ANALISIS HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH MAKAN, POLA ASUH KESEHATAN DENGAN KEJADIAN MALARIA DAN STATUS GIZI BALITA DI KABUPATEN MANOKWARI PROPINSI PAPUA BARAT
THERRESSE NOFIANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Hubungan antara Pola Asuh Makan, Pola Asuh Kesehatan dengan Kejadian Malaria dan Status Gizi Balita di Kabupaten Manokwari Propinsi Papua Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2013
Therresse Nofianti NRP I151100031
ABSTRACT THERRESSE NOFIANTI. Analysis of Association between Feeding Practice, Parenting Health and Incidence of Malaria with Nutritional Status of Children Under Five in District of Manokwari of West Papua Province. Supervised by M. RIZAL M. DAMANIK and SITI MADANIJAH. The objective of this research was to analyze association of parenting, parenting health and malaria incidence with nutritional status of children under five years in Distric of Manokwari of West Papua Province. The design of this research was cross sectional study with total sample of 100 children under five years. The results of the research showed that there is a association between feeding practice, sufficient level of energy, sufficient level of protein, the incidence of malaria and nutritional status. However, there was no association between parenting health and nutritional status. There was no association between feeding practice, sanitary environment with malaria, but there was a association between health care pattern with the incidence of malaria. Factors that significantly influence the incidence of malaria was environmental sanitation, health parenting and child hygiene practices, while the factors that significantly affect the nutritional status of children under five were energy consumption, knowledge of mothers about breastfeeding and maternal knowledge about malaria. Key words:
malaria incidence, nutritional status, feeding practice, under five years
RINGKASAN THERRESSE NOFIANTI. Analisis Hubungan Antara Pola Asuh Makan, Pola Asuh Kesehatan dengan Kejadian Malaria dan Status Gizi Balita di Kabupaten Manokwari Propinsi Papua Barat. Dibimbing oleh M. RIZAL M. DAMANIK dan SITI MADANIJAH. Malaria merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh parasit (protozoa) dari genus plasmodium dan dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi, anak balita, ibu hamil, serta malaria secara langsung menyebabkan anemia dan menurunkan produktivitas kerja. (Kemenkes, 2011). Berdasarkan data Riskesdas, Propinsi Papua Barat dan Papua memiliki prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di atas prevalensi nasional yaitu sebesar 9.1% dan 17.4%. Besarnya angka malaria tahun 2009 sampai 2010 di seluruh Indonesia adalah 22.9‰. Kabupaten Manokwari merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Papua Barat. Pada tahun 2010 sekitar 10% anak balita di Kabupaten Manokwari mengalami gizi buruk dari 2 270 balita yang ditimbang di posyandu dan Puskesmas. Pada tahun 2011 jumlah balita yang terjangkit malaria diperkirakan sebanyak 17% atau sekitar 918 balita. Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara pola asuh makan, pola asuh kesehatan dengan kejadian malaria dan status gizi balita di Kabupaten Manokwari. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional, dilakukan di 4 Puskesmas yaitu Puskesmas Sanggeng, Wosi, Warmare dan Prafi di Kabupaten Manokwari, Propinsi Papua Barat, berlangsung dari bulan Mei sampai bulan Juli 2012. Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara menggunakan kuesioner terhadap ibu balita untuk mendapatkan data karakteristik keluarga, pengetahuan ibu tentang ASI dan malaria, karakteristik anak balita, pola asuh makan dan pola asuh kesehatan, riwayat menyusui dan penyapihan, kejadian malaria, dan sanitasi lingkungan. Data konsumsi pangan diperoleh dari recall 2 x 24 jam sedangkan status gizi balita dilakukan dengan cara pengukuran antropometri berdasarkan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Data dianalisis menggunakan Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi 16.0. Analisa bivariat Chisquare digunakan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh makan, pola asuh kesehatan, tingkat kecukupan gizi, sanitasi lingkungan dengan kejadian malaria dan status gizi balita. Analisis multivariat regresi logistik dilakukan untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap kejadian malaria dan status gizi balita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan karakteristik keluarga diperoleh rata-rata umur ibu adalah 28 tahun, umur ayah 32 tahun, rata-rata jumlah anggota keluarga 4 orang dan rata-rata pendapatan keluarga sebesar Rp1 950 000. Ditinjau dari status pendidikan orangtua, diperoleh bahwa 67% ibu balita berpendidikan rendah (≤SLTP) dan 33% lainnya berpendidikan tinggi (>SLTP). Jika ditinjau dari pendidikan suami, 54% suami berpendidikan rendah (≤SLTP) dan 46% lainnya berpendidikan tinggi (>SLTP). Berdasarkan asal suku, diperoleh bahwa 44% ibu adalah masyarakat asli Papua dan lainnya 56% merupakan masyarakat pendatang. Bila ditinjau dari status pekerjaan orang tua, diperoleh hanya 23% ibu yang bekerja dan 100% ayah bekerja. Berdasarkan umur anak, diperoleh bahwa sebagian besar (70%) balita berumur 2-3 tahun, rata-rata usia balita adalah tiga tahun, 59% anak balita
berjenis kelamin perempuan dan 41 lainnya berjenis kelamin laki-laki, 13% balita memiliki berat badan lahir rendah (< 2 500 gram) dan 87% balita lainnya memiliki berat badan lahir normal. Rata-rata berat badan lahir balita adalah 2 900 gram. Berdasarkan pengetahuan ibu tentang ASI, diperoleh 46% ibu memiliki pengetahuan ASI yang kurang baik. Berdasarlkan pola asuh makan, diperoleh bahwa 65% ibu memiliki pola asuh makan yang kurang baik, disebabkan riwayat pemberian ASI dan penyapihan yang kurang baik serta praktek makan yang kurang baik. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar tingkat kecukupan energi, protein, vitamin A, vitamin C dan vitamin B12 balita masih kurang dari AKG yang dianjurkan. Berdasarkan pola asuh kesehatan diperoleh diperoleh 57% ibu memiliki pola asuh kesehatan yang kurang baik. Sebagian besar (80%) ibu memiliki praktek kebersihan yang baik, 85% ibu memiliki pola asuh yang baik dalam merawat anak ketika sakit dan 74% ibu belum menerapkan praktek pencegahan malaria yang baik. Pada umumnya ibu balita hanya menerapkan 2-3 praktek pencegahan saja dari tujuh praktek pencegahan malaria yang dianjurkan oleh dinas kesehatan. Hasil penelitian mengenai sanitasi lingkungan menunjukkan bahwa 82% sanitasi lingkungan tempat tinggal responden berada dalam kategori kurang baik. Ditinjau dari kejadian malaria, diperoleh 69% tingkat kejadian malaria pada balita di Kabupaten Manokwari tinggi, hal ini disebabkan pada saat penelitian dan selama enam bulan terakhir banyak balita yang sakit. Berdasarkan status sakit, 80% balita menderita sakit malaria dimana 42% balita mengalami malaria berat yaitu malaria jenis tropika dan 58% lainnya menderita malaria ringan. Ditinjau dari status gizi, rata-rata status gizi balita berdasarkan BB/TB adalah normal, namun terdapat 31% balita kurus sementara balita gemuk tidak ditemukan. Selanjutnya berdasarkan TB/U, secara rata-rata status gizi balita adalah normal, namun 21% balita termasuk pendek. Sedangkan berdasarkan BB/U diperoleh 45% balita memiliki status gizi yang tidak normal dan 55% balita lainnya normal. Balita dengan status gizi buruk dan gizi lebih tidak ditemukan dalam penelitian ini. Hasil uji Chi-square menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pola asuh makan, tingkat kecukupan energi tingkat kecukupan protein, kejadian malaria dengan status gizi. Namun tidak ada hubungan antara pola asuh kesehatan dengan status gizi. Tidak ada hubungan antara pola asuh makan dengan kejadian malaria, namun terdapat hubungan antara pola asuh kesehatan, sanitasi lingkungan dengan kejadian malaria. Analisis uji lanjut dengan regresi logistik menunjukkan faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap kejadian malaria adalah sanitasi lingkungan, pola asuh kesehatan dan praktek kebersihan anak; sedangkan faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap status gizi anak balita adalah konsumsi energi, pengetahuan ibu tentang ASI, pengetahuan ibu tentang malaria serta kejadian malaria. Kata kunci : balita, kejadian malaria, pola asuh, status gizi
Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH MAKAN, POLA ASUH KESEHATAN DENGAN KEJADIAN MALARIA DAN STATUS GIZI BALITA DI KABUPATEN MANOKWARI PROPINSI PAPUA BARAT
THERRESSE NOFIANTI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc
Judul Tesis
:
Analisis Hubungan antara Pola Asuh Makan, Pola Asuh Kesehatan dengan Kejadian Malaria dan Status Gizi Balita di Kabupaten Manokwari Propinsi Papua Barat
Nama
:
Therresse Nofianti
NRP
:
I 151100031
Disetujui Komisi Pembimbing
drh. M. Rizal M. Damanik, M.Rep.Sc, PhD Ketua
Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
drh. M. Rizal M. Damanik, M.Rep.Sc, PhD
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 17 Desember 2012
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat hidayah dan karuniaNYA sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei-Juli 2012 ini adalah tentang Analisis Hubungan antara Pola Asuh Makan, Pola Asuh Kesehatan dengan Kejadian Malaria dan Status Gizi Balita di Kabupaten Manokwari Propinsi Papua Barat. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada drh. M. Rizal M. Damanik, M.Rep.Sc, PhD dan Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan motivasi. Di samping itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada ayah, ibu, kakak, adik, dan seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Ucapan terimakasih juga Penulis sampaikan kepada suami tercinta Fadli Zainuddin dan anak tersayang Taufiq Akbar Zainuddin atas semangat, perhatian dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2013
Therresse Nofianti
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sorong, Papua Barat pada tanggal 08 November 1980. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara pasangan suami isteri Bapak Drs. Marlis dan Ibu Agustina Hermiyanti. Tahun 1999 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Manokwari dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di Universitas Cenderawasih (UNCEN) yang sejak tahun 2001 berubah menjadi Universitas Negeri Papua (UNIPA), Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian dengan minat Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian. Penulis menyelesaikan studi di UNIPA pada tahun 2004 dan bekerja sebagai tenaga pengajar di Universitas Negeri Papua sejak tahun 2005 sampai sekarang. Pada tahun 2010, penulis melanjutkan kembali pendidikan Strata 2 (S2) pada Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia dengan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) Direktorat Pendidikan Tinggi.
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ...................................................................................
Halaman xiii
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
xv
PENDAHULUAN ................................................................................... Latar Belakang .................................................................................. Perumusan Masalah ......................................................................... Tujuan Penelitian .............................................................................. Manfaat Penelitian ............................................................................
1 1 3 5 5
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... Pola Asuh.......................................................................................... Sanitasi Lingkungan .......................................................................... Status Gizi Anak................................................................................ Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh, Kejadian Malaria dan Status Gizi .................................................................................. Kejadian Malaria ...............................................................................
6 6 13 14 19 23
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ......................................... Kerangka Pemikiran .......................................................................... Hipotesis Penelitian ...........................................................................
32 34 34
METODE PENELITIAN ......................................................................... Desain, Tempat dan Waktu Penelitian .............................................. Populasi dan Sampel ........................................................................ Jenis dan Cara Pengumpulan Data ................................................... Pengolahan dan Analisis Data .......................................................... Definisi Operasional ..........................................................................
35 35 35 37 38 47
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................. Karakteristik Keluarga dan Anak Balita ............................................. Pengetahuan Ibu tentang ASI dan Malaria ........................................ Pola Asuh Makan dan Pola Asuh Kesehatan .................................... Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Gizi Balita ................................... Sanitasi Lingkungan dan Kejadian Malaria ........................................ Status Gizi Balita ............................................................................... Hubungan antar variabel pola Asuh Makan, Tingkat Konsumsi, Pola Asuh Kesehatan,Kejadian Malaria dengan Status Gizi Balita .... Hubungan Pola Asuh Makan, Pola Asuh Kesehatan, Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Malaria ............................................... Faktor-Faktor yang berpengaruh terhadap Kejadian malaria dan status gizi ...................................................................................
49 49 51 55 57 64 68 72 74 76 77
xii
SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... Simpulan ........................................................................................... Saran ................................................................................................
81 81 81
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
82
LAMPIRAN ............................................................................................
88
xiii
DAFTAR TABEL Halaman
1
Pedoman pemberian makanan yang sehat ..........................................
9
2
Angka kecukupan gizi balita yang dianjurkan menurut AKG 2004........
15
3
Kategori interpretasi status gizi berdasarkan tiga Indeks (BB/U,TB/U, BB/TB standar baku antropometeri WHO-NCHS) ...........
4
Cara pengumpulan data primer............................................................
18 37
5
Rekapitulasi pengkategorian variabel penelitian ..................................
41
6
Kegiatan penemuan dan pengobatan malaria di Kabupaten Manokwari Tahun 2011......................................................
50
7
Distribusi contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi ................. keluarga ............................................................................................
8
Distribusi balita berdasarkan karakteristik balita di Puskesmas Kabupaten Manokwari ........................................................................
51
54
9
Distribusi ibu berdasarkan pengetahuan tentang ASI dan malaria di Puskesmas Kabupaten Manokwari .................................................. 10 Distribusi balita berdasarkan pola asuh makan di Puskesmas Kabupaten Manokwari .........................................................................
58
11 Distribusi contoh berdasarkan pola asuh makan dan karakteristik sosial ekonomi keluarga ......................................................................
59
12 Distribusi balita berdasarkan pola asuh kesehatan di Puskesmas Kabupaten Manokwari ......................................................................................
60
13 Distribusi contoh berdasarkan pola asuh kesehatan dan karakteristik sosial ekonomi keluarga....................................................................... 14 Rataan asupan energi dan zat gizi balita per hari di Puskesmas Kabupaten Manokwari .........................................................................
55
64 65
15 Distribusi balita berdasarkan tingkat kecukupan gizi di Puskesmas Kabupaten Manokwari .........................................................................
67
16 Distribusi balita berdasarkan kejadian malaria di Puskesmas Kabupaten Manokwari .........................................................................
69
17 Distribusi contoh berdasarkan kejadian malaria dan karakteristik sosial ekonomi keluarga.......................................................................
71
18 Distribusi balita berdasarkan status gizi di Puskesmas Kabupaten Manokwari .........................................................................
73
19 Distribusi status gizi berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga dan karakteristik balita ..........................................................
74
20 Hubungan antara pola asuh makan, tingkat konsumsi, pola asuh kesehatan, kejadian malaria dengan status gizi balita ..........................
75
21 Hubungan antara pola asuh makan, pola asuh kesehatan, sanitasi lingkungan dengan kejadian malaria di Kabupaten Manokwari ...........
77
22 Hasil uji regresi logistik faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian malaria dan status gizi balita ..................................................
78
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman
1
Peta stratifikasi malaria Tahun 2009 ....................................................
24
2
Peta persebaran API di Kabupaten Manokwari Tahun 2011 ................
25
3
Kerangka pemikiran hubungan pola asuh makan, pola asuh kesehatan dengan kejadian malaria dan status gizi balita ...
33
4
Skema tahapan pengambilan contoh ...................................................
36
5
Praktek ibu dalam mencegah malaria di Puskesmas Kabupaten Manokwari ...........................................................................................
62
xv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1 2
Hasil uji regresi logistik faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian malaria ...................................................................................
88
Hasil uji regresi logistik faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi balita ...................................................................................
89
PENDAHULUAN Latar Belakang Masa
balita
merupakan
usia
penting
dalam
pertumbuhan
dan
perkembangan fisik anak. Pada usia ini, anak masih rawan dengan berbagai gangguan kesehatan, baik jasmani maupun rohani dan jumlahnya dalam populasi besar. Pada balita, kekurangan gizi dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan spiritual. bahkan gangguan tersebut dapat bersifat permanen dan sangat sulit untuk diperbaiki dimana kekurangan gizi pada saat balita akan berdampak hingga masa remaja dan dewasa sehingga mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia. Gizi salah adalah penyebab kematian dan kesakitan dan berhubungan dengan peningkatan risiko malaria berat. Malaria merupakan penyebab kematian diantara anak dibawah lima tahun, penyebab berat badan lahir rendah pada bayi dan kematian ibu. Telah lama diakui bahwa kondisi populasi yang tinggal di daerah malaria umumnya mengarah ke status gizi buruk dimana kekurangan gizi merupakan faktor resiko terkena serangan malaria klinis (Gomes & Elisa, 2002). Penelitian Nurhadimuda (2003) menyebutkan bahwa infeksi malaria mempengaruhi penurunan status gizi anak balita di Purworejo, sedangkan penelitian Tarmidzi M (2006) menyebutkan bahwa kejadian malaria tidak berhubungan dengan status gizi pada balita di Kecamatan Kokap dan Samigaluh Kabupaten Kulon Progo Propinsi D.I Yogyakarta. Selanjutnya malaria dan kekurangan gizi penyebab morbiditas dan mortalitas yang tinggi di pedesaan sub-Sahara Afrika. Ditemukan bahwa anak-anak kekurangan gizi kronis memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami malaria (Deen, Walraven & Seidlein, 2002). Jeremiah ZA & Uko EK (2007) juga menyebutkan bahwa anak-anak di bawah lima tahun di Harcourt Nigeria memiliki tingkat parasit lebih tinggi (36.36%) dan beresiko mengalami mordibitas dibandingkan dengan kelompok 5-8 tahun (21.27%) sehingga perlu gizi yang cukup untuk menahan dampak negatif dari malaria. Berdasarkan data Riskesdas (2010), prevalensi nasional gizi buruk dan gizi kurang untuk kategori balita mengalami peningkatan dari tahun 2007 sampai 2010. Hingga tahun 2010 prevalensi gizi buruk dan gizi kurang sebesar 6.5% dan 8.2%. Propinsi Papua Barat dan Papua memiliki prevalensi gizi buruk dan
2
gizi kurang diatas prevalensi nasional yaitu sebesar 9.1% dan 17.4%. Pada tahun 2007 persentase BBLR tertinggi adalah Provinsi Papua Barat (23.8%) sama halnya dengan tahun 2010 (23.8%), persentase BBLR sedikit lebih tinggi di pedesaan (12.2%) dibanding di perkotaan (10.8%). Timbulnya gizi kurang tidak hanya karena makanan yang kurang, tetapi juga karena pola asuh ibu dan penyakit infeksi. Pada keadaan terserang penyakit infeksi, penderita biasanya berkurang nafsu makannya yang pada akhirnya dapat menderita kurang gizi. Lemahnya kemampuan ibu dan keluarga untuk memberikan pola asuh akan berakibat pada kejadian gizi kurang bahkan gizi buruk pada anak balita. Anak yang mendapatkan kualitas pengasuhan yang lebih baik besar kemungkinan akan memiliki angka kesakitan yang rendah dan status gizi yang relatif lebih baik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Anwar (2000) bahwa pola asuh makan sangat menentukan status gizi anak. Ibu yang dapat membimbing anak tentang cara makan yang sehat dan bergizi akan meningkatkan gizi anak. Selanjutnya menurut Widayani S (2000) ada hubungan yang sangat kuat antara pola asuh dengan status gizi balita. Pola pengasuhan anak adalah pengasuhan anak dalam pra dan pasca kelahiran, pemberian ASI, pemberian makanan, dan pengasuhan bermain (Hamzah A, 2000). Malaria merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh parasit (protozoa) dari genus plasmodium dan dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi, anak balita, ibu hamil, selain itu malaria secara langsung menyebabkan anemia dan dapat menurunkan produktivitas kerja (Kemenkes, 2011). Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization menyebutkan sebanyak 665 ribu orang meninggal disebabkan penyakit malaria pada tahun 2010. Dari jumlah tersebut, sebanyak 86% merupakan anak-anak di bawah lima tahun (WHO, 2010). Menurut Prabowo A (2002), malaria menyerang penduduk yang tinggal didaerah endemis atau orang-orang yang bepergian ke daerah yang angka penularannya tinggi. Selanjutnya Estefania et al, (2009) menyebutkan bahwa prevalensi parasit malaria lebih tinggi dipedesaan dibandingkan didaerah perkotaan (P=0.06) didukung oleh penelitian Kirby et al, (2008) bahwa penularan malaria terbesar terjadi didaerah pedesaan Gambia Sahara Afrika, dimana masyarakat tidur dalam rumah yang terbuat dari bata dan atap terbuka.
3
Besarnya angka malaria tahun 2009 sampai 2010 di seluruh Indonesia adalah 22.9‰. Tahun 2011, angka Annual Parasite Insidence di Indonesia adalah 1.75‰, Papua barat 33,25 permil dan Papua 23.34‰ (Ditjen P2PL, 2012). Menurut kelompok umur, angka kasus baru malaria terendah adalah pada kelompok umur <1 tahun (11.6%) sedangkan pada kelompok umur lainnya relatif sama. Angka kasus baru malaria pada kelompok umur <1 tahun merupakan indikator terjadinya penularan malaria di dalam rumah atau di sekitar rumah. Prevalensi malaria klinis di perdesaan dua kali lebih besar dari prevalensi di perkotaan, dan cenderung tinggi pada responden dengan pendidikan rendah, kelompok petani/nelayan/buruh dan kelompok dengan tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita rendah (Riskesdas 2010).
Perumusan Masalah Malaria masih menjadi salah satu penyakit yang mematikan di Provinsi Papua Barat, sebanyak 15% penyebab kematian di provinsi ini disebabkan oleh malaria. Trend prevalensi penyakit malaria di provinsi selama tiga tahun terakhir menunjukkan penurunan namun angkanya masih tetap tinggi. Pada tahun 2008, dalam 1 000 penduduk terdapat 84 orang yang terjangkit malaria dan tahun 2010 turun menjadi 64 orang. Itu berarti, dari jumlah penduduk 798 600 jiwa, yang terjangkit malaria mencapai 51 000 orang setiap tahun. Dari jumlah penderita yang tercatat selama tahun 2010, sebanyak 4678 orang dirawat inap di rumah sakit dan Puskesmas, serta 61 orang meninggal karena malaria. Jumlah penderita malaria yang meninggal terbanyak ada di Kabupaten Manokwari dan Fakfak. Kabupaten Manokwari merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Papua Barat dan terdiri dari 29 kecamatan. Kabupaten Manokwari merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Papua Barat dimana pada tahun 2010 sekitar 10% anak balita di kabupaten ini mengalami gizi buruk dari 2 270 balita yang ditimbang di posyandu dan Puskesmas. Pada tahun 2011 jumlah balita yang terjangkit malaria diperkirakan sebanyak
17% atau sekitar 918 balita. Diantara anak di bawah lima tahun
(balita) dengan gejala klinis malaria, hanya sekitar 4.4% yang menerima pengobatan malaria, sementara balita yang menderita malaria umumnya hanya
4
menerima obat untuk mengurangi demam (67.6%) (Riskesdas, 2010). Jika terpapar malaria, balita berisiko mengalami anemia dan kekurang gizi (Dinkes Kab. Manokwari, 2010). Dari 22 Puskesmas yang ada di Kabupaten Manokwari, hanya 16 Puskesmas yang berjalan baik dan Posyandu hanya 80% dari 270 unit yang aktif (Dinkes Kab Manokwari, 2010). Pemerintah Papua Barat, telah berupaya melakukan sejumlah program untuk mengurangi kasus yang terjadi dan mewujudkan target bebas malaria di Papua Barat pada tahun 2030, diantaranya kerjasama dengan lembaga asing seperti Global Found maupun UNICEF, pengadaan mikroskop dan rapid test di seluruh puskesmas baik di perkotaan maupun pedalaman, menganjurkan kepada penderita agar melakukan tes darah dan mengonsumsi obat yang benar. Namun prevalensi dan penderita malaria masih tetap tinggi, diduga karena masyarakat di kabupaten ini terlambat menerima penggunaan obat malaria, pola asuh ibu, pola hidup masyarakat yang tidak sehat dan kondisi lingkungan yang berawa dan lembab. Berdasarkan uraian latar belakang maka peneliti tertarik untuk mengetahui tentang: 1. Bagaimana hubungan antara pola asuh makan, tingkat konsumsi, pola asuh kesehatan, kejadian malaria dengan status gizi balita. 2. Bagaimana hubungan antara pola asuh makan, pola asuh kesehatan, sanitasi lingkungan dengan kejadian malaria. 3. Bagaimana
pengaruh
karakteristik
keluarga,
karakteristik
balita,
pengetahuan ibu tentang ASI dan malaria, pola asuh makan, pola asuh kesehatan, sanitasi lingkungan terhadap kejadian malaria dan status gizi balita di Kabupaten Manokwari.
5
Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian untuk menganalisis hubungan antara pola asuh makan, pola asuh kesehatan dengan kejadian malaria dan status gizi balita di Kabupaten Manokwari. b. Tujuan khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah : 1. Menganalisis hubungan antara pola asuh makan, tingkat konsumsi, pola asuh kesehatan, kejadian malaria dengan status gizi balita. 2. Menganalisis hubungan antara pola asuh makan, pola asuh kesehatan, sanitasi lingkungan dengan kejadian malaria.
3. Menganalisis pengaruh karakteristik sosial ekonomi keluarga, karakteristik balita, pengetahuan ibu tentang ASI dan malaria, pola asuh makan, pola asuh kesehatan, sanitasi lingkungan terhadap kejadian malaria dan status gizi balita.
Manfaat Penelitian a. Manfat Teoritis Untuk pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan upaya pencegahan dan perbaikan status gizi balita dengan kejadian malaria. Sebagai referensi untuk studi lebih lanjut bagi para peneliti yang tertarik pada masalah gizi, khususnya bayi dan balita, efek pola asuh ibu dan kejadian malaria terhadap status gizi. b. Manfaat Praktis Memberikan masukan dan informasi bagi masyarakat khususnya para orangtua dan pemerintah daerah khususnya Dinas Kesehatan Kabupaten Manokwari dalam penanggulangan masalah malaria dan status gizi balita.
TINJAUAN PUSTAKA Balita merupakan istilah yang berasal dari kependekan kata bawah lima tahun dan merupakan kelompok usia tersendiri yang menjadi sasaran program KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) di lingkup dinas kesehatan. Balita merupakan masa pertumbuhan tubuh dan otak yang sangat pesat dalam pencapaian keoptimalan fungsinya. Periode tumbuh kembang anak adalah masa balita, karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi
dan menentukan perkembangan kemampuan
berbahasa,
kreatifitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya (Supartini Y, 2004) Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai balita, merupakan salah satu periode usia manusia setelah bayi sebelum anak awal. Rentang usia balita dimulai dari satu sampai dengan lima tahun, atau bisa digunakan perhitungan bulan yaitu usia 12-60 bulan. Periode usia ini disebut juga sebagai usia prasekolah (Wikipedia, 2009).
Pola Asuh Pola pengasuhan anak berupa sikap perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberikan kasih sayang dan sebagainya (Soekirman, 2000). Pola pengasuhan anak adalah pengasuhan anak dalam pra dan pasca kelahiran, pemberian ASI, pemberian makanan, dan pengasuhan bermain (Hamzah A, 2000). Selanjutnya Engle P (1992) mengatakan bahwa praktek pengasuhan ditingkat rumah tangga adalah memberikan perawatan kepada anak dengan pemberian makanan dan kesehatan melalui sumber-sumber yang ada untuk kelangsungan hidup anak, pertumbuhan dan perkembangan Pengasuhan anak adalah suatu fungsi penting pada berbagai kelompok sosial dan kelompok budaya. Fungsi ini meliputi pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti pemberian makanan, mandi, dan menyediakan dan memakaikan pakaian buat anak, termasuk di dalamnya adalah monitoring kesehatan anak, menyediakan obat, merawat serta membawanya ke petugas kesehatan profesional. Tambahan lain adalah diterimanya fungsi hiburan, pendidikan,
7
sosialisasi, penerimaan informasi pandangan serta nilai dari pengasuh mereka (O'Connel,1994, Sri Dara A, 2008).
Pola Asuh Makan Jumlah dan kualitas makanan yang dibutuhkan untuk konsumsi anak penting sekali dipikirkan, direncanakan, dan dilaksanakan oleh ibu atau pengasuhnya. Pola asuh makan anak akan selalu terkait dengan pemberian makan yang akhirnya akan memberikan sumbangan terhadap status gizinya. Riwayat Menyusui Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang baik untuk bayi terutama pada bulan-bulan pertama dan tetap berguna sampai berumur dua tahun. ASI mengandung semua zat gizi untuk membangun dan menyediakan energi dalam susunan yang diperlukan bayi. Selain itu ASI juga mengandung zat kekebalan yang dibutuhkan bayi untuk menjaga kesehatan tubuhnya agar tidak terganggu oleh berbagai penyakit termasuk penyakit infeksi. Pedoman internasional yang menganjurkan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama didasarkan pada bukti ilmiah tentang manfaat ASI bagi daya tahan hidup bayi, pertumbuhan, dan perkembangannya. ASI memberi semua energi dan gizi (nutrisi) yang dibutuhkan bayi selama 6 bulan pertama hidupnya. Pemberian ASI eksklusif mengurangi tingkat kematian bayi yang disebabkan berbagai penyakit yang umum menimpa anak-anak seperti diare dan radang paru, serta mempercepat pemulihan bila sakit dan membantu menjarangkan kelahiran (Linkages, 2002) namun pemberian ASI eksklusif tidak menurunkan prevalensi parasit malaria (Victoria et al, 2011) Menyusui diakui sebagai salah satu cara yang paling hemat biaya dan efektif biaya untuk menyediakan makanan yang terbaik untuk bayi, mendorong kekebalan bayi dengan menyediakan perlindungan dari penyakit infeksi dan mengurangi penyakit diare dan penyakit pernapasan. Bukti lebih lanjut telah menunjukkan bahwa berhenti menyusui dini meningkatan tingkat kesakitan dan kematian di antara anak yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV. Pada bayi yang terpajan dan yang terinfeksi HIV berusia enam sampai 15 bulan, menyusui secara signifikan menurunkan risiko malaria. Hal ini diungkapkan dalam sebuah studi prospektif di Tororo, sebuah daerah
8
pedesaan dengan tingkat malaria yang tinggi di wilayah timur laut Uganda. Namun para peneliti menemukan bahwa ASI tidak melindungi terhadap malaria pada anak-anak yang tidak terpapar HIV dan terinfeksi HIV dari usia 15-24 bulan. Profilaksis kotrimoksazol terlihat secara signifikan mengurangi risiko malaria ketika membandingkan bayi yang tidak terpajan HIV yang tidak menggunakan kotrimoksazol
terhadap
bayi
yang
terpajan
atau
terinfeksi
HIV
yang
menggunakan kotrimoksazol (Vora et al, 2010). Riwayat Penyapihan Makanan sapihan yang ideal harus mengandung makanan pokok, lauk pauk, sayur-sayuran, buah-buahan dan minyak atau lemak. Makanan sapihan baru boleh diberikan setelah bayi disusui atau diantara dua jadwal penyusunan. Sebab, diawal masa penyapihan, ASI masih merupakan makanan pokok. Sementara makanan sapihan hanyalah sebagai pelengkap. Kemudian secara berangsur ASI berubah fungsi sebagai makanan tambahan, sementara makanan sapihan menjadi santapan utama (Arisman MB, 2004). MP-ASI (Makanan Pendamping Air Susu Ibu) adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, diberikan kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain dari ASI (Depkes RI, 2006). Makanan anak 0-4 bulan adalah ASI semata. Pada usia 4-6 bulan anak diberi ASI serta buah 1-2 kali dan makanan lunak 1 kali. Saat berumur 6-9 bulan anak diberi ASI plus buah 1-2 kali dan makanan lunak 1 kali dan makanan lembek 2 kali. Umur 9-12 bulan anak tetap diberi ASI, plus buah 1-2 kali dan makanan lembek 3 kali. Pada anak usia lebih 1 tahun masih tetap diberi ASI plus buah 1-2 kali, makanan pokok serta lauk pauk 4 kali atau lebih (Depkes, 2000; Krisnatuti dan Yenrina, 2000). Prinsip
pemberian
makanan
pendamping
Air
Susu
Ibu
(MP-ASI)
berdasarkan WHO dibagi atas dua kategori, yaitu untuk anak yang masih menyusui dan anak yang sudah tidak menyusui. Berikut kami sajikan ringkasan prinsip pemberian MP-ASI buat anak yang masih mendapatkan ASI (WHO, 2001). Departemen
Kesehatan
RI
Tahun
2000
mengeluarkan
pemberian makanan yang sehat seperti Tabel 1 berikut :
pedoman
9
Tabel 1 Pedoman pemberian makanan yang sehat Umur
ASI
Makanan lumat
Makanan lembik
Makanan orang dewasa
0 – 4 bulan 4 – 6 bulan 6 – 12 bulan 12 – 24 bulan 24 bulan ke atas
Keterangan : -
Makanan lumat halus adalah makanan yang dihancurkan terbuat dari tepung dan tampak homogen. Misalnya adalah bubur susu, bubur sumsum, biskuit ditambah air panas, pepaya saring, pisang saring, dll.
-
Makanan lumat adalah makanan yang dihancurkan atau disaring tampak kurang merata. Misalnya adalah pepaya dihaluskan dengan sendok, pisang dikerik dengan sendok, nasi tim saring, bubur kacang ijo saring, kentang pure.
-
Makanan lunak adalah makanan yang dimasak dengan banyak air dan tampak berair. Misalnya adalah bubur nasi, bubur ayam, bubur kacang ijo, bubur manado.
-
Makanan padat adalah makanan lunak yang tidak nampak berair, seperti lontong, nasi tim, kentang rebus, biskuit.
Praktek Pemberian Makan Pemberian makanan merupakan bentuk mendidik ketrampilan makan, membina kebiasaan makan, membina selera terhadap jenis makanan, membina kemampuan memilih makanan untuk kesehatan dan mendidik perilaku makan yang baik dan benar sesuai kebudayaan masing-masing. Kekurangan dalam pemberian makan akan berakibat sebagai masalah kesulitan makan atau kekurangan nafsu makan yang pada gilirannya akan berdampak negatif pada kesehatan dan tumbuh kembang nantinya (Waryana, 2010). Agar tumbuh dengan baik tidak cukup dengan memberinya makan, asal memilih menu makanan dan asal menyuapi anak nasi. Akan tetapi anak membutuhkan sikap orangtuanya dalam memberi makan. Semasa bayi, anak hanya menelan apa saja yang diberikan ibunya. Sekalipun yang ditelannya itu tidak cukup dan kurang bergizi. Demikian pula sampai anak sudah mulai disapih. Anak tidak tahu mana makanan terbaik dan mana makanan yang boleh dimakan.
10
Anak masih membutuhkan bimbingan seorang ibu dalam memilih makanan agar pertumbuhan tidak terganggu. Bentuk perhatian/dukungan ibu terhadap anak meliputi perhatian ketika makan, mandi dan sakit.
Pola Asuh Kesehatan Status kesehatan merupakan salah satu aspek pola asuh yang dapat mempengaruhi status gizi anak kearah membaik. Status kesehatan adalah halhal yang dilakukan untuk menjaga status gizi anak, menjauhkan dan menghindarkan penyakit serta yang dapat menyebabkan turunnya keadaan kesehatan anak. Status kesehatan ini meliputi hal pengobatan penyakit pada anak apabila anak menderita sakit dan tindakan pencegahan terhadap penyakit sehingga anak tidak sampai terkena suatu penyakit. Status kesehatan anak dapat ditempuh dengan cara memperhatikan keadaan gizi anak, kebersihan diri anak dan lingkungan dimana anak berada, serta upaya ibu dalam hal mencari pengobatan terhadap anak apabila anak sakit. Jika anak sakit hendaknya ibu membawanya ketempat pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, klinik, puskesmas dan lain-lain (Zeitlin M, Ghassemi H & Mansour M, 1990). Balita perlu diperiksakan kesehatannya di bidan atau dokter bila sakit sebab mereka masih mempunyai risiko yang tinggi untuk terserang penyakit. Adapun
praktik
kesehatan
yang
dilakukan
dalam
rangka
pemeriksaan
pemantaun kesehatannya adalah : Imunisasi. Imunisasi adalah memberikan kekebalan pada anak untuk melindunginya dari pada beberapa penyakit tertentu seperti Hepatitis B, Tuberkolusis, Tetanus, Polio, Campak. Pemberian imunisasi harus sedini mungkin dan lengkap Pemantauan Pertumbuhan Anak Pemantauan pertumbuhan anak dapat dilakukandengan aktif melakukan pemeliharaan gizi misalkan dengan datang keposyandu. Dengan aktif datang keposyandu maka orang tua dapat mengetahui pertumbuhan anak.
11
Praktek Ibu Merawat Anak Peranan ibu dalam rumah tangga sangat penting terutama dalam pengelolaan kejadian malaria pada anak. Akses ibu
terhadap sumber daya
dalam rumah tangga memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku mereka dalam mencari pengobatan malaria. Hasil penelitian Uzochukwu, Onwujekwe BSC, Onwujekwe EO, Onoka CA dan Ughasoro MD (2008) tentang respon ibu terhadap anak demam di daerah perkotaan dan pedesaan di Enugu, Nigeria Tenggara menyebutkan bahwa ibu di daerah perkotaan dan pedesaan menyadari bahwa malaria merupakan penyebab utama demam pada anak. Meskipun ibu di pedesaan mengenali demam dan tanda-tanda bahaya yang lebih baik dari pada ibu-ibu di daerah kota tetapi tanggapan ibu di daerah kota terhadap demam anaknya lebih baik. Ibu di daerah kota menggunakan obat Klorokuin, ACT, SP dan Parasetamol sebagai obat utama untuk mengobati demam anaknya dan tersedia di rumah, sementara ibu-ibu pedesaan lebih cenderung untuk menggunakan obat sisa dari pengobatan sebelumnya untuk mengobati demam dari ibu kota. Responden perkotaan juga lebih menggunakan pencegahan dan mencari tindakan lebih cepat dari ibu pedesaan dan total biaya perawatan juga lebih tinggi di daerah perkotaan. Pengasuhan perawatan dasar anak adalah pemenuhan kebutuhan balita yang dilakukan ibu untuk mengatasi infeksi penyakit. Perawatan balita dalam keadaan sakit Kesehatan anak harus mendapat perhatian dari para orang tua yaitu dengan cara segera membawa anaknya yang sakit ketempat pelayanan kesehatan yang terdekat (Soetjiningsih, 2002).
Masa bayi dan balita
sangat rentan terhadap penyakit seperti flu, diare, malaria atau penyakit infeksi lainnya. Jika anak sering menderita sakit dapat menghambat atau mengganggu proses tumbuh kembang anak. Ada beberapa penyebab seorang anak mudah terserang penyakit adalah : a) Apabila kecukupan gizi terganggu karena anak sulit makan dan nafsu makan menurun. Akibatnya daya tahan tubuh menurun sehingga anak menjadi rentan terhadap penyakit.
12
b) Lingkungan yang kurang mendukung sehingga perlu diciptakan lingkungan dan perilaku yang sehat. c) Jika orang tua lalai dalam memperhatikan proses tumbuh kembang anak oleh karena itu perlu memantau dan menstimulasi tumbuh kembang bayi dan anak secara teratur sesuai dengan tahapan usianya dan segera memeriksakan ke dokter jika anak menderita sakit. Pemanfaatan layanan kesehatan Pelayanan gizi dan kesehatan untuk anak balita dapat dilaksanakan dengan pemantauan pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan balita melalui sarana kesehatan yang baik meliputi posyandu, Puskesmas, program kesehatan keluarga dan program lainnya. Berbagai lembaga pelayanan dasar harus terjangkau baik secara fisik maupun ekonomi (sesuai daya beli) oleh setiap keluarga termasuk mereka yang miskin dan hidup di daerah terpencil (Soekirman, 2000). Makin dekat jangkauan keluarga terhadap pelayanan kesehatan yang baik membantu mencegah terjadinya infeksi dan membantu mengatasi masalah gizi. Jarak menjadi faktor berpengaruh dalam mencari pola pengobatan demam dan kejang-kejang di Zambia (Baume C, Helitzer D dan Kachur SP, 2000). Mereka menemukan bahwa anak yang tinggal dalam 1 waktu perjalanan satu jam lebih mungkin (79%) dibawa ke pusat kesehatan dibandingkan dengan mereka yang tinggal lebih dari 1 jam perjalanan (58%). Praktek Pencegahan Malaria Hasil penelitian Adhroey et al (2010) menyebutkan bahwa masyarakat hutan asli dan pedesaan distrik Lipis dari Pahang Malaysia memiliki kesadaran akan penyakit malaria tetapi sikap dan praktek dalam pencegahan malaria tidak memadai. Banyak hal yang dapat dilakukan dalam upaya pencegahan malaria. diantaranya adalah : a) Usaha pencegahan terhadap gigitan nyamuk dengan cara : tidur dengan kelambu, rumah anti nyamuk dengan memakai kawat kasa, pemakaian obat nyamuk bakar, penyemprotan ruang tidur dengan semprotan nyamuk dan lain sebagainya. Atau kombinasi keduanya (obat dan kelambu adalah cara terbaik mencegah gigitan nyamuk malaria)
13
b) Usaha pengobatan pencegahan secara berkala, terutama di daerahdaerah endemis malaria dengan obat dari Puskesmas, dari toko-toko obat seperti kina, chloroquine dan sebagainya, atau dengan obat-obat tradisional. c) Kebersihan lingkungan terhadap sarang nyamuk, seperti membersihkan ruang tidur, semak-semak sekitar rumah, air tergenang, kandangkandang ternak dan sebagainya. d) Memperbanyak jumlah ternak seperti sapi, kerbau, kambing, kelinci dan sebagainya, dengan menempatkan ternak-ternak tersebut diluar rumah dekat tempat nyamuk bertelur. e) Memelihara ikan pada air yang tergenang, seperti kolam, sawah dan parit atau dengan memberi sedikit minyak pada air yang tergenang. f) Penanaman padi secara serempak atau diselingi dengan tanaman kering atau pengering sawah secara berkala. g) Usaha penyemprotan rumah dengan DDT yang diusahakan oleh pemerintah (Werner D, Thuman C & Maxwell J, 2010).
Sanitasi Lingkungan Keadaan lingkungan berpengaruh besar terhadap ada tidaknya malaria disuatu daerah. Adanya danau air payau, genangan air dihutan, pesawahan, tambak ikan, pembukaan hutan dan pertambangan disuatu daerah akan meningkatkan timbulnya penyakit malaria karena tempat-tempat tersebut merupakan tempat perindukan nyamuk malaria (Prabowo A, 2002). Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebaginya. (Notoatmodjo, 2003), selanjutnya Widaninggar (2003) menyatakan kondisi lingkungan anak harus benar-benar diperhatikan agar tidak merusak kesehatan. Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan rumah dan lingkungan adalah bangunan rumah, kebutuhan ruang (bermain anak), pergantian udara, sinar matahari, penerangan, air bersih, pembuangan sampah/ limbah, kamar mandi dan jamban/ WC dan halaman rumah. Kebersihan perorangan maupun kebersihan lingkungan memegang peranan penting bagi tumbuh kembang anak. Kebersihan perorangan yang kurang akan memudahkan terjadinya penyakit-penyakit kulit dan saluran
14
pencernaan seperti diare dan cacingan. Sedangkan kebersihan lingkungan erat hubungannya dengan penyakit saluran pernafasan, saluran pencernaan, serta penyakit akibat nyamuk. Oleh karena itu penting membuat lingkungan menjadi layak untuk tumbuh kembang anak sehingga meningkatkan rasa aman bagi ibu atau pengasuh anak dalam menyediakan kesempatan bagi anaknya untuk mengeksplorasi lingkungan. Kesehatan lingkungan yang kurang baik yang disebabkan oleh air yang tidak memadai dan sanitasi dapat meningkatkan kemungkinan penyakit menular dan tidak langsung menyebabkan beberapa jenis malnutrisi (UNICEF, 1990; Engle P, 1992). Sebuah studi banding di beberapa negara berkembang menunjukkan bahwa sumber air yang tidak dilindungi dan non-ketersediaan jamban dikaitkan dengan perawakan anak yang rendah.
Status Gizi Anak Pengertian Status Gizi Status
gizi
adalah
suatu
keadaan
tubuh
yang
diakibatkan
oleh
keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Keseimbangan tersebut dapat dilihat dari variabel pertumbuhan, yaitu berat badan, tinggi badan/panjang badan, lingkar kepala, lingkar lengan, dan panjang tungkai (Gibson RS, 1990). Jika keseimbangan tadi terganggu, misalnya pengeluaran energi dan protein lebih banyak dibandingkan pemasukan maka akan terjadi kekurangan energi protein, dan jika berlangsung lama akan timbul masalah yang dikenal dengan KEP berat atau gizi buruk (Depkes RI, 2000). Status gizi anak juga lebih sensitif terhadap faktor-faktor seperti makan atau menyapih praktek, perawatan, dan paparan infeksi pada usia tertentu. Sebuah indikator kumulatif pertumbuhan retardasi (tinggi badan-banding-usia) pada anak-anak secara positif dikaitkan dengan usia. Studi lokal dan regional di Ethiopia juga telah menunjukkan peningkatan gizi buruk dengan meningkatnya usia anak (Yimer, 2000;. Genebo et al, 1999; Simson dan Lakech, 2000). Penelitian Nurhadimuda (2003) menyebutkan bahwa infeksi malaria mempengaruhi penurunan status gizi anak balita di Purworejo sedangkan penelitian Tarmidzi M (2006) menyebutkan bahwa kejadian malaria tidak berhubungan dengan status gizi pada balita di Kecamatan Kokap dan Samigaluh Kabupaten Kulon Progo Propinsi D.I Yogyakarta.
15
Selanjutnya malaria dan kekurangan gizi penyebab morbiditas dan mortalitas yang tinggi di pedesaan sub-Sahara Afrika. Ditemukan bahwa anakanak kekurangan gizi kronis memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami malaria (Deen, Walraven & Seidlein, 2002). Jeremiah ZA dan Uko EK (2007)
juga
menyebutkan bahwa anak-anak di bawah 5 tahun di Harcourt Nigeria memiliki tingkat parasitaemic lebih tinggi (36.36%) dan berisiko mengalami mordibitas dibandingkan dengan kelompok 5-8 tahun (21.27%) sehingga perlu gizi yang cukup untuk menahan dampak negatif dari malaria. Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi dan digunakan secara
efisien
akan tercapai
status
gizi
optimal
yang
memungkinkan
pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin (Almatsier S, 2003). Dibawah ini adalah tabel angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan pada balita (per orang per hari). Tabel 2 Angka kecukupan gizi balita yang dianjurkan menurut AKG 2004 Kelompok umur
Energi (Kkal)
Protein (g)
Vitamin A (RE)
Vitamin B12 (ug)
Vitamin C (mg)
1-3 tahun
1000
25
400
0.9
40
4-6 tahun
1550
10
450
5
45
Sumber : WKNPG 2004
Penilaian Status Gizi Untuk menentukan status gizi seseorang atau kelompok populasi dilakukan dengan interpretasi informasi dari hasil beberapa metode penilaian status gizi yaitu : penilaian konsumsi makanan, antropometri, laboratorium/ biokimia dan klinis (Gibson RS, 2005). Diantara beberapa metode tersebut, pengukuran antropometri adalah relatif paling sederhana dan banyak dilakukan (Soekirman, 2000). Dalam antropometri dapat dilakukan beberapa macam pengukuran yaitu pengukuran berat badan (BB), tinggi badan (TB) dan lingkar lengan atas (LILA). Dari beberapa pengukuran tersebut BB, TB dan LILA sesuai dengan umur adalah yang paling sering digunakan untuk survei sedangkan untuk perorangan,
16
keluarga, pengukuran BB dan TB atau panjang badan (PB) adalah yang paling dikenal (Soekirman, 2000). Melalui pengukuran antropometri, status gizi anak dapat ditentukan apakah anak tersebut tergolong status gizi baik, kurang atau buruk. Untuk hal tersebut maka berat badan dan tinggi badan hasil pengukuran dibandingkan dengan suatu standar internasional yang dikeluarkan oleh WHO. Status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur BB atau TB sesuai dengan umur secara sendiri-sendiri, tetapi juga merupakan kombinasi antara ketiganya. Masingmasing indikator mempunyai makna sendiri-sendiri. Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat diukur) karena mudah berubah, namun tidak spesifik karena berat badan selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh tinggi badan. Indikator ini dapat dengan mudah dan cepat dimengerti oleh masyarakat umum, sensitif untuk melihat perubahan status gizi dalam jangka waktu pendek dan dapat mendeteksi kegemukan. Indikator TB/U dapat menggambarkan status gizi masa lampau atau masalah gizi kronis. Seseorang yang pendek kemungkinan keadaan gizi masa lalu tidak baik. Berbeda dengan berat badan yang dapat diperbaiki dalam waktu singkat, baik pada anak maupun dewasa, maka tinggi badan pada usia dewasa tidak dapat lagi dinormalkan. Pada anak balita kemungkinkan untuk mengejar pertumbuhan tinggi badan optimal masih bisa sedangkan anak usia sekolah sampai remaja kemungkinan untuk mengejar pertumbuhan tinggi badan masih bisa tetapi kecil kemungkinan untuk mengejar pertumbuhan optimal. Dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya umur. Pertambahan TB relatif kurang sensitif terhadap kurang gizi dalam waktu singkat. Pengaruh kurang gizi terhadap pertumbuhan TB baru terlihat dalam waktu yang cukup lama. Indikator ini juga dapat dijadikan indikator keadaan sosial ekonomi penduduk (Soekirman, 2000). Indikator BB/TB merupakan pengukuran antropometri yang terbaik karena dapat menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini atau masalah gizi akut. Berat badan berkorelasi linier dengan tinggi badan, artinya dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan mengikuti pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Dengan demikian berat badan yang normal akan proporsional dengan tinggi badannya. Ini merupakan indikator yang
17
baik untuk menilai status gizi saat ini terutama bila data umur yang akurat sering sulit diperoleh. Untuk kegiatan identifikasi dan manajemen penanganan bayi dan anak balita gizi buruk akut, maka WHO & Unicef
merekomendasikan
menggunakan indikator BB/TB dengan cut of point < -3 SD. Dalam panduan
tatalaksana penderita KEP (Depkes, 2000) gizi buruk
diartikan sebagai keadaan kekurangan gizi yang sangat parah yang ditandai dengan berat badan menurut umur kurang dari 60% median pada baku WHONCHS atau terdapat tanda-tanda klinis seperti marasmus, kwashiorkor dan marasmik-kwashiorkor. Agar penentuan klasifikasi dan penyebutan status gizi menjadi seragam dan tidak berbeda maka Menteri Kesehatan RI mengeluarkan SK Nomor 920/Menkes/SK/VIII/2002 tentang klasifikasi status gizi anak bawah lima tahun. Dengan keluarnya SK tersebut maka data status gizi yang dihasilkan mudah dianalisis lebih lanjut baik untuk perbandingan , kecenderungan maupun analisis hubungan (Depkes, 2002). Menurut SK tersebut penentuan gizi status gizi tidak lagi menggunakan % terhadap median, melainkan nilai Z-score pada baku WHONCHS. Status gizi anak adalah keadaan kesehatan anak yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara antroppometri (Suhardjo, 1996), dan dikategorikan berdasarkan standar baku WHO-NCHS dengan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB Indikasi pengukuran dari variabel ini ditentukan oleh : 1. Penimbangan Berat Badan (BB) dan pengukuran Tinggi Badan (TB) Dilakukan oleh petugas klinik gizi sesuai dengan syarat-syarat penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan yang baik dan benar penggunaan timbangan berat badan dan meteran tinggi badan (mikrotoise) 2. Penentuan umur anak ditentukan sesuai tanggal penimbangan BB dan Pengukuran TB, kemudian dikurangi dengan tanggal kelahiran yang diambil dari data identitas anak pada sekolah masing-masing, dengan ketentuan 1 bulan adalah 30 hari dan 1 tahun adalah 12 bulan. Kriteria objektifnya dinyatakan dalam rata-rata dan jumlah Z score simpang baku (SSB) induvidu dan kelompok sebagai presen terhadap median baku
18
rujukan (Waterlow et al, dalam Djuamadias, Abunain, 1990). Untuk menghitung SSB dapat dipakai rumus :
Skor Baku Rujukan Dimana :
NIS
NIS NMBR NSBR
: Nilai Induvidual Subjek
NMBR : Nilai Median Baku Rujukan NSBR
: Nilai Simpang Baku Rujukan
Hasil pengukuran dikategorikan sbb : 1.
Untuk BB/U Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih
2. TB/U Pendek Normal Tinggi 3.
BB/TB Kurus Normal Gemuk
Bila SSB < - 2 SD Bila SSB -2 s/d +2 SD Bila SSB > +2 SD Bila SSB < -2 SD Bila SSB -2 s/d +2 SD Bila SBB > +2 SD Bila SSB < -2 SD Bila SSB -2 s/d +2 SD Bila SSB > +2 SD
Status gizi diinterpretasikan berdasarkan tiga indeks antropomteri, (Depkes, 2004) dan dikategorikan seperti yang ditunjukan pada Tabel 3. Tabel 3
BB/U Rendah Rendah Rendah Normal Normal Normal Tinggi Tinggi Tinggi
Kategori interpretasi status gizi berdasarkan tiga indeks (BB/U,TB/U, BB/TB Standar Baku Antropometeri WHO-NCHS) Indeks yang digunakan TB/U BB/TB Rendah Normal Tinggi Rendah Normal Rendah Normal Normal Tinggi Rendah Rendah Tinggi Tinggi Normal Rendah Tinggi Normal Tinggi
Interpretasi Normal, dulu kurang gizi Sekarang kurang ++ Sekarang kurang + Normal Sekarang kurang Sekarang lebih, dulu kurang Tinggi, normal Obese Sekarang lebih, belum obese
Keterangan : untuk ketiga indeks ( BB/U,TB/U, BB/TB) : Rendah : < -2 SD Standar Baku Antropometri WHO-NCHS Normal : -2 s/d +2 SD Standar Baku Antropometri WHO-NCHS Tinggi : >+2 SD Standar Baku Antropometri WHO-NCHS
Sumber: Depkes RI, 2004
19
Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh, Kejadian Malaria dan Status Gizi Umur Orangtua Orangtua, terutama ibu, cenderung kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh anak, sehingga umumnya mereka mengasuh dan merawat anak didasarkan pada pengalaman orangtua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya, sehingga kuantitas dan kualitas pengasuhan kurang terpenuhi. Sebaliknya, ibu yang lebih berumur cenderung menerima perannya dengan sepenuh hati (Hurlock EB, 1998). Pendidikan Orangtua Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat dari jenis pendidikan yang dialami atau lamanya mengikuti pendidikan formal atau non formal. Pada umumnya tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya.
Pendidikan
akan
menentukan
besar
kecilnya
penggunaan
pendapatan keluarga untuk pengadaan pangan sehari-hari (Sayogyo et al, 1994). Pendidikan sangat berkaitan dengan pekerjaan ibu karena semakin tinggi pendidikan maka akan semakin baik pekerjaan yang diperoleh. Pekerjaan yang baik akan menjamin pemenuhan terhadap akses pangan dan kesehatan serta proses keputusan pada konsumsi. Tingkat pendidikan juga sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan gizi yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan menerapkan dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari khususnya dalam kesehatan dan gizi. Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, menjaga kesehatan anaknya, pendidikannya, dan sebagainya (Soetjiningsih, 2002). Hasil penelitian Madanijah S (2003) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu dengan pendidikan yang tinggi cenderung memiliki pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik.
20
Pekerjaan Orangtua Pekerjaan orang tua turut menentukan kecukupan gizi dalam sebuah keluarga. Semua ibu yang bekerja di rumah maupun di luar rumah, keduanya akan tetap meninggalkan anak-anaknya untuk sebagian besar waktu. Pekerjaan responden sebagai ibu rumah tangga diharapkan dapat lebih banyak memberi waktu dalam pengasuhan bayinya. Hasil penelitian Gumala Y (2002), menyatakan ibu yang bekerja di luar rumah merupakan salah satu penyebab atau risiko yang dapat mengakibatkan pola asuh ibu yang tidak baik pada anak. Meskipun pekerjaan perempuan dapat meningkatkan aksesibilitas rumah tangga terhadap pendapatan, tetapi mungkin juga memiliki efek negatif terhadap status gizi anak-anak, karena mengurangi waktu ibu untuk perawatan anak. Pendapatan Keluarga Kemiskinan faktor penyebab gizi kurang menduduki pertama dalam kondisi yang umum. Hal ini harus mendapat perhatian yang serius karena keadaan ekonomi relatif mudah diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan. Dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan penghasilan maka masalah gizi akan diatasi karena mempunyai efek terhadap makanan. Makin banyak pendapatan yang diperoleh berarti makin baik makanan sumber zat gizi diperoleh. Pendapatan
keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh
kembang anak, karena orangtua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun yang skunder (Soetjiningsih, 1999). Pendapatan keluarga dihitung dari seluruh pendapatan anggota keluarga baik itu dari pekerjaan utama maupun pekerjaan sampingan. Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi sehingga terdapat hubungan erat antara pendapatan dan status gizi. Rendahnya pendapatan menyebabkan rendahnya daya beli terhadap makanan dan berkurangnya konsumsi pangan keluarga sehingga akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi keluarga (Riyadi et al, 1990). Sebuah penelitian di Malawi oleh Ettling M, McFarland L, Schultz and Chitsulo (1994) menemukan bahwa pengeluaran untuk pencegahan malaria berkorelasi positif dengan pendapatan.
21
Jumlah Anggota Keluarga Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat. Keluarga dibentuk dari sekelompok orang yang terikat dan mempunyai hubungan kekerabatan karena perkawinan, kelahiran, adopsi dan lain sebagainya. Unit keluarga menjadi hal penting untuk berbagai intervensi seperti penanganan kemiskinan, keluarga berencana dan lain sebagainya. Keluarga terbagi menjadi dua yaitu keluarga inti/batih (nuclear family) dan keluarga luas (extended family). Besarnya
jumlah
anggota
keluarga
biasanya
digunakan
untuk
menggambarkan kesejahteraan keluarga, dimana semakin kecil jumlah anggota keluarga diasumsikan akan semakin tinggi tingkat kesejahteraannya. Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan. Suhardjo (2003) mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara besar keluarga dan kurang gizi pada masing-masing keluarga. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata. Pengetahuan ibu Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan perabaan. Sebagaian besar perasaan pengetahuan manusia dapat diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007) Di antara ibu dan pengasuh tinggal di daerah kumuh di Jos, kemampuan mereka untuk mengenali malaria adalah rendah. Demikianlah pula halnya kesadaran mereka dan penggunaan Terapi Kombinasi Artemisinin. Peningkatan tingkat pendidikan dan kekuatan ekonomi mereka dapat meningkatkan pengetahuan dan praktik pengobatan (Daboer JC, John C, Jamda AM, Chingle MP & Ogbonna C. 2010). Kinung'hi et al 2010 menyebutkan bahwa warga di Kabupaten Muleba Utara Tanzania memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentang malaria, namun pengetahuan ini belum belum sepenuhnya dipraktekkan dalam penggunaan intervensi malaria yang tersedia Pengetahuan ibu tentang kesehatan dan gizi mempunyai hubungan yang erat dengan pendidikan. Anak dari ibu dengan latar belakang pendidikan yang
22
tinggi mungkin akan dapat kesempatan untuk hadir dan tumbuh kembang dengan baik. Membesarkan anak sehat tidak hanya dengan kasih sayang belaka namun seorang ibu perlu ketrampilan yang baik. Kurangnya pengetahuan tentang gizi akan kemampuan untuk menerapkan informasi dalam kehidupan sehari-hari merupakan penyebab kejadian gangguan kurang gizi. Menurut Suhardjo (1996). Ibu yang mempunyai pengetahuan tentang makanan yang bergizi, cenderung mempunyai anak dengan status gizi yang baik. Tingkat pengetahuan gizi ibu akan berpengaruh terhadap sikap perawatan anak serta dalam perawatan memilih makanan. Menurut Unicef (1998) gizi kurang pada anak balita disebabkan juga oleh beberapa faktor yang kemudian diklasifikasikan sebagai penyebab langsung, penyebab tidak langsung, pokok masalah dan akar masalah. Gizi kurang secara langsung disebabkan oleh kurangya konsumsi makanan dan adanya penyakit infeksi. Makin bertambah usia anak maka makin bertambah pula kebutuhannya. Konsumsi makanan dalam keluarga dipengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga dan kebiasaan makan secara perorangan. Konsumsi juga tergantung pada pendapatan, agama, adat istiadat, dan pendidikan keluarga yang bersangkutan (Almatsier S, 2003). Tidak ada hubungan antara KEP dan morbiditas malaria, tapi anak-anak kekurangan gizi memiliki risiko lebih dari dua kali lipat lebih tinggi meninggal dibandingkan non-anak kurang gizi (Olaf et al, 2003). Timbulnya gizi kurang bukan saja karena makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat menderita gizi kurang. Sebaliknya anak yang makan tidak cukup baik maka daya tahan tubuhnya (imunitas) dapat melemah, sehingga mudah diserang penyakit infeksi, kurang nafsu makan dan akhirnya mudah terkena gizi kurang (Soekirman, 2000). Sehingga disini terlihat interaksi antara konsumsi makanan yang kurang dan infeksi merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Hubungan antara kurang gizi dengan penyakit infeksi tergantung dari besarnya dampak yang ditimbulkan oleh sejumlah infeksi terhadap status gizi itu sendiri. Beberapa contoh bagaimana infeksi bisa berkontribusi terhadap kurang gizi
seperti
infeksi
pencernaan
dapat
menyebabkan
diare,
HIV/AIDS,
tuberculosis, dan beberapa penyakit infeksi kronis lainnya bisa menyebabkan
23
anemia dan parasit pada usus dapat menyebabkan anemia. Penyakit infeksi disebabkan oleh kurangnya sanitasi dan bersih, pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai, dan pola asuh anak yang tidak memadai (Soekirman, 2000). Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan dikeluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Rendahnya ketahanan pangan rumah tangga, pola asuh anak yang tidak memadai, kurangnya sanitasi lingkungan serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai merupakan tiga faktor yang saling berhubungan. Makin tersedia air bersih yang cukup untuk keluarga serta makin dekat jangkauan keluarga terhadap pelayanan dan sarana kesehatan, ditambah dengan pemahaman ibu tentang kesehatan, makin kecil resiko anak terkena penyakit dan kekurangan gizi (Unicef, 1998) Sedangkan penyebab mendasar atau akar masalah gizi di atas adalah terjadinya krisis ekonomi, politik dan sosial termasuk bencana alam, yang mempengaruhi ketidak-seimbangan antara asupan makanan dan adanya penyakit infeksi, yang pada akhirnya mempengaruhi status gizi balita (Soekirman, 2000).
Kejadian Malaria Pengertian Malaria Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit (protozoa) dari genus plasmodium, yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk Anoples. Istilah malaria diambil dari dua kata bahasa Italia, yaitu mal (=buruk) dan area (=udara) atau udara burukkarena dahulu banyak terdapat didaerah rawa-rawa yang mengeluarkan bau busuk. Penyakit ini juga mempunyai beberapa nama lain, seperti demam roma, demam rawa, demam tropik, demam pantai, demam charges, demam kura, dan paludisme. Di Indonesia, penyakit ini ditemukan tersebar di seluruh kepulauan. biasanya, malaria menyerang penduduk yang tinggal di daerah endemis atau orang-orang yang bepergian ke daerah yang angka penularannya tinggi. (Prabowo, 2002) menyebutkan bahwa prevalensi parasit malaria lebih tinggi di pedesaan dibandingkan di daerah perkotaan (Estefanía et al, 2009). Kirby et al, (2008) penularan malaria terbesar terjadi didaerah pedesaan Gambia Sahara
24
Afrika, dimana masyarakat tidur dalam rumah yang terbuat dari bata dan atap terbuka. Daerah endemis malaria dibagi menjadi : 1. Endemis Tinggi (HCI = High Case Incidence) adalah API > 5 per 1.000 penduduk, yang terbagai tiga yaitu HCI I adalah API 5-49, HCI II adalah API 50-100, HCI III adalah API >100 2. Endemis Sedang (MCI = Moderate Case Incidence) adalah API berkisar antara 1 – < 5 per 1.000 penduduk 3. Endemis Rendah (LCI = Low Case Incidence) adalah API 0 – 1 per 1.000 penduduk, 4. Non Endemis adalah daerah yang tidak terdapat penularan malaria (Daerah pembebasan malaria) atau API = 0. Di Indonesia diperkirakan terdapat 544 470 kasus malaria, dengan perkiraan kematian akibat malaria adalah 900 orang. Peta stratifikasi malaria di Indonesia menurut Ditjen P2PL Tahun 2009 disajikan pada Gambar 1 berikut:
Gambar 1 Peta stratifikasi malaria Tahun 2009 Malaria masih menjadi salah satu penyakit yang mematikan di Provinsi Papua Barat, sebanyak 15% penyebab kematian di provinsi ini disebabkan oleh malaria. Trend prevalensi penyakit malaria di provinsi selama tiga tahun terakhir
25
menunjukkan penurunan namun angkanya masih tetap tinggi. Pada tahun 2008, dalam 1.000 penduduk terdapat 84 orang yang terjangkit malaria dan tahun 2010 turun menjadi 64 orang. Itu berarti, dari jumlah penduduk 798 600 jiwa, yang terjangkit malaria mencapai 51.000 orang setiap tahun. Dari jumlah penderita yang tercatat selama tahun 2010, sebanyak 4 678 orang dirawat inap di rumah sakit dan Puskesmas, serta 61 orang meninggal karena malaria. Jumlah penderita malaria yang meninggal terbanyak ada di Kabupaten Manokwari dan Fakfak. Peta persebaran Annual Parasite Incidence di Kabupaten Manokwari menurut Dinkes Kabupaten Manokwari Tahun 2011 disajikan pada Gambar 2.
Tdk ada Data 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Snopi 7. Membey Mubrani 8. Neney Catobouw 9. Tahota Hink 10. Kebar Taige 11. Testega Didohu 12. Anggi Gida
< 47 %o 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Amberbaken Manokwari Selatan Warmare Minyambouw Dataran Isim Momiwaren Mkw Timur
48 – 1330 %o 14. Masni 15. Sidey 16. Manokwari Utara 17. Tanah Rubuh 18. Sururey
> 134 %o 19. Manokwari Barat 20. Prafi 21. Anggi 22. Oransbari 23. Ransiki
Gambar 2 Peta persebaran API di Kabupaten Manokwari Tahun 2011 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurhaedah Arif (2008) terhadap empat lokasi yaitu daerah Amban, Wosi, Sanggeng dan Kota ditemukan 1 024 ekor nyamuk. Dari jumlah tersebut hanya 115 ekor nyamuk yang merupakan nyamuk Anopheles Betina sedangkan yang lainnya yaitu
26
nyamuk Anopheles jantan, nyamuk Culex dan Aedes. Nyamuk Anopheles Betina yang ditemukan terdiri dari 4 spesies yaitu Anopheles bancrofti, Anopheles kochi, Anopheles farauti dan Anopheles koliensis. Diagnosis Malaria Diagnosis malaria ditegakkan
seperti diagnosisi penyakit lainnya
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti malaria harus ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopik atau tes diagnosis cepat (RDT-Rapid Diagnostik Test). Gejala klinis malaria yang dikenal secara umum adalah Trias Malaria yang terdiri dari demam, menggigil, dan berkeringat. Beberapa gejala lainnya adalah sebagai berikut : a. Sakit kepala b. Mual c. Muntah d. Diare e. Nyeri Otot/pegal-pegal Gejala malari berat adalah seperti di bawah ini a. Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat b. Keadaan umum yang lemah (tidak bisa duduk/berdiri) c. Kejang-kejang d. Panas sangat tinggi e. Mata atau tubuh kuning f. Perdarahan hidung, gusi atau saluran pencernaan g. Nafas cepat dan atau sesak nafas h. Muntah terus menerus dan tidak dapat makan minum i. Warna air seni seperti teh tua dan dapat sampai kehitaman j. Jumlah air seni kurang (oliguria) sampai tidak ada (anuria) k. Telapak tangan sangat pucat Pengobatan Malaria Malaria dapat disembuhkan dengan mendapatkan pengobatan yang tepat, bila tidak ditangani malaria dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat (<7 hari), atau dapat menyebabkan kekambuhan karena pengobatan
27
yang tidak tuntas atau meminum obat malaria yang tidak tepat (mendapatkan obat warung). Sebaiknya malaria berat segera ditangani < dari 24 jam untuk mencegah terjadinya komplikasi organ tubuh lain yang lebih berat. Pengobatan malaria dilakukan dengan kondisi sebagai berikut : a.
Penderita Malaria harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan sediaan darah (mikroskopis atau RDT) untuk memastikan positif atau tidak,
b.
Pengobatan menggunakan Artemisinin Based Combination Therapy (ACT)
c.
Obat Anti Malaria tersedia di Puskesmas & RS Pemerintah Pengobatan yang diberikan adalah pengobatan radikal malaria dengan
membunuh semua stadium parasit yang ada didalam tubuh manusia. Adapun tujuan pengobatan radikal adalah untuk mendapat kesembuhan klinis dan parasitologik serta memutuskan rantai penularan. Semua obat anti malaria tidak boleh diberikan dalam keadaan perut kosong karena bersifat iritasi lambung. Oleh sebab itu penderita harus makan terlebih dahulu setiap akan minum obat anti malaria. Malaria dapat diobati secara efektif pada awal perjalanan penyakit, tetapi penundaan pengobatan dapat berakibat serius atau bahkan fatal. Pilihan pengobatan tergantung pada spesies malaria, dan kemungkinan resistensi obat (berdasarkan di mana infeksi diperoleh), usia pasien, status kehamilan, dan tingkat keparahan infeksi. Pengobatan ACT terdiri dari : a. Malaria Falciparum : DHP (3 hari) + Primakuin (1 hari) atau ArtesunatAmodiakuin (3 Hari) + Primakuin (1 hari) b. Malaria Vivaks : DHP (3 hari) + Primakuin (14 hari) atau ArtesunatAmodiakuin (3 Hari) + Primakuin (14 hari)
Dampak Penyakit Malaria Penyakit
malaria menimbulkan anemi atau kekurangan darah pada
penderitanya. Adapun dampak anemi dari penyakit malaria adalah sebagai berikut : a. Keguguran dan perdarahan pada ibu hamil serta kelahiran prematur dan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) b. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada bayi dan balita c. Menurunnya prestasi belajar dan olahraga pada pelajar d. Menurunnya produktivitas kerja dan pendapatan
28
e. Melemahnya daya tahan tubuh yang berakibat mudah sakit dan kematian Klasifikasi Jenis Malaria Di Indonesia kasus malaria yang paling banyak ditemukan adalah karena plasmodium Falciparum (50%) dan plasmodium Vivaks (50%). Plasmodium ditularkan oleh nyamuk malaria (berbagai spesies Anopheles). Penyebarannya dipengaruhi tiga komponen yang merupakan segitiga epidemiologi malaria, yaitu: a.
Host (Pejamu) manusia, Perilaku berisiko manusia yang sering melakukan kegiatan di luar rumah pada malam hari, karena nyamuk malaria mengigit pada malam hari.
b.
Agent (Penyebab Penyakit) nyamuk, Infektifitas : jenis dan genetik vektor malaria Tingkat replikasi : jenis dan iklim Virulensi : jenis dan tingkat replikasi
c. Environment (Lingkungan). Kimia/fisik : perubahan iklim (Climate change) Ekologi vector : densitas, populasi, kompetensi dan genetic vektor Menurut Harijanto (2000) pembagian jenis-jenis malaria berdasarkan jenis plasmodiumnya antara lain sebagai berikut : a) Malaria tropika (Plasmodium falcifarum) Malaria tropika/ falciparum malaria tropika merupakan bentuk yang paling berat, ditandai dengan panas yang ireguler, anemia, splenomegali, parasitemia yang banyak dan sering terjadi komplikasi. Masa inkubasi 9-14 hari. Malaria tropika menyerang semua bentuk eritrosit disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Plasmodium ini berupa ring/ cincin kecil yang berdiameter 1/3 diameter eritrosit normal dan merupakan satu-satunya spesies yang memiliki dua kromatin inti (Double Chromatin). Klasifikasi penyebaran malaria tropika: Plasmodium falcifarum menyerang sel darah merah
seumur
hidup.
Infeksi
Plasmodium
falcifarum
sering
kali
menyebabkan sel darah merah yang mengandung parasit menghasilkan banyak tonjolan untuk melekat pada lapisan endotel dinding kapiler dengan
29
akibat obstruksi trombosis dan iskemik lokal. Infeksi ini sering kali lebih berat dari infeksi lainnya dengan angka komplikasi tinggi (Malaria Serebral, gangguan gastrointestinal, Algid Malaria, dan Black Water Fever). b) Malaria kwartana (Plasmodium malariae) Plasmodium
malariae
mempunyai
tropozoit
yang
serupa
dengan
Plasmodium vivax, lebih kecil dan sitoplasmanya lebih kompak/ lebih biru. Tropozoit matur mempunyai granula coklat tua sampai hitam dan kadangkadang mengumpul sampai membentuk pita. Skizon Plasmodium malariae mempunyai 8-10 merozoit yang tersusun seperti kelopak bunga/rossete. Bentuk gametosit sangat mirip dengan Plasmodium vivax tetapi lebih kecil. Ciri-ciri demam tiga hari sekali setelah puncak 48 jam. Gejala lain nyeri pada kepala dan punggung, mual, pembesaran limpa, dan malaise umum. Komplikasi yang jarang terjadi namun dapat terjadi seperti sindrom nefrotik dan komplikasi terhadap ginjal lainnya. Pada pemeriksaan akan di temukan edema, asites, proteinuria, hipoproteinemia, tanpa uremia dan hipertensi. c) Malaria ovale (Plasmodium ovale) Malaria tersiana (Plasmodium ovale) bentuknya mirip Plasmodium malariae, skizonnya hanya mempunyai 8 merozoit dengan masa pigmen hitam di tengah. Karakteristik yang dapat di pakai untuk identifikasi adalah bentuk eritrosit yang terinfeksi Plasmodium ovale biasanya oval atau ireguler dan fibriated. Malaria ovale merupakan bentuk yang paling ringan dari semua malaria disebabkan oleh Plasmodium ovale. Masa inkubasi 1116 hari, walau pun periode laten sampai empat tahun. Serangan paroksismal 3-4 hari dan jarang terjadi lebih dari 10 kali walau pun tanpa terapi dan terjadi pada malam hari.
d) Malaria tersiana (Plasmodium vivax). Malaria tersiana (Plasmodium vivax) biasanya menginfeksi eritrosit muda yang diameternya lebih besar dari eritrosit normal. Bentuknya mirip dengan plasmodium falcifarum, namun seiring dengan maturasi, tropozoit vivax berubah menjadi amoeboid. Terdiri dari 12-24 merozoit ovale dan pigmen kuning tengguli. Gametosit berbentuk oval hampir memenuhi seluruh eritrosit, kromatinin eksentris, pigmen kuning. Gejala malaria jenis ini secara
periodik
48
jam
dengan
gejala
klasik
trias
malariadan
30
mengakibatkan demam berkala 4 hari sekali dengan puncak demam setiap 72 jam. Dari semua jenis malaria dan jenis plasmodium yang menyerang system tubuh, malaria tropika merupakan malaria yang paling berat ditandai dengan panas yang ireguler, anemia, splenomegali, parasitemis yang banyak, dan sering terjadinya komplikasi. Siklus hidup Plasmodium terbagi menjadi dua, yaitu di dalam tubuh nyamuk anoples betina dan di dalam tubuh manusia Dalam tubuh nyamuk Secara alamiah, hanya nyamuk betina yang memakan darah, nyamuk jantan tidak sehingga tidak berfungsi sebagai vektor. Apabila nyamuk Anopheles betina menghisap darah yang mengandung gametosit, gamet jantan dan betina melakukan pembuahan menjadi zigot. Zigot berkembang menjadi ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk. Pada dinding luar lambung nyamuk, ookinet menjadi ookista dan selanjutnya menjadi sporozoid yang akan masuk ke kelenjar liur nyamuk. Sporozoid ini bersifat infektif dan siap ditularkan ke manusia. Dalam tubuh manusia Pada waktu nyamuk anopheles infektif menghisap darah manusia, sporozoid dikelenjar liur nyamuk masuk kedalam peredaran darah selama kurang lebih 30 menit. Setelah itu sporozoid masuk kedalam sel hati dan menjadi tropozoid hat. Kemudian berkembang menjadi scizon hati yang terdiri dari 10 000 – 30 000 merozoid hati (tergantung spesiesnya), siklus ini disebut siklus eksoeritrositer yang berlangsung selama ± 2 minggu. Pada P.vivax dan P.ovale, sebagian tropozoid hati tidak langsung berkembang menjadi scizon, tetapi ada yang menjadi bentuk dormant yang disebut hipnozoid, hipnozoid ini dapat hidup didalam hati selama berbulan – bulan bahkan bertahun – tahun dan pada saat imunitas tubuh turun akan menjadi aktif dan menyebabkan relaps (kambuh). Merozoid yang berasal dari scizon hati yang pecah akan masuk ke peredaran darah dan menginfeksi eritrosit (sel darah merah). Di dalam sel darah merah , parasit tersebut berkembang dari stasium tropozoid sampai scizon (30– 300 merozoid, tergantung spesiesnya), proses perkembangan aseksual ini disebut Scizogoni, selanjutnya eritrosit yang terinfeksi (scizon) pecah dan merozoid yang keluar akan menginfeksi sel darah merah yang lainnya. Siklus ini
31
disebut siklus eritrositer. Setelah 2–3 siklus scizogoni darah, sebagian merozoid yang menginfeksi sel darah merah akan membentuk stadium seksual (gametosit jantan dan betina) yang akan masuk ke dalam tubuh nyamuk saat ia menghisap darah manusia terinfeksi ini. Penanggulangan Malaria Berdasarkan komitmen global melalui MDGs dan RBM (Roll Back Malaria), serta komitmen nasional melalui RPJM, Inpres 3, dan RAD, pemerintah Indonesia menyusun rencana dalam rangka eliminasi malaria di Indonesia. Eliminasi malaria secara bertahap sebagai berikut : a. Eliminasi DKI pada tahun 2010, Bali dan Batam dalam proses untuk eliminasi; b. Eliminasi Jawa, NAD, Kepri pada tahun 2015; c. Eliminasi Sumatera, NTB, Kalimantan, Sulawesi pada tahun 2020; dan d. Eliminasi Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, NTT pada tahun 2030. Beberapa hal yang perlu diperhatikan : a. Diagnosa malaria harus terkonfirmasi mikroskop/uji reaksi cepat (RDT) STOP Malaria Klinis b. Pengobatan dengan Artemisinin Based Combination Therapy (ACT) STOP Klorokuin c.
Pencegahan
penularan
malaria
dengan
distribusi
kelambu
(LLIN)
penyemprotan (IRS), repellent, larvasiding. d. Memperkuat desa siaga dengan pembentukan Posmaldes e. Kemitraan melalui Forum Gebrak Malaria Cara mencegah penyakit malaria menurut Depkes RI,2004: a. Menghindari gigitan nyamuk b. Tidur memakai kelambu c.
Memakai obat anti nyamuk
d. Mengolesi badan dengan obat anti nyamuk (repelen) e. Memasang kawat kasa f.
Menjauhkan kandang ternak dari rumah
g. Jangan berada diluar rumah pada malam hari. Apabila pada malam hari sebaiknya memakai pakaian yang tertutup (menggunakan lengan panjang) atau memakai obat anti nyamuk oles.
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran Anak balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan penyakit. Kelompok ini merupakan kelompok umur yang paling menderita akibat gizi dan jumlahnya dalam populasi besar. Status gizi anak balita sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya pola asuh. Engle P, Menon P and Haddad L (1997) mengemukakan bahwa pengasuhan biasanya dilakukan oleh wanita atau ibu. Pola pengasuhan yang diberikan oleh ibu terhadap anak balita akan sangat berpengaruh terhadap konsumsi pangan anak balita dan pada akhirnya akan mempengaruhi status gizi anak balita. Pola pengasuhan yang diberikan ibu dapat berupa pola asuh makan dan pola asuh kesehatan. Pola asuh makan balita dapat berupa riwayat pemberian ASI dan penyapihan, jenis makanan yang diberikan, cara memberikan makan, suasana saat makan dan siapa yang memberi makan. Sedangkan pola asuh kesehatan meliputi praktek ibu dalam mencegah malaria dan perawatan anak dalam keadaan sakit. Pola asuh kesehatan akan sangat mempengaruhi status kesehatan anak, karena apabila pola asuh kesehatan yang diberikan kurang baik, maka kemungkinan konsumsi pangan anak terganggu, akibatnya akan terjadi penurunan kekebalan tubuh. Keadaan ini menyebabkan anak balita akan cepat dihinggapi berbagai penyakit, salah satunya penyakit malaria. Pola asuh meliputi perhatian/ dukungan ibu terhadap anak dalam praktek pemberian makanan (pemberian makanan pendamping pada anak serta persiapan dan penyimpanan makanan), rangsangan psikososial, perawatan kesehatan (praktek kebersihan/ hygiene dan sanitasi lingkungan serta perawatan balita dalam keadaan sakit). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh, diantaranya adalah karakteristik keluarga dan karakteristik anak. Jika pola asuh anak di dalam keluarga sudah baik maka status gizi akan baik juga. Pengetahuan gizi dan kesehatan ibu merupakan dasar yang harus dimiliki oleh seorang ibu, karena pengetahuan gizi dan kesehatan akan berpengaruh terhadap pola pengasuhan yang akan diterapkan oleh ibu. Status gizi anak balita sangat dipengaruhi konsumsi pangan. Konsumsi pangan anak dapat dipengaruhi oleh pola asuh
33
yang diterapkan oleh orang dewasa dalam keluarga tersebut, dalam hal ini biasanya ibu yang memegang peranan penting terhadap konsumsi pangan anak. Berdasarkan pada kerangka pemikiran tersebut, disusun suatu bagan yang menggambarkan hubungan antar peubah (Gambar 3).
Status gizi balita BB/U, TB/U, BB/TB
Program penanggulangan malaria
Kejadian malaria − Status malaria − Jenis malaria − Frekuensi sakit − Riwayat penyakit lain
Tingkat kecukupan - Asupan energi, protein, Vit A, Vit C dan Vit B12 - Kebutuhan gizi
Konsumsi pangan
Sanitasi lingkungan
Praktek kebersihan anak
Pola asuh makan - Riwayat ASI dan penyapihan - Praktek pemberian makan
Pola asuh kesehatan
Perawatan anak saat sakit Praktek ibu dalam mencegah malaria
Karakteristik balita - Umur - jenis kelamin - Berat badan lahir
Karakteristik orangtua - Umur - Pendidikan - Pekerjaan - Pendapatan keluarga - Besar keluarga - Asal suku
Pengetahuan ibu tentang ASI dan malaria
Keterangan : : Variabel diteliti : Variabel tidak diteliti : Hubungan yang dianalisis
Gambar 3 Kerangka pemikiran hubungan antara pola asuh makan, pola asuh kesehatan dengan kejadian malaria dan status gizi balita
34
Hipotesis Penelitian 1. Terdapat hubungan antara pola asuh makan, tingkat konsumsi, pola asuh kesehatan, kejadian malaria dengan status gizi balita 2. Terdapat hubungan antara pola asuh makan, pola asuh kesehatan, sanitasi lingkungan dengan kejadian malaria 3. Kejadian malaria dan status gizi balita dipengaruhi oleh karakteristik balita, karakteristik sosial ekonomi keluarga, pengetahuan dan sikap ibu tentang ASI dan malaria, serta sanitasi lingkungan
METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional, yaitu pengamatan terhadap paparan dan outcome dilakukan dalam satu periode waktu yang bersamaan. Penelitian ini dilakukan diempat puskesmas yang memiliki jumlah penderita malaria terbanyak yaitu Puskesmas Sanggeng, Wosi, Warmare dan Prafi di Kabupaten Manokwari Propinsi Papua Barat. Pelaksanaan penelitian berlangsung dari bulan Mei sampai bulan Juli 2012.
Populasi dan Sampel Kabupaten Manokwari merupakan wilayah endemik yang terdiri dari 29 kecamatan, 16 puskesmas aktif dan enam puskesmas tidak aktif. Contoh dalam penelitian ini diambil berdasarkan tahapan berikut : 1. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive tiga kecamatan dari 29 kecamatan berdasarkan jumlah penderita malaria paling banyak dan dengan pertimbangan aksesibilitas, keterbatasan waktu dan biaya penelitian. Kecamatan terpilih yaitu Kecamatan Manokwari Barat, Kecamatan Warmare dan Kecamatan Prafi. 2.
Pemilihan dua puskesmas dari Kecamatan Manokwari Barat secara purposif dan masing-masing satu puskesmas dari Kecamatan Warmare dan Prafi, sehingga diperoleh empat puskesmas.
3.
Populasi dalam penelitian ini adalah balita yang diperiksa di puskesmas. Berdasarkan Riskesdas 2010, puskesmas merupakan unit pemeriksaan malaria yang paling banyak dimanfaatkan (40.4%) sedangkan yang terendah persentase pemanfaatannya adalah Poskesdes (0.4%).
4. Sampel adalah anak balita dengan kriteria inklusi pada saat penelitian: anak berumur 2-5 tahun, berdomisili tetap diwilayah kerja puskesmas minimal satu tahun atau lebih dan ibunya bersedia di wawancarai. 5. Jumlah populasi balita di Kabupaten Manokwari tahun 2011 adalah 5 400 balita dan total balita ditiga kecamatan adalah 672 balita. Besar sampel minimum yang diambil ditentukan dengan rumus Slovin yaitu rumus penentuan besar sampel untuk penelitian survei setelah diperoleh kriteria inklusi (Notoatmodjo, 2007).
36
n=
dimana : N = Populasi yang memenuhi kriteria inklusi n = Besar Sampel d2 = Tingkat Kesalahan (0.05)
Dengan perhitungan sebagai berikut : n= n= n=
balita
Berdasarkan perhitungan sampel menggunakan rumus di atas, diperoleh besar sampel minimum sebanyak 100 balita. yang tersebar di empat puskesmas Kabupaten Manokwari, masing-masing puskesmas diambil 25 sampel dengan metode acak sederhana (simple random sampling). Berikut skema tahapan pengambilan contoh. 29 Kecamatan dengan 11 puskesmas aktif Purposive Sampling 3 Kecamatan Total balita = 672 Total sampel = Sampel minimum n = 100
Kecamatan Warmare
Kecamatan Prafi
Kec. Manokwari Barat Purposive Sampling
1 Puskesmas
1 Puskesmas
2 Puskesmas Simple Random Sampling
Warmare n = 25
Prafi n = 25
Wosi n = 25
Sanggeng n = 25
Gambar 4 Skema tahapan pengambilan contoh
37
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik keluarga yang mencakup umur orangtua, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, pendapatan keluarga, besar keluarga, asal suku, pengetahuan dan sikap ibu tentang ASI dan malaria, karakteristik anak balita yang mencakup umur, jenis kelamin, berat badan lahir, pola asuh makan, pola asuh kesehatan, riwayat menyusui dan penyapihan, kejadian malaria dan sanitasi lingkungan. Data tersebut dikumpulkan dengan teknik wawancara menggunakan kuesioner. Data sekunder yang dikumpulkan adalah data berat badan waktu lahir yang diperoleh dari KMS, catatan puskesmas, data program penanggulangan malaria dari dinas kesehatan dan data keadaan wilayah penelitian yang diperoleh dari laporan monografi desa. Tabel 4 merangkum semua variabel dan data primer yang diteliti. Tabel 4 Cara pengumpulan data primer No
Variabel
Data
Cara pengumpulan data
1
Karakteristik anak balita
Umur anak Jenis Kelamin anak Berat badan lahir
Wawancara dengan menggunakan kuesioner dan melihat KMS.
2
Karakteristik keluarga
Umur orangtua Pendidikan orangtua Pekerjaan orangtua Pendapatan keluarga Besar keluarga
Wawancara dengan menggunakan kuesioner
3
Pengetahuan ibu
Tentang ASI dan Malaria
Wawancara dengan menggunakan kuesioner
4
Kejadian malaria
Status malaria Frekuensi sakit malaria Jenis malaria Riwayat penyakit lain
Wawancara dengan menggunakan kuesioner
5
Pola asuh makan
Riwayat Menyusui dan Penyapihan Praktek memberi makan
Wawancara menggunakan kuesioner dan observasi lapang
6
Konsumsi anak balita
Tingkat kecukupan energi, Protein, vit A, vit C, vit B12
Recall 2x24 jam dan observasi lapang
7
Pola asuh Kesehatan
Praktek kebersihan anak Perawatan anak sakit Praktek ibu dalam mencegah malaria
Wawancara menggunakan kuesioner dan observasi lapang
8
Sanitasi lingkungan
Keadaan tempat tinggal Sumber air bersih, dll
Wawancara menggunakan kuesioner dan observasi lapang
9
Status gizi Balita
Indeks BB/U Indeks TB/U Indeks BB/TB
Menimbang BB dengan timbangan seca dan mengukur TB dengan microtoise
38
Pengolahan dan Analisis Data Tahapan Pengolahan Data Pemeriksaan data isian pada instrumen penelitian (editing), dilakukan untuk memastikan bahwa data yang diperoleh sudah lengkap atau belum, Hal ini dilakukan dengan meneliti tiap lembar jawaban kuesioner hasil wawancara. Pemberian kode (coding), merupakan kegiatan merubah data kedalam bentuk angka/bilangan, terutama pada pertanyaan-pertanyaan yang belum sesuai dengan kode yang ada pada definisi operasional berdasarkan hasil ukur. Kegiatan dengan tujuan untuk memudahkan pada saat analisis dan juga mempercepat pada saat memasukan data ke program komputer. Memasukkan data ke dalam program komputer (entry data), dilakukan setelah semua lembaran kuesioner terisi penuh dan benar serta sudah dilakukan pengkodean, selanjutnya data dapat diproses dengan cara memasukan hasil jawaban yang diperoleh dari wawancara ke dalam program komputer. Membersihkan data (cleaning), yaitu kegiatan pembersihan data dilakukan untuk mengecek kembali sebelum dilakukan analisis lebih lanjut. dan pemberian skor pada data (scoring). Setelah itu data dianalisis menggunakan Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi 16.0. Data yang tersedia dihitung masing-masing jumlah skornya, agar dapat dianalisis hal ini disebabkan beberapa variabel penelitian merupakan variabel data komposit seperti pengetahuan ibu tentang ASI dan malaria, pola asuh makan, sanitasi lingkungan dan kejadian malaria. Pengetahuan ibu tentang ASI diperoleh melalui total skor dari 14 pertanyaan berbentuk multiple choice sedangkan pengetahuan ibu tentang malaria diperoleh dari 16 pertanyaan. Masing-masing pertanyaan diberi skor 1 untuk jawaban benar dan 0 untuk jawaban salah. Selanjutnya tingkat pengetahuan ibu tentang ASI dan malaria dikategorikan dengan menetapkan cut off point dari skor yang telah dijadikan persen. Kategori untuk tingkat pengetahuan ibu dibagi dalam dua kategori yaitu baik dan kurang baik. Pola makan meliputi tiga variabel yaitu praktek pemberian makan balita yang terdiri dari 18 pertanyaan dan praktek makan anak terdiri dari 15 pertanyaan berbentuk multiple choice. Pola asuh kesehatan meliputi praktek kebersihan yang terdiri dari 13 pertanyaan, perawatan anak saat sakit yang
39
terdiri dari 10 pertanyaan dan praktek pencegahan malaria yang terdiri dari 23 pertanyaan. Tingkat kejadian malaria terdiri dari 10 pertanyaan berkaitan dengan status malaria, frekuensi sakit, jenis malaria serta riwayat penyakit lain. Sedangkan sanitasi lingkungan terdiri dari 12 pertanyaan. Selanjutnya untuk mempermudah dalam pembahasan, maka masingmasing praktek ibu dalam variabel pola asuh makan, pola asuh kesehatan, sanitasi lingkungan dan kejadian malaria dikategorikan ke dalam kriteria baik (≥ 70%) dan kurang (< 70%). Pengkategorian tersebut dihitung berdasarkan nilai maksimum setiap jenis praktek ibu, dengan cara skor praktek ibu dibagi nilai maksimum praktek ibu dikali 100% (Masithah T, Soekirman dan Drajat M, 2005). Data konsumsi pangan anak balita diperoleh dari recall terhadap ibu bayi meliputi jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi selama 2 x 24 jam. Pangan yang dikonsumsi dikonversikan beratnya dalam satuan gram kemudian dihitung kandungan zat gizinya dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) melalui program Microsoft Excell. Dari konversi tersebut, diketahui ratarata konsumsi zat gizi per individu per hari (Hardinsyah dan Briawan 1994). Zat gizi yang diukur dalam penelitian ini adalah energi, protein, vitamin A, vitamin C, dan vitamin B12. Konversi dihitung dengan rumus sebagai berikut: Kgij = {(Bj/ 100) x Gij x (BDDj/ 100)} Keterangan: Kgij
=
Kandungan zat gizi-I dalam bahan makanan-j
Bj
=
Berat makanan-j yang dikonsumsi (g)
Gij
=
Kandungan zat gizi dalam 100 g BDD bahan makanan-j
BDDj =
Bagian bahan makanan-j yang dapat dimakan
Gambaran tentang tingkat konsumsi gizi anak balita diperoleh dengan menggunakan Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (AKG) tahun 2004. Tingkat kecukupan energi dan zat gizi dihitung berdasarkan angka kecukupan gizi yang dianjurkan menurut umur dan berat badan (Hardinsyah dan Tambunan 2004). Angka kecukupan gizi contoh dihitung dengan rumus sebagai berikut: AKGI = (Ba/ Bs) x AKG
40
Keterangan: AKGI = Angka kecukupan zat gizi contoh Ba
= Berat badan aktual sehat (kg)
Bs
= Berat badan standar (kg)
AKG
= Angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan
Tingkat konsumsi gizi diukur dengan menghitung jumlah konsumsi gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C, dan vitamin B12) dibagi angka kecukupan gizi, kemudian dikalikan 100%. TKGI = (KI/AKGI) x 100% Keterangan: TKG
=
Tingkat kecukupan contoh
Ki
=
Konsumsi energi, protein, vit A, C dan B12 contoh
AKGi =
Angka kecukupan energi, protein, vit A, C dan B12 contoh
Selanjutnya, tingkat kecukupan zat gizi diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu kurang baik (< 70%) dan baik (≥ 70%). Status gizi balita ditentukan dengan cara pengukuran antropometri dengan menggunakan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Pengolahan data status gizi dilakukan dengan menggunakan Sofware WHO ANTRO 2005. dan status gizi anak balita diklasifikasikan berdasarkan standar baku WHO-NCHS (Tabel 5). Penilaian status gizi dilakukan dengan cara perhitungan z-skor dengan rumus sebagai berikut: Z-Skor = Nilai Invidual Subjek – Nilai Median Baku Rujukan Nilai Simpang Baku Rujukan
Tabel 5 merangkum pengkategorian variabel penelitian.
41
Tabel 5 Rekapitulasi pengkategorian variabel penelitian No
Variabel
Kategori
Jenis data Ordinal
1.
Umur balita (Tahun)
1. 2-3 2. 4-5
2.
Jenis Kelamin anak
1. Laki-laki 2. Perempuan
Nominal
3.
Berat badan lahir
1. < 2500 (BBLR) 2. ≥ 2500 (normal)
Ordinal
4.
Umur orangtua
1. Tua (< 35 thn) 2. Muda (≥ 35 thn)
Ordinal
5.
Pendidikan orangtua
1. Tinggi 2. Rendah
Ordinal
6.
Pekerjaan orangtua
1. Bekerja 2. Tidak Bekerja
Ordinal
7.
Pendapatan keluarga
1. Tinggi (≥ UMR p Prop Papua Barat) 2. Rendah (< UMR Propinsi Papua Barat)
Ordinal
8.
Besar keluarga
1. Besar (>4 orang) 2. Kecil (≤4 orang)
Ordinal
9.
Pengetahuan ibu tentang ASI dan Malaria
1. Baik : ≥ 70% 2. Kurang baik : < 70%
Ordinal
10
Kejadian malaria
1. Tinggi : ≥ 70% 2. Rendah : <70%
Ordinal
Status malaria
1. Sakit 2. Tidak sakit
Ordinal
Frekuensi sakit malaria
1. > 2 kali per 6 bulan 2. ≤ 2 kali per 6 bulan
Ordinal
Jenis malaria
1. Berat 2. Ringan
Ordinal
Riwayat penyakit lain
1. Ada , 2. Tidak ada
Ordinal
Pola asuh makan
1. Baik : ≥ 70% 2. Kurang baik : < 70%
Ordinal
Riwayat Menyusui
1. ASI eksklusif : Baik 2. Tidak ASI eksklusiif : Kurang baik
Ordinal
Riwayat Penyapihan
1. ≥ 6 bulan : Baik 2. < 6 bulan : Kurang baik
Ordinal
Praktek pemberian makan
1. Baik : ≥ 70% 2. Kurang baik : < 70%
Ordinal
11.
42
Tabel Lanjutan .
13.
Konsumsi Zat Gizi energi, protein, Vit A, Vit C dan Vit B12
Tingkat kecukupan 1. Baik : ≥ 70% 2. Kurang baik : < 70%
Ordinal
Pola asuh Kesehatan
1. Baik : ≥ 70% 2. Kurang baik : < 70%
Ordinal
Perawatan ketika anak sakit
1. Baik : ≥ 70 % 2. Kurang baik : < 70%
Ordinal
Praktek ibu dalam mencegah malaria
1. Baik : ≥ 70 % 2. Kurang baik : < 70%
Ordinal
a. Penggunaan kelambu berinsektisida b. Pemasangan kasa nyamuk pada jendela dan ventilasi c. Pemakaian obat nyamuk d. Penggunaan pakaian lengan panjang
1. Ya
2. Tidak
Ordinal
1. Ya
2. Tidak
Ordinal
1. Ya
2. Tidak
Ordinal
1. Ya
2. Tidak
Ordinal
e. Pengobatan pencegahan anti malaria f. Tradisi /kepercayaan dalam mencegah malaria g. Praktek kebersihan
1. Ya
2. Tidak
Ordinal
1. Ada
2. Tidak ada
Ordinal
1. Ya
2. Tidak
Ordinal
14.
Sanitasi lingkungan
1. Baik : ≥ 70 % 2. Kurang baik : < 70 %
Ordinal
15.
Status gizi Balita
Berdasarkan BB/TB 1. Tdk normal jika Z-score < -2.0 2. Normal jika Z-score ≥ -2.0
Ordinal
Berdasarkan TB/U 1. Pendek (stunting) jika Z-score < -2.0 2. Normal jika Z-score ≥ -2.0 Berdasarkan BB/U 1. Tdk normal jika Z-score < -2.0 2. Normal jika Z-Score ≥ -2.0
Analisa Data Data yang telah dilakukan pengolahannya dengan benar selanjutnya dianalisa dengan:
43
a. Analisa univariat Analisa univariat ini dilakukan untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi subyek penelitian dan distribusi proporsi kasus menurut masingmasing variabel independent yang diteliti. b. Analisa bivariat Analisa bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas (independent), yaitu pola asuh makan, pola asuh kesehatan, sanitasi lingkungan terhadap variabel terikat (dependen), yaitu kejadian malaria dan status gizi dengan menggunakan fungsi chi-aquare. Fungsi chi-square yaitu untuk melihat apakah ada tidaknya hubungan variabel
independen
dan
dependen
dengan
menggunakan
derajat
kepercayaan 95% (α=0.05). Bila nilai p value <0.05 maka hasil statistik bermakna, bila p value >0.05 maka hasil perhitungan statistik tidak bermakna.
= Keterangan : = statistik Kai-Kuadrat Σ = Jumlah O = nilai yang diamati E = nilai yang diharapkan Selanjutnya dilakukan perhitungan Odds ratio (OR), nilai OR merupakan nilai estimasi resiko untuk terjadinya outcome sebagai pengaruh adanya variabel independen. Perubahan satu unit variabel independen akan menyebabkan perubahan sebesar nilai OR pada variabel dependen. Estimasi confidence Interval (CI) OR ditetapkan pada tingkat kepercayaan 95%. Interpretasi OR adalah sebagai berikut : OR = 1, artinya tidak ada hubungan OR < 1, artinya ada efek proteksi/perlindungan OR > 1, artinya sebagai faktor risiko
44
c. Analisa multivariat Analisis mutivariat dalam penelitian ini digunakan untuk melihat pengaruh karakteristik sosial ekonomi keluarga, karakteristik balita, pengetahuan ibu tentang ASI dan malaria, pola asuh makan, pola asuh kesehatan, sanitasi lingkungan terhadap kejadian malaria dan status gizi balita dengan menggunakan metode regresi logistik. Uji tersebut dipilih karena variabel dependen dan independen merupakan kategori dikotom dengan skala ordinal. Menurut Agresti dan Finlay (1999), persamaan yang digunakan untuk melihat pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik balita, pengetahuan ibu tentang ASI dan malaria, pola asuh makan, tingkat konsumsi, pola asuh kesehatan dan sanitasi lingkungan terhadap kejadian malaria yaitu: Y = Log F = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + …. + β21X21 1-F Keterangan: Y1,2 = Kejadian malaria a = Konstanta (intercept) β1…21 = Koefisien regresi X1 = Umur orangtua X2 = Pendidikan orangtua X3 = Pekerjaan orangtua X4 = Jumlah anggota keluarga X5 = Pendapatan keluarga X6 = Asal suku X7 = Umur balita X8 = Jenis kelamin balita X9 = Berat badan lahir balita X10 = Pengetahuan ibu tentang ASI dan Malaria X11 = Riwayat pemberian ASI dan penyapihan X12 = Praktek makan X13 = Tingkat kecukupan energi X14 = Tingkat kecukupan protein X15 = Tingkat kecukupan vitamin A X16 = Tingkat kecukupan vitamin C X17 = Tingkat kecukupan vitamin B12
45
X18 = Praktek kebersihan anak X19 = Perawatan anak saat sakit X20 = Praktek pencegahan malaria X21 = Sanitasi lingkungan Sedangkan, persamaan untuk melihat pengaruh pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik balita, pengetahuan ibu tentang ASI dan malaria, pola asuh makan, tingkat konsumsi, pola asuh kesehatan, kejadian malaria terhadap status gizi balita adalah sebagai berikut: Y = Log F = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + …. + β21X21 1-F Keterangan : Y1,2 = Status gizi a = Konstanta (intercept) β1…21 = Koefisien regresi X1 = Umur orangtua X2 = Pendidikan orangtua X3 = Pekerjaan orangtua X4 = Jumlah anggota keluarga X5 = Pendapatan keluarga X6 = Asal suku X7 = Umur balita X8 = Jenis kelamin balita X9 = Berat badan lahir balita X10 = Pengetahuan ibu tentang ASI dan malaria X11 = Riwayat pemberian ASI dan penyapihan X12 = Praktek makan X13 = Tingkat kecukupan energi X14 = Tingkat kecukupan protein X15 = Tingkat kecukupan vitamin A X16 = Tingkat kecukupan vitamin C X17 = Tingkat kecukupan vitamin B12 X18 = Praktek kebersihan anak X19 = Perawatan anak saat sakit
46
X20 = Praktek pencegahan malaria X21 = Kejadian malaria
Definisi Operasional Anak balita adalah anak laki-laki dan perempuan yang berumur dua sampai lima tahun yang menjadi sampel dalam penelitian ini Umur balita adalah selisih tanggal survei dengan tanggal lahir anak balita yang dinyatakan dalam genap bulan yang didapat melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner. Umur orangtua adalah jumlah tahun lamanya orangtua hidup yang diperoleh dari selisih tangal kelahiran dan tanggal wawancara. Tingkat pendidikan orangtua adalah jenis dan tingkat pendidikan formal yang terakhir ditempuh orang tua. Pekerjaan
orangtua adalah kondisi orangtua saat ini yang dikategorikan
berdasarakan orangtua yang bekerja (pegawai atau wiraswasta) dan tidak bekerja (ibu rumah tangga). Pendapatan keluarga adalah sejumlah uang dan atau barang yang dinilai dengan uang yang dapat digunakan keluarga selama satu bulan untuk pangan & non pangan Pengetahuan ibu adalah kemampuan ibu menjawab dengan benar hal-hal yang berkaitan dengan ASI dan malaria dan dibuat dalam skala interval berdasarkan jumlah skor jawaban. Besar keluarga adalah banyaknya individu yang tinggal bersama satu atap dan bergantung kepada sumber penghidupan yang sama. Kejadian malaria adalah balita yang menderita malaria berdasarkan data registrasi di puskesmas yang berumur 2-5 tahun pada saat penelitian dan dalam enam bulan terakhir yang meliputi status sakit, frekuensi sakit malaria (berapa kali sakit), lama sakit (dalam hari) dan riwayat penyakit lain. Pola asuh anak adalah perlakuan orang tua kepada anak dalam rangka memenuhi kebutuhan anak, terdiri dari pola asuh makan dan pola asuh kesehatan. Pola asuh makan adalah seluruh interaksi subjek dan objek berupa bimbingan, pengarahan dan pengawasan selama anak makan atau cara dan kebiasaan orang tua yang terdiri dari riwayat pemberian ASI dan penyapihan serta praktek pemberian makan.
48
Pola asuh kesehatan adalah praktek pengasuhan yangg diterapkan ibu kepada anak balita yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan, terdiri dari perawatan anak ketika sakit terkait pemanfaatan layanan kesehatan dan praktek ibu dalam mencegah malaria. Praktek pencegahan adalah cara/tindakan ibu untuk merawat dan menjaga anak supaya bebas dari penyakit serta menjaga lingkungan bersih, perawatan anak dalam keadaan sakit, praktek pencegahan terhadap malaria. Perawatan anak dalam keadaan sakit adalah tindakan ibu untuk memberikan kasih sayang kepada anak untuk membantu dan menjaga selama sakit. Status gizi adalah hasil masukan gizi dan pemanfaatannya di dalam tubuh dengan melihat ukuran tubuh dengan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB yang dinyatakan dengan nilai z-skor. Tingkat Konsumsi pangan adalah semua asupan zat gizi dari makanan yang dikonsumsi oleh anak balita baik dirumah maupun diluar rumah termasuk jajanan selama dua hari sebelumnya yang dikonversikan melalui DKBM dengan metode recall 2x24 jam melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner. Tingkat kecukupan gizi (TKG) anak balita adalah total konsumsi zat gizi aktual dibandingkan dengan angka kecukupan gizi (AKG) sehari anak balita dan dinyatakan dalam persen dengan metode recall 2 x 24 jam. Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup lingkungan perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Manokwari adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Papua Barat, Ibukota kabupaten ini terletak di Kota Manokwari pada 0015’-3025’ Lintang Selatan dan 132035’-134045’ Bujur Timur, dengan luas wilayah 14 676 km2, dengan batas-batas : Utara
:
Samudera Pasifik
Selatan
:
Kabupaten Teluk Bintuni
Barat
:
Kabupaten Sorong Selatan
Timur
:
Kabupaten Teluk Wondama
Terdiri dari 29 distrik, 9 kelurahan dan 409 kampung. Wilayah mencakup wilayah laut, dataran dengan topografi wilayah datar, bergelombang hingga bergunung dengan iklim tropis suhu udara berkisar antara 26.4°C sampai 31.9°C. Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Kabupaten Manokwari adalah 187 591 orang, yang terdiri atas 98 762 laki‐laki dan 88 829 perempuan. Dari hasil Sensus Penduduk 2010 (SP2010) tersebut tampak bahwa penyebaran penduduk Kabupaten Manokwari masih bertumpuk di Distrik Manokwari Barat, yakni sebesar 39.94%, kemudian diikuti oleh Distrik Prafi sebesar 7.58%, Distrik Masni sebesar 7.19% dan Distrik Manokwari Selatan sebesar 7.07%, sedangkan distrik‐distrik lainnya hanya dibawah 5%. Distrik Manokwari Barat, Prafi, Masni dan Manokwari Selatan adalah empat distrik dengan urutan teratas yang memiliki jumlah penduduk terbanyak yang masing‐masing berjumlah 74 924 orang, 14 214 orang, 13 92 orang dan 13 268 orang. Dengan luas wilayah Kabupaten Manokwari sekitar 14 448.50 kilometer persegi yang didiami oleh 187 591 orang maka rata‐rata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Manokwari adalah sebanyak 13 orang per kilometer persegi. Distrik yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Distrik Manokwari Barat yakni sebanyak 316 orang per kilometer persegi, sedangkan Distrik yang paling rendah tingkat kepadatan penduduknya adalah Distrik Tahota, Kebar, Senopi dan Mubrani, yakni hanya sebanyak satu orang per kilometer persegi.
50
Manokwari merupakan daerah yang memiliki iklim tropis, sehingga sangat mendukung kelangsungan hidup dari spesies nyamuk terutama Anopheles. Nyamuk Anopheles tersebar di Manokwari dan menyebabkan penyakit malaria tersiana dan malaria tropika dengan jumlah penderita yang cukup banyak. Daerah
penelitian memiliki keadaan lingkungan yang berbeda-beda.
Daerah Sanggeng berada di dekat laut sehingga untuk kelangsungan hidup nyamuk sangat sedikit dimana daerah pantai memiliki suhu yang tinggi dan kecepatan anginnya juga kuat sehingga mengurangi nyamuk yang ada di tempat tersebut, namun di daerah ini banyak terdapat saluran air yang tersumbat seperti halnya selokan yang jarang dibersihkan, serta penduduk dan perumahan yang padat. Di daerah Wosi terdapat hutan yang banyak memiliki pohon-pohon yang terlindung, berawa serta saluran air yang tersumbat sehingga menjadi tempat berkembangbiak nyamuk Daerah Warmare merupakan daerah dimana terdapat hutan yang banyak memiliki pohon-pohon, tanaman coklat dan kelapa sawit, semak belukar dan juga sungai tempat berkembang biak nyamuk. Sama halnya dengan daerah Prafi, disamping pohon, tanaman sawit, di daerah ini juga terdapat kolam ikan dan persawahan. Dinas kesehatan Kabupaten Manokwari selalu mengadakan kegiatan penemuan dan pengobatan setiap tahun dalam rangka menurunkan angka kesakitan malaria di Kabupaten Manokwari seperti disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Kegiatan penemuan dan pengobatan malaria usia balita di Kabupaten Manokwari Tahun 2011 Σ penduduk
Σ klinis
Sanggeng
38 050
Wosi
Puskesmas
Metode Diagnosis
Positif 1-4 Thn L P
Pengobatan
5-9 Thn L P
MILK
RDT
8 942
8 205
-
691
608
272
303
300
17 432
5 791
5 713
68
144
139
77
61
1 146
Warmare
10 177
2 136
177
56
27
29
16
21
225
Prafi SP1
14 542
2 374
2 374
-
207
215
166
132
-
Laporan Surveilans Malaria Kabupaten Manokwari Tahun 2011
ACT
51
Karakteristik Keluarga dan Anak Balita Karakterietik Sosial Ekonomi Keluarga Karakteristik sosial ekonomi keluarga dalam penelitian ini meliputi umur orangtua, besar keluarga, pendapatan orangtua, asal suku, pendidikan orangtua, dan pekerjaan orangtua. Distribusi karakteristik sosial ekonomi sosial ekonomi keluarga disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Distribusi contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga Peubah
Total n
%
Umur ibu Tua (≥ 35 tahun) Muda (< 35 tahun)
10 90
10.0 90.0
Umur ayah Tua (≥ 35 tahun) Muda (< 35 tahun)
27 73
27.0 73.0
Besar keluarga Kecil (≤ 4 orang) Besar (> 4 orang)
59 41
59.0 41.0
73 27
73.0 27.0
Asal suku Papua Non Papua
44 56
44.0 56.0
Pendidikan ibu Rendah Tinggi
67 33
67.0 33.0
Pendidikan ayah Rendah Tinggi
54 46
54.0 46.0
Pekerjaan ayah Bekerja
100
100
Pekerjaan ibu Bekerja Tidak bekerja/IRT
23 77
23.0 77.0
Pendapatan keluarga Tinggi (≥ 1 450 000) Rendah (< 1 450 000)
Dalam penelitian ini umur orang tua diklasifikasikan berdasarkan kelompok umur < 35 tahun dan ≥ 35 tahun. Tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu balita (90%) berumur kurang dari 35 tahun. Rata-rata umur ibu adalah 28 tahun, umur maximum 38 tahun dan minimum 20 tahun. Sedangkan jika ditinjau
52
dari umur ayah, diperoleh bahwa lebih dari 70% ayah berumur kurang dari 35 tahun, rata-rata umur ayah 32 tahun, umur maximum 45 tahun dan umur minimum 26 tahun. Besar keluarga dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu keluarga kecil (≤ 4 orang) dan keluarga besar (> 4 orang). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa 59% ibu memiliki jumlah anggota keluarga kurang dari 4 orang, dan 41% responden lainnya memiliki jumlah anggota keluarga lebih dari empat orang. Banyaknya anggota keluarga sangat mempengaruhi konsumsi pangan dalam keluarga. Suhardjo (1989) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara besar keluarga dan kurang gizi pada masing-masing keluarga. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan semakin tidak merata. Pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi sehingga berhubungan erat dengan status gizi. Keadaan ekonomi keluarga yang kurang mampu merupakan faktor yang kurang mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan anak balita. Hal ini disebabkan tingkat pendapatan keluarga sangat berpengaruh terhadap konsumsi pangan keluarga. Pada Tabel 7, diketahui bahwa 27% ibu memiliki pendapatan keluarga dibawah Upah Minimum Regional (UMR) Propinsi Papua Barat yakni kurang dari Rp1 450 000. Rata-rata pendapatan adalah Rp1 950 000 dengan pendapatan tertinggi Rp4 700 000 dan terendah Rp300 000. Tingkat pendidikan dari orang tua juga sangat mempengaruhi pola asuh dan status gizi, dimana makin tinggi tingkat pendidikan orang tua, makin baik pula status gizi anaknya, karena orang tua terutama ibu berperan juga dalam pola asuh (Soekirman, 2000). Tingkat pendidikan orangtua dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kategori yaitu tingkat pendidikan rendah (≤ SLTP) dan pendidikan tinggi (> SLTP). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 67% ibu balita berpendidikan rendah, (tidak sekolah, tidak tamat SD dan SLTP) dan 33% lainnya berpendidikan tinggi. Jika ditinjau dari pendidikan suami, 54% suami berpendidikan rendah dan 46% lainnya berpendidikan tinggi. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditempuh maka akan semakin baik sumberdaya manusianya karena pendidikan merupakan salah satu indikator kualitas sumberdaya manusia.
53
Berdasarkan asal suku, diketahui bahwa responden dalam penelitian ini berasal dari suku Jawa, Toraja, Manado, Ambon dan lain sebagainya. Mayoritas responden di daerah Prafi berasal dari suku Jawa karena daerah ini merupakan daerah transmigran, sedangkan di Warmare, mayoritas berasal dari suku Arfak. Asal suku dikelompokan menjadi dua kategori yaitu masyarakat asal Papua yang merupakan masyarakat asli Papua dan non Papua atau masyarakat pendatang. Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa secara keseluruhan terdapat 44% ibu yang merupakan masyarakat asli Papua dan lainnya 56% merupakan masyarakat pendatang. Hal ini memberi indikasi bahwa balita non asli papua lebih rentan terkena malaria dibandingkan balita asli papua. Masyarakat yang tinggal di daerah endemis malaria biasanya mempunyai imunitas alami sehingga mempunyai pertahanan alamiah (kebal) terhadap infeksi malaria dan imunitas berperan penting menentukan beratnya infeksi. Kekebalan pada penyakit malaria dapat didefinisikan sebagai adanya kemampuan tubuh manusia untuk menghancurkan plasmodium yang masuk atau menghalangi perkembang biakannya. Hal ini sejalan dengan Anies (2006) yang menyatakan bahwa bayi di daerah endemik malaria mendapat perlindungan antibodi maternal yang diperoleh secara transplasental. Penelitian Karunaweera, Carter R, Grau GE dan Mendis KN (1998) di Srilanka menemukan bahwa penderita malaria di daerah endemis memiliki densitas parasit yang lebih rendah daripada yang tidak di daerah endemis. Pada penduduk di daerah endemis ditemukan parasitemia berat namun asimtomatik, sebaliknya pasien non-imun dari daerah non-endemis lebih mudah mengalami malaria berat. Hal ini mungkin dikarenakan pada individu di daerah endemis imun sudah terbentuk antibody protektif yang dapat membunuh parasit atau menetralkan toksin parasit. Bila ditinjau dari status pekerjaan orang tua terdapat 77% ibu tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga dan 23% ibu lainnya bekerja diantaranya bekerja sebagai guru, bidan dan pedagang. Sedangkan jika dilihat dari pekerjaan ayah diperoleh bahwa seluruh ayah bekerja dengan berbagai jenis pekerjaan. Di daerah pedesaan seperti prafi kebanyakan suami bekerja sebagai petani sawah dan petani ikan, sedangkan di daerah Warmare kebanyakan sebagai petani kakao dan petani kelapa sawit namun bertani bukanlah mata pencaharian utama, karena mereka juga berkebun dan mencari ikan. Jenis tanaman yang biasa
54
ditanam adalah pisang, ubi-ubian dan sayuran. Sedangkan pekerjaan suami didaerah perkotaan lebih didominasi sebagai PNS, pedagang, sopir, tukang ojek dan wirausaha. Karakteristik Balita Karakteristik balita dalam penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin dan berat badan lahir seperti disajikan pada Tabel 8. Tabel 8
Distribusi balita berdasarkan karakteristik balita di Puskesmas Kabupaten Manokwari
Peubah
Total n
%
Umur balita (tahun) 2-3 4-5
70 30
70.0 30.0
Jenis kelamin Perempuan Laki-laki
59 41
59.0 41.0
Berat badan lahir Normal (≥ 2 500 gram) BBLR (< 2 500 gram)
87 13
87.0 13.0
Tabel 8 menunjukkan bahwa jika dilihat dari pembagian umur, sebagian besar (70%) balita berumur dua sampai tiga tahun dan sisanya 30% berumur empat sampai lima tahun. Rata-rata umur balita adalah tiga tahun. Anak-anak usia ini adalah kelompok terbanyak yang berisiko terhadap malaria hal ini disebabkan balita belum mampu menjaga dirinya sendiri dari gigitan nyamuk serta memiliki daya tahan tubuh yang masih belum maksimal. Pertahanan tubuh terhadap malaria yang diturunkan penting untuk melindungi anak kecil atau bayi karena sifat khusus eritrosit yang relatif resisten terhadap masuk dan berkembang biaknya parasit malaria. Depkes (2011) menunjukan bahwa anakanak usia dibawah lima tahun lebih rentan terjangkit malaria bahkan angka kematian mencapai 70% pada anak usia dibawah lima tahun. Jika ditinjau dari jenis kelamin, maka diketahui bahwa sebagian besar balita berjenis kelamin perempuan dengan persentase 59% dan 41% lainnya berjenis kelamin laki-laki. Perbedaan prevalensi menurut umur dan jenis kelamin sebenarnya berkaitan dengan perbedaan derajat kekebalan karena variasi keterpaparan kepada gigitan nyamuk.
55
Pertumbuhan dan perkembangan anak balita juga dipengaruhi oleh berat badan lahir. BBLR adalah salah satu hasil dari ibu hamil yang menderita malaria, energi kronis dan mempunyai status gizi buruk. BBLR berkaitan dengan tingginya angka kematian bayi dan balita, juga dapat berdampak serius pada kualitas generasi
mendatang,
yaitu
akan
memperlambat
pertumbuhan
dan
perkembangan anak, serta berpengaruh pada penurunan kecerdasan (Depkes RI, 2006). Berdasarkan data yang diperoleh juga diketahui bahwa 13% balita memiliki berat badan lahir rendah (< 2 500 gram), dan 87% balita lainnya memiliki berat badan lahir normal. Rata-rata berat badan lahir balita adalah 2 900 gram. BBLR sangat berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas janin dan bayi baru lahir, hambatan pertumbuhan dan perkembangan kognitif, serta penyakit kronis saat dewasa. Muthayya (2009) menyatakan bahwa BBLR dapat meningkatkan morbiditas, menyebabkan gangguan perkembangan mental, meningkatkan risiko penyakit kronis. Bayi yang lahir dengan BBLR akan lebih sulit untuk memiliki ukuran tubuh normal di kemudian hari sehingga dapat menyebabkan stunting pada masa remaja.
Pengetahuan Ibu tentang ASI dan Malaria Pengetahuan (knowladge) merupakan hasil tahu yang diperoleh melalui proses pengalaman dan proses belajar dalam pendidikan, baik yang bersifat formal maupun informal (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan yang diteliti disini adalah pengetahuan ibu tentang ASI dan pengetahuan tentang malaria seperti disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Distribusi ibu berdasarkan pengetahuan tentang ASI dan malaria di Puskesmas Kabupaten Manokwari Peubah
Total n
%
Pengetahuan tentang ASI Baik (≥ 70%) Kurang (< 70%)
54 46
54.0 46.0
Pengetahuan tentang malaria Baik (≥ 70%) Kurang (< 70%)
57 43
57.0 43.0
56
Berdasarkan Tabel 9, diperoleh bahwa 46% ibu memiliki pengetahuan ASI yang kurang baik. Pengetahuan ibu tentang ASI yang kurang baik disebabkan karena mereka tidak memiliki pengetahuan tentang kolostrum, kolostrum yang diproduksi oleh sebagian ibu dianggap sebagai air susu yang kotor dan tidak langsung diberikan kepada bayi. Roesli U (2004) menyatakan bahwa kolostrum adalah cairan pelindung yang kaya akan zat anti infeksi dan berprotein tinggi yang keluar dari hari pertama sampai hari keempat atau ketujuh setelah melahirkan. Kandungan kolostrum inilah yang tidak diketahui ibu sehingga banyak ibu dimasa setelah persalinan tidak memberikan kolostrum kepada bayi baru lahir karena pengetahuan
tentang
kandungan
kolostrum
itu
tidak
ada.
Rendahnya
pengetahuan ibu juga disebabkan mereka tidak mengetahui kapan waktu pemberian ASI dan penyapihan yang tepat. Jika ditinjau dari pengetahuan ibu tentang malaria, diketahui bahwa 43% Ibu balita memiliki pengetahuan malaria yang kurang baik. Pengetahuan ibu yang kurang baik ini disebabkan mereka tidak memiliki pengetahuan mengenai jenis nyamuk malaria, tempat perindukan nyamuk, cara mencegah malaria yang baik dan bagaimana gejala awal penyakit malaria dengan benar. Secara teori pengetahuan yang baik tentang penularan malaria akan dapat membantu upaya pencegahan terjadinya penularan malaria dimana masyarakat menjadi mampu untuk bertindak, mencegah dan mampu melindungi diri dari serangan penyakit ini. Tanda dan gejala penyakit malaria yang penting dan harus diketahui oleh orangtua adalah panas tinggi, menggigil dan sakit kepala. Dari responden yang mengetahui gejala penyakit malaria, panas dan menggigil merupakan gejala malaria yang paling banyak diketahui; gejala lain yang juga disebutkan adalah badan yang kaku, badan kurus, badan sakit, batuk-beringus, sakit tulang belakang, bibir kering dan muka pucat. Pengetahuan ini diketahui berdasarkan pengalaman dan penyuluhan dari petugas kesehatan. Hasil penelitian Uzochukwu et al (2008) tentang respon ibu terhadap anak demam di daerah perkotaan dan pedesaan di Enugu, Nigeria Tenggara menyebutkan bahwa kedua ibu di daerah perkotaan dan pedesaan menyadari bahwa malaria merupakan penyebab utama demam pada anak. Meskipun ibu pedesaan mengenali demam dan tanda-tanda bahaya yang lebih baik dari pada
57
ibu-ibu di daerah kota tetapi tanggapan ibu didaerah kota terhadap demam anaknya lebih baik. Ibu di daerah kota menggunakan obat klorokuin, ACT dan parasetamol sebagai obat utama untuk mengobati demam anaknya dan tersedia dirumah, sementara ibu-ibu pedesaan lebih cenderung untuk menggunakan obat sisa dari pengobatan sebelumnya untuk mengobati demam. Sementara ibu di daerah perkotaan juga lebih menggunakan pencegahan dan mencari tindakan lebih cepat dari ibu pedesaan dan total biaya perawatan juga lebih tinggi di daerah perkotaan.
Pola Asuh Makan dan Pola Asuh Kesehatan Pola Asuh Makan Orang tua sangat berperan dalam menjaga pola makan yang sehat dan seimbang bagi anak karena biasanya anak akan meniru pola makan yang ada di keluarga. Dengan mengatur asupan makanannya supaya tetap sehat dan seimbang, maka kesehatan dan kecerdasan anak akan dapat terjaga untuk menjamin masa depannya. Ibu atau pengasuh harus yakin bahwa anak balita sudah mampu untuk makan sendiri dan mengawasi selama anak makan. Pola asuh makan dalam penelitian ini terdiri dari riwayat pemberian ASI dan penyapihan serta praktek pemberian makan anak. Widayani S (2000) menyatakan kebiasaan menyusui bayi merupakan hal yang baik, akan tetapi ASI bukan satu-satunya sumber untuk memenuhi kebutuhan makanan bagi anak balita. Pemberian ASI kepada anak balita yang sudah besar (> 2 tahun) akan dapat memberi dampak yang kurang baik terhadap anak balita. Disamping ASI sudah tidak sarat zat gizi sehingga tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan gizi anak. Distribusi pola asuh makan anak balita di Puskesmas Kabupaten Manokwari seperti disajikan pada Tabel 10. Berdasarkan Tabel 10, diperoleh bahwa 65% ibu memiliki pola asuh makan yang kurang baik. Pola asuh makan yang kurang baik ini disebabkan riwayat pemberian ASI yang dan penyapihan kurang baik serta praktek makan yang kurang baik. Persentase responden dengan riwayat ASI dan penyapihan yang kurang baik adalah 56% dan 44% ibu memiliki riwayat pemberian ASI dan penyapihan yang baik. Sebagian ibu tidak memberikan ASI dengan berbagai alasan, diantaranya adalah ASI tidak keluar, anak tidak mau dan ibu sedang sakit. Disamping itu beberapa ibu lainnya tidak memberikan ASI eksklusif dan
58
mulai menyapih ketika anak baru berusia empat bulan. Bertentangan dengan apa yang dianjurkan oleh Departemen Kesehatan yang menganjurkan pemberian ASI tanpa makanan pendamping hingga bayi berusia 6 bulan (ASI eksklusif). Tabel 10
Distribusi balita berdasarkan pola asuh makan di Puskesmas Kabupaten Manokwari
Peubah
Total n
%
35 65
35.0 65.0
1. Riwayat pemberian ASI dan penyapihan Baik (≥ 70%) Kurang (< 70%)
44 56
44.0 56.0
2. Praktek pemberian makan Baik (≥ 70%) Kurang (< 70%)
35 65
35.0 65.0
Pola asuh makan Baik (≥ 70%) Kurang (< 70%)
Tabel 10 juga menunjukkan bahwa 65% ibu balita memiliki praktek pemberian makan yang kurang baik dan 35% ibu memiliki praktek pemberian makan yang baik. Praktek pemberian makan disini meliputi cara memberi makan, frekuensi makan, jenis dan ragam makanan serta situasi saat makan. Cara pemberian makan yang kurang baik diantaranya adalah kebiasaan sarapan pagi kurang diterapkan padahal menurut Suhardjo (1989) makan pagi sangat penting. Sejalan dengan pernyataan Khomsan A (2002) yang menyatakan bahwa makan pagi adalah suatu kegiatan yang penting sebelum melakukan aktivitas fisik. Pola asuh makan yang kurang baik juga disebabkan para responden cenderung memaksa anak untuk makan dan tidak bisa menciptakan situasi makan yang baik saat makan. Disamping itu frekuensi makan anak yang tidak teratur serta jenis dan ragam makanan yang kurang bervariasi pun menjadi penyebab kurang baiknya pola asuh makan ibu. Hal ini didukung oleh Anwar (2009) yang menyatakan bahwa situasi makan dapat berpengaruh terhadap kebiasaan makan, ada anak yang diberi makan secara teratur setiap hari, makan pada tempat yang nyaman, dan anak makan dengan tertib. Sebaliknya ada pula anak yang diberi makan semaunya, sambil jalan-jalan, sambil bermain-main, dan tergantung kepada pengawasan ibu atau pengasuh. Akibatnya anak akan terbiasa sulit untuk makan, berhamburan atau akan banyak makanan yang tidak dihabiskan.
59
Cara mengasuh anak baik asuh makan dan asuh kesehatan antar keluarga sangat bervariasi, diantaranya dipengaruhi oleh karakteristik keluarga. Secara rinci distribusi pola asuh makan berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11
Distribusi contoh berdasarkan pola asuh makan dan karakteristik sosial ekonomi keluarga Pola asuh makan Baik Kurang baik n % n %
n
%
Umur ibu Tua (≥ 35 tahun) Muda (< 35 tahun)
3 32
30.0 35.6
7 58
70.0 64.4
10 90
100 100
Umur ayah Tua (≥ 35 tahun) Muda (< 35 tahun)
6 29
22.2 39.7
21 44
77.8 60.3
27 73
100 100
Besar keluarga Kecil (≤ 4 orang) Besar (> 4 orang)
23 12
39.0 29.3
36 29
61.0 70.7
59 41
100 100
28 7
38.4 25.9
45 20
61.6 74.1
73 27
100 100
Asal suku Papua Non Papua
12 23
27.3 41.1
32 33
72.7 58.9
44 56
100 100
Pendidikan ibu Rendah Tinggi
20 15
29.9 45.5
47 18
70.1 54.5
67 33
100 100
Pendidikan ayah Rendah Tinggi
16 19
29.6 41.3
38 27
70.4 58.7
54 46
100 100
Pekerjaan ayah Bekerja
35
35.0
65
65.0
100
100
Pekerjaan ibu Bekerja Tidak bekerja/IRT
10 25
43.5 32.5
13 52
56.5 67.5
23 77
100 100
Peubah
Pendapatan keluarga Tinggi (≥ 1 450 000) Rendah (< 1 450 000)
Total
Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga, pola asuh makan yang kurang lebih banyak dilakukan oleh orangtua berumur muda (64.4%), memiliki jumlah anggota keluarga kecil dengan pendidikan orangtua yang rendah dan ibu tidak memiliki pekerjaan. Namun berdasarkan analisis chi-square tidak ada hubungan yang signifikan antara karakteristik sosial ekonomi keluarga dengan pola asuh makan.
60
Pola Asuh Kesehatan Pola asuh kesehatan tidak terlepas dari praktek hidup bersih yang diterapkan oleh ibu. Kebersihan adalah faktor yang besar pengaruhnya terhadap kesehatan. Pola asuh kesehatan dalam penelitian ini meliputi praktek kebersihan (higiene) anak, penanganan ketika anak sakit, serta praktek pencegahan malaria yang diterapkan ibu kepada anak. Distribusi pola asuh kesehatan disajikan pada Tabel 12. Tabel 12
Distribusi balita berdasarkan pola asuh kesehatan di Puskesmas Kabupaten Manokwari Total
Peubah
n
%
43 57
43.0 57.0
1. Praktek kebersihan anak Baik (≥ 70%) Kurang (< 70%)
80 20
80.0 20.0
2. Perawatan anak saat sakit Baik (≥ 70%) Kurang (< 70%)
85 15
85.0 15.0
3. Praktek pencegahan malaria Baik (≥ 70%) Kurang (< 70%)
26 74
26.0 74.0
Pola asuh kesehatan Baik (≥ 70%) Kurang (< 70%)
Berdasarkan Tabel 12, diperoleh 57% ibu memiliki pola asuh kesehatan yang kurang baik dan 43% memiliki pola asuh kesehatan yang baik. Jika ditinjau dari praktek kebersihan, sebagian besar (80%) ibu memiliki praktek kebersihan yang baik dan hanya terdapat 20% ibu yang memiliki praktek kebersihan kurang baik.
Praktek
kebersihan
yang
dimaksud
disini
terdiri
dari
kebiasaan
mengonsumsi air masak, praktek kebersihan anak, seperti kebiasaan mandi dua kali sehari, kebiasaan mencuci tangan dengan sabun, kebiasaan menggunting kuku dua kali seminggu dan sebagainya. Pola asuh kesehatan yang buruk akan sangat merugikan bagi anak oleh karena itu kesehatan anak harus mendapat perhatian dari para orang tua, yaitu dengan cara segera membawa anaknya yang sakit ketempat pelayanan kesehatan yang terdekat (Soetjiningsih, 1995). Berdasarkan data Riskesdas 2010, cakupan pelayanan kesehatan bayi dipapua barat adalah yang terendah kedua (42.0%) di Indonesia setelah Papua (32.40%), dimana targetnya adalah
61
84.0%. Disebutkan juga bahwa salah satu upaya pengendalian penyakit malaria yang paling sering dan masih menjadi andalan adalah pengobatan penderita. Pengobatan yang efektif ini harus memenuhi tiga kategori, yaitu jenis obat yang diperoleh adalah ACT, obat tersebut diperoleh penderita maksimum 24 jam setelah sakit dan dosis obat diperoleh untuk tiga hari dan diminum seluruhnya. Anak balita sangat membutuhkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh secara terus-menerus. Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa 85% ibu memiliki pola asuh yang baik dalam merawat anak ketika sakit dan hanya 15% ibu dengan praktek perawatan yang kurang baik. Praktek perawatan anak saat sakit diantaranya adalah tindakan ibu mengenai gejala malaria, tindakan dalam memanfaatkan layanan kesehatan serta kepatuhan ibu dalam memberikan obat kepada anaknya. Berdasarkan hasil wawancara sebagian besar ibu langsung membawa anak mereka berobat ke sarana pelayanan ke puskesmas, praktek bidan dan puskesmas pembantu, hal ini disebabkan berbagai alasan, diantaranya adalah agar anak cepat sembuh, tidak menyediakan obat
di rumah dan ingin
mendapatkan pengobatan gratis. Praktek perawatan yang kurang baik disebabkan mereka tidak segera memeriksakan anaknya ke dokter, cenderung membiarkan dan baru memeriksakan anak lima hari setelah sakit dan semakin parah. Tabel 12 juga menunjukkan mengenai praktek pencegahan malaria, dimana 74% ibu belum menerapkan praktek pencegahan malaria yang baik dan 26% sudah menerapkan praktek pencegahan yang baik. Praktek pencegahan malaria sangat penting dilakukan guna menurunkan angka kesakitan malaria. Pengetahuan mengenai cara pencegahan malaria ini sangat penting mengingat, program pencegahan malaria dengan menggunakan kelambu pada masyarakat tidak begitu tepat dilakukan, disamping itu kondisi rumah yang tidak terpasang kasa nyamuk pada ventilasi menyebabkan nyamuk masuk kedalam ruangan. Berdasarkan hasil penelitian di daerah pedesaan seperti Warmare dan Prafi banyak rumah yang tidak menggunakan kasa pada jendela dan ventilasi dibandingkan di daerah perkotaan seperti Sanggeng dan Wosi sehingga kebiasaan menggunakan kelambu sangat banyak di pedesaan dibandingkan di perkotaan. Sedangkan kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk semprot dan elektrik lebih banyak dilakukan oleh ibu yang berada di perkotaan. Pada
62
dasarnya ibu hanya menerapkan dua sampai tiga praktek pencegahan saja dari tujuh praktek pencegahan malaria yang dianjurkan oleh dinas kesehatan setempat, padahal jika semua praktek dilakukan akan semakin efektif upaya untuk menghindarkan keluarga dari infeksi malaria. Praktek pencegahan malaria secara rinci disajikan pada Gambar 5 berikut.
65
Sanitasi lingkungan 14
Penggunaan obat tradisional 5
Minum obat anti malaria
22
Pemakaian obat nyamuk/anti nyamuk
46
Penggunaan pakaian lengan panjang
48
Penggunaan kasa pada jendela/ventilasi Penggunaan kelambu tanpa /berinsektisida
38 0
Gambar 5
20 40 60 Jumlah Responden
80
Praktek ibu dalam mencegah malaria di Puskesmas Kabupaten Manokwari
Dari Gambar 5 terlihat bahwa untuk penggunaan kelambu berinsektisida dan non insektisida cukup banyak dipraktekkan oleh ibu. Penggunaan kelambu merupakan upaya yang paling efektif mencegah digigit nyamuk pada saat tidur dibandingkan dengan upaya yang lain, hal ini disebabkan penggunaan kelambu mengurangi resiko masuknya insektisida ke dalam tubuh manusia melalui jaringan kulit serta risiko lain dari obat pengusir nyamuk yang dibakar, khususnya bagi orang yang mempunyai gangguan sistem pernafasan. Berdasarkan keterangan rata-rata penggunaan kelambu adalah empat tahun dan rata-rata kelambu dicuci adalah lima bulan sekali. Menurut dinas Kesehatan Kabupaten Manokwari, penggunaan kelambu berinsektisida akan efektif selama jangka waktu 3-5 tahun dan dapat dicuci secara teratur tiga bulan sekali. Dari Gambar 5 juga dapat dilihat bahwa praktek pencegahan yang paling sedikit dilakukan oleh para responden adalah mengonsumsi obat anti malaria, hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan ibu tentang pentingnya mengonsumsi obat pencegahan malaria. Dulu malaria masih diobati dengan klorokuin, namun
63
setelah ada laporan resistensi maka saat ini telah dikembangkan pengobatan baru dengan tidak menggunakan obat tunggal saja tetapi dengan kombinasi yaitu dengan ACT (Artemisinin-based Combination Therapy) dan DHP/ Arterakin (Dehidroartemisine piperaqui). Kedua jenis obat ini merupakan obat yang dianjurkan oleh Kementerian Kesehatan untuk dikonsumsi saat ini. Teori Green (1980) mengemukakan bahwa kepercayaan atau keyakinan yang menjadi kebiasaan dalam masyarakat berpengaruh terhadap perilaku masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian ada tradisi atau kepercayaan dalam mencegah malaria pada balita, misalnya dengan memandikan anak dengan menggunakan air yang rebusan daun dari pucuk pohon. Pemanfaatan tradisional tanaman obat bagi balita sakit malaria dan bagi orang dewasa umumnya adalah dengan mengonsumsi daun pepaya, daun sambiloto, serta paria untuk mengurangi gejala malaria.
Daun pepaya dan paria biasanya dimanfaatkan
sebagai sayuran, namun tidak sedikit yang memanfaatkan daun pepaya, paria serta sambiloto untuk kemudian direbus dan diambil sarinya untuk diminum. Beberapa
penelitian
tentang
pemanfaatan
obat
telah
dilakukan,
diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Suleman S et al (2009) tentang pemanfaatan tradisional tanaman obat-obatan dalam mengelola malaria pada penduduk Assendabo Township di Jimma, Etiopia. Diperoleh bahwa sebagian besar masyarakat Ethiopia menggunakan obat tradisional untuk mengobati malaria dan penyakit lainnya. Hasil penelitian ini kemudian menjadi dasar untuk memilih tanaman untuk lebih lanjut farmakologis dan studi fitokimia untuk mengembangkan baru dan relevan secara lokal anti malaria agen di Ethiopia. Secara rinci distribusi pola asuh kesehatan berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga dapat dilihat pada Tabel 13. Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat bahwa berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga, pola asuh kesehatan yang kurang baik lebih banyak dilakukan oleh orangtua berumur muda, memiliki jumlah anggota keluarga kecil, pendidikan orangtua rendah dan ibu tidak memiliki pekerjaan. Pola asuh kesehatan yang kurang baik lebih banyak dialami oleh anak balita umur dua sampai tiga tahun, berjenis kelamin perempuan dan memiliki berat badan lahir yang normal.
64
Tabel 13
Distribusi contoh berdasarkan pola asuh kesehatan dan karakteristik sosial ekonomi keluarga Pola asuh kesehatan Baik Kurang baik n % n %
n
%
Umur ibu Tua (≥ 35 tahun) Muda (< 35 tahun)
5 38
50.0 42.2
5 52
50.0 57.8
10 90
100 100
Umur ayah Tua (≥ 35 tahun) Muda (< 35 tahun)
11 32
40.7 43.8
16 41
59.3 56.2
27 73
100 100
Besar keluarga Kecil (≤ 4 orang) Besar (> 4 orang)
24 19
40.7 46.3
35 22
59.3 53.7
59 41
100 100
29 14
39.7 51.9
44 13
60.3 48.1
73 27
100 100
Asal suku Papua Non Papua
18 25
40.9 44.6
26 31
59.1 55.4
44 56
100 100
Pendidikan ibu Rendah Tinggi
27 16
40.3 48.5
40 17
59.7 51.5
67 33
100 100
Pendidikan ayah Rendah Tinggi
24 19
44.4 41.3
30 27
55.6 58.7
54 46
100 100
Pekerjaan ayah Bekerja
43
43.0
57
57.0
100
100
Pekerjaan ibu Bekerja Tidak bekerja/IRT
10 33
43.5 42.9
13 44
56.5 57.1
23 77
100 100
Peubah
Pendapatan keluarga Tinggi (≥ 1 450 000) Rendah (< 1 450 000)
Total
Berdasarkan analisis chi-square tidak ada hubungan yang signifikan antara karakteristik sosial ekonomi keluarga dengan pola asuh kesehatan (p>0.05).
Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Gizi Balita Asupan makan anak balita adalah hal penting yang harus diperhatikan oleh orang tua karena konsumsi makanan sangat berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Kondisi status gizi baik dapat dicapai bila tubuh memperoleh cukup zat gizi yang digunakan secara efisien sehingga memungkinkan terjadinya pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja untuk mencapai
65
tingkat kesehatan optimal. Sedangkan status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat gizi. Konsumsi
merupakan faktor
yang
sangat
erat
kaitannya
dengan
pertumbuhan dan perkembangan fisik serta mental anak. Konsumsi pangan anak balita dikumpulkan dengan metode recall ( 2x24 jam). Recall konsumsi pangan mencakup jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi anak termasuk makanan jajanan dan minum susu. Jenis makanan yang dikonsusmsi anak balita masih belum beragam. Rataan asupan zat gizi balita per hari disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Rataan asupan energi dan zat gizi balita per hari di Puskesmas Kabupaten Manokwari Asupan zat gizi (per AKG yang hari) dianjurkan Energi (kcal)
Mean
Minimum
Maximum
1000-1550
887.76
542
1 748.6
25-39
25.90
15
71.6
Vitamin A (RE)
400-450
198.67
122
958.3
Vitamin C (mg)
40-45
38.32
19.0
73.0
0.9-1.2
0.62
0.4
2.2
Protein (g)
Vitamin B12 (ug)
Energi dan protein berfungsi untuk membangun sel-sel yang rusak, membentuk zat-zat pengatur seperti enzim dan hormon yang berguna dalam proses metabolisme. Berdasarkan Tabel 14 terlihat bahwa rata-rata asupan energi balita adalah 887.76 kcal per hari, yang berarti masih kurang dari AKG energi yang dianjurkan untuk balita yaitu 1 000 kcal sampai 1 550 kcal per hari. Anak yang asupan proteinnya kurang akan mengalami gangguan terutama gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Selain itu protein pada masa balita sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan otak. Berdasarkan Tabel 14, rata-rata asupan protein balita adalah 25.90 gr per hari, yang berarti sudah cukup dari AKG protein yang dianjurkan untuk balita usia satu sampai tiga tahun yaitu 25 gr per hari, namun masih kurang bagi balita usia empat sampai lima tahun karena AKG protein yang dianjurkan pada usia ini adalah 39 gr per hari. Vitamin adalah zat-zat organik kompleks yang dibutuhkan dalam jumlah sangat kecil dan pada umumnya tidak dapat dibentuk oleh tubuh. Oleh karena itu harus didapat dari makanan. Almatsier S (2005) mengemukakan bahwa vitamin termasuk kelompok zat pengatur pertumbuhan dan pemeliharaan kehidupan.
66
Dilihat dari kelarutannya, maka vitamin terbagi menjadi dua yaitu vitamin yang larut dalam air dan vitamin yang larut dalam lemak. Vitamin yang dilihat dalam penelitian ini adalah Vitamin A, Vitamin B12 dan Vitamin C. Vitamin A merupakan salah satu zat gizi mikro mempunyai manfaat yang sangat penting bagi tubuh manusia, terutama dalam penglihatan manusia. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata asupan vitamin A balita adalah 198.67 RE per hari, masih kurang dari AKG vitamin A yang dianjurkan bagi balita yaitu 400450 RE per hari. Ini terjadi terutama karena kebiasaan makan yang jelek dengan kekurangan konsumsi sayuran, buah yang menjadi sumber provitamin A. Kekurangan maupun kelebihan dalam asupan vitamin A dapat memunculkan resiko yang merugikan kesehatan. Ada bukti yang menyatakan bahwa suplementasi vitamin A dapat menurunkan morbiditas malaria. Penelitian tersebut dilakukan di Papua New Guinea pada anak umur 6-60 bulan yang menderita penyakit malaria dengan memberikan suplementasi vitamin A (60 mg RE setiap 3 bulan). Setelah diikuti selama satu tahun, vitamin A menurunkan insidens malaria 20% - 50% kecuali pada level parasit yang
tinggi (Azrimaidaliza, 2007). Kemudian ditemukan
bahwa suplementasi vitamin A memberikan efek yang sedikit pada anak umur dibawah 12 bulan dan efek yang besar pada anak umur 13 sampai 36 bulan. (Shankar et al, 1999 dalam Semba, 2002). Untuk mengobati anak yang menderita malaria, selain obat standar untuk mengobati malarianya sendiri, dokter biasanya memberikan obat penunjang seperti vitamin B12 dan vitamin C untuk memperkuat fisik balita. Berdasarkan hasil penelitian rata-rata asupan vitamin C balita adalah 38.32 mg per hari sedangkan rata-rata AKG vitamin C yang dianjurkan bagi balita 40-45 mg per hari, berarti masih kurang. Tingkat kecukupan Vitamin C masih di bawah 100%, hal ini kemungkinan disebabkan para anak balita kurang mengkonsumsi buahbuahan. Menurut responden, anak mereka jarang mengonsumsi buah-buahan hal ini disebabkan mereka lebih memilih jajanan dibandingkan buah-buahan. Pada tabel 14 juga dapat dilihat bahwa rata-rata asupan vitamin B12 anak balita adalah 0.62 ug, masih kurang karena AKG yang dianjurkan adalah 0.9-1.2 ug per hari. Belum ditemukan jurnal mengenai hubungan antara vitamin B12, vitamin C dengan infeksi malaria.
67
Konsumsi pangan dipengaruhi oleh kebiasaan makannya, sehingga kecukupan konsumsi pangan anak-anak perlu mendapat perhatian orangtua. Anak-anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah sangat rawan terhadap gizi kurang. Mereka mengkonsumsi pangan (energi dan protein) lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga berada (Khomsan A, 2003). Distribusi tingkat kecukupan gizi balita secara rinci disajikan pada Tabel 15 berikut. Tabel 15 Distribusi balita berdasarkan tingkat kecukupan gizi di Puskesmas Kabupaten Manokwari Peubah
Total n
%
Tingkat kecukupan energi Baik (≥ 70% AKG) Kurang (< 70% AKG)
47 53
47.0 53.0
Tingkat kecukupan protein Baik (≥ 70% AKG) Kurang (< 70% AKG)
58 42
58.0 42.0
Tingkat kecukupan vit A Baik (≥ 70% AKG) Kurang (< 70% AKG)
7 93
7.0 93.0
Tingkat kecukupan vit C Baik (≥ 70% AKG) Kurang (< 70% AKG)
13 87
13.0 87.0
Tingkat kecukupan vit B12 Baik (≥ 70% AKG) Kurang (< 70% AKG)
6 94
6.0 94.0
Pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa sebagian besar tingkat kecukupan energi, protein, vitamin A, vitamin C dan vitamin B12 anak balita masih kurang. Hal ini disebabkan karena jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi masih kurang beragam. Makanan dikatakan beraneka ragam adalah apabila setiap hidangan terdiri dari minimal empat jenis bahan makanan yang terdiri dari bahan makanan pokok, lauk-pauk, sayuran dan buah-buahan yang bervariasi (Depkes 2000). Berdasarkan hasil penelitian, balita lebih banyak mengkonsumsi pangan sumber karbohidrat dan protein dibandingkan pangan yang mengandung vitamin seperti sayur dan buah. Pangan sumber karbohidrat berasal dari nasi dan ubiubian, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan protein lebih banyak bersumber dari ikan.
68
Sanitasi Lingkungan dan Kejadian Malaria Sanitasi Lingkungan Keadaan lingkungan berpengaruh besar terhadap ada tidaknya malaria di suatu daerah. Sanitasi dalam penelitian merupakan kondisi tempat tinggal ibu berupa keadaan lantai rumah, ventilasi yang baik, kepemilikan kolam ikan, sumur, kandang ternak yang dekat dengan rumah, saluran pembuangan limbah, jamban keluarga yang terletak didalam rumah, tempat pembuangan sampah dan tempat penampungan air. Adanya danau air payau, genangan air di hutan di suatu daerah akan meningkatkan kemungkinan timbulnya penyakit malaria karena tempat-tempat tersebut merupakan tempat perindukan nyamuk malaria. Rendahnya kesadaran masyarakat akan sanitasi lingkungan dan perumahan menyebabkan angka kesakitan malaria tinggi di daerah. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa 82% sanitasi lingkungan tempat tinggal responden berada dalam kategori kurang baik dan hanya terdapat 18% responden dengan sanitasi tempat tinggal yang baik. Di daerah pedesaan seperti Warmare dan Prafi, sebagian besar ibu memiliki rumah dengan keadaan lantai rumah tanpa semen, rumah tanpa ventilasi, rumah yang dekat dengan kandang ternak,
letak jamban keluarga diluar rumah serta sumber air untuk
minum dan mandi semua keluarga di pedesaan umumnya berasal dari air sumur, sungai dan penampuangan air hujan. Demikian halnya dengan ibu di perkotaan, keadaan rumah yang dekat dengan kandang ternak, saluran pembuangan air limbah yang terbuka dan tidak lancar, selokan yang tersumbat, serta sumur tanpa cincin merupakan ciri buruknya sanitasi lingkungan. Romadon (2001) menyatakan bahwa proporsi penyakit malaria di Kecamatan Salaman sebesar 50% dimana pencahayaan, ventilasi, jenis rumah, semak-semak dan perbukitan menunjukkan hubungan yang bermakna terhadap kejadian malaria, sedangkan kebersihan rumah, suhu rumah, kelembaban rumah, genangan air dan persawahan tidak menunjukkan hubungan terhadap kejadian malaria. Sementara Kholis E dkk (2010) menunjukkan bahwa pemeliharaan ternak yang berisiko untuk terinfeksi malaria adalah sebesar 1.10 kali dibandingkan individu yang tinggal di rumah tangga yang memiliki peternakan yang tidak berisiko. Pemeliharaan ternak yang berisiko adalah ternak yang tidak mempunyai
69
kandang atau ada kandangnya tetapi dekat dengan rumah. Semakin dekat dengan rumah, semakin berisiko terjadinya malaria. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Duarsa A (2007) yang mengemukakan bahwa individu yang memiliki pemeliharaan ternak berisiko mempunyai prevalence ratio 1.35. Kejadian Malaria Manokwari merupakan daerah yang memiliki iklim tropis, sehingga sangat mendukung kelangsungan hidup dari spesies nyamuk terutama Anopheles. Nyamuk Anopheles tersebar di Manokwari dan menyebabkan penyakit malaria tersiana dan malaria tropika dengan jumlah penderita yang cukup banyak. Dalam penelitian ini kejadian malaria terdiri dari status sakit, jenis malaria, frekuensi sakit dan riwayat penyakit lain. Distribusi balita berdasarkan kejadian malaria disajikan pada Tabel 16. Tabel 16
Distribusi balita berdasarkan kejadian malaria di Puskesmas Kabupaten Manokwari
Peubah
Total n
%
Kejadian malaria Tinggi Rendah
69 31
69.0 31.0
1. Status sakit malaria Sakit Tidak sakit
82 18
82.0 18.0
2. Jenis malaria Berat Ringan
42 58
42.0 58.0
3. Frekuensi sakit ≤2 kali sebulan >2 kali sebulan
55 45
55.0 45.0
4. Riwayat penyakit lain Ada Tidak ada
21 79
21.0 79.0
Tabel 16 menunjukkan bahwa 69% tingkat kejadian malaria pada balita di Kabupaten Manokwari tinggi dan hanya 31% yang rendah. Tingginya kejadian malaria ini disebabkan pada saat penelitian dan selama enam bulan terakhir banyak balita yang sakit malaria. Berdasarkan status sakit, hanya terdapat 20% balita yang tidak sakit malaria dan 80% balita lainnya menderita sakit malaria. Balita yang tidak menderita malaria mengalami sakit flu, diare dan gatal-gatal.
70
Balita penderita malaria yang berobat ke unit pelayanan kesehatan, umumnya masih diobati secara pengobatan klinis, yaitu pemberian obat anti malaria hanya berdasarkan gejala klinis saja dan belum diberikan pengobatan radikal atau pemberian obat anti malaria selain gejala klinis, sedangkan yang lainnya menggunakan Rapid Test Diagnosis (RTD). Kondisi ini terjadi karena beberapa faktor, antara lain keterbatasan saran dan prasarana yang dibutuhkan (mikroskop), minimnya kemampuan/keterampilan petugas (tenaga mikroskopis malaria) terutama didaerah pedesaan dan tidak memadainya dana operasional program P2 Malaria (Khususnya di Kab/ Kota dan Puskesmas). Pengobatan terhadap penderita malaria yang dilaksanakan di Indonesia ada dua jenis, yaitu pengobatan malaria klinis dan pengobatan radikal. Pengobatan malaria klinis merupakan pemberian obat anti malaria hanya berdasarkan gejala klinis saja, sedangkan pengobatan radikal adalah pemberian obat anti malaria yang berdasarkan hasil konfirmasi laboratorium. Sampai saat ini, masih banyak propinsi yang masih melaksanakan pengobatan malaria klinis, termasuk Propinsi Papua Barat. Berdasarkan kajian dan penelitian yang dilakukan oleh departemen kesehatan, ternyata pengobatan dengan cara ini sering menimbulkan terjadinya kegagalan pengobatan bagi penderita malaria klinis, sebab pengobatan dengan cara ini tidak berdasarkan hasil pemeriksaan sediaan darah. Tabel 16 juga menunjukkan bahwa tingginya kejadian malaria disebabkan jumlah balita yang mengalami malaria berdasarkan jenisnya, baik malaria berat dan ringan tidak berbeda jauh. Berdasarkan data diperoleh bahwa 42% balita menderita malaria berat yaitu malaria jenis tropika dan 58% balita lainnya menderita malaria ringan. Kemudian jika ditinjau dari frekuensi sakit diketahui bahwa terdapat 45% balita mengalami malaria lebih dari dua kali dalam enam bulan dan 55% lainnya mengalami malaria kurang dari dua kali dalam enam bulan. Lama anak balita mengalami sakit infeksi, dapat mempengaruhi tingkat kecukupan gizi balita tersebut. Hal ini disebabkan pada saat sakit nafsu makan anak menjadi berkurang sehingga asupan zat gizi yang berasal dari makanan pun menjadi sedikit serta secara langsung akan mempengaruhi tingkat kecukupan zat gizi anak tersebut. Riwayat penyakit lain balita juga menjadi penyebab tingginya kejadian malaria di Puskesmas Kabupaten Manokwari. Berdasarkan data yang diperoleh
71
sebanyak 21% balita memiliki riwayat penyakit lain seperti asma, tuberkulosis, diare, batuk dan alergi. Tabel 17 Distribusi contoh berdasarkan kejadian malaria dan karakteristik sosial ekonomi keluarga Kejadian malaria Rendah Tinggi % n % n
n
%
Umur ibu Tua (≥ 35 tahun) Muda (< 35 tahun)
3 28
30.0 31.1
7 62
70.0 68.9
10 90
100 100
1.000
Umur ayah Tua (≥ 35 tahun) Muda (< 35 tahun)
9 22
33.3 30.1
18 51
66.7 69.9
27 73
100 100
0.810
Besar keluarga Kecil (≤ 4 orang) Besar (> 4 orang)
21 10
35.6 24.4
38 31
64.4 75.6
59 41
100 100
0.276
17 14
23.3 51.9
56 13
76.7 48.1
73 27
100 100
0.008
Asal suku Papua Non Papua
14 17
31.8 30.4
30 39
68.2 69.6
44 56
100 100
1.000
Pendidikan ibu Rendah Tinggi
24 7
35.8 21.2
43 26
64.2 78.8
67 33
100 100
0.171
Pendidikan ayah Rendah Tinggi
20 11
37.0 23.9
34 35
63.0 76.1
54 46
100 100
0.195
Pekerjaan ayah Bekerja
31
31.0
69
69.0
100
100
-
Pekerjaan ibu Bekerja Tidak bekerja/IRT
3 28
13.0 36.4
20 49
87.0 63.6
23 77
100 100
0.041
Umur balita 2-3 tahun 4-5 tahun
24 7
34.3 23.3
46 23
65.7 76.7
70 30
100 100
0.349
Jenis kelamin Perempuan Laki-laki
19 12
32.2 29.3
40 29
67.8 70.7
59 41
100 100
0.465
Berat badan lahir Normal (≥ 2500 gr) BBLR (< 2500 gr)
26 5
29.9 38.5
61 8
70.1 61.5
87 13
100 100
0.534
Peubah
Pendapatan keluarga Tinggi (≥ 1 450 000) Rendah(< 145 0000)
Total
P-value
72
Berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga (Tabel 17), tingginya kejadian malaria lebih banyak dialami oleh balita yang memiliki orangtua dengan umur muda, memiliki jumlah anggota keluarga kecil, pendidikan orangtua rendah dan ibu tidak memiliki pekerjaan. Kejadian malaria yang
tinggi lebih banyak
dialami oleh anak balita umur dua sampai tiga tahun, berjenis kelamin perempuan dan memiliki berat badan lahir yang normal. Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pendapatan keluarga dengan kejadian malaria (p=0.008). Sebagian besar pendapatan keluarga yang tinggi berasal dari masyarakat pendatang dimana berdasarkan hasil penelitian, balita asal pendatang/ non asli Papua lebih rentan terhadap malaria dibandingkan balita dari suku asli Papua. Selanjutnya hasil uji chi-square juga menunjukkan bahwa ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan kejadian malaria (p=0.041). Ibu yang tidak bekerja umumnya berpendidikan
rendah dan
memiliki pengetahuan yang kurang
mengenai praktek dan pencegahan malaria dibandingkan ibu yang bekerja sehingga kejadian malaria lebih banyak dialami oleh anak-anak yang berasal dari ibu yang tidak memiliki pekerjaan. Namun ada juga ibu bekerja yang mengikutsertakan anaknya ketika bekerja tanpa perlindungan dalam mencegah gigitan nyamuk, sehingga menjadi salah satu penyebab tingginya kejadian malaria pada anak yang ibunya bekerja.
Status Gizi Anak Balita Status
gizi
balita
diukur
secara
antropometri
dilakukan
dengan
menimbang berat badan anak. Kemudian dihitung nilai z-skor berdasarkan indeks BB/TB, TB/U dan BB/U. Distribusi status gizi balita berdasarkan indeks BB/TB, TB/U dan BB/U disajikan pada Tabel 18. Berdasarkan BB/TB pada Tabel 18, diperoleh bahwa 31% balita memiliki status gizi tidak normal (kurus) dan 69% balita normal. Rata-rata status gizi balita berdasarkan BB/TB adalah normal. Selanjutnya berdasarkan TB/U diperoleh 21% balita pendek dan 79% balita memiliki TB/U yang normal. Rata-rata status gizi balita menurut TB/U adalah normal. Tabel 18 juga menunjukkan bahwa berdasarkan BB/U diperoleh 45% balita memiliki status gizi yang tidak normal dan 55% balita lainnya memiliki BB/U yang
73
normal. Rata-rata status gizi balita menurut BB/U berada dalam kategori tidak normal.
Anak balita dengan status gizi buruk dan gizi lebih tidak ditemukan
dalam penelitian ini. Tabel 18
Distribusi balita berdasarkan status gizi di Puskesmas Kabupaten Manokwari Total
Peubah n
%
BB/TB Normal Tidak normal
69 31
69.0 31.0
TB/U Normal Tidak normal
79 21
79.0 21.0
BB/U Normal Tidak normal
55 45
55.0 45.0
Dari ketiga indeks yang digunakan dalam penelitian ini yaitu indeks BB/U, TB/U dan BB/TB, dapat diambil kesimpulan bahwa status gizi anak balita di masa lampau pada umumnya berada pada kategori normal dan pada saat penelitian berada dalam keadaan tidak normal, hal ini disebabkan pada saat penelitian balita mengalami sakit sehingga berpengaruh terhadap nafsu makan yang secara langsung berpengaruh terhadap berat badan balita. Selanjutnya distribusi status gizi balita berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga dan karakteristik balita disajikan pada Tabel 19. Berdasarkan analisis chi-squre diperoleh bahwa ada hubungan antara karakteristik sosial ekonomi keluarga dan karakteristik balita dengan status gizi balita dalam penelitian ini yaitu pendapatan keluarga, asal suku, pendidikan ibu dan pekerjaan ayah dengan status gizi.Namun menurut penelitian yang dilakukan oleh Masdiarti E (2000) di Kecamatan Hamparan Perak tentang pola pengasuhan dan status gizi anak balita ditinjau dari karakteristik pekerjaan ibu, memperlihatkan hasil bahwa anak yang berstatus gizi baik banyak ditemukan pada ibu bukan pekerja (43,24%) dibandingkan dengan kelompok ibu pekerja (40,54%) dan ibu yang tidak bekerja mempunyai waktu yang lebih banyak dalam mengasuh anaknya.
74
Tabel 19 Distribusi status gizi berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga dan karakteristik balita di Kabupaten Manokwari Status gizi TB/U
BB/TB Peubah
BB/U
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
Tdk Normal n %
Umur ibu Tua (≥ 35 thn) Muda(< 35 thn)
6 63
8.7 91.3
4 27
12.9 87.1
9 70
11.4 88.6
1 20
4.8 95.2
6 49
10.9 89.1
4 41
8.9 91.1
Umur ayah Tua (≥ 35 thn) Muda (< 35 thn)
17 52
24.6 75.4
10 21
32.3 67.7
24 55
30.4 69.6
3 18
14.3 85.7
13 42
23.6 76.4
14 31
31.1 68.9
Besar keluarga Kecil (≤ 4 org) Besar (> 4 org)
38 31
55.1 44.9
21 10
67.7 32.3
45 34
57.0 43.0
14 7
66.7 33.3
30 25
54.5 45.5
29 16
64.4 35.6
57 12
82.6 17.4
16 15
51.6 48.4
64 15
81.0 19.0
9 12
42.9 57.1
49 6
89.1 10.9
24 21
53.3 46.7
Asal suku* Papua Non Papua
30 39
43.5 56.5
14 17
45.2 54.8
30 49
38.0 62.0
14 7
66.7 33.3
21 34
38.2 61.8
23 22
51.1 48.9
Pendidikan ibu* Rendah Tinggi
42 27
60.9 39.1
25 6
80.6 19.4
49 30
62.0 38.0
18 3
85.7 14.3
30 25
54.5 45.5
37 8
82.2 17.8
Pendidikan ayah Rendah Tinggi
37 32
53.6 46.4
17 14
54.8 45.2
40 39
50.6 49.4
14 7
66.7 33.3
24 31
43.6 56.4
30 15
66.7 33.3
Pekerjaan ayah Bekerja
69
100
31
100
79
100
21
100
55
100
45
100
Pekerjaan ibu Bekerja Tdk bekerja
19 50
27.5 72.5
4 27
12.9 87.1
21 58
26.6 73.4
2 19
9.5 90.5
17 38
30.9 69.1
6 39
13.3 86.7
Umur balita 2-3 tahun 4-5 tahun
49 20
71.0 29.0
21 10
67.7 32.3
57 22
72.2 27.8
13 8
61.9 38.1
39 16
70.9 29.1
31 14
68.9 31.1
Jenis kelamin Perempuan Laki-laki
43 26
62.3 37.7
16 15
51.6 48.4
48 31
60.8 39.2
11 10
52.4 47.6
33 22
60.0 40.0
26 19
57.8 42.2
Berat lahir Normal (≥ 2500 gr) BBLR (< 2500 gr)
58 11
84.1 15.9
29 2
93.5 6.5
68 11
86.1 13.9
19 2
90.5 9.5
45 10
81.8 18.2
42 3
93.3 6.7
Normal
Pendapatan keluarga* Tinggi (≥ 1450000) Rendah (< 1450000)
Tdk Normal
Normal
Pendek
Normal
*
Hubungan antar Variabel Pola Asuh Makan, Tingkat Konsumsi, Pola Asuh Kesehatan, Kejadian Malaria dengan Status Gizi Balita Balita masih sangat rawan terhadap berbagai macam penyakit. Hal ini terjadi karena sistem kekebalan tubuhnya belum benar-benar terbentuk. Oleh karena itu anak harus diberikan asupan gizi yang cukup guna membantu membentuk sistem kekebalan tubuh yang kuat, sehingga anak tidak mudah sakit. Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh (tulang, otot dan lemak) dan merupakan indikator yang sangat labil.
75
Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau berkurangnya jumlah makanan yang dikonsumsi (Supariasa, Bakri dan Fajar 2002). Pengukuran dengan menggunakan indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi pada saat ini. Pengukuran hubungan pola asuh makan, tingkat konsumsi, pola asuh kesehatan, kejadian malaria terhadap status gizi balita di Kabupaten Manokwari dilakukan dengan menggunakan indesk BB/U seperti disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Hubungan antar variabel pola asuh makan, tingkat konsumsi, pola asuh kesehatan, kejadian malaria dengan status gizi balita di Kabupaten Manokwari Status gizi Normal Tidak normal n % n %
n
Pola asuh makan Baik (≥70 %) Kurang (<70 %)
25 30
71.4 46.2
10 35
28.6 53.8
35 65
100 100
0.020
Tingkat kecukupan energi Baik (≥70 % AKG) Kurang (<70 % AKG)
34 21
72.3 39.6
13 32
27.7 60.4
47 53
100 100
0.001
Tingkat kecukupan protein Baik (≥70 % AKG) Kurang (<70 % AKG)
38 17
65.5 40.5
20 25
34.5 59.5
58 42
100 100
0.015
Tingkat kecukupan vit A Baik (≥70 % AKG) Kurang (<70 % AKG)
3 52
42.9 55.9
4 41
57.1 44.1
7 93
100 100
0.698
Tingkat kecukupan vit C Baik (≥70 % AKG) Kurang (<70 % AKG)
9 46
69.2 52.9
4 41
30.8 47.1
13 87
100 100
0.373
Tingkat kecukupan vit B12 Baik (≥70 % AKG) Kurang (<70 % AKG)
4 51
66.7 54.3
2 43
33.3 45.7
6 94
100 100
0.688
Pola asuh kesehatan Baik (≥70 %) Kurang (<70 %)
27 28
62.8 49.1
16 29
37.2 50.9
43 57
100 100
0.224
Kejadian Malaria Tinggi Rendah
8 47
25.8 68.1
23 22
74.2 31.9
31 69
100 100
0.001
Peubah
P-value
Total %
*
*
*
*
Signifikan p<0.05
Hasil uji chi-square (Tabel 20) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh makan dengan status gizi (p=0.020), terdapat
*
76
hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi (p=0.001), terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi (p=0.015). Hal ini didukung oleh penelitian Fitria A (2008) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pola asuh, tingkat konsumsi energi dan protein, status gizi dengan psikomotor (p<0.05). Namun berdasarkan uji chi-square tidak terdapat hubungan antara tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C dan vitamin B12 dengan status gizi (p>0.05), hal ini disebabkan sebagian besar balita memiliki tingkat kecukupan zat gizi yang kurang. Tabel 20 signifikan
juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
antara pola asuh kesehatan dengan status gizi (p>0.05) dimana
(p=0.224). Hal ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Husen R (2008) yang menyatakan bahwa ada hubungan status gizi balita dengan pola asuh pemberian makan (p=0,000), praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan (p=0,000), namun tidak ada hubungan antara perawatan anak dalam keadaan sakit dengan status gizi. Pada Tabel 20 dapat dilihat bahwa ada hubungan antara kejadian malaria dengan status gizi balita (p<0.05). Ada beberapa studi yang menunjukkan bahwa anak yang bergizi baik justru lebih sering mendapat kejang dan malaria dibandingkan dengan anak yang bergizi buruk. Tetapi anak yang bergizi baik dapat mengatasi malaria berat dengan lebih cepat dibanding anak yang bergizi buruk (Gunawan dalam Harijanto, 2000).
Analisis Hubungan antar Variabel Pola Asuh Makan, Pola Asuh Kesehatan, Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Malaria Hubungan antar variabel pola asuh makan, pola asuh kesehatan, sanitasi lingkungan dengan kejadian malaria disajikan pada Tabel 21. Berdasarkan uji chi-square diperoleh bahwa tidak ada hubungan antara pola asuh makan dengan kejadian malaria (p>0.05). Tabel 21 juga menunjukkan bahwa bahwa tidak ada hubungan antara tingkat kecukupan energi, protein, vitamin A, vitamin C dan vitamin B12 dengan status malaria (p>0.05). Berbeda dengan Victoria et al (2011) yang menyatakan bahwa prevalensi malaria tinggi
77
pada anak-anak yang belum menerima suplemen vitamin A dibandingkan dengan anak yang telah mendapatkan suplemen vitamin A. Tabel 21 Hubungan antar variabel pola asuh makan, pola asuh kesehatan, sanitasi lingkungan dengan kejadian malaria di Kabupaten Manokwari Peubah Pola asuh makan Baik (≥70 %) Kurang (<70 %)
Kejadian malaria Tinggi Rendah n % n %
n
30 52
35 65
85.7 80.0
5 13
14.3 20.0
Total
P-value %
100 100
0.591 *
Pola asuh kesehatan Baik (≥70 %) Kurang (<70 %)
0.001 29 53
67.4 93.0
14 4
32.6 7.0
43 57
100 100
Sanitasi Lingkungan Baik (≥70 %) Kurang (<70 %)
13 69
72.2 84.1
5 13
27.8 15.9
18 82
100 100
*
0.037
*
Signifikan p<0.05
Selanjutnya penelitian Nurhadimuda (2003) menyebutkan bahwa infeksi malaria mempengaruhi penurunan status gizi anak balita di Purworejo, sedangkan penelitian Tarmidzi M (2006) menyebutkan bahwa kejadian malaria tidak berhubungan dengan status gizi pada balita di Kecamatan Kokap dan Samigaluh Kabupaten Kulon Progo Propinsi D.I Yogyakarta. Selanjutnya malaria dan kekurangan gizi penyebab morbiditas dan mortalitas yang tinggi di pedesaan sub-Sahara Afrika. Ditemukan bahwa anak-anak kekurangan gizi kronis memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami malaria (Deen, Walraven & Seidlein, 2002).
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kejadian Malaria dan Status Gizi Balita di Kabupaten Manokwari Berdasarkan hasil analisis chi-square diketahui bahwa variabel yang berhubungan dengan kejadian malaria adalah pola asuh kesehatan dan sanitasi lingkungan, sedangkan variabel yang berhubungan dengan status gizi adalah pola asuh makan (p=0.020), praktek makan (p=0.001), tingkat kecukupan energi (p=0.001), tingkat kecukupan protein (p=0.015) dan kejadian malaria (p=0.001). Ditinjau dari karakteristik balita, karakteristik orangtua, pengetahuan ibu dan sanitasi lingkungan, diperoleh bahwa variabel yang berhubungan dengan kejadian malaria adalah praktek kebersihan (p=0.046), selanjutnya variabel yang
78
berhubungan dengan status gizi adalah pendidikan ibu (p=0.005), pendidikan ayah (p=0.027), pekerjaan ibu (p=0.055), pendapatan keluarga (p=0.000), pengetahuan ibu tentang ASI dan malaria (0.000). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Saifuddin (2004) di Kabupaten Bireuen yang menunjukkan bahwa kejadian malaria sebagian besar terjadi pada kelompok umur 15–49 tahun (36.4%), menyerang lebih banyak laki-laki (56.8%), dan terbanyak berpendidikan rendah (97%) serta terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dan pendidikan ibu dengan kejadian malaria. Analisis regresi logistik dilakukan untuk mengetahui variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian malaria dan status gizi balita, hasil analisis disajikan pada Tabel 22. Tabel 22
Hasil uji regresi logistik faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian malaria dan status gizi balita
Peubah
Sig.
OR
Sanitasi lingkungan
0.084
0.256
0.055
1.203
Pola asuh kesehatan
0.002*
0.156
0.047
0.519
*
0.002
0.052
0.008
0.347
Pendidikan ibu
0.065
4.662
0.908
5.939
Pendidikan ayah
0.508
1.603
0.397
6.470
Pekerjaan ibu
0.124
4.286
0.672
7.355
Pendapatan keluarga
0.091
0.263
0.056
1.239
Pola asuh makan
0.942
1.058
0.229
4.883
Praktek makan
0.367
0.491
0.105
2.300
Konsumsi energi
*
0.048
0.264
0.071
0.986
Konsumsi protein
0.190
0.405
0.105
1.565
*
0.208
0.052
0.831
*
0.002 0.007*
0.115 0.039
0.029 0.004
0.456 0.405
0.022
15.961
95%CI
Kejadian malaria
Praktek kebersihan Status gizi
Pengetahuan tentang ASI Pengetahuan tentang malaria Kejadian malaria Constant
0.026
*
Signifikan p<0.05
Pada Tabel 22 dapat dilihat bahwa berdasarkan analisis regresi logistik, faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap kejadian malaria adalah pola
79
asuh kesehatan dengan nilai OR sebesar 0.156 (95% CI : 0.074-0.519), dimana pola asuh kesehatan merupakan faktor pencegah tingginya kejadian malaria pada anak balita. Hal ini berarti bahwa anak balita yang dengan latar belakang pola asuh kesehatan yang baik dapat menghindarkan dirinya untuk sakit malaria 0.156 kali dibandingkan balita dengan pola asuh kesehatan yang kurang baik. Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap kejadian malaria adalah praktek kebersihan anak, nilai OR praktek kebersihan anak sebesar 0.052 (95% CI: 0.008-0.347) dimana praktek kebersihan anak merupakan faktor pencegah tingginya kejadian malaria balita. Hal ini berarti bahwa balita dengan praktek kebersihan anak yang baik berpeluang 0.052 kali lebih kecil mengalami sakit malaria dibandingkan balita dengan praktek kebersihan yang kurang baik. Pada Tabel 22, faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap status gizi anak balita adalah konsumsi energi, pengetahuan ibu tentang ASI, pengetahuan ibu tentang malaria dan kejadian malaria. Nilai OR konsumsi energi sebesar 0.264 (95% CI : 0.071-0.986), dimana konsumsi energi merupakan faktor pencegah status gizi balita yang kurang. Hal ini berarti bahwa anak balita dengan tingkat konsumsi yang baik berpeluang 0.264 kali lebih kecil memiliki status gizi kurang dibandingkan anak balita dengan konsumsi energi yang kurang baik. Hamidah N (2006) menyatakan bahwa ada hubungan antara pola asuh gizi dengan status gizi, ada hubungan kejadian infeksi dengan status gizi, tidak ada hubungan tingkat konsumsi energi dengan status gizi dan ada hubungan tingkat konsumsi protein dengan status. Nilai OR untuk pengetahuan ibu tentang ASI sebesar 0.208 (95% CI : 0.052-0.831), dimana pengetahuan ibu tentang ASI merupakan faktor pencegah status gizi anak yang kurang baik. Hal ini berarti ibu dengan pengetahuan ASI yang baik berpeluang 0.208 kali lebih kecil memiliki balita dengan status gizi yang kurang dibandingkan dengan ibu dengan pengetahuan ASI yang kurang. Namun menurut Victoria et al (2011) pemberian ASI eksklusif tidak menurunkan prevalensi malaria parasitemia. Pengetahuan merupakan salah satu faktor risiko yang berhubungan terhadap kejadian malaria (Loka Litbang P2B2). Sama halnya dengan pengetahuan ibu tentang malaria dimana diperoleh nilai OR sebesar 0,115 (95% CI : 0.029-0.456), dimana pengetahuan ibu tentang malaria merupakan faktor pencegah status gizi balita yang kurang baik. Hal ini berarti bahwa ibu dengan pengetahuan malaria yang baik berpeluang lebih kecil
80
memiliki anak dengan status gizi kurang dibandingkan ibu yang memiliki pengetahuan malaria yang kurang baik. Penelitian Kinung'hi et al (2010) menyebutkan bahwa warga di Kabupaten Muleba Utara Tanzania memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentang malaria, namun pengetahuan ini belum sepenuhnya dipraktekkan dalam penggunaan intervensi malaria yang tersedia. Selanjutnya hasil penelitian Adhroey (2010) menyebutkan bahwa masyarakat hutan asli dan pedesaan Distrik Lipis dari Pahang Malaysia memiliki kesadaran akan penyakit malaria tetapi sikap dan praktek dalam pencegahan malaria tidak memadai. Faktor yang juga secara signifikan berpengaruh terhadap status gizi adalah kejadian malaria dimana berdasarkan analisis regresi logistik diperoleh nilai OR kejadian malaria sebesar 0.039 (95% CI : 0.004-0.405), dimana kejadian malaria merupakan faktor pencegah status gizi balita yang kurang baik. Hal ini berarti bahwa balita dengan kejadian malaria yang rendah berpeluang 0.113 lebih kecil memiliki status gizi kurang dibandingkan balita dengan kejadian malaria tinggi. Penelitian Olaf et al ( 2003) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara KEP dan morbiditas malaria, tapi anak-anak kekurangan gizi memiliki risiko lebih dari dua kali lipat lebih tinggi meninggal dibandingkan non-anak kurang gizi.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan maka diperoleh kesimpulan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan antara pola asuh makan, tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, kejadian malaria dengan status gizi. Namun tidak ada hubungan antara pola asuh kesehatan dengan status gizi. 2. Tidak ada hubungan antara pola asuh makan dengan kejadian malaria namun terdapat hubungan antara pola asuh kesehatan, sanitasi lingkungan dengan kejadian malaria. 3. Faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap kejadian malaria adalah sanitasi lingkungan, pola asuh kesehatan dan praktek kebersihan anak; sedangkan faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap status gizi anak balita adalah konsumsi energi, pengetahuan ibu tentang ASI, pengetahuan ibu tentang malaria dan kejadian malaria.
Saran 1. Disarankan kepada masyarakat, khususnya para ibu untuk memperhatikan menu makan anak. Masyarakat perlu menerapkan 7 praktek pencegahan malaria yang disarankan oleh dinas kesehatan, perlu memperhatikan kebersihan penggunaan kelambu, mengingat rata-rata kelambu dicuci adalah 5 bulan sekali. Disamping itu disarankan untuk mengkonsumsi obat anti malaria, menjaga kebersihan lingkungan serta memiliki kepatuhan dalam minum obat. 2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah utama status gizi adalah adalah rendahnya tingkat konsumsi energi dan zat gizi serta kurangnya keragaman konsumsi pangan anak balita. Hal ini juga disebabkan kurangnya pemahaman ibu tentang pola asuh makan yang baik, oleh karena itu perlu adanya peningkatan materi penyuluhan atau konseling mengenai pentingnya menu beragam, bergizi dan seimbang bagi ibu serta bagaimana cara praktek makan yang benar. 3. Dinas kesehatan perlu meningkatkan promosi kepada masyarakat tentang pentingnya praktek pencegahan malaria mengingat hanya 2-3 praktek saja yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA Adhroey AL et al. 2010. Opportunities and Obstacles to The Elimination of Malaria From Peninsular Malaysia: Knowledge, Attitudes And Practices on Malaria Among Aboriginal and Rural Communities. Malaria Journal, 9:137 Agresti A dan Finlay B. 1999. Statistical Methods for The Social Sciences; 3rd ed. New Jersey: Prentice Hall. Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pusaka Utama. Jakarta Almatsier S. 2005. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Jakarta ; Gramedia Pustaka Utama. Amadou BD et al. 2001. Home Care of Malaria-Infected Children of Less Than 5 Years Of Age in a Rural Area of The Republic of Guinea. Bull World Health Organ Vol.79 No.1 Genebra. Anies. 2006. Waspada Ancaman Penyakit Tidak Menular. Jakarta : PT. Elex. Media Komputindo. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Anwar. 2000. Pelaksanaan Program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah Kepada Siswa Sekolah Dasar di Kabupaten Kendari. Universitas Sumatra Utara. Medan. Arisman MB. 2004. Gizi Daur dalam Kehidupan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta; hal.40-48. Azrimaidaliza. 2007. Vitamin A, Imunitas dan Kaitannya dengan Penyakit Infeksi. [Tesis] Universitas Diponegoro. Semarang. Baume C, Helitzer D and Kachur SP. 2000. Patterns of Care for Childhood Malaria in Zambia. Social Science and Medicine 51: 1419-1503. Budi TP. 2000. Mengasuh dan Perkembangan Balita. Oriza Yogyakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Papua Barat dalam Angka 2010. Papua Barat. Daboer JC, John C, Jamda AM, Chingle MP, Ogbonna C. 2010. Knowledge and Treatment Practices of Malaria Among Mothers and Caregivers of Children in An Urban Slum in Jos, Nigeria. Niger J Med. Apr-Jun;19(2):184-7. Deen JL, Walraven GEL, Seidlein L.Von. 2002. Increased Risk for Malaria in Chronically Malnourished Children Under 5 Years of Age in Rural Gambia. J Trop Pediatr 48 (2): 78-83. [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2000. Pedoman Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat. Direktorat Bina Gizi, Jakarta. _________. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta _________. 2006. Pedoman Umum Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) Lokal. Bhakti Husada
83
_________. 2008. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Bhakti Husada. Jakarta. _________. 2011. Profil Data Kesehatan Indonesia. Bhakti Husada. Jakarta [Dinkes] Dinas Kesehatan Kabupaten Manokwari. 2010. Laporan Kesehatan Kabupaten Manokwari. Ditjen P2PL. 2009. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Depkes RI. Ditjen P2PL. 2012. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Depkes RI Djumadias dan Abunain. 1990. Aplikasi Antropometri sebagai Alat Ukur Status Gizi. Puslitbang Gizi Bogor Duarsa A. 2007. Pengaruh Perpaduan Berbagai Determinan di Tingkat Individu dan Determinan di Tingkat Ekologi Agregat terhadap Kejadian Infeksi Malaria di Kabupaten Lampung Selatan. [Disertasi] Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Engel P. 1992. Care and Child Nutrition. Theme Paper for the International Conference (ICN), Unicef, New York. Engle P, Menon P and Haddad L. 1997. Care and Nutrition. New York. Hill Estefanía et al. 2009. Nutritional And Socio-Economic Factors Associated With Plasmodium Falciparum Infection In Children From Equatorial Guinea: Results From A Nationally Representative Survey. Malaria Journal, 8:225. Ettling M, McFarland L, Schultz and Chitsulo. 1994. Economic impact of malaria in Malawian households. Tropical Medicine and Parasitology 45: 74-79. Fawole OI and Onadeko MO, 2001. Knowledge and Home Management of Malaria Fever by Mothers and Care Givers of Under Five Children. West Afr J Med 20:152-157 Fitria A. 2008. Hubungan Pola Asuh, Status Gizi, Tingkat Konsumsi Energi dan Protein dengan Psikomotor Anak Usia 24-30 Bulan di kelurahan Sidorejo Kecamatan Kedungtuban Kabupaten Blora. [Skripsi] Universitas Diponegoro. Semarang Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Oxford University press, hal.37-40. Green LW. 1980. Perencanaan Pendidikan Kesehatan Pendekatan Diagnostik. Pengembangan FKM-UI. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Gunawan S. 2000. Epidemiologi Malaria dalam Harijanto P.N. Malaria: Epidemiologi Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta, EGK Gumala Y. 2002. Perbedaan Tingkat Konsumsi Energi, Protein dan Status Gizi Balita Menurut Peran Ibu di Kabupaten Gianyar. [Tesis] Universitas Gadjah Mada. Yogjakarta.
84
Gomez A and Elisa D. 2009. Malaria Treatment in Severe Malnutrition in Angola. this Field Article Outlines the Results of a Preliminary Study Carried Out by ACH in Angola, which Showed Poor Response Rates to Standard TFC Protocols for Managing Malaria. Hamidah N. 2006. Hubungan Pola Asuh Gizi, Kejadian Infeksi, Tingkat Konsumsi Energi dan Protein dengan Status Gizi Pada Bayi Usia 0-12 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas III Mranggen Kabupaten Demak. [Skripsi] Universitas Diponegoro Hamzah A. 2000. Pola Asuh Anak pada Etnik Jawa Migran dan Etnik Mandar. [Disertasi] Universitas Airlangga. Surabaya. Hanum M. 2010. Tumbuh Kembang, Status Gizi dan Imunisasi Dasar Pada Balita. Yogyakarta : Nuha Medika. Hardiansyah dan Tambunan V. 2004. WNPG VIII. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak dan Serat Makanan. Prosiding. Jakarta. p .325 Harijanto PN. 2000. Gejala Klinis Malaria. Jakarta Hurlock EB. 1997. Perkembangan Anak. Edisi 6 Jilid 2. MM. Tjandrasa Penerjemah. Jakarta. Erlangga. __________. 1998. Children language acquasition. Journal of social psychology & personality. Volume. 09. Num. 23. November. Washington DC: American Psychological Association. Husen R. 2008. Hubungan Pola Asuh Anak dengan Status Gizi Balita Umur 2459 Bulan di Wilayah Terkena Tsunami Kabupaten Pidie Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. [Tesis] Universitas Sumatra Utara. Medan Jeremiah ZA and Uko EK. 2007. Childhood Asymptomatic Malaria and Nutritional Status Among Port Harcourt Children. East African Journal of Public Health. Volume 4 Number 2, October. Karunaweera, Carter R, Grau GE and Mendis KN. 1998. Demonstration of antidisease immunity to P.vivax malaria in Sri Lanka using a quatitative method to assess clinical disease. American Journal of Tropical Medicine & Hygiene, 58(2): 204-210. Kholis E, Budhi S, Artha D, Rifqatussa’adah. 2010. Hubungan Faktor Risiko Individu dan Lingkungan Rumah dengan Malaria di Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung Indonesia 2010. Program Studi Ilmu Lingkungan. [Tesis] Universitas Indonesia Khomsan A. 2003. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada [Kemenkes] Kementrian Kesehatan RI. 2011. Epidemiologi Malaria di Indonesia. Buletin Malaria. Bhakti Husada. ISSN 2088. Triwulan I. Jakarta. Kirby et al. 2008. Risk Factors For House-Entry by Malaria Vectors in a Rural Town and Satellite Villages in the Gambia. Malar J, 7. p. 2. ISSN 1475-2875
85
Kinung'hi et al. 2010. Knowledge, Attitudes and Practices about Malaria Among Communities: Comparing Epidemic and Non-Epidemic Prone Communities of Muleba District, North-Western Tanzania. BMC Public Health. 10:395 Krisnatuti dan Yenrina. 2000. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Puspa, Jakarta Loka Litbang P2B2.2009. Dinamika Penularan Malaria di Kabupaten Biak Numfor. Linkages. 2002. Pemberian ASI Eksklusif atau ASI Saja : Satu-Satunya Sumber Cairan yang Dibutuhkan Bayi Usia Dini Madanijah S. 2003. Model Pendidikan GI-PSI Sehat Bagi Ibu Serta Dampaknya terhadap Pendidikan Ibu, Lingkungan Pembelajaran, Konsumsi Pangan dan Status Gizi Anak Usia Dini. [Disertasi] Institut Pertanian Bogor. Bogor. Masdiarti E. 2000. Gambaran Status Gizi Anak Balita Ditinjau dari Pola Pengasuh pada Ibu Pekerja dan Bukan Pekerja. [Skripsi] Universitas Sumatera Utara. Medan. Masithah T, Soekirman dan Drajat M. 2005. Hubungan Pola Asuh Makan dan Kesehatan dengan Status Gizi Anak Batita di Desa Mulya Harja. Media Gizi dan keluarga. Volume 29 (2):29-39. Muthayya S. 2009. Maternal Nutrition & Low Birth Weight: What is Really Important?. Indian J of Med Resc; 130(5); 600-608. Notoatmodjo. 2003. Cipta.
Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka
__________. 2007. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Nurhadimuda. 2003. Hubungan Infeksi Malaria dengan Status Gizi Balita di Daerah Endemis Malaria Kabupaten Purworejo. [Tesis] Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Nurhaedah A. 2008. Plasmodium yang Dominan dalam Nyamuk Anopheles Betina (Anopheles Sp) pada Beberapa Tempat di Distrik Manokwari Barat. [Skripsi] Universitas Negeri Papua. Olaf et al. 2003. The Association Between Protein–Energy Malnutrition, Malaria Morbidity and All-Cause Mortality in West African Children. Tropical Medicine and International Health. Volume 8 no 6 pp 507–511 june. Orimadegun AE, Amodu OK, Olumese PE and Omotade OO. 2008. Early Home Treatment of Childhood Fevers with Ineffective Antimalarials is Deleterious in The Outcome of Severe Malaria. Biomed Central Research. Malaria Journal, 7:143. Osero JS, Otieno MF and Orago AS. 2006. Mothers' Knowledge on Malaria and Vector Management Strategies in Nyamira District, Kenya. East Afr Med J. Sep;83(9):507-14. Department Of Health Sciences, Kenyatta University. Prabowo A. 2002. Malaria, Mencegah Dan Mengatasinya. Puspa Swara. Jakarta.
86
[Riskesdas] Riset Kesehatan Dasar. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riyadi H, Retnaningsih, Martianto D, dan Kustiyah L. 1990. Pendugaan Faktorfaktor yang Mempengaruhi Usia Penyapihan di Kecamatan Bogor Timur dan kecamatan Ciomas. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Romadon. 2001. Hubungan Beberapa Faktor Lingkungan Dengan Kejadian Malaria Di Kecamatan Salaman Kabupaten Magelang. [Skripsi] Universitas Diponegoro. Medan. Safari. 2010. Knowledge, Attitudes and Practices about Malaria Among Communities: Comparing Epidemic and Non-Epidemic Prone Communities of Muleba District, North-Western Tanzania. BMC Public Health, 10:395 Sayogyo, Goenardi S, Rusli, Harjadi, M. Khumaidi. 1994. Menuju Gizi Baik yang Merata di Pedesaan dan di Kota. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Semba, Richard D. 2002. Vitamin A, Infection and Immune Function dalam Nutrition and Immune Function. USA. CABI Publising. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat Dirjen Dikti, Depdiknas, Jakarta. Soetjiningsih. 1999. Tumbuh Kembang Anak. EGC. Penerbit Buku Kedokteran __________. 2002, Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, Jakarta. CV. Agung Seto. Sri Dara A. 2008. Pengaruh Program Pendampingan Gizi terhadap Pola Asuh, Kejadian Infeksi dan Status Gizi Balita Kurang Energi Protein. [Tesis] Universitas Diponegoro. Semarang. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor. Pusat Antar Universitas (IPB). ___________. 1996. Gizi dan Pangan. Kanisius. Yogyakarta ___________. 2003. Berbagai Cara Pendidikan gizi. Bogor. Bumi Aksara. Suleman S, Mekonnen Z, Tilahun G and Chatterjee S. 2009. Utilization of Traditional Anti Malarial Ethnophytotherapeutic Remedies Among Assendabo Inhabitants in (South-West) Ethiopia. Traditional Anti malarial Treatment in Ethiopia Current Drug Therapy, Vol. 4, No. 2 Supariasa, Bakri dan Fajar. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC Supartini Y. 2004. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta : EGC Tarmidzi M. 2006. Hubungan antara Kejadian Malaria dengan Status Gizi Balita di Kecamatan Kokap dan Samigaluh Kabupaten Kulon Progo Propinsi D.I. Yogyakarta. [Tesis] Universitas Gajah Mada. Taruna I. 2011. Penyakit Malaria dapat Dicegah dengan Vaksinasi. University of California, School of Medicine, Irvine, CA, USA Terati. 2010. Studi Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gizi Anak Balita di Propinsi Sumatera Selatan. [Tesis] Institut Pertanian Bogor.
87
Roesli U. 2004. ASI Eksklusif. Edisi II. Jakarta : Trubus Agrundaya UNICEF. 1998. The State of The World’s Children 1998. Oxford: Oxford University Press Uzochukwu BSC, Onwujekwe EO, Onoka CA and Ughasoro MD. 2008. RuralUrban Differences In Maternal Responses to Childhood Fever in South East Nigeria. PLoS ONE Volume 3 Issue 3 e1788 Victoria et al. 2011. Malaria Parasitaemia among Infants and Its Association with Breastfeeding Peer Counselling and Vitamin A Supplementation: A Secondary Analysis of a Cluster Randomized Trial. PLoS ONE www.plosone.org 1 July 2011, Volume 6, Issue 7 Vora N, et al. 2010. Breastfeeding and The Risk of Malaria In Children Born to HIV-Infected and Uninfected Mothers In Rural Uganda. J Acquir. Immune Defic Syndr, Advance Online Publication, July 28 Waryana. 2010. Gizi Reproduksi. Yogyakarta : Pustaka Rihama WHO. 2010. World Malaria Report. Wibowo A. 2006. Pola Perawatan Kesehatan Ibu dan Anak pada masyarakat pendatang. J. Of Pub Helth Ind:3(1):15-18. Widaninggar, 2003. Pola Hidup Sehat dan Pengembangan Kualitas Jasmani, Jakarta
Segar.
Depdiknas
Pusat
Werner D, Thuman C & Maxwell J. 2010. Where There is no Doctor. Penerbit Andi. Yayasan Essentia Medica WHO, 2001. Â Guiding Principles for Complementary Feeding of the Breastfed Child. Widayani S. 2000. Pola Asuh dan Status Gizi Anak Balita pada Rumah Tangga Petani di Sepanjang Sungai Cihideung, Sub-Das Cisadane Kabupaten Bogor, Jawa Barat. [Tesis] Institut Pertanian Bogor. Wikipedia. 2009. Ciri Khas Perkembangan Balita. Http://id.wikipedia.org/wiki/ Balita diakses tanggal 4 juni 2010 jam 19.00 wib Zeitlin M, Ghassemi H and Mansour M. 1990. Positive Deviance in Child Nutrition. United Nation University : Tokyo.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil uji regresi logistik faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian malaria
1. Y = Kejadian Malaria Model Summary Step
-2 Log likelihood
1
60.714
Cox & Snell R Square
a
Nagelkerke R Square
.285
.467
Variables in the Equation 95.0% C.I.for EXP(B) B Step 1
a
Sanitasi Lingkungan
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
Lower
Upper
-1.361
.788
2.979
1
.084
.256
.055
1.203
2.894
1.005
8.292
1
.004
18.065
2.520
129.500
Pola asuh kesehatan
-1.856
.612
9.189
1
.002
.156
.047
.519
Praktek kebersihan
-2.964
.972
9.300
1
.002
.052
.008
.347
2.829
.714
15.683
1
.000
16.934
Status Gizi
Constant
89
Lampiran 2 Hasil uji regresi logistik faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi balita
2. Y = Status Gizi Model Summary Step
-2 Log likelihood
1
76.258
Cox & Snell R Square
a
Nagelkerke R Square
.459
.614
Variables in the Equation 95.0% C.I.for EXP(B) B Step 1
a
Pendidikan ibu Pendidikan ayah Pekerjaan ibu
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
Lower
Upper
1.539
.835
3.401
1
.065
4.662
.908
23.939
.472
.712
.439
1
.508
1.603
.397
6.470
1.455
.946
2.368
1
.124
4.286
.672
27.355
-1.334
.790
2.852
1
.091
.263
.056
1.239
.057
.780
.005
1
.942
1.058
.229
4.883
-.711
.788
.815
1
.367
.491
.105
2.300
Konsumsi energi
-1.331
0.672
3.925
1
.048
.264
.071
0.986
Konsumsi protein
-.904
.690
1.718
1
.190
.405
.105
1.565
Pengetahuan ASI
-1.569
.706
4.934
1
.026
.208
.052
.831
Pengetahuan malaria
-2.163
.703
9.457
1
.002
.115
.029
.456
Status malaria
-3.243
1.193
7.388
1
.007
.039
.004
.405
2.770
1.210
5.243
1
.022 15.961
Pendapatan keluarga Pola asuh makan Praktek makan
Constant