ANALISIS PERAN GENDER DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN LAUT (STUDI KASUS DI KECAMATAN PANAI HILIR KABUPATEN LABUHANBATU PROPINSI SUMATERA UTARA)
MAILINA HARAHAP
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Analisis Peran Gender dalam Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut (Studi Kasus di Kecamatan Panai Hilir Kabupaten Labuhanbatu Propinsi Sumatera Utara)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
Bogor, Mei 2006
Mailina Harahap Nrp. A155030201
ABSTRAK
MAILINA HARAHAP. Analisis Peran Gender dalam Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan dan Laut. Studi Kasus di Kecamatan Panai Hilir Kabupaten Labuhanbatu Provinsi Sumatera Utara (Dedi Budiman Hakim sebagai Ketua dan Akhmad Fauzi sebagai Anggota Komisi Pembimbing) Sumber daya perikanan dan laut wilayah perairan laut Kecamatan Panai Hilir telah mengalami overfishing . Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak dari overfishing terhadap peran gender dalam pemanfaatan sumber daya perikanan dan laut di kecamatan Panai Hilir, kabupaten Labuhanbatu, provinsi Sumatera Utara. Dari analisis Data Envelopment Analysis (DEA) ditemukan bahwa sebagian besar rumahtangga nelayan (88%) memiliki kapasitas perikanan tangkap lebih (overcapacity) dan tidak efisien. Karenanya, peran gender dalam memanfaatkan sumber daya perikanan dan laut menjadi kurang optimal. Oleh karena itu, perlu dik embangkan usaha budidaya perikanan sebagai upaya untuk membuka peluang kerja bagi kaum perempuan dan sekaligus mengurangi tekanan terhadap sumber daya perikanan dan laut yang telah mengalami overfishing agar kelestarian sumber daya perikanan dan laut dapat lebih terjamin dan berkelanjutan. Kata kunci; kapasitas tangkap, analisis Gender, Data Envelopment Analysis (DEA), efisiensi.
ANALISIS PERAN GENDER DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN LAUT (STUDI KASUS DI KECAMATAN PANAI HILIR KABUPATEN LABUHANBATU PROPINSI SUMATERA UTARA)
MAILINA HARAHAP
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pad a Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Tesis
: Analisis Peran Gender dalam Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan dan Laut (Studi Kasus di Kecamatan Panai Hilir Kabupaten Labuhanbatu Propinsi Sumatera Utara)
Nama
: Mailina Harahap
Nomor Pokok
: A155030201
Program Studi
: Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Ketua
Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Prof. Ir. Isang Gonarsyah , Ph.D
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 24 Mei 2006
Tanggal Lulus : ……………………..
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kotapinang Kabupaten Labuhanbatu Sumatera Utara pada tanggal 16 Mei 1980. Merupakan anak ke dua dari enam bersaudara oleh pasangan suami istri Ahmad Manginar Harahap dan Fariha. Pendidikan sekolah dasar ditempuh di SD Negeri V Kotapinang dan tamat tahun 1992, Pendidikan sekolah menengah pertama di tempuh di SMP Negeri I Kotapinang dan tamat tahun 1995 selanjutnya pendidikan sekolah menengah atas di tempuh di SMA Negeri Kotapinang dan tamat tahun 1998. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu dan tamat tahun 2002. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan pada program magister Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor. Penulis semasa menempuh pen didikan di program magister Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor, juga menjadi asisten dosen Fakultas Ekonomi Universitas Ibnu Khaldun Bogor dan dosen pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pandu Madania Bogor disamping tercatat sebagai dosen tetap Universitas Muhammad iyah Sumatera Utara.
PRAKATA Subhanallah Walhamdulillah Walaailaahaillallah Wallahu Akbar, Atas Kekuatan serta Rahmad dan Hidayah Allah SWT. akhirnya penulis dapat menyelesaikan pendidikan magister di Institut Pertanian Bogor beserta penelitian yang menghasilkan sebuah tesis yang berjudul ”Analisis Peran Gender dalam Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut (Studi Kasus di Kecamatan Panai Hilir Kabupaten Labuhanbatu Propinsi Sumatera Utara)” Karya ini merupakan hasil bantu an dan doa dari berbagai pihak. Ucapan terimakasih dan penghargaa penulis kepada ke dua dosen yang telah menyempatkan waktu di sela-sela kesibukan mereka, dedikasi, motivasi dan kesabaran yaitu; Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Akhmad Fauzi selaku anggota komisi pembimbing. Bapak Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D selaku ketua program studi PWD, seluruh dosen PWD. Ibu Dr. Titi Sumarti yang telah bersedia menjadi penguji dan motivasi yang diberikan. Teman-teman PWD 2003 atas rutinitas diskusi sehingga kebersamaan kita semakin berkesan dengan keseriusan dan tawa canda. PWD 2004 dan 2005, senior bapak dan ibu S3, atas kebersamaannya dan adik -adik di “Marhamah” dan “HIMALAB” semoga tetap istiq omah dan tetap semangat. Keluarga seperantauan di Jl. H. Abas dan Bu Erni atas transfer ilmunya Keluarga besar Kecamatan Panai Hilir yang telah menerima penulis untuk melakukan penelitian dan bantuan yang diberikan baik moral maupun spritual. Spesial buat orang-orang tercinta dan penyem angat penulis, bapak dan mamak , Bg Lindung engkau sebaik -baik abang buatku, adik -adikku (Srie, Iis, Onang, Imam dan Efri) terimakasih doa-doanya dan semoga ALLAH SWT. meridhoi segala belas kasih yang diberikan. Semua keluarga besar di Kotapinang, Slawi, Jakarta, Dumai, Bengkulu dan para pembaca, terimakasih semoga karya ini bermanfaat.
Dramaga – Bogor, Mei 2006 Mailian Harahap
©Hak cipta milik Ma ilina Harahap, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL…………………………………………………………….. xi DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………… xii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………. I.
PENDAHULUAN …………………………………………………….. 1.1. Latar Belakang ……………………………………………………….. 1.2. Perumusan Masalah ……………………………..…………………….. 1.3. Tujuan Penelitian ……………………………………………………. 1.4. Manfaat Penelitian………………………………………………….….. 1.5.
II.
III.
IV.
V.
Batasan Penelitian
xiii
1 5 8 8 8
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pembangunan Wilayah ..................................................... 2.2. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan ............................................................................................. 2.3. Sumber Daya Perikanan Laut ......................................................... 2.4. Konsep Sumber Daya Manusia dan Gender ................................ 2.5. Curahan Kerja Perempuan dan Laki-laki ....................................... 2.6. Peran Laki-laki dan Perempuan Dalam Pengelolaan Kawasan Pantai .............................................................................................. 2.7. Akses dan Kontrol Terhadap Sumberdaya..................................... 2.8. Gender dalam Pembangunan........................................................... 2.9. Tinjauan Penelitian Terdahulu……………………………………
23 24 25
KERANGKA PEMIKIRAN …………………………………………. 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis …………………. ………………. 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional .……………………………….
27 34
METODE PENELITIAN ………………………………………..…… 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………….………… 4.2. Metode Penarikan Sampel ……………………………….….…… 4.3. Jenis dan Sumber Data…………………………………………… 4.4. Metode (skala) Pengukuran............................................................ 4.5. Metode Analisis…………………………………………………..
37 37 38 38 39
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 5.1. Letak Geografis............................................................................... 5.2. Keadaan Sosial Ekonomi………………………………………… 5.3. Keadaan Sarana dan Prasarana Kecamatan Panai Hilir …………..
46 48 51
9 11 13 15 20 21
VI.
II
SUMBERDAYA PERIKANAN DAN LAUT 6.1. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Laut………………….. 6.2. Karakteristik Rumahtangga Nelayan Sampel……………………. EFISIENSI KERAGAAN AKTIVITAS PERIKANAN LAUT 7.1 Analisis Efisiensi Keragaan Kapasitas Tangkap Nelayan Panai Hilir.................................................................................................
VIII PERAN GENDER DALAM RUMAHTANGGA NELAYAN DAN KAPASITAS PERIKANAN TANGKAP 8.1. Pola Pekerjaan Anggota Rumahtangga........................................... 8.2. Pembagian Kerja dan Curahan Waktu dalam Kegiatan Reproduktif..................................................................................... 8.3. Pembagian Kerja dan Curahan Wak tu dalam Aktivitas Produktif........ ................................................................................. 8.4. Aktivitas Kebutuhan Dasar............................................................. 8.5. Curahan Waktu dalam Aktivitas Sosial.......................................... 8.6. Akses Terhadap Berbagai Sumberdaya…………………………... 8.7. Kontrol Terhadap Akvivitas Perikanan Tangkap ………………… 8.8. Hubungan Sumberdaya Perempuan dengan Kontrol…………….. 8.9. Overcapacity Wilayah Tangkap Panai Hilir dan Peran Gender….. XI
54 60
67
74 76 80 87 88 88 95 100 103
KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………….. 11.1 Kesimpulan……………………………………………………………. 11.2 Saran ………….………..……………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….……. LAMPIRAN ……………………………………………………….…………
x
106 107
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Penelitian gender terdahulu Jumlah responden pada masing-masing desa Skor Nilai Jawaban Responden Luas dan jumlah penduduk menurut desa Jumlah penduduk pada tiap desa berdasarkan jenis kelamin Jumlah penduduk menurut tingkat umur dan pendidikan Sarana prasarana Kecamatan Panai Hilir
26 38 39 47 50 51 52
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Jenis dan jumlah alat tangkap nelayan Kecamatan Panai Hilir Jumlah perahu dan kekuatan mesin Siklus pasang surut air laut Status usaha perikanan nelayan Kepemilikan armada tangkap Tingkat pendidikan pasangan suami istri Sebaran tingkat pendidikan anggota rumah tangga nelayan yang berumur di atas 17 tahun Kategori tingkat jumlah anggota rumahtangga nelayan Jumlah anggota rumahtangga Kategori tingkat pengalaman melaut nelayan Kategori tingkat umur pasangan suami istri rumahtangga nelayan Rata-rata pendapatan rumahtangga nelayan Keragaan kapasitas tangkap perikanan nelayan yang efisien Aktivitas reproduktif dan rata-rata curahan waktu (jam) sehari yang lalu dalam rumahtangga nelayan Aktiv itas produktif dan Rata-rata Curahan Waktu (jam) sehari yang lalu dalam rumahtangga nelayan Aktivitas Kebutuhan Dasar dan Rata-rata Curahan Waktu Akses sumberdaya yang dimiliki laki-laki dan perempuan Kontrol Rumahtangga Nelayan Tid ak Pengolah Kontrol Rumahtangga nelayan pengolah Korelasi Akses dan Kontrol Pada Tiap Strata Uji Korelasi Pendidikan dan Kontrol Pada Tiap Strata Uji Korelasi Status kerja perempuan dan Kontrol Pada Tiap Strata
56 56 59 60 61 62 62
15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.
xi
63 64 65 66 66 73 77 81 87 88
95 96 100 101 102
DAFTAR GAMBAR Halaman
Nomor
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Pengaruh tangkap terhadap terhadap stok (biomas)..................... Kerangka Pemikiran Operasional................................................. Rantai pemasaran ikan dalam sistem tangkahan……………...... Potential Improvement dari trip melaut dalam sebulan………… Potential Improvement dari tenaga kerja melaut dalam sebulan.. Potential Improvement dari bahan bakar minyak yang digunakan per trip melaut dalam sebulan ………………………. Potential Improvement dari kekuatan mesin perahu yang digunakan……………………………………………………….. Tingkat skor yang dimiliki setiap unit sampel………………….
xii
14 36 54 68 69 70 71 72
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Karakteristik R umahtangga Nelayan Data Input dan Output Rumahtangga Nelayan Tidak Pengolah Hasil Analisis Dea Akses Rumahtangga Nelayan Hasil olahan data Rank Spearman Peta Lokasi Penelitian
xiii
111 113 114 120 121 122
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Rezim
pemerintahan
Orde
Baru
yang
sentralistik
meninggalkan
pertumbuhan ekonomi yang tidak mengarah pada pembangunan berkelanjutan. Secara umum sistem pemerintahan sentralistik cenderung menimbulkan; 1) politik yang tidak demokratis, 2) korupsi, 3) rent seeking activities dan 4) moral hazard (Solihin, et. al. 2005). Demikian pula yang terjadi pada sektor kelautan dan perikanan di mana aktivitas pencari keuntungan (rent seeking activities) yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok berdampak pada kerusakan sumber daya perikanan dan laut yang pada gilirannya menempatkan masyarakat bawah (grass root) pada kondisi ekonomi yang semakin sulit. Reformasi yang terjadi tahun 1998 memberi warna baru pada pemerintahan Indonesia yang disusul kemudian dengan adanya UU NO. 22/1999 tentang kewenangan daerah untuk mengurus rumahtangganya sendiri. Pemerintah daerah harus inovasi dan kreatif dalam mengelola potensi-potensi sumber daya yang tersedia dan diupayakan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara adil dan berkelanjutan. Khusus untuk sektor perikanan laut, otonomi daerah merupakan peluang terciptanya redefinisi dan reorientasi pembangunan dari sistem pemerintahan Orde Baru yang sentralistik. Untuk itu hak atas sumber daya kelautan dan perikanan seharusnya dikembalikan pada masyarakat sebagai pemanfaat sumber daya perikanan dan laut yang tersedia. Dalam hal ini diperlukan kebijakan pemerintah daerah yang berorientasi pada pemanfaatan sumber daya perikanan dan laut yang berkelanjutan. Pemanfaatan sumber daya perikanan laut yang berkelanjutan mengandung makna bahwa pemanfaatan sumber daya perikanan untuk kebutuhan saat sekarang tidak merusak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang. Tetapi sangat menyayangkan pemanfaatan sumber daya perikanan yang berkelanjutan tersebut sulit untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan sifat laut yang open acces sehingga setiap individu memiliki hak untuk mengesktraksi sumber daya perikanan dan laut tanpa melakukan kompensasi terhadap pelestarian produksi sumber daya
2 perikanan laut yang lestari. Aktivitas mengekstraksi jumlah ikan yang ditangkap melebihi jumlah ikan yang dibutuhkan untuk mempertahankan stok ikan yang ada (overfishing) pada gilirannya menjadikan laut mengalami degradasi dan deplesi. Secara umum hasil assesment Asian Development Bank tahun 2004 menunjukkan indikasi bahwa perairan Indonesia telah mendekati overfishing dan bahkan di beberapa wilayah seperti pantai Utara Jawa dan Sumatera sudah mengalami overfishing (Fauzi, 2005). Overfishing yang terjadi di wilayah perairan Selat Malaka merupakan dampak dari penggunaan alat tangkap trawl yang mampu menangkap semua jenis sasaran tangkap, terutama di perairan dasar laut (Solihin, et. al. 2005). Salah satu wilayah pesisir di Sumatera Utara yang berbatasan dengan perairan Selat Malaka adalah Kecamatan Panai Hilir Kabupaten Labuhanbatu. Sifat laut yang open acces mendorong setiap orang yang berdomisili di wilayah pesisir Kecamatan Panai Hilir dan juga nelayan asing untuk mengekstraksi laut sebesar-sebarnya dengan berbagai teknologi alat perikanan tangkap baik legal maupun illegal. Disatu sisi, biaya monitoring sumberdaya perikanan dan laut relatif tinggi sehingga eksternalitas yang terjadi sulit untuk dikendalikan. Penggunaan teknologi yang tidak tepat guna baik oleh nelayan lokal maupun nelayan asing menyebabkan stok ikan berkurang dan pada akhirnya hasil tangkapan pada setiap trip melaut mengalami penurunan. Seiring dengan berkurangnya stok ikan, persaingan antar nelayan dalam mengekstraksi laut pun semakin tinggi pada akhirnya menimbulkan konflik yang memperparah kehidupan nelayan khususnya nelayan miskin. Overfishing yang terjadi pada wilayah perairan tangkap nelayan Panai Hilir semakin memacu nelayan untuk lebih meningkatkan kapasitas tangkap mereka sebagai usaha untuk mendapatk an hasil tangkapan yang banyak. Disamping itu overfishing yang terjadi berdampak pada pola pemanfaatan hasil tangkapan rumahtangga nelayan pengolah sehingga hasil tangkapan dipasarkan dalam bentuk segar. Perubahan usaha perikanan tangkap rumahtangga nelayan pengolah tersebut tidak lepas dari aspek ketersediaan sumber daya perikanan laut yang semakin berkurang sehingga bahan baku yang diperoleh sedikit.
3 Berkurangnya rumahtangga nelayan yang melakukan pengolahan sumber daya perik anan laut, menunjukkan pemanfaatan sumber daya perikanan laut tersebut apab ila dilihat dari dimensi gender kurang optimal. Hal ini dikarenakan apabila aktivitas pengolahan ikan dalam rumahtangga nelayan Panai Hilir tidak ada, maka hanya terdapat peran laki-laki dengan aktivitas penangkapan ikan di laut sementara peran perempuan tidak ada. Sebagaimana wilayah pesisir umumnya tidak terlepas dari aspek budaya masyarakat yang menempatkan lakipada ranah laut dan perempuan pada ranah darat dengan aktivitas pengo lahan ikan. Kurang optimalnya peran jender dalam memanfaatkan sumber daya perikanan laut akan berdampak pada perekonomian rumahtangga nelayan yang akan semakin sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Disamping itu dengan tidak adanya aktivitas pengolahan ikan dalam rumahtangga nelayan, maka waktu luang mereka akan menjadi tinggi sementara peluang untuk mendapatkan tingkat pendapatan rumahtangga dari pemanfaatan sumber daya perikanan dan laut Panai Hilir akan rendah. Hasil penelitian terhadap rumahtangga nelayan menunjukkan terdapat 71,42% istri nelayan bekerja di sektor perikanan dengan mengolah ikan hasil tangkapan dan kegiatan ini memberikan kontribusi besar dalam memenuhi kebutuhan rumahtangga (Miftachhuddin, 2003). Demikian pula penelitian terhadap wanita nelayan di kotamadya Medan menunjukkan hasil bahwa dengan semakin banyaknya waktu luang yang dipergunakan untuk mencari nafkah tambahan, memberikan andil yang sangat besar dan nyata terhadap peningkatan pendapatan dan kondisi rumahtangga tempat tinggal (Rinaldi, 1999) Overfishing yang terjadi di wilayah perairan tangkap Kecamatan Panai Hilir juga menunjukkan pemanfaatan sumber daya perikanan dan laut yang tidak efisien. Hal ini terkait dengan pengalokasian modal dengan penggunaan kapasitas tangkap yang berlebihan (overcapacity) di samping peran jender kurang optimal juga akan menimbulkan kerusakan yang lebih parah terhadap sumber daya perikanan dan laut. Untuk itu sangat diperlukan adanya pemanfaatan sumber daya manusia dengan melihat dimensi gender yang terdapat pada wilayah Kecamatan Panai Hilir tersebut. Sebagaimana Anwar (1997) menitik beratkan bahwa upaya
4 perbaikan sumber daya dan peningkatan ekonomi sangat ditentukan oleh peran gender. Produksi perikanan laut yang berkelanjutan hanya dapat diperoleh dari pemanfaatan laut secara efisien. Efisien dalam hal ini sangat terkait dengan faktorfaktor input. Sehingga perlu diketahui seberapa besar kapasitas perikanan yang dialokasikan oleh nelayan untuk suatu wilayah tertentu. Sebagaimana Fauzi dan Anna (2005) menyatakan, bahwa perlu dilakukan perhitungan kapasitas perikanan untuk mengetahui apakah perikanan tersebut sudah efisien dalam kaitannya dengan economic overfishing. Disamping itu rumahtangga nelayan sebagai unit pengelola sumber daya perikanan laut memiliki peran dalam kaitannya dengan economic overfishing. Dapat dikatakan bahwa degradasi produksi lestari dari perikanan dan laut Kecamatan Panai Hilir sangat terkait dengan aktivitas rumahtangga nelayan dan nelayan asing dalam memanfaatkan sumber daya perikanan dan laut Kecamatan Panai Hilir. Rumahtangga nelayan merupakan sumberdaya manusia yang merupakan potensi dalam pembangunan kawasan pesisir dan laut. Sebagaimana Dahuri (2003) menyatakan, peningkatan kualitas sumberdaya manusia di bidang kelautan sangat penting agar potensi sumberdaya kelautan mampu memberikan sumbangan yang berarti bagi perekonomian nasional di masa mendatang. Disamping itu agar potensi sumber daya laut memberi manfaat berkelanjutan terhadap pembangunan wilayah maka perlu memperhatikan daya dukung maksimum lingkungan (carrying capacity) terkait dengan sumber daya di sekitar wilayah pesisir. Pemanfaatan sumber daya perikanan yang telah melebihi daya dukung maksimum lingkungan di tunjang oleh pengunaan kapasitas perikanan tangkap yang berlebihan (overcapacity) sangat sulit untuk ditemukan solusinya. Berbagai penelitian mencoba untuk melihat faktor yang menimbulkan overcapacity tersebut diantaranya Fauzi (2005), Fatchudin (2006), Maman Hermawan (2006) tetapi sejauh ini dalam mengkaji overcapacity tersebut belum melihat dimensi peran gender dalam memanfaatkan sumber daya perikanan dan laut. Berdasarkan uraian sebelumnya, maka diperlukan pengkajian terhadap kapasitas perikanan tangkap terkait dengan dimensi peran gender yang terdapat pada rumahtangga nelayan dan dalam memanfaatkan sumber daya perikanan dan laut Kecamatan Panai Hilir.
5 1.2. Rumusan Masalah Kabupaten Labuhan Batu terbagi atas dua tipe wilayah yaitu wilayah pantai dan wilayah pedalaman. Salah satu wilayah pantainya adalah Kecamatan Panai Hilir yag berbatasan dengan perairan laut Selat Malaka. Kecamatan Panai Hilir memiliki perbedaan dengan kecamatan-kecamatan yang terdapat pada wilayah pedalaman baik dari aspek sosial budaya maupun perekonomian. Kecamatan Panai Hilir dapat digolongkan pada wilayah yang memiliki perkembangan lambat bila dibandingkan dengan wilayah pedalaman. Sumber daya perikanan dan laut merupakan salah satu sumber daya yang memberi kontribusi besar terhadap pendapatan masyarakat dengan aktivitas tangkap dan perdagangan hasil produksi perikanan lautnya. Tetapi sejauh ini pengelolaan dan pemanfaatan optimal belum dilakukan pada wilayah perairan tangkap Kecamatan Panai Hilir. Pemanfaatan sumber daya perikanan dan laut Kecamatan Panai Hilir hanya memberi manfaat besar bagi pemilik modal dan nelayan besar yang menguasai teknologi penangkapan perikanan laut. Sehingga tidak jarang aktivitas tersebut menimbulkan eksternalitas dan mengarah pada overfishing. Kondisi wilayah perairan Kecamatan Panai Hilir yang mengalami overfishing secara langsung berdampak pada terhambatnya pembangunan wilayah Kecamatan Panai Hilir yang tidak tertuju pada tujuan pembangunan yaitu; 1) pertumbuhan
(growth),
2)
pemerataan
(equity)
dan
3)
keberlanjutan
(sustainability). Overfishing yang terjadi bermula sejak tahun 1980 penggunaan alat tangkap trawl dan purse saine telah beroperasi di perairan Selat Malaka yang berdampak terjadinya deplesi sumber daya perikanan . Permasalahan deplesi berimplikasi pada kemiskinan yang berkepanjangan pada rumahtangga nelayan kecil dan buruh. Sebagaimana yang dikemukakan Fauzi (2006), efek domino dari modernisasi perikanan adalah; 1) berdampak pada permasalahan kemiskinan yang persisten dimana pendapatan riil nelayan khususnya nelayan kecil Indonesia mas ih di bawah US $ 50 per kapita per bulan, dan 2) Terjadinya over capacity pada wilayah tangkap Selat Malaka. Kemiskinan merupakan faktor penghambat pertumbuhan wilayah. Dimana kemiskinan rumahtangga nelayan Kecamatan Panai Hilir merupakan kemiskinan
6 yang berada dalam suatu lingkaran kemiskinan yang sulit untuk diputus karena faktor-faktor yang ada di dalamnya saling terkait satu sama lain. Seperti tingkat pendapatan yang rendah tentunya berimplikasi pada pendidikan, kesehatan, dan produktivitas yang rendah pula dan berujug pada tingkat pendapatan yang rendah. Overfishing menjadikan semakin berkurangnya jumlah hasil tangkapan yang diperoleh rumahtangga nelayan Panai Hilir bahkan tidak jarang nelayan pulang melaut tanpa membawa hasil. Fenomena tersebut berdampak pada semakin berkurangnya aktivitas pengolahan pada rumahtangga nelayan Kecamatan Panai Hilir. Seyogyanya pemanfaatan sumber daya perikanan akan memberi manfaat positif
terhadap
pertumbuhan
wilayah.
Sebagaimana
diketahui
bahwa
pertumbuhan wilayah sangat ditentukan oleh perpaduan kemampuan sumber daya manusia dan pemanfaatan sumber daya alam dengan ketersediaan sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan produktivitas. Pengurangan aktivitas pengolahan pada rumahtangga nelayan Kecamatan Panai Hilir telah menghambat produktivitas dari sumber daya manusia yang ada dalam dimensi jender. Dengan tidak adanya aktivitas pengolahan dalam rumahtangga nelayan Kecamatan Panai Hilir akan terdapat ketimpangan gender dalam memanfaatkan sumber daya perikanan laut yang pada gilirannya menjadikan ekonomi rumahtangga nelayan lemah. Hal ini dikarenakan sumber mata pencaharian rumahtangga terpusat pada aktivitas tangkap yang hanya dilakukan laki-laki dan dijual dalam bentuk segar sehingga tidak memiliki nilai tambah. Dengan demikian overfishing yang terjadi pada wilayah perairan tangkap Kecamatan Panai Hilir juga dapat dikatakan telah memperkecil peluang perempuan untuk berkontribusi menghasilkan pendapatan rumahtangga dengan memanfaatkan potensi sumber daya perikanan laut yang tersedia. Pemanfaatan sumber daya perikanan laut yang hanya dinikmati oleh pemilik modal dan nelayan besar baik nelayan lokal maupun asing merupakan faktor
penghambat
mewujudkan
pemerataan
(equity) dan
keberlanjutan
(sustainability) dalam tujuan pembangunan Kecamatan Panai Hilir. Sebagai akibat pemanfaatan sumber daya perikanan laut yang dikuasai oleh pemilik modal dan nelayan besar menjadikan pemanfaatan terhadap sumber daya yang tidak adil
7 pula. Artinya pemanfaatan sumber daya perikanan laut oleh pemilik lodal dan nelayan besar baik lokal maupun asing dengan berbagai tekonologi alat tangkap yang sebagian besar illegal menjadikan stok perikanan terkuras sehingga sumber daya perikanan pada gilirannya bukan saja mangalami degradasi tapi deplesi. Kondisi tersebut menjadikan pemanfaatan sumber daya perikanan laut yang tidak berkelanjutan. Pemanfaatan sumber daya perikanan laut yang menimbulkan wilayah perairan tangkap Kecamatan Panai Hilir overfishing pada gilirannya akan menjadikan aktivitas tangkap nelayan terhadap sumber daya perikanan laut melebihi kapasitas tangkap wilayah Kecamatan Panai Hilir yang tersedia. Kapasitas tangkap lebih (overcapacity) dipacu oleh sifat proses produksi yang interdependet dari setiap individu nelayan, di mana hasil tangkapan dari satu nelayan akan sangat tergantung pada tangkapan nelayan lain. Sifat tersebut menjadikan setiap nelayan akan meningkatkan inputnya sebagai upaya (effort) untuk mendapatakan hasil produksi tangkap yang tinggi atau setidaknya hasil tangkapan tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidup untuk hari tersebut dan untuk biaya melaut besoknya. Dengan demikian alokasi modal yang dimiliki tidak mencukupi untuk melakukan aktivitas pengolahan yang sebenarnya memberikan tambahan nilai terhadap pendapatan rumahtangga nelayan. Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa overfishing berdampak pada tidak optimalnya pemanfaatan sumber daya perikanan laut dalam dimensi gender yang pada gilirannya tujuan pembangunan tidak tercapai. Berdasarkan latar belakang dan uraian sebelumnya maka dapat dirumuskan beberapa rumusan permasalahan yang di peroleh dalam penelitian, yakni: 1. Bagaimana pemanfaatan sumberdaya perikanan dan laut di Kecamatan Panai Hilir 2. Bagaimana efisiensi keragaan kapasitas perikanan tangkap nelayan Panai Hilir. 3. Bagaimana peran gender dalam rumahtangga nelayan Panai Hilir, faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kontro l yang dimiliki perempuan dalam aktivitas memanfaatkan sumber daya perikanan laut
8 dan bagaimana hubungan peran gender dengan kapasitas perikanan tangkap rumahtangga nelayan Panai Hilir.
1.3. Tujuan Penelitian 1.
Mengkaji bagaimana pemanfaatan sumberdaya perikanan dan laut di Kecamatan Panai Hilir.
2.
Menganalisis efisiensi keragaan kapasitas perikanan tangkap nelayan Panai Hilir.
3.
Menganalisis bagaimana peran gender dalam rumahtangga nelayan Panai Hilir, faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kontrol yang dimiliki perempuan dalam aktivitas memanfaatkan sumber daya perikanan laut dan bagaimana hubungan peran gender dengan kapasitas perikanan tangkap rumahtangga nelayan Panai Hilir.
1.4. Batasan Penelitian Penelitian yang dilakukan di Kecamatan Panai Hilir hanya dilakukan pada nelayan lokal dalam skala usaha rumahtangga nelayan pribumi yang terdapat di desa-desa nelayan Kecamatan Panai Hilir.
1.5. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengambil kebijakan dalam mengendalikan eksternalitas yang terjadi terhadap aktivitas perikanan tangkap nelayan khususnya di wilayah tangkap Panai Hilir dan pihak yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya perikanan laut Kabupaten Labuhanbatu
pada
umumnya.
Selanjutnya
bermanfaat
dalam
membuat
pendekatan-pendekatan baru untuk memberdayakan masyarakat kawasan pesisir dengan pendekatan strategi Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan masyarakat pesisir dan laut (Gender mainstreaming in coastal resource management development).
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Pembangunan Wilayah Pembangunan mengandung makna adanya perubahan ke arah yang lebih baik. Menurut Rustiadi (2003) secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan
sebagai
upaya
yang
sistematik
dan
berkesinambungan
untuk
menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Dengan perkataan lain pembangunan dapat dikonseptualisasiskan sebagai suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi. Dari definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa pembangunan bukanlah hanya sekedar membuat sesuatu berwujud fisik yang belum ada menjadi. Dengan kata lain pembangunan keseluruhan terkait pada lingkungan dan sistem sosial yang terdapat di masyarakat. Dan hakekat pembangunan harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun spiritual. Wilayah adalah suatu area geografis, teritorial atau ruang, bisa suatu negara, negara bagian, daerah, taluk, blok atau desa, akan tetapi wilayah tidak selalu beraplikasi terhadap suatu ruang atau area yang khusus karena dapat juga dilihat sebagai satu kesatuan ekonomi, politik, sosial, administratif, klimatik atau geografis menurut keperluan atau tujuan suatu studi (Shukla, 2000). Budiharsono (2001), mendefinisikan wilayah sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian -bagiannya tergantung secara internal. Selanjutnya wilayah dapat di bagi menjadi 4 jenis yaitu; wilayah homogen, wilayah nodal, wilayah perencanaan dan wilayah admin istratif. 1. Wilayah homogen adalah wilayah yang dipandang dari satu aspek/kriteria mempunyai sifat-sifat atau ciri-c iri yang relatif sama misalnya dalam hal ekonomi, geografi, agama, suku dan sebagainya.
10 2. Wilayah nodal adalah wilayah yang secara fungsional mempunyai ketergantungan antara pusat (inti) dan daerah belakangnya (hinterland) yang dapat dilihat dari arus penduduk, faktor produksi, barang dan jasa ataupun komunikasi dan transportasi. 3. Wilayah adminstratif adalah wilayah yang batas-batasnya ditentukan berdasarkan kepentingan administratif pemerintah atau politik, seperti propinsi, kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan dan RT/RW. 4. Wilayah perencanaan menurut Glasson dalam Budiharsono (2001) sebagai wilayah yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputus ankeputusan ekonomi. Wilayah pesisir dan lautan dari konsep wilayah bisa termasuk dalam keempat jenis wilayah tersebut.
Sebagai wilayah homogen, wilayah pesisir
merupakan wilayah sentra produksi ikan, namun bisa juga dikatakan sebagai wilayah dengan tin gkat pendapatan penduduknya tergolong dibawah garis kemiskinan. Sebagai wilayah nodal, wilayah pesisir seringkali sebagai wilayah belakang dengan wilayah perkotaan sebagai intinya.
Bahkan seringkali wilayah
pesisir dianggap sebagai halaman belakang (b ack yard ), yang merupakan tempat pembuangan segala macam limbah.
Sehubungan dengan fungsinya sebagai
wilayah belakang, maka wilayah pesisir merupakan penyedia input (pasar input) bagi inti, dan pasar bagi barang-barang jadi (output) dari inti. Sebagai wilayah administrasi, wilayah pesisir dapat berupa wilayah administrasi yang relatif kecil yaitu kecamatan atau desa, namun juga dapat berupa kabupaten atau kota dalam bentuk pulau kecil. wilayah perencanaan, batas wilayah pesisir lebih ekologis
sehingga
melewati
batas-batas
satuan
Sedangkan sebagai
ditentukan oleh kriteria wilayah
adminsitratif.
Terganggunya keseimbangan biofisik -ekologis dalam wilayah ini akan berdampak negatif yang tidak hanya dirasakan oleh daerah tersebut tapi juga daerah sekitarnya yang merupakan kesatuan wilayah sistem (kawasan). Oleh karena itu dalam
pembangunan
dan
pengembangan
wilayah
ini
diperlukan
suatu
perencanaan terpadu yang tidak menutup kemungkinan adalah lintas batas administratif (Budiharsono, 2001).
11 Menurut Anwar (2001) bahwa paradigma pembangunan wilayah diarahkan kepada terjadinya pemerataan (equity) yang mendukung pertumbuhan ekonomi (eficiency), dan keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan ekonomi. Oleh karena itu berdasarkan paradigma pembangunan wilayah ini dapat mengacu kepada apa yang disebut dalil kedua fundamental ekonomi kesejahteraan (The Second Fundamental of Welfare Economics). Dalil tersebut menyatakan bahwa sebenarnya pemerintah dapat memilih target pemerataan ekonomi melalui transfer, perpajakan dan subsidi, sedangkan ekonomi selebihnya dapat diserahkan kepada
pembangunan
spasial
untuk
mencari
keseimbangan
kemajuan
pembangunan yang lebih merata secara regional (regional balance) dengan memanfaatkan potensi dan jenis keunggulan yang terdapat pada masing-masing wilayah dan mengurangi terjadinya urban bias. Dengan demikian pembangunan wilayah khususnya wilayah pantai dan lautan tidak lepas dari aspek pemertaan (equity), pertumbuhan ekonomi (efficiency) dan keberlanjutan (sustainability) dengan menggerakkan seluruh potensi-potensi yang ada secara terpadu dan bersifat menyeluruh.
2.2 Strategi dan Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan Pembangunan nasional di bidang sumberdaya alam dan lingkungan hidup pada dasarnya merupakan upaya untuk mendayagunakan sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang (Propenas, 2000 – 2004). Menurut Dahuri (2003) pembangunan berkelanjutan mengandung tiga unsur (dimensi) utama yang meliputi dimensi ekonomi, ekologi dan sosial apabila secara ekonomis dapat efisien serta layak, secara ekologis lestari (ramah lingkungan), dan secara sosial berkeadilan. Suatu kawasan pembangunan, termasuk pesisir dan laut, secara ekonomis dianggap berkelanjutan (an economically sustainable area/ecosystem) jika kawasan tersebut mampu menghasilkan
barang
dan
jasa
secara
berkesinambungan,
memelihara
pemerintahan dari hutang luar negeri pada tingkatan yang terkendali dan menghindarkan ketidakseimbangan yang ekstrim antar sektor.
12 Kawasan pembangunan secara ekologis berkelanjutan apabila sumberdaya alamnya dapat dipelihara secara stabil, tidak terjadi eksplo itasi berlebih terhadap sumberdaya, tidak terjadi pembuangan limbah melebihi kapasitas asimilasi lingkungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas siklus hidrologi. Sementara kawasan pembangunan secara sosial berkelanjutan apabila seluruh kebutuhan dasar (pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan) bagi semua penduduk terpenuhi, terjadi distribusi pendapatan, terbukanya kesempatan berusaha secara adil, kesetaraan gender dan terdapat akuntabilitas serta partisipasi politik. Dalam kaitannya dengan strategi pengembangan wilayah sesuai dengan karakteristik dan permasalahan pengembangan di kawasan pantai dan pulau-pulau kecil. Menurut Dahuri (1996) terdapat tiga jenjang strategis yang perlu diperhatikan, yaitu: 1) strategi pengembangan pada level Desa; yaitu pengembangan pada level "grass root" masyarakat berdasarkan tingkat kemampuan masyarakat (potensi sumber daya manusia dan teknologi) dan potensi sumber daya kelautan,
2) strategi pengembangan pada level Mikro atau
keterkaitan antar pulau -pulau; yaitu upaya-upaya untuk lebih meningkatkan nilai produksi; dengan mengkaitkan pengembangan pasar, pengolahan produksi dan kemudahan transport dan, 3) strategi pengembangan pada level Makro; yaitu mengkaitkan kawasan pantai dan pulau -pulau kecil ke dalam sistem yang lebih luas baik sistem Nasional maupun Internasional. Dalam konsep ini, kawasan pantai dan pulau-pulau kecil merupakan bagian integral dari kawasan pengembangan
wilayah
baik
merupakan
kawasan
andalan,
Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) atau kawasan pengembangan lainnya. Gugus pantai dan pulau -pulau kecil ditempat sebagai sentra pruduksi baik berfungsi sebagai kawasan lindung, produsen produk kelautan, lokasi pengolahan produk kelautan dan sebagainya. Khusus pulau -pulau kec il yang ada di Indonesia dan belum dihuni, maka dalam pengembangannya akan memperhatikan aspek-aspek lingkungan yang menyangkut pengamanan hutan-hutan, potensi kelautan dan sumber daya alam lainnya. Bagi pantai dan pulau -pulau kecil yang telah dihuni oleh masyarakat, maka pendekatan pembangunan dilakukan berdasarkan potensi masyarakat dan
13 potensi yang terkandung dalam pulau-pulau tersebut. Secara umum, tujuan jangka panjang pembangunan wilayah pesisir dan lautan di Indonesia antara lain: 1. Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perluasan lapangan kerja dan kesempatan usaha 2. Pengembangan program dan kegiatan yang mengarah kepada peningkatan pemanfaatan secara optimal dan lestari sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan 3. Peningkatan kemampuan peran serta masyarakat pantai dalam pelestarian lingkungan 4. Peningkatan pendidikan, latihan, riset dan pengembangan di wilayah pesisir dan laut.
2.3 Sumber Daya Perikanan Laut Sumberdaya didefinisikan secara beragam baik dalam ilmu-ilmu ekonomi dan sosial. Ensiklopedia Webster dalam Fauzi (2004) mendefinisikan sumberdaya sebagai kemampuan untuk memenuhi atau menangani sesuatu, sumber persediaan, penunjang atau bantuan, atau sarana yang dihasilkan oleh kemampuan atau pemikiran seseorang. Grima dan Berkes (1989) dalam Fauzi (2004) mendefinisikan sumberdaya sebagai aset atau pemenuhan kepuasan dan utilitas manusia. Sedangkan Fauzi (2004) sendiri mendefinisikan sumberdaya sebagai sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi dengan kata lain sumberdaya adalah komponen dari ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kebutuhan manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sumberdaya adalah segala sesuatu yang bernilai dan memiliki manfaat dalam menunjang kehidupan manusia. Sumberdaya dapat di kelompokkan atas empat, yaitu; 1) sumberdaya manusia, 2) sumberdaya alam, 3) sumberdaya buatan, dan 4) sumberdaya sosial. Sumber daya perikanan laut merupakan jenis sumber daya alam yang dapat diperbaharui dan memiliki titik kritis. Hal tersebut didasarkan adanya proses biologi sebagai regenerasi dari sumber daya perikanan laut tetapi adanya titik kritis kapasitas maksimum regenerasi perikanan laut yang apabila telah dilewati akan menjadikan perikanan laut tidak dapat diperbaharui (Fauzi, 2004). Dengan
14 demikian pola pemanfaatan dari sumber daya perikanan laut sangat menentukan ketersediaan sumber daya perikanan laut tersebut untuk masa yang akan datang disamping pola pengelolaannya. Hal ini dikarenakan sumber daya perikanan memiliki titik kritis sehingga dengan adanya introduksi penangkapan ikan memiliki pengaruh terhadap fungsi pertumbuhan biologi stok ikan, yang dapat dijelaskan dengan gambar 1. h = q x E3 f (x)
h = q x E2
h = q x E1 h3
h2
h1
Gambar 1 Pengaruh tangkap terhadap terhadap stok (biomas)
Gambar 1 menjelaskan bahwa jika pada saat tingkat upaya sebesar E1 diberlakukan, maka akan diperoleh jumlah tangkapan sebesar h1 (garis vertikal). Kemudian, jika upaya dinaikkan sebesar E2, di mana E2 > E1, hasil tangkapa akan meningkat sebesar h2 (h2 > h1). Tetapi apabila upaya terus dinaikkan pad a E3 maka (E3 > E2 > E1), akan terlihat bahwa untuk tingkat upaya di mana E3 > E2 ternyata tidak menghasilkan tangkapan yang lebih besar. Sehingga dapat dikatakan pada kondisi perikanan laut mengalami pertumbuhan stok ikan yang semakin rendah, eksploitasi perikanan laut dengan peningkatan kapasitas tangkap tidak akan efisien secara ekonomis karena tingkat produksi yang lebih sedikit harus dilakukan dengan tingkat upaya yang lebih besar. Fenomena yang ditunjukkan oleh gambar 1 adalah kondisi overfishing yang dapat juga diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan stok ikan pada daerah tertentu (Fauzi,
15 2005). Selanjutanya overfishing dapat dikategorikan menjadi beberapa tipe, yaitu: 1) Recruitmen overfishin g, 2) Growth overfishing, 3) Economic overfishing dan, 4) Malthusian overfishing. Gordon dalam Fauzi (2004) menyatakan bahwa sumber daya perikanan pada umumnya bersifat open access artinya siapa saja bisa berpartisipasi dan memanfaatkan perikanan tanpa harus memiliki sumber daya tersebut sehingga tangkap lebih secara ekonomi (economic overfishing) akan terjadi pada perikanan yang tidak terkontrol tersebut. Selanjutnya Fauzi (2005) menambahkan eskalasi overfishing di zaman modern sedikit banyak dipicu oleh gap yang makin lebar antara kebutuhan permintaan ikan dan kemajuan teknologi di satu sisi dengan kemampuan penyediaan sumber daya yang terbatas di sisi lain. Hasil studi Fauzi dan Anna (2002) menunjukkan bahwa tingkat upaya yang dibutuhkan pada rezim pengelolaan akses terbuka dua kali lebih banyak daripada kalau perikanan dikelola secara privat. Demikian pula tingkat biomas yang diperoleh pada pengelolaan akses terbuka juga jauh lebih sedikit daripada rezim pengelolaan privat. Dengan demikian pada perikanan akses terbuka penggunaan kapasitas perikanan tangkap akan semakin tinggi seiring semakin banyaknya jumlah nelayan yang memanfaatkan sumber daya perikanan laut. Fauzi dan Anna (2005) mengemukakan beberapa penjelasan berkaitan dengan kapasitas perikanan tangkap. Secara umum penggunaan kapasitas perikanan barkaitan dengan seberapa besar pemanfaatan sumber daya perikanan dibandingkan dengan stok kapital (capital stock) yang ada (Kirkley and Squires dalam Fauzi, 2005). Fauzi dan Anna (2005) menambahkan bahwa kapital stok merupakan kapital yang merupakan fungsi dari spesifikasi kapal, alat tangkap, kekuatan mesin, sementara sumber daya manusia berupa jumlah awak dan sebagainya. Keseluruhan kapital dan sumber daya manusia merupakan manifestasi dari upaya (effort) yang di ukur dalam trip melaut.
2.4 Konsep Sumber Daya Manusia dan Gender Todaro (1995) menyatakan bahwa sumberdaya manusia merupakan modal dasar kekayaan bangsa, sedangkan sumberdaya yang lain yakni sumberdaya fisik
16 maupun sumberdaya alam hanyalah faktor produksi yang bersifat pasif. Fungsi manusia dalam ekonomi adalah mengumpulkan modal, mengeksploitasi sumberdaya alam, membangun organisasi-organisasi sosial, ekonomi maupun organisasi politik, serta melakukan pembangunan nasional. Sementara Anwar (1997) menitik beratkan bahwa upaya perbaikan dan peningkatan ekonomi sangat ditentukan oleh peran jender. Dan dengan mengurangi kesenjangan jender akan memperoleh
keuntungan-keuntungan;
1)
mengarah
pada
peningkatan
produktivitas yang menguntungkan, 2) pemberian keuntungan bagi masyarakat secara keseluruhan dan 3) meningkatkan usaha mengentask an kemiskinan. Dengan demikian jender merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan. Meningkatnya kesadaran bahwa peran perempuan perlu dilihat dan hubungannya dengan kaum lelaki maka gender dan pembangunan merupakan suatu konsep, strategi dan perencanaan yang tepat. Kata gender sering diartikan sebagai kelompok laki-laki, perempuan atau perbedaan jenis kelamin sedangkan konsep gender menurut Handayani dan Sugiarti (2001) adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan. Demikian pula Prijono dan Pranarka (1996) menyatakan konsep gender merupakan konsep sosial-budaya yang digunakan untuk menggambarkan peran, fungsi, dan perilaku laki-laki dan perempuan dalam suatu masyarakat yang merujuk pada pemahaman bahwa identitas, peran, fungsi, pola prilaku, kegiatan dan persepsi baik tentang perempuan maupun laki-laki ditentukan oleh masyarakat dan kebudayaan di mana mereka dilahirkan dan dibesarkan. Menurut Amal (2002) gender bukan sinonim dari kata perempuan. Gender adalah tentang apa artinya menjadi perempuan dan menjadi laki-laki bukan perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki. Perbedaan biologis merupakan perbedaan kodrati seperti hanya perempuan yang bisa hamil dan menyusui dan perbedaan tersebut tidak bisa dirubah sedangkan gender adalah perbedaan prilaku, peran, perangai dan sikap perempuan dan laki-laki melalui proses pembelajaran yang panjang dari sejak bayi hingga dewasa. Sosialisasi gender adalah proses
17 belajar menjadi laki-laki dan perempuan dengan berbagai atributnya yang berbeda karena gender adalah kontruksi budaya yang dipelajari melalui proses sosialisasi. Gender and Development (GAD) mengandung makna adanya hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun budaya, bukan perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan (Handayani dan Sugiarti, 2001). Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan pada umumnya merupakan kontruksi dari budaya dan ataupun kebiasaan hidup masyarakat yang berimplikasi adanya perbedaan peran produktif, reproduktif, akses, kontrol dan sebagainya. Lebih jauh Handayani dan Sugiarti (2001) menyatakan bahwa GAD bukan hanya sekedar menjawab kebutuhan praktis, untuk mengubah kondisi perempuan, melainkan juga menjawab kebutuhan strategis kaum perempuan dengan peran aktif perempuan sebagai agen perubahan yang bukan hanya sekedar objek pembangunan atau penerima program pembangunan secara pasif. Sebagaimana yang dikemukakan Saruan (2000) apabila pengelolaan pesisir dan laut dapat dilakukan dengan lebih memfokuskan kepada partisipasi masyarakat, maka tujuan utama dari pemberdayaan laki-laki dan perempuan kemungkinan akan tercapai bukan hanya akan mampu memenuhi kebutuhan gender tapi juga pemenuhan strategis gender. Dari uraian di atas gender dapat diartikan sebagai konsep sosial yang membedakan (dalam arti: memilih atau memisahkan) peran antara laki-laki dan perempuan yang didukung pula oleh aspek budaya yang berada di masyarakat yang bukan hanya karena aspek biologis dan kodrati semata. Dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat, bahwa sejak kecil laki-laki dan perempuan sudah disosialisasikan untuk berprilaku sesuai dengan tatakrama budaya yang berlaku. Sehingga konsep gender dapat pula dikatakan berbeda-beda pada setiap lapisan, struktur dan budaya masyarakat. Selain itu dengan menggunakan pedoman bahwa setiap sifat yang melekat pada jenis kelamin tertentu dan sepanjang sifat-sifat tersebut bisa dipertukarkan, maka sifat tersebut adalah hasil konstruksi masyarakat, dan bukan kodrat (Fakih dalam Prijono dan Pranarka, 1996). Dengan demikian perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan tidak ditentukan karena antara keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrati, tetapi
18 dibedakan atau dipilah -pilah menurut kedudukan, fungsi dan peranan masingmasing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Menurut Vitayala (2000), peran gender untuk perempuan dan laki-laki diklasifikasikan dalam tiga peran pokok yaitu peran reproduktif (domestik), peran produktif dan peran sosial. 1. Peran reproduktif (domestik) a. Peran reproduktif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang untuk melakukan kegiatan yang terkait dengan pemeliharaan sumberdaya manusia dan tugas-tugas kerumahtanggaan seperti: menyiapkan makanan, mengumpulkan air, mencari kayu bakar, berbelanja, memelihara kesehatan dan gizi keluarga, mengasuh dan mendidik anak. b. Kegiatan reproduktif sangat penting dalam melestarikan kehidupan keluarga tetapi jarang dipertimbangkan sebagai bentuk pekerjaan yang konkrit. c. Dalam masyarakat miskin, sebagian besar pekerjaan reproduktif dilakukan perempuan secara manual (menggunakan tangan). d. Kegiatan reproduktif pada umumnya memerlukan waktu yang lama, bersifat rutin, cenderung sama dari hari ke hari dan hampir selalu merupakan tanggungjawab perempuan dan anak perempuan. e. Pekerjaan reproduktif yang dilakukan di dalam rumahtangga tidak diperhitungkan sebagai pekerjaan (karena tidak di bayar).
2. Peran produktif a. Pekerjaan produktif menyangkut pekerjaan menghasilkan barang dan jasa untuk dikonsumsi dan diperdagangkan (pertanian, nelayan, pekerjaan dan wirausaha). b. Pembagian kerja dalam peran produktif dapat memperlihatkan dengan jelas perihal perbedaan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh, untuk kegiatan dibidang pertanian maka kegiatan membajak, bekerja dengan mesin merupakan tanggung
jawab
laki-laki,
sedangkan
pekerjaan
menanam,
19 menyiangi, memerah susu dan pekerjaan lainnya yang dianggap ringan merupakan pekerjaan perempuan. c. Jenis pekerjaan yang dinilai sebagai pekerjaan produktif terkait pada pekerjaan yang dapat diperhitungkan melalui sistem perhitungan nasional (GNP atau Statistik Sosial Ekonomi). d. Pekerjaan produktif dapat dilakukan oleh gender laki-laki maupun perempuan dan diambil (dibayar) dengan uang (tunai) atau natura.
3. Peran Sosial a. Peran masyarakat terkait dengan kegiatan jasa dan partisipasi politik b. Kegiatan jasa masyarakat banyak bersifat relawan dan biasanya dilakukan oleh perempuan. Misalnya, membantu pelaksanaan penyelenggaraan
kegiatan
pelayanan
kesehatan
(posyandu)
pelaksanaan 10 tugas pokok PKK, menyiapkan makanan untuk acara kemasyarakatan dan rapat-rapat dan lain -lain. Lelaki kurang banyak terlibat dalam kegiatan relawan. c. Peran politik dimasyarakat adalah peran yang terkait dengan status atau kekuasaan seseorang pada organisasi tingkat desa atau tingkat yang lebih tinggi. Sebagian besar kegiatan yang terkait dengan politik umumnya dilakukan oleh laki-laki. Berdasarkan pada kenyataanya terdapat ketimpangan-ketimpangan gender dalam pelaksanaan penelitian sehingga diperlukan suatu alat yang disebut analisis gender. Menurut Achmad (1991), analisis gender sering didefinisikan sebagai suatu usaha yang sistematis untuk mencatat kelaziman atau tingkat partisipasi laki-laki dan perempuan dalam suatu kegiatan yang membentuk sistem produksi barang dan jasa. Akan tetapi pengembangan selanjutnya telah diarahkan kepada upaya untuk meningkatkan kualitas perencanaan pembangunan agar lebih tanggap terhadap kebutuhan aktual perempuan. Namun dalam proses perkembangan tersebut disadari bahwa ada saling ketergantungan antara kebutuhan aktual perempuan dan laki-laki karena kebutuhan aktual tergantung dari bentuk dan sifat
20 peran laki-laki dan perempuan dalam proses pembangunan maupun hasil pembangunan. Analisis gender bertujuan memahami mekanisme yang mendasari masalah kebijakan pembangunan yang dominan, pelaksanaan program dan kaitannya dengan implikasi terhadap hubungan laki-laki dan perempuan (Mikkelsen, 1999). Sebagaimana penelitian Mukherjee, et al. (2001)
bahwa impllikasi kebijakan
yang tidak memperhatikan masalah gender memberikan dampak negatif dan manfaat yang tidak nyata dari program pembangunan yang di rancang.
2.5 Curahan Kerja Perempuan dan Laki-laki Pudjiwati (1983) menyatakan, hal-hal yang berkaitan dengan konsep bekerja dapat diidentifikasi yaitu; (1) para pelaku yang mempunyai peranan tertentu mengeluarkan energi; (2) para pelaku memberikan sumbangan dalam produksi barang maupun jasa; (3) para pelaku menjalin suatu pola interaksi sosial dengan lingkungannya dan memperoleh status (4) para pelaku mendapatkan hasil berupa cash atau berbentuk natura dan (5) para pelaku mendapatkan hasil yang mempunyai nilai waktu. Sementara Gleason (1991) mengkategorikan kerja wanita menjadi : (1) bekerja sebagai tenaga kerja untuk upah; (2) bekerja sebagai tenaga kerja keluarga yang tidak dibayar; dan (3) bekerja untu k keluarga dalam aktivitas ekonomi subsistem. Curahan kerja dapat di katakan kerja yang di curahkan oleh anggota rumah tangga baik laki-laki dan perempuan di dalam maupun di luar rumah. Curahan kerja laki-laki dan perempuan pada setiap tempat berbeda-beda, misalnya di kota dengan di desa. Disamping itu curahan kerja laki-laki dan perempuan tidak lepas dari lingkungan sosial dan budaya masyarakat. Gleason (1991) menyatakan nilai bekerja laki-laki dan perempuan tidak terlepas dari peran gender yang berlaku sesuai dengan tradisi dan kebudayaan di mana mereka tinggal. Laki-laki merupakan kepala keluarga yang mempunyai tanggung jawab menafkahi keluarga sedangkan perempuan tidak perlu bekerja karena tempatnya adalah di rumah mengurus anak-anak.
21 Pada sebagian rumahtangga, perempuan yang tinggal di rumah melakukan kegiatan yang bisa menghasilkan uang seperti; membuka usaha jasa (jahitan, salon, kursus-kursus) dan warung.
Aktivitas tersebut merupakan aktivitas
ekonomi, seperti yang dikemukakan oleh Archarya (1983) dalam; Prasetyaningsih (2004) bahwa dalam kenyataannya aktivitas-aktivitas yang dilakukan perempuan secara umum dapat dikategorikan ke dalam aktivitas ekonomi dan domestik. Keterlibatan perempuan dalam bidang pertanian, industri, perdagangan, jasa dan sebagainya dapat diklasifikasikan sebagai kegiatan ekonomi. Kegiatan -kegiatan lain seperti pemrosesan bahan makanan, pengambilan air, dan pengumpulan bahan makanan adalah bagian integral dari reproduksi ekonomi rumahtangga, yang secara umum untuk memenuhi kebutuhan ekonomi subsistensi. Kategorisasi hal-hal tersebut termasuk dalam aktivitas ekonomi karena kelompok aktivitas ini dapat ditampilkan secara komersial, dan nilai ekonomisnyapun dapat diukur. Sementara itu, aktivitas-aktivitas reproduktif lainnya seperti memasak, melayani suami dan anak-anak, membersihkan rumah, menyetrika, berbelanja, dan mengasuh anak dapat diklasifikasikan ke dalam aktivitas domestik. Kelompok aktivitas ini adalah inti dari proses reproduksi rumahtangga yang tidak dapat diukur secara ekonomis tetapi bernilai ekonomi (supporting activities economic work).
2.6 Peran Laki-laki dan Perempuan Dalam Pengelolaan Kawasan Pantai Kawasan pantai atau wilayah pesisir dapat didefinisikan sebagai daerah pertemuan antara darat dan laut. Bagian ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifatsifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin, sedangkan kearah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipen garuhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976 dalam Dahuri et al.1996). Tujuan dari pengelolaan wilayah pesisir dan lautan adalah untuk mengkoordinasikan berbagai kegiatan pembangunan guna mencapai keuntungan sosial ekonomi secara optimal dan berjangka panjang, termasuk resolusi konflik
22 pemanfaatan sumberdaya pesisir. Program pengelolaan yang berdasarkan pada pendekatan terpadu dan multisektor, dirancang untuk mengharmoniskan dan memandu perencanaan serta pengelolaan dari berbagai aktivitas sektor pembangunan yaitu; pertanian, kehutanan, perikanan, energi, transportasi, industri, perumahan, dan kesehatan (Dahuri, et al. 1996). Masyarakat kawasan pantai dalam kehidupannya berinteraksi secara langsung dengan sumberdaya alam laut. Dengan memanfaatkan sumberdaya laut mereka dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidup. Menurut Simatraw et al., (2001) setiap usaha pengelolaan sumberdaya alam berawal dari proses bekerja menghasilkan suatu produk dan kemudian didistribusikan untuk di konsumsi sendiri atau dapat dipertukarkan dengan produk lain ataupun dengan uang (diperdagangkan). Demikian juga untuk siklus-siklus yang berkaitan dengan cara masyarakat memelihara alam. Dimana keterlibatan masyarakat tersebut lebih disesuaikan dengan kebudayaan yang ada dengan membedakan peran laki-laki dan perempuan yang tercermin dalam aturan -aturan, kebiasaan, cara berproduksi, cara mendistribusikan hasil produksi, keluarga dan pengambilan keputusan. Pada intinya, laki-laki dan perempuan memiliki peran dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya laut. Adapun peran-peran tersebut dapat dilihat dari aktivitas ataupun pembagian kerja laki-laki dan perempuan. Menurut Departemen Pertanian dalam Saruan (2000) tentang peranan perempuan taninelayan bahwa jenis pekerjaan produktif yang dilakukan perempuan nelayan sebagai berikut: 1. Persiapan penangkapan, seperti menjurai jaring, menyiapkan bahan pengawet dan menyiapkan bekal makanan untuk suami yang akan pergi melaut. 2. Pengolahan hasil laut seperti; mengasap, memindang, mengasinkan, mengabon, membuat terasi, kerupuk dan sebagainya. 3. Pemasaran perikanan seperti melelang ikan, menjual pada agen, pengecer dan sebagainya. 4. Kerajinan, misalnya membuat keranjang, kerajinan kulit kerang, membuat jaring dan sebagainya.
23 5. Pemeliharaan tambak, seperti menebar pupuk pada waktu pengolahan tanah, memberi pakan, memanen ikan dan sebagainya.
2.7 Akses dan Ko ntrol Terhadap Sumberdaya Akses adalah peluang yang bisa diperoleh laki-laki dan perempuan untuk memiliki atau menikmati sesuatu (pekerjaan, kegiatan, barang, jasa). Sementara kontrol adalah sejauh mana perempuan dan laki-laki mempunyai kekuasaan atau kemampuan dalam proses pengambilan keputusan dalam merencanakan, melakukan/memiliki atau menikmati sesuatu (Handayani dan Sugiarti, 2001). Laki-laki dan perempuan yang akses terhadap sumberdaya tertentu belum tentu memiliki kontrol terhadap sumberdaya tersebut. Hal ini disebabkan karena akses seseorang ditentukan oleh orang lain, sementara kontrol mencirikan bahwa seseorang itu berkuasa atau tidak untuk menentukan sumberdaya yang diakses atau tidak diakses. Dengan demikian kontrol merupakan kekuasaan yang dimiliki laki-laki dan perempuan terhadap sumberdaya yang dapat digunakan untuk berbagai hal sehingga benar-benar memberi manfaat. Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan tidak lepas dari budaya dan tradisi lingkungan yang berbeda-beda. Umumnya masyarakat nelayan memiliki akses yang rendah, terlebih lagi nelayan buruh yang tidak memiliki kekuatan. Sebagaimana yang dikemukakan Marwoto (2004) Kelompok Nelayan yang ada saat ini dalam kenyataannya kurang dan bahkan tidak dapat mewakili kepentingan nelayan, terutama nelayan buruh. Menurut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) Kelompok Nelayan pada umumnya menyebutkan bahwa yang dapat menjadi anggota Kelompok Nelayan adalah nelayan pemilik.
Oleh karenanya Kelompok Nelayan tidak lain adalah
kumpulan dari para pemilik unit penangkapan, yang biasanya sejenis. Dengan sistim
keanggotaan
yang
demikian
maka
Kelompok
menyuarakan kepentingan nelayan pemilik saja. pembinaan
dan
penyuluhan
yang
dilakukan
Nelayan
hanya
Di sisi lain, program Pemerintah
menggunakan
pendekatan kelompok nelayan sehingga yang mempunyai kesempatan untuk mengikuti pembinaan dan penyuluhan hanyalah nelayan pemilik.
Padahal
meningkatnya produktifitas usaha penangkapan sangat ditentukan oleh
24 pengetahuan dan ket erampilan nelayan buruh dan keluarganya baik istri dan anak-anak yang secara langsung terjun dalam kegiatan penangkapan. Tetapi sangat disayangkan mereka seolah tidak memiliki kesempatan untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan keterampilan yang diberikan oleh Pemerintah. Sebaliknya pengetahuan dan ketrampilan bagi pemilik unit penangkapan, tidak begitu penting karena yang lebih penting bagi mereka adalah bagaimana unit penangkapan siap untuk beroperasi, termasuk dalam menyediakan uang untuk membeli kebutuhan operasionalnya.
2.8 Gender dalam Pembangunan Pemberdayaan perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki adalah kondisi dimana terdapat kesamaan hak dan kewajiban yang terwujud dalam kesempatan, kedudukan, peranan yang dilandasi sikap dan perilaku saling membantu dan mengisi di semua bidang kehidupan. Untuk mencapai kesetaraan tersebut diperlukan transformasi nilai yang berkaitan dengan perubahan hubungan gender dan keseimbangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan (Tan, 1995, Trieijati, 1996, dalam Prijono dan Pranarkan, 1996) Saptari dan Holzner (1997) mengutip dari Mosse dengan menggunakan konsep Maxin Moly bahwa pendekatan pembangunan dalam keterkaitannya untuk meningkatkan peran perempuan dalam pembangunan diantaranya; 1. Pendekatan kesejahteraan (welfare approach) yang didasarkan atas 3 asumsi yaitu; 1) perempuan sebagai penerima pasif pembangunan, 2) peran keibuan yang merupakan peranan yang paling penting bagi perempuan di dalam masyarakat dan 3) mengasuh anak yang merupakan peranan perempuan paling efektif dalam seluruh aspek pembangunan ekonomi. 2. Pendekatan kesamaan (equity approach), bahwa perempuan merupakan partisipan aktif dalam proses pembangunan yang mempunyai sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui kerja produktif dan reproduktif mereka walaupun sumberdaya tersebut seringkali tidak diakui. 3. Pendekatan anti kemiskinan (anti – poverty approach), menekankan pada upaya menurunkan ketimpangan pendapatan antara perempuan dan laki-
25 laki dengan sasarannya adalah pekerja miskin. Pendekatan anti kemiskinan untuk perempuan menitik beratkan pada peranan produktif mereka, atas dasar bahwa penghapusan kemiskinan dan peningkatan keseimbangan pertumbuhan
ekonomi
membutuhkan
peningkatan
produktivitas
perempuan pada rumahtangga yang berpendapatan rendah. 4. Pendekatan efficiency, penekanan perempuan bergeser ke pembangunan dengan asumsi bahwa peningkatan partisipasi ekonomi perempuan di negara dunia ke tiga secara otomatis berkaitan dengan peningkatan kesamaan, sehingga meningkatnya kerja perempuan yang diciptakan oleh perempuan sendiri di sector informal. 5. Pendekatan pemberdayaan, berpusat pada upaya penghapusan subordinasi perempuan. Adanya kesamaan hak ekonomi (peluang untuk menguasai sumberdaya produktif, persamaan upah untuk kerja yang sama, perlindungan hukum ketenagakerjaan). Menurut Anwar (1997), pembangunan dan pertumbuhan ekonomi akan sejalan apabila sumber daya public yang langka diinvestasikan sehingga memberi keuntungan ekonomi maupun sosial yang tinggi. Dimana investasi tersebut dapat mencapai sasaran apabila diarahkan pada perempuan khususnya pada golongan perempuan miskin melalui perluasan peluang kerja dan memperbaiki kesehatan mereka. Dengan demikian peranan perempuan dalam pembangunan akan dapat; 1) mendorong pertumbuhan ekonomi, 2) meningkatkan efisiensi, 3) mengentas kan kemiskinan, 4) menolong generasi yang akan datang dan 5) meningkatkan sustainable development.
2.9. Tinjauan Penelitian Terdahulu Adapun penelitian yang dilakukan mengacu pada penelitian-penelitian tentang gender pada wilayah pesisir dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan laut. Hanya saja pada penelitian ini dilengkapai dengan melihat aspek kapasitas tangkap perikanan rumahtangga nelayan. Tabel 2 menunjukkan beberapa penelitian terdahulu yang akan dijadikan acuan dalam penelitian.
26 Tabel 1 Penelitian gender terdahulu` No
Nama
1.
Saruan, C
Lokasi Desa
Tahun 2000
Metode Analisis
Gender,
Hasil Hasil
penelitian
menunjukkan
Blongko,
Uji korelasi Rank
terdapatnya ketimpangan gender dalam
Sulawesi
Spearman
kegiatan rumahtangga dan kegiatan
Utara
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. Selain itu dari hasil uji statistik
terdapat
variabel-variabel
hubungan
antara
gender
dalam
rumahtangga, variabel gender dalam pengelolaan sumberdaya dan variabel sumberdaya individu. 2.
Wenni
Pulau
Wulansari
Untung Jawa
2001
Analisis
Gender,
Hasil
penelitian
menunjukkan
Uji korelasi Rank
perempuan memiliki curahan waktu
Spearman
produktif yang lebih besar daripada lakilaki
sedangkan kegiatan produktif
dominan di lakukan laki-laki. Pada profil akses dan kontrol dalam beberapa aspek
keputusan
perempuan
tersubordinasi. 3.
Mulyati
Kota
2004
Analisis Gender,
Hasil
penelitian
menunjukkan
Munaf
Ternate,
perempuan memiliki curahan waktu
Maluku
produktif yang lebih besar daripada laki-
Utara
laki
sedangkan kegiatan produk tif
dominan di lakukan laki- laki. Profil akses dan kontrol menunjukkan bahwa perempuan tersubordinasi pada tiga macam keputusan yaitu pada peralatan nelayan, hasil tangkapan, dan hasil penjualan.
27
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Efisiensi dan Overfishing Efisiensi dan optimalisasi merupakan istilah yang sering ditemukan dalam membicarakan alokasi faktor produksi untuk menghasilkan sejumlah output. Soekartawi (1993) menyatakan bahwa dalam terminologi ilmu ekonomi, pengertian efisiensi dapat digolongkan menjadi 3 macam, yaitu: 1). Efisiensi teknis diperoleh apabila faktor produksi yang digunakan menghasilkan produksi yang maksimum, 2). Efisiensi alokatif (efisiensi harga) diperoleh apabila nilai dari produk marginal sama dengan harga faktor produksi yang bersangkutan dan 3). Efisiensi ekonomi diperoleh apabila dalam menggunakan faktor produksi mencapai efisiensi teknis dan sekaligus juga mencapai efisiensi harga. Selanjutnya beliau menambahkan bahwa prinsip optimalisasi penggunaan faktor produksi pada prinsipnya adalah bagaimana menggunakan faktor produksi tersebut seefisien mungkin. Fauzi dan Anna (2005) mengemukakan, perspektif ekonomi terhadap kapasitas perikanan tangkap atau disebut juga efisiensi dalam aktivitas perikanan tangkap pada dasarnya merupakan rasio antara output dan input, atau
Efisiensi =
output ..............................................................................(1) Input
Persamaan di atas tidak tepat digunakan pada data banyak input dan output yang berkaitan dengan sumberdaya, faktor aktivitas dan lingkungan yang berbeda. Meskipun efisiensi tersebut menggunakan efisiensi relatif yang dibobot tetapi tetap memiliki keterbatasan berupa sulitnya menentukan bobot yang seimbang untuk input dan output untuk itu digunakan konsep Data Envelopment Analysis (DEA). DEA adalah suatu metode yang digunakan untuk mengevaluasi produktivitas dari suatu unit pengambilan keputusan (unit kerja) dengan menggunakan sejumlah input untuk men capai output yang ditargetkan. Selanjutnya DEA juga merupakan model pemrograman fraksional yang bisa mencakup banyak output dan input tanpa perlu menentukan bobot untuk tiap
28 variabel sebelumnya (Purwantoro, R. N, 2000). Menurut Fare et.al dalam Fauzi dan Anna (2005), DEA dapat digunakan untuk menghitung kapasitas perikanan. Selanjutnya Fauzi dan Anna (2005) sendiri mengemukakan, dalam aplikasi perikanan, DEA memiliki kelebihan untuk mengestimasi kapasitas di bawah kendala penerapan kebijakan tertentu dan kendala sosio -ekonomi lainnya. Efisiensi dalam konsep DEA diartikan sebagai target untuk mencapai efisiensi yang maksimum, dengan kendala relatif efisiensi seluruh unit tidak boleh melebihi 100% (Fauzi dan Anna, 2005). Model DEA yang digunakan, versi Charn es, Cooper, Rhodes (CCR) dapat
∑w y ∑v x
dituliskan; Maksimumkan
i
ijm
k
kjm
i
Em =
............................................................. (2)
k
Dengan kendala:
∑w y ∑v x i
ij m
k
kjm
i
≤1
Untuk setiap unit ke j = 1,2,...,n
k
wi 〉 ε ; i = 1,...,t ∑k vvkk xkjm 〉 ε ; k = 1,..., m ∑ vk xkjm k
ε 〉0
Keterangan: yij , xk j dalam model merupakan konstanta yang menggambarkan jumlah yang diamati dari i output dan k input DMU, ditulis sebagai DMU j yang merupakan kumpulan dari j = 1,...,n entitas yang menggunakan k = 1,...m input untuk memproduksi i = 1,...,j output. Dengan program matematis tersebut (persamaan 2) menghasilkan nilai Em dan sekaligus nilai bobot (w dan v) yang mengarah pada efisiensi. Em = 1 maka unit ke – m efisien relatif terhadap unit yang lain. Em < 1 maka unit lain lebih efisien, relatif pada unit m Model CCR persamaan 2 tersebut masih berbentuk fractional sehingga perlu dilakukan pemecahan melalui pemrograman linear. Untuk itu model CCR diubah dalam bentuk Linear Programming. Linear Programming (LP) adalah suatu metode programisasi yang variabelnya disusun dengan persamaan linear
29 dan merupakan metode perhitungan untuk perencanaan terbaik di antara kemungkinan-kemungkinan tindakan yang dapat dilakukan Soekartawi (1992). Tujuan penggunaan program linier yaitu untuk menemukan beberapa kombinasi alternatif pemecahan masalah dalam rangka menyusun strategi alokasi sumberdaya yang terbatas untuk mencapai tujuan yang diinginkan secara optimal dimana alokasi optimal adalah memaksimumkan atau meminimumkan tujuan dengan adanya kendala (Budiharsono, 2001). Terdapat 3 unsur yang harus dipenuhi dalam model program linier agar dapat dirumuskan secara matematis, yaitu; 1. Adanya fungsi tujuan. 2. Adanya kendala. 3. Bahwa nilai peubah keputusan harus positif atau disebut dengan syarat nonnegatif. Adapun linearisasi persamaan (2) menghasilkan persamaan: Fungsi Tujuan
∑w y
Maksimumkan
Em=
Dengan kendala:
∑v x ∑w y
i
i
................................................................. (3)
k
kjm
=ϖ
i
ijm
− ∑ vk xkjm ≤ 1
k
i
ijm
k
wi , v k ≥ ε
Selanjutnya pemecahan pemrograman linear persamaan (3) dapat dilakukan dengan pemecahan primal dan dual variable. Menurut Budiharsono (2001), setiap permasalahan program linier mempunyai 2 macam analisis, yaitu; 1). Analisis Primal dan 2). Analisis Dual. Bentuk dual dapat disusun dari bentuk primal. Untuk menyusun bentuk dual dari bentuk primal, maka permasalahan program linier tersebut harus disusun terlebih dahulu dalam bentuk kanonik sebagai berikut: 1. Jika persoalan program linier adalah maksimisasi, maka semua tanda fungsi kendalanya adalah lebih kecil atau sama dengan (=). 2. Jika persoalan program linier adalah minimisasi, maka semua tanda fungsi kendalanya adalah lebih besar atau sama dengan (=).
30 3. Jika fungsi kendalanya ada yang bertanda sama dengan maka fungsi kendala tersebut diganti menjadi dua ketidaksamaan yang bertanda ? dan £. Kemudian tergantung dari permasalahan program linier yang dihadapi, maksimisasi atau minimisasi. Untuk mengubah ke dalam satu bentuk yang dikehendaki permasalahan yang dihadapi, maka salah satu fungsi kendala tersebut harus dikalikan dengan -1. Adapun primal dan dual variable dari persamaan (3) dapat ditulis kembali sebagai berikut: Model primal
Variabel dual
Max E m =
∑w y i
i
ijm
i
Z
ij m
i
Dengan kendala ∑ vk xkjm = ϖ k
∑w y
λ0
− ∑ v k x kjm ≤ 1
S-k
j = 1,2…n
k
- vk ≤ - ε k = 1,2…m
- wi ≤ - ε i = 1,2…t
S-i
Maka dual dari persamaan 3 dapat di tulis sebagai: MinϖZ m − ε ∑ S i+ − ε ∑ S k− .............................................................. (4) i
Dengan kendala:
k
xkh Zm − Si+ − ε ∑ xkjλ j = 0, k = 1...m j
S + ε ∑ y kj λ j = yij m , i = 1...t + i
j
+ i
λ j , S , S k− ≥ 0
Keterangan: 0 ?j, Si+, Sk-, untuk i = 1,...,m; k = 1,...,t, j = 1,...,n dan e bebas ?j memberikan batas atas output dan batas bawah input untuk DMU dan dengan syarat ini e juga dibatasi dengan ? j*, Si+, S k- = 0 yang menggambarkan pilihan optimisasi sehubungan dengan minimisasi e = e* dan yk j d igambarkan dalam syarat seperti persamaan (2) sehingga persamaan (5) setidaknya akan menghasilkan e = 1 serta ?j, Si+, Sk- = 0 saat DMU menjadi DMU yang dievaluasi. Nilai optimum akan dicapai dalam range 0 e* 1 dimana:
ϖZ m − ε ∑ Si+ − ε ∑ S k− = ∑ wi yij m i
k
i
.......................................................(5)
31 Sehingga e* = 1 Efisiensi dalam usaha penangkapan ikan sulit untuk diukur. Hal ini terkait dengan adanya ketidakpastian dalam usaha penangkapan ikan. Dimana penghasilan yang diperoleh juga terkait dengan musim -musim ikan (Kusnadi, 2000) dan nelayan tidak bisa mengendalikan usaha penangkapannya. Disamping itu rusaknya ekosistem sumberdaya laut yang disebabkan berbagai eksternalitas negatif dan penangkapan ikan secara berlebihan telah menekan kehidupan para nelayan (Kusnadi, 2000).
Produksi (h) pada perikanan laut dapat diasumsikan sebagai fungsi dari upaya (E) dan stok ikan (x). Secara matematis dapat ditulis; h = f (x,E). Adapun upaya (effort) merupakan sarana yang digunakan untuk mengeksploitasi ikan p ada suatu perairan. Effort didefinisikan indeks dari berbagai input seperti tenaga kerja, perahu, alat tangkap, bahan bakar minyak, kekuatan mesin dan sebagainya yang dibutuhkan untuk suatu aktivitas penangkapan (Fauzi, 2004). Selanjutnya Fauzi (2004) mengemukakan, peningkatan effort yang terus menerus pada periode tertentu tanpa peningkatan produksi lestari, akan menyebabkan produksi hasil tangkapan turun bahkan mencapai nol pada upaya (effort) maksimum sehingga menimbulkan inefisiensi kapasitas perikanan tangkap. Dengan demikian, produksi lestari sangat tergantung pada kapasitas perikanan tangkap atau tingkat upaya yang memungkinkan (Kirkley and Squires, dalam Fauzi dan Anna, 2005). Dalam hal tersebut perlu diperhatikan efisiensi dari upaya (effort) untuk menghasilkan output berupa hasil tangkapan. Kondisi inefisiensi kapasitas perikanan tangkap menjadikan sumber daya perikanan laut mengalami over capacity. Over capacity dapat diartikan pada kondisi kelebihan kapasitas dimana permasalahan tersebut timbul sebagai dampak overfishing dan kedua hal tersebut saling terkait (Fauzi, 2005). Overfishing yang terjadi pada suatu wilayah perikanan tangkap dapat diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap melebihi jumlah ikan yang dibutuhkan untuk mempertahankan stok ikan yang tersedia (Fauzi, 2005). Overfishing dan over capacity secara langsung berdampak pada perekonomian rumah tangga nelayan yang semakin lemah sebagai implikasi dari jumlah hasil tangkapan yang sedikit sehingga pendapatan yang diterima dalam trip melaut lebih kecil daripada biaya input yang digunakan. Over capacity pemanfaatan perikanan laut secara langsung menjadi permasalahan besar rumahtangga nelayan khususnya perempuan dalam mengatur
32 ekonomi rumahtangga. Karena perempuan merupakan pihak yang memiliki tanggung jawab lebih besar dalam menciptakan kesejahteraan rumah tangga melalui pengelolaan ekonomi. Perempuan memiliki tiga peranan utama sekaligus (triple roles) dalam rumah tangga yaitu sebagai breeder, feeder, dan producer. Peranan pertama berkaitan dengan pengasuhan anak, kedua bertanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan konsumsi makanan dan ketiga berkaitan dengan kegiatan memproduksi sejumlah material untuk kebutuhan konsumsi domestik (Boulding, 1981). Ketiga peranan perempuan dalam rumahtangga tersebut berimplikasi pada usaha-usaha yang dilakukan perempuan dalam rangka menambah pendapatan keluarga. Sebagaimana Peluso (1984), Abdullah (1991), dan Murray (1994) dalam Kusnadi (2001) mengemukakan pada umumnya motivasi perempuan untuk berdagang didasari oleh kepentingan ekonomi, seperti untuk menambah pendapatan karena penghasilan suami kurang mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Sehingga perempuan memiliki peran ganda dalam rumahtangga dimana aktivitas domestik dan publik dilakukan secara sekaligus (Kusnadi, 2001). Peran ganda tersebut di satu sisi akan menambah beban perempuan dan berkurangnya waktu istrahat mereka. Peran ganda perempuan tidak lepas dari pembagian kerja laki-laki dan perempuan pada suatu wilayah. Budiman dalam Kusnadi (2001), mengemukakan pembagian kerja secara seksual antara laki-laki dan perempuan menurut Scolnick dapat dijelaskan dengan dua teori besar, pertama teori nature yang ekstrem beranggapan bahwa perbedaan psikologis antara lai-laki dan perempuan disebabkan oleh faktor-faktor biologis kedua insan dan kedua teori nurture yang berpendapat bahwa perbedaan pembagian kerja laki-laki dan perempuan terbentuk melalui proses belajar dari lingkungan. Sedangkan Kusnadi (2001) sendiri mengemukakan perilakuperilaku yang ditentukan untuk anggota-anggota masyarakat dengan memperhatikan perbedaan seks diantara mereka disebut peranan gender.
Sementara Mugniesyah
(2002) mengemukakan peranan gender adalah perilaku yang diajarkan pada setiap masyarakat, komunitas dan kelompok sosial tertentu yang menjadikan aktivitas, tugas, dan tanggung jawab tertentu yang dipersepsikan sebagai peranan laki-laki dan perempuan. Robert Stoller pada tahun 1968, pertama kali memperkenalkan gender sebagai istilah untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat biologis sementara Ann Oak Ley pada tahun 1972 menyatakan bahwa gender adalah suatu kontruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusiadan
33 dibangun oleh kebudayaan manusia (Wahyuni, 2002). Gender juga didefinisikan sebagai seperangkat peran seperti halnya kostum dan topeng di teater, menyampaikan kepada rang lain bahwa kita adalah feminim atau maskulin (Mosse, 1996). Pola pembagian kerja dan kekuasaan laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga dipengaruhi oleh lingkungan dan ditentukan oleh kebudayaan masyarakat. Disamping itu potensi sumberdaya pribadi juga tu rut menentukan peranan masing-masing individu dalam keluarga, rumahtangga dan masyarakat yang lebih luas (Pudjiwati. Sajogyo, 1981). Sementara Kusnadi (2001) menyimpulkan terdapat dua pola peranan yang dilakukan perempuan berkaitan dengan kehidupan rumahtangga (domestik) yaitu: 1. Pola peranan yang menggambarkan keseluruhan aktivitas perempuan untuk pekerjaan pemeliharaan kebutuhan hidup seluruh anggota rumahtangganya. 2. Pola peranan perempuan yang memiliki dua fungsi yaitu domestik dan publik.
Menurut Kusnadi (2001) kontribusi perempuan untuk menciptakan hubungan hubungan ekstradomestik dan memperoleh keuntungan darinya, jarang diakui secara eksplisit. Dengan perkataan lain, peranan sosial perempuan hanya didefinisikan dalam kaitannya dengan kedudukan laki-laki. Melalui teknik analisis gender berbagai kesenjangan maupun isu gender yang terjadi dalam masyarakat dan lingkungan akan dapat teridentifikasi (Handayanai, T dan Sugiarti, 2001). Analisis jender adalah suatu analisis data dan informasi tentang laki-laki dan perempuan untuk mengidentifikasi dan mengungkapkan 4 hal dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat yang mencakup; peranan laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga, tingkat akses dan kontrol, faktor-faktor yang mempengaruhi akses dan kontrol serta tin gkat akses dan kontrol laki-laki dan perempuan terhadap manfaat pembangunan. Dinamika rumahtangga nelayan pada wilayah tangkap yang mengalami over capacity akan dapat diketahui dengan menggunakan analisis gender. Di mana over capacity
yang terjadi berdampak pada tidak optimalnya peran gender dalam
memanfaatkan sumberdaya perikan an laut secara berkelanjutan karena rumahtangga nelayan tidak mampu lagi melakukan aktivitas pengolahan ikan. Sementara aktivitas pengolahan ikan memberi kesempatan laki-laki dan perempuan untuk sama-sama berkontribusi dalam pendapatan rumahtangga.
34 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Sumberdaya perikanan laut merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang dapat diperbaharui. Dimana, regenerasi dari berbagai keanekaragaman hayati perikanan laut tergantung pada proses biologi (reproduksi). Aktivitas reproduksi biota laut sangat tergantung pada interaksi sumber daya manusia dengan sumber daya perikanan laut berupa aktivitas tangkap yang dilakukan nelayan. Sepanjang aktivitas tangkap yang dilakukan nelayan tidak merusak biota laut, maka regenerasi perikanan laut akan terus berlangsung dan sumber daya perikanan laut termanfaatkan secara sustainable. Penelitian ini memberi hipotesis awal bahwa aktivitas tangkap pada wilayah perairan kecamatan Panai Hilir telah over capacity. Sebagaimana diketahui bahwa perairan Selat Malaka telah mengalami overfishing tapi kita tidak bisa mengatakan overfishing apa yang terjadi sehingga menimbulkan over capacity pada wilayah perairan Kecamatan Panai Hilir. Over capacity yang terjadi merupakan implikasi dari penggunaan kapasitas perikanan yang berlebihan. Menurut Kirkley and Squires dalam Fauzi dan Anna (2005) secara umum kapasitas perikanan berkaitan dengan seberapa besar pemanfaatan sumberdaya perikanan dibandingkan dengan capital stock yang ada. Stok kapital dalam penelitian ini sebagaimana Fauzi dan Anna (2005) mengemukakan dapat berupa kapital dan sumberdaya manusia. Diduga bahwa trip melaut, jumlah bahan bakar yang digunakan, jumlah tenaga kerja dan ukuran gross ton (GT) motor bot merupakan fungsi input yang merupakan manifestasi dari upaya (effort). Adapun fungsi output adalah jumlah produksi yang merupakan manifestasi dari kapasitas tangkap. Dengan menggunakan DEA akan diperoleh nilai skor masing-mas ing nelayan dengan membandingkan rasio rata-rata output dengan input yang digunakan dalam satu bulan. Dimana, apabila hasil skor yang diperoleh bernilai 1 maka nelayan tersebut telah efisien dalam mengalokasikan berbagai input yang digunakan. Dan sebaliknya bila bernilai lebih kecil dari 1 maka nelayan tersebut belum efisien mengalokasikan unit input yang digunakan. Hasil DEA juga memberi solusi pemecahan masalah penggunaan kapasitas tangkap nelayan yang belum efisien.
35 Dalam rumahtangga nelayan terdapat per an gender yang merupakan hasil konstruksi sosial dan lingkungan yang ada. Peran gender dalam rumahtangga nelayan dapat dilihat dari aktivitas produktif dan reproduktif serta akses dan kontrol yang dimiliki laki-laki dan perempuan. Diduga adanya saling keterkaitan antara over capacity pada aktivitas tangkap nelayan dengan dimensi peran gender yang ada. Kondisi wilayah tangkap nelayan yang telah over capacity menjadikan peran gender kurang optimal dalam memanfaatkan sumber daya perikanan laut. Adapun peran gender tersebut dapat dilihat dari aktivitas laki-laki dan perempuan pada satu hari sebelumnya. Diduga sejauh ini sumber daya perikanan laut Kecamatan Panai Hilir masih dimanfaatkan oleh aktivitas tangkap yang di pasarkan dalam bentuk segar dan olahan. Dimana aktivitas tangkap dan pengolahan tersebut memberikan dinamika rumahtangga nelayan yang dapat dilihat dari berbagai aktivitas laki-laki dan perempuan baik aktivitas produktif maupun aktivitas repsoduktif, kepemilikan kontrol dalam aktivitas tangkapa perikanan dan kepemilikan akses terhadap berbagai sumber daya. Kontrol yang dimiliki perempuan terhadap aktivitas perikanan tangkap di duga memiliki hubungan dengan akses, pendidikan dan status pekerjaan perempuan. Hasil analisis variabel-variabel yang diduga berhubungan dengan kontrol merupakan muatan-muatan yang dapat digunakan untuk membantu pemecahan permasalahan penelitian. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa perlunya peran perempuan dalam rumahtangga nelayan sebagai upaya perbaikan taraf hidup rumahtangga nelayan yang pada umumnya berada di bawah garis kemiskinan. Over capacity berdampak pada ketersediaan ikan yang semakin berkurang demikian pula untuk jenis ikan-ikan yang dapat diolah sehingga jumlah hasil tangkapan yang diperoleh nelayan minim dan hasil tangkapan yang diperoleh kurang memungkinkan untuk diolah. Sementara pada sektor pengolahan ikan yang terdapat pada rumahtangga nelayan memberikan peluang dan kesempatan terdapatanya peran gender dalam memanfaatkan sumber daya perikanan laut. Diman a laki-laki dan perempuan bekerjasama dalam menghasilkan nilai tambah produk perikanan sehingga memberikan pendapatan yang lebih dibandingkan apabila ikan dijual dalam bentuk segar. Dengan adanya aktivitas pengolahan ikan
36 pada rumahtangga nelayan, akan memperbaiki perekonomian rumahtangga nelayan yang pada akhirnya akan mendukung perkembangan pembangunan wilayah Kecamatan Panai Hilir sehingga taraf hidup masyarakat dapat lebih baik. Untuk itu apabila hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah perikanan tan gkap Kecamatan Panai Hilir yang di duga telah over capacity, maka perlu dilakukan reorientasi kebijakan pada pemanfaatan perikananlaut yang berkelanjutan sehingga terdapat hubungan mutualisme antara interaksi sumber daya manusia dengan sumber daya perikanan laut dalam waktu jangka panjang dan terwujudnya pembangunan berkelanjutan.
SUMBERDAYA PERIKANAN LAUT
ANALISIS DEA
SUMBERDAYA MANUSIA (LAKI LAKI DAN PEREMPUAN)
AKTIVITAS TANGKAP
OVER FISHING
ANALISIS GENDER
INPUT (EFFORT) KAPASITAS PERIKANAN
PERAN GENDER DALAM RUMAHTAN GGA
OUTPUT (PRODUKSI)
PEMBAGIAN KERJA LAKI LAKI DAN PEREMPUAN ( PRODUKTIF, REPRODUKTIF DAN SOSIAL)
AKSES DAN KONTROL THD SUMBER DAYA
TIDAK PEMANFAATAN BERKELANJUT AN
OVER CAPACITY
YA
PEMANFAATAN BERKELANJUTAN
RE-ORIENTASI KEBIJAKAN
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Operasional
37
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Panai Hilir pada unit-unit desa nelayan yaitu desa Sei Berombang, desa Sei Lumut, desa Sei Tawar, desa Sei Sakat dan desa Sei Baru. Pemilihan lokasi penelitian secara sengaja dengan pertimbangan bahwa kawasan pantai Panai Hilir merupakan wilayah pantai Kabupaten Labuhan Batu dengan jumlah nelayan dan produksi ikan laut paling banyak. Dimana jumlah nelayan keseluruhan 2.615 nelayan dengan produksi ikan laut 14.575 ton/tahun (BPS Labuhan Batu, 2003). Adapun penelitian ini dilakukan pada akhir Juli sampai September 2005.
4.2. Metode Penarikan Sampel Responden (sampel) dalam penelitian ini adalah rumah tangga nelayan yang berdomisili di sekitar wilayah kecamatan Panai Hilir. Adapun rumahtangga tersebut terdiri dari berbagai status kepemilikan dengan jenis alat tangkap dan armada tangkap yang beragam pula. Jumlah sampel yang digunakan adalah 96 rumah tangga nelayan. Penentuan jumlah sampel menggunakan rumus Slovin (Umar, 1999; Ma’ruf dan Rinaldi, 2001) dengan persamaan: N 1 + Ne 2 2615 n = 1 + 2615 (10 %)
n =
2
= 96 nelayan Dimana:
n
= ukuran sampel
N = ukuran populasi sebanyak 2615 nelayan e
= kesalahan sampel yang ditolerir dalam hal ini 10%
Selanjutnya untuk pengambilan sampel dilakukan dengan
teknik
pengambilan sampel No n – Probabilitas (Non – Acak) dimana pengambilan sampel dilakukan berdasarkan pertimbangan tertentu. Adapun cara pengambilan sampel Non – Acak tersebut menggunakan cara Kuota (Quota Sampling) dengan
38 pertimbangan bahwa responden yang akan dipilih adalah orang -orang yang dapat menjawab semua sisi penelitian dan mewakili populasi yang ada (Husein, 1996). Berikut ini disajikan Tabel jumlah sampel yang proporsional mewakili masingmasing desa penelitian. Tabel 2 Jumlah responden pada masing-masing desa No.
Desa
1 2 3 4 5
Jlh RT Nelayan
Sei Berombang 1177 Sei Baru 654 Sei Tawar 392 Sei Lumut 261 Sei Sakat 131 Jumlah 2615 Sumber: Kecamatan Panai Hilir Dalam Angka Tahun 2002.
Jlh Responden 43 24 14 10 5 96
4.3. Jenis dan Sumber Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan metode wawancara yang merujuk pada Nazir (1999) bahwa wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guid e (panduan wawancara) dan dilakukan pula wawancara mendalam (indepth interview) terhadap beberapa responden dan informan yang relevan dengan penelitian. Data sekunder diperoleh dari lembagalembaga atau instansi-instansi terkait seperti, Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Labuhan Batu, Badan Pusat Statistik Kab. Labuhan Batu, Badan Perencana Pembangunan Daerah Kabupaten Labuhanbatu dan Kantor Camat Kecamatan Sungai Berombang.
4.4. Metode (skala) Pengukuran Metode pengukuran dalam penelitian ini digunakan untuk menilai setiap jawaban responden pada beberapa variabel yaitu; profil akses, profil kontrol, partisipasi, status pekerjaan perempuan, dan tingkat pendidikan. Adapun metode skala yang digunakan adalah Skala Likert dengan skor tertentu pada setiap
39 jawaban pertanyaan. Jawaban-jawaban yang diberikan tiap responden di beri skor, selanjutnya skor setiap item pertanyaan dijumlahkan sehingga diketahui jumlah skor yang dimiliki setiap responden pada masing-masing variabel yang diteliti (Husein. 1999). Untuk lebih jelas cara penilaian terhadap hasil jawaban kuisioner dengan menggunakan skala Likert dengan skor tertentu dapat dilihat pada Tabel 4 sebagai berikut. Tabel 3 Skor Nilai Jawaban Responden Jawaban
Skor nilai
Memiliki akses penuh/memiliki kontrol penuh/sangat aktif/pekerjaan tetap//Perguruan tinggi atau Akademi
5
Memiliki akses sering/memiliki kontrol sering/sering aktif/pekerjaan sampingan atau jarang bekerja//SMU atau sederajat
4
Memiliki akses kurang sering/memiliki kontrol kurang sering/kurang aktif/kurang jarang bekerja/ SMP atau sederajat
3
Memiliki akses jarang sekali/memiliki kontrol jarang sekali/jarang sekali aktif/jarang sekali bekerja/SD atau sederajat
2
Tidak pernah memiliki akses/tidak pernah memiliki kontrol/tidak pernah aktif/tidak pernah bekerja//Tidak sekolah
1
4.5. Metode Analisis 4.5.1. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif digunakan untuk mengkaji bagaimana pemanfaatan sumberdaya perikanan dan laut di Kecamatan Panai Hilir dan hubungan peran gender dengan keragaan aktivitas tangkap perikanan rumahtangga nelayan. Analisis deskriptif merupakan analisis yang akan mengolah data-data kualitatif dari hasil eksplorasi kasus. Hasil analisis memberikan gambaran secara umum mengenai lokasi penelitian, karakteristik sampel dan pemanfaatan sumberdaya perikanan laut masyarakat. 4.5.2. Metode Data Envelopment Analyisis (DEA) Tingkat efisiensi keragaan kapasitas perikanan tangkap nelayan dianalisis dengan menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA). Kegunaan metode tersebut untuk mengukur keragaan relative (relative performance) dan efisiensi relative (relative efficiency) pada kapasitas perikanan tangkap nelayan.
40 Teknik
DEA
didasarkan
pada
pemrograman
matematis
(mathematical
programming) untuk menentukan solusi optimal yang berkaitan dengan sejumlah kendala (Fauzi dan Anna, 2005). Fungsi tujuan yang akan dicapai dalam model adalah memaksimumkan efisiensi kapasitas perikanan tangkap nelayan. Secara matematis dapat ditulis: Fungsi tujuan yang akan di capai, Max E m = ∑ wi yijm i
Keterangan: E = efisiensi yang diperoleh dari kapasitas tangkap yang digunakan wi = bobot yang diberikan terhadap output yij = jumlah ikan yang diperoleh, dimana; i
= jenis ikan ; i = (Tongkol, Gembung, Bawal, Teri dan sebagainya)
j
= unit sampel; j = 1,2,3,...,
m = point refrence DEA Kendala yang dilihat dalam penelitian merupakan kendala-kendala yang dihadapi nelayan untuk menghasilkan kapasitas perikanan tangkap yang efisien dimana perbandingan (hasil tangkapan) output dengan input (bahan bakar minyak yang digunakan, jumlah melaut, kekuatan mesin dan jumlah tenaga kerja yang digunakan kurang dari atau sama dengan satu). Secara matematis dapat ditulis:
∑w y ∑ v x1 + ∑ v x2 + ∑ v i
ij m
i
k
k
k
k
k
k
x3 + ∑ vk x4
≤1
k
wi , v k ≥ ε
Keterangan; wi = bobot yang diberikan terhadap output yij = jumlah ikan yang diperoleh, dimana; i
= jenis ikan ; i = (Tongkol, Gembung, Bawal, Teri dan sebagainya)
vk
= bobot yang diberikan pada input
x1 = Jumlah BBM yang digunakan (liter) x2 = Jumlah melaut (trip) x3 = kekuatan mesin (PK) x4 = Jumlah tenaga kerja yang digunakan (HOK)
41 j = unit sampel; j = 1,2,3,..., m = point refrence DEA 4.5.3. Analisis Gender Guna menganalisis keterlibatan gender dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan digunakan analisis gender dengan metode Harvard Analytical Framework (HAF). Metode tersebut dapat digunakan untuk mengumpulkan data peran gender dalam rumahtangga. Kerangka analisis gender memiliki empat komponen yang meliputi; profil aktivitas, profil akses dan profil kontrol (Overholt et. al dalam Handayani. 2001). Profil aktivitas Profil aktivitas berdasarkan pada pembagian kerja gender (siapa mengerjakan apa, di dalam rumah tangga dan masyarakat), yang memuat daftar tugas atau pembagian kerja (kualitatif) laki-laki dan perempuan serta curahan waktu (kuantitatif) pada aktivitas sehari sebelumnya. Aktivitas dikelompokkan menjadi tiga yaitu produktif, reproduktif/rumah tangga, kebutuhan dasar dan aktivitas sosial-keagamaan. Profil Akses dan Kontrol Profil akses merupakan peluang untuk menggunakan/memanfaatkan sumber daya tanpa kekuasaan untuk mengambil keputusan mengenai penggunaan sumber daya. Profil kontrol dalam penelitian ini mengkaji bagaimana laki-laki dan perempuan mengambil keputusan atau mengontrol penggunaan sumberdaya seperti; perlatan tangkap, peralatan pengolahan ikan, informasi, pendidikan dan pelatihan, penentuan modal, pemasaran ikan dan sebagainya.
4.5.4. Analisis Statistik Untuk melihat perbedaan profil aktivitas, akses dan kontrol gender dilakukan Uji statistik dengan menggunakan uji beda dua nilai tengah populasi. Ø Menguji rata-rata curahan waktu laki-laki (µ1) dan perempuan (µ2) dalam aktivitas reproduktif, kebutuhan dasar, dan aktivitas sosial. Adapun hipotesis yang diajukan adalah:
42 Ho: µ1 = µ2 ? Artinya rata-rata curahan waktu laki-laki dalam aktivitas reproduktif, kebutuhan dasar, dan aktivitas sosial sama dengan curahan waktu perempuan H1:µ1 < µ2 ?
Artinya rata-rata curahan waktu laki-laki dalam aktivitas reproduktif, kebutuhan dasar, dan aktivitas sosial lebih kecil daripada curahan waktu perempuan
Ø Menguji rata-rata curahan waktu laki-laki (µ1) dan perempuan (µ2) dalam aktivitas produktif Ho: µ1 = µ2 ? Artinya rata-rata curahan waktu laki-laki dalam aktiv itas produktif sama dengan curahan waktu perempuan H1:µ1 > µ2 ?
Artinya rata-rata curahan waktu laki-laki dalam aktivitas produktif lebih besar daripada curahan waktu perempuan.
Ø Menguji rata-rata akses dan kontrol yang dimiliki laki-laki (µ1) dan akses dan yang dimiliki perempuan (µ2). Adapun hipotesis yang diajukan adalah: Ho: µ1 = µ2 ? artinya akses dan kontrol laki-laki sama dengan akses dan kontrol perempuan. H1:µ1 > µ2 ? artinya akses dan kontrol laki-laki lebih besar daripada akses dan kontrol perempuan. Statistik uji beda dua nilai tengah yang digunakan adalah uji Z dengan persamaan: Z =
( x1 − x2 ) − d 0 S12 S 22 + n1 n2
Keterangan: −
x1 = rata-rata curahan waktu laki-laki untuk kegiatan reproduktif, produktif dan sosial, (jam per hari) serta akses dan kontrol laki-laki −
x 2 = rata-rata curahan waktu perempuan untuk kegiatan reproduktif, produktif dan sosial, (jam per hari) serta akses dan kontrol perempuan s 1 = standar deviasi rata-rata curahan waktu laki-laki untuk kegiatan reproduktif, produktif dan sosial, serta akses dan kontrol laki-laki s 1 = standar deviasi rata-rata curahan waktu perempuan untuk kegiatan reproduktif, produktif dan sosial serta akses dan kontrol perempuan
43 n1 = jumlah responden lelaki n2 = jumlah responden perempuan d 0 = µ1 – µ2, dimana µ merupakan nilai tengah Selanjutnya nilai Zhitung (observasi) dibandingkan dengan nilai Ztabel (nilai kritis) dengan arah satu sisi. Tingkat signifikansi yang digunakan adalah 95% (a = 5%) dengan kaidah keputusan: •
Bila Zhitung > Za dan - Zhitung < - Z a maka tolak Ho (terima H1)
•
Bila Zhitung < Za dan - Zhitung > - Za maka terima Ho (tolak H1)
Uji Korelasi Rank Spearman Korelasi Rank Spearman digunakan untuk menganalisis variabel-variabel yang diduga berhubungan dengan kontrol. Analisis program komputer yang digunakan adalah Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 11.5. Adapun variabel-variabel yang akan dianalisis adalah: 1. Hubungan variabel profil akses (X) dengan variabel profil kontrol (Y). 2. Hubungan variabel tingkat pendidikan (X) dengan variabel profil kontrol (Y). 3. Hubungan variabel status pekerjaan perempuan (X) dengan variabel pendapatan (Y). Rumus korelasi Rank Spearman adalah sebagai berikut: n
rs = 1 −
6 ∑ di 2 i =1
n3 − n
Dimana: r s = Koefisien korelasi Rank Spearman n = Jumlah sampel d i = Xi – Yi = Selisih antara dua variabel yang diuji Xi = Ranking pada variabel independen sampel ke – i Yi = Ranking pada variabel dependen sampel ke – i Besarnya nilai rs terletak -1 < rs < 1, artinya: Nilai rs yang diperoleh digunakan untuk menghasilkan Zhitung dengan persamaan; Z = rs n − 1
Adapun hipotesis uji yang diajukan adalah:
44 H0: artinya tidak ada hubungan antara variab el X dan Y HI: artinya ada hubungan antara variabel X dan Y Guna menguji signifikansi, maka nilai Zhitung yang diperoleh dibandingkan dengan nilai Ztabel. Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95% dengan uji 2 arah. Adapun kaidah pengujian sebagai berikut: •
Bila Zhitung > Za dan - Zhitung < - Z a maka tolak Ho (terima H1)
•
Bila Zhitung < Za dan - Zhitung > - Za maka terima Ho (tolak H1)
4.5.5. Konsep dan Pengukuran Variabel •
Sumberdaya manusia adalah kemampuan baik dari pemikiran dan aksi yang dilakukan manusia (produktivitas manusia) untuk menyediakan kebutuhan hidupnya dan kebutuhan hidup manusia pada umumnya.
•
Sumberdaya perikanan laut adalah aset laut berupa berbagai jenis ikan yang digunakan sebagai pemenuhan kepuasan dan utilitas manusia.
•
Kapasitas perikanan adalah seberapa besar pemanfaatan sumber daya perikanan dibandingkan dengan capital stock yang tersedia.
•
Efisiensi dalam DEA adalah target untuk mencapai efisiensi yang maksimum dengan kendala relatif efisiensi seluruh unit tidak boleh melebihi 100%.
•
Rumahtangga nelayan adalah kelompok orang yang tinggal satu rumah dengan makan bersama dari satu dapur (istri, suami dan atau anak) terdiri dari lakilaki dan perempuan dengan mata pencaharian sebagai nelayan. Dimana satu rumah merupakan satu rumahtangga (jumlah) rumah.
•
Gender adalah suatu istilah yang mengacu pada sistem peran laki-laki dan perempuan serta hubungan keduanya yang tidak hanya didasarkan pada perbedaan biologis tetapi pada masyarakat dan nilai-nilai kebudayaan serta kebiasaan hidup di mana mereka dilahirkan dan dibesarkan.
•
Profil akses adalah peluang yang
bisa diperoleh laki-laki dan perempuan
untuk menggunakan atau memanfaatkan sumberdaya tanpa kekuasaan untuk mengambil keputusan mengenai penggunaan sumber daya yang diukur dalam skor.
45 •
Profil kontrol adalah sejauh mana perempuan dan laki-laki mempunyai kekuasaan atau kemampuan dalam proses pengambilan keputusan dalam merencanakan, melakukan atau menikmati sesuatua yang diukur dalam skor.
•
Profil aktivitas adalah pembagian kerja dan curahan waktu laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan baik dibidang reproduktif, produktif, sosial-budaya, keagamaan dan kelembagaan. Diukur dengan kegiatan yang dilakukan (kualitatif) dan waktu yang digunakan dalam setiap kegiatan (jam)
• Sumberdaya individu perempuan adalah kemampuan yang dimiliki perempuan dalam rumahtangga antara lain; akses, tingkat pendidikan dan status pekerjaan yang diukur dalam skor. •
Curahan waktu adalah jumlah jam kerja yang dicurahkan oleh suami dan istri dalam rumahtangga nelayan untuk setiap jenis kegiatan reproduktif, produktif, kebutuhan dasar dan sosial yang diukur dalam jam.
•
Kawasan pantai adalah wilayah pesisir yang merupakan pertemuan antara daratan dan laut.
46
V. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
5.1. Letak Geografis Kecamatan Panai Hilir merupakan salah satu wilayah pantai yang terdapat di Kabupaten Labuhanbatu Provinsi Sumatera Utara. Jarak Kecamatan Panai Hilir ke ibukota Kabupaten Labuhanbatu yaitu Rantauprapat adalah 125 km dengan waktu tempuh 6 – 7 jam perjalanan yang dapat ditempuh melalui transportasi darat dan laut. Secara rinci terdapat 3 jalur alternatif menuju Kecamatan Panai Hilir sebagai berikut: 1. Dari Rantauprapat
menuju
Tanjung
Sarang
Elang
menggunakan
transportasi darat dengan waktu tempuh perjalanan 4,5 jam, dilanjutkan dengan transportasi laut berupa motor bot selama 2,5 jam dan langsung ke Kecamatan Panai Hilir. 2. Dari
Rantauprapat
menuju
Tanjung
Sarang
Elang
menggunakan
transportasi darat dengan waktu tempuh 4,5 jam dilanjutkan dengan transportasi laut berupa motor bot ke Labuhan Bilik selama 30 menit selanjutnya dengan kendaraan darat sepeda motor selama 30 menit. 3. Dari Rantauprapat menuju Kecamatan Panai Hilir menggunakan transportasi darat dengan waktu tempuh perjalanan 7 jam. Pada umumnya masyarakat Kecamatan Panai Hilir yang memiliki kendaraan sepeda motor memilih jalur transportasi alternatif ke dua karena waktu perjalanan tempuhnya lebih cepat. Masyarakat yang menggunakan jalur alternatif ke dua yang berasal dari Kecamatan Panai Hilir menitipkan kendaraan mereka di pangkalan Motor Bot Labuhan Bilik sedangkan yang menuju ke Kecamatan Panai Hilir menitipkan kendaraan mereka di pangkalan Motor Bot Tanjung Sarang Elang. Sedangkan untuk jalur transportasi alternatif yang ketiga sangat jarang sekali digunakan masyarakat. Hal ini dikarenakan jarak tempuh yang lama dan fasilitas jalan sebagian besar masih menggunakan jalan bekoan tanah. Sehingga apabila musim hujan jalan tersebut tidak dapat difungsikan. Sejauh ini hanya para pendatang dengan mengendarai mobil yang menempuh jalur alternatif ke tiga dan
47 itupun kalau mobil tersebut dibutuhkan mereka selama berada di Kecam atan Panai Hilir. Selanjutnya secara administrasi, batas-batas Kecamatan Panai Hilir adalah sebagai berikut: -
Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka
-
Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka
-
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kualuh Hilir
-
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Panai Tengah Luas wilayah Kecamatan Panai Hilir adalah 34.203 Ha yang terbagi dalam
8 desa yaitu; Desa Sei Lumut, Desa Sei Tawar, Desa Sei Berombang, Desa Sei Baru, Desa Penggantungan, Desa Sei Sakat, Desa Sei Sanggul dan Desa Wonosari. Tabel 4 Luas dan jumlah penduduk menurut desa No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Desa Sei Penggantungan Sei Lumut Sei Tawar Sei Sanggul Sei Berombang Sei Sakat Sei Baru Wonosari Jumlah
Luas (Ha)
%
6730 4280 7380 3203 2940 1350 4160 4200 34243
20 13 22 9.4 8.6 3.9 12 12 100
Jumlah Penduduk 6513 2560 963 5484 11552 2557 3108 1525 34262
% 19 7.5 2.8 16 34 7.5 9.1 4.5 100
Sumber: Kecamatan Panai Hilir Dalam Angka Tahun 2002.
Pada Tabel 4 dapat di lihat luas wilayah dan jumlah penduduk setiap desa yang terdapat di Kecamatan Panai Hilir. Desa Sei Tawar merupakan desa yang memiliki wilayah lebih luas dari desa lainnya yaitu 7380 Ha atau 22% dari keseluruhan luas wilayah Kecamatan Panai Hilir. Sementara desa Sei Berombang yang merupakan ibukota Kecamatan Panai Hilir hanya memiliki luas wilayah 2940 Ha atau 8,6% dari seluruh luas wilayah Kecamatan. Kendati demikian jumlah penduduk terpadat yaitu 34% dari seluruh jumlah penduduk berdomisili di desa Sei Berombang yang merupakan kota Kecamatan. Sedangkan penduduk yang berdomisili di desa Sei Tawar hanya 2,8% dari seluruh jumlah penduduk. Hal ini dikarenakan desa Sei Tawar masih sangat terisolir dibanding dengan desa lainnya. Jarak desa Sei Tawar ke Kecamatan 27 km yang hanya bisa ditempuh
48 dengan sepeda motor dan jalan kaki. Apabila hari hujan perjalanan ke desa tersebut tidak bisa di lakukan. Hal tersebut menyebabkan motivasi seseorang untuk berdomisili di desa Sei Tawar tidak ada. Bahkan yang terjadi adalah perpindahan penduduk ke luar desa. Kecamatan Panai Hilir memiliki topografi yang pada umumnya daratan dengan jenis tanahnya bergambut dan alluvial dengan kondisi geografis terletak pada ketinggian 0 – 12 m dari permukaan laut. Wilayah kecamatan Panai Hilir pada umumnya tidak lepas dari pasang surutnya air laut. Kemudian terdapat banyak sungai-sungai kecil yang dimanfaatkan oleh sebagian nelayan untuk tempat berlabuhnya motor bot mereka dan tidak jarang sungai-sungai kecil tersebut berada di belakang rumah para nelayan.
5.2. Keadaan Sosial Ekonomi. Pada umumnya penduduk Kecamatan Panai Hilir bermata pencaharian sebagai nelayan yang sudah turun temurun. Hal ini dapat ditemukan hampir pada rumah tangga nelayan yang memiliki anak laki-laki dewasa secara langsung terlibat dalam usaha mencari ikan di laut. Bahkan ada anak-anak yang seharusnya duduk di bangku Sekolah Dasar ikut melaut. Biasanya anak-anak nelayan ikut melaut bersama orang tua mereka dengan satu perahu. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar dengan mengurangi tenaga buruh yang seharusnya di gaji apabila menggunakan tenaga luar keluarga. Di samping itu dengan menggunakan tenaga keluarga, para orang tua tidak lagi terbebani untuk mengeluarkan uang jajan anak. Karena anak juga akan mendapat bagian dari penjualan hasil tangkapan setiap melaut. Faktor utama penduduk bermata pencaharian di sektor perikanan laut tersebut adalah letak geografis kecamatan Panai Hilir yang merupakan wilayah pantai. Kecamatan Panai Hilir diwarnai dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat yang heterogen. Pada umumnya masyarakat Kecamatan Panai Hilir memeluk agama Islam tetapi sebagian yang lain beragama Kristen Katolik, Kristen Protestan, dan Konghucu yang dianut oleh warga keturunan Tionghoa. Demikian pula adat dan budaya masyarakat yang terdiri dari berbagai suku antara lain; Jawa, Batak Toba, Batak Mandailing dan Batak Melayu masing-masing
49 memiliki kultur yang berbeda-beda. Pada umumnya suku Batak Toba yang beragama Kristen berpusat di sebelah Utara desa Sei Baru. Sedangkan suku Jawa berpusat di Desa Wonosari. Pengelompokan domisili tersebut dilatarbelakangi oleh pola hidup dan strategi nafkah yang berbeda. Warga Batak Toba dan Jawa tersebut memiliki etos kerja yang tinggi sebagai petani dan mereka tidak terlibat dalam aktivitas melaut. Selain itu mereka mengusahakan hewan ternak seperti babi (khusus suku Batak Toba), ayam, dan kambing. Meskipun di satu sisi terlihat kehidupan warga yang berjalan dengan sendiri-sendiri tapi aspek kebersamaan tidak hilang sehingga kehidupan masyarakat berjalan harmonis. Wilayah Kecamatan Panai Hilir yang dikategorikan sebagai wilayah pantai memberi peluang pada sektor ekonomi yang tidak hanya dari pertanian, perdagangan, dan jasa tapi dilengkapi dengan sektor perikanan laut. Untuk sektor perikanan laut dalam skala besar dikelola oleh warga keturunan Tionghoa. Demikian pula dengan perdagangan sebagian besar di pegang oleh warga Tionghoa yang berdomisili di kota Kecamatan. Perikanan laut merupakan sektor ekonomi yang bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Baik dari lapisan tingkat umur dan status sosial masyarakat yang berbeda-beda. Selain itu sektor perikanan laut merupakan salah satu sektor yang memberi stimulus berkembangnya industri pengolahan ikan masyarakat. Adapun sektor jasa yang banyak diusahakan masyarakat adalah transportasi yaitu pekerjaan sebagai ojek dengan kendaraan sepeda motor. Khusus sektor pertanian masyarakat sangat heterogen mulai dari jenis usaha tani subsistem sampai pada usahatani non subsistem. Pemasaran hasil tani masyarakat selain untuk memnuhi kebutuhan pasar domestik juga ke luar wilayah melalui jalur laut yaitu ke Tanjung Balai. Masyarakat kecamatan Panai Hilir dapat dikatakan masyarakat yang sedang mengalami pergeseran dari masyarakat statis menuju masyarakat dinamis. Tapi sangat menyayangkan pergeseran tersebut tidak melihat aspek kehidupan sosial ang sebenarnya bermanfaat dan baik untuk di sinergikan dengan kehidupan masyarakat yang mulai berkembang. Budaya materialistis tanpa disadari masyarakat sudah terdapat dalam kehidupan mereka sehari-hari yang berdampak pada kesenjangan ekonomi. Hal ini bisa disebabkan faktor pola hidup yang boros
50 dari sebagian besar rumah tangga nelayan menjadi potensi tidak terkendalinya ekonomi rumah tangga masyarakat pada umumnya. Disamping itu tatanan hidup yang dianut dengan nilai-nilai tepa selira antar warga mulai hilang seiring dengan tuntutan kebutuhan hidup yang semakin meningkat. Fenomena tersebut dapat ditemukan khususnya pada warga kota Kecamatan. Jumlah penduduk Kecamatan Panai Hilir adalah 34.262 jiwa yang terdiri dari 16520 (48,2%) penduduk berjenis kelamin laki-laki dan 17.742 (51,8%) penduduk berjenis kelamin perempuan (Kecamatan Panai Hilir dalam Angka 2002). Angka tersebut menunjukkan bahwa penduduk perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Jumlah perempuan tersebut dapat menjadi potensi yang apabila perempuan diberdayakan dengan baik akan dapat memberi kontribusi terhadap kehidupan rumah tangga mereka. Sementara bagi pemerintah, besarnya jumlah perempuan merupakan tantangan untuk bisa memproduktifkan perempuan. Tabel 5 Jumlah penduduk pada tiap desa berdasarkan jenis k elamin No. Desa 1 Sei Penggantungan 2 Sei Lumut 3 Sei Tawar 4 Sei Sanggul 5 Sei Berombang 6 Sei Sakat 7 Sei Baru 8 Wonosari Jumlah
Laki-laki 3198 1272 455 2201 5881 1240 1510 763 16520
Perempuan 3315 1288 508 3283 5671 1317 1598 762 17742
Jumlah 6513 2560 963 5484 11552 2557 3108 1525 34262
Sumber: Kecamatan Panai Hilir Dalam Angka Tahun 2002
Tingkat pendidikan masyarakat kecamatan Panai Hilir secara umum masih rendah. Rendahnya tingkat pendidikan ini disebabkan faktor kemiskinan masyarakat baik secara kultural ataupun struktural. Apabila musim ikan datang, anak-anak banyak yang ikut melaut karena mereka terdorong untuk mendapatkan uang saku sehingga motivasi anak untuk sekolah berkurang. Sebagian anak tidak menamatkan Seko lah Dasar mereka karena orang tua mereka menggunakan tenaga anak laki-laki untuk ikut ke laut mencari ikan. Sementara pada kondisi paceklik, banyak anak-anak yang berhenti sekolah karena orang tua tidak sanggup membayar biaya-biaya sekolah. Untuk mengetahui gambaran tingkat pendidikan kondisi kekinian di Kecamatan Panai Hilir dapat dilihat pada Tabel 6.
51 Tabel 6 Jumlah penduduk menurut tingkat umur dan pendidikan No 1 2 3 4 5 6 7 8
Desa Sei Penggantungan Sei Lumut Sei Tawar Sei Sanggul Sei Berombang Sei Sakat Sei Baru Wonosari Jumlah
Penduduk usia 7 - 12 tahun Tidak Sekolah % % Sekolah 1241 20 6 6.5
Penduduk usia 13 - 19 tahun Tidak Sekolah % % Sekolah 511 20 59 16
472
7.5
4
4.3
302
12
18
4.9
189 847 2149 477 617 286 6278
3 13 34 7.6 9.8 4.6 100
12 10 29 7 19 5 92
13 11 32 7.6 21 5.4 100
169 357 621 201 216 192 2569
6.6 14 24 7.8 8.4 7.5 100
35 43 109 39 42 21 366
9.6 12 30 11 11 5.7 100
Sumber: Kecamatan Panai Hilir Dalam Angka Tahun 2002
Dari Tabel 6 diketahui pada tiap desa ditemukan penduduk yang tidak sekolah baik pada tingkatan umur 7 – 12 tahun maupun pada 13 – 19 tahun. Jumlah penduduk yang tidak sekolah dengan persentase yang besar terdapat di Desa Sei Berombang. Dimana untuk usia 7 – 12 tahun sebanyak 32% dan untuk usia 13 – 19 tahun 30% dari seluruh penduduk Kecamatan Panai Hilir yang tidak sekolah pada tingkat umur tersebut. Tingginya angka tidak sekolah pada desa Sei Berombang selain faktor ekonomi terdapat pula faktor lingkungan yang kurang mendidik. Pengadaan pasar malam setiap malam Minggu dan Malam Kamis tidak dapat dipungkiri bahwa aktivitas tersebut memberi kontribusi besar terhadap perekonomian Kecamatan Panai Hilir. Tapi di satu sisi aktivitas tersebut merusak perkembangan generasi muda. Akibatnya mereka lebih sering berada di luar rumah dengan berbagai aktivitas yang sifatnya hura-hura tanpa memberi manfaat untuk mereka. Dan tidak jarang pula terjadi perkelahian antar desa yang disebabkan karena hubungan pertemanan antar remaja.
5.3. Keadaan Sarana dan Prasarana Kecamatan Panai Hilir Sarana dan Prasarana yang terdapat di Kecamatan Panai Hilir tidak jauh berbeda dengan kecamatan wilayah pantai lainnya yang masih serba terbatas bila dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan yang terdapat di wilayah pedalaman. Kebutuhan air bersih untuk kecamatan Panai Hilir sangat terbatas melihat wilayah ini setiap harinya pasang surut. Masyarakat yang tidak memiliki sumur bor hanya
52 mengandalkan air hujan sebagai kebutuhan memasak . Sementara pada musim kemarau mereka harus menambah pengeluaran dengan membeli air untuk mendapatkan air bersih. Sebagian rumah tangga nelayan yang tidak mampu hanya pasrah menggunakan air sungai untuk kebutuhan hidup sehari-hari baik mandi, mencuci dan memasak. Agar air yang diperoleh masih bisa dimanfaatkan , pengambilan air sungai dilakukan pada waktu air mulai pasang besar. Proyek pembangunan air bersih yang diberikan pemerintah tidak menghasilkan pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini tidak lepas dari peran masyarakat yang ketika berjalannya proyek kuran g dilibatkan sehingga masyarakat merasa kurang memiliki proyek pembangunan tersebut. Disamping itu adanya unsur ekonomi pasar yang berlaku terhadap kebutuhan air bersih sehingga masyarakat yang memiliki kekuasaan dan modal menguasai kelas bawah yang tidak memiliki modal. Kondisi ini ditemukan di lokasi penelitian, dimana kebutuhan terhadap air minum merupakan bisnis yang memberi keuntungan besar. Sehingga kelas atas akan semakin kuat dengan adanya ketergantungan kelas bawah. Sementara kelas bawah akan semakin tertekan dan sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Sarana prasarana untuk pendidikan khususnya Sekolah Dasar kurang memadai. Beberapa gedung Sekolah Dasar sudah kurang layak untuk digunakan. Dapat ditemukan di lokasi penelitian yang berada di desa Sei Baru terdapat Sekolah Dasar Negeri yang sudah tidak layak huni. Secara rinci sarana prasarana yang terdapat di Kecamatan Panai Hilir dapat di lihat pada Tabel 7. Tabel 7 Sarana prasarana Kecamatan Panai Hilir No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Sarana Prasarana Sekolah Dasar SD Swasta SMPN SMP Swasta SMUN SMU Swasta Puskesmas Puskesmas Pembantu Posyandu Praktek Dokter Pasar Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tangkahan Umum Jumlah
Kabupaten Labuhanbatu dalam Angka 2002
Jumlah 22 10 1 7 1 2 1 3 34 1 1 1 1 85
53 Sarana dan Prasarana perikanan laut Tempat Pelelangan Ikan (TPI) tidak berfungsi sama sekali. Proyek pembangunan TPI yang sudah memakan biaya besar tersebut hanya menjadi tempat bermain anak-anak dan tempat nelayan memperbaiki jaring mereka. Nelayan menjual hasil tangkapan mereka di tengah laut dan bila waktu mendarat mereka malam, hasil laut dijual pada pemborong ikan. Pemborong-pemborong ikan biasanya berada di tangkahan -tangkahan. Sarana telekomunikasi kecamatan Panai Hilir berupa telepon hanya terdapat di ibukota kecamatan yaitu Sei Berombang sedangkan desa lain belum bisa memanfaatkan sarana telekomunikasi berupa telepon. Sementara untuk sarana jalan raya masih kurang memadai. Jalan raya yang menghubungkan kecamatan Panai Hilir ke Ajamu masih berupa jalan tanah. Apabila musim hujan jalan tersebut tidak bisa dilewati dan tidak jarang pedagang -pedagang ikan mengalami kerugian besar. Fasilitas penerangan dari Pembangkit Listrik Nasional (PLN) telah terdapat di Kecamatan Panai Hilir. Tersedianya sarana penerangan PLN mendorong berkembangnya perekonomian Kecamatan dari sektor jasa seperti; wartel, mesin cuci cetak photo, photo copy, salon dan sebagainya. Tetapi, tidak semua masyarakat Kecamatan Panai Hilir telah menikmati sarana penerangan yang diberikan oleh Pembangkit Listrik Nasional (PLN) tersebut. Desa Sei Tawar merupakan desa yang belum bisa menikmati jasa PLN, sehingga untuk penerangan desa digunakan mesin diesel yang dikelola oleh masyarakat secara swasta. Demikian pula untuk masyarakat yang masih berada pada garis kemiskinan, meskipun bertempat tinggal di desa yang telah difasilitasi oleh PLN, tidak mampu menikmati fasilitas tersebut. Masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan masih menggunakan bahan bakar minyak tanah untuk penerangan rumah mereka.
54
VI. SUMBERDAYA PERIKANAN LAUT
6.1. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Laut Sumberdaya
perikanan
dan
laut
kecamatan
Panai
Hilir
masih
dimanfaatkan hanya untuk satu aktivitas yaitu perikanan tangkap. Aktivitas perikanan tangkap yang dilakukan masyarakat merupakan warisan keluarg a nelayan secara turun-temurun baik pada masyarakat pribumi maupun masyarakat keturunan Tionghoa. Adapun golongan nelayan dengan kepemilikan modal dalam jumlah besar di dominasi oleh keturunan Tionghoa dengan menguasai tangkahan yang merupakan pusat pemasaran ikan hasil tangkapan. Dengan adanya sistem kelembagaan tangkahan, keberadaan TPI di kecamatan Panai Hilir tidak difungsikan. Studi PKSPL (2004) juga menunjukkan bahwa pada wilayah pantai timur dan barat Sumatera kelembagaan tangkahan sudah berkembang dengan baik. Hal ini karena kelembagaan tersebut memiliki kelebihan yaitu; 1) memberikan modal kepada nelayan sebelum beroperasi, 2) informasi dan teknologi penangkapan yang ditawarkan lebih maju, 3) adanya dukungan (backing) aparat keamanan dan 4) jaringan pemasarannya sudah sistematik. Adapun jaringan pemasaran perikanan tangkahan digambarkan pada gambar 3.
TPI Tangkahan
Pengecer
Ekspor
Pedagang besar Pedagang lokal
Pengecer
Konsume n
Pedagang lokal/agen
Rumah makan
Gambar 3 Rantai pemasaran ikan dalam sistem tangkahan
55 Sistem kelebagaan tangkahan Panai Hilir yang dikelola oleh pemilik modal dan nelayan besar tidak jauh berbeda dengan apa yang diilustrasikan pada gambar 3. Apabila pemasaran ikan langsung di lakukan ketika aktivitas melaut berlangsung, para pemilik tangkahan mendatangi nelayan ke laut. Dengan adanya penguasaan pasar oleh pemilik modal dan pemilik tangkahan maka surplus ekonomi tetap menguntungkan mereka dengan pihak yang terlibat sementara eksploitasi yang mereka lakukan pada gilirannya meniadakan hak -hak nelayan kecil dan tradisional untuk mengakses sumber daya perikanan Panai Hilir. Kemudahan pinjaman dengan pengembalian yang sulit oleh tangkahan tersebut di satu sisi merupakan penunjang semakin tingginya tingkat eksploitasi sumber daya perikanan di wilayah tangkap Panai Hilir padahal wilayah tangkap tersebut telah mengalami overfishing . Adapun sektor pengolahan rumahtangga nelayan semakin berkurang, karena nelayan yang memiliki utang terpaksa harus menjual hasil tangkapan segarnya pada pemilik modal atau nelayan besar. Akibatnya pendapatan keluarga mengalami penurunan sementara bila mereka tidak terlilit utang, ikan dapat diolah oleh perempuan dan harga jualnya akan memiliki nilai tambah. Sektor pariwisata dan budidaya belum terdapat di wilayah pesisir dan laut Panai Hilir. Pemanfaatan wilayah pesisir dan laut Panai Hilir untuk sektor pariwisata perlu di pertimbangkan karena wilayah tersebut memiliki potensi pariwisata untuk dikembangkan. Hal ini terkait dengan wilayah perairan Panai Hilir yang cukup strategis. Namun perlu dilakukan pengkajian dengan ketersediaan potensi sumber daya lainnya. Sementara untuk sektor budidaya, melihat kondisi laut yang sudah oferfishing dan menurut Dinas Kelautan dan Perikanan (2005) wilayah perairan Selat Malaka merupakan wilayah yang kurang baik untuk dilakukan pengelolaan sektor budidaya. Penggunaan alat tangkap nelayan Panai Hilir bervariasi mulai dari alat tangkap tradisional sampai alat tangkap yang modern. Secara umum alat tangkap yang digunakan nelayan Panai Hilir dapat dilihat pada Tabel 8.
56 Tabel 8 Jenis dan jumlah alat tangkap nelayan Kecamatan Panai Hilir No.
Jenis alat tangkap
Jumlah
%
1 2
Payang (payang) Dogol (Danish Seine)
55 40
14.3 10.4
3 4
Pukat Cincin (Purse Seine) Jaring Insang Hanyut (Drift Gill Net)
10 60
2.6 15.6
5 6
Jaring angkat lainnya (Other Lift Net) Pancing lainnya (Other Pole and Line)
60 119
15.6 31
7
Alat pengumpul kerang (Shell Collection Equipment) Jumlah
40 384
10.4 100
Kabupaten Labuhanbatu dalam Angka 2002
Tabel 8 menunjukkan bahwa 15,6% alat tangkap nelayan menggunakan Jaring Insang Hanyut (Drift Gill Net) dan Jaring angkat lainnya (Other Lift Net). Sementara 31% masih menggunakan pancing lainnya (Other Pole and Line). Selanjutnya Jumlah perahu dan kekuatan mesin yang digunakan nelayan pada Kecamatan Panai Hilir dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Jumlah perahu dan kekuatan mesin No. 1.
2.
Uraian Perahu dengan motor < 5 GT 5 - 9 GT 10 - 19 GT Perahu tanpa motor Jumlah
Jumlah
(%)
270 145 21 59 495
55 29 4.2 12 100
Kabupaten Labuhanbatu dalam Angka 2002
Dari Tabel 9 diketahui bahwa perahu nelayan sebagian besar menggunakan mesin dengan kekuatan lebih kecil dari 5 GT yaitu sebanyak 270 nelayan (55%). Sementara itu masih ditemukan nelayan dengan perahu tanpa motor sebanyak 59 nelayan (12%). Dengan demikian dapat dik atakan bahwa dominan nelayan Kecamatan Panai Hilir telah memiliki armada tangkap perahu dengan motor. Semakin besar kekuatan mesin yang digunakan maka kecepatan perahu akan tinggi dan jarak tangkap bisa lebih jauh. Tetapi di satu sisi dengan semakin jauhnya jarak tangkap maka input yang digunakan akan semakin besar baik modal maupun kapital per trip melaut. Wilayah tangkap nelayan kecil dengan armada tangkap sampan tanpa motor berada di daerah muara-muara sungai yang terdapat di Panai Hilir dan
57 sekitar pantai sementara nelayan besar berada di sekitar perairan pantai yang dinamakan Tanjung Bangsih hingga ke perbatasan perairan Malaysia. Jarak dari Tanjung Bangsih ke daratan Malaysia apabila mengendarai perahu bot nelayan hanya menggunakan waktu 6 jam dan dengan speak boat cukup 4 jam. Tetapi dalam aktivitasnya nelayan besar banyak melanggar ketentuan surat keputusan menteri pertanian No. 392.Kpts.IK.120/4/1999 tentang jalur-jalur penangkapan ikan. Hal ini juga disebabkan karena tidak adanya kejelasan wilayah tangkap yang mengatur zona tangkapan nelayan kecil dengan nelayan besar di Kecamatan Panai Hilir. Sementara masyarakat nelayan secara tidak tertulis dalam aktivitasnya berpedoman pada keputusan tersebut. Adapun pengaturannya adalah (PKSPL, 2004): Pertama: a. Jalur-jalur penangkapan I adalah perairan pantai selebar 3 mil laut yang diukur dari titik terendah pada waktu air surut. b. Jalur-jalur penangkapan II adalah perairan selebar 4 mil laut yang diukur dari garis luar jalur penangkapan I. c. Jalur-jalur penangkapan III adalah perairan selebar 5 mil laut yang diukur dari garis luar jalur penangkapan II. d. Jalur-jalur penangkapan IV adalah perairan di luar jalur penangkapan III. Kedua; Penggunaan kapal dan alat tangkap pada masing-masing jalur diatur sebagai berikut: a. Jalur penangkapan I tertutup bagi: Kapal penangkap ikan bermesin dalam (inboard) berukuran diatas 5 GT atau berkekuatan di atas 10 DK; semua jenis jaring trawl, jaring pukat (purse seine), jaring lingkar (gill net) dan jaring (pukat) di atas 120 meter panjang rentangan (seine nets longer). b. Jalur penangkapan II tertutup bagi: Kapal penangkap ikan (inboard) berukuran diatas 25 GT atau berkekuatan diatas 50 DK; jaring trawl dasar berpanel (otter board) yang panjang tali ris atas/bawahnya diatas 12 meter, jaring trawl melayang (pelagic trawl),
58 jaring trawl yang ditarik 2 kapal (pair trawl) dan pukat cincin yang panjangnya diatas 300 meter. c. Jalur penangkapan III tertutup bagi; Kapal penangkap ikan inboard berukuran diatas 100 GT atau berkekuatan diatas 200 DK; jaring trawl dasar dan melayang berpanel (otter board) yang panjang tali ris atas/bawahnya diatas 20 meter, pair trawl dan pukat cincin yang panjangnya diatas 600 meter. d. Jalur penangkapan IV tertutup bagi; Pair trawl di perairan Samudera Hindia.
Pada tahun 2004 Departemen Kelautan dan Perikanan mengeluarkan kebijakan untuk memperbolehkan nelayan menggunakan alat tangkap jaring trawl, konflikpun tidak terelakkan antara nelayan besar dengan nelayan kecil. Kebijakan tersebut tentunya bertentangan dengan Kepres No. 39 Tahun 1980 yang menyatakan penghapusan jaring trawl. Kebijakan DKP tersebut o leh nelayan besar, merupakan angin segar. Sehingga mereka lebih berkuasa untuk mengeksploitasi perikanan laut dengan menggunakan jenis alat tangkap trawl dan pengoperasiannya pun dilakukan pada wilayah tangkap yang seharusnya hanya dimiliki nelayan kecil. Aktivitas tersebut dilakukan agar jarak tangkap mereka berkurang sehingga biaya yang digunakan juga berkurang. Sementara stok ikan pada wilayah diatas 3 mil sudah berkurang sehingga penghasilan melaut yang diperoleh tidak sebanding dengan pengeluaran nelayan besar. Sementara nelayan kecil dengan keterbatasan alat tangkapnya akan memperoleh hasil tangkapan yang semakin sedikit dengan semakin banyaknya jumlah perahu yang mengekstraksi perikanan laut. Aktivitas tangkap nelayan dalam memanfaatkan perikanan laut umumnya dilakukan dengan waktu kerja per trip melaut satu hari tetapi untuk nelayan besar, waktu kerja melaut per trip dua hari bahkan ada juga yang sampai satu minggu. Nelayan besar dengan waktu kerja satu minggu per trip memiliki wilayah tangkap yang sudah lebih jauh. Adapun dalam aktivitas tangkap nelayan, tidak ada aturan aturan tertentu yang membatasi waktu kerja melaut mereka. Tetapi dominan nelayan dalam sebulan hanya menggunakan waktu kerja dua minggu. Hal ini
59 terkait dengan pasang dan surutnya air laut. Adapun siklus pasang dan surutnya air laut merujuk pada penanggalan arab (Tahun Hijriyah) dimana pasang besar terjadi setiap tanggal 15 dan 30 dapat dilihat pada Tabel 10.. Tabel 10 Siklus pasang surut air laut No. 1 2 3 4
Tanggal 16 - 30 24 - 30 30 - 7 8 - 15
Keterangan air pasang menurun air pasang menaik air pasang menurun air pasang menaik
Sumber: Data Primer 2005
Waktu kerja aktivitas tangkap nelayan Panai Hilir dalam sebulan hanya dilakukan ketika musim air pasang. Apabila aktivitas tangkap dilakukan ketika air pasang mati (air pasang menurun) maka hasil tangkapan yang di peroleh jauh lebih rendah. Karena pada musim tersebut ikan sulit di peroleh. Adapun waktu pasang dan surutnya air laut setiap hari ditentukan oleh saat pasang misalnya pada hari Senin air laut pasang jam 04.00 WIB maka pasang sorenya juga jam 16.00 WIB selanjutnya untuk mulai pasang hari Selasa dimulai jam 05.00 WIB. Kelembagaan masyarakat nelayan secara adat sejak dahulu tidak ada, baik dalam hal pembagian hasil maupun upaya-upaya perlindungan terhadap kelestarian produksi perikanana seperti pelarangan secara tegas waktu kerja melaut pada hari-hari tertentu. Sehingga tidak ada aturan-aturan yang bisa menjaga perikanan laut terlepas dari eksternalitas Tetapi pada desa Sei Baru terdapat organisasi non formal Pilar Perjuangan Nelayan yang berdiri pada tahun 2001, merupakan wadah komunikasi dan pemersatu nelayan kecil yang berupaya untuk meminimalisir pemakaian alat tangkap trawl.
60 6.2. Karakteristik Rumahtangga Nelayan Sampel Hasil pengumpulan data primer dari 96 rumahtangga yang dijadikan sampel dapat dikelompokkan berdasarkan jenis usaha terdiri dari nelayan buruh, nelayan pengolah dan nelayan tidak pengolah. Secara rinci proporsi dari tiap status usaha perikanan rumah tangga nelayan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Status usaha perikanan nelayan No. 1 2 3 4
Keterangan Nelayan buruh Nelayan pengolah Nelayan tidak pengolah Rumahtangga khusus pengolah Jumlah
Jumlah Rumahtangga 13 28 55
Persentase (%) 14 29 57
0 96
0 100
Sumber: Data Primer 2005
Nelayan buruh adalah nelayan yang tidak memiliki sarana dan prasarana produksi, memiliki hak-hak yang sangat terbatas dengan bermodal tenaga. Nelayan buruh berjumlah
13 rumah tangga (14%) yang bekerja pada nelayan
pemilik pribumi dan keturunan Tionghoa. Nelayan buruh yang bekerja pada pemilik modal pribumi dan pemilik modal keturunan Tionghoa memiliki perbedaan baik dalam sistem pembagian upah dan kerja melaut. Adapun sistem upah pada nelayan buruh yang bekerja pada pemilik modal pribumi ditentukan oleh perolehan hasil tangkapan tiap trip melaut, apabila jumlah hasil tangkapan banyak maka upah melaut akan besar dan sebaliknya sementara resiko melaut seperti jaring yang rusak, perahu yang bocor sama-sama diperbaiki oleh pemilik dan buruh. Sedangkan pada nelayan buruh yang bekerja pada pemilik modal keturunan Tionghoa, upah yang diterima tidak tergantung pada perolahan hasil tangkapan tetapi telah di tentukan Rp. 30.000 – 50.000 dan buruh juga tidak memiliki tambahan kerja apabila terdapat kerusakan pada alat alat tangkap dan armada tangkap. Nelayan pengolah adalah nelayan yang tidak menjual hasil tangkapannya dalam bentuk segar tetapi dalam bentuk hasil olahan seperti ikan asin, udang kering, remis dan sebagainya. Nelayan pengolah terdiri dari 28 rumah tangga (29%) yang berdomisili di desa Sei Berombang dan Sei Sakat. Nelayan pengolah yang berdomisili di desa Sei Berombang umumnya mengolah udang kering dan
61 ikan asin sementara nelayan pengolah yang berdomisili di desa Sei Sakat umumnya mengolah remis. Hasil tangkapan segar seperti udang di rebus di laut ketika aktivitas melaut berlangsung karena perebusan udang yang masih segar akan menghasilkan rasa udang kering yang lebih enak. Sedangkan remis perebusannya dilakukan setelah di darat karena waktu perebusan remis lebih lama dari udang dan juga terdapat perbedaan perlakuan dalam pengolahannya. Nelayan yang tidak melakukan pengolahan terdiri dari 55 rumah tangga (57%). Hasil tangkapan nelayan yang tidak melakukan pengolahan ikan langsung di pasarkan dalam bentuk segar. Pemasaran ikan hasil tangkapan dilakukan di tengah laut dimana pemborong-pemborong langsung mendatangi perahu -perahu nelayan seiring berlangsungnya aktivitas menangkap ikan. Kepemilikan armada tangkap rumahtangga nelayan, terdiri dari 3 jenis yaitu; perahu motor, sampan motor dan sampan dayung. Secara rinci kepemilikan armada tangkap nelayan dapat di lihat pada Tabel 12. Tabel 12 Kepemilikan armada tangkap No. 1. 2. 3.
Keterangan Nelayan pemilik perahu motor Nelayan pemilik sampan motor Nelayan pemilik sampan dayung Jumlah
Jumlah 22 32 10 64
Sumber: Data Primer 2005
Hasil tangkapan yang semakin berkurang memotivasi nelayan untuk berusaha memiliki armada tangkap meskipun dengan sampan dayung. Hal ini terkait dengan sistem bagi hasil setiap melaut sangat ditentukan oleh hasil tangkapan yang diperoleh. Sehingga apabila hasil tangkapan yang diperoleh sedikit, baik nelayan pemilik maupun nelayan buruh akan memperoleh pendapatan yang kecil. Selanjutnya terdapat 19 rumah tangga nelayan tidak memiliki armada tangkap tetapi melakukan aktivitas melaut sebagai mata pencaharian pokok mereka.
Adapun 19 nelayan tersebut menyewa armada
tangkap yang mengantar nelayan ke lokasi penangkapan ikan, sedangkan alat tangkap disediakan oleh masing-masing nelayan. Biasanya dalam satu perahu motor terdapat 6 – 8 nelayan dan alat tangkap yang mereka gunakan juga sama yaitu Dupi. Alat tangkap tersebut sangat sederhana dan biasanya digunakan di daerah penangkapan yang di sebut Boting.
62 6.2.1. Tingkat Pendidikan Pendidikan khususnya pendidikan formal, merupakan modal yang sangat berperan untuk mendapatkan kehidupan ekonomi lebih baik. Pendidikan juga sangat mempengaruhi pola kehidupan pada setiap individu, baik cara berfikir dan bersikap. Dalam penelitian ini perlu melihat sebaran tingkat pendidikan dari pasangan suami istri dan seluruh anggota rumah tangga. Adapun anggota rumah tangga yang di nilai adalah laki-laki dan perempuan yang merupakan tenaga kerja produktif pada rumah tangga nelayan yaitu memiliki umur di atas 17 tahun. Tabel 13 Tingkat pendidikan pasangan suami istri No. 1 2 3 4
Tingkat pendidikan Tidak bersekolah SD SMP SMA Jumlah
Kepala rumah tangga (suami) 16 68 10 2 96
Ibu rumah tangga (istri) 22 60 12 2 96
% 17 71 10 2 100
% 23 62 13 2 100
Sumber: Data Primer 2005
Tingkat pendidikan yang dimiliki pasangan suami istri berv ariasi mulai dari tidak tamat SD sampai tingkat tamat SMA atau sederajat. Pada Tabel 13 diketahui bahwa masih ada responden yang tidak bersekolah dimana untuk kepala rumah tangga terdapat 16 orang (17%) dan ibu rumah tangga 22 orang (23%). Adapun sebagian besar tingkat pendidikan pasangan suami istri dalam rumah tangga nelayan adalah Sekolah Dasar (SD). Sementara untuk tingkat pendidikan SMA hanya dimiliki masing-masing 2 orang. Dengan demikian dapat dikatakan tingkat pendidikan rumah tangga nelayan dilihat dari aspek pendidikan pasangan suami istri masih rendah. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada lampiran 1. Tabel 14 Sebaran tingkat pendidikan anggota rumah tangga nelayan yang berumur di atas 17 tahun. No. 1 2 3 4
Tingkat pendidikan Tidak bersekolah SD SMP/Sederajat SMA/Sederajat Jumlah
Laki-laki 14 100 23 9 146
(%) 10 68 16 6 100
Perempuan 19 71 16 7 113
(%) 17 63 14 7 100
Sumber: Data Primer 2005
Tabel 14 menunjukkan bahwa sebagian besar anggota rumah tangga yang berumur di atas 17 tahun baik laki-laki dan perempuan dominan memiliki tingkat
63 pendidikan Sekolah Dasar (SD). Adapun jumlah laki-laki berpendidikan SD 100 orang (68%) dan perempuan 71 orang (63%). Tingkat pendidikan formal yang rendah, secara umum disebabkan faktor ekonomi rumahtangga nelayan yang lemah dan lingkungan tempat tinggal yang kurang mendukung. Fenomena kehidupan nelayan yang sangat bergantung dengan alam, secara tidak langsung mempengaruhi pendidikan anak-anak nelayan. Ketika musim ikan, anak -anak laki-laki lebih memilih ikut melaut daripada berangkat sekolah dan ketika musim ikan habis anak tidak mau lagi meneruskan sekolah . Sementara orang tua tidak terlalu memperdulikan dampak akhir keterlibatan anak melaut karena tekanan ekonomi keluarga. Ironisnya, budaya menabung ketikan musim ikan tidak menjadi bagian hidup mereka. Sehingga ketika musim paceklik ikan banyak anak yang putus sekolah. Pada anak perempuan, tekanan ekonomi keluarga menyebabkan mereka banyak yang berhenti sekolah dan waktu mereka digunakan untuk membantu orang tua di rumah. Adapula yang bekerja sebagai tukang cuci, pembantu rumahtangga, kerja gudang dan mencari siput ke hutan bakau. Selanjutnya, tekanan ekonomi juga berdampak pada lingkungan setempat yang kurang memperhatikan
pergaulan
anak-anak
muda.
Sehingga
berdampak
pada
berkurangnya motivasi dan minat anak -anak nelayan untuk berusaha memiliki tingkat pendidikan yang tinggi.
6.2.2
Jumlah Anggota Rumahtangga Rata-rata jumlah anggota sampel rumahtangga Kecamatan Panai Hilir 5,8
orang atau dikatakan 6 orang per rumahtangga dengan kisaran 2 sampai 11 orang dalam 1 keluarga (Lampiran 1). Jumlah anggota rumah tangga yang berv ariasi tersebut dapat dikategorikan sebagaimana yang terdapat pada Tabel 15. Tabel 15 Kategori tingkat jumlah anggota rumahtangga nelayan Uraian Jumlah anggota rumahtangga Besar > 7 orang Sedang 5 - 6 orang Kecil < 4 orang Sumber: Data Primer 2005
Jumlah
%
32 38 26
33 40 27
64 Berdasarkan Tabel 15 diketahui rumahtangga nelayan yang tergolong pada keluarga besar adalah 32 sampel (33%), sedang 38 sampel (40%) dan selebihnya kecil 26 sampel (27%). Dengan demikian dominan rumahtangga nelayan sampel memiliki 5 – 11 orang anggora. Jumlah anggota rumahtangga tentunya akan berimplikasi dengan jumlah pengeluaran keluarga dimana setiap rumahtangga nelayan akan berusaha untuk mendapat perolehan hasil tangkapan banyak agar kebutuhan keluarga terpenuhi. Di satu sisi, jumlah anggota rumahtangga yang besar merupakan potensi bagi rumahtangga nelayan untuk bisa memperoleh pendapatan dengan pola pencarian nafkah yang berbeda-beda. Adapun rumahtangga nelayan yang tergolong pada keluarga kecil umumnya ditemukan pada pasangan suami istri yang masih muda dan rata-rata memiliki anak berumur di bawah 5 tahun. Sedangkan pada keluarga yang tergolong besar dan sedang umumnya ditemukan pada pasangan suami istri yang sudah memiliki anak dengan tingkat umur mulai anak-anak, remaja bahkan dewasa. Selanjutnya dapat diketahui jumlah keseluruhan laki-laki dan perempuan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Jumlah anggota rumahtangga No. 1 2
Keterangan Laki-laki Perempuan Jumlah
Jumlah 269 293 562
Persentase (%) 47.9 52.1 100
Sumber: Data Primer 2005
Jumlah laki-laki dan perempuan dalam setiap rumah tangga juga bervariasi, secara keseluruhan jumlah anggota rumahtangga laki-laki 269 orang (47,9%) dan perempuan 293 orang (52,1%) yang terdiri dari berbagai tingkatan umur sebagaimana yang terdapat pada Tabel 16 di atas. Jumlah anggota rumahtangga yang besar akan berdampak pada jumlah pengeluaran yang besar pula. Dan hal tersebut akan lebih memberatk an perempuan dalam mengatur keuangan rumahtangga. Sebagaimana diketahui kebutuhan hidup semakin meningkat sementara pendapatan rumahtangga nelayan sangat tergantung pada alam. Apabila musim paceklik harga ikan relatif mahal tetapi nelayan dihadapkan pada kendala stok ikan yang sedikit. Sementara pada musim ikan jumlah hasil tangkapan meningkat tetapi harga ikan relatif murah.
65 6.2.3
Pengalaman Melaut Pengalaman melaut sangat bergantung pada berapa lama pekerjaan
nelayan tersebut telah dilalui nelayan. Semakin lama profesi sebagai nelayan di jalani maka pegalaman melaut nelayan akan semakin tinggi. Dan sebaliknya pula pengalaman yang rendah tentunya akan dimiliki oleh nelayan yang baru saja memiliki profesi sebagai nelayan. Pengkategorian tingkat pengalaman mealut nelayan dapat di lihat pada Tabel 17. Tabel 17 Kategori tingkat pengalaman melaut nelayan Uraian Pengalaman melaut Tinggi > 9 tahun Sedang 4 - 8 tahun Rendah < 3 tahun
Jumlah
%
62 30 4
65 31 4
Sumber: Data Primer 2005
Berdasarkan Tabel 17 d iketahui bahwa sebagian besar nelayan memiliki pengalaman melaut tinggi yang ditunjukkan dengan 62 rumahtangga nelayan (65%) dengan lama waktu menjalani profesi nelayan lebih besar dari 9 tahun. Hal mendasar tingginya tingkat pengalaman nelayan adalah fakto r kultur keluarga dimana profesi nelayan merupakan mata pencaharian yang pokok telah turun temurun dalam rumahtangga nelayan. 6.2.4 Tingkat Umur Anggota Rumahtangga Untuk melihat gambaran umur yang dimiliki rumah tangga nelayan, dalam hal ini hanya diwakilkan oleh umur pasangan suami istri dalam setiap rumah tangga. Umur pasangan suami istri dari tiap rumahtangga nelayan dapat digolongkan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 18. Sementara pada lampiran 1. dapat diketahui bahwa rata-rata umur kepala keluarga 39 tahun sementara ratarata ibu rumahtangga berumur 33 tahun.
66 Tabel 18 Kategori tingkat umur pasangan suami istri rumahtangga nelayan Uraian
Jumlah
%
29 35 32
30 36 33
32 32 32
33 33 33
Tingkat umur suami Tua > 43 tahun Sedang 34 - 42 tahun Muda < 33 tahun Tingkat umur istri Tua > 37 tahun Sedang 29 - 36 tahun Muda < 28 tahun Sumber: Data Primer 2005
Tabel 18 di atas menunjukkan umur produktif pasangan suami istri sampel dengan jumlah umur suami golongan sedang 35 orang (36%) dan golongan muda 32 orang (33%) pada umur maksimal 42 tahun. Dengan demikian dapat dikatakan sebagian besar umur kepala rumahtangga sampel masih produktif terutama pihak perempuan. Dapat dilihat bahwa proporsi umur perempuan golongan tua, sedang dan muda adalah sama masing-masing 33%. Untuk itu potensi perempuan rumah tangga nelayan masih sangat memungkinkan untuk dikembangkan. Selanjutnya dari 96 sampel rumah tangga nelayan, terdapat 2 orang kepala keluarga berumur 60 tahun dan 5 kepala keluarga berumur 55 tah un. Hal ini mencerminkan bahwa rumahtangga nelayan Panai Hilir sangat menggantungkan sumber pendapatan keluarga hanya dengan mengekstraksi perikanan laut. 6.2.5. Kontribusi Sektor Perikanan Laut terhadap Pendapatan Rumahtangga Nelayan Pendapatan rumahtangga nelayan sangat tergantung pada usaha perikanan tangkap dan kepemilikan modal melaut. Nelayan buruh merupakan kelompok nelayan yang memiliki tingkat pendapatan paling rendah, sementara tingkat pendapatan tertinggi dimiliki oleh rumahtangga nelayan pengolah. Tabel 19 menunjukkan tingkat pendapatan rumahtangga nelayan dari berbagai kelompok rumahtangga nelayan sampel. Tabel 19 Rata -rata Pendapatan Rumahtangga Nelayan sehari sebelumnya Rumahtangga nelayan pengolah (Rp) Pertrip Perbulan 43607 954684 Sumber: Data Primer 2005
Rumahtangga nelayan tidak pengolah (Rp) Pertrip Perbulan 36254
722181
Rumahtangga nelayan buruh Pertrip Perbulan 24173
314250
67
VII. EFISIENSI KERAGAAN AKTIVITAS PERIKANAN LAUT
7.1. Analisis Efisiensi Keragaan Kapasitas Tangkap Nelayan Panai Hilir Unit sampel yang dianalisis dengan menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA) pada penelitian ini sejumlah 50 unit sampel yang akan dianalisis sebagai Decision Making Unit (DMU) atau pengambil keputusan . Hasil analisis menunjukkan adanya tingkat skor unit sampel yang berfariasi. Skor efisiensi dari setiap unit sampel dipengaruhi oleh (usaha) effort atau input yang digunakan setiap trip melaut. Skor efisiensi menunjukkan kapasitas perikanan (dari sisi input), yang merupakan indeks komposit dari berbagai kapital yang digunakan untuk melakukan aktivitas perikanan, melebihi yang seharusnya. Dari hasil analisis diperoleh pula potential improvement yang menunjukkan nilai negatif untuk variabel input. Potential inmprovement yang diperoleh dari analisis menunjukkan jumlah rata-rata tiap unit input digunakan dalam satu bulan penangkapan ikan. Projection menunjukkan proyeksi hasil perhitungan dari jumlah unit input yang digunakan dikurangi difference. Nilai projection merupakan proyeksi jumlah input yang seharusnya digunakan agar effort yang dilakukan unit sampel menuju pada kondisi yang lebih baik. Difference menunjukkan nilai input yang seharusnya dikurangi untuk mengendalikan effort agar tidak inefisiensi. Selanjutnya persentase menunjukkan nilai potensi perbaikan yang ada apabila unit input yang digunakan dikurangi sebesar nilai projection. Hasil analisis untuk lebih jelas dapat dilihat pada lampiran. Berikut ini dapat dilihat berbagai nilai
projection,
difference dan persentase dari setiap unit sampel yang disajikan dalam bentuk gambar tiap jenis unit input. a. Trip per bulan Trip melaut dalam satu bulan penangkapan unit sampel berfariasi. Adapun jumlah trip melaut unit sampel adalah 10 sampai 30 trip melaut dalam satu bulan. Berikut ini gambar jumlah trip per bulan,
Sumber: Data Primer 2005
nilai projection, difference dan persentase dari setiap DMU sampel.
68 Gambar 4 Potential Improvement dari trip melaut dalam sebulan. 60 50 40 30 20 10 0 -10 -20 -30 1
4
7
10
13
16
Trip/bulan
19
22
25
Projection
28
31
34
Difference
37
40
43
46
49
%
Sumber: Data Primer 2005
Dari gambar 4 diketahui jumlah trip melaut paling kecil dalam sebulan adalah 10 trip sedangkan paling besar 30 trip. Terdapat 4 DMU sampel yang menggunakan 10 trip melaut dalam sebulan dan untuk 30 trip digunakan oleh satu unit sampel (No. 46). Pada umumnya unit sampel menggunakan 20 trip melaut dalam satu bulan. Dari 50 DMU, terdapat 6 unit sampel (No.33, 34, 35, 47, 48 dan 50) yang memiliki nilai difference dan persentase potensi perbaikan sebesar 0. Nilai tersebut merupakan indikator bahwa jumlah trip melaut yang digunakan unit sampel sebanding dengan penggunaan unit input lainnya atau dapat dikatakan penggunaan jumlah trip melaut unit sampel dalam satu bulan telah efisien dalam menghasilkan output. Hal ini ditunjukkan pula oleh nilai projection yang sama dengan nilai jumlah trip melaut yang digunakan dalam sebulan contohnya untuk unit sampel No. 33 dan 34 memiliki nilai jumlah trip melaut dan projection yang sama sebesar 15. Menurut beberapa nelayan sebenarnya dalam sebulan waktu melaut yang memungkinkan untuk memperoleh hasil tangkapan dalam jumlah yang relatif besar adalah selama 2 minggu yaitu 15 hari atau 15 trip melaut dalam sebulan. Dan hal ini juga sejalan dengan hasil analisis yang diperoleh bahwa jumlah trip melaut dalam sebulan untuk memperoleh hasil yang efisien maksimal 15 hari. Hal ini terkait pula dengan waktu melaut nelayan yang bergantung pada pasang surutnya air laut. Dimana dalam 1 bulan akan terdapat 2 minggu kondisi pasang
69 mati. Pada kondisi tersebut sebaiknya nelayan tidak melaut, karena pada akhirnya pendapatan yang diperoleh relatif sangat kecil bahkan tidak bisa menutupi biaya melaut yang digunakan. b. Tenaga Kerja per bulan Kebiasaan hidup rumahtangga nelayan yang mewariskan pola mata pencaharian dengan mengekstraksi hasil laut atau menjadi nelayan turun temurun banyak ditemukan pada tiap rumahtangga nelayan sampel. Tetapi kendati demikian sistem pembagian upah tetap dilakukan. Berikut ini diberikan distribusi jumlah tenaga kerja dalam sebulan pada tiap unit sampel. Gambar 5 Potential Improvement dari tenaga kerja melaut dalam sebulan. Sumber: Data Primer 2005 200
150
100
50
0
-50
-100
-150 1
3
5
7
9
11 13 15 17 19
TK/bulan
21 23 25 27 29 31
Projection
Difference
33 35 37 39 41 43 45
47 49
%
Sumber: Data Primer 2005
Dari gambar 5 dapat diketahui unit sampel 40 menggunakan tenaga kerja dalam jumlah besar yaitu 162 HOK dalam sebulan. Penggunaan tenaga kerja dengan jumlah tersebut telah melebihi kapasitas input yang seharusnya digunakan dan berdampak pada hasil effort yang inefisiensi. Untuk itu perlu dilakukan pengurangan tenaga kerja yang ditunjukkan oleh nilai difference -139. Dengan demikian harus dilakukan pengurangan tenaga kerja sebanyak 139 HOK agar diperoleh potensi perbaikan kapasitas tangkap sebesar 85,93% (lampiran 9).
70 Nilai difference terkecil terdapat pada unit sampel No.33, 34, 35, 47 dan 48 dengan nilai persentasenya 0. Nilai difference tersebut menunjukkan adanya kondisi efisien dalam penggunaan tenaga kerja yang dilakukan unit sampel dalam sebulan. Adapun alokasi tenaga kerja yang digunakan adalah mulai 15 HOK sampai 60 HOK. Jumlah HOK berhubungan dengan jumlah BBM yang digunakan, dimana jumlah BBM yang besar berimplikasi pada penggunaan HOK yang besar. c. Bahan Bakar Minyak Bahan bakar minyak yang digunakan nelayan merupakan penentu wilayah tangkap nelayan. Dimana semakin besar jumlah bahan bakar minyak yang digunakan pada trip melaut maka jarak tangkap nelayan juga akan semakin jauh. Gambar 6 Potential Improvement dari bahan bakar minyak yang digunakan per trip melaut dalam sebulan 2000 1500 1000 500 0 -500 -1000 -1500 1
5
9
13
BBM/bulan (liter)
17
21
25
29
Projection
33
37
41
Difference
45
49
%
Sumber: Data Primer 2005
Bahan bakar minyak yang relatif besar juga berimplikasi pada stok ikan yang semakin berkurang. Karena, dengan adanya ketersediaan bahan bakar minyak, nelayan bebas mencari tempat-tempat yang banyak ikannya. Bahkan nelayan tidak lagi memperhatikan pentingnya regenerasi ikan sebagai sumberdaya yang bisa diperbaharui agar manfaatnya berkelanjutan (sustainable). Dari gambar 6 diketahui berbagai alokasi bahan bakar minyak yang digunakan nelayan dalam sebulan. Adapun alokasi bahan bakar minyak yang digunakan nelayan mulai 45 liter sampai 1500 liter dalam sebulan. Tingkat penggunaan bahan bakar minyak terbesar digunakan oleh unit sampel 49 yaitu 1500 liter dalam sebulan. Nilai difference menunjukkan adanya kelebihan penggunaan bahan bakar minyak yang besar sementara projection menunjukkan
71 nilai yang lebih kecil. Kondisi tersebut menunjukkan adanya inefisiensi penggunaan bahan bakar minyak dalam usaha penangkapan unit sampel 49. Dari 50 unit sampel terdapat 5 unit sampel (33, 34, 35, 47, 48 dan 50) yang memiliki nilai projection sama dengan nilai bahan bakar minyak yang digunakan dalam sebulan. Nilai tersebut menunjukkan adanya efisiensi unit sampel dalam mengalokasikan jumlah bahan bakar minyak sebanding dengan jumlah unit input lainnya. d. Kekuatan mesin yang digunakan Teknologi yang terus berkembang dengan berbagai inovasi-inovasi baru juga memberi perubahan pada aktivitas melaut nelayan. Mulai dari penggunaan alat tangkap, jenis armada tangkap dan penggunaan tenaga motor pada armada tangkap nelayan. Inovasi-inovasi tersebut memberi manfaat pada pendapatan rumahtangga nelayan. Tetapi disatu sisi juga berdampak pada semakin mudahnya aktivitas ekstraksi perikanan laut sehingga pengelolaan pada sumberdaya yang open acces tersebut menjadi sulit untuk dilakukan. Pada gambar 7 menunjukkan berbagai ukuran tingkat kekuatan mesin yang digunakan unit sampel untuk memudahkan transportasi melaut. Adapun ukuran tingkat kekuatan mesin yang digunakan unit sampel berfariasi 6 GT sampai 24 GT. Diperoleh 6 unit sampel (33, 34, 35, 47, 48 dan 50) yang memiliki nilai projection sama dengan ukuran kekuatan mesin yang digunakan. Hal ini menunjukkan ukuran kekuatan mesin yang digunakan sebanding dengan alokasi unput lainnya dalam sebulan atau dengan kata lain penggunaan ukuran kekuatan mesin tersebut memberi kontribusi terhadap hasil effort yang efisien. Gambar 7 Potential Improvement dari kekuatan mesin perahu yang digunakan 60 50 40 30 20 10 0 -10 -20 1
4
7
10
13
16 19 22
25 28
31 34
37 40 43
Sumber: Data Primer 2005 GT
Sumber: Data Primer 2005
Projection
Difference
%
46
49
72 Dari Gambar 7 juga diketahui berbagai nilai dari penggunaan ukuran kekuatan mesin. Dimana bila dibandingkan unit sampel 25 menggunakan ukuran kekuatan mesin 24 GT hanya akan menimbulkan inefiseinsi, karena ukuran mesin yang digunakan tidak sebanding dengan alokasi input-input lainnya. Dalam hal ini unit sampel perlu melakukan pengurangan ukuran kekuatan mesin karena apabila dikurangi, unit sampel tersebut masih memiliki potensi perbaikan sebesar 74,35% sehingga bisa memberi kontribusi untuk menghasilkan effort yang efisien. Secara keseluruhan dapat diketahui terdapat 6 unit sampel memiliki nilai projection sama dengan alokasi-alokasi unit input lainnya yang digunakan dalam sebulan. Dengan demikian ke 6 unit sampel tersebut dalam mengalokasikan input melaut telah mampu memberi kontribusi kepada output.
Hal tersebut
menunjukkan bahwa effort yang dimiliki unit sampel untuk menghasilkan output telah efisien. Hal ini dapat dilihat pada gambar 8. Gambar 8 Tingkat skor yang dimiliki setiap unit sampel No. Resp.
49 45 41 37 33
DMU
29 25 21 17 13 9 5 1 0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
Efficiency
Berdasarkan Gambar 8 diketahui berbagai tingkatan skor yang diperoleh dari hasil analisis terhadap 50 unit sampel yang digunakan. Adapun tingkat skor yang dimiliki unit sampel berkisar 0,1 sampai 1. Adapun unit sampel yang memiliki skor 1 dikatakan efisien, sebaliknya kurang dari 1 dikatakan inefisien.
1
73 Untuk unit sampel yang menunjukkan nilai skor 1 hanya terdapat pada 6 unit sampel dan keseluruhannya adalah unit sampel yang memiliki input nilai projector sama dengan nilai input yang digunakan untuk melaut. Dengan demikian ke 6 unit sampel tersebut dapat dikatakan efisien dalam mengalokasikan input yang digunakan untuk memanfaatkan perikanan laut.
Adapun unit-unit
sampel yang belum efisien, dapat melakukan potensi perbaikan dengan mengurangi jumlah input yang penggunaannya melebihi jumlah seharusny a. Hasil analisis menunjukkan dari 50 DMU sampel hanya 6 rumahtangga nelayan (12%) yang dikatakan efisien dalam menggunakan kapasitas tangkap dan selebihnya 88% belum efisien. Adapun keragaan dari penggunaan kapsitas tangkap nelayan tersebut ditunjukkan pada Tabel 19. Taebl 19 Keragaan kapasitas tangkap perikanan nelayan yang efisien DMU Trip/bulan 33 34 35 47 48 50
15 15 20 10 20 10
TK/bulan 15 15 40 60 40 60
BBM/bulan (liter) 150 525 60 200 200 400
GT 12 16 6 16 12 26
Jlh produksi 405 420 440 840 900 1080
Difference
%
0 0 0 0 0 0
0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
Sumber: Data Primer 2005
Dari Tabel 19 dapat diketahui bahwa pada penggunaan kekuatan mesin tinggi perlu dilakukan pengurangan trip melaut artinya semakin tinggi kekuatan mesin yang digunakan nelayan maka sebaiknya trip melaut harus sebaliknya yaitu dengan menggunakan jumlah trip melaut yang relaif sedikit (10 – 15 trip per bulan dengan kekuatan mesin > 16 GT). Sehingga apabila tetap dilakukan melaut melewati batas penggunaan jumlah trip tersebut maka hasil tangkapan yang diperoleh tidak akan sebanding dengan biaya-biaya input lainnya. Keragaan kapasitas tangkap yang efisisen dari 6 DMU yang ditunjukkan pada Tabel 19 menunjukkan bahwa pada penggunaan kapasitas perikanan tangkap perlu dilakukan keseimbangan antara jumlah input yang satu dengan input lainnya. Dimana penggunaan kapasitas tangkap yang besar bahkan berlebih tidak akan memberikan hasil tangkapan yang optimal lagi terkait dengan kondisi wilayah tangkap yang telah mengalami overfishing. Hasil analisis yang dilakukan dengan menggunakan DEA menunjukkan bahwa overfishing yang terjadi pada wilayah tangkap Panai Hilir dapat digolongkan pada economic overfishing.
74
VIII. PERAN GENDER DALAM RUMAHTANGGA NELAYAN DAN KAPASITAS PERIKANAN TANGKAP 8.1. Pola Pekerjaan Anggota Rumahtangga Pola pekerjaan anggota rumahtangga nelayan tidak lepas dari kultur dan kebiasaan hidup di lingkungan mereka. Pola pekerjaan anggota rumahtangga umumnya dibedakan berdasarkan gender dan berlangsung dari generasi ke generasi melalui proses sosialisasi. Hal ini dapat dilihat pada kehidupan masyarakat Panai Hilir, dimana anak perempuan turut membantu bekerja di pengolahan ikan sementara anak laki-laki diikutsertakan untuk membantu pekerjaan yang berhubungan secara langsung dengan ranah laut misalnya, turut serta melaut. Pola pekerjaan anggota rumahtangga dapat pula dipilah atau dibedakan dalam tiga kelompok yaitu pekerjaan reproduktif, produktif dan sosial. Pemilahan pola pekerjaan anggota rumahtangga tersebut bukan berarti terdapat pembatasan anggota rumahtangga baik laki-laki maupun perempuan pada masing-masing pola pekerjaan. Dalam kenyataannya, keterlibatan laki-laki juga terdapat pada pekerjaan reproduktif yang dominan dilakukan perempuan. Demikian pula pekerjaan produktif yang dominan dikerjakan laki-laki, bahkan terkadang lebih didominasi oleh perempuan pada rumahtangga. Dengan demikian pemilahan wilayah kerja tersebut tidaklah merupakan suatu hal yang kaku. Karena dengan sendirinya pemilahan wilayah kerja tersebut akan berubah secara dinamis seiring dengan kebutuhan hidup masyarakat. Rumahtangga nelayan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu; rumahtangga nelayan pengolah, rumahtangga nelayan tidak pengolah dan rumahtangga nelayan buruh. Secara umum pola pekerjaan rumahtangga pada rumahtangga nelayan pengolah, nelayan tidak pengolah dan buruh tidak jauh berbeda. Aktivitas pekerjaan rumahtangga dimulai pada waktu keberangkatan laki-laki melaut. Meskipun waktu keberangkatan melaut pada dini hari atau tengah malam, perempuan tetap melakukan aktivitas untuk mempersiapkan makanan atau ransum yang akan dibawa melaut. Apabila waktu
75 berangkat melaut berkisar jam 1.00 WIB sampai jam 04.00 WIB biasanya perempuan masih menyempatkan untuk melanjutkan tidur. Laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga pengolah terlibat dalam kerja produktif. Adapun pola pembagian kerja produktif tersebut lebih jelas terlihat pada wilayah kerja masing-masing. Dimana, pekerjaan produktif laki-laki umumnya hanya di ranah laut. Pada rumahtangga pengolahan udang, perebusan dilakukan di laut sambil melakukan aktivitas melaut, sementara setelah udang yang direbus di laut sampai di rumah, pekerjaan selanjutnya menjadi tanggung jawab perempuan. Adapun peran produktif perempuan dalam pengolahan udang, terdapat pada kerja menjemur sambil mengontrol, mengayak, memilah -milah hasil udang yang sudah dikeringkan dan memasarkannya. Pada rumahtangga pengolahan remis, perbedaan wilayah kerja produktif laki-laki dan perempuan terdapat pada aktivitas melaut yang hanya dikerjakan laki-laki dan pemasaran remis dikerjakan perempuan. Sementara untuk kerja pengolahan remis tersebut dilakukan secara bersamaan. Hal ini terkait dengan sifat pekerjaan pengolahan remis yang membutuhkan tenaga besar untuk perebusannya dan mengayaknya. Pada rumahtangga nelayan tidak pengolah, kerja produktif laki-laki hanya memanfaatkan perikanan laut sementara perempuan memiliki kerja produktif yang berfariasi. Sebagian perempuan dalam rumahtangga nelayan tidak pengolah bekerja di sektor usahatani sebagai buruh tani ketika musim tanam, bekerja membelah dan menjemur ikan pada pengolahan ikan asin, 2berdoceng, mencari siput, membuka warung di rumah dan sebagainya. Pada rumahtangga nelayan tidak pengolah, pola pekerjaan perempuan rumahtangga tidak pengolah sebagian hanya memungkinkan pada kerja reproduktif. Hal ini ditemukan pada rumahtangga nelayan pemilik yang mapan sehingga istri tidak perlu bekerja untuk memberi kontribusi pendapatan rumahtangga. Disamping itu ditemukan pula pada rumahtangga nelayan tidak pengolah pada usia muda karena masih dibebankan pada pengasuhan anak yang masih kecil-kecil. Pada rumahtangga nelayan buruh, pola pekerjaan laki-laki dan perempuan didasarkan pada kerja reproduktif yang dominan dikerjakan oleh perempuan, sementara perempuan sendiri juga terlibat pada kerja produktif dengan menjadi buruh tani atau buruh pengolahan ikan. Pola pekerjaan tersebut dikarenakan
2
sebutan untuk perempuan yang mencari siput Doceng
76 fungsi nelayan buruh pada kerja penangkapan ikan tidak terbatas. Dimana, kerja menangkap ikan tersebut sepenuhnya lebih dibebankan pada nelayan buruh, sementara nelayan pemilik hanya mengendalikan modal. Sehingga, curahan waktu produktif nelayan buruh telah menyit a waktu mereka untuk turut membantu pekerjaan reproduktif perempuan dalam keluarga. Secara umum aktivitas laki-laki nelayan sampel tidak berbeda antara kelompok rumahtangga nelayan. Pekerjaan sehari-hari adalah melaut dengan lama melaut rata-rata 9 jam per trip. Selesai melaut laki-laki memeriksa kondisi kapal dan alat tangkap dan apabila ditemukan kerusakan langsung diperbaiki. Tetapi apabila waktu mendarat lebih dari jam 19.00 WIB pemeriksaan perahu dilakukan esok hari sebelum berangkat melaut. Waktu melaut optimal laki-laki dalam 1 bulan adalah 15 hari tetapi sebagian besar laki-laki melaut 20 hari. Aktivitas tidak melaut laki-laki digunakan untuk memperbaiki alat-alat tangkap dan perbaikan perahu yang kurang maksimal sebelumnya. Disamping itu pada sebag ian laki-laki, waktu tidak melaut digunakan untuk mencari kayu bakar dan aktivitas ini dilakukan oleh rumahtangga yang menggunakan kayu bakar. Kebiasaan laki-laki setelah pulang dari laut adalah berkumpul pada malam hari di warung-warung sambil menonton televisi bersama sesama nelayan lainnya. Aktivitas ini dilakukan untuk melepas lelah melaut dan diselingi dengan saling bertukar informasi tentang kegiatan melaut pada hari tersebut.
8.2. Pembagian Kerja dan Curahan Waktu dalam Kegiatan Reproduktif Kegiatan reproduktif merupakan aktivitas seseorang yang terkait dengan pemeliharaan sumberdaya manusia dan tugas-tugas kerumahtanggaan. Meskipun kegiatan reproduktif dalam rumahtangga tidak diperhitungkan sebagai pekerjaan, tetapi sangat penting dalam melestarikan kehidupan keluarga. Seiring dengan apa yang dikemukakan Saptari dan Holzner (1997) bahwa kerja reproduksi secara harfiah berarti menggantikan apa yang telah habis atau hilang untuk menjaga kelestarian sistem atau struktur sosial yang ada. Dari konsep tersebut, para ahli studi perempuan dan ilmu sosial mengartikan kerja reproduktif sebagai kerja yang tidak langsung menghasilkan sesuatu.
77 Kegiatan reproduktif bersifat rutin dan cenderung sama dari hari ke hari dan hampir seluruh kegiatan reproduktif merupakan tanggung jawab perempuan. Sehingga perempuan yang juga aktif dalam kerja produktif akan memiliki peran ganda dan hal tersebut menimbulkan beban kerja perempuan bertambah. Kontribusi
laki-laki dan perempuan dalam pekerjaan reproduktif pada
rumahtangga nelayan pengolah, nelayan tidak pengolah dan nelayan buruh dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Aktivitas reproduktif dan rata -rata curahan waktu (jam) sehari yang lalu dalam rumahtangga nelayan No.
Kegiatan reproduktif
1 2
Memasak Membersihkan rumah 3 Mencuci pakaian 4 Menyetrika pakaian 5 Mencuci alat dapur 6 Mengasuh anak 7 Mengambil air 8 Belanja 9 Membersihkan halaman 10 Memandikan anak Jumlah Rata-rata
LK
%
PR
%
Rumahtangga Nelayan Tidak Pengolah LK % PR %
LK
%
PR
%
0.07 0.14
5.4 11
2.3 0.6
35 9
0.03 0.03
6.3 6.3
2.7 0.5
37 6.8
0 0.1
0 5.4
2.46 0.46
36 6.7
0.07 0 0.13 0.11 0.32 0 0.46
5.4 0 9.5 8.2 24 0 35
0.5 0.1 0.5 1.8 0.3 0.3 0.1
7.1 1.6 7.1 28 4.6 4.2 2.2
0.02 0 0.02 0.07 0.21 0.04 0.02
4.2 0 4.2 17 48 8.4 4.2
0.6 0.2 0.4 2.3 0.1 0.3 0.1
7.8 2.2 5.9 31 2 4.1 1.3
0 0 0 0.4 0.9 0 0
0 0 0 27 62 0 0
0.54 0.12 0.5 1.85 0.23 0.58 0.04
7.9 1.7 7.3 27 3.4 8.4 0.6
0.01 1.31
0.7 100
0.1 6.6
1.2 100
0 0.43
1.1 100
0.1 7.4
1.6 100
0.1 1.4
5.4 100
0.08 6.85
1.1 100
Rumahtangga Nelayan Pengolah
Rumahtangga Nelayan buruh
Sumber: Data Primer 2005
Secara umum laki-laki pada rumahtangga nelayan masih terlibat dalam kerja reproduktif meskipun dengan curahan waktu yang sedikit dibanding perempuan. Jumlah curahan waktu kerja reproduktif laki-laki dan perempuan pada tiap kelompok tidak ada yang sama. Adapun curahan waktu kerja perempuan terbanyak terdapat pada rumahtangga nelayan tidak pengolah dimana untuk satu hari menggunakan waktu kerja rata-rata 7,39 jam sementara rumahtangga nelayan pengolah dan buruh masing-masing 6,5 jam dan 6,85 jam. Besarnya curahan waktu kerja perempuan pada rumahtangga nelayan tidak pengolah tersebut dimungkinkan karena ketersediaan waktu mereka untuk kerja reproduktif lebih besar daripada perempuan pada rumahtangga nelayan pengolah dan buruh yang maing-masing sebagian besar harus menyediakan waktu untuk kerja produktif.
78 Hal ini juga bisa dilihat dari kecilnya curahan waktu kerja reproduktif laki-laki pada rumahtangga nelayan tidak pengolah yang hanya 0,43 jam dibanding pada rumahtangga nelayan pengolah dan buruh yang masing-masing 1,31 jam dan 1,42 jam. Memasak merupakan kerja reproduktif perempuan yang secara umum menggunakan alokasi curahan waktu terbesar. Meskipun dalam rumahtangga nelayan terdapat anak perempuan yang sudah remaja, tetapi tugas memasak masih dominan dikerjakan oleh perempuan. Sementara anak remaja biasanya hanya turut membantu sedangkan ibu-ibu lebih memiliki tanggung jawab terhadap makanan yang dihasilkan sebagai aplikasi dari peran mereka yaitu penyedia kebutuhan konsumsi makanan keluarga. Dari keseluruhan sampel perempuan hanya 1 perempuan yang tidak terlibat memasak sehari yang lalu, Hal ini dikarenakan perempuan tersebut masih dalam pemulihan kesehatan setelah menjalani persalinan. Biasanya kerja memasak keluarga untuk sementara dibantu oleh saudara terdekat mereka. Membersihkan rumah, mencuci pakaian, mencuci alat dapur, dan membersihkan halaman merupakan kerja reproduktif yang sudah tidak sepenuhnya dikerjakan oleh perempuan secara umum. Hal ini bisa dilihat dari kecilnya jumlah curahan waktu yang dialokasikan oleh perempuan untuk kerja tersebut. Karena di dalamnya terdapat keterlibatan laki-laki dan anggota rumahtangga lain yang turut membantu. Sementara untuk kerja menyetrika pakaian laki-laki tidak memiliki alokasi curahan waktu sedikitpun. Hal ini dimungkinkan karena pekerjaan menyetrikan memerlukan keterampilan khusus Sementara pada perempuanpun kerja menyetrikan merupakan kerja yang memiliki alokasi curahan waktu sedikit. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Mardiana et.all (2005) yang juga menemukan kegiatan menyetrika pada rumahtangga nelayan secara umum merupakan kerja dengan curahan waktu kecil karena pakaian mereka untuk sehari-hari tidak di setrika. Adapun kerja menyetrika hanya dilakukan pada saat-saat tertentu misalnya hendak bepergian jauh, menyambut hari raya, memenuhi undangan, dan pakaian seragam anak sekolah yang kegiatannya dilakukan seminggu sekali.
79 Kebutuhan air bersih masyarakat Kecamatan Panai Hilir tidak jauh berbeda dengan wilayah pesisir lainnya. Tetapi tingkat kontaminasi air laut di Kecamatan Panai Hilir masih tinggi sehingga untuk memperoleh air yang tidak berasa dan berwarna dibutuhkan pemboran tanah dengan kedalaman tertentu. Rumahtangga nelayan dengan ekonomi rendah tidak mampu melakukan hal tersebut sehingga mereka harus membeli air pada pemilik sumur bor untuk memenuhi kebutuhan air bersih rumahtangga. Kegiatan membeli air tersebut dominan dilakukan oleh laki-laki. Dapat dilihat pada rumahtangga nelayan, curahan waktu yang dialokasikan laki-laki untuk mengambil air lebih besar daripada curahan waktu perempuan. Adapun keterlibatan perempuan dalam kerja mengambil air tersebut adalah ketika laki-laki belum pulang dari melaut. Disamping itu, kerja mengambil air juga dilakukan oleh sebagian perempuan yang bertempat tinggal di dekat sungai untuk kebutuhan mandi dan mencuci. Kegiatan mengambil air tersebut dilakukan ketika air pasang. Pada rumahtangga nelayan pengolah ikan asin, membersihkan halaman merupakan tugas laki-laki sehingga curahan waktu laki-laki lebih besar (0,46) jam daripada perempuan
(0,14) jam. Sementara pada rumahtangga nelayan tidak
pengolah alokasi curahan waktu kerja laki-laki juga masih lebih besar daripada perempuan. Belanja merupakan kerja reproduktif yang secara umum meruapakan tanggung jawab perempuan. Hampir setiap hari kegiatan belanja dilakukan oleh perempuan dalam memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga meskipun dalam jumlah yang sedikit. Keterlibatan laki-laki untuk kerja belanja hanya terdapat pada rumahtangga nelayan tidak pengolah dengan curahan waktu 0,04 jam. Adapun kegiatan belanja tersebut dilakukan laki-laki bukan untuk kebutuhan konsumsi kebutuhan keluarga sebagaimana yang dilakukan perempuan, tetapi hanya untuk kebutuhan ransum melaut. Dan inipun dilakukan apabila persediaan ransum yang mau di bawa ke laut telah habis dan perempuan belum sempat membelinya atau persediaan tersebut sebelumnya telah digunakan untuk kebutuhan makanan keluarga. Biasanya kerja belanja tersebut dilakukan laki-laki pada malam hari sebelum melaut dan hanya dilakukan di warung kelontong sekitar rumah.
80 Curahan kerja reproduktif yang juga menyita waktu perempuan adalah mengasuh anak. Dimana untuk kerja mengasuh anak tersebut juga terdapat adanya keterlibatan laki-laki meskipun dengan curahan waktu yang kecil. Apabila dihitung penuh curahan waktu yang dialokasikan perempuan untuk kerja mengasuh anak, akan lebih besar daripada memasak. Tetapi dalam hal ini, curahan waktu kerja perempuan yang dialokasikan secara bersamaan dengan mengasuh anak tidak dihitung. Sehingga adapun rata-rata curahan waktu yang dialokasikan perempuan khusus mengasuh anak untuk tiap rumahtangga adalah 1,82 jam, 2,31 jam dan 1,85 jam. Kerja produktif perempuan dalam pengolahan udang tidak terlalu berat. Dimana perempuan hanya bekerja menjemur dan mengontrol udang yang sebelumnya telah direbus di laut. Sehingga pekerjaan produktif tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan mengasuh anak. Sementara pada rumahtangga nelayan tidak pengolah dan buruh, ketika mereka kerja produktif, anak diasuh oleh saudara-saudara terdekat mereka atau oleh anak perempuan yang berumur di atas 10 tahun. Demikian pula untuk kerja mamandikan anak dominan dilakukan oleh perempuan Tetapi pada sebagian kecil laki-laki masih terlibat dalam pengasuhan anak. Tidak adanya alokasi curahan waktu laki-laki untuk pengasuhan anak terdapat pada rumahtangga nelayan tidak pengolah. Berdasarkan hasil uji analisis yang dilakukan terhadap keseluruhan kelompok nelayan dengan menggunakan Uji Beda Dua Nilai Tengah Dua Arah, diperoleh bahwa terdapat perbedaan curahan waktu aktivitas reproduktif laki-laki dan perempuan yang ditunjukkan oleh nilai Zhitung (-15,9) lebih kecil dari Ztabel (0,0003). Dengan demikian keputusan yang diambil adalah menolak Ho dan menerima HI artinya curahan waktu reproduktif laki-laki lebih kecil daripada perempuan.
8.3. Pembagian Kerja dan Curahan Waktu dalam Aktivitas Produktif. Aktivitas produktif yang dilakukan anggota rumahtangga nelayan adalah pekerjaan yang terkait dengan usaha-usaha mendapatkan pendapatan. Pada pembagian kerja produktif lebih terlihat adanya perbedaan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dalam menghasilkan sejumlah barang dan jasa. Hasil
81 penelitian menunjukkan bahwa laki-laki memiliki curahan waktu yang lebih besar daripada perempuan baik pada rumahtangga nelayan pengolah, rumahtangga nelayan tidak pengolah maupun rumahtangga nelayan buruh yang masing-masing; 16.3 jam, 14.4 jam dan 18 jam. Adapun curahan waktu yang digunakan nelayan tersebut untuk kerja melaut masing-masing 34 jam. berbagai pekerjaan produktif dalam memanfaatkan perikanan laut dari masing-masing kelompok rumahtangga nelayan sebagaimana terdapat pada Tabel 21. Tabel 21 Aktivitas produktif dan Rata-rata Curahan Waktu (jam) sehari yang lalu dalam rumahtangga nelayan N0.
Aktivitas
1 2
Menangkap ikan di laut Mencari ker ang di tepi pantai Mempersiapkan alat-alat melaut Memperbaiki jaring Membuat jaring Memeriksa kondisi boat/sampan dan alat tangkap Memasarkan hasil tangkapan Memperbaiki kapal bocor Memikul ikan ke darat Menyiangi ikan Merebus olahan Menjemur & mengontrol olahan Mengayak olahan memilih olahan Menumbuk udang Mencetak dan membungkus terasi Memasarkan ikan pengolahan Jumlah
4 5 6 7
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 19
Rumah tangga nelayan pengolah LK % WT %
Rumah tangga nelayan tidak pengolah LK % WT %
Rumahtangga nelayan buruh LK % WT %
9.68 0
59 0
0 0
0 0
9.02 0
63 0
0 2.23
0 81
14 0
77 0
0 0
0 0
0.64
3.9
0
0
0.64
4.5
0
0
0.3
2
0
0
0.5 0 2
3.1 0 12
0 0 0
0 0 0
1.1 0.44 1.88
7.7 3.1 13
0 0 0
0 0 0
1.2 0.4 0.8
6.8 2.2 4.8
0 0 0
0 0 0
0.13
0.8
0
0
1.02
7.1
0.34
12
0
0
0
0
0.29
1.8
0
0
0.12
0.8
0
0
0.8
4.8
0
0
0.68 0 1.64 0.07
4.2 0 10 0.4
0 0.21 0.75 3.29
0 2.8 9.8 43
0.02 0 0 0
0.1 0 0 0
0 0.1 0 0.05
0 3.5 0 1.7
0.5 0 0 0
2.8 0 0 0
0 3.31 1.08 0.04
0 74 24 0.9
0.25 0 0.07 0.21
1.5 0 0.4 1.3
1.02 0.52 0.11 0.21
13 6.7 1.4 2.8
0 0 0 0
0 0 0 0
0.01 0.03 0 0
0.3 1 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0.04 0 0
0 0.9 0 0
0.14
0.9
1.57
20
0
0
0
0
0
0
0
0
16.3
100
7.68
100
14.3
100
2.75
100
18
100
4.46
100
Sumber: Data Primer 2005
Menangkap ikan di laut dan mencari siput merupakan pekerjaan produktif yang secara langsung bersentuhan dengan ranah laut. Pekerjaan mencari ikan di laut dominan dilakukan oleh laki-laki dengan menggunakan alokasi curahan waktu lebih besar daripada kerja produktif lain. Besarnya curahan waktu yang dialokasikan
laki-laki untuk melaut tersebut dikarenakan sumber mata
82 pencaharian keluarga sepenuhnya masih bergantung pada perikanan laut. Sementara hasil tangkapan yang diperoleh nelayan semakin berkurang untuk setiap trip melaut. Berkurangnya hasil tangkapan tersebut menurut nelayan adalah akibat semakin banyaknya jumlah nelayan dan adanya aktivitas alat tangkap trawl yang digunakan tidak pada wilayah tangkap seharusnya tetapi berada di wilayah tangkap nelayan kecil. Sementara ikan -ikan di atas wilayah tangkap 3 mil sudah sangat minim. Pernyataan nelayan tersebut sejalan dengan Anonimous (2003) bahwa tingkat pemanfaatan ikan di perairan pantai Timur Provinsi Sumatera Utara telah dilakukan secara intensif dan bahkan telah berakibat pada penangkapan yang berlebih (over fishing). Selanjutnya Solihin, A. et.all (2005) juga mengemukakan bahwa trawl pertama kali di kembangkan di Indonesia pada tahun 1970 di daerah perairan Selat Malaka sebagai upaya mendongkrak produksi perikanan tangkap. Keefektifan trawl yang mampu menangkap semua jenis sasaran tangkap sampai pada dasar laut menyebabkan dalam kurun waktu sekitar 7 tahun perairan Selat Malaka
mengalami over fishing. Kendati demikian
aktivitas trawl di perairan Selat Malaka sejauh ini masih belum terselesaikan. Dan karena alternatif sumber mata pencaharian lain belum ada sehingga masyarakat tidak punya pilihan lain untuk tetap memanfaatkan perikanan laut hanya dengan aktivitas tangkap. Adapun kerja produktif mencari siput dominan dikerjakan perempuan pada rumahtangga nelayan tidak pengolah. Pekerjaan mencari kerang dilakukan oleh ibu-ibu dan anak gadis desa Sei Tawar. Tetapi sekarang kerang yang berada di pesisir tidak sebanyak dahulu. Dari beberapa nelayan Sei Tawar di peroleh 7 rumahtangga yang perempuannya mencari kerang. Waktu yang digunakan untuk mencari kerang sampai memasarkannya 6 - 7 jam perhari. Biasanya Ibu-ibu berangkat jam 06.00 WIB dan jam 07.00 sampai di pesisir. Pekerjaan mengambil kerang berakhir sampai jam 12.00 dengan hasil kerang yang sudah dipasarkan. Adapun penjualan hasil kerang dilakukan di tempat pengambilan kerang dimana pembeli langsung datang ke pesisir pantai. Pekerjaan mencari siput Doceng dilakukan oleh perempuan desa Sei Baru dan diperoleh 8 rumahtangga. Pekerjaan ini lebih berat dari mencari kerang yang hanya di pesisir pantai. Waktu berangkat kerja ibu-ibu dan anak gadis yang
83 bekerja mencari siput bersamaan dengan waktu berangkat laki-laki melaut. Apabila air pasang jam 3 malam, merekapun harus berangkat jam 3 malam juga. Demikian pula waktu pulang mereka menunggu saat air pasang. Pekerjaan berdoceng tersebut telah diorganisir oleh seorang pemborong yang menyediakan perahu motor dan langsung membeli siput yang diperoleh perempuan setiap hari kerja. Siput-siput tersebut merupakan komoditas ekspor yang akan dikirim ke Malaysia. Perempuan yang bekerja mencari siput mendapat pendapatn berdasarkan banyaknya siput yang di peroleh. Harga jual siput Doceng adalah Rp.1000 per kilogramnya. Pekerjaan ini cukup beresiko, mereka hanya menggunakan tangan tanpa peralatan pelindung untuk memungut siput-siput. Mereka harus masuk menyusuri hutan bakau unutk mengambil siput-siput yang menempel pada tanaman bakau. Dari segi kelestarian pesisir dan laut, pekerjaan ini merusak keberlanjutan potensi-potensi laut. Karena rusaknya telur-telur ikan yang berada di akar-akar hutan bakau. Dan, habitat bakau juga mengalami kerusakan. Mempersiapkan alat melaut, memperbaiki jaring yang rusak, membuat jaring, memeriksa kondisi perahu, memperbaiki perahu dan memikul ikan ke darat adalah pekerjaan dominan yang dilakukan laki-laki. Sementara perempuan baik pada rumahtangga nelayan pengolah, tidak pengolah maupun rumahtangga nelayan buruh tidak memiliki curahan waktu sedikitpun pada kerja tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan kerja yang berhubungan dengan aktivitas tangkap di laut sepenuhnya dilakukan oleh laki-laki. Pekerjaan menyiangi ikan dapat dilakukan oleh seluruh perempuan sampel rumahtangga nelayan. Pada rumahtangga nelayan khususnya pengolah ikan asin, pekerjaan membelah ikan tidak menjadi pekerjaan penuh perempuan. Karena umumnya rumahtangga pengolah ikan asin dapat dikatakan sudah memiliki modal yang lebih besar dari rumahtangga pengolahan lainnya. Sehingga pekerjaan membelah ikan telah menggunakan tenaga buruh perempuan. Keterlibatan mereka disamping mengontrol proses pengolahan ikan dan sambil ikut membelah tetapi tidak penuh, juga menyiapkan keperluan-keperluan buruh yang sedang bekerja. Hal ini ditunjukkan oleh curahan waktu yang dialokasikan mereka yaitu rata-rata 0,21 jam per hari. Sementara untuk kerja-kerja yang lebih berat seperti
84 pengangkutan ikan -ikan, pembilasan dan penggaraman serta penimbangan ikan dilakukan laki-laki. Dan pekerjaan ini umumnya dilakukan oleh tenaga kerja keluarga yaitu anak laki-laki rumahtangga nelayan pengolah ikan asin. Memasarkan hasil tangkapan dapat di lihat pada Tabel hanya dilakukan oleh laki-laki rumahtangga nelayan tidak pengolah. Hal ini dikarenakan pada rumahtangga nelayan pengolah, hasil tangkapan di jual setelah diolah terlebih dahulu. Sedangkan pada rumahtangga buruh, kegiatan pemasaran hanya dilakukan oleh pemilik. Adapun pemasarn ikan hasil tangkapan dilakukan di tengah laut ketika aktivitas melaut berlangsung. Dalam hal ini, pemborong-pemborong ikan baik untuk pasar domestik dan non domestik mendatangi perahu-perahu milik nelayan. Sistem pasar tersebut di satu sisi untuk menghemat biaya BBM nelayan tetapi kerugian yang diterima nelayan jauh lebih besar. Dimana nelayan tidak memiliki informasi tentang harga sehingga sulit untuk menentukan tingkat harga yang lebih menguntungkannya. Pada rumahtangga nelayan tidak pengolah, kerja membelah ikan kurang diminati oleh perempuan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai curahan waktu perempuan yang hanya 0,1 jam. Pekerjaan membelah ikan ini hanya dilakukan oleh rumahtangga yang berada di desa Sei Berombang. Sementara perempuan di desadesa lain menjadi buruh tani dalam usaha menambah pendapatan keluarga. Tetapi pekerjaan tersebut tidaklah banyak memberi kontribusi pada ekonomi keluarga, karena hanya dilakukan 2 tahun sekali yaitu saat musim tanam padi dengan upah kerja perhari Rp. 12.000 - 15.000. Adapun beberapa perempuan yang berada di desa Sei Baru memanfaatkan potensi pohon pandan yang dianyam sehingga menghasilkan tikar yang disebut “Tikar Pandan”. Untuk menghasilkan 1 tikar, menggunakan alokasi curahan waktu selama 2 minggu dengan harga jual Rp. 25.000 – 30.000. Sejauh ini belum ada pasar, menjamin produk yang mereka hasilkan. Sehingga pemasaran Tikar Pandan dilakukan ke daerah Panimpahan dengan menggunakan biaya transport yang cukup besar. Pada rumahtangga nelayan buruh, kerja membelah ikan merupakan kerja yang menggunakan alokasi curahan waktu terbesar dibanding yang lain. Perempuan rumahtangga nelayan buruh umumnya bertempat tinggal di Desa Sei Berombang dan bekerja pada usaha pengolahan pribumi dan keturunan Tionghoa.
85 Pekerjaan tersebut menggunakan alokasi curahan waktu terbesar dibanding kerja produktif lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan alokasi curahan waktu rata-rata 3,31 jam per hari. Merebus olahan adalah kerja produktif yang dilakukan oleh rumahtangga nelayan pengolah. Pada pengolahan remis laki-laki dan perempuan memiliki pembagian kerja yang sama saling bergantian baik pada perebusan dan pengayakan. Pekerjaan mengolah tergantung pada jumlah remis yang diperoleh saat melaut. Semakin banyak remis maka dibutuhkan waktu yang lama pula untuk mengolahnya. Umumnya waktu mengolah remis menggunakan 3 - 4 jam per trip melaut. Sementara pada proses perebusan udang olahan dilakukan ketika aktivitas melaut berlangsung sehingga perempuan tidak terlibat dalam proses perebusan olahan udang kering. Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata curahan waktu kerja lakilaki yang lebih besar daripada perempuan pada proses perebusan yaitu 1,64 Jam sedangkan perempuan 0,75 jam. Disamping itu terdapat pula perempuan rumahtangga nelayan buruh yang bekerja pada pengolahan remis. Adapun upah untuk pekerjaan tersebut dalam 1 kali proses pengolahan Rp. 7500,00. Curahan waktu kerja perempuan buruh dalam pengolahan remis tersebut rata-rata 1,08 jam. Pada pengolahan udang kering, perempuan dibebankan pada kerja menjemur, mengontrol, mengayak, memilih dan memasarkan hasil olahan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 21 bahwa pada rumahtangga nelayan olah, curahan waktu kerja perempuan untuk kerja produktif tersebut lebih besar dari laki-laki. Demikian pula untuk kerja memilih olahan tidak terdapat curahan waktu laki-laki di dalamnya. Sementara pada rumahtangga nelayan tidak pengolah dan buruh, kerja tersebut menggunakan alokasi curahan waktu yang kecil. Adapun keterlibatan perempuan rumahtangga nelayan tidak pengolah dan buruh umumnya pada kerja menjemur ikan asin. Kerja tersebut dilakukan pada pagi hari sekitar jam 06.00 – 08.00 WIB sementara untuk mengontrol penjemuran ikan adalah tugas pemilik pengolahan ikan asin. Sedangkan untuk kerja mengayak dan memilih udang dilakukan pada sore hari setelah udang yang dijemur kering. Menumbuk udang dan mencetak terasi adalah bagian kerja produktif pengolahan terasi disamping kerja menjemur terasi yang telah jadi. Adapun rumahtangga yang melakukan pengolahan terasi dalam penelitian ini terdapat 3
86 rumahtangga nelayan pengolah. Terasi yang dihasilkan masih dipasarkan untuk kebutuhan pasar Kecamatan Panai Hilir dan yang memasarkannya adalah perempuan secara langsung ke warung-warung kelontong yang terdapat di Kecamatan Panai Hilir. Demikian pula untuk rumahtangga nelayan pengolah udang kering. Tetapi untuk memasarkannya perempuan tidak harus ke pasar karena pemborong-pemborong udang yang secara langsung mendatangi rumah rumah mereka. Peranan perempuan pada proses pengolahan secara langung memberi kontribusi dalam pendapatan rumahtangga. Dapat pula dikatakan bahwa pada rumahtangga nelayan pengolah terdapat pembagian kerja yang jelas antara lakilaki dan perempuan. Laki-laki memiliki tanggung jawab mulai dari melaut sampai mengangkat ikan ke darat. Sementara perempuan dalam proses pengolahan ikan sampai pemasaran. Dari hasil analisis terhadap curahan waktu laki-laki dan perempuan pada kegiatan reproduktif dan produktif memiliki hubungan terbalik. Contohnya pada rumahtangga nelayan buruh curahan waktu kerja reproduktif laki-laki sangat kecil sementara perempuan memiliki curahan kerja besar dan pada kerja produktif lakilaki nelayan buruh memiliki curahan kerja yang besar sedangkan perempuan memiliki curahan kerja yang kecil. Beradasarkan uji analisis statistik dengan menggunakan uji Uji Beda Dua Nilai Tengah Satu arah, pada aktivitas produktif diperoleh hasil nilai uji Zhitung 10,1 sementara nilai Ztabel 0,9997. Dengan demikian nilai Zhitung lebih besar daripada Ztabel dan hal ini juga dibuktikan dengan nilai Zhitung yang berada di wilayah kritik yang merupakan wilayah penerimaan H1. Dengan demikian keputusan yang diambil adalah tolak Ho artinya curahan waktu produktif laki-laki lebih besar daripada perempuan.
87 8.4. Aktivitas Kebutuhan Dasar Aktivitas kebutuhan dasar laki-laki dan perempuan sampel rumahtangga penelitian dapat dilihat pada Tabel 22.
Adapun kebutuhan dasar terdiri dari
mandi, makan, ibadah dan tidur. Tabel 22 Aktivitas Kebutuhan Dasar dan Rata-rata Curahan Waktu No. 1 2 3 4
Aktivitas kebutuhan dasar Mandi Tidur Ibadah Makan Jumlah
Laki-laki Jam 0.10 4.7 0.23 0.21 5.24
Perempuan Jam 1.13 5.8 0.26 0.4 7.59
Sumber: Data Primer 2005
Tabel 22 menunjukkan bahwa rata-rata curahan waktu kebutuhan dasar perempuan lebih besar dari laki-laki. Perbedaan curahan waktu kebutuhan dasar yang paling menyolok antara laki-laki dan perempuan adalah pada kebutuhan tidur. Hal ini terkait dengan aktivitas laki-laki yang lebih banyak digunakan untuk melaut. Kondisi riil di lapangan menunjukkan waktu melaut laki-laki cukup tin ggi yaitu 9 – 12 jam setiap trip melaut atau satu hari melaut. Sedikitnya waktu yang dicurahkan laki-laki untuk kebutuhan dasar tersebut dimungkinkan pula adanya faktor persaingan yang tinggi antar nelayan dalam melakukan aktivitas tangkap terkait dengan wilayah tangkap (fishing ground) mereka. Hasil uji analisis statistik pada kegiatan kebutuhan dasar curahan waktu laki-laki dan perempuan, diperoleh nilai statistik hitung sebesar -11,654. Ini menunjukkan bahwa nilai statistik hitung lebih kecil atau kurang dari nilai statistik tabel (-1,96). Dengan kata lain nilai statistik hitung berada dalam wilayah kritik. Maka dapat diambil keputusan untuk menolak Ho artinya terdapat perbedaan curahan waktu laki-laki dan perempuan dalam memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Dengan demikian curahan waktu laki-laki lebih kecil daripada perempuan dalam kegiatan kebutuhan dasar.
88 8.5. Curahan Waktu dalam Aktivitas Sosial Akivitas sosial dan keagamaan rumahtangga nelayan kecamatan Panai Hilir hanya ada pengajian mingguan. Pengajian ibu-ibu dilakukan pada siang hari mulai jam 14.00 WIB sampai jam 17.00 WIB. Adapun pengajiannya dilakukan berpindah-pindah dari satu rumah anggota ke rumah anggota lain. Adapula yang pengajiannya hanya dilakukan di masjid. Pengajian laki-laki dilakukan pada malam hari dimulai jam 20.00 WIB sampai jam 22.00 WIB. Dari keseluruhan sampel rumahtangga nelayan diketahui bahwa perempuan memiliki curahan waktu pengajian lebih banyak dari laki-laki. Berdasarkan hasil uji analisis yang dilakukan juga membuktikan bahwa terdapat perbedaan curahan waktu laki-laki dan perempuan dalam kegiatan sosial budaya keagamaan. Dari hasil analisis diperoleh nilai statistik hitung sebesar 11,885. Nilai tersebut lebih kecil atau kurang dari nilai statistik tabel (-1,96). Dengan kata lain nilai statistik hitung berada pada wilayah kritik. Maka keputusan yang diambil adalah tolak Ho artinya terdapat perbedaan curahan waktu laki-laki dan perempuan dalam kegiatan sosial budaya keagamaan. Adapun curahan waktu laki-laki lebih kecil daripada curahan waktu perempuan dalam kegiatan sosial budaya.
8.6. Akses Terhadap Berbagai Sumberdaya Pengkajian akses yang dimiliki laki-laki dan perempuan, diwakili oleh akses pasangan suami istri dalam rumahtangga. Akses adalah peluang yang bisa diperoleh laki-laki dan perempuan untuk menggunakan atau memanfaatkan sumberdaya tanpa kekuasaan untuk mengambil keputusan mengenai penggunaan sumber daya. Setelah dilakukan penilaian skor terhadap akses yang dimiliki laki-laki dan perempuan dalam ru mahtangga, maka dapat diketahui sejauh mana akses yang dimiliki laki-laki dan perempuan terhadap berbagai sumberdaya yang tersedia. Adapun akses yang dimiliki suami istri pada tiap kelompok rumahtangga nelayan dapat dilihat pada Tabel 23 Akses Sumberdaya Yang Dimiliki Laki-laki dan Perempuan.
89 Tabel 23 Akses sumberdaya yang dimiliki laki-laki dan perempuan Keterangan Sumberdaya sumber modal Pendidikan non formal Organisasi Informasi Pelayanan Jumlah
RT nelayan pengolah
RT nelayan tidak pengolah LK % PR % 32 32 14 14
LK 560
% 38
PR 336
% 26
101
6.8
101
8
6
6
8
96
6.5
94
7
8
8
9
146 180 392 1475
10 12 27 100
192 170 412 1305
15 13 32 100
12 13 29 100
12 13 29 100
18 16 37 102
RT nelayan buruh (%) LK 29
% 29
PR 18
% 18
8
7
7
7
7
9
6
6
7
7
13 11 34 100
17 14 37 100
17 14 37 100
13 18 11 16 34 36 100 100
Sumber: Data Primer 2005
Akses terhadap sumberdaya daya merupakan akses yang dimiliki laki-laki dan perempuan terhadap aktivitas melaut, sarana prasarana melaut, aktivitas pemasaran dan aktivitas pengolahan. Dari Tabel tersebut dapat diketahui pada tiap kelompok rumahtangga nelayan, laki-laki memiliki akses sumberdaya yang lebih besar dari perempuan. Pada rumahtangga nelayan pengolah 38%, nelayan tidak pengolah 32 % dan nelayan buruh 29 %. Dengan demikian pada rumahtangga nelayan pengolah akses sumberdaya yang dimiliki laki-laki lebih besar dari rumahtangga lainnya. Hal ini bisa dikarenakan pada rumahtangga nelayan pengolah, aktivitas mereka tidak hanya pada aktivitas tangkap tetapi terdapat proses pengo lahan. Proses pengolahan merupakan aktivitas yang berupa tahapan tahapan merubah ikan segar menjadi ikan kering sehingga memberi nilai tambah pada ikan yang akan dipasarkan. Pada rumahtangga nelayan pengolah, laki-laki dan perempuan memiliki akses yang sama terhadap proses pengolahan. Sehingga akses yang dimiliki perempuan rumahtangga nelayan pengolah pada aspek sumberdaya, lebih besar daripada rumahtangga lainnya. Hal ini dikarenakan perempuan dalam rumahtangga nelayan pengolah secara langsung terlibat dalam kerja produktif. Sebagaimana curahan waktu yang dialokasikan perempuan pada rumahtangga nelayan pengolah juga lebih besar dari yang lain. Aktivitas produktif perempuan pada rumahtangga nelayan pengolah juga lebih banyak daripada rumahtangga lain sehingga akses merekapun terhadap sumberdaya lebih besar. Perempuan yang akses dalam aktivitas proses pengolahan secara langsung memberi kontribusi pada pendapatan rumahtangga. Dan, akses terhadap proses
90 pengolahan yang dimiliki perempuan juga memberi kesempatan perempuan untuk mengaktualisasikan diri dan memanfaatkan potensi-potensi diri mereka. Dengan kepemilikan akses tersebut dapat dikatakan perempuan pada rumahtangga nelayan pengolah memiliki wawasan dan tingkat pemikiran lebih daripada yang lain. Karena
dengan
akses
lebih
yang
mereka
miliki
disamping
memeneg
perekonomian rumahtangga, secara langsung mereka juga memeneg usaha pengolahan. Hal ini dapat diketahui dari keterlibatan mereka secara penuh dalam memasarkan produk olahan. Sementara untuk perempuan lainnya akses terhadap pemasaran tidak mereka miliki secara penuh. Adapun dalam rumahtangga tidak pengolah hanya beberapa perempuan yaitu yang bekerja mencari kerang dan siput sementara pada rumahtangga nelayan buruh perempuan tidak memiliki akses sama sekali dalam pemasaran. Pada Tabel 23 dapat pula diketahui bahwa akses terhadap sumberdaya merupakan akses terbesar yang dimiliki laki-laki pada rumahtangga nelayan pengolah dan tidak pengolah, sementara pada rumahtangga nelayan buruh akses terbesar dimiliki lak i-laki pada aspek pelayanan. Hal ini bisa terjadi karena nelayan buruh pada aspek sumberdaya tidak memiliki input dalam usaha perikanan tangkap. Keterlibatan laki-laki pada rumahtangga nelayan buruh hanya mengekstraksi laut sebesar tingkat input yang digunakan pemilik modal. Apabila tingkat input yang digunakan besar maka, aktivitas ekstraksi yang dilakukan juga akan besar yaitu dengan berusaha mendapatkan hasil tangkapan sebanyak banyaknya. Modal merupakan sumberdaya yang urgen untuk melakukan produksi. Sumber modal yang terdapat dimasyarakat pada prinsipnya adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Akses terhadap sumber modal merupakan peluang yang dimiliki laki-laki dan perempuan untuk memperoleh pinjaman ataupun bantuan modal dari pemerintah. Tapi, sangat disayangkan lembaga keuangan belum terdapat di Kecamatan Panai Hilir. Koperasi Unit Desa merupakan satu-satunya lembaga keuangan yang terdapat di Kecamatan Panai Hilir. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa akses terhadap sumber modal yang dimilik i pada rumahtangga nelayan secara umum merupakan akses yang paling kecil dibanding dengan akses -akses lainnya. Dari keseluruhan sampel yang
91 ditemui hanya 1 rumahtangga nelayan pengolah yang memperoleh bantuan modal pinjaman dari pemerintah. Rendahnya akses rumah tangga nelayan terhadap sumber modal dapat disebabkan masih minimnya lembaga permodalan pemerintah maupun swasta di kecamatan Panai Hilir. Kalaupun warga membutuhkan bantuan modal pinjaman ke Bank pemerintah maupun swasta, mereka harus pergi ke Rantauprapat yang merupakan ibu kota kabupaten Labuhanbatu. Dan tentunya akan mengeluarkan biaya besar dan hal ini sangat memberatkan nelayan. Pendidikan non formal merupakan bagian penting dalam melakukan pembangunan masyarakat. Berbagai paket pendidikan non formal ditawarkan pemerintah sebagai upaya meningkatkan produktivitas masyarakat. Disamping itu pendidikan non formal merupakan kebutuhan untuk meningkatkan kualitas wawasan dan pola pikir setiap orang. Pendidikan non formal yang dibahas pada penelitian ini adalah kegiatan penyuluhan, pelatihan dan keterampilan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akses yang dimiliki sampel rumahtangga nelayan terhadap pendidikan non formal merupakan akses yang kecil. Dimana, akses yang dimiliki laki-laki dan perempuan terhadap pendidikan non formal hanya 7 % dan hanya pada perempuan rumahtangga nelayan tidak pengolah yang memiliki akses 9 %. Adapun perempuan pada rumahtangga nelayan tidak pengolah yang memiliki akses pada pendidikan non formal adalah perempuan yang tergab ung dalam organisasi perempuan nelayan Pilar Perjuangan Nelayan. Organisasi Pilar Perjuangan Nelayan merupakan organisasi non formal yang timbul atas inisiatif nelayan yang berada di Desa Sei Baru, melihat semakin maraknya aktivitas trawl sementara kebijakan pemerintah belum tegas dalam penggunaan alat tangkap tersebut. Adapun kegiatan pendidikan non formal yang pernah diikuti perempuan yang tergabung dalam organisasi tersebut antara lain; penyuluhan dan seminar-seminar akan pentingnya pelestarian perikanan laut, Perempuan nelayan dan kontribusinya terhadap pendapatan rumahtangga dan lain lain. Adanya akses perempuan terhadap pendidikan non formal tersebut, hal ini dapat terlihat dari aktivitas perempuan yang tergabung dalam organisasi nelayan tersebut. Dimana, perempuan sangat mendukung pelestarian perikanan laut dengan mengusahakan aktivitas tangkap yang tidak berlebihan. Penggunaan trip
92 melaut yang tidak berlebihan dan penggunaan alat tangkap yang tidak menyalahi ketentuan SK Menteri Pertanian No. 392. Kpts.IK. 120/4/1999. Organisasi non formal yang terdapat di masyarakat apabila berjalan dengan baik dan dapat memenuhi kebutuhan individu-individu di dalamnya, maka organisasi tersebut akan bertahan lama. Terdapat berbagai organisasi non formal di masyarakat Panai Hilir, tetapi yang terorganisir hanya kelompok nelayan, (PPN), pengajian, dan PKK. Akses terhadap kelompok perempuan nelayan dan kelompok nelayan hanya diakses oleh rumahtangga nelayan desa Sei Baru.
Sementara akses
terhadap PKK diakses khusus oleh perempuan dan pengajian merupakan akses yang secara umum bisa diakses oleh laki-laki dan perempuan. Untuk akses terhadap pengajian lebih dominan perempuan, hal ini karena pengajian laki-laki dilakukan pada malam hari, sementara waktu melaut terkadang menjadi kendala laki-laki untuk bisa rutin menghadiri pengajian. Sehingga laki-laki sering ketinggalan untuk menghadiri pengajian bahkan tidak datang sama sekali karena sudah capek dari melaut. Sedangkan perempuan memiliki waktu pengajian siang hari jam 14.00 WIB – 16.00 WIB, dengan demikian peluang perempuan untuk bisa menghadiri pengajian lebih besar karena kegiatan domestik perempuan pada waktu-waktu tersebut sudah longgar. Pengajian merupakan kegiatan yang dengan mudah diakses olah perempuan dari berbagai kelompok rumahtangga nelayan. Hal ini dikarenakan faktor biaya tidak menjadi kendala pada kegiatan pengajian karena disamping pengajian dari rumah ke rumah yang menggunakan biaya arisan, masyarakat juga membentuk pengajian yang diselenggarakan di masjid masji dengan waktu pelaksanaan yang sama dengan pengajian umumnya yaitu jam 14.00 WIB – 17.00 WIB dimana pengajian tersebut tidak memungut biaya dari anggotanya. Hasil penelitian menunjukkan pun pada akses terhadap organisasi baik laki-laki maupun perempuan dari tiap kelompok rumahtangga nelayan secara umum kecil. Dimana akses terhadap organisasi yang dimiliki laki-laki rumahtangga nelayan pengolah 10 %, tidak pengolah 12 % dan buruh 13 %. Sementara untuk per empuannya masing-masing 15 %, 18 % dan 17 %. Dengan
93 demikian perempuan lebih dominan memiliki akses terhadap organisasi dari tiap kelompok rumahtangga nelayan daripada laki-laki. Informasi baik dari media cetak maupun elektronik merupakan hal yang dibutuhkan masyarakat untuk menambah pengetahuan dan wawasan. Sumber informasi yang dilihat dalam penelitian ini adalah televisi, radio dan tabloid ataupun majalah. Dari hasil penelitian diketahui bahwa akses masyarakat terhadap informasi pada rumahtangga nelayan tidak pengolah lebih besar dari rumahtangga lainnya. Baik akses yang dimiliki laki-laki maupun perempuan masing-masing 13% persen dan 16%. Hal ini dikarenakan pada rumahtangga nelayan tidak pengolah perempuannya memiliki curahan waktu kerja produktif yang sedikit sehingga memiliki waktu luang lebih banyak untuk menonton televisi. Disamping itu juga perempuan yang bergabung dalam PPN juga memiliki akses terhadap berbagai majalah perempuan yang dikirim oleh berbagai gerakan ataupun organisasi perempuan yang berada di Sumatera Utara. Demikian pula untuk lakilaki yang tergabung dalam organisasi PPN memiliki akses terhadap majalahmajalah yang dikirim oleh organisasi ataupun gerakan -gerakan pengelolaan lingkungan. Seyogyanya keberadaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) merupakan fasilitas pendukung perekonomian nelayan. Tetapi sangat disayangkan bangunan TPI yang begitu besar dan permanen tidak termanfaatkan. TPI yang ada hanya merupakan simbol bahwa pembangunan perikanan telah dilakukan. Adapun rantai pemasaran ikan di lokasi penelitian adalah dengan sistem Tan gkahan. Sistem Tangkahan merupakan hubungan yang mencerminkan patron client antara nelayan dengan pemilik modal yang didominasi oleh keturunan Tionghoa. Nelayan secara umum tidak punya pilihan dalam memasarkan hasil tangkapannya, kendati mereka menyadari sistem tangkahan tersebut sangat merugikan mereka. Pemilik -pemilik tangkahan mendatangi nelayan-nelayan ketika aktivitas melaut berlangsung sehingga pasar dilakukan di laut. Nelayan memiliki posisi yang lemah ketika transaksi berlangsung dan pasar tersebut secara tidak langsung memicu terjadinya eksternalitas negatif yang pada akhirnya over fishing semakin meningkat. Terlebih lagi bagi nelayan yang menggunakan modal melaut dari pemilik tangkahan, mereka tidak bisa menjual hasil tangkapan pada yang lain.
94 Sistem tangkahan tersebut sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh PKSPL IPB (2004) berdampak pada kesejahteraan nelayan tradisional yang tidak mengalami peningkatan signifikan dengan alokasi curahan waktu dan tenaga yang mereka korbankan. Sistem tangkahan merupakan model kelembagaan yang eksploitatif terhadap sumberdaya perikanan dan nelayan karena nelayan hanya menjadi faktor produksi dan tidak mengalami mode of production yang seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan mereka yang terjadi adalah surplus ekonomi sumberdaya alam tetap hanya menguntungkan kaum pemilik modal dan rent seeking di dalamnya. Tidak adanya akses masyarakat terhadap TPI menempatkan nelayan akan sulit keluar dari perekonomian mereka yang lemah. Seharusnya dengan adanya TPI, nelayan dapat tertolong. Dan di satu sisi, TPI memungkinkan perempuan untuk berperan disektor ekonomi seperti menjadi ibu-ibu penjual bakul ikan. Tetapi ini bukanlah hal yang mudah karena harus merubah kebiasaan hidup dan paradigma berfikir masyarakat. Untuk ke depan pemerintah harus lebih bijak melihat kondisi riil yang ada di masyarakat. Bisa jadi mengaktifkan TPI bukan menjadi pemecahan masalah yang ada, tetapi perlu di cari akar permasalahan inti dari berbagai permasalahan yang ada sehingga menghasilkan so lusi yang tepat. Dan kerja tersebut juga dengan tidak mengesampingkan keberadaan masyarakat yang pada akhirnya sebagai penerima dan pemanfaat kebijakan. Selain pelayan terhadap TPI, laki-laki dan perempuan dari tiap rumahtangga nelayan memiliki akses terhadap pelayanan lainnya seperti pasar, transportasi dan kesehatan. Pasar dalam hal ini adalah pasar secara umum yang berada di kota Kecamatan Panai Hilir. Akses laki-laki dan perempuan pada pasar dan transportasi sama besarnya pada semua kelompok rumahtangga. Dengan demikian, akses tersebut merupakan potensi bagi perempuan untuk bisa melihat peluang-peluang ekonomi yang dapat dikembangkan dengan memanfaatkan potensi sumberdaya yang ada. Adapun untuk pelayan kesehatan secara umum baik laki-laki maupun perempuan sudah memiliki akses. Hal ini dikarenakan tenagatenaga medis di Kecamatan Panai Hilir mulai berkembang. Dan masyarakat, mulai menyadari pentingnya aspek kesehatan dalam kehidupan.
95 Beradasarkan uji analisis statistik dengan menggunakan uji Beda Dua Nilai Tengah Satu arah, diperoleh hasil nilai uji Zhitung 4,6 dengan nilai Ztabel 0,9997. Dengan demikian nilai Zhitung lebih besar daripada Ztabel atau dapat dikatakan nilai Zhitung berada di dalam wilayah kritik. Dengan demikian keputusan yang diambil adalah terima Hi yang menyatakan akses laki-laki lebih besar daripada akses perempuan.
8.7. Kontrol Terhadap Akvivitas Perikanan Tangkap Pengkajian kontrol dalam penelitian ini meninjau sejauh mana kontrol yang dimiliki laki-laki dan perempuan dalam aktivitas pemanfaatan perikanan laut pada rumahtangga nelayan. Kontrol terhadap aktivitas perikanan laut dapat dimiliki oleh laki-laki pada setiap rumahtangga nelayan sementara kontrol terhadap aktivitas pengolahan hanya dimiliki oleh rumahtangga pengolahan. Sedangkan rumahtangga nelayan buruh memiliki keterbatasan baik dalam aktivitas tangkap perikanan maupun aktivitas pengolahan sehingga dapat dikatakan bahwa rumahtangga nelayan buruh tidak memiliki kontrol dalam pemanfaatan perikanan laut. Hal ini dikarenakan, kepemilikan terhadap sarana dan prasarana pemanfaatan perikanan laut lebih menentukan seseorang untuk memiliki kontrol terhadap sumberdaya. Tabel 24 Kontrol Rumahtangga Nelayan Tidak Pengolah Pembelian peralatan baru (%)
Perbaikan peralatan (%)
Persiapan peralatan (%)
Penentuan alat tangkap (%)
Penentuan TK dan upah (%)
Besarnya biaya melaut (%)
Pemasara n (%)
LK
PR
LK
PR
LK
PR
LK
PR
LK
PR
LK
PR
LK
PR
KP
100
0
100
0
100
0
100
0
100
0
100
0
100
0
KS
0
38
0
38
0
0
0
15
0
29
0
69
0
0
KKS
0
56
0
62
0
40
0
40
0
71
0
31
0
0
KJS
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
TMK
0
5
0
0
0
60
0
45
0
0
0
0
0
0
Ket.
Sumber: Data Primer 2005
96 Tabel 25 Kontrol Rumahtangga nelayan pengolah Ket.
Pembelian peralatan baru (%)
Perbaikan peralatan (%)
Persiapan peralatan (%)
Penentuan alat tangkap (%)
Penentuan TK dan upah (%)
Besarnya biaya melaut (%)
Pemasaran (%)
Proses pengolahan (%)
LK
PR
LK
PR
LK
PR
LK
PR
LK
PR
LK
PR
LK
PR
LK
PR
KP
100
0
100
0
100
0
100
0
100
0
100
0
100
0
100
0
KS
0
75
0
36
0
21
0
0
0
14
0
25
0
100
0
54
KKS
0
25
0
64
0
64
0
36
0
50
0
14
0
0
0
25
KJS
0
0
0
0
0
11
0
21
0
0
0
25
0
0
0
0
TMK
0
0
0
0
0
4
0
43
0
36
0
36
0
0
0
21
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
Sumber: Data Primer 2005
Berdasarkan Tabel 24 dan 25 dapat diketahui bahwa pada rumahtangga nelayan tidak pengolah dan rumahtangga nelayan pengolah kontrol terhadap aktivitas perikanan laut dominan dimiliki laki-laki dimana seluruh laki-laki memiliki kontrol penuh terhadap aktivitas perikanan tangkap. Walaupun demikian, keterlibatan perempuan dalam memberikan kontrol ataupun keputusan keputusan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas penangkapan ikan masih terdapat. Dengan kata lain, dalam membuat keputusan atau mengontrol aktivitas penangkapan ikan dan sarana prasarana di dalamnya terdapat kebersamaan laki-laki dan perempuan meskipun perempuan tidak memiliki kontrol penuh, tetapi mereka masih dimintai pendapat. Kerusakan pada peralatan tangkap seperti kebocoran perahu, kerusakan jaring, kerusakan mesin dan sebagainya lebih dibebankan pada laki-laki. Apabila ada peralatan tangkap yang rusak, laki-laki akan berusaha memperbaiki sendiri tanpa membicarakan kerusakan yang ada terlebih dahulu pada perempuan. Dapat dilihat pada Tabel 24 dan 25 adapun kontrol perempuan pada aspek perbaikan peralatan dominan memiliki kontrol kurang sering dimana pada rumahtangga nelayan tidak pengolah 62 % dan rumahtangga nelayan pengolah 64%. Kontrol kurang sering tersebut ditunjukkan oleh inisiatif laki-laki untuk melakukan perbaikan peralatan tangkap tanpa melibatkan perempuan. Tetapi apabila kerusakan peralatan tangkap cukup serius, laki-laki baru akan membicarakannya pada perempuan bahkan pada sebagian rumahtangga nelayan perbaikan tersebut diketahui perempuan ketika laki-laki meminta uang dalam jumlah yang cukup besar untuk biaya perbaikan peralatan tangkap. Hal tersebut sering menimbulkan pertengkaran pada sebagian rumahtangga nelayan yang pada akhirnya
97 memposisikan perempuan sebagai pihak yang tidak memiliki kemampuan dalam mengatur keuangan rumahtangga. Padahal, hasil tangkapan yang terus berkurang kendati musim ikan tiba tidak mampu memenuhi biaya kebutuhan hidup rumahtangga nelayan. Sehingga perempuan sebagai pemegang uang hasil pendapatan dalam rumahtangga nelayan tidak setiap saat memiliki persediaan uang dalam jumlah yang dibutuhkan. Pada kondisi tersebut nelayan tidak bisa lari dari pemilik modal dengan meminjam uang agar aktivitas tangkap yang diusahakannya tetap berlangsung. Adapun konsekwensi yang harus dipenuhi nelayan adalah menjual hasil tangkapannya pada pemilik modal tersebut sampai jumlah pinjaman yang ada dapat dilunasi. Pembelian peralatan baru untuk kebutuhan aktivitas tangkap dilakukan apabila peralatan tersebut sudah tidak bisa diperbaiki lagi sehingga pembelian peralatan baru aktivitas tangkap rumahtangga nelayan sangat jarang dilakukan. Biasanya nelayan mengganti peralatan tangkap seperti mesin yang sudah aus dan alat tangkap yang sudah tidak bisa digunakan lagi. Adapun kontrol dalam pembelian peralatan baru secara penuh dimiliki laki-laki sementara perempuan pada rumahtangga nelayan tidak pengolah dominan memiliki kontrol kurang sering yaitu 56 % dan pada rumahtangga nelayan pengolah dominan memiliki kontrol sering yaitu 75 % dapat dilihat pada Tabel 25. Dengan demikian dapat dikatakan pada rumahtangga nelayan pengolah, perempuan lebih sering mengontrol pembelian peralatan baru daripada perempuan pada rumahtangga nelayan tidak pengolah. Hal ini dkarenakan pada rumahtangga pengolah, perempuan secara langsung menggunakan peralatan mengolah misalnya, sarana penjemuran olahan. Sehingga ketika sarana tersebut tidak layak untuk digunakan lagi, perempuan yang biasanya membicarakan hal tersebut kepada laki-laki yang selanjutnya keputusan untuk mengganti sarana tersebut secara penuh dikontrol olah laki-laki. Persiapan peralatan merupakan bagian dari aktivitas tangkap yang dilakukan setiap trip melaut seperti mencek kondisi mesin. Baik pada rumahtangga nelayan tidak pengolah maupun rumahtangga nelayan pengolah, dominan laki-laki secara penuh mengontrol persiapan peralatan (100%) sementara perempuan pada rumahtangga nelayan tidak pengolah dominan tidak memiliki
98 kontrol (60 %) sedangkan pada rumahtangga nelayan pengolah, perempuan kurang sering mengontrol persiapan peralatan pada saat berangkat melaut (64 %) dan terdapat pula perempuan yang sering mengontrol (21 %). Keterlibatan perempuan untuk sering mengontrol persiapan peralatan tangkap ditunjukkan oleh perhatian yang diberikan ketika laki-laki akan berangkat melaut seperti menyiapkan perlengkapan -perlengkapan yang akan dibawa dan ketika mesin tidak bisa digunakan, perempuan secara langsung ikut melihat kondisi perahu dan ikut mengontrol apakah aktivitas melaut dilakukan atau tidak pada hari tersebut. Penentuan alat tangkap pada umumnya sangat ditentukan oleh jenis ikan yang akan ditangkap oleh nelayan. Sebagaimana pada umumnya nelayan, alat tangkap yang digunakan secara penuh dikontrol oleh laki-laki karena mereka lebih mengetahui penggunaan alat tangkap yang lebih memberi peluang untuk memperoleh hasil tangkapan dalam jumlah besar. Dapat dikatakan bahwa perempuan kurang mengontrol dalam hal penentuan alat tangkap yang digunakan. Bahkan pada rumahtangga nelayan pengolah, sebagian besar (43 %) perempuan tidak memiliki kontrol sama sekali dalam penentuan alat tangkap. Demikian pula pada rumahtangga nelayan tidak pengolah dominan perempuan tidak memiliki kontrol (45 %) tetapi terdapat perempuan yang sering mengontrol penggunaan alat tangkap (15 %). Adapun perempuan yang sering terlibat dalam mengontrol alat tangkap yang digunakan adalah perempuan yang terdapat di desa Sei Baru. Mereka menyadari bahwa kondisi perikanan tangkap yang semakin tidak menjanjikan untuk dimanfaatkan sebagai akibat dari maraknya penggunaan trawl sangat perlu dikendalikan. Sehingga perempuan nelayan desa Sei Baru secara langsung turut mengontrol penggunaan alat tangkap yang dilakukan laki-laki dan disamping itu mereka berupaya untuk mencari alternatif mata pencaharian yang tidak bergantung dengan perikanan laut meskipun mereka memiliki peluang untuk kerja di gudang-gudang pengolahan ikan milik pengusaha non pribumi. Penentuan tenaga kerja dan tingkat upah secara penuh dikontrol oleh lakilaki. Sementara perempuan pada rumahtangga nelayan tidak pengolah dan pengolah dominan masih kurang sering dalam mengontrol hal tersebut masingmasing 71 % dan 50 %. Adapun keterlibatan perempuan dalam mengontrol penentuan tenaga kerja lebih sering daripada tingkat upah. Karena laki-laki secara
99 penuh mengontrol tingkat upah yang akan diberikan pada buruh, dan hal ini tergantung dari jumlah hasil tangkapan yang diperoleh. Dimana, bila hasil tangkapan banyak maka nelayan buruh juga akan memperoleh bagian yang lebih besar dari biasanya. Biaya melaut rumahtangga nelayan secara penuh dikontrol oleh laki-laki baik pada rumahtangga nelayan tidak pengolah maupun rumahtangga nelayan pengolah. Meskipun perempuan pada rumahtangga nelayan pengolah umumnya memegang uang hasil penjualan ikan olahan, tetapi ditemukan lebih banyak perempuan pengolah tidak memiliki kontrol terhadap biaya melaut. Hal ini dapat ditunjukkan pada Tabel bahwa perempuan yang tidak memiliki kontrol terhadap biaya melaut 36% sementara pada rumahtangga nelayan tidak pengolah umumnya perempuan sering mengontrol biaya melaut (69 %). Pemasaran hasil tangkapan secara penuh dikontrol oleh laki-laki sementara perempuan pada rumahtangga nelayan tidak pengolah dominan tidak memiliki kontrol terhadap pemasaran ikan dapat ditunjukkan bahwa 100% perempuan tidak memiliki kontrol terhadap pemasaran. Adapun perempuan pada rumahtangga nelayan pengolah terlibat secara langsung dalam pemasaran hasil olahan. Dimana pemasaran hasil olahan dibicarakan terlebih dahulu apakah di pasarkan langsung di pasar kecamatan atau dipasarkan pada pemborong-pemborong yang langsung datang membeli ke rumah-rumah pengolah dimana dalam membuat keputusan tersebut laki-laki masih memiliki kontrol penuh. Perempuan dalam aktivitas pemasaran tersebut bisa dikatakan hanya sebagai perantara sementara kontrol harga dan di jual kepada siapa secara penuh dimiliki laki-laki. Proses pengolahan pada rumahtangga nelayan pengolah secara penuh dikontrol oleh laki-laki. Adapun perempuan yang sering mengontrol hal-hal yang berkaitan dengan proses pengolahan hanya 54%, te tapi ditemukan pula perempuan yang tidak memiliki kontrol terhadap proses pengolahan 21%. Beradasarkan uji analisis statistik dengan menggunakan Uji Beda Dua Nilai Tengah Satu arah, diperoleh hasil nilai uji Zhitung 7,7 dengan nilai Ztabel 0,9997. Dengan demikian nilai Zhitung lebih besar daripada Ztabel atau dapat dikatakan nilai Zhitung berada pada wilayah kritik yaitu penerimaan H1. Dengan
100 demikian keputusan yang diambil adalah terima H1 yang menyatakan kontrol laki-laki lebih besar daripada perempuan. 8.8. Hubungan Sumberdaya Perempuan dengan Kontrol Hubungan Akses dengan Kontrol Akses yang dimiliki perempuan terhadap berbagai sumberdaya belum bisa menentukan adanya kepemilikan kontrol perempuan. Tetapi dengan memiliki akses terhadap berbagai sumberdaya, perempuan memiliki peluang untuk mengetahui berbagai wawasan dan pengetahuan. Sehingga, dengan akses yang dimiliki tersebut memungkinkan perempuan untuk memiliki kontrol terhadap suatu sumberdaya. Berikut merupakan Tabel yang menunjukkan hubungan antara akses dan kontrol dari berbagai kelompok rumahtangga nelayan. Tabel 26 Uji Korelasi Akses dan Kontrol Pada Tiap Strata No.
Keterangan
Nilai rs
Nilai Zhitung
Nilai Ztabel
1.
Perempuan RT nelayan tidak pengolah
0,104
0,7595
0,7642
2
Perempuan RT nelayan pengolah
0,121
0,6292
0,7324
Sumber: Data Primer 2005
Pada rumah tangga nelayan tidak pengolah hasil uji Rank Spearman menunjukkan tingkat hubungan (rs) sebesar 0,104 untuk selanjutnya dapat diketahui nilai Zhitung 0,7595 dengan nilai Ztabel 0,7642. Hasil uji signifikansi dengaan membandingkan nilai Ztabel > Zhitung. Demikian pula pada rumahtangga nelayan pengolah hasil uji Rank Spearman menunjukkan tingkat hubungan correlation coefficient (rs) sebesar 0,121 dengan hasil nilai Zhitung 0,6292 dan Z tabel 0,7324. Hal ini berimplikasi terhadap keputusan untuk menerima Ho artinya tidak ada hubungan antara akses yang dimiliki perempuan dengan kontrol mereka terhadap aktivitas perikanan tangkap. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa akses perempuan bukanlah hal yang berpengaruh dalam kepemilikan kontrol terhadap aktivitas perikanan tangkap. Hal ini memungkinkan karena perempuan yang memiliki akses terhadap sumberdaya seperti informasi, pelayanan, organisasi dan pendidikan non formal belum tentu akan memiliki kontrol terhadap aktivitas perikanan tangkap.
101 Hubungan Tingkat pendidikan dengan Kontrol Tingkat pendidikan diukur dalam tahun yaitu berapa lama responden duduk di bangku sekolah formal. Pendidikan merupakan salah satu potensi yang terdapat pada setiap orang. Semakin baik tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin baik pula kemampuannya untuk beraktualisasi. Demikian pula perempuan yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan memungkinkan memiliki pengetahuan dan wawasan sehingga memiliki kemampuan berfikir dalam menghadapi berbagai kondisi. Adapun hasil analisis yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Uji Korelasi Pendidikan dan Kontrol Pada Tiap Strata No.
Keterangan
Nilai rs
Nilai Zhitung
Nilai Ztabel
1.
Perempuan RT nelayan tidak pengolah
0,076
0,5548
0,62985
2
Perempuan RT nelayan pengolah
0,070
0,364
0,6253
Sumber: Data Primer 2005
Berdasarkan Tabel 29 dapat diketahui bahwa nilai Zhitung rumahtangga nelayan lebih kecil daripada nilai Ztabel sehingga keputusan yang diambil adalah terima Ho yang menyatakan tidak adanya hubungan antara tingkat pendidikan perempuan dengan kontrol yang mereka miliki terhadap aktivitas perikanan tangkap. Hal ini memungkinkan karena pendidikan yang dimiliki perempuan baik pada rumahtangga nelayan pengolah maupun tidak pengolah relatif rendah. Sebagaimana diketahui bahwa pada umumnya perempuan memiliki tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) 62% dan bahkan terdapat yang tidak bersekolah 23%. Dengan demikian seorang perempuan yang tidak berpendidikan belum tentu tidak memiliki kontrol dalam aktivitas perikanan tangkap.
102 Hubungan Status Kerja Perempuan dengan Kontrol Status kerja menggambarkan kontribusi perempuan terhadap pendapatan rumahtangga. Dimana, perempuan yang bekerja dapat dikatakan memiliki kontribusi terhadap pendapatan rumahtangga sebaliknya yang tidak bekerja dikatakan tidak memiliki kontribusi tersebut. Tabel 28 Uji Korelasi Status kerja perempuan dan Kontrol Pada Tiap Strata No.
Keterangan
Nilai rs
Nilai Zhitung
Nilai Ztabel
1.
Perempuan RT nelayan tidak pengolah
0,304
2,2192
0,7642
2
Perempuan RT nelayan pengolah
0,439
2,2828
0,9868
Sumber: Data Primer 2005
Berdasarkan Tabel 28 diketahui bahwa nilai Zhitung yang diperoleh baik pada rumahtangga nelayan tidak pengolah maupun pengo lah lebih besar daripada Ztabel. Dengan demikian dapat diambil keputusan untuk menerima HI yaitu adanya hubungan antara status kerja perempuan dengan kontrol terhadap aktivitas perikanan tangkap. Dapat dikatakan, perempuan yang memiliki pekerjaan tetap baik sebagai buruh, turut membantu pengolahan ikan rumahtangga dan sebagainya memiliki peluang untuk dapat mengontrol aktivitas perikanan tangkap. Sebaliknya perempuan yang tidak bekerja tidak bisa mengontrol aktivitas perikanan tangkap. Hal ini dimungkinkan dengan adanya kontribusi curahan waktu produktif perempuan maka sumbermata pencaharian keluarga tidak hanya dibebankan pada laki-laki. Tetapi ada sektor lain yang dapat memenuhi kebutuhan rumahtangga apabila laki-laki mengurangi effort melaut. Perempuan bisa mengontrol aktivitas perikanan tangkap sehingga rendahnya produksi tangkap tidak memacu rumahtangga nelayan meningkatkan effort untuk mendapat jumlah tangkapan yang banyak.
103 8.9. Overcapacity Wilayah Tangkap Panai Hilir dan Peran Gender Wilayah perairan laut Panai Hilir telah lama mengalami overfishing sebagai akibat penggunaan alat tangkap yang bersifat destruktif dan tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Overfishing berdampak pada semakin tingginya persaingan nelayan untuk memperoleh fishing ground yang masih banyak ikannya. Hal tersebut berimplikasi pada kapasitas tangkap lebih (overcapacity) yang digunakan nelayan baik nelayan lokal maupun nelayan asing. Masing-masing nelayan meningkatkan stok kapital yang digunakan dalam memanfaatkan sumber daya perikanan laut. Sehingga effort yang dimiliki nelayan tidak memberikan hasil yang optimal dan manfaat berkelanjutan. Kapasitas lebih menjadikan usaha perikanan tangkap nelayan tidak efisisen (hanya terdapat hanya 6 rumahtangga nelayan (12%) dan selebihnya 88% belum efisien). Pemanfaatan sumber daya perikanan yang telah melebihi daya dukung lingkungan membutuhkan waktu yang lama mengembalikan stok ikan yang ada bahkan eksternalitas yang dilakukan nelayan menimbulkan kepunahan pada spesies ikan . Hal ini terkait bahwa sumber daya perikanan laut merupakan sumber daya yang memiliki titik kritis. Pola pencarian nafkah yang hanya bersumber dari perikanan tangkap, menimbulkan terjadinya kelebihan tenaga kerja di sektor perikanan sehingga tingkat upah buruh perikanan sangat rendah. Disatu sisi hal ini sangat menguntungkan pengusaha perikanan tangkap yang pada umumnya keturunan Tionghoa. Dengan ketersediaan modal yang mereka miliki dalam jumlah besar, kapasitas perikanan tangkap terus mengalami peningkatan dengan penambahan kekuatan mesin, jumlah perahu, jumlah BBM dan tenaga buruh yang pada akhirnya menimbulkan over capacity. Over capacity tersebut dipacu pula oleh aktivitas pengolahan ikan mereka yang terus membutuhkan suply bahan baku sehingga tidak ada keseimbangan antara suply dan demand yang pada akhirnya menimbulkan access demand atau access suply sebagaimana yang dikatakan Fauzi (2006) jika access demand atau access suply terjadi akan menimbulkan over capacity. Adapun keterkaitan antara dampak dari overfishing wilayah perairan tangkap Kecamatan Panai Hilir terhadap peran gender sebagai potensi sumber
104 daya manusianya terdapat pada keterlibatan laki-laki dan perempuan dalam memanfaatkan perikanan laut sehingga memberi kontribusi pendapatan pada rumahtangga nelayan. Salah satunya adalah dengan adanya aktivitas pengolahan hasil perikanan laut pada rumahtangga nelayan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 96 sampel hanya 28 rumahtangga nelayan yang masih melakukan pengolahan perikanan laut berupa ikan asin, udang kering, remis, dan terasi. Sementara 55 rumahtangga nelayan hanya melakukan aktivitas tangkap. Pengolahan udang kering dan remis merupakan jenis usaha pengolahan yang masih memugkinkan hanya menggunakan tenaga kerja dalam rumahtangga. Sehingga pengolahan udang sangat membuka peluang perempuan secara langsung berkontribusi terhadap pendapatan rumahtangga dan terlibat dalam pemanfaatan sumber daya perikanan laut Panai Hilir. Sementara untuk pengolahan ikan asin harus menggunakan tenaga luar karena proses pengolahannya lebih membutuhkan waktu dan tenaga yang banyak meskipun hal tersebut juga tergantung dari ikan yang akan diolah. Pada rumahtangga nelayan yang telah efisien dimungkinkan telah adanya pola mata pencaharian rumahtangga yang tidak hanya memanfaatkan sumber daya perikanan laut bahkan melaut bukan lagi mata pencaharian tetap mereka. Adanya perubahan pola mata pencaharian tersebut memberi peluang perempuan untuk dapat berkontribusi. Keragaan
kapasitas
perikanan
tangkap
nelayan
dari
50
sampel
menghasilkan hanya 6 rumahtangga yang efisien. Kapasitas perikanan tangkap yang efisien tersebut dimungkinkan karena rumahtangga tersebut tidak menggunakan effort yang tinggi dalam setiap trip melaut. Hal tersebut dikarenakan adanya peran gender dalam mengusahakan pendapatan rumahtangga sehingga sumber mata pencaharian tidak hanya pada sektor perikanan tangkap. Kontribusi curahan waktu produktif perempuan mengurangi jumlah waktu lakilaki melaut. Dengan kata lain, apabila nelayan mengurangi effortnya masih ada sumber pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Akses dan kontrol yang dimiliki gender dalam rumahtangga nelayan juga secara langsung memiliki hubungan dengan kondisi over capacity yang terjadi. Dimana, rendahnya akses yang dimiliki gender akan menimbulkan produktivitas
105 yang rendah pula. Berdasarkan analisis terhadap akses sumberdaya, diketahui bahwa akses laki-laki lebih besar daripada perempuan pada ketiga kelompok rumahtangga nelayan. Akses terhadap sumberdaya tersebut merupakan peluang kesempatan laki-laki dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan laut secara langsung yaitu aktivitas tangkap. Sementara akses laki-laki untuk kegiatan lainnya lebih kecil daripada perempuan. Hal ini mencerminkan bahwa laki-laki lebih mengedepankan aktivitas tangkap daripada aktivitas lainnya dan laki-laki lebih memiliki kontrol penuh terhadap aktivitas perikanan tangkap. Sementara perempuan tidak memiliki peluang besar turut berpartisipasi dalam mengelola aktivitas perikanan tangkap dengan sejumlah input yang dimiliki rumahtangga. Sehingga alokasi sumberdaya dan modal rumahtangga dalam pemanfaatannya tidak mempertimbangkan aspek intertemporal atau aspek penggunaan sumber daya dan modal yang tepat terkait dengan potensi-potensi sumberdaya. Perempuan yang telah mampu memberi kontribusi terhadap ekonomi keluarga akan mampu mengendalikan kontrol terhadap aktivitas tangkap sehingga rendahnya hasil tangkapan yang diperoleh tidak memicu nelayan untuk meningkatkan effort pada wilayah perairan tangkap yang telah overfishing. Dengan demikian apabila kapasitas tangkap perikanan rumahtangga nelayan terus ditingkatkan sebagai usaha nelayan untuk memperoleh hasil tangkapan yang besar, akan semakin menempatkan perempuan kekurangan peluang dalam memanfaatkan sumber daya perikanan laut yang pada akhirnya mereka tidak memiliki kontribusi terhadap pendapatan keluarga dari potensi sumber daya yang tersedia.
108 DAFTAR PUSTAKA
Amal, Siti Hidayati. 2002. Jurnal Pusat Pengembangan Kawasan (PSPK). Jakarta Ambardi dan Prihawantoro. 2002. Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah. Kajian Konsep dan Pembangunan. BPPT. Jakarta. Arfani, Nurlisa. 2005. Mengukur Efisiens i Relatif Pialang Bursa Berjangka Jakarta. http://www.bappebti.go.id/displayarti. Aryati, Fauziah. 1999. Peranan Wanita dalam Mewujudkan Kesejahteraan Rumahtangga. Tesis Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Budiharsono, S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Pradnya Paramita. Jakarta Boulding, Elise. 1981. Familial Constraints on Women’s Work Roles. University of Chicago. Chicago.
Chao, Shiyan. 1999. Ghana; Gender Analysis and Policymaking for Development. The World Bank. Washington, D.C Dahuri, R.J. et. All. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta Dahuri, R.J. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis kelautan; Ringkasan Orasi Ilmiah. Faperikan. IPB. Bogor. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Pelaksanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Fauzi, A. 2003. Bahan Kuliah Ekonomi Sumber Daya Alam. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor. --------. 2004. Ekonomi dan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Gramedia. Jakarta --------. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan: Isu, Sintesis, dan Gagasan. Gramedia. Jakarta. --------. 2006. Thinking Outside the Box. Perspektif Ekonomi dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengelolaan Ekonomi Sumber Daya Perikanan 27 April 2006.
109 Fauzi, A dan Anna, S. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan Untuk Analisis Kebijakan. Gramedia. Jakarta Gleason, Sandra. E. 1991. Gender Bias in Estimating Female Labor Force Participation. Status Influences in Thrid Wolrd Labour Market, Caste, Gender Custom (Editor Scoville, J.G). Walter de Gruyter. Berlin Handayani dan Sugiarti. 2001. Konsep dan Teknik Penelitian Gender.Pusat Studi Wanita dan Kemasyarakatan. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang James A. Christension and Jerry W. Robinson, Jr. 1989. Community Development in Perspective. Lowa State University Press. Kusnadi. 2002. Konflik Sosial Nelayan, Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya Perikanan. Yogyakarta Kusnadi. 2000. Nelayan. Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Humaniora Utama Press. Bandung. Kusnadi. 2001. Pengamba, Kaum Perempuan Fenomenal. Human iora Utama Press. Bandung. Kusumastanto, Tridoyo. 2003. Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah. Gramedia. Jakarta. Labuhanbatu dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Labuhanbatu. 2003. Marwoto, Heriyanto. 2004. Makalah Kemiskinan Nelayan; Masalah Yang Belum Terpecahkan. Bogor Mosse, J. M. 2002. Gender dan Pembangunan. Pustaka Pelajar. Yakarta Mukherjee. et, al. 2001. Masyarakat, Kemiskinan dan Mata Pencaharian. DFID. Jakarta Nazir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Ghalia. Jakarta Nikkelsen, B. 1999. Metode Penelitian Partisipasi dan Upaya Pemberdayan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Nugroho. 2003. Reinventing Pembangunan. Gramedia. Jakarta Penyusunan Kebijakan Pemberdayaan Perempuan di Wilayah Pesisir dan Pulau pulau Kec il dalam Upaya Pengembangan Kelautan di Kawasan Indonesia Timur. 2003. Anugerah Kripradana. Jakarta.
110 Prasetyaningsih, Nasyiah. 2004. Dimensi Gender Dalam Agroforesty. Skripsi. Institut Pertanian Bogor Prijono dan Pranarka. 1996. Pemberdayaan, Konsep dan Implementasi. CSIS. Jakarta Salam, D.S. 2004. Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya. Djambatan. Jakarta. Sajogyo, Pudjiwati. 1983. Peranan Wanita dalam Pembangunan Masyarakat Desa. Rajawali. Jakarta. Saruan, C. 2000. Studi Gender Pada Rumahtangga Nelayan dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan. Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Soekartawi. Linear Programing. Teori dan Aplikasinya Khususnya Dalam Bidang Pertanian. Rajawai Press. Jakarta. Soekartawi. 1990. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis Produksi Cobb – Douglas. Rajawali Press. Jakarta. Studi Kelayakan” Labuhanbatu Integrated Regional Development Project”. BAPPEDA Labuhanbatu. 2002. Wulansari. Wenni. 2001. Kajian Gender dalam Pengelolan Sumber Daya Pesisir dan Laut di Pulau Untung Jawa, Tesis Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Yanti. 2004. Dlam Pengelolaan PSDA, Keterlibatan Perempuan Masih Sebatas Pelaksana. www. Mailarchive.com/
[email protected]/msg06881.html
111 Lampiran: 1 Karakteristik Rumah tangga nelayan No Res p
US
UI
37 25 35 23 26 23 28 30 32 35 41 45 37 25
Pendidik an LK P R 0 0 6 6 0 6 0 9 5 5 3 3 6 9 6 6 6 6 0 0 6 6 6 6 6 0 6 6
Jlh. Anak L P K R 2 2 1 1 3 3 0 2 1 2 0 3 1 1 1 7 1 3 0 4 3 3 2 0 3 3 2 3
TA RT
KU
BU
PG L
ALT
ART
Lokasi tangkap
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
42 30 35 27 30 25 28 45 32 40 43 50 43 32
6 4 8 4 5 5 4 10 6 6 8 4 8 7
sewa pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik sewa sewa pemilik sewa pemilik pemilik pemilik
Mengolah Mengolah Mengolah Mengolah Mengolah Mengolah Mengolah Mengolah Mengolah Mengolah Mengolah Mengolah Mengolah Mengolah
7 5 4 3 4 4 6 4 4 6 7 25 7 5
sondong sondong sondong sondong sondong sondong sondong sondong lupi sondong sondong tangkul lupi lupi
bot sampan sampan sampan sampan sampan sampan bot sampan sampan bot bot sampan sampan
Tanjung bangsih Daerah Timur Daerah Timur Daerah Timur Tanjung bangsih Tanjung bangsih Tanjung bangsih Tanjung bangsih Tanjung bangsih Tanjung bangsih Tanjung bangsih Tanjung bangsih Tanjung bangsih Tanjung bangsih
15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
50 38 42 45 32 51 23 35 50 30
45 35 40 43 31 47 21 25 43 28
6 6 6 0 6 0 12 5 2 3
6 0 6 0 0 0 12 6 5 3
2 3 3 2 5 2 0 1 2 1
3 2 2 1 2 1 1 2 5 3
7 7 7 5 9 5 3 5 9 6
pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik buruh pemilik pemilik pemilik
Mengolah Mengolah tdk mengolah Mengolah Mengolah Mengolah Mengolah Mengolah mengolah tdk mengolah
20 15 5 18 20 24 3 9 24 15
lupi pukat tarik Pukat layang sondong sondong sondong sondong jaring sondong jaring renjong
bot bot sampan sampan sampan bot sampan sampan sampan sampan
Tanjung bangsih Tanjung bangsih Tanjung bangsih Tanjung bangsih Daerah Timur Tanjung bangsih Tanjung bangsih Tanjung bangsih Sei Berombang Tanjung bangsih
25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
25 35 47 60 30 40 30 42 28 24 31 25 35 40
22 31 45 55 27 35 27 35 26 21 27 23 33 38
6 9 12 2 6 3 4 0 9 9 3 6 9 6
6 6 9 2 6 0 0 0 6 9 0 6 6 3
1 1 4 1 1 3 1 5 1 1 2 1 2 4
1 4 4 1 2 2 3 2 2 1 2 0 2 3
4 7 10 4 5 7 6 9 5 4 6 3 6 9
sewa sewa pemilik pemilik pemilik sewa pemilik pemilik buruh pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik
tdk mengolah tdk mengolah mengolah mengolah tdk mengolah mengolah mengolah tdk mengolah tdk mengolah tdk mengolah tdk mengolah tdk mengolah tdk mengolah tdk mengolah
12 10 1 25 7 15 14 17 5 7 6 7 12 18
jaring sangko sondong madang jaring heko lupi garok pukat tumang pukat tarik jaring jaring lupi fishingnet jrg gilnet
bot bot bot sampan bot bot sampan bot bot sampan sampan bot bot sampan
Sei Tawar Sei Tawar Tanjung bangsih Sei Berombang Tanjung bangsih Daerah Timur Panimpahan Sei Tawar Tanjung bangsih Sei Berombang Sei Berombang Tanjung bangsih Tanjung bangsih Tanjung bangsih
39 40
25 30
19 26
6 6
6 12
1 2
0 0
3 4
pemilik pemilik
tdk mengolah tdk mengolah
7 10
Jaring pukat songko
sampan bot
Tanjung bangsih Tanjung bangsih
41 42 43 44
40 35 60 40
30 26 52 37
5 6 0 0
5 9 9 2
2 2 3 2
1 1 0 3
5 5 5 7
pemilik pemilik pemilik buruh
tdk tdk tdk tdk
mengolah mengolah mengolah mengolah
18 15 30 18
jaring Pukat layang sondong buruh
sampan bot sampan bot
B. Buluh Tanjung bangsih Sungai dua Tanjung bangsih
45
39
46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58
39 55 56 37 38 40 53 52 40 38 24 30 47
36
6
9
2
3
7
buruh
tdk mengolah
12
buruh
bot
Tanjung bangsih
37 50 50 35 35 37 48 42 35 27 25 25 45
9 9 4 0 0 0 9 5 0 6 4 4 0
9 6 2 0 3 0 6 0 0 6 0 3 0
1 1 2 1 3 4 1 0 1 1 0 2 2
6 1 0 2 1 1 0 7 1 2 0 3 2
9 4 4 5 6 7 3 9 4 5 2 7 6
buruh buruh sewa buruh buruh buruh buruh pemilik buruh buruh buruh pemilik pemilik
tdk mengolah tdk mengolah pengolah tdk mengolah tdk mengolah tdk mengolah tdk mengolah tdk mengolah tdk mengolah tdk mengolah tdk mengolah tdk mengolah tdk mengolah
8 15 27 11 18 15 25 7 23 12 5 8 20
buruh buruh 0 buruh buruh buruh buruh buruh buruh buruh buruh jaring jaring
bot bot 0 bot bot bot bot bot bot bot bot bot sampan
Tanjung bangsih Tanjung bangsih 0 Tanjung bangsih Tanjung bangsih Tanjung bangsih Tanjung bangsih Tanjung bangsih Tanjung bangsih Tanjung bangsih Tanjung bangsih T. Bangsih dan Sei Tawar Kualuh S. Tukan dan S.Tawar
59 60 61
40 45 34
39 30 25
1 1 5
1 0 7
2 7 2
1 1 1
5 10 5
pemilik pemilik pemilik
tdk mengolah tdk mengolah tdk mengolah
15 18 10
jaring jaring jaring
bot sampan sampan
Kualuh S. Tukan S. Tawar T. Bangsih dan Sei Tawar T. Bangsih dan Sei Tawar
112 62
37
25
5
5
1
2
5
pemilik
tdk mengolah
12
jaring
bot
63
41
39
4
1
4
3
9
pemilik
tdk mengolah
15
jaring
sampan
T. Bangsih dan Sei Tawar
64 65
23 43
20 30
5 1
9 2
1 4
1 2
4 8
pemilik pemilik
tdk mengolah tdk mengolah
10 18
jaring bolat
bot bot
Kualuh S. Tukan ,S. Tawar Kualuh S. Tukan,S. Tawar
66 67 68 69 70
38 30 28 40 50
35 25 25 38 49
1 5 4 1 1
0 3 3 1 3
1 1 1 0 2
0 0 0 0 1
3 3 3 2 5
pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik
tdk mengolah tdk mengolah tdk mengolah tdk mengolah tdk mengolah
15 10 10 23 19
bolat jaring jaring jaring jaring
bot sampan bot sampan sampan
Kualuh S. Tukan ,S. Kualuh S. Tukan, S. Kualuh S. Tukan, S. Kualuh S. Tukan S. Kualuh S. Tukan S.
71 72
40 65
38 50
3 0
1 0
2 0
2 1
6 3
pemilik sewa
tdk mengolah tdk mengolah
15 35
jaring tangkul
sampan sewa
Kualuh S. Tukan S. Tawar Sungai Palas
73 74 75 76 77
52 55 30 47 40
40 45 27 40 30
3 0 6 3 3
6 0 6 3 6
2 2 0 2 1
2 2 1 2 2
6 6 3 6 5
sewa sewa sewa sewa sewa
tdk tdk tdk tdk tdk
20 20 10 15 15
Dupi Dupi Dupi Dupi Dupi
sewa sewa sewa sewa sewa
Sungai Palas Sungai Palas Sungai Palas Sungai Palas Sungai Palas
78
55
25
3
3
2
6
10
sewa
tdk mengolah
20
Dupi
sewa
Sungai Palas
79 80 81 82 83 84 85 86 87 88
55 35 20 36 35 53 40 21 33 46
35 30 28 30 30 40 35 19 31 38
4 3 6 6 6 6 2 5 9 4
6 5 6 0 6 3 6 8 6 6
2 3 0 2 3 3 3 0 2 2
2 2 3 1 1 1 5 2 4 5
6 7 5 5 6 6 10 4 8 9
sewa sewa sewa sewa pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik
tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk
mengolah mengolah mengolah mengolah mengolah mengolah mengolah mengolah mengolah mengolah
20 7 3 7 5 21 15 8 14 19
Dupi Dupi Dupi Dupi Jaring Jaring Jaring Jaring Jaring Jaring
sewa sewa sewa sewa bot bot sampan sampan sampan sampan
Sungai Palas Sungai Palas Sungai Palas Sungai Palas Tanjung bangsih Tanjung bangsih Tanjung bangsih Tanjung bangsih Tanjung bangsih Tanjung bangsih
89 90
24 45
20 20
3 6
9 6
1 1
0 5
3 8
pemilik pemilik
tdk mengolah tdk mengolah
8 20
Jaring Jaring
sampan bot
Tanjung bangsih Tanjung bangsih
91 92 93 94 95 96
30 40 32 29 45 40
29 31 30 25 20 35
9 3 6 9 6 4
6 5 4 6 6 6
1 4 2 2 1 2
4 5 2 1 1 1
7 11 6 5 4 5
pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik pemilik
tdk mengolah tdk mengolah tdk mengolah tdk mengolah tdk mengolah tdk mengolah
8 20 16 8 20 10
Jaring Jaring Jaring Jaring bolat bolat
sampan sampan sampan sampan sampan sampan
Tanjung bangsih Tanjung bangsih Tanjung bangsih Tanjung bangsih Sei palas Tanjung bangsih
JLH
3700
3163
417
41 2
125 8
38.5
32.9 5
4.3
4.3
1 9 7 2. 0 5
562
RT
1 7 3 1. 8
5.9
13.1
Keteranga: US= Umur suami UI= Umur istri LK= Laki-laki PR= Perempuan TART= Total anggota rumah tangga KU= Kepemilikan usaha BU= Bentuk usaha PGL=Pengalaman ALT=Alat tangkap ART=Armada Tangkap Lokasi tangkap
mengolah mengolah mengolah mengolah mengolah
T. Bangsih dan Sei Tawar
Tawar Tawar Tawar Tawar Tawar
113
Lampiran 2 Data input dan output rumahtangga nelayan tidak pengolah
1
15
15
(I)BBM/bulan (liter) 45
12
75
2
20
20
180
12
80
3
15
15
45
12
90
4
20
40
200
16
100
5
15
15
150
16
105
6
20
20
60
6
120
7
20
20
180
12
120
8
20
20
80
6
120
No. Resp.
(I)Trip/bulan (I)TK/bulan
(I)GT
(O)Jlh produksi
9
17
17
119
12
136
10
20
20
60
16
140
11
20
20
60
16
160
12
15
15
75
16
165
13
25
25
75
16
175
14
15
15
90
16
180
15
15
15
60
16
180
16
15
45
225
16
225
17
20
40
100
6
240
18
20
40
100
12
240
19
20
20
100
12
260
20
20
40
100
6
280
21
20
20
200
12
280
22
20
40
600
12
300
23
15
30
45
16
300
24
25
25
375
12
325
25
20
60
400
24
340
26
20
20
200
12
340
27
10
60
900
24
370
28
20
20
140
12
380
29
20
20
300
16
400
30
20
40
300
16
400
31
20
40
400
16
400
32
20
20
300
16
400
33
15
15
150
12
405
34
15
15
525
16
420
35
20
40
60
6
440
36
10
50
1000
16
470
37
20
20
300
16
500
38
20
20
200
16
500
39
20
40
300
16
500
40
27
162
675
16
513
41
23
23
460
16
575
42
20
40
600
24
600
43
25
25
375
20
625
44
25
25
375
16
625
45
25
25
375
16
625
46
30
30
450
16
690
47
10
60
200
16
840
48
20
40
200
12
900
49
20
60
1500
16
960
50
10
60
400
26
1080
Lampiran 3 Hasil analisis DEA Model Name = CCR-I Workbook Name = G:\data dea.xls No. 1
2
3
4
5
6
7
8
9
DMU
Score
I/O
Data
Projection
Difference
%
1
0,313901345
Trip/bulan
15
2,35426009
-12,64573991
-84,30%
TK/bulan
15
4,708520179
-10,29147982
-68,61%
BBM/bulan (liter)
45
14,12556054
-30,87443946
-68,61%
GT
12
1,00896861
-10,99103139
-91,59%
Jlh produksi
75
75
0
0,00%
2
0,158730159
Trip/bulan
20
2,53968254
-17,46031746
-87,30%
TK/bulan
20
3,174603175
-16,82539683
-84,13%
BBM/bulan (liter)
180
25,3968254
-154,6031746
-85,89%
GT
12
1,904761905
-10,0952381
-84,13%
Jlh produksi
80
80
0
0,00%
3
0,376681614
Trip/bulan
15
2,825112108
-12,17488789
-81,17%
TK/bulan
15
5,650224215
-9,349775785
-62,33%
BBM/bulan (liter)
45
16,95067265
-28,04932735
-62,33%
GT
12
1,210762332
-10,78923767
-89,91%
Jlh produksi
90
90
0
0,00%
4
0,111111111
Trip/bulan
20
2,222222222
-17,77777778
-88,89%
TK/bulan
40
4,444444444
-35,55555556
-88,89%
BBM/bulan (liter)
200
22,22222222
-177,7777778
-88,89%
GT
16
1,333333333
-14,66666667
-91,67%
Jlh produksi
100
100
0
0,00%
5
0,259259259
Trip/bulan
15
3,888888889
-11,11111111
-74,07%
TK/bulan
15
3,888888889
-11,11111111
-74,07%
BBM/bulan (liter)
150
38,88888889
-111,1111111
-74,07%
GT
16
3,111111111
-12,88888889
-80,56%
Jlh produksi
105
105
0
0,00%
6
0,376681614
Trip/bulan
20
3,766816143
-16,23318386
-81,17%
TK/bulan
20
7,533632287
-12,46636771
-62,33%
BBM/bulan (liter)
60
22,60089686
-37,39910314
-62,33%
GT
6
1,614349776
-4,385650224
-73,09%
Jlh produksi
120
120
0
0,00%
7
0,238095238
Trip/bulan
20
3,80952381
-16,19047619
-80,95%
TK/bulan
20
4,761904762
-15,23809524
-76,19%
BBM/bulan (liter)
180
38,0952381
-141,9047619
-78,84%
GT
12
2,857142857
-9,142857143
-76,19%
Jlh produksi
120
120
0
0,00%
8
0,312267658
Trip/bulan
20
3,12267658
-16,87732342
-84,39%
TK/bulan
20
6,24535316
-13,75464684
-68,77%
BBM/bulan (liter)
80
24,98141264
-55,01858736
-68,77%
GT
6
1,605947955
-4,394052045
-73,23%
Jlh produksi
120
120
0
0,00%
9
0,329218107
Trip/bulan
17
3,917695473
-13,08230453
-76,95%
10
11
12
13
14
15
16
17
18
TK/bulan
17
5,596707819
-11,40329218
-67,08%
BBM/bulan (liter)
119
39,17695473
-79,82304527
-67,08%
GT
12
2,798353909
-9,201646091
-76,68%
Jlh produksi
136
136
0
0,00%
10
0,439461883
Trip/bulan
20
4,394618834
-15,60538117
-78,03%
TK/bulan
20
8,789237668
-11,21076233
-56,05%
BBM/bulan (liter)
60
26,367713
-33,632287
-56,05%
GT
16
1,883408072
-14,11659193
-88,23%
Jlh produksi
140
140
0
0,00%
11
0,502242152
Trip/bulan
20
5,022421525
-14,97757848
-74,89%
TK/bulan
20
10,04484305
-9,955156951
-49,78%
BBM/bulan (liter)
60
30,13452915
-29,86547085
-49,78%
GT
16
2,152466368
-13,84753363
-86,55%
Jlh produksi
160
160
0
0,00%
12
0,488888889
Trip/bulan
15
3,666666667
-11,33333333
-75,56%
TK/bulan
15
7,333333333
-7,666666667
-51,11%
BBM/bulan (liter)
75
36,66666667
-38,33333333
-51,11%
GT
16
2,2
-13,8
-86,25%
Jlh produksi
165
165
0
0,00%
13
0,439461883
Trip/bulan
25
5,493273543
-19,50672646
-78,03%
TK/bulan
25
10,98654709
-14,01345291
-56,05%
BBM/bulan (liter)
75
32,95964126
-42,04035874
-56,05%
GT
16
2,35426009
-13,64573991
-85,29%
Jlh produksi
175
175
0
0,00%
14
0,512820513
Trip/bulan
15
4,615384615
-10,38461538
-69,23%
TK/bulan
15
7,692307692
-7,307692308
-48,72%
BBM/bulan (liter)
90
46,15384615
-43,84615385
-48,72%
GT
16
3,076923077
-12,92307692
-80,77%
Jlh produksi
180
180
0
0,00%
15
0,624535316
Trip/bulan
15
4,68401487
-10,31598513
-68,77%
TK/bulan
15
9,36802974
-5,63197026
-37,55%
BBM/bulan (liter)
60
37,47211896
-22,52788104
-37,55%
GT
16
2,408921933
-13,59107807
-84,94%
Jlh produksi
180
180
0
0,00%
16
0,25974026
Trip/bulan
15
3,896103896
-11,1038961
-74,03%
TK/bulan
45
11,68831169
-33,31168831
-74,03%
BBM/bulan (liter)
225
58,44155844
-166,5584416
-74,03%
GT
16
3,798701299
-12,2012987
-76,26%
Jlh produksi
225
225
0
0,00%
17
0,533333333
Trip/bulan
20
5,333333333
-14,66666667
-73,33%
TK/bulan
40
10,66666667
-29,33333333
-73,33%
BBM/bulan (liter)
100
53,33333333
-46,66666667
-46,67%
GT
6
3,2
-2,8
-46,67%
Jlh produksi
240
240
0
0,00%
18
0,42
Trip/bulan
20
8,4
-11,6
-58,00%
TK/bulan
40
16,8
-23,2
-58,00%
19
20
21
22
23
24
25
26
27
BBM/bulan (liter)
100
42
-58
-58,00%
GT
12
3,24
-8,76
-73,00%
Jlh produksi
240
240
0
0,00%
19
0,577777778
Trip/bulan
20
5,777777778
-14,22222222
-71,11%
TK/bulan
20
11,55555556
-8,444444444
-42,22%
BBM/bulan (liter)
100
57,77777778
-42,22222222
-42,22%
GT
12
3,466666667
-8,533333333
-71,11%
Jlh produksi
260
260
0
0,00%
20
0,622222222
Trip/bulan
20
6,222222222
-13,77777778
-68,89%
TK/bulan
40
12,44444444
-27,55555556
-68,89%
BBM/bulan (liter)
100
62,22222222
-37,77777778
-37,78%
GT
6
3,733333333
-2,266666667
-37,78%
Jlh produksi
280
280
0
0,00%
21
0,555555556
Trip/bulan
20
8,888888889
-11,11111111
-55,56%
TK/bulan
20
11,11111111
-8,888888889
-44,44%
BBM/bulan (liter)
200
88,88888889
-111,1111111
-55,56%
GT
12
6,666666667
-5,333333333
-44,44%
Jlh produksi
280
280
0
0,00%
22
0,333333333
Trip/bulan
20
6,666666667
-13,33333333
-66,67%
TK/bulan
40
13,33333333
-26,66666667
-66,67%
BBM/bulan (liter)
600
66,66666667
-533,3333333
-88,89%
GT
12
4
-8
-66,67%
Jlh produksi
300
300
0
0,00%
23
0,909090909
Trip/bulan
15
13,63636364
-1,363636364
-9,09%
TK/bulan
30
27,27272727
-2,727272727
-9,09%
BBM/bulan (liter)
45
40,90909091
-4,090909091
-9,09%
GT
16
4,090909091
-11,90909091
-74,43%
Jlh produksi
300
300
0
0,00%
24
0,538971808
Trip/bulan
25
9,16252073
-15,83747927
-63,35%
TK/bulan
25
13,47429519
-11,52570481
-46,10%
BBM/bulan (liter)
375
91,6252073
-283,3747927
-75,57%
GT
12
6,467661692
-5,532338308
-46,10%
Jlh produksi
325
325
0
0,00%
25
0,279835391
Trip/bulan
20
5,596707819
-14,40329218
-72,02%
TK/bulan
60
16,79012346
-43,20987654
-72,02%
BBM/bulan (liter)
400
97,94238683
-302,0576132
-75,51%
GT
24
6,156378601
-17,8436214
-74,35%
Jlh produksi
340
340
0
0,00%
26
0,674603175
Trip/bulan
20
10,79365079
-9,206349206
-46,03%
TK/bulan
20
13,49206349
-6,507936508
-32,54%
BBM/bulan (liter)
200
107,9365079
-92,06349206
-46,03%
GT
12
8,095238095
-3,904761905
-32,54%
Jlh produksi
340
340
0
0,00%
27
0,358527132
Trip/bulan
10
3,585271318
-6,414728682
-64,15%
TK/bulan
60
21,51162791
-38,48837209
-64,15%
BBM/bulan (liter)
900
129,0697674
-770,9302326
-85,66%
28
29
30
31
32
33
34
35
36
GT
24
8,604651163
-15,39534884
-64,15%
Jlh produksi
370
370
0
0,00%
28
0,781893004
Trip/bulan
20
10,94650206
-9,053497942
-45,27%
TK/bulan
20
15,63786008
-4,362139918
-21,81%
BBM/bulan (liter)
140
109,4650206
-30,53497942
-21,81%
GT
12
7,818930041
-4,181069959
-34,84%
Jlh produksi
380
380
0
0,00%
29
0,740740741
Trip/bulan
20
14,81481481
-5,185185185
-25,93%
TK/bulan
20
14,81481481
-5,185185185
-25,93%
BBM/bulan (liter)
300
148,1481481
-151,8518519
-50,62%
GT
16
11,85185185
-4,148148148
-25,93%
Jlh produksi
400
400
0
0,00%
30
0,444444444
Trip/bulan
20
8,888888889
-11,11111111
-55,56%
TK/bulan
40
17,77777778
-22,22222222
-55,56%
BBM/bulan (liter)
300
88,88888889
-211,1111111
-70,37%
GT
16
5,333333333
-10,66666667
-66,67%
Jlh produksi
400
400
0
0,00%
31
0,444444444
Trip/bulan
20
8,888888889
-11,11111111
-55,56%
TK/bulan
40
17,77777778
-22,22222222
-55,56%
BBM/bulan (liter)
400
88,88888889
-311,1111111
-77,78%
GT
16
5,333333333
-10,66666667
-66,67%
Jlh produksi
400
400
0
0,00%
32
0,740740741
Trip/bulan
20
14,81481481
-5,185185185
-25,93%
TK/bulan
20
14,81481481
-5,185185185
-25,93%
BBM/bulan (liter)
300
148,1481481
-151,8518519
-50,62%
GT
16
11,85185185
-4,148148148
-25,93%
Jlh produksi
400
400
0
0,00%
33
1
Trip/bulan
15
15
0
0,00%
TK/bulan
15
15
0
0,00%
BBM/bulan (liter)
150
150
0
0,00%
GT
12
12
0
0,00%
Jlh produksi
405
405
0
0,00%
34
1
Trip/bulan
15
15
0
0,00%
TK/bulan
15
15
0
0,00%
BBM/bulan (liter)
525
525
0
0,00%
GT
16
16
0
0,00%
Jlh produksi
420
420
0
0,00%
35
1
Trip/bulan
20
20
0
0,00%
TK/bulan
40
40
0
0,00%
BBM/bulan (liter)
60
60
0
0,00%
GT
6
6
0
0,00%
Jlh produksi
440
440
0
0,00%
36
0,585669782
Trip/bulan
10
5,856697819
-4,143302181
-41,43%
TK/bulan
50
29,2834891
-20,7165109
-41,43%
BBM/bulan (liter)
1000
131,7757009
-868,2242991
-86,82%
GT
16
9,370716511
-6,629283489
-41,43%
37
38
39
40
41
42
43
44
45
Jlh produksi
470
37
0,925925926
470
0
0,00%
Trip/bulan TK/bulan
20
18,51851852
-1,481481481
-7,41%
20
18,51851852
-1,481481481
-7,41%
BBM/bulan (liter)
300
185,1851852
-114,8148148
-38,27%
GT
16
14,81481481
-1,185185185
-7,41%
Jlh produksi
500
500
0
0,00%
38
0,925925926
Trip/bulan
20
18,51851852
-1,481481481
-7,41%
TK/bulan
20
18,51851852
-1,481481481
-7,41%
BBM/bulan (liter)
200
185,1851852
-14,81481481
-7,41%
GT
16
14,81481481
-1,185185185
-7,41%
Jlh produksi
500
500
0
0,00%
39
0,555555556
Trip/bulan
20
11,11111111
-8,888888889
-44,44%
TK/bulan
40
22,22222222
-17,77777778
-44,44%
BBM/bulan (liter)
300
111,1111111
-188,8888889
-62,96%
GT
16
6,666666667
-9,333333333
-58,33%
Jlh produksi
500
500
0
0,00%
40
0,4275
Trip/bulan
27
11,4
-15,6
-57,78%
TK/bulan
162
22,8
-139,2
-85,93%
BBM/bulan (liter)
675
114
-561
-83,11%
GT
16
6,84
-9,16
-57,25%
Jlh produksi
513
513
0
0,00%
-14,08%
41
0,959292626
Trip/bulan
23
19,76142809
-3,238571905
TK/bulan
23
22,0637304
-0,936269603
-4,07%
BBM/bulan (liter)
460
197,6142809
-262,3857191
-57,04%
GT
16
15,34868202
-0,651317985
-4,07%
Jlh produksi
575
575
0
0,00%
42
0,666666667
Trip/bulan
20
13,33333333
-6,666666667
-33,33%
TK/bulan
40
26,66666667
-13,33333333
-33,33%
BBM/bulan (liter)
600
133,3333333
-466,6666667
-77,78%
GT
24
8
-16
-66,67%
Jlh produksi
600
600
0
0,00%
43
0,925925926
Trip/bulan
25
23,14814815
-1,851851852
-7,41%
TK/bulan
25
23,14814815
-1,851851852
-7,41%
BBM/bulan (liter)
375
231,4814815
-143,5185185
-38,27%
GT
20
18,51851852
-1,481481481
-7,41%
Jlh produksi
625
625
0
0,00%
44
0,978090767
Trip/bulan
25
20,5399061
-4,460093897
-17,84%
TK/bulan
25
24,45226917
-0,547730829
-2,19%
BBM/bulan (liter)
375
205,399061
-169,600939
-45,23%
GT
16
15,64945227
-0,350547731
-2,19%
Jlh produksi
625
625
0
0,00%
45
0,978090767
Trip/bulan
25
20,5399061
-4,460093897
-17,84%
TK/bulan
25
24,45226917
-0,547730829
-2,19%
BBM/bulan (liter)
375
205,399061
-169,600939
-45,23%
GT
16
15,64945227
-0,350547731
-2,19%
Jlh produksi
625
625
0
0,00%
46
47
48
49
50
46
0,93495935
Trip/bulan
30
20,56910569
-9,430894309
TK/bulan
30
28,04878049
-1,951219512
-6,50%
BBM/bulan (liter)
450
205,6910569
-244,3089431
-54,29%
-31,44%
GT
16
14,95934959
-1,040650407
-6,50%
Jlh produksi
690
690
0
0,00%
47
1
Trip/bulan
10
10
0
0,00%
TK/bulan
60
60
0
0,00%
BBM/bulan (liter)
200
200
0
0,00%
GT
16
16
0
0,00%
Jlh produksi
840
840
0
0,00%
48
1
Trip/bulan
20
20
0
0,00%
TK/bulan
40
40
0
0,00%
BBM/bulan (liter)
200
200
0
0,00%
GT
12
12
0
0,00%
Jlh produksi
900
900
0
0,00%
49
0,909090909
Trip/bulan
20
18,18181818
-1,818181818
-9,09%
TK/bulan
60
50,90909091
-9,090909091
-15,15%
BBM/bulan (liter)
1500
218,1818182
-1281,818182
-85,45%
GT
16
14,54545455
-1,454545455
-9,09%
Jlh produksi
960
960
0
0,00%
50
1
Trip/bulan
10
10
0
0,00%
TK/bulan
60
60
0
0,00%
BBM/bulan (liter)
400
400
0
0,00%
GT
26
26
0
0,00%
Jlh produksi
1080
1080
0
0,00%
120 Lampiran 4 Akses Rumahtangga Nelayan Lampiran akses rumahtangga nelayan pengolah Sumberdaya Keterangan
sumber modal
Pendidikan non formal
Organisasi
Informasi
Pelayanan
LK
PR
Keterangan
LK
PR
Keterangan
LK
PR
Keterangan
LK
PR
Keterangan
LK
PR
Keterangan
LK
PR
140
28
KUD
37
37
Penyuluhan
34
34
Kelompok nelayan
28
28
TV
124
114
TPI
28
28
140
28
32
32
Pelatihan
32
30
Pengajian
118
124
Radion
28
28
Pasar
140
140
Proses pengolahan
140
140
32
32
Keterampilan
30
30
PKK
0
40
Tablod/majal ah
28
28
Transportasi
140
140
Pemasaran
140
140
0
0
0
0
0
0
0
0
Kesehatan
84
104
jlh
560
336
101
101
96
94
146
192
180
170
392
412
aktivitas melaut Peralatan melaut
Bantuan kredit Bantuan kredit alat tangkap
Lampiran akses rumahtangga nelayan tidak pengolah Sumberdaya Keterangan
sumber modal
Pendidikan non formal
Organisasi
Informasi
Pelayanan
LK
PR
Keterangan
LK
PR
Keterangan
LK
PR
Keterangan
LK
PR
Keterangan
LK
PR
Keterangan
LK
PR
275
115
KUD
62
62
Penyuluhan
79
79
Kelompok nelayan
103
103
TV
223
213
TPI
55
55
275
111
55
55
Pelatihan
61
61
Pengajian
219
233
Radion
55
55
Pasar
275
275
Proses pengolahan
55
101
55
55
Keterampilan
55
55
PKK
0
62
Tablod/majal ah
85
91
Transportasi
275
275
Pemasaran
275
0
0
0
0
0
0
0
Kesehatan
203
231
jlh
880
327
0
195
195
0
322
398
0
363
359
0
808
836
aktivitas melaut Peralatan melaut
Bantuan kredit Bantuan kredit alat tangkap 0
0
0
172
172
Lampiran akses rumahtangga nelayan buruh Sumberdaya Keterangan
sumber modal
Pendidikan non formal
Organisasi
Informasi
Pelayanan
LK
PR
Keterangan
LK
PR
Keterangan
LK
PR
Keterangan
LK
PR
Keterangan
LK
PR
Keterangan
LK
PR
65
13
KUD
13
13
Penyuluhan
13
13
Kelompok nelayan
13
13
TV
31
43
TPI
13
13
65
13
13
13
Pelatihan
13
13
Pengajian
57
61
Radion
15
15
Pasar
65
65
Proses pengolahan
13
55
13
13
Keterampilan
13
13
PKK
0
15
Tablod/majal ah
13
13
Transportasi
65
65
Pemasaran
13
13
0
0
0
0
0
0
0
0
Kesehatan
41
47
aktivitas melaut Peralatan melaut
Bantuan kredit Bantuan kredit alat tangkap
120 jlh
156
94
39
39
39
39
70
89
59
71
184
190
121
Lampiran 5 Hasil Uji Statistik Rank Spearman Correlations akses RT tdk olah Spearman's rho
akses RT tdk olah
Correlation Coefficient
1.000
.104
.
.450
Sig. (2-tailed) N kontrol RT tdk olah
kontrol RT tdk olah
55
55
Correlation Coefficient
.104
1.000
Sig. (2-tailed)
.450
.
55
55
wnt rt olah 1.000
wnt rt olah .121
.
.541
N Correlations Spearman's rho
Akses wnt rt olah
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Kontrol wnt rt olah
28
28
Correlation Coefficient
.121
1.000
Sig. (2-tailed)
.541
.
28
29
N Correlations
pndkan wnt pngolah Spearman's rho
pndkan wnt pngolah
Correlation Coefficient
kontrol wnt pngolh
1.000
.070
Sig. (2-tailed)
.
.725
28
28
Correlation Coefficient
.070
1.000
Sig. (2-tailed)
.725
.
28
28
N kontrol wnt pngolh
N Correlations
Spearman's rho
wnt tdk pngolah pnddkn
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
kontrol wnt tdk pngolah .076
.
.581
55
55
Correlation Coefficient
.076
1.000
Sig. (2-tailed)
.581
.
55
55
N kontrol wnt tdk pngolah
wnt tdk pngolah pnddkn 1.000
N Correlations
kerja wnt pngolah Spearman's rho
kerja wnt pngolah
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
kontrol wnt pngolah
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
kontrol wnt pngolah
1.000
.439(*)
.
.019
28
28
.439(*)
1.000
.019
.
28
28
PETA PROPINSI SUMATERA UTARA