KARAKTERISASI STREPTOKOKUS GRUP B (SGB) YANG DIISOLASI DARI PENDERITA KOMPLIKASI OBSTETRI SEBAGAI LANDASAN PEMBERIAN TERAPI DAN IMUNOPROFILAKSIS TERHADAP INFEKSI NEONATAL
ZINATUL HAYATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul: “KARAKTERISASI STREPTOKOKUS GRUP B (SGB) YANG DIISOLASI DARI PENDERITA KOMPLIKASI OBSTETRI SEBAGAI LANDASAN PEMBERIAN TERAPI DAN IMUNOPROFILAKSIS TERHADAP INFEKSI NEONATAL” Merupakan gagasan atau hasil disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan para Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, 20 Mai 2005
Zinatul Hayati B046010011
ABSTRAK ZINATUL HAYATI. Karakterisasi Streptokokus Grup B (SGB) yang Diisolasi dari Penderita Komplikasi Obstetri sebagai Landasan Pemberian Terapi dan Imunoprofilaksis terhadap Infeksi Neonatal. Dibimbing oleh I WAYAN TEGUH WIBAWAN sebagai Ketua, SRI BUDIARTI POERWANTO, IMAM SUPARDI dan KAMALUDDIN ZARKASIE, masing-masing sebagai Anggota Komisi. Streptokokus Grup B (SGB) adalah penyebab utama infeksi serius pada neonatus seperti pneumonia, septikemia dan meningitis. Komplikasi obstetri merupakan faktor resiko penting timbulnya insidensi infeksi neonatal. Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan karakterisasi SGB yang diisolasi dari penderita komplikasi obstetri yang digunakan sebagai landasan dalam mencari cara pencegahan yang efektif terhadap infeksi neonatal. Identifikasi bakteri dilakukan dengan uji CAMP dan imunodifusi menggunakan antiserum spesifik terhadap SGB. Dari 38 orang penderita komplikasi obstetri dapat diisolasi SGB sebanyak 10 orang (26,32%). Sembilan puluh persen isolat tumbuh keruh pada media cair dan memperlihatkan bentuk koloni yang difus pada soft-agar. Streptokokus Grup B yang tumbuh keruh dan koloni difus mengekspresikan karakter hidrofilik pada salt aggregation test (SAT). Sebaliknya satu isolat SGB lainnya tumbuh dengan supernatan yang jernih dan sedimen di dasar tabung pada media cair, bentuk koloni kompak pada soft-agar dan memiliki karakter hidrofobik. Distribusi serotipe SGB yang diperoleh adalah serotipe VI (40%), VII (30%), III (20%) dan VIII (10%). Pada skrining hialuronidase dengan uji plate agar-hyaluronidase, semua isolat memperlihatkan adanya aktivitas hialuronidase. Streptokokus Grup B SV-14 dipilih dan digunakan untuk investigasi selanjutnya. Purifikasi hialuronidase dilakukan dengan menggunakan kromatografi filtrasi gel. Hasil purifikasi SGB SV-14 menunjukkan aktivitas spesifik hialuronidase sebesar 0.32 U/mg dengan konsentrasi protein sebesar 2.3 mg/ml. Berat molekul hialuronidase yang ditentukan dengan SDS-PAGE kira-kira 100 kD. Uji patogenisitas SGB yang dilakukan pada mencit neonatus yang diinjeksi suspensi bakteri secara intraperitoneal menunjukkan bahwa bakteri ini umumnya menyebabkan infeksi early-onset. Isolat SR-7 yang merupakan SGB serotipe VI yang diisolasi dari penderita abortus (mola hidatidosa) adalah isolat yang paling patogenik. Hasil uji sensitivitas antibiotika yang ditentukan dengan metode difusi cakram Kirby-Bauer menunjukkan bahwa semua isolat SGB masih sensitif terhadap penisilin dan ampisilin sedangkan terhadap gentamisin, tertasiklin dan eritromisin telah mengalami resistensi masing-masing sebanyak 100%, 90% dan 60%. Uji imunogenisitas dilakukan dengan mengukur konsentrasi IgG spesifik serum mencit bunting pascavaksinasi dengan masing-masing isolat bakteri yang diinaktivasi dengan pemanasan melalui indirect-ELISA. Hasil uji menunjukkan bahwa umumnya konsentrasi IgG menurun dengan cepat kecuali vaksin SR-7 yang memperlihatkan konsentrasi IgG yang terus meningkat sampai hari ke-5 pascavaksinasi. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa pemberian kemoprofilaksis intrapartum dengan antibiotika golongan penisilin lebih efektif dalam usaha pencegahan infeksi neonatal. Kata kunci: Streptokokus Grup B, neonatal, septikemia, meningitis.
ABSTRACT ZINATUL HAYATI. Characterization of Group B Streptococci Isolated from the Obstetrical Complication Patients as the Based of Therapy and Immunoprophylaxis on Neonatal Infection. Under guidance by I WAYAN TEGUH WIBAWAN as a chairman, SRI BUDIARTI POERWANTO, IMAM SUPARDI and KAMALUDDIN ZARKASIE as members of advisory committee. Group B Streptococci (GBS) are the major cause of serious infections in neonates, including pneumonia, septicemia and meningitis. Obstetric complications are important risk factor of insidence of neonatal infection. This research was conducted in order to characterize of GBS isolated from obstetric complication patients and used as base of prevention of neonatal infection. The identification of GBS was done by CAMP test and immunodiffusion using specific serum against Group B Streptococci. Group B Streptococci could be isolated from 10 of 38 pregnant women with obstetric complication. Most of GBS culture (90%) grew turbid in fluid media and showed diffuse colonies in soft-agar. Group B Streptococci with turbid growth and diffuse colonies expressed hydrophylic characters in salt aggregation test (SAT). Contrary, one culture of GBS grew as sediment with clear supernatan in fluid media, compact colonies in soft-agar and had hydrofobic character. Serotype distribution of GBS are VI (40%), VII (30%), III (20%) and VIII (10%). All GBS isolates showed hyaluronidase activity on agar-hyaluronidase plate test. Group B Streptococci SV-14 is selected and used for further investigation. Hyaluronidase purification was done using gel filtration chromatography. Purified hyaluronidase of GBS SV-14 had specific activity of 0.32 U/mg with protein concentration 2.3 mg/ml. The patogenicity test of GBS was done in neonatal mouse pups injected with bacterial suspensions intraperitoneally. The results of patogenicity test showed that most of GBS isolates caused early-onset infection. Interestingly, that GBS SR-7 (serotype VI, isolated from abortus/mola hidatidosa) was the most pathogen. Antibiotic sensitivity tests using Kirby-Bauer disk diffussion methode indicated that all GBS isolates were sensitive against penicillin and ampicillin but resistant to gentamisin (100%), tertacycline (90%) and erythromycin (60%). The imunogenicity of each GBS isolates were determined by measuring the spesific IgG concentration against respective GBS isolates with indirect-ELISA. The results showed that the concentration of specific IgG decrease significantly in 3 days after vaccination, except IgG against SR-7, which significantly increase until 5 days of observation. The results of this research indicated that the use of intrapartum chemoprophylaxis were more effective than immunoprophylaxis in preventing GBS infections. Key words: Grup B Streptococci, neonatal, sepsis, meningitis
KARAKTERISASI STREPTOKOKUS GRUP B (SGB) YANG DIISOLASI DARI PENDERITA KOMPLIKASI OBSTETRI SEBAGAI LANDASAN PEMBERIAN TERAPI DAN IMUNOPROFILAKSIS TERHADAP INFEKSI NEONATAL
ZINATUL HAYATI
DISERTASI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sains Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
Judul Disertasi
: Karakterisasi Streptokokus Grup B (SGB) yang Diisolasi dari Penderita Komplikasi Obstetri sebagai Landasan Pemberian Terapi dan Imunoprofilaksis terhadap Infeksi Neonatal.
Nama
: Zinatul Hayati
NIM
: B046010011
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS Ketua
Dr. dr. Sri Budiarti Poerwanto Anggota
Prof. Dr. dr. Imam Supardi, Sp.MK Anggota
Dr. drh. Kamaluddin Zarkasie Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Sains Veteriner
Dr. drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS Tanggal Ujian: 19 Mei 2005
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadhirat Allah Subhanahu Wata’ala atas segala rahmat dan karunianya sehingga karya tulis penelitian ini dapat diselesaikan. Karya tulis ini disusun setelah penulis melaksanakan penelitian sebagai syarat memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sains Veteriner, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berjudul Karakterisasi Streptokokus Grup B (SGB) yang Diisolasi dari Penderita Komplikasi Obstetri sebagai Landasan Pemberian Terapi dan Imunoprofilaksis terhadap Infeksi Neonatal, dilakukan selama 2 tahun 8 bulan sejak April 2002 hingga Desember 2004 di Laboratorium Bakteriologi dan Laboratorium Terpadu FKH-IPB serta Laboratorium Biotekeknologi Hewan dan Biomedis Pusat Riset BioteknologiIPB. Tempat pengambilan sampel penelitian adalah di Rumah Sakit Marinir Cilandak Jakarta. Penelitian ini dapat berjalan dengan lancar berkat bimbingan dan dukungan moril maupun materil dari ketua komisi pembimbing Bapak Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS dan Anggota Komisi Pembimbing yang terdiri dari Ibu Dr. dr. Sri Budiarti Poerwanto, Bapak Prof. Dr. dr. Imam Supardi, Sp.MK dan Bapak Dr. drh. Kamaluddin Zarkasie, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Penghargaan dan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr. drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS sebagai Ketua Program Studi Sains Veteriner dan seluruh dosen di lingkungan Program Studi Sains Veteriner Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu di Laboratorium Bakteriologi FKH-IPB dan Ibu Dr. drh. Retno D. Soejoedono MS di Laboratorium Terpadu FKH-IPB yang telah banyak membantu kelancaran penelitian ini. Tak lupa pula terima kasih kepada dr. Bambang Fajar, Sp.OG sebagai Kepala Bagian Obstetri di Rumah Sakit Marinir Cilandak Jakarta. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Proyek Hibah Bersaing XI Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah mendanai penelitian ini dan juga kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Depdiknas yang telah memberi Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) kepada penulis, selain itu juga terima kasih atas beasiswa pendidikan yang diberikan oleh PEMDA NAD. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan AETH Wahyuni, Lili Zalizar, Ros Sumarni, Ani, Tati Nurhayati, Sri Murtini, Ening Wiedosari, Wendry Setiyadi P, M. Amrullah Pagala dan lain-lain yang tak mungkin penulis sebutkan satu persatu atas segala bantuan, saran dan kerjasamanya. Terima kasih juga kepada mahasiswa bimbingan Dhillah Pujowaty, Erwan Hendrawan, Lina Anggraini, Roesma Yanti dan Sapto yang telah ikut serta membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. Kepada Bapak Drs. Agus Soemantri dan Ibu Dewi sebagai laboran juga penulis ucapkan banyak terima kasih atas segala bantuannya. Akhirnya penulis menghaturkan ucapan terima kasih secara khusus kepada suami tercinta Dr. drh. Teuku Fadrial Karmil, MSi dan anak-anak tersayang Teuku Syifa Fadrizha Nanda, Cut Rezha Nanda Keumala dan Cut Maula Nanda yang senantiasa selalu mendorong semangat, memberi motivasi, mendoakan dan
merelakan kehilangan kebersamaan selama penulis menempuh pendidikan ini. Tak lupa pula terima kasih kepada almarhum Ayahanda Drs. H. M. Ali Muhammad dan almarhumah Ibunda Rohani Djuned yang telah memberi bekal kepada ananda sejak kecil hingga dapat menempuh pendidikan tertinggi ini. Kepada saudara-saudaraku Prof. Dr. H. Rusydi Ali Muhammad, Dra. Raihan Putri MPd, Drs. Zulfa Fuadi, Ir. Badrunnisa MM, Syamsul Rizal dan Abdul Mukti yang telah banyak membantu baik moril maupun materil penulis ucapkan banyak terima kasih. Dalam kesempatan ini izinkan penulis memohon maaf kepada semua pihak atas segala kesalahan, kekurangan serta kelemahan penulis baik dalam perkuliahan, pelaksanaan penelitian maupun penulisan disertasi. Harapan penulis semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, kritik dan saran dari semua pihak sangat diharapkan untuk penyempurnaan disertasi ini. Bogor, 20 Mai 2005 Zinatul Hayati
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 5 Maret 1964 sebagai anak kelima dari tujuh bersaudara dari pasangan Drs. H. M. Ali Muhammad (Alm) dan Rohani Djuned (Alm). Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dan memperoleh gelar dokter pada tahun 1994. Pada tahun 1998 penulis diterima di Program Magister Program Studi Ilmu Kedokteran Dasar Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung dan memperoleh gelar Magister Kesehatan pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis juga mendapat gelar Spesialis Mikrobiologi Klinik dari Kolegium Mikrobiologi Indonesia. Pada tahun itu juga penulis melanjutkan pendidikan pada Program Doktor Program Studi Sains Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor ini. Selama mengikuti pendidikan program pascasarjana penulis mendapat beasiswa dari Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional dan beasiswa pendidikan dari PEMDA NAD. Penulis juga mendapat dana penelitian dari Proyek Hibah Bersaing XI Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional tahun 2003 dan 2004 dengan judul penelitian “Peran Kapsul dan Hialuronidase Streptokokus Grup B pada Kasus Abortus, Ketuban Pecah Sebelum Waktu dan Infeksi Neonatal serta Peluang Pencegahannya”. Penulis pernah bekerja sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) di Departemen Kesehatan dan menjabat sebagai Kepala Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie Propinsi NAD dari tahun 1995 hingga 1998. Sejak tahun 1998 hingga sekarang penulis diterima sebagai Staf Pengajar di Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Selama mengikuti pendidikan di IPB penulis mendapat kepercayaan untuk mengisi tenaga medis di Poliklinik IPB. Penulis juga mendapat kepercayaan untuk menjadi Anggota Pembimbing Skripsi Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB. Selama mengikuti Program Pascasarjana di IPB penulis menjadi anggota Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia (PERMI) dan Perhimpunan Ahli Mikrobiologi Klinik Indonesia (PAMKI). Penulis pernah mendapat penghargaan “The Best Oral Presenter” dari Focus Biotech, Malaysia - PERMI pada Annual Meeting 2003 Indonesian Society for Microbiology di Bandung. Karya ilmiah yang berjudul “Insidensi Kolonisasi Asimtomatik SGB pada Ibu Hamil Sehat” telah diterbitkan pada Jurnal Ilmiah Pertanian Gakuryoku Vol. X (2) tahun 2004. Satu buah poster dengan judul “Penapisan Kolonisasi Asimtomatik Streptokokus Grup B pada Ibu Hamil Berdasarkan Trimester Kehamilan” telah dipamerkan pada Symposium on Microbial Infections Future Strategies for Global Crisis yang dilaksanakan oleh PAMKI tahun 2003 di Jakarta. Selain itu 4 buah karya ilmiah telah disajikan pada Seminar Nasional yaitu: 1. Serotype Distribution and Fenotype Expression of Group B Streptococci Isolates from Pregnant Women with Obstetric Complication pada Seminar Nasional XI PERSADA tahun 2004 di Bogor. 2. Preparasi Antiserum Poliklonal Monospesifik-Tipe Streptokokus Grup B sebagai Bahan Identifikasi Serotipe Isolat dari Penderita Komplikasi Obstetri pada PIT PERMI 2004 di Semarang.
3. The Incidence of Group B Streptococcal Asymtomatic Colonization in Healthy Pregnant Women pada Seminar Nasional X PERSADA tahun 2003 di Jakarta. 4. Distribusi Serotipe Streptokokus Grup B Isolat asal Ibu Hamil pada PIT PERMI 2003 di Bandung. Dalam bidang organisasi, penulis pernah menjabat sebagai Koordinator Bidang Kesejahteraan dan PHBI Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Aceh di Bogor (IKAMAPA) tahun 2003-2004 dan Bidang Pengabdian Masyarakat Forum Mahasiswa Pascasarjana Aceh Se Indonesia (FORPASI) di Jakarta tahun 20032004.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL........................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................
xv
I. PENDAHULUAN.................................................................................
1
1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6
Latar Belakang.............................................................................. Perumusan Masalah...................................................................... Maksud dan Tujuan Penelitian...................................................... Manfaat penelitian......................................................................... Kerangka Pemikiran...................................................................... Hipotesis.......................................................................................
1 3 3 4 4 8
II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................
9
2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6
Ciri Umum Streptokokus Grup B………………………………. Identifikasi Bakteri........................................................................ Diagnosa Penyakit SGB Neonatal................................................. Epidemiologi Penyakit SGB……………………………………. Spektrum Penyakit........................................................................ Faktor Virulensi Streptokokus Grup B.........................................
9 10 11 11 14 15
2.6.1 2.6.2 2.6.3 2.6.4
Antigen Kapsul Polisakarida............................................. Antigen Protein Permukaan……………………………… Asam Lipoteikoat (Lipoteichoic Acid/LTA)..................... Produk-produk Ekstraseluler............................................
15 17 17 17
Patogenesis infeksi neonatal SGB................................................. Mekanisme Pertahanan Inang........................................................ Pencegahan Infeksi Neonatal SGB................................................ Pengobatan Penyakit SGB.............................................................
18 19 21 23
III. METODE PENELITIAN......................................................................
24
3.1 Tempat dan Waktu......................................................................... 3.2 Bahan dan Alat Penelitian.............................................................. 3.3 Metode Penelitian...........................................................................
24 24 25
2.7 2.8 2.9 2.10
3.3.1 3.3.2 3.3.3 3.3.4 3.3.5 3.3.6 3.3.7 3.3.8
Isolasi dan Identifikasi Bakteri............................................. Karakterisasi Fenotipe Antigen Kapsul polisakarida............ Penentuan Serotipe Antigen Kapsul Polisakarida................. Penentuan Hialuronidase....................................................... Uji Patogenisitas .................................................................. Uji Sensitivitas Antibiotika.................................................. Uji Imunogenisitas............................................................... Analisis Data………………………………………………
25 27 28 28 33 34 34 36
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................. 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7
Isolasi dan Identifikasi SGB............................................................. Karakterisasi Fenotipe Antigen Kapsul Polisakarida…………....... Penentuan Serotipe Kapsul Polisakarida......................................... Penentuan Hialuronidase.................................................................. Uji Patogenisitas SGB…………………………………………….. Uji Sensitivitas Antibiotika……………………………………….. Uji Imunogenisitas SGB…………………………………………..
37 37 41 46 49 53 58 60
V. SIMPULAN DAN SARAN.....................................................................
66
5.1 Simpulan.......................................................................................... 5.2 Saran................................................................................................
66 66
VI. TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................
67
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Bakteri patogen terbanyak penyebab meningitis menurut usia……..
15
Tabel 2. Hasil isolasi dan identifikasi SGB dari penderita komplikasi obstetri………………………………………………………………
37
Tabel 3. Ekspresi Fenotipe SGB dari penderita komplikasi obstetri…….……
42
Tabel 4. Hasil uji kespesifikan antiserum terhadap tipe SGB sebelum absorbsi………………………………………………………………
47
Tabel 5. Hasil uji kespesifikan antiserum terhadap tipe SGB setelah absorbsi…………………………………… …………………………
47
Tabel 6. Distribusi serotipe SGB isolat dari kasus komplikasi obstetri……….
48
Tabel 7. Hasil Uji Kadar Protein dan Aktivitas Spesifik Hialuronidase………
50
Tabel 8. Hasil uji patogenisitas SGB isolat dari penderita komplikasi obstetri pada mencit neonatal............................................................... 54 Tabel 9. Hasil uji kepekaan isolat terhadap berbagai antibiotika………………
58
Tabel 10. Konsentrasi IgG dalam serum sampel pascavaksinasi……………...
62
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Reaksi positip uji CAMP……………………………………..
….
38
Gambar 2. Reaksi positip uji AGPT ……………………………………..
…..
38
Gambar 3. Morfologi koloni SGB pada plate agar darah……………………..
40
Gambar 4. Morfologi bakteri SGB dengan pewarnaan Gram ……………….
40
Gambar 5. Pola pertumbuhan bakteri SGB pada media cair……………..
….
44
Gambar 6. Pola pertumbuhan bakteri SGB pada media soft agar.............. .....
44
Gambar 7. Distribusi serotipe SGB………………………………………
….
48
Gambar 8. Uji Plate Agar-Hyaluronidase……………………………….
….
50
Gambar 9. Hasil SDS-PAGE Hialuronidase SGB...................................... .....
52
Gambar 10. Mencit neonatal yang mengalami kematian……………………..
55
Gambar 11. Mencit neonatal yang sehat..........................................................
55
Gambar 12. Mencit yang mengalami kekerdilan ...................................... .....
56
Gambar 13. Hasil uji sensitivitas antibiotika ..................................................
59
Gambar 14. Kurva strandar IgG mouse standar………………………………
61
Gambar 15. Pola peningkatan konsentrasi IgG pascavaksinasi………………
63
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Hasil uji ANOVA konsentrasi IgG pascavaksinasi……………
77
Lampiran 2. Hasil uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) Konsentrasi IgG pascavaksinasi………………………………..
78
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Program Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak merupakan program prioritas di Departemen Kesehatan. Sementara itu, infeksi Streptokokus Grup B (SGB) atau Streptococcus agalactiae pada neonatus telah menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas bayi di seluruh dunia, baik di negara-negara maju maupun di negara-negara yang sedang berkembang. Bakteri SGB merupakan penyebab utama infeksi yang serius pada bayi baru lahir antara lain menyebabkan pneumonia, septikemia dan meningitis neonatal (Edwards dan Baker 1995). Peningkatan insidensi infeksi neonatal yang disebabkan oleh SGB telah dilaporkan oleh banyak peneliti sejak 20 tahun terakhir. Hal ini telah menggeser insidensi infeksi neonatal yang disebabkan Escherichia coli yang banyak dilaporkan sebelum tahun 1970an. Schuchat et al. (2000) melaporkan angka kejadian infeksi neonatal early-onset yang disebabkan oleh SGB adalah 1,4 kasus per 1000 kelahiran, sedangkan yang disebabkan oleh Escherichia coli hanya 0,6 kasus per 1000 kelahiran. Bakteri SGB umumnya diperoleh bayi dari ibunya ketika ia melewati jalan lahir. Beberapa keadaan komplikasi obstetri merupakan faktor resiko penting timbulnya infeksi neonatal SGB early-onset antara lain adalah kelahiran prematur (preterm delivery) sebelum usia kehamilan 37 minggu, partus lama (prolonged rupture of membranes) >18 jam, ketuban pecah sebelum waktu/KPSW (preterm prematur rupture of membranes) 18 jam sebelum kelahiran dan demam maternal > 380C (Tumbaga dan Philip 2003; Anthony et al. 1994). Ada dua pendekatan dasar yang perlu dipertimbangkan untuk mencegah terjadinya infeksi neonatal SGB yaitu kemoprofilaksis dan imunoprofilaksis. Pemberian kemoprofilaksis intrapartum (intrapartum antibiotic prophylaxis/IAP) yang telah direkomendasikan oleh American College of Obstetrics and Gynecology (ACOG), American Academy of Pediatrics (AAP) dan Central for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 1996 adalah berdasarkan 2 strategi. Pertama adalah strategi berdasarkan faktor resiko (risk factor-based strategy) dan kedua adalah strategi berdasarkan skrining (screening-based
strategy). Pemberian IAP untuk strategi yang pertama ditujukan pada ibu hamil yang disertai dengan faktor resiko. Strategi ini mempunyai banyak kelemahan diantaranya adalah lebih dari 60% infan yang menderita penyakit SGB, lahir dari ibu yang memiliki kolonisasi asimtomatik dan tidak menunjukkan adanya faktorfaktor resiko. Hasil studi CDC menyimpulkan bahwa strategi berdasarkan faktor resiko kurang efektif dalam mencegah penyakit SGB. Strategi yang kedua adalah dilakukan skrining yang universal pada semua ibu hamil pada usia kehamilan 3537 minggu. Namun strategi ini membutuhkan biaya yang sangat besar dalam mengimplementasikan skrining (Schuchat et al. 1996; Eschenbach 2002; Tumbaga dan Philip 2003). Walaupun
usaha
pencegahan
dengan
pemberian
kemoprofilaksis
intrapartum telah terbukti dapat menurunkan angka kejadian infeksi neonatal SGB, namun morbiditas dan mortalitas yang diakibatkan oleh bakteri ini masih cukup tinggi. Data surveillance CDC tahun 1999 memperkirakan dalam era penggunaan antibiotika profilaksis masih ada 1600 infan di Amerika Serikat yang mati tiap tahunnya setelah terinfeksi SGB (Tumbaga dan Philip 2003). Selain itu, kecenderungan resistensi terhadap berbagai antibiotika dari tahun ke tahun juga terus meningkat. Penggunaan IAP yang tidak rasional untuk mencegah infeksi neonatal SGB ternyata telah menimbulkan peningkatan resistensi Escherichia coli terhadap antibiotika golongan β-laktam (Eschenbach 2002). Oleh karena itu perlu dipertimbangkan pendekatan pencegahan yang lain yaitu imunoprofilaksis. Vaksinasi maternal diharapkan dapat menstimulasi pembentukan antibodi IgG maternal anti kapsul polisakarida spesifik-tipe SGB dan dapat melewati sirkulasi janin secara transplasental. Antibodi IgG anti kapsul polisakarida SGB telah terbukti sangat protektif sehingga dapat melindungi neonatus dari penyakit SGB. Dengan demikian diharapkan imunoprofilaksis merupakan cara yang efektif dalam mencegah timbulnya infeksi neonatal SGB (Hulse et al. 1993; Paoletti et al. 1997; Kasper et al. 1996). Untuk membuat suatu formulasi vaksin kapsul polisakarida SGB maka terlebih dahulu harus diketahui distribusi serotipenya. Permasalahannya adalah sampai saat ini tidak ada data seroepidemiologi yang luas di Indonesia.
Di luar negeri, penelitian-penelitian tentang SGB sejak 20 tahun terakhir telah dilakukan dengan pesat. Di Indonesia penelitian-penelitian tentang SGB masih sangat terbatas, bahkan dikalangan medis infeksi bakteri ini pada neonatus belum begitu populer. Dari hasil penelitian sebelumnya, Hayati et al. (2004) melaporkan hasil isolasi SGB pada wanita hamil sehat di Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung (RUSP-HS) dan Rumah Sakit Umum Palang Merah Indonesia (RSU-PMI) Bogor sebanyak 10,09%. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana karakteristik SGB yang diisolasi dari penderita komplikasi obstetri secara fenotipe, keberadaan faktor-faktor virulensinya, distribusi serotipe, patogenisitas, sensitivitas terhadap antibiotika dan imunogenisitas. Dengan melakukan isolasi dan karakterisasi bakteri SGB yang dapat menimbulkan infeksi invasif diharapkan penelitian ini dapat memberi informasi dan rekomendasi sebagai landasan dalam mencari cara pencegahan yang efektif terhadap infeksi neonatal SGB. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut: 1. Apakah karakteristik bakteri SGB yang diisolasi dari penderita komplikasi obstetri dapat menimbulkan infeksi neonatal SGB dan dapat dicegah dengan pemberian kemoprofilaksis? 2. Apakah karakteristik bakteri SGB yang diisolasi dari penderita komplikasi obstetri dapat menimbulkan infeksi neonatal SGB dan dapat dicegah dengan pemberian imunoprofilaksis? 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk mencari cara pencegahan infeksi SGB yang efektif dengan mengetahui karakteristik bakteri SGB yang diisolasi dari penderita komplikasi obstetri dalam menimbulkan infeksi neonatal. Dengan maksud tersebut maka tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Melihat adanya kemungkinan pencegahan infeksi neonatal SGB dengan pemberian kemoprofilaksis.
2. Melihat adanya kemungkinan pencegahan infeksi neonatal SGB dengan pemberian imunoprofikaksis. 1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat Akademis Memperoleh informasi tentang karakteristik bakteri SGB yang diisolasi dari penderita komplikasi obstetri. Manfaat Praktis 1. Memberi rekomendasi kepada praktisi dalam mempertimbangkan pemberian antibiotika sebagai kemoprofilaksis intrapartum guna mencegah infeksi neonatal SGB. 2. Memperoleh bakteri yang dapat dijadikan kandidat vaksin sebagai imunoprofilaksis guna mencegah infeksi neonatal SGB. 1.5 Kerangka Pemikiran Streptokokus Grup B pada ibu hamil sehat merupakan kolonisasi asimtomatik
(asymptomatic
colonization)
yang
dijumpai
pada
traktus
gastrointestinal dan traktus urogenital. Kira-kira 5-30% wanita hamil memiliki kolonisasi ini dan 29-72% bayi yang dilahirkannya, akan mendapat kolonisasi yang sama melalui transmisi vertikal dari ibunya ketika ia melewati jalan lahir (Edwards dan Baker 1995). Infeksi neonatal SGB dapat terjadi dalam dua bentuk sindroma yaitu infeksi neonatal dengan onset-dini (early-onset) dan infeksi neonatal dengan onset-lambat (late-onset). Penularan melalui transmisi vertikal biasanya mempunyai peranan yang signifikan terhadap infeksi SGB early-onset. Kira-kira 75% dari kasus infeksi SGB adalah bentuk early-onset. Infeksi early-onset biasanya terjadi pada usia 1 hingga 6 hari, umumnya bayi sudah menderita sakit dalam 24 jam setelah lahir. Manifestasi klinik yang paling sering terjadi adalah pneumonia (35-55% kasus). Pada keadaan yang lebih berat dapat terjadi sepsis yang disertai dengan kegagalan pernafasan (respiratory distress), perfusi yang jelek dan shok. Septikemia terjadi pada 25-40% kasus, keadaan ini dapat menimbulkan kematian dalam beberapa jam. Manifestasi klinik yang lain adalah meningitis yang terjadi
pada 5-10% kasus. Insidensi infeksi early-onset meningkat pada infan prematur, hal ini mungkin disebabkan karena adanya defisiensi opsonin dan terbatasnya transfer antibodi maternal (Edwards dan Baker 1995; Tumbaga & Philip 2003). Infeksi late-onset terjadi setelah minggu pertama kelahiran hingga usia 2-3 bulan dimana manifestasi klinik yang paling sering terjadi adalah meningitis. Pada bayi-bayi yang selamat dari infeksi meninggal, 25-50% kasus akan meninggalkan gejala sisa neurologik yang permanen (sequele) seperti retardasi mental, kebutaan dan ketulian. Manifestasi klinik lain dari bentuk infeksi late-onset pada neonatus adalah artritis septik (Edwards dan Baker, 1995; Gibbs dan Sweet, 1994; Eriksen dan Blanko 1993; Tissi et al. 1998). Transmisi horizontal dari perawat atau pengunjung rumah sakit juga bisa diperoleh neonatus yang negatip SGB pada saat lahir. Kontaminasi silang dari neonatus yang terinfeksi juga dapat terjadi melalui teknik cuci tangan yang buruk oleh juru rawat. Infeksi nosokomial tersebut mempunyai peranan yang signifikan terhadap infeksi SGB late-onset, walaupun sumber maternal juga tak kalah penting pada infeksi SGB jenis tersebut (Eriksen dan Blanco 1993). Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan antara kolonisasi SGB dengan kejadian abortus, prematur dan bayi berat lahir rendah (BBLR). Regan et al (1996) melaporkan infan yang lahir prematur dan BBLR berkaitan erat dengan heavy colonization SGB dalam cervicovaginal pada usia kehamilan 23-26 minggu. Bakteri SGB tidak hanya menyebabkan infeksi pada infan, pada maternal bakteri ini dapat berkembang menjadi infeksi klinik seperti bekteremia, endometritis postpartum, chorioamnionitis dan infeksi saluran kemih. Lebih dari 50.000 maternal di Amerika Serikat dilaporkan terinfeksi SGB tiap tahunnya (Tumbaga dan Philip 2003). Infeksi invasif oleh SGB dapat terjadi karena adanya regulasi faktor-faktor virulensi bakteri. Faktor-faktor virulensi SGB yang memegang peran penting dalam proses infeksi diantaranya adalah kapsul polisakarida dan hialuronidase. Kapsul polisakarida merupakan antigen permukaan bakteri yang berperan sebagai antifagositosis. Streptokokus Grup B yang diisolasi dari manusia umumnya
mengekspresikan kapsul polisakarida pada permukaan selnya (Wibawan dan Laemmler 1991). Berdasarkan serologi, antigen polisakarida kapsul pada permukaan bakteri SGB terdiri dari beberapa serotipe yaitu Ia, Ib, II, III, IV, V, VI, VII dan VIII. Distribusi serotipe yang dijumpai di beberapa wilayah sangat variatif. Di Amerika Serikat dilaporkan distribusi serotipe SGB yang paling sering muncul adalah serotipe Ia dan III (Hulse et al. 1993; Lin et al. 1998). Di Jepang serotipe VIII dan VI adalah serotipe yang paling sering muncul pada SGB yang diisolasi dari ibu hamil sehat (Lachenauer et al. 1999). Di dalam negeri, Hayati et al. (2003) melaporkan bahwa serotipe VI merupakan serotipe yang paling sering muncul pada SGB yang diisolasi dari ibu hamil sehat. Menurut Lin et al. (1998) distribusi serotipe dipengaruhi oleh lokasi geografi, oleh karena itu perlu dilakukan serotyping pada suatu wilayah. Vormulasi vaksin multivalen kapsul polisakarida yang ditujukan untuk suatu wilayah sangat ditentukan oleh distribusi serotipe di wilayah tersebut. Penelitian-penelitian tentang vaksin kapsul polisakarida SGB telah dilakukan sejak tahun 1970-an. Kandidat vaksin SGB kapsul polisakarida tipe III murni pertama kali dilakukan uji klinik pada orang sehat tahun 1978 (Baker dan Edwards
2003).
Penelitian-penelitian
tentang
vaksin
konyugat
kapsul
polisakarida SGB dengan suatu protein karier telah dilakukan oleh beberapa peneliti antara lain adalah vaksin konyugat SGB tipe II-tetanus toksoid (TT) oleh Paoletti et al (1992), Vaksin konyugat SGB tipe III-TT oleh Wessels et al. (1998), vaksin konyugat SGB tipe Ia dan Ib – TT oleh Wessels et al. (1993) dan Baker et al. (1999), vaksin konyugat tipe III-rCTB (rekombinant cholera toxin B) oleh Shen et al (2000), vaksin konyugat SGB tipe IV dan VII-TT dilakukan oleh Paoletti dan Kasper (2002), Vaksin konyugat bivalen SGB tipe II dan III-TT oleh Baker et al (2003b) dan lain-lain. Hialuronidase adalah produk ekstraseluler yang dihasilkan oleh kebanyakan streptokokus, merupakan faktor virulensi bakteri yang dipercaya dapat memfasilitasi invasi bakteri ke jaringan inang. Enzim ini dapat merusak asam hialuronat jaringan konektif untuk memudahkan penyebaran bakteri, sehingga enzim ini disebut juga sebagai “ spreading factor” (Joklik et al. 1992; Baker et al.
1997; Wibawan et al. 1999). Pritchard dan Lin (1993) mengatakan bahwa enzim ekstraseluler dari SGB yang sebelumnya dilaporkan sebagai neuraminidase (sialidase), sebenarnya adalah hialuronidase. Strategi yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit SGB perinatal adalah penggunaan antibiotika profilaksis intrapartum (IAP), vaksinasi maternal dan pemberian imunoterapi. Pemberian IAP sesuai rekomendasi CDC tahun 1996, telah terbukti terjadi penurunan insidensi infeksi early-onset SGB pada neonatus. Di Amerika Serikat dilaporkan telah terjadi penurunan insidensi infeksi neonatal SGB dari 1.7 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1993 menjadi 0.6 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1998 (Schrag et al. 2000). de Cueto et al. (1998) melaporkan ibu yang terkolonisasi SGB, bila mendapat IAP maka hanya 10% bayinya yang memperoleh kolonisasi yang sama, sedangkan bila tidak mendapat IAP, 47% bayi akan mendapat kolonisasi yang sama. Tingginya insidensi infeksi neonatal SGB berkaitan dengan rendahnya level antibodi IgG spesifik kapsul polisakarida dalam serum maternal. Baker et al. (1999) melaporkan konsentrasi antibodi IgG spesifik kapsul polisakarida tipe Ia SGB pada wanita sehat sebelum vaksinasi adalah = 0.6 µg/ml. Konsentrasi antibodi IgG spesifik kapsul polisakarida tipe Ia SGB meningkat setelah vaksinasi secara intramuskuler dengan kapsul polisakarida Ia-TT dan mencapai puncak pada minggu ke-8 pascavaksinasi menjadi 26.2 µg/ml, namun 1 tahun pascavaksinasi konsentrasi IgG menurun sebanyak 50%. Pemberian vaksinasi maternal dan pemberian imunoterapi pada maternal ataupun pada neonatus telah terbukti dapat melindungi neonatus dari infeksi SGB pada hewan percobaan. Paoletti dan Kasper (2002) melaporkan hasil maternal vaccination-neonatal challenge pada kelinci, kelinci betina diberi vaksinasi secara subkutaneus pada minggu I dan III dengan vaksin konyugat SGB tipe IV-TT dan VII-TT kemudian dikawinkan, neonatus yang lahir ditantang dengan SGB strain yang homolog 48 jam setelah lahir. Hasil yang diperoleh adalah 93% neonatus yang ditantang dengan SGB tipe IV (strain 3139) survive dan 100% neonatus yang ditantang dengan SGB tipe VII (strain 7271) survive. Sebaliknya pada kelompok kontrol yang diberikan NaCl tidak ada neonatus yang survive.
Paoletti et al. (1997) melaporkan pemberian imunisasi pasif pada mencit neonatus (usia < 48 jam) secara intraperitoneal dengan 0.05 ml serum kelinci yang mengandung antibodi spesifik kapsul polisakarida tipe III-TT (4.2 mg/ml; 213 µg/neonatus) 4 jam setelah ditantang dengan SGB tipe III secara intraperitoneal dapat melindungi neonatus dari bakteremia sebanyak 93%, sedangkan yang diberi serum normal dan NaCl masing-masing hanya dapat melindungi neonatus 11% dan 30%. Namun bila antiserum diberikan 12 jam setelah infeksi maka hanya dapat memberi perlindungan pada neonatus sebanyak 33%. Kling et al. (1997) melaporkan pemberian imunisasi pasif pada mencit bunting (usia kebuntingan 19-20 hari) secara intraperitoneal dengan 0.5 ml serum yang mengandung antibodi spesifik polipeptida N-terminal protein C SGB A909 dan antibodi spesifik kapsul polisakarida tipe Ia-TT masing-masing memberi perlindungan pada neonatus 69% dan 98% setelah ditantang dengan SGB A909. Sedangkan induk mencit yang diberi serum normal hanya memberi perlindungan 15% pada neonatus. Beberapa peneliti telah melakukan uji klinik dan melaporkan bahwa vaksin kapsul polisakarida baik yang bebas maupun yang dikonyugasi dengan tetanus toksoid aman digunakan pada wanita hamil (Baker et al 2003a; Baker et al 2003b; Baker et al 2000). 1.6 Hipotesis Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian di atas, maka hipotesis yang dibuat adalah: 1. Streptokokus Grup B yang diisolasi dari penderita komplikasi obstetri dapat menimbulkan infeksi neonatal dan masih sensitif terhadap beberapa jenis antibiotika sehingga kemoprofilaksis intrapartum dapat digunakan untuk mencegah infeksi neonatal. 2. Streptokokus Grup B yang diisolasi dari penderita komplikasi obstetri dapat menimbulkan infeksi neonatal dan dapat digunakan sebagai bahan vaksin untuk imunoprofilaksis infeksi neonatal.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ciri Umum Streptokokus Grup B Lancefield pada tahun 1933 menemukan 2 antigen karbohidrat pada Streptokokus Grup B (SGB) berdasarkan serologi yaitu antigen karbohidrat spesifik-grup pada dinding sel (substansi “C”) yang ada pada semua golongan streptokokus dan antigen karbohidrat spesifik-tipe (substansi “S”) pada kapsul bakteri SGB. Berdasarkan antigen spesifik-grup, sampai saat ini telah ditemukan 20 grup streptokokus yang terdiri dari serogrup A hingga V kecuali I dan J. Streptokokus grup B yang termasuk ke dalam genus ini, memiliki komposisi karbohidrat spesifik-grup tertentu yang terdiri dari D-glukosamin, D-galaktosa, glusitol dan L-rhamnosa (Lancefield 1933; Joklik et al. 1992; Edwards dan Baker 1995). Pada pemeriksaan mikroskopis, streptokokus grup B tergolong ke dalam bakteri Gram-positip, berbentuk bulat atau ovoid dengan diameter 0,6-1,2 µm, tidak bergerak dan tidak berspora (Joklik et al. 1992; Edwards dan Baker 1995). Bakteri ini umumnya tersusun dengan rantai yang pendek (diplokoki), namun panjang rantainya dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Pada medium cair umumnya tumbuh dengan rantai yang lebih panjang (Joklik et al. 1992). Menurut Wahyuni (2002), panjang rantai juga dipengaruhi oleh sifat hidrofobisitas dari komponen permukaan bakteri. Bakteri yang memiliki sifat hidrofilik tersusun dengan rantai yang pendek sedangkan bakteri yang hidrofobik tersusun dengan rantai yang panjang. Streptokokus grup B yang diisolasi dari manusia umumnya memiliki rantai yang pendek, sedangkan SGB yang diisolasi dari mastitis subklinis pada sapi perah umumnya memiliki rantai yang panjang. Bakteri SGB jika diinkubasi pada agar darah domba 5%, akan diperoleh koloni berbentuk bulat kecil (1-4 mm) dengan permukaan yang sedikit mukoid, berwarna bening seperti titik embun atau putih keabu-abuan dengan zona βhemolitik pada 11-89% strain. Namun demikian 5-15% strain adalah non hemolitik, sedangkan α-hemolitik jarang ditemukan. Jika diinkubasi secara anaerob terutama pada medium Islam, 97% strain dapat memproduksi pigmen
kuning, merah atau orange. Bakteri ini umumnya resisten terhadap basitrasin, hal ini membedakan bakteri SGB dengan Streptokokus Grup A yang sensitif basitrasin (Wibawan et al. 1991; Joklik et al. 1992; Holt et al. 1994). 2.2 Identifikasi Bakteri Untuk melakukan preidentifikasi SGB, uji CAMP memberikan hasil 98-100% positip. Hal ini disebabkan karena faktor CAMP yang dimiliki oleh SGB, yang merupakan protein ekstrasel yang termostabil, menghasilkan hemolisis yang sinergis pada agar darah domba dengan Staphylococcal βlysin (sphingomyelinase C) yang dimiliki oleh Staphylococcus aureus. Fenomena hemolisis sempurna dari uji CAMP akan membentuk zona seperti kepala panah (arrowhead) (Joklik et al. 1992; Edwards dan Baker 1995; Ruoff 1995). Sphingomyelinase menginisiasi sphingomielin menjadi seramida yang membuat eritrosit mudah dilisiskan oleh aktivitas faktor CAMP. Eritrosit mamalia mempengaruhi kinerja faktor CAMP secara berbeda-beda tergantung dari kandungan sphingomielin pada membran sel. Pada darah domba kandungan sphingomielin sebesar 51% sedangkan pada darah kelinci dan
manusia
adalah
26%
dan
19%.
Semakin
besar
kandungan
sphingomielin maka semakin jelas reaksi positip yang terbentuk pada uji CAMP (Lang dan Palmer 2003). Identifikasi definitip untuk SGB, dapat dideteksi berdasarkan antigen dinding sel spesifik-grup B melalui uji serologi dengan menggunakan antiserum spesifik grup B. Sejumlah metode diagnosis baik untuk menentukan serogrup maupun serotipe yang dapat digunakan antara lain adalah imunodifusi, countercurrent immunoelectrophoresis, enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), imunofloresen tidak langsung, koaglutinasi dengan stafilokokus dan aglutinasi lateks. Salah satu metode yang sering digunakan
untuk
identifikasi
SGB
adalah
metode
imunodifusi
(Ouchterlony). Metode ini sangat mudah dilakukan dan memberi hasil yang akurat. Kelemahannya adalah waktu pembacaan yang sangat lama yaitu 1824 jam dan memerlukan bahan yang relatif mahal. Untuk mendukung uji imunodifusi, tes koaglutinasi dengan menggunakan stafilokokus merupakan
suatu alternatif. Metode ini juga mudah dilakukan dan cepat (30 detik) serta memberi hasil yang akurat (Wibawan dan Pasaribu 1993; Edwards dan Baker 1995; Ruoff 1995). 2.3 Diagnosa Penyakit SGB Neonatal Untuk mengisolasi bakteri SGB pada neonatus, bahan pemeriksaan dapat diambil dari darah, cairan serebrospinal, trakhea dan lain-lain. Pemeriksaan tambahan dapat dilakukan dengan pemeriksaan jumlah darah komplit, level C-reactive protein (CRP), interleukin-6 (IL-6), IL-8, uji antigen dan pemeriksaan radiografi paru untuk mendiagnosa adanya pneumonia (Tumbaga dan Philip 2003). Pengukuran IL-6 dilakukan untuk membantu melakukan identifikasi adanya infeksi SGB intraamniotik secara non progresif dalam sekresi serviks. Level sitokin ini akan meningkat secara signifikan bila adanya infeksi intraamnion, hal ini disebabkan karena adanya hubungan yang signifikan antara konsentrasi reseptor antagonis IL-6 dalam cairan amnion dan sekresi serviks (Rizzo et al. 1996). Interleukin-6 adalah suatu mediator awal dari proses inflamasi, pada infeksi sistemik level IL-6 awalnya meningkat tapi kemudian menurun dengan cepat. Pengukuran C-reactive protein (CRP) yang merupakan suatu acute-phase reactant seperti halnya IL-6, biasanya juga meningkat pada keadaan inflamasi. Nilai normal CRP pada neonatus adalah kurang dari 1 mg/dL (Tumbaga dan Philip 2003). Pemeriksaan darah rutin dapat mendukung diagnosa adanya infeksi walaupun mungkin akan dijumpai nilai normal pada fase awal. Jumlah sel darah putih mungkin kurang dari 5.0x103/mcL namun hal ini tidak begitu menolong memprediksi adanya infeksi, sedangkan jumlah neutrofil yang kurang dari 1.75x103/mcL banyak digunakan untuk memprediksi adanya infeksi (Tumbaga dan Philip 2003). Identifikasi SGB dengan menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) sangat sensitif dan spesifik. Teknik biologi molekuler ini telah dijabarkan untuk deteksi cepat SGB sehingga dapat menentukan resiko pascasalin baik untuk ibu maupun bayinya (Tumbaga dan Philip 2003).
2.4 Epidemiologi Penyakit SGB Streptokokus Grup B (SGB) yang disebut juga dengan Streptococcus agalactiae, sudah sejak lama dikenal sebagai penyebab mastitis sub klinis pada sapi perah (Wibawan et al. 1993). Pada tahun 1935, bakteri ini pertama kali dilaporkan oleh Fry sebagai patogen pada manusia yang menyebabkan sepsis pascasalin. Sejalan dengan berkembangnya pemahaman kolonisasi bakteri pada neonatus, sejak tahun 1970-an SGB mulai diperhitungkan sebagai penyebab penting infeksi neonatal (Rubens et al. 1992; Tamura et al. 1994; Edwards dan Baker 1995). Sejak saat itu pula penelitian tentang SGB di luar negeri telah berkembang dengan pesat. Kolonisasi SGB dapat dijumpai pada traktus genital dan gastrointestinal bagian bawah ibu hamil sehat sebagai kolonisasi asimtomatik (asymptomatic colonization). Sedangkan pada traktus urinarius saat kehamilan, bakteri ini dikaitkan dengan bakteriuria asimtomatik yang disebabkan oleh adanya rekolonisasi secara asenden. Kira-kira 5-30% wanita hamil memiliki kolonisasi SGB dan 29-72% bayi-bayi yang dilahirkannya, akan mendapatkan kolonisasi yang sama melalui transmisi vertikal, yaitu melalui saluran kelamin ibu pada saat melahirkan (Antony 1992; McKenzie dan Patel 1994; Edwards dan Baker 1995; Chaaya et al. 1996). Maniatis et al. (1996) mengutip beberapa hasil penelitian mengenai angka prevalensi kolonisasi SGB pada ibu hamil antara lain di Israel 5,4%; di Arab 1,6%; di Jerman 3,8%; di Italia 7,5% sedangkan di Inggris sebanyak 28%. Di Jepang, Lachenauer et al. (1999), berhasil mengisolasi 71 isolat SGB dari 441 wanita hamil (16%). Variasi angka prevalensi ini bukan hanya disebabkan oleh perbedaan metode kultur yang digunakan, tetapi juga disebabkan oleh perbedaan intrinsik dari populasi yang diteliti seperti ras dan sosioekonomi (Edwards & Baker 1995). Di Meksiko, dari 2669 sampel serum wanita berusia 15-40 tahun yang diuji titer antibodi IgG terhadap SGB, 2405 orang (90,12%) memberi hasil positip. Seroprevalensi tinggi tersebut mengindikasikan bahwa wanita meksiko sering terekspose dengan infeksi SGB (Saucedo et al. 2002). Sementara itu di Barcelona Teresa (1997) memperoleh 5,05% wanita yang memeriksakan kehamilannya di Rumah Sakit Sant Joan de Deu sejak Januari 1991 sampai Juni
1992 terisolasi bakteri SGB. Di dalam negeri Hayati (2003) mendapatkan angka kejadian kolonisasi SGB asimtomatik pada ibu hamil sehat sebesar 10,09%. Bakteri SGB umumnya diperoleh bayi dari ibunya ketika ia melewati jalan lahir. Helmig et al. (1993) telah membuktikan bahwa kolonisasi SGB yang dijumpai pada traktus genital ibu berkaitan dengan kolonisasi SGB pada bayinya. Dari 31 pasang isolat SGB yang diisolasi dari ibu dan anaknya (26 pasang dengan sepsis dan meningitis neonatal, 2 pasang dengan abortus dan 3 pasang dengan KPSW), didapatkan bahwa serotipe isolat yang dijumpai pada ibu semuanya identik dengan serotipe isolat yang dijumpai pada anak kecuali satu koloni dari ibu dengan serotipe Ib, sedangkan pada anaknya dijumpai serotipe Ia. Beberapa keadaan komplikasi obstetri merupakan faktor resiko penting timbulnya infeksi neonatal SGB early-onset antara lain adalah kelahiran prematur (preterm delivery) sebelum usia kehamilan 37 minggu, partus lama (prolonged rupture of membranes) >18 jam, ketuban pecah sebelum waktu/KPSW (preterm prematur rupture of membranes) 18 jam sebelum kelahiran dan demam maternal > 380C (Tumbaga dan Philip 2003; Anthony et al. 1994). Pada wanita dengan KPSW yang terkolonisasi SGB, induksi kelahiran dapat menjadi pencetus berkembangnya infeksi neonatal. Pada keadaan tersebut induksi kelahiran dengan oksitosin intra vena mungkin lebih baik dari pada penggunaan induksi dengan gel vaginal prostaglandin E2 dan kelompok ekspektan (Hannah et al. 1997). Pada orang dewasa bakteri ini juga dapat menyebabkan infeksi invasif dimana dijumpai adanya beberapa keadaan sebagai faktor predisposisi antara lain malignan neoplasma, diabetes melitus, infeksi human immunodeficiency virus tipe 1, trauma dan usia tua (Edwards dan Baker 1995; Maniatis et al. 1996; Marodi et al. 2000). Bakteri SGB bukan hanya dapat diisolasi dari darah namun juga dapat diisolasi dari tempat-tempat lain yang secara normal steril. Schrag et al. (2000) melaporkan dari 7867 kasus penyakit SGB invasif yang disurvei di Amerika Serikat tahun 1993-1998, bakteri ini dapat diisolasi dari darah sebanyak 84% kasus, dari cairan cerebrospinal 4%, dari cairan sinovial 4%, dari tulang 2%, dari cairan peritoneal 2%, dari spesimen bedah 2%, dari cairan pleura 1%dan dari tempat-tempat lain 1%.
2.5 Spektrum Penyakit Infeksi neonatal SGB dapat terjadi dalam dua bentuk sindroma yaitu infeksi neonatal dengan onset-dini (early-onset) dan infeksi neonatal dengan onset-lambat (late-onset). Kira-kira 75% dari kasus infeksi SGB adalah bentuk early-onset. Infeksi early-onset biasanya terjadi usia 1 hingga 6 hari, umumnya bayi sudah menderita sakit dalam 24 jam setelah lahir. Spektrum klinik yang paling terjadi adalah pneumonia (35-55% kasus). Pada keadaan yang lebih berat dapat terjadi sepsis yang disertai dengan kegagalan pernafasan (respiratory distress), apnea, perfusi yang jelek dan shok. Septikemia terjadi pada 25-40% kasus, keadaan ini dapat menimbulkan kematian dalam beberapa jam. Spektrum klinik yang lain adalah meningitis pada 5-10% kasus. Insidensi infeksi early-onset meningkat pada infan prematur, hal ini mungkin disebabkan karena adanya defisiensi opsonin dan terbatasnya transfer antibodi maternal (Edwards dan Baker 1995; Tumbaga & Philip 2003). Infeksi late-onset terjadi setelah minggu pertama kelahiran hingga usia 2-3 bulan dimana spektrum klinik yang paling sering terjadi adalah meningitis. Pada bayi-bayi yang selamat dari infeksi meninggal, 25-50% kasus akan meninggalkan gejala sisa neurologik yang permanen. Spektrum klinik lain dari bentuk infeksi late-onset pada neonatus adalah artritis septik. Pada keadaan ini memerlukan pemberian antibiotik dalam jangka waktu yang lama untuk menghindari timbulnya komplikasi. Streptokokus grup B serotipe III adalah tipe yang paling sering menimbulkan infeksi late-onset di Amerika Serikat, sedangkan yang menyebabkan artritis septik dilaporkan tidak ada perbedaan serotipe yang nyata (Edwards dan Baker 1995; Gibbs dan Sweet, 1994; Eriksen dan Blanko 1993; Tissi et al. 1998). Bakteri-bakteri patogen yang biasa ditemukan sebagai penyebab meningitis adalah Streptokokus pneumonia, Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae dan lain-lain, namun bakteri SGB adalah yang paling sering ditemukan pada kasus meningitis neonatal (Tunkel dan Scheld 1995) (Tabel 1).
Tabel 1. Bakteri patogen terbanyak penyebab meningitis menurut usia Usia penderita Bakteri patogen terbanyak 0-4 minggu
Streptokokus agalactiae, Escherichia coli, Listeria monocytogenes, Klebsiella pneumonia, Enterococcus spp., Salmonella spp.
4-12 minggu
Streptokokus agalactiae, Escherichia coli, Listeria monocytogenes, Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumonia, Neisseria meningitidis .
3 bulan-18 tahun
Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidis, Streptococcus pneumonia.
18-50 tahun
Streptococcus pneumonia, Neisseria meningitidis.
> 50 tahun
Streptococcus pneumonia, Neisseria meningitidis, Listeria monocytogenes, aerobic gram-negative bacilli
2.6 Faktor Virulensi SGB Faktor virulensi bakteri SGB dapat dibagi menjadi faktor virulensi struktural dan non struktural. Faktor virulensi struktural dibentuk oleh komponen-komponen penyusun sel baik komponen permukaan maupun komponen penyusun dinding sel bakteri. Faktor virulensi tersebut antara lain adalah antigen kapsul polisakarida, antigen protein dan asam lipoteikoat. Faktor virulensi non struktural (metabolit) yang merupakan produk ekstraseluler dari bakteri ini antara lain adalah hialuronidase, protease, hipurikase, nuclease, C5a-ase, hemolisin dan faktor CAMP (Pritchard and Lin 1993; Pagala et al. 1994; Edwards dan Baker 1995; Takahashi et al. 1999; Lang dan Palmer 2003). 2.6.1 Antigen Kapsul Polisakarida
Pada tahun 1933 Lancefield menemukan 4 klasifikasi antigen kapsul polisakarida SGB berdasarkan uji serologi yaitu serotipe Ia, Ib, II dan III. Antigen ini dapat berdiri sendiri namun dapat juga bergabung bersamasama dengan antigen protein permukaan. Antigen protein c dapat ditemukan bergabung bersama-sama dengan antigen Ia atau Ib. Sampai saat ini antigen kapsul polisakarida pada permukaan bakteri SGB telah ditemukan sebanyak 9 serotipe yaitu Ia, Ib, II, III, IV, V, VI, VII dan VIII. Komposisi antigen polisakarida spesifik-tipe tersebut adalah galaktosa, glukosa, N-asetil glukosamin dan asam N-asetilneuraminik (sialic acid = asam sialat) (Tissi et al. 1998; Hulse et al. 1993; Takahashi et al. 1998). Perbedaan untuk masing-masing serotipe terletak pada rantai tulang punggung dan ikatan rantai antar cabang gugus polisakarida serta ketebalan kandungan asam sialat. Perbedaan antigenisitas dari masing-masing serotipe disebabkan oleh molar rasio residu monosakarida. Kapsul polisakarida SGB tipe IV mempunyai berat molekul 81.000 Dalton (Paoletti and Kasper 2002). Kapsul polisakarida tipe VI mempunyai berat molekul 200.000 Dalton dan mengandung galaktosa, glukosa dan asam sialat dengan molar rasio 2:2:1 (Paoletti et al. 1999). Kapsul polisakarida tipe VII mengandung D-glukosa, D-galaktosa, N-asetil-D-glukosamin dan asam N-asetilneuraminat (asam sialat) dengan molar rasio 2:2:1:1 (Kogan et al. 1995). Kapsul polisakarida tipe VIII mempunyai berat molekul 200.000 Dalton dan mengandung Dglukosa, D-galaktosa, L-rhamnosa dan asam sialat dengan molar rasio 1:1:1:1. (Kogan et al. 1996). Streptokokus grup B yang memiliki tipe Ia, II dan III mempunyai kandungan asam sialat yang tinggi sedangkan tipe IV dan V mempunyai kandungan asam sialat yang rendah. Antigen polisakarida sebagai pembentuk kapsul bakteri merupakan faktor virulensi yang berperan sebagai antifagositosis. Kapsul polisakarida yang mempunyai kandungan asam sialat yang tinggi, diketahui dapat menghambat jalur komplemen alternatif, sehingga lebih tahan terhadap fagositosis. Resistensi SGB strain tipe III-3 terhadap opsonofagositosis disebabkan karena kandungan asam sialat yang tinggi dalam kapsul polisakaridanya, sedangkan pada strain III-2
dan III-1 yang telah dibuang asam sialatnya dengan suatu treatmen neuraminidase atau dengan transposon-insertional mutagenesis, terbukti dapat meningkatkan deposisi fragmen C3 opsonik (C3b dan C3bi) sehingga terjadi aktivasi komplemen jalur alternatif (Takahashi et al. 1999) Tipe Ia dan Ib memiliki kesamaan struktur tulang punggung dan rantai samping, perbedaannya hanya pada ikatan cabang galaktosa ke gugus glukosamin. Tipe II memiliki dua monosakarida rantai samping yaitu galaktosa dan asam sialat yang secara langsung memanjang dari pengulangan tulang punggungnya. Tipe III terdiri dari suatu polimer yang mengandung pengulangan unit-unit tulang punggung trisakarida glukosa – N-asetilglukosamin – galaktosa dan rantai samping asam sialat – galaktosa yang terikat ke gugus N-asetilglukosamin (Takahashi et al. 1999; Wessels et al. 1998; Campbell et al. 1992). 2.6.2 Antigen Protein Permukaan Antigen protein yang dijumpai pada permukaan bakteri merupakan faktor virulensi struktural yang imunogenik, berperan dalam proses adhesi dan kolonisasi. Antigen ini terdiri dari protein C, protein R, protein X dan protein Rib. Protein C dibagi lagi menjadi Cα yang merupakan komponen resisten tripsin dan Cβ yang merupakan komponen sensitif tripsin. Sekarang bahkan sudah ditemukan Cγ dan Cδ. Antigen protein R dibagi lagi menjadi R1 hingga R4, antigen ini jarang ditemukan pada SGB asal sapi. Sebaliknya antigen protein X biasanya dijumpai pada SGB asal sapi, jarang ditemukan pada SGB asal manusia (Gravekamp et al. 1997; Kling et al. 1997; Maeland 1997; Larsson et al. 1996). Protein C SGB memiliki regio N-terminal dan C-terminal dimana regio Cterminal menancap pada dinding sel bakteri. Regio
C-terminal tidak
memperlihatkan peranan dalam imunitas protektif, sebaliknya regio N-terminal mengandung epitop protektif (Gravekamp et al. 1997). 2.6.3 Asam Lipoteikoat (Lipoteichoic Acid/LTA) Asam lipoteikoat adalah komponen pada permukaan bakteri SGB yang merupakan suatu polimer besar yang mengandung poligliserol fosfat pada tulang punggungnya dengan asam lemak pada rantai sampingnya.
Asam lipoteikoat dapat memperantarai penempelan (adhesi) bakteri pada permukaan sel epitel (Tamura et al. 1994). 2.6.4 Produk-produk Ekstraseluler Hialuronidase Beberapa produk ekstraseluler dari SGB berkaitan dengan virulensi bakteri diantaranya adalah hialuronidase. Hialuronidase adalah enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh kebanyakan streptokokus, merupakan faktor virulensi bakteri yang dapat mendegradasi asam hialuronat jaringan konektif untuk memudahkan penyebaran bakteri, sehingga enzim ini disebut juga sebagai “ spreading factor” (Wibawan et al. 1999). Asam hialuronat (hialuronan) dapat didegradasi oleh hialuronidase yang menghidrolisa ikatan β(1-4). Molekul asam hialuronat mempunyai komposisi 250-25.000 β(1-4)- ikatan unit disakarid mengandung asam D-glukuronat dan Nasetil-D-glukosamin yang terikat oleh suatu ikatan β(1-3). Asam hialuronat adalah suatu komponen glikosaminoglikan yang merupakan matriks ekstraseluler (ECM) yang banyak dijumpai sebagai substansi dasar cairan sinovial. Lavel hialuronan meningkat selama perkembangan embriologik, pada penyembuhan luka, bila terjadi regenerasi jaringan dan selama pertumbuhan tumor. Asam hialuronat juga dijumpai dalam kapsul bakteri patogen seperti Streptokokus grup A, Streptococcus equi subsp. zooepidemicus dan Staphylococcus aureus. Pemotongan chondroitin sulfat oleh enzim telah dilaporkan oleh Baker et al (1997). Glikosaminoglikan lain selain asam hialuronat adalah khondroitin-4-sulfat, khondroitin-6-sulfat, dermatan sulfat, keratan sulfat dan heparin (Afifi et al. 1993; Voet and Voet, 1995; Wibawan et al. 1999).
β-hemolisin Produksi β-hemolisin SGB dikaitkan dengan injuri sel epitel paru dan brain microvascular endothelial cells (BMEC) secara in vitro. Hal ini mengindikasikan peran patogenik dari enzim ini pada tahap invasif dari penyakit neonatal SGB early-onset (Nizet et al. 1997). C5a-ase
Beberapa strain bakteri SGB telah dipelajari dapat mengekspresikan C5aase. Enzim ini memberi kontribusi terhadap patogenesis infeksi neonatal SGB dengan melakukan inaktivasi secara cepat terhadap C5a, suatu molekul proinflamatori yang potensial (Takahashi et al. 1999; Bohsak et al. 1993). 2.7 Patogenesis Infeksi Neonatal SGB Patogenesis infeksi SGB terjadi dalam proses multistep. Perlekatan SGB pada sel epitel mungkin intergral dari beberapa step tersebut. Kolonisasi SGB pada rektum dan vagina ibu berkorelasi dengan sepsis pada bayi baru lahir, hal ini mengindikasikan bahwa kolonisasi pada tempat tersebut adalah prasyarat terjadinya infeksi. Perlekatan SGB pada sel epitel vagina dan rektum mengawali kolonisasi pada tempat tersebut. Bakteri ini dapat menempel dengan derajat yang tinggi pada sel amnion dan sel khorion monolayer kemudian melakukan invasi dalam sel tersebut secara in vitro. Bakteri masuk ke dalam vakuola intraseluler dari sel khorion dengan cara transitosis tanpa disrupsi intraseluler junctions yang diperlihatkan dengan transmisi mikroskop elektron. Infeksi pada fetus terjadi setelah adanya infeksi dalam cavitas amnion dan selalu dimulai dengan timbulnya pneumonia, implikasi dari paru-paru sebagai tempat infeksi inisial. Bakteri masuk dalam alveolar space setelah fetus teraspirasi dengan cairan amnion yang telah terinfeksi. Invasi bakteri dalam sel epitel paru merupakan step penting timbulnya infeksi pada infan. Bakteri SGB intraseluler dijumpai dalam sel epitel dan endotel paru dari neonatus primata setelah dipapar dengan SGB secara in utero melalui inokulasi ke dalam cairan amnion. Selain itu SGB juga memperlihatkan invasi ke dalam sel epitel dan sel endotel paru secara in vitro. Kemudian SGB diduga merusak endotel paru dimana proses ini merupakan suatu jalan untuk masuk ke dalam sirkulasi (Edwards dan Baker 1995; Tamura et al. 1994; Gibson et al. 1993; Winram et al. 1998). Kemampuan SGB masuk ke dalam barier sel endotel telah memberikan suatu mekanisme untuk masuknya SGB dalam vasculer space dari alveolar space atau masuk dalam interstisial space dari vasculer kompartemen menimbulkan septikemia (Gibson et al. 1993). 2.8 Mekanisme Pertahanan Inang
sehingga
Inang mempunyai sejumlah mekanisme pertahanan yang dapat menghalangi agregasi bakteri. Mekanisme pertahanan tersebut dapat dikatagorikan dalam 2 kelompok: (1) Non-spesifik/kekebalan alamiah dan (2) spesifik/kekebalan didapat. Respons imun spesifik tergantung pada adanya pemaparan benda asing dan pengenalan selanjutnya, serta reaksi terhadapnya. Sebaliknya respons imun nonspesifik terjadi pada saat pertemuan pertama antara hospes dengan benda asing (Abbas et al. 1994; Roitt dan Delves 2001). a. Fagositosis Fagositosis merupakan mekanisme pertahanan non-spesifik yang sangat penting yang diperantarai oleh sel-sel scavenger dengan memakan organisme-organisme yang menyerang dan menghancurkannya secara intraseluler melalui aksi enzimenzim. Fagositosis dapat dilakukan oleh leukosit polimorfonuklear (PMN) yang disebut mikrofag dan dapat dilakukan oleh fagosit mononuklear yaitu makrofag. Mikrofag dihasilkan di sum-sum tulang dan ketika matur ia masuk dalam sirkulasi pembuluh darah selama 6-7 jam. Sel- sel yang mempunyai masa hidup yang pendek tiba secara cepat pada lokasi infeksi yang ditarik oleh bahan-bahan kemotaktik yang meningkat selama proses inflamasi. Makrofag dihasilkan dalam sum-sum tulang dan sel ini dibawa sebagai monosit-monosit didalam pembuluh darah yang berperan sebagai “makrofag bebas”
(didalam
alveoli paru,
peritoneum dan granuloma-granuloma radang), atau “makrofag terikat” yang berintegrasi dalam jaringan (dalam limfnode, limfa, hati yang disebut sel-sel kupfer, CNS yang disebut mikroglia, dan jaringan ikat yang disebut histiosit) (Bellanti 1993; Abbas et al. 1994; Roitt dan Delves 2001). Makrofag menghasilkan beberapa sitokin yang penting antara lain adalah interleukin-1 (IL-1) dan tumour necrosis factor (TNF) yang dapat berperan sebagai mediator-mediator radang dan menyebabkan demam. Makrofag memproses antigen bakteri dan membawanya kepada limfosit untuk merangsang suatu respon imun spesifik, ia juga memainkan suatu bahagian penting dalam imunitas berperantara sel (Abbas et al. 1994; Roitt dan Delves 2001). Sel-sel fagositik mampu melakukan proses kemotaksis yaitu menarik fagosit ketempat mikroorganisme kemudian terjadi perlekatan bakteri pada membran fagosit. Sel-sel fagositik memperlihatkan pseudopods yang kecil untuk
membungkus bakteri, fusi ini membentuk suatu kawah atau fagosom. Lisosomlisosom yang mengandung enzim hidrolitik dan substansi bakterisidal lain bermigrasi kearah fagosom dan berfusi dengan membrannya untuk membentuk suatu fagolisosom sehingga terjadi proses ingesti. Pembunuhan intraseluler terhadap bakteri yang diingesti, dapat terjadi dalam beberapa menit, walaupun degradasi sel bakteri dapat menghabiskan waktu dalam beberapa jam (Bellanti 1993). b. Komplemen Komplemen adalah suatu famili dari protein-protein yang ada dalam serum yang bereaksi bersama satu sama lainnya dalam suatu kaskade. Bakteri SGB dapat melakukan pengelakan terhadap komplemen. Hal ini disebabkan karena adanya kapsul pada permukaan bakteri dimana kapsul tersebut mengandung asam sialat yang mempunyai sifat sedemikian rupa sehingga tidak terjadi aktivasi jalur komplemen alternatif. Kapsul tersebut mempunyai afinitas yang sangat rendah terhadap C3b, dengan demikian opsonisasi tidak terjadi. Streptococcus Grup B juga dapat menghasilkan Streptococcal C5a peptidase (C5aAse) yang dapat menguraikan C5a sehingga tidak terjadi fagositosis (Abbas et al. 1994; Roitt dan Delves 2001). 2.9 Pencegahan Infeksi Neonatal SGB a. Kemoprofilaksis Sebelum era penggunaan antibiotika profilaksis intrapartum awal tahun 1990-an, diperkirakan 8000 kasus infeksi SGB early-onset terjadi di Amerika Serikat terjadi tiap tahun (2 kasus per 1000 kelahiran hidup). Setelah era penggunaan antibiotika profilaksis intrapartum, insidensi sepsis neonatal SGB early-onset menurun hingga 70% (Schuchat et al. 2000; Tumbaga dan Philip 2003). Kemoprofilaksis yang dianjurkan untuk mencegah infeksi SGB adalah ampisilin intravena intrapartum (2 gram inisial, kemudian dilanjutkan 1-2 gram setiap 4-6 jam) atau penisilin G 5 juta unit setiap 6 jam sampai melahirkan (Tunkel dan Scheld 1995). Vellapi et al. (2003) mengusulkan protokol kombinasi
kemoprofilaksis maternal dan neonatal dengan pemberian ampisilin intravena intrapartum 2 gram per 6 jam untuk maternal yang dikombinasikan dengan penisilin G dosis tunggal intramuskular dalam waktu 1 jam setelah lahir untuk semua neonatus yang dilahirkan oleh ibu dengan faktor resiko. Penisilin G diberikan dengan dosis 60.000 U (1 ml) untuk bayi yang cukup bulan dan 30.000 U (0.5 ml) untuk bayi dengan berat lahir < 2 kg. Untuk maternal dengan chorioamnionitis selain ampisilin diberikan juga gentamisin dengan dosis awal 120 mg dilanjutkan 80 mg intravena setiap 8 jam. Klindamisin diberikan untuk wanita yang mempunyai riwayat alergi terhadap antibiotika β-laktam dengan dosis 900 mg intravena setiap 8 jam. Protokol tersebut telah terbukti secara signifikan mengurangi infeksi SGB early-onset. Penggunaan antibiotik profilaksis terhadap ibu hamil resiko tinggi yang diidentifikasi melalui skrining dapat mencegah kira-kira 3300 kasus (47%) penyakit neonatal SGB tiap tahunnya di Amerika Serikat sehingga dapat menghemat biaya kesehatan kira-kira 16 juta dollar. Penggunaan kemoprofilaksis pada ibu hamil resiko tinggi yang diidentifikasi dengan menggunakan kriteria epidemiologi juga efektif dalam mencegah penyakit neonatal SGB (mencegah kira-kira 3200 kasus tiap tahunnya), namun karena kriteria ini tidak memerlukan skrining sehingga dapat menghemat biaya kira-kira 66 juta dollar. Akan tetapi vaksinasi dapat mencegah kira-kira 4100 kasus penyakit neonatal tiap tahunnya sehingga dapat menghemat 131 juta dollar. Dengan demikian skrining prenatal yang universal terhadap SGB dan kemoprofilaksis untuk ibu hamil yang terkolonisasi masih membutuhkan biaya yang sangat besar dibanding vaksinasi (Mohle-Boetani et al. 1993). b. Imunoprofilaksis Suatu
vaksin
yang
efektif
dapat
mengeradikasi
penyakit
SGB,
mengeliminasi resiko resistensi antibiotika dan menurunkan angka kematian bayi serta kelahiran prematur. Di beberapa negara maju dewasa ini penelitianpenelitian tentang vaksin SGB telah dikembangkan dengan pesat. Imunisasi aktif untuk wanita yang akan melahirkan telah diteliti dalam beberapa dekade. Konsep ini dibuat berdasarkan pemikiran tentang adanya antibodi IgG ibu yang dapat
melintas secara transplasental ke janinnya. Namun pemberian vaksin pada infan prematur yang lahir sebelum usia kehamilan 32 minggu, tidak ada manfaatnya karena transfer antibodi maternal sangat terbatas pada usia kehamilan yang masih muda (Schuchat et al. 1996; Cunningham et al. 1997; Tumbaga & Philip 2003). Kapsul polisakarida SGB adalah merupakan target imunitas antibodi. Hal ini desebabkan karena antibodi terhadap kapsul polisakarida sangat protektif dalam mencegah penyakit SGB. Karena kapsul polisakarida SGB terdiri dari beberapa serotipe maka vaksin SGB harus multivalen, termasuk di dalamnya adalah kapsul polisakarida dari serotipe yang dominan pada suatu wilayah. Vaksin yang efektif untuk digunakan di Amerika Serikat telah diteliti berdasarkan serotipe yang dominan adalah serotipe Ia, Ib, II, III dan V (Tumbaga & Philip 2003). 2.10 Pengobatan Penyakit SGB Penisilin G sampai saat ini masih merupakan obat pilihan untuk penyakit SGB. Untuk orang dewasa dengan bakteremia, dosis penisilin G adalah 10-12 juta Unit/hari, sedangkan untuk kasus meningitis 20-30 juta Unit/hari. Untuk neonatus dengan kasus bakteremia dapat diberikan ampisilin dengan dosis inisial 150 mg/kg/hr ditambah aminoglikosida, kemudian diteruskan dengan penisilin G dengan dosis 200.000 unit/kg/hr. Pada kasus tanpa komplikasi bakteremia, terapi diberikan selama 7-10 hari, sedangkan pada kasus dengan bakteremia terapi dilanjutkan sampai 14 hari, namun bila ada komplikasi menigitis terapi diberikan selama 21-28 hari. Pada kasus dengan osteomilitis atau endokarditis, pemberian antibiotika memerlukan waktu 4-6 minggu (Edwards & Baker 1995; Tumbaga & Philip 2003).
III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Laboratorium yang digunakan adalah Lab. Bakteriologi dan Lab. Terpadu FKH-IPB serta Lab. Bioteknologi Hewan dan Biomedis Pusat Riset Bioteknologi-IPB. Tempat pengambilan sampel penelitian di Rumah Sakit Marinir Cilandak Jakarta. Penelitian ini telah berlangsung dari April 2002 hingga Desember 2005. 3.2 Bahan dan Alat Penelitian Bahan penelitian terdiri dari sampel swab vagina dan swab rektum dari ibu hamil yang mengalami komplikasi obstetri. Bahan penunjang lain adalah media perbenihan bakteri berupa media agar darah domba 5% (Merck, Darmstadt, Jerman), Todd-Hewitt Broth (THB) (Gibco, Karlsruhe, Jerman), soft-agar (10 ml Brain Heart Infusion dari Gibco ditambah 0,15% agar) dan Tryptic Soy Agar. Bahan kimiawi yang digunakan antara lain adalah Agarose (Serva, Heiderberg, Jerman), Polyetylen-glycol (PEG) 6000 (Serva), Phosphat buffer saline (PBS), asam hialuronat (Sigma), Bovine Serum Albumin (BSA) (Serva), amonium sulfat (NH4)2SO4, sephadex (Sigma), bufer Tris-HCl 0,1M; SDS 10%, Acrylamide/bis, Amonium persulfat 10%, TEMED, Comassie blue R 250 (Serva, Jerman), molekul marker untuk protein, antimouse IgG Peroxidase Conjugate (Sigma), mouse IgG (Sigma) dan reagen-reagen untuk ELISA. Hewan yang digunakan adalah kelinci lokal, mencit (strain DDY) yang diperoleh dari PT. Biofarma. Bakteri referens SGB (International Referens Strain) yang digunakan untuk membuat antiserum monospesifik: Strain 090 (tipe Ia), R36B (tipe Ib), 18RS21 (tipe II), COH-1 (tipe III), 3139 (tipe IV), SS1169 (tipe V), NT6 (tipe VI), 7271 (tipe VII), JM9-130013 (tipe VIII). Staphylococcus aureus K-39 digunakan untuk uji CAMP. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini selain alat-alat yang biasa digunakan di Laboratorium Mikrobiologi, digunakan juga kolom kromatografi berdiameter 1 cm dengan tinggi 40 cm dan fraction collector, alat elektroforesis, perangkat ELISA, spuit disposible ukuran 1 ml dan jarum suntik nomor 27 serta kandang hewan percobaan.
3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Isolasi dan Identifikasi Bakteri Bakteri diisolasi dari swab vagina dan swab rektum ibu hamil yang mengalami komplikasi obstetri dengan menumbuhkannya pada plate agar darah domba 5%. Identifikasi dilakukan dengan uji CAMP dan uji imunodifusi melalui Agar Gel Presipitation Test (AGPT) (Hayati et al. 2004). 3.3.1.1 Uji Christie, Atkins and Munch Petersen (CAMP) Bakteri yang morfologinya koloninya mirip dengan morfologi koloni SGB yang diperoleh dari hasil isolasi primer dipilih untuk isolasi sekunder. Preidentifikasi terhadap kandidat SGB tersebut dilakukan dengan uji CAMP. Untuk melakukan uji CAMP dibutuhkan agar darah domba 5% (Merck, Darmstadt, jerman). Staphylococcus aureus strain K-39 digoreskan secara vertikal, kemudian tegak lurus dengan goresan ini dibuat goresan dari semua isolat kandidat SGB berjarak kira-kira 3 – 5 mm. Biakan diinkubasi dalam inkubator selama 18 – 24 jam pada suhu 37oC. Bakteri menunjukkan reaksi positif bila adanya hemolisis sempurna berbentuk kepala panah (arrowhead) atau bentuk setengah bulan di daerah zona hemolitik S. aureus. Bakteri-bakteri yang menunjukkan reaksi positif pada uji ini selanjutnya ditentukan serogrupnya dengan mengunakan uji imunodifusi. 3.3.1.2 Penentuan Serogrup a. Ekstraksi Antigen Autoklaf Preparasi antigen dilakukan secara ekstraksi autoklaf. Bakteri ditumbuhkan dalam 50 ml Todd Hewitt Broth (THB) (Gibco, Karlsruhe, Jerman) pada suhu 37oC selama 18 – 24 jam lalu disentrifus 3000 rpm selama 10 menit, pelet yang diperoleh dicuci sebanyak 2 kali dengan 5 cc NaCl 0,14 M. Pelet yang terakhir dilarutkan dengan 0,35 ml NaCl 0,14 M dan dihomogenkan. Suspensi ini kemudian ditetesi dengan indikator phenol red dan dinetralkan dengan menggunakan NaOH 1 N dengan pH netral sehingga suspensi berwarna merah jambu/merah. Suspensi selanjutnya diautoklaf selama 15 menit pada suhu 120oC kemudian disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 3000 rpm dan supernatan
yang dihasilkan digunakan sebagai antigen. Sebelum digunakan antigen tersebut disimpan pada suhu –200C. b. Produksi Antibodi Monospesifik-grup terhadap SGB Bakteri referens dibiakkan dalam 50 ml Todd-Hewitt Broth (THB) selama 18-24 jam pada suhu 370C. Sedimen bakteri yang diperoleh setelah disentrifus 3000 rpm selama 10 menit, disuspensikan ke dalam PBS 5 ml kemudian diagitasi. Hal ini dilakukan 3 kali dan untuk sedimen yang terakhir ditambahkan 5 ml PBS/NaCl fisiologis lalu diagitasi. Untuk melakukan inaktivasi, suspensi ini ditangas dalam waterbath selama 1-2 jam pada suhu 600C. Suspensi ini siap digunakan sebagai vaksin. Minggu pertama hari ke-1, kelinci disuntik secara intravena (vena auricularis) dengan 1 ml vaksin. Pada minggu kedua dan ketiga hari ke-1, 2 dan 3 kelinci diberikan boster masing-masing sebanyak 1 ml. Pada minggu ketiga hari ke-7 dilakukan pengambilan darah dari arteri aurikularis sebanyak 2 ml, masukkan dalam inkubator selama 2 jam kemudian simpan dalam frizer selama satu malam. Cairan bening yang terbentuk dimasukkan dalam tabung baru, lalu kespesifikan antibodi diuji dengan mereaksikan antiserum dengan antigen ekstraksi autoklaf melalui AGPT. Jika belum memberikan reaksi positif maka vaksinasi dilanjutkan pada minggu keempat. Pada hari ke-7 serum diuji kembali, jika hasil uji ini memberikan reaksi positif maka darah kelinci dapat dipanen seluruhnya. c. Uji serogrup melalui Agar Gel Presipitation Test (AGPT) Untuk membuat media agar, ke dalam sebuah erlenmeyer dicampur 0,4 gram agarose (Serva, Heiderberg, Jerman) dan 1,2 gram polyetylen-glycol (PEG 6000, Serva), kemudian dilarutkan dalam 20 ml akuades dan 20 ml phosphat buffer salin (PBS) 0,5 M, pH 7,2. Suspensi ini ditangas pada air mendidih sehingga campuran ini larut secara sempurna. Dengan menggunakan pipet ukur 10 ml agar cair yang sudah suam-suam kuku dituangkan pada 6 buah gelas objek dan ditunggu sampai mengeras. Pada agar ini dibuat sumur-sumur untuk antigen dan anti-sera homolognya dengan menggunakan Gel Puncter. Ke dalam sumur di bagian tengah diisikan anti-sera sedangkan antigen-antigen yang diuji dimasukkan
pada sumur-sumur yang mengelilinginya. Rak yang berisi gelas objek ini kemudian ditaruh pada tempat yang telah diberi alas kertas saring basah untuk menjaga kelembabannya. Reaksi ini dibaca setelah 18 – 48 jam dengan melihat garis presipitasi pada daerah antigen dan anti-sera yang homolog. 3.3.2 Karakterisasi Fenotipe Antigen Kapsul polisakarida Ekspresi fenotipe bakteri diuji dengan melihat pola pertumbuhannya pada media cair dan soft-agar serta melihat sifat hidrofobisitasnya dengan salt agregation test (SAT) (Wibawan dan Laemmler 1991). 3.3.2.1 Pertumbuhan pada Media Cair dan Soft-Agar Untuk melihat pola pertumbuhan bakteri pada media cair, isolat SGB ditumbuhkan dalam medium THB, diinkubasi selama 18 – 24 jam pada suhu 37oC, dan diamati sifat pertumbuhannya tanpa mengocok biakan tersebut. Pola pertumbuhan bakteri dinyatakan keruh apabila supernatan tampak keruh serta jernih bila supernatan tampak jernih dan ada sedimen sel bakteri di bawah tabung dan atau adhesif/menempel pada dinding tabung. Untuk melihat sifat pertumbuhan bakteri pada agar lunak, satu Ose SGB yang telah ditumbuhkan pada THB, diencerkan dalam 10 ml NaCl fisiologis steril. Satu Ose suspensi ini diinokulasikan pada medium soft-agar (10 ml Brain Heart Infusion, Gibco, 0,15% agar) yang telah dihangatkan hingga suam-suam kuku, diagitasi dengan vortex selama 30 detik, diinkubasi 18 – 24 jam pada suhu 37oC. Pertumbuhan koloni dibedakan atas dua tipe yaitu difus dan kompak. 3.3.2.2 Uji Hidrofobisitas dengan SAT. Bakteri ditumbuhkan dalam 10 ml THB selama semalam pada suhu 37oC kemudian disentrifus 3000 rpm selama 10 menit. Pelet yang diperoleh dilarutkan dalam 2 mM PBS pH 6.8 dan kekeruhannya disetarakan dengan BaSO4 transmisi 10% pada panjang gelombang 620 nm sehingga suspensi ini mengandung 109 sel per ml. Amonium sulfat dibuat dalam beberapa konsentrasi yaitu 1.2, 1.6, 2, 2.4, 2.8 dan 3 M. Sebanyak 25 µl suspensi bakteri dicampurkan dengan larutan (NH4)2SO4 sama banyak di atas gelas objek. Reaksi positip ditandai dengan adanya agregasi sel bakteri yang jelas (Wibawan dan Laemmler 1991).
3.3.3 Penentuan Serotipe Antigen Kapsul Polisakarida Penentuan serotipe dilakukan dengan mereaksikan antigen yang dipreparasi secara ekstraksi HCl dengan antisera monospesifik-tipe melalui uji AGPT (Wibawan & Laemmler 1991). a. Antigen Ekstraksi HCl Untuk preparasi antigen ekstraksi HCl, bakteri dibiakkan dalam 50 ml THB selama 18 - 24 jam dalam inkubator pada suhu 370C, disentrifus 3000 rpm selama 10 menit, sedimen ditambah dengan 0,35 ml HCl 0.2 N, dihomogenkan secara sempurna. Suspensi kemudian ditangas dalam penangas air selama 2 jam dengan suhu 520C. Setelah dingin ditetesi indikator dan dinetralkan dengan NaOH 0,1 N kemudian disentrifus 5 menit dengan kecepatan 3000 rpm, sedimen yang diperoleh dibuang dan supernatan diambil sebagai antigen. b. Pembuatan Antisera Monospesifik-tipe Prosedur pembuatan antisera monospesifik-tipe sama dengan pembuatan antisera monospesifik-grup, tetapi untuk ini digunakan 9 bakteri referens international strain 090, R36B, 18RS21, COH-1, 3139, SS1169, NT6, 7271, JM9130013 masing-masing tipe Ia, Ib, II, III, IV, V, VI, VII dan VIII. c. Uji serotipe melalui Agar Gel Presipitation Test (AGPT) Untuk membuat media agar sama dengan uji serogrup. Ke dalam sumur di bagian tengah diisikan anti-sera spesifik-tipe sedangkan antigen-antigen ekstraksi HCl yang akan diuji dimasukkan pada sumur-sumur yang mengelilinginya. Rak yang berisi gelas objek ini kemudian ditaruh pada tempat yang telah diberi alas kertas saring basah untuk menjaga kelembabannya. Reaksi ini dibaca setelah 18 – 48 jam dengan melihat garis presipitasi pada daerah antigen dan anti-sera yang homolog. 3.3.4 Penentuan Hialuronidase 3.3.4.1 Uji Plate Agar- Hyaluronidase Uji Plate Agar- Hyaluronidase dilakukan dengan metode Christ (1989). Untuk membuat media agar, dicampurkan 100 ml BHI dan 1 g Noble-agar (Difco,
Detroit) lalu disterilkan dalam autoklaf. Kemudian ditambahkan 50 mg asam hialuronat (Sodium-salt from human umbilical cord, Sigma, Stockholm) dalam 25 ml air dan 1,25 g bovines serum albumin (BSA, Serva) yang dipreparasi secara steril lalu dimasukkan dalam plate. Bakteri SGB diinkubasikan dalam media ini selama 24 jam pada suhu 370C, Kemudian dialirkan 5 ml asam cuka 2 mol/l. Streptokokus yang positip hialuronidase akan memperlihatkan zona bening disekelilingnya. 3.3.4.2 Isolasi Hialuronidase dalam Supernatan Bakteri SGB ditumbuhkan dalam 50 ml THB yang diencerkan 2 kali, diinkubasi pada suhu 37oC selama 5 jam (nilai absorbansi 0,8 pada λ 650 nm), kemudian suspensi ini diinokulasikan kembali dalam 500 ml THB (mengandung 0,2% asam hialuronat) pada suhu 37oC selama 18 jam. Untuk mengamati fase pertumbuhan bakteri, dilakukan pengamatan dengan λ 650 nm) selama masa inkubasi. Suspensi melihat nilai optical density (λ bakteri ini kemudian disentrifugasi 4000 rpm selama 30 menit pada suhu 40C. Supernatan yang diperoleh digunakan untuk pengujian kadar protein sesuai
dengan
metode
Bradford
(1976)
dan
pengujian
aktivitas
hialuronidasenya pada substrat asam hialuronat metode Bergmeyer (1987). 3.3.4.3 Pengendapan dengan Amonium Sulfat Untuk memperoleh konsentrasi amonium sulfat yang optimum yang dapat mengendapkan protein dengan konsentrasi maksimum maka sebanyak 10 ml supernatan yang mengandung protein enzim ditambahkan dengan berbagai konsentrasi amonium sulfat berdasarkan kejenuhan (40%, 45%, 55%, 65%, 75% dan 85%). Penambahan amonium sulfat dilakukan sedikit demi sedikit dengan magnetic stirer pada suhu dingin. Setelah semua amonium sulfat larut, didiamkan semalam pada suhu 4oC. Endapan yang terbentuk dari hasil sentrigasi 10.000 rpm selama 30 menit pada suhu 4oC, diresuspensi dalam bufer phosfat pH 6,4. Selanjutnya dilakukan pengujian kadar protein dan aktivitas hialuronidase. Konsentrasi amonium sulfat yang menghasilkan konsentrasi protein dan aktivitas hialuronidase tertinggi digunakan sebagai patokan untuk pengendapan selanjutnya.
3.3.4.4 Dialisis Dialisis dilakukan untuk menghilangkan garam yang tersisa pada proses pengendapan dengan amonium sulfat. Kantong dialisis (Sigma) dengan lebar 25 mm dan diameter 16 mm dipotong sepanjang 10 cm dan dicuci dengan air mengalir selama 3-4 jam. Kantong ini selanjutnya dipanaskan selama 30 menit dalam 1 mM EDTA, selanjutnya dilakukan pencucian dengan air bebas ion. Sebanyak 10 ml sampel enzim dimasukkan kedalam kantung dialisis dan diikat dengan benang pada kedua ujungnya. Kantung dimasukkan dalam bufer phosfat pH 6,4 dengan volume 100 kali sampel, diagitasi secara perlahan selama 1 jam pada suhu dingin. 3.3.4.5 Kromatografi Filtrasi Gel Pemurnian
dengan
teknik
kromatografi
filtrasi
gel
dilakukan
berdasarkan pada perbedaan kemampuan dari berbagai molekul protein enzim memasuki pori-pori yang terdapat pada fase diam. Sebanyak 1,7 gram Sephadex G-100 direndam dalam air bebas ion steril dan diaduk secara perlahan selama 30 menit, kemudian didiamkan semalam pada suhu 4oC. Air bebas ion dibuang dan diganti dengan bufer phosfat pH 6,4 sambil diaduk perlahan selama 30 menit kemudian didiamkan selama semalam pada suhu 4oC. Gel dicuci sebanyak tiga kali dengan bufer phosfat pH 6,4 dan didiamkan selama satu jam. Secara perlahan gel dituang ke dalam kolom kromatografi yang berdiameter 1 cm yang telah terisi bufer phosfat hingga mencapai tinggi 40 cm, diusahakan tidak ada gelembung yang terperangkap dalam kolom. Kolom diekuilibrasi dengan mengalirkan bufer phosfat pH 6,4 sebanyak 200 ml selama semalam pada suhu 4oC. Sebanyak 2 ml hialuronidase yang telah melalui proses dialisis dimasukkan dengan pipet ke dalam kolom tepat diatas permukaan gel. Larutan enzim dibiarkan mengalir perlahan sehingga seluruh enzim berada sedikit dibawah permukaan gel. Kolom diisi dengan larutan pengelusi yaitu bufer phosfat pH 6,4 lalu dilakukan fraksinasi dengan volume tiap fraksi adalah 2 ml. Selanjutnya dilakukan pengujian kadar protein dan aktivitas hialuronidase pada setiap fraksinya.
3.3.4.6 Pengukuran Konsentrasi Protein Metode Bradford Konsentrasi protein diukur dengan menggunakan standar protein Bovine Serum
Albumin (BSA) dengan konsentrasi 0,1 hingga 1 mg/ml.
Masing-masing 100 µl konsentrasi BSA ditempatkan pada tabung reaksi dan ditambahkan 5 ml pereaksi Bradford lalu diinkubasi selama 5 menit pada suhu 37oC, kemudian diukur absorbansinya pada λ 595 nm sehingga didapat kurva standar yang merupakan persamaan garis regresi ( y = ax + b, dengan nilai r mendekati satu ) antara nilai absorbansi sebagai ordinat dan konsentrasi protein BSA sebagai absis. Dengan metoda yang sama untuk sampel hialuronidase, yaitu sebanyak 100 µl hialuronidase ditambah 5 ml pereaksi Bradford diinkubasi 37oC selama 5 menit lalu dilihat nilai absorbansinya pada λ 595 nm. Kadar protein hialuronidase didapat dengan memasukkan nilai absorbansi tersebut ke dalam persamaan garis yang telah dibuat. 3.3.4.7 Pengukuran Aktivitas Hialuronidase (Bergmeyer, 1987) Aktivitas hialuronidase diukur berdasarkan perbandingan absorbansi pada panjang gelombang 232 nm dengan asam hialuronat sebagai substrat. Prosedur uji aktivitas hialuronidase adalah: Larutan
Sampel
Standar
Konsentrasi
Buffer phospat
1ml
1,5 ml
37 mmol/liter
Asam hialuronat
0,5 ml
0,5 ml
27,8 mg/liter
Larutan NaCL
0,5 ml
1 ml
45,8 mmol/liter
o
Inkubasi pada suhu 70 C, selama 10 menit Hialuronidase
0,1 ml
0,1 ml
3 U/liter
Inkubasi pada suhu 37 oC, selama 6 jam Perkhlorit acid
0,5 ml
0,5 ml
Sentrifugasi 5000 g, selama 20 menit, selanjutnya dilihat absorbansinya pada λ 232 nm. Absorbansi sampel (A1) dan absorbansi standar (A2) Aktivitas (U/ml) = A1 / A2 x 0,003 U/ml
3.3.4.8 Penentuan Berat Molekul dengan SDS-PAGE (Sodium Dodecyl SulphatePolyacrilamide Gel Electroforesis) Hialuronidase dalam supernatan, hasil pengendapan amonium sulfat, hasil dialisis dan hasil pemurnian dari fraksi yang paling kuat aktivitasnya terhadap asam hialuronat ditentukan berat molekulnya dengan SDS-PAGE metode Laemmli. Gel terdiri dari 12,5% gel pemisah (separating gels) dan 4% gel pengumpul (stacking gels) yang tebalnya 0,75 mm, panjang 5 cm dan lebar 9 cm. Bahan-bahan yang digunakan adalah: No
Bahan
Gel Pemisah 12,5 %
Gel Pengumpul 4 %
1
Lar.stock acrilamid
6,25 ml
0,83 ml
2
Akuades
4,4 ml
3,4 ml
3
Bufer gel pemisah (8,8)
4,1 ml
-
4
Bufer gel pengumpul
-
0,45 ml
(6,8) 5
SDS 10%
0,15 ml
0,05 ml
6
APS 10%
100 µl
50 µl
7
Temed
25 µl
15 µl
15,025 ml
4,795 ml
Jumlah
Dua lempeng kaca yang merupakan cetakan gel dari alat elektroforesis (Pharmacia, Biotech) dihimpitkan dan diantaranya diletakkan spacer (pemisah) pada bagian tepi cetakan. Gel pemisah dimasukkan (kurang lebih 4 ml atau 1 cm dibawah sisir) ke dalam kaca yang telah dipasang sebelumnya. Setelah gel pemisah membeku, gel pengumpul dimasukkan dengan bantuan sisir (comb) untuk membuat sumur-sumur tempat memasukkan contoh protein terlarut yang akan dipisahkan. Setelah gel pengumpul membeku, sisir diangkat. Sampel sebanyak 15 µl ditambahkan buffer sampel 10 µl lalu dididihkan selama satu menit sebelum diinjeksikan kedalam sumur. Marker yang digunakan adalah High Molecular Weight. Elektroforesis dijalankan dengan arus 20 mA dan voltage 50 volt. Elektroforesis dihentikan bila pewarna sampel mencapai batas 0,3 – 0,5 cm di bagian bawah gel. Setelah elektroforesis selesai, gel dilepas dan diwarnai dengan larutan biru komasi (Comassie blue R 250, Serva Germany). Pewarnaan dilakukan
selama dua jam, setelah itu gel dipucatkan dengan larutan pencuci (destainning) selama semalam sambil digoyang-goyang sampai timbul pita-pita protein. Setelah pita protein timbul, gel difiksasi dengan larutan fiksasi. Pengukuran berat molekul hialuronidase didasarkan pada kurva standar yang diperoleh dari persamaan garis antara berat molekul protein standar dengan nilai mobilitas relatif (Rf). 3.3.5 Uji Patogenisitas Uji patogenisitas dilakukan dengan pendekatan model septikemia earlyonset pada mencit neonatus yang dilakukan oleh Rodewald et al. (1992). a. Preparasi Inokulum Setiap strain bakteri diinokulasi dalam 50 ml Todd-Hewitt broth pada suhu 370C selama semalam, kemudian disentrifus 3000 rpm selama 10 menit dan dicuci 2 kali dengan PBS. Pelet terakhir diresuspensi dalam PBS dan dikalibrasi hingga setara dengan Mc. Farlan 0.5. Suspensi ini kemudian diencerkan secara bertingkat hingga sebanyak 5 kali hingga setara dengan 104 bakteri/ml. b. Penyuntikan bakteri SGB Mencit neonatus strain DDY (dari P.T. Biofarma) usia 0-48 jam diinfeksikan dengan SGB secara intraperitoneal. Pengamatan terhadap kematian akibat infeksi early-onset dilakukan hingga 48 jam kemudian. Pengamatan terhadap infeksi lateonset dilakukan 48 jam hingga 2 minggu kemudian. Mencit dibagi menjadi 10 kelompok sesuai dengan strain bakteri yang berjumlah 10 strain. Satu kelompok mencit terdiri dari 5 ekor neonatus dan diberikan injeksi suspensi bakteri sebanyak 0,1 ml suspensi bakteri yang mengandung 104 bakteri/ml. Kelompok kontrol diberikan injeksi PBS 0,1 ml (Rodewald et al. 1992; Mancuso et al. 1994). c. Kultur Darah Untuk membuktikan adanya septikemia, setiap strain bakteri diinfeksikan secara intraperitoneal pada mencit neonatus dengan dosis sama seperti di atas. Empat – 8 jam pascainfeksi darah mencit neonatus diambil dengan cara punksi percutaneous cardiac dengan jarum berukuran 27. Darah yang diperoleh dimasukkan dalam larutan tryptic soy agar yang masih hangat-hangat kuku (460C)
dalam plate steril lalu dicampur sambil memutar-mutar plate. Koloni yang representatif dikonfirmasi dengan uji CAMP. 3.3.6 Uji Sensitivitas Antibiotika Uji sensitivitas terhadap antibiotika dilakukan dengan metode difusi cakram Kirby Bauer menggunakan kertas cakram yang mengandung bacitracin (10 IU), erytromycin (15 µg), gentamicin (10 µg), penicillin (10 IU), Ampicillin (10 µg), chloramphenicol (30 µg), vancomycin (30 µg) dan tetracycline (30 µg) (BectonDickinson, Heidelberg, Germany). Bakteri dari medium agar darah domba diambil dengan ose dan dimasukkan dalam larutan NaCl fisiologis kemudian disetarakan dengan larutan barium sulfat (BaSO4) 0.5 Mc. Farlan atau dengan menggunakan spektrofotometri bernilai 0.08-0.10 pada A625. Kapas lidi dimasukkan ke dalam suspensi bakteri tersebut dan diputar 2 kali pada dinding tabung kemudian diulas pada permukaan agar Muller Hinton (mengandung darah domba 5%) hingga merata lalu diamkan 3-5 menit. Cakram antibiotika diletakkan secara aseptik di atas ulasan bakteri dengan jarak antar cakram kira-kira 24 mm (tidak lebih dari 5 cakram pada plate yang berukuran 100 mm) Cakram sedikit ditekan supaya menempel pada media dan tidak mudah bergerak. Media diinkubasi dengan selama 16-18 jam pada suhu 37oC. Kepekaan bakteri terhadap antibiotika dievaluasi dengan mengukur diameter hambatan pertumbuhan (satuan mm) dengan sliding caliper Hasil yang diperoleh diinterpretasi peka, intermediate atau resisten sesuai rekomendasi NCCLS. 3.3.7 Uji Imunogenisitas a. Preparasi Vaksin Tiap-tiap isolat SGB diinokulasi dalam 50 ml THB pada suhu 370C selama semalam lalu disentrifus 10 menit, 3000 rpm. Pelet yang diperoleh dicuci 2 kali dengan PBS. Pelet yang terakhir diresuspensikan dalam PBS dan konsentrasi bakteri dikalibrasi dengan larutan barium sulfat (BaSO4) yang telah ditentukan dengan spektrofotometrik pada panjang gelombang 620 nm, transmisi 10% sehingga jumlah bakteri setara dengan 109 bakteri/ml. Suspensi bakteri ini diinaktifkan dengan pemanasan 520C selama 1 jam.
b. Vaksinasi Vaksinasi mencit betina bunting dengan vaksin bakteri SGB yang dilemahkan dengan pemanasan dilakukan secara intraperitoneal dengan dosis vaksin adalah 0,5 ml. c. Preparasi Serum Darah diambil pada hari ke-1, ke-3 dan ke-5 pascavaksinasi melalui sayatan kecil di ekor lalu dimasukkan dalam tabung ependorf steril dan disentrifus 5000 rpm selama 10 menit. Serum yang terbentuk dipindahkan dalam tabung yang baru dan disimpan pada suhu −200C. Pengukuran titer antibodi IgG dilakukan dengan metode ELISA. d. ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) Uji ELISA dilakukan dengan modifikasi metode yang telah dilakukan oleh Paoletti dan Kasper (2002). Mikrotiter pelat dilapisi dengan vaksin SGB yang telah dilemahkan masing-masing 100 µl per sumur dalam bufer karbonatbikarbonat. Pelat diinkubasi semalam pada suhu 40C. Pelat dicuci 4 kali dengan larutan pencuci (0.05% PBS-Tween 20). Kemudian ditambahkan larutan penghambat (5% susu skim dalam 0,1% PBS-Tween 20) sebanyak 300 µl per sumur, inkubasi selama 2 jam pada suhu 370C. Pelat dicuci 4 kali dengan larutan pencuci. Sampel serum diencerkan 1:100, sedangkan standar mouse IgG diencerkan secara bertingkat sebanyak 6 kali yaitu 1:100, 1:200, 1:400, 1:800, 1:1600 dan 1:3200 kemudian dimasukkan masing-masing sebanyak 100 µl per sumur lalu diinkubasi selama 1 jam pada suhu 370C. Pelat dicuci kembali dengan larutan pencuci. Kemudian ke dalam masing-masing sumur dimasukkan 100 µl anti-mouse IgG peroxidase conjugate dengan pengenceran 1:1000, inkubasi kembali selama 1 jam pada suhu 370C. Pelat dicuci 4 kali dengan larutan pencuci. Substrat TMB dalam bufer phosphate citrate dimasukkan 100 µl ke dalam masing-masing sumur. Pelat diinkubasi dalam tempat gelap pada suhu ruang selama 20 menit. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 25 µl H2SO4 2M, kemudian pelat dibaca pada 450 nm dengan menggunakan ELISA reader.
e. Pengukuran Konsentrasi Imunoglobulin G Konsentrasi IgG diukur dengan menggunakan standar IgG mouse (Sigma) dengan konsentrasi awal 1 mg/ml. Kurva standar didapat dari persamaan garis regresi (y = ax + b, dengan nilai r mendekati satu) antara nilai absorbansi yang diperoleh sebagai ordinat dan konsentrasi IgG standar sebagai absis. Konsentrasi IgG sampel didapat dengan memasukkan nilai absorbansinya ke dalam persamaan garis yang didapat. 3.3.8 Analisis Data Karakterisasi faktor-faktor virulensi, uji sensitivitas antibiotika dan uji patogenisitas dianalisis secara diskriptif, sedangkan uji imunogenisitas dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji anova yang dilanjutkan dengan uji Duncan (Gomez & Gomez 1995).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi dan Identifikasi SGB Hasil isolasi dan identifikasi SGB dari swab vagina dan swab rektum 38 orang penderita komplikasi obstetri di Rumah Sakit Marinir Cilandak Jakarta berdasarkan uji CAMP (Gambar 1) dan AGPT (Gambar 2) diperoleh 10 isolat SGB dari 10 orang (26,32%) (Tabel 2). Dari hasil penelitian sebelumnya di Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung dan Rumah Sakit Umum Palang Merah Indonesia Bogor, Hayati et al. (2004) dapat mengisolasi bakteri ini pada ibu hamil sehat sebesar 10,09%. Velaphi et al. (2003) melaporkan dari 32 kasus infeksi neonatal SGB earlyonset, 19 kasus (59%) lahir dari ibu yang mengalami komplikasi obstetri, 13 kasus (41%) lahir dari ibu tanpa komplikasi obstetri. Dari 19 kasus komplikasi obstetri tersebut, 79% kasus menderita demam maternal (maternal intrapartum fever), 32% prematur dan 32% lainnya adalah ketuban pecah sebelum waktu/KPSW (premature ruptur of membranes). Sementara itu Tower et al. (1999) melaporkan dari 49 kasus infeksi SGB neonatal early-onset, 9 kasus (18%) lahir prematur (< 37 minggu masa kehamilan), sedangkan 40 kasus lainnya lahir cukup bulan akan tetapi 12 kasus (30%) dilahirkan dengan KPSW atau tempratur ibu > 380C atau kedua-duanya. Tabel 2. Hasil isolasi dan identifikasi SGB dari penderita komplikasi obstetri No Kode Isolat Uji CAMP Serogrouping Asal Isolat dari Penderita 1 SV1 + B Perdarahan Tw. II 2 SV2 + B KPSW 3 SR6 + B Abortus (Mola Hidatidosa) 4 SR7 + B Abortus (Mola Hidatidosa) 5 SV14 + B Perdarahan Tw. I 6 SV17 + B KPSW 7 SR21 + B Abortus Tw. I 8 SR22 + B Perdarahan Tw. I 9 SV24 + B Abortus Tw. II 10 SR30 + B KPSW Keterangan: + = Hasil uji positip; Tw = Triwulan Kehamilan; KPSW = ketuban pecah sebelum waktu
Gambar 1. Reaksi positip uji CAMP ditunjukkan oleh adanya hemolisis sempurna berbentuk kepala panah (arrowhead) sebagai hasil hemolisis yang sinergis antara Staphylococcal β-lysin dari Staphylococcus aureus K-39 (goresan vertikal) dengan faktor CAMP yang dimiliki SGB (goresan horizontal).
Gambar 2. Reaksi positip uji AGPT ditandai dengan adanya garis presipitasi antara sumur antiserum (di tengah) dan sumur antigen yang mengelilinginya.
Pada uji CAMP, koloni SGB ditandai dengan adanya hemolisis yang sinergis berbentuk seperti kepala panah (arrowhead) antara Staphylococcal βlysin atau sfingomielinase dari Staphylococcus aureus K-39 dengan faktor CAMP yang dimiliki SGB pada plate agar darah domba. Faktor CAMP merupakan suatu fosfolipase yang disekresikan SGB yang dapat menyebabkan lisis sempurna dari eritrosit darah yang tersensitisasi (SRBCs). Antigen ini telah diteliti memiliki berat molekul dengan ukuran 25 kDa. Sfingomielinase dari S. aureus menginisiasi sfingomielin membran sel eritrosit menjadi seramida yang membuat eritrosit mudah terlisiskan oleh aktivitas faktor CAMP. Eritrosit mamalia mempengaruhi kinerja
faktor CAMP
secara
berbeda-beda
tergantung dari kandungan
sfingomielin pada membran selnya. Pada darah domba kandungan sfingomielin
sebesar 51% sedangkan pada darah kelinci dan manusia 26% dan 19%, oleh karena itu untuk uji CAMP lebih baik digunakan darah domba (Lang dan Palmer 2003; Ross et al. 1999). Bakteri yang memperlihatkan hasil positip pada uji CAMP dilanjutkan dengan uji serogrup melalui AGPT. Hasil positip uji AGPT memperlihatkan adanya garis presipitasi antara antiserum dan
antigen
homolognya. Bakteri SGB yang diperoleh umumnya memiliki morfologi koloni berbentuk bulat, kecil, berwarna bening atau keputih-putihan dengan zona β-hemolitik (Gambar 3). Pada pewarnaan Gram diperoleh hasil bakteri Gram-positip dengan morfologi bakteri berbentuk kokus dan memiliki rantai pendek yang tersusun dari 2 sel (diplokoki) (Gambar 4). Morfologi bakteri seperti ini berbeda dengan morfologi bakteri SGB yang diisolasi dari mastitis subklinis sapi perah dimana umumnya dijumpai bentuk bakteri kokus yang memiliki rantai panjang. Apabila dikaitkan dengan sifat penyakit mastitis subklinis, bentuk rantai panjang tidak mendukung sifat invasif sehingga manifestasi penyakit selalu dipertahankan pada keadaan subklinis (Wahyuni 2002). Dari 10 isolat SGB yang diperoleh pada penelitian ini, 5 isolat diisolasi dari swab rektum (diberi kode SR) dan 5 isolat lainnya diisolasi dari swab vagina (diberi kode SV). Infeksi SGB early-onset pada neonatus dikaitkan dengan kolonisasi SGB pada urogenital dan anorektal maternal (Vellapi et al. 2003). Traktus gastrointestinal adalah tempat kolonisasi primer. Hal ini didukung oleh angka isolasi yang relatif tinggi pada kultur regio anal dibanding regio genital (Maniatis et al. 1996). Menurut Edwards dan Baker (1995), kolonisasi SGB pada wanita hamil dapat diisolasi dalam traktus genital, traktus urinarius dan traktus gastrointestinal bagian bawah. Oleh karena itu untuk mendapat hasil yang optimal, pengambilan bahan pemeriksaan dianjurkan lebih dari satu tempat antara lain di lower vagina, periuretral dan anorektal. Proses kolonisasi pada rektum dan vagina memegang peran penting dalam perlekatan SGB pada sel epitel. Tahap ini merupakan step awal proses invasi dalam sel epitel. Kondisi fisiologis dari rektum dan vagina mempengaruhi proses tersebut. Proses adhesi meningkat pada keadaan cairan hipotonik (low osmolality), sedangkan pada konsentrasi magnesium dan kalsium fisiologis tidak mempunyai
efek. Jika dibanding dengan pH netral, adhesi meningkat 6-20 kali lipat pada pH 4 yang mana pH vagina normal adalah kurang dari 4,5 (Tamura et al. 1994).
Gambar 3. Morfologi koloni SGB pada plate agar darah domba 5%: koloni berbentuk bulat kecil, bewarna bening dengan zona ß-hemolotik.
Gambar 4. Morfologi bakteri SGB dengan pewarnaan Gram yang diamati dengan mikroskop. Maniatis et al. (1996) meyakinkan bahwa SGB merupakan patogen vagina, hal ini dibuktikannya dengan menjumpai > 10 leukosit / lapang pandang besar (l.p.b) dalam sekresi vagina pada penderita dengan simtomatologi infeksi vagina. Hal ini juga didukung oleh (1) tingginya recovery rate SGB pada kelompok positip leukosit dibanding kelompok negatip leukosit, (2) dari semua spesimen yang terisolasi mikroorganisme, 83% kasus merupakan infeksi tunggal SGB dan
17% lainnya merupakan infeksi campuran SGB baik dengan candida spp., Gardnerella vaginalis atau trichomonas spp. Isolat SV-1, SV-14 dan SV-22 merupakan isolat yang berasal dari penderita yang mengalami perdarahan pada usia kehamilan masing-masing trimester II, I dan I. Isolat SR-21 dan SR-24 adalah isolat yang diisolasi dari penderita abortus masing-masing pada trimester I dan II. Sementara itu isolat SR-6 dan SR-7 diisolasi dari penderita perdarahan pada trimester I namun setelah dikuret diagnosa ditegakkan dengan mola hidatidosa. Tiga isolat lainnya yaitu SV-2, SV17 dan SR-30 diisolasi dari penderita KPSW. Kelahiran prematur dan berat badan lahir rendah (BBLR) berkaitan dengan dijumpainya kolonisasi SGB yang padat (heavy colonization) pada usia kehamilan 23-26 minggu. Sebaliknya kolonisasi ringan (light colonization) mempunyai resiko yang sama dengan ibu yang tidak terkolonisasi. Pemberian antibiotik pada wanita dengan Heavy colonization terbukti efektif melawan SGB dengan menurunnya resiko kelahiran prematur dan BBLR (Regan et al. 1996). Namun McKenzie (1994) melaporkan tidak ada peningkatan kelahiran prematur pada ibu hamil yang positip SGB dalam kultur urine pada usia kehamilan 28 minggu. Wanita yang terkolonisasi pada akhir masa kehamilan akan memberi resiko sepsis neonatal SGB pada anaknya sebanyak 16 per 1000 kelahiran hidup sedangkan pada wanita yang tidak terkolonisasi pada akhir masa kehamilan hanya 0.4 per 1000 kelahiran hidup. Namun wanita yang terkolonisasi pada usia kehamilan 23-26 minggu, memberi resiko sepsis neonatal 2.6 per 1000 kelahiran hidup sedangkan pada wanita yang tidak terkolonisasi pada usia kehamilan tersebut memberi resiko 1.6 per 1000 kelahiran hidup. Dengan demikian kolonisasi SGB yang muncul pada akhir masa kehamilan akan memberi resiko yang tinggi terjadinya sepsis neonatal, sedangkan kolonisasi SGB pada usia kehamilan 23-26 minggu tidak dapat memprediksi terjadinya sepsis neonatal (Regan et al. 1996). 4.2 Karakterisasi Fenotipe Antigen Kapsul Polisakarida Karakterisasi fenotipe antigen kapsul polisakarida SGB isolat dari penderita komplikasi obstetri ditentukan dengan mengamati ekspresi fenotipenya pada
media cair (Gambar 5), soft agar (Gambar 6) dan melihat sifat hidrofobisitasnya dengan salt aggregation test (SAT). Dari 10 isolat SGB yang diperoleh, 90% isolat menunjukkan pola pertumbuhan yang keruh pada media cair, difus pada media soft agar dan bereaksi negatip dengan SAT walaupun pada konsentrasi amonium sulfat yang tinggi (3 M). Sebaliknya 10% isolat lainnya menunjukkan pola pertumbuhan yang jernih pada media cair, kompak pada soft agar dan bereaksi positip dengan SAT namun baru teragregasi dengan amonium sulfat pada konsentrasi 2,6 M (Tabel 3). Tabel 3. Ekspresi Fenotipe SGB dari penderita komplikasi obstetri Kode Isolat
Hasil Uji Media Cair Soft Agar SAT keruh – SV1 difus keruh – SV2 difus keruh – SR6 difus keruh – SR7 difus keruh – SV14 difus keruh – SV17 difus jernih SR21 kompak + (2.6 M) keruh – SR22 difus keruh – Sv24 difus keruh – SR30 difus Keterangan: +, terjadi agregasi amonium sulfat; –, tidak terjadi agregasi amonium sulfat.
Menurut Wibawan dan Laemmler (1990), ekspresi fenotipe berkaitan dengan keberadaan kapsul pada permukaan sel bakteri dimana hal ini berkaitan dengan sifat hidrofobisitas permukaan. Dominasi kapsul pada permukaan bakteri akan memperlihatkan pola pertumbuhan yang keruh pada media cair, difus pada media soft agar dan bersifat hidrofilik sehingga sulit teragregasi dengan amonium sulfat. Pola yang demikian umumnya diperlihatkan oleh SGB yang diisolasi dari manusia.
Sebaliknya
dominasi
protein
pada
permukaan
bakteri
akan
memperlihatkan pola pertumbuhan yang jernih pada media cair, kompak pada soft agar dan bersifat hidrofobik sehingga mudah teragregasi dengan amonium sulfat. Pola yang demikian umumnya diperlihatkan oleh SGB yang diisolasi dari mastitis
subklinis sapi perah dimana kebanyakan dari SGB tersebut memiliki hemaglutinin pada permukaan selnya (Wibawan et al.1993). Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa hampir semua isolat SGB yang diisolasi dari penderita komplikasi obstetri menunjukkan dominasi kapsul pada permukaannya. Hal ini ditunjukkan oleh pola pertumbuhan yang keruh pada media cair, difus pada media soft agar dan negatip SAT. Sifat yang demikian muncul akibat SGB yang berkapsul membentuk susunan sel berantai pendek (diplokoki) dimana muatan negatip polisakarida kapsul bertanggung jawab memberikan sifat tolak menolak antar sel bakteri (Utama 1998). Kapsul bakteri SGB merupakan suatu polimer yang tersusun dari rangkaian polisakarida, ataupun campuran polisakarida dan protein yang menutupi permukaan bakteri. Peran kapsul dalam virulensi bakteri adalah melindungi bakteri terhadap respon inflamatori host (mencegah aktivasi komplemen dan mencegah proses fagositosis) (Salyers dan Whitt 1994). Perannya dalam mencegah fagositosis dapat difahami karena reseptor-reseptor yang terdapat pada permukaan bakteri telah ditutupi oleh kapsul yang tebal sehingga tidak terjadi opsonisasi (Wibawan dan Laemmler 1991). Dalam keadaan tidak adanya antibodi anti kapsul spesifik-tipe, residu asam sialat dari kapsul polisakarida menghambat aktivasi jalur komplemen alternatif, sehingga menghalangi proses fagositosis. Kemampuan fagositosis terhadap SGB oleh sel-sel makrofag terjadi bila adanya opsonisasi serum (Tissi et al. 1998).
Gambar 5. Pola pertumbuhan bakteri SGB pada media cair; jernih dengan endapan di dasar tabung (A) dan keruh (B).
Gambar 6. Pola pertumbuhan bakteri SGB pada media soft agar; bentuk koloni difus (kiri) dan kompak (kanan). Asam sialat kapsul mempunyai afinitas yang tinggi terhadap protein H serum sehingga hal ini dapat mencegah formasi C3 konvertase (C3bBb) pada permukaan bakteri. Dengan demikian tidak terjadi opsonisasi C3b dan bakteri tidak dapat ditelan secara efisien oleh sel-sel fagosit. Beberapa C3b dapat menyebar dan terikat pada permukaan bakteri di bawah kapsul namun C3b tersebut tidak dapat mengadakan kontak dengan reseptor-reseptor fagosit karena tebalnya kapsul. Kurangnya formasi C3bBb berarti kurangnya komplemen C5b yang dihasilkan, dengan demikian tidak terjadi membrane attack complex (MAC)
pada permukaan bakteri (Salyers dan Whitt 1994). Namun demikian, Marodi et al. (2000) melaporkan jumlah total bakteri yang mati setelah mengalami proses ingesti oleh sel granulosit lebih tinggi dibandingkan sel fagosit. Oleh karena itu dianjurkan pemberian rekombinant human granulocyte-macrophage colonystimulating factor (rhGM-CSF) pada neonatus dengan penyakit SGB invasif untuk meningkatkan ketahanan host terhadap bakteri tersebut. Keberadaan antigen protein pada permukaan bakteri SR-21 ditunjukkan oleh pola pertumbuhan yang jernih pada media cair, kompak pada media soft agar dan positip SAT. Hal ini membuktikan bahwa isolat SR-21 memiliki antigen protein yang dominan pada permukaannya sehingga menutupi keberadaan kapsulnya. Sifat pertumbuhan isolat SR-21 mirip dengan sifat pertumbuhan yang ditunjukkan oleh SGB yang diisolasi dari mastitis subklinis sapi perah. Sifat tersebut muncul disebabkan karena SGB asal sapi umumnya tidak berkapsul sehingga mempunyai susunan rantai yang panjang. Peranan protein permukaan yang hidrofobik menyebabkan sel bakteri cenderung bergerombol dan bersifat steric hidrance yaitu sel-selnya saling berikatan dan sulit memisahkan diri. Bentuk rantai panjang ini menyebabkan supernatan pertumbuhannya pada media cair tampak jernih dengan endapan di dasar tabung. Fenomena ini lebih jelas diperlihatkan dengan menggunakan teknik impedansi. Bakteri yang memiliki rantai yang panjang membutuhkan waktu untuk pertumbuhannya kurang lebih 18 jam, sedangkan bakteri berantai pendek hanya membutuhkan waktu kira-kira 8 jam. Hal ini dilakukan oleh SGB yang tidak berkapsul untuk mempertahankan populasinya dan berkaitan dengan manifestasi klinik yang menyebabkan bentuk penyakit yang subklinik. Namun demikian sifat pertumbuhan SGB tidak selalu statis, hal ini disebabkan karena adanya suatu fase varian dalam suatu populasinya dimana sekelompok sel bakteri yang berasal dari satu koloni mengekspresikan fenotipe yang berbeda dengan tetuanya sehingga dijumpai bakteri yang berkapsul dan yang tidak berkapsul (Wibawan dan Laemmler 1991; Utama 1998; Wahyuni 2002). Antigen protein pada permukaan bakteri mempermudah perlekatan bakteri pada permukaan sel epitel host. Winram et al. (1998) mengatakan bahwa ligand bakteri adalah suatu protein, hal ini dibuktikannya dengan melakukan pretreatment terhadap SGB dengan tripsin akan mengurangi proses adhesi pada
sel khorion lebih dari 10 kali lipat. Wibawan et al.(1993) mengatakan bahwa hemaglutinin terlibat secara langsung dalam mekanisme adhesi dari SGB. Menurut Wibawan dan Laemmler (1992) keberadaan komponen protein pada permukaan sel bakteri menyebabkan bakteri mudah digumpalkan dengan amonium sulfat, hal ini menunjukkan bahwa bakteri tersebut bersifat hidrofobik. Prinsip SAT adalah adanya kemampuan larutan amonium sulfat pada tingkat konsentrasi (molar) tertentu untuk mengatur muatan gugus amin dan karboksil protein menjadi sama sehingga tercapai suatu titik isoelektrik dimana protein akan teragregasi dan mengendap. Penambahan garam tertentu akan menyebabkan kelarutan protein dalam larutan menurun sehingga menimbulkan efek salting out (penggaraman). Molekul air yang berikatan dengan ion-ion garam semakin banyak sehingga menimbulkan penarikan selubung air yang mengelilingi permukaan
protein
sehingga
menyebabkan
protein
saling
berinteraksi,
beragregasi dan kemudian mengendap. Kemampuan garam untuk menimbulkan efek salting out protein tergantung daya larut dan kekuatan ionik dari konsentrasi larutan yang digunakan. Semakin rendah konsentrasi amonium sulfat yang dibutuhkan untuk mengagregasi sel bakteri maka semakin banyak kandungan komponen protein pada permukaannya. Sebaliknya apabila kapsul polisakarida yang lebih dominan pada permukaan sel bakteri, maka tidak akan terjadi agregasi bakteri walaupun pada konsentrasi amonium sulfat yang cukup tinggi, hal ini menunjukkan bahwa bakteri tersebut bersifat hidrofilik. 4.3 Penentuan Serotipe Kapsul Polisakarida SGB 4.3.1 Produksi Antiserum Monospesifik-tipe Setelah dilakukan vaksinasi pada kelinci selama 4-5 minggu dengan SGB referensi internasional yang telah diinaktivasi dengan pemanasan maka darah yang mengandung antiserum spesifik-tipe dapat dipanen seluruhnya. Hasil uji antiserum dengan antigen ekstraksi HCl melalui AGPT menunjukkan antiserum Ia tidak saja bereaksi dengan antigen homolognya tetapi juga bereaksi dengan antigen Ib (Tabel 4). Untuk memperoleh antiserum yang bersifat monospesifik-tipe maka antiserum yang bereaksi silang harus dilakukan absorbsi dengan bakteri utuh dari serotipe
heterolognya (Wibawan dan Pasaribu 1993). Reaksi silang antara antiserum dengan antigen heterolog terjadi karena adanya antigen bersama (common antigens) pada permukaan bakteri. Dalam hal ini bakteri SGB tipe Ia juga memiliki determinan antigen Ib pada permukaannya (Wibawan dan Laemmler 1991). Tabel 4. Hasil uji kespesifikan antiserum terhadap tipe SGB sebelum absorbsi Antiserum (kelinci) Ia Ib II III IV V VI VII VIII
Antigen SGB Referensi Ia + -
Ib + + -
II + -
III + -
IV + -
Keterangan: + = reaksi positip, - = reaksi negatip.
V + -
VI + -
VII + -
VIII +
Hasil uji kespesifikan antiserum setelah absorbsi menunjukkan bahwa semua antiserum telah bersifat monospesifik-tipe (Tabel 5). Antiserum poliklonal monospesifik-tipe yang diperoleh setelah melalui proses absorbsi digunakan sebagai bahan identifikasi serotipe antigen kapsul polisakarida SGB yang diisolasi dari swab vagina dan swab rektum penderita komplikasi obstetri (Hayati dan Karmil 2004). Tabel 5. Hasil uji kespesifikan antiserum terhadap tipe SGB setelah absorbsi Antiserum Antigen SGB Referensi (kelinci) Ia Ib II III IV V VI VII VIII Ia + Ib + II + III + IV + V + VI + VII + VIII + Keterangan: + reaksi positip, - reaksi negatip.
4.3.2 Distribusi Serotipe Distribusi serotipe antigen kapsul polisakarida SGB yang diperoleh dari penderita komplikasi obstetri memperlihatkan bahwa serotipe SGB terbanyak adalah serotipe VI berjumlah 4 isolat (40%), kemudian diikuti serotipe VII, III dan VIII masing-masing 3 isolat (30%), 2 isolat (20%) dan 1 isolat (10%) (Gambar 7, Tabel 6) (Hayati 2004).
10%
20%
40%
VI VII III VIII
30%
Gambar 7. Distribusi serotipe SGB yang diisolasi dari penderita komplikasi obstetri
Tabel 6. Distribusi serotipe SGB isolat dari kasus komplikasi obstetri Serotipe Ag Polisakarida Kode Isolat SV1 SV2 SR6 SR7 SV14 SV17 SR21 SR22 SV24 SR30
III III VIII VI VI VI VI VII VII VII
Dari hasil penelitian sebelumnya di RSUP Hasan Sadikin Bandung dan RSU-PMI Bogor, Hayati et al. (2003) melaporkan distribusi serotipe SGB yang
berasal dari ibu hamil sehat adalah tipe VI (27,3%), V (18,2%), IV (9,1%) dan NT (nontypable) (45,%%). Hasil penelitian tersebut berbeda dengan penelitian ini karena pada penelitian tersebut tidak dijumpai adanya serotipe III, VII dan VIII seperti yang dijumpai pada penelitian ini. Sedangkan serotipe IV dan V yang dijumpai pada penelitian tersebut tidak dijumpai pada penelitian ini. Dengan demikian dijumpai adanya perubahan dalam distribusi serotipe. Lin et al. (1998) dan Blumberg et al. (1996) juga melaporkan adanya perubahan serotipe SGB dari waktu ke waktu. Pada awal tahun 1990-an, serotipe V ditemukan sebagai serotipe baru di Amerika Serikat dan negara-negara lain. Di Amerika Serikat dilaporkan bahwa distribusi serotipe SGB yang paling sering muncul adalah serotipe Ia dan III (Lin et al. 1998). Di Jepang serotipe VIII dan VI adalah serotipe yang paling sering muncul (Lachenauer et al. 1999). Menurut Lin et al. (1998) distribusi serotipe dipengaruhi oleh lokasi geografi, oleh karena itu perlu dilakukan serotyping pada suatu wilayah. Vormulasi vaksin multivalen dari kapsul polisakarida yang ditujukan untuk suatu wilayah sangat ditentukan oleh distribusi serotipe di wilayah tersebut. Antigen polisakarida pada permukaan bakteri SGB berdasarkan serologi terdiri dari serotipe Ia, Ib, II, III, IV, V, VI, VII dan VIII. Penentuan serotipe tersebut didasarkan pada komposisi antigen polisakarida spesifik-tipe pada permukaan bakteri yang tersusun dari galaktosa, glukosa, N-asetil glukosamin dan asam N-asetilneuraminik (sialic acid = asam sialat). Perbedaan masingmasing serotipe terletak pada rantai tulang punggung dan ikatan rantai antar cabang gugus polisakarida serta ketebalan kandungan asam sialatnya (Tissi et al. 1998). 4.4 Penentuan Hialuronidase 4.4.1 Uji Plate Agar-Hyaluronidase Dari 10 isolat SGB yang diskrining dengan uji plate agar-hyaluronidase semuanya menunjukkan reaksi positip dengan adanya zona bening disekitar pertumbuhan bakteri (Gambar 8). Hal ini menunjukkan bahwa semua isolat SGB memperlihatkan adanya aktivitas hialuronidase sebagai enzim ekstraselulernya. Hal serupa juga dilaporkan oleh Crist (1989) dimana dari 5 isolat SGB yang diuji
plate agar-hyaluronidase semuanya menunjukkan reaksi positip, sedangkan Granlund et al. (1997) melaporkan 19 dari 22 isolat SGB dari kolonisasi vagina dan 5 dari 13 isolat endokarditis memperlihatkan produksi hialuronidase pada uji plate.
Gambar 8. Uji Plate Agar-Hyaluronidase. Reaksi positip ditunjukkan dengan adanya zona bening disekitar pertumbuhan bakteri (2 dan 3). 4.4.2 Purifikasi Hialuronidase Dari hasil skrining di atas, diambil satu isolat SGB yaitu isolat SV-14 untuk dilakukan purifikasi. Hasil purifikasi tersebut kemudian dilakukan penentuan kadar protein, pengujian aktivitas dan karakterisasi hialuronidase. Penentuan Kadar Protein dan Aktivitas Hialuronidase Hasil penentuan kadar protein dan aktivitas hialuronidase SGB SV-14 dapat dilihat pada tabel 7 di bawah. Tabel 7. Hasil Uji Kadar Protein dan Aktivitas Spesifik Hialuronidase Tahap Volume Total Konsentrasi Total Aktivitas pemurnian (ml) protein Protein Aktivitas spesifik (mg) (mg/ml) (Unit/ml) (Unit/mg) Ekstrak Kasar
100
506
5.06
0.600
0.0012
(NH4)2SO4 45%
5
31.10
6.22
0.391
0.0126
Dialisa
5
29.38
5.88
0.366
0.0125
Filtrasi Gel
1
2.30
2.30
0.074
0.0322
Dari tabel 7 di atas dapat dilihat bahwa konsentrasi protein dalam supernatan perbenihan SGB SV-14 dengan menggunakan metode Bradford adalah sebesar 5.06 mg/ml, sedangkan aktivitas spesifiknya menggunakan metode Bergmeyer (1987) adalah sebesar 0.0012 U/mg. Sementara itu Afifi et al. (1993) melaporkan bahwa konsentrasi protein dalam serum manusia sebelum mengalami purifikasi adalah sebesar 86 mg/ml, sedangkan aktivitas spesifik hialuronidasenya adalah sebesar 0.009 U/mg. Hasil
optimisasi
konsentrasi
amonium
sulfat
diperoleh
aktivitas
hialuronidase SGB tertinggi dicapai pada pengendapan dengan amonium sulfat konsentrasi 45%. Hasil uji konsentrasi protein pada konsentrasi amonium sulfat 45% adalah sebesar 6.22 mg/ml dengan aktivitas spesifik hialuronidase yaitu sebesar 0.0126 U/mg. Sementara itu setelah mengalami proses dialisis, konsentrasi protein adalah sebesar 5.88 mg/ml dengan aktivitas spesifik hialuronidase 0.0125 U/mg. Proses dialisis dilakukan untuk menghilangkan molekul garam amonium sulfat dan ion-ion pengganggu lainnya yang berpengaruh terhadap kestabilan molekul protein enzim. Hasil uji aktivitas spesifik hialuronidase SGB SV-14 dengan kromatografi filtrasi gel dalam sephadex G-100 tertinggi dijumpai pada fraksi ke-5 yaitu sebesar 0.032 U/mg dengan konsentrasi protein total sebesar 2.3 mg/ml. Konsentrasi protein dalam serum manusia setelah mengalami purifikasi tahap pertama dalam DEAE-cellulose adalah sebesar 5.20 mg/ml dengan aktivitas spesifik hialuronidase 0.059 U/mg, namun setelah mengalami purifikasi tahap ke dua dalam FPLC-Superose-12 aktivitas spesifik meningkat menjadi 53 U/mg (Afifi et al. 1993). Hialuronidase dapat dikelompokkan menjadi 3 katagori berdasarkan organisme
penghasilnya
yaitu:
(1)
tipe
testikuler
(hyaluronate-4-
glycanohydrolases), (2) hyaluronate-3-glycanohydrolases dari lintah, cacing dan ular, (3) hialuronidase bakterial (hyaluronat lyase). Hialuronidase tipe testikular selain dihasilkan di testis juga dihasilkan di hati, paru, ginjal, placenta, otak dan kulit. Hyaluronat lyase diproduksi oleh beberapa jenis mikroorganisme gram positip seperti Streptococcus grup A, B, C, G dan L serta Streptokokus sanguis, stafilokokus, clostridium, propionibakterium dan streptomyces. Enzim tersebut
dikaitkan dengan virulensi bakteri karena memotong komponen utama matriks ekstraseluler jaringan tubuh yaitu asam hialuronat (hialuronan), menghasilkan dimer N-asetilglukosamin dan asam glukuronat. Saat ini gen-gen hialuronidase dari beberapa organisme tersebut telah disekuen (Pritchard dan Lin 1993; Afifi et al. 1993; Pritchard et al. 1994; Hynes et al. 2000; Kudo dan Tu 2001). Hialuronidase bakteri berbeda dengan hialuronidase bisa ular dan testikular sapi. Kebanyakan hialuronidase bakteri kecuali streptomyces, menghasilkakn disakarida sebagai produk akhir hidrolisis hialuronan. Hialuronidase dari bisa ular dan testikular sapi menghasilkan produk campuran heksa- dan tetrasakarida sebagai produk hidrolisisnya. Selain itu hialuronidase bisa ular kurang aktivitas exo-glycosidasenya karena enzim ini gagal menghidolisa p-nitrophenyl-β-Dglucuronide dan p-nitrophenyl-N-acetyl-β-D-glucosamide. Hialuronidase bisa ular dan hialuronidase testikular sapi selain mempunyai persamaan dalam hal produk akhir hidrolisis, mempunyai perbedaan yang menyolok dalam hal spesifisitas substrat. Hialuronidase sapi selain menghidrolisis hialuronan juga menghidrolisis kondroitin, kondroitin sulfat A, C, D dan E. Hialuronidase bisa ular hanya spesifik terhadap hialuronan (Kudo dan Tu 2001). 4.4.3 Penentuan Berat Molekul Hialuronidase SGB Hasil penentuan berat molekul hialuronidase SGB SV-14 dengan SDSPAGE dapat dilihat pada Gambar 9. 1
2
3
4
5
Marker (kD) 200
116 97.4 66 45 Gambar 9. Hasil SDS-PAGE Hialuronidase SGB. Fraksi ke 5 pemurnian Sephadex G-100 (1), hyaluronat lyase standar (2), hyaluronidase pada supernatan (3), pengendapan 45% (NH4)2SO4 (4), dialisa (5).
Dari Gambar 9 di atas dapat dilihat bahwa sumur 1 yang merupakan hasil SDS-PAGE hialuronidase yang telah dipurifikasi dengan kromatografi filtrasi gel dalam Sephadex G-100 menujukkan adanya dua pita dengan berat molekul sekitar 100 kD. Pita-pita tersebut salah satunya diperkirakan merupakan pita hialuronidase SGB, hal ini ditandai dengan tingginya aktivitas hialuronidase pada fraksi tersebut. Enzim standar hyaluronat lyase (sumur 2) menunjukkan satu pita dengan berat molekul yaitu sekitar 100 kD. Sumur 3 yang merupakan protein dalam supernatan menunjukkan adanya pita-pita protein yang berukuran besar (97,4 – 200 kD). Menurut Pritchard et al. (1994) hialuronidase SGB memiliki ukuran berat molekul sekitar 100 kD, dengan demikian diperkirakan pita-pita yang muncul salah satunya adalah pita dari hialuronidase. Streptokokus grup B strain 3502 dengan serotipe III menghasilkan hialuronidase dalam kadar yang tinggi dalam medium minimal dan tumbuh pada fase mid-log dimana material yang memiliki berat molekul tinggi dikeluarkan dalam medium kultur yang diperoleh dengan ultrafiltrasi. Hasil PAGE enzim tersebut yang dimurnikan dengan afinitas kromatografi pada kolum yang didesain khusus mengandung N(p-aminophenyl) oxamic acid yang terikat pada agarose menunjukkan pita yang jelas pada 100 kDa. Pita tersebut diperkirakan adalah pita hialuronidase (Pritchard dan Lin 1993) 4.5 Uji Patogenisitas SGB Infeksi Streptokokus Grup B dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu infeksi dengan onset dini (early-onset) dan infeksi dengan onset lambat (lateonset). Pada manusia, infeksi early-onset terjadi pada usia < 7 hari, umumnya terjadi pada hari pertama kelahiran sedangkan infeksi late-onset terjadi 1 minggu hingga 2-3 bulan setelah kelahiran. Infeksi pada mencit yang berusia 0-48 jam dapat menjadi simulasi infeksi early-onset pada manusia (Rodewald et al. 1992). Menurut Schuchat (1996), 80% Infeksi SGB terjadi dalam bentuk early-onset dan 6% dari infeksi tersebut menyebabkan kematian. Pada penelitian ini kematian akibat infeksi early-onset lebih banyak terjadi dibandingkan dengan late-onset (Tabel 8). Infeksi early-onset akibat SGB menjadi penyebab utama kematian pada
bayi baru lahir dan lebih dari 6000 kasus infeksi ini terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya (Benitz et al 1999). Tabel 8. Hasil uji patogenisitas SGB isolat dari penderita komplikasi obstetri pada mencit neonatal Kelompok Jumlah Kematian/Jumlah Perlakuan Perlakuan Infeksi EarlyInfeksi LateSurvive onset onset SV-1 4/5 0/5 1/5 SV-2 0/5 0/5 5/5 SR-6 0/5 2/5 3/5 SR-7 0/5 0/5 5/5 SV-14 4/5 0/5 1/5 SV-17 3/5 0/5 2/5 SR-21 3/5 0/5 2/5 SR-22 4/5 1/5 0/5 SV-24 2/5 1/5 2/5 SR-30 0/5 1/5 4/5 Kontrol 0/5 0/5 5/5 Dari tabel 8 di atas terlihat bahwa isolat SR-7 dapat menimbulkan kematian mencit neonatal 100% dalam bentuk infeksi early-onset. Sebaliknya isolat SV-2 tidak menimbulkan kematian pada mencit neonatal baik dalam bentuk early-onset maupun late-onset, demikian pula dengan kelompok kontrol. Hasil ini menunjukkan bahwa isolat SR-7 adalah isolat yang paling patogenik sedangkan SV-2 adalah sebaliknya. Dari hasil penentuan serotipe didapat bahwa isolat SR-7 adalah isolat dengan serotipe VI sedangkan isolat SV-2 adalah serotipe III. Di Amerika Serikat SGB serotipe III adalah serotipe yang paling sering terisolasi dari infeksi late-onset (Lin et al. 1998). Kematian mencit pada selang waktu 0-48 jam diakibatkan oleh infeksi early-onset. Mencit yang mengalami kematian menunjukkan gejala klinis seperti kurang nafsu minum, lemah, pucat, terjadi penggembungan di bagian perut yang disertai perut berwarna hitam (Gambar 10). Hal ini diduga disebabkan oleh septikemia. Septikemia merupakan suatu kondisi sepsis berat dengan adanya agen penginfeksi di dalam darah yang dikonfirmasi dengan kultur (Young 1995). Kasus infeksi SGB early-onset yang sering dijumpai ialah pneumonia (35-55%) dan septikemia (25-40%), sedangkan meningitis jarang terjadi (4-6%). Kasus
meningitis lebih sering dijumpai pada infeksi SGB late-onset (Tumbaga dan Philip 2003). Infeksi SGB pada fetus terjadi akibat adanya inokulasi bakteri SGB dalam cairan amnion menuju jalur asenden sehingga bakteri masuk dalam kantong amnion dan menimbulkan aspirasi in utero atau melalui aspirasi cairan vagina pada saat melewati jalan lahir. Hal ini mengawali terjadinya pneumonia, bakteri masuk dalam sel epitel dan sel endotel paru fetus. Tahap berikutnya bakteri masuk dalam aliran darah dan menghasilkan infeksi sistemik (Rubens et al. 1992; Tamura et al. 1994).
Gambar 10. Mencit neonatal yang mengalami kematian akibat septikemia. Mencit neoanatal yang diinfeksi isolat SR7.
Gambar 11. Mencit neonatal yang sehat Kematian yang terjadi setelah 48 jam dikategorikan sebagai infeksi lateonset. Pada penelitian ini infeksi late-onset ditandai dengan gejala klinis yang
hampir sama dengan infeksi early-onset, yaitu kurang nafsu minum, lemah dan pucat. Namun dari 5 ekor mencit neonatus yang mengalami infeksi late-onset dijumpai 1 ekor hewan yang mengalami kekerdilan yang akhirnya mengalami kematian (Gambar 12). Hal ini diduga disebabkan oleh adanya infeksi meningeal yang mengakibatkan meningitis, akibatnya suplai darah dan oksigen ke otak menjadi berkurang sehingga menimbulkan hambatan pertumbuhan dan terjadi kekerdilan. Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa infeksi late-onset paling banyak disebabkan oleh isolat SR-6 (40%), dimana dari penentuan serotipe isolat SR-6 adalah SGB serotipe VIII. Streptokokus grup B serotipe VIII adalah serotipe yang paling banyak dijumpai pada wanita hamil sehat di Jepang (Lachenauer et al. 1999).
Gambar 12. Perbandingan mencit yang mengalami kekerdilan (D) dengan mencit normal (A, B, dan C) pada usia yang sama (10 hari) Meningitis disebabkan karena adanya invasi bakteri ke dalam sel endotelial mikrovaskular otak (brain microvascular endothelial cells/BMEC) yaitu suatu lapisan sel tunggal yang mendasari sawar darah otak (blood-brain barrier). Hal ini dibuktikannya dengan menemukan SGB intraseluler dalam vakuola yang terikat membran setelah melakukan uji in vitro dengan menginkubasi bakteri pada sel monolayer BMEC manusia. Invasi SGB ke dalam BMEC mungkin merupakan step awal dalam patogenesis meningitis sehingga bakteri masuk ke dalam sistem saraf pusat (CNS) baik dengan cara transcytosis atau dengan injuri dan disrupsi endotel sawar darah otak. Streptokokus Grup B strain tipe III COH1 (wild-type
strain) kurang efisien dalam menginvasi sel BMEC dibanding strain COH1-13 yang merupakan isogenic transposon mutant dari COH1 yang mengalami defisiensi produksi kapsul polisakarida. Hal ini mengindikasikan bahwa kapsul polisakarida SGB mengurangi kemampuan invasi bakteri dalam sel BMEC (Nizet et al.1997). Gibson et al. (1993) juga membuktikan bahwa kapsul polisakarida tipe III dari SGB mengurangi kemampuan invasi bakteri dalam sel HUVE (human umbilical vein endothelial). Sementara itu Tamura et al. (1994) juga membuktikan bahwa sifat adhesi COH 1-13 sedikit lebih tinggi dibandingkan COH1. Dengan demikian kapsul polisakarida tidak begitu penting dalam proses adhesi pada sel epitel. Hal ini mungkin disebabkan karena berkurangnya interaksi antara reseptor adhesin dengan kapsul polisakarida atau penurunan interaksi antara residu asam sialat kapsul dengan permukaan sel epitel. Namun walaupun COH1-13 memperlihatkan peningkatan adhesi dan invasi pada sel epitel, strain tersebut juga memperlihatkan adanya penurunan virulensi. Hal ini mengindikasikan bahwa ada step lain dalam patogenesis penyakit SGB dimana kapsul memegang peran penting dalam virulensi. Reisolasi SGB dari Darah. Bakteri SGB dapat diisolasi kembali dalam darah setelah empat jam inokulasi secara intraperitoneal pada mencit neonatus. Sebaliknya pada kelompok kontrol, bakteri SGB tidak terisolasi. Kultur darah dilakukan untuk mendiagnosa adanya septikemia pada hewan percobaan. Adanya SGB dalam darah 4 jam setelah infeksi menunjukkan SGB mampu menyebar di dalam tubuh secara cepat. Berdasarkan uji histopatologi, sejumlah bakteri SGB dapat ditemukan di otak, otot dan sejumlah organ (Rodewald et al. 1992), serta dalam vakuola pembuluh darah (Nizet et al. 1997). Adanya SGB pada jaringan disebabkan kemampuan SGB menginvasi pembuluh darah. Streptokokus Grup B dapat memasuki pembuluh darah mikro pada sel endotel otak. Invasi bakteri SGB dalam sel BMEC dibuktikan oleh adanya injuri sel, sitotoksisitas ini dikaitkan dengan produksi β-hemolisin bakteri yang dapat melisiskan sel darah merah, akibatnya SGB mampu menyerang sistem saraf pusat (Nizet et al. 1997).
4.6 Uji Sensitivitas Antibiotika Hasil uji sensitivitas SGB isolat dari penderita komplikasi obstetri terhadap beberapa jenis antibiotika dengan metode difusi cakram Kirby Bauer (Gambar 13) menunjukkan bahwa semua isolat SGB yang di uji masih sensitif terhadap penisilin dan ampisilin. Sebaliknya semua isolat yang diuji telah resisten terhadap gentamisin, 90% isolat telah resisten terhadap tetrasiklin dan tidak ada isolat yang sensitif terhadap basitrasin (Tabel 9). Diameter zona interpretasi dirujuk berdasarkan NCCLS vol. 17 no. 1 tahun 1997. Tabel 9. Hasil uji kepekaan isolat terhadap berbagai antibiotika Jenis Antibiotika
Ampicilin (10 µg) Penicillin (10 IU) Chloramphenicol (30 µg) Tetracycline 30 µg) Erythromysin (15 µg) Vancomysin (30 µg) Bacitrasin (10 IU) Gentamisin (10 µg)
Sebaran Kepekaan Isolat terhadap Antibiotika (%) Intermediate Resisten Peka 100 100 20 10 40 60 0 0
0 0 20 0 0 30 0
0 0 60 90 60 40 70 100
Wibawan et al. (1991) melaporkan bakteri SGB 100% sensitif terhadap penisilin, sedangkan terhadap basitrasin (10 IU), cefoxitin, klindamisin, eritromisin dan tetrasiklin telah resisten masing-masing sebanyak 52%, 21%, 38%, 3% dan 65%. Pada penelitian tersebut juga didapatkan bahwa bakteri ini telah resisten 100% terhadap gentamisin. Semua strain yang memperlihatkan resistensi terhadap eritromisin ternyata juga resisten terhadap klindamisin. Trivalle et al. (1998) melaporkan 100% isolat SGB asal penderita bakteremia sensitif terhadap penisilin G dan ampisilin. Andrews et al. (2000) juga melaporkan 100% isolat SGB yang diperoleh dari darah di area geografi yang luas di Amerika Serikat masih sensitif terhadap penisilin. Sementara itu Rafael et al (2005) melaporkan 100% isolat SGB baik yang diisolasi dari sapi maupun dari manusia telah resisten terhadap tetrasiklin.
Gambar 13. Hasil uji sensitivitas antibiotika dengan metode difusi cakram Kirby Bauer Peningkatan resistensi terhadap eritromisin dan klindamisin telah dilaporkan oleh Fluegge et al. (2004). Betriu et al. (2003) juga melaporkan strain SGB resisten eritromisin dan klindamisin meningkat masing-masing dari 4.2% dan 0.8% pada tahun 1993 menjadi 17.4% dan 12.1% pada tahun 2001. Andrews et al. 2000 melaporkan strain SGB resisten eritromisin dan klindamisin yang dijumpai di Amerika Serikat dan Kanada umumnya adalah strain serotipe V, sedangkan Young et al (2004) melaporkan serotipe terbanyak berkaitan dengan SGB resisten eritromisin adalah serotipe V 43.6% dan serotipe III 42.3%. Keberhasilan pemberian IAP sangat ditentukan oleh waktu pemberian. Pemberian ampisilin 1 jam sebelum melahirkan akan memberi resiko transmisi SGB pada bayi sebesar 46%, pemberian 1-2 jam sebelum melahirkan memberi resiko 29%, pemberian 2-4 jam memberi resiko 2,9% sedangkan pemberian lebih dari 4 jam sebelum melahirkan hanya memberi resiko 1,2 % (Tumbaga dan Philip 2003). Dari CDC web site (2002) dikatakan bahwa pasien-pasien yang alergi terhadap penisilin, dapat dianjurkan untuk diberikan antibiotika golongan cefalosporin yaitu cefazolin. Namun pasien-pasien yang alergi berat terhadap penisilin biasanya juga alergi terhadap cefalosporin, untuk pasien-pasien tersebut dianjurkan pemberian antibiotika golongan mikrolide yaitu eritromisin atau
klindamisin. Bila kedua antibiotika tersebut telah mengalami resistensi maka dapat diberikan vankomisin. Walaupun dapat mencegah penyakit SGB
neonatal, kemopfilaksis
intrapartum tidak dapat digunakan secara luas. Demam intrapartum maternal adalah
faktor
resiko
yang
paling
sering
dikaitkan
dengan
kegagalan
kemoprofilaksis (Vellapi et al. 2003). Sulitnya dalam mengimplementasikan skrining terhadap kolonisasi SGB pada kehamilan juga merupakan faktor lain dari kegagalan penggunaan kemoprofilaksis. 4.7 Uji Imunogenisitas SGB Sepuluh kelompok mencit betina bunting divaksinasi masing-masing dengan 1 strain isolat SGB yang telah dilemahkan dengan pemanasan. Satu kelompok kontrol diberikan injeksi NaCl fisiologis. Pengambilan darah dilakukan pada hari ke-1, 3 dan 5 pascavaksinasi. Serum yang diperoleh dari hasil sentrifugasi darah dikoleksi dan disimpan pada suhu –200C sebelum digunakan untuk uji ELISA. Antigen yang digunakan untuk coating ELISA adalah antigen bakteri yang telah dilemahkan dengan pemanasan. Dari konsentrasi awal suspensi bakteri 109 sel/ml diencerkan secara bertingkat mulai dari pengenceran ½, ¼, 1/8, 1/16 hingga 1/1024. Hasil optimisasi konsentrasi antigen tersebut yang dijerap pada pelat polistirena diperoleh konsentrasi terbaik adalah pada tingkat pengenceran ¼. Pada tingkat pengenceran tersebut menghasilkan konsentrasi IgG yang cukup tinggi. Pada tingkat pengenceran yang lebih rendah menghasilkan absorbansi yang lebih rendah namun pada tingkat pengenceran yang lebih tinggi juga menghasilkan absorbansi yang lebih rendah pula. Hal ini dapat disebabkan oleh karena terlalu rapatnya antigen yang dijerap pada pelat dapat mengakibatkan berubahnya bentuk sisi penangkap antibodi sehingga antibodi yang terikat menjadi lebih sedikit. Perbedaan
teknik
yang
digunakan
untuk
coating
antigen
sangat
mempengaruhi hasil ELISA. Penggunaan konyugat dalam antigen coating akan memperoleh hasil ELISA yang optimal. Antigen coating yang menggunakan free polisakarida SGB tanpa konyugat untuk mengukur konsentrasi IgG dalam serum wanita hamil yang diimunisasi dengan kapsul polisakarida SGB tipe III-TT adalah 31.0 µg/ml. Setelah penambahan konyugat pada antigen coating, konsentrasi IgG
naik menjadi 81.0 µg/ml dan 83.0 µg/ml masing-masing dengan menggunakan polisakarida-biotin conjugate dan polisakarida-human serum albumin conjugate (Bhushan et al. 1998). Hasil pengukuran absorbansi IgG mouse standar yang diencerkan secara bertingkat sebanyak 6 kali yaitu 1:100, 1:200, 1:400, 1:800, 1:1600 dan 1:3200 diperoleh kurva standar seperti tertera pada Gambar 14 di bawah. Persamaan linier yang diperoleh pada kurva tersebut digunakan untuk menghitung konsentrasi IgG sampel (µg/ml) dengan memasukkan nilai absorbansi pada sumbu y. y = 60.457x + 1.1156 2 R = 0.9751
Kurva Standar
2
OD
1.5 OD
1
Linear (OD)
0.5 0 0
0.005
0.01
0.015
Konsentrasi
Gambar 14. Kurva strandar IgG mouse standar Hasil analisis konsentrasi IgG dalam serum sampel dengan metode indirect-ELISA diperlihatkan pada Tabel 10. Hasil uji anova konsentrasi IgG pascavaksinasi baik hari-1, hari-3 maupun hari-5 menunjukkan adanya perbedaan yang nyata dibanding konsentrasi IgG kontrol (Lampiran 1). Hasil tersebut menunjukkan bahwa vaksin SGB yang dilemahkan dengan pemanasan secara umum dapat meningkatkan konsentrasi antibodi IgG dalam serum mencit bunting secara signifikan dibanding kontrol.
Tabel 10. Konsentrasi IgG dalam serum sampel pascavaksinasi Rata-rata konsentrasi IgG pascavaksinasi (µg/ml) Vaksin Hari ke-1 Hari ke-3 Hari ke-5
SV-1 12.942bcd SV-2 9.410d SR-6 14.422bc SR-7 11.155cd SV-14 19.500a SV-17 12.694bcd SR-21 13.579bcd SR-22 15.961ab SV-24 18.814a SR-30 19.789a Kontrol 9.410d Ket: Angka yang diikuti oleh huruf nyata pada taraf uji 5% dengan Test (DMRT)
16.233bc 12.809c bc 16.117 10.039d ab 19.938 18.640ab 15.919bc 19.897a ab 19.508 17.846ab ab 19.723 18.309ab ab 17.937 16.362b 24.024a 18.620ab ab 18.764 18.689ab ab 20.087 18.747ab c 10.502 11.836cd yang sama tidak berbeda Duncan’s Multiple Range
Hasil uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) menunjukkan bahwa konsentrasi IgG pada hari ke-1 pascavaksinasi dengan vaksin SR-6, SV-14, SR22, SV-24 dan SR-30 berbeda nyata dibanding kontrol (Lampiran 2). Konsentrasi IgG tertinggi hari ke-1 pascavaksinasi diperlihatkan oleh SR-30 yaitu sebesar 19.789 µg/ml. Pada hari ke-3 pascavaksinasi, selain kelima vaksin tersebut, vaksin SV-17 dan SR-21 juga dapat meningkatkan konsentrasi IgG yang berbeda nyata dengan kontrol. Konsentrasi IgG tertinggi hari ke-3 pascavaksinasi diperlihatkan oleh SR-22 yaitu 24.024 µg/ml. Sedangkan pada hari ke-5 pascavaksinasi hampir semua vaksin menunjukkan perbedaan yang nyata dibanding kontrol kecuali SV-1 dan SV-2. Konsentrasi IgG tertinggi hari ke-5 pascavaksinasi diperlihatkan oleh SR-7 yaitu 19.897 µg/ml. Sebaliknya vaksin SV-2 memperlihatkan konsentrasi IgG berada dibawah kontrol. Vaksin SV-1 dan SV-2 tidak mampu meningkatkan konsentrasi IgG baik pada hari ke-1, ke-3 maupun hari ke-5. Hal ini ditunjukkan oleh tidak adanya perbedaan nyata dari konsentrasi IgG pascavaksinasi vaksin SV-1 dan SV-2 dibanding kontrol. Hasil tersebut menunjukkan bahwa adanya keragaman dari vaksin bakteri SGB dalam imunogenisitasnya. Pola peningkatan konsentrasi IgG pascavaksinasi hari ke-1, 3 dan 5 diperlihatkan pada Gambar 15.
Konsentrasi IgG
25 23 21 19 17 15 13 11 9 7
SV-1 SV-2 SR-6 SR-7 SV-14 SV-17 SR-21 SR-22 SV-24 SR-30 Kontrol
hari-1
hari-3
hari-5
Pascavaksinasi hari ke-
Gambar 15. Pola peningkatan konsentrasi IgG pascavaksinasi Puncak tertinggi konsentrasi IgG umumnya berada pada hari ke-3 namun hampir semua vaksin menunjukkan penurunan konsentrasi IgG dengan cepat pada hari ke-5. Sebaliknya yang diperlihatkan oleh vaksin SR-7, konsentrasi IgG terus meningkat dari hari ke-1, ke-3 sampai hari ke-5 pascavaksinasi. Hal ini mengindikasikan bahwa vaksin SR-7 merupakan vaksin yang paling imunogenik. Vaksin konyugat SGB tipe III-TT yang diberikan pada ibu hamil, aktif secara fungsional melawan SGB tipe III hingga anaknya berusia 2 bulan (Baker et al. 2003a). Sementara itu puncak tertinggi konsentrasi IgG wanita sehat tidak hamil dicapai 2 minggu pascavaksinasi dengan vaksin konyugat SGB tipe II-TT (Baker et al. 2000). Guttormsen et al. (1996) melaporkan konsentrasi antibodi IgG spesifik kapsul polisakarida tipe III yang diperoleh secara alamiah pada 35 orang wanita sehat tidak hamil berkisar antara 0.05-33.0 µg/ml. Sementara itu Anthony et al. (1994) melaporkan konsentrasi antibodi IgG spesifik terhadap kapsul polisakarida SGB tipe III dalam serum ibu hamil sehat kelompok umur 31-35 tahun pada saat melahirkan rata-rata adalah 0.20 µg/ml, sedangkan pada kelompok umur 16-20, 21-25, 26-30 tahun masing-masing adalah 0.09, 0.23 dan 0.19 µg/ml. Pada penelitian ini didapat konsentrasi IgG pada kelompok kontrol hari ke-1, ke-3 dan ke-5 pascavaksinasi masing-masing 9.41, 10.50 dan 11.84 µg/ml, hasil ini lebih
tinggi dari konsentrasi IgG dalam serum ibu hamil sehat. Hal ini mungkin disebabkan karena hewan coba yang digunakan bukan merupakan hewan spesified pathogenic free (SPF) sehingga keterpaparan dengan bakteri SGB yang ada di alam sangatlah memungkinkan. Antibodi terhadap kapsul polisakarida sangat protektif dalam melindungi mencit neonatus dari infeksi SGB, namun kapsul polisakarida merupakan antigen yang kurang imunogenik. Kapsul polisakarida SGB tipe III yang tidak dikonyugat dengan protein hanya mampu meningkatkan respon antibodi spesifik sebesar 60% (Wessels et al 1990). Penurunan konsentrasi IgG yang sangat cepat pada percobaan di atas menunjukkan bahwa vaksin bakteri SGB yang dilemahkan dengan pemanasan kurang imunogenik. Untuk meningkatkan imunogenisitasnya, vaksin SGB harus dibuat dari kapsul polisakarida murni yang dikonyugasi dengan suatu protein karier (Baker et al. 1999). Namun pengikatan polisakarida dengan suatu protein bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Selain itu kapsul polisakarida SGB terdiri dari beberapa serotipe, sehingga pembuatan vaksin yang efektif adalah vaksin yang multivalen dari serotipe yang paling sering muncul, namun hal ini juga mengalami kendala karena distribusi serotipe dari waktu ke waktu mengalami perubahan dan adanya perbedaan di tiap-tiap wilayah. Konsentrasi IgG spesifik yang diperoleh setelah vaksinasi dengan kapsul polisakarida yang dikonyugat dengan suatu protein karier, secara signifikan lebih tinggi dibanding dengan vaksin yang tidak dikonyugat. Vaksin kapsul polisakarida (CPS) yang dikonyugat dengan tetanus toksoid (TT) meningkatkan konsentrasi IgG spesifik empat kali lipat dalam serum 90% resipien, sedangkan vaksin CPS yang tidak dikonyugat meningkatkan konsentrasi IgG spesifik dalam serum hanya pada 50% resipien (Baker et al. 1998; Baker dan Edwards 2003). Antibodi kelinci yang dipicu dengan vaksin konyugat SGB tipe V-TT adalah opsonik secara in vitro dan melindungi mencit melawan SGB tipe V. Dengan demikian vaksin konyugat SGB tipe V-TT adalah suatu imunogen yang efektif pada hewan model dan mungkin dapat digunakan sebagai komponen vaksin SGB multivalen untuk manusia (Wessel et al. 1995). Shen et al. (2000) mengatakan bahwa vaksin kapsul polisakarida SGB tipe III (CPS III) yang dikonyugasi dengan sub unit B toksin kolera rekombinan (rCTB) dan vaksin CPS Ia-rCTB dapat
digunakan sebagai bahan vaksin konyugat bivalen atau mungkin juga multivalen yang diberikan melalui mukosa. Paoletti et al. (1997) membuktikan bahwa antibodi IgG maternal anti kapsul polisakarida SGB berkorelasi dengan imunitas neonatus terhadap penyakit SGB. Pemberian human antisera yang dipicu dengan vaksin SGB tipe Ia-TT, Ib-TT atau III-TT pada mencit neonatal 4 jam setelah inokulasi dengan SGB tipe Ia, Ib atau III dosis letal menghasilkan berturut-turut 63%, 70% dan 75% mencit survive. Kling et al. (1997) melaporkan 98% mencit neonatus yang ditantang dengan SGB A909 survive setelah induknya diberi antiserum kelinci postvaksinasi dengan vaksin konyugat kapsul polisakarida tipe Ia-TT. Sedangkan yang induknya diberi antiserum kelinci postvaksinasi peptida N-terminal protein c SGB A909 menunjukkan 69% mencit neonatus survive, namun induk mencit yang diberi serum prevaksinasi hanya memberi perlindungan sebanyak 15%. Hasil ini menunjukkan bahwa kapsul polisakarida memegang peran penting dalam virulensi bakteri. Hasil tersebut juga membuktikan bahwa pemberian imunisasi pasif sebagai imunoterapi pada maternal dapat melindungi neonatus dari infeksi, artinya antibodi IgG dalam sirkulasi maternal dapat melewati secara transplasental memasuki peredaran darah janin. Kasper et al. (1996) juga membuktikan bahwa antibodi IgG maternal terhadap kapsul polisakarida SGB spesifik-tipe melewati peredaran darah secara transplasental dan dapat melindungi neonatus dari penyakit SGB.
V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan 1. Streptokokus grup B yang diisolasi dari penderita komplikasi obstetri masih sensitif terhadap antibiotika golongan penisilin sehingga dapat digunakan sebagai kemoprofilaksis intrapartum terhadap infeksi neonatal. 2. Streptokokus grup B yang diisolasi dari penderita komplikasi obstetri memiliki berbagai serotipe kapsul polisakarida dengan distribusi serotipe yang berubah-ubah dan kurang imunogenik sehingga belum dapat digunakan sebagai bahan vaksin untuk imunoprofilaksis infeksi neonatal. 5.2 Saran 1. Perlu dilakukan penelitian seroepidemiologi SGB yang lebih luas di Indonesia. 2. Perlu dilakukan kajian yang lebih spesifik dan mendalam tentang karakter kapsul polisakarida tipe VI SGB strain SR-7 serta perannya sebagai imunonogen yang dapat digunakan sebagai landasan pengembangan vaksin konyugat.
DAFTAR PUSTAKA Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. 1994. Celluler and Molecular Immunology. 2nd Ed. W.B. Saunders Comp. Afify A.M, Stern M, Guntenhoner M, Stern R. 1993. Purification and Characterization of Human Serum Hyaluronidase. Arch Biochem Biophys 305:434 – 441. Andrews JI et al. 2000. Group B streptococci causing neonatal bloodstream infection: antimicrobial susceptibility and serotyping results from SENTRY centers in the Western Hemisphere. Am J Obstet Gynecol 183: 859-62. Anthony BF. 1992. Group B Streptococcal Infections p:1305-1316. In: Feigin RD, Cherry JD. Textbook of Pediatric Infectious Desease. 3rd ed. W.B. Saunders Comp. Anthony BF, Concepcion IE, Concepcion NF, Vadheim CM, Tiwari J. 1994. Relation between Maternal Age and Serum Concentration of IgG Antibody to Type III Group B Streptococci. J Infect Dis 170:717-20. Baker JR, Yu H, Morrison K, Averett WF, Pritchard DG. 1997. Specificity of the hyaluronate lyase of group B streptococcus toward unsulphated regions of chondroitin sulphate. Biochem J 327: 65-71. Baker CJ et al. 1999. Safety and Immunogenicity of Capsular Polysaccharide– Tetanus Toxoid Conjugate Vaccines for Group B Streptococcal Types Ia and Ib. J Infect Dis 179:142-150. Baker CJ et al. 2000. Use of Capsular Polysaccharide–Tetanus Toxoid Conjugate Vaccine for Type II Group B Streptococcus in Healthy Women. J Infect Dis 182:1129-38. Baker CJ, Rench MA, McInnes P. 2003a. Immunization of Pregnant Women with Group B Streptococcal Type III Capsular Polysaccharide-Tetanus Toxoid Conjugate Vaccine. Vaccine 21:3468-72. Baker CJ et al. 2003b. Safety and Immunogenicity of a Bivalent Group B Streptococcal Conjugate Vaccines for Serotypes II and III. J Infect Dis 188:66-73. Baker CJ, Edwards MS. 2003. Group B Streptococcal Conjugate Vaccines. Arch Dis Childhood 88:375-378. Bellanti JA. 1993. Imunologi III. Penerjemah: Wahab S. Edisi ke-3. Gadjah Mada University Press. Jokyakarta.
Benitz WE, Gould JB, Druzin ML. 1999. Risk factor for early-onset group B streptococcal sepsis: estimation of odds ratios by critical literature review. Pediatrics 103:1-14. Bergmeyer HU. 1987. .Method of Enzymatic Analysis. VCH. Vol. IV: 45-49. Betriu C et al. 2003. Erythromycin and Clindamycin Resistance and Telithromycin Susceptibility in Streptococcus agalactiae. Antimicrobial Agents and Chemotherapy 47:1112-1114 Bhushan R, Anthony BF, Frasch CE. 1998. Estimation of Group B Streptococcus Type III Polysaccharide-Specific Antibody Consentrations in Human Sera Is Antigen Dependent. Infect Immun 66:5848-5853. Blumberg HM et al. 1996. Invasive Group B Streptococcal Disease: The Emergence of Serotype V. J Infect Dis 173: 365-73. Bohsack JF, Chang JK, Hill HR. 1993. Restricted Ability of Group B Strreptococcal C5a-ase To Inactivate C5a Prepared from Different Animal Species. Infect Immun 61:1421-1426. Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive methode for the quantitation of microgram quantities of protein utilising the principle of protein dye binding. Anal Biochem 72:248 – 254. Campbell JR, Baker CJ, Edwards NS. 1992. Influence of Serotype of Group B Streptococci on C3 Degradatin. Infect Immun 60:4558-4562. Central for Disease Control and Prevention. 2002. Prevention of perinatal of group B streptococccal disease. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 51:1-23. Chaaya A et al. 1996. Screening of Streptococcus agalactiae (group B) in the perinatal period. J Med Liban 44:203-208. Christ D. 1989. Untersuchungen an Streptococcus uberis unter besonder Berucksichtigung mutmaβlicher Pathogenitatsfaktoren. Dissertation. JustusLiebig-Universitat Gieβen. Cunningham FG et al. 1997. Williams Obstetrics, p: 1305-1307. 20th ed. Appleton and Lang A Simon and Schuster Co. de Cueto M, Sanchez MJ, Sampedro A, Miranda JA, Herruzo Aj, Rosa-Fraile M. 1998. Timing of intrapartum ampicillin and prevention of vertical transmission og group B streptococcus. Obstet Gynecol 91: 112-4. Edwards MS, Baker CJ. 1995. Streptococcus Agalactiae (Group B Streptococcus). In: Mandell GL, JE Bennet, R Dolin; Principle and
Practice of Infectious Desease. 4th ed. (Eds). Churcill Livingstone. Eriksen NL and Blanco JD. 1993. Group B Streptococcal Infection In Pregnancy. Seminars In Perinatology 17:432-442. Eschenbach DA. 2002. Prevention of Neonatal Group B Streptococcal Infection. Editorial N Engl J Med 347: 280-281. Fluegge K, Supper S, Siedler A, Berner R. 2004. Antibiotic Susceptibility in Neonatal Invasive Isolates of Streptococcus agalactiae in a 2-Year Nationwide Surveillance Study in Germany. Antimicrobial Agents and Chemotherapy 48:4444-4446. Gibbs RS and Sweet RL. 1994. Clinical Disorders p. 639-657. In: Creasy RK and Resnik R. Maternal-Fetal Medicine Principle and Practice. 3rd. ed. W. B. Saunders comp. Gibson RL, Lee MK, Soderland C, Chi EY, Rubens CE. 1993. Group B Streptococci Invade Endothelial Cells: Type III Capsular Polysaccharide Attenuates Invasion. Infect Immun 61:478-485. Gomez KA, Gomez AA. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi ke-2. UI Press. Granlund M, Oberg L, Sellin M, Norgren M. 1997. Identification of a Novel Insertion Elemen, IS1548, in Group B Streptococci, Predominantly in Strains Causing Endocarditis. J Infect Dis 177:967-76. Gravekamp C et al. 1997. Imunogenicity and Protective Efficacy of the Alpha C Protein of Group B Streptococci Are Inversely Related to the Number of Repeats. Infect Immun 65:5216-5221. Guttormsen HK, Baker CJ, Edwards MS, Paoletti LC, Kasper DL. 1996. Quantitative Determination of Antibodies to Type III Group B Streptococcal Polysaccharide. J Infec Dis173:142-150. Hannah ME et al. 1997. Maternal colonization with group B Streptococcus and prelabor rupture of membranes at term: The role of induction of labor. Am J Obstet Gynecol 177: 780-5. Hayati Z, Wibawan IWT, Karmil TF, Budiarti S, Mubarak Z. 2003. Distribusi Serotipe Streptokokus Grup B Isolat asal Ibu Hamil [abstrak]. Di dalam: Pertemuan Ilmiah Tahunan 2003 Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia; Bandung, 29-30 Agustus 2003: PERMI Cab. Bandung. hal 61. abstr MKO-4.
Hayati Z, Wibawan IWT, Karmil TF, Wahyuni AETH. 2004. Insidensi Kolonisasi Asimtomatik SGB pada Ibu Hamil Sehat. J Ilmiah Pertanian Gakuryoku. X:182-185. Hayati Z. 2004. Serotype Distribution and Fenotype Expression of Group B Streptococcus Isolates from Pregnant Women with Obstetric Complication [abstrak]. Di dalam: Seminar Nasional XI PERSADA; Bogor, 5 Juni 2004. Bogor: PERSADA Cab. Bogor & Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. abstr no C9 Hayati Z, Karmil TF. 2004. Preparasi Antiserum Poliklonal Monospesifik-Tipe Streptokokus Grup B sebagai Bahan Identifikasi Serotipe Isolat dari Penderita Komplikasi
Obstetri [abstrak].
Di
dalam:
Pertemuan
Ilmiah
Tahunan
Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia; Semarang, 27-28 Agustus 2004. Semarang: PERMI Cab. Semarang & UNDIP. hal 13. abstr Kode:1-11. Helmig R, Uldbjerg N, Boris J, Kilian M. 1993. Clonal Analysis of Streptococcus agalactiae Isolated from Infants with Neonatal Sepsis or Meningitis and their Mothers and from Healthy Pregnant Women. J Infect Dis 168:904909. Holt JG, Krieg NR, Sneath PHA, Staley JT, Williams ST. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. 9th ed. Williams and Wilkins. Hulse ML, Smith S, Chi EY, Pham A, Rubens CE. 1993. Effect of Type III Group B Streptococcal Capsular Polysaccharide on Invasion of Respiratory Epithelial Cells. Infect Immun 61:4835-4841. Hynes WL, Dixon AR, Walton SL, Aridgides LJ. 2000. The Extracellular Hyaluronidase gene (hylA) of Streptococcus pyogenes. FEMS Microbiol Lett 184:109-112. Joklik WK, Willet HP, Amos DB, Wilfert CM. 1992. Zinsser Microbiology. 20th. ed. Appleton and Lange. Kasper et al. 1996. Immune Response to Type III Group B Streptococcal Polysaccaride-Tetanus Toxoid Conjugate Vaccine. J Clin Invest 98: 23082314. Kling DE, Gravekamp C, Madoff LC, Michel JL. 1997. Characterization of Two Distinct Opsonic and Protective Epitop Within the Alpha C Protein of the Group B Streptococcus. Infect Immun 65:1462-1467.
Kogan et al. 1995. Structural elucidation of the novel type VII group B Streptococcus capsular polysaccharide by high resolution NMR spectroscopy. Carbohydr Res 277:1-19. Kogan G et al. 1996. Structural and Immunochemical Characterization of the Type VIII Group B Streptococcus Capsular Polysaccharide. Am Soc Biochem Mol Bio 271:8786-8790. Kudo K, Tu AT. 2001. Characterization of Hyaluronidase Isolated from Agkistrodon contortrix (Southern Copperhead) Venom. Arch Biochem Biophys 386:154-162. Lachenauer CS et al. 1999. Serotypes VI and VIII Predominate among Group B Streptococci Isolated from Pregnant Japanese Women. J Infect Dis 179:1030-1033. Lancefield RC. 1933. A serological differentiation of human and other groups of hemolytic streptococci [abstrak]. WWW J Exp Med [serial online]. http://www.jem.org/cgi/content/abstract/57/4/571?maxtoshow=&HITS=10& hits=10&RESULTFORMAT=1&author1=Lancefield+RC&author2=Lancefi eld+RC&andorexacttitle=and&andorexacttitleabs=and&andorexactfulltext= and&searchid=1092978685253_3785&stored_search=&FIRSTINDEX=0&s ortspec=relevance&volume=57&fdate=1/1/1933&tdate=8/31/1934&journal code=jem [8 Agustus 2004]. Lang S, Palmer M. 2003. Characterization of Streptococcus agalactiae CAMP factor as a pore-forming toxin. J Biol Chem 278:38167-38163. Larsson C, Carlemalm MS, Lindahl G. 1996. Experimental vaccination againts group B streptococcus, an encapsulated bacterium, with highly purified preparation of cell surface proteins Rib and alpha. Infect Immun. 64:35183523. Lin FYC et al. 1998. Capsular Polysaccharide Types of Group B Streptococcal Isolates from Neonates with Early-Onset Systemic Infection. J Infect Dis 177:790-792. Maeland JA, Brakstad OG, Bevanger L, Kvam AI. 1997. Streptococcus agalactiae β gene product variations. J Med Microbiol 46:999-1005. Mancuso G et al. 1994. Beneficial Effects of Interleukin-6 in Neonatal Mouse Models of Group B Streptococcal Disease. Infect Immun. 62:4997-5002. Maniatis AN et al. 1996. Streptococcus Agalactiae a Vaginal Pathogen? J Med. Microbiol 44:199-202. Marodi L, Kaposzta R, Nemes E. 2000. Survival of Group B Streptococcus Type III in Mononuclear Phagocytes: Differential Regulation of Bacterial Killing in Cord Macrophages by Human Recombinant Gamma Interferon and
Granulocyte-Macrophage 68:2167-2170.
Colony-Stimulating
Factor.
Infect
Immun
McKenzie H, Patel NB. 1994. Risk of Preterm Delivery in Pregnant Women with Group B Streptococcal Urinary Infections or Urinary antibodies to Group B Streptococcal and E. coli antigens. Br J Obstet Gynaecol 10:107-113. Mohle-Boetani JC, Schuchat A, Plikaytis BD, Smith JD, Broome CV. 1993. Comparison of Prevention Strategies for Neonatal Group B Streptococcal Infection. A Population-based Economic Analysis. JAMA 270 (12). Nizet V et al. 1997. Invasion of Brain Microvasculer Endothelial Cell by Group B Streptococci. Infect Immun. 65:5074-5081. Pagala MA, Hayati Z, Budiarti S, Wibawan IWT, Suhartono MT. 2004. Studi Aktivitas Protease Streptokokus Grup B pada Substrat Mucin [abstrak]. Di dalam: Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia; Semarang, 27-28 Agustus 2004. Semarang: PERMI Cab. Semarang & UNDIP. hal 14. abstr Kode:1-13. Paoletti LC et al. 1992. Group B Streptococcus Type II Polysaccharide-Tetanus Toxoid Conjugate Vaccine. Infect Immun 60:4009-4014. Paoletti LC, Pinel J, Rodewald AK, Kasper DL. 1997. Therapeutic Potential of Human Antisera to Group B Streptococcal Glycoconjugate Vaccines in Neonatal Mice. J Infect Dis 175:1237-9. Paoletti LC et al. 1999. Synthesis and Preclinical Evaluation of Glycoconjugate Vaccines against Group B Streptococcus Type VI and VIII. J Infect Dis 180:892-895. Paoletti LC, Kasper DL. 2002. Conjugate Vaccines against Group B Streptococcus Type IV and VII. J Infect Dis 186:123-126. Pritchard DG, Lin B. 1993. Group B Streptococcal Neuraminidase Is Actually a Hyaluronidase. Infect Immun 61:3234-3239. Pritchard DG, Lin B, Willingham TR, Baker JR. 1994. Characterization of The Goup B Streptococcal Hyaluronate Lyase. Arch Biochem Biophys 315:431437. Rafael SD, Bruna CB, Otávio PM, Maria AVPB, Lúcia MT. 2005. Distribution of Antimicrobial Resistance and Virulence-Related Genes among Brazilian Group B Streptococci Recovered from Bovine and Human Sources. Antimicrobial Agents and Chemotherapy 49: 97-103. Regan JA et al. 1996. Colonization with Group B Streptococci in Pregnancy and Adverse Outcome. Am J Obstet Gynecol 174:1354-60.
Rizzo G et al. 1996. Interleukin-6 Concentrations in Cervical Secretions Identify Microbial Invasion of the Amniotic Cavity in Patients with Preterm Labor and Intact Membranes. Am J Obstet Gynecol 175:812-7. Rodewald AK, Ouderdonk AB, Warren HB, Kasper DL. 1992. Neonatal Mouse Model of Group B Streptococcal Infection. J Infect Dis 166:635-9. Roitt IM, Delves PJ. 2001. Roiit’s Essensial Immunology. Blackwell Science Ltd London. Ross RA, Madoff LC, Paoletti LC. 1999. Regulation of Cell Component Production by Growth Rate in the Group B Streptococcus. J Bacteriol 181:5389-5394. Rubens CE, Smith S, Hulse M, Chi EY, Van Belle GR. 1992. Respiratory Epithelial Cell Invation by Group B Streptococci. Infect Immun 60:51575163. Ruoff KL. 1995. Streptococcus, In: Murray PR, Baron EJ, Pfaller MA, Tenover FC, Yolken RH. Manual of Clinical Microbiology. 6th. ed. ASM Press. Washington DC. Salyers AA, Whitt DD. 1994. Bacterial Pathogenesis A Molecular Approach. ASM Press Washington DC. Saucedo PG et al. 2002. Exposure to group B Streptococcus among Mexican women in reproductive age. Salud Publica Mex 44:50-6. Schrag SJ et al. 2000. Group B Streptococcal Desease in the Era of Intrapartum Antibiotic Prophylaxis. N Engl J Med 342: 15-20. Schuchat A, Whitney C, Zangwill K. 1996. Prevention of Perinatal Group B Streptococcal Desease: A Public Health Perspective. MMWR: 45: 1-18. Schuchat A et al. 2000. Risk Factors and Opportunities for Prevention of EarlyOnset Neonatal Sepsis: A Multicenter Case-Control Study. Pediatrics. 105:21-26. Shen X et al. 2000. Systemic and Mucosal Immune Responses in Mice after Mucosal Immunization with Group B Streptococcus Type III Capsular Polysaccaride-Cholera Toxin B Subunit Conjugate Vaccine. Infect Immun 68:5749-5755. Takahashi S et al. 1998. Identification of a Highly Encapsulated, Genetically Related Group of Invasive Type III Group B Strepptococci. J Infect Dis 177:1116-1119.
Takahashi S, Aoyagi Y, Adderson EE, Okuwaki G, Bohnsack JF. 1999. Capsular Sialic Acid Limits C5a Production on Type III Group B Streptococci. Infect Immun 67:1866-1870. Tamura GS, Kuypers JM, Smith S, Raff H, Rubens CE. 1994. Adheren of Group B Streptococci to Cultured Epithelial Cells: Roles of Inviromental Factors and Bacterial Surface Components. Infect Immun 62: 2450-2458. Teresa JM. 1997. Streptococcus agalactiae: Estudi de Soques Aillades en un Hospital de Barcelona. Dissertation Abstracts. Tissi L et al. 1998. Role of Group B Streptococcal Capsular Polysaccharides in The Induction of Septic Arthritis. J Med Microbiol 47:717-723. Trivalle C et al. 1998. Group B Streptococcal Bacteraemia in the Elderly. J Med. Microbiol 47:649-652. Tumbaga PF, Philip AGS. 2003. Perinatal Group B Streptococcal Infections: Past, Present, and Future. American Academy of Pediatrics NeoReviews 4:1-14. Tunkel AR, Scheld WM. 1995. Sepsis Syndrome. In: Mandell GL, Bennet JE, Dolin R. Principle and Practice of Infectious Desease, p: 831-865. 4th Ed. (Eds). Churcill Livingstone. Utama HI. 1998. Ekspresi Fenotipe dan Aktivitas Biologi Streptokokus Grup C Isolat asal Babi dan Kera [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Velaphi S et al. 2003. Early-Onset Group B Streptococcal Infection After a Combined Maternal and Neonatal Group B Streptococcal Chemoprophylaxis Strategy. Pediatrics. 111 (3): 541-547. Voet D, Voet JG. 1995. Sugars and Polysaccharides, in: Biochemistry. 2nd Ed. p: 264-265. John Wiley & Sons,Inc. Wahyuni AETH. 2002. Karakterisasi Fenotipe dan Genotipe Streptococcus agalactiae Isolat asal Indonesia Penyebab Mastitis Subklinis pada Sapi Perah [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wessels et al. 1990. Immunogenicity in animals of a polysaccharide-protein conjugate vaccine against type III group B Streptococcus. J Clin Invest 86:1428-33. Wessels MR, Paoletti LC, Rodewald AK, Michon F, DiFabio J, Jennings HJ, Kasper DL. 1993. Stimulation of protective antibodies againts type Ia and Ib group B streptococci by a type Ia polysaccharide-tetanus toxoid conjugate vaccine. Infect Immun 61: 4760-6.
Wessels MR, Paoletti LC, Pinel J, Kasper DL. 1995. Imunogenicity and protective activity in animal of a type V group B streptococcal polysaccharide-tetanus toxoid conjugate vaccine. J Infect Dis 171: 879-84. Wessels MR, Paoletti LC, Guttormsen HK, Michon F, D’ambra AJ, Kasper DL. 1998. Structural Properties of Group B Streptococcal Type III Polysaccharide Conjugate Vaccines that Influence Immunogenicity and Efficacy. Infect Immun 66:2186-2192. Wibawan IWT, Lammler C. 1990. Properties of group B streptococci with protein surface antigens X and R. J Clin Microbiol 28:2834-2836 Wibawan IWT, Lautrou Y, Lammler C. 1991. Antibiotic Resistance Patterns and Pigment Production of Streptococci of Serological Group B Isolated from Bovines and Humans. J Vet Med B-38:731-736. Wibawan IWT, Lammler C. 1991. Influence of Capsular Neuraminic Acid on Properties of Streptococci of Serological Group B. J Gen Microbiol. 137:2721-2725. Wibawan IWT, Lammler C. 1992. Relationship Between Group B Streptococcal Serotypes and Cell Surface Hydrophobicity. J Vet Med B-39:376-382. Wibawan IWT, Lammler C, Seleim RS, Pasaribu FH. 1993. A haemagglutinating adhesin of group B streptococci isolated from cases of bovine mastitis mediates adherence to HeLa cells. J Gen Microbiol. 139:2173-8 Wibawan IWT, Pasaribu FH. 1993. Peluang Pengembangan Tes Koaglutinasi untuk Deteksi Serotipe Streptokokus agalactiae. Agrotek 1:43-47. Wibawan IWT, Pasaribu FH, Utama IH, Abdulmawjood A, Laemmler C. 1999. The role of hyaluronic acid capsular material of Streptococcus equi subsp. zooepidemicus in mediating adherence to HeLa cells and in resisting phagocytosis. Res Vet Sci 67:131-135. Winram SB, Jonas M, Chi E, Rubens CE. 1998. Characterization of Group B Streptococcal Invasion of Humen Chorion and Amnion Epithelial Cells In Vitro. Infect Immun 66:4932 – 41. Young LS. 1995. Sepsis Syndrome. In: Mandell GL, Bennet JE, Dolin R. Principle and Practice of Infectious Desease, p: 690-705. 4th Ed. (Eds). Churcill Livingstone. Young U et al. 2004. Serotypes and Genotypes of Erythromycin-Resistant Group B Streptococci in Korea. J Clin Microbiol 42: 3306-3308
LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil uji ANOVA konsentrasi IgG pascavaksinasi The SAS System Class SV-24
21:11 Saturday, March 21, 1998 1 Analysis of Variance Procedure Class Level Information Levels Values
VAKSIN
11
KONTROL SR-21 SR-22 SR-30 SR-6 SR-7 SV-1 SV-14 SV-17 SV-2 Number of observations in data set = 22
The SAS System Dependent Variable: HARI1 Source DF > F Model 10 0.0008 Error 11 Corrected Total 21 R-Square 0.884649 Source VAKSIN
DF 10
21:11 Saturday, March 21, 1998 Analysis of Variance Procedure Sum of Squares 285.91450282 37.28088900 323.19539182 C.V. 12.84346 Anova SS 285.91450282
2
Mean Square 28.59145028
F Value
Pr
8.44
3.38917173 Root MSE 1.84097032 Mean Square 28.59145028
HARI1 Mean 14.33390909 F Value 8.44
Pr > F 0.0008
Lampiran 2. Hasil uji Duncan’s Multiple Range Test ( DMRT) Konsentrasi IgG pascavaksinasi
The SAS System
not the
11 4.564
21:11 Saturday, March 21, 1998 3 Analysis of Variance Procedure Duncan's Multiple Range Test for variable: HARI1 NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, experimentwise error rate Alpha= 0.05 df= 11
Number of Means Critical Range
2
3
4
5
MSE= 3.389172 6
7
8
9
10
4.052 4.238 4.350 4.422 4.472 4.506 4.530 4.547 4.558
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N VAKSIN
B B B B B B B B B
A A A A A A A C C C C C C C C C
OPTION PS=60; DATA; INPUT VAKSIN $ HARI1 $ HARI3 $ HARI5; CARD; SV-1 11.569 15.985 12.197 SV-1 14.314 16.481 13.421 SV-2 7.665 16.481 9.948 SV-2 11.155 15.753 10.13 SR-6 14.182 19.855 18.284 SR-6 14.662 20.021 18.995 SR-7 12.131 16.183 19.69 SR-7 10.179 15.654 20.104 SV-14 16.696 20.07 18.284 SV-14 22.303 18.946 17.407 SV-17 12.611 20.467 16.465 SV-17 12.776 18.979 20.153 SR-21 14.629 17.722 17.044 SR-21 12.528 18.152 15.679 SR-22 15.489 29.631 18.955 SR-22 16.432 18.416 18.284 SV-24 19.409 19.922 19.028 SV-24 18.218 17.606 18.35 SR-30 20.12 20.285 18.565 SR-30 19.458 19.889 18.929 KONTROL 11.155 9.534 12.71 KONTROL 7.665 11.469 10.692 ; PROC ANOVA; CLASSES VAKSIN; MODEL HARI3=VAKSIN;
D D D D D D D D D D D
19.789
2
SR-30
19.500
2
SV-14
18.814
2
SV-24
15.961
2
SR-22
14.422
2
SR-6
13.579
2
SR-21
12.942
2
SV-1
12.694
2
SV-17
11.155
2
SR-7
9.410
2
SV-2
9.410
2
KONTROL
MEANS VAKSIN/DUNCAN; RUN; HASIL SAS HARI KE 3 The SAS System
SV-24
Class VAKSIN
21:56 Saturday, March 21, 1998 1 Analysis of Variance Procedure Class Level Information Levels Values 11 KONTROL SR-21 SR-22 SR-30 SR-6 SR-7 SV-1 SV-14 SV-17 SV-2
Number of observations in data set = 22 The SAS System 21:56 Saturday, March 21, 1998
2
Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: HARIKE-3 Source DF Pr > F Model 10 0.0212 Error 11 Corrected Total 21 R-Square 0.770613 Source > F VAKSIN 0.0212
not the
Sum of Squares
Mean Square
F Value
234.80268236
23.48026824
3.70
69.89346950 304.69615186 C.V. 13.95103
DF
6.250
Root MSE 2.52070462
Anova SS
10
RESPON Mean 18.06822727
Mean Square
234.80268236
F Value
23.48026824
Pr
3.70
The SAS System 21:56 Saturday, March 21, 1998 3 Analysis of Variance Procedure Duncan's Multiple Range Test for variable: HARI KE- 3 NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, experimentwise error rate Alpha= 0.05
11
6.35395177
Number of Means Critical Range
2
3
df= 11 4
MSE= 6.353952 5
6
7
8
9
10
5.548 5.803 5.955 6.055 6.123 6.170 6.203 6.225 6.241
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N VAKSIN
B B B B B B B B B B B B B B B B B
A A A A A A A A A A A A A
24.024
2
SR-22
20.087
2
SR-30
19.938
2
SR-6
19.723
2
SV-17
19.508
2
SV-14
18.764
2
SV-24
17.937
2
SR-21
C C C C C C C
16.233
2
SV-1
16.117
2
SV-2
15.919
2
SR-7
10.502
2
KONTROL
Analysis of Variance Procedure Class Level Information Class Levels Values VAKSIN 11 KONTROL SR-21 SR-22 SR-30 SR-6 SR-7 SV-1 SV-14 SV-17 SV-2 SV-24 Number of observations in data set = 22 The SAS System 22:08 Saturday, March 21, 1998 2 Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: HARI KE -5 Source DF Sum of Squares Pr > F
Mean Square
F Value
Model 10 0.0001 Error 11 Corrected Total 21 R-Square 0.952367 Source DF F VAKSIN 10
225.33051945
22.53305195
11.26992000 236.60043945 C.V. 6.124660 Anova SS
1.02453818
225.33051945
Root MSE 1.01219474 Mean Square 22.53305195
21.99
RESPON Mean 16.52654545 F Value Pr > 21.99
0.0001
The SAS System 22:08 Saturday, March 21, 1998 3 Analysis of Variance Procedure Duncan's Multiple Range Test for variable: RESPON NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate Alpha= 0.05 df= 11 MSE= 1.024538 Number of Means 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Critical Range 2.228 2.330 2.391 2.431 2.459 2.478 2.491 2.500 2.506 2.510 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N VAKSIN
B B B B B B B B B B B B B
D D D
A A A A A A A A A A A A A
C C C
19.897
2
SR-7
18.747
2
SR-30
18.689
2
SV-24
18.640
2
SR-6
18.620
2
SR-22
18.309
2
SV-17
17.846
2
SV-14
16.362
2
SR-21
12.809
2
SV-1
11.836
2
KONTROL
10.039
2
SV-2