EFEKTIVITAS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA PENGGUNAAN PUPUK FOSFOR ALAMI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN, BIOMASSA DAN PRODUKSI ASIATIKOSIDA PEGAGAN (Centella asiatica L. Urban) DI ANDOSOL
BUDI HARTOYO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Efektivitas Fungi Mikoriza Arbuskula pada Penggunaan Pupuk Fosfor Alami dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan, Biomassa, dan Produksi Asiatikosida Pegagan (Centella asiatica L. Urban) di Andosol, adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2012
Budi Hartoyo NRP. A262070101
ABSTRACT BUDI HARTOYO. Effectiveness of Arbuscular Mycorrhiza Fungi and Natural Phosphorus Fertilizer Utilization on Growth, Biomass and Asiaticoside Production of Asiatic Pennywort (Centella asiatica L. Urban) on Andosol. Supervised by MUNIF GHULAMAHDI, LATIFAH K. DARUSMAN, SANDRA ARIFIN AZIZ, and IRDIKA MANSUR. Consumer demands for safe and healthy food require more advanced agricultural production that is free of chemical contaminant and heavy metals harmful for health. Arbuscular mycorrhiza fungi (AMF) as biological agent in several species of plants are now starting to get much attention. AMF are very important which is involved in various biogeochemical of nutrients in order to ensure plant fitness as well as terrestrial ecosystem stability. Currently, it is important to find the alternative materials that can be used as sources of phosphorus due to the need of lower cost, environmentaly friendly, and easily available. Rock phosphate and cow bone meal are some of the natural materials that can be used as a phosphorus sources alternative. Public interest increased to medicines derived from natural products including asiatic pennywort (Centella asiatica L. Urban), and required the availability of adequate of raw material supplies and quality. Cultivation of raw material to produce standardized of asiatic pennywort is not known completely, so its need research support. This dissertation is based on four experiments with the main objective was to find the role of AMF and its relation to the use of natural phosphorus fertilizer on growth, development, biomass, and asiaticoside production of asiatic pennywort. Results of the researches showed that many different types of AMF spores extracted from rhizosphere of asiatic pennywort. Symbiosis AMF with asiatic pennywort was quite compatible that is indicated by high to very high root colonization relatively, and the effectiveness to increase yield and nutrient uptake of N, P, K. Isolates mixture of AMF was more effective than single spores in increasing biomass of asiatic pennywort. Rock phosphate and cow bone meal are the source of natural P that are potential to substitute for synthetic fertilizers, especially on acid soils. Inoculation of AMF increased leaf dry weight, shoot dry weight, and total dry weight by 14.7, 17.1, and 18.0% respectively. Inoculation of AMF significantly increased the growth, nutrient uptake, biomass, and asiaticoside content of asiatic pennywort. Different inoculation timing of AMF did not significantly affect all the variables of growth, development, and plant biomass, but increased asiaticoside production. Timing of inoculation at seedling stage and transplanting resulted on the highest leaf dry weight, shoot dry weight, and total dry weight 4.88 g, 15.22, and 18.05 g plant-1 or increased 77.6, 70.1, and 88.2% respectively, than without AMF (control) plants. Rock phosphate and cown bone meal did not significantly affect growth, development, and plant biomass but provide positive effect on the high roots colonization of AMF 79.4 and 82.0% respectively, than control. Key words: Centella asiatica L. (Urban), arbuscular mycorrhiza fungi, rock phosphate, cow bone meal
RINGKASAN BUDI HARTOYO. Efektivitas Fungi Mikoriza Arbuskula pada Penggunaan Pupuk Fosfor Alami dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan, Biomassa dan Produksi Asiatikosida Pegagan (Centella asiatica L. Urban) di Andosol. Di bawah bimbingan MUNIF GHULAMAHDI, LATIFAH K. DARUSMAN, SANDRA ARIFIN AZIZ, dan IRDIKA MANSUR.
Fungi mikoriza arbuskula (FMA) sebagai agensia hayati pada beberapa jenis tanaman saat ini mulai banyak mendapat perhatian. Fungi ini sangat penting artinya karena terlibat dalam berbagai daur biogeokimia unsur hara sehingga menjamin kebugaran tanaman dan kemantapan ekosistem. Dewasa ini, penting artinya mendapatkan bahan alternatif yang dapat digunakan sebagai sumber fosfor (P) yang harganya murah, aman bagi lingkungan, dan mudah tersedia. Batuan fosfat dan tepung tulang sapi merupakan jenis bahan alami yang dapat digunakan sebagai sumber P alternatif. Meningkatnya minat masyarakat terhadap obatobatan yang berasal dari bahan alam termasuk tanaman pegagan, menuntut ketersediaan pasokan bahan baku yang cukup dengan mutu tinggi. Budidaya tanaman untuk menghasilkan bahan baku pegagan terstandar belum diketahui secara menyeluruh, sehingga perlu dilakukan penelitian yang berkaitan dengan aspek budidaya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil. Disertasi ini disusun berdasarkan hasil dari empat percobaan, dengan tujuan umum untuk mengetahui peran fungi mikoriza arbuskula dan hubungannya dengan penggunaan pupuk fosfor organik dalam meningkatkan pertumbuhan, perkembangan, biomassa dan produksi asiatikosida tanaman pegagan. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1) mendapatkan isolat-isolat FMA hasil isolasi, dan identifikasi dari 3 lokasi rhizosfer pertanaman pegagan, 2) mendapatkan FMA yang kompatibel dan efektif terhadap pertumbuhan dan produksi biomassa tanaman pegagan, 3) menduga pengaruh FMA, dosis serta sumber pupuk P alami terhadap pertumbuhan dan produksi biomassa tanaman pegagan, dan 4) mendapatkan waktu inokulasi FMA yang tepat pada kombinasi dosis optimal dari dua sumber pupuk P alami yang dapat meningkatkan pertumbuhan, perkembangan dan produksi biomassa serta produksi asiatikosida. Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Balitro dan penelitian lapangan di Kebun Percobaan Gunung Putri, Pacet, Kabupaten Cianjur. Penelitian pertama berjudul Isolasi dan karakerisasi fungi mikoriza arbuskula dari rizosfer pertanaman pegagan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis FMA yang diisolasi dan dikarakterisasi pada rizosfer tanaman pegagan pada masing-masing lokasi berbeda, di KP Gunung Putri diperoleh 5 jenis FMA (4 tipe Glomus dan 1 tipe Acaulospora), di KP. Sukamulia terdapat 4 jenis FMA (3 tipe Glomus, dan 1 tipe Acaulospora). Sedangkan di KP. Cicurug terdapat 4 jenis FMA (3 tipe Glomus dan 1 tipe Acaulospora). Jumlah spora yang didapatkan sebelum pemerangkapan relatif sedikit, jumlah terbanyak di KP Cicurug sebayak 165 spora/50 g tanah disusul KP. Sukamulia dan KP. Gunung Putri masingmasing sebanyak 32 spora/50 g tanah dan 24 spora/50 g tanah. Sedangkan setelah pemerangkapan jumlah spora tertinggi di KP. Cicurug diikuti KP. Gunung Putri
dan KP. Sukamulia masing-masing sebanyak 1435 spora/50 g tanah, 1190 spora/50 g tanah dan 555 spora/50 g tanah atau meningkat 769.7% (8.7 kali lipat), 4858.3% (49.6 kali lipat), dan 1634.3% (17.3 kali lipat). Penelitian kedua berjudul Kompatibilitas dan efektivitas fungi mikoriza arbuskula pada tanaman pegagan di Andosol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa simbiosis FMA dengan tanaman pegagan kompatibel ditunjukkan dengan derajat infeksi FMA pada akar tanaman pegagan tergolong kriteria tinggi hingga sangat tinggi. FMA memiliki efektivitas yang cukup tinggi dalam meningkatkan biomassa dan serapan hara N, P, K pada tanaman pegagan, tetapi kurang berperan nyata terhadap pertumbuhan. Efektivitas tertinggi diperlihatkan isolat FMA gabungan asal Cicurug (Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp-3 dan Acaulospora sp) yang memberikan bobot kering terna tertinggi (19.66 g.tan-1), atau meningkat 43.9% serta meningkatkan serapan hara N, P dan K masing-masing sebesar 40.9, 49.5% dan 48.2% dibandingkan tanpa perlakuan FMA. Penelitian ketiga berjudul Kajian pemanfaatan FMA dan pemupukan P alami dari dua sumber pupuk terhadap pertumbuhan dan biomassa tanaman pegagan pada andosol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa FMA merupakan agensia hayati yang mampu meningkatkan pertumbuhan, biomassa tanaman, dan serapan hara tanaman pegagan. Simbiosis FMA dengan tanaman pegagan efektif. meningkatkan bobot kering daun, bobot kering terna, dan bobot kering total sebesar 14.7, 17.1, dan 18.0% dan serapan hara P sebesar 15.0% dibandingkan tanpa FMA. Interaksi FMA dengan sumber pupuk P organik nyata meningkatkan serapan hara N sebesar 67.7-115.9%. Tepung tulang sapi memberikan peningkatan serapan hara N sebesar 99.1% yang lebih tinggi dibandingkan batuan fosfat yang hanya meningkatkan sebanyak 74.7%. Batuan fosfat dan tepung tulang sapi merupakan bahan alami yang dapat digunakan sebagai sumber hara P alternatif pengganti pupuk buatan yang sama baiknya, serta mampu memelihara FMA. Tepung tulang sapi dengan dosis 500 kg ha-1 (P8) menghasilkan bobot kering daun, bobot kering terna, dan bobot kering total tertinggi dan meningkatkan hasil 56.6, 45.7, dan 46.3% lebih tinggi dibanding tanpa pemberian pupuk, akan tetapi tidak berbeda dengan perlakuan dosis lainnya. Rekomendasi dosis maksimal batuan fosfat untuk produksi biomasa kering pegagan pada penggunaan FMA adalah sebesar 483.3 kg ha-1, dan dosis maksimal tepung tulang sapi adalah sebesar 339 kg ha-1. Penelitian keempat berjudul Waktu inokulasi FMA pada kombinasi dosis maksimal dua sumber P alami terhadap pertumbuhan, perkembangan, biomassa dan produksi asiatikosida tanaman pegagan di andosol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi FMA meningkatkan pertumbuhan tanaman, serapan hara N, P, K, bobot kering daun dan kadar asiatikosida tanaman pegagan. Perbedaan waktu inokulasi FMA tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah pertumbuhan, perkembangan, dan biomassa tanaman pegagan tetapi nyata meningkatkan produksi asiatikosida. Perlakuan waktu inokulasi di pembibitan dan diulang pada saat tanam menghasilkan bobot kering daun, bobot kering terna, dan bobot kering total tertinggi masing-masing sebesar 4.88, 15.22, dan 18.05 g tan-1. atau meningkat 77.6, 70.1, dan 88.2%. Batuan fosfat dan tepung tulang sapi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan, perkembangan, dan biomassa pegagan akan tetapi memberikan efek positif terhadap FMA yang dibuktikan tingginya kolonisasi pada akar tanaman 79.4 dan 82.0%.
Dari keempat penelitian tersebut disimpulkan bahwa terdapat keanekaragaman jenis spora FMA pada rizosfer pegagan. Simbiosis FMA dengan tanaman pegagan kompatibel yang ditunjukkan dengan derajat infeksi FMA pada akar tanaman pegagan tergolong tinggi sampai sangat tinggi, dan memiliki efektivitas tinggi dalam meningkatkan hasil dan serapan hara N, P, K pada tanaman pegagan. Isolat FMA campuran lebih efektif dibandingkan spora tunggal dalam meningkatkan biomassa pegagan. Batuan fosfat dan tepung tulang sapi merupakan sumber hara P alternatif potensial yang dapat digunakan pada budidaya tanaman terutama pada tanah-tanah masam. Inokulasi FMA mampu meningkatkan bobot kering daun, bobot kering terna, dan bobot kering total masing-masing sebesar 14.7, 17.1, dan 18.0%. Penggunaan batuan fosfat dan tepung tulang sapi merupakan media dan sumber P yang cukup baik bagi perkembangan FMA yang dibuktikan dengan tingginya kolonisasi pada akar tanaman 79.4 dan 82.0%. Kata kunci: pegagan, fungi mikoriza arbuskula, batuan fosfat, tepung tulang sapi
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh mencantumkan atau menyebutkan sumber
karya
tulis
ini
tanpa
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB
EFEKTIVITAS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA PENGGUNAAN PUPUK FOSFOR ALAMI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN, BIOMASSA DAN PRODUKSI ASIATIKOSIDA PEGAGAN (Centella asiatica L. Urban) DI ANDOSOL
BUDI HARTOYO
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
1.
Ujian Tertutup Tanggal 6 Juli 2012 Penguji Luar Komisi Pembimbing: a. Dr. Ani Kurniawati, SP. M.Si Staf Pengajar pada Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor b. Ir. Atang Sutandi, MS. Ph.D Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
2. Ujian Terbuka Tanggal 27 Juli 2012 Penguji Luar Komisi Pembimbing: a. Dr. Nurliani Bermawie Peneliti Utama pada Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian b. Dr. Ir. Ahmad Junaedi, M.Si Staf Pengajar pada Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Judul Disertasi
: Efektivitas Fungi Mikoriza Arbuskula pada Penggunaan Pupuk Fosfor Alami dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan, Biomassa dan Produksi Asiatikosida Pegagan (Centella asiatica L. Urban) di Andosol
Nama
: Budi Hartoyo
NRP
: A262070101
Program Studi
: Agronomi dan Hortikultura (AGH)
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr.Ir. Munif Ghulamahdi, MS Ketua
Prof. Dr.Ir. Latifah K. Darusman, MS Anggota
Dr.Ir. Sandra Arifin Aziz, MS Anggota
Dr.Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr.Ir. Munif Ghulamahdi, MS
Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 27 Juli 2012
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga disertasi yang berjudul ” Efektivitas Fungi Mikoriza Arbuskula pada Penggunaan Pupuk Fosfor Alami dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan, Biomassa dan Produksi Asiatikosida Pegagan (Centella asiatica L. Urban) di Andosol” dapat terselesaikan. Disertasi ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan informasi mengenai peluang pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula sebagai agensia hayati yang dapat bermanfaat dan berguna dalam peningkatan produktivitas tanaman pegagan, efisiensi pemupukan dan manfaat positif lainnya, serta pemanfaatan batuan fosfat dan tepung tulang sapi sebagai sumber pupuk P alami alternatif terutama pada tanah-tanah masam. Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS., Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, MS., Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS., dan Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc., selaku komisi pembimbing atas segala bimbingan dan arahannya sehingga disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada yang terhormat Dr.Ir. Sri Budi Wilarso, M.Sc., Dr.Ir. Ade Wachjar, MS., Dr. Ani Kurniawati, SP. M.Si., dan Ir. Atang Sutandi, MS. Ph.D., Dr. Nurliani Bermawie dan Dr.Ir. Ahmad Junaedi, M.Si. sebagai penguji luar komisi pada ujian prelium, ujian tertutup, dan ujian terbuka yang telah memberikan masukan mendasar terhadap keseluruhan isi disertasi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Ketua Komisi Pembinaan Tenaga Badan Litbang Pertanian, Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian, Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan program Doktor di IPB dan dan penelitian melalui KKP3T. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Kepala Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika yang telah mengijinkan penggunaan fasilitas laboratorium dan rumah kaca, Ir. Octivia Trisilawati M.Sc., terima kasih atas bantuan serta diskusinya tentang mikoriza, Kepala Kebun Percobaan Gunung
Putri, Teknisi Litkayasa Balittro dan KP. Gunung Putri yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Kepala Pusat Studi Biofarmaka dan Pengelola Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka. Pengelola Laboratorium Analisis Tanaman dan Kromatografi, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB yang telah mengijinkan penggunaan fasilitas selama penulis melaksanakan penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada kawan-kawan seperjuangan Angkatan 2007 Mayor AGH, Forum petugas belajar Badan Litbang Pertanian di IPB, pengurus Forum FORSCA, serta semua rekan-rekan lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala perhatian, dukungan dan bantuannya dalam penyelesaian studi. Terima kasih dan penghargaan yang mendalam penulis tujukan kepada istriku (Arifah, ST.), anak-anakku (Tia, Jati, dan Diva), atas segala kesabaran, ketabahan, pengertian, pengorbanan, dan doanya. Tidak lupa kepada kedua orang tua, mertua, kakak-adik, ipar, serta keluarga besar Atmosoewiryo (Alm), dan H.M. Kartubi (Alm) yang telah memberikan dorongan semangat, motivasi, dan doanya. Akhirnya, penulis berharap hasil penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Bogor,
Agustus 2012
Budi Hartoyo
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 15 Juli 1963 di Brebes, sebagai anak ketujuh dari delapan bersaudara dari ayah B. Atmosoewiryo (Alm) dan ibu Soemiasih (Alm). Pendidikan SD sampai SMA diselesaikan di Brebes, Jawa Tengah. Gelar Sarjana S1 bidang Budidaya Pertanian penulis peroleh pada tahun 1987 dari Jurusan Budidaya Pertanian, Universitas Tunas Pembangunan Surakarta. Pada tahun 1999 penulis memperoleh beasiswa dari ARMP-II Badan Litbang Pertanian untuk mengikuti program Magister Sains (S2) di Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa program Doktor (S3) pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Publikasi ilmiah yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari disertasi ini telah dipublikasikan pada jurnal ilmiah nasional dengan judul ’Keanekaragaman fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada rizosfer tanaman pegagan (Centella asiatica L. Urban)’ di Jurnal Penelitian Tanaman Industri pada tahun 2011. Artikel lain berjudul ’Kompatibilitas dan efektivitas fungi mikoriza arbuskula terhadap pertumbuhan dan hasil pegagan’ akan dipublikasikan di Buletin Tanaman Obat. Hasil penelitian juga telah penulis siapkan untuk dipublikasikan pada jurnal ilmiah nasional, yaitu: (i) Efektivitas fungi mikoriza arbuskula dan pupuk alami terhadap pertumbuhan, biomassa, dan produksi asiatikosida, (ii) Kontribusi FMA terhadap pertumbuhan dan hasil pegagan pada penggunaan pupuk anorganik di andosol, (iii) Penggunaan batuan fosfat dan tepung tulang sapi sebagai sumber fosfat alami terhadap pertumbuhan, dan biomassa pegagan pada pemanfaatannya dengan fungi mikoriza arbuskula, (iv) Pengaruh waktu inokulasi FMA terhadap pertumbuhan dan biomassa pegagan. Sejak tahun 1991 sampai dengan tahun 1995, penulis bekerja sebagai staf peneliti pada kelompok penelitian Sistem Usaha Tani di Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor. Pada akhir tahun 1995, penulis pindah tugas ke Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah sebagai
peneliti pada kelompok pengkaji budidaya pertanian hingga sekarang. Penulis menikah dengan Arifah, ST dan dikaruniai tiga anak, yaitu Justisia Iriani Dewanti, Atmajati Adhi Nugraha, dan Nabila Alya Diffanda
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................
xix
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xxii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
xxiv
PENDAHULUAN ......................................................................................
1
Latar Belakang .................................................................................. Tujuan Penelitian ............................................................................... Hipotesis Penelitian ............................................................................ Kegunaan Penelitian .......................................................................... Ruang Lingkup Penelitian .................................................................
1 6 6 7 7
TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
9
Klasifikasi, Botani, dan Syarat Tumbuh Pegagan .............................. Manfaat dan Kandungan Kimia Pegagan ........................................... Metabolisme Sekunder pada Tanaman Pegagan ................................ Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) ..................................................... Peran dan Fungsi Fosfor, Pupuk Organik dan Sumber Pupuk Fosfor Organik .................................................................................. Peranan FMA terhadap Pertumbuhan Tanaman ................................ Peranan FMA terhadap Metabolisme Sekunder ................................ Interaksi FMA dengan Pupuk Organik .............................................
9 10 12 18 20 25 26 27
ISOLASI, KARAKTERISASI DAN PERBANYAKAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA DARI RIZOSFIR PERTANAMAN PEGAGAN (Centella asiatica (L.) Urban) ……………………………... Abstrak ……………………………………………………………..
29 29
Pendahuluan ......................................................................................
30
Bahan dan Metode .............................................................................
32
Hasil dan Pembahasan .......................................................................
34
Simpulan ……………………………………………………….......
42
xvii
KOMPATIBILITAS DAN EFEKIVITAS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA TANAMAN PEGAGAN (Centella asiatica L. Urban) DI ANDOSOL ................................................................................ Abstrak .............................................................................................. Pendahuluan .......................................................................................
43 43 44
Bahan dan Metode ............................................................................ Hasil dan Pembahasan .......................................................................
46 52
Simpulan …………………………………………………………...
63
KAJIAN PEMANFAATAN FMA DAN PEMUPUKAN P ALAMI DARI DUA SUMBER PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN BIOMASSA TANAMAN PEGAGAN DI ANDOSOL ....................... Abstrak ..............................................................................................
65 65
Pendahuluan .......................................................................................
66
Bahan dan Metode .............................................................................
68
Hasil dan Pembahasan ........................................................................ Simpulan …………………………………………………………...
74 99
WAKTU INOKULASI FMA PADA KOMBINASI DUA SUMBER P ALAMI TERHADAP PERTUMBUHAN, PERKEMBANGAN, BIOMASSA DAN PRODUKSI ASIATIKOSIDA TANAMAN PEGAGAN DI ANDOSOL .................................................... Abstrak ..............................................................................................
101 101
Pendahuluan .......................................................................................
102
Bahan dan Metode .............................................................................
104
Hasil dan Pembahasan ........................................................................
111
Simpulan …..………………………………………………………..
136
PEMBAHASAN UMUM ………………………………………………...
139
SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………
160
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
161
GLOSSARY ...............................................................................................
205
xviii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Jumlah spora FMA dari contoh tanah awal sebelum dan sesudah pemerangkapan dari 3 lokasi penelitian .............................................
2
Jenis spora hasil isolasi dari rizosfer pertanaman pegagan di tiga lokasi pengambilan contoh tanah ......................................................
37
Pengaruh aksesi dan jenis FMA terhadap jumlah daun tanaman induk dan panjang tangkai daun terpanjang …………………….......
52
Pengaruh aksesi dan jenis FMA terhadap jumlah stolon primer, jumlah buku, dan panjang stolon terpanjang …………………….....
53
3 4
34
5
Pengaruh aksesi dan jenis FMA terhadap kolonisasi FMA, luas daun total dan panjang akar ………………………………………………
6
Pengaruh aksesi dan jenis FMA terhadap bobot kering akar, bobot kering terna dan nisbah tajuk/akar ……………………………….....
55
Pengaruh aksesi dan jenis FMA terhadap serapan hara N, P dan K serta derajat infeksi pada akar tanaman ………………………….....
56
Koefisien korelasi antara peubah komponen pertumbuhan, produksi dan serapan hara N,P dan K ………………………………………..
57
9
Kadar hara batuan fosfat dan tepung tulang sapi ……………….......
68
10
Rangkuman hasil analisis ragam pengaruh inokulasi fungi mikoriza arbuskula (FMA), sumber dan dosis pupuk P alami terhadap peubah yang diamati ………………………………………………………...
75
Pengaruh FMA dan dosis pupuk P alami terhadap rata-rata jumlah daun tanaman induk, jumlah tangkai daun, dan panjang tangkai daun ………………………………………………
76
7 8
11
12 13
14
15 16 17
54
Pengaruh FMA dan dosis pupuk P alami terhadap panjang daun, lebar daun, diameter tangkai, dan tebal daun ……………………… Pengaruh FMA dan dosis pupuk P alami terhadap jumlah stolon primer, jumlah stolon sekunder, jumlah buku pada stolon primer terpanjang, dan jumlah buku pada stolon primer terpendek ….........
78
Pengaruh FMA dan dosis pupuk P alami terhadap jumlah daun pada stolon primer terpanjang, jumlah daun pada stolon primer terpendek, jumlah daun total, dan luas daun ……………………......
79
Pengaruh FMA dan dosis pupuk P alami terhadap jumlah klorofil a, jumlah klorofil b, dan jumlah klorofil total …………......
80
Interaksi FMA dan dosis dan sumber pupuk P alami terhadap ratarata serapan hara N pada daun tanaman …………………………...
81
Pengaruh FMA dan dosis pupuk P alami terhadap serapan hara P dan K jaringan daun tanaman ………………………………………
82
77
xix
18 19 20 21 22
23
24
25 26
27 28 29 30 31
32 33 34
xxi
Pengaruh FMA dan dosis pupuk P alami terhadap Panjang akar tanaman induk, bobot segar dan bobot kering akar per tanaman .......
84
Pengaruh FMA dan dosis pupuk P alami terhadap bobot kering daun, bobot kering terna, dan bobot kering total per tanaman ……...
85
Nilai koefisien korelasi antara komponen pertumbuhan dengan bobot kering daun tanaman pegagan …………………………......... Nilai koefisien korelasi antara komponen pertumbuhan dengan bobot kering terna tanaman pegagan ……………………………...
88
Dosis maksimal batuan fosfat dan tepung tulang sapi pada pemanfaatan dengan FMA terhadap bobot kering daun dan bobot kering terna ………………………………………………………..
90
Rangkuman hasil analisis ragam pengaruh waktu inokulasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada dosis maksimal batuan fosfat dan tepung tulang sapi terhadap peubah yang diamati …………………..
112
Pengaruh pupuk P alami dan waktu inokulasi FMA terhadap ratarata jumlah daun tanaman induk, panjang tangkai daun, jumlah stolon primer dan jumlah stolon sekunder ………………………….
113
Interaksi waktu inokulasi FMA dan pupuk P alami terhadap ratarata jumlah stolon sekunder ………………………………………...
114
Pengaruh pupuk P alami dan waktu inokulasi FMA terhadap ratarata jumlah buku pada stolon primer terpanjang, jumlah buku pada stolon primer terpendek, stolon primer terpanjang …………………
115
Pengaruh pupuk P alami dan waktu inokulasi FMA terhadap ratarata jumlah daun total dan luas daun total ………………………….
116
Pengaruh pupuk P alami dan waktu inokulasi FMA terhadap klorofil a, klorofil b, dan klorofil total ……………………………...
116
Pengaruh pupuk P alami dan waktu inokulasi FMA terhadap serapan hara N, P, dan K …………………………………………...
117
Pengaruh pupuk P alami dan waktu inokulasi FMA terhadap ratarata derajat infeksi pada akar dan bobot kering akar ……….............
118
Pengaruh pupuk P alami dan waktu inokulasi FMA terhadap ratarata bobot kering akar, bobot kering daun, bobot kering terna, dan bobot kering total …………………………………………………...
119
Interaksi waktu inokulasi FMA dan pupuk P alami terhadap kadar dan produksi asiatikosida pegagan …………………………………
120
Nilai koefisien korelasi antara komponen pertumbuhan dengan produksi daun kering tanaman pegagan …………………………..
123
Pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung komponen pertumbuhan terhadap produksi daun kering tanaman pegagan ….
124
87
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Diagram alir pelaksanaan penelitian ................................................
8
2
Lintasan utama biosintesis metabolit sekunder dan hubungannya dengan metabolisme primer ...............................................................
13
3
Biosintesis senyawa terpena melalui lintasan asam mevalonat ..........
14
4
Biosintesis isoprena melalui jalur non mevalonat (deoksisilulosa difosfat :DXP / methylerythritol fosfat :MEP) ..................................
16
5
Struktur kimia glikosida asiatikosida ……………………………….
17
6
Biosintesis centellosida (asam asiatik, asiatikosida, asam madekasid) melalui sikliksasi 2,3-oksidoskualen …………………...
17
Infeksi FMA pada perakaran pegagan yang ditunjukkan dengan terbentuknya struktur vesikula (V), dan hifa internal (HI) …………
41
Perbanyakan spora FMA (a), penampilan bibit pegagan bermikoriza (b) dan bibit non-mikoriza (c) pada umur 1 bulan di pembibitan …...
74
Penampilan akar tanaman tanpa inokulasi FMA (M0), gambar sebelah atas pada masing-masing lajur, serta akar yang mendapatkan perlakuan inokulasi FMA (M1), gambar bagian bawah pada masing-masing lajur …………………………………………...
83
Hubungan antara perlakuan FMA dengan dosis pupuk batuan fosfat dan tepung tulang sapi terhadap bobot kering daun ………………..
89
Hubungan antara perlakuan FMA dengan dosis pupuk batuan fosfat dan tepung tulang sapi terhadap bobot kering terna ………………...
89
Diagram analisis lintas antara komponen pertumbuhan terhadap bobot kering daun pegagan …………………………………………
122
Kromatogram HPLC larutan standar asiatikosida 200 ppm (injeksi: 15 Maret 2012) ……………………………………………………..
190
Kromatogram HPLC perlakuan M0P1 + Std [1:1] (injeksi: 15 Maret 2012) ………………………………………………………………..
191
Kromatogram HPLC perlakuan M0P2 + Std [1:1] (injeksi: 15 Maret 2012) ………………………………………………………………..
192
Kromatogram HPLC perlakuan M3P1 + Std [1:1] (injeksi: 15 Maret 2012) ………………………………………………………………..
193
Kromatogram HPLC larutan standar asiatikosida 200 ppm (injeksi: 16 Maret 2012) ……………………………………………………..
194
Kromatogram HPLC perlakuan M1P1 + Std [1:1] (injeksi: 16 Maret 2012) ………………………………………………………...
195
7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18
xxii
19 20 21 22 23 24 25 26
xxiii
Kromatogram HPLC perlakuan M1P2 + Std [1:1] (injeksi: 16 Maret 2012) ………………………………………………………...
196
Kromatogram HPLC perlakuan M2P1 + Std [1:1] (injeksi: 16 Maret 2012) ………………………………………………………...
197
Kromatogram HPLC larutan standar asiatikosida 200 ppm (injeksi: 22 Maret 2012) …………………………………………………….
198
Kromatogram HPLC perlakuan M2P2 + Std [1:1] (injeksi: 22 Maret 2012) ………………………………………………………..
199
Kromatogram HPLC perlakuan M3P2 + Std [1:1] (injeksi: 22 Maret 2012) ………………………………………………………..
200
Kromatogram HPLC larutan standar asiatikosida 200 ppm (injeksi: 23 Maret 2012) …………………………………………………….
201
Kromatogram HPLC perlakuan M4P1 + Std [1:1] (injeksi: 23 Maret 2012) ………………………………………………………..
202
Kromatogram HPLC perlakuan M4P2 + Std [1:1] (injeksi: 23 Maret 2012) ………………………………………………………...
203
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Hasil analisis karakteristik andosol di KP. Gunung Putri, 2008 .........
183
2
Langkah-langkah metode tuang saring .............................................
184
3
Teknik trapping .................................................................................
184
4
Denah percobaan uji kompatibilitas dan efektivitas FMA pada tanaman pegagan di andosol ……………………………………….
185
5
Prosedur pengamatan kolonisasi FMA pada akar tanaman ………...
186
6
Denah percobaan Kajian Pemanfaatan FMA dan Pemupukan P alami dari dua sumber pupuk terhadap pertumbuhan, dan biomassa tanaman pegagan pada andosol …………………………………….
187
Analisis usahatani pegagan pada perlakuan pupuk alami dan pemanfatan FMA di Andosol ……………………………………….
188
Denah percobaan Waktu inokulasi FMA pada dosis maksimal dari dua sumber P alami terhadap pertumbuhan, perkembangan, biomassa, dan produksi asiatikosida Tanaman Pegagan di andosol ...
189
Hasil analisis HPLC kandungan asiatikosida ....................................
190
7 8
9
xxiv
PENDAHULUAN Latar Belakang
Perkembangan industri obat herbal (herbal medicine) dan makanan kesehatan (health food) di dunia termasuk di Indonesia, yang dikenal dengan fenomena ”back to nature” saat ini sangat pesat. Hal tersebut dibuktikan dengan semakin berkembangnya penggunaan obat tradisional. Di RRC, penggunaan produk obat-obatan herbal mencapai 90% penduduk, di Jepang 60–70% dokter meresepkan obat tradisional untuk pasien mereka, di Malaysia dan India obat tradisional digunakan secara luas oleh masyarakatnya, 71% penduduk di Cili dan 40% penduduk Kolombia menggunakan obat tradisional. Di Negara-negara maju penggunaan obat tradisional sangat populer. Beberapa sumber menyebutkan penggunaan obat tradisional oleh penduduk di Perancis mencapai 49%, Kanada 70%, Inggris 40%, dan Amerika Serikat 42% (Pribadi, 2012). Sedangkan pangsa pasar penjualan obat tradisional didalam negeri juga semakin meningkat, pada tahun 2005 omset jamu Indonesia mencapai Rp. 5 Triliun, pada tahun 2010 naik menjadi Rp. 10 Triliun dan diperkirakan pada tahun 2012 mencapai Rp. 13 Triliun (Saerang, 2010). Pegagan merupakan komoditas tanaman obat yang akhir-akhir ini cukup mendapat perhatian masyarakat karena secara empiris dikenal memiliki khasiat yang cukup banyak. Efek farmakologis dari pegagan secara ilmiah antara lain untuk meningkatkan kemampuan kognitif (Anissa 2006; Kumar & Gupta 2002), mencegah penurunan kemampuan kognitif serta stres oksidatif (Kumar & Gupta 2003), memberikan kontribusi utama pada aktivitas anti-oksidatif (Zainol et al. 2003), disamping dapat dimanfaatkan untuk kosmetik, dan perawatan kulit (Winarto & Surbakti 2003), sehingga pegagan merupakan salah satu tanaman obat yang potensial untuk dikembangkan Permasalahan dalam pengembangan produk yang berasal dari tanaman pegagan adalah belum terjaminnya mutu dan pasokan, kualitas bahan baku masih sangat bervariasi serta jumlah pasokan yang tidak menentu (Winarto dan Surbakti 2002). Hal tersebut terjadi karena selama ini untuk memasok kebutuhan bahan
2
baku pegagan sebagian besar diambil secara langsung dari alam tanpa usaha pembudidayaan, dan hanya sebagian kecil berasal dari usaha budidaya. Kebutuhan industri bahan baku pegagan pada tahun 2002 mencapai 100 ton kering/th, namun baru dapat dipasok 4 ton/th (IPB 2005), diperkirakan kebutuhan tersebut akan terus meningkat. Budidaya tanaman untuk menghasilkan bahan baku pegagan terstandar belum diketahui secara menyeluruh, sehingga perlu dilakukan penelitian yang berkaitan dengan aspek budidaya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil dicirikan dengan produksi biomassa, kandungan dan produksi asiatikosida yang tinggi. Dilaporkan oleh Ghulamahdi et al. (2008) bahwa budidaya pegagan untuk menghasilkan kandungan bioaktif yang tinggi apabila ditanam di daerah dataran tinggi, yang diketahui didominasi jenis andosol. Andosol merupakan jenis tanah masam yang pada umumnya memfiksasi sebagian besar fosfor yang diberikan. Fiksasi hara fosfor adalah faktor utama penyebab ketersediaan P rendah di tanah (Syarif 2007). Radjagukguk (1983) menyatakan bahwa salah satu ciri tanah mineral masam adalah rendahnya kandungan P serta fiksasi P yang tinggi. Pad andosol terdapat mineral kristalin (alofan dan imogolit) yang mengandung ion Al dan Fe, mengakibatkan pupuk P yang diaplikasikan akan dijerap secara cepat oleh permukaan mineral sehingga menurunkan ketersediaan P (Meason et al. 2009). Hasil analisis terhadap andosol menunjukkan pH tanah masam, P tersedia rendah, N total rendah, K rendah, Al dan Mn tinggi, Fe sangat tinggi (Lampiran 1). Sehubungan dengan permasalahan tersebut, perlu adanya upaya untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman pegagan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kemampuan tanaman dalam penyerapan unsur hara pada andosol adalah dengan pendekatan aplikasi teknologi mikroba melalui pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula (FMA). Fungi ini membentuk simbiosis mutualistik dengan perakaran tanaman sehingga dapat membantu tanaman tumbuh lebih baik pada daerah-daerah marginal (Smith dan Read 1997). FMA menghasilkan enzim asam fosfatase yang mampu mengkatalisis hidrolisis kompleks fosfor yang tidak tersedia menjadi fosfor yang larut dan tersedia. Selanjutnya fosfor ini diserap oleh hifa-hifa eksternal dan dipindahkan ke dalam jaringan tanaman. Peningkatan penyerapan hara pada
3
tanaman yang bersimbiosis dengan FMA disebabkan oleh adanya (1) pengurangan jarak bagi hara untuk memasuki akar tanaman, (2) peningkatan ratarata penyerapan hara dan konsentrasi pada bidang serap, dan (3) perubahan secara kimia sifat-sifat hara sehingga memudahkan penyerapannya ke dalam akar tanaman (Abbott & Robson 1984). Aplikasi FMA pada andosol diharapkan dapat memfasilitasi meningkatnya ketersediaan hara, utamanya hara P. FMA merupakan sumberdaya hayati potensial yang terdapat di alam dan dapat ditemukan hampir di berbagai ekosistem, termasuk pada lahan masam (Kartika 2006), dan alkalin (Swasono 2006). Menurut Smith dan Read (2008), FMA dapat berasosiasi dengan hampir 90% jenis tanaman. Pemanfaatan FMA menyebabkan tanaman lebih toleran pada lingkungan tanah masam (Quenca et al. 2001), cekaman ganda Al dan kekeringan (Hanum 2004), mengefisiensikan pemupukan fosfor pada tanah Andosol (Haryantini & Santoso 2008). FMA dapat membantu tanaman dalam menyerap P yang tidak tersedia atau terikat menjadi P yang tersedia. Selain itu juga dapat meningkatkan produksi biomassa, status hara (P, Zn dan Fe) pada daun, dan kandungan minyak esensial (essensial oil) dan kandungan artemisinin pada tanaman Artemisia annua L (Chaudhary et al. 2008). Penelitian pada beberapa komoditas tanaman obat menunjukkan bahwa FMA dapat meningkatkan konsentrasi minyak esensial pada tanaman mentha (Zhi-lin et al. 2007), meningkatkan pertumbuhan, produksi, serta kandungan minyak atsiri pada tanaman jahe (Trisilawati 2000) dan kumis kucing (Trisilawati 2005). Penggunaan FMA sebagai agensia hayati pada beberapa jenis tanaman saat ini mulai banyak mendapat perhatian. Namun demikian informasi mengenai pemanfaatan FMA pada tanaman pegagan sejauh ini belum ada. Untuk mempelajari potensi suatu organisme, hal pertama yang harus diketahui adalah keberadaan dan keberagaman dari organisme tersebut. Eksplorasi jenis-jenis FMA pada daerah pertanaman pegagan merupakan studi awal yang penting dan diperlukan untuk dapat mengisolasi dan mengindentifikasi jenis-jenis FMA spesifik yang ada. Kegiatan ini sangat penting untuk mendapatkan informasi tentang keanekaragaman jenis-jenis FMA sebagai sumber material penting untuk seleksi mendapatkan isolat FMA yang potensial dan efektif, serta mampu beradaptasi pada kondisi lahan dan komoditas spesifik.
4
Simbiosis antara tanaman pegagan dengan FMA dapat terjalin jika kedua simbion tersebut mendapatkan manfaat dan menggunakan fungsi simbiosis secara maksimal. Bagi FMA, fungsi tersebut dapat dilihat dari adanya pembentukan dan perkembangan strukur arbuskula, vesikula dan hifa di dalam sel-sel akar. Sementara itu bagi tanaman inang, fungsi tersebut berupa peningkatan pertumbuhan dan hasil (Smith dan Read 1997). Terbentuknya simbiosis antara FMA dan tanaman sangat tergantung pada jenis FMA, genotipe tanaman, dan kondisi tanah serta interaksi ketiganya (Brundrett et al. 1996).
Setiap jenis
tanaman memberikan tanggap yang berbeda terhadap FMA, demikian juga setiap FMA memiliki perbedaan dalam kemampuan meningkatkan penyerapan hara dan pertumbuhan tanaman (Daniels & Menge 1981) sehingga akan berbeda pula efektivitasnya dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian Martono (2011) yang menyeleksi 17 aksesi pegagan berdasarkan kadar asiatikosida didapatkan tiga aksesi terpilih antara lain, Casi 016 (Boyolali), Casi 008 (Ciwidey), dan Casi 019 (Smugrim) dengan kadar asiatikosida masingmasing sebesar 0.91, 0.81, dan 0.77%. Sumber isolat FMA yang berasal dari jenis tanaman inang dan jenis tanah yang sama diduga memiliki kompatibilitas yang lebih tinggi dibandingkan isolat yang berasal dari tanaman inang dan jenis tanah yang berbeda. Berdasarkan hal tersebut,
maka
untuk
mendapatkan
FMA
yang
mampu
meningkatkan
pertumbuhan dan produktivitas tanaman perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kompatibilitas dan efektivitas jenis-jenis FMA pada tanaman pegagan Akhir-akhir ini tuntutan konsumen akan keamanan dan kesehatan pangan menghendaki produksi pertanian yang bebas cemaran bahan-bahan kimia dan logam berat. Di sisi lain harga pupuk kimia yang makin tinggi dan ketersediaannya yang semakin terbatas berpotensi mengakibatkan usahatani tidak efisien. Penggunaan pupuk alami sinergis dengan perkembangan FMA, bahan organik sebagai sumber hara seperti kompos dan sisa tanaman serta pupuk mineral yang lambat larut seperti batuan fosfat tidak menekan perkembangan FMA, bahkan menstimulir perkembangan FMA (Alloush & Clark 2001). Penggunaan fosfat yang rendah kelarutannya, misalnya dalam bentuk batuan
5
fosfat, kalsium fosfat, dan tepung tulang lebih efektif untuk memelihara perkembangan FMA dan meningkatkan kolonisasi akar (Nikolaou et al. 2002). Pupuk alami bersifat voluminous, karena kandungan haranya relatif lebih rendah dibandingkan dengan pupuk anorganik sehingga dibutuhkan dalam jumlah banyak dan memerlukan tambahan biaya untuk transportasi dan aplikasi kalau didatangkan dari tempat lain. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan pupuk alami, maka perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan takaran dosis serta sumber pupuk alami yang paling tepat pada pemanfaatan dengan FMA. Penelitian tentang interaksi FMA dan pupuk alami pada tanaman pegagan sejauh ini belum banyak dilakukan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang peranan FMA dalam meningkatkan serapan hara, pertumbuhan dan produksi biomassa serta diharapkan kandungan dan produksi bioaktif pegagan (asiatikosida) akan meningkat. Biosintesis metabolit sekunder pada sebagian besar tanaman terjadi pada daun, yaitu di plastida, retikulum endoplasma, sitosol dan kloroplas. Kandungan senyawa metabolit sekunder asiatikosida pada pegagan banyak terdapat pada bagian daun tanaman (82.6%), tangkai daun (15.9%), dan pada bagian akar (1.5%) (Kim et al. 2004). Berdasarkan hal tersebut maka usaha budidaya pegagan untuk meningkatkan produktivitas asiatikosida adalah meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman, khususnya bagian daun. Penggunaan FMA sebagai agensia hayati pada beberapa jenis tanaman saat ini mulai banyak mendapat perhatian. Dalam rangka mendapatkan informasi tentang peran dan fungsi FMA dan pupuk fosfor alami dalam upaya meningkatkan potensi pegagan secara optimal untuk mendukung standarisasi mutu pegagan, diperlukan serangkaian penelitian yang diawali dengan isolasi, karakterisasi,
dan
perbanyakan
FMA,
dilanjutkan
dengan
pengujian
kompatibilitas dan efektivitas terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman pegagan. Selain itu dilakukan penelitian pemanfaatan FMA dan pemupukan P dari dua sumber pupuk alami di andosol, serta studi waktu inokulasi FMA pada dosis maksimal dari dua sumber pupuk alami pada tanaman pegagan di andosol. Bagan alur penelitian disajikan pada Gambar 1.
6
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang peran fungi mikoriza arbuskula dan hubungannya dengan penggunaan pupuk fosfor alami dalam meningkatkan pertumbuhan, perkembangan, biomassa serta produksi asiatikosida tanaman pegagan.
Tujuan Khusus Penelitian Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendapatkan isolat-isolat FMA hasil isolasi, dan mendapatkan identitas dari 3 lokasi rhizosfer pertanaman pegagan. 2. Mendapatkan FMA yang kompatibel dengan tanaman pegagan dan efektif meningkatkan serapan hara, pertumbuhan dan produksi biomassa 3. Menganalisis pengaruh FMA, dosis serta sumber pupuk P alami terhadap pertumbuhan dan produksi biomassa tanaman pegagan. 4. Mendapatkan waktu inokulasi FMA yang tepat pada kombinasi dosis maksimal dari dua sumber pupuk P alami yang dapat meningkatkan pertumbuhan,
perkembangan
dan
produksi
biomassa
serta
produksi
asiatikosida
Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1) Setiap lokasi rhizosfer pagagan memiliki jenis FMA yang berbeda 2) Terdapat FMA jenis tertentu yang mempunyai kompatibilitas tinggi dengan tanaman pegagan dan efektif meningkatkan pertumbuhan dan produksi biomassa 3) Setiap dosis dan jenis pupuk fosfor alami pada kombinasi dengan penggunaan FMA akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan, perkembangan dan produksi biomassa tanaman pegagan 4) Perbedaan waktu inokulasi FMA pada kombinasi dosis maksimal dari dua sumber pupuk P alami akan memberikan pengaruh berbeda terhadap
7
pertumbuhan,
perkembangan
dan
produksi
biomassa
serta
produksi
asiatikosida tanaman pegagan
Kegunaan Penelitian 1. Dengan didapatkan isolat-isolat FMA yang kompatibel dan efektif, diharapkan dapat dimanfaatkan pada usahatani pegagan yang efisien, aman, dan ramah lingkungan mendukung penerapan Good Agricultural Practicies (GAP). 2. Penggunaan sumber pupuk fosfor alami yang berasal dari batuan fosfat dan tepung tulang sapi diharapkan dapat memberikan informasi manfaat dan kegunaan material alamiah potensial sebagai alternatif pengganti pupuk kimia. 3. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu alternatif rakitan teknologi untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi biomassa serta produksi asiatikosida tanaman pegagan melalui pendekatan budidaya organik.
Ruang lingkup Penelitian
Penelitian ini terdiri atas empat tahap penelitian dan masing-masing tahapan penelitian saling berkaitan. Tahap pertama ditujukan untuk mengisolasi, mengekstraksi, mengidentifikasi, dan memperbanyak isolat-isolat FMA yang terdapat pada rhizosfer pegagan, dengan judul penelitian “Isolasi, karakterisasi, dan perbanyakan FMA dari rhizosfer tanaman pegagan”. Tahap kedua, isolatisolat yang didapatkan pada penelitian tahap pertama diuji kompatibilitas dan efektivitasnya pada tanaman pegagan. Hasil penelitian tahap kedua diharapkan dapat diperoleh FMA yang kompatibel dengan tanaman pegagan dan efektif dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi biomassa yang selanjutnya digunakan untuk penelitian tahap ketiga dengan judul “Kajian pemanfaatan FMA dan pemupukan P dari dua sumber pupuk alami terhadap pertumbuhan dan biomassa tanaman pegagan pada andosol”. Hasil penelitian tahap ketiga digunakan sebagai dasar dalam pelaksanaan penelitian tahap empat dengan judul “Studi waktu
inokulasi FMA pada kombinasi dua sumber P alami terhadap
pertumbuhan, perkembangan, biomassa dan produksi asiatikosida tanaman pegagan di andosol”
8
Efektivitas fungi mikoriza arbuskula pada penggunaan pupuk fosfor alami dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan, biomassa, dan produksi asiatikosida pegagan di andosol
Penelitian 1
Hasil yang diharapkan:
Isolasi, karakterisasi, dan perbanyakan FMA dari rizosfer pertanaman pegagan
1. Jenis fungi mikoriza arbuskula endogenus 2. Penafsiran kepadatan spora FMA
Penelitian 2
Hasil yang diharapkan:
Kompatibilitas dan efektivitas FMA pada tanaman pegagan di andosol
Penelitian 3 Kajian pemanfaatan FMA dan pemupukan P alami dari dua sumber pupuk terhadap pertumbuhan dan biomassa tanaman pegagan pada andosol
Penelitian 4 Waktu inokulasi FMA pada kombinasi dua sumber P alami terhadap pertumbuhan, perkembangan, biomassa, dan produksi asiatikosida tanaman pegagan di andosol
Keterangan: = garis pemanfaatan data = garis hasil yang diharapkan
1. Jenis FMA yang kompatibel dan efektif bersimbiosis dengan tanaman pegagan 2. Penafsiran daya infeksi FMA
Hasil yang diharapkan: 1. Jenis pupuk P alami yang sesuai dengan FMA 2. Dosis maksimal pupuk P alami pada pemanfaatan FMA
Hasil yang diharapkan: 1. Waktu inokulasi FMA yang tepat 2. Jenis dan dosis pupuk P alami terbaik pada pemanfaatan FMA terhadap pertumbuhan, perkembangan, produksi biomassa dan produksi asiatikosida pegagan di andosol
Peningkatan pertumbuhan, biomassa, dan produksi asiatikosida pegagan
Gambar 1 Diagram alir pelaksanaan penelitian.
9
TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Botani, dan Syarat Tumbuh Pegagan Pegagan diklasifikasikan ke dalam famili Umbelliferae (Apiaceae), genus Centella dengan nama spesies Centella asiatica L. (Urban) dan mempunyai nama sinonim Hydrocotile asiatica L. Pes, tanaman ini di Indonesia mempunyai banyak nama lokal, antara lain : antanan (Sunda); daun kaki kuda, pagago ambun, pegaga, daun aga, pugago
(Sumatera); gagan-gagan, gangganan, kerok batok, pacul
gowang (Jawa); kos-tekosan (Madura); pagaga, daun tungke-tungke, wisu-wisu, kisu-kisu (Sulawesi); kori-kori (Halmahera); kolotidi, sarowti (Maluku); serta bebele, penggaga paiduh (Nusa Tenggara). Pegagan secara internasional dikenal dengan nama gotu cola, indian pennywort, ji xue cao (Winarto & Surbakti 2003). Pegagan merupakan tumbuhan herba/terna menahun dengan batang sangat pendek. Dari batang tumbuh stolon yang menjalar horisontal di atas permukaan tanah dan berbuku-buku. Dari buku-buku yang menyentuh tanah akan keluar akar dan tunas yang akan tumbuh menjadi tumbuhan baru. Daun pegagan tersusun secara basalis (roset) dengan 2-10 daun tunggal per tanaman berbentuk seperti ginjal berukuran 2-5 cm x 2-7 cm. Tangkai daun tegak dan sangat panjang berukuran 9-17 cm dengan bagian dalam berlubang serta bagian pangkal melekuk ke dalam dan melebar seperti pelepah (Santa & Prajogo 1992). Bunga berbentuk payung tunggal (umbella) dan biasanya tersusun dari 3 bunga yang muncul dari ketiak daun. Kelopak berwarna hijau, mahkota bunga berwarna merah lembayung. Buah pegagan berukuran kecil berwarna kuning kecoklatan dan berbentuk lonjong. Tumbuhan ini dapat berkembang biak dengan biji dan sulur batang atau stolon (Djauhariya & Hernani 2004). Pegagan dapat diperbanyak secara vegetatif dengan tunas berakar dan dapat pula diperbanyak dengan biji atau secara generatif. Hingga saat ini perbanyakan menggunakan stek tunas berakar lebih banyak dilakukan dibandingkan perbanyakan dengan biji. Perbanyakan dengan biji atau benih jarang dan bahkan belum pernah dilakukan, selain karena ukuran bijinya terlalu kecil juga sulit untuk mendapatkan biji tersebut (Januwati & Muhammad 1992).
10 Daerah penyebaran tanaman pegagan sangat luas, terutama di daerah tropis dan sub tropis. Pegagan dapat tumbuh dari dataran rendah sampai dengan dataran tinggi dengan ketinggian 1-2500 m di atas permukaan laut (dpl), namun tanaman ini tumbuh baik di dataran rendah pada ketinggian 700 m dpl. Kelembaban udara yang diinginkan antara 70-90% dengan rata-rata temperatur udara 20-250C dan tingkat kemasaman tanah netral (pH) antara 6-7 (Dalimartha 2000; Winarto & Surbakti 2003).
Manfaat dan Kandungan Kimia Pegagan banyak dimanfaatkan sebagai obat karena khasiatnya antara lain untuk merevitalisasi tubuh dan pembuluh darah sehingga peredaran darah ke otak menjadi lancar, memperkuat struktur jaringan tubuh, tonik otak, membantu proses pencernaan, sebagai pencahar, menimbulkan selera makan, memperbanyak sel darah merah, menyembuhkan gangguan ringan di hati dan limpa yang bengkak, anti infeksi, anti racun, penurun panas, peluruh seni dan antisifilis (Winarto & Surbakti 2003). Disamping dapat digunakan sebagai anti diabetes, anti tumor karena efek fisiologisnya (Fahmi 2002). Hasil penelitian Anissa (2006) menyatakan bahwa pemberian ekstrak pegagan dapat meningkatkan kemampuan kognitif dengan mempengaruhi modulasi neurotransmitter pada hipokampus tikus. Ekstrak pegagan juga terbukti efektif dalam mencegah penurunan kemampuan kognitif serta stres oksidatif yang disebabkan oleh Intracerebroventricular dan streptozotocin yang diindikasikan sebagai penyebab penyakit alzheimer pada tikus (Kumar & Gupta 2003). Ekstrak pegagan juga dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan memiliki mekanisme antioksidan (Kumar & Gupta 2002). Senyawa fenolik yang dihasilkan pada tanaman pegagan memberikan kontribusi utama pada aktivitas anti-oksidatif. Selanjutnya dinyatakan bahwa bagian daun dan akar pegagan, kedua-duanya mempunyai aktivitas anti-oksidatif yang tinggi, yang ditunjukkan pada kandungan α-tocopherol. Senyawa phenolic adalah penyokong utama pada aktivitas antioksidatif dari pegagan (Zainol et al. 2003). Pemberian ekstrak pegagan yang dicampur dengan Punica granatum ditambah potongan akar kering dapat menekan gejala periodontitis kronis
11 (Sastravaha et al. 2003). Ekstrak pegagan berpotensi dimanfaatkan untuk menekan dan mencegah penyakit vaskuler seperti masalah pembuluh darah dan pembuluh arteri (Incandela et al. 2001). Ekstrak pegagan dapat meningkatkan enzim-enzim antioksidan, seperti dismutase superoksida (SOD), katalase dan glutathion peroksidase (GSHPX), dan anti-oksidan seperti glutation (GSH) dan menurunkan asam askorbat di dalam lymphoma-bearing pada tikus ( Jayashree et al 2003). Gugus karboksil dan asetil memainkan peran-peran penting di dalam mengekspresikan aktivitas imunologi, dan senyawa tersebut ada pada tanaman pegagan (Wang et al. 2004). Ekstrak pegagan mempunyai potensi untuk menekan kerusakan genotoxic yang diinduksi oleh Cyproterone acetate (CPA) di dalam kultur lymphocytes manusia. (CPA) merupakan agensia pemicu liver pada tikus betina (Siddique et al. 2008). Ekstrak pegagan mampu menghambat pembentukan azoxymethane (AOM)-induced aberrant crypt foci (ACF) yang diketahui menginduksi tumor pada usus tikus, hal tersebut dihubungkan dengan modifikasi perkembang biakan sel dan induksi apoptosis di dalam colonic crypts dan mempunyai efek chemopreventive terhadap colon tumorigenesis (Bunpo et al. 2004). Secara umum George et al. (2009) menuliskan bahwa tanaman pegagan dapat digunakan didalam pengobatan melalui kemampuan sebagai obat anti-alergi, anti-pruritic dan anti-inflammatory. Pegagan mengandung berbagai senyawa metabolit sekunder antara lain senyawa glikosida triterpenoid yang disebut asiatikosida, asam asiatikat dan madekasat. Disamping itu juga mengandung senyawa alkaloid, hidrokotilina, senyawa-senyawa steroid, tannin, minyak lemak, minyak atsiri, vitamin B, saponin, gula pereduksi, garam-garam mineral seperti garam kalium, natrium, magnesium, kalsium dan besi (Sutrisno 1996). Pegagan mengandung triterpenoid, minyak esensial, asam amino dan senyawa lain, seperti vellarin. Senyawa terpenoid itu sendiri mengandung asiatikosida, centellosida, madekassoside, brahmoside, brahminoside, thankuniside, sceffoleoside, centellose, asiatik, brahmik, centellik dan asam madekasik (Aziz et al. 2007; James & Dubery 2009).
12
Metabolisme Sekunder pada Tanaman Pegagan Metabolit sekunder merupakan senyawa yang dihasilkan oleh sebagian besar tumbuhan, menghasilkan berbagai senyawa organik yang tidak berperan secara langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman, dan senyawa tersebut dikenal sebagai metabolit sekunder, produk sekunder atau produk alami. Metabolit sekunder dijumpai dalam jumlah terbatas pada tumbuhan, metabolit sekunder tertentu mungkin dihasilkan pada satu spesies atau beberapa spesies tertentu, sedangkan metabolit primer ditemukan hampir pada semua spesies tumbuhan (Herbert 1995; Taiz & Zeiger 2002). Metabolit sekunder merupakan senyawa yang disintesis tanaman dan digolongkan menjadi
lima yaitu glikosida, terpenoid, fenol,flavonoid, dan
alkaloid. Senyawa-senyawa tersebut bermanfaat bagi tanaman itu sendiri maupun bagi serangga, hewan dan manusia. Fungsi senyawa metabolit sekunder pada tumbuhan cukup banyak antara lain: 1) sistem pertahanan terhadap virus, bakteri dan jamur, 2). Sistem pertahanan terhadap serangga, 3). Sistem pertahanan terhadap tanaman lain melalui allelopati, 4). Atraktan serangga untuk membantu penyerbukan, 5). Sistem pertahanan terhadap lingkungan yang kurang menguntungkan, dan 6). Sebagai obat, food additive, flavor, pewarna dan pestisida nabati (Vickery and Vickery 1981; Wink 1999). Biosintesis terpenoid berasal dari metabolisme primer, produk metabolisme primer dari hasil fotosintesis mengalami glikolisis membentuk asam piruvat maupun 3-fosfogliserat (3-PGA), melalui lintasan asam mevalonat dan MEP dengan dengan berbagai tahapan reaksi membentuk terpena. Hubungan antara biosintesis metabolisme sekunder dengan metabolisme primer ditunjukkan pada Gambar 2. (Taiz & Zeiger 2002).
13
Fotosintesis
Metabolisme primer 3-Fosfogliserat (3-PGA)
Erythrose-4-fosfat Fosfoenol piruvat
Piruvat
Siklus asam trikarboksilat
Asetil CoA
Asam amino alifatik Lintasan asam sikimat
Lintasan asam malonat
Lintasan asam mevalonat
Lintasan MEP
Asam amino aromatik Produk sekunder mengandung Nitrogen Senyawa fenol
Terpena
Metabolisme sekunder
Gambar 2 Lintasan utama biosintesis metabolit sekunder dan hubungannya dengan metabolisme primer (Sumber: Taiz & Zeiger 2002) Tumbuhan memiliki dua jalur biosintesis isoprena secara bersamaan, perbedaannya hanya pada organ sel tempat berlangsungnya reaksi biosintesis, lintasan asam mevalonat terjadi di plastida dan retikulum endoplasma (ER) sedangkan lintasan DXP/MEP terjadi di sitosol (Agusta 2006; Tholl 2006) dan kloroplas (Wu et al. 2006). Triterpenoid merupakan senyawa terpenoid yang mempunyai kerangka karbon tersusun dari enam satuan isoprena, secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik. Seluruh senyawa terpenoid yang ada di alam dibangun dari kondensasi unit isoprena aktif yang disebut isopentenil pirofosfat (IPP) dan dimetilalil pirofosfat (DMAPP). Biosintesis IPP dan isomernya DMAPP terjadi melalui lintasan asam mevalonat dan nonmevalonat yang disebut jalur biosintesis deoksisilulosa difosfat:DXP atau jalur methylerythritol phosphate:MEP (James & Dubery 2009).
14
Gambar 3 Biosintesis senyawa terpena melalui lintasan asam mevalonat (Agusta 2006) Biosintesis isoprena melalui lintasan mevalonat diawali dengan reaksi kondensasi dua molekul asetil-coenzim A (asetil-CoA) menjadi asetoasetil-CoA yang dikatilasi enzim asetil-CoA asetiltransferase. Selanjutnya asetoasetil-CoA berkondensasi lagi dengan satu unit asetil-CoA membentuk molekul β-hidroksi-βmetilglutaril-CoA (HMG-CoA) yang dikatalisasi enzim HMG-CoA sintase. Proses kedua adalah reduksi HMG-CoA oleh NADPH yang dikatalisasi enzim HMG-CoA reduktase menjadi asam mevalonat. Proses selanjutnya, dengan bantuan enzim mevalonat kinase dan enzim fosfomevalonat kinase, asam mevalonat dikonversi menjadi asam 5-pirofosfat-3-fosfomevalonat yang pada tahap berikutnya akan dikatalisasi enzim pirofosfat mevalonat dekarboksilase menjadi isopentenil pirofosfat (IPP). Enzim pirofosfat mevalonat dekarboksilase
15 membutuhkan ATP dan ion metal divalent dalam reaksinya. Proses selanjutnya IPP dengan bantuan enzim IPP isomerase akan membentuk kesetimbangan menjadi dimetilalil pirofosfat (DMAPP). Kondensasi IPP dan DMAPP akan membentuk geranil pirofosfat (GPP, C-10) dan farnesil pirofosfat (FPP, C-15) yang dikatalisasi oleh geranil pirofosfat sintase dan farnesil pirofosfat sintase. Geranil pirofosfat akan membentuk monoterpenoid dan farnesil pirofosfat membentuk sesquiterpenoid, senyawa triterpenoid terbentuk jika dua molekul sesquiterpenoid bergabung (Agusta 2006) (Gambar 3). Biosintesis isoprena melalui jalur non-mevalonat (deoksisilulosa difosfat: DXP atau metilerithritol pospat: MEP) terjadi di plastida dan menghasilkan monoterpena dan triterpena (Croteau et al. 2000). Tumbuhan Arabidopsis taliana, Perilla frutescens, daun poko (Mentha piperita), dan cabe (Capsicum annum) menggunakan 1-deoksi-D-silulosa (DX) digunakan sebagai starting material dalam biosintesis ini (Kuzuyama & Seto 2003). DX dengan bantuan enzim Dsilulokinase akan terbentuk 1-deoksi-D-silulosa 5-fosfat (DXP) dari reaksi kondensasi asam piruvat dan tiamina pirofosfat (TPP) serta D-glyseraldehida 3fosfat yang dikatalisasi oleh enzim DXP sintase. Selanjutnya DXP mengalami reduksi menjadi 2-C-metil-D-eritritol 4-fosfat (MEP) dengan zat antara 2-Cmetileritrosa 4-fosfat (MEOP) yang dikatalisis oleh enzim DXP reduktoisomerase (Agusta 2006). Kuzuyama & Seto (2003) menyatakan bahwa reaksi yang melibatkan enzim DXP reduktoisomerase tersebut disinyalir sebagai tahapan pertama biosintesis isoprena melalui jalur non mevalonat. Tahapan biosintesis selanjutnya adalah terjadi reaksi antara MEP dan sitidiltrifosfat (CTP) menjadi zat antara 4-(sitidina 5’-difosfo)-2-C-metil-D-eritritol (CDP-ME) dengan bantuan enzim MEP sitidiltransferase. Tahap selanjutnya terjadi konversi CDP-ME menjadi 2-fosfo-4-(sitidina 5’-difosfo)-2-C-metil-D-eritritol (CDP-ME2P) yang dikatalisasi enzim CDP-ME kinase dengan ketersediaan ATP (Kuzuyama 2002). Selanjutnya
CDP-ME2P
dikonversi
menjadi
2-C-metil-D-eritritol
2,4-
siklodifosfat (MECDP) dengan bantuan enzim MECDP sintase. Pembentukan MECDP tersebut terjadi secara bersamaan
dengan proses pelepasan sitidina
monofosfat (CMP). Tahap akhir dari biosintesis isoprena adalah terjadinya konversi MECDP menjadi IPP dan DMAPP, pada tahapan ini MECDP diubah
16 menjadi zat antara 1-hidroksi-2-metil-2-(E)-butenil 4-difosfat (HMBDP) (lihat Gambar 4). Sampai saat ini gen yang menghasilkan enzim yang mengkatalisis reaksi ini belum diketahui secara jelas, demikian pula enzim yang berperan dalam konversi HMBDP menjadi IPP dan DMAPP belum sepenuhnya terkarakterisasi.
Gambar 4 Biosintesis isoprena melalui jalur non mevalonat (deoksisilulosa difosfat/DXP atau methylerythritol fosfat/MEP) (Agusta 2006) Asiatikosida Asiatikosida (C48H78O19) merupakan salah satu senyawa penciri pegagan (Gambar 5), termasuk ke dalam golongan glikosida triterpenoid turunan dari βamyrin dengan molekul gula, terdiri dari 2 glukosa dan 1 rhamnosa (Vickery & Vicery 1981; Kim et al. 2005; Aziz et al 2007; ). Kandungan bioaktif yang terkenal dari pegagan adalah triterpen saponin yaitu, madekakosida dan asiatikosida, serta ursane sapogenin masing-masing asam madekasid dan asam asiatik, kandungan senyawa tersebut dikenal sebagai centellosida, berasal dari sikliksasi 2,3-oksidoskualen melalui suatu oxidosqualene siklase spesifik (OSC)
17 d β-amyriin sintase yaang merupakkan bagian dari golongaan triterpenooid, seperti dan t terlihat pada Gambar 6 (Mangas et al 20066), sedangkaan Ling et al (2005) m menyebutka an sebagai β--amyrin ursoolic acid grup p.
G Gambar 5 Struktur S kimiia glikosida asiatikosidaa (Sikareepaiisan et al. 20 011)
G Gambar 6 Biosintesis B c centellosida (asam asiattik, asiatikossida, asam madekasid) m melalui m sikliiksasi 2,3-okksidoskualenn (Mangas ett al. 2006). Biosin ntesis centellosida diaw wali dengann konversi triterpenoidd menjadi s squalena yaang dikatalissasi squalenaa sintase (S SQS). Squaleena epoksiddase (SQE) m mengoksida se squalenaa
menjadi 2,3-oksidosqqualena yanng selanjutn nya dengan
b bantuan enzzim oksidosqualena sikklase (OSC) diubah meenjadi beberrapa kation i intermediet m melalui satuu atau lebih siklisasi s keraangka triterppen dengan enzim e yang
18 berbeda, termasuk α/β-amyrin sintase (α/β-AS). α/β-amyrin merupakan prekursor asiatikosida (James & Dubery 2009). Bagian tanaman pegagan yang digunakan untuk obat-obatan tradisional adalah seluruh bagian tanaman, kecuali akar (Winarto & Surbakti 2003), hal tersebut terkait dengan kandungan senyawa kimia yang banyak terdapat pada bagian daun. Hasil penelitian Zainol et al. (2005) mendapatkan kandungan senyawa asiatikosida tertinggi pada daun sebanyak 1.14–2.56 μg/ml, dan petiola sebanyak 0.17–0.49 μg/ml, sedangkan pada bagian akar tidak terdeteksi. Berdasarkan hal tersebut, maka budidaya untuk tujuan produktivitas asiatikosida yang tinggi pada tanaman pegagan dipanen bioamassanya, khususnya bagian daun.
Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Fungi mikoriza arbuskula (FMA) merupakan fungi tergolong filum Glomeromycota dengan dua belas genus yang berhasil dikenali yaitu Archaespora, Geosiphon, Paraglomus, Gigaspora, Scutellospora, Acaulospora, Kuklospora, Intraspora, Entrophospora, Diversispora, Pacispora, dan Glomus (Sieverding & Oehl 2006). Keduabelas genus tersebut dibedakan berdasarkan ciriciri sporanya dan hubungan spora dengan hifa yang mencerminkan mekanisme spora dihasilkan. Selanjutnya dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi biologi molekuler pada penelitian tentang FMA menyebabkan adanya perubahan taksonomi FMA, terdapat 4 ordo dengan 10 famili dan sebanyak 15 genus pada klasifikasi FMA yang baru: Filum
:
Glomeromycota
Ordo
:
Archaesporales, Diversisporales, Glomales, Paraglomales
Genus
:
Acaulospora,
Ambispora,
Archaespora,
Diversispora,
Entrophospora, Geosiphon, Gigaspora, Glomus, Intraspora, Kuklospora, Otospora, Pacispora, Paraglomus, Racocetra dan Scutellospora. (http://www.agro.ar.szczecin.pl /jblaszkowski /Classification, html. 11 Mei 2009) Struktur umum FMA terdiri dari organ yang terdapat di dalam jaringan akar yang terinfeksi yaitu arbuskula dan vesikula. Arbuskula adalah unit
19 kolonisasi yang telah mencapai sel korteks yang lebih dalam letaknya dan menembus dinding sel serta membentuk sistem percabangan hifa yang kompleks tampak seperti pohon kecil yang mempunyai cabang-cabang (Gunawan 1993). Karakteristik FMA menurut Scannerini dan Bonfante-Fosolo (1984) antara lain adalah : (1) perakaran yang terkena infeksi tidak membesar; (2) cendawan membentuk struktur lapisan hifa tipis pada permukaan akar, tetapi tidak setebal mantel pada ektomikoriza; (3) hifa masuk kedalam individu sel jaringan korteks dan (4) pada umumnya ditemukan struktur percabangan hifa yang disebut arbuskula (arbuscules) dan adanya struktur khusus berbentuk oval yang disebut vesikula (vesicles). Arbuskula adalah struktur yang paling berarti dalam kompleks FMA yang berfungsi sebagai tempat pertukaran metabolit antara fungi dan tanaman. Adanya arbuskula sangat penting untuk mengidentifikasi bahwa telah terjadi infeksi pada akar tanaman (Bonfante-fosolo 1984). Selanjutnya dikatakan bahwa seluruh endophyte dan termasuk genus Gigaspora, Scutellospora, Glomus, Sclerocytis dan Acaulospora mampu membentuk arbuskula. Menurut Abbot (1982), vesikula berbentuk globose dan berasal dari penggelembungan hifa internal dari FMA. Vesikula ditemukan baik di dalam maupun di luar lapisan korteks parenkim dan tidak semua FMA membentuk vesikula dalam akar inangnya, seperti Gigaspora dan Scutellospora vesikulanya ekstra-radikal dan tidak teratur. Banyak pendapat tentang fungsi dari vesikula, seperti sebagai organ reproduktif atau organ yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan makanan. Vesikula juga dianggap sebabagi organ istirahat karena jumlahnya akan meningkat pada saat tanaman tua atau saat tanaman akan mati (Bonfante-fosolo 1984). Kolonisasi akar dan produksi spora FMA dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu spesies fungi dan faktor lingkungan. Faktor spesies dibedakan menjadi faktor kerapatan inokulum dan persaingan antar spesies fungi (Hetrick 1984). Peningkatan kadar inokulum dapat meningkatkan kolonisasi akar sampai dengan titik optimum tertentu (Hayman 1970). Akan tetapi tidak ada hubungan yang erat antara kolonisasi dengan produksi spora, sehingga tidak dapat dijadikan ukuran bahwa spora yang populasinya tinggi dapat meningkatkan kolonisasi akar.
20 Sedangkan pengaruh persaingan antar spesies FMA sulit ditentukan karena hanya diukur pada perbedaan pertumbuhan tanaman inangnya saja (Delvian 2003). Jenis tanah sangat menentukan tingkat perkembangan tanaman yang bermikoriza. Jenis tanah yang berbeda akan memberikan efektivitas FMA yang berbeda pada suatu tanaman yang sama, misalnya jenis FMA yang efektif pada suatu tanaman yang sama pada tanah mineral akan berbeda efektivitasnya jika diberikan pada tanah gambut (Rainiyati 2007).
Peran dan fungsi fosfor, pupuk organik, dan sumber pupuk fosfor alami Peran dan Fungsi Fosfor Fungsi fosfor pada tanaman digolongkan dalam tiga bagian. Fungsi pertama adalah
sebagai
penyusun
makromolekul,
dua
contoh
terpenting
dari
makromolekul yang melibatkan fosfor adalah asam nukleat (DNA, RNA) dan fosfolipid membran. Asam nukleat adalah senyawa yang berperan dalam pewarisan sifat dan perkembangan tanaman. Fungsi kedua dari fosfor adalah sebagai unsur pembentuk senyawa penyimpan dan perpindahan energi, dua senyawa penting adalah ATP dan ADP. Energi dalamATP/ADP terletak pada ikatan pirofosfat yang pemecahannya akan melepaskan energi, yang dikenal dengan proses fosforilisasi. ATP merupakan sumber energi untuk hampir semua proses biologi yang membutuhkan energi. Unsur P juga diperlukan dalam proses fotosintesis yakni pada fotofosforilasi dan pembentukan ribulosa 1,5-bifosfat. Fungsi ketiga P adalah sebagai regulator reaksi biokimia melalui fosforilasi yang dapat mengaktivasi atau inaktivasi protein yang dianggap sebagai faktor kunci dalam transduksi sinyal (Marschner 1997). Fosfor berfungsi dalam pertumbuhan dan metabolisme tanaman, maka kekurangan fosfor mengindikasikan pada pengurangan secara umum sebagian besar proses metabolisme seperti pembelahan dan pembesaran sel, respirasi dan fotosintesis (Terry & Ulrich 1993). Berdasarkan fungsi-fungsi tersebut, fosfor memegang peran yang penting dalam proses metabolisme tanaman. Secara langsung maupun tidak langsung fosfor berperan dalam biosintesis metabolit primer dan sekunder. Diduga terdapat relevansi pupuk fosfor dengan kandungan bioaktif pada tanaman pegagan, untuk
21 mengetahui hubungan tersebut perlu dikaji seberapa besar peran fosfor terhadap kandungan asiatikosida. Secara garis besar fosfor dibedakan atas P anorganik dan P organik. Kandungan P anorganik di dalam tanah mineral selalu lebih tinggi dari P organik, meskipun demikian pada lapisan olah kadar P organik pada tanah mineral selalu lebih tinggi, karena adanya penimbunan bahan organik (Liferdi 2007). Sumber cadangan fosfor banyak terdapat dalam kerak bumi, namun hampir semua senyawa P yang dijumpai di alam daya larutnya rendah. Jumlah P total dalam tanah cukup tinggi, tetapi pada bentuk yang tidak tersedia atau dalam bentuk tersedia tetapi berada di luar rizosfer tanaman (Schachtman et al. 1998). Meskipun jumlah total dalam tanah tinggi, ketersediaan P sering menjadi faktor pembatas yang signifikan terhadap pertumbuhan pada system pertanian alamiah maupu pertanian modern ((Lo´pez-Bucio et al. 2000). Defisiensi hara fosfor adalah salah satu kendala dalam sistem produksi pertanian di Indonesia. Defisiensi fosfor dijumpai secara luas terutama pada tanah-tanah masam, berbahan organik rendah, tanah kapur, tanah salin dan tanah vulkanis. Tanah andosol dan latosol berpotensi terjadi defisiensi fosfor. Tanahtanah ini tidak hanya memiliki fosfor tersedia rendah, tetapi juga memfiksasi sebagian besar fosfor yang diberikan sehingga dibutuhkan banyak pupuk untuk mendapatkan respon tanaman. Fiksasi hara fosfor adalah faktor utama penyebab ketersediaan yang rendah dari hara tersebut di tanah (Syarif 2007). Di dalam tanah P tersedia bagi tanaman kurang dari 1% P total tanah (Masrchner 1997). Pada umumnya ketersediaan P terdapat pada kisaran pH 5.5 sampai 7.7. Ketersediaan P menurun di bawah pH 5.5 karena terfiksasi oleh Al, Fe, hidroksida, dan liat, sedangkan di atas pH 7.0 P difiksasi oleh Ca dan Mg (Tisdale et al. 1985). Keberhasilan suatu tanaman untuk tumbuh dan berkembang secara optimal sangat tergantung kepada kemampuan tanaman untuk memanfaatkan fosfor tanah. Peningkatan serapan hara per tanaman dapat dicapai antara lain dengan (a) peningkatan sistem perakaran yang dapat meningkatkan kontak dengan hara, terutama hara yang kurang mobil seperti P, (b) peningkatan serapan per unit akar dengan meningkatkan kinetika serapan, dan (c) kemampuan untuk menggunakan
22 bentuk-bentuk hara yang relatif kurang tersedia bagi tanaman seperti P an organik tidak larut (Syarif 2007).
Pupuk Organik Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri dari bahan organik yang berasal dari sisa tanaman, dan atau hewan yang telah mengalami rekayasa berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk memasok bahan organik, memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah (Peraturan Mentan, No 2/Pert/HK.060/2/2006 cit Suriadikarta & Setyorini 2009). Pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian, baik kualitas
maupun
kuantitas,
mengurangi
pencemaran
lingkungan,
dan
meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan. Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen, limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota. Beberapa orang juga mengelompokkan pupuk-pupuk yang ditambang seperti dolomit, fosfat alam, kiserit, dan juga abu (yang kaya K) ke dalam golongan pupuk organik. Beberapa pupuk organik yang diolah di pabrik misalnya adalah tepung darah, tepung tulang, dan tepung ikan (Isroi 2008). Pupuk organik dapat berfungsi sebagai pengikat butiran primer menjadi butiran sekunder tanah dalam pembentukan agregat yang mantap. Keadaan tersebut besar pengaruhnya terhadap porositas, penyimpanan dan penyediaan air, dan suhu tanah. Pupuk organik memiliki fungsi kimia yang penting seperti: 1) penyediaan hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan S) dan mikro seperti Zn, Cu, Mo, Co, B, Mn, dan Fe, meskipun jumlahnya relatif sedikit; 2) meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah; dan 3) dapat membentuk senyawa kompleks dengan ion logam yang meracuni tanaman seperti Al, Fe, dan Mn. Pupuk organik juga berperan sebagai sumber energi dan makanan mikroba tanah sehingga dapat meningkatkan aktivitas mikroba dalam penyediaan hara tanaman (Suriadikarta & Simanungkalit 2009).
23 Komposisi hara pupuk organik bergantung pada sumber bahan pupuk. Kotoran ternak mempunyai komposisi hara yang bervariasi, bergantung pada jumlah dan jenis pakan yang diberikan. Komposisi hara dalam sisa tanaman juga bergantung pada jenis tanaman. Rasio C/N sisa tanaman bervariasi dari 80 : 1 pada jerami gandum hingga 20 : 1 pada tanaman legum. Sekam padi dan jerami mempunyai kandungan silika sangat tinggi namun berkadar nitrogen rendah. Sisa tanaman legum seperti kedelai, kacang tanah, dan serbuk kayu mengandung nitrogen cukup tinggi, sedangkan batang gandum dan jagung mengandung kalium yang tinggi. Kandungan kalsium yang tinggi dijumpai pada kedelai dan serbuk kayu. Pemberian jerami 5 t/ha secara nyata dapat meningkatkan produksi padi dan mampu mensubstitusi pupuk KCl 50 kg/ha (Setyorini 2005). Perlakuan pupuk kandang secara umum dapat meningkatkan serapan N tanaman padi yang lebih besar dibanding kompos jerami, hal tersebut memperlihatkan bahwa pupuk kandang mampu menggantikan peran pupuk N an-organik (Iqbal 2008). Budidaya pegagan akan lebih baik apabila menggunakan pupuk organik mengingat
pemanfaatannya sebagai tanaman obat, hal itu dilakukan untuk
menghindari residu kimiawi yang mungkin dapat membahayakan kesehatan, apalagi kadang pegagan dikonsumsi dalam keadaan segar.
Sumber Pupuk Fosfor Alami Tepung Tulang Sapi Tepung tulang sapi merupakan salah satu sumber bahan alami yang dapat dijadikan alternatif sebagai sumber fosfor memiliki susunan kimia Ca3(PO4)2 dengan kadar P antara 10–13 % (22–30% P2O5) (Leiwakabessy & Sutandi 2004). Hasil analisis laboratorium pasca panen Balittro pada bulan Nopember 2009 terhadap sampel tepung tulang sapi menunjukkan kandungan fosfor sebesar 15.1%, kalsium 10.2%, dan magnesium 0.4%. Tepung tulang yang dimanfaatkan sebagai sumber pupuk alami mampu meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman. Hasil penelitian Umam (2005) pada semai jati yang diinokulasi FMA, menunjukkan bahwa penambahan tepung tulang mampu meningkatkan pertambahan tinggi tanaman, diameter batang dan bobot kering masing-masing sebesar 36, 57, dan 110%. Hasil yang lebih baik
24 diperoleh Sangaji (2004), inokulasi FMA dengan penambahan tepung tulang meningkatkan pertambahan tinggi dan diameter semai jati 149.8 dan 174.6%. Keunggulan tepung tulang sapi sebagai sumber mineral adalah kandungan fluor berada dalam batas yang aman, dan tidak mengandung sumsum di dalamnya yang diduga dapat menyebabkan serangan mikroba yang berbahaya bagi perkembangan FMA. Hasil penelitian Nusantara et al. (2007) mendapatkan bahwa tepung tulang ayam dan tepung kulit telur memberikan efek yang kurang baik terhadap perkembangan FMA dan hasil terbaik adalah dengan tepung tulang sapi.
Batuan Fosfat Deposit fosfat merupakan sumberdaya alam yang potensial dan berperan penting dalam pertanian sebagai sumber pupuk. Sebagian besar fosfat ditemukan dalam bentuk mineral apatit (50.9%) dengan mineral ikutannya berupa kuarsa, liat, besi, aluminium oksida, kalsit, dolomit, dan gipsum. Pupuk P-alam dapat digunakan sebagai pupuk alternatif pengganti pupuk P kimia yang semakin mahal dan kadang sulit didapat (Al-Jabri 2008). Kandungan P pada pupuk fosfat alam berkisar antara 11–17% P (total) dan ketersediaannya berkisar 14–65% dari kadar total (Leiwakabessy & Sutandi 2004). Potensi batuan fosfat di Indonesia memang terbatas diperkirakan total sumber daya fosfat Indonesia sekitar 20 juta ton yang teridentifikasi tersebar di 60 lokasi, sekitar 48 lokasi diantaranya ditemukan di Pulau Jawa dan Madura. Kadar P2O5 tercatat antara 4–40%, akan tetapi pada umumnya diatas 15%. Endapan fosfat yang ditemukan di Indonesia adalah fosfat guano, yang terbentuk dari tumpukan sekresi (kotoran) burung atau kelelawar yang larut oleh air (hujan) atau air tanah dan meresap ke dalam tubuh batu gamping, bereaksi dengan kalsit untuk membentuk hidroksil fluorapatit atau Ca5(PO4)3(OH,F) dalam rekahan atau menyusup diantara lapisan batu gamping, maupun terendapkan di dasar batu gamping (Kusdarto 2006). Batuan fosfat merupakan sumber hara P dan bersifat dapat melepaskan fosfat secara lambat (slow release) yang kelarutannya makin tinggi dengan meningkatnya kemasaman tanah (Bogidarmanti 2008). Kemampuan pupuk Palam untuk melepaskan P dipengaruhi oleh kombinasi sifat pupuk, seperti
25 komposisi kimia, jenis-jenis mineral dan ukuran partikel. Semakin halus ukuran partikel semakin luas kontak antara pupuk P-alam dengan tanah sehingga kelarutannya semakin tinggi (Al-Jabri 2008). Ditambahkan bahwa keunggulan pupuk P didasarkan tingkat kelarutannya, sehingga pupuk tersebut cocok digunakan pada tanah-tanah dengan daya fiksasi tinggi, terutama pada tanam masam, seperti tanah andosol (Leiwakabessy & Sutandi 2004). Ciri-ciri tanah yang harus diperhatikan bila menggunakan pupuk fosfat alam, yaitu : kadar air tanah, kemasaman tanah, konsentrasi Ca dan P, serta kadar bahan organik tanah (Hartatik & Idris 2008)
Peranan FMA Terhadap Pertumbuhan Tanaman Pada umumnya fungi mikoriza arbuskula (FMA) bersifat mutualistik. Pada tanaman yang bersimbiosis dengan FMA, daerah penyerapan akar diperluas oleh miselium ekternal jamur FMA, sehingga penyerapan hara terutama P menjadi lebih besar. Kecepatan masuknya P ke dalam hifa jamur FMA dapat mencapai enam kali lebih cepat daripada kecepatan masuknya P melalui rambut akar (Kabirun 2002). Ditambahkan bahwa pada interaksi yang optimum, simbiosis FMA dapat menyediakan jalur dominan untuk penyediaan P tanaman. Fungi mikoriza juga berpotensi memfasilitasi penyediaan berbagai unsur hara bagi tanaman terutama P. Perbaikan pertumbuhan dan kenaikan hasil berbagai tanaman berkaitan dengan perbaikan nutrisi P tanaman. Pemanfaatan FMA memberi beberapa keuntungan, antara lain: (1) secara agroekosistem mikoriza akan membantu penyerapan hara dan air, baik melalui perluasan akar dan (2) meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk fosfat (Sastrahidayat 2000). FMA juga dapat menghasilkan hormon pengatur tumbuh seperti sitokinin dan giberellin dan juga dapat memperbaiki metabolisme fosfat. Selain meningkatkan pertumbuhan dan penyerapan P, inokulasi dengan FMA juga dapat meningkatkan hasil tanaman (Kabirun 2002). Hasil penelitian Setiawati et al. (2000) menunjukkan bahwa inokulasi dengan FMA pada tanaman kedelai memberikan peningkatan yang nyata terhadap serapan P dibanding tanpa inokulasi. Hal ini disebabkan kemampuan FMA dalam
26 menyerap hara P dari dalam tanah yang jauh dari perakaran baik yang berasal dari tanah maupun pupuk yang diberikan. Peranan fungi mikoriza arbuskula, terutama pada tanah yang miskin fosfor telah dilaporkan, bahwa sumbangan mikoriza pada peningkatan pertumbuhan tanaman sangat bergantung pada atas tersedianya P dalam tanah, pemberian mikoriza yang dikombinasikan dengan pemberian pupuk fosfor menunjukkan adanya peningkatan P tersedia, hal ini membuktikan bahwa mikoriza berperan dalam mengefisiensikan pemupukan fosfor yang diberikan pada tanah Andosol (Haryantini & Santoso 2006). Hal ini diduga karena fungi mikoriza arbuskula mampu menghasilkan enzim asam fosfatase yang mampu mengkatalisis hidrolisis kompleks fosfor yang tidak tersedia menjadi fosfor yang larut dan tersedia. Selanjutnya fosfor ini diserap oleh hifa-hifa eksternal dan dipindahkan ke dalam jaringan tanaman.
Peranan FMA terhadap metabolit sekunder Sejauh ini belum ada informasi yang diperoleh tentang peranan mikoriza terhadap metabolit sekunder tanaman pegagan, namun demikian dari penelitian yang sudah ada tentang pengaruh mikoriza terhadap peningkatan produksi metabolit sekunder pada tanaman secara umum sudah banyak dihasilkan. Peningkatan aktivitas mikoriza secara spesifik pada biosintesis karotenoid di dalam akar yang dikolonisasi kelihatannya sulit untuk dinilai. Semua parameter yang diamati (kandungan mycorradicin, cyclohexenone derivative, phytoene setelah aplikasi norflurazon) bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sifatnya sulit untuk dikontrol. Meskipun demikian, dari hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa mikoriza menginduksi aktivitas biosintesis karotenoid di dalam akar lebih banyak dibanding sebelumnya dan dapat disimpulkan bahwa aktivitas tersebut secara umum merupakan bentuk simbiosis dari mikoriza (Fester et al. 2005). Berbagai komposisi flavonoid dari hasil ekstraksi pada daun dan akar tanaman white clover (Trifolium repens) menunjukkan bahwa metabolisme senyawa-senyawa tersebut secara kuat dipengaruhi pada tanaman yang diinokulasi oleh mikoriza. Terdapat hubungan yang nyata dan sistemik antara mikoriza
27 (Glomus intraradices) dengan regulasi dari metabolisme flavonoid di dalam daun dan akar white clover yang dikolonisasi, jenis flavonoid seperti quercetin, acacetin dan rhamnetin terakumulasi pada akar tanaman (Ponce et al. 2004). Inokulasi FMA (Glomus mosseae) menginduksi akumulasi terpenoid serta meningkatkan akumulasi 2 jenis triterpenoid baru (BETA-hydroxybryonolic acid dan (BETA-bryoferulic acid) pada tanaman mentimun (Akiyama & Hayasi 2002). Isolat Glomus (G etunicatum dan G lamellosum) meningkatkan total produksi minyak atsiri tanaman oregano dan mint secara nyata, mekanisme perubaan komposisi minyak atsiri belum diketahui secara jelas dan ada kemungkinan terkait dengan perbaikan hara (Karagiannidis et al. 2011). FMA meningkatkan konsentrasi minyak esensial total pada tanaman Coriandrum sativum L, terutama geraniol dan linalool (Kapoor et al. 2002). FMA menstimulir biosintesis metabolit sekunder (isoflavonoid) dan meningkatkan kandungan saponin, dan apocarotenoid pada tanaman Medicago truncatula (Schliemann et al. 2008), meningkatkan minyak atsiri, pada daun tanaman basil (Ocium bassillicum) (Rasouli-Sadaghiani et al. 2010), serta metabolit sekunder tanaman nilam (Selvaraj et al. 2009). Peningkatan asam jasmonat endogen diduga berkaitan dengan adanya simbiosis tanaman dengan mikoriza. Tanaman menyediakan nutrien bagi FMA berupa karbohidrat, sedangkan pada akar yang terkolonisasi FMA menunjukkan fungsi sink yang kuat dan menginduksi biosintesis asam jasmonat (Hause et al. 2002). Asam jasmonat (JA) merupakan metabolit sekunder yang tergolong asam α-linolenic. FMA juga dapat dimanfaatkan sebagai bio-inokulan untuk meningkatkan konsentrasi minyak esensial pada beberapa tanaman obat, antara lain tanaman mentha (Zhi-lin et al. 2007), ajmalicine pada tanaman Catharanthus roseus (Karthikeyan et al. 2008), serta meningkatkan pertumbuhan, produksi, serta kandungan minyak atsiri pada tanaman jahe (Trisilawati 2000) dan kumis kucing (Trisilawati 2005). Interaksi FMA dengan Pupuk Alami Pemanfaatan FMA akan selalu dihubungkan dengan penyerapan unsur hara dan efisiensi pemupukan, khususnya fosfor. Mekanisme peningkatan penyerapan
28 hara oleh FMA dikemukakan Abbot & Robson (1984) yaitu: pengurangan jarak bagi hara untuk masuk ke akar tanaman, meningkatkan rata-rata penyerapan hara dan konsentrasi hara pada permukaan penyerapan, dan mengubah secara kimiawi sifat-sifat hara sehingga mudah diserap akar. Widiastuti (2004) menyatakan bahwa infeksi FMA pada tanaman akan menyebabkan perubahan morfologi, fisiologi, biokimia, dan molekuler pada akar tanaman yang memungkinkan peningkatan penyerapan hara. Respon FMA terhadap pupuk anorganik dan pupuk organik berbeda. Perbaikan pertumbuhan dan kenaikan hasil berbagai tanaman berkaitan dengan perbaikan nutrisi P tanaman, pada batas tertentu penambahan P merangsang perkecambahan spora FMA, akan tetapi dalam jumlah besar akan menghambat pertumbuhan FMA. Kadar hara substrat tidak boleh melampaui batas maksimum 70 ppm untuk P dan 50 ppm untuk N (Feldman & Idczak, 1992). Kolonisasi FMA pada akar dan populasi spora pada tanah semakin menurun dengan pemupukan P yang tinggi (Kahiluoto et al. 2001). FMA dapat menghasilkan enzim fosfatase yang dilepaskan dalam tanah (Joner & Johansen 2000), serta meningkatkan aktivitas asam fosfatase dalam tanah (Song et al. 2000), sehingga senyawa P organik dalam tanah dapat menjadi tersedia bagi tanaman sesudah dihidrolisis oleh enzim fosfatase (Feng et al. 2003). Inokulasi FMA meningkatkan konsentrasi P pada daun, P tanah dan P total, pada kombinasi dengan tanpa pemupukan, pupuk organik dan pupuk P dosis rendah, dan akan menurun apabila menggunakan pupuk NPK anorganik (Xu et al. 2000). Penggunaan pupuk organik sinergis dengan perkembangan FMA, bahan organik sebagai sumber hara seperti kompos dan sisa tanaman dan pupuk mineral yang lambat larut seperti batuan fosfat tidak menekan perkembangan FMA, bahkan menstimulir perkembangan FMA (Alloush & Clark 2001). Penggunaan fosfat yang rendah kelarutannya, misalnya dalam bentuk batuan fosfat, kalsium fosfat, dan tepung tulang lebih efektif untuk memelihara perkembangan FMA dan meningkatkan kolonisasi akar (Nikolaou et al. 2002). Aplikasi berbagai jenis bahan organik mampu meningkatkan populasi FMA indigenus yang ditunjukkan dengan potensi infektivitas, dan bahan organik terbaik adalah kompos (Tanu et al. 2004).
29
ISOLASI, KARAKTERISASI DAN PERBANYAKAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA DARI RIZOSFIR PERTANAMAN PEGAGAN (Centella asiatica L. Urban)
Abstrak Defisiensi hara fosfor (P) menjadi salah satu faktor pembatas dalam sistem produksi pertanian di Indonesia yang umumnya diusahakan pada tanah-tanah masam. Pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula (FMA) merupakan salah satu alternatif dalam menanggulangi permasalahan pada tanah masam, karena FMA dapat membantu tanaman menyerap unsur P dan unsur hara lainnya dari dalam tanah. Adanya data tentang keanekaragaman FMA maka dapat dilakukan seleksi guna mendapatkan isolat FMA yang potensial dan efektif dalam meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman pegagan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat FMA pada rizosfer tanaman pegagan. Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan bulan Agustus 2008, pengambilan contoh tanah dilakukan pada tiga lokasi pertanaman pegagan di Kebun Percobaan Gunung Putri, Kebun Percobaan Sukamulia, dan Kebun Percobaan Cicurug, sedangkan isolasi, identifikasi dan pemerangkapan spora dilakukan di Laboratorium Ekofisiologi dan rumah kaca Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Bogor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum pemerangkapan diperoleh 2 genus (Glomus dan Acaulospora) pada contoh tanah baik di KP Gunung Putri, di KP Sukamulia maupun di KP. Cicurug. Setelah dilakukan trapping di KP. Gunung Putri didapatkan 5 tipe FMA (4 tipe Glomus dan 1 tipe Acaulospora), di KP. Sukamulia terdapat 4 tipe FMA (3 tipe Glomus, dan 1 tipe Acaulospora), dan di KP. Cicurug terdapat 4 tipe FMA (3 tipe Glomus dan 1 tipe Acaulospora). Keanekaragaman FMA pada rizosfer pertanaman pegagan cukup beragam dan berpotensi dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi pemupukan, khususnya ketersediaan dan serapan hara P. Kata Kunci: keanekaragaman, fungi mikoriza arbuskula (FMA), pegagan Abstract Deficiency of phosphorus (P) is one of the limited factors of agriculture production system in Indonesia which is generally managed at acid soils. Utilizing arbuscula mycorrhiza fungi (AMF) is one of the alternatives solution on acid soils problem, AMF have an ability to take up P and other nutrients from soils. Diversity of AMF variety data can be utilized to get potential isolates to improve the growth and productivity of asiatic pennywort. The aim of this research was to determine isolates of AMF from the asiatic pennywort rizhospheres. The experiment was conducted from January until August 2008, soil samples was obtained from three location of asiatic pennywort plantation in Gunung Putri, Sukamulia, and Cicurug experiment garden. Isolation, identification and trapping of spore was conducted at the Ecophysiology laboratory and glasshouse of
30
Indonesian Medicinal and Aromatic Crops Research Institute (IMACRI), Bogor. The result on soil sample before trapping showed that the spore were from two genus of AMF (Glomus and Acaulospora) in soil samples from Gunung Putri, Sukamulia, and Cicurug. Following trapping were obtained were identified in soil samples from Gunung Putri, five species AMF (four types of Glomus and one types of Acaulospora); four species AMF (three types of Glomus, and one types of Acaulospora) from Sukamulia; and four species AMF (three types of Glomus and one types of Acaulospora) from Cicurug. Diversity of AMF variety can be utilized to increase the efficiency of fertilizer use, specifically the availability and uptake of nutrient P. Keywords: diversty, Arbuscular Mycorrhiza Fungi (AMF), asiatic pennywort Pendahuluan
Pegagan merupakan komoditas tanaman obat yang akhir-akhir ini cukup mendapat perhatian masyarakat karena secara empiris dikenal memiliki khasiat yang cukup banyak, antara lain untuk meningkatkan kemampuan kognitif (Anissa 2006; Kumar & Gupta 2002), mencegah penurunan kemampuan kognitif serta stres oksidatif (Kumar & Gupta 2003; Hussin et al. 2007), memberikan kontribusi utama pada aktivitas anti-oksidatif (Hamid et al. 2002; Zainol et al. 2003), aktivitas kekebalan tubuh (Wang et al. 2005), pencegahan penyakit paru-paru (Zhang et al. 2011), anti-genotoksik (Siddique et al. 2008), sehingga pegagan merupakan salah satu tanaman obat yang potensial untuk dikembangkan. Fungi mikoriza arbuskula (FMA) dapat ditemukan hampir pada semua ekosistem, termasuk pada lahan masam (Kartika 2006), dan alkalin (Swasono 2006). Menurut Smith dan Read (2008), FMA dapat berasosiasi dengan hampir 90% jenis tanaman. Walapun demikian, tingkat populasi dan komposisi jenis FMA sangat beragam dan dipengaruhi oleh karakteristik tanaman dan faktor lingkungan seperti suhu, pH tanah, kelembaban tanah, kandungan fosfor dan nitrogen serta konsentrasi logam berat (Daniels & Trappe 1980). FMA diketahui mampu memperbaiki pertumbuhan dan hasil tanaman pada tanah-tanah dengan kondisi yang kurang menguntungkan. FMA yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan memproduksi jaringan hifa eksternal yang tumbuh secara ekspansif dan menembus lapisan sub soil sehingga meningkatkan kapasitas akar dalam penyerapan hara dan air (Cruz et al. 2004). Pemanfaatan
31
FMA
menyebabkan
tanaman lebih toleran pada lingkungan tanah masam
(Quenca et al. 2001), cekaman ganda Al dan kekeringan (Hanum 2004), mengefisiensikan pemupukan fosfor pada tanah Andosol (Haryantini & Santoso 2008). Inokulasi FMA secara signifikan meningkatkan produksi bobot kering daun dan status hara (P, Zn dan Fe) pada daun, serta kandungan minyak atsiri (essensial oil) dan artemisinin pada daun tanaman Artemisia annua L. (Chaudhary et al. 2008). Penggunaan FMA sebagai agensia hayati pada beberapa jenis tanaman saat ini mulai banyak mendapat perhatian. Hal ini tidak saja karena kemampuannya dalam bersimbiosis dengan berbagai jenis tanaman, tetapi yang utama adalah FMA dapat membantu tanaman dalam meningkatkan efisiensi penyerapan unsur hara. Disamping itu FMA juga mampu melestarikan sumberdaya lahan baik secara fisik, kimia, dan biologi sehingga keseimbangan biologis selalu terpelihara. Informasi mengenai FMA dan pemanfaatannya pada tanaman pegagan sejauh ini belum ada. Mengingat potensi FMA yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman serta efisiensi pemupukan, maka penelitian FMA pada tanaman pegagan perlu dilakukan. Eksplorasi jenis-jenis FMA pada daerah pertanaman pegagan merupakan studi awal yang penting dan diperlukan untuk dapat mengindentifikasi dan memetakan jenis-jenis FMA dominan dan spesifik yang ada. Kegiatan ini sangat penting untuk mendapatkan informasi tentang keanekaragaman jenis-jenis FMA potensial sebagai sumber material penting untuk seleksi mendapatkan isolat FMA yang potensial dan efektif, serta mampu beradaptasi pada kondisi lahan dan komoditas spesifik. Setiap
jenis
FMA
mungkin
berbeda-beda
dalam
kemampuannya
membentuk hifa di dalam tanah, baik distribusi maupun kuantitasnya yang berhubungan dengan kemampuan dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman (Delvian 2003). Semua FMA tidak mempunyai sifat morfologi dan fisiologi yang sama oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui identitasnya (Budi 2009). Dengan demikian karakterisasi jenis FMA penting dilakukan untuk mendapatkan informasi awal. Keberadaan dan keberagaman FMA pada rizosfer pegagan belum cukup memberikan gambaran peran FMA, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kompatibilitas dan efektivitasnya terhadap pertumbuhan dan
32
produktivitas pegagan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat dan mengidentifikasi jenis-jenis FMA dari tiga lokasi pertanaman pegagan.
Bahan dan Metode
FMA diambil dari akar pertanaman pegagan yang tumbuh pada dua jenis tanah, yaitu tanah andosol, KP. Gunung Putri, Kabupaten Cianjur, dan tanah Latosol/Inceptisol KP Cicurug dan KP. Sukamulia, Kabupaten Sukabumi. Lokasi pengambilan sampel tanah dipilih dari areal pertanaman pegagan yang tidak dibudidayakan secara intensif/tumbuh secara alamiah. Penelitian terdiri atas empat tahapan kegiatan yaitu: 1) pengambilan contoh tanah, 2) isolasi spora FMA, 3) pemerangkapan, dan 4) identifikasi spora FMA. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ekofisiologi dan rumah kaca Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Bogor dari bulan Januari 2008 sampai dengan bulan Agustus 2008. Contoh tanah diambil dari zona perakaran dengan kedalaman 0-20 cm (daerah rizosfer) secara komposit dari 10 titik pengambilan contoh tanah, masingmasing titik sebanyak 500 g, kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label. Isolasi spora dari contoh tanah dilakukan dengan metode tuang saring basah, selanjutnya dilakukan penghitungan terhadap spora yang diperoleh di bawah mikroskop. Pada hasil pengamatan menunjukkan jumlah spora sedikit, maka dilakukan kegiatan pemerangkapan. Spora hasil isolasi dari lapangan tidak optimal
sebagai
bahan
identifikasi
dan
determinasi
(Rainiyati
2007).
Pemerangkapan spora merupakan salah satu teknik untuk mendapatkan spora utuh dengan manipulasi lingkungan produksi spora (Brundrett et al. 1994). Analisis awal sangat diperlukan untuk mendapatkan informasi apakah pada daerah perakaran pegagan ditemukan adanya FMA. Teknik pemerangkapan yang digunakan mengikuti metode Brundrett et al (1994) dengan menggunakan pot-pot kecil (Lampiran 3). Media tanam yang digunakan berupa campuran contoh tanah sebanyak ± 50 g dan batuan zeolit berukuran 1–2 mm sebanyak ± 150 g yang sebelumnya sudah disterilkan. Teknik pengisian media tanam dalam pot adalah pot kultur diisi dengan zeolit sampai setengah volume pot, selanjutnya contoh tanah dimasukkan dan pada lapisan
33
atasnya diisi dengan zeolit lagi sehingga media tanam tersusun atas zeolit-contoh tanah-zeolit. Benih sorgum (Sorghum bicolor) yang digunakan sebagai tanaman inang terlebih dahulu dikecambahkan selama 7 hari atau sampai tumbuh 2 helai daun, selanjutnya kecambah dipindahkan ke dalam pot-pot kultur. Pemeliharaan kultur meliputi penyiraman, pemberian hara dan pengendalian hama penyakit. Larutan hara yang digunakan adalah pupuk majemuk dengan komposisi (25% N, 5% P, 20% K) dengan konsentrasi 1 g/l air. Pemberian larutan hara dilakukan seminggu sekali sebanyak 20 ml tiap pot kultur. Setelah kultur berumur 4-5 bulan, dilakukan pemanenan untuk melihat tingkat sporulasi dan dilakukan penghitungan jumlah spora. Ekstraksi FMA dilakukan untuk memisahkan spora dari contoh tanah sehingga dapat dilakukan identifikasi FMA guna mengetahui genus spora FMA. Teknik yang digunakan adalah teknik tuang saring (Gerdermann & Nicholson 1963) dan dilanjutkan dengan teknik sentrifugasi (Brundrett et al. 1996) (Lampiran 2). Hasil saringan terakhir pada proses tuang saring dipindahkan ke dalam tabung sentrifuse ditambah glukosa 60% dengan menggunakan pipet. Tabung sentrifuse ditutup rapat dan disentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm selama 3 menit. Proses sentrifugasi akan menghasilkan lapisan di tengah tabung, yaitu antara air dan glukosa yang merupakan kumpulan partikel-partikel mengandung spora FMA,
lapisan tersebut selanjutnya diambil dan tuang ke
dalam saringan dengan ukuran 45 µm dan cuci dengan air mengalir untuk menghilangkan glukosa. Endapan yang tersisa dalam saringan dituangkan ke dalam cawan petri dan kemudian dilihat di bawah mikroskop untuk penghitungan jumlah spora. Pembuatan preparat spora FMA dimaksudkan untuk membantu dalam proses identifikasi, dari preparat tersebut diharapkan diperoleh informasi morfologi dan struktur sub-seluler spora untuk dapat menentukan genus FMA. Pembuat preparat menggunakan bahan pewarna Melzer’s dan bahan pengawet PVLG (polyvinyl lactoglycerol). Awetan PVLG tidak merubah warna asli spora dan mempunyai daya simpan permanen, jika ditambahkan Melzer’s akan terjadi perubahan warna pada genus FMA tertentu. Penggunaan larutan Melzer’s dapat membantu dalam mempercepat identifikasi sampai ke tingkatan genus. Dengan
34
bantuan mikroskop dan pinset spora, kumpulkan spora yang didapatkan berdasar ukuran, warna, bentuk. Selanjutnya teteskan pada slide preparat masing-masing PVLG dan Melzer dan tutup dengan kaca penutup dan tekan sedikit pada larutan Melzer agar spora pecah dan terjadi reaksi. Analisis jenis spora FMA sesuai dengan morfologi ukuran, warna dan struktur sub-seluler.
Hasil dan Pembahasan
Isolasi spora FMA Hasil isolasi dari tiga (3) lokasi pengambilan contoh tanah diperoleh beberapa tipe spora FMA pada rizosfer pegagan. Nilai kepadatan spora FMA (jumlah spora per 50 g contoh tanah) sebelum dan sesudah pemerangkapan ditampilkan pada Tabel 1. Dari tabel tersebut tampak bahwa tipe dan kepadatan spora FMA pada masing-masing lokasi berbeda. Tabel 1 Jumlah spora FMA dari contoh tanah awal sebelum dan sesudah pemerangkapan dari 3 lokasi penelitian Lokasi
KP. Gunung Putri
KP. Sukamulya
KP. Cicurug
Tipe FMA
Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp-3, Glomus sp-4, Acaulospora sp Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp-3, Acaulospora sp, Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp-3, Acaulospora sp
Jumlah spora/50 g contoh tanah Awal pengambilan Pemerangkapan sampel 24 1190
32
555
165
1435
Nilai kepadatan spora sebelum pemerangkapan tertinggi didapatkan di KP Cicurug sebanyak 165 spora dengan Genus Glomus dan Acaulospora, disusul di KP Sukamulya sebanyak 32 spora dengan Genus Glomus dan Acaulospora, sedangkan kepadatan spora paling rendah di KP Gunung Putri sebanyak 24 spora
35
dengan
Genus
Glomus
dan
Acaulospora.
Kepadatan
spora
sebelum
pemerangkapan pada setiap lokasi cenderung sedikit, hasil ini sama dengan hasil penelitian Rainiyati (2007) dan Lapanjang (2010) yang mendapatkan jumlah dan jenis spora FMA terbatas karena belum bersporulasi, dan lebih banyak mengandung propagul lain seperti hifa. Hasil yang berbeda diperoleh setelah dilakukan pemerangkapan, baik nilai kepadatan spora maupun tipe FMA, kepadatan spora tertinggi diperoleh hasil pemerangkapan contoh tanah dari KP. Cicurug yang meningkat 49.58 kali lipat lebih tinggi dibandingkan populasi awal, disusul di KP. Gunung Putri yang meningkat 17.34 kali lipat dan terendah di KP. Sukamulya yang hanya meningkat 8.70 kali lipat per 50 g tanah (Tabel 1). Hasil ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepadatan spora hasil pemerangkapan oleh Widiastuti (2004) yang menemukan 1–474 spora/100 g tanah, Kartika (2006) 161–173 spora/50 g tanah pada rizosfer kelapa sawit, dan Rainiyati (2007) 2–57 spora/50 g tanah pada rizosfer pisang. Sebagai individu, setiap FMA memiliki faktor intrinsik yang akan memberikan respon terhadap perubahan lingkungan ataupun musim. Meskipun ada tipe spora yang tidak dipengaruhi musim atau lingkungan akan tetapi terdapat tipe spora yang dipengaruhi oleh perubahan musim atau lingkungan. Hal tersebut mempertegas bahwa pengaruh perubahan musim terhadap aktivitas FMA tergantung pada tipe spora sebagai identitas faktor intrinsik (Delvian 2003). Corryanti et al. (2008) menyatakan bahwa adanya perbedaan keanekaragaman dan jumlah spora ditentukan oleh lingkungan dan tata kelola lahan serta tipe lahan. Glomus adalah tipe FMA yang paling dominan penyebarannya, dimana 10 spesies dari 14 spesies yang didapatkan adalah Genus Glomus pada Andosol di KP. Gunung Putri, Latosols/Inceptisols di KP. Cicurug, dan di KP. Sukamulia juga diperoleh 2 Genus FMA, yaitu Glomus dan Acaulospora. Dari 172 jenis FMA yang sudah diidentifikasi diketahui Glomus adalah jenis yang paling dominan (52.3%), diikuti Acaulospora (20.9%), Scutellospora (16.9%), Gigaspora (4.7%), Entrophospora (2.3%), Archaeospora (1.7%) dan Paraglomus (1.2%) (INVAM 2008).
36
Identifikasi dan Karakterisasi spora FMA Semua FMA tidak mempunyai sifat morfologi dan fisiologi yang sama, oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui identitasnya. Menurut Budi (2009), proses identifikasi FMA sampai ke tingkat spesies memerlukan pengenalan secara menyeluruh terhadap 11 karakter spora yaitu (1) formasi susunan spora (spore arrangement), (2) bentuk spora (spore shape), (3) perkembangan spora (spore development), (4) ukuran spora (spore size), (5) dinding spora (spore wall layer), (6) warna spora (spore colour), (7) perkecambahan spora (spore germination), (8) isi spora (spore content), (9) tekstur permukaan (surface texture), (10) sel-sel hiasan (auxilary cell), dan (11) hifa penyangga (subtending hyphae). Hasil identifikasi tipe spora hasil isolasi atas dasar karakteristik morfologi dan respon terhadap larutan Melzer’s dengan perbesaran 100-200 kali menunjukkan dominasi Genus Glomus di KP. Gunung Putri, KP. Cicurug, dan KP. Sukamulia. Acaulospora ditemukan pada semua lokasi pengambilan contoh tanah. Larutan Melzer’s merupakan salah satu alat bantu pada proses identifikasi untuk membedakan tipe spora FMA sampai ke tingkat genus, Genus Glomus tidak memberikan reaksi terhadap larutan Melzer’s, sebaliknya genus Acaulospora memberikan reaksi yang ditunjukkan dengan adanya perubahan warna spora. Penamaan spesies spora FMA hasil identifikasi dan karakterisasi berdasarkan hasil pemerangkapan dapat dilihat pada Tabel 2. Proses perkembangan spora Glomus adalah dari ujung hifa yang membesar sampai mencapai ukuran maksimal dan terbentuk spora. Karena sporanya berasal dari perkembangan hifa maka disebut chlamydospora, kadang-kadang hifa bercabang-cabang dan tiap cabang terbentuk chlamydospora dan membentuk sporocarp. Beberapa karakter spora yang membedakan spesies pada genus glomus, meliputi : bentuk spora, ukuran spora, warna spora, dinding spora, tekstur permukaan. Proses perkembangan spora Acaulospora berawal dari ujung hifa (subtending hyphae) yang membesar seperti spora yang disebut hyphal terminus, diantara hyphal terminus dan subtending hypae akan muncul bulatan kecil yang semakin lama semakin membesar dan terbentuk spora. Dalam perkembangannya hifa terminus akan rusak dan isinya akan masuk ke spora, rusaknya hifa terminus akan meninggalkan bekas lubang kecil yang disebut Cicatric (Budi 2009).
37
Tabel 2 Tipe spora hasil pemerangkapan spora dari rizosfer pertanaman pegagan di tiga lokasi pengambilan contoh tanah No
Tipe Spora
Karakteristik morfologi
Lokasi: KP. Gunung Putri (Pacet, Cianjur: 1500 m dpl) 1. Spora bulat, berwarna putih Acaulospora bening, permukaan spora halus. Spora berukuran 48 µm. Dinding spora berornamen seperti kulit jeruk
Reaksi dengan Melzer’s Bereaksi dengan pewarna Melzer’s, terjadi perubahan warna dimana bagian dalam spora berwarna lebih gelap
2.
Glomus sp1
Spora bulat, berwarna kuning, relatif kecil, permukaan relatif halus berdinding tebal. Spora berukuran 70 x 60 µm. Dinding spora berwarna orange, diameter 2,5-3,75 µm. Hifa berwarna kuning berdiameter 10 µm
Tidak bereaksi dengan pewarna Melzer’s
3.
Glomus sp2
Spora bulat lonjong, berwarna kuning kecoklatan. Spora berukuran (100-120) x (50-80) µm. Dinding spora warna lebih tua (coklat muda), diameter 57,5 µm. Hifa berwarna kuning berdiameter 8,75 µm menebal pada tempat pelekatan
Tidak bereaksi dengan pewarna Melzer’s
4.
Glomus sp-3
Spora bulat, berwarna coklat, berukuran 100-105µm. Dinding spora berwarna coklat tua, berdiameter 5-7,5 µm. Hifa berwarna lebih cerah, berdiameter 20 µm
Tidak bereaksi dengan pewarna Melzer’s
5.
Glomus sp-4
Spora bulat, berwarna coklat kemerahan, berukuran 140 x (110-130) µm. Dinding spora coklat tua, berdiameter 12,5 µm, berornamen
Tidak bereaksi dengan pewarna Melzer’s
38
Lokasi: KP. Sukamulya, Sukabumi (400 dpl) 1.
Glomus sp-1
Spora lonjong, berwarna coklat Tidak bereaksi kekuningan, berukuran 130 x dengan pewarna 80-100 µm. Dinding berwarna Melzer’s coklat, tebal (6,25-7,5 µm. Hifa berwarna kuning, berdiameter 7,5 µm
2.
Glomus sp-2
Spora bulat, berwarna coklat. Spora berukuran 90-110 µm. Dinding spora berwarna coklat, diameter (8,75-95 µm. Hifa berwarna kuning
Tidak bereaksi dengan pewarna Melzer’s
3.
Glomus sp-3
Spora lonjong, berwarna kuning, kecil, berukuran 40x60 µm. Dinding spora berwarna kuning, tebal (1,9 µm). Hifa berdiameter 10 µm
Tidak bereaksi dengan pewarna Melzer’s
4.
Acaulospora sp
Spora bulat, kecil, berwarna kuning, berornamen seperti kulit jeruk, spora berukuran 57,6 µm. Dinding berwarna kuning, diameter (6,25-7µm)
Bereaksi dengan pewarna Melzer’s, terjadi perubahan warna dimana bagian dalam spora berwarna lebih gelap
Lokasi : KP. Cicurug, Sukabumi (500 mdpl) 1.
Glomus sp-1
Spora bulat, kecil, berwarna kuning muda-kuning. Spora berukuran 42,5 µm. Dinding spora berwarna orange, berdiameter 1,5 µm, Hifa berdiameter 5 µm
Tidak bereaksi dengan pewarna Melzer’s
39
2.
Glomus sp-2
Spora bulat, berwarna kuning muda, berukuran 75 µm. Dinding spora berwarna kuning, dengan diameter 5 µm. Hifa bening diameter 6,25 µm
Tidak bereaksi dengan pewarna Melzer’s
3.
Glomus sp-3
Tidak bereaksi Spora bulat agak lonjong, dengan pewarna berwarna coklat kemerahan. Spora berdinging relatif tipis dan Melzer’s berukuran 140 µm. Dinding spora warna coklat, berdiameter 5-7,5 µm
4.
Acaulospora sp.
Spora bulat, berwarna kuning, berornamen seperti kulit jeruk. Spora berukuran 85-95 µm, permukaan relatif kasar. Dinding spora berwarna kuning lebih tua berdiameter 3,75 µm
Bereaksi dengan pewarna Melzer’s, terjadi perubahan warna dari kuning menjadi coklat kemerahan
Tipe spora Glomus yang ditemukan di KP. Gunung Putri bentuk sporanya relatif sama (bulat) dan permukaan spora relatif halus, sedangkan karakter yang membedakan antar spesies adalah ukuran spora, warna spora dan dinding spora, serta ketebalan dinding spora. Pada Glomus sp-1 dan Glomus sp-3 mempunyai hyphal attachments, sedangkan Glomus sp-2 dan Glomus sp-4 tidak mempunyai hyphal attachments. Spesies Glomus yang ditemukan di KP. Sukamulia lebih tegas perbedaannya, karakter yang relatif sama adalah bentuk spora antara Glomus sp-1 dan Glomus sp-3 (lonjong), dan mempunyai hyphal attachments. Sedangkan ukuran spora, warna spora, warna dinding spora, ketebalan dinding spora masingmasing spesies berbeda. Spesies Glomus yang ditemukan di KP. Cicurug bentuk spora hampir sama, yaitu bulat (Glomus sp-1 dan Glomus sp-2), bulat agak lonjong (Glomus sp-3), permukaan spora relatif kasar. Sedangkan karakter lainnya seperti ukuran spora, warna spora dan dinding spora, ornamen dan ketebalan dinding berbeda. Ketiga spesies tidak mempunyai hyphal attachments. Secara umum genus Glomus yang ditemukan di 3 lokasi pengambilan sampel tanah
40
memiliki karakteristik morfologi spora FMA yang berlainan dan membedakan menjadi 10 spesies. Genus Acaulospora yang ditemukan di 3 lokasi pengambilan sampel tanah berbeda satu dengan lainnya berdasarkan karakteristik morfologinya sehingga diidentifikasi sebagai spesies yang berbeda. Spora Acaulospora sp yang ditemukan di KP. Gunung Putri berbentuk bulat, berwarna putih bening, dinding spora berornamen seperti kulit jeruk, permukaan spora relatif lebih halus dan ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan spora Acaulospora sp yang ditemukan di KP. Sukamulia dan spora Acaulospora sp yang ditemukan di KP.Cicurug. Acaulospora sp di KP. Sukamulia berwarna kuning, dinding spora lebih tebal dibanding Acaulospora sp di KP Cicurg dan Acaulospora sp di KP Gunung Putri. Sedangkan Acaulospora sp yang ditemukan di KP. Cicurug bentuk spora bulat, berwarna kuning, dinding spora lebih tebal dibanding Acaulospora sp dari KP Gunung Putri. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari tiga lokasi pengambilan sampel dengan kondisi faktor lingkungan yang berbeda memiliki tipe FMA yang sama akan tetapi dengan populasi FMA yang berbeda. Karakter 3 lokasi pengambilan contoh relatif berbeda, jenis tanah di KP. Cicurug dan KP. Sukamulia sama yaitu Latosol berbeda dengan jenis tanah di Gunung Putri (Andosal). Ketinggian tempat antar lokasi juga berbeda, KP. Gunung Putri berada pada dataran tinggi (1500 m dpl), sedangkan di KP. Cicurug dan KP. Sukamulia terletak di dataran medium (400–500 m dpl), sehingga memiliki perbedaan karakter iklim terutama kelembaban dan suhu. Namun demikian tanaman pegagan dapat tumbuh dengan baik pada ketiga lokasi tersebut. Hasil eksplorasi didapatkan bahwa FMA ditemukan pada ketiga lokasi yang memiliki jenis tanah dan karakter lingkungan yang berbeda dengan tipe FMA yang sama. Hal tersebut menunjukkan bahwa keberadaan FMA di tiga lokasi tersebut diduga dipengaruhi oleh spesies tanaman dibandingkan dengan karakter lokasi. Keberadaan FMA pada rizosfer tanaman pegagan memberikan data dan informasi mengenai mikroorganisme tanah potensial, yang selanjutnya dapat dikoleksi dan dimanfaatkan sebagai suatu inovasi pemanfaatan agensia hayati yang dapat meningkatkan pertumbuhan, produktivitas tanaman dan efisiensi
41
pemupukan khususnya pupuk fosfor. Beberapa penelitian tentang pemanfaatan FMA menunjukkan bahwa inokulasi FMA dapat meningkatkan P tersedia 529 % lebih tinggi dibandingkan tanpa FMA pada tanaman cabai di andosol (Haryantini & Santoso 2006), pemanfaatan FMA yang dikombinasikan dengan rizobium dapat meningkatan serapan hara P sebesar 854% pada tanaman kedelai (Bertham et al. 2005). Inokulasi FMA secara tunggal atau dikombinasikan dengan rizobakteria dapat meningkatkan ketersediaan dan serapan P secara signifikan (Wu et al. 2005). Tanaman pegagan dapat bersimbiosis dengan FMA, terlihat dari morfologi perakaran tanaman pada hasil pewarnaan akar, dimana struktur vesikula dan hifa terbentuk dan terlihat pada perakaran tanaman (Gambar 7). Setiap jenis FMA mungkin berbeda-beda dalam kemampuannya membentuk hifa di dalam tanah, baik distribusi maupun kuantitas hifa tersebut. Disamping itu sudah dipastikan bahwa perkembangan infeksi FMA berhubungan dengan kemampuan FMA dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman (Delvian 2003).
HI V
Gambar 7 Infeksi FMA pada perakaran pegagan yang ditunjukkan dengan terbentuknya struktur vesikula (V), dan hifa internal (HI).
42
Simpulan
1. Setiap lokasi penelitian memiliki ragam jenis FMA yang berbeda, di KP. Cicurug terdapat empat jenis FMA, yaitu Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp-3 dan Acaulospora sp., di KP. Gunung Putri ditemukan lima jenis FMA yaitu Acaulospora sp, Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp-3, dan Glomus sp-4, sedangkan di KP. Sukamulya ditemukan empat jenis FMA yaitu Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp-3, dan Acaulospora sp. 2. Jumlah spora yang didapatkan sebelum pemerangkapan relatif sedikit, jumlah terbanyak di KP Cicurug
sebanyak 165 spora/50 g tanah disusul KP.
Sukamulia dan KP. Gunung Putri masing-masing sebanyak 32 spora/50 g tanah dan 24 spora/50 g tanah, setelah pemerangkapan jumlah spora tertinggi di KP. Cicurug diikuti KP. Gunung Putri dan KP. Sukamulia masing-masing sebanyak 1435 spora/50 g tanah, 1190 spora/50 g tanah dan 555 spora/50 g tanah atau meningkat 769.7% (8.7 kali lipat), 4858.3% (49.6 kali lipat), dan 1634.4% (17.3 kali lipat). 3. Simbiosis terjadi antara FMA dengan tanaman pegagan, terlihat dari hasil pengamatan pada akar tanaman telah terjadi infeksi oleh FMA dengan terbentuknya struktur vesikula dan hifa.
KOMPATIBILITAS DAN EFEKIVITAS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA TANAMAN PEGAGAN (Centella asiatica L. Urban) DI ANDOSOL
Abstrak Pengujian kompatibilitas dan efektivitas 5 isolat fungi mikoriza arbuskula (FMA) terhadap pertumbuhan dan hasil pada 3 aksesi tanaman pegagan. telah dilaksanakan di rumah kaca Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Bogor dari bulan Juli 2008 sampai dengan Nopember 2008, dengan menggunakan pot plastik yang bermedia tanah Andosol dari Gunung Putri, Cipanas. Uji kompatibilitas dan efektivitas dilakukan terhadap 3 jenis inokulum endogenous dari rizosfer pegagan, yaitu isolat FMA gabungan asal Cicurug (Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp-3, dan Acaulospora sp), isolat gabungan asal Gunung Putri (Acaulospora sp, Glomus sp-1, Glomus sp-2, dan glomus sp-3), isolat FMA gabungan asal Sukamulia (Glomus sp-1, Glomus sp-2, Acaulospora sp-1, Acaulospora sp-2, dan Scutelospora sp), dan 2 jenis inokulum tunggal Glomus, dan Gigaspora yang diinokulasikan pada 3 aksesi pegagan, yaitu: Boyolali, Ciwidey dan Smugrim. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kompatibilitas dan efektivitas beberapa isolat FMA terhadap pertumbuhan dan hasil pegagan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa FMA kompatibel bersimbiosis dengan 3 aksesi tanaman pegagan ditunjukkan dengan kolonisasi FMA pada akar tanaman pegagan tergolong tinggi hingga sangat tinggi. Inokulasi FMA tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman, akan tetapi memiliki efektivitas yang tinggi dalam meningkatkan hasil biomassa serta mampu meningkatkan serapan hara N, P dan K masing-masing 43.9, 40.9, 49.5, dan 48.2% lebih tinggi dibandingkan kontrol. Efektivitas tertinggi diperlihatkan isolat FMA gabungan asal Cicurug yang mampu meningkatkan panjang akar, bobot kering akar, bobot kering terna, serapan hara N, P dan K. Aksesi Boyolali dan Ciwidey lebih unggul dibandingkan aksesi Smugrim. Kata kunci: kompatibilitas, efektivitas, fungi mikoriza arbuskula (FMA), aksesi pegagan
Abstract The research was conducted to investigate the compatibility and effectivity of five isolates of arbuscular mycorrhizal fungi (AMF) on the growth and yield of three accessions of asiatic pennywort (Centella asiatica (L.) Urban) at the Indonesian Medicinal and Aromatic Crops Research Institute, Bogor, from July to November 2008, using andosol soil from Gunung Putri, Cipanas in plastic pot as media. Compatibility and effectivity test was carried out for 3 endogenous AMF species in asiatic pennywort rhizospheres, namely mixed isolate from Cicurug (Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp-3, Acaulospora sp), mixed isolate
44 from Gunung Putri (Acaulospora sp, Glomus sp-1, Glomus sp-2, glomus sp-3), mixed isolate from Sukamulia (Glomus sp-1, Glomus sp-2, Acaulospora sp-1, Acaulospora sp-2, Scutelospora sp), and 2 AMF Genotypes single isolate (Glomus, and Gigaspora) to 3 accessions asiatic pennywort: Boyolali, Ciwidey and Smugrim. The aim of this research was study of the compatibility and effectivity of several AFM isolate for the growth and yield of asiatic pennywort. The result showed that higher colonization in the plant root showed the compatibility of AFM with three accession asiatic pennywort. Inoculation of AMF increased the yield and N, P, and K uptake respectively 43.9, 40.9, 49.5 and 48.2%, but insignificantly increased the growth variables of mother plant. Mixed isolates from Cicurug had the highest effectiveness to increase root length, root dry weight, shoot dry weight, and N, P, K uptake. Boyolali and Ciwidey accession yield were better than Smugrim accession. Key words: compatibility, effectivity, arbuscular mycorrhizal fungi (AMF), asiatic pennywort accessions
Pendahuluan Kompatibilitas antara jenis FMA dan tanaman inang adalah kemampuan kedua simbion menggunakan fungsi simbiosis secara maksimal. Bagi FMA, fungsi tersebut dapat dilihat dari adanya pembentukan dan perkembangan strukur arbuskula vesikula di dalam sel-sel akar. Sementara itu, bagi tanaman inang fungsi tersebut berupa peningkatan pertumbuhan dan hasil (Smith dan Read 1997). Terbentuknya simbiosis antara FMA dan tanaman sangat tergantung pada jenis FMA, genotipe tanaman, dan kondisi tanah serta interaksi ketiganya (Brundrett et al. 1996). Setiap jenis tanaman memberikan tanggap yang berbeda terhadap FMA, demikian juga jenis tanah berkaitan erat dengan pH dan tingkat kesuburan tanah. Setiap FMA memiliki perbedaan dalam kemampuan meningkatkan penyerapan hara dan pertumbuhan tanaman (Daniels & Menge 1981) sehingga akan berbeda pula efektivitasnya dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman. Fungi yang kompatibel belum tentu efektif, karena efektivitas dalam simbiosis diindikasikan dengan keragaan pertumbuhan tanaman inang yang lebih baik (Lapanjang 2010). Tanaman pegagan dapat ditemukan di dataran rendah sampai dengan ketinggian 2500 m dpl (Heyne 1987). Penanaman pegagan di dataran tinggi memberikan kandungan bioaktif (asiatikosida) yang lebih tinggi dibanding di dataran rendah (Ghulamahdi et al. 2008). Tanah di daerah dataran tinggi umumnya di dominasi jenis tanah andosol. Defisiensi hara fosfor (P) adalah salah
45 satu kendala dalam budidaya pada tanah andosol, tanah-tanah tersebut tidak hanya memiliki fosfor tersedia rendah, tetapi juga memfiksasi sebagian besar fosfor yang diberikan sehingga dibutuhkan banyak pupuk untuk mendapatkan respon tanaman. Fiksasi hara fosfor adalah faktor utama penyebab ketersediaan P rendah di tanah (Syarif 2007). Hasil analisis tanah andosol pada tahun 2008 menunjukkan reaksi tanah sangat masam (pH 4.45), kandungan P tersedia rendah, kandungan Fe sangat tinggi, sedangkan kandungan Al dan Mn tergolong tinggi. Salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan tanaman dalam penyerapan unsur hara pada andosol diduga dapat dilakukan dengan aplikasi teknologi mikroba melalui pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula (FMA). FMA menghasilkan enzim asam fosfatase yang mampu mengkatalisis hidrolisis kompleks fosfor yang tidak tersedia menjadi fosfor yang larut dan tersedia (Joner & Johansen 2000; Feng et al. 2003). Peningkatan penyerapan hara pada tanaman yang bersimbiosis dengan FMA disebabkan oleh adanya (1) pengurangan jarak bagi hara untuk memasuki akar tanaman, (2) peningkatan rata-rata penyerapan hara dan konsentrasi pada bidang serap, dan (3) perubahan secara kimia sifat-sifat hara sehingga memudahkan penyerapannya ke dalam akar tanaman (Abbott & Robson 1984). Aplikasi FMA pada andosol diharapkan dapat memfasilitasi meningkatnya ketersediaan hara, utamanya hara P. Setiap jenis FMA berbeda ukuran spora, ukuran hifa, lama perkecambahan spora, lama pembentukan apresorium (Smith & Read 2008), dan respon terhadap eksudat dari tanaman inang (Akiyama et al. 2005). Semakin besar garis tengah hifa semakin besar volume yang dapat menampung larutan hara yang diangkut ke tanaman, namun demikian, ukuran hifa yang besar juga berpotensi merugikan tanaman inang karena meningkatnya aliran karbon hasil fotosintesis yang dihasilkan oleh tanaman ke FMA. Sekitar 20% karbon fotosintat dialirkan oleh tanaman ke FMA, nisbah kehilangan karbon dengan perolehan larutan hara menentukan keuntungan atau kerugian tanaman dalam bersimbiosis dengan FMA. (Smith & Read 2008). Berdasarkan hal tersebut perlu diuji kompatibilitas dan efektivitas jenis FMA terhadap pegagan pada media tanah andosol. Jenis FMA yang diisolasi dari rizosfer pertanaman pegagan telah didapatkan pada penelitian sebelumnya yaitu
46 spora gabungan (mix spores) berasal dari Cicurug, Gunung Putri, dan Sukamulia yang akan dibandingkan dengan spora tunggal Glomus etunicatum dan Gigaspora margarita untuk diuji kompatibilitas dan efektivitasnya pada tanaman pegagan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis FMA yang kompatibel dan efektif terhadap pertumbuhan dan biomassa tiga (3) aksesi pegagan.
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) Bogor. Analisis laboratorium di laksanakan di Laboratorium Pasca Panen Balittro, dan Laboratorium Ekofisiologi Balittro. Penelitian dilakukan dari bulan Juli 2008 sampai dengan Nopember 2008.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 3 aksesi pegagan dengan kandungan asiatikosida tinggi berdasarkan hasil seleksi yang dilakukan Martono (2011), yaitu Casi 016 (Boyolali), Casi 008 (Ciwidey), dan Casi 019 (Smugrim), media tanam berupa tanah jenis andosol, inokulum FMA, basamid, pot plastik diameter 40 cm, polybag, pupuk kandang sapi, kertas saring, aquades, bahan kimia untuk pewarnaan akar : larutan, trypan blue, KOH 10%, HCl 2%, H2O2, gliserol, asam laktat. Peralatan yang digunakan terdiri dari: leaf area meter untuk mengukur luas daun, jangka sorong, seperangkat alat penyaring sieving, seperangkat alat untuk sterilisasi tanah, gelas ukur, kaca obyek, kaca penutup, pinset, pipet, pisau scalpel, cawan Petri, mikroskop, timbangan analitik, timbangan kasar, ayakan, oven, alat ukur dan alat tulis.
Metodologi Penelitian Percobaan faktorial dengan dua (2) perlakuan dan disusun menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah jenis
47 FMA, yaitu tanpa FMA, isolat tunggal Glomus etunicatum, isolat tunggal Gigaspora margarita (merupakan spora tunggal yang diperoleh dari Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB), isolat FMA asal Gunung Putri, isolat FMA asal Sukamulia, dan isolat FMA asal Cicurug. Faktor kedua adalah nomor harapan pegagan unggul kandungan bioaktifnya yaitu: aksesi Boyolali, Smugrim dan Ciwidey. Terdapat 6 x 3 x 3 = 54 unit percobaan, dan setiap unit percobaan terdiri atas empat pot tanaman. Denah percobaan disajikan pada Lampiran 4. Model aditif linier yang digunakan adalah sebagai berikut (Sastrosupadi 2000; Mattjik & Sumertajaya 2002): Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Dimana: Yijk = nilai pengamatan untuk faktor FMA ke-i, faktor aksesi ke-j dan pada ulangan ke-k µ
= nilai tengah umum
αi
= pengaruh faktor FMA pada level ke-i (i = 1,2,3,4,5,6)
βj
= pengaruh faktor aksesi pada level ke-j (j = 1,2,3)
(αβ)ij = interaksi FMA pada level ke-i, dan aksesi pada level ke-j εijk
= galat percobaan untuk faktor FMA ke-i, aksesi ke-j, dan ulangan ke-k Pelaksanaan penelitian dimulai dari persiapan media tanam, penyiapan
inokulum FMA, persiapan bahan tanam, penanaman, pemeliharaan tanaman, pengamatan, dan analisis di laboratorium. Teknik budidaya mengacu pada Januwati dan Yusron (2005).
Pelaksanaan Penelitian Penyiapan media tanam Tanah jenis andosol dari lapangan dibersihkan dari batuan/kerikil dan kotoran, dikering-anginkan, digemburkan dan diayak dengan ukuran 2 mm. Tanah kemudian disterilkan dengan cara fumigasi menggunakan basamid dengan dosis 40 g per 1 ton tanah). Tanah yang sudah dibersihkan dan dikeringkan
48 dihamparkan dengan alas plastik, selanjutnya basamid sesuai dengan dosis di taburkan diatas hamparan tanah serta diaduk secara merata. Campuran tanah dan basamid selanjutnya diberi air secukupnya sehingga kondisinya lembab dan basamid terlarut pada tanah. Langkah berikutnya adalah menutup tanah yang disterilisasi dengan plastik secara rapat. Satu minggu kemudian lapisan tanah dibalik dan ditutup lagi dengan plastik. Proses sterilisasi diakhiri pada minggu kedua, dengan membuka plastik penutup. Tanah dibiarkan beberapa hari untuk memastikan proses inkubasi selesai sehingga tidak memberikan efek negatif dari basamid, apabila dari tanah tersebut tumbuh gulma atau tumbuhan lain maka menandakan tanah steril tersebut sudah siap digunakan, selanjutnya menimbang tanah sebanyak 5 kg dan dimasukkan dalam pot plastik dengan diameter 40 cm.
Pembibitan Pembibitan pegagan dilakukan dalam polybag berukuran (10x15 cm), dengan media pembibitan adalah campuran tanah dan pupuk organik dengan perbandingan 1:1 yang sebelumnya sudah disterilkan, media tanam selanjutnya dibasahi kemudian dibuat lubang tanam. Sumber bibit berasal dari stek stolon 3 ruas dari 3 aksesi tanaman pegagan. Sebelum bibit pegagan ditanam, inokulum FMA sebanyak 20 g dimasukkan terlebih dahulu ke dalam lubang tanam, sehingga diharapkan terjadi kontak antara FMA dengan akar tanaman. Tidak dilakukan inokulasi FMA pada bibit tanpa mikoriza. Untuk menghindari kontaminasi antar perlakuan (mikoriza dan non mikoriza), bibit dipisahkan dalam bak-bak plastik yang berbeda, demikian pula penempatannya saling berjauhan, selanjutnya bibit ditempatkan pada tempat yang teduh. Pemeliharaan dilakukan dengan melakukan penyiraman dan pengendalian hama serta penyakit bila ditemukan gejala serangan. Bibit siap di pindah pada umur empat (4) minggu.
Penanaman dan Pemeliharaan Sebelum dilakukan penanaman, dibuat lubang tanam pada media sebesar ukur pot bibit dengan lebar 10 cm dan kedalaman 15 cm. Bibit yang sehat berumur kurang lebih empat minggu (4–5 daun), dipindahkan dari pot pembibitan ke dalam media tanam masing-masing satu bibit secara hati-hati sehingga akar
49 masih menyatu dengan media tumbuh bibit. Kebersihan selama menanam harus dijaga agar tidak terjadi kontaminasi antar perlakuan, dengan cara menanam bibit tanaman yang tidak bermikoriza terlebih dahulu selanjutnya baru menanam bibit yang mendapatkan perlakuan mikoriza. Pemeliharaan dilakukan selama kurang lebih 16 minggu. Pemeliharaan antara lain meliputi: penyiraman, pemupukan, pengendalian hama penyakit, kebersihan lingkungan tempat percobaan. Pemberian air dilakukan secukupnya setiap dua hari (hindari jangan sampai tergenang) serta menggunakan air yang bersih, bebas cemaran bahan kimia, dan pH netral. Dalam percobaan ini pemupukan menggunakan pupuk kandang dengan dosis 500 g/pot (20 t/ha), dan batuan fosfat dengan dosis 10.5 g/pot (420 kg/ha) yang diberikan seluruhnya pada saat penyiapan media tanam. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan apabila ditemukan gejala serangan dan infeksi, dalam pengendalian hindari penggunaan bahan kimia, yaitu dengan cara mekanis untuk pengendalian hama dan penggunaan pestisida nabati untuk pengendalian penyakit. Sedangkan kebersihan lingkungan ditujukan untuk menghindari adanya kontaminasi.
Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap semua satuan percobaan, pengamatan karakter agronomi mengacu pada panduan deskriptor yang dikembangkan khusus untuk tanaman pegagan dengan beberapa modifikasi (Bermawie et al. 2006), meliputi: (a) jumlah daun tanaman induk (dihitung jumlah daun pada tanaman induk yang sudah membuka sempurna), (b) panjang tangkai daun (diukur dari permukaan tanah hingga ujung tangkai daun), (c) diameter tangkai daun (diukur pada bagian tengah tangkai daun menggunakan jangka sorong), (d) tebal daun (diukur menggunakan jangka sorong), (e) panjang daun (diukur dari pangkal daun sampai ujung daun), (f) lebar daun (diukur lebar daun terlebar), (g) luas daun total (diukur dengan menggunakan alat leaf area meter), (h) jumlah daun total (dihitung jumlah keseluruhan daun pada tanaman), (i) jumlah stolon primer (dihitung jumlah stolon yang tumbuh dari tanaman induk), (j), jumlah buku pada stolon primer terpanjang (dihitung jumlah buku/ruas pada stolon primer terpanjang), (k) panjang stolon terpanjang (diukur stolong primer terpanjang
50 Komponen hasil dan hasil yang diamati: (a) bobot segar dan kering terna (ditimbang bobot segar dan kering terna per tanaman/pot), (b) panjang akar (diukur dari pangkal batang sampai ujung akar), (c) bobot segar dan kering akar (ditimbang bobot segar dan kering akar tanaman induk dan anakan). Komponen hara yang diamati meliputi: (a) kadar hara N (dilakukan analisis kadar N daun), (b) kadar hara P (dilakukan analisis kadar P daun), (c) kadar hara K (dilakukan analisis kadar K daun), (d) Serapan hara N daun (dihitung dengan mengkalikan antara kadar N daun dengan bobot kering terna), (e) serapan hara P daun (dihitung dengan mengalikan antara kadar P daun dengan bobot kering terna), (f) serapan hara K (dihitung dengan mengalikan antara kadar K daun dengan bobot kering terna). Pengamatan kolonisasi FMA dilakukan di laboratorium Ekofisiologi Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Bogor, menggunakan metode pewarnaan akar dari Philips dan Hayman (1970) yang dimodifikasi Koske dan Gemma (1989) sebagai berikut (Lampiran 5): akar dipisahkan dari bagian atas tanaman dan dicuci bersih yang diikuti perendaman dalam larutan KOH 10% dan dipanaskan pada suhu 90 0C selama 1 jam atau 120 0C selama 15 menit. Langkah selanjutnya akar dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan larutan KOH dan direndam dalam larutan H2O2 selama 10–30 menit. Akar dicuci dengan air mengalir sampai bersih selanjutnya direndam dalam larutan HCl 1% selama 5–10 menit.
Larutan HCl dipindahkan dan akar direndam dalam larutan pewarna
berupa campuran laktogliserin dan larutan tryphan blue 0.05% dan dipanaskan pada suhu 90 oC selama 1 jam atau 120 oC selama 5 menit. Akar siap diamati, kolonisasi ditandai dengan adanya struktur hifa, vesíkula, arbuskula atau salah satu dari ketiganya di bawah mikroskop. Kolonisasi FMA pada akar tanaman (diukur berdasarkan proporsi bidang pandang bermikoriza terhadap total bidang pandang yang diamati). Aras kolonisasi ditentukan berdasarkan kriteria Rajapakse dan Miller (1992) yang dimodifikasi sebagai berikut: < 5% = Sangat rendah (Kelas 1), 6–25% = Rendah (Kelas 2), 26–50% = Sedang (Kelas 3), 51–75% = Tinggi (Kelas 4), dan > 75% = Sangat tinggi (Kelas 5). Σ bidang pandang terkolonisasi % Kolonisasi FMA =
x 100 % Σ bidang pandang yang diamati
51
Penyiapan inokulum FMA Inokulum FMA hasil pemerangkapan dari 3 lokasi rizosfer pegagan diperbanyak secara kultur pot dengan media zeolit berukuran 1–2 mm dengan tanaman inang sorgum. Pengecambahan benih sorgum dilaksanakan pada baki plastik berisi medium tumbuh zeolit yang telah dicuci. Penanaman bibit sorgum dilakukan setelah tumbuh 3–4 daun kurang lebih berumur 7 hari, dilakukan pada pot plastik tempat air mineral berukuran 240 mL yang bagian bawahnya berlubang. Ke dalam pot diisikan medium tumbuh berupa 150 g zeolit yang sudah disterilkan terlebih dahulu. Pemeliharaan kultur meliputi penyiraman, pemberian hara dan pengendalian hama penyakit. Larutan hara yang digunakan adalah pupuk majemuk dengan komposisi (25% N, 5% P, 20% K) dengan konsentrasi 1 g/l air. Pemberian larutan hara dilakukan seminggu sekali sebanyak 20 ml tiap pot kultur. Setelah kultur berumur ± empat bulan, dilakukan pemanenan dengan cara menghentikan penyiraman dan membiarkan tanaman inang kering. Selanjutnya akar tanaman di potong-potong dan bagian yang keras dibuang, untuk kemudian diekstrak sporanya dari medium tumbuh menggunakan metode penyaringan basah (Gedermann & Nicolson 1963) yang kemudian diikuti dengan sentrifugasi (Brundrett et al. 1996), pembilasan dengan air dan penyaringan ulang menggunakan penyaring berukuran 150 dan 45 µm. Air berisi spora dituangkan ke cawan Petri untuk selanjutnya dilakukan penghitungan kepadatan spora.
Analisis data Sidik ragam dilakukan terhadap data yang diperoleh untuk mengetahui pengaruh masing-masing faktor dan interaksinya, jika hasil analisis ragam menunjukan adanya pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) (Gomez & Gomez 1995; Mattjik & Sumertajaya 2002). Analisis ragam menggunakan program SAS versi 9.1
52
Hasil dan Pembahasan
Hasil Analisis ragam menunjukkan tidak terdapat interaksi antara jenis FMA dengan aksesi pegagan terhadap komponen pertumbuhan tanaman. Inokulasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) belum menunjukkan efektivitasnya terhadap peubah jumlah daun tanaman induk dan panjang tangkai daun, hingga umur empat (4) bulan setelah inokulasi. Perbedaan kecepatan tumbuh tanaman lebih dipengaruhi oleh perbedaan aksesi pegagan. Tabel 3 menunjukkan aksesi Boyolali menghasilkan panjang tangkai daun nyata lebih tinggi dibandingkan aksesi Ciwidey dan aksesi Smugrim. Sedangkan pada jumlah daun induk, aksesi Smugrim menghasilkan daun terbanyak dan berbeda nyata dengan aksesi Boyolali dan Ciwidey. Tabel 3 Pengaruh aksesi dan jenis FMA terhadap jumlah daun tanaman induk dan panjang tangkai daun terpanjang pada umur 16 minggu setelah tanam Perlakuan
Jumlah daun induk Panjang tangkai daun ...……cm ……….
Aksesi Boyolali Ciwidey Smugrim
5.2 b 5.2 b 8.3 a
20.39 a 18.27 b 9.38 c
Fungi Mikoriza Arbuskula Tanpa FMA Glomus etunicatum Gigaspora margarita Isolat Gabungan asal Gunung Putri Isolat Gabungan asal Sukamulia Isolat Gabungan asal Cicurug Interaksi
5.4 6.2 6.9 6.6 5.7 6.5 tn
16.07 15.25 15.16 16.98 16.48 16.15 tn
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada setiap kolom, berbeda nyata pada uji DMRT (P < 0.05)
FMA tidak memberikan pengaruh nyata (P> 0.05) terhadap jumlah stolon primer, jumlah buku dan panjang stolon terpanjang. Tabel 4 menunjukkan tanaman tidak memberikan respon positif terhadap inokulasi berbagai jenis FMA, baik isolat indigenous maupun isolat tunggal dibandingkan kontrol. Peubah jumlah stolon primer, jumlah buku dan panjang stolon terpanjang dipengaruhi secara nyata oleh perbedaan varietas. Aksesi Boyolali dan Ciwidey menghasilkan
53 jumlah stolon primer dan jumlah buku 1.3–1.4 dan 1.21–1.25 kali lebih banyak dibandingkan aksesi Smugrim. Demikian pula pada panjang stolon terpanjang, panjang stolon aksesi Boyolali 2 kali lipat lebih panjang dibandingkan aksesi Smugrim. Pertumbuhan dan perkembangan FMA membutuhkan energi berupa karbon fotosintat sebelum dapat memberikan keuntungan bagi pertumbuhan tanaman inangnya (Thompson et al. 1990). Adanya saling ketergantungan yang kuat antara FMA
dengan
inangnya
dalam
bersimbiosis
mengakibatkan
perubahan
keseimbangan neraca hara, kehilangan karbon dengan perolehan perlindungan terhadap cekaman biotik dan abiotik menentukan keuntungan atau kerugian tanaman jika bersimbiosis dengan FMA (Nusantara 2011). Tabel 4 Pengaruh aksesi dan jenis FMA terhadap jumlah stolon primer, jumlah buku, dan panjang stolon terpanjang pada umur 16 minggu setelah tanam Perlakuan
Jumlah stolon primer
Jumlah buku
Panjang stolon terpanjang ……cm …...
Aksesi Boyolali Ciwidey Smugrim
5.2 a 4.8 a 3.7 b
13.1 a 13.5 a 10. 8 b
139.71 a 123.42 b 87.17 c
Fungi Mikoriza Arbuskula Tanpa FMA/kontrol Glomus etunicatum Gigaspora margarita Isolat Gabungan asal Gunung Putri Isolat Gabungan asal Sukamulia Isolat Gabungan asal Cicurug Interaksi
4.5 4.7 4.5 5.1 3.8 5.0 tn
12.4 12.6 12.1 12.4 11.0 14.1 tn
119.62 112.08 123.96 113.92 103.25 132.72 tn
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada setiap kolom, berbeda nyata pada uji DMRT (P < 0.05)
Aksesi Boyolali dan Ciwidey menujukkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik dibandingkan aksesi Smugrim. Dari Tabel 5 menunjukkan luas daun total pada aksesi Boyolali dan Ciwidey meningkat signifikan 4.1–4.9 kali lebih banyak dibandingkan aksesi Smugrim, hal yang sama pada peubah panjang akar meskipun peningkatannya hanya sebesar 1.47–1.59 kali. Inokulasi FMA tidak berpengaruh nyata (P> 0.05) terhadap luas daun total akan tetapi berpengaruh sangat nyata (P< 0.01) terhadap panjang akar. FMA asal
54 Cicurug menghasilkan panjang akar nyata lebih tinggi dibandingkan isolat tunggal G. margarita dan G. etunicatum serta kontrol tetapi tidak berbeda dengan FMA asal Gunung Putri. Kolonisasi FMA yang tinggi tidak selalu memberikan hasil terbaik, G. etunicatum yang mengoloni akar pegagan tertinggi tidak menghasilkan luas daun dan panjang akar yang tinggi, sebaliknya dengan isolat asal Cicurug. Aksesi Ciwidey memberikan respon terbaik terhadap inokulasi FMA (Tabel 5). Tabel 5 Pengaruh aksesi dan jenis FMA terhadap kolonisasi FMA, luas daun total dan panjang akar pada umur 16 minggu setelah tanam Perlakuan
Infeksi FMA ..… % …..
Aksesi Boyolali Ciwidey Smugrim Fungi Mikoriza Arbuskula Tanpa FMA/kontrol Glomus etunicatum Gigaspora margarita Isolat Gabungan asal Gunung Putri Isolat Gabungan asal Sukamulia Isolat Gabungan asal Cicurug Interaksi
Luas daun Panjang akar total …..cm2….. ..…cm …..
78.52 95.24 69.18
1051.50 a 1248.40 a 255.50 b
24.62 a 22.98 a 15.58 b
33.93 82.33 63.60 76.27 77.87 70.90
826.30 789.60 709.90 977.80 777.10 1030.00 tn
18.43 c 21.08 bc 20.35 bc 22.32 ab 18.89 c 25.30 a tn
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada setiap kolom, berbeda nyata pada uji DMRT (P < 0.05)
Perbedaan aksesi menghasilkan bobot kering akar, bobot kering terna dan nisbah tajuk akar yang berbeda sangat nyata (P< 0.01). Tabel 6 menunjukkan Ciwidey sebagai aksesi terbaik tetapi tidak berbeda dengan Boyolali pada bobot kering akar dan bobot kering terna mampu meningkatkan 402.2 dan 239.2% dibandingkan Smugrim. Sebaliknya pada nisbah tajuk-akar, aksesi Smugrim memiliki laju pertumbuhan akar lebih cepat di bandingkan bagian tajuk, sehingga menghasilkan nilai yang tertinggi dan berbeda nyata dengan Ciwidey dan Boyolali. Inokulasi FMA memegang peranan penting dalam meningkatkan beberapa peubah produksi tanaman pegagan, dengan efektivitas masing-masing isolat berbeda. Perbedaan efektivitas jenis isolat tersebut diduga karena adanya perbedaan kemampuan isolat dalam bersimbiosis dengan akar tanaman, ada
55 kemungkinan setiap isolat memiliki preferensi yang berbeda terhadap eksudat yang dikeluarkan oleh akar tanaman pegagan sehingga efektivitas masing-masing isolat juga berbeda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa isolat gabungan asal Cicurug lebih efektif meningkatkan bobot kering akar 67.1% dan bobot kering terna 43.9% dibanding kontrol, dan lebih tinggi 44.0 dan 32.2% dari isolat tunggal Gigaspora margarita, serta 59.0 dan 41.0% dengan Glomus etunicatum (Tabel 6). Tabel 6 Pengaruh aksesi dan jenis FMA terhadap bobot kering akar, bobot kering terna dan nisbah tajuk/akar pada umur 16 minggu setelah tanam Perlakuan
Bobot kering Bobot kering Nisbah akar terna tajuk/akar …g tan-1 ... … g tan-1…
Aksesi Boyolali Ciwidey Smugrim
2.15 a 2.37 a 0.45 b
18.99 a 21.17 a 5.92 b
9.21 b 9.36 b 15.77 a
Fungi Mikoriza Arbuskula Tanpa FMA/kontrol Glomus etunicatum Gigaspora margarita Isolat Gabungan asal Gunung Putri Isolat Gabungan asal Sukamulia Isolat Gabungan asal Cicurug Interaksi
1.37 b 1.44 ab 1.59 ab 1.84 ab 1.40 b 2.29 a tn
13.66 c 13.94 c 14.87 bc 18.01 ab 12.02 c 19.66 a tn
11.68 10.97 12.75 10.64 10.70 11.94 tn
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada setiap kolom, berbeda nyata pada uji DMRT (P < 0.05)
Aksesi pegagan memberikan pengaruh berbeda yang sangat nyata (P< 0.01) dalam penyerapan hara nitrogen, fosfor dan kalium pada jaringan tanaman. Dari Tabel 7 menunjukkan inokulasi FMA pada aksesi Ciwidey mampu meningkatkan serapan hara N, P, dan K masing-masing 3.9, 4.3, dan 3.3 kali lebih tinggi dibandingkan aksesi Smugrim. Diduga FMA berperan dalam meningkatkan serapan hara, ditunjukkan dengan semakin tingginya persentase derajat infeksi FMA maka semakin tinggi pula serapan hara N, P dan K. FMA gabungan asal Cicurug merupakan jenis FMA yang memiliki kompatibilitas
dan
efektivitas
paling
tinggi
dengan
tanaman
pegagan
dibandingkan jenis FMA lainnya yang diuji. Hal itu dapat dijelaskan pada Tabel 7 yang menunjukkan FMA gabungan asal Cicurug secara efektif meningkatkan
56 serapan hara N, P dan K masing-masing 40.9, 49.5, dan 48.2% lebih tinggi dibandingkan kontrol. Tabel 7 Pengaruh aksesi dan jenis FMA terhadap serapan hara N, P dan K serta derajat infeksi pada akar tanaman pada umur 16 minggu setelah tanam Perlakuan
Serapan hara N …g tan-1…
Serapan hara P …g tan-1...
Serapan hara K …g tan-1…
Aksesi Boyolali Ciwidey Smugrim
0.652 a 0.701 a 0.179 b
0.027 b 0.030 a 0.007 c
0.712 b 0.829 a 0.249 c
Fungi Mikoriza Arbuskula Tanpa FMA/kontrol Glomus etunicatum Gigaspora margarita Isolat Gabungan asal Gunung Putri Isolat Gabungan asal Sukamulia Isolat Gabungan asal Cicurug Interaksi
0.472 b 0.460 b 0.472 b 0.619 a 0.377 b 0.665 a tn
0.0198 b 0.0195 b 0.0195 b 0.0253 a 0.0157 b 0.0296 a tn
0.506 b 0.573 b 0.576 b 0.707 a 0.470 b 0.750 a tn
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada setiap kolom, berbeda nyata pada uji DMRT (P < 0.05)
Hasil analisis korelasi sederhana menunjukkan bahwa jumlah daun tanaman induk berkorelasi negatif sangat nyata terhadap semua peubah pertumbuhan, biomassa, dan serapan hara. Panjang tangkai, jumlah stolon primer, jumlah buku, panjang stolon dan luas daun memberikan kontribusi yang nyata dalam meningkatkan bobot kering terna dan serapan hara N, P, K (Tabel 8). Hasil tersebut bermakna bahwa tanaman anakan yang tumbuh dan berkembang pada stolon berperan penting terhadap produktivitas pegagan, sedangkan tanaman induk diduga hanya berperan pada fase pertumbuhan awal. Hasil analisis lintas yang dilakukan Martono (2011) menunjukkan bahwa jumlah stolon, panjang tangkai, dan jumlah daun induk memberikan kontribusi melalui pengaruh langsung yang cukup besar terhadap kadar asiatikosida. Hal tersebut mengindikasikan bahwa peubah jumlah stolon dan panjang tangkai memiliki kontribusi terhadap peningkatan kandungan asiatikosida tanaman pegagan.
Tabel 8 Koefisien korelasi antara peubah komponen pertumbuhan, produksi dan serapan hara N,P dan K Peubah pengamatan Jumlah daun
Jumlah Panjang Jumlah daun tan tangkai stolon induk primer 1
Panjang tangkai Jumlah stolon primer Jumlah buku
-0.744** -0.430tn
1 0.713**
1
-0.484*
0.546*
0.602**
Panjang stolon Panjang akar
-0.614**
0.848** 0.730**
-0.601
0.851
BK akar BK terna
-0.723**
0.826** 0.708**
Luas daun Nisbah tajuk akar Serapan N Serapan P Serapan K
**
**
-0.702
**
**
**
0.830
0.842
**
0.765
Bobot Kering terna
Luas daun
0.744** 0.668
**
0.679** 0.749
**
0.793** 0.941** **
0.825
0.973**
**
**
0.943
1
0.745** 0.761**
0.840** 0.949** 0.967** 0.995** 0.826** 0.932** 0.957** 0.986**
0.765
**
**
1
**
0.850** 0.785** 0.824** 0.755** 0.753
Serapan K
1
-0.705** -0.721**
0.805
**
0.838**
0.774 0.889 0.928 0.959** 1 ** ** ** -0.615 -0.741 -0.824 0.756** -0.757**
-0.698
Serapan Serapan N P
1
0.666 -0.393tn
**
Nisbah tajuk akar
1
0.862 0.705 -0.791** -0.495*
**
**
Panjang Panjang Bobot stolon akar Kering akar
-0.756 0.819**
**
**
**
Jumlah buku
**
0.792
**
0.919
**
0.943
0.984
**
1
0.958** -0.755** 1 0.962** -0.730** 0.990** 0.946
**
**
-0.731
0.977
**
1 0.983**
1
57
58
Pembahasan Pegagan adalah tanaman yang pertumbuhan dan perkembangannya ke arah samping. Fase pertumbuhan awal tanaman hanya ada tanaman induk, dan pada fase pertumbuhan selanjutnya akan tumbuh anakan dari buku-buku yang ada pada stolon primer. Anakan-anakan tersebut akan menjadi individu-individu tanaman baru setelah sistem perakarannya berkembang, sehingga mampu menangkap energi cahaya, menyerap air dan unsur hara dari tanah meskipun terdapat kemungkinan suplai air, hara, fotosintat masih didapatkan dari tanaman induk dengan masih terhubungnya jaringan transpor melalui stolon. Kondisi tersebut memungkinkan terjadinya kompetisi cahaya, air, dan hara antara tanaman induk dengan tanaman anakan. Diduga semakin tinggi jumlah individu-individu anakan yang terbentuk, kompetisi semakin meningkat dan tanaman induk kalah bersaing dalam mendapatkan faktor-faktor tumbuh. Tanaman yang menghasilkan stolon primer dan jumlah buku lebih banyak terdapat kecenderungan pertumbuhan tanaman induknya akan terhambat. Hal tersebut dibuktikan dari Tabel 4 yang menunjukkan jumlah stolon primer dan jumlah buku tertinggi dihasilkan aksesi Boyolali dan Ciwidey nyata lebih tinggi dibandingkan dengan aksesi Smugrim, sehingga mengakibatkan jumlah daun tanaman induknya nyata lebih rendah. Hasil analisis korelasi sederhana antara peubah pada Tabel 8 menunjukkan jumlah daun tanaman induk berkorelasi negatif tidak nyata dengan jumlah stolon primer, dan berkorelasi negatif nyata dengan jumlah buku. Hal tersebut bermakna bahwa semakin tinggi jumlah daun tanaman induk akan menyebabkan rendahnya jumlah buku secara nyata. Simbiosis FMA akan mendatangkan efek negatif, jika manfaat yang didapatkan
tanaman inang nilainya lebih rendah dari korbanan yang harus
diberikan untuk mitra simbiosisnya. FMA membutuhkan karbon fotosintat yang dihasilkan tanaman inang untuk pertumbuhan, perkembangan dan cadangan. Beberapa sumber menyebutkan 15–28% karbon net fotosintat dibutuhkan FMA (Finlay 2004); sekitar 20% karbon fotosintat dialirkan oleh tanaman ke FMA (Harrison 2005; Smith & Read 2008). Aksesi Boyolali dan Ciwidey mengalami penghambatan pertumbuhan tanaman induk, mungkin salah satu faktor
59 penyebabnya adalah efek negatif adanya simbiosis tersebut. FMA bersifat fakultatif obligat, sehingga dapat melangsungkan siklus hidupnya jika ada tanaman inang (Nusantara 2007). Sumber nutrisi berupa karbon untuk pertumbuhan, perkembangan FMA didapatkan 100% dari tanaman inang (Harrison 2005). Jenis FMA tidak menghasilkan perbedaan terhadap jumlah daun tanaman induk dan panjang tangkai dibandingkan tanaman yang tidak diperlakukan FMA. Diduga nisbah karbon dengan perolehan larutan hara lebih tinggi sehingga tanaman mendapatkan kerugian dalam bersimbiosis dengan FMA (Smith & Read 2008). Tingginya kompetisi antara tanaman induk dan anakan dapat menyebabkan rendahnya efisiensi fotosintesis tanaman induk, hal tersebut menyebabkan perlakuan FMA tidak menghasilkan peningkatan pertumbuhan tanaman induk dibanding tanpa perlakuan FMA. Panjang tangkai daun tanaman induk lebih dipengaruhi oleh varietas dibandingkan perlakuan FMA. Aksesi Boyolali dan Ciwidey memberikan hasil yang nyata lebih baik dibandingkan aksesi Smugrim. Perbedaan genetik antar aksesi diduga menjadi salah satu faktor pembeda. Tiga aksesi yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari hasi eksplorasi dari daerah dengan agroekologi yang berbeda. Populasi pegagan yang tumbuh secara alami pada habitat yang luas akan menyebabkan terjadinya proses adaptasi dengan lingkungan. Proses evolusi dan adaptasi pada lingkungan baru yang spesifik akan mengakibatkan masingmasing populasi mengembangkan karakter dan ciri spesifik secara morfologis dan genetik yang berbeda dengan populasi lainya (Martono 2011). Karakter beberapa peubah pertumbuhan saling berkaitan serta saling memberikan pengaruh yang dapat bersifat negatif maupun positif. Hasil analisis korelasi sederhana pada Tabel 8 menunjukkan adanya hubungan negatif yang sangat nyata antara karakter jumlah daun induk dengan panjang tangkai daun. Hal tersebut bermakna bahwa semakin banyak jumlah daun induk yang dihasilkan maka akan mengakibatkan panjang tangkai daun semakin pendek, dan sebaliknya jumlah daun yang sedikit menyebabkan panjang tangkai daun lebih panjang. Respon pertumbuhan dan perkembangan masing-masing aksesi berbeda terhadap perlakuan FMA,
pada Tabel 4 menunjukkan aksesi Boyolali dan
60 Ciwidey memberikan respon yang nyata lebih baik pada peubah jumlah stolon primer, jumlah buku, dan panjang stolon primer terpanjang dibanding aksesi Smugrim.
Pegagan
tergolong
tanaman
yang
tumbuh
menjalar,
dalam
perkembangannya stolon primer, buku dan ukuran stolon memegang peranan yang sangat penting dalam mendukung peningkatan pertumbuhan dan biomassa tanaman, karena dari ketiga peubah tersebut akan terbentuk individu-individu tanaman baru yang mampu menyerap hara, air, dan cahaya serta yang digunakan dalam proses fotosintesis. Semakin tinggi jumlah stolon primer, jumlah buku dan panjang stolon maka daun yang terbentuk semakin meningkat yang akan mendorong peningkatan hasil fotosintat. Hasil analisis korelasi sederhana pada Tabel 8 menunjukkan jumlah stolon primer, jumlah buku, dan panjang stolon memiliki korelasi positip yang sangat nyata (P< 0.01) terhadap produksi terna kering. Simbiosis dengan FMA diduga memberikan keuntungan bagi pegagan, diduga fasilitasi dalam menyediakan hara dan air yang dibutuhkan tanaman meningkat dengan adanya simbiosis tersebut, sehingga tanaman mampu tumbuh dan berkembang lebih baik. Mekanisme peningkatan serapan hara dan air oleh FMA dimungkinkan, seperti dilaporkan bahwa asosiasi FMA memegang peran penting dalam peredaran hara melalui aktivitas mikrobiologi dan keterlibatannya dalam perolehan hara bagi tanaman (Barea 1991; Bethlenfalvay & Schu¨epp 1994). Hifa ekstraradikal dari FMA menghubungkan akar tanaman dengan tanah di sekitarnya sebagai mikro-habitat sehingga meningkatkan volume tanah yang dimanfaatkan oleh tanaman inang, hal tersebut memungkinkan tanaman dapat bertahan hidup pada kondisi hara atau air pada zona pengurasan/depletion zone (Marschner &. Dell 1994). Secara umum kemampuan FMA dalam menginfeksi akar pada penelitian ini termasuk kriteria tinggi sampai sangat tinggi (Rajapakse & Miller 1992). Hal ini menunjukkan bahwa FMA memiliki kompatibilitas yang tinggi dalam bersimbiosis dengan tanaman pegagan, yang ditunjukkan dengan tingginya kemampuan FMA dalam menginfeksi akar tanaman pegagan. Perlakuan FMA tidak berpengaruh nyata terhadap luas daun total, demikian pula antara jenis FMA tidak menunjukkan perbedaan. Kolonisasi akar yang tinggi
61 pada isolat FMA dengan kolonisasi akar yang rendah pada kontrol tidak berpengaruh terhadap luas daun total, sedangkan panjang akar dipengaruhi oleh jenis FMA. Isolat FMA gabungan asal gabungan asal Cicurug (Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp-3, dan Acaulospora sp) menjadi FMA terbaik yang mampu meningkatkan panjang akar 37.3% lebih tinggi dibanding kontrol. Peningkatan serapan hara P pada tanaman merupakan efek yang menguntungkan dari FMA, mekanisme peran FMA secara umum adalah eksplorasi fisik berupa perluasan pada sistem perakaran tanaman yang terkolonisasi FMA (Cardoso & Kupyer 2006). Inokulasi FMA akan merangsang pembentukan perakaran yang lebih luas sehingga volume akar lebih tinggi. Kolonisasi FMA pada akar tanaman tidak selalu meningkatkan panjang akar, akan tetapi merubah arsitektur sistem perakaran secara umum (Berta et al 1995; Zhu et al 2005), sehingga umumnya bobot kering akar meningkat pada tanaman yang di inokulasi FMA. Diduga kecepatan pertumbuhan akar lebih cepat atau setara dengan kecepatan tumbuhan bagian atas tanaman sehingga menyebabkan nisbah tajuk akar lebih rendah. Terdapat korelasi negatip yang sangat nyata antara nisbah tajuk akar dengan bobot kering akar, artinya semakin tinggi bobot kering akar akan mengakibatkan nisbah tajuk akar menjadi rendah. Sebaliknya dengan bobot tajuk, terdapat korelasi positip sangat nyata dengan nisbah tajuk akar. Pemberian FMA meningkatkan bobot kering terna secara nyata, isolat terbaik ditunjukkan FMA gabungan asal Cicurug (Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp-3, dan Acaulospora sp) yang menghasilkan bobot kering terna 43.92 lebih tinggi dibanding kontrol, bahkan lebih tinggi 32.2% dari isolat tunggal G margarita, dan 41.0% dengan G etunicatum tetapi tidak berbeda dengan FMA gabungan asal Gunung Putri. Hasil tersebut menunjukkan bahwa isolat FMA gabungan pada penelitian ini memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan isolat tunggal G margarita, dan G etunicatum. Hasil yang sama dengan hasil penelitian Delvian (2003) yang menggunakan inokulum campuran 2 isolat dan inokulum 3 isolat cenderung lebih efektif dibandingkan isolat tunggal dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman lamtorogung, selanjutnya hasil penelitian Kartika (2006) menunjukkan inokulum campuran 3 isolat lebih efektif dibanding
62 isolat tunggal dalam meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit, serta hasil penelitian Rainiyati (2007) yang menunjukkan inokulum gabungan 5 isolat lebih efektif dibanding isolat tunggal dalam meningkatkan pertumbuhan bibit pisang. Terdapat korelasi positif yang sangat nyata antara serapan hara N, P dan K dengan peubah bobot kering terna, semakin tinggi bobot kering terna maka serapan hara juga meningkat (Tabel 8). Derajat infeksi akar oleh FMA diduga menjadi salah satu indikator, hal ini dapat dilihat dengan tingginya persentase infeksi akar oleh FMA pada aksesi Ciwidey menyebabkan meningkatnya serapan hara N, P dan K dibandingkan 2 aksesi lainnya. Inokulasi FMA mampu meningkatkan serapan hara N, P dan K dibandingkan tanpa inokulasi (kontrol), namun demikian kemampuan masingmasing isolat berbeda. Isolat FMA gabungan asal Cicurug (Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp-3, dan Acaulospora sp) mampu meningkatkan serapan hara N, P dan K tertinggi dibandingkan isolat FMA gabungan asal Sukamulia (Glomus sp-1, Glomus sp-2, Acaulospora sp-1, Acaulospora sp-2, dan Scutelospora sp), isolat tunggal Glomus, isolat tunggal Gigaspora dan tanpa inokulasi (kontrol), akan tetapi tidak berbeda dengan isolat FMA gabungan asal Gunung Putri. Dilihat dari persentase infeksi akar oleh FMA menunjukkan kriteria tinggi pada semua jenis isolat FMA yang diberikan. FMA yang diberikan pada penelitian ini memiliki kompatibilitas yang tinggi dan berpotensi dalam meningkatkan pertumbuhan, hasil tanaman serta serapan hara N, P dan K. Efektivitas setiap FMA selain tergantung jenis FMA itu sendiri juga dipengaruhi oleh jenis tanaman dan jenis tanah serta interaksi antara ketiganya (Brundrett et al 1996). Kompatibilitas yang tinggi antara mikoriza khususnya isolat gabungan asal Cicurug dengan inangnya sangat menentukan efektivitas kinerja mikoriza, hal ini ditunjukkan oleh aktivitas akar dalam penyerapan hara dari tanah. Peningkatan penyerapan hara pada tanaman yang bersimbiosis dengan FMA disebabkan oleh adanya (1) pengurangan jarak bagi hara untuk memasuki akar tanaman, (2) peningkatan rata-rata penyerapan hara dan konsentrasi pada bidang serap, dan (3) perubahan secara kimia sifat-sifat hara sehingga memudahkan penyerapannya ke dalam akar tanaman (Abbott & Robson, 1984).
Kecepatan masuknya hara,
terutama P ke dalam hifa jamur FMA dapat mencapai enam kali lebih cepat
63 daripada kecepatan masuknya P melalui rambut akar (Kabirun 2002). Tanaman yang bermikoriza mempunyai laju penyerapan unsur P meningkat 2–3 kali per unit panjang akar dibanding tanaman tidak bermikoriza (Marschner 1997). FMA dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan reproduktif tanaman, hasil penelitian Aguilera-Comes et al. (1999) mendapatkan bahwa FMA dapat meningkatkan jumlah daun, luas daun, bobot kering tajuk, akar dan buah cabai (Capsicum annuum L) yang meningkat 450%. Dari percobaan pemanfaatan FMA menunjukkan bahwa inokulasi FMA nyata meningkatkan pertumbuhan, serapan hara N, P dan K dan produksi terna serta kandungan minyak atsiri jahe, kumis kucing dan nilam (Trisilawati 2000; 2005; 2007).
Simpulan 1. Jenis FMA dengan aksesi tidak saling berinteraksi terhadap pertumbuhan dan hasil pegagan. 2. Kompatibilitas FMA dengan tanaman pegagan tergolong tinggi (51–75%) pada aksesi Smugrim, dan sangat tinggi (> 75%) pada aksesi Boyolali dan Ciwidey. 3. FMA efektif meningkatkan hasil biomassa dan serapan hara N, P, K pada tanaman pegagan. Efektivitas tertinggi diperlihatkan isolat FMA asal Cicurug yang mampu meningkatkan bobot kering terna (43.9%), dan peningkatan serapan hara N, P dan K (40.9, 49.5, dan 48.2%).
64
KAJIAN PEMANFAATAN FMA DAN PEMUPUKAN P ALAMI DARI DUA SUMBER PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN BIOMASSA TANAMAN PEGAGAN DI ANDOSOL
Abstrak Penggunaan fungi mikoriza arbuskula (FMA) sebagai agensia hayati pada beberapa jenis tanaman saat ini mulai banyak mendapat perhatian. Hal ini tidak saja karena kemampuannya untuk bersimbiosis dengan berbagai jenis tanaman, tetapi yang utama adalah FMA dapat membantu tanaman dalam meningkatkan penyerapan unsur hara. Dewasa ini, penting artinya mendapatkan bahan alternatif yang dapat digunakan sebagai sumber fosfor (P) yang harganya murah, aman bagi lingkungan, dan mudah tersedia. Batuan fosfat dan tepung tulang sapi merupakan jenis bahan alami yang dapat digunakan sebagai sumber P alternatif yang diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan dan biomassa tanaman pegagan. Percobaan rumah kaca dilaksanakan dengan tujuan menguji efektivitas FMA pada jenis dan dosis pupuk P alami terhadap pertumbuhan dan biomassa tanaman pegagan (Centella asiatica (L.) Urban). Percobaan dilaksanakan dengan rancangan acak lengkap yang disusun secara faktorial. Faktor pertama ialah perlakuan FMA (inokulasi FMA dan tanpa FMA). Faktor kedua ialah dosis pupuk P alami (4 taraf dosis batuan fosfat 150, 300, 450, 600 kg ha-1 dan 4 taraf dosis tepung tulang sapi 125, 250, 375, 500 kg ha-1 serta perlakuan kontrol/tanpa pemupukan), yang diulang tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan inokulasi FMA meningkatkan pertumbuhan, serapan hara dan biomassa tanaman pegagan. Pupuk P alami berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan, serapan hara dan biomassa tanaman pegagan. Perlakuan FMA dan pupuk P alami tidak saling berinteraksi kecuali pada serapan hara N. Inokulasi FMA mampu meningkatkan bobot kering daun, bobot kering terna, dan bobot kering total masing-masing sebesar 14.7, 17.1, dan 18.0%. Rekomendasi dosis maksimal batuan fosfat untuk produksi biomasa kering pegagan pada penggunaan FMA adalah sebesar 483.3 kg ha-1, dan dosis maksimal tepung tulang sapi adalah sebesar 339 kg ha-1. Kata kunci: pegagan, fungi mikoriza arbuskula, pupuk P alami, batuan fosfat, tepung tulang sapi
Abstract The use of arbuscular mycorrhiza fungi (AMF) as biological agents in several types of plants are now starting to get more attention. This is due to its ability to symbiosis with various species of plants, specifically to improve the uptake of plant nutriens. It is important to find the alternative materials that can be used as sources of phosphorus due to the need of lower cost, environmentaly friendly, and easily available. Rock phosphate and cow bone meal are some of the
66 natural sources that can be used as a phosphorus for AMF growth and development substrats and increasing growth and biomass of asiatic pennywort (Centella asiatica (L) Urban). A glasshouse experiment was conducted to determine the effectiveness of AMF and different type and dosage of natural phosphate as a fertilizer to increase growth and biomass of asiatic pennywort. The experiment was arranged in completely randomized design with two factors, i.e. treatment of AMF (with and without inoculation of AMF) and type of different of P natural fertilizer (dosage of rock phosphate: 150, 300, 450, and 600 kg ha-1 ; dosage of cow bone meal: 125, 250, 375, and 500 kg ha-1, and without fertilizer as a control), with three replications. The result showed that inoculation of AMF and P natural fertilizer significantly increased the growth, nutrient uptake, and biomass of asiatic pennywort. AMF and P natural fertilizer treatment did not interact except on N nutrient uptake. Inoculation of AMF can increase dry weight of leaf, dry weight of shoot, and total dry weight of production respectively by 14.7, 17.1, and 18.0%. Maximal dosage recommendation of rock phosphate and cow bone meal for production biomass is 483.3 and 339 kg ha-1 applied with AMF. Key word: Centella asiatica (L) Urban, arbuscular mycorrhiza fungi, P natural fertilizer, rock phosphate, cow bone meal Pendahuluan Tuntutan konsumen terhadap keamanan dan kesehatan pangan makin menguat yang menghendaki produksi pertanian yang bebas cemaran bahan-bahan kimia dan logam berat yang membahayakan bagi kesehatan. Di sisi lain harga pupuk yang makin tinggi dan ketersediaannya yang semakin terbatas berpotensi mengakibatkan usahatani tidak efisien. Untuk itu budidaya untuk menghasilkan produk pertanian yang aman harus dilakukan dengan meminimalkan penggunaan input kimiawi. Penggunaan FMA sebagai agensia hayati pada beberapa jenis tanaman saat ini mulai banyak mendapat perhatian. Hal ini tidak saja karena kemampuannya untuk bersimbiosis dengan berbagai jenis tanaman, tetapi yang utama adalah FMA dapat membantu tanaman dalam meningkatkan penyerapan unsur hara. Di samping itu FMA juga mampu melestarikan sumberdaya lahan baik secara fisik serta kimia tanah serta keseimbangan biologi sehingga keseimbangan biologis selalu terpelihara. Fungi mikoriza berpotensi memfasilitasi penyediaan berbagai unsur hara bagi tanaman terutama P. Perbaikan pertumbuhan dan kenaikan hasil berbagai
67 tanaman berkaitan dengan perbaikan nutrisi P tanaman. Unsur hara, khususnya P, berpengaruh langsung dan berpengaruh tidak langsung terhadap FMA melalui respon tanaman terhadap ketersediaan hara, misalnya dengan mengubah pertumbuhan akar atau fotosintesis. Kadar, bentuk, dan kelarutan sumber hara P merupakan faktor penting bagi pembentukan dan perkembangan FMA. Kadar hara P dilaporkan berkorelasi negatif (Amijee et al. 1989; Koide & Li 1990), tidak berkorelasi (Tawaraya et al. 1996), atau berkorelasi positip (Carrenho et al. 2001) terhadap FMA bergantung kepada jenis FMA, jenis tanaman, bentuk, dan kelarutan sumber P-nya (Cardoso 1996; Tawaraya et al. 1996; Nikolaou et al. 2002; Bhadalung et al. 2005). Pada batas-batas tertentu penambahan P merangsang perkecambahan spora FMA, tetapi kadar P yang tinggi akan menghambat pertumbuhan FMA. Kadar hara substrat tidak boleh melampaui batas maksimum 70 ppm untuk P dan 50 ppm untuk N (Feldman & Idczak 1992). Penggunaan fosfat yang rendah kelarutannya, misalnya dalam bentuk batuan fosfat, kalsium fosfat, dan tepung tulang lebih efektif untuk memelihara perkembangan FMA dan meningkatkan kolonisasi akar (Nikolaou et al. 2002). Tepung tulang sapi dan batuan fosfat sebagai sumber hara P alami cukup potensial, hasil analisis laboratorium pasca panen Balittro pada bulan Nopember 2009 terhadap sampel tepung tulang sapi dan batuan fosfat yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan kandungan P2O5 masing-masing sebesar 15.07, dan 9.83%. Hasil penelitian Nusantara et al. (2007) mendapatkan bahwa tepung tulang ayam dan tepung kulit telur memberikan efek yang kurang baik terhadap perkembangan FMA dan hasil terbaik adalah dengan tepung tulang sapi. Batuan fosfat merupakan sumber hara P dan bersifat dapat melepaskan fosfat secara lambat yang kelarutannya makin tinggi dengan meningkatnya kemasaman tanah (Bogidarmanti 2008). Keunggulan pupuk P tersebut didasarkan pada tingkat kelarutannya, sehingga sesuai digunakan pada tanah-tanah dengan daya fiksasi tinggi, terutama pada tanah masam, seperti tanah andosol (Leiwakabessy & Sutandi 2004). Informasi mengenai keunggulan FMA dalam meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman sudah banyak disampaikan, namun hal tersebut belum mampu mendorong percepatan pemanfaatan FMA sebagai agen hayati.
68 Penyebab utama permasalahan tersebut adalah respon terhadap inokulasi FMA seringkali bersifat lambat dan tidak menentu (Nusantara 2011). Berbagai laporan tersebut menunjukkan bahan organik berpotensi meningkatkan kelimpahan dan sporulasi FMA dalam tanah, namun demikian hasil akhirnya ditentukan oleh jenis FMA, jenis tanaman inang, jenis bahan organik, derajat dekomposisi, kadar hara bahan organik khususnya fosfat, dan karakteristik tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh FMA, jenis serta dosis pupuk P alami terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman pegagan.
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di rumah kaca Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor dari dari bulan April sampai dengan bulan September 2010. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan antara lain: aksesi pegagan Boyolali, tanah jenis andosol, inokulum FMA campuran (mix) Cicurug, basamid, pot plastik, polybag, pupuk kandang sapi, batuan fosfat, tepung tulang sapi, abu sekam, kertas saring, aquades, bahan-bahan kimia untuk pewarnaan akar. Batuan fosfat diperoleh dari Laboratorium Ekofisiologi Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro), sedangkan tepung tulang sapi diperoleh dari Brebes, karakteristik kimia masing-masing bahan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Kadar hara batuan fosfat dan tepung tulang sapi Jenis unsur N (%) P (%) Nisbah N/P K (%) Ca (%) Mg (%)
Batuan fosfat
Tepung tulang sapi
1.04 9.83 0.10 0.11 21.82 0.19
4.07 15.07 0.27 0.06 10.20 0.40
Hasil analisis Laboratorium Pasca Panen Balittro, Bogor.
Peralatan yang digunakan terdiri dari : leaf area meter, jangka sorong, seperangkat alat penyaring sieving, seperangkat alat untuk sterilisasi tanah, gelas
69 ukur, kaca obyek, kaca penutup, pinset, pipet, pisau scalpel, cawan Petri, mikroskop, timbangan analitik, timbangan kasar, ayakan, oven, alat ukur dan alat tulis. Metode Penelitian Percobaan faktorial dengan dua (2) faktor dan disusun menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah jenis isolat FMA, yaitu: (1) tanpa FMA dan (2) FMA asal Cicurug. Faktor kedua adalah jenis dan dosis pupuk P alami dengan 9 taraf, yaitu: 0 (kontrol), 150, 300, 450, 600 kg ha-1 batuan fosfat; 125, 250, 375, dan 500 kg ha-1 tepung tulang sapi. Percobaan terdiri dari 18 perlakuan dan tiga ulangan, setiap unit perlakuan terdiri dari 4 pot dan diulang 3 kali sehingga terdapat 216 pot percobaan. Denah percobaan disajikan pada Lampiran 6. Model aditif linier yang digunakan adalah: Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Dimana : Yijk = nilai pengamatan untuk faktor FMA ke-i, faktor pupuk P ke-j dan pada ulangan ke-k µ
= nilai tengah umum
αi
= pengaruh faktor FMA pada level ke-i (i = 1,2)
βj
= pengaruh faktor pupuk P pada level ke-j (j = 1,2,3,45,6,7,8,9)
(αβ)ij = interaksi FMA pada level ke-i, dan pupuk P pada level ke-j εijk
= galat percobaan untuk faktor FMA ke-i, pupuk P ke-j, dan ulangan ke-k (Sastrosupadi 2000; Mattjik & Sumertajaya 2002) Pelaksanaan penelitian dimulai dari persiapan media tanam, penyiapan
inokulum FMA, persiapan bahan tanam, penanaman, pemeliharaan tanaman, pengamatan, dan analisis di laboratorium. Teknik budidaya mengacu pada Januwati dan Yusron (2005). Persiapan media tanam Tanah jenis andosol dari lapangan dibersihkan dari batuan/kerikil dan kotoran, dikering-anginkan, digemburkan dan diayak dengan ukuran 2 mm. Tanah kemudian disterilkan dengan cara fumigasi menggunakan basamid dengan dosis
70 40 g per 1 ton tanah). Tanah yang sudah dibersihkan dan dikeringkan dihamparkan dengan alas plastik, selanjutnya basamid sesuai dengan dosis di taburkan di atas hamparan tanah serta diaduk secara merata. Campuran tanah dan basamid selanjutnya diberi air secukupnya sehingga kondisinya lembab dan basamid terlarut pada tanah. Langkah berikutnya adalah menutup tanah yang disterilisasi dengan plastik secara rapat. Satu minggu kemudian lapisan tanah dibalik dan ditutup lagi dengan plastik. Proses sterilisasi diakhiri pada minggu kedua, dengan membuka plastik penutup. Tanah dibiarkan beberapa hari untuk memastikan proses inkubasi selesai sehingga tidak memberikan efek negatif dari basamid, apabila dari tanah tersebut tumbuh gulma atau tumbuhan lain maka menandakan tanah steril tersebut sudah siap digunakan. Selanjutnya menimbang tanah sebanyak 5 kg dan dimasukkan dalam pot plastik dengan diameter 40 cm. Pembibitan Pembibitan pegagan dilakukan dalam polybag berukuran (10 cm x 15 cm), dengan media pembibitan adalah campuran tanah dan pupuk organik dengan perbandingan 1:1 yang sebelumnya sudah disterilkan, media tanam selanjutnya dibasahi kemudian dibuat lubang tanam. Sumber bibit berasal dari stek stolon 3 ruas dari induk tanaman pegagan aksesi Boyolali. Sebelum bibit pegagan ditanam, inokulum FMA sebanyak 20 g dimasukkan terlebih dahulu ke dalam lubang tanam, sehingga diharapkan terjadi kontak antara FMA dengan akar tanaman. Inokulasi tidak dilakukan pada bibit perlakuan tanpa mikoriza. Untuk menghindari kontaminasi antar perlakuan (mikoriza dan non mikoriza), bibit dipisahkan dalam bak-bak plastik yang berbeda, demikian pula penempatannya saling berjauhan, selanjutnya bibit ditempatkan pada tempat yang teduh. Pemeliharaan dilakukan dengan melakukan penyiraman dan pengendalian hama serta penyakit bila ditemukan gejala serangan. Bibit siap ditanam pada umur satu bulan. Penanaman dan Pemeliharaan Media tanam yang digunakan adalah media dengan tanah jenis Andosol. Aplikasi perlakuan pupuk P alami diberikan bersamaan dengan penyiapan media, yaitu diberikan sebelum tanam dengan cara mencampurkan pupuk P alami secara
71 merata pada pot sesuai dengan dosis perlakuan. Sedangkan untuk kecukupan hara N dan K menggunakan pupuk kandang dengan dosis 500 g/pot (20 t/ha) dan abu sekam 34 g/pot yang aplikasinya diberikan secara bersamaan dengan pupuk P alami. Pot-pot yang telah berisi media tumbuh tersebut disusun pada rak-rak di rumah kaca yang di bawahnya diberi alas sehingga pot tidak menyentuh langsung pada permukaan rak. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kontaminasi FMA antar perlakuan melalui air penyiraman. Selanjutnya pot-pot tersebut disiram air hingga basah dan dibiarkan satu malam sebelum penanaman. Sebelum dilakukan penanaman, dibuat lubang tanam pada media sebesar ukur pot bibit dengan lebar 10 cm dan kedalaman 15 cm. Bibit yang sehat berumur kurang lebih empat minggu (4–5 daun), dipindahkan dari pot pembibitan ke dalam media tanam masing-masing satu bibit secara hati-hati sehingga akar masih menyatu dengan media tumbuh bibit. Kebersihan selama menanam harus dijaga agar tidak terjadi kontaminasi antar perlakuan. Pemeliharaan dilakukan selama kurang lebih 16 minggu. Pemeliharaan antara lain meliputi: penyiraman, pengendalian hama penyakit, kebersihan lingkungan tempat percobaan. Pemberian air dilakukan secukupnya setiap dua hari. Pengendalian hama dilakukan apabila ditemukan gejala serangan dan dilakukan secara manual, dalam pengendalian hindari penggunaan bahan kimia. Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap semua satuan percobaan, pengamatan karakter agronomi mengacu pada panduan deskriptor yang dikembangkan khusus untuk tanaman pegagan dengan beberapa modifikasi (Bermawie et al. 2006), meliputi : (a) jumlah daun tanaman induk (dihitung jumlah daun pada tanaman induk yang sudah membuka sempurna), (b) panjang tangkai daun (diukur dari permukaan tanah hingga ujung tangkai daun), (c) diameter tangkai daun (diukur pada bagian tengah tangkai daun menggunakan jangka sorong), (d) tebal daun (diukur menggunakan jangka sorong), (e) panjang daun (diukur dari pangkal daun sampai ujung daun), (f) lebar daun (diukur lebar daun terlebar), (g) luas daun total (diukur dengan menggunakan alat leaf area meter), (h) jumlah daun total (dihitung jumlah keseluruhan daun pada tanaman), (i) jumlah stolon primer
72 (dihitung jumlah stolon yang tumbuh dari tanaman induk), (j) jumlah stolon sekunder (dihitung jumlah stolon yang tumbuh pada stolon primer), (k) jumlah buku pada stolon primer terpanjang (dihitung jumlah buku/ruas pada stolon primer terpanjang), (l) jumlah buku pada stolon primer terpendek dihitung jumlah buku/ruas pada stolon primer terpendek), (m) jumlah daun pada stolon primer terpanjang (dihitung jumlah daun pada stolon primer terpanjang), (n) jumlah daun pada stolon primer terpendek (dihitung jumlah daun pada stolon primer terpendek). Karakter pigmen yang diukur (a) klorofil a, (b) klorofil b, (c) klorofil total. Komponen hasil dan hasil yang diamati: (a) bobot kering terna (ditimbang bobot kering terna per tanaman/pot), (b) bobot kering daun (ditimbang bobot kering daun per tanaman/pot), (c) panjang akar (diukur dari pangkal batang sampai ujung akar), (d) bobot kering akar (ditimbang bobot kering akar tanaman induk dan anakan). Komponen hara yang diamati meliputi: (a) kadar hara N (dilakukan analisis kadar N daun), (b) kadar hara P (dilakukan analisis kadar P daun), (c) kadar hara K (dilakukan analisis kadar K daun), (d) Serapan hara N daun (dihitung dengan mengalikan antara kadar N daun dengan bobot kering daun), (e) serapan hara P daun (dihitung dengan mengalikan antara kadar P daun dengan bobot kering daun), (f) serapan hara K (dihitung dengan mengalikan antara kadar K daun dengan bobot kering daun). Pengamatan kolonisasi FMA dilakukan di laboratorium Ekofisiologi Balittro Bogor menggunakan metode pewarnaan akar dari Philips dan Hayman (1970) yang dimodifikasi Koske dan Gemma (1989) sebagai berikut. Akar dipisahkan dari bagian atas tanaman dan dicuci bersih yang diikuti perendaman dalam larutan KOH 10% dan dipanaskan pada suhu 90 0C selama 1 jam atau 120 0
C selama 15 menit. Langkah selanjutnya akar dicuci dengan air mengalir untuk
menghilangkan larutan KOH dan direndam dalam larutan H2O2 selama 10–30 menit. Cuci akar dengan air mengalir sampai bersis selanjutnya direndam dalam larutan HCl 1% selama 5–10 menit. Pindahkan larutan HCl dan akar direndam dalam larutan pewarna berupa campuran laktogliserin dan larutan tryphan blue 0.05% panaskan pada suhu 90 0C selama 1 jam atau 120 0C selama 5 menit. Akar siap diamati, kolonisasi ditandai dengan kenampakan struktur hifa, vesíkula, arbuskula atau salah satu dari ketiganya di bawah mikroskop. Kolonisasi FMA
73 pada akar tanaman (diukur berdasarkan proporsi bidang pandang bermikoriza terhadap total bidang pandang yang diamati). Aras kolonisasi ditentukan berdasarkan kriteria Rajapakse dan Miller (1992) yang dimodifikasi sebagai berikut: < 5% = Sangat rendah (Kelas 1), 6–25% = Rendah (Kelas 2), 26–50% = Sedang (Kelas 3), 51–75% = Tinggi (Kelas 4), dan > 75% = Sangat tinggi (Kelas 5). Pengamatan kadar hara jaringan dilakukan di laboratorium Pasca Panen Balittro mengikuti metode baku analisis hara jaringan. Sampel daun yang dianalisis mengacu Ghulamahdi et al. (2009) yaitu: untuk kadar N pada posisi daun ke-4 tanaman induk, kadar P pada posisi daun ke-3 tanaman induk, dan kadar K pada posisi daun ke-4 tanaman induk. Pengamatan pigmen (klorofil daun) dilakukan di laboratorium Pasca Panen Balittro mengikuti prosedur Sims dan Gamon (2002). Analisis data Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis ragam untuk mengetahui pengaruh masing-masing faktor dan interaksinya, jika hasil analisis ragam menunjukkan adanya pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan’s Multiple Range Test. Analisis ragam menggunakan program SAS versi 9.1 Penyiapan inokulum FMA Inokulum FMA asal Cicurug diperbanyak secara kultur pot dengan media zeolit berukuran 1–2 mm dengan tanaman inang sorgum. Pengecambahan benih sorgum dilaksanakan pada baki plastik berisi medium tumbuh zeolit yang telah dicuci. Penanaman bibit sorgum dilakukan setelah tumbuh 3–4 daun kurang lebih berumur 7 hari, dilakukan pada pot plastik tempat air mineral berukuran 240 mL yang bagian bawahnya berlubang. Ke dalam pot diisikan medium tumbuh berupa 150 g zeolit yang sudah disterilkan terlebih dahulu. Pemeliharaan kultur meliputi penyiraman, pemberian hara dan pengendalian hama penyakit. Larutan hara yang digunakan adalah pupuk majemuk dengan komposisi (25% N, 5% P, 20% K) dengan konsentrasi 1 g/l air. Pemberian larutan hara dilakukan seminggu sekali sebanyak 20 ml tiap pot kultur. Setelah kultur berumur ± empat bulan, dilakukan
74 pemanenan dengan cara menghentikan penyiraman dan membiarkan tanaman inang kering. Selanjutnya akar tanaman di potong-potong dan bagian yang keras dibuang, untuk kemudian diekstrak sporanya dari medium tumbuh menggunakan metode penyaringan basah (Gerdermann & Nicolson 1963) yang kemudian diikuti dengan sentrifugasi (Brundrett et al. 1996), pembilasan dengan air dan penyaringan ulang menggunakan penyaring berukuran 150 dan 45 µm. Air berisi spora dituangkan ke cawan Petri untuk selanjutnya dilakukan penghitungan kepadatan spora.
Hasil dan Pembahasan Hasil Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa bibit pegagan yang diperlakukan dengan FMA memberikan pertumbuhan yang lebih baik dibanding kontrol, yang ditunjukkan dengan tinggi bibit yang lebih baik serta jumlah daun yang lebih banyak serta lebih sehat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8.
a
b
c
Gambar 8 Perbanyakan spora FMA (a), bibit pegagan bermikoriza (b) bibit nonmikoriza (c) pada umur 1 bulan di pembibitan Inokulasi FMA berpengaruh sangat nyata dan nyata terhadap jumlah daun tanaman induk, jumlah tangkai daun tanaman induk, jumlah stolon primer, jumlah stolon sekunder, jumlah buku pada stolon primer terpanjang, jumlah daun total, jumlah bunga, luas daun, serapan hara N, P, K, bobot segar (akar, daun, terna, total), bobot kering (akar, daun, terna, total), produksi segar dan kering (daun, terna), tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap panjang tangkai daun, panjang daun, lebar daun, diameter tangkai daun, tebal daun, jumlah buku pada stolon
75 primer terpendek, jumlah daun pada stolon primer terpanjang dan terpendek, jumlah klorofil a, jumlah klorofil b, total klorofil, dan panjang akar (Tabel 10). Tabel 10 Rangkuman hasil analisis ragam pengaruh inokulasi fungi mikoriza arbuskula (FMA), sumber dan dosis pupuk P alami terhadap peubah yang diamati No
Peubah
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Jumlah daun tanaman induk Jumlah tangkai daun Panjang tangkai daun Panjang daun Lebar daun Diameter tangkai daun Tebal daun Jumlah stolon primer Jumlah stolon sekunder Jumlah buku pada stolon terpanjang Jumlah buku pada stolon terpendek Jumlah daun pada stolon terpanjang Jumlah daun pada stolon terpendek* Jumlah daun total Luas daun Klorofil A Klorofil B Total klorofil Serapan hara N Serapan hara P Serapan hara K Panjang akar Kolonisasi FMA akar tan induk Kolonisasi FMA akar tan anakan Bobot kering akar per tanaman Bobot kering daun per tanaman Bobot kering terna per tanaman Bobot kering total per tanamn
FMA **
** tn tn tn tn tn ** ** ** tn tn tn ** ** tn tn tn * ** ** tn ** ** ** ** ** **
Dosis P alami tn tn tn tn tn tn tn tn tn ** tn ** tn * ** tn tn tn ** * * * tn tn ** * * **
M*P
KK
tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn * tn tn tn tn tn tn tn tn tn
18.88 18.91 17.78 14.66 15.63 13.62 14.12 13.21 19.44 5.98 26.07 16.06 17.69 19.40 16.13 21.70 34.44 33.46 17.96 18.18 17.58 11.40 23.61 20.14 15.61 18.02 15.95 14.39
Pupuk P alami berpengaruh sangat nyata dan nyata terhadap jumlah buku pada stolon primer terpanjang, jumlah daun pada stolon primer terpanjang, jumlah daun total, jumlah bunga, luas daun, serapan hara N, P, K, panjang akar, bobot segar (akar, daun, terna, total), bobot kering (akar, daun, terna, total), produksi segar dan kering (daun, terna), tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun tanaman induk, jumlah tangkai daun tanaman induk, panjang tangkai daun, panjang daun, lebar daun, diameter tangkai daun, tebal daun, jumlah stolon
76 primer, jumlah stolon sekunder, jumlah buku pada stolon primer terpendek, jumlah daun pada stolon primer terpendek, jumlah klorofil a, jumlah klorofil b, dan jumlah total klorofil. Kombinasi perlakuan FMA dan pupuk P alami tidak menunjukkan interaksi pada semua peubah yang diamati kecuali pada serapan hara N (Tabel 10). Jumlah daun tanaman induk, jumlah tangkai daun tanaman induk, dan panjang tangkai daun tanaman induk Perlakuan tanpa inokulasi FMA menghasilkan jumlah daun, dan jumlah tangkai daun pada tanaman induk yang lebih banyak dan berbeda sangat nyata (P < 0.01) dibandingkan dengan inokulasi FMA, sedangkan pada peubah panjang tangkai daun tanaman induk tidak terdapat perbedaan. Dosis pupuk P alami tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah daun tanaman induk, jumlah tangkai daun, dan panjang tangkai daun tanaman induk dibanding tanpa pemberian pupuk (Tabel 11). Tabel 11 Pengaruh FMA dan dosis pupuk P alami terhadap rata-rata jumlah daun tanaman induk, jumlah tangkai daun, dan panjang tangkai daun pada umur 16 minggu setelah tanam (MST) Perlakuan
FMA Tanpa FMA Dosis dan sumber P alami (kg ha-1) 0 150 Batuan fosfat 300 Batuan fosfat 450 Batuan fosfat 600 Batuan fosfat 125 Tepung tulang sapi 250 Tepung tulang sapi 375 Tepung tulang sapi 500 Tepung tulang sapi Interaksi
Jumlah daun
Jumlah tangkai
6.7 b 8.3 a
6.8 b 8.6 a
Panjang tangkai …..cm….. 13.63 13.33
7.4 7.7 8.8 7.6 7.8 7.0 7.1 6.9 7.6 tn
7.7 7.8 9.2 7.7 7.8 7.1 7.1 7.3 7.6 tn
13.47 13.41 13.28 13.67 13.70 14.05 11.80 14.06 13.89 tn
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada setiap kolom, berbeda nyata pada uji DMRT 5%
77
Panjang daun, lebar daun, diameter tangkai daun, tebal daun Inokulasi FMA tidak berpengaruh nyata terhadap peubah panjang daun, lebar daun, diameter tangkai daun, dan tebal daun dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian FMA. Demikian pula perlakuan dosis pupuk P alami tidak berbeda nyata dibandingkan tanpa pemberian pupuk (Tabel 12). Kompetisi cahaya, hara dan air dengan individu-individu baru yang tumbuh pada stolon diduga menjadi salah satu faktor penyebab penghambatan pertumbuhan tanaman induk. Daur hidup daun tanaman pegagan yang ditandai dari munculnya tunas daun sampai dengan layu dan mengeringnya daun berkisar 37–45 hari, sehingga ketersediaan akan cahaya, hara, air, dan faktor tumbuh lainnya selalu dibutuhkan sepanjang siklus hidupnya untuk tumbuh dan berkembang. Pada saat yang sama kebutuhan faktor tumbuh bagi individu-individu tanaman baru juga semakin tinggi, dan diduga masih disupai oleh tanaman induk karena masih melekatnya stolon. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan tanaman induk lebih lambat dibandingkan dengan individu-individu tanaman baru yang berada di stolon. Tabel 12 Pengaruh FMA dan dosis pupuk P alami terhadap panjang daun, lebar daun, diameter tangkai, dan tebal daun pada umur 16 MST Perlakuan
FMA Tanpa FMA Dosis dan sumber P alami (kg ha-1) 0 150 Batuan fosfat 300 Batuan fosfat 450 Batuan fosfat 600 Batuan fosfat 125 Tepung tulang sapi 250 Tepung tulang sapi 375 Tepung tulang sapi 500 Tepung tulang sapi Interaksi
Panjang Lebar daun daun ……... cm ……... 4.98 5.57 5.12 5.87 5.02 4.90 5.19 5.03 5.26 4.84 4.69 5.31 5.25 tn
5.50 5.64 5.97 5.71 5.99 5.50 5.30 5.86 5.98 tn
Diameter Tebal tangkai daun ..……..mm……... 1.73 0.15 1.74 0.15 1.55 1.82 1.59 1.85 1.82 1.77 1.64 1.78 1.78 tn
0.16 0.15 0.15 0.15 0.15 0.16 0.15 0.14 0.15 tn
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada setiap kolom, berbeda nyata pada uji DMRT 5%
78
Jumlah stolon primer, jumlah stolon sekunder, jumlah buku pada stolon primer terpanjang, jumlah buku pada stolon primer terpendek Analisis ragam menunjukkan inokulasi FMA berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah stolon primer, jumlah stolon sekunder, jumlah buku pada stolon primer terpanjang dibanding tanpa perlakuan FMA, sedangkan pada peubah jumlah buku pada stolon primer terpendek tidak berbeda (Tabel 13). FMA mampu meningkatkan jumlah stolon primer 18.2%, jumlah stolon sekunder 30.8%, dan jumlah buku pada stolon primer terpanjang 10.8% lebih tinggi dibanding tanpa FMA, artinya inokulasi FMA berpengaruh secara langsung atau tidak langsung terhadap biomassa pegagan, fakta tersebut didukung oleh hasil analisis korelasi sederhana yang menunjukkan bahwa stolon primer, stolon sekunder, dan jumlah buku berkorelasi positif sangat nyata (P< 0.01) terhadap bobot kering daun dan bobot kering terna (lihat Tabel 20 dan 21). Tabel 13 Pengaruh FMA dan dosis pupuk P alami terhadap jumlah stolon primer, jumlah stolon sekunder, jumlah buku pada stolon primer terpanjang dan terpendek pada umur 16 MST Jumlah stolon primer
Jumlah stolon sekunder
FMA 6.3 a Tanpa FMA 5.4 b Dosis dan Sumber P alami (kg ha-1) 0 5.2 150 Batuan fosfat 5.6 300 Batuan fosfat 5.5 450 Batuan fosfat 6.1 600 Batuan fosfat 5.7 125 Tepung tulang sapi 6.3 250 Tepung tulang sapi 6.2 375 Tepung tulang sapi 5.9 500 Tepung tulang sapi 5.9 Interaksi tn
12.1 a 9.3 b
Perlakuan
9.1 10.1 10.3 10.5 11.3 11.5 11.4 11.6 11.6 tn
Jumlah buku pada stolon primer terpanjang 13.2 a 11.9 b
Jumlah buku pada stolon primer terpendek 5.1 5.1
10.9 11.8 12.9 13.5 12.4 12.8 12.8 12.9 13.3 tn
4.3 5.2 6.1 5.6 4.1 5.0 5.1 5.3 5.0 tn
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada setiap kolom, berbeda nyata pada uji DMRT 5%
Pemberian pupuk P alami tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah stolon primer, jumlah stolon sekunder, jumlah buku pada stolon primer terpanjang, dan jumlah buku pada stolon primer terpendek dibanding tanpa pemberian pupuk.
79 Batuan fosfat dan tepung tulang sapi sebagai sumber pupuk P alami merupakan bentuk pupuk alami yang dikenal lambat kelarutannya sehingga tidak cepat tersedia bagi tanaman, sehingga sampai dengan tanaman pegagan di panen pada umur lima (5) bulan kemungkinan belum menunjukkan pengaruhnya. Jumlah daun pada stolon primer terpanjang, jumlah daun pada stolon primer terpendek, jumlah daun total, luas daun total Jumlah daun pada stolon primer terpanjang dan jumlah daun pada stolon primer terpendek tidak dipengaruhi oleh perlakuan pemberian FMA. Sedangkan pada peubah jumlah daun total dan luas daun total, inokulasi FMA berpengaruh sangat nyata (P< 0.01) dibandingkan tanpa pemberian FMA (Tabel 14), dan mampu meningkatkan jumlah daun total dan luas daun total masing-masing 18.7 dan 17.2%. Tabel 14 Pengaruh FMA dan dosis pupuk P alami terhadap jumlah daun pada stolon primer terpanjang dan terpendek, jumlah daun total, dan luas daun total pada umur 16 MST
Perlakuan
Jumlah daun pada stolon primer terpanjang
Jumlah daun pada stolon primer terpendek
Jumlah daun total
Luas daun total
.....cm2….. 900.32 a 768.02 b
FMA 20.5 2.4 175.9 a Tanpa FMA 20.6 2.5 148.2 b Dosis dan Sumber P alami (kg ha-1) 0 16.8 b 2.2 127.9 c 622.04 c 150 Batuan fosfat 18.1 b 2.4 149.9 abc 802.77 ab 300 Batuan fosfat 23.1 a 2.8 158.5 abc 777.83 bc 450 Batuan fosfat 18.3 b 2.6 143.8 c 806.83 ab 600 Batuan fosfat 20.6 ab 2.3 181.6 ab 897.44 ab 125 Tepung tulang sapi 20.3 ab 2.5 184.1 ab 965.63 a 250 Tepung tulang sapi 20.7 ab 2.5 186.4 a 947.92 ab 375 Tepung tulang sapi 24.1 a 2.3 144.6 abc 775.54 bc 500 Tepung tulang sapi 23.0 a 2.6 181.9 ab 911.54 ab Interaksi tn tn tn tn Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada setiap kolom, berbeda nyata pada uji DMRT 5%
Pupuk P alami menunjukkan pengaruh sangat nyata (P< 0.01) terhadap jumlah daun pada stolon primer terpanjang dan luas daun total, memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah daun total (P< 0.05) akan tetapi tidak
80 menghasilkan pengaruh yang berbeda (P> 0.05) terhadap jumlah daun pada stolon primer terpendek dibandingkan tanpa pemberian pupuk P (Tabel 14). Perlakuan dosis 375 kg ha-1 tepung tulang sapi memberikan rerata jumlah daun pada stolon tertinggi dan meningkat 42.9% dibanding tanpa pemupukan, rerata jumlah daun total tertinggi diperoleh perlakuan dosis 250 kg ha-1 tepung tulang sapi dan meningkat 45.7% dibanding tanpa pemupukan, sedangkan luas daun total tertinggi diperoleh perlakuan dosis 125 kg ha-1 tepung tulang sapi dan meningkat 55.2% dibanding tanpa pemupukan. Jumlah klorofil a, jumlah klorofil b, dan jumlah total klorofil Kandungan klorofil a, klorofil b, dan klorofil total pada tanaman pegagan tidak dipengaruhi oleh perlakuan inokulasi FMA, demikian pula pemberian pupuk P alami pada berbagai dosis dan sumber pupuk tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda dibandingkan tanpa pemberian pupuk (Tabel 15). Tabel 15 Pengaruh FMA dan dosis pupuk P alami terhadap jumlah klorofil a, jumlah klorofil b, dan jumlah klorofil total pada umur 16 MST Perlakuan FMA Tanpa FMA Dosis dan Sumber P Alami (kg ha-1) 0 150 Batuan fosfat 300 Batuan fosfat 450 Batuan fosfat 600 Batuan fosfat 125 Tepung tulang sapi 250 Tepung tulang sapi 375 Tepung tulang sapi 500 Tepung tulang sapi Interaksi
Klorofil a*
Klorofil b*
Klorofil total *
1.24 1.28
1.58 1.59
1.88 1.90
1.16 1.43 1.34 1.15 1.22 1.27 1.26 1.32 1.26 tn
1.38 1.89 1.69 1.36 1.48 1.60 1.59 1.68 1.58 tn
1.65 2.24 2.02 1.63 1.77 1.90 1.90 2.01 1.89 tn
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada setiap kolom, berbeda nyata pada uji DMRT 5% *) data transformasi akar √ X + 0.5
Serapan hara N, P, dan K Perlakuan FMA berinteraksi nyata (P< 0.05) dengan pemupukan P alami terhadap serapan nitrogen (N) pada daun tanaman pegagan. Serapan N tertinggi
81 diperoleh pada perlakuan inokulasi FMA dengan dosis 125 kg ha-1 tepung tulang sapi sebesar 16.70 mg tan-1 tetapi tidak berbeda dengan dosis 600 kg ha-1 batuan fosfat, dosis 125–250 kg ha-1 tepung tulang sapi tanpa FMA serta dosis 600 kg ha-1 batuan fosfat, dosis 375–500 kg ha-1 tepung tulang sapi dengan FMA. Serapan N terkecil diperoleh pada kontrol (tanpa FMA dan pupuk P alami) sebesar 7.73 mg tan-1. Selama ini penelitian tentang FMA selalu dikaitkan dengan peningkatan serapan hara P, akan tetapi pada penelitian ini ternyata FMA mampu meningkatkan serapan hara N yang cukup tinggi. Tabel 16 menunjukkan pada perlakuan tanpa pupuk, inokulasi FMA meningkatkan serapan N sebesar 57.3%. Pemberian tepung tulang sapi pada dosis 375 dan 500 kg ha-1 yang di inokulasi FMA serapan N meningkat sebesar 42.9 dan 38.2% lebih tinggi dibandingkan tanpa inokulasi FMA, sedangkan perlakuan inokulasi FMA tidak memberikan perbedaan nyata dengan tanpa FMA pada semua perlakuan dosis batuan fosfat. Tabel 16 Interaksi FMA dan dosis dan sumber pupuk P alami terhadap rata-rata serapan hara N pada daun tanaman pada umur 16 MST Dosis pupuk P Alami 0 150 300 450 600 125 250 375 500
Batuan fosfat Batuan fosfat Batuan fosfat Batuan fosfat Tepung tulang sapi Tepung tulang sapi Tepung tulang sapi Tepung tulang sapi
Perlakuan Inokulasi FMA Tanpa FMA Dengan FMA -1 ……. mg tan …… 7.733 g 12.167 bcdef 10.367 cdefg 11.533 cdefg 10.367 cdefg 10.033 defg 11.667 cdefg 10.733 cdefg 13.233 abcdef 14.100 abcd 14.333 abc 16.700 a 12.967 abcdef 9.100 fg 9.467 efg 13.533 abcde 11.500 cdefg 15.900 ab
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada setiap kolom, berbeda nyata pada uji DMRT 5%
Perlakuan FMA berpengaruh sangat nyata (P< 0.01) terhadap serapan P dan K pada daun tanaman pegagan. Rerata serapan P dan K meningkat 15.0 dan 15.5% dibandingkan tanpa pemberian FMA (Tabel 17). Selama ini penelitian tentang FMA selalu dikaitkan dengan hara P, hasil penelitian ini terbukti bahwa inokulasi FMA dapat meningkatkan serapan hara K. Pemberian dosis 150 hingga 450 kg ha-1 batuan fosfat tidak menunjukkan perbedaan nyata dengan tanpa pemupukan terhadap peningkatan serapan hara P, sedangkan pemberian 125 ha-1 tepung tulang sapi cukup memberikan perbedaan
82 nyata dalam meningkatkan serapan hara P sebesar 35.7%. Perlakuan berbagai dosis batuan fosfat dan tepung tulang sapi tidak memberikan perbedaan nyata dibandingkan tanpa pemberian pupuk terhadap serapan hara K (Tabel 17). Tabel 17 Pengaruh FMA dan dosis pupuk P alami terhadap serapan hara P dan K jaringan daun tanaman pada umur 16 MST Perlakuan
Serapan P Serapan K ….……….. mg tan-1…………... 1.07 a 12.06 a 0.93 b 10.44 b
FMA Tanpa FMA Dosis dan Sumber P Alami (kg ha-1) 0 0.84 c 10.70 abc 150 Batuan fosfat 0.96 abc 11.79 ab 300 Batuan fosfat 0.88 bc 10.43 bc 450 Batuan fosfat 0.91 abc 8.95 c 600 Batuan fosfat 1.11 ab 12.31 ab 125 Tepung tulang sapi 1.14 a 12.25 ab 250 Tepung tulang sapi 1.04 abc 11.47 abc 375 Tepung tulang sapi 0.99 abc 10.07 bc 500 Tepung tulang sapi 1.15 a 13.28 a Interaksi tn tn Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada setiap kolom, berbeda nyata pada uji DMRT 5%
Panjang akar, bobot kering akar, infeksi FMA Perlakuan FMA tidak berpengaruh nyata terhadap panjang akar, akan tetapi berbeda sangat nyata (P< 0.01) terhadap bobot kering akar dengan meningkatkan 25.4% lebih tinggi dibandingkan tanpa pemberian FMA (Tabel 18). Akar adalah bagian tanaman yang merupakan tempat dimana FMA melekat dan melakukan aktivitas. Akar yang terinfeksi FMA akan tumbuh dan berkembang lebih cepat serta volume perakaran menjadi lebih luas (Gambar 9). Pemberian pupuk P alami berpengaruh nyata (P< 0.05) terhadap panjang akar dan sangat nyata terhadap bobot kering akar (P< 0.01). Perlakuan dosis 150 kg ha-1 batuan fosfat mampu menambah panjang akar sebesar 23.5% dibanding tanpa pemupukan, sedangkan pemberian berbagai dosis tepung tulang sapi tidak memberikan hasil yang lebih baik dibanding kontrol. Pemupukan P alami mampu meningkatkan bobot kering akar dibandingkan tanpa pemupukan, tetapi tidak berbeda baik dosis maupun sumber pupuk P yang diberikan. Perlakuan dosis 150 kg ha-1 batuan fosfat dan dosis 125 kg ha-1 tepung tulang sapi sudah cukup untuk
83 meningkatkan bobot kering akar sebesar 38.5 dan 28.6% dibandingkan dengan kontrol, dan penambahan dosis kedua pupuk tersebut justru tidak efisien (Tabel 18).
Gambar 9 Penampilan akar tanaman tanpa inokulasi FMA (M0), gambar sebelah atas pada masing-masing lajur, serta akar yang mendapatkan perlakuan inokulasi FMA (M1), gambar bagian bawah pada masingmasing lajur Kolonisasi FMA yang ditandai dengan besarnya nilai persentase akar tanaman yang terinfeksi menunjukkan perbedaan sangat nyata (P< 0.01) tanaman yang diperlakukan dengan FMA dibandingkan dengan tanaman yang tidak diperlakukan, sedangkan antara dosis dan jenis pupuk P alami tidak menunjukkan
84 perbedaan nyata (Tabel 18). Kolonisasi tidak hanya terjadi pada akar tanaman induk, akan tetapi juga menginfeksi akar tanaman anakan. Tabel 18 Pengaruh FMA dan dosis pupuk P alami terhadap panjang akar tanaman induk, bobot segar dan bobot kering akar per tanaman pada umur 16 MST Perlakuan
FMA Tanpa FMA Dosis dan Sumber P Alami (kg/ha) 0 150 Batuan fosfat 300 Batuan fosfat 450 Batuan fosfat 600 Batuan fosfat 125 Tepung tulang sapi 250 Tepung tulang sapi 375 Tepung tulang sapi 500 Tepung tulang sapi Interaksi
Panjang akar .... cm…. 27.83 a 26.82 a
Bobot kering akar .... g … 3.21 a 2.56 b
24.03 b 29.70 a 24.88 b 27.89 ab 30.82 a 25.54 b 27.99 ab 27.13 ab 27.90 ab tn
2.13 b 2.95 a 2.89 a 2.86 a 3.23 a 2.74 a 2.98 a 2.97 a 3.22 a tn
Infeksi Infeksi FMA FMA ( induk) ( anakan) .……..%............... 85.81 a 89.04 a 13.57 b 14.75 b 45.90 49.36 50.73 53.25 44.72 46.83 54.25 47.62 54.58 tn
49.03 52.75 55.75 46.34 52.28 52.59 47.10 56.66 54.57 tn
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada setiap kolom, berbeda nyata pada uji DMRT 5%
Bobot kering daun, bobot kering terna, dan bobot kering total Bagian tanaman pegagan yang memiliki nilai ekonomis adalah daun dan terna karena pada jaringan tersebut memiliki kandungan nilai gizi dan kandungan kimia yang bermanfaat bagi manusia, begitu pula untuk keperluan komsumsi segar banyak memanfaatkan bagian daun dan terna. Perubahan atau peningkatan nilai bobot kering merupakan salah satu indikator efektivitas FMA dalam bersimbiosis dengan tanaman. Perlakuan inokulasi FMA mampu meningkatkan bobot kering daun, bobot kering terna, dan bobot kering total sebesar 14.7, 17.1, dan 18.0% dan berbeda sangat nyata (P<0.01) dibanding perlakuan tanpa FMA. Perlakuan pupuk P alami berbeda nyata (P< 0.05) terhadap bobot kering daun, serta berbeda sangat nyata (P< 0.01) terhadap bobot kering terna dan bobot kering total tanaman. Pemberian sampai dengan 150 kg ha-1 batuan fosfat nyata meningkatkan bobot kering daun sebesar 34.8% dibanding tanpa pemupukan, dan penambahan sampai dengan dosis 600 kg
85 ha-1 justru tidak efisien. Pemberian dosis 125 kg ha-1 tepung tulang sapi mampu meningkatkan bobot kering daun sebesar 48.8% dan penambahan dosis tidak memberikan peningkatan yang nyata. Perlakuan batuan fosfat dan tepung tulang sapi pada dosis 150 dan 125 kg ha-1 nyata meningkatkan bobot kering terna masing-masing sebesar 28.2 dan 42.8%, dan bobot kering total masing-masing sebesar 29.5 dan 41.0% dibanding tanpa pemberian pupuk. Penambahan dosis dari kedua jenis pupuk tidak memberikan hasil yang lebih tinggi (Tabel 19). Tabel 19 Pengaruh FMA dan dosis pupuk P alami terhadap bobot kering daun, bobot kering terna, dan bobot kering total per tanaman pada umur 16 MST Perlakuan
FMA Tanpa FMA Dosis dan Sumber P Alami (kg/ha) 0 150 Batuan fosfat 300 Batuan fosfat 450 Batuan fosfat 600 Batuan fosfat 125 Tepung tulang sapi 250 Tepung tulang sapi 375 Tepung tulang sapi 500 Tepung tulang sapi Interaksi
Bobot Bobot Bobot kering kering kering daun terna total -1 …………….... g tan ……………… 4.45 a 21.72 a 24.92 a 3.88 b 18.55 b 21.11 b 3.07 b 4.14 a 3.97 ab 3.82 ab 4.59 a 4.57 a 4.47 a 4.09 a 4.81 a tn
15.19 b 19.48 a 19.01 a 19.47 a 21.91 a 21.69 a 21.38 a 20.96 a 22.13 a tn
17.32 b 22.43 a 21.87 a 22.33 a 25.14 a 24.42 a 24.36 a 23.93 a 25.35 a tn
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada setiap kolom, berbeda nyata pada uji DMRT 5%
Hasil korelasi sederhana menunjukkan bahwa peubah-peubah yang berkaitan dengan tanaman induk tidak berperan nyata terhadap hasil bobot kering daun. Peubah jumlah stolon primer, jumlah stolon sekunder, jumlah buku, jumlah daun total, luas daun total, panjang akar, bobot kering akar, serapan N, serapan P, dan serapan K berkorelasi positip sangat nyata terhadap bobot kering daun (Tabel 20). Bobot kering terna dipengaruhi oleh semua karakter, kecuali peubah jumlah daun tanaman induk, jumlah klorofil b, dan klorofil total. Jumlah daun induk berkorelasi negatif tidak nyata terhadap bobot kering terna, berbeda dengan hasil
86 penelitian Martono (2011) dengan perlakuan intensitas cahaya, yang menyatakan bahwa jumlah daun tanaman induk berkorelasi negatif sangat nyata terhadap produksi terna kering. Nilai korelasi tertinggi terhadap bobot kering terna ditunjukkan pada peubah serapan hara P, serapan hara N, luas daun total, jumlah daun total, dan bobot kering akar (Tabel 21). Hasil tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan hara utamanya fosfor dan nitrogen memberikan kontribusi yang tinggi terhadap peningkatan produksi biomassa.
Tabel 20 Nilai koefisien korelasi antara komponen pertumbuhan dengan bobot kering daun tanaman pegagan Karakter Jumlah daun induk Panjang tangkai daun induk Jumlah stolon primer Jumlah stolon sekunder Jumlah buku Jumlah daun total Luas daun total Panjang akar Bobot kering akar Serapan N Serapan P Serapan K Klorofil a Klorofil b Total klorofil
X1 1
X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 0.20 ns -0.18ns -0.38ns -0.26ns -0.28ns -0.28* 0.12ns -0.04ns -0.13ns -0.15ns 0.20ns 0.05ns 0.01ns 1 0.22ns 0.04ns 0.31* -0.17ns -0.11ns 0.15ns 0.04ns 0.21ns 0.23ns 0.12ns 0.23ns 0.19ns 1
0.51** 1
X15 0.02ns 0.20ns
rxy -0.12ns 0.20ns
0.08ns
0.40**
0.55** 0.69** 0.62** -0.12ns 0.11ns 0.41** 0.46** 0.01ns -0.13ns -0.10ns -0.11ns
0.43**
0.56** 0.43** 0.46** 0.19ns
1
0.26* 0.35** 0.41** -0.09ns 0.10ns 0.08ns
0.38** 0.43** 0.08ns 0.26ns 1 0.91** 0.12ns 0.31* 1 0.28* 0.47** 1 0.57** 1
0.35** 0.66** 0.68** 0.29* 0.46** 1
0.38** 0.70** 0.73** 0.48** 0.56** 0.91** 1
-0.09ns 0.36** 0.34* 0.39** 0.27* 0.57** 0.63** 1
0.09ns -0.10ns 0.03ns 0.26* 0.27* 0.10ns 0.13ns 0.16ns 1
0.08ns 0.09ns -0.11ns -0.11ns 0.01ns 0.01ns 0.20ns 0.22ns 0.19ns 0.22ns 0.06ns 0.07ns 0.09ns 0.10ns 0.11ns 0.13ns 0.98** 0.99** 1 0.99** 1
0.44** 0.73** 0.77** 0.51** 0.61** 0.85** 0.94** 0.60** 0.15ns 0.11ns 0.12ns
Keterangan : X1: jumlah daun induk; X2: panjang tangkai daun; X3: jumlah stolon primer; X4: jumlah stolon sekunder; X5: jumlah buku; X6: jumlah daun total; X7: luas daun total; X8: panjang akar; X9: bobot kering akar ; X10: serapan N; X11: serapan P; X12 : serapan K; X13 : klorofil a; X14 : klorofil b; X15 : total klorofil; rxy: bobot kering daun
87
Tabel 21 Nilai koefisien korelasi antara komponen pertumbuhan dengan bobot kering terna tanaman pegagan Karakter Jumlah daun induk Panjang tangkai daun Jumlah stolon primer Jumlah stolon sekunder Jumlah buku Jumlah daun total Luas daun total Panjang akar Bobot kering akar Serapan N Serapan P Serapan K Klorofil a Klorofil b Total klorofil
X1 1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
X9
X10
X11
0.22ns
0.04ns
0.31ns -0.17ns -0.11ns 0.15ns 0.04ns 0.21ns 0.23ns
0.51**
0.56** 0.43** 0.46** 0.19ns
X12
X13
X14
0.20 ns -0.18ns -0.38ns -0.26ns -0.28ns -0.28ns 0.12ns -0.04ns -0.13ns -0.15ns 0.20ns 0.05ns 0.01ns 1
1
1
X15
rxy
0.02ns
-0.15ns
0.12ns 0.23ns 0.19ns
0.20ns
0.37**
0.27* 0.35** 0.41** -0.09ns 0.10ns 0.08ns
0.08ns
0.50**
0.55** 0.69** 0.62** -0.12ns 0.11ns 0.41** 0.46** 0.01ns -0.13ns -0.10ns -0.11ns
0.46**
1
0.38** 0.43** 0.08ns 0.26ns 0.35** 0.38** -0.09ns 0.09ns 0.08ns 1
0.91* 1
0.12ns 0.31* 0.66** 0.28* 0.47** 0.68** 1 0.57** 0.30* 1 0.46** 1
0.70** 0.73** 0.48** 0.56** 0.91** 1
0.36** 0.34* 0.39** 0.27* 0.57** 0.63** 1
-0.10ns 0.03ns 0.27* 0.27* 0.10ns 0.13ns 0.16ns 1
0.08ns
0.56**
-0.11ns -0.11ns 0.01ns 0.01ns 0.20ns 0.22ns 0.19ns 0.22ns 0.06ns 0.07ns 0.09ns 0.10ns 0.11ns 0.13ns 0.98** 0.99** 1 0.99** 1
0.64** 0.71** 0.57** 0.63** 0.79** 0.86** 0.47** 0.27* 0.23ns 0.24ns
Keterangan : X1: jumlah daun induk; X2: panjang tangkai daun; X3: jumlah stolon primer; X4: jumlah stolon sekunder; X5: jumlah buku; X6: jumlah daun total; X7: luas daun total; X8: panjang akar; X9: bobot kering akar ; X10: serapan N; X11: serapan P; X12: serapan K; X13: klorofil a; X14: klorofil b; X15: total klorofil; rxy: bobot kering terna
88
Perlakuan dosis batuan fosfat pada pemanfaatan dengan FMA terhadap bobot kering daun membentuk hubungan linier positif dengan persamaan Y= 3.871 + 0.001 X (R2= 0.223). Sebaliknya perlakuan dosis batuan fosfat tanpa pemberian FMA membentuk hubungan kuadratik terhadap bobot kering daun dengan persamaan Y= 2.629 + 0.008 X - 0.00001 X2 (R2= 0.608). Penggunaan tepung tulang sapi sebagai sumber pupuk P alami pada pemanfaatan dengan FMA maupun tanpa FMA membentuk hubungan kuadratik dengan persamaan Y= 3.480 + 0.007 X - 0.000009 X2 (R2=0.455), dan Y= 2.735 + 0.011 X - 0.00002 X2 2
7.0
7.0
6.0
6.0
Bobot kering daun (g)
Bobot kering daun (g.tan-1)
(R =0.619) (Gambar 10).
5.0 4.0 3.0 2.0 1.0
5.0 4.0 3.0 2.0 1.0
0.0 0
150
300
450
0.0
600
0
Dosis batuan fosfat (kg/ha) Non FMA
125
250
375
500
Dosis tepung tulang sapi (kg/ha) Non FMA
FMA
FMA
Gambar 10 Hubungan antara perlakuan FMA dengan dosis pupuk batuan fosfat dan tepung tulang sapi terhadap bobot kering daun 30.0
Bobot kering terna (g.tan-1)
Bobot kering terna (g.tan-1)
25.0 20.0 15.0 10.0 5.0
25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0
0.0 0
150
300
450
600
Dosis batuan fosfat (kg/ha) tanpa FMA
FMA
0
125
250
375
500
Dosis tepung tulang sapi (kg/ha) tanpa FMA
FMA
Gambar 11 Hubungan antara perlakuan FMA dengan dosis pupuk batuan fosfat dan tepung tulang sapi terhadap bobot kering terna
90 Perlakuan dosis pupuk batuan fosfat dan pemberian FMA dan tanpa FMA membentuk hubungan kuadratik terhadap bobot kering terna tanaman pegagan mengikuti persamaan Y= 17.48 + 0.022 X + 0.00003 X2 (R2=0.207), dan Y= 13.37 + 0.0039 X - 0.00006 X2 (R2=0.429) (Gambar 11). Berdasarkan persamaan tersebut,
maka
dosis
maksimal
batuan
fosfat
yang
aplikasinya
tidak
dikombinasikan dengan tanpa pemberian FMA untuk menghasilkan bobot terna kering adalah sebesar 325 kg ha-1, dan bila aplikasinya dengan FMA maka dosis maksimal batuan fosfat adalah sebesar 366.6 kg ha-1. Kombinasi perlakuan pemberian FMA dan tanpa FMA dengan dosis tepung tulang sapi pengaruhnya terhadap bobot kering terna membentuk hubungan kuadratik mengikuti persamaan Y= 17.25 + 0.052 X - 0.00009 X2 (R2=0.469), dan Y= 13.96 + 0.052 X - 0.0001 X2 (R2=0.507) (Gambar 11). Berdasarkan persamaan tersebut, maka dapat diketahui dosis maksimal tepung tulang sapi untuk
mendapatkan
bobot
kering
terna
maksimal,
apabila
aplikasinya
dikombinasikan dengan FMA adalah sebesar 289 kg ha-1, sedangkan bila tidak menggunakan FMA dosis maksimal sebesar 260 kg ha-1. Berdasarkan hubungan yang terbentuk antara perlakuan dosis batuan fosfat dan tepung tulang sapi pada pemanfaatan FMA maka dapat ditentukan dosis maksimal untuk menghasilkan bobot kering daun dan bobot kering terna pegagan tertinggi (Tabel 22) Tabel 22 Dosis maksimal batuan fosfat dan tepung tulang sapi pada pemanfaatan dengan FMA terhadap bobot kering daun dan bobot kering terna Peubah tanaman Bobot kering daun (g) Bobot kering terna (g) Rata-rata
Dosis Batuan fosfat Dosis tepung tulang sapi FMA Hasil Hasil FMA Hasil Non Hasil Non -1 -1 (g) (kg ha ) (g) (g) (kg ha ) (g) FMA FMA (kg ha-1) (kg ha-1) 600 4.50 400 4.23 389 4.84 275 4.25 366.6 483.3
21.51
325 362.5
19.70
289 339
24.76
260
20.72
267.5
Tidak terjadi interaksi perlakuan dosis pupuk P alami pada pemanfaatan FMA, namun demikian apabila dilihat dari hasil analisis usahatani pegagan
91 (Lampiran 7) menunjukkan bahwa inokulasi FMA pada kombinasi dengan sumber pupuk P alami memberikan keuntungan usahatani yang lebih tinggi. Perlakuan FMA pada kombinasi batuan fosfat memberikan keuntungan usahatani sebesar Rp. 10.449.800 atau meningkat 15.7% dibandingkan tanpa pemberian FMA yang memperoleh keuntungan sebesar Rp. 9.032.300. Sedangkan pada kombinasi dengan tepung tulang sapi, perlakuan FMA mampu meningkatkan keuntungan usahatani sebesar 46.6% lebih tinggi atau sebesar Rp. 14.798.300 dibandingkan tanpa FMA yang mendapatkan keuntungan Rp. 10.094.300. Hasil perhitungan nilai usahatani tersebut bisa dijadikan pertimbangan bahwa pemanfaatan FMA pada budidaya pegagan memberikan tambahan keuntungan 15.7–46.6% lebih tinggi sehingga layak untuk diaplikasikan.
Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua peubah yang berkaitan dengan tanaman induk, antara lain: jumlah daun, jumlah tangkai daun, panjang tangkai daun, panjang daun, lebar daun, diameter tangkai daun, dan tebal daun tidak berbeda nyata terhadap perlakuan FMA, pada saat individu-individu/anakan tumbuh dan berkembang. Diduga adanya anakan akan menjadi kompetitor bagi tanaman induk dalam mendapatkan ruang hidup, unsur hara, air dan cahaya. Hal yang sama pada penelitian Musyarofah et al. (2007), anakan yang sudah mengeluarkan akar dapat mengambil unsur hara sendiri dari tanah sehingga terjadi kompetisi unsur hara antara tanaman induk dan anakannya. Semakin banyak anakan baru yang muncul maka kompetisi akan semakin meningkat, dan tanaman induk pada posisi yang lemah karena kalah jumlah. Munculnya individu-individu baru juga merangsang infeksi FMA pada sistem perakaran individu-individu tersebut. Hal ini dibuktikan berdasar hasil pengamatan infeksi FMA pada akar tanaman anakan yang menunjukkan persentase infeksinya tergolong tinggi (Tabel 18). Hal tersebut bermakna bahwa aktivitas FMA tidak hanya terjadi pada akar tanaman induk akan tetapi juga pada akar tanaman anakan. Diduga aktivitas FMA pada akar tanaman anakan lebih tinggi sehingga fasilitasi penyediaan larutan hara juga lebih tinggi dibanding
92 tanaman induk. Dalam simbiosisnya dengan FMA, tanaman harus menyediakan energi berupa karbon fotosintat yang dibutuhkan FMA untuk tumbuh dan berkembang. Sekitar 20% karbon fotosintat dialirkan oleh tanaman ke FMA (Smith & Read 2008), 15–28% karbon net fotosintat dibutuhkan FMA (Finlay 2004), 5–20% (Jakobsen & Rosendahl, 1990; Pearson & Jakobsen, 1993). Fosfor merupakan unsur hara makro esensial yang diketahui memiliki daya kelarutan
sangat
rendah
dan
relatif
immobil,
sehingga
menyebabkan
ketersediaannya bagi tanaman lebih lambat. Jumlah P total dalam tanah cukup tinggi, tetapi pada bentuk yang tidak tersedia atau dalam bentuk tersedia tetapi berada di luar rizosfer tanaman (Schachtman et al. 1998), lebih dari 80% P tanah dalam bentuk tidak tersedia bagi tanaman karena adsorpsi, erosi, atau dikonversi menjadi bentuk organik (Holford 1997). Penggunaan pupuk P alami juga diduga menjadi faktor penyebabnya, karena pupuk organik termasuk golongan yang kelarutannya rendah serta bersifat slow release yang mungkin sampai dengan tanaman tersebut dipanen belum menunjukkan pengaruhnya. P merupakan unsur yang berperan penting dalam proses pemecahan karbohidrat menjadi energi, penyimpanan dan peredarannya ke seluruh bagian tanaman dalam bentuk ADP dan ATP, unsur ini juga berperan dalam pembentukan akar (Leiwakabessy dan Sutandi 2004), penyusun metabolit dan senyawa kompleks, aktivator, kofaktor, dan berperan dalam perkembangan sistem perakaran (Soepardi 1983). Tanah jenis andosol yang digunakan dalam penelitian ini juga dapat diduga menjadi salah satu penyebab tidak adanya pengaruh nyata perlakuan pemupukan P. Tanah andosol merupakan jenis tanah masam yang pada umumnya memfiksasi sebagian besar fosfor yang diberikan sehingga dibutuhkan banyak pupuk untuk mendapatkan respon tanaman. Fiksasi hara fosfor adalah faktor utama penyebab ketersediaan yang rendah dari hara tersebut di tanah (Syarif 2007). Pada tanah jenis andosol terdapat mineral kristalin (alofan dan imogolit) yang mengandung ion Al dan Fe, mengakibatkan pupuk P yang diaplikasikan akan dijerap secara cepat oleh permukaan mineral sehingga menurunkan ketersediaan P (Meason et al. 2009)
93 Inokulasi FMA nyata meningkatkan jumlah stolon primer, jumlah stolon sekunder, jumlah buku pada stolon primer terpanjang, akan tetapi tidak berbeda nyata terhadap jumlah buku pada stolon primer terpendek.
Peubah-peubah
tersebut berpengaruh terhadap produksi daun dan terna tanaman pegagan, hal itu didukung adanya korelasi positif yang sangat nyata (Tabel 20 & 21). Stolon merupakan bagian tanaman pegagan yang mempunyai nilai sangat penting, karena dari jaringan tersebut akan muncul individu-individu tanaman baru yang akan tumbuh dan berkembang menjadi tanaman yang menyerap hara dan air serta memanen cahaya matahari secara mandiri untuk proses fotosintesis. FMA mampu meningkatkan fotosintesis 14% lebih tinggi dibandingkan tanaman non FMA. Fotosintesis diekpresikan dengan peningkatan luas daun, hasil biomassa atau hasil keseluruhan tanaman (Kaschuk et al. 2009). Simbiosis FMA dengan tanaman pegagan nyata efektif meningkatkan pertumbuhan dan berkembangnya tanaman pegagan yang ekstensif, hal tersebut ditunjukkan dengan semakin meningkatnya ekspansi tanaman secara horisontal melalui pembentukan stolon primer dan sekunder yang menyebabkan peningkatan volume permukaan bidang penyerapan hara, air dan cahaya. Diduga FMA mampu memberikan kecukupan hara dan air bagi tanaman melalui kemampuan perluasan daerah penyerapan akar. Adanya eksternal miselium yang terbentuk di sekitar perakaran tanaman bermikoriza, dapat meningkatkan volume kontak antara perakaran tanaman dengan media tumbuhnya menjadi 12 sampai 15 kali per cm3 akar yang terinfeksi (Sieverding, 1991), serapan P pada akar yang terkolonisasi FMA 3–5 kali lebih tinggi dibandingkan akar tanaman tidak bermikoriza (Smith & Read 1997). Ketersediaan hara dan air serta cahaya yang cukup, mampu mendorong tanaman untuk meningkatkan proses metabolisme tanaman terutama proses fotosintesis sehingga pembentukan asimilat lebih tinggi yang pada tahapan selanjutnya dimanfaatkan tanaman untuk meningkatkan volume pertumbuhan. Peran dan kemampuan FMA yang berasosiasi dengan tanaman pegagan mampu memfasilitasi penyediaan unsur hara dan air yang akan mendorong pertumbuhan vegetatif yang lebih cepat. FMA mempunyai kemampuan untuk berasosiasi dengan hampir 90% jenis tanaman, serta telah dibuktikan mampu memperbaiki nutrisi dan pertumbuhan tanaman (Setiadi 2007; Smith & Read
94 2008). FMA memiliki kapasitas untuk mengakses sumber-sumber hara baik anorganik maupun organik dalam tanah (Smith & Read 2008; Lambers et al. 2008; Read & Perez-Moreno 2003). Peran tersebut menyebabkan FMA dapat meningkatkan serapan berbagai hara bagi tanaman, utamanya hara P (Smith & Read 1997; Ortas et al. 2011), hara N (Hawkins et al. 2000; Xiao et al. 2010), hara K (Porras-Soriano et al. 2009), Ca (Rhodes & Gerdermann 1978), Zn (Subramanian et al. 2009; Ortas 2010; Ortas et al. 2011), Cu, Mn, dan Fe (Miransari et al. 2009), membantu penyediaan hara dari yang tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman (Brundrett et al. 1994). Pemupukan P alami berpengaruh tidak nyata (P> 0.05) terhadap jumlah stolon primer, jumlah stolon sekunder, jumlah buku pada stolon primer terpanjang, maupun jumlah buku pada stolon primer terpendek. Hasil penelitian ini sama dengan yang diperoleh Sutardi (2008) dan Afrida (2009) yang menggunakan pupuk P anorganik (SP-36) pada jenis tanah yang sama, jumlah stolon primer, jumlah stolon sekunder, dan jumlah buku tidak berbeda nyata meskipun dipupuk hingga 120 kg P2O5.
Dari ketiga penelitian yang sudah
dilakukan dapat disimpulkan bahwa pupuk P tidak berpengaruh nyata terhadap peubah pertumbuhan tanaman induk pegagan. Penggunaan sumber P tidak mudah larut pada dasarnya tidak ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman sedini mungkin, namun lebih ditujukan kepada pemeliharaan kadar P dalam media untuk jangka panjang (Uusitalo et al. 2007). Inokulasi FMA tidak mempengaruhi jumlah daun pada stolon primer terpanjang dan stolon primer terpendek, akan tetapi berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun total dan luas daun total. Kompetisi unsur hara, air dan cahaya merupakan salah satu alasan yang menyebabkan tidak adanya perbedaan. Secara individu daun pada stolon akan berkompetisi tidak hanya dengan daun yang ada pada stolon yang sama akan tetapi juga dengan daun yang terbentuk pada stolon lainnya maupun dengan daun pada tanaman induk. Panjang atau pendeknya ukuran stolon tidak mempengaruhi perbedaan jumlah daun akibat perlakuan FMA. Jumlah daun total dan luas daun total merepresentasikan hasil aktivitas tanaman dalam penyerapan hara, air, dan cahaya serta proses lainnya yang mendorong tanaman untuk tumbuh dan berkembang. Simbiosis FMA
95 dengan tanaman diduga mampu memfasilitasi penyediaan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman sehingga akan tumbuh lebih baik dan menghasilkan jumlah daun yang lebih tinggi dibandingkan tanaman yang tidak diinokulasi FMA. FMA yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman bermikoriza akan mampu meningkatkan kapasitasnya dalam menyerap unsur hara dan air Marschner (1995). Batuan fosfat dan tepung tulang pada berbagai taraf dosis berpengaruh nyata dan tidak nyata terhadap jumlah daun pada stolon primer terpanjang, jumlah daun total, dan luas daun total, akan tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun pada stolon primer terpendek. P merupakan hara makro esensial yang dibutuhkan tanaman sehingga ketersediaannya sangat penting. Batuan fosfat dan tepung tulang merupakan sumber P alami yang kelarutannya tergolong lambat larut sehingga pelepasan P juga cenderung lebih lambat dan bertahap. Diduga pada saat tanaman pegagan memasuki fase pertumbuhan vegetatif cepat yang ditandai dengan berkembangnya stolon primer, stolon sekunder serta anakan, ketersediaan hara P yang dilepas oleh batuan fosfat dan tepung tulang sapi cukup tinggi. Perlakuan FMA, pemupukan batuan fosfat, dan tepung tulang sapi tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah klorofil a, jumlah klorofil b, dan jumlah total klorofil. Pembentukan klorofil dipengaruhi oleh kandungan karbohidrat yang dihasilkan tanaman, karena karbohidrat dalam bentuk gula digunakan untuk sintesis klorofil. Semakin tinggi karbohidrat yang tersedia akan meningkatkan jumlah klorofil. Pembentukan klorofil juga dipengaruhi oleh pemupukan N (Iqbal 2008). Klorofil a menyerap cahaya dalam panjang gelombang 435 dan 662 nm yaitu pada spektrum cahaya biru dan merah, sedangkan klorofil b menyerap cahaya pada panjang gelombang 453 dan 642 nm yaitu cahaya ungu dan merah muda (Taiz & Zieger 1998). Jumlah klorofil b lebih tinggi dibandingkan jumlah klorofil a, hasil yang sama diperoleh Iqbal (2008) yang melakukan penelitian di rumah kaca, diduga cahaya ungu lebih banyak yang sampai pada daun tanaman dibandingkan cahaya biru dan merah. Klorofil b berperan langsung sebagai antenna pemanen cahaya, sedangkan klorofil a berfungsi dalam pengubahan
96 energi radiasi yang ditangkap oleh klorofil b menjadi energi kimia (Kisman 2007). Klorofil a dan b merupakan pigmen utama yang menyerap dan menyediakan transport elektron untuk menyatukan atom hidrogen dari air dan karbondioksida mengakibatkan pelepasan oksigen dalam proses fotosintesis. FMA berinteraksi nyata dengan pupuk P alami dalam meningkatkan serapan hara N daun pegagan, akan tetapi terhadap serapan hara P dan K pada daun tanaman tidak terjadi interaksi. Peningkatan serapan hara oleh akar bermikoriza disebabkan meningkatnya kapasitas pengambilan hara karena waktu akar terinfeksi diperpanjang dan derajat percabangan serta diameter akar diperbesar sehingga luas permukaan absorpsi akar diperluas (Abbot & Robson 1984; Smith & Read 1997,2008), peningkatan enzim fosfatase pada rizosfer dan akar tanaman (Dodd et al. 1987). Berbagai bentuk sumber P sukar larut, misalnya tepung tulang dapat meningkatkan serapan P pada tanaman yang ditumbuhkan dalam pot maupun lapangan (Klock & Taber 1996; Jeng et al. 2006; Romer 2006) dan efektif untuk memelihara FMA dan meningkatkan pertumbuhan tanaman (Cardoso 1996; Nikolaou et al. 2002). Fosfat adalah unsur hara utama yang diserap tanaman dengan bantuan FMA, inokulasi FMA pada cabai dapat meningkatkan penyerapan P sebesar 30.95% di tanah andosol (Haryantini & Santoso 2001). Selain fosfat, FMA dapat meningkatkan penyerapan hara N, K, dan Mg yang bersifat mobil (Sieverding 1991); hara N, P, dan K (Hanum 2004), hara N dan P (Purnomo 2008) serta unsur hara mikro seperti Cu, Zn, Mn, B dan Mo (Smith & Read 1997). FMA meningkatkan serapan hara dari sumber P organik (Widiastuti 2004). Meningkatnya serapan hara oleh tanaman inang menjamin kebugaran tanaman agar tetap memasok karbon ke rizosfer (Kaschuk et al. 2010) yang diperlukan untuk pembentukan hifa ekstraradikal dan sporulasi FMA. Panjang akar tidak dipengaruhi oleh perlakuan FMA, akan tetapi bobot kering akar dipengaruhi sangat nyata. Panjang akar diartikan sebagai pertambahan ukuran akar vertikal ke arah bawah, sedangkan bobot kering merupakan resultante volume akar yang terbentuk secara keseluruhan. Diduga bahwa FMA berperan dalam pembentukan, perkembangan dan ekspansi sistem perakaran tanaman yang dikolonisasi. Hasil tersebut bermakna bahwa simbiosis FMA dengan tanaman
97 pegagan efektif, karena mampu meningkatkan bobot kering akar sebagai salah satu karakter yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman secara keseluruhan. Meskipun ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa pada tanah-tanah yang kahat hara P, tanaman cenderung akan meningkatkan pertumbuhan sistem perakaran dibandingkan bagian tajuk. Salah satu ciri respon tanaman terhadap keterbatasan P adalah mengurangi pertumbuhan bagian atas tanaman dan meningkatkan perkembangan akar. Respon tersebut menghasilkan sistem percabangan akar (asosiasi antara pengurangan panjang akar primer dan peningkatan jumlah akar-akar lateral serta densitas akar), serta panjang akar rambut, perubahan tersebut meningkatkan kapasitas eksplorasi akar untuk mendapatkan P dalam tanah yang cukup tinggi (Raghothama 1999; Lynch & Brown 2001). Infeksi pada akar tanaman pegagan bermikoriza tergolong sangat tinggi (> 75%) (Rajapakse & Miller 1992), baik pada akar tanaman induk maupun akar tanaman anakan. Infeksi pada akar tanaman anakan dapat terjadi karena jarak dengan akar tanaman induk (yang diinokulasi FMA pada fase pembibitan) tidak terlalu jauh. Akar tanaman induk yang terkolonisasi FMA akan membentuk appresoria dan selanjutnya membentuk hifa ekstraradikal yang berekspansi di rizosfer tanaman. Akar tanaman anakan mengeksudasi asam-asam organik yang akan menarik FMA untuk bersporulasi. Spora FMA terbentuk dari ujung hifa ekstraradikal yang menggelembung dan kemudian terlepas dari hifa ektraradikal tersebut (Smith & Read 2008). Spora yang terbentuk selanjutnya akan berkecambah membentuk hifa dalam tanah atau dari akar tanaman anakan kemudian menyentuh permukaan akar, membentuk appresoria dan menembus dinding sel akar untuk membentuk hifa intraradikal. Pupuk P alami berpengaruh nyata terhadap panjang akar dan bobot kering akar. Pegagan merupakan tanaman dikotil yang memiliki sistem perakaran serabut sehingga dominasi pertumbuhan kearah samping. Penambahan hara P melalui pemupukan mampu meningkatkan bobot kering akar dibandingkan tanpa pemupukan, hal tersebut dapat dipahami bahwa salah satu fungsi P adalah menginduksi sistem perakaran tanaman agar tumbuh lebih baik. Namun demikian hingga dosis 600 kg ha-1 untuk batuan fosfat dan 500 kg ha-1 tepung tulang sapi
98 tidak berbeda dengan dosis 150 kg ha-1 batuan fosfat dan 125 kg ha-1 tepung tulang sapi. Inokulasi FMA dan pupuk P alami mampu meningkatkan produktivitas biomassa tanaman pegagan, yang berupa bobot kering daun, bobot kering terna, dan bobot kering total. Bobot kering daun diperoleh dengan menimbang bobot kering daun tanaman, bobot kering terna diperoleh dengan menimbang bobot kering daun dan bobot kering stolon tanaman, sedangkan bobot kering total didapatkan dengan menimbang bobot kering terna ditambah bobot kering akar. Pengaruh kedua perlakuan tersebut lebih sebagai pengaruh faktor tunggal, karena tidak terjadi interaksi keduanya. Peranan FMA dalam peningkatan pertumbuhan dan produktivitas biomassa tanaman pegagan melalui peningkatan serapan hara dapat terjadi karena mekanisme aktivitas FMA mendukung pertumbuhan tanaman lebih optimal serta simbiosis yang sehat dan saling menguntungkan. Hifa merupakan wahana untuk transpor karbon dari tanaman menuju FMA dan hara dari dalam tanah. Hifa terbagi menjadi dua yaitu hifa intraradikal (HI) yang terdapat di dalam akar tanaman inang dan hifa ekstraradikal (HE) yang terbentuk dari HI yang menjulur keluar dari akar tanaman inang dan membentuk percabangan ekstensif di rizosfer tanaman (Nusantara 2011).
Hifa ektraradikal berfungsi ganda yaitu untuk
angkutan hara dan air, produksi spora, agregasi tanah, dan perlindungan tanaman inang dari serangan patogen. Peran HE dalam angkutan hara, khususnya P anorganik penting artinya karena HE mampu menjangkau sampai di luar zona pengurasan (depletion zone) yang tidak dapat dijangkau atau tidak tersedia untuk akar tanaman (Zhu et al. 2001). Sumbangan FMA terhadap serapan P dan air dipengaruhi oleh jenis FMA, tanaman, dan lingkungan yang mengindikasikan kesesuaian fungsional antara FMA dan tanaman tidak selalu berkaitan dengan kolonisasinya (Burleigh et al. 2002).
99
Simpulan 1.
FMA merupakan agensia hayati yang mampu meningkatkan pertumbuhan, biomassa tanaman, dan serapan hara tanaman pegagan.
2.
Batuan fosfat dan tepung tulang sapi merupakan bahan alami yang dapat digunakan sebagai sumber hara P alternatif pengganti pupuk buatan.
3.
Perlakuan dosis batuan fosfat pada pemanfaatan dengan FMA membentuk hubungan linier dan apabila tanpa FMA membentuk hubungan kuadratik terhadap bobot kering daun, sedangkan terhadap bobot kering terna baik dengan maupun tanpa FMA membentuk hubungan kuadratik. Tepung tulang sapi pada pemanfaatan dengan FMA maupun tanpa FMA membentuk hubungan kuadratik terhadap bobot kering daun dan bobot kering terna.
4.
Rekomendasi dosis maksimal batuan fosfat untuk produksi biomasa kering pegagan pada penggunaan FMA adalah sebesar 483.3 kg ha-1, dan dosis maksimal tepung tulang sapi adalah sebesar 339 kg ha-1.
WAKTU INOKULASI FMA PADA KOMBINASI DUA SUMBER P ALAMI TERHADAP PERTUMBUHAN, PERKEMBANGAN, BIOMASSA DAN PRODUKSI ASIATIKOSIDA TANAMAN PEGAGAN DI ANDOSOL Abstrak Waktu inokulasi merupakan tahapan yang penting pada pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula (FMA) karena akan menentukan pertumbuhan dan hasil tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan waktu inokulasi FMA terbaik pada kombinasi dosis maksimal pupuk P alami dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan, perkembangan, biomassa, dan produksi asiatikosida tanaman pegagan (Centella asiatica L. Urban). Percobaan lapang menggunakan rancangan petak terbagi (split plot design) disusun secara faktorial. Petak utama adalah sumber pupuk P alami, yaitu: dosis 483.3 kg ha-1 batuan fosfat, dan dosis 339 kg ha-1 tepung tulang sapi. Anak petak adalah waktu inokulasi FMA, yaitu: tanpa FMA, inokulasi FMA di pembibitan, inokulasi FMA di pembibitan + inokulasi pada saat tanam, inokulasi FMA di pembibitan + inokulasi pada stolon 30 hari setelah tanam, dan inokulasi FMA di pembibitan + inokulasi pada stolon 60 hari setelah tanam. Perlakuan diulang tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi FMA meningkatkan pertumbuhan tanaman, serapan hara N, P, K, bobot kering daun dan kadar asiatikosida tanaman pegagan. Perbedaan waktu inokulasi FMA tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah pertumbuhan, perkembangan, dan biomassa tanaman pegagan tetapi nyata meningkatkan produksi asiatikosida. Perlakuan waktu inokulasi di pembibitan dan diulang pada saat tanam menghasilkan bobot kering daun, bobot kering terna, dan bobot kering total tertinggi masing-masing sebesar 4.88, 15.22, dan 18.05 g tan-1. atau meningkat 77.6, 70.1, dan 88.2%. Batuan fosfat dan tepung tulang sapi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan, perkembangan, dan biomassa pegagan akan tetapi memberikan efek positif terhadap FMA yang dibuktikan tingginya kolonisasi pada akar tanaman sebesar 79.4 dan 82.0%. Kata kunci: waktu inokulasi, pupuk P alami, pertumbuhan, biomassa, produksi asiatikosida
Abstract Timing of inoculation is important in the utilization of arbuscular mycorrhizal fungi (AMF) because it will determine the growth and yield of crops. The study was aimed to evaluate the effect of AMF inoculation timing and to find the maximal dose P natural fertilizer on growth, development, biomass, and asiaticoside production of Asiatic pennywort (Centella asiatica L. Urban). Field experiment was conducted in split plot design arranged in factorial. The main plot was source of natural fertilizer, i.e. 483.3 kg ha-1 of rock phosphate, and 339 kg ha-1 the maximal dose of cown bone meal. Sub plot was different inoculation timing of AMF, i.e. without AMF, AMF inoculated at seedling, inoculated of AMF at seedling and transplanting, inoculated of AMF at seedling and 30 days
102
after planting (dap) on stolon, and inoculated of AMF at seedling and 60 dap on stolon. The treatment replicated three times. The results showed that inoculation of AMF significantly increased the growth, nutrient uptake, biomass, and asiaticoside content of asiatic pennywort. Different inoculation timing of AMF did not significantly effect all the variables of growth, development, and plant biomass, but increased asiaticoside production. Timing of inoculation at seedling and transplanting resulted the highest on leaf dry weight, shoot dry weight, and total dry weight amount to 4.88, 15.22, and 18.05 g plant-1 or increased 77.6, 70.1, and 88.2% than without AMF (control) plants. Rock phosphate and cown bone meal did not significantly effect growth, development, and plant biomass but provide positivelly increased roots colonization of AMF 79.4 and 82.0%. Keywords: inoculation timing, P natural fertilizer, growth, biomass, asiaticoside production Pendahuluan Pegagan (Centella asiatica (L) Urban) merupakan tumbuhan herba/terna tahunan yang mempunyai karakteristik khas, dari batang utama akan tumbuh stolon yang memanjang disertai dengan munculnya tunas daun pada titik tumbuh dan terdapat stipula axillaris namun tidak diiringi dengan pembentukan akar. Setiap individu baru mempunyai kemampuan untuk membentuk stolon baru lagi. Akar serabut (radix adventicia) akan muncul apabila stolon tersebut benar-benar menyentuh tanah dan kondisi tanah lembab yang akan mendukung pembentukan akar. Individu yang muncul selanjutnya mengikuti perilaku tumbuh dari tanaman utamanya. Pada individu baru pembentukan bunga dan buah bisa langsung mengikuti pertumbuhan daun pertama dari individu anakan tersebut (Musyarofah 2006). Pada kondisi lingkungan yang mendukung, stolon akan terbentuk pada umur 3–4 minggu setelah tanam (mst). Sebagai individu baru, tanaman anakan yang muncul dari stolon akan menghadapi kompetisi hara, air dan cahaya dengan sesama tanaman anakan maupun dengan induknya, serta kemungkinan cekaman biotik dan abiotik. Faktorfaktor pembatas tersebut tentunya akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula (FMA) sebagai agensia hayati merupakan alternatif yang dapat diaplikasikan pada sistem perakaran tanaman anakan. FMA berperan penting dalam membantu serapan hara tanaman, khususnya fosfor (P), serta mampu meningkatkan daya tahan tanaman
103
mampu terhadap cekaman biotik dan abiotik (Smith & Read 2008; Gianinazzi et al. 2010). Banyak bukti yang menunjukkan peran FMA dalam membantu pertumbuhan dan kebugaran tanaman pada tanah terdegradasi (Allen et al. 2005), meningkatkan pasokan hara ke tanaman (Harrison et al. 2002), memperbaiki agregasi tanah tererosi (Rillig & Mummey 2006), dan meningkatkan aktivitas jasad renik di rizosfer (Duponnois et al. 2005). Waktu inokulasi merupakan tahap yang penting dalam pemanfaatan FMA karena akan menentukan keberhasilan seperti dikemukakan Seagel (2001) yang dikutip Alimudin (2006) menyarankan agar sebaiknya inokulasi dilakukan seawal mungkin dalam fase pertumbuhan tanaman. Inokulasi FMA yang dilakukan seawal mungkin akan berperan penting terhadap pertumbuhan dan hasil, terutama pada tanaman-tanaman berumur pendek (Black & Tinker 1979).
Sohn et al.
(2003) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa inokulasi FMA yang dilakukan lebih awal yaitu pada saat di pembibitan menghasilkan pertumbuhan, serapan hara makro yang nyata lebih tinggi serta waktu berbunga krisan lebih cepat dengan kualitas bunga yang lebih baik dibandingkan waktu inokulasi setelah transplanting maupun kontrol. Inokulasi FMA pada fase mikropropagasi memberikan bobot segar dan bobot kering biomass serta laju fotosintesis yang lebih tinggi dibanding inokulasi setelah aklimatisasi pada pisang (Subhan et al. 1998; Yano-Melo et al. 1999). Produksi metabolisme sekunder camptotechin meningkat signifikan pada tanaman yang inokulasi FMA umur 20 hari di persemaian dan inokulasi pada umur 60 hari meningkatkan produksi biomassa (Yang et al. 2010) Selain waktu, cara inokulasi juga perlu mendapat perhatian, prinsip dasarnya adalah inokulum FMA perlu berdekatan atau bersentuhan langsung dengan akar tanaman inang (Setiadi 2007; Mardatin 2007). Sampai dengan saat ini belum banyak informasi dan penelitian mengenai waktu inokulasi FMA pada tanaman. Informasi tersebut menjadi penting, utamanya pada tanaman-tanaman merambat yang pada setiap ruas atau bukunya tumbuh anakan baru. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka diperlukan studi untuk mencari waktu inokulasi FMA yang tepat pada kombinasi dosis maksimal batuan fosfat dan tepung tulang sapi terhadap pertumbuhan, perkembangan, produksi biomassa dan asiatikosida pegagan. Rekomendasi dosis maksimal untuk
104
menghasilkan biomassa tertinggi yang diperoleh dari hasil penelitian Kajian pemanfaatan FMA dan pemupukan P alami dari dua sumber pupuk terhadap pertumbuhan dan biomassa tanaman pegagan di andosol adalah sebesar 483.3 kg ha-1 batuan fosfat, dan 339 kg ha-1 tepung tulang sapi.
Bahan dan Metode Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan waktu inokulasi FMA yang tepat pada kombinasi dosis maksimal dari dua sumber pupuk P alami yang dapat meningkatkan pertumbuhan, perkembangan, biomassa serta produksi asiatikosida. Tempat dan Waktu : Penelitian akan dilaksanakan di Kebun Percobaan Gunung Putri (Balitro), Pacet, Kabupaten Cipanas pada ketinggian tempat 1500 m dpl dengan jenis tanah Andosol dilaksanakan dari bulan Desember 2010 sampai dengan bulan Juli 2011. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan terdiri dari: aksesi Boyolali (aksesi dengan kandungan bioaktif tinggi), inokulum FMA campuran (mix) Cicurug, bahan lain yang digunakan antara lain adalah pupuk kandang, abu sekam, tepung tulang sapi, batuan fosfat, polybag, bahan-bahan untuk analisis kandungan hara pada jaringan, bahan-bahan untuk analisis kandungan klorofil, bahan-bahan kimia untuk analisis kandungan asiatikosida, kertas saring, aquades, bahan kimia untuk pewarnaan akar : larutan trypan blue, KOH 10%, HCl 2%, H2O2, gliserol, asam laktat. Peralatan yang digunakan terdiri dari: peralatan tanam (cangkul, tugal), Automatic leaf area meter, jangka sorong, seperangkat alat penyaring sieving, seperangkat alat untuk sterilisasi tanah, gelas ukur, kaca obyek, kaca penutup, pinset, pipet, pisau scalpel, cawan petri, mikroskop, timbangan analitik, timbangan kasar, ayakan, oven, seperangkat alat untuk analisis serapan hara, kandungan klorofil, dan kandungan asiatikosida alat ukur dan alat tulis.
105
Metodologi Penelitian Penelitian lapang menggunakan Rancangan Petak Terbagi (split plot design). Faktor pertama yang diuji adalah pupuk P alami sebagai petak utama (main treatment dengan dua taraf, yaitu: (1) dosis maksimal batuan fosfat (483 kg ha-1), dan (2) dosis maksimal tepung tulang sapi (340 kg ha-1) yang didapatkan pada penelitian ‘Kajian pemanfaatan FMA dan pemupukan P alami dari dua sumber pupuk terhadap pertumbuhan dan biomassa tanaman pegagan pada tanah andosol’. Faktor kedua sebagai anak petak adalah waktu inokulasi FMA, yaitu: (1) tanpa FMA, (2) inokulasi FMA di pembibitan, (3) inokulasi FMA di pembibitan + inokulasi pada saat tanam, (4) inokulasi FMA di pembibitan + inokulasi pada stolon 30 hari setelah tanam (hst), dan (5) inokulasi FMA di pembibitan + inokulasi pada stolon 60 hst. Kombinasi perlakuan diulang tiga kali sehingga terdapat 30 petak percobaan, setiap petak berukuran 3 m x 4 m, jarak tanam 30 cm x 40 cm, jumlah populasi tiap petak sebanyak 50 tanaman. Denah percobaan disajikan pada Lampiran 8. Model aditif linier dari Rancangan Petak Terbagi adalah sebagai berikut (Sastrosupadi 2000; Mattjik & Sumertajaya 2002): Yijk = µ + Bi + Pj + γij + Mk + (PM)jk + εijk Dimana : Yijk
= nilai pengamatan pengaruh pupuk P ke-j, FMA ke-k, dan ulangan ke-i
µ
= nilai tengah umum
Bi
= pengaruh Blok ke-i (i=1,2,3)
Pj
= pengaruh pupuk P ke-j (j=1,2)
γij
= pengaruh galat yang muncul pada pupuk P ke-j, dan ulangan ke-i
Mk
= pengaruh FMA ke-k (k=1,2,3,4,5)
(PM)jk = pengaruh interaksi antara pupuk P ke-j dan FMA ke-k εijk
= pengaruh galat anak petak, pupuk P ke-j, FMA ke-k, dan pada ulangan ke-i Pelaksanaan penelitian dimulai dari persiapan media tanam, penyiapan
inokulum FMA, persiapan bahan tanam, penanaman, pemeliharaan tanaman,
106
pengamatan, dan analisis di laboratorium. Teknik budidaya mengacu pada Januwati dan Yusron (2005). Pelaksanaan Penelitian Pembibitan Pembibitan pegagan dilakukan dalam polybag berukuran (10 cm x 15 cm), dengan media pembibitan adalah campuran tanah dan pupuk organik dengan perbandingan 1:1 yang sebelumnya sudah disterilkan, media tanam selanjutnya dibasahi kemudian dibuat lubang tanam. Sumber bibit berasal dari stek stolon 3 ruas dari induk tanaman pegagan yang sehat. Sebelum bibit pegagan ditanam, inokulum FMA sebanyak 20 g dimasukan terlebih ke dalam lubang tanam, sehingga diharapkan terjadi kontak antara FMA dengan akar tanaman. Sedangkan bibit yang nantinya untuk perlakuan penelitian tanpa mikoriza tidak dilakukan inokulasi. Untuk menghindari kontaminasi (mikoriza dan non mikoriza) antar bibit dipisahkan dalam bak-bak plastik yang berbeda, demikian pula penempatannya saling berjauhan, selanjutnya bibit ditempatkan pada tempat yang teduh. Pemeliharaan dilakukan dengan melakukan penyiraman dan pengendalian hama serta penyakit bila ditemukan gejala serangan. Bibit siap ditanam pada umur 1 bulan. Pengolahan tanah Pengolahan tanah dilakukan 2 kali, pengolahan pertama ditujukan untuk membalik lapisan tanah sedalam lapisan olah sekaligus mengendalikan gulma selanjutnya dibiarkan satu minggu. Pengolahan tanah kedua dilakukan untuk membuat bedengan/petak percobaan dan saluran drainase, selanjutnya dilakukan penggemburkan tanah hingga diperoleh media tumbuh yang baik bagi tanaman. Ukuran bedengan adalah 2 m x 3 m, tinggi bedengan 30 cm, jarak antar perlakuan 40 cm dan antar ulangan 50 cm yang dipisahkan oleh saluran drainase. Penanaman Sebelum dilakukan penanaman, dibuat lubang tanam pada media sebesar ukur pot bibit dengan lebar 10 cm dan kedalaman 15 cm, jarak tanam 30 cm x 40 cm sehingga populasi setiap petak percobaan sebanyak 50 tanaman. Bibit yang
107
sehat berumur kurang lebih empat minggu (4–5 daun), dipindahkan dari pot pembibitan ke dalam lubang tanam masing-masing satu bibit secara hati-hati sehingga akar masih menyatu dengan media tumbuh bibit, selanjutnya bumbun lubang tanam dan tekan pada permukaan tanah sehingga bibit berdiri tegak. Aplikasi Perlakuan Penelitian Pupuk kandang sapi dengan dosis 20 ton ha-1 dan abu sekam dengan dosis 1.55 ton ha-1 diberikan secara bersamaan dengan pengolahan tanah terakhir dengan mencampur dan mengaduk secara merata pada bedengan percobaan, sedangkan aplikasi pupuk batuan fosfat dan tepung tulang sapi dilakukan sesudah tanam dengan membuat lubang terlebih dahulu menggunakan tugal berjarak 7–10 cm dari lubang tanam. Pupuk diberikan seluruh dosis pada saat tanam. Inokulasi FMA dilakukan berdasar perlakuan. Perlakuan M1 (inokulasi FMA dilakukan pada saat pembibitan); perlakuan M2 (inokulasi FMA dilakukan pada saat penanaman dengan cara memasukkan inokulum terlebih dahulu pada lubang tanam sebelum tanam); perlakuan M3 (inokulasi FMA dilakukan pada umur 30 hst tanam dengan cara membuat lubang di sekitar daerah perakaran pada anakan tanaman yang terbentuk pada stolon primer); dan perlakuan M4 (inokulasi FMA dilakukan pada umur 60 hst tanam dengan cara membuat lubang di sekitar daerah perakaran pada anakan tanaman yang terbentuk pada stolon primer). Teknik inokulasi dengan memberikan pada daerah perakaran dimaksudkan agar terjadi kontak langsung antara FMA dengan akar tanaman, sehingga diharapkan proses asosiasi lebih cepat terjadi. Dosis FMA yang diberikan sebanyak 2 tablet FMA (10 g) per tanaman/anakan. Pemeliharaan Pemeliharaan meliputi penyiraman, penyiangan dan pengendalian hama penyakit. Pada umumnya pemberian air/penyiraman tidak dilakukan kecuali jika dibutuhkan terutama pada awal pertumbuhan tanaman setelah transplanting, mengingat lokasi penelitian merupakan lahan kering dataran tinggi yang sumber air berasal dari air hujan dan sumber air alami. Penyiangan dilakukan terhadap gulma dan tumbuhan liar di areal pertanaman pegagan, penyiangan dilakukan secara periodik 2-3 minggu sekali
108
dengan melihat kondisi gulma. Sedangkan pengendalian hama penyakit dilakukan apabila ditemukan gejala serangan. Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap semua satuan percobaan, pengamatan karakter agronomi mengacu pada panduan deskriptor yang dikembangkan khusus untuk tanaman pegagan dengan beberapa modifikasi (Bermawie et al. 2006), meliputi : (a) jumlah daun tanaman induk (dihitung jumlah daun pada tanaman induk yang sudah membuka sempurna), (b) panjang tangkai daun (diukur dari permukaan tanah hingga ujung tangkai daun), (c) diameter tangkai daun (diukur pada bagian tengah tangkai daun menggunakan jangka sorong), (d) tebal daun (diukur menggunakan jangka sorong), (e) panjang daun (diukur dari pangkal daun sampai ujung daun), (f) lebar daun (diukur lebar daun terlebar), (g) luas daun total (diukur dengan menggunakan alat leaf area meter), (h) jumlah daun total (dihitung jumlah keseluruhan daun pada tanaman), (i) jumlah stolon primer (dihitung jumlah stolon yang tumbuh dari tanaman induk), (j) jumlah stolon sekunder (dihitung jumlah stolon yang tumbuh pada stolon primer), (k) jumlah buku pada stolon primer terpanjang (dihitung jumlah buku/ruas pada stolon primer terpanjang), (l) jumlah buku pada stolon primer terpendek dihitung jumlah buku/ruas pada stolon primer terpendek), (m) jumlah daun pada stolon primer terpanjang (dihitung jumlah daun pada stolon primer terpanjang), (n) jumlah daun pada stolon primer terpendek (dihitung jumlah daun pada stolon primer terpendek). Karakter pigmen yang diukur (a) klorofil a, (b) klorofil b, (c) klorofil total. Komponen hasil dan hasil yang diamati: (a) bobot kering terna (ditimbang bobot kering terna per tanaman/pot), (b) bobot kering daun (ditimbang bobot kering daun per tanaman/pot), (c) panjang akar (diukur dari pangkal batang sampai ujung akar), (d) bobot kering akar (ditimbang bobot kering akar tanaman induk dan anakan). Komponen hara yang diamati meliputi: (a) kadar hara N (dilakukan analisis kadar N daun), (b) kadar hara P (dilakukan analisis kadar P daun), (c) kadar hara K (dilakukan analisis kadar K daun), (d) Serapan hara N daun (dihitung dengan mengalikan antara kadar N daun dengan bobot kering daun), (e) serapan hara P daun (dihitung dengan mengalikan antara kadar P daun
109
dengan bobot kering daun), (f) serapan hara K (dihitung dengan mengalikan antara kadar K daun dengan bobot kering daun). Pengamatan kadar hara jaringan dilakukan di laboratorium Pasca Panen Balittro mengikuti metode baku analisis hara jaringan. Sampel daun yang dianalisis mengacu Ghulamahdi et al. (2009) yaitu : untuk kadar N pada posisi daun ke-4 tanaman induk, kadar P pada posisi daun ke-3 tanaman induk, dan kadar K pada posisi daun ke-4 tanaman induk. Pengamatan pigmen (klorofil daun) dilakukan di laboratorium Analisis Tanaman dan Kromatografi, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB mengikuti prosedur Sims & Gamon (2002). Pengamatan kandungan asiatikosida dilakukan di laboratorium Pusat Studi Biofarmaka IPB, mengikuti prosedur Rafamantana et al (2009). Pengamatan kolonisasi FMA dilakukan di laboratorium Ekofisiologi Balittro Bogor menggunakan metode pewarnaan akar dari Philips dan Hayman (1970) yang dimodifikasi Koske dan Gemma (1989) sebagai berikut. Akar dipisahkan dari bagian atas tanaman dan dicuci bersih yang diikuti perendaman dalam larutan KOH 10% dan dipanaskan pada suhu 90 0C selama 1 jam atau 120 0C selama 15 menit. Langkah selanjutnya akar dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan larutan KOH dan direndam dalam larutan H2O2 selama 10-30 menit. Cuci akar dengan air mengalir sampai bersih selanjutnya direndam dalam larutan HCl 1% selama 5–10 menit. Pindahkan larutan HCl dan akar direndam dalam larutan pewarna berupa campuran laktogliserin dan larutan tryphan blue 0.05% panaskan pada suhu 90 0C selama 1 jam atau 120 0C selama 5 menit. Akar siap diamati, kolonisasi ditandai dengan kenampakan struktur hifa, vesíkula, arbuskula atau salah satu dari ketiganya di bawah mikroskop. Kolonisasi FMA pada akar tanaman (diukur berdasarkan proporsi bidang pandang bermikoriza terhadap total bidang pandang yang diamati). Aras kolonisasi ditentukan berdasarkan kriteria Rajapakse dan Miller (1992) yang dimodifikasi sebagai berikut : < 5% = Sangat rendah (Kelas 1), 6–25% = Rendah (Kelas 2), 26–50% = Sedang (Kelas 3), 51–75% = Tinggi (Kelas 4), dan > 75% = Sangat tinggi (Kelas 5).
110
Prosedur pengujian kadar asiatikosida Pengujian kadar asiatikosida dilakukan pada laboratorium Pusat Studi Biofarmaka IPB mengacu metode Rafamantana et al (2009) yang dimodifikasi sebagai berikut: 1. Persiapan contoh Daun pegagan dikeringkan dengan blower (suhu 40o C selama 7 jam), selanjutnya digiling dan diayak menggunakan ayakan berukuran 40 mesh. Timbang sebanyak 1 gram serbuk pegagan, tambahkan 10 ml methanol p.a. Kocok diatas alat sonikasi selama 20 menit, cairan ekstrak tersebut kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml dan ampasnya diambil untuk di ekstrak kembali sampai 3 kali masing-masing dengan methanol p.a sebanyak 10 ml. Ekstrak dari ampas tersebut disatukan dengan ekstrak pertama untuk dimasukkan ke dalam labu ukur yang sama selanjutnya diencerkan dengan methanol p.a dan diimpitkan sampai tanda batas. 2. Penetapan contoh Ekstrak disaring dengan menggunakan kertas saring Whattman no. 42, kemudian disaring kembali untuk kedua kalinya dengan kertas saring millipore ukuran 0,2 μm. Suntikan cairan tersebut ke dalam KCKT/HPLC sebanyak 20 μl dengan menggunakan fase gerak Asetonitril (CH3CN): air (20:80) dan kecepatan alir 1 ml/menit pada panjang gelombang 206 nm. 3. Pembuatan larutan standar Timbang ekstrak asiatikosida dengan teliti sebanyak 2 mg dengan menggunakan neraca analitis, selanjutnya masukkan ke dalam labu ukur 10 ml untuk diencerkan dengan methanol p.a dan diimpitkan sampai dengan tanda batas. 4. Penetapan standar Suntikan larutan standar asiatikosid 200 ppm sebanyak 20 μl ke dalam KCKT/HPLC dengan menggunakan fase gerak Asetonitril (CH3CN) : air (20:80) dengan kecepatan alir 1 ml/menit pada panjang gelombang 206 nm.
111
5. Perhitungan kadar asiatikosida % Asiatikosida =
Keterangan: [sp] [std] lar std fp
⎡ luas area sp ⎢ luas area std ⎣ ⎡ bobot sp ⎢ pelarut ⎣
⎤ x lar std x fp ⎥ ⎦ X 100 % ⎤ 6 ⎥ x 10 ⎦
: contoh : standar : larutan standar : faktor pengenceran
Analisis data Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis ragam untuk mengetahui pengaruh masing-masing faktor dan interaksinya, jika hasil analisis ragam menunjukan adanya pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan’s Multiple Range Test dan uji Kontras Ortogonal. Analisis ragam menggunakan program SAS versi 9.1
Hasil dan Pembahasan Pupuk fosfor (P) alami tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati, kecuali terhadap jumlah daun total, hal tersebut bermakna bahwa batuan fosfat dan tepung tulang sapi merupakan sumber pupuk P alami alternatif yang tidak berbeda terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Inokulasi FMA memberikan pengaruh nyata dan sangat nyata terhadap semua peubah yang diamati, kecuali jumlah daun induk, panjang tangkai daun, klorofil a, klorofil b dan total klorofil. Pupuk P alami berinteraksi nyata dengan inokulasi FMA terhadap jumlah stolon sekunder dan produksi asiatikosida. (Tabel 23).
112
Tabel 23 Rangkuman hasil analisis ragam pengaruh waktu inokulasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada dosis maksimal batuan fosfat dan tepung tulang sapi terhadap peubah yang diamati No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Peubah Jumlah daun tanaman induk Panjang tangkai daun Jumlah stolon primer Jumlah stolon sekunder Jumlah buku pada stolon terpanjang Jumlah buku pada stolon terpendek Stolon terpanjang Jumlah daun total Luas daun total Klorofil A Klorofil B Total Klorofil Serapan hara N Serapan hara P Serapan hara K Infeksi akar pada tanaman induk Infeksi akar pada tanaman induk Bobot kering akar Bobot kering daun Bobot kering terna Bobot kering total Produksi asiatikosida
P
FMA
P*FMA
CV
tn tn tn tn tn tn tn * tn tn tn tn tn tn tn tn * tn tn tn tn tn
tn tn * ** * * * * * tn tn tn * * ** ** ** * ** * * **
tn tn tn * tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn *
36.99 15.06 20.21 6.85 9.08 14.65 8.85 23.90 19.96 14.51 16.66 14.87 30.14 26.54 24.83 6.54 6.56 24.18 23.67 26.42 25.59 23.85
Jumlah daun tanaman induk, panjang tangkai daun, jumlah stolon primer dan jumlah stolon sekunder Batuan fosfat dan tepung tulang sapi tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun tanaman induk, panjang tangkai daun, dan jumlah stolon primer. Dari Tabel 24 terlihat bahwa antara batuan fosfat dan tepung tulang sapi pengaruhnya tidak berbeda terhadap pertumbuhan tanaman pegagan, hal tersebut bermakna bahwa kedua pupuk P alami tersebut sama baiknya sebagai sumber P alternatif. Waktu inokulasi FMA tidak berpengaruh nyata (P> 0.05) terhadap jumlah daun tanaman induk dan panjang tangkai daun, akan tetapi berpengaruh nyata (P< 0.05) terhadap jumlah stolon primer. FMA tidak berpengaruh nyata terhadap karakter pertumbuhan yang berkaitan dengan tanaman induk, seperti jumlah daun dan panjang tangkai daun. Diduga tanaman induk kurang kompetitif dalam mendapatkan hara, air dan cahaya dibandingkan dengan tanaman anakan sehingga
113
pasokan karbon fotosintat dari tanaman ke FMA dan peningkatan serapan hara dari FMA mengalami hambatan bahkan mungkin fotosintat yang dihasilkan tanaman hanya untuk memelihara FMA. Hal tersebut menyebabkan simbiosis dengan FMA kurang efektif atau justru merugikan tanaman. Perlakuan FMA berpengaruh nyata (P< 0.05) dan mampu meningkatkan jumlah stolon primer 33.5–57.2% atau rata-rata 43.8% dibandingkan tanpa FMA. Inokulasi FMA di pembibitan sudah mampu meningkatkan jumlah stolon primer dan tidak berbeda dengan inokulasi ulang, sehingga lebih disarankan karena lebih efisien Tabel 24. Tabel 24 Pengaruh pupuk P alami dan waktu inokulasi FMA terhadap rata-rata jumlah daun tanaman induk, panjang tangkai daun, dan jumlah stolon primer pada umur 20 minggu setelah tanam (MST) Perlakuan
Pupuk P Alami Tepung tulang sapi Batuan fosfat Waktu inokulasi FMA M0 M1 M2 M3 M4 Interaksi
Jumlah daun
Panjang tangkai daun ..…..cm……
Jumlah stolon primer
12.4 11.0
7.53 6.99
8.7 7.3
9.6 10.1 12.8 13.6 12.4 tn
6.40 6.85 8.07 7.43 7.55 tn
5.9 b 7.9 a 8.3 a 8.6 a 9.4 a tn
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada setiap kolom, berbeda nyata pada uji DMRT (P < 0.05). (M0 = tanpa FMA, M1 = inokulasi FMA di pembibitan, M2 = inokulasi FMA di pembibitan dan saat tanam, M3 = inokulasi FMA di pembibitan dan 30 hst, M4 = inokulasi FMA di pembibitan dan 60 hst)
Perlakuan FMA pada kombinasi dengan batuan fosfat tidak memberikan perbedaan dibanding perlakuan tanpa FMA, kecuali apabila FMA di inokulasikan di pembibitan dan diulang pada saat tanam, maka jumlah stolon sekunder akan meningkat sebesar 21.7%. Perlakuan FMA pada penggunaan tepung tulang sapi akan efektif dan efisien meningkatkan jumlah stolon sekunder sebesar 20.2% apabila waktu inokulasi dilakukan hanya pada saat di pembibitan ( Tabel 25).
114
Tabel 25 Interaksi waktu inokulasi FMA dan pupuk P alami terhadap rata-rata jumlah stolon sekunder pada umur 20 MST Perlakuan Batuan fosfat (BF) + tanpa FMA BF + inokulasi FMA di pembibitan BF + inokulasi FMA di pembibitan dan saat tanam BF + inokulasi FMA di pembibitan dan 30 hst BF + inokulasi FMA di pembibitan dan 60 hst Tepung tulang sapi (TTs) + tanpa FMA TTs + inokulasi FMA di pembibitan TTs + inokulasi FMA di pembibitan dan saat tanam TTs + inokulasi FMA di pembibitan dan 30 hst TTs + inokulasi FMA di pembibitan dan 60 hst
Jumlah stolon sekunder 6.5 c 7.3 bc 7.9 ab 7.1 bc 7.1 bc 6.6 c 7.9 ab 7.3 bc 8.6 a 7.5 abc
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada setiap kolom, berbeda nyata pada uji DMRT (P < 0.05), angka yang diikuti tanda */** pada setiap kolom berbeda nyata /berbeda sangat nyata pada uji Kontras Ortogonal.
Jumlah buku pada stolon primer terpanjang, jumlah buku stolon primer terpendek, dan stolon primer terpanjang Batuan fosfat dan tepung tulang sapi pengaruhnya tidak berbeda (P> 0.05) terhadap jumlah buku pada stolon primer terpanjang, jumlah buku pada stolon primer terpendek, dan stolon primer terpanjang (Tabel 26). Kedua jenis pupuk alami tersebut memiliki karakter yang hampir sama, yaitu tergolong pupuk yang lambat larut sehingga pelepasan P lebih lama, serta kadar N yang relatif kecil. Diduga hal tersebut menyebabkan kecepatan pertumbuhan tanaman dalam membentuk buku-buku, dan panjang stolon primer tidak berbeda. Inokulasi FMA berbeda nyata (P< 0.05) terhadap jumlah buku pada stolon primer terpanjang, jumlah buku pada stolon primer terpendek, dan stolon primer terpanjang. Waktu inokulasi di pembibitan sudah mampu meningkatkan jumlah buku pada stolon terpanjang, jumlah buku pada stolon terpendek, dan stolon primer terpanjang
sebesar 16.0, 25.3, dan 18.1% dibandingkan tanpa FMA,
sehingga tidak diperlukan inokulasi ulang (Tabel 26).
Inokulasi FMA di
pembibitan dan diulang pada 30 dan 60 hst justru tidak efisien karena tidak mampu meningkatkan panjang stolon primer dan jumlah buku.
115
Tabel 26 Pengaruh pupuk P alami dan waktu inokulasi FMA terhadap rata-rata jumlah buku pada stolon primer terpanjang, jumlah buku pada stolon primer terpendek, dan stolon primer terpanjang pada umur 20 MST Perlakuan
Jumlah buku pada stolon primer terpanjang
Jumlah buku pada stolon primer terpendek
Stolon primer terpanjang …...cm……
Pupuk P Alami Tepung tulang sapi Batuan fosfat Waktu inokulasi FMA M0 M1 M2 M3 M4 Interaksi Antar waktu inokulasi FMA M0 vs M1 M2 M0 vs M3 M4 M1 M2 vs M3 M4
11.0 11.0
2.7 2.9
86.98 86.46
9.9 b 11.5 a 11.4 a 11.4 a 10.8 ab tn
2.3 b 2.8 a 2.8 a 2.9 a 3.1 a tn
78.57 b 92.85 a 90.00 a 84.67 ab 87.52 ab tn
9.9 vs 11.5** 9.9 vs 11.1** 11.5 vs 11.1
2.3 vs 2.8 * 78.57 vs 91.42** 2.3 vs 3.0 ** 78.57 vs 88.09 2.8 vs 3.0 91.42 vs 88.09
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada setiap kolom, berbeda nyata pada uji DMRT (P < 0.05), angka yang diikuti tanda */** pada setiap kolom berbeda nyata /berbeda sangat nyata pada uji Kontras Ortogonal. (M0 = tanpa FMA, M1 = inokulasi FMA di pembibitan, M2 = inokulasi FMA di pembibitan dan saat tanam, M3 = inokulasi FMA di pembibitan dan 30 hst, M4 = inokulasi FMA di pembibitan dan 60 hst)
Jumlah daun total dan luas daun total Sumber P alami memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P< 0.01) terhadap jumlah daun total, tepung tulang sapi menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan batuan fosfat. Sedangkan terhadap luas daun total sumber P alami tidak menunjukkan perbedaaan nyata. Inokulasi FMA
meningkatkan
jumlah daun total tanaman pegagan 49.6–62.3% atau rata-rata 55.9% dan luas daun total 33.9–56.1% atau meningkat rata-rata 44.6% lebih tinggi dan berbeda nyata (P< 0.05) dibandingkan perlakuan tanpa pemberian FMA. Inokulasi yang dilakukan lebih awal, yakni pada saat di pembibitan lebih efisien dan efektif sehingga tidak perlu dilakukan inokulasi ulang (Tabel 27).
116
Tabel 27 Pengaruh pupuk P alami dan waktu inokulasi FMA terhadap rata-rata jumlah daun total dan luas daun total pada umur 20 MST Perlakuan Pupuk P Alami Tepung tulang sapi Batuan fosfat Waktu inokulasi FMA M0 M1 M2 M3 M4 Interaksi
jumlah daun total
Luas daun total ..……....cm2…………
138.6 a 117.3 b
1248.98 1079.35
94.1 b 140.8 a 152.8 a 128.3 ab 123.8 ab tn
84.0 1270.8 1379.9 1184.0 1102.2 tn
b a a a ab
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada setiap kolom, berbeda nyata pada uji DMRT (P < 0.05). (M0 = tanpa FMA, M1 = inokulasi FMA di pembibitan, M2 = inokulasi FMA di pembibitan dan saat tanam, M3 = inokulasi FMA di pembibitan dan 30 hst, M4 = inokulasi FMA di pembibitan dan 60 hst)
Jumlah klorofil a, klorofil b, klorofil total Sumber P alami, baik batuan fosfat maupun tepung tulang sapi menghasilkan jumlah klorofil a, klorofil b, dan klorofil total yang tidak berbeda nyata (P> 0.05), demikian pula waktu inokulasi FMA tidak memberikan pengaruh nyata dibandingkan perlakuan tanpa FMA (Tabel 28). Tabel 28 Pengaruh pupuk P alami dan waktu inokulasi FMA terhadap klorofil a, klorofil b, dan klorofil total pada umur 20 MST Perlakuan
Pupuk P Alami Tepung tulang sapi Batuan fosfat Waktu inokulasi FMA M0 M1 M2 M3 M4 Interaksi
Jumlah klorofil Jumlah klorofil Klorofil total a b …….………….. µmol/100 cm2……………… 3.03 2.94
0.94 0.91
3.97 3.86
2.65 3.06 3.08 3.05 3.09 tn
0.81 0.94 0.99 0.94 0.95 tn
3.47 3.99 4.07 4.00 4.04 tn
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 %. (M0 = tanpa FMA, M1 = inokulasi FMA di pembibitan, M2 = inokulasi FMA di pembibitan dan saat tanam, M3 = inokulasi FMA di pembibitan dan 30 hst, M4 = inokulasi FMA di pembibitan dan 60 hst)
117
Serapan hara N, P, dan K Batuan fosfat dan tepung tulang sapi menghasilkan serapan hara N, P, dan K yang tidak berbeda nyata (P> 0.05), meskipun tepung tulang sapi memiliki kandungan P total (15.1%) dan nisbah N/P (0.27) yang lebih tinggi dibandingkan batuan fosfat (9.8%) dan (0.10) (Tabel 9) ternyata belum memberikan pengaruh yang berbeda. Inokulasi FMA tidak hanya meningkatkan serapan hara P, akan tetapi juga serapan hara N, dan K. Tabel 29 menunjukkan bahwa serapan hara N meningkat 75.3–103.9% atau rata-rata 89.6%, serapan hara P meningkat 61.5–92.3% atau rata-rata meningkat 76.9%, dan serapan hara K meningkat 60.1–98.3% atau ratarata meningkat 71.8% dibandingkan tanpa perlakuan pemberian FMA. Peningkatan serapan hara N dan P akan diperoleh apabila waktu inokulasi FMA dilakukan di pembibitan dan diulang pada saat tanam, sedangkan serapan K lebih efisien dan efektif jika inokulasi dilakukan di pembibitan. Tabel 29 Pengaruh pupuk P alami dan waktu inokulasi FMA terhadap serapan hara N, P, dan K pada umur 20 MST Perlakuan Pupuk P Alami Tepung tulang sapi Batuan fosfat Waktu inokulasi FMA M0 M1 M2 M3 M4 Interaksi M0 vs M1 M2 M0 vs M3 M4 M1 M2 vs M3 M4
Serapan N Serapan P Serapan K -1 …….……………….. g tan …………………… 0.131 0.113
0.022 0.018
0.200 0.171
0.077 b 0.013 b 0.118 b 0.119 ab 0.019 ab 0.189 a 0.157 a 0.025 a 0.234 a 0.135 a 0.021 a 0.192 a 0.123 ab 0.021 a 0.196 a tn tn tn 0.077 vs 0.138 ** 0.013 vs 0.022 ** 0.118 vs 0.211 ** 0.077 vs 0.129 * 0.013 vs 0.021** 0.118 vs 0.194 ** 0.138 vs 0.129 0.022 vs 0.021 0.211 vs 0.194
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada setiap kolom, berbeda nyata pada uji DMRT (P < 0.05), angka yang diikuti tanda */** pada setiap kolom berbeda nyata /berbeda sangat nyata pada uji Kontras Ortogonal. (M0 = tanpa FMA, M1 = inokulasi FMA di pembibitan, M2 = inokulasi FMA di pembibitan dan saat tanam, M3 = inokulasi FMA di pembibitan dan 30 hst, M4 = inokulasi FMA di pembibitan dan 60 hst)
118
Kolonisasi FMA, dan bobot kering akar Batuan fosfat dan tepung tulang sapi memberikan pengaruh yang sama baiknya terhadap pertumbuhan dan perkembangan FMA, hal tersebut dibuktikan dengan tidak adanya pengaruh nyata (P> 0.05) terhadap kolonisasi FMA pada akar tanaman induk. Hal yang berbeda terlihat pada akar tanaman anakan, persentasi infeksi FMA yang lebih tinggi dan berbeda nyata (P< 0.05) pada pemupukan dengan tepung tulang sapi. Kedua sumber P secara statistik tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap bobot kering akar (Tabel 30). Waktu inokulasi FMA tidak menunjukkan perbedaan nyata terhadap derajat infeksi pada akar dan bobot kering akar tanaman pegagan, tetapi pemberian FMA berbeda sangat nyata dengan kontrol. FMA meningkatkan bobot kering akar ratarata sebesar 56.7% dibandingkan perlakuan tanpa pemberian FMA. Inokulasi di fase pembibitan sudah mampu memberikan peningkatan derajat infeksi FMA pada akar tanaman induk, akar tanaman anakan dan bobot kering akar yang tidak berbeda dengan perlakuan waktu inokulasi lainnya. Tabel 30 Pengaruh pupuk P alami dan waktu inokulasi FMA terhadap rata-rata derajat infeksi pada akar dan bobot kering akar pada umur 20 MST Perlakuan
Infeksi FMA pada tan induk
Infeksi FMA pada tan anakan
..…..……………………% …………………………
Pupuk P Alami Tepung tulang sapi Batuan fosfat Waktu inokulasi FMA M0 M1 M2 M3 M4 Interaksi M0 vs M1 M2 M0 vs M3 M4 M1 M2 vs M3 M4
Bobot kering akar .…..g tan-1…...
66.20 63.66
67.66 a 65.46 b
2.53 2.03
6.83 b 80.16 a 80.16 a 79.50 a 79.66 a tn 6.83 vs 80.16 ** 6.83 vs 79.58 ** 80.16 vs 79.58
5.00 b 83.66 a 81.83 a 81.16 a 81.16 a tn 5.00 vs 82.74 ** 5.00 vs 81.16 ** 82.74 vs 81.16
1.57 b 2.37 a 2.83 a 2.34 a 2.30 a tn 1.57 vs 2.60 ** 1.57 vs 2.32 * 2.60 vs 2.32
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada setiap kolom, berbeda nyata pada uji DMRT (P < 0.05), angka yang diikuti tanda */** pada setiap kolom berbeda nyata /berbeda sangat nyata pada uji Kontras Ortogonal. (M0 = tanpa FMA, M1 = inokulasi FMA di pembibitan, M2 = inokulasi FMA di pembibitan dan saat tanam, M3 = inokulasi FMA di pembibitan dan 30 hst, M4 = inokulasi FMA di pembibitan dan 60 hst)
119
Bobot kering daun, bobot kering terna, bobot kering total Batuan fosfat dan tepung tulang sapi merupakan sumber P alami yang memberikan pengaruh yang tidak berbeda terhadap bobot kering daun, bobot kering terna dan bobot kering total tanaman pegagan. Tepung tulang sapi memiliki kelarutan yang tergolong sedang, sedangkan batuan fosfat berpelepasan lebih lambat (Warren et al. 2009), namun demikian hal tersebut belum mampu memberikan perbedaan nyata (Tabel 31). Bobot kering daun, bobot kering terna dan bobot kering total dipengaruhi secara nyata (P< 0.05) oleh perlakuan pemberian FMA. Perlakuan waktu inokulasi di pembibitan dan diulang pada saat tanam menghasilkan bobot kering daun, bobot kering terna, dan bobot kering total tertinggi masing-masing sebesar 4.88, 15.22, dan 18.05 g tan-1 atau meningkat rata-rata sebesar 77.6, 70.1, dan 88.2% dibandingkan perlakuan tanpa pemberian FMA, akan tetapi tidak berbeda dengan perlakuan waktu inokulasi lainnya (Tabel 31). Tabel 31 Pengaruh pupuk P alami dan waktu inokulasi FMA terhadap rata-rata bobot kering akar, bobot kering daun, bobot kering terna, dan bobot kering total pada umur 20 MST Perlakuan
Pupuk P Alami Tepung tulang sapi Batuan fosfat Waktu inokulasi FMA M0 M1 M2 M3 M4 Interaksi M0 vs M1 M2 M0 vs M3 M4 M1 M2 vs M3 M4
Bobot kering Bobot kering Bobot kering daun terna total ..…………………..g tan-1……………………….. 4.27 3.64
13.61 11.42
2.44 b 3.96 a 4.88 a 4.34 a 4.16 a tn 2.44 vs 4.42 ** 2.44 vs 4.25 ** 4.42 vs 4.25
8.02 b 12.22 a 15.22 a 13.22 a 13.91 a tn 8.02 vs 13.72** 8.02 vs 13.56 ** 13.72 vs 13.56
16.15 13.46 9.59 b 14.59 a 18.05 a 15.56 a 16.21 a tn 9.59 vs 16.32 ** 9.59 vs 15.88 ** 16.32 vs 15.88
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada setiap kolom, berbeda nyata pada uji DMRT (P < 0.05), angka yang diikuti tanda */** pada setiap kolom berbeda nyata /berbeda sangat nyata pada uji Kontras Ortogonal. (M0 = tanpa FMA, M1 = inokulasi FMA di pembibitan, M2 = inokulasi FMA di pembibitan dan saat tanam, M3 = inokulasi FMA di pembibitan dan 30 hst, M4 = inokulasi FMA di pembibitan dan 60 hst)
120
Kadar dan produksi asiatikosida Inokulasi FMA berinteraksi nyata (P< 0.05) dengan sumber pupuk P alami terhadap produksi asiatikosida. Waktu inokulasi di pembibitan dan diulang pada saat tanam pada penggunaan batuan fosfat sebagai sumber P sudah mampu meningkatkan produksi asiatikosida, sedangkan pada penggunaan tepung tulang sapi cukup dilakukan pada fase pembibitan. Produksi asiatikosida tidak dipengaruhi oleh sumber pupuk P alami, akan tetapi dipengaruhi oleh waktu inokulasi FMA (Tabel 32). Tabel 32 Interaksi waktu inokulasi FMA dan pupuk P alami terhadap kadar dan produksi asiatikosida pegagan pada umur 20 MST Perlakuan
Kadar Produksi asiatikosida asiatikosida ........%....... .….. g tan-1…… Batuan fosfat (BF) + tanpa FMA 1.39 0.0347 bc BF + inokulasi FMA di pembibitan 1.36 0.0336 bc BF + inokulasi FMA di pembibitan dan tanam 1.95 0.0613 a BF + inokulasi FMA di pembibitan dan 30 hst 1.31 0.0716 a BF + inokulasi FMA di pembibitan dan 60 hst 1.42 0.0686 a Tepung tulang sapi (TTs) + tanpa FMA 0.91 0.0276 c TTs + inokulasi FMA di pembibitan 1.77 0.0553 ab TTs + inokulasi FMA di pembibitan dan tanam 1.15 0.0353 bc TTs + inokulasi FMA di pembibitan dan 30 hst 0.67 0.0663 a TTs + inokulasi FMA di pembibitan dan 60 hst 1.62 0.0776 a Antar sumber P Alami Tepung tulang sapi 0.052 Batuan fosfat 0.054 Antar waktu inokulasi FMA M0 vs M1 M2 0.031 vs 0.046 * 0.031 vs 0.071 ** M0 vs M3 M4 M1 M2 vs M3 M4 0.046 vs 0.071 ** M1 vs M2 0.044 vs 0.048 0.044 vs 0.069** M1 vs M3 M1 vs M4 0.044 vs 0.073** 0.048 vs 0.069* M2 vs M3 M2 vs M4 0.048 vs 0.073** 0.069 vs 0.073 M3 vs M4 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada setiap kolom, berbeda nyata pada uji DMRT (P < 0.05), angka yang diikuti tanda */** pada setiap kolom berbeda nyata /berbeda sangat nyata pada uji Kontras Ortogonal. (M0 = tanpa FMA, M1 = inokulasi FMA di pembibitan, M2 = inokulasi FMA di pembibitan dan saat tanam, M3 = inokulasi FMA di pembibitan dan 30 hst, M4 = inokulasi FMA di pembibitan dan 60 hst)
121
Perlakuan FMA dan sumber P alami mampu meningkatkan kadar asiatikosida pada daun pegagan diatas standar MMI (0.91%), kecuali pada perlakuan penggunaan tepung tulang sapi yang di inokulasi FMA di pembibitan dan 30 hst (0.67%). Waktu inokulasi di pembibitan yang diulang pada saat tanam pada kombinasi dengan batuan fosfat kadar asiatikosida meningkat sebesar 39.5% dibandingkan tanpa FMA, sedangkan waktu inokulasi FMA di pembibitan dengan penggunaan tepung tulang sapi mampu meningkatkan kadar asiatikosida sebesar 94.1%. Waktu inokulasi FMA pada penggunaan batuan fosfat sebagai sumber P untuk menghasilkan kadar asiatikosida yang tinggi sebaiknya dilakukan pada saat di pembibitan dan diulang pada saat tanam, sedangkan pada penggunaan tepung tulang sapi waktu inokulasi FMA efektif dilakukan di pembibitan. Kriteria seleksi produksi daun kering Analisis korelasi dan analisis lintas Hasil analisis korelasi sederhana menunjukkan bahwa semua peubah yang dimasukkan sebagai karakter penciri untuk menduga bobot kering daun menunjukkan korelasi positip yang yang sangat nyata (P< 0.01), kecuali pada peubah jumlah stolon sekunder, jumlah buku, jumlah klorofil a, jumlah klorofil b, dan jumlah klorofil total. Serapan hara K (r15y=0.98) dan serapan hara N (r13y=0.96) merupakan peubah yang memiliki nilai korelasi positif paling tinggi, disusul peubah serapan hara P (r14y=0.94), bobot kering akar (r9y=0.93), jumlah daun total (r7y=0.86), luas daun total (r8y=0.85), dan jumlah stolon primer (r3y=0.68) (Tabel 33). Hasil analisis lintas sederhana menunjukkan jumlah klorofil a menghasilkan pengaruh langsung tertinggi (1.800), disusul jumlah klorofil b (0.715), serapan hara K (0.566), serapan hara N (0.171), jumlah daun total (0.143), serapan hara P (0.115), dan jumlah stolon primer (0.067). Koefisien korelasi dari peubah jumlah klorofil a, dan jumlah klorofil b tidak nyata (P > 0.05), sehingga tidak dapat digunakan sebagai
karakter penciri. Sedangkan serapan hara K (r15y=0.98),
serapan hara N (r13y=0.96), jumlah daun total (r7y=0.86), serapan hara P (r14y=0.94), dan jumlah stolon primer (r3y=0.68) memiliki koefisien korelasi positip sangat nyata (P< 0.01) (Tabel 34), sehingga dapat digunakan sebagai
122
karakter penciri untuk produksi bobot kering daun, dan mampu menjelaskan ragam produksi daun kering sebesar 0.907 atau 90.7% (Gambar 14).
r xy Jumlah daun induk
0.55**
Panjang tangkai daun
0.52**
Jumlah stolon primer
0.68**
Jumlah stolon sekunder
0.15ns
Jumlah buku
0.30ns
P5 : 0.045
Stolon terpanjang
0.57**
Bobot
P6 : -0.018
Jumlah daun total
0.86**
kering
P7 : 0.143
Luas daun total
0.85**
Bobot kering akar
0.93**
Klorofil a
0.07ns
P12 : -2.465
Klorofil b
0.03ns
P13 : 0.171
Klorofil total
0.06ns
Serapan N
0.96**
Serapan P
0.94**
Serapan K
0.98**
P1 : 0.027 P2 : -0.036 P3 : 0.067 P4 : -0.009
daun
P8 : -0.008 P9 : -0.004 P10 : 1.800 P11 : 0.715
0.0925
Residu (R)
P14 : 0.115 P15 : 0.566
Gambar 12 Diagram analisis lintas antara komponen pertumbuhan terhadap bobot kering daun pegagan
121
Tabel 33 Nilai koefisien korelasi antara komponen pertumbuhan dengan produksi daun kering tanaman pegagan Karakter
X1
Jumlah daun induk
1
Panjang tangkai daun Jumlah stolon primer Jumlah stolon sekunder Jumlah buku Stolon terpanjang Jumlah daun total Luas daun total Bobot kering akar Klorofil a Klorofil b Total klorofil Serapan N Serapan P Serapan K
X2
X6
X7
X8
0.62** 0.73** 0.04 -0.08 0.18
0.30
1
X3
X4
0.61** 0.23 1
0.14 1
X5
X9
X10
X11
X12
X13
X14
X15
rxy
0.37*
0.52** -0.09
-0.13
-0.10
0.58** 0.49** 0.59** 0.55**
0.37*
0.56** 0.48** 0.53** 0.52**
0.23
0.16
0.32
0.48**
0.03
0.09
0.05
0.13
0.37*
0.49** 0.59** 0.62**
0.14
0.12
0.14 0.65** 0.68** 0.65** 0.69**
0.14
0.14
0.13
0.22
0.19
0.22
0.23
0.27
0.21
0.12
0.02
0.09
0.60** 0.12 1
0.09 1
**
0.69 1
**
**
0.64 0.55 0.95** 0.85** 1 0.81** 1
0.12 0.16 0.23 0.04 1
0.14 0.12 0.12 0.15 0.20 0.22 -0.01 0.02 0.94** 0.99** 1 0.96** 1
0.12
0.18
0.12
0.15
0.31 0.26
0.28
0.30
**
0.51 0.81** 0.79** 0.89** 0.02 -0.00 0.01 1
**
0.57 0.82** 0.79** 0.87** 0.05 0.01 0.04 0.89** 1
**
0.55 0.83** 0.80** 0.94** 0.03 0.00 0.02 0.96** 0.92** 1
0.57** 0.86** 0.85** 0.93** 0.07 0.03 0.06 0.96** 0.94** 0.98**
Keterangan: X1: jumlah daun induk; X2: panjang tangkai daun; X3: jumlah stolon primer; X4: jumlah stolon sekunder; X5: jumlah buku; X6: stolon terpanjang; X7: jumlah daun total; X8: luas daun total; X9: bobot kering akar ; X10: klorofil a; X11: klorofil b; X12: total klorofil; X13: serapan N; X14: serapan P; X15: serapan K; rxy: produksi daun kering
123
122
Tabel 34 Pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung komponen pertumbuhan terhadap produksi daun kering tanaman pegagan Karakter
Jumlah daun induk Panjang tangkai daun Jumlah stolon primer Jumlah stolon sekunder Jumlah buku Stolon terpanjang Jumlah daun total Luas daun total Bobot kering akar Klorofil a Klorofil b Total klorofil Serapan N Serapan P Serapan K
Pengaruh tidak langsung melalui peubah
Peubah Pengaruh bebas langsung (Pi) Z1
0.027
Z1 -
Z2 Z3 Z4 0.621 0.730 0.043
Z2
-0.036
0.621
Z3
0.068
0.730 0.612
Z4
-0.009
0.043 0.228 0.148
-
Z5 Z6 Z7 Z8 Z9 Z10 Z11 Z12 Z13 Z14 Z15 -0.084 0.182 0.305 0.371 0.520 -0.092 -0.136 -0.105 0.586 0.488 0.558
0.55**
0.223
0.160 0.323 0.375 0.484 0.031 0.094 0.050 0.565 0.418 0.530
0.52**
0.148
0.134
0.374 0.495 0.594 0.622 0.144 0.121 0.139 0.652 0.683 0.651
0.69**
-
0.606
0.124 0.147 0.140 0.131 0.226 0.197 0.221 0.127 0.183 0.119
0.15
0.612 0.228 -
Pengaruh total (rxy)
124
0.230 0.275 0.211 0.119 0.028 0.096 0.310 0.260 0.279 0.30 0.694 0.642 0.553 0.121 0.139 0.127 0.510 0.579 0.556 0.57** - 0.957 0.854 0.166 0.124 0.156 0.813 0.825 0.832 0.86** 0.957 - 0.815 0.231 0.201 0.225 0.794 0.793 0.808 0.85** 0.854 0.815 - 0.043 -0.018 0.027 0.895 0.876 0.939 0.93** 0.166 0.231 0.043 - 0.939 0.995 0.026 0.058 0.034 0.07 0.124 0.201 -0.018 0.939 - 0.967 -0.003 0.018 -0.003 0.03 0.156 0.225 0.027 0.995 0.967 - 0.018 0.047 0.024 0.06 0.813 0.794 0.895 0.026 -0.003 0.018 - 0.889 0.961 0.96** 0.825 0.793 0.876 0.058 0.018 0.047 0.889 - 0.924 0.94** 0.832 0.808 0.939 0.034 -0.003 0.024 0.961 0.924 0.98** Keterangan: Z1:jumlah daun induk; Z2: panjang tangkai daun; Z3: jumlah stolon primer; Z4: jumlah stolon sekunder; Z5: jumlah buku; Z6: stolon terpanjang; Z7: jumlah daun total; Z8: luas daun total; Z9: bobot kering akar ; Z10: klorofil a; Z11: klorofil b; Z12: total klorofil; Z13: serapan N; Z14: serapan P; Z15: serapan K; rxy: produksi daun kering
Z5 Z6 Z7 Z8 Z9 Z10 Z11 Z12 Z13 Z14 Z15
0.089 0.046 -0.084 0.233 0.134 0.606 0.182 0.160 0.374 0.124 0.089 -0.018 0.305 0.323 0.495 0.147 0.230 0.694 0.143 -0.008 0.371 0.375 0.594 0.140 0.275 0.642 -0.004 0.520 0.484 0.622 0.131 0.211 0.553 1.800 -0.092 0.031 0.144 0.226 0.119 0.121 0.715 -0.136 0.094 0.121 0.197 0.028 0.139 -2.465 -0.105 0.050 0.139 0.221 0.096 0.127 0.171 0.586 0.565 0.652 0.127 0.310 0.510 0.115 0.488 0.418 0.683 0.183 0.260 0.579 0.566 0.558 0.530 0.651 0.119 0.279 0.556
125
Pembahasan Batuan fosfat dan tepung tulang sapi merupakan sumber P alami alternatif potensial yang dapat digunakan sebagai pengganti pupuk kimia, dan pemanfaatannya akan lebih sesuai dan efektif apabila diaplikasikan pada tanahtanah masam seperti di andosol. Pada tanah-tanah masam umumnya ketersedian hara P sangat rendah, pada tanah dengan
pH< 5.5 P difiksasi oleh Al, Fe,
hidroksida, Mn dan liat (Tisdale et al. 1985; Radjagukguk 1983; Cardoso & Kupyer 2006; Akinrinde 2006), P dalam bentuk tidak larut (Holford 1997), atau P berada di luar rizosfer tanaman (Schachtman et al. 1998; Lo´pez-Bucio et al. 2000). Andosol mengandung alofan yang umumnya mengalami kemunduran kesuburan yang serius karena rendahnya ketersediaan P akibat kandungan Al dapat ditukar yang tinggi, pada kisaran pH 5–5.5 (Cornejo et al. 2007; Meason et al. 2009). Penggunaan bahan organik sangat dianjurkan pada budidaya pertanian di tanah-tanah masam. Kandungan bahan organik yang tinggi akan menghalangi aktivitas serapan oleh ion Al dan Fe, (Meason et al. 2009), membentuk senyawa kompleks dengan ion logam yang meracuni tanaman seperti Al, Fe, dan Mn (Suriadikarta & Simanungkalit 2009), yang memungkinkan penyerapan dan pelepasan P. Batuan fosfat dan tepung tulang merupakan sumber hara P dan bersifat dapat melepaskan fosfat secara lambat yang kelarutannya makin tinggi dengan meningkatnya kemasaman tanah (Bogidarmanti 2008). Keunggulan pupuk P didasarkan pada tingkat kelarutannya, sehingga pupuk tersebut cocok digunakan pada tanah-tanah dengan daya fiksasi tinggi, terutama pada tanam masam, seperti tanah andosol (Leiwakabessy & Sutandi 2004). Pemanfaatan batuan fosfat dan tepung tulang sebagai sumber P pada penelitian ini sesuai untuk dikombinasikan dengan FMA. Dari hasil-hasil penelitian sebelumnya diinformasikan bahwa pertumbuhan dan perkembangan FMA sangat dipengaruhi oleh kadar, bentuk dan kelarutan hara P. Kadar P yang tinggi akan menekan kolonisasi FMA (Zhu et al. 2005), pemupukan P dengan takaran yang tinggi dan kelarutan yang tinggi dilaporkan mengubah produksi kemelimpahan, daya mengolonisasi, dan efektivitas propagul FMA (Johnson
126
1993; Bhadalung et al. 2005; Azcon et al. 2003; Baon et al 1992; Gianinazzi et al 1989; Covacevich et al. 2006). Batuan fosfat dan tepung tulang memberikan pengaruh yang tidak berbeda (P> 0.05) pada semua peubah pertumbuhan dan hasil yang diamati, kecuali terhadap jumlah daun total dan kolonisasi FMA pada akar tanaman anakan. Sedangkan terhadap peubah jumlah stolon sekunder dan produksi asiatikosida, batuan fosfat dan tepung tulang berinteraksi nyata dengan FMA. Batuan fosfat yang digunakan dalam dunia pertanian umumnya berasal dari batuan endapan dalam bentuk karbonat fluorapatit (Khasawneh & Doll 1978; Kusdarto 2006). Tepung tulang sapi merupakan salah satu sumber bahan organik yang dapat dijadikan alternatif sebagai sumber fosfor memiliki susunan kimia Ca3(PO4)2 dengan kadar P antara 10–13% (22–30% P2O5) (Leiwakabessy & Sutandi 2004). Kemampuan pupuk P-alam untuk melepaskan P dipengaruhi oleh kombinasi sifat pupuk, seperti komposisi kimia, jenis-jenis mineral dan ukuran partikel. Semakin halus ukuran partikel semakin luas kontak antara pupuk P-alam dengan tanah sehingga kelarutannya semakin tinggi (Al-Jabri 2008). Batuan fosfat dan tepung tulang memiliki kelarutan pada aras lambat sampai sedang, dan kelarutannya ditentukan oleh kadar air medium tumbuh (Warren et al. 2009). Hal tersebut menyebabkan pelepasan hara P berjalan secara bertahap seiring dengan umur tanaman dan lingkungan tumbuh, khususnya reaksi tanah karena sebagian besar P dari sumber hara yang sukar larut terdapat dalam bentuk larut masam dan hanya sebagian kecil yang larut air (Ylivainio et al. 2008). Diduga pertumbuhan dan kondisi lingkungan tumbuh tanaman pegagan yang relatif sama menyebabkan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata antara batuan fosfat dan tepung tulang sapi dalam menyediakan unsur hara meskipun dikombinasikan dengan FMA terhadap pertumbuhan dan hasil biomassa pegagan. Hasil penelitian FMA dengan sumber P alami dilaporkan, bahwa inokulasi FMA dan batuan fosfat berinteraksi nyata meningkatkan bobot kering daun dan biomassa dan kandungan P daun jagung (Ouahmane et al. 2007). Hasil penelitian Umam (2005) dan Sangaji (2004) pada semai jati yang diinokulasi FMA menunjukkan
bahwa
penambahan
tepung
tulang
mampu
meningkatkan
pertambahan tinggi tanaman, diameter batang dan bobot kering. Sedangkan hasil
127
penelitian Nusantara (2011) mendapatkan kombinasi FMA dengan batuan fosfat dan tepung tulang giling memberikan pengaruh yang berbeda terhadap produksi biomassa tanaman kudzu, dan secara umum kombinasi FMA dengan tepung tulang giling cenderung memberikan pengaruh yang lebih baik. Tanaman pegagan tidak memberikan respon positif terhadap pemupukan P, tidak hanya pupuk pupuk organik (batuan fosfat dan tepung tulang sapi) tetapi juga terhadap pupuk P kimia. Hasil penelitian Sutardi (2008), dan Afrida (2009) yang menggunakan pupuk P anorganik (SP-18) pada berbagai taraf dosis hingga 120 kg P2O5/ha (setara 666 kg SP-18 kg/ha) ternyata tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan vegetatif pada tanaman induk pegagan dan hanya berpengaruh nyata terhadap produksi biomassa, demikian pula dengan pupuk K (Hidayati 2009), dan hanya dengan pupuk N tanaman pegagan memberikan respon positif (Nurmaryati 2009). Dapat disimpulkan bahwa pemberian pupuk P baik dari sumber pupuk organik maupun pupuk kimia serta pupuk K tidak berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan vegetatif pada tanaman induk pegagan. Keberadaan FMA yang mengolonisasi perakaran tanaman induk pada aras yang tinggi (Tabel 32) diduga menjadi faktor penghambat pertumbuhan tanaman mitra simbiosisnya. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa FMA membutuhkan aliran karbon
fotosintat yang dihasilkan
tanaman untuk pertumbuhan,
perkembangan dan cadangan, sekitar 5–20% hasil fotosintesis (Jakobsen & Rosendahl 1990; Pearson & Jakobsen 1993; Bryla & Eissenstat 2005; Smith & Read 2008; Kaschuk et al. 2009), bahkan mencapai 28–30 % (Finlay 2004; Drigo et al. 2010). Kehilangan karbon fotosintat yang tinggi dan tidak diimbangi perolehan keuntungan dari FMA sebagai mitra simbiosisnya menyebabkan tanaman mengalami kerugian berupa hambatan pertumbuhan. Perlakuan pemberian FMA nyata meningkatkan jumlah stolon primer, jumlah buku pada stolon primer terpanjang, jumlah buku pada stolon primer terpendek, dan stolon primer terpanjang. Jumlah stolon primer meningkat secara signifikan rata-rata 43.8% lebih tinggi pada akar tanaman pegagan yang di kolonisasi FMA dibandingkan tanaman non FMA, akan tetapi antar waktu inokulasi tidak berpengaruh nyata. Stolon merupakan bagian tanaman pegagan
128
yang terus menerus tumbuh dan berkembang membentuk individu-individu tanaman baru pada buku-bukunya yang akan tumbuh dan berkembang menjadi tanaman yang menyerap hara dan air serta memanen cahaya matahari secara mandiri untuk proses fotosintesis serta membentuk percabangan berupa stolon sekunder. Diduga FMA memberikan kontribusi yang cukup besar dalam memfasilitasi ketersediaan hara, air, dan faktor tumbuh lainnya serta kemungkinan perlindungan terhadap cekaman biotik dan abiotik. FMA mampu meningkatkan kapasitas fotosintesis yang diekpresikan dengan meningkatnya luas daun, hasil biomassa atau hasil keseluruhan tanaman. (Kaschuk et al. 2009). Inokulasi FMA meningkatkan 65% net fotosintesis lebih tinggi dibandingkan tanaman non FMA, melalui peningkatan luas daun, total klorofil, dan kandungan karotenoid yang selanjutnya meningkatkan karbohidrat, serta meningkatkan resistensi stomata sehingga dapat mengurangi laju transpirasi (Mathur & Vyas 1995). FMA memberikan berbagai keuntungan bagi tanaman inang, diantaranya toleransi terhadap kekeringan, dan perlindungan dari pathogen (Auge 2001; Sikes et al. 2009; Johnson et al. 2010). Waktu inokulasi yang lebih awal memberikan pengaruh yang tidak berbeda dibandingkan inokulasi yang lebih lambat, sehingga lebih dianjurkan agar lebih efisien. Secara umum penggunaan tepung tulang sapi sebagai sumber P alternatif cenderung lebih baik dibandingkan dengan batuan fosfat, hal tersebut diduga karena kandungan P pada tepung tulang sapi yang lebih tinggi dibandingkan batuan fosfat (Tabel 9), dan
memiliki kelarutan pada aras yang lebih cepat
(Warren et al. 2009) sehingga lebih cepat tersedia bagi tanaman. Sedangkan waktu inokulasi FMA tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap jumlah stolon sekunder. Perlakuan waktu inokulasi berbeda nyata dan tidak berbeda nyata terhadap jumlah daun total dan luas daun total tanaman pegagan. Inokulasi yang dilakukan pada waktu di pembibitan dan pada saat tanam secara konsisten memberikan jumlah daun total dan luas daun total tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya, waktu inokulasi FMA yang dilakukan lebih lambat tidak berbeda dengan tanpa pemberian FMA (kontrol) terhadap jumlah daun total, sedangkan inokulasi yang dilakukan di pembibitan dan diulang pada umur 60 hst tidak berbeda dengan
129
kontrol terhadap peubah luas daun total. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa waktu inokulasi FMA yang terbaik untuk mendapatkan jumlah daun total dan luas daun total pegagan harus dilakukan sedini mungkin, yakni pada saat di pembibitan atau pada saat penanaman. Seagel (2001) yang dikutip Alimudin (2006) menyarankan bahwa inokulasi sebaiknya dilakukan seawal mungkin dalam fase pertumbuhan tanaman. Inokulasi FMA yang dilakukan seawal mungkin berperan penting terhadap pertumbuhan dan hasil, terutama pada tanaman-tanaman berumur pendek (Black & Tinker 1979). Sohn et al. (2003) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa inokulasi FMA yang dilakukan lebih awal yaitu pada saat di pembibitan menghasilkan pertumbuhan, serapan hara makro yang nyata lebih tinggi serta waktu berbunga krisan lebih cepat dengan kualitas bunga yang lebih baik dibandingkan waktu inokulasi setelah transplanting. Inokulasi FMA pada fase mikropropagasi memberikan bobot segar dan bobot kering biomassa serta laju fotosintesis yang lebih tinggi dibanding inokulasi setelah aklimatisasi pada pisang (Subhan et al 1998; Yano-Melo et al. 1999). Jumlah daun total merupakan peubah pertumbuhan tanaman yang memiliki korelasi positif sangat nyata dan menjadi salah satu karakter yang berpengaruh secara langsung terhadap produktivitas biomassa (daun) pegagan dengan nilai relatif tinggi (Tabel 33 dan 34). Hal tersebut menempatkan peubah jumlah daun total sebagai karakter penciri yang berperan penting dalam meningkatkan produktivitas biomassa. Perlakuan FMA, pemupukan batuan fosfat, dan tepung tulang sapi tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah klorofil a, jumlah klorofil b, dan jumlah total klorofil. Pembentukan klorofil diduga tidak dipengaruhi oleh hara P dan cenderung lebih dipengaruhi oleh hara N (Iqbal 2008). Klorofil merupakan pigmen penting yang dihasilkan tanaman sebagai alat untuk menangkap cahaya matahari dalam proses fotosintesis. Meskipun berbagai hasil penelitian melaporkan bahwa FMA terbukti mampu menstimulasi dan meningkatkan kapasitas fotosintesis tanaman (Mathur & Vyas 1995; Kaschuk et al. 2009), akan tetapi tidak secara rinci dijelaskan keterkaitannya dengan jumlah klorofil daun, sehingga belum dapat diketahui apakah pengaruh FMA terhadap fotosintesis
130
berhubungan dengan jumlah klorofil yang terbentuk atau ada faktor lain yang berpengaruh. Serapan hara N, P, dan K pada jaringan daun tidak dipengaruhi oleh jenis sumber P alami. Batuan fosfat dan tepung tulang sapi yang diaplikasikan dengan FMA memiliki kadar hara N dan K yang relatif kecil, masing-masing 1.04 dan 0.11% untuk batuan fosfat, dan 4.07 dan 0.06% untuk tepung tulang sapi (Tabel 9). Batuan fosfat dan tepung tulang sapi merupakan jenis pupuk alami yang memiliki tingkat kelarutan sedang sampai rendah sehingga pelepasan hara juga berlangsung lambat dan bertahap. Mobilitas ion fosfat dalam tanah sangat rendah karena retensinya dalam tanah sangat tinggi sehingga recovery rate P sangat rendah 10–30% dan sisanya 70–90% tertinggal dalam bentuk immobile atau hilang karena erosi (Leiwakabessy & Sutandi 2004). FMA terbukti mampu meningkatkan serapan hara N, P, dan K pada jaringan daun tanaman pegagan. Selama ini pemanfaatan FMA pada tanaman sering dikaitkan dengan perolehan keuntungan tanaman mendapatkan peningkatan ketersediaan hara, utamanya hara P. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak hanya serapan hara P saja yang meningkat, akan tetapi serapan hara N dan K juga meningkat bahkan peningkatannya lebih tinggi. Serapan hara N meningkat ratarata 89.6%, hara K meningkat 71.8% dan hara P meningkat 76.9% dibandingkan tanaman yang tidak diinokulasi FMA. Namun demikian peningkatan serapan hara tidak disebabkan oleh perlakuan waktu inokulasi, akan tetapi lebih disebabkan oleh perlakuan FMA. Peran FMA dalam memfasilitasi peningkatan serapan hara P pada berbagai jenis tanaman sudah banyak dilaporkan. Asosiasi FMA memegang peran penting dalam peredaran hara melalui aktivitas mikrobiologi dan keterlibatannya dalam perolehan hara bagi tanaman (Barea 1991; Bethlenfalvay et al. 1994), memiliki kapasitas untuk mengakses sumber-sumber hara baik an-organik maupun organik dalam tanah (Smith & Read 2008; Read & Perez-Moreno 2003). Karena perannya tersebut maka FMA dapat meningkatkan serapan berbagai hara bagi tanaman, utamanya hara P (Smith & Read 1997; Ortas 2010; Ortas et al. 2011), hara N (Hawkins et al. 2000; Xiao et al. 2010), hara K (Porras-Soriano et al. 2009), Ca
131
(Rhodes & Gerdemann 1978), Zn (Subramanian et al. 2009; Ortas 2010; Ortas et al. 2011), Cu, Mn, dan Fe (Miransari et al. 2009). Fasilitasi
dalam
peningkatan
serapan
hara
disebabkan
miselium
ekstraradikal dari FMA menghubungkan akar tanaman dengan tanah di sekitarnya sebagai
mikro-habitat
menyebabkan
peningkatan
volume
tanah
yang
dimanfaatkan oleh tanaman inang, hal tersebut memungkinkan tanaman dapat bertahan hidup pada kondisi hara atau air di pada zona pengurasan ‘depletion zone’ (Marschner &. Dell 1994). Hifa FMA yang lebih panjang dapat menyerap hara mineral dari zona pengurasan ke akar tanaman (Jones et al. 1998), dengan demikian pada kondisi hara yang rendah, akar tanaman yang terkolonisasi FMA dapat meningkatkan serapan hara makro dan mikro yang relatif tidak mobil (Faber et al. 1990; Kothari et al. 1990a; Kothari et al. 1990b; Subramanian & Charest 1999). FMA tidak hanya membantu tanaman dalam mendapatkan hara P dari sumber
an-organik tetapi juga dari sumber organik. Miselium ektraradikal
memberikan kontribusi 53–65% serapan P pada tanaman dari tanah, 17–31% berasal dari P organik. Hal tersebut bermakna bahwa kontibusi hifa FMA terhadap hara P tanaman yang diserap dari pool organik dalam tanah cukup besar dan mengindikasikan FMA memainkan peran penting dalam siklus P organik dalam tanah (Feng et al 2003). Inokulasi FMA meningkatkan ketersedian P total pada tanaman dan tanah sebanyak 30% pada perlakuan dengan pupuk organik (Xu et al. 2000). Tanaman yang diinokulasi FMA memanfaatkan larutan P dari batuan fosfat yang lebih tinggi dibandingkan tanaman non FMA (Manjunath et al. 1989; Antunes & Cardoso 1991). Inokulasi FMA dan batuan fosfat berinteraksi nyata meningkatkan bobot kering daun dan biomassa serta kandungan P daun jagung (Ouahmane et al. 2007). Mekanisme FMA dalam mengubah bentuk P organik menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman disebabkan kemampuan FMA dalam menghasilkan enzim fosfatase yang dilepaskan dalam tanah (Joner & Johansen 2000; Saito 1995) sehingga meningkatkan aktivitas asam fosfatase dalam tanah (Tarafdar & Marchsner 1995; Feng et al. 2002; Song et al. 2000). Hal tersebut menyebabkan
132
senyawa P organik dalam tanah dapat menjadi tersedia bagi tanaman sesudah dihidrolisis oleh enzim fosfatase (Feng et al 2003), FMA juga membantu tanaman dalam mendapatkan hara N, dilaporkan bahwa FMA memfasilitasi serapan N dan hara mikro seperti Zn dan Cu (Burleigh et al. 2003; Frenzel et al. 2005; Hohnjec et al. 2005). Inokulasi FMA meningkatkan kadar hara N pada daun tanaman kacang tanah secara nyata, dan kadar P daun meningkat 73% dibanding non FMA (Lekberg & Koide 2005). Konsentrasi N yang nyata lebih tinggi dilaporkan pada tanaman yang diinokulasi FMA dibanding non FMA (Taiwo & Adegbite 2001). Kolonisasi FMA juga dapat meningkatkan nodulasi dan fiksasi N oleh rizobium pada tanaman kacangkacangan (Akobsen & Jensen 1992). FMA mengasimilasi N secara eksklusif (Tanaka & Yano 2006), sebagian besar berbentuk NH4+ (Govindarajulu et al. 2005). FMA memiliki kemampuan untuk mengakumulasi dan memobilisasi N dari sumber organik (Hodge et al. 2001, 2010; Atul-Nayyar et al. 2009; Leigh et al. 2009; Hodge & Fitter, 2010; Barrett et al. 2011). FMA tidak hanya meningkatkan serapan N tetapi juga mampu menstranfer hara dari satu tanaman pada tanaman yang lain (van Kessel et al. 1985). FMA dapat meningkatkan serapan berbagai hara bagi tanaman, termasuk hara K (Porras-Soriano et al. 2009). Konsentrasi K lebih tinggi ditemui pada tanaman yang bermikoriza dibandingkan tanaman non mikoriza (Liu et al. 2002). Peningkatan konsentrasi K menjadi konsekuensi dari peningkatan ketersediaan P pada pertumbuhan tanaman dan efek FMA terhadap P dan K yang sulit dipisahkan. Inokulasi FMA pada waktu pembibitan dan waktu tanam memberikan kolonisasi akar pegagan tertinggi baik pada akar tanaman induk maupun tanaman anakan meskipun tidak berbeda dengan waktu inokulasi yang lain. Persentase infeksi pada akar tanaman induk rata-rata 79.8 dan 81.9% pada akar tanaman anakan, tergolong sangat tinggi (Rajapakse & Miller 1992). Penggunaan batuan fosfat dan tepung tulang sebagai sumber P diduga berpengaruh terhadap kolonisasi FMA. Penggunaan fosfat berkelarutan rendah seperti batuan fosfat kalsium fosfat, dan tepung tulang lebih efektif untuk memelihara perkembangan FMA
dan
tidak
menekan
perkembangan
FMA,
bahkan
menstimulir
133
perkembangan FMA, meningkatkan kolonisasi akar,
dan
meningkatkan
pertumbuhan tanaman (Vanlauwe et al. 2000; Alloush & Clark 2001; Nikolaou et al. 2002). Bahan yang berkadar P tinggi dengan kelarutan rendah, misalnya tepung tulang dilaporkan meningkatkan propagul Glomus etunicatum (Rubio et al. 2003). Sumber P yang sedikit larut seperti batuan fosfat dapat meningkatkan kolonisasi FMA, efeknya bergantung pada spesies tanaman, perubahan rizosfer dalam mempengaruhi kelarutan batuan fosfat dan interaksi (Vanlauwe et al. 2000; Alloush & Clark 2001). Bobot kering akar tanaman pegagan yang terkolonisasi FMA meningkat 56.7% lebih tinggi dibandingkan tanaman non FMA, namun demikian peningkatan tersebut tidak disebabkan oleh perbedaan waktu inokulasi. Secara konsisten waktu inokulasi pada saat di pembibitan dan waktu tanam (M2) menghasilkan bobot kering akar tertinggi, hal tersebut bermakna bahwa aras kolonisasi yang tinggi berdampak terhadap peningkatan bobot kering akar. Peran FMA secara umum adalah eksplorasi fisik yang luas pada akar tanaman yang terkolonisasi FMA, tidak sekedar pemanjangan sistem perakaran tanaman (Cardoso & Kupyer 2006). Kolonisasi FMA pada akar tanaman tidak selalu meningkatkan panjang akar, akan tetapi merubah arsitektur sistem perakaran secara umum (Berta et al. 1995). Simbiosis FMA berpengaruh terhadap arsitektur akar dan peningkatan efisiensi P pada tanaman jagung, akan tetapi pengaruh FMA bergantung pada genotipe tanaman dan perlakuan P. Ketersedian P yang tinggi akan menekan kolonisasi FMA, mungkin karena kehilangan C untuk kebutuhan FMA lebih tinggi dibandingkan manfaat mendapatkan tambahan P (Zhu et al. 2005). Simbiosis menghasilkan
FMA pengaruh
dengan
tanaman
tertentu,
bagi
tertentu
dikatakan
tanaman
misalnya
efektif
jika
peningkatan
pertumbuhan dan biomassa. Hasil penelitian ini menunjukkan efektivitas FMA dalam meningkatkan bobot kering daun, bobot kering terna, dan bobot kering total masing-masing sebesar 77.6, 70.1, dan 88.2% nyata lebih tinggi dibandingkan tanaman yang tidak diperlakukan FMA.
Kolonisasi yang tinggi memberikan
produksi yang tinggi, hal tersebut ditunjukkan oleh perlakuan waktu inokulasi pada saat di pembibitan dan waktu tanam. Hal tersebut bermakna bahwa
134
perlakuan FMA lebih berpengaruh terhadap produksi tanaman pegagan dibandingkan perlakuan pemberian batuan fosfat dan tepung tulang sapi. Smith et al. (2010) menyatakan bahwa pada kondisi kolonisasi yang tinggi tanaman memanfaatkan mekanisme serapan hara yang dilakukan oleh hifa FMA dan sebaliknya tanaman memanfaatkan mekasnisme serapan hara langsung oleh akar pada kolonisasi FMA yang rendah. Berbagai hasil penelitian sebelumnya melaporkan peran FMA terhadap peningkatan produksi suatu tanaman, baik melalui mekanisme peningkatan serapan hara makro dan mikro, toleransi terhadap kekeringan, perlindungan dari patogen. Inokulasi FMA dan batuan fosfat berinteraksi nyata meningkatkan bobot kering daun dan biomassa jagung (Ouahmane et al. 2007). Inokulasi FMA meningkatkan sink fotosintesis, peningkatan
efisiensi hara. Fotosintesis
diekspresikan dengan peningkatan luas daun, hasil biomassa atau hasil keseluruhan tanaman. (Kaschuk et al. 2009). Terdapat korelasi sangat nyata antara produksi bahan kering dengan rata-rata persentase infeksi FMA (Taiwo & Adegbite 2001) Pemanfaatan FMA pada kombinasi dengan pupuk P alami mampu meningkatkan kadar asiatikosida tanaman pegagan diatas standar MMI. Fasilitasi FMA dalam meningkatkan serapan hara makro, utamanya P diduga menjadi salah satu penyebab meningkatnya kadar asiatikosida pegagan. Senyawa P memiliki fungsi dan peran penting dalam proses metabolisme tanaman, sebagai senyawa penyimpan dan perpindahan energi, dua senyawa penting adalah ATP dan ADP yang terletak pada ikatan pirofosfat yang pemecahannya akan melepaskan energi. ATP merupakan sumber energi untuk hampir semua proses biologi yang membutuhkan energi. Diduga senyawa P berperan penting dalam biosintesis Isopentenil pirofosfat (IPP) dan turunannya sehingga terbentuknya asiatikosida. Inokulasi FMA berinteraksi nyata dengan sumber P alami terhadap produksi asiatikosida, perlakuan waktu inokulasi di pembibitan dan diulang pada saat tanam pada penggunaan batuan fosfat sebagai sumber P sudah mampu meningkatkan produksi asiatikosida, sedangkan pada penggunaan tepung tulang sapi cukup dilakukan pada fase pembibitan. Produksi asiatikosida tidak dipengaruhi oleh sumber pupuk P alami, akan tetapi dipengaruhi oleh waktu
135
inokulasi FMA. Pemanfaatan FMA pada kombinasi dengan dosis maksimal batuan fosfat dan tepung tulang sapi mampu meningkatkan produksi asiatikosida sebesar 76.6 dan 101.8%. FMA tidak hanya berperan terhadap peningkatan hara, pertumbuhan dan produksi biomassa tanaman, akan tetapi juga meningkatkan produksi metabolit sekunder pada berbagai jenis tanaman. Berbagai hasil penelitian mengenai peran FMA terhadap metabolit sekunder dilaporkan, kandungan isoprenoid meningkat nyata pada akar tanaman yang mengandung FMA (Strack & Fester 2006), FMA mengakumulasi micorradisin dan menginduksi blumenin (Strack et al. 2003), FMA dapat dimanfaatkan sebagai bio-inokulan untuk meningkatkan konsentrasi minyak esensial pada tanaman mentha (Zhi-lin et al. 2007), ajmalicine pada tanaman Catharanthus roseus (Karthikeyan et al. 2008), serta meningkatkan pertumbuhan, produksi, serta kandungan minyak atsiri pada tanaman jahe (Trisilawati 2000) dan kumis kucing (Trisilawati 2005). Inokulasi FMA (Glomus mosseae) menginduksi akumulasi terpenoid serta nyata meningkatkan akumulasi 2 jenis triterpenoid baru (BETA-hydroxybryonolic acid dan (BETA-bryoferulic acid) pada tanaman mentimun (Akiyama & Hayasi 2002), isolat Glomus (G etunicatum dan G lamellosum) meningkatkan total produksi
minyak atsiri tanaman oregano dan mint secara nyata. Mekanisme
perubahan komposisi minyak atsiri belum diketahui secara jelas dan ada kemungkinan terkait dengan perbaikan hara (Karagiannidis et al. 2011). FMA meningkatkan konsentrasi minyak esensial total pada tanaman Coriandrum sativum L, terutama geraniol dan linalool (Kapoor et al. 2002). FMA menstimulir biosintesis metabolit sekunder (isoflavonoid) dan meningkatkan kandungan saponin, dan apocarotenoid pada tanaman Medicago truncatula (Schliemann et al. 2008). meningkatkan minyak atsiri, pada daun tanaman basil (Ocium bassillicum) (Rasouli-Sadaghiani et al. 2010) metabolit sekunder tanaman nilam (Selvaraj et al. 2009). Peran FMA dalam meningkatkan metabolit sekunder diduga terjadi karena pada akar tanaman yang terkolonisasi FMA menginduksi lintasan methylerythritol fosfat (MEP) sebagai salah satu lintasan dalam biosintesis metabolisme sekunder pada tanaman. FMA menginduksi akumulasi micorradicin melalui lintasan non-
136
mevalonat, yakni lintasan MEP, dua enzim penting pada lintasan tersebut berhasil di kloning dari tanaman yaitu 1-deoxy-D-xylulose 5-phosphate synthase (DXS) dan
1-deoxy-D-xylulose
5-phosphate
reductoisomerase
(DXR).
FMA
menginduksi secara kuat pembentukan DXS dan DXR (Maier et al. 1998; Walter et al. 2000) Penelitian peran FMA terhadap metabolisme sekunder pada berbagai jenis tanaman sudah banyak dilakukan, namun demikian sejauh ini belum ada penelitian mengenai peran FMA terhadap asiatikosida sebagai produk metabolit sekunder penciri dari tanaman pegagan. Hasil penelitian ini menunjukkan peranan FMA yang mampu meningkatkan produksi bahan aktif asiatikosida tanaman pegagan sekaligus sebagai salah satu noveltis dari penelitian ini. Hasil yang berbeda diperoleh pada pendugaan peubah-peubah penciri yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap produktivitas biomassa, dalam hal ini bobot kering daun. Dari lima belas peubah pertumbuhan sebagai peubah bebas terpilih mampu menjelaskan ragam terhadap bobot daun kering sebesar 90.7%, artinya peubah-peubah tersebut dapat digunakan untuk menduga produktivitas biomassa pegagan. Serapan hara K, serapan hara N, jumlah daun total, serapan hara P, dan jumlah stolon primer memiliki koefisien korelasi positip sangat nyata (P < 0.01) (Tabel 33), sehingga merupakan peubah-peubah yang dapat digunakan sebagai karakter penciri untuk produksi bobot kering daun, semakin tinggi nilai peubah penciri maka produksi bobot kering daun akan meningkat.
Simpulan 1.
Inokulasi FMA meningkatkan pertumbuhan tanaman, serapan hara N, P, K, bobot kering daun dan kadar asiatikosida tanaman pegagan.
2.
Waktu inokulasi yang dilakukan pada saat di pembibitan menghasilkan pertumbuhan tanaman, serapan hara N, P, K, serta produksi biomassa yang tidak berbeda dengan inokulasi ulang yang dilakukan pada saat tanam, 30 dan 60 hari setelah tanam. Sehingga untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas inokulasi FMA sebaiknya dilakukan lebih dini.
137
3.
Inokulasi FMA di pembibitan dan pada saat tanam pada penggunaan batuan fosfat dapat meningkatkan produksi asiatikosida secara nyata, sedangkan pada penggunaan tepung tulang waktu inokulasi cukup dilakukan di pembibitan.
4.
Serapan hara K, serapan hara N, jumlah daun total, serapan hara P, dan jumlah stolon primer merupakan peubah-peubah penciri yang memberikan kontribusi yang tinggi terhadap peningkatan produktivitas daun pegagan.
PEMBAHASAN UMUM
Budidaya untuk menghasilkan bahan baku tanaman pegagan terstandar dengan kadar asiatikosida dan produksi kering daun yang tinggi serta aman di konsumsi perlu dilakukan. Melalui studi efektivitas fungi mikoriza arbuskula pada penggunaan pupuk fosfor alami dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan, biomassa dan produksi asiatikosida tanaman pegagan di andosol, diharapkan hasilnya dapat memenuhi standar baku mutu yang dipersyaratkan. Batuan fosfat dan tepung tulang sapi merupakan sumber P alami potensial yang dapat digunakan sebagai pengganti pupuk kimia, dan pemanfaatannya akan lebih sesuai dan efektif apabila diaplikasikan pada tanah-tanah masam seperti andosol. Pada tanah-tanah masam umumnya ketersedian hara P sangat rendah, pada tanah dengan pH < 5.5 P difiksasi oleh Al, Fe, hidroksida, Mn dan liat (Tisdale et al. 1985; Radjagukguk 1983; Tinker & Nye 2000; Cardoso & Kupyer 2006; Akinrinde 2006), P dalam bentuk tidak larut (Holford 1997), berada di luar rizosfer tanaman (Schachtman et al. 1998; Lo´pez-Bucio et al. 2000). Tanah andosol mengandung alofan dan imogolit, umumnya mengalami kemunduran kesuburan yang serius karena rendahnya ketersediaan P akibat kandungan Al dapat ditukar yang tinggi, pada kisaran pH 5 – 5.5 (Cornejo et al. 2007; Meason et al. 2009). Fungi mikoriza arbuskula (FMA) diyakini berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan, perkembangan, produksi, dan mutu tanaman pertanian, hortikultura, dan kehutanan serta menghasilkan tanaman yang lebih tahan terhadap cekaman biotik dan abiotik sehingga dapat mengurangi investasi yang diperlukan untuk penyediaan pupuk dan pestisida (Douds & Johnson 2007; Smith & Read 2008). FMA dapat berasosiasi dengan sekitar 80–90% tanaman (Wang & Qui 2006) atau sekitar 73% spesies tanaman (Brundrett 2009), dengan penyebaran sangat luas mulai dari jenis tanah pasiran di pesisir (Delvian 2003), tanah gambut (Ervayenri 1998; Sasli 2008), dataran tinggi di Himalaya (Chaurasia et al. 2005), pada lingkungan yang panas dan kering (Li & Zao 2005), pada tanahtanah marginal (Smith & Read 1997), tanah masam (Clark 1997; Cuenca et al. 2001; Kartika 2006), tanah alkalin (Swasono 2006) serta pada tanah dengan cekaman ganda Al dan kekeringan (Hanum 2004). Pemanfaatan FMA dengan
140
demikian menjadi penting artinya bagi bangsa Indonesia yang memiliki ragam agroekosistem, ketinggian tempat, tanah-tanah masam, dan kemunduran kesuburan. Pemanfaatan batuan fosfat dan tepung tulang sebagai sumber P alami pada kombinasi dengan FMA, didasarkan pada resistensi FMA terhadap bahan-bahan kimiawi. Pertumbuhan dan perkembangan FMA sangat dipengaruhi oleh kadar, bentuk dan kelarutan hara P. Kadar P yang tinggi akan menekan kolonisasi FMA (Zhu et al. 2005), pemupukan P dengan takaran yang tinggi dan kelarutan yang tinggi dilaporkan mengubah produksi kemelimpahan, daya mengolonisasi, dan efektivitas propagul FMA (Gianinazzi et al. 1989; Baon et al. 1992; Johnson 1993; Pfleger & Linderman 1996; Azcon et al 2003; Covacevich et al. 2006). Informasi mengenai FMA dan pemanfaatannya pada tanaman pegagan sejauh belum ada. Eksplorasi jenis-jenis FMA pada daerah pertanaman pegagan merupakan studi awal yang penting dan diperlukan untuk dapat mengindentifikasi dan memetakan jenis-jenis FMA dominan dan spesifik. Setiap jenis FMA mungkin berbeda-beda dalam kemampuannya membentuk hifa di dalam tanah, baik distribusi maupun kuantitasnya yang berhubungan dengan kemampuan dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman (Delvian 2003). Semua FMA tidak mempunyai sifat morfologi dan fisiologi yang sama oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui identitasnya (Budi 2009). Dengan demikian karakterisasi jenis FMA penting dilakukan untuk mendapatkan informasi awal. Hasil isolasi dari tiga (3) lokasi pengambilan contoh tanah diperoleh beberapa jenis spora FMA pada rizosfer pegagan. Jenis spora dan nilai kepadatan spora FMA pada masing-masing lokasi berbeda. Kepadatan spora sebelum pemerangkapan pada setiap lokasi cenderung sedikit, hasil ini sama dengan hasil penelitian Rainiyati (2007) dan Lapanjang (2010) yang mendapatkan jumlah dan jenis spora FMA terbatas karena belum bersporulasi, dan lebih banyak mengandung propagul lain seperti hifa. Perbedaan kepadatan spora kemungkinan dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan (jenis tanah, hara tanaman, ketinggian tempat, cahaya) dan musim pada saat pengambilan contoh tanah (Rainiyati 2007), jumlah spora meningkat dengan berkurangnya jumlah curah hujan, fluktuasi kelembaban tanah juga dapat mempengaruhi pembentukan spora atau sporulasi
141
Delvian (2003), kepadatan spora, keragaman, dan infeksi FMA berkorelasi negatif dengan pH tanah (Lee et al. 2009). Perbedaan keanekaragaman dan jumlah spora ditentukan oleh lingkungan dan tata kelola lahan serta tipe lahan (Corryanti et al. 2008). Hasil yang berbeda diperoleh setelah dilakukan pemerangkapan, Kepadatan spora tertinggi diperoleh hasil pemerangkapan contoh tanah dari KP. Cicurug sebanyak 1435 spora, selanjutnya di KP. Gunung Putri sebanyak 1190 spora dan terendah di KP. Sukamulya sebanyak 555 spora per 50 g tanah. Hasil ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepadatan spora hasil pemerangkapan oleh Widiastuti (2004) yang menemukan 1–474 spora/100 g tanah, Kartika (2006) 161–173 spora/50 g tanah pada rizosfer kelapa sawit, dan Rainiyati (2007) 2–57 spora/50 g tanah pada rizosfer pisang. Isolat FMA yang didapatkan perlu di seleksi untuk mendapatkan FMA potensial melalui penelitian kompatibilitas dan efektivitas terhadap pertumbuhan, perkembangan, dan biomassa pada tanaman pegagan. Inokulasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada fase pertumbuhan awal tanaman pegagan belum menunjukkan efektivitasnya terhadap peubah jumlah daun tanaman induk, panjang tangkai daun, jumlah stolon primer dan panjang stolon hingga umur 4 bulan setelah inokulasi. Perbedaan kecepatan tumbuh tanaman lebih dipengaruhi oleh perbedaan aksesi pegagan. Pertumbuhan tanaman akan selalu dipengaruhi oleh faktor genetik terlepas dari pengaruh faktor lingkungan dan interaksi keduanya, masing-masing jenis aksesi memiliki potensi genetik berbeda yang tentunya akan berpengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangannya sebagai salah satu karakter penciri yang membedakan jenis aksesi dengan aksesi lainnya. Peningkatan respon pertumbuhan pada tanaman yang bermikoriza dipengaruhi oleh kebutuhan fotosintat dari hasil fotosintesis. FMA membutuhkan energi dari hasil fotosintesis untuk perkembangannya sebelum dapat memberikan keuntungan bagi pertumbuhan tanaman inangnya (Thompson et al. 1990). Adanya saling ketergantungan yang kuat antara FMA dengan inangnya dalam bersimbiosis mengakibatkan perubahan ketersediaan fotosintat. Pada penelitian ini
142
diduga FMA belum menunjukkan peran yang memberikan keuntungan yang optimal terhadap peningkatan pertumbuhan tanaman inangnya. Inokulasi FMA memegang peranan penting dalam meningkatkan beberapa peubah produksi tanaman pegagan, dengan efektivitas masing-masing isolat berbeda. Perbedaan efektivitas jenis isolat tersebut diduga karena adanya perbedaan kemampuan isolat dalam bersimbiosis dengan akar tanaman, ada kemungkinan setiap isolat memiliki preferensi yang berbeda terhadap eksudat yang dikeluarkan oleh akar tanaman pegagan sehingga efektivitas masing-masing isolat juga berbeda. Dari penelitian ini menunjukan isolat gabungan asal Cicurug lebih efektif meningkatkan hasil tanaman dibanding isolat lainnya termasuk isolat tunggal Glomus etunicatum dan Gigaspora margarita, sejalan dengan hasil penelitian Delvian (2003) yang menggunakan inokulum campuran 2 isolat dan inokulum 3 isolat cenderung lebih efektif dibandingkan isolat tunggal dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman lamtorogung, selanjutnya hasil penelitian Kartika (2006) menunjukkan inokulum campuran 3 isolat lebih efektif dibanding isolat tunggal dalam meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit, serta hasil penelitian Rainiyati (2007) yang menunjukan inokulum gabungan 5 isolat lebih efektif dibanding isolat tunggal dalam meningkatkan pertumbuhan bibit pisang. Pemberian FMA akan merangsang pembentukan perakaran yang lebih luas sehingga volume akar lebih tinggi. Diduga kecepatan pertumbuhan akar lebih cepat atau setara dengan kecepatan tumbuhan bagian atas tanaman sehingga menyebabkan nisbah tajuk akar lebih rendah. Terdapat korelasi negatip yang sangat nyata antara nisbah tajuk akar dengan bobot kering akar, artinya semakin tinggi bobot kering akar akan mengakibatkan nisbah tajuk akar menjadi rendah. Sebaliknya dengan bobot tajuk, terdapat korelasi positip sangat nyata dengan nisbah tajuk akar. Inokulasi FMA mampu meningkatkan serapan hara N, P dan K dibandingkan tanpa inokulasi (kontrol), namun demikian kemampuan masingmasing isolat berbeda. Isolat FMA gabungan asal Cicurug (Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp-3, dan Acaulospora sp) mampu meningkatkan serapan hara N, P dan K tertinggi dibandingkan isolat FMA gabungan asal Sukamulia (Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp-3, dan Acaulospora sp-1), isolat tunggal Glomus
143
etunicatum, Gigaspora margarita, dan tanpa inokulasi (kontrol), akan tetapi tidak berbeda dengan isolat FMA gabungan asal Gunung Putri. Dilihat dari persentase infeksi akar oleh FMA menunjukan kriteria tinggi sampai sangat tinggi pada semua jenis isolat FMA yang diberikan. Artinya semua FMA yang diberikan pada penelitian ini memiliki kompatibilitas yang tinggi dan berpotensi dalam meningkatkan pertumbuhan, biomassa tanaman serta serapan hara N, P dan K. Efektivitas setiap FMA selain tergantung jenis FMA itu sendiri juga dipengaruhi oleh jenis tanaman dan jenis tanah serta interaksi antara ketiganya (Brundrett et al 1996). Kompatibilitas yang tinggi antara mikoriza khususnya isolat gabungan asal Cicurug dengan inangnya sangat menentukan efektivitas mikoriza, hal ini ditunjukkan oleh aktivitas akar dalam penyerapan hara dari tanah. Peningkatan penyerapan hara pada tanaman yang bersimbiosis dengan FMA disebabkan oleh adanya (1) pengurangan jarak bagi hara untuk memasuki akar tanaman, (2) peningkatan rata-rata penyerapan hara dan konsentrasi pada bidang serap, dan (3) perubahan secara kimia sifat-sifat hara sehingga memudahkan penyerapannya ke dalam akar tanaman (Abbott & Robson, 1984).
Kecepatan masuknya hara,
terutama P ke dalam hifa jamur FMA dapat mencapai enam kali lebih cepat daripada kecepatan masuknya P melalui rambut akar (Kabirun 2002). Tanaman yang bermikoriza mempunyai laju penyerapan unsur P meningkat 2–3 kali per unit panjang akar dibanding tanaman tidak bermikoriza (Marschner 1997). FMA dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan reproduktif tanaman, hasil penelitian Aguilera-Comes et al. (1999) mendapatkan bahwa FMA dapat meningkatkan jumlah daun, luas daun, bobot kering tajuk, akar dan buah Capsicum annuum L meningkat 450%. Dari percobaan pemanfaatan FMA pada tanaman jahe dan nilam menunjukan bahwa inokulasi FMA nyata meningkatkan pertumbuhan dan produksi terna serta kandungan minyak atsiri jahe dan nilam serta serapan hara N, P dan K tanaman (Trisilawati 2000; 2005; 2007). Isolat FMA gabungan asal Cicurug (Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp3, dan Acaulospora sp) FMA memiliki efektivitas tertinggi dalam meningkatkan biomassa dan serapan hara N, P, K pada tanaman pegagan akan tetapi tidak berbeda nyata dengan isolat gabungan asal Gunung Putri (Acaulospora sp,
144
Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp-3, dan Glomus sp-4), sehingga sebagai isolat terpilih untuk digunakan pada tahapan penelitian selanjutnya. Fungi mikoriza berpotensi memfasilitasi penyediaan berbagai unsur hara bagi tanaman terutama P. Perbaikan pertumbuhan dan kenaikan hasil berbagai tanaman berkaitan dengan perbaikan nutrisi P tanaman. Unsur hara, khususnya P, berpengaruh langsung dan berpengaruh tidak langsung terhadap FMA melalui respon tanaman terhadap ketersediaan hara, misalnya dengan mengubah pertumbuhan akar atau fotosintesis. Kadar, bentuk, dan kelarutan sumber hara P merupakan faktor penting bagi pembentukan dan perkembangan FMA. Kadar hara P dilaporkan berkorelasi negatif (Amijee et al. 1989; Koide & Li 1990), tidak berkorelasi (Tawaraya et al. 1996), atau berkorelasi positip (Carrenho et al. 2001) terhadap FMA bergantung kepada jenis FMA, jenis tanaman, bentuk, dan kelarutan sumber P-nya (Cardoso 1996; Tawaraya et al. 1996; Nikolaou et al. 2002; Bhadalung et al. 2005). Pada batas tertentu penambahan P merangsang perkecambahan spora FMA, tetapi dalam jumlah besar menghambat pertumbuhan FMA. Kadar hara substrat tidak boleh melampaui batas maksimum 70 ppm untuk P dan 50 ppm untuk N (Feldman & Idczak, 1992). Penggunaan fosfat yang rendah kelarutannya, misalnya dalam bentuk batuan fosfat, kalsium fosfat, dan tepung tulang lebih efektif untuk memelihara perkembangan FMA dan meningkatkan kolonisasi akar (Nikolaou et al. 2002). Tepung tulang sapi dan batuan fosfat sebagai sumber hara P alami cukup potensial, hasil analisis laboratorium pasca panen Balittro pada bulan Nopember 2009 terhadap sampel tepung tulang sapi dan batuan fosfat yang digunakan dalam penelitian ini menunjukan kandungan P2O5 masing-masing sebesar 15.07 dan 9.83%. Hasil penelitian Nusantara et al. (2007) mendapatkan bahwa tepung tulang ayam dan tepung kulit telur memberikan efek yang kurang baik terhadap perkembangan FMA dan hasil terbaik adalah dengan tepung tulang sapi. Batuan fosfat merupakan sumber hara P dan bersifat dapat melepaskan fosfat secara lambat (slow release) yang kelarutannya makin tinggi dengan meningkatknya kemasaman tanah (Bogidarmanti 2008). Keunggulan pupuk P tersebut didasarkan pada tingkat kelarutannya, sehingga sesuai digunakan pada tanah-tanah dengan
145
daya fiksasi tinggi, terutama pada tanah masam, seperti tanah andosol (Leiwakabessy & Sutandi 2004). Inokulasi FMA tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap semua peubah yang berkaitan dengan tanaman induk, antara lain: jumlah daun, jumlah tangkai daun, panjang tangkai daun, panjang daun, lebar daun, diameter tangkai daun, dan tebal daun. Terbentuknya anakan yang tumbuh dan berkembang diduga menjadi kompetitor bagi tanaman induk dalam mendapatkan ruang hidup, unsur hara, air dan cahaya. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Musyarofah et al. (2007) yang menyatakan bahwa anakan yang sudah mengeluarkan akar dapat mengambil unsur hara sendiri dari tanah sehingga terjadi kompetisi unsur hara antara tanaman induk dan anakannya. Semakin banyak anakan baru yang muncul maka kompetisi akan semakin meningkat, dan tanaman induk pada posisi yang lemah karena kalah jumlah. Munculnya individu-individu baru juga merangsang infeksi FMA pada sistem perakaran individu-individu tersebut. Hal ini dibuktikan berdasar hasil pengamatan infeksi FMA pada akar tanaman anakan yang menunjukkan persentase infeksinya cukup tinggi. Aktivitas FMA pada akar tanaman anakan lebih tinggi sehingga fasilitasi penyediaan larutan hara juga lebih tinggi dibandingkan pada tanaman induk, dalam simbiosisnya dengan FMA, tanaman harus menyediakan energi berupa karbon fotosintat yang dibutuhkan FMA untuk tumbuh dan berkembang. Sekitar 20% karbon fotosintat dialirkan oleh tanaman ke FMA (Smith & Read 2008). Sumber pupuk
P alami tidak memberikan pengaruh berbeda terhadap
peubah pertumbuhan pada tanaman induk (jumlah daun, jumlah tangkai daun, panjang tangkai daun, panjang daun, lebar daun, diameter tangkai daun, dan tebal daun) yang lebih baik dan berbeda dibandingkan perlakuan tanpa pemupukan. Hasil yang sama diperoleh Sutardi (2008) dan Afrida (2009) dalam penelitiannya menggunakan pupuk P anorganik, pada umur pengamatan yang sama tidak memberikan
perbedaan
terhadap
peubah-peubah
tersebut.
Hal
tersebut
menunjukkan bahwa pupuk P tidak berpengaruh secara langsung terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman
146
Inokulasi FMA nyata meningkatkan jumlah stolon primer, jumlah stolon sekunder, jumlah buku pada stolon primer terpanjang, akan tetapi tidak berbeda nyata terhadap jumlah buku pada stolon primer terpendek. Peubah-peubah tersebut berpengaruh terhadap produksi daun dan terna tanaman pegagan, hal itu didukung adanya korelasi positif yang sangat nyata. Stolon merupakan bagian tanaman pegagan yang mempunyai nilai sangat penting, karena dari jaringan tersebut akan muncul individu-individu tanaman baru yang akan tumbuh dan berkembang menjadi tanaman yang menyerap hara dan air serta memanen cahaya matahari secara mandiri untuk proses fotosintesis. Simbiosis FMA dengan tanaman pegagan nyata efektif meningkatkan pertumbuhan dan berkembangnya tanaman pegagan yang ekstensif, hal tersebut ditunjukkan dengan semakin meningkatnya ekspansi tanaman secara horisontal melalui pembentukan stolon primer dan sekunder yang menyebabkan peningkatan volume permukaan bidang penyerapan hara, air dan cahaya. Diduga FMA mampu memberikan kecukupan hara dan air bagi tanaman melalui kemampuan perluasan daerah penyerapan akar. Peningkatan penyerapan hara pada tanaman yang bersimbiosis dengan FMA disebabkan oleh adanya (1) pengurangan jarak bagi hara untuk memasuki akar tanaman, (2) peningkatan rata-rata penyerapan hara dan konsentrasi pada bidang serap, dan (3) perubahan secara kimia sifat-sifat hara sehingga memudahkan penyerapannya ke dalam akar tanaman (Abbott & Robson 1984). Pemupukan P alami berpengaruh tidak nyata (P> 0.05) terhadap jumlah stolon primer, jumlah stolon sekunder, jumlah buku pada stolon primer terpanjang, maupun jumlah buku pada stolon primer terpendek. Hasil penelitian ini sama dengan yang diperoleh Sutardi (2008) dan Afrida (2009) yang menggunakan pupuk P anorganik (SP-36) pada jenis tanah yang sama. Jumlah stolon primer, jumlah stolon sekunder, dan jumlah buku tidak berbeda nyata meskipun dipupuk hingga 120 kg P2O5. Dari ketiga penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pupuk P tidak berpengaruh nyata terhadap peubah pertumbuhan tanaman induk pegagan. Penggunaan sumber P tidak mudah larut pada dasarnya tidak ditujukkan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman sedini mungkin, namun lebih ditujukan kepada pemeliharaan kadar P dalam media untuk jangka panjang (Uusitalo et al. 2007).
147
Inokulasi FMA tidak mempengaruhi jumlah daun pada stolon primer terpanjang dan stolon primer terpendek, akan tetapi berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun total dan luas daun total. Kompetisi akan unsur hara, air dan cahaya merupakan salah satu alasan yang menyebabkan tidak adanya perbedaan. Secara inidvidu daun pada stolon akan berkompetisi tidak hanya dengan daun yang ada dalam satu pada stolon yang sama akan tetapi juga dengan daun yang terbentuk pada stolon lainnya maupun dengan daun pada tanaman induk. Panjang atau pendeknya ukuran stolon tidak mempengaruhi perbedaan perbedaan jumlah daun akibat perlakuan FMA. Jumlah daun total dan luas daun total merepresentasikan hasil aktivitas tanaman dalam penyerapan hara, air, dan cahaya serta proses lainnya yang mendorong tanaman untuk tumbuh dan berkembang. Simbiosis FMA dengan tanaman diduga mampu memfasilitasi penyediaan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman sehingga akan tumbuh lebih baik dan menghasilkan jumlah daun yang lebih tinggi dibandingkan tanaman yang tidak di inokulasi FMA. FMA yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman bermikoriza akan mampu meningkatkan kapasitasnya dalam menyerap unsur hara dan air Marschner (1995). Batuan fosfat dan tepung tulang pada berbagai taraf dosis berpengaruh nyata dan tidak nyata terhadap jumlah daun pada stolon primer terpanjang, jumlah daun total, dan luas daun total, akan tetapi tidak berpengaruh nyata pada jumlah daun pada stolon primer terpendek. P merupakan hara makro esensial yang dibutuhkan tanaman sehingga ketersediaannya sangat penting. Batuan fosfat dan tepung tulang merupakan sumber P alami yang kelarutannya tergolong lambat larut sehingga pelepasan P juga cenderung lebih lambat dan bertahap. Diduga pada saat tanaman pegagan memasuki fase pertumbuhan vegetatif cepat yang ditandai dengan berkembangnya stolon primer, stolon sekunder serta anakan, ketersediaan hara P yang dilepas oleh batuan fosfat dan tepung tulang sapi cukup tinggi. Perlakuan FMA, pemupukan batuan fosfat, dan tepung tulang sapi tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah klorofil a, jumlah klorofil b, dan jumlah total klorofil. Pembentukan klorofil dipengaruhi oleh kandungan karbohidrat yang dihasilkan tanaman, karena karbohidrat dalam bentuk gula digunakan untuk
148
sintesis klorofil. Semakin tinggi karbohidrat yang tersedia akan meningkatkan jumlah klorofil. Pembentukan klorofil juga dipengaruhi oleh pemupukan N (Iqbal 2008). FMA berinteraksi nyata dengan pupuk P alami dalam meningkatkan serapan hara N daun pegagan, akan tetapi terhadap serapan hara P dan K pada daun tanaman tidak terjadi interaksi. Serapan hara P dan K meningkat dengan adanya simbiosis dengan FMA. Peningkatan serapan hara oleh akar bermikoriza disebabkan meningkatnya kapasitas pengambilan hara karena waktu akar terinfeksi diperpanjang dan derajat percabangan serta diameter akar diperbesar sehingga luas permukaan absorpsi akar diperluas (Abbot & Robson 1984; Smith & Read 1997, 2008), peningkatan enzim fosfatase pada rizosfer dan akar tanaman (Dodd et al. 1987), aktivitas nitrat-reduktase pada spora FMA yang mempunyai kapasitas penyerapan nitrat (Bago et al. 1996). Berbagai bentuk sumber P sukar larut, misalnya tepung tulang dapat meningkatkan serapan P pada tanaman yang ditumbuhkan dalam pot maupun lapangan (Klock & Taber 1996; Jeng et al. 2006; Romer 2006) dan efektif untuk memelihara FMA dan meningkatkan pertumbuhan tanaman (Cardoso 1996; Nikolaou et al. 2002). Fosfat adalah unsur hara utama yang diserap tanaman dengan bantuan FMA, inokulasi FMA pada cabai dapat meningkatkan penyerapan P sebesar 30.9% di andosol (Haryantini & Santoso 2001). Selain fosfat, FMA dapat meningkatkan penyerapan hara N, K, dan Mg yang bersifat mobil (Sieverding 1991); hara N, P, dan K (Hanum 2004), hara N dan P (Purnomo 2008) FMA meningkatkan serapan hara dari sumber P organik (Widiastuti 2004). Meningkatnya serapan hara oleh tanaman inang menjamin kebugaran tanaman agar tetap mmasok karbon ke rizosfer (Kaschuk et al. 2010) yang diperlukan untuk pembentukan hifa ekstraradikal dan sporulasi FMA. Panjang akar tidak dipengaruhi oleh perlakuan FMA, akan tetapi bobot kering akar dipengaruhi sangat nyata. Panjang akar diartikan sebagai pertambahan ukuran akar vertikal ke arah bawah, sedangkan bobot kering merupakan resultante volume akar yang terbentuk secara keseluruhan. Diduga bahwa FMA berperan dalam pembentukan, perkembangan dan ekspansi sistem perakaran tanaman yang dikolonisasi. Hasil tersebut bermakna bahwa simbiosis FMA dengan tanaman
149
pegagan efektif, karena mampu meningkatkan bobot kering akar sebagai salah satu karakter yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman secara keseluruhan. Infeksi pada akar tanaman pegagan bermikoriza tergolong sangat tinggi (> 75%) (Rajapakse & Miller 1992), baik pada akar tanaman induk maupun akar tanaman anakan. Sedangkan pada tanaman yang tidak di inokulasi FMA tidak ditemukan adanya kolonisasi. Infeksi pada akar tanaman anakan dapat terjadi karena jarak dengan akar tanaman induk (yang diinokulasi FMA pada fase pembibitan) tidak terlalu jauh. Akar tanaman induk yang terkolonisasi FMA akan membentuk appresoria dan selanjutnya membentuk hifa ekstraradikal yang berekspansi di rizosfer tanaman. Akar tanaman anakan mengeksudasi asam-asam organik yang akan menarik FMA untuk bersporulasi. Spora FMA terbentuk dari ujung hifa ekstraradikal yang menggelembung dan kemudian terlepas dari hifa ektraradikal tersebut (Smith & Read 2008). Spora yang terbentuk selanjutnya akan berkecambah membentuk hifa dalam tanah atau dari akar tanaman anakan kemudian menyentuh permukaan akar, membentuk appresoria dan menembus dinding sel akar untuk membentuk hifa intraradikal. Pupuk P alami berpengaruh nyata terhadap panjang akar dan bobot kering akar. Pegagan merupakan tanaman dikotil yang memiliki sistem perakaran serabut sehingga dominasi pertumbuhan kearah samping. Penambahan hara P melalui pemupukan mampu meningkatkan bobot kering akar dibandingkan tanpa pemupukan, hal tersebut dapat dipahami bahwa salah satu fungsi P adalah menginduksi sistem perakaran tanaman agar tumbuh lebih baik. Namun demikian hingga dosis 600 kg ha-1 untuk batuan fosfat dan 500 kg ha-1 tepung tulang sapi tidak berbeda dengan dosis 150 kg ha-1 batuan fosfat dan 125 kg ha-1 tepung tulang sapi. Inokulasi FMA dan pupuk P alami mampu meningkatkan produktivitas biomassa tanaman pegagan, yang berupa bobot kering daun, bobot kering terna, dan bobot kering total. Pengaruh kedua perlakuan tersebut lebih sebagai pengaruh faktor tunggal, karena tidak terjadi interaksi keduanya. Peningkatan bobot kering daun, bobot kering terna, dan bobot kering total sebesar 14.7, 17.1, dan 18.0% sebagai akibat pengaruh FMA lebih rendah dibandingkan pemupukan P yang
150
mampu meningkatkan bobot kering daun sebesar 24.4–56.6% atau rata-rata 40.3%, bobot kering terna 25.1–45.7%
atau rata-rata 36.6%, dan bobot kering
total 26.3–46.4% atau rata-rata 37.0%. Hasil tersebut menjadi menarik karena pengaruh pupuk P lebih tinggi dalam meningkatkan produktivitas tanaman dibandingkan perlakuan FMA, di sisi yang lain FMA meningkatkan ketersediaan P terbukti dengan meningkatkan serapan hara P bagi tanaman. Fakta lain juga menunjukkan bahwa kolonisasi FMA pada akar tanaman sangat tinggi (> 75%), artinya serapan hara meningkat sebagai pengaruh inokulasi FMA. Mengacu pada Smith et al. (2010), bahwa pada kondisi kolonisasi yang tinggi tanaman memanfaatkan mekanisme serapan hara oleh hifa FMA dan sebaliknya tanaman memanfaatkan mekanisme serapan hara langsung oleh akar pada kondisi kolonisasi FMA yang rendah. Penggunaan batuan fosfat dan tepung tulang sapi sebagai sumber P alami pada berbagai perlakuan dosis yang dikombinasikan dengan pemanfaatan FMA tidak saling berinteraksi terhadap produksi biomassa tanaman pegagan, serta membentuk hubungan linier positip dan kuadratik dengan nilai koefisien determinasi (R2) yang relatif kecil. Hasil tersebut secara statistik tidak layak untuk merekomendasikan
dosis
batuan
fosfat
dan
tepung
tulang
sapi
pada
pemanfaatannya dengan FMA. Namun demikian dari hasil analisis usahatani pegagan menunjukkan bahwa pemanfaatan FMA yang dalam aplikasinya dikombinasikan dengan batuan fosfat memberikan keuntungan usahatani sebesar Rp. 10.449.800 atau meningkat 15.7% dibandingkan tanpa pemberian FMA. Sedangkan pada kombinasi dengan tepung tulang sapi, perlakuan FMA mampu meningkatkan keuntungan usahatani sebesar 46.6% lebih tinggi atau sebesar Rp. 14.798.300. Pemanfaatan FMA pada budidaya pegagan memberikan tambahan keuntungan 15.7–46.6% lebih tinggi sehingga layak untuk diaplikasikan. Waktu inokulasi merupakan tahap yang penting dalam pemanfaatan FMA karena akan menentukan keberhasilan seperti dikemukakan Seagel (2001) yang dikutip Alimudin (2006) menyarankan agar inokulasi sebaiknya dilakukan seawal mungkin dalam fase pertumbuhan tanaman. Inokulasi FMA yang dilakukan seawal mungkin akan berperan penting terhadap pertumbuhan dan hasil, terutama pada tanaman-tanaman berumur pendek (Black & Tinker 1979).
151
Inokulasi FMA tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah daun dan panjang tangkai daun tanaman induk. Keberadaan FMA yang mengolonisasi perakaran tanaman induk pada aras yang tinggi (Tabel 32) justru dapat menjadi faktor penghambat pertumbuhan tanaman mitra simbiosisnya. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa FMA membutuhkan aliran karbon fotosintat yang dihasilkan tanaman untuk pertumbuhan, perkembangan dan cadangan, sekitar 5–20% dari hasil fotosintesis (Jakobsen & Rosendahl 1990; Pearson & Jakobsen 1993; Bryla & Eissenstat 2005; Harrison 2005; Smith & Read 2008; Kaschuk et al. 2009), bahkan mencapai 28–30% (Finlay 2004; Drigo et al. 2010). Kehilangan karbon fotosintat yang tinggi dan tidak diimbangi perolehan keuntungan dari FMA sebagai mitra simbiosisnya menyebabkan tanaman mengalami kerugian berupa hambatan pertumbuhan. Perlakuan pemberian FMA nyata meningkatkan jumlah stolon primer, jumlah buku pada stolon primer terpanjang, jumlah buku pada stolon primer terpendek, dan stolon primer terpanjang. Jumlah stolon primer meningkat secara signifikan rata-rata 43.8% lebih tinggi pada akar tanaman pegagan yang di kolonisasi FMA dibandingkan tanaman non FMA, akan tetapi antar waktu inokulasi tidak berpengaruh nyata. Stolon merupakan bagian tanaman pegagan yang terus menerus tumbuh dan berkembang membentuk individu-individu tanaman baru pada buku-bukunya yang akan tumbuh dan berkembang menjadi tanaman yang menyerap hara dan air serta memanen cahaya matahari secara mandiri untuk proses fotosintesis serta membentuk percabangan berupa stolon sekunder. Diduga FMA memberikan kontribusi yang cukup besar dalam memfasilitasi ketersediaan hara, air, dan faktor tumbuh lainnya serta kemungkinan perlindungan terhadap cekaman biotik dan abiotik. FMA mampu meningkatkan kapasitas fotosintesis yang diekspresikan dengan meningkatnya luas daun, hasil biomassa atau hasil keseluruhan tanaman. (Kaschuk et al. 2009). Inokulasi FMA meningkatkan 65% net fotosintesis lebih tinggi dibandingkan tanaman non FMA, melalui peningkatan luas daun, total klorofil, dan kandungan karotenoid yang selanjutnya meningkatkan karbohidrat, serta meningkatkan resistensi stomata sehingga dapat mengurangi laju transpirasi (Mathur & Vyas 1995).
152
Perbedaan waktu inokulasi tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun total dan luas daun total tanaman pegagan. Inokulasi yang dilakukan pada waktu di pembibitan dan pada saat tanam secara konsisten memberikan jumlah daun total dan luas daun total tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya, waktu inokulasi FMA yang dilakukan lebih lambat, 30 dan 60 hst tidak berbeda dengan tanpa pemberian FMA (kontrol) terhadap jumlah daun total, sedangkan inokulasi yang dilakukan pada 60 hst tidak berbeda dengan kontrol terhadap peubah luas daun total. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa waktu inokulasi FMA yang terbaik untuk mendapatkan jumlah daun total dan luas daun total pegagan harus dilakukan sedini mungkin, yakni pada saat di pembibitan atau pada saat penanaman. Sohn et al. (2003) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa inokulasi FMA yang dilakukan lebih awal yaitu pada saat di pembibitan menghasilkan pertumbuhan, serapan hara makro yang nyata lebih tinggi serta waktu berbunga krisan lebih cepat dengan kualitas bunga yang lebih baik dibandingkan waktu inokulasi setelah transplanting. Inokulasi FMA pada fase mikropropagasi memberikan bobot segar dan bobot kering biomass serta laju fotosintesis yang lebih tinggi dibanding inokulasi setelah aklimatisasi pada pisang (Subhan et al 1998; Yano-Melo et al. 1999). Serapan hara N, P, dan K pada jaringan daun tidak dipengaruhi oleh jenis sumber P alami. Batuan fosfat dan tepung tulang sapi yang diaplikasikan dengan FMA memiliki kadar hara N dan K yang relatif kecil, masing-masing 1.04 dan 0.11% untuk batuan fosfat, serta 4.07 dan 0.06% untuk tepung tulang sapi (Tabel 9) mungkin dapat dijadikan rujukan tidak terjadinya perbedaan dalam penyerapan hara N dan K, meskipun belum dapat bisa menjelaskan secara utuh. Batuan fosfat dan tepung tulang sapi merupakan jenis pupuk alami yang memiliki tingkat kelarutan sedang sampai rendah sehingga pelepasan hara juga berlangsung lambat dan bertahap. Mobilitas ion fosfat dalam tanah sangat rendah karena retensinya dalam tanah sangat tinggi sehingga recovery rate P sangat rendah 10–30% dan sisanya 70–90% tertinggal dalam bentuk immobile atau hilang karena erosi (Leiwakabessy & Sutandi 2004). FMA terbukti mampu meningkatkan serapan hara N, P, dan K pada jaringan daun tanaman pegagan. Selama ini pemanfaatan FMA pada tanaman sering
153
dikaitkan dengan perolehan keuntungan tanaman mendapatkan peningkatan ketersediaan hara, utamanya hara P. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak hanya serapan hara P saja yang meningkat, akan tetapi serapan hara N dan K juga meningkat bahkan peningkatannya lebih tinggi. Serapan hara N meningkat ratarata 89.6%, hara P meningkat 76.9%, dan hara K meningkat 71.8% dibandingkan tanaman yang tidak diinokulasi FMA. Namun demikian peningkatan serapan hara tidak disebabkan oleh perlakuan waktu inokulasi, waktu inokulasi di pembibitan dengan inokulasi pada umur 60 hst tidak memberikan perbedaan nyata secara statistik terhadap serapan hara. Peran FMA dalam memfasilitasi peningkatan serapan hara P pada berbagai jenis tanaman sudah banyak dilaporkan (Smith & Read 1997; Ortas 2010; Ortas et al. 2011). Kolonisasi FMA meningkatkan konsentrasi P pada daun dan akar tanaman, dan serapan P spesifik secara nyata tetapi tidak meningkatkan serapan P total (Zhu et al. 2003). FMA meningkatkan serapan P menyebabkan peningkatan pertumbuhan tanaman, terutama pada tanah dengan ketersediaan P yang rendah (Rubio et al. 2002). Fasilitasi dalam peningkatan serapan hara disebabkan miselium ekstraradikal dari FMA menghubungkan akar tanaman dengan tanah di sekitarnya sebagai mikro-habitat menyebabkan peningkatan volume tanah yang dimanfaatkan oleh tanaman inang, hal tersebut memungkinkan tanaman dapat bertahan hidup pada kondisi hara atau air di pada zona pengurasan ‘depletion zone’ (Marschner &. Dell 1994). Hifa FMA yang lebih panjang dapat menyerap hara mineral dari zona pengurasan ke akar tanaman (Jones et al. 1998), dengan demikian pada kondisi hara yang rendah, akar tanaman yang terkolonisasi FMA dapat meningkatkan serapan hara makro dan mikro yang relatif tidak mobil (Faber et al. 1990; Kothari et al. 1990a; Kothari et al. 1990b; Subramanian & Charest 1999). Tanaman yang diinokulasi FMA memanfaatkan larutan P dari batuan fosfat yang lebih tinggi dibandingkan tanaman non FMA (Manjunath et al. 1989; Antunes & Cardoso 1991). Inokulasi FMA dan batuan fosfat berinteraksi nyata meningkatkan bobot kering daun dan biomassa serta kandungan P daun jagung (Ouahmane et al. 2007). FMA juga membantu tanaman dalam mendapatkan hara N, dilaporkan bahwa FMA memfasilitasi serapan N (Burleigh et al. 2003; Frenzel et al. 2005;
154
Hohnjec et al. 2005). Inokulasi FMA meningkatkan kadar hara N pada daun tanaman kacang tanah secara nyata, dan kadar P daun meningkat 73% dibanding non FMA (Lekberg & Koide 2005). Konsentrasi N yang nyata lebih tinggi dilaporkan pada tanaman yang diinokulasi FMA dibanding non FMA (Taiwo & Adegbite 2001). Kolonisasi FMA juga dapat meningkatkan nodulasi dan fiksasi N oleh rizobium pada tanaman kacang-kacangan (Akobsen & Jensen 1992). FMA mengasimilasi N secara eksklusif (Tanaka & Yano 2006), sebagain besar berbentuk NH4+ (Govindarajulu et al. 2005). FMA memiliki kemampuan untuk mengakumulasi dan memobilisasi N dari sumber organik (Hodge et al. 2001, 2010; Atul-Nayyar et al. 2009; Leigh et al. 2009; Hodge & Fitter, 2010; Barrett et al. 2011). FMA tidak hanya meningkatkan serapan N tetapi juga mampu menstranfer hara dari satu tanaman pada tanaman yang lain (Kessel et al. 1985). FMA dapat meningkatkan serapan berbagai hara bagi tanaman, termasuk hara K (Porras-Soriano et al. 2009). Konsentrasi K lebih tinggi ditemui pada tanaman yang bermikoriza dibandingkan tanaman non mikoriza (Liu et al. 2002). Peningkatan konsentrasi K menjadi konsekuensi dari peningkatan ketersediaan P pada pertumbuhan tanaman dan efek FMA terhadap P dan K yang sulit dipisahkan. Inokulasi FMA pada waktu pembibitan dan waktu tanam (M2) memberikan kolonisasi akar pegagan tertinggi baik pada akar tanaman induk maupun tanaman anakan meskipun tidak berbeda dengan waktu inokulasi yang lain. Persentase infeksi pada akar tanaman induk rata-rata 79.8 dan 81.9% pada akar tanaman anakan, tergolong sangat tinggi (Rajapakse & Miller 1992). Penggunaan batuan fosfat dan tepung tulang sebagai sumber P diduga berpengaruh terhadap kolonisasi FMA. Penggunaan fosfat berkelarutan rendah seperti batuan fosfat kalsium fosfat, dan tepung tulang lebih efektif untuk memelihara perkembangan FMA
dan
tidak
menekan
perkembangan
FMA,
bahkan
perkembangan FMA, meningkatkan kolonisasi akar, dan
menstimulir meningkatkan
pertumbuhan tanaman (Vanlauwe et al. 2000; Alloush & Clark 2001; Nikolaou et al. 2002). Bahan yang berkadar P tinggi dengan kelarutan rendah, misalnya tepung tulang dilaporkan meningkatkan propagul Glomus etunicatum (Rubio et al. 2003). Sumber P yang sedikit larut seperti batuan fosfat dapat meningkatkan
155
kolonisasi FMA, efeknya bergantung pada spesies tanaman, perubahan rizosfer dalam mempengaruhi kelarutan batuan fosfat dan interaksinya (Vanlauwe et al. 2000; Alloush & Clark 2001). Simbiosis menghasilkan
FMA pengaruh
dengan
tanaman
tertentu,
bagi
tertentu
dikatakan
tanaman
misalnya
efektif
jika
peningkatan
pertumbuhan dan biomassa. Hasil penelitian ini menunjukkan efektivitas FMA dalam meningkatkan bobot kering daun, bobot kering terna, dan bobot kering total masing-masing sebesar 77.6, 70.1, dan 88.2% nyata lebih tinggi dibandingkan tanaman yang tidak diperlakukan FMA.
Kolonisasi yang tinggi memberikan
produksi yang tinggi, hal tersebut ditunjukkan oleh perlakuan waktu inokulasi pada saat di pembibitan dan waktu tanam (M2). Hal tersebut bermakna bahwa perlakuan FMA lebih berpengaruh terhadap produksi tanaman pegagan dibandingkan perlakuan pemberian batuan fosfat dan tepung tulang sapi. Smith et al. (2010) menyatakan bahwa pada kondisi kolonisasi yang tinggi tanaman memanfaatkan mekanisme serapan hara yang dilakukan oleh hifa FMA dan sebaliknya tanaman memanfaatkan mekasnisme serapan hara langsung oleh akar pada kolonisasi FMA yang rendah. Perlakuan FMA dan sumber P alami mampu meningkatkan kadar asiatikosida pada daun pegagan diatas standar MMI (0.91%). Waktu inokulasi FMA pada penggunaan batuan fosfat sebagai sumber P untuk menghasilkan kadar asiatikosida yang tinggi sebaiknya dilakukan pada saat di pembibitan dan diulang pada saat tanam, sedangkan pada penggunaan tepung tulang sapi waktu inokulasi FMA efektif dilakukan di pembibitan. Inokulasi FMA berinteraksi nyata dengan sumber P alami terhadap produksi asiatikosida, perlakuan waktu inokulasi di pembibitan dan diulang pada saat tanam pada penggunaan batuan fosfat sebagai sumber P sudah mampu meningkatkan produksi asiatikosida, sedangkan pada penggunaan tepung tulang sapi cukup dilakukan pada fase pembibitan. Produksi asiatikosida tidak dipengaruhi oleh sumber pupuk P alami, akan tetapi dipengaruhi oleh waktu inokulasi FMA. Produksi asiatikosida merupakan hasil kali kadar asiatikosida dengan bobot kering daun, sehingga budidaya pegagan untuk menghasilkan kuantitas dan kualitas bahan baku terstandar harus melalui peningkatan produksi
156
bagian vegetatif tanaman dalam hal ini bagian daun serta memanipulasi faktorfaktor yang dapat menstimulir peningkatan kandungan asiatikosida. FMA tidak hanya berperan terhadap peningkatan hara, pertumbuhan dan produksi biomassa tanaman, akan tetapi juga meningkatkan produksi metabolit sekunder pada berbagai jenis tanaman. Berbagai hasil penelitian mengenai peran FMA terhadap metabolit sekunder dilaporkan, kandungan isoprenoid meningkat nyata pada akar tanaman yang mengandung FMA (Strack & Fester 2006), FMA mengakumulasi micorradisin dan menginduksi blumenin (Strack et al. 2003). FMA dapat dimanfaatkan sebagai bio-inokulan untuk meningkatkan konsentrasi minyak esensial pada beberapa tanaman obat (Lin et al. 2007), ajmalicine pada tanaman Catharanthus roseus (Karthikeyan et al.2008). Peran FMA dalam meningkatkan metabolit sekunder diduga terjadi karena pada akar tanaman yang terkolonisasi FMA menginduksi lintasan methylerythritol fosfat sebagai salah satu lintasan dalam biosintesis metabolism sekunder pada tanaman. FMA menginduksi akumulasi micorradicin melalui lintasan nonmevalonat, yakni lintasan methylerythritol phosphate pathway (MEP pathway), dua enzim penting pada lintasan tersebut berhasil di kloning dari tanaman yaitu 1deoxy-D-xylulose 5-phosphate synthase (DXS) dan 1-deoxy-D-xylulose 5phosphate reductoisomerase (DXR). FMA menginduksi secara kuat pembentukan DXS dan DXR (Meier et al. 1998; Walter et al. 2000) Penelitian peran FMA terhadap metabolisme sekunder pada berbagai jenis tanaman sudah banyak dilakukan, namun demikian sejauh ini belum ada penelitian mengenai peran FMA terhadap asiatikosida sebagai produk metabolit sekunder penciri dari tanaman pegagan. Hasil penelitian ini menunjukkan peranan FMA yang mampu meningkatkan produksi bahan aktif asiatikosida tanaman pegagan sekaligus sebagai noveltis dari penelitian ini. Kontribusi setiap peubah terhadap produktivitas biomassa dalam hal bobot kering daun baik pengaruh langsung maupun pengaruh tidak langsung menunjukkan bahwa dari lima belas peubah pertumbuhan sebagai peubah bebas terpilih mampu menjelaskan ragam terhadap bobot daun kering sebesar 90.75%, artinya peubah-peubah tersebut cukup valid untuk menduga produktivitas biomassa pegagan. Serapan hara K, serapan hara N, jumlah daun total, serapan
157
hara P, dan jumlah stolon primer memiliki koefisien korelasi positip sangat nyata (P < 0.01) (Tabel 38), sehingga merupakan peubah-peubah yang dapat digunakan sebagai karakter penciri untuk produksi bobot kering daun, semakin tinggi nilai peubah penciri maka produksi bobot kering daun akan meningkat.
158
Kebaruan
Penelitian pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula (FMA) dan sumber hara P alami pada tanaman pegagan merupakan penelitian baru yang belum pernah diteliti sebelumnya. Kebaruan yang didapatkan dari penelitian ini antara lain: 1.
Didapatkannya
inokulan
FMA
spesifik
yang
dapat
meningkatkan
pertumbuhan, biomassa, dan produksi asiatikosida tanaman pegagan 2.
Didapatkannya formulasi produk FMA dalam bentuk tablet dan kapsul
3.
Penilaian tanaman pegagan sebagai tanaman inang FMA
4.
Penggunaan bahan alami berupa batuan fosfat dan tepung tulang sapi untuk mempercepat kolonisasi dan sporulasi FMA
5.
Penggunaan sumber hara P organik dari bahan alami berupa batuan fosfat dan tepung tulang sapi dan inokulan FMA untuk meningkatkan pertumbuhan, biomassa dan produksi asiatikosida pegagan
6.
Diperolehnya dosis batuan fosfat dan tepung tulang sapi pada pemanfaatan FMA yang menghasilkan biomassa dan keuntungan tertinggi pada budidaya tanaman pegagan
7.
Inokulasi ulang FMA berdasarkan waktu dan cara pada tanaman pegagan
8.
Diperolehnya karakter-karakter pertumbuhan penciri yang berpengaruh langsung dan memberikan kontribusi terhadap peningkatan produksi biomassa tanaman pegagan
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Jenis FMA yang berhasil diisolasi dan diidentifikasi pada rizosfer tanaman pegagan pada tiga lokasi yang berbeda terdapat variasi tipe spora di Kebun Percobaan (KP) Cicurug terdapat 4 jenis FMA (Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp-3 dan Acaulospora sp), di KP. Gunung Putri ditemukan 5 jenis FMA (Acaulospora sp, Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp-3, dan Glomus sp-4), dan di KP. Sukamulya ditemukan 4 jenis FMA (Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp-3, dan Acaulospora sp). Simbiosis FMA dengan tanaman pegagan kompatibel ditunjukkan dengan derajat infeksi FMA pada akar tanaman pegagan tergolong kriteria tinggi hingga sangat tinggi. FMA juga efektif dalam meningkatkan biomassa dan serapan hara N, P, K pada tanaman pegagan. Efektivitas tertinggi diperlihatkan isolat FMA gabungan asal Cicurug (Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp-3 dan Acaulospora sp) yang memberikan bobot kering terna tertinggi (19.66 g.tan-1), atau meningkat 43.9% serta meningkatkan serapan hara N, P dan K masing-masing sebesar 40.9, 49.5 dan 48.2% dibandingkan tanpa perlakuan FMA. Simbiosis FMA dengan tanaman pegagan efektif meningkatkan bobot kering daun, bobot kering terna, dan bobot kering total sebesar 14.7, 17.1, dan 18.0% dan serapan hara P sebesar 15.0% dibandingkan tanpa pemberian FMA. Batuan fosfat dan tepung tulang sapi merupakan sumber hara P alami yang memberikan pengaruh sama baiknya terhadap pertumbuhan, dan produksi biomassa pegagan serta memberikan efek positif terhadap FMA. Waktu inokulasi di pembibitan merupakan waktu yang tepat untuk meningkatkan pertumbuhan, perkembangan, biomassa, kadar dan produksi asiatikosida tanaman pegagan. Serapan hara K, serapan hara N, jumlah daun total, serapan hara P, dan jumlah stolon primer merupakan peubah-peubah penciri yang memberikan kontribusi tertinggi terhadap peningkatan produktivitas biomassa pegagan.
160
Saran
Pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula (FMA) sangat dianjurkan sebagai salah satu alternatif teknologi untuk meningkatkan produktivitas biomassa dan bioaktif tanaman pegagan di Andosol. Namun demikian perlu dilakukan penelitian lanjutan pemanfaatan FMA pada berbagai jenis tanah, ketinggian tempat, serta kondisi lingkungan yang berbeda. Batuan fosfat dan tepung tulang sapi merupakan pupuk P alami yang bisa dijadikan sebagai sumber P alternatif untuk pemanfaatannya dalam budidaya organik. Diperlukan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan ukuran butiran pupuk, dosis, sumber P alami lain, serta aplikasinya pada jenis tanah yang berbeda. Rekomendasi dosis maksimal batuan fosfat dan tepung tulang pada pemanfaatan FMA untuk mendapatkan produksi biomassa pegagan maksimal adalah sebanyak 483.3 dan 339 kg ha-1.
DAFTAR PUSTAKA
Abbot LK. 1982. Comparative anatomy of vesicular-arbuscular mycorrhizas formed on subterranean clover. Aust. J. Bot 30: 485-499. Abbott LK, Robson AD.1984. The effect of mycorhizae on plant growth. In: Powel CL, Bagyraj DJ (Ed). Vesicular arbuscular mycorhizae. Florida :CRC Press. Inc. Boca Raton. Afrida A. 2009. Pengaruh pemupukan fosfor terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman pegagan (Centella asiatica (L) Urban) di dataran tinggi. [Skripsi]. Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB. Bogor Agil M, Prayogo B, Sutaryadi W. 1992. Pegagan herba multi manfaat yang hampir punah. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 1(2): 44-46. Aguilera-Comes L, Davies FT, Olalde-Portugal V, Duray SA, Phavaphutanon L. 1999. Influence of Phosphorus and Endomycorrhiza (Glomus intraradices) on Gas Exchange and Plant Growth of Chile Anco Pepper (Capsinum annum L.cv. San Luis). Photosynthetica. Agusta A. 2006. Diversitas jalur biosintesis senyawa terpena pada makhluk hidup sebagai target obat antiinfektif. Berita Biologi. Vol. 8, Nomor 2: 141-152. Akinrinde EA. 2006. Strategies for Improving Crops’ Use-Efficiencies of Fertilizer Nutrients in Sustainable Agricultural Systems. Pakistan J of Nutr 5 (2):185-193. Akiyama K, Hayasi H. 2002. Arbuscular mycorrhizal fungus-promoted accumulation of two new triterpenoids in cucumber roots. J. Biosci Biotechnol Biochem vol. 66(4):762-769. Akobsen JI, Jensen ES. 1992. Hyphal transport of 15 N-Labelled nitrogen by vesicular arbuscular mycorrhizal fungus and its effect on depletion of inorganic soil N. New Phytol 122: 281-282. Alimudin LA. 2006. Peranan Cendawan Mikoriza Arbuskula dalam Perbanyakan Jati Muna (Tectona grandis Linn.f). Melalui Stek Pucuk. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. 77 hal. Al-Jabri 2008. Pupuk fosfat alam sebagai pupuk alternatif. (http://www.pustakadeptan.go.id/publikasi (17 Januari 2008). Allen MF, Allen EB, Gomez-Pompa A. 2005. Effects of mycorrhizae and nontarget organism on restoration of a seasonal tropical forest in Quintana Roo, Mexico: factors limiting tree establishment. Restoration Ecol 13:325-333.
162
Alloush GA, Clark RB. 2001. Maize response to phosphate rock and arbuscular mycorrhizal fungi in acidic soil. Commum.Soil.Sci.Plant Anal 32:231-254. Amijee F, Tinker PB, Stribley DP. 1989. The development of endomycorrhizal fungi root system. VII. A detailed study of effect of soil phosphorus on colonization. New Phytol 111:435-446. Anissa RF. 2006. Pengaruh pemberian ekstrak air daun pegagan (centella asiatica) terhadap kemampuan kognitif dan kadar neuorotransmiter monoamine pada hipokampus tikus (Rattus novergicus L) galur Wistar jantan dewasa. [Skripsi] Sarjana Biologi. Program Studi Biologi. Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati. ITB. Bandung. Antunes V, Cardoso EJBE. 1991. Growth and nutrient status of citrus plants as influenced by mycorrhiza and phosphorus application. Plant and Soil 131:11–19. Atul-Nayyar A, Hamel C, Hanson K, Germida J. 2009. The arbuscular mycorrhizal symbiosis links N mineralization to plant demand. Mycorrhiza 19:239-246. Auge RM. 2001. Water relations, drought and vesicular-arbuscular mycorrhizal symbiosis. Mycorrhiza 11:3-42. Aziz ZA, Davey MR, Power JB, Anthony P, Smith RM, Lowe KC. 2007. Production of asiaticoside and madecassoside in Centella asiatica in vitro and in vivo . Biologia Plantarum 51 (1):34-42. Azcon R, Ambrosano E, Charest C. 2003. Nutrient acquisition in mycorrhizal lettuce plants under different phosphorus and nitrogen concentration. Plant Science 165 (2003) 1137-1145. Baon JB, Smith SE, Alston AM, Wheeler RD. 1992. Phosphorus efficiency of three cereals as related to indigenous mycorrhizal infection. Aust. J. Agric. Res. 43:479–491. Barea JM, 1991. Vesicular/arbuscular mycorrhizae as modifiers of soil fertility, in: Stewart BA.(Ed.), Adv in Soil Sci., Springer, New York. pp.1-40. Barrett G, Campbell CD, Fitter AH, Hodge A. 2011. The arbuscular mycorrhizal fungus Glomus hoi can capture and transfer nitrogen from organic patches to its associated host plant at low temperature. Appl Soil Ecol. 48:102105. Berta G, Trotta A, Fusconi A, Hooker JE, Munro M, Arkinson D, Giovannetti M, Morini S, Fortuna P, Tisserant B, Gianinazzi-Pearson V, Gianinazzi S. 1995. Arbuscular mycorrhizal induced changes to plant growth and root system morphology in Prunus cerasifera, Tree Physiol 15:281-293.
163
Bertham YH, Kusmana C, Setiadi Y, Mansur I, Sopandie D. 2005. Introduksi pasangan CMA dan rhizobia indigenous untuk peningkatan pertumbuhan dan hasil kedelai di Ultisol Bengkulu. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Volume 7(2):94-103. Bermawie N, Martono B, Purwiyanti S. 2006. Description development and information documentation, Collaboration between Indonesian Medicinal Crops Research Institute, Indonesia Center Estate Crops Research and Development, and International Plant Genetic Resources Institute. Unpublished. Bethlenfalvay GJ, Schu¨epp H. 1994. Arbuscular mycorrhizas and agrosystem stability, in: S. Gianinazzi S, Schu¨epp H (Eds.), Impact of Arbuscular Mycorrhizas on Sustainable Agriculture and Natural Ecosystems, Birkha¨user, Basel, pp:117-131. Bhadalung NN, Suwanarit A, Dell B, Nopamornbodi O, Thamchaipenet A, Ruchuang J. 2005. Effects of long-term NP-fertilization on abudance and diversity of arbuscular mycorrhizal fungi under a maize cropping system. Plant Soil 270:371-382 Black R, Tinker PB. 1979. The development of endomycorrhizal root systems. II. Effect of agronomic factors and soil conditions on the development of vesicular-arbuscular mycorrhizal infection in barley and on the endophyte spore density. New Phytol 83:401–413. Bogidarmanti R. 2008. Pemanfaatan Pupuk Fosfat Alam dan Fungi Mikoriza Arbuskula dalam Mempercepat Pembentukan Kayu pada Bibit Maesopsis eminii Engl dan Swietenia macrophylla King. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. 92 h. Bonfante-Fosolo P. 1984. Anatomy and morphology of VA mycorrhizae. In : VA mycorrhizae (eds) CL. Powell and DJ. Bagyaraj. CRC. Press. Boca Raton Florida. USA. p:5-33. Bowen G. 1987. The biology and physiology of infection and its development. In Safir GR. (ed) p:27-57. Ecofisiology of VA mycorrhizal plants. CRC Press. Inc. Boca Raton Florida. Brady NC. 1990. The nature and properties of soils. 10 th, Ed. New York: Mac Millan. Brundrett MC. 1994. Diversity and classification of mycorrhyzal associations. Biol. Rev 78:473-495. Brundrett MC, Melville N, Peterson L. 1994. Practical methods in mycorrhiza research. Mycologue Publications. Ontario, Canada. 161 p.
164
Brundrett MC, Bougher N, Dells B, Grove T, Malajczuk, N. 1996. Working with mycorrhizas in forestry and agriculture. ACIAR Monograph 32. 374. http://ffp.csiro.au/research/mycorrhiza. Bryla DR, Eissenstat DM. 2005. Respiratory costs of mycorrhizal associations. In: Lambers H, Ribas-Carbo M. (Eds.), Plant Respiration. Springer, Dordrecht, pp:207–224. Budi SW. 2009. Taksonomi fungi mikoriza arbuskula. Makalah pada pelatihan dasar-dasar isolasi dan inokulasi mikoriza untuk pertanian dan kehutanan (24-25 Juni 2009). Departemen Silvikutur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 10 p. Bunpo P, Kataoka K, Arimochi H, Nakayama H, Kuwahara T, Bando Y, Izumi K, Vinitketkumnuen U, Ohnishi Y. 2004. Inhibitory effects of Centella asiatica on azoxymethane-induced aberrant crypt focus formation and carcinogenesis in the intestines of F344 rats. Food and Chem. Toxicol. 42:1987–1997. Burleigh SH, Cavagnaro TR, Jakobsen I. 2002. Functional diversity of arbuscular mycorrhizas extends to the expression of plant genes involved in P nutrition. J Exp Bot 53:1593-1601. Burleigh SH, Kristensen BK, Bechmann IE. 2003. A plasma membrane zinc transporter from Medicago truncatula is upregulated in roots by Zn fertilization, yet down-regulated by arbuscular mycorrhizal colonization. Plant Molecular Biology 52:1077–1088. Cardoso EJBN. 1996. Interaction of mycorrhiza, phosphate and manganase in soybean. In: Azcon-Aguilar C, Barea JM (ed). Mycorrhizas in integrated systems from genes to plant development. Proc.of the 4th European Symposium on Mycorrhiza. Brussels, Luxemburg: Directorat General XII (Science, Research and Development), European Commision. p:304-306. Cardoso IM, Kuyper TW. 2006. Mycorrhizas and tropical soil fertility. Agric, Ecosystems and Environment 116:72–84. Carrenho R, Silva ES, Trufem SFB, Bononi VLR. 2001. Succesive cultivation of maize and agricultural practices on root colonization, number of spores and species of AM fungi. Braz J Microbiol. 32:262-270. Chaudhary V, Kapoor R, Bhatnagar AK. 2008. Effectiveness of two arbuscular mycorrhizal fungi on concentrations of essential oil and artemisinin in three accessions of Artemisia annua L. Appl Soil Ecol. 40:174–181. Clark RB. 1997. Arbuscular mycorrhizal adaption spore germination, root colonization and host plant growth and mineral acquuisition at low pH. Plant and Soil 192:15-22.
165
Cornejo P, Borie F, Rubio R, Azco´n R. 2007. Influence of nitrogen source on the viability, functionality and persistence of Glomus etunicatum fungal propagules in an Andisol. App Soil Ecol. 35:423–431. Corryanti J, Soedarsono, Radjagukguk B, Widyastuti SM. 2008. Fungi mikoriza arbuskula di hutan jati. http://www.rimbawan.com/APHI0611/ KUMPULAN_TULISAN/2008/Februari/untuk BULETIN-APHI_ mikoriza (10 Mei). 11 p. Covacevich F, Marino MA, Echeverría HE. 2006. The phosphorus source determines the arbuscular mycorrhizal potential and the native mycorrhizal colonization of tall fescue and wheatgrass. European Jl of Soil Biol. 42: 127–138. Croteau R, Kutchan TM, Lewis NG. 2000. Natural products (Secondary metabolites), In Biochemistry & moleculer biology of plant. Buchanan B, Gruissem W, Jones R (Eds). American Soc of Plant Physiol. p:1250-1318. Cruz C, Green JJ, Watson CA, Wilson F, Martin-Lucao MA. 2004. Functional aspect of root architecture and mycorrhizal inoculation with respect to nutrient uptake capacity. Mycorrhiza 14:177-184. Cuenca G, Andrade DZ, Meneses E. 2001. The presence of aluminium in arbuscular mycorrhizas of Clusia multifora exposed to increased acidity. Plant and Soil 231: 233-241. Dalimartha S. 2000. Atlas tumbuhan obat Indonesia Jilid 2. Trubus Agriwidya. Jakarta. 214 hal. Daniels BA, Trappe JM. 1980. Factors affecting spore germination of vesiculararbuscular mycorrhizal fungus, Glomus epigaeus. Mycologi 72:457-463. Delvian 2003. Keanekaragaman cendawan mikoriza arbuskula (CMA) di hutan pantai dan potensi pemanfaatannya. [Disertasi]. Program Pascasarjana. IPB. Bogor. Djauhariya E, Hernani. 2004. Gulma berkhasiat obat. Penebar Swadaya. Jakarta. 128 h. Dodd JC, Burton CC, Burns RG, Jeffries P. 1987. Phosphatase activity associated with the roots and the rhizosphere of plants infected with vesiculararbuscular mycorrhizal fungi. Netr Phvtologist 107:163-172. Drigo B, et al 2010. Shifting carbon flow from roots into associated microbial communities in response to elevated atmospheric CO2. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 107:10938-10942.
166
Duponnois R, Colombet A, Hien V, Thioulouse J. 2005. The mycorrhizal fungus Glomus intraradices and rock phosphate amendment influence plant growth and microbial activity in the rhizosphere of Acacia holosericea. Soil Biol Biochem 37:1460-1468. Duke JA. 1987. The handbook of medical herbs. CRC Press Inc. Boca Raton, Florida :109-110 Faber BA, Zasoski RJ, Burau RG, Uriu K. 1990. Zinc uptake by corn as affected by vesicular arbuscular mycorrhizae. Plant Soil 129:121-130. Fahmi R. 2002. Uji kandungan metabolit sekunder (untuk survey lapangan). Makalah dalam Workshop peningkatan sumber daya manusia. Kajian kimia organik bahan alam hayati dan pelestarian hutan, Padang, 21-27 Juli 2002. Feldman F, Idczak E. 1992. Inoculum Production of Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Fungi for Use in Tropical Nurseries. Methods in Microbiol. 24:339-357. Feng G, Su YB, Li XL, Wang H, Zhang FS, Tang C, Rengel Z. 2002. Histochemical visualization of phosphatase released by arbuscular mycorrhizal fungi in soil. J. Plant Nutr 25:969–980. Feng G, Song YC, Li XL, Christie P. 2003. Contribution of arbuscular mycorrhizal fungi to utilization of organic sources of phosphorus by red clover in a calcareous soil. Appl Soil Ecol. 22:139–148. Fester T, Wray V, Nimtz M, Strack D. 2005. Is stimulation of carotenoid biosynthesis in arbuscular mycorrhizal roots a general phenomenon: Phytochem. 66:1781–1786. Finlay RD. 2004. Mycorrhizal fungi and their multifunctional roles. Mycologist, Volume 18:91-96. Frenzel A, Manthey K, Perlick AM, Meyer F, Pu¨ hler A, Ku¨ ster H, Krajinski F.2005. Combined transcriptome profiling reveals a novel family of arbuscular mycorrhizal-specific Medicago truncatula lectin genes. Mol Plant-Microbe Interactions 18: 771–782. Gerdermann JW, Nicholson TH. 1963. Spores of mycorrhizal endogone species extracted from soil by wet sieving and decanting. Transac of the British Mycol Soc. 46:235-244. George M, Joseph L, Ramaswamy. 2009. Anti-allergic, anti-pruritis, and antiinflammatory activities of centella asiatica extracts. Afr. J. Trad. CAM 6 (4):554–559.
167
Ghulamahdi M, Aziz SA, Bermawie N, Trisilawati O. 2008. Laporan Hasil Penelitian KKP3T. Studi Penyiapan Standar Operasional Prosedur Budidaya untuk Produksi Bioaktif Mendukung Standarisasi Mutu Pegagan. 71 hal. Gianinazzi S, Trouvelot A, Gianinazzi-Pearson V. 1989. Conceptual approaches for the rational use of VA endomycorrhizae in agriculture: possibilities and limitations. Agric. Ecos. Eviron. 29:153–161. Gianinazzi S, Gollotte A, Binet MN, van Tuinen D, Redecker D, Wipf D. 2010. Agroecology: the key role of arbuscular mycorrhizas in ecosystem services. Mycorrhiza 20:519-530. Govindarajulu et al. 2005. Nitrogen transfer in the arbuscular mycorrhizal symbiosis. Nature 435:819–823. Gunawan LW. 1993. Mikoriza. Arbuskula. Bahan pengajaran. Penelaah: Kramadibrata, K. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. IPB. Bogor. Hamid AA, Shah ZMd. Muse R, Mohamed S. 2002. Characterisztion of ontioxidative activities of various extracts of Centella asiatia (L) Urban. Food Chem. 77:465-469. Hanum C. 2004. Penapisan beberapa galur kedelai (Glycine max. Merr.) toleran cekaman aluminium dan kekeringan serta tanggap mikoriza vesikular arbuskular [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB. 162 p. Harrison MJ, Dewbre GR, Liu JY. 2002. A phosphate transporter from Medicago truncatula involved in the acquisition of phosphate released by arbuscular mycorrhizal fungi. Plant Cell 14:2413-2429. Harrison 2005. Signaling in the arbuscular mycorrhizal symbiosis. Annual Rev of Microbiol. 59:19–42. Hartatik W, dan Idris K. 2008. Kelarutan fosfat alam dan SP-36 dalam gambut yang diberi amelioran tanah mineral. J Tanah dan Iklim, Nomor 27: 45-56. Haryantini BA, dan Santoso HM. 2006. Pertumbuhan dan hasil cabai merah (Capsicum annum) pada andisol yang diberi mikoriza, pupuk fosfor dan zat pengatur tumbuh. http://72.14.235.104/search?q=cache:Gut_ m4d67ZgJ :images. soemarno.multiply.com/. 11 p. Hause B, Maier W, Miersch O, Kramell R, Strack D. 2002. Induction of jasmonate biosynthesis in arbuscular mycorrhizal barley roots. Plant Physiol. 130:1213–1220. Hawkins HJ, Johansen A, George E. 2000. Uptake and transport of organic and inorganic nitrogen by arbuscular mycorrhizal fungi. Plant Soil 226:275– 285.
168
Hayman DS. 1970. Endogone spore numbers in soil and vesicular-arbuscular mycorrhiza in wheat as influenced by season and soil treatment. Transac of the British Mycol soc. 54:53-63. Herbert RB. 1995. The Biosynthesis of secondary metabolites. Terjemahan Srigandono B. IKIP Semarang Press. 243 hal. Hetrick BAD. 1984. Ecology of vesicular-arbuskular mycorrhiza fungi. In : VA mycorrhizae (eds) CL. Powell and DJ. Bagyaraj. CRC. Press. Boca Raton Florida. USA. p:35-56. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta: 1884 hal. Hidayati F. 2009. Pengaruh pemupukan kalium terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman pegagan (Centella asiatica (L) Urban) di dataran tinggi. [Skripsi]. Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Hodge A, Campbell CD, Fitter AH. 2001. An arbuscular mycorrhizal fungus accelerates decomposition and acquires nitrogen directly from organic material. Nature 413, 297-299. Hodge A, Fitter AH. 2010. Substantial nitrogen acquisition by arbuscular mycorrhizal fungi from organic material has implications for N cycling. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 107:13754-13759. Hodge A, Helgason T, Fitter AH. 2010. Nutritional ecology of arbuscular mycorrhizal fungi. Fungal Ecol. 3:267–273. Hohnjec N, Vieweg ME, Pu¨hler A, Becker A, Ku¨ster H, 2005. Overlaps in the transcriptional profiles of Medicago truncatula roots inoculated with two different Glomus fungi provide insights into the genetic program activated during arbuscular mycorrhiza. Plant Physiol. 137:1283–1301. Holford ICR.1997. Soil phosphorus: its measurements and its uptake by plants. Aust J Soil Res 35:227–239. Hong SS, Kim JH, Li H, Shim CK .2005. Advanced Formulation and Pharmacological Activity of Hydrogel of the Titrated Extract of C. Asiatica. Arch Pharm Res. Vol 28, No 4:502-508. Hsu YL, Kuo PL, Lin LT, Lin CC. 2005. Asiatic acid, a triterpene, Induces apoptosis and cell cycle arrest through activation of extracellular signalregulated kinase and p38 mitogen-activated protein kinase pathways in human breast cancer cells. The J of Pharmacol and Exp Therapeutics 313 (1):333–344.
169
Hussin M, Hamid AA, Mohamad S, Saari N, Ismail M, Bejo MH. 2007. Protective effect of Centella asiatia extract and powder on oxidative stress in rats. Food Chemistry 100:535-541. INVAM 2008. International culture collection of (vesicular) arbuscular mycorrhizal fungi. http://invam.caf.wvu.edu/Myco-info/Taxonomy /classification.htm. (12 Juni 2008) [IPB] Institut Pertanian Bogor. 2005. Pasar Domestik dan Ekspor produk tanaman obat (Biofarmaka). Pusat Studi Biofarmaka IPB, Bogor. Iqbal A. 2008. Potensi kompos dan pupuk kandang untuk produksi padi organik di tanah ultisol. Jurnal Akta Agrosia, Volume 11, No. 1:13-18. Isroi
2008. Pupuk organik, pupuk hayati, dan pupuk kimia. http://isroi.wordpress.com/2008/02/26/pupuk-organik-pupuk-hayati-danpupuk-kimia/
Jakobsen I, Rosendahl L. 1990. Carbon flow into soil and external hyphae from roots of mycorrhizal cucumber plants. New Phytol. 115:77–83. James JT, Dubery IA. 2009. Pentacyclic triterpenoids from the medicinal herb, Centella asiatica (L.) Urban. Molecules 14:3922-3941. Januwati M, Muhammad H, 1992. Cara budidaya pegagan (Centella asiatica L. (Urban). Warta tumbuhan obat Indonesia 1(2):42-44. Januwati M, Yusron M. 2005. Budidaya tanaman pegagan. Sirkuler N0. 11. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika, Bogor. 4 hal. Jayashree G, Muraleedhara KG, Sudarslal S, Jacob VB. 2003. Anti-oxidant activity of Centella asiatica on lymphoma-bearing mice. Fitoterapia 74(5):431-440. Jeng AS, Haraldsen TK, Gronlund A, Pedersen PA. 2006. Meat and bone meal as nitrogen and phosphorus fertilizer to cereals and rye grass. Nutr Cycl Agron 76:183-191. Jeong BS. 2006. Structure-Activity Relationship Study of Asiatic Acid Derivatives for New Wound Healing Agent. Arch Pharm Res 29(7): 556562. Johnson NC, Wilson GWT, Bowker MA, Wilson JA, Miller RM. 2010. Resource limitation is a driver of local adaptation in mycorrhizal symbioses. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 107:2093-2098.
170
Johnson NC. 1993. Can fertilization of soil select less mutualistic mycorrhizae? Ecol Appl 3:749-757. Joner EJ, Johansen A. 2000. Phosphatase activity of external hyphae of two arbuscular mycorrhizal fungi. Mycol. Res. 104:81–86. Jones MD, Durall DM, Tinker PB. 1998. A comparison of arbuscular and ectomycorrhizal Eucalyptus coccifera : growth response, phosphorus uptake efficiency and external hyphal production. New Phytol 140:125-134. Kabirun S. 2002. Tanggap Padi Gogo Terhadap inokulasi jamur mikoriza arbuskula dan pemupukan fosfat di entisol. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan, Vol 3(2):49-56. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kahiluoto H, Ketoja E, Vestberg M, Saarela I. 2001. Promotion of AM utilization through reduced P fertilization. Plant Soil 231:65-79. Kapoor R, Giri B, Mukerji KG. 2002. Mycorrhization of coriander (Coriandrum sativum L.) to enhance the concentration and quality of essential oil. J. Sci. Food Agric 82:339–342. Karagiannidis N, Thomidis T, Lazari D, Panou-Filotheou E, Karagiannidou C. 2011. Effect of three Greek arbuscular mycorrhizal fungi in improving the growth, nutrient concentration, and production of essential oils of oregano and mint plants. Scientia Horticulturae 129:329–334. Karthikeyan B, Abdul Jaleel C, Zhao C, Joe MM, Srimannarayan J, Deiveekasundaram M. 2008. The effect of AM fungi and phosphorous level on the biomass yield and ajmalicine production in Catharanthus roseus. EurAsia J BioSci 2:26-33. Kartika E. 2006. Tanggap pertumbuhan, serapan hara dan karakter morfofisiologi terhadap cekaman kekeringan pada bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. 188 p. Kaschuk G, Kuyper TW, Leffelaar PA, Hungria M, Giller KE. 2009. Are the rates of photosynthesis stimulated by the carbon sink strength of rhizobial and arbuscular mycorrhizal symbioses. Soil Biol & Biochem. 41:1233–1244. Kaschuk G, Leffelaar PA, Giller KE, Alberton O, Hungria M, Kuyper TW. 2010. Responses of legumes to rhizobia and arbuscular mycorrhizal fungi: A meta-analysis of potential photosynthate limitation of symbioses. Soil Biol Biochem 42:125-127. Khasawneh FC, Doll EC. 1978. The use of phosphate rock for direct application to soils. Adv Agron 30:159-206.
171
Kisman 2007. Analisis genetik dan molekuler adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah berdasarkan karakter morfo-fisiologi daun [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 148 hal. Kim OT, Kim MY, Hong MH. 2004. Stimulation of asiaticoside accumulation in the whole plant cultures of Centella asiatica (L) Urban by elictors. J. Physiol & Biochem. 23:335-344. Kim OT, Kim MY, Ahn JC, Hwang B. 2005. Up-regulation of asiaticoside biosynthesis by methyl jasmonate and thidiazuron in Centella asiatica L. Urban. Korean J. Medicinal Crop.Sci. 13(5):233-236. Klock KA, Taber HG. 1996. Comparison of bone products for phosphorus availability. Hortic Tech, 6:257-260. Koide RT, Li M. 1990. On host regulation of the vesicular-arbuscular mycorrhizal symbiosis. New Phytol. 114:59-65. Kormanik PP, McGraw AC. 1982. Quantification of vesicular arbuscular mycorrhizae in plant roots. In: Schenk (Ed). Methods and principles of mycorrhizal research. The American Phytopathological Soc, St. Paul 46:3745. Koske RE, Gemma JN. 1989. A modified procedure for staining roots to detect VA mycorrhizas. Mycol Res 92:486-505. Kothari SK, Marschner H, George E. 1990a. Effect of VA mycorrhizal fungi and rhizosphere microorganisms on root and shoot morphology, growth and water relations in maize. New Phytol 116:303-311. Kothari SK, Marschner H, Ro¨mheld V. 1990b. Direct and indirect effects of VA mycorrhizal fungi and rhizosphere microorganisms on acquisition of mineral nutrients by maize (Zea mays L.) in a calcareous soil. New Phytol 116:637-645. Kumar VMH, Gupta YK. 2002. Effect of different extracts of Centella asiatica on cognition and markers of oxidative stress in rats. J Ethnopharmacol 79(2):253-260. Kumar VMH, Gupta YK.2003. Effect of Centella asiatica on cognition and oxidative stress in an intracerebroventricular streptozotocin model of Alzheimer's disease in rats. Clin Exp Pharmacol Physiol. 30(5-6):336-342. Kusdarto 2006. Potensi agromineral di Indonesia, salah satu alternatif pengganti pupuk buatan. Sub Dit Mineral Non Logam. Departemen ESDM. Jakarta. Kuzuyama T. 2002. Mevalonate and nonmevalonate pathways for the biosynthesis of isoprene units. Biosci. Biotechnol. Biochem 66:1619-1627.
172
Kuzuyama T, Seto H. 2003. Diversity of the biosynthesis of the isoprene units. Nat. Prod.Rep. 20:171-183. Lapanjang IM. 2010. Morfofisiologi dan hasil berbagai provenan jarak pagar (Jatropha curcas L.) pada cekaman kekeringan dan asosiasinya dengan fungi mikoriza arbuskular. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. 126 p. Lee KJ, Lee KH, Tamolang-Castillo E, Budi SW. 2009. Biodiversity, spore density and root colonization of arbuscular mycorrhizal fungi at expressway cut-slopes in Korea. J Korean for Soc 98 (5):539-547. Leigh J, Hodge A, Fitter AH. 2009. Arbuscular mycorrhizal fungi can transfer substantial amounts of nitrogen to their host plant from organic material. New Phytologist 181:199-207. Leiwakabessy FM, dan Sutandi S. 2004. Pupuk dan Pemupukan. Diktat Kuliah. Departemen Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Bogor. 208 h. Liferdi. 2007. Diagnosis status hara menggunakan analisis daun untuk menyusun rekomendasi pemupukan pada tanaman manggis (Garcinia mangostana L.) [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Lekberg Y, Koide RT. 2005. Arbuscular mycorrhizal fungi, rhizobia, available soil P and nodulation of groundnut (Arachis hypogaea) in Zimbabwe. J. Agric, Ecosystems and Environment 110:143–148. Ling APK, Mahmood M, Fadzillah NM, Daun SK. 2005. Effects of precursor supplementation on the production of triterpenes by centella asiatica callus cultures. Pak J of Biological Sci. 8(8):1160-1169. Liu A, Hamel C, Elmi A, Costa C, Ma B, Smith DL. 2002. Concentrations of K, Ca and Mg in maize colonized by arbuscular mycorrhizal fungi under field conditions. Can. J. Soil Sci 82:271–278. Lo´pez-Bucio J, de la Vega OM, Guevara-Garcı´a A, Herrera-Estrella L. 2000. Enhanced phosphorus uptake in transgenic tobacco plants that over-produce citrate. Nat Biotechnol 18:450–453. Lynch JP, Brown KM. 2001. Topsoil foraging: an architectural adaptation of plants to low phosphorus availability. Plant Soil 237: 225–237 Maier W, Schneider B, Strack D. 1998. Biosynthesis of sesquiterpenoid cyclohexenone derivatives in mycorrhizal barley roots proceeds via the glyceraldehyde 3-phosphate/pyruvate pathway. Tetrahedron Lett. 39:521524.
173
Mangas S, et al. 2006. The effect of methyl jasmonate on triterpene and sterol metabolisms of Centella asiatica, Ruscus aculeatus and Galphimia glauca cultured plants. Phytochemistry 67:2041–2049. Manjunath A, Hue NV, Habte M. 1989. Response of Leuceana leucocephala to vesicular–arbuscular mycorrhizal colonization and rock phosphate fertilization in an Oxisol. Plant and Soil 114:127–133. Mardatin NF. 2007. Teknik Bekerja dengan Cendawan Mikoriza Arbuskula. Konggres Nasional mikoriza Indonesia II. “Percepatan Sosialisasi Teknologi Mikoriza untuk Mendukung Revitalisasi Kehutanan, Pertanian dan Perkebunan. Bogor. 17 – 18 Juli 2007. Marschner H. 1997. Mineral Nutrition of High Plants. Academic Press Limited. London. Marschner H, Dell B, 1994. Nutrient uptake in mycorrhizal symbiosis. Plant Soil 159:89-102. Mathew G, Joseph L, Ramaswamy. 2009. Anti-allergic, anti-pruritic, and antiinflammatory activities of Centella asiatica ekstracts. Afr. J. Trad. CAM 6 (4): 554 – 559. Mathur A, Mathur AK, Yadav S, Verma P. 2007. Centella asiatica (L.) Urbanstatus and scope for commercial cultivation. J. Med. Arom. Plant Sci. 129:151–162. Mathur N, Vyas A. 1995. Influence of VA Mycorrhizae on Net Photosynthesis and Transpiration of Ziziphus mauritiana. J. Plant Physiol. 147:328-330. Martono B, 2011. Keragaman dan tanggap pertumbuhan serta produksi asiatikosida pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) pada ketinggian tempat dan naungan yang berbeda [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 177 hal. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan Minitab, Jilid I. Bogor. IPB Press. 282 hal. Meason DF, Idol TW, Friday JB, Scowcroft PG. 2009. Effects of fertilisation on phosphorus pools in the volcanic soil of a managed tropical forest. Forest Ecol and Management. 258:2199–2206. Miransari M, Bahrami HA, Rejali F, Malakouti MJ. 2009. Effects of arbuscular mycorrhiza, soil sterilization, and soil compaction on wheat (Triticum aestivum L.) nutrients uptake. Soil Till. Res. 104:48–55.
174
Musyarofah N, Susanto S, Aziz SA, Kartosoewarno S. 2007. Respon tanaman pegagan (Centella asiatica L. Urban) terhadap pemberian pupuk alami di bawah naungan. Bul Agron 35:217-224. Nikolaou NN, Karagiannidis S, Koundouras, Fysarakis I. 2002. Effects of different P sources in soil on increasing growth and mineral uptake of mycorrhizal Vitis vinifera L. (cv Victoria) vines. J Int Sci Vigne Vin 36:195204. Nurmaryati I. 2009. Pengaruh pemupukan nitrogen terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman pegagan (Centella asiatica (L) Urban) di dataran tinggi. [Skripsi]. Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Nusantara AD, Mansur I, Kusmana C, Darusman LK, Soedarmadi, 2007. Peran Substrat Alami, Kadar Air, dan Sterilisasi Dalam Produksi Spora Melalui Simbiosis Pueraria javanica dan Glomus etunicatum. Jurnal Akta Agrosia. Edisi Khusus No. 2:204-212. Nusantara AD. 2011. Pengembangan produksi inokulan fungi mikoriza arbuskula berbasis bahan alami dan pemanfaatannya untuk produksi bibit jati (Tectona grandis L.f). [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 186 hal. Ortas I. 2010. Effect of mycorrhiza application on plant growth and nutrient uptake in cucumber production under field conditions. Spanish Journal of Agricultural Research 8:S116–S122. Ortas I, Sari N, Akpinar C, Yetisir H. 2011. Screening mycorrhiza species for plant growth, P and Zn uptake in pepper seedling grown under greenhouse conditions Scientia Horticulturae 128:92–98. Ouahmane L et al. 2007. Soil functional diversity and P solubilization from rock phosphate after inoculation with native or allochtonous arbuscular mycorrhizal fungi Forest Ecol and Management 241:200–208. Pearson JN, Jakobsen I. 1993. Symbiotic exchange of carbon and phosphorus between cucumber and three arbuscular mycorrhizal fungi. New Phytol, 124:481-488. Peipp H, Maier W, Schmidt J, Wray V, Strack D. 1996. Arbuscular mycorrhiza fungus-induced changes in the accumulation of secondary compounds in barley roots. Phytochemistry Vol. 44, No. 4:581-587. Philips JM, Hayman DS.1970. Improved procedures for clearing roots and staining parasitic and vesicular-arbuscular mycorrhizal fungi for rapid assessment of infection. Transact Brit Mycol Soc 55:158-161.
175
Ponce MA, Scervino JM, Erra-Balsells R, Ocampo JAc, Godeas AM. 2004. Flavonoids from shoots and roots of Trifolium repens (white clover) grown in presence or absence of the arbuscular mycorrhizal fungus Glomus intraradices. Phytochemistry 65:1925–1930. Porras-Soriano A, Soriano-Martín ML, Andrés Porras-Piedra A, Azcón R. 2009. Arbuscular mycorrhizal fungi increased growth, nutrient uptake and tolerance to salinity in olive trees under nursery conditions. J. Plant Physiol 166:1350–1359. Pribadi P. 2012. Obat tradisional ditinjau dari aspek klinis dan ekonomi. http://freadypharm. blogspot. com/2012/03. 10 Maret 2012. Purnomo DW. 2008. Keefektifan fungi mikoriza arbuskula dalam meningkatkan hasil dan adaptasi cabai (Capsicum annuum L.) pada tanah bercekaman aluminium. Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Quenca G, Andrade DZ, Meneses E. 2001. The presence of aluminium in arbuscular mycorrhizas of Clusia multifora exposed to increased acidity. Plant and Soil 231:233-241. Radjagukguk, B. 1983. Masalah pengapuran tanah mineral masam di Indonesia. Prosiding Seminar Alternatif-alternatif Pelaksanaan Program Pengapuran Tanah mineral masam di Indonesia. Fakultas Pertanian UGM, hal 15-43. Raghothama KG. 1999. Phosphate acquisition. Annu Rev Plant Physiol Plant Mol Biol 50: 665–693. Rainiyati. 2007. Status dan keanekaragaman cendawan mikoriza arbuskula (CMA) pada pisang raja nangka dan potensi pemanfaatannya untuk peningkatan produksi pisang asal kultur jaringan di kabupaten Merangin Propinsi Jambi. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Rajapakse S, Miller Jr JC. 1992. Method for studying vesicular-arbuscular mycorrhizal root colonization and related root physical properties. Methods Microbiol 24:302-316. Rasouli-Sadaghiani MH, Hassani A, Barin M, Danesh YR, Sefidkon F. 2010. Effects of arbuscular mycorrhizal (AM) fungi on growth, essential oil production and nutrients uptake in basil. J of Medicinal Plants Research 4(21):2222-2228. Read DJ, Perez-Moreno J. 2003. Mycorrhizas and nutrient cycling in ecosystems – a journey towards relevance? New Phytologist 157:475-492. Rhodes LH, Gerdermann JW. 1978. Translocation of calcium and phosphate by external hyphae of vesicular arbuscular mycorrhizae. Soil Sci 126:125–126.
176
Rillig MR, Mummey DL. 2006. Mycorrhizas and soil structure. Transley Review. New Phytol 171:41-53. Romer W. 2006. Plant availability of P from recycling products and phosphate fertilizers in a growth-chamber trial with rye seedling. J Plant Nutr Soil Sci 169:826-832. Rubio R, Borie F, Schalchli C, Castillo C, Azcon R. 2002. Plant growth responses in natural acidic soil as affected by arbuscularmycorrhizal inoculation and phosphorus sources. J of Plant Nutr. 25:1389–1405. Rubio R, Borie F, Schalchli C, Castillo C, Azcon R. 2003. Occurrence and effect of arbuscular mycorrhizal propagules in wheat as affected by the source and amount of phosphorus fertilizer and fungal inoculation. Appl Soil Ecol 23:245-255. Saerang C. 2010. Pasar Jamu dan Obat Tradisional Sangat Potensial, Ekonomi, Koran Tempo, www.bataviase.co.id Saito M. 1995. Enzyme activities of the internal hyphae and germinated spores of an arbuscular mycorrhizal fungus, Gigaspora margarita Becker & Hall. New Phytol 129: 3. Sangaji R. 2004. Perbaikan kualitas inokulum mikoriza dengan penambahan bahan organik dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan semai jati (Tectona grandis L. f). [Skripsi]. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Santa IGF, dan Bambang PEW. 1992. Studi taksonomi Centella asiatica (L) Urban. Warta tumbuhan obat Indonesia 1 (2):46-67 Sastrahidayat IR. 2000. Aplikasi Mikoriza Vesikular Arbuskular pada Berbagai Jenis Tanaman Pertanian di Jawa Timur. Prosiding Seminar Nasional Mikoriza I : Pemanfaatan Cendawan Mikoriza Sebagai Agen Bioteknologi Ramah Lingkungan dalam Meningkatkan Produktivitas Lahan di Bidang Kehutanan, Perkebunan dan Pertanian.di Era Milenium Baru. Bogor, 15 – 16 Nopember 1999. Sastravaha G, Yotnuengnit P, Booncong P, Sangtherapitikul P. 2003. Adjunctive periodontal treatment with Centella asiatica and Punica granatum extracts. A preliminary study. J Int Acad Periodontol 5(4):106-115. Sastrosupadi A. 2000. Rancangan percobaan praktis bidang pertanian. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. 276 hal. Schachtman DP, Reid RJ, Ayling SM. 1998. Phosphorus Uptake by Plants: From Soil to Cell. Plant Physiol. 116:447–453.
177
Schenck NC, Perez Y. 1990. Manual for the identification of VA mycorrhizal fungi. INVAM. Univ. of Florida. Gainesville. 286 h. Schliemann W, Ammer C, Strack D. 2008. Metabolite profiling of mycorrhizal roots of Medicago truncatula. Phytochemistry 69:112–146. Selvaraj T, Mathan C. Nisha MC, Rajeshkumar S. 2009. Effect of indigenous arbuscular mycorrhizal fungi on some growth parameters and phytochemical constituents of Pogostemon patchouli Pellet. Maejo Int. J. Sci. Technol. 3(01):222-234. Setiadi 1989. Fungi mikoriza arbuskula dan prospeknya sebagai pupuk biologis. Makalah pada workshop aplikasi cendawan mikoriza arbuskula pada tanaman pertanian, kehutanan, dan perkebunan. Tanggal 5-10 Oktober 1998. PAU Bioteknologi, IPB. Bogor. Setiadi Y. 2007. Bekerja dengan Mikoriza untuk Daerah Tropik. Paper pada Workhshop Mikoriza. Konggres Nasional Mikoriza II. “Percepatan Sosialisasi Teknologi Mikoriza untuk Mendukung Revitalisasi Kehutanan, Pertanian dan Perkebunan. Bogor. 10 hal. Setiawati IR. 2000. Aplikasi Mikoriza Vesikular Arbuskular Pada Berbagai Jenis Tanaman Pertanian di Jawa Timur. Prosiding Seminar Nasional Mikoriza I: Pemanfaatan Cendawan Mikoriza Sebagai Agen Bioteknologi Ramah Lingkungan dalam Meningkatkan Produktivitas Lahan di Bidang Kehutanan, Perkebunan dan Pertanian.di Era Milenium Baru. Bogor, 15– 16 Nopember 1999. Setyorini 2005. Pupuk organik tingkatkan produksi pertanian. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol. 27. Nomor : 6. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Siddique YH, Ara G, Beg T, Faisal M, Ahmad M, Afzal M. 2008. Antigenotoxic role of Centella asiatica L. extract against cyproterone acetate induced genotoxic damage in cultured human lymphocytes. Toxicol in Vitro 22:10–17. Sieverding E. 1991. Vesicular-arbuscular mycorrhiza management in tropical agroecosystems. Bremen, Germany: Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit. Sieverding E, Oehl F. 2006. Revision of Entrophospora and description of Kuklospora and Intraspora, two new genera in the arbuscular mycorrhizal Glomeromyceter. Angewandite. Botanic 80(1):69-81. Sikareepaisan P, Ruktanonchai U, Supaphol P. 2011. Preparation and characterization of asiaticoside-loaded alginate films and their potential for use as effectual wound dressings. Carbohydrate Polymers 83:1457-1469.
178
Sikes BA, Cottenie K, Klironomos JN. 2009. Plant and fungal identity determines pathogen protection of plant roots by arbuscular mycorrhizas. Journal of Ecology 97:1274-1280. Sims DA, Gamon JA. 2002. Relationship between leaf pigment content and spectral reflectance across a wide range of species, leaf structures and development stages. Remote Sens Environ 81:337-354. Smith SE, Read DJ. 1997. Mycorrhizal symbiosis. Second edition: Academic Press. Harcourt Brace & Company Publisher. London. Smith SE, Read DJ. 2008. Mycorrhizal symbiosis. Third edition: Academic Press. Elsevier Ltd. New York, London, Burlington, San Diego. 768 p. Smith SE, Facelli E, Pope S, Smith A. 2010. Plant performance in stressfull environments: interpreting new and established knowledge of the roles of arbuscular mycorrhizas. Plant Soil 326:3-20. Sohn BK et al. 2003. Effect of the different timing of AMF inoculation on plant growth and flower quality of chrysanthemum. Scientia Horticulturae 98: 173–183. Song YC, Li XL, Feng G, Zhang FS, Christie P. 2000. Rapid assessment of acid phosphatase activity in the mycorrhizosphere and in arbuscular mycorrhizal fungal hyphae. Chin. Sci. Bull 45:1187–1190. Strack D, Fester T, Hause B, Schliemann W, Walter MH. 2003. Arbuscular mycorrhiza, biological, chemical and molecular aspects. J. Chem. Ecol. 29: 1955–1979. Strack D, Fester T. 2006. Isoprenoid metabolism and plastid reorganization in arbuscular mycorrhizal roots. New Phytol 172: 22–34. Subhan S, Sharmila P, Pardha Saradhi P. 1998. Glomus fasciculatum alleviates transplantation shock of micropropagated Sesbania sesban. Plant Cell Rep 17:268–272. Subramanian KS, Charest C. 1999. Acquisition of N by external hyphae of an arbuscular mycorrhizal fungus and its impact on physiological responses in maize under drought-stressed and well watered conditions. Mycorrhiza 9:69-75. Subramanian KS, Tenshia V, Jayalakshmi K, Ramachandran V. 2009. Biochemical changes and zinc fractions in arbuscular mycorrhizal fungus (Glomus intraradices) inoculated and uninoculated soils under differential zinc fertilization. Appl. Soil Eco. 43: 32–39.
179
Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah, Jurusan Tanah, Institut Pertanian Bogor. 591 hal. Suriadikarta DA, Simanungkalit RDM. 2009. Pupuk organik dan pupuk hayati. http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi (20 Pebruari 2009). Suriadikarta DA, dan Setyorini D. 2009. Baku mutu pupuk organik, dalam Pupuk organik dan pupuk hayati. http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi (20 Pebruari 2009). Sutardi 2008. Kajian waktu panen dan pemupukan fosfor terhadap pertumbuhan dan produksi asiatikosida tanaman pegagan (Centella asiatica L. Urban) di dataran tinggi. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor Sutrisno B. 1996. Ikhtisar farmakognosi Jilid 1. CV. Quartz. Jakarta. Swasono DH. 2006. Peranan mikoriza arbuskula dalam mekanisme adaptasi beberapa varietas bawang merah terhadap cekaman kekeringan di tanah pasir pantai. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, 106 hal. Syarif AA. 2007. Adaptasi dan Ketenggangan genotipe padi terhadap defisiensi fosfor di tanah sawah. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor Taiwo LB, Adegbite AA. 2001. Effect of arbuscular mycorrhizal and Braadyrhizzobium inoculums on growth, N2 fixation and yield of promiscuously modulating soybean (Glycine max). Moor J. Agri. Res 2: 110-118. Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. Third Edition. Sunderland, Massachusets: Sinauer Associates, Inc, Publisher. Tanaka Y, Yano K, 2006. Nitrogen delivery to maize via mycorrhizal hyphae depends on the form of N supplied. Plant, Cell and Environment 28: 12471254. Tanu,
Prakash A, Adholeya A. 2004. Effect of different organic manures/composts on the herbage and essential oil yield of Cymbopogoon winterianus and their influence on the native AM population in a marginal alfisol. Biores Technol. 92:311-319.
Tarafdar JC, Marschner H. 1995. Dual inoculation with Aspergillus fumigatus and Glomus mosseae enhances biomass production and nutrient uptake in wheat (Triticum aestivum L.) supplied with organic phosphorus as Na-phytate. Plant Soil 173:97–102.
180
Tawaraya K, Watanabe S, Yoshida E, Wagatsuma T. 1996. Effect of onion root exudates on the hyphal growth of Gigaspora margarita. Mycorrhiza 6:57-59. Terry N, Ulrich A. 1993. Effect of Phosporus Deviciency on the Photosinthesis and Respiration of Leaves in Sugar Beat. Plant Physiologi 51:43-47. Tholl D. 2006. Terpene synthases and the regulation, diversity and biological roles of terpene metabolism. Plant Biology 9:1-8. Thompson BD, Robson AD, Abbott LK. 1990. Mycorrhizas formed by Gigaspora calospora and Glomus fasciculatum on subterranean clover in relation to soluble carbohydrate concentration in roots. New Phytol 114:217-225. Tinker PB, Nye PH. 2000. Solute Movement in the Rhizosphere. Oxford University Press, Oxford, U.K. Tisdale SL, Nelson WL, Beaton JD. 1985. Soil Fertility and Fertilizer. 4th Edition. New York: Macmillan Publishing Company. Trisilawati O. 2000. Pengaruh cendawan mikoriza arbuskula terhadap produksi dua klon jahe. Prosiding Seminar Nasional Mikoriza I. Bogor 15-16 November 1999. 327-332. Trisilawati O. 2005. Respon Tiga Klon Kumis Kucing (Orthosipon aristatus) terhadap Mikoriza Arbuskula. Buletin Penelitian TRO vol. XVI (1): 18-26. Trisilawati O. 2007. Efektivitas Mikoriza Arbuskula dan Pupuk NPK terhadap Pertumbuhan dan Produksi Nilam (Pogostemon cablin Benth.). Prosiding Konggres Nasional Mikoriza Indonesia II. Bogor, 7-9 Juli 2007. Umam MD. 2005. Kajian efektivitas inokulasi mikoriza dengan penambahan tepung tulang dan batuan fosfat serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan semai jati (Tectona grandis L. f). [Skripsi]. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Uusitalo R, Ylivainio K, Turtola E, Kangas A. 2007. Accumulation and translocation of sparsely soluble manure phosphorus in different types of soils after long-term excessive inputs. Agric Food Sci 16:317-331. Vanlauwe B, et al. 2000. Utilization of rock phosphate by crops on a representative toposequence in the Northern Guinea savanna zone of Nigeria: response by Mucuna pruriens, Lablab purpureus and maize. Soil Biol. Biochem 32:2063–2073. van Kessel C, Singleton PW, Hoben HJ. 1985. Enhanced N-Transfer from a Soybean to Maize by Vesicular Arbuscular Mycorrhizal (VAM) Fungi. Plant Physiol. 79:562-563.
181
Vickery ML, Vickery B. 1981. Secondary plant metabolism. The Macmillan Press Ltd. London. 335 hal Wang XS, Liu L, Fang JN. 2005. Immunological activities and structure of pectin from Centella asiatica Xue Song Wang, Liu Liu, Ji Nian Fang. Carbohydrate Polymers 60:95–101. Walter MH, Fester T, Strack D. 2000. Arbuscular mycorrhizal fungi induce the non-mevalonate methylerythritol phosphate pathway of isoprenoid biosynthesis correlated with accumulation of the ‘yellow pigment’ and other apocarotenoids. Plant J. 21: 571–578. Warren GP, Robinson JS, Someus E. 2009. Dissolution of phosphorus from animal bone char in 12 soils. Nutr Cycl Agroecosyst 84:167-178. Widiastuti H. 2004. Biologi interaksi cendawan mikoriza arbuskula kelapa sawit pada tanah masam sebagai dasar pengembangan teknologi aplikasi dini. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. 161 p. Winarto WP, dan Surbakti M. 2003. Khasiat dan manfaat pegagan. Tanaman penambah daya ingat. Agromedia Pustaka, Jakarta. 64 h. Wink M. 1999. Biochemistry of plant seconday metabolism. Sheffield Academic Press. 358 hal. Wu S, et al. 2006. Redirection of cytosolic or plastidic isoprenoid precursors elevates terpene production in plants. Nature Biotec. Vol.24 (11): 14411447. Wu SC, Cao ZH, Li ZG, Cheung KC, Wong MH. 2005. Effect of biofertilizer containing N-fixer, P and K solubilizers and AM fungi on maize growth. Geoderma 125:155-166. Xiao TJ, Yan QS, Ran W, Xu GH, Shen QR. 2010. Effect of inoculation with arbuscular mycorrhizal fungus on nitrogen and phosphorus utilization in upland rice-mungbean intercropping system. Agric. Sci. China 9: 528–535. Xu HL, Wang R, Md. Amin UM. 2000. Effects of Organic and Chemical Fertilizers and Arbuscular Mycorrhizal Inoculation on Growth and Quality of Cucumber and Lettuce. Nature Farming and Microbial Applications (ed: Xu HL, Parr JF, Umemura H) Food Products Press, an imprint of The Haworth Press, Inc. pp:313-324. Yang Y, Tao Y, Yang W, Xiu-Feng Y. 2010. Effect of inoculation time on camptothecin content in arbuscular mycorrhizal Camptotheca acuminata seedlings. Chinese J of Plant Ecol. 34(6):687-694.
182
Yano-Melo AM, Saggin Jr OJ, Lima-Filho JM, Melo NF, Maia L. 1999. Effect of arbuscular mycorrhizal fungi on the acclimatization of micropropagated banana plantlets. Mycorrhiza 9:119–123. Ylivainio K, Uusitalo R, Turtola E. 2008. Meat bone meal and fox manure as P sources for ryegrass (Lolium multiforum) grown on a limed soil. Nutr Cycl Agroecosyst 81:267-278. Zainol MK., Abd-Hamid A, Yusof S, Muse R. 2003. Antioxidative activity and total phenolic compounds of leaf, root and petiole of four accessions of Centella asiatica (L.) Urban. Food Chemistry 81:575-581. Zhang LN, et al. 2011. Protective effect of asiatikoside on septic lung injury in mice. Exp and Toxicol Pathol. 63:519-525. Zhi-lin Y, Chuan-chao D, Lian-qing C. 2007. Regulation and accumulation of secondary metabolites in plant-fungus symbiotic system. Afric J of Biotechnol. 6 (11):1266-1271. Zhu J, Shawn M, Kaeppler, Lynch JP. 2005. Topsoil foraging and phosphorus acquisition efficiency in maize (Zea mays). Functional Plant Biology 32: 749-762 Zhu YG, Cavagnaro TR, Smith SE, Dickson S. 2001. Backseat driving? Accessing phosphate beyond the rhizosphere-depletion zone. Trends Plant Sci 6:194-195.
LAMPIRAN
183
Lampiran 1 Hasil analisis karakteristik andosol di KP. Gunung Putri, 2008 Sifat tanah pH H2O pH KCl C-Organik N total C/N ratio P tersedia Ca Mg K Na Total Al KTK KB Fe Mn Cu Zn Tekstur Pasir Debu Liat
Nilai uji tanah 4.45 (Sangat masam) 4.23 (Sangat masam) 3.20 (Tinggi) 0.19 (Rendah) 16.84 (Tinggi) 1.22 (Rendah) 4.28 (Rendah) 0.75 (Rendah) 0.25 (Rendah) 0.23 (Rendah) 5.51 0.41 (Tinggi) 20.16 (Tinggi) 27.33 (Rendah) 5144.05 (Sangat tinggi) 197.98 (Tinggi) 34.98 (Sedang) 55.39 (Sedang) 46.05 26.89 27.06
Satuan
(%) (%)
Metode pH meter pH meter Kurmies Kjeldahl
(ppm) (me/100 g) (me/100 g) (me/100 g) (me/100 g)
Bray-1 1 N NH4OAc pH 7.0 1 N NH4OAc pH 7.0 1 N NH4OAc pH 7.0 1 N NH4OAc pH 7.0
(me/100 g) (me/100 g) (%) (ppm) (ppm) (ppm) (ppm)
1 N KCl 1 N NH4OAc pH 7.0 0.05 N HCl 0.05 N HCl 0.05 N HCl 0.05 N HCl
(%) (%) (%)
Pipet Pipet Pipet
Sumber: Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (2008)
184
Lampiran 2 Langkah-langkah metode tuang saring (Gerdermann & Nicholson, 1963)
+ sukrosa 60% sebanyak50% vol tabung
A
B
C
450 µm sieve
Sentrifugasi selama 3 menit pada 2500 rpm A
B
Supernatan dituang dan dicuci air > sukrosa hilang
C
45 µm sieve
250 µm sieve
150 µm sieve
45 µm sieve
Identifikasi spora
Preparat spora
Lampiran 3 Teknik trapping mengikuti metode Brundrett et al. (1994)
Tanah sampel
zeolit
Zeolit (Ø 1-2 mm)
Tanah
3-4 bln
zeolit
Sorgum
Hyponex (25-5-20) 1g/2 lt air, 2x/minggu, 20 ml
185
Lampiran 4 Denah percobaan uji kompatibilitas dan efektivitas FMA pada tanaman pegagan di andosol
1.
M3 A2
19.
M2 A1
37.
M4 A2
2.
M1 A3
20.
M0 A3
38.
M0 A1
3.
M0 A2
21.
M5 A2
39.
M2 A3
4.
M5 A3
22.
M4 A2
40.
M2 A1
5.
M2 A1
23.
M4A3
41.
M5 A3
6.
M0 A1
24.
M3 A1
42.
M4 A1
7.
M2 A2
25.
M0 A2
43.
M3 A2
8.
M4 P3
26.
M4 A1
44.
M5 A1
9.
M0 A3
27.
M5 A3
45.
M0 A2
10.
M5 A2
28.
M1 A2
46.
M3 A3
11.
M4 A1
29.
M1 A1
47.
M5 A2
12.
M3 A3
30.
M3 A2
48.
M4 A3
13.
M4 A2
31.
M0 A1
49.
M1 A2
14.
M5 A1
32.
M1 A3
50.
M2 A2
15.
M1 A2
33.
M2 A2
51.
M0 A3
16.
M2 A3
34.
M5 A1
52.
M1 A3
17.
M1 A1
35.
M3 A3
53.
M1 A1
18.
M3 A1
36.
M2 A3
54.
M3 A1
Keterangan: Rancangan percobaan
: RAL [6 perlakuan FMA (M0–M5); dan 3 perlakuan varietas (A1-A3) = 18 perlakuan, 3 ulangan = 54 unit percobaan, masing-masing 4 pot]
186
Lampiran 5 Prosedur pengamatan kolonisasi FMA pada akar tanaman Pengamatan kolonisasi FMA pada akar dilakukan melalui metode pewarnaan akar dari Philips dan Hayman (1970) yang dimodifikasi Koske dan Gemma (1989) sebagai berikut : 1. Akar dipisahkan dari bagian atas tanaman dan dicuci bersih yang diikuti perendaman dalam larutan KOH 10% dan dipanaskan pada suhu 90 oC selama 1 jam atau 120 oC selama 15 menit 2. Akar dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan larutan KOH dan direndam dalam larutan H2O2 selama 10-30 menit 3. Cuci akar dengan air mengalir sampai bersih selanjutnya direndam dalam larutan HCl 1% selama 5-10 menit 4. Pindahkan larutan HCl dan akar direndam dalam larutan pewarna berupa campuran laktogliserin dan larutan tryphan blue 0.05% panaskan pada suhu 90 oC selama 1 jam atau 120 oC selama 5 menit 5. Akar siap diamati di bawah mikroskop 6. Penghitungan presentase kolonisasi akar menggunakan metode panjang slide (slide lenght). Secara acak potongan-potongan akar yang telah diwarnai diambil dengan panjang ± 1 cm sebanyak 10 potongan akar dan disusun dalam preparat slide. Kolonisasi ditandai dengan adanya hifa, vesíkula, arbuskula atau salah satu dari ketiganya. Presentase kolonisasi dihitung dengan menggunakan rumus : Σ bidang pandang terkolonisasi fma % Kolonisasi FMA =
x 100 % Σ bidang pandang yang diamati
Kolonisasi FMA pada akar tanaman (diukur berdasarkan proporsi bidang pandang bermikoriza terhadap total bidang pandang yang diamati). Aras kolonisasi ditentukan berdasarkan kriteria Rajapakse dan Miller (1992) yang dimodifikasi sebagai berikut: < 5% = Sangat rendah (Kelas 1), 6-25% = Rendah (Kelas 2), 26-50% = Sedang (Kelas 3), 51-75% = Tinggi (Kelas 4), dan > 75% = Sangat tinggi (Kelas 5).
187
Lampiran 6 Denah percobaan kajian pemanfaatan FMA dan pemupukan P alami dari dua sumber pupuk terhadap pertumbuhan, dan biomassa tanaman pegagan di andosol 1.
M 1 P1
19.
M 1 P6
37.
M 1 P0
2.
M 0 P4
20.
M 0 P3
38.
M 1 P5
3.
M 0 P1
21.
M 0 P2
39.
M 0 P8
4.
M 1 P3
22.
M 0 P0
40.
M 0 P5
5.
M0P8
23.
M1P0
41.
M 0 P4
6.
M 1 P6
24.
M 1 P5
42.
M 1 P7
7.
M 1 P0
25.
M 0 P4
43.
M 1 P8
8.
M 0 P5
26.
M 1 P1
44.
M 0 P1
9.
M 0 P3
27.
M 1 P8
45.
M 1 P1
10.
M 1 P4
28.
M 0 P1
46.
M 1 P3
11.
M 1 P7
29.
M 0 P5
47.
M 0 P7
12.
M 1 P5
30.
M 1 P2
48.
M 0 P0
13.
M 0 P2
31.
M 1 P3
49.
M 1 P6
14.
M 0 P6
32.
M 0 P7
50.
M 0 P3
15.
M 1 P2
33.
M 1 P7
51.
M 0 P6
16.
M 0 P0
34.
M 1 P4
52.
M 1 P4
17.
M 1 P8
35.
M 0 P6
53.
M 0 P2
18.
M 0 P7
36.
M 0 P8
54.
M 1 P2
Keterangan: Rancangan percobaan
: RAL [2 perlakuan FMA (M0 & M1); dan 9 dosis pupuk P alami (P0-P8) = 18 perlakuan; 3 ulangan = 54 unit percobaan masing-masing 4 pot]
Lampiran 7 Analisia usahatani pegagan pada perlakuan pupuk alami dan pemanfaatan FMA di Andosol pada skala 1 ha
Uraian
Sewa Lahan Input usahatani - Benih - Pupuk kandang - Batuan fosfat - Tepung tulang - Abu sekam - Isolat FMA Tenaga kerja - Olah tanah - Penanaman - Penyulaman - Penyiangan - Pengendalian HPT - Panen Jumlah Biaya Produksi - Terna segar Keuntungan - Terna segar
Batuan fosfat + FMA Fisik 1 ha
Biaya (Rp) 5.000.000
83333 btg 20000 kg 375 kg 1347 kg 1666660 g
12.499.950 10.000.000 187.500 1.010.250 5.850.000
83333 btg 20000 kg 312.5 kg 1347 kg 1666660 g
12.499.950 10.000.000 937.500 1.010.250 5.850.000
83333 btg 20000 kg 375 kg 1347 kg 1666660 g
12.499.950 10.000.000 187.500 1.010.250 -
83333 btg 20000 kg 312.5 kg 1347 kg 1666660 g
12.499.950 10.000.000 937.500 1.010.250 -
1 ha 1 ha 1 ha 1 ha 1 ha 1 ha
5.000.000 1.500.000 200.000 3.000.000 1.500.000 45.747.700
1 ha 1 ha 1 ha 1 ha 1 ha 1 ha
5.000.000 1.500.000 200.000 3.000.000 1.500.000 46.497.700
1 ha 1 ha 1 ha 1 ha 1 ha 1 ha
5.000.000 1.500.000 200.000 3.000.000 1.500.000 39.897.700
1 ha 1 ha 1 ha 1 ha 1 ha 1 ha
5.000.000 1.500.000 200.000 3.000.000 1.500.000 40.647.700
31.650.000
8.457 kg
30.860.000
9.366 kg
Keterangan: Harga jual terna segar Rp. 6.000
188
Perlakuan Tepung tulang sapi + Batuan fosfat + tanpa Tepung tulang sapi + FMA FMA tanpa FMA Fisik Biaya (Rp) Fisik Biaya (Rp) Fisik Biaya (Rp) 1 ha 5.000.000 1 ha 5.000.000 1 ha 5.000.000
56.197.500 10.449.800
10.216 kg
61.269.000 14.798.300
8.155 kg
9.032.300
10.094.300
189
Lampiran 8 Denah percobaan waktu inokulasi FMA pada kombinasi dua sumber P alami terhadap pertumbuhan, perkembangan, biomassa, dan produksi asiatikosida tanaman pegagan di andosol
P2
III
M0
M1
M4
P1
M2
M3
M0
M4
P1 II
M3
M4
M1
M4
M3
M1
M2
M1
M2
M4
M0
M2
P2 M0
M2
M1
M0
P2 I
M3
M3
P1 M0
M2
M3
M4
M1
Keterangan : Rancangan Percobaan Petak Utama
: :
Anak Petak
:
Luas masing-masing unit percobaan Jarak tanam Jarak antar unit percobaan Jarak antar blok/ulangan
: : : :
Petak terbagi (Split plot design) Jenis pupuk P alami (P1 = dosis 483.3 kg ha-1 batuan fosfat; P2 = dosis 339 kg ha-1 tepung tulang sapi) Waktu inokulasi FMA (M0 = tanpa FMA; M1 = inokulasi di pembibitan; M2 = inokulasi di pembibitan + saat tanam; M3 = inokulasi di pembibitan + 30 hari setelah tanam; M4 = inokulasi di pembibitan + 60 hari setelah tanam 2x3m 30 x 40 cm 40 cm 80 cm
190
Lampiran 9 Hasil analisis HPLC kandungan asiatikosida (Rafamantana et al. 2009) yang dimodifikasi
min 1 PDA Multi 1 / 206nm 4nm Gambar 13 Kromatogram HPLC larutan standar asiatikosida 200 ppm (injeksi: 15 Maret 2012).
Tabel Peak PDA Ch1 206nm 4nm Peak# 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Total
Ret. Time 2.094 2.633 3.716 4.575 11.366 11.723 12.171 12.630 13.462 17.172
Area 31303 4931 8664 40894 19955 11616 21636 704444 56231 2433 902107
Height 6266 225 463 2605 920 702 1390 35993 2613 145 51322
Area (%) 3.470 0.547 0.960 4.533 2.212 1.288 2.398 78.089 6.233 0.270 100.000
Height (%) 12.210 0.438 0.902 5.075 1.793 1.368 2.709 70.131 5.091 0.282 100.000
191
min
1 PDA Multi 1 / 206nm 4nm Gambar 14 Kromatogram HPLC perlakuan M0P1 + Std [1:1] (injeksi: 15 Maret 2012). Tabel peak PDA Ch1 206nm 4nm Peak# 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Total
Ret. Time 2.091 2.430 3.149 3.841 6.320 10.117 11.311 12.624 13.421 15.448 17.824
Area 913163 1895435 1472118 1851129 11541096 398073 7999 854441 13673 3122 635164 19585413
Height 121607 63901 38188 43102 99800 17603 583 42444 855 209 12283 440575
Area (%) 4.662 9.678 7.516 9.452 58.927 2.032 0.041 4.363 0.070 0.016 3.243 100.000
Height (%) 27.602 14.504 8.668 9.783 22.652 3.996 0.132 9.634 0.194 0.047 2.788 100.000
192
min 1 PDA Multi 1 / 206nm 4nm
Gambar 15 Kromatogram HPLC perlakuan M0P2 + Std [1:1] (injeksi: 15 Maret 2012). Tabel Peak PDA Ch1 206nm 4nm Peak# 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
Ret. Time 2.067 2.325 2.531 3.348 4.128 6.732 10.097 11.297 12.136 12.609 13.399 17.816
Area 891427 313687 985527 114089 1420680 7566577 224631 6039 15976 680530 10705 1277633 13507499
Height 147515 31212 37352 7099 34822 76703 10081 450 1217 34875 709 26204 408239
Area (%) 6.599 2.322 7.296 0.845 10.518 56.018 1.663 0.045 0.118 5.038 0.079 9.459 100.000
Height (%) 36.134 7.646 9.150 1.739 8.530 18.789 2.469 0.110 0.298 8.543 0.174 6.419 100.000
193
min 1 PDA Multi 1 / 206nm 4nm Gambar 16 Kromatogram HPLC perlakuan M3P1 + Std [1:1] (injeksi: 15 Maret 2012). Tabel Peak PDA Ch1 206nm 4nm Peak# 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Total
Ret. Time 2.095 2.271 2.911 3.643 4.534 6.024 8.330 10.085 11.263 12.128 12.596 13.390 15.464 17.706
Area 1132285 1135511 913848 1228483 14206 9792264 21624 363983 7548 17274 816581 10547 5278 532980 15992414
Height 165062 59292 28813 31070 1495 91831 1180 15340 525 1470 39741 700 221 8894 445634
Area (%) 7.080 7.100 5.714 7.682 0.089 61.231 0.135 2.276 0.047 0.108 5.106 0.066 0.033 3.333 100.000
Height (%) 37.040 13.305 6.466 6.972 0.335 20.607 0.265 3.442 0.118 0.330 8.918 0.157 0.050 1.996 100.000
Hasil perhitungan kandungan asiatikosida tiga perlakuan (injeksi: 15 Maret 2012) Konsentrasi larutan standar 704444 200 704444 200 704444 200
Perla kuan
berat DilarutLuas sampel kan ke FP area (mg) (mL) standar
M0P1 M0P2 M3P1
1.0205 1.0181 1.0066
50 50 50
1 1 1
Kadar [Ekstrak asiatiko+ Std] sida (mg/g) 854441 242.586 285.172 13.972 680530 193.210 186.421 9.155 816581 231.837 263.674 13.097 Luas area [Inject] sampel
194
min 1 PDA Multi 1 / 206nm 4nm Gambar 17 Kromatogram HPLC larutan standar asiatikosida 200 ppm (injeksi: 16 Maret 2012). Tabel Peak PDA Ch1 206nm 4nm Peak# 1 2 3 4 5 6 7 8 Total
Ret. Time 2.147 3.677 4.508 11.278 11.577 12.078 12.558 13.376
Area 117716 7819 35453 219221 44029 48422 734551 93635 1300847
Height 8597 472 2421 2650 2284 2396 32813 4110 55742
Area (%) 9.049 0.601 2.725 16.852 3.385 3.722 56.467 7.198 100.000
Height (%) 15.423 0.846 4.343 4.754 4.098 4.298 58.866 7.373 100.000
195
min 1 PDA Multi 1 / 206nm 4nm Gambar 18 Kromatogram HPLC perlakuan M1P1 + Std [1:1] (injeksi: 16 Maret 2012).
Tabel Peak PDA Ch1 206nm 4nm Peak# 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Total
Ret. Time 2.068 2.452 2.912 3.847 6.246 10.050 11.232 12.096 12.576 14.272 15.440 16.185 17.942
Area 1260052 755267 33702 2608451 12807191 423809 6703 24033 872852 5866 1550 6743 976652 19782870
Height Area (%) 128050 6.369 45664 3.818 1449 0.170 65293 13.185 111357 64.739 18792 2.142 497 0.034 1807 0.121 40985 4.412 316 0.030 143 0.008 385 0.034 22912 4.937 437649 100.000
Height (%) 29.259 10.434 0.331 14.919 25.444 4.294 0.113 0.413 9.365 0.072 0.033 0.088 5.235 100.000
196
min 1 PDA Multi 1 / 206nm 4nm Gambar 19 Kromatogram HPLC perlakuan M1P2 + Std [1:1] (injeksi: 16 Maret 2012). Tabel Peak PDA Ch1 206nm 4nm Peak# 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Total
Ret. Time 2.079 2.294 2.810 3.596 5.633 8.364 10.001 11.202 12.070 12.537 15.413 17.602 18.763
Area 799743 517785 248170 1391555 14501352 17470 450982 5014 23029 1028763 2760 707208 75416 19769246
Height 85964 45394 15277 43129 125097 887 19638 425 1869 44648 194 16034 2468 401024
Area (%) 4.045 2.619 1.255 7.039 73.353 0.088 2.281 0.025 0.116 5.204 0.014 3.577 0.381 100.000
Height (%) 21.436 11.320 3.810 10.755 31.194 0.221 4.897 0.106 0.466 11.133 0.048 3.998 0.615 100.000
197
min 1 PDA Multi 1 / 206nm 4nm Gambar 20 Kromatogram HPLC perlakuan M2P1 + Std [1:1] (injeksi: 16 Maret 2012). Tabel Peak PDA Ch1 206nm 4nm Peak# 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Total
Ret. Time 2.043 2.171 2.705 3.505 5.634 8.302 9.987 11.181 12.057 12.507 15.414 17.475 18.725 19.467
Area 239594 345068 130106 1003437 11854424 23764 548754 14161 27076 1088050 3762 642096 52764 10972 15984029
Height 43648 31616 8920 28738 110077 1409 23911 1042 2242 50286 243 14474 2030 561 319195
Area (%) 1.499 2.159 0.814 6.278 74.164 0.149 3.433 0.089 0.169 6.807 0.024 4.017 0.330 0.069 100.000
Height (%) 13.674 9.905 2.794 9.003 34.486 0.441 7.491 0.327 0.702 15.754 0.076 4.535 0.636 0.176 100.000
Hasil perhitungan kandungan asiatikosida tiga perlakuan (injeksi: 16 Maret 2012) KonsenLuas trasi area [Inject] larutan sampel standar 734551 200 872852 237.656 734551 200 1028763 280.106 734551 200 1088050 296.249
Perla kuan
berat DilarutLuas sampel kan ke FP area (mg) (mL) standar
M1P1 M1P2 M2P1
1.0082 1.0141 1.0067
50 50 50
1 1 1
Kadar [Ekstrak asiatiko+ Std] sida (mg/g) 275.312 13.653 360.213 17.760 392.498 19.494
198
min 1 PDA Multi 1 / 206nm 4nm Gambar 21 Kromatogram HPLC larutan standar asiatikosida 200 ppm (injeksi: 22 Maret 2012).
Tabel Peak PDA Ch1 206nm 4nm Peak# 1 2 3 4 5 6 7 8 Total
Ret. Time 2.072 3.599 4.467 10.618 11.189 12.504 13.342 14.428
Area 131014 8168 33022 401687 157146 823326 77827 26810 1659001
Height 18125 404 2130 5040 4351 33932 2679 694 67355
Area (%) 7.897 0.492 1.990 24.213 9.472 49.628 4.691 1.616 100.000
Height (%) 26.909 0.600 3.162 7.483 6.460 50.378 3.978 1.030 100.000
199
min 1 PDA Multi 1 / 206nm 4nm Gambar 22 Kromatogram HPLC perlakuan M2P2 + Std [1:1] (injeksi: 22 Maret 2012).
Tabel Peak PDA Ch1 206nm 4nm Peak# 1 2 3 4 5 6 7 8 Total
Ret. Time 2.052 2.416 2.898 3.530 5.611 9.974 12.474 17.947
Area 2599261 1938525 1783664 2481808 17241584 546407 890446 452847 27934542
Height 238389 96862 65351 70796 137988 21033 37497 8188 676104
Area (%) 9.305 6.940 6.385 8.884 61.721 1.956 3.188 1.621 100.000
Height (%) 35.259 14.327 9.666 10.471 20.409 3.111 5.546 1.211 100.000
200
min 1 PDA Multi 1 / 206nm 4nm Gambar 23 Kromatogram HPLC perlakuan M3P2 + Std [1:1] (injeksi: 22 Maret 2012). Tabel Peak PDA Ch1 206nm 4nm Peak# 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Total
Ret. Time 2.045 3.256 5.630 9.944 11.957 12.427 13.250 14.214 17.757
Area 1242779 1318268 11705901 338844 12140 688827 8306 8825 302455 15626345
Height 96201 29172 104716 11807 1029 31174 420 323 4482 279323
Area (%) 7.953 8.436 74.911 2.168 0.078 4.408 0.053 0.056 1.936 100.000
Height (%) 34.441 10.444 37.489 4.227 0.368 11.161 0.150 0.115 1.605 100.000
Hasil perhitungan kandungan asiatikosida dua perlakuan (injeksi: 22 Maret 2012) KonsenKadar Luas trasi [Ekstrak asiatikoarea [Inject] larutan + Std] sida sampel standar (mg/g) 823326 200 890446 216.3046 232.609 11.518 823326 200 688827 167.327 134.656 6.697
Perla kuan
berat DilarutLuas sampel kan ke FP area (mg) (mL) standar
M2P2 M3P2
1.0097 1.0053
50 50
1 1
201
min 1 PDA Multi 1 / 206nm 4nm Gambar 24 Kromatogram HPLC larutan standar asiatikosida 200 ppm (injeksi: 23 Maret 2012).
Tabel Peak PDA Ch1 206nm 4nm Peak# 1 2 3 4 5 6 Total
Ret. Time 2.225 3.682 4.495 11.155 12.395 13.215
Area 198809 6245 32083 10867 711855 117023 1076881
Height 7662 331 1713 482 30544 2532 43264
Area (%) 18.462 0.580 2.979 1.009 66.103 10.867 100.000
Height (%) 17.710 0.765 3.960 1.114 70.599 5.852 100.000
202
min 1 PDA Multi 1 / 206nm 4nm Gambar 25 Kromatogram HPLC perlakuan M4P1 + Std [1:1] (injeksi: 23 Maret 2012).
Tabel Peak PDA Ch1 206nm 4nm Peak# 1 2 3 4 5 6 7 Total
Ret. Time 2.054 2.863 3.367 6.219 9.891 12.376 18.310
Area 2837677 364248 1733733 11111759 295013 868277 440254 17650962
Height 156155 25268 35221 84295 11108 30699 5569 348315
Area (%) 16.077 2.064 9.822 62.953 1.671 4.919 2.494 100.000
Height (%) 44.832 7.254 10.112 24.201 3.189 8.813 1.599 100.000
203
min 1 PDA Multi 1 / 206nm 4nm Gambar 26 Kromatogram HPLC perlakuan M4P2 + Std [1:1] (injeksi: 23 Maret 2012).
Tabel Peak PDA Ch1 206nm 4nm Peak# 1 2 3 4 5 6 7 Total
Ret. Time 2.056 2.293 2.814 5.427 9.812 12.290 17.711
Area 1947367 1489486 2697439 12174523 508368 944147 589107 20350436
Height 236977 90254 72748 88503 16809 33645 7808 546745
Area (%) 9.569 7.319 13.255 59.824 2.498 4.639 2.895 100.000
Height (%) 43.343 16.507 13.306 16.187 3.074 6.154 1.428 100.000
Hasil perhitungan kandungan asiatikosida dua perlakuan (injeksi: 23 Maret 2012) Perla kuan M4P1 M4P2
KonsenKadar Luas trasi [Ekstrak asiatikoarea [Inject] larutan + Std] sida sampel standar (mg/g) 711855 200 868277 243.947 287.895 14.217 711855 200 944147 265.264 330.528 16.258
berat DilarutLuas sampel kan ke FP area (mg) (mL) standar 1.0125 1.0165
50 50
1 1
204
GLOSSARY
Aksesi
: Anggota koleksi yang dilestarikan, dapat berupa klon, varietas maupun nomor persilangan
Arbuskula
: Struktur khusus merupakan hifa bercabang halus yang dibentuk oleh percabangan dikotomi yang berulang-ulang sehingga menyerupai pohon dari dalam sel inang. Arbuskula merupakan percabangan dari hifa masuk kedalam sel tanaman inang. Masuknya hara ini ke dalam sel tanaman inang diikuti oleh peningkatan sitoplasma, pembentukan organ baru, pembengkokan inti sel, peningkatan respirasi dan aktivitas enzim, berfungsi sebagai tempat pertukaran metabolit antara fungi dan tanaman
C/N rasio
: Perbandingan antara kandungan karbohidrat total dengan kandungan nitrogen total
Dosis maksimal
: Takaran pupuk tertinggi
Efektivitas
: Kemampuan mikoriza dalam menghasilkan pengaruh yang menguntungkan tertentu, dapat ditinjau dari sisi tanaman, mikoriza dan tanah. Dari sisi tanaman efektivitas dapat dinilai berdasarkan kemampuan mikoriza dalam meningkatkan produksi bahan kering tanaman dan serapan hara
Enzim
: Suatu komponen yang berperan sebagai katalisator aktif dalam reaksi biokimia disebut juga sebagai biokatalisator. Enzim adalah protein yang terdapat di dalam sel hidup dan diproduksi di dalam protoplasma. Enzim sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan yang ekstrim, perubahan asam, temperatur, dan adanya logam berat
Fenotip
: Penampilan individu (tentang sifat fisik, biokimia, fisiologis, dan sebagainya) sebagai hasil interaksi antara genotype dan lingkungan
Fotosintat
: Hasil dari proses fotosintesis atau hasil dari proses pembentukan energy di dalam tumbuhan berklorofil dengan bantuan sinar matahari, berupa karbohidrat (tepung, gula)
yang
menghasilkan
produksi
206
Genotipe
: Individu yang mempunyai sifat-sifat tertentu yang berada di bawah pengaruh gen yang terdapat dalam kromosom yang dimiliki oleh individu tersebut, atau individu yang mempunyai konstitusi genetik tertentu
Herba=Terna
: Tumbuhan yang batangnya tidak berlignin dan tidak mempunyai penebalan sekunder dan biasanya mati setelah berumur setahun
Hifa
: Struktur yang dihasilkan mikoriza seperti benangbenang halus berbentuk silindris seperti akar dan memiliki fungsi sebagai organ yang aktif dalam bersimbiosis dengan tanaman dalam memfasilitasi penyerapan air, hara, serta perkembangan struktur mikoriza dalam membentuk arbuskula
Inokulasi
: Memasukan ke dalam benih, atau menumbuhkan inokulum ke dalam benih
Inokulum
: Bahan atau material yang mengandung mikoriza, dapat berupa spora, potongan-potongan akar tanaman dan tanah
Karakter
: Ekspresi suatu gen yang diungkapkan di dalam fenotip
Karbohidrat
: Senyawa organik yang berperan sebagai cadangan makanan, bahan atau penghasil energy untuk proses biokimia di dalam tubuh tanaman
Khlorofil
: Zat warna hijau daun pada kebanyakan tumbuhtumbuhan
Kolonisasi
: Invasi mikoriza pada akar tanaman inang sehingga terjadi simbiosis diantara keduanya
Kompatibilitas
: Kemampuan kedua simbion yaitu mikoriza dan tanaman inang menggunakan fungsi simbiosis secara maksimal
Metabolisme
: Suatu reaksi kimia yang terjadi di dalam sel. Molekul yang terlihat dalam peristiwa ini disebut metabolit. Reaksi metabolism meliputi peristiwa anabolisme dan katabolisme
207
Metabolisme sekunder : Senyawa metabolit yang tidak esensial bagi pertumbuhan organisme dan ditemukan dalam bentuk yang unik atau berbeda antar spesies Mikoriza
: Asosiasi simbiotik yang esensial untuk kebugaran salah satu atau kedua mitra simbiosis yang dibentuk antara bagian tanaman yang bersentuhan dengan substrat dan fungi, tugas utamanya ialah memindahkan hara, air, karbon, dan senyawa lain. Pada umumnya bagian tanaman yang bersentuhan dalam simbiosis adalah akar
Ragam
: Rata-rata kuadrat simpangan baku darinilai tengah
Ragam fenotipik
: Ragam total yang merupakan jumlah ragam genotip dan ragam lingkungan
Ragam genetik
: Ragam individu dalam suatu populasi yang disebabkan karena faktor genetik dari setiap karakter yang diamati
Ragam lingkungan
: Ragam yang disebabkan oleh pengaruh faktor lingkungan
Rizosfer
: Zona atau daerah pada sistem perakaran suatu tanaman dimana terjadi aktivitas perkembangbiakan mikroorganisme
Sel
: Unit dasar dari organism hidup yang melakukan proses biokimia
Spesies
: Kumpulan tumbuh-tumbuhan yang mempunyai persamaan morfologi dari bagian-bagian tumbuhan yang fundamental, mempunyai persamaan dalam proses reproduksi dan dari generasi ke generasi memberikan keturunan yang mempunyai sifat-sifat dasar yang tidak berbeda dengan induknya
Stek
: Bagian tanaman, dapat berupa potongan atau pucuk terpilih yang digunakan untuk perbanyakan tanaman
Stolon
: Cabang yang tumbuh mendatar sepanjang atau di bawah permukaan tanah, dan menghasilkan akar tambahan pada setiap bukunya, dan menghasilkan tumbuhan baru pada setiapujung cabangnya
208
Tumbuh
: 1) Suatu peristiwa bertambahnya ukuran tanaman dan bersifat tidak dapat balik, 2) Pertumbuhan meliputi pembelahan dan pembesaran sel, 3) Suatu keadaan yang spesifik dari pertumbuhan adalah bentuk kurva yang berupa huruf s atau dikenal dengan sebutan sigmoid, 4) Sifat pertumbuhan suatu tumbuhan terbagi atas dua macam pertumbuhan: determinant dan indeterminant
Varietas
: Sekelompok tanaman dari suatu jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan tanaman, daun, bunga, buah, biji, dan ekspresi karakteristik genotipe atau kombinasi genotipe yang membedakan dari jenis atau spesies yang sama oleh sekurang-kurangnya satu sifat yang menentukan dan apabila diperbanyak tidak mengalami perubahan
Varietas unggul
: Varietas yang sudah dilepas oleh pemerintah yang mempunyai kelebihan dalam potensi hasil dan atau sifat-sifat lainnya
Vesikula
: Struktur fungi yang berasal dari pembengkalan hifa internal secara terminal dan interkalar, kebanyakan berbentuk bulat telur, dan berisi banyak senyawa lemak sehingga merupakan organ penyimpanan cadangan makanan dan pada kondisi tertentu dapat berperan sebagai spora atau alat untuk mempertahankan kehidupan cendawan, dan sering disebut sebagai organ istirahat
Waktu retensi
: Waktu yang dibutuhkan oleh senyawa untuk bergerak melalui kolom menuju detektor