KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN IKAN KERAPU (SERRANIDAE) DI DAERAH RESERVASI (ZONA INTI) DAN NON-RESERVASI (ZONA PEMUKIMAN) TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA
JIMMI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keanekaragaman dan Kelimpahan Ikan Kerapu (Serranidae) di Daerah Reservasi (Zona Inti) dan Non-Reservasi (Zona Pemukiman) Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Jakarta adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, November 2009
Jimmi NIM C252 070 404
ABSTRACT JIMMI. The Diversity and Abundance of Groupers (Serranidae) in Reserved Area (Core Zone) and Non-Reserved Area (Settlement Zone) of Kepulauan Seribu Marine National Park, Jakarta. Under direction of ETTY RIANI H. and RIDWAN AFFANDI. Marine reserve (no-take areas) can serve as effective sites for sheltering and retaining diversity and abundance of targeted species. This research was aimed to identify community and habitat characteristic of groupers in reserved area (core zone) and non-reserved area (settlement zone) of Kepulauan Seribu Marine National Park, to analyze the environment factors that influence grouper diversity and abundance, and to analyze whether the reserve area can be an effective ecological based-management strategy looking at it from a grouper fisheries perspective. Data of grouper’s diversity and abundance, and benthic characteristics were collected by using underwater observation and fish trapping. These data in reserved area were compared with those in adjacent intensively fished area. Benthic characteristics in reserved area were not significantly different with those in intensively fished area, and the benthic clustering did not reflect the protection status, showing us uneffectiveness of the reserved area in sustaining the coral reef condition. Meanwhile, grouper population in reserved area was characterized by higher abundance (mostly larger fish size) and diversity compared to non-reserved area. The reserved area was likely effective in sustaining grouper population, but not in optimum level since some grouper variables in reserved area were not significantly different compared to nonreserved area, e.g: CPUE, length average, and length frequency distribution. The grouper abundance showed strong and significant correlation with fishing pressure, while its diversity was influenced by live coral coverage. It was suggested to strengthen the management of existing reserved area and to consider reproductive ecology of grouper species as a part of ecological based-management of grouper fisheries in Kepulauan Seribu Islands. Key words:
marine reserve, grouper, benthic habitat, diversity, abundance, management.
RINGKASAN JIMMI. Keanekaragaman dan Kelimpahan Ikan Kerapu (Serranidae) di Daerah Reservasi (Zona Inti) dan Non-Reservasi (Zona Pemukiman) Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Jakarta. Dibimbing oleh ETTY RIANI H. dan RIDWAN AFFANDI. Status tangkap lebih dan degradasi habitat yang terjadi pada perikanan kerapu di perairan Kepulauan Seribu menyebabkan zona inti sebagai kawasan reservasi yang ada di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNL-KS) memiliki peran strategis dalam menopang produktivitas dan mencegah terjadinya kolaps perikanan kerapu di Kepulauan Seribu, baik melalui mekanisme limpahan individu dewasa (spillover) maupun ekspor larva. Namun demikian, seberapa besar peran tersebut tergantung dari sejauh mana efektivitas penetapan daerah reservasi itu sendiri. Untuk mengetahui hal tersebut, maka salah satu informasi dasar yang diperlukan adalah informasi mengenai keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu di daerah reservasi, dan membandingkannya dengan di daerah tempat aktivitas penangkapan dan degradasi habitat berlangsung secara intensif. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik komunitas dan habitat ikan kerapu di daerah reservasi dan non reservasi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu Jakarta (TNL-KS), menganalisis faktor yang mempengaruhi keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu dan menganalisis efektivitas penetapan daerah reservasi ditinjau dari perspektif perikanan kerapu. Kondisi perairan berupa suhu dan kecerahan air laut serta kecepatan arus diukur langsung di lokasi, sedangkan salinitas, derajat keasaman (pH), kadar fosfat, nitrat, nitrit dan amonia diukur di laboratorium berdasarkan sampel air yang diambil dari setiap titik pengamatan. Data kondisi ikan kerapu didapat dengan menggunakan metode underwater visual census dan pengamatan terhadap hasil tangkapan kerapu menggunakan alat tangkap bubu. Sementara pengumpulan data kondisi habitat bentik dengan menggunakan metode modifikasi transek garis dan transek kuadrat. Analisa kondisi parameter fisika-kima perairan mengacu pada nilai ambang batas yang diperkenankan untuk kehidupan biota laut dan penelitian terkait lainnya. Uji t-student dan uji kolmogorov-smirnov 2 sampel digunakan untuk melihat perbedaan antara variabel habitat bentik dan variabel komunitas ikan kerapu di daerah reservasi dan non-reservasi. Analisis kelompok menggunakan metode hierarki berdasarkan indeks jarak Euclidian digunakan untuk melihat kecenderungan pengelompokan stasiun pengamatan berdasarkan variabel habitat bentik dan variabel komunitas kerapu. Koefisien korelasi Spearman digunakan untuk melihat keeratan hubungan antara variabel habitat dan variabel komunitas ikan kerapu. Secara umum, hasil pengukuran terhadap parameter fisika-kimia perairan menunjukkan variasi yang relatif kecil antar stasiun pengamatan serta masih berada dalam kisaran yang layak bagi kehidupan biota karang dan ikan karang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik habitat bentik, baik berupa komposisi tutupan komponen bentik maupun keanekaragaman karang di daerah reservasi dan non-reservasi tidak berbeda secara signifikan. Di luar
dugaan, penutupan karang mati di daerah reservasi terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Hasil analisis kelompok menunjukkan bahwa tidak terdapat pola yang mengindikasikan adanya hubungan spesifik antara karakteristik habitat bentik dengan status pengelolaan atau zonasi. Kelompok yang terbentuk adalah berdasarkan kualitas habitat bentik, mulai dari kondisi buruk, sedang hingga baik. Hasil uji statistik terhadap beberapa variabel komunitas kerapu menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan beberapa variabel secara spasial antara daerah reservasi dan non-reservasi, seperti: jumlah spesies, indeks keanekaragaman dan densitas. Juga terlihat adanya perbedaan signifikan secara temporal antara hasil sensus visual bulan Mei dan Juni. Perbedaan secara temporal diduga berkaitan dengan variasi akibat adanya perbedaan musim. Secara rerata terlihat bahwa kelimpahan ikan kerapu di daerah reservasi kira-kira dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah non-reservasi, nilai CPUE di daerah reservasi lebih tinggi, yakni sebesar 67-79% dibandingkan dengan di daerah nonreservasi, demikian pula indikator keanekaragaman terlihat lebih tinggi di daerah reservasi dibandingkan daerah non-reservasi. Hasil penelitian juga mengindikasikan tingginya kondisi kelimpahan jenis ikan karang lainnya di daerah reservasi dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Hal ini terlihat dari variabel jumlah tangkapan sampingan alat tangkap bubu yang berbeda secara signifikan antara daerah reservasi dan non-reservasi. Analisis kelompok berdasarkan variabel komunitas ikan kerapu hasil sensus visual dan hasil penangkapan menggunakan bubu menunjukkan terbentuknya 2 kelompok stasiun berdasarkan status perlindungannya, yakni kelompok daerah reservasi/zona inti dan kelompok daerah non-reservasi/zona pemukiman. Komunitas kerapu di daerah reservasi memiliki karakteristik keanekaragaman dan kelimpahan yang lebih tinggi, serta ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan di daerah nonreservasi. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang kuat (rs=0,88) dan signifikan (P=0.004) antara kelimpahan populasi kerapu dengan status perlindungan. Selain itu, juga terlihat adanya hubungan yang cukup erat dan cukup signifikan antara persen tutupan karang hidup dengan jumlah spesies ikan kerapu (rs=0,69; P=0,06), dan indeks keanekaragaman ikan kerapu (rs=0,64; P=0,09). Hasil ini mengindikasikan bahwa bahwa kelimpahan ikan kerapu di lokasi penelitian lebih dipengaruhi oleh status perlindungan yang merepresentasikan perbedaan tekanan penangkapan, sedangkan keanekaragaman ikan kerapu dipengaruhi oleh kondisi tutupan karang hidup. Analisis univariat dalam penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik habitat bentik di zona inti tidak berbeda secara signifikan dengan di zona pemukiman. Persen penutupan karang mati yang diharapkan lebih rendah di zona inti dibandingkan dengan zona pemukiman ternyata menunjukkan hal sebaliknya. Lebih lanjut analisis multivariat menggunakan analisis kelompok tidak menunjukkan adanya pengelompokan habitat bentik menurut zonasi, yang juga berarti status perlindungan yang berlaku di zona inti tidak memberikan dampak bagi kondisi terumbu karang. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengelolaan zona inti III tidak efektif dalam mencapai tujuan penetapannya, yakni melindungi ekosistem terumbu karang. Karakteristik komunitas kerapu berdasarkan hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan antara zona inti dan zona pemukiman.
Di zona inti ditemukan keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu yang lebih tinggi dibandingkan dengan di zona pemukiman. Berdasarkan karakteristik komunitas kerapu tersebut terlihat bahwa zona inti cukup efektif dalam mempertahankan dan memelihara keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu. Namun demikian, beberapa variabel ikan kerapu tidak memiliki perbedaan secara signifikan antara zona inti dan zona pemukiman, seperti: distribusi frekuensi ukuran kerapu hasil sensus, ukuran rerata hasil penangkapan dan CPUE. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun cukup efektif, namun dampak yang diharapkan dari zona inti relatif masih belum optimal. Berdasarkan hasil pengamatan, ketidakefektifan zona inti dalam melindungi ekosistem terumbu karang serta belum optimalnya dampak yang diharapkan terhadap keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu, terutama disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) belum ada pengawasan yang intensif dan upaya penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran aturan di kawasan zona inti; (2) kesadaran masyarakat akan manfaat zona inti masih rendah; (3) keterlibatan masyarakat dalam proses pengelolaan, termasuk dalam hal pengawasan masih rendah; (4) zona inti yang ada memang tidak dirancang untuk tujuan pengelolaan perikanan, khususnya perikanan kerapu, sehingga tidak mempertimbangkan aspek bio-ekologi ikan kerapu (seperti: lokasi pemijahan massal) dalam proses penetapannya. Penelitian ini menyarankan 2 hal sebagai bagian dari upaya pengelolaan perikanan kerapu berbasis ekologi di perairan Kepulauan Seribu, yaitu: 1) Mengoptimalkan pengelolaan zona inti yang sudah ada dengan cara: a) melakukan pengawasan dan penegakan hukum secara intensif, (b) melakukan sosialisasi dan penyadaran masyarakat, (c) melibatkan masyarakat dalam sistem pengelolaan, terutama dalam hal pengawasan, dan (d) melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala dan berkelanjutan untuk perbaikan pengelolaan di masa mendatang; 2) Mengidentifikasi dan memetakan lokasi dan waktu pemijahan massal spesies kerapu sebagai salah satu dasar pertimbangan bagi pengelolaan perikanan kerapu di perairan Kepulauan Seribu. Kata kunci: daerah reservasi, kerapu, habitat bentik, keanekaragaman, kelimpahan, pengelolaan.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN IKAN KERAPU (SERRANIDAE) DI DAERAH RESERVASI (ZONA INTI) DAN NON-RESERVASI (ZONA PEMUKIMAN) TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA
JIMMI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc.
Judul Tesis
Nama NIM
: Keanekaragaman dan Kelimpahan Ikan Kerapu (Serranidae) di Daerah Reservasi (Zona Inti) dan Non-Reservasi (Zona Pemukiman) Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Jakarta : Jimmi : C 252070404
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Etty Riani H., M.S. Ketua
Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 25 November 2009
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 30 Desember 1975. Penulis merupakan putra ke tiga dari empat bersaudara dari pasangan ayah H. Syahril dan ibu Hj. Erliwati. Tahun 1994 penulis lulus dari SMA Negeri IV Koto Kabupaten AgamProvinsi Sumatera Barat dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) dengan spesialisasi penelitian bidang kajian ekologi terumbu karang. Pada tahun 1999 penulis memperoleh gelar sarjana perikanan dari FPIK-IPB. Pada tahun 2007 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan jenjang pendidikan Program Magister Sains (S2) pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana-IPB yang merupakan program pendidikan sandwich kerjasama IPB dan Xiamen University Republik Rakyat China, melalui pendanaan dari COREMAP II-DKP-ADB. Penulis bekerja sebagai staf pelaksana pada Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan, sejak tahun 2002 sampai sekarang.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala hidayah dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei hingga Agustus 2009 ini ialah “Keanekaragaman dan Kelimpahan Ikan Kerapu (Serranidae) di Daerah Reservasi (Zona Inti) dan Non-Reservasi (Zona Pemukiman) Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Jakarta”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Etty Riani H., M.S dan Bapak Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA selaku komisi pembimbing yang telah memberikan ide pemikiran dan arahan dalam penyusunan tesis; Bapak Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc. selaku penguji luar komisi atas masukan dan saran demi kesempurnaan tesis; Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA sebagai Ketua Program Studi beserta staf pengajar dan staf sekretariat SPL atas bimbingan dan bantuan selama masa studi penulis di SPL-IPB; Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. selaku Ketua Departemen MSP dan penanggung jawab Program SPL Sandwich COREMAP II-ADB. Disamping itu penulis sampaikan juga terima kasih kepada program COREMAP II-DKP dan Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan pendidikan dan beasiswa yang diberikan, serta Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu atas bantuan dan ijin yang diberikan untuk melakukan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahnda, ibunda, isteri, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya; rekan-rekan SPLSandwich COREMAP II-ADB atas kebersamaannya selama mengikuti masa studi; teman-teman selama penelitian di lapangan (Amehr, Dedy, Djae, Mundus dan Pak Mustafa) atas kerjasama dan dukungan yang diberikan selama penelitian. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, masukan berupa kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan untuk kesempurnaan penulisan ini. Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat.
Bogor, November 2009
Jimmi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................. xiii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xiv DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xvi 1 PENDAHULUAN .......................................................................................... 1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah .................................................................................. 1.3 Kerangka Pikir Penelitian ......................................................................... 1.4 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 1.5 Manfaat Penelitian ....................................................................................
1 1 3 4 7 7
2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................................... 2.1 Terumbu Karang ...................................................................................... 2.2 Ikan Karang ............................................................................................. 2.3 Interaksi Terumbu Karang dan Ikan Karang ........................................... 2.4 Karakteristik Ikan Kerapu sebagai Ikan Karang ...................................... 2.5 Dampak Penangkapan terhadap Stok Ikan .............................................. 2.6 Dampak Reservasi Laut terhadap Komunitas Ikan Karang .....................
8 8 11 12 14 16 18
3 METODE PENELITIAN ................................................................................ 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................................... 3.2 Alat dan Bahan Penelitian ....................................................................... 3.3 Jenis dan Sumber Data ............................................................................ 3.4 Metode Pengumpulan Data ..................................................................... 3.4.1 Pengumpulan Data Parameter Perairan .......................................... 3.4.2 Pengumpulan Data Habitat Bentik ................................................. 3.4.3 Pengumpulan Data Komunitas Kerapu .......................................... 3.5 Analisis Data ............................................................................................ 3.5.1 Komunitas Ikan Kerapu .................................................................. 3.5.1.1 Kelimpahan ....................................................................... 3.5.1.2 Keanekaragaman .............................................................. 3.5.2 Habitat Bentik ................................................................................. 3.5.2.1 Persentase Tutupan Karang ............................................... 3.5.2.2 Keanekaragaman karang.................................................... 3.5.3 Uji Beda Nyata ............................................................................... 3.5.4 Analisis Kelompok ......................................................................... 3.5.5 Analisis Korelasi ............................................................................
20 20 22 22 24 24 24 26 28 28 28 28 29 29 29 30 31 31
xi
xii
4 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN .......................................... 4.1 Letak Geografis dan Administratif .......................................................... 4.2 Kondisi Geo-Ekologis dan Oseanografi .................................................. 4.3 Keragaan Perikanan Tangkap Kerapu di Kepulauan Seribu ................... 4.4 Status Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu .................
33 33 33 36 38
5 HASIL PENELITIAN ..................................................................................... 5.1 Kondisi Parameter Fisika-Kimia Perairan ............................................... 5.2 Karakteristik Habitat Bentik .................................................................... 5.3 Karakteristik Komunitas Ikan Kerapu ..................................................... 5.3.1 Hasil Sensus Visual ....................................................................... 5.3.2 Hasil Tangkapan Bubu .................................................................. 5.4 Pola Pengelompokan Habitat Bentik dan Komunitas Kerapu ................. 5.5 Hubungan Ikan Kerapu dengan Kondisi Habitat .....................................
42 42 43 48 48 54 56 62
6 PEMBAHASAN ............................................................................................. 6.1 Variasi Parameter Fisika-kimia Perairan ................................................. 6.2 Variasi Karakteristik Habitat Bentik ........................................................ 6.3 Variasi Karakteristik Komunitas Kerapu ................................................. 6.4 Keterkaitan Karakteristik Habitat dan Komunitas Kerapu ....................... 6.5 Efektivitas Ekologi Zona Inti ................................................................... 6.6 Implikasi Pengelolaan...............................................................................
64 64 66 68 72 73 77
7 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 79 7.1 Kesimpulan .............................................................................................. 79 7.2 Saran ........................................................................................................ 79 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 80 LAMPIRAN
...................................................................................................... 86
xii
xiii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Letak geografis stasiun pengamatan .......................................................... 20
2
Alat ukur parameter fisika-kimia perairan .................................................. 22
3
Jenis dan sumber data primer ...................................................................... 23
4
Daftar penggolongan komponen dasar penyusun komunitas karang berdasarkan lifeform karang ....................................................................... 26
5
Kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang berdasarkan persentase tutupan karang (Gomez and Yap, 1988) ................................... 29
6
Nilai rerata parameter fisika-kimia perairan hasil pengukuran bulan Mei dan Juni .............................................................................................. 41
7
Karakteristik substrat bentik di daerah reservasi dan non-reservasi serta kesimpulan hasil uji-t ........................................................................ 43
8
Nilai beberapa varaibel ekologi ikan kerapu di daerah reservasi dan non-reservasi berdasarkan hasil sensus visual pada bulan Mei dan Juni serta hasil uji-t secara spasial dan temporal ........................................ 50
9
Nilai beberapa variabel hasil tangkapan kerapu di daerah reservasi dan non-reservasi serta hasil uji-t .............................................................. 55
10 Nilai tengah, standar deviasi dan indeks dd variabel substrat bentik di tiga kelompok stasiun hasil analisis kelompok .................................... 57 11 Nilai tengah, standar deviasi dan indeks dd variabel komunitas kerapu hasil sensus visual dan hasil penangkapan menggunakan bubu di dua kelompok stasiun berdasarkan analisis kelompok .............................. 61 12 Korelasi antara variabel komunitas kerapu dan variabel habitat menggunakan Spearman rank correlation coefficient (rs) ........................ 63
xiii
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Bagan alir kerangka pikir penelitian ........................................................... 5
2
Bagan alir alur penelitian ............................................................................ 6
3
Lokasi penelitian keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu di daerah reservasi (zona inti) dan non-reservasi (zona pemukiman) TNL-Kepulauan Seribu, Jakarta ................................................................ 21 Posisi transek untuk pengamatan terumbu karang ..................................... 25
4 5
Bingkai tetrapod untuk fotografi tutupan karang (modifikasi dari English et al.1997) ...................................................................................... 25
6
Metode sensus visual bawah air ikan karang (underwater visual census) (English et al. 1997) ...................................................................... 27
7
Sistem Zonasi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu berdasarkan SK Dirjen PHKA No. SK.05/IV-KK/2004 tanggal 27 Januari 2004 tentang Pembagian Zona Kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (Sumber: BTNLKS) ....................................................................... 41
8
Rerata tutupan kelompok substrat bentik di area reservasi dan non-reservasi (error bar = standar deviasi) .............................................. 44
9
Persen tutupan komponen penyusun kelompok karang mati: karang mati beralga (DCA), karang mati baru (RDC), karang mati berupa patahan (DCR) .......................................................................................... 44
10 Persen tutupan komponen penyusun lifeform Acropora: Acropora bercabang (ACB), Acropora tabung (ACD), Acropora submassif (ACS), Acropora meja (ACT) .................................................................... 45 11 Persen tutupan komponen penyusun lifeform non-Acropora: karang bercabang (CB), karang kerak (CE), karang daun (CF), karang massif (CM), karang jamur (CMR), karang submassif, karang api (CML)........... 46 12 Rerata nilai indikator keanekaragaman karang di daerah reservasi dan non-reservasi (error bar = standar deviasi) ........................................ 46 13 Jumlah genus dan lifeform karang di stasiun pengamatan ......................... 47 14 Indeks keanekaragaman genus dan lifeform karang di stasiun pengamatan ................................................................................................ 48 15 Komposisi spesies ikan kerapu di daerah reservasi dan non-reservasi: (a) hasil sensus visual pada bulan Mei, (b) hasil sensus visual pada (b) bulan Juni, (c) total hasil sensus visual pada bulan Mei dan Juni ........ 49
xiv
xv
Halaman 16 Rerata jumlah spesies kerapu hasil sensus visual pada bulan Mei dan Juni di daerah reservasi dan non-reservasi (error bar = standar deviasi) ....................................................................................................... 51 17 Rerata indeks keanekaragaman Shannon (H’) pada bulan Mei dan Juni di daerah reservasi dan non-reservasi (error bar = standar deviasi) .......... 51 18 Rerata densitas ikan kerapu hasil sensus visual pada bulan Mei dan Juni di daerah reservasi dan non-reservasi (error bar = standar deviasi) ........................................................................................... 51 19 Distribusi frekuensi ukuran kerapu hasil sensus visual. (a) Bulan Mei, (b) Bulan Juni, (c) Rerata bulan Mei dan Juni ................................... 53 20 Komposisi spesies ikan kerapu hasil penangkapan menggunakan bubu di daerah reservasi dan non-reservasi ......................................................... 54 21 Distribusi frekuensi ukuran kerapu hasil tangkapan menggunakan bubu di daerah reservasi dan non-reservasi ............................................... 56 22 Dendrogram hierarki variabel habitat bentik menggunakan jarak Euclidian ..................................................................................................... 57 23 Hasil analisis kelompok berdasarkan variabel substrat bentik. Histogram menunjukkan nilai index dd untuk masing-masing variabel. (a) Kelompok 1; (b) Kelompok 2; (c) Kelompok 3 .................... 59 24 Dendrogram hierarki variabel komunitas ikan kerapu menggunakan jarak Euclidian. (A) hasil sensus visual, (B) hasil penangkapan menggunakan bubu .................................................................................... 60 25 Hasil analisis kelompok berdasarkan variabel komunitas ikan kerapu dari hasil sensus visual dan penangkapan menggunakan bubu. Histogram menunjukkan nilai index dd untuk masing-masing variabel .... 62
xv
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Hasil pengukuran parameter fisika-kimia perairan pada bulan Mei dan Juni ...................................................................................................... 86
2
Persentase tutupan dan indikator keanekaragaman substrat bentik ........... 87
3
Kelimpahan dan keanekaragaman ikan kerapu hasil sensus visual pada bulan Mei dan Juni 2009 ................................................................... 90
4
Data hasil tangkapan kerapu menggunakan alat tangkap bubu ................. 91
5
Visualisasi komponen patahan karang (DCR) di stasiun pengamatan Pulau Belanda, Zona Inti TNL-KS ............................................................ 93
6
Spesies kerapu hasil sensus visual dan hasil tangkapan menggunakan bubu kompresor di lokasi penelitian ................................... 94
7
Beberapa jenis ikan hasil tangkapan sampingan alat tangkap bubu kompresor ................................................................................................. 97
8
Pengoperasian alat tangkap bubu kompresor di Kepulauan Seribu ........... 98
xvi
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi dengannya. Keanekaragaman biologi yang tinggi pada ekosistem ini tercermin dari beragamnya jenis hewan karang dan ikan karang yang ada. Ikan merupakan organisme yang jumlahnya terbanyak dan juga merupakan organisme besar yang mencolok yang dapat ditemui di sebuah terumbu karang (Nybakken 1988). Saat ini diketahui paling tidak terdapat sekitar 2.500 spesies ikan karang dan 400 spesies karang di perairan Indonesia (Djohani 1997). Ikan karang telah menyediakan sumber pangan dan sumber pendapatan bagi masyarakat pesisir di berbagai belahan dunia. Namun upaya pemanfaatan terhadap sumberdaya ini, serta aktivitas manusia lainnya telah menurunkan kemampuan produksi dan kelestarian pemanfaatannya (Sale 2002). Meningkatnya permintaan tehadap jenis-jenis ikan karang, terutama untuk keperluan konsumsi telah mendorong intensitas penangkapan ikan karang, khususnya di wilayah perairan Indo-Pasifik. Perdagangan ikan karang hidup untuk konsumsi (The Live Reef Food Fish Trade-LRFFT) secara cepat berkembang di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya pada dekade 1990-an (Mous et al. 2000), dan permintaan terhadap ikan hidup ini diproyeksikan terus bertambah di masa mendatang (Dragon Search 1996). Perdagangan tersebut terutama didominasi oleh jenis ikan kerapu (Suku Serranidae, khususnya Cromileptes altivelis dan spesies Plectropomus dan Epinephelus) serta jenis Napoleon wrasse (Cheilinus undulatus) (Mous et al. 2000). Jenis ikan kerapu (Suku Serranidae) dikenal dalam perdagangan internasional dengan nama grouper, merupakan predator puncak (top predator) dalam suatu ekosistem terumbu karang yang hidup dari memangsa ikan, krustasea dan chepalopoda sehingga memainkan peranan penting dalam pembentukan komunitas terumbu karang. Oleh karenanya, populasi kerapu yang besar menunjukkan sebuah komunitas terumbu yang produktif dan berkembang dengan
2
baik meskipun mengalami eksploitasi berat (Bohnsack 1994; Chiappone et al. 2000; Costa et al. 2003 dalam Unsworth et al. 2007). Umur yang panjang, pertumbuhan yang lambat serta adanya kecenderungan melakukan pemijahan secara massal (spawning aggregation) membuat ikan kerapu rentan terhadap penangkapan berlebih (over-fishing) (Sadovy and Colin 1995 dalam Unsworth et al. 2007). Perdagangan ikan kerapu di Indonesia berkembang dengan cepat pada pertengahan tahun 1990-an, dimana jumlah ekspor sebesar 300 ton pada tahun 1989 menjadi 3.800 ton pada tahun 1995 (DKP 2003). Menurut importir yang berbasis di Hong Kong, Indonesia menyuplai lebih dari 50% tangkapan ikan karang hidup ke Hong Kong dan Singapura (Johannes & Riepen 1995) dan tercatat sebagai negara pengekspor utama jenis kerapu tikus (Cromileptes altivelis) dan giant grouper (Epinephelus lanceolatus) bersama dengan Phillipina (Lau & Parry-Jones 1999). Perairan Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan penghasil ikan kerapu di Indonesia. Produksi kerapu di perairan Kepulauan Seribu terutama berasal dari hasil tangkapan, walaupun saat ini sudah dikembangkan budidaya ikan kerapu dengan menggunakan karamba jaring apung. Perikanan kerapu memegang peranan penting dalam kegiatan penangkapan di kawasan ini dimana hasil penangkapan menyumbang sebesar 90,54 ton pada tahun 2004 dengan nilai sebesar Rp. 226,35 juta (Sari 2006). Namun demikian Sari (2006) selanjutnya menyimpulkan bahwa tingkat pemanfaatan ikan kerapu hasil tangkapan di perairan Kepulauan Seribu (rerata produksi aktual periode 1994-2004 sebesar 50.504 kg/tahun) telah melebihi tingkat pemanfaatan optimal yang diperbolehkan (29.940 kg/tahun), dengan kata lain pemanfaatan ikan kerapu telah berada pada taraf over-fishing. Sementara itu, tekanan akibat aktivitas manusia lainnya seperti penangkapan ikan yang merusak, pencemaran air, penimbunan sampah, penambangan pasir dan karang serta penebangan mangrove mengambil porsi terbesar bagi kerusakan terumbu karang (Estradivari et al. 2007) sebagai habitat berbagai jenis ikan karang konsumsi, termasuk jenis kerapu di wilayah perairan laut Kepulauan Seribu. Di sisi lain, belum adanya pengendalian terhadap upaya (effort) dan hasil tangkapan (catch), menyebabkan perikanan kerapu di perairan
3
Kepulauan Seribu semakin berada dalam resiko akibat dari ketidakpastian pengelolaan. Dalam upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistem di kawasan perairan Kepulauan Seribu, termasuk keanekaragaman jenis karang dan berbagai biota laut, Pemerintah mengubah fungsi Kepulauan Seribu dari cagar alam laut menjadi taman nasional laut melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 162/Kpts-II/1995 tanggal 21 Maret 1995. Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNL-KS) kemudian dikelola melalui sistem zonasi sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Terdapat empat zona pengelolaan di kawasan TNL-KS (Gambar 7), salah satunya adalah zona inti yang merupakan daerah reservasi alami yang ketat. Zona inti di TNL-KS terdiri dari 3 area: Zona Inti I diperuntukkan bagi habitat alami penyu sisik, Zona Inti II bagi tempat bertelur penyu sisik, dan Zona Inti III diperuntukkan bagi perlindungan ekosistem terumbu karang. Status tangkap lebih,
terjadinya degradasi
habitat serta adanya
ketidakpastian pengelolaan pada perikanan kerapu di perairan Kepulauan Seribu menyebabkan zona inti sebagai kawasan reservasi yang ada di TNL-KS memiliki peran strategis dalam menopang produktivitas dan mencegah terjadinya kolaps perikanan kerapu di Kepulauan Seribu, baik melalui mekanisme limpahan individu dewasa (spillover) maupun ekspor larva (Russ 1991). Zona inti dapat berperan sebagai “oase” bagi produktifitas spesies target, mengingat statusnya yang tertutup bagi aktifitas penangkapan. Namun demikian, seberapa besar peran tersebut tergantung dari sejauh mana efektivitas penetapan daerah reservasi itu sendiri. Untuk mengetahui hal tersebut, maka salah satu informasi dasar yang diperlukan adalah informasi mengenai kondisi keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu di daerah reservasi dan di daerah tempat aktivitas penangkapan dan degradasi habitat berlangsung secara intensif sebagai perbandingan.
1.2 Perumusan Masalah Kondisi pemanfaatan ikan kerapu di perairan TNL-KS seperti telah disinggung pada sub-bab sebelumnya telah berada pada taraf tangkap lebih,
4
sementara itu kondisi terumbu karang sebagai habitat ikan kerapu terus mengalami degradasi terutama disebabkan oleh faktor antropogenik. Perikanan kerapu di perairan Kepulauan Seribu semakin terancam mengalami kolaps akibat belum adanya kebijakan pengendalian terhadap upaya maupun hasil tangkapan oleh nelayan. Zona inti sebagai kawasan reservasi memiliki peran strategis dalam menopang produktivitas dan menghambat terjadinya kolaps pada perikanan kerapu di Kepulauan Seribu, namun hal ini tergantung dari efektivitas penetapan zona inti itu sendiri. Untuk itu, beberapa pertanyaan penelitian (research question) yang sekaligus menjadi permasalahan dalam penelitian ini perlu dijawab, yaitu: 1.
Bagaimana karakteristik komunitas dan habitat ikan kerapu di daerah reservasi (zona inti) dan di daerah tempat berlangsungnya aktivitas penangkapan dan degradasi habitat secara intensif?
2.
Faktor apakah yang mempengaruhi kelimpahan dan keanekaragaman ikan kerapu di lokasi penelitian?
3.
Apakah penetapan daerah reservasi efektif ditinjau dari perspektif perikanan kerapu?
1.3 Kerangka Pikir Penelitian Sumberdaya ikan kerapu berada dalam ekosistem terumbu karang yang kompleks, yang komponen di dalamnya saling berinteraksi membentuk keseimbangan ekologi. Secara garis besar, komponen tersebut terdiri dari lingkungan biofisik perairan, terumbu karang dan komunitas ikan kerapu itu sendiri. Oleh karena itu, suatu pengelolaan perikanan kerapu yang baik harus mempertimbangkan adanya keseimbangan antara ketiga komponen tersebut. Untuk mengetahui karakteristik komunitas dan habitat
ikan kerapu di
daerah reservasi (zona inti) yang merupakan representasi dari kondisi perairan yang masih alami dan daerah non-reservasi (zona pemukiman) yang merupakan respresentasi dari kondisi perairan tempat penangkapan berlebih dan degradasi habitat terjadi, serta untuk melihat efektifitas zona inti dalam perspektif perikanan kerapu, maka penelitian difokuskan pada tiga komponen data dan informasi, yaitu: 1) kondisi ikan kerapu, 2) kondisi habitat bentik (terumbu karang), dan 3) kondisi parameter lingkungan perairan.
5
Karakteristik komunitas dan habitat ikan kerapu di masing-masing zona dianalisis untuk mengetahui keterkaitan antara kondisi ikan kerapu dengan habitat dan mengetahui efektivitas penetapan zona inti. Berdasarkan analisis keterkaitan kondisi ikan kerapu dengan habitat dapat diketahui faktor utama yang mempengaruhi keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu di lokasi penelitian. Penilaian terhadap efektivitas zona inti berdasarkan pada karakteristik komunitas maupun habitat ikan kerapu di zona inti dan zona pemukiman. Hasil analisis keterkaitan kondisi ikan kerapu dengan habitat dan hasil penilaian efektivitas penetapan
zona
inti
dijadikan
sebagai
dasar
dalam
merumuskan
saran/rekomendasi pengelolaan berbasis ekologi bagi perikanan kerapu di lokasi penelitian dengan mempertimbangkan kondisi parameter lingkungan perairan. Kerangka pikir yang digunakan dalam penelitian ini selengkapnya seperti disajikan dalam bagan alir pada Gambar 1 berikut.
Perairan TNL-KS - Tangkap lebih - Degradasi habitat
Daerah non-reservasi
Daerah reservasi
- F=0 - Degradasi habitat=0
Komunitas & habitat ikan kerapu
Kondisi ikan kerapu (keanekaragaman & kelimpahan )
Kondisi habitat bentik (% penutupan & keanekaragaman)
Kondisi lingkungan perairan (parameter fisika -kimia perairan)
Analisis karakteristik komunitas ikan kerapu
Analisis karakteristik habitat bentik
Analisis kondisi perairan
Analisis hubungan kondisi ikan kerapu dan kondisi habitat
Efektivitas daerah reservasi
Saran pengelolaan
Gambar 1 Bagan alir kerangka pikir penelitian.
Faktor luar
6
Pendekatan penelitian yang telah dirumuskan selanjutnya diuraikan dalam sebuah alur penelitian seperti disajikan dalam Gambar 2. Penelitian dimulai dengan melakukan studi literatur yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan di dunia, di Indonesia dan di lokasi penelitian, khususnya informasi dan hasil-hasil penelitian yang berhubungan dengan perikanan kerapu. Berdasarkan studi literatur tersebut, selanjutnya permasalahan dan tujuan penelitian dirumuskan sebagai dasar dalam melaksanakan penelitian.
Mulai
Studi Literatur
- Observasi bawah air - Survei trip penangkapan - Pengukuran parameter lingkungan perairan
Studi Lapang
- Kondisi ikan kerapu - Kondisi habitat bentik - Kondisi parameter lingkungan
Tabulasi & Pengolahan Data - Karakteristik kerapu & habitat bentik - Hubungan kerapu vs habitat - Efektivitas ekologi daerah reservasi (zona inti)
Analisis Data
Deskripsi Hasil
Rekomendasi & saran pengelolaan
Penarikan Kesimpulan
Selesai
Gambar 2 Bagan alir alur penelitian.
Tahap berikutnya adalah dilakukannya studi lapang untuk memperoleh data dan informasi tentang kondisi riil sumberdaya ikan kerapu dan habitat bentik serta kondisi parameter lingkungan perairan. Studi lapang dilakukan melalui teknik observasi bawah air, survei trip penangkapan serta pengukuran terhadap parameter lingkungan perairan. Data hasil studi lapang kemudian ditabulasi dan
7
diolah untuk kemudian dilakukan analisis. Analisis data yang dilakukan terdiri dari: (1) Analisis karakteristik komunitas ikan kerapu di masing-masing zona; (2) Analisis karakteristik habitat bentik di masing-masing zona; (3) Analisis hubungan kondisi ikan kerapu dan habitat, untuk mengetahui
faktor yang
mempengaruhi keberadaan ikan kerapu; serta (4) Analisis efektivitas daerah reservasi (zona inti). Hasil analisis tersebut kemudian dideskripsikan sebagai hasil penelitian untuk kemudian dilakukan penarikan kesimpulan yang disajikan sebagi rekomendasi dan saran bagi pengelolaan berbasis ekologi bagi pemanfaatan ikan kerapu secara berkelanjutan di lokasi penelitian. 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Mengidentifikasi karakteristik komunitas dan habitat ikan kerapu di daerah reservasi (zona inti) dan non-reservasi (zona pemukiman) TNL-KS.
2.
Menganalisis faktor yang mempengaruhi kelimpahan dan keanekaragaman ikan kerapu di lokasi penelitian.
3.
Menganalisis efektivitas daerah reservasi (zona inti) ditinjau dari perspektif perikanan kerapu.
1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan ekologis bagi pengelolaan pemanfaatan ikan kerapu secara berkelanjutan di lokasi penelitian serta menyediakan informasi bagi pengelola taman nasional dalam mengevaluasi sistem zonasi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Terumbu Karang Terumbu karang adalah endapan-endapan massif kalsium karbonat (CaCO3) yang terutama dihasilkan oleh hewan karang (Filum Cnidaria, Kelas Anthozoa, Ordo Madreporaria=Scleractinia), dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organism-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken, 1988). Sebagaimana organisme yang termasuk dalam kelompok yang bersifat sessil di dasar perairan, karang rentan dengan terjadinya perubahan lingkungan. Beberapa faktor pembatas utama dalam menentukan kehadiran dan kelangsungan hidup karang pada suatu perairan meliputi (Thamrin 2006): a)
Kedalaman. Hewan karang hanya akan ditemukan sampai kedalaman dimana cahaya masih ditolerir zooxhantellae yang hidup di dalam jaringan tubuh karang. Karang penghasil terumbu (hermatypic) ditemukan dari daerah intertidal sampai kedalaman 70 m, akan tetapi pada umumnya ditemukan sampai kedalaman 50 m. Sebagian besar hidup dengan subur sampai kedalaman 20 m, dan lebih rinci lagi keanekaragaman spesies dan pertumbuhan terbaik ditemukan pada kedalaman antara 3 sampai 10 m.
b) Suhu. Karang hermatypic tumbuh dan berkembang dengan subur antara suhu 25-290C. Secara umum diketahui suhu terendah untuk organisme ini adalah pada suhu 180C pada musim dingin dan suhu tertinggi sekitar 320C pada musim panas. c)
Salinitas. Kisaran salinitas pada umumnya karang masih ditemukan antara 27-40‰, dan pertumbuhan terbaik karang berkisar antara 34-36‰.
d) Cahaya. Cahaya dibutuhkan karang dalam bentuk hubungan tidak langsung. Pada prinsipnya cahaya dibutuhkan simbion karang zooxanthellae yang hidup di dalam jaringan tubuh karang hermatypic yang merupakan penyuplai utama kebutuhan hidup karang. e)
Arus. Arus diperlukan karang dalam memperoleh makanan dalam bentuk zooplankton dan oksigen serta dalam membersihkan permukaan karang dari sedimen. Arus juga berperan besar dalam proses fertilisasi dan distribusi karang, terutama dalam masa pemijahan dan tahap larva.
9
f)
Substrat. Pada umumnya larva karang mampu menempel pada berbagai tipe substrat keras, seperti berbagai jenis batu-batuan, skeleton karang yang telah mati, kerangka atau cangkang berbagai jenis hewan dasar laut baik yang bebas bergerak maupun yang hidup menetap.
g) Kecerahan perairan. Kecerahan perairan berhubungan dengan padatan tersuspensi dan cahaya yang sampai ke dalam perairan. Intensitas cahaya yang masuk akan semakin besar dan dalam bila perairan memiliki kecerahan yang tinggi. Kecerahan dan cahaya menjadi faktor pembatas melalui hubungan secara tidak langsung dengan hewan karang sebagai inang bagi zooxhantellae. Karang mempunyai variasi bentuk pertumbuhan individu maupun koloni yang berkaitan erat dengan tata air dan pencahayaan dari sinar matahari pada masing-masing lokasi. Suharsono (1984) mengatakan bahwa perbedaan tempat hidup, kondisi lingkungan serta bertambahnya kedalaman merupakan faktor yang mempengaruhi morfologi karang. Masing-masing jenis karang penyusun terumbu karang mempunyai respon yang spesifik terhadap lingkungannya. Faktor yang paling berpengaruh terhadap bentuk pertumbuhan karang dan komposisi genetiknya (berdasarkan genus) menurut Wood (1977) adalah kedalaman, kuat arus dan gelombang. Suatu jenis karang dari marga yang sama dapat mempunyai bentuk pertumbuhan yang berbeda-beda (Wijsman-Best 1977) dan menyebar pada lokasilokasi yang berbeda. Perairan yang memiliki kondisi fisik serupa, dapat mendukung kehidupan karang dengan bentuk pertumbuhan yang mirip walaupun secara taksonomis berbeda (Wood 1977). Beberapa contoh tipe pertumbuhan biota karang batu dan karakteristik dari masing-masing genera menurut Dahl dalam Ongkosongo (1988) yaitu: 1.
Tipe bercabang (branching) Memiliki cabang dengan ukuran cabang lebih panjang dibandingkan dengan ketebalan atau diameter yang dimilikinya.
2.
Tipe padat (massive) Berbentuk seperti bola, ukurannya bervariasi mulai dari sebesar telur sampai sebesar ukuran rumah. Jika beberapa bagian dari karang ini mati, maka akan
10
berkembang menjadi tonjolan, sedangkan bila berada di daerah dangkal maka bagian atasnya akan berbentuk seperti cincin. Permukaan terumbu halus dan padat. 3.
Tipe kerak (encrusting) Tumbuh menutupi permukaan dasar terumbu atau sering ditemukan merambat di atas permukaan biota karang massif ataupun karang yang sudah mati. Tipe karang ini memiliki permukaan yang kasar dan keras serta lubanglubang kecil.
4.
Tipe daun (foliose) Tumbuh dalam bentuk lembaran-lembaran yang menonjol pada dasar terumbu, dapat berukuran besar dan kecil serta membentuk lipatan yang melingkar.
5.
Tipe meja (tabulate) Menyerupai meja dengan permukaan yang lebar dan datar. Ditopang oleh sebuah batang yang berpusat atau bertumpu pada satu sisi membentuk sudut atau datar.
6.
Tipe jamur (mushroom) Berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit yang beralur dari tepi hingga pusat mulut. Suatu ketidakseimbangan tekanan atau variasi dalam lingkungan karang
Scleractinia dapat mengakibatkan terbentuknya zona-zona yang didominasi oleh fauna atau flora tertentu, hal ini juga dapat mengubah pola zonasi itu secara lokal maupun regional (Faure 1977). Di kepulauan Indonesia, Wijsman-Best (1977) menyatakan turun-naiknya permukaan laut pada masa lalu sebagai penyebab adanya perbedaan bentuk terumbu karang saat ini. Morton (1990) mengatakan bahwa pola penyebaran biota karang pada terumbu di Indo-Pasifik secara umum hampir sama. Pada daerah dimana energi gelombang paling besar diterima oleh terumbu dan kondisi turbulen besar, didominasi oleh Pocillopora spp yang berasosiasi dengan karang api (Millepora sp). Pada lereng terumbu paling luar dimana pergerakan air kecil, kecepatan arus dan kekuatan gelombang berkurang didominasi oleh Acropora spp dengan beberapa Pocillopora dan Millepora sebagai selingan. Bentuk utama Acropora
11
yang mendominasi daerah ini adalah bentuk tabulate (meja) dan branching (bercabang). Pada daerah rataan terumbu, daerah antara permukaan terumbu dan pantai yang merupakan daerah tenang, Porites sp merupakan jenis karang yang paling banyak terdapat dan biasanya berasosiasi dengan Pavona sp. atau Acropora sp. bila terdapat pergerakan air. Sejalan dengan itu, Stoddart (1971) mengatakan bahwa komunitas Acropora banyak terdapat di terumbu yang menghadap angin (windward reef) dan komunitas Porites banyak terdapat di terumbu yang terlindung dan di selat-selat. Menurut Wood (1977) pendugaan penutupan karang dapat menunjukkan status dan sifat-sifat terumbu secara umum serta sangat berguna untuk perbandingan antar lokasi.
2.2 Ikan Karang Ikan karang merupakan jenis ikan yang umumnya menetap atau relatif tidak berpindah tempat (sedentary) dan pergerakannya relative mudah dijangkau. Jenis substrat untuk dijadikan habitat biasanya pada karang hidup, karang mati, pecahan karang dan karang lunak (Suharti 2005). Berdasarkan periode aktif mencari makan, ikan karang dapat dikelompokkan menjadi 3 (Adrim 1983; Terangi 2004), yaitu: 1)
Ikan nocturnal: Adalah jenis ikan karang yang aktif ketika malam hari. Ada sekitar 10% jenis ikan karang yang memiliki sifat nokturnal. Ikan ini bersembunyi di celahcelah karang atau gua karang sepanjang siang hari dan akan muncul ke permukaan air untuk mencari makan pada malam hari. Contohnya pada ikanikan dari Suku Holocentridae (swanggi), Suku Apogonidae (beseng), Suku Hamulidae, Priacanthidae (bigeyes), Muraenidae (eels), Serranidae (jewfish) dan beberapa dari Suku Mullidae (goatfish)
2)
Ikan diurnal: Adalah jenis karang yang aktif di siang hari. Meliputi sekitar 75% ikan yang hidup di daerah terumbu karang. Sebagian dari ikan-ikan ini berwarna sangat menarik serta umumnya sangat erat berkaitan dengan terumbu karang, contohnya
ikan
dari
Suku
Labridae
(wrasse),
Chaetodontidae
(butterflyfishes), Pomacentridae (damselfishes), Scaridae (parrotfishes),
12
Acanthuridae (surgeonfishes), Bleniidae (blennies), Balistidae (triggerfishes), Pomaccanthidae (angelfishes), Monacanthidae, Ostracionthidae (boxfishes), Tetraodontidae, Canthigasteridae dan beberapa dari Mullidae (goatfish). 3)
Ikan crepuscular Adalah jenis-jenis ikan karang yang aktif pada pagi hari atau pada sore sampai menjelang malam), contohnya pada ikan-ikan dari Suku Sphyraenidae (barracudas), Serranidae (groupers), Carrangidae (jacks), Scorpionidae (lionfishes),
Synodontidae
(lizardifishes),
Carcharinidae,
Lamnidae,
Spyrnidae (sharks) dan beberapa dari Muraenidae (eels). Ada beberapa ikan karang yang umumnya berukuran kecil dan sangat pandai menyamarkan dirinya dan menghabiskan sebagian besar waktunya bersembunyi di dalam struktur karang yang kompleks. Jenis ikan karang ini juga sering disebut ikan yang bersifat kriptik (tidak mudah dilihat). Berdasarkan karakteristik habitat, sebagian kecil ikan di terumbu karang hidupnya menguburkan diri di pasir, lumpur atau pecahan karang (rubble), contohnya ikan bloso (Saurida spp), ikan lidah/sebelah (Suku Cynoglossidae) dan sebagian ikan gobi (Suku Gobiidae). Sebagian kelompok ikan berlindung dan menjelajah di terumbu karang yang termasuk di dalamnya adalah ikan butana (herbivora), dan kelompok karnivora seperti ikan kakap dan ikan kerapu (Adrim 1983). Banyak jenis ikan karang yang hidupnya soliter, berpasangan atau berkelompok (schooling) baik dalam jumlah kecil maupun besar. Ini merupakan suatu strategi terutama bagi ikan yang hidupnya lebih banyak menjelajah kolom air terbuka (Suharti 2005).
2.3 Interaksi Terumbu Karang dan Ikan Karang Kawasan terumbu karang mempunyai struktur habitat yang kompleks dan ini menyediakan banyak ruang sebagai tempat perlindungan bagi berbagai spesies ikan (Connell 1978). Banyak penelitian telah dilakukan untuk melihat pengaruh kompleksitas habitat terhadap populasi ikan terumbu karang, namun hasil yang didapat berbeda-beda dari beberapa kajian yang dilakukan (Chabanet et al. 1997; Gratwicke and Speight 2005).
13
Kajian utama yang dilakukan adalah melihat pengaruh penutupan karang hidup terhadap populasi ikan karang. Banyak peneliti mendapatkan bahwa tutupan karang hidup mempunyai pengaruh positif terhadap keanekaragaman spesies dan kelimpahan inidividu ikan karang (Carpenter et al. 1982; Chabanet et al. 1997). Penelitian juga dilakukan untuk melihat dampak penutupan karang hidup terhadap beberapa suku tertentu, terutama dengan Suku Chaetodontidae, yang dijadikan sebagai bioindikator untuk suatu kawasan karang (Reese 1981). Ini karena suku ini adalah organisme pemakan karang (corallivorous) dan diketahui mempunyai korelasi yang positif dengan pentupan karang hidup (BouchonNavaro and Bouchon 1989), dan jika kawasan perairan karang terganggu, akan berdampak langsung kepada suku ini dan seterusnya akan mengurangi kelimpahan individu (Sano et al. 1987). Keberadaan ikan karang pada suatu daerah terumbu karang secara langsung dipengaruhi oleh kesehatan terumbu atau persentase penutupan karang hidup yang berhubungan dengan ketersediaan makanan, tempat berlindung dan tempat memijah bagi ikan (Sukarno, et al. 1983). Distribusi dan kelimpahan komunitas ikan karang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor biologi dan fisik seperti gelombang, beban sedimen, kedalaman perairan serta kompleksitas topografi (rugosity) dari substrat terumbu karang (Sano et al. 1984, Galzin et al. 1994, Chabanet et al. 1997). Secara ekologi, perkembangan ikan karang disebabkan karena beberapa faktor, yaitu (1) mobilitas dan ukuran ikan, yaitu ikan karang umumnya relatif tidak berpindah-pindah (sedentary) dan berukuran relatif kecil; (2) aksesibiltas (habitat yang mudah dicapai), yaitu perairannya relatif dangkal, berada di lingkungan yang hangat dan jernih dibandingkan dengan perairan yang lain; (3) skala pemanfaatan ruang/habitat, yaitu ikan karang baik larva maupun dewasanya hidup di perairan yang relatif dangkal, dekat dengan substrat yang solid dan dekat dengan daratan, siklus hidup ikan karang umumnya telah diketahui dan banyak diantaranya hidup hanya beberapa tahun walupun beberapa ada yang bisa berumur panjang (Suharti 2005). Namun demikian, terdapat juga kajian yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara kompleksitas habitat dengan populasi ikan terumbu
14
karang (Luckhurst dan Luckhurst 1978; McManus et al. 1982). Risk (1972), Luckhurst dan Luckhurst (1978) juga mendapati tidak terdapat adanya korelasi yang signifikan antara komunitias ikan karang dan keanekeragaman habitat dan spesies karang. Luckhurst dan Luckhurst (1978) juga menunjukkan tidak terdapat korelasi antara kondisi karang hidup dan kelimpahan ikan yang hidup dan bersembunyi di kawasan terumbu karang. Chabanet et al. (1997) juga menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kelimpahan individu ikan karnivora dan ikan pemakan plankton dengan kompleksitas habitat. Beberapa faktor yang menyebabkan hasil yang berbeda untuk hubungan antara populasi ikan karang dan habitatnya adalah penggunaan kumpulan taksonomi dan kumpulan ikan yang berbeda serta keragaman metode yang digunakan. Selain itu, hubungan antara populasi ikan dan substrat juga berbeda diantara habitat dan kawasan karang serta kawasan biogeografi yang berlainan (Chabanet et al. 1997; Gratwicke dan Speight 2005).
2.4 Karakteristik Ikan Kerapu sebagai Ikan Karang Ikan kerapu merupakan jenis ikan karang yang hidup di perairan terumbu karang. Dalam perdagangan internasional jenis-jenis ikan kerapu dikenal dengan nama grouper. Terdapat sekitar 150 spesies ikan kerapu di seluruh dunia yang tersebar di berbagai tipe habitat. Dari seluruh spesies yang ada, ikan kerapu dikelompokkan dalam 7 genus
dimana
3 diantaranya sudah
berhasil
dibudidayakan dan termasuk jenis komersial, yaitu genus Cromileptes, Plectropomus dan Epinephelus (Ahmad 2002). Pada umunya ikan kerapu muda hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5-3 m, selanjutnya menginjak dewasa beruaya ke perairan yang lebih dalam antara 7-40 m. Telur dan larva ikan kerapu macan bersifat pelagis, sedangkan yang individu muda dan dewasa bersifat demersal. Habitat favorit larva dan ikan kerapu muda adalah perairan pantai dengan dasar pasir berkarang yang banyak ditumbuhi padang lamun. Parameter lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu yaitu pada temperature 24-310C, salinitas 30-33 ppt, kandungan oksigen terlarut > 3,5 ppm dan pH 7,8-8. Perairan dengan kondisi
15
seperti ini pada umumnya terdapat di perairan terumbu karang (Lembaga Penelitian Undana 2006). Aktivitas mencari makan merupakan kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh semua jenis ikan baik dengan menggunakan indera penglihatan, perabaan maupun penciuman. Berdasarkan kebiasaan makan, secara garis besar ikan dapat diklasifikasikan sebagai ikan herbivora, omnivora
dan karnivora (Nybakken
1988). Ikan kerapu adalah termasuk jenis ikan karnivora dan cara makannya “menggerus”. Jenis ikan yang sering dimakan adalah ikan tembang, teri dan belanak. Pada umumnya ikan karnivora mempunyai gigi untuk menyergap, menahan dan merobek mangsa. Jari-jari tapis insangnya menyesuaikan untuk penahan, memegang, memarut dan menggilas mangsa. Ikan karnivora mempunyai lambung benar, palsu dan usus pendek, tebal dan elastic (Effendie 2002). Kebanyakan jenis ikan komersial penting, termasuk jenis-jenis kerapu dan napoleon melakukan aktivitas reproduksi dalam suatu pemijahan massal (spawning aggregation) yang melibatkan puluhan hingga puluhan ribu individu (Sadovy 1996). Pemijahan massal (spawning aggregation) adalah kelompok spesies ikan yang sama yang berkumpul untuk tujuan pemijahan, dimana denstitas dan jumlah ikan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan densitas dan jumlah ikan di lokasi agregasi tersebut pada saat tidak dalam masa reproduksi (Domeier & Colin 1997). Banyak ikan karang konsumsi berkumpul dalam jumlah besar pada lokasi, musim dan fase bulan yang spesifik untuk memijah (Sadovy 1996). Pada umumnya lokasi dan waktu agregasi selalu tetap pada jangka waktu yang lama sehingga kumpulan ikan ini menjadi target yang mudah bagi aktivitas penangkapan musiman (Sadovy 1997). Jenis ikan kerapu umumnya merupakan hermaprodit protogyni (Shapiro 1987 dalam Levin and Grimes 1991). Juvenil kerapu biasanya memiliki jenis kelamin betina, dan individu jantan terbentuk pada saat betina dewasa berubah kelamin (Levin and Grimes 1991). Selanjutnya Levin and Grimes (1991) menjelaskan bahwa eksploitasi terhadap lokasi pemijahan massal akan berimplikasi secara nyata terhadap ekologi reproduksi ikan kerapu. Jika individu yang lebih tua dan berukuran besar lebih rentan terhadap penangkapan, maka proporsi jantan dalam populasi akan menurun. Hilangnya individu dewasa
16
menyisakan individu muda yang belum memiliki pengalaman untuk melakukan pemijahan di lokasi pemijahan massal tradisional seperti dilakukan pendahulunya, sehingga lokasi pemijahan massal tersebut dapat menghilang pada akhirnya. Kalau pun lokasi pemijahan tersebut masih berfungsi, penurunan jumlah individu jantan menyebabkan keterbatasan sperma yang dapat mengganggu keberhasilan pemijahan (Shapiro et al. 1994 dalam Levin and Grimes 1991). Reproduksi dan rekruitmen merupakan dua momen penting dan kritis dalam siklus hidup spesies ikan. Sering, dalam proses ini melibatkan perpindahan antara wilayah, dan beberapa spesies, melakukan migrasi ke daerah pemijahan utama (SEAFDEC 2006). Kebanyakan populasi ikan kemudian menjadi rentan terhadap dampak aktivitas penangkapan yang beroperasi di daerah pemijahan (spawning ground) dan di daerah pengasuhan (nursery ground) dimana masing-masing terdapat stok induk dan juvenil yang melimpah.
2.5 Dampak Penangkapan terhadap Stok Ikan Perikanan multi-spesies merupakan perikanan yang dominan di daerah perairan tropis, tidak terkecuali pada perikanan ikan karang, sehingga aktivitas penangkapan di kawasan ini perlu memperhatikan interaksi antar spesies. Dampak aktivitas penangkapan dapat berlangsung pada level populasi dan level komunitas (Russ 1991a). Lebih jauh Russ (1991a) menyebutkan bahwa dampak penangkapan dapat terjadi secara langsung pada level populasi atau komunitas melalui pemindahan individu, atau terjadi secara tidak langsung jika teknik penangkapan menyebabkan terjadinya perubahan habitat ikan. Dampak langsung penangkapan pada level populasi banyak dan beragam. Salah satu yang paling sederhana untuk dideteksi adalah penurunan laju penangkapan (catch per unit effort/CPUE) dan pada akhirnya penurunan total tangkapan. Deteksi terhadap salah satu dari dampak tersebut tidak memerlukan informasi spesifik tentang karakteristik biologi populasi. Secara umum, dampak non-biologis dari penangkapan yang dapat diketahui melalui perubahan CPUE dan biaya penangkapan disebut sebagai economic overfishing (dimana upaya penangkapan melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencapai maximum
17
economic yield (MEY), seperti: keuntungan maksimum (Russ 1991a). Biasanya status economic overfishing terjadi secara cepat dalam suatu kegiatan perikanan. Sangat jelas bahwa penangkapan ikan seharusnya menyebabkan peningkatan laju kematian yang dapat dideteksi. Kematian akibat penangkapan (fishing mortalitiy) sering terjadi secara efektif pada individu berukuran besar dan lebih tua pada suatu populasi (sebagian besar karena banyak alat tangkap dirancang untuk secara selektif menangkap ikan ukuran tersebut), sehingga dengan demikian penangkapan berdampak pada struktur ukuran dan umur populasi (Russ 1991a). Suatu penurunan proporsi individu berukuran lebih besar dan berumur lebih tua dapat menyebabkan suatu peningkatan laju pertumbuhan individu yang tersisa dalam populasi sehingga penangkapan dapat menyebabkan suatu populasi memiliki individu berukuran lebih besar untuk umur biasanya. Ketika intensitas penangkapan mencapai titik dimana ikan-ikan ditangkap sebelum memiliki kesempatan untuk tumbuh (growth overfishing), terdapat penurunan yang substansial dalam proporsi kelas individu berukuran besar. Ketika intensitas penangkapan semakin meningkat terdapat kemungkinan penurunan baik densitas maupun biomass populasi yang dapat diukur. Jika penangkapan mengurangi ukuran stok dewasa pada titik dimana produksi larva dan rekruitmen berikutnya terganggu, dampaknya disebut sebagai recruitment overfishing). Kemungkinan dampak langsung lainnya dari penangkapan terhadap populasi termasuk perubahan rasio seksual jika individu-individu mengalami perubahan seksual secara alami pada ukuran atau umur tertentu, perubahan dalam tingkah laku individu populasi dan perubahan skala kecil dalam distribusi ikan (Russ 1991a). Dampak langsung penangkapan pada level komunitas termasuk dampak hilangnya pemangsa, mangsa atau kompetitor dari komunitas ikan. Ketika penangkapan pada intensitas dimana menyebabkan perubahan dalam kelimpahan relatif spesies atau komposisi spesies dari komunitas, maka stok dikatakan telah mencapai titik ecosystem overfishing (Pauly 1988 diacu dalam Russ 1991a). Dampak dari ecosystem overfishing termasuk penurunan dalam biomassa spesies yang tadinya melimpah dan peningkatan biomassa spesies lainnya. Sementara itu, dampak tidak langsung penangkapan baik pada level populasi maupun komunitas termasuk modifikasi habitat dari spesies yang dieksploitasi
18
atau spesies dalam komunitas yang bukan merupakan spesies target dari aktivitas penangkapan (Russ 1991a).
2.6 Dampak Reservasi Laut Terhadap Komunitas Ikan Karang Daerah reservasi laut dalam beberapa referensi dikenal sebagai “daerah larang tangkap” (no-fishing area) atau “daerah larang ambil” (no-take area), merupakan area yang secara permanen tertutup bagi aktivitas penangkapan ikan (Russ 1991b). Banyak review dilakukan mengenai manfaat reservasi laut, termasuk menjaga keanekaragaman hayati dan struktur ekosistem serta peningkatan wisata. Namun dalam konteks perikanan tangkap, dapat dijabarkan tujuh ekspektasi dasar dari suatu reservasi laut. Lima diantaranya menyangkut dampak terhadap ikan-ikan di dalam kawasan reservasi, dan dua lainnya terkait dengan keberlanjutan perikanan di luar kawasan reservasi. Agar efektif sebagai alat pengelolaan perikanan, reservasi laut harus berperan dalam ekspor biomassa ikan, lebih dari sekedar mengganti kehilangan area penangkapan bagi nelayan pada saat ditetapkan. Dua siklus hidup bagi sebagian besar ikan karang (fase bentik dewasa yang mampu menyebar pada jarak puluhan hingga ribuan meter dan fase larva yang mampu menyebar dalam jarak puluhan hingga ratusan kilometer) yang berarti bahwa terdapat dua cara yang potensial dimana reservasi laut dapat berperan dalam ekspor biomassa ikan. Masing-masing terjadi pada skala spasial yang berbeda (Russ 1991b). Lima dampak yang diharapkan terjadi di dalam kawasan reservasi terdiri dari (Russ 1991b): 1. Mortalitas penangkapan (F) secara signifikan lebih rendah, atau bahkan F=0 2. Densitas spesies target secara signifikan lebih tinggi 3. Ukuran/umur rata-rata spesies target secara siginifikan lebih tinggi 4. Biomassa spesies target secara signifikan lebih tinggi 5. Produksi propagule (telur/larva) dari spesies target per unit area secara signifikan lebih tinggi Sedangkan dua dampak yang diharapkan terjadi di luar kawasan reservasi dan akhirnya berdampak pada peningkatan produksi perikanan adalah:
19
1. Dampak 1 sampai 4 di atas menyebabkan terjadinya ekspor ikan dewasa (spillover effect). 2. Dampak 1 sampai 5 di atas menyebabkan terjadinya ekspor telur/larva (recruitment effect). Hasilnya adalah peningkatan suplai recruit pada area penangkapan. Beberapa penelitian menunjukkan adanya dampak suatu kawasan reservasi terhadap perikanan. Dampak tersebut termasuk meningkatnya kelimpahan dan meningkatnya ukuran dan umur individu dari populasi ikan yang menjadi target penangkapan (Starr et al. 2004). Kawasan larang ambil dapat juga meningkatkan kualitas habitat, seperti pemulihan karang (Roberts and Polunin 1993 dalam Starr et al. 2004), keanekaragaman spesies (Russ and Alcala 1989) dan stabilitas komunitas (Roberts and Polunin 1993 dalam Starr et al. 2004). Dampak suatu kawasan reservasi dapat mencapai kawasan di luar batas reservasi melalui limpahan individu dewasa dan/atau larva ke daerah penangkapan (Russ 1991b; Castilla and Fernandez 1998 dalam Starr et al. 2004). Zona inti dalam suatu kawasan Taman Nasional adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota ataupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 56 /Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional). Zona inti dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu merupakan kawasan yang tertutup bagi aktivitas penangkapan, baik skala komersial maupun tradisional (no-fishing area) sehingga dapat dikategorikan sebagai daerah reservasi laut.
3 METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada pertengahan bulan Mei hingga awal Agustus 2009. Lokasi penelitian berada di Zona Inti III (P. Belanda dan P. Kayu Angin Bira) dan Zona Pemukiman (P. Pramuka, P. Panggang dan P. Karya) Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar 3). Koordinat masing-masing stasiun pengamatan seperti disajikan dalam Tabel 1. Zona inti III dipilih sebagai lokasi sampling dalam penelitian ini dengan alasan bahwa peruntukan zona inti III sebagai kawasan perlindungan terumbu karang lebih sesuai dengan tujuan penelitian ini dibandingkan dengan dua zona inti lainnya yang diperuntukkan bagi perlindungan habitat penyu. Sementara perairan P.Pramuka, P.Panggang dan P.Karya dipilih karena berada dekat dengan pusat pemerintahan (P.Pramuka) dan pulau berpenduduk terpadat (P.Panggang) sehingga dapat dianggap sebagai respresentasi zona pemukiman dengan tekanan lingkungan yang tinggi. Tabel 1. Letak geografis stasiun pengamatan Zona
Koordinat
Lokasi
Lintang Inti
Pemukiman
S 05 36' 25"
E 106o 33' 49"
Timur P. KA Bira (T-KAB)1
S 05o 36' 28"
E 106o 34' 01"
Utara P. KA Bira (U-KAB)2
S 050 36’ 15”
E 1060 33’ 55”
Utara P. Belanda (U-Bld)1,2
S 05o 36' 15"
E 106o 36' 09"
Selatan P. Belanda (S-Bld)1,2
S 05o 36' 06"
E 106o 36' 06"
Utara P. Pramuka (U-Prmk)1,2
S 05o 45' 00"
E 106o 37' 07"
Timur P. Pramuka (T-Prmk)1
S 05o 44' 20"
E 106o 36' 55"
Selatan P. Panggang (S-Pgg)1,2
S 05o 44'56"
E 106o 35' 41"
Barat P. Panggang (B-Pgg)1,2
S 05o 44' 39"
E 106o 35' 10"
Barat P. Karya (B-Kry)2
S 050 44’ 11”
E 1060 35’ 33”
Barat P. KA Bira (B-KAB)
o
Bujur
1,2
Keterangan : S=Lintang Selatan, E=Bujur Timur, 1=observasi bawah air, 2=sampling bubu
21
Gambar 3 Lokasi penelitian keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu di daerah reservasi (zona inti) dan non-reservasi (zona pemukiman) Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Jakarta.
22
3.2 Alat dan Bahan Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian secara umum dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1) peralatan untuk mengukur parameter fisika-kimia perairan, dan 2) peralatan untuk pengamatan komunitas ikan kerapu dan terumbu karang. Peralatan untuk mengukur parameter fisika-kima perairan seperti disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Alat ukur parameter fisikia-kima perairan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Alat Thermometer Secchi disc Depth gauge Floating drag Kompas Turbidimeter Refraktometer pH meter Spektrofotometer
Parameter Suhu Kecerahan Kedalaman Kecepatan arus Arah arus Kekeruhan Salinitas pH NH3-N, NO3-N, NO2-N, PO4-P
Satuan 0 C % meter m/detik (0) NTU ‰ mg/l
Sementara, peralatan yang digunakan dalam pengamatan komunitas karang dan populasi kerapu terdiri dari peralatan dasar selam dan Peralatan SCUBA (self contain underwater breathing aparatus ), yang terdiri dari BCD, regulator, weight belt, tabung udara (kapasitas 3000 Psi), perahu motor, roll meter berskala (50 m), transek kuadrat berukuran 1x1 meter, kamera digital bawah air, GPS (global positioning system), papan tulis bawah air dan pensil 2B serta alat tangkap bubu kompresor. Bahan yang digunakan dalam penelitian berupa buku identifikasi ikan kerapu dan terumbu karang serta peta lokasi penelitian.
3.3 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan dapat dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu: 1) data primer dan 2) data sekunder. Secara rinci jenis dan sumber data untuk masing-masing kategori data adalah sebagai berikut :
23
1)
Data Primer Data primer berupa data parameter lingkungan perairan, data habitat bentik,
dan data komunitas kerapu diperoleh dari 8 stasiun pengamatan dengan mempertimbangkan keterwakilan zona inti dan zona pemukiman seperti di sajikan pada Tabel 1 dan Gambar 3. Secara lengkap data primer yang dikumpulkan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jenis dan sumber data primer No. Komponen 1. Parameter perairan
2.
Habitat bentik
3. Komunitas kerapu
2)
Jenis Data 1.1. Fisika : - Suhu - Kecepatan arus - Kecerahan - Kekeruhan 1.2. Kimia : - Salinitas - pH - Ammonium, nitrat, nitrit dan phospat - Penutupan karang hidup - Keanekaragaman genus dan lifeform karang -
Keanekaragaman Kelimpahan Laju tangkap (CPUE) Ukuran panjang
Sumber Data In situ In situ In situ Lab Lab Lab Lab In situ In situ In situ In situ In situ In situ
Data Sekunder Data sekunder berupa data oseanografi meliputi pola arus dan musim, zonasi
TNL-KS, produksi ikan kerapu serta data lain yang relevan dengan penelitian bersumber dari hasil penelitian sebelumnya serta literatur yang bersumber dari DISHIDROS, Balai TNL-KS, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Seribu dan instansi terkait lainnya di lokasi penelitian.
24
3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Pengumpulan Data Parameter Perairan Data parameter fisika-kima perairan diukur secara in-situ maupun melalui uji laboratorium. Data yang diukur secara in-situ meliputi: suhu dengan menggunakan
thermometer,
kecepatan
dan
arah
arus
masing-masing
menggunakan floating drag dan kompas, serta kecerahan menggunakan secchi disk. Sementara data salinitas, kekeruhan, pH, ammonium, nitrat dan nitrit diukur melalui pengujian di laboratorium. 3.4.2 Pengumpulan Data Habitat Bentik Data kondisi terumbu karang meliputi data keragaman dan persentase tutupan relatif genus dan bentuk pertumbuhan (lifeform) karang diambil dengan menggunakan metode yang merupakan kombinasi dan modifikasi transek garis (Line Intercept Transect/LIT) (English et al. 1997) dan transek kuadrat (Rogers et al. 1994) dengan bantuan fotografi. Pada setiap stasiun pengamatan diletakkan transek garis dengan panjang transek 50 meter sejajar garis pantai dan dilakukan sebanyak dua kali ulangan pada dua kedalaman yang berbeda, yakni 2-3 meter yang mewakili kondisi perairan dangkal dan 7-10 meter yang mewakili kondisi perairan yang lebih dalam. Transek kuadrat berukuran 1 x 1 m diletakkan secara selang-seling setiap kelipatan 5 meter sepanjang garis transek, sehingga area yang dicakup untuk setiap titik pengamatan adalah sebesar 20 m2 (Gambar 4) dan untuk setiap stasiun pengamatan adalah 40 m2. Transek kuadrat dibuat dari PVC dengan ukuran 1 m x 1 m yang dibagi lagi menjadi 100 bagian yang lebih kecil menggunakan benang, sehingga satu bagian yang berukuran 10 cm2 setara dengan 1% penutupan karang. Pengamatan didukung dengan pengambilan photo bawah air menggunakan transek kuadrat yang telah dirangkai dengan bingkai tetrapod (Gambar 5). Data fotografi
yang
didapat
menggunakan
metode
ini
kemudian
dianalisis
menggunakan program CPCe (coral point count with excel extensions) versi 3.6 (Kohler and Gill 2006), diidentifikasi pada level genus maupun lifeform (bentuk pertumbuhan) untuk mendapatkan persentase tutupan relatif karang. Komunitas dicirikan dengan menggunakan kategori “bentuk pertumbuhan” (lifeform) yang memberikan gambaran deskriptif morfologi komunitas karang.
25
Penggolongan komponen dasar penyusun komunitas karang berdasarkan lifeform karang seperti disajikan dalam Tabel 4.
Gambar 4 Posisi transek untuk pengamatan terumbu karang.
Gambar 5 Bingkai tetrapod untuk fotografi tutupan karang (modifikasi dari English et al. 1997).
26
Tabel 4 Daftar penggolongan komponen dasar penyusun komunitas karang berdasarkan lifeform karang Kategori Dead Coral
Acropora
NonAcropora
Other Fauna
Alga
Abiotic
Kode
Recently dead coral
RDC
Dead coral with alga
DCA
Dead coral rubble
DCR
Branching
ACB
Encrusting
ACE
Submassive Digitate Tabulate
ACS ACD ACT
Branching
CB
Encrusting
CE
Foliose
CF
Massive Submassive Mushroom Heliopora Millepora Tubipora Sofa Coral Sponge Zoanthids Others Alga assemblage Coralline alga Halimeda Macroalga Turf alga Sand Silt Water Rock
CM CS CMR CHL CML CTU SC SP ZO OT AA CA HA MA TA S SI W RCK
Keterangan Baru saja mati, warna putih atau putih kotor Karang ini masih berdiri, struktur skeletal masih terlihat Karang mati berupa patahan karang Paling tidak 2o percabangan. Memiliki axial dan radial oralit. Biasanya merupakan dasar dari bentuk acropora belum dewasa Tegak dengan bentuk seperti baji Bercabang tidak lebih dari 2o Bentuk seperti meja datar Paling tidak 2o percabangan. Memiliki radial oralit. Sebagian besar terikat pada substrat (mengerak) Paling tidak 2o percabangan Karang terikat pada satu atau lebih titik, seperti daun, atau berupa piring. Seperti batu besar atau gundukan Berbentuk tiang kecil, kenop atau baji. Soliter, karang hidup bebas dari genera Karang biru Karang api Bentuk seperti pipa-pipa kecil Karang bertubuh lunak
Ascidians, anemon, gorgonian, dan lain-lain
Pasir Pasir berlumpur Air Batu
Sumber: modifikasi dari English et al. (1997)
3.4.3 Pengumpulan Data Komunitas Kerapu Data komunitas kerapu meliputi jenis, kelimpahan dan distribusi ukuran ikan kerapu dikumpulkan dengan menggunakan metode sensus visual bawah air (underwater visual census/UVC), selain itu juga dikumpulkan data jenis, jumlah dan ukuran ikan kerapu hasil tangkapan, termasuk jumlah ikan hasil tangkapan sampingan (by catch) melalui trip penangkapan alat tangkap bubu. Metode UVC
27
menggunakan bantuan transek garis sepanjang 50 m (English et al. 1997). Prosedur yang digunakan dalam metode ini adalah: - Menyiapkan daftar spesies ikan kerapu yang umum dijumpai di lokasi studi (berdasarkan hasil survei pendahuluan dan referensi terdahulu). - Roll meter (50 m) dibentangkan sejajar garis pantai, menunggu beberapa saat untuk memberi kesempatan pada ikan untuk terbiasa dengan kehadiran penyelam. - Penyelam berenang lambat setengah meter di atas substrat sepanjang transek 50 m sambil mencatat spesies, kelimpahan dan ukuran ikan kerapu yang dijumpai dengan jangkauan pengamatan sebelah kiri dan kanan masing-masing sejauh 2.5 m (Gambar 6), sehingga area yang dicakup dalam satu titik pengamatan ikan kerapu adalah seluas 250 m2. - Di setiap stasiun dilakukan sebanyak dua kali ulangan pengamatan pada dua kedalaman yang berbeda, yakni 2-3 meter yang mewakili kondisi perairan dangkal dan 7-10 meter yang mewakili kondisi perairan yang lebih dalam. Dengan demikian area yang dicakup dalam satu stasiun pengamatan adalah seluas 500 m2. - Pengamatan dilakukan pada rentang waktu pukul 9 pagi hingga pukul 3 sore untuk menghindari terjadinya bias akibat perubahan perilaku ikan kerapu.
Gambar 6
Metode sensus visual bawah air ikan karang (underwater visual census) (English et al. 1997).
28
Data aktivitas penangkapan ikan kerapu didapat dengan mengikuti trip penangkapan kerapu menggunakan alat tangkap bubu kompresor (Lampiran 8). Trip penangkapan dilakukan sebanyak 3 kali untuk setiap titik penangkapan sepanjang bulan Juni dan Agustus 2009. Pemasangan bubu dilakukan pada kedalaman 15-20 m. Pada setiap dititik terdapat 3 unit bubu dengan jarak antar bubu sekitar 7-10 meter.
3.5 Analisis Data 3.5.1 Komunitas Ikan Kerapu 3.5.1.1 Kelimpahan Kelimpahan ikan kerapu hasil sensus visual dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
dengan X= kelimpahan ikan kerapu (ind/m2); xi= Jumlah ikan kerapu spesies ke-i yang tercacah; S=jumlah spesies ikan kerapu; dan n=luas area pengamatan (m2).
3.5.1.2 Keanekaragaman Indeks keanekaragaman Shannon (H’) didasarkan pada kelimpahan proporsional dari spesies dengan asumsi individu tercacah secara acak dari sebuah komunitas yang besar tak terbatas (Magurran, 1988). Indeks keanekaragaman Shannon digunakan untuk mengukur keanekaragaman jenis ikan kerapu di masing-masing stasiun penelitian:
dengan S=jumlah spesies ikan kerapu; pi=proporsi kelimpahan spesies ke-i; ni=Jumlah individu dari spesies kerapu ke-i; dan untuk semua spesies.
N=jumlah
total
individu
29
3.5.2 Habitat Bentik 3.5.2.1 Persentase Tutupan Karang Persentase tutupan karang dihitung berdasarkan perbandingan jumlah titik acak (random point) masing-masing kategori bentuk pertumbuhan (lifeform) dan genus karang dengan jumlah total titik acak yang digunakan dengan menggunakan software CPCe (coral point count with excel extensions) versi 3.6 (Kohler and Gill 2006). Rumus dasar yang digunakan adalah: Persentase tutupan = Data kondisi persentase total tutupan karang hidup yang diperoleh dikategorikan berdasarkan Gomez and Yap (1988) seperti disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5 Kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang berdasarkan persentase tutupan karang (Gomez and Yap 1988) Persentase tutupan (%) 0 - 24,9 25 - 49,9 50 - 74,9 75 - 100
Kriteria Penilaian Buruk Sedang Baik Memuaskan
3.5.2.2 Keanekaragaman karang Indeks
keanekaragaman
Shannon
digunakan
untuk
mengukur
keanekaragaman lifeform dan genus karang di masing-masing stasiun penelitian (Magurran 1988):
dengan S=jumlah genus atau lifeform karang; pi = proporsi kelimpahan genus atau lifeform ke-i; ni=Jumlah koloni dari genus atau lifeform ke-i; dan N=jumlah total individu untuk semua genus atau lifeform.
30
3.5.3 Uji Beda Nyata Uji t-student digunakan untuk melihat apakah terdapat perbedaan variabel populasi kerapu (keanekaragaman dan kelimpahan) atau perbedaan variabel habitat bentik (persen tutupan karang dan keanekaragaman) antara zona inti dan zona pemanfaatan. Uji t-student digunakan untuk membedakan dua nilai tengah contoh yang diasumsikan menyebar normal (Bengen 2000). Prosedur dalam uji tstudent secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut (Bengen 2000): -
Susun hipotesis nol (H0) yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara nilai tengah variabel x di zona inti dan zona pemanfaatan
-
Tentukan taraf nyata
, peluang menolak H0 padahal H0 benar. Dengan
demikian peluang menolak H0 padahal H0 memang tidak benar adalah 1(biasanya =5%, sehingga 1- =95% atau =1%, sehingga 1- =99%) -
Hitung statistik uji thit =
yang akan diuji, 2,
-
adalah nilai tengah contoh 1,
adalah ukuran contoh 1,
baku contoh 1 dan
sedangkan thit adalah nilai statistik
adalah nilai tengah contoh
adalah ukuran contoh 2,
adalah simpangan
adalah simpangan baku contoh 2.
Bandingkan nilai thit dengan t tabel pada derajat bebas thit lebih kecil dari t tabel pada
. Jika nila
=0.05, maka kedua nilai tengah dapat
diasumsikan sama pada tingkat kepercayaan 95%.
Uji kolmogorov-smirnov 2 sampel (KS-2 sampel) digunakan untuk melihat ada tidaknya perbedaan distribusi frekuensi ukuran kerapu antara zona inti dan zona pemukiman. Data untuk uji ini tersusun dalam bentuk tabel distribusi frekuensi kumulatif dengan menggunakan kelas-kelas interval (Hasan 2004). Uji KS-2 sampel merupakan uji non-parametrik yang umum digunakan untuk membandingkan distribusi dua contoh yang tidak mensyaratkan data yang terdistribusi normal (distribution free). Uji KS-2 sampel dilakukan pada taraf nyata <0.05.
31
3.5.4 Analisis Kelompok Analisis
kelompok
(Cluster
Analysis)
digunakan
untuk
melihat
kecenderungan pengelompokan stasiun pengamatan berdasarkan variabel habitat bentik dan variabel populasi kerapu, serta untuk melihat ada tidaknya keterkaitan antara kondisi habiatat dan kondisi populasi kerapu di lokasi penelitian. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode hirarki berdasarkan indeks jarak Euclidian yang diekspresikan sebagai nilai ketidaksamaan (dissimilaritas). Jarak Euclidian dihitung berdasarkan jumlah kuadrat perbedaan antara individu-individu (baris) untuk variabel (kolom) yang sesuai, atau dengan menggunakan ekspresi matematika sebagai berikut (Bengen 2000):
dengan i dan i’ menunjukkan indeks untuk individu atau baris, dan j yang bervariasi dari 1 sampai p menunjukkan indeks variabel atau kolom/lajur, dan p adalah banyaknya peubah yang diamati dari setiap individu. Interpertasi
terhadap
kelompok
yang
terbentuk
dilakukan
dengan
menggunakan indeks dd yang menunjukkan kontribusi dari suatu variabel dalam pembentukan suatu kelompok (Chabanet et al. 1997). Indeks dd dihitung dengan menggunakan persamaan:
dengan dan
=rerata variabel dalam kelompok;
=rerata variabel dalam populasi;
=standar deviasi variabel dalam populasi. Jika
memiliki nilai >1, rerata
variabel dalam kelas berbeda secara signifikan dari rerata variabel dalam populasi (Chabanet et al. 1997). Pengolahan data untuk analisis kelompok dengan menggunakan paket program komputer XLStat 2009.
3.5.5 Analisis Korelasi Koefisien
korelasi
Spearman
(The
Spearman
Rank
Correlation
Coefficient/rs) digunakan untuk melihat keeratan hubungan antara variabel keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu dengan variabel habitat. Koefisien korelasi Spearman merupakan merupakan koefisien korelasi non-parametrik yang
32
tidak mensyaratkan data yang terdistribusi normal (distribution free). Rumus yang digunakan adalah (Fowler and Cohen 1990):
dengan n=jumlah anggota sampel; d=perbedaan antara ranking; dan 6=konstanta. Nilai rs kemudian dibandingkan dengan nilai pada tabel nilai kritis untuk melihat apakah korelasi yang terjadi betul-betul signifikan.
4 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1 Letak Geografis dan Administratif Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNL-KS) merupakan salah satu kawasan pelestarian alam perairan di Indonesia yang terletak lebih kurang 46 km di sebelah utara kota Jakarta. Secara geografis, kawasan TNL-KS terletak pada posisi antara 5024´ - 5045´ LS dan 106025´ - 106040´ BT sedangkan secara administratif, kawasan ini berada di tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Pulau Panggang, Pulau Kelapa dan Pulau Harapan, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. TNL-KS ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor. 6310/ Kpts-II/2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang Penetapan Kawasan Pelestarian Alam Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu Seluas 107.489 hektar yang terletak di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
Jumlah pulau yang berada di
kawasan TNL-KS berjumlah 76 buah dimana dari jumlah tersebut tercatat 20 buah yang telah dikembangkan sebagai pulau wisata, 6 buah pulau yang dihuni penduduk dan sisanya dikuasai perorangan atau badan usaha.
4.2 Kondisi Geo-Ekologis dan Oseanografi Kawasan TNL-KS merupakan kawasan perairan laut dangkal dengan kedalaman berkisar antara 0-40 m. Beberapa jenis bentuk lahan dasar laut yang terdapat di Kepulauan Seribu pada umumnya berkomposisi sebagai berikut : 1.
Tubir adalah lereng luar terumbu karang yang menghadap ke laut lepas dengan topografi/ kemiringan yang sangat miring hingga terjal, walaupun ada juga yang relatif landai.
2.
Gudus adalah tumpukan pecahan batu karang yang berada di bingkai luar terumbu karang yang kadang-kadang membentuk bongkahan sehingga timbul pada saat air laut surut. Keberadaan gudus merupakan bentukan lahan yang labil dan sangat dipengaruhi oleh ombak dan arus yang kuat pada musim barat dan musim timur.
3.
Mintakat karang, pada umumnya merupakan hamparan batu karang dan pecahan batu karang.
34
4.
Rataan karang dan pasir, merupakan hamparan karang dan pasir yang umumnya cukup luas dengan variasi kedalaman antara 2 – 40 meter, maupun jenis substrat campuran antar pecahan batu karang dengan material pasir.
5.
Rataan pasir, merupakan hamparan terluas di dalam terumbu karang dengan komposisi butiran pasir yang berasal dari hancuran batu karang yang kasar, sedang dan halus. Gradasi ukuran hancuran karang adalah sebagai berikut : pada tingkat awal masih besar berada di tepi terumbu, semakin bergeser ke tengah atau dalam terumbu menjadi butiran kecil yang disebut pasir rubel dan seterusnya menjadi rataan pasir.
6.
Goba adalah cekungan atau basin yang umumnya terletak di dalam atau tengah terumbu karang dan terbentuk secara alami oleh sifat pertumbuhan karang yang lebih cepat pada bagian luar. Dalam jangka panjang goba dapat teramcam penuh dengan bahan sedimentasi berupa pasir maupun material lainnya.
7.
Mikro atol adalah suatu tipe pertumbuhan karang di dalam terumbu yang membentuk sub sistem unik tersendiri.
8.
Pulau (cay) adalah bentukan lahan darat yang paling tua di dalam pembentukan terumbu karang sehingga tumbuh vegetasi darat dan cocok untuk pemukiman maupun kawasan wisata. Pertumbuhan pulau sangat dipengaruhi oleh sistem akumulasi material pembentuk yang pada umumnya pasir yang dibawa dan diendapkan oleh arus dan ombak. Pulau-pulau yang berada di dalam kawasan TNL-KS bertopografi landai
dengan ketinggian 1-2 m di atas permukaan air laut. Sedangkan kawasan perairannya merupakan daerah perairan laut dangkal dengan kedalaman sampai 40 m dengan kontur permukaan dasar laut pada umumnya landai beraturan. Wilayah Kepulauan Seribu merupakan ekosistem yang memiliki hamparan terumbu karang (coral reef) yang cukup luas dan relatif datar yang jarang ditemui di tempat lain di Indonesia. Karang di Kepulauan Seribu seluruhnya merupakan tipe karang tepian (fringing reef). Kawasan ini memiliki keanekaragaman hayati karang yang tinggi, meliputi 67 genera dan subgenera yang mencakup paling sedikit 123 spesies karang.
35
Kerusakan karang di sekitar pulau pemukiman lebih banyak diakibatkan oleh eksploitasi batu karang dan pasir, penggunaan potassium, sedimentasi dasar laut dan kontaminasi disposal limbah sedangkan kerusakan terumbu karang akibat pengeboman ikan terkonsentrasi di gosong-gosong dan perairan pulau-pulau peristirahatan. Beberapa pulau yang tutupan karangnya relatif masih baik antara lain Pulau Peteloran Barat dan Pulau Peteloran Timur, Pulau Kayu Angin Bira dan Gosong Rengat yang perairannya terklasifikasi sebagai Zona Inti Taman Nasional. Pulau-pulau di kawasan TNL-KS termasuk dalam tipe iklim tropis yang dipengaruhi oleh 2 (dua) musim yaitu Musim Barat dan Musim Timur. Pada kedua musim ini terjadi arus dan gelombang disertai tiupan angin yang kuat hal ini berpengaruh terhadap bentuk pulau- pulau di Kepulauan Seribu membujur dari barat ke timur. Musim barat berlangsung dari bulan Desember sampai dengan.bulan Maret. Pada musim ini, angin berhembus kencang dan arus kuat bergerak dari barat daya sampai barat laut disertai hujan yang cukup deras. Kecepatan ,angin mencapai 0,7-20 knot/jam. Akibat arus yang kuat kejernihan air laut menjadi berkurang. Kecepatan arus dapat mencapai 4-5 knot/jam dengan tinggi gelombang dapat mencapai 2 meter. Musim timur berlangsung dari bulan Juni sampai dengan September. Angin bertiup dari arah timur laut sampai dengan tenggara dengan kecepatan 0,7-15 knot/jam. Musim peralihan terjadi antara bulan April sampai dengan bulan Mei, dan dari bulan Oktober sampai dengan bulan Nopember. Keadaan laut pada musim peralihan ini berubah-ubah tetapi relatif cukup tenang. Selain itu, di kalangan nelayan juga dikenal beberapa musim angin yang menentukan bagus atau tidaknya untuk pergi melaut (http://www.pulauseribu.net), yaitu: -
Musim Daya Laut Merupakan musim yang baik untuk melaut. Karena pada musim daya laut yang terjadi sekitar Oktober-November, kondisi alam cukup bersahabat. Pada musim ini, biasanya sejumlah ikan seperti ikan manyung, kembung, selar, teri, dan tongkol sangat mudah ditemui.
36
-
Musim Barat Daya Biasanya pada musim ini angin bertiup dari arah barat daya ke arah timur laut melewati pulau-pulau dengan kecepatan yang sangat kencang (badai), masyarakat lokalmenyebutnya dengan istilah angin barat daya. Musim ini biasanya terjadi sekitar awal tahun baru, yaitu bulan November-Januari. Nelayan setempat, meyebut musim ini sebagai musim "paceklik" karena banyak nelayan yang tidak berani melaut.
-
Musim Timur Musim ini biasanya terjadi mulai Juni-Agustus. Musim timur, biasanya angin bertiup kencang mulai pagi hingga malam hari dengan iringan badai dan gelombang laut yang besar. Pada musim ini, ketinggian gelombang bisa mencapai 1-2 meter. Karena gelombang tinggi, beberapa nelayan menjalankan aktifitasnya pada malam hari dengan alat pancing.
-
Musim Tenggara Musim ini terjadi sepanjang bulan Mei. Merupakan musim yang paling dibenci para warga Kepulauan Seribu, karena saat ini biasanya beberapa perairan dipenuhi beragam sampai dari daratan. Tak heran, masyarakat setempat menyebut musim tenggara dengan musim sampah. Mengikuti arah angin tenggara, beberapa sampah mulai sampah rumah tangga hingga limbah pabrik memenuhi pesisir dari daratan Jakarta dan Tangerang. Kondisi cuaca di perairan Kepulauan Seribu sangat khas dimana tidak terbentuk awan serta sering diselimuti kabut, hal ini menyebabkan intensitas penyinaran matahari yang lebih kuat disertai kelembaban udara yang tinggi. Keadaan curah huj an bul anan be rvari asi seki t ar 100 -400 m m pada m usi m barat , dan 50-100 mm pada musim timur, suhu udara rata-rata berkisar 28˚-32˚C.
4.3 Keragaan Perikanan Tangkap Kerapu di Kepulauan Seribu Perikanan kerapu cukup memegang peranan penting dalam aktivitas perikanan di perairan Kepulauan Seribu, mengingat jenis-jenis kerapu, terutama jenis lodi memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Disamping itu, keberadaan ikan kerapu di alam relatif tidak mengenal musim.
37
Alat tangkap yang biasa digunakan oleh nelayan kepulauan seribu untuk menangkap ikan karang konsumsi (termasuk kerapu) adalah muro-ami mini (lokal: jaring kongsi), pancing ulur (kotrek), bubu dan jaring cebur. Selain itu, untuk jenis ikan karang tertentu (seperti kerapu dan napoleon), metode penangkapan dengan menggunakan obat bius (potassium) masih sering dijumpai karena permintaan pasar untuk jenis ikan tersebut adalah dalam keadaan hidup. Namun demikian, alat tangkap utama bagi perikanan kerapu di kepulauan seribu adalah bubu dan pancing dasar. Alat tangkap bubu sendiri terdiri dari beberapa jenis, diantaranya: (1) bubu darat, yakni bubu yang terbuat dari bahan bambu dan dioperasikan di perairan yang dangkal dekat intertidal (daerah pasang surut); (2) bubu tarik, yakni jenis bubu yang sering dioperasikan di dekat gobah, pengoperasiannya dengan cara dilempar ke laut dan pada saat diangkat ditarik dengan menggunakan tali yang dikaitkan ke bubu; dan (3) bubu kompresor, yakni jenis bubu yang biasanya dibuat dari bahan galvanis, dengan dimensi panjang 85 cm, lebar 65 cm dan tinggi 25 cm (lihat lampiran). Perahu yang digunakan oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap bubu kompresor adalah kapal motor berukuran kecil. Jumlah nelayan yang mengoperasikan alat tangkap ini umumnya 3-4 orang dan biasanya diantara nelayan tersebut masih memiliki hubungan kekeluargaan. Metode pengoperasian bubu ini adalah dengan menyelam dengan menggunakan bantuan kompresor, biasanya bubu diletakkan pada kedalaman 15-20 m dimana kedalaman tersebut merupakan batas kedalaman maksimum tumbuhnya terumbu karang. Di satu titik penangkapan biasanya dipasang 3 unit bubu yang berjarak 7-10 meter satu sama lainnya, dalam 1 trip penangkapan biasanya dilakukan pemasangan pada 3-4 titik. Setelah itu, bubu biasanya dibiarkan selama 2-3 hari sebelum diangkat. Bubu kompresor merupakan jenis bubu yang menjadikan kerapu sebagai target utama, terutama jenis kerapu sunu/lodi yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi. Daerah operasi bubu kompresor nelayan Pulau Panggang biasanya di sekitar P. Panggang, P. Pramuka, P. Peniki, Karang Congkak, Karang Bongkok, Karang Lebar, P. Opak, P. Tidung, P. Pamegaran dan perairan lain yang tidak terlalu jauh dari Pulau tersebut karena trip penangkapan biasanya dilakukan secara harian (one day fishing). Musim penangkapan dilakukan sepanjang tahun, namun
38
musim banyak ikan biasanya terjadi pada bulan Oktober sampai dengan bulan Januari, sedangkan musim paceklik terjadi pada bulan Juli sampai Agustus. Ikan kerapu yang tertangkap selalu diupayakan dalam keadaan hidup, karena bernilai jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi mati. Sebagian nelayan yang memiliki alat tangkap bubu telah melakukan kerjasama dengan pengumpul kerapu hidup di Kepulauan Seribu, hal ini bertujuan untuk meningkatkan nilai jual ikan kerapu dengan ukuran yang lebih besar. Harga ikan hidup yang dijual tergantung pada jenis dan ukuran ikan. Ukuran ikan dikategorikan menjadi 3 ukuran, yaitu: ukuran S (berat < 0,3 kg/ekor), ukuran M (berat >0,3-1,2 kg/ekor) dan ukuran L (berat >1,2 kg/ekor). Ikan berukuran M dijual berdasarkan jumlah berat dikalikan harga per kilo-nya, sedangkan nilai jual ikan berukuran S dan L adalah berdasarkan jumlah ekor dikali harga jual per ekor-nya. Jenis alat tangkap lain yang umum digunakan untuk menangkap kerapu adalah pancing ulur (lokal: kotrek). Jenis pancing ini biasanya dioperasikan di perairan pantai pada kedalaman 5 m atau lebih. Konstruksi pancing terdiri dari tali pancing utama yan gterbuat dari benang sintetik (snar) dan mata pancing yang dilengkapi dengan umpan alam seperti potongan ikan atau udang. Dalam satu tali pancing utama dilengkapi dengan satu atau dua mata pancing. Pengoperasian pancing ini biasanya dilakukan pada siang hari. Perahu yang digunakan mulai dari perahu tanpa motor sampai perahu motor yang berkekuatan rendah.
4.4 Status Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu Pada awalnya TNL-KS adalah merupakan cagar alam laut yang ditetapkan pada tahun 1982 melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 257/Kpts/7/82 tanggal 21 Juli 1982, yang pada saat itu merujuk pada undang-undang Pokok Kehutanan tahun 1967 dengan fungsi sebagai cagar alam laut. Pada tahun yang sama (1982) diselenggarakan kongres nasional taman laut sedunia yang berlangsung di Bali, dan diumumkanlah perubahan fungsi dari Cagar Alam Laut Kepulauan Seribu menjadi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Penetapan tersebut dimantapkan dengan surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 162/KptsII/1995 tentang perubahan fungsi cagar alam laut kepulauan seribu menjadi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu dengan luas 108.000 hektar. Pada tahun
39
1998, Kawasan TNL-KS ini telah dipancang batas-batasnya dalam bentuk mooring buoy dan titik referensi. Selanjutnya pada tahun 2001 kegiatan pemancangan batas tersebut telah diresmikan keabsahan hukumnya melalui penandatanganan Berita Acara Tata Batas oleh Panitia Tata Batas yang diikuti dengan penerbitan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6310/Kpts-II/2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang
Penetapan Kawasan Pelestarian Alam Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu Seluas 107.489 hektar yang terletak di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Pengelolaan kawasan TNL-KS diserahkan kepada Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 185/Kpts-II/1997 tanggal 31 Maret 1997. Saat ini pengelolaan TNL-KS dilaksanakan oleh Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu dengan 3 (tiga) seksi konservasi wilayah yaitu Seksi Konservasi Wilayah I Pulau Kelapa, Seksi Konservasi Wilayah II Pulau Penjaliran dan Seksi Konservasi Wilayah III Pulau Pramuka. Kawasan TNL-KS dikelola dengan sistem zonasi. Berdasarkan SK Dirjen PHKA No. SK.05/IV-KK/2004 tanggal 27 Januari 2004 tentang Pembagian Zona Kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, sistem zonasi di TNL-KS terdiri dari (Gambar 7) : 1. Zona Inti Meliputi zona daratan dan perairan laut yang mutlak dilindungi, didalamnya tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh manusia, kecuali kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian dan pendidikan. Zona inti terdiri dari tiga lokasi yaitu zona inti I meliputi perairan sekitar Pulau Gosong Rengat, pada posisi 5o27’00” – 5o29’00” LS dan 106o26’00” –106o28’00” BT, zona inti II meliputi daratan dan perairan Pulau Penjaliran Barat, Penjaliran Timur, perairan P. Peteloran Barat, Peteloran Timur dan Gosong Penjaliran pada posisi 5o26’36” – 5o29’00” LS dan 106o32’00” –106o35’00” BT dan zona inti III meliputi perairan sekitar Pulau Kayu Angin Bira, Belanda, serta bagian Utara perairan Bira Besar pada posisi 5o36’00”–5o45’00” LS dan 106o33’36”– 106o36’42” BT.
40
2. Zona Perlindungan Merupakan zona perairan laut yang diperuntukan untuk melindungi zona inti, didalamnya hanya dapat dilakukan kegiatan sebagaimana kegiatan pada zona inti, kegiatan wisata alam bahari terbatas. Zona perlindungan meliputi perairan sekitar Pulau Dua Barat, Dua Timur, Jagung, Rengit, Karang Buton, Karang Mayang pada posisi 5o24’00” – 5o30’00” LS dan 106o25’00” –106o’40’00” BT. 3. Zona Pemanfaatan Wisata Meliputi zona perairan laut yang didalamnya dapat dilakukan kegiatan sebagaimana pada zona inti dan zona bahari serta pengembangan wisata bahari. Zona pemanfaatan wisata meliputi perairan sekitar Pulau Nyamplung, Sebaru Besar, Lipan, Kapas, Sebaru Kecil, Bunder, Karang Baka, Hantu Timur (Pantara), Hantu Barat, Gosong Laga, Yu Barat, Yu Timur, Satu, Kelor Timur, Kelor Barat, Jukung, Semut Kecil, Cina, Semut Besar, Sepa Timur, Sepa Barat, Gosong Sepa, Melinjo, Melintang, Perak, Kayu Angin Melintang, Panjang Bawah, Kayu Angin Putri, Tongkeng, Petondan Timur, Petondan Barat, Putri Kecil, Putri Besar, Putri Gundul, Macan Kecil, Macan Besar (Matahari), Genteng Besar, Genteng Kecil, Bira Besar, Bira Kecil, Kuburan Cina, Bulat, Karang Pilang, Karang Katamba, Gosong Mungu, Kotok Besar dan Kotok Kecil pada posisi 5o30’00” – 5o38’00” LS dan 106o25’00” –106o’33’00” BT -106o’40’00” BT 4. Zona Pemukiman Meliputi zona perairan laut sekitar pulau pemukiman yang didalamnya dapat dilakukan kegiatan seperti pada zona inti, zona bahari, zona pemanfaatan wisata, pemenuhan kebutuhan masyarakat setempat dan pengembangan infrastruktur. Zona pemukiman meliputi sekitar Pulau Pemagaran, Panjang Kecil, Panjang, Rakit Tiang, Kelapa, Kaliage Besar, Kaliage Kecil, Semut, Opak Besar, Opak Kecil, Karang Bongkok, Karang Congkak, Karang Pandan, Semak daun, Karya, Panggang, dan Pramuka pada posisi 5o38’00” – 5o45’00” LS dan 106o33’00” – 106o’40’00” BT.
41
Gambar 7
Zonasi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu berdasarkan SK Dirjen PHKA No. SK.05/IV-KK/2004 tanggal 27 Januari 2004 tentang Pembagian Zona Kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (Sumber: BTNLKS-Departemen Kehutanan)
5 HASIL PENELITIAN
5.1 Kondisi Parameter Fisika-Kimia Perairan Nilai parameter fisika-kimia perairan didapatkan dari hasil pengukuran pada bulan Mei dan Juni 2009 di 8 stasiun pengamatan yang terletak di daerah reservasi (zona inti) dan non-reservasi (zona pemukiman). Nilai hasil pengukuran tersebut selengkapnya disajikan pada Lampiran 1. Hasil pengukuran suhu di stasiun pengamatan berkisar antara 28-310C, sedangkan salinitas terukur berkisar antara 30-32‰ (Lampiran 1). Variasi horizontal suhu dan salinitas antar stasiun pengamatan memiliki kisaran yang relatif kecil, menunjukkan kondisi kedua parameter cenderung homogen di lokasi penelitian. Kecepatan arus yang terukur di lokasi pengamatan berkisar antara 0,03-0,25 m/detik (Lampiran 1), dengan arah umumnya menuju barat karena berkaitan dengan musim tenggara (pada bulan Mei) dan musim timur (bulan Juni) yang berlangsung pada saat pengukuran. Sementara nilai kecerahan dan kekeruhan di lokasi penelitian secara berturut berkisar antara 5,0-7,5 meter dan 0,37-0,80 NTU (Lampiran 1). Nilai ini tidak jauh berbeda dengan hasil pengukuran pada tahun 1997 oleh Dinas Perikanan DKI Jakarta dan Fakultas Perikanan-IPB masingmasing berkisar antara 3-8 meter dan 0,5-1,1 NTU (LAPI-ITB 2000). Derajat keasaman (pH) perairan hasil pengukuran berkisar antara 7,99-8,35 (Lampiran 1), lebih tinggi dari hasil pengukuran oleh Dinas Perikanan DKI Jakarta dan Fakultas Perikanan IPB (1997) diacu dalam LAPI-ITB (2000) yakni berkisar antara 7,0-7,5. Hasil pengukuran terhadap kandungan amonium (NH3-N), nitrat (NO3-N), nitrit (NO2-N) dan phospat (PO4-P) secara berturut-turut berada pada kisaran 0,019-0,281 mg/l; <0,001-0,124 mg/l; <0,002-0,014 mg/l; dan <0,001-0,041 mg/l (Lampiran 1). Berdasarkan hasil pengukuran terlihat bahwa secara umum nilai kandungan ammonium pada stasiun pengamatan yang berada di zona pemukiman (P. Pramuka dan P. Panggang) lebih tinggi dibandingkan dengan hasil pengukuran di stasiun pengamatan yang terletak di zona inti (P. KA Bira dan P. Belanda).
43
5.2 Karakteristik Habitat Bentik Komposisi Komposisi persen tutupan substrat bentik di lokasi pengamatan cukup beragam antar stasiun pengamatan (Lampiran 2). Secara rerata, persen tutupan karang keras dan karang mati di stasiun pengamatan yang berada di daerah reservasi (zona inti) masing-masing adalah sebesar 36,2% dan 52,7%, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun pengamatan yang berada di daerah nonreservasi (zona pemukiman) yakni masing-masing sebesar 27,5% dan 50,8% (Tabel 7 dan Gambar 8). Sebaliknya rerata persen tutupan komponen alga, fauna lain dan abiotik di stasiun pengamatan yang berada di daerah reservasi (zona inti) masing-masing sebesar 1,6%, 2,0% dan 7,5% lebih rendah dibandingkan dengan stasiun pengamatan yang berada di daerah non-reservasi (zona pemukiman) yakni masing-masing sebesar 4,6%, 3,1% dan 14,0% (Tabel 7 dan Gambar 8). Namun demikian hasil uji-t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan tutupan komponen substrat bentik antara stasiun pengamatan di daerah reservasi dan non-reservasi (Tabel 7). Tabel 7 Karakteristik substrat bentik di daerah reservasi dan non-reservasi serta kesimpulan hasil uji-t Benthic features % Cover composition Hard coral Dead coral Algae Other fauna Abiotic Diversity indices S-genus S-lifeform H'-genus H'-lifeform
Reserve Mean±SD
Non-reserve Mean±SD
t-test (P<0.05, df=6)
36.19±11.60 52.66±10.79 1.61±0.72 1.99±0.94 7.54±3.12
27.54±12.08 50.77±5.82 4.59±3.08 3.10±3.03 14.00±6.35
n.s n.s n.s n.s n.s
22.25±3.30 10.00±0.00 1.97±0.16 1.81±0.12
20.00±6.27 9.00±1.15 1.87±0.42 1.63±0.21
n.s n.s n.s n.s
Keterangan: n.s =not significantly different (tidak berbeda nyata), SD=standar deviasi
44
% cover
Reserve 70 60 50 40 30 20 10 0 Hard coral
Gambar 8
Non-reserve
Dead coral
Algae
Other fauna
Abiotic
Rerata tutupan kelompok substrat bentik di area reservasi dan nonreservasi (error bar = standar deviasi)
Kelompok karang mati terlihat mendominasi tutupan substrat bentik hampir di semua stasiun pengamatan baik di daerah reservasi maupun non-reservasi (Lampiran 2). Jika ditinjau lebih jauh terlihat bahwa komponen utama penyusun kelompok karang mati adalah berupa patahan karang (DCR) dan karang mati beralga (DCA) (Gambar 9 dan Lampiran 2).
DCA
RDC
DCR
Tutupan (%)
50 40 30 20 10 0 T-Prmk U-Prm
Gambar 9
S-Pgg
B-Pgg T-KAB Stasiun
B-KAB
U-Bld
S-Bld
Persen tutupan komponen penyusun kelompok karang mati: karang mati beralga (DCA), karang mati baru (RDC), karang mati berupa patahan (DCR).
Persen tutupan karang keras tertingi ditemukan di barat P. KA Bira (52,74%) yang masuk dalam zona inti sedangkan terendah ditemukan di utara P. Pramuka (18,63%) yang berada di zona pemukiman (Lampiran 2). Kelompok karang keras dibagi dalam dua kategori lifeform, yakni Acropora dan NonAcropora. Selanjutnya lifeform Acropora dibagi menjadi 4 kategori dan lifeform
45
Non-Acropora dibagi menjadi 7 kategori (lihat Lampiran 2). Komposisi tutupan komponen penyusun lifeform Acropora dan Non-Acropora terlihat cukup bervariasi di lokasi pengamatan (Gambar 10 dan Gambar 11).
Acropora
bercabang (ACB) dan Acropora meja (ACT) terlihat mendominasi dan menjadi komponen utama penyusun lifeform Acropora di seluruh lokasi pengamatan. Kondisi yang lebih variatif terlihat pada komponen penyusun lifeform nonAcropora dimana karang daun (CF), karang massif (CM), karang kerak (CE), karang submassif (CS) dan karang jamur (CMR) mendominasi di stasiun pengamatan tertentu. Kelompok “alga” dibagi menjadi lima komponen, dimana persen tutupan tertinggi ditemukan di timur P. Pramuka (8,36%) yang berada di zona pemukiman, dan terendah ditemukan di selatan P. Belanda (0,89%) yang terletak di zona inti (Lampiran 2). Kelompok “fauna lain” yang di dalamnya termasuk komponen karang lunak hadir di semua stasiun pengamatan dengan persen tutupan tidak lebih dari 8% (Lampiran 2). Kelompok “abiotik” yang terdiri dari komponen batu, pasir dan lumpur merupakan kelompok terakhir penyusun habitat bentik di lokasi penelitian dan ditemukan pada kisaran persen tutupan 4,15% di utara P. Belanda hingga 21,18% di timur P. Pramuka (Lampiran 2).
Tutupan (%)
ACB
ACD
ACS
ACT
16 14 12 10 8 6 4 2 0
T-Prmk U-Prmk
S-Pgg
B-Pgg
T-KAB
B-KAB
U-Bld
S-Bld
Stasiun
Gambar 10 Persen tutupan komponen penyusun lifeform Acropora: Acropora bercabang (ACB), Acropora tabung (ACD), Acropora submassif (ACS), Acropora meja (ACT).
46
Tutupan (%)
CB
CE
CF
CM
CMR
CS
CML
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
T-Prmk U-Prmk
S-Pgg
B-Pgg
T-KAB
B-KAB
U-Bld
S-Bld
Stasiun
Gambar 11
Persen tutupan komponen penyusun lifeform non-Acropora: karang bercabang (CB), karang kerak (CE), karang daun (CF), karang massif (CM), karang jamur (CMR), karang submassif, karang api (CML).
Keanekaragaman Karang Keanekaragaman karang di lokasi penelitian dilihat pada tingkat genus maupun lifeform dimana indikator yang digunakan adalah jumlah genus dan lifeform (S), serta indeks keanekaragaman Shannon (H’). Rerata nilai indikator keanekaragaman karang (S dan H’) baik pada tingkat genus maupun lifeform pada stasiun pengamatan yang terletak di daerah reservasi (zona inti) memiliki besaran yang sedikit lebih tinggi dibandingkan stasiun pengamatan yang berada di daerah non-reservasi (zona pemukiman) (Tabel 7 dan Gambar 12). Namun demikian, hasil uji-t terhadap indikator keanekaragaman karang (H’ dan S) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan keanekaragaman karang antara daerah reservasi dan non-reservasi (Tabel 7).
Reserve
Non-reserve
30 25 20 15 10 5 0 S-genus
S-lifeform
H'-genus
H'-lifeform
Gambar 12 Rerata nilai indikator keanekaragaman karang di daerah reservasi dan non-reservasi (error bar = standar deviasi)
47
Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan 37 genera karang keras (ordo Scleractinia) dan 11 lifeform karang keras. Jumlah genus karang tertinggi ditemukan di utara P. Pramuka (28 genus) dan terendah di selatan P. Panggang dan barat P. Panggang (15 genus) yang semuanya terletak di zona pemukiman. Sementara, jumlah lifeform tertinggi (10 jenis) ditemukan di 6 stasiun pengamatan sekaligus, yakni utara P. Pramuka, barat P. Panggang yang berada di zona pemukiman, serta timur P. KA Bira, barat P. KA Bira, utara P. Belanda dan selatan P. Belanda yang terletak di zona inti, sedangkan jumlah terendah (8 jenis) ditemukan di 2 stasiun
pengamatan yakni timur P. Pramuka dan selatan P.
Panggang yang berada di zona pemukiman (Gambar 13 dan Lampiran 2).
Jumlah
S (genus)
S (lifeform)
30 25 20 15 10 5 0 T-Prmk U-Prmk S-Pgg
B-Pgg
T-KAB B-KAB
U-Bld
S-Bld
Stasiun
Gambar 13 Jumlah genus dan lifeform karang di stasiun pengamatan
Dari hasil penghitungan didapat nilai indeks keanekaragaman genus tertinggi (2,39) ditemukan di utara P. Pramuka dan terendah (1,47) di barat P. Panggang yang keduanya berada di zona pemukiman, sedangkan nilai indeks keanekaragaman lifeform tertinggi (1,96) ditemukan di selatan P. Belanda yang terletak di zona inti dan terendah (1,35) di selatan P. Panggang yang masuk dalam zona pemukiman (Gambar 14 dan Lampiran 2). Besar kecilnya nilai indeks keanekaragaman karang tidak ditentukan oleh besar kecilnya persen tutupan karang, tetapi lebih ditentukan oleh jumlah jenis (genus maupun lifeform) karang serta merata tidaknya persen tutupan dari tiap genus/lifeform karang yang ada. Hal ini dapat dilihat pada stasiun utara P. Pramuka yang memiliki nilai tutupan karang terendah, akan tetapi memiliki nilai
48
indeks keanekaragaman genus karang yang lebih tinggi dibandingkan stasiun barat P. KA Bira yang memiliki persen tutupan karang tertinggi. H' (genus)
H' (lifeform)
3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 T-Prmk U-Prmk S-Pgg
B-Pgg
T-KAB
B-KAB
U-Bld
S-Bld
Stasiun
Gambar 14 Indeks keanekaragaman genus dan lifeform karang di stasiun pengamatan.
5.3 Karakteristik Komunitas Ikan Kerapu 5.3.1 Hasil Sensus Visual Komposisi Jenis Dari hasil sensus visual yang dilakukan pada bulan Mei dan Juni 2009, terdapat 9 spesies ikan kerapu yaitu Cephalopholis sexmaculata, C. boenak, C. microprion, C. cyanostigma, Epinephelus bontoides, E. fasciatus, E.longispinis, E. merra dan E.ongus. Jenis dan kelimpahan ikan kerapu hasil sensus visual pada bulan Mei dan Juni selengkapnya disajikan pada Lampiran 3. Komposisi jenis kerapu antara stasiun pengamatan di daerah reservasi dan non-reservasi cukup bervariasi berdasarkan kedua waktu pengamatan (Gambar 15a dan 15b), namun secara keseluruhan terlihat bahwa C.microprion (balong karet), C. boenak (balong karet), E. ongus (balong hitam) dan E. fasciatus (balong karet merah) bersama-sama mendominasi di stasiun pengamatan baik di daerah reservasi maupun non-reservasi (Gambar 15c). C.sexmaculata, C.cyanostigma ditemukan baik pada pengamatan bulan Mei maupun Juni hanya di stasiun pengamatan yang berada di daerah reservasi, sedangkan E.bontoides ditemukan pada pengamatan bulan Mei hanya di daerah non-reservasi. Sementara, E.merra dan E.longispinis hanya ditemukan pada pengamatan bulan Juni, baik di daerah reservasi maupun non-reservasi.
49
Reserve
Non-reserve
E.ongus E.merra E.longispinis E.fasciatus E.bontoides C.cyanostigma C.microprion C.boenak C.sexmaculata
40
30
20
10
0
10
20
30
40
20
30
40
20
30
40
Percent composition
(a) Reserve
Non-reserve
E.ongus E.merra E.longispinis E.fasciatus E.bontoides C.cyanostigma C.microprion C.boenak C.sexmaculata
40
30
20
10
0
10
Percent composition
(b) Reserve
Non-reserve
E.ongus E.merra E.longispinis E.fasciatus E.bontoides C.cyanostigma C.microprion C.boenak C.sexmaculata 40
30
20
10
0
10
Percent composition
(c) Gambar 15 Komposisi spesies ikan kerapu di daerah reservasi dan non-reservasi: (a) hasil sensus visual pada bulan Mei, (b) hasil sensus visual pada bulan Juni, (c) total hasil sensus visual pada bulan Mei dan Juni.
50
Keanekaragaman dan kelimpahan Keanekaragaman spesies kerapu di lokasi pengamatan dinilai dengan menggunakan variabel jumlah spesies (S) dan indeks keanekaragaman Shannon (H’), sedangkan kelimpahan ikan dilihat melalui variabel densitas (ekor/Ha). Jumlah spesies kerapu yang ditemukan di tiap stasiun pengamatan berkisar antara 1 hingga 6 spesies, indeks keanekaragaman Shannon (H’) di stasiun pengamatan berkisar antara 0,00 – 1,66, sedangkan kelimpahan ikan kerapu di setiap stasiun pengamatan per sensus berkisar antara 10-320 ekor/ha (Lampiran 3). Secara rerata, jumlah spesies, indeks keanekaragaman Shannon dan kelimpahan kerapu di daerah reservasi, baik pada pengamatan bulan Mei maupun Juni diketahui lebih tinggi dibandingkan dengan daerah non-reservasi (Tabel 8, Gambar 16, Gambar 17 dan Gambar 18). Hasil uji-t terhadap variabel ekologi komunitas ikan kerapu yang meliputi jumlah spesies, indeks keanekaragaman Shannon dan densitas menunjukkan bahwa secara spasial terdapat perbedaan yang signifikan antara daerah reservasi dan nonreservasi pada pengamatan bulan Juni, sedangkan pada pengamatan bulan Mei tidak terdapat perbedaan yang signifikan (Tabel 8). Demikian pula hasil uji-t menunjukkan bahwa secara temporal terdapat perbedaan yang signifikan jumlah spesies, indeks keanekaragaman Shannon dan densitas ikan kerapu antara bulan Mei dan bulan Juni (Tabel 8). Tabel 8 Nilai beberapa variabel ekologi ikan kerapu di daerah reservasi dan nonreservasi berdasarkan hasil sensus visual pada bulan Mei dan Juni serta hasil uji-t secara spasial dan temporal No.
Variables
1
Number of species
2
Shannon diversity index (H')
3
Density (ind/ha)
Sampling time Mei Juni Mei Juni Mei Juni
Reserve Mean±SD 2.75±1.71 5±1.15 0.80±0.64 1.43±0.19 110±84.06 275±44.35
NonReserve Mean±SD 2.25±1.26 3.25±0.50 0.66±0.57 1.10±0.09 55±25.17 130±25.82
Spatial t-test (P<0.05, df=6)
Temporal
t-test (P<0.05, df=14)
n.s s n.s s. n.s s
Keterangan.: n.s=not significantly different (tidak berbeda nyata), s=significantly different (berbeda nyata), SD=standar deviasi
s s s
51
Number of species
Reserve
Non-reserve
7 6 5 4 3 2 1 0 May
June
Gambar 16 Rerata jumlah spesies kerapu hasil sensus visual pada bulan Mei dan Juni di daerah reservasi dan non-reservasi (error bar=standar deviasi)
Shannon diversity index (H')
Reserve
Non-reserve
1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 May
June
Gambar 17 Rerata indeks keanekaragaman Shannon (H’) pada bulan Mei dan Juni di daerah reservasi dan non-reservasi (error bar=standar deviasi)
Density (ind/ha)
Reserve
Non-reserve
350 300 250 200 150 100 50 0 May
June
Gambar 18 Rerata densitas ikan kerapu hasil sensus visual pada bulan Mei dan Juni di daerah reservasi dan non-reservasi (error bar=standar deviasi)
52
Struktur ukuran Distribusi ukuran panjang kerapu yang tercacah berdasarkan hasil sensus visual berada pada kisaran kelas ukuran >5-10 cm hingga kelas ukuran >25-30 cm. Pada bulan Mei, baik di daerah reservasi maupun non-reservasi, frekuensi tertinggi panjang ikan kerapu berada pada kelas ukuran >15-20 cm, namun demikian kisaran kelas ukuran di daerah reservasi (>10-15 cm hingga >25-30 cm) lebih lebar dibandingkan dengan di daerah non-reservasi (>5-10 cm hingga >15-20 cm) (Gambar 19A). Pada bulan Juni, frekuensi ukuran terkonsentrasi pada kelas ukuran >15-20 cm di daerah reservasi dan kelas ukuran >10-15 cm untuk daerah nonreservasi (Gambar 19B). Seperti halnya pada bulan Mei, pada bulan Juni kisaran kelas ukuran di daerah reservasi (>5-10 cm hingga >20-25 cm) lebih lebar dibandingkan dengan di daerah non-reservasi (>5-10 cm hingga >15-20 cm). Secara rerata terlihat bahwa frekuensi ukuran kerapu di daerah reservasi terkonsentrasi pada kelas ukuran yang lebih besar (>15-20 cm) dibandingkan dengan di daerah non-reservasi (>10-15 cm), dan kisaran kelas ukuran di daerah reservasi (>5-10 cm hingga >25-30 cm) lebih lebar dibandingkan dengan di daerah non-reservasi (>5-10 cm hingga >15-20 cm) (Gambar 19C). Hal ini mengindikasikan bahwa ikan kerapu di daerah reservasi secara umum berukuran lebih besar dan lebih matang dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov 2 sampel terhadap distribusi frekuensi ukuran kerapu menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan secara signifikan distribusi frekuensi ukuran ikan kerapu hasil sensus antara daerah reservasi dan non-reservasi baik pada bulan Mei (P=0,819), Juni (P=0,819) maupun secara rerata (P=0,819).
53
Frequency
Reserve
Non-reserve
14 12 10 8 6 4 2 0 >0 - 5
>5 - 10 >10 - 15 >15 - 20 >20 - 25 >25 - 30 >30 - 35 >35 - 40
> 40
Size class (cm)
(a) Reserve
Non-reserve
Frequency
25 20 15 10 5 0 >0 - 5
>5 - 10 >10 - 15 >15 - 20 >20 - 25 >25 - 30 >30 - 35 >35 - 40
> 40
Size class (cm)
(b)
Frequency
Reserve
Non-reserve
35 30 25 20 15 10 5 0 >0 - 5
>5 - 10 >10 - 15 >15 - 20 >20 - 25 >25 - 30 >30 - 35 >35 - 40
> 40
Size class (cm)
(c) Gambar 19 Distribusi frekuensi ukuran kerapu hasil sensus visual. (a) bulan Mei, (b) bulan Juni, (c) rerata bulan Mei dan Juni.
54
5.3.2 Hasil Tangkapan Bubu Komposisi Jenis Hasil tangkapan kerapu menggunakan alat tangkap bubu kompresor terdiri dari 7 spesies kerapu yang berasal dari 4 genera, yaitu
Anyperodon
leucogrammicus, Cephalopholis boenak, Epinephelus malabaricus, E. ongus, E.quoyanus, Plectropomus maculatus dan P.oligacanthus. Hasil tangkapan kerapu dari 3 kali trip penangkapan di masing-masing titik selengkapnya disajikan pada Lampiran 4. Spesies Plectropomus maculatus (lodi tesin) tampak mendominasi hasil tangkapan secara keseluruhan, baik di daerah reservasi maupun non-reservasi, namun proporsi terbesar ditemukan di daerah reservasi (Gambar 20). Berbeda dengan hasil sensus visual yang semuanya merupakan jenis kerapu balong (Genus Cephalopolis dan Epinephelus), jenis kerapu hasil tangkapan bubu didominasi oleh jenis kerapu sunu/lodi (Genus Plectropomus) yang memiliki nilai ekonomi sangat tinggi.
Jumlah spesies kerapu hasil tangkapan di daerah reservasi (4
spesies) lebih sedikit dibandingkan dengan di daerah non-reservasi (6 spesies), dan di daerah reservasi tidak ditemukan spesies A. leucogrammicus, E.malabaricus,dan P.oligacanthus.
Reserve
Non-reserve
P.oligacanthus P. maculatus E.quoyanus E. ongus E. malabaricus C.boenak A. leucogrammicus 80 70 60 50 40 30 20 10 0 10 20 30 40 Percent composition
Gambar 20 Komposisi spesies ikan kerapu hasil penangkapan menggunakan bubu di daerah reservasi dan non-reservasi.
55
Kelimpahan Stok Kelimpahan stok dan produktivitas perikanan suatu kawasan dapat dilihat dari besaran nilai laju tangkap berupa hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort/CPUE). Walaupun rerata nilai CPUE ikan kerapu di daerah reservasi (0,52 kg/trip dan 1,3 ekor/trip) lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah nonreservasi (0,38 kg/trip dan 0,8 ekor/trip), namun berdasarkan uji-t (P<0.05; df=22) disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan nilai CPUE ikan kerapu diantara kedua kawasan tersebut (Tabel 9). Selain jenis kerapu sebagai target utama alat tangkap bubu, berbagai jenis ikan karang lainnya juga tertangkap sebagai hasil tangkapan sampingan (by catch) seperti: ekor kuning (Caesionidae), lencam (Lethrinidae), swanggi (Holocentridae), baronang (Siganidae), kepe-kepe (Chaetodontidae), biji nangka (Mulidae), pasirpasir (Nemipteridae), kakaktua (Scaridae) dan jenis ikan karang lainnya (Lampiran 7). Jumlah by catch hasil tangkapan bubu dapat digunakan sebagai indikator kelimpahan stok ikan karang di lokasi pengamatan. Rerata hasil tangkapan sampingan di daerah reservasi terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Berdasarkan hasil uji-t (P<0.05; df=22), dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan hasil tangkapan sampingan antara daerah reservasi dan non-reservasi (Tabel 9). Tabel 9 Nilai beberapa variabel hasil tangkapan kerapu di daerah reservasi dan non-reservasi serta hasil uji-t No. 1 2 3 4
Variables Length CPUE (kg/trip) CPUE (ind/trip) By catch (ind/trip)
Reserve
Non-reserve
Mean±SD 30.57±8.48 0.68±0.75 1.25±1.29 62.25±38.38
Mean±SD 30.44±9.52 0.38±0.82 0.75±0.97 16.58±11.78
t-test (p<0.05; df=22) n.s. n.s. n.s. s
Keterangan: n.s = not significantly different (tidak berbeda nyata); s = significantly different (berbeda nyata)
Struktur Ukuran Berdasarkan distribusi frekuensi ukuran ikan kerapu yang tertangkap tampak bahwa ukuran ikan kerapu di daerah reservasi terkonsentrasi pada 2 kelas ukuran, yaitu >25-30 cm dan >30-35 cm sedangkan di daerah non-reservasi juga
56
terkonsentrasi pada 2 kelas ukuran >20-25 cm dan >35-40 (Gambar 21). Distribusi frekuensi ukuran kerapu hasil tangkapan tidak menunjukkan adanya perbedaan yang kontras antara dua kawasan tersebut.
Hasil uji Kolmogorov-Smirnov 2
sampel juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan secara signifikan distribusi frekuensi ukuran ikan kerapu hasil tangkapan antara daerah reservasi dan non-reservasi (P=0.441). Sementara itu, rerata ukuran panjang ikan kerapu yang tertangkap di daerah reservasi (30,57 cm ) juga tidak berbeda nyata dengan di daerah non-reservasi (30,44 cm) (Tabel 9).
Reserve
Non-reserve
Frequency
5 4 3 2 1 0 >0 - 5
>5 - 10 >10 - 15 >15 - 20 >20 - 25 >25 - 30 >30 - 35 >35 - 40
> 40
Size class (cm)
Gambar 21 Distribusi frekuensi ukuran kerapu hasil tangkapan menggunakan bubu di daerah reservasi dan non-reservasi.
5.4 Pola Pengelompokan Habitat Bentik dan Komunitas Kerapu Analisis kelompok menggunakan jarak Euclidian (Euclidian distance) digunakan untuk menentukan pengelompokan stasiun berdasarkan pada variabel habitat bentik dan komunitas ikan kerapu. Analisis kelompok dilakukan terhadap variabel komunitas ikan kerapu hasil sensus dan hasil tangkapan menggunakan bubu. Hasil analisis kelompok berdasarkan variabel habitat bentik menunjukkan terbentuknya 3 kelompok stasiun yang cenderung merepresentasikan kondisi habitat bentik yang buruk (stasiun timur P. Pramuka dan utara P. Pramuka), sedang (stasiun utara P. Belanda, selatan P. Belanda, barat P. Panggang dan timur P. KA Bira) dan baik (barat P. KA Bira dan selatan P. Panggang) (Gambar 22). Nilai tengah dan standar deviasi 14 variabel habitat bentik di setiap kelompok serta indeks dd masing-masing variabel disajikan dalam Tabel 10, sedangkan kontribusi
57
6 variabel habitat bentik yang memiliki nilai tertinggi di setiap kelompok (indeks dd) disajikan dalam Gambar 23.
2.5
1.5
I
II
S-Pgg
0
S-Bld
III
B-Pgg
Fair
T-KAB
Bad
U-Prmk
Good
T-Prmk
0.5
U-Bld
1
B-KAB
Dissimilarity
2
Gambar 22 Dendrogram hierarki variabel habitat bentik menggunakan jarak Euclidian.
Tabel 10 Nilai tengah, standar deviasi dan indeks dd variabel substrat bentik di tiga kelompok stasiun hasil analisis kelompok Benthic variables
Population
Cluster 1
Cluster 2
Cluster 3
Mean±SD
Mean±SD
dd
Mean±SD
dd
Mean±SD dd
% Branching coral
7.61±6.03
1.46±0.77
-1.02
6.73±3.99
-0.15
15.51±1.45
1.31
% Encrusting coral
3.76±2.72
1.83±0.27
-0.71
4.30±1.71
0.20
4.60±5.75
0.31
% Foliose coral
7.34±6.57
1.15±0.44
-0.94
6.62±5.57
-0.11
14.97±3.79
1.16
% Massive coral
6.14±3.59
7.09±0.15
0.26
4.16±4.23
-0.55
9.15±1.00
0.84
% Mushroom coral
1.66±2.39
0.34±0.25
-0.55
2.69±3.22
0.43
0.93±0.25 -0.31
% Submassive coral
3.04±1.54
2.49±1.79
-0.36
3.58±1.31
0.35
2.50±2.42 -0.35
% Live coral
31.87±11.90
18.87±0.33
-1.09
30.00±3.83 -0.16
48.61±5.84
% Dead coral
51.72±8.09
54.16±6.51
0.30
55.59±6.16
0.48
41.52±4.66 -1.26
% Algae
3.10±2.62
5.57±3.94
0.94
2.73±2.13
-0.14
1.36±0.17 -0.66
% Abiotik
10.77±5.78
19.34±2.60
1.48
8.34±2.88
-0.42
7.06±2.00 -0.64
Number of genus
21.13±4.79
25.00±4.24
0.81
19.50±3.70 -0.34
20.50±7.78 -0.13
Diversity (H’-genera)
1.92±0.30
2.21±0.26
0.97
1.85±0.30
-0.21
1.76±0.24 -0.54
Number of lifeform
9.50±0.93
9.00±1.41
-0.54
10.00±0.00
0.54
9.00±1.41 -0.54
Diversity (H’-lifeform)
1.72±0.18
1.71±0.14
-0.05
1.80±0.12
0.44
1.57±0.31 -0.83
1.41
58
Histogram pada Gambar 23 mengindikasikan kontribusi variabel mana yang lebih rendah atau lebih tinggi dibandingkan dengan kontribusi rerata variabel tersebut dalam populasi, sehingga jika nilainya mendekati nol, menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan dengan rerata dalam populasi. Interpretasi histogram dalam Gambar 23 adalah sebagai berikut: Kelompok 1: Merupakan kelompok stasiun dengan kondisi habitat bentik “buruk”, terdiri dari 2 stasiun (utara P. Pramuka dan timur P. Pramuka) yang terletak di daerah non-reservasi. Kelompok ini dicirikan dengan tutupan komponen abiotik yang tinggi, tutupan karang hidup yang rendah (terutama karang bercabang dan karang daun), serta persen tutupan alga yang cukup tinggi (Gambar 23a). Kelompok 2: Merupakan kelompok stasiun dengan kondisi habitat bentik “sedang”, terdiri dari 4 stasiun, yakni utara P. Belanda, selatan P. Belanda dan timur P. KA Bira yang terletak di daerah reservasi, serta barat P. Panggang yang terletak di daerah non-reservasi. Walaupun tidak berbeda secara signifikan (indeks dd mendekati nol), kelompok dicirikan dengan persen tutupan karang massif yang rendah serta keanekaragaman lifeform karang yang tinggi (Gambar 23b). Kelompok 3: Merupakan kelompok stasiun dengan kondisi habitat bentik “baik”, terdiri dari 2 stasiun yakni stasiun barat P. KA Bira yang terletak di daerah reservasi dan selatan P. Panggang yang terletak di daerah non-reservasi. Kelompok dicirikan dengan persen tutupan karang hidup yang tinggi (terutama karang bercabang, karang daun dan karang masif), persen tutupan karang mati yang rendah, serta memiliki keanekaragaman lifeform karang cukup rendah (Gambar 23c)
59
% foliose Coral % algae Diversity (H'-genus) % branching coral % live coral % abiotic
% abiotic % mushroom coral Diversity (H'-lifeform) % dead coral Number of lifeform % massive coral -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
dd index
dd index
(a)
(b)
Diversity (H'-lifeform) % massive coral % foliose coral % dead coral % branching coral % live coral -1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
dd index
(c) Gambar 23 Hasil analisis kelompok berdasarkan variabel substrat bentik. Histogram menunjukkan nilai index dd untuk masing-masing variabel. (a) Kelompok 1; (b) Kelompok 2; (c) Kelompok 3.
Analisis kelompok berdasarkan variabel komunitas ikan kerapu hasil sensus visual dan hasil penangkapan menggunakan bubu menunjukkan terbentuknya 2 kelompok stasiun berdasarkan status perlindungannya, yakni kelompok daerah reservasi/zona inti (timur P. KA Bira, barat P. KA Bira, utara P. Belanda dan selatan P. Belanda) dan kelompok daerah non-reservasi/zona pemukiman (utara P. Pramuka, timur P. Pramuka, barat P. Panggang, selatan P. Panggang dan barat P. Karya) (Gambar 24A dan Gambar 24B). Nilai tengah dan standar deviasi 8 variabel populasi ikan kerapu hasil sensus visual dan hasil penangkapan menggunakan bubu serta indeks dd masing-masing variabel disajikan dalam Tabel 11, sedangkan histogram indeks dd masing-masing variabel dalam setiap kelompok disajikan dalam Gambar 25.
60
1.4
1.2
Dissimilarity
1
0.8
0.6
0.4
Reserve
Non-Reserve
S-Pgg
U-Prmk
B-Pgg
T-Prmk
S-Bld
U-Bld
T-KAB
0
B-KAB
0.2
(a) 1.6
1.4
1.2
Dissimilarity
1
0.8
0.6
0.4
Reserve
Non-Reserve
B-Pgg
S-Pgg
B-Karya
U-Prmk
S-Bld
U-Bld
B-KAB
0
U-KAB
0.2
(b) Gambar 24 Dendrogram hierarki variabel komunitas ikan kerapu menggunakan jarak Euclidian. (a) hasil sensus visual, (b) hasil penangkapan menggunakan bubu.
61
Tabel 11 Nilai tengah, standar deviasi dan indeks dd variabel komunitas kerapu hasil sensus visual dan hasil penangkapan menggunakan bubu di dua kelompok stasiun berdasarkan analisis kelompok Population Mean±SD Visual census Number of species Total abundance Diversity (H') Size abundance (>5-10 cm) Size abundance (>10-15 cm) Size abundance (>15-20 cm) Size abundance (>20-25 cm) Size abundance (>25-30 cm) Fish trapping Number of species Length (cm) CPUE (kg/trip) CPUE (ind/trip) By catch (ind/trip)
4.75±1.28 14.25±6.76 1.36±0.23 1.13±1.36 5.75±1.91 6.50±5.37 0.75±0.89 0.13±0.35 2.00±0.93 29.20±6.38 0.53±0.45 1.00±0.53 39.42±26.19
Cluster 1 Mean±SD dd 5.50±1.29 0.59 19.25±5.85 0.74 1.51±0.17 0.63 0.50±1.00 -0.46 6.50±2.52 0.39 10.50±4.93 0.74 1.50±0.58 0.85 0.25±0.50 0.35 2.25±0.96 31.22±3.44 0.68±0.34 1.25±0.50 62.25±12.89
Cluster 2 Mean±SD dd 4.00±0.82 9.25±2.36 1.22±0.19 1.75±1.50 5.00±0.82 2.50±0.58 0.00±0.00 0.00±0.00
-0.59 -0.74 -0.63 0.46 -0.39 -0.74 -0.85 -0.35
0.27 1.75±0.96 -0.27 0.32 27.18±8.50 -0.32 0.33 0.38±0.55 -0.33 0.47 0.75±0.50 -0.47 0.87 16.58±6.64 -0.87
Histogram dalam Gambar 25 dapat diinterpretasikan sebagai berikut: Kelompok 1: Merupakan kelompok stasiun yang berada dalam daerah reservasi (zona inti) dan merepresentasikan kondisi tekanan penangkapan yang rendah. Kelompok ini dicirikan dengan kelimpahan ikan kerapu yang lebih tinggi (terutama yang berukuran lebih besar), jumlah spesies dan keanekaragaman ikan kerapu yang lebih tinggi, serta jumlah hasil tangkapan sampingan dan nilai laju tangkap (CPUE) yang lebih tinggi. Tingginya jumlah hasil tangkapan sampingan menunjukkan tingginya kelimpahan stok ikan karang di kawasan ini. Kelompok 2 : Merupakan kelompok stasiun yang berada di daerah non-reservasi (zona pemukiman) dan merepresentasikan kondisi tekanan penangkapan yang tinggi. Kelompok ini memiliki karakter yang bertolak belakang dengan kelompok 1, yakni memiliki kelimpahan ikan kerapu (terutama berukuran besar) lebih rendah, jumlah spesies dan keanekaragaman ikan kerapu yang lebih rendah, serta jumlah hasil tangkapan sampingan dan nilai laju tangkap (CPUE) yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok 1.
62
Kelompok 1 Sensus visual
Penangkapan
Size abundance (>25-30 cm) Size abundance (>10-15 cm) Size abundance (>5-10 cm) Number of species Diversity (H') Size abundance (>15-20 cm) Total abundance Size abundance (>20-25 cm)
Number of spesies Length (cm) CPUE (kg/trip) CPUE (ind/trip) By catch (ind/trip)
-1.0
-0.5
0.0
0.5
-1
1.0
-0.5
0
0.5
1
0.5
1
dd index
dd index
Kelompok 2 Sensus visual
Penangkapan
Size abundance (>25-30 cm) Size abundance (>10-15 cm) Size abundance (>5-10 cm) Number of species Diversity (H') Size abundance (>15-20 cm) Total abundance Size abundance (>20-25 cm)
Number of spesies Length (cm) CPUE (kg/trip) CPUE (ind/trip) By catch (ind/trip)
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
dd index
-1
-0.5
0
dd index
Gambar 25 Hasil analisis kelompok berdasarkan variabel komunitas ikan kerapu dari hasil sensus visual dan penangkapan menggunakan bubu. Histogram menunjukkan nilai index dd untuk masing-masing variabel 5.5 Hubungan Ikan Kerapu dengan Kondisi Habitat Koefisien korelasi digunakan untuk melihat derajat keterkaitan antara variabel ekologi komunitas ikan kerapu dan habitat. Variabel komunitas kerapu yang dilibatkan adalah: kelimpahan (N), jumlah spesies (S) dan indeks keanekaragaman (H’) yang merupakan nilai rerata pengamatan bulan Mei dan Juni, sedangkan untuk habitat adalah persen tutupan karang hidup, indeks keanekaragaman genus, indeks keanekaragaman lifeform karang dan status perlindungan habitat. Hasil analisis korelasi selengkapnya disajikan dalam Tabel 12. Dari besaran nilai koefisien korelasi terlihat bahwa terdapat hubungan yang sangat erat (rs=0,88) dan sangat signifikan (P<0,01) antara status perlindungan habitat dengan densitas ikan kerapu (ind/ha). Selain itu, juga terlihat adanya
63
hubungan yang cukup erat dan cukup signifikan antara persen tutupan karang hidup dengan jumlah spesies ikan kerapu (rs=0,69; P=0,06), dan indeks keanekaragaman ikan kerapu (rs=0,64; P=0,09). Tabel 12 Korelasi antara variabel komunitas kerapu dan variabel habitat menggunakan Spearman Rank Correlation Coefficient (rs)
Habitat variables % live coral cover H'-coral genus H'-coral lifeform Protection status
Density (D) rs P 0.57 0.14 0.22 0.61 0.42 0.30 0.88 0.004
Grouper variables Number of Shannon index species (S) (H') rs P rs P 0.69 0.06 0.64 0.09 0.12 0.78 0.02 0.96 -0.05 0.91 -0.10 0.82 0.61 0.11 0.44 0.28
6 PEMBAHASAN
6.1 Variasi Parameter Fisika-kimia Perairan Kondisi parameter-fisika kimia perairan sangat berperan dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan, sekaligus menjadi faktor pembatas kehidupan biota karang dan ikan karang. Biota karang sebagai habitat ikan kerapu dapat mentolerir suhu tahunan maksimum sebesar 36-400C dan suhu minimum 180C; sedangkan salinitas perairan dimana karang dapat hidup adalah pada kisaran 2740 ‰ dengan kisaran optimum untuk pertumbuhan karang adalah 34-36‰ (Nybakken 1988; Thamrin 2006). Sementara, parameter lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu yaitu, suhu berkisar antara 24-310C dan salinitas berkisar antara 30-33‰ (Lembaga Penelitian Undana 2006). Kedua nilai parameter ini berdasarkan hasil penelitian, baik di daerah reservasi maupun nonreservasi masih berada dalam kisaran yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan biota karang dan ikan kerapu. Peranan sirkulasi air (arus) dalam suatu perairan sangat penting bagi organisme yang hidup di dalamnya, termasuk bagi biota karang dan ikan karang. Peranan utama arus bagi organisme perairan adalah berhubungan dengan penyediaan oksigen dan makanan (Thamrin 2006). Bagi biota karang, penyuplai nutrient terbesar berasal dari zooxanthellae, namun arus diperlukan karang dalam memperoleh makanan dalam bentuk zooplankton dan oksigen serta dalam membersihkan permukaan karang dari sedimen (Thamrin 2006). Bagi biota ikan, pergerakan air merupakan salah satu faktor fisika yang berperan dalam proses rekruitmen yakni pada tahap penyebaran larva pelagik di perairan laut (Cowen 1991). Hasil pengukuran di lokasi penelitian menunjukkan terdapatnya pergerakan arus yang cukup dan cenderung mengarah ke barat. Hal ini berkaitan erat dengan angin musim tenggara dan angin musim timur yang berlangsung pada saat dilakukannya pengambilan data. Cahaya matahari diperlukan karang dalam proses fotosintesis alga simbiotik zooxhantella yang merupakan penyuplai utama kebutuhan hidup karang (Thamrin 2006) . Kedalaman penetrasi sinar matahari mempengaruhi kedalaman pertumbuhan karang hermatipik sehingga diduga hal ini juga mempengaruhi
65
penyebarannya (Sukarno 1977). Penetrasi sinar matahari sangat dipengaruhi oleh kondisi kecerahan dan kekeruhan. Intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan akan semakin besar dan semakin dalam bila perairan memiliki tingkat kecerahan yang tinggi (Thamrin 2006), sebaliknya akan semakin kecil dan semakin dangkal bila perairan memiliki tingkat kekeruhan yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kecerahan dan kekeruhan masih berada dalam kisaran yang layak bagi pertumbuhan biota karang sesuai dengan baku mutu air laut yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (Kepmen. LH No. 51/2004 tentang Baku Mutu Air Laut) yakni masing-masing sebesar >5m dan <5 NTU, sehingga dapat disimpulkan bahwa cukup tersedia cahaya matahari untuk berlangsungnya fotosintesis bagi kelangsungan hidup hewan karang. Nilai kecerahan di daerah reservasi terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Hal ini diduga berkaitan erat dengan letak daerah reservasi yang lebih jauh dari daratan utama (teluk Jakarta) dan lokasi pemukiman sebagai sumber sedimentasi dan padatan tersuspensi yang sangat mempengaruhi kecerahan suatu perairan. Derajat keasaman (pH) air adalah faktor lain yang ikut mempengaruhi pertumbuhan biota perairan. Menurut baku mutu yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, kisaran pH air laut bagi biota adalah 7-8,5. Sementara, Lembaga Penelitian Undana (2006) menyimpulkan bahwa kisaran pH yang cocok bagi pertumbuhan ikan kerapu adalah 7,8-8, tidak berbeda jauh dengan hasil pengukuran di lokasi penelitian. Hasil penelitian menunjukkan kecenderungan lebih tingginya kandungan ammonium di zona pemukiman (non-reservasi) dibandingkan dengan di zona inti (reservasi). Hal ini dimungkinkan karena tingginya buangan limbah organik di perairan kedua pulau yang terletak di zona pemukiman. Sumber buangan limbah organik tersebut diduga terutama berasal dari sisa pakan ikan bandeng di karamba yang ada di Gosong Pramuka dan sisa pakan dari karamba jaring apung yang banyak terdapat di Pulau Panggang, serta buangan limbah rumah tangga dari kedua pulau yang memiliki jumlah penduduk cukup padat. Secara umum, hasil pengukuran terhadap parameter fisika-kimia perairan menunjukkan variasi yang relatif kecil dan homogen antar stasiun pengamatan
66
serta masih berada dalam kisaran yang layak bagi pertumbuhan biota karang dan ikan karang.
6.2 Variasi Karakteristik Habitat Bentik Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik habitat bentik, baik berupa komposisi tutupan komponen bentik maupun keanekaragaman karang di daerah reservasi (zona inti) dan non-reservasi (zona pemukiman) tidak berbeda secara signifikan. Kondisi habitat bentik terlihat sangat bervariasi di stasiun pengamatan di masing-masing zona, sehingga tidak mencerminkan adanya perbedaan yang signifikan sesuai dengan status perlindungannya. Penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda dengan penelitian sejenis sebelumnya di Tanzania yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan karakteristik habitat bentik (tutupan karang hidup, karang mati, batu, patahan karang, makroalga, lamun, karang lunak dan sponge) antara kawasan reservasi (Mafia Island Marine Park-Tanzania) dengan kawasan perairan sekitarnya, yang aktifitas penangkapannya terjadi secara intensif (Kamukuru et al. 2004). Di luar dugaan, penutupan karang mati di daerah reservasi terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Penutupan karang mati berdasarkan hasil penelitian tampak didominasi oleh karang mati berupa patahan karang, hal yang menunjukkan bahwa kematian dan degradasi terumbu karang di lokasi penelitian lebih disebabkan karena kerusakan secara fisik. Berdasarkan pengamatan di lapangan diduga bahwa kerusakan fisik terumbu karang di lokasi penelitian terutama disebabkan oleh faktor antropogenik, seperti aktivitas penangkapan ikan yang merusak terutama menggunakan alat tangkap muro-ami, penambangan pasir dan batu karang, dampak lego jangkar perahu/kapal (anchoring) dan dampak aktivitas penyelaman yang tidak profesional. Penangkapan ikan menggunakan muro-ami walaupun diyakini berdampak pada kerusakan terumbu karang, saat ini masih marak digunakan di perairan Kepulauan Seribu. Aktani (2003) menyimpulkan bahwa tutupan karang mati berupa patahan karang yang mendominasi tutupan substrat bentik di zona inti dan zona pemanfaatan TNL-KS merupakan dampak dari aktifitas penangkapan ikan menggunakan bom (blast fishing) yang marak dilakukan sebelum tahun 1995, saat
67
dimana status kawasan Kepulauan Seribu belum menjadi taman nasional. Namun, mengingat “era” maraknya penggunaan bom sudah sangat lama berlalu seiring dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat, serta secara visual tampak bahwa patahan karang yang ditemukan masih tergolong “baru” (lihat Lampiran 5), maka sangat kecil kemungkinan bahwa pengeboman ikan menjadi faktor utama yang menyebabkan kerusakan terumbu karang di lokasi penelitian saat ini. Kategori tutupan karang berdasarkan Gomez dan Yap (1988) menunjukkan bahwa di daerah reservasi ditemukan 3 stasiun yang memiliki kategori “Sedang” (timur P. KA Bira, utara dan selatan P. Belanda) dan 1 stasiun memiliki kategori “Baik” (barat P. KA Bira), sedangkan di daerah non-reservasi ditemukan 2 stasiun dengan kategori “Buruk” (timur dan utara P. Pramuka) dan 2 stasiun memiliki kategori “sedang” (barat dan selatan P. Panggang). Penilaian secara kualitatif ini menunjukkan bahwa kondisi tutupan karang di daerah reservasi masih sedikit lebih baik dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Hasil berbeda dilaporkan Aktani (2003), yakni kondisi tutupan karang di stasiun pengamatan P. KA Bira dan P. Putri (zona inti/daerah reservasi) berada dalam kategori “buruk”, sedangkan tutupan karang di P. Melinjo dan P. Genteng (zona pemanfaatan intensif/daerah non-reservasi) masuk dalam kategori “sedang”. Adanya perbedaan hasil ini diduga terjadi karena yang pertama sebagai akibat terjadinya perbaikan kondisi tutupan karang di daerah reservasi, dan dugaan kedua disebabkan adanya perbedaan titik sampling. Rerata persen tutupan alga stasiun pengamatan yang terletak di daerah nonreservasi terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan rerata persen tutupan alga di daerah reservasi. Keberadaan alga yang cukup tinggi mencirikan kondisi terumbu karang yang mengalami degradasi (Szmant 2002). Szmant (2002) selanjutnya menjelaskan bahwa selain faktor pengkayaan nutrient (nutrient enrichment) yang dapat menjadi penyebab kematian karang dan peningkatan tutupan alga, faktor utama lain adalah menurunnya kelimpahan ikan herbivor akibat penangkapan dan menurunnya kelimpahan bulu babi akibat penyakit; stress dan kematian karang akibat perubahan suhu (contoh: pemutihan karang/coral bleaching) sehingga membentuk lebih banyak lagi substrat bagi kolonisasi alga; sedimentasi yang dapat mengancam karang dewasa dan menghambat terjadinya rekruitmen; serta
68
meningkatnya predator karang sebagai dampak sekunder terjadinya overfishing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan nutrient berupa ammonium secara rerata terlihat lebih tinggi di daerah non-reservasi dibandingkan dengan daerah reservasi, disamping itu, status pengelolaannya sebagai zona pemukiman sangat memungkinkan terjadinya intensitas penangkapan yang tinggi sehingga menurunkan jumlah ikan herbivor yang memiliki peran ekologi sangat penting dalam mengontrol pertumbuhan alga. Hasil analisis kelompok terhadap variabel habitat bentik menunjukkan bahwa tidak terdapat pola yang menunjukkan adanya hubungan spesifik antara karakteristik habitat bentik dengan status pengelolaan atau zonasi. Kelompok yang terbentuk adalah berdasarkan kualitas habitat bentik, hal ini terlihat dari variabel yang mencirikan masing-masing kelompok. Hasil ini sejalan dengan Estradivari et al. (2007) yang tidak menemukan pola yang mengindikasikan hubungan antarlokasi pengamatan dengan struktur komunitas karang dan menekankan bahwa pola pemanfaatan terumbu karang dan penzonasian taman nasional di Kepulauan Seribu pada dasarnya tidak memberikan pengaruh besar terhadap struktur komunitas karang. Starr et al. (2004) menyimpulkan hasil yang sama walaupun penelitian dilakukan di lokasi berbeda, yakni di daerah reservasi laut di Central Californial. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa karakteristik habitat di lokasi penelitian bervariasi tidak berdasarkan status reservasi dan nonreservasi. Hasil berbeda dikemukakan oleh Aktani (2003) yang menemukan adanya kecenderungan pengelompokan habitat bentik berdasarkan lokasi geografis yang kemungkinan berhubungan dengan pengaruh siklus monsoon sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan komposisi tutupan lifeform antara sisi barat dan sisi timur Kepulauan Seribu.
6.3 Variasi Karakteristik Komunitas Kerapu Hasil uji statistik terhadap beberapa variabel ekologi komunitas kerapu menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan beberapa variabel secara spasial antara daerah reservasi dengan non-reservasi, juga terlihat adanya perbedaan signifikan secara temporal antara hasil sensus visual bulan Mei dan Juni. Perbedaan secara temporal diduga berkaitan dengan variasi akibat adanya perbedaan musim.
69
Bulan Mei bertepatan dengan berlangsungnya musim tenggara yang dikenal masyarakat setempat sebagai musim sampah. Pada musim ini, berbagai jenis sampah mulai dari sampah rumah tangga hingga sampah pabrik bergerak mengikuti angin musim tenggara dari Teluk Jakarta menuju kawasan perairan Kepulauan Seribu. Sampah-sampah ini bahkan terlihat mencapai perairan P.Belanda (zona inti) pada saat sampling dilakukan. Hasil pengukuran derajat keasaman (pH) perairan pada bulan Mei juga menunjukkan adanya kecenderungan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil pengukuran pada bulan Juni (Lampiran 1) yang diduga berkaitan dengan pergerakan massa air dari arah Teluk Jakarta pada bulan
Mei.
Variasi
temporal
yang
terjadi
terhadap
kelimpahan
dan
keanekaragaman komunitas ikan kerapu diduga sebagai dampak dari respon komunitas ikan kerapu terhadap perubahan kualitas perairan yang terjadi. Variabel keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu hasil sensus visual (jumlah spesies, indeks keanekaragaman dan densitas) terlihat berbeda secara signifikan antara daerah reservasi dan non-reservasi, walaupun perbedaan tersebut hanya pada pengamatan di bulan Juni. Berdasarkan nilai rerata terlihat bahwa kelimpahan ikan kerapu di daerah reservasi kira-kira dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah non-reservasi, demikian pula halnya dengan indikator keanekaragaman (jumlah spesies dan indeks keanekaragaman Shannon) terlihat lebih tinggi di daerah reservasi dibandingkan dengan daerah non-reservasi. Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang mengkaji komunitas ikan karang target di daerah reservasi (atau daerah perlindungan laut) dan di daerah yang tereksploitasi (Watson & Ormond 1994; Starr et al. 2004; Kamukuru et al. 2004; Unsworth et al. 2007). Sebagai contoh, Watson & Ormond 1994 melaporkan bahwa kelimpahan Lutjanus fulfivlamma dan L. ehrenbergi di kawasan taman nasional di Kenya lebih tinggi sebesar 170 kali dibandingkan dengan perairan sekitarnya dimana aktivitas penangkapan berlangsung secara intensif; Starr et al. 2004 menyebutkan bahwa densitas beberapa jenis rockfish di daerah reservasi di Central California lebih tinggi sebesar 12-35% dibandingkan dengan kawasan di luar daerah reservasi, walaupun perbedaan tersebut tidak signifikan secara statistik; Kamukuru et al. 2004 menggambarkan bahwa densitas Lutjanus fulfivlamma di dalam sebuah kawasan taman nasional di Tanzania 4 kali lebih besar, dan biomassa
70
6 hingga 10 kali lebih besar dibandingkan dengan perairan sekitarnya yang tereksploitasi berat akibat tingginya aktivitas penangkapan; sedangkan Unsworth et al. (2007) menemukan bahwa setelah 5 tahun dilindungi dan berstatus sebagai kawasan larang ambil (no-take area), populasi ikan kerapu di dalam kawasan yang berada di Taman Nasional Laut Wakatobi ini menjadi 2 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan sekitar dimana aktivitas penangkapan tidak terlalu intensif, dan hampir 5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan perairan sekitarnya dimana aktivitas penangkapan berlangsung sangat intensif. Sementara itu, variabel kelimpahan stok ikan kerapu hasil penangkapan menggunakan bubu (CPUE) secara stastitik tidak berbeda nyata antara daerah reservasi dan non-reservasi, walaupun rerata nilai CPUE di daerah reservasi lebih tinggi sebesar 67-79% dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Demikian pula halnya dengan komposisi ukuran ikan kerapu hasil sensus visual dan hasil penangkapan, secara statistik tidak terdapat perbedaan distribusi ukuran ikan kerapu antara daerah reservasi dan non-reservasi, walaupun terlihat bahwa kelas ukuran kerapu yang tercacah di daerah reservasi lebih beragam dibandingkan dengan di daerah non-reservasi, serta ikan kerapu yang tercacah di daerah reservasi didominasi oleh ikan berukuran yang lebih besar dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Namun demikian hasil berbeda didapat dari pengukuran panjang total (total length) ikan kerapu hasil penangkapan menggunakan bubu, dimana rerata panjang ikan di daerah non-reservasi (30.57 cm) tidak berbeda jauh dengan rerata panjang ikan di daerah reservasi (30.44). Di Cape Canaveral, Florida, Johnson et al. (1999) mempelajari populasi ikan dengan menggunakan alat tangkap trammel net di daerah penangkapan dan daerah non-penangkapan yang telah ditetapkan sebagai daerah reservasi selama 24-28 tahun. Hasilnya adalah ikan yang tertangkap di daerah non-penangkapan lebih banyak dan berukuran lebih besar dibandingkan dengan di daerah penangkapan, nilai CPUE di daerah nonpenangkapan 2,6 kali lebih besar dibandingkan dengan di daerah penangkapan. Dalam penelitian ini terlihat kecenderungan perbedaan karaketristik populasi berdasarkan kedalaman perairan yang terlihat dari hasil sensus visual dan hasil tangkapan bubu. Pada perairan yang lebih dangkal (3-10 m), jenis-jenis kerapu didominasi oleh kerapu balong (Genus Cephalopolis dan Epinephelus) yang
71
berukuran kecil dan memiliki nila ekonomi lebih rendah, sedangkan di perairan yang lebih dalam (15-25 meter), jenis kerapu didominasi oleh kerapu sunu (Genus Plectropomus) yang berukuran lebih besar dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Hal ini diduga berkaitan dengan siklus hidup jenis-jenis kerapu pada umumnya, dimana ikan kerapu muda hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5-3 m, selanjutnya menginjak dewasa beruaya ke perairan yang lebih dalam antara 7-40 m. Selain itu,
lebih intensifnya aktivitas penangkapan di perairan yang lebih
dangkal menyebabkan jenis-jenis ikan berukuran besar dan memiliki nilai ekonomi tinggi memiliki peluang yang lebih besar untuk tertangkap. Disamping jenis kerapu, hasil penelitian juga mengindikasikan tingginya kondisi kelimpahan jenis ikan karang lainnya di daerah reservasi dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Hal ini terlihat dari variabel jumlah tangkapan sampingan (by catch) alat tangkap bubu yang berbeda secara signifikan antara daerah reservasi dan non-reservasi. Hasil tangkapan sampingan alat tangkap bubu terdiri dari berbagai jenis ikan karang, seperti: ekor kuning (Caesionidae), lencam (Lethrinidae),
swanggi
(Holocentridae),
baronang
(Siganidae),
kepe-kepe
(Chaetodontidae), biji nangka (Mulidae), pasir-pasir (Nemipteridae), kakaktua (Scaridae) dan jenis ikan karang lainnya (Lampiran 7). Hasil analisis multivariat menggunakan analisis kelompok (cluster analysis) terhadap variabel populasi ikan kerapu menunjukkan perbedaan antara karakteristik komunitas ikan kerapu di daerah reservasi dan non-reservasi. Berdasarkan analisis kelompok terlihat bahwa komunitas ikan kerapu di daerah reservasi memiliki keanekaragaman dan kelimpahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Selain itu, ukuran kerapu yang lebih besar ditemukan lebih melimpah di daerah reservasi dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Perbedaan kondisi keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu antara daerah reservasi dan non-reservasi dalam penelitian ini, pada dasarnya merupakan gambaran dari dampak penangkapan dan dampak reservasi terhadap stok ikan kerapu di lokasi penelitian. Russ (1991a) menyatakan bahwa salah satu dampak langsung penangkapan pada level populasi yang paling sederhana untuk dideteksi adalah penurunan hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) yang pada akhirnya menurunkan total tangkapan. Lebih jauh Russ (1991a) menjelaskan bahwa
72
kematian akibat penangkapan sering terjadi secara efektif pada individu berukuran besar dan lebih tua pada suatu populasi (sebagian besar karena banyak alat tangkap dirancang untuk secara selektif menangkap ikan ukuran tersebut), sehingga dengan demikian penangkapan berdampak pada struktur ukuran dan umur populasi.
6.4 Keterkaitan Karakteristik Habitat dan Komunitas Kerapu Hasil analisis kelompok terhadap variabel komunitas kerapu menunjukkan bahwa
stasiun
pengamatan
menunjukkan
kemiripan
berdasarkan
status
perlindungan, berbeda dengan hasil analisis kelompok terhadap variabel habitat bentik yang menunjukkan pengelompokan stasiun pengamatan berdasarkan kemiripan kualitas habitat bentik. Hal ini mengindikasikan bahwa status perlindungan berperan penting dalam menentukan kondisi komunitas ikan kerapu di lokasi penelitian. Hasil analisis korelasi selanjutnya menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang kuat dan signifikan antara kelimpahan ikan kerapu dengan status perlindungan. Selain itu terdapat juga korelasi yang cukup kuat dan cukup signifikan antara tutupan karang hidup dengan jumlah spesies dan indeks keanekaragaman ikan kerapu. Hasil ini mengantarkan pada kesimpulan bahwa kelimpahan ikan kerapu di lokasi penelitian lebih dipengaruhi oleh status perlindungan yang merepresentasikan perbedaan tekanan penangkapan, sedangkan keanekaragaman ikan kerapu dipengaruhi oleh kondisi tutupan karang hidup. Beberapa penelitian sebelumnya menyimpulkan hasil yang sama dengan penelitian ini (Tuya et al. 2000; May 2003; Starr et al. 2004; Unsworth et al. 2007; dan Chabanet et al. 1997). Tuya et al. (2000) menemukan bahwa lokasi studi menunjukkan kemiripan yang lebih besar berdasarkan status perlindungan dibandingkan
dengan
variabel
lain,
dan
menyimpulkan
bahwa
tekanan
penangkapan merupakan penyebab utama menurunnya populasi spesies target di San Juan Islands, Washington. May (2003) juga menemukan bahwa aktivitas penangkapan menjadi penyebab utama penurunan jumlah ikan piscivore dan ikan komersial di sekitar lokasi studi di Pulau Kaledupa, Wakatobi. Sementara itu, Starr et al. (2004) menyimpulkan bahwa karakteristik habitat hanya menjelaskan 4% dari keragaman densitas ikan di daerah reservasi Central California, USA. Senada dengan hal ini, Unsworth et al. (2007) di Taman Nasional Laut Wakatobi
73
menemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara kelimpahan kerapu dengan karakteristik habitat bentik. Walaupun spesies kerapu dipengaruhi oleh kualitas dan kompleksitas habitat, namun terdapat variabel lain yang berpengaruh lebih kuat, yakni tekanan penangkapan. Sementara, Chabanet et al. (1997) menemukan bahwa variabel substrat bentik karang di Reunion Island , Laut Hindia berkorelasi erat dengan kekayaan spesies dan keanekaragaman ikan karang. Berbeda
dengan
hasil
penelitian
ini,
Edgar
and
Barret
(1997)
menyimpulkan bahwa lokasi studi di reservasi laut Tasmania menunjukkan kemiripan yang lebih besar berdasarkan parameter abiotik dibandingkan dengan status perlindungan. Sejalan dengan itu, Friedlander et al. (2003) mencatat bahwa ekspos gelombang, tutupan karang hidup dan kompleksitas habitat menjadi parameter lingkungan yang penting secara ekologi bagi kelompok ikan karang di Hawaii dan parameter ini harus dipertimbangkan dalam mendesain reservasi laut di masa mendatang. Sementara, Kamukuru et al. (2004) menemukan bahwa terdapat peningkatan signifikan kelimpahan dan biomassa ikan dengan meningkatnya kompleksitas dan tutupan karang keras di Mafia Island Marine Park, Tanzania. Beberapa faktor yang menyebabkan hasil yang berbeda untuk hubungan antara populasi ikan karang dan habitatnya adalah penggunaan kumpulan taksonomi dan kumpulan ikan yang berbeda serta keragaman metode yang digunakan. Selain itu, hubungan antara populasi ikan dan substrat juga berbeda diantara habitat dan kawasan karang serta kawasan biogeografi yang berlainan (Chabanet et al. 1997; Gratwicke dan Speight 2005).
6.5 Efektivitas Ekologi Zona Inti Kawasan reservasi laut dapat berfungsi sebagai penyangga untuk menghadapi kerusakan yang diakibatkan oleh interaksi antara eksploitasi dan kondisi lingkungan yang ekstrim (Bohnsack 1993 dalam Starr et al. 2004), sekaligus sebagai pelindung dari resiko ketidakpastian pengelolaan perikanan (Lauck et al. 1998 dalam Starr et al. 2004). Lebih lanjut kawasan ini dapat membantu dalam keberlanjutan dan peningkatan kondisi stok perikanan (Murray et al.1999).
74
Beberapa studi menunjukkan dampak manfaat suatu kawasan reservasi laut terhadap populasi ikan dan invertebrata. Dampak tersebut termasuk meningkatnya kelimpahan dan meningkatnya ukuran dan umur individu dari populasi ikan yang menjadi target penangkapan (Starr et al. 2004). Kawasan larang ambil dapat juga meningkatkan kualitas habitat, seperti pemulihan karang (Roberts and Polunin 1993 dalam Starr et al. 2004), keanekaragaman spesies ( Russ and Alcala 1996) dan stabilitas komunitas (Roberts and Polunin 1993 dalam Starr et al. 2004). Dampak suatu kawasan reservasi dapat mencapai kawasan di luar batas reservasi melalui limpahan (spillover) individu dewasa dan/atau larva ke daerah penangkapan (fishing ground) (Russ 1991b; Castilla and Fernandez 1998 dalam Starr et al. 2004). Zona inti III –TNL-Kepulauan Seribu yang mencakup Pulau Belanda dan Pulau Kayu Angin Bira merupakan kawasan larang ambil (tertutup bagi aktivitas ekstraksi). Kawasan ini hanya diperbolehkan untuk aktivitas pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian dan pendidikan. Penetapan kawasan zona inti III terutama bertujuan untuk melindungi ekosistem terumbu karang di kawasan tersebut dimana berbagai jenis ikan karang, termasuk jenis-jenis kerapu turut menjadi bagian dari ekosistem tersebut. Analisis univariat dalam penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik habitat bentik di zona inti tidak berbeda secara signifikan dengan di zona pemukiman, dan rerata penutupan karang mati di zona inti terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan di zona pemukiman. Lebih lanjut analisis multivariat menggunakan analisis kelompok tidak menunjukkan adanya pengelompokan habitat bentik menurut zonasi, yang juga berarti status perlindungan yang berlaku di zona inti tidak memberikan dampak bagi kondisi terumbu karang . Berdasarkan kedua hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pengelolaan zona inti III tidak efektif dalam mencapai tujuan penetapannya, yakni perlindungan terhadap ekosistem terumbu karang. Status reservasi yang disandang tidak berdampak pada perbaikan kualitas habitat, seperti pemulihan karang (Roberts and Polunin 1993 dalam Starr et al. 2004) di kawasan tersebut. Karakteristik komunitas kerapu berdasarkan hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan antara zona inti dan zona pemukiman, walaupun untuk beberapa
75
variabel, tidak cukup fakta untuk menunjukkan perbedaan diantara ke dua zona tersebut. Namun dapat disimpulkan secara umum bahwa di zona inti ditemukan keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu yang lebih tinggi dibandingkan dengan di zona pemukiman. Kelimpahan kerapu di zona inti terutama didominasi oleh individu yang berukuran lebih besar, menunjukkan struktur komunitas yang lebih matang (Unsworth et al. 2007). Berdasarkan karakteristik populasi tersebut terlihat bahwa zona inti cukup efektif dalam mempertahankan dan memelihara keanekaragaman dan kelimpahan populasi kerapu, terutama dari tekanan penangkapan. Namun demikian, beberapa variabel populasi kerapu berdasarkan hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan antara daerah reservasi dan non-reservasi, seperti distribusi frekuensi ukuran dan CPUE. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun cukup efektif, namun pengelolaan kawasan zona inti belum mencapai level optimal. Starr et al. (2004) mengajukan beberapa kemungkinan alasan kenapa suatu area reservasi laut tidak menunjukkan performa yang bagus dan optimal, yakni: 1) kawasan reservasi terlalu kecil untuk terjadinya akumulasi biomassa atau mempertahankan populasi spesies target atau spesies langka, 2) terjadinya limpahan (spillover) dalam intensitas tinggi dari area reservasi ke area nonreservasi, 3) proses pemulihan akibat eksploitasi berlebihan di area reservasi masih berlangsung, 4) pencurian ikan merupakan faktor yang signifikan di lokasi reservasi, atau 5) dampak dari eksploitasi oleh manusia dulunya telah menyebabkan perubahan fungsi ekosistem dalam skala luas yang mempengaruhi area reservasi dan non-reservasi secara bersamaan. Untuk kasus zona inti di lokasi penelitian, kemungkinan pertama cukup beralasan jika dilihat dari ukuran zona inti yang tidak terlalu luas. Jenis ikan kerapu memiliki home range (jangkauan habitat) yang sangat luas. Kebanyakan spesies kerapu pada saat-saat tertentu melakukan migrasi ke lokasi pemijahan yang jaraknya bisa mencapai ratusan mil sehingga peluang untuk tertangkap pada saat bermigrasi dan pada saat melakukan pemijahan massal (spawning aggregation) cukup besar. Meskipun perlu pembuktian lebih lanjut, dari ukuran ikan hasil tangkapan menggunakan bubu terlihat bahwa jumlah ikan berukuran besar terlihat tidak berbeda jauh diantara kedua zona, menunjukkan bahwa
76
terdapat kemungkinan kerapu berukuran besar tidak lagi banyak ditemukan di zona inti. Untuk mengetahui apakah kemungkinan kedua juga terjadi di lokasi studi, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan melihat produktifitas tangkapan di perairan sekitar yang berbatasan dengan zona inti. Kemungkinan ketiga, keempat dan kelima juga cukup beralasan terjadi di zona inti mengingat sejarah eksploitasi sumberdaya perikanan di perairan Kepulauan Seribu yang sempat didominasi oleh praktek-praktek penangkapan yang bersifat merusak (destructive fishing) seperti penggunaan bom dan potas serta masih lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi di dalam kawasan zona inti. Kondisi tutupan karang mati yang tinggi di zona inti menunjukkan bahwa tekanan lingkungan masih cukup besar terjadi di dalam kawasan ini. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan hasil komunikasi pribadi dengan beberapa orang nelayan dan staf Balai TNL-KS, tidak efektifnya zona inti dalam melindungi ekosistem terumbu karang serta belum optimalnya dampak yang diharapkan terhadap keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu, terutama disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 1) Belum ada pengawasan yang intensif dan upaya penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran aturan di kawasan zona inti. Selama sampling berlangsung di zona inti, beberapa kali terlihat tindakan pelanggaran di dalam kawasan zona inti berupa aktivitas penangkapan menggunakan berbagai alat tangkap seperti: muro-ami, bubu kompresor dan pancing; 2) Kesadaran masyarakat akan manfaat zona inti masih rendah. Masih banyak nelayan yang tidak mengetahui tentang keberadaan zona inti, sedangkan beberapa nelayan yang mengetahui banyak yang tidak mengerti apa tujuan dan manfaatnya; 3) Keterlibatan masyarakat dalam proses pengelolaan, termasuk dalam hal pengawasan masih rendah; 4) Zona inti yang ada memang tidak dirancang untuk keperluan pengelolaan perikanan spesies target tertentu, khususnya perikanan kerapu, sehingga tidak mempertimbangkan aspek bio-ekologi ikan kerapu (seperti: daerah pemijahan massal dan daerah asuhan) sebagaimana kriteria penetapan zona inti yang
77
gunakan oleh Departemen Kehutanan (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 56 /Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional). Gell and Roberts (2002) menekankan bahwa kunci untuk mendapatkan dampak manfaat dari sebuah reservasi adalah proteksi dilakukan di tempat dan waktu dimana spesies target sangat rentan terhadap aktivitas penangkapan. Banyak ikan karang konsumsi berkumpul dalam jumlah besar pada lokasi, musim dan fase bulan yang spesifik untuk memijah (Sadovy 1996), termasuk jenis-jenis kerapu (Claydon 2004). Pada umumnya lokasi dan waktu agregasi selalu tetap pada jangka waktu yang lama sehingga kumpulan ikan ini menjadi target yang mudah bagi aktivitas penangkapan musiman (Sadovy 1997).
6.6 Implikasi Pengelolaan Ada 2 hal pokok dari hasil penelitian ini yang berimplikasi pada saran dan rekomendasi bagi pengelolan perikanan kerapu di lokasi penelitian, yaitu: 1) upaya untuk menekan intensitas penangkapan melalui penutupan suatu kawasan akan berdampak signifikan terhadap peningkatan kelimpahan ikan kerapu di lokasi penelitian; 2) zona inti yang sudah ada cukup efektif dalam mempertahankan keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu di dalam kawasan, namun relatif belum optimal. Berdasarkan hasil tersebut penelitian ini menyarankan 2 hal sebagai bagian dari upaya pengelolaan perikanan kerapu berbasis ekologi di perairan Kepulauan Seribu, yaitu: 1) Penguatan pengelolaan zona inti yang sudah ada untuk meningkatkan efektivitas zona inti dan memberikan dampak manfaat bagi komunitas dan habitat ikan kerapu, dengan cara: a)
Melakukan pengawasan secara intensif dan penegakan hukum secara tegas, seperti: melakukan patroli rutin dan menindak setiap pelanggaran yang terjadi dalam kawasan zona inti.
b)
Melakukan sosialisasi dan penyadaran masyarakat, seperti: memasang papan pengumuman yang berisikan peta lokasi dan aturan yang berlaku dalam zona inti di sentra-sentra pemukiman nelayan, serta memasang tanda batas yang jelas di lokasi zona inti.
78
c)
Melibatkan masyarakat dalam sistem pengelolaan, terutama dalam hal pengawasan. Pelibatan masyarakat dapat membantu keterbatasan pengelola taman nasional dalam hal sumberdaya dan anggaran.
d)
Melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala dan berkelanjutan untuk perbaikan pengelolaan di masa mendatang.
2) Mengidentifikasi dan memetakan lokasi dan waktu pemijahan massal (spawning aggregation) spesies kerapu sebagai salah satu dasar pertimbangan bagi pengelolaan perikanan kerapu di perairan Kepulauan Seribu.
7 KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan 1.
Komunitas ikan kerapu di daerah reservasi memiliki keanekaragaman dan kelimpahan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah nonreservasi, sedangkan habitat bentik, baik komposisi tutupan maupun keanekaragaman karang tidak menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara daerah reservasi dan daerah non-reservasi.
2.
Kelimpahan ikan kerapu di lokasi penelitian lebih dipengaruhi oleh status perlindungan yang merepresentasikan tekanan penangkapan, sedangkan keanekaragaman ikan kerapu dipengaruhi oleh kondisi tutupan karang hidup.
3.
Penetapan zona inti cukup efektif dalam menjaga keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu, namun tidak efektif dalam menjaga kondisi terumbu karang sebagai habitat ikan kerapu.
7.2 Saran 1.
Untuk meningkatkan efektivitas zona inti dan memberikan dampak manfaat bagi komunitas dan habitat ikan kerapu, maka perlu penguatan pengelolaan zona inti yang sudah ada dengan: (a) melakukan pengawasan dan penegakan hukum secara intensif, (b) melakukan sosialisasi dan penyadaran masyarakat, (c) melibatkan masyarakat dalam sistem pengelolaan, terutama dalam hal pengawasan, dan (d) melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala dan berkelanjutan.
2.
Perlu mengidentifikasi dan memetakan lokasi dan waktu pemijahan massal spesies kerapu sebagai salah satu dasar pertimbangan bagi pengelolaan perikanan kerapu berbasis ekologi di perairan Kepulauan Seribu.
DAFTAR PUSTAKA
Aktani U. 2003. Fish communities as related to substrate characteristics in the coral reefs of Kepulauan Seribu Marine National Park, Indonesia, five years after stopping blast fishing practices. [Dissertation]. Bremen University. Germany. Adrim M. 1983. Pengantar studi ekologi komunitas ikan karang dan metode pengkajiannya. Materi kursus pelatihan metodologi penelitian penentuan kondisi terumbu karang. Puslitbang Oseanologi LIPI. 54 p. Ahmad T. 2002. Mariculture and bio-product in coastal ecosystem. Proceedings Workshop on Mariculture in Indonesia. 11-15 February 2002. Mataram. Lombok. Bengen DG. 2000. Teknik pengambilan contoh dan analisis data biofisik sumberdaya pesisir. PKSPL-IPB. Bogor. Bohnsack JA. 1994. The impacts of fishing on coral reefs. Di dalam: Ginsburg RF, editor. Health hazards and history. Proceedings of the Colloquium on Global Aspects of Coral Reefs. RSMAS, University of Miami, Coral Gables, pp 169–199. Bouchon-Navaro Y. and Bouchon C. 1989. Correlation between chaetodontid fishes and coral communities of the Gulf of Aqaba. Environmental Biology of Fishes 25: 1-3. Carpenter KE, Miclat RI, Albaladejo VD, Corpuz VT. 1982. The influence of substrate structure on the local abundance and diversity of Philippine reef fishes, p. 497-502. Di dalam: Gomez ED, Birkeland CE, Buddemeier RW, Johannes RE, Marsh JA, Tsuda RT, editor. Proceedings of the 4th International Coral Reef Symposium Vol 2. Marine Science Center, University of the Philippines, Manila, Philippines. Chabanet P, Ralambondrainy H, Amanieu M, Faure G, Galzin R. 1997. Relationships between coral reef substrata and fish. Coral Reefs 16: 93– 102. Chiappone M, Sluka R, Sealey KS. 2000. Groupers (Pisces: Serranidae) in fished and protected areas of the Florida Keys and northern Caribbean. Mar Ecol Prog Ser 198:261–272 Claydon J. 2004. Spawning aggregations of coral reef fishes: Characteristics, hypotheses, threats and management, p. 265–30. Di dalam: Gibson RN, Atkinson RJA, Gordon JDM, editor. Oceanography and marine biology: An annual review 2004, 42. Connell JH. 1978. Diversity in tropical rainforests and coral reefs. Science 199: 1302-1310. Cowen RK. 1991. Larval dispersal and retention and consequences for population connectivity, p. 149-170. Di dalam: Sale PF, editor. Coral reef fishes: Dynamics and diversity in a complex ecosystem. Academic Press, London.
81
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Country status overview 2001: Eksploitasi dan perdagangan dalam perikanan karang di Indonesia. Jakarta. Djohani R. 1997. Abatement of destructive fishing practices in Indonesia: who will pay?, pp. 25-29. Di dalam: Hatziolos ME, Hooten AJ, Fodor M, editor. Coral reefs: challenges and opportunities for sustainable management. The World Bank and the International Center for Living and Aquatic Resource Management. Domeier ML, Colin PL. 1997. Tropical reef fish spawning aggregations: defined and reviewed. Bull. Mar. Sci. 60: 698–726. Dragon Search. 1996. The market analysis of live reef fish in Hong Kong and China. Report prepared by Dragon Search for the Queensland Dept. of Primary Industries. 119 p. + app. Edgar GJ, Barret NS. 1997. Short term monitoring of biotic change in Tasmanian marine reserves. Journal of Experimental Marine Ecology, 213: 261-279. Effendie MI. 2002. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. English S, Wilkinson C, Baker V, editor. 1997. Survey manual for tropical marine resources. ASEAN-Australian Marine Science Project: Living Coastal Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville. 368 p. Estradivari, Syahrir M, Susilo N, Yusri S, Timotius S. 2007. Terumbu karang Jakarta: Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu (2004-2005). Yayasan TERANGI, Jakarta: 87 + ix hal. Faure G. 1977. Distribution of coral communities on reef slopes in the Mascarene Archipelago, Indian Ocean. Marine Research in Indonesia No.17: 73-97 P. Fowler J and Cohen L. 1992. Practical statistic for field biology. John Wiley & Sons Ltd, Baffins Lane, Chichester, England. 133-136 P. Friedlander AM, Brown EK, Jokiel PL, Smith WR, Rodgers KS. 2003. Effects of habitat, wave exposure, and marine protected area status on coral reef fish assemblages in the Hawaiian archipelago. Coral Reefs (2003) 22: 291-305. Galzin R, Planes S, Dufour V, Salvat B. 1994. Variation in diversity of coral reef fish between French Polynesian atolls. Coral Reefs 13: 175-180. Gell FR, Roberts CM. 2002. The fishery effects of marine reserves and fishery closures. WWF-US, 1250 24th Street, NW, Washington DC 20037, USA. Gomez ED, Yap HT. 1988. Monitoring reef condition. Di dalam: Kenchington RA, Brydget ET, editor. Coral Reef Management Hand Book. UNESCO Regional Office for South East Asia. Jakarta. 171-178 P. Gratwicke B, Speight MR. 2005. The relationship between fish species richness, abundance and habitat complexity in a range of shallow tropical marine habitats. Journal of Fish Biology 66: 650–667. Hasan I. 2004. Analisis data penelitian dengan statistik. PT. Bumi Aksara. Jakarta. 138 p.
82
http://www.pulauseribu.net/modules/news/article.php?storyid=400. Kenali Musim Angin di Pulau Seribu. Di download pada tanggal 24 Juli 2009. Johannes RE, Riepen M. 1995. Environmental, economic and social implications of the live reef fish trade in Asia and the Western Pacific. Report prepared for The Nature Conservancy. 81 p. Johnson DR, Funicelli NA, Bohnsack JA. 1999. Effectivenes of an existing estuarine no take fish sanctuary within the Kennedy Space Center, Florida. North American Journal of Fisheries Management 19, 436-453. Kamukuru AT, Mgaya YD, Ohman MC. 2004. Evaluating a marine protected area in a developing country: Mafia Island Marien Park, Tanzania. Ocean and Coastal Management 47 (2004) 321-337. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Kohler KE, Gill SM. 2006. Coral point count with excel extensions (CPCe): A visual basic program for the determination of coral and substrate coverage using random point count methodology. Computers and Geosciences, Vol. 32, No. 9, pp. 1259-1269, DOI:10.1016/j.cageo. 2005.11.009. Kuiter RH, Tonozuka T. 2001. Pictorial guide to: Indonesian reef fishes (Part 1). Zoonetics. Australia.153 P. LAPI-ITB. 2001. Rencana tata ruang wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Buku I: Data dan analisis. BAPPEDA-Propinsi DKI Jakarta. Lau PPF, Parry-Jones R. 1999. The Hong Kong trade in live reef fish for food. TRAFFIC East Asia and World Wide Fund For Nature Hong Kong, Hong Kong. 65 p. Lembaga Penelitian Undana. 2006. Analisis komoditas unggulan dan peluang usaha (budidaya ikan kerapu). Kerjasama Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Kupang dengan Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana Kupang. Kupang. Levin PS, Grimes CB. 1991. Reef fish ecology and grouper conservation and management, p. 377-389. Di dalam PF Sale, editor. Coral reef fishes: Dynamics and diversity in a complex ecosystem. Academic Press, London. Luckhurst BE, Luckhurst K. 1978. Analysis of the influence of substratevariables on coral reef fish communities. Marine Biology 49:317-323. Magurran AE. 1988. Ecological diversity and its measurements. Princeton University Press, Princeton. 179 p. May D. 2003. A preliminary assessment of the small scale tropical fisheries of Kaledupa Island, Wakatobi Marine National Park, SE Sulawesi, Indonesia. Operation Wallacea technical report. http://www.opwall.com.
83
McManus JW, Miclat RI and Palaganas VP. 1982. Coral and fish communitystructure of Sombrero Island, Batangas, Philippines, p. 271-278. Di dalam: Gomez ED, Birkeland CE, Buddemeier RW, Johannes RE, Marsh JA, Tsuda RT, editor. Proceedings of the 4th International Coral Reef Symposium Vol 2. Marine Science Center, University of the Philippines, Manila, Philippines. Morton J. 1990. The shore ecology of the tropical Pacific. UNESCO. Regional office for science and technolofy for South-East Asia. Jakarta. 215P. Mous PJ et al. 2000. Cyanide fishing on Indonesian coral reefs for the live food fish market–What is the problem?. SPC Live Reef Fish Information Bulletin, pp.20-27. Murray S et al. 1999. No-take reserve networks: Sustaining fishery populations and marine ecosystems. Fisheries. 24: 11-25. Nybakken JW. 1988. Biologi laut, suatu pendekatan ekologis. Terjemahan: HM Eidman, Koesoebiono, DG Bengen, M Hutomo, S Sukardjo. Gramedia. Jakarta. 459 p. Ongkosongo OSR. 1988. The Seribu coral reef. PT.Stanvac. Indonesia. Palumbi SR. 2003. Population genetics, demographic connectivity, and the design of marine reserves. Ecol Appl 13 (Suppl): s146–s158 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 56 /Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Reese ES. 1981. Predation on coral by fishes of the family Chaetodontidae, implication and management of coral reef ecosystem. Bull. Mar. Sc. 31 : 594-604. Risk MJ. 1972. Fish diversity on a coral reef in the Virgin Islands. Atoll Res. Bull.153:1-6. Rogers CS, Garrison G, Grober R, Hillis ZM & Franke MA. 1994. Coral Reef Monitoring Manual for the Caribbean and Western Atlantic. Virgin Islands National Park. St. John. USVI 00830. Russ GR, Alcala AC. 1989. Effects of intense fishing pressure on an assemblage of coral reef fishes. Marine Ecology. 56:13-27. Russ GR. 1991a. Coral reef fisheries: effect and yields, p.601-635. Di dalam: Sale PF, editor. The ecology of fishes on coral reefs. Academic Press, London. Russ GR. 1991b. Yet another review of marine reserves as reef fishery management, p. 421-443. Di dalam: Sale PF, editor. Coral reef fishes: Dynamics and diversity in a complex ecosystem. Academic Press, London. Sadovy Y. 1996. Reproduction of reef fishery species. p. 15-60. Di dalam: Polunin NVC, Roberts CM, editor. Reef Fisheries. Chapman & Hall, London. Sadovy Y. 1997. The case of the disappearing grouper: Epinephelus striatus, the Nassau grouper, in the Caribbean and western Atlantic. Proceedings of the Gulf and Caribbean Fisheries Institute 45: 5-22.
84
Sano M, Shimizu M, Nose Y. 1987. Long term effect of destruction of hermatypic corals by Acanchaster plancii invasion on reef fish communities at Iriomote Islands, Japan. Marine Ecology Progress Series 37: 191-199. Sale PF. 2002. The science we need to develop for more effective management, p.361-376. Di dalam: Sale PF, editor. Coral reef fishes: Dynamics and diversity in a complex ecosystem. Academic Press, London. Sari YD. 2006. Interaksi optimal perikanan tangkap dan budidaya (studi kasus perikanan kerapu di Perairan Kepulauan Seribu, Kabupaten Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta). [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. SEAFDEC. 2006. Supplementary guidelines on co-management using group user rights, fishery statistics, indicators and fisheries refugia. Southeast Asian Fisheries Development Center, Bangkok, Thailand. 84 pp. Starr RM et al. 2004. A Review of the ecological effectiveness of subtidal marine reserves in Central California, Part I: Synopsis of scientific investigations. Marine Sanctuaries Conservation Series MSD-04-02. U.S. Department of Commerce, National Oceanic and Atmospheric Administration, Marine Sanctuaries Division, Silver Spring. Stoddart DR. 1971. Environment and history in Indian Ocean reef morphology. Di dalam: Stoddart DR, Sir Yonge M, editor. Regional variation in Indian Ocean coral reefs. Symposium of the zoological society London No. 28: 338P. Academic Press. Suharsono. 1984. Pertumbuhan karang. Oseana Vol. IX (2): 41-48 P. Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI. Jakarta. Suharti SR. 2005. Ekologi ikan karang. Gramedia Pustaka. Jakarta. Sukarno. 1977. Fauna karang batu di terumbu karang Pulau Air dengan catatan tentang ekologinya dalam Hutomo M, Romimohtarto K dan Burhanuddin (eds.). Teluk Jakarta: Sumberdaya, sifat-sifat oseanologis serta permasalahannya. Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI. Jakarta. 293 P. Sukarno, Hutomo M, Moosa MK, Darsono P. 1983. Terumbu karang di Indonesia: Sumberdaya, permasalahan dan pengelolaannya. Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI. Jakarta. 115 hal. Szmant AM. 2002. Nutrient enrichment on coral reefs: is it a major cause of coral reef decline?. Estuaries vol.25, no.4b, p.743-766. Terangi. 2004. Pengenalan ikan karang secara visual. Indonesian Coral reef Foundation. Jakarta. Thamrin. 2006. Karang: biologi reproduksi dan ekologi. Minamandiri Pres. Pekanbaru.5-13p. Tuya FC, Soboil ML, Kido J. 2000. An assessment of the effectiveness of marine protected areas in the San Juan Islands, Washington, USA. ICES Journal Marine Science, 57: 1218-1226. Undang-undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
85
Unsworth RKF, Powell A, Hukom F, Smith DJ. 2007. The ecology of IndoPacific grouper (Serranidae) species and the effects of a small scale no-take area on grouper assemblage, abundance and size frequency distribution. Mar.Biol. Watson M, Ormond RFG. 1994. Effect of an artisanal fishery on the fish and sea urchin populations of Kenyan coral reefs. Marine Ecology Progress Series 1994;109:115-29. Wijsman-Best M. 1977. Coral research in the Indonesian Archipelago, the past, the present, and the future. Marine Research in Indonesia No. 17: 1-14 P. LON-LIPI. Jakarta. Wood EM. 1977. Ecologycal study of coral reefs in Sabah. World Wildlife Fund, Project Malaysia: 15. London.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil pengukuran parameter fisika-kimia perairan pada bulan Mei dan Juni No.
Parameter
Unit
Physical 1 Water temperature 0C 2 Salinity ‰ 3 Current velocity m/s 4 Visibility m 5 Turbidity NTU Chemical 1 pH 2 NH3-N mg/l 3 NO3-N mg/l
T-Prmk May June
Non-reserve U-Prmk S-Pgg B-Pgg May June May June May June
31 32 0.03 5.5 0.55
28 32 0.1 5.0 0.50
29 30 0.07 6.0 0.40
8.17 0.123
8.05 8.19 8.05 8.22 0.251 0.129 0.249 0.186
30 32 0.25 5.5 0.55
29 32 0.07 6.5 0.37
Reserve T-KAB B-KAB U-Bld S-Bld May June May June May June May June
30 29 30 28 30 28 30 28 29 30 30 32 32 32 31 32 32 32 31 32 32 32 0.078 0.048 0.067 0.046 0.168 0.031 0.121 0.067 0.153 0.061 0.183 5.3 5.2 5.0 6.5 5.0 7.0 6.0 7.5 6.5 7.3 6.0 0.50 0.80 0.50 0.55 0.50 0.40 0.50 0.37 0.60 0.45 0.42 8.06 8.25 7.99 8.11 8.08 8.25 8.03 8.18 0.09 0.144 0.281 0.104 0.033 0.108 0.089 0.117
8.10 8.35 8.02 0.05 0.062 0.019
<0.001 0.113 0.015 0.065 0.064 0.124 0.013 0.093 0.019 0.058 0.074 0.091 0.058 0.013 0.010 0.068
4 NO2-N
mg/l
0.014
0.002 <0.002 <0.002 <0.002 <0.002 0.002 <0.002 <0.002<0.002 <0.002 <0.002 0.002 <0.002 <0.002 <0.002
5 PO4-P
mg/l
0.041
0.02
Keterangan:
0.025 0.029
0.05
0.02
0.02
0.029 0.017 0.026 <0.001 0.024 0.015 0.029 0.029 0.029
T-Prmk (timur Pramuka), U-Prmk (utara Pramuka), S-Pgg (selatan Panggang), B-Pgg (barat Panggang), T-KAB (timur Kayu Angin Bira), B-KAB (barat Kayu Angin Bira), U-Bld (utara Belanda), S-Bld (selatan Belanda)
Lampiran 2 Persentase tutupan dan indikator keanekaragaman substrat bentik No. I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
CATEGORY HARD CORAL Ge ne ra Acropora Astrangia Astreopora Coelosoris Ctenactis Cyphastrea Diploria Favia Favites Fungia Galaxea Goniastrea Goniophora Heliofungia Herpolitha Hydnophora Leptoria Lobophyllia Millepora Montastraea Montipora Mycedium Pachyseris Pavona Pectinia
T-Prmk 19.10 6.187 0.000 0.000 0.266 0.000 0.023 0.296 0.223 0.423 0.117 0.023 0.164 0.622 0.000 0.398 0.000 1.054 0.000 0.000 0.076 0.973 0.000 2.038 0.000 0.141
Non-re se rve U-Prm S-Pgg 18.63 44.48 3.851 0.000 0.126 0.350 0.000 0.238 0.014 1.208 0.281 0.141 0.225 0.266 0.518 0.000 0.014 2.012 0.183 0.747 0.126 0.000 2.144 0.000 0.141 0.547 0.000
13.908 0.000 0.000 0.033 0.000 0.266 0.000 0.222 0.067 1.110 0.000 0.133 8.945 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.094 2.906 0.000 0.632 15.152 0.000
B-Pgg 27.95
T-KAB 33.61
5.515 0.021 0.021 0.000 0.000 0.000 0.000 0.142 0.084 0.238 0.000 0.464 0.105 0.042 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 9.715 0.000 0.084 1.339 0.000
5.110 0.000 0.031 0.000 0.000 0.578 0.000 0.234 0.400 1.430 0.561 0.062 0.216 0.000 0.000 0.000 0.077 0.015 0.000 0.308 9.276 0.093 4.577 0.441 0.278
Re se rve B-KAB U-Bld 52.74 32.78 16.879 0.000 0.947 0.148 0.000 0.222 0.000 0.281 0.251 0.710 0.089 0.311 0.030 0.000 0.044 0.015 0.000 0.030 0.133 0.399 10.488 0.000 2.485 1.450 0.104
12.168 0.000 0.000 0.000 0.247 0.000 0.000 0.088 0.000 6.852 0.000 0.000 0.852 0.017 0.316 0.141 0.000 0.000 0.088 0.018 6.175 0.159 0.388 0.366 0.335
S-Bld 25.64 6.979 0.000 0.000 0.000 0.000 0.625 0.000 0.156 0.017 1.597 0.000 0.347 0.104 0.000 0.017 0.000 0.000 0.017 0.000 0.000 8.576 0.000 0.174 0.122 0.000
Lampiran 2 (lanjutan) No.
CATEGORY
26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Platygyra Plerogyra Plesiastrea Pocillopora Podabacia Porites Scapophyllia Seriatopora Stylophora Symphyllia Trachyphylia Turbinaria Diversity Indices S-ge nus H'-ge nus Life form Acropora ACB-Acropora Branching ACD-Acropora Digitate ACS-Acropora Submassive ACT-Acropora Tabulate Non-Acropora CB-Coral Branching CE-Coral Encrusting CF-Coral Foliose CM- Coral Massive CMR-Coral Mushroom CS-Coral Submassive CML-Coral Millepora Diversity Indices S-life form H'-life form
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
T-Prmk 0.000 0.023 0.000 0.023 0.000 5.459 0.000 0.211 0.000 0.094 0.266 0.000
Non-re se rve U-Prm S-Pgg 0.014 0.000 0.014 0.000 0.000 0.000 0.295 0.000 0.000 0.000 4.642 0.533 0.113 0.000 0.056 0.444 0.252 0.000 0.014 0.000 0.098 0.039 0.000 0.000
B-Pgg 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 9.859 0.000 0.262 0.000 0.000 0.063 0.000
T-KAB 0.000 0.046 0.017 0.000 0.000 2.773 0.000 1.951 0.000 0.109 0.140 4.885
Re se rve B-KAB U-Bld 0.030 0.000 0.030 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.017 11.109 1.929 0.000 0.000 0.385 0.660 0.000 0.000 0.044 0.000 0.281 0.105 5.843 1.857
S-Bld 0.000 0.000 0.000 2.170 0.000 3.090 0.000 0.625 0.035 0.174 0.139 0.677
22 2.02
28 2.39
15 1.59
15 1.47
24 2.20
26 1.92
20 1.86
19 1.89
0.20 0.00 0.00 5.99
0.94 0.00 0.80 2.11
13.86 0.00 0.05 0.00
3.51 0.19 0.15 1.67
4.92 0.02 0.12 0.05
15.19 0.00 1.20 0.49
10.98 0.00 0.90 0.30
2.81 0.03 0.24 3.89
0.71 2.02 1.46 6.98 0.52 1.23 0.00
1.06 1.64 0.84 7.20 0.15 3.75 0.13
0.63 0.53 17.65 9.86 1.11 0.79 0.00
0.26 2.91 3.47 10.38 0.28 5.14 0.00
2.66 4.04 14.95 3.23 1.43 2.19 0.00
1.35 8.67 12.29 8.45 0.75 4.22 0.13
1.05 3.49 4.39 1.27 7.43 2.89 0.09
0.73 6.77 3.68 1.77 1.61 4.10 0.00
8 1.61
10 1.81
8 1.35
10 1.75
10 1.67
10 1.79
10 1.82
10 1.96
Lampiran 2 (lanjutan) No. II 1 3 4 III 1 2 3 4 5 IV 1 2 3 4 V 1 3 4 5
CATEGORY DEAD CORAL Dead coral with alga Recent dead coral Dead coral rubble ALGA Alga assemblage Coralline alga Halimeda Macroalga Turf alga OTHER FAUNA Others Soft coral Sponge Zoanthids ABIOTIC Rock Sand Silt Water TOTAL
Keterangan:
T-Prmk 49.56 16.74 0.73 32.09 8.36 0.10 4.22 0.09 3.30 0.66 1.80 0.48 0.29 0.98 0.05 21.18 15.60 5.48 0.09 0.00 100.00
Non-re se rve U-Prm S-Pgg 58.76 44.81 18.94 15.18 0.94 1.31 38.88 28.31 2.78 1.48 0.04 0.00 0.31 0.10 0.10 0.04 1.73 1.23 0.61 0.11 2.32 0.75 1.36 0.34 0.24 0.35 0.72 0.00 0.00 0.05 17.50 8.48 11.31 0.29 5.11 7.06 1.08 1.13 0.00 0.00 100.00 100.00
B-Pgg 49.93 20.86 0.46 28.61 5.76 0.00 2.18 0.25 2.26 1.07 7.53 1.72 5.74 0.07 0.00 8.83 4.02 4.58 0.23 0.00 100.00
T-KAB 50.66 24.32 0.73 25.60 2.54 0.00 0.34 0.08 0.67 1.45 3.26 2.27 0.84 0.15 0.00 9.93 0.90 8.00 1.03 0.00 100.00
Re se rve B-KAB U-Bld 38.22 60.06 29.30 20.30 0.55 0.25 8.37 39.51 1.24 1.75 0.04 0.00 0.16 1.40 0.00 0.00 0.55 0.11 0.49 0.25 2.14 1.27 1.02 0.32 0.07 0.00 1.05 0.95 0.00 0.00 5.65 4.15 0.04 0.00 5.58 4.15 0.03 0.00 0.00 0.00 100.00 100.00
T-Prmk (timur Pramuka), U-Prmk (utara Pramuka), S-Pgg (selatan Panggang), B-Pgg (barat Panggang), T-KAB (timur Kayu Angin Bira), B-KAB (barat Kayu Angin Bira), U-Bld (utara Belanda), S-Bld (selatan Belanda)
S-Bld 61.72 32.83 0.07 28.82 0.89 0.00 0.49 0.03 0.16 0.21 1.30 0.85 0.09 0.36 0.00 10.45 1.01 9.43 0.02 0.00 100.00
Lampiran 3 Kelimpahan dan keanekaragaman ikan kerapu hasil sensus visual pada bulan Mei dan Juni No.
Grouper species
1 Cephalopholis sexmaculata 2 Cephalopholis boenak 3 Cephalopholis microprion 4 Cephalopholis cyanostigma 5 Epinephelus bontoides 6 Epinephelus fasciatus 7 Epinephelus longispinis 8 Epinephelus merra 9 Epinephelus ongus N (number of fish) S (number of species) H' (Shannon Index) D (density, ind/ha) Keterangan:
T-Prmk May June 0 0 1 1 2 3 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 3 6 2 4 0.64 1.24 60 120
Non-reserve U-Prmk S-Pgg May June May June 0 0 0 0 0 4 0 2 1 0 1 3 0 0 0 0 0 0 1 0 0 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 1 2 3 8 4 7 2 3 4 3 0.64 1.04 1.39 1.08 60 160 80 140
B-Pgg May June 0 0 1 2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1 5 1 3 0.00 1.05 20 100
T-KAB May June 2 0 0 3 1 7 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 2 3 15 2 6 0.64 1.49 60 300
Reserve B-KAB U-Bld May June May June 3 2 0 0 0 5 1 3 3 4 1 5 0 1 1 0 0 0 0 0 4 2 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 3 4 10 16 8 13 3 6 5 4 1.09 1.66 1.49 1.27 200 320 160 260
T-Prmk (timur Pramuka), U-Prmk (utara Pramuka), S-Pgg (selatan Panggang), B-Pgg (barat Panggang), T-KAB (timur Kayu Angin Bira), B-KAB (barat Kayu Angin Bira), U-Bld (utara Belanda), S-Bld (selatan Belanda)
S-Bld May June 0 0 0 3 1 3 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 4 1 11 1 4 0.00 1.29 20 220
Lampiran 4 Data hasil tangkapan kerapu menggunakan alat tangkap bubu
Area
Trip
Fish (ind)
Trip 1
2
Trip 2 Trip 3 Trip 1 Trip 2
0 1 0 2
U-Bld
Trip 3 Trip 1
0 4
S-Bld
Trip 2 Trip 3 Trip 1
0 1 3
Trip 2 Trip 3
1 1
Sites U-KAB
Reserve
B-KAB
Grouper species Plectropomus maculatus Plectropomus maculatus Epinephelus quoyanus Plectropomus maculatus Plectropomus maculatus Plectropomus maculatus Plectropomus maculatus Epinephelus ongus Epinephelus quoyanus Plectropomus maculatus Plectropomus maculatus Plectropomus maculatus Epinephelus quoyanus Plectropomus maculatus Cephalopholis boenak
Average by W CPUE CPUE catch (gr) (ind/trip) (kg/trip) (ind) 30.6 545.0 62.3 1.3 0.68
L CPUE W (gr) by catch L (cm) (kg/trip) Species (ind) (cm) 36 33 0 20 0 35 36 0 33 26 19.5 27 0 32 45 26 26 46 18
728 561 147.5 669 728 561 274 119 306 511 1422 274 274 1518 82.8
87
1.3
29 19 94 63
0.0 0.1 0.0 1.4
23 111
0.0 1.3
87 13 93
0.0 0.5 2.0
107 21
1.5 0.1
4
Lampiran 4 (lanjutan)
Area
Sites
Trip
Fish (ind)
U-Prmk
Trip 1 Trip 2 Trip 3 Trip 1 Trip 2 Trip 3
1 0 0 1 0 2
B-Pgg
Trip 1
3
B-Kry
Trip 2 Trip 3 Trip 1 Trip 2 Trip 3
1 0 1 0 0
Non-reserve
S-Pgg
Keterangan:
Grouper species
L CPUE W (gr) by catch L (cm) (kg/trip) Species (ind) (cm)
Epinephelus quoyanus 22 0 0 Epinephelus ongus 22.5 0 Plectropomus maculatus 19 Plectropomus maculatus 27 Plectropomus oligacanthus 38.5 Plectropomus oligacanthus 46 Anyperodon leucogrammicus 37 Epinephelus malabaricus 38 0 Plectropomus maculatus 24 0 0
168.8 0 0 180.2 0 107 307 890 1518 479 702 0 216 0 0
19 8 38 14 4 3
0.2 0.0 0.0 0.2 0.0 0.4
26
2.9
21 5 9 17 35
0.7 0.0 0.2 0.0 0.0
6
W (gr)
Average by CPUE CPUE catch (ind/trip) (kg/trip) (ind)
30.4 507.6 16.6
0.8
U-KAB (utara Kayu Angin Bira), B-KAB (barat Kayu Angin Bira), U-Bld (utara Belanda), S-Bld (selatan Belanda), U-Prmk (utara Pramuka), S-Pgg (selatan Panggang), B-Pgg (barat Panggang), B-Kry (barat Karya)
0.38
93
Lampiran 5 Visualisasi komponen patahan karang (DCR) di stasiun pengamatan Pulau Belanda, Zona Inti TNL-KS
Sumber foto: Dokumentasi penelitian (2009)
94
Lampiran 6 Spesies kerapu hasil sensus visual dan hasil tangkapan menggunakan bubu kompresor di lokasi penelitian No.
Deskripsi
1.
Anyperodon leucogrammicus
Nama Lokal Kerapu bintik merah
Cephalopholis boenak
Balong karet
Cephalopholis cyanostigma
-
Cephalopholis microprion
Balong karet
Nama latin
Sumber foto: Dokumentasi penelitian (2009)
2.
Sumber foto: Dokumentasi penelitian (2009)
3.
Sumber foto: Dokumentasi penelitian (2009)
4.
Sumber foto: Dokumentasi penelitian (2009)
95
Lampiran 6 (lanjutan) No.
Deskripsi
5.
Nama latin Cephalopholis sexmaculata
Nama Lokal -
Sumber foto: Kuiter & Tonozuka (2001)
6.
Epinephelus bontoides
-
Epinephelus fasciatus
Balong karet merah
Epinephelus longispinis
-
Epinephelus merra
Balong lada
Sumber foto: Kuiter & Tonozuka (2001)
7.
Sumber foto: Dokumentasi penelitian (2009)
8.
Sumber foto: Kuiter & Tonozuka (2001)
9.
Sumber foto: Kuiter & Tonozuka (2001)
96
Lampiran 6 (lanjutan)
No.
Deskripsi
10.
Epinephelus malabaricus
Nama Lokal Kerapu lumpur
Epinephelus ongus
Balong hitam
Epinephelus quoyanus
Balong koko
Plectropomus maculatus
Lodi tesin
Plectropomus oligacanthus
Lodi cambang
Nama latin
Sumber foto: Dokumentasi penelitian (2009)
11.
Sumber foto: Dokumentasi penelitian (2009)
12.
Sumber foto: Dokumentasi penelitian (2009)
13.
Sumber foto: Dokumentasi penelitian (2009)
14.
Sumber foto: Dokumentasi penelitian (2009)
97
Lampiran 7 Beberapa jenis ikan hasil tangkapan sampingan alat tangkap bubu kompresor
Labridae
Holocentridae
Caesionidae
Scaridae
-
Acanthuridae
Labridae
Mulidae
Siganidae
Chaetodontidae
Holocentridae
Nemipteridae
Sumber foto: Dokumentasi penelitian (2009) Lethrinidae
Mulidae
98
Lampiran 8 Pengoperasian alat tangkap bubu kompresor di Kepulauan Seribu
Sumber foto: Dokumentasi penelitian (2009)