PEMANFAATAN PEKARANGAN DAN KESEJAHTERAAN KELUARGA: STUDI PADA KELUARGA PESERTA DAN BUKAN PESERTA PROGRAM GERAKAN PEREMPUAN UNTUK OPTIMALISASI PEKARANGAN DI KOTA DEPOK
RIZA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemanfaatan Pekarangan dan Kesejahteraan Keluarga: Studi pada Keluarga Peserta dan Bukan Peserta Program Gerakan Perempuan untuk Optimalisasi Pekarangan di Kota Depok adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Riza NIM I251100061
RINGKASAN RIZA. Pemanfaatan Pekarangan dan Kesejahteraan Keluarga: Studi pada Keluarga Peserta dan Bukan Peserta Program Gerakan Perempuan untuk Optimalisasi Pekarangan di Kota Depok. Dibimbing oleh HARTOYO dan ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI. Kesejahteraan yang dapat dirasakan setiap anggota keluarga merupakan tujuan yang ingin dicapai setiap keluarga. Kesejahteraan dapat dicapai jika semua sumberdaya keluarga dapat dikelola dengan baik. Selain uang dan waktu, lingkungan yang berada di sekitar keluarga juga merupakan sebuah sumberdaya. Pekarangan rumah merupakan salah satu sumberdaya lingkungan fisik yang dimiliki keluarga. Pekarangan sangat potensial dalam mendukung kehidupan keluarga sehari-hari. Oleh karena itu upaya-upaya peningkatan pemanfaataan pekarangan banyak dilakukan, baik oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat. Gerakan Perempuan untuk Optimalisasi Pekarangan yang disingkat dengan GPOP merupakan salah satu upaya pemerintah dalam mendorong peningkatan pengelolaan pekarangan khususnya di perkotaan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesejahteraan keluarga, menganalisis optimalisasi pemanfaatan pekarangan pada keluarga peserta dan bukan peserta GPOP serta untuk menganalisis manajemen keuangan dan waktu keluarga. Pengumpulan data dilakukan pada Bulan Agustus sampai Oktober 2012 di Kota Depok. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive. Penelitian melibatkan 60 keluarga peserta GPOP dan 60 keluarga bukan peserta GPOP yang dipilih secara acak. Kesejahteraan keluarga diukur dengan menggunakan indikator garis kemiskinan menurut BPS dan indikator penilaian istri terhadap berbagai aspek kesejahteraan keluarganya. Optimalisasi pemanfaatan pekarangan diukur berdasarkan indeks rata-rata dari indeks tingkat pemanfaatan pekarangan yang merupakan persentase perbandingan luas pekarangan yang dimanfaatkan untuk bercocok tanam/beternak/memelihara ikan terhadap luas pekarangan yang dimiliki keluarga, indeks keragaman jenis hasil pekarangan dan pemanfaatan hasil pekarangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga peserta lebih sejahtera menurut pengukuran BPS dan penilaian istri dibanding keluarga bukan peserta program GPOP. Tingkat kesejahteraan keluarga dipengaruhi secara signifikan oleh aset keluarga. Optimalisasi pemanfaatan pekarangan keluarga rendah, dan pemanfaatan pekarangan peserta lebih optimal dibanding keluarga bukan peserta. Kualitas penerapan manajemen keuangan dan manajemen waktu sebagian besar keluarga adalah sedang. Kualitas penerapan manajemen keuangan dan waktu berhubungan erat dan positif dengan kesejahteraan keluarga. Semakin baik kualitas penerapan manajemen keuangan dan waktu keluarga semakin sejahtera keluarga. Kata kunci: kesejahteraan keluarga, pekarangan, manajemen keuangan, manajemen waktu
SUMMARY RIZA. Analysis of Family’s Well-being of Participants and Nonparticipants of Women’s Movement for Homegarden Optimalization Program In Depok. Supervised by HARTOYO and ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI. Well-being which can be felt every member of the family is a goal to be achieved every family. Well-being can be achieved if all the family resources can be managed properly. In addition to money and time, the environment surrounding the family is also a resource. Homegarden is one of the resources of the family physical environment. Homegarden is very helpful for the daily family life. Therefore, efforts to increase homegarden optimalization done, either by the government, private and public. Women's Movement for Homegarden Optimalization, which known as GPOP is one of the government's efforts in promoting optimalization of the homegarden, especially in urban areas. The aim of this research was to analyze the well-being on GPOP participants family and nonparticipants family; analyze the optimalization of homegarden utilization; and to analyze management of family financial and time. Data collected in August through October 2012 in Depok. The research location selected purposively. This research involved 60 GPOP participants family and 60 nonparticipants family that chosen by random. Family well-being measured by using indicator of poverty line according to BPS and indicators of wife’s assessment on various aspects of her family well-being. Optimalization of homegarden utilization was measured based on the average index from homegarden utilization level index which was the percentage ratio of the homegarden that used for farming/breeding/raising fish to the family owned homegarden; diversity index of the homegarden product and index of homegarden product utilization. The results showed that the well-being of participants family was higher than non-participants family based on two assessment indicators, BPS indicator and wife assessment indicator. The level of family well-being significantly affected by family asset. The optimalization of homegarden utilization was low, and homegarden utilization of participants family were higher than non-participants family. The quality of application of financial management and the time management most of the family was medium. The quality of application of family financial management and time was significantly and positively correlated. Keywords: family well-being, homegarden, financial management and time
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PEMANFAATAN PEKARANGAN DAN KESEJAHTERAAN KELUARGA: STUDI PADA KELUARGA PESERTA DAN BUKAN PESERTA PROGRAM GERAKAN PEREMPUAN UNTUK OPTIMALISASI PEKARANGAN DI KOTA DEPOK
RIZA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji pada Ujian tesis: Dr. Ir. Herien Puspitawati, MSc., MSc.
Judul Tesis : Pemanfaatan Pekarangan dan Kesejahteraan Keluarga: Studi pada Keluarga Peserta dan Bukan Peserta Program Gerakan Perempuan untuk Optimalisasi Pekarangan di Kota Depok Nama : Riza NIM : I251100061
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Istiqlaliyah Muflikhati, M.Si Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 23 Juli 2014
Tanggal Lulus: 29 Agustus 2014
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ............................................................................................ DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xv xvi xvii
1 PENDAHULUAN ......................................................................................... Latar Belakang ........................................................................................ Perumusan Masalah ................................................................................ Tujuan Penelitian .................................................................................... Manfaat Penelitian ..................................................................................
1 1 4 5 5
2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ Keluarga .................................................................................................. Pengertian Keluarga ....................................................................... Fungsi Keluarga ............................................................................. Pendekatan Teori Keluarga: Teori Struktural Fungsional.............. Kesejahteraan Keluarga .......................................................................... Definisi ........................................................................................... Pengukuran Tingkat Kesejahteraan Keluarga ................................ Hasil Studi Empiris tentang Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan .................................................................... Manajemen Sumberdaya Keluarga ......................................................... Manajemen Keuangan Keluarga .................................................... Manajemen Waktu Keluarga .......................................................... Sumberdaya Keluarga .................................................................... Lahan Pekarangan ................................................................................... Definisi ........................................................................................... Pemanfaatan Lahan Pekarangan..................................................... Hasil Studi Empiris tentang Pemanfaatan Lahan Pekarangan ....... Program Gerakan Perempuan untuk Optimalisasi Pekarangan......
6 6 6 6 7 8 8 9
3 KERANGKA PEMIKIRAN ........................................................................
19
4 METODE PENELITIAN .............................................................................. Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................... Teknik Penarikan Contoh ....................................................................... Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ...................................................... Variabel Penelitian dan Pengukuran Variabel ........................................ Pengolahan dan Analisis Data ................................................................ Definisi Operasional ...............................................................................
21 21 21 22 22 24 25
5 Artikel 1 ANALISIS TINGKAT KESEJAHTERAAN KELUARGA PESERTA DAN BUKAN PESERTA PROGRAM GERAKAN PEREMPUAN UNTUK OPTIMALISASI PEKARANGAN DI KOTA DEPOK ................ Abstrak .................................................................................................... Abstract. ..................................................................................................
28 28 28
10 11 12 12 13 14 14 16 17 18
Pendahuluan ............................................................................................ Metode Penelitian.................................................................................... Hasil ........................................................................................................ Karakteristik Keluarga .............................................................. Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan ..................................... Tingkat Kesejahteraan Keluarga .............................................. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan Keluarga.................................................................................... Pembahasan ............................................................................................. Simpulan .................................................................................................. Saran ........................................................................................................ Daftar Pustaka.......................................................................................... 6 Artikel 2 ANALISIS MANAJEMEN KEUANGAN, MANAJEMEN WAKTU DAN KESEJAHTERAAN KELUARGA ............................................................... Abstrak .................................................................................................... Abstract ................................................................................................... Pendahuluan ............................................................................................ Metode Penelitian.................................................................................... Hasil ........................................................................................................ Karakteristik Keluarga .............................................................. Manajemen Keuangan .............................................................. Manajemen Waktu .................................................................... Tingkat Kesejahteraan Keluarga .............................................. Hubungan Manajemen Keuangan dan Waktu dengan Tingkat Kesejahteraan .............................................................. Pembahasan ............................................................................................. Simpulan ................................................................................................. Saran ........................................................................................................ Daftar Pustaka .........................................................................................
29 30 32 32 33 35 36 36 38 39 39
42 42 42 42 44 46 46 46 48 49 50 51 53 53 53
7 PEMBAHASAN UMUM ..............................................................................
54
8 SIMPULAN DAN SARAN........................................................................... Simpulan ................................................................................................. Saran ........................................................................................................
56 56 57
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... LAMPIRAN .....................................................................................................
57 63
DAFTAR TABEL 4.1 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 6.1 6.2 6.3 6.4 6.5 6.6
Variabel penelitian dan pengukuran variabel ......................................... Rataan dan standar deviasi karakteristik keluarga .................................. Rataan dan standar deviasi tingkat pemanfaatan pekarangan ................. Sebaran keluarga berdasarkan jenis hasil pekarangan ............................ Sebaran keluarga berdasarkan pemanfaatan hasil pekarangan .............. Rataan dan standar deviasi indeks optimalisasi pemanfaatan pekarangan .............................................................................................. Sebaran keluarga berdasarkan tingkat kesejahteraan keluarga menurut kriteria BPS dan penilaian istri ................................................. Hasil analisis regresi logistik faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga ................................................................ Nilai minimum, nilai maksimum, rata-rata dan standar deviasi karakteristik keluarga .............................................................................. Sebaran keluarga berdasarkan kategori manajemen keuangan............... Sebaran keluarga berdasarkan kategori manajemen waktu .................... Sebaran keluarga berdasarkan kualitas penerapan manajemen keuangan dan waktu ............................................................................... Sebaran keluarga berdasarkan tingkat kesejahteraan keluarga menurut kriteria BPS dan penilaian istri ............................................................... Sebaran keluarga menurut kualitas penerapan manajemen keuangan, waktu dengan tingkat kesejahteraan keluarga ........................................
23 33 33 34 34 35 35 36 46 47 48 49 50 51
DAFTAR GAMBAR 3.1
4.2
Kerangka pemikiran penelitian analisa tingkat kesejahteraan keluarga peserta dan bukan peserta Program Gerakan Perempuan untuk Optimalisasi Pekarangan (GPOP) di Kota Depok .................................. Alur penentuan lokasi dan contoh penelitian ..........................................
20 21
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8
Peta lokasi penelitian, Kota Depok ......................................................... Sebaran keluarga peserta GPOP berdasarkan evaluasi kegiatan GPOP Hasil uji korelasi Pearson variabel-variabel yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga secara total ......................................................... Sebaran keluarga berdasarkan manajemen keuangan keluarga .............. Sebaran keluarga berdasarkan manajemen waktu keluarga ................... Sebaran keluarga berdasarkan kesejahteraan keluarga menurut kriteria penilaian istri terhadap berbagai aspek kesejahteraan keluarga ............. Gambar pemanfaatan pekarangan keluarga ........................................... Riwayat Hidup ........................................................................................
63 63 64 65 66 67 69 72
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan dari setiap keluarga adalah tercapainya kesejahteraan yang dapat dirasakan semua anggota keluarga. Seperti yang tertera dalam Pasal 4 UU No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, bahwa pembangunan keluarga bertujuan untuk meningkatkan kualitas keluarga agar dapat timbul rasa aman, tenteram, dan harapan masa depan yang lebih baik dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin. Pemerintah Indonesia telah merumuskan keluarga sejahtera sejak tahun 1992, yang tertuang dalam UU No. 10 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup material dan spiritual yang layak, bertakwa kepada Tuhan YME, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota keluarga dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungan. Menurut Behnke & MacDermid (2004) kesejahteraan (well-being) merupakan kualitas hidup seseorang atau unit sosial lainnya. Siahaan (2004) lebih lanjut menjelaskan bahwa patokan kualitas hidup adalah nilai kuantitatif dengan standar yang minimal (kebutuhan pangan, sandang, papan, dan kebutuhan penting lainnya yang cukup). Jika keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan (kebutuhan dasar) secara cukup, menunjukkan bahwa keluarga tersebut memiliki kualitas hidup rendah, atau dengan kata lain keluarga ini tidak sejahtera atau miskin. Kemiskinan di Indonesia masih menjadi masalah utama dalam pembangunan nasional. Berdasarkan garis kemiskinan yang telah ditetapkan BPS, jumlah penduduk miskin Indonesia pada Maret 2009 mencapai 32,53 juta jiwa atau 14,15 persen dari total penduduk Indonesia. Pada Maret 2010, jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan sebesar 1,51 juta jiwa sehingga menjadi 31,02 juta jiwa atau 13,33 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Sampai September 2011 jumlah penduduk miskin di Indonesia sedikit berkurang menjadi 29,89 juta jiwa atau 12,36 persen. Pada Maret 2012 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 29,13 juta jiwa atau 11,96 persen. Jumlah penduduk miskin Indonesia tampak menurun setiap tahunnya, namun belum berkurang begitu banyak. Di tahun 2015, Pemerintah Indonesia menargetkan tingkat kemiskinan dapat diturunkan menjadi 7,6 persen. Masalah kemiskinan perlu ditanggulangi untuk mewujudkan keluarga yang sejahtera. Kemiskinan membawa dampak buruk terhadap kehidupan keluarga, diantaranya pendapatan dan daya beli keluarga menurun sehingga pemenuhan kebutuhan akan pendidikan, kesehatan dan pangan menjadi tidak memadai. Permasalahan berikutnya yang sulit dihindari keluarga miskin adalah anak putus sekolah, status gizi kurang dan buruk pada anak balita, serta kematian ibu dan bayi. Hasil penelitian Conger dan Elder (1994) menunjukkan bahwa adanya masalah dan kesulitan yang dihadapi keluarga berdampak buruk terhadap kehidupan keluarga. Adanya permasalahan yang dihadapi keluarga menunjukkan bahwa fungsi keluarga dalam menjaga, menumbuhkan dan mengembangkan anggotaanggotanya belum dapat dilaksanakan secara optimal. Parson (1960) dengan teori
2 struktural fungsional menyatakan jika fungsi yang ada dalam sistem keluarga tidak dilaksanakan sesuai dengan status dan perannya maka sistem keluarga juga akan terganggu. Fungsi keluarga untuk mencapai kesejahteraan dapat berjalan dengan baik apabila turut didukung oleh ketersediaan sumberdaya. Menurut Goldsmith (1996), sumberdaya adalah sesuatu yang tersedia yang dapat digunakan. Firebaugh dan Deacon (1988) lebih lanjut menjelaskan bahwa sumberdaya merupakan alat atau bahan yang mempunyai kemampuan untuk memenuhi atau mencapai keinginan, dimana kesejahteraan adalah hal yang ingin dicapai keluarga. Sumberdaya keluarga terdiri dari sumberdaya manusia, sumberdaya materi dan sumberdaya waktu. Ketiga jenis sumberdaya ini merupakan satu kesatuan sumberdaya total yang dimiliki keluarga dan merupakan alat yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan keluarga. Lingkungan yang berada di sekitar keluarga juga merupakan sumberdaya. Sumberdaya lingkungan ini terdiri atas sumberdaya lingkungan sosial yaitu masyarakat, kelompok ekonomi dan politik serta organisasi masyarakat dan sumberdaya lingkungan fisik yaitu natural tangible seperti tanaman, tanah dan laut dan less tangible seperti udara, suara dan cahaya. Dalam hubungannya dengan lingkungan, keberadaan dan keberlangsungan kehidupan sebuah keluarga dipengaruhi oleh lingkungan (Goldsmith 1996). Manusia, dalam hal ini keluarga dan lingkungan terdekatnya atau yang disebut sebagai microenvironment merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dan saling mempengaruhi secara menguntungkan antara satu dengan yang lainnya (Bubolz & Sontag 1988). Pekarangan atau yang dikenal juga dengan halaman rumah, merupakan salah satu sumberdaya lingkungan fisik yang dimiliki keluarga. Arifin (1998) mendefinisikan pekarangan sebagai taman rumah tradisional yang bersifat pribadi yang merupakan sistem yang terintegrasi dengan hubungan yang erat antara manusia, tanaman dan hewan. Pekarangan ini sangat potensial dalam mendukung kehidupan keluarga sehari-hari. Pekarangan dapat menghasilkan makanan untuk konsumsi keluarga dan penyangga ekonomi keluarga pada saat terjadi fluktuasi harga (Wickramasinghe 1995; Torres 1988). Hasil pekarangan keluarga di Vietnam mampu memberikan sumbangan sampai 54,2% terhadap pendapatan total keluarga, tergantung pada waktu yang dicurahkan, tenaga kerja yang terlibat dalam pengelolaan pekarangan dan luas pekarangan (Trinh et al. 2003). Mitchell & Hanstad (2004) menegaskan bahwa pekarangan berkontribusi pada kesejahteraan ekonomi keluarga dalam berbagai cara. Hasil pekarangan dapat dijual untuk mendapatkan tambahan penghasilan (Torquebiau 1992; Niñez 1985). Hasil penelitian di Nepal, Cambodia, dan Papua New Guinea menunjukkan bahwa pendapatan yang dihasilkan dari penjualan buah, sayur dan ternak dari pekarangan memungkinkan keluarga untuk membeli makanan tambahan, menabung dan membiayai pendidikan anak-anak (Iannotti et al. 2009; Vasey 1985). Hasil penelitian Afrinis (2009) menunjukkan dengan luas rata-rata pekarangan 1,5 m2 dapat menghasilkan 1255 gram bayam dan 1296 gram kangkung, dengan rata-rata frekuensi panen enam kali. Panen pertama dilakukan setelah usia tanaman 40 hari, dan panen berikutnya dilakukan selang 5-7 hari. Dari hasil analisis kelayakan finansial yang dilakukan Mardiyanto (2006) menunjukkan bahwa pemanfaatan pekarangan yang dikelola dengan sistem
3 terpadu (adanya tanaman dan ternak di pekarangan) dapat memberikan tambahan pendapatan keluarga sebesar Rp 78.000-Rp 110.000 per meter persegi per tahun. Pekarangan selain bermanfaat secara ekonomis, juga sangat penting bagi perkembangan kesehatan fisik dan mental anggota keluarga (Freeman et al. 2012). Lebih lanjut Freeman et al. (2012) menyatakan bahwa pekarangan terbukti sangat penting bagi rumah tangga, yaitu sebagai ekspresi kepemilikan dan identitas, sebagai tempat untuk hubungan sosial, untuk berhubungan dengan alam dan sebagai tempat produksi kebutuhan keluarga. Lahan pekarangan dapat dimanfaatkan untuk menyediakan bahan pangan seperti sayuran dan buah yang segar juga aman (bebas dari pestisida dan zat-zat kimia cemaran berbahaya lainnya). Sayuran dan buah yang segar dan aman ini memberikan sumbangan gizi yang baik bagi semua anggota keluarga, sehingga mendukung terbentuknya tubuh yang sehat. Aktifitas fisik yang dilakukan dalam rangka pengelolaan pekarangan juga membantu terbentuknya tubuh yang bugar dan kuat. Lahan pekarangan juga dapat memperindah lingkungan dan ikut mendukung gaya hidup “hijau” untuk mengatasi laju pemanasan global (Supriati et al. 2008). Udara yang segar karena banyaknya oksigen yang dihasilkan dari tanaman di pekarangan, lingkungan yang asri dan indah tentunya akan memberikan kenyamanan dan kedamaian bagi anggota keluarga. Lahan pekarangan juga dapat menyalurkan hobi, bagi yang senang bercocok tanam maupun memelihara binatang ternak dan ikan. Semua aktifitas ini dapat menjadikan gaya hidup positif yang dapat meningkatkan kesehatan mental keluarga, yang berujung pada tercapainya kesejahteraan keluarga. Dimana kesejahteraan itu tidak hanya dapat dicapai dari terpenuhinya aspek ekonomis saja, tapi juga terpenuhinya aspek kesehatan (fisik, mental, emosional dan spiritual) dan aspek lainnya. Semua sumberdaya yang dimiliki keluarga ini sifatnya terbatas sehingga harus dapat dikelola secara efektif dan efisien agar kesejahteraan keluarga sebagai tujuan keluarga dapat terwujud. Pengelolaan sumberdaya keluarga atau yang dikenal sebagai manajemen sumberdaya keluarga menurut Deacon dan Firebaugh (1988) adalah kegiatan yang dilakukan oleh individu dan keluarga dalam mencari jalan terbaik untuk memenuhi kebutuhan yang dianggap penting oleh keluarga dengan sumberdaya yang relatif terbatas. Menurut Lubis (2006), kesalahan dalam mengelola sumberdaya merupakan salah satu penyebab keluarga menjadi miskin. Menurut Guhardja et al. 19921, manajemen sumberdaya keluarga penting untuk dilakukan karena berbagai faktor yaitu: a) Kehidupan yang semakin kompleks, misalnya susahnya mencari pekerjaan; persaingan yang semakin ketat untuk dapat memasuki sekolah-sekolah bagus; pencemaran udara dan air yang semakin tinggi, b) Ketidakstabilan dalam keluarga dimana terjadi berbagai perubahan dalam keluarga seperti: perubahan susunan anggota keluarga; peranan anggota keluarga; tata nilai dan tuntutan dalam keluarga serta interaksi dalam keluarga dan antara keluarga dengan lingkungannya, c) Perubahan peranan dalam sistem keluarga yang disebabkan oleh perubahan kebutuhan dan tuntutan dalam keluarga serta mobilitas keluarga.
1
Guhardja et al 1992. Manajemen Sumberdaya Keluarga. Diktat. Jurusan GMSK Fakultas Pertanian. IPB. Bogor.
4 Perumusan Masalah Kota Depok yang merupakan daerah penyangga Ibukota Negara, menghadapi berbagai permasalahan perkotaan, salah satunya adalah masalah kependudukan. Laju pertumbuhan penduduk Kota Depok selama tahun 2000 sampai tahun 2010 adalah sebesar 4,27 persen per tahun (BPS Kota Depok 2010). Laju pertumbuhan penduduk ini adalah yang kedua tertinggi di Provinsi Jawa Barat setelah Kabupaten Bekasi (4,70). Tahun 2011, jumlah penduduk Kota Depok telah mencapai 1.813.612 jiwa. Meningkatnya jumlah penduduk Kota Depok disebabkan tingginya migrasi penduduk ke Kota Depok sebagai akibat pesatnya pengembangan kota yang dapat dilihat dari meningkatnya pengembangan kawasan pemukiman, pendidikan, perdagangan dan jasa. Pertumbuhan penduduk yang tinggi, tanpa disertai pertumbuhan wilayah, dapat menimbulkan masalah bagi perkotaan, satu diantaranya adalah kemiskinan. Jika dilihat dari sebaran tingkat kesejahteraan keluarga, jumlah keluarga miskin (Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I), di Kota Depok pada tahun 2011 adalah sebesar 16,15 persen (60.360 keluarga). Kesejahteraan keluarga dapat tercapai apabila seluruh sumberdaya dapat dikelola secara optimal melalui manajemen sumberdaya keluarga. Pekarangan yang dimiliki hampir semua keluarga dengan luas lahan yang beragam merupakan salah satu potensi sumberdaya yang dimiliki keluarga. Selama ini pekarangan belum dikelola secara optimal sehingga tidak memberikan nilai tambah bagi keluarga. Padahal jika dikelola secara optimal, pekarangan dapat memberikan nilai ekonomis dan non ekonomis bagi keluarga. Fluktuasi dan tingginya harga bahan makanan yang sebetulnya dapat diproduksi di pekarangan, seperti cabai yang dapat menyebabkan tekanan pada pengeluaran keluarga diharapkan dapat berkurang dengan adanya program ini. Pekarangan yang sempit bukan menjadi penghalang bagi keluarga untuk dapat menghasilkan sesuatu. Perkembang teknologi dalam hal budidaya tanaman di lahan sempit seperti misalnya vertikultur, tambulapot, dan lain-lain, dapat membantu keluarga perkotaan untuk tetap dapat memanfaatkan lahan pekarangan secara efektif dan efisien. Penelitian-penelitian menunjukkan banyaknya manfaat pekarangan bagi kehidupan keluarga, baik secara ekonomis yang dapat menambah pendapatan keluarga, juga dapat meningkatkan kesehatan fisik dan mental anggota keluarga. Hal tersebut memberikan kontribusi bagi tercapainya kesejahteraan keluarga. Dimana kesejahteraan itu tidak hanya dapat dicapai dari terpenuhinya aspek ekonomis saja, tapi juga terpenuhinya aspek kesehatan fisik dan mental seluruh anggota keluarga. Dengan begitu banyaknya hasil yang diperoleh dari pemanfaatan pekarangan secara optimal, maka upaya-upaya pemanfaatan pekarangan mulai banyak dilakukan, baik itu dari pemerintah maupun kalangan swasta, komunitas, dan pihak lainnya. Pada tahun 2011, Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian RI, mencanangkan Program Gerakan Perempuan untuk Optimalisasi Pekarangan (GPOP). Dasar pelaksanaan kegiatan ini adalah Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal yang implementasinya adalah pemberdayaan kelompok wanita melalui Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pekarangan. Kegiatan yang dilakukan adalah
5 menstimulasi keluarga dalam hal ini ibu-ibu rumah tangga yang tergabung dalam kelompok, untuk memanfaatkan pekarangan dengan memberikan bibit tanaman cabai, sarana prasarana pendukung budidaya serta pelatihan teknis budidaya tanaman cabai. Kota Depok merupakan satu dari 18 kota di Indonesia yang mendapatkan program GPOP dari Direktorat Jenderal Hortikultura. Keluarga yang dapat mengakses program GPOP ini harusnya dapat memanfaatkan bantuan dengan mengelola pekarangan secara optimal. Selain itu, dengan manajemen sumberdaya keluarga lainnya yang dilakukan secara efektif dan efisien, diharapkan kesejahteraan dapat dicapai keluarga-keluarga Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini akan menjawab permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan pada keluarga peserta dan bukan peserta Program GPOP? 2. Bagaimana manajemen keuangan dan waktu keluarga? 3. Bagaimana tingkat kesejahteraan keluarga peserta dan bukan peserta Program GPOP? 4. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan keluarga peserta dan bukan peserta program GPOP? Tujuan Penelitian Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis tingkat kesejahteraan keluarga peserta dan bukan peserta Program Gerakan Perempuan untuk Optimalisasi Pekarangan (GPOP). Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk: 1. Menganalisis optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan. 2. Menganalisis manajemen keuangan dan waktu keluarga. 3. Menganalisis tingkat kesejahteraan keluarga. 4. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan keluarga. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat: 1. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam memahami lebih lanjut mengenai kesejahteraan, manajemen keuangan dan waktu keluarga dan pemanfaatan lahan pekarangan yang dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. 2. Sebagai tambahan informasi bagi pengambil kebijakan dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat perkotaan, terutama dengan mengoptimalkan pemanfaatan lahan pekarangan keluarga.
6 2 TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Pengertian Keluarga Burgess & Locke (1945) mendefinisikan keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat yang anggotanya terikat oleh adanya hubungan perkawinan (suami-istri) serta hubungan darah (anak kandung) atau adopsi (anak pungut). Menurut Duvall (1977) keluarga adalah sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi dan kelahiran yang bertujuan untuk meningkatkan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial dari tiap anggota. Darling (1987) menyatakan bahwa keluarga merupakan unit dari lingkungan, yaitu suatu kelompok yang terdiri atas individu-individu yang saling berinteraksi dan saling tergantung yang memiliki tujuan dan sumberdaya yang dalam sebagian siklus kehidupannya saling berbagi. Menurut Gunarsa & Gunarsa (2001) keluarga adalah sekelompok orang yang diikat oleh perkawinan atau pertalian darah dan biasanya meliputi ayah, ibu, dan anak atau anak-anak. Roopnarine dan Gielen (2005) menjelaskan bahwa keluarga merupakan kelompok sosial terkecil dari masyarakat yang terbentuk berdasarkan pernikahan dan terdiri dari seorang ayah atau suami, ibu atau istri, memiliki peran sebagai orang tua bagi anak-anaknya. Fungsi Keluarga Keluarga sebagai sistem sosial terkecil mempunyai fungsi dan tugas agar sistem tersebut berjalan seimbang dan berkesinambungan. Peranan dan fungsi keluarga sangat luas dan sangat bergantung dari sudut dan orientasi mana akan dilakukan, yaitu diantaranya dari sudut biologi, sudut perkembangan, pendidikan, sosiologi, agama dan ekonomi. Majelis Umum PBB mengemukakan bahwa keluarga sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan sosialisasi anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan sosial yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera (Sunarti 2004). Fungsi keluarga menurut Friedman (1999) ada lima yaitu: 1. Fungsi Afektif. Merupakan suatu basis sentral bagi pembentukan dan kelangsungan keluarga. Kebahagiaan keluarga diukur dengan kekuatan cinta keluarga. Keberhasilan melaksanakan fungsi afektif tampak kegembiraan dan kebahagiaan seluruh anggota keluarga, tiap anggota keluarga mempertahankan hubungan yang baik. 2. Fungsi Sosialisasi. Sosialisasi adalah proses perkembangan dan perubahan yang dilalui individu yang menghasilkan interaksi sosial dan belajar berperan dalam lingkungan sosial. Proses sosialisasi dimulai sejak lahir. Keluarga merupakan tempat individu untuk belajar sosialisasi. Anggota keluarga belajar disiplin, belajar tentang norma-norma, budaya dan perilaku melalui hubungan dan interaksi dalam keluarga. 3. Fungsi Reproduksi. Keluarga berfungsi untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah sumberdaya manusia.
7 4. Fungsi Ekonomi. Merupakan fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal. 5. Fungsi Perawatan Kesehatan. Keluarga juga berfungsi untuk melaksanakan praktek asuhan kesehatan yaitu mencegah terjadi gangguan kesehatan dan atau merawat anggota keluarga yang sakit. Kesanggupan keluarga untuk melaksanakan pemeliharaan kesehatan dapat dilihat dari kemampuan keluarga untuk mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan, memberikan perawatan, memelihara lingkungan dan menggunakan fasilitas kesehatan. Pendekatan Teori Keluarga: Teori Struktural Fungsional Pendekatan struktural fungsional adalah pendekatan teori sosiologi yang diterapkan dalam institusi keluarga. William F. Ogburn dan Talcott Parson adalah para sosiolog ternama yang mengembangkan pendekatan struktural fungsional dalam kehidupan keluarga. Pendekatan ini mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial dan keragaman ini merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat. Menurut teori struktural fungsional, keluarga dapat dilihat sebagai salah satu dari berbagai subsistem dalam masyarakat (Megawangi 2005). Keluarga dalam subsistem masyarakat tidak terlepas dari interaksi dengan subsistem masyarakat lainnya seperti sistem ekonomi, politik, pendidikan dan agama. Dalam interaksi tersebut keluarga berfungsi untuk memelihara keseimbangan sosial dalam masyarakat (equilibrium state). Selanjutnya Megawangi (2005) mengatakan keseimbangan akan menciptakan sebuah sistem sosial yang tertib (social order). Keluarga juga bersifat adaptif yang selalu menyesuaikan dirinya dalam menghadapi perubahan lingkungan, sesuai dengan pernyataan Parson bahwa keluarga selalu beradaptasi secara mulus menghadapi perubahan lingkungan. Kondisi tersebut dikatakan keseimbangan dinamis atau dynamic equilibrium (Megawangi 2005). Teori struktural fungsional juga memandang keluarga sebagai sebuah sistem terkait anggota dalam keluarga. Dalam hal ini, keluarga memiliki peran dan tugas yang harus dijalankan oleh anggota keluarga (Megawangi 2005). Dalam pandangan teori struktural fungsional, dapat dilihat dua aspek yang saling berkaitan yaitu aspek struktural dan aspek fungsional. Megawangi (2005) menjelaskan bahwa aspek struktural melihat suatu keseimbangan dalam masyarakat yang diciptakan oleh sistem sosial yang tertib. Ketertiban sosial tercipta jika keluarga memiliki struktur atau strata sehingga anggota keluarga mengetahui posisi dan patuh pada sistem yang berlaku dalam keluarga. Struktur dalam keluarga dapat menjadikan institusi dalam keluarga sebagai sistem kesatuan. Ada tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga yang saling terkait yaitu status sosial, fungsi sosial, dan norma sosial yang ketiganya saling kait mengait. Struktur pada keluarga nuklir berdasarkan status sosial terdiri dari tiga struktur utama yaitu bapak/suami, ibu/istri, dan anak-anak. Struktur dapat juga berupa figur-figur seperti pencari nafkah, ibu rumah tangga, anak balita, remaja, dan sebagainya. Sedangkan peran sosial merupakan gambaran peran dari status sosial yang dimiliki. Misalnya, orangtua memiliki peran instrumental yang dipegang oleh bapak/suami sebagai pencari nafkah dan peran ekspresif yang melekat pada ibu/istri dengan memberikan cinta dan kelembutan terhadap
8 keluarga. Norma sosial merupakan peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya, misalnya dalam hal pembagian tugas dalam keluarga (Megawangi 2005). Keseimbangan sistem sosial dapat tercipta jika struktur keluarga sebagai sistem dapat berfungsi. Adapun fungsi sebuah sistem mengacu pada sebuah sistem untuk memelihara dirinya sendiri dan memberikan kontribusi pada berfungsinya subsistem dari sistem tersebut (Megawangi 2005). Seseorang dalam sistem keluarga yang memiliki status sosial tertentu memiliki peran yang harus dijalankan dari status sosial tersebut. Levy dalam Megawangi (2005) mengungkapkan bahwa tanpa pembagian tugas yang jelas dari status sosial, maka fungsi keluarga akan terganggu dan akan mempengaruhi sistem yang lebih besar. Kesejahteraan Keluarga Definisi Kesejahteraan (well-being) didefinisikan sebagai kualitas hidup seseorang atau unit sosial (Behnke & MacDermid 2004). Kualitas hidup individu terdiri dari berbagai aspek, baik ekonomi, sosial, maupun psikologisnya. Menurut Sukirno (1985), kesejahteraan adalah sesuatu yang bersifat subyektif, sehingga setiap orang yang memiliki pedoman, tujuan, dan cara hidup yang berbeda akan memberikan nilai yang berbeda tentang faktor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan. Dalam konteks Indonesia, sebagaimana tertuang dalam UU No. 10 1992, bahwa keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup material dan spiritual yang layak, bertakwa kepada Tuhan YME, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota keluarga dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungan. Martinez et al. (2012) menyatakan bahwa keluarga yang sejahtera adalah keluarga yang kuat dan sukses dalam mengatasi berbagai masalah, yaitu: 1. Kesehatan, indikatornya keluarga merasa sehat secara fisik, mental, emosional dan spiritual yang maksimal. 2. Ekonomi, indikatornya keluarga memiliki sumberdaya ekonomi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui kesempatan kerja, kepemilikan aset dalam jumlah tertentu dan sebagainya. 3. Kehidupan keluarga yang sehat, indikatornya adalah bagaimana keluarga terampil dalam mengelola resiko, kesempatan, konflik dan pengasuhan untuk mencapai kepuasan hidup. 4. Pendidikan, indikatornya kesiapan anak untuk belajar di rumah dan sekolah sampai mencapai tingkat pendidikan yang diinginkan dengan keterlibatan dan dukungan peran orang tua hingga anak mencapai kesuksesan. 5. Kehidupan bermasyarakat, indikatornya jika keluarga memiliki dukungan seimbang antara yang bersifat formal ataupun informal dari anggota lain dalam masyarakatnya, seperti hubungan pro sosial antara anggota masyarakat, dukungan teman, keluarga dan sebagainya. 6. Perbedaan budaya dalam masyarakat yang ada dapat diterima melalui ketrampilan interaksi personal dengan berbagai budaya. Martinez et al. (2012) memandang bahwa kesejahteraan itu mencakup seluruh aspek kehidupan, jadi tidak hanya aspek ekonomi saja. Sedangkan
9 Sumarwoto dalam Siahaan (2004) memberikan satu parameter kualitas hidup yang lebih universal, yaitu besarnya pilihan. Semakin lapangnya kebebasan untuk menentukan pilihan, maka kualitas kehidupan semakin tinggi. Kesejahteraan ekonomi merupakan kesejahteraan yang bersifat lahiriah sehingga bersifat nyata (tangible) dan dapat diukur (measurable). Pengukuran dapat dilakukan terhadap kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, dan kebutuhan yang bersifat kebendaan lainnya. Menurut Sawidak (1985), kesejahteraan menggambarkan kepuasan seseorang karena mengkonsumsi pendapatan yang diperoleh. Kepuasan yang diperoleh bersifat relatif tergantung jumlah pendapatan yang diperoleh. Orang yang berpendapatan rendah tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimumnya, sehingga kepuasan yang diperoleh rendah atau tidak sejahtera (miskin). Siahaan (2004) menyebutkan patokan kualitas hidup adalah nilai kuantitatif dengan standar yang minimal (kebutuhan pangan, sandang, rumah dan kebutuhan penting lainnya yang cukup). Pengukuran Tingkat Kesejahteraan Keluarga Tingkat kesejahteraan keluarga dapat diukur dengan berbagai pendekatan, yaitu dengan pendepakatan garis kemiskinan BPS dan penilaian keluarga terhadap aspek-aspek kesejahteraan keluarganya. Kesejahteraan dapat diukur dengan melakukan pendekatan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi untuk dapat keluar dari kemiskinan. Pendekatan yang digunakan salah satunya adalah berdasarkan garis kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengartikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makanan maupun nonmakanan. Inti dari model ini adalah membandingkan tingkat konsumsi penduduk dengan "garis kemiskinan" (GK) yaitu jumlah rupiah untuk konsumsi per orang per bulan. BPS menggunakan batas garis kemiskinan berdasarkan data konsumsi dan pengeluaran komoditas pangan dan non pangan. Komoditas pangan terpilih terdiri dari 52 macam, sedangkan komoditas non pangan terdiri dari 27 jenis untuk kota dan 26 jenis untuk desa. Garis kemiskinan yang telah ditetapkan BPS dari tahun ke tahun mengalami perubahan, demikian juga antara satu daerah dengan daerah lainnya juga berbeda. Standar garis kemiskinan Kota Depok berdasarkan BPS 2010 adalah sebesar Rp 310.279 per kapita per bulan. Berbeda dengan BPS, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) lebih melihat dari sisi kesejahteraan dibandingkan dari sisi kemiskinan. Untuk mengukur tingkat kesejahteraan, BKKBN melakukan program yang disebut sebagai Pendataan Keluarga. Pendataan Keluarga dilakukan oleh BKKBN setiap tahun sejak tahun 1994. Pendataan keluarga bertujuan untuk memperoleh data dasar kependudukan dan keluarga dalam rangka program pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Data kemiskinan dilakukan lewat pentahapan keluarga sejahtera yang dibagi menjadi lima tahap, yaitu: 1) Keluarga Pra Sejahtera (sangat miskin); 2) Keluarga Sejahtera I (miskin); 3) Keluarga Sejahtera II; 4) Keluarga Sejahtera III; dan 5) Keluarga Sejahtera III plus. Dari data tersebut kemudian didapatkan jumlah keluarga miskin dari mulai tingkat RT, dusun, desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi sampai dengan tingkat nasional. Pra Sejahtera (sangat miskin) diartikan sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan.
10 Sejahtera tahap I (miskin) diartikan sebagai keluarga yang mampu memenuhi kebutuhan dasarnya tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya. Yang dimaksud kebutuhan sosial psikologis adalah kebutuhan akan pendidikan, keluarga berencana, interaksi dalam keluarga, interaksi dalam lingkungan tempat tinggal dan transportasi. Kesejahteraan tidak saja dilihat dari aspek ekonomi saja tapi juga aspek non ekonomi lainnya. Untuk itu ada cara lain dalam pengukuran tingkat kesejahteraan keluarga yaitu melalui pendekatan subjektif. Menurut Cahyat et al. (2007) kesejahteraan subjektif merupakan kumpulan perasaan seseorang; bisa berupa perasaan sejahtera, rasa bahagia, rasa dihormati, rasa diakui, rasa miskin, rasa serba kekurangan, dan perasaan-perasaan sejenisnya. Perasaan ini bersifat sangat umum dan dipengaruhi oleh seluruh aspek kehidupan. Perasaan ini bisa saja bersifat sementara dan mungkin dipengaruhi oleh kejadian-kejadian sesaat. Rumah tangga yang baru bercerai, misalnya, pasti langsung merasa tidak bahagia, walaupun mungkin keadaan materi, pengetahuan, kesehatan dan lingkungan kehidupannya dalam kondisi baik. Kahneman & Sugden (2005) menjelaskan bahwa kesejahteraan subjektif didasarkan pada bagaimana seseorang menganggap atau menilai keadaannya pada saat tertentu, dengan pengetahuan atau pengalaman pribadi yang ia miliki, dan bukan apa yang orang lain amati atau pikirkan tentang keadaan seseorang tersebut. Hasil Studi Empiris tentang Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan Keluarga Rambe (2004) menemukan bahwa faktor-faktor yang menentukan kesejahteraan keluarga tergantung pada indikator yang digunakan dalam mengukur kesejahteraan keluarga. Selanjutnya dikatakan bahwa ada empat faktor yang konsisten dalam menentukan tingkat kesejahteraan keluarga yakni: faktor pendidikan, kondisi tempat tinggal, harga dan pengeluaran. Menurut Muflikhati et al. (2010) kondisi sosial ekonomi yang berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan keluarga pada umumnya adalah besar keluarga, pendidikan kepala rumah tangga, aset, pendapatan, dan pengeluaran per kapita. Iskandar (2007) dalam hasil penelitiannya juga menyebutkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan menurut penilaian keluarga adalah pendidikan kepala keluarga dan kepemilikan aset. Faktor-faktor ekonomi merupakan faktor penting dalam menentukan kesejahteraan. Hal ini terlihat dari hasil penelitian Kusumo (2009) dan Simanjuntak (2010). Tingkat pendapatan per kapita berpengaruh positif terhadap tingkat kesejahteraan (Kusumo 2009). Sedangkan Simanjuntak (2010) menyatakan bahwa ekonomi keluarga yang semakin baik akan memberikan pengaruh tidak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga. Selain itu manajemen keuangan ternyata juga berpengaruh positif terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga (Suandi 2007). Hasil penelitian menunjukkan kesejahteraan objektif dipengaruhi oleh pendapatan dan aset keluarga. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Muflikhati et al. (2010); Weston et al. (2004), Kusumo et al. (2008) dan Milligan et al. (2006) yang menyatakan bahwa pendapatan berpengaruh terhadap kesejahteraan objektif keluarga. Bryant (1990) menyatakan bahwa aset adalah sumberdaya atau kekayaan yang dimiliki oleh keluarga. Aset akan berperan sebagai alat pemuas
11 kebutuhan, yang oleh karena itu keluarga yang memiliki aset lebih banyak cenderung lebih sejahtera jika dibandingkan dengan keluarga yang memiliki aset terbatas. Menurut Muflikhati et al. (2010) dan Iskandar (2007), aset berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan keluarga. Dalam konteks komunitas, indikator kesejahteraan keluarga adalah peran kehidupan bertetangga (lingkungan sekitar) dan pengaruh karakteristik lingkungan perumahan terhadap fungsi keluarga dan perkembangan anak (Bowen & Richman 2001 dalam Muflikhati 2010). Manajemen Sumberdaya Keluarga Manajemen menurut Goldsmith (1996) adalah proses penggunaan sumberdaya untuk mencapai tujuan. Manajemen membahas tentang bagaimana seseorang atau keluarga merencanakan, memutuskan dan bertindak untuk memenuhi kebutuhannya dan mencapai tujuan dalam sebuah masyarakat yang semakin kompleks. Menurut Peter Drucker (1989) dalam Goldsmith (1996), tugas manajemen adalah membuat seseorang mampu menunjukkan kinerja, untuk menjadikan kekuatannya efektif dan kelemahannya tidak relevan. Dalam keluarga, manajemen memenuhi tugas ini yang memungkinkan keluarga terlibat dalam pengambilan keputusan bersama dan dengan menyediakan sebuah kerangka kerja yang mendukung dan memaksimalkan keuntungan bagi anggota keluarga. Menurut Guhardja et al. (1992)1, manajemen sumberdaya keluarga adalah penggunaan sumberdaya keluarga dalam usaha atau proses mencapai sesuatu yang dianggap penting oleh keluarga. Manajemen ini bertujuan untuk mencapai hasil sebaik-baiknya dengan penggunaan sumberdaya yang sekecil-kecilnya. Dalam manajemen keluarga, terdapat tahapan-tahapan atau proses yang harus dilalui, yaitu perencananaan, pelaksanaan dan pengawasan. Perencanaan merupakan awal dari proses manajemen keluarga. Menurut Siagian (1980), perencanaan adalah keseluruhan proses pemikiran dan penentuan secara matang tentang hal-hal yang akan dikerjakan di masa yang akan datang dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Setelah perencanaan proses manajemen selanjutnya adalah pengorganisasian dimana ada proses pengelompokkan orangorang, alat-alat, tugas-tugas, tanggung jawab dan wewenang sedemikian rupa sehingga tercipta suatu organisasi yang dapat digerakkan sebagai suatu kesatuan dalam pencapaian tujuan yang telah ditentukan (Siagian 1980). Pelaksanaan atau actuating adalah upaya menjalankan suatu rencana dan menguraikan rencana ke dalam segala resikonya dalam rangka mencapai tujuan (Guhardja et al. 1992)1. Hal penting yang perlu dilihat dalam tahap pelaksanaan ini adalah alokasi waktu dan pengeluaran yang digunakan selama proses pelaksanaan. Tahap terakhir dari proses manajemen adalah pengawasan, yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kegiatan sudah dilaksanakan dan memeriksa tindakan-tindakan yang telah dilakukan, sesuai dengan rencana atau tidak (Deacon & Firebaugh 1981). Aplikasi manajemen sumberdaya keluarga dapat diterapkan dalam manajemen keuangan, manajemen waktu dan pekerjaan (Deacon & Firebaugh 1981). Kedua aplikasi tersebut digunakan dalam menganalisis manajemen sumberdaya keluarga dalam penelitian ini.
12 Manajemen Keuangan Keluarga Uang merupakan suatu sumberdaya dan sekaligus merupakan alat pengukur dari sumberdaya. Besarnya uang yang dimiliki oleh seseorang atau keluarga menunjukkan berapa banyak sumberdaya uang yang dimilikinya. Dengan uang yang dimiliki, seseorang atau keluarga dapat memenuhi keinginan mereka. Uang juga bisa digunakan sebagai pengukur/ nilai dari sumberdaya (Guharja et al. 1992)1. Pemilikan sumberdaya uang dalam suatu keluarga relatif terbatas, tergantung kepada jumlah dan kualitas orang yang berpartisipasi dalam pencarian pendapatan serta pemilikan aset lainnya. Sedangkan di lain pihak, keinginan dan kebutuhan setiap keluarga dan anggotanya relatif tidak terbatas, bahkan cenderung berubah dan bertambah banyak dari waktu ke waktu. Sehingga agar pemanfaatan sumberdaya uang yang terbatas tersebut mencapai optimum diperlukan usaha manajemen keuangan yang baik dan efektif. Hal ini untuk membantu penggunaan sumberdaya yang terbatas untuk keperluan-keperluan prioritas sehingga penggunaan keuangan keluarga dirasakan manfaatnya secara maksimal oleh semua anggota keluarga (Guharja et al. 1992)1. Manajemen keuangan keluarga adalah pengelolaan atau pengaturan keuangan keluarga untuk memenuhi semua kebutuhan keluarga sehari-hari yang terdiri dari kebutuhan makanan, pendidikan, kesehatan, pakaian, perumahan, dan lain-lain. Manajemen keuangan sangat penting peranannya dalam mewujudkan kesejahteraan keluarga. Untuk itu berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas manajemen keuangan keluarga melalui perencanaan keuangan yang baik dan disiplin sangat diperlukan untuk mendukung terwujudnya keluarga sejahtera. Menurut Guharja et al. (1992)1, rencana keuangan yang tertulis pada dasarnya dibuat untuk: (1) melindungi dari resiko keuangan, dan (2) mengakumulasi modal/ kekayaan. Kunci dari pembuatan rencana keuangan yang baik adalah identifikasi tujuan jangka panjang dan pendek. Tujuan jangka panjang merupakan tujuan umum yang ingin dicapai oleh setiap keluarga atau individu dengan menggunakan sumberdaya uangnya pada periode satu tahun yang akan datang atau lebih. Sedangkan tujuan jangka pendek adalah kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan yang memerlukan sumberdaya untuk memenuhinya selama waktu kurang dari satu tahun. Tujuan jangka pendek ini harus konsisten dengan arah umum dari tujuan jangka panjang. Manajemen Waktu Keluarga Manajemen waktu adalah suatu cara dalam menggunakan dan mengelola waktu agar aktivitas dapat berjalan efektif dan efisien. Output dari manajemen waktu adalah jika waktu yang digunakan dapat mencapai tujuan individu dan keluarga. Dalam mengelola waktu diperlukan kemampuan untuk menempatkan posisi diri dalam lingkungan. Dengan kata lain, aktivitas individu akan disesuaikan dengan orang lain, baik dalam aspek pemenuhan pangan, pekerjaan, istirahat, atau rekreasi (Nickell dan Dorsey 1960). Sebagai aktivitas manajemen, manajemen waktu terdiri atas aktivitas perencanaan, pengawasan, dan evaluasi. Menurut Gross dan Crandall (1973), terdapat tiga tipe perencanaan waktu, yaitu: 1) List a job; 2) Series of project; dan 3) Schedule. List a job adalah perencanaan waktu dengan cara membuat daftar aktivitas kegiatan yang akan dilakukan, disertai dengan kata-kata motivasi sehingga bersemangat untuk mencapai target yang sudah ditentukan. Pada
13 perencanaan series of project, daftar aktivitas kegiatan disertai dengan urutan waktu, namun tidak ada batas waktu yang jelas. Adapun, dalam tipe perencanaan yang ketiga, daftar aktivitas disertai dengan urutan waktu dan perkiraan waktu yang diperlukan untuk mengerjakan aktivitas tersebut. Perencanaan waktu disusun sedemikian rupa dengan mengalokasikan waktu tidak terduga (emergencies time). Kemampuan seseorang dalam melakukan penyesuaian dalam pengelolaan waktu merupakan aspek penting dalam melakukan manajemen waktu (Nickell dan Dorsey 1960). Salah satu cara untuk meningkatkan kepekaan terhadap waktu adalah dengan membuat daftar aktivitas yang harus dilakukan dalam waktu yang cukup singkat. Salah satu alat bantu yang bisa digunakan sebagai pengontrol waktu adalah bulletin board, yaitu papan yang berisi daftar aktivitas beserta perkiraan waktu yang diperlukan. Alat bantu lainnya adalah time record, yaitu mencatat setiap penggunaan waktu. Dengan cara ini, seseorang dapat memeriksa proporsi dalam menggunakan waktu. Adapun evaluasi dilakukan dengan memeriksa ketepatan metode yang digunakan, kesesuaian pengambilan keputusan yang diambil dengan nilai yang dianut serta ketepatan pencapaian target (Gross dan Crandall 1973). Penelitian yang dilakukan Iskandar (2007) menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi praktek manajemen sumberdaya keluarga adalah pendidikan kepala keluarga, pendapatan keluarga dan tempat tinggal keluarga (di desa atau di kota). Sedangkan menurut Herawati (2012) jumlah anggota keluarga dan status bekerja suami istri berpengaruh nyata terhadap proses manajemen sumberdaya keluarga, baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu partisipasi dalam kegiatan penyuluhan juga berpengaruh nyata terhadap proses manajemen sumberdaya keluarga, dimana keluarga merupakan peserta program pemberdayaan masyarakat di pedesaan. Sumberdaya Keluarga Menurut Deacon dan Maloch dalam Guhardja et al. (1992)1 sumberdaya merupakan alat atau bahan yang tersedia dan diketahui potensinya untuk memenuhi keinginan. Sedangkan sumberdaya menurut Guhardja et al. (1992)1 adalah alat dan potensi yang digunakan untuk mencapai kebutuhan. Utilitas atau kegunaan merupakan ciri dari semua sumberdaya. Jadi segala sesuatu yang ada di sekitar kita apabila belum diketahui kegunaannya maka belum dapat dikatakan sebagai sumberdaya. Menurut Goldsmith (1996) sumberdaya adalah segala sesuatu yang tersedia yang dapat digunakan. Paolucci, Hall & Axinn (1977) dalam Goldsmith (1996) menyatakan bahwa sumberdaya memiliki karakteristik: 1) sumberdaya bersifat saling ketergantungan (interdependent); 2) terkadang dapat bertukar (exchangeable); 3) terbatas (limited); 4) penggunaan sumberdaya bergantung pada kemampuan seseorang memproses informasi dan membuat keputusan; 5) sumberdaya terkadang dapat disimpan (sumberdaya yang berupa benda). Berdasarkan jenisnya, sumberdaya keluarga terdiri dari sumberdaya manusia, sumberdaya materi dan sumberdaya waktu. Ketiga jenis sumberdaya ini merupakan satu kesatuan sumberdaya total yang dimiliki oleh suatu keluarga dan merupakan suatu alat untuk mencapai tujuan keluarga yang diinginkan. Menurut Guhardja et al. (1992)1, sumberdaya manusia meliputi ciri pribadi dan ciri interpersonal. Adapun yang termasuk ciri pribadi/personal adalah semua
14 pengetahuan (cognitive), perasaan (affective) dan keterampilan (psychomotoric). Selain itu termasuk juga energi manusia, status kesehatan, bakat, tingkat intelegensi, minat dan sensitivitas (kepekaan). Sedangkan yang termasuk dalam ciri interpersonal terdiri atas: 1) jalinan hubungan antar manusia dalam membentuk suatu kerjasama gotong royong atau keintiman; dan 2) keterbukaan/ ketertutupan antar personal dalam kaitannya dengan pengembangan. Sumberdaya materi merupakan benda-benda yang mempunyai khasiat dan kegunaan pada individu dan keluarga dalam mencapai tujuan yang diinginkannya. Sumberdaya materi terdiri atas: 1) benda-benda atau barang yang digunakan dalam proses konsumsi, ada yang tahan lama ada yang tidak tahan lama; 2) jasa. Sumberdaya waktu merupakan sumberdaya yang unik, karena dia tidak seperti sumberdaya lain. Sumberdaya waktu tidak dapat ditambah, dikurangi diakumulasi maupun disimpan. Waktu yang dimiliki oleh setiap keluarga dimana pun dia berada adalah sama yaitu 24 jam dalam satu hari. Berdasarkan asal atau letaknya, sumberdaya terdiri atas: 1) sumberdaya mikro atau internal, yaitu sumberdaya yang ada pada suatu individu dan keluarga baik fisik maupun non fisik, misalnya: jumlah dan susunan keluarga, tingkat pendapatan, luas lahan, tata nilai/agama, dan lain-lain; 2) sumberdaya makro atau eksternal, yaitu sumberdaya yang ada pada lingkungan yang lebih luas dan pada suatu masyarakat luas, baik fisik maupun non fisik, misalnya sanitasi lingkungan pemukiman, kesempatan berusaha/bekerja, fasilitas pendidikan, dan lain-lain (Guhardja et al. 1992)1. Lahan Pekarangan Definisi Lahan pekarangan, sekecil apapun merupakan sumberdaya bagi keluarga, yang dapat memberi manfaat bagi anggota keluarga jika dikelola dengan baik. Istilah pekarangan berasal dari kata “karang” yang berarti pohon-pohonan. Di luar Indonesia terdapat pula farm yard, compound, mixed garden atau home garden. Banyak definisi pekarangan yang telah dikemukakan, antara lain oleh Terra (1948), Danoesastro (1976), Karyono (1981), Soemarwoto et al. (1987), Abdoellah (1991), Hardono (1992), dan Suryana dan Simatupang (1992). Menurut Terra (1948, 1953), seorang ahli berkebangsaan Belanda, pekarangan ialah tanah sekitar perumahan, kebanyakan berpagar keliling dan biasanya ditanami beraneka macam tanaman musiman maupun tanaman tahunan, untuk keperluan sendiri sehari-hari dan untuk diperdagangkan. Ditambahkan bahwa kebanyakan pekarangan terletak berdekatan dan bersama-sama membentuk dukuh, kampung atau desa. Dalam definisinya Terra (1948) menekankan bahwa lahan pekarangan adalah lahan yang berada di sekeliling rumah tinggal yang dihuni secara permanen. Dengan demikian tidak termasuk lahan di sekitar pondok di ladang, kebun dan sawah. Danoesastro (1976) mengajukan definisi untuk lahan pekarangan sebagai lahan yang berada di sekeliling rumah yang dihuni secara permanen, memiliki batas yang jelas, ditanami dengan beberapa jenis tanaman, dan memiliki hubungan fungsional dengan rumah tempat tinggal tersebut. Brownrigg (1985) mengungkapkan lahan pekarangan dengan merinci butir-butir lahan pekarangan yaitu: 1) pekarangan berkonotasi sebagai hamparan lahan yang berlokasi dekat
15 dengan rumah tinggal; 2) pekarangan diusahakan dengan berbagai ragam usaha/komoditas; 3) pekarangan berkonotasi pada pemenuhan sebagian dari konsumsi rumah tangga, dan 4) pekarangan memiliki ukuran yang relatif kecil. Soemarwoto (1975) mendefinisikan pekarangan sebagai sebidang tanah darat yang terletak langsung di sekitar rumah yang jelas batas-batasnya, ditanami dengan satu atau berbagai jenis tanaman dan masih mempunyai hubungan pemilikan dan atau fungsional dengan rumah yang bersangkutan. Soemarwoto et al. (1987) dalam Lakitan (1995) menyetarakan pengertian lahan pekarangan dengan home garden, untuk menekankan keeratan hubungan antara lahan dengan rumah tinggalnya. Soemarwoto et al. (1987) menyebutkan bahwa bagi penduduk desa, pekarangan mempunyai dua arti, yaitu tempat bermukim dan produksi. Pekarangan merupakan sistem ekologis yang mencakup interaksi antara manusiatumbuhan-hewan-tanah-air. Abdoellah (1991) mendefinisikan lahan pekarangan sebagai sehamparan lahan dengan batas tertentu dan dengan sebuah rumah, yang biasanya (tetapi tidak selalu) merupakan perpaduan antara tanaman tahunan, tanaman setahun, dan ternak (atau ikan), serta memiliki berbagai fungsi biofisik, ekonomi, dan sosial budaya bagi pemiliknya. Hardono (1992) memberikan batasan lahan pekarangan sebagai sebidang lahan darat baik lahan kering maupun lahan basah yang jelas batas-batasnya dan terletak di lingkungan pemukiman, yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman pangan, peternakan dan perikanan guna meningkatkan gizi keluarga. Istilah lahan pekarangan ini diberikan oleh Hardono dalam kaitannya dengan Program Diversifikasi Pangan dan Gizi. Suryana dan Simatupang (1992) melengkapi definisi pekarangan menjadi lahan dengan batas-batas yang jelas, dimana pada lahan tersebut terdapat rumah tempat tinggal, berbagai macam tanaman, ternak, dan/atau ikan, dimana masingmasing komoditas ini mempunyai hubungan fungsional dengan penghuni rumah baik secara ekonomi, biofisik, atau sosiokultural. Lakitan (1994) mengemukakan bahwa lahan pekarangan adalah lahan yang memiliki ciri sebagai berikut: 1) berada di sekitar rumah yang dihuni secara permanen; 2) memiliki hubungan fungsional dengan rumah tinggal yang bersangkutan; 3) memiliki batas yang jelas berupa pembatasan fisik (pagar), batas pengelolaan, atau batas hak pemilikan. Bentuk dan pola tanaman pekarangan tidak dapat disamakan, bergantung pada luas tanah, tinggi tempat, iklim, jarak dari kota, jenis tanaman. Pada lahan pekarangan tersebut biasanya dipelihara ikan dalam kolam, dan hewan piaraan seperti ayam, itik, dan kelinci. Pekarangan di pedesaan mungkin masih banyak dijumpai kandang kambing, domba, bahkan sapi dan kerbau. Keragaman tumbuhan dan binatang peliharaan inilah yang menciptakan pelestarian lingkungan hidup pada pekarangan. Lahan pekarangan beserta isinya merupakan satu kesatuan kehidupan yang saling menguntungkan. Sebagian dari tanaman dimanfaatkan untuk pakan ternak, dan sebagian lagi untuk manusia. Sedangkan kotoran ternak digunakan sebagai pupuk kandang untuk menyuburkan tanah pekarangan. Dengan demikian, hubungan antara tanah, tanaman, hewan piaraan, ikan dan manusia sebagai unitunit di pekarangan merupakan satu kesatuan terpadu.
16 Menurut Irwan (2008), secara garis besar area atau daerah taman pekarangan pada umumnya dapat dibagi menjadi: 1. Daerah umum (public area). Taman yang selain dapat dilihat dan dinikmati oleh penghuni rumah juga oleh siapa saja yang lewat di depan atau di sekitar rumah kita. 2. Daerah kesibukan (service area). Taman yang berfungsi sebagai tempat kegiatan penghuni rumah, misalnya tempat mencuci pakaian, mencuci piring atau lainnya. Pada area ini pun dapat ditanam tanaman bumbu-bumbuan, sayur-sayuran atau tempat menanam tanaman obat-obatan. Begitu pula tempat anak-anak bermain. Biasanya daerah ini diletakkan dekat dapur, agar memudahkan mengambil tanaman bumbu pada saat sedang memasak. Begitu pula tempat anak-anak bermain diletakkan di daerah ini, dengan maksud ibu atau pembantu rumah tangga atau penghuni rumah lainnya sambil bekerja di dapur, dapat mengawasi anak-anak yang sedang bermain setiap saat. Juga pada saat anggota keluarga memerlukan tanaman obat-obatan, terutama pada malam hari dapat dengan mudah dan aman mengambilnya. 3. Daerah pribadi (private area). Daerah ini dibuat menjadi taman khusus untuk pribadi, misalnya tempat ibu atau bapak menanam tanaman, tempat menyalurkan hobinya dan aktifitas kesenangan, melakukan penelitian yang paling hemat, aman, setiap saat dapat diamati. Daerah pribadi ini biasanya disediakan di samping rumah. 4. Daerah famili (family area). Daerah ini dibuat menjadi taman untuk kepentingan keluarga, misalnya untuk tempat berolah raga, tempat keluarga berkumpul, berkemah, tempat santai anak-anak dan lain-lain. Taman untuk keluarga ini diberi tempat yang strategis di pekarangan bila pekarangannya luas. Pemanfaatan Lahan Pekarangan Berbagai keuntungan dapat diperoleh dengan memanfaatkan pekarangan menjadi produktif secara konseptual yaitu sebagai berikut: 1. Banyak yang tidak menyadari akan potensi pekarangan sebagai penghasil (tambahan), seperti bahan pangan atau bahan obat-obatan bahkan ternak untuk kebutuhan hidup sehari-hari dalam rangka hidup sehat, murah dan mudah. 2. Pemanfaatan pekarangan merupakan bagian dari pembangunan hutan kota, untuk lingkungan yang nyaman, sehat dan indah, sangat mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (suistanable development), karena pemanfaatan pekarangan merupakan pelestarian ekosistem yang sangat baik. 3. Jika setiap rumah mempunyai pekarangan yang indah serta terpelihara, sekaligus akan meningkatkan pembangunan hutan kota yang berbentuk menyebar dengan struktur yang berstrata akan meningkatkan kualitas lingkungan yang sejuk, sehat dan indah. 4. Dengan membuat taman pekarangan, ini berarti akan dapat menyalurkan segala kreatifitas dan kesenangan ataupun hobi semua anggota keluarga. 5. Unsur utama dalam pemanfaatan pekarangan adalah tanaman, apakah itu tanaman hortikultura, obat-obatan, bumbu-bumbuan, rempah-rempah dan lainnya. 6. Pemanfaatan pekarangan dengan taman pekarangan yang konseptual akan memberikan kenyamanan serta dapat memenuhi kebutuhan jasmaniah dan
17 rohaniah terutama anggota keluarga, maupun siapa saja yang lewat di sekitar rumah kita. 7. Pemanfaatan pekarangan mengandung nilai pendidikan khususnya dapat mendidik anggota keluarga mencintai lingkungan, juga pekarangan dapat menjadi laboratorium hidup (Irwan 2008; Ginting 2010). Terdapat tujuh fungsi pekarangan yang jika luasnya memadai dapat mengakomodir semua fungsi tersebut, namun untuk daerah perkotaan mungkin hanya beberapa diantaranya dapat diberdayakan dengan baik. Ketujuh fungsi pekarangan itu adalah: 1. Fungsi lumbung hidup. Untuk menghadapi musim paceklik, pekarangan biasanya dapat membantu penghuninya menyediakan sumber pangan yang hidup (lumbung hidup) seperti tanaman palawija, tanaman pangan, hortikultura, hasil binatang peliharaan, dan ikan. 2. Fungsi warung hidup. Pekarangan menyediakan berbagai jenis tanaman dan binatang peliharaan yang setiap saat siap dijual untuk kebutuhan keluarga pemiliknya. 3. Fungsi apotik hidup. Pekarangan menyediakan berbagai jenis tanaman obatobatan, misalnya jeruk nipis, kunir, kencur, jahe, kapulaga dan sebagainya. Tanaman tersebut dapat digunakan untuk obat-obatan tradisional yang tidak kalah khasiatnya dengan obat-obatan yang diproduksi secara kimiawi. 4. Fungsi sosial. Lahan pekarangan yang letaknya berbatasan dengan tetangga biasanya digunakan sebagai tempat berkumpul, tempat bermain, berdiskusi, dan kegiatan sosial lainnya. Hasil pekarangan biasanya saling ditukarkan dengan hasil pekarangan tetangga untuk menjalin keeratan hubungan sosial. 5. Fungsi sumber benih dan bibit. Pekarangan yang ditanami berbagai jenis tanaman dan untuk memelihara ternak atau ikan mampu menyediakan benih ataupun bibit baik berupa biji-bijian, stek, cangkok, okulasi maupun bibit ternak dan benih ikan. 6. Fungsi pemberian keasrian. Pekarangan yang berisi berbagai jenis tanaman, baik tanaman merambat, tanaman perdu maupun tanaman tinggi dan besar, dapat menciptakan suasana asri dan sejuk. 7. Fungsi pemberi keindahan. Pekarangan yang ditanami dengan berbagai jenis tanaman bunga-bungaan dan pagar hidup yang ditata rapi akan memberi keindahan dan ketenangan bagi penghuninya. Hasil Studi Empiris tentang Pemanfaatan Lahan Pekarangan Mitchell & Hanstad (2004) menegaskan bahwa pekarangan berkontribusi pada kesejahteraan ekonomi keluarga dalam berbagai cara. Hasil pekarangan dapat dijual untuk mendapatkan tambahan penghasilan (Torquebiau 1992; Niñez VK 1985). Hasil penelitian di Nepal, Cambodia, dan Papua New Guinea menunjukkan bahwa pendapatan yang dihasilkan dari penjualan buah, sayur dan ternak dari pekarangan memungkinkan keluarga untuk membeli makanan tambahan, menabung dan membiayai pendidikan anak-anak (Iannotti et al. 2009; Vasey 1985). Keluarga di Vietnam mampu menghasilkan lebih dari 22% pendapatan mereka dari kegiatan di pekarangan tergantung pada waktu yang dicurahkan, tenaga kerja yang terlibat dalam pengelolaan pekarangan dan luas pekarangan (Trinh et al. 2003). Pekarangan dapat menghasilkan makanan untuk konsumsi keluarga dan penyangga ekonomi keluarga pada saat terjadi fluktuasi harga (Wickramasinghe 1995; Torres 1988). Penelitian
18 yang dilakukan di Bangladesh menunjukkan bahwa pemanfaatan pekarangan dapat meningkatkan 8-10% pendapatan masyarakat (Midmore et al. 1996). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Rambe (2006) di daerah Jakarta Selatan menunjukkan bahwa pekarangan memberikan tambahan pendapatan bagi keluarga sebagai hasil penjualan tanaman hias dan produk minuman khas Betawi yang diolah dari tanaman yang ada di pekarangan. Selain itu tersedianya bahan sayuran di pekarangan dapat menekan pengeluaran untuk penyediaan pangan keluarga, sehingga dapat dialokasikan untuk kebutuhan yang lainnya. Hasil analisa kelayakan finansial yang dilakukan Mardiyanto (2006) menunjukkan bahwa pemanfaatan pekarangan yang dikelola dengan sistem terpadu (adanya tanaman dan ternak di pekarangan) dapat memberikan tambahan pendapatan keluarga sebesar Rp 78.000-Rp 110.000 per meter persegi per tahun, jika luas pekarangan 350 m2. Namun luas pekarangan ini dibutuhkan dengan penanaman yang dilakukan langsung di lahan atau tanah tanpa menggunakan sistem pot atau pun vertikultur, yang sangat diandalkan dalam penanaman di lahan pekarangan yang sempit. Hasil intervensi yang dilakukan Afrinis (2009) dengan memberikan penyuluhan tentang berbudidaya sayuran di pekarangan (program home gardening), menunjukkan terjadinya peningkatan luas pekarangan yang ditanami sayuran di Kecamatan Ciomas dan Dramaga, Kabupaten Bogor. Dengan luas ratarata pekarangan 1,5 m2, dapat menghasilkan 1200 gram sayuran dengan frekuensi panen yang berkisar 0-20 kali selama lima bulan intervensi. Pekarangan selain bermanfaat secara ekonomis, juga sangat penting bagi perkembangan kesehatan fisik dan mental anggota keluarga (Freeman et al. 2012). Lebih lanjut Freeman et al. (2012) menyatakan bahwa pekarangan terbukti sangat penting bagi rumah tangga, yaitu sebagai ekspresi kepemilikan dan identitas, sebagai tempat untuk hubungan sosial, untuk berhubungan dengan alam dan sebagai tempat produksi kebutuhan keluarga. Menurut Afrinis (2009), faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan lahan pekarangan adalah pendapatan dan status bekerja ibu. Dimana ibu yang tidak bekerja memanfaatkan pekarangannya lebih baik dibandingkan ibu yang bekerja. Hal ini berhubungan dengan alokasi waktu yang dimiliki ibu. Dan keluarga dengan pendapatan tinggi mempunyai pekarangan yang lebih luas untuk dimanfaatkan dan hal ini berhubungan dengan ibu yang tidak bekerja. Program Gerakan Perempuan untuk Optimalisasi Pekarangan Program Gerakan Perempuan untuk Optimalisasi Pekarangan (GPOP) merupakan wujud dari Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal. Program ini mengimplementasikan pemberdayaan kelompok wanita tani perkotaan melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Hortikultura. Tujuan kegiatan GPOP adalah untuk memberdayakan peran perempuan perkotaan melalui optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan untuk mendukung pasokan agribisnis hortikultura. Selain itu tujuan kegiatan GPOP secara umum adalah sebagai motivasi atau stimulasi masyarakat untuk mengoptimalkan pemanfaatan pekarangan sebagai sumber gizi, memperindah lingkungan dan menambah pendapatan keluarga.
19 Sasaran kegiatan GPOP adalah berkembangnya kelompok wanita hortikultura (berbasis kelompok PKK) di perkotaan yang berorientasi pasar melalui peran penggerak (champion) untuk meningkatkan daya saing produk dan kesejahteraan keluarga. Secara khusus sasaran kegiatan GPOP adalah tersedianya konsumsi hortikultura (sayuran dan buah-buahan) sebagai sumber protein, vitamin dan mineral serta tambahan pendapatan bagi keluarga. Komoditas yang menjadi sasaran pada program GPOP 2011 adalah cabai keriting dan cabai rawit dengan sasaran penerima manfaat sebanyak 100.000 kepala keluarga. Lokasi pelaksanaan program GPOP tahun 2011 dilakukan di sembilan provinsi di Indonesia, mencakup 18 kota, 140 kecamatan, dan 560 kelurahan. Pengembangan pertanaman cabai melalui program GPOP merupakan paket bantuan sosial dengan komponen terdiri dari: a) Pengadaan bantuan bibit (untuk taman warga atau fasilitas umum dan pekarangan masyarakat); setiap masyarakat memperoleh 6 bibit cabai dalam polybag dan setiap taman warga memperoleh 60 bibit cabai; b) Pengadaan pupuk organik dan biopestisida; sebagai penerapan pertanian organik; c) Pengadaaan Sarana Taman Warga; sebagai percontohan bagi lingkungan sekitarnya; dan d) Pelatihan Teknis Budidaya/Pelatihan Perbanyakan Benih sebagai persiapan tindak lanjut untuk kegiatan pertanaman berikutnya di tingkat kelompok penerima. 3 KERANGKA PEMIKIRAN Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat tentunya menginginkan kesejahteraan yang dapat dirasakan oleh setiap anggota keluarga. Kesejahteraan dapat dicapai bilamana keluarga memiliki sumberdaya keluarga. Menurut Deacon dan Firebaugh (1988) untuk mencapai tujuan keluarga, terdapat tiga jenis sumberdaya yang harus dikelola, yaitu manusia, materi dan waktu. Masingmasing jenis sumberdaya saling berkaitan erat antara satu dengan yang lainnya. Menurut Gross et al. (1980), sumberdaya keluarga tidak hanya berasal dari dalam keluarga sendiri tapi juga berasal dari lingkungan sekitar dimana keluarga berada. Kondisi sumberdaya itu sendiri dapat mendorong ataupun menghambat tercapainya tujuan keluarga. Pekarangan atau yang dikenal juga dengan halaman rumah, merupakan salah satu sumberdaya lingkungan fisik yang dimiliki keluarga. Pekarangan berpotensi mendukung kehidupan keluarga sehari-hari. Pekarangan dapat menghasilkan makanan untuk konsumsi anggota keluarga dan penyangga ekonomi keluarga pada saat terjadi fluktuasi harga (Wickramasinghe 1995; Torres 1988). Adanya potensi pekarangan bagi kehidupan keluarga, didukung oleh pemerintah melalui program pemanfaatan pekarangan yang salah satunya adalah program Gerakan Perempuan untuk Optimalisasi Pekarangan (GPOP). Program ini diperuntukkan bagi keluarga-keluarga yang berada di perkotaan, untuk dapat melakukan pengelolaan pekarangan secara optimal. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam program GPOP ini adalah pemberian bibit cabai kepada keluarga perkotaan dan juga untuk fasilitas umum di lingkungan perumahan, pemberian sarana prasarana untuk pemeliharaan tanaman seperti pupuk organik dan biopestisida serta pelatihan dan pembinaan teknis budidaya tanaman cabai. Upaya ini diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfaatan pekarangan bagi mendukung kehidupan keluarga baik secara ekonomi maupun non ekonomi.
20 Semua sumberdaya keluarga seperti pekarangan, uang dan waktu merupakan sumberdaya yang dimiliki oleh keluarga. Keberadaan sumberdaya ini sifatnya terbatas, dan digunakan untuk memenuhi keinginan atau kebutuhan keluarga yang tidak terbatas. Untuk terpenuhinya kebutuhan keluarga demi tercapainya tujuan keluarga, maka dibutuhkan pengelolaan sumberdaya keluarga yang baik yang dikenal sebagai manajemen sumberdaya keluarga. Menurut Deacon dan Firebaugh (1988), manajemen sumberdaya keluarga adalah suatu proses yang dilakukan oleh keluarga dan anggotanya dalam merencanakan dan melaksanakan penggunaan untuk mencapai tujuan. Dalam melakukan manajemen sumberdaya keluarga selain dipengaruhi oleh faktor internal, keluarga juga dipengaruhi oleh faktor eksternal. Faktor internal keluarga antara lain: usia suami dan istri, lama pendidikan suami dan istri, pekerjaan suami dan istri, pendapatan dan aset keluarga, besar keluarga serta tempat tinggal. Faktor eksternal keluarga adalah program Gerakan Perempuan untuk Optimalisasi Pekarangan (GPOP). Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga: Umur suami istri Pendidikan suami istri Pekerjaan suami istri Pendapatan keluarga per kapita Pengeluaran keluarga per kapita Besar keluarga Aset Tempat tinggal (kompleks atau perkampungan) Program Gerakan Perempuan untuk Optimalisasi Pekarangan (GPOP) Pemberian bibit Pemberian sarana prasarana budidaya tanaman Pelatihan teknis budidaya
Manajemen Keuangan Manajemen Waktu
Tingkat Kesejahteraan Keluarga
Optimalisasi Pemanfaatan pekarangan: Tingkat Pemanfaatan Pekarangan Komoditas yang dihasilkan pekarangan Manfaat hasil pekarangan.
Gambar 3.1 Kerangka pemikiran penelitian Manajemen sumberdaya keluarga yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah manajemen keuangan dan manajemen waktu keluarga. Selain itu juga dilihat pengelolaan dan pemanfaatan pekarangan yang dilakukan keluarga. Pengelolaan pekarangan yang baik dan keikutsertaan keluarga dalam program GPOP diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi keluarga. Hasil pemanfaatan pekarangan seperti sayur, buah, tanaman obat, ternak dan ikan dapat dikonsumsi langsung oleh keluarga. Selain sehat dan aman, hal ini tentu akan
21 mengurangi pengeluaran keluarga untuk pangan. Dengan demikian keluarga dengan segala sumberdaya yang dimilikinya, yang mengelola pekarangan secara baik diharapkan dapat mencapai kesejahteraan. Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 3.1. 4 METODE PENELITIAN Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan desain cross sectional study, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mempelajari objek dalam satu waktu tertentu. Penelitian dilakukan di Kota Depok, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan bahwa Kota Depok merupakan salah satu daerah yang mendapatkan program Gerakan Perempuan untuk Optimalisasi Pekarangan (GPOP). Waktu pengambilan data penelitian dimulai bulan Agustus sampai Oktober 2012. Teknik Penarikan Contoh Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga yang tinggal di Kota Depok, baik yang menjadi peserta maupun bukan peserta program Gerakan Perempuan untuk Optimalisasi Pekarangan (GPOP). Keluarga peserta program GPOP tersebar di sebelas kecamatan yang ada di Kota Depok. Di masing-masing kecamatan, terdapat empat kelompok PKK penerima program yang berada di kelurahan yang berbeda, dengan jumlah masing-masing anggota adalah 175 keluarga tiap kelompok. Sehingga jumlah total keluarga peserta program adalah sebesar 7700 keluarga dari 44 kelompok penerima program GPOP di Kota Depok. Purposive
Kota Depok Kecamatan Cipayung
Kecamatan Cimanggis MasCimang gis
Kelurahan Cipayung Jaya
Kelurahan Tugu MasCimang gis
Kelompok Peserta
Kelompok bukan Peserta
30 Keluarga
30 Keluarga
Kelompok Peserta 30 Keluarga
Kelompok bukan Peserta 30 Keluarga
Gambar 4.2 Alur penentuan lokasi dan contoh penelitian
Random
Purposive
Strata
Random
22 Contoh dalam penelitian ini adalah keluarga peserta dan bukan peserta program GPOP di wilayah Kota Depok. Contoh peserta program dipilih secara acak. Pertama adalah memilih dua kecamatan secara acak dari sebelas kecamatan penerima program GPOP. Berikutnya dilakukan pemilihan secara purposive satu kelurahan yang mendapatkan program GPOP dari dua kecamatan terpilih. Di satu kelurahan terpilih terdapat satu kelompok peserta Program GPOP yang memiliki anggota 175 keluarga. Dan terakhir adalah memilih 30 keluarga secara acak dari 175 keluarga anggota kelompok di kelurahan tersebut. Contoh bukan peserta program dipilih secara acak sebanyak 30 keluarga dari keluarga yang bukan peserta program yang berada di kelurahan yang sama dengan keluarga peserta program. Jumlah total contoh yang terpilih adalah sebanyak 120 keluarga, yang terbagi menjadi 60 keluarga peserta program GPOP dan 60 keluarga bukan peserta program. Alur penentuan lokasi dan contoh penelitian disajikan pada Gambar 4.2. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang meliputi: 1) Karakteristik sosial ekonomi keluarga yang terdiri dari usia suami dan istri, pendidikan suami dan istri, pekerjaan suami dan istri, pendapatan keluarga per kapita, besar keluarga, pengeluaran keluarga, aset, dan tempat tinggal; 2) Upaya Manajemen Sumberdaya Keluarga yang terdiri dari manajemen keuangan dan manajemen waktu; 3) optimalisasi pemanfaatan pekarangan yang diukur dari tiga indikator yaitu: a) tingkat pemanfaatan pekarangan yang diperoleh dari persentase perbandingan luas pekarangan yang dimanfaatkan dengan luas pekarangan yang dimiliki, b) keragaman jenis hasil pekarangan dan c) pemanfaatan hasil pekarangan; dan 4) Tingkat kesejahteraan keluarga yang diukur dengan pendekatan BPS dan penilaian istri terhadap beberapa aspek kesejahteraan keluarganya. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara: 1) Wawancara terstruktur dengan keluarga contoh yaitu ibu atau istri sebagai responden, dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah dipersiapkan dan 2) Observasi untuk mengetahui secara langsung kondisi kehidupan keluarga termasuk kondisi tempat tinggal, pekarangan dan lingkungan sekitarnya. Variabel Penelitian dan Pengukuran Variabel Manajemen keuangan diukur dengan cara mengumpulkan data tentang kegiatan yang dilakukan contoh/keluarga yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi terhadap penggunaan keuangan keluarga, yang mengacu pada penelitian yang dilakukan Herawati (2012). Instrumen yang digunakan telah reliabel dengan nilai cronbach’s alpha sebesar 0,908. Seluruh pernyataan kegiatan yang dilakukan berjumlah 23 butir, dimana setiap butir memiliki empat pilihan jawaban, yaitu skor 0 apabila kegiatan tersebut tidak pernah dilakukan, skor 1 apabila kegiatan tersebut hanya kadang-kadang dilakukan, skor 2 apabila kegiatan tersebut sering dilakukan, dan skor 3 apabila kegiatan tersebut selalu dilakukan. Dengan demikian akan diperoleh skor yang berkisar 0-69. Selanjutnya dari hasil skoring dikategorikan menjadi tiga kategori dengan menggunakan indeks yaitu rendah <33,33, sedang 33,33-66,66 dan tinggi >66,66.
23 Manajemen waktu diukur dengan cara mengumpulkan data tentang kegiatan yang dilakukan contoh/keluarga dalam mengatur waktu untuk melaksanakan suatu kegiatan/pekerjaan, yang mengacu pada penelitian yang dilakukan Herawati (2012). Instrumen yang digunakan telah reliabel dengan nilai cronbach’s alpha sebesar 0,878. Seluruh pernyataan kegiatan yang dilakukan berjumlah 18 butir, dimana setiap butir memiliki empat pilihan jawaban, yaitu skor 0 apabila kegiatan tersebut tidak pernah dilakukan, skor 1 apabila kegiatan tersebut hanya kadang-kadang dilakukan, skor 2 apabila kegiatan tersebut sering dilakukan, dan skor 3 apabila kegiatan tersebut selalu dilakukan. Dengan demikian akan diperoleh skor yang berkisar 0-54. Selanjutnya dari hasil skoring dikategorikan menjadi tiga kategori dengan menggunakan indeks yaitu rendah <33,33, sedang 33,33-66,66 dan tinggi >66,66.
No 1.
2.
3.
Tabel 4.1 Variabel penelitian dan pengukuran variabel Variabel Indikator Pengelompokkan /ukuran Karakteristik sosial ekonomi keluarga
Manajemen sumberdaya keluarga Optimalisasi Pemanfaatan pekarangan
Usia suami dan istri Pendidikan suami dan istri Pekerjaan suami dan istri
Besar keluarga Pendapatan keluarga Pengeluaran keluarga Aset Tempat tinggal Manajemen Keuangan Manajemen Waktu Luas pekarangan yang dimiliki Luas pekarangan untuk berkebun/beternak/melihara ikan Tingkat pemanfaatan pekarangan
Keragaman jenis hasil pekarangan
Pemanfaatan hasil pekarangan.
4.
Kesejahteraan Kesejahteraan menurut Indikator keluarga BPS-garis kemiskinan Kota Depok 2011, (Rp/kapita/bulan) Kesejahteraan menurut penilaian istri Keluarga sejahtera
Tahun Tahun 0 = Tidak bekerja; 1 = PNS, Polisi 2 = Karyawan Swasta; 3 = Wiraswasta; 4 = dll Orang Rp/kapita/bulan Rp/kapita/bulan Jumlah jenis aset 0=bukan komplek, 1=komplek Kuesioner (23 item) Kuesioner (18 item) m2 m2 Persentase dari perbandingan luas pekarangan yang dimanfaatkan dengan luas pekarangan yang dimiliki Skor dari 7 butir pertanyaan (Sayuran, Buah, Tanaman Obat, Bumbu dapur, tanaman hias, ternak dan ikan) Skor dari 3 butir pertanyaan (Dikonsumsi, dijual, diberikan ke tetangga) Miskin: ≤ Rp 310.279 Tidak miskin: >Rp 310.279 Kuesioner (45 item) Tidak sejahtera: <75% skor Sejahtera: ≥75% skor Sejahtera menurut BPS dan penilaian istri
Optimalisasi pemanfaatan pekarangan diperoleh sebagai hasil pengukuran dari tiga indikator yaitu: a) Tingkat pemanfaatan pekarangan didapat dari hasil
24 persentase luas pekarangan yang dimanfaatkan keluarga untuk ditanami tanaman, atau memelihara ikan/ternak (m 2) dengan luas lahan pekarangan yang dimiliki keluarga (m 2), b) keragaman jenis hasil pekarangan dan c) pemanfaatan hasil pekarangan. Oleh karena ketiga ukuran tersebut tidak sama, maka masingmasing skor ditransformasikan ke dalam bentuk indeks. Dengan demikian dihasilkan tiga indeks, yang selanjutnya indeks optimalisasi pemanfaatan pekarangan diperoleh dari rata-rata indeks tingkat pemanfaatan pekarangan, indeks keragaman jenis hasil pekarangan dan indeks pemanfaatan hasil pekarangan. Tingkat kesejahteraan keluarga diukur menggunakan pendekatan pengeluaran keluarga per kapita per bulan berdasarkan garis kemiskinan Kota Depok Tahun 2011 yaitu sebesar Rp 310.279 per kapita per bulan. Selanjutnya keluarga dikategorikan menjadi dua kategori yaitu keluarga miskin dengan pengeluaran per kapita per bulan lebih kecil atau sama dengan garis kemiskinan Kota Depok, sedangkan keluarga dengan pengeluaran lebih besar dari Rp 310.279 per bulan per kapita maka keluarga tersebut dikategorikan sebagai keluarga tidak miskin. Tingkat kesejahteraan juga diukur menurut penilaian keluarga yang dilakukan dengan acuan penelitian yang dilakukan Rambe (2004), yaitu mengumpulkan data penilaian contoh mengenai kesejahteraan keluarganya. Skoring untuk tiap pertanyaan yang berjumlah 45 butir dengan skala nilai jika jawaban ya diberikan skor 1, sedangkan jika jawabannya tidak diberikan skor 0. Dengan demikian akan diperoleh skor 0-45. Skor tersebut kemudian dikategorikan menjadi dua kategori yaitu sejahtera jika skor jumlah jawaban baik lebih besar atau sama dengan 75% (skor ≥ 33,75), sedangkan jika skor jumlah jawaban baik lebih kecil dari 75% (skor <33,75) dikategorikan sebagai keluarga tidak sejahtera. Kesejahteraan keluarga yang diukur dalam model regresi logistik penelitian ini adalah keluarga-keluarga yang sejahtera menurut kedua pengukuran yang digunakan yaitu BPS dan penilaian istri. Jadi hanya sejumlah keluarga yang sejahtera menurut kedua pengukuran itu saja yang dimasukkan dalam model regresi logistik. Secara ringkas variabel penelitian dan pengukurannya disajikan pada Tabel 4.1. Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah dikumpulkan melalui wawancara, pengukuran dan observasi diolah dengan menggunakan Microsoft excel dan SPSS. Data penelitian diolah secara deskriptif dan statistik. Adapun tahapan pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah editing, coding, scoring, entry data, dan cleaning data. Setelah pengolahan data dilanjutkan dengan analisis data sebagai berikut: 1. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan karakteristik sosial ekonomi keluarga peserta dan bukan peserta Program GPOP, yang terdiri dari usia suami dan istri, pendidikan suami dan istri, pekerjaan suami dan istri, pendapatan keluarga per bulan, besar keluarga, pengeluaran keluarga per bulan, kepemilikan aset dan tempat tinggal. Selain itu juga luas pekarangan, tingkat pemanfaatan pekarangan, komoditas yang dihasilkan dan manfaat hasil pekarangan. 2. Perbedaan antara karakteristik keluarga peserta GPOP dan bukan peserta diuji dengan menggunakan uji t untuk data rasio seperti: usia suami istri, lama pendidikan suami istri, besar keluarga, pendapatan dan pengeluaran keluarga
25 per kapita per bulan, luas pekarangan dan tingkat pemanfaatan pekarangan. Sedangkan uji khi kuadrat digunakan untuk data ordinal. 3. Uji regresi logistik digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga. Keluarga yang dimasukkan dalam uji regresi ini adalah keluarga yang sejahtera ataupun tidak sejahtera menurut kedua pengukuran yaitu BPS dan penilaian istri terhadap beberapa aspek kesejahteraannya. Jadi jumlah keluarga yang dimasukkan dalam uji regresi berkurang menjadi 77 keluarga. Persamaan regresi logistik pada penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Ln (p/(1-p)) = β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + 1D1 + 2D2 + 3D3 +ε Keterangan: p = Peluang untuk sejahtera/tidak miskin (sejahtera=1, tidak sejahtera=0) β1-5 = Koefisien regresi X1 = Usia istri (tahun) X2 = Pendidikan istri (tahun) X3 = Besar keluarga (orang) X4 = Aset keluarga (jumlah jenis aset) X5 = Indeks optimalisasi pemanfaatan pekarangan 1-3 = Koefisien dummy D1 = Pekerjaan istri D1 = 0 tidak bekerja D1 = 1 bekerja D2 = Tempat tinggal D2 = 0 bukan kompleks D2 = 1 kompleks D3 = Keikutsertaan keluarga dalam Program GPOP D3 = 0 untuk bukan peserta Program GPOP D3 = 1 untuk peserta Program GPOP ε = Error (Galat) Definisi Operasional Keluarga adalah sekelompok orang yang mendiami sebagian atau keseluruhan bangunan yang memiliki hubungan darah atau hubungan akibat pernikahan. Peserta Program GPOP adalah seluruh keluarga yang mendapatkan bantuan dari Program Gerakan Perempuan untuk Optimalisasi Pekarangan (GPOP). Pendapatan keluarga adalah sejumlah uang yang diterima anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup yang berasal dari anggota keluarga yang bekerja yang dinyatakan dalam rupiah per bulan. Pendapatan keluarga per kapita adalah pendapatan keluarga dibagi dengan besar keluarga yang dinyatakan dalam rupiah per kapita per bulan. Pengeluaran keluarga adalah penjumlahan dari seluruh pengeluaran baik untuk pangan maupun untuk keperluan lainnya yang dikeluarkan keluarga selama satu bulan.
26 Aset adalah kepemilikan berupa rumah, kendaraan, alat elektronik, dan peralatan rumah tangga, yang dinilai berdasarkan jumlah jenis aset yang dimiliki keluarga. Tempat tinggal adalah lingkungan tempat tinggal keluarga, yang dilihat dan dibedakan menjadi kompleks atau bukan komplek (perkampungan). Manajemen sumberdaya keluarga adalah pengelolaan sumberdaya yang dilakukan keluarga, mencakup manajemen keuangan dan manajemen waktu keluarga yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan keluarga. Manajemen keuangan adalah kegiatan yang dilakukan keluarga yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi terhadap penggunaan keuangan keluarga dalam mencapai tujuan keluarga. Manajemen waktu adalah kegiatan yang dilakukan keluarga dalam mengatur waktu untuk melaksanakan suatu kegiatan/pekerjaan dalam upaya mencapai tujuan keluarga. Pekarangan adalah lahan yang berada di sekitar rumah yang dihuni secara permanen, memiliki hubungan fungsional dengan rumah tinggal yang bersangkutan, memiliki batas yang jelas berupa pembatasan fisik (pagar), batas pengelolaan, atau batas hak kepemilikan. Pemanfaatan pekarangan adalah upaya yang dilakukan keluarga untuk mengelola pekarangan yang mereka miliki dengan sesuatu yang memberikan manfaat bagi kehidupan keluarga seperti menanami pekarangan dengan berbagai tanaman, memeliharan ternak atau pun ikan yang semuanya bermanfaat bagi keluarga baik secara ekonomi (dapat dikonsumsi, diberikan pada orang lain atau pun dijual) dan bermanfaat untuk perkembangan kesehatan fisik dan mental anggota keluarga. Optimalisasi pemanfaatan pekarangan adalah upaya yang dilakukan keluarga dalam mengoptimalkan pemanfaatan pekarangan yang diukur berdasarkan tiga hal yaitu tingkat pemanfaatan pekarangan, keragaman jenis hasil pekarangan dan pemanfaatan hasil pekarangan. Tingkat pemanfaatan pekarangan adalah persentase perbandingan antara luas lahan pekarangan yang dimanfaatkan keluarga untuk ditanami tanaman, atau memelihara ikan/ternak dengan luas lahan pekarangan yang dimiliki keluarga. Keragaman jenis hasil pekarangan adalah banyaknya jenis tanaman termasuk ternak dan ikan yang ada di pekarangan keluarga. Pemanfaatan hasil pekarangan adalah adanya manfaat yang dapat dinikmati keluarga dari hasil kegiatan di pekarangan, apakah itu dapat dikonsumsi, dijual ataupun dibagikan ke tetangga. Kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materil guna hidup mandiri dan mengembangkan keluarga untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin (Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009). Kesejahteraan menurut BPS adalah kesejahteraan keluarga yang diukur dengan aturan baku melalui alokasi pengeluaran baik pangan maupun non pangan berdasarkan aturan BPS yang akan dikategorikan ke dalam miskin dan tidak miskin berdasarkan pendapatan yaitu Rp 310.279 per kapita per bulan untuk Kota Depok.
27
Kesejahteraan menurut penilaian istri adalah kesejahteraan keluarga yang diukur berdasarkan respon istri terhadap kesejahteraan keluarganya menggunakan 45 pertanyaan yang meliputi harga, tempat tinggal, budaya, agama, pendapatan, pendidikan, kesehatan, anak, pekerjaan, hubungan sosial dan aset. Keluarga sejahtera adalah keluarga yang sejahtera baik secara pengukuran indikator BPS maupun penilaian istri terhadap beberapa aspek kesejahteraan keluarganya. Gerakan Perempuan untuk Optimalisasi Pekarangan adalah program di bawah Kementerian Pertanian dengan memberdayakan peran perempuan perkotaan melalui optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan dengan bantuan sosial berupa: pembagian bibit cabai (untuk taman warga atau fasilitas umum dan pekarangan masyarakat); pengadaan pupuk organik dan biopestisida; dan pelatihan teknis budidaya/pelatihan perbanyakan benih.
28 5 Artikel 1 ANALISIS TINGKAT KESEJAHTERAAN KELUARGA PESERTA DAN BUKAN PESERTA PROGRAM GERAKAN PEREMPUAN UNTUK OPTIMALISASI PEKARANGAN DI KOTA DEPOK Analysis of Family’s Well-being of Participants and Nonparticipants of Women’s Movement for Homegarden Optimalization Program In Depok Riza, Hartoyo, Istiqlaliyah Muflikhati Abstrak Program Gerakan Perempuan untuk Optimalisasi Pekarangan (GPOP) adalah salah satu upaya pemerintah yang dilaksanakan sejak tahun 2011 untuk mendorong keluarga mengelola pekarangannya secara optimal dalam rangka peningkatan kesejahteraan keluarga. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kesejahteraan keluarga pada keluarga peserta dan bukan peserta GPOP di Depok dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini melibatkan 60 keluarga peserta GPOP dan 60 keluarga bukan peserta GPOP yang dipilih secara acak. Kesejahteraan keluarga diukur dengan menggunakan indikator garis kemiskinan menurut BPS dan indikator penilaian istri terhadap berbagai aspek kesejahteraan keluarganya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga sejahtera menurut pengukuran kedua kriteria, yaitu BPS dan penilaian istri. Namun capaian kesejahteraan keluarga peserta lebih tinggi dibanding keluarga bukan peserta program. Kesejahteraan keluarga dipengaruhi oleh aset keluarga. Kata kunci: kesejahteraan keluarga, kemiskinan, pekarangan Abstract Program of Women’s Movement for Homegarden Optimalization (GPOP) is one of the government's efforts undertaken since 2011 to encourage families to manage homegarden optimally in order to improve the family well-being. The aim of this research was to analyze the well-being on GPOP participants family and non-participants family in Depok and the factors that influence it. This research involve 60 GPOP participants family and 60 non-participants family that chosen by random. Family well-being measured by using indicator of poverty line according to BPS and indicators of wife’s assessment on various aspects of her family wellbeing. The results showed that most family already well-being according to the measurement of two indicators, which was BPS indicator and wife’s assessment. But the achievement of the family well-being of participants families is higher than non-participants families. Family well-being is affected by the family assets. Keywords: family well-being, poverty, homegarden
29 Pendahuluan Tujuan dari setiap keluarga adalah tercapainya kesejahteraan yang dapat dirasakan semua anggota keluarga. Seperti yang tertera dalam Pasal 4 UU No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, bahwa pembangunan keluarga bertujuan untuk meningkatkan kualitas keluarga agar dapat timbul rasa aman, tenteram, dan harapan masa depan yang lebih baik dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin. Menurut Behnke & MacDermid (2004) kesejahteraan merupakan kualitas hidup seseorang atau unit sosial lainnya. Indikator umum kesejahteraan keluarga menurut Weston et al. (2004) diantaranya keadaan keuangan dan material keluarga, pekerjaan orang tua, kepuasan anggota keluarga terhadap hubungan antar anggota keluarga, dan gaya pengasuhan orangtua serta kualitas fungsi keluarga. Lebih lanjut Milligan et al. (2006) menjelaskan beberapa komponen yang berkontribusi terhadap kesejahteraan keluarga yaitu pendapatan, pendidikan, kesehatan, kualitas hubungan antar anggota keluarga dan fungsi keluarga. Rambe (2004) menyebutkan bahwa kesejahteraan keluarga ditentukan oleh empat faktor yaitu pendidikan, kondisi tempat tinggal, harga dan pengeluaran. Kesejahteraan keluarga dapat dicapai jika semua sumberdaya keluarga dapat dikelola dengan baik. Menurut Firebaugh (1991), keluarga merupakan balok-balok dalam proses pembangunan sosial dan ekonomi. Dalam hubungannya dengan lingkungan, keberadaan dan keberlangsungan kehidupan sebuah keluarga dipengaruhi oleh lingkungan (Goldsmith 1996). Manusia, dalam hal ini keluarga dan lingkungan terdekatnya atau yang disebut sebagai microenvironment merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dan saling mempengaruhi secara menguntungkan antara satu dengan yang lainnya (Bubolz & Sontag 1988). Pekarangan rumah merupakan salah satu sumberdaya lingkungan fisik keluarga yang merupakan praktek kuno yang tersebar luas di seluruh dunia. Pekarangan dapat dikelompokkan sebagai campuran dari dapur, halaman belakang, peternakan, atau homestead garden (Terra 1958; Ruthenborgh 1980; Puri & Nair 2004; Rowe 2009). Secara umum pekarangan merupakan tempat berbudidaya pada lahan sempit di sekitar rumah (Odebodo 2006). Struktur, fungsi, dan kontribusi pekarangan bervariasi dalam wilayah geografis. Pekarangan memenuhi kebutuhan sosial, budaya dan ekonomi, selain juga memberikan sejumlah layanan ekosistem. Manfaat pekarangan itu tidak berdiri sendiri, tapi saling tergantung dan mendukung antar berbagai unsur manfaat yang menghasilkan manfaat yang lebih besar lagi (Galhena et al. 2013). Mitchell & Hanstad (2004) menegaskan bahwa pekarangan berkontribusi pada kesejahteraan ekonomi keluarga dalam berbagai cara. Hasil pekarangan dapat dijual untuk mendapatkan tambahan penghasilan (Torquebiau 1992; Niñez VK 1985). Hasil penelitian di Nepal, Cambodia, dan Papua New Guinea menunjukkan bahwa pendapatan yang dihasilkan dari penjualan buah, sayur dan ternak dari pekarangan memungkinkan keluarga untuk membeli makanan tambahan, menabung dan membiayai pendidikan anak-anak (Iannotti et al. 2009; Vasey 1985). Keluarga di Vietnam mampu menghasilkan lebih dari 22% pendapatan mereka dari kegiatan di pekarangan tergantung pada waktu yang dicurahkan, tenaga kerja yang terlibat dalam pengelolaan pekarangan dan luas pekarangan (Trinh et al. 2003). Pekarangan dapat
30 menghasilkan makanan untuk konsumsi keluarga dan penyangga ekonomi keluarga pada saat terjadi fluktuasi harga (Wickramasinghe 1995; Torres 1988). Banyaknya manfaat pekarangan menyebabkan munculnya berbagai upaya pemanfaatan pekarangan, baik itu dari pemerintah maupun swasta. Pada tahun 2011, Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian RI, mencanangkan Program Gerakan Perempuan untuk Optimalisasi Pekarangan (GPOP). Kegiatan yang dilakukan adalah menstimulasi keluarga yang tergabung dalam kelompok, untuk memanfaatkan pekarangan dengan memberikan bibit tanaman cabai, sarana prasarana pendukung budidaya, dan pelatihan teknis budidaya, dan tanaman cabai. Kota Depok merupakan satu dari 18 kota di Indonesia yang mendapatkan program GPOP dari Direktorat Jenderal Hortikultura. Keluarga yang dapat mengakses program GPOP ini harusnya dapat memanfaatkan bantuan dengan mengelola pekarangan secara optimal. Selain itu, dengan pengelolaan sumberdaya keluarga lainnya, yang dilakukan secara efektif dan efisien, diharapkan dapat mencapai kesejahteraan keluarga. Berdasarkan pemaparan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis optimalisasi pemanfaatan pekarangan keluarga peserta dan bukan peserta GPOP, 2. Menganalisis kesejahteraan keluarga peserta dan bukan peserta GPOP dan 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga. Metode Penelitian Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian survai yang pengambilan datanya dilakukan pada bulan Agustus sampai Oktober 2012 di Kota Depok. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive berdasarkan pertimbangan bahwa Kota Depok merupakan daerah penyangga Ibukota RI yang memiliki laju pertumbuhan penduduk kedua tertinggi di Provinsi Jawa Barat setelah Kabupaten Bekasi, yaitu sebesar 4,27 persen per tahun selama tahun 2000 sampai tahun 2010 (BPS Kota Depok 2010). Teknik Penarikan Contoh Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga yang tinggal di Kota Depok, baik yang menjadi peserta maupun bukan peserta program GPOP. Contoh dalam penelitian ini dipilih secara acak. Pemilihan dua kecamatan dilakukan secara acak terhadap sebelas kecamatan di Kota Depok, yaitu Kecamatan Cipayung dan Cimanggis. Kemudian dari setiap kecamatan dipilih secara purposive kelurahan yang memiliki kelompok GPOP, yaitu Kelurahan Tugu di Kecamatan Cimanggis dan Kelurahan Cipayung Jaya di Kecamatan Cipayung. Di satu kelurahan terpilih terdapat satu kelompok peserta Program GPOP yang memiliki anggota 175 keluarga, dan kemudian dipilih 30 orang secara acak di kelompok tersebut. Contoh bukan peserta program dipilih secara acak sebanyak 30 keluarga dari keluarga yang bukan peserta yang berada di kelurahan yang sama. Jumlah total contoh yang terpilih adalah sebanyak 120 keluarga, yang terbagi menjadi 60 keluarga peserta dan 60 keluarga bukan peserta.
31 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan merupakan data primer yang diperoleh sebagai hasil wawancara dengan istri atau ibu dalam keluarga contoh terpilih. Data mencakup karakteristik keluarga, optimalisasi pemanfaatan pekarangan dan tingkat kesejahteraan keluarga. Karakteristik keluarga terdiri dari usia suami dan istri, pendidikan suami dan istri, pekerjaan suami dan istri, pendapatan keluarga per kapita, pengeluaran keluarga per kapita, besar keluarga, tempat tinggal dan aset. Optimalisasi pemanfaatan pekarangan diperoleh sebagai hasil pengukuran dari tiga indikator yaitu tingkat pemanfaatan pekarangan, keragaman jenis hasil pekarangan dan pemanfaatan hasil pekarangan. Tingkat kesejahteraan diukur berdasarkan garis kemiskinan BPS dan penilaian istri terhadap berbagai aspek kesejahteraan keluarga. Pengolahan dan Analisis Data Usia suami dan istri diukur dalam tahun. Pendidikan suami dan istri diukur berdasarkan lama pendidikan formal yang ditempuh. Besar keluarga diukur berdasarkan jumlah seluruh anggota keluarga. Tempat tinggal dibedakan menjadi kompleks dan bukan kompleks. Aset diukur berdasarkan jumlah jenis aset yang dimiliki keluarga, dengan maksimal jumlah adalah sebanyak 28 jenis aset. Optimalisasi pemanfaatan pekarangan diperoleh sebagai hasil pengukuran dari tiga indikator yaitu: a) Tingkat pemanfaatan pekarangan didapat dari hasil persentase luas pekarangan yang dimanfaatkan keluarga untuk ditanami tanaman, atau memelihara ikan/ternak (m 2) dengan luas lahan pekarangan yang dimiliki keluarga (m 2), b) keragaman jenis hasil pekarangan dan c) pemanfaatan hasil pekarangan. Oleh karena ketiga ukuran tersebut tidak sama, maka masingmasing skor ditransformasikan ke dalam bentuk indeks. Dengan demikian dihasilkan tiga indeks, yang selanjutnya indeks optimalisasi pemanfaatan pekarangan diperoleh dari rata-rata indeks tingkat pemanfaatan pekarangan, indeks keragaman jenis hasil pekarangan dan indeks pemanfaatan hasil pekarangan. Tingkat kesejahteraan keluarga diukur menggunakan dua indikator yaitu indikator garis kemiskinan BPS dan penilaian istri terhadap aspek-aspek kesejahteraan keluarga. Kesejahteraan menurut BPS diukur menggunakan indikator garis kemiskinan Kota Depok yaitu Rp310.279 per kapita per bulan. Berdasarkan indikator ini, keluarga dikategorikan menjadi dua kategori yaitu keluarga miskin dengan pengeluaran per kapita per bulan lebih kecil atau sama dengan Rp310.279,00 per kapita per bulan, sedangkan keluarga dengan pengeluaran besar dari Rp310.279,00 per kapita per bulan maka keluarga tersebut dikategorikan sebagai keluarga tidak miskin. Kesejahteraan menurut penilaian istri diukur menggunakan instrumen yang mengacu pada penelitian yang dilakukan Rambe (2004), yang terdiri atas 45 pertanyaan dengan dua pilihan jawaban yaitu ya (skor 1) dan tidak (skor 0). Instrumen yang digunakan telah reliabel dengan nilai Cronbach’s alpha sebesar 0,803. Skor yang diperoleh keluarga dijumlahkan dan dihitung persentasenya. Berdasarkan persentase skor, keluarga dikategorikan menjadi keluarga sejahtera (persentase skor ≥ 75) dan keluarga tidak sejahtera (persentase skor < 75). Pengukuran kedua indikator ini selanjutnya menghasilkan keluarga yang sejahtera menurut hasil pengukuran BPS dan penilaian istri terhadap kesejahteraan keluarganya, serta tidak sejahtera menurut hasil
32 pengukuran kedua indikator ini. Dari total 120 keluarga hanya 77 keluarga yang diperoleh sejahtera dan tidak sejahtera berdasarkan hasil pengukuran kedua indikator. Data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini dianalisis menggunakan analisis deskriptif dan statistik inferensial. Analisis deskriptif digunakan untuk menghitung nilai minimum, nilai maksimum, nilai rata-rata, serta standar deviasi. Analisis statistik inferensial yang digunakan adalah uji beda t, uji khi kuadrat, dan uji regresi logistik. Uji beda t digunakan untuk menguji perbedaan antara kelompok peserta dan bukan peserta program GPOP. Uji khi kuadrat digunakan untuk menguji perbedaan tingkat kesejahteraan antara pengukuran menurut BPS dan menurut penilaian istri. Sedangkan uji regresi logistik digunakan untuk menganalisis variabel yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan keluarga, dimana dalam pengujian ini hanya mengikutsertakan keluarga yang sejahtera dan tidak sejahtera menurut hasil kedua pengukuran dengan jumlah contoh 77 keluarga. Hasil Karakteristik Keluarga Rentang usia suami berada pada rentang 30-69 tahun dengan usia rata-rata 47,36 tahun, sedangkan istri dalam penelitian ini adalah 27-63 tahun dengan usia rata-rata sebesar 43,59 tahun. Usia suami dan istri yang terlibat dalam penelitian ini tergolong usia produktif. Berdasarkan rata-rata usia, suami (47,07 tahun) dan istri (42,90 tahun) pada kelompok bukan peserta program GPOP lebih muda dibandingkan suami (47,65 tahun) dan istri (44,28 tahun) pada kelompok peserta GPOP. Lama pendidikan suami berada pada rentang 4-18 tahun, sedangkan lama pendidikan istri berada pada rentang 6-18 tahun. Berdasarkan lama pendidikan, suami dan istri dari kelompok bukan peserta program menempuh pendidikan yang lebih lama dibandingkan dengan kelompok peserta program. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar istri dalam penelitian ini tidak bekerja (72,5%) dan sebagian besar suami bekerja (92,5%). Keluarga yang terlibat dalam penelitian ini memiliki jumlah anggota keluarga 1-7 orang dengan rata-rata sebanyak 4,01 orang. Rata-rata pendapatan keluarga per kapita per bulan berkisar antara Rp 83.333,00- Rp 2.500.000,00. Jika dibandingkan antara kedua kelompok terlihat bahwa rata-rata pendapatan per kapita per bulan keluarga bukan peserta program lebih besar daripada keluarga peserta program. Hasil uji beda t menunjukkan terdapat perbedaan pendapatan yang signifikan antara keluarga peserta dan bukan peserta GPOP (p<0,05). Pengeluaran keluarga per kapita per bulan berkisar antara Rp 150.000,00-Rp 1.687.500,00. Keluarga bukan peserta GPOP memiliki rata-rata pengeluaran yang lebih besar dibandingkan dengan keluarga peserta. Keluarga pada penelitian ini bertempat tinggal di komplek dan bukan komplek (perkampungan). Sebagian besar keluarga bertempat tinggal di perkampungan (66,7%). Aset yang dimiliki keluarga terdiri atas tempat tinggal, kendaraan, peralatan elektronik, perlengkapan rumah tangga, benda berharga, dan perabot rumah tangga. Jumlah aset yang dimiliki keluarga berkisar antara 8 sampai 28 jenis dengan rata-rata jumlah aset yang dimiliki adalah 17,27 jenis. Nilai rata-rata dan standar deviasi variabel karakteristik sosial ekonomi keluarga disajikan pada Tabel 5.1.
33 Tabel 5.1 Rataan dan standar deviasi karakteristik keluarga Karakteristik Keluarga
Peserta
Bukan Peserta
pvalue
Total
Usia Istri (tahun) 44,28 ± 6,8 42,90 ± 7,6 43,59 ± 7,2 0,296 Usia Suami (tahun) 47,65 ± 6,2 47,07 ± 7,7 47,36 ± 6,9 0,156 Pendidikan Istri (tahun) 10,48 ± 2,7 11,47 ± 2,9 10,97 ± 2,8 0,061 Pendidikan Suami (tahun) 11,47 ± 2,6 12,02 ± 3,4 11,74 ± 3,0 0,187 Besar keluarga (orang) 3,93 ± 1,233 4,08 ± 0,996 4,01 ± 1,12 0,465 Pendapatan per kapita (Rp/bulan) 750.704,4 ± 409.774,9 925.001,3 ± 496.739,5 837.852,8 ±461.789,1 0,038* Pengeluaran per kapita (Rp/bulan) 441.999,4 ± 250.852,9 526.707,2 ± 267.312,9 484.353,27 ±261.602,7 0,076 Aset (jumlah jenis) 16,72 ± 4,088 17,82 ± 4,371 17,27 ± 4,250 0,157 Tempat tinggal (%) 0=Perkampungan; 50,0 83,3 66,7 1=Komplek 50,0 16,7 33,3
Keterangan: * nyata pada p ≤ 0,05
Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan Tingkat pemanfaatan pekarangan. Luas pekarangan keluarga secara keseluruhan berkisar antara 2 m2 sampai 540 m2. Hasil penelitian pada Tabel 5.2 menunjukkan pekarangan keluarga bukan peserta GPOP lebih luas dibandingkan dengan pekarangan peserta GPOP. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa rata-rata luas pekarangan keluarga peserta dan bukan peserta berbeda nyata (p<0,01). Pekarangan keluarga dimanfaatkan untuk berbagai keperluan anggota keluarga, diantaranya untuk bercocok tanam dan memelihara ternak/ikan. Tingkat pemanfaatan pekarangan keluarga bukan peserta GPOP lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga peserta GPOP, dengan nilai dalam bentuk indeks terdapat pada Tabel 5.5. Namun hasil uji t tidak menunjukkan perbedaan tingkat pemanfaatan pekarangan yang signifikan antara kedua keluarga. Tabel 5.2 Rataan dan standar deviasi tingkat pemanfaatan pekarangan Tingkat pemanfaatan pekarangan
Peserta
Bukan Peserta
Luas pekarangan (m2) 32,87 ± 42,90 72,40 ± 102,2 Luas pemanfaatan pekarangan (m2) 5,27 ± 14,18 10,85 ± 21,47 Tingkat Pemanfaatan Pekarangan (%) 17,43 ± 18,16 23,94 ± 24,99 Keterangan: ** nyata pada p ≤ 0,01
Total
pvalue
52,63± 80,50 0,007** 8,06 ± 18,30 0,096 20,63± 21,94 0,107
Keragaman jenis hasil pekarangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari tujuh jenis hasil pekarangan, komoditas yang paling banyak ditanam di pekarangan adalah tanaman hias atau florikultura (Tabel 5.3). Selain itu, komoditas lain yang ditanam di pekarangan adalah tanaman obat, buah, bumbu dapur, dan sayur. Komoditas sayuran paling sedikit ditanam di pekarangan oleh keluarga pada kedua kelompok. Hal ini disebabkan karena pemeliharaan tanaman sayuran tidak semudah tanaman lainnya. Jika dibandingkan antar kedua kelompok keluarga, ternyata keluarga peserta lebih banyak menanam sayuran, buah dan tanaman obat dibanding keluarga bukan peserta. Sebaliknya untuk beternak dan memelihara ikan lebih banyak dilakukan oleh keluarga bukan peserta. Hal ini bisa disebabkan karena pekarangan keluarga bukan peserta lebih luas, yang memungkinkan mereka untuk beternak dan atau pun memelihara ikan. Jumlah keragaman jenis hasil pekarangan maksimal adalah enam jenis dan minimal nol, dimana jumlah ini sama untuk kedua keluarga. Keluarga yang sama sekali tidak memanfaatkan pekarangan untuk bertanam/beternak/memelihara ikan adalah sebanyak 2,5%, dimana keluarga bukan
34 peserta lebih banyak (3,3%) yang tidak memanfaatkan pekarangannya dibanding keluarga peserta (1,7%). Rata-rata keragaman jenis hasil pekarangan adalah 3,28 jenis, atau setara dengan nilai indeks 48,11 (Tabel 5.5). Keluarga peserta lebih beragam jenis tanaman/ternak/ikan yang ada di pekarangannya (3,52) dibanding keluarga bukan peserta (3,05). Namun hasil uji t tidak menunjukkan perbedaan keragaman jenis hasil pekarangan yang signifikan antara kedua keluarga. Tabel 5.3 Sebaran keluarga berdasarkan jenis hasil pekarangan Jenis Peserta (%) Bukan peserta (%) Total (%) Sayuran 36,7 20,0 28,3 Buah 73,3 55,0 64,2 Tanaman obat 81,7 55,0 68,3 Bumbu dapur 51,7 53,3 52,5 Tanaman hias 83,3 83,3 83,3 Ternak 16,7 20,0 18,3 Ikan 8,3 18,3 13,3 Pemanfaatan hasil pekarangan. Sebagian besar hasil pemanfaatan pekarangan (58,3%) dikonsumsi sendiri oleh keluarga (Tabel 5.4). Selain dikonsumsi, hasil pekarangan ini juga ada yang dijual (14,2%). Keluarga bukan peserta GPOP cenderung memanfaatkan pekarangan secara ekonomis dimana hasil pekarangan yang dijual lebih besar (20,0%) dibandingkan dengan keluarga peserta. Sedangkan keluarga peserta GPOP lebih cenderung memanfaatkan pekarangan secara sosial dimana hasil pekarangan yang dibagikan ke tetangga lebih besar (61,7%) dibanding keluarga bukan peserta. Keluarga dengan pekarangan sempit masih bisa memanfaatkannya secara optimal dengan melakukan teknik budidaya tanaman vertikultur, yaitu menanam tanaman secara vertikal atau bertingkat dengan menggunakan pot. Penanaman dengan cara vertikultur sudah mulai dilakukan keluarga walaupun masih sedikit (20,8%). Keluarga peserta GPOP lebih banyak (26,7%) yang menggunakan vertikultur ini dibanding keluarga bukan peserta (15,0%). Dari tiga pemanfaatan hasil pekarangan, rata-rata pemanfaatan hasil pekarangan keluarga adalah sebesar 1,27, atau setara dengan nilai indeks 58,24 (Tabel 5.5). Rata-rata pemanfaatan hasil pekarangan keluarga peserta sedikit lebih tinggi (1,35) dibanding keluarga bukan peserta (1,18). Namun hasil uji t tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kedua keluarga. Nilai maksimal pemanfaatan hasil pekarangan adalah tiga dan minimal nol. Jumlah keluarga yang sama sekali tidak menikmati manfaat hasil pekarangan, yaitu tidak dapat mengkonsumsi, menjual atau pun berbagi dengan tetangga cukup besar, yaitu 27,5%, dimana keluarga bukan peserta lebih banyak (35,0%) yang tidak menikmati manfaat hasil pekarangannya dibanding keluarga peserta (20,0%). Tabel 5.4 Sebaran keluarga berdasarkan pemanfaatan hasil pekarangan Pemanfaatan hasil pekarangan Peserta Bukan Peserta Total Dikonsumsi 65,0 51,7 58,3 Dijual 8,3 20,0 14,2 Diberikan pada tetangga 61,7 46,7 54,2
35 Rataan indeks optimalisasi pemanfaatan pekarangan (Tabel 5.5) keluarga adalah sebesar 36,47, dimana rataan indeks optimalisasi pemanfaatan pekarangan keluarga peserta lebih tinggi (37,56) dibanding keluarga bukan peserta (35,39), namun hasil uji t tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0,05). Indeks optimalisasi pemanfaatan pekarangan berkisar antara 0,00 sampai dengan 85,71. Ini menunjukkan bahwa terdapat keluarga yang tidak mengoptimalkan pekarangannya dengan bercocok tanam ataupun memelihara ternak/ikan, dan ini terdapat pada keluarga bukan peserta program, yang memiliki nilai minimum indeks optimalisasi pemanfaatan pekarangan 0,00. Tabel 5.5 Rataan dan standar deviasi indeks optimalisasi pemanfaatan pekarangan Indeks optimalisasi pemanfaatan pekarangan Tingkat pemanfaatan pekarangan Keragaman jenis hasil pekarangan Pemanfaatan hasil pekarangan Optimalisasi pemanfaatan pekarangan
Peserta
Bukan Peserta
Total
p-value
17,43±18,16 51,09±19,88 56,25±20,81 37,56±17,44
23,94±24,99 45,07±23,45 60,68±21,46 35,39±21,83
20,63±21,94 48,11±21,84 58,24±21,10 36,47±19,70
0,107 0,137 0,332 0,549
Tingkat Kesejahteraan Keluarga Sebagian besar keluarga sejahtera menurut kriteria BPS (71,7%) dan kriteria penilaian istri (69,2%). Keluarga yang sejahtera menurut pengukuran BPS, 19,2% diantaranya tidak sejahtera menurut kriteria penilaian istri. Dan sebaliknya sebanyak 16,7% keluarga yang tidak sejahtera menurut kriteria BPS namun sejahtera menurut kriteria penilaian istri. Tabel 5.6 menunjukkan lebih dari setengah keluarga (52,5%) sejahtera menurut pengukuran kedua kriteria yaitu kriteria BPS dan kriteria penilaian istri. Sedangkan keluarga yang tidak sejahtera menurut kedua kriteria adalah sebanyak 11,7%. Hasil uji khi kuadrat tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara tingkat kesejahteraan menurut kriteria penilaian istri dengan kriteria BPS (p>0,05). Keluarga yang sejahtera menurut kedua kriteria dan tidak sejahtera menurut kedua kriteria berjumlah 77 keluarga atau sebanyak 64,2% dari jumlah contoh. Jika dibandingkan kedua keluarga terlihat keluarga peserta lebih banyak yang sejahtera menurut pengukuran kedua kriteria (82,9%) dibanding keluarga bukan peserta (64,4%). Tabel 5.6 Sebaran keluarga berdasarkan tingkat kesejahteraan keluarga menurut kriteria BPS dan penilaian istri Tingkat kesejahteraan menurut kriteria penilaian istri Peserta Tidak sejahtera Sejahtera Total Bukan Peserta Tidak sejahtera Sejahtera Total Peserta + Bukan Peserta Tidak sejahtera Sejahtera Total
pvalue
Tingkat kesejahteraan menurut kriteria BPS Miskin Tidak miskin Total n
%
n
%
n
%
8 11 19
42,1 57,9 100,0
7 34 41
17,1 82,9 100,0
15 45 60
25,0 75,0 100,0
6 9 15
40,0 60,0 100,0
16 29 45
35,6 64,4 100,0
22 38 60
36,7 63,3 100,0
14 20 34
11,7 16,7 28,3
23 63 86
19,2 52,5 71,7
37 83 120
30,8 69,2 100,0
0,186
36 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan Keluarga Faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga dianalisis dengan menggunakan regresi logistik. Uji ini hanya melibatkan 77 keluarga yang terdiri dari keluarga sejahtera (18,2%) dan keluarga tidak sejahtera (81,8%), berdasarkan hasil pengukuran kedua kriteria kesejahteraan yaitu kriteria BPS dan kriteria penilaian istri. Model regresi yang disusun memiliki persamaan koefisien determinasi (Nagelkerke R2) sebesar 0,387. Koefisien ini menunjukkan bahwa 38,7 persen varian kesejahteraan keluarga dapat dijelaskan oleh perubahan variabel yang ada dalam model. Sisanya yaitu sebesar 61,3 persen varian kesejahteraan keluarga dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan keluarga adalah aset keluarga (Tabel 5.7). Keluarga dengan aset yang lebih banyak memiliki peluang untuk sejahtera lebih besar dibanding keluarga dengan aset sedikit. Pendidikan istri, optimalisasi pemanfaatan pekarangan dan keikutsertaan dalam program GPOP memiliki koefisien regresi positif terhadap tingkat kesejahteraan keluarga namun tidak berpengaruh signifikan. Sedangkan usia istri, pekerjaan istri, besar keluarga dan tempat tinggal memiliki koefisien regresi negatif terhadap tingkat kesejahteraan keluarga. Tabel 5.7 Hasil analisis regresi logistik faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga Variabel independen Konstanta Usia istri (tahun) Pendidikan istri (tahun) Pekerjaan istri (0=tidak bekerja, 1=bekerja) Besar keluarga (orang) Aset keluarga (jumlah jenis aset) Tempat tinggal (0=bukan komplek, 1=komplek) Optimalisasi pemanfaatan pekarangan (indeks) Keikutsertaan program GPOP (0=Bukan peserta, 1=peserta)
Chi-square df n
20,85 8 77
B -2,432 -0,074 0,099 -0,179 -0,202 0,408 -1,244 0,016 0,775
Sig Nagelkerke R2
Exp (B) 0,088 0,928 1,104 0,836 0,817 1,503 0,288 1,017 2,171 0,008** 0,387
Sig 0,450 0,197 0,489 0,838 0,548 0,004** 0,175 0,388 0,373
Keterangan : *signifikan pada p<0,05; **signifikan pada p<0,01
Pembahasan Kesejahteraan keluarga merupakan tujuan yang ingin dicapai setiap keluarga. Kesejahteraan dapat dilihat melalui dua pendekatan yaitu ekonomi dan penilaian subjektif. Kesejahteraan dapat diwujudkan apabila ekonomi keluarga dalam kondisi cukup sehingga kebutuhan anggota keluarga akan pangan, sandang, papan dan kebutuhan penting lainnya dapat terpenuhi (Siahaan 2004). Namun menurut Martinez et al. (2012) kesejahteraan keluarga tidak hanya ditentukan oleh aspek ekonomi saja, namun mencakup seluruh aspek kehidupan diantaranya kesehatan, pendidikan, dan sosial. Faktor ekonomi merupakan faktor penting dalam menentukan kesejahteraan keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aset keluarga berpengaruh secara
37 signifikan terhadap kesejahteraan keluarga. Keluarga dengan jumlah aset lebih banyak berpotensi lebih besar untuk sejahtera dibandingkan keluarga dengan aset sedikit. Bryant (1990) menyebutkan bahwa aset merupakan sumberdaya atau kekayaan yang dimiliki oleh keluarga. Aset akan berperan sebagai alat pemuas kebutuhan, yang oleh karena itu keluarga yang memiliki aset lebih banyak cenderung lebih sejahtera jika dibandingkan dengan keluarga yang memiliki aset terbatas. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Muflikhati et al. (2010) dan Iskandar (2007) yang menyatakan bahwa aset berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan keluarga, dimana semakin banyak aset yang dimiliki keluarga maka keluarga menjadi semakin sejahtera. Pendidikan istri memiliki koefisien regresi positif terhadap tingkat kesejahteraan keluarga namun tidak berpengaruh signifikan. Keluarga dengan istri berpendidikan lebih tinggi berpotensi untuk lebih sejahtera dibanding keluarga dengan istri berpendidikan rendah. Istri dengan pendidikan lebih tinggi, dengan wawasan dan keterampilan yang dimiliki mampu mengelola sumberdaya keluarga yang ada secara lebih baik untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga kesejahteraan keluarga meningkat. Hal ini sejalan dengan pendapat Martinez et al. (2012) yang menyatakan bahwa kesejahteraan keluarga tidak hanya ditentukan oleh aspek ekonomi saja, namun mencakup seluruh aspek kehidupan diantaranya kesehatan, pendidikan, dan sosial. Bagi keluarga tidak miskin, istri yang bekerja tidak lagi ditujukan untuk menambah pendapatan keluarga, namun lebih kepada aktualisasi diri istri di tengah-tengah masyarakat. Banyaknya istri yang tidak bekerja pada keluarga yang tidak miskin sepertinya melahirkan ketidakpuasan karena tidak dapat mengaktualisasikan diri di masyarakat dan ini menyebabkan ketidaksejahteraan. Usia istri memiliki koefisien regresi negatif terhadap tingkat kesejahteraan keluarga. Keluarga dengan istri berusia muda berpotensi untuk lebih sejahtera dibanding keluarga dengan istri berusia tua. Hal ini disebabkan karena semakin tua, kondisi fisik dan kesehatan semakin menurun (Smith et al. 2002). Keadaan ini menyebabkan efek psikologis bagi istri, yang menyebabkan istri merasa tidak sejahtera walaupun secara ekonomi sudah lebih dari cukup. Pekarangan merupakan salah satu sumberdaya keluarga, yang jika dikelola dengan baik dapat memberikan manfaat bagi keluarga, baik secara ekonomi maupun non ekonomi. Pekarangan dapat dimanfaatkan untuk menanam berbagai jenis tanaman, beternak atau pun memelihara ikan. Hasil penelitian menunjukkan optimalisasi pemanfaatan pekarangan memiliki koefisien regresi positif terhadap kesejahteraan keluarga yang berarti bahwa keluarga yang memanfaatan pekarangan lebih optimal berpotensi lebih besar untuk sejahtera dibanding keluarga yang belum optimal memanfaatan pekarangan. Menurut Mitchell & Hanstad (2004) pekarangan berkontribusi pada kesejahteraan ekonomi keluarga dalam berbagai cara. Hasil penelitian menunjukkan, dengan rata-rata luas pekarangan 52,63 m2 keluarga sudah memanfaatkannya seluas rata-rata 8,06 m2 untuk berkebun, beternak atau memelihara ikan. Pekarangan yang dimanfaatkan tersebut tidak luas namun hasil pekarangan dapat dikonsumsi sendiri oleh keluarga (58,3%). Hal ini tentunya dapat mengurangi pengeluaran keluarga, sehingga pendapatan yang ada bisa dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan keluarga lainnya. Bahkan hasil pekarangan juga dapat dijual walau nilainya kecil (14,2%), yang hasilnya dapat memberikan tambahan pendapatan keluarga. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Wickramasinghe (1995) dan Torres (1988) yang
38 menunjukkan bahwa pekarangan dapat menghasilkan makanan untuk konsumsi keluarga dan penyangga ekonomi keluarga pada saat terjadi fluktuasi harga. Selain itu hasil pekarangan dapat dijual untuk mendapatkan tambahan penghasilan (Torquebiau 1992; Niñez VK 1985). Penghasilan yang diperoleh dari penjualan buah, sayur dan ternak dari pekarangan memungkinkan keluarga untuk membeli makanan tambahan, menabung dan membiayai pendidikan anak-anak (Iannotti et al. 2009; Vasey 1985). Hasil penelitian di Vietnam menunjukkan bahwa lebih dari 22% pendapatan keluarga diperoleh dari kegiatan di pekarangan (Trinh et al. 2003). Penelitian di Bangladesh menunjukkan bahwa pemanfaatan pekarangan dapat meningkatkan 8-10% pendapatan masyarakat (Midmore et al. 1996). Pekarangan selain bermanfaat secara ekonomis, juga sangat penting bagi perkembangan kesehatan fisik dan mental anggota keluarga (Freeman et al. 2012) juga dapat menciptakan lingkungan yang asri dan nyaman karena gaya hidup “hijau” yang dilakukan untuk mengatasi laju pemanasan global (Supriati et al. 2008). Optimalisasi pemanfaatan pekarangan keluarga peserta lebih tinggi dibanding keluarga bukan peserta. Ini menunjukkan bahwa program GPOP sedikit banyaknya memberikan kontribusi terhadap pemanfaatan pekarangan keluarga. Hasil-hasil pemanfaatan pekarangan juga sudah dapat dirasakan keluarga. Namun dampak pemanfaatan pekarangan dan program GPOP terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga belum terlihat. Hasil penelitian menunjukkan variabel optimalisasi pemanfaatan pekarangan dan keikutsertaan ibu dalam kegiatan GPOP tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kesejahteraan keluarga. Namun optimalisasi pemanfaatan pekarangan dan keikutsertaan ibu dalam kegiatan GPOP memiliki koefisien regresi positif terhadap tingkat kesejahteraan keluarga. Ini berarti bahwa keluarga yang ikut program GPOP dan mengoptimalkan pemanfaatan pekarangannya berpotensi untuk lebih sejahtera dibanding keluarga yang tidak ikut program dan yang tidak memanfaatkan pekarangannya. Keikutsertaan ibu dalam program GPOP yang juga merupakan anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu-ibu dalam mengelola pekarangan dan berbudidaya tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga peserta GPOP dengan pekarangan yang lebih sempit dibanding keluarga bukan peserta, lebih banyak menanami pekarangan dengan jenis tanaman yang dapat dikonsumsi, seperti sayuran, buah dan tanaman obat. Selain itu dengan adanya program ini memungkinkan ibu-ibu para peserta saling berinteraksi, dimana menurut Keyes (2002), kontak sosial yang berkualitas dapat meningkatkan kesejahteraan. Cooper et al. (1992), Pinquart & Sorensen (2000), serta Diener & Seligman (2002) juga menegaskan bahwa kegiatan sosial dengan kelompok-kelompok berkorelasi kuat dengan kesejahteraan. Simpulan Optimalisasi pemanfaatan pekarangan secara keseluruhan termasuk rendah, dimana optimalisasi pemanfaatan pekarangan keluarga peserta lebih tinggi dibanding bukan peserta, namun perbedaannya tidak signifikan. Sebagian besar keluarga sejahtera menurut pengukuran kedua kriteria, yaitu BPS dan penilaian istri. Keluarga peserta lebih sejahtera menurut pengukuran kedua kriteria dibanding keluarga bukan
39 peserta. Jumlah aset keluarga berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kesejahteraan keluarga. Saran Diperlukan upaya pemerintah untuk melakukan sosialisasi dan pelatihan pemanfaatan pekarangan dengan bercocok tanam atau memelihara ternak/ikan secara berkesinambungan dan efektif, sehingga pemanfaatan pekarangan dapat dilakukan secara optimal. Daftar Pustaka Behnke A, MacDermid. 2004. Family well-being. Purdue University. Blanchflower DG, Oswald AJ. 2004. Well-being over time in Britain and the USA. Journal of Public Economics 88: 1359– 1386. Bryant KW. 1990. The economic organization of the household. Cambridge University Press. Bubolz MM, Sontag S. 1988. Integration in home economics and human ecology. Journal of Home Economics and Consumer Studies, 12 (1): 1-14. Carbonell AF. 2005. Income and well-being: an empirical analysis of the comparison income effect. Journal of Public Economics 89: 997–1019. Cooper H, Okamura L, & Gurka V. 1992. Social activity and subjective wellbeing. Personality and Individual Differences, 13 (5), 573-583. Diener E & Seligman MEP. 2002. Very happy people. Psychological Science, 13, 81-84. Firebaugh FM. 1991. Families in transition: a global perspective. Journal of Home Economics 83 (3): 44-50. Freeman C, Dickinson KJM, Porter S, & Van Heezik Y. 2012. “My Garden is an Expression of me”: Exploring householders’ relationships with their gardens. Journal of Environmental Psychology, 32, 135-143. Galhena DH, Freed R, Maredia KM. 2013. Home gardens: a promising approach to enhance household food security and well-being. Agriculture & Food Security 2:8 Goldsmith EB. 1996. Resource management for individuals and families. West Publishing Company. USA. Iannotti L, Cunningham K, Ruel M. 2009. Improving diet quality and micronutrient nutrition: homestead food production in Bangladesh. International Food Policy Research Institute, Discussion Paper 00928. Iskandar A. 2007. Analisis praktik manajemen sumberdaya keluarga dan dampaknya terhadap kesejahteraan keluarga di Kabupaten dan Kota Bogor. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia 1 (3): 295-320. Keyes CLM. 2002. The exchange of emotional support with age and its relationship with emotional well-being by age. Journal of Gerontology: Psychological Sciences, 57B, (6), 518–525. Kusumo RAB, Sunarti E, Pranadji DK. 2008. Analisis peran gender serta hubungannya dengan kesejahteraan keluarga petani padi dan hortikultura di daerah pinggiran perkotaan. Jurnal Media Gizi & Keluarga 32 (2): 30-39.
40 Martinez SW, Gertler PJ, & Rubio-Codina M. 2012. Investing cash transfer to raise long-term living standards. American Economic Journal: Applied Economics, 4 (1): 1–32. Mentzakis E & Moro M. 2009. The poor, the rich and the happy: Exploring the link between income and subjective well-being. The Journal of SocioEconomics. Vol. 38, Issue 1, 147–158. Midmore JM, Ninez V, Venkataraman R. 1996. Household Gardening Projects in Asia: Past Experience and Future Directions. Technical Bulletin No. 19. Pg. 16-17. Milligan S, Fabian A, Coope P, C. Errington. 2006. Family well-being indicators from the 1981-2001 New Zealand Censuses, Statistics New Zealand, Univ. of Auckland and Univ. of Otago. Mitchell R, Hanstad T. 2004. Small homegarden plots and sustainable livelihoods for the poor. Rome, Italy: LSP Working Paper 11. Muflikhati I, Hartoyo, Sumarwan U, Fahrudin A, Puspitawati H. 2010. Kondisi Sosial Ekonomi dan Tingkat Kesejahteraan Keluarga: Kasus di Wilayah Pesisir Jawa Barat. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, p: 1-10 Vol. 3, No. 1. Bogor. Niñez VK. 1985. Working at half-potential: constructive analysis of homegarden programme in the Lima slums with suggestions for an alternative approach. Food Nutr Bull, 7 (3):6–13 Odebode OS. 2006. Assessment of home gardening as a potential source of household income in Akinyele Local Government Area of Oyo State. Nig J Horticulture Sci 2: 47–55. Pinquart M & Sörensen S. 2000. Influences of socio-economic status, social network, and competence on subjective well-being in later life: A metaanalysis. Psychology and Aging, 15, 187-224. Puri S & Nair PKR. 2004. Agroforestry research for development in India: 25 years of experiences of a national program. Agrofor Sys 61:437–452. Rowe WC. 2009. "Kitchen gardens" in Tajikistan: the economic and cultural importance of small-scale private property in a post-soviet society. Hum Ecol 37(6): 691–703. Ruthenberg H. 1980. Farming systems in the tropics. 3rd ed. Oxford, UK. Clarendon Press. Smith J, Borchelt M, Maier H & Jopp D. 2002. Health and well–being in the young old and oldest old. Journal of Social Issues. Vol.58, Issue 4, 715–732. Supriati Y, Yulia Y, Nurlela I. 2008. Taman Sayur+19 Desain Menarik. Penebar Swadaya. Jakarta. Terra GJA. 1958. Farm systems in southeast Asia. Neth J Agric Sci 6:157–182. Torres EB. 1988. Socioeconomic aspects of backyard gardening in the Philippines. Council for Agriculture, Forestry and Natural Resources Research and Development. Report 69. Torquebiau E. 1992. Are tropical agroforestry gardens sustainable? Agric Ecosyst Environ 41:189–207. Trinh LN, Watson JW, Hue NN, De NN, Minh NV, Chu P, Sthapit BR, & Eyzaguirre PB. 2003. Agrobiodiversity conservation and development in Vietnamese home gardens. Journal of Agriculture, Ecosystems and Environment, 97: 317–344.
41 Vasey DE. 1985. Household gardens and their niche in Port Moresby, Papua New Guinea. Food Nutr Bull 7 (3): 37–43. Weston R, Gray M, Qu L, Stanton D. 2004. Long work hours and the well-being of fathers and their families, Research Paper 35. Australian Institute of Family Studies, Melbourne. Wickramasinghe A. 1995. Home gardens: habitations rescuing biodiversity. MPTS News 4, 1-4.
42 6 Artikel 2 ANALISIS MANAJEMEN KEUANGAN, MANAJEMEN WAKTU DAN KESEJAHTERAAN KELUARGA Analysis of Financial and Time Management,and Family Well-being Riza, Hartoyo, Istiqlaliyah Muflikhati Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis manajemen keuangan, manajemen waktu keluarga dan tingkat kesejahteraan keluarga di Kota Depok Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini melibatkan 120 keluarga yang dipilih secara acak dan pengumpulan data dilakukan melalui wawancara. Data dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen keuangan dan manajemen waktu sebagian besar keluarga berada pada kategori sedang. Sebagian besar keluarga sejahtera baik menurut pengukuran BPS maupun penilaian istri terhadap berbagai aspek kesejahteraan keluarganya. Manajemen keuangan dan waktu memiliki hubungan dengan tingkat kesejahteraan keluarga. Kata kunci: manajemen keuangan keluarga, manajemen waktu keluarga, kesejahteraan keluarga. Abstract The aim of this research was to analyze family financial management, time management, and family well-being in Depok City West Java Province. This research involved 120 families were selected by random sampling. Data were colected through interview and analyzed descriptively. The results showed that family financial management and time management most families in middle category. Most of families were classified as nonpoor by BPS indicator and also well-being by wife assessment indicators of the various aspects of well-being. Family finance and time management has a relationship with the family wellbeing. Keywords: family financial management, family time management, family well-being Pendahuluan Latar Belakang Kesejahteraan merupakan tujuan setiap keluarga yang dapat dirasakan oleh setiap anggota keluarga. Kesejahteraan merupakan kualitas hidup seseorang atau unit sosial lainnya (Behnke & MacDermid 2004). Menurut Weston et al. (2004), indikator umum kesejahteraan keluarga diantaranya adalah keadaan keuangan dan material keluarga, pekerjaan orang tua, kepuasan anggota keluarga atas hubungan antar anggota keluarga, gaya pengasuhan orangtua dan kualitas fungsi keluarga. Lebih lanjut Milligan et al. (2006) menjelaskan bahwa komponen yang berkontribusi terhadap kesejahteraan keluarga adalah pendapatan, pendidikan,
43 kesehatan, kualitas hubungan antar anggota keluarga dan fungsi keluarga. Rambe (2004) menyebutkan bahwa kesejahteraan keluarga ditentukan oleh empat faktor yaitu pendidikan, kondisi tempat tinggal, harga dan pengeluaran. Kesejahteraan keluarga dapat tercapai apabila keluarga memiliki sumberdaya yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan anggota keluarga. Menurut Goldsmith (1996) sumberdaya adalah segala sesuatu yang tersedia yang dapat digunakan. Berdasarkan jenisnya, sumberdaya keluarga terdiri dari sumberdaya manusia, sumberdaya materi dan sumberdaya waktu. Ketiga jenis sumberdaya ini merupakan satu kesatuan sumberdaya total yang dimiliki oleh suatu keluarga dan merupakan suatu alat untuk mencapai tujuan keluarga yang diinginkan. Tujuan akan akan dapat tercapai apabila semua sumberdaya keluarga yang ada dapat dikelola dengan baik melalui manajemen sumberdaya keluarga. Manajemen menurut Goldsmith (1996) adalah proses penggunaan sumberdaya untuk mencapai tujuan. Tujuan akan dapat tercapai apabila kondisi dalam keluarga memungkinkan setiap anggota keluarga terlibat dalam pengambilan keputusan bersama dan dengan menyediakan sebuah kerangka kerja yang mendukung dan memaksimalkan keuntungan bagi anggota keluarga. Dalam manajemen keluarga, terdapat tahapan-tahapan atau proses yang harus dilalui, yaitu perencananaan, pelaksanaan dan pengawasan. Perencanaan merupakan awal dari proses manajemen keluarga. Menurut Siagian (1980), perencanaan adalah keseluruhan proses pemikiran dan penentuan secara matang tentang hal-hal yang akan dikerjakan di masa yang akan datang dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Setelah perencanaan proses manajemen selanjutnya adalah pengorganisasian dimana ada proses pengelompokkan orang-orang, alat-alat, tugas-tugas, tanggung jawab dan wewenang sedemikian rupa sehingga tercipta suatu organisasi yang dapat digerakkan sebagai suatu kesatuan dalam pencapaian tujuan yang telah ditentukan (Siagian 1980). Pengelolaan terhadap uang dan waktu sebagai sumberdaya keluarga yang utama selain sumberdaya manusia, perlu dilakukan dalam sebuah manajemen keuangan dan manajemen waktu yang baik. Manajemen keuangan keluarga merupakan upaya-upaya pengelolaan atau pengaturan keuangan keluarga untuk memenuhi semua kebutuhan keluarga sehari-hari yang terdiri dari kebutuhan makanan, pendidikan, kesehatan, pakaian, perumahan, dan lain-lain. Manajemen keuangan sangat penting peranannya dalam mewujudkan kesejahteraan keluarga. Untuk itu berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas manajemen keuangan keluarga melalui perencanaan keuangan yang baik dan disiplin sangat diperlukan untuk mendukung terwujudnya keluarga yang sejahtera. Manajemen waktu adalah suatu cara dalam menggunakan dan mengelola waktu agar aktivitas dapat berjalan efektif dan efisien. Output dari manajemen waktu adalah jika waktu yang digunakan dapat mencapai tujuan individu dan keluarga. Kemampuan seseorang dalam pengelolaan waktu merupakan aspek penting dalam upaya manajemen waktu (Nickell dan Dorsey 1959). Iskandar (2007) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi praktek manajemen sumberdaya keluarga adalah pendidikan kepala keluarga, pendapatan keluarga dan tempat tinggal keluarga (di desa atau di kota). Sedangkan menurut Herawati (2012) jumlah anggota keluarga dan status bekerja suami istri berpengaruh nyata terhadap proses manajemen sumberdaya keluarga, baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu partisipasi dalam kegiatan penyuluhan juga berpengaruh
44 nyata terhadap proses manajemen sumberdaya keluarga, dimana keluarga merupakan peserta program pemberdayaan masyarakat di pedesaan. Melalui manajemen sumberdaya keluarga yang baik, diharapkan sumberdaya yang dimiliki keluarga secara terbatas dapat memenuhi kebutuhan keluarga yang pada akhirnya dapat menghasilkan tingkat kesejahteraan yang optimal. Berdasarkan pemaparan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis manajemen keuangan keluarga 2. Menganalisis manajemen waktu keluarga, 3. Menganalisis tingkat kesejahteraan keluarga 4. Menganalisis hubungan manajemen keuangan dan waktu terhadap kesejahteraan keluarga. Metode Penelitian Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ini merupakan penelitian survai yang pengambilan datanya dilakukan di Kota Depok. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive berdasarkan pertimbangan bahwa Kota Depok merupakan daerah penyangga Ibukota RI yang memiliki laju pertumbuhan penduduk kedua tertinggi di Provinsi Jawa Barat setelah Kabupaten Bekasi, yaitu sebesar 4,27 persen per tahun selama tahun 2000 sampai tahun 2010 (BPS Kota Depok 2011). Pengambilan data dilakukan pada bulan Agustus sampai Oktober 2012. Teknik Pengambilan Contoh Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga yang tinggal di Kota Depok. Contoh dalam penelitian ini dipilih secara acak. Pemilihan dua kecamatan dilakukan terhadap sebelas kecamatan di Kota Depok, yaitu Kecamatan Cipayung dan Cimanggis. Kemudian dari setiap kecamatan terpilih dua kelurahan secara acak yaitu Kelurahan Tugu di Kecamatan Cimanggis dan Kelurahan Cipayung Jaya di Kecamatan Cipayung. Di satu kelurahan kemudian dipilih 60 orang secara acak, sehingga jumlah total contoh yang terpilih adalah sebanyak 120 keluarga. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan merupakan data primer yang diperoleh sebagai hasil wawancara dengan istri atau ibu dalam keluarga contoh terpilih. Data meliputi karakteristik keluarga, manajemen keuangan, manajemen waktu dan kesejahteraan keluarga. Karakteristik keluarga terdiri atas usia istri dan suami, pendidikan istri dan suami, pekerjaan istri dan suami, pendapatan dan pengeluaran keluarga, besar keluarga, jumlah aset dan tempat tinggal. Manajemen keuangan dan manajemen waktu keluarga diukur dengan menggunakan instrument yang terdiri dari beberapa pertanyaan. Tingkat kesejahteraan diukur berdasarkan garis kemiskinan BPS dan penilaian istri terhadap berbagai aspek kesejahteraan keluarga. Pengolahan dan Analisis Data Usia suami dan istri diukur dalam tahun. Pendidikan suami dan istri diukur berdasarkan lama pendidikan formal yang ditempuh. Besar keluarga diukur berdasarkan jumlah seluruh anggota keluarga. Tempat tinggal dibedakan menjadi
45 kompleks dan bukan kompleks. Aset diukur berdasarkan jumlah jenis aset yang dimiliki keluarga, dengan maksimal jumlah 28 jenis aset. Manajemen keuangan diukur menggunakan instrumen yang mengacu pada penelitian yang dilakukan Herawati (2012), yang terdiri atas 23 pertanyaan dengan empat pilihan jawaban yaitu tidak pernah (skor 0), kadang-kadang (skor 1), sering (skor 2) dan selalu (skor 3). Pertanyaan mencakup kegiatan yang dilakukan contoh/keluarga yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi terhadap penggunaan keuangan keluarga. Instrumen yang digunakan telah reliabel dengan nilai Cronbach’s alpha sebesar 0,908. Skor total yang berkisar 0-69, ditransformasikan dalam bentuk indeks dan kemudian dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu rendah <33,33, sedang 33,33-66,66 dan tinggi >66,66. Manajemen waktu diukur menggunakan instrumen yang mengacu pada penelitian yang dilakukan Herawati (2012), yang terdiri atas 18 pertanyaan dengan jawaban tidak pernah (skor 0), kadang-kadang (skor 1), sering (skor 2) dan selalu (skor 3). Pertanyaan mencakup kegiatan yang dilakukan contoh/keluarga dalam mengatur waktu untuk melaksanakan suatu kegiatan/pekerjaan. Instrumen yang digunakan telah reliabel dengan nilai Cronbach’s alpha sebesar 0,878. Skor total yang berkisar 0-54, ditransformasikan dalam bentuk indeks dan selanjutnya dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu rendah <33,33, sedang 33,33-66,66 dan tinggi >66,66. Tingkat kesejahteraan keluarga diukur menggunakan dua indikator yaitu indikator garis kemiskinan BPS dan penilaian istri terhadap aspek-aspek kesejahteraan keluarga. Kesejahteraan menurut BPS diukur menggunakan indikator garis kemiskinan Kota Depok yaitu Rp 310.279 per kapita per bulan. Berdasarkan indikator ini, keluarga dikategorikan menjadi dua kategori yaitu keluarga miskin dengan pengeluaran per kapita per bulan lebih kecil atau sama dengan Rp 310.279,00 per kapita per bulan, sedangkan keluarga dengan pengeluaran besar dari Rp 310.279,00 per kapita per bulan maka keluarga tersebut dikategorikan sebagai keluarga tidak miskin. Kesejahteraan menurut penilaian istri diukur menggunakan instrumen yang mengacu pada penelitian yang dilakukan Rambe (2004), yang terdiri atas 45 pertanyaan dengan dua pilihan jawaban yaitu ya (skor 1) dan tidak (skor 0). Instrumen yang digunakan telah reliabel dengan nilai Cronbach’s alpha sebesar 0,803. Skor yang diperoleh keluarga dijumlahkan dan dihitung persentasenya. Berdasarkan persentase skor, keluarga dikategorikan menjadi keluarga sejahtera (persentase skor ≥ 75) dan keluarga tidak sejahtera (persentase skor < 75). Data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini dianalisis menggunakan analisis deskriptif dan statistik inferensial. Analisis deskriptif digunakan untuk menghitung nilai minimum, nilai maksimum, nilai rata-rata, serta standar deviasi. Analisis statistik inferensial yang digunakan adalah uji khi kuadrat dan uji korelasi Pearson. Uji khi kuadrat digunakan untuk menguji hubungan manajemen keuangan dan manajemen waktu serta menguji hubungan manajemen keuangan dan manajemen dengan tingkat kesejahteraan keluarga yang memiliki data ordinal. Uji korelasi Pearson digunakan untuk menguji hubungan antar variabel yang menggunakan data rasio.
46 Hasil Karakteristik Keluarga Usia istri berada pada rentang usia 27-63 tahun, sedangkan suami berada pada rentang usia 30-69 tahun. Lebih dari 65% istri maupun suami berada pada kelompok usia dewasa pertengahan yaitu 41-60 tahun. Lama pendidikan istri berada pada rentang 6-18 tahun, sedangkan lama pendidikan suami berada pada rentang 418 tahun. Berdasarkan rata-rata lama sekolah, ternyata lama sekolah suami (11,74 tahun) sedikit lebih tinggi dibandingkan lama sekolah istri (10,98 tahun), dimana istri dan suami rata-rata memiliki pendidikan sampai pada tingkat SMA. Rata-rata besar keluarga adalah 4 orang, dimana paling sedikit 2 orang dan paling banyak 7 orang. Rata-rata pendapatan keluarga per kapita per bulan adalah Rp 837.852,84. Sedangkan rata-rata pengeluaran keluarga per kapita per bulan adalah Rp 484.353,27. Aset yang dimiliki keluarga terdiri dari tempat tinggal, kendaraan, peralatan elektronik, perlengkapan rumah tangga, benda berharga dan perabot rumah tangga. Jumlah aset yang dimiliki keluarga berkisar antara 8 sampai 28 jenis, dengan rata-rata jumlah aset yang dimiliki adalah 17,27 jenis. Sebanyak 72,5% istri tidak bekerja, sedangkan sisanya bekerja sebagai PNS, karyawan swasta, jualan sayur, pembantu rumah tangga dan lain-lain. Suami yang tidak bekerja hanya 7,5%, dan yang bekerja sebagian besar adalah karyawan swasta yaitu sebesar 40,03%. Keluarga pada penelitian ini bertempat tinggal di komplek atau perumahan dan bukan komplek (perkampungan). Sebagian besar keluarga bertempat tinggal di perkampungan (66,7%). Tabel 6.1 Nilai minimum, maksimum, rata-rata dan standar deviasi karakteristik keluarga Karakteristik Keluarga Usia istri (tahun) Usia suami (tahun) Pendidikan istri (tahun) Pendidikan suami (tahun) Besar keluarga (orang) Pendapatan per kapita (Rp/bulan) Pengeluaran per kapita (Rp/bulan) Aset (jumlah jenis)
Minimum - Maksimum
Rata-rata ± Standar deviasi
27-63 30-69 6-18 4-18 2-7 83.333-2.500.000 150.000-1.687.500 8-28
43,59 ± 7,22 47,36 ± 6,99 10,98 ± 2,87 11,74 ± 3,03 4,03 ± 1,06 837.852,84 ± 461.789,12 484.353,27 ± 261.602,72 17,27 ± 4,25
Manajemen Keuangan Manajemen keuangan keluarga adalah bentuk pengelolaan keuangan keluarga dalam memenuhi semua kebutuhan keluarga sehari-hari yang terdiri dari kebutuhan pangan, sandang/pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan lainlain. Puspitawati (2006) menjelaskan bahwa manajemen keuangan sangat penting perannya dalam mewujudkan kesejahteraan keluarga. Hasil penelitian pada Tabel 6.2 menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga (59,2%) memiliki manajemen keuangan pada kategori sedang dan sebanyak 29,2% keluarga berada pada kategori tinggi. Kualitas penerapan manajemen keuangan tinggi menunjukkan bahwa keluarga sudah konsisten dalam memperhitungkan biaya dan pendapatan keluarga serta mengatur dan merencanakan pengeluaran. Keluarga ini juga minimal dalam berhutang dan banyak menabung, serta berupaya untuk melibatkan anggota keluarga lainnya dalam pengelolaan keuangan keluarga. Kualitas
47 penerapan manajemen keuangan sedang menunjukkan bahwa keluarga sudah konsisten memperhitungkan biaya dan pendapatan keluarga, namun masih kurang konsisten dalam mengatur dan merencanakan pengeluaran. Hal ini menyebabkan masih banyak keluarga yang berhutang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dalam penerapan manajemen keuangan, sebanyak 29,2% keluarga sering menghitung perkiraan biaya hidup sehari-hari/bulan dan sebesar 26,7% keluarga selalu menghitung perkiraan biaya hidup sehari-hari/bulan. Dalam hal menghitung perkiraan pendapatan yang diperoleh sebanyak 30,0% keluarga sering melakukannya dan sebanyak 29,2% keluarga selalu melakukannya. Sebanyak 27,5% keluarga sering membandingkan pendapatan dan pengeluaran, dan sebanyak 23,3% selalu melakukannya. Tabel 6.2 Sebaran keluarga berdasarkan kualitas penerapan manajemen keuangan Kualitas penerapan manajemen keuangan n % Rendah (indeks <33,3) 14 11,7 Sedang (indeks 33,3-66,6) 71 59,2 Tinggi (indeks >66,6) 35 29,2 Total (n) 120 100,0 Min-maks indeks 8,70-95,65 Rataan indeks ± SD 55,65 ± 19,16 Memperkirakan biaya hidup, memperkirakan pendapatan dan membandingkan pendapatan dan pengeluaran penting dilakukan keluarga agar pendapatan yang diperoleh dapat memenuhi semua kebutuhan anggota keluarga. Selanjutnya agar pendapatan dapat mencukupi kebutuhan maka perlu merencanakan dan mengatur pengeluaran. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 40,9% keluarga kadang-kadang menetapkan prioritas pengeluaran dan sebanyak 17,5% tidak pernah melakukannya. Dan untuk menetapkan standar biaya maksimal dalam pengalokasian pengeluaran sebanyak 45,9% keluarga kadang-kadang melakukannya dan sebanyak 25,9% keluarga tidak pernah melakukannya. Selain itu cukup banyak keluarga (65,9%) yang sering membeli sesuatu di luar yang direncanakan dan sebanyak 14,2% selalu melakukannya. Dan ternyata hanya 16,7% keluarga yang pengeluaran keluarganya selalu sesuai dengan perencanaan, sedangkan sebanyak 60,0% keluarga menyatakan kadangkadang sesuai. Ini menunjukkan bahwa keluarga belum konsisten dalam mengatur dan mengelola pengeluaran. Pendapatan yang besar jika tidak diiringi dengan pengaturan pengeluaran maka kebutuhan keluarga bisa jadi tidak dapat dipenuhi dengan baik. Banyak keluarga yang tidak pernah mencatat penerimaan (35,0%) dan pengeluaran (32,5%). Padahal upaya ini sangat bagus dalam mengawasi kondisi keuangan keluarga, dimana catatan itu dapat mengingatkan dan mengontrol ibu apakah masih bisa melakukan pembelian atau tidak, dan memprioritaskan kebutuhan apa saja yang perlu atau harus dipenuhi dan mana yang dapat ditunda. Hal penting lainnya dalam manajemen keuangan yang perlu dilakukan adalah kegiatan menabung. Kegiatan ini dimaksudkan untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan mendesak yang bisa muncul kapan saja dan juga untuk membiayai kebutuhan yang dipastikan akan ada di masa yang akan datang dalam jumlah yang cukup besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 38,4%
48 keluarga selalu menyisihkan uang untuk menabung secara rutin per bulan, dan sebanyak 21,7% keluarga sering melakukannya. Pada saat kebutuhan tidak tercukupi dengan pendapatan yang ada, maka upaya yang dapat dilakukan keluarga adalah berhutang. Banyak keluarga (48,4%) yang selalu meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga dan sebanyak 40,0% keluarga sering melakukannya. Dalam hal meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu, sebanyak 66,7% keluarga sering melakukannya dan 22,5% keluarga selalu melakukannya. Besarnya keluarga yang meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga merupakan konsekuensi dari lemahnya keluarga dalam merencanakan dan mengatur pengeluaran. Adanya hutang mengharuskan keluarga mengalokasikan uang untuk membayarnya. Dan hasil penelitian menunjukkan sebanyak 41,7% keluarga selalu mengalokasikan uang untuk membayar hutang dan sebanyak 29,2% keluarga sering melakukannya. Sebanyak 30,0% keluarga sering belajar mengelola keuangan dengan baik dan sebanyak 29,2% keluarga selalu belajar, dan hanya sedikit keluarga (5,8%) yang tidak pernah belajar mengelola keuangan dengan baik. Ini menunjukkan bahwa ada upaya keluarga terus memperbaiki pengelolaan keuangan keluarga. Selain itu sebanyak 40,0% keluarga selalu membuat rencana keuangan dengan melibatkan pasangan dan sebanyak 29,2% keluarga sering melakukannya. Sebanyak 39,2% keluarga selalu menyelesaikan masalah keuangan bersama anggota keluarga dan sebanyak 35,0% keluarga sering melakukannya. Upaya melibatkan anggota keluarga yang lain dalam pengelolaan keuangan diperlukan agar setiap anggota keluarga memahami kondisi keuangan keluarga sehingga memiliki tanggung jawab dalam penggunaan keuangan. Manajemen Waktu Manajemen waktu adalah suatu cara dalam menggunakan dan mengelola waktu sehingga seluruh perencanaan dan pelaksanaan kegiatan selama satu hari dapat berlangsung secara efektif dan efisien (Deacon & Firebaugh 1988). Sebagian besar keluarga memiliki kualitas penerapan manajemen waktu sedang (59,2%) dengan rata-rata indeks penerapan manajemen waktu keluarga adalah sebesar 58,92. Sedikit sekali keluarga (4,2%) dengan kualitas penerapan manajemen waktu rendah. Tabel 6.3 Sebaran keluarga berdasarkan kualitas penerapan manajemen waktu Kualitas penerapan manajemen waktu n % Rendah (indeks <33,3) 5 4,2 Sedang (indeks 33,3-66,6) 71 59,2 Tinggi (indeks >66,6) 44 36,7 Total (n) 120 100,0 Min-maks indeks 11-100 Rataan indeks ± SD 58,92 ± 16,78 Keluarga dengan kualitas penerapan manajemen waktu tinggi menunjukkan bahwa keluarga sudah konsisten dalam membuat perencanaan kegiatan, menetapkan prioritas, mementingkan kebersamaan dengan keluarga, sosialisasi dengan lingkungan dan kegiatan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia anggota keluarga. Dengan sumberdaya waktu yang terbatas keluarga tentunya
49 mengharapkan semua kegiatan dapat dilaksanakan dengan baik, untuk itu perlu dilakukan perencanaan yang baik dan menetapkan prioritas kegiatan. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar keluarga kadang-kadang membuat rencana kegiatan sehari-hari (51,7%) dan sebanyak 27,5% keluarga tidak pernah membuat perencanaan. Sebanyak 46,7% keluarga kadang-kadang membuat prioritas kegiatan dan 23,3% keluarga sering melakukannya. Ini menunjukkan bahwa keluarga belum konsisten dalam melakukan perencanaan pengeloaan waktu. Perencanaan yang baik harus diikuti oleh pelaksanaan kegiatan secara konsisten. Sebanyak 55,0% keluarga kadang-kadang melaksanakan kegiatan sesuai jadwal dan 45,9% keluarga tidak pernah melaksanakan kegiatan sesuai jadwal. Sebanyak 60,8% keluarga kadang-kadang membatasi kegiatan-kegiatan di luar rencana, dan kadang-kadang membuat prioritas kegiatan (46,7%). Keluarga yang tidak pernah melaksanakan kegiatan sesuai jadwal cukup banyak yaitu sebesar 45,9% dan keluarga yang tidak pernah membuat rencana (jadwal) kegiatan sehari-hari sebesar 27,5%. Keluarga dalam hal ini istri, yang selalu meluangkan waktu untuk menyiapkan makan keluarga cukup besar yaitu 69,15%, dan meluangkan waktu untuk kumpul bersama keluarga 50,0%. Hasil penelitian pada Tabel 6.4 menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga memiliki kualitas sedang dalam penerapan manajemen keuangan (59,2%) dan waktu (59,2%). Sebanyak 65,7% keluarga dengan kualitas penerapan manajemen keuangan tinggi juga tinggi dalam kualitas manajemen waktu. Sebanyak 71,8% keluarga dengan kualitas penerapan manajemen keuangan sedang, kualitas manajemen waktu juga sedang. Dan sebanyak 57,1% keluarga dengan kualitas penerapan manajemen keuangan rendah, kualitas manajemen waktu tergolong sedang. Keluarga dengan kualitas penerapan manajemen keuangan tinggi, kualitas penerapan manajemen waktunya juga tinggi. Hasil uji khi kuadrat menunjukkan adanya hubungan yang erat (p≤ 0,01) kualitas penerapan manajemen waktu dan manajemen keuangan. Hal ini juga diperkuat dengan hasil uji Pearson yang menunjukkan adanya korelasi yang kuat dan positif (p≤ 0,01) antara kualitas penerapan manajemen waktu dan manajemen keuangan (Lampiran 3). Tabel 6.4 Sebaran keluarga berdasarkan kualitas penerapan manajemen keuangan dan waktu Kualitas penerapan manajemen waktu Rendah 1. Sedang 2. Tinggi Jumlah (n)
Kualitas penerapan manajemen keuangan Rendah Sedang Tinggi Total p value n % n % n % n % 2 14,3 3 4,2 0 0,0 5 4,2 57,1 51 71,8 12 34,3 71 59,2 0,000** 8 28,6 17 23,9 23 65,7 44 36,7 4 11,7 71 59,2 35 29,2 120 100,0 14
Keterangan: ** nyata pada p ≤ 0,01
Tingkat Kesejahteraan Keluarga Tingkat kesejahteraan keluarga diukur menggunakan dua indikator yaitu garis kemiskinan menurut BPS dan indikator penilaian istri terhadap berbagai aspek kesejahteraan keluarganya. Garis kemiskinan menurut BPS Kota Depok adalah sebesar Rp 310.279,00 per kapita per bulan. Keluarga yang memiliki pengeluaran keluarga per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan termasuk dalam kategori
50 keluarga miskin. Penilaian istri terhadap kesejahteraan keluarganya meliputi pendapatan, pendidikan, kesehatan, anak, pekerjaan, harga, tempat tinggal, budaya, agama, hubungan sosial dan aset. Sebagian besar keluarga sejahtera menurut indikator garis kemiskinan BPS (71,7%) dan indikator penilaian istri (69,2%) (Tabel 6.5). Sebanyak 73,3 persen keluarga tidak miskin adalah sejahtera menurut pengukuran penilaian istri, sisanya (26,7%) adalah tidak sejahtera. Sebanyak 41,2% keluarga miskin menurut BPS, tidak sejahtera berdasarkan penilaian istri, dan sisanya (58,8%) termasuk keluarga sejahtera. Hasil uji khi kuadrat menunjukkan tidak ada hubungan yang nyata antara tingkat kesejahteraan keluarga menurut pengukuran BPS dan pengukuran berdasarkan penilaian istri. Hasil uji Pearson juga menunjukkan tidak adanya korelasi yang kuat (p≥ 0,05) antara tingkat kesejahteraan keluarga menurut pengukuran BPS dan penilaian istri (Lampiran 3). Tabel 6.5 Sebaran keluarga berdasarkan tingkat kesejahteraan keluarga menurut kriteria BPS dan penilaian istri Tingkat Kesejahteraan menurut BPS p Tingkat kesejahteraan value Miskin Tidak miskin Total menurut penilaian istri n % n % n % Tidak sejahtera 14 41,2 23 26,7 37 30,8 Sejahtera 20 58,8 63 73,3 83 69,2 0,186 Jumlah (n) 34 28,3 86 71,7 120 100,0 Hubungan Manajemen Keuangan dan Waktu dengan Tingkat Kesejahteraan Keluarga Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 57,1% keluarga dengan kualitas penerapan manajemen keuangan rendah adalah sejahtera menurut pengukuran penilaian istri (Tabel 6.6). Sebanyak 64,8% keluarga dengan kualitas penerapan manajemen keuangan sedang termasuk sejahtera. Dan sebanyak 82,0% keluarga dengan kualitas penerapan manajemen keuangan tinggi termasuk sejahtera. Data ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa semakin bagus kualitas penerapan manajemen keuangan akan semakin sejahtera. Hasil uji Pearson menunjukkan adanya korelasi yang kuat (p≤0,01) antara manajemen keuangan dengan tingkat kesejahteraan keluarga menurut pengukuran penilaian istri (Lampiran 3). Namun hasil uji khi kuadrat menunjukkan tidak ada hubungan yang erat (p≥0,05) antara penerapan manajemen keuangan dengan tingkat kesejahteraan menurut penilaian istri. Sebanyak 40% keluarga dengan kualitas penerapan manajemen waktu rendah adalah sejahtera menurut pengukuran penilaian istri. Sebanyak 59,2% keluarga dengan kualitas penerapan manajemen waktu sedang termasuk sejahtera. Dan sebanyak 88,6% keluarga dengan kualitas penerapan manajemen waktu tinggi, termasuk sejahtera. Data ini menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan kesejahteraan dengan semakin bagusnya kualitas penerapan manajemen waktu keluarga. Hasil uji khi kuadrat (p≤ 0,01) dan hasil uji korelasi Pearson (p≤ 0,01) (Lampiran 9) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara tingkat kesejahteraan keluarga dengan kualitas penerapan manajemen waktu.
51 Tabel 6.6 Sebaran keluarga menurut kualitas penerapan manajemen keuangan dan waktu dengan tingkat kesejahteraan keluarga Kualitas penerapan manajemen
3. 4.
5. 6.
Manajemen keuangan Rendah Sedang Tinggi Jumlah Manajemen waktu Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Tingkat kesejahteraan menurut penilaian istri Tidak sejahtera Sejahtera Total n % n % n % 6 25 6 37
42,9 35,2 17,1 30,8
8 46 29 83
57,1 64,8 82,0 69,2
14 71 35 120
11,7 59,2 29,2 100,0
3 29 5 37
60,0 40,8 11,4 30,8
2 42 39 83
40,0 59,2 88,6 69,2
5 71 44 120
4,2 59,2 36,7 100,0
p value
0,097
0,001**
Pembahasan Kesejahteraan merupakan tujuan semua keluarga yang dapat diraih dengan mengoptimalkan segala sumberdaya yang dimiliki keluarga. Manajemen sumberdaya keluarga, ditujukan agar semua sumberdaya yang dimiliki keluarga dapat memenuhi segala kebutuhan atau pun keinginan anggota keluarga. Uang dan waktu merupakan sumberdaya keluarga utama yang dapat mendukung tercapainya kesejahteraan keluarga. Melalui manajemen keuangan dan manajemen waktu yang baik diharapkan kesejahteraan keluarga dapat dicapai dan ditingkatkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas penerapan manajemen keuangan sebagian besar keluarga adalah sedang. Kualitas sedang ini menunjukkan bahwa keluarga dalam hal ini sudah konsisten memperhitungkan biaya dan pendapatan keluarga serta merencanakan keuangan keluarga, namun masih kurang konsisten dalam mengatur pengeluaran. Menurut Puspitawati (2006), budaya perencanaan dalam pengaturan keuangan juga merupakan salah satu bentuk dari sikap hidup hemat yang berwawasan ke depan menuju ketahanan keluarga. Pengaturan pengeluaran yang tidak konsisten menyebabkan keluarga tidak dapat mencukupi kebutuhan atau keinginan anggota keluarga yang menyebabkan keluarga perlu berhutang untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Menurut Joo & Grable (2003) kondisi keuangan dengan adanya hutang merupakan salah satu bukti sehat tidaknya kondisi keuangan keluarga, disamping juga keberadaan tabungan dan atau rencana masa pensiun/tua serta rencana belanja yang baik. Kondisi keuangan yang sehat dapat memberikan kepuasan bagi keluarga atas kondisi keuangan mereka. Kualitas penerapan manajemen waktu sebagian besar keluarga juga sedang. Kondisi ini menunjukkan bahwa keluarga belum konsisten dalam membuat perencanaan kegiatan dan menetapkan prioritas, namun konsisten dalam pelaksanaan kegiatan kebersamaan dengan keluarga dan lingkungan sosial. Dengan sumberdaya waktu yang terbatas keluarga tentunya mengharapkan semua kegiatan dapat dilaksanakan dengan baik, untuk itu perlu dilakukan perencanaan yang matang dan penetapan prioritas kegiatan. Menurut Nickell dan Dorsey (1959)
52 dalam mengelola waktu diperlukan kemampuan untuk menempatkan posisi diri dalam lingkungan. Dengan kata lain, aktivitas individu akan disesuaikan dengan orang lain, baik dalam aspek pemenuhan pangan, pekerjaan, istirahat, atau rekreasi, sehingga semua kebutuhan dapat dipenuhi dan tujuan akan tercapai. Puspitawati (2006) menyatakan bahwa perilaku seseorang dalam mengalokasikan dan menggunakan waktu mencerminkan tingkat kemajuan dan tingkat hidup seseorang atau masyarakat. Pendidikan merupakan salah satu hal yang dapat mencerminkan tingkat hidup dan kemajuan seseorang. Hasil uji Pearson (Lampiran 3) menunjukkan bahwa pendidikan istri dan suami memiliki korelasi yang sangat erat dengan manajemen waktu dan manajemen keuangan. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang nyata dan positif antara kualitas penerapan manajemen keuangan dan kualitas penerapan manajemen waktu. Semakin tinggi kualitas penerapan manajemen keuangan keluarga, semakin tinggi penerapan manajemen waktu keluarga. Kedua kegiatan ini merupakan bagian dari manajemen sumberdaya keluarga dimana menurut Gross et al. (1980), manajemen sumberdaya keluarga merupakan hal penting bagi tercapainya tujuan keluarga, yaitu terciptanya kesejahteraan yang dapat dirasakan semua anggota keluarga. Prinsip-prinsip dasar kedua manajemen ini adalah sama, dimana adanya perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan. Sebagian besar keluarga sudah sejahtera menurut dua pengukuran tingkat kesejahteraan yaitu BPS dan penilaian istri. Namun ada keluarga yang miskin menurut pengukuran BPS namun sejahtera menurut penilaian istri. Dan sebaliknya tidak miskin menurut pengukuran BPS namun tidak sejahtera menurut penilaian istri. Hal ini menunjukkan bahwa kesejahteraan keluarga tidak hanya dapat dicapai melalui perbaikan kondisi ekonomi keluarga, tapi juga kepuasan anggota keluarga terhadap hubungan antar anggota keluarga dan kualitas fungsi keluarga (Weston et al. 2004), pendidikan dan kesehatan (Milligan et al. 2006) serta sosial (Martinez et al.2012). Pengelolaan terhadap sumberdaya keluarga yang baik diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. Dan hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan bahwa semakin bagus kualitas penerapan manajemen keuangan akan semakin sejahtera. Hasil uji Pearson menunjukkan adanya korelasi yang erat dan positif antara manajemen keuangan dengan kesejahteraan menurut penilaian istri. Menurut Hira & Mugenda (1998) kepuasan keuangan merupakan kepuasan atas penghasilan, kemampuan untuk menangani keadaan keuangan yang darurat, jumlah hutang, tingkat tabungan, dan uang untuk kebutuhan masa depan. Terlepas dari unsur subjektivitas, kepuasan terhadap keuangan umumnya telah terbukti berkontribusi terhadap kepuasan hidup (Xiao et al. 2009), sebagai cikal bakal lahirnya kesejahteraan keluarga. Manajemen keuangan yang baik dapat membantu keluarga mengenali apa yang benar-benar penting dan prioritas kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang. Hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan kesejahteraan dengan semakin bagusnya kualitas penerapan manajemen waktu keluarga. Hasil uji khi kuadrat menunjukkan adanya hubungan antara manajemen waktu dengan tingkat kesejahteraan keluarga. Hasil uji Pearson pun menunjukkan korelasi yang erat dan positif antara manajemen waktu dengan tingkat kesejahteraan keluarga menurut penilaian istri. Manajemen waktu yang baik dapat membantu keluarga melaksanakan berbagai kegiatan secara efektif dan efisien
53 untuk mencapai keinginan dan tujuan keluarga. Pelaksanaan manajemen keuangan dan manajemen waktu yang baik, akan mendukung tercapainya tujuan keluarga yaitu terpenuhinya kebutuhan keluarga, baik pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Keluarga yang mampu memenuhi kebutuhannya dengan baik maka kesejahteraan keluarga dapat terwujud. Simpulan Kualitas penerapan manajemen keuangan dan manajemen waktu sebagian besar keluarga adalah sedang. Sebagian besar keluarga sejahtera menurut pengukuran BPS dan penilaian istri. Kualitas penerapan manajemen keuangan dan manajemen waktu berhubungan dengan kesejahteraan keluarga menurut penilaian istri. Semakin baik kualitas penerapan manajemen keuangan dan waktu, keluarga semakin sejahtera. Saran Manajemen waktu dan keuangan berhubungan erat dengan kesejahteraan keluarga untuk itu perlu dilakukan sosialisasi praktek manajemen sumberdaya keluarga terhadap keluarga-keluarga melalui berbagai kegiatan sosial yang ada di masyarakat. Daftar Pustaka Behnke A, MacDermid. 2004. Family well-being. Purdue University. Deacon RE, Firebaugh FM. 1988. Family Resources Management Principles and applications. Atlantic Avenue. Boston. Goldsmith EB. 1996. Resource management for individuals and families. West Publishing Company. USA. Gross IH, Crandall EW, Knoll MM. 1980. Management for Modern Families. New Jersey: Prentice Hall Inc. Herawati T. 2012. Manajemen Sumberdaya Keluarga dan Ketahanan Keluarga Peserta Program Pemberdayaan Masyarakat di Pedesaan (Kasus di Kabupaten Bogor). Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor Hira TK & Mugenda OM. 1998. Predictors of financial satisfaction: Differences between retirees and non-retirees. Financial Counseling and Planning, 9(2), 75-83. Iskandar A. 2007. Analisis praktik manajemen sumberdaya keluarga dan dampaknya terhadap kesejahteraan keluarga di Kabupaten dan Kota Bogor. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia 1 (3): 295-320. Joo S & Grable JE. 2003. The meaning and measurement of personal financial wellness: A summary of professional insights. Consumer Interests Annual, 40, 1. Martinez SW, Gertler PJ, & Rubio-Codina M. 2012. Investing cash transfer to raise long-term living standards. American Economic Journal: Applied Economics, 4(1): 1–32. Milligan S, Fabian A, Coope P, C. Errington. 2006. Family well-being indicators from the 1981-2001 New Zealand Censuses, Statistics New Zealand, Univ. of Auckland and Univ. of Otago.
54 Nickell P, Dorsey JM. 1959. Management in Family Living. WileyChapman & Hall. Puspitawati H. 2006. Manajemen Keuangan Keluarga sebagai Bagian dari Manajemen Sumberdaya Keluarga Berwawasan Gender. Modul Pelatihan. Kader Posyandu, PKK dan Aparat Kelurahan tentang Pendidikan keluarga Berwawasan Gender (PKBG). Desa Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Jawa Barat. 22-24 Desember 2006. Rambe A. 2004. Alokasi pengeluaran rumahtangga dan tingkat kesejahteraan (Kasus di Kecamatan Medan Kota Sumatera Utara). [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Siagian SP. 1980. Filsafat Administrasi. Gunung Agung. Jakarta. Weston R, Gray M, Qu L, Stanton D. 2004. Long work hours and the well-being of fathers and their families, Research Paper 35. Australian Institute of Family Studies, Melbourne. Xiao JJ, Tang C & Shim S. 2009. Acting for happiness: Financial behavior and life satisfaction of college students. Social Indicators Research, 92, 53-68.
7 PEMBAHASAN UMUM Kesejahteraan keluarga merupakan tujuan yang ingin dicapai setiap keluarga. Kesejahteraan dapat dilihat melalui dua pendekatan yaitu pendekatan menurut BPS dan penilaian keluarga dalam hal ini penilaian istri terhadap beberapa aspek kesejahteraan keluarganya. Kesejahteraan dapat diwujudkan apabila ekonomi keluarga dalam kondisi cukup sehingga kebutuhan anggota keluarga akan pangan, sandang, papan dan kebutuhan penting lainnya dapat terpenuhi (Siahaan 2004). Namun menurut Martinez et al. (2012) kesejahteraan keluarga tidak hanya ditentukan oleh aspek ekonomi saja, namun mencakup seluruh aspek kehidupan diantaranya kesehatan, pendidikan, dan sosial. Faktor ekonomi merupakan faktor penting dalam menentukan kesejahteraan keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aset berpengaruh secara signifikan terhadap kesejahteraan keluarga. Bryant (1990) menyebutkan bahwa aset merupakan sumberdaya atau kekayaan yang dimiliki oleh keluarga. Aset akan berperan sebagai alat pemuas kebutuhan, yang oleh karena itu keluarga yang memiliki aset lebih banyak cenderung lebih sejahtera jika dibandingkan dengan keluarga yang memiliki aset terbatas. Dalam penelitian ini, jumlah aset yang dimiliki keluarga memiliki koefisien regresi positif terhadap kesejahteraan keluarga yang berarti bahwa keluarga dengan kepemilikan aset lebih banyak berpotensi lebih besar untuk sejahtera dibanding keluarga dengan aset sedikit. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Muflikhati et al. (2010) dan Iskandar (2007) yang menyatakan bahwa aset berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan keluarga, dimana semakin banyak aset yang dimiliki keluarga, maka keluarga menjadi semakin sejahtera. Pekarangan merupakan salah satu sumberdaya keluarga, yang jika dikelola dengan baik dapat memberikan manfaat bagi keluarga, baik secara ekonomi maupun non ekonomi. Pekarangan dapat dimanfaatkan untuk menanam berbagai jenis tanaman, beternak atau pun memelihara ikan. Hasil penelitian menunjukkan
55 optimalisasi pemanfaatan pekarangan memiliki koefisien regresi positif terhadap kesejahteraan keluarga yang berarti bahwa keluarga dengan optimalisasi pemanfaatan pekarangan lebih tinggi berpotensi lebih besar untuk sejahtera dibanding keluarga dengan optimalisasi pemanfaatan pekarangan rendah. Menurut Galhena et al. (2013), manfaat pekarangan itu tidak berdiri sendiri, tapi saling tergantung dan mendukung antar berbagai unsur manfaat yang menghasilkan manfaat yang lebih besar lagi. Menurut Mitchell & Hanstad (2004) pekarangan berkontribusi pada kesejahteraan ekonomi keluarga dalam berbagai cara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekarangan sudah dimanfaatkan untuk berkebun, beternak atau memelihara ikan yang hasilnya dapat dikonsumsi sendiri oleh keluarga. Hal ini tentunya dapat mengurangi pengeluaran keluarga, sehingga bisa dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan keluarga yang lainnya. Bahkan hasil pekarangan juga dapat dijual walau nilainya kecil, yang hasilnya dapat memberikan tambahan pendapatan keluarga. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Wickramasinghe (1995) dan Torres (1988) yang menunjukkan bahwa pekarangan dapat menghasilkan makanan untuk konsumsi keluarga dan penyangga ekonomi keluarga pada saat terjadi fluktuasi harga. Selain itu hasil pekarangan dapat dijual untuk mendapatkan tambahan penghasilan (Torquebiau 1992; Niñez VK 1985). Penghasilan yang diperoleh dari penjualan buah, sayur dan ternak dari pekarangan memungkinkan keluarga untuk membeli makanan tambahan, menabung dan membiayai pendidikan anak-anak (Iannotti et al. 2009; Vasey 1985). Hasil penelitian di Vietnam menunjukkan bahwa lebih dari 22% pendapatan keluarga diperoleh dari kegiatan di pekarangan (Trinh et al. 2003). Penelitian di Bangladesh menunjukkan bahwa pemanfaatan pekarangan dapat meningkatkan 8-10% pendapatan masyarakat (Midmore et al. 1996). Pekarangan selain bermanfaat secara ekonomis, juga sangat penting bagi perkembangan kesehatan fisik dan mental anggota keluarga (Freeman et al. 2012) juga dapat menciptakan lingkungan yang asri dan nyaman karena gaya hidup “hijau” yang dilakukan untuk mengatasi laju pemanasan global (Supriati et al. 2008). Keikutsertaan ibu dalam kegiatan GPOP memiliki koefisien regresi positif terhadap kesejahteraan. Keluarga yang ikut program GPOP berpotensi untuk lebih sejahtera dibanding keluarga yang tidak ikut program. Hasil ini menunjukkan bahwa pencapaian tujuan dari pelaksanaan Program GPOP sudah cukup baik. Program GPOP secara umum bertujuan untuk memotivasi/menstimulasi masyarakat untuk mengoptimalkan pemanfaatan pekarangan sebagai sumber gizi, memperindah lingkungan dan menambah pendapatan keluarga, yang semuanya bertujuan akhir untuk mencapai kesejahteraan keluarga. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian McCaffrey et al. (2013) yang menyebutkan bahwa kualitas hidup peserta meningkat setelah mengikuti program berkebun selama enam bulan. Kualitas hidup seseorang atau unit sosial lainnya menurut Behnke & MacDermid (2004) merupakan definisi dari kesejahteraan (well-being). Keikutsertaan ibu dalam program GPOP yang juga merupakan anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu-ibu dalam mengelola pekarangan dan berbudidaya tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga peserta GPOP dengan pekarangan yang lebih sempit dibanding keluarga bukan peserta, lebih banyak menanami pekarangan dengan jenis tanaman yang dapat dikonsumsi, seperti sayuran, buah dan tanaman obat. Selain itu dengan adanya program ini memungkinkan ibu-ibu para peserta saling berinteraksi,
56 dimana menurut Keyes (2002), kontak sosial yang berkualitas dapat meningkatkan kesejahteraan (subjektif). Menurut Cooper et al. (1992), Pinquart & Sorensen (2000), dan Diener & Seligman (2002) bahwa kegiatan sosial dengan kelompok-kelompok berkorelasi kuat dengan kesejahteraan. Manajemen sumberdaya keluarga merupakan hal penting bagi tercapainya tujuan keluarga (Gross et al.1980). Manajemen keuangan dan waktu merupakan bagian dari manajemen sumberdaya keluarga. Pengelolaan sumberdaya uang yang baik dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. Dengan manajemen yang baik, keterbatasan sumberdaya uang keluarga dapat diupayakan memenuhi semua kebutuhan keluarga yang relatif tidak terbatas. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang erat dan positif antara kualitas penerapan manajemen keuangan dengan tingkat kesejahteraan keluarga. Hasil penelitian Iskandar (2007) menyatakan bahwa keluarga yang melaksanakan manajemen keuangan dengan baik memiliki peluang sejahtera lebih tinggi dibandingkan keluarga yang tidak pernah melaksanakan hal tersebut. Manajemen waktu memiliki hubungan signifikan dan positif terhadap kesejahteraan keluarga. Keluarga dengan kualitas penerapan manajemen waktu yang baik akan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Banyaknya aktifitas rumah tangga mulai dari menyiapkan konsumsi keluarga, pengasuhan, pendidikan, keagamaan dan sosial masyarakat memerlukan upaya pengelolaan yang baik agar semua aktifitas dapat terlaksana dengan baik dan mencapai tujuannya. Menurut Nickell dan Dorsey (1960) dalam mengelola waktu diperlukan kemampuan untuk menempatkan posisi diri dalam lingkungan. Dengan kata lain, aktivitas individu akan disesuaikan dengan orang lain, baik dalam aspek pemenuhan pangan, pekerjaan, istirahat, atau rekreasi. Hal ini akan menciptakan keteraturan dan harmonisasi dalam keluarga yang kemudian menciptakan kesejahteraan bagi keluarga. 8 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan keluarga adalah rendah. Optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan keluarga peserta GPOP lebih tinggi dibanding keluarga bukan peserta GPOP. Kualitas penerapan manajemen keuangan dan manajemen waktu sebagian besar keluarga berada pada kategori sedang. Sebagian besar keluarga adalah sejahtera menurut dua pengukuran kesejahteraan yaitu menurut garis kemiskinan BPS dan menurut penilaian istri terhadap beberapa aspek kesejahteraan keluarganya. Keluarga peserta lebih sejahtera menurut pengukuran BPS dan penilaian istri dibanding keluarga bukan peserta. Jumlah jenis aset berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kesejahteraan keluarga. Manajemen keuangan dan manajemen waktu berhubungan erat dan positif dengan tingkat kesejahteraan menurut pengukuran penilaian istri.
57
Saran Diperlukan upaya sosialisasi dan pelatihan pemanfaatan pekarangan dengan bercocok tanam atau beternak atau memelihara ikan secara berkesinambungan, efektif, sehingga pemanfaatan pekarangan dapat optimal. Sekaligus perlu upaya untuk mendorong dan memotivasi ibu-ibu rumah tangga terutama yang tidak bekerja untuk aktif dalam pemanfaatan pekarangan. Karena upaya pemanfaatan pekarangan melalui program Gerakan Perempuan untuk Optimalisasi Pekarangan (GPOP) dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA Abdoellah OS. 1991. Definition and Ecology of Home Gardens. Development Possibilities and Their Contribution to Farmers Welfare. Proceedings of Seminar on Pekarangan Land. Centre for Agro-Socio-Economic Research (CASER) AARD. Ministry of Agriculture with FAO. Bali. Afrinis N. 2009. Pengaruh Program Home Gardening dan Penyuluhan Gizi terhadap Pemanfaatan Pekarangan dan Konsumsi Pangan Balita. Tesis. Program Studi Mayor Gizi Masyarakat. IPB. Bogor. Arifin HS. 1998. Studi on The vegetation structure og Pekarangan and its changes in West Java, Indonesia. Disertation The Graduate School of Nature Science and Technology Okayama University Japan. Badan Pusat Statistik (BPS). 2005. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bogor Tahun 2005. Kabupaten Bogor: BPS. Behnke A, MacDermid. 2004. Family well being. Purdue University. Berita Resmi Statistik, BPS. 2011. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2011. No. 45/07/Th. XIV, 1 Juli 2011 BKKBN. 1996. Opini Pengembangan Keluarga Sejahtera. Jakarta. BKKBN. Blanchflower DG, Oswald AJ. 2004. Well-being over time in Britain and the USA. Journal of Public Economics 88: 1359– 1386. Brownrigg L. 1985. Home Gardening in International Development. Life, Washington D.C. Bubolz MM, Sontag S. 1988. Integration in home economics and human ecology. Journal of Home Economics and Consumer Studies, 12 (1): 1-14. Budijono. 1993. Pola dan Intensitas Pemanfaatan Lahan Pekarangan di Desa Sako, Kecamatan Sako, Kotamadya Palembang. Laporan Praktek Lapangan. Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Palembang. Burgess EW & Locke HJ. 1945. The family: from institution to companionship. New York: American Book. Bryant KW. 1990. The Economic Organization of the household. Cambridge University Press. Cahyat A, Gönner C, Haug M. 2007. Mengkaji Kemiskinan dan Kesejahteraan Rumah Tangga. Sebuah Panduan dengan Contoh dari Kutai Barat, Indonesia. CIFOR. Bogor. Carbonell AF. 2005. Income and well-being: an empirical analysis of the comparison income effect. Journal of Public Economics 89: 997–1019.
58 Chen J, Murayama S, Kamibeppu K. 2010. Factors Related to Well Being Among the Elderly in Urban China Focusing on Multiple Roles. Journal Bio Science Trend, 4(2):61-71. Christine WS, Oktorina M, Mula I. 2010. Pengaruh Konflik Pekerjaan dan Konflik Keluarga terhadap Kinerja dengan Konflik Pekerjaan Keluarga sebagai Intervening Variabel (Studi pada Dual Career Couple di Jabodetabek). Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol. 12, No. 2, 121-132. Cooper H, Okamura L, & Gurka V. 1992. Social activity and subjective wellbeing. Personality and Individual Differences, 13 (5), 573-583. Conger RD, Elder GH. 1994. Families in troubled times. The Iowa Youth and Family Project. In RD Conger & GH Elder Jr (Eds). Families in troubled times: Adapting to change in rural America. New York: 3-19. Danoesastro H. 1976. Pekarangan. Yayasan Pembina Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Darling CA. 1987. Family life education. Dalam Sussman MB, Steinmetz SK. (Editor). Handbook of marriage and the family. New York: Plenum Press. Deacon RE, Firebaugh FM. 1981. Family Resources Management Principles and Applications. Atlantic Avenue. Boston. Diener E & Seligman MEP. 2002. Very happy people. Psychological Science, 13, 81-84. Duvall E. 1977. Marriage and family development (5th edition). Philadelphia, Lippincott. Engel JF, Blackwell RD, Miniard PW. 1994. Perilaku Konsumen (6th ed) Jilid I (FX. Budiyonto penerjemah). Binarupa Aksara. Jakarta. Firdausy CM. 1993. Aspek-aspek Ekonomi dalam Penelitian Perkotaan di Indonesia 1960-2000. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 1, 1, 23-36. Firebaugh FM. 1991. Families in transition: a global perspective. Journal of Home Economics 83 (3): 44-50. Freeman C, Dickinson KJM, Porter S, & Van Heezik Y. 2012. “My Garden is an Expression of me”: Exploring householders’ relationships with their gardens. Journal of Environmental Psychology, 32, 135-143. Fuaida LD. 2007. Manajemen Keuangan Keluarga Miskin: Studi Kasus Mitra Program Masyarakat Mandiri, Dompet Dhuafa Republika. Jakarta. Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Galhena DH, Freed R, Maredia KM. 2013. Home gardens: a promising approach to enhance household food security and well-being. Agriculture & Food Security 2:8 Goldsmith EB. 1996. Resource management for individuals and families. West Publishing Company. USA. Gross IH, Crandall EW, Knoll MM. 1980. Management for Modern Families. New Jersey: Prentice Hall Inc. Guhardja S, Puspitawati H, Hartoyo. 1992. Manajemen Sumberdaya Keluarga. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB. Gunarsa S & Gunarsa YDS. 2001. Asas-asas psikologi keluarga idaman. Jakarta. Gunung Mulia.
59 Gusnita W. 2011. Pengaruh Kontribusi Ekonomi Perempuan dan Peran Gender terhadap Kesejahteraan Keluarga (Kasus di Kecamatan Ampek Angkek, Kabupaten Agam, Sumatera Barat). [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Hardono T. 1992. Program diversifikasi pangan dan gizi. Makalah Seminar peranan Penganekaragaman Pangan dalam rangka Meningkatkan Gizi Masyarakat. Jakarta, 19-20 Oktober. Herawati T. 2012. Manajemen Sumberdaya Keluarga dan Ketahanan Keluarga Peserta Program Pemberdayaan Masyarakat di Pedesaan (Kasus di Kabupaten Bogor). Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor Hira TK & Mugenda OM. 1998. Predictors of financial satisfaction: Differences between retirees and non-retirees. Financial Counseling and Planning, 9 (2), 75-83. Hurlock EB. 1980. Development Psychology: a life span approach. New York: McGraw-Hill. Irwan. 2008. Eksplorasi Pemanfaatan Pekarangan secara Konseptual. www.kabarindonesia.com. Iannotti L, Cunningham K, Ruel M. 2009. Improving diet quality and micronutrient nutrition: homestead food production in Bangladesh. International Food Policy Research Institute, Discussion Paper 00928. Iskandar A. 2007. Analisis Praktik Manajemen Sumberdaya Keluarga dan Dampaknya terhadap Kesejahteraan Keluarga di Kabupaten dan Kota Bogor. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia.Vol. 01, No. 03. p 295-320. Joo S & Grable JE. 2003. The meaning and measurement of personal financial wellness: A summary of professional insights. Consumer Interests Annual, 40, 1. Kahneman D & Sugden R. 2005. Experienced utility as a standard of policy evaluation. Environmental and Resource Economics 32(1): 161-181. Karyono. 1981. Struktur pekarangan di pedesaan daerah aliran Sungai Citarum, Jawa Barat. Universitas Padjadjaran, Bandung. Keyes CLM. 2002. The exchange of emotional support with age and its relationship with emotional well-being by age. Journal of Gerontology: Psychological Sciences, 57B, (6), 518–525. Kusumo RAB, Sunarti E, Pranadji DK. 2008. Analisis Peran Gender Serta Hubungannya dengan Kesejahteraan Keluarga Petani Padi dan Hortikultura di Daerah Pinggiran Perkotaan. Jurnal Media Gizi & Keluarga, 32 (2): 30-39. Krunger AB. 2009. Measuring of Subjective Well-Being of Nations: Natural Accounts of Time Use and Subjective Well-Being. Chicago: University of Chicago Press. Lakitan B. 1995. Hortikultura. Teori, Budidaya, dan Pascapanen. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Mardiyanto A. 2009. Perencanaan Lanskap Pekarangan dengan Sistem Pertanian Terpadu. Skripsi. Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian. IPB. Bogor Martinez SW, Gertler PJ, & Rubio-Codina M. 2012. Investing cash transfer to raise long-term living standards. American Economic Journal: Applied Economics, 4(1): 1–32. McCaffrey R, DNP, FNP-BC, GNP-BC FAAN, Raddock SB. 2013. The Effect of a Reflective Garden Walking Program. Journal of Therapeutic Horticulture, 23.1.
60 Megawangi R. 2005. Membiarkan berbeda? Sudut pandang baru tentang relansi gender. Mizan: Bandung. Mentzakis E & Moro M. 2009. The poor, the rich and the happy: Exploring the link between income and subjective well-being. The Journal of SocioEconomics. Vol. 38, Issue 1, 147–158. Midmore JM, Ninez V, Venkataraman R. 1996. Household Gardening Projects in Asia: Past Experience and Future Directions. Technical Bulletin No. 19:16-17. Milligan S, Fabian A, Coope P, C. Errington. 2006. Family well-being indicators from the 1981-2001 New Zealand Censuses, Statistics New Zealand, Univ. of Auckland and Univ. of Otago. Mitchell R, Hanstad T. 2004. Small homegarden plots and sustainable livelihoods for the poor. Rome, Italy: LSP Working Paper 11. Muflikhati I, Hartoyo, Sumarwan U, Fahrudin A, Puspitawati H. 2010. Kondisi Sosial Ekonomi dan Tingkat Kesejahteraan Keluarga: Kasus di Wilayah Pesisir Jawa Barat. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, Januari 2010, 1-10 Vol. 3, No. 1. Bogor. Muflikhati I. 2010. Analisis dan Pengembangan Model Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia dan Kesejahteraan Keluarga di Wilayah Pesisir Provinsi Jawa Barat. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Nickell P, Dorsey JM. 1959. Management in Family Living. WileyChapman & Hall. Niñez VK. 1985. Working at half-potential: constructive analysis of homegarden programme in the Lima slums with suggestions for an alternative approach. Food Nutr Bull, 7 (3):6–13 Odebode OS. 2006. Assessment of home gardening as a potential source of household income in Akinyele Local Government Area of Oyo State. Nig J Horticulture Sci 2: 47–55. Parson T. 1960. Structure and process in modern societies. Glencoe, The Free Press. Pinquart M & Sörensen S. 2000. Influences of socio-economic status, social network, and competence on subjective well-being in later life: A metaanalysis. Psychology and Aging, 15, 187-224. Puri S, Nair PKR. 2004. Agroforestry research for development in India: 25 years of experiences of a national program. Agrofor Sys 61:437–452. Puspitawati H. 2006. Manajemen Keuangan Keluarga sebagai Bagian dari Manajemen Sumberdaya Keluarga Berwawasan Gender. Modul Pelatihan. Kader Posyandu, PKK dan Aparat Kelurahan tentang Pendidikan keluarga Berwawasan Gender (PKBG). Desa Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Jawa Barat. Puspitasari N, Puspitawati H, Herawati T. 2013. Peran Gender, Kontribusi Ekonomi Perempuan dan Kesejahteraan Keluarga Petani Hortikultura. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen p: 10-19 Vol. 6 No 1/Jan. Rambe A. 2004. Alokasi Pengeluaran Rumahtangga dan Tingkat Kesejahteraan (Kasus di Kecamatan Medan Kota Sumatera Utara). Tesis Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Rambe KB. 2006. Identifikasi Pola Pekarangan pada Perkampungan Budaya Betawi Situ Babakan Jakarta Selatan. Skripsi. Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian. IPB. Bogor Ranasinghe TT. 2009. Manual of Low/No-Space Agriculture cum-Family Business Gardens. AN Leusden, The Netherlands: RUAF Foundation.
61 Raviv A, Vago-Geven I, & Fink A.S. 2009. The personal service gap: Factors Affecting Adolescents’willingness to Seek Help. Journal od Adolescence Vol. 32 (3), 483-499. Rice AS, Tucker SM. 1986. Family Life Management. MacMilan Publishing Company. New York. Roopnarine JL, Gielen UP. 2005. Families in global perspective. Pearson Education, Inc. Boston. Rothwel D. 2011. Exploring Asset and family Stress. Centre for Research Children and Family. McGill School of Social Work. Rowe WC. 2009. "Kitchen gardens" in Tajikistan: the economic and cultural importance of small-scale private property in a post-soviet society. Hum Ecol 37(6): 691–703. Ruthenberg H. 1980. Farming systems in the tropics. 3rd ed. Oxford, UK. Clarendon Press. Sawidak MA. 1985. Analisa Tingkat kesejahteraan ekonomi petani transmigran di Delta Upang Provinsi Sumatera Selatan (tesis). Bogor. Program Pascasarjana. IPB. Bogor. Sayogyo. 1999. Memahami dan menanggulangi kemiskinan di Indonesia. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Siagian SP. 1980. Filsafat Administrasi. Gunung Agung. Jakarta. Siahaan NHT. 2004. Hukum lingkungan dan ekologi pembangunan. Penerbit Erlangga. Jakarta. http://books.google.com/books?id:ae7ql.Htmcw4c&dg Simanjuntak M. 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan keluarga dan Prestasi Belajar Anak pada Penerima PKH [Tesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Smith J, Borchelt M, Maier H & Jopp D. 2002. Health and well–being in the young old and oldest old. Journal of Social Issues. Vol.58, Issue 4, 715–732. Suandi. 2007. Hubungan antara sosial kapital dengan kesejahteraan keluarga di daerah perdesaan Provinsi Jambi. Disertasi. Bogor. Sekolah Pascasarjana IPB. Sukirno. 1985. Ekonomi Pembangunan. FE-UI Jakarta. Supriati Y, Yulia Y, Nurlela I. 2008. Taman Sayur + 19 Desain Menarik. Penebar Swadaya. Jakarta. Terra GJA. 1958. Farm systems in southeast Asia. Neth J Agric Sci 6:157–182. Torquebiau E. 1992. Are tropical agroforestry gardens sustainable? Agric Ecosyst Environ 41:189–207. Torres EB. 1988. Socioeconomic aspects of backyard gardening in the Philippines. Council for Agriculture, Forestry and Natural Resources Research and Development. Report 69. Trinh LN, Watson JW, Hue NN, De NN, Minh NV, Chu P, Sthapit BR, & Eyzaguirre PB. 2003. Agrobiodiversity conservation and development in Vietnamese home gardens. Journal of Agriculture, Ecosystems and Environment, 97: 317–344. Vasey DE. 1985. Household gardens and their niche in Port Moresby, Papua New Guinea. Food Nutr Bull 7 (3): 37–43. Weston R, Gray M, Qu L, Stanton D. 2004. Long work hours and the well-being of fathers and their families, Research Paper 35. Australian Institute of Family Studies, Melbourne.
62 Wickramasinghe A. 1995. Home gardens: habitations rescuing biodiversity. MPTS News 4, 1–4. Wowor. 1994. Alokasi Waktu dan Pendapatan Rumah tangga Industri Kerajinan Gerabah di Pedesaan (Studi Kasus di Desa Pulotan Kecamatan Remboken Sulawesi Utara. [Tesis]. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Xiao JJ, Tang C & Shim S. 2009. Acting for happiness: Financial behavior and life satisfaction of college students. Social Indicators Research, 92, 53-68. Yadollahi M, Hj Paim L, Othman M, Suandi T. 2009. Factors affecting family status. European Journal of Scientific Research. ISSN 1450-216X Vol. 37 No 1, pp. 94-109. Zuluaga B. 2004. Different channels of impact of education on poverty: An analysis for Columbia. Centre for Economic Studies-CES Khatolieke Universiteit Leuven and Universidad Icesi Colombia.
63 Lampiran 1 Peta lokasi penelitian – Kota Depok, Provinsi Jawa Barat
Lampiran 2 Sebaran keluarga peserta GPOP berdasarkan evaluasi kegiatan GPOP No Pernyataan 1 Bibit cabai yang diberikan tumbuh dengan baik 2 Tanaman cabai dipelihara dengan baik 3 Tanaman cabai yang ditanam sudah berbuah 4 Hasil tanaman cabai dapat dinikmati oleh keluarga 5 Tanaman cabai yang ada di pekarangan mengurangi pengeluaran keluarga untuk membeli cabai 6 Hasil cabai yang tumbuh di pekarangan dapat dijual 7 Ada pendampingan dari petugas/PPL dalam berbudidaya cabai 8 Ada masalah dalam merawat tanaman cabai 9 Bantuan yang diberikan sesuai dengan harapan
Tidak 42
% 70,0
Ya 18
% 30,0
7 7 9
11,7 11,7 15,0
53 53 51
88,3 88,3 85,0
12
20,0
48
80,0
51
85,0
9
15,0
13
21,7
47
78,3
13 44
21,7 73,3
47 16
78,3 26,7
64
Lampiran 3 Hasil uji korelasi Pearson variabel-variabel yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga Usia Ibu
Usia Ayah
Usia Ibu Usia Ayah
1 .764**
1
Pdkn Ibu
-.242**
-.298**
-.209
*
**
-.201
*
Pdkn Ayah Pekj Ibu
-.274
-.096
Pdkn Ibu
Pdkn Ayah
Pekj Ibu
Bsr Kelg
Pdptan
Pengel
Aset
Tp tinggal
Manaj Keu
Manaj Wkt
.573**
.053
**
*
.181
-.068
.304
-.055
1
.053
.073
.243**
.414**
.115
-.135
1
-.036
.298
**
.409
**
-.097
.032
.620**
**
.404
**
-.056
.188
*
**
.539**
1
.119
.028
-.176
-.157
-.207*
1
.153
.060
**
**
.275**
-.063
1
.136
.231
*
-.001
.227
*
.191
*
.032
.497**
1
.116
.079
.003
-.035
Aset
.053
.063
.354
Tp tinggal
-.088
-.052
-.049
-.109
.338
**
.375
**
Manaj Wkt Optim Pekrgn
-.172 -.240
**
.080
-.186
*
.052
.109
.214
.031 .237
**
.240
**
.059
.449 .273
*
.291
-.111
.018
.131
1
**
-.052
.112
.089
1
.106
.108
.025
-.074
1
.162
.078
.175
.096
.042
-.172
-.091
-.019
-.047
-.190
-.130
.354
.016
-.034
.201*
.160
-.068
.002
.393**
.682**
.385**
-.105
-.013
.191
*
*
.129
.243
**
*
.303
**
*
.184
*
.312
**
.304
**
BPS+Persep
-.070
-.021
.193
.151
.095 .025
Keterangan : *signifikan pada p<0,05, **signifikan pada p<0,01
.046
-.196
.079
*
Kesej BPS
-.068
BPS+ Persep
1
Ikut Progrm Kesej Persep
Kesej Persep
1
-.097
Manaj Keu
Kesej BPS
1
*
Pdptan
-.051
Ikut Progrm
1
Bsr Kelg Pengel
Optim Pekrgn
.232 .459
**
-.219
-.071
.389
**
.178
.462
**
.252
**
.110
.083
.661
**
1 .570**
1
65
Lampiran 4 Sebaran keluarga berdasarkan manajemen keuangan keluarga No
Pernyataan
Peserta
Bukan peserta
Total
TP
K
Sr
Sl
TP
K
Sr
Sl
TP
K
Sr
Sl
1 2 3
Menghitung perkiraan biaya hidup sehari-hari/bulan Menghitung perkiraan pendapatan yang diperoleh setiap hari/bulan Mencatat/menuliskan pendapatan/penerimaan
10,0 3,3 30,0
36,7 30,0 46,7
38,3 48,3 15,0
15,0 18,3 8,3
18,3 23,3 40,0
23,3 25,0 38,3
20,0 11,7 1,7
38,3 40,0 20,0
14,2 13,3 35,0
30,0 27,5 42,5
29,2 30,0 8,4
26,7 29,2 14,2
4
Mencatat/menuliskan pengeluaran
28,3
48,3
15,0
8,3
36,7
35,0
13,3
15,0
32,5
41,7
14,2
11,7
5
Membandingkan pendapatan dan pengeluaran
8,3
46,7
31,7
13,3
20,0
23,3
23,3
33,3
14,2
35,0
27,5
23,3
6
Belajar mengelola keuangan dengan baik
3,3
33,3
46,7
16,7
8,3
36,7
13,3
41,7
5,8
35,0
30,0
29,2
7 8 9
Menetapkan standar biaya maksimal dalam pengalokasian pengeluaran Menyisihkan uang untuk menabung secara rutin per bulan Menyisihkan uang untuk membayar hutang
20,0 3,3 0,0
61,7 33,3 30,0
11,7 33,3 38,3
6,7 30,0 31,7
31,7 13,3 15,0
30,0 30,0 13,3
21,7 10,0 20,0
16,7 46,7 51,7
25,9 8,3 7,5
45,9 31,7 21,7
16,7 21,7 29,2
11,7 38,4 41,7
10
Mangalokasikan uang untuk keperluan konsumsi
3,3
28,3
16,7
51,7
23,3
15,0
13,3
48,3
13,3
21,7
15,0
50,0
11
Mengalokasikan uang untuk keperluan usaha
25,0
38,3
8,3
28,3
35,0
30,0
10,0
25,0
30,0
34,2
9,2
26,7
12 13
Mengalokasikan pengeluaran dg membagi uang dlm beberapa amplop Membeli sesuatu di luar yang direncanakan
35,0 0,0
43,3 11,7
13,3 66,7
8,3 21,7
43,3 6,7
25,0 21,7
10,0 65,0
21,7 6,7
39,2 3,4
34,2 16,7
11,7 65,9
15,0 14,2
14
Meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan pokok
1,7
8,3
35,0
55,0
6,7
6,7
45,0
41,7
4,2
7,5
40,0
48,4
15 16
Meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu Membuat prioritas pengeluaran
0,0 8,3
5,0 46,7
80,0 26,7
15,0 18,3
3,3 26,7
13,3 35,0
53,3 20,0
30,0 18,3
1,7 17,5
9,2 40,9
66,7 23,4
22,5 18,3
17 18 19
Membuat rencana keuangan dengan melibatkan suami dan istri Menyelesaikan masalah keuangan bersama (suami, istri dan anak) Mengontrol/mengawasi setiap penggunaan uang
11,7 3,3 1,7
23,3 28,3 23,3
31,7 35,0 40,0
33,3 33,3 35,0
13,3 3,3 8,3
13,3 16,7 15,0
26,7 35,0 30,0
46,7 45,0 46,7
12,5 3,3 5,0
18,3 22,5 19,2
29,2 35,0 35,0
40,0 39,2 40,9
20
Mengontrol/mengawasi jumlah uang yang dimiliki/yang tersisa
0,0
25,0
41,7
33,3
10,0
23,3
25,0
41,7
5,0
24,2
33,4
37,5
21
Mengontrol/mengawasi jumlah uang yang ditabung
11,7
45,0
26,7
16,7
18,3
36,7
16,7
28,3
15,0
40,9
21,7
22,5
22 23
Mengontrol/mengawasi jumlah uang yang dikeluarkan Pengeluaran keluarga sudah sesuai dengan perencanaan
5,0 10,0
48,3 66,7
28,3 8,3
18,3 15,0
8,3 8,3
30,0 53,3
20,0 20,0
41,7 18,3
6,7 9,2
39,2 60,0
24,2 14,2
30,0 16,7
Keterangan: (TP=Tidak pernah; K=Kadang-kadang; Sr=Sering; dan Sl=Selalu)
66
Lampiran 5 Sebaran keluarga berdasarkan manajemen waktu keluarga No
Pernyataan
1 2 3 4 5 6
Membuat rencana (jadwal) kegiatan sehari-hari Melaksanakan kegiatan sesuai jadwal Membatasi kegiatan-kegiatan di luar rencana Membuat prioritas kegiatan Meluangkan waktu untuk kegiatan sosial Meluangkan waktu untuk kegiatan pelatihan/seminar dan proses pembelajaran lainnya Meluangkan waktu untuk kumpul bersama keluarga Meluangkan waktu untuk menyiapkan makan keluarga Meluangkan waktu untuk beribadah bersama Meluangkan waktu untuk nonton TV bersama Meluangkan waktu untuk menemani anak belajar Meluangkan waktu untuk merawat/mengelola pekarangan Mengontrol/mengawasi kegiatan/pekerjaan yang dilaksanakan anggota keluarga Mengontrol/mengawasi kegiatan belajar anak Mengontrol/mengawasi waktu bermain anak Mengontrol/mengawasi kemajuan pendidikan anak Mengontrol/mengawasi waktu jika akan melakukan suatu pekerjaan/kegiatan Mengontrol/mengawasi kondisi dan pertumbuhan tanaman/ternak/ikan di pekarangan
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Peserta TP
Bukan peserta
Total
K
Sr
Sl
TP
K
Sr
Sl
TP
K
Sr
11,7 15,0 8,3 15,0 1,7 15,0
76,7 75,0 63,3 46,7 26,7 63,3
8,3 10,0 21,7 33,3 55,0 15,0
3,3 10,0 6,7 5,0 16,7 6,7
43,3 76,7 21,7 18,3 8,3 16,7
26,7 35,0 58,3 46,7 46,7 53,3
15,0 13,3 10,0 13,3 25,0 13,3
15,0 25,0 10,0 21,7 20,0 16,7
27,5 45,9 15,0 16,7 5,0 15,9
51,7 55,0 60,8 46,7 36,7 58,3
11,7 11,7 15,9 23,3 40,0 14,2
9,2 17,5 8,4 13,4 18,4 11,7
1,7 0,0 1,7 1,7 8,3 1,7 5,0
15,0 6,7 23,3 26,7 15,0 53,3 36,7
31,7 23,3 26,7 31,7 26,7 31,7 41,7
51,7 70,0 48,3 40,0 50,0 13,3 16,7
10,0 0,0 0,0 0,0 11,7 16,7 10,0
20,0 13,3 41,7 35,0 20,0 46,7 40,0
31,7 18,3 28,3 38,3 25,0 23,3 26,7
48,3 68,3 30,0 26,7 43,3 13,3 23,3
5,9 0,0 0,9 0,9 10,0 9,2 7,5
17,5 10,0 32,5 30,9 17,5 50,0 38,4
31,7 20,8 27,5 35,0 25,9 27,5 34,2
50,0 69,2 39,2 33,4 46,7 13,3 20,0
11,7 8,3 5,0 1,7
5,0 21,7 10,0 35,0
26,7 16,7 21,7 40,0
56,7 53,3 63,3 23,3
11,7 15,0 10,0 5,0
11,7 13,3 1,7 35,0
28,3 31,7 26,7 30,0
48,3 40,0 61,7 30,0
11,7 11,7 7,5 3,4
8,4 17,5 5,9 35,0
27,5 24,2 24,2 35,0
52,5 46,7 62,5 26,7
5,0
58,3
28,3
8,3
30,0
28,3
25,0
16,7
17,5
43,3
26,7
12,5
Keterangan: (TP=Tidak pernah; K=Kadang-kadang; Sr=Sering; dan Sl=Selalu)
Sl
67
Lampiran 6 Sebaran keluarga berdasarkan kesejahteraan subjektif keluarga No
Pernyataan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pendapatan yang diperoleh saat ini sudah mencukupi kebutuhan keluarga Pendapatan dapat ditabung Ada keinginan untuk menambah pendapatan keluarga Konsumsi makanan yang diperoleh selama ini sudah mencukupi Keluarga dapat menjangkau harga kebutuhan pangan Keluarga dapat menjangkau harga kebutuhan pakaian anggota keluarga Harga barang pada saat ini dapat meresahkan keluarga anda Pakaian yang diperoleh keluarga sudah dianggap layak dan mencukupi Kondisi rumah dan fasilitasnya sudah membuat nyaman keluarga Rumah yang ditempati sekarang sudah layak untuk dihuni Ada keinginan untuk mengembangkan rumah yang dihuni sekarang atau ada keinginan untuk memiliki rumah (bagi yang belum memiliki) Lingkungan tempat tinggal sekarang dapat membuat keluarga nyaman Keluarga mengalami kesulitan biaya transportasi Keluarga mendapat kesulitan dalam pendidikan anak-anak (sarana prasarana) Keluarga mempunyai keinginan untuk meningkatkan pendidikan anggota keluarga Pendidikan yang sedang/telah ditempuh anggota keluarga membuat keluarga sejahtera Keluarga mengalami kesulitan dalam membiayai kesehatan Sarana kesehatan dapat membantu mengatasi masalah kesehatan keluarga Anggota keluarga pada saat ini dalam keadaan sehat semua Jika anggota keluarga ada yang sakit ringan, dapat menjadi beban Jika anggota keluarga ada yang sakit berat, dapat menjadi beban Hubungan anggota keluarga terjalin dengan baik Keluarga mempunyai kesulitan dalam pergaulan di masyarakat Keluarga berpartisipasi dalam kegiatan gotong royong Keluarga pernah memberikan bantuan pada kegiatan yang dilakukan di lingkungan tempat tinggal Keluarga menjadi donator tetap pada setiap kegiatan di lingkungan tempat tinggal Selalu berkomunikasi dengan pasangan Masalah keluarga selalu dipecahkan bersama Keluarga selalu memberikan bantuan kepada fakir miskin
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Peserta (%)
Bukan Peserta (%)
Total (%)
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
5,0 30,0 23,3 6,7 10,0 3,3 10,0 1,7 10,0 0,0
95,0 70,0 76,7 93,3 90,0 96,7 90,0 98,3 90,0 100,0
5,0 30,0 28,3 5,0 6,7 6,7 13,3 6,7 23,3 6,7
95,0 70,0 71,7 95,0 93,3 93,3 86,7 93,3 76,7 93,3
5,0 30,0 25,8 5,8 8,3 5,0 11,7 4,2 16,7 3,3
95,0 70,0 74,2 94,2 91,7 95,0 88,3 95,8 83,3 96,7
21,7 8,3 18,3 8,3 15,0 1,7 5,0 0,0 0,0 70,0 16,7 0,0 1,7 80,0 83,3 68,3 85,0 86,7 3,3
78,3 91,7 81,7 91,7 85,0 98,3 95,0 100,0 100,0 30,0 83,3 100,0 98,3 20,0 16,7 31,7 15,0 13,3 96,7
28,3 10,0 40,0 13,3 30,0 1,7 21,7 1,7 0,0 58,3 18,3 0,0 1,7 78,3 83,3 55,0 85,0 85,0 1,7
71,7 90,0 60,0 86,7 70,0 98,3 78,3 98,3 100,0 41,7 81,7 100,0 98,3 21,7 16,7 45,0 15,0 15,0 98,3
25,0 9,2 29,2 10,8 22,5 1,7 13,3 0,8 0,0 64,2 17,5 0,0 1,7 79,2 83,3 61,7 85,0 85,8 2,5
75,0 90,8 70,8 89,2 77,5 98,3 86,7 99,2 100,0 35,8 82,5 100,0 98,3 20,8 16,7 38,3 15,0 14,2 97,5
68
No 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
Pernyataan Keluarga telah menjalankan ibadah agama Keluarga berpartisipasi pada peribadatan/pengajian/perayaan hari besar keagamaan Anggota keluarga menduduki jabatan dalam kegiatan keagamaan Anggota keluarga merasa bangga menduduki jabatan tersebut Keluarga berpartisipasi pada kegiatan budaya (adat istiadat) di kelompok sukunya (keluarga besar) Anggota keluarga menduduki jabatan dalam dalam kegiatan budaya di kelompok suku anda Anggota keluarga merasa bangga menduduki jabatan tersebut Bahagia dengan jumlah anak yang dimiliki sekarang Ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan Anak diharapkan dapat menaikkan martabat orangtua Pekerjaan dapat membuat keluarga sejahtera Pekerjaan suami dapat membuat keluarga sejahtera Aset yang dimiliki sekarang membuat keluarga sejahtera Ada keinginan untuk menambah jumlah aset keluarga Hasil pengelolaan pekarangan dapat dimanfaatkan keluarga Pekarangan yang hijau menambah kenyamanan dan kesejukan bagi anggota keluarga yang ada di rumah
Peserta (%) Tidak 48,3 0,0 61,7 0,0 8,3 0,0 5,0 8,3 6,7 11,7 8,3 6,7 15,0 85,0 15,0 0,0
Ya 51,7 100,0 38,3 100,0 91,7 100,0 95,0 91,7 93,3 88,3 91,7 93,3 85,0 15,0 85,0 100,0
Bukan Peserta (%) Tidak 40,0 3,3 53,3 0,0 16,7 11,7 11,7 6,7 1,7 5,0 10,0 6,7 38,3 50,0 25,0 1,7
Ya 60,0 96,7 46,7 100,0 83,3 88,3 88,3 93,3 98,3 95,0 90,0 93,3 61,7 50,0 75,0 98,3
Total (%) Tidak 44,2 1,7 57,5 0,0 12,5 5,8 8,3 7,5 4,2 8,3 9,2 6,7 26,7 67,5 20,0 0,8
Ya 55,8 98,3 42,5 100,0 87,5 94,2 91,7 92,5 95,8 91,7 90,8 93,3 73,3 32,5 80,0 99,2
69 Lampiran 7 Gambar pemanfaatan pekarangan keluarga
Sayuran (kacang panjang) dalam tong bekas di pekarangan
Penanaman kangkung secara vertikultur menggunakan botol minuman bekas dan diletakkan di sepanjang pagar rumah
70
Pemeliharaan ikan dalam kolam di pekarangan
Beternak ayam di pekarangan
71
Tanaman bumbu dapur di pekarangan
Pohon dan tanaman lainnya di pekarangan rumah
72
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Bukittinggi tanggal 10 Oktober 1976, sebagai anak dari Bapak H. D. Dt. Nan Rambai dan Ibu Hj. Roslaini, S. Penulis merupakan anak kelima dari lima orang bersaudara. Pendidikan Sarjana ditempuh penulis pada tahun 1995 di Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2010 penulis berkesempatan untuk melanjutkan Program Master pada Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak. Pada tahun 2000-2011, penulis bekerja di Indonesia Heritage Foundation (IHF), Depok. Selama di IHF penulis sempat menjadi trainer pada pelatihanpelatihan guru tingkat taman-kanak-kanak dan terakhir menjabat sebagai Kepala Sekolah Taman Kanak-kanak Karakter pada tahun 2010. Pada tahun 2011 sampai saat ini penulis bekerja sebagai staf pada Direktorat Budidaya dan Pascapanen Sayuran dan Tanaman Obat, Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian Republik Indonesia di Jakarta. Sekarang ini penulis tinggal di Cimanggis-Depok bersama suami Irwan Suryadi dengan tiga orang putra putri yaitu Iqbal Habiburrahman (10 tahun), Alfin Dzikra Syakuro (7 tahun) dan Muthia Afifah (4 tahun).
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkah serta limpahan rahmat, hidayah dan karunia-Nya, sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih yang dalam kepada semua pihak yang telah membantu, sejak penulis menjadi mahasiswa S2 IPB sampai dengan tersusunnya tesis ini, yaitu: 1. Dr. Ir. Hartoyo, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Dr. Ir. Istiqlaliyah Muflikhati, MSi selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, masukan serta motivasi kepada penulis, sehingga penulisan tesis ini dapat menjadi lebih baik. 2. Koordinator Program Studi Magister Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak dan Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, IPB beserta para dosen dan staf yang telah memberikan semangat, dorongan dan bantuan kepada penulis selama penulis menempuh pendidikan S2 di IPB. 3. Dr. Ir. Herien Puspitawati, MSc, MSc sebagai dosen penguji pada ujian tesis, atas saran dan masukannya untuk kesempurnaan penulisan tesis ini. 4. Dr. Ir. Ratna Megawangi, MSc dan drg. Rahma Dewi, MKes dari Indonesia Heritage Foundation yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan S2 di IPB, serta atas segala ilmu, kebaikan dan kemudahan yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menuntaskan pendidikan S2 ini. 5. Dr. Ir. Yul H. Bahar, Ir. G. Susilowati, MP, Ir. Yanuardi, MM, Ir. Sri Setiati dan Ir. M. Tahir, MP, serta seluruh staf di Direktorat Budidaya dan Pascapanen Sayuran dan Tanaman Obat, Direktorat Jenderal Hortikultura yang telah memberikan izin, dorongan, bimbingan, semangat serta masukannya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan S2 ini. 6. Guru dan staf di Sekolah Karakter dan Indonesia Heritage Foundation, atas segala kebersamaan, ilmu, dorongan, dan bantuannya pada penulis selama penulis mengikuti pendidikan di IPB. 7. Kepala Dinas, Kepala Bidang Hortikultura, PPL dan staf di Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Depok serta para kader PKK di Kota Depok yang telah membantu penulis dalam pengambilan data dan informasi selama penelitian. 8. Kepada orangtua, suami, kakak-kakak, anak-anak, dan teman-teman atas doa, dukungan, pengertian dan kerjasamanya, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Kalian spirit terbesar untuk penyelesaian tesis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2014 Riza