SITUASI KEMISKINAN DAN PROSES MARGINALISASI PETANI DATARAN TINGGI GARUT (Studi Kasus Komunitas Petani di Dua Dataran Tinggi Garut)
MUHAMMAD YUSUF
=
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Situasi Kemiskinan Dan Proses Marginalisasi Petani Dataran Tinggi Garut, Studi Kasus Komunitas Petani di Dua Dataran Tinggi Garut adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2011
Muhammad Yusuf NIM I351060091
ABSTRACT MUHAMMAD YUSUF. Poverty and Marginalization Process of Peasants in Upland of Garut. Case Study of Two Peasants Community in Garut Upland Garut is one of the upland areas in West Java with domestic income contribution from the agricultural sector is the highest compared to other sectors. On the other hand, the problem of rural poverty is still a problem faced Garut regency. Through the excavation of land tenure history and commodity distribution chain analysis, indicates that the process of impoverishment in the uplands caused by land occupation by the state through the forestry and plantation companies that resulted in the loss of farmers from force of production. In addition, the marginalization process of farmers continue to take place through the relations of production and distribution prevailing at the level of community amid the presence of a local peasant movements. This is due to the arena of local peasant movement is still centered on securing land tenure from the physical threat from plantations and forestry apparatus of the state. Keywords: Garut Regency, Upland, Poverty, and Marginalization Proccess.
RINGKASAN M. YUSUF. Situasi Kemiskinan Dan Proses Marginalisasi Petani Dataran Tinggi Garut : Studi Kasus Komunitas Petani Di Dua Dataran Tinggi Garut. Di bawah bimbingan Dr. Titik Sumarti MC, MS dan Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, MS Garut adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat dengan kontribusi nilai tambah ekonomi yang tercipta di Kabupaten Garut dari sektor pertanian merupakan yang tertinggi (48,03%) bila dibandingkan dengan sektor lain. Sementara bila dilihat kontribusi terhadap PDRB Propinsi Jawa Barat, sumbangan sektor pertanian Garut mencapai 12,63%. Selain dikuasai warga, sebagian lahan pertanian di Kabupaten Garut turut dikuasai oleh negara dan swasta khususnya dalam pengelolaan kawasan hutan dan perkebunan. Menurut BPS Kabupaten Garut, hingga tahun 2000 persentase luas wilayah kehutanan dan perkebunan mencapai 50 persen dari keseluruhan wilayah kabupaten dan merupakan persentase terbesar di antara Kabupaten di pulau Jawa. Meskipun sumbangan nilai tambah ekonomi sektor pertanian cukup besar dan hadirnya perusahaan kehutanan dan perkebunan milik negara dan swasta yang diharapakan mampu mendorong peningkatan pendapatan warga disekitar areal tersebut, tetapi kehidupan masyarakat petani di Kabupaten Garut masih dalam taraf miskin. Sebagaimana yang disebutkan dalam Nota Pengantar Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Garut 2009-2014, Kabupaten Garut merupakan daerah tertinggal dengan jumlah penduduk miskin berkisar 15,32 persen dari total 2,2 juta penduduk dan jumlah pengangguran terbuka usia 10 tahun ke atas mencapai 10,11 persen. Situasi kemiskinan suatu komunitas tidak berdiri bebas dalam ruang dan waktu. Dirinya dipandang sebagai suatu proses yang terlembagakan dan hadir dalam sejarah perkembangan komunitas itu sendiri. Mengikuti pendapat Mosse (2007), kemiskinan merupakan hasil dari sejarah dan dinamika kapitalisme kontemporer, meliputi proses-proses akumulasi, perampasan, diferensiasi dan eksploitasi dengan turut mempertimbangkan mekanisme sosial, kategori dan identitas yang melanggengkan ketidaksetaraan dan memfasilitasi hubungan yang eksploitatif. Studi ini merupakan suatu usaha dalam memahami dan menganalisis bagaimana terbentuknya kemiskinan dan proses marginalisasi yang dialami oleh petani serta sampai sejauh inisiatif petani lokal dalam merespon persoalan kemiskinan dan proses marginalisasi yang hadir dalam hubungan produksi dan distribusi. Kemiskinan masyarakat pedesaan tidak dilihat hanya sebagai suatu hasil pengukuran dari aspek ekonomi semata akan tetapi merupakan hasil dari marginalisasi yang dialami suatu komunitas. Situasi kemiskinan suatu komunitas dengan demikian tidak berdiri bebas dalam ruang dan waktu. Dirinya dipandang sebagai suatu proses yang terlembagakan dan hadir dalam sejarah perkembangan komunitas itu sendiri. Dari berbagai ulasan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah: Bagaimanakah situasi dan karakteristik kemiskinan yang dialami oleh petani dataran tinggi Garut? Bagaimanakah proses marginalisasi komunitas petani yang hadir dalam hubungan-hubungan produksi dan distribusi serta implikasinya terhadap penciptaan kemiskinan petani di dua dataran tinggi? Sejauhmana inisiatif petani lokal di dua dataran tinggi dalam merespon persoalan kemiskinan
dan proses marginalisasi yang hadir dalam hubungan produksi dan distribusi? Akhirnya, hasil penelitian ini nantinya diharapkan akan dapat memberikan dasar pijakan dalam memahami dan mengupayakan pengentasan kemiskinan di level komunitas dengan melihat kemiskinan dan marginalisasi petani di pedesaan sebagai produk dari relasi kuasa dalam konteks sejarah perkembangan komunitas itu sendiri. Penelitian ini merupakan penelitian empiris yang mencakup seperangkat proses yang kompleks dengan menggunakan pendekatan ekonomi-politik yaitu melihat “kemungkinan adanya hubungan timbal-balik antara ekonomi dan politik” dan pendekatan “sosio-historis” yaitu pola-pola hubungan produksi dalam sejarah perkembangan sebuah komunitas. Proses analisis data pada penelitian ini berakar kuat pada perspektif Marxian berikut berbagai variannya dimana komunitas dilihat sebagai keseluruhan dan aksi individu dibangun atas bekerjanya sebuah sistem yang berlaku. Perbedaan aktifitas nafkah dari setiap lapisan sosial dalam sebuah masyarakat ditentukan oleh dua hal, yakni: (1) siapa yang memiliki kontrol efektif terhadap seluruh sumber-sumber produksi, dan (2) sampai sejauh mana pemanfaatan output dari setiap kegiatan produksi, apakah untuk keperluan konsumsi atau untuk dipertukarkan (dijual) kembali dalam perekonomian pasar. Dua titik sentral untuk memahami situasi kemiskinan di pedesaan adalah: Pertama, situasi dan alasan (penyebab) kemiskinan harus dipahami melalui analisis rinci dari relasi kuasa dalam konteks sejarah tertentu: antara mereka yang memiliki lahan dengan mereka yang tidak memiliki lahan, antara rumah tangga kaya dan miskin; antara laki-laki dan perempuan; antara rumah tangga di pedesaan dan di perkotaan dan antara lembaga pasar dan negara. Kedua, cara-cara (pola/strategi) nafkah yang biasanya berlaku baik di dalam rumah tangga maupun antara rumah tangga yang sangat beragam. Berdasarkan riwayat penguasaan lahan, di dua lokasi studi (desa Dangiang dan Sukatani) merupakan contoh desa-desa di dataran tinggi Garut dimana areal lahan pertanian warga berdampingan dengan pola penguasaan kawasan oleh perusahaan perkebunan dan kehutanan negara. Jika di desa Dangiang areal pertanian warga berdampingan dengan perkebunan teh PTPN VIII Dayeuh Manggung, di desa Sukatani merupakan salahsatu desa di kecamatan Cisurupan dimana posisi areal lahan pertanian warga berdampingan dengan areal kehutanan klaim PT. Perhutani. Hadirnya bentuk-bentuk pengusaan lahan oleh perusahaan perkebunan dan kehutanan milik negara dikemudian hari turut mendorong lahirnya bentuk-bentuk inisiatif warga untuk melakukan reclaiming lahan perkebunan negara yang tergabung dalam organisasi tani lokal (OTL) Serikat Petani Pasundan (SPP). Khusus di desa Sukatani, selain OTL SPP, terdapat kelembagaan lain yakni PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) yang dibentuk oleh PT. Perhutani dalam mengatur dan mengontrol akses warga terhadap lahan kehutanan. Pada prakteknya, hadirnya perusahaan perkebunan dan kehutanan negara yang telah dimulai sejak orde kolonial Belanda menyebabkan proses pemiskinan dan peminggiran kuasa (enclosure) petani dari alat-alat produksi utama sehingga banyak petani terserap menjadi tenaga buruh tani upahan, buruh industri dan pekerja sektor informal di perkotaan. Penyingkiran (marginalisasi) petani dari alat-alat produksi tidak hanya terjadi akibat masuknya perusahaan perkebuanan dan kehutanan. Tingginya
kebutuhan atas input produksi (bibit, pupuk dan obat) dan keuntungan yang diperoleh dari pengadaan input produksi dan penjualan hasil panen tersebut menyebabkan antara petani dan bandar saling menjaga hubungan yang tidak setara. Bentuk relasi yang terbangun antara petani dan bandar menyebabkan pembentukan dan penumpukan (akumulasi) surplus hanya terjadi pada pihak bandar sementara petani menjadi buruh di lahannya sendiri. Tidak jarang, akibat hubungan hutang-pitang semacam ini menyebabkan petani kehilangan lahan garapannya atau petani menjadi buruh di lahan garapannya sendiri. Kondisi semacam ini terus berlangsung hingga kini ketika warga berhasil mendapatkan akses lahan garapan (reclaiming) bahkan memiliki potensi rekonsentarsi penguasaan lahan pada elite desa yang memiliki kuasa ekonomi di desa. Pilihan petani untuk bergabung kedalam Organisasi Tani Lokal Serikat Petani Pasundan (OTL SPP) menjadi strategi utama petani tanpa lahan dalam mengukuhkan aksi reclaming lahan di areal kehutanan maupun perkebunan. Selain itu, keberadaan OTL di dua lokasi turut memperluas ruang negosiasi dengan negara terkait kepastian hak garap di atas lahan-lahan klaim kehutanan maupun perkebunan. Seiring dengan langkah tersebut, organisasi tani lokal ini pun turut menciptakan dan memanfaatkan kesempatan politik yang tersedia di desa maupun lintas desa untuk merundingkan kepentingan mereka seperti keterwakilan di BPD, anggota panitia pemungutan suara, pemilihan kades, anggota PKK, dan program pemberdayaan. Baik di desa Sukatani maupun desa Dangiang, strategi penguatan produksi dan distribusi di tingkat petani dipandang sebagai cara-cara yang ditempuh oleh sebuah rumah tangga petani di tiap lapisan dengan menimbang ketersediaan sumber daya (akses dan kontrol) yang dimiliki oleh sebuah rumah tangga. Dalam konteks ini, strategi pemanfaatan lahan merupakan salah satu upaya penguatan produksi petani di dua lokasi guna mengurangi ketergantungan dengan pihak bandar maupun cukong. Apabila di desa Dangiang, strategi konsolidasi modal petani telah masuk tahap penguatan kelembagaan ekonomi kolektif, di desa Sukatani masih tergantung pada hubungan-hubungan permodalan yang telah lama terbangun sebelum reclaiming, yakni hubungan petani dengan para bandar di desa. Pada periode-periode awal gerakan bahkan hingga saat ini usaha mengamankan akses lahan garapan (tenure security) dari ancaman fisik pihak perkebunan dan kehutanan masih menjadi arena perjuangan utama (physical security). Adapun keberhasilan beberapa anggota organisasi tani lokal menjadi bandar dapat diartikan sebagai pergantian aktor lama oleh aktor baru dalam pola (struktur) produksi dan distribusi lama. Dengan kata lain, konsolidasi jalur distribusi kolektif belum terjadi. Kata Kunci : Kemiskinan, Marginalisasi, Inisiatif Petani, Dataran Tinggi, Kabupaten Garut.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang–Undang 1.
2.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
SITUASI KEMISKINAN DAN PROSES MARGINALISASI PETANI DATARAN TINGGI GARUT (Studi Kasus Komunitas Petani di Dua Dataran Tinggi Garut)
MUHAMMAD YUSUF
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc.Agr
Judul Tesis
Nama NIM
: Situasi Kemiskinan Dan Proses Marginalisasi Petani Dataran Tinggi Garut (Studi Kasus Komunitas Petani di Dua Dataran Tinggi Garut) : Muhammad Yusuf : I351060091
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Titik Sumarti MC, MS Ketua
Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Arya H. Dharmawan,M.Sc.Agr
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian : 10 Januari 2011
Tanggal Lulus :
PRAKATA Alhamdulillah. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulisan tesis dengan judul “Situasi Kemiskinan Dan Proses Marginalisasi Petani Dataran Tinggi Garut : Studi Kasus Komunitas Petani di Dua Dataran Tinggi Garut” berhasil diselesaikan dengan baik. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Titik Sumarti MC, M.S dan Ibu Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, M.S selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran, Bapak Dr. Ir. Arya H. Dharmawan. M.Sc.Agr selaku penguji tamu/luar komisi serta selaku ketua program studi Sosiologi Pedesaan IPB. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Endriatmo S, selaku Ketua Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta beserta staf atas dukungannya. Pimpinan Organisasi Tani Serikat Petani Pasundan beserta para tenaga pendamping. Prof. Sajogyo, Dr. Laksmi A. Savitri, Moh. Shohibuddin, M.Si dan para kerabat keluarga besar Sajogyo Institute (Sains) atas segala dukungan moril yang telah diberikan. Rekan-rekan pegiat Agraria khususnya Bapak Noer Fauzi yang selalu memberikan masukan yang kritis. Ungkapan terima kasih yang tulus dipersembahkan kepada Ayahanda H. Syamsuddin Ismail, Ak dan Ibunda Hj. Siti Halimah, Kakanda Nugrahayu, Ak dan adinda Budi Muliani, ST., dr. Siti Aisyah, Muh. Basri S beserta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Hanya kepada Allah SWT kita patut berserah. Semoga segala amal ibadah kita senantiasa mendapat ridho-Nya dan semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Amin.
Bogor, Februari 2011
Muhammad Yusuf
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 22 September 1979 dari Ayah H. Syamsuddin Ismail, Ak dan Ibu Hj. Siti Halimah. Penulis merupakan anak putra kedua dari lima bersaudara. Tahun 1998 penulis lulus dari SMUN 112 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB (Institut Pertanian Bogor) melalui jalur ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN), dan diterima di Program Studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA). Sejak Tahun 2005 penulis menjadi pegiat peneliti pada Sajogyo Institute. Pada tahun 2006 penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan Program Pascasarjana jenjang Magister (S2) pada Program Studi Sosiologi Pedesaan, Institut Pertanian Bogor (SPD–IPB). Sejak Tahun 2009, penulis merupakan salah satu staf ahli DPD RI periode 20092014.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………....
xxi
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………..……..
xxiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3 1.4
Latar Belakang ................................................................................... Pertanyaan Penelitian ......................................................................... Tujuan Penelitian ............................................................................... Manfaat Penelitian .............................................................................
1 6 6 6
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7
Masyarakat Petani (Peasant Society) ……………………….…….... Usaha Tani di Pedesaan ………………………………………......... Masyarakat Perkebunan dan Kehutanan Indonesia ………………... Kemiskinan, Marginalisasi dan Ekspansi Surplus di Pedesaan ......... Etika Subsistensi Upaya Protes Petani …………………..…………. Review Beberapa Studi Terkait ……………..………………….….. Kerangka Konseptual ……………………………………………….
9 10 12 16 23 25 31
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 3.2 3.3 3.4
Kerangka Kerja Penelitian ………………………………………..... Lokasi Dan Waktu Penelitian ……………………………………… Level dan Unit Analisis …………………………………………..... Metode Pengumpulan Data ……………………………………....... 3.4.1 Telaah Rantai Komonitas …………………………………… 3.4.2 Rejim Ketenagakerjaan (Labour Regimes) ............................. 3.4.3 Participatory Poverty Assessment (PPA) …………………... 3.4.4 Principal Component Analysis (Factor Analysis) …………... 3.4.5 Teknik Penggalian Data …………………………………...... 3.5 Teknik Analisis Data ……………………………………………….
33 34 35 36 37 39 40 40 41 42
BAB IV STRUKTUR SUMBERDAYA DAN SETTING AGROEKOLOGI KOMUNITAS DATARAN TINGGI GARUT 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5
Bentang Alam dan Posisi Administratif ………………………….... Peta Sumber Daya Agraria ……………………………………….... Kependudukan, Tenaga Kerja dan Pendidikan ……………………. Struktur Ekonomi Wilayah ………………………………................ Struktur Agro-Ekologi dan Pola Produksi Lokal ………………….. 4.5.1 Struktur Agraria Lokal ………………………………............ 4.5.2 Pola Produksi dan Budidaya Lokal ......................................... 4.5.3 Skala Usaha Tani untuk Beberapa Komoditas ……………....
xix
45 47 49 50 52 52 55 56
4.6 Ikhtisar ………………………………………………....................... BAB V 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5
SITUASI KEMISKINAN RUMAH TANGGA PETANI DI PEDESAAN DATARAN TINGGI GARUT Tipologi Tingkat Perkembangan Desa .............................................. Indikator Kemiskinan Warga Desa Dangiang ................................... Indikator Kemiskinan Warga Desa Sukatani .................................... Perbandingan Ukuran Kemiskinan di Dua Desa ............................... Ikhtisar ...............................................................................................
BAB VI 6.1 6.2 6.3 6.4
61
65 70 73 74 75
PROSES MARGINALISASI JILID I : AKIBAT KEBIJAKAN NEGARA
Membaca Ulang Penetapan Kawasan Kehutanan dan Perkebunan .. Riwayat Marginalisasi Petani Desa Dangiang .................................. Riwayat Marginalisasi Petani Desa Sukatani .................................... Ikhtisar ...............................................................................................
79 83 87 92
BAB VII PROSES MARGINALISASI JILID II : AKIBAT POLA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI 7.1 7.2 7.3 7.4 7.5
Melacak Jejak Marginalisasi Arus Bawah ........................................ Sumber Kredit dan Ketersediaan Sarana Produksi ............................ Hubungan Produksi, Jejaring Pemasaran dan Isolasi Pasar .............. Proses Diferensiasi dan Penyingkiran Petani .................................... Ikhtisar ...............................................................................................
95 96 98 103 105
BAB VIII INISIATIF PETANI DATARAN TINGGI DALAM UPAYA PENGENTASAN KEMISKINAN 8.1 8.2 8.3 8.4
Kepastian Hak Garap ........................................................................ Pola Pemanfaatan Lahan dan Budidaya ............................................ Konsolidasi Modal ............................................................................. Ikhtisar ...............................................................................................
BAB IX MUARA STUDI : SEBUAH CATATAN PENUTUP
107 110 112 114 109
9.1 Kesimpulan ........................................................................................ 9.2 Saran ..................................................................................................
117 120
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………...............
123
xx
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 3.1 Jenis Informasi, Sumber dan Metode ...................................... ........ 42 Tabel 4.1 Luas Kawasan Hutan `yang Dikuasai Negara di Kabuaten Garut, tahun 2001 ...................................................................................... 48 Tabel 4.2 Luas Kawasan Hutan yang Dikuasi PT. Perhutani KPH Garut, Tahun 2002 ..................................................................................... 48 Tabel 4.3 Luas Perkebunan Besar Negara dan HGU Swasta di Kabupaten Garut, Tahun 1998 .......................................................................... 48 Tabel 4.4 Laju Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten Garut (Per Periode Sensus Penduduk) ...................................................... 49 Tabel 4.5 Persentase Penduduk 10 Tahun Keatas Yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha ............................................................................. 50 Tabel 4.5 Persentase Penduduk Berdasarkan Ijazah Tertinggi yang Dimiliki dan Kemampuan Baca-Tulis di Kabupaten Garut Tahun 2008 ........ 50 Tabel 4.7 Perbandingan Dan Perkembangan Struktur Ekonomi Serta Sektor-Sektor Ekonomi Kabupaten Garut Terhadap Jawa Barat periode 2000-2007 ( persen) .......................................................... 51 Tabel 4.8 Biaya Produksi Budidaya Akar Wangi untuk Luasan 6.400 m2 ....... 58 Tabel 4.9 Biaya Produksi Budidaya Kentang untuk Luasan 1 Ha .................... 58 Tabel 4.10 Biaya Produksi Budidaya Wortel untuk Luasan 1 Ha ...................... 59 Tabel 4.11 Biaya Produksi Budidaya Kol untuk Luasan 1 Ha ........................... 59 Tabel 4.12 Biaya Produksi Budidaya Tomat untuk Luasan 1 Ha ....................... 60 Tabel 4.13 Perbandingan R/C dari setiap komoditas yang diusahakan ............... 60 Tabel 4.14 Perbandingan Pola Pemanfaatan Lahan di Dua Lokasi .................... 61 Tabel 5.1 Matriks Tipologi Desa di Kabupaten Garut Tahun 2008 .................. 67 Tabel 5.2 Tipe Desa Berdasarkan Sumber Penghasilan Utama Penduduk ....... 69
xxi
Tabel 5.3 Indikator Kemiskinan Rumah Tangga Petani di Desa Dangiang ...... 71 Tabel 5.4 Indikator Kemiskinan Rumah Tangga Petani di Desa Sukatani ....... 73 Tabel 6.1 Semangat (Visi dan Misi) dan Lingkup Pengaturan SDA pada 11 Undang-Undang .............................................................................. 81 Tabel 6.2 Tingkat Perkembangan Ekonomi Warga Berdasarkan Letak Desa ... 82 Tabel 6.3 Sejarah Akses dan Kontrol Lahan Perkebunan di Desa Dangiang .... 84 Tabel 6.4 Sejarah Akses dan Kontrol Lahan Kehutanan di Desa Sukatani ....... 91 Tabel 8.1 Upaya Penguatan Produksi dan Distribusi Petani Lapisan Bawah di Dua Dataran Tinggi .................................................................. 114
xxii
DAFTAR GAMBAR ` Halaman Gambar 4.1 Peta Wilayah Administratif Propinsi Jawa Barat ............................ 45 Gambar 4.2 Luas Wilayah Menurut ketinggian ................................................. 46 Gambar 4.3 Klasifikasi Desa Berdasarkan Potensi Sumberdaya dan Aktivitas Warga ............................................................................................ 47 Gambar 4.4 Peta Lokasi Kecamatan Penelitian .................................................. 54 Gambar 7.1 Pola Distribusi Tanaman Sayuran di Daerah Hamparan Papandayan .................................................................. 100 Gambar 6.2 Pola Distribusi Tanaman Akar Wangi di Daerah Hamparan Cikuray ......................................................................... 102
xxiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Perubahan rejim ekonomi politik di Indonesia yang terjadi satu dasawarsa terakhir dalam beberapa hal masih menyisakan beberapa permasalahan mendasar di negeri ini. Dari berbagai studi mutakhir belakangan ini menunjukkan, terjadinya kemiskinan masif yang diderita oleh sebagian besar penduduk khususnya di pedesaan, meningkatnya angka pengangguran terbuka, konsentrasi kepemilikan aset oleh sekelompok kecil masyarakat, sengketa dan konflik agraria, krisis pangan dan energi, dan penurunan kualitas lingkungan hidup merupakan realitas objektif yang menyertai arah perubahan tersebut. Berbagai permasalahan yang bersifat struktural tersebut pada prateknya menyebabkan hilangnya akses masyarakat pedesaan khususnya petani terhadap sumber-sumber penghidupan. Data kemiskinan yang dikeluarkan Biro Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2007 menunjukkan, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 37,17 juta jiwa atau 16,58 persen dari total populasi Indonesia. Di kawasan perkotaan, percepatan kemiskinan tersebut adalah 13,36 persen, sedangkan di kawasan perdesaan mencapai 21,90 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan paling banyak dialami oleh penduduk pedesaan yang pada umumnya bekerja sebagai petani dan buruh tani. Dari total penduduk miskin di Indonesia, sekitar 66 persen berada di pedesaan dan 56 persen di antaranya menggantungkan hidup dari pertanian. Membuka kembali lembaran sejarah dinamika masyarakat pedesaan di Indonesia khususnya Jawa, pada era 70an hingga periode awal 90 atau saat orde pembangunan pro pertumbuhan, pembangunan pertanian sangat bertumpu pada agenda revolusi hijau yang menekankan intensifikasi pertanian pangan khususnya padi sawah di daerah dataran rendah. Hal ini sangat dimungkinkan karena perubahan kebijakan produksi di sektor pertanian padi merupakan faktor yang sangat penting dan dominan mengingat tidak hanya karena banyaknya tenaga kerja pedesaan yang terserap di pertanian padi sawah akan tetapi juga karena padi merupakan tanaman yang secara politis paling sensitif di Indonesia. (White 1996)
2
Seperti yang diutarakan Li (2002), setidaknya selama kurun waktu 60 hingga 80-an, sejumlah studi telah dilakukan untuk melihat perubahan ekonomipolitik khususnya di dataran rendah Indonesia akibat pengaruh agenda “revolusi hijau” pada pertanian padi sawah atau lahan basah. Berkat pengenalan jenis padi unggul baru, penggunaan pupuk kimia industri dan introduksi teknologi telah memungkinkan peningkatan hasil panen yang signifikan. Akan tetapi menurut White (1989) dalam Li (2002), penyebarluasan masukan-masukan teknik tersebut pada prakteknya membawa nilai sosial yang tidak netral. Hal ini tergambar dari adanya program kredit baru dan mahalnya biaya administrasi untuk mengakses berbagai teknologi revolusi hijau sering kali hanya menguntungkan petani lapisan atas di desa sehingga justru terus memperluas jarak kesenjangan. Demikian juga dengan usaha untuk memaksimumkan keuntungan dari kegiatan
usahatani
telah
mendorong
para
petani
di
dataran
rendah
memperkenalkan bentuk serikat pekerja yang lebih restriktif yang sangat merugikan para buruh tani (landless) khususnya kaum perempuan. Selain itu, distribusi sarana usahatani dan pemasaran hasil panen yang menuntut adanya efisiensi memerlukan investasi besar dalam pembangunan infrastruktur pedesaan. Pada gilirannya, kondisi tersebut telah memudahkan penyebarluasan barang konsumsi, gerakan para investor memasuki bidang pertanian di pedesaan dan menyebarnya gaya hidup baru di pedesaan. Hal ini menunjukkan keberhasilan gagasan “revolusi hijau” dibarengi oleh makin meluasnya kemampuan birokrasi negara (pemerintah) dalam mengatur dan mengontrol wilayah pedesaan. (Li 2002) Di tengah fokus perhatian studi masyarakat pedesaan lebih memfokuskan pada wilayah agroekosistem padi sawah di dataran rendah, studi pada tanaman berbasis ekspor atau produksi tanaman perdagangan lainnya sangat terbatas. Dengan demikian, upaya mendapatkan gambaran yang seimbang mengenai corak perubahan pertanian mutakhir di Jawa khususnya di dataran tinggi melalui serangkaian fokus studi yang lebih luas sangat diperlukan sebagaimana studi yang telah dirintis Pelluso (1992) tentang masyarakat hutan dan Hefner (1990) tentang masyarakat dataran tinggi. (White 1996)
3
Khusus di wilayah tatar Sunda, Kabupaten Garut merupakan salahsatu daerah dataran tinggi yang merupakan cerminan dari berbagai permasalahan yang hadir ditengah-tengah kehidupan masyarakat pedesaan yang berbasis agraris. Sebagai salahsatu Kabupaten di Propinisi Jawa Barat, kontribusi nilai tambah di sektor pertanian yang tercipta di Kabupaten Garut mencapai 48,03 persen. Angka persentasi tersebut telah memberikan kontribusi pertanian Kabupaten Garut terhadap penciptaan nilai tambah Jawa Barat sebesar 12,63 persen (BPS Kabupaten Garut 2007). Hal ini sangat beralasan mengingat kondisi topografi wilayahnya yang sebagian besar merupakan dataran tinggi atau perbukitan yang berada disekitar kawasan gunung berapi dengan kondisi lahan pertanian memiliki tingkat kesuburan yang baik. Selain lahan pertanian yang dikuasai warga, pola pengusaan dan penggunaan lahan yang dominan adalah hadirnya peran serta negara dan swasta dalam mengelola kawasan hutan dan perkebunan besar yang merupakan jejak tapak atau warisan model penguasaan ruang hidup di pedesaan oleh pemerintah kolonial Belanda. Menurut BPS Kabupaten Garut, hingga tahun 2000 persentase luas wilayah kehutanan dan perkebunan mencapai 50 persen dari keseluruhan wilayah kabupaten dan merupakan persentase terbesar diantara seluruh Kabupaten di pulau Jawa. Seperti yang terlihat pada Kecamatan Cisurupan maupun Cilawu yang merupakan fokus lokasi studi ini, mayoritas areal pertanian warga desa di dua lokasi tersebut berdampingan dengan areal klaim penguasaan perusahaan kehutanan (Perhutani Unit III KPH Garut) dan perkebunan (PTPN VIII Dayeuh Manggung). Hal yang perlu dicatat, sebelum tahun 2000an, profil dari sebagian besar rumah tangga petani (RTP) disekitar kawasan klaim perusahaan kehutanan dan perkebunan negara merupakan kategori petani tuna kisma (landless) dan masuk dalam kategori miskin. Jumlah tersebut untuk sebagian para pemerhati pedesaan diramalkan akan terus meningkat. Meskipun paparan sebelumnya menunjukkan bahwa persentase kontribusi pertanian yang cukup prestisius dan hadirnya perusahaan kehutanan dan perkebunan milik negara dan swasta yang diharapakan mampu mendorong
4
peningkatan pendapatan warga disekitar areal tersebut, pada realitasnya berbanding terbalik dengan kondisi keberdayaan ekonomi warga. Sebagaimana yang disebutkan dalam Nota Pengantar Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Garut 2009-2014, Kabupaten Garut merupakan daerah tertinggal dengan jumlah penduduk miskin berkisar 15,32 persen dari total 2,2 juta penduduk dan jumlah pengangguran terbuka usia 10 tahun ke atas mencapai 10,11 persen. (Harian Kompas, 2009) Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) yang dilakukan oleh BPS Kabupaten Garut pada tahun 2008, jumlah Rumah Tangga Sasaran (RTS) yang tergolong hampir miskin, miskin dan sangat miskin di Kabupaten Garut mencapai 221.010 rumah tangga dan kurang lebih 44,5 persen. Diantara jumlah RTS tersebut merupakan rumah tangga yang hampir mendekati garis kemiskinan sehingga berada dalam posisi yang sangat rentan. Dari data PPLS tersebut rumah tangga hampir miskin, miskin dan sangat miskin terbanyak berada di Kecamatan Garut Kota (11.548 RTS), disusul Kecamatan Cisurupan (10.028 RTS) dan Kecamatan Cilawu (9.533 RTS) (Harian Kompas, 2009). Alhasil, besaran persentase tersebut menenempatkan Kabupaten Garut pada urutan ketiga setelah Kabupaten Bogor dan Sukabumi sebagai daerah tertinggal dari 26 kabupaten/kota yang terdapat di propinsi Jawa Barat. Sementara untuk wilayah Priangan (Bandung, Tasikmalaya, Garut dan Ciamis), jumlah tersebut menempati urutan tertinggi (Harian Seputar Indonesia 2009). Selain tingginya angka kemiskinan dan ketuna-kismaan yang dialami warga di pedesaan, Bachriadi (2009) menyebutkan pasca runtuhnya rejim otoriter orde baru turut ditandai dengan hadirnya bentuk-bentuk gerakan yang menuntut keadilan agraria yang tampil ke permukaan. Kondisi yang demikian ini turut mewarnai dinamika sosial-ekonomi warga pedesaan di dataran tinggi Garut khususnya di wilayah Kecamatan Cisurupan dan Cilawu. Oleh Fauzi (2009), gerakan ini pada prateknya juga ikut memanfaatkan kehadiran ruang-ruang politik baru sebagai ajang pertarungan dan perundingan antara berbagai pihak, baik horizontal maupun vertikal. Lebih lanjut, Fauzi (2009) mengungkapkan, kehadiran ruang-ruang politik baru di pedesaan pada dasarnya merupakan akibat dari pengaruh kebijakan desentralisasi, proyek-proyek pengembangan masyarakat
5
dan perbaikan lingkungan dari pemerintah dan Perhutani, maupun kerja-kerja dampingan dari organisasi non-pemerintah. Dalam konteks studi ini, kemiskinan tidak dilihat hanya sebagai suatu hasil pengukuran dari aspek ekonomi semata akan tetapi merupakan situasi yang tercipta akibat rejim pembangunan ekonomi yang sangat berorientasi pada ideologi kapitalisme. Selain itu, dari berbagai studi mengenai dinamika sosialekonomi pedesaan agraris di Indonesia, kemiskinan yang dialami suatu komunitas merupakan suatu akibat atau konsekwensi dari hadirnya relasi-relasi kuasa yang timpang atas penguasaan sumber-sumber produksi dan jalur distribusi atau dapat dikatakan sebagai kemiskinan yang bersifat struktural. Situasi kemiskinan suatu komunitas tidak berdiri bebas dalam ruang dan waktu. Dirinya dipandang sebagai suatu proses yang terlembagakan dan hadir dalam sejarah perkembangan komunitas itu sendiri. Mengikuti pendapat Mosse (2007), kemiskinan merupakan hasil dari sejarah dan dinamika kapitalisme kontemporer, meliputi proses-proses akumulasi, perampasan, diferensiasi dan eksploitasi dengan turut mempertimbangkan mekanisme sosial, kategori dan identitas yang melanggengkan ketidaksetaraan dan memfasilitasi hubungan yang eksploitatif. Sebagai lokasi yang dipilih pada studi ini, yakni desa Dangiang (hamparan Gunung Cikuray) dan desa Sukatani (hamparan Gunung Papandayan), hadirnya bentuk-bentuk inisiatif petani kecil dalam memanfaatkan kesempatan politik yang tersedia di desa melalui keterlibatannya dalam organisasi tani lokal, pada satu sisi telah membuka permasalahan ketimpangan agraria akibat masuknya perusahaan perkebunan dan kehutanan baik dari pihak swasta maupun negara dan pada sisi yang lain turut mempengaruhi kondisi kesejahteraan petani dataran tinggi Kabupaten Garut. Dari berbagai ulasan diatas maka pertanyaan penelitian ini (research questions) adalah bagaimana situasi kemiskinan dan proses marginalisasi yang dialami oleh petani di dua dataran tinggi Kabupaten Garut?
6
1.2. Pertanyaan Penelitian 1.
Bagaimanakah situasi dan karakteristik kemiskinan yang dialami oleh petani dataran tinggi Garut?
2.
Bagaimanakah proses marginalisasi komunitas petani yang hadir dalam hubungan-hubungan produksi dan distribusi serta implikasinya terhadap penciptaan kemiskinan petani di dua dataran tinggi?
3.
Sejauhmana inisiatif petani lokal di dua dataran tinggi dalam merespon persoalan kemiskinan dan proses marginalisasi yang hadir dalam hubungan produksi dan distribusi?
1.3. Tujuan Penelitian 1.
Menganalisis situasi dan karakteristik kemiskinan yang dialami oleh petani dataran tinggi Garut.
2.
Menganalisis proses marginalisasi komunitas petani yang hadir dalam hubungan-hubungan produksi dan distribusi serta implikasinya proses penciptaan kemiskinan komunitas.
3.
Memahami inisiatif petani lokal di dua dataran tinggi dalam merespon persoalan kemiskinan dan proses marginalisasi yang hadir dalam hubungan produksi dan distribusi.
1.4. Manfaat Penelitian Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan dasar pijakan dalam memahami dan mengupayakan pengentasan kemiskinan di level komunitas dengan memandang kemiskinan sebagai akibat adanya marginalisasi petani di pedesaan yang melekat pada sejarah perkembangan komunitas tersebut. Selain itu, studi ini dapat memberikan penjelasan tentang berbagai inisitaif petani dalam menata relasi kuasa atas sumber-sumber produksi dan jalur distribusi yang timpang di pedesaan. Dengan demikian, studi ini diharapkan dapat menjadi hulu dari wacana dan praktek “industrialiasi pedesaan” dengan mensyaratkan adanya organisasi sosial
7
yang bersifat industrial. Tentu saja, ditengah kompleksitas dan beragamnya fokus kajian, diharapkan hasil dari penelitian ini merupakan suatu wujud dari upaya reproduksi dan akumulasi pengetahuan mengenai proses marginalisasi dan kemiskinan di pedesaan Indonesia serta dapat mendorong penelitian yang lebih beragam dan mendalam.
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1. Masyarakat Petani (Peasant Society) Menurut Boeke, ciri khas suatu masyarakat dapat dikenali lewat keberkaitan unsur-unsur dasar yang terdapat dalam sebuah masyarakat tersebut yakni, bentukbentuk organisasi dan teknik-teknik yang mendukungnya atau disebut sebagai sistem sosial dimana tiap-tiap sistem sosial memiliki mempunyai teori ekonomi tersendiri. Begitu pun sebaliknya, teori ekonomi selalu merupakan teori mengenai sistem sosial tertentu yang keduanya dibentuk oleh sejarah masyarakatnya sendiri. (Boeke dalam Sajogyo 1982) Mengacu pendapat Shanin (1971), terdapat empat aliran/tradisi utama pemikiran (mainstream of thought) dalam memahami masyarakat tani, yakni: Pertama, tradisi Marxian yang memahami masyarakat tani dari pendekatan hubungan kekuasaan atau lewat analisis kelas. Dalam pendekatan ini, masyarakat tani dipandang sebagai unit produksi dari formasi sosial awal (pre-capitalist producers) yang tereksploitasi akibat struktur kekuasaan yang ada. Kedua, pendekatan Chayanovian yang memandang struktur masyarakat tani ditentukan oleh sistem ekonomi yang khas (specific type of economy). Ketiga, pendekatan Etnografi Barat yang memahami masyarakat tani sebagai representasi masyarakat yang mengalami cultural lag. Dan keempat, tradisi Durkheimian yang membagi masyarakat dalam dua kategori yakni masyarakat tradisonal/anorganik dan masyarakat modern/organik yang bersandar pada pembagian kerja dan hubungan antar unit. Selanjutnya Shanin (1971) mencirikan masyarakat tani sebagai sebagai berikut, yakni: (1) satuan keluarga (rumah tangga) petani adalah satuan dasar dalam masyarakat desa yang berdimensi ganda; (2) petani hidup dari usahatani dengan mengolah tanah (lahan); (3) pola kebudayan petani berciri tradisional dan khas; (4) petani menduduki posisi rendah dalam masyarakat, mereka adalah “orang kecil” terhadap masyarakat diatas desa.
10
Sementara Kurtz (2000) menjabarkan empat dimensi definisi petani yakni, Pertama, konsepsi minimalis yang memandang petani sebagai “pengolah tanah” di pedesaan. Kedua pendekatan antropologi yang menyatakan komunitas petani yang bercirikan perilaku budaya yang berbeda dengan pola budaya “urban”. Ketiga pendekatan ekonomi moral yang menyatakan petani tersubordinasi kuat oleh kekuasaan dari luar. Keempat tradisi Marxian yang menganggap petani merupakan kombinasi dari tiga dimensi, yakni pengolah tanah, komunitas tersubordinasi dan dimensi penguasaan/pemilikan lahan yang diolah petani. Dan kelima, konsepsi Weberian yang memandang petani sebagai kombinasi dari keempat dimensi sebelumnya. Analisa Shanin (1984) dan Moore (1966) tentang ciri masyarakat petani adalah contoh dari pendekatan Weberian ini. Hal yang mesti digariskan bahwa konsep peasant juga berlaku bagi komunitas nelayan seperti yang digunakan oleh Redfield. Menurut Chayanov, yang terjadi pada masyarakat pedesaan bukanlah diferensiasi sosial seperti apa yang diyakini oleh penganut Marxian ortodoks melainkan yang terjadi adalah diferensiasi demografis (Kerblay 1971) sehingga sekelompok keluarga-tani tidak dapat menduduki posisinya dalam satu stratum dalam masyarakat secara mapan; atau bahkan tak cukup lama untuk dapat mengkonsolidasikan dirinya sebagai suatu kelas dalam arti suatu rumah tangga petani dapat menjadi kaya pada suatu waktu dan dapat menjadi miskin kemudian atau sebaliknya. (Wiradi 1993)
2.2. Usahatani di Pedesaan Memahami Usahatani di pedesaan dapat digolongkan dalam dua kategori perspektif utama, yakni ekonomi neo-klasik dan ekonomi politik Marxian. Selain dua kategori tersebut, perspektif neo-populis turut menyediakan berbagai argumentasi yang berbeda terhadap dua perspektif sebelumnya. Menurut Ellis (1993), perpsektif neo-klasik bersandar pada individu baik perusahaan, konsumen, maupun rumah tangga sebagai unit ekonomi dengan memisahkan aspek sosial dan politik dengan aktivitas ekonomi. Sementara, pada perspektif Marxian, antara ekonomi dan sosial tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.
11
Menurut Wiro (1999), studi mengenai ekonomi rumah tangga pada prinsipnya berkenaan dengan pengkajian tentang struktur kompleks dan perilaku dari suatu rumah tangga yang meliputi struktur demografi, proses pengambilan keputusan, alokasi sumber daya, pola nafkah, dan pembagian kerja dalam rumah tangga. Berdasarkan tradisi neo-klasik, model ekonomi rumah tangga dibagi dalam dua tipe, yakni the unitary model of household behaviour dan collective model of household behaviour. Kedua tipe tersebut bersandar pada teori pilihan konsumen (the consumer choice theory). Pada teori pilihan konsumen mengasumsikan bahwa seluruh unit rumah tangga bersifat rasional dimana penilaian terhadap waktu, jenis barang yang diproduksi dan dikonsumsi ditentukan oleh mekanisme pasar. Asumsi yang terdapat pada the unitary model of household behaviour, keputusan dalam menentukan tujuan ditentukan bersama oleh anggota keluarga dengan kata lain seluruh anggota rumah tangga memiliki preferensi yang sama terhadap utilitas. Selain itu, rumah tangga tidak hanya dipandang sebagai unit satuan konsumsi melainkan juga berindak sebagai produsen. Dalam konteks ini, karakteristik utama dari model ini adalah rumah tangga yang harmonis atau tidak mengakomodir adanya konflik dalam rumah tangga. Tipe collective model of household behaviour, lebih menekankan keberadaan individu dalam anggota rumah tangga. Tipe ini sering juga disebut sebagai pruralistic decision-making within familiy. Berbeda dengan tipe sebelumnya, tipe collective model of household behaviour berasumsi bahwa dalam setiap anggota rumah tangga tidak memiliki preferensi yang sama terhadap fungsi utilitas (Wiro 1999). Sementara Ellis (2000) mengartikan rumahtangga sebagai tempat di mana ketergantungan sosial dan ekonomi antara kelompok dan individu terjadi secara teratur. Rumahtangga diartikan sebagai kelompok sosial yang tinggal di satu tempat, berbagi makanan yang sama, membuat keputusan bersama mengenai alokasi sumberdaya dan pendapatan. Sebagai suatu unit sosial ekonomi, rumahtangga memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut: (a) alokasi sumberdaya yang memungkinkan untuk memuaskan kebutuhan rumahtangga, (b) jaminan terhadap berbagai tujuan rumahtangga, (c) produksi barang dan jasa, (d) membuat keputusan atas penggunaan pendapatan dan konsumsi, (e) fungsi hubungan sosial
12
dan hubungan dengan masyarakat luar, dan (e) reproduksi sosial dan material dan keamanan sosial terhadap anggota rumahtangga. Sementara Chayanov, menyatakan bahwa teori ekonomi modern (kapitalis) tidak dapat diterapkan untuk menganalisis masyarakat petani pedesaan. Menurutnya prinsip ekonomi modern (kapitalistik) adalah sistem ekonomi yang kompleks dimana unsur penyusunnya terdiri dari harga, modal, upah, bunga dan sewa yang saling berhubungan secara fungsional. Apabila satu unsur hilang maka konsepsi ekonomi modern itu dengan sendirinya runtuh. Masyarakat petani dengan demikian harus diperlakukan sebagai suatu sistem ekonomi yang memiliki rasional tersendiri (a specific type of economy) dimana motif utama aktivitas ekonomi keluarga lebih kepada mengamankan kebutuhan subsistensi bukan mengejar keuntungan dan sumber tenaga kerja berasal dari keluarga (peasant ownerships without hired labour) (Wiradi 1993). Mengikuti Sajogyo (2006), agenda modernisasi pertanian di Indonesia berpangkal dari dua tipe ekonomi usahatani (satuan rumah tangga), sumberdaya pedesaan yakni sektor pertanian pangan (padi) dan sebagian lain, khususnya di luar Jawa pertanian komersil berorientasi ekspor. Pada tipe yang pertama dibebani tugas untuk menyediakan kebutuhan pangan dan sebagai penopang agenda industrialisasi nasional. Sementara pada tipe yang kedua dibebani oleh kepentingan devisa negara bersama perluasan dan pembaharuan sub sektor perkebunan. Dengan motif mengejar pendapatan devisa negara, pemerintah dengan berbagai program dalam semangat ‘revolusi hijau’ melakukan intervensi program peningkatan produktifitas pertanian secara luas seperti program Bimas, akses terhadap kredit, introdusir teknologi dan sebagainya.
2.3. Masyarakat Perkebunan dan Kehutanan di Indonesia Praktek-praktek pengelolaan sumberdaya agraria di negara berkembang seperti Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang praktek-praktek warisan kolonial oleh negara agraris Barat (Eropa) di negeri jajahan. Dalam bentuk yang paling nyata, pengelolaan sumberdaya lahan pertanian yang mewarisi
13
relasi kolonial adalah kehadiran perusahaan perkebunan dan kehutanan, baik milik negara maupun swasta. Gerakan kolonialisme yang didukung oleh perkembangan kapitalisme agraris Barat, memandang tanah jajahan menjadi sumber kekayaan bagi negara induk. Tersedianya tanah dan tenaga kerja murah yang melimpah di negara jajahan, memungkinkan untuk dilakukan eksploitasi produksi pertanian yang menguntungkan bagi pasaran dunia. Sistem perkebunan dalam hubungan ini dipandang sebagai cara yang tepat untuk diterapkan. Pelaksanaan sistem perkebunan dimulai dengan melalui pembukaan penanaman modal dan teknologi dari luar, dan memanfaatkan tanah dan tenaga kerja yang tersedia di daerah jajahan. Pembukaan perkebunan, menimbulkan lingkungan baru, yaitu lingkungan perkebunan. Lingkungan perkebunan ini biasanya dibentuk oleh kesatuan lahan penanaman komoditi perdagangan, pusat pengolahan produksi (pabrik), dan komunitas permukiman penduduk yang terlibat dalam kegiatan perkebunan. Dalam perjalanannya, kehadiran komunitas perkebunan di tanah jajahan, melahirkan lingkungan yang berbeda dengan lingkungan setempat baik dari segi lokasi, tata ruang, ekologi, maupun organisasi sosial dan ekonomi. (Kartodirjo dan Suryo 1991) Secara topografis, perkebunan sering dibangun di daerah yang subur, baik yang ada di daerah dataran rendah maupun yang ada di daerah dataran tinggi. Tanaman yang dibudidayakan homogen (komoditi ekspor), dan berbeda dengan aturan tanaman pertanian subsisten setempat. Demikian pula organisasi dan sistem kerja, serta proses produksinya. Bentuk dan orientasi lingkungan perkebunan yang lebih tertuju ke dunia luar, menjadikan lingkungan perkebunan seolah-olah terpisah dari lingkungan agraris setempat. Lebih-lebih karena perkebunan memiliki teknologi yang maju, maka perbedaan dengan lingkungan sekitarnya semakin menonjol. Karena itu kehadiran sistem perkebunan di lingkungan masyarakat agraris di tanah jajahan atau negara-negara berkembang, dianggap telah menciptakan tipe perekonomian kantong (enclave economics) yang bersifat dualistik (dualistic economy). Dualisme perekonomian kantong timbul sebagai akibat dari adanya sektor-sektor perekonomian yang berbeda tingkat produktivitas dan orientasi pemasarannya, akan tetap hidup secara berdampingan. Di satu pihak,
14
perkebunan
muncul
sebagai
kegiatan ekonomi
yang
memiliki
tingkat
produktivitas tinggi dan menghasilkan produksi untuk ekspor, di lain pihak, sektor kegiatan
ekonomi
lainnya
memiliki
tingkat
produktivitas
rendah
dan
menghasilkan produksi untuk pasaran dalam negeri. (Kartodirjo dan Suryo 1991) Masyarakat perkebunan merupakan miniatur masyarakat kolonial pada umumnya, serta menunjukkan karakteristik yang sama, antara lain: (1) pluralistik, (2) tersegmentasi menurut golongan etnik, (3) rasialistik, (4) dualistik berdasarkan sistem ekonomi Eropa dan non-Eropa, (5) dominasi sosial, ekonomi dan politik kaum kolonial; berdasarkan itu kesemuanya juga terdapat perbedaan gaya hidup. Apabila pada umumnya gaya hidup menunjukkan status golongan dalam masyarakat, maka gaya hidup sendiri menjadi simbol posisi sosial golongan tertentu, termasuk kekayaan, kekuasaan serta kewibawaan. (Kartodirjo dan Suryo, 1991) Mengutip pendapat Beckford (1972), White (1990) mengungkapkan, perkebunan (plantation) atau perusahaan kehutanan besar (agro-industri) merupakan penyebab utama keterbelakangan dan kemiskinan kronis (persistent poverty) karena dalam bentuk klasiknya ditandai oleh : 1) tingkat upah yang sangat rendah dibanding apa yang berlaku pada sektor-sektor lain (tidak menimbulkan consumption/demand lingkages yang berarti dengan sektor-sektor lain); 2) adanya sistem produksi, pengolahan dan pengemasan yang terintegrasi vertikal, sehingga hanya sedikit membutuhkan masukan dari unsur-unsur luar (kurang memiliki production lingkages dengan ekonomi sekitarnya) dan; 3) karena bentuk pemilikannya, menunjukkan pembocoran (leakage) dimana keuntungan (surplus) keluar dari perekonomian lokal sehingga baik perkebunan yang modern dan serba efisien pun tetap tidak akan mendukung pengembangan serta akumulasi pada wilayah dimana perkebunan berada (Sajogyo dan Tambunan 1990). Selain perkebunan, penguasaan lahan kehutanan oleh negara maupun swasta merupakan salahsatu jejak praktek-praktek kolonial di Indonesia. Dalam lintasan sejarah, menjelang akhir abad ke 19, sebuah konsep pengelolaan hutan yang berkelanjutan oleh negara – dan demi keuntungan negara sendiri – mulai
15
mempengaruhi para pengelola hutan-hutan Jawa sementara konsep ini memapankan diri di negeri-negeri lain. Dinas Kehutanan, yang berawal sebagai perusahaan produksi, mengembangkan perannya selaku pelindung dengan memperluas kegiatan pengawasan dan memformalkan suatu ideologi yang baru muncul, yakni konservasi oleh negara. Undang-undang Kehutanan Tahun 1927 adalah kulminasi dari setengah abad kegiatan “coba dan ralat”. Undang-undang itu mewakili penegakan suatu ideologi legitimasi negara untuk menguasai seperempat luasan tanah pulau Jawa (Pellusso 2008). Lewat pengamatannya di wilayah Cibodas pada pra-kemerdeakaan 1945, Sajogyo (1976) mengungkapkan, pelepasan desa dari wilayah hutan yang dikuasai pemerintah khususnya di Jawa Barat telah berlangsung baik lewat aturan tanam paksa komoditas ekspor seperti kopi yang berakhir pada tahun 1915 maupun yang diperkuat oleh UU, patok-patok batas dan polisi kehutanan. Selain itu, wilayah hutan di Jawa yang terletak di daerah perbukitan dan pegunungan juga telah banyak diserahkan pengelolaannya berikut hak-hak istimewa kepada pihak perusahaan perkebunan teh, kopi, dan sebagainya. Kedua kondisi tersebut turut mempengaruhui pertumbuhan desa-desa di Jawa. Adapun hubungan yang sah antara warga desa desa dengan pihak penguasa kehutanan tersalurkan dalam bentuk ikatan buruh tumpang sari atau buruh biasa kehutanan dimana kondisi yang demikian ini sebagian banyak tak berbeda dengan perkebunan besar. Sehingga tidak mengherankan, petani di lapisan bawah (petani gurem dan buruh tani) yang paling sering memanfaatkan peluang pekerjaan di hutan (Sajogyo 1973). Penetrasi perusahaan kehutanan dan perkebunan negara tidak hanya berhasil melepaskan petani (direct producer) dari lahan garapan mereka akan tetapi turut merubah hubungan-hubungan produksi agraris dan rejim ketenagakerjaan di pedesaan. Seperti yang diungkapkan Pelluso (2008), sarana-sarana penguasaan atas tenaga kerja terus berproses dan bergeser sejak abad ke 17 hingga abad ke 20, dari persewaan hak memanen hutan dan hak menggunakan tenaga kerja penduduk hutan, lalu ke kewajiban menyetor kayu, ke pertukaran jasa kerja dengan pembayaran sewa tanah, sampai dengan peningkatan pungutan pajak dan pengaturan kerja upahan di hutan.
16
Menjelang pertengahan abad kedua puluh, penduduk desa tidak dapat lagi melarikan diri dari beratnya kehidupan ke bagian-bagian yang jauh dan terpencil di dalam hutan, terlebih karena semakin hilangnya tempat yang jauh dan terpencil di dalam hutan. Penduduk desa mengandalkan cara sembunyi untuk memperoleh bahan bangunan dan bahan untuk memasak makanan; ada yang menerima petak kecil lahan peremajaan hutan untuk digarap sebagai pertanian sementara. Para pencocok tanam pedesaan yang bekerja di hutan menyubsidi investasi kehutanan negara dengan menghasilkan sendiri pangan mereka, entah itu dari tanah mereka sendiri atau dari petak-petak reforestrasi (reboisasi) yang dapat mereka akses untuk sementara waktu. (Pelluso 2008).
2.4. Kemiskinan, Marginalisasi dan Ekstraksi Surplus di Pedesaan Studi kemiskinan merupakan salahsatu tema yang terus bergulir di ranah akademik maupun pengambil kebijakan. Hingga saat ini, para ahli dari beragam perspektif terus mengembangkan dan memperluas definisi kemiskinan berikut indikator yang menyertainya. Salah definisi kemiskinan adalah kondisi kehidupan seseorang yang didasarkan atas tingkat kecukupan subsistensi minimun seperti kebutuhan nutrisi dan kebutuhan dasar lainnya serta penerimaan seseorang di lingkungan sosialnya. Definisi semacam ini sering diistilahkan sebagai kemiskinan absolut (Lok-Dessallien 2001). Kemiskinan juga dapat dilihat dari hubungan antara tingkat kecukupan pangan (status kelaparan) dan akses terhadap sumber pangan, sebagaimana yang diungkapkan Sen (1982) bahwa, walaupun ketersediaan pangan melimpah, kelaparan akan terjadi sebagai akibat
dari ketidakmampuan seseorang
mendapatkan hak atas pangan (Starvation is seen as the result of his inability to establish entitlement to enough food). Selain itu, Sen (1999) juga menunjukkan, bahwa kemiskinan memiliki kaitan erat dengan Capability Deprivation, yaitu tercabutnya (hilangnya) kemampuan seseorang dalam mengakses hak-hak dasar seperti kesehatan, pendidikan, pangan, dan perumahan. Oleh karena itu, untuk mengentaskan kemiskinan dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan/akses kepada orang miskin terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar mereka.
17
Kemiskinan juga dapat dipandang sebagai akibat dari adanya relasi-relasi sosial yang terdapat di suatu masyarakat. Kemiskinan yang demikian ini disebut sebagai kemiskinan struktural. Mengikuti pendapat
Soemardjan (1980),
kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu mengakibatkan mereka tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural mengacu pada ketimpangan-ketimpangan sosial yang telah meresapi struktur dan lembaga-lembaga sosial dan menjelma didalamnya (Winangun 2004). Dari definisi kemiskinan struktural tersebut, maka akan mengantarkan kita pada cara memahami persoalan kemiskinan tidak cukup hanya dilihat dari persoalan ekonomi semata. Persoalan kemiskinan memiliki keterhubungan erat dengan berbagai proses peminggiran sosial (social exclusion) dan marginalisasi yang dialami individu maupun kelompok. Pada paradigma pembangunan lama, kemiskinan selalu dilihat dengan ukuran atau variabel ekonomi yang statis semata dan terkadang tidak sesuai dengan kondisi pedesaan Indonesia. Cara pandang demikian ini telah menghilangkan makna kuasa dan proses/sejarah dalam memahami kemiskinan. Mengikuti pendapat Mosse (2007), kemiskinan merupakan hasil dari sejarah dan dinamika kontemporer kapitalisme yang meliputi proses-proses akumulasi, perampasan, diferensiasi dan eksploitasi. Selain itu, yang juga tidak kalah pentingya adalah perlunya pemahaman tentang mekanisme sosial, kategori dan identitas
yang
melanggengkan
ketidaksetaraan
dan
menstabilkan
atau
memfasilitasi hubungan eksploitasi yang hadir secara nyata. Dengan definisi yang demikian, maka pendekatan metodologis individualisme dan model pilihan rasional neo-liberal harus digeser dengan lebih menekankan pentingnya proses sosial dan hubungan kekuasaan. Murray (2001) mengungkapkan, kebanyakan masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan maupun perkotaan di negara-negara miskin, terlibat dalam perjuangan (pergolakan) yang tak henti-hentinya untuk mengamankan mata pencaharian dalam menghadapi situasi sosial, ekonomi dan politik yang sering kali merugikan mereka. Dua titik sentral untuk memahami perjuangan semacam itu adalah, Pertama adalah situasi dan alasan (penyebab) kemiskinan harus
18
dipahami melalui analisis rinci dari relasi sosial dalam konteks sejarah tertentu: antara mereka yang memiliki lahan dengan mereka yang tidak memiliki lahan, antara rumah tangga kaya dan miskin; antara laki-laki dan perempuan; antara rumah tangga di pedesaan dan di perkotaan dan antara lembaga pasar dan negara. Kedua adalah cara-cara (pola/strategi) mata pencaharian yang biasanya berlaku baik di dalam rumah tangga maupun antara rumah tangga yang sangat beragam. Sementara menurut perspektif ketergantungan dan keterbelakangan awal, ketimpangan pertukaran komoditi dan praktek–praktek warisan kolonial lainnya disebut sebagai faktor kunci yang menjelaskan distribusi kemiskinan dan keterbelakangan yang terjadi di abad ke-20 (Smith, 2005). Adapun pengaruh penetrasi kapital ke pedesaan, Luxemberg (2003) mengungkapkan bahwa pembangunan (penetrasi) kapitalisme ke wilayah pedesaan membutuhkan suatu suasana lingkungan yang memperagakan bentuk-bentuk produksi non-kapitalistik (natural economy) sebagai pasar dari surplus yang dihasilkan oleh para pemilik modal, sumber bahan baku dan penyedia cadangan tenaga kerja dalam sistem upah (buruh lepas). Dalam hal ini, tema akumulasi primitif (primitive accumulation) yang banyak terdapat pada literature Marxian hadir dalam arena debat teoritik kontemporer (Bond 2007, Bonefeld 2001, De Angelis 2000, Perelman 2001). Kemiskinan dan marginalisasi petani di pedesaan dipandang sebagai sebuah akibat ekspansi kapitalisme ke pedesaan. Ekspansi ini pada prakteknya menyebabkan perubahan relasi besar-besaran (great transformations) di pedesaan yakni, proses pelepasan petani dari alat-alat produksi (enclosure) dan kemudian menjadi tenaga kerja bebas (upahan). Proses akumulasi semacam ini tidaklah berlangsung sekali jadi pada tahap awal perkembangan kapitalisme semata sebagaimana yang diyakini oleh para penganut Marxian klasik, namun merupakan bagian tak terpisahkan dari cara produksi kapitalis itu sendiri. Proses ekspansi kapitalisme semacam inilah yang melahirkan proses marjinalisasi dan terbentuknya kemiskinan pada masyarakat pedesaan (Shohibuddin dan Soetarto 2010). De Angelis (2004: 58) mengungkapkan, “… there is no enclosure of commons without at the same time the destruction and fragmentation of communities.”
19
Selain berlangsung “dari atas” berkat fasilitasi dan penetrasi ekonomi dari negara (baik negara kolonial maupun pasca kolonial), ekspansi kapitalisme sebenarnya juga bisa berlangsung “dari bawah”, yakni melalui relasi-relasi agraris di antara anggota masyarakat sendiri menyangkut perebutan akses dan kontrol atas tanah, modal dan tenaga kerja. Secara singkat, proses akumulasi dari bawah di antara masyarakat sendiri ini pada dasarnya terjadi melalui apa yang disebut sebagai “diferensiasi agraria”. White (1998: 20) mendefinisikan proses diferensiasi agraria ini adalah, “… suatu perubahan yang kumulatif dan permanen dalam berbagai cara di mana kelompok-kelompok yang berbeda di dalam masyarakat desa—dan beberapa di luarnya—mendapatkan akses kepada hasilhasil dari jerih payah tenaga kerjanya sendiri ataupun orang lain, menurut perbedaan penguasaan mereka atas sumber-sumber produksi, dan seringkali … menurut ketimpangan yang kian meningkat dalam hal akses atas tanah”. Wiradi (2010) mengutarakan, proses “diferensiasi kelas” di pedesaan Jawa yang ditandai dengan: 1.
Proses pemusatan penguasaan tanah, baik melalui sewa-menyewa, gadaimenggadai, maupun melalui pemilikan dengan pembelian,
2.
Tingkat ketunakismaan bertambah tinggi. Kesempatan para tunakisma untuk dapat menguasai tanah melalui sewa-menyewa dan bagi hasil kian terbatas karena ada kecenderungan para pemilik tanah lebih suka menggarap sendiri tanahnya dari pada menggarapkan (sewa, bagi hasil) kepada orang lain.
3.
Walaupun umumnya proposisi pendapatan dari sektor nonpertanian lebih besar daripada yang bersumber dari sektor pertanian, namun luas pemilikan tanah berjalan sejajar dengan tingkat kecukupan. Ini berarti bahwa jangkauan terhadap sumber-sumber di luar sektor pertanian lebih dimiliki para pemilik tanah luas daripada pemilik tanah sempit atau lebih-lebih para tunakisma.
4.
Pada strata pemilikan tanah yang sempit dan tunakisma terdapat proporsi keluarga miskin yang lebih besar. Dengan demikian berarti bahwa
20
pemilikan tanah tetap merupakan faktor yang turut menentukan tingkat hidup di pedesaan. Dengan demikian, pengkajian kemiskinan dan marginalisasi petani di pedesaan terkait dengan proses-proses dan relasi-relasi penciptaan dan ekstraksi atau perampasan surplus (surplus appropriation) antara pelaku ekonomi di pedesaan, seperti produsen langsung (petani), tuan tanah, pemilik modal, pedagang perantara, dan sebagainya. Mengikuti pendapat Deere dan de Janvry (1979) dalam Ellis (1993), terdapat 7 (tujuh) mekanisme yang menjelaskan bagaimana surplus (nilai lebih) yang dihasil petani ditangkap (diserap) oleh pelaku ekonomi (individu, kelompok maupun negara). Ketujuh mekanisme tersebut, tiga diantaranya melalui sewa (via rent), tiga selanjutnya melalui pasar (via market) dan sisanya melalui negara (via state). Adapun ketujuh mekanisme yang dimaksud Deere dan de Janvry (1979) adalah: (1) sewa jasa tenaga kerja (rent in labour service), (2) sewa atas dasar kebaikan (rent in kind), (3) sewa dalam bentuk tunai (rent in cash), (4) perampasan nilai surplus melalui upah (appropriation of surplus value via the wage), (5) perampasan nilai surplus melalui harga (appropriation of surplus value via the prices), (6) perampasan nilai surplus melalui bunga tinggi (appropriation of surplus value via the usury), dan (7) pajak yang dikenakan kepada petani (peasant taxation). (Ellis 1993) Mengikuti White (2009), terdapat 4 proses kunci yang perlu dipahami dalam memahami ektraksi surplus di pedesaan yakni, 1) Produksi rumah tangga (home production); 2) produksi tenaga kerja upahan (wage labour production); 3) sirkulasi penawaran dan permintaan (supply and demand circulation); dan 4) reproduksi sosial
dan
diferensiasi
agraris
(reproduction
and
agrarian
differentiation). Lebih lanjut, menurut White (2009), petani bisa terlibat dalam berbagai mekanisme peralihan nilai-lebih kepada pelaku-pelaku lain yang bukan produsen seperti, sewa (sewa kontan; bagi-hasil; wajib kerja), hubungan perupahan, mekanisme nilai-tukar dalam pembelian dan/atau penjualan komoditi, pajak (berupa tanah, uang, natura, dan tenaga kerja), bunga pinjaman (uang, hasil, tenaga kerja).
21
Sementara Friedland dan kawan-kawan, lewat pengatannya terhadap dalam rantai komoditas selada dan tomat California yang bersandar pada perspektif Labor Proccess Marxis, meletakkan sebuah kerangka analitik dalam tiga kategori kunci yakni, moda produksi, hubungan sosial produksi, dan pembagian kerja teknis. Pada selanjutnya, Friedland bergerak ke analisis pertanian yang lebih konkret yang diuraikan melalui "lima fokus" untuk analisis sistem komoditi, yakni: praktek produksi, organisasi petani, pasar tenaga kerja, ilmu pengetahuan, serta pemasaran dan sistem distribusi. Di samping aspek-aspek utama tersebut di atas, terdapat aspek-aspek lain, yaitu perbankan dan perkreditan. Peraturan dan program pemerintah mengenai perbankan dan perkreditan dilihat sebagai suatu cara yang dengan itu faktor-faktor eksternal berusaha mempengaruhi atau mengintervensi proses-proses tersebut di atas, untuk sesuatu tujuan tertentu. Melalui mekanisme sistem perbankan dan perkreditan, surplus yang diciptakan oleh seseorang atau suatu kelompok, ataupun badan usaha, dapat beralih menjadi modal bagi orang lain, kelompok lain, ataupun badan lain, baik di dalam sektor dan lokasi yang sama maupun yang berbeda. Dengan demikian, sistem perbankan dan perkreditan dapat dipandang sebagai mekanisme yang mewujudkan mobilitas modal, baik secara spatial, secara sektoral, maupun secara sosial (antara lapisan, antara kelompok etnis, antara gender, dan sebagainya). (Wiradi et al 1991) Secara tradisional kebutuhan akan pinjaman atau kredit dalam suatu masyarakat berjalan sejajar dengan upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam konteks masyarakat pedesaan, Boeke (1983) mencatat bahwa masyarakat petani memiliki dua kebutuhan, yakni kebutuhan ekonomis dan kebutuhan sosial. Dalam konteks yang sama Wolf (1983) juga menyebutkan bahwa untuk dapat hidup layak, seorang petani di negara berkembang harus memenuhi tiga macam kebutuhan. Pertama, replacement funds, yaitu dana yang dibutuhkan petani untuk mengganti peralatan produksi dan konsumsi. Kedua, ceremonial funds, yaitu dana yang dibutuhkan petani untuk membiayai kegiatan-kegiatan sosial. Terakhir, funds of rent, yaitu dana yang dibutuhkan petani untuk membayar sewa tanah apabila tanah tidak memiliki tanah
22
sendiri. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini, tidak dapat ditanggulangi dengan sumber-sumber yang dikuasai sendiri, umumnya dipenuhi dengan memanfaatkan mekanisme pinjam-meminjam yang lazim berlaku. Pinjaman yang diperoleh biasanya dibayar dalam tiga bentuk, yakni tenaga kerja, hasil produksi, atau uang. (Gunardi et al 1994) Gejala yang sama juga ditemukan oleh Djojohadikusumo (1989) melalui penelitiannya tentang masalah perkreditan pada masa depresi tahun 1930-an. Pada era kolonial tersebut, Djojohadikusumo menyebutkan empat bentuk peminjaman yang berlaku umum pada masyarakat. Pertama, pinjaman dalam bentuk padi. Pinjaman ini dimanfaatkan untuk benih atau dikonsumsi sendiri yang akan dibayar lagi sesudah panen dengan padi sebanyak satu setengah hingga dua kali padi yang dipinjam. Kedua, pinjaman uang. Pinjaman ini dikembalikan setelah panen ditambah dengan sejumlah padi yang telah ditetapkan sebelumnya. Ketiga, pinjaman uang yang dibayar kembali dengan kerja yang dianggap sesuai dengan jumlah pinjaman. Keempat, pinjaman uang yang harus dibayar kembali dengan uang ditambah bunga yang telah ditetapkan. Lebih jauh juga dikatakan bahwa jenis-jenis pinjaman ini mempunyai akibat-akibat yang sangat penting. Apabila pinjaman itu membengkak, orang yang berutang hanya dapat membebaskan diri dari pinjaman pokok dan bunganya dengan cara antara lain menyewakan sebagian tanahnya – terkadang juga seluruhnya – kepada pemberi pinjaman dalam jangka waktu tertentu. Setelah habis masa sewa tanahnya, pinjaman dianggap lunas atau menggadaikan tanah kepada pemberi pinjaman. Dari berbagai uraian diatas memperlihatkan adanya hubungan yang khas di antara tiga polar, yaitu kebutuhan hidup (sosio-ekonomi), sumberdaya yang dikuasai (tanah, tenaga kerja, dan lain-lain.), dan pinjaman (natura ataupun uang tunai). Kebutuhan hidup akan dipenuhi dengan memanfaatkan sumberdaya atau, apabila dianggap tidak mencukupi, mekanisme pinjam-meminjam. Pinjammeminjam ini pun disandarkan pada nilai sumberdaya yang dikuasai. Dengan kata lain, hubungan tiga polar ini sedapat mungkin akan dipertahankan pada suatu tingkat kesetimbangan tertentu. Apabila tingkat kesetimbangan ini terganggu,
23
maka terganggu pula kesetimbangan ekonomi rumah tangga penerima pinjaman. (Djojohadikusumo, 1989)
2.5. Etika Subsistensi dan Upaya Protes Petani Menurut Scott (1981), kekhawatiran akan kekurangan pangan yang menghinggapi komunitas petani di era pra-kapitalis merupakan faktor utama tumbuhnya etika susbsitensi. Etika subsistensi petani tidak hanya memfokuskan kepada kegiatan ekonomi semata akan tetapi secara inheren memiliki dimensi normatif atau moral. Sebagai suatu prinsip moral yang berlaku, etika subsistensi berakar pada kebiasaan (tradisi) ekonomi yang didalamnya terdapat mekanisme pertukaran-pertukaran sosial diantara anggota masyarakat petani. Dalam bentukbentuk kelembagaan yang terdapat di petani subsisten, seperti pola relasi patronklien, mekanisme distribusi dan resiprositas, etika subsistensi menyediakan sebuah sistem penjaminan yang dinamakan asuransi sosial. Asuransi sosial memainkan peran vital sebagai faktor integritas petani dalam menghadapi resiko pertanian melalui sistem pertukaran sosial. Peran moral ekonomi yang lahir dari etika subsitensi petani, menurut Scott, telah melahirkan aktivitas protes dari petani subsisten. Terdapat dua tema sentral gerakan protes petani, pertama, pungutan atas penghasilan petani oleh tuan tanah (patron) dan negara tidaklah sah apabila dianggap pungutan tersebut melampaui tingkatan subsistebsi minimal menurut ukuran kultur lokal dan kedua, sumberdaya bersama (commons) seperti tanah harus didistribusikan secara sedemikian rupa agar setiap petani terjamin subsistensinya. Lebih lanjut, Scott berpendapat, dua transformasi yang terjadi di era kolonialisme secara langsung telah mengikis polapola asuransi sosial petani. Menurut Wolf dalam Scott (1981), transformasi yang tersebut adalah pengaruh kapitaslisme Atlantik Utara serta berkembangnya negara modern dibawah payung kolonialisme. Dampak adanya transformasi tersebut menyebabkan sumberdaya seperti tanah dan tenaga kerja menjadi sebuah komoditas yang hanya dilihat dari sisi nilai tukar ekonomi kapitalistik atau mekanisme pasar.
24
Scott
menyoroti
peran
negara
yang
tampil
memainkan
peran
administratifnya dengan memungut pajak pendapatan, tunjangan sosial bagi petani tanpa memperhatikan kondisi subsistensi petani yang semakin memprihatinkan. Selain itu, dampak dari penetrasi pasar mendorong setiap individu untuk melakukan
rasionalisasi
aktivitas
ekonominya
dengan
memprioritaskan
keuntungan masksimum. Secara tegas, Scott berpendapat, komersialisasi sektor agraris di era ekonomi pasar secara nyata melenyapkan bentuk-bentuk asuransi sosial yang berlaku di komunitas petani, atau dengan kata lain paradigma pasar telah mengikis mekanisme-mekanisme pemerataan yang berlaku di desa. Berbeda dengan Scott, pandangan Popkin (1986) lebih optimis terhadap prospek masa depan petani dengan adanya mekanisme pasar. Asumsi para ekonom moral yang mengatakan hanya para petani kaya yang dapat melakukan inovasi demi mengejar keuntungan maksimal sehingga peran negara menjadi dominan dalam melindungi taraf susbsistensi petani dibantah oleh Popkin. Menurutnya, stratifikasi ditataran petani lebih ditimbulkan karena perbedaan di komunitas petani dalam mendapatkan akses di pemerintahan dibandingkan dengan adanya penetrasi pasar. Popkin berpendapat, kekhawatiran kaum moralis akan tuna kuasanya petani atas akses dan kontrol akibat pasar justru memperlihatkan bahwasanya petani lebih memiliki kesempatan untuk mengontrol sumberdaya ketika mereka dibebaskan memasuki pasar akibat surplus yang mereka peroleh. Tindakan rasional individu-individu dalam menentukan pilihan dalam kegiatan ekonomi (pola produksi, konsumsi dan distribusi) menjadi prasyarat utama untuk keluar dari kebergantungan. Memberikan peran lebih kepada mekanisme pasar dapat membebaskan petani dari jeratan dominasi tuan tanah (patron klien). Dengan adanya keleluasaan petani memasuki pasar secara langsung akan mempertinggi posisi tawar petani di kalangan tuan tanah. Keberadaan pasar memberikan alternatif nbanyak pilhan serta dapat memberikan kesempatan petani untuk mendapatkan surplus dari produksi pertanian mereka. Relasi patron-klien yang terbangun komunitas petani di era pra-kapitalisme sesungguhnya tidak menjamin tingkat subsistensi petani akan tetapi justru memberikan legetimasi penguasaan sumberdaya petani oleh patron. Selain menyediakan berbagai alternatif pilihan
25
kepada petani, peran pasar juga mendorong otonomi petani agar terbebas dari dominasi tunggal (eksploitasi) patron. Popkin berpendapat, sifat diadik dari relasi patron-klien tidaklah inheren akan tetapi karena kemampuan patron dalam mengindividukan relasi yang terbangun dengan klien sehingga secara tidak langsung menghambat kekuatan proses
tawar-menawar
kolektif.
Dalam
hal
ini,
patron
tidak
hanya
menginvestasikan sumberdaya-sumberdaya klien dengan tujuan menjaga taraf subsistensi akan tetapi juga menghamabat penegmbangan kreativitas petani yang bisa merubah level keseimbangan kekuatan tawar petani. Untuk merubah pola pertukaran antara patron dan petani dibutuhkan tindakan kolektif dari petani. Untuk itu, peran ’orang luar’ dalam proses negosiasi atau tawar-menawar dengan patron akan mendorong gerakan revolusi karena para petani didaerah subsisten kurang memiliki kecenderungan untuk memperbaharui sistem kelembagaan mereka sendiri.
2.6. Review Beberapa Studi Terkait Studi mengenai kemiskinan dan marjinalisasi petani di Indonesia merupakan salah satu tema yang terus bergulir terutama pada studi-studi tentang dinamika masyarakat pedesaan berbasis agraris. Dalam lintasan sejarah, setidaknya pasca kemerdekaan Indonesia, penelitian terhadap kondisi sosialekonomi masyarakat pedesaan khususnya Jawa telah banyak dilakukan dari berbagai disiplin ilmu dengan beragam fokus kajian seperti; distribusi pendapatan rumah tangga petani (King dan Weldon, 1977, Mintoro 1984), upah dan tenaga kerja di pedesaan (Husken 1979, White 1981, Soentoro 1984), penguasaan dan kepemilikan lahan (Booth 1974, Wiradi dan Makali 1984), intesifikasi dan mekanisasi pertanian (Siregar dan Nasution 1984), migrasi dan tekanan penduduk (Hugo 1982), kelembagaan modal dan kredit pedesaan (Colter 1984), organisasi dan struktur politik lokal hingga gerakan sosial pedesaan yang kesemuanya memberikan gambaran situasi sosial-ekonomi pedesaan Indonesia. Selain itu, beberapa hasil kajian tersebut bersandar pada konteks atau situasi sosial, ekonomi dan politik yang melatarbelakangi lahirnya sebuah kebijakan
26
pembangunan pertanian dan pedesaan serta dampak dari pemberlakuan kebijakan tersebut seperti; land reform (Utrecht 1969, 1973), program Bimas (Roekasah dan Penny 1967, Partadiredja, 1969), revolusi hijau, transmigrasi, program PIR-BUN (White 1996), Supra-Insus (Sawit dan Manwan 1991), program kredit usahatani (KUT), inpres desa tertinggal (IDT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan yang saat ini sedang digalakkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). Dari berbagai kajian tersebut pada akhirnya turut melahirkan atau paling tidak mendorong debat teoritik yang lebih luas, lintas aktor, wilayah (ruang), disiplin dan perspektif dalam memahami kondisi kemiskinan dan marjinalisasi petani di pedesaan Inodenesia. Diantara berbagai studi tersebut, terdapat simpul-simpul tematik yg turut menjadi dasar pengambilan kebijakan pembangunan pertanian dan turut mendorong perdebatan yang cukup luas dan intens. Dalam konteks ini, posisi penilitian Geertz tahun 50an, Studi Dinamika Pedesaan/Survey Agro Ekonomika (SDP/SAE) era 70an, penelitian kolaborasi PSP-LP IPB, ISS dan PPLH ITB akhir tahun 80an serta riset aksi IDT yang dilakukan oleh P3R YAE era tahun 90an merupakan salahsatu bentuk lintasan evolusi perkembangan studi kemiskinan di pedesaan Indonesia. Hal yang perlu digaris bawahi, hasil studi SAE sebagai lembaga penelitian yang berpusat di Bogor menurut beberapa pemerhati kemiskinan dan pedesaan merupakan salahsatu hasil studi yang sangat berpengaruh terhadap pemahaman kondisi pedesaan di Indonesia (de Vries 1969, Strout 1985) Studi Geertz di daerah pedesaan Jawa Timur pada tahun 1952-1954 menyimpulkan bahwa masyarakat pedesaan telah mengalami proses kemiskinan berbagi (shared poverty) dan involusi. Dengan menggunakan ilustrasi kue yang harus dipotong dan dibagi kian mengecil, Geertz berpendapat, akibat kelangkaan sumber daya lahan dan meningkatnya jumlah penduduk (tenaga kerja), di pedesaan Jawa telah terjadi apa yang ia sebut sebagai “kemiskinan berbagi” (share poverty). Selanjutnya, dengan jumlah tenaga kerja di desa melimpah ruah dan jumlah lahan yang tersedia terbatas sementara mereka (tenaga kerja di desa) harus tertampung dalam pengerjaan sebuah lahan, kondisi inilah yang ia sebut
27
sebagai involusi.1 Akibatnya, kelembagaan yang mengatur tenaga kerja dan sumberdaya agraria di desa semakin kompleks sehingga terjadi kemandegan perkembangan desa. Menurut Geertz, di pedesaan Jawa hanya terdapat rumah tangga yang kecukupan dan kekurangan (Geertz 1984).2 Dalam hal ini, di pedesaan Jawa tidak terjadi polarisasi (pengkutuban) antar warga desa.3 Gambaran masyarakat pedesaan Jawa ala Gertz oleh sebagian para pemerhati masalah pedesaan dianggap sebagai lukisan usang tentang desa atau lebih terjebak pada ingatan romantisme tentang desa. Slogan, “mangan ora mangan asal kumpul” sering kali dipakai sebagai untaian kalimat romantis dalam menggambarkan suasana pedesaan kita di Indonesia. Faktanya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh sekelompok peneliti yang tergabung SAE/SDP, PSP-LP dan Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB yang bermarkas di Bogor era 70-90an, akibat agenda
1
Konsep involusi dipinjam dari Goldenweiser yang menggunakan istilah tersebut guna menerangkan pola-pola kebudayaan yang sering terlihat pada masyarakat-masyarakat primitif yang, setelah mencapai apa yang tampaknya merupakan keadaan yang menentukan, bukan saja tidak mampu memantapkan ataupun mentransformasikan diri ke dalam suatu pola baru, tetapi malah, terus saja berkembang secara melingkar-lingkar ke dalam. Dalam bidang ekonomi konsep involusi ini menunjukkan suatu pola perubahan teknis di mana produksi pertanian ditingkatkan hanya dengan meningkatkan masukan tenaga kerja ke tiap bidang sawah. (Kano 1986) 2
Geertz menyatakan, “di bawah tekanan jumlah penduduk yang makin banyak dan sumbersumber daya yang terbatas, masyarakat Jawa terbagi menjadi dua golongan, –yaitu golongan tuan tanah besar dan golongan setengah budak yang tertindas –sebagaimana halnya pada begitu banyak negara “berkembang” lainnya. Tetapi sebaliknya, masyarakat ini mempertahankan suatu tingkat homogenitas (keserbasamaan) sosial dan ekonomi yang cukup tinggi, dengan membagi kue ekonomi dalam potongan yang makin lama makin kecil, suatu proses yang pada bagian-bagian lain saya sebut “kemiskinan bersama”. Masyarakat bukannya terbagi dalam golongan kaya dan golongan miskin; yang ada –dalam bahasa kaum tani yang sedikit diperhalus –hanyalah golongan cukupan dan golongan kekurangan.Yang kita temukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur bukannya pemusatan kekayaan secara pesat serta terbentuknya kaum proletariat pedesaan yang terasing dan miskin seperti yang kita jumpai di begitu banyak daerah “terbelakang”, melainkan proses pembagi-bagian tanah dan harta penduduk secara hampir merata. Dengan demikian kaum tani boleh dikatakan dapat mempertahankan keseimbangan atau kesamaan di bidang agama, politik, sosial dan ekonomi dengan sesamanya, dan tingkat hidup mereka sama-sama merosot jauh”. (Kano, 1986) 3
Chayanov (1925) menyatakan, bahwasanya yang terjadi di pedesaan adalah diferensiasi demografis. Dengan menjaga keseimbangan antara tingkat konsumsi dan tenaga kerja yang berasal dari keluarga (consumer-labour balance), maka suatu unit rumah tangga tani suatu saat bisa jadi kaya atau jatuh miskin. Dalam kaitan ini, suatu unit rumah tangga petani belum cukup menjadi sebuah kekuatan kelas (Thorner 1966). Bandingkan dengan pandangan kaum Marxian ortodoks Rusia seperti Lenin yang berpendapat bahwa akibat masuknya kapitalisme ke pedesaan berdampak terjadinya diferensiasi kelas. (Ellis 1993)
28
modernisasi pertanian lewat revolusi hijau di pedesaan telah mengarah terjadinya polarisasi di tingkat warga desa.4 Sebagai sebuah kritik, Sajogyo dalam Geertz (1984) menunjukkan sekitar 10 persen rumah tangga petani di desa memiliki atau menguasai kurang lebih 80 persen lahan garapan pertanian. Sisanya, sekitar 20 persen lahan di desa diolah oleh 80 persen rumah tangga petani. Dengan kata lain, penelitian Geertz kurang memperhatikan adanya struktur ketimpangan kepemilikan dan penguasaan lahan yang pada akhirnya bermuara pada ketimpangan distribusi pendapatan antar warga desa. Kritik yang sama juga dilontarkan oleh Collier (1981), yakni Geertz mengabaikan nafkah petani di luar usahatani (off-farm). Padahal nafkah di luar usahatani di Jawa sesungguhnya menyita banyak dari seluruh waktu kerja, dan jika pendapatan di luar usahatani dihitung, pendapatan perkapita kemungkinan akan kelihatan meningkat (evolution), bukannya menurun seperti yang dikatakan Geertz. Disamping itu, Collier (1981) dan White (1983) menunjukkan bahwa kesimpulan Geertz mengabaikan fakta adanya diferensiasi kelas agraris yang terjadi di pedesaan sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Sajogyo sebelumnya. Beragam lontaran kritik yang berasal serangkaian penelitian di beberapa desa era 70 hingga 80-an oleh sekelompok pemerhati SAE/SDP seperti Collier, Sajogyo, White dan Wiradi juga turut mengundang respon oleh pemerhati pedesaan lainnya, seperti Prof. Yujiro Hayami dan Dr. Masao Kikuchi asal Jepang yang melakukan penelitian di desa-desa Indonesia dan Filiphina. Menurut Hayami dan Kikuchi (1987), hasil penelitian Gertz pada tahun tersebut telah menunjukkan bahwa di pedesaan Jawa terdapat kelembagaan tradisional yang mengatur pemerataan kesejahteraan antar warga. Selain itu, menurut hasil studi Hayami dan Kikuchi, tekanan jumlah penduduk merupakan faktor utama bagi terjadinya perubahan hubungan-hubungan agraris di pedesaan. Dalam hal peran teknologi, pandangannya berlawanan dengan Colletal (Collier cs), yaitu bahwa teknologi justru dapat mengatasi proses pemiskinan dan dapat menangkal proses 4
Bandingkan dengan kesimpulan Hayami dan Kikuchi (1987) yang menyatakan bahwa yang terjadi di pedesaan lebih menunjukkan kepada gejala semakin terstrafikasinya masyarakat pedesaan.
29
kesenjangan. Karena itu, institusi tradisional yang ternyata dapat berfungsi sebagai pranata kesejahteraan tidak harus berubah, dan sebaiknya tidak harus diubah, melainkan di-“modernisir” (inovasi) sehingga dapat menjadi penangkal proses diferensiasi kelas. (Wiradi 2010) Lewat studi yang dilakukan di salah satu desa sampel SAE di Jawa Tengah, Prof. Gillian Hart menegaskan bahwa, kedua “paradigma” (baik Hayami dan Kikuchi maupun Collier) tersebut di atas dianggap tidak mampu menjelaskan “timing” dan “laju” perubahan. Selain itu, perubahan hubungan agraris di pedesaan Indonesia bukan semata-mata disebabkan oleh perubahan teknologi, bukan oleh meningkatnya jumlah penduduk, bukan pula oleh proses komersialisasi, melainkan – yang paling penting – oleh perubahan kondisi politik serta keresahan atau ketegangan dan kontradiksi-kontradiksi yang dilahirkannya. Karena itu, peran negara menurut Hart perlu dimasukkan dalam analisis. Dalam hubungan ini, Hart mengajukan teori mengenai ELA (exclusionary labor arrangements) dimana pengaturan tenaga kerja pertanian (buruh kontrak, buruh harian, dan lain-lain) didasarkan pada suatu pola perekrutan yang di satu pihak mengatur kewajiban-kewajiban, dan di lain pihak menguatkan kontrol atas buruh tani.5 (Wiradi 2010) Pada gilirannya, melalui kajiannya di daerah Kabupaten Subang awal dekade 1990-an tepatnya di dua desa yang menjadi desa studinya Hayami dan Kikuchi dan satu desa lain sebagai pembanding, Dr. Jonathan Pincus, pakar dari FAO menawarkan dua tesis utama sebagai respon terhadap ketiga pandangan sebelumnya (Collier dan kawan-kawan, Hayami dan Kikuchi serta Hart) yakni Pertama, faktor-faktor spesifik lokal (sejarah terbentuknya desa; kondisi agroekologis; dan perimbangan kekuatan antara kelas sosial), merupakan pemegang peran utama dalam membentuk pola-pola perubahan sosial pada tingkat desa. Kedua, faktor-faktor lokal tersebut mempengaruhi arah proses perubahan agraris
5
ELA (exclusionary labor arrangements) ini merupakan suatu mekanisme di mana negara dan pemilik tanah bukan saja “mengatur tenaga kerja”, namun juga “menerapkan kontrol sosial”. Di sini, persoalan mobilisasi dukungan politik dan pelaksanaan “hukum dan ketertiban” menjadi kunci untuk menjelaskan bentuk-bentuk agrarian labor arrangements. (Wiradi, 2010)
30
melalui pengaruhnya atas pembentukan dan perkembangan hubungan antarrumahtangga, di tingkat desa.6 (Wiradi 2010) Hasil studi yang dilakukan Ghose dan Griffin (1980) di 12 negara termasuk Indonesia menyebutkan, jumlah penduduk miskin di pedesaan akan terus meningkat tajam. Hal ini disebabkan salah satunya karena kegagalan agenda “revolusi hijau” dalam “merevolusikan” produksi pertanian di pedesaan yang tidak didahului oleh pembenahan struktur agaria. Akibatnya, intervensi teknologi pertanian di pedesaan hanya dinikmati oleh gologan ekonomi kuat di desa. Dengan kata lain, penerapan agenda revolusi hijau sangat bertentangan dengan kepentingan kelompok miskin di pedesaan. Sebagai jalan keluar dari problem kemiskinan di pedesaan, maka perlu dilakukan land reform dalam arti luas yang meliputi, redistribusi lahan untuk mengentaskan ketuna-kismaan petani dan menjadikan keluarga tani berskala kecil sebagai unit pokok produksi serta peningkatan pertanian kolektif. (Ghose dan Griffin 1980) Berbeda dengan apa yang digambarkan oleh Ghose dan Griffin akan situasi suram kemiskinan dan marginalisasi petani di pedesaan Indonesia, menurut laporan The World Development Report 2008: Agriculture for Development dirilis oleh Bank Dunia menyebutkan bahwa angka kemiskinan di pedesaan Indonesia memiliki tren yang terus menurun (World Bank 2008). Selain itu, menurut laporan tersebut, Indonesia dan sebagian negara Asia lainnya dimasukkan dalam kategori negara yang sedang mengalami transformasi struktural dimana kontribusi sektor pertanian hanya sekitar 25 persen terhadap GDP dan 60 persen dari total penduduk miskin berada di pedesaan. Dalam konteks ini, tranformasi struktural ditandai dengan pergeseran peran pertanian kepada sektor industri dan jasa disatu sisi dan diikuti oleh penurunan jumlah penduduk miskin di pedesaan. Dalam laporan yang dirilis Bank Dunia tersebut juga digambarkan situasi penurunan angka kemiskinan di pedesaan Indonesia bersandar pada tiga jalur utama, yakni: usahatani komersil, diversifikasi nafkah rumah tangga petani dan pengerahan tenaga kerja upahan (pertanian dan non pertanian), serta migrasi keluar desa. Namun demikian, laporan Bank Dunia diatas turut mengundang 6
Hasil kajian Pincus di awal dekade 1990-an tersebut kemudian dijadikan disertasi dan diterbitkan sebagai buku dengan judul: Class, Power and Agrarian Change (1996).
31
respon kritis dari berbagai kalangan pemerhati diantaranya Akram-Lodhi (2009) yang mengungkapkan, penjelasan terhadap proses transformasi struktural di beberapa negara Asia yang tertera dalam laporan tersebut masih bersandar pada teori modernisasi klasik ala Rostow (tahap lepas landas).
2.6. Kerangka Konseptual Kemiskinan dipandang sebagai akibat dari adanya relasi-relasi sosial yang terdapat di suatu masyarakat. Kemiskinan yang demikian ini disebut sebagai kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural mengacu pada ketimpanganketimpangan sosial yang telah meresapi struktur dan lembaga-lembaga sosial dan menjelma didalamnya (Winangun 2004). Persoalan kemiskinan memiliki keterhubungan erat dengan berbagai proses peminggiran sosial (social exclusion) dan marginalisasi yang dialami individu maupun kelompok. Mengikuti pendapat Deere dan de Janvry (1979) dalam Ellis (1993), terdapat 7 (tujuh) mekanisme yang menjelaskan bagaimana surplus (nilai lebih) yang dihasil petani ditangkap (diserap) oleh pelaku ekonomi (individu, kelompok maupun negara). Ketujuh mekanisme tersebut, tiga diantaranya melalui sewa (via rent), tiga selanjutnya melalui pasar (via market) dan sisanya melalui negara (via state). Adapun ketujuh mekanisme yang dimaksud Deere dan de Janvry (1979) adalah: (1) sewa jasa tenaga kerja (rent in labour service), (2) sewa atas barang (rent in kind), (3) sewa dalam bentuk tunai (rent in cash), (4) perampasan nilai surplus melalui upah (appropriation of surplus value via the wage), (5) perampasan nilai surplus melalui harga (appropriation of surplus value via the prices), (6) perampasan nilai surplus melalui bunga tinggi (appropriation of surplus value via the usury), dan (7) pajak yang dikenakan kepada petani (peasant taxation). (Ellis 1993) Dalam hal ini, White (2009) menyebutkan, empat proses kunci yang perlu dipahami dalam memahami ektraksi surplus di pedesaan yakni, 1) Produksi rumah tangga (home production); 2) produksi tenaga kerja upahan (wage labour production); 3) sirkulasi penawaran dan permintaan (supply and demand circulation); dan 4) reproduksi sosial dan diferensiasi agraris (reproduction and
32
agrarian differentiation). Lebih lanjut, menurut White (2009), petani bisa terlibat dalam berbagai mekanisme peralihan nilai-lebih kepada pelaku-pelaku lain yang bukan produsen seperti, sewa (sewa kontan; bagi-hasil; wajib kerja), hubungan perupahan, mekanisme nilai-tukar dalam pembelian dan/atau penjualan komoditi, pajak (berupa tanah, uang, natura, dan tenaga kerja), bunga pinjaman (uang, hasil, tenaga kerja). Dengan demikian, memahami bagaimana penciptaan kemiskinan sebagai hasil dari marginalisasi komunitas petani di pedesaan dapat ditelusuri dengan mengidentifikasi struktur dan organisasi sosial yang terdapat di komunitas yang mengatur akses dan kontrol terhadap faktor-faktor produksi serta turut menentukan hubungan produksi, pola pertukaran dan distribusi hasil dari setiap aktivitas produksi di tiap rumah tangga petani. Hadirnya insiatif warga dari bawah yang mengorganisir diri dalam organisisasi tani lokal merupakan suatu yang tidak dapat
dipisahkan dalam memahami upaya
pembaharuan atas hadirnya
ketimpangan struktur atas penguasaan sumber-sumber agraria lokal di pedesaan dataran tinggi Garut, Jawa Barat
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Kerja Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian empiris yang mencakup seperangkat proses yang kompleks dengan menggunakan pendekatan ekonomi-politik yaitu melihat “kemungkinan adanya hubungan timbal-balik antara ekonomi dan politik” dan pendekatan “sosio-historis” yaitu pola-pola hubungan produksi dalam sejarah perkembangan sebuah komunitas. Sementara strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus yang bersifat eksplanatif dan kualitatif. Dalam membantu proses pengambilan dan mensistematisir data, maka akan digunakan seperangkat set pertanyaan (kuisioner) yang ditujukan kepada pihak yang dianggap dapat mewakili dalam menjawab rumusan masalah penelitian ini. Pengambilan data melalui kuisioner bukanlah merupakan instrumen yang digunakan untuk melakukan uji hipotetik secara statistik. Dalam batas tertentu, hasil kuisioner digunakan hanya sebatas untuk melihat sebaran atau distribusi frekuensi suatu konteks. Proses analisis data pada penelitian ini yang berakar kuat pada perspektif Marxian berikut
berbagai variannya dimana komunitas dilihat
sebagai
keseluruhan dan aksi individu dibangun atas bekerjanya sebuah sistem yang berlaku. Dengan demikian, setiap aktifitas ekonomi tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan dari dimensi sosial dan politik suatu komunitas (Ellis 1993). Perbedaan aktifitas nafkah dari setiap kelompok sosial dalam sebuah masyarakat ditentukan oleh dua hal, yakni: (1) siapa yang memiliki kontrol efektif terhadap seluruh sumber-sumber produksi, dan (2) sampai sejauh mana pemanfaatan output dari setiap kegiatan produksi, apakah untuk keperluan konsumsi atau untuk dipertukarkan (dijual) kembali dalam perekonomian pasar (Ellis 1993). Adapun faktor yang mempengaruhi seseorang (individu) dalam memilih antara memenuhi kebutuhan atau mengakumulasi kapital ditentukan oleh kondisi objektif struktural, bukan karena perbedaan pilihan atau kecenderungan psikologis antar individu dan turut ditentukan oleh perbedaan kelas bukan perbedaan antar individu. (Cardoso dan Levine 2008)
34
Menurut Murray (2001), kebanyakan masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan maupun perkotaan di negara-negara miskin, terlibat dalam upaya (perjuangan) yang tak henti-hentinya untuk mengamankan keberlanjutan nafkah dalam situasi sosial, ekonomi dan politik yang acap kali merugikan mereka. Dua titik sentral untuk memahami upaya (perjuangan) semacam itu adalah, Pertama adalah situasi dan alasan (penyebab) kemiskinan harus dipahami melalui analisis rinci dari relasi sosial dalam konteks sejarah tertentu: antara mereka yang memiliki lahan dengan mereka yang tidak memiliki lahan, antara rumah tangga kaya dan miskin; antara laki-laki dan perempuan; antara rumah tangga di pedesaan dan di perkotaan dan antara lembaga pasar dan negara. Kedua adalah cara-cara (pola/strategi) nafkah yang biasanya berlaku baik di dalam rumah tangga maupun antara rumah tangga yang sangat beragam. Namun demikian, menghindari dualisme objek telaah yang terdapat dalam perspektif Marxian ortodox (klasik), yakni tegangan antara pelaku (agency) dan struktur (structure), maka dengan mengikuti teoritisasi Giddens, hubungan antara pelaku dan struktur dipandang sebagai suatu hubungan yang bersifat dualitas yakni tindakan (pelaku) dan struktur saling mengandaikan. Dualitas strukturpelaku terletak dalam proses dimana struktur sosial merupakan hasil dan sekaligus sarana praktik sosial. Selain itu, dualitas terjadi pada “praktik sosial yang berulang dan terpola dalam lintas ruang dan waktu”. (Priyono 2000)
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di dua desa yang terletak pada dua dataran tinggi Garut, Provinsi Jawa Barat. Adapun dua desa tersebut adalah desa Sukatani, Kecamatan Cisurupan yang terletak pada hamparan Gunung Papandayan dan desa Dangiang, Kecamatan Cilawu yang berada di hamparan Gunung Cilawu. Definisi dataran tinggi (uplands) yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengikuti pendapat Allen dan Spencer yakni, suatu daerah atau kawasan yang berbukit atau terletak di daerah pegunungan dengan permukaan daratan yang cenderung terjal, dan berada di tempat yang tinggi. Selain itu, dataran tinggi dicirikan oleh sistem pertanian yang tidak menggunakan aliran irigasi, tidak berbatasan langsung
35
dengan daerah pesisir, muara sungai atau daratan aluvial dan tanah rawa-rawa serta tidak mengalami banjir musiman (Li 2002). Penelitian ini dilakukan pada bulan September hingga Desember 2009.
3.3. Level dan Unit Analisis Dalam memahami kemiskinan dan marginalisasi petani sebagai suatu kondisi yang bersifat relasional atau struktural, maka akan dilihat dari bagaimana proses perampasan dan ekstraksi surplus dari produsen langsung (petani) kepada para pelaku ekonomi lainnya dalam relasi produksi maupun pertukaran. Menurut White (2009), dalam memahami proses tersebut dapat dianalisis dalam berbagai tingkatan yakni: global (world-systems), hubungan global-lokal seperti commodity chains atau commodity networks, struktur agraris lokal/rejim ketenagakerjaan, dan rumahtangga atau individu dalam struktur agraris (hubungan-hubungan agraris). Khususnya di tingkat rumah tangga petani, perspektif analisis pola nafkah (livelihoods) untuk menyelidiki dan memahami proses diferensiasi, akumulasi dan pemiskinan hadir sebagai sebuah kerangka analisis yang saat ini terus dikembangkan dari beragam pelaku dan asumsi teoritik (Murray 2001). Dalam penelitian ini, unit satuan analisis yang digunakan adalah komunitas petani di dua desa dataran tinggi. Pendekatan studi komunitas dapat diidentifikasi secara praktis melalui tiga domain utama, yakni masyarakat pedesaan, kota-kota kecil dan masyarakat kelas pekerja. Meskipun ada beberapa perbedaan penting di antara domain tersebut, sehingga sering dimaksudkan untuk memberikan referensi sosiologis yang sangat kontras, dari sudut pandang analisis sifat komunitas dimungkinkan untuk mengambil beberapa tema-tema umum dan memperoleh beberapa kesimpulan umum pada ketiga domain tersebut. (Day 2006) Mengutip pendapat Frazer (1999) dalam Day (2006), terdapat sebuah implikasi konseptual dalam penggunaan dan analisis komunitas bahwa individu berhubungan untuk satu sama lain dalam berbagai cara dan kompleks. Keberagaman dan kompleksitas tersebut meningkatkan status ‘kesatuan’ dari keseluruhan dan menekankan pemaknaan dari masing-masing inividu yang berhubungan dengan keseluruhan. Dengan kata lain, komunitas yang sedemikian
36
ini memiliki realitas objektif yang terdiri dari sekumpulan interkoneksi yang pasti antar individu dan antar kelompok. Interkonesitas tersebut membawa berbagai bentuk informasi, pengalaman dan nilai-nilai yang dianut oleh individu-individu yang terlibat dan mendorong beberapa jenis perilaku yang diharapkan. Melalui pengulangan dan konfirmasi,
norma-norma
kehidupan komunitas dapat
ditegakkan bersamaan dengan praktek-praktek sosial rutin tertentu yang dapat ditelusuri secara rinci melalui pengamatan dan studi. Adapun satuan wawancara yang dimaksud dalam penelitian ini adalah individu-individu atau pihak-pihak yang mewakili suatu kategori kelompok yang dipilih secara sengaja oleh peneliti yang dianggap dapat menggambarkan dan menjelaskan topik-topik yang terkait dengan penelitian ini. Adapun individu yang dipilih di dua lokasi penelitian yaitu: 2 (dua) orang bandar lokal, 2 (dua) orang pengurus organisasi tani lokal (OTL), 5 (lima) orang kepala keluarga petani serta 2 (dua) orang tenaga pendamping OTL. Dengan demikian, satuan wawancara setiap desa sekurangnya berjumlah 9 (sembilan) orang atau 21 (dua puluh satu) orang untuk dua lokasi (desa). Selain wawancara secara individu, penelitian ini juga akan melakukan wawancara kelompok yang mewakili kelompok kepentingan tertentu. Dalam konteks penelitian ini, kelompok kepentingan yang dimaksud adalah anggota kelompok OTL di masing-masing desa dan tenaga pendamping dari SPP. Adapun jenis pertanyaan antara wawancara individu maupun kelompok akan dibedakan sesuai dengan topik bahasan dan dengan demikian komposisi peserta wawancara kelompok tidak mempermasalahkan seseorang yang menjadi satuan wawancara secara individu terlibat dalam wawancara secara kelompok.
3.4. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan beberapa metode yang disandarkan pada rumusan masalah atau konteks kajian. Namun demikian, meski menggunakan beragam metode, hal yang coba dihindari dalam penggunaan metode ini adalah adanya benturan atau kontradiksi terhadap asumsi fundamental (paradigma) yang melekat pada sebuah metode. Selain itu, penggunaan beragam
37
metode dalam penelitian ini sebagai suatu bentuk triangulasi metode. Secara lebih rinci, metode yang digunakan dalam penelitian ini akan diuraikan pada bagian dibawah ini.
3.4.1. Telaah Rantai Komoditas Salahsatu metode pengumpulan data yang dirasakan tepat terkait tema penelitian ini adalah studi mengenai rantai/jejaring komoditas (commodity chains/networks) atau seperti yang dikatakan Tania Li yang menggunakan perspektif antropologi sosial yakni “follow the crops/commodity”. Seperti yang diungkapkan Collins (2005), kebangkitan analisis rantai komoditas pada tahun 1980 (pasca perang dingin) bersamaan dengan semakin meluasnya kritik terhadap “pembangunan” sebagai sebuah “praktek” dan “teori pembangunan” sebagai sebuah “ideologi”. 7 Mengutip apa yang dinyatakan Hopkins dan Wallerstein (1986), rantai komoditas adalah “sebuah jejaring kerja dan proses produksi komoditas hingga kebentuk terakhirnya” (a network of labor and production processes whose end result is a finished commodity) (Gereffi et al 1994). Dengan kata lain, semua komoditas mengalami urutan transformasi dari bahan mentah ke produk jadi (Smith 2005). Gereffi dan Korzeniewicz (1990) menyatakan, rantai komoditas terdiri dari sejumlah “simpul” yang mencakup unsur-unsur penting dalam proses produksi seperti proses ekstraksi dan pasokan bahan baku, transformasi industri, aktifitas ekspor, dan pemasaran (pertukaran). Setiap simpul itu sendiri merupakan sebuah jaringan yang terhubung ke simpul-simpul lain yang mencakup kegiatan-kegiatan
7
Di era 1980-an (periode awal berakhirnya perang dingin), pengkajian terhadap praktek-praktek pembangunan mulai menuai persoalan dari cara pandang yang disediakan berbagai paradigma besar. Menanggapi persoalan tersebut, sebagian ahli kemudian mulai merangkul studi rantai komoditi sebagai strategi metodologis yang memungkinkan mereka melanjutkan studi empiris mengenai praktek pembangunan di berbagai belahan dunia. Dipicu oleh hadirnya pendekatan baru post-strukturalis dalam ilmu humaniora dan sosial, para kritikus menyatakan skeptis terhadap seluruh teori-teori besar, khususnya tentang model “kemajuan” ala barat. Kritik utama yang menyasar pada teori pembangunan lama (baik neo-klasik maupun marxis), karena terlalu bersifat ekonomi, deterministik, dan bias barat. (Collins 2005)
38
ekonomi di tingkat lokal, regional, dan global yang memiliki struktur jaringan yang sangat kompleks.8 Hal yang perlu ditekankan, dari setiap simpul yang terdapat di sepanjang rantai komoditas menghasilkan tingkat keuntungan dan surplus yang berbeda. Namun polanya tidak seragam, atau dengan kata lain pola ini dapat bervariasi di antara komoditas tertentu (atau bahkan pada komoditas yang sama namun dengan cara yang berbeda) (Smith 2005). Watts dan Goodman (1997) menilai, penelitian rantai komoditas dapat menghindari generalisasi yang berlebihan dari wacana pembangunan dan globalisasi dengan berfokus pada perbedaan komoditas yang spesifik atau dinamika sektoral, dan menggarisbawahi apa yang oleh Laura Raynolds istilahkan sebagai “the multiple trajectories associated with agrarian internationalization” (Collins 2005).9 Dalam konteks penelitian ini, studi rantai komoditas digunakan dalam melacak dan mengurai bagaimana proses pemiskinan dan marginalisasi petani terjadi melalui hubungan-hubungan pertukaran antar pelaku ekonomi. Namun demikian, dalam batas tertentu, salahsatu kendala penggunaan metode rantai komoditas pada penelitian ini adalah dirinya membutuhkan informasi tentang “nilai lebih” (surplus) dari setiap simpul (pelaku) secara detil dan mendalam mengingat luasnya jejaringan komoditas (lokal hingga global).10 Hal ini sangat berkaitan dengan teknik perhitungan dan analisa hasil dari setiap pertukaran 8
Ilustrasi terhadap pengertian rantai komoditas tersebut, White (2009) menyatakan, “kalau seorang konsumen minum secangkir kopi, ia menjadi anak-rantai terakhir dari suatu rantaian kegiatan dan suatu rantaian hubungan (nasional dan/atau global) yang memungkinkan cangkir kopi itu berada ditangannya. Rantai-rantai ini mengkaitkan bukan hanya para produsen dan para konsumen, tetapi banyak pelaku lainya yang semua menuntut bagian dari ‘nilai tambah’. Tuntutantuntutan ini banyak dipengaruhi oleh pelaksanaan kuasa pada berbagai tingkat”. 9
Jauh sebelum berkembangnya perspektif sistem dunia yang diusung oleh Wallerstein dan kawankawan, kesadaran akan pengaruh perkembangan kapitalisme global yang menarik ekonomi petani berbasis rumah tangga kedalam pusaran ekonomi dunia yang lintas batas negara telah diutarakan Chayanov (1925/1966). Ia menyatakan, melalui kaitan-kaitan ini, setiap petani kecil menjadi bagian organik dari ekonomi dunia, mengalami dampaknya kehidupan ekonomi dunia, menjadi dikendalikan dalam pengelolaannya oleh tuntutan-tuntutan ekonomi kapitalistis global, dan pada gilirannya, bersama jutaan sesama petani, mempengaruhi seluruh sistim perekonomian global. 10
Gereffi et al (1994) yang menggunakan perspektif sistem dunia menegaskan, pendekatan analisis rantai komoditas global (Global Commodity Chains/GCCs) merupakan sebuah kerangka analisis yang tepat dalam memahami dan mengurai proses ekspansi dari sistem produksi industri kapitalis saat ini yang ditandai dengan “pembagian kerja internasional baru” (New International Division of Labor/NIDL), diferensiasi produksi dan semakin terintegrasinya aktivitas ekonomi kedalam lingkungan global.
39
komoditas antar pelaku ekonomi. Kurangnya informasi tersebut sangat berimplikasi terhadap validitas hasil pengukuran. Dalam menutupi beberapa kesulitan dan hambatan dalam penerapan metode rantai komoditas secara lebih luas, maka melacak kemiskinan dan marginalisasi petani pada penelitian ini menggunakan juga menggunkan metode “rejim tenaga kerja” (labour regime) yang akan diuraikan dibawah ini.
3.4.2. Rejim Ketenagakerjaan (Labour Regimes) Metode “rejim tenaga kerja” (labour regime) merupakan sebuah metodologi yang berakar dari perspektif ekonomi politik Marxian. Mengutip Bernstein dalam White (2009), Labour Regimes adalah “cara-cara mengerahkan tenaga kerja dan mengaturnya dalam produksi, serta kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan politik yang memungkinkannya”. Dalam konteks ini, Labour Regime dapat dijadikan sebuah alat yang berguna untuk menganalisis struktur-struktur agraris dan membandingkannya dalam variasi tempat dan perubahan dari waktu ke waktu. (White, 2009) Dalam memahami kerangka ‘colonial labour regimes’, berikut adalah tiga pertanyaan pokok yang dapat menuntun penelusuran bagaimana proses terbentuknya kemiskinan, diferensiasi dan marginalisasi petani melalui ekstraksi surplus yakni: (1) bagaimana hubungan produsen langsung (direct producer) atau petani/buruh tani dengan sarana-sarana produksi utama yakni tanah?, (2) ada atau tidaknya unsur paksaan non-ekonomis dalam keterlibatan produsen dalam produksi komoditi?, (3) apakah tenaga kerja “bebas” dalam pengertian11, (a) “bebas” (teralienasi) dari kepemilikan sarana produksi, (b) “merdeka” (sebagai manusia) untuk menjual tenagakerjanya?. 12 (White 2009) 11
Kata “bebas” mengandung dua pengertian menurut perspektif Marx, yakni: (1) sebagai orang yang bebas ia bisa menggunakan tenaga kerjanya sebagai komoditas untuk dijual, (2) dia bebas dalam artian tidak memiliki komoditas lain apapun yang bisa ia jual, sehingga tidak memiliki apapun yang memungkinkan dirinya untuk melakukan pekerjaan dengan tenaganya. (Marx, Capital, Vol. 1, 1867 dalam Cardoso dan Levine, 2008, hal. 134) 12
Sebagai sebuah ilustrasi, berikut akan disajikan dua petikan paragraf yang menggambarkan sebuah kesadaran produsen langsung (petani) tentang peralihan surplus: “Yang memberi keuntungan bagi si penguasa tanah adalah tenaga kerja, bukan tanahnya! Tanpa tenaga kerja, tanah tidak menghasilkan apa-apa! Hanya orang bodoh yang tidak bisa mengerti ini. Kalau
40
3.4.3. Participatory Poverty Assessment (PPA) Dari berbagai ukuran kemiskinan yang banyak dikembangkan oleh berbagai disiplin, tidak jarang kemiskinan selalu dinilai dengan ukuran atau variabel yang sering mengabaikan konteks lokal suatu wilayah, sejarah komunitas, perbedaan gender, usia, etnis, agama, dan kategori sosial lainnya. Dalam memahami ukuran kemiskinan menurut konteks lokal, peneltian ini menggunakan metode Pengakajian
Kesejahteraan
Secara
Partisipatif
(Participatory
Poverty
Assessment/PPA). Metode ini bersandar pada upaya memastikan bahwa pandangan orang miskin (subjek) dimasukkan dan diperhitungkan dalam analisa tentang kemiskinan dan formulasi strategi untuk pengentasan kemiskinan. (Norton 2001)
3.4.4. Principal Component Analysis (Factor Analysis) Dalam mendukung studi ini terkait tipologi desa, tingkat perkembangan desa dan kesejahteraan komunitas secara makro di dua lokasi penelitian, maka akan digunakan metode Principal Component Analysis (Factor Analysis) yang pada prinsipnya melakukan analisis dari data sekunder yang dalam hal ini adalah data Potensi Desa keluaran BPS. Analisis Faktor adalah suatu metode analisis statistik multivariat yang bertujuan untuk mendapatkan sejumlah faktor yang memiliki sifat-sifat yang mampu menerangkan semaksimal mungkin keragaman yang ada dalam data. Dengan kata lain, analisis faktor adalah salah satu metode yang mencoba menerangkan hubungan antar sejumlah peubah-peubah yang saling bebas (independent) antara satu dengan yang lain sehingga bisa dibuat satu atau lebih
modal disimpan saja dikolong rumah, lihat apa yang dihasilkan, tidak ada! Bagi saya, semua yang dihasilkan adalah hasilnya kaum pekerja. Padahal para tuan tanah mengira kami adalah orang bodoh”. (Coffee Plantation Workers, Sao Paulo, Colombia (Stolcke 1995: 69) dikutip dari Ben White, 2009). “Kami harus meminjam uang untuk makan. Terkadang tetangga mau meminjamkan kami uang tanpa bunga, tapi seringnya kami harus menjual beras sebelum panen. Rentenir itu akan membayar di muka, dan mengambil nasi kita setengah dari harga pasar. Tidak peduli seberapa keras kita bekerja, kita tidak pernah punya cukup uang tunai. Kami mulai menjual barang-barang - ranjang kayu, sapi dan bajak kami. Kemudian kami mulai menjual tanah kami sedikit demi sedikit. Sekarang kita memiliki kurang dari satu dun, dan sebagian besar digadaikan kepada Mahmud Haji (Bernstein et al., 1992, hal 19 dikutip dalam Murray, 2001)”
41
kumpulan peubah yang lebih sedikit dari jumlah peubah awal. Selanjutnya Jollife (1986) mengatakan, metode Analisis Faktor sering digunakan untuk melakukan analisis yang bersifat eksploratif, yakni: mereduksi suatu sistem menjadi model yang dapat disusun oleh beberapa faktor saja dengan melakukan penelusuran kualitatif dan kuatitatif terhadap data dalam jumlah besar (Susetyo 1990). Pada penilitian ini, faktor-faktor diperoleh dari metode analisis komponen utama (principal component analysis/PCA). Tujuan analisis faktor itu sendiri pada dasarnya adalah, (1) untuk melakukan data summarization yakni mengindentifikasikan adanya hubungan antar peubah dengan melakukan uji korelasi untuk variabel-variabel yang dianalisis, (2) melakukan data reduction, yakni mereduksi sebuah sistem (set variabel) menjadi model yang disusun dari beberapa faktor (set variabel baru) namun masih dapat menjelaskan sebagian besar informasi yang dikandung oleh data asal. Untuk mempermudah pengintepretasian hasil, pada umumnya hanya menggunakan dua faktor sehingga posisi individu dapat digambarkan dalam ruang berdimensi dua (Susetyo 1990).
3.4.5. Teknik Penggalian Data Pendekatan yang digunakan untuk mengumpulkan data meliputi pendekatan dalam studi ini meliputi analisa usaha tani; wawancara mendalam; pengamatan berperan serta, diskusi kelompok; dan penelusuran data-data sekunder, mencakup data statistik, data spasial, maupun hasil-hasil studi terkait. Data primer diperoleh melalui informan13 yang dianggap bisa menjelaskan hal-hal yang ingin digali/diketahui dari lokasi penelitian. Sementara data-data sekunder berupa dokumen-dokumen yang diperoleh dari desa, BPS maupun studi-studi yang terkait. Sementara, dalam melakukan wawancara, pengamatan berperan serta, diskusi kelompok dilakukan untuk mendapatkan gambaran aktivitas ekonomi 13
Istilah informan ditujukan pada seseorang yang memberikan informasi mengenai hal-hal diluar dirinya sendiri. Menurut Koentjaraningrat (1994), informan dibedakan menjadi dua yaitu: “informan pangkal” dan “informan kunci”. Yang dimaksud informan pangkal adalah individu yang pertama kali ditemui dan dianggap mampu memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai informan-informan lain yang seharusnya ditemui dan informan kunici adalah seseorang yang dianggap ahli tentang hal-hal yang ingin diketahui peneliti.
42
rumah tangga petani sebagai suatu realitas yang benar-benar dilakukan oleh rumahtangga di desa-desa tujuan penelitian. Dalam hal ini, peneliti memberi tahu tujuan penelitian tetapi setelah peneliti mengenal tineliti dengan baik peneliti melakukan pengamatan dengan ikut serta dalam kegiatan sehari-hari tineliti tanpa memberitahukan kembali tujuan pengamatan. Tabel 3.1. Jenis Informasi, Sumber dan Metode Data/Informasi Struktur sumberdaya dan setting Agro-Ekologi komunitas dataran tinggi Garut Tingkat perkembangan dan situasi kemiskinan di pedesaan dataran tinggi Garut Karakteristik dan indikator kemiskinan rumah tanggapetani di dua dataran tinggi Garut Kelembagaan produksi dan distribusi komunitas petani Inisiatif-inisiatif petani lokal dalam merespon persoalan kemiskinan dan proses marginalisasi
Sumber Data sekunder Pemerintah desa Rumah tangga petani Tenaga pendamping OTL Data sekunder
Rumah tangga petani (RTP) Tenaga pendamping OTL
Rumah tangga petani (RTP) Tenaga pendamping OTL Bandar lokal Rumah tangga petani (RTP) Tenaga pendamping OTL Pengurus OTL
Metode Pengolahan data statistik Penggalian riwayat desa Pengamatan berperan serta Analisa usahatani Principal component analysis (PCA)
Parcipatory Poverty Asessment (PPA) Penggalian riwayat hidup Telaah rantai komoditas Pengamatan berperan serta Wawancara mendalam Pengamatan berperan serta Wawancara mendalam Diskusi kelompok
3.5. Teknik Analisis Data Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, dalam penelitian ini digunakan metode analisis data kualitatif. Analisis data kualitatif merupakan penelusuran terhadap pernyataan-pernyataan umum tentang hubungan antar berbagai kategori data, untuk membangun teori substantif yang berasal dari data yang tersedia. Dengan kata lain, dalam penelitian kualitatif, analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisirnya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Dengan demikian pekerjaan menganalisis data dalam hal ini adalah berupa mengatur, mengurut, mengelompokkan, memberi kode dan mengkategorikannya, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam menganalisis data. Pengkategorian dan pengkodean disesuaikan dengan rumusan pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini. Guna melihat sejauh mana hasil penelitian ini dapat diyakini sebagai sebuah kebenaran, dan dapat dipercaya sekalipun derajat kebenaran dalam
43
penelitian kualitatif tidak dapat ditetapkan secara pasti (masalah validitas internal), peneliti berusaha untuk meraihnya setinggi mungkin. Adapun usaha yang dilakukan adalah dengan menguji keabsahan data dengan cara: 1) triangulasi metoda, 2) triangulasi sumber, 3) triangulasi teori. Atau dengan melakukan langkah-langkah yakni: 1) pengamatan berulang, 2) triangulasi, 3) masukan tineliti (member-check). Peneliti juga melakukan teknik triangulasi sumber, yakni dengan membandingkan data hasil wawancara yang individu dengan hasil wawancara kelompok, dengan data hasil pengamatan berperan serta. Disamping itu, peneliti juga melakukan teknik triangulasi teori, yakni dengan cara membandingkan hasil analisis sendiri dengan tema dan penjelasan dan penelitian lain dan kemudian membandingkan hasil penelitian dengan fikiran logis kemudian membuat abstraksi dan interpretasi yang kemudian diberi penjelasan kualitatif. Selain itu, triangulasi metode turut dilakukan dalam proses analisis data. Terakhir, sebelum kesimpulan final dari hasil temuan dimunculkan sebagai kesimpulan akhir, dilakukan verifikasi dengan subyek penelitian, sehingga diperoleh kesesuaian pemahaman atau makna (intersubyektifitas) antara peneliti dan tineliti.
BAB IV STRUKTUR SUMBERDAYA DAN SETTING AGROEKOLOGI KOMUNITAS DATARAN TINGGI GARUT
4.1. Bentang Alam dan Posisi Administratif Kabupaten Garut merupakan salahsatu kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6056'49''-7045'00'' Lintang Selatan (LS) dan 107025'8''-10807'30'' Bujur Timur (BT). Kabupaten Garut memiliki luas wilayah administratif sebesar 306.519 Ha dengan batas-batas wilayah adalah sebagai berikut: sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Sumedang, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya, sebelah Selatan dengan Samudera Indonesia dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Cianjur. (lihat Gambar 4.1)
U
Gambar 4.1. Peta Wilayah Administratif Propinsi Jawa Barat
Berdasarkan bentang alam, Kabupaten Garut Bagian Utara terdiri dari atas dua aransemen bentang alam, yaitu: (1) dataran dan cekungan antar gunung berbentuk tapal kuda membuka ke arah utara; (2) rangkaian-rangkaian gunung api aktif yang mengelilingi dataran dan cekungan antar gunung, seperti komplek gunung Guntur, gunung Haruman dan gunung Kamojang di sebelah barat, gunung Papandayan dan gunung Cikuray di sebelah selatan tenggara serta gunung Cikuray, gunung Talagabodas dan gunung Galunggung di sebelah timur.
46
Sementara bentang alam di sebelah Selatan terdiri dari dataran dan hamparan pesisir pantai dengan garis pantai sepanjang 80 kilometer (Km). Sementara bila dilihat dari luas wilayah menurut
ketinggian diatas
permukaan laut, mayoritas wilayahwilayah di Kabupaten Garut merupakan dataran tinggi yakni sekitar 72 persen luas wilayah diatas 500 meter diatas permukaan laut (mdpl) (Gambar 4.2). Hal ini sesuai dengan kondisi fisiografi Kabupaten Garut yang merupakan daerah pegunungan dan dibagi dalam Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat dan Zona Bandung. Pada zona pegunungan selatan merupakan dataran tinggi yang membentang dengan arah barat-timur mulai dari Teluk Pelabuhanratu sampai Nusakambangan dengan lebar kurang lebih 50 Km dan merupakan sayap geantiklin Jawa. Sedangkan pada zona Bandung
merupakan
jalur
pegunungan
memanjang
mulai
dari
Teluk
Pelabuhanratu di sebelah barat, terus ke Sukabumi melalui Cimandiri, kemudian melalui Cianjur, Bandung, Garut, Tasikmalaya dan terakhir di Segara Anakan di pantai selatan Jawa yang telah hancur (rusak) sesudah atau selama pelengkungan pada Zaman Tersier. Awal tahun 2004 Kabupaten Garut telah melakukan pemekaran wilayah kecamatan sebanyak dua kecamatan sehingga seluruh wilayah kecamatan menjadi sebanyak 42 kecamatan, 19 kelurahan dan 400 desa dengan luas wilayah 306.519 Ha. Hingga tahun 2009 Kabupaten Garut memiliki 42 Kecamatan, 21 Kelurahan dan 403 Desa. Kecamatan Cibalong merupakan kecamatan yang mempunyai wilayah terluas mencapai 6,97 persen wilayah Kabupaten Garut atau seluas 21.359 Ha, sedangkan kecamatan Kersamanah merupakan wilayah terkecil dengan luas 1.650 Ha atau 0,54 persen dari total luas wilayah Kabupaten Garut. Dari laporan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Ketahanan Linmas (BPMKL) Kabupaten Garut, hingga tahun 2007 jumlah desa yang diklasifikasikan atas dasar potensi sumberdaya dan aktivitas warganya di Kabupaten Garut didominasi oleh Desa Persawahan (DPS) yakni sebesar 36,32 persen dan Desa Perladangan (DPL)
47
sebesar 30,19 persen (Gambar 4.3). Sementara
bila
dilihat
dari
tingkat
perkembangan, mayoritas desa-desa di Kabupaten Garut masuk dalam kategori desa Swakarya (84,64 persen), desa Swadaya
(10,85
persen),
desa
Swasembada (1,89 persen) dan selebihnya belum terdata.
4.2. Peta Sumber Daya Agraria Penguasaan lahan di Kabupaten Garut didominasi oleh jenis usaha lahan kering berupa pertanian, perkebunan dan kehutanan yang mencapai 95 persen dari total luas wilayah Kabupaten Garut atau sekitar 306.519 Ha (3.065,19 km²) meliputi areal sawah seluas 49.912 Ha atau 16,3 persen, lahan kering (tegalan dan kebun campuran) seluas 97.401 Ha atau 31,8 persen, lahan perkebunan seluas 35.756,23 Ha atau 11,7 persen, areal kehutanan seluas 108.741,14 Ha atau 35,5 persen, dan penggunaan lahan lainnya untuk pemukiman sebesar 11.235 Ha atau 3,7 persen serta untuk kawasan industri sebesar 26 Ha atau 0,1 persen (Aji 2005). Di tahun 2000, Kabupaten Garut dengan luas tanah permukaan sekitar 306.519 Ha (3.065,19 km²) merupakan kabupaten di Jawa yang memiliki persentase luas wilayah kehutanan dan perusahaan perkebunan besarnya tertinggi, yakni 50 persen dari keseluruhan wilayah kabupaten. Penguasaan hutan terluas dipegang oleh Perhutani Unit III KPH Garut, yaitu sekitar 31,42 persen atau seluas 96.305,33 Ha. Selanjutnya, penguasaan hutan oleh BKSDA Sub Garut sekitar 4,28 persen atau seluas 13.111,50 Ha, yang meliputi hutan Konservasi atau Cagar Alam 17.215,15 Ha dan Taman Wisata Alam 748,65 Ha (lihat Tabel 4.1 dan Tabel 4.2). (Fauzi 2008) Sedangkan luas kawasan Perkebunan besar di Kabupaten Garut sekitar 25.300,0054 Ha atau 11,67 persen dari total luas wilayah yang terdiri dari Perkebunan Swasta 12.029,315 Ha dan Perkebunan Negara seluas 13.270,6903
48
Ha (Tabel 4.3). Di luar wilayah sawah yang meliputi 49.812 Ha atau 16,29 persen, tata guna lahan pertanian rakyat di Garut kebanyakan berupa lahan kering (tegalan dan kebun campuran) seluas 97.401 Ha atau 31,78 persen dari luas wilayah. (Fauzi 2008) Tabel 4.1. Luas Kawasan Hutan yang Dikuasai Negara di Kabupaten Garut, Tahun 2001
Sumber : Aji (2005)
Tabel 4.2. Luas Kawasan Hutan yang Dikuasai PT. Perhutani KPH Garut, Tahun 2002
Sumber : Aji (2005)
Tabel 4.3. Luas Perkebunan Besar Negara dan HGU Swasta di Kabupaten Garut, Tahun 1998
Sumber : Aji (2005)
49
4.3. Kependudukan, Tenaga Kerja dan Pendidikan Dari data Survey Ekonomi-Sosial Daerah (Susesda) Provinsi Jawa Barat Tahun 2008, jumlah penduduk Kabupaten Garut mencapai 2.481.431 jiwa meliputi 1.226.630 jiwa penduduk laki-laki dan 1.254.801 jiwa penduduk perempuan. Dengan luas wilayah 3.065,19 Km², kepadatan penduduk di Kabupaten Garut berkisar 809 jiwa/Km² dengan sebaran yang tidak merata pada setiap kecamatan dan terkosentrasi di daerah perkotaan. Berdasarkan angka estimasi BPS Kabupaten Garut Tahun 2008, hasil ekstrapolasi empat periode sensus penduduk (SP) yakni SP 71, SP 80, SP 90 dan SP 2000, pada periode tahun 2000-2010 diperkirakan laju pertumbuhan penduduk (LPP) di Kabupaten Garut memiliki kecenderungan (tren) menurun yakni sekitar 1,57 (Tabel 4.4). Tabel 4.4. Laju Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten Garut (Per Periode Sensus Penduduk) Periode Tahun
Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP)
1961-1971
2,74
1971-1980
2,38
1980-1990
1,66
1990-2000
1,66
2000-2010
1,57*
*) Angka estimasi Sumber : BPS Kabupaten Garut Tahun 2008
Berdasarkan data Susesda Provinsi Jawa Barat tahun 2008, mayoritas penduduk diatas umur 10 tahun yang bekerja menurut lapangan (jenis) usaha, di Kabupaten Garut bekerja di sektor pertanian yakni mencapai 41,60 persen (Tabel 4.5). Sementara bila dilihat dari kategori penduduk berdasarkan ijazah tertinggi yang dimiliki, mayoritas penduduk di Kabupaten Garut atau sekitar 40,7 persen ijazah tertinggi yang dimiliki adalah ijazah SD dan sekitar 34,4 persen tidak memiliki ijazah (Tabel 4.6). Dari sisi kemampuan baca-tulis penduduk khususnya bahasa latin di Kabupaten Garut menunjukkan persentasi yang cukup tinggi atau mencapai 96,3 persen. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa angkatan kerja khususnya yang bekerja di sektor pertanian mayoritas merupakan kategori penduduk yang tidak pernah mengenyam pendidikan dasar atau paling tidak hanya sampai pendidikan tingkat dasar (SD).
50
Tabel 4.5. Persentase Penduduk 10 Tahun Keatas Yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Jenis Lapangan Usaha
Laki-Laki
Perempuan
Laki-Laki + Perempuan
Pertanian
38,61
47,38
41,60
Industri
12,61
13,60
12,95
Perdagangan
17,17
21,73
18,72
Jasa
13,83
15,39
14,36
Lainnya
17,78
1,89
12,36
Total 100,00 100,00 100,00 Sumber : diolah dari data Survey Sosial Ekonomi Daerah (Susesda) Provinsi Jawa Barat Tahun 2008
Tabel 4.5. Persentase Penduduk Berdasarkan Ijazah Tertinggi yang Dimiliki dan Kemampuan Baca-Tulis di Kabupaten Garut Tahun 2008 Status Pendidikan A.
Laki-Laki
Perempuan
Laki-Laki + Perempuan
Ijasah tertinggi yang dimiliki
A.1
Tidak Punya
31,8
36,9
34,4
A.2
SD/MI
40,2
41,1
40,7
A.3
SLTP/Sederajat
13,5
11,5
12,5
A.4
SLTA/Sederajat
7,3
5,7
6,5
A.5
SMK/Sederajat
3,4
2,4
2,9
A.6
Perguruan Tinggi
3,8
2,3
3,1
B.
Kemampuan Baca dan Tulis
B.1
Huruf Latin
98,1
94,5
96,3
B.2
Huruf Lainnya
0,8
1,9
1,4
B.3 Tidak Dapat 1,1 3,6 2,4 Sumber : diolah dari data Survey Sosial Ekonomi Daerah (Susesda) Provinsi Jawa Barat Tahun 2008
4.4. Struktur Ekonomi Wilayah Kabupaten Garut merupakan salahsatu daerah tingkat dua di Provinsi Jawa Barat yang memiliki kontribusi pencipataan nilai tambah ekonomi daerah didominasi oleh sektor pertanian. Menurut BPS, pada tahun 2000, kontribusi nilai tambah di sektor pertanian yang tercipta di Kabupaten Garut mencapai 50,62 persen dimana nilai tambah tersebut menyumbang sebesar 11,86 persen terhadap penciptaan nilai tambah pertanian di Jawa Barat. Meski pada tahun 2007, dalam struktur ekonomi Kabupaten Garut, kontribusi nilai tambah pertanian mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yakni sebesar 48,03 persen akan tetapi kontribusi (share) terhadap pencipataan nilai tambah sektor pertanian di Provinsi Jawa Barat menunjukkan kecenderungan terjadinya peningkatan yakni sebesar 12,63 persen (Tabel 4.7).
51
Tabel 4.7. Perbandingan Dan Perkembangan Struktur Ekonomi Serta Sektor-Sektor Ekonomi Kabupaten Garut Terhadap Jawa Barat periode 2000-2007 ( persen) Struktur Ekonomi
Struktur Ekonomi
Kontribusi Garut
Garut
Jawa Barat
Terhadap Jawa Barat
Sektor
2000
2007
2000
2007
2000
2007
2
3
4
5
6
7
I. Primer
50,62
48,03
20,59
15,10
9,18
10,66
1
Pertanian
50,48
47,90
15,95
12,72
11,86
12,63
2
Pertambangan
0,14
0,13
4,63
2,39
0,11
0,19
II. Sekunder
8,98
9,86
47,19
50,31
0,71
0,66
1
Industri
5,74
6,90
42,35
44,38
0,51
0,52
2
Listrik, Gas & Air
0,45
0,45
2,16
2,92
0,78
0,52
3
Konstruksi
2,79
2,51
2,68
3,01
3,66
2,80
III. Tersier
40,40
42,11
32,22
34,58
4,68
4,08
1
Perdagangan
24,65
25,96
19,65
19,05
4,68
4,57
2
Angkutan
2,72
3,54
3,81
5,83
2,66
2,04
3
Lembaga Keuangan
3,55
3,29
2,73
2,89
4,86
3,82
4
Jasa-Jasa
9,48
9,32
6,03
6,82
5,87
4,53
100,00
100,00
100,00
100,00
3,73
3,35
1
PDRB
Sumber : PDRB Kabupaten Garut Tahun 2008
Pada Tabel 4.7 diatas tampak struktur ekonomi Kabupaten Garut sangat berbeda dengan Jawa Barat. Tiga sektor penyumbang terbesar terhadap perekonomian di Kabupaten Garut berturut-turut adalah pertanian, perdagangan, dan jasa, sedangkan untuk di Jawa Barat berturut-turut adalah industri pengolahan, perdagangan, dan pertanian. Secara umum, pola pergeseran struktur ekonomi yang terjadi baik di kabupaten Garut maupun Jawa Barat adalah pergeseran dari sektor primer ke sektor sekunder dan tersier. Hal ini terlihat dari kontribusi kelompok sektor primer yang mengalami penurunan, sedangkan sektor sekunder dan tersier mengalami peningkatan. Jika diamati kontribusi (share) penciptaan nilai tambah sektoral kabupaten Garut terhadap Jawa Barat pada periode 2000-2007, tiga sektor yang mengalami peningkatan, yakni sektor pertanian dari 11,82 menjadi 12,63 persen, sektor penggalian dari 0,11 menjadi 0,19 persen, dan sektor industri pengolahan dari 0,51 menjadi 0,52 persen. Adapun distribusi pendapatan yakni dilihat dari pencapaian angka indeks gini selama periode tahun 2004-2006 menunjukan angka
52
relatif merata, pada tahun 2006 sebesar 0,208 sedikit menurun dibanding tahun 2005 yang mencapai 0,209 dan tahun 2004 sebesar 0,212.14
4.5. Struktur Agro-Ekologi dan Pola Produksi Lokal 4.5.1. Struktur Agraria Lokal Dalam memahami kondisi kemiskinan dan marginalisasi petani di daerah dataran tinggi di Kabupaten Garut, penelitian ini memilih dua desa kasus yang mewakili dua hamparan dataran tinggi yang berbeda yakni desa Dangiang, Kecamatan Cilawu yang berada di hamparan gunung Cikuray dan desa Sukatani, Kecamatan Cisurupan yang terletak di hamparan gunung Papandayan (Gambar 4.4). Di dua lokasi tersebut menunjukkan sumber penghidupan yang berbeda yakni, jenis komoditas utama yang diusahakan warga desa Dangiang adalah tanaman semusim akar wangi, tembakau dan hortikultura. Sementara di desa Sukatani komoditas pertanian utama yang diusahakan warga adalah tanaman hortikutura.15 Desa Dangiang merupakan salahsatu desa yang masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Cilawu dengan luas wilayah mencapai 412,6 Ha. Secara topografi, desa Dangiang terletak di hamparan gunung Cikuray dengan posisi ketinggian mencapai 900 meter diatas permukaan laut (mdpl). Desa Dangiang memiliki batas wilayah yakni, sebelah Utara berbatasan dengan desa Sukamukti dan desa Dawung Sari, sebelah Timur berbatasan dengan desa Dawung Sari, sebelah Selatan berbatasan dengan PTPN VIII Dayeuh Manggung dan di sebelah Barat berbatasan dengan desa Sukamukti. Berdasarkan data profil desa (Podes) Tahun 2008, jumlah penduduk desa Dangiang mencapai 3.528 jiwa dengan komposisi 1.735 jiwa penduduk laki-laki dan 1.793 jiwa merupakan penduduk perempuan. Di desa Dangiang, mayoritas penduduk baik perempuan maupun laki-laki bekerja sebagai petani. Hingga tahun 14
Bilamana angka indeks gini berada pada kisaran 0,20-0,35, maka distribusi pendapatan dapat dikatakan relatif merata, sedangkan apabila angka tersebut berada diatas 0,5-0,7 menunjukkan bahwa distribusi pendapatan sangat timpang. 15
Berdasarkan pengamatan saat di lokasi penelitian.
53
2008 tercatat jumlah keluarga pertanian mencapai 76 persen. Dengan luas wilayah 412,6 Ha, kepadatan penduduk di desa Dangiang mencapai 855 jiwa/Km2. Adapun komoditas utama yang diusahakan warga antara lain, padi, akar wangi, hortikultura dan tembakau Pola penggunaan lahan di desa Dangiang sebagian besar adalah untuk lahan pertanian atau sekitar 93,14 persen (384,30 Ha) yang terdiri dari sawah berpengairan non teknis sebesar 7,85 persen (32,4 Ha), sawah tidak berpengairan sekitar 5,53 persen (22,8 Ha) serta lahan pertanian non sawah sekitar 79,76 persen (329,1 Ha). Sementara untuk penggunaan lahan untuk non pertanian mencapai 6,86 persen (28,3 Ha). Dilihat dari riwayat penguasaan lahan, di desa Dangiang merupakan salahsatu desa di kecamatan Cilawu dimana posisi areal lahan pertanian warga berdampingan dengan perkebunan teh PTPN VIII Dayeuh Manggung. Masuknya bentuk-bentuk pengusaan lahan oleh perusahaan perkebunan dan kehutanan milik negara dikemudian hari turut tepatnya pasca runtuhnya orde baru (orba) mendorong lahirnya bentuk-bentuk inisiatif warga untuk melakukan reclaiming lahan perkebunan negara yang tergabung dalam organisasi tani lokal (OTL) Serikat Petani Pasundan (SPP). Sementara di desa Sukatani, Kecamatan Cisurupan secara topografi terletak didataran tinggi yakni di hamparan gunung Papandayan dengan posisi ketinggian mencapai 1300 meter diatas permukaan laut (mdpl). Desa Sukatani berbatasan dengan desa Cidatar disebelah Utara, desa Mekarsari disebelah Timur, desa Sukawargi di sebelah Selatan dan PT. Perhutani di sebelah Barat. Dengan luas wilayah mencapai 432 Ha, pola penggunaan lahan di desa Sukatani sebagian besar adalah untuk lahan pertanian atau sekitar 87,27 persen (377 Ha) yang kesemuanya dimanfaatkan sebagai lahan pertanian non sawah. Sementara untuk penggunaan lahan untuk non pertanian mencapai 12,73 persen (55 Ha). Berdasarkan data profil desa (Podes) Tahun 2008, jumlah penduduk desa Sukatani mencapai 9.457 jiwa dengan komposisi 4.986 jiwa penduduk laki-laki dan 4.471 jiwa merupakan penduduk perempuan. Di desa Sukatani, mayoritas penduduk baik perempuan maupun laki-laki bekerja sebagai petani. Hingga tahun
54
2008 tercatat jumlah keluarga pertanian mencapai 70 persen. Dengan luas wilayah 432 Ha, kepadatan penduduk di desa Sukatani mencapai 1.892 jiwa/Km2. Adapun komoditas utama yang diusahakan warga adalah hortikultura. Dilihat dari riwayat penguasaan lahan, di desa Sukatani merupakan salahsatu desa di kecamatan Cisurupan dimana posisi areal lahan pertanian warga berdampingan dengan areal kehutanan klaim PT. Perhutani. Seperti yang terjadi di desa Dangiang, masuknya bentuk-bentuk pengusaan lahan oleh perusahaan perkebunan dan kehutanan milik negara dikemudian hari turut mendorong lahirnya bentuk-bentuk inisiatif warga untuk melakukan reclaiming lahan kehutanan negara yang tergabung dalam organisasi tani lokal (OTL) Serikat Petani Pasundan (SPP). Selain OTL SPP, terdapat kelembagaan lain yakni PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) yang dibentuk oleh PT. Perhutani dalam mengatur dan mengontrol akses warga terhadap lahan kehutanan.
Kecamatan Cisurupan (hamparan Papandayan)
Kecamatan Cilawu (hamparan Cikuray)
Gambar 4.4. Peta Lokasi Kecamatan Penelitian
55
4.5.2. Pola Produksi dan Budidaya Lokal Dari pola pemanfaatan lahan dan teknik budidaya khususnya di lahan pendudukan warga (reclaiming), baik di desa Dangiang maupun Sukatani, mayoritas petani menerapkan sistem tanam tumpang sari. Yang membedakan di dua lokasi tersebut adalah jenis dan variasi tanaman tumpang sari dan jenis tanaman tegakan serta periodesasi pemanfaatan lahan yang dalam hal ini sangat dipengaruhi jenis tanaman, faktor musim dan ketersediaan air. Di desa Dangiang (hamparan Cikuray) petani dapat mengalami 3 musim panen dalam setahun. Diantara ketiga musim panen tersebut, istilah ‘panen pokok’ dikenakan pada saat panen Akar Wangi. Adapun jenis tanaman tumpang sari yang diusahakan antara lain, tanaman sayuran seperti kentang atau cabe dan tembakau. Masa panen dari tanaman tumpang sari relatif lebih pendek yaitu dibawah 5 bulan daripada masa panen akar wangi yang mencapai 10 bulan. Seperti yang diuraikan oleh salah seorang pimpinan OTL desa Dangiang yang juga pernah menjadi bandar (penyuling) akar wangi, “Petani di Dangiang dapat merasakan 3 musim panen. Panen pokok adalah saat petani panen akar wangi. Biasanya akar wangi dipanen saat umur tanaman mencapai 10 bulan. Akan tetapi juga bisa dipanen dibawah 10 bulan, yakni 7 bulan. Petani yang memiliki utang ke bandar atau punya keperluan mendadak biasanya akan memanen lebih cepat dan menjualnya secara tebasan kepada bandar. Hampir semua petani disini menanam akar wangi di lahan garapannya masing-masing. Selain panen akar wangi, petani juga akan menikmati panen dari tanaman tumpang sari sayuran dan tembakau. Pada saat awal musim hujan (Desember), petani akan mulai menanam akar wangi diselingi oleh tanaman sayuran seperti kentang yang umur panennya 3 bulan. Setelah panen kentang, lalu mulai menanam tembakau yang umur panennya 5 bulan. Tapi ada juga petani yang hanya merasakan panen 2 kali. Enaknya menanam akar wangi karena bibit dan pupuk tidak perlu beli. Dari setiap panen akar wangi, akan disisakan untuk bibit sebanyak 20%. Pupuk akar wangi menumpang saat kita memupuk tanaman sayuran, jadi pupuk tidak perlu lagi beli karena sudah sekalian bersama pupuk sayuran. Tanam akar wangi jadi kayak tabungan. Warga tidak takut meminjam ke warung atau bandar untuk beli pupuk karena nanti akan dibayar saat panen akar wangi” Berbeda dengan di desa Dangiang, di desa Sukatani pola pemanfaatan lahan sangat tergantung pada musim. Kecuali petani lapisan atas, saat musim kemarau
56
petani tidak dapat menanam di lahan garapannya dikarenakan sulit mendapatkan air sementara pada petani kaya tetap dapat menggarap di lahannya karena memiliki pompa air. Untuk pola pemanfaatan lahan di areal reclaiming (kehutanan) terdapat dua kelembagaan yakni SPP dan PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat). Baik penggarap yang tergabung dalam SPP maupun PHBM sama-sama menanam tanaman sayuran sebagai basis komoditas.16 Namun terdapat perbedaan antara petani yang tergabung dalam SPP dan PHBM soal pilihan tanaman tegakan. Pada petani yang tergabung SPP memilih tanaman tegakan yang berbeda dengan tanaman tegakan yang ditanam atau dianjurkan oleh PT. Perhutani. Seperti yang dituturkan oleh salah seorang pimpinan OTL desa Sukatani, “Kalau musim kemarau, lahan-lahan garapan masyarakat di areal reclaiming (Perhutani) tidak ditanami karena sulit air. Warga akan mulai menggarap lahan saat musim hujan tiba. Kecuali petani kaya yang memiliki pompa air dan kolam penampungan air. Di garapan, anggota (SPP) tidak menggunakan plastik mulsa karena dapat merusak tanah. Kami juga menanam tanaman tegakkan yang berbeda dengan jenis tanaman Perhutani”
4.5.3. Skala Usaha Tani untuk Beberapa Komoditas Untuk memahami gambaran umum pola penggunaan input-input produksi seperti pupuk, bibit dan tenaga kerja, berikut akan ditampilkan beberapa skala usaha tani beberapa komoditas yang terdapat di dua lokasi dari hasil penelusuran yang berhasil dihimpun oleh salah seorang tenaga pendamping oragnisasi tani lokal (OTL) dan peneliti dalam bentuk tabel dibawah ini. Pada lokasinya yang terletak di dua hamparan yang berbeda, yakni hamparan Cikuray (desa Dangiang) dan Papandayan (desa Sukatani), pola pemanfaatan lahan, teknik budidaya dan pilihan komoditas utama yang diusahakan di dua lokasi tersebut menunjukkan ciri atau bentuk yang berbeda namun masih menunjukkan berbagai pola yang sama. Di desa-desa yang terletak di hamparan Cikuray, komoditas tanaman tahunan 16
Pasca operasi Walaga Lodaya pada tahun 2003, PT. Perhutani membentuk kelembagaan pengelolaan kawasan hutan yang melibatkan petani penggarap dalam pemanfaatan lahan yang dikenal dengan PHBM. Model PHBM ini kemudian lebih banyak diakses oleh para elite desa yang meninggalkan lahan garapan akibat adanya operasi tersebut. Menurut informasi yang didapatkan di lapangan, skema PHBM sesungguhnya tidak memperkenankan menanam tanaman sayuran.
57
Akar Wangi menjadi pilihan warga petani pada umumnya. Sementara pada petani di desa-desa hamparan Papandayan, pertanian tanaman hortikultura seperti, kol, kentang, tomat, wortel, dan sebagainya menjadi komoditas utama pilihan petani. Tanaman Akar Wangi Tanaman Akar Wangi merupakan salahsatu komoditas unggulan yang baru dikembangkan sesuai dengan keputusan Bupati Kabupaten Garut Nomor: 520/SK.196-HUK/96 tanggal 6 Agustus 1996, yang diantaranya menetapkan luas areal perkebunan Akar Wangi dan pengembangannya oleh masyarakat seluas 2.400 Ha dan tersebar di empat kecamatan, yaitu kecamatan Samarang seluas 750 Ha, Kecamatan Bayongbong seluas 210 Ha, Kecamatan Cilawu seluas 240 Ha, dan Kecamatan Leles seluas 750 Ha. Tanaman akar wangi merupakan salahsatu bahan baku pembuatan kosmetik, parfum maupun sabun. Tanaman ini memiliki periode tanam hingga siap panen sekitar 10 bulan. Namun apabila petani memiliki keperluan mendesak, maka akar wangi dapat dipenen pada umur 7-8 bulan. Umumnya, waktu tanam akar wangi dilakukan pada musim hujan yakni pada bulan Januari dan panen dilaksanakan pada musim kemarau. Untuk biaya tenaga gali dan angkut, umumnya diluar biaya produksi yang ditanggung oleh petani melainkan menjadi tanggungan para bandar (penampung). Untuk biaya bibit hanya berlaku ketika pertama kali penanaman. Pada periode tanam selanjutnya, petani sudah tidak mengeluarkan biaya pembelian bibit. Biasanya, setiap panen petani menyisakan sekitar 20 persen dari hasil panen untuk dijadikan bibit. Dari luasan 6.400 m2 tersebut dapat menghasilkan produksi akar wangi ratarata 10 ton dengan harga jual 15 ribu rupiah/kg. Dengan demikian hasil yang diterima petani sebelum dikurangi dengan biaya produksi (pendapatan kotor) sekitar 15 juta rupiah. Setelah dikurangi dengan biaya produksi sebesar 4,14 juta maka pendapatan bersih yang diterima petani sekitar Rp. 10.860.000,00 (Tabel 4.8). Karena rata-rata petani melakukan sistem tumpang sari, maka sumber pendapatan petani juga ditunjang oleh panen dari tanaman tumpang sari seperti tembakau, sayur-sayuran dan sebagainya.
58
Tabel 4.8. Biaya Produksi Budidaya Akar Wangi untuk Luasan 6.400 m2 No
Uraian
Banyaknya
Rp
Jumlah
Keterangan
1 2 3
Bibit Pupuk hitam Upah tenaga kerja ngored Upah tenaga kerja nyukcruk Upah gali akar wangi Upah angkut akar wangi Jumlah
1 ton
2.000/kg
2.000.000 640.000 800.000
Kandang
4 5 6
40 org
17.500/org
700.000 Bandar Bandar 4.140.000
Tanaman Kentang Dari luas 1 Ha tanaman kentang dapat menghasilkan produksi minimal 25 ton. Hasil produksi dijual ke pihak tengkulak dengan harga rata-rata minimal 3 ribu rupiah/kg. Dengan demikian pendapatan bersih (setelah dikurangi biaya produksi) yang diterima petani sekitar 19,9 juta/panen. Bila dalam setahun minimal petani bisa mendapatkan dua kali masa panen maka dalam setahun pendapatan petani dari budidaya kentang seluas 1 Ha bisa mencapai 39,9 juta/tahun atau rata-rata 3,3 juta/bulan. Dengan membanding antara pendapatan (revenue/R) dengan biaya produksi (cost/C) maka nilai R/C budidaya kentang adalah 1,36. Untuk keperluan bibit, saat ini beberapa petani sudah dapat memproduksi sendiri tanpa perlu membeli ke bandar. Tabel 4.9. Biaya Produksi Budidaya Kentang untuk Luasan 1 Ha No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Uraian Bibit Pupuk hitam Pupuk urea Obat tepung Obat tepung dakonil Obat cair colixtron Obat cair guntur Upah tenaga kerja mencangkul Upah tenaga kerja nyukcruk/nyauer Upah angkut Jumlah
Banyaknya 2 ton 300 karung 4 ton 50 bungkus 20 bungkus 20 botol 4 botol 100 jiwa
Rp 10.000/kg 20.000/karung 1.500/kg 100.000/bks 150.000 80.000/btl 1.500.000/btl 15.000/org
Jumlah 20.000.000 6.000.000 6.000.000 5.000.000 3.000.000 1.600.000 6.000.000 1.500.000
Keterangan Bibit biasa Kandang ZATS
200 jiwa
10.000/jiwa
2.000.000
Perempuan
2 ton
200/kg
4.000.000 55.100.000
Pasca panen
Pembasmi hama Pembasmi hama Laki – laki
Tanaman Wortel Dari luas 1 Ha tanaman wortel dapat menghasilkan produksi minimal 30 ton per panen (4 bulan). Hasil panen dapat dijual ke pihak tengkulak dengan harga 500 hingga 1.000 rupiah per kilogram. Dengan demikian, dari hasil produksi 30
59
ton tersebut, pendapatan bersih (setalah dikurangi biaya produksi) yang diterima petani dengan bisa mencapai 4,6 juta hingga 19,6 juta per panen dengan kisaran nilai R/C budidaya wortel adalah 1,44 sampai dengan 2,88. Untuk keperluan bibit, umumnya petani sudah tidak perlu membeli ke bandar. Selain itu, menurut pengakuan beberapa orang warga, budidaya tanaman wortel lebih mudah, proses perawatan tidak membutuhkan banyak waktu dan tenaga kerja yang dibutuhkan relatif sedikit atau masih dapat dilakukan dengan hanya menggunakan tenaga kerja keluarga. Tabel 4.10. Biaya Produksi Budidaya Wortel untuk Luasan 1 Ha No Uraian Banyaknya Rp Jumlah
Ket
1 2 3 4 5
Bibit Upah tenaga kerja mencangkul Upah tenaga kerja bersihkan rumput Pupuk urea Upah angkut Jumlah
25 bungkus 100 jiwa
30.000/bks 15.000/org
750.000 1.500.000
Laki – laki
200 jiwa
10.000/org
2.000.000
Perempuan
1 kwintal 30 ton
200/kg
150.000 6.000.000 10.400.000
Pasca panen
Tanaman Kol Dari luas lahan 1 Ha dapat menghasilkan produksi kol rata-rata minimal 20 ton per panen (100 hari). Dengan harga jual yang berlaku di tengkulak sebesar Rp. 1.000/kg maka pendapatan bersih yang diterima petani berkisar 3,9 juta dengan nilai R/C budidaya kol adalah 1,25. Hingga saat ini, keperluan bibit kol seluruhnya masih disuplai oleh bandar atau petani masih harus membeli bibit ke bandar. Tabel 4.11. Biaya Produksi Budidaya Kol untuk Luasan 1 Ha No Uraian Banyaknya Rp Jumlah
Ket
1
Bibit
17.500 pohon
50/pohon
875.000
2 3 4 5
Pupuk hitam Pupuk putih Obat laser Upah tenaga kerja nyangkul Upah tenaga kerja membuat lubang Upah angkut barang Jumlah
300 karung 4 ton 10 botl 100 jiwa
20.000/krng 1.500/kg 90.000/btl 15.000/org
6.000.000 6.000.000 900.000 1.500.000
50 jiwa
15.000
750.000
Laki – laki
20 ton
200/kg
4.000.000 16.025.000
Pasca panen
6
1 patok = 700 pohon, 700 pohon x 25 patok Kandang Urea Laki – laki
60
Tanaman Tomat Dari luas lahan 1 Ha dapat menghasilkan produksi tomat minimal 25 ton per panen. Apabila harga jual yang berlaku 2 ribu/kg maka dengan demikian pendapatan bersih yang di terima petani dapat mencapai 11,4 juta rupiah per panen (5 bulan) dengan nilai R/C adalah 1,3. Sama halnya dengan kol, saat ini petani masih harus membeli bibit kepada bandar atau pedagang saprodi. Tabel 4.12. Biaya Produksi Budidaya Tomat untuk Luasan 1 Ha No Uraian Banyaknya Rp Jumlah
Keterangan
1
Bibit
20 bungkus
115.000/bks
3.300.000
2 3 4 5 6 7 8
Pupuk hitam Pupuk putih Ajir Obat semprot Obat cair Obat Daconil Upah tenaga kerja nyangkul Upah tenaga kerja Upah angkut barang Jumlah
300 karung 4 ton 25.000 ajir 30 botol 40 botol 20 botol 100 jiwa
20.000/krng 1.500/kg 150/ajir 100.000/botol 100.000/botol 150.000/btl 15.000/jiwa
6.000.000 6.000.000 3.750.000 3.000.000 4.000.000 3.000.000 1.500.000
300 jiwa 25 ton
10.000/jiwa 200/kg
3.000.000 5.000.000 38.550.000
9 10
1 patok = 700 pohon, 700 pohon x 25 patok Kandang Urea
Laki – laki Perempuan Pasca panen
Ditinjau dari analisa usahatani berdasarkan komoditas utama yang diusahakan warga di kedua desa, maka nilai R/C yang paling tinggi secara berturut-turut adalah akar wangi (3,62-7,01) dan wortel (1,44-2,88) (Tabel 4.14). Hal ini menunjukkan bahwa, usaha pertanian di tingkat rumah tangga petani masih mampu memberikan nilai surplus. Pertanyaan yang muncul kemudian, apa yang menyebabkan kemiskinan masih menghinggapi rumah tangga pertanian di dataran tinggi Garut? Tabel 4.13. Perbandingan R/C dari setiap komoditas yang diusahakan Pendapatan Biaya Pendapatan Rasio Kotor Produksi Bersih Komoditas R C R-C R/C Akar Wangi (6400 m2) Kentang
Keterangan
15.000.000
4.140.000
10.860.000
3,62
Panen pertama kali
15.000.000
2.140.000
12.860.000
7,01
Panen berikutnya
75.000.000
55.100.000
19.900.000
1,36
Luasan 1 Ha
15.000.000
10.400.000
4.600.000
1,44
Harga jual 500/kilo
30.000.000
10.400.000
19.600.000
2,88
Harga jual 1000/kilo
Kol
20.000.000
16.025.000
3.975.000
1,25
Luasan 1 Ha
Tomat
50.000.000
38.550.000
11.450.000
1,30
Luasan 1 Ha
Wortel (1 Ha)
61
Adapun pola produksi dan budidaya lokal khususnya di lahan pendudukan warga (reclaiming), baik di desa Dangiang maupun Sukatani, mayoritas petani menerapkan sistem tanam tumpang sari. Yang membedakan di dua lokasi tersebut adalah jenis dan variasi tanaman tumpang sari dan jenis tanaman tegakan serta periodesasi pemanfaatan lahan yang dalam hal ini sangat dipengaruhi jenis tanaman, faktor musim dan ketersediaan air. Perbandingan pola pemanfaatan lahan dan jenis komoditas yang diusahakan di dua lokasi ditunjukkan pada Tabel 4.14. Tabel 4.14. Perbandingan Pola Pemanfaatan Lahan di Dua Lokasi No Uraian Desa Dangiang 1
Jenis tanaman tegakan
Kopi, kalices dan jengjeng.
2
Strategi Ekstensifikasi Lahan
3
Komoditas utama yang diusahakan petani Komoditas lain yang telah dan akan diusahakan petani
Perluasan kawasan budidaya pertanian mulai merambah kawasan leuweung tutupan. Pembelian maupun gadai bagi rumah tangga petani yang telah mampu membentuk surplus. Akar wangi
4
5
Pola Tanam
6
Ketergantungan akan kebutuhan air
7
Penggunaan Pupuk
Tembakau dan tanaman sayuran lainnya. Ke depan akan ditanam kopi sebagai tumpang sari, khususnya untuk lahan pada kemiringan kritis. Tumpang sari dengan tanaman syuran dan tembakau. Dalam 1 tahun, terdapat 3 masa panen, yakni panen kentang, tembakau dan akar wangi. Relatif tinggi, khususnya untuk tanaman tumpang sari (tanaman sayuran dan padi) Kimia dan Organik
Desa Sukatani
Jengjeng, Kopi, Nangka, Alpukat dan Afrika. Kalices dihindari oleh petani karena menyerap air terlalu besar Melalui pembelian maupun gadai bagi rumah tangga petani yang telah mampu membentuk surplus
Tanaman sayuran.
Tanaman tahunan khususnya di areal garapan di daerah kehutanan .
Tumpang sari dengan taaman sayuran. Siklus tanam terbatas. Yakni hanya di musim hujan atau lahan yang terdekat dengan sumber air. Sangat tinggi, khususnya daerahdaerah yang jauh dengan perkampungan dan atau sumber air Umumnya Pupuk Kimia. Permintaan komoditas sayuran yang sangat besar menyebabkan pola penanaman tanaman sayuran menggunakan pupuk kimia yang intensif
4.6. Ikhtisar Kabupaten Garut dengan luas tanah permukaan sekitar 306.519 Ha (3.065,19 km²) merupakan kabupaten di Jawa yang memiliki persentase luas wilayah kehutanan dan perusahaan perkebunan besarnya tertinggi, yakni 50
62
persen dari keseluruhan wilayah kabupaten. Penguasaan hutan terluas dipegang oleh Perhutani Unit III KPH Garut, yaitu sekitar 31,42 persen atau seluas 96.305,33 Ha. Selanjutnya, penguasaan hutan oleh BKSDA Sub Garut sekitar 4,28 persen atau seluas 13.111,50 Ha, yang meliputi hutan Konservasi atau Cagar Alam 17.215,15 Ha dan Taman Wisata Alam 748,65 Ha. Sedangkan luas kawasan Perkebunan besar di Kabupaten Garut sekitar 25.300,0054 Ha atau 11,67 persen dari total luas wilayah yang terdiri dari Perkebunan Swasta 12.029,315 Ha dan Perkebunan Negara seluas 13.270,6903 Ha. Di luar wilayah sawah yang meliputi 49.812 Ha atau 16,29 persen, tata guna lahan pertanian rakyat di Garut kebanyakan berupa lahan kering (tegalan dan kebun campuran) seluas 97.401 Ha atau 31,78 persen dari luas wilayah. Sebagai salahsatu Kabupaten di Propinisi Jawa Barat, kontribusi nilai tambah di Kabupaten Garut dominan disumbang oleh sektor pertanian yang mencapai 48,03 persen. Hal ini sangat beralasan mengingat kondisi topografi wilayahnya yang sebagian besar merupakan dataran tinggi atau perbukitan yang berada disekitar kawasan gunung berapi dengan kondisi lahan pertanian memiliki tingkat kesuburan yang baik. Bila dilihat dari angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian mayoritas merupakan kategori penduduk yang tidak pernah mengenyam pendidikan dasar atau paling tidak hanya sampai pendidikan tingkat dasar (SD). Berdasarkan kondisi topografi dan riwayat penguasaan lahan, di dua lokasi studi (desa Dangiang dan Sukatani) merupakan contoh desa-desa di dataran tinggi Garut dimana areal lahan pertanian warga berdampingan dengan pola penguasaan kawasan oleh perusahaan perkebunan dan kehutanan negara. Jika di desa Dangiang areal pertanian warga berdampingan dengan perkebunan teh PTPN VIII Dayeuh Manggung, di desa Sukatani merupakan salahsatu desa di kecamatan Cisurupan dimana posisi areal lahan pertanian warga berdampingan dengan areal kehutanan klaim PT. Perhutani. Masuknya bentuk-bentuk pengusaan lahan oleh perusahaan perkebunan dan kehutanan milik negara dikemudian hari turut mendorong lahirnya bentuk-bentuk inisiatif warga untuk melakukan reclaiming lahan perkebunan negara yang
63
tergabung dalam organisasi tani lokal (OTL) Serikat Petani Pasundan (SPP). Khusus di desa Sukatani, selain OTL SPP, terdapat kelembagaan lain yakni PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) yang dibentuk oleh PT. Perhutani dalam mengatur dan mengontrol akses warga terhadap lahan kehutanan. Adapun pola produksi dan budidaya lokal khususnya di lahan pendudukan warga (reclaiming), baik di desa Dangiang maupun Sukatani, mayoritas petani menerapkan sistem tanam tumpang sari. Yang membedakan di dua lokasi tersebut adalah jenis dan variasi tanaman tumpang sari dan jenis tanaman tegakan serta periodesasi pemanfaatan lahan yang dalam hal ini sangat dipengaruhi jenis tanaman, faktor musim dan ketersediaan air. Sementara dari analisa usahatani berdasarkan komoditas utama yang diusahakan warga di kedua desa, maka nilai R/C yang paling tinggi secara berturut-turut adalah akar wangi (3,62-7,01) dan wortel (1,44-2,88). Hal ini menunjukkan bahwa, usaha pertanian di tingkat rumah tangga petani di kedua desa masih mampu memberikan nilai surplus. Pertanyaan yang muncul kemudian, apa yang menyebabkan kemiskinan menghinggapi rumah tangga pertanian di kedua desa dataran tinggi Garut? Menjawab pertanyaan diatas, pada bagian selanjutnya akan diuraikan secara lebih jauh mengenai situasi kemiskinan serta proses marginalisasi yang hadir dalam sejarah perkembangan hubungan produksi dan distribusi komunitas petani di kedua desa dataran tinggi Garut.
BAB V SITUASI KEMISKINAN RUMAH TANGGA PETANI DI PEDESAAN DATARAN TINGGI GARUT
5.1. Tipologi Tingkat Perkembangan Desa Pada bagian sebelumnya (Bab 4) telah dipaparkan bahwa Kabupaten Garut merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat yang menjadi sentra pengembangan minyak Akar Wangi serta pemasok kebutuhan sayuran dibeberapa pasar luar Jawa Barat. Dari analisa usahatani berdasarkan komoditas utama (hortikultura dan akar wangi) yang diusahakan warga di kedua desa menunjukkan, usaha pertanian di tingkat rumah tangga petani di kedua desa masih mampu memberikan nilai surplus. Namun masuknya bentuk-bentuk penguasaan lahan di dataran tinggi Jawa Barat oleh para pemilik modal besar (perusahaan perkebunan dan kehutanan negara) mempengaruhi kondisi kemiskinan rumah tangga petani. Semangat rejim orde baru meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan asumsi menetes ke bawah (trickle down effect) melalui strategi pembangunan industri padat modal di perkotaan dan peningkatan kinerja ekspor, satu sisi telah menunjukkan kinerja positif pembangunan ekonomi dalam skala makro. Namun di sisi yang lain telah meninggalkan, membiarkan atau meminggirkan persoalan ketimpangan sosial-ekonomi di pedesaan. Dalam tulisannya yang bertajuk “Modernization without Development in Rural Java” Sajogyo (1973) menyatakan, “Revolusi Hijau”17 merupakan suatu bentuk modernisasi di pedesaan yang hanya menguntungkan petani lapisan atas di desa sementara petani lapisan bawah, petani gurem dan buruh tani tertinggal dalam agenda pembangunan.
17
Istilah “Revolusi Hijau” mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 1960-an, pada dasarnya mengacu kepada program intensifikasi pertanian tanaman pangan lewat introdusir teknologi baru dalam teknik pertanian (agronomi). Namun dalam pelaksanaannya, siapa dan golongan petani mana yang memanfaatkan dan menikmati program tersebut tidak terlalu dirisaukan; landasan pikir utamanya ialah produksi harus naik, soal pembagian hasil, nanti diatur oleh mekanisme pasar sendiri. Dalam karangannya yang berjudul “The Green Revolution Cornucopia or Pandora’s Box”, Clifton Wharton (1969) mengilustrasikan istilah Revolusi Hijau sebagai Kotak Pandora yang mengandung ketidakpastian; segala sesuatu bisa keluar atau muncul dari Kotak Pandora tersebut. (Tjondronegoro 1989)
66
Seperti yang diutarakan oleh White (1990), penduduk pedesaan di Jawa dicirikan oleh luas rata-rata skala usahatani yang sangat kecil, tingkat ketunakismaan yang tinggi, sebaran atas pemilikan maupun penguasaan atas lahan yang tidak merata serta adanya konsentrasi kemiskinan yang relatif tinggi dibanding daerah-daerah lainnya di Indonesia. Dari berbagai studi mikro sejak tahun 1970an menunjukkan adanya pola nafkah ganda (kombinasi kegiatan pertanian dan non pertanian) di tingkat rumah tangga petani (RTP) yang tidak hanya dilakukan RTP lapisan terbawah (petani gurem dan buruh tani) melainkan juga dilakukan oleh RTP lapisan atas di desa. Namun yang membedakan terletak pada pilihan strategi nafkah dari masing-masing lapisan. Pada RTP lapisan bawah, dorongan utama dirinya mencari nafkah diluar sektor pertanian karena tidak tersedianya kesempatan kerja dalam pertanian sehingga mereka terpaksa mencari tambahan penghasilan diluar sektor pertanian meski dengan imbalan yang lebih rendah, atau oleh White diistilahkan sebagai “push factor” (Sajogyo dan Tambunan 1990). Anomali pembangunan pertanian dan pedesaan baik melalui agenda revolusi hijau maupun kehadiran perusahaan perkebunan dan kehutanan negara juga tampak pada tingkat perkembangan desa-desa di Kabupaten Garut. Sebagaimana akan
ditunjukkan
pada
bagian
selanjutnya
mengenai
tipologi
tingkat
perkembangan desa berdasarkan pengolahan data Podes Kabupaten Garut tahun 2008.18 Dengan mengkombinasikan kedua komponen atau faktor hasil reduksi data Potensi Desa Kabupaten Garut Tahun 2008 yakni : 1) Tingkat aksesbilitas; dan 2) Tingkat keberdayaan ekonomi mayoritas penduduk desa, di Kabupaten Garut terdapat empat tipe desa yang menggambarkan tingkat perkembangan desa (Tabel 5.1). Keempat tipe desa di Kabupaten Garut adalah sebagai berikut : 1.
Tipe 1: desa yang memiliki aksesbilitas dan tingkat keberdayaan ekonomi warga yang relatif tinggi,
2.
Tipe 2 : desa yang memiliki aksesbilitas kurang baik namun tingkat keberdayaan ekonomi penduduk relatif tinggi,
18
Menggunakan metode analisis faktor (Principal Component Analysis). Untuk mempermudah pengintepretasian hasil, pada umumnya digunakan hanya dua faktor sehingga posisi individu dapat digambarkan dalam ruang berdimensi dua (Susetyo 1990).
67
3.
Tipe 3 : desa yang memiliki aksesbilitas kurang baik dan tingkat keberdayaan ekonomi penduduk
masih relatif rendah (tingkat
perkembangan desa yang paling tertinggal) 4.
Tipe 4 : desa yang memiliki aksesbilitas baik namun tingkat keberdayaan ekonomi penduduknya masih relatif rendah (miskin).
Tabel 5.1. Matriks Tipologi Desa di Kabupaten Garut Tahun 2008 Keberdayaan Ekonomi Tinggi Rendah Warga (Sejahtera) (Miskin) Aksesbilitas Tipe 4 94 desa (22,17%)
Jumlah
Baik (terbuka)
Tipe 1 52 desa (12,26%)
Kurang baik (terisolir)
Tipe 2 109 desa (25,71%)
Tipe 3 169 desa (39,86%) 2 desa penelitian
278 desa (65,57%)
Jumlah
161 desa (37,97%)
263 desa (62,03%)
424 desa (100%)
146 desa (34,43%)
Sumber : diolah dari data Potensi Desa (Podes) Tahun 2008
Pada Tabel 5.1 tampak bahwa mayoritas desa-desa atau sekitar 39,86 persen (169 desa) di Kabupaten Garut masuk dalam kategori tipe 3 (tiga) yakni desa yang tingkat perkembangannya paling tertinggal dalam hal aksesbilitas (infrastruktur) dan rendahnya tingkat keberdayaan ekonomi penduduk (miskin). Meskipun menurut laporan BPS Kabupaten Garut, pada tahun 2007 sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar (48,03%) terhadap PDRB Kabupaten Garut, persentase tersebut sesungguhnya tidak menunjukkan hubungan yang positif dengan tingkat perkembangan desa pertanian (desa yang sumber penghidupan utama mayoritas warganya berasal dari pertanian) yang umumnya merupakan desa kategori tipe 3 atau sekitar 194 desa (45,8%) (Tabel 5.2). Ditinjau dari tingkat keberdayaan ekonomi penduduk, mayoritas desa atau sekitar 263 desa (62,03%) di Kabupaten Garut masuk dalam kategori desa miskin. Sementara dari 395 desa yang diidentifikasi sebagai desa pertanian19, 259 desa
19
Kategori desa pertanian yang dimaksud adalah desa yang sumber penghasilan utama mayoritas warganya berasal dari pertanian.
68
(65,57%) diantaranya merupakan desa yang mayoritas warganya masuk kategori miskin. Fakta ini menandakan bahwa konsentrasi penduduk atau kantung-kantung kemiskinan berada di wilayah pedesaan berbasis pertanian. Argumen ini sangat kontras dengan padangan Bank Dunia (2008) yang tercermin dalam publikasinya yang bertajuk The World Development Report 2008: Agriculture for Development yang menyebutkan bahwa angka kemiskinan di pedesaan Indonesia memiliki tren yang terus menurun (World Bank, 2008). Dalam laporan yang dirilis Bank Dunia tersebut digambarkan situasi penurunan angka kemiskinan di pedesaan Indonesia bersandar pada tiga jalur utama, yakni: usahatani komersil, diversifikasi nafkah rumah tangga petani dan pengerahan tenaga kerja upahan (pertanian dan non pertanian), serta migrasi keluar desa. Indonesia dan sebagian negara Asia lainnya dimasukkan dalam kategori negara yang sedang mengalami transformasi struktural dengan ditandai pergeseran peran pertanian kepada sektor industri dan jasa disatu sisi dan diikuti oleh penurunan jumlah penduduk miskin di pedesaan. Oleh beberapa pakar, jawaban atas tingginya sumbangan angka kemiskinan penduduk di pedesaan berbasis pertanian dan semakin meningkatnya angkatan kerja pedesaan yang bekerja diluar sektor pertanian (ditandai arus besar migrasi penduduk ke kota) adalah mendorong proyek-proyek pembangunan industri non pertanian yang dapat menyerap angkatan kerja dari pedesaan. 20 Kesimpulan yang sangat reduksionis semacam ini akan menghilangkan jejak ketimpangan dari praktek-pratek kebijakan pembangunan pedesaan lewat agenda revolusi hijau yang bias tuan tanah (landlord bias) dan bias kota (urban bias).21
20
Dalam sebuah diskusi membedah visi ekonomi Capres 2009-2014 yang ditayangkan oleh Metro TV, seorang tim ekonom salahsatu kandidat presiden menyatakan, meskipun sektor pertanian masih merupakan sektor yang banyak menyerap angkatan kerja di pedesaan, namun dirinya sudah tidak mampu memberikan tingkat pendapatan yang layak bagi petani mengingat rata-rata penguasaan tanah di Jawa tergolong kecil. Dengan kata lain, pembangunan pertanian tidak lain adalah membiarkan kemiskinan terus mengjangkiti masyarakat pedesaan. Oleh karena itu, politik kebijakan anggaran sudah saatnya bergeser dan mengarah kepada pengembangan sektor-sektor industri yang dapat menampung angkatan kerja pedesaan yang terus meningkat. 21
Mengutip Li (2009), pada kenyataannya terdapat dua kekuatan baru di masa kini yang “menyerang” wilayah pedesaan di Asia yakni: 1) hilangnya akses rakyat pedesaan atas tanah di suatu wilayah akibat penutupan akses (enclosure) baik oleh proyek atau badan usaha industri ataupun kegiatan konservasi milik pemerintah atau swasta, dan 2) rendahnya daya serap tenaga kerja lokal oleh industri yang dibangun di sekitarnya. Bukannya menjadi cadangan tenaga kerja,
69
Tabel 5.2. Tipe Desa Berdsarkan Sumber Penghasilan Utama Penduduk
Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk
Total
Pertanian
Count % within Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk % of Total Pertambangan dan Count Penggalian % within Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk % of Total Industri Pengolahan Count % within Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk % of Total Perdagangan Count besar/eceran, Rumah % within Sumber Makan penghasilan utama sebagian besar penduduk % of Total Angkutan, PergudanganCount dan Komunikasi % within Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk % of Total Jasa Count % within Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk % of Total Count % within Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk % of Total
Tipe 1 45
Tipologi desa (desa) Tipe 2 Tipe 3 55 194
Tipe 4 101
Total 395
11,4%
13,9%
49,1%
25,6%
100,0%
10,6% 0
13,0% 1
45,8% 0
23,8% 0
93,2% 1
,0%
100,0%
,0%
,0%
100,0%
,0% 0
,2% 1
,0% 0
,0% 0
,2% 1
,0%
100,0%
,0%
,0%
100,0%
,0% 0
,2% 10
,0% 8
,0% 1
,2% 19
,0%
52,6%
42,1%
5,3%
100,0%
,0% 0
2,4% 1
1,9% 0
,2% 0
4,5% 1
,0%
100,0%
,0%
,0%
100,0%
,0% 0
,2% 4
,0% 2
,0% 1
,2% 7
,0%
57,1%
28,6%
14,3%
100,0%
,0% 45
,9% 72
,5% 204
,2% 103
1,7% 424
10,6%
17,0%
48,1%
24,3%
100,0%
10,6%
17,0%
48,1%
24,3%
100,0%
Sumber : diolah dari data Potensi Desa (Podes) Tahun 2008
Praktek pembangunan yang bias tersebut juga ditegaskan oleh Griffin, Khan dan Ickowictz (2002) yang menyatakan, pada banyak negara di belahan dunia ketiga
khususnya
Indonesia,
pelaksanaan
strategi
pembangunan
telah
mengesampingkan fokusnya dari sektor pertanian dan pedesaan ke arah mereka yang terlempar dari usaha pertanian karena tidak terserap industri kemudian menjadi apa yang disebut Marx sebagai relative surplus population. Mereka menjadi pengangguran yang terlempar dari pertanian, tak sanggup masuk ke lapisan tenaga kerja industrial, lalu terlunta-lunta di pedesaan dan perkotaan.
70
industrialisasi yang tumbuh di pusat perkotaan atau diistilahkan “bias kota” (urban bias) dan lebih mendukung petani yang memiliki tanah luas (landlord bias) yang mengakibatkan meningkatnya angka kemiskinan. Kondisi yang sedemikian rupa tersebut juga tercermin di daerah-daerah dataran tinggi Jawa Barat. Padahal, menurut Sajogyo dan Tambunan (1991), proses industrialisasi pedesaan pada hakikatnya mensyaratkan adanya organisasi sosial yang bersifat industrial.22
5.2. Indikator Kemiskinan Warga Desa Dangiang Sebagai masyarakat agraris, pola dan bentuk penguasaan lahan sangat menentukan situasi kemiskinan di tingkat rumah tangga petani RTP. Dari hasil pengkajian
kemiskinan
warga
secara
partispatif
(Particpatory
Poverty
Assessment/PPA) di desa Dangiang terdapat 3 (tiga) lapisan/golongan masyarakat berdasarkan tingkat pelapisan ekonomi yakni, golongan mampu, sedang dan tidak mampu. Dari hasil pengkajian tersebut, kondisi kemiskinan rumah tangga petani sangat ditentukan oleh luas penggarapan lahan, tingkat partisipasi sekolah anak, kemampuan akses terhadap kesehatan, keterlibatan di organisasi tani lokal serta kemampuan membayar tenaga buruh upahan. Dari indikator kemiskinan seperti yang tersaji pada Tabel 5.3 terlihat bahwa posisi buruh tani merupakan lapisan golongan ekonomi paling bawah di desa. Untuk petani lapisan atas (ekonomi kuat), mereka lebih cenderung menggunakan buruh tani upahan tetap. Namun, pengunaan buruh tani upahan merupakan indikator yang memiliki bobot terendah diantara indikator lainnya (bandingkan dengan kasus desa Sukatani dimana penggunaan tenaga kerja upahan berada pada rangking kedua). Hal ini mengingat, pasca pendudukan lahan oleh warga ketersediaan buruh tani upah di desa makin berkurang karena para petani yang dahulu menjadi buruh kini menjadi petani yang menguasai lahan garapan di areal perkebunan. Kondisi ini pada gilirannya telah mendorong naiknya tingkat 22
Dalam kata pengantarnya di buku karya Masri Singarimbun, dan D. H. Penny yang berjudul “Penduduk dan Kemiskinan, Kasus Desa Srihardjo” (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1976), Sajogyo menawarkan ide perlunya mengembangkan Badan Usaha Buruh Tani (BUBT) sebagai sebuah organisasi berusaha (dari bawah) yang beranggotakan buruh tani dan petani gurem.
71
upah ril buruh tani. Gejala umum yang tampak dari penelusuran di lapangan, umumnya para petani lapisan tengah menggunakan kombinasi antara tenaga kerja keluarga dan buruh upahan. Tabel 5.3. Indikator Kemiskinan Rumah Tangga Petani di Desa Dangiang Klasifikasi Kemiskinan Indikator Mampu 3 Sedang 2 Tidak Mampu
1
Tanah
5
> 2 ha
15
Pendidikan
4
Perguruan Tinggi
Kesehatan
3
Organisasi Tenaga Kerja Jumlah Range
10
0 - 500 tumbak
5
12
500 tumbak < luas < 2 ha SMP
8
Tamat SD
4
Dokter
9
Dokter
6
Puskesmas, Dukun
3
2
Anggota SPP
6
Anggota SPP
4
2
1
Punya buruh tetap
3
Menggunakan buruh, tenaga kerja sendiri (keluarga)
2
Non SPP, Tidak Berogranisasi Tenaga kerja sendiri (keluarga)
45 45-36
30 26 - 35
1
15 15 - 25
Tingkat upah buruh yang berlaku di desa dihitung berdasarkan jarak dan gender. Untuk jumlah jam kerja 5 jam per hari, upah buruh perempuan bisa mencapai 10 ribu untuk jarak dekat (masih dalam kampung) dan 15 ribu untuk jarak jauh. Sementara untuk laki-laki, upah buruh jarak dekat bersihnya bisa mencapai 15 ribu sementara untuk jarak jauh bisa mencapai 20-25 ribu. Sebagaimana yang dituturkan oleh beberapa orang warga. “Yang meningkatkan upah buruh sebetulnya, waktu itu orang pada ga mau karena upahnya 4-5 ribu. Dikarenakan sesama anggota SPP susah tenaga kerja karena anggota semuanya punya lahan garapan, kita akhirnya ambil buruh dari luar kampung khususnya pada musim tanam. Karena disana upahnya hanya 4000 akhirnya kita naikkan 1000. Malah tiap tahun naik. Tenaga kerja itu berasal dari desa Pacoro. Kebetulan, di desa dangiang sendiri, ada sebagian warga yang masuk SPP, ada juga yang tidak. Warga yang non SPP biasanya menjadi buruh upahan. Di SPP sulit mencari tenaga kerja dari sesama anggota karena umumnya pada bulan Desember atau Januari, semua anggota SPP sedang melakukan penanama Usar (Akar Wangi). Pada bulan 3 pada tanam bakau (tembakau) atau ada yang tanam lain tapi waktunya hampir sama. Upah buruh perempuan, ada dua tahapan. Yang masih dalam kampung (dekat) bersihnya sampai 10 ribu. Kalo laki-laki, upah buruh jarak dekat bersihnya bisa mencapai 15 ribu, kalo jarak jauh, bisa mencapai 20-25 ribu. Di akar wangi, dengan sistem borong, upah buruh laki-laki yang untuk ekspor ke Jawa bisa mencapai 1000/kilo karena proses pengerjaannya agak
72
lain, tapi kalo hanya untuk dibawa ke pabrik (tempat penyulingan) upahnya 400-500 per kilo.” 23 Tingkat kemiskinan petani juga ditentukan oleh pola pemanfaatan lahan dan pilihan komoditas yang diusahakan. Umumnya pola pemanfaatan lahan di areal perkebunan menggunakan sistem tumpang sari dan mengenal tiga musim panen. Komoditas utama yang ditanam adalah Akar Wangi sebagai tanaman tahunan, sementara tanaman tumpang sari yang dipilih adalah sayuran seperti kentang atau kol serta tembakau. Alasan pemilihan komoditas akar wangi menurut warga karena tidak membutuhkan banyak biaya bila dibandingkan budidaya sayuran dan mudah dalam perawatannya.24 Kehadiran dan keterlibatan warga di organisasi tani tingkat lokal turut menentukan tingkat keberdayaan ekonomi di tingkat rumah tangga petani. Kehadiran organisasi tani lokal ditengah-tengah aktivitas warga merupakan suatu sarana memperjuangkan dan memastikan penguasaan lahan oleh warga yang selama ini terpinggirkan akibat masuknya sistem perkebunan besar negara. Pada gilirannya, kepastian dan keamanan dalam mengarap merupakan faktor utama dalam peningkatan taraf hidup anggota. “Dulu sebelum ada organisasi, profesi saya jual golok. Pas kejadian trisakti (tahun 98’) saya kembali ke kampung.... Ekonomi yang paling menonjol di keluarga SPP adalah di Dangiang. Dahulu yang punya motor sangat jarang paling hanya pegawai negeri yang punya. Sekarang sudah mulai banyak yang punya motor, ekonominya sudah mulai cukup, tidak ada yang miskin total. Sebelum ada SPP, yang mau mengeluarkan zakat fitrah boleh dikatakan sangat susah, sekarang banyak warga sudah bisa mulai bisa bayar zakat fitrah.25
23
Hasil diskusi kelompok saat Rapat Anggota Tahunan Koperasi Simpan Pinjam Peremmpua Mitra Harapan SPP Dangiang pada tanggal 10 September 2009.
24
Menurut penuturan salah seorang pengurus OTL, “Disini (Dangiang) ada istilahnya panen musiman yakni sayur-mayur dan ada juga panen pokok adalah akar wangi. Di Dangiang, untuk mengelola sayur mayur belum maksimal. Dulu memang, yang menjadi andalan adalah akar wangi tapi sekarang sudah ada yang juga mulai mengandalkan dari sayuran. Untuk mengembangkan sayuran kendala yang paling pokok adalah modal. Kalo di sayuran butuh modal 60%, jika di akar wangi hanya 30% sudah bisa jalan. Anggaplah jika punya 1 ha, dengan uang 4-5 juta tanam akar wangi sudah bisa jalan tapi kalo mau tanam kentang 1 ha, tidak punya uang 15 juta maka tidak bisa berjalan”. (Hasil wawancara pada tanggal 11 September 2009) 25
Hasil wawancara pada tanggal 11 September 2009
73
“Nah kalau kita sendiri-sendiri, tidak mau berorganisasi tidak mungkin kita berhasil seperti ini. Jadi kalau orang mau sejahtera orang itu harus kompak..dan kompak itu adanya di organisasi. Betul, iya kekompakan dan keberanian. Kalau kompak, tidak berani ya sudah berakhir” 26
5.3. Indikator Kemiskinan Warga Desa Sukatani Dari hasil pengkajian kemiskinan warga secara partispatif (Particpatory Poverty Assessment/PPA) di desa Sukatani, terdapat 3 (tiga) lapisan/golongan masyarakat berdasarkan tingkat keberdayaan ekonomi yakni, golongan atas, menengah dan bawah.27 Seperti halnya dengan desa Dangiang, penguasaan lahan merupakan indikator utama tingkat kemiskinan di tingkat rumah tangga petani. Adapun indikator lainnya adalah sumber tenaga kerja yang digunakan, jenis bangunan rumah, kemampuan akses terhadap fasilitas kesehatan dan kemampuan menyumbang dalam kegiatan sosial-keagamaan. Secara lebih jelasnya, klasifikasi dan ukuran serta bobot tingkat kemiskinan warga dapat dilihat pada Tabel 5.4. Tabel 5.4. Indikator Kemiskinan Rumah Tangga Petani di Desa Sukatani Klasifikasi Kemiskinan Indikator Atas 3 Menengah 2 Lahan
5
Punya lahan jami 510 ha
15
Punya lahan jami < 2ha
10
Tenaga Kerja Papan/ Rumah Kesehatan
4
Punya Buruh
12
Tenaga kerja sendiri
8
3
Permanen mewah
9
Semi Permanen
6
2
Dokter, RS besar
6
4
1
Lebih mampu bersedekah 45
3
Puskesmas, Dokter Umum sedang-sedang saja
Sumbangan Sosial Jumlah Range
45-36
30 26 - 35
2
Bawah
1
Tidak punya lahan jami, tani hanya dari lahan garap Kerja di lahan orang lain Gubuk, tidak permanen Jankesmas
5
Menyumbang tenaga 15
4 3 2 1
15 - 25
Upah buruh di desa Sukatani relatif lebih rendah dibandingkan dengan upah buruh tani di desa Dangiang. Untuk buruh perempuan, upah yang berlaku sebesar 6-8 ribu rupiah sementara upah buruh laki-laki sebesar 8-10 ribu rupiah. Pada petani lapisan atas, menggunakan buruh tani tetap merupakan pilihan dalam 26 27
Hasil FGD desa Dangiang, tanggal 13 September 2009
Penamaan tingkat pelapisan ekonomi berdasarkan pengklasifikasian yang dilakukan oleh warga sendiri
74
pengerjaan lahan garapan yang mereka kuasai. Pada sebagian petani lapisan atas, hubungan dengan buruh tani yang mereka pekerjakan telah berlangsung lama sebelum adanya aksi pendudukan warga di lahan Perhutani. Hubungan ini terbangun dimana pada satu sisi petani lapisan bawah membutuhkan keterjaminan sumber penghasilan di lain pihak, petani lapisan atas (tuan tanah) membutuhkan input tenaga kerja yang tersedia di desa untuk melakukan akumulasi modal dari kegiatan produksi. Dalam menjaga kestabilan hubungan ini, si tuan tanah selalu memberikan fasilitas kredit kepada buruh untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari utamanya saat musim kering. Hal yang perlu digaris bawahi, ukuran dan tingkat kemiskinan ini tidaklah statis melainkan bersifat dinamis. Dalam arti, ukuran dan tingkat kemiskinan turut dipengaruhi oleh pola-pola hubungan (struktur) produksi dan distribusi komoditas, pola pemanfaatan lahan, kondisi iklim dan faktor eksternal lainnya. Dari Tabel 5.4 tampak faktor penguasaan lahan sangat mempengaruhi tingkat keberdayaan ekonomi suatu rumah tangga petani (RTP). Sama halnya dengan desa Dangiang, hadirnya insiatif dari bawah yang teroganisir dalam wadah organisasi tani lokal (OTL) turut memberikan pengaruh terhadap perbaikan kondisi tingkat ekonomi RTP khususnya lapisan buruh tani.
5.4. Perbandingan Ukuran Kemiskinan di Dua Desa Berbeda dengan desa Dangiang yang dapat mengalami 3 musim panen dari pola tanam tumpangsari, pola pertanian dimana tanaman hortikultur menjadi pilihan utama di desa Sukatani sangat bergantung dari kondisi iklim yang pada gilirannya turut mempengaruhi kondisi kemiskinan mereka. Pada musim kemarau (halodo), kecuali petani kaya, umumnya petani yang menggarap di areal garapan (okupasi) tidak dapat mengolah lahannya secara maksimal karena sulitnya mendapatkan air. Sementara pada pertanian Akar Wangi di desa Dangiang (hamparan Cikuray) tingkat kebutuhan air tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan budidaya tanaman sayuran. Dari penggalian indikator tingkat kemiskinan tampak bahwa di kedua lokasi penelitian pola pelapisan secara ekonomi antar rumah tangga petani (RTP) terdiri
75
dari 3 (tiga) lapis yakni lapisan atas (ekonomi kuat), lapisan tengah (ekonomi sedang) dan lapisan bawah (ekonomi lemah). Adapun indikator utama sebagai penentu derajat kemiskinan suatu RTP di kedua lokasi juga menunjukkan pola yang sama yakni faktor penguasaan lahan. Perbedaannya terletak pada luasan penguasaan dari masing-masing lapisan. Dikedua lokasi penelitian, menjadi buruh tani lepas merupakan salahsatu pilihan bagi rumah tangga petani kecil dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dari sisi tingkat upah buruh ril, upah buruh tani harian di Sukatani relatif lebih rendah dibandingkan upah buruh di desa Dangiang yakni 6-8 ribu per hari untuk buruh perempuan dan 8-10 ribu rupiah per hari untuk buruh laki-laki. Besarnya upah buruh tani baik antara laki-laki dan perempuan di kedua lokasi penelitian ditentukan oleh jenis pekerjaan. Sementara upah buruh harian di desa Dangiang, selain ditentukan oleh jenis pekerjaan juga ditentukan oleh jarak tempuh yang diukur dari kediaman buruh ke lokasi lahan. Di desa Dangiang, upah buruh ril mengalami peningkatan sejak warga yang tergabung dalam organisasi tani lokal SPP dapat menggarap lahan di areal perkebunan. Meningkatnya upah buruh tani di desa Dangiang sangat dimungkinkan karena tingginya permintaan pasar tenaga kerja buruh tani akibat kurangnya tenaga buruh yang tersedia di desa ketika musim tanam maupun pada saat panen. Saat ini, upah buruh perempuan di desa Dangiang dapat mencapai 15 ribu rupiah per hari, sementara untuk upah buruh laki-laki bisa mencapai 25 ribu rupiah per hari. Terlebih pada proses pemanenan tembakau hingga menjadi bahan baku siap jual yang membutuhkan banyak tenaga kerja.
5.5. Ikhtisar Meskipun menurut laporan BPS Kabupaten Garut, pada tahun 2007 sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar (48,03%) terhadap PDRB Kabupaten Garut, persentase tersebut sesungguhnya tidak menunjukkan hubungan yang positif dengan tingkat perkembangan desa pertanian (desa yang sumber penghidupan utama mayoritas warganya berasal dari pertanian) yang umumnya merupakan desa kategori tipe 3 atau sekitar 194 desa (45,8%). Ditinjau dari
76
tingkat keberdayaan ekonomi penduduk, mayoritas desa atau sekitar 263 desa (62,03%) di Kabupaten Garut masuk dalam kategori desa miskin. Sementara dari 395 desa yang diidentifikasi sebagai desa pertanian, 259 desa (65,57%) diantaranya merupakan desa yang mayoritas warganya masuk kategori miskin. Fakta ini menandakan bahwa konsentrasi penduduk atau kantung-kantung kemiskinan berada di wilayah pedesaan berbasis pertanian. Argumen ini sangat kontras dengan padangan Bank Dunia (2008) yang tercermin dalam publikasinya yang bertajuk The World Development Report 2008: Agriculture for Development yang menyebutkan bahwa angka kemiskinan di pedesaan Indonesia memiliki tren yang terus menurun (World Bank 2008). Dari hasil pengkajian kemiskinan warga secara partispatif (Particpatory Poverty Assessment/PPA) di dua desa penelitian menunjukkan pola pelapisan rumahtangga petani yang sama yakni terdapat 3 lapisan/golongan masyarakat berdasarkan tingkat keberdayaan ekonomi. Dari kedua desa, faktor penguasaan lahan merupakan indikator utama tingkat kemiskinan di tingkat rumah tangga petani. Namun demikian, ukuran dan tingkat kemiskinan ini tidaklah statis melainkan bersifat dinamis. Dalam arti, ukuran dan tingkat kemiskinan turut dipengaruhi oleh pola-pola hubungan (struktur) produksi dan distribusi komoditas, pola pemanfaatan lahan, kondisi iklim dan faktor eksternal lainnya. Di kedua lokasi penelitian, menjadi buruh tani lepas merupakan salahsatu pilihan bagi rumah tangga petani kecil dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dari sisi tingkat upah buruh ril, upah buruh tani harian di Sukatani relatif lebih rendah dibandingkan upah buruh di desa Dangiang yakni 6-8 ribu per hari untuk buruh perempuan dan 8-10 ribu rupiah per hari untuk buruh laki-laki. Besarnya upah buruh tani baik antara laki-laki dan perempuan di kedua lokasi penelitian ditentukan oleh jenis pekerjaan. Sementara upah buruh harian di desa Dangiang, selain ditentukan oleh jenis pekerjaan juga ditentukan oleh jarak tempuh yang diukur dari kediaman buruh ke lokasi lahan. Faktor hadirnya gerakan penguatan dan pengorganisasian petani (dari bawah) untuk menuntut hak garap lahan di areal perkebunan dan kehutanan pada prakteknya telah berhasil merekatkan kembali petani pada penguasaan langsung
77
terhadap alat produksi utama yakni lahan yang secara langsung turut mempengaruhi tingkat keberdayaan ekonomi di tingkat rumah tangga petani. Hal ini juga berdampak meningkatnya upah buruh tani seperti yang terjadi di desa Dangiang. Pasca aksi reclaiming warga di areal perkebunan teh, permintaan pasar tenaga kerja buruh tani meningkat akibat kurangnya tenaga buruh yang tersedia di desa ketika musim tanam maupun pada saat musim panen. Hal yang perlu di garis bawahi, memahami situasi kemiskinan secara mendalam di kedua desa dataran tinggi tersebut tidak dapat dilepaskan dari proses marginalisasi yang terus berlangsung dalam sejarah perkembangan komunitas di dataran tinggi Garut. Analisa sejarah penguasaan sumber-sumber penghidupan komunitas kemudian menjadi instrumen penting dalam melacak gejala-gejala marginalisasi petani dataran tinggi Garut. Oleh karena itu, pada bagian selanjutnya akan diuraikan lebih jauh bagaimana proses marginalisasi yang dialami petani di kedua desa baik akibat kebijakan penguasaan lahan oleh negara (Bab 6) maupun setelah adanya aksi pendudukan lahan di lahan-lahan klaim negara melalui hubungan produksi dan distribusi di tingkat komunitas (Bab 7).
BAB VI PROSES MARGINALISASI JILID I : AKIBAT KEBIJAKAN NEGARA
6.1. Membaca Ulang Penetapan Kawasan Kehutanan dan Perkebunan Pada bagian sebelumnya (Bab 4) telah diutarakan bahwa sektor pertanian merupakan sektor penyumbang terbesar terhadap nilai tambah pendapatan daerah di Kabupaten Garut. Namun pada saat yang bersamaan jumlah penduduk miskin justru terkonsentrasi di wilayah pedesaan yang merupakan daerah basis pertanian. Selain masalah rendahnya pendapatan yang diterima petani, persoalan ketimpangan penguasaan lahan akibat penerapan model penguasaan kawasan hutan dan perkebunan oleh pemodal besar (negara atau swasta) turut menyumbang proses pemiskinan masyarakat pedesaan agraris di dataran tinggi Garut. Sehingga tren pergeseran dari sektor primer ke sekunder dan tersier tidak secara langsung menandakan bahwa terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan.28 Hadirnya bentuk-bentuk penguasaan terhadap sumber-sumber agraria baik oleh negara maupun swasta di areal perkebunan dan kehutanan yang beriringan dengan proses pelepasan akses dan kontrol (enclosure) petani terhadap lahan garapan menjadi salahsatu ciri pertanian di dataran tinggi Kabupaten Garut. Pada prakteknya, hadirnya perusahaan perkebunan dan kehutanan bermodal besar (negara dan swasta) telah berhasil menggeser pola-pola ekonomi skala rumah tangga petani (satuan ekonomi terkecil) di pedesaan menjadi tenaga kerja upahan lepas. Bentuk-bentuk penguasaan tersebut tentu saja tidak dapat dilepaskan dari lintasan sejarah panjang kolonialisme, industrialisasi Eropa dan modernisasi di Indonesia.
28
Menurut Sajogyo (1993), agenda modernisasi pertanian di Indonesia berpangkal dari dua tipe ekonomi usaha tani (satuan rumah tangga) yakni sektor pertanian pangan dan pertanian komersil berorientasi ekspor. Pada tipe yang pertama dibebani tugas untuk menyediakan kebutuhan pangan dan sebagai penopang agenda industrialisasi nasional. Sementara pada tipe yang kedua dibebani oleh kepentingan devisa negara bersama perluasan dan pembaharuan sub sektor perkebunan.
80
Di Indonesia, jejak "enclosure"29 punya akar sejarah panjang, sejak pertumbuhan kapitalisme era kolonial sampai dengan orde reformasi yang ditandai dengan kehadiran perkebunan besar (karet, lada, gambir, tembakau, kopi, tebu, dan teh) dan pertambangan (timah, perak, emas, dan batubara). Khusus pada rejim orde baru dan orde reformasi, proses enclosure terjadi melalui pemberlakuan UU yang mengatur pengelolaan sumber daya alam yang kian terfragmentasi seperti UU Kehutanan, UU Penataan Ruang dan sebagainya yang sebelumnya sudah diatur dalam UUPA. Fragmentasi dan kontradiksi aturan yang sedemikian rupa ini pada tingkat implementasi menyebabkan tumpang-tindihnya dan ketidakjelasan atas pihak yang bertanggungjawab mengurusi tata kelola sumberdaya agraria yang tidak jarang berujung pada konflik baik vertikal maupun horizontal dan banyak warga pedesaan kehilangan hak untuk bercocok tanam sebagai produsen bebas dan kehilangan akses ke sumber daya alam yang sebelumnya diakses semua orang. Terkait dengan penetapan kawasan hutan, adanya dualisme aturan antara UUPA dengan UU Kehutanan, menunjukkan keracuan soal konsep hutan yang hanya dilihat sebagai sebuah ruang tanpa melihat pada soal fungsi objektif hutan. Seperti yang telah diketahui bersama, banyak kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan pada realitasnya tidak berfungsi sebagai hutan atau tidak ditumbuhi pohon sama sekali. Selain itu, pada prakteknya terdapat kerancuan dalam penataan ruang dan penetapan kawasan hutan yang ditandai dengan penetapan tata batas kawasan.30 Lebih jauh, kerancuan dan kontradiksi UU yang mengatur tata kelola sumber daya alam akan disajikan pada Tabel 6.1.
29
Secara sederhana "enclosure" bisa diterjemahkan sebagai pemagaran atas tanah-tanah milik bersama. Dalam literature Marx (Capital 1), enclosure merupakan manifestasi dari adanya primitive accumulation. Dalam hal konteks ini, istilah enclosure sering disandingkan dengan kata expropriation atau perampasan. Jauh lebih mendasar, "enclosure" adalah penjungkir-balikkan, penghancuran, dan penghilangan hak-hak milik bersama dan atau hak-hak untuk menggunakan secara adat atas tanah atau sumber daya alam, di mana penduduk menggantungkan hidupnya. Di atas tumbangnya hak-hak itu kapitalisme akan tumbuh. Dengan demikian, "enclosure" adalah proses paling awal dan menentukan di mana kapitalisme diperkenalkan baik kekerasan maupun melalui undang-undang secara legal (Sangaji 2010). 30
Dalam Pasal 12 UU Kehutanan yang mengizinkan Departemen Kehutanan untuk melanjutkan penatagunaan kawasan hutan dengan menentukan fungsi hutan produksi, konservasi dan fungsi hutan lindung. Penatagunaan kawasan hutan tidak dapat dilanjutkan dengan proses apapun sebelum ada status pengusaaannya ditentukan melalui proses pendaftaran tanah menurut PP No.24
81
Tabel 6.1. Semangat (Visi dan Misi) dan Lingkup Pengaturan SDA pada 11 UU UU UU 5/1960 tentang Pengaturan Dasar PokokPokok Agraria
UU 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan UU 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup UU 41/1999 tentang Kehutanan
UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
UU 27/2004 tentang Panas Bumi
UU 7/2004 tentang Sumbedaya Air
UU 31/2004 tentang Perikanan
UU 26/2007 tentang Tata Ruang UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pualu – Pulau Kecil
Visi Misi dan SDA yang diatur a. Visi dan Misi konservasi SDA bersifat pro-rakyat dan berfungsi sosial, anti monopoli swasta, pembatasan kepemilikan dan mengedepankan nasionalisme. b. SDA yang diatur meliputi : Permukaan bumi dan tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air Perairan pedalaman maupun laut Ruang angkasa diatas bumi dan air a. Visi dan Misi : Eksploitasi bahan tambang dan pro – kapital. b. SDA yang diatur : Endapan – endapan alam didaratan maupun dibawah perairan sebagai bahan tambang a. Visi dan Misi : Konservasi dan pro – rakyat b. SDA yang diatur : Unsur – unsur hayati dialam yang terdiri dari sumber daya alam nabati dan sumberdaya hewani yang bersama dengan unsur non hayati disekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem a. Visi dan Misi : Konservasi dan pro – rakyat b. SDA yang diatur : Lingkungan hidup yang meliputi ruang dengan segala isinya a. Visi dan Misi : Perimbangan eksploitasi dan konservasi namun lebih cenderung ekploitasi, lebih pro – kapital daripada pro – rakyat b. SDA yang diatur : Kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumbedaya alam hayati yang didominasi pepohinan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidk dapat dipisahkan. Kawasan hutan dikelompokkan sebagai kawasan lindung dan kawasan hutan produksi a. Visi dan Misi : Ekspoitasi dan pro-kapital b. SDA yang diatur : Cadangan minyak bumi Cadangan gas bumi a. Visi dan Misi : Eksploitasi dan pro – kapital b. SDA yang diatur (sistem panas bumi) : Energi panas dan/atau fluida yang ditambang Mineral ikutan a. Visi dan Misi : Konservasi dan Ekspoitasi, fungsi sosial dan ada kecenderungan pro – kapital b. SDA yang diatur : Air (air permukaan, air tanah, air hujan air laut yang berada didarat) Sumber Air Daya Air a. Visi dan Misi : Eksploitasi, pro-kapital meskipun ada perhatian terhadap untuk nelayan kecil. b. SDA yang diatur : segala jenis organisme yang sebagian atau seluruh siklus hiduonya berada dalam lingkungan perairan a. Visi dan Misi : Konservasi dan pro – rakyat b. SDA yang diatur : Ruang yang meliputi ruang darat, alut dan udara, termasuk ruang didalam bumi a. Visi dan Misi : Konservasi dan eksploitasi, pro – rakyat tetapi juga pro – kapital b. SDA yang diatur : Semua sumberdaya (hayati, non hayati; buatan dan jasa – jasa lingkungan) yang terdapat diwilayah pesisir dan pulau – pulau kecil Batas wilayah : kearah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan kearah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai.
Sumber : dikutip dari Soemardjono et al, 2009
tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berakhir dengan penandatanganan Berita Acara Tata Batas yang mensyaratkan keterlibatan penuh masyarakat di sekitar/dalam kawasan hutan.
82
Kondisi yang sedemikian rupa tersebut akan terlihat jelas bila dilihat dari tingkat perkembangan ekonomi warga berdasarkan letak desa. Pada Tabel 6.2 terlihat bahwa, seluruh desa (7 desa) yang terletak dalam kawasan hutan merupakan desa miskin sedangkan 91 desa (80,53%) dari 113 desa yang terletak di tepi/sekitar kawasan hutan masuk dalam kategori desa miskin. Besaran persentase desa miskin menurut letak desa sebagaimana disebutkan sebelumnya dapat dijadikan indikasi bahwa asumsi “menetes ke bawah” dari penerapan model penguasahaan lahan oleh perusahaan (padat modal) perkebunan atau kehutanan di daerah pedesaan yang diduga akan mendorong peningkatan kesejahteraan pada penduduk desa tidak terjadi demikian adanya. Kondisi yang justru tercipta adalah persoalan kemiskinan yang terus hadir dalam masyarakat pedesaan agraris di dataran tinggi ditengah-tengah keberadaan perusahaan besar perkebunan dan kehutanan di sekitar lahan garapan mereka. Tabel 6.2. Tingkat Perkembangan Ekonomi Warga Berdasarkan Letak Desa Tingkat Keberdayaan Ekonomi Warga Letak Desa/Kelurahan (LDK) Rendah (Miskin) Tinggi (Sejahtera) Dalam kawasan hutan
Tepi/sekitar kawasan hutan
Luar kawasan hutan
Total
Total
Count (desa)
7
0
7
% within LDK
100,00
0,00
100,00
% of Total
1,65
0,00
1,65
Count (desa)
91
22
113
% within LDK
80,53
19,47
100,00
% of Total
21,46
5,19
26,65
Count (desa)
165
139
304
% within LDK
54,28
45,72
100,00
% of Total
38,92
32,78
71,70
Count (desa)
263
161
424
% of Total
62,03
37,97
100,00
Sumber: diolah dari data Potensi Desa Kabupaten Garut Tahun 2008
Mengutip pendapat Beckford, White (1990) mengungkapkan, perkebunan (plantation) atau perusahaan kehutanan besar (agro-industri) merupakan penyebab utama keterbelakangan dan kemiskinan kronis (persistent poverty) karena dalam bentuk klasiknya ditandai oleh : 1) tingkat upah yang sangat rendah dibanding apa yang berlaku pada sektor-sektor lain (tidak menimbulkan consumption/demand lingkages yang berarti dengan sektor-sektor lain); 2) adanya sistem produksi, pengolahan dan pengemasan yang terintegrasi vertikal, sehingga hanya sedikit
83
membutuhkan masukan dari unsur-unsur luar (kurang memiliki production lingkages dengan ekonomi sekitarnya) dan; 3) karena bentuk pemilikannya, menunjukkan pembocoran (leakage) dimana keuntungan (surplus) keluar dari perekonomian lokal sehingga baik perkebunan yang modern dan serba efisien pun tetap tidak akan mendukung pengembangan serta akumulasi pada wilayah dimana perkebunan berada. Sebagai ilustrasi kondisi upah buruh perkebunan, seorang tenaga pendamping yang turut serta melakukan advokasi pendudukan lahan pada tahun 1999 di areal perkebunan teh PTPN VIII Dayeuh Manggung, Kecamatan Cilawu Kabupaten Garut, menuturkan ; “Dalam sebulan, seorang buruh pemetik pucuk daun teh ratarata bekerja selama 26 hari. Dalam seminggu dirinya harus bekerja dari hari Senin hingga Sabtu dimana hari Minggu adalah hari libur. Dalam sehari bekerja, rata-rata dirinya mampu memetik 10-15 kilo. Oleh perusahaan, upah yang diberikan berdasarkan timbangan pucuk teh yang berhasil dipetik buruh. Besarnya upah per kilo sebesar 400 perak. Jika dihitung, kisaran pendapatan seorang buruh pemetik pucuk teh, adalah 15 kilo x 26 hari x 400 rupiah. Sehingga dalam sebulan seorang buruh pemetik teh berpenghasilan 156 ribu per orang” 31 Berbagai uaraian sebelumnya, maka pada bagian selanjutnya akan mengulas lebih jauh mengenai proses marginalisasi petani yang dialami oleh petani di dua lokasi akibat kebijakan negara yang menyebabkan konflik baik vertikal maupun horizontal serta banyak warga pedesaan kehilangan hak untuk bercocok tanam sebagai produsen bebas dan kehilangan akses ke sumber daya alam yang sebelumnya diakses semua orang.
6.2. Riwayat Marginalisasi Petani Desa Dangiang Sebagai masyarakat agraris, pola dan bentuk penguasaan lahan sangat menentukan kondisi kemiskinan rumahtangga petani. Seperti halnya dengan masyarakat pedesaan disekitar hamparan Cikuray, kecamatan Cilawu, sebelum tahun 1972 mayoritas warga merupakan petani yang menggarap di areal 31
Hasil wawancara dengan Yn pada tanggal 14 September 2009
84
kehutanan hamparan Cikuray. Namun pada tahun 1972, terjadi perubahan situasi dengan masuknya perkebunan teh PTPN VIII Dayeuh Manggung yang menyebabkan warga harus meninggalkan areal garapan yang menjadi sumber nafkah utama mereka dan hanya beberapa persen saja yang masih menggarap di areal kehutanan namun lebih masuk ke areal hutan yang lebih tinggi. Kondisi ini kemudian menghadapkan petani pada persoalan kemiskinan akibat hilangnya kuasa mereka atas lahan garapan. Tabel 6.3. Sejarah Akses dan Kontrol Lahan Perkebunan di Desa Dangiang Waktu Peristiwa 1940 Masyarakat menggarap tanah yang pada saat itu dikelola oleh kehutanan 1972/74 HGU PTPN Nusantara VIII 1974-1997 Masyarakat keluar dari lahan garapan. Akibatnya, 80% penduduk laki-laki migrasi ke kota seperti Jakarta mencari nafkah sebagai penjual golok, pedagang makanan keliling, buruh bangunan, buruh pabrik kerupuk serta pengrajin dompet dan ikat pinggang kulit, dan sebagainya. 1997 Masa HGU PTPN VIII habis. Krisis ekonomi menyebabkan penghidupan di kota semakin sulit. Warga di perantauan kembali ke desa. 1998 Beberapa warga desa (sekitar 77 kk) dari desa Mekarmukti dan Sukamukti mulai menggarap kembali lahan terlantar di areal perkebunan. Pihak PTPN Nusantara VIII bersepakat dengan warga dengan memberikan izin kepada petani untuk menggrap lahan tidur dengan sewa garap selama 6 bulan dan diwajibkan untuk membayar sewa kepada pihak PTPN Nusantara VIII 29 Juni 1999 PTPN Nusantara VIII membatalkan perjanjian tersebut secara sepihak dengan menutup lahan tersebut dan menancapkan tapal batas bahwa lahan tersebut tidak boleh digarap 13 Juli 1999 Masyarakat Sukamukti bersama dengan mahasiswa melakukan pertemuan dengan beberapa aparat militer dari koramil setempat 14 Juli 1999 Masyarakat di desa Sukamukti mendapat panggilan dari dari koramil yang tujuannya untuk segera membuat proposal permohonan penggarapan 29 Januari 2000 Petani penggarap diserbu oleh preman yang dikondisikan oleh pihak PTPN Nusantara VIII 19 Juli 2000 Petani penggarap mendatangi DPR/MPR 3-5 Oktober 2000 Pihak Dalmas Polres Garut mendatangi petani penggarap untuk melakukan pengamanan, karena petani tetap bersikeras untuk menggarap lahan tersebut. Petani penggarap karena kesal terhadap Dalmas Polres Garut, dengan cara dialog dan adu argumentasi yang panjang berhasil mengusir Dalmas Polres Garut
Hilangnya kuasa atas lahan dan tidak tersedianya sumber pekerjaan yang ada di desa mendorong sekitar 80 persen laki-laki harus migrasi ke kota seperti Jakarta untuk bekerja sebagi penjual golok, pedagang makanan keliling, buruh bangunan dan buruh pabrik kerupuk serta kerajinan kulit sementara yang tersisa di
85
desa mayoritas hanya perempuan yang bekerja sebagai buruh tani di dalam maupun di luar desa. Situasi sedemikian rupa ini kemudian turut menjadi penggalan riwayat hidup salah seorang petani perempuan warga Dangiang yang menuturkan, “Saleresna mah nyeri upami dicarioskeun teh, sok kainget – inget jaman kapungkur, abdi harita upami buburuh nutu 5 geugeus kengingna saeunan (satengah geugeus) buburuhna ti enjing – enjing dugi ka jam 4 sore, abdi didamel di jalmi – jalmi anu gaduh masih di Dangiang keneh, kitu oge upami buburuh gacong bayaranana 10 kilo, 9 kilona ka nu gaduh serangna, kaluarna kangge abdi sakilo, harita harita harga beas mung 250 perak, tah upami buburuh ngored titabuh tujuh dugi ka tabuh 12 teh mung diburuhan 3 cuntang/cangkir”. (Sebenarnya sakit bila kembali menceritakannya, selalu teringat pada masa dulu, waktu itu kalau saya menjadi buruh tumbuk padi 5 ikat, upahnya setengah ikat, bekerja menjadi buruhnya dari pagi-pagi sampai jam empat sore, saya bekerja pada orang-orang berada di Dangiang, begitu juga kalau menjadi buruh petik padi bayarannya 10 kilo, 9 kilo untuk yang punya sawah, keluarnya untuk saya satu kilo, waktu itu harga beras hanya 250 perak, kalau menjadi buruh ngored dari jam tujuh sampai jam 12 hanya diberi upah 3 cangkir beras”). 32 Hingga pada tahun 97 saat terjadi krisis moneter, harga sembako makin mahal dan kehidupan di Jakarta pun semakin sulit tidak menentu menyebabkan mereka memutuskan untuk kembali lagi ke kampung. Setelah kembali ke kampung halaman, muncul keinginan mereka untuk menggarap kembali lahan yang ditinggalkan akibat masuknya perkebunan. 33 Sebagaimana yang dituturkan oleh salah satu koordinator SPP Wilayah Garut yang merupakan salahsatu dari 7 (tujuah) orang warga Dangiang yang menjadi perintis pendirian OTL SPP Dangiang. “Sejak tahun 82’ saya sudah merantau. Di desa tidak ada lapangan pekerjaan. Sebelum reclaiming tahun 98’, warga sebagian besar menjadi buruh tani sawah di luar desa yang mayoritas perempuan. Mereka menawarkan tenaga kepada yang punya tanah untuk mengolah lahannya. Yang punya tanah milik (jami) di desa hanya sekitar 25%. Jika punya 0,5 ha itu sudah orang kaya. Ada juga warga yang keluar desa untuk dagang dan jadi buruh di kota. Pada 32
Catatan hasil wawancara Nisa dengan teh Onih (39 tahun) dalam acara Diskusi Wawancara pada 12 September 2004 di Dangiang. 33
Hasil wawancara pada tanggal 10 September 2009
86
saat krismon tahun 97-98, ekonomi sedang sulit sehingga banyak yang di PHK. Ketika kena PHK mereka pulang kampung namun tidak ada yang bisa dikerjakan dan digarap. Lalu beberapa warga masuk ke areal perkebunan HGU untuk menggarap lahan. Waktu itu, beberapa orang menebang ratusan pohon teh untuk dijadikan lahan garapan. Kami harus kejar-kejaran dengan pihak perkebunan, preman yang disewa perkebunan hingga aparat keamanan (brimob). Pada akhirnya, terbentuklah SPP yang awalnya jumlah anggota di desa dangiang hanya 7 orang. Setelah berhasil mendapatkan lahan garapan, kehidupan ekonomi warga meningkat..”34 Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, kehadiran negara melalui kebijakan pengurusan wilayah hutan di Jawa pada umumnya dan khususnya Jawa Barat yang berada di daerah perbukitan dan pegunungan turut menyertakan hakhak istimewa kepada pihak perusahaan perkebunan teh, kopi, dan sebagainya. Adapun hubungan yang sah antara warga desa desa dengan pihak penguasa kehutanan tersalurkan dalam bentuk ikatan buruh tumpang sari atau buruh biasa kehutanan dimana kondisi yang demikian ini sebagian banyak tak berbeda dengan perkebunan besar. Sehingga tidak mengherankan, petani di lapisan bawah (petani gurem dan buruh tani) yang paling sering memanfaatkan peluang pekerjaan di hutan (Sajogyo, 1973). Lewat
pengamatannya
di
wilayah
Cibodas,
Sajogyo
(1976)
mengungkapkan, pra-kemerdeakaan 1945 pelepasan desa dari wilayah hutan yang dikuasai pemerintah khususnya di Jawa Barat telah berlangsung baik lewat aturan tanam paksa komoditas ekspor seperti kopi yang berakhir pada tahun 1915 maupun yang diperkuat oleh UU, patok-patok batas dan polisi kehutanan. Dengan demikian, masuknya usaha perkebunan telah berdampak kepada proses penyingkiran petani dari kuasa atas alat produksi utama yakni lahan dan secara langsung menghadapkan petani pada persoalan kemiskinan. Seperti yang dikisahkan Pak Impid (60 tahun), salah seorang penggarap di Blok Ciledug Dangiang merupakan bagian dari kesaksian dari puluhan orang lainnya yang tersingkir atas klaim sepihak negara. “Pengusiran kembali deui aya upami kai tos 5 tahun, ngantosan sapuluh tahun, dibabad ku kahutanan, lowong deui, tos kitu garapan tiasa digarap deui, pokokna selang na 5 sampai 10 34
Hasil wawancara pada tanggal 10 September 2009
87
tahun, kieu yeuh… tahun ieui kai ditebang, teras masyarakat diijinan ngagarap bari kedah ngagaleuh bibit ti Kahutanan, teras dipelakkeun bari dipiara, tah urang tiasa tumpangsari, ngagarapna dugi ka 5 tahun, saatosna kitu mah masyarakat diusir deui dugi ka teu tiasa pisan ngagarap sapanjang 10 tahun dugi ka 15 tahun, teras kitu…., nu ngusirna Mantri Kahutanan sareng Lurah oge BOMD, Bintara Onder Distrik Militer, harita mah sanes kerjasama sareng kepolisian nanging BOMD”, (Pengusiran kembali lagi kalau pohon kayu sudah berumur 5 tahun, menunggu sampai 10 tahun dibabad oleh Kehutanan, kosong kembali, setelah itu garapan bisa digarap lagi, pokoknya berselang 5 sampai 10 tahun, begini… tahun ini ditebang, terus masyarakat diberi ijin menggarap tapi harus membeli bibit dari Kehutanan, terus ditanam sambil dipelihara, nah kita bisa tumpangsari, menggarapnya sampai lima tahun, setelah itu masyarakat diusir kembali sampai tidak bisa menggarap sama sekali sepanjang 10 sampai 20 tahun. Terus begitu….., yang mengusirnya Mantri Kehutanan dengan Lurah juga BOMD, Bintara Onder Distrik Militer, waktu itu tidak bekerjasama dengan kepolisian namun BOMD) 35 5.3. Riwayat Marginalisasi Petani Desa Sukatani Bila di desa Dangiang (hamparan Cikuray) proses marginalisasi atau pelepasan petani dari lahan garapan di era tahun 70-an ditenggarai oleh penetrasi perusahaan perkebunan teh negara, di desa Sukatani (hamparan Papandayan) proses tersebut akibat penerapan model pengelolaan hutan dan hasil hutan yang berbasis pada pertumbuhan ekonomi oleh perusahaan kehutanan negara yakni Perhutani. Seperti yang diungkapkan Pellusso (2008), penguasaan negara atas kawasan hutan dan hasil hutan adalah demi kemaslahatan yang lebih luas kelak akan terus merasuki kebijakan kehutanan Indonesia, lama sesudah Belanda angkat kaki dari Indonesia.36
35
Hasil catatan proses Nissa Wargadipura pada Diskusi Penyelidikan Platform Serikat Petani Pasundan (SPP) pada tanggal 28 Agustus 2004 di OTL Dangiang Cilawu Garut. 36
Menjelang akhir abad ke 19, sebuah konsep pengelolaan hutan yang berkelanjutan oleh negara – dan demi keuntungan negara sendiri – mulai mempengaruhi para pengelola hutan-hutan Jawa sementara konsep ini memapankan diri di negeri-negeri lain. Dinas Kehutanan, yang berawal sebagai perusahaan produksi, mengembangkan perannya selaku pelindung dengan memperluas kegiatan pengawasan dan memformalkan suatu ideologi yang baru muncul, yakni konservasi oleh negara. Undang-undang Kehutanan Tahun 1927 adalah kulminasi dari setengah abad kegiatan “coba dan ralat”. Undang-undang itu mewakili penegakan suatu ideologi legitimasi negara untuk menguasai seperempat luasan tanah pulau Jawa” (Pelusso, 2008)
88
Dari lintasan sejarah penguasaan lahan desa Sukatani, selain telah menyebabkan petani terlepas dari sarana produksi utama, masuknya Perhutani telah mendorong terjadinya konsentrasi penguasaan lahan (diferensiasi agraris) di areal kehutanan yang berpusat pada sekelompok elite desa yang notabene juga merupakan sumber permodalan di desa sementara mayoritas warga lainnya (golongan ekonomi lemah) bersandar dari kegiatan berburuh tani pada elite-elite tersebut. Sebagaimana penuturan salah seorang pimpinan OTL Sukatani yang pada tahun 2003 dirinya menjadi petugas sensus pertanian di tiga blok desa Sukatani, “75 persen petani disini (desa Sukatani) tidak memiliki lahan garapan”. Hal yang sama juga dituturkan oleh salah seorang warga yang menyatakan,37 “Sebagian besar penduduk Kiara Rungkad bekerja sebagai petani. Beberapa menjadi pedagang, bahkan ada yang menjadi bandar. Pada masa sebelum pendudukan petani di tanah Perhutani, banyak warga hanya menjadi buruh tani. Beberapa mempunyai tanah dengan luasan yang sangat sedikit sehingga mereka melakukan aktivitas pertanian bukan di tanah milik sendiri. Saat ini, bertani dilakukan sendiri di lahan hutan. Di kampung Karikil, ada petani yang memiliki tanah hingga 10 ha. Kepemilikan lahan paling luas adalah H. Furqon dengan luas 10 ha. pemilik dengan luasan di bawah 10 ha adalah H. Ule, H.Ayat, H.Udung, dan H. Adang”. Pada tahun 2004, tepatnya pasca operasi Wanalaga Lodaya di sekitar kaki gunung Papandayan, relasi buruh upahan-tuan tanah pun turut berubah seiring insiatif pendudukan lahan oleh warga dan hadirnya organisasi gerakan tani lokal (OTL) SPP. Warga yang dahulu menjadi buruh harian para petani kaya kini menjadi petani penggarap yang tergabung dalam organisasi tani lokal SPP di areal kehutanan. Kondisi ini kemudian turut mempengaruhi kondisi kemampuan sosial ekonomi warga. Sementara para tuan tanah kemudian tergabung dalam kelompok PHBM bentukan PT. Perhutani. Pada perjalanannya, tidak mengherankan bahwa terjadi ketegangan antara petani yang tergabung dalam SPP yang menolak PHBM dan petani yang tergabung dalam PHBM yang sebelum operasi Walaga Lodaya merupakan kelompok petani lapisan atas yang mengusai mayoritas lahan garapan di areal 37
Hasil wawancara tanggal 14 September 2009 di desa Sukatani.
89
kehutanan. Ketegangan ini paling tidak didasari oleh dua hal yakni, Pertama, para tuan tanah (petani lapisan atas) yang harus kehilangan lahan garapan mereka yang cukup luas. Kedua, mereka pun (para tuan tanah) hasus kehilangan para pekerja mereka yang kini menjadi petani mandiri. Menurut informasi dari kang Abed (40), ketua OTL SPP desa Sukatani : “...Penguasaan lahan-lahan kehutanan terkonsentrasi pada elite-elite desa yang mempunyai areal garapan luas di kawasan hutan Perhutani. Sementara warga miskin desa bekerja sebagai tenaga kerja upahan pada elit-elit desa tersebut. Pada tahun 2003, melalui surat edaran Pemerintah Provinsi Jawa Barat No. 522 tentang tentang pelarangan tumpang sari serta mengelar Operasi Wanalaga Lodaya yaitu sebuah operasi terpadu yang melibatkan semua instansi untuk mengeluarkan penggarap di kawasan hutan lindung di kaki gunung Papandayan membuat para elite desa dan yang menguasai lahan garapan luas di areal Perhutani beserta para buruh tani harus meninggalkan lahan garapan mereka karena perasaan takut meskipun operasi tersebut tidak dilakukan di desa Sukatani melainkan di desa tetangga, desa Sarimukti. Pasca operasi itu, kehidupan masyarakat semakin sulit, tidak hanya buruh tani dan tukang ojek yang kehilangan pekerjaan, para bandar sayuran pun mengalami banyak kerugian bahkan hampir tutup (bangkrut). Beberapa bulan setelah operasi tersebut, warga yang dahulunya buruh tani pada tuan tanah masuk kembali ke areal garapan yang telah ditinggal oleh para tuan tanah. Jadi sebelum ada SPP, warga sudah mulai masuk ke daerah Perhutani. Sementara para tuan tanah tidak berani kembali. Saat ini, para buruh tani (orang miskin) sudah punya lahan dan tergabung dalam SPP. Sementara para tuan tanah akhirnya dapat kembali menggarap akan tetapi tergabung dalam PHBM. Secara organisasi, SPP menolak ikut dalam PHBM” Dari berbagai paparan riwayat penguasaan lahan di desa Sukatani tampak bahwa, akibat hadirnya kebijakan negara dalam mengatur pengelolaan wilayah hutan dan hasil hutan dengan mengukuhkan keberadaan perusahaan negara berdampak pada pergeseran penguasaan alat produksi utama petani dan ketenagakerjaan di desa. Pelluso (2008) mengungkapkan, sarana-sarana penguasaan atas tenaga kerja berproses dan bergeser terus sejak abad ke 17 hingga abad ke 20, dari persewaan hak memanen hutan dan hak menggunakan tenaga kerja penduduk hutan, lalu ke kewajiban menyetor kayu, ke pertukaran jasa kerja
90
dengan pembayaran sewa tanah, sampai dengan peningkatan pungutan pajak dan pengaturan kerja upahan di hutan. Akibatnya, Pelluso (2008) menegaskan, “......penduduk desa tidak dapat lagi melarikan diri dari beratnya kehidupan ke bagian-bagian yang jauh dan terpencil di dalam hutan, terlebih karena semakin hilangnya tempat yang jauh dan terpencil di dalam hutan. Penduduk desa mengandalkan cara sembunyi untuk memperoleh bahan bangunan dan bahan untuk memasak makanan; ada yang menerima petak kecil lahan peremajaan hutan untuk digarap sebagai pertanian sementara. Para pencocok tanam pedesaan yang bekerja di hutan menyubsidi investasi kehutanan negara dengan menghasilkan sendiri pangan mereka, entah itu dari tanah mereka sendiri atau dari petak-petak reforestrasi (reboisasi) yang dapat mereka akses untuk sementara waktu.” Semakin kokohnya kebijakan penguasaan negara atas kawasan hutan dan hasil hutan turut mendorong proses diferensiasi polar di tingkat desa. Kasus desa Sukatani menunjukkan bahwa kehadiran Perhutani telah mendorong terjadinya konsentrasi penguasaan lahan (diferensiasi agraris) di areal kehutanan yang berpusat pada sekelompok elite desa yang notabene juga merupakan sumber permodalan di desa sementara mayoritas warga lainnya (golongan ekonomi lemah) bersandar dari kegiatan berburuh tani pada elite-elite tersebut. Bahkan tidak jarang, kesempatan istimewa lapisan atas di desa dalam mengolah sepetak lahan di kawasan kehutanan diperoleh oleh kemampuannya dalam membangun komitmen atau kesepakatan-kesepakatan informal dengan petugas kehutanan di lapangan. Wacana dan praktek yang sedemikian rupa tersebut terus dipertahankan dan diperbaharui melalui pembentukan kelembagaan baru atas dasar kolaborasi atau kemitraan antara Perhutani dan warga. PHBM merupakan salah satu contoh dimana selain mengukuhkan keberadaan negara atas ruang hidup masyarakat di dekitar hutan juga merupakan saluran akses bagi lapisan atas dalam mengelola kawasan hutan dengan kewajiban-kewajiban tertentu yang melekat. 38
38
Pada praktiknya, antara mereka yang ikut program PHBM dan anggota SPP tidak bisa dibedakan dalam hal pelaksanaan usahataninya yakni pola pertanian hortikultur intensif yaitu tanaman kentang serta menanam pohon berjangka pendek (5-7 tahun).
91
Tabel 6.4. Sejarah Akses dan Kontrol Lahan Kehutanan di Desa Sukatani Waktu Peristiwa 1905 Pemerintah kolonial memperlebar penguasaan lahan di blok Mansur, Kirtil, Pasangrahan, Kamper dan Kiara Jigang dengan alasan masyarakat tidak mampu membayar pajak tanah. Akhirnya areal tersebut dengan oleh warga. Setelah menguasai areal kelola warga, Belanda menetapkan tanah tersebut dijadikan areal perkebunan murben yang dikelola oleh Jawatan Kehutanan Belanda. Meskipun lahan tersebut telah dikuasai oleh pihak Belanda, warga mencari areal-areal lain yang di terlantarkan oleh onderneming menjadi areal kelola warga. Pisang, singkong, dan umbi-umbian lainnya menjadi tanaman warga untuk memenuhi kebutuhan hidup. 1950 Masyarakat (50 kk) mulai menggarap kembali lahan seluas 50 ha dan ditanami dengan tanaman sayur-mayur. 1955 Meletusnya pemberontakan DII/TII menyebabkan masyarakat harus meninggalkan lahan garapannya kembali karena perasaan takut. Saat itu, ada sebagian warga yang dijadikan pasukan pager betis dengan alasan menjaga keamanan kampung. Setelah tahun 1960, warga kembali mengelola areal yang telah ditinggalkannya. 1973 Perhutani masuk dan menguasai areal di blok-blok tersebut. Di areal tersebut ditanami tanaman pinus dan rasamala dengan melibatkan masyarakat sekitar dalam penanaman tanpa ada upah. Masyarakat kembali mengelola lahan yang pernah mereka garap dan menanam tanaman pohon setelah ada kompensasi dari Perhutani. Masyarakat 1985 Pohon-pohon rasamala dan pinus yang ditanam warga dan telah siap tebang ditebang oleh Perhutani/Polisi Hutan secara sepihak. Warga tidak bisa berbuat apa-apa. Bagi warga yang menolak atau protes akan dituduh antek-antek PKI dan melawan hukum negara. 1986-1998 Awal tahun 1986 masyarakat mulai memanfaatkan kembali lahan yang sudah tidak ada kayunya seluas +150 ha dengan ditanami tanaman sayur-mayur. Oleh Perhutani, selain menggarap masyarakat juga dibebankan untuk menanam pinus ditiap garapan masing–masing dengan bibit yang harus dibeli dari Perhutani. Apabila petani tidak melaksanakan intruksi tersebut maka garapannya akan dicabut dan diklaim ilegal. Jangka waktu menggarap dibatasi antara 2-3 tahun setelah itu pengarap harus keluar dari lahan garapannya. Bagi petani kaya di desa dapat keleluasaan menggarap lahan di areal Perhutani dengan melakukan transaksi jual beli garapan dengan pihak Perhutani serta harus menyerahkan beberapa hasil panen mereka kepada mandor.praktek jual beli lahan di areal hutan produksi berlangsung hingga tahun 1998. 1999-2002 Masyarakat kembali menggarap lahan yang dulunya pernah menjadi lahan garapan mereka yaitu di Blok Mansur, Kirikil, Pasangrahan, Kamper dan Kiara Jigjag seluas 150 ha. 2003 Pada bulan Juli pemerintah Provinsi Jawa Barat mengeluarkan Surat Edaran Gubernur No. 522 tentang pelarangan tumpang sari serta mengelar Operasi Wanalaga Lodaya yaitu sebuah operasi terpadu yang melibatkan semua instansi untuk mengeluarkan penggarap di kawasan hutan lindung di kaki gunung Papandayan. Meski operasi tersebut dilakukan di desa tetangga yakni desa Sarimukti, akan tetapi operasi tersebut menyebabkan rasa takut petani (tuan tanah dan buruh tani) sehingga mereka keluar dari areal garapan mereka. 2004 Dampak operasi Wanalaga Lodaya banyak masyarakat yang kehilangan mata pencaharaian seperti buruh tani, petani gurem, tukang ojek, dan lain-lain yang mengatung diri pada tanah kehutananan yang dulunya tanah masyarakat. Beberapa bulan pasca operasi Wanalaga Lodaya, warga yang dulunya menggarap milik tuan tanah masuk kembali ke lahan garapan menjadi petani yang menguasai lahan yang ditinggalkan para tuan tanah. Mei tahun 2004 masyarakat desa hutan diwilayah papandayan dan cikuray termasuk Desa Sukatani mengadakan audensi dengan para pihak di kabupaten garut guna membahas tentang penyelesain konflik hutan di Garut dan penanganan paska Operasi Wanalaga Lodaya untuk masyarakat yang terkena dampak operasi tersebut.
92
6.4. Ikhtisar Hadirnya bentuk-bentuk penguasaan terhadap sumber-sumber agraria baik oleh negara maupun swasta di areal perkebunan dan kehutanan yang beriringan dengan proses pelepasan akses dan kontrol (enclosure) petani terhadap lahan garapan menjadi salahsatu ciri pertanian di dataran tinggi Kabupaten Garut. Pada prakteknya, hadirnya perusahaan perkebunan dan kehutanan bermodal besar (negara dan swasta) telah berhasil menggeser pola-pola ekonomi skala rumah tangga petani (satuan ekonomi terkecil) di pedesaan menjadi tenaga kerja upahan lepas. Bentuk-bentuk penguasaan tersebut tentu saja tidak dapat dilepaskan dari lintasan sejarah panjang kolonialisme, industrialisasi Eropa dan modernisasi di Indonesia. Kondisi yang sedemikian rupa tersebut akan terlihat jelas bila dilihat dari tingkat perkembangan ekonomi warga berdasarkan letak desa dimana seluruh desa (7 desa) yang terletak dalam kawasan hutan merupakan desa miskin sedangkan 91 desa (80,53%) dari 113 desa yang terletak di tepi/sekitar kawasan hutan masuk dalam kategori desa miskin. Dengan demikian, besaran persentase desa miskin menurut letak desa sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dapat dijadikan indikasi bahwa asumsi “menetes ke bawah” dari penerapan model penguasahaan lahan oleh perusahaan (padat modal) perkebunan atau kehutanan di daerah pedesaan yang diduga akan mendorong peningkatan kesejahteraan pada penduduk desa tidak terjadi demikian adanya. Kondisi yang justru tercipta adalah persoalan kemiskinan yang terus hadir dalam masyarakat pedesaan agraris di dataran tinggi ditengah-tengah keberadaan perusahaan besar perkebunan dan kehutanan di sekitar lahan garapan mereka. Meskipun terdapat perbedaan ciri dan ukuran kemiskinan antara petani di desa Dangiang dan Sukatani namun dalam konteks proses marginalisasi petani dari alat-alat produksi utama (lahan garapan) menunjukkan pola yang sama, yakni pelepasan atau pemisahan petani dari alat produksi utama (tanah) menjadi buruh tani upahan, pemasok tenaga buruh murah industri serta pekerja sektor informal perkotaan akibat masuknya (penetrasi) perusahaan perkebunan dan kehutanan ke pedesaan yang mengabaikan riwayat penguasan lahan oleh warga yang telah turun-temurun.
93
Jika di desa Dangiang pola pelepasan petani dari alat produksi akibat masuknya perusahaan perkebunan negara yang diwakili oleh PTPN VIII Dayeuh Manggung, di desa Sukatani proses ini diakibatkan oleh masuknya perusahaan kehutanan negara yang diwakili oleh Perhutani. Semakin kokohnya kebijakan penguasaan negara atas kawasan hutan dan hasil hutan turut mendorong proses diferensiasi polar di tingkat desa. Kasus desa Sukatani menunjukkan bahwa kehadiran Perhutani telah mendorong terjadinya konsentrasi penguasaan lahan (diferensiasi agraris) di areal kehutanan yang berpusat pada sekelompok elite desa yang notabene juga merupakan sumber permodalan di desa sementara mayoritas warga lainnya (golongan ekonomi lemah) bersandar dari kegiatan berburuh tani pada elite-elite tersebut. Bahkan tidak jarang, kesempatan istimewa lapisan atas desa dalam mengolah sepetak lahan di kawasan kehutanan diperoleh oleh kemampuannya dalam membangun komitmen atau kesepakatan-kesepakatan informal dengan petugas kehutanan di lapangan. Wacana dan praktek yang sedemikian rupa tersebut terus dipertahankan dan diperbaharui melalui pembentukan kelembagaan baru atas dasar kolaborasi atau kemitraan antara Perhutani dan warga. PHBM merupakan salah satu contoh dimana selain mengukuhkan keberadaan negara atas ruang hidup masyarakat di dekitar hutan juga merupakan saluran akses bagi lapisan atas dalam mengelola kawasan hutan dengan kewajiban-kewajiban tertentu yang melekat. Dengan demikian, kemiskinan warga di desa-desa disekitar wilayah perkebunan dan kehutanan bersifat relasional atau sebagai sebuah produk marginalisasi petani melalui kebijakan penguasaan wilayah atau ruang oleh negara. Pada bagian selanjutnya (Bab 7) akan lebih mengupas konteks kemiskinan sebagai sebuah produk marginalisasi yang terus diciptakan dan diperluas dari hubungan-hubungan produksi yang berlaku secara nyata di komunitas.
BAB VII PROSES MARGINALISASI JILID II : AKIBAT POLA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI
7.1. Melacak Jejak Marginalisasi Arus Bawah Kemiskinan dipandang sebagai akibat dari adanya relasi-relasi sosial yang terdapat di suatu masyarakat. Kemiskinan yang demikian ini disebut sebagai kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural turut mengacu pada ketimpanganketimpangan sosial yang telah meresapi struktur dan lembaga-lembaga sosial dan menjelma didalamnya. Persoalan kemiskinan memiliki keterhubungan erat dengan berbagai proses peminggiran sosial (social exclusion) dan marginalisasi yang dialami individu maupun kelompok. (Winangun 2004) Selain berlangsung “dari atas” berkat fasilitasi dan penetrasi ekonomi dari negara (baik negara kolonial maupun pasca kolonial), proses marginalisasi petani juga dapat berlangsung “dari bawah”, yakni melalui relasi-relasi agraris di antara anggota masyarakat sendiri menyangkut perebutan akses dan kontrol atas tanah, modal dan tenaga kerja. Secara singkat, proses akumulasi dari bawah di antara masyarakat sendiri ini pada dasarnya terjadi melalui apa yang disebut sebagai “diferensiasi agraria”. White (1998: 20) mendefinisikan proses diferensiasi agraria ini adalah, “… suatu perubahan yang kumulatif dan permanen dalam berbagai cara di mana kelompok-kelompok yang berbeda di dalam masyarakat desa—dan beberapa di luarnya—mendapatkan akses kepada hasil-hasil dari jerih payah tenaga kerjanya sendiri ataupun orang lain, menurut perbedaan penguasaan mereka atas sumbersumber produksi, dan seringkali … menurut ketimpangan yang kian meningkat dalam hal akses atas tanah.” Deere dan de Janvry (1979) dalam Ellis (1993), menyebutkan tujuh mekanisme yang menjelaskan bagaimana surplus (nilai lebih) yang dihasil petani ditangkap (diserap) oleh pelaku ekonomi (individu, kelompok maupun negara). Ketujuh mekanisme tersebut, tiga diantaranya melalui sewa (via rent), tiga selanjutnya melalui pasar (via market) dan sisanya melalui negara (via state). Adapun ketujuh mekanisme yang dimaksud Deere dan de Janvry (1979) adalah:
96
(1) sewa jasa tenaga kerja (rent in labour service), (2) sewa atas barang (rent in kind), (3) sewa dalam bentuk tunai (rent in cash), (4) perampasan nilai surplus melalui upah (appropriation of surplus value via the wage), (5) perampasan nilai surplus melalui harga (appropriation of surplus value via the prices), (6) perampasan nilai surplus melalui bunga tinggi (appropriation of surplus value via the usury), dan (7) pajak yang dikenakan kepada petani (peasant taxation). (Ellis, 1993) White (2009) menyebutkan, empat proses kunci yang perlu dipahami dalam memahami ektraksi surplus di pedesaan yakni, 1) produksi rumah tangga (home production); 2) produksi tenaga kerja upahan (wage labour production); 3) sirkulasi penawaran dan permintaan (supply and demand circulation); dan 4) reproduksi sosial
dan
diferensiasi
agraris
(reproduction
and
agrarian
differentiation). Lebih lanjut, menurut White (2009), petani bisa terlibat dalam berbagai mekanisme peralihan nilai-lebih kepada pelaku-pelaku lain yang bukan produsen seperti, sewa (sewa kontan; bagi-hasil; wajib kerja), hubungan perupahan, mekanisme nilai-tukar dalam pembelian dan/atau penjualan komoditi, pajak (berupa tanah, uang, natura, dan tenaga kerja), bunga pinjaman (uang, hasil, tenaga kerja). Dengan demikian, memahami bagaimana proses penciptaan kemiskinan sebagai hasil marginalisasi petani di pedesaan dapat ditelusuri dengan mengidentifikasi hubungan-hubungan antar pelaku yang terdapat di komunitas yang mengatur akses dan kontrol terhadap faktor-faktor produksi serta turut menentukan hubungan produksi dan pola distribusi hasil.
7.2. Sumber Kredit dan Ketersediaan Sarana Produksi Di dua lokasi penelitian, sumber kredit dan pemasok sarana produsi pertanian seperti bibit, pupuk dan obat-obatan mayoritas berasal dari para bandarbandar lokal di desa. Bandar-bandar lokal ini pun memiliki hubungan permodalan dan pemasaran dengan bandar-bandar yang lebih besar, baik masih dalam satu desa maupun luar desa. Semakin panjang lintasan aliran kredit, semakin tinggi biaya produksi petani atau semakin rendah harga jual komoditas di petani serta
97
semakin besar tingkat keuntungan yang diperoleh oleh bandar besar. Kondisi yang semacam ini masih terus berlangsung dalam kegiatan pertanian warga di lokasi penelitian.
Terus
dipertahankannya
rute
aliran kredit
pada
praktiknya
menyebabkan surplus yang dihasilkan di beberapa rumah tangga petani dari hasil panen terserap keluar dan terkonsentrasi pada bandar-bandar besar/cukong. Khusus di daerah pertanian tanaman sayuran seperti di Sukatani (hamparan Papandayan), untuk beberapa komoditas seperti tomat, kol dan cabe, keperluan akan bibit, pupuk dan obat-obatan kesemuanya berasal dari bandar atau dengan kata lain, pasokan sarana produksi berada diluar kontrol petani. Dengan demikian, hal ini menyebabkan terjadinya proses akumulasi surplus ke para pihak bandarbandar besar sayuran. Dari pengambilan data 15 rumah tangga contoh, sekitar 73,3% (11 responden) merupakan rumah tangga petani yang setiap musim tanam selalu meminjam ke bandar untuk keperluan bertani. Seperti yang dituturkan kang Unding (31), “Modal yang dibutuhkan untuk tanam tomat sangat besar. 100% keperluan bibit dan pupuk berasal dari (pinjaman) bandar. Jadi kita sangat tergantung dari bandar. Jika tanam yang lain, seperti kentang, petani sudah bisa membibit sendiri. Hasil panen kentang, tidak semuanya dijual tapi ada yang disimpan buat bibit. Yang tidak membutuhkan modal besar, mudah mendapatkan bibit dan perawatannya tidak sulit adalah wortel. Bibit wortel mudah didapat, bisa didapat dari petani sendiri.” Sementara di desa Dangiang dengan komoditas utama tanaman semusim Akar Wangi tidak terlalu banyak berhubungan hutang-piutang dengan pihak pemasok sarana produksi. Hubungan hutang-piutang dalam penyediaan jasa permodalan umumnya terjadi antara pihak bandar (penyuling) dengan cukong minyak. Seperti yang diungkapkan kang Sibir, ketua OTL Dangiang yang pernah menjadi bandar, “Biasanya jika petani butuh uang, dia akan minjam pada bandar lokal. Akan tetapi karena bandar lokal tidak punya uang banyak maka dia akan minjam ke cukong... Yang diharapkan dari sistem tumpang sari akar wangi dengan sayuran adalah dapat mendorong total produksi akar wangi. Misalnya umur akar wangi baru puluhan hari atau mulai tanam butuh pupuk kandang. Tapi kalo ditanam bersama sayuran, berarti kentang diurus apalagi usar (akar
98
wangi) juga terurus. Akhirnya, masalah pengelolaan atau perawatan akar wangi bisa dibilang gratis” Adapun keterhubungan antara petani dengan pihak pemasok sarana produksi disebabkan pola tanam tumpang sari sayuran dan tembakau yang membutuhkan pasokan bibit, pupuk dan obat-obatan untuk beberapa jenis komoditas. Di dua lokasi penelitian, hubungan antar petani dengan bandar lokal diikat oleh hubungan ketetangaan dan hutang-piutang.
7.3. Hubungan Produksi, Jejaring Pemasaran dan Isolasi Pasar Di lokasi penelitian, hubungan permodalan (sumber kredit) dan pemasaran hasil panen sangat menentukan hubungan produksi atas alat-alat produksi. Di Sukatani, pendudukan lahan perhutani oleh warga pasca operasi wanalga lodaya tahun 2003 disusul dengan hadirnya gerakan organisasi tani lokal meski dapat dikatakan berhasil melekatkan kembali petani dengan lahan garapan sehingga dirinya terbebas dari hubungan tenaga upahan dengan para elite desa. Namun demikian hubungan permodalan dan pemasaran dengan elite-elite desa (bandar besar) masih bertahan hingga saat ini. Dalam kaitan ini, melalui hubungan hutangpiutang, petani menjadi tidak bebas dalam menjual dan menentukan harga hasil panennya. Petani di desa Sukatani, terutama di Kampung Kiara Rungkad mengenal Bandar sebagai aktor utama dalam sistem distribusi hasil pertanian. Bandar adalah pengumpul hasil panen sayuran yang merupakan komoditas pertanian utama petani di Desa Sukatani. Bandar dapat sangat mengikat petani dalam satu keluarga. Bisa saja terjadi, dalam satu keluarga yang beberapa anggota keluarganya menjadi petani, menjual hasil panen kepada Bandar yang berbeda. Persaingan antar Bandar dalam mendapatkan mitra demikian luar biasa. Hubungan antara petani dengan Bandar dikenal dengan istilah “hutang haseum”. Ketika musim tanam tiba, petani akan berhutang sarana produksi pertanian dalam bentuk pupuk, obat dan benih dan akan dibayar pada saat panen (yarnen). Siklus pinjaman ini berputar terus menerus sehingga keterikatan antara petani dengan Bandar makin kuat. Akibat dari pinjaman tersebut, petani berkewajiban untuk
99
menjual hasil panen kepada Bandar tempat dimana dia meminjam uang. Berdasarkan skala modal dan kapsitas pembelian, di Sukatani terdapat tiga jenis bandar yakni, 1.
Bandar dengan skala modal kecil atau petani sering menyebutnya dengan istilah calo. Biasanya para calo akan membeli hasil panen petani yang membutuhkan uang cepat. Adapun harga yang ditetapkan relatif jauh dibawah harga yang berlaku di desa. Setelah mendapatkan hasil panen dari petani, para calo kemudian akan menjual kepada bandar sedang atau besar yang masih di dalam desa. Modal para calo biasanya berasal dari para bandar sedang atau besar.
2.
Bandar dengan skala modal sedang. Biasanya para bandar sedang ini akan langsung menjual ke pasar. Berbeda dengan bandar besar, para bandar sedang ini tidak menyediakan pinjaman berupa saprotan (pupuk, bibit dan obat-obatan) melainkan hanya uang.
3.
Bandar dengan skala modal besar. Bandar besar ini merupakan penyedia kredit modal berupa uang bagi para calo dan petani. Selain berperan sebagai pembeli dan penyedia modal, para bandar besar ini juga merupakan para pedagang saprotan yang menyediakan kebutuhan petani akan pupuk, bibit dan obat-obatan dalam bentuk pinjaman.
Umumnya, pada saat panen, mekanisme penjualan yang berlaku adalah Bandar
akan
memberikan
nota
harga
kepada
petani.
Namun
sistem
pembayarannya ditunda hingga komoditas terjual di pasar. Apabila harga yang berlaku di pasar lebih rendah maka Bandar akan membayar sesuai dengan harga pasar dan harga awal yang tertera di nota dianggap tidak berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa petani terisolasi dari penentuan harga secara bebas. Mekanisme ini berbeda dengan cara pembayaran di masa lalu dimana cara yang berlaku adalah, “ada barang, ada uang.” Tidak mengherankan jika realitas yang tampak adalah kondisi kesejahteraan Bandar jauh lebih baik dibanding petani karena mekanisme (cara) demikian ini tidak pernah membuat Bandar merugi. Hubungan antara petani dengan Bandar tertentu tidak mesti berlangsung lama karena apabila hutang sudah dilunasi, petani dapat pindah ke Bandar lain.
100
Gambar 7.1. Pola Distribusi Tanaman Sayuran di Daerah Hamparan Papandayan Ilustrasi Gambar : Di desa Sukatani, terdapat dua sistem penjualan yakni tebasan dan kiloan (1). Pada komoditas yang hasil panen berada dalam tanah seperti kentang, sistem yang berlaku adalah tebasan. Hal ini dikarenakan keyakinan warga bahwa dilarang menjual barang gaib (tidak tampak). Di sukatani terdapat tiga jenis bandar, yakni : calo , bandar sedang dan bandar besar. Pada bandar sedang, hasil panen petani akan langsung dijual ke pasar (3b). Setelah itu akan hasil penjualan di pasar (4a) akan dibayarkan pada petani. Tidak jarang, para bandar sedang merupakan kepanjangan dari bandar besar karena terlibat hubungan permodalan (4b, 5). Begitu halnya dengan calo (2) yang merupakan kepanjangan dari bandar sedang.
Begitu pula halnya yang terjadi di desa Dangiang, meski usaha pendudukan lahan perkebunan oleh warga tahun 1997 disusul dengan hadirnya organisasi gerakan tani lokal telah berhasil merekatkan petani atas lahan garapan namun demikian relasi modal antara petani, bandar lokal dan cukong minyak akar wangi maupun tembakau tidak berubah. Hingga saat ini, petani maupun bandar lokal (pihak penyulingan) tidak mengetahui harga pemasaran minyak akar wangi yang sesungguhnya dengan kata lain, telah terjadi informasi yang tidak simetris antar pelaku ekonomi (A Symetric Information). “Jika harga minyak saat ini 800 dan tumpang sarinya hanya tanaman sayuran, panen per 100 tumbak bisa 5 juta. Pada sistem tebas artinya beli semua, 100 tumbak tersebut milik bandar. Disisakan 20 tumbak untuk bibit si petani namun akarnya tetap milik
101
bandar. Perjanjian antara petani dan bandar lokal adalah saat panen disisakan untuk bibit. Setelah dari bandar dibawa ke penyulingan lalu dibawa ke cukong sudah dalam bentuk minyak. Tapi yang paling jahat adalah cukong. Biasanya, pada bulan 2 atau 3 masa krisis bagi orang yang tidak menanam sayur sehingga petani mau pinjam uang. Biasanya, petani akan meminjam ke bandar lokal atau kadangkadang ke cukong. Kalau sudah terjadi peminjaman seperti itu, baik mau jual tebas atau jula kilo terjadi kelainan harga dalam arti terjadi penurunan harga akar wangi. Jika pada sistem tebas harga akar wangi 100 tumbak mencapai 5 juta, maka ketika ada pinjaman harga akar wangi turun menjadi 4,5 juta per 100 tumbak. Pada sistem kilo, jika harganya 2500/kilo jadi turun 100 rupiah dari 2500 per kilonya.... Pengalaman saya, kalo kita ngambil (pinjam) uang 100 juta maka ada kontrak harga minyak dengan cukong. Misalnya yang sudah-sudah, cukong akan menentukan harga hanya 700 ribu bahkan ada yang dibawah itu. Beda dengan teman saya (kang Mamat), dia tidak pinjam ke cukong untuk biaya penyulingan, jadi bisa jual minyaknya ke cukong seharga 750-800 ribu per kilo, lebih tinggi dibandingkan bandar yang pinjam uang ke cukong. Cukong itu seenaknya saja menentukan harga. Kita kan sebagai bandar lokal atau petani tidak tahu harga minyak yang sesungguhnya. Setelah membeli minyak dari bandar lokal seharga 700 ribu, kita (bandar lokal) tidak ada yang tahu berapa cukong jual minyak itu selanjutnya” (Sbr) Banyak terjadi, akibat hubungan permodalan lewat hutang-piutang tersebut para bandar lokal harus berhenti berusaha menyuling minyak akibat jeratan hutang pada cukong minyak. Hubungan permodalan lewat hutang-piutang, pemasaran hasil panen antara petani dan bandar lokal dan cukong turut menyumbangkan andil terhadap proses pelepasan petani dari alat-alat produksi. Di desa Dangiang, kelembagaan pemasaran Akar Wangi dapat dibagi dua macam, yakni sistem tebasan dan sistem jual per kilo. Pada musim kemarau umumnya petani menginginkan jual Akar Wangi secara sistem tebasan mengingat bobot Akar Wangi yang ringan. Sementara pada musim hujan, petani lebih memilih jual sistem per kilo dikarenakan bobot Akar Wangi yang relatif lebih berat dibandingkan musim kemarau. Bagi petani yang terlibat hutang-piutang, biasanya yang berlaku adalah sistem ijon. Kecuali bagi petani yang memiliki hutang pada bandar lokal, maka sistem yang berlaku adalah tebasan dengan harga yang ditentukan oleh bandar. Di dua desa, pada jenis komoditas yang hasil panen berada dalam tanah seperti akar wangi atau kentang, bagi sebagian warga sistem penjualan yang berlaku adalah hanya kiloan. Hal ini didasarkan keyakinan warga
102
atas ajaran agama, bahwasanya menjual barang yang tidak tampak (gaib) dengan tebasan seperti berjudi. “Misal, petani akan pinjam 1 juta, karena petani yang akan pinjam banyak, si bandar lokal bisa pinjam sama cukong hingga 10 juta tapi syaratnya harga minyak jadi ‘sekian’ atau jadi turun (dibawah harga biasa/standar). Kalo harga minyak jatuh, otomatis si petani pun ikut menjerit, petani tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya, ketika petani ke jual bandar, baik menjual dengan sistem tebas atau jual per kilo ada perbedaan harga atau harganya jadi turun”(Sbr)
Gambar 7.2. Pola Distribusi Tanaman Akar Wangi di Daerah Hamapran Cikuray Ilustrasi Gambar : Di desa Dangiang, terdapat dua sistem penjualan akar wangi yakni tebasan dan kiloan (1/1b). Pada sistem tebasan, bandar lokal akan membawa buruh atau petani akan memakai buruh sendiri (2/2b). Pada sebagian warga, hanya ingin menjual secara kiloan. Hal ini dikarenakan keyakinan warga bahwa dilarang menjual barang gaib (tidak tampak). Namun ada juga petani ingin menjual berdasarkan musim, bila musim hujan ingin dijual secara kiloan atau sebaliknya. Pemasaran akar wangi terbagi menjadi dua, yakni : dijual kepada pengrajin di Jawa sebagai hiasaan (3b) atau disuling (3) terlebih dahulu kemudia dijual ke Cukong (4). Hasil minya yang dibeli dari bandar lokal, selanjutnya akan dikirim ke industri pengolahan. Seluruh bandar lokal yang menjual hasil penyulingan akar wangi terlibat hubungan kredit permodalan dengan Cukong minyak (5/5b)
Pada prakteknya, meskipun kehadiran gerakan tani lokal telah berhasil menguak ketimpangan agraria akibat penetrasi usaha perkebunan dan kehutanan
103
negara, akan tetapi pola relasi permodalan dan pemasaran melalui mekanisme hutang-piutang antara petani, bandar lokal dan cukong yang belum banyak mengalami perubahan mendasar. Hal ini disebabkan salahsatunya karena pada periode-periode awal gerakan bahkan hingga saat ini usaha mengamankan akses lahan garapan (tenure security) dari ancaman pihak perkebunan dan kehutanan masih menjadi arena perjuangan utama. Adapun keberhasilan beberapa anggota organisasi tani lokal menjadi bandar dapat diartikan sebagai pergantian aktor lama oleh aktor baru dalam pola (struktur) produksi dan distribusi lama. Di lain pihak, kepentingan bandar terhadap hubungan tersebut untuk menjaga keuntungan yang diperolehnya dari usaha petani di tanah garapannya. Dengan kata lain, fenomena tersebut dilihat sebagai proses pergantian rejim (pelaku) permodalan dalam suasana (moda) produksi dan distribusi yang lama.
7.4. Proses Diferensiasi dan Penyingkiran Petani Penyingkiran petani dari alat-alat produksi tidak hanya terjadi akibat masuknya perusahaan perkebuanan dan kehutanan. Tingginya kebutuhan atas input produksi (bibit, pupuk dan obat) dan keuntungan yang diperoleh dari pengadaan input produksi dan penjualan hasil panen tersebut menyebabkan antara petani dan bandar saling menjaga hubungan yang tidak setara. Di tingkat petani, hubungan ini diperlukan agar memperoleh akses pinjaman dari bandar baik berupa uang maupun dalam bentuk bibit, pupuk dan obat-obatan. Hal ini dijumpai di beberapa desa dataran tinggi Papandayan. Seperti yang diungkapakan salah satu petani hortikultura desa Cipaganti yang bersebelahan dengan desa Sukatani, “Di desa cuma ada satu bandar, semua petani menjual ke pak Haji. Pak Haji (bandar) tidak pernah memberi pinjaman berupa uang. Kalau ada keperluan mendadak (uang), petani akan menjual pupuk atau obat-obatan sama tetangga. Saat panen, petani harus menjual ke pak Haji. Hasil panen harus dipotong berdasarkan hutang yang dipinjam serta persen dari setiap kilo timbangan untuk diserahkan ke pak Haji. (Kondisi ini) berlangsung tiap musim jadi petani menerima sangat kecil. Dari panen ke panen, banyak petani tidak mampu bayar hutang. Akhirnya, untuk meminjam ke bandar, tidak jarang petani menjaminkan lahan garapannya.” (Yy)
104
Bentuk hubungan antara patron (bandar) dan klien (petani kecil) lewat hubungan hutan-piutang hingga saat ini masih terus berlangsung dan direproduksi yang menyebabkan petani tidak memiliki posisi tawar dalam menentukan harga jual hasil panen. Dengan demikian, relasi ini pada prakteknya menyebabkan pembentukan dan penumpukan (akumulasi) surplus hanya terjadi pada pihak bandar sementara petani menjadi buruh di lahannya sendiri. Tidak jarang, akibat hubungan hutang-pitang semacam ini menyebabkan petani kehilangan lahan garapannya atau petani menjadi buruh di lahan garapannya sendiri. Dengan kata lain, sebagian besar surplus dari hasil produksi diserap oleh pihak cukong melalui harga komoditas. Petani dengan demikian mengalami proses marginalisasi terhadap komoditas yang dihasilkan melalui relasi pertukaran. Kondisi ini telah berlangsung sebelum warga berhasil mendapatkan akses lahan garapan bahkan setelah mendapatkan akses garapan di areal kehutanan. Berbeda dengan komoditas usar (akar wangi), arus kubutuhan akan modal pada budidaya hortikultura relatif cepat, sebagaimana yang diungkapkan salah seorang responden, petani desa Sukatani, “setiap hari uang keluar masuk, ada yang tanam hari ini, besok sudah ada yang panen dan selalu berurusan dengan bandar besar.” Sehingga bagi petani sangat sulit memutus hubungan dengan bandar. “Namun saat ini, masih ada petani di setiap musim panen tidak mampu bayar hutang ke bandar sehingga bandar tidak memberikan pinjaman lagi sementara hutang harus tetap dibayar. Akibatnya, petani sudah tidak dapat mengusahakan lahannya lagi karena sudah tidak punya modal...” Keterjalinan yang sedemikian rupa antara bandar dan petani telah berlangsung lama, sebelum adanya aksi reclaiming warga di lahan kehutanan memungkinkan terjadinya proses pelepasan lahan dari petani ke pihak bandar. Dengan demikian, proses tersebut secara langsung mendorong terjadinya rekonsentrasi penguasaan lahan kepada bandar yang juga merupakan lapisan elite di desa. “Akibat hubungan dengan cukong (Haji Aur), ada warga yang kehilangan lahan garapannya karena menjadi jaminan utang kepada cukong. Ketika seorang petani gagal dan tidak dapat melunasi hutangnya, pihak bandar akan mengenakan bunga pinjaman kepada
105
sisa hutangnya. Apabila petani tersebut tidak mampu membayar sisa hutang ditambah bunga, tanahnya lalu akan dijaminkan kepada cukong. Penyelesaian hutang-piutang bahkan bisa melibatkan pihak aparat polisi. Pak RT, anggota SPP yang berprofesi sebagai bandar lokal dua lahannya telah dijaminkan kepada bandar (cukong) karena tidak mampu bayar hutang.” (Asp)
7.5. Ikhtisar Selain berlangsung “dari atas” berkat fasilitasi dan penetrasi modal dari negara (baik negara kolonial maupun pasca kolonial), proses marginalisasi petani juga dapat berlangsung “dari bawah”, yakni melalui relasi-relasi agraris di antara anggota masyarakat sendiri menyangkut perebutan akses dan kontrol atas tanah, modal dan tenaga kerja. Di dua lokasi studi, penyingkiran (marginalisasi) petani dari alat-alat produksi tidak hanya terjadi akibat masuknya perusahaan perkebuanan dan kehutanan. Tingginya kebutuhan atas input produksi (bibit, pupuk dan obat) dan keuntungan yang diperoleh dari pengadaan input produksi dan penjualan hasil panen tersebut menyebabkan antara petani dan bandar saling menjaga hubungan yang tidak setara tersebut. Di tingkat petani, hubungan baik ini diperlukan agar memperoleh akses pinjaman dari bandar baik berupa uang maupun dalam bentuk bibit, pupuk dan obat-obatan. Di lain pihak, kepentingan bandar terhadap hubungan tersebut untuk menjaga keuntungan yang diperolehnya dari usaha petani di tanah garapannya. Relasi ini pada prakteknya menyebabkan pembentukan dan penumpukan (akumulasi) surplus hanya terjadi pada pihak bandar sementara petani menjadi buruh di lahannya sendiri. Tidak jarang, akibat hubungan hutang-pitang semacam ini menyebabkan petani kehilangan lahan garapannya atau menjadi buruh di lahan garapannya sendiri mengingat surplus dari hasil produksi hampir sebagian besar terserap oleh bandar. Keterjalinan yang sedemikian rupa antara bandar dan petani telah berlangsung lama (sebelum adanya aksi reclaiming warga di lahan kehutanan) memungkinkan terjadinya proses pelepasan lahan dari petani ke pihak bandar atau proses tersebut secara langsung mendorong terjadinya rekonsentrasi penguasaan lahan kepada bandar yang juga merupakan lapisan elite di desa.
106
Adapun keberhasilan beberapa anggota organisasi tani lokal menjadi bandar dapat diartikan sebagai pergantian aktor lama oleh aktor baru dalam pola (struktur) produksi dan distribusi lama. Dengan kata lain, fenomena tersebut dilihat sebagai proses pergantian rejim (pelaku) permodalan dalam suasana (moda) produksi dan distribusi yang lama.
BAB VIII RESPON PETANI DATARAN TINGGI TERHADAP PERSOALAN KEMISKINAN DAN PROSES MARGINALISASI
8.1. Kepastian Hak Garap Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, di dua lokasi penelitian kehadiran perusahaan perkebunan dan kehutanan dilakoni oleh negara yakni, PTPN VIII Dayeuh Manggung di desa Dangiang kecamatan Cilawu (hamparan Cikuray) dan Perhutani di desa Sukatani Kecamatan Cisurupan (hamparan Papandayan) telah menyebabkan warga desa kehilangan kuasa atas tanah garapan yang menjadi basis utama nafkah keluarga. Akibatnya, dihadapkan pada persoalan ketiadaan akses dan pelepasan kuasa atas tanah, mayoritas rumah tangga petani menjadi buruh tani upahan, buruh bangunan dan industri, serta pelaku ekonomi sektor informal di perkotaan. Adapun warga yang masih dapat mengakses lahan kehutanan seperti di desa Sukatani, tidak lain adalah para elite desa (pemodal) yang mampu melakukan perluasan jejaring hingga ke petugas lapang Perhutani. Di desa Dangiang, Kecamatan Cilawu, masuknya perusahaan perkebunan besar yang dalam hal ini perkebunan teh milik PTPN VIII Dayeuh Manggung di era 70-an telah menyebabkan terjadinya proses pelepasan petani dari akses dan kontrol terhadap lahan garapan. Kondisi ini, yakni terlepasnya petani dari lahan garapan berdampak kepada tersingkirnya penduduk dari desa yang kemudian menjadi tenaga kerja upahan sektor industri dan sektor informal di kota. Pasca jatuhnya rejim orde baru yang diawali krisis ekonomi tahun 97, kehadiran aksi pendudukan lahan oleh warga (reclaiming) sebagai bentuk inisiatif yang hadir dari bawah di lahan klaim perusahaan perkebunan merupakan penggalan-penggalan riwayat akses dan kontrol terhadap sumber-sumber agraria di dataran tinggi hamparan Cikuray. Teh Nani sebagai saksi dan pelaku sejarah pendudukan lahan di perkebunan teh milik PTPN menuturkan, “....Sebelum tahun 72, masyarakat di kecamatan Cilawu mayoritas adalah petani yang menggarap di areal kehutanan hamparan Cikuray. Namun pada tahun 72, terjadi perubahan situasi dengan masuknya perkebunan teh PTPN VIII Dayeuh Manggung yang
108
menyebabkan masyarakat terusir dari areal garapan mereka dan sekitar 80% laki-laki harus migrasi ke kota seperti Jakarta bekerja sebagi penjual golok, pedagang makanan keliling, buruh bangunan, buruh pabrik kerupuk serta pengrajin dompet dan ikat pinggang kulit, dan sebagainya. Sehingga sejak saat itu Cilawu terkenal dengan para pedagang goloknya. Mayoritas yang tersisa di desa saat itu hanya perempuan yang bekerja sebagai buruh tani pencabut rumput di luar wilayah Cilawu karena ada larangan mencabut rumput di areal perkebunan dan jika ketahuan maka peralatan tani miliknya akan disita oleh pertugas perkebunan. Hanya beberapa persen saja yang masih menggarap di areal kehutanan namun lebih masuk ke areal hutan yang lebih tinggi. Tahun 97 saat terjadi krisis moneter, harga sembako yang kian mahal menyebabkan kehidupan di Jakarta pun semakin sulit tidak menentu. Akibat situasi yang tidak menentu menyebabkan mereka (warga desa) memutuskan untuk kembali lagi ke kampung halaman. Setelah kembali ke kampung, diawali oleh usaha perluasan lahan milik salah seorang warga yang berbatasan dengan areal perkebunan, muncul keinginan mereka untuk menggarap kembali lahan yang ditinggalkan akibat masuknya perkebunan. Pada tahun 1998, beberapa warga desa (sekitar 77 kk) dari desa Mekarmukti dan Sukamukti mulai menggarap kembali lahan terlantar di areal perkebunan. Aksi pendudukan lahan perkebuan ini telah berlangsung sebelum tergabung kedalam organisasi tani lokal (OTL) Serikat Petani Pasundan (SPP). Menanggapi aksi penggarapan lahan oleh warga, pihak perkebunan pun bereaksi. Akhirnya terjadi kesepakatan antara pihak perkebunan dengan masyarakat. Butir kesepakatan tersebut antara lain, masyarakat boleh menggarap lahan tersebut selama satu musim tanam dan wajib menyetorkan biaya sewa per patok. Namun pada perjalanannya timbul masalah yang disebabkan aksi pematokan dan pelarangan pengarapan oleh pihak perkebunan sebelum masa kesepakatan berakhir. Akibat pelarangan itu, masyarakat mencari dukungan dengan pihak-pihak yang dapat membantu mereka. Akhirnya mereka (warga desa) ketemulah dengan kami. Saat itu belum ada SPP dan Yapemas tapi yang ada FPPMG dimana saya sebagai salah seorang yang melakukan investigasi dan pertemuan dengan 77 kk tersebut. Tepatnya sekitar hari Rabu, 7 Juli 1999, saat sedang melakukan pertemuan dengan mereka (77 kk) di desa Mekar Mukti, pada waktu yang bersamaan, tiba-tiba masyarakat diluar berbondong-bondong melakukan pembabatan tanaman perkebunan di blok Kiara Lawang. Sejak kejadian itu, saya bersama teman-teman yang lain melakukan konsolidasi dan pengorganisasian masyarakat dalam menuntut hak penggarapan di lahan perkebunan. Dari pertemuan konsulidasi tersebut terjadi kesepakatan bahwa tidak ada alternatif lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup kecuali masyarakat mempunyai lahan garapan di lahan terlantar areal perkebunan. Pada saat itulah kita bangun sebuah organisasi dan
109
merumuskan cara-cara yang akan kita gunakan dalam memperjuangkan hak atas tanah. Keinginan masyarakat waktu itu lebih memilih menyelesaikan masalah lewat jalur prosedural, yakni lapor ke desa dan seterusnya, sambil kita menginventarisir dan mendata masyarakat yang membutuhkan tanah. Namun pihak desa saat itu tidak menyetujui karena dianggap tanah tersebut milik perkebunan. Tidak berhasil dengan desa, kita lanjutkan ke kecamatan sesuai keinginan masyarakat akan tetapi usaha ini tidak berhasil. Setelah berupaya kesana-kemari tidak berhasil, kita memilih jalur non letigasi melalui aksi reclaiming, demonstrasi dan lain-lain. Sampai akhirnya ada beberapa orang warga desa Dangiang yang ikut pertemuan di Mekarmukti karena mereka (warga desa Dangiang) juga mengalami persoalan yang sama, yakni tidak memiliki lahan garapan. Akhirnya kita berhasil mendapatkan lahan garapan dengan berbagai tantangan dan resiko seperti harus berhadapan dengan aparat Brimob, preman dan sebagainya....” (yn)
Faktor hadirnya gerakan penguatan dan pengorganisasian petani (dari bawah) untuk menuntut hak garap lahan di areal perkebunan dan kehutanan pada prakteknya telah berhasil merekatkan kembali petani pada penguasaan langsung terhadap alat produksi utama yakni lahan yang secara langsung turut mempengaruhi kondisi kesejahteraan di tingkat rumah tangga petani. Periodeperiode awal gerakan bahkan hingga saat ini usaha mengamankan akses lahan garapan (tenure security) dari gugatan pihak perkebunan dan kehutanan masih menjadi arena perjuangan utama. Seiring dengan langkah tersebut, selain mengorganisasikan diri dalam mendapatkan akses garapan, organisasi tani lokal ini pun turut menciptakan dan memanfaatkan kesempatan politik yang tersedia di desa maupun lintas desa untuk merundingkan kepentingan mereka seperti keterwakilan di BPD, anggota panitia pemungutan suara, pemilihan kades, anggota PKK, dan program pemberdayaan. Seperti yang diutarakan kang Asip, “Di bidang politik, suara petani yang dulu hanya menjadi buruh saat ini mulai dipandang oleh desa.” Hal ini juga tercermin daripenggalan riwayat hidup kang Jijang (24), salah seorang petani di Desa Sukatani “Orang tua Jijang dahulu bekerja sebagai buruh tani dan kuli panggul. Jijang kecil membantu orang tua sambil belajar bertani. Sebelum reclaiming, keluarga Jijang menggarap lahan hutan 4-5 patok. Dulu Jijang menggarap lahan milik orang tua. Pada masa
110
pengawasan perhutani ketat, warga hanya berani menggarap 2 patok dan dengan cara sembunyi-sembunyi. Waktu berangkat dan pulang disesuaikan dengan tidak adanya petugas perhutani, sehingga mereka berangkat jam 3.30 pagi dan pulang jam 7 pagi saat petugas belum tiba di lokasi. Strategi menghadapi petugas adalah memanfaatkan lahan perhutani secara berdekatan. Kondisi ekonomi yang demikian tidak mampu membawa Jijang ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi karena harus membantu ekonomi keluarga. Seluruh anggota keluarga hanya tamat SD. Sulitnya pekerjaan di desa dan akses lahan di hutan makin sulit menyebabkan pada tahun 2000 Jijang harus ikut kakaknya berjualan ikat pinggang di Tangerang. Ikat pinggang tersebut bukan milik sendiri melainkan system setoran ke bos. Jijang hanya bertahan lima bulan bekerja di Tangerang. Jijang akhirnya pulang ke Desa bertepatan dengan peresmian organisasi SPP di Garut oleh Bupati. Bersama 8 orang temannya (diantaranya Asep A, Naim, Ade Masdar, Asep B, Aep), mereka berangkat ke Garut dan curhat tentang tanah. Disana bertemu dengan aktivis SPP. Pada tahun 2002-2003 mereka cek ke lokasi perhutani dan melakukan pengukuran. Kegiatan terus berlanjut, beberapa pelatihan dilakukan untuk membekali anggota agar dapat berargumentasi ketika berhadapan dengan pihak perhutani.
8.2. Pola Pemanfaatan Lahan dan Budidaya Baik di desa Sukatani maupun desa Dangiang, strategi penguatan produksi dan distribusi di tingkat petani dipandang sebagai cara-cara yang ditempuh oleh sebuah rumah tangga petani di tiap lapisan dengan menimbang ketersediaan sejumlah sumber daya (akses dan kontrol) yang dimiliki oleh rumah tangga petani di dalam sebuah komunitas. Di desa Sukatani, petani kecil dengan keterbatasan modal melakukan strategi budidaya melalui memilih komoditas wortel atau jenis tanaman jangka pendek lainnya karena jenis tanaman ini tidak terlalu membutuhkan banyak inputinput produksi serta waktu perawatan yang relatif singkat sehingga mereka dapat mencari tambahan penghasilan lewat berburuh tani. Saat dirinya telah mampu menciptakan surplus, biasanya mereka mulai beranjak ke komoditas kentang dimana kebutuhan bibit sudah dapat diproduksi sendiri. 37
37
Seperti yang tercermin
“Modal yang dibutuhkan untuk tanam tomat sangat besar. 100% keperluan bibit dan pupuk berasal dari (pinjaman) bandar. Jadi kita sangat tergantung dari bandar. Jika tanam yang lain, seperti kentang, petani sudah bisa membibit sendiri. Hasil panen kentang, tidak semuanya dijual tapi ada yang disimpan buat bibit. Yang tidak membutuhkan modal besar, mudah mendapatkan
111
pada penggalan riwayat hidup kang Jijang (24), salah seorang petani di Desa Sukatani. “Di awal penggarapan ada dua orang yang ikut garap dan perlahan-lahan meningkat. Saat itu, petani menanam ubi jalar sambil beternak kambing. Daun ubi jalar dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Setelah berhasil menanam ubi jalar, petani mulai mengembangkan komoditas kol dan jumlah garapan perlahan mulai bertambah. Warga Kharikil dan Panagan kemudian bertanya-tanya tentang bagaimana cara menggarap di lahan perhutani.” Di tingkat organisasi, OTL Sukatani mengembangkan demplot pembibitan kentang. Tanaman kentang ini termasuk tanaman yang membutuhkan biaya banyak. Saat ini, sebagian petani sudah dapat mengurangi ketergantungan mereka terhadap pasokan bibit kentang yang berasal dari bandar. Sementara untuk desa Dangiang, pola budidaya petani adalah tumpang sari dengan memilih akar wangi sebagai komoditas utama yang diusahakan. Pada saat awal musim hujan (Desember), petani akan mulai menanam akar wangi diselingi oleh tanaman sayuran seperti kentang yang umur panennya 3 bulan. Setelah panen kentang, lalu mulai menanam tembakau yang umur panennya 5 bulan. Tapi ada juga petani yang hanya merasakan panen 2 kali. Baik di desa Sukatani maupun desa Dangiang, peningkatan pendapatan petani dilakukan dengan berternak atau membeli lahan di dalam maupun luar desa. “Jika di awal penggarapan keluarga Jijang hanya menggarap 2 patok, maka saat ini, satu keluarga (7 orang anggota RT) memiliki 20 patok lahan garapan di hutan perhutani dengan dibantu oleh 1 orang buruh. Perkembangan tingkat kesejahteraan yang mulai tampak adalah Jijang kini bahkan sudah dapat memperoleh tanah gadai 7 patok yang saat ini sedang ditanami kentang (5 patok). 7 patok digadai terbagi dalam 2 tahap penggadaian yaitu 3 patok sudah digadai sejak 2 tahun terakhir, sedangkan 4 patok baru digadai 1 tahun terakhir. Jijang memperoleh tanah gadai milik pak Diryi yang kebetulan saat itu orang yang bersangkutan sedang membutuhkan uang. Proses perkenalan Jijang dengan pertanian diiringi dengan hobi beternak sapi hingga berhasil memiliki sapi 3 ekor yang kemudian dijual untuk membeli tanah. Tanah yang dibeli tahun 2003 bibit dan perawatannya tidak sulit adalah wortel. Bibit wortel mudah didapat, bisa didapat dari petani sendiri.”
112
seharga 6 juta. Pada tahun 2005 dan 2007 Jijang berhasil membeli motor”
8.3. Konsolidasi Modal Di desa Dangiang, pada tahun 1999 muncul kendala modal dalam penggarapan lahan. Berbagai variasi muncul dalam hal penyediaan modal, yaitu 1). petani menanam sesuai dengan kemampuan modal sendiri, 2). Petani telah memiliki modal sendiri, 3). Meminjam modal kepada Bandar. Tuntutan penyediaan modal merupakan hal yang tidak dapat dihindari sehingga organisasi menilai perlu ada langkah lain untuk kepentingan penggarapan lahan. Tepat disaat yang sama, pemerintah menyediakan skema kredit bagi petani melalui program Kredit Usaha Tani (KUT). Peluang tersebut diambil oleh organisasi setelah sebelumnya membentuk kelompok sebagai syarat keikutsertaan dalam program KUT. Di tahun yang sama, dibentuklah Koperasi Warga Desa (KWD), dan KWM di tingkat kabupaten. Melalui KWD, diharapkan petani dapat akses terhadap modal. Terbukti, beberapa KWD berhasil mendapat 2 putaran peminjaman yaitu program hortikultura dan palagung. Sayangnya, tidak semua kepentingan petani bisa di akomodir. Kredit yang disediakan pemerintah tidak mencukupi digunakan sebagai modal pertanian. Ditambah dengan kondisi gagal panen, petani akhirnya meminjam ke pihak lain. Banyak KWD yang menurun aktivitasnya karena persoalan manajemen dan sumberdaya manusia. Pada tahun 2001 usaha bersama mulai dibangun melalui pendekatan kepada kelompok ibu-ibu. Kegiatan ini pertama kali diinisiasi di Dangiang. Alasan keterlibatan kaum ibu karena dianggap lebih terampil dan memiliki pengalaman dalam mengurusi ekonomi rumahtanga. Terdapat dua jenis kegiatan yang dikembangkan yaitu warung kelompok dan kelompok simpan pinjam. Pasang surut kegiatan kelompok ini mengharuskan proses seleksi ulang atas loyalitas anggota dengan harapan kegiatan bisa lebih maju. Harapan akan hasil kegiatan kelompok mulai muncul karena kelompok Dangiang menunjukkan eksistensinya dan berlangsung hingga tahun 2006. Proses pembelajaran kelompok di desa lain
113
bercermin pada pengalaman kelompok di Dangiang yang mengembangkan kelompok simpan pinjam dalam bentuk beras dan uang. Sejak tahun 2004 kelompok Dangiang dijadikan model, sehingga memunculkan motivasi bagi kelompok ibu-ibu di desa lain. Kegiatan ini kemudian diduplikasi di Sukawargi, Sukatani, Cibalong dan desa lain dengan jumlah anggota kelompok dan kegiatan yang berbeda-beda. Faktor utama yang menyebabkan kelompok Dangiang relatif dapat bertahan dan menunjukkan kinerja yang relatif lebih baik karena adanya proses pendampingan yang intensif dan kemauan kuat dari anggotanya sendiri. Kelompok ini kemudian menjadi embrio terbentuknya Koperasi Mitra Harapan. Pada tahun 2007 kegiatan koperasi ini meningkat dengan asset yang bertambah besar. Ada keinginan untuk terjun ke bidang pengadaan pupuk, sembako dan usaha ternak. Usaha ternak dapat direalisasikan dengan modal awal Rp. 450ribu. Modal ini berkembang hingga mencapai Rp. 7.9 juta. Apabila di desa Dangiang, strategi konsolidasi modal petani telah masuk tahap penguatan kelembagaan ekonomi kolektif, di desa Sukatani masih tergantung pada hubungan-hubungan permodalan yang telah lama terbangun sebelum reclaiming, yakni hubungan petani dengan para bandar di desa. Seperti yang telah diungkapkan pada bagian sebelumnya, meski para buruh tani telah berhasil mendapat lahan garapan namun memutus hubungan dengan para bandar relatif sulit dilakukan. Hal ini dikarenakan tingginya kebutuhan modal pada budidaya hortikultura dan pola pemasaran yang menyebabkan surplus lebih banyak diserap oleh bandar melalui hutang-piutang yang berpengaruh pada kuasa penentuan harga hasil panen. Menghadapi persoalan permodalan petani hortikultura desa Sukatani, di tingkat OTL mencoba melibatkan para bandar dalam organisasi. Seperti yang diutarakan oleh Ketua OTL Sukatani, “Kedepan, tengkulak tidak perlu dihilangkan, namun peran tengkulak dapat sebagai pihak pemasaran hasil panen petani dengan ketentuan harga beli yang tidak merugikan dan dapat di diskusikan.” Selain itu, dikedua lokasi juga menunjukkan bahwa, bagi kelompok rumah tangga yang telah berhasil menumpuk surplus, dirinya akan mulai melakukan perluasan sumber nafkah selain penggarapan lahan, seperti membuka warung,
114
menjual pupuk dan sebagainya. Adapun perbandingan strategi penguatan produksi dan distribusi di kedua lokasi penelitian akan ditampilkan pada Tabel 8.1. Tabel 8.1. Upaya Penguatan Produksi dan Distribusi Petani Lapisan Bawah di Dua Dataran Tinggi Upaya Akses terhadap lahan
Pola Pemanfaatan Lahan dan Budidaya
Konsolidasi modal
Desa Sukatani (Hamparan Papandayan/Wilayah Kehutanan)
Desa Dangiang (Hamparan Cikuray/Wilayah Perkebunan)
1. Diawali kultivasi diikuti reclaiming 2. Bergabung dengan organisasi tani lokal (OTL) 3. Melalui OTL turut memanfaatkan kesempatan politik di desa 4. Pembelian lahan di dalam maupun di lura desa 1. Memilih komoditas yang realtif tidak memerlukan banyak curahan waktu pengerjaan dan input produksi, seperti wortel 2. Tumpang sari hortikultura 3. Di tingkat OTL, membangun demplot pembibitan kentang 1. Petani masih tergantung pada hubungan-hubungan permodalan yang telah lama terbangun sebelum reclaiming, yakni hubungan petani dengan para bandar di desa. 2. Perluasan sumber nafkah selain menggarap lahan yakni menjadi buruh tani harian dan berternak.
1. Reclaiming 2. Bergabung dengan organisasi tani lokal (OTL) 3. Melalui OTL turut memanfaatkan kesempatan politik di desa 4. Pembelian lahan di dalam maupun di lura desa 1. Memilih komoditas yang realtif tidak memerlukan banyak curahan waktu pengerjaan dan input produksi, yakni akar wangi 2. Tumpang sari akar wangi dengan hortikultura dan tembakau 1. Strategi konsolidasi modal telah masuk tahap penguatan kelembagaan ekonomi kolektif melalui koperasi perempuan 2. Perluasan sumber nafkah selain menggarap lahan menjadi buruh tani harian dan berternak.
8.4. Ikhtisar Ketiadaan akses terhadap lahan garapan telah mendorong warga melakukan aksi pendudukan di areal perkebunan dan kehutanan tersebut disusul kemudian lahirnya organisasi gerakan tani lokal SPP. Dalam konteks ini, pilihan petani untuk bergabung kedalam Organisasi Tani Lokal Serikat Petani Pasundan (OTL SPP) menjadi strategi utama petani tanpa lahan dalam mengukuhkan aksi reclaming lahan di areal kehutanan maupun perkebunan. Selain itu, keberadaan OTL di dua lokasi turut memperluas ruang negosiasi dengan negara terkait kepastian hak garap di atas lahan-lahan klaim kehutanan maupun perkebunan. Seiring dengan langkah tersebut, organisasi tani lokal ini pun turut menciptakan
115
dan memanfaatkan kesempatan politik yang tersedia di desa maupun lintas desa untuk merundingkan kepentingan mereka seperti keterwakilan di BPD, anggota panitia pemungutan suara, pemilihan kades, anggota PKK, dan program pemberdayaan. Baik di desa Sukatani maupun desa Dangiang, strategi penguatan produksi dan distribusi di tingkat petani dipandang sebagai cara-cara yang ditempuh oleh sebuah rumah tangga petani di tiap lapisan dengan menimbang ketersediaan sumber daya (akses dan kontrol) yang dimiliki oleh sebuah rumah tangga. Pemilihan komoditas yang dibudidayakan merupakan salah satu upaya penguatan produksi petani di dua lokasi guna mengurangi ketergantungan dengan pihak bandar maupun cukong. Apabila di desa Dangiang, strategi konsolidasi modal petani telah masuk tahap penguatan kelembagaan ekonomi kolektif, di desa Sukatani masih tergantung pada hubungan-hubungan permodalan yang telah lama terbangun sebelum reclaiming, yakni hubungan petani dengan para bandar di desa.
BAB IX MUARA STUDI : SEBUAH CATATAN PENUTUP
9.1. Kesimpulan Studi ini merupakan suatu usaha dalam memahami dan menganalisis bagaimana terbentuknya kemiskinan dan proses marginalisasi yang dialami oleh petani serta sampai sejauh inisiatif petani lokal dalam merespon persoalan kemiskinan dan proses marginalisasi yang hadir dalam hubungan produksi dan distribusi. Kemiskinan masyarakat pedesaan tidak dilihat hanya sebagai suatu hasil pengukuran dari aspek ekonomi semata akan tetapi merupakan hasil dari marginalisasi yang dialami suatu komunitas. Situasi kemiskinan suatu komunitas dengan demikian tidak berdiri bebas dalam ruang dan waktu. Dirinya dipandang sebagai suatu proses yang terlembagakan dan hadir dalam sejarah perkembangan komunitas itu sendiri. Pada uraian mengenai situasi kemiskinan (Bab 5) dan dua jilid proses marginalisasi yang dialami petani dataran tinggi Garut (Bab 6 dan 7), terlihat bahwa akumulasi modal adalah strategi utama pertumbuhan (ekonomi) di bawah sistem kapitalisme yang berwatak ekspansionis. Akumulasi harus berlangsung terus-menerus tanpa batas, "accumulation for accumulation’s sake and production for production’s sake" yang pada satu sisi menyebabkan penumpukkan surplus pada pemilik modal dan di pihak yang lain terjadi penyingkiran (enclosure) kuasa terhadap alat-alat produksi. Proses ini dapat berlangsung baik melalui kebijakan negara (dari atas) maupun relasi-relasi produksi dan distribusi di tingkat komunitas (dari bawah). Dalam hal ini, akumulasi modal melalui pembangunan (penetrasi) kapitalisme ke wilayah pedesaan mensyaratkan adanya suatu suasana lingkungan yang memperagakan bentuk-bentuk produksi non-kapitalistik (natural economy) sebagai pasar dari surplus yang dihasilkan oleh para pemilik modal, sumber bahan baku dan penyedia cadangan tenaga kerja dalam sistem upah (buruh lepas). Secara lebih detil, beberapa kesimpulan dari studi adalah sebagai berikut : 1.
Umumnya desa pertanian (desa yang sumber penghidupan utama mayoritas warganya berasal dari pertanian) merupakan desa kategori tipe 3 (tertinggal)
118
atau sekitar 194 desa (45,8%). Ditinjau dari tingkat keberdayaan ekonomi penduduk, mayoritas desa atau sekitar 263 desa (62,03%) di Kabupaten Garut masuk dalam kategori desa miskin. 2.
Sementara dari 395 desa yang diidentifikasi sebagai desa pertanian, 259 desa (65,57%) diantaranya merupakan desa yang mayoritas warganya masuk kategori miskin. Fakta ini menandakan bahwa konsentrasi penduduk atau kantung-kantung kemiskinan berada di wilayah pedesaan berbasis pertanian.
3.
Dari hasil pengkajian kemiskinan warga secara partispatif (Particpatory Poverty Assessment/PPA) di dua desa penelitian menunjukkan pola pelapisan rumahtangga petani yang sama yakni terdapat 3 lapisan/golongan masyarakat berdasarkan tingkat keberdayaan ekonomi. Dari kedua desa, faktor penguasaan lahan merupakan indikator utama tingkat kemiskinan di tingkat rumah tangga petani. Memahami situasi kemiskinan secara mendalam di kedua desa dataran tinggi tersebut tidak dapat dilepaskan dari proses marginalisasi yang terus berlangsung dalam sejarah perkembangan komunitas di dataran tinggi Garut.
4.
Proses marginalisasi petani dataran tinggi Garut dalam sejarah komunitas di dua lokasi ditandai dengan hadirnya bentuk-bentuk penguasaan terhadap sumber-sumber agraria baik oleh perusahaan perkebunan dan kehutanan negara. Pada prakteknya, kehadiran perusahan tersebut mendorong terjadinya pelepasan akses dan kontrol (enclosure) petani terhadap lahan garapan serta telah menggeser pola-pola ekonomi skala rumah tangga petani (satuan ekonomi terkecil) di pedesaan menjadi tenaga kerja upahan lepas.
5.
Di desa Dangiang pola pelepasan petani dari alat produksi akibat masuknya perusahaan perkebunan negara yang diwakili oleh PTPN VIII Dayeuh Manggung, sementara di desa Sukatani proses ini diakibatkan oleh masuknya perusahaan kehutanan negara yang diwakili oleh Perhutani. Semakin kokohnya kebijakan penguasaan negara atas kawasan hutan dan hasil hutan turut mendorong proses diferensiasi polar di tingkat desa. Kasus desa Sukatani menunjukkan bahwa kehadiran Perhutani telah mendorong terjadinya konsentrasi penguasaan lahan (diferensiasi agraris) di areal
119
kehutanan yang berpusat pada sekelompok elite desa yang notabene juga merupakan sumber permodalan di desa sementara mayoritas warga lainnya (golongan ekonomi lemah) bersandar dari kegiatan berburuh tani pada eliteelite tersebut. 6.
Selain berlangsung “dari atas” berkat fasilitasi dan penetrasi modal dari negara (baik negara kolonial maupun pasca kolonial), proses marginalisasi petani juga dapat berlangsung “dari bawah”, yakni melalui relasi-relasi agraris di antara anggota masyarakat sendiri menyangkut perebutan akses dan kontrol atas tanah, modal dan tenaga kerja.
7.
Di dua lokasi studi, tingginya kebutuhan atas input produksi (bibit, pupuk dan obat) dan keuntungan yang diperoleh dari pengadaan input produksi dan penjualan hasil panen tersebut menyebabkan antara petani dan bandar saling menjaga hubungan yang tidak setara tersebut. Di tingkat petani, hubungan baik ini diperlukan agar memperoleh akses pinjaman dari bandar baik berupa uang maupun dalam bentuk bibit, pupuk dan obat-obatan.
8.
Keterjalinan yang sedemikian rupa antara bandar dan petani telah berlangsung lama (sebelum adanya aksi reclaiming warga di lahan kehutanan) memungkinkan terjadinya proses pelepasan lahan dari petani ke pihak bandar atau secara langsung mendorong terjadinya rekonsentrasi penguasaan lahan kepada bandar yang juga merupakan lapisan elite di desa.
9.
Pilihan petani untuk bergabung kedalam Organisasi Tani Lokal Serikat Petani Pasundan (OTL SPP) dilihat sebagai respon petani tanpa lahan dalam mengukuhkan aksi reclaming lahan di areal kehutanan maupun perkebunan. Selain itu, keberadaan OTL di dua lokasi turut memperluas ruang negosiasi dengan negara terkait kepastian hak garap di atas lahan-lahan klaim kehutanan maupun perkebunan. Seiring dengan langkah tersebut, organisasi tani lokal ini pun turut menciptakan dan memanfaatkan kesempatan politik yang tersedia di desa maupun lintas desa untuk merundingkan kepentingan mereka seperti keterwakilan di BPD, anggota panitia pemungutan suara, pemilihan kades, anggota PKK, dan program pemberdayaan.
120
10. Baik di desa Sukatani maupun desa Dangiang, upaya penguatan produksi dan distribusi di tingkat petani dipandang sebagai cara-cara yang ditempuh oleh sebuah rumah tangga petani di tiap lapisan dengan menimbang ketersediaan sumber daya (akses dan kontrol) yang dimiliki oleh sebuah rumah tangga. Dalam konteks ini, pola pemanfaatan lahan dan budidaya merupakan salah satu respon petani dalam mengurangi ketergantungan dengan pihak bandar maupun cukong. 11. Apabila di desa Dangiang, strategi konsolidasi modal petani telah masuk tahap penguatan kelembagaan ekonomi kolektif, di desa Sukatani masih tergantung pada hubungan-hubungan permodalan yang telah lama terbangun sebelum reclaiming, yakni hubungan petani dengan para bandar di desa. 12. Pada periode-periode awal gerakan bahkan hingga saat ini usaha mengamankan akses lahan garapan (tenure security) dari ancaman fisik pihak perkebunan dan kehutanan masih menjadi arena perjuangan utama (physical security). Adapun keberhasilan beberapa anggota organisasi tani lokal menjadi bandar dapat diartikan sebagai pergantian aktor lama oleh aktor baru dalam pola (struktur) produksi dan distribusi lama. Dengan kata lain, konsolidasi jalur distribusi kolektif belum terjadi.
9.2. Saran Dalam konteks pengentasan kemiskinan di dataran tinggi, kehadiran organisasi tani lokal telah mampu memberikan keamanan warga dalam menggarap lahan garapan yang secara langsung turut memperbaiki tingkat keberdayaan ekonomi petani. Namun dari sisi kepastian ekonomi (economy security) dan kepastian regulasi (policy security) belum sepenuhnya tersentuh. Karena itu, beberapa saran yang diajukan berdasarkan refleksi dari studi ini adalah sebagai berikut : 1.
Untuk menjamin kepastian ekonomi (economy security) maka perlunya memperkuat dan mengukuhkan akses warga terhadap lahan garapan. Dalam hal ini, penataan kembali struktur agraria yang timpang (land reform) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pengentasan kemiskinan.
121
Prinsip utama yang perlu dikedepankan adalah, proses reform tidak mengantarkan tanah sebagai komoditas. 2.
Karena itu, dari sisi kepastian regulasi (policy security), perlunya kebijakan yang dapat memberikan kuasa terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria secara kolektif oleh petani. Hal ini mensyaratkan adanya organisasi tani yang lahir dari insiatif petani itu sendiri.
3.
Bahwa proses marginalisasi petani selain dapat berlangsung “dari atas” juga dapat berlangsung “dari bawah”, maka perlunya dilakukan penguatan kapasitas organisasi tani lokal dalam hal produksi dan distribusi.
DAFTAR PUSTAKA
Aass, S. 1984. “Relevansi Teori Makro Chayanov untuk kasus Pulau Jawa.” Dalam SMP. Tjondronegoro dan G. Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa Dari Masa Ke Masa. Jakarta Yayasan Obor Indonesia. Aji, G. B. 2005. Tanah untuk Penggarap : Pengalaman Serikat Petani Pasundan Menggarap Lahan-lahan Perkebunan dan Kehutanan. Bogor : Pustaka Latin Afiff, S, N. Fauzi, G. Hart, L. Ntsebeza and N. Peluso. 2005. “Redefining Agrarian Power : Resurgent Agrarian Movements In West Java, Indonesia.” Paper CSEASWP2-05. Center for Southeast Asia Studies. University of California, Berkeley. Akram-Lodhi, A. H. 2009. “Modernising subordination? A South Asian perspective on the World.” The Journal of Peasant Studies, Vol. 36, No. 3, July 2009, 611–619. Amaluddin, M. 1987. Kemiskinan dan Polarisasi Sosial: Studi Kasus di Desa Bulogede, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Seri Bahan Tesis. Jakarta: UIPress. Babbie, E. 2004. The Practice of Social Research (10th Edition), Wadsworth /Thomson Learning, Belmont, USA. Bachriadi, D. 2009. “Land, Rural Social Movements and Democratisation in Indonesia.” Transnational Institute, July 2009 Barkin, D. 2004. “Who Are The Peasants?”. Latin American Research Review, Vol. 39, No. 3, October, 2004 Birowo, A. T. 1983. “Masalah Struktural Dalam Sistem Perkebunan.” Dalam Perkebunan Indonesia Di Masa Depan. Jakarta : Yayasan Agroekonomika Boeke, J. H. 1953. “Memperkenalkan Teori Ekonomi Ganda.” Dalam Sajogyo (peny). 1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Booth, A. 1974. “Land Ownership in Klaten.” Bulletin of Indonesian Economics Studies, Vol. 10, No 3, December 1974. Booth, A. 1979. “The Agricultural Surveys 1970175: A Reply.” Bulletin of Indonesian Economics Studies, Vol. 15, No 3, November 1979
124
Caporaso, J. A dan Levine, D. P. 2008. Teori-Teori Ekonomi Politik. Edisi Terjemahan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Castels, S. 2001. “Studying Social Transformation.” International Political Science Review, Vol 22, No. 1, 13–32 Collier, W. L. 1981. “Agricultural Evolution in Java,” in Gary E. Hansen (ed). 1981. Agriculural and Rural Development in Indonesia. West View Press, Inc. Colorado, USA. Collier, W. L. Soentoro. Gunawan Wiradi, Effendi Pasandaran, Kabul Santoso and Joseph F Stepanek. 1982. “Acceleration of Rural Development of Java.” Bulletin of Indonesian Economics Studies, Vol. 18, No 3, November 1982. Collins, J. L. 2005. “New Directions In Commodity Chain Analysis Of Global Development Processes”, Research in Rural Sociology and Development, Volume 11, pp. 3–17, 2005. London : Elsevier Ltd Creswell, J. W. 1995. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches, Sage Publications, London Day, G. 2006. Community and Everyday Life. London: Routledge Denzin, N. K. and Yvonna S. L. (eds). 1994. Handbook of Qualitative Research. SAGE Publications, London. Djojohadikusumo, S. 1989. Kredit Rakyat Di Masa Depresi. Jakarta: LP3ES Djojohadikusumo, S. 1990. Sejarah Pemikiran Ekonomi Buku 1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. De Vries, E. 1969. “Notes : The Agro-Economic Survey of Indonesia.” Bulletin of Indonesian Economics Studies, Vol. 5, No 1, March 1969. De Angelis, M. 1999. “Marx’s Theory of Primitive Accumulation: A Suggested Reinterpretation.” Working Paper No. 29, Department of Economics, University of East Anglia London De Angelis, M. 2004. “Separating the Doing and the Deed: Capital and the Continuous Character of Enclosures.” Historical Materialism 12(2): 57–87. Ellis, F. 1993. Peasant Economics: Farm Households and Agrarian Development. Cambridge University Press. New York Ellis, F. 2000. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries. Oxford University Press Inc., New York Engels, F. Tentang Das Kapital Marx (terjemahan). Bandung: Akatiga Fauzi, N. 2009. “Desentralisasi dan Community Driven Development dalam Konteks Pembangunan Kapitalis : Suatu Kajian Teoritis.” Makalah (tidak publikasikan)
125
Geertz, C. 1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi Di Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Gunardi, et al. 1994. Kredit Untuk Rakyat. Bandung: Akatiga. Harrison, M. 1975. “Chayanov’s Theory of Peasant Economy,” in Theodor Shanin (eds). 1975. Peasant and Peasantry Societies. 3rd ed. Penguin Books Ltd. Hayami, Y. dan Kikuchi, M. 1987. Dilema Ekonomi Desa: Suatu Pendekatan Ekonomi Terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hugo, G. 2000. “The Impact of The Crisis On Internal Population Movement In Indonesia.” Bulletin of Indonesian Economics Studies, Vol. 36, No 2, August 2000, pp.115 –38. Kano, H. 1984. “Pemilikan Tanah dan Diferensiasi Masyarakat Desa.” Dalam SMP. Tjondronegoro dan G. Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa Dari Masa Ke Masa. Jakarta Yayasan Obor Indonesia. Karsyno, F. (peny). 1984. Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Karsyno, F. et al, (peny). 1988. Perubahan Ekonomi Pedesaan: Menuju Struktur Ekonomi Berimbang, Prosiding Patanas. Bogor: Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kartodirjo, S. dan J. Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial-Ekonomi. Yogyakarta : Aditya Media Kerblay, B. 1971. “Chayanov and the Theory of Peasantry as Specific Type of Economy,” in Theodor Shanin (eds). 1975. Peasant and Peasantry Societies. 3rd ed. Harmondsworth, Middlesex, England: Penguin Books Ltd. King, D and Peter, W. 1977. “Income Distribution and Levels of Living in Java.” Economic Development and Cultural Change 25:4, pp. 699-712 Koentjaraningrat. Gramedia.
1994.
Metode-Metode
Penelitian
Masyarakat.
Jakarta:
Kurtz, M. J. 2000. “Understanding Peasant Revolution: From Concept to Theory and Case.” Theory and Society 29: 93-124. 2000 Li, T. M. 2002(a). “Keterpinggiran, Kekuasaan dan Produksi: Analisis terhadap Transformasi Daerah Pedalaman.” Dalam Tania Murray Li (peny), Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
126
Li, T. M. 2009. “To Make Live or Let Die? Rural Dispossession and the Protection of the Surplus Population”, Antipode 41(s1): 66-93. Luxemburg, R. 2003. The Accumulation of Capital. Translated by Agnes Schwarzschild. the Routledge Classics edition Luxemburg, R. 2006. “Excerpts from The Accumulation of Capital,” in Patrick Bond, Horman Chitonge and Arndt Hopfmann (eds), The Accumulation of Capital in Southern Africa. The Rosa Luxemburg Foundation Marx, K. 1992. Kapital Sebuah Kritik Ekonomi politik Buku II: Proses Sirkulasi Kapital (terjemahan). Penerbit Hasta Mitra Millar, J. R. A. 1970. “Reformulation of A. V. Chayanov's Theory of the Peasant Economy.” Economic Development and Cultural Change, Vol. 18, No. 2. (Jan., 1970), pp. 219-229. Mosse, D. 2007. “Power and The Durability of Poverty: A Critical Exploration of The Links Between Culture, Marginality and Chronic Poverty”. CPRC Working Paper 107. December 2007 Mubyarto. 1975. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3ES. Mubyarto. 1983. “Sistem Perkebunan Di Indonesia Masa Lalu dan Masa Kini.” Dalam Perkebunan Indonesia Di Masa Depan. Jakarta : Yayasan Agroekonomika Murray, C. 2001. “Livelihoods Research: Some Conceptual and Methodological Issues”. Background Paper 5, Chronic Poverty Research Centre, September 2001 Norton, A. 2001. Participatory Poverty Assessment : An Introduction to Theory and Practice. Overseas Development Institute, UK. Patton, M. Q. 1990. Qualitative Evaluation and Reseach Methods, Sage Publications, London. Peluso, N. L. 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan di Jawa. Jakarta: Konphalindo Penny, D. H. 1974. “Komersilisasi Pertanian Subsisten: Satu Kemajuan atau Kemunduran.” Dalam Sajogyo (peny). 1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Popkin, L. S. 1986. Petani Rasional. Jakarta : Lembaga Penerbit Yayasan Padamu Negeri. Purnomo, A. M. 2006. Strategi Nafkah Rumahtangga Desa Sekitar Hutan: Studi Kasus di Kabupaten Kuningan. Thesis S-2 SPD. IPB Roxborough, I. 1986. Teori-teori Keterbelakangan. Jakarta: LP3ES
127
Sadli, M. 1957. “Beberapa Pandangan Atas Teori Ekonomi Ganda Boeke.” Dalam Sajogyo (peny). 1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Sajogyo. 1976. “Masyarakat Desa dan Hutan.” Makalah. Institut Pertanian Bogor Sajogyo (peny). 1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Sajogyo dan Tambunan, M (eds). 1990. Industrialisasi Pedesaan. Diterbitkan atas kerjasama PSP-LP IPB dan ISEI Cabang Jakarta. Jakarta: PT. Sekindo Eka Jaya. Sajogyo. 1993. “Agriculture and Industrialization in Rural Development,” in JanPaul Dirkse, Frans Husken and Mario Rutten (eds), Development and Social Welfare : Indonesia's Experiences Under The New Order. KITLV Sajogyo. 2006. Ekososiologi, Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi (Petani dan Perdesaan Sebagai Kasus Uji). Yogyakarta : Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Sawit, M. H and Manwan, I. 1991. “The Beginnings of The New Supra Insus Rice Intensification Program: The Case of The North Coast of West Java And South Sulawesi.” Bulletin of Indonesian Economics Studies, Vol. 27, No 1. April 1991 Scott, J. C. 1981. Moral Ekonomi Petani; Perolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. LP3ES. Jakarta. Scott, J. C. (peny). 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Shanin, T. 1966. “Peasantry as Political Factor.” Sociological Review, Vol. 14 pp. 5-27. Shanin, T. 1972. “Polarization and Cyclical Mobility: The Russian Debate Over The Differentiation of The Peasantry,” in John Harriss (eds). 1982. Rural Development: Theories of Peasant Economy and Agrarian Change. Hutchinson University Library. Shanin, T (ed). 1975. Peasants and Peasant Societies. Penguin Education, Penguin Books Ltd. Sitorus, M. T. F. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soetrisno, L. 1983. “Aspek Sosial dan Politik Dari Sitem Pertanian Perkebunan.” Dalam Perkebunan Indonesia Di Masa Depan. Jakarta : Yayasan Agroekonomika
128
Stoler, A. L. 1978. “Garden Use and Household Economy in Rural Java.” Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. XIV, No. 2, July 1978. Strout, A. M. 1985. “Managing The Agricultural Transformation on Java: A Review of The Survey Agro Ekonomi.” Bulletin of Indonesian Economics Studies, Vol. 21 No 1, April 1985. Suhendar, E. dan Yohana B. W. 1997. Petani dan Konflik Agraria Bandung: AKATIGA Tohir, A. K. 1991. Seuntai Pengetahuan Usaha Tani Indonesia (Bagian I). Bandung: Rineka Cipta Thorner, D. 1962. “Peasant Economy as a Category in Economic History,” in Theodor Shanin (eds). 1975. Peasant and Peasantry Societies. Harmondsworth, Middlesex, England: Penguin Books Ltd. Thorner, D., et al (eds). 1966. Chayanov: The Theory of Peasant Economy. The American Economic Association, Homewood, Illinois, USA. Utrecht, E. 1969. “Land Reform In Indonesia.” Bulletin of Indonesian Economics Studies, Vol. 5, No 3, July 1969 Wertheim, W.F. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi; Studi Perubahan Sosial. Yogyakarta : Tiara Wacana. Winangun, Y. W. Wartaya. 2004. Tanah : Sumber Nilai Hidup. Yogyakarta : Penerbit Kanisius White, B. 2009. “Melacak nilai lebih : Rejim ketenagakerjaan, rantai komoditi dan bentuk-bentuk peralihan nilai lebih di pedesaan.” Bahan Presentasi pada acara Ceramah dan Lokakarya Metodologi Penelitian Agraria, atas kerjasama Sains, STPN, dan KPM IPB, tanggal 24-25 Juli 2009 bertempat di Aula P4W IPB. White, Ben. 1989. “Problems in the Empirical Analysis of Agrarian Differentiation” in G. Hart, A. Turton, B. White (eds) Agrarian Transformation: Local Processes and the State in Southeast Asia. Berkeley and Los Angeles: University of California Press. White, Ben. 1981. “Population, Involution and Employment in Rural Java,” in Gary E. Hansen (eds), Agricultural and Rural Development in Indonesia. Westview Press, Boluder, Colorado. White, Ben. 1983. “Agricultural Involution and Its Critics : Twenty Years After Clifford Geertz.” Working Paper Series No. 6. Institute of Social Studies. The Hague White, Ben. 1996. “Agroindustry and Contract Farmers In Upland West Java.” Working Paper Series No. 234. Institute of Social Studies. The Hague
129
White, Ben. 2000. “Rice harvesting and social change in Java.” The Asia Pacific Journal of Anthropology 1(1) 2000:79-102 Wiradi, G, et al. 1991. “Pembentukan Modal Di Pedesaan Kasus Kabupaten Cirebon.” Project Working Paper Series No. : A – 24 September 1991. Bogor: PSP-LP IPB Wiradi, G. 1993. “Karya Chayanov Ditinjau Kembali.” Makalah. Disampaikan pada acara Diskusi ISI Cabang Bogor, Juli 1993. Wiradi, G. 2000. Reforma Agraria. Yogyakarta: Insist Press Wiradi, G. 2009. Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria dan Penelitian Agraria. Disunting oleh Moh. Shohibuddin. Yogyakarta : STPN Press Wiradi, G (2009b) Metodologi Studi Agraria: Karya Terpilih Gunawan Wiradi. Penyunting: Moh. Shohibuddin. Bogor: Sajogyo Institute, Pusat Kajian Agraria dan Departemen Sains KPM IPB. Winardi. 1986. Kamus Ekonomi. Jakarta Wiro, P. M. 1999. “Economic Theories of the Household: A Critical Review.” Working Paper No. 159. The United Nations University – World Institute for Development Economic Research (UNU/WIDER). Helsinki, Finland. Yin, R, (1996). Studi Kasus: Desain dan Metode, Jakarta: Radja Grafindo Persada