang) 1 bungkus (pipil) 1 buah (sedang) 1 bungkus 1 buah (sedang) 1 bungkus (kecil) 1 bungkus 1 buah (sedang) 1 bungkus 1 bungkus 1 buah (sedang) 1 buah (sedang) 1 buah (besar) 1 buah (besar) 1 buah (kecil)
Berat (Gram) 200 175 125 125 150 125 75 250 25 125 300 225 275 400 300 250 300 600 75 100 75 750 150 375 25 250 750 250 350 825 325 612,5 150 75
Harga Rp 100,Rp 200,Rp 200,Rp 200,Rp 400,Rp 250,Rp 250,Rp 250,Rp 100,Rp 400,Rp 300,Rp 3.500,-/kg Rp 500,Rp 2.000,Rp 1.000,Rp 1.500,-/kg Rp 300,Rp 250,Rp 1.500,-/kg Rp 100,Rp 200,Rp 2.000,-/kg Rp 400,Rp 1.000,Rp 1.000,Rp 1.500,-/kg Rp 4.000,-/kg
147
Lanjutan Lampiran 3 No 30 31 32 33
Jenis Bahan Pangan Labu Panjang Toge Kacang Hijau Toge Kedelai Wortel
34 Buncis 35 Terong Ungu 36 Kubis 37 Tempe Kedelai 38 Tahu Putih 39 Tahu Kuning 40 Pindang 41 Bothok Wader 42 Nasi Pecel (Nasi) Tahu Goreng Tempe Goreng Rempeyek Kacang Panjang Toge Kacang Hijau 43 Pisang Goreng 44 Tahu Isi 45 Tape Goreng 46 Singkong Goreng 47 Donat 48 Ote-ote / Bakwan 49 Kue Pukis 50 Kemplang 51 Pepaya Buah 52 Pisang Susu
URT 1 buah (besar) 1 bungkus 1 bungkus 1 buah 1 bungkus 1 buah 1 buah (sedang) 1 buah (kecil) 1/4 bagian 1 potong (kecil) 1 potong (sedang) 1 potong (besar) 1 buah (besar) 1 buah (kecil) 1 buah (besar) 1 besek (3 ekor) 1 besek (2 ekor) 1 bungkus 1 bungkus 1 potong 1 potong 2 buah 1 sdm 1 sdm 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah (kecil) 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah (kecil) 1 sisir 1 buah
Berat (Gram) 1.500 125 50 50 150 12,5 350 100 150 50 75 125 175 50 125 25 gr/ekor 100 gr/ekor 50 250 50 25 25 25 25 100 75 75 150 20 75 12,5 37,5 1.075 950 75
Harga Rp 2.500,Rp 300,Rp 2.500,-/kg Rp 2.500,-/kg Rp 2.000,-/kg Rp 350,Rp 700,Rp 1.000,Rp 300,Rp 100,Rp 1.100,Rp 1.250,Rp 2.500,Rp 500,-
Rp 1.500,-/kg
Rp 500,Rp 500,Rp 500,Rp 500,Rp 500,-
148
Lampiran 4 Metode Pengali Spargue (Sprague Multiples) untuk Memecah Kelompok Umur Demografi menjadi Kelompok Umur Kecukupan Gizi Data penduduk berdasarkan kelompok umur demografi dikelompokkan kembali berdasarkan kebutuhan perhitungan yaitu dengan menjumlahkan kelompok umur 20 sampai 29 tahun dan kelompok umur 30 sampai 59 tahun, kemudian dihitung persentasenya berdasarkan kelompok umur tersebut. Prinsip metode pengali spague adalah memecah jumlah penduduk menururt kelompok umur lima tahunan menjadi jumlah penduduk umur tunggal dengan menggunakan Faktor Pengali Sprague (FPS). Kelompok umur demografi yang perlu dipecah menjadi umur tunggal untuk menghitung AKE penduduk sebagai berikut : 1. Kelompok umur (0-4) tahun menjadi umur 0 dan 4 tahun, tanpa membedakan jenis kelamin. Sisanya umur (1-3) tahun. 2. Kelompok umur (5-9) tahun menjadi umur 5 dan 6 tahun, tanpa membedakan jenis kelamin. Sisabya umur (7-9) tahun. 3. Kelompok umur (10-14) tahun menjadi umur 13 dan 14 tahun, yang dibedakan menururt jenis kelamin. Sisanya umur (10-12) tahun. 4. Kelompok umur (15-19) tahun menjadi umur 15 tahun yang dibedakan menurut jenis kelamin. Sisanya umur (16-19) tahun. Setelah empat kelompok umur di atas dipecah, kemudian disusun dan dihitung jumlah (presentase) penduduk menurut umur kecukupan gizi. Secara umum perhitungan jumlah penduduk menggunakan Metode Multiple Sprague dirumuskan sebagai menurut : nj = ∑ (FPSi) (Ni) dimana : nj
= jumlah penduduk umur satu tahunan (umur tunggal) pada umur j, dimana j = umur tungal
FPSi
= Faktor Pengali Sprague pada kelompok umur lima tahunan yang ke-i
Ni
= jumlah penduduk kelompok umur lima tahunan pada kelompok umur ke-i
149
FPS dikelompokkan menjadi lima kelompok, yaitu First End Panel (FEP), First Next to End Panel (FNEP), Mid Panel (MP), Last Next to End Panel (LNEP) dan Last End Panel (LEP). FPS mana yang akan digunakan tergantung pada kelompok mana yang akan dipecah. Bila kelompok umur lima tahunan pertama (N1) yang akan dipecah maka digunakan FPS FEP, bila kelompok umur lima tahunan kedua (N2) yang akan dipecah maka digunakan FPS FNEP, bila kelompok umur lima tahunan ketiga (N3) dan keempat (N4) yang akan dipecah maka digunakan FPS MP. Tabel 1
Faktor Pengali Sprague (FPS) untuk memecah kelompok umur demografi (lima tahunan) menjadi kelompok umur tunggal
Umur Tunggal (nj)
Kelompok Umur Interval Lima Tahunan (Ni) N1
n0 n1 n2 n3 n4
+0,3616 +0,2640 +0,1840 +0,1200 +0,0704
n0 n1 n2 n3 n4
+0,0336 +0,0086 -0,0086 -0,0160 -0,0176
n0 n1 n2 n3 n4
-0,0128 -0,0016 +0,0064 +0,0064 +0,0016
n0 n1 n2 n3 n4
-0,0144 -0,0080 +0,0000 +0,0080 +0,0144
n0 n1 n2 n3 n4
+0,0176 +0,0160 +0,0080 -0,0080 -0,0144
N2 N3 N4 First End Panel (FEP) -0,2768 +0,1488 -0,0366 -0,0760 +0,0400 -0,0080 +0,0400 -0,0320 +0,0080 +0,1360 -0,0720 +0,0160 +0,1968 -0,0848 +0,0176 First Next to End Panel (FNEP) +0,2272 -0,0752 +0,0144 +0,2320 -0,0480 +0,0080 +0,2160 -0,0080 +0,0000 +0,1840 +0,0400 -0,0080 +0,1408 +0,0912 -0,0144 Mid Panel +0,0848 +0,1504 -0,0240 +0,0144 +0,2224 -0,0416 -0,0336 +0,2544 -0,0336 -0,0416 +0,2224 +0,0144 -0,0240 +0,1504 +0,0848 Last Next to End Panel (LNEP) +0,0912 +0,1408 -0,0176 +0,0400 +0,1840 -0,0160 -0,0080 +0,2160 -0,0080 -0,0480 +0,2320 +0,0080 -0,0752 +0,2272 +0,0336 Last End Panel (LEP) -0,0848 +0,1668 +0,0704 -0,0720 +0,1360 +0,1200 -0,0400 +0,0400 +0,1840 -0,0960 -0,0960 +0,2640 -0,2758 -0,2768 0,3616
N5 +0,0144 +0,0080 +0,0000 -0,0080 -0,0144 -
150
Lampiran 5
Komposisi Penduduk Jawa Timur Menururt Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2000 dan 2004
Tabel 1 Komposisi Penduduk Jawa Timur Menururt Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2000 Golongan Umur Laki-laki Perempuan Jumlah 00-04
1.515.882
1.439.228
2.955.110
05-09
1.675.016
1.552.540
3.227.556
10-14
1.637.129
1.547.811
3.184.940
15-19
1.524.813
1.429.729
2.954.542
20-24
1.544.683
1.594.519
3.139.202
25-29
1.397.461
1.557.082
2.954.543
30-34
1.423.671
1.436.201
2.859.872
35-39
1.373.786
1.383.947
2.757.733
40-44
1.172.117
1.381.340
2.553.457
45-49
1.017.694
1.025.073
2.042.767
50-54
825.257
816.498
1.641.755
55-59
537.377
571.549
1.108.926
60-64
546.569
663.198
1.209.767
65-69
898.159
1.171.119
2.069.278
Jumlah
17.089.614
17.709.834
34.709.448
151
Lanjutan Lampiran 5 Tabel 2
Komposisi Penduduk Jawa Timur Menururt Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2004 Laki-laki Perempuan Golongan Umur Jumlah (jiwa) (jiwa) (jiwa) 00-04
1.467.486
1.393.278
2.860.764
05-09
1.655.228
1.534.008
3.189.236
10-14
1.617.692
1.529.434
3.147.126
15-19
1.544.367
1.426.630
2.970.997
20-24
1.526.130
1.575.367
3.101.497
25-29
1.408.099
1.568.935
2.977.034
30-34
1.512.234
1.611.063
3.123.297
35-39
1.461.259
1.560.225
3.021.484
40-44
1.373.497
1.410.421
2.783.918
45-49
1.133.423
1.125.526
2.258.949
50-54
987.007
943.789
1.930.796
55-59
644.058
660.189
1.304.247
60-64
642.071
727.716
1.364.787
65-69
1.008.712
1.353.501
2.362.213
Jumlah
17.981.263
18.415.082
36.396.345
152
Lampiran 6
No 1
2
3
4
5
6
7
8 9
Pola Konsumsi Pangan dan Tingkat Kecukupan Energi Penduduk Kabupaten Nganjuk Tahun 2006
Kelompok/Jenis Pangan Kabupaten Nganjuk Padi-padian Beras giling Jagung Pipilan Tepung Terigu Umbi-umbian Ketela Pohon Ubi Jalar Sagu Kentang Talas Pangan Hewani Daging Ruminansia Daging Unggas Telur Susu Ikan Minyak dan Lemak Minyak Kelapa Minyak Sawit Lemak Minyak Lain Buah/Biji Berminyak Kelapa Kemiri Biji Jambu Mete Melinjo Kacang-kacangan Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Kacang Merah Gula Gula Pasir Gula Aren Gula Kelapa Sayur dan Buah Sayur-Sayuran Buah-Buahan Lain-Lain Minuman Bumbu Lainnya
Konsumsi Energi (kkal/kap/hari) 1603,8 946,4 920,9 2,2 23,3 63,5 49,7 3,9 0,0 5,8 4,0 79,6 3,5 12,2 11,9 15,6 36,5 185,4 0,0 185,4 0,0 0,0 54,7 54,1 0,6 0,0 0,0 128,7 27,4 95,4 1,0 5,0 33,2 23,7 0,0 9,5 111,4 52,1 59,3 0,9 0,0 0,9 0,0
Kecukupan Energi (kkal/kap/hari) 2008,4 1004,2
Tingkat Kecukupan Energi (%) 79,9 94,2
120,5
52,7
241,0
33,0
200,8
92,3
60,3
90,8
100,4
128,2
100,4
33,1
120,5
92,4
60,3
1,5
153
Lampiran 7 Pola Pangan Harapan (PPH) Kabupaten Nganjuk berdasarkan pembagian wilayah ekonomi Tahun 2006 Tabel 1 Pola Pangan Harapan (PPH) wilayah ekonomi tinggi No
Kelompok Pangan
Kalori
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Padi-padian 857,1 Umbi-umbian 54,1 Pangan Hewani 95,5 Minyak dan Lemak 263,7 Buah/Biji Berminyak 53,6 Kacang-kacangan 153,8 Gula 35,8 Sayur dan Buah 140,8 Lain-lain 3,5 Total 1657,9 Ket : *) AKE = 1.981 kkal/kap/hari
Perhitungan Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Skor Skor Skor % Bobot % Aktual AKE Maks AKE*) 51,7 43,3 0,5 25,8 21,6 25,0 3,3 2,7 0,5 1,6 1,4 2,5 5,8 4,8 2,0 11,5 9,6 24,0 15,9 13,3 0,5 8,0 6,7 5,0 3,2 2,7 0,5 1,6 1,4 1,0 9,3 7,8 2,0 18,6 15,5 10,0 2,2 1,8 0,5 1,1 0,9 2,5 8,5 7,1 5,0 42,5 35,6 30,0 0,2 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0 83,7 11,5 110,7 92,6 100,0
Skor PPH 21,6 1,4 9,6 5,0 1,0 10,0 0,9 30,0 0,0 79,5
Tabel 2 Pola Pangan Harapan (PPH) wilayah ekonomi sedang No
Kelompok Pangan
Kalori
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Padi-padian 911,6 Umbi-umbian 61,3 Pangan Hewani 70,1 Minyak dan Lemak 139,3 50,6 Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan 131,0 Gula 32,7 Sayur dan Buah 103,2 Lain-lain 0,0 Total 1499,7 Ket : *) AKE = 2.012 kkal/kap/hari
Perhitungan Skor Pola Pangan Harapan (PPH) % Skor Skor Skor % Bobot AKE*) Aktual AKE Maks 60,8 45,3 0,5 30,4 22,7 25,0 4,1 3,0 0,5 2,0 1,5 2,5 4,7 3,5 2,0 9,3 7,0 24,0 9,3 6,9 0,5 4,6 3,5 5,0 3,4 2,5 0,5 1,7 1,3 1,0 8,7 6,5 2,0 17,5 13,0 10,0 2,2 1,6 0,5 1,1 0,8 2,5 6,9 5,1 5,0 34,4 25,7 30,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0 74,5 11,5 101,1 75,3 100,0
Skor PPH 22,7 1,5 7,0 3,5 1,0 10,0 0,8 25,7 0,0 72,1
Tabel 3 Pola Pangan Harapan (PPH) wilayah ekonomi rendah No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kelompok Pangan
Kalori
Padi-padian 1087,9 Umbi-umbian 77,4 Pangan Hewani 76,7 Minyak dan Lemak 176,4 Buah/Biji Berminyak 62,0 Kacang-kacangan 100,3 Gula 31,3 Sayur dan Buah 93,9 Lain-lain 0,0 Total 1706,0 Ket : *) AKE = 2.031 kkal/kap/hari
Perhitungan Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Skor Skor Skor % % Bobot AKE*) Aktual AKE Maks 63,8 53,6 0,5 31,9 26,8 25,0 4,5 3,8 0,5 2,3 1,9 2,5 4,5 3,8 2,0 9,0 7,6 24,0 10,3 8,7 0,5 5,2 4,3 5,0 3,6 3,1 0,5 1,8 1,5 1,0 5,9 4,9 2,0 11,8 9,9 10,0 1,8 1,5 0,5 0,9 0,8 2,5 5,5 4,6 5,0 27,5 23,1 30,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0 84,0 11,5 90,3 75,9 100,0
Skor PPH 25,0 1,9 7,6 4,3 1,0 9,9 0,8 23,1 0,0 73,6
154
Lampiran 8 Proyeksi dan Gap Kebutuhan Pangan Tahun 2008 dan 2010
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kelompok Pangan Total Pangan Padi-padian Beras giling Jagung Pipilan Tepung Terigu Umbi-umbian Ketela Pohon Ubi Jalar Sagu Kentang Talas Pangan Hewani Daging Ruminansia Daging Unggas Telur Susu Ikan Minyak dan Lemak Minyak Kelapa Minyak Sawit Lemak Minyak Lain Buah/Biji Berminyak Kelapa Kemiri Biji Jambu Mete Melinjo Kacang-kacangan Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Kacang Merah Gula Gula Pasir Gula Aren Gula Kelapa Sayur dan Buah Sayur-Sayuran Buah-Buahan Lain-Lain Minuman Bumbu Lainnya
Proyeksi Kebutuhan Pangan Tahun 2008 Tahun 2010 Kebt Pangan Kebt Pangan Gap (ton) Gap (ton) (ton) (ton) 279.763 99.930 295.866 83.827 112.810 10.032 114.437 8.404 109.774 9.762 111.357 8.178 263 23 267 20 2.773 247 2.813 207 26.677 13.526 28.855 11.348 20.888 10.591 22.594 8.886 1.650 837 1.785 702 0 0 0 0 2.437 1.236 2.636 1.037 1.701 863 1.840 724 28.486 34.052 33.965 28.573 1.239 1.481 1.478 1.243 4.352 5.203 5.190 4.366 4.256 5.087 5.074 4.269 5.571 6.659 6.642 5.588 13.068 15.621 15.581 13.108 9.312 1.855 9.612 1.556 0 0 0 0 9.312 1.855 9.612 1.556 0 0 0 0 0 0 0 0 11.113 -6.646 10.046 -5.579 10.985 -6.569 9.930 -5.514 128 -76 115 -64 0 0 0 0 0 0 0 0 16.343 -709 16.231 -597 3.473 -151 3.449 -127 12.111 -525 12.028 -442 130 -6 129 -5 630 -27 625 -23 5.164 8.237 6.489 6.912 3.685 5.878 4.630 4.932 0 0 0 0 1.479 2.359 1.859 1.980 68.847 33.893 74.306 28.435 32.188 15.846 34.740 13.294 36.659 18.047 39.565 15.141 1.011 5.689 1.926 4.774 0 0 0 0 1.011 5.689 1.926 4.774 0 0 0 0
Tahun 2020 Kebt Pangan (ton) 379.693 122.842 119.536 286 3.020 40.203 31.479 2.487 0 3.673 2.564 62.538 2.721 9.555 9.343 12.230 28.688 11.167 0 11.167 0 0 4.467 4.416 51 0 0 15.634 3.322 11.585 125 602 13.401 9.563 0 3.838 102.740 48.034 54.706 6.700 0 6.700 0
155
Lampiran 9 Produksi Pangan Nabati di Kabupaten Nganjuk Tabel 1 Produksi padi, jagung dan kacang-kacangan tahun 1996 sampai 2005 di Kabupaten Nganjuk No
Komoditas Pangan
Produksi (ton) 1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
1 Padi (GKG)
355.051
357.033
363.172
363.200
342.264
351.876
356.533
378.822
390.232
388.628
2 Jagung
119.792
113.313
112.577
117.472
119.564
118.901
148.678
145.369
168.254
185.130
88.495
83.282
81.654
81.973
89.730
93.508
75.679
65.584
77.692
81.927
4.130
4.247
3.415
6.701
4.522
5.240
3.009
2.327
2.403
3.298
813
994
771
1.130
1.089
1.031
2.592
2.388
3.290
3.419
23.365
27.874
24.002
23.225
25.809
18.134
15.933
11.836
13.997
14.156
482
333
168
801
674
1.046
838
1.116
1.300
1.413
3 Ketela Pohon 4 Ubi Jalar 5 Kacang Tanah 6 Kedelai 7 Kacang Hijau
Tabel 2 Produksi komoditas perkebunan tahun 1997 sampai 2005 di Kabupaten Nganjuk No
Komoditas Pangan
Produksi (ton) 1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2.559
2.473
1.649
4.055
1.300
2.548
2.413
3.214
3.755
102
92
91
61
54
146
149
66
70
1.539
2.573
642
354
379
3.104
2.360
773
475
196
253
342
228
141
111
148
129
168
1
Kelapa
2
Kopi
3
Cengkeh
4
Jambu Mete
5
Tebu
19.635
28.520
14.221
42.556
6.486
10.659
13.288
15.615
17.987
6
Wijen
168
252
425
508
391
105
119
164
206
156
Tabel 3 Produksi komoditas sayur-sayuran tahun 1997 sampai 2005 di Kabupaten Nganjuk No
Komoditas Pangan
Produksi (ton) 1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
65,0
19,7
15,2
12,7
16,7
9,1
28,3
50,1
24,6
2 Bawang Merah
56.840
18.239
28.685
25.597
45.717
50.563
68.034
72.593
78.207
3 Cabai
1.999
1.049
3.466
4.630
1.636
2.573
2.436
2.710
1.094
4 Kacang Panjang
594,4
680,8
225,0
693,4
1.185,0
566,0
761,3
761,3
625,3
5 Terong
33,7
15,9
41,2
38,3
14,6
62,2
22,9
38,2
44,6
6 Bayam
37,6
49,5
24,1
26,3
19,8
18,9
15,3
30,9
17,7
7 Ketimun
16,5
34,3
22,5
19,7
26,4
30,3
26,4
48,1
48,1
2002
2003
2004
2005
1 Tomat
Tabel 4 Produksi buah-buahan tahun 1997 sampai 2005 di Kabupaten Nganjuk No
Komoditas Pangan
Produksi (ton) 1997
1998
1999
2000
2001
1
Alpokad
521,4
416,3
339,0
2.206,8
281,2
288,6
467,8
224,2
431,0
2
Mangga
10.874
14.235
31.451
11.105
42.104
7.444
60.844
14.795
5.984
3
Rambutan
856
328
1.709
1.994
1.796
981
1.289
218
516
4
Duku/Langsep
53,5
51,5
44,1
65,6
192,1
171,7
130,1
19,7
146,8
5
Durian
469,3
549,5
310,2
7.106,0
446,4
247,9
397,5
126,2
703,9
6
Jambu Air/Biji
572
493
617
738
884
3.032
5.124
3.416
2.565
7
Sawo
183,5
127,5
250,0
647,3
316,2
379,5
430,7
460,3
794,5
8
Pepaya
3.622
4.587
1.155
1.112
2.263
1.960
1.503
5.435
2.563
9
Pisang
23.579
28.992
10.993
57.086
16.304
16.036
28.824
23.211
30.202
10
Salak
102,4
35,5
302,1
32,4
204,1
139,4
64,4
43,5
162,0
157
Lampiran 10 Produksi Pangan Hewani di Kabupaten Nganjuk Tabel 1 Produksi pangan hewani dari petenakan tahun 1996/1997 sampai tahun 2005 di Kabupaten Nganjuk Produksi (ton) No Komoditas Pangan 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 1 Telur Ayam Buras 866 873 1.197 2 Telur Ayam Ras 1.500 596 446 3 Telur Itik 479 453 407 4 Susu* 131 125 5 Daging Sapi 2.134 2.572 6 Daging Kerbau 64 73 7 Daging Kambing 1.364 1.125 852 667 8 Daging Domba 9 Daging Babi 19 23 1.255 1.823 10 Daging Ayam Buras 11 Daging Ayam Ras 1.130 1.004 21 34 12 Daging Itik Keterangan : * = liter Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Nganjuk
885 554 415 121 3.345 50 899 533 18 1.156 987 25
707 680 221 177 3.163 46 904 535 21 2.539 2.571 19
857 448 418 207 3.301 44 990 517 14 2.926 2.338 28
854 1.028 342 244 3.020 39 744 461 7 1.446 1.311 39
2003
2004
2005
566 1100 249 172 804 1 1.406 873 1 878 10.344 14
588 1.815 438 235 644 1 1.411 882 1 336 10.348 14
1.409 5.356 343 67 608 1 126 113 0 179 1.700 6
158
Lanjutan Lampiran 10 Tabel 2 Produksi pangan hewani dari perikanan tahun 1997 sampai 2005 di Kabupaten Nganjuk Produksi (ton) No Komoditas Pangan 1997 1998 1999 2000 2001 2002 1 2 3 4 5 6 7
Mujaer 110 104 125 Tombro 18 21 17 Tawes 136 210 125 Lele 824,0 759 964 Gurame 108,0 112 127 Bandeng 0 0,7 0,5 Lain-lain 324 583 553 Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Nganjuk
119 25 149 883 117 1 549
114 26 249 1.141 136 1,7 488
114 41 249 1.201 141 1 444
2003
2004
2005
235 85 206 1.285 106 2 522
283 110 177 1.457 129 2 449
323 90 350 1.495 130 3 293
159
Lampiran 11 Hasil Proyeksi Produksi Pangan Menggunakan Metode Least Squares Model Linier Tabel 1 Proyeksi produksi padi, jagung dan kacang-kacangan tahun 2006 sampai 2010 di Kabupaten Nganjuk No 1 2 3 4 5 6 7
Komoditas Pangan Padi Jagung Ketela Pohon Ubi Jalar Kacang Tanah Kedelai Kacang Hijau
Persamaan Garis Tren Yi = 348 + 4 Xi Yi = 101 + 7 Xi Yi = 87 - 1,17 Xi Yi = 4,9 - 0,22 Xi Yi = 0,7 + 0,26 Xi Yi = 27,2 - 1,6 Xi Yi = 0,26 + 0,12 Xi
2006 384.762 175.890 75.496 2.723 3.483 10.820 1.496
Proyeksi Produksi (ton) 2007 2008 2009 388.414 392.065 395.716 183.342 190.793 198.245 74.322 73.148 71.974 2.503 2.284 2.065 3.798 4.113 4.427 9.181 7.542 5.903 1.620 1.743 1.867
2010 399.367 205.697 70.800 1.845 4.742 4.265 1.990
Tabel 2 Proyeksi produksi komoditas sayur-sayuran tahun 2006 sampai 2010 di Kabupaten Nganjuk No 1 2 3 4 5 6 7
Komoditas Pangan Bawang Merah Cabai Kacang Panjang Terong Bayam Tomat Ketimun
Persamaan Garis Tren Yi = 2.597 + 5.870 Xi Yi = 2.582 - 46 Xi Yi = 590 + 22 Xi Yi = 28,1 + 1,6 Xi Yi = 37,4 - 2,7 Xi Yi = 30 - 0,8 Xi Yi = 17,8 + 3,1 Xi
2006 78.735 2.170 786 42,8 13,3 45,8 22,8
Proyeksi Produksi (ton) 2007 2008 2009 84.605 90.475 96.345 2.124 2.078 2.033 808 830 852 44,4 46,0 47,7 10,6 8,0 5,3 48,9 52,0 55,1 22,0 21,2 20,4
2010 102.215 1.987 873 49,3 2,6 58,2 19,7
Tabel 3 Proyeksi produksi buah-buahan tahun 2006 sampai 2010 di Kabupaten Nganjuk No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Komoditas Pangan Alpokad Mangga Rambutan Duku/Langsep Durian Jamu Air/Biji Sawo Pepaya Pisang Salak
Persamaan Garis Tren Yi = 748 - 43,3 Xi Yi = 19.610 + 621 Xi Yi = 1.313 - 59 Xi Yi = 60,2 + 9,3 Xi Yi = 1.618 - 117 Xi Yi = 68 + 467 Xi Yi = 163 + 58,9 Xi Yi = 2.699 - 2,5 Xi Yi = 25.886 + 62,6 Xi Yi = 128 - 1,8 Xi
2006 359 25.197 781 144 566 4.275 693 2.676 26.450 112
Proyeksi Produksi (ton) 2007 2008 2009 315 272 229 25.817 26.438 27.059 722 663 604 153 162 171 449 332 215 4.743 5.210 5.678 752 811 870 2.674 2.671 2.669 26.512 26.575 26.638 110 108 107
2010 185 27.680 545 181 99 6.145 929 2.666 26.700 105
160
Lanjutan Lampira 11 Tabel 4 No 1 2 3 4 5 6
Proyeksi produksi komoditas perkebunan tahun 2006 sampai 2010 di Kabupaten Nganjuk
Komoditas Pangan Kelapa Kopi Cengkeh Jambu Mete Tebu* Wijen
Persamaan Garis Tren Yi = 2.195 + 117 Xi Yi = 92,8 - 0,1 Xi Yi = 1.587 - 58 Xi Yi = 257 - 16,5 Xi Yi = 18.392 - 746 Xi Yi = 335 - 18,8 Xi
2006 3.249 92 1.066 108 12.185 166
Proyeksi Produksi (ton) 2007 2008 2009 3.366 3.483 3.600 92 92 92 1.008 951 893 92 75 59 10.867 9.549 8.231 147 128 110
2010 3.717 92 835 42 6.914 91
Keterangan : * = kristal gula (hablur) Tabel 5
Proyeksi produksi komoditas peternakan tahun 2006 sampai 2010 di Kabupaten Nganjuk
No
Komoditas Pangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Telur Ayam Buras Telur Ayam Ras Telur Itik Susu* Daging Sapi Daging Kerbau Daging Kambing Daging Domba Daging Babi Daging Ayam Buras Daging Ayam Ras Daging Itik
Persamaan Garis Tren Yi = 886 - 1,2 Xi Yi = 51,47 + 289 Xi Yi = 435 - 13 Xi Yi = 148 + 4,1 Xi Yi = 3.318 - 285 Xi Yi = 74 - 9,6 Xi Yi = 1.213 - 54 Xi Yi = 717 - 28,4 Xi Yi = 24 - 3,2 Xi Yi = 2.087 - 174 Xi Yi = 342 + 796 Xi Yi = 30,4 - 2 Xi
2006 873,3 2.942,2 305,1 184,8 750,7 -12,3 726,6 461,6 -4,3 525,3 7.506,4 12,1
Proyeksi Produksi (ton) 2007 2008 2009 872,1 870,8 869,6 3.231,3 3.520,3 3.809,4 292,2 279,2 266,2 188,8 192,9 197,0 465,5 180,3 -105,0 -21,9 -31,4 -41,0 672,6 618,6 564,6 433,2 404,8 376,3 -7,4 -10,6 -13,8 351,7 178,1 4,6 8.302,5 9.098,6 9.894,7 10,0 8,0 6,0
2010 868,3 4.098,5 253,2 201,0 -390,2 -50,5 510,6 347,9 -16,9 -169,0 10.690,8 3,9
Keterangan : * = ribu liter Tabel 6 Proyeksi produksi komoditas perikanan tahun 2006 sampai 2010 di Kabupaten Nganjuk No 1 2 3 4 5 6 7
Komoditas Pangan Mujaer Tombro Tawes Lele Gurame Lain-lain Bandeng
Persamaan Garis Tren Yi = 62,7 + 26,7 Xi Yi = 1 + 11,8 Xi Yi = 137,7 + 17 Xi Yi = 729,6 + 95,6 Xi Yi = 114,8 + 2 Xi Yi = 513,4 - 11,6 Xi Yi = 0,1 + 0,3 Xi
2006 303,3 107,0 290,6 1.590,3 133,0 409,5 2,9
Proyeksi Produksi (ton) 2007 2008 2009 330,1 356,8 383,5 118,8 130,6 142,4 307,6 324,6 341,5 1.685,9 1.781,5 1.877,2 135,0 137,0 139,0 397,9 386,4 374,8 3,2 3,5 3,8
2010 410,3 154,2 358,5 1.972,8 141,0 363,3 4,2
161
Lampiran 12 Perbandingan antara Ketersediaan dan Kebutuhan Lahan Tabel 1 Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan lahan sawah untuk komoditas padi, jagung, kacang-kacangan dan sayuran tahun 2008 dan 2010 di Kabupaten Nganjuk Tahun 2008 2010 Tahun 2008 2010 Tahun 2008 2010
42.230 42.067 Ketersediaan Lahan Sawah (ha)
Ditanami Padi 2x % ha 66 27.872 66 27.764 Kebutuhan Lahan unt Jagung (ha)
42.230 42.067 Ketersediaan Lahan Sawah (ha) 42.230 42.067
423 428 Kebutuhan Lahan untuk Sayuran (ha) 5.702 6.406
Ketersediaan Lahan Sawah (ha)
% 33 33
Ditanami Padi 1x ha 13.936 13.882
Luas Tanam Tersedia (ha)
Kebuth Luas Tanam (ha)
69.680 69.411
Kebutuhan Lahan untuk Kacang-kacangan (ha) 7.565 8.421
30.691 31.358
Kebutuhan Total (ha) 13.267 14.827
Tabel 2 Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan lahan kering untuk komoditas umbi-umbian, buah-buahan, kelapa dan tebu tahun 2008 dan 2010 di Kabupaten Nganjuk Tahun 2008 2010 Tahun 2008 2010
Ketersediaan Lahan Kering (ha) 31.196 30.941 Ketersediaan Lahan Kering (ha) 31.196 30.941
Tegal % ha 30 9.359 30 9.282 Perkebunan % ha 20 6.239 20 6.188
Kebutuhan Lahan Ketela Pohon & Ubi Jalar (ha) 1.336 1.506 Kebutuhan Lahan Tebu (ha) 616 886
% 50 50
Pekarangan ha 15.598 15.471
Kebutuhan Lahan Pisang & Kelapa (ha) 3.918 8.007
162
Lampiran 13 Analisis Usahatani on farm Pangan Nabati
Analisis Usahatani Padi Sawah (per ha) a. Biaya produksi 1. Sewa lahan
Rp.
875.000,-
2. Bibit: benih 25 kg @ Rp. 3.500,-
Rp.
87.500,-
3. Pupuk -
Urea: 300 kg @ Rp. 1.300,-
Rp.
390.000,-
-
ZA: 200 kg @ Rp. 1.040,-
Rp.
208.000,-
-
SP-36: 200 kg @ Rp. 1.480,-
Rp.
296.000,-
− KCI: 150 kg @ Rp. 2.900,-
Rp.
435.000,-
-
Rp.
340.000,-
Rp.
366.000,-
Rp.
50.000,-
-
Pengolahan tanah dengan mesin 15 HOK @ Rp. 20.000,- Rp.
300.000,-
-
Menanam 20 HOK @ Rp. 10.000,-
Rp.
200.000,-
-
Penyiangan 15 HOK @ Rp. 15.000,-
Rp.
225.000,-
-
Pemupukan 9 HOK @ Rp. 15.000,-
Rp.
135.000,-
-
Pemberantasan OPT 4 HOK @ Rp. 15.000,-
Rp.
60.000,-
Ponska : 200 kg @ Rp. 1.700,-
4. Pestisida 5. Tenaga kerja − Persemaian 5 HOK @ Rp. 10.000,-
6. Panen dan pascapanen − Merontok, mengeringkan, angkut 72 HOK@ Rp. 20.000,-Rp. 1.440.000,− Ongos angkut ke pasar
Rp.
300.000,-
Jumlah biaya produksi
Rp 5.707.500,-
b. Pendapatan 5.600 kg (GKG) @ Rp. 1.600,-
Rp. 8.960.000,-
c. Keuntungan
Rp. 3.252.500,-
d_ Parameter kelayakan usaha 1. B/C Ratio
= 0,57
163
Analisis Usahatani Kacang Tanah Per Ha
Biaya produksi 1. Sewa lahan 1 musim tanam
Rp.
500.000,-
2. Bibit: benih 200 kg @ Rp 5.000,-
Rp. 1.000.000,-
3. Pupuk − Urea: 200 kg @ Rp. 1.300,-
Rp.
260.000,-
− TSP: 150 kg @ Rp. 1.700,-
Rp.
255.000,-
− KCL: 100 kg @ Rp. 2.900,-
Rp.
290.000,-
4. Pestisida: 2 liter @ Rp. 65.000,-
Rp.
130.000,-
5. Peralatan
Rp.
300.000,-
6. Tenaga kerja -
Pengolah tanah 50 HKP @ Rp 15.000,-
Rp.
750.000,-
-
Penanaman dan pemupukan 20 HOK @ Rp 15.000,-
Rp.
300.000,-
-
Penyiangan dan pembubutan 10 HOK @ Rp 10.000,-
Rp.
100.000,-
7. Panen dan pasca panen 14 HOK @ Rp 20.000,-
Rp.
280.000,-
8. Lain-lain
Rp.
500.000,-
Jumlah Biaya produksi
Rp. 4.665.000,-
Pendapatan 1. Berupa polong kering 3.400 kg @ Rp. 2.400,-
Rp. 8.160.000,-
Keuntungan bersih 1. Berupa polong kering
Rp. 3.505.000,-
Parameter kelayakan usaha 1. B/C rasio
= 0,75
164
Analisis Usahatani Kacang Hijau Per Ha
a. Biaya produksi 1. Sewa lahan satu musim tanam ( 3 bulan)
Rp.
450.000,-
2. Bibit: benih 35 kg @ Rp. 4.000,-
Rp.
140.000,-
− Urea: 50 kg @ Rp.1.300,-
Rp.
65.000,-
− SP-36: 75 kg @ Rp. 1.480,-
Rp.
111.000,-
− KC1: 50 kg @ Rp. 2.900,-
Rp.
145.000,-
4. Pestisida: 2 kg @ Rp. 65,000,-
Rp.
135.000,-
5. Peralatan pertanian
Rp.
200.000,-
− Pengolahan tanah 10 HKP @ Rp. 15.000,-
Rp.
150.000,-
− Pembuatan saluran drainase 10 HKP
Rp.
100.000,-
− Tanam 30 HKW @ Rp. 10.000,-
Rp.
300.000,-
-
Pemupukan 4 HKP @ Rp 15.000,-
Rp.
60.000,-
-
Penyiangan 25 HKW @ Rp 10.000,-
Rp.
250.000,-
-
Penyemprotan 5 HKP @ Rp 10.000,-
Rp.
50.000,-
Rp.
150.000,-
Rp.
100.000,-
3. Pupuk
6. Tenaga kerja
7. Panen dan pascapanen -
Panen 10 HKW @ Rp. 15.000,-
− Pasca panen 10 HKW @ Rp 10.000,Jumlah biaya produksi
Rp. 2.406.000,-
b. Pendapatan 1.150kg @ Rp. 3.000,-
Rp. 3.450.000,-
c. Keuntungan
Rp. 1.404.000,-
d. Parameter kelayakan usaha B/C Rasio
= 0,58
165
Analisis Usahatani Jagung Per Ha
a. Biaya produksi 1. Sewa 1 hektar per musim tanam
Rp.
450.000,-
2. Bibit: benih jagung 20 kg @ Rp. 28.000,-
Rp.
560.000,-
− Urea: 300 kg @ Rp. 1.300,-
Rp.
390.000,-
-
SP 36: 100 kg @ Rp.1.700,-
Rp.
170.000,-
-
KC1: 100 kg @ Rp. 2.900,-
Rp.
290.000,-
Rp.
130.000,-
Rp.
450.000,-
− Penanaman: 20 OH @ Rp. 13.000,-
Rp.
260.000,-
-
Penyiangan dan pembumbunan (borongan)
Rp.
100.000,-
-
Pemupukan: 20 OH @ Rp. 15.000,-
Rp.
300.000,-
-
Pemeliharaan lain
Rp.
100.000,-
6. Panen
Rp.
250.000,-
7. Biaya lain-lain
Rp.
100.000,-
Jumlah biaya produksi
Rp.
3.550.000,-
b. Pendapatan: 6.000 kg.@ Rp. 1.000,-
Rp.
6.000.000,-
c. Keuntungan bersih
Rp.
2.450.000,-
3. Pupuk
4. Pestisida -
Insektisida: 2 liter @ Rp. 65.000,-
5. Tenaga kerja -
Pengolahan lahan
d. Parameter kelayakan usaha 1. Rasio B/C
=
0,69
166
Analisis Usahatani Ubi Jalar Per Ha a. Biaya produksi 1. Sewa lahan 6 bulan
Rp.
900.000,-
2. Bibit: 50.000 stek (500 kg)
Rp.
250.000,-
3. Pupuk -
Urea: 250 kg @ Rp. 1.300,-
Rp.
325.000,-
-
TSP: 100 kg @ Rp. 1.800,-
Rp.
180.000,-
-
KC1: 200 g @ Rp. 2.900,-
Rp.
290.000,-
Rp.
580.000,-
4. Pestisida: 2 liter (kg) 5. Tenaga kerja -
Pengolahan tanah dan pengguludan 50 HOK
Rp.
750.000,-
-
Penyiapan bibit 4 HKP+8 HKW
Rp.
120.000,-
-
Penanaman 40 HOK
Rp.
600.000,-
− Pembongkaran guludan dan penyiangan 20 HOK
Rp.
300.000,-
− Pupuk, balik batang dan pengguludan 40 HOK
Rp.
600.000,-
-
Pengairan 2 kali (8 HKP)
Rp.
80.000,-
-
Pengendalian hama penyakit 4 HKP
Rp.
60.000,-
6. Panen dan pasca panen 40 HOK
Rp.
600.000,-
7. Alat dan penyusutan
Rp.
150.000,-
Jumlah biaya produksi
Rp. 5.180.000,-
b. Pendapatan : 11.000 kg @ Rp. 700
Rp. 7.700.000,-
c. Keuntungan
Rp.
2.520.000,-
d. Parameter kelayakan usaha 1. Rasio B/C
= 0,49
167
Analisa Usahatani Pisang Per Ha Selama 4 Thn a) Biaya produksi 1 ha pisang dari tahun ke-1 sampai ke-4 adalah: 1. Tahun ke-1
Rp. 5.338.000,-
2. Tahun ke-2
Rp. 4.235.000,-
3. Tahun ke-3
Rp. 4.518.000,-
4. Tahun ke-4
Rp. 4.545.300,-
b) Penerimaan tahun ke I sampai IV *) 1. Tahun ke-1: 0,8 x 1.000 tandan
Rp. 6.000.000,-
2. Tahun ke-2: 0,8 x 2.000 tandan
Rp. 12.000.000,-
3. Tahun ke-3: 0,8 x 2.000 tandan
Rp. 12.000.000,-
4. Tahun ke-4: 0,8 x 2.000 tandan
Rp. 12.000.000,-
c) Keuntungan 1. Keuntungan selama 4 tahun penanaman
Rp. 23.363.700,-
2. Keuntungan/tahun
Rp. 5.840.925,-
d) Parameter kelayakan usaha 1. Output/Input rasio
Keterangan : *) perkiraan harga 1 tandan Rp. 7.500,-
= 2,150
168
Analisis Usahatani Kacang Panjang Per Ha a. Biaya produksi 1. Sewa lahan 1 hektar (4 bulan)
Rp. 450.000,-
2. Benih: 10 kg
Rp. 250.000,-
3. Pupuk -
Pupuk kandang: 10 ton @ Rp. 150.000,-
Rp.1.500.000,-
-
Urea: 300 kg @ Rp. 1.300,-
Rp. 390.000,-
-
SP-36: 100 kg @ Rp. 1.480,-
Rp. 148.000,-
-
KC!: 100 kg @ Rp. 2.900,-
Rp. 290.000,-
4. Pestisida
Rp. 400.000,-
5. Penanaman dan pemeliharaan -
Pemupukan dan penanaman: 10 HOK @ Rp. 10.000,-
Rp. 100.000,-
-
Tunis: 10.000 batang @ Rp. 50
Rp. 500.000,-
- ` Penyiangan, tutus dan semprot 20 HOK @ Rp. 15.000,-
Rp. 300.000,-
-
Rp. 400.000,-
Panen dan pasta panen 5 HKP + 15 HKW @ Rp. 20.000
6. Biaya tidak terduga
Rp. 500.000,-
Jumlah biaya produksi
Rp.5.228.000,-
b. Pendapatan : 5.800 kg @ Rp. 1.100,-
Rp.6.380.000,-
c. Keuntungan
Rp.1.652.000,-
d. Parameter kelayakan usaha 1. Rasio B/C
= 0,32
169
Analisis Usahatani Ketela Pohon Per Ha a. Biaya produksi 1. Sewa lahan per musim (lahan kering)
Rp. 800.000,-
2. Bibit + 11.000 stek @ Rp 50,-
Rp. 550.000,-
3. Pupuk -
Urea: 250 kg @ Rp 1.300,-
Rp. 325.000,-
− TSP: 150 kg @ Rp 1.700,Rp. 255.000,-
KC1: 200 kg @ Rp 2.900,-
Rp. 580.000,-
4. Pestisida: 2 kg (liter) @ Rp 50.000,-
Rp. 100.000,-
5. Pajak dan peralatan
Rp. 300.000,-
6. Tenaga kerja -
Pengolahan lahan 70 HKP @ Rp 15.000,-
Rp. 1.050.000,-
− Penanaman 15 HOK @ Rp. 10.000,-
Rp. 150.000,-
-
Rp. 525.000,-
Pemupukan 10 HKP +25 HKW @ Rp. 15.000,-
− Penyiangan dan pembubunan 40 HOK ,-@ Rp. 10.000,- Rp. 400.000,7. Panen dan pasca panen
Rp. 400.000,-
Jumlah biaya produksi
Rp.5.435.000,-
b. Pendapatan 17.300 kg @ Rp 500,-
Rp.8.650.000,-
c. Keuntungan
Rp.3.215.000,-
d. Parameter kelayakan usaha 1. B/C rasio
= 0,59
170
Analisis Usahatani Kedelai (per ha) a) Biaya produksi 1. Sewa lahan 1 ha, 1 musim tanam
Rp. 450.000,-
2. Bibit: benih 40 kg @ Rp. 6.500,-
Rp. 260.000,-
3. Pupuk dan kapur - Urea: 100 kg @ Rp. 1.300,-
Rp.
130.000,-
- SP-36: 200 @ Rp. 1.480,-
Rp.
296.000,-
- Kapur: 1000 kg @ Rp. 300,-
Rp.
300.000,-
- Pestisida 2 liter @ Rp. 100.00,-
Rp.
200.000,-
- Legin
Rp.
200.000,-
- Pengolahan tanah 20 HOK × Rp. 20.000,-
Rp.
400.000,-
- Penanaman 20 HOK × Rp. 10.000,-
Rp.
200.000,-
- Pemeliharaan 15 HOK × Rp. 15.000,-
Rp.
225.000,-
Rp.
750.000,-
4. Pestisida
5. Tenaga kerja
6. Panen dan pasca panen Jumlah biaya produksi
Rp. 3.411.000,-
b) Pendapatan 1.450 kg @ Rp. 3.000,-
Rp. 4.350.000,-
c) Keuntungan
Rp.
939.000,-
d) Parameter kelayakan usaha 1. B/C Ratio
= 0,28
171
Grafik Konsumsi Energi dan Kecukupan Energi Menurut Klasifikasi Wilayah Berdasarkan Kondisi Ekonomi 2500 2000 1500
Daerah Ekonomi Tinggi
1000
Daerah Ekonomi Sedang
500
Daerah Ekonomi Rendah
0 Konsumsi Energi Kecukupan Energi (Kkal/Kap/Hari) (Kkal/Kap/Hari)
Grafik Konsumsi Protein dan Kecukupan Protein Menurut Klasifikasi Wilayah Berdasarkan Kondisi Ekonomi 60,0 50,0 40,0 Daerah Ekonomi Tinggi
30,0
Daerah Ekonomi Sedang
20,0
Daerah Ekonomi Rendah
10,0 0,0 Konsumsi Protein (Gram/Kap/Hari)
Kecukupan Protein (Gram/Kap/Hari)
Grafik Tingkat Pencapaian Konsumsi Terhadap AKE dan Skor PPH Menurut Klasifikasi Wilayah Berdasarkan Kondisi Ekonomi
172
100,0 80,0 60,0
Daerah Ekonomi Tinggi Daerah Ekonomi Sedang
40,0
Daerah Ekonomi Rendah 20,0 0,0 % AKE
Skor PPH
Grafik Tingkat Pencapaian Konsumsi ProteinTerhadap AKP dan Skor PPH Menurut Klasifikasi Wilayah Berdasarkan Kondisi Ekonomi 100,0 80,0 60,0
Daerah Ekonomi Tinggi Daerah Ekonomi Sedang
40,0
Daerah Ekonomi Rendah 20,0 0,0 % AKP
Skor PPH