KAJIAN FORMULASI BUMBU INSTAN BINTHE BILUHUTA, KARAKTERISTIK HIDRATASI DAN PENDUGAAN UMUR SIMPANNYA DENGAN MENGGUNAKAN METODE PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS
DORKAS SIANIPAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Kajian Formulasi Bumbu Instan Binthe Biluhuta, Karakteristik Hidratasi dan Pendugaan Umur Simpannya Dengan Menggunakan Metode Pendekatan Kadar Air Kritis” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2008
Dorkas Sianipar NRP F251040131
ABSTRACT DORKAS SIANIPAR. Study of Instant Seasoning Binthe Biluhuta Formulation, Characteristic Hydratation and Prediction of It’s Shelf Life Using Moisture Critical Method. Under direction of RIZAL SYARIEF and SUGIYONO. Binthe biluhuta is an ethnic food of Gorontalo, made from mixture of young corn, onion, leek, basil, desiccated coconut, chili and fish. The demand of binthe biluhuta is very high reaching 1,095 ton/year. To enhance traditional food image to have same level as other foods, technology development must be carried out. Seasoning is very important ingredient in foods. Seasoning plays as a flavor and can function as preservative. The objective of this research was to find the best seasoning formulation of binthe biluhuta, predict of it’s shelf life based on critical moisture and to evaluated quality changes measurement of binthe biluhuta seasoning during storage. The first step research was seasoning preparation which was carried out the processing of chili, onion, basil, leek, coconut drying and seasoning formulation. The second step was determination of sorption isotherm from the best seasoning formulation. The analyses conducted were equalibrium water content balance, critical moisture content and it’s shelf life. The third step were storage analysis of seasoning formula which was packaged with two methods using vacuum and non vacuum packaged in HDPE, PP and Alufo was kept at 97% RH in room temperature. The parameter of analysis were organoleptic test, FFA, total plate count of microbe and total count of mould -yeast. The research showed that the best formulation is Formula 2. Moisture sorption isotherm derived from the correlation of moisture content data indicated a typical sigmoid curve implying 3 regions of water fraction. The first water fraction ranged 0-3.148 (%db), the second water ranged 3.148-13.438 (%db) and the third water fraction ranged 13.438-52.970 (%db). The seasoning binthe biluhuta packaged in Alufo stored at 80 and 90% RH were demonstrated the longest shelf life which were equal to 748 and 423 days, respectively. Equation model can’t describe isotherm of instant seasoning binthe biluhuta with MRD of value >10. Storage time resulted in decreasing quality observed as increasing of water content, FFA value, microbe content (TPC) and mould-yeast content. It was also shown by decreasing of panelist hedonic score. Key words: Binthe biluhuta, seasoning, water sorption isotherm, shelf life, free fatty acid
RINGKASAN DORKAS SIANIPAR. Kajian Formulasi Bumbu Instan Binthe Biluhuta, Karakteristik Hidratasi dan Pendugaan Umur Simpannya dengan Menggunakan Metode Pendekatan Kadar Air Kritis. Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF dan SUGIYONO. Gorontalo mempunyai makanan tradisional yang dinamakan Binthe Biluhuta. Permintaan binthe biluhuta sangat tinggi yaitu 1.095 ton/tahun. Dalam mengembangkan makanan tradisional, yang perlu mendapat perhatian utama adalah upaya mengangkat citra makanan tradisional ini agar sejajar dengan bahan makanan lainnya. Hal ini dapat dilakukan melalui perbaikan teknologi, terutama dalam segi pengolahan, distribusi dan pemasaran. Bumbu merupakan hal yang sangat penting dalam setiap makanan. Bumbu berfungsi untuk meningkatkan cita rasa makanan dan dapat digunakan sebagai pengawet makanan. Cita rasa yang diberikan dapat berupa bau harum dan sedap atau rasa tajam yang menyenangkan sehingga dapat memberikan karakteristik pada bahan pangan tersebut. Berkembangnya dinamika masyarakat yang ingin serba praktis menyebabkan permintaan akan bumbu instan semakin meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk membuat formulasi bumbu instan yang tepat untuk binthe biluhuta, memperkirakan umur simpan (shelf life) dari bumbu instan binthe biluhuta berdasarkan pendekatan kadar air kritis dan mengetahui perubahan mutu bumbu instan binthe biluhuta selama penyimpanan. Penelitian ini terdiri dari tiga tahap. Penelitian tahap pertama adalah persiapan bumbu meliputi pengeringan cabe rawit, pengeringan bawang merah, pengeringan daun bawang, pengeringan kemangi, pengeringan kelapa parut dan formulasi bumbu. Penelitian tahap kedua adalah penentuan ISA. Analisis yang yang dilakukan adalah penentuan kadar air kesetimbangan, kadar air kritis dan waktu kadaluarsa. Penelitian tahap ketiga adalah uji penyimpanan dimana formula bumbu dikemas dengan dua cara yaitu dengan cara vakum dan tidak vakum di dalam kemasan HDPE, PP dan Alufo yang disimpan pada RH 97% dan suhu ruang. Analisis yang dilakukan adalah uji organoleptik, uji FFA, kadar air, total mikroba dan total kapang-khamir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji organoleptik maka formulasi bumbu yang paling disukai adalah Formula 2 yang memiliki tiga fraksi air terikat yaitu batas air terikat primer adalah 3.148 % bk (aw 0.167), batas air terikat sekunder adalah 13.438% bk (aw 0.658) dan batas air terikat tersier adalah 52.970 yang dimulai pada aw 0.84. Model persamaan tidak dapat menggambarkan fenomena sorpsi isotermis bumbu instan binthe biluhuta secara tepat karena nilai MRD lebih besar dari 10. Berdasarkan perhitungan pada RH 80%, dengan menggunakan kemasan HDPE, PP dan aluminium foil, bumbu instan binthe biluhuta memiliki umur simpan berturut-turut adalah 124 hari, 149 hari dan 748 hari. Pada RH 90%, umur simpan produk dengan menggunakan kemasan HDPE, PP dan Alufo adalah 89 hari, 106 hari dan 423 hari. Uji penyimpanan menunjukkan peningkatan kadar FFA, kadar air dan total mikroba bumbu instan binthe biluhuta yang paling tinggi terdapat pada perlakuan A1B1 (kemasan HDPE dengan cara tidak vakum) yaitu FFA dari 0.144 menjadi menjadi 0.301%, kadar air dari 5.51%bk menjadi 13.65%bk dan total mikroba dari 3.0x104 menjadi 2.1 x 107.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KAJIAN FORMULASI BUMBU INSTAN BINTHE BILUHUTA, KARAKTERISTIK HIDRATASI DAN PENDUGAAN UMUR SIMPANNYA DENGAN MENGGUNAKAN METODE PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS
DORKAS SIANIPAR
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Tesis
:
Nama NRP
: :
Kajian Formulasi Bumbu Instan Binthe Biluhuta, Karakteristik Hidratasi dan Pendugaan Umur Simpannya dengan Menggunakan Metode Pendekatan Kadar Air Kritis Dorkas Sianipar F 251040131
Disetujui: Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS Ketua
Dr.Ir. Sugiyono, M.App. Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dr.Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc
Tanggal Ujian: 18 Januari 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus:
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Yadi Haryadi, MSc
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Tesis ini berjudul “Kajian Formulasi Bumbu Instan Binthe Biluhuta, Karakteristik Hidratasi dan Pendugaan Umur Simpannya dengan Menggunakan Metode Pendekatan Kadar Air Kritis”, sebagai salah satu syarat untuk penyelesaian studi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada: Bapak Prof.Dr.Ir. Rizal Syarief, DESS dan Bapak Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc., selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan selama penelitian dan dalam penyelesaian tulisan ini, Bapak Dr.Ir. Yadi Haryadi, MSc selaku penguji luar komisi atas saran dan masukannya. Kepada Bapak Prof.Dr.Ir. Soewarno T. Soekarto atas saran dan bantuanya selama ini. Terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS., Mantan Ketua Program Studi Ilmu Pangan, beserta staf yang telah memberikan bantuan dan kemudahan selama penulis mengikuti kegiatan akademik. Kepada Ibu Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc., terima kasih atas saran dan bantuan yang diberikan, Bapak/Ibu Dosen/Staf pengajar pada Program Studi Ilmu Pangan terima kasih
atas ilmu yang diberikan selama penulis
mengikuti pendidikan. Kepada Bapak Ir. Linus, MS terima kasih atas bantuannya. Terima kasih kepada Pemerintah Daerah Propinsi Gorontalo, yang telah memberikan dana hingga selesai penelitian ini. Kepada Bapak dan Ibu Teknisi laboratorium ITP dan SEAFAST, terima kasih atas segala bantuan dan kerjasamanya. Secara khusus penulis mengucapkan terimakasih dan hormat yang mendalam kepada ayahanda K.Sianipar dan Ibunda L. Hutapea serta untuk kakak-kakak dan adik-adikku yang tercinta atas doa, dukungan, perhatian, pengertian dan kasih sayang yang diberikan selama ini. Terima kasih juga buat ponakanku yang tersayang Vera, Frans, Boaz, Grace, Ando, Ivan ‘adek young’, Nia, Celyn, Yori, Kezia, Anisa, Juan Antonio dan Randy.
Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan IPN angkatan 2004: Mbak Leni, Neni, Mbak Santi, Mbak Fajri, Mbak Mira, Reni, Nani dan yang lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang senantiasa bersama dalam suka dan duka, serta senantiasa memberikan bantuan dan semangat kepada penulis selama menempuh pendidikan dan juga terima kasih buat rekan-rekan IPN angkatan 2005 atas bantuannya selama ini. Kepada sahabat terbaikku “Jery, Ros, Catrin, Dina dan Ardi R” terimakasih atas doa, motivasi dan bantuan yang diberikan selama ini dan juga kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama menempuh pendidikan dan untuk penyelesaian tulisan ini. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis persembahkan karya tulis ini kepada para pembaca dengan harapan dapat bermanfaat bagi ilmu pegetahuan. Terima kasih.
Bogor,
Januari 2008
Dorkas Sianipar
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sianipar I, provinsi Sumatera Utara pada tanggal 11 Maret 1975 dari ayah K. Sianipar dan ibu L. Hutapea. Tahun 1994 penulis lulus dari SMA Khatolik Bintang Timur Balige dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Sumatera Utara melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis memilih program studi Klasifikasi Tanah, Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian. Gelar Sarjana diperoleh penulis pada tahun 1999 dengan menulis skripsi “Karakteristik Sifat Fisik dan Kimia Tanah Berasal dari Bahan Tuff Liparit di Desa Tiga Raja Kecamatan Silimakuta”. Pada tahun 2004 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi pada program studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiv PENDAHULUAN……………………………………………………………. Latar Belakang ……………………………………………………....... Tujuan Penelitian ……………………………………………………...
1 1 3
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... Jagung ..................................................................................................... Daun Bawang ........................................................................................ Kemangi ................................................................................................. Seasoning .............................................................................................. Kelapa Parut Kering (Desiccated Cocunut) .......................................... Pengeringan ........................................................................................... Bawang Merah Goreng ......................................................................... Ikan Asap ............................................................................................... Kerusakan Produk Kering ...................................................................... Kemasan ................................................................................................ Aktivitas Air .......................................................................................... Kadar Air Kesetimbangan ..................................................................... Sorpsi Isotermis .................................................................................... Umur Simpan ..........................................................................................
4 4 5 5 6 8 9 11 11 12 12 14 16 17 23
BAHAN DAN METODE ............................................................................... Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................... Bahan dan Alat ..................................................................................... Metode Penelitian................................................................................... Penelitian Tahap Pertama .......................................................... Proses Pembuatan Cabe Rawit Bubuk........................... Proses Pembuatan Bawang Merah Bubuk…………....... Proses Pembuatan Daun Bawang Kering…………....... Proses Pembuatan Daun Kemangi Kering..................... Proses Pembuatan Kelapa Parut Kering.................... .. Formulasi Bumbu ........................................ .................. Penelitian Tahap Kedua............................................................. Penentuan Kurva ISA................................................... Penentuan Air Terikat ................................ ................. Penentuan Model Sorpsi Isotermis .......................... .... Uji Ketetapan Model .................................... ................ Umur Simpan ...........................................................
27 27 27 27 27 28 28 29 31 33 35 36 37 37 38 39 39
ix
Penelitian Tahap Ketiga .......................................................... Uji Penyimpanan.............................................. .. .......... Metode Pengamatan .............................................................................. Kadar Abu .................................................................. Kadar Protein Metode Mikro Kjeldahl ....................... Kadar Lemak Metode Soxhlet .................................... Kadar Karbohidrat ...................................................... Kadar Asam Lemak Bebas ............................................ Total Mikroba............................................................... Total Kapang ........................................................... Uji Organoleptik..........................................................
40 40 43 43 44 44 45 45 45 46 46
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... Persiapan Bumbu ................................................................................ Formulasi Bumbu Instan Binthe Biluhuta............................................. Uji Organoleptik ................................................................................... Analisa Proksimat ................................................................................. Isotemi Sorpsi Air ................................................................................. Analisis Fraksi Air Terikat .................................................................. Model Sorpai Isotermis ....................................................................... Uji Ketepatan Model ............................................................................ Penentuan Umur Simpan....................................................................... Uji Penyimpanan .................................................................................. Asam Lemak Bebas................................................................... Total Mikroba ..... ..................................................................... Total Kapang - Khamir.............................................................. Uji Organoleptik Selama Penyimpanan ................................... Kadar Air ....................................................................................
47 47 49 51 56 59 61 61 69 75 79 79 82 85 87 91
KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................ 93 Kesimpulan............................................................................................ 93 Saran ..................................................................................................... 94 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
95
LAMPIRAN ................................................................................................... 102
x
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Komposisi kimia dari beberapa jenis jagung............................................ 4 2. Standar Mutu Kelapa Parut Kering .......................................................... 8 3. Hubungan antara aktivitas air (aw) dan keadaan sifat fisik air dalam bahan pangan ........................................................................................ 18 4. Formulasi bumbu instan binthe biluhuta/100 gr ..................................... 35 5. Jenis garam yang digunakan untuk preparasi larutan garam................. 37 6. Hasil analisis sorpsi isotermis bumbu instan binthe biluhuta ................. 60 7. Hasil analisis proksimat bumbu ............................................................. 61 8. Hasil perhitungan kapasitas air terikat primer pada bumbu instan binthe biluhuta ...................................................................................... 63 9. Hasil perhitungan kapasitas air terikat sekunder pada bumbu instan binthe biluhuta........................................................................................ 65 10. Hasil perhitungan kapasitas air terikat tersier pada bumbu instan binthe biluhta ......................................................................................... 67 11. Susunan Tigra daerah fraksi air terikat bumbu instan binthe biluhuta... 68 12. Persamaan kurva sorpsi isotermis bumbu instan binthe biluhuta........... 71 13. Kadar air kesetimbangan bumbu instan binthe biluhuta dari modelmodel persamaan .................................................................................. 71 14. Nilai MRD berbagai model persamaan sorpsi isotermis...................... 75 15. Umur simpan bumbu instan binthe biluhuta pada RH 80% dan 85%.... 78 16. Umur simpan bumbu instan binthe bilihuta pada RH 90% dan 97%..... 78
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Diagram stabilitas aw menunjukkan hubungan antara aw dan reaksi Deteorisasi dalam bahan pangan ............................................................ 2. Kurva sorpsi isotermis pada bahan pangan secara umum .................... 3. Diagram pembuatan cabe rawit bubuk ................................................... 4. Diagram pembuatan bawang merah bubuk ............................................ 5. Diagram pembuatan daun bawang kering .............................................. 6. Diagram pembuatan daun kemangi kering ........................................... 7. Diagram pembuatan kelapa parut kering ............................................... 8. Diagram alir penelitian ........................................................................... 9. Bawang merah bubuk ............................................................................... 10. Ikan cakalang bubuk ............................................................................... 11. Cabe rawit bubuk .................................................................................... 12. Daun bawang kering ............................................................................... 13. Kelapa parut kering ................................................................................... 14. Formula bumbu ....................................................................................... 15. Daun kemangi dan daun bawang .............................................................. 16. Bumbu instan binthe biluhuta pada waktu uji organoleptik........................ 17. Histogram rata-rata nilai uji kesukaan rasa pada bumbu instan binthe biluhuta .................................................................................................... 18. Histogram rata-rata nilai uji kesukaan aroma pada bumbu instan binthe biluhuta .................................................................................................... 19. Histogram rata-rata nilai uji kesukaan warna pada bumbu instan binthe biluhuta ..................................................................................................... 20. Kurva sorpsi isotemis bumbu instan binthe biluhuta ............................. 21. Plot aw terhadap aw/(1-aw)M dari persamaan BET.................................... 22. Plot logaritma bumbu instan binthe biluhuta ............................................. 23. Plot polinomial ordo 2 ................................................................................ 24. Ekstapolasi pada penentuan air terikat tersier ............................................ 25. Susunan tiga daerah fraksi air bumbu instan binthe biluhuta .................... 26. Kurva sorpsi isotermis bumbu instan binthe biluhuta model Hasley dan percobaan ........................................................................................ .. 27. Kurva sorpsi isotermis bumbu instan binthe biluhuta model Chen-Clayton dan percobaan ........................................................................................ .. 28. Kurva sorpsi isotermis bumbu instan binthe biluhuta model Henderson dan percobaan ........................................................................................ .. 29. Kurva sorpsi isotermis bumbu instan binthe biluhuta model Curie dan percobaan ........................................................................................ .. 30. Kurva sorpsi isotermis bumbu instan binthe biluhuta model Oswin dan percobaan ........................................................................................ .. 31. Data kemiringan kurva sorpsi isotermis pada RH 32-84% ........................ 32. Kadar FFA (%) selama penyimpanan ....................................................... 33. Jumlah total mikroba selama penyimpanan .............................................. 34. Hubungan aw minimum dengan pertumbuhan mikroba............................
15 19 29 31 32 33 34 41 50 50 50 40 50 50 51 51 52 54 55 61 62 65 66 66 68 72 72 73 73 74 77 81 84 85
xii
35. Bumbu instan binthe biluhuta sbelum dan setelah penyimpanan .............. 36. Hasil uji organoleptik aroma bumbu selama penyimpanan ...................... 37. Hasil uji organoleptik warna bumbu selama penyimpanan.......................... 38. Perubahan kadar air bumbu selama penyimpanan ......................................
87 88 90 92
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Form Uji Organoleptik........................................................................... Nilai rata-rata uji organoleptik pada penelitian tahap pertama............... ANOVA (Analysis of Variance) rasa bumbu instan binthe biluhuta .... ANOVA (Analysis of Variance) aroma bumbu instan binthe biluhuta ANOVA (Analysis of Variance) warna bumbu instan binthe biluhuta Hasil analisis proksimat .......................................................................... Contoh perhitungan kapasitas air terikat primer bumbu instan binthe biluhuta ........................................................................................ 8. Contoh perhitungan air terikat sekunder bumbu instan binthe biluhuta 9. Contoh perhitungan air terikat tersier bumbu instan binthe biluhuta..... 10. Penentuan MRD model Hasley ............................................................ 11. Penentuan MRD model Chen-Clayton ............................................... 12. Penentuan MRD model Henderson ..................................................... 13. Penentuan MRD model Caurie ................................................ 14. Penentuan MRD model Oswin ……………………………………….. 15. ANOVA dan uji Duncan terhadap FFA selama Penyimpanan................ 16. Total mikroba selama penyimpanan……………………………………. 17. Rata-rata nilai organoleptik terhadap aroma selama penyimpanan ……. 18. ANOVA dan uji duncan terhadap aroma selama penyimpanan……….. 19. Rata-rata nilai organoleptik warna selama penyimpanan ………………. 20. ANOVA dan uji Duncan terhadap warna selama penyimpanan ………. 21. Rata-rata kadar air selama penyimapanan ……………………………… 22. Anova dan uji Duncan terhadap kadar air selama penyimpanan ………
103 104 105 107 109 111 113 115 116 117 118 119 120 121 122 125 126 127 130 131 134 135
xiv
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan rempah-rempah. Sejak zaman penjajahan Belanda, Indonesia dikenal sebagai penghasil rempah-rempah yang memberikan keuntungan yang besar bagi penjajah. Hal ini karena nilai ekonomis dari rempah-rempah cukup tinggi. Rempah-rempah ini merupakan bahan tambahan yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia dan banyak digunakan sebagai bumbu dalam makanan tradisional. Bumbu merupakan hal yang penting dalam setiap masakan karena
dapat berfungsi untuk meningkatkan cita rasa
makanan dan dapat digunakan sebagai pengawet makanan. Cita rasa yang diberikan dapat berupa bau harum dan sedap atau rasa tajam yang menyenangkan sehingga dapat memberikan karakteristik pada bahan pangan tersebut. Keragaman suku bangsa Indonesia yang cukup besar mulai dari Sabang di ujung barat sampai Merauke di ujung timur menyebabkan Indonesia kaya akan makanan tradisional. Dalam mengembangkan makanan tradisional, yang perlu mendapat perhatian utama adalah upaya mengangkat citra makanan tradisional agar sejajar dengan bahan makanan lainnya. Hal ini dapat dilakukan melalui perbaikan teknologi, terutama dari segi pengolahan, distribusi dan pemasaran. Daerah Gorontalo memiliki makanan khas, salah satunya adalah dengan menggunakan jagung muda pipil sebagai bahan utamanya, menggunakan cabe rawit, bawang merah, kemangi, bawang daun, kelapa parut, bawang merah goreng dan ikan sebagai bumbunya. Makanan ini dikenal dengan nama “Milu Siram” atau dalam bahasa daerah Gorontalo dikenal dengan “Binthe Biluhuta”. Makanan ini menjadi salah satu makanan favorit bagi masyarakat Gorontalo. Disamping menjadi makanan favorit masyarakat
Gorontalo,
makanan ini juga menjadi
makanan yang dicari dan diminati oleh wisatawan yang datang ke Gorontalo. Di Gorontalo permintaan akan “binthe biluhuta” ini cukup tinggi. Permintaan jagung muda untuk binthe biluhuta khususnya di dua daerah kabupaten dan kota Gorontalo adalah ± 2 ton/hari atau ±730 ton/tahun, dan untuk tiga kabupaten lainnya diperkirakan minimal ±1 ton/hari atau ± 365 ton/tahun
(Hasil Survei Dinas Pertanian Propinsi Gorontalo tahun 2004), sehingga kebutuhan total untuk pembuatan binthe biluhuta adalah 1095 ton per tahun. Sebagai salah satu jenis makanan yang cukup digemari, maka binthe biluhuta dapat dikembangkan menjadi makanan instan sehingga dalam proses pemasakan tidak memerlukan waktu yang lama, sama halnya dengan
cara
memasak mie instan. Disamping itu makanan ini juga dapat mengurangi kebutuhan akan konsumsi beras karena jagung merupakan makanan yang kaya akan karbohidrat. Setiap daerah di Indonesia mempunyai makanan khas tertentu, tetapi dapat dipastikan bahwa hampir semua masakan Indonesia menggunakan bawang merah dan cabe sebagai bumbu dan penyedap makanan baik dalam bentuk segar yang diramu dengan bumbu lain maupun dalam bentuk olahan (seasoning). Seasoning diproduksi dalam berbagai bentuk, salah satunya dalam bentuk powder (bubuk). Bentuk bubuk ini dianggap mempunyai nilai ekonomis tinggi, lebih praktis dalam penggunaan serta memudahkan pengemasan dan pengangkutannya. Namun demikian, penggumpalan atau kerusakan lainnya merupakan masalah yang sering terjadi pada produk dalam bentuk powder. Menurut Chung et al. (2000), penggumpalan sering menyebabkan perubahan solubilitas, kenaikan oksidasi lemak dan aktivitas enzim, kehilangan cita
rasa dan kerenyahan, penurunan
kualitas organoleptik dan umur simpan. Sejalan dengan berubahnya gaya hidup masyarakat yang membutuhkan kepraktisan dan waktu singkat dalam menyajikan makanan maka kebutuhan akan produk pangan instan yang “ready to eat dan ready to cook”, serta untuk menjaga kelestarian makanan khas Gorontalo ini, maka pengembangan produk pangan binthe biluhuta yang terbuat dari jagung muda dengan bumbu instan (binthe biluhuta instan) merupakan hal yang menarik. Akan tetapi, ada hal yang penting diperhatikan yaitu bagaimana mempersiapkan formulasi bumbu instan yang tepat dan dapat diterima oleh masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Gorontalo serta mempunyai umur simpan yang lama sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu. Setiap jenis makanan memiliki daya simpan (shelf life) yaitu kisaran waktu antara makanan selesai diolah di pabrik sampai diterima oleh konsumen, dimana
2
produk tersebut masih memiliki mutu yang baik. Bila lebih dari batas waktu tersebut, produk akan mengalami penurunan mutu. Menurut Syarief dan Halid (1993), hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam produk makanan bersifat akumulatif dan irreversible selama penyimpanan, sehingga pada saat tertentu hasil tersebut mengakibatkan makanan tidak dapat diterima lagi. Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu makanan tidak lagi dapat diterima disebut sebagai jangka waktu kadaluwarsa. Lebih lanjut
ditambahkan bahwa bahan
pangan tersebut telah kadaluwarsa, yaitu telah melampaui masa simpan optimumnya dan pada umumnya makanan tersebut menurun mutu gizinya meskipun penampakannya masih bagus.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah: -
Membuat formulasi bumbu instan yang tepat untuk binthe biluhuta.
-
Memperkirakan
umur simpan (shelf life) dari bumbu instan
binthe biluhuta berdasarkan pendekatan kadar air kritis. -
Mengetahui perubahan mutu bumbu instan binthe biluhuta selama penyimpanan.
3
TINJAUAN PUSTAKA Jagung Menurut Suprapto dan Rasyid (2002), golongan jagung yang terdapat di Indonesia berdasarkan penggolongan jagung oleh Johnson (1991) adalah dent corn, flint corn, sweet corn dan pop corn. Komponen gizi utama yang terdapat pada gizi jagung adalah karbohidrat, lemak dan protein. Kandungan karbohidrat jagung terdiri atas pati, gula, pentosan dan serat kasar. Komposisi kimia dari beberapa jenis jagung dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi kimia dari beberapa jenis jagung per 100 gr (% bk) Jenis Jagung
Komposisi Karbohidrat
Lemak
Protein
Abu
Serat
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
Dent corn
71.7
4.3
9.5
1.4
9.5
Flint corn
-
4.7
11.1
-
-
Pop corn
62.3
5.3
11.9
1.9
2.6
Sweet corn
54.1
8.4
12.7
2.1
3.5
Sumber: Johnson (1991) Menurut Subandi et al. (1988), jagung dapat dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan, diantaranya sebagai bahan pangan pokok masyarakat daerah tropis, sebagai pakan ternak di daerah beriklim sedang, dan sebagai bahan baku dalam industri minuman, industri tepung jagung dan sebagai campuran kopi
bubuk. Cara pengolahan jagung untuk dikonsumsi sebagai
makanan pokok sangatlah beragam. Sebagian cara tersebut adalah dengan pengupasan, pemipilan kemudian direbus atau dikukus. Ada juga yang menumbuknya menjadi beras dan kemudian direbus dan dikukus. Konstribusi jagung sekitar 10% dari total masukan kalori dan protein dengan rata-rata konsumsi 15-20 kg/tahun.
Bawang Daun Bawang daun (Allium porrum L.) dan kerabatnya termasuk dalam satu keluarga besar bawang-bawangan.
Bawang ini termasuk dalam golongan
Spermatophyta, sub golongan Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Lilliflorae dan famili Amaryllidaceae. Asalnya bunga dan perbungaannya mirip bunga lili atau tulip. Meski begitu, bawang lebih mirip dengan Amaryllidaceae atau yang populer dengan sebutan bunga narcissus. Bawang daun merupakan jenis tanaman yang banyak mengandung sulfur. Bawang daun yang dipotong dalam bentuk segar mengandung komponen sulfur yang volatil. Menurut Nielsen et al. (2004), proses pemblansiran dapat menurunkan sulfur yang dihasilkan oleh bawang daun segar yaitu 1.09 mg/L dari keseluruhan total sulfur. Bila dibandingkan dengan bawang daun yang di blansir maka pada bawang daun yang tidak diblansir akan terjadi pertambahan aldehid yang dihasilkan karena proses autooksidasi dan aktivitas enzim. Bawang daun tanpa pemblansiran
yang disimpan
pada suhu dingin dengan menggunakan
kemasan MAP 21% O2 menghasilkan aldehid empat kali lebih banyak daripada yang diblansir.
Kemangi Kemangi yang ada di Indonesia bernama botani Ocimum basillicum. Karena tumbuhnya menyemak, kemangi dikelompokkan dalam kelompok basil semak (bush basil). Menurut ”Daftar Komposisi Bahan Makanan” Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, kemangi termasuk sayuran kaya provitamin A. Dalam setiap 100 g daun kemangi terkandung 5000 SI vitamin A. Kelebihan lainnya, kemangi termasuk sayuran yang banyak mengandung mineral kalsium dan fosfor, yaitu sebanyak 45 dan 75 mg per 100 g daun kemangi (Anonim 2003). Kemangi digunakan untuk meningkatkan aroma dan flavor makanan, baik dalam keadaan segar maupun kering. Menurut Loughrin dan Kasperbauer (2003), terdapat 26 komponen volatil yang terdapat pada kemangi segar. Linalool dan 1.8 cineole lebih banyak 50% dibandingkan dengan keseluruhan total komponen
5
volatil. Ditemukan juga aldehid alipatik, alkohol dan ester yang sama dengan komponen aroma eugenol. Menurut Cesare et al. (2003), pengeringan kemangi dengan menggunakan mikrowave menghasilkan retensi komponen volatil dan pigmen klorofil yang lebih besar bila dibandingkan dengan pengeringan dengan teknik tradisional.
Seasoning Seasoning merupakan bahan campuran yang terdiri dari satu atau lebih rempah-rempah atau ekstrak rempah-rempah yang ditambahkan ke dalam makanan selama pengolahan atau dalam persiapan, sebelum disajikan
untuk
memperbaiki flavor alami makanan sehingga lebih disukai oleh konsumen (Farrel 1990). Pada umumnya rempah-rempah diformulasikan sebagai bumbu suatu produk pangan. Formulasi bumbu dilakukan dengan mencampurkan dua macam atau lebih rempah-rempah, baik berdasarkan penemuan-penemuan baru secara organoleptik dapat diterima oleh konsumen (Palupi 1995). Tujuan pencampuran untuk memberikan keseimbangan pada flavor makanan sehingga tercapai kepuasan konsumen secara maksimum. Rempah-rempah yang digunakan sebagai bumbu diutamakan mengandung cukup oleoresin dan minyak atsiri, karena kedua komponen ini menimbulkan citarasa dan aroma khas yang diinginkan. Oleh karena itu rempah yang akan dimanfaatkan untuk bumbu harus cukup tua, sehingga kandungan oleoresin dan minyak atsirinya mencapai optimal (Rahmawati 1998). Pruthi (1980), membagi seasoning dalam tiga kategori yaitu gound spice seasoning, soluble spice seasoning dan kombinasi antara ground dan soluble spice seasonings. Seasoning tidak dapat dibuat dari hanya satu jenis rempah saja dan sangat sulit mencapai flavor yang stabil, sedangkan perusahaan seasoning harus dapat memberi jaminan bahwa flavor yang dihasilkan tetap dalam keadaan stabil. Kestabilan flavor dapat dicapai dengan membuat soluble seasoning (bumbu yang dapat larut), yaitu dengan menambahkan minyak esensial dan oleoresin ke dalam garam, dekstrosa atau base gula. Keuntungan lain dari soluble seasoning adalah
6
bebas dari warna rempah-rempah, bebas dari total mikroba dan ketersediaan flavor yang diinginkan. Sebagian besar komponen flavor yang berada pada rempah-rempah berbentuk senyawa volatil, seperti cinamaldehyde (kayu manis), eugenol (cengkeh), capsaicinoids (cabe atau lada), alisin (bawang putih), di-1propildisulfida dan metil-1-propildisulfida (bawang merah), gingerol (jahe). Kekuatan dan intensitas dari senyawa volatil ini merupakan alasan mengapa rempah-rempah ini digunakan dalam jumlah yang kecil (Nagodawithana 1995). Pada industri seasoning, rempah-rempah ini dicampur dengan sejumlah komponen flavor seperti garam, monosodium glutamat (MSG), gula, asidulen dan sebagainya. Tujuan pencampuran ini untuk memberikan keseimbangan pada flavor makanan sehingga tercapai kepuasan konsumen secara maksimum. Faktorfaktor yang perlu diperhatikan dalam pencampuran adalah karakteristik alat pencampur dan karakteristik dari bahan tambahan kering yang digunakan (Herman 2000). Menurut Fanaike (2002), bubuk bawang merah yang masih disukai panelis berdasarkan uji organoleptik mempunyai kadar air 8.47%, kelarutan 78.42% dan total mikroba 2.8 x 104 koloni/g. Bubuk bawang merah mempunyai asam piruvat 16.9 µmol per g dan total soluble solid 11.9o Brix. Dengan menggunakan freeze dried, vacum dried dan flow dried diperoleh kadar air bubuk bawang merah berturut-turut adalah 3.25, 3.00 dan 2.75 % (basis kering). Bubuk bawang merah termasuk kedalam bahan pangan yang sangat higroskopis (Debnath et al. 2002). Sambal lingkung yaitu sambal yang menggunakan bumbu yang dihaluskan seperti cabe merah, bawang merah, kemiri, laos, terasi, bawang puith, kencur, garam, daun jeruk purut, gula kemudian disangrai bersama dengan ikan dan kepala parut
selama 25 menit kemudian dikemas vakum dengan plastik
polipropilen mempunyai umur simpan pada suhu 25oC adalah 215 hari (Astawan dan Widayat 1999). Bubuk lada hitam yang dikemas dengan LDPE dapat disimpan selama 407 hari pada RH 90% dan 209 hari untuk RH 95% (Rahayu et al. 2005).
7
Kelapa Parut Kering (Desiccated Coconut) Kelapa parut kering adalah daging buah kelapa segar yang diparut dan dikeringkan, dihaluskan dan diproses dibawah kondisi yang higienis untuk dikonsumsi manusia. Kelapa parut kering mengandung sebagian besar minyak dan protein, serta diproduksi dalam empat standar mutu yaitu sangat halus, halus, sedang dan kasar, dan dalam berbagai bentuk potongan termasuk threads, strips, chips, slices dan shreads (Ketaren dan Djatmiko 1985). Desiccated coconut dibuat dari butir-butir kelapa kering dengan kadar air 2.5% (Winarno 2004). Pada pembuatan kelapa parut kering, pemilihan jenis dan umur serta perlakuan penyimpanan terlebih dahulu terhadap buah kelapa yang baru dipetik merupakan hal yang sangat penting, agar diperoleh rendemen yang tinggi dan memenuhi kadar minyak yang disyaratkan. Keunggulan komperatif kelapa parut kering (KPK) sebagai pengganti kelapa segar adalah lebih praktis dan tahan lama. Mutu KPK menurut Somaatmadja (1978) ditentukan oleh ukuran rajangan, bau, warna, rasa, kadar air, kadar minyak, kadar asam lemak bebas, bahan asing, pencemaran oleh bakteri (misalnya salmonella) dan bagian-bagian testa. Menurut Suhardiyono (1988), KPK mudah diserang kapang, karena kapang memerlukan aw yang tinggi untuk hidup. Standar mutu KPK dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Standar mutu kelapa parut kering Syarat Mutu Uji fisik Kadar air (%) Kadar lemak (%) Kadar Protein (%) Asam lemak bebas (%) SO2 residu (ppm) Logam berbahaya Salmonella E.Coli Angka lempeng total (kol/gr) Kapang dan Khamir (kol/gr) Coliform
SIIa Putih, bau normal, rasa seperti kelapa segar Maksimum 3.0 Minimum 61 Minimum 5.0 Maksimum 0.14 Maksimum 15 Tidak ternyata Negatif Negatif Maksimum 106 Maksimum 50 Maksimum 50
Sumber: SNI-01-3715-2000
8
Pengeringan Pengeringan adalah proses mengeluarkan air dari suatu bahan pertanian menuju kadar kesetimbangan dengan udara sekeliling atau pada tingkat kadar air dimana mutu bahan pertanian dapat dicegah dari serangan jamur, enzim dan aktivitas serangga (Henderson dan Perry 1976). Dalam pengeringan beku atau liofilisasi, air dipindahkan dari padat langsung menjadi uap dengan sublimasi. Pengeringan terjadi dalam dua langkah yaitu pertama air berpindah dengan sublimsi dan kedua adalah penguapan cairan pada molekul air yang tidak beku (Heldman dan Hartel 1998). Menurut Heldman dan Lund (1998), operasi pengeringan beku meliputi tiga tahap yaitu pembekuan produk, sublimasi es dan penghilangan uap air. Pembekuan bertujuan untuk mendapatkan struktur yang porous. Jaringan kristal es yang terbentuk selama pembekuan penting untuk tahap pengeringan selanjutnya. Pada bahan pangan padat dan bahan pangan dengan struktur gel, kristal saling terpisah, sehingga pengeringan lebih lama. Pada pengeringan pertama, sublimasi es dilakukan dengan mengontrol level vakum dalam pengeringan beku melalui input panas. Untuk meningkatkan laju sublimasi diperlukan vakum yang tinggi (tekanan absolut rendah). Karena tidak semua air dalam bahan pangan dapat dibekukan, maka pada pengeringan primer dapat mereduksi air
15-20% dengan
menghilangkan air sebagai es. Akhir dari pengeringan pertama ditunjukkan dengan peningkatan suhu, dimana pada permukaan produk lebih cepat dari pada bagian dalam. Pengeringan kedua dimulai setelah semua es disublimasi pada permukaan produk memasuki tahap pengeringan kedua, namun pada bagian tengah masih terjadi sublimasi es. Panas secara kontinyu ditambahkan, namun dengan laju lebih lambat karena kehilangan air berlangsung secara difusi, sehingga diperlukan kontrol input panas. Penambahan panas secara cepat mengakibatkan terjadinya collapse temperature
yang menyebabkan produk
mempunyai densitas lebih tinggi dan mengurangi kemampuan dehidrasinya (Heldman dan Hartel 1998). Pengering tipe rak mempunyai bentuk persegi yang didalamnya berisi rak-rak sebagai tempat bahan yang akan dikeringkan. Bahan diletakkan di
9
atas rak (tray) yang terbuat dari logam dengan alat yang berlubang-lubang. Kegunaan dari lubang-lubang ini untuk mengalirkan udara dan uap panas. Proses pemanasan dalam tipe rak terjadi melalui pengaliran udara panas pada setiap rak. Pindah panas terjadi secara konduksi dan pemancaran dari permukaan rak yang dipanasi. Umumnya dalam pengering tipe rak, udara selain membawa panas juga berfungsi dalam memindahkan uap air. Aliran panas di dalam alat pengering dapat berlangsung dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas. Arah aliran udara panas dapat ditentukan dengan menyesuaikan kipas (Taib et al. 1988). Pengering tipe rak relatif lebih murah dalam pembuatan dan perawatan serta fleksibel dalam penggunaannya (Hubeis 1984). Pengeringan dengan vacum dryer dimaksudkan untuk mengurangi kadar air bahan dengan menguapkannya pada tekanan dibawah tekanan atmosfir. Pengeringan dengan vacum dryer biasanya digunakan untuk bahan-bahan yang sensitif terhadap panas, seperti obat-obatan, makanan dan sebagainya. Suhu pengeringan tidak kurang dari 40oC dengan sistem butch (Hall 1979). Menurut Asep et al. (2005), pengeringan bayam dengan menggunakan oven vakum maka kerusakan vitamin C dapat diminimalkan sebanyak 55.7% tanpa pemblansiran dan 65.42% dengan pemblansiran. Menurut Manullang dan Mulyadi (1995), pengeringan sayuran
dengan menggunakan freze dryer akan mempengaruhi
kandungan tokoferol yang terdapat pada sayuran tersebut. Bayam kering beku memiliki kandungan α , (β+γ) dan δ-tokoferol lebih tinggi diantara sayuran beku lainnya, disusul seledri sedangkan kandungan α, (β+γ) dan δ-tokoferol terendah diantara sayuran terdapat pada kubis. Selama pengeringan maka akan terjadi perubahan warna pada bahan pangan. Pengeringan bawang putih dengan menggunakan mikrowave dan pengeringan dengan infrared tidak mengakibatkan terjadinya perubahan yang signifikan terhadap warna dimana warna merupakan parameter yang penting dalam makanan (Baysal et al. 2003). Pengeringan bawang merah dengan menggunakan oven pada suhu 70oC selama 10 jam, warnanya coklat muda dan aroma tidak jauh berbeda dengan aroma roasted dan secara organoleptik masih disukai oleh konsumen (Fanaike 2002).
10
Bawang Merah Goreng Bawang merah goreng merupakan salah satu bumbu yang penting dalam masakan Tionghoa seperti mie instan, mie goreng dan nasi goreng (Chyau et al. 1997). Rahayu dan Berlian (1998) serta Rukmana (1994) menyatakan bahwa varietas yang paling cocok untuk dijadikan bawang goreng adalah varietas Sumenep. Menurut Wibowo (1993), umbi bawang merah dari varietas sumenep ini sangat digemari karena kualitas gorengnya tahan kering dan aromanya harum. Wu et al. (1982) menyatakan bahwa suhu penggorengan 150-160oC selama 10 menit menghasilkan bawang merah goreng dengan flavor terbaik. Menurut Nugraheni (2004), bawang goreng varietas Sumenep dengan umur 80 hari setelah tanam yang dijemur selama 10 hari dan disimpan selama dua minggu mempunyai kadar air 77.34%, pH 5.59 dan total mikroba 630 koloni/g serta mempunyai aroma yang roasted dan pungent yang kuat
Ikan Asap Proses pengasapan dibedakan atas suhu dan lamanya pengasapan yaitu: Pengasapan panas yaitu pengasapan dengan suhu 65-80oC dalam waktu singkat antara 3-4 jam. Pengasapan dingin yaitu pengasapan dengan suhu antara 30-40oC dalam waktu beberapa hari. Hasil pengasapan ini dikeringkan lebih lanjut sampai ikan bersangkutan kering. Ilyas (1972) menyatakan bahwa pengasapan adalah tertariknya air dan meningkatnya kadar asam dari daging ikan serta pengendapan berbagai senyawa kimia yang berasal dari asap kayu. Menurut Winarno et al. (1980), pengasapan biasanya dikombinasikan dengan proses pengeringan untuk membunuh bakteri. Menurut Sanger (1997), pengasapan ikan cakalang pada suhu 100oC mempunyai kadar air rendah (60.64%), mempunyai kadar protein yang tinggi (88.39%), dan mempunyai umur simpan 21 hari bila disimpan pada suhu dingin.
11
Kerusakan Produk Kering Deteorisasi pada produk pangan kering dapat berupa fisik, mikrobiologi dan kimia/biokimia. Kerusakan fisik mempengaruhi sifat tekstur pangan dimana untuk produk pangan yang bersifat renyah akan berubah menjadi melempem, sedangkan untuk produk yang berbentuk bubuk akan terjadi penggumpalan. Pada sebagian besar produk kering terdapat kadar air dimana dibawah kadar air tersebut laju deteorisasi dapat dihilangkan. Kadar air tersebut berhubungan dengan nilai monolayer, dan biasanya sekitar aw 0.2-0.4 (Labuza 1984). Makanan ringan kehilangan kerenyahannya pada aw 0.4-0.45 dan gula menjadi lengket pada aw 0.4 (Labuza 1984). Aktivitas
air
terendah
dimana
sebagian besar bakteri pembusuk tumbuh adalah 0.90. S. Aureus pada kondisi anaerob dihambat pada aw 0.91 tetapi pada kondisi aerob pada aw 0.86. Aw untuk pertumbuhan jamur dan ragi 0.61 dan untuk jamur mikotoksigenik pada aw 0.78. Aktivitas air mempengaruhi browning non-enzimatis, oksidasi lipid, degradasi vitamin, reaksi enzimatis, denaturasi protein dan retrogadasi pati (Fontana 1998). Robertson (1993) menyatakan secara umun deteorisasi yang terjadi pada produk pangan kering pada penyimpanan adalah penyerapan uap air menyebabkan produk menjadi lembab/kehilangan kerenyahan, oksidasi lipid yang dapat menyebabkan ketengikan, kehilangan vitamin, kerusakan sehingga produk tidak disukai dan kehilangan aroma.
Kemasan Menurut Syarief dan Irawati (1988), kemasan berfungsi sebagai: (1) wadah untuk menempatkan produk dan memberi bentuk sehingga memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusi; (2) memberi perlindungan terhadap mutu produk danri kontaminasi luar dan kerusakan; (3) untuk menambah daya tarik produk. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah sifat bahan pangan tersebut, keadaan lingkungan dan sifat bahan kemasan. Gangguan yang paling umum terjadi pada bahan pangan adalah kehilangan atau perubahan kadar air, pengaruh gas dan cahaya. Sebagai akibat
12
perubahan kadar air pada produk, akan timbul jamur dan bakteri, pengerasan pada bubuk dan pelunakan pada bubuk kering (Syarief et al. 1989) Bahan pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda dalam kepekaannya terhadap penyerapan atau pengeluaran gas. Bahan pangan kering harus dilindungi dari penyerapan air dan oksigen dengan menggunakan bahan pengemas yang mempunyai daya tembus yang rendah terhadap air dan gas. Untuk bahan pangan yang mempunyai aroma tinggi, umumnya memerlukan kemasan yang dapat menahan keluarnya komponen volatil (Syarief et al. 1989). Bahan pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda dalam kepekaannya terhadap penyerapan dan pengeluaran gas (udara dan uap air). Bahan kering harus dilindungi dari penyerapan air dan oksigen dengan cara menggunakan bahan pengemas yang mempunyai daya tembus rendah terhadap gas tersebut (Purnomo dan Adiono 1987). Produk kering terutama yang bersifat hidrofilik harus dilindungi terhadap masuknya uap air. Umumnya produk-produk ini mempunyai ERH rendah, oleh karena itu harus dikemas dalam kemasan yang mempunyai permeabilitas air yang rendah untuk mencegah produk menjadi basah sehingga tidak bersifat free flowing ( Syarief et al. 1989). Plastik
merupakan bahan pengemas yang penting dalam industri
pengemasan. Kelebihan plastik dari kemasan lain diantaranya adalah harga yang relatif rendah, dapat dibentuk menjadi berbagai macam bentuk, dan mengurangi biaya transfortasi. Sebagai bahan pembungkus, plastik dapat digunakan dalam bentuk tunggal, komposit atau berupa lapisan-lapisan (multi lapis) dengan bahan lain (kertas dan aluminium foil). Kombinasi antara berbagai kemasan plastik yang berbeda atau plastik dengan kemasan non plastik (kertas, aluminium foil dan selulosa) dimana ketebalan setiap lapisan utamanya lebih dari 6 mikron yang diproses baik dengan cara laminasi ekstrusi maupun laminasi adhesif disebut sebagai kemasan laminasi (Robertson 1993). Minimal ada dua jenis kemasan yang dikombinasikan dalam kemasan laminasi dimana salah satunya harus bersifat thermoplasti. Kombinasi dari berbagai ragam plastik ini dapat menghasilkan ratusan jenis kemasan. Salah satu yang biasa digunakan sebagai pengemas
adalah polipropilen.
Polipropilen termasuk jenis plastik olefin dan merupakan polimer dari propilen.
13
Plastik jenis ini cukup mudah diperoleh di pasaran dan memiliki kekuatan yang cukup baik terhadap perlindungan keluar masuknya gas dan uap air. Beberapa sifat utama dari polipropilen menurut Syarief et al. (1989)adalah ringan (densitas 0.9g/cm3) dan mudah dibentuk, mempunyai kekuatan tarik lebih besar dari polietilen dan tidak bisa digunakan untuk kemasan beku karena rapuh pada suhu 30oC, lebih kaku dari polietilen dan tidak gampang sobek., permeabilitas uap air rendah, permeabilitas air sedang dan tidak baik untuk makanan yang peka terhadap oksigen, tahan terhadap suhu tinggi (150oC) sehingga dapat digunakan untuk produk yang harus disterilisasi, tahan terhadap asam kuat, basa dan minyak baik untuk kemasan sari buah dan minyak, tidak terpengaruh pelarut pada suhu kamar kecuali HCl, pada suhu tinggi polipropilen dapat bereaksi dengan benzen, siklen, toluen, terpentin dan asam nitrat kuat. Pada umumnya, pengemasan produk bumbu masak siap pakai dipasaran menggunakan plastik jenis polipropilen (PP). Plastik jenis ini mudah diperoleh, murah dan tahan terhadap suhu tinggi sampai 150oC, sehingga dapat dipakai sterilisasi, dan bersifat tembus pandang dan jernih sehingga dapat menarik minat konsumen (Syarief et al. 1989). Polipropilen (PP) sangat
mirip dengan polietilen dan sifat-sifat
penggunaanya juga serupa (Brody 1970). PP lebih kaku dan ringan daripada PE, daya tembus terhadap uap airnya rendah, mempunyai ketahanan yang baik terhadap lemak, stabil pada suhu tinggi dan cukup mengkilap.
Aktivitas Air Kandungan air dalam bahan pangan juga ikut menentukan acceptability, kesegaran dan daya tahan bahan pangan. Kandungan air dalam bahan pangan akan mempengaruhi daya tahan bahan tersebut terhadap reaksi biologis atau kimiawi. Hubungan kandungan air dalam bahan pangan dengan daya tahan bahan tersebut dinyatakan sebagai aktivitas air (aw). Aktivitas air merupakan faktor kunci dalam pertumbuhan mikroba, reaksi enzimatis dan sebagainya (Mercado dan Canovas 1996). Kriteria ikatan air dalam aspek daya awet bahan pangan dapat ditinjau
14
dari
kadar air, konsentrasi larutan, tekanan osmotik, kelembaban relatif
berimbang dan aktivitas air (Purnomo 1995). Kadar air dan konsentrasi larutan hanya sedikit berhubungan dengan sifat-sifat air yang terdapat dalam bahan pangan dan tidak dapat digunakan sebagai indikator nyata dalam menentukan ketahanan simpan. Karenanya lalu muncul istilah aktivitas air (aw), yang digunakan untuk menjabarkan air yang tidak terikat atau bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologis atau kimiawi (Syarief dan Halid 1993). Labuza (1982) mengemukakan hubungan antara aktivitas air dan mutu makanan adalah sebagai berikut: Produk dikatakan tidak aman pada selang aktivitas air sekitar 0.7 sampai 0.75 dan diatas selang tersebut mikroorganisme berbahaya dapat mulai tumbuh dan produk menjadi beracun, pada selang aktivitas air 0.6 sampai 0.7 jamur dapat mulai tumbuh dan pada aktivitas air sekitar 0.3 sampai 0.5 dapat menyebabkan makanan ringan hilang kerenyahannya. Gambar 1 menunjukkan diagram stabilitas pangan, yang menunjukkan stabilitas sebagai fungsi dari aw.
Gambar 1 Diagram stabilitas aw menunjukkan hubungan antara aw dan reaksi deteorisasi dalam bahan pangan (Labuza 1984) Labuza (2002) menyatakan aktivitas air suatu bahan pangan dapat dihitung dengan membandingkan tekanan uap air bahan (P) dengan tekanan uap air murni (Po) pada kondisi yang sama, atau dengan jalan membagi ERH lingkungan dengan nilai 100 dan secara matematis ditulis sebagai berikut:
15
aw =
P ERH = Po 100
dimana: aw
=
aktivitas air
P
=
tekanan parsial uap air bahan
Po
=
tekanan parsial uap air murni pada suhu yang sama
ERH
=
kelembaban relatif seimbang
Aktivitas air (aw) menunjukkan sifat bahan itu sendiri, sedangkan ERH menggambarkan sifat lingkungan disekitarnya yang berada dalam keadaan setimbang dengan bahan tersebut. Dengan kata lain, peranan air dalam produk pangan biasanya dinyatakan dalam kadar air dan aw sedangkan peranan air di udara dinyatakan dalam kelembaban relatif dan kelembaban mutlak.
Kadar Air Kesetimbangan Kadar air kesetimbangan adalah kadar air dari suatu produk pangan yang berkesetimbangan
pada suhu dan kelembaban tertentu pada periode tertentu
(Brooker at al. 1982). Menurut Fellows (1990), kadar air kesetimbangan suatu bahan pangan adalah kadar air bahan pangan ketika tekanan uap air dari bahan pangan tersebut dalam kondisi setimbang dengan lingkungannya dimana produk sudah tidak lagi mengalami penambahan atau pengurangan bobot produk. Kadar air kesetimbangan berguna untuk menentukan bertambahnya atau berkurangnya kadar air bahan pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu (Brooker et al. 1982). Jika kelembaban relatif udara lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelembaban relatif bahan maka bahan akan menyerap air (adsorpsi), sebaliknya jika kelembaban relatif udara lebih rendah
dibandingkan dengan
kelembaban relatif bahan maka bahan akan menguapkan kadar airnya (desorpsi) (Henderson dan Perry 1976). Menurut Brooker et al (1982), kadar air kesetimbangan dapat ditentukan dengan dua metode yaitu metode statistik dan metode dinamik. Pada metode statistik, kadar air kesetimbangan diperoleh pada keadaan udara diam, biasanya
16
digunakan untuk keperluan penyimpanan karena pada umumnya udara di sekitar bahan relatif tidak bergerak. Pada metode dinamik, kadar air kesetimbangan bahan diperoleh pada udara bergerak, biasanya digunakan untuk pengeringan dimana pergerakan udara untuk mempercepat proses pengeringan dan menghindari penjenuhan uap air di sekitar bahan.
Sorpsi Isotermis Sorpsi
air oleh bahan pangan adalah proses dimana molekul air
berkombinasi secara progresif dan reversibel dengan bagian solid pangan melalui sorpsi kimia, adsorpsi fisik dan kondensasi multilayer (Heldman dan Lund 1992). Isotermis sorpsi air (ISA) menggambarkan hubungan antara kelembaban relatif udara/aktivitas air dengan kadar air keseimbangan bahan yang ditunjukkan dengan kurva sorpsi isotermis. Dikatakan kurva isotermis karena suhu harus konstan. Soekarto (1978) mengemukakan adanya tiga fraksi air terikat yaitu air terikat primer, air terikat sekunder dan air terikat tersier. Heldman dan Lund (1992) menyatakan bahwa kurva kurva ISA dapat dibagi menjadi tiga daerah yaitu daerah A, B dan C. Daerah A (air terikat primer) mewakili air yang terikat kuat dengan enthalpi penguapan lebih tinggi dari air murni. Air ini diikat pada gugus hidrofilik, bermuatan dan polar dari komponen pangan (protein, polisakarida), termasuk air monolayer, dan air yang terikat dengan ikatan hidrogen dan hidrofobik. Daerah B (air terikat sekunder) menyatakan air kurang kuat terikat. Air ini tersedia sebagai pelarut untuk solut dengan berat molekul rendah. Air pada daerah ini merupakan transisi kontinyu dari air terikat ke air bebas. Daerah C (air terikat sekunder) merupakan daerah air bebas, biasanya terdapat dalam celah-celah, ruang-ruang kecil (void), kapiler dan tidak terikat pada bahan pangan. Bahan makanan dan bahan hasil pertanian lainnya baik sebelum maupun sesudah diolah bersifat higroskopis, yaitu dapat menyerap air dari udara sekelilingnya, dan juga sebaliknya dapat melepaskan sebagian air yang dikandungnya ke udara. Secara umum sifat-sifat hidratasi ini dapat digambarkan dalam kurva isotermis, yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air bahan pangan dengan kelembaban relatif seimbang ruang tempat penyimpanan
17
(ERH) atau aktivitas air (aw) pada suhu tertentu (Syarief dan Halid 1993). Hubungan antara keadaan air dalam bahan pangan dan aktivitas air dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini. Tabel 3 Hubungan antara aktivitas air (aw) dan keadaan sifat fisik air dalam bahan pangan aw
Keadaan air dalam bahan pangan
0.00-0.35
Adsorpsi air pada lapisan tunggal (monolayer)
0.35-0.60
Adsorpsi air pada lapisan tambahan (multilayer)
0.60-1.00
Air terkondensasi pada kapiler/pori-pori yang dilanjutkan dengan disolusi padatan terlarut
Sumber: Gnanasekharan dan John (1993) Lebih lanjut Syarief dan Halid (1993) dan Buckle et al. (1985) menjelaskan bahwa pada umumnya kurva sorpsi isotermis bahan pangan berbentuk sigmoid (menyerupai huruf S). Pada kenyataannya grafik penyerapan uap air dari udara oleh bahan pangan (kurva adsorpsi) dan grafik pelepasan uap air oleh bahan pangan ke udara (kurva desorpsi) tidak pernah berhimpit. Keadaan tersebut
disebut sebagai keadaan histeresis (Gambar 2). Fenomena ini
diperlihatkan oleh perbedaan nilai-nilai kadar air keseimbangan yang diperoleh dari proses desorpsi dan adsorpsi.
18
C B A
Gambar 2 Kurva sorpsi isotermis pada bahan pangan secara umum (Labuza 2002) Besarnya histeresis dan bentuk kurva sangat beragam sekali tergantung pada beberapa faktor seperti sifat alami dari bahan pangan, perubahan fisik yang terjadi selama perpindahan air, suhu, kecepatan desorpsi dan tingkatan air yang dipindahkan selama desorpsi (Fennema 1985). Secara umum, dapat dikatakan bahwa bentuk sorpsi isotermis ini khas untuk setiap jenis bahan pangan (Winarno 1994). Pengetahuan tentang sorpsi isotermis suatu bahan pangan akan sangat membantu sekali dalam penentuan jenis pengemas yang dibutuhkan dan memprediksikan karakteristik kondisi penyimpanan yang sesuai serta masa simpannya (Mir dan Nath 1995) sehingga pertumbuhan mikroba yang sering menyebabkan kerusakan bahan pangan dapat dihindari (Boente et al. 1996). Selain itu sorpsi isotermis berguna juga untuk menghitung waktu pengeringan, memprediksikan kondisi keseimbangan dalam satu campuran produk dengan nilai aw yang berbeda (Chirife dan Iglesias 1978).
19
Model Persamaan Sorpsi Isotermis Model matematika mengenai kadar air keseimbangan atau sorpsi isotermis telah banyak dikemukakan oleh para ahli (Chirife dan Iglesias 1978; Van den berg dan Bruin 1981). Namun model-model matematik yang dikembangkan pada umumnya tidak dapat mencakupi keseluruhan kurva sorpsi isotermis dan hanya dapat memprediksi kurva sorpsi isotermis pada salah satu dari ketiga daerah sorpsi isotermis. Selain itu penggunaan model sorpsi isotermis juga sangat tergantung dari tujuan pemakai misalnya jika ingin mendapatkan kemulusan kurva yang tinggi maka model yang sederhana dan lebih sedikit jumlah tetapannya yang dievaluasi akan lebih mudah penggunaannya (Labuza 1968). Menurut Chirife dan Iglesias ( 1978), beberapa kendala yang dihadapi dalam menyusun suatu persamaan yang dapat menjelaskan kurva sorpsi isotermis pada keseluruhan selang aw yang ada dan dapat diaplikasikan untuk berbagai jenis bahan pangan adalah sebagai berikut: a. Perubahan aw pada bahan pangan dipengaruhi oleh kombinasi berbagai macam faktor yang masing-masing mendominasi dalam selang-selang aw yang berbeda. b. Sorpsi isotermis suatu bahan pangan menggambarkan kemampuan higroskopis yang kompleks dan dipengaruhi oleh interaksi baik fisik maupun kimia antara komponen-komponen bahan pangan tersebut yang diinduksi oleh proses pemanasan atau perlakuan awal lainnya. c. Pada saat bahan pangan menyerap air dari lingkungannya, bahan pangan tersebut umumnya akan mengalami perubahan baik perubahan fisik, kimia dan lainnya. Teori paling klasik tentang adsorpsi lapisan tunggal (monolayer) yang merupakan dasar bagi perkembangan teori-teori selanjutnya dikemukakan pertama kali oleh Langmuir (1918). Dari percobaannya didapat bentuk persamaan (Labuza 1968 didalam Arpah 2001) sebagai berikut:
⎡ ba ⎤ V= Vm ⎢ ⎣ K + ba ⎥⎦
20
dimana: V
= jumlah gas yang diadsorpsi pada tekanan tertentu
Vm
= jumlah gas yang diadsorpsi pada lapisan tunggal
a
= sifat termodinamika gas
b
= konstanta yang tergantung pada suhu dan jenis bahan pangan
Model sorpsi isotermis Langmuir ini menurut Labuza (1968) didalam Arpah (2001) tidak cocok diterapkan pada bahan pangan karena adanya asumsiasumsi yang tidak dapat dipenuhi dalam persamaan seperti adsorpsi air dapat bersifat lebih dari satu lapis molekul air, permukaan bahan tidak rata dan terdiri dari berbagai komponen yang masing-masing mempunyai ikatan yang berbeda terhadap air dan interaksi antara molekul-molekul uap air yang di adsorpsi dapat terjadi. Brunauer, Emmet dan Teller (1938) kemudian menyempurnakan asumsiasumsi Langmuir dengan tambahan bahwa proses adsorpsi tidak hanya bersifat satu lapis molekul air namun juga membentuk lapisan molekul ganda (multilayer). Bentuk persamaan isotermis BET untuk sorpsi bahan pangan (Labuza 1986 didalam Arpah 2001); Chirife dan Iglesias 1978):
aw a (C − 1) 1 = + w (1 − a w ) M CM m CM m dimana : Mm = kadar air pada lapisan tunggal (monolayer) M = kadar air (g air/g bahan kering) pada aktivitas air (aw) C = tetapan adsorpsi BET Model BET hanya dapat digunakan pada kisaran aw kurang dari 0.5 namun data-data yang didapat ini sangat baik untuk menggambarkan kondisi lapisan tunggal (monolayer) dari suatu bahan pangan (Labuza 1968 didalam Arpah 2001). Selanjutnya Smith pada tahun 1947 mendekati hubungan antara air terikat dan kelembaban relatif dengan persamaan Langmuir dan konsep lapisan ganda dari persamaan BET dan menghasilkan suatu model persamaan (Chirife dan Iglesias 1978): M = a - b ln (1 - aw)
21
dimana a dan b merupakan konstanta yang nilainya ditentukan melalui percobaan dan tergantung pada suhu. Persamaan ini dapat menggambarkan kurva proses desorpsi isotermis dari gandum pada selang aw 0.5-0.95. Secara empiris Henderson (1952) mengemukakan persamaan yang menggambarkan hubungan antara kadar air keseimbangan bahan pangan dengan kelembaban relatif ruang simpan. Persamaan ini menurut Chirife dan Iglesias (1978) merupakan salah satu persamaan yang paling banyak digunakan. Persamaan Henderson ini juga dapat berlaku pada kebanyakan bahan pangan terutama biji-bijian pada seluruh nilai aw. Bentuk persamaan tersebut (Chirife dan Iglesias (1978) adalah : 1 - aw = exp (- KMn)
dimana M = kadar air keseimbangan (basis kering) K dan n adalah konstanta Sedangkan Caurie (1970) dari hasil percobaannya mendapatkan sebuah model yang dapat berlaku untuk kebanyakan bahan pangan pada selang aw 0.0 sampai 0.85. Persamaan tersebut adalah (Chirife dan Iglesias 1978):
Ln me = ln P(1) - P(2)aw
dimana P(1) dan P(2) merupakan konstanta. Hasley
(1948)
mengembangkan
suatu
persamaan
yang
dapat
menggambarkan proses kondensasi pada lapisan multilayer (Chirife dan Iglesias (1978). Persamaan tersebut dapat digunakan untuk bahan makanan dengan kelembaban relatif antara 10-81%. Persamaan ini adalah (Isse et al 1992): ⎡ − P (1) ⎤ aw = exp ⎢ P ( 2) ⎥ ⎣ ( Me) ⎦ Dimana P(1) dan P(2) adalah konstanta Persaman Oswin (1946) dapat berlaku pada bahan pangan pada RH 0 sampai 85% dan sesuai bagi kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid (Chirife dan Iglesias 1978). Model persamaan Oswin tersebut adalah:
22
⎡ aw ⎤ aw = P(1) ⎢ ⎣1 − aw ⎥⎦
p ( 2)
Dimana P(1) dan P(2) merupakan konstanta Lebih lanjut Chen Clayton juga membuat model matematik yang berlaku untuk bahan pangan pada semua nilai aktivitas air (aw). Persamaan tersebut adalah aw = exp [-P (1) exp P((2)Me)] dimana P(1) dan P(2) adalah konstanta
Umur Simpan Istilah umur simpan secara umum mengandung pengertian tentang waktu antara saat produksi mulai dikemas atau diproduksi sampai dengan mutu produk masih memenuhi syarat untuk dikonsumsi. Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan bahwa umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam kondisi penyimpanan, untuk sampai pada suatu level atau tingkat degradasi mutu tertentu. Menurut Institut of Food Technology (IFT) umur simpan produk pangan selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur dan nilai gizi (Arpah 2001). National Food Association mendefinisikan umur simpan adalah bilamana kualitas produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah 2001). Menurut Syarief et al. (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik, ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume, kondisi atmosfir (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan, kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya gas, air dan bau, termasuk perekatan, penutupan dan bagian-bagian yang terlipat.
23
Menurut Ellis (1994), penentuan
umur simpan suatu produk dilakukan
dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Syarief dan Halid (1993) menyatakan bahwa penurunan mutu makanan terutama dapat diketahui dari perubahan faktor mutu tersebut. Beberapa asumsi dasar yang sering digunakan dalam perhitungan masa simpan menurut Gnanasekharan dan John (1993) adalah mekanisme kerusakan yang terjadi sangat bergantung pada faktor lingkungan (tekanan parsial oksigen, kelembaban relatif dan temperatur) dan faktor komposisi (pH, konsentrasi, aktivitas air dan sebagainya), laju penurunan mutu dapat ditentukan dengan menghubungkan beberapa hasil
pengukuran objektif
dengan hasil penilaian
organoleptik dan toksikologi), kemasan diasumsikan bebas dari kebocoran sehingga karakteristik penyerapan hanya bergantung pada bahan kemasan saja. Sistem penentuan umur simpan secara konvensional membutuhkan waktu yang lama karena penetapan kadaluarsa pangan dengan metode ESS (Extended Storage Studies) dilakukan dengan menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya sehingga tercapai mutu kadaluwarsa. Untuk mempercepat waktu penentuan umur simpan tersebut maka digunakan metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) atau metode akselerasi. Pada metode ini kondisi penyimpanan diatur di luar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur simpan dapat ditentukan (Arpah dan Syarief 2000). Penggunaan metode akselerasi harus disesuaikan dengan keadaan dan faktor yang mempercepat kerusakan produk yang bersangkutan (Ellis 1994). Menurut Labuza (1982) meningkatnya suhu dan kelembaban pada kondisi penyimpanan bahan pangan kering dapat digunakan sebagai metoda untuk mempersingkat waktu perkiraan umur simpan suatu produk pangan. Sedangkan menurut Ellis (1994), penggunaan uji akselerasi dapat diaplikasikan pada produk kering jika secara kontinyu kadar air pada produk berubah selama penyimpanan dan jika kecepatan kerusakan hanya tergantung pada kadar air dan suhu.
24
Labuza (1982) menyatakan bahwa penambahan atau kehilangan kandungan air dari suatu bahan pangan pada suhu dan kelembaban (RH) yang konstan dapat dihitung denga persamaan sebagai berikut:
dw k = (Pout − Pin ) A dt x
Keterangan:
dw dt k x A Pou Pin
= jumlah air yang bertambah atau berhurang per hari (gram) = permeabilitas kemasan (g H2O/ hari. m2. mmHg) = luas permukaan kemasan (m2) = tekanan uap air di luar kemasan (mmHg) = tekanan uap air di dalam kemasan (mmHg)
Bila perubahan air mempengaruhi mutu makanan maka dengan mengetahui pola penyerapan airnya dan menetapkan nilai kadar air kritisnya, umur simpan dapat ditentukan. Dengan demikian umur simpan berdasarkan laju perubahan kadar air dapat ditentukan dengan pendekatan yang menggunakan persamaan Labuza (1982), yaitu:
⎛ me − mi ⎞ ln⎜ ⎟ me − mc ⎠ ⎝ ts = ⎛ k ⎞⎛ A ⎞⎛ Po ⎞ ⎜ ⎟⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎝ x ⎠⎝ Ws ⎠⎝ b ⎠ dimana : ts me mi mc k x A Ws
= waktu yang diperlukan produk dalam kemasan untuk bergerak dari kadar air awal menuju kadar air kritis atau waktu perkiraan umur simpan (hari ) = kadar air keseimbangan produk (% bk) = kadar air awal produk (% bk) = kadar air kritis produk (% bk) = konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg) = luas permukaan kemasan = berat sampel dalam kemasan (g)
25
Po b
= tekanan uap jenuh (mmHg) = kemiringan kurva
Parameter-parameter
persamaan
Labuza
(1982)
di
atas
dapat
dikelompokkan ke dalam tiga unsur, yaitu: unsur sifat fisik produk (me, mi, mc, Ws, dan b), unsur pengemas (k/x dan A) dan lingkungan luar/dalam pengemas (RH penyimpanan dan b).
26
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2006 sampai Juli 2007 di Laboratorium Pengolahan Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, serta laboratorium SEAFAST Center Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah cabe rawit merah, bawang merah, bawang daun, kemangi, jagung,
kelapa parut, ikan cakalang kering,
MSG, garam,
Natrium bisulfit, aguadest, larutan garam jenuh NaOH, MgCl2, KI, KCl, BaCl2, K2SO4, KNO3, K2CO3, NaCl, HCl, H2SO4, H3BO3, HCl, Na2SO4, NaOH, BaCl2, batu didih, heksan, asam tartarat, phenolptalin 1%, alkohol 95%, PCA, PDA, vaselin, aluminium foil, silika gel, polipropilen (PP), polietilen densitas tinggi (HDPE). Alat yang digunakan adalah timbangan analitik, oven, desikator, freeze drying, pisau, baskom, talenan, sealer, blender, cawan aluminium, cawan porselin, labu kjedhal, tabung reaksi, erlenmeyer, kertas saring, saringan, soxhlet, tanur, cawan petri, pipet, lampu bunsen dan gelas piala.
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam 3 tahap yaitu penelitian tahap pertama, tahap kedua dan tahap ketiga.
Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama terdiri dari persiapan dan formulasi
bumbu
binthe biluhuta. Tahapan persiapan bumbu meliputi pembuatan cabe rawit bubuk ,
pembuatan bawang merah bubuk, pengeringan daun bawang dan daun kemangi, pengeringan ikan cakalang serta pembuatan kelapa parut
kering. Tahapan
pembuatannya adalah sebagai berikut:
Proses pembuatan cabe rawit bubuk a. Pembuangan tangkai cabe dan bagian yang rusak atau busuk, kemudian dicuci sampai bersih dan ditiriskan. b. Pemanasan (blansir) cabe dalam larutan Natrium bisulfit 0.2% yang mendidih selama 3 menit, kemudian dimasukkan kedalam air dingin (2530oC) dan tiriskan. c. Pengeringan dengan menggunakan oven pada suhu 70o selama 6 jam. Tanda cabe telah benar-benar kering yaitu hancur bila cabe diremas. d. Penggilingan cabe kering dengan menggunakan blender Tahapan proses pembuatan cabe rawit bubuk disajikan pada Gambar 3 (Hambali et al. 2002).
Proses pembuatan bawang merah bubuk a. Pengupasan bawang merah yang akan digunakan kemudian dicuci sampai bersih dan ditimbang b. Pengirisan bawang merah kemudian diblansir dalam larutan Na-bisulfit 0.2% selama 20 menit dan ditiriskan. c. Panambahan bahan pengisi yaitu maizena sebanyak 5% dari berat bawang dan kemudian dicampur sampai merata dengan irisan bawang merah yang telah ditiriskan. d. Pengeringan dengan menggunakan oven pada suhu 70o selama 3.5 jam. e. Penggilingan bawang merah yang sudah dikeringkan dan diayak untuk memperoleh tepung bawang dengan ukuran partikel yang seragam. Tahapan proses pembuatan bawang merah bubuk disajikan pada Gambar 4 (Hambali et al. 2002).
28
Cabe rawit segar
Pembuangan tangkai dan pencucian
Penirisan
Blansir dengan larutan Na-bisulfit 0.2% selama 3 menit, tiriskan
Pengeringan pada suhu 70o selama 6 jam
Penggilingan
Cabe bubuk
Gambar 3 Diagram pembuatan cabe rawit bubuk.
Proses pembuatan daun bawang kering a. Daun bawang dicuci kemudian diiris-iris sesuai dengan ukuran yang diinginkan. b. Pemblansiran daun bawang ke dalam air panas (80oC) selama 3 menit. Irisan daun bawang diangkat dengan saringan kemudian dimasukkan kedalam air dingin (25-30oC). c. Dimasukkan kedalam plastik kemudian disimpan dalam freezer sampai daun bawang menjadi beku.
29
d. Pengeringan dengan freeze drying selama 48 jam. Tahapan proses pembuatan daun bawang kering disajikan pada Gambar 5.
Proses pembuatan daun kemangi kering (Sopian et al 2005) a. Daun kemangi dicuci dan ditiriskan. b. Dimasukkan ke dalam plastik kemudian disimpan dalam freezer sampai daun kemangi menjadi beku c.
Pengeringan dengan freeze drying selama 48 jam Tahapan proses pembuatan daun kemangi kering disajikan pada
Gambar 6 (Sopian et al 2005).
30
Bawang merah segar
Pengupasan dan pencucian
Pengirisan, blansir dalam larutan Nabisulfit 0.2% selama 20 menit
Penirisan
Penambahan maizena sebanyak 5% dari berat bawang dan dicampur secara merata
Pengeringan oven pada suhu 70oC selama 3.5 jam
Penggilingan
Bawang merah bubuk
Gambar 4 Diagram pembuatan bawang merah bubuk.
31
Daun bawang segar
Pencucian dan pengirisan
Pemblansiran pada suhu 80oC selama 3 menit
Pendinginan (suhu 25-300C)
Pembekuan
Pengeringan dengan freeze drying 48 jam
Daun bawang kering
Gambar 5 Diagram pembuatan daun bawang kering.
32
Daun kemangi segar
Pencucian dan penirisan
Pembekuan
Pengeringan dengan freeze drying selama 48
Daun kemangi kering
Gambar 6 Diagram pembuatan daun kemangi kering.
Proses pembuatan kelapa parut kering a. Buah kelapa dikupas dan dibuang testanya sehingga diperoleh daging kelapa yang putih. b. Daging kelapa kemudian dipotong menjadi empat bagian, setelah itu dicuci dengan aguades. c. Setelah itu dilakukan perendaman dalam larutan Na-bisulfit 2000 ppm, selama 15 menit dan ditiriskan selama 10 menit. d. Dilakukan pemarutan sehingga diperoleh kelapa parut basah e. Pasteurisasi dengan menggunakan uap panas pada suhu 88oC selama 5 menit. f. Kelapa parut basah disusun dalam loyang aluminium dengan tebaran setebal 1 cm dan dikeringkan dalam oven dengan suhu 70oC selama 8 jam. Tahapan proses pembuatan kelapa parut kering disajikan pada Gambar 7.
33
Buah kelapa
Pembuangan sabut dan testa, potong menjadi 4 bagian, dicuci
Perendaman dalam larutan Na- bisulfit 2000 ppm selama 15 menit
Penirisan
Pemarutan
Kelapa parut basah
Pasteurisasi 88oC dengan uap panas, 5 menit
Pengeringan pada suhu 70oC, 8 jam
Kelapa parut kering
Gambar 7 Diagram pembuatan kelapa parut kering.
34
Formulasi Bumbu Formulasi bumbu dilakukan untuk mengetahui komposisi bumbu yang paling disukai berdasarkan uji organoleptik. Bumbu yang digunakan terdiri dari bawang merah bubuk, cabe rawit bubuk, kalapa parut kering, daun bawang kering, daun kemangi kering, ikan cakalang kering, MSG dan garam. Formulasi bumbu yang dilakukan untuk setiap 100 gram bumbu adalah disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Formulasi bumbu instan binthe biluhuta / 100 gr bumbu Formulasi
Formula 1 Formula 2 Formula 3 Formula 4 Formula 5 Formula 6 Formula 7 Formula 8 Formula 9 Formula 10 Formula 11 Formula 12
Bawang (gr)
Cabe (gr)
Kelapa (gr)
Kemangi (gr)
Ikan Cakalang (gr) 3
Garam (gr)
0.5
Daun bawang (gr) 0.5
2
0.5
2.5
2
1.0
2.5
0.5
0.5
3
1
2
1.5
2.5
0.5
0.5
3
1
4
0.5
2.5
0.5
0.5
3
1
4
1.0
2.5
0.5
0.5
3
1
4
1.5
2.5
0.5
0.5
3
1
2
0.5
5.0
0.5
0.5
3
1
2
1.0
5.0
0.5
0.5
3
1
2
1.5
5.0
0.5
0.5
3
1
4
0.5
5.0
0.5
0.5
3
1
4
1.0
5.0
0.5
0.5
3
1
4
1.5
5.0
0.5
0.5
3
1
1
Pada formulasi bumbu ini: garam, MSG, ikan cakalang kering, bawang goreng, kemangi dan daun bawang kering diberikan dalam jumlah yang sama untuk semua perlakuan. Ikan cakalang yang digunakan adalah ikan cakalang yang diasap selama 10 jam, kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven selama 4 jam. Setelah itu dihaluskan dengan menggunakan blender. Dari 12 formulasi bumbu, diambil satu formulasi bumbu yang paling disukai berdasarkan uji
35
organoleptik. Analisis yang dilakukan adalah analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, kadar lemak bebas, total mikroba dan uji organoleptik.
Penelitian Tahap Kedua Setelah diperoleh formula bumbu instan binthe biluhuta yang paling disukai berdasarkan uji organoleptik maka penelitian dilanjutkan ke tahap kedua. Penelitian tahap kedua dilakukan dengan tujuan menghasilkan kurva Isotermis Sorpsi Air (ISA) yang akan digunakan untuk analisa pendugaan umur simpan bumbu instan binthe biluhuta.
Penentuan Kurva Sorpsi Isotermis Dalam preparasi larutan garam jenuh digunakan 9 jenis garam. Garam yang telah ditimbang
dengan berat tertentu dimasukkan ke dalam desikator
kemudian ditambahkan sejumlah air dan diaduk Jenis garam yang digunakan untuk preparasi larutan garam dapat dilihat pada Tabel 5. Setelah diaduk, desikator kemudian ditutup dan dibiarkan selama 24 jam pada kondisi 30oC (Spiess dan Wolf 1987). Kemudian sebanyak lima gram bumbu ditempatkan dalam cawan porselin kering yang telah diketahui beratnya. Cawan yang berisi sampel tersebut lalu diletakkan dalam desikator yang berisi larutan garam jenuh, kemudian disimpan dalam inkubator dengan suhu 30oC. Sampel dalam cawan kemudian ditimbang bobotnya secara periodik sampai diperoleh bobot yang konstan yang berarti kadar air kesetimbangan tercapai. Menurut Lang dan Steinberg (1980), berat yang konstan lalu diukur kadar airnya dengan menggunakan metode oven (AOAC 1995) dan dinyatakan dalam basis kering. Berdasarkan kadar air akhir dan aktivitas air kesetimbangan maka dapat dibuat kurva sorpsi isotermisnya.
36
Tabel 5 Jenis dan jumlah garam serta jumlah yang digunakan untuk menentukan nilai aw Kuantitas No
Jenis garam
Garam (gr)
Air (ml)
ERH(%)
1
NaOH (Natrium Hidroksida)
150
85
6.9
2
MgCl2 (Magnesium Klorida)
200
25
32
3
K2CO3 (Potassium Karbonat)
200
90
43
4
KI (Potassium Iodida)
200
50
69
5
NaCl (Natrium Klorida)
200
60
75
6
KCl (Potassium Klorida)
200
80
84
7
BaCl2 (Barium Klorida)
200
70
90
8
KNO3 (Kalium Nitrat)
200
50
93
9
K2S04 (Kalium Sulfat)
200
50
97
Pengamatan meliputi pengukuran kadar air (AOAC 1995) dan kadar air kritis yang ditandai dengan adanya perubahan pada bumbu.
Penentuan air terikat primer, sekunder dan tersier Setelah diperoleh kadar air kesetimbangan untuk setiap aw maka dapat ditentukan air terikat primer, sekunder dan tersier. Air terikat primer ditentukan dengan menggunakan model matematika isotermis sorpsi air BET, yang penerapannya hanya berlaku pada aw 0.05-0.60. Persamaannya adalah
aw (C − 1) 1 aw = + (1 − a w ) M CMm CMm
dimana: M adalah kadar air basis kering (%), Mm adalah kadar air monolayer (%), aw adalah aktivitas air, C adalah tetapan energi adsorpsi, yaitu dengan cara membuat kurva regresi antara kadar air kesetimbangan dengan aw. Kisaran aw yang digunakan adalah 0.07-0.43. Dari kurva regresi tersebut dihasilkan persamaan Y = a + bx. Dari persamaan tersebut nilai a disubstitusi menjadi 1/MPC dan nilai b menjadi (C-1)/MpC sehingga diperoleh nilai Mm sebagai air terikat primer (monolayer).
37
Air terikat sekunder ditentukan dengan menggunakan model persamaan logaritma. Persamaannya adalah log (1 - aw) = bM + a dimana: M adalah kadar air (gr air/gr bahan kering) pada aktivitas air aw. Cara mencari air terikat sekunder adalah dengan cara membuat kurva regresi antara log (1-aw) dengan kadar air kesetimbangan. Persamaan regresi pertama diambil dari 4 data yaitu pada aw 0.32 hingga 0.75 sehingga diperoleh persamaan (misalnya Y1). Persamaan regresi kedua diambil dari 4 data juga yaitu dari aw 0.75 hingga 0.93 sehingga diperoleh persamaan (misalnya Y2). Pada kurva plot logaritma dihasilkan garis patah yang terdiri dari dua garis lurus dimana garis lurus pertama mewakili air terikat sekunder dan garis lurus kedua mewakili air terikat tersier. Dengan menggunakan kedua persamaan tersebut, maka diperoleh titik potong keduanya yang menunjukkan batas air terikat sekunder. Penentuan air terikat tersier dilakukan melalui 3 pendekatan yaitu pendekatan model polinomial ordo 2, pendekatan ekstrapolasi dan pendekatan kuadratik. Perhitungan air terikat tersier model ordo 2 dilakukan dengan cara membuat kurva polinomial ordo 2 antara kadar air kesetimbangan dengan aw dimana aw yang adalah 0.84 sampai 0.93 sehingga diperoleh persamaan Y=ax2 + bx + c dimana Y adalah kadar air (% bk) dan x adalah aw, sehingga pada saat RH = 100% atau aw = 1 diperoleh air terikat tersier. Penentuan air terikat tersier dengan pendekatan ekstrapolasi dilakukan dengan menarik garis kurva ISA sampai aw = 1 sehingga diperoleh nilai kadar air keseimbangan yang juga menunjukkan besarnya fraksi air terikat tersier.
Penentuan Model Sorpsi Isotermis (Spiess dan Wolf 1987) Persamaan yang dipilih adalah persamaan yang dapat diaplikasikan pada bahan pangan yang mempunyai parameter kurang atau sama dengan tiga serta dapat digunakan pada jangkauan kelembaban relatif yang lebar (0-95%), sehingga dapat mewakili ketiga daerah pada kurva sorpsi isotermis. Persamaan tersebut adalah Hasley, Henderson, Caurie, Chen-Clayton dan Oswin.
38
Guna memudahkan perhitungan maka model-model persamaan matematis yang digunakan dimodifikasi bentuknya dari persamaan non linier menjadi persamaan linier.
Uji Ketepatan Model (Isse et al. 1983) Untuk menguji ketepatan suatu persamaan sorpsi isotermis digunakan Mean Relative Determination (MRD)
MRD =
100 n Mi − Mpi ∑ Mi n i =1
dimana Mi adalah kadar air percobaan, Mpi adalah kadar air hasil perhitungan, n adalah jumlah data. Jika nilai MRD<5 maka model sorpsi isotermis itu dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya atau sangat tepat, jika 5<MRD<10 maka model tersebut agak tepat, dan jika MRD>10 maka model tersebut tidak tepat untuk menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
Umur Simpan Pendugaan umur simpan berdasarkan kurva sorpsi isotermis menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Labuza (1982) yaitu: Me − Mi Me − Mc ts = ⎛ k ⎞⎛ A ⎞⎛ Po ⎞ ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟⎜⎜ ⎝ x ⎠⎝ Ws ⎟⎠⎝ b ⎠ Ln
dimana : ts
= umur simpan produk (hari)
Me
= kadar air kesetimbangan (%bk)
Mi
= kadar air awal (% bk)
Mc
= kadar air kritis (%bk)
Ws
= berat solid (gr)
39
Po
= tekanan uap air jenuh pada ruang penyimpanan (mm Hg)
k/x
= permeabilitas kemasan (gr H2O/ m2. hari.mmHg)
A
= luas kemasan (m2)
b
= kemiringan kurva sorpsi isotermis (gr H2O/ gr bk)
Kemasan yang digunakan adalah HDPE (polietelen densitas tinggi), PP (polipropilen) dan Alufo. Nilai k/x (permeabilitas kemasan) diambil dari data sekunder dimana permeabilitas kemasan HDPE, PP dan Alufo berturut-turut adalah 0.12, 0.10 gr/m2.mmHg.hari (Eskin dan Robinson 2001) dan 0.02 gr/ m2.mmHg.hari (Histifarina 2002).
Penelitian Tahap Ketiga Penelitian tahap ketiga adalah uji penyimpanan. Formulasi bumbu yang paling disukai berdasarkan uji organoleptik
dikemas dengan menggunakan
kemasan polipropilen (PP), aluminium foil dan polietilen densitas tinggi (HDPE). Dalam penelitian ini, bumbu dikemas dalam keadaan vakum dan tidak vakum kemudian disimpan pada RH 97% dan suhu ruang. Setiap dua minggu dilakukan uji hedonik terhadap sampel. Analisis yang dilakukan adalah kadar air, kadar asam lemak bebas, total mikroba dan total kapang -khamir. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 8 di bawah ini.
40
Cabe, bawang merah, kemangi, daun bawang, kelapa, ikan cakalang
Pengeringan
Pembubukan
Formulasi
Uji organoleptik
Bumbu yang paling disukai
Uji proksimat
ISA
Uji penyimpanan
Gambar 8 Diagram alir penelitian
41
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian tahap ketiga ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan 3 kali ulangan, terdiri dari 2 faktor yaitu:
• Jenis bahan kemasan terdiri dari 3 taraf yaitu polietilen densitas tinggi (A1) polipropilen (A2) dan aluminium foil (A3).
• Cara pengemasan terdiri dari 2 taraf yaitu tidak vakum (B1)dan vakum (B2) sehingga terdapat 6 kombinasi perlakuan dan 18 unit percobaan. Apabila perlakuan berpengaruh nyata pada taraf 5% maka akan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan untuk mengetahui apakah ada perbedaan nyata antar perlakuan. Analisis dilakukan dengan menggunakan software SAS v 9.1. Model Statistik yang digunakan menurut Mattjik dan Made (2002) adalah sebagai berikut: Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Dimana: Yijk
= variabel yang diukur
µ
= rata-rata umum
αi
= pengaruh aditif dari taraf jenis kemasan ke-i
βj
= pegaruh aditif dari taraf cara pengemasan ke-j
(αβ)ij
= pengaruh interaksi faktor α dan β
εijk
= galat percobaan
42
Metode Pengamatan Kadar Air Metode Oven (AOAC 1995) Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang. Sebanyak empat sampai lima gram contoh dimasukkan kedalam cawan dan dikeringkan dalam oven dengan suhu 105oC selama 6 jam atau hingga sampai berat sampel dan cawan konstan. Setelah itu cawan dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan kemudian ditimbang. Pengeringan dilakukan kembali sampai berat konstan. Persentase kadar air dihitung dengan rumus sebagai berikut: Kadar air (%bb ) =
a −b x 100% a
Kadar air (%bk ) =
a −b x 100% b
Keterangan a = berat sampel awal (g) b = berat sampel kering (g)
Kadar Abu (AOAC 1995) Cawan pengabuan disiapkan, kemudian dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 3 gram dimasukkan kedalam cawan porselin, kemudian dibakar dalam ruang asam sampai tidak berasap lagi. Hasil pembakaran kemudian dimasukkan kedalam tanur pengabuan. Proses pengabuan dilakukan sampai didapat abu berwarna abu-abu atau memiliki berat yang tetap. Proses pengabuan dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pertama pada suhu 400oC dan pada tahap kedua pada suhu 550oC. Sampel kering beserta cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Persentase kadar abu (%) dapat dihitung dengan rumus :
43
Kadar abu (%)=
berat abu ( g ) x 100% berat sampel ker ing ( g )
Kadar Protein Metode Mikro Kjeldahl (AOAC 1995) Sampel yang akan diukur ditimbang sebanyak 2 gr dan
dimasukkan
kedalam labu kjeldahl 30 ml. Kemudian kedalam labu kjeldahl ditambahkan 1.9 ± 0.1 gr K2SO4, 40 ± 10mg HgO serta 3.8 ± 0.1 ml H2SO4 pekat dan batu didih. Kemudian sampel didihkan selama1-1.5 jam
sampai cairan menjadi jernih.
Setelah di didihkan tabung berisi sampel didinginkan dengan air dingin. Selanjutnya isi labu dipindahkan beserta air bekas pembilasnya ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Labu erlenmeyer 125 ml yang diisi dengan 5 ml H3BO3 dan ditambahkan 4 tetes
indikator (campuran 2 bagian metil merah dan 0.2 % dalam alkohol)
kemudian diletakkan dibawah kondensor (ujung kondensor harus terendam dalam larutan H3BO3). Destilasi dilakukan sampai diperoleh destilat ± 15 ml dalam erlenmeyer. Destilat dalam erlenmeyer tersebut kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi biru. Dilakukan perhitungan jumlah Nitrogen setelah sebelumnya didapat jumlah volume (ml) blanko. Jumlah N (%)=
(ml HCl sampel − ml HCl blanko) x N HCl x 14.007 x 100 mg sampel ker ing
Kadar protein (%) = jumlah N (%) x faktor koversi (6.25)
Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC 1995)
Labu lemak dikeringkan dalam
oven, kemudian didinginkan dalam
desikator dan ditimbang beratnya. Sebanyak 5 gr sampel ditimbang dalam bentuk dalam kertas saring dan kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak. Kemudian kertas saring beserta isinya dimasukkan kedalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut heksan dituangkan kedalam labu soxhlet secukupnya.
44
Kemudian dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut heksan turun kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam
labu lemak destilasi dan kemudian labu
dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator, kemudian labu beserta lemak didalamnya ditimbang dan dilakukan perhitungan kadar lemak:
Kadar lemak (%) =
berat lemak (g) x 100% berat sampel ker ing (g)
Kadar Karbohidrat by difference
Pengukuran kadar karbohidrat dilakukan dengan cara by difference yaitu dihitung dengan menggunakan rumus: Kadar Karbohidrat = 100% - % (air + abu + protein + lemak)
Asam Lemak Bebas (FFA) (AOAC, 1991)
Ditimbang sekitar 2 gram sampel, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah erlenmeyer dan ditambahkan 50 ml alkohol 95%. Panaskan selama 10 menit, tetesi dengan phenolptalin 1%. Titrasi dengan NaOH 0.1N sampai warna merah muda. Kadar asam lemak bebas (FFA) dapat dihitung dengan rumus
Kadar asam lemak bebas (FFA) =
ml NaOH x N NaOH x BM asam lemak berat bahan ( g )
Total Mikroba (Fardiaz 1989)
Sebanyak 1 gr bumbu dimasukkan ke dalam tabung pengencer yang berisi 9 ml larutan pengencer steril (tabung 1). Pengenceran 10-1 diperoleh dari campuran itu. Campuran dikocok kemudian kedalam tabung reaksi yang berisi 9 ml larutan pengencer steril ditambahkan 1 ml larutan dari tabung 1, sehingga diperoleh
45
pengenceran 10-2. Dengan cara yang sama diperoleh pengenceran 10-3 dan seterusnya. Pada tiap-tiap pengenceran yang dikehendaki, dilakukan pemupukan sebanyak 1 ml ke dalam cawan petri steril dan kemudian ditambahkan media PCA (Plate Count Agar) yang telah didinginkan pada suhu 45-50oC (dilakukan duplo). Cawan kemudian digoyang-goyang untuk meratakan sel-sel mikroba dan setelah agar memadat cawan diinkubasikan pada suhu ruang dengan posisi terbalik selama 24-48 jam. Pengamatan terhadap total mikroba dilakukan setelah inkubasi, dan dihitung jumlah koloni yang tumbuh yang dinyatakan sebagai total mikroba.
Total Kapang-Khamir (Fardiaz, 1987)
Pengujian kapang-Kamir dilakukan menggunakan metode tuang pada media Potato Dextrosa Agar di tambah asam tartarat 10%, 16 ml/1L media (APDA). Sejumlah 1 gram contoh dilarutkan dalam 9 ml larutan pengencer (garam fisiologis) sehingga didapatkan pengenceran 10-1. Dari larutan contoh tersebut dipipet sebanyak 1 ml dan dimasukkan kedalam tabung pengencer 9 ml untuk memperoleh pengenceran 10-2. Begitu seterusnya sampai pada tingkat pengenceran yang diinginkan. Selanjutnya dari masing-masing tabung pengencer dipipet 1 ml contoh dan dituangkan dalam cawan petri yang telah steril. Kemudian ke dalam cawan dituangkan 15 ml media APDA hingga merata. Cawan kemudian digoyang-goyang untuk meratakan sel-sel total kapang-kamir. Setelah media membeku, cawan disimpan pada inkubator selama 48 jam pada suhu 37oC (dilakukan duplo).
Uji Organoleptik, (Soekarto 1990)
Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik. Uji hedonik dilakukan untuk melihat tingkat kesukaan terhadap aroma dan rasa dengan menggunakan 25 panelis agak terlatih dari kelompok mahasiswa. Hal ini sesuai dengan Soekarto (1990) yang menjelaskan bahwa kelompok mahasiswa termasuk ke dalam kelompok panelis agak terlatih yang jumlahnya antara 15-25 orang.
46
Bahan disajikan kepada panelis secara acak dengan kode tertentu. Pemberian skor untuk uji organoleptik rasa dengan skala hedonik adalah sebagai berikut: sangat suka (5), suka (4), biasa (3), kurang suka (2) dan tidak suka (1).
47
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persiapan Bumbu Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat bumbu instan binthe biluhuta terdiri dari bahan baku dan bahan tambahan. Bahan baku yang digunakan adalah cabe rawit merah, bawang merah, daun bawang, daun kemangi, kelapa parut kering, dan ikan cakalang., sedangkan bahan tambahan yang digunakan adalah garam dan MSG. Bahan baku yang digunakan terlebih dahulu dikeringkan dengan menggunakan oven dan freeze drying untuk mengeluarkan sejumlah air dari bahan baku sampai diperoleh kadar air yang diinginkan. Selain untuk tujuan pengawetan produk, pengeringan juga dapat mempermudah distribusinya karena volume bahan menjadi lebih kecil, sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan dan pengepakan. Pada dasarnya proses pembuatan rempah-rempah kering hampir sama untuk semua jenis rempah-rempah. Prosesnya meliputi pengirisan, pemblansiran, pengeringan, penepungan dan pengemasan. Perbedaan biasanya terletak pada lama dan suhu pengeringan karena hal tersebut disesuaikan dengan karakteristik bahan segar. Proses pengeringan bahan pangan pada umumnya dilakukan pada suhu rendah yaitu di bawah 100oC (Pallai 1995). Hal ini dilakukan agar zat-zat penting yang ada dalam bahan pangan tetap terjaga seperti pada bahan pangan bentuk segar. Pengeringan pada suhu tinggi (diatas 100oC) akan merusak zat-zat yang penting dalam bahan pangan. Disamping itu jika pengeringan dilakukan pada suhu yang terlalu tinggi maka dapat menyebabkan terjadinya case hardenig yaitu suatu keadaan dimana bagian luar (permukaan) bahan sudah kering sedangkan bagian sebelah dalamnya masih basah. Hal ini disebabkan suhu pengeringan yang terlalu tinggi yang mengakibatkan bagian permukaan cepat mengering dan menjadi keras sehingga akan menghambat penyerapan air selanjutnya. Dalam proses pembuatan bawang merah bubuk dilakukan perendaman dalam larutan Na-bisulfit 0.2% dan penambahan tepung maizena sebanyak 5% dari berat bawang merah terlebih dahulu. Perendaman dalam larutan Na-bisulfit
bertujuan
untuk mencegah terjadinya browning/pencoklatan sewaktu bawang
merah dikeringkan dengan menggunakan oven. Penambahan tepung maizena berfungsi untuk melapisi aroma khas bawang merah yaitu alisin dan aliin agar bisa dipertahankan semaksimal mungkin selama proses pengeringan sehingga setelah dalam bentuk bubuk, aroma bawang merah tetap khas dan tidak berbau tepung. Pengolahan cabe rawit segar menjadi cabe rawit bubuk terlebih dahulu diblansir dalam larutan Na-bisulfit 0.2% selama 3 menit. Pemblansiran bertujuan untuk menghilangkan udara dari jaringan bahan, mengurangi jumlah mikroba, mempertahankan warna dan menginaktifkan enzim (Hambali et al. 2005). Muchtadi dan Sugiyono (1992) menyatakan bahwa blansir merupakan pemanasan pendahuluan bahan pangan pada suhu mendidih atau hampir mendidih pada waktu yang singkat untuk tujuan menghambat terjadinya pencoklatan, melunakkan bahan, meningkatkan palabilitas serta mengeluarkan udara dari jaringan bahan. Selama blansir terjadi inaktivasi enzim polifenolase yang dapat menyebabkan bahan menjadi lunak, layu dan secara organoleptik bahan menjadi lunak. Untuk bahan pangan yang akan dikeringkan, blansir dapat mempercepat proses pengeringan karena membuat membran sel permeabel terhadap perpindahan air. Pengeringan cabe rawit pada suhu 70oC selama 6 jam diperoleh cabe rawit merah bubuk berwarna merah kekuningan. Menurut Muchtadi (1989), proses termal bukan hanya ditujukan untuk pemusnahan bakteri semata-mata, tetapi juga proses tersebut harus dapat mempertahankan zat nutrisi dan faktor-faktor mutu bahan pangan semaksimal mungkin. Zat nutrisi dan faktor mutu jauh lebih tahan panas daripada sel vegetatif maupun spora. Hal ini menguntungkan karena kalau tidak demikian maka setiap proses
termal yang dilakukan tidak mungkin
mempertahankan zat nutrisi dan faktor mutunya. Daun bawang dan kemangi dikeringkan dengan menggunakan freeze drying. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan daun bawang dan daun kemangi kering yang hampir sama dengan bentuk segarnya. Menurut Cesare et al. (2003), kemangi yang di keringkan dengan menggunakan freeze drying selama 48 jam menghasilkan warna yang lebih bagus bila dibandingkan dengan kemangi yang di
48
keringkan dengan menggunakan oven vakum. Hal ini terjadi karena selama proses pengeringan dengan menggunakan oven vakum, panas dan gas oksigen meningkatkan
aktivitas
enzimatik
dari
oksidasi
polipenol
yang
dapat
menyebabkan browning/pencoklatan pada kemangi sehingga daun kering yang dihasilkan warnanya menjadi coklat dan aroma yang dihasilkan menyerupai aroma teh. Dalam proses pengeringan kemangi tidak dilakukan blansir terlebih dahulu karena kemangi sangat sensitif
terhadap reaksi pencoklatan. Dengan
pemblansiran terlebuh dahulu maka akan menyebabkan sebagian besar komponen volatil dalam kemangi akan hilang selama pengeringan. Kelapa parut kering (KPK) merupakan salah satu bentuk produk daging kelapa yang dikeringkan. Untuk mencegah terjadinya kontaminasi mikroba maka dilakukan pasteurisasi pada suhu 88oC selama 5 menit (Djatmiko dan Ketaren 1985). Apabila suhu pasteurisasi lebih tinggi dan waktunya lebih lama maka akan dapat menurunkan flavor (cita rasa) dari kelapa parut kering. Berdasarkan hasil penelitian Sirait (1992), pengeringan kelapa pada suhu 70oC selama 8 jam di dapatkan kelapa parut kering berwarna putih dengan flavor kelapa yang masih disukai oleh panelis. Pengeringan kelapa parut pada suhu diatas 70oC menyebabkan proses pencoklatan, yang disebabkan
rusaknya komponen
karbohidrat akibat pemanasan yang terlalu tinggi. Dalam proses pembuatan kelapa parut kering, setelah kelapa dibelah empat dilakukan perendaman dalam larutan Na-bisulfit 2000 ppm selama 10 menit. Perendaman ini bertujuan untuk mencegah terjadinya reaksi pencoklatan, stabilisator terhadap warna, cita rasa, karatan dan mencegah pertumbuhan mikroba serta mencegah kerja enzim. Menurut Djatmiko (1992), pengeringan pada suhu 70oC dan konsentrasi Na-bisulfit 2000 ppm merupakan alternatif perlakuan terbaik ditinjau dari segi waktu pengeringan, kadar lemak, kadar air, kadar asam lemak bebas dan penampakan kelapa parut kering.
Formulasi Bumbu Instan Binthe Biluhuta Bumbu instan adalah campuran dari beragam rempah-rempah dengan komposisi tertentu dan dapat langsung digunakan sebagai bumbu masak untuk
49
masakan tertentu. Formulasi bumbu instan binthe biluhuta dilakukan dengan mencampur bahan-bahan bumbu yang sudah kering. Bahan-bahan penyusunnya adalah cabe rawit merah, bawang merah, daun bawang, daun kemangi, kelapa parut kering, ikan cakalang (Gambar 9-15), garam dan MSG. Formulasi yang disusun dibedakan berdasarkan jumlah cabe rawit, bawang merah dan kelapa parut kering. Hal ini dilakukan untuk menentukan nilai perbandingan antara ketiga bumbu tersebut sehingga diperoleh bumbu instan binthe biluhuta dengan rasa yang enak dan penampilan yang menarik.
Gambar 9 Bawang merah bubuk.
Gambar 10 Ikan cakalang bubuk.
Gambar 11 Cabe rawit bubuk.
Gambar 12 Daun bawang kering.
Gambar 13 Kelapa parut kering.
Gambar 14 Formula bumbu.
50
Gambar 15 Daun kemangi dan daun bawang kering.
Uji Organoleptik Untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis dilakukan uji organoleptik secara hedonik dengan menggunakan panelis semi terlatih sebanyak 25 orang. Uji organoleptik terhadap bumbu instan binthe biluhuta meliputi rasa, aroma dan warna. Pada waktu uji organoleptik, dilakukan penambahan bawang merah goreng 1.0 gr dan perasan air jeruk nipis ke dalam bumbu. Bumbu instan binthe biluhuta pada waktu dilakukan uji organoleptik disajikan pada Gambar 16. Format uji organoleptik disajikan pada Lampiran 1. Nilai 1 merupakan peringkat yang terendah dan nilai 5 merupakan
peringkat yang tertinggi.
Uji yang
dilakukan dalam uji organoleptik bumbu instan binthe biluhuta adalah uji hedonik dimana panelis memberikan tanggapan pribadi atas produk. Tanggapan pribadi yang diberikan merupakan penilaian suka atau tidak suka. Tujuan uji organoleptik ini adalah untuk mendapatkan formula bumbu terbaik dari 12 formulasi bumbu. Histogram rata-rata uji organoleptik dapat dilihat pada Gambar 17-19.
Gambar 16 Bumbu instan binthe biluhuta pada waktu uji organoleptik
51
Rasa Rasa makanan merupakan parameter yang sangat penting dalam menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap suatu produk makanan. Rasa makanan merupakan turunan dari sebagian komponen pangan yang terlarut dalam air liur selamma makanan dicerna secara mekanis didalam mulut (Sone, 1972). Berdasarkan hasil uji organoleptik secara hedonik terhadap rasa, panelis pada umumnya menyukai semua formula bumbu dengan nilai rata-rata 3.30-3.80 dengan nilai tertinggi diperoleh sampel dengan perlakuan formula 5 yaitu 3.80. Nilai rata-rata ini berada dalam kategori biasa dan suka (Lampiran 2). Hasil analisis ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan formulasi tersebut memberikan pengaruh yang nyata
(p<0.05) terhadap penerimaan panelis.
Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan tersebut berbeda nyata
menurut penerimaan panelis. Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaaan cabe rawit bubuk, kelapa parut kering dan bawang merah bubuk
mempengaruhi penilaian panelis terhadap rasa bumbu
instan binthe biluhuta. Histogram rata-rata nilai uji kesukaan rasa bumbu instan binthe biluhuta dapat dilihat pada Gambar 17.
3.90 3.80
3.80
3.76 3.72
3.72 3.68
Skor Hedonik
3.70 3.60
3.60
3.60
3.60
3.56 3.52
3.50 3.40
3.40 3.28
3.30 3.20 3.10 3.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Form ula
Gambar 17 Histogram rata-rata nilai uji kesukaaan rasa pada bumbu instan binthe biluhuta.
52
Keterangan: Formula 1 Formula 2 Formula 3 Formula 4 Formula 5 Formula 6 Formula 7 Formula 8 Formula 9 Formula 10 Formula 11 Formula 12
: : : : : : : : : : : :
Kelapa 2.5 gr, cabe 0.5 gr, bawang merah 2.0 gr Kelapa 2.5 gr, cabe 1.0 gr, bawang merah 2.0 gr Kelapa 2.5 gr, cabe 1.5 gr, bawang merah 2.0 gr Kelapa 5.0 gr, cabe 0.5 gr, bawang merah 2.0 gr Kelapa 5.0 gr, cabe 1.0 gr, bawang merah 2.0 gr Kelapa 5.0 gr, cabe 1.5 gr, bawang merah 2.0 gr Kelapa 2.5 gr, cabe 0.5 gr, bawang merah 4.0 gr Kelapa 2.5 gr, cabe 1.0 gr, bawang merah 4.0 gr Kelapa 2.5 gr, cabe 1.5 gr, bawang merah 4.0 gr Kelapa 5.0 gr, cabe 0.5 gr, bawang merah 4.0 gr Kelapa 5.0 gr, cabe 1.0 gr, bawang merah 4.0 gr Kelapa 5.0 gr, cabe 1.5 gr, bawang merah 4.0 gr
Aroma Aroma bahan makanan banyak menentukan kelezatan makanan tersebut. Industri makanan menganggap sangat penting melakukan uji aroma karena dengan cepat dapat memberikan hasil penilaian produksinya disukai atau tidak disukai (Soekarto 1985) Berdasarkan hasil uji organoleptik secara hedonik yang dilakukan terhadap aroma bumbu instan binthe biluhuta bernilai rata-rata 3.32 -3.88. Nilai rata-rata ini berada dalam kategori biasa dan suka. Nilai tertinggi terdapat pada perlakuan formula 2 yaitu 3.88. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap penerimaan panelis (Lampiran 4). Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan tersebut berbeda nyata menurut penerimaan panelis. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaaan cabe rawit bubuk, kelapa parut kering dan bawang merah bubuk mempengaruhi penilaian panelis terhadap aroma bumbu instan binthe biluhuta. Histogram rata-rata nilai nilai uji kesukaan aroma bumbu instan binthe buluhuta dapat dilihat pada Gambar 18.
53
4.50 3.88
4.00
Skor Hedonik
3.50
3.76
3.64
3.40 3.20
3.36
3.32
3.64
3.60 3.40
3.32
2.84
3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Formula
Gambar 18 Histogram rata-rata nilai uji kesukaaan aroma pada bumbu instan binthe biluhuta. Keterangan: Formula 1 : Kelapa 2.5 gr, cabe 0.5 gr, bawang merah 2.0 gr Formula 2 : Kelapa 2.5 gr, cabe 1.0 gr, bawang merah 2.0 gr Formula 3 : Kelapa 2.5 gr, cabe 1.5 gr, bawang merah 2.0 gr Formula 4 : Kelapa 5.0 gr, cabe 0.5 gr, bawang merah 2.0 gr Formula 5 : Kelapa 5.0 gr, cabe 1.0 gr, bawang merah 2.0 gr Formula 6 : Kelapa 5.0 gr, cabe 1.5 gr, bawang merah 2.0 gr Formula 7 : Kelapa 2.5 gr, cabe 0.5 gr, bawang merah 4.0 gr Formula 8 : Kelapa 2.5 gr, cabe 1.0 gr, bawang merah 4.0 gr Formula 9 : Kelapa 2.5 gr, cabe 1.5 gr, bawang merah 4.0 gr Formula 10 : Kelapa 5.0 gr, cabe 0.5 gr, bawang merah 4.0 gr Formula 11 : Kelapa 5.0 gr, cabe 1.0 gr, bawang merah 4.0 gr Formula 12 : Kelapa 5.0 gr, cabe 1.5 gr, bawang merah 4.0 gr
Warna Warna adalah kesan pertama yang ditangkap panelis sebelum mengenali rangsangan-rangsangan yang lain. Warna sangat penting bagi setiap makanan sehingga
warna
yang menarik akan mempengaruhi penerimaan konsumen.
Selain itu warna juga dapat memberi petunjuk mengenai terjadinya perubahan kimia dalam makanan seperti reaksi pencoklatan dan karamelisasi (deMan 1997).
54
Berdasarkan hasil uji organoleptik yang dilakukan pada warna bumbu instan binthe biluhuta diperoleh
penilaian panelis terhadap warna
bumbu
berkisar antara 3.12 – 3.92 dengan nilai tertinggi diperoleh perlakuan Formula 6 Nilai rata-rata ini berada dalam kategori biasa dan suka. Hasil analisis ragam (p<0.05) (Lampiran 5) menunjukkan bahwa perlakuan memberikan perbedaan yang nyata terhadap penerimaan/penilaian panelis. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 5) menunjukkan bahwa perlakuan tersebut berbeda sangat nyata menurut penerimaan panelis. Histogram rata-rata nilai nilai uji kesukaan aroma bumbu instan binthe buluhuta dapat dilihat pada Gambar 19.
4.50
Skor Hedonik
3.50
3.92
3.80
4.00 3.16
3.80
3.68
3.60
3.76
3.60 3.40
3.32
3.16
3.12
3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Formula
Gambar 19 Histogram rata-rata nilai uji kesukaan warna pada bumbu instan binthe biluhuta. Keterangan: Formula 1 Formula 2 Formula 3 Formula 4 Formula 5 Formula 6 Formula 7 Formula 8 Formula 9 Formula 10 Formula 11 Formula 12
: : : : : : : : : : : :
Kelapa 2.5 gr, cabe 0.5 gr, bawang merah 2.0 gr Kelapa 2.5 gr, cabe 1.0 gr, bawang merah 2.0 gr Kelapa 2.5 gr, cabe 1.5 gr, bawang merah 2.0 gr Kelapa 5.0 gr, cabe 0.5 gr, bawang merah 2.0 gr Kelapa 5.0 gr, cabe 1.0 gr, bawang merah 2.0 gr Kelapa 5.0 gr, cabe 1.5 gr, bawang merah 2.0 gr Kelapa 2.5 gr, cabe 0.5 gr, bawang merah 4.0 gr Kelapa 2.5 gr, cabe 1.0 gr, bawang merah 4.0 gr Kelapa 2.5 gr, cabe 1.5 gr, bawang merah 4.0 gr Kelapa 5.0 gr, cabe 0.5 gr, bawang merah 4.0 gr Kelapa 5.0 gr, cabe 1.0 gr, bawang merah 4.0 gr Kelapa 5.0 gr, cabe 1.5 gr, bawang merah 4.0 gr
55
Berdasarkan hasil nilai rata-rata uji organoleptik menunjukkan bahwa formula bumbu yang paling disukai bila dilihat dari nilai rata-rata baik terhadap rasa, aroma dan warna adalah formula 2 (Bawang merah 2.0 gr, cabe rawit 1.0 gr dan kelapa parut kering 2.5 gr. Perlakuan formula 2 ini yang digunakan untuk penelitian tahap kedua dan ketiga.
Analisis Proksimat Kadar Air Kadar air dalam suatu bahan menunjukkan kandungan air per satuan bobot bahan. Ada dua metode dalam menentukan kadar air bahan yaitu berdasarkan bobot kering dan bobot basah. Winarno et al (1980) menyatakan bahwa kadar air sangat berpengaruh
terhadap mutu bahan pangan sehingga dalam proses
pengolahan dan penyimpanan bahan pangan, air perlu dikeluarkan, salah satunya dengan cara pengeringan. Pengeringan pangan merupakan fenomena yang kompleks yang melibatkan transfer panas dan massa (transfor panas ke dalam bahan pangan serta transfer air dalam dan keluar bahan pangan). Laju transfer panas tergantung pada suhu udara, kelembaban udara, laju aliran udara, area bahan yang terekspose dan tekanan; sedangkan fisik bahan pangan termasuk suhu, komposisi dan kandungan air menentukan laju transfer air (Heldman dan Lund 1992). Kandungan air bahan pangan biasanya dikurangi sampai batas tertentu dimana mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi pada bahan pangan (Desrosier 1988). Berdasarkan hasil analisis proksimat diperoleh bahwa kadar air bawang merah bubuk, cabe rawit bubuk, kemangi, daun bawang, ikan cakalang, kelapa parut kering (KPK) dan formula bumbu instan binthe biluhuta masing-masing adalah 4.637 (% bk), 5.043 (% bk), 8.053 (% bk), 11.834 (% bk), 7.749 (% bk), 1.354 (% bk) dan 5.509 (% bk) (Lampiran 6) Dari hasil analisis proksimat dapat dilihat bahwa kadar air bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan bumbu instan binthe biluhuta masih sesuai
56
dengan
standar yang dikeluarkan oleh SNI-01-3709-1995 dimana kadar air
rempah-rempah bubuk
adalah maksimum 12.00 (% bb) dan SNI -013715-2000
dimana kadar air kelapa parut kering maksimum 3.0 (% bb).
Kadar Abu Kadar abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kadar abu berhubungan dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan terdiri dari dua macam garam yaitu garam organik dan garam anorganik. Yang termasuk garam organik adalah garam-garam malat, oksalat, asetat dan pektat sedangkan yang tergolong garam anorganik adalah garam dalam bentuk fosfat, karbonat, klorida, sulfat dan nitrat. Berdasarkan hasil analisa proksimat diperoleh kadar abu bahan-bahan yang digunakan untuk bumbu yaitu: bawang merah bubuk, cabe rawit bubuk, kemangi, daun bawang, ikan cakalang, kelapa parut kering (KPK) dan formula bumbu instan binthe biluhuta berturut-turut adalah sebagai berikut 2.21 (%), 5.26 (%), 9.71 (%), 3.88 (%), 4.21 ( %), 1.70 (%) dan 14.06 (%) (Lampiran 6).
Kadar Protein Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh, karena
zat ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga
berfungsi sebagai zat pembangun dan zat pengatur. Protein dapat digunakan sebagai bahan bakar apabila keperluan energi tubuh tidak terpenuhi oleh oleh karbohidrat dan lemak (Winarno, 2002). Berdasarkan hasil analisis proksimat maka diperoleh kadar protein bahanbahan yang digunakan untuk bumbu yaitu bawang merah bubuk, cabe rawit bubuk, kemangi, daun bawang, ikan cakalang, kelapa parut kering (KPK) dan formula bumbu instan binthe biluhuta berturut-turut adalah sebagai berikut 7.78 %), 15.15 (%), 35.29 (%), 18.22 (%), 75.24 (%), 7.81 (%) dan 27.62 (%) (Lampiran 6).
57
Dari hasil di atas dapat dilihat bahwa daun kemangi dan ikan cakalang mengandung kadar protein yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa ikan cakalang asap yang telah dikeringkan dengan menggunakan oven kabinet pada suhu 70oC selama 4 jam, tidak mengalami kerusakan protein.
Kadar Lemak Lemak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh manusia. Selain itu lemak juga merupakan sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Satu gram minyak atau lemak dapat menghasilkan 9 kkal, sedangkan protein dan karbohidrat hanya menghasilkan 4 kkal/gram (Winarno, 2002). Lemak tergolong dalam kelompok lipida dimana sifat yang khas dari lipida ini adalah ketidaklarutannya dalam pelarut air tetapi cenderung memiliki kelarutan dalam pelarut organik seperti benzena, eter, kloroform. Berdasarkan hasil analisis proksimat maka diperoleh kadar lemak pada bawang merah bubuk, cabe rawit bubuk, kemangi, daun bawang, ikan cakalang, kelapa parut kering (KPK) dan formula bumbu instan binthe biluhuta berturut-turut 2.21(%), 12.49 (%), 3.24 (%), 2.48 (%), 3.39 (%), 66.45 (%) dan 16.62 (%) (Lampiran 6). Dari hasil analisis kadar lemak kelapa parut adalah 66.45 (%). Nilai ini memenuhi standar mutu kelapa parut kering menurut SII- 01-3715-2000 yaitu minimal 61 (%).
Kadar Karbohidrat Kadar
karbohidrat
mengurangkan 100%
dihitung
secara
by
different,
yaitu
dengan
dengan kadar abu, kadar protein dan kadar lemak
Karbohidrat adalah polihidroksil aldehid atau polihidroksiketon yang memegang peranan penting dalam alam karena merupakan sumber energi utama bagi manusia dan hewan (Gaman and Sherrington 1992). Karbohidrat juga mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan misalnya rasa, warna, tekstur (Winarno, 2002).
58
Kadar karbohidrat bahan-bahan yang digunakan untuk bumbu yaitu bawang merah bubuk, cabe rawit bubuk, kemangi, daun bawang, ikan cakalang, kelapa parut kering (KPK) dan formula bumbu instan binthe biluhuta berturutturut adalah sebagai berikut: 83.48%, 62.31%, 44.30%, 64.84%, 9.97%, 22.70%b dan 34.95%. Dari hasil diatas dapat dilihat bahwa cabe rawit merah bubuk, bawang merah bubuk dan kemangi mengandung kadar karbohidrat yang tinggi. Hasil analisis proksimat dapat dilihat pada Lampiran 6.
Isotermis Sorpsi Air Bumbu Instan Binthe Biluhuta Air merupakan komponen yang paling dominan di dalam bahan pangan. Selain itu air akan mempengaruhi variabel-variabel dalam proses pengolahan, karakteristik produk dan stabilitas atribut. Fenomena sorpsi air merupakan hal yang penting di dalam memahami prinsip dasar pengeringan. Salah satu karakteristik yang berperan adalah jumlah dan letak molekul air dalam matriks bahan pangan, yaitu air terikat dan air bebas (Minn dan Magee, 1997). Penentuan kurva ISA dilakukan secara adsorpsi, dimana selama proses adsorpsi akan terjadi penyerapan uap air oleh bahan yang kering hingga mencapai kesetimbangan. Untuk membuat kurva
isotermis sorpsi air (ISA), dilakukan
penyimpanan sampel dalam desikator yang telah diisi dengan larutan garam jenuh (Tabel 6) dan dibiarkan selama beberapa hari. Keseimbangan dicapai untuk semua larutan sekitar kurang lebih 1-5 minggu. Keseimbangan dicapai karena tekanan uap air dalam bahan sama dengan tekanan uap air lingkungan sekitar. Penimbangan dilakukan sampai diperoleh
berat yang konstan, kemudian
dilakukan pengukuran kadar air keseimbangan dengan metode oven. Menurut Debnath et al. (2002), dinyatakan berat konstan apabila perubahan berat lebih kecil dari 0.005 gr pada 3 kali penimbangan berturut-turut. Sebelum di masukkan dalam desikator, sampel dikeringkan dengan kapur api agar tidak terjadi perubahan struktur yang nyata.. Apabila pengeringan dilakukan dengan oven dikhawatirkan terjadi perubahan struktur yang mempengaruhi absorpsi selama penyimpanan dalam desikator garam jenuh. Kadar air setelah dimasukkan dalam
59
desikator yang berisi kapur api selama 2 minggu adalah 3.206. Hal ini dimaksudkan supaya laju penyerapan air menjadi lebih nyata, karena
pada
desikator yang berisi garam jenuh dengan RH paling kecil bahan mempunyai kadar air yang rendah.
Tabel 6 Hasil analisis sorpsi isotermis bumbu instan binthe biluhuta aw
Kadar air (% bk)
0.07
2.52
0.32
3.59
0.43
5.74
0.69
8.91
0.75
13.08
0.84
16.63
0.9
25.51
0.93
32.35
0.97
38.47
Selama proses penyimpanan pada aw tinggi (0.97) bahan ditumbuhi oleh jamur. Pada bumbu instan binthe biluhuta mula-mula pertumbuhan jamur ringan sekitar hari ke-12 dan dimulai pada aw 0.97 dan 0.93 kemudian setelah beberapa hari pertumbuhan jamur menjadi cepat diikuti pada desikator dengan aw yang lebih rendah yaitu 0.90 dan 0.84. Pada saat ditumbuhi jamur maka berat sampel menjadi naik, tetapi beberapa hari kemudian sampel mengalami penurunan berat. Kurva sorpsi isotermis bumbu instan binthe biluhuta berbentuk kurva sigmoid (Gambar 20). Syarief dan Halid (1993) menyatakan bahwa bentuk kurva sorpsi isotermis adalah khas bagi setiap produk bahan makanan, tetapi pada umumnya berbentuk sigmoid.
60
45 40
me (%bk)
35 30 25 20 15 10 5 0 0.07 0.32
0.43 0.69 0.76 0.84 0.90
0.93 0.97
aw
Gambar 20 Kurva sorpsi isotermis bumbu instan binthe biluhuta.
Analisis Fraksi Air Terikat Labuza (1968), Duckworth (1974) dalam Troller dan Christian (1978) dan Soekarto (1978) membagi kurva sorpsi isotermis menjadi 3 bagian yaitu: daerah air terikat primer (monolayer), daerah air terikat sekunder (multilayer) dan daerah air terikat tersier (menunjukkan air yang terkondensasi pada pori-pori bahan).
Penentuan Kapasitas Air Terikat Primer (Mp) Daerah air terikat primer merupakan daerah fraksi air terikat sangat kuat, dengan entalpi penguapan lebih besar dari entalpi penguapan air murni. Pada daerah ini, air yang ada tidak dapat digunakan sebagai pelarut, pemlastis dan merupakan bagian dari padatan karena molekul air ini diikat pada bagian sisi aktif (bagian polar) oleh ikatan hidrogen (Van den Berg dan Bruin 1981; Aguilera dan Stanley 1999). Kapasitas air terikat primer ditentukan berdasarkan persamaan BET, aw yang digunakan sampai dengan 0.58 (Rizvi 1995). Oleh karena itu data pengamatan yang digunakan untuk menghitung kapasitas air terikat primer hanya pada daerah RH 6.9% - 43%. Persamaan BET adalah : aw (C − 1) 1 aw = + (1 − a w ) M CMm CMm
61
Dimana M = kadar air basis kering (%); Mm = kadar air monolayer (%), aw = aktivitas air, C = tetapan energi absorpsi. Persamaan diatas merupakan persamaan regresi linier dimana aw/(1-aw)M sebagai ordinat (y) dan aw sebgai basis (x). Nilai Mm dari persamaan BET merupakan batas air terikat primer (Mp). Dari data kadar air kesetimbangan antara RH 6.9 - 43% dilakukan analisis regresi sehingga diperoleh persamaan Y= 0.3031x + 0.0146 (R2 = 0.9128) (Gambar 21). Dari persamaan tersebut nilai a disubstitusi menjadi 1/MPC dan nilai b menjadi (C-1)/MpC sehingga diperoleh nilai Mp adalah sebagai berikut: a= 1/MpC; b = (C-1)/MPC sehingga b/a =
(C − 1) .M p C M pC
b/a = (C-1).
Dari persamaan regresi diketahui nilai a = 0.0146 dan b = 0.3031 sehingga : 0.3031 = (C − 1) 0.0146 20.7603 = (C-1) C = 21.760 a = 1/MpC
0.0146 = 1/Mp(21.760)
Mp = 1/0.0146 (21.7603) = 3.148 (% bk) Dari hasil analisis regresi diatas diperoleh nilai kapasitas air terikat
primer
bumbu instan binthe biluhuta adalah sebesar 3.148 (% bk)
0.16 y = 0.3031x + 0.0146 R2 = 0.9128
0.14
aw/(1-aw)me
0.12 0.10 0.08 0.06 0.04 0.02 0.00 0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
aw
Gambar 21 Plot aw terhadap aw/(1-aw)M dari persamaan BET.
62
Nilai kapasitas air terikat primer tersebut dikorelasi dengan aw diperoleh nilai batas aw = 0.167 (Lampiran 7). Air yang berada di wilayah primer ini diperkirakan adalah air yang terikat pada sisi polar dengan energi pengikatan yang relatif tinggi dan tidak available untuk reaksi-reaksi kimia maupun mikrobiologis. Ruan dan Chen (1998) menyatakan bahwa air monolayer ini mendekati keadaan imobil dan memiliki sifat-sifat sebagai bagian dari solid. Air di wilayah ini terbentuk ketika molekul kering menyerap air secara lambat dan membentuk lapisan monolayer molekul air melalui lokalisasi adsorpsi fisik dari molekul air polar pada sisi pola makromolekul. Pada daerah ini menurut Aguilera dan Stanley (1999), air terikat perimer merupakan air yang terikat sangat kuat pada bagian polar dari molekul air oleh ikatan hidrogen. Air ini berada pada daerah monoleyer dan pada umumnya pada kisaran aw 0.2-0.4.
Tabel 7 Hasil perhitungan kapasitas air terikat primer pada bumbu instan binthe biluhuta Produk
Bumbu instan binthe biluhuta
Parameter a
b
R2
C
Mp (% bk)
0.0146
0.3031
0.9128
21.760
3.146
Penentuan Kapasitas Air Terikat Sekunder (Ms) Daerah air terikat sekunder merupakan merupakan fraksi air yang terikat kurang kuat dibandingkan dengan air terikat primer dengan entalpi penguapan yang sedikit lebih besar dari entalpi penguapan air murni.
Saat kadar air
meningkat, air ini mengisi celah-celah mikro dan makro di dalam sistem. Pada daerah ini terjadi reaksi kimia dan biokimia (misalnya enzimatis) yang membutuhkan pelarut air disebabkan meningkatnya mobilitas solute. Terjadinya aktivitasair terutama disebabkan kondensasi kapiler (Aguilera dan Stanley 1999).
63
Penentuan kapasitas air terikat sekunder menggunakan model analisis logaritma
seperti
yang
dikemukakan
Soekarto
(1978)
yaitu:
Log (1-aw) = b(M) + a dimana M = kadar air (% bk), b= faktor kemiringan, a = titik potong dengan ordinat dan aw = aktivitas air. Menurut Soekarto (1978) dengan memplot log (1-aw) terhadap M akan dihasilkan garis patah yang terdiri dari dua garis lurus. Garis lurus pertama mewaliki air ikatan sekunder dan garis kedua mewakili air ikatan tersier. Titik potong kedua garis itu adalah titik peralihan dari ikatan sekunder ke tersier dan dianggap sebagai batas atas atau kapasitas air sekunder. Persamaan kedua garis lurus ini ditentukan menggunakan persamaan regresi linier. Dimana garis lurus pertama diwakili log (1-aw) = b1 (M) + a1 dan garis kedua mewakili log (1-aw) = b2 (M) + a2 maka pada titik potong berlaku rumus b1 (Ms) + a1 = b2 (Ms) + a2 dimana ms adalah kapasitas air terikat sekunder. Berdasarkan cara tersebut maka nilai kapasitas air terikat sekunder produk bumbu instan binthe biluhuta dapat ditentukan. Persamaan regresi pertama diambil dari 4 data yaitu pada aw 0.32 hingga 0.75 (Gambar 22) sehingga diperoleh persamaan: log (1-aw) = 0.0487 M1 - 0.0011 (R2) = 0.9374) selanjutnya persamaan regresi kedua menggunakan 4 data yaitu dari aw 0.75 hingga 0.93 sehingga diperoleh persamaan: log (1-aw) = 0.0272M2 + 0.2933
(R2 = 0.9699)
Dengan menggunakan kedua persamaan tersebut, maka diperoleh titik potong yang menunjukkan batas kapasitas air terikat sekunder yaitu 0.0272 Ms + 0.2923 = 0.0487Ms – 0.0011 0.02167 Ms = 0.2913 Ms = 13.438 (% bk) Untuk perhitungan nilai aw, dapat menggunakan salah satu dari persamaan regresi di atas. Sebagai contoh dari persamaan Y = 0.0272 x + 0.2923 (x = 13.438) maka diperoleh aws = 0.658 (Lampiran 8)
64
y = 0.0272x + 0.2923 R2 = 0.9699
1.40 1.20
log (1-aw)
1.00 0.80 0.60 0.40
y = 0.0487x - 0.0011 R2 = 0.9374
0.20 0.00 0
10
20
30
40
m e(%bk)
Gambar 22 Plot logaritma bumbu instan binthe biluhuta. Tabel 8 Hasil perhitungan kapasitas air terikat sekunder pada bumbu instan binthe biluhuta Parameter 2
a1
b1
R1
-0.0011
0.0487
0.9374
a2
b2
R22
Ms ( bk)
as
0.2923
0.0272
0.9699
13.438
0.658
Penentuan Kapasitas Air Terikat Tersier (Mt) Daerah air terikat tersier merupakan daerah fraksi air terikat lemah dan mempunyai sifat mendekati air bebas. Pada daerah ini, reaksi deteorisasi terutama disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme yaitu jamur (aw 0.80), khamir (≈ aw 0.87) dan bakteri patogen (aw 0.91) (Van Den Berg dan Bruin, 1981; Aquilera dan Stanley, 1995) Penentuan kapasitas air terikat tersier dilakukan melalui 3 pendekatan yaitu pendekatan model polinomial ordo 2, pendekatan ekstrapolasi dan pendekatan kuadratik. Perhitungan analisis fraksi air terikat tersier model ordo 2 menggunakan RH 84-93% sehingga diperoleh persamaan Y = 757.49x2-1166.1x + 461 (R2 = 0.9998) dimana Y adalah kadar air (% bk) dan x adalah aw, sehingga
65
pada saat RH = 100% atau aw = 1 diperoleh nilai Mt sebesar 52.970 (%bk) (Lampiran 9). Adapun plot polinomial ordo 2 disajikan pada Gambar 23.
35
y = 757.49x 2 - 1166.1x + 461.58 R2 = 0.9998
30 25
me
20 15 10 5 0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
aw
Gambar 23 Plot polinomial ordo 2. Penentuan fraksi air terikat tersier dengan pendekatan ekstrapolasi dilakukan dengan menarik garis kurva ISA sampai aw = 1 sehingga diperoleh nilai kadar air keseimbangan yang juga menunjukkan besarnya fraksi air terikat tersier. Hasil ekstrapolasi dapat dilihat pada Gambar 24. Hasil perhitungan kapasitas air terikat tersier disajikan pada Tabel 9. 51
60
Kadar air (%bk)
50 40 30 20 10 0 0.7
0.32
0.43
0.69
0.75
0.84
0.9
0.93
0.97
1
aw
Gambar 24 Ekstrapolasi pada penentuan air terikat tersier.
66
Tabel 9 Hasil perhitungan kapasitas air terikat tersier Pendekatan
Parameter
Nilai
a
757.49
b
-1166.1
c
461.58
R2
0.9998
Mt
52.970
Mt
51
a
-6.9597
b
35.4979
R2
0.8519
Mt
42.4576
Polinomial ordo 2
Ekstrapolasi Kuadratik
Berdasarkani nilai koefisien regresi (R2) yang diperoleh dari 3 pendekatan maka pendekatan polinomial ordo 2 mempunyai nilai R2 tertinggi dan mendekati nilai Mt berdasarkan pendekatan ekstrapolasi (Tabel 9). Oleh sebab itu nilai Mt yang dianggap paling sesuai adalah nilai Mt berdasarkan pendekatan polinomial ordo 2 yaitu 52.97 (% bk).
Susunan Tiga Daerah Fraksi Air Terikat Tiga daerah fraksi air terikat mempunyai peranan penting dalam menentukan stabilitas bahan pangan. Rockland dan Beuchat (1987) menyebutkan bahwa dari ketiga daerah kurva ISA dapat ditentukan daerah terjadinya berbagai reaksi kimia seperti browning, reaksi auto-oksidasi, pertumbuhan kapang, jamur dan bakteri. Tabel 10 menunjukkan batasan susunan tiga daerah fraksi air terikat pada bumbu instan binthe biluhuta.
67
Tabel 10 Susunan tiga daerah fraksi air terikat bumbu instan binthe biluhuta Parameter
Bumbu Instan binthe biluhuta
Mp
3.148
Ms
13.438
Mt
52.970
Ap
0.167
As
0.658
ATP
3.148
ATS
3.148 - 13.438
ATT
13.438 – 52.970
Dari tabel 10 dapat dilihat bahwa daerah air terikat primer (ATP) untuk bumbu instan binthe biluhuta dibatasi oleh Mp sebesar 3.148 (% bk) yang berkeseimbangan dengan aw = 0.167. Menurut Labuza (1984) dan Aquilera dan Stanley (1999) lapisan monolayer yang ditentukan dari persamaan BET umumnya berada pada kisaran aw 0.2 – 0.4, daerah terikat sekunder (ATS) dibatasi oleh Ms sebesar 13.438 (% bk) yang berkeseimbangan dengan aw = 0.658 dan daerah air terikat tersier (ATT) dibatasi oleh Mt sebesar 52.970 (% bk) yang berkeseimbangan dengan aw = 1. Susunan tiga daerah fraksi air bumbu instan binthe biluhuta disajikan pada Gambar 25.
Kadar Air (%bk)
45 40
A T S
35 30
ATS
ATT
25 20 15 10 5 0 0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
aw
Gambar 25 Susunan tiga daerah fraksi air bumbu instan binthe biluhuta.
68
Model Sorpsi Isotermis Kemulusan kurva yang tinggi dihasilkan melalui pemodelan persamaan kurva isotermis dari kadar air yang didapatkan. Banyak model-model persamaan matematis yang telah dikembangkan untuk menjelaskan fenomena sorpsi isotermis secara teoritis (Chirife dan Iglesias 1978; Van den Berg dan Bruin 1981), namun dalam penelitian ini hanya dipilih 5 model persamaan matematis yaitu Hasley, Chen-Clayton, Henderson, Caurie dan Oswin. Model-model persamaan ini dipilih karena berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu mampu menggambarkan kurva sorpsi isotermis pada jangkauan nilai aktivitas air yang luas (Cheriffe dan Iglesias 1978; Van den Berg dan Bruin 1981; Isse et al. 1992). Selain itu, model-model persamaan ini mempunyai parameter kurang atau sama dengan tiga sehingga sesuai dengan pernyataan labuza (1984) bahwa jika tujuan penggunaan kurva sorpsi isotermis tersebut adalah untuk mendapatkan kemulusan kurva (curve fitting) yang tinggi maka model-model persamaan yang sederhana dan lebih sedikit jumlah parameternya akan lebih cocok digunakan. Guna
mempermudah
perhitungan
maka
model-model
persamaan
matematis yang digunakan dimodifikasi bentuknya dari persamaan non linier menjadi persamaan linier sehingga dapat ditentukan nilai-nilai tetapannya dengan mengggunkan metode kuadrat terkecil. Metode kuadrat terkecil ini menurut Walpole (1990) dapat memilih
suatu garis regresi terbaik
diantara semua
kemungkinan garis lurus yang dapat dibuat pada suatu diagram pencar. Modifikasi model-model sorpsi isotermis dari persamaan non linier
menjadi
persamaan linier dapat dilihat sebagai berikut:
1. Persamaan Hasley ⎡ − P (1) ⎤ Aw = exp ⎢ P ( 2) ⎥ ⎣ ( Me) ⎦
Persamaan diubah menjadi bentuk persamaan garis lurus dengan bentuk umum: Y = a + bX Log[ln(1/aw)] = log P(1) – P(2) log Me Dimana
Y = log [ln(1/aw)]
X = log Me
a = log P(1)
b = -P(2)
69
2. Persamaan Chen-Clayton ⎡ − P (1) ⎤ aw = exp ⎢ ⎥ ⎣ exp( P(2)me) ⎦ Persamaan diubah menjadi bentuk persamaan garis lurus dengan bentuk umum: Y = a + bX Ln[ln(1/aw)] = ln P (1) – P(2) Me Dimana:
Y = ln{ln1/aw)]
X = Me
a = ln P (1)
b = -P (2)
3. Persamaan Henderson 1-aw = exp [-Kmen] Persamaan diubah menjadi bentuk persamaan garis lurus dengan bentuk umum : Y = a + bX Log [ln(1/1-aw))] = log K + n log Me Dimana:
Y = Log [ln(1/1-aw))]
X = log me
a = log K
b= n
4. Persamaan Caurie Ln Me = ln P (1) – P (2) aw Dimana:
Y = ln Me
X = aw
a = ln (P1)
b = -P(2)
5. Persamaan Oswin
⎡ a ⎤ Me = P(1) ⎢ w ⎥ ⎣1 − a w ⎦
P ( 2)
Persamaan diubah menjadi bentuk persamaan garis lurus dengan bentuk umum: Y=a+bX Ln Me = ln P(1) + P(2) ln [aw/(1-aw)
70
dimana:
Y = ln Me
X = ln [aw/(1-aw)]
a = ln P (1)
b = P(2)
Tabel 11 Persamaan kurva sorpsi isotermis bumbu instan binthe biluhuta Model
Persamaan
Hasley
Log (ln(1/aw)) = 0.5029 – 0.9427 log Me
Chen-Clayton
ln (ln(1/aw) = 0.3907 – 0.1019 Me
Henderson
log (ln (1/(1-aw)) = - 0.7181 + 0.6572 log Me
Caurie
ln Me = 0.3350 + 3.1536 aw
Oswin
ln Me 1.9420 + 0.35702 ln (aw/(1-aw)
Kadar air kesetimbangan bumbu instan binthe biluhuta dihitung dengan menggunakan persamaan model-model kurva sorpsi isotermis. Hasil perhitungan kadar air kesetimbangan bumbu instan binthe buluhuta dengan menggunakan persamaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 12, dan kurva sorpsi isotermis dari masing-masing model persamaan yang dibandingkan dengan kurva isotermis hasil percobaan dapat dilihat pada Gambar 26 sampai 30.
Tabel 12 Kadar air kesetimbangan bumbu instan binthe biluhuta dari model-model persamaan Aw
Percobaan
Kadar Air Kesetimbangan (%bk) Hasley
Chen-Clayton
Henderson
Caurie
Oswin
0.07
2.50
1.21
-5.76
0.23
1.74
1.59
0.32
3.59
2.97
2.55
2.90
3.83
4.54
0.43
5.74
4.09
5.49
5.12
5.42
5.94
0.69
8.91
9.78
13.55
15.74
12.31
11.00
0.75
13.08
12.81
16.05
20.35
14.88
13.05
0.84
16.63
21.78
20.96
31.12
19.77
17.95
0.90
25.51
37.17
25.90
44.04
23.88
24.41
0.93
32.35
55.20
29.55
54.83
26.25
30.48
0.97
38.47
138.66
38.07
83.53
29.78
50.61
71
160
Kadar Air (% bk)
140 120 100 80 60 40 20 0 0.07 0.32 0.43 0.69
0.75 0.84
0.9
0.93 0.97
aw Percobaan
Hasley
Gambar 26 Kurva sorpsi isotermis bumbu instan binthe biluhuta model Hasley dan Percobaan.
45 40 35 Kadar Air (% bk)
30 25 20 15 10 5 0 -5
0.07
0.32
0.43
0.69
0.75
0.84
0.9
0.93
0.97
-10 aw Percobaan
Chen-Clayton
Gambar 27 Kurva sorpsi isotermis bumbu instan binthe biluhuta model Chen-Clayton dan Percobaan
72
90 80
Kadar Air (%bk)
70 60 50 40 30 20 10 0 0.07
0.32
0.43
0.69
0.75
0.84
0.9
0.93
0.97
aw Percobaan
Henderson
Gambar 28 Kurva sorpsi isotermis bumbu instan binthe biluhuta model Henderson dan Percobaan.
45 40
Kadar Air (% bk)
35 30 25 20 15 10 5 0 0.07 0.32 0.43 0.69 0.75 0.84
0.9
0.93 0.97
aw Percobaan
Caurie
Gambar 29 Kurva sorpsi isotermis bumbu instan binthe biluhuta model Curie dan Percobaan.
73
60
Kadar Air (% bk)
50 40 30 20 10 0 0.07
0.32
0.43
0.69
0.75
0.84
0.9
0.93
0.97
aw Percobaan
Osw in
Gambar 30 Kurva sorpsi isotermis bumbu instan binthe biluhuta model Oswin dan Percobaan Gambar 26 sampai 30 menunjukkan kurva sorpsi isotermis bumbu instan binthe biluhuta dengan menggunakan lima model-model persamaan. Perhitungan kadar air model percobaan dapat dilihat pada Lampiran 10-14. Semakin berhimpit antara kurva soprsi isotermis percobaan dengan kurva isotermis model-model persamaan, maka kurva tersebut
menggambarkan fenomena sorpsi isotermis.
Kurva sorpsi isotermis yang paling baik atau dengan kata lain berhimpit adalah kurva isotermis dengan menggunakan model persamaan Oswin. Ketepatan model dilanjutkan
dengan
perhitungan
menggunakan
MRD
(Mean
Relative
Determination).
Uji Ketepatan Model Perbandingan kurva sorpsi isotermis hasil percobaan dengan model-model sorpsi isotermis yang dipilih, memperlihatkan bahwa model sorpsi isotermis menggambarkan keseluruhan kurva isotermis hasil percobaan dengan kurang tepat. Lebih lanjut hal ini diperkuat dengan hasil perhitungan nilai Mean Relative Determination (MRD) yang merupakan ukuran ketepatan antara kadar air kesetimbangan hasil perhitungan dengan kadar air kesetimbangan percobaan.
74
Hasil uji ketepatan model (Tabel 13) menunjukkan bahwa kurva-kurva sorpsi isotermis yang dipilih menggambarkan fenomena sorpsi isotermis dengan tidak tepat (MRD >10).
Tabel 13 Nilai MRD berbagai model persamaan sorpsi isotermis Model Persamaan
MRD
Hasley
63.96
Chen - Clayton
52.74
Henderson
66.54
Curie
17.92
Oswin
15.48
Dari hasil uji ketepatan memperlihatkan bahwa tidak ada persamaan yang menggambarkan secara tepat fenomena sorpsi isotemis pada bumbu instan binthe biluhuta karena nilai MRD lebih besar dari 10.
Penentuan Umur Simpan Umur simpan ditetapkan berdasarkan waktu pada saat kadar air produk sama dengan kadar air kritis. Umur simpan merupakan selang waktu antara bahan pangan mulai diproduksi hingga tidak dapat lagi diterima oleh konsumen akibat adanya penyimpangan mutu. Umur simpan produk pangan ini
merupakan
parameter ketahanan produk selama penyimpanan terutama jika kondisinya beragam. Adanya perubahan kadar air selama penyimpanan akan mempengaruhi mutu produk. Oleh karena itu dengan mengetahui pola penyerapan air dan menetapkan nilai kadar air kritis, maka umur simpan dapat ditentukan. Umur simpan berhubungan dengan kadar air kritis yaitu kadar air dimana secara organoleptik sudah tidak dapat diterima oleh konsumen. Hubungan umur simpan dengan kadar air kritis adalah untuk dapat mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kadar air kritis. Untuk bahan pangan yang bersifat higroskopis, faktor suhu dan kelembaban sangat penting. Kenaikan RH
75
akan diikuti oleh peningkatan kadar air yang akan mempengaruhi mutu produk (Syarief dan Halid 1991). Pendugaan umur simpan berdasarkan kurva sorpsi isotermis menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Labuza (1984) yaitu:
Me − Mi Me − Mc ts = ⎛ k ⎞⎛⎜ A ⎞⎟⎛ Po ⎞ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟⎜ ⎝ x ⎠⎝ Ws ⎟⎠⎝ b ⎠ Ln
Dimana : ts
= umur simpan produk (hari)
Me = kadar air kesetimbangan (% bk) Mi = kadar air awal (% bk) Mc = kadar air kritis (% bk) Ws = berat solid (gr) Po = tekanan uap air jenuh pada ruang penyimpanan (mm Hg) k/x = permeabilitas kemasan (gr H2O/ hari.m2.mmHg) A = Luas Kemasan (m2) b = kemiringan Kurva sorpsi isotermis (gr H2O/ gr bk) Hasil pengukuran kadar air awal produk bumbu instan binthe biluhuta adalah 5.51 (% bk). Kadar air kritis ditentukan berdasarkan pengamatan secara visual
selama
penyimpanan
yang
ditandai
dengan
produk
sudah
menggumpal/melempem, setelah itu diukur kadar air kritisnya. Hasil pengukuran kadar air kritis yaitu 12.95(% bk) Kemasan yang dipergunakan yaitu HDPE (Polietilen densitas tinggi), PP (Polipropilen) dan Aluminium foil (Alufo) dengan permeabilitas uap air masingmasing kemasan adalah 0.10, 0.12 gr/m2.mmHg.hari (Eskin dan Robinson 2001) dan 0.02 gr/ m2.mmHg.hari (Histifarina 2002). Kemasan yang digunakan mempunyai ukuran (10 x 12 x 2) cm2. Berat solid yang dipergunakan adalah 20.86 gr, sedangkan tekanan uap air jenuh pada kondisi ruang penyimpanan (suhu 27oC ) adalah 27.374 mm Hg. Pada kurva sorpsi isotermis, kemudian dibuat persamaan garis lurus dari RH 32-84% untuk memperoleh nilai slope (Gambar 31). Hasil regresi linier kurva
76
sorpsi isotermis bumbu instan binthe biluhuta menghasilkan persamaan garis: y = 0.2297x – 4.3295 ( R2 = 0.9117) 18 16
y = 0.2297x - 4.3295 R2 = 0.9117
Kadar Air (%bk)
14 12 10 8 6 4 2 0 0
20
40
60
80
100
Kelem baban Relatif (%)
Gambar 31 Data kemiringan kurva sorpsi pada RH 32-84 %. Dari kurva sorpsi isotermis di atas, diperoleh nilai b (slope kurva) sebesar 0.2297. Dari persamaan linier dapat dicari kadar air kesetimbangan pada RH penyimpanan yang diinginkan. Misalnya RH penyimpanan 80% maka kadar air kesetimbangannya adalah 0.2297 (80) – 4.3295 = 14.066 (% bk). Hasil perhitungan umur simpan bumbu instan binthe biluhuta pada berbagai jenis kemasan dan RH disajikan pada Tabel 14 -15.
77
Tabel 14 Umur simpan bumbu instan binthe biluhuta pada RH 80% dan 85% Parameter
Satuan
RH 80%
RH 85%
Kemasan
Kemasan
HDPE
PP
Alufo
HDPE
PP
Alufo
Me
% bk
14.046
14.046
14.046
15.195
15.195
15.195
Mi
%bk
5.509
5.509
5.509
5.509
5.509
5.509
Mc
% bk
12.95
12.95
12.95
12.95
12.95
12.95
k/x
2.
gr/m hr.mmHg
0.12
0.10
0.02
0.12
0.10
0.02
Ws
gr
20.86
20.86
20.86
20.86
20.86
20.86
2
A
m
0.024
0.024
0.024
0.024
0.024
0.024
Po
MmHG
27.374
27.374
27.374
27.374
27.374
27.374
b
Gr H2O/ gr bk
0.2297
0.2297
0.2297
0.2297
0.2297
0.2297
ts
Hari
124
149
748
89
106
533
Tabel 15 Umur simpan bumbu instan binthe biluhuta pada RH 90% dan 97% Parameter
Satuan
RH 90%
RH 97%
Kemasan
Kemasan
HDPE
PP
Alufo
HDPE
PP
Alufo
Me
% bk
16.346
16.346
16.346
17.9514
17.9514
17.9514
Mi
%bk
5.509
5.509
5.509
5.509
5.509
5.509
Mc
% bk
12.95
12.95
12.95
12.95
12.95
12.95
k/x
2.
gr/m hr.mmHg
0.12
0.10
0.02
0.12
0.10
0.02
Ws
gr
20.86
20.86
20.86
20.86
20.86
20.86
A
m2
0.024
0.024
0.024
0.024
0.024
0.024
Po
MmHG
27.374
27.374
27.374
27.374
27.374
27.374
b
Gr H2O/ gr bk
0.2297
0.2297
0.2297
0.2297
0.2297
0.2297
ts
Hari
70
84
423
60
72
332
Tabel di atas menunjukkan bahwa umur simpan bumbu instan binthe
biluhuta akan semakin singkat apabila RH penyimpanan semakin naik. Pada RH 80% dalam kemasan HDPE, PP dan Alufo berturut-turut adalah 124, 149 dan 748 hari. Pada RH 85%, umur simpan bumbu instan binthe biluhuta yang dikemas
78
dengan kemasan HDPE, PP dan Alufo berturut-turut adalah 89, 106 dan 533 hari, sedangkan pada RH 90% , umur simpannya adalah 70, 84 dan 423 hari. Hal ini menunjukkan bahwa umur simpan bumbu instan binthe biluhuta akan semakin lama dengan semakin menurunnya kelembaban relatif (RH) penyimpanan dan semakin rendah permeabilitas kemasan (k/x) maka umur simpan juga akan semakin lama. Bumbu instan binthe biluhuta yang dikemas dengan menggunakan Alufo mempunyai umur simpan yang lebih lama bila dibandingkan dengan bumbu instan binthe biluhuta yang dikemas dengan menggunakan kemasan HDPE dan PP. Hal ini terjadi karena permeabilitas kemasan Alufo lebih kecil bila dibandingkan dengan HDPE dan PP yaitu sebesar 0.02 gr/m2.mmHg sehingga transfer uap air dari lingkungan ke bahan juga akan semakin kecil dan umur simpannya akan semakin lama. Rendahnya permeabilitas kemasan Alufo juga berguna untuk menjaga sifat higroskopis
bumbu instan binthe biluhuta dari kerusakan mutunya (reaksi
oksidasi, tumbuhnya jamur) akibat penetrasi uap air dari luar kemasan.
Uji Penyimpanan
Asam Lemak Bebas Hasil analisis ragam menunjukkan pengaruh yang nyata dari jenis kemasan dan cara pengemasan terhadap asam lemak bebas (FFA) dimulai pada minggu ke-2 (Lampiran 15). Interaksi antara jenis kemasan dan cara pengemasan juga menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap FFA. Menurut Winarno (1989), lemak yang terhidrolisis menjadi asam lemak bebas dan gliserol dengan adanya air menyebabkan off flavor dan bau tengik pada minyak tersebut. Proses hirolisis dapat berlangsung bila tersedia sumber nitrogen, garam mineral dan sejumlah air. Air dalam minyak akan mempercepat kerusakan minyak karena terjadi hidrolisa, minyak akan diubah menjadi asam lemak bebas dan gliserol yang dapat menyebabkan ketengikan (Ketaren 2005).
79
Bumbu instan binthe biluhuta merupakan bumbu yang terdiri dari beberapa campuran, salah satunya adalah kelapa parut kering. Gambar 32 menunjukkan kecenderungan kenaikan FFA pada berbagai kombinasi perlakuan. Dari grafik terlihat bahwa kemasan HDPE dengan cara tidak vakum (A1B1) mempunyai kadar FFA yang paling tinggi yaitu sebesar 0.301% sedangkan peningkatan FFA yang paling rendah terdapat pada perlakuan A3B2 kemasan (Alufo dengan cara vakum) yaitu 0.161%. Hal ini terjadi karena sifat dari HDPE yang tidak tahan terhadap minyak sehingga dengan adanya air akan mudah terhidrolisis sehingga kadar FFA menjadi meningkat.
Peningkatan kadar air
selama penyimpanan terjadi pada HDPE, PP dan Alufo baik yang dikemas vakum dan tidak vakum. Peningkatan kadar air yang paling tinggi terdapat pada kemasan HDPE. Pada awal penyimpanan bumbu instan binthe biluhuta mempunyai kedar 5.51 (%bk). Setelah delapan minggu penyimpanan kadar air bumbu instan binthe
biluhuta meningkat menjadi 13.65 (% bk) pada A1B1 (HDPE dengan cara tidak vakum). Peningkatan kadar air yang tinggi pada A1B1 menyebabkan kadar FFA juga semakin meningkat. Kadar FFA yang meningkat menyebabkan bumbu instan
binthe biluhuta menjadi tengik sehinggu bumbu tidak disukai lagi oleh panelis. Bila dibandingkan dengan antara kemasan vakum dan tidak vakum maka peningkatan kadar FFA yang paling tinggi adalah kemasan tidak vakum. Hal ini terjadi karena dalam kemasan vakum oksigen di dalam kemasan dikeluarkan sehingga kemungkinan terjadinya hidrolisis dan oksidasi lemak lebih kecil.
80
0.35
Kadar FFA (%)
0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 2
4
6
8
Lam a Penyim panan (Minggu) A1B1
A2B1
A2B2
A3B2
A3B1
A1B2
Gambar 32 Kadar FFA (%) selama penyimpanan. Keterangan: A1B1 : kemasan HDPE dengan cara tidak vakum A2B1 : kemasan PP dengan cara tidak vakum A3B1 : kemasan Alufo dengan cara tidak vakum A1B2 : kemasan HDPE dengan cara vakum A2B2 : kemasan PP dengan cara vakum A3B2 : kemasan Alufo dengan cara vakum Hidrolisis terjadi pada ikatan ester dari molekul gliserida membentuk asam lemak bebas dan gliserol. Kenaikan asam lemak bebas mempermudah proses pembentukan senyawa peroksida, aldehida, keton dan polimer. Oksidasi berantai menyebabkan penguraian konstituen aroma, flavor dam vitamin. Pembentukan senyawa seperti peroksida, aldehida dan keton menyebabkan bau tengik, pencoklatan dan dapat menimbulkan keracunan (Ketaren 2005). Selain karena proses hidrolisis, penurunan kadar lemak juga disebabkan oleh proses oksidasi akibat terjadinya kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau lemak. Menurut Ketaren (1989), terjadinya reaksi oksidasi akan mengakibatkan bau tengik pada minyak atau lemak. Oksidasi dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksidasi. Selanjutnya asam-asam akan terurai yang disertai dengan konversi hidroperoksida menjadi aldehid dan keton serta
81
asam-asam lemak bebas. Rantai reaksi yang terjadi selama oksidasi adalah sebagai berikut: Inisiasi
: RH + O2
Radikal bebas
Perambatan
: ROOH
RO. + OH
Penghentian
: R. + X
inaktif
R + R R
+ RO2
RO2 + RO2 Kecepatan ketengikan oksidatif dipengaruhi oleh jumlah kandungan asam lemak tidak jenuh dan jumlah ikatan rangkap asam lemak dalam minyak. Semakin tinggi kandungan asam lemak tidak jenuh dengan jumlah ikatan rangkap, maka semakin cepat berlangsungnya proses ketengikan oksidatif (Jacobs 1985). Menurut Bailey (1951), pada proses kerusakan oksidatif akan terbentuk peroksida yang bersifat stabil, sehingga pada tahap selanjutnya akan terurai membentuk senyawa-senyawa yang menyebabkan timbulnya rasa getir dan bau tengik seperti aldehid, keton dan asam lemak bebas dengan BM rendah. Asam lemak bebas sudah terdapat didalam minyak atau lemak sejak bahan tersebut mulai dipanen dan jumlahnya akan terus bertambah selama proses pengolahan dan penyimpanan (Hartley 1992).
Total Mikroba Adanya mikroba merupakan salah satu penyebab kerusakan atau penurunan mutu pada bahan pangan. Ada tidaknya mikroba pada bahan pangan juga dapat digunakan sebagai indikator keamanan pangan Pengaruh penambahan garam pada bumbu instan binthe biluhuta akan memberikan mutu yang lebih baik karena garam selain pembentuk cita rasa pada bumbu, juga dapat digunakan sebagai pengawet karena dapat menghambat pertumbuhan mikroba sehingga dapat memperpanjang umur simpan
bumbu
instan binthe biluhuta. Selain itu, bumbu mengandung komponen anti mikroba yang sudah secara
alami terdapat pada bumbu. Kombinasi rempah-rempah
dengan garam dapat menurunkan aktivitas air dan efektivitasnya meningkat
82
dengan meningkatnya jumlah garam yang digunakan. Efektivitas antimikroba ini akan mengalami penurunan selama penyimpanan (Pertiwi 1992). Pada bumbu instan binthe biluhta yang di simpan pada suhu ruang dengan RH 97%, diperoleh bahwa pertumbuhan mikroba masih tetap berjalan di dalam kemasan tidak vakum maupun kemasan vakum. Pertumbuhan mikroorganisme dalam kemasan tidak vakum lebih cepat bila dibandingkan dengan kemasan vakum. Hal ini terjadi karena dalam kemasan vakum, oksigen yang tersedia lebih sedikit sehingga apabila oksigen ini habis atau berkurang maka mikroba yang didalamnya juga akan ikut berkurang. Menurut Fardiaz (1992), pertumbuhan mikroorganisme dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu tersedianya nutrien, air, suhu, pH, oksigen dan potensi oksidasi reduksi, adanya zat penghambat dan adanya jazad renik yang lain. Berdasarkan hasil analisis total mikroba, diketahui bahwa pertumbuhan mikroba mengalami peningkatan selama penyimpanan. Peningkatan yang paling tinggi terjadi pada perlakuan A1B1 (kemasan HDPE dengan cara tidak vakum) dan yang paling rendah terjadi pada pelakuan A3B2 (kemasan Alufo dengan cara vakum) (Lampiran 16). Pada bumbu dengan perlakuan A1B1 (Minggu ke-0) meningkat dari 3.0 x104
menjadi 2.4x107 sedangkan pada bumbu dengan
perlakuan A3B2 meningkat dari 3.0x104 menjadi 1.6 x 107 pada minggu ke-8 (Gambar 33). Jumlah total mikroba tersebut sudah melebihi standar yang telah ditetapkan. Standart mutu untuk bumbu sejauh ini belum ada, sehingga digunakan standar umum mikrobiologis yang digunakan untuk bahan pangan. Menurut SNI 01-3709-1995 standar jumlah total mikroba yang boleh ada pada rempah-rempah bubuk adalah 106 koloni/gr atau 6 (log koloni/gr). Yang dimaksud dengan rempah-rempah menurut SNI ini adalah campuran rempah-rempah yang dihaluskan untuk memberikan rasa aroma yang khas bagi makanan tertentu. Pada minggu selanjutnya jumlah total mikroba mengalami peningkatan. Formula bumbu instan binthe biluhuta merupakan campuran dari beberapa jenis rempah ditambah dengan ikan cakalang kering dan kelapa parut kering. Bagian organ ikan sebagai bahan mentah mengandung jumlah bakteri per gram bahan mentah ikan mencapai log 105 tergantung pada kesegararan (Ilyas 1972). Hal ini juga dapat menyebabkan tingginya jumlah total mikroba awal bumbu
83
instan binthe biluhuta. Menurut Dondero et al. (2004) ikan salmon yang diasap yang dikemas dengan cara vakum dan disimpan pada suhu dingin masih terjadi peningkatan jumlah mikroba. Pada awal penyimpanan jumlah mikroba 1.5 x 103 meningkat menjadi 3.0 x 106 pada hari yang ke-21.
Total Mikroba (Log Koloni/g)
8 7 6 5 4 3 2 1 0 0
2
4
6
8
Lam a Penyim panan (Minggu) A1B1
A2B1
A3B1
A1B2
A2B2
A3B2
Gambar 33 Jumlah total mikroba selama penyimpanan. Keterangan: A1B1 : Kemasan HDPE dengan cara tidak vakum A2B1 : Kemasan PP dengan cara tidak vakum A3B1 : Kemasan alufo dengan cara tidak vakum A1B2 : Kemasan HDPE dengan cara vakum A2B2 : Kemasan PP dengan cara vakum A3B2 : Kemasan Alufo dengan cara vakum Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa pada bumbu yang dikemas dengan kemasan tidak vakum maupun kemasan vakum
terdapat pertumbuhan
mikroorganisme. Hal ini terjadi karena mikroba itu sendiri dibedakan menjadi mikroba aerobik, anaeobik dan anaerobik fakultatif. Bila dihubungkan dengan aw maka dapat disimpulkan bahwa pada kadar air 13.65 (% bk) dengan aw 0.75 masih terdapat pertumbuhan mikroba pada bumbu instan binthe biluhuta. Mikroba yang tumbuh pada aw dibawah 0.75 adalah bakteri xerofilik dan halofilik (bakteri tahan garam) (Eskin dan Robinson 2001). Bakteri xerofilik adalah bakteri yang dapat tumbuh dan berkembang
pada aw
rendah
asalkan faktor-faktor
pertumbuhan mikroba yang lain mendukung seperti adanya nutrien, suhu, pH dan
84
lain-lain. Hubungan antara aw dengan mikroba yang dapat tumbuh disajikan pada Gambar 34.
Gambar 34. Hubungan antara aw dengan pertumbuhan mikroba Disamping itu adanya bakteri pada aw dibawah 0.75 mungkin disebabkan oleh adanya germinasi spora selama proses pengolahan dan penyimpanan sehingga apabila di tumbuhkan dalam medium pertumbuhan PCA maka spora bakteri tersebut dapat tumbuh. Menurut Buckle et al. (1992) faktor-faktor lingkungan mempengaruhi tingkat aw yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisma. Semakin kurang menguntungkan faktor-faktor lingkungan (zat gizi, pH, tekanan oksigen, suhu) semakin tinggi
nilai minimum aw
untuk
pertumbuhan mikroba dan sebaliknya.
85
Selama penyimpanan kadar air bumbu instan binthe biluhuta juga semakin meningkat sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Air merupakan salah satu faktor pendukung tumbuhnya mikroba dalam bahan pangan selain nutrien dan oksigen. Peningkatan kadar air tertinggi terdapat pada kemasan A1B1 (HDPE dengan cara tidak vakum) dimana sebelum penyimpanan kadar air bumbu adalah 5.51 (% bk) menjadi 13.65 (% bk). Hal ini juga yang menyebabkan terjadinya peningkatan pertumbuhan mikroba pada A1B1 ( HDPE dengan cara tidak vakum) lebih cepat jika dibandingkan dengan perlakuan lainya. Muchtadi (1989) menjelaskan bahwa kerusakan yang diakibatkan oleh mikroba dapat berupa pelunakan, terjadinya asam, terbentuknya gas, lendir, busa dan lain-lain. Mikroba yang dapat menyebabkan kerusakan pada bahan pangan antara lain bakteri, kapang dan khamir.
Total Kapang-Khamir Kapang adalah fungi multiseluler yang mempunyai filamen dan pertumbuhannya pada makanan mudah dilihat karena penampakannya yang berserabut seperti kapas. Penentuan total kapang-khamir menunjukkan bumbu instan binthe biluhuta sebelum disimpan memiliki jumlah kapang (standart plate
count) sebesar 1.5 x 101. Selama penyimpanan jumlah total kapang-Khamir tidak mengalami peningkatan yang signifikan, dimana pada perlakuan A1B1 (kemasan HDPE tidak vakum) yaitu dari 2.5 x101 pada minggu kedua menjadi 3.9 x101 pada minggu kedelapan sedangkan pada perlakuan A3B2 (kemasan Alufo dikemas dengan cara vakum) yaitu 1.5 x 101 pada minggu kedua menjadi 3.0 x 101. Secara umum perlakuan dengan cara tidak vakum menunjukkan pertumbuhan kapang yang lebih cepat jika dibandingkan dengan kemasan vakum. Hal ini terjadi karena pada kemasan vakum oksigen yang tersedia lebih sedikit bila dibandingkan dengan kemasan tidak vakum.
86
Uji Organoleptik Selama Penyimpanan Uji organoleptik secara hedonik selama penyimpanan dilakukan untuk melihat pengaruh penyimpanan terhadap tingkat kesukaan panelis. Parameter yang diujikan pada uji hedonik ini meliputi aroma dan warna bumbu instan
binthe biluhuta. Rekapitulasi data hasil uji hedonik selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 17 dan 19. Bumbu instan binthe biluhuta sebelum dan setelah di simpan disajikan pada Gambar 35.
Gambar 35 Bumbu instan binthe biluhuta sebelum dan setelah penyimpanan.
Uji Organoleptik Aroma Dari nilai uji organoleptik terhadap aroma menunjukkan bahwa tingkat penerimaan panelis terhadap aroma cenderung lebih tinggi pada bumbu pada perlakuan A3B2 dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini terjadi karena kemasan yang digunakan adalah Alufo dengan cara vakum sehingga aroma bumbu dapat lebih lama bertahan dalam kemasan. Secara umum selama penyimpanan skor organoleptik terhadap aroma ini mengalami penurunan. Penurunan yang paling cepat terdapat pada perlakuan A1B1 (kemasan HDPE dengan cara tidak vakum) yaitu dari skor rata-rata 4.35 menjadi 2.68 (dari kategori suka menjadi tidak suka).
87
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis kemasan (A) dan cara pengemasan (B) memberikan pengaruh yang nyata terhadap parameter aroma bumbu instan binthe biluhuta dimana selama penyimpanan terjadi kecenderungan penurunan tingkat kesukaan panelis (Gambar 36). Hasil analisis ragam uji
Skor Hedonik
hedonik terhadap aroma selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 20.
5.00 4.50 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 A1B1
A1B2
A3B1
A2B1
A2B2
A3B2
Perlakuan 2
4
6
8
Gambar 36 Hasil uji oganoleptik aroma bumbu instan binthe biluhuta selama penyimpanan Keterangan: A1B1 : Kemasan HDPE dengan cara tidak vakum A2B1 : Kemasan PP dengan cara tidak vakum A3B1 : Kemasan alufo dengan cara tidak vakum A1B2 : Kemasan HDPE dengan cara vakum A2B2 : Kemasan PP dengan cara vakum A3B2 : Kemasan Alufo dengan cara vakum Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 19) menunjukkan bahwa aroma bumbu yang dikemas dengan kemasan dan cara yang berbeda menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kesukaan panelis. Interaksi antara jenis kemasan dan cara kemasan juga menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap penilaian panelis.
88
Uji Organoleptik Warna Dari Gambar 37 terlihat bahwa selama penyimpanan tingkat kesukaan panelis terhadap warna lebih tinggi pada bumbu pada perlakuan A3B2 (kemasan aluminium foil dengan cara vakum). Hal ini terjadi karena permeabilitas kemasan aluminium foil lebih kecil jika dibandingkan dengan kemasan PP dan HDPE sehingga air yang masuk kedalam kemasan akan lebih sedikit. Hal ini mengakibatkan laju oksidasi dan hidrolisis pada kemasan aluminium foil lebih kecil. Rata-rata skor organoleptik adalah
4.00 menjadi 3.00 (kategori suka
menjadi biasa) pada perlakuan A1B1, sedangkan pada perlakuan A3B2 adalah 4.00 menjadi 3.40 dengan kategori suka menjadi biasa pada minggu yang ke-8. Skor rata-rata nilai organoleptik warna ini menunjukkan bahwa selama penyimpanan warna bumbu binthe biluhuta masih dapat diterima oleh panelis. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis kemasan dan cara memberikan pengaruh yang nyata terhadap parameter warna bumbu instan binthe
biluhuta dimulai pada Minggu ke-4 dimana selama penyimpanan terjadi kecenderungan penurunan tingkat kesukaan panelis (Gambar 37). Hasil analisis ragam uji hedonik selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 20. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 21) menunjukkan bahwa warna bumbu yang dikemas dengan kemasan dan cara yang berbeda menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kesukaan panelis. Interaksi antara jenis kemasan dan cara kemasan juga menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap penilaian panelis
89
4.00
Skor Hedonik
3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 A1B1
A2B1
A3B1
A1B2
A2B2
A3B2
Perlakuan 2
4
6
8
Gambar 37 Histogram hasil uji oganoleptik warna bumbu instan binthe biluhuta selama penyimpanan. A1B1 A2B1 A3B1 A1B2 A2B2 A3B2
: Kemasan HDPE dengan cara tidak vakum : Kemasan PP dengan cara tidak vakum : Kemasan alufo dengan cara tidak vakum : Kemasan HDPE dengan cara vakum : Kemasan PP dengan cara vakum : Kemasan alufo dengan cara vakum Dari hasil uji organoleptik secara hedonik selama penyimpanan
menunjukkan bahwa bumbu instan binthe biluhuta yang di simpan pada RH 97% dan suhu ruang, setelah 8 minggu penyimpanan bumbu instan binthe biluhuta sudah tidak disukai/ ditolak oleh panelis. Hal ini berarti bumbu instan binthe
biluhuta sudah mencapai batas kadaluarsa. Umur simpan bumbu instan binthe biluhuta berdasarkan hasil perhitungan menurut Labuza (1984) menunjukkan umur simpan bumbu instan binthe biluhuta yang tidak jauh berbeda bila dibandingklan dengan uji penyimpanan. Pada uji penyimpanan, umur simpan bumbu instan binthe biluhuta yang dikemas dengan HDPE dan disimpan pada RH 97 dan suhu ruang adalah 8 minggu atau 56 hari sedangkan berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan Labuza (1984), umur simpan bumbu instan binthe biluhuta pada RH 97 adalah 60 hari. Hal ini menunjukkan bahwa penentuan umur simpan bumbu instan binthe
biluhuta berdasarkan kadar air iritis merupakan metode yang tepat, karena umur
90
simpan berdasarkaan hasil perhitungan menggunakan persaman Labuza (1984) hampir sama dengan uji penyimpanan.
Kadar Air Kadar air
makanan merupakan persentasi banyaknya air di dalam
makanan jika dibandingkan dengan total komponen penyusunnya. Kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu dan keawetan pangan. Analisis kadar air selama penyimpanan bertujuan untuk mengetahui tingkat perubahan kadar air bumbu instan binthe biluhuta selama penyimpanan. Peningkatan kadar air selama penyimpanan disajikan pada Lampiran 21. Hasil analisis ragam (Lampiran 22) menunjukkan bahwa perlakuan dengan kemasan dan cara pengemasan yang berbeda maupun interaksinya berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar air bumbu instan binthe biluhuta. Kadar air bumbu instan binthe biluhuta cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan, baik yang dikemas dengan HDPE (A1), PP (A2) maupun Alufo (A3). Peningkatan kadar air tertinggi terdapat pada bumbu instan binthe biluhuta yang dikemas dengan menggunakan kemasan HPDE secara tidak vakum dimana pada awal penyimpanan kadar air bumbu adalah 5.51 (% bk) meningkat menjadi 13.65 (% bk) pada minggu ke-8. Sementara peningkatan yang paling rendah terdapat pada kemasan Alufo secara vakum yaitu dari 5.51 (% bk) meningkat menjadi 6.62 pada minggu ke-8. Perubahan kadar air bumbu instan binthe biluhuta selama penyimpanan disajikan pada Gambar 38. Terjadinya peningkatan kadar air pada bumbu instan binthe
biluhuta disebabkan oleh sifat bumbu yang sangat higroskopis sehingga dapat menyerap air dari lingkungannya. Perbedaan permeabilitas kemasan juga menyebabkan
perbedaan dalam peningkatan kadar air bumbu instan binthe
biluhuta dimana permeabilitas kemasan HDPE lebih tinggi bila dibandingkan dengan PP dan Alufo sehingga bumbu yang dikemas dengan HDPE kadar airnya lebih tinggi dan menyebabkan kadar FFAnya juga lebih tinggi bila dibandingkan dengan PP dan Alufo.
91
Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 22) menunjukkan kemasan dan cara kemasan yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air bumbu instan binthe biluhuta. Interaksi antara kemasan dan cara kemasan juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air bumbu instan binthe
biluhuta.
16.00 Kadar air (% bk)
14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 2
4
6
8
Lama Penyimpanan (Minggu) A1B1
A1B2
A3B1
A2B1
A2B2
A3B2
Gambar 38 Perubahan kadar air bumbu instan binthe biluhuta selama penyimpanan
92
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
1. Berdasarkan hasil uji organoleptik maka formulasi bumbu yang paling disukai adalah Formula 2 (2,5 gr kelapa perut kering, 1.0 gr cabe rawit bubuk, 2.0 gr bawang merah bubuk, 0.5 gr kemangi , 0.5 gr daun bawang, 1.0 gr garam, 3.0 gr ikan cakalang dan 0.5 gr MSG). 2. Bumbu instan binthe biluhuta memiliki tiga fraksi air terikat (primer, sekunder dan tersier). Batas air terikat primer adalah 3.148 % bk (aw 0.167), batas air terikat sekunder adalah 13.438 %bk (aw 0.658) dan batas air terikat tersier adalah 52.970 yang dimulai pada aw 0.84. 3. Model persamaan yang dipilih tidak dapat menggambarkan fenomena sorpsi isotermis produk bumbu instan binthe biluhuta secara tepat karena nilai MRD nya lebih besar dari 10. 4. Berdasarkan perhitungan pada RH 80%,
dengan menggunakan kemasan
HDPE (High Densitas Polietilen) bumbu instan binthe biluhuta memiliki umur simpan 124 hari, PP (Polipropilen) umur simpannya 149 hari dan Alufo umur simpan bumbu binthe biluhuta 748 hari. Umur simpan produk bumbu instan binthe biluhuta pada RH 85% dengan menggunakan kemasan HDPE, PP dan alufo berturut-turut adalah 89 hari, 106 hari dan 533 hari, sedangkan pada RH 90%, umur simpan produk dengan menggunakan kemasan HDPE, PP dan Alufo adalah 70 hari, 84 hari dan 423 hari. 5. Selama penyimpanan peningkatan kadar FFA yang paling tinggi terdapat pada perlakuan A1B1 (HDPE dengan cara tidak vakum) yaitu dari 0.147 menjadi 0.301%. 6. Selama penyimpanan peningkatan jumlah total mikroba yang paling tinggi terdapat pada perlakuan A1B1 (HDPE dengan cara tidak vakum) yaitu dari 3.0 x 104 menjadi 2.4 x 107. 7. Selama penyimpanan peningkatan kadar air tertinggi terdapat para perlakuan A1B1 (HDPE dengan cara tidak vakum) yaitu dari 5.51 (% bk) meningkat menjadi 13.65 (% bk).
8. Pada RH 97%, umur simpan bumbu instan binthe biluhuta berdasarkan uji penyimpanan hampir sama dengan umur simpan hasil perhitungan berdasarkan persamaan Labuza menggunakan metode kadar air kritis yaitu 56 hari pada uji penyimpanan dan 60 hari berdasarkan hasil perhitungan.
SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut dengan menggunakan bilangan TBA (Thiobarbituric Acid) sebagai indikator pendugaan umur simpan bumbu instan binthe biluhuta. 2. Penelitian ini perlu dikembangkan lebih lanjut dengan menggunakan berbagai variasi bahan baku ikan.
94
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama. Anonim. 2003. Khasiat Daun Kemangi. Jakarta: Pikiran Rakyat. Anonim. 2005. Hasil Survei Dinas Pertanian Provinsi Gorontalo Tahun 2004. [AOAC] Association of Official Chemist. 1984. Official Methods of Analysis of the Association. Washington DC, USA: AOAC Inc. [AOAC] Association of Official Chemist. 1995. Official Metods of Analysis of the Association. Washington DC: AOAC Inc. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL,Yasni S, Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: IPB Press. Aguilera JM, Stanley DW. 1999. Microstructural Principles of Foods Processing and Engineering. 2nd ed. Maryland: Aspen Pulb. Inc. Arpah M, Syarief R. 2000. Evaluasi Model-Model Pendugaan Umur Simpan Pangan dari Difusi Hukum Fick Unidireksional. Bul. Teknol. dan Industri Pangan.XI.1-11. Arpah M. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluwarsa Produk Pangan. Bogor: IPB Press. Astawan M, Widayat W. 1999. Analisis Nilai Gizi dan Perubahan Mutu Sambal Lingkung Selama Penyimpanan. Bul. Teknol dan Industri Pangan. Vol. X No.2: 9-19. Bailey AE. 1951. Industrial Oils and Fats Products. New York: Interscience Publ Inc. Baysal T, Icier F, Ersus S, Yildiz H. 2003. Effect of Microwave dan Infrared Drying on the Quality of Carrot and Garlic. Eur. Food. Res. Technol. 218:68-73. Brooker DB, Bakker-Arkema FW, Hall C. 1982. Drying Cereal Grains. AVI Connectitut: Publishing Company. Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wooton M. 1985. Ilmu Pangan. Jakarta: UI Press. Cesare LFD, Forni E, Viscardi D, Nani RC. 2003. Changes in the Chemical of Basil Caused by Different Drying Procedures. J. Agric. Food Chem. 51:3575-3581.
Chirife J, Iglesias HA. 1978. Equation for Fitting Water Sorption Isotherm of Food. Part I-a review . J. Tech. 13:159-593. Di dalam Food Analysis 3rd Edition. New York: S.Suzane Nielsen. Kluwer Academic Plenum Publ. Chung MS, Ruan RR, Chen P, Chung SH, Ahn TH, Lee KH. 2000. Study of Caking in Powdered Foods Using Nuclear Magnetic Resonance Spectroscopy. J. Food Science. 65 (1):1. Chyu CC, Lin YC, Mau J. 1997. Storage Stability of Deep-Fried Shallot Flavoring. J. Agric. Food Chem. 45:3211-3215. Debnath S, Hemavathy J, Bhat KK. 2002. Moisture Sorption Studies on Onion Powder. J. Food Chimestry 78:479-482 . De Man JM. 1997. Kimia Pangan. Terjemahan Kosasih Padmawinata. Bandung: ITB Bandung. Desrosier NW. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Diterjemahkan Muljoharjo M. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari : The Technology of Food Preservation. Djatmiko B. 1991. Mempelajari Pengaruh Buah Kelapa, Penambahan NaHSO4 dan Suhu Pengeringan Terhadap Karakteristik Mutu Kelapa Parut Kering (Desiccated Coconut).J.Teknol Ind. Pertanian. 3(1):33-37. Djatmiko B, Ketaren S. 1985. Daya Guna Hasil Kelapa. Bogor: Agro Industri Press IPB. Dewan Standardisasi Nasional. 2000. Standar Nasional Indonesia. SNI-0137092000. Kelapa Parut Kering. Jakarta: Dewan Standardisasi Nasional. ___________. Standardisasi Nasional. 2000. Standar Nasional Indonesia. SNI013715-2000. Kelapa Parut Kering. Jakarta: Dewan Standardisasi Nasional. Dondero M, Fabiola C, Laura C dan Ricardo S. 2004. Changes in Quality of Vacuum Packed Cold-Smoked Salmon (Salmo salar) as a Function of Storage Temperatur. J. Food Chemistry 87 (2004) 543-550. Ellis MJ. 1994. The Metodology of Shelf Life Determination Di dalam Shelf Life Evaluation of Foods. CMD. Man dan AA. Jones. London: Blakie Academic & Professional. Eskin NAM and Robinson DS. 2001. Food Shelf Life Stability Chemical, Biochemical and Microbiological Changes. New York: CRC Press.
96
Fanaike R. 2002. Formulasi Bubuk Bumbu Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) sebagai Seasoning Komersial [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Fardiaz S. 1989. Analisis Mikrobiologi Pangan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Jakarta: Gramedia Pustama Utama Bekerjasama dengan PAU IPB Bogor. Farrel KT. 1990. Spices, Condiments and Seasoning. New York: An AVI Book Van Nostrand Reinhold. Fellows PJ. 1990. Food Processing Principle and Practicse. New York: Ellies Horwood Limited. Fennema OR. 1985. Food Cemistry. New York: Marcel-Dekker Inc. Floros JD. 1993. Shelf Life Prediction of Packaged Foods. Chemical, Biological, Phsycal and Nutrition Aspecta. London: Elselvier Publ. Fontana AJ. 1998. Water Activity: Why it is Important for Food Safety. Di dalam: Paper Presented at the 1st NSF Int. Conference on Food Safety. November 16-18 Albuquerque NM. Gaman PM dan KB. Sherrington. 1992. Di dalam M. Gardhito S. Naruki A. Murdiyati dan Sardjono. 1992. Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Jogyakarta: Gajah Mada University Press. Gnanasekharan V. John DF. 1993. Shelf Life Prediction of Packaged Foods. Di dalam: Shelf Life Studies of Foods and Beverages. Charalambous G. New York: ed. Elsevier. Hall CW. 1975. Drying Farm Crops. Agricultural Consulty Association Inc. Ann Arbor. Hambali E, Fatmawati, Permanik R. 2005. Membuat Aneka Bumbu Instan Kering. Depok: Penebar Swadaya. Hartley. CWS. 1992. The Palm Oil. New York: John Willey and Soon Inc. Henderson SM, Perry RL. 1976. Agrcultutal Process Enginering. Third Ed. The AVI. Publ. Co. Inc. CT. Heldman DR, Lund DB. 1992. Handbook of Food Engineering. New York: Merce Dekker Inc.
97
Heldman DR. And Hartel RW. 1998. Principles of Foods Procesing. Maryland: Aspen Publ. Inc. Herman E. 2000. Formulasi Bubuk Bumbu Bawang Putih Sebagai Seasoning Komersil [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Histifarina D. 2002. Kajian Pembuatan Mashed Potato Instan dan Stabilitasnya Selama Penyimpanan [tesis]. Bogor: Program Studi Ilmu Pangan, Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Hubeis M. 1985. Pengantar Pengolahan Tepung Serealia dan Biji-bijian. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor Ilyas S. 1972. Pengantar Pengolahan Ikan. Lembaga Teknologi Perikanan. Jakarta: Dirjen Perikanan. Inglett GE. 1970. Kernel Structure, Composition and Quality. Westport Connecticut: The AVI. Publ. Company. Isse, M.G., Schuchman H dan H. Schubert. 1992. Devided Sorption Isotherm Concept an Alternative Way to Describe Sorption Isotherm Data. J.Food. Eng.16:147-157. Jacobs BM. 1985. The Chemistry and Technology of Foods and d Foods Products. New York: Intersciance Publ Inc. Johnson. Lawrence A. 1991. Corn: Production, Processing and Utilization. In Klaus J. Lorenz and Karel Kulp. (Eds). Handbook of Cereal Science and Technology. New York: Marcel Dekker Inc. Ketaren S. 1989. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press. Ketaren S. 1995. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press. Labuza TP. 1982. Shelf Life Dating of Foods. Westport Connecticut: Food and Nutrition Press Inc. Labuza TP. 1984. Moisture Sorption: Practical Aspect of Isotherm Measurenment and Use. Paul Minnesota: Am Asoc Cer Chem. Labuza TP. 2002. Creation Moisture Isotherm.http://faculty.che.umn.edu/FSCN/Ted Labuza [30 Desember 2004).
98
Lang KW, Steiberg MP. 1980. Calculation of Moisture Content of Formulated Food System to any Given Water Activity. J. Foods Sci. 45:1228. Loughrin JH, Kasperbauer. 2003. Aroma Content of Fress Basil (Occinum basillicum L.) Affected by Light Replected from Colored Mulches. J.Agric. Food. Chem. 51:2272-2276. Manullang M, Mulyadi MI. 1995. Pengaruh Pengeringan Beku Beberapa Jenis Sayuran Terhadap Kandungan Tokoferol. Bul Tek dan Industri Pangan Vol VI No. 3. Mattjik AA, Made IS. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: IPB Press. Mercado V and B.Canovas. 1996. Dehydration of Foods. New York: International Thomson Publ. Minn WAM and TRA Magee. 1997. Moisture Sorption Characteristic of Starch Material. Drying Technology, 15 (5): 1527-1551. Mir MA, Nath N. 1995. Sorption Isotherm of Fortified Mango Bars. J.Food Eng.25:141-150. Muchtadi TR. 1989. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB Muchtadi TR dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB Nielsen GS, Larsen ML, Poll L. 2004. Impact of Blancing and Packaging Atmosphere on the Formation of Aroma Compounds during Long-TermFrozen Storage of Leek (Allium ampeloprasum Var. Bilga) Slices. J. Agric. and Food Chem. 52:4844-4852. Nugraheni D. 2004. Penanganan Umbi Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) sebagai Bahan Baku Bawang Merah Goreng [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Pallai E, Szenmarjay T and Mujumdar AS. 1995. Spouted Bed Drying. Chap.13: In Handbook of Industrial Drying 2nd. Mujumdar AS. New York: Marcel Dekker Inc. Pertiwi YHH. 1992. Daya Antimikroba Bumbu Opor Terhadap Pertumbuhan Beberapa Bakteri Enteropatogenik [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
99
Purnomo H. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan. Jakarta:UI Press. Rahayu E, Nur Berlian VA. 1998. Bawang Merah. Bogor: Penebar Swadaya. Rahayu WP, Arpah M, Diah E. 2005. Penentuan Waktu Kadaluwarsa dan Model Sorpsi Isotermis Biji dan Bubuk Lada Hitam (Piper ningrum L.) J.Teknol dan Industri Pangan. Vol.XVI. No. 1: 31-37. Rizvi SSH. 1995. Thermodynamis Properties of Foods Dehydration in Engeenering Properties of Foods. New York , Basel: Marcel Dekker Inc. Robertson GL. 1992. Predicting the Shelf Life of Packaged Foods. Didalam Liang OB. Buchanan A. Fardiaz D. (ed). Development of Food Science Technology in Souteast Asia Bogor: IPB Press. Robertson GL. 1993. Shelf Life of Foods. New York: Marcel Dekker Inc. Rockland LB, Beuchat LR. 1987. Water Activity : Theory dan Application to Food. New York: Marcel Dekker Inc. Rukmana R.1994. Bawang Merah Budidaya dan Pengolahan Pascapanen. Yogyakarta: Kanisius. Rukmana, R. 2001. Usaha Tani Jagung. Kanisius, Yogyakarta. Sanger G. 1997. Perubahan Mutu Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis L) Asap Selama Penyimpanan Dingin [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Sirait MR. 1992. Penentuan Sorpsi Isotermi Kelapa Parut Kering (Desiccated Coconut) dari Kelapa Khina-1, Khina-2 dan Khina-3 [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Soekarto ST. 1978. Pengukuran Air Ikatan dan Peranannya pada Pengawasan Pangan. Bogor: Bulletin Perhimpunan Teknologi Pangan Indonesia 3 (4):4-18. Soekarto ST. 1990. Penilaian Organoleptik untuk Industri. Jakarta: Bharata Karya Akasara. Sone T. 1972. Consistency of Foodstuff. Dordrecht, Holland : D. Reidel Publ Comp.
100
Sopian A, Ridwan T, Muchtadi TR. 2005. Pengaruh Pengeringan Dengan FAR Infrared Dryer, Oven Vacum dan Frezee Dryer Terhadap Warna, Kadar Total Karoten, Betakaroten dan Vitamin C pada Daun Bayam (Amaranthus tricolor L.). Jurnal Teknol. dan Industri Pangan Vol. XVI No. 2. Spiess WEL, Wolf W. 1987. Critical Evaluation of Methods to Determine Moisture Sorption Isotherm. Di dalam Water Activity: Theory and Aplication to Foods. New York: Marcell Dekker Inc. Subandi, Manwan I, Blumschein A. 1988. Koordinasi Program Penelitian Nasional Jagung. Bogor: Pusat Penelitian Tanaman Pangan. Syarief R, Irawati A. 1988. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian. Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa. Syarief R, Santausa S, Isyana B. 1989. Buku dan Monograf Teknologi Pengemasan Pangan. Laboratorium Rekayasa Proses Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB. Syarief R, Halid Y. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Jakarta: Arcan kerjasama dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB Troller JA. and JHB. Christian. 1978. Water Activity and Food. New York: Academic Press. Van den Berg C, Bruin S. 1981. Water Activity and Its Estimation in Food System. Theoritical Aspects. New York: Academy Press Di dalam: Food Analysis 3rd Edition. New York: S. Suzane Nielsen. Kluwer Academic/ Plenum Publ. Walpole RE. 1995. Pengantar Statistik. Jakarta: Gremedia Pustaka Utama. Wibowo S. 1999. Budidaya Bawang: Bawang Putih, Bawang Merah, Bawang Bombay. Bogor: Penebar Swadaya. Winarno FG. 1989. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Winarno FG. 1994. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia. Winarno FG. 2004. Keamanan Pangan. Bogor: M-BRIO Press. Winarno FG. Fardiaz S. Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: Gramedia.
101
LAMPIRAN
Lampiran 1 Form uji organoleptik UJI ORGANOLEPTIK Bumbu Instan Binthe Biluhuta Nama
:
Tanggal
:
Petunjuk
: Dihadapan anda terdapat 12 buah sampel formulasi bumbu instan Binthe Biluhuta. Silahkan mencicipi rasa, mencium aroma dan melihat penampakan/warnanya. Cicipi bumbu dan netralkan dengan air minum sebelum
mencicipi sampel selanjutnya.
Ciumlah aroma selama 30 detik dan istirahat selama 15 detik sebelum menuju sampel selanjutnya. Beri kesan dan penilaian anda dengan nilai sebagai berikut:
Kode 546 901 804 498 469 792 228 254 859 771 736 398
1
: Sangat Tidak Suka
2
: Tidak Suka
3
: Biasa
4
: Suka
5
: Sangat Suka Rasa
Penilaian Aroma
Warna
103
Lampiran 2 Nilai rata-rata uji organoleptik pada penelitian tahap pertama Formula Formula 1 Formula 2 Formula 3 Formula 4 Formula 5 Formula 6 Formula 7 Formula 8 Formula 9 Formula 10 Formula 11 Formula 12
Rasa 3.56 3.72 3.76 3.40 3.80 3.60 3.52 3.68 3.72 3.60 3.28 3.60
Aroma 3.40 3.88 3.76 3.20 3.36 3.32 3.32 3.64 3.60 3.40 2.84 3.64
Warna 3.16 3.60 3.80 3.16 3.68 3.92 3.32 3.60 3.80 3.40 3.12 3.76
104
Lampiran 3 ANOVA (Analysis of Variance) rasa bumbu instan binthe biluhuta Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors Value Label Panelis
Sampel
1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 18.00 19.00 20.00 21.00 22.00 23.00 24.00 25.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00 11.00 12.00
Formula 1 Formula 2 Formula 3 Formula 4 Formula 5 Formula 6 Formula 7 Formula 8 Formula 9 Formula 10 Formula 11 Formula 12
N 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25
105
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor Type III Sum of Squares
Mean Source DF Square Corrected 68.990(a) 35 1.971 Model Intercept 3895.203 1 3895.203 Panelis 62.713 24 2.613 Sampel 6.277 11 .571 Error 140.807 264 .533 Total 4105.000 300 Corrected Total 209.797 299 a R Squared = .329 (Adjusted R Squared = .240)
F Value
Sig.
3.696
.000
7303.160 4.899 1.070
.000 .000 .386
Post Hoc Tests Sampel Homogeneous Subsets Skor Duncan a,b Sampel
N
Subset
1 2 Formula 11 25 3.2800 Formula 4 25 3.4000 3.4000 Formula 7 25 3.5200 3.5200 Formula 1 25 3.5600 3.5600 Formula 6 25 3.6000 3.6000 Formula 10 25 3.6000 3.6000 Formula 12 25 3.6000 3.6000 Formula 8 25 3.6800 3.6800 Formula 2 25 3.7200 3.7200 Formula 9 25 3.7200 3.7200 Formula 3 25 3.7600 3.7600 Formula 5 25 3.8000 Sig. .053 .111 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .533. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 25.000. b Alpha = .05.
106
Lampiran 4 ANOVA (Analysis of Variance) aroma bumbu instan binthe Biluhuta Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors Value Label Panelis
1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 18.00 19.00 20.00 21.00 22.00 23.00 24.00 25.00 Sampel 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00 11.00 12.00
Formula 1 Formula 2 Formula 3 Formula 4 Formula 5 Formula 6 Formula 7 Formula 8 Formula 9 Formula 10 Formula 11 Formula 12
N 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25
107
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor Type III Sum of Squares
Mean Source DF Square F Value Corrected 75.123(a) 35 2.146 2.765 Model Intercept 3556.963 1 3556.963 4582.612 Panelis 54.287 24 2.262 2.914 Sampel 20.837 11 1.894 2.440 Error 204.913 264 .776 Total 3837.000 300 Corrected Total 280.037 299 a R Squared = .268 (Adjusted R Squared = .171)
Sig. .000 .000 .000 .006
Post Hoc Tests Sampel Homogeneous Subsets Skor Duncan a,b Sampel
N 1 2.8400 3.2000 3.3200 3.3200 3.3600 3.4000 3.4000
Subset 2
3
Formula 11 25 Formula 4 25 3.2000 Formula 6 25 3.3200 3.3200 Formula 7 25 3.3200 3.3200 Formula 5 25 3.3600 3.3600 Formula 1 25 3.4000 3.4000 Formula 10 25 3.4000 3.4000 Formula 9 25 3.6000 3.6000 Formula 12 25 3.6400 3.6400 Formula 8 25 3.6400 3.6400 Formula 3 25 3.7200 3.7200 Formula 2 25 3.8800 Sig. .052 .082 .060 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .776. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 25.000. b Alpha = .05.
108
Lampiran 5 ANOVA (Analysis of Variance) warna bumbu instan binthe biluhuta Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors Value Label Panelis 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 18.00 19.00 20.00 21.00 22.00 23.00 24.00 25.00 Sampel 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00 11.00 12.00
Formula 1 Formula 2 Formula 3 Formula 4 Formula 5 Formula 6 Formula 7 Formula 8 Formula 9 Formula 10 Formula 11 Formula 12
N 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25
109
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor Type III Sum of Mean Source Squares DF Square Corrected 53.767a 35 1.536 Model Intercept 3731.213 1 3731.213 Panelis 31.620 24 1.318 Sampel 22.147 11 2.013 Error 147.020 264 .557 Total 3932.000 300 Corrected Total 200.787 299 a R Squared = .268 (Adjusted R Squared = .171
F Value
Sig.
2.758
.000
6700.043 2.366 3.615
.000 .000 .000
Post Hoc Tests Sampel Homogeneous Subsets Skor Duncan a,b Sampel
N
Subset 1 3.1200 3.1600 3.1600 3.3200 3.400
2
Formula 11 25 Formula 1 25 3.1600 Formula 4 25 3.1600 Formula 7 25 3.2000 Formula 10 25 3.4000 Formula 8 25 Formula 2 25 Formula 5 25 Formula 12 25 Formula 3 25 Formula 9 25 Formula 6 25 Sig. .245 .068 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .557 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 25.000. b Alpha = .05.
3
3.2000 3.4000 3.6000 3.6000 3.6800 3.7600 3.8000 3.8000 .052
4
3.6000 3.6000 3.6800 3.7600 3.8000 3.8000 3.9200 .199
110
Lampiran 6 Hasil analisis proksimat
Komposisi kimia cabe rawit merah bubuk Komponen Kadar air (bk) Kadar abu Kadar protein Lemak Karbohidrat
Jumlah %) 5.04 5.26 15.15 12.49 62.31
Komposisi kimia kelapa parut kering Komponen Kadar air (bk) Kadar abu Kadar protein Lemak Karbohidrat
Jumlah (%) 1.35 1.70 7.81 66.45 22.70
Komposisi kimia bawang merah bubuk Komponen Kadar air (bk) Kadar abu Kadar protein Lemak Karbohidrat
Jumlah %) 4.64 2.21 7.78 2.11 83.48
Komposisi kimia kemangi kering Komponen Kadar air (bk) Kadar abu Kadar protein Lemak Karbohidrat
Jumlah (%) 8.05 9.71 35.29 3.24 44.30
111
Lanjutan Hasil Proksimat Komposisi kimia ikan cakalang kering Komponen Kadar air (bk) Kadar abu Kadar protein Lemak Karbohidrat
Jumlah (%) 7.75 4.21 75.24 3.39 9.97
Komposisi kimia daun bawang kering Komponen Kadar air (bk) Kadar abu Kadar protein Lemak Karbohidrat
Jumlah (%) 11.83 3.88 18.22 2.48 64.84
Komposisi kimia bumbu instan binthe biluhuta Komponen Kadar air (bk) Kadar abu Kadar protein Lemak Karbohidrat
Jumlah (%) 5.51 14.06 27.62 18.62 34.95
112
Lampiran 7 Contoh perhitungan kapasitas air terikat primer bumbu instan binthe biluhuta aw
M
1-aw
(1-aw) M
aw/(1-aw)M
0.07
2.52
0.93
2.3436
0.0299
0.32
3.59
0.68
2.4412
0.1311
0.43
5.74
0.57
3.2718
0.1314
0.69
8.91
0.31
2.7621
0.2498
0.75
13.08
0.25
3.2700
0.2294
0.84
16.63
0.16
2.6608
0.3157
0.9
25.51
0.1
2.5510
0.3528
0.93
32.35
0.07
2.2645
0.4107
0.97
38.47
0.03
1.1541
0.8405
0.16 y = 0.3031x + 0.0146 R2 = 0.9128
0.14
aw/(1-aw)m
0.12 0.10 0.08 0.06 0.04 0.02 0.00 0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
aw
a = 1/MpC = 0.0146 b = (C-1)/MpC = 00.1726 C -1 = 20.7603 C = 21.7603 a = 1/MpC 0.0146 = 1/Mp (21.7603) Mp = 3.1476 (0.0146 + 0.3031ap)(3.15 - 3.15ap) - ap
113
0.04599 - 0.04599ap + 0.9548 ap - 0.9548 ap2 - ap 0.04599 - 0.09119 - 0.9548 ap2 0.9548 ap2 + 0.09119 - 0.04599
Rumus: Y12 =
− b ± b 2 − 4ac 2a
− 0.09119 ± 0.09119 2 − 4(0.9501)(−0.0488) 1.9096 − 0.09119 ± 8.3158 3−3 − 0.17560 1.9096
− 0.09119 ± − 0.1672488 1.9096
− 0.09119 ± −0.4090 1.9096 =
0.31781 1.9096
awp = 0.1664
114
Lampiran 8 Contoh perhitungan air terikat sekunder bumbu instan binthe biluhuta aw
M
1-aw
log (1-aw)
0.32
3.59
0.68
0.1675
0.43
5.74
0.57
0.2441
0.69
8.91
0.31
0.5086
0.75
13.08
0.25
0.6021
0.84
16.63
0.16
0.7959
0.9
25.51
0.1
1.0000
0.93
32.35
0.07
1.1549
0.97
38.47
0.03
1.5229
y = 0.0272x + 0.2923 R2 = 0.9699
1.40 1.20
log (1-aw)
1.00 0.80 0.60 0.40
y = 0.0487x - 0.0011 R2 = 0.9374
0.20 0.00 0
10
20
30
40
m e(%bk)
Persamaan ruas kiri: y = 0.0487x - 0.0011 Persamaan ruas kanan: y = 0.0272x + 0.2923 X1 = X2 = Ms 0.0272Ms + 0.2923 = 0.0487 Ms - 0.0011 0.02167 Ms = 0.2912 Ms = 13.4379 Untuk mencari aws dapat mengunakan salah satu persamaan tersebut y = 0.0272 x + 0.2923
(x = 13.4379)
y = 0.6578 aws = 0.658
115
Lampiran 9 Contoh perhitungan air terikat tersier bumbu instan binthe biluhuta
35
aw
me
0.84
16.63
0.9
25.51
0.93
32.35
0.97
38.47
y = 757.49x 2 - 1166.1x + 461.58 R2 = 0.9998
30 25
me
20 15 10 5 0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
aw
y = 757.49x2 – 1166.1x + 461.58 bila x = 1 maka y = 52.97
116
Lampiran 10 Penentuan MRD model Hasley sorpsi isotermis Hasley
log(ln(1/Aw)) = log P(1) - P(2) log Me aw
Bumbu Sum ^2 X bar 0.9427 0.5029
Me Percobaan
0.07
2.5
0.32
3.59
0.43
5.74
0.69
8.91
0.75
13.08
0.84
16.63
0.9
25.51
0.93
32.35
0.97
38.47
x = log Me
x^2
y= log(ln(1/Aw))
xy
log Me
Me Hasley
Mi-Mpi/Mi
0.3979
0.1584
0.4248
0.1690
0.0829
1.2103
1.0656
0.5551
0.3081
0.0567
0.0315
0.4733
2.9740
0.2071
0.7589
0.5759
-0.0737
-0.0559
0.6116
4.0891
0.2876
0.9499
0.9023
-0.4306
-0.4090
0.9902
9.7770
0.0973
1.1166
1.2468
-0.5411
-0.6042
1.1075
12.8075
0.0208
1.2209
1.4906
-0.7586
-0.9261
1.3382
21.7855
0.3100
1.4067
1.9788
-0.9773
-1.3748
1.5702
37.1724
0.4572
1.5099
2.2797
-1.1392
-1.7201
1.7420
55.2053
0.7065
1.5851
2.5126
-1.5163
-2.4035
2.1419
138.6586
2.6043
7.9159
8.9406
-3.4390
-4.8896
5.7565
62.6616 0.9895
-0.4299
MRD
63.96
b
a
117
Lampiran 11 Penentuan MRD model Chen-Clayton
Chen Clayton
Bumbu Sum ^2 X bar -0.102 0.39068
ln(ln(1/aw)) = ln P(1) - P(2) Me
-5.7604 2.5513 5.4951 13.5541 16.0501
Me Chen Clayton -5.7604 2.5513 5.4951 13.5541 16.0501
MiMpi/Mi 3.3042 0.2893 0.0427 0.5212 0.2271
-29.0471
20.9613
20.9613
0.2604
-2.2504
-57.4069
25.9011
25.9011
0.0153
1046.52
-2.6232
-84.8603
29.5575
29.5575
0.0863
38.47
1479.94
-3.4914
134.3129
38.0717
38.0717
0.0104
108.31 11731.0561 13.5388
2276.4
-7.9186
194.5039
xy
Me
6.25 12.8881 32.9476 79.3881 171.086
y= ln(ln(1/Aw)) 0.9780 0.1305 -0.1696 -0.9914 -1.2459
2.4451 0.4686 -0.9737 -8.8332 -16.2964
16.63
276.557
-1.7467
25.51
650.76
32.35
Aw
Me
x = Me
x^2
0.07 0.32 0.43 0.69 0.75 0.84
2.5 3.59 5.74 8.91 13.08 16.63
2.5 3.59 5.74 8.91 13.08
0.9
25.51
0.93
32.35
0.97
38.47
-0.9898
4.7466 52.74 MRD
b a
118
Lampiran 12 Penentuan MRD model Henderson Henderson
log(ln(1/(1-aw))) = log K + n Log Me
Me Henderson
MiMpi/Mi
-0.4533
0.6409
0.2286
0.9085
-0.4138
-0.2297
0.4631
2.9044
0.1910
0.5759
-0.2502
-0.1899
0.7120
5.1526
0.1023
0.9499
0.9023
0.0686
0.0652
1.1971
15.7448
0.7671
1.1166
1.2468
0.1419
0.1584
1.3086
20.3504
0.5558
1.2209
1.4906
0.2631
0.3212
1.4930
31.1180
0.8712
1.4067
1.9788
0.3622
0.5095
1.6439
44.0444
0.7266
1.5099
2.2797
0.4248
0.6413
1.7391
54.8359
0.6951
1.5851
2.5126
0.5449
0.8637
1.9219
83.5315
1.1713
Sum
7.9159
8.9406
-0.5427
0.8227
^2
62.6616
X bar
0.9895
Bumbu
Log Me
0.6572 0.7181
Aw
Me
0.07
2.5
0.32
3.59
0.43
5.74
0.69
8.91
0.75
13.08
0.84
16.63
0.9
25.51
0.93
32.35
0.97
38.47
x = log Me
x^2
y = log(ln(1/(1Aw)))
xy
0.3979
0.1584
-1.1392
0.5551
0.3081
0.7589
-0.0678
5.9890
MRD
66.5441
b a
119
Lampiran 13 Penentuan MRD model Caurie
Caurie
ln Me = ln P(1) - P(2) aw
Me
x = Aw
x^2
y = ln Me
xy
Ln Me
Me Caurie
MiMpi/Mi
0.07
2.5
0.070
0.0049
0.9163
0.0641
0.5558
1.7433
0.3027
0.32
3.59
0.320
0.1024
1.2782
0.4090
1.3441
3.8349
0.0682
0.43
5.74
0.430
0.1849
1.7475
0.7514
1.6910
5.4251
0.0549
0.69
8.91
0.690
0.4761
2.1872
1.5092
2.5110
12.3167
0.3823
0.75
13.08
0.750
0.5625
2.5711
1.9283
2.7002
14.8823
0.1378
0.84
16.63
0.840
0.7056
2.8112
2.3614
2.9840
19.7665
0.1886
0.9
25.51
0.900
0.8100
3.2391
2.9152
3.1732
23.8839
0.0637
0.93
32.35
0.930
0.8649
3.4766
3.2333
3.2678
26.2538
0.1884
0.97
38.47
0.970
0.9409
3.6499
3.5404
3.3940
29.7834
0.2258
Sum
4.9300
3.7113
18.2271
13.1718
^2
24.3049
X bar 3.1536
0.6163 b
0.3350
a
aw
Bumbu
2.2784
1.6125 MRD
17.92
120
Lampiran 14 Penentuan MRD model Oswin Oswin
ln Me = ln P(1) + P(2) ln(Aw/(1-Aw))
Bumbu
Aw
Me
0.07 0.32 0.43 0.69 0.75 0.84 0.9 0.93 0.97
2.5 3.59 5.74 8.91 13.08 16.63 25.51 32.35 38.47
x = ln(Aw/(1Aw)) -2.5867 -0.7538 -0.2819 0.8001 1.0986 1.6582 2.1972 2.5867 3.4761
Sum ^2
4.7186 22.2648
X bar
0.5898
0.5702
b
1.9420
a
x^2
y = ln Me
xy
6.6910 0.5682 0.0794 0.6402 1.2069 2.7497 4.8278 6.6910 12.0833
0.9163 1.2782 1.7475 2.1872 2.5711 2.8112 3.2391 3.4766 3.6499
-2.3702 -0.9634 -0.4925 1.7500 2.8246 4.6616 7.1170 8.9929 12.6873
23.4542
18.2271
21.5200
2.2784
Ln Me 0.4670 1.5122 1.7813 2.3983 2.5685 2.8876 3.1950 3.4171 3.9243
Me Oswin 1.5952 4.5367 5.9377 11.0045 13.0465 17.9508 24.4099 30.4803 50.6155
MiMpi/Mi 0.3619 0.2637 0.0344 0.2351 0.0026 0.0794 0.0431 0.0578 0.3157
1.3938 MRD
15.4863
121
Lampiran 15 ANOVA dan uji Duncan terhadap FFA selama Penyimpanan
Lampiran 15a ANOVA FFA pada Minggu ke-2
Source
DF
Sum of Mean F Value Squares Square Kemasan 2 0.00006025 0.00003013 28.92 Cara 1 0.00011961 0.00011961 114.82 Kemasan * Cara 2 0.00001799 0.0000899 8.63 Error 12 0.00001250 0.00000104 8.63 CorrectedTotal 17 0.00021035 R-Square Coeff Var Root MSE y1 Mean 0.940576 0.684623 0.001021 0.149078
Pr>F* <.0001 <.0001 <.0048
Lampiran 15b Hasil Uji Duncan FFA pada Minggu ke-2
Duncan Grouping A B C C C C D
Mean
N
Perlakuan
0.1549667 0.1518667 0.1481333
3 3 3
A1B1 A2B1 A3B1
0.1471667 0.1471667 0.1471667
3 3 3
A1B2 A2B2 A3B2
Ket: Huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%
Lampiran 15c ANOVA FFA pada Minggu ke-4
Source
DF
Kemasan 2 Cara 1 Kemasan*Cara 2 Error 12 Corrected Total 17 R-Square 0.974629
Sum of Mean F Value Squares Square 0.00053280 0.00026640 52.49 0.00152905 0.00152905 301.26 0.00027785 0.00013895 27.37 0.00006091 0.00000508 0.00240061 Coeff Var Root MSE y1 Mean 1.397628 0.002253 0.161194
Pr>F* <.0001 <.0001 <.0001
122
Lampiran 15d Hasil Uji Duncan FFA pada Minggu ke -4
Duncan Mean N Perlakuan Grouping 0.179833 A1B1 A 3 0.173667 A2B1 B 3 0.157733 A3B1 C 3 C 0.154533 A1B2 D C 3 D D 0.151100 A2B2 E 3 E 0.150300 E A3B2 3 Ket: Huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%
Lampiran 15e ANOVA FFA pada Minggu ke-6
Source
DF
Sum of Mean F Value Squares Square Kemasan 2 0.00306834 0.00153417 538.62 Cara 1 0.00541147 0.00541147 1899.87 Kemasan*Cara 2 0.00117869 0.00058934 206.91 Error 12 0.00003418 0.00000285 Corrected Total 17 0.00969268 R-Square Coeff Var Root MSE y1 Mean 0.996474 0.933319 0.001688 0.180828
Pr>F* <.0001 <.0001 <.0001
Lampiran 15f Hasil Uji Duncan FFA pada Minggu ke – 6
Duncan Grouping A B C C C D E
Mean
N
Perlakuan
0.215633 0.209967 0.171800
3 3 3
A1B1 A2B1 A1B2
0.168900 0.161700 0.156967
3 3 3
A3B1 A2B2 A3B2
Ket: Huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%
123
Lampiran 15g ANOVA FFA pada Minggu ke-8
Source
DF
Kemasan 2 Cara 1 Kemasan*Cara 2 Error 12 Corrected Total 17 R-Square 0.980100
Sum of Mean F Value Squares Square 0.01667301 0.00833650 100.94 0.02519286 0.02519286 305.05 0.00641739 0.00320869 38.85 0.00099515 0.00008293 0.0543518 Coeff Var Root MSE y1 Mean 4.302201 0.009088 0.211241
Pr>F* <.0001 <.0001 <.0001
Lampiran 15h Uji Duncan FFA pada Minggu ke – 8
Duncan Grouping A B C C C C C D
Mean
N
Perlakuan
0.300600 0.283933 0.192267
3 3 3
A1B1 A2B1 A1B2
0.184067
3
A3B1
0.178367 0.160533
3 3
A2B2 A3B2
Ket: Huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%
124
Lampiran 16 Total mikroba selama penyimpanan
Perlakuan Ulangan 2 4 6 8 A1B1 1 1.80E+06 4.20E+06 8.60E+06 2.50E+07 A1B1 2 1.70E+06 4.50E+06 8.60E+06 1.90E+07 A1B1 3 1.80E+06 4.70E+06 8.50E+06 2.80E+07 A2B1 1 1.50E+06 3.00E+06 8.00E+06 1.70E+07 A2B1 2 1.30E+06 3.50E+06 7.90E+06 3.70E+07 A2B1 3 1.30E+06 3.40E+06 8.10E+06 2.80E+07 A3B1 1 1.10E+06 2.60E+07 6.80E+06 1.30E+07 A3B1 2 1.00E+06 2.30E+06 6.90E+06 2.10E+07 A3B1 3 1.00E+06 2.40E+06 6.80E+06 1.30E+07 A1B2 1 2.40E+05 2.90E+05 8.20E+05 1.50E+06 A1B2 2 2.40E+05 3.00E+05 7.90E+05 1.90E+06 A1B2 3 2.30E+05 2.70E+05 7.20E+05 2.00E+06 A2B2 1 2.50E+05 2.40E+05 8.60E+05 1.90E+06 A2B2 2 2.30E+05 2.40E+05 9.10E+05 1.60E+06 A2B2 3 2.30E+05 2.50E+05 8.40E+05 1.90E+06 A3B2 1 2.00E+05 1.50E+05 8.60E+05 1.10E+06 A3B2 2 1.70E+05 2.00E+05 8.00E+05 1.30E+06 A3B2 3 1.50E+05 1.90E+05 7.30E+05 1.20E+06
125
Lampiran 17 Rata-rata nilai organoleptik terhadap aroma selama penyimpanan
Perlakuan A1B1 A1B1 A1B1 A2B1 A2B1 A2B1 A3B1 A3B1 A3B1 A1B2 A1B2 A1B2 A2B2 A2B2 A2B2 A3B2 A3B2 A3B2
Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Rata-rata nilai orlep selama penyimpanan 2 4 6 8 4.25 3.75 3.35 2.75 4.40 3.65 3.05 2.55 4.40 3.90 3.30 2.75 4.40 4.00 3.85 3.30 4.35 4.10 3.75 3.15 4.45 4.05 3.75 3.30 4.55 4.25 3.90 3.60 4.55 4.10 4.00 3.60 4.45 4.20 3.90 3.75 4.55 4.40 4.00 3.60 4.55 4.42 3.90 3.45 4.55 4.41 4.10 3.25 4.55 4.43 4.20 3.80 4.55 4.40 4.30 3.60 4.55 4.42 3.95 3.75 4.55 4.49 4.45 4.20 4.55 4.50 4.35 4.40 4.55 4.51 4.30 4.35
126
Lampiran 18 ANOVA dan uji duncan terhadap aroma selama penyimpanan
Lampiran 19a ANOVA aroma bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-2 Source
DF
Kemasan 2 Cara 1 Kemasan*Cara 2 Error 12 Corrected Total 17 R-Square 0.814851
Sum of Mean F Value Squares Square 0.02194444 0.10972222 4.94 0.07347222 0.07347222 33.06 0.02194444 0.10972222 4.94 0.02666667 0.00222222 0.14402778 Coeff Var Root MSE y1 Mean 1.050809 0.047140 4.486111
Pr>F* 0.0273 <.0001 0.0273
Lampiran 18b Uji Duncan aroma bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-2
Duncan Grouping A A A A A A A B B B
Mean
N
Perlakuan
4.55000
3
4.55000
3
A1B2 A2B2 A3B2
4.55000
3
A3B1
4.51667 4.40000
3 3
A2B1
4.35000
3
A1B1
Ket: Huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%
127
Lampiran 18c ANOVA aroma bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-4
Source
DF
Kemasan Cara Kemasan*Cara Error Corrected Total
2 1 2 12 17
Sum of Squares 0.019387778 0.88002222 0.09287718 0.04920000 1.21597778
R-Square Coeff Var 0.959539 1.516929
Mean Square 0.09693889 0.88002222 0.04643889 0.00410000
Root MSE 0.064031
F Value
Pr>F*
23.64 214.64 11.33
<.0001 <.0001 0.0017
y1 Mean 4.221111
Lampiran 18d Uji Duncan aroma bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-4
Duncan Grouping A A A A A B C D
Mean
N
Perlakuan
4.55000
3
A3B2 A2B2
4.41667
3
4.41000 4.18333 4.05000 3.76667
3 3 3 3
A1B2 A3B1 A2B1 A1B1
Ket: Huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%.
Lampiran 18e ANOVA aroma bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-6
Source
DF
Kemasan Cara Kemasan*Cara Error Corrected Total
2 1 2 12 17
Sum of Squares 0.88111111 1.22722222 0.13777778 0.16166667 2.40777778
R-Square Coeff Var 0.932856 2.967696
Mean Square 0.44055556 1.22722222 0.03888889 0.01347222
Root MSE 0.116070
F Value
Pr>F*
32.70 91.04 5.11
<.0001 <.0001 0.0248
y1 Mean 3.911111
128
Lampiran 18f Uji Duncan aroma bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-6
Duncan Grouping A B B C B C C D D D E
Mean
N
Perlakuan
4.36667 4.15000
3 3
A3B2 A2B2
4.00000
3
A1B2
3.93333
3
A3B1
3.78333 3.23333
3 3
A2B1 A1B1
Ket: Huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%
Lampiran 18g ANOVA aroma bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-8
Source
DF
Kemasan Cara Kemasan*Cara Error Corrected Total
2 1 2 12 17
Sum of Squares 2.57250000 1.77347222 0.06361111 0.16166667 4.57125000
R-Square Coeff Var 0.964634 3.308406
Mean Square 1.28625000 1.77347222 0.0380556 0.01347222
Root MSE 0.116070
F Value
Pr>F*
95.47 131.64 2.36
<.0001 <.0001 0.1366
y1 Mean 3.508333
Lampiran 18h Uji Duncan aroma bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-8
Duncan Grouping A B B B C C C D
Mean
N
Perlakuan
4.31667 3.71667
3 3
A3B2 A2B2
3.65000 3.43333
3 3
A3B1 A1B2
3.25000 2.68333
3 3
A2B1 A1B1
Ket: Huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%
129
Lampiran 19 Rata-rata nilai organoleptik warna selama penyimpanan
Perlakuan Ulangan Rata-rata nilai organoleptik warna 2 4 6 8 A1B1 1 4.00 3.90 3.60 3.00 A1B1 2 4.00 3.90 3.50 3.00 A1B1 3 4.00 3.80 3.70 3.00 A2B1 1 4.00 3.80 3.60 3.00 A2B1 2 4.00 3.80 3.70 3.00 A2B1 3 4.00 3.90 3.80 3.00 A3B1 1 4.00 3.90 3.80 3.20 A3B1 2 4.00 3.90 3.80 3.40 A3B1 3 4.00 3.90 3.70 3.20 A1B2 1 4.00 4.00 3.60 3.10 A1B2 2 4.00 4.00 3.80 3.20 A1B2 3 4.00 4.00 3.70 3.20 A2B2 1 4.00 4.00 3.90 3.10 A2B2 2 4.00 4.00 3.90 3.20 A2B2 3 4.00 4.00 3.80 3.20 A3B2 1 4.00 4.00 3.80 3.40 A3B2 2 4.00 4.00 3.90 3.30 A3B2 3 4.00 4.00 3.90 3.50
130
Lampiran 20 ANOVA dan uji Duncan terhadap warna selama penyimpanan Lampiran 20a ANOVA warna bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-4
Source
DF
Kemasan Cara Kemasan*Cara Error Corrected Total
2 1 2 12 17
Sum of Squares 0.00333333 0.08000000 0.00333333 0.01333333 0.10000000
R-Square Coeff Var 0.866667 0.847458
Mean Square 0.00166667 0.08000000 0.00333333 0.00111111
Root MSE 0.033333
F Value
Pr>F*
1.50 72.00 1.50
0.2621 <.0001 0.2621
y1 Mean 3.933333
Lampiran 20b Uji Duncan warna bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-4
Duncan Mean N Perlakuan Grouping A1B2 3 4.0000 A A A2B2 3 4.0000 A A A3B2 3 4.0000 A A3B1 3 3.9000 B B A1B1 3 3.86667 C B C A2B1 3 3.83333 C Ket: Huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%
131
Lampiran 20c ANOVA warna bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-6
Source
DF
Kemasan Cara Kemasan*Cara Error Corrected Total
2 1 2 12 17
Sum of Squares 0.09333333 0.06722222 0.00444444 0.08000000 0.24500000
R-Square Coeff Var 0.673469 2.177324
Mean Square 0.04666667 0.06722222 0.00222222 0.00666667
Root MSE 0.081650
F Value
Pr>F*
7.00 10.08 0.33
0.0097 0.0080 0.7230
y1 Mean 3.750000
Lampiran 20d Uji Duncan warna bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-6
Duncan Mean N Perlakuan Grouping A3B2 3 3.86667 A A A2B2 3 3.86667 A A A3B1 3 3.76667 A B A B A2B1 3 3.7000 B C B C A1B2 3 3.7000 B C C A1B1 3 3.6000 C Ket: Huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5% Lampiran 20d ANOVA warna bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-8
Source
DF
Kemasan Cara Kemasan*Cara Error Corrected Total R-Square 0.857143
2 1 2 12 17
Sum of Squares 0.25000000 0.10888889 0.00111111 0.06000000 0.4200000
Coeff Var 2.232969
Mean Square 0.12500000 0.10888889 0.00055556 0.00500000
F Value
Pr>F*
25.00 21.78 0.11
<.0001 0.0005 0.8957
Root MSE y1 Mean 0.070711 3.166667
132
Lampiran 20e Uji Duncan warna bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-8
Duncan Mean N Perlakuan Grouping A3B2 3 3.40000 A A3B2 3 3.26667 B B A2B2 3 3.16667 B B A1B2 3 3.16667 B B A2B1 3 3.0000 C C A1B1 3 3.0000 C Ket: Huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%
133
Lampiran 21 Kadar air bumbu instan binthe biluhuta selama penyimpanan
Perlakuan A1B1 A1B1 A1B1 A2B1 A2B1 A2B1 A3B1 A3B1 A3B1 A1B2 A1B2 A1B2 A2B2 A2B2 A2B2 A3B2 A3B2 A3B2
Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
2 8.19 8.10 8.38 6.91 6.89 6.93 5.89 5.91 5.80 7.40 7.42 7.41 6.94 6.93 6.96 5.56 5.61 5.50
4 9.87 9.85 9.92 9.31 9.25 9.37 6.20 6.25 6.18 8.69 8.76 8.66 7.32 7.23 7.40 5.94 5.90 6.10
Minggu 6 11.55 11.68 11.45 10.71 10.65 10.84 6.71 6.69 6.73 10.7 10.95 10.56 8.18 8.19 9.1 6.49 6.51 6.47
8 13.61 13.63 13.72 12.73 12.78 12.69 7.32 7.35 7.39 11.02 11.05 11.08 9.15 9.25 9.10 6.62 6.59 6.65
134
Lampiran 22 ANOVA dan uji Duncan terhadap kadar air bumbu instan binthe biluhuta selama penyimpanan
Lampiran 22a ANOVA kadar air bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-2
Source
DF
Kemasan Cara Kemasan*Cara Error Corrected Total
2 1 2 12 17
Sum of Squares 13.39870000 0.59405000 0.54403333 0.05526667 14.59205000
R-Square Coeff Var 0.996213 0.995320
Mean Square 6.69935000 0.59405000 0.27201667 0.00460556
Root MSE 0.067864
F Value
Pr>F*
1454.62 128.99 59.06
<.0001 <.0001 <.0001
y1 Mean 6.818333
Lampiran 22bUji Duncan kadar air bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-2
Duncan Mean N Perlakuan Grouping A1B1 3 8.22333 A A1B2 3 7.41000 B A2B2 3 6.94333 C A2B1 C A3B1 3 6.91000 C A3B2 3 5.86667 D 3 5.55667 E Ket: Huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%
Lampiran 22c ANOVA kadar air bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-4
Source
DF
Kemasan Cara Kemasan*Cara Error Corrected Total
2 1 2 12 17
Sum of Squares 32.19363333 5.78000000 2.33623333 0.0545333 40.36440000
R-Square Coeff Var 0.998649 0.853323
Mean Square
F Value
Pr>F*
16.09681667 5.78000000 1.16811667 0.00454444
3542.09 1271.88 257.04
<.0001 <.0001 <.0001
Root MSE 0.067412
y1 Mean 7.900000
135
Lampiran 22d Uji Duncan kadar air bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-4
Duncan Mean N Perlakuan Grouping A 9.88000 3 A1B1 B 9.31000 3 A2B1 C 8.70333 3 A1B2 D 7.31667 3 A2B2 E 6.21000 3 A3B1 F 5.98000 3 A3B2 Ket: Huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%
Lampiran 22e ANOVA kadar air bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-6
Source
DF
Kemasan Cara Kemasan*Cara Error Corrected Total
2 1 2 12 17
Sum of Squares 66.74923333 3.37133889 1.33734444 0.13233333 71.59025000
R-Square Coeff Var 0.998152 1.137122
Mean Square
F Value
Pr>F*
33.37461667 3.37133889 0.66867222 0.01102778
3026.41 305.71 60.64
<.0001 <.0001 <.0001
Root MSE 0.105013
y1 Mean 9.235000
Lampiran 22f Uji Duncan kadar air bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-6
Duncan Grouping A B B B C D E
Mean
N
Perlakuan
11.56000 10.73667
3 3
A1B1 A1B2
10.73333 9.18000 6.71000 6.49000
3 3 3 3
A2B1 A2B2 A3B1 A3B2
Ket: Huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%
136
Lampiran 22g ANOVA kadar air bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-8
Source
DF
Kemasan Cara Kemasan*Cara Error Corrected Total R-Square 0.999864
2 1 2 12 17
Sum of Squares 72.05154444 49.23627222 17.84287778 0.0188667 139.1495611 Coeff Var 0.413345
Mean Square
F Value
Pr>F*
36.02577222 49.23627222 8.92143889 0.0015722
22913.9 31316.4 5674.41
<.0001 <.0001 <.0001
Root MSE y1 Mean 0.039651 9.592778
Lampiran 22h Uji Duncan kadar air bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-6
Duncan Grouping A B C D E F
Mean
N
Perlakuan
13.65333 12.73333 10.04667 7.35333 7.15000 6.62000
3 3 3 3 3 3
A1B1 A2B2 A1B2 A2B1 A3B1 A3B2
Ket: Huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%
137