DAMPAK INVESTASI INFRASTRUKTUR TRANSPORTASI TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTOR EKONOMI DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN MASYARAKAT DI PROVINSI JAWA BARAT
`
DISERTASI
Oleh:
IFAN HARYANTO
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul: “DAMPAK INVESTASI INFRASTRUKTUR TRANSPORTASI TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTOR EKONOMI DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN MASYARAKAT DI PROVINSI JAWA BARAT” merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Febuari 2012
IFAN HARYANTO H361064144
ABSTRACT
IFAN HARYANTO. Impact of The Transportation Infrastructure Investment towards Economic Sector’s Labor Absorption and Household’s Income Distribution In West Java Province (DEDI BUDIMAN HAKIM as a Committee Chairman, W.H. LIMBONG, and MUHAMMAD FIRDAUS as committee members). The existing condition of transportation infrastructure in West Java Province does not support effectively the economic performance of the region. The physical condition of West Java’s road infrastructure in the recent years is deteriorating. In the linkage analysis, the driving economic sectors in West Java are strongly connected with the transportation infrastructure’s condition. The leading sectors of backward and forward linkage in the West Java Province are industry, agriculture and trade. The path analysis indicates that every single policy related to road infrastructure’s improvement encourage the performance of leading sectors as well as influence the employment’s absorption and household’s income distribution. This is clearly proven by the research result that reveals the shock of transportation infrastructure’s improvement will provide a multiplier effect to the economic sectors and to the various types of household. Generally, based on findings, the improvement of transportation’s infrastructure in west java Province will boost the economic performance and increase the absorption of employment. Obviously, the investment in transportation infrastructure will also affect the distribution of household income in West Java.
Keywords: transportation infrastructure, social accounting matrix, multiplier effects, Structural Path Analysis, Income distribution.
RINGKASAN
IFAN HARYANTO. Dampak Investasi Infrastruktur Transportasi terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Masyarakat di Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh: BUDIMAN HAKIM, DEDI, LIMBONG, W.H, FIRDAUS, MUHAMMAD. Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana untuk memperlancar hubungan antara wilayah terpencil dengan pusat pusat pertumbuhan. Kelancaran arus barang dan jasa serta keterbukaan wilayahwilayah potensial dapat digunakan sebagai pendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Dengan infrastruktur transportasi yang baik, sumber daya manusia maupun kapital yang tersebar tersebut juga dapat dimanfaatkan dengan lebih baik. Efektifitas investasi infrastruktur transportasi untuk meningkatkan perekonomian dan memberikan manfaat bagi masyarakat tergantung kepada pemanfaatan sarana transportasi tersebut oleh produsen maupun konsumen serta sektor-sektor unggulan, sehingga mampu memberikan stimulus perekonomian seperti yang diharapkan. Jawa Barat sebagai daerah ekonomi potensial memiliki berbagai keunggulan, diantaranya keunggulan letak geografis. Peningkatan infrastruktur transportasi diperkirakan akan menjadi stimulan bagi peningkatan investasi, baik investasi dalam negeri maupun luar negeri. Penyediaan infrastruktur transportasi yang baik seperti halnya jalan, jembatan, pelabuhan dan lainnya diyakini dapat memicu limpahan (spill-over) investasi dari wilayah sekitarnya ke wilayah Jawa Barat. Terkait dengan hal tersebut, pengembangan investasi infrastruktur transportasi harus didasari atas berbagai pertimbangan seperti halnya pertimbangan terhadap sektor ekonomi yang berkembang maupun pertimbangan kewilayahan. Pengembangan dengan mempertimbangkan sektor ekonomi misalkan dengan melihat kepada sektor-sektor unggulan yang berkembang di Jawa Barat. Sedangkan dimensi kewilayahan diperhatikan agar pengembangan infrastruktur transportasi dapat menjangkau wilayah atau daerah terpencil (desa) yang potensial secara ekonomi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut, menyerap tenaga kerja serta memperbaiki pemerataan pendapatan. Secara garis besar, stimulus berupa investasi infrastruktur transportasi diharapkan menjadi pemicu peningkatan perekonomian daerah maupun nasional. Analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian ini menggunakan kerangka data SNSE Provinsi Jawa Barat tahun 2010 yang dibangun oleh penulis. Terdapat tiga pendekatan dalam melakukan analisis. Pendekatan pertama adalah dengan nilai riil (nominal) yang diekstraksi dari tabel SNSE Jawa Barat tahun 2010, dimana digunakan untuk menganalisis struktur output, struktur pengeluaran rumah tangga dan sumber pendapatan rumah tangga dari berbagai golongan. Pendekatan kedua adalah melakukan analisis keterkaitan antar sektor-sektor ekonomi. Pendekatan ketiga adalah analisis dekomposisi untuk melihat keterkaitan dengan lebih tajam seperti melakukan analisis effect multiplier output bruto, nilai tambah serta kaitannya menjawab tujuan analisis yang berkaitan dengan distribusi pendapatan rumah tangga.
Sementara itu, Berdasarkan hasil Analisis Pengganda menunjukkan bahwa nilai pengganda global terbesar yang diterima oleh rumah tangga di provinsi Jawa Barat, baik yang disebabkan oleh injeksi faktor produksi, institusi serta sektor produksi berada pada kelompok rumah tangga golongan atas sektor bukan industri di desa maupun di kota. Di sisi lain, rumah tangga golongan bawah sektor industri di desa dan buruh tani menerima dampak terendah dikarenakan nilai pengganda global yang dimiliki merupakan yang terendah dibandingkan golongan rumah tangga lainnya. Selanjutnya untuk mengetahui sektor produksi unggulan di propinsi Jawa Barat dapat dijelaskan melalui nilai pengganda global yang di terima oleh sektorsektor produksi di provinsi Jawa Barat. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa nilai pengganda global terbesar yang diterima oleh sektor produksi di provinsi ini baik yang disebabkan oleh injeksi faktor produksi, institusi serta sektor produksi berada pada sektor produksi jasa perdagangan dan jasa perorangan, serta jasa lainnya. Sebaliknya,sektor kehutanan dan pertanian tanaman lainnya merupakan sektor-sektor yang menerima dampak terendah dikarenakan nilai pengganda global yang dimiliki merupakan yang terendah dibandingkan sektor produksi lainnya. Berdasarkan analisis dekomposisi diperoleh hasil bahwa rumah tangga golongan atas sektor bukan industri di kota memperoleh pengaruh terbesar dibandingkan dengan golongan rumah tangga lainnya. Simulasi investasi infrastruktur transportasi sebesar Rp. 20.95 trilyun yang diinjeksikan pada perekonomian Jawa Barat menyebabkan peningkatan pendapatan sebesar 18.76% untuk rumah tangga golongan ini. Sebaliknya, rumah tangga golongan bawah sektor industri di desa memperoleh peningkatan pendapatan terendah. Sedangkan sektor produksi yang mendapatkan peningkatan terbesar akibat dari investasi ini adalah sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan, industri barang dari logam dan industri lainnya. Sedangkan sektor kehutanan dan perburuan hanya memperoleh peningkatan sebesar 0.36% akibat investasi tersebut. Sementara itu, berdasarkan analisis jalur terlihat bahwa rumah tangga golongan atas sektor bukan industri di kota memiliki nilai pengganda global terbesar. Bila ditelaah lebih lanjut, rumah tangga golongan atas tersebut mendapatkan pengaruh terbesar dikarenakan kepemilikan atas faktor produksi bukan tenaga kerja atau kapital. Sedangkan golongan rumah tangga bawah sektor industri di desa mendapatkan pengaruh terkecil, dimana pengaruh tersebut diperoleh karena kepemilikan faktor produksi tenaga kerja sebagai buruh, manual dan operator alat angkutan di desa. Temuan ini sejalan dengan teori yang dikembangkan oleh Harrod-Domar yang menyatakan bahwa pemilik faktor produksi, yang umumnya adalah rumah tangga golongan atas akan memperoleh lebih banyak keuntungan dari sistem perekonomian yang berjalan. Dari analisis dampak terhadap penyerapan tenaga kerja yang terjadi jika terdapat investasi sejumlah Rp.20.95 trilyun pada perekonomian Jawa Barat, maka terjadi penyerapan tenaga kerja sebesar 17.942 orang, dimana sektor pertanian tanaman pangan menyerap penambahan terbesar yaitu sebanyak 4.549 orang (25.35%). Sektor produksi dengan penyerapan tenaga kerja terbesar berikutnya berturut-turut adalah sektor perdagangan (2.911 orang atau 16.22%), sektor jasa perseorangan, rumah tangga dan jasa lainnya (2.581 orang atau 14.39%) dan sektor industri makanan, minuman dan tembakau (1.019 orang atau 5.68%). Jika ditelaah lebih lanjut, dampak penyerapan tenaga kerja yang lebih banyak pada sektor pertanian tanaman pangan terjadi karena koefisien tenaga kerja sektor tanaman pangan (jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menghasilkan output tanaman pangan pada jumlah tertentu) yang tinggi.
Sebagai tambahan, berdasarkan analisis distribusi pendapatan didapatkan kesimpulan bahwa investasi infrastuktur transportasi tidak memiliki pengaruh yang paling besar secara direct-direct terhadap seluruh golongan rumah tangga. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengaruh peningkatan aktifitas produksi di sektor infrastruktur transportasi yang dapat dirasakan oleh seluruh golongan rumah tangga secara langsung sangatlah sedikit.
@Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012. Hak Cipta dilindungi Undang-undang. 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
DAMPAK INVESTASI INFRASTRUKTUR TRANSPORTASI TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTOR EKONOMI DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN MASYARAKAT DI PROVINSI JAWA BARAT
IFAN HARYANTO
Disertasi Sebagai Salahsatu Syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Heny K. Daryanto, M,Ec Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor 2. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ardi Adji Fungsional Peneliti, Sekretariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan kemiskinan (TNP2K), Sekretariat Wakil Presiden RI 2. Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec Direktur Program Studi Manejemen dan Bisnis, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Judul Disertasi
:
Dampak
Investasi
Infrastruktur
Transportasi
Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Ekonomi dan Distribusi Pendapatan
Masyarakat di Provinsi
Jawa Barat Nama
:
Ifan Haryanto
Nomor Pokok
:
H361064144
Program Studi
:
Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui: 1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Ketua
Prof. Dr. Ir. W.H. Limbong, MS Anggota
Muhammad Firdaus, MSi.,Ph.D Anggota
Mengetahui: 2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian,
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal ujian : 15 Febuari 201
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya-Nya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan disertasi dengan judul: Dampak Investasi Infrastruktur Transportasi Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Masyarakat di Provinsi Jawa Barat. Tujuan dari penelitian ini adalah:
(1) mengkaji kondisi infrastruktur dan
karakteristik perekonomian Jawa Barat seperti halnya struktur ekonomi sektoral, struktur pendapatan faktorial serta struktur pendapatan dan pengeluaran rumahtangga, (2) mengkaji pengaruh dan keterkaitan investasi infrastruktur transportasi terhadap penciptaan pendapatan sektoral, faktorial serta pendapatan institusi, (3) mengkaji mekanisme transmisi investasi infrastruktur transportasi dapat berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga melalui sektor produksi dan faktor produksi, (4) merumuskan dampak pengembangan infrastruktur transportasi
terhadap penyerapan tenaga kerja, pendapatan serta distribusi
pendapatan di Jawa Barat. Pada kesempatan ini penulis secara tulus mengucapkan terima kasih dan penghormatan setinggi-tingginya kepada: 1.
Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku Ketua Komisi Pembimbing; Bapak Prof. Dr. Ir. W.H. Limbong, MS dan Bapak Muhammad Firdaus, MSi., Ph.D
masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing, yang telah
banyak meluangkan waktunya untuk membimbing penulis sejak penyusunan proposal penelitian hingga penyelesaian disertasi ini. 2.
Bapak Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS, Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), serta Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA dan Dr.Ir. D.S Priyarsono, MS yang telah banyak memberikan arahan dan dorongan semangat yang sangat berharga.
3. Rekan-rekan program studi EPN khusus angkatan 3 (2006) atas dorongan moril dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan studi. 4. Sekretariat Program Ilmu Ekonomi Pertanian, khususnya Mba Ruby, Mba Yani, Pak Iwan, Bu kokom dan Pak Husen yang telah membantu penulis dalam kelancaran penyelesaian administrasi selama Penulis mengikuti studi. 5. Istri tercinta, Melany P Lestari dan anak-anak, Aikon, Alyssa dan Aurheva yang telah ikut memberi motivasi dan pengorbanan waktu selama kurang lebih 5 tahun. 6. Pak Margo Yuwono, Pak Setianto, Pak Windi, Pak Wisnu dan rekan-rekan di BPS yang telah memberikan segala dukungannya, sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa dengan segala keterbatasan yang dimiliki penulis, penelitian ini jauh dari sempurna. Walaupun demikian, penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya.
Bogor, Febuari 2012
Ifan Haryanto
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Banyumas, Jawa Tengah pada tanggal 4 Januari 1975, sebagai putra kedelapan dari sepuluh bersaudara putera-puteri keluarga Bapak Hofoer Adiatmodjo, BSc dan Ibu Siti Musringah. Penulis menikah dengan Melany P Lestari Amd,SIP, dan dikaruniai tiga orang anak yaitu : Aikon, Alyssa dan Aurheva Setelah menamatkan pendidikan menengah di SMAN 2 Purwokerto pada tahun 1993 penulis melanjutkan studi pada Jurusan Teknik Planologi, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Bandung (ITB) dan lulus pada tahun 1999. Selanjutnya penulis mendapatkan beasiswa Foreign Commonwealth Office (FCO) dari British Council untuk melanjutkan studi pada Jurusan Economic Development and Policy, School of Public Policy, the University of Birmingham, United Kingdom dan memperoleh gelar Master of Science (MSc) pada tahun 2002. Penulis pernah bekerja sebagai peneliti di International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), the Worldbank Group dan kemudian mendirikan perusahaan konsultan dan kontraktor teknik sipil dan perencanaan, konsultan teknologi informasi serta konsultan minyak dan gas. Penulis juga aktif sebagai aktivis beberapa organisasi sosial kemasyarakatan. Pada tahun 2006, penulis melanjutkan pendidikan Program Doktor (S3) di bidang Ilmu Ekonomi Pertanian pada Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL..........................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR…………………………………………….........
vi
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................
vii
I.
PENDAHULUAN……………………………………………………...
1
1.1.
Latar Belakang………………………………………….....................
1
1.2.
Perumusan Masalah………………………………………………….
8
1.3.
Tujuan Penelitian……………………………………………………...
9
1.4.
Kegunaan Penelitian………………………………………………….
10
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian……………………………………………
11
II.
TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………….
13
2.1.
Teori Pertumbuhan Ekonomi...………………………………………
14
2.2.
Teori Kutub Pertumbuhan……………...........................................
19
2.3.
Keterhubungan dan Ketergantungan Antar Wilayah……………...
24
2.4.
Teori Lokasi Optimum dan Aglomerasi Industri…………………...
28
2.5.
Perkembangan, Kebijakan dan Strategi Pengembangan Industri di Indonesia……………………………………………………………
2.6.
35
Tinjauan Studi Dampak Pembangunan Infrastruktur Dalam Pembangunan Perekonomian Suatu Wilayah…………………….
40
2.6.1.
Dampak Investasi Infrastruktur Transportasi………………………
47
2.6.2.
Debat: Sebuah Perspektif Sejarah………………………………….
49
2.6.2.1.
Periode Awal 1800-1970: Teori Lokasi……………………………..
50
2.6.2.2.
Periode Awal 1970an–1980an: Modelling Wilayah & Perkotaan..
51
2.6.2.3.
Periode 1990an: Pendekatan makroekonomi……………………..
53
2.7.
Teori Distribusi Pendapatan…………………………………………
54
2.8.
Studi-Studi Terdahulu………………………………………………...
59
III.
KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS……………………………...
68
3.1.
Kerangka Pemikiran…………………………………………………..
68
3.2.
Hipotesis……………………………………………………………….
73
3.3.
Model SNSE…………………………………………………………...
74
i
3.3.1.
Bentuk dan Arti Kerangka SNSE……………………………………
75
3.3.2.
Kegunaan SNSE………………………………………………………
79
3.3.3.
Asumsi dan Keterbatasan Model……………………………………
81
3.4.
Investasi Infrastruktur Transportasi dan Pertumbuhan Ekonomi..
82
3.4.1.
Evaluasi Ekonomi Proyek Transportasi…………………………….
82
3.4.2.
Dampak Ekonomi Infrastruktur Transportasi………………………
83
IV
METODOLOGI PENELITIAN……………………………………….
86
4.1.
Kerangka Sederhana SNSE…………………………………………
86
4.2.
Kerangka Analisis Pengganda SNSE………………………………
91
4.3.
Metode Penyusunan SNSE………………………………………….
96
4.4.
Aplikasi Model SNSE Jawa Barat…………………………………...
100
4.4.1.
Konstruksi SNSE Jawa Barat………………………………………..
100
4.4.2.
Tahapan Penyusunan SNSE Provinsi Jawa Barat………………..
101
4.4.3.
Pendefinisian Klasifikasi……………………………………………...
103
4.4.4.
Metode Analisis……………………………………………………….
107
4.4.4.1.
Analisis Struktur PDRB, dan Struktur Pendapatan serta Pengeluaran Rumah Tangga………………………………………..
107
4.4.4.2.
Analisis Dampak Multiplier…………………………………………..
108
4.4.4.3.
Analisis Dekomposisi…………………………………………………
108
4.4.4.4.
Analisis Jalur (Structural Path Analysis)……………………………
109
4.4.4.5.
Metode Simulasi………………………………………………………
110
4.4.4.6.
Analisis Tenaga Kerja…….…………………………………………..
111
4.4.4.7.
Analisis Distribusi Pendapatan: Dekomposisi Matrik Income Multiplier………………………………………………………………..
V.
111
INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN………………………………………..
114
5.1.
Peran Infrastruktur dalam Perekonomian………………………….
114
5.2.
Kondisi Infrastruktur Transportasi Jalan……………………………
116
5.3.
Struktur dan Kinerja Perekonomian………………………………...
119
5.4.
Ketenagakerjaan……………………………………………………...
124
5.5.
Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga……………………
130
5.5.1.
Penduduk Miskin……………………………………………………...
130
5.5.2.
Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga……………………
132
ii
5.5.2.1.
Sumber Pendapatan Rumah Tangga………………………………
134
5.5.2.2.
Struktur Pengeluaran Rumah Tangga……………………………...
135
VI
ANALISIS MULTIPLIER & DISTRIBUSI PENDAPATAN RMAH TANGGA………………………………………………………………
138
6.1.
Infrastruktur dan Kinerja Perekonomian……………………………
138
6.2.
Analisis Keterkaitan Sektoral Jawa Barat………………………….
140
6.2.1.
Analisis Backward dan Forward Linkages…………………………
142
6.2.2.
Interdependensi Sektoral Jawa Barat………………………………
146
6.3.
Analisis Multiplier Sektoral…………………………………………...
148
6.4.
Analisis Multiplier Institusi Rumah Tangga………………………...
150
6.5.
Analisis
Dekomposisi
Keterkaitan
Investasi
Infrastruktur
Trasportasi……………………………………………………………..
152
6.6.
Analisis Penyerapan Tenaga Kerja…………………………………
157
6.7.
Analisis Jalur (Structural Path Analysis) …………………………...
158
6.8.
Dekomposisi global Effect Multiplier mHjA39……………………….
161
VII.
KESIMPULAN DAN SARAN…………………..……………………
169
7.1.
Kesimpulan …………………………………………………………..
169
7.2.
SARAN…………………………………………………………………
171
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….
173
iii
DAFTAR TABEL Halaman 1.
PDRB (adh berlaku) Menurut Lapangan Usaha Propinsi Jawa Barat Tahun 2010 (persen)…………………………………………………….....
2.
5
Jumlah Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha Propinsi Jawa Barat Tahun 2010 (persen)………………………..…………………….....
6
3.
Kerangka Data Matriks SNSE……………………..………………….....
88
4.
Klasifikasi SNSE Jawa Barat, Tahun 2010……………………….........
106
5.
Perkembangan
Panjang
Jalan
Menurut
Tingkat
Kewenangan
Pemerintah…………….…………...………………………...…………… 6.
Perkembangan
Kondisi
Jalan
Menurut
Kualitas
dan
Jenis
Permukaan Jalan di Jawa Barat Tahun 2008-2010 (km)…………..... 7.
121
PDRB Harga Berlaku dan Rata-rata Pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Barat, Berdasarkan Sektor ………………………...……………..
9.
118
Perkembangan Pangsa PDRB Provinsi Jawa Barat, Berdasarkan Sektor………………………………..……………………………………..
8.
117
123
Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Jenis Kegiatan Utama, TPAK dan Tingkat Pengangguran di Provinsi Jawa Barat….………………………...………………………...…………………
10.
Pertumbuhan Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan kerja Jawa Barat, Tahun 2009-2010 (persen)………………..…...…………………
11
124
Perkembangan
Pangsa
penyerapan
Tenaga
Kerja
125
Menurut
Sektor………………………...………………………...............................
126
12.
Elastisitas Tenaga Kerja Jawa Barat………………………...................
129
13.
Jumlah Penduduk Miskin Jawa Barat, 2009-2010……………………..
130
14.
Struktur Rumah Tangga Jawa Barat 2010………………………...........
133
15.
Persentase
Pendapatan
dan
Pengeluaran
Terhadap
Total
Pendapatan Menurut Golongan Rumah Tangga Jawa Barat, 2010 (persen) ………………………...………………………...……………….. 16
Rata-rata
Pendapatan
dan
Pengeluaran
Perkapita
Menurut
Golongan Rumah Tangga Jawa Barat, 2010 (Rp. Ribu)……………… 17.
136 137
Enam Sektor dengan Backward Linkage Terbesar di Jawa Barat, Tahun 2010………………………...………………………......................
iv
144
18.
Enam Sektor dengan Forward Linkage Terbesar di Jawa Barat, Tahun 2010………………………...………………………......................
19.
Nilai Pengganda Global Yang Diterima Sektor Produksi di Provinsi Jawa Barat Tahun 2010………………………...………………………...
20.
23.
151
Dekomposisi Nilai Pengganda Akibat Injeksi Investasi Infrastruktur Transportasi di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2010……………………..
22.
147
Nilai Pengganda Global yang Diterima Rumah Tangga di Provinsi Jawa Barat Tahun 2010…………………………………………………..
21.
145
155
Dampak Investasi Infrastruktur Transportasi Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Sektor di Provinsi Jawa Barat Tahun 2010….
158
Dekomposisi Global Effect Muliplier mHjA39 dari matriks Ma…………
165
v
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Arus Perputaran uang dalam Perekonomian …………………………..
55
2.
Distribusi Pendapatan dengan Pendekatan Fungsional ……………...
56
3.
Kerangka Pemikiran Dampak Investasi Infrastruktur Transportasi Terhadap Penyerapan Tenaga kerja Sektor Industri dan Distribusi Pendapatan Masyarakat di Provinsi Jawa Barat………………………
4.
70
Tahapan Analisis Dampak Investasi Infrastruktur Transportasi Terhadap Penyerapan Tenaga kerja Sektor Industri dan Distribusi Pendapatan Masyarakat di Provinsi Jawa Barat……………………….
71
5.
Skema Sederhana SNSE…………………………..……………………..
78
6.
Proses Pengganda Antara Neraca Endogen SNSE……………………
94
7.
Tahapan Penyusunan SNSE Provinsi Jawa Barat……………………..
102
8.
Dampak Langsung dari jalur (i, j)………………………………….……..
109
9.
Dampak Langsung dari jalur (i, x, y, j)…………………………….……..
109
10.
Pengaruh Total dari jalur (i, x, y, j), berikut adjacent sirkuit…………..
110
11.
Pengaruh
Global:
seluruh
jalur
utama
serta
sirkuit
yang
menghubungkan sektor i dan j……………………………….………….. 12.
110
Transmisi yang Diakibatkan oleh Pengaruh dari Investasi Infrastruktur Transportasi terhadap Golongan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Barat Tahun 2010………………………………….
13
159
Transmisi yang Diakibatkan oleh Pengaruh dari Investasi Infrastruktur Transportasi terhadap Sektor Produksi di Provinsi Jawa Barat Tahun 2010………………………………………………...
vi
161
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Dekomposisi global effect multiplier mH1A39 dari matriks Ma…………...
175
2.
Dekomposisi global effect multiplier mH2A39 dari matriks Ma……
176
3.
Dekomposisi global effect multiplier mH3A39 dari matriks Ma……
177
4.
Dekomposisi global effect multiplier mH4A39 dari matriks Ma……
178
5.
Dekomposisi global effect multiplier mH5A39 dari matriks Ma……
179
6.
Dekomposisi global effect multiplier mH6A39 dari matriks Ma……
180
7.
Dekomposisi global effect multiplier mH7A39 dari matriks Ma……
181
8.
Dekomposisi global effect multiplier mH8A39 dari matriks Ma……
182
9.
Dekomposisi global effect multiplier mH9A39 dari matriks Ma……
183
10.
Dekomposisi global effect multiplier mH10A39 dari matriks Ma……
184
11.
Dekomposisi global effect multiplier mH11A39 dari matriks Ma……
185
12.
Dekomposisi global effect multiplier mH12A39 dari matriks Ma……
186
13.
Dekomposisi global effect multiplier mH13A39 dari matriks Ma……
187
14.
Dekomposisi global effect multiplier mH14A39 dari matriks Ma……
188
vii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting
sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana untuk memperlancar hubungan antara wilayah terpencil dengan pusat pusat pertumbuhan. Kelancaran arus barang dan jasa serta keterbukaan wilayah-wilayah potensial dapat digunakan sebagai pendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Dengan infrastruktur transportasi yang baik, sumber daya manusia maupun kapital yang tersebar tersebut juga dapat dimanfaatkan dengan lebih baik. Efektifitas investasi
infrastruktur
transportasi meningkatkan
perekonomian dan memberikan manfaat bagi masyarakat tergantung kepada pemanfaatan sarana transportasi tersebut oleh produsen maupun konsumen serta
sektor
sektor
unggulan,
sehingga
mampu
memberikan
stimulus
perekonomian seperti yang diharapkan. Jawa Barat sebagai daerah ekonomi potensial memiliki berbagai keunggulan, diantaranya keunggulan letak geografis. Peningkatan infrastruktur transportasi diperkirakan akan menjadi stimulan bagi peningkatan investasi, baik investasi dalam negeri maupun luar negeri. Penyediaan infrastruktur transportasi yang baik seperti halnya jalan, jembatan, pelabuhan dan lainnya diyakini dapat memicu limpahan (spill-over) investasi dari wilayah sekitarnya ke wilayah Jawa Barat. Terkait dengan hal tersebut, pengembangan investasi infrastruktur transportasi
harus
didasari
atas
berbagai
pertimbangan
seperti
halnya
pertimbangan terhadap sektor ekonomi yang berkembang maupun pertimbangan kewilayahan. Pengembangan dengan mempertimbangkan sektor ekonomi misalkan dengan melihat kepada sektor-sektor unggulan yang berkembang di
2 Jawa Barat seperti halnya sektor industri dan sektor pertanian. Sedangkan dimensi kewilayahan diperhatikan agar pengembangan infrastruktur transportasi dapat menjangkau wilayah atau daerah terpencil (desa) yang potensial secara ekonomi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut, menyerap tenaga kerja serta memperbaiki pemerataan pendapatan. Secara garis besar, stimulus berupa investasi infrastruktur transportasi diharapkan menjadi pemicu perekonomian daerah maupun nasional. Berdasarkan data BPS, nilai investasi fisik (PMTB-Pembentukan Modal Tetap Bruto) perekonomian nasional, baik yang berasal dari dalam negeri ataupun luar negeri dari tahun 2007 sampai dengan 2010 mengalami kenaikan (BPS, 2011). Jika pada tahun 2007 nilai investasi fisik di tingkat nasional adalah sebesar
Rp.985.627,10
milyar,
maka
pada
tahun
2008
naik
menjadi
Rp.1.370.716,97 milyar, dan kemudian naik kembali menjadi Rp.1.744.357,09 milyar pada tahun 2009 serta menjadi Rp.2.064.999,83 milyar. Kenaikan nilai investasi fisik ini merupakan sinyal positif membaiknya perekonomian nasional. Lebih jauh lagi, berdasarkan data statistik BPS juga dapat disampaikan bahwa investasi jalan, rel dan jembatan mengalami kenaikan dari Rp.1.103,94 milyar pada tahun 2007 menjadi Rp.1.458,92 milyar pada tahun 2008 dan naik tajam menjadi Rp.3.740,67 milyar pada tahun 2009. Namun demikian investasi di sektor ini mengalami penurunan menjadi Rp.2.730,61 milyar pada tahun 2010. Sebagai tambahan nilai investasi terminal, pelabuhan, stasiun dan bandara menunjukkan tren penurunan dari tahun 2007-2009. Jika pada tahun 2007 nilai investasi di sektor ini sebesar Rp.4.638,87 milyar maka pada tahun 2008 dan 2009 turun menjadi Rp. 3.881,34 milyar dan Rp. 3.533,26 milyar berturu-turut.
3 Namun demikian pada tahun 2010 investasi di sektor ini mengalami kenaikan menjadi Rp. 3.819,58 milyar. Di sisi lain, berdasarkan data BPS Jawa Barat, dapat disampaikan bahwa nilai investasi fisik (PMTB) di Provinsi Jawa Barat selama periode 2007-2010 juga mengalami kenaikan (BPS Jawa Barat, 2011). Jika pada tahun 2007 nilai investasi fisik di Jawa Barat hanya sebesar Rp. 87.498,79 milyar, maka pada tahun 2010 adalah sebesar Rp.138.629,06 milyar. Sementara itu berdasarkan data BPS dapat juga diungkapkan bahwa nilai investasi jalan, rel dan jembatan di Jawa
Barat
mengalami
penurunan
pada
kurun
waktu
2007-2008
dari
Rp.19.261,72 milyar pada tahun 2007 menjadi Rp.12.510,90 pada tahun 2008. Setelah mengalami kenaikan tajam menjadi Rp. Rp.30.575,88 milyar pada tahun 2009, investasi di sektor ini turun kembali menjadi Rp.21.212,05 milyar pada tahun 2010. Sebagai tambahan, investasi terminal, pelabuhan dan stasiun dan bandara mengalami penurunan dari Rp.5.337,85 milyar pada tahun 2007 menjadi Rp. 4.466,16 milyar pada tahun 2008. Namun demikian setelah itu investasi di sektor ini secara konsisten mengalami kenaikan dari tahun 20082010. Pada tahun 2008 investasi di sektor ini senilai Rp.4.466,18 milyar kemudian naik menjadi Rp.6.046,90 milyar pada tahun 2009 dan Rp. 6.536,92 pada tahun 2010. Dikeluarkannya berbagai kebijakan pemerintah seperti paket infrastruktur yang tertuang pada Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerja Sama
Pemerintah
dan
Badan
Usaha
Dalam
Penyediaan
Infrastruktur
sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010, dan peningkatan anggaran stimulus fiskal pada bidang infrastruktur serta perluasan kewenangan yang diberikan kepada daerah dalam
merencanakan dan
4 mengalokasikan dana untuk membiayai berbagai kegiatan memberikan peluang yang lebih besar bagi setiap daerah untuk melaksanakan aktivitas pembangunan sesuai dengan potensi yang dimiliki dan memilih sektor-sektor prioritas dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi (Saragih, et al, 2010). Hal ini menunjukkan perhatian pemerintah yang sangat besar pada pembangunan infrastruktur. Perhatian pemerintah yang besar pada infrastruktur ini sangatlah relevan mengingat beberapa temuan studi mengindikasikan pentingnya infrastruktur terkait dengan dampaknya terhadap perekonomian. Pengungkapan data perkembangan nilai investasi fisik dan nilai investasi infrastrutur transportasi di atas, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat Provinsi Jawa Barat dapat menjadi sinyal awal dukungan pemerintah pada pembangunan infrastruktur transportasi. Berdasarkan pada Data Statistik Produk Domestik Bruto (PDB) 2010, Sektor infrastruktur berkontribusi sebesar Rp.661 trilyun (10.29%) dan menyerap tenaga kerja sejumlah 4.84 juta (4.5%) dari lapangan pekerjaan utama yang tersedia (BPS, 2011). Pada tahun yang sama, kontribusi sektor infrastruktur terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat adalah sebesar Rp. 29.05 trilyun (3.83%) dan menyerap tenaga kerja sebesar 937.956 jiwa (6%) dari lapangan pekerjaan utama yang tersedia. Gambaran kontribusi sektor infrastruktur (konstruksi) dalam PDRB Provinsi Jawa Barat dan kontribusi penyerapan tenaga kerja sektor ini dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Dengan mengamati paparan data PDRB Jawa Barat tersebut, dapat dilihat bahwa peran Sektor Infrastruktur cukup penting dalam menopang perekonomian regional Jawa Barat. Dengan melihat paparan data tersebut juga dapat dilihat kontribusi penting sektor infrastruktur bagi penyerapan tenaga kerja nasional maupun regional.
5 Tabel 1. PDRB (adh berlaku) Menurut Lapangan Usaha Propinsi Jawa Barat Tahun 2010 (persen)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Lapangan Usaha
2010
Pertanian Industri
12.61 2.02 37.73
Listrik Gas dan Air Bersih Konstruksi non transportasi Konstruksi tranportasi Perdagangan Hotel, & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-‐Jasa
3.76 2.4 1.4 22.41 7.09 2.75 8.86
Pertambangan dan Penggalian
Sumber: BPS Jawa Barat, 2011
Meningkatnya aktivitas di sektor industri akan menyerap tenaga kerja dan kinerja perekonomian. Baik di Indonesia maupun di Provinsi Jawa Barat kegiatan industri merupakan sektor yang memiliki
peran penting dalam perekonomian
serta mampu menyerap tenaga kerja yang cukup banyak. Menurut data BPS (2011), sektor industri menyumbang Rp.1.594,3 trilyun terhadap PDB adh berlaku (24.82%), dengan tenaga kerja yang terserap pada sektor ini sebesar 13.05 juta jiwa (12.14%). Pada periode yang sama, sektor industri menyumbang Rp. 290.75 trilyun (37.7%) terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat dan menyerap tenaga kerja sejumlah 3.111.149 jiwa (18%) di Provinsi Jawa Barat. Gambaran kontribusi sektor industri dalam PDRB Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 1. Sedangkan kontribusi sektor industri bagi penyerapan tenaga kerja dapat dilihat pada Tabel 2. Menyadari pentingnya pengaruh sektor industri bagi perekonomian, sektor ini perlu mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah, baik di tingkat nasional maupun wilayah, sebagai salahsatu sektor andalan untuk
6 membangkitkan kegiatan ekonomi nasional/wilayah. Sebagai catatan, pada periode yang sama, sektor industri pengolahan di Jawa Barat menurut data statistik berkontribusi sebesar 60 % dari total pendapatan sektor industri pengolahan di tingkat nasional (BPS Jawa Barat, 2011). Dengan demikian peran sektor industri di Provinsi Jawa Barat bisa dikatakan sangat penting bagi perekonomian nasional. Tabel 2. Jumlah Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha Propinsi Jawa Barat Tahun 2010 (persen)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Lapangan Usaha
2010
Pertanian Industri
27.0 1.0 18.0
Listrik Gas dan Air Bersih Konstruksi non transportasi Konstruksi tranportasi Perdagangan Hotel, & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-‐Jasa
0.1 4.0 2.0 26.0 7.0 1.0 14.0
Pertambangan dan Penggalian
Sumber: BPS Jawa Barat, 2011
Dari segi struktur perekonomian, provinsi Jawa Barat dicirikan oleh tiga sektor utama sebagai mesin penggerak (engine power) roda perekonomian yakni masing masing sektor Industri, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor pertanian. Dari ketiga sektor tersebut tercatat hingga tahun 2010, sektor industri memberikan kontribusi sebesar 37.7% terutama industri alat angkutan, mesin dan peralatannya (17.5%) dan industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki (8.2%). Sektor perdagangan, hotel dan restoran mempunyai kontribusi sebesar 22.4% serta sektor Pertanian dengan kontribusi sebesar 12.6%.
7 Perekonomian Jawa Barat juga menyediakan lapangan kerja bagi lebih dari 10% angkatan kerja secara nasional (BPS Jawa Barat, 2011). Meskipun ekonomi terus tumbuh, namun persentase pengangguran di Jawa Barat masih relatif besar dimana pada tahun 2010 menempati urutan ketiga setelah Provinsi Banten, dan DKI Jakarta, masing-masing sebesar 14.13%, 11.32%, dan 10.57%. Kemiskinan di Jawa Barat juga menunjukkan penurunan, namun angkanya masih relatif besar.
Penduduk miskin di Jawa
Barat pada tahun 2010 menempati urutan ketiga terbesar yaitu 4.8 juta jiwa setelah Jawa Tengah (5.4 juta jiwa) dan Jawa Timur (5.5 juta jiwa). Kondisi diatas diperparah dengan kondisi infrastruktur jalan yang buruk dimana pada akhir tahun 2010, tercatat panjang jalan di wilayah Jawa Barat adalah 25.803 km
meningkat hanya 0,1% dari tahun 2009. Sebaliknya jalan
pada tahun 2009 berkurang 0.3% dari tahun 2008 dengan panjang berkisar 25.857 km. Hal ini diperparah dengan kondisi jalan yang semakin buruk, dimana kerusakan jalan tidak hanya terjadi di perkotaan (kotamadya) namun juga di pedesaan (kabupaten). Kondisi jalan yang masih dalam kondisi baik berkurang dari 8.895 km pada tahun 2009 menjadi hanya 7.980 km pada tahun 2010. Jalan rusak meningkat dari 5.199 km pada akhir tahun 2009 menjadi 5.694 km. pada tahun 2010. Jalan rusak parah kondisinya lebih buruk yaitu 2.404 km pada tahun 2009 menjadi 2.820 km pada tahun 2010 (BPS Jawa Barat, 2011).. Dengan melihat fakta investasi infrastruktur (termasuk infrastruktur transportasi) sangat diperlukan serta peran sektor ekonomi di Jawa Barat yang penting bagi penyerapan tenaga kerja di tingkat nasional maupun perekonomian regional
Provinsi
Jawa
Barat,
serta
perlunya
peningkatan
pendapatan
masyarakat untuk mengurangi kemiskinan dan upaya memperbaiki distribusi
8 pendapatan, maka penelitian ini penting dilakukan, terutama untuk mengetahui bagaimana dampak investasi infrastruktur transportasi terhadap penyerapan tenaga kerja sektor ekonomi dan distribusi pendapatan masyarakat.
1.2.
Perumusan Masalah Dengan latar belakang penelitian yang disampaikan di atas maka
rumusan permasalahan yang ada didalam penelitian ini adalah sebagaimana diuraikan pada paparan di bawah ini. Ekonomi Jawa Barat merupakan kekuatan ketiga terbesar setelah DKI Jakarta dan Jawa Timur. Peranan Jawa Barat adalah sebesar 14,7% dalam perekonomian Indonesia (BPS, 2011) dibawah DKI Jakarta (16,4%) dan Jawa Timur (14,8%). Keuntungan berupa lokasi yang terletak dekat dengan pusat perekonomian dan pemerintahan (DKI Jakarta) dan terletak di pulau Jawa yang sangat padat penduduknya menjadikan Jawa Barat sebagai bagian penting bagi pusat pertumbuhan nasional. Walaupun perekonomian di Jawa Barat secara umum merupakan perekonomian yang tumbuh dan potensial, namun demikian masih ada berbagai permasalahan yang timbul. Sebagai titik awal untuk memecahkan berbagai permasalahan perekonomian yang ada diperlukan identifikasi tentang bagaimana karakteristik perekonomian di Jawa Barat. Karekteristik ekonomi dimaksud termasuk halnya melihat bagaimana struktur ekonomi sektoral di Jawa Barat, struktur pendapatan faktorialnya serta struktur pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Dengan mengetahui karakteristik perekonomian yang ada dapat dicari pendekatan terbaik untuk memecahkan persoalan perekonomian yang ada. Sebagai tambahan, sejalan dengan topik
9 penelitian, diperlukan juga kajian kondisi eksisting infrastruktur transportasi untuk melihat seberapa urgent investasi infrastruktur transportasi di Jawa Barat. Investasi merupakan variabel yang penting dalam pertumbuhan ekonomi (Mankiw, 2007). Berdasarkan pengalaman empiris, investasi infrastruktur, termasuk halnya infrastruktur transportasi ini menjadi sektor yang paling efektif untuk menaikkan output, meningkatkan penyerapan tenaga kerja serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Lalu bagaimanakah dengan di Provinsi Jawa Barat, apakah investasi infrastruktur transportasi berpengaruh dan terkait dengan penciptaan pendapatan sektoral, faktorial serta pendapatan institusi? Hal ini akan dikaji lebih lanjut didalam penelitian ini. Injeksi investasi infrastruktur transportasi pada SNSE Provinsi Jawa Barat 2010 akan membawa dampak-dampak pada neraca-neraca sektor produksi, faktor produksi, institusi, dan neraca lainnya. Secara spesifik timbul pertanyaan di dalam studi ini tentang bagaimanakah dampak dari injeksi investasi infrastruktur transportasi ini terhadap sektor industri dan bagaimanakah transmisi perubahan pendapatan dapat diterima oleh rumah tangga melalui berbagai sektor dan faktor produksi. Hal terakhir yang menjadi pertanyaan didalam penelitian ini adalah tentang
apa
dampak
dari
investasi
infrastruktur
transportasi
terhadap
penyerapan tenaga kerja sektor industri dan distribusi pendapatan masyarakat (rumah tangga) di Provinsi Jawa Barat.
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:
10
1. Mengkaji karakteristik perekonomian Jawa Barat seperti halnya struktur ekonomi sektoral, struktur pendapatan faktorial, dan struktur pendapatan dan pengeluaran rumahtangga. Disamping itu juga akan dikaji kondisi eksisting infrastruktur transportasi yang ada di Provinsi Jawa Barat.
2. Mengkaji pengaruh dan keterkaitan investasi infrastruktur transportasi terhadap penciptaan pendapatan sektoral, faktorial serta pendapatan institusi.
3. Mengkaji bagaimana mekanisme transmisi investasi infrastruktur transportasi berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat (rumah tangga) melalui sektor produksi dan faktor produksi.
4. Mengkaji dampak pengembangan infrastruktur transportasi
terhadap
penyerapan tenaga kerja sektor ekonomi, pendapatan serta distribusi pendapatan masyarakat (rumah tangga) di Jawa Barat.
1.4.
Kegunaan Penelitian Penelitian dilakukan untuk memberikan berbagai manfaat:
1.
Bagi pemerintah: sebagai masukan kedepan bagi perumusan kebijakan investasi infrastruktur, khususnya investasi infrastruktur transportasi dan memberikan bukti ilmiah kepada pemerintah bahwa investasi infrastruktur transportasi
sangat
diperlukan
dalam
kerangka
mendorong
perkembangan sektor ekonomi, menyerap tenaga kerja sektor-sektor dan mempengaruhi distribusi pendapatan masyarakat. 2.
Bagi Peneliti: sebagai masukan bagi peneliti dalam melakukan kajiankajian yang lebih mendalam tentang Dampak Investasi Infrastruktur Transportasi Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan
11 Distribusi Pendapatan Masyarakat. Penelitian ke depan dapat diarahkan pada sektor-sektor lain. 3.
Bagi masyarakat luas: sebagai bahan informasi bagi seluruh komponen masyarakat (termasuk dunia usaha) untuk memberikan dasar pengertian bahwa didalam proses pembangunan ekonomi diperlukan investasi infrastruktur
(termasuk
halnya
infrastruktur
transportasi),
sehingga
masyarakat dapat memberikan masukan-tanggapan-kontribusi dan kritik yang konstruktif, dan jika memungkinkan turut teribat aktif dalam upaya menyediakan infrastruktur transportasi tersebut.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mengkaji mengenai hubungan infrastruktur transportasi
dengan pertumbuhan ekonomi, ketenaga-kerjaan dan distribusi pendapatan masyarakat di Provinsi Jawa Barat. Studi ini mencakup wilayah provinsi Jawa Barat dengan referensi tahun 2010. Penelitian ini menggunakan analisis yang bersifat cross section/statis dengan menggunakan alat berupa kerangka data Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). SNSE dapat mengkaitkan pelaku ekonomi (rumah tangga, pemerintah, perusahaan dan luar negeri), sektor ekonomi, faktor produksi serta variabel lain dalam bentuk matriks yang kompak dan konsisten. SNSE merupakan kerangka data berbentuk matriks yang terdiri dari blok blok neraca sebagai klasifikasi dan bersifat fleksibel. Dalam penelitian ini, rincian klasifikasi disesuaikan dengan tujuan penelitian dan ketersediaan data. Klasifikasi berupa blok neraca faktor produksi dirinci menurut tenaga kerja dan kapital, blok neraca institusi dirinci menurut rumah tangga pemerintah dan perusahaan, blok neraca sektoral dan komoditi
12 dirinci dengan klasifikasi yang sama yaitu terdiri dari 26 kelompok sektor/komoditi serta blok neraca lainnya seperti neraca kapital, luar negeri, marjin perdagangan dan pengangkutan. Analisis kuantitatif menggunakan accounting multiplier, dekomposisi multiplier, analisis jalur (path analysis) serta pengembangan multiplier untuk analisis redistribusi pendapatan rumah tangga. Software yang digunakan dalam penghitungan multiplier adalah Excel dan MATS untuk menghitung besaran jalur dari variabel asal ke variabel tujuan. Makalah ini sendiri merupakan bagian dari keseluruhan penelitian yang dilakukan. investasi infrastruktur transportasi ini bisa berdampak pada semua sektor, faktor produksi dan institusi yang ada di dalam perekonomian, namun demikian secara spesifik penelitian ini akan mengkaji lebih mendalam dampak investasi infrastruktur transportasi terhadap penyerapan tenaga kerja sektor ekonomi. Dimensi dampak yang dikaji didalam penelitian ini dibatasi pada dampak investasi infrastruktur secara sektoral pada lingkup wilayah provinsi dan tidak melihat dampaknya dengan kacamata dimensi keruangan yang lebih kecil, sehingga analisis yang keluar pada akhir studi akan mengungkapkan kedalaman analisis hanya sampai tingkat provinsi saja.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini secara garis besar akan dibahas tinjauan pustaka dan landasan teori yang relevan dan mendukung penelitian ini. Beberapa teori dan ulasan terkait yang akan dibahas pada bab ini antara lain: teori pertumbuhan ekonomi; keterhubungan keterhubungan dan ketergantungan antar wilayah; teori lokasi optimum dan aglomerasi industri; perkembangan, kebijakan dan strategi pengembangan industri di Indonesia; tinjauan studi dampak pembangunan infrastruktur transportasi dalam pembangunan perekonomian suatu wilayah; teori distribusi pendapatan dan studi-studi terdahulu. Teori pertumbuhan diungkapkan pada pokok bahasan ini sebagai landasan untuk menjelaskan bagaimana perekonomian tumbuh pada suatu negara atau wilayah. Ulasan tentang keterhubungan dan ketergantungan wilayah dipaparkan untuk menegaskan bahwa suatu perekonomian wilayah tumbuh tidak berdiri sendiri, melainkan berhubungan dan bergantung sama lain. Dalam hal ini jaringan infrastruktur transportasi menjadi media untuk memperlancar akses antar wilayah, sehingga terjadi pola interaksi barang dan jasa yang lancar. Teori lokasi optimum dan aglomerasi industri diungkapkan untuk mempertegas bahwa pada prinsipnya industri terbentuk melalui proses pemilihan lokasi yang secara ekonomi menguntungkan dan proses aglomerasi secara ekonomis akan memberikan keuntungan bagi industri. Pada proses pemilihan lokasi optimum murahnya biaya transportasi menjadi salahsatu pertimbangan penting. Salahsatu keuntungan aglomerasi adalah efisiensi dan efektivitas didalam penyiapan infrastruktur transportasi. Sebagai tambahan, teori distribusi pendapatan dipaparkan untuk pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana
14 pendapatan dan distribusi pendapatan dapat berubah dan mengalir ke institusi, dan secara spesifik ke institusi rumah tangga.
2.1
Teori Pertumbuhan Ekonomi Pembangunan
menurut
literatur-literatur
ekonomi
pembangunan
seringkali didefinisikan sebagai suatu proses yang berkesinambungan dari peningkatan
pendapatan
riil
perkapita
melalui
peningkatan
jumlah
dan
produktivitas sumber daya (Kartasasmita, 1997). Dari pandangan itu lahir konsep-konsep mengenai pembangunan sebagai pertumbuhan ekonomi. Teori mengenai pertumbuhan ekonomi dapat ditelusuri setidak-tidaknya sejak abad ke18. Menurut Adam Smith proses pertumbuhan dimulai apabila perekonomian mampu melakukan pembagian kerja (division of labor). Pembagian kerja akan meningkatkan
produktivitas
yang
pada
gilirannya
akan
meningkatkan
pendapatan. Adam Smith juga menggaris-bawahi pentingnya skala ekonomi. Dengan meluasnya pasar, akan terbuka inovasi-inovasi baru yang pada gilirannya akan mendorong perluasan pembagian kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Seperti yang dijelaskan oleh Kartasasmita (1997), setelah Adam Smith muncul pemikiran-pemikiran yang berusaha mengkaji batas -batas pertumbuhan (limits to growth) antara lain Malthus (1798) dan Ricardo (1917). Setelah Adam Smith, Malthus, dan Ricardo yang disebut sebagai aliran klasik, berkembang teori pertumbuhan ekonomi modern dengan berbagai variasinya yang pada intinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu yang menekankan pentingnya akumulasi modal (physical capital formation) dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (human capital).
15 Salah satu pandangan yang dampaknya besar dan berlanjut hingga sekarang adalah model pertumbuhan yang dikembangkan oleh Harrod (1948) dan Domar (1946). Pada intinya model ini berpijak pada pemikiran Keynes (1936) yang menekankan pentingnya aspek permintaan dalam mendorong pertumbuhan jangka panjang. Dalam model Harrod-Domar seperti yang diungkapkan oleh Kartasasmita (1997), pertumbuhan ekonomi akan ditentukan oleh dua unsur pokok, yaitu tingkat tabungan (investasi) dan produktivitas modal (capital output ratio). Agar dapat tumbuh secara berkelanjutan, masyarakat dalam suatu perekonomian harus mempunyai tabungan yang merupakan sumber investasi. Makin besar tabungan, yang berarti makin besar investasi, maka akan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, makin rendah produktivitas kapital atau semakin tinggi capital output ratio, makin rendah pertumbuhan ekonomi. Berbeda dengan Harrod-Domar yang memberikan tekanan kepada pentingnya peranan modal, Arthur Lewis (1954) dengan model surplus of labornya memberikan tekanan kepada peranan jumlah penduduk (Kartasasmita, 1997). Dalam model ini diasumsikan terdapat penawaran tenaga kerja yang sangat elastis. Ini berarti para pengusaha dapat meningkatkan produksinya dengan mempekerjakan tenaga kerja yang lebih banyak tanpa harus menaikkan tingkat upahnya. Meningkatnya pendapatan yang dapat diperoleh oleh kaum pemilik modal akan mendorong investasi-investasi baru karena kelompok ini mempunyai hasrat menabung dan menanam modal (marginal propensity to save and invest) yang lebih tinggi dibandingkan dengan kaum pekerja. Tingkat investasi yang tinggi pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
16 Model pertumbuhan neoklasik merupakan teori pertumbuhan yang mulai memasukkan
unsur
teknologi
yang
diyakini
akan
berpengaruh
dalam
pertumbuhan ekonomi suatu negara (Solow, 1957). Dalam teori neoklasik, teknologi dianggap sebagai faktor eksogen yang tersedia untuk dimanfaatkan oleh semua negara di dunia. Dalam perekonomian yang terbuka, di mana semua faktor
produksi
dapat
berpindah
secara
leluasa
dan
teknologi
dapat
dimanfaatkan oleh setiap negara, maka pertumbuhan semua negara di dunia akan konvergen, yang berarti kesenjangan akan berkurang. Teori pertumbuhan selanjutnya mencoba menemukan faktor-faktor lain di luar modal dan tenaga kerja, yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satu teori berpendapat bahwa investasi sumber daya manusia mempunyai pengaruh yang besar terhadap peningkatan produktivitas. Menurut Becker (1967) peningkatan produktivitas tenaga kerja ini dapat didorong melalui pendidikan dan pelatihan serta peningkatan derajat kesehatan. Teori human capital ini selanjutnya diperkuat dengan berbagai studi empiris, antara lain untuk Amerika Serikat oleh Kendrick (1976). Selanjutnya, pertumbuhan yang bervariasi di antara negara-negara yang membangun melahirkan pandangan mengenai teknologi bukan sebagai faktor eksogen, tapi sebagai faktor endogen yang dapat dipengaruhi oleh berbagai variabel kebijaksanaan (Romer, 1990). Sumber pertumbuhan dalam teori endogen adalah meningkatnya stok pengetahuan dan ide baru dalam perekonomian yang mendorong tumbuhnya daya cipta dan inisiatif yang diwujudkan dalam kegiatan inovatif dan produktif. Ini semua menuntut kualitas sumber daya manusia yang meningkat. Transformasi pengetahuan dan ide baru
17 tersebut dapat terjadi melalui kegiatan perdagangan internasional, penanaman modal, lisensi, konsultasi, komunikasi, pendidikan, dan aktivitas R & D. Nurkse (1953) menunjukkan teori pertumbuhan yang menonjolkan peran perdagangan dalam pertumbuhan. Nurske menunjukkan bahwa perdagangan merupakan mesin pertumbuhan selama abad ke-19 bagi negara-negara yang sekarang termasuk dalam kelompok negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Pada abad itu kegiatan industri yang termaju terkonsentrasi di Inggris. Pesatnya perkembangan industri dan pertumbuhan penduduk di Inggris yang miskin sumber alam telah meningkatkan permintaan bahan baku dan makanan dari negara-negara yang tersebut di atas. Dengan demikian, pertumbuhan yang terjadi di Inggris menyebar ke negara lain melalui perdagangan internasional. Kemudian kita lihat bahwa kemajuan ekonomi di negara-negara industri baru yang miskin sumber alam di belahan kedua abad ke-20, seperti Korea, Taiwan, Hongkong, dan Singapura, juga didorong oleh perdagangan internasional. Dalam kelompok teori pertumbuhan ini ada pandangan yang penting yang dianut oleh banyak pemikir pembangunan, yaitu teori mengenai tahapan pertumbuhan. Dua di antaranya yang penting adalah dari Rostow (1960) serta Chenery and Syrquin (1975). Menurut Rostow, transformasi dari negara yang terkebelakang menjadi negara maju dapat dijelaskan melalui suatu urutan tingkatan atau tahap pembangunan yang dilalui oleh semua negara. Rostow mengemukakan lima tahap yang dilalui oleh suatu negara dalam proses pembangunannya; yaitu tahap Traditional Society, Preconditions for Growth, The Take-off, The Drive to Maturity, dan The Age of High Mass Consumption. Menurut
pemikiran
Chenery
dan
Syrquin
(1975),
yang
merupakan
18 pengembangan pemikiran dari Collin Clark dan Kuznets, perkembangan perekonomian akan mengalami suatu transformasi (konsumsi, produksi dan lapangan kerja), dari perekonomian yang didominasi oleh sektor pertanian menjadi didominasi oleh sektor industri dan jasa. Pandangan-pandangan
yang
berkembang
dalam
teori-teori
pembangunan terutama di bidang ekonomi memang mengalir ke arah manusia dan dalam konteks yang lebih luas ke arah masyarakat atau rakyat, sebagai pusat perhatian dan sasaran sekaligus pelaku utama pembangunan. Salah satu harapan atau anggapan dari pengikut aliran teori pertumbuhan adalah bahwa hasil pertumbuhan akan dapat dinikmati masyarakat sampai di lapisan yang paling bawah. Namun, pengalaman pembangunan dalam tiga dasawarsa di Indonesia (1940-1970) menunjukkan bahwa masyarakat di lapisan bawah tidak senantiasa menikmati limpahan hasil pembangunan seperti yang diharapkan itu. Bahkan di banyak negara kesenjangan sosial ekonomi makin melebar. Hal ini disebabkan oleh karena meskipun pendapatan dan konsumsi makin meningkat, kelompok masyarakat yang sudah baik keadaannya dan lebih mampu, lebih dapat
memanfaatkan
kesempatan,
antara
lain
karena
posisinya
yang
menguntungkan (privileged) karena memiliki faktor produksi yang lebih banyak, sehingga akan memperoleh bagian lebih banyak dari hasil pembangunan. Dengan demikian, yang kaya makin kaya dan yang miskin tetap miskin bahkan dapat menjadi lebih miskin. Pemikiran-pemikiran pembangunan pada dekade 1950-an dan 1960-an bercirikan pada tujuan pembangunan dan upaya negara untuk mengejar pertumbuhan
ekonomi
agregat.
Sampai
saat
ini
pemikiran
ekonomi
pembangunan ini masih banyak pengikut dan pendukungnya di berbagai belahan
19 dunia, walaupun sesungguhnya bukti-bukti empiris dan uji teoritis menunjukkan bahwa trickle down process tidak pernah terwujud, terutama pada negara-negara yang sedang berkembang. Berdasarkan pada kesadaran bahwa pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan semata memiliki banyak kelemahan, maka berkembanglah berbagai pemikiran lain yang berorientasi pada pembangunan sosial yang tujuannya adalah untuk menyelenggarakan pembangunan yang lebih berkeadilan atau lebih merata.
2.2.
Teori Kutub Pertumbuhan Perkembangan modern dari teori titik pertumbuhan terutama berasal dari
karya ahli-ahli teori ekonomi regional Perancis yang dipelopori oleh Francois Perroux. Menurut Perroux, seperti yang disampaikan oleh Adisasmita (2005), pertumbuhan ataupun pembangunan tidak dilakukan di seluruh tata ruang, tetapi terbatas
pada
beberapa
tempat
atau
lokasi
tertentu.
Tata
ruang
diidentifikasikannya sebagai arena atau medan kekuatan yang didalamnya terdapat kutub-kutub atau pusat-pusat. Setiap kutub memiliki kekuatan pancaran pengembangan ke luar dan kekuatan tarikan ke dalam. Teori ini menjelaskan tentang
pertumbuhan
ekonomi
dan
khususnya
mengenai
perusahaan-
perusahaan dan industri-industri serta saling ketergantungannya dan bukan mengenai pola geografis dan pergeseran industri baik secara intra maupun secara inter, pada dasarnya konsep kutub pertumbuhan mempunyai pengertian tata ruang ekonomi secara abstrak. Munculnya
dorongan-dorongan
pertumbuhan
karena
adanya
ketergantungan industri yang ada di antara berbagai kemudian menciptakan gelombang-gelombang
inovasi.
Hanya
industri-industri
yang
memiliki
20 kemampuan tinggi untuk memindahkan dorongan-dorongan pertumbuhan melalui dampak berantai ke belakang dan ke depan (backward dan forward linkages) termasuk sebagai industri yang mempunyai kekuatan pendorong. Perroux sendiri tidak menggunakan istilah backward dan forward linkage effects. Istilah tersebut dilontarkan oleh Hirschman. Konsep Hirschman didasarkan pada pemahaman matarantai-matarantai keterhubungan (masukan-keluaran) agar industri dan keberartian dalam kaitannya dengan proses pertumbuhan ekonomi yang diciptakan. Seperti yang diungkapkan oleh Adisasmita (2005), terdapat beberapa ciri penting dari konsep kutub pertumbuhan dapat dikemukakan. Pertama, terdapat keterkaitan internal antara berbagai industri secara teknik dan ekonomi. Kedua, terdapat pengaruh multiplier. Ketiga, terdapat konsentrasi geografis. Sedangkan Growth Pole dapat diartikan dengan 2 (dua) cara, yaitu: 1.
Secara Fungsional Suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang sifat hubungannya
memiliki
unsur-unsur
kedinamisan
sehingga
mampu
menstimulasi kehidupan ekonomi baik kedalam maupun keluar (daerah belakangnya). 2.
Secara Geografis Suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of attraction) yaang menyebabkan berbegai macam usaha tertarik untuk berlokasi disitu dan masyarakat senang datang memanfaatkan fasilitas yang ada dikota.
21 Konsep dasar ekonomi dari pada kutub pertumbuhan menurut Adisasmita (2005) adalah: 1.
Konsep industri utama dan industri pendorong
2.
Konsep polarisasi, pertumbuhan dari pada industri utama dan perusahaan pendorong akan menimbulkan polarisasi unit-unit ekonomi lain ke kutub pertumbuhan.
3.
Terjadinya aglomerasi, yang ditandai dengan: a. Scale Economies •
Keuntungan yang timbul bila kegiatan ekonomi dilakukan dengan skala besar.
•
Biaya produksi rata-rata rendah, spesialisasi dan efisiensi.
b. Localization Economies Kekuatan pusat pengembangan akan terletak pada keterkaitan yang erat antara beberapa kegiatan produksi yang berada dalam pusat tsb. Kekuatan itu timbul karena kegiatan produksi saling berkaitan dan terkonsentrasi pada pada suatu tempat, maka ongkos angkut bahan baku dan barang jadi akan berkurang. Produksi akan lebih besar karena persediaan bahan baku, tenaga terampil dan pasar terjamin. c. Urbanization Economies Seringkali pusat pertumbuhan diletakkan di daerah perkotaan dimana tersedia berbagai fasilitas sosial, sarana industri yang dapat digunakan secara bersama dengan ongkos relative murah. Kunci dari urbanization economies adalah penurunan ongkos produksi karena merupakan kekuatan utama pusat pengembangan dalam memancing industri untuk datang dan memilih lokasi pada pusat tersebut.
22
Daya tarik suatu daerah untuk berkembang menjadi pusat pertumbuhan menurut Adisasmita (2005), secara garis besar disebabkan karena 2 (dua) hal, yaitu karena keadaan prasarana dan keadaan pasar. Sedangkan kaitannya antara keberadaan industri dengan keadaan pasar adalah: 1.
Industri yang didasarkan pada ketersediaan bahan baku (resources based industri) contoh: bahan pertanian dan bahan makanan
2.
Industri dekat pasar (market oriented industri) contoh: industri bahan makanan tidak tahan lama dan industri jasa
3.
Industri yang letaknya netral (footloose) contoh: industri pengolahan karena tidak tergantung dari sumber bahan baku tetapi ketersediaan prasarana dan fasilitas. Sedangkan pusat pertumbuhan menurut Adisasmita (2005) memiliki 4
(empat) ciri, yaitu: 1.
Adanya hubungan internal dari berbagai macam kegiatan. Hubungan internal sangat menentukan dinamika sebuah kota, ada keterkaitan antara satu sektor dengan sektor lain sehingga apabila ada satu sektor yang tumbuh akan mendorong pertumbuhan sektor lain karena saling terkait. Kehidupan kota menjadi satu irama dengan berbagai komponen kehidupan
kota
dan
menciptakan
sinergi
untuk
saling
mendukung
terciptanya pertumbuhan. 2.
Ada efek penggandaan (multiplier Effect) Keberadaan sektor-sektor yang saling terkait dan saling mendukung akan menciptakan efek penggandaan. Permintaan akan menciptakan produksi baik sektor tersebur maupun sektor yang terkait, sehingga akhirnya akan
23 terjadi akumulasi modal. Unsur efek penggandaan sangat berperan dalam membuat kota mampu memacu pertumbuhan belakangnya. 3.
Adanya konsentrasi geografis Konsentrasi geografis dari berbagai sektor atau fasilitas, selain bisa menciptakan efisiensi diantara sektor-sektor yang salng membutuhkan juga meningkatkan daya tarik (attractiveness) dari kota tersebut.
4.
Bersifat mendorong daerah belakangnya. Hal ini antarakota dan wilayah belakangnya terdapat hubungan yang harmonis. Kota membutuhkan bahan baku dari wilayah belakangnya dan menyediakan berbagai kebutuhan wilayah belakangnya untuk dapat mengembangkan dirinya.
Agglomeration Economies adalah pemusatan produksi di lokasi tertentu, pemusatan produksi ini dapat terjadi dalam satu perusahaan atau dalam berbagai perusahaan di satu tempat akan menimbulkan penghematan eksternal (Capello, 2007). Untuk menjelaskan persoalan-persoalan kutub pembangunan harus ditunjang oleh teori-teori lokasi. Di antara teori-teori lokasi yang telah kita pelajari, Central Place Theory dapat dianggap sebagai teori global yang menjelaskan mengenai ketergantungan di antara kegiatan-kegiatan jasa sebagai akibat dari adanya pembagian kerja secara spatial. Central Place Theory dan khususnya mengenai saling ketergantungan fungsional yang diformulasikan oleh Christaller tanpa memperhitungkan adanya hambatan-hambatan geografis-spasial, adalah merupakan titik permulaan untuk menganalisis lebih lanjut mengenai impak pembangunan pada suatu pusat tertentu atau pada pusat-pusat lainnya dan mengenai perubahan-perubahan
24 yang terjadi dalam sistem pusat-pusat serta pengendalian pertumbuhan kota (Capello, 2007). Ditinjau dari segi lain terdapat kekurangan-kekurangan, yaitu tempat sentral tidak menjelaskan gejala-gejala pembangunan. Central Place Theory dikategorisasikan sebagai teori statis, yang hanya menjelaskan adanya pola pusat-pusat tertentu dan tidak membahas adanya perubahan-perubahan pola tertentu. Teori Boudeville merupakan teori kutub pertumbuhan yang telah dimodifikasikan, dan dapat digunakan untuk menganalisis gejala-gejala dinamis tersebut.
2.3.
Keterhubungan dan Ketergantungan Antar Wilayah Pembangunan wilayah antar provinsi yang berdekatan akan dapat
mengembangkan daya pertumbuhan yang kuat yang terdapat dalam lingkungan suatu provinsi dan dapat pula perkembangan provinsi-provinsi lainnya yang relatif terbelakang. Dalam hubungan ini perlu digairahkan kerja sama antar wilayah (provinsi) secara saling menguntungkan (mutual regional cooperation). Hal ini berarti bahwa produksi dan usaha-usaha pembangunan dikaitkan dengan keuntungan komparatif dan regionalisasi wilayah pembangunan. Menurut Adisasmita (2005), keterkaitan atau keterhubungan (interrelationship) dan
ketergantungan
(interdependency) antar wilayah
dapat
diperlihatkan dari jaringan arus antar wilayah (termasuk didalamnya arus perdagangan). Dalam suatu negara, arus perdagangan antar wilayah tidak dapat berlangsung berdasarkan keuntungan mutlak (absolute advantage), melainkan didasarkan pada keuntungan komparatif (comparative advantage) saja sudah cukup beralasan untuk melangsungkan perdagangan antar wilayah. Suatu wilayah akan mengekspor barang-barang yang mempunyai keuntungan produksi
25 yang relatif lebih kecil atau mengimpor barang-barang yang mempunyai kerugian produksi yang lebih besar (comparative disadvantage). Masing-masing wilayah akan menspesialisasikan produksi pada satu atau beberapa barang tertentu. Wilayah-wilayah yang tidak memproduksi sendiri barang-barang yang dibutuhkan akan membeli barang-barang yang dimaksud dari wilayah-wilayah lain menjadi produsennya. Jelaslah bahwa di antara wilayah-wilayah yang ada mempunyai pengaruh timbal balik dan saling berkepentingan satu sama lainnya dan sedemikian rupa akan menciptakan suatu pola perdagangan antar wilayah. Lebih lanjut Adisasmita (2005) menyampaikan bahwa regionalisme termasuk
dalam
kerangka
kebijaksanaan
pembangunan
ekonomi
yang
mengelompokkan lingkungan teritorial menjadi wilayah-wilayah sub nasional. Dalam pengelompokkan itu dipertimbangkan dua aspek utama yaitu pola fisik dan pola kegiatan. Pola fisik meliputi pemanfaatan tata ruang untuk permukiman penduduk, fasilitas-fasiilitas produktif, trayek-trayek transportasi, tata guna tanah, dan lain-lainnya. Sedangkan pola kegiatan terdiri dari arus modal, tenaga kerja, komoditas dan komunikasi yang menghubungkan elemen-elemen fisik dalam tata ruang. Dilihat dari pertimbangan integrasi nasional, salah satu fungsi pengembangan wilayah adalah membina dan mengefektifkan keterhubungan antar wilayah yang berspesialisasi secara fungsional dan berorientasi pada pasar secara nasional. Jadi regionalisasi wilayah pembangunan dimaksudkan untuk meningkatkan pembangunan baik sektoral maupun regional secara lebih efektif dan efisien. Sebuah pendekatan untuk menentukan batas-batas wilayah pada umumnya digunakan jarak (Adisasmita, 2005). Selanjutnya keterkaitan antara wilayah dapat ditunjukkan dalam suatu matrik jarak antar wilayah. Kriteria yang
26 digunakan
adalah
homogenitas
dinyatakan
sebagai karakteristik
kondisi
wilayah,
geografis,
kriteria
sosial, dan
tersebut
dapat
ekonomi. Suatu
perencanaan wilayah yang semata-mata hanya didasarkan pada kriteria geografis dapat dikatakan kurang bermanfaat ditinjau dari kepentingan analisis ekonomi. Untuk menentukan homogenitas ekonomi dapat digunakan ciri-ciri keserupaan dalam kegiatan-kegiatan produksi, tingkat keterampilan tenaga kerja, dan pendapatan perkapita. Selanjutnya suatu wilayah didefinisikan sebagai suatu gabungan dari sejumlah titik-titik spasial mempunyai kegiatan-kegiatan produksi yang serupa atau tingkat pendapatan per kapita yang sama. Dengan demikian dapat dibedakan dengan mudah antara wilayah-wilayah yang berorientasi pada sektor tersier. Dapat dibedakan pula antara wilayah-wilayah dengan tingkat pendapatan rendah (miskin) dan wilayah dengan tingkat pendapatan tinggi (kaya). Adisasmita (2008) mengatakan bahwa wilayah dapat pula ditentukan batas-batasnya berdasarkan kriteria interpretasi suatu wilayah dapat dinyatakan sebagai suatu sistem yang terpadu secara spasial. Suatu sistem diartikan sebagai suatu kumpulan variabel-variabel yang saling berkaitan satu sama lain. Berdasarkan kriteria ini tidak boleh mengkonsentrasikan semata-mata pada ketergantungan yang berat sebelah pada segi suplai (wilayah suplai dari suatu pusat permintaan) atau hanya pada segi permintaan (wilayah permintaan dari suatu pusat suplai). Jadi ketergantungan antar wilayah tersebut harus didasarkan pula pada kedua segi yaitu segi permmintaan dan suplai (penawaran). Selanjutnya ketergantungan antar wilayah dapat dilihat dari arus pertukaran dan lalu lintas perdagangannya.
27 Konsentrasi kegiatan-kegiatan ekonomi terletak pada tata ruang-tata ruang yang pada umumnya adalah kota-kota. Proses industrialisasi dan urbanisasi ke kota-kota berlangsung terus dan meningkat. Tiap-tiap kota-kota besar mempunyai kota satelit, dan selanjutnya kota-kota satelit tersebut mempunyai desa-desa satelit. Gejala ini sangat penting dalam perkembangan peradaban
manusia,
perkembangan
industri
dan
perdagangan,
dimana
pertumbuhan kota telah meningkat pesat. Interdependensi pertukaran (pembelian dan penjualan) mencerminkan karakteristik suatu perangkat kota-kota regional dalam suatu perangkat yang lebih besar yaitu suatu bangsa atau Negara (Adisasmita, 2005). Wilayah polarisasi didefinisikan sebagai perangkat kota-kota dengan daerah-daerah disekitarnya yang mengadakan pertukaran lebih banyak dengan metropolis tingkat regional dari kota-kota lainnya yang mempunyai orde yang sama di suatu negara. Justifikasi dari pengertian wilayah polarisasi adalah sifat empirik. Daerah-daerah di sekitar pusat mempunyai keterhubungan dan ketergantungan yang sangat erat dengan pusatnya. Jadi wilayah polarisasi berarti tidak autarkis. Artinya bersifat terintegrasi antara pusat dengan daerah komplementernya. Jaringan transportasi berfungsi menjembatani antara konsep wilayah polarisasi dan pengertian kutub-kutub pertumbuhan (Adisasmita, 2005). Konsepkonsep tersebut merupakan salah satu kunci permasalahan pengembangan wilayah. Suatu kutub pertumbuhan regional merupakan suatu perangkat industriindustri yang berkembang dan terletak di daerah perkotaan dan mendorong lebih lanjut kegiatan-kegiatan ekonomi dan pembangunan pada umumnya ke seluruh wilayah pelayanannya. Jaringan dapat disusun secara sederhana yaitu menghubungkan pusat besar dengan pusat-pusat sedang, dan selanjutnya
28 antara pusat sedang dengan pusat-pusat kecil. Pola transportasi semacam ini disebut conventional tree pattern yang mendasarkan pada susunan pohon, yang terdiri dari batang, dahan, cabang dan ranting. Dalam susunan trayek atau rute pelayaran dan penerbangan dikenal trunk route dan feeder route. Jaringan jalan raya meliputi jalan arteri (urat nadi), jalan kolektor dan jalan lokal. Untuk melayani kegiatan pembangunan dan mobilisasi yang semakin meningkat dan meluas, maka jaringan transportasi nasional harus dikembangkan selaras dengan tingkat pertumbuhan arus muatan di seluruh wilayah. Jaringan transportasi yang menghubungkan masing-masing pusat ke seluruh pusat lainnya dikenal sebagai “polygrid pattern” atau pola segala jurusan seperti penerapan di Negara-negara maju (Adisasmita, 2005).
2.4.
Teori Lokasi Optimum dan Aglomerasi Industri Teori lokasi merupakan sebuah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial
order) kegiatan ekonomi. Selain itu, teori lokasi juga dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang lokasi secara geografis dari sumberdaya yang langka, serta pengaruhnya terhadap lokasi berbagai macam usaha atau kegiatan lain (activity). Ruang dikeliingi dengan aktivitas ekonomi, dan seluruh bentuk produksi memerlukan ruang (Capello, 2007). Seluruh wilayah geografis tidak memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan produksi dan pengembangan karena tidak samanya distribusi bahan dasar (raw material), faktor produksi dan permintaan. Tidak ada sebuah teori tunggal yang bisa menetapkan di mana lokasi suatu kegiatan produksi (industri) itu sebaiknya dipilih. Untuk menetapkan lokasi suatu industri (skala besar) secara komprehensif diperlukan gabungan dari
29 berbagai
ilmu
pengetahuan
dan
disiplin.
Berbagai
faktor
yang
ikut
dipertimbangkan dalam menentukan lokasi, antara lain ketersediaan bahan baku, upah buruh, jaminan keamanan, fasilitas penunjang, daya serap pasar lokal dan aksesibilitas dari tempat produksi ke wilayah pemasaran yang dituju (terutama aksesibilitas pemasaran ke luar negeri), stabilitas politik suatu negara dan kebijakan daerah (peraturan daerah). Industrialisasi telah menjadi kekuatan utama di balik urbanisasi yang cepat di kawasan Asia sejak dasawarsa 1980-an. Berbeda dalam kasus industri berbasis sumberdaya (resource-based industries), industri manufaktur cenderung berlokasi didalam dan di sekitar kota. Pertanian dan industri berdampingan, bahkan kadang berebut lahan di seputar pusat-pusat kota yang pada gilirannya semakin mengaburkan perbedaan baku antara desa dan kota. Industri cenderung mengelompok pada daerah-daerah dimana potensi dan kemampuan daerah tersebut memenuhi kebutuhan mereka, dan mereka mendapat manfaat akibat lokasi perusahaan yang saling berdekatan. Kota
umumnya
menawarkan
berbagai
kelebihan
dalam
bentuk
produktifitas dan pendapatan yang lebih tinggi, menarik investasi baru, teknologi baru, pekerja terdidik dan terampil dalam jumlah yang jauh lebih tinggi di banding perdesaan.
Oleh
karena
itu,
dapat
dimengerti
apabila
Aglomerasi
(agglomeration), baik aktivitas ekonomi dan penduduk di perkotaan, menjadi isu penting didalam literatur geografi ekonomi, strategi bisnis dan peningkatan daya saing nasional dan studi-studi regional. Persebaran sumberdaya yang tidak merata menimbulkan disparitas dalam laju pertumbuhan ekonomi antardaerah. Ketidakmerataan sumberdaya ini tercermin pada konsentrasi kegiatan ekonomi yang terjadi pada daerah tertentu saja. Daerah-daerah dimana konsentrasi
30 kegiatan ekonomi terjadi memperoleh manfaat yang disebut dengan ekonomi aglomerasi (agglomeration economies). Seperti yang dikatakan oleh Bradley dan Gans (1996), bahwa ekonomi aglomerasi adalah eksternalitas yang dihasilkan dari kedekatan geografis dari kegiatan ekonomi. Selanjutnya adanya ekonomi aglomerasi dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Sebagai akibatnya daerah-daerah yang termasuk dalam aglomerasi pada umumnya mempunyai laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang bukan aglomerasi. Hubungan positif antara aglomerasi geografis dari kegiatan-kegiatan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi telah banyak dibuktikan. Aglomerasi menghasilkan
perbedaan
spasial
dalam
tingkat
pendapatan.
Semakin
teraglomerasi secara spasial suatu perekonomian maka akan semakin meningkat pertumbuhannya (Capello, 2007). Daerah-daerah yang banyak industri pengolahan tumbuh lebih cepat dibandingkan daerah-daerah yang hanya mempunyai sedikit industri pengolahan. Alasannya adalah daerah-daerah yang mempunyai industri pengolahan lebih banyak mempunyai akumulasi modal. Dengan kata lain, daerah-daerah dengan konsentrasi industri pengolahan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan daerah yang tidak punya konsentrasi industri pengolahan. Weber (1929) menekankan pentingnya biaya transportasi sebagai faktor pertimbangan lokasi dan ia telah mengupasnya secara sistematis didalam penelitiannya. Teori Weber secara prinsip menentukan dua kekuatan lokasional primer, yaitu orientasi transpor dan orientasi tenaga kerja. Pada dasarnya pengusaha itu mempunyai kebebasan untuk menempatkan industri atau pabriknya. Dalam kerangka ini semua variabel biaya produksi seperti upah
31 buruh, rnanajemen, dan lainnya dianggap tidak menunjukkan variasi secara spasial, berarti harga-harga faktor produksi adalah sama di mana-mana. Bagaimana pengusaha akan meminimisasikan biaya transport? Biaya transport dianggap sebagai suatu variabel penting dalam penentuan lokasi industri. Asumsi yang sangat sederhana ditetapkan yaitu tingkat biaya transportasi adalah flat berdasarkan pada berat muatan dan fasilitas transportasi tersedia ke segala jurusan. Asumsi tersebut tidak sesuai dengan kenyataan, yaitu pada umumnya biaya transportasi untuk hasil akhir seringkali lebih tinggi dari pada untuk bahan baku dan fasilitas transportasi hanya terbatas pada sejumlah rute. Biaya
penanganan
(handling
cost)
mempunyai
peranan
penting
(seringkali begitu tinggi) dalam keseluruhan biaya transpor, tidak hanya dari unsur-unsur biaya keuangan tetapi juga biaya non moneter, seperti kerugian waktu, ketidaknyamanan dan sebagainya. Terbatasnya pelayanan transportasi pada beberapa rute bersama-sama biaya penanganan merupakan faktor penting terhadap
pemilihan
lokasi
industri,
yang
pada
umumnya
cenderung
menempatkan pada lokasi nodal, yang sering merupakan transportation junctions (simpang transportasi) atau transhipment point di mana transportasi darat dan laut bertemu satu sama lainnya yang kemudian menunjang terbentuknya pusatpusat industri. Konsep isodapan (Weber, 1929) menjelaskan bahwa jika suatu tempat (misalnya P) adalah tempat biaya transpor minimum dan sekitar titik tersebut dapat dijangkau dengan suatu tingkat biaya transport tertentu yang lebih tinggi dari pada di tempat P, dengan asumsi bahwa transportasi ke semua jurusan adalah tersedia, maka akan diperoleh suatu lingkaran (a closed curve) disebut isodapan. Rangkaian isodapan seperti ini menggambarkan berbagai tingkat
32 biaya transpor yang lebih tinggi dari pada tingkat biaya transpor minimum pada titik P. Terdapat kemungkinan terjadinya deviasi atau penyimpangan lokasi industri dari titik biaya transportasi minimum, misalnya lokasi industri mendekati lokasi tenaga kerja yang murah, hal ini masih dapat dipertanggungjawabkan jika penghematan dalam faktor per unit (upah buruh) lebih besar atau paling sedikit sama dengan tambahan total biaya transportasi. Jika selisih antara tambahan biaya transpor sama dengan keuntungan-keuntungan biaya non transport yang dapat diperoleh pada suatu tempat alternatif, maka tempat tersebut berada pada isodapan kritis. Jika tempat tersebut terletak di dalam lingkaran kritis, maka tempat tersebut merupakan lokasi produksi yang lebih efisien daripada titik biaya minimum. Secara teoritis, menurut Weber (1929) tempat optimal (optimal site) adalah tempat di mana biaya-biaya transportasi bagi kombinasi keluaran total adalah yang paling rendah. Dalam praktek, hal ini berarti bahwa yang terbesar di antara ketiga perusahaan tersebut akan menarik perusahaan-perusahaan yang lebih kecil ke suatu lokasi di dalam segmen yang lebih dekat kepada titik biaya transpor minimumnya perusahaan terbesar tersebut. Kerena perubahan posisi lokasi yang harus dilakukan oleh perusahaan terbesar adalah lebih kecil kemungkinannya dari pada yang harus dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kecil lainnya, maka deviasi total dari titik-titik biaya transpor minimum dapat dikatakan kecil saja kemungkinannya. Pemikiran Weber (1929) telah memberikan sumbangan ilmiah dalam banyak aspek. Pertama, Weber berusaha untuk menetapkan lokasi yang optimal dalam arti pemilihan lokasi yang mempunyai biaya minimal, meskipun dalam hal
33 ini pengaruh permintaan tidak diperlihatkan. Lokasi dengan biaya minimal tersebut mungkin berorientasi pada tersedianya tenaga kerja atau transportasi ataupun
ditentukan
oleh
keuntungan-keuntungan
yang
ditimbulkan
oleh
aglomerasi. Kekuatan aglomerasi terdiri atas minimum besarnya pabrik yang efisien dan keuntungan-keuntungan eksternal. Kekuatan-kekuatan aglomerasi atau terjadinya konsentrasi industri-industri dan kegiatan-kegiatan lainnya itu harus dipahami sepenuhnya untuk dapat menganalisis perkembangan wilayah dan khususnya pertumbuhan daerah urban. Kedua, Weber merupakan pencetus teori lokasi yang dapat digunakan sebagai teori umum, digunakan untuk pemilihan lokasi industri, meskipun pendekatannya masih secara deskriptif dan kasar, tetapi ia telah menjelaskan terjadinya evolusi ekonomi tata ruang dalam arti munculnya strata yang sukses seperti pambangunan industri (pusat-pusat kegiatan ekonomi), terjadinya urbanisasi dan struktur masyarakat kota dianggap mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari strata pertanian. Walaupun teori Weber (1929) mempunyai kelemahan-kelemahan, tetapi kontribusinya secara esensial dalam pengembangan wilayah dapat dicatat, bahwa ia merupakan perintis dalam analisis lokasi yaitu mengenai munculnya pusat-pusat kegiatan ekonomi (industri). Pusat-pusat kegiatan ekonomi tersebut yang kemudian diidentifikasikan sebagai wilayah nodal (pusat-pusat perkotaan). Dapat dicatat pula bahwa Weber telah mengembangkan pula dasar-dasar analisis pasar; model Weber termasuk kategori satu unit produksi satu unit pasar ataupun banyak unit produksi satu unit pasar. Gejala aglomerasi lokasional kemudian diperluas oleh Hoover (1948), terutama dikaitkan dengan keuntungankeuntungan urbanisasi yang ditimbulkan oleh aglomerasi, yang dibedakan dengan keuntungan lokalisasi (localization economies). Isard menamakan pula
34 keuntungan lokalisasi. Aspek ini mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam analisis aglomerasi. Keuntungan lokalisasi yaitu terkonsentrasinya perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam industri yang sejenis pada suatu lokasi tunggal tertentu akan menimbulkan keuntungan-keuntungan yang dinikmati oleh semua perusahaan tersebut. Sebagai ilustrasi yaitu beberapa buah industri tekstil akan memperoleh manfaat berupa biaya listrik yang lebih rendah jika mereka bersama-sama membangun sebuah pabrik pembangkit tenaga listrik dari pada masing-masing mendirikan instalasi pembangkit tenaga berkapasitas listrik besar yang berkapasitas kecil secara sendiri-sendiri. Keuntungan urbanisasi (urbanization economies) diasosiasikan dengan pertambahan dalam jumlah total, penduduk, tenaga kerja terampil, hasil industri, pendapatan dan kemakmuran (Adisasmita, 2005). Keuntungan-keuntungan ini memperkaitkan kegiatan-kegiatan industri dan sektor-sektor lain secara agregatif. Di daerah perkotaan besar dapat diperoleh pelayanan kota, public utilities dan jasa komunikasi, demikian pula tersedia tenaga terampil yang spesialistis, fasilitas hukum, administrasi perusahaan dan berbagai jasa pelayanan lainnya yang tidak terdapat di kota-kota yang relatif kecil. Secara eksternal kekuatankekuatan aglomerasi memberikan sumbangan sebagai kekuatan konsentrasi, oleh karena itu kekuatan konsentrasi tersebut seharusnya jangan dikaitkan hanya pada salah satu faktor saja melainkan pada beberapa faktor yang relatif menentukan. Dapat dikemukakan pula bahwa pengaruh urbanisasi yang ditimbulkan oleh aglomerasi itu sangat luas, tidak hanya terbatas pada sektor ekspor dan sektor-sektor yang menunjang ekspor, jasa perorangan, pendidikan, dan penyediaan jasa kemasyarakatan lainnya. Kegiatan-kegiatan ini cenderung proporsional terhadap besarnya pusat-pusat perkotaan.
35 Analisis aglomerasi di atas menjelaskan pengelompokan kegiatankegiatan ekonomi pada suatu lokasi tertentu, tetapi tidak menekankan pada kecenderungan pertumbuhan regional yang berkesinambungan sebagai akibat dari pengelompokan tersebut. Proses pengelompokan kegiatan-kegiatan selama suatu jangka waktu dijelaskan dalam analisis polarisasi, sedangkan aglomerasi itu dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari proses polarisasi (Adisasmita, 2005).
2.5.
Perkembangan, kebijakan dan Strategi pengembangan Industri di Indonesia Pada banyak kasus di berbagai negara, manufaktur/industri telah menjadi
kontributor utama bagi pertumbuhan perekonomian nasional. Hal ini sejalan dengan hipotesa Kaldor yang mengatakan bahwa manufaktur (industri) merupakan mesin pertumbuhan ekonomi wilayah (Priyarsono, 2011). Meski pada negara maju banyak terjadi kasus proses “deindustrialisasi” karena menurunnya kontribusi sektor manufaktur yang disertai dengan meningkatnya kontribusi sektor jasa, fenomena tersebut tidak lantas membawa kita pada kesimpulan bahwa proses industrialisasi di tingkat global telah berhenti. Hipotesa penulis, telah terjadi proses pergeseran lokasi/proses industrialisasi, yang tadinya secara masif terjadi di negara maju bergeser ke negara berkembang. Proses ini erat kaitannya dengan semakin mahalnya faktor produksi di negara maju, dan sebaliknya di negara berkembang faktor-faktor produksi tersebut relatif lebih murah. Berkembangnya spesialisasi, keunggulan komparatif dan keunggulan kompetetif
suatu
negara
juga
mendorong
industri
untuk
membentuk
pengelompokan pada wilayah-wilayah yang dapat menekan biaya produksi. Kondisi
ini
menurut
penulis
menjadikan
negara
berkembang
memiliki
36 kesempatan yang lebih baik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan menyebabkan
industri. proses
Walaupun
terdapat
industrialisasi
pada
persoalan banyak
kompleks
kasus
yang
mengalami
hambatan/stagnasi, namun penulis percaya bahwa industri masih tetap dapat diharapkan menjadi motor pertumbuhan ekonomi banyak negara. Proses industrialisasi di Indonesia ditengarai mulai berkembang pada awal tahun 1990-an yang ditandai dengan meningkatnya peran sektor industri dalam struktur perekonomian nasional. Meski didalam beberapa penelitian, seperti halnya yang dilakukan oleh Priyarsono (2011) diungkapkan bahwa berdasarkan data ekonomi 2003-2008 ada indikasi saat Indonesia mengalami proses de-industrialisasi, namun temuan ini menurut hemat penulis dapat menjadi peringatan dan sekaligus motivasi bagi pemerintah untuk dapat mendorong lebih kuat pertumbuhan sektor industri, dengan pertimbangan bahwa selama ini sektor ini telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan pada pertumbuhan perekonomian nasional, penyerapan tenaga kerja dan berperan dalam mereduksi angka kemiskinan. Walaupun dalam beberapa studi ditemukan bahwa ada gejala deindustrialisasi namun secara nyata dalam struktur perekonomian nasional, sektor industri masih memiliki kontribusi yang cukup signifikan dan masih dapat diharapkan menjadi salahsatu motor utama pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Temuan
studi
yang
mengungkapkan
bahwa
terjadi
proses
deindustrialisasi, menurut penulis mengandung pesan bahwa sudah saatnya perlu
campur
tangan
pemerintah
agar
proses
industrialisasi
yang
menguntungkan ekonomi nasional tetap terjaga pertumbuhannya. Temuantemuan bahwa produktivitas dan output industri tertentu di Indonesia mengalami
37 stagnasi atau bahkan penurunan kinerja sehingga pada potret perekonomian tercermin adanya proses de-industrialisasi merupakan peringatan serius agar pemerintah memberikan perhatian khusus dan mendesain suatu kebijakan yang dapat mendukung kinerja dan pertumbuhan industri. Dengan melihat pentingnya kontribusi sektor industri yang ada pada saat ini, sudah selayaknya pemerintah melakukan upaya dan mendesain kebijakan yang dapat mempertahankan pertumbuhan industri di Indonesia agar kinerja perekonomian nasional tetap positif. Dalam beberapa kebijakan dan action plan pemerintah dalam rangka menciptakan iklim kondusif bagi investasi secara teori akan menjadi akselerator bagi berkembangnya
aktifitas
Industri, dan
pada
gilirannya
mendorong
pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Jika ke depan Pemerintah Indonesia menjaga konsistensi kebijakan pro industri, niscaya proses industrialisasi yang tengah terjadi di Indonesia dapat terus berjalan dan momentum pertumbuhan industri di tanah air dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, menekan angka kemiskinan dan menyerap tenaga kerja. Dalam sejarah perkembangan pembangunan ekonomi di Indonesia yang dimulai pada era Soekarno kebijakan arah pembangunan bangsa ini sangat menitikberatkan pada kemandirian bangsa (inward looking) hal ini bisa dilihat dari gencarnya pemerintah dalam melakukan privatisasi perusahaan asing maupun perusahaan
swasta
domestik.
Bahkan
hingga
saat
ini
arah
kebijakan
pembangunan ekonomi inward looking masih bisa dirasakan manfaatnya. Semangat pembangunan saat itu adalah bahwa klaim Negara dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum diwujudkan dengan penguasaan Negara terhadap SDA dan Industri yang berhubungan dengan pemenuhan hajat hidup
38 masyarakat Indonesia dikuasai sepenuhnya oleh Negara. Pada masa orde lama inilah soekarno meletakkan dasar dari pembangunan nasional yang sangat fundamental yaitu membangun karakter nasional (national character building) hal ini mutlak dilakukan karena meskipun Indonesia sudah merdeka tetapi secara perekonomian bangsa belum bisa mandiri karena banyak sector usaha masih dikuasai oleh perusahaan belanda. Dalam rangka mewujudkan ekonomi bangsa yang mandiri dan mewujudkan klaim Negara terhadap kesejahteraan umum inilah yang kemudian pemerintah melakukan nasionalisasi perusahaan asing yang kemudian perusahaan-perusahaan inilah yang saat ini dikenal sebagai BUMN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 dikatakan, upaya menumbuhkan daya saing nasional menjadi isu pembangunan sektor industri (Idris, 2007). Sejak tahun 2005, pemerintah telah melaksanakan berbagai upaya untuk mewujudkan daya saing industri nasional yang lebih baik, antara lain melalui peningkatan kualitas dan ketersediaan infrastruktur (energi, transportasi dan komunikasi), upaya meningkatkan jaminan keamanan dan hukum, perbaikan iklim usaha agar semakin kondusif bagi dunia bisnis, pemberantasan korupsi dan berbagai pungutan serta mendukung berbagai upaya lain untuk mengurangi berbagai hambatan birokrasi bagi tumbuhnya industri. Disisi lain, ada kelemahan struktural sektor industri itu sendiri, seperti masih lemahnya keterkaitan antar industri, baik antara industri hulu dan hilir maupun antara industri besar dengan industri kecil menengah, belum terbangunnya struktur klaster (industrial cluster) yang saling mendukung, adanya keterbatasan berproduksi barang setengah jadi dan komponen di dalam negeri, keterbatasan industri berteknologi tinggi, kesenjangan kemampuan
39 ekonomi antar daerah, serta ketergantungan ekspor pada beberapa komoditi tertentu.
Sesuai dengan yang disampaikan oleh Idris (2007), Perindustrian Tujuan pembangunan industri nasional baik jangka menengah maupun jangka panjang ditujukan untuk mengatasi permasalahan dan kelemahan baik di sektor industri maupun untuk mengatasi permasalahan secara nasional, yaitu (1) Meningkatkan penyerapan tenaga kerja industri, (2) Meningkatkan ekspor Indonesia dan pember-dayaan pasar dalam negeri, (3) Memberikan sumbangan pertumbuhan yang berarti bagi perekonomian, (4) Mendukung perkembangan sektor infrastruktur, (5) Meningkatkan
kemampuan
teknologi, (6) Meningkatkan
pendalaman struktur industri dan diversifikasi produk, dan (7) Meningkatkan penyebaran industri.
Bertitik tolak dari hal-hal tersebut dan untuk menjawab tantangan di atas maka kebijakan dalam pembangunan industri manufaktur diarahkan untuk menjawab tantangan globalisasi ekonomi dunia serta mampu mengantisipasi perkembangan
perubahan
lingkungan
yang
sangat
cepat.
Persaingan
internasional merupakan suatu perspektif baru bagi semua negara berkembang, termasuk Indonesia, sehingga fokus dari strategi pembangunan industri di masa depan adalah membangun daya saing industri manufaktur yang berkelanjutan di pasar internasional. Untuk itu, strategi pembangunan industri manufaktur ke depan
dengan
memperhatikan
kecenderungan
pemikiran
terbaru
yang
berkembang saat ini, adalah melalui pendekatan klaster dalam rangka membangun daya saing industri yang kolektif.
40 2.6.
Tinjauan Studi Dampak Pembangunan Infrastruktur Transportasi Dalam Pembangunan Perekonomian Suatu Wilayah Dampak Investasi infrastruktur dan pembangunan ekonomi merupakan
topik yang selalu menarik didiskusikan. Salah satu diskusi mendalam mengenai hubungan infrastruktur dan perekonomian muncul sekitar tahun 1980an yaitu dengan dipublikasikannya studi yang dilakukan oleh Aschauer (1989) yang menganalisa kontribusi akumulasi kapital pada sektor publik terhadap perubahan produktivitas dari sektor swasta di Amerika Serikat. Sesuai yang diungkapkan oleh Saragih (2010), temuan dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa infrastruktur dasar seperti, jalan, bandara, sistem angkutan masal, air minum dan drainase memiliki pengaruh yang signifikan terhadap produktivitas perekonomian Amerika Serikat. Selain itu, penelitian terebut juga menunjukkan bahwa keterlambatan dalam pengeluaran pembangunan infrastruktur berperan dalam perlambatan produktivitas. Temuan lain yang menunjukkan akan pentingnya infrastruktur selanjutnya dipertajam kembali oleh Canning (1999), seperti yang diungkapkan pada Saragih (2010), dimana secara umum hasil studi ini mendukung apa yang ditemukan oleh Aschauer (1989) bahwa infrastruktur secara statistik signifikan mempengaruhi output.
Infrastruktur dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya pertumbuhan ekonomi sendiri juga dapat menjadi tekanan bagi infrastruktur. Pertumbuhan ekonomi yang positif akan mendorong peningkatan kebutuhan akan berbagai infrastruktur. Infrastruktur tidak hanya penting untuk pertumbuhan ekonomi, namun juga penting bagi kesejahteraan masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Ali dan Pernia (2003) menunjukkan bahwa pembangunan proyek infrastruktur dapat mengurangi kemiskinan dan jumlah
41 pengangguran suatu negara. Berdasarkan pemaparan di atas, peran infrastruktur penting sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi dan menjamin adanya pemerataan hasil pembangunan. Data statistik penggunaan pinjaman negaranegara peminjam IBRD-International Bank for Reconstruction and Development, sebagai salahsatu lembaga pemberi kredit dibawah manajemen Bank Dunia, sepanjang periode tahun 2003-2008 masih menempatkan sektor infrastruktur sebagai salahsatu sektor utama untuk menempatkan investasi pembangunan (Worldbank, 2008). Mayoritas negara peminjam IBRD merupakan Negara-negara berkembang dari berbagai belahan dunia yang tengah giat-giatnya melakukan pembangunan untuk mengangkat perekonomian negaranya. Data statistik tersebut menjadi semacam bukti bahwa sebagian besar pengambil kebijakan di berbagai negara mempercayai bahwa investasi pada sektor infrastruktur merupakan
salahsatu
langkah
yang
paling
efektif
untuk
mendongkrak
pertumbuhan perekonomian negaranya.
Seperti yang diungkapkan oleh Saragih (2010), berdasarkan studi yang dilakukan oleh Aschauer (1989), Bonaglia et al. (2000) yang menganalisa hubungan antara investasi infrastruktur terhadap pertumbuhan Total Factor Productivity (TFP) di Italia, menunjukkan bahwa investasi pada infrastruktur terbukti dapat memberikan dampak yang positif terhadap pertumbuhan TFP, output dan pengurangan biaya. Secara umuminvestasi pada sektor transportasi merupakan pilihan yang memberikan dampak paling besar terhadap ekonomi dibandingkan jenis infrastruktur lain.Sementara itu, menurut Banister and Berechman (2000), investasi pada bidang transportasi diyakini akan membantu membuka area baru bagi produksi pertanian, menciptakan pasar untuk barang serta membuka akses daerah terisolasi dengan kota utama. Lebih lanjut lagi
42 Banister mengungkapkan bahwa infrastruktur transportasi yang lebih baik juga akan membuat industri menjadi lebih kompetitif, mencegah negara resesi dan membangkitkan tenaga kerja dalam jangka pendek.Sebagai tambahan, banister juga menyampaikan bahwa investasi di sektor transportasi dapat digunakan untuk mendukung industri dan untuk meningkatkan cakupan geografi ekonomi, melalui peningkatan aksesibiltas untuk wilayah-wilayah terbelakang, mendukung peremajaan kota serta mendukung area-area yang lebih makmur untuk menghadapi pertumbuhan.
Argumentasi positif tentang investasi di sektor transportasi diatas, menurut Banister and Berechman (2000) sangat tepat diaplikasikan pada negara-negara
yang
sedang
melewati
tahap
pembangunan
(negara
berkembang). Pertanyaannya adalah apakah argumen yang sama tetap relevan diterapkan pada ekonomi maju (negara industri) dimana infrastruktur telah terbangun dengan baik, dimana sistem pasar yang lebih rumit berlaku dan dimana biaya transportasi hanya berpengaruh sedikit terhadap biaya produksi. Kualitas tinggi infrastruktur transportasi selalu diasumsikan sebagai prasyarat penting untuk pembangunan ekonomi, namun asumsi ini belum pernah diinvestigasi secara mendalam. Melalui penelitiannya, Banister and Berechman (2000) mengungkapkan bukti-bukti historis dari proyek infrastruktur di beberapa negara untuk mengetahui efektifitas dan produktivitas investasi publik di bidang infrastruktur dalam rangka pembangunan ekonomi dan mengidentifikasi interaksi antara investasi infrastruktur dengan pembangunan ekonomi. Keyakinan yang berkembang adalah bahwa investasi publik pada sektor infrastruktur akan membangkitkan ekonomi. Banyak program pembangungan jalan raya pada negara maju dan negara berkembang diajukan atas dasar alasan tersebut diatas,
43 walaupun argumen-argumen yang disampaikan belum cukup jelas. Berdasarkan bukti empiris Banister (2000) menemukan ternyata investasi kapital di sektor transportasi tidak secara otomatis memberikan keuntungan berupa pertumbuhan ekonomi. Yang ada, dalam kondisi tertentu, investasi ini memang memberikan eksternalitas potisif, misalkan berupa peningkatan aksesibilitas, berkembangnya jaringan jalan, semakin pendeknya waktu tempuh dalam melakukan perjalanan, serta dampak positif lain berupa perbaikan lingkungan. Sebagai tambahan, untuk menguatkan argumen akan pentingnya investasi infrastruktur transportasi didalam pembangunan ekonomi dapat disampaikan pula bahwa didalam ilmu ekonomi regional, pembangunan ekonomi suatu wilayah tidak berkembang dengan aktivitasnya sendiri, melainkan tidak terlepas dengan aktivitas perekonomian yang terjadi di wilayah lain. Hubungan perekonomian antar wilayah ini dapat dianalisa dengan melihat struktur keterkaitan antar sektor pada wilayah dimaksud. Pada dasarnya, kemajuan ekonomi yang terjadi di satu wilayah, diyakini akan membawa efek kucuran (spillover effects) positif terhadap wilayah lain di sekitarnya. Dengan keyakinan ini, pengambil kebijakan tidak jarang mengambil tindakan untuk memperbaiki akses hubungan antar wilayah melalui pembangunan sarana/prasarana transportasi agar efek kucuran yang positif dapat lebih mudah terjadi pada wilayah dimaksud. Pemerintah Indonesia memiliki perhatian yang besar terhadap sektor infrastruktur, termasuk halnya infrastruktur transportasi. Berbagai kebijakan pemerintah seperti paket infrastruktur yang tertuang pada berbagai peraturan serta
peningkatan
anggaran
stimulus
fiskal
pada
bidang
infrastruktur
menunjukkan perhatian pemerintah yang sangat besar pada pembangunan infrastruktur. Perhatian pemerintah yang besar pada sektor infrastruktur ini
44 sangatlah tepat mengingat beberapa temuan studi mengindikasikan pentingnya infrastruktur terkait dengan dampaknya terhadap perekonomian.Pemerintah Indonesia sendiri telah menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun 2012 sebesar 7 persen. Untuk mencapai target tersebut maka infrastruktur harus didorong agar bisa menstimulasi iklim usaha dan tidak menimbulkan hambatan dalam distribusi barang. Seperti disampaikan oleh ketua Bappenas, diperkirakan sekitar Rp 1,400 trilliun dibutuhkan untuk investasi sektor infrastruktur selama periode 2010-2014. Menurut data Bappenas, alokasi anggaran infrastruktur yang ideal adalah 5-6% dari PDB, dan saat ini Indonesia memiliki anggaran infrastruktur sebesar
sekitar 3.25% dari PDB. Alokasi anggaran ini diharapkan akan
meningkat secara bertahap hingga mencapai 5% dari PDB pada tahun 2014. Alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur yang masih terbatas menyebabkan kondisi infrastruktur Indonesia saat ini masih tertinggal dengan negara-negara lain.
Menurut Global Competitiveness Report 2009-2010,
peringkat daya saing infrastrukur Indonesia berada di peringkat 96 dari 133 negara. Sedangkan Thailand (41), Malaysia (27) dan China (66). Menyadari, masih lemahnya kondisi infrastruktur, pembenahan infrastruktur juga menjadi perhatian penting dalam program 100 hari kerja Kabinet Bersatu ke II
bidang
perekonomian. Uraian-uraian temuan studi yang disampaikan diatas dapat menjelaskan bagaimana investasi infrastruktur transportasi berpengaruh positif terhadap perekonomian.Secara
khusus
berkaitan
dengan
topik
penelitian,
dapat
disampaikan bahwa temuan diatas memperkuat pendapat yang berkembang bahwa investasi infrastruktur transportasi dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja (atau mengurangi pengangguran) serta dapat meningkatkan
45 kesejahteraan masyarakat melalui distribusi pendapatan pada institusi rumah tangga. Dari kajian aspek ekonomi dan hasil penelitian terhadap dampak investasi infrastruktur dan dengan melihat fakta mengenai kondisi infrastruktur saat ini di Jawa Barat maka investasi infrastruktur transportasi sangat diperlukan dan harus segera diperbaiki. Mengingat patut diduga bahwa keterkaitan infrastruktur transportasi dalam meningkatkan perekonomian Jawa Barat melalui kinerja sektor sektor unggulan termasuk industri sangat besar. Sektor industri dan sektor sektor unggulan lainnya juga sangat besar dalam penyerapan tenaga kerja Jawa Barat, Dari hasil penelitian ini juga dapat diketahui lebih detail bagaimana dan seberapa besar investasi di bidang infrastruktur transportasi akan memberikan dampak terhadap
peningkatan kinerja perekonomian secara umum maupun
terhadap sektor-sektor ekonomi, peningkatan pendapatan faktor produksi serta peningkatan pendapatan institusi di Jawa Barat. Sektor sektor unggulan yang berperan dalam perekonomian Jawa Barat diduga akan mendapatkan manfaat paling besar jika ada peningkatan atau perbaikan kondisi investasi infrastruktur transportasi di Jawa Barat. Sektor tersebut utamanya adalah sektor industri. Keterkaitan sektor sektor unggulan seperti sektor industri tersebut terhadap ketersediaan infrastruktur transportasi
diduga tinggi sehingga
peningkatan investasi di infrastruktur transportasi akan meningkatkan kinerja sektor industri lebih baik sehingga dapat memperbaiki kinerja sektor industri yang selama beberapa tahun terakhir mengalami peranan yang semakin menurun dalam perekonomian Jawa Barat. Peningkatan kinerja sektor industri juga akan
46 mendorong sektor sektor pendukung sehingga mendorong perekonomian lebih besar lagi (efek multiplier) Kinerja sektor sektor unggulan termasuk sektor industri yang semakin membaik akibat perbaikan dan peningkatan investasi di bidang infrastruktur transportasi tersebut memberi dampak terhadap penyerapan tenaga kerja yang lebih besar. Hal ini akan memperbaiki tingkat pengangguran yang diharapkan akan lebih rendah. Peningkatan penyerapan tenaga kerja terutama oleh sektor sektor unggulan pada akhirnya akan mendorong peningkatan pendapatan rumah tangga. Infrastruktur transportasi juga berperan dalam penciptaan pendapatan (generating income) bagi perekonomian Jawa Barat melalui balas jasa permintaan faktor produksi (tenaga kerja dan modal). Peningkatan pendapatan akan meningkatkan permintaan akan barang dan jasa dan selanjutnya akan berdampak pula terhadap penyerapan tenaga kerja dan
pendapatan rumah
tangga sebagai bagian dari pelaku ekonomi akan meningkat. Peningkatan pendapatan berbagai golongan rumah tangga berdasarkan faktor produksi yang dimiliki (tenaga kerja dan kapital), selanjutnya akan berdampak kepada distribusi pendapatan masyarakat sesuai dengan kepemilikan faktor produksinya tersebut. Dengan penelitian ini juga akan diketahui bahwa peningkatan infrastruktur transportasi akan memperbaiki distribusi pendapatan rumah tangga melalui peningkatan pendapatan rumah tangga golongan rendah yang sebagian besar beada di sektor pertanian, industri maupun perdagangan sebagai buruh yang lebih
baik.
Mengingat
sektor
unggulan
seperti
pertanian,
industri
dan
perdagangan dan restoran adalah sektor sektor yang juga sebagai penyerap
47 tenaga kerja terbesar sejalan dengan perbaikan infrastruktur transportasi di Jawa Barat.
2.6.1. Dampak Investasi Infrastruktur Transportasi Kualitas tinggi infrastruktur transportasi selalu diasumsikan sebagai prasyarat penting untuk pembangunan ekonomi, namun asumsi ini belum pernah diinvestigasi secara mendalam (Banister and Berechman, 2000). Melalui bukunya, Banister mencoba mengungkapkan bukti-bukti historis dari proyek infrastruktur di beberapa negara untuk mengetahui efektifitas dan produktivitas investasi publik di bidang infrastruktur dalam rangka pembangunan ekonomi dan mengidentifikasi interaksi antara investasi infrastruktur dengan pembangunan ekonomi. Penelitian Banister ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan untuk memastikan ada tidaknya keuntungan nyata dari proposal investasi infrastruktur yang diusulkan. Keyakinan bahwa investasi publik pada sektor infrastruktur akan membangkitkan pertumbuhan ekonomi seringkali dijadikan sebagai alasan bagi alokasi sumberdaya untuk sektor transportasi. Banyak program pembangungan jalan raya pada negara maju dan negara berkembang diajukan atas dasar alasan tersebut diatas, walaupun argumen-argumen yang disampaikan belum cukup jelas. Di USA, sebagai contoh, Pemerintahan Clinton mengusulkan investasi penting pada sektor infrastruktur. Walau publik mendukung usulan tersebut, namun Konggres menolaknya karena alasan pendanaan (budget). Usulan investasi pada sektor infrastruktur popular bagi pengguna jalan karena dengan peningkatan kualitas infrastruktur akan mendukung gaya hidup mereka yang sangat mobile dengan kendaraan bermotor. Sektor industri, secara tradisional
48 juga mendapatkan keuntungan dengan investasi infratruktur ini, karena infrastruktur transportasi yang lebih baik akan membuat industri menjadi lebih kompetitif, mencegah negara resesi dan membangkitkan tenaga kerja dalam jangka
pendek
(Banister
and
Berechman,2000).
Alasan-alasan
yang
dikemukakan ini nampaknya cukup logis, terutama pada kasus negara dan kota yang telah memiliki kualitas infrastruktur yang tinggi. Lebih lanjut Banister and Berechman (2000) mengatakan bahwa respons yang sama terjadi di UK ketika diumumkan Program Jalan untuk Kesejahteraan Roads for Prosperity yang dijalankan Departemen Transportasi UK. Program ini merupakan perluasan investasi sektor infrastruktur di UK yang pada saat itu digalakkan
untuk
mengatasi
kemacetan.
Pada
saat
itu
Pemerintah
melipatgandakan investasi dari rencana semula dan dapat dikatakan sebagai komitmen untuk menyediakan infrastruktur yang lebih baik untuk Pasar Tunggal Uni Eropa dan menghadapi tantangan tahun-tahun mendatang. Argumen yang mendasari program tersebut adalah perlunya investasi untuk mendukung industri dan untuk meningkatkan cakupan geografi ekonomi, melalui peningkatan aksesibiltas untuk wilayah-wilayah terbelakang, mendukung dan mengarahkan peremajaan kota serta mendukung area-area yang lebih makmur untuk menghadapi pertumbuhan. Program ini menghasilkan peningkatan lalu-lintas jalan yang cukup signifikan (bertambah 35%) pada tahun 1980-an dan prospek peningkatan lalu-lintas dua kali lipat dari 1988 sampai dengan 2025. Pada saat tersebut
sesuatu
harus
dilakukan
dan
pemerintah
memutuskan
bahwa
pembangunan jalan merupakan alternatif yang diambil. Salahsatu tujuan fundamental
dari
program
peningkatan
jalan
adalah
untuk
membantu
pertumbuhan ekonomi dengan mereduksi biaya transportasi. Walau di kemudian
49 hari ketika review program peningkatan jalan tersebut dilakukan, sangat sedikit argumen yang menyebutkan kontribusi program terhadap pertumbuhan ekonomi, keamanan dan peremajaan kota. Isu penting yang ingin disampaikan dari narasi diatas adalah apakah infrastruktur transportasi dengan kualitas tinggi merupakan kondisi penting yang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi pada daerah terbelakang atau daerah berkembang. Argumen tradisional dan review yang lebih baru misalkan dari Hart (Banister and Berechman,2000) menyatakan bahwa ternyata pembangunan jalan bukan merupakan kunci penentu bagi pertumbuhan. Situasi Merseyside di UK dapat menjelaskan hal ini. Di Liverpool (kota utama di wilayah Merseyside), program pembangunan jalan dipromosikan pada 1960-an dan 1970-an dengan harapan peningkatan populasi/tenaga kerja, peningkatan produktivitas serta pendapatan, dan pada akhirnya diharapkan akan meningkatkan volume pergerakan barang dan penumpang, terutama yang menggunakan mobil. Padahal sangat jelas bahkan sebelum studi selesai dilakukan bahwa wilayah Merseyside kehilangan populasi/tenaga kerja dan seluruh perekonomian lokal harus direstrukturisasi.Jaringan jalan yang tidak layak pada saat itu bukan komponen kunci dari proses restrukturisasi. Namun demikian, program investasi jalan tetap dilaksanakan sebagai bagian dari strategi.
2.6.2. Debat: sebuah Perspektif sejarah Debat mengenai hubungan antara investasi infrastruktur transportasi dan pembangunan ekonomi bukanlah hal baru. Investasi bidang transportasi akan membantu membuka area baru bagi produksi pertanian, menciptakan pasar untuk barang serta membuka akses daerah terisolasi dengan kota utama.
50 Menurut Banister and Berechman (2000), argumentasi ini barangkali lebih tepat diaplikasikan pada negara-negara yang sedang melewati tahap pembangunan. Pertanyaannya adalah apakah argumen yang sama tetap relevan diterapkan pada ekonomi maju dimana infrastruktur telah terbangun dengan baik, dimana sistem pasar yang lebih rumit berlaku dan dimana biaya transportasi hanya berpengaruh sedikit terhadap biaya produksi.
2.6.2.1. Periode awal 1800-1970: Teori Lokasi Studi awal yang dilakukan para ahli ekonomi membuka perdebatan apakah pengurangan biaya transportasi akan membawa produk dan area baru ke pasar. Rostow didalam Banister and Berechman (2000) berargumen bahwa investasi
pada
sektor
transportasi
membawa
kontribusi
positif
bagi
pengembangan sektor batubara, besi, dan industri rekayasa. Namun, sebaliknya Mitchel didalam Banister and Berechman (2000) berpendapat sebaliknya, dengan mengacu pada sejarah sistem transportasi kereta api di UK. Di UK, jalan kerata api lengkap terbangun pada 1852 dan pada saat tersebut ternyata tidak membawa dampak besar yang cepat bagi perekonomian. Memang ada dampak langsung saat fase konstruksi berupa penyerapan tenaga kerja tidak terlatih dan stimulasi industri baja dan besi. Studi lain yang dilakukan De Vries seperti yang diungkapkan oleh Banister and Berechman (2000) mengenai pengaruh jaringan kanal terhadap perekonomian Belanda juga mengilustrasikan perkembangan debat yang terjadi. Pertumbuhan jaringan kanal di Belanda sangatlah fenomenal sejak 1630-an. Pada awalnya fungsinya sangat penting untuk urusan bisnis dan wisata, namun pad atahun 1800-an perannya tergantikan oleh jalan raya dan rel kereta api.
51 Pada akhir investigasi yang dilakukan De Vries menyimpulkan bahwa alasan ekonomi untuk jaringan kanal tidaklah jelas, karena jaringan kanal tersebut hanya berpengaruh pada tingkat kinerja perekonomian, dan bukan tingkat aktual pertumbuhan ekonomi. Namun demikian sistem kanal telah berkontribusi terhadap produksi regional (pada tahun 1670), dan kemudian dilanjutkan perannya dua ratus tahun kemudian (tahun 1850). Riset yang dilakukan oleh Christaller (1933) di Jerman Selatan menurut Banister and Berechman (2000) adalah paling berpengaruh, karena Christaller menunjukkan hubungan antara biaya transportasi dan distribusi spasial aktivitas ekonomi. Dia mengungkapkan hierarki kota dari beberapa kota pasar, masingmasing dengan biaya transportasi, spesialisasi dan nilai produk yang berbeda. Ketika hierarki kota naik, rentang produk meningkat dan kualitas transportasi meningkat. Pusat-pusat yang lebih besar dapat meningkatkan bagian aktivitas ekonomi mereka dan hal ini pada gilirannya mengakibatkan konsentrasi aktivitas ekonomi
dengan
pusat-pusat
yang
lebih
sedikit
mendominasi
wilayah.
Peningkatan infrastruktur transportasi memperkuat aksesibilitas dan dominasi kota pusat.
2.6.2.2. Periode awal 1970an – 1980an: Modelling Wilayah dan perkotaan Generasi baru model perkotaan ini menempatkan perumahan dan pekerjaan didalam wilayah-wilayah kota berdasarkan aksesibilitas, ketersediaan lahan, tingkat pendapatan, populasi, tenaga kerja serta berdasarkan kategori dan karakteristik fisik/sosial lainnya. Metode ini memiliki kisah sukses ketika dilakukan modelling struktur kota yang ada dan memprediksi perubahan pada lokasi-lokasi
52 dimana diberi pilihan investasi (misalkan jalan), pembangunan baru (misal perumahan) atau perubahan biaya perjalanan (misalkan pricing). Botham (1983) didalam Banister and Berechman (2000) mengungkapkan hasil studi tentang estimasi kontribusi program pembangunan jalan raya di UK terhadap pembangunan wilayah. Kesimpulan sementara yang didapatkannya adalah dampak pembangunan jalan raya terhadap pembangunan wilayah sangatlah kecil, jika (tidak ada investasi jalan raya) diasumsikan bahwa biaya transportasi tetap sepanjang waktu. Jika kemacetan diasumsikan meningkatkan biaya, dampaknya meningkat, tetapi sangat sulit menilainya. Pada studi lain yang dilakukan oleh Dodgson (1978) seperti yang diungkapkan pada Banister and Berechman (2000), ditemukan dampak pembangunan jalan M62 di UK sangatlah kecil. Pada hasil studi dampak investasi jalan terhadap industri yang diungkapkan oleh Mackie dan Simon (1986) didalam Banister and Berechman (2000) ditemukan bahwa investasi infratruktur jalan raya lebih memberikan dampak langsung berupa perluasan pasar. Beberapa perusahaan merasa bahwa tarif toll menggagalkan pengiritan biaya, namun jalan toll dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas sopir dan kendaraan. Namun demikian, menurut Banister and Berechman (2000) ada temuan studi lain yang dilakukan Departemen Transportasi UK pada tahun 1993, yang mengemukakan
bahwa
jalan
raya
baru
menghasilkan
efisiensi
untuk
perdagangan dan industri serta membuat industri menjadi lebih kompetitif. Pada studi-studi lain terungkapkan bahwa pembangunan jalan raya akan memberikan variasi manfaat yang berbeda, bergantung pada tingkat perekonomiannya. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Rephan (1993) didalam Banister and Berechman (2000), ternyata investasi jalan raya memberikan dampak yang lebih
53 besar pada aktivitas ekonomi di wilayah-wilayah yang membangun (less industrialized), namun pada daerah terbelakang dampak investasi jalan raya juga kurang menjanjikan.
2.6.2.3. Periode 1990an: Pendekatan Makroekonomi Kebanyakan diskusi pada periode ini mengikuti pandangan yang ada pada tahun 1970an dan 1980an, tapi ada beberapa dimensi yang baru. Salahsatu diskusi misalkan membicarakan tentang kekurangan investasi pada berbagai tipe infrastruktur (misal sekolah, air bersih dan bangunan publik) yang mengakibatkan efek yang kurang baik pada efisiensi dan produktivitas. Topik diskusi lain misalkan membicarakan tentang efek pembangunan jalan dimana debat diupayakan pada penemuan metode untuk mengidentifikasi pada kondisi apa efek pembangunan yang terukur dapat diidentifikasi. Pada diskusi lain diperdebatkan pertanyaan krusial tentang bagaimana membiayai infrastruktur transportasi melalui kemitraan antara swasta dan pemerintah. Isu lain yang didiskusikan pada periode ini misalkan masalah dampak lingkungan dari pembangunan infrastruktur jalan raya. Pokok bahasan pada periode ini diperluas dengan diskusi tentang apakah benar investasi pada sektor infrastruktur akan berpengaruh terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Perdebatan terjadi misalkan tentang apakah PDB benarbenar tumbuh karena faktor investasi infrastruktur ataukah justru karena faktor lain. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah pertumbuhan membuat investasi infrastruktur
bertambah
ataukah
investasi
meningkatkan
pertumbuhan.
Kesimpulan umum dari perdebatan tersebut adalah bahwa kapital publik memiliki dampak terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu dalam hal kapital swasta dan
54 produktivitas buruh, tapi kekuatan dan seberapa penting efeknya tidak cukup jelas.
2.7.
Teori Distribusi Pendapatan Mankiw (2007) mengungkapkan bahwa variabel makroekonomi paling
penting adalah Produk Domestik Bruto (PDB), yang merupakan ukuran output barang dan jasa total suatu negara dan pendapatan totalnya. Dilihat dari institusi yang menghasilkan, pendapatan nasional bisa berasal dari rumah tangga, pemerintah maupun perusahaan. Untuk memahami konsep pendapatan, baik pendapatan rumah tangga, pemerintah maupun perusahaan, serta untuk memahami proses bagaimana pendapatan tersebut terjadi dapat dianalisa melalui arus perputaran aktivitas ekonomi (circulair flow of economic activity) sebagaimana dipaparkan pada Gambar 1. Gambar
1
secara
detail
menunjukkan
bagaimana
perekonomian
berfungsi, dimana terdapat keterkaitan diantara para pelaku ekonomi rumah tangga, pemerintah, dan perusahaan serta bagaimana uang mengalir di antara mereka melalui berbagai macam pasar didalam perekonomian (Hafizrianda, 2007). Institusi rumah tangga menerima pendapatan dan mempergunakannya untuk membayar pajak kepada pemerintah, mengkonsumsi barang dan jasa, dan menabung melalui pasar uang. Perusahaan menerima pendapatan dari penjualan barang dan jasa dan menggunakannya untuk membayar faktor-faktor produksi. Rumah tangga dan perusahaan meminjam di pasar di pasar keuangan untuk membeli barang-barang investasi, seperti rumah dan pabrik. Pemerintah memperoleh pendapatan dari pajak dan menggunakannya untuk membayar
55 belanja pemerintah. Adanya kelebihan dari penerimaan pajak yang melebihi pengeluaran pemerintah disebut tabungan masyarakat/tabungan publik, yang dapat positif (surplus anggaran) atau negatif (defisit anggaran). Setelah
konsep
pendapatan
ditetapkan,
berikutnya
didiskusikan
mengenai distribusi pendapatan (Hafizrianda, 2007). Distribusi pendapatan pada dasamya dapat digolongkan menjadi dua, yakni distribusi pendapatan fungsional afau distribusi balas jasa, dan disiribusi pendapatan antar rumah tangga. Konsep distribusi pendapatan fungsional berusaha menjelaskan pembagian pendapatan yang diterima oleh masing-masing faktor produksi, misalnya antara pendapatan yang diterima pekerja, pemilik modal dan kekayaan. Konsep ini mengacu pada teori keseimbangan neoklasik, yang diturunkan dari solusi pasar persaingan sempurna (Yotopoulus and Nuggent, 1976).
Sumber: Mankiw, 2007
Gambar 1. Arus Perputaran Uang dalam Perekonomian
56 Pada prinslpnya distribusi pendapatan dengan pendekatan fungsional dapat
dijabarkan
dengan
menggunakan
fungsi
produksi,
contohnya
sebagai berikut (Hafizrianda, 2007): Y = f(K,L)..................................................................................................(1) dimana Y adalah output fisik, K adalah kapital, dan L adalah tenaga kerja. Melalui derivasi persamaan [1] kita akan memperoleh produk marginal faktor produksi tenaga kerja (MPL) dan produk marginal faktor produksi kapital (MPK). Dengan mengetahui besarnya MPL dan MPK akan dapat ditentukan pembagian pendapatan atau output fisik yang dihasilkan oleh masirig-masing faktor produksi menurut harga pasar. Gambar 2 memberikan suatu ilustrasi yang sederhana mengenai distribusi pendapatan dengan pendekatan fungsional.
Sumber: Todaro (2000)
Gambar 2. Distribusi Pendapatan dengan Pendekatan Fungsional
Anggaplah sekarang hanya ada dua faktor produksi, yaitu modal dan tenaga kerja. Dengan kurva penawaran tenaga kerja neoklasik, S, dan kurva
57 permintaan tenaga kerja, DL,
maka tingkat upah pada keseimbangan pasar
tenaga kerja adalah sebesar OW, dan tingkat pekerjaan sebesar OL. Jumlah output nasional digambarkan dengan daerah OREL. Pendapatan nasional ini kemudian dibagi dalam dua bagian, yaitu: OWEL untuk tenaga kerja dalam bentuk upah dan WRE merupakan keuntungan pemiiiki modal. Disini kelihatan bagaimana pendapatan nasional itu dibagi-bagi menurut fungsi upah dan modal. Menurut Hafizrianda (2007), kelemahan
yang sering dijumpai dengan
pendekatan ini terletak pada asumsi yang menyertainya. Misalnya, asumsi adanya pasar persaingan sempurna, motif mendapatkan keuntungan maksimal, penalaran dan informasi sempurna. Asumsi-asumsi tersebut sangat mudah dilengkapi dalam teori, namun dalam kenyataannya sangat sulit dijumpai. Berikutnya adalah distribusi pendapatan rumah tangga. Disini distribusi pendapatan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu distribusi pendapatan absolut atau mutlak dan distribusi pendapatan relatif. Konsep yang disebut pertama berkaitan dengan proporsi jumlah rumah tangga yang pendapatannya dapat mencapai suatu tingkat tertentu atau lebih kecil dari itu, dan biasanya dikaitkan dengan jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (relatif atau absolut). Sedangkan distribusi pendapatan relatif menunjukkan perbandingan pendapatan yang diterima oleh berbagai kelas penerima pendapatan (Hafizrianda, 2007). Pada umumnya diskusi mengenai disiribusi pendapatan lebih ditekankan pada pengertian atau konsep distribusi pendapatan relatif. Misalkan, 40% penduduk berpendapatan rendah menerima 17% dari jumlah pendapatan. Baik jumlah pendapatan yang diterima maupun jumlah penduduk, kedua-duanya dinyatakan dalam bentuk persentase.
58 Selain distribusi pendapatan antar rumah tangga, distribusi pendapatan relatif dapat juga dikaji dengan tolok ukur lain, misalnya distribusi menurut sumber pendapatan, menurut kelompok, menurut klasifikasi pendapatan atau menurut jenis pekerjaan, Meskipun distribusi antar perorangan atau rumah tangga adalah salah satu yang terpenting ditinjau dari segi kesejahteraan, klasifikasi lain mungkin lebih penting ditinjau dari segi kebijakan. Kakwani (1987) dalam studinya tentang distribusi pendapatan di Australia membedakan unit penerima pendapatan menjadi tiga yaitu, individu, keluarga dan rumah tangga. Menurut Sutomo dan Sulistini (1987) didalam Hafizrianda (2007), penerimaan individu maupun rumah tangga dapat bersumber dari (1) keuntungan yang diperoleh dari usaha rumah tangga yang tidak berbadan hukum, (2) pendapatan yang bersumber dari faktor produksi
bukan tenaga
kerja, yaitu pendapatan dari harta kekayaan yang meliputi bunga, sewa dan deviden, dan (3) transfer (hibah) yang diperoleh dari rumahtangga lain, dari perusahaan, dari pemerintah dan dari luar negeri. Pendapatan yang dlperoleh individu dan rumahtangga atau keluarga dapat berupa pendapatan yang diperoleh dari pasar kerja (earning), transfer, warisan, hadiah dan lain sehagainya. Pendapatan yang diperoleh ini dapat digunakan untuk berbagai keperiuan
guna
memenuhi
kebutuhan
hidup
dan
meningkatkan
kesejahteraannya. Pemahaman tentang teori distribusi pendapatan ini sangat penting, terutama jika kita ingin mengkaji keberhasilan suatu pembangunan ekonomi (Hafizrianda, 2007). Untuk melihat berhasil tidaknya suatu pembangunan ekonomi, belum dapat hanya diukur berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi dan
59 kenaikan pendapatan per kapita saja. Pertumbuhan ekonomi tinggi dan pendapatan per kapita meningkat menjadi kurang bermakna jika distribusi pendapatan yang terjadi sangat timpang, dimana Penduduk kaya yang berjumlah sedikit lebih banyak menikmati kenaikan pendapatan tersebut, sementara penduduk miskin yang jumlahnya lebih banyak hanya sedikit mengalami perbaikan pendapatan. Dengan kata lain, dalam kondisi ketimpangan-semacam itu penduduk yang merasakan kenaikan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita tersebut hanyalah penduduk kaya yang Jumlahnya sedikit, sementara pendudukan miskin yang jumlah lebih banyak tidak mengalami perbaikan pendapatan.
2.8.
Studi-Studi Terdahulu Hasil studi terdahulu mengatakan bahwa investasi pada jalan tol akan
membawa manfaat bagi peningkatan aktivitas ekonomi wilayah. Legowo (2009) melakukan penelitian terkait dampak kebijakan infrastruktur transportasi terhadap sistem aktivitas yang berkembang di Jabotabek.Tujuan penelitian Legowo adalah menganalisis pengaruh infrastruktur transportasi di Jabodetabek terhadap jumlah unit aktivitas, tenaga kerja dan produksi sektoral di wilayah tersebut dan wilayah tetangganya;
menganalisis
dampak
kebijakan
pembangunan
infrastruktur
transportasi di suatu wilayah terhadap pertumbuhan ekonomi di wilayahnya dan dampaknya pada wilayah tetangganya. Dari beberapa skenario simulasi yang dilakukan Legowo memperlihatkan bahwa investasi tol di tiap wilayah umumnya menaikkan pertumbuhan ekonomi (PDRB) di wilayah-wilayah, kecuali di wilayah Bekasi. Sebaliknya investasi jalan raya menurunkan PDRB di hampir semua wilayah. Demikian pula pada beberapa simulasi memperlihatkan, dampak
60 pembangunan Jalan Tol (menaikkan investasi tol sebesar 10 %) secara signifikan akan menaikkan aktivitas ekonomi (sektor) perumahan-bangunan di hampir semua wilayah. Sebaliknya kebijakan menaikkan investasi jalan raya akan menurunkan aktivitas ekonomi perumahan-bangunan hampir di semua wilayah. Hasil studi Legowo (2009) ini dapat menjadi salahsatu referensi untuk memberikan penegasan akan pentingnya investasi infrastruktur transportasi bagi pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Dengan menggunakan set data SNSE Vietnam tahun 2000, Pansini and Vega (2008) melakukan analisa untuk mengetahui bagaimana caranya menilai direct dan indirect effects dari injeksi pendapatan eksogen pada pendapatan rata-rata kelompok rumah tangga yang berbeda dengan menggunakan pendekatan baru dekomposisi multiplier berdasarkan data SNSE Vietnam tahun 2000. Hasil empiris dari penelitian ini menunjukkan bahwa direct effects berhubungan dengan injeksi neraca eksogen terhadap sektor pertanian dan tenaga kerja tidak terlatih efeknya tidak hanya kepada rural male headed (kepala rumah tangga pedesaan laki-laki), namun juga kepada kelompok rumah tangga lainnya. Pada saat yang sama, analisa dekomposisi yang dilakukan pada penelitian ini menunjukkan bahwa sektor-sektor dan faktor produksi mana yang memiliki kenaikan pendapatan akan mendapatkan indirect effects
yang lebih
tinggi, dan juga akan menaikkan pendapatan semua tipe rumah tangga. Sebagai contoh, investasi pada sektor pengolahan makanan dan angkatan kerja perempuan akan menguntungkan hampir semua kelompok rumah tangga, merepresentasikan pilihan kebijakan yang bagus untuk pertumbuhan agregat dan memperbaiki distribusi rumah tangga. Studi Pansini dan Vega (2008) dapat
61 menjadi salahsatu contoh bagaimana shock pada neraca eksogen dalam suatu sitem perekonomian dapat berpengaruh pada neraca endogen. Studi yang dilakukan oleh Civardi and Lenti (2002) dengan menggunakan data SNSE Italia tahun 1984 memperkuat argumen bahwasannya kebijakan pemerintah di dalam sistem perekonomian diperlukan untuk meredistribusikan pendapatan personal (penduduk). Berdasarkan studi Civardi and Lenti (2002) tersebut, langkah yang dapat dilakukan pemerintah untuk meredistribusikan pendapatan dapat dilakukan melalui kebijakan transfer fiskal.
Kebijakan ini
dirasakan perlu karena mekanisme pasar begitu kuat mempengaruhi situasi sehingga terjadi kesenjangan pendapatan di dalam pendapatan masyarakat. Civardi and Lenti (2002) juga menekankan bahwa kemiskinan, kesenjangan dan pengucilan
mesti
diatasi
tidak
hanya
dengan
kebijakan
makroekonomi
tradisional, namun juga dengan instrumen-instrumen yang langsung mengarah ke sasaran. Dalam hal ini intervensi pemerintah dalam melakukan redistribusi pendapatan dapat dilakukan dan dapat dinilai hasilnya dengan lebih baik, dengan bantuan indikator-indikator struktural yang ada di dalam kerangka data SNSE. Dengan menggunakan Data SNSE Indonesia tahun 2003, Yusuf (2006) mengungkapkan tentang kemungkinan melakukan analisa dampak kebijakan tertentu dengan kompensasi yang diarahkan pada kelompok rumah tangga tertentu, misalkan kepada kelompok orang miskin dengan menggunakan kerangka SNSE. Contoh yang diungkapkan didalam penelitian ini adalah tentang bagaimana dampak kebijakan pengurangan subsidi BBM di Indonesia dapat dilakukan dengan meminimasi dampaknya terhadap distribusi pendapatan
62 masyarakat. Implikasi dari kebijakan pengurangan subsidi BBM ini, agar supaya distribusi pendapatan masyarakat tidak terganggu dapat dilakukan dengan memberikan skema kompensasi seperti halnya Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan subsidi biaya pendidikan dan kesehatan untuk masyarakat. Studi ini dapat menjadi salahsatu model untuk menunjukkan bahwa perlu kebijakan ikutan yang ditempuh oleh pemerintah agar kebijakan utama yang dilakukan berjalan dengan baik dan meminimasi dampak negatif yang ditimbulkan dari suatu kebijakan. Sebagai tambahan, dengan menggunaan kerangka data SNSE Malaysia tahun 1970 dan tahun 2000, Saari (2010), menyelidiki sumber-sumber pertumbuhan di Malaysia selama periode tahun 1970-2000. Temuan studi ini secara konsisten mengindikasikan bahwa ekspansi pada ekspor dan perubahan teknologi dalam menggunakan tenaga kerja dan modal merupakan penentu utama perubahan pendapatan untuk semua golongan etnis. Namun demikian dengan ukuran relatif, dua determinan ini memberikan efek terbatas kepada etnis Malay dibandingkan dengan etnis India dan Cina. Hasil yang sama terjadi pada perubahan tenaga kerja. Alasan perbedaan ini adalah karena banyak tenaga kerja etnis Malay bekerja pada sektor publik, yaitu sektor yang memiliki perubahan struktural yang terbatas dan memiliki produktivitas rendah. Di satu sisi, kesenjangan telah dikurangi dengan bantuan intervensi pemerintah, namun di sisi lain hal ini tidak berdampak pada pertumbuhan pendapatan yang berkelanjutan. Studi ini sangat menarik karena dari hasil studi dapat dilihat dampak dari suatu kebijakan di Malaysia terhadap berbagai golongan etnis yang ada.
63 Sementara itu, Seetanah et al. (2009), melakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan tentang apakah infrastruktur mengentaskan kemiskinan pada negara berkembang. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa infrastruktur sebagian besar telah diabaikan dalam penilaian kemiskinan di negara berkembang. Penelitian ini mencoba untuk membuat beberapa kontribusi dalam menetapkan faktor-faktor yang dapat mengurangi kemiskinan dengan mengeksplorasi dampak infrastruktur pada masyarakat miskin perkotaan di sampel 20 negara berkembang, selama periode 1980-2005. Hasil dari pengaruh tetap statis (static fixed effect) dan juga model GMM dinamis mengungkapkan bahwa infrastruktur transportasi dan komunikasi memang merupakan sarana yang efisien dalam memerangi kemiskinan perkotaan. Analisis uji panel kausalitas juga memvalidasi hasil penelitian ini. Oleh karena itu fokus perhatian terhadap kebijakan utama adalah bagaimana meningkatkan akses masyarakat miskin perkotaan terhadap infrastruktur transportasi dan komunikasi. Di sisi lain Fan and Chan-Kang (2005) melakukan studi tentang bagaimana dampak pembangunan jalan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan di Cina. Penelitian ini bertujuan untuk menilai dampak infrastruktur publik terhadap pertumbuhan dan pengentasan kemiskinan di Cina, khususnya infrastruktur jalan. Manfaat dampak jalan terhadap produksi dan produktivitas, serta pada pengentasan kemiskinan, dikenal dengan baik dalam literatur tetapi beberapa kesenjangan tetap ada. Penelitian ini berusaha memperkirakan dampak investasi jalan pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, pertumbuhan perkotaan, dan pengurangan kemiskinan perkotaan, pertumbuhan pertanian dan kemiskinan di pedesaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, dibangun model ekonometrik yang mampu menangkap perbedaan transmisi
64 dampak investasi jalan pada pertumbuhan dan kemiskinan pada tingkat provinsi untuk tahun 1982-1999. Temuan yang paling signifikan dari studi ini adalah bahwa kualitas infrastruktur jalan yang rendah (kebanyakan di pedesaan) memiliki rasio manfaat-biaya terhadap PDB nasional yang sekitar empat kali lebih besar dari rasio manfaat-biaya infrastruktur jalan yang berkualitas tinggi. Bahkan dalam hal perkotaan PDB, rasio manfaat-biaya untuk jalan yang berkualitas rendah jauh lebih besar daripada yang berkualitas tinggi. Penelitian lain yang menarik diungkapkan Mukaramah et al. (2011a) yang melakukan studi tentang dampak belanja publik menurut komponen terhadap distribusi pendapatan rumah tangga di Malaysia. Studi tentang belanja publik yang berkaitan dengan distribusi pendapatan adalah penting karena pengeluaran publik telah digunakan secara intensif sejak kemerdekaan untuk mencapai tujuan pemerataan pendapatan di Malaysia. Namun, ketimpangan pendapatan antar kelompok etnis, perkotaan dan daerah pedesaan masih lebar. Penghasilan yang diterima oleh masyarakat etnis Cina dan India lebih tinggi dibandingkan pendapatan yang diterima etnis Melayu, sementara pendapatan untuk perkotaan sekitar dua kali lipat dibandingkan pendapatan pedesaan. Penelitian ini menggunakan kerangka SNSE Malaysia yang terdiri dari 50 neraca dan model multiplier
harga
tetap.
Fokusnya
dalah
menyoroti
dampak
perbedaan
pengeluaran publik dengan komponen yang berbeda pada distribusi pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa belanja publik di sektor pendidikan telah meningkatkan ketimpangan pendapatan antar etnis, menyebabkan peningkatan kesenjangan desa-kota. Sedangkan, pengeluaran di sektor pertanian dan pembangunan
pedesaan
terbukti
memiliki
dampak
positif
pada
kedua
ketimpangan pendapatan antar etnis dan perbedaan desa-kota.
65 Mukaramah
et
al.
(2011b)
juga
melakukan
penelitian
lain
untuk
menganalisis distribusi pendapatan fungsional dan institusional pada seluruh lembaga/institusi
dan
sektor
yang
berbeda
di
Malaysia.
Penelitian
ini
menggunakan kerangka data SNSE sebagai alat analisis. Kerangka dengan disagregasi neraca yang detail mengarah pada struktur sektor produksi yang berbeda, kelompok rumah tangga yang berbeda dan berbagai komponen pengeluaran publik. Studi ini menemukan bahwa ada distribusi yang tidak merata terhadap komposisi permintaan sektoral. Investasi sangat rendah dibandingkan dengan konsumsi antara dan akhir, dan pangsa sektor publik sangat rendah dibandingkan sektor swasta. Hal ini pada gilirannya telah memberikan kontribusi terhadap distribusi pendapatan yang tidak merata di Malaysia. Temuan lebih penting adalah bahwa komponen pengeluaran sektor publik yang yang tidak merata pada berbagai sektor telah memperburuk ketimpangan pendapatan. Napitupulu et al (2011) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa prasarana jalan dan jembatan berperan penting dalam pembangunan ekonomi bangsa, namun dampak terhadap perekonomian belum diteliti secara cermat. Penelitian Napitupulu bermaksud menganalisis dampak ekonomi investasi jalan dan jembatan dengan model Inter-regional Social Accounting Matrix Jawa Sumatera 2007. Hasil analisis menunjukkan: (1) Investasi jalan dan jembatan di Sumatera dan Jawa-Bali paling dinikmati oleh sektor perdagangan, restoran dan hotel, dan sektor industri makanan, minuman dan tembakau namun kurang berpihak pada sektor pertanian; (2) Keterkaitan atau ketergantungan sektorsektor produksi terhadap konstruksi jalan dan jembatan di Sumatera cukup besar; (3) Dampak limpahan sektor jalan dan jembatan dari Sumatera ke JawaBali berkisar 5 kali lebih besar daripada limpahan dari Jawa-Bali ke Sumatera
66 menyebabkan kesenjangan pendapatan Sumatera dengan Jawa-Bali semakin melebar; (4) Rumah tangga pengusaha golongan rendah di desa memperoleh pendapatan tertinggi dari investasi jalan di Sumatera, sementara untuk investasi jalan di Jawa-Bali rumah tangga pengusaha golongan rendah di kota memperoleh pendapatan yang terbesar; (5). Kontribusi jalan dan jembatan terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa-Bali dan Sumatera terhadap tahun 2007 naik 0.17 persen tahun 2008, naik 0.20 persen 2009 dan naik 0.28 persen tahun 2010. Dalam studi yang dilakukan oleh Esfahani and Ramirez (2002) yang meneliti tentang infrastruktur dan pertumbuhan ditemukan beberapa temuan penting. Studi ini pada dasarnya menganalisa hubungan antara institusi, infrastruktur dan kinerja ekonomi dengan menggunakan data dari 75 negara. Hasil estimasi Two Stage Least Square (2SLS) dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa kontribusi infrastruktur terhadap GDP sangat substansial dan secara umum melebihi biaya yang dikeluarkan untuk penyediaan infrastruktur tersebut. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kapabilitas dari institusi yang akan menentukan kredibilitas dan efektivitas dari kebijakan pemerintah memiliki peran yang penting dalam proses pembangunan melalui pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, negara akan mendapatkan benefit yang sangat besar dalam hal output, jika pemerintah fokus pada peningkatan investasi dan kinerja dari infrastruktur. Sementara itu dari penelitian yang dilakukan oleh Dumont and Somps (2000), menunjukkan bahwa dampak infrastruktur terhadap sektor manufaktur baik dalam hal output dan daya saing akan berbeda-beda tergantung pada dampaknya terhadap tingkat harga domestik dan tingkat upah. Selain itu, hasil
67 simulasi juga menunjukkan bahwa metode pembiayaan merupakan faktor penting yang harus diperhitungkan karena dampak yang akan ditimbulkan akan berbeda dan sekali lagi tergantung pada sejauh mana dapat mempengaruhi harga domestik. Penelitian yang dilakukan Azis dan Mansury (2003) yang menganalisa tentang transmisi yang terjadi akibat dari financial shock terhadap distribusi pendapatan rumah tangga dengan menggunakan kasus yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa rumah tangga dengan pendapatan tinggi menikmati rendahnya nilai mata uang dengan tingkat bunga yang tinggi selama krisis. Tetapi, rumah tangga yang sama mungkin kehilangan pekerjaan akibat bekerja pada sektor yang sangat bergantung atas barang/jasa impor. Di sisi sektor produksi, sektor konstruksi mengalami dampak terburuk selama krisis, dengan rumah tangga pendapatan rendah sektor non-pertanian terkena dampak akibat tenaga kerjan rumah tangga tersebut terlalu bergantung pada sektor konstruksi. Sebagai tambahan, Thorbecke (1998) didalam studinya menerapkan Structural Path Analysis (SPA) ke dalam tabel Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE/SAM). Karena tabel SNSE adalah data sistem yang komprehensif dan equilibrium, seluruh jaringan dimana suatu pengaruh ditransmisikan dapat diidentifikasi melalui SPA. Berdasarkan hasil studi ini, SPA memberikan alternatif lain dan lebih detil dalam dekomposisi pengganda dibandingkan dengan cara tradisional yang dilakukan dengan metode.
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
3.1.
Kerangka Pemikiran Berdasarkan studi pustaka dan kerangka pemikiran yang digunakan,
penelitian mengenai dampak investasi infrastruktur transportasi terhadap penyerapan tenaga kerja sektor ekonomi dan distribusi pendapatan masyarakat ini dilakukan. Berdasar analisa kondisi eksisting ditemukan fakta bahwasannya PDRB Provinsi Jawa Barat (atas dasar harga berlaku) tahun 2010 cukup tinggi, yaitu sebesar Rp. 765.13 trilyun. Angka tersebut menempatkan Provinsi Jawa Barat sebagai kekuatan ekonomi penting terbesar ketiga di Indonesia, dimana berkontribusi 14.7% terhadap perekonomian nasional. Melihat kontribusi Provinsi Jawa Barat yang besar pada Produk Domestik Bruto Indonesia, maka dapat dikatakan pula bahwa peranan sektor-sektor ekonomi di Jawa Barat juga penting bagi perekonomian nasional. Di sisi lain di tengah kondisi perekonomian Provinsi Jawa Barat yang menunjukkan indikator-indikator yang pertumbuhan yang positif, ternyata ada berbagai permasalahan yang juga timbul. Permasalahan tersebut misalkan menurunnya peranan sektor industri, yang merupakan salahsatu sektor unggulan di Jawa Barat, dalam perekonomian Jawa Barat dari kurun tahun 2007-2010; masih tingginya angka pengangguran (10.57% angkatan kerja); masih tingginya angka kemiskinan (4.8 juta jiwa); serta adanya kecenderungan penurunan panjang dan kualitas jalan (infrastruktur transportasi) yang ada di Jawa Barat. Melihat fakta pentingnya kontribusi sektor ekonomi di Jawa Barat bagi perekonomian nasional maka diperlukan upaya untuk mendorong peningkatan
69 kinerja sektor ekonomi di Jawa Barat. Banyak kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong kinerja sektor ekonomi misalkan dengan mendesain kebijakan pro pertumbuhan dan mendukung perkembangan kinerja sektor-sektor unggulan. Salahsatu upaya penting dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi wilayah Jawa Barat misalkan dengan menyediakan infrastruktur energi, telekomunikasi, infrastruktur transportasi, dan infrastruktur penting lainnya. Sejalan dengan penelitian ini, salahsatu upaya yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan menyediakan infrastruktur transportasi. Dengan adanya daya dukung infrastruktur transportasi yang baik diharapkan kinerja dan peranan sektor ekonomi di Jawa Barat dapat meningkat. Dengan menimbang poin-poin kebijakan untuk mendorong kinerja sektor ekonomi diatas, ditentukan langkah kebijakan dengan melakukan injeksi investasi infrastruktur transportasi untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja pada sektor ekonomi dan pada saat yang sama untuk mengarahkan distribusi pendapatan masyarakat. Secara diagramatik, kerangka pemikiran dampak investasi infrastruktur transportasi terhadap penyerapan tenaga kerja sektor ekonomi dan distribusi pendapatan masyarakat disajikan pada Gambar 3. Dampak yang ditimbulkan oleh pembangunan infrastruktur transportasi dalam penelitian ini diukur melalui pertumbuhan output, penyerapan lapangan kerja di sektor industri, serta perubahan distribusi pendapatan masyarakat. Untuk memperoleh nilai kuantitatif parameter makro ekonomi tersebut di provinsi Jawa Barat, digunakan SNSE Jawa Barat yang modelnya akan dibangun. Konstruksi SNSE Jawa Barat tahun 2010 dikembangkan dari Input-Output tahun 2010 yang disusun dan dipublikasikan oleh BPS Provinsi Jawa Barat. Data selain tabel Input-Output 2010 yang digunakan sebagai dasar (benchmark) dalam menyusun SNSE, data penunjang yang berasal dari survei dan data sekunder
70 dari BPS maupun data sekunder dari instansi diluar BPS digunakan sebagai data pendukung untuk melengkapi sel-sel dalam sub matriks yang tidak bisa dipenuhi oleh data dari Tabel Input-Output terutama data yang berhubungan dengan transaksi transfer baik transfer antar institusi domestik maupun transfer dari institusi domestik dengan luar negeri (luar Jawa Barat dan Luar negeri).
Investasi Infrastruktur Transportasi
Perekonomian Provinsi Jawa Barat
Pengaruh terhadap pendapatan sektoral
Pengaruh terhadap pendapatan Faktorial
Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Ekonomi
Gambar
3.
Pengaruh terhadap pendapatan institusi
Perubahan Distribusi Pendapatan Masyarakat
Kerangka Pemikiran Dampak Investasi Infrastruktur Transportasi Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Masyarakat
71 Setelah SNSE tahun 2010 dibangun, dilakukan analisis keterkaitan antar sektor,
analisis
multiplier,
analisis
dekomposisi
dan
simulasi
kebijakan
pembangunan infrastruktur transportasi dengan melakukan dekomposisi sektor konstruksi menjadi sektor konstruksi untuk transportasi dan non transportasi. Untuk mencapai tujuan dari studi ini, maka ada beberapa tahapan yang dilakukan dalam melakukan penelitian ini, yang digambarkan sebagaimana tercantum dalam Gambar 4. IO J ABAR TAHUN 2 010
•PDRB Sektoral 2 010Jawa Barat •PDRB P enggunaan 2010Jawa Barat •PDRB J ABAR •APBD •SUSENAS •SKTIR •SAKERNAS •SUSENAS •NERACA PERDAGANGAN •Data sekunder l ainnya DLL
PENYUSUNAN SAM J abar 2010
BALANCING / REKONSILIASI (CEK AND RECHECK))
PENYUSUNAN NERACA-‐NERACA (SUB-‐MATRIKS) DLM KERANGKA SAM J abar
IMBALANCE SAM Jabar 2010 SAM J ABAR TAHUN 2 010 (FINAL)
Struktural Path Analisis(SPA)
Pertumbuhan Ekonomi
Analisis Dekomposisi dan Struktur Ekonomi
Output dan nilai tambah
Analisis Multiplier Sektoral
Lapangan K erja
Analisis Simulasi Kebijakan Investasi Infra. Transportasi
Distribusi Pendapatan
Implikasi Dampak Investasi Infrastruktur Transportasi Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Distribusi Pendapatan Masyarakat di Provinsi Jawa Barat
Gambar 4. Tahapan Analisis Dampak Investasi Infrastruktur Transportasi Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Masyarakat di Provinsi Jawa Barat
72 Menyadari posisi penting pembangunan infrastruktur transportasi sebagai ”driving force for economic growth”, maka kebutuhan analisis dampak investasi infrastruktur transportasi terhadap perekonomian secara komprehensif dalam kerangka makro ekonomi sangat diperlukan. Mengukur dampak investasi infrastruktur transportasi dengan alat analisis yang sifatnya partial mikro dalam mengidentifikasi biaya (cost) dan keuntungan (benefit) pada dasarnya sangat terbatas keampuhannya. Kelemahannya adalah susah mengukur secara akurat besarnya biaya dan keuntungan secara spasial dan dampak pengganda yang ditimbulkan secara menyeluruh. Identifikasi biaya dan/atau keuntungan langsung atau tidak langsung menimbulkan kerumitan tersendiri dalam analisis. Dengan demikian sangat penting untuk memasukkan aspek spasial dan keterkaitan antar sektor ekonomi dan institusi sehingga dapat dihitung dampak penggandanya terhadap
industri
lain
dan
distribusi
kesejahteraan
masyarakat
dalam
perekonomian suatu wilayah. Tahapan yang dilakukan didalam penelitian ini dapat dilihat seperti halnya yang dideskripsikan pada Gambar 4. Secara umum ada beberapa tahapan yang dilakukan dalam melakukan penelitian ini. Pada langkah awal dilakukan inventarisasi data-data sekunder seperti halnya: Tabel IO provinsi Jabar 2010, APBD Provinsi Jabar 2010, SKTIR, Susenas, Sakernas, statistik keuangan pemerintah, indikator ekonomi dan data lainnya yang relevan. Pada langkah selanjutnya dilakukan penyusunan kerangka data SNSE yang sesuai untuk analisa permasalahan yang ada dengan melakukan penentuan jumlah sektor di blok neraca faktor produksi, blok neraca institusi, blok neraca sektor (aktivitas) produksi, dan neraca eksogen yang terdiri dari neraca modal dan rest of the world (Daryanto dan Hafizrianda, 2010). Dalam penelitian ini dibentuk sebanyak 80 sektor ekonomi.
73 Analisis multiplier dilakukan untuk melihat dampak investasi infrastruktur transportasi terhadap output dan pendapatan dan kesempatan kerja yang terbentuk di Jawa Barat.Dari hasil penghitungan multiplier juga dapat dilakukan analisis keterkaitan dan dekomposisi. Analisa dekomposisi dilakukan untuk mendapatkan informasi yang lebih rinci tentang dampak (multiplier) dimana multiplier
akan
didekomposisi
menjadi
komponen
Pengganda
Transfer,
Pengganda Open Loop dan Pengganda Closed Loop. Analisis SPA dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang mekanisme transmisi dampak suatu kebijakan
investasi
infrastruktur
transportasi
terhadap
perkembangan
perekonomian secara menyeluruh dan khususnya terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor Industri dan distribusi pendapatan rumah tangga.
3.2.
Hipotesis Hipotesis atas penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Kondisi infrastruktur transportasi mengakibatkan peningkatan output dan kemudian meningkatkan permintaan faktor produksi (tenaga kerja dan modal), dan selanjutnya berdampak kepada distribusi pendapatan masyarakat dan perekonomian
2.
Infrastruktur berpengaruh terhadap perekonomian, terutama terhadap sektor-sektor unggulan dan lebih jauh lagi berpengaruh dan terkait dengan penciptaan pendapatan sektoral, faktorial serta pendapatan institusi.
3.
Investasi infrastruktur transportasi akan lebih memberikan manfaat kepada golongan rumah tangga yang lebih dominan dalam penguasaan kapital.
74 4.
Investasi infrastruktur transportasi di Jawa Barat dapat berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja dan pendapatan serta memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat
3.3.
Model SNSE Badan Pusat Statistik (2005) menjelaskan bahwa Sistem Neraca Sosial
Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM) adalah suatu sistem kerangka data yang dibuat dalam bentuk matrik yang dapat menggambarkan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat dan keterkaitan antara keduanya secara komprehensif, konsisten dan terintegrasi. SNSE merupakan sistem kerangka data yang komprehensif dan terintegrasi yang mencakup berbagai data ekonomi dan sosial dalam suatu kerangka data. Konsisten karena SNSE dapat menjamin keseimbangan dalam setiap neraca yang terdapat dalam suatu kerangka SNSE. Sebagai suatu sistem kerangka data SNSE bersifat modular yang dapat menghubungkan berbagai variabel ekonomi dan sosial di dalamnya, sehingga keterkaitan antarvariabel tersebut dapat diperlihatkan dan dijelaskan. Daryanto dan Hafizrianda (2010) mengungkapkan bahwa sumber-sumber data untuk membentuk SNSE adalah berasal dari Tabel Input Output (I-O), Statistik Pendapatan Nasional, dengan menunjukkan berbagai jenis transaksi dalam suatu sistem perekonomian. Jika Tabel I-O hanya menyajikan rekaman transaksi ekonomi tanpa menunjukkan latar belakang sosial dari pelaku transaksi tersebut, SNSE berupaya melakukan klasifikasi berbagai institusi berdasarkan latar
belakang
sosial-ekonomi pada
suatu
perekonomian
atau
aktivitas
fungsional. Sadoulet dan de Janvry (1995) didalam Daryanto dan Hafizrianda (2010) mengatakan bahwa Model SNSE ini sebenarnya merupakan perluasan dari
75 Model I-O dimana lingkup pemotretannya jauh lebih luas dan terperinci jika dibandingkan dengan Model I-O. Dalam Model I-O yang dipaparkan hanya arus transaksi ekonomi dari sektor produksi ke sektor faktor-faktor produksi, rumah tangga, pemerintah, perusahaan, dan luar negeri. Sedangkan dalam SNSE model tersebut di disagregasi lebih rinci. Sebagai contoh rumah tangga dapat di disagregasi
berdasar
tingkat
pendapatan;
atau
kombinasi
dari
tingkat
pendapatan dan lokasi pemukiman, dan lain-lain. Dalam Model SNSE juga dapat dimasukkan berbagai variabel makroekonomi seperti halnya pajak, subsidi, modal dan sebagainya sehingga Model SNSE bisa menggambarkan seluruh transaksi makroekonomi, sektoral dan institusi secara utuh dalam sebuah neraca. Keunggulan lain dari Model SNSE jika dibandingkan dengan Model I-O adalah bahwa Model SNSE mampu menggambarkan arus distribusi pendapatan dalam perekonomian. Daryanto dan Hafizrianda (2010) menambahkan, perbedaan lain yang cukup mendasar adalah dalam SNSE aktivitas faktor-faktor produksi, rumah tangga dan perusahaan ditempatkan sebagai variabel endogen. Sehingga dampak dari suatu kegiatan ekonomi tidak terbatas pada aktivitas produksi saja namun juga pada aktivitas faktor produksi, rumah tangga dan perusahaan.
3.3.1. Bentuk dan Arti Kerangka SNSE Menurut Wagner (1999) di dalam Daryanto dan Hafizrianda (2010), ada tiga keuntungan menggunakan Model SNSE dalam suatu perencanaan ekonomi. Pertama, SNSE mampu menggambarkan struktur perekonomian, keterkaitan antara aktivitas produksi, distribusi pendapatan, konsumsi barang dan jasa, tabungan dan investasi, serta perdagangan perdagangan luar negeri. Hal ini berarti Model SNSE dapat menjelaskan keterkaitan antara permintaan, produksi,
76 dan pendapatan didalam suatu kawasan perekonomian. Kedua, SNSE dapat memberikan suatu kerangka kerja yang bisa menyatukan dan menyajikan seluruh data perekonomian wilayah. Ketiga, dengan SNSE dapat dihitung multiplier perekonomian wilayah yang berguna untuk mengukur dampak dari suatu aktivitas terhadap produksi, distribusi pendapatan dan permintaan, yang menggambarkan struktur perekonomian. BPS (2005) seperti yang diungkapkan didalam Daryanto dan Hafizrianda (2010) mengungkapkan bahwa perangkat SNSE dapat digunakan sebagai data sosial ekonomi yang menjelaskan mengenai: 1.
Kinerja pembangunan ekonomi suatu negara, seperti halnya distribusi Produk Domestik Bruto (PDB), konsumsi, tabungan, dan sebagainya.
2.
Distribusi pendapatan faktorial, yaitu distribusi pendapatan yang dirinci menurut faktor-faktor produksi diantaranya tenaga kerja dan modal.
3.
Distribusi pendapatan rumah tangga yang dirinci menurut berbagai golongan rumah-tangga.
4.
Pola pengeluaran rumah-tangga.
5.
Distribusi tenaga kerja menurut sektor atau lapangan usaha dimana mereka bekerja, termasuk distribusi pendapatan tenaga kerja yang mereka peroleh sebagai kompensasi atas keterlibatannya dalam proses produksi.
Kerangka SNSE dasar berbentuk matrik dengan ukuran 4x4, bentuk dasar tersebut dapat dilihat pada Gambar 5. Lajur ke samping (menurut baris) menunjukkan penerimaan, sedangkan lajur ke bawah (menurut kolom) menunjukkan pengeluaran.
Dalam SNSE terdapat 4 (empat) neraca utama,
yaitu (1) neraca faktor produksi, (2) neraca institusi, (3) neraca sektor produksi, dan (4) neraca lainnya (rest of the world). Masing-masing neraca tersebut menempati lajur baris dan lajur kolom, perpotongan antara suatu neraca dengan
77 neraca lainnya memberikan arti tersendiri. Hubungan tersebut secara ringkas dapat dibaca pada Gambar 5. Neraca faktor-faktor produksi, termasuk didalamnya adalah tenaga kerja dan modal. Dibaca secara baris neraca ini memperlihatkan penerimaanpenerimaan yang berasal dari upah dan sewa, selain itu juga menggambarkan pendapatan remitance dan pendapatan modal. Sedangkan
secara
kolom
menunjukkan
adanya
revenue
yang
didistribusikan ke rumah tangga sebagai pendapatan tenaga kerja, distribusi ke perusahaan dan keuntungan yang bukan dari perusahaan, serta keuntungan perusahaan
setelah
dikurangi
pembayaran
pemerintah.
Neraca
institusi
mencakup rumah tangga, perusahaan dan pemerintahan. Dalam hal ini rumah tangga akan didisagregasi ke dalam kelompokkelompok sosial ekonomi yang saling berbeda tingkatannya. Penerimaan rumah tangga antara lain datang dari pendapatan faktor-faktor produksi, berbagai macam bentuk transfer seperti transfer pendapatan diantara rumah tangga itu sendiri, pendapatan dari pemerintah, dari perusahaan (biasanya berupa asuransi) atau dari luar negeri. Sementara itu pengeluaran rumah tangga ditujukan untuk konsumsi barang-barang dan pajak pendapatan, serta sebagian dimasukan untuk saving dalam neraca modal. Pada perusahaan, penerimaannya berasal dari keuntungan yang diperoleh dan sebagian dari transfer, sedangkan pengeluarannya kepada pembayaran pajak dan transfer. Untuk pemerintah pengeluarannya berupa subsidi, konsumsi barang dan jasa, transfer ke rumah tangga dan perumahan. Sebagian juga berupa saving. Di sisi lain penerimaannya berasal dari pajak dan transfer pendapatan dari luar negeri.
78 Pengeluaran
Neraca Endogen
Neraca Endogen
Penerimaan
Neraca Eksogen
Jumlah 5
Faktor
Institusi
Sektor
1
2
3
4
T13 Alokasi nilai tambah ke faktor produksi
T14 Pendapatan faktor produksi dari luar negeri
0
T24 Y2 Transfer dari Distribusi luar negeri pendapatan institusional
Faktor Produksi
1 0
0
Institusi
T21 Alokasi 2 pend. faktor ke institusi
T22 Transfer antar institusi
3 0
T32 T33 T34 Penerimaan Penerimaan Ekspor dan domestik antara investasi
Sektor Produksi
Neraca Eksogen
Jumlah
I1 Alokasi pendapatan 4 faktor ke luar negeri
I2 Tabungan pemerintah swasta dan rumah tangga Y’1 Y’2 Distribusi Distribusi 5 pengeluara pengeluara n faktor n institusi
I3 I4 Impor dan Transfer pajak tak lainnya langsung Y’3 Total input
Y1 Distribusi pendapatan faktorial
Y3 Total output menurut sektor produksi Y4 Total penerimaan neraca lainnya
Y’4 Total pengeluaran lainnya
Sumber : Thorbecke, 1988 : dimodifikasi
Gambar 5. Skema Sederhana SNSE
Neraca aktivitas (activity) atau sektor produksi (production) merupakan neraca yang menjelaskan tentang transaksi pembelian bahan-bahan mentah, barang-barang antara dan sewa untuk memproduksi suatu komoditi. Dibaca secara kolom semua transaksi tersebut merupakan pengeluaran yang meliputi permintaan antara, upah, sewa dan value added dari pajak. Sedangkan pada baris semua transaksi dianggap sebagai penerimaan yang meliputi penjualan domestik, subsidi ekspor dan penerimaan. Neraca terakhir adalah neraca eksogen yang memuat neraca modal dan transaksi luar negeri atau rest of world. Dalam neraca modal sisi penerimaan
79 (secara baris) berupa pemasukan dalam bentuk tabungan rumah tangga, swasta dan pemerintah.Sementara sisi pengeluaran (secara kolom), berupa investasi. Transaksi antara domestik dengan luar negeri juga dicatat dalam neraca terakhir yang memuat segala penerimaan yang berhubungan dengan luar negeri yang datang dari ekspor, transfer pendapatan institusi dari luar negeri, transfer pendapatan dari faktor-faktor produksi dan pemasukan modal dari luar negeri. Sedangkan pengeluarannya berupa impor, pembayaran faktor-faktor produksi dan transfer ke luar negeri. Jumlah pengeluaran dan penerimaan pada masingmasing neraca haruslah sama, hal ini menunjukkan bahwa dalam tabel SNSE selalu terdapat keseimbangan dari masing-masing neraca.
3.3.2. Kegunaan SNSE Kerangka
SNSE
dapat
digunakan
sebagai
kerangka
data
yang
menjelaskan mengenai kinerja pembangunan ekonomi suatu negara atau wilayah, seperti Produk Domestik Bruto (PDB) pada tingkat nasional atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tingkat regional, provinsi atau kabupaten, konsumsi, tabungan dan sebagainya seperti: 1.
Distribusi pendapatan faktorial, yaitu distribusi pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor produksi tenaga kerja dan modal.
2.
Distribusi pendapatan rumah tangga yang dirinci menurut berbagai golongan rumah tangga.
3.
Pola pengeluaran rumah tangga.
4.
Distribusi tenaga kerja menurut sektor atau lapangan usaha dimana mereka bekerja termasuk distribusi pendapatan tenaga kerja yang mereka peroleh sebagai balas jasa tenaga kerja yang mereka sumbangkan.
5.
Kebocoran
regional,
sumberdaya yang ada.
seperti
kebocoran
pendapatan
regional
dari
80 Model SNSE merupakan perluasan dari model I-O (Input-Output Model), dimana model ini memotret perekonomian pada suatu waktu tertentu. Ruang lingkup model SNSE jauh lebih luas dan terperinci dibandingkan dengan model Input-Output (IO). Model IO hanya menyajikan arus transaksi ekonomi dari sektor produksi ke sektor faktor produksi, rumah tangga, pemerintah, perusahaan dan luar negeri, sedangkan dalam model SNSE hal-hal tersebut didisagregasi secara lebih rinci. Misalnya, rumah tangga dapat didisagregasi berdasarkan tingkat pendapatan atau kombinasi dari tingkat pendapatan dan lokasi pemukiman, dan seterusnya. Di samping itu dalam model SNSE dapat dimasukkan beberapa variabel makroekonomi, seperti: pajak, subsidi, modal dan sebagainya, sehingga model SNSE dapat menggambarkan seluruh transaksi makroekonomi, sektoral dan institusi secara utuh dalam sebuah neraca. Keunggulan lain dari model SNSE dibanding model IO adalah bahwa model SNSE mampu menggambarkan arus model
distribusi pendapatan IO,
dalam
perekonomian.
Sama halnya
dengan
model SNSE juga merupakan sebuah matriks bujursangkar yang
terdiri atas kolom dan baris. Kolom menjelaskan transaksi pengeluaran dan baris menjelaskan transaksi penerimaan. Total nilai transaksi pada kolom harus Sama dengan total nilai transaksi pada baris agar syarat keseimbangan terpenuhi. Keutamaan perekonomian agregat dapat dipastikan secara langsung dari kerangka makro
SNSE. Oleh
karenanya,
penciptaan
nilai tambah oleh
aktivitas produksi domestik yang menghasilkan GDP ditemui dalam sel (3, 2), pengeluaran konsumsi akhir oleh rumah tangga disajikan dalam sel (1, 4) dan seterusnya. Hal tersebut membedakan aktivitas produksi dari komoditaskomoditas yang mereka hasilkan. Ini berarti bahwa aktivitas-aktivitas tersebut berasal dari dua komponen Tabel IO, yaitu : matriks penggunaan komoditas dan matriks penawaran komoditas.
81 3.3.3. Asumsi dan Keterbatasan Model Menurut Wagner (1999) dalam Daryanto dan Hafizrianda (2010) menyatakan bahwa ada beberapa keuntungan dalam menggunakan model SNSE dalam perencanaan ekonomi yaitu: (1) SNSE dapat mendeskripsikan struktur
perekonomian,
keterkaitan
antara
aktivitas
produksi,
distribusi
pendapatan, konsumsi barang/jasa, tabungan dan investasi, serta perdagangan luar negeri. Dengan demikian model SNSE dapat menjelaskan keterkaitan antara permintaan, produksi, serta pendapatan didalam suatu kawasan perekonomian, (2) SNSE bisa menyajikan suatu kerangka kerja yang bisa menyatukan dan menyajikan seluruh data perekonomian wilayah, (3) SNSE bisa menghitung multiplier perekonomian wilayah, yang berguna untuk mengukur dampak dari suatu aktivitas terhadap produksi, distribusi pendapatan, dan permintaan yang menggambarkan struktur perekonomian. Namun disadari bahwa setiap model mempunyai keunggulan dan kelemahan dalam menganalisis suatu fenomena ekonomi. Hal ini didasarkan pada asumsi yang digunakan. Menurut Heriawan (2004), asumsi pada model SNSE adalah sebagai berikut: (1) keseluruhan kegiatan ekonomi nasional atau regional, dibagi habis (menurut klasifikasi tertentu) ke dalam sektor dan institusi, (2) SNSE adalah suatu keseimbangan umum. Oleh karena itu, jumlah penerimaan (incoming) dan jumlah pengeluaran (outgoing) dari masing-masing sektor/ institusi berimbang, (3) pendistribusian koefisien antar sektor-institusi berlaku konstan dan tidak akan bergeser dalam jangka pendek. Selanjutnya, dengan asumsi yang disebutkan di atas, membawa konsekuensi akan keterbatasan model untuk memprediksi atau menganalisis suatu fenomena ekonomi. Keterbatasan yang perlu mendapat perhatian pada model SNSE adalah:
82 1.
Tidak ada pembatasan penawaran artinya kebutuhan barang dan jasa untuk memenuhi konsumsi dan investasi selalu dapat dipenuhi demikian juga kebutuhan sumberdaya (faktor produksi) untuk memenuhi peningkatan produksi selalu dapat dipenuhi.
2.
Harga relatif, artinya bahwa perbandingan harga antara harga input dan harga output berlaku konstan.
3.
Hubungan antar sektor/ institusi bersifat proporsional dan konstan.
4.
Model SNSE menjadi model statik yang koefisien/parameternya bersifat konstan dan tidak mengakomodir terjadinya pergeseran peran antar sektor/ institusi.
3.4.
Investasi infrastruktur Transportasi dan Pertumbuhan Ekonomi Menurut Mankiw (2007), pengeluaran untuk konsumsi barang bertujuan
untuk menyediakan kebutuhan rumah tangga saat ini, sedangkan pengeluaran untuk barang-barang investasi bertujuan meningkatkan standar hidup untuk tahun-tahun mendatang. Investasi adalah komponen Gross Domestic Product (GDP) yang mengaitkan masa kini dan masa depan. Dengan demikian, dalam perekonomian nasional ataupun wilayah investasi merupakan tindakan yang ditujukan untuk tujuan perbaikan-perbaikan ekonomi pada masa yang akan datang.
3.4.1. Evaluasi Ekonomi Proyek Transportasi Menurut Banister and Berechman (2000), dengan tingkat pengetahuan saat ini sangat sulit untuk menentukan dengan jelas bahwa peningkatan stok kapital publik (termasuk infrastruktur transportasi) akan mendorong adanya pertumbuhan ekonomi. Untuk menjawab berbagai persoalan diatas, penelitian Banister tersebut berusaha untuk memberikan penjelasan teoritis tentang
83 hubungan potensial antara investasi sektor transportasi dan pertumbuhan ekonomi. Lebih jauh lagi didalam penelitian tersebut berusaha dijelaskan tentang elemen-elemen
kunci
proses
evaluasi
yang
mempengaruhi
pengukuran
keuntungan dari dari adanya proyek infrastruktur transportasi. Penelitian tersebut juga menginvestigasi dampak lanjut dari efek pertumbuhan ekonomi potensial. Didalam studi tersebut, pendekatan dominan yang digunakan untuk melakukan evaluasi proyek ini adalah Benefit Cost Analysis (BCA). Esensi dari pendekatan ini adalah penghitungan sistematis dan perbandingan keuntungan serta biaya yang bervariasi yang diakibatkan oleh proyek. Didalam salahsatu bahasan di penelitiannya, Banister and Berechman (2000) menyimpulkan bahwa investasi kapital di sektor transportasi tidak secara otomatis memberikan keuntungan berupa pertumbuhan ekonomi. Yang ada, dalam kondisi tertentu, investasi ini memang memberikan eksternalitas potisif, misalkan berupa peningkatan aksesibilitas, berkembangnya jaringan jalan, semakin pendeknya waktu tempuh dalam melakukan perjalanan, serta dampak positif lain berupa perbaikan lingkungan. Relokasi spasial berupa aktivitas tataguna
lahan
sebagai
akibat
investasi,
tidak
bisa
dianggap
sebagai
pertumbuhan ekonomi.
3.4.2. Dampak Ekonomi Infrastruktur Transportasi Jalan memiliki peran fundamental dalam pembangunan kota dan wilayah, karena jalan membuka aksesibilitas dan membuat suatu lokasi menjadi menarik secara ekonomi. Investasi dalam pembangunan jalan diarahkan keluar kota ditujukan untuk dan mengurangi ketertarikan orang akan pusat kota dan mengurangi beban kota. Investasi pembangunan jalan baru umumnya diarahkan pada suatu koridor dimana sedang didorong perkembangannya, atau di lokasi di sekitar kota untuk membentuk jaringan transportasi dalam kota. Investasi jalan ini
84 akan mendorong pembangunan ke arah lingkar luar kota. Pembukaan akses jalan ke koridor pembangunan yang baru akan menarik pengembang perumahan karena harga lahan luar kota yang lebih murah, perawatan lahan yang lebih mudah, ongkos pembangunan yang lebih murah, lokasi dapat dicari kendaraan dan kualitas lingkungan relatif lebih baik dibandingkan di pusat kota. Tidak mengherankan jika investasi pembangunan jalan baru diluar pusat kota akan mendorong pembangunan di lingkar luar kota (hinterland). Dalam studi yang dilakukan oleh Banister and Berechman (2000), diungkapkan debat tentang dampak ekonomi pembangunan jalan dengan mengambil 3 contoh proyek pembangunan jalan: Jalan Lingkar Luar London M25 (M25 London Orbital Motorway), Jalan A71 Prancis (French A71), dan Jalan Lingkar Luar Amsterdam (Amsterdam Orbital Motorway). Pada kasus M25 London Orbital Motorway, perdebatan terjadi antara kelompok pro yang berargumen pembangunan Jalan penting untuk mendorong pembangunan dan perbaikan ekonomi. Disisi lain, kelompok kontra menentangnya karena pembangunan jalan dikawatirkan akan mengikis sabuk hijau dan ruang terbuka di lingkar luar kota. Dalam kurun 3 tahun setelah pembukaan jalan, M25 London Orbital Motorway telah memenuhi kapasitasnya. Menurut penelitian yang dilakukan Banister dan Berechman tersebut, pertumbuhan lalu-lintas terjadi karena kebijakan pemindahan arus lalu-lintas, pertumbuhan lalu lintas baru dan lalu lintas yang berasal dari wilayah baru yang aksesibilitasnya menjadi lebih baik. Seiring pembangunan M25 London Orbital Motorway dampak positif berupa tersedianya lapangan kerja konstruksi mulai dirasakan masyarakat sekitar lokasi proyek. Pertumbuhan aktivitas di koridor pengembangan jalan juga lambat laun terlihat. Termasuk didalam strategi pengembangan lanjut di proyek ini adalah eksplorasi pengembangan pusat-pusat baru untuk ‘pembangunan ramah lingkungan (green development) untuk membangun taman ilmu pengetahuan
85 dan pusat rekreasi. Ada beberapa tipe pembangunan yang diharapkan tumbuh setelah pembangunan M25 London Orbital Motorway, yaitu: pembangunan komplek pergudangan nasional dan regional, industri teknologi tinggi, komplek perkantoran pendukung, hypermarket/superstore, dan komplek pertokoan. Lebih jauh lagi, di dalam penelitian yang sama tersebut dimaksudkan untuk mencari jawaban tentang hubungan antara investasi sektor transportasi, aktivitas ekonomi dan pembangunan. Sayangnya dalam studi kasus yang diungkapkan faktor-faktor tersebut tidak diinvestigasi dalam satu kerangka kerja dan oleh karena itu agak sulit untuk menilai apakah investasi ini mendorong aktivitas ekonomi yang baru. Sebagai tambahan, peran penting proses perumusan kebijakan dalam mempengaruhi variabel-variabel ini juga tidak jelas, karena kita menyepelekannya, padahal proses tersebut merupakan faktor kunci untuk
mengetahui
hubungan
antara
investasi
sektor
transportasi
dan
pembangunan ekonomi. Secara umum, keputusan untuk berinvestasi di sektor jalan yang dibahas dalam tulisan Banister and Berechman (2000) tidak berusaha untuk mengkuantifikasi dampak investasi terhadap aktivitas ekonomi dan pembangunan namun hanya fokus pada biaya dan keuntungan transportasi, terutama melalui perubahan waktu perjalanan.
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1.
Kerangka Sederhana SNSE Matriks SNSE dapat menggambarkan keterkaitan antar sektor, distribusi
pendapatan (factorial distribution dan income distribution), dan pengaruh dari konsumsi, investasi, serta ekspor-impor terhadap pendapatan regional dan kesempatan kerja. Dalam perjalan waktu, Thorbecke (1998) mengembangkan neraca-neraca dalam SNSE sederhana menjadi enam tipe neraca, yakni: (1) neraca aktivitas produksi, (2) neraca komoditas, (3) neraca faktor produksi, (4) neraca institusi, (5) neraca modal (kapital), dan (6) neraca Rest of The World. Neraca aktivitas produksi merupakan neraca yang berkaitan dengan transaksi pembelian row material, intermediate goods, dan sewa faktor produksi untuk menghasilkan barang dan jasa (komoditas). Pada baris neraca aktivitas (penerimaan aktivitas) meliputi hasil penjualan komoditas pada pasar domestik dan pasar luar negeri, serta penerimaan subsidi ekpor dari pemerintah. Pada kolom neraca aktivitas (pengeluaran aktivitas) meliputi pengeluaran untuk impor, biaya-biaya dari jasa perdagangan, dan pembayaran pajak tidak langsung. Neraca institusi oleh Thorbecke (1998) dipecah lagi menjadi tiga neraca, yaitu: (1) rumah tangga, (2) perusahaan, dan (3) pemerintah. Baris neraca rumah tangga meliputi penerimaan atas kompensasi tenaga kerja, keuntungan atas modal, transfer antara rumah tangga, penerimaan transfer dari perusahaan (berupa asuransi), transfer dari pemerintah, dan transfer luar negeri. Sedangkan kolom neraca rumah tangga meliputi
pengeluaran
konsumsi, transfer antar
rumah tangga, transfer kepada perusahaan, pembayaran pajak langsung, dan
87 tabungan
pada
neraca
modal.
Selanjutnya,
baris
neraca
perusahaan
(penerimaan perusahaan) meliputi laba yang ditahan, transfer dari rumah tangga, dan transfer pemerintah. Sedangkan kolom neraca perusahaan (pengeluaran perusahaan) meliputi transfer kepada rumah tangga, pembayaran pajak, dan tabungan perusahaan pada neraca kapital. Baris neraca pemerintah meliputi semua penerimaan pajak, yakni pajak nilai tambah, pajak tidak langsung, pajak pendapatan, pajak langsung, dan pajak keuntungan dari perusahaan. Sedangkan kolom neraca pemerintah meliputi pengeluaran subsidi ekspor, belanja barang dan jasa, transfer kepada rumah tangga dan perusahaan, serta tabungan pemerintah. Sisi penerimaan dari neraca kapital meliputi tabungan bruto yang terdiri dari tabungan rumah tangga, tabungan perusahaan, dan tabungan pemerintah serta netborrowing dari luar negeri yang merupakan sumber pembiayaan investasi riil domestik sedangkan sisi pengeluarannya meliputi investasi riil domestik dan netlending ke luar negeri. Secara matematis, keempat neraca tersebut disusun dalam bentuk matriks, yang terdiri atas baris dan kolom. Neraca baris menunjukkan penerimaan dan neraca kolom menggambarkan pengeluaran. Setiap sel (perpotongan antara baris dan kolom) menggambarkan interaksi antara neraca. Secara matematis, keempat neraca tersebut disusun dalam bentuk matriks, yang terdiri atas baris dan kolom. Neraca baris menunjukkan penerimaan dan neraca kolom menggambarkan pengeluaran. Setiap sel (perpotongan antara baris dan kolom) menggambarkan interaksi antara neraca. Makna dari setiap sel terdapat di dalam Tabel 3.
88
Tabel 3. Kerangka Data Matriks SNSE Pengeluaran
Faktor Produksi
Institusi
Sektor Produksi
Neraca Eksogen
Total
1 T11
2 T12
3 T13
4 X14
5 Y1
0 T21
0 T22
T23
X24
Y2
T31
T32
0 T33
X34
Y3
0 X41
X42
X43
X44
Y4
Y’1
Y’2
Y’3
Y’4
Penerimaan Faktor Produksi Institusi Sektor Produksi Neraca Eksogen Total
1 2 3
4
5
Sumber: Thorbecke (1988)
Dari Kerangka Data matriks SNSE Tabel 3 di atas dapat dirumuskan persamaan matriks pendapatan dan pengeluaran neraca endogen secara agregat sebagai berikut: Y=T+X
……………………………..............................................
(4.1)
Dimana Matriks Y atau matriks permintaan akhir yang terdiri atas perintaan untuk konsumsi rumah tangga (C), pemerintah (G), investasi (I), dan Ekspor (X). Matriks T atau matriks transaksi input antara, dan X atau matriks input primer yang terdiri dari atas upah/gaji (W), surplus usaha (S), penyusutan (D) dan pajak tidak langsung/minus subsidi (T). Jika struktur sederhana SNSE dilihat secara baris maka dapat diperoleh distribusi pendapatan blok blok neraca endogen dan neraca eksogen dan dapat dirumuskan sebagai berikut:
89
Y1 = T13 + X14
………………………………………………………
(4.2)
Y2 = T21 + T22 + X24
………………………………….……………
(4.3)
Y3 = T32 + T33 + X34
………………………………………………
(4.4)
…………………………………..........
(4.5)
Y4 = X41 + X42 + X43 + X44
Persamaan (4.2) menunjukkan pendapatan blok neraca faktor produksi (tenaga kerja dan kapital) atau disebut juga sebagai distribusi pendapatan faktorial. Sedangkan persamaan (4.3) menunjukkan pendapatan blok neraca institusi atau disebut
sebagai
distribusi
pendapatan
institusional,
persamaan
(4.4)
menunjukkan pendapatan blok sektor atau aktivitas produksi atau distribusi pendapatan sektoral. Persamaan (4.2) sampai dengan persamaan (4.4) merupakan pendapatan dari blok neraca endogen. Selanjutnya persamaan (4.5) menunjukan total pendapatan blok neraca lainnya sebagai neraca eksogen. Selanjutnya, distribusi pengeluaran neraca endogen dan neraca eksogen dirumuskan sebagai berikut: Y’1 = T21 + X41
………………………………….............................
(4.6)
Y’2 = T22 + T32 + X42 …....................................................................
(4.7)
Y’3 = T13 + T23 + T33 + X43
…………………………………….....
(4.8)
Y’4 = X14 + X24 + X34 + X44
………………………………………
(4.9)
Persamaan (4.6) menunjukkan total pengeluaran blok neraca faktor-faktor produksi (factorial). Sedangkan persamaan (4.7) menunjukkan total pengeluaran blok neraca institusional, persamaan (4.8) menunjukkan total pembelanjaan input oleh blok neraca sektor-sektor produksi; dan persamaan (4.9) menunjukan total pengeluaran blok neraca lainnya (eksogen). Sebenarnya model SNSE merupakan perluasan dari model Input-output. Namun demikian model ini memiliki sejumlah keterbatasan yang melekat pada
90
asumsi-asumsi dari model. Adapun asumsi-asumsi yang digunakan adalah: (1) seluruh produk yang dihasilkan oleh setiap sektor habis dikonsumsi pada periode tertentu, (2) hubungan input-output dalam kegiatan produksi bersifat linier atau constant return to scale, (3) tidak ada substitusi antara faktor produksi yang digunakan, (4) suatu kelompok produk tidak dihasilkan bersama-sama oleh dua perusahaan atau lebih, (5) harga konstan, (6) tidak ada eksternalitas negatif, dan (7) perekonomian dalam keadaan keseimbangan. Sekalipun SNSE memiliki sejumlah keterbatasan, namun model ini telah digunakan secara luas, yang antara lain oleh Marko Nokkala (2000) dalam penelitiannya yang berkaitan dengan kebijakan investasi sektor pertanian di Zambia serta oleh Iqbal dan Siddiqui (2002) untuk menganalisis dampak penyesuaian struktural terhadap ketidakmerataan pendapatan (income inequity) di Pakistan. Argumentasi umum yang kemukakan dalam menggunakan model SNSE
adalah
bahwa
model
ini
dapat
memotret
keterkaitan
aktivitas
perekonomian pada suatu region atau interregional dengan disagregasi yang luas
sehingga
dapat
diperoleh
obyek
yang
beragam.
Wagner
(1998)
mengemukakan tiga alasan mengapa ia memakai model SNSE, yaitu: (1) model SNSE dapat menjelaskan keterkaitan antara aktivitas produksi, distribusi pendapatan, konsumsi barang dan jasa, tabungan dan investasi, serta perdagangan luar negeri, (2) SNSE dapat memberikan suatu kerangka kerja yang bisa menyatukan dan menyajikan seluruh data perekonomian wilayah, dan (3) dengan SNSE dapat dihitung multiplier perekonomian wilayah yang berguna untuk
mengukur
dampak
dari
ecotourism
terhadap
produksi,
distribusi
pendapatan dan permintaan, yang menggambarkan struktur perekonomian.
91
4.2.
Kerangka Analisis Pengganda SNSE Analisis pengganda di dalam model SNSE dapat dibagi ke dalam dua
kelompok besar, yaitu: pengganda neraca (accounting multiplier) dan pengganda harga tetap (fixed price multiplier). Analisis accounting multiplier pada dasarnya sama dengan pengganda dari Leontief Inverse Matrix yang terdapat dalam model Input-Output. Ini berarti bahwa semua analisis pengganda yang terdapat dalam model Input-Output seperti own multiplier, other linkage multiplier dan pengganda total dapat digunakan dalam analisis SNSE. Sedangkan analisis fixed price multiplier mengarah pada analisis respon rumah tangga terhadap perubahan Neraca Eksogen dengan memperhitungkan expenditure propensity (Isard et al., 1998). Selanjutnya apabila diasumsikan bahwa besarnya kecenderungan ratarata pengeluaran, Aij, merupakan perbandingan antara pengeluaran sektor ke-j untuk sektor ke-i dengan total pengeluaran ke-j (Yj), maka: Aij = Tij / Yj
…………………………………………………............. (4.10)
atau dalam bentuk matriks adalah :
⎡ 0 A = ⎢⎢ A21 ⎢⎣ 0
0 A22 A32
A13 ⎤ 0 ⎥⎥ …………………........................................... (4.11) A33 ⎥⎦
Apabila persamaan (3.10) dibagi dengan Y, maka diperoleh: Y/Y = T/Y + X/Y
……………………………………………………… (4.12)
Selanjutnya persamaan (4.10) disubsitusikan ke persamaan (4.12) sehingga menjadi: I = A + X/Y I – A = X/Y (I – A)Y = X
92 Y = (I – A)-1 X
……………………………………………………..... (4.13)
Jika, Ma = (I – A)-1 maka: Y = Ma X
....................................................................................... (4.14)
Dalam hal ini A adalah koefisien-koefisien yang menunjukkan pengaruh langsung (direct coefficients) dari perubahan yang terjadi pada suatu sektor terhadap sektor lainnya. Sementara itu Ma adalah pengganda neraca (accounting multiplier) yang menunjukkan pengaruh perubahan suatu sektor terhadap sektor lainnya dari seluruh SNSE. Pyatt and Round (1985) melakukan dekomposisi terhadap pengganda neraca agar mendapatkan dampak langsung dan tidaklangsung yang dalam bentuk multiplikatif: Ma = Ma3 Ma2 Ma1
……………………………………………… (4.15)
atau secara aditif dapat ditulis: Ma = I + Ma1 - I + (Ma2 - I) Ma1 + (Ma3 - I) Ma2 Ma1
………………. (4.16)
Ma1 adalah transfer multiplier, yang menunjukkan pengaruh dari satu blok neraca terhadap dirinya sendiri, yang dirumuskan sebagai berikut: Ma1 = (I – A0 )–1
……………………………………………..…… (4.17)
dimana:
⎡0 A = ⎢⎢0 ⎢⎣0 0
0 A22 0
0 ⎤ 0 ⎥⎥ A33 ⎥⎦
………………………………………………… (4.18)
sehingga:
M a1
0 0 ⎤ ⎡0 ⎥ ……………………………….. (4.19) ⎢ −1 0 = ⎢0 ( 1 − A22 ) ⎥ ⎢⎣0 0 ( 1 − A33 ) −1 ⎥⎦
93 Selanjutnya Ma2 adalah open loop multiplier atau cross effect yang menunjukkan pengaruh langsung dari satu blok ke blok lain. Dalam hal ini Ma2 dapat dirumuskan: Ma2 = (I + A* + A*2)
……………………………………………… (4.20)
dimana A* = (I – A0)-1 (A – A0) Oleh karena: A*13 = A13 A*21 = (I – A22)-1 A21 A*32 = (I – A33)-1 A32 maka Ma2 dapat ditulis sebagai berikut:
M a2
⎡ 1 ⎢ = ⎢ A* 21 ⎢ A* 32 A* 21 ⎣
A* 13 A* 32 1 A* 32
A* 13 ⎤ ⎥ A* 21 A* 13 ⎥ 1 ⎥⎦
……………………… (4.21)
Proses open loop multiplier antara blok nampak pada Gambar 7. Gambar ini menunjukkan bahwa apabila injeksi awal terjadi pada peningkatan permintaan ekspor (X3), maka output yang terkait dengan blok aktivitas produksi (Y3) akan
meningkat,
kemudian
memberikan
pengaruh
berikutnya
terhadap
pendapatan pada blok faktor produksi (Y1) dengan nilai pengganda sebesar A13. Selanjutnya,
peningkatan
pendapatan
pada
blok
faktor
produksi
akan
memberikan pengaruh lanjutan terhadap pendapatan pada blok institusi (Y2) dengan nilai pengganda sebesar A*21, dan selanjutnya akan meningkatkan pendapatan blok produksi dengan nilai pengganda sebesar A*32. Apabila injeksi awal bersumber dari peningkatan pendapatan blok faktor produksi yang berasal dari luar negeri (X1), maka injeksi ini akan berpengaruh terhadap pendapatan pada blok institusi dengan nilai pengganda sebesar A*21 dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap pendapatan pada blok aktivitas produksi dengan nilai pengganda A*32 (Gambar 6).
94 Peningkatan pendapatan pada blok aktivitas produksi akan berpengaruh terhadap pendapatan pada blok faktor produksi dengan nilai pengganda sebesar A13. Apabila injeksi berawal dari peningkatan pendapatan blok non faktor produksi yang berasal dari luar negeri (X2), maka injeksi ini akan berpengaruh terhadap pendapatan pada blok aktivitas produksi dengan nilai pengganda sebesar A*32 dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap pendapatan pada blok faktor produksi dengan nilai pengganda A13. Peningkatan pendapatan pada blok faktor produksi akan berpengaruh terhadap pendapatan pada blok institusi dengan nilai pengganda sebesar A*21. Y3 Aktivitas Produksi
(I-A33)-1X3 X3= permin taan ekspor
A*13=A13
A*32=(I-A33)1 A32
Y2 Distribusi pendapatan institusi
A
*
21=(I-A22) 1 A21
-
(I-A22)-1X2 X2= pend. non-faktor dari luar negeri
Y1 Distribusi pendapatan faktor produksi
X1= pend faktor dari luar negeri
Sumber : Thoerbecke (1998)
Gambar 6. Proses Pengganda Antara Neraca Endogen SNSE
Terakhir, Ma3 merupakan closed loop multiplier yang menunjukkan pengaruh dari satu blok ke blok lain, kemudian kembali pada blok semula. Dalam bentuk matriks Ma3 dapat ditulis sebagai berikut:
95 Ma3 = (I – A*3)-1 ................................................................................ (4.22) Persamaan (3.23) secara rinci dapat ditulis sebagai berikut:
⎡( 1 − A* 13 A* 32 A* 32 )−1 ⎤ 0 0 ⎢ ⎥ * * * −1 M a3 = ⎢ 0 ( 1 − A 13 A 32 A 32 ) 0 ⎥ ... (4.23) * * * − 1 ⎢ 0 0 ( 1 − A 13 A 32 A 32 ) ⎥⎦ ⎣ Dekomposisi
pengganda
neraca
tidak
hanya
dilakukan
dengan
pendekatan rata-rata, tetapi juga dapat dilakukan dengan pendekatan marjinal. Dekomposisi pengganda neraca dengan pendekatan marjinal memerlukan suatu matriks yang disebut marginal expenditure propensities yang dinotasikan dengan C. Matriks C dibentuk berdasarkan asumsi harga tetap, sehingga pengganda yang diperoleh dengan cara ini seringkali disebut pengganda
harga tetap.
Secara matematis matriks C dirumuskan sebagai: C = ∂T/∂Y
……………………………………………………… (4.24)
Secara rinci ditulis sebagai:
0 ⎡ 0 ⎢ C = ⎢C 21 C 22 ⎢⎣ 0 C32
0 ⎤ 0 ⎥⎥ C33 ⎥⎦
……………………………………… (4.25)
karena Y = T + X, maka: ∂Y = ∂T + ∂X
……………………………………………………… (4.26)
dengan demikian: ∂Y = C∂T + ∂X ∂Y = (I – C)-1 ∂X
…………………………………………… (4.27)
atau ∂Y = Mc ∂X Dimana
Mc
adalah
…………………………………………………… (4.28) pengganda
harga
tetap,
yang
selanjutnya
dapat
didekomposisi ke dalam Mc1 (transfer multiplier), Mc2 (open loop mutiplier), dan Mc3 (closed loop multiplier), sehingga:
96 Mc = Mc3Mc2Mc1 ............................................................................... (4.29) Bentuk matriks Mc3, Mc2, Mc1 SNSEa seperti pada matriks dekomposisi sebelumnya, hanya saja yang digunakan disini adalah marjinal pengeluaran.
4.3.
Metode Penyusunan SNSE Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa model SNSE
merupakan pengembangan dari model Input-Output. Oleh karena itu tabel InputOutput Jawa Barat tahun 2010 digunakan sebagai data dasar (benchmark) dalam penyusunan matriks SNSE Jawa Barat tahun 2010. Selain tabel Input-Output dimana umumnya data Input-Output tersebut disusun dan diterbitkan pada interval waktu yang panjang (antara 5 tahun atau lebih), penyusunan SNSE Jawa Barat juga memerlukan data pendukung lainnya untuk mengisi sel sel di dalam mariks yang tidak disediakan oleh tabel InputOutput. Data data pendukung tersebut antara lain adalah data-data pendukung yang berasal dari hasil kompilasi yang dilakukan oleh BPS seperti data pendapatan regional seperti PDRB menurut penggunaan dan PDRB menurut sektoral tersedia setiap tahun dan bahkan triwulanan. Data-data pendukung lainnya diperoleh dari berbagai sumber, antara lain: sensus penduduk 2010, survei sosial ekonomi nasional (susenas) tahun 2010, sensus/survei industri, survei tenaga kerja (Sakernas), survei dibidang sektor pertanian seperti struktur ongkos usaha tani (SOUT) pertanian, survei perkebunan, laporan keuangan pemerintah, statistik ekspor dan statistik impor (neraca pedagangan) serta survei khusus tabungan dan investasi rumah tangga (SKTIR). Model SNSE yang dibangun pada tingkat nasional maupun daerah juga banyak yang masih agregat. Untuk mendapatkan SNSE per tahun dan yang didisagregasi secara lebih rinci dapat dilakukan dengan berbagai metode antara lain metoda RAS dan Cross-Entropy.
97 Dengan metoda RAS dapat dibangun matriks A yang baru (A1) berukuran n x n dari matriks A yang lama (A0) dengan mengaplikasikan multiplier baris (r) dan kolom (s). Apabila T adalah matriks transaksi SNSE, dimana tij adalah nilai sel yang memenuhi kondisi Tj =
∑t
ij
. Koefisien matriks SNSE (A), dibangun dari
i
matriks transaksi (T) dibagi dengan sel-sel dalam setiap kolom dari T dengan jumlah total kolom, yakni:
aij =
tij
tj
.......................................................................................... (4.65)
Pendekatan klasik untuk memecahkan masalah untuk membangun suatu matriks baru (A1) dari matriks lama (A0) dikenal dengan operasi proporsional ganda (biproportional) baris dan kolom, dinyatakan sebagai berikut:
aij1 = ri aij0 s j ........................................................................................ (4.66) Dalam notasi matriks dinyatakan sebagai berikut:
~ ~ A1 = RA0 S ....................................................................................... (4.67) Dimana (~) mengindikasikan elemen matriks diagonal ri dan s 2j . Metoda RAS merupakan suatu algoritma yang bersifat iteratif dari penyesuaian proporsional ganda. Langkah-langkah dalam operasional metoda RAS dinyatakan sebagai berikut: Langkah ke-1
ai1 =
xˆ j xˆ i ⇒ xij1 = ai1 xij0 ⇒ b1j = ⇒ xij2 = b1j xij1 ......................... (4.68) 0 1 ∑ xij ∑ xij j
Langkah ke-2
i
98
ai2 =
xˆ j xˆ i ⇒ xij3 = ai2 xij2 ⇒ b 2j = ⇒ xij4 = b 2j xij3 ....................... (4.69) 2 3 ∑ xij ∑ xij j
i
....... sampai dengan langkah ke-t Langkah ke-t
ait =
xˆ i ⇒ xij2t −1 = ait xij2t −2 ⇒ b tj = t −2 x ∑ ij j
xˆ j
∑ xij2t −1
⇒ xij2t = b tj xij2t −1 ......... (4.70)
i
Proses ini dilakukan sampai dengan diperoleh iterasi yang konvergen. Langkahlangkah ini dapat diringkas sebagai berikut:
⎛ t −1 ⎞⎛ t ⎞ xij2t −1 = ⎜⎜ ∏ b hj ⎟⎟⎜⎜ ∏ aik ⎟⎟ xij0 , untuk rank nilai ganjil, xij1 , xij3 , xij5 ,... ........ (4.71) ⎝ h =1 ⎠⎝ k =1 ⎠ ⎛ t ⎞⎛ t ⎞ xij2t = ⎜⎜ ∏ b hj ⎟⎟⎜⎜ ∏ aik ⎟⎟ xij0 , untuk rank nilai genap, xij2 , xij4 , xij6 ,... ......... (4.72) ⎝ h =1 ⎠⎝ k =1 ⎠ ⎛ t k ⎞ ⎛ t h ⎞ t t = = A a B ⎜ ⎟ dengan i ⎜ ∏ i ⎟ dan i ⎜⎜ ∏ b j ⎟⎟ ⎝ k =1 ⎠ ⎝ h =1 ⎠
⇒ xij2t −1 = Ait B tj−1 xij0 ; untuk rank nilai ganjil, xij1 , xij3 , xij5 ,... ⇒ xij2t = Ait B tj xij0 ; untuk rank nilai genap, xij2 , xij4 , xij6 ,...
........................ (4.73) ........................... (4.74)
Ketika ada suatu solusi, metoda RAS mempunyai keunggulan karena aplikasinya sederhana. Tetapi, kesederhanaan ini memiliki banyak kelemahan, yakni:
(1)
memiliki
fondasi
ekonomi
yang
lemah;
(2)
tidak
mampu
mengakomodasi sumber-sumber data lainnya selain total baris dan kolom. Disebabkan oleh kelemahan tersebut, maka banyak peneliti yang menggunakan metoda Cross-Entrophy untuk updating dan balancing SNSE. Namun demikian, metoda RAS banyak digunakan oleh peneliti untuk updating dan balancing Tabel Input-Output.
99 Metoda Cross-Entropy
merupakan perluasan dari metoda RAS, dimana
metoda Cross-Entropy lebih fleksibel dan unggul untuk mengestimasi SNSE ketika data scattered (tersebar) dan tidak konsisten. Sementara itu metoda RAS mengasumsikan bahwa estimasi dimulai dari suatu SNSE terdahulu yang konsisten dan hanya mengetahui tentang total baris dan kolom. Kerangka CrossEntropy mengacu pada rentang informasi terdahulu yang lebih luas untuk digunakan secara efisien dalam estimasi (Robinson et al., 1998). Ada dua pendekatan yang digunakan dalam penerapan model CrossEntropy, yaitu pendekatan deterministik dan pendekatan stokastik. Pendekatan deterministik digunakan apabila terdapat ketergantungan yang bersifat fungsional antara satu peubah dengan peubah lainnya. Sedangkan pendekatan stokastik digunakan apabila terdapat ketergantungan yang bersifat random antara satu peubah dengan peubah lainnya (Robinson et al., 1998; Robinson dan El-Said, 2000). Penelitian ini menggunakan metoda Cross-Entropy dengan pendekatan deterministik, sebab estimasi SNSE hanya dilakukan pada tahun tertentu, serta ketergantungan antar yang akan didisagregasi bersifat fungsional. Langkah pertama dari metoda Cross-Entropy dengan pendekatan deterministik adalah mendefinisikan matriks T sebagai suatu matriks transaksi SNSE, dimana tij adalah aliran pengeluaran dari neraca kolom j ke naraca baris i yang memenuhi kondisi:
yi = ∑ tij = ∑ t ji ………................................................................... (4.75) j
j
Pada suatu SNSE, setiap jumlah baris ( y i ) harus sama dengan jumlah kolom ( y *j ), dimana koefisien matriks A dapat dibentuk dari setiap sel pada
100 matriks T dibagi dengan jumlah kolomnya. Secara matematis hal ini dirumuskan sebagai berikut:
tij
Aij =
yj
.............................................................................................. (4.76)
Kullback dan Leibler (1951) mengaplikasikan ukuran jarak cross-entropy antara dua distribusi probabilitas dalam mengestimasi SNSE. Hal ini dilakukan untuk memperoleh satu set koefisien matriks yang baru
(A) dengan cara
meminimumkan jarak cross-entropy antara koefisien matriks yang baru dengan koefisien matriks sebelumnya (A ) . Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
⎡ Aij ⎤ min I = ⎢∑∑ Aij ln ⎥ {A} Aij ⎦⎥ ⎣⎢ i j
⎡ ⎤ = ⎢∑∑ Aij ln Aij −∑∑ Aij ln A ⎥ ............................................... (4.77) j j ⎣ ⎦ Dengan kendala:
∑A y ij
* j
= yi*
……………………………………………………. (4.78)
j
∑A
ji
= 1 dan 0 ≤ A ji ≤ 1 ..........................................………........ (4.79)
j
4.4.
Aplikasi Model SNSE Jawa Barat
4.4.1.
Konstruksi SNSE Jawa Barat Sebagaimana telah diungkapkan pada Bab terdahulu bahwa studi ini
akan menggunakan model SNSE Jawa Barat (SNSE Jabar) tahun 2010. Konstruksi kerangka data SNSE Jawa Barat dalam rangka penyusunan model analisis ini menggunakan data yang berasal dari sensus, survey, data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan sumber lain di luar BPS
101 yang relevan. Data utamanya adalah Tabel Input-Output Jawa Barat tahun 2010 yang terdiri atas 80 sektor, Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2010, Survey Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 2010, dan Data Indikator Ekonomi Jawa Barat lainnya serta Indonesia 2010 untuk mendukung data pokok. 4.4.2. Tahapan Penyusunan SNSE Provinsi Jawa Barat Metode yang dipergunakan untuk mengkaji Analisa Dampak Investasi Infrastruktur Transportasi terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan Distribusi Pendapatan Sektor Industri di Jawa Barat adalah dengan menggunakan Model SNSE.Seperti yang dijelaskan di dalam Daryanto dan Hafizrianda (2010), Model SNSE ini dapat memotret seluruh neraca ekonomi baik yang endogen maupun eksogen, baik yang intra region maupun interregional. Selain itu model ini juga dapat menjelaskan keterkaitan antara aktivitas produksi, distribusi pendapatan, konsumsi barang dan jasa, tabungan dan investasi, serta perdagangan luar negeri. Lebih jauh lagi, model ini dapat pula memberikan suatu kerangka kerja yang bisa menyatukan dan menyajikan seluruh data perekonomian wilayah. Dengan model SNSEini juga dapat dihitung multiplier perekonomian wilayah dan menjelaskan pengaruh dari suatu perubahan terhadap produksi, distribusi pendapatan dan permintaan. Tabel SNSE provinsi Jawa Barat merupakan sebuah matriks yang merangkum neraca sosial dan ekonomi di Provinsi Jawa Barat secara agregat.Neraca SNSE Provinsi Jawa Barat dikategorikan menjadi dua kelompok neraca, yakni neraca endogen dan neraca eksogen. Neraca endogen dikelompokkan menjadi tiga blok neraca, yaitu blok neraca faktor produksi, blok neraca institusi, dan blok neraca aktivitas produksi. Sedangkan neraca eksogen dapat dibagi menjadi blok neraca pemerintah, blok neraca kapital, blok neraca
102 pajak tak langsung dan blok neraca luar negeri (luar Provinsi Jawa barat dan luar negeri). Dalam rangka menyusun neraca endogen dan neraca eksogen diperlukan beberapa langkah. Langkah-langkah yang dimaksud adalah : (1) pendefinisian klasifikasi, khususnya untuk neraca faktor produksi, neraca institusi, dan neraca aktivitas, (2) tabulasi dan identifikasi sumber data, dan (3) koreksi kesalahan estimasi data dan pembentukan keseimbangan. Secara garis besar tahapan penyusunan SNSE Provinsi Jawa Barat ini dapat dilihat pada Gambar 7. Pendefinisian Klasifikasi
Klasifikasi Neraca Faktor Produksi
Klasifikasi Neraca Institusi
Klasifikasi Sektor Produksi
Identifikasi Sumber Data
Tabulasi Data Koreksi Kesalahan Estimasi Data Dan Pembentukan Keseimbangan/konsistensi
Rekonsiliasi Akhir
Klasifikasi Neraca Lainnya
Data: Tabel IO, Susenas, Sakernas, SKTIR, SKPS, SP, APBN, APBD, Satistik Industri, IKKR, Statistik Upah, Data BOP, dll
103
Gambar 7. Tahapan Penyusunan SNSE provinsi Jawa Barat
4.4.3. Pendefinisian Klasifikasi Ketersediaan data merupakan salah satu pertimbangan penting dalam proses pembuatan SNSE Jawa Barat. Dengan mempertimbangkan bahwa data-data yang dibutuhkan sepertinya belum banyak tersedia di Provinsi Jawa Barat, sementara penelitian ini hanya memanfaatkan data-data sekunder, mengakibatkan klasifikasi yang ditentukan khususnya dalam neraca faktor produksi dan neraca institusi, sangatlah minim. Namun demikian, diharapkan dengan penetapan klasifikasi yang minim tersebut dapat menghasilkan output penelitian yang maksimal. Klasifikasi yang ditetapkan mengikuti pola SNSE provinsi Jawa Barat Tahun 2010 yang dibangun mengikuti kebutuhan dalam melakukan analisis. Konstruksi model SNSE Jabar tahun 2010, dilakukan dalam dua tahap. Tahap Pertama adalah menentukan klasifikasi SNSE Jabar tahun 2010. Klasisfikasi dimaksud adalah menetapkan unsur-unsur pada
setiap
yang
diperlukan
blok neraca yaitu blok neraca faktor produksi, neraca institusi,
neraca sektor produksi, neraca komoditi, neraca kapital serta neraca neraca lainnya
termasuk
neraca
luar
negeri.
Pada
bagian
sebelumnya
telah
diungkapkan bahwa Tabel SNSE terdiri atas empat blok neraca, yakni: tiga blok neraca endogen dan satu blok neraca eksogen. Neraca endogen terdiri atas : blok faktor produksi, blok institusi, dan blok sektor produksi. Dalam model SNSE Jabar tahun 2010, blok neraca faktor produksi terdiri atas dua tipe neraca. Blok neraca institusi sebanyak 16 tipe neraca yang terdiri atas 14 tipe rumah tangga, 1 neraca perusahaan, dan 1 neraca pemerintah.
104 Sedangkan blok neraca sektor produksi terdiri atas 25 sektor. Ini berarti bahwa, blok neraca endogen terdiri atas 27 tipe neraca. Sedangkan blok neraca eksogen terdiri atas 5 tipe neraca yaitu neraca pemerintah, neraca kapital, neraca subsidi dan neraca pajak tidak langsung dan neraca luar negeri . Jumlah seluruh neraca dalam klasifikasi SNSE Jabar tahun 2010 merupakan model dengan matriks 80 x 80. Tahap Kedua adalah tahap konstruksi model SNSE Jabar tahun 2010. Pada tahap ini dilakukan beberapa langkah. Pertama, melakukan agregasi dan updating atas Tabel Input-Output Jawa Barat tahun 2010. Perlu diketahui bahwa Tabel Input-Output regional Jawa Barat tahun 2010 yang dikonstruksi oleh BPS terdiri atas 80 sektor. Tabel ini diagreagasi menjadi matriks 25x25 untuk sektoral dan komoditas, sedangkan untuk neraca luar negeri (rest of Indonesia) menjadi matriks 25x1. Selanjutnya, dilakukan updating dengan terlebih menghitung data total output tahun 2010, final demand tahun 2010, dan total input primer tahun 2010, kemudian menggunakan metoda RAS. Proses ini menghasilkan Tabel Input-Output Jawa Barat tahun 2010 dengan klasifikasi sektor dan komoditas yang sudah disesuaikan dengan klasifikasi SNSE Jabar 2010. Langkah Kedua dari tahap konstruksi adalah mengisi sel-sel (neraca transaksi) SNSE Jabar tahun 2010. Dalam hal ini Tabel Input-Output Jawa Barat hasil updating yang sudah sesuai dengan klasifikasi yang ditentukan dalam kerangka data SNSE di masukkan ke dalam matriks SNSE Jabar pada sel-sel transaksi pada blok neraca sektor produksi baik dari sisi baris maupun kolom yang sesuai. Untuk mengisi sel-sel blok neraca lainnya yang merupakan sub matriks dalam kerangka SNSE Jabar yang belum terisi digunakan data-data pendukung seperti Susenas, Sakernas, Indikator Ekonomi, final demand, input primer, dan total output seperti sudah dijelaskan di atas. Data-data ini digunakan untuk menghitung nilai komponen masing-masing sub matriks neraca transaksi dengan bantuan program Microsoft Excel. Sebelum dimasukkan dalam kerangka
105 SNSE Jabar, isian sub matriks yang diperoleh dari beberapa data survei atau data sekunder lainnya dilakukan rekonsiliasi untuk melihat reliabilitas, validitas maupun konsistensi di dalam masing masing sub matriks tersebut secara parsial sebelum dimasukkan ke dalam kerangka SNSE Jabar yang utuh. Setelah masing masing sub matriks baik yang berasal dari data tabel Input-Output Jabar maupun sub matriks-sub matriks yang berasal dari data survei dan data sekunder tersebut konsisten kemudian dimasukkan ke dalam kerangka matriks SNSE Jabar. Pada tahap ini akan menghasilkan data SNSE Jabar yang belum konsisten, jumlah baris belum sama dengan jumlah kolom karena masing masing sub-matriks masih dihitung secara parsial. Tahap selanjutnya dilakukan konsistensi dengan melakukan rekonsiliasi dengan melihat kewajaran isian baris dan kolom dengan membandingkan dengan indikator-indikator makro yang tersedia dan melihat kekuatan data di masing-masing isian dimana data yang bersumber dari sensus lebih valid dibandingkan dengan data yang bersumber dari survei, data survei lebih valid dibandingkan data dari statistik registrasi dan seterusnya. Apabila seluruh baris dan kolom sudah konsisten maka matriks SNSE Jabar tahun 2010 tersebut siap digunakan untuk berbagai analisis dalam penelitian ini. Gambaran klasifikasi SNSE Jabar tahun 2010 yang digunakan di dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4. Langkah Ketiga adalah proses pengolahan untuk mendapatkan multiplier output, nilai tambah, keterkaitan, dan dekomposisi serta SPA. Proses ini menggunakan Program Exel dan MATS.
106
Tabel 4. Klasifikasi SNSE Jawa Barat, Tahun 2010
107 1 2 3 4 5 6 7 8
Pertanian
9
Produksi, Operator Alat Angkutan, Manual dan buruh kasar
Tenaga kerja Bukan Pertanian
Tata Usaha, Penjualan, Jasa-Jasa Kepemimpinan, Ketatalaksanaan, Militer, Profesional dan Teknisi
Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota
Bukan tenaga kerja Pertanian
Buruh Pengusaha Pertanian Desa Industri
Rumah tangga
Institusi
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80
Keterangan
Neraca
Faktor Produksi
No.
Kota Bukan Pertanian Desa Bukan Industri Kota
RT RT RT RT RT RT RT RT RT RT RT RT
Golongan Golongan Golongan Golongan Golongan Golongan Golongan Golongan Golongan Golongan Golongan Golongan
Bawah Menengah Atas Bawah Menengah Atas Bawah Menengah Atas Bawah Menengah Atas
Perusahaan Pemerintah Pertanian Tanaman Pangan Pertanian Tanaman Lainnya Peternakan dan Hasil-hasilnya Kehutanan dan Perburuan Perikanan Pertambangan Batubara, Biji Logam dan Minyak Bumi Pertambangan dan Penggalian Lainnya Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit Industri Kayu & Barang Dari Kayu Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam dan Industri Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen Sektor Produksi Listrik, Gas Dan Air Minum Infrastruktur Transportasi Infrastruktur Bukan Transportasi Perdagangan Restoran Perhotelan Angkutan Darat Angkutan Udara, Air dan Komunikasi Jasa Penunjang Angkutan, dan Pergudangan Bank dan Asuransi Real Estate dan Jasa Perusahaan Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film dan Jasa Sosial Lainnya Jasa Perseorangan, Rumah tangga dan Jasa Lainnya Margin Perdagangan dan Pengangkutan Pertanian Tanaman Pangan Pertanian Tanaman Lainnya Peternakan dan Hasil-hasilnya Kehutanan dan Perburuan Perikanan Pertambangan Batubara, Biji Logam dan Minyak Bumi Pertambangan dan Penggalian Lainnya Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit Industri Kayu & Barang Dari Kayu Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam dan Industri Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen Listrik, Gas Dan Air Minum Komoditi Konstruksi Sektor Transportasi Konstruksi Sektor Bukan Transportasi Perdagangan Restoran Perhotelan Angkutan Darat Angkutan Udara, Air dan Komunikasi Jasa Penunjang Angkutan, dan Pergudangan Bank dan Asuransi Real Estate dan Jasa Perusahaan Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film dan Jasa Sosial Lainnya Jasa Perseorangan, Rumah tangga dan Jasa Lainnya Neraca Kapital Pajak Tidak Langsung Subsidi Luar Negeri
Sumber: BPS, diolah
4.4.4. Metoda Analisis
108 Analisis yang dilakukan dalam studi ini dibagi dalam tiga bagian. Pertama, analisis yang bersifat diskriptif dengan mengekstraksi neraca-neraca dalam matriks SNSE menjadi tabel tabel analisis sesuai dengan permasalahan yang dikaji. Analisis menggunakan nilai riil (nominal) atau diolah menjadi persentase atau rasio dari model SNSE Jabar tahun 2010 yang selanjutnya dilakukan analisis terhadap misalnya struktur ekonomi, serta struktur pendapatan dan pengeluaran rumah tangga berbagai golongan berdasarkan data SNSE Jabar. Kedua, menganalisis potensi ekonomi sektoral, yang muaranya menentukan sektor-sektor unggulan. Ketiga, menganalisis dampak multiplier yang berkaitan dengan penciptaan pendapatan (income generating) neraca faktor produksi, sektor produksi serta neraca institusi.
4.4.4.1.
Analisis Struktur PDRB, dan Pengeluaran Rumah tangga
Struktur
pendapatan
serta
Untuk mengetahui struktur ekonomi Jawa Barat dianalisis melalui struktur PDRB. Hal ini dilakukan dengan cara mengambil nilai-nilai riil yang ada dalam model SNSE Jabar tahun 2010 menurut sektor. Nilai-nilai yang diambil adalah nilai-nilai dari sisi kolom (sisi pengeluaran). Selanjutnya dihitung share setiap sektor terhadap PDRB. Cara yang sama juga dilakukan untuk mendapatkan tabel struktur pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Struktur pendapatan instritusi diambil dari sisi baris, sedangkan struktur pengeluaran dari sisi kolom. PDRB diambil dari sisi kolom yang berarti struktur PDRB yang akan dianalisis adalah PDRB dari sisi pengeluaran.
4.4.4.2.
Analisis Dampak Multiplier
109 Analisis dampak multiplier dimaksudkan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi sektoral, tingkat pertumbuhan nilai tambah, dan keterkaitan sektor-sektor produksi dalam perekonomian Jawa Barat tahun 2010 sebagai dampak perubahan neraca eksogen seperti peningkatan investasi infrastruktur transportasi. Selanjutnya menentukan potensi ekonomi regional (sektor unggulan) dengan membandingkan sektor sektor menggunakan kriteria pertumbuhan serta keterkaitan antar sektor (keterkaitan kedepan maupun keterkaitan kebelakang). Selanjutnya untuk melihat dampak perekonomian maupun peranan masing masing neraca endogen dan keterbandingan diantara neraca neraca endogen tersebut maka dapat dianalisis seperti multiplier output bruto menurut sektor, multiplier nilai tambah menurut sektor, dan multiplier keterkaitan. Selain itu dilakukan juga analisis. multiplier pendapatan rumah tangga. Analisis ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran tentang distribusi pendapatan antar kelompok rumah tangga, serta sektor yang memberikan kontribusi pendapatan terbesar bagi kelompok rumah tangga.
4.4.4.3. Analisis Dekomposisi Analisis dekomposisi diarahkan untuk mengetahui dua hal, yakni : (1) mengetahui lebih detail terhadap global multiplier dari masing masing sektor, faktor serta institusi (2). mengetahui dampak eksternalitas terhadap pendapatan baik pendapatan faktorial maupun pendapatan institusional dikaitkan dengan pendapatan rumah tangga. Selain dihitung dampak total multiplier dengan dirinci menurut dampak transfer, open loop dan closed loop, juga diidentifikasi jalur transmisi dari adanya suatu shock variabel eksogen terhadap golongan rumah tangga dengan metode jalur SPA.
4.4.4.4. Analisis Jalur (Structural Path Analysis)
110 Analisis ini dilakukan untuk mengidentifikasi seluruh transmisi/jalur yang menghubungkan pengaruh suatu sektor terhadap sektor lainnya dalam suatu Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Karena tabel SNSE adalah data sistem yang komprehensif dan equilibrium, maka seluruh jaringan dimana suatu pengaruh ditransmisikan dapat diidentifikasi melalui Structural Path Analysis (SPA). Menurut Thorbecke (1998), SPA memberikan alternatif lain dan lebih detil dalam dekomposisi pengganda dibandingkan dengan cara tradisional yang dilakukan oleh Stone (1985) dan Pyatt & Round (1979). Di dalam SPA dikenal tiga jenis pengaruh, yaitu: 1. Dampak langsung (DI) Ada 2 jenis dampak langsung dari sektor i terhadap sektor j : a. Dampak langsung dari i ke j (DI(i→j) = aji)
Gambar 8. Dampak langsung dari jalur (i, j) b. Dampak langsung sepanjang jalur elementer dari perubahan i ke j (DI(i→j) = DI(i,x,y,j) = axi ayx ajy)
ayx axi
x
y
ajy
i
j
Gambar 9. Dampak langsung dari jalur (i, x, y, j)
111 2. Pengaruh total (TI) dari i ke j adalah perubahan yang dibawa dari i ke j baik melalui jalur dasar maupun sirkuit yang menghubungkannya. Secara kuantitatif TI merupakan perkalian antara pengaruh langsung (TI) dengan pengganda jalur atau path multiplier. Pengaruh total (TI) = axiayx azy[I-ayx(axy + azyaxz)]-1
ayx x
axi i
axz
ajy
y
axy
j
azy
z
Gambar 10. Pengaruh total dari jalur (i, x, y, j), berikut adjacent sirkuit 3. Pengaruh global (GI) merupakan pengaruh keseluruhan dari perubahaan i ke j yaitu total dari alur bagian atas, tengah, dan bawah. GI(i→j) = Maji (merupakan sel dari matriks Ma baris j kolom i) ayx x
axi i
axz asi avi
axy
z s
ajy
y
j
azy ajs ajv
v avv
Gambar 11. Pengaruh global: seluruh jalur utama serta sirkuit yang menghubungkan sektor i dan j
4.4.4.5. Metode Simulasi Simulasi pada penelitian ini dilakukan untuk melihat dampak dari investasi infrastruktur transportasi sebesar Rp. 20.95 trilyun terhadap sektor produksi dan
112 pendapatan rumah tangga di provinsi Jawa Barat Tahun 2010, serta untuk mengetahui penyerapan tenaga kerja yang terjadi pada sektor produksi akibat dari investasi tersebut. Adapun metode simulasi yang dilakukan adalah dengan mengalikan matriks pengganda (Ma) dengan vektor eksogen (nilai biaya yang dialokasikan dalam investasi infrastruktur transportasi).
4.4.4.6. Analisis Tenaga Kerja Untuk melihat dampak penyerapan tenaga kerja berbagai sektor sebagai akibat dari perubahan di neraca eksogen berupa peningkatan infrastruktur transportasi maka, jika
dimana: B = employment-output share matrix dan
L
= sectoral-employment
vector, maka dengan mensubstitusikan bentuk y = Ay + x ke persamaan di atas, akan diperoleh,
4.4.4.7. Analisis Distribusi Multiplier
pendapatan:
Dekomposisi
Matrik
Income
Dekomposisi matriks income multiplier dilakukan untuk mengurai pengaruh suatu injeksi di suatu sektor/faktor tertentu terhadap suatu golongan rumah tangga yang terdapat pada matirks multiplier (Ma). Dekomposisi dimaksudkan untuk mengurai pengaruh global (global effect) menjadi empat komponen yang lebih mikro yaitu: direct-direct effect, indirect-direct effect, directindirect effect, dan indirect-indirect effect. Secara matematis proses dekomposisi sel pada matriks multiplier dilakukan dengan formula (Pansini, 2008), mij = d’i Ma dj = d’i Ma3 Ma2 Ma1 dj = i’ ( rˆ A s) i
113 dimana d’i dan dj adalah vektor yang elemen ke-i dan ke-j bernilai 1 sedangkan elemen yang lainnya bernilai 0 (Pyatt, Round, 2006). Formula tersebut kemudian dapat dikembangkan menjadi: r’=d’i Ma3, A =Ma2, dan s =Ma1dj dimana Ma3 = (I-A*3)–1 Ma2 = (I + A* + A*2) Ma1 = (I-A0)–1 yang ketiganya merupakan dekomposisi matriks multiplier . Pada kasus dekomposisi terhadap pengaruh global injeksi pada sektor produksi terhadap golongan rumah tangga (MHA), MHA = 3MHH 2MHA 1MAA dimana, MHA
= multiplier Ma baris rumah tangga dan kolom sektor produksi
3MHH
= multiplier close loop baris dan kolom rumah tangga
2MHA
= multiplier open loop baris rumah tangga kolom sektor produksi
1MAA
= multiplier transfer baris dan kolom sektor produksi
sehingga dekomposisi terhadap pengaruh global injeksi pada sektor produksi ke-j terhadap golongan rumah tangga ke-i (sel mij pada sub matrik MHA), adalah: mij = (d’i 3MHH) 2MHA (1MAA dj) dimana, r’ adalah baris ke-i dari blok sub matrik 3MHH; A adalah blok sub matrik 2MHA dan s adalah kolom ke-j dari blok sub matrik 1MAA. Pada kasus dekomposisi terhadap pengaruh global injeksi pada sektor produksi ke-j terhadap golongan rumah tangga ke-i (sel mij pada matrik multiplier), dekomposisi yang dilakukan adalah mengurainya menjadi:
114 1.
Direct-direct effect, yaitu pengaruh langsung dari injeksi pada aktifitas produksi di sektor ke-j terhadap golongan rumah tangga ke-i tanpa mempertimbangkan efek tidak langsung lainnya dari kegiatan sektor lain atau golongan rumah tangga lain (dari sektor ke-j langsung berdampak kepada golongan rumah tangga ke-i);
2.
Indirect-direct effect, yaitu pengaruh dari kegiatan di sektor produksi lainnya, yang berbeda dari yang terkena injeksi, terhadap golongan rumah tangga ke-i.
Indirect-direct
effect
menangkap
pengaruh
peningkatan
dalam
permintaan terhadap sektor ke-j terhadap sektor-sektor lain yang kemudian berdampak terhadap rumah tangga ke-i (dari sektor ke-j berdampak ke sektor selain ke-j dan kemudian berdampak ke golongan rumah tangga ke-i); 3.
Direct-indirect effect, yaitu pengaruh dari sektor produksi ke-j terhadap golongan rumah tangga selain ke-i. Direct-indirect effect menangkap pengaruh
peningkatan
permintaan
sektor
ke-j
terhadap
pendapatan
golongan rumah tangga lain kemudian berdampak kepada golongan rumah tangga ke-i (dari sektor ke-j berdampak ke golongan rumah tangga selain kei dan kemudian berdampak ke golongan rumah tangga ke-i); dan 4.
Indirect-indirect effect, yaitu pengaruh perubahan dari sektor produksi selain ke-j terhadap kelompok rumah tangga lainnya selain ke-i. Indirect-indirect effect menangkap pengaruh peningkatan permintaan produksi sektor ke-j terhadap sektor lain kemudian berdampak terhadap golongan rumah tangga selain golongan rumah tangga ke-i (dari sektor ke-j berdampak ke selain sektor ke-j dan kemudian berdampak ke golongan rumah tangga selain ke-i).
BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT
5.1.
Peran Infrastruktur dalam Perekonomian Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting
sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana untuk
memperlancar
hubungan
antara
wilayah
terpencil
dengan
pusat-pusat
pertumbuhan. Kelancaran arus barang dan jasa serta keterbukaan wilayah wilayah potensial dapat digunakan sebagai pendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Dengan infrastruktur transportasi yang baik, sumber daya manusia maupun kapital yang tersebar tersebut juga dapat dimanfaatkan dengan lebih baik. Efektifitas investasi infrastruktur transportasi untuk meningkatkan perekonomian dan memberikan manfaat bagi masyarakat tergantung kepada pemanfaatan sarana transportasi tersebut oleh produsen maupun konsumen serta sektor-sektor unggulan, sehingga mampu memberikan stimulus perekonomian seperti yang diharapkan. Dikeluarkannya berbagai kebijakan pemerintah seperti paket infrastruktur yang tertuang pada Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010, serta peningkatan anggaran stimulus fiskal pada bidang infrastruktur menunjukkan perhatian pemerintah yang sangat besar pada pembangunan infrastruktur (termasuk halnya infrastruktur transportasi). Perhatian pemerintah yang besar pada infrastruktur ini sangatlah relevan
115
mengingat beberapa temuan studi mengindikasikan pentingnya infrastruktur terkait dengan dampaknya terhadap perekonomian. Perluasan kewenangan yang diberikan kepada daerah dalam merencanakan dan mengalokasikan dana untuk membiayai berbagai kegiatan pembangunan, memberikan peluang yang lebih besar bagi setiap daerah untuk melaksanakan aktivitas pembangunan sesuai dengan potensi yang dimilikinya serta memilih sektorsektor ekonomi unggulan yang akan dikembangkan dalam rangka untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di wilayahnya. Pertumbuhan ekonomi yang berbasis potensi sumber daya lokal pada berbagai daerah pada gilirannya akan menghasikan pertumbuhan ekonomi agregat yang tinggi di tingkat nasional. Provinsi Jawa Barat merupakan daerah ekonomi potensial yang memiliki berbagai keunggulan seperti halnya dari sisi letak geografis. Peningkatan alokasi anggaran
untuk
belanja
infrastruktur
transportasi
diyakini
akan
menstimulasi
peningkatan investasi baik berskala nasional maupun internasional. Letak geogragis Provinsi Jawa Barat yang berdekatan dengan ibu kota DKI Jakarta yang bertindak sebagai pusat pertumbuhan ekonomi Indonesia serta letak geografis Provinsi Jawa barat di pulau Jawa yang memiliki penduduk terbanyak merupakan potensi ekonomi besar yang dapat dimanfaatkan oleh Provinsi Jawa Barat. Penyediaan infrastruktur transportasi yang baik seperti halnya jalan, jembatan, pelabuhan dan lainnya diyakini dapat memicu limpahan (spill-over) investasi dari wilayah sekitarnya ke wilayah Jawa Barat dan pengembangan wilayah wilayah potensial terutama yang berada di wilayah bagian selatan Jawa Barat. Terkait dengan hal tersebut, pengembangan investasi infrastruktur transportasi harus didasari atas berbagai pertimbangan seperti halnya pertimbangan terhadap sektor ekonomi yang berkembang
maupun
pertimbangan
kewilayahan.
Pengembangan
dengan
116
mempertimbangkan sektor ekonomi misalkan dengan melihat kepada sektor-sektor unggulan yang berkembang di Jawa Barat seperti halnya sektor industri dan sektor pertanian.
Sedangkan
dimensi
kewilayahan
diperhatikan
agar
pengembangan
infrastruktur transportasi dapat menjangkau wilayah atau daerah terpencil (desa) yang potensial secara ekonomi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut, meningkatkan penyerapan tenaga kerja serta memperbaiki dan meningkatkan pendapatan di wilayah wilayah terpencil sehingga mampu memperbaiki pemerataan pendapatan dari berbagai golongan rumah tangga maupun dari segi kewilayahan. Secara garis besar, stimulus berupa investasi infrastruktur transportasi diharapkan menjadi stimulus pertumbuhan perekonomian daerah Jawa Barat.
5.2.
Kondisi Infrastruktur Transportasi Jalan Menimbang
pengalaman
dari
pentingnya
pembangunan
infrastruktur
transportasi dalam peningkatan perekonomian suatu daerah, penyerapan tenaga kerja, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka fungsi infrastruktur transportasi jalan adalah sangat strategis dalam memperbaiki kinerja pembangunan, memperbaiki kesejahteraan masyarakat, mempengaruhi distribusi pendapatan masyarakat, serta mengurangi pengangguran. Keterlambatan dalam pembangunan investasi infrastruktur transportasi tersebut diduga akan sangat berdampak negatif kepada perekonomian, distribusi pendapatan serta penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan data, kondisi infrastruktur transportasi berupa panjang jalan di wilayah Jawa Barat, sampai dengan akhir tahun 2010 adalah 25.803 km (Tabel 5). Jumlah ini meningkat hanya 0.1% dibandingkan dengan panjang jalan Jawa Barat pada tahun 2009 yang berjumlah 25.774 km. Sementara itu dapat diungkapkan pula bahwa panjang jalan pada tahun 2009 tersebut relatif lebih buruk jika dibandingkan
117
dengan panjang jalan pada tahun 2008 yang berjumlah 25.857 km. Gambaran lengkap perubahan panjang jalan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Perkembangan Panjang Jalan Menurut Tingkat Kewenangan Pemerintah, Tahun 2008-2010 Panjang Jalan (km) Tingkat Kewenangan Pemerintah Jalan Negara
2008
2009
2010
1.141
2
Jalan Provinsi
2.141
3
Jalan Kabupaten
1.351 (18.4) 2.199 (2.7) 22.224 (-1.6) 25.774 (-0.3)
1.351 (0) 2.199 (0) 22.253 (0.1) 25.803 (0.1)
No. 1
Jumlah
22.575 25.857
Sumber: BPS Jawa Barat, 2011 Keterangan: angka (…) menunjukkan pertumbuhan dalam persen
Secara umum kondisi infrastruktur yang tidak baik di Provinsi Jawa Barat terutama terjadi pada jalan kabupaten yang merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Dari Tabel 5 juga dapat dilihat terjadi penurunan panjang jalan yang berada di bawah kewenangan pemerintah kabupaten sebesar minus 1.6% pada tahun 2009 dan terjadi peningkatan hanya 0.1% pada kategori jalan yang sama pada tahun 2010. Sementara itu perkembangan panjang jalan yang merupakan kewenangan pemerintah provinsi juga mengalami perubahan yang kurang menggembirakan. Setelah mengalami perkembangan pada tahun 2009 sebesar 2.7%, justru sama sekali tidak mengalami pertumbuhan pada tahun 2010. Kondisi ini diperparah dengan kondisi jalan yang semakin buruk, dimana kerusakan jalan tidak hanya terjadi diperkotaan (kotamadya) namun juga di pedesaan (kabupaten). Sebagai tambahan, berdasarkan data, kondisi jalan yang masih dalam keadaan baik di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2009 adalah 8.895 km, dan angka ini berkurang
118
menjadi hanya 7.980 km pada tahun 2010 (Tabel 6). Di sisi lain dapat dipaparkan bahwa kondisi jalan yang rusak di Provinsi Jawa barat meningkat dari 5.199 km pada tahun 2009, menjadi 5.694 km pada akhir tahun 2010. Selain perkembangan panjang jalan yang tidak memadai dalam mendukung perekonomian Jawa Barat, kondisi ini diperburuk dengan kualitas jalan yang semakin memburuk sampai dengan tahun 2010. Kualitas jalan di Jawa Barat yang masih baik tahun 2009 sepanjang 8.895,5 km dan semakin sedikit menjadi 7.980,1 km pada tahun 2010. Sementara kondisi jalan dengan kualitas sedang pada tahun 2009 sebesar 55.030,1 km menurun menjadi 5.342,8 km pada tahun 2010. Demikian pula kondisi jalan rusak meningkat dari 5.199 km pada tahun 2009 menjadi 5.694,0 km pada tahun 2010. Tabel 6. Perkembangan Kondisi Jalan Menurut Kualitas dan Jenis Permukaan Jalan di Jawa Barat Tahun 2009 - 2010 (km) Kondisi Jalan
Panjang Jalan (km) 2009 2010
(1)
Panjang Jalan A. Kualitas jalan a.1. Baik a.2. Sedang a.3. Rusak a.4. Rusak berat Jenis permukaan Jalan B. b.1. Aspal b.2. Kerikil b.3. Tanah b.4. Tidak dirinci
(2)
22.006,4
8.895,5 5.507,1 5.199,2 2.404,5 18.419,8 2.722,2 809,7 50,7
(3)
21.760,8 7.980,1 5.342,8 5.694,0 2.819,6 18.275,3 2.512,0 605,6 328,03
Sumber: BPS Jawa Barat, 2011
Bahkan, panjang jalan yang mengalami rusak parah pada tahun 2009 yang tadinya adalah 2.404 km, pada tahun 2010 menjadi lebih buruk lagi yaitu menjadi 2.819,6 km.
119
Kondisi jalan yang beraspal maupun jalan kerikil juga menunjukkan kondisi semakin buruk. Kondisi jalan beraspal pada tahun 2009 adalah sebesar 18.419,8 km menjadi 18.275,3 km dan kondisi jalan kerikil juga semakin menyusut dari tahun 2009 yang sebesar 2.722,2 km berkurang menjadi 2.512,0 km
5.3.
Struktur dan Kinerja Perekonomian Ekonomi Jawa Barat merupakan kekuatan ketiga terbesar setelah DKI Jakarta
dan Jawa Timur. Sesuai dengan data statistik, peranan Provinsi Jawa Barat dalam penciptaan nilai tambah nasional adalah sebesar 14.7% dibawah DKI Jakarta (16.4%) dan Jawa Timur (14.8%). Keuntungan berupa lokasi yang terletak dekat dengan pusat perekonomian dan pemerintahan (DKI Jakarta) serta letak Provinsi Jawa Barat di pulau Jawa yang sangat padat penduduknya menjadikan Jawa Barat sebagai bagian penting bagi pusat pertumbuhan nasional. Dari segi struktur perekonomian, seperti terlihat pada Tabel 7, provinsi Jawa Barat dicirikan oleh tiga sektor utama sebagai mesin penggerak (engine power) roda perekonomian yakni masing masing sektor Industri, Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran serta Sektor Pertanian. Dari ketiga sektor tersebut tercatat hingga tahun 2010, sektor Industri memberikan kontribusi sebesar 37.7% dimana terutama berasal dari industri alat angkutan, mesin dan peralatannya serta industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki. Sementara itu, Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran mempunyai kontribusi sebesar 22.4% dan kontribusi Sektor Pertanian adalah sebesar 12.6%. Dibandingkan dengan sektor-sektor yang lain, kontribusi sektor Industri selama tahun 2007-2010 terhadap total PDRB Jawa Barat berdasarkan harga berlaku memiliki persentase nilai yang terbesar yaitu 45% pada tahun 2007, namun kemudian turun
120
menjadi 37.7% pada tahun 2010. Kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran kontribusinya tidak mencapai 20% pada tahun 2007, namun meningkat pada tahun 2010 menjadi 22.4%. Sebagai tambahan, kontribusi sektor pertanian berkisar 11% – 12%. Meskipun Sektor Industri merupakan salah satu sektor penting dalam perekonomian Jawa Barat, namun peranannya didalam pembentukan nilai tambah menunjukkan penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Peranan sektor industri Jawa Barat tahun 2007 sebesar 45.0% dan menurun menjadi hanya sebesar 37.7% pada tahun 2010 (Tabel 7). Penurunan tersebut terjadi pada seluruh jenis industri termasuk industri utama Jawa Barat yaitu industri alat angkutan, mesin dan peralatan serta industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki. Apabila deindustrialisasi dilihat hanya sebagai penurunan peranan sektor Industri dalam perekonomian, maka bisa dikatakan bahwa telah terjadi deindustrialisasi di Provinsi Jawa Barat seperti halnya gejala deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia yang banyak diperkirakan para ahli (Priyarsono, 2010). Bertolak belakang dengan sektor industri, sektor yang menunjukkan peranan yang meningkat adalah sektor jasa jasa terutama sektor perdagangan, hotel dan restoran. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan pasar retail terutama yang menjual produk dari industri tekstil dan pakaian jadi serta alas kaki mengalami perkembangan cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir. Namun demikian patut disayangkan bahwa pertumbuhan sektor perdagangan tersebut banyak didominasi oleh produkproduk perdagangan impor, khususnya pakaian jadi dan alas kaki dari Cina. Sementara itu produk tekstil, pakaian jadi dan alas kaki di Jawa Barat menunjukkan peranan yang menurun dibandingkan dengan sektor lain.
121
Tabel 7. Perkembangan Pangsa PDRB Provinsi Jawa Barat, Berdasarkan Sektor Tahun 2007-2010 Lapangan Usaha (1) 1. Pertanian 2. Pertambangan & Penggalian 3. Industri Pengolahan a. Industri Migas b. Industri Tanpa Migas **) 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya
Pangsa (%) 2008 2009
2007 (2)
(3)
(4)
2010 (5)
12.0
11.5
12.3
12.6
2.4
2.4
1.9
2.0
45.0
43.7
40.8
37.7
2.6
3.7
3.0
2.6
42.4
40.0
37.8
35.1
4.6
4.2
4.4
4.0
12.1
10.1
9.5
8.2
0.5
0.4
0.5
0.4
0.8
0.7
0.7
0.8
4.4
3.3
3.3
2.7
0.9
0.9
0.9
0.9
0.3
0.2
0.2
0.2
18.0
19.6
17.7
17.5
0.8
0.7
0.7
0.5
4. Listrik, Gas & Air Bersih
2.9
2.7
2.8
2.8
5. Bangunan
3.0
3.4
3.5
3.8
19.1
20.5
21.6
22.4
5.9
5.7
6.1
7.1
2.9
2.7
2.7
2.7
6.8
7.4
8.2
8.9
100.0
100.0
100.0
100.0
6. Perdagangan, Hotel & Restoran 7. Pengangkutan & Komunikasi 8. Keuangan, Persewaan, & Js. Prsh. 9. Jasa-Jasa PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Sumber: BPS Jawa Barat, 2011
Peranan sektor industri yang terus menunjukkan penurunan didukung oleh tren dari peran masing masing sektor dari tahun 2007 s/d tahun 2010. Gambaran pertumbuhan PDRB sektor atas dasar harga berlaku mengindikasikan bahwa semakin rendah pertumbuhan PDRB atas dasar harga berlaku suatu sektor dibandingkan dengan pertumbuhan sektor lainnya maka peranan sektor tersebut juga akan semakin
122
berkurang dalam perekonomian suatu daerah. Dengan demikian maka akan terjadi pergeseran peran sektor dan perubahan struktur ekonomi di daerah tersebut. Indikasi adanya perubahan peran sektor dan struktur ekonomi di Jawa Barat juga terlihat dalam beberapa tahun terakhir seperti yang terlihat pada Tabel 8. Sektor industri di Jawa Barat mengalami pertumbuhan dengan rata rata pertumbuhan hanya sekitar 5% dari tahun 2007 s/d tahun 2010 dibawah pertumbuhan perekonomian secara total (10.2%). Kinerja sub-sektor industri tekstil, pakaian jadi barang dari kulit dan alas kaki lebih buruk lagi dengan rata rata pertumbuhan PDRB atas dasar harga berlaku terkontraksi sebesar minus 0.1%. Gambaran perubahan tren peran sektoral di Jawa Barat juga mengindikasikan bahwa peran sektor jasa jasa menunjukkan peran yang semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Sektor jasa jasa seperti perdagangan, hotel dan restoran tumbuh sangat signifikan di atas pertumbuhan rata-rata Jawa Barat yaitu sebesar 14.9%. Sektor jasa lainnya seperti jasa sosial, jasa perorangan, jasa kemasyarakatan menunjukkan trend rata rata pertumbuhan tertinggi dengan pertumbuhan sebesar 17.9%. Sementara sektor pertanian juga menunjukkan pertumbuhan yang berada diatas rata rata pertumbuhan Jawa Barat yaitu tumbuh rata rata sebesar 11.7%. Penurunan peranan sektor industri tentunya menjadi kekhawatiran bagi pemerintah di tingkat daerah maupun tingkat nasional. Sektor industri yang diharapkan dapat memberikan lapangan kerja bagi penduduk Jawa Barat justru mengalami kemunduran baik dalam peranannya dalam perekonomian maupun kinerja yang semakin menurun. Penurunan peranan yang terjadi dan berlangsung terus menerus dalam beberapa tahun terakhir ini perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Pertumbuhan PDRB atas dasar harga berlaku sektor Industri yang sebesar 7.47% (rata-rata 2007-2010) hanya menempatkan sektor Industri diatas
123
pertumbuhan sektor Pertambangan. Namun sembilan sektor lainnya tumbuh lebih tinggi dibandingkan sektor Industri, terutama sektor jasa-jasa seperti halnya Jasa Angkutan dan Komunikasi serta Jasa Lainnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa kinerja pertumbuhan sektor industri masih lebih rendah dibandingkan dengan kinerja sektor jasa-jasa maupun sektor pertanian dalam kurun waktu tahun 2007-2010. Tabel 8. PDRB Harga Berlaku dan Rata-Rata Pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Barat, Berdasarkan Sektor Tahun 2007-2010 Jumlah (Milyar Rupiah)
Lapangan Usaha (1)
2008
2009
2010
1. Pertanian
(2) 62.894,90
(3) 72.517,61
(4) 85.149,26
(5) 97.194,39
(6) 11.7
2. Pertambangan & Penggalian
12.621,31
14.904,13
13.278,19
15.546,26
6.1
236.628,97
276.714,35
281.275,08
290.754,72
5.5
3. Industri Pengolahan a. Industri Migas b. Industri Tanpa Migas **) 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya
13.426,61
23.274,95
20.824,13
19.934,07
14.6
223.202,36
253.439,40
260.450,95
270.820,66
5.1
24.013,59
26.349,97
30.251,88
31.166,27
6.9
63.551,78
64.043,30
65.340,91
63.250,05
-0.1
2.664,30
2.702,43
3.260,14
3.178,66
4.9
4,277.09
4.213,11
4.560,00
5.861,65
8.8
23.296,72
20.733,77
22.959,64
20.696,98
-2.5
4.792,83
5.502,08
6.016,82
6.564,96
8.3
1.596,81
1.513,72
1.571,91
1.558,64
-0.6
9,858,10
124.181,43
121.767,54
134.569,01
9.9
4.151,15
4.199,59
4.722,11
3.974,45
-0.6
4. Listrik, Gas & Air Bersih
15.414,04
16.913,62
19.549,19
21.294,46
8.6
5. Bangunan
15.906,66
21.596,58
24.223,19
29.047,79
17.0
100.691,12
129.912,05
149.056,00
172.713,20
14.9
30.787,32
36.401,48
41.820,99
54.635,68
15.9
15.248,88
17.228,06
18.802,86
21.155,31
8.7
36.027,03
47.095,62
56.686,56
68.318,69
17.9
526.220,23
633.283,48
689.841,31
770.660,51
10.2
6. Perdagangan, Hotel & Restoran 7. Pengangkutan & Komunikasi 8. Keuangan, Persewaan, & Js. Prsh. 9. Jasa-Jasa PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Sumber: BPS Jawa Barat, 2011, diolah
2007
pertum buhan (%)
5.4.
124
Ketenagakerjaan Kondisi ketenagakerjaan di Jawa Barat pada tahun 2008 sampai dengan tahun
2010 dapat dilihat pada Tabel 9. Dari keseluruhan angkatan kerja di Jawa Barat pada tahun 2010, yang berjumlah sekitar 18.89 juta orang terdapat angkatan kerja yang bekerja sebesar 16.94 orang dan sisanya termasuk ke dalam kategori penganggur berjumlah 1.95 juta orang (10.33%). Jumlah penganggur pada tahun 2010 tersebut lebih rendah dari jumlah penganggur pada tahun 2009 atau menurun dari tahun sebelumnya yang mencapai 2.08 juta orang (10.96%) seperti terlihat pada Tabel 9. Secara ekonomis, upaya untuk menurunkan jumlah pengangguran terbuka melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat masih belum mampu mengurangi jumlah pengangguran yang ada. Secara umum kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat masih terbatas. Sebagai tambahan, kemampuan menciptakan lapangan kerja di Provinsi Jawa Barat juga relatif kecil dan bahkan terdapat kecenderungan mengalami penurunan. Tabel 9. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Jenis Kegiatan Utama, TPAK dan Tingkat Pengangguran di Provinsi Jawa Barat Jenis Kegiatan Utama I. Angkatan Kerja (orang) 1. Bekerja 2. Penganggur II. Bukan Angkatan Kerja Jumlah I. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja/TPAK (%) II. Tingkat Pengangguran (%)
2008 18.743.979 16.480.395 2.263.584 10.966.139 29.710.118
2009 18.981.260 16.901.430 2.079.830 11.200.929 30.182.189
2010 18.893.835 16.942.444 1.951.391 11.394.174 30.288.009
87.92 12.08
89.04 10.96
89.67 10.33
Sumber: BPS Jawa Barat, 2011
Secara teoritis, meningkatnya pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja, dengan asumsi terjadi peningkatan investasi. Sementara itu di dalam prakteknya dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa
125
Barat dalam beberapa tahun terakhir ini cenderung didorong oleh peningkatan permintaan domestik, khususnya pada konsumsi akhir. Investasi sendiri cenderung tidak meningkat dan bahkan dalam beberapa tahun sebelumnya mengalami penurunan. Dengan demikian, meskipun perekonomian telah meningkat namun penciptaan lapangan kerja dapat dikatakan masih sangat lambat. Gambaran persentase pertumbuhan angkatan kerja dan bukan angkatan kerja Jawa Barat, tahun 2009-2010 dapat diihat pada tabel 10. Tabel 10. Pertumbuhan Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja Jawa Barat, Tahun 2009 – 2010 Pertumbuhan (%) 2009
2010
1.27 2.55 -8.12
-0.46 0.24 -6.16
II. Bukan Angkatan Kerja
2.14
1.73
Jumlah
1.59
0.35
Jenis Kegiatan Utama I. Angkatan Kerja 1. Bekerja 2. Penganggur
Sumber: BPS Jawa Barat, 2011, diolah
Berdasarkan pada hasil analisis, selama tahun 2010, penyerapan tenaga kerja di provinsi Jawa Barat adalah 16.94 juta orang, dimana diserap oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran 24.83%; sektor pertanian sebesar 23.4%; sektor industri sebesar 20.00% dan sektor jasa lainnya 15.68%. Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa sektor listrik, gas dan air menyerap tenaga kerja dalam persentase terkecil (0.35%). Perkembangan pangsa penyerapan tenaga kerja sektor pertanian selama periode 2007-2010 menunjukkan penurunan, sementara itu pada periode yang sama
126
pangsa penyerapan tenaga kerja sektor industri justru mengalami kenaikan. Kenaikan pangsa penyerapan tenaga kerja yang mengalami kenaikan sangat signifikan juga terjadi pada sektor jasa lainnya, yaitu sebesar 9.11% pada tahun 2007 menjadi 15.68% pada tahun 2010. Temuan lain menunjukkan adanya penurunan pangsa penyerapan tenaga kerja sektor perdagangan, hotel dan restoran selama kurun waktu 2007-2010. Dengan perbaikan infrastruktur transportasi diharapkan sektor Industri dan sektor-sektor unggulan lainnya dapat berperan kembali sebagai engine of growth perekonomian Jawa Barat, terutama bagi industri kecil dan menengah yang mengandalkan keunggulan komparatif yang berbasiskan sumberdaya domestik. Namun demikian fakta yang terjadi beberapa tahun terakhir di Provinsi Jawa Barat adalah bahwa investasi infrastruktur transportasi, khususnya investasi infrastruktur jalan justru semakin memburuk. Padahal infrastruktur jalan merupakan unsur penting yang digunakan untuk memacu pertumbuhan sektor-sektor. Tabel 11. Perkembangan Pangsa penyerapan tenaga Kerja Menurut Sektor
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sektor Pertanian Pertambangan Industri Listrik, Gas dan Air Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Angkutan dan Komunikasi Keuangan, Real Estate, Jasa Perusahaan Jasa Lainnya Jumlah
2007 30.38 0.83 17.53 0.39 5.25 27.42 7.46
Pangsa (%) 2008 2009 25.56 25.18 0.59 0.58 17.81 18.18 0.23 0.26 6.20 5.73 25.37 25.46 8.48 8.50
2010 23.40 0.67 20.00 0.35 5.94 24.83 7.13
1.65
1.62
1.58
1.99
9.11 100.00
14.14 100.00
14.54 100.00
15.68 100.00
Sumber: BPS (berbagai tahun terbitan)
Pembangunan
ekonomi
pada
dasarnya
dilakukan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Upaya tersebut dapat dicapai antara lain dengan
127
memberikan lapangan kerja yang cukup bagi masyarakat. Pembangunan sektor-sektor unggulan yang berkembang di Jawa Barat merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat. Sementara itu, investasi infrastruktur transportasi berdasarkan pengalaman empiris dapat menjadi salahsatu pemicu untuk mendukung perkembangan ekonomi. Investasi melalui pembentukan modal akan mempengaruhi kesejahteraan ekonomi suatu bangsa. Lebih jauh lagi, investasi dalam bentuk infrastruktur transportasi jalan sangat diperlukan untuk memperlancar proses distribusi barang dan jasa serta mendukung proses produksi seperti halnya memperlancar arus bahan baku dari sumbernya ke pabrik-pabrik pengolahnya. Melalui penyediaan infrastruktur transportasi yang memadai, kelancaran distribusi barang yang diproduksi dan output barang dan jasa di suatu wilayah dapat ditingkatkan dan kemudian dapat menjadi sumber pendapatan bagi tenaga kerja yang bekerja pada sektor-sektor ekonomi. Untuk menghasilkan output yang lebih besar, dapat dilakukan dengan peningkatan jumlah faktor produksi (tenaga kerja dan non tenaga kerja). Kebutuhan akan faktor produksi tenaga kerja atau non tenaga kerja bergantung pada jenis investasi yang akan dilakukan, apakah investasi yang bersifat labour intensive atau capital intensive. Dengan demikian investasi tidak hanya dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi, melainkan juga dimanfaatkan untuk memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat. Dalam kerangka SNSE, balas jasa terhadap tenaga kerja dan non tenaga kerja berupa upah/gaji dan keuntungan yang diterima oleh masing-masing faktor produksi. Adanya kesempatan kerja akan membuka peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan pendapatannya. Dalam perhitungan elastisitas kesempatan kerja (E) terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), persentase laju pertumbuhan PDRB (r) merupakan variabel
128
bebas dan persentase perubahan kesempatan kerja (l) merupakan variabel tak bebas, atau dapat dirumuskan bahwa elastisitas kesempatan kerja (E) adalah laju pertumbuhan kesempatan kerja (l) dibagi dengan laju pertumbuhan PDRB (r) (Simanjuntak,1998). Selanjutnya, untuk memperkirakan tambahan tenaga kerja yang tercipta berdasarkan kenaikan pertumbuhan ekonomi digunakan rumus: l = Exr dimana: ltk = laju pertumbuhan penyerapan tenaga kerja rntb= laju pertumbuhan PDRB Tabel 12 menunjukkan gambaran tentang elastisitas tenaga kerja terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) masing-masing sektor di Provinsi Jawa Barat selama periode tahun 2007-2008. Tingkat elastisitas kesempatan kerja dapat dilihat dari perbandingan antara persentase perubahan penyerapan tenaga kerja dengan persentase perubahan Produk Domestik Regional Bruto. Pada Periode 2007-2010, nilai elastisitas tenaga kerja Provinsi Jawa Barat adalah sebesar 0.85,
yang berarti bahwa setiap peningkatan 1% pertumbuhan
ekonomi (PDRB) Jawa Barat membutuhkan tambahan tenaga kerja sebesar 0.85%. Penurunan kesempatan kerja di sektor pertanian dan pertambangan menyebabkan elastisitas penyerapan tenaga kerja terhadap kenaikan PDRB sektor pertanian dan pertambangan tersebut negatif. Elastisitas tenaga kerja sektor pertanian dan pertambangan pada tahun 2007-2010 masing masing sebesar minus 1.17 dan minus 0.81. Elastisitas tenaga kerja sebesar minus 0.81 bermakna bahwa meskipun nilai tambah
sektor
pertambangan
meningkat
2.99%,
berkurangnya kesempatan kerja sebesar 2.34%.
namun
akan
menyebabkan
129
Tabel 12. Elastisitas Tenaga Kerja Jawa Barat
ltk 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pertanian Pertambangan Industri Listrik, Gas dan Air Bangunan Perdagangan Angkutan Keuangan Jasa Lainnya Jumlah
Elastisitas
rntb
-5.07 -2.34 8.14 4.79 8.65 0.10 3.12 10.74 26.93
4.35 2.88 2.54 6.33 7.38 6.45 5.97 5.20 4.03
2007-2010(Etk) -1.17 -0.81 3,20 0,76 1,17 0,02 0,52 2,07 6.68
3.49
4.12
0.85
Sumber: BPS Jawa Barat, 2011
Selain itu, pertumbuhan sektor pertambangan yang semakin menurun dapat diakibatkan
karena
pertambangan
merupakan
sumberdaya
yang
tidak
dapat
diperbaharui sehingga hasilnya semakin menurun walaupun ada peningkatan investasi. Penurunan hasil mengakibatkan sumbangannya terhadap pendapatan nasional dan juga terhadap penghasilan masyarakat yang bekerja di sektor pertambangan semakin menurun, dan lebih jauh lagi mendorong pekerja untuk bermigrasi ke sektor lain yang dianggap lebih baik.
Demikian pula yang terjadi di sektor pertanian. Sektor yang
menarik pencari kerja jika dilihat dari penyerapan tenaga kerjanya adalah sektor jasa lainnya dan industri. Sektor industri meskipun mengalami perlambatan dalam penciptaan nilai tambah namun mengalami peningkatan dalam penyerapan tenaga kerja pada kurun waktu 2007-2010.
5.5.
130
Pendapatan dan Pengeluaran Rumah tangga
5.5.1. Penduduk Miskin Ekonomi Jawa Barat memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat. Namun demikian, jumlah penduduk miskin di Jawa Barat masih relatif besar jika dibandingkan dengan provinsi provinsi lain di Indonesia. Menurut data (BPS Jawa Barat, 2011), jumlah penduduk miskin di Provinsi Jawa barat pada tahun 2010 adalah sebesar 4.716.000 jiwa (Tabel 13). Jumlah tersebut menempatkan Provinsi Jawa Barat sebagai provinsi urutan ketiga di Indonesia yang memiliki tingkat kemiskinan terbesar, setelah Provinsi Jawa Timur (5.529.300 jiwa) dan Provinsi Jawa Tengah (5.369.200 jiwa). Kondisi laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan tidak diikuti dengan penyediaan lapangan kerja menyebabkan tingkat kemiskinan bertambah dan menciptakan paradoks antara pertumbuhan dan kemiskinan. Padahal secara teoritis laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi menunjukkan semakin banyaknya output yang di hasilkan dan tentunya ini mengindikasikan semakin banyaknya orang yang bekerja, sehingga meningkatkan kemakmuran masyarakat. Dengan demikian laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi seharusnya juga akan mengurangi kemiskinan. Tabel 13. Jumlah Penduduk Miskin Jawa Barat, 2009-2010 Tahun (1)
Jumlah (orang) (2)
Persentase (%) (3)
2009
4.852.520
11.58
2010
4.716.000
10.93
Sumber: BPS Jawa Barat, 2011
Ada beberapa hal yang perlu dicermati berkaitan dengan permasalahan kemiskinan ini. Pertama, terdapat pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Provinsi Jawa Barat belum ditopang dengan sektor-sektor yang memiliki elastisitas lapangan kerja
yang
131
tinggi sehingga
berdampak
kepada
pengangguran
dan
akhirnya
akan
menimbulkan masalah kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi seperti ini umumnya memberikan pemihakan pada sektor-sektor tertentu sehingga mempersempit peluang berkembangnya sektor lain, yang pada akhirnya akan berakibat pada berkurangnya jenis lapangan kerja yang tersedia. Kedua, laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak dibarengi dengan tersedianya sarana dan prasarana infrastruktur transportasi yang mendukung kegiatan produksi dan kelancaran arus distribusi barang dan jasa dari produsen ke konsumen, sehingga pembangunan di Provinsi Jawa Barat hanya berkonsentrasi pada beberapa wilayah, terutama wilayah yang berbatasan dengan DKI Jakarta. Kondisi ini mengakibatkan laju pertumbuhan ekonomi tidak mampu mengatasi masalah kemiskinan khususnya bagi masyarakat yang berada di wilayah terpencil. Padahal melalui laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan mampu mengurangi kemiskinan. Paradoks antara pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran dan kemiskinan di atas mencerminkan bahwa tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi masih bersifat semu (belum berkualitas). Padahal laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan kemiskinan. Disamping itu masih terdapat syarat lain yang belum dipenuhi di dalam pertumbuhan ekonomi ini yakni syarat kecukupan (sufficient condition). Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi mestinya menjadi modal untuk mengurangi kemiskinan. Untuk itu kebijakan pemerintah ke depan harus diarahkan agar pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus merata di setiap daerah dan dapat dinikmati oleh setiap golongan rumah tangga, termasuk golongan rumah tangga miskin (growth with equity). Salah satu cara untuk mencapai kondisi diatas adalah melalui perbaikan dan pemerataan infrastruktur transportasi di seluruh wilayah di Jawa Barat.
5.5.2
132
Pendapatan dan Pengeluaran Rumah tangga. Penggolongan rumah tangga dalam penelitian ini dibedakan atas rumah tangga
pertanian, rumah tangga industri dan rumah tangga selain pertanian dan industri yaitu mereka yang bekerja di sektor pertambangan, listrik, gas dan air minum, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa jasa lainnya. Sementara itu, rumah tangga pertanian dibedakan atas buruh tani dan petani yang memiliki tanah pertanian. Sedangkan rumah tangga industri dan rumah tangga non pertanian dan industri dikelompokkan lagi menjadi rumah tangga golongan rendah di desa dan kota, rumah tangga bukan angkatan kerja di desa dan di kota serta rumah tangga golongan atas di desa dan di kota. Sebagai tambahan, yang dimaksud dengan rumah tangga golongan rendah adalah rumah tangga yang kepala rumah tangganya bekerja sebagai buruh, pekerja kasar atau pekerja manual. Sementara itu, rumah tangga bukan angkatan kerja adalah rumah tangga dengan kepala rumah tangga penerima pendapatan seperti pensiunan, pemilik modal (tabungan, deposito, saham dsb). Sebagai tambahan, rumah tangga golongan atas adalah rumah tangga dengan kepala rumah tangga sebagai manajer, pekerja professional, ketatalaksanaan (supervisor) dan pekerjaan sejenis. Karakteristik rumah tangga di Jawa Barat berdasarkan data jumlah penduduk dan rumah tangga yang merupakan tabel satelit dari SNSE Jawa Barat, merupakan rumah tangga non-pertanian. Sektor Pertanian yang berkontribusi sebesar 12% pada tahun 2010, dan merupakan sektor dimana bergantung sekitar 8.43 juta penduduk dari total penduduk Jawa Barat yang sebesar 43.02 juta atau sebanyak 2.18 juta rumah tangga. Sementara rumah tangga yang bergantung kepada sektor non pertanian seperti industri sebesar 9.83 juta penduduk atau 2.01 juta rumah tangga dan rumah tangga yang bergantung kepada sektor jasa jasa (selain pertanian dan industri)
133
merupakan yang terbesar yaitu sebanyak 24.77 juta penduduk atau sebanyak 5.41 juta rumah tangga (Tabel 14). Tabel 14. Struktur Rumah tangga Jawa Barat, Tahun 2010 Jumlah Penduduk (juta orang)
Jumlah Rumah tangga (juta RT)
8.43
2.18
Buruh pertanian
5.48
1.48
Pengusaha Pertanian
2.95
0.70
9.83
2.01
2.17
0.38
1.28
0.28
RT Golongan Atas RT Golongan Bawah Bukan Angkatan Kerja
0.64
0.15
3.00
0.53
1.95
0.45
RT Golongan Atas Rt selain pertanian dan industri RT Golongan Bawah Desa Bukan Angkatan Kerja
0.80
0.23
24.77
5.41
7.28
1.41
4.98
1.08
RT Golongan Atas RT Golongan Bawah Bukan Angkatan Kerja
3.29
0.88
4.95
1.01
2.68
0.63
RT Golongan Atas JUMLAH Sumber: BPS Jawa Barat, 2011
1.60
0.40
43.02
9.61
Kelompok RT RT pertanian
RT industri
Desa
Kota
Kota
RT Golongan Bawah Bukan Angkatan Kerja
Daya tarik ekonomis dari sektor non pertanian mendorong penduduk beralih dari sektor pertanian kepada sektor non pertanian. Pendapatan berupa upah dan gaji sektor non pertanian yang lebih besar mendorong mereka untuk beralih profesi dari petani menjadi pekerja pabrik, pedagang atau pekerja sektor restoran, jasa keuangan dan sebagainya.
134
5.5.2.1. Sumber Pendapatan Rumah tangga Pendapatan rumah tangga bersumber dari pendapatan faktorial dan transfer. Pendapatan faktorial (factorial income) terdiri dari; (1) pendapatan yang bersumber dari balas jasa faktor produksi tenaga kerja, (2) pendapatan yang bersumber dari balas jasa bukan tenaga kerja (modal) termasuk imputasi sewa rumah yang ditempati sendiri, pendapatan dari usaha setelah dikurangi dengan biaya tenaga kerja dsb. Sedangkan pendapatan transfer meliputi; (1) tansfer yang bersumber dari rumah tangga lain, (2) transfer dari perusahaan berupa bantuan sosial, tansfer dari pemerintah seperti bantuan sosial termasuk bantuan operasional sekolah (BOS) bantuan kesehatan (Jamkesmas, dsb) serta (3) transfer/bantuan dari luar negeri termasuk halnya yang berasal dari luar wilayah Jawa Barat. Hasil estimasi dari SNSE Jawa Barat diketahui bahwa rata-rata pendapatan per kapita penduduk Jawa Barat adalah sebesar Rp 13.34 juta pertahun per orang. Sebagian besar dari total pendapatan tersebut berasal dari kegiatan bekerja sebagai buruh, karyawan atau pekerja keluarga sehingga menghasilkan pendapatan berupa upah dan gaji sebesar rata rata Rp 10.01 juta per penduduk. Pendapatan terbesar adalah rumah tangga golongan atas di sektor industri dengan pendapatan rata-rata 95.00 juta per orang per tahun. Rumah tangga golongan rendah di kota yang bekerja di sektor selain pertanian dan selain industri menerima pendapatan per kapita terendah dibandingkan dengan golongan rumah tangga lain dalam kerangka SNSE Jawa Barat yaitu sebesar Rp 3.98 juta perkapita. Secara rata-rata penduduk yang bekerja di sektor industri memperoleh pendapatan paling besar dibandingkan dengan golongan rumah tangga lain. Penerima pendapatan terendah di sektor industri adalah rumah tangga golongan rendah dengan rata-rata pendapatan per kapita sebesar Rp 3.63 juta
135
sementara penerima pendapatan tertinggi di sektor industri adalah rumah tangga golongan atas yaitu sebesar Rp 95.01 juta (Tabel 15). Sebagian besar pendapatan rumah tangga di Jawa barat adalah pendapatan dari upah dan gaji yaitu secara rata-rata sebesar 75.0% dari total pendapatan, pendapatan dari kapital (bunga, deviden, sewa dsb) sebesar 24.1% dan sisanya merupakan pendapatan dari transfer baik dari rumah tangga, pemerintah, perusahaan maupun dari transfer luar negeri yaitu 0.9% (Tabel 15). Pendapatan rumah tangga industri juga memiliki ketergantungan pendapatan yang berasal upah dan gaji sebagai kompensasi jasa tenaga kerja yang bekerja di sektor industri dengan persentase sebesar 75% sampai dengan 90.5% (bagi rumah tangga BAK) dari total pendapatan rumah tangga. Rumah tangga pertanian tidak terlalu berharap dari upah pertanian mengingat tingkat upah di sektor pertanian relatif lebih rendah dibandingkan dengan tingkat upah di sektor lainnya seperti halnya upah pada sektor industri. Sekitar 85% pendapatan rumah tangga pertanian berasal dari upah dan gaji.
5.5.2.2. Struktur Pengeluaran Rumah tangga. Struktur pengeluaran rumah tangga dapat menggambarkan kemampuan rumah tangga dalam meningkatkan pendapatannya. Semakin rendah persentase konsumsi akhir semakin besar tabungan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan kapital dari tabungan. Dari data Tabel 16 dapat diketahui bahwa rata rata lebih dari 80% pendapatan digunakan untuk konsumsi akhir. Bahkan untuk rumah tangga golongan rendah baik yang bekerja di sektor industri maupun diluar sektor industri dan pertanian mengkonsumsi lebih dari 90% dari total pendapatannya terutama buruh tani yang mengkonsumsi 96.5% dari total pendapatannya. Sulit bagi rumah tangga dengan struktur pendapatan seperti buruh tani tersebut atau rumah tangga golongan rendah di
136
sektor industri dan di kota dengan konsumsi sebesar 92.1% untuk meningkatkan pendapatannya kecuali ada campur tangan langsung pemerintah melalui bantuan pendidikan, kesehatan atau program cash transfer seperti halnya bantuan langsung tunai (BLT).
137
Besarnya konsumsi rumah tangga berhubungan linear dengan tingkat tabungan rumah tangga. Semakin besar konsumsi akhir semakin rendah tabungan rumah tangga.
Rumah tangga golongan atas baik di sektor industri dan sektor jasa-jasa
mempunyai tingkat tabungan (saving rate) relatif tinggi dibandingkan dengan golongan rumah tangga lain. Rumah tangga golongan atas di sektor jasa-jasa mempunyai tabungan sebesar 27.7% baik di desa maupun di kota. Sementara tabungan rumah tangga golongan atas di sektor industri di kota sebesar 20.7% dan di desa 18.8% (Tabel 16).
Tabel 16. Pangsa Pendapatan dan Pengeluaran Terhadap Total Pendapatan Menurut G Jawa Barat, 2010 (persen) Pangsa (%) Pertanian
Bukan Per Industri
Pengus Desa Kota aha Buruh RT Pertani RT Bukan RT Bukan Golong an Golonga Angkata Golonga Angkatan an n Bawah n Kerja n Atas Kerja Bawah 43,02 5,48 2,95 2,17 1,28 0,64 3,00 1,95
Jumlah
Jumlah Penduduk (juta orang) Jumlah Rumah tangga (juta rt)
9,61
1,48
0,70
0,38
0,28
0,15
0,53
0,45
1. Upah dan gaji
75,0
85,6
86,2
85,9
75,2
86,6
89,7
90,5
2. Pendapatan kapital
24,1
12,2
13,1
12,2
23,7
13,1
10,0
9,3
0,9
2,2
0,7
1,9
1,1
0,3
0,3
0,1
- RT
0,7
2,1
0,6
1,7
0,5
0,0
0,2
0,0
- Perusahaan
0,1
0,0
0,1
0,1
0,2
0,0
0,0
0,1
3. Penerimaan transfer dari :
- Pemerintah
0,1
0,0
0,0
0,0
0,4
0,2
0,1
0,0
- Luar Negeri
0,1
0,0
0,0
0,0
0,0
0,1
0,0
0,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
5. Pembayaran pajak langsung
0,1
0,0
0,1
0,1
0,2
0,0
0,0
0,1
6. Pendapatan RT setelah pajak
99,9
100,0
99,9
99,9
99,8
100,0
100,0
99,9
0,7
0,7
0,4
0,5
1,0
0,4
0,6
0,5
- RT
0,7
0,7
0,4
0,5
0,9
0,4
0,6
0,5
- Perusahaan
0,0
0,0
0,0
0,0
0,1
0,0
0,0
0,0
4. Jumlah pendapatan
7. Pembayaran transfer ke :
0,0
0,0
0,0
0,0
0,1
0,0
0,0
0,0
8. Pendapatan Disposabel
- Luar Negeri
99,2
99,2
99,5
99,4
98,8
99,5
99,4
99,5
9. Pengeluaran konsumsi
81,6
96,5
84,6
91,3
91,2
80,8
92,1
90,4
10. Tabungan
17,6
2,7
14,9
8,1
7,6
18,8
7,3
9,1
Sumber: SNSE Jawa barat 2010 diolah
l 16. tal Pendapatan Menurut Golongan Rumah Tangga 010 (persen) Pangsa (%) Bukan Pertanian Bukan Industri Kota
Desa RT RT Golongan Golongan Atas Bawah
Kota
Bukan RT RT Angkatan Golongan Golongan Kerja Atas Bawah
Bukan RT Angkatan Golongan Kerja Atas
0,80
7,28
4,98
3,29
4.95
2.68
1.6
0,23
1,41
1,08
0,88
1.01
0.63
0.4
90,3
45,4
27,2
55,4
70.9
63.1
78.9
8,1
54,0
68,0
44,0
28.6
36.6
20.8
1,6
0,6
4,8
0,6
0.5
0.4
0.3
1,5
0,1
4,3
0,1
0.3
0
0
0,1
0,2
0,2
0,2
0.2
0.1
0
0,0
0,2
0,2
0,3
0
0.2
0.1
0,0
0,0
0,1
0,1
0
0.1
0.1
100,0
100,0
100,0
100,0
100
100
100
0,1
0,2
0,2
0,2
0.2
0.1
0
99,9
99,8
99,8
99,8
99.8
99.9
100
0,3
1,2
1,1
0,6
0.9
1.2
1.1
0,3
1,1
1,1
0,5
0.8
1.1
1
0,0
0,0
0,0
0,0
0
0
0
0,0
0,0
0,0
0,0
0
0
0.1
99,6
98,6
98,7
99,3
99
98.7
98.8
78,9
82,4
90,0
71,5
93.5
92.5
71.1
20,7
16,2
8,7
27,8
5.4
6.2
27.7
138
BAB VI ANALISIS MULTIPLIER & DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA
6.1.
Infrastruktur dan Kinerja perekonomian Investasi infrastruktur transportasi di Provinsi Jawa Barat diharapkan
dapat meningkatkan kinerja perekonomian dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Dampak lanjut dari pertumbuhan ekonomi ini adalah tenaga kerja dapat terserap lebih banyak serta angka pengangguran dapat ditekan. Dengan adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja yang lebih banyak, pada akhirnya diharapkan akan memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat. Penelitian tentang keterkaitan investasi infrastruktur dan perekonomian yang dilakukan oleh Aschauer (1989) yang menganalisa kontribusi akumulasi kapital pada sektor publik terhadap perubahan produktivitas dari sektor swasta di Amerika Serikat dapat menjadi referensi yang baik tentang pentingnya peran investasi infrastruktur transportasi bagi perekonomian. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa infrastruktur dasar seperti, jalan, bandara, sistem angkutan massal, air minum dan drainase memiliki pengaruh yang signifikan terhadap produktivitas perekonomian Amerika Serikat. Selain itu, penelitian ini juga menemukan
bahwa
keterlambatan
dalam
pengeluaran
pembangunan
infrastruktur berperan dalam lambatnya produktivitas. Penelitian Aschauer tersebut dapat menjadi acuan penting untuk menekankan pentingnya sesegera mungkin memperbaiki infrastruktur di Jawa Barat dalam rangka meningkatkan produktivitas
perekonomian
Jawa
Barat,
mengingat
kondisi
infrastruktur
transportasi (jalan) di Jawa Barat yang menunjukkan kondisi kurang baik pada saat ini.
139
Temuan yang menunjukkan akan pentingnya infrastruktur selanjutnya dipertajam kembali oleh Canning (1999) yang secara umum mendukung apa yang ditemukan oleh Aschauer (1989) yang menemukan bahwa infrastruktur secara statistik signifikan mempengaruhi output. Beberapa temuan lain dari Canning (1999) yang menarik, diantaranya adalah bahwa produktivitas physical capital dan human capital pada tingkat makro (dalam hal ini adalah dunia yang diwakili oleh 57 negara) mendekati kondisi empirik yang terjadi pada level mikro yang dihitung berdasarkan pendapatan rumah tangga atas faktor atau berdasarkan analisa cost-benefitnya. Selanjutnya temuan lainnya menunjukkan bahwa investasi infrastruktur di bidang telekomunikasi, transportasi dan listrik memiliki tingkat marginal productivity yang tinggi dibandingkan dengan jenis infrastruktur lain. Sementara itu, Dumont dan Somps (2000) mencoba menganalisa dampak dari adanya infrastruktur publik secara lebih detail, dimana tidak hanya melihat dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi tetapi juga terhadap daya saing. Dumont dan Somps (2000) menggunakan Dynamic Computable General Equilibrium (CGE) dengan database Social Acounting Matrix (SAM) Senegal tahun 1990. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dampak infrastruktur terhadap sektor manufaktur baik dalam hal output dan daya saing akan berbedabeda tergantung pada dampaknya terhadap tingkat harga domestik dan tingkat upah. Selain itu, hasil simulasi juga menunjukkan bahwa metode pembiayaan merupakan faktor penting yang harus diperhitungkan karena dampak yang akan ditimbulkan akan berbeda dan sekali lagi tergantung pada sejauh mana mempengaruhi harga domestik. Secara empiris, Esfahani dan Ramirez (2002) menganalisa hubungan antara institusi, infrastruktur dan kinerja ekonomi dengan menggunakan data dari 75 negara. Hasil estimasi Two Stage Least Square (2SLS) dari penelitian
140
tersebut menunjukkan bahwa kontribusi infrastruktur terhadap GDP sangat substansial dan secara umum melebihi biaya yang dikeluarkan untuk penyediaan infrastruktur tersebut. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kapabilitas dari institusi yang akan menentukan kredibilitas dan efektivitas dari kebijakan pemerintah memiliki peran yang penting dalam proses pembangunan melalui pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, negara akan mendapatkan benefit yang sangat besar dalam hal output, jika pemerintah fokus pada peningkatan investasi dan kinerja dari infrastruktur.
6.2.
Analisis Keterkaitan Sektoral Jawa Barat Analisis multiplier dalam penelitian ini menggunakan SNSE Jawa Barat
tahun 2010 sebagai kerangka data yang digunakan sebagai model untuk melakukan kajian yang berkaitan dengan dampak investasi sektor infrastruktur transportasi
terhadap
perekonomian
Jawa
Barat
khususnya
terhadap
penyerapan tenaga kerja di sektor ekonomi dan distribusi pendapatan rumah tangga. Kerangka data SNSE Jawa Barat 2010 ini juga digunakan untuk mengkaji jalur transmisi dari investasi infrastruktur transportasi sampai kepada sekor ekonomi serta transmisi investasi infrastruktur transportasi sampai kepada berbagai golongan rumah tangga serta kaitannnya dengan distribusi pendapatan berbagai golongan rumah tangga. Sejalan dengan kerangka data SNSE Jawa Barat tahun 2010 yang digunakan dalam penelitian ini, secara teori model kerangka data SNSE ini dapat memotret perekonomian Provinsi Jawa Barat pada tahun tertentu serta dapat melihat keterkaitan aktivitas/sektor ekonomi yang ada dengan pelaku/institusi yang menjalankan aktifitas ekonomi serta bagaimana penggunaan faktor produksi yang ada (tenaga kerja dan modal ). Model SNSE adalah pengembangan dari model I-O, namun model I-O hanya menekankan pada hubungan keterkaitan antar industri pada satu waktu
141
tertentu. Sementara itu model SNSE diperluas lagi, tidak hanya memotret keterkaitan antar industri namun dapat pula menunjukkan aliran pendapatan yang dihasilkan oleh perekonomian domestik di masing-masing sektor/aktivitas produksi oleh pelaku ekonomi (rumah tangga, pemerintah, perusahaan atau luar negeri)
dan
bagaimana
pendapatan
tersebut
dialokasikan
berdasarkan
kepemlikan faktor produksi atau atas dasar transfer (income redistribution). Keuntungan penggunaan SNSE dalam analisis perekonomian suatu wilayah adalah konsistensi isian dalam kerangka data SNSE tersebut dengan berbagai data makro ekonomi yang tersedia secara terpisah. Selain itu, penggunakan model SNSE dalam suatu perencanaan ekonomi menurut Wagner (1999) dalam Daryanto (2010) menunjukkan bahwa model SNSE mampu menjelaskan keterkaitan antara permintaan, produksi, dan pendapatan di dalam perekonomian suatu wilayah yang menggambarkan struktur perekonomian, keterkaitan antara aktivitas produksi, distribusi pendapatan, konsumsi barang dan jasa, tabungan dan investasi, serta perdagangan luar negeri. SNSE juga dapat memberikan suatu kerangka kerja yang bisa menyatukan dan menyajikan seluruh data perekonomian wilayah. Selain itu dengan menggunakan kerangka data SNSE juga dapat dihitung multiplier perekonomian wilayah yang berguna untuk mengukur dampak dari suatu aktivitas produksi, distribusi pendapatan, serta permintaan yang menggambarkan struktur permintaan. Secara spesifik, BPS (2005) menyebutkan bahwa perangkat SNSE dapat digunakan sebagai kerangka data sosial ekonomi yang mampu menjelaskan mengenai: 1). Kinerja pembangunan ekonomi suatu negara, seperti halnya distribusi produk domestik bruto (PDB), konsumsi, tabungan, dan sebagainya; 2). Distribusi pendapatan faktorial, yaitu distribusi pendapatan yang dirinci menurut faktor-faktor produksi di antaranya seperti tenaga kerja dan modal; 3). Distribusi pendapatan rumah tangga yang dirinci menurut berbagai golongan rumah
142
tangga; 4). Pola pengeluaran rumah tangga (household expenditure pattern); dan 5). Distribusi tenaga kerja menurut sektor atau lapangan usaha tempat mereka bekerja, termasuk halnya distribusi pendapatan tenaga kerja yang mereka peroleh sebagai kompensasi atas keterlibatannya dalam proses produksi. Di samping itu, SNSE juga merupakan suatu sistem kerangka data yang dapat digunakan sebagai dasar pembuatan suatu model ekonomi serta sebagai dasar analisis, baik untuk analisis parsial (partial equiblirium) maupun analisis keseimbangan umum (general equilibrium) dalam melakukan analisis kebijakan.
6.2.1
Analisis Backwad dan Forward Linkage Analisis keterkaitan antar sektor di dalam penelitian ini selain digunakan
untuk mengetahui bagaimana setiap sektor dalam perekonomian Jawa Barat saling terkait, juga digunakan untuk mengetahui ketergantungan satu sektor dengan yang lain sehingga memudahkan bagi pembuat kebijakan dalam mengambil kebijakan yang diperlukan. Sebagai misal, bagaimana dampak stimulus investasi pada sektor infrastruktur transportasi terhadap kinerja perekonomian di Jawa Barat, terhadap penyerapan tenaga kerja serta terhadap distribusi pendapatan masyarakat. Dalam kerangka data SNSE Jawa Barat 2010, matriks keterkaitan antar sektor diambil dari matriks Ma yang merupakan perpotongan antara blok baris neraca sektor dengan blok kolom neraca sektor (Msektor-sektor) Analisis keterkaitan antar sektor-sektor produksi dapat dilihat dari dua sisi yakni dari sisi keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan dari sisi keterkaitan ke depan (forward linkage). Keterkaitan kebelakang menunjukkan daya penyebar, artinya kalau terjadi peningkatan permintaan akhir terhadap suatu sektor tertentu maka sektor tersebut akan mendorong peningkatan output semua sektor dengan kelipatan sebesar nilai multipliernya. Sebagai contoh
143
keterkaitan ke belakang sektor industri pemintalan tekstil, pakaian dan barang dari kulit di Jawa Barat (Tabel 17) sebesar 3.4519. Angka multiplier ini mengandung arti bahwa apabila ada permintaan akhir terhadap produk sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit sebesar satu unit maka output semua sektor akan meningkat sebesar 3.4519 unit. Hal ini terjadi karena kenaikan permintaan akhir terhadap output sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit sebesar satu unit tersebut mendorong sektor ini meningkatkan permintaan input dari sektor sektor lainnya. Permintaan sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit tersebut mendorong sektor lainnya tersebut untuk meningkatkan outputnya dalam rangka memenuhi permintaan sektor industri tekstil tersebut dan kondisi ini juga memerlukan tambahan input bagi sektor-sektor lainnya untuk memenuhi permintaan sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit tersebut. Akhirnya seluruh sektor meningkat sebesar 3.4519 unit. Dengan kata lain, backward linkage menggambarkan keterkaitan antar sektor (aktivitas) produksi yang berada di hilir (downstream sectors) dengan sektor produksi yang berada di hulu (upstream sector) atau dengan kata lain sektor yang berada hilir sebagai pembeli input yang dihasilkan oleh sektor yang berada di hulu. Backward linkage akan ada apabila peningkatan produksi sektor sektor hilir memberikan dampak eksternalitas positif terhadap sektor sektor hulu. Dengan demikian maka sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit dapat menjadi fokus perhatian bagi pemerintah untuk meningkatkan kinerja sektor-sektor yang sangat terkait dengan industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit, sehingga kebijakan yang diterapkan dapat lebih efektif dengan memberi stimulus industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit agar dapat menggerakkan lebih banyak sektor yang terkait. Koefisien multiplier dari sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit merupakan koefisien multiplier yang terbesar dan diikuti oleh sektor industri
144
makanan
dan
tembakau,
sektor
pemerintahan,
pertahanan,
pendidikan,
kesehatan, film dan jasa sosial lainnya, industri kayu dan barang dari kayu, sektor infrastruktur (konstruksi) bukan transportasi serta infrastruktur transportasi yang menjadi fokus perhatian di dalam penelitian ini. Keenam sektor tersebut yang merupakan motor penggerak terbesar yang dapat meningkatkan sektorsektor lainnya apabila mengalami peningkatan. Fokus kebijakan kepada enam sektor utama dengan backward linkage terbesar sebagai sektor pendorong bagi sektor sektor lain menjadikan keuangan pemerintah dapat lebih efisien tanpa harus memperhatikan seluruh sektor (Tabel 17). Supaya suatu kebijakan sektoral dapat lebih efektif berjalan, maka perlu juga dikaji dampak kedepan (forward linkage) setiap sektor tersebut sehingga tidak hanya sebagai faktor pendorong bagi kemajuan kinerja sektor-sektor lain namun juga kemampuan suatu sektor dalam keterkaitannya ke depan. Tabel 17. Enam Sektor dengan Backward Linkage Terbesar Di Jawa Barat Tahun 2010 No
Sektor
Backward linkage
Index Backward linkage
(1)
(2)
(3)
(4)
1 2 3
Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film dan Jasa Sosial Lainnya Konstruksi Sektor Bukan Transportasi Konstruksi Sektor Transportasi Industri Kayu & Barang Dari Kayu
4 5 6
3.4519 3.3829 3.2839
1.1513 1.1283 1.0953
3.2666 3.2414 3.1520
1.0895 1.0811 1.0513
Sumber SNSE Jawa Barat 2010, diolah
Tingkat keterkaitan ke depan (forward linkage) menunjukkan derajat kepekaan sektor tertentu terhadap permintaan akhir sektor-sektor lainnya. Jika terjadi kenaikan permintaan akhir pada semua sektor produksi maka suatu sektor tertentu akan memberikan respon dengan menaikkan output sektor tersebut dengan kelipatan sebesar koefisien multipliernya. Misalnya, industri kertas,
145
percetakan, alat angkutan dan barang dari logam yang mempunyai forward linkage terbesar dalam perekonomian Jawa Barat pada tahun 2010 (Tabel 18), dengan koefisien multiplier sebesar 8.7911. Koefisien multiplier tersebut mempunyai makna bahwa apabila permintaan akhir semua sektor produksi meningkat sebesar satu unit, maka output sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan, dan barang dari logam akan meningkat sebesar 8.7911 unit. Forward linkage menggambarkan keterkaitan antara sektor (aktivitas) produksi yang berada di hulu (upstream sectors) dengan sektor sektor produksi yang berada di hilir (downstream sectors). Sektor-sektor yang mempunyai nilai multiplier terbesar adalah industri kertas, percetakan, alat angkutan dan barang dari logam; industri makanan, minuman dan tembakau; perdagangan; pertanian tanaman pangan; industri kimia pupuk, hasil dari tanah liat, semen; serta industri pemintalan, tekstil pakaian dan kulit. Tabel 18. Enam Sektor dengan Forward Linkage Terbesar Di Jawa Barat Tahun 2010 No (1) 1
Sektor
Forward linkage (3) 8.7911
Index Forward linkage (4) 2.9321
7.7580 7.1583
2.5875 2.3875
2 3
(2) Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam dan Industri Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Perdagangan
4
Pertanian Tanaman Pangan
5.3406
1.7812
5
Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit
5.2573
1.7535
4.7763
1.5930
6
Sumber SNSE Jawa Barat 2010, diolah
Meskipun peranan dalam pembentukan PDRB Jawa Barat tahun 2010 untuk sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit dan sektor industri makanan, minuman dan tembakau tidak terlalu besar, namun keterkaitan ke belakang dan ke depan sektor-sektor tersebut dapat diandalkan dalam mendorong pertumbuhan perkonomian Jawa Barat secara keseluruhan. Sinyal
146
berupa penurunan peranan di kedua sektor dalam perekonomian Jawa Barat selama tiga tahun terakhir seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah daerah maupun pusat untuk segera memberikan perhatian terhadap sektor-sektor tersebut. Dengan identifikasi lebih dalam terhadap masalah yang dihadapi kedua sektor tersebut dan memberikan solusi dalam menangani hal hal yang menjadi penyebab
penurunan
peranan
kedua
sektor
diharapkan
dapat
lebih
meningkatkan kinerja pembangunan di Jawa Barat.
6.2.2
Interdependensi Sektoral Jawa Barat Berdasarkan hasil penghitungan global multiplier (Ma) dapat dilihat
keterkaitan antar sektor, yaitu perpotongan antara baris komoditas dan kolom sektor (Mkom.-Sektor) yang menggambarkan karakter dari setiap sektor. Gambaran yang dapat diperoleh dari matriks Mkom.-Sektor adalah bahwa setiap injeksi (shock) di masing- masing aktivitas produksi akan memberikan dampak yang berbeda di setiap sektornya akibat perubahan di dalam permintaan barang dan jasa antara. Pada Tabel 19 diketahui bahwa injeksi sektoral, secara rata rata sebesar 1 unit akan meningkatkan output Jawa Barat sebesar 2.996 unit, yaitu jumlah multiplier dari submatriks Mkom.-Sektor . Dari lampiran Tabel Accounting Multiplier juga dapat diketahui bahwa elemen diagonal dari global multiplier (Ma) untuk submatriks (Mkom.-Sektor) yaitu bagian matriks Ma di sisi baris komoditas dan kolom sektor yang bersesuaian mempunyai nilai lebih besar dari satu. Jika terjadi injeksi satu unit ke dalam sektor ke-i akibat dari peningkatan permintaan eksogen, maka akan berdampak kepada pendapatan sektor yang sama lebih dari satu unit, karena proses multiplikatif dari sirkulasi pendapatan di dalam sistem perekonomian. Nilai multiplier dalam diagonal elemen tersebut merupakan ukuran relatif seberapa besar sektor produksi terintegrasi secara internal. Dengan demikian maka sektor
147
industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit merupakan sektor yang paling terintegrasi diantara sektor-sektor yang lain dengan nilai diagonal multiplier sebesar 1.7826. Sementara itu, sektor industri kertas percetakan alat angkutan dan logam kurang terintegrasi secara internal dibandingkan dengan sektor pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit. Tabel 19. Nilai Pengganda Global yang Diterima Sektor Produksi Di Provinsi Jawa Barat Tahun 2010
Rincian (1) Pertanian Tanaman Pangan Pertanian Tanaman Lainnya Peternakan dan Hasil-hasilnya Kehutanan dan Perburuan Perikanan Pertambangan Batubara, Biji Logam dan Minyak Bumi Pertambangan dan Penggalian Lainnya Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit Industri Kayu & Barang Dari Kayu Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam dan Industri Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen Listrik, Gas Dan Air Minum Infrastruktur Transportasi Infrastruktur Bukan Transportasi Perdagangan Restoran Perhotelan Angkutan Darat Angkutan Udara, Air dan Komunikasi Jasa Penunjang Angkutan, dan Pergudangan Bank dan Asuransi Real Estate dan Jasa Perusahaan Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film dan Jasa Sosial Lainnya Jasa Perseorangan, Rumah tangga dan Jasa Lainnya Rata-rata Sumber SNSE Jawa Barat 2010, diolah
Kode Faktor Produksi Institusi (2) 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
(3)
(4)
Sektor Produksi (5)
1.880 0.112 0.432 0.013 0.255 0.210 0.027 3.227 1.340 0.106 2.577
3.251 0.205 0.804 0.028 0.477 0.395 0.051 5.439 2.489 0.229 4.379
5.341 1.345 2.007 1.083 1.576 1.937 1.113 7.758 4.776 1.438 8.791
1.156 1.042 0.031 0.091 2.295 0.060 0.478 1.303 0.365 0.032 0.234 0.238 0.448 0.536
2.221 1.872 0.062 0.178 4.031 0.108 0.855 2.264 0.691 0.060 0.418 0.435 1.031 0.967
5.257 3.653 1.256 1.521 7.158 1.224 2.027 4.476 1.871 1.119 1.997 1.651 1.993 2.589
0.740
1.318
2.998
148
Sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit adalah sektor yang sangat terintegrasi dengan sektor sektor lainnya dalam sistem produksi ekonomi Jawa Barat. Pada lampiran AA tersebut bahwa nilai multiplier pada total kolom dari sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit adalah sebesar 3.4519. Nilai tersebut relatif besar dibandingkan dengan dampak sektoral dari sektor lain. Kajian ini bermakna bahwa setiap injeksi pada sektor tersebut mempunyai dampak relatif besar terhadap aktivitas internal sektor-sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit itu sendiri, serta juga berdampak positif bagi perkembangan sektor lainnya. Sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit tersebut pada perekonomian Jawa Barat pada tahun 2010 tersebut juga mempunyai backward efect terbesar dibandingkan sektor sektor lainnya serta memiliki forward effect dengan nilai multiplier berada pada posisi enam besar dibandingkan sektor lainnya. Dengan demikian maka sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit merupakan sektor penggerak utama di dalam sistem produksi perekonomian Jawa Barat. Sementara itu, sektor lain yang memberikan dampak besar kepada aktivitas sektor lainnya adalah sektor industri kertas percetakan alat angkutan dan logam. Dengan demikian, berdasarkan kajian diatas maka setiap kebijakan yang ditujukan kepada sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit dan sektor industri kertas percetakan alat angkutan dan logam tersebut akan memberikan dampak positif terbesar dalam menggerakkan perekonomian Jawa Barat.
6.3.
Analisis Multiplier Sektoral Penentuan
kebijakan
yang
diarahkan
kepada
stimulus
sektoral
didasarkan pada kajian mendalam tentang bagaimana karakteristik sektor-sektor, serta melihat bagaimana dampak stimulus sektor-sektor terhadap perkonomian secara menyeluruh, dampaknya terhadap ketenagakerjaan serta pengaruhnya
149
terhadap distribusi pendapatan masyarakat. Studi yang dilakukan oleh Badan Kebijakan
Fiskal
(BKF)
Kementerian
Keuangan
menyimpulkan
bahwa
infrastruktur, termasuk halnya infrastruktur transportasi, merupakan faktor pendorong pertumbuhan ekonomi dan dapat menjamin tercapainya pemerataan hasil pembangunan (Saragih, 2010). Penelitian ini secara khusus memiliki fokus untuk melihat dampak infrastruktur transportasi sebagai pokok bahasan. Dalam analisis multiplier sektoral, dikaji dampak sektoral terhadap perkonomian secara umum untuk mengetahui karakteristik masing-masing sektor serta kontribusinya dalam kinerja pembangunan. Kajian selanjutnya difokuskan kepada dampak investasi infrastruktur transportasi kepada perekonomian Jawa Barat, dampaknya terhadap ketenagakerjaan serta dampaknya terhadap distribusi pendapatan masing-masing golongan rumah tangga. Nilai Pengganda Global seperti yang terlihat pada Tabel 19 menunjukkan dampak stimulus masing-masing sektor terhadap output sektoral, faktor produksi dan neraca institusi. Dengan nilai pengganda global dapat diketahui sektor-sektor mana yang memberikan pengaruh terbesar didalam perekonomian Jawa Barat. Perubahan output suatu sektor sebagai dampak dari adanya guncangan (shock) neraca eksogen dapat diketahui melalui nilai pengganda global. Berdasarkan hasil pengolahan data, sektor yang memberikan dampak terbesar adalah sektor industri kertas, alat percetakan, alat angkutan dan barang dari logam dengan nilai multiplier sebesar 8.791. Artinya, bila seluruh sektor produksi naik 1 unit, maka sektor industri kertas, alat percetakan, alat angkutan dan barang dari logam akan naik sebesar 8.791 unit. Sektor berikutnya yang memberikan dampak multiplier terbesar adalah industri makanan, minuman dan tembakau dengan multiplier sebesar 7.758, atau lebih tinggi dari nilai multiplier dari sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit dengan nilai 4.776.
150
Selain itu, sektor jasa-jasa seperti perdagangan juga memberikan dampak relatif besar kepada perekonomian Jawa Barat yaitu sebesar 7.158. Peningkatan output produksi masing-masing sektor akan meningkatkan pendapatan, yaitu pendapatan faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi yaitu tenaga kerja dan modal. Sektor yang dapat memberikan dampak kepada pendapatan faktorial terbesar adalah jika terdapat guncangan terhadap sektor industri makanan, minuman dan tembakau dengan nilai multiplier sebesar 3.277, industri kertas percetakan, alat angkutan dan barang dari logam sebesar 2.577, dan sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit dengan nilai multiplier sebesar 1.340. Artinya, bila seluruh pendapatan faktorial di Provinsi Jawa Barat naik 1 unit, maka sektor-sektor industri tersebut berturut-turut akan naik sebesar 3.277 unit, 2.577 unit dan 1.340 unit.
6.4.
Analisis Multiplier Institusi Rumah Tangga Telah dijelaskan sebelumnya bahwa nilai pengganda global seperti yang
terlihat pada tabel sebelumnya menunjukkan dampak stimulus masing-masing sektor terhadap output sektoral, faktor produksi dan neraca institusi. Dengan nilai pengganda global dapat diketahui sektor-sektor mana yang memberikan pengaruh terbesar didalam perekonomian Jawa Barat. Demikian halnya dengan Tabel 20 berikut ini, perubahan distribusi pendapatan suatu golongan rumah tangga sebagai dampak dari adanya guncangan (shock) neraca eksogen dapat diketahui melalui nilai pengganda global. Berdasarkan Tabel 20 tersebut dapat ditunjukkan bahwa nilai pengganda global terbesar dari pendapatan rumah tangga di Jawa Barat baik yang dikarenakan injeksi dari faktor produksi, institusi maupun sektor produksi berada pada kelompok rumah tangga golongan atas, yaitu golongan rumah tangga bukan industri di kota dan desa, serta rumah tangga pengusaha pertanian. Sedangkan golongan rumah tangga dengan nilai
151
pengganda terendah dimiliki oleh rumah tangga golongan bawah, yaitu rumah tangga golongan bawah industri baik di desa dan di kota, serta rumah tangga golongan bawah bukan industri di desa. Besarnya angka pengganda global yang dimiliki oleh kelompok rumah tangga golongan atas, sebagai contoh rumah tangga golongan atas bukan industri di kota, memiliki arti bahwa apabila terdapat injeksi dari aktivitas eksogen yang diarahkan kepada blok institusi maka akan memberikan pengaruh pendapatan terbesar kepada kelompok rumah tangga golongan atas tersebut. Dari pola tersebut dapat disimpulkan bahwa efek pengganda kegiatan ekonomi yang terjadi di Jawa Barat cenderung berpihak kepada golongan rumah tangga atas, baik di desa maupun di kota. Tabel 20 . Nilai Pengganda Global yang Diterima Rumah Tangga Di Propinsi Jawa Barat Tahun 2010
Rincian
Pertanian
Kode Faktor Produksi Institusi
(1)
(2)
Buruh Pengusaha Pertanian
10 11
Desa Industri Kota Bukan Pertanian Desa Bukan Industri Kota
RT Golongan Bawah RT Golongan Menengah RT Golongan Atas RT Golongan Bawah RT Golongan Menengah RT Golongan Atas RT Golongan Bawah RT Golongan Menengah RT Golongan Atas RT Golongan Bawah RT Golongan Menengah
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
RT Golongan Atas
23
Rata-rata Sumber SNSE Jawa Barat 2010, diolah
(3)
(4)
Sektor Produksi (5)
0.773 2.457 0.323
1.685 2.967 1.218
1.669 4.699 0.510
0.595 1.330 0.362 0.729 1.574 0.251 0.534 2.702 0.432 0.836 2.219
1.383 1.784 1.312 1.608 2.481 1.213 1.553 2.891 1.389 1.785 2.972
0.913 1.887 0.738 1.456 3.500 0.509 1.246 4.512 0.925 1.885 4.777
1.080
1.874
2.088
152
Sementara itu pengaruh langsung terbesar kegiatan ekonomi terhadap blok institusi rumah tangga di Jawa Barat dipengaruhi oleh blok sektor produksi, dengan nilai pengganda rata-rata sebesar 2,088. Dengan demikian apabila terdapat peningkatan pengeluaran sebesar satu unit dari blok sektor produksi, maka akan berdampak pada kenaikan pendapatan rata-rata rumah tangga di provinsi Jawa Barat sebesar 2,088 unit. Demikian juga selanjutnya apabila terdapat peningkatan pengeluaran masing-masing satu unit dari blok institusi dan faktor produksi, maka akan memberikan kenaikan pendapatan rata-rata rumah tangga di provinsi tersebut masing-masing sebesar 1,674 unit dan 1,060 unit. Secara umum dapat disimpulkan bahwa besarnya nilai rata-rata pengganda blok sektor produksi terhadap blok institusi rumah tangga menujukkan bahwa peningkatan pendapatan rumah tangga di provinsi Jawa Barat lebih banyak dipengaruhi oleh kegiatan yang ada pada blok sektor produksi.
6.5.
Analisis
Dekomposisi
Keterkaitan
Investasi
Infrastruktur
Transportasi Analisis dekomposisi dampak investasi di sektor infrastruktur transportasi pada dasarnya hendak menjelaskan tentang efek berantai dari guncangan (shock) output salah satu sektor terhadap sektor sektor lainnya dalam perekonomian Jawa Barat dengan merinci besaran dampak global/total secara lebih rinci. Dengan metode dekomposisi, efek global (Ma) dapat dirinci menjadi own effect (I), transfer effect (Ma1), open loop effect (Ma2) dan close loop effect (Ma3). Own effect (I) adalah efek langsung dari adanya guncangan neraca eksogen misalnya berupa kebijakan terhadap sektor yang dituju. Dalam hal ini efek kebijakan investasi infrastruktur transportasi yang ditujukan kepada sektor infrastruktur transportasi (dampak langsung/direct effect). Selanjutnya, transfer
153
effect (Ma2) merupakan efek berantai dari adanya guncangan di sektor infrastruktur transportasi kepada sektor-sektor lainnya di dalam blok neraca sektor. Open loop effect (Ma2) merupakan efek sebagai akibat adanya guncangan di sektor infrastruktur transportasi dan bergerak mempengaruhi sektor-sektor lainnya yang terkait dan juga mempengaruhi blok neraca lainnya seperti halnya blok neraca faktor produksi dan neraca institusi. Selanjutnya dampak dari efek kepada blok faktor produksi dan neraca institusi, guncangan tersebut kembali mempengaruhi blok neraca asal yaitu sektor infrastruktur transportasi yang kemudian disebut sebagai close loop effect (Ma3). Pada bagian ini ditelaah mengenai dampak adanya investasi infrastruktur transportasi terhadap perekonomian. Perubahan (shock) neraca eksogen yang terjadi pada infrastruktur transportasi memberikan dampak berbeda-beda terhadap perekonomian Jawa Barat. Untuk itu akan dikaji dampak investasi pada infrastruktur transportasi terhadap blok neraca sektor, blok neraca faktor produksi, dan blok neraca institusi. Dampak sektoral berkaitan dengan besaran nilai pengganda (koefisien multiplier) memberikan sinyal bahwa semakin besar nilai pengganda (Ma) akibat adanya perubahan pada infrastruktur transportasi maka semakin bermanfaat keberadaan infrastruktur transportasi tersebut bagi kinerja sektor yang terkena dampak. Sebagai ilustrasi bila terjadi shock berupa injeksi investasi sebesar Rp. 20.95 trilyun pada infrastruktur transportasi, selain berdampak kepada sektor infrastruktur transportasi itu sendiri juga berdampak kepada sektor industri lain yaitu subsektor industri kertas percetakan, alat angkutan dan barang dari logam dengan nilai sebesar Rp. 8.421,66 milyar. Pengaruh investasi infrastruktur transportasi juga memberikan dampak yang relatif besar kepada subsektor industri lainnya seperti halnya industri kimia, pupuk, dan semen; industri makanan minuman dan tembakau; serta subsektor industri pemintalan, tekstil,
154
pakaian dan kulit dengan nilai masing-masing nilainya sebesar Rp. 7.787,91 milyar; Rp. 4.931,32 milyar dan Rp. 2.458,92 milyar. Sektor perdagangan juga mengalami peningkatan output sebesar Rp. 6.021,29 milyar. Sementara itu, Sektor Pertanian khususnya subsektor pertanian tanaman pangan memperoleh dampak sebesar Rp. 2.856,65 milyar (Tabel 21). Selain sektor-sektor yang disebutkan di atas investasi infrastruktur transportasi juga berdampak kepada jasa angkutan yang sangat erat kaitannya dengan infrastruktur transportasi yaitu jasa transportasi darat sebesar Rp. 3.505,74 milyar. Sektor-sektor di dalam blok neraca sektor produksi (Ma1) yang paling dipengaruhi oleh adanya investasi infrastruktur transportasi adalah industri kimia, pupuk dan semen dengan nilai sebesar Rp. 6.020,57 milyar dan nilai pengganda Ma1 kedua terbesar terjadi di sektor industri kertas, alat cetakan, alat transportasi sebesar Rp. 4.261,33 milyar. Berbeda dengan efek internal sektoral (transfer effect), blok neraca yang terkena efek feed-back (Ma2) besar dari adanya infrastruktur transportasi selanjutnya adalah blok neraca faktor produksi, dimana investasi ini berdampak kepada pekerja dengan memberikan pendapatan tenaga kerja, khususnya rumah tangga golongan bawah dan menengah. Namun dibandingkan dengan rumah tangga golongan atas, pendapatan golongan rumah tangga ini lebih besar dibandingkan
dengan
pendapatan
rumah
tangga
golongan
bawah
dan
menengah. Hal ini dikarenakan rumah tangga golongan atas tidak hanya memiliki faktor produksi tenaga kerja, tetapi juga memiliki faktor produksi bukan tenaga kerja (kapital). Kondisi ini menunjukkan bahwa investasi infrastruktur transportasi lebih menguntungkan kepada golongan rumah tangga golongan atas dibandingkan dengan rumah tangga golongan menengah dan bawah, yang memiliki pendapatan utama rumah tangga yang berasal dari upah dan gaji. Tenaga kerja yang memperoleh manfaat terbesar dari adanya investasi
155
infrastruktur ini adalah pekerja produksi, operator, manual di kota dengan besaran efek open loop sebesar Rp. 4.292,24 milyar. Tabel
21.
Dekomposisi Nilai Pengganda Akibat Injeksi Investasi Infrastruktur Transportasi di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2010
Rincian
X
I
Ta
Oa
Ca
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Desa Kota Produksi, Operator Alat Desa Angkutan, Manual dan Kota Tata Usaha, Penjualan, Jasa- Desa Bukan Pertanian Jasa Kota Kepemimpinan, Desa Ketatalaksanaan, Militer, Kota
Faktor Produksi
Pertanian
Tenaga kerja
Bukan tenaga kerja
Institusi
90.34 15.08 2,935.96 4,292.24
1,611.68 549.81 787.63 1,885.16
1,702.02 564.89 3,723.59 6,177.41
-
-
363.08 998.74 228.01 2,129.44
508.89 1,121.14 240.55 1,641.43
871.97 2,119.88 468.56 3,770.86
9
-
-
5,826.62 511.88
6,169.45 562.23
11,996.06 1,074.12
-
-
1,520.63 168.91 362.40 1,070.78 387.76 689.87 2,173.43 202.55 467.27 2,009.64 405.12 789.13 2,244.77
1,667.50 182.81 324.61 673.53 268.77 520.93 1,246.08 183.50 450.68 1,623.92 333.39 673.59 1,686.60
3,188.12 351.72 687.01 1,744.30 656.53 1,210.79 3,419.51 386.05 917.95 3,633.56 738.51 1,462.72 3,931.37 2,856.65
-
26.59
-
2,830.06
Pertanian Tanaman Lainnya
27
-
132.11
-
171.32
303.43
Peternakan dan Hasil-hasilnya
28
-
6.58
-
673.70
680.28
Kehutanan dan Perburuan Perikanan Pertambangan Batubara, Biji Logam dan Minyak Bumi
29 30 31
-
55.89 1.88
-
20.40 390.90
76.29 392.78
-
803.48
-
321.69
1,125.17
Pertambangan dan Penggalian Lainnya
32
-
114.47
-
41.77
156.24
Industri Makanan, Minuman dan Tembakau
33
-
38.91
-
4,892.41
4,931.32 2,458.92
Industri Kota Bukan Pertanian Desa Bukan Industri Kota
Sektor Produksi
1 2 3 4 5 6 7 8
-
Pertanian Tanaman Pangan
Desa
Rumah tangga
(7)
-
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 26
Pertanian
Buruh Pengusaha Pertanian
Ma
RT Golongan Bawah RT Golongan Menengah RT Golongan Atas RT Golongan Bawah RT Golongan Menengah RT Golongan Atas RT Golongan Bawah RT Golongan Menengah RT Golongan Atas RT Golongan Bawah RT Golongan Menengah RT Golongan Atas
Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit
34
-
398.16
-
2,060.76
Industri Kayu & Barang Dari Kayu
35
-
201.04
-
150.21
351.25
Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam
36
-
4,261.33
-
4,160.33
8,421.66
Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen
37
-
6,020.57
-
1,767.34
7,787.91
Listrik, Gas Dan Air Minum
38
-
432.65
-
1,603.50
2,036.15
Infrastruktur Transportasi
39
20,950
44.03
-
47.54
21,041.57
Infrastruktur Bukan Transportasi Perdagangan Restoran Perhotelan Angkutan Darat
40 41 42 43 44
-
181.62 2,470.53 66.92 49.97
-
141.01 3,550.76 93.45 722.16
322.62 6,021.29 160.38 772.12
-
1,501.30
-
2,004.44
3,505.74
Angkutan Udara, Air dan Komunikasi
45
-
178.10
-
586.92
765.02
Jasa Penunjang Angkutan, dan Pergudangan
46 47 48 49
-
27.47 512.41 176.65
-
49.40 362.91 372.97
76.87 875.32 549.62
-
27.12
-
702.73
729.85
50
-
703.19
-
806.33
1,509.52
Bank dan Asuransi Real Estate dan Jasa Perusahaan Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film dan Jasa Sosial Lainnya Jasa Perseorangan, Rumah tangga dan Jasa Lainnya
Sumber SNSE Jawa Barat 2010, diolah
20,950
156
Dari sisi neraca institusi, peningkatan investasi infrastruktur transportasi selain berdampak kepada sektor juga berdampak kepada pendapatan faktorfaktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. Lebih lanjut, pada akhirnya pendapatan tersebut diterima oleh institusi rumah tangga sebagai salah satu dari pemilik faktor produksi. Institusi rumah tangga memperoleh pendapatan berupa upah dan gaji dari faktor produksi tenaga kerja yang dimiliki. Golongan rumah tangga yang memperoleh manfaat relatif besar adalah rumah tangga yang bekerja di sektor jasa-jasa (selain industri dan pertanian) baik di desa maupun di kota, rumah tangga pengusaha petani dan rumah tangga golongan atas di kota yang bekerja di sektor industri dengan nilai masing-masing manfaat sebesar Rp. 1.686,60 milyar; Rp. 1.623,92 milyar; Rp. 1.667,50 milyar dan Rp. 673,53 milyar. Sebagian besar dari efek total tersebut berasal dari efek close loop. Peningkatan investasi infrastruktur transportasi tidak langsung mempengaruhi pendapatan institusi rumah tangga melalui sektor-sektor yang terkait dengan sektor infrastruktur
transportasi
namun
melalui
arus
balik
(feed-back)
seperti
digambarkan pada efek close loop setelah sektor sektor lain memperoleh manfaat dari adanya peningkatan di sektor infrastruktur jalan. Hasil kajian mengenai dampak investasi infrastruktur transportasi di Jawa Barat ini sejalan dengan hasil temuan yang dilakukan oleh oleh Aschauer (1989) dan Bonaglia et al. (2000) tentang keterkaitan antara investasi infrastruktur terhadap pertumbuhan Total Factor Productivity (TFP) di Italia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi pada infrastruktur terbukti dapat memberikan dampak yang positif terhadap pertumbuhan TFP, output dan pengurangan biaya. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa secara umum, investasi pada sektor transportasi merupakan pilihan yang memberikan dampak relatif besar terhadap perekonomian di Jawa Barat.
6.6.
157
Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Tabel 22 menjelaskan mengenai simulasi dari penyerapan tenaga kerja
yang terjadi akibat peningkatan investasi infrastruktur transportasi sebesar Rp. 20.95 trilyun di provinsi Jawa Barat. Dampak yang terjadi akibat adanya investasi infrastruktur tersebut adalah terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja secara total sebesar 17.942 orang. Jika penyerapan tenaga kerja tersebut dirinci menurut sektor maka dampak penyerapan tenaga kerja terbesar berada pada sektor pertanian tanaman pangan dengan penambahan tenaga kerja terbesar yaitu sebanyak 4.549 orang (25.35%). Sektor produksi dengan penyerapan tenaga kerja terbesar berikutnya berturut-turut adalah sektor perdagangan (2.911 orang atau 16.22%), sektor jasa perseorangan, rumah tangga dan jasa lainnya (2.581 orang atau 14.39%) dan sektor industri makanan, minuman dan tembakau (1.019 orang atau 5.68%). Berdasarkan hasil studi, sektor industri yang merupakan sektor unggulan di provinsi ini menyerap tenaga kerja cukup signifikan, yaitu sebanyak 2.745 orang (15.30%), sedangkan sektor angkutan (darat, air, dan udara) dan jasa penunjang angkutan hanya menyerap tenaga kerja sebanyak 1.529 orang atau sebesar 8.52%. Adapun sektor produksi dengan penyerapan tenaga kerja terendah adalah sektor pertambangan dan penggalian lainnya, yaitu sebesar 36 orang atau 0.20%. Sementara itu berdasarkan Tabel 22 dapat disampaikan bahwa sektor yang menyerap tenaga paling sedikit akibat adanya investasi infrastruktur transportasi adalah sektor pertambangan dan penggalian lainnya yaitu sebesar 36 orang (0.2%) serta sektor kehutanan dan perburuan sebesar 45 orang (0.25%).
158
Tabel 22. Dampak Investasi Infrastruktur Transportasi terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Sektor di Provinsi Jawa Barat Tahun 2010 Kondisi Jumlah Tenaga Kerja Rincian (1)
Perubahan Tenaga Kerja
Kode Sebelum
%
(3)
(4)
(2)
Sesudah
%
Orang
%
(5)
(6)
(7)
(8)
Pertanian Tanaman Pangan
26
2,727,689
16.10
2,732,237
16.11
4,549
Pertanian Tanaman Lainnya
27
866,623
5.12
867,712
5.12
1,089
6.07
Peternakan dan Hasil-hasilnya
28
226,212
1.34
226,653
1.34
442
2.46
25.35
Kehutanan dan Perburuan
29
41,728
0.25
41,773
0.25
45
0.25
Perikanan Pertambangan Batubara, Biji Logam dan Minyak Bumi Pertambangan dan Penggalian Lainnya
30
101,991
0.60
102,183
0.60
192
1.07
31
84,142
0.50
84,220
0.50
78
0.43
32
36,329
0.21
36,365
0.21
36
0.20
Industri Makanan, Minuman dan Tembakau
33
588,510
3.47
589,529
3.48
1,019
5.68
Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit
34
731,005
4.31
731,368
4.31
363
2.02
Industri Kayu & Barang Dari Kayu Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Logam danHasil Industri IndustriDari Kimia, Pupuk, Dari Tanah Liat,
35
379,890
2.24
380,334
2.24
444
2.48
36
1,510,607
8.92
1,511,378
8.91
771
4.30
37
171,861
1.01
172,009
1.01
148
0.82 0.45
Semen Listrik, Gas Dan Air Minum
38
59,241
0.35
59,321
0.35
80
Infrastruktur Transportasi
39
300,390
1.77
300,668
1.77
277
1.55
Infrastruktur Bukan Transportasi
40
706,245
4.17
706,321
4.16
77
0.43
Perdagangan
41
3,554,768
20.98
3,557,679
20.98
2,911
16.22
Restoran
42
566,293
3.34
566,689
3.34
396
2.21
Perhotelan
43
85,828
0.51
85,968
0.51
139
0.78
Angkutan Darat
44
482,851
2.85
483,386
2.85
535
2.98
Angkutan Udara, Air dan Komunikasi
45
608,873
3.59
609,734
3.60
861
4.80
Jasa Penunjang Angkutan, dan Pergudangan
46
116,306
0.69
116,439
0.69
133
0.74
Bank dan Asuransi
47
167,403
0.99
167,565
0.99
162
0.90
Real Estate dan Jasa Perusahaan Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film danRumah Jasa Sosial Lainnya Jasa Perseorangan, tangga dan Jasa
48
170,488
1.01
170,747
1.01
260
1.45
49
564,642
3.33
564,996
3.33
354
1.97
50
2,092,530
12.35
2,095,111
12.35
2,581
14.39
16,942,444
100.00
16,960,386
100.00
17,942
100.00
Lainnya
Jumlah
Sumber: SNSE Jawa Barat 2010, diolah kembali
6.7.
Analisis Jalur (Structural Path Analysis) Analisis ini dilakukan untuk mengetahui jalur yang terjadi pada neraca
endogen akibat pengaruh dari neraca eksogen. Berdasarkan analisis jalur, golongan rumah tangga atas non industri di kota memiliki pengaruh global terbesar dibandingkan dengan golongan rumah tangga lain di provinsi ini, yaitu sebesar 0.188. Artinya bila terjadi injeksi pada infrastruktur transportasi sebesar Rp.20.95 trilyun rupiah, maka golongan rumah tangga ini akan memperoleh peningkatan
pendapatan
sebesar
Rp.
3.94
trilyun.
Adapun
jalur
yang
mendominasi antara infrastruktur transportasi dengan rumah tangga ini adalah
159
jalur yang melalui tenaga kepemimpinan sektor non pertanian di kota, dengan persentase global (TI/GI) sebesar 6.5%. Golongan rumah tangga berikutnya yang menerima peningkatan pendapatan terbesar berikutnya adalah rumah tangga golongan atas di desa sektor non industri, dengan nilai pengaruh global sebesar 0.173. Sedangkan golongan rumah tangga dengan pengaruh global terkecil adalah golongan rumah tangga bawah sektor industri di desa, dengan nilai pengaruh global sebesar 0.017. Analisis jalur dampak investasi infrastruktur transportasi terhadap golongan rumah tangga provinsi Jawa Barat Tahun 2010 secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1.
Sumber SNSE Jawa Barat 2010, diolah
Gambar 12. Transmisi yang Diakibatkan dari Investasi Infrastruktur Transportasi terhadap Golongan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Barat Tahun 2010.
160
Ilustrasi dari jalur dampak investasi infrastruktur transportasi terhadap golongan rumah tangga provinsi Jawa Barat Tahun 2010 ini dapat digambarkan pada Gambar 12, dimana komoditas industri (baik industri kimia dan industri logam) dan kapital (modal) mempunyai peranan cukup signifikan dalam seluruh kemungkinan jalur yang terjadi antara infrastruktur transportasi dan golongan rumah tangga di Provinsi Jawa barat ini. Pada gambar tersebut tidak digambarkan secara keseluruhan dampak, namun hanya menggambarkan pengaruh pada sektor-sektor yang mendapatkan dampak terbesar dan terkecil. Adapun sektor produksi yang memperoleh manfaat terbesar dari investasi di infrastruktur transportasi, berdasarkan analisis jalur adalah sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan dan barang dari logam, dengan nilai pengaruh global
dimiliki
sebesar
0.402.
Artinya
dengan
Rp.20.95
trilyun
yang
diinvestasikan di infrastruktur transpotasi akan meningkatkan pendapatan sektor ini sebesar Rp. 8.42 trilyun. Hal ini terjadi akibat dari peningkatan permintaan komoditas yang dihasilkan oleh industri ini, dan dapat dilihat dengan persentase pengaruh global sebesar 50%. Atau dengan perkataan lain, jalur ini telah menjelaskan 50% dari seluruh jalur yang terjadi antara infrastruktur transportasi dengan sektor industri ini. Hasil lengkap analisis jalur dampak investasi infrastruktur transportasi terhadap sektor produksi Provinsi Jawa Barat Tahun 2010 dapat dilihat pada Lampiran 2. Sedangkan sektor industri berikutnya yang memperoleh peningkatan pendapatan terbesar akibat dari investasi infrastruktur transportasi adalah sektor industri kimia, pupuk, hasil dari tanah liat, dan semen. Adapun pengaruh global yang dimiliki adalah sebesar 0.372, dengan jalur melalui komoditas sektor industri ini telah menjelaskan 78.2% dari seluruh kemungkinan jalur yang terjadi. Sedangkan sektor produksi dengan pengaruh global terkecil adalah sektor
161
kehutanan dan perburuan, dengan nilai sebesar 0.004. Dari ilustrasi pada Gambar 13 dapat terlihat, bahwa akibat dari investasi infrastruktur transportasi, permintaan akan komoditas industri kimia, pupuk dan semen serta komoditas dari sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan dan barang dari logam mempunyai peranan cukup signifikan dalam seluruh kemungkinan jalur yang terjadi antara infrastruktur transportasi dan sektor produksi di provinsi ini.
Sumber SNSE Jawa Barat 2010, diolah
Gambar 13. Transmisi yang Diakibatkan oleh Pengaruh dari Investasi Infrastruktur Transportasi terhadap Sektor Produksi di Provinsi Jawa Barat Tahun 2011
6.8. Dekomposisi global effect multiplier mHjA39 Analisis dekomposisi multiplier income rumah tangga dimaksudkan untuk melengkapi analisis multiplier yang berupa global effect, dimana dalam analisis
162
global effect tersebut belum memberikan informasi tentang kontribusi relatif dan uraian dari pengaruh langsung dan tidak langsung dari injeksi di sektor infrastruktur transportasi terhadap pendapatan setiap golongan rumah tangga (Pansini and Vega, 2008). Analisis ini juga dikaji mengenai dekomposisi global effect untuk masing masing golongan rumah tangga akibat adanya injeksi berupa investasi infrastruktur transportasi di Jawa Barat pada tahun 2010. Berdasarkan pengolahan data SNSE Jawa Barat 2010, diketahui bahwa total multiplier investasi intrastuktur transportasi terhadap seluruh golongan rumah tangga adalah 1.09249. Nilai tertinggi diterima oleh rumah tangga bukan industri golongan atas di kota (0.18354), sedangkan terendah diterima oleh rumah tangga industri golongan bawah di desa (0.01642). Perbandingan nilai mutiplier yang tertinggi dan terendah adalah sebesar 11.18, yang berarti apabila dilakukan investasi infrastruktur transportasi, pendapatan yang dibangkitkan dan kemudian diterima oleh rumah tangga bukan industri golongan atas di kota nilainya 11.18 kali lipat dibandingkan dengan yang diterima oleh rumah tangga industri golongan bawah di desa. Secara umum nilai multiplier yang diterima oleh golongan rumah tangga pengusaha/golongan atas jauh lebih besar dibandingkan dengan yang diterima oleh golongan rumah tangga buruh pertanian/golongan bawah, yang berarti bahwa golongan atas akan memperoleh penciptaan pendapatan yang lebih besar dibandingkan golongan yang lebih rendah. Hasil ini sejalan dengan teori yang disampaikan oleh Harrod-Domar (1946) dan Arthur Lewis (1954) yang secara implisit menyatakan bahwa golongan atas memiliki kemampuan yang lebih baik dalam pembentukan tabungan yang berfungsi sebagai sumber investasi, sehingga pada akhirnya memiliki kemampuan yang lebih baik dalam memperoleh pendapatan karena kepemilikan faktor produksi bukan tenaga kerja.
163
Hasil ini juga membawa konsekwensi bahwa teori trickle down effect tidak dapat bekerja dengan baik bila diterapkan di Jawa Barat. Pembangunan yang lebih berorientasi kepada mengejar pertumbuhan ekonomi agregat semata terbukti secara tidak akan memperbaiki struktur distribusi pendapatan. Nilai multiplier yang diterima oleh berbagai golongan rumah tangga secara tidak merata membawa implikasi bahwa intervensi kebijakan melalui neraca eksogen (sektor produksi) memang akan meningkatkan pendapatan seluruh golongan rumah tangga yang berarti juga akan menigkatkan taraf hidup seluruh golongan rumah tangga. Namun di saat yang sama hal ini juga diikuti dengan meningkatnya kesenjangan pendapatan antar golongan rumah tangga. Multiplier pendapatan rumah tangga berdasarkan pengolahan data SNSE Jawa Barat menunjukan perbandingan-perbandingan pendapatan yang diterima oleh berbagai golongan rumah tangga, yaitu: •
Rumah tangga pengusaha pertanian menerima pendapatan 2.97 kali lipat dibandingkan yang diterima oleh rumah tangga buruh pertanian;
•
Rumah tangga industri golongan atas di desa menerima pendapatan 4.96 kali lipat dibandingkan yang diterima oleh rumah tangga industri golongan bawah di desa;
•
Rumah tangga industri golongan atas di kota menerima pendapatan yang 5.21 kali lipat dibandingkan yang diterima oleh rumah tangga industri golongan bawah atas di kota;
•
Rumah tangga bukan industri golongan atas di desa menerima pendapatan 9.41 kali lipat dibandingkan yang diterima oleh rumah tangga bukan industri golongan bawah di desa; dan
164
•
Rumah tangga bukan industri golongan atas di kota menerima pendapatan 5.32 kali lipat dibandingkan yang diterima oleh rumah tangga bukan industri golongan bawah di kota.
Gambaran lengkap dari Dekomposisi global effect multiplier pendapatan rumah tangga berdasarkan pengolahan data SNSE Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 23. Sedangkan hasil lengkap dekomposisi global effect multiplier pendapatan pada masing-masing kelompok rumah tangga dapat dilihat pada Lampiran 3 sampai dengan Lampiran 16. Hasil ini menunjukan bukti kuantitatif tentang adanya kesenjangan pendapatan yang diterima oleh rumah tangga golongan atas dan rumah tangga golongan bawah di Jawa Barat, dimana kesenjangan yang paling tinggi terjadi pada rumah tangga bukan industri di desa. Berbeda dengan perbandingan antara golongan pengusaha pertanian dan buruh pertanian atau antara golongan atas dan golongan bawah, perbandingan multiplier pendapatan rumah tangga desa dan kota menunjukan bahwa rumah tangga di desa menerima manfaat yang lebih besar dari investasi infrastruktur transportasi di Jawa Barat (dengan asumsi bahwa rumah tangga pertanian berada di desa). Multiplier pendapatan rumah tangga desa adalah sebesar 0.55936 sedangkan rumah tangga di kota adalah sebesar 0.53313, yang berarti apabila
dilakukan
investasi
infrastruktur
transportasi,
pendapatan
yang
dibangkitkan dan kemudian diterima oleh rumah tangga di desa nilainya 1.05 kali dibandingkan dengan yang diterima oleh rumah tangga di kota. Hasil dari analisis ini sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh Banister and Berechman (2000) yang menyatakan bahwa investasi infrastruktur transportasi akan memperlancar jalur distribusi antara wilayah desa dan kota sehingga mampu meningkatkan interaksi kegiatan ekonomi. Dengan demikian selanjutnya akan memacu kegiatan ekonomi baik di desa maupun di kota karena
165
meningkatnya mobilitas dan akses faktor produksi tenaga kerja dan modal, maupun dalam memasarkan hasil-hasil produksi. Tabel 23. Dekomposisi global effect multiplier mHjA39 dari matriks Ma Pengaruh injeksi pada rumah tangga
Directdirect effect (2) 0.00006 (0.12)
Indirectdirect effect (3) 0.02512 (50.10)
Directindirect effect (4) 0.00003 (0.06)
Indirectindirect effect (5) 0.02492 (49.70)
Global Effect mHjA39 (6) 0.05014 (100.00)
1.
(1) Rumah tangga buruh pertanian
2.
Rumah tangga pengusaha pertanian
0.00001 (0.01)
0.00390 (2.62)
0.00034 (0.23)
0.14457 (97.15)
0.14881 (100.00)
3.
Rumah tangga industri golongan bawah di desa
0.00000
0.00045
0.00005
0.01592
0.01642
(0.00)
(2.74)
(0.30)
(96.95)
(100.00)
4.
Rumah tangga industri golongan menengah di desa
0.00000
0.00078
0.00007
0.03122
0.03207
(0.00)
(2.43)
(0.22)
(97.35)
(100.00)
0.00155
0.0001
0.07978
0.08144
5.
Rumah tangga industri golongan atas di desa
0.00000 (0.00)
(1.90)
(0.12)
(97.96)
(100.00)
6.
Rumah tangga industri golongan bawah di kota
0.00000
0.00057
0.00002
0.03006
0.03065
(0.00)
(1.86)
(0.07)
(98.08)
(100.00)
7.
Rumah tangga industri golongan menengah di kota
0.00000
0.00112
0.00005
0.05536
0.05653
(0.00)
(1.98)
(0.09)
(97.93)
(100.00)
8.
Rumah tangga industri golongan atas di kota
0.00001
0.00262
0.0001
0.15694
0.15966
(0.01)
(1.64)
(0.06)
(98.30)
(100.00)
Rumah tangga bukan industri golongan bawah di desa
0.00000
0.00043
0.00004
0.01755
0.01802
(0.00)
(2.39)
(0.22)
(97.39)
(100.00)
10. Rumah tangga bukan industri golongan menengah di desa
0.00000
0.00103
0.00008
0.04173
0.04284
(0.00)
(2.40)
(0.19)
(97.41)
(100.00)
11. Rumah tangga bukan industri golongan atas di desa
0.00001
0.00372
0.00026
0.16563
0.16962
(0.01)
(2.19)
(0.15)
(97.65)
(100.00)
12. Rumah tangga bukan industri golongan bawah di kota
0.00000
0.00072
0.00003
0.03373
0.03447
(0.00)
(2.09)
(0.09)
(97.85)
(100.00)
13. Rumah tangga bukan industri golongan menengah di kota
0.00000
0.00145
0.00006
0.06677
0.06828
(0.00)
(2.12)
(0.09)
(97.79)
(100.00)
14. Rumah tangga bukan industri golongan atas di kota
0.00001
0.00362
0.00016
0.17976
0.18354
(0.01)
(1.97)
(0.09)
(97.94)
(100.00)
9.
Total pengaruh injeksi pada seluruh rumah tangga Sumber Keterangan
1.09249
: diolah dari SNSE Jawa Barat 2010. : angka dalam kurung menunjukan persentase. A39 adalah sektor infrastuktur transportasi.
Penelitan sejenis yang dilakukan oleh Civardi (2010) di Vietnam juga menghasilkan temuan yang sama, rumah tangga desa memiliki multiplier pendapatan yang lebih tinggi yang berarti memperoleh manfaat yang lebih besar
166
dibandingkan rumah tangga kota. Civardi (2010) mengungkapkan bahwa hal ini terkait dengan populasi penduduk di Vietnam yang sebagian besar bermukim di daerah perdesaaan. Alasan yang sama nampaknya juga relevan untuk kasus Jawa Barat, dimana populasi penduduk Jawa Barat sebagian besar juga berada di daerah perdesaan. Selanjutnya, apabila dilihat bagaimana proses terjadinya multiplier dengan penghitungan dekomposisi matriks income multiplier diketahui bahwa pengaruh investasi infrastuktur transportasi tidak memiliki pengaruh yang paling besar secara direct-direct terhadap seluruh golongan rumah tangga. Hal ini berarti bahwa pengaruh peningkatan pendapatan seluruh golongan rumah tangga di Jawa Barat tidak langsung disebabkan oleh peningkatan aktifitas produksi yang disebabkan oleh investasi infrastruktur transportasi, namun melalui stimulasi dari sektor-sektor dan atau golongan rumah tangga lain. Hasil ini sangat relevan mengingat peran sektor infrastuktur transportasi yang relatif tidak dominan dibandingkan sektor-sektor lain. Di lain sisi sifat struktur produksi sektor infrastruktur transportsi yang lebih banyak menggunakan outpur sektor-sektor lain sebagai input (62.5%) membuat sektor infrastruktur akan menstimulasi aktifitas produksi di sektor-sektor lain. Keberadaan direct-direct effect yang tidak dominan dalam dekomposisi income multiplier juga pernah diungkapkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Pyatt dan Round dalam Pansini and Vega (2008) untuk level nasional Indonesia pada intervensi terhadap sektor industri makanan dan minuman. Penelitian ini menyimpulkan bahwa intervensi pada sektor indutri makanan dan minuman memiliki dampak yang signifikan dalam peningkatan pendapatan rumah tangga golongan miskin sehingga dapat menjadi strategi yang tepat dalam mengurangi kemiskinan.
167
Pada rumah tangga buruh pertanian, peningkatan aktifitas di sektor infrastruktur transportasi berperan paling besar secara indirect-direct (50.10%), yaitu sektor infrastruktur transportasi berdampak kepada sektor-sektor lain, kemudian aktifitas di sektor-sektror lain tersebut memberikan pengaruh kepada rumah tangga buruh pertanian di Jawa Barat. Pengaruh berikutnya yang tidak jauh berbeda nilainya adalah secara indirect-indirect (49.70%), yaitu investasi infrastuktur transportasi akan menstimulasi aktifitas produksi di sektor-sektor lain, kemudian
menstimulasi
pendapatan
rumah
tangga
lain
dan
akhirnya
meningkatkan pendapatan golongan rumaht angga buruh pertanian. Dari sudut kebijakan, upaya intervensi dalam membantu rumah tangga buruh pertanian melalui investasi infrastruktur trasportasi merupakan strategi yang cukup baik karena akan menstimulasi sektor dan rumah tangga lain. Pengaruh peningkatan aktifitas produksi di sektor infrastruktur transportasi terhadap golongan-golongan rumah tangga selain buruh pertanian yang paling besar dirasakan adalah secara indirect-indirect. Artinya peningkatan aktifitas produksi di sektor konstruksi transportasi berpengaruh terhadap aktifitas di sektor-sektor lainnya, selanjutnya pengaruh tersebut berdampak kepada rumah tangga selain rumah tangga yang terkena dampak kangsung. Misalkan untuk dampak investasi transportasi terhadap golongan rumah tangga industri golongan bawah di desa yang 96.95% dampaknya terjadi secara indirect-indirect, dampaknya dimulai dari peningkatan aktifitas di sektor infrastruktur transportasi, kemudian berpengaruh terhadap sektor-sektor selain infrastruktur transportasi, baru kemudian berdampak kepada selain golongan rumah tangga industri golongan bawah di desa. Karakteristik dekomposisi yang didominasi pengaruh indirect-indirect menunjukan bahwa dampak investasi infrastuktur mampu menstimulasi aktifitas di sektor-sektor lain dan golongan rumah tangga lain sebelum akhirnya
168
berdampak kepada rumah tangga yang dituju. Hal ini menunjukan bahwa investasi infrastruktur merupakan strategi yang tepat dalam menstimulasi perekonomian dan meningkatkan pendapatan seluruh golongan rumah tangga. Namun demikian harus disadarai bahwa investasi infrastruktur tentunya bukanlah solusi tunggal dari sisi ekonomi untuk mengatasi masalah ketimpangan pendapatan rumah tangga. Sebagaimana disebutkan hasil sebelumnya bahwa intervensi apapun pada neraca eksogen selain meningkatkan pendapatan seluruh golongan rumah tangga juga akan meningkatkan tingkat kesenjangan. Dengan demikian intervensi pada neraca eksogen (termasuk investasi infratruktur transportasi) bukan solusi dalam mengurangi kesenjangan antar golongan pendapatan rumah tangga. Investasi infrastuktur transportasi harus diikuti dengan kebijakan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar dapat memperoleh balas jasa faktor produksi tenaga kerja yang lebih baik modal. Selain itu juga dilengkapi dengan kebijakan yang mempu merubah komposisi kepemilikan faktor produksi, karena kesenjangan yang muncul disebabkan oleh tidak seimbangnya balas jasa yang diterima faktor produksi tenaga kerja dan modal.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1
Kesimpulan Berdasarkan pada hasil analisis Backward linkage, sektor yang memiliki
koefisien multiplier terbesar dalam perekonomian Jawa Barat adalah sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit. Kemudian secara berurutan, sektor yang memiliki koefisien multiplier tertinggi lainnya adalah sektor industri makanan dan tembakau; sektor pemerintahan, pertahanan, pendidikan, kesehatan, film dan jasa sosial lainnya; konstruksi sektor bukan transportasi; konstruksi sektor transportasi; industri kayu dan barang dari kayu. Berdasarkan analisis forward linkage, sektor yang memiliki koefisien multiplier terbesar adalah sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan dan barang dari logam. Hal ini menunjukkan bahwa sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan dan barang dari logam memiliki derajat kepekaan tertinggi terhadap permintaan akhir sektor-sektor lain. Berdasarkan analisis multiplier sektoral, sebagai akibat adanya injeksi investasi infrastruktur transportasi sebesar Rp.20.95 trilyun, sektor yang menerima manfaat paling besar adalah sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan dan barang dari logam, yaitu sebesar Rp.8.421,66 milyar. Kondisi ini sangat logis, mengingat peningkatan aktivitas infrastruktur transportasi akan berpengaruh langsung pada peningkatan kebutuhan barang-barang logam untuk keperluan konstruksi. Berdasarkan hasil analisis yang sama dapat dipaparkan bahwa sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan, dan barang dari logam; sektor industri kimia, pupuk, hasil dari tanah liat, semen; serta sektor industri makanan, minuman dan tembakau berturut-turut merupakan sektor-sektor yang menerima manfaat paling besar akibat adanya injeksi investasi infrastruktur
170
transportasi di Provinsi Jawa Barat. Temuan tersebut menjadi bukti bahwa investasi infrastruktur berpengaruh terhadap penciptaan pendapatan sektoral. Secara garis besar dapat disampaikan bahwa berdasarkan hasil studi dapat dibuktikan bahwa investasi infrastruktur transportasi mampu memberikan manfaat yang besar terhadap peningkatan kinerja sektor ekonomi. Injeksi investasi infrastruktur transportasi berakibat pada melebarnya jurang pendapatan antara kelompok rumah tangga miskin dan kaya, baik pada kelompok rumah tangga perkotaan maupun pedesaan. Secara umum kelompok rumah tangga yang memperoleh manfaat lebih banyak adalah kelompok rumah tangga golongan atas, yaitu sebesar Rp.3.931,37 milyar. Di sisi lain, kelompok rumah tangga golongan bawah, desa, industri, bukan pertanian merupakan kelompok yang menerima manfaat paling kecil, yaitu sejumlah Rp. 351,72 milyar. Dari sisi ketenagakerjaan, investasi infrastruktur transportasi sebesar Rp.20.95 trilyun menyerap tenaga kerja sejumlah 17.942 orang, dimana tingkat penyerapan tenaga kerja terbesar berada pada sektor tanaman pangan dengan penambahan tenaga kerja sebanyak 4.549 orang (25.35%). Tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor ini besar dikarenakan sektor ini memiliki koefisien tenaga kerja (jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan sejumlah output tertentu) yang besar. Di sisi lain, sektor yang menerima manfaat penyerapan tenaga terkecil adalah sektor pertambangan dan penggalian lainnya, yaitu sebesar 36 orang (0.2%). Sementara itu, sektor industri yang merupakan sektor unggulan di provinsi ini menyerap tenaga kerja sejumlah 2.745 orang (15.3%). Dalam rangka mempertahankan atau meningkatkan kinerja serta peranan sektor ekonomi di Jawa Barat diperlukan kebijakan strategis dan langkah nyata dari pemerintah. Ada berbagai langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintah, seperti halnya menyiapkan paket kebijakan yang mendukung perkembangan sektor ekonomi, mengurangi hambatan-hambatan birokrasi yang
171
membuat ‘ekonomi biaya tinggi’, menciptakan iklim investasi yang lebih baik, menjamin keamanan dan kepastian hukum dalam berinvestasi, menyediakan infrastruktur yang diperlukan untuk mendukung perkembangan ekonomi seperti halnya membangun infrastruktur transportasi, telekomunikasi, energi dan lain sebagainya. Investasi infrastruktur transportasi, secara empiris terbukti menjadi instrumen penting untuk meningkatkan kinerja perekonomian. Temuan didalam studi ini secara spesifik membuktikan bahwa investasi infrastruktur transportasi memberikan pengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja, meningkatkan kinerja sektor-sektor serta dapat menjadi instrumen penting untuk mengarahkan distribusi pendapatan masyarakat.
7.2.
Saran Jika melihat pada hasil studi, investasi infrastruktur transportasi di
Provinsi Jawa Barat pada saat ini merupakan kebutuhan yang mendesak untuk meningkatkan kinerja perekonomian wilayah. Investasi infrastuktur trasportasi di Jawa Barat ini juga merupakan suatu strategi kebijakan pembangunan yang sangat bermanfaat, karena dampaknya kepada rumah tangga tidak hanya bersifat langsung, namun juga berdasarkan temuan studi juga mampu menstimulasi sektor-sektor dan mengarahkan distribusi berbagai golongan rumah tangga yang ada. Dari sudut kebijakan, berdasarkan hasil analisis dekomposisi, multiplier dari investasi infrastruktur trasportasi memiliki pola transmisi yang bervariasi dan efeknya sedemikian rupa menyebar dan berputar pada berbagai sektor, sehingga bermanfaat untuk menghidupkan berbagai sektor-sektor perekonomian yang ada di Provinsi Jawa Barat. Investasi infrastuktur transportasi, berdasarkan temuan studi juga mampu meningkatkan pendapatan seluruh golongan rumah tangga, namun di saat yang sama juga membuat kesenjangan antar golongan rumah tangga semakin lebar.
172
Berdasarkan hasil analisa nilai manfaat atau pengganda terbesar akibat injeksi investasi infrastruktur transportasi di Provinsi Jawa barat diperoleh oleh golongan masyarakat golongan atas, baik yang berada di desa maupun kota. Sebaliknya, rumah tangga golongan bawah memperoleh manfaat atau nilai pengganda yang terkecil. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teori tricle down effect tidak bekerja dengan baik di Jawa Barat. Sebagai saran, untuk mengatasi kemungkinan kesenjangan yang terjadi akibat adanya investasi infrastruktur transportasi ini, pemerintah perlu menginjeksi sektor-sektor yang memberikan dampak yang lebih menguntungkan rumah tangga golongan bawah, agar kesenjangan antara rumah tangga golongan atas dan bawah berkurang. Sebagai tambahan, berdasarkan temuan studi, intervensi kebijakan melalui neraca eksogen tidak mampu mempersempit kesenjangan rumah tangga menurut pendapatannya. Strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi kesenjangan ini antara lain dapat dilakukan dengan mendesain kebijakan yang mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan merubah struktur kepemilikan faktor produksi. Salahsatu saran kebijakan yang dapat ditempuh antara lain dengan meningkatkan pelayanan atas biaya kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat golongan bawah. Kebijakan lain yang mungkin dilakukan misalkan dengan mendorong tumbuhnya usaha kecilmenengah serta mendukung program pemberdayaan masyarakat golongan bawah.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, H.R. 2005. Pengembangan Wilayah. Graha Ilmu, Edisi Pertama, Yogyakarta. Ali, I., dan Pernia, E.M. 2003. Infrastructure and Poverty Reduction – What is the Connection? ERD Policy Brief Series. Number 13 Aschauer D. A. 1989. Is public expenditure productive? Journal of Monetary Economics No. 23: 177-200 Azis, Iwan J. and Mansury, Yuri. 2003. Measuring Economy-wide Impacts of a Financial Shock. ASEAN Economic Bulletin Vol. 20, No. 2, pp. 112-127. Banister, D. and Berechman,J., 2000, Transport Investment and Economic Development, UCL Press, London. Badan Pusat Statistik. 2011. Data Strategis BPS. BPS, Jakarta. Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2011. Jawa Barat Dalam Angka. Bandung. Badan Pusat Statistik. 2005. SNSE Indonesia Tahun 2005. BPS, Jakarta. Becker, Gary S. 1967. Human capital and the personal distribution of income: an analytical approach. Institute of Public Administration, University of Michigan, Michigan. Bonaglia, F., Ferrara, E., and Marcellino,M. 2000.Public Capital and Economic Performance: evidence from Italy. GDE, Bocconi University, Vol.59. Bradley, R. & Gans, J., 1996. "Growth in Australian Cities," Papers 96/13, New South Wales - School of Economics, NSW. Calderon, C, and L. Serven, 2004. The Effects Of Infrastructure Development on Growth And Income Distribution. The World Bank, Paper Vol: WPS3400 (4), Washington. Canning, D. 1999. Infrastructure’s Contribution to Aggregate Output. Policy Research Working Paper No. 2246. World Bank. Capello, R. 2007. Regional Ecoomics. Routledge, Newyork. Chenery, H and Syrquin, M (with the assistance of Hazel Elkington). 1975. Patterns of development, 1950-1970. Oxford University Press, Oxford. Civardi, Marisa Bottiroli and Lenti, R, T. 2002. The Social Accounting Matrix (SAM): A Framework for Building Inequality “Structural Indicators” for Analysing the Income Distribution. Working Paper. Universita di MilanoBicocca, Milano.
174
Daryanto, A., dan Y. Hafizrianda. 2010. Analisis Input-Output dan Social Accounting Matrix untuk Pembangunan Ekonomi Daerah. IPB Press, Bogor. Defourny, J. and E. Thorbecke, 1984. Structural Path Analysis and Multiplier Decomposition within a Social Accounting Matrix Framework. The Economic Journal, Volume 94. Dumont and Somps, 2000. Stratégies De Réduction De La Pauvreté Au Sénégal : Une Analyse Par La Modélisation En Équilibre Général Calculable Microsimulé. Volume 83. Issue 4. pp. 483-528. École des Hautes Études Commerciales de Montréal, Canada. Esfahani and Ramirez.2002. Infrastructure and Growth: Empirical Evidence. OECD Economic Department Working Papers, Issue 685, pp. 1, 2, 5-58. Fan, S dan Chan-Kang, C. (2005). Road Development, Economic Growth, and Poverty Reduction in China. International Food Policy Research Institute 138. Ghalib,A. 2005. Peranan dan Dampak Pariwisata Pada Perekonomian Indonesia: Suatu Pendekatan Model IO dan SAM. Disertasi Doktor. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Fakultas Ekonomi Manajemen, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hafizrianda, Y. 2007. Dampak Pembangunan Sektor Pertanian Terhadap Distribusi Pendapatan dan Perekonomian Regional Provinsi Papua: Suatu Analisis Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi.Disertasi Pasca Sarjana IPB. IPB, Bogor. Heriawan, R. 2004. Peranan dan Dampak Pariwisata Pada Perekonomian Indonesia: Suatu Pendekatan Model IO dan SAM. Disertasi Doktor. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Fakultas Ekonomi Manajemen, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hoover, E.M, 1948. The Location of Economic Activity. McGraw Hill Book Company Inc, Newo York.
Idris, F. 2007. Makalah Menteri Perindustrian: Kebijakan dan Strategi Pengembangan Industri Nasional. Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta. Isard, Walter, Iwan Azis, Matthew Drennan, Ronald Miller, Sidney Saltzman, and Erik Thorbecke, eds., 1998. Methods of Interregional and Regional Analysis. Brookfield, Vermont: Ashgate Kakwani, N. 1987. Analysing redistribution policies – a study using Australian Data. Economic Soc of Australia Brown Prior Anderson Pty Ltd, Sydney.
175
Kendrick,J.,W. 1976. "Total Capital and Economic Growth," NBER Chapters, in: The Formation and Stocks of Total Capital. National Bureau of Economic Research, Inc. Kartasasmita,G.,1997. Pemberdayaan Masyarakat: Konsep Pembangunan yang Berakar Pada Masyarakat, Paper. Kullback, S. and R.A.Leibler. 1951.Social Accoutning Matrices: a Basic for Planning. The Worldbank, Washington, DC. Legowo, S. Poerwaningsih. 2009. Dampak Keterkaitan Infrastruktur jaringan Jalan Terhadap Pertumbuhan Sektoral Wilayah di Jabodetabek. Petra Christian University. Surabaya. Mankiw, N. Gregory, 2007, Makroekonomi, Edisi Keenam, Penerbit Erlangga, Jakarta. Mukaramah, H., Jalil, Ahmad Z.A. dan Bakar, Nor’Aznin A. 2011a. Household Income Distribution Impact of Public Expenditure by Component in Malaysia. International Review of Business Research Papers Vol. 7. No. 4. July 2011 Pp. 140-165 _________________________________________________2011b. The Functional And Institutional Distribution Of Income Across Different Institutional Agents And Sectors In Malaysia. International Review of Business Research Papers Vol. 7. No. 3. May 2011. Pp.55 -80 Napitupulu, Muktar. dkk. 2011. Dampak Infrastruktur Jalan Terhadap Perekonomian Pulau Jawa-Bali dan Sumatera (The Impact Of Road Infrastructure On Economics In Java, Bali And Sumatera). Jurnal jalanjembatan Vol 28 No 1. April 2011 Pp. 60-75 Nokkala, M. 2000. Social Accounting Matrices and Sectoral Analysis: The Case of Agricultural Sector Investments in Zambia. Papers of the XIII International Conference on Input-Output Techniques , University of Macerata, Italy Nurkse, R. 1953. Problems of Capital Formation in Underdeveloped Countries. Oxford Basis Blackwell, Oxford. Pansini and Vega. 2008. Multiplier Decomposition, Poverty and Inequality in Income Distribution in a SAM Framework: the Vietnamese Case. Qunderni Del Dipartimento Di Economia Pubblica e Territoriale Universita Di Pavia, Italy. Priyarsono,D.S. 2011. Dari Pertanian ke Industri, IPB Press, Bogor. Pyatt, G and Round, J.,I. 1979. Accounting and Fixed Price Multipliers in a SAM Framework, Economic Journal, 89: 850-873. Robinson, S., and El-Said, M. 2000. Updating and Estimating a Social Accounting Matrix Using Cross Entropy Methods. TMD Discussion Paper No.58, International Food Policy Research Institute, Washington, D.C., U.S.A.
176
Robinson, S., Cattaneo, A., and El-Said, M. 1998. Estimating a Social Accounting Matrix Using Cross Entropy Methods. TMD Discussion Paper No.33, International Food Policy Research Institute, Washington, D.C., U.S.A. Romer, Paul M.1990. Endogenous Technological Change. Journal of Political Economy Vol. 98, No. 5, Part 2: The Problem of Development: A Conference of the Institute for the Study of Free Enterprise Systems. The University of Chicago Press, Chicago. Rostow, W,W. 1960. The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto. Cambridge University Press, Cambridge. Saari, M.Y., 2010. Sources of growth in income and inequality among ethnic groups in Malaysia for 1970-2000. University of Groningen. St Gallen. Saragih, F.R, Ramadhana, F.H, Irawan,F, Hartono, D, dan Irawan, T. 2010. Pengaruh Pelaksanaan Proyek Infrastruktur terhadap Perkembangan Variabel Makro, Pusat Pengolahan Resiko Fiskal, Departemen Keuangan RI, jakarta. Seetanah, B., Ramessur, S., dan Rojid, S. 2009. Does Infrastructure Alleviates Poverty in Developing Countries? International Journal of Applied Econometrics and Quantitative Studies V6-2(2009): 17-36. Siddiqui, Rizwana and Kemal, A.R. 2002. Remittances, trade liberalisation, and poverty in Pakistan: The role of excluded variables in poverty change analysis. Pakistan Institute of Development Economics, Islamabad. Solow, R.M. 1957. Technical Change and the Aggregate Production FunctionThe Review of Economics and Statistics. Vol. 39, No. 3. The MIT Press, massachussetts. Stone, J. R. N.1985. The Disaggregation of the Household Sector in the National Accounts, G. Pyatt and J. I. Round (eds), Social Accounting Matrices: A Basis for Planning. The World Bank, Washington D.C.; 145-185. Sutomo,S dan Sulistini,NS, 1987, Distribusi pendapatan dan pola pengeluaran rumah tangga: pengamatan berdasarkan SNSE Indonesia 1975 dan 1980, LPEM-FEUI, Jakarta. Thorbecke, E. 1998. Social Accounting Matrices and Social Accounting Analysis, Methods of Interregional and Regional Analysis. Ashgate Brookfield, USA. Todaro, P. M. 2000, Economic Development Seven Edition, New York University Press. Wagner, J.,E. 1998.Estimating the economic impacts of tourism, Faculty of Forestry at SUNY College of Environmental Science and Forestry, Syracuse NY 13210, USA Weber, A. 1929. Theory of The Location of Industries. The University of Chicago Press, Chicago.
177
Williamson, J.G.,1965 reprint 1975. Regional Inequalities and the Process of National Development: a Description of the Patterns. In: Firedmann J, Alonso W (eds), Regional Policy. The MIT Press, Cambridge, Massachusetts. Worldbank Annual Report. 2008. Washington DC. Yotopoulus, P.A., and J.B. Nugent, 1976. Economics of Development Empirical Investigations. Harper International Edition New York/Hagerstown/San Fransisco/London. Yusuf, A. A. 2006. Constructing Indonesian SAM for Distributional Analysis in the CGE Modelling Framework. Department of Economics, Padjadjaran University, Bandung.
178
Lampiran 1. Analisis Jalur Dampak Investasi Infrastruktur Transportasi terhadap Golongan Rumah Tangga Provinsi Jawa Barat Tahun 2010
Path GlobalE ffect Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di kota, RT golongan atas sektor bukan industri di kota
0.188
Infrastruktur transportasi, Tenaga kepemimpinan bukan pertanian di kota, RT golongan atas sektor bukan industri di kota Infrastruktur transportasi, modal, RT golongan atas sektor bukan industri di kota Infrastruktur transportasi, Komoditas industri alat Angkutan dan Barang dari Logam Kertas, sektor industri Alat Angkutan dan Barang dari Logam, Tenaga produksi bukan pertanian di kota, RT golongan atas sektor bukan industri di kota Infrastruktur transportasi, Komoditas Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, sektor industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, Tenaga produksi bukan pertanian di kota, RT golongan atas sektor bukan industri di kota Infrastruktur transportasi, Komoditas Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, sektor industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, Tenaga kepemimpinan bukan pertanian di kota, RT golongan atas sektor bukan industri di kota Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di desa, RT golongan atas sektor bukan industri di desa
0.173
Infrastruktur transportasi, modal, RT golongan atas sektor bukan industri di desa Infrastruktur transportasi, Komoditas Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam, sektor industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam dan Industri, modal, RT golongan atas sektor bukan industri di desa Infrastruktur transportasi, Komoditas Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, sektor industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, Tenaga produksi bukan pertanian di desa, RT golongan atas sektor bukan industri di desa Infrastruktur transportasi, Komoditas Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, sektor industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, modal, RT golongan atas sektor bukan industri di desa Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di kota, RT golongan atas sektor industri di kota
0.163
Infrastruktur transportasi, Tenaga kepemimpinan bukan pertanian di kota, RT golongan atas sektor industri di kota Infrastruktur transportasi, Komoditas Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam, sektor industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam dan Industri, Tenaga produksi bukan pertanian di kota, RT golongan atas sektor industri di kota Infrastruktur transportasi, Komoditas Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, sektor industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, Tenaga produksi bukan pertanian di kota, RT golongan atas sektor industri di kota Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di desa, RT pengusaha pertanian
0.152
Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di kota, RT pengusaha pertanian Infrastruktur transportasi, Tenaga kepemimpinan bukan pertanian di kota, RT pengusaha pertanian Infrastruktur transportasi, Komoditas Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam, sektor industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam dan Industri, Tenaga produksi bukan pertanian di kota, RT pengusaha pertanian
Direct Effect
Path Mult.
Total Effect
% of Glob al
0.034
1.229
0.041
22
0.01
1.218
0.012
6.5
0.004
1.252
0.005
2.4
0.004
1.915
0.007
4
0.006
1.488
0.009
4.8
0.004
1.475
0.005
2.9
0.041
1.162
0.048
27.8
0.007
1.235
0.009
5
0.002
1.993
0.004
2.4
0.005
1.419
0.007
3.9
0.004
1.497
0.006
3.4
0.05
1.186
0.059
36.1
0.005
1.211
0.006
4
0.006
1.865
0.011
6.6
0.009
1.444
0.013
8
0.009
1.199
0.011
7
0.014
1.273
0.018
11.9
0.008
1.241
0.01
6.8
0.002
1.991
0.003
2.1
Infrastruktur transportasi, Komoditas Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, sektor industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, Tenaga produksi bukan pertanian di kota, RT pengusaha pertanian
0.003
1.543
0.004
2.6
Infrastruktur transportasi, Komoditas Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, sektor industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, Tenaga kepemimpinan bukan pertanian di kota, RT pengusaha pertanian
0.003
1.507
0.005
3
0.03
1.096
0.033
39.6
0.003
1.348
0.005
5.6
0.008
1.201
0.009
13.2
Infrastruktur transportasi, Tenaga tata usaha bukan pertanian di kota, RT golonganmenengah sektor bukan industri di kota
0.002
1.139
0.002
2.9
Infrastruktur transportasi, Tenaga kepemimpinan bukan pertanian di kota, RT golonganmenengah sektor bukan industri di kota
0.003
1.181
0.003
5
Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di desa, RT golongan atas sektor industri di desa Infrastruktur transportasi, Komoditas Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, sektor industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, Tenaga produksi bukan pertanian di desa, RT golongan atas sektor industri di desa Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di kota, RT golonganmenengah sektor bukan industri di kota
0.083
0.07
179
Path
GlobalE ffect
Infrastruktur transportasi, Komoditas Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, sektor industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, Tenaga produksi bukan pertanian di kota, RT golonganmenengah sektor bukan industri di kota Infrastruktur transportasi, Komoditas Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, sektor industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, Tenaga kepemimpinan bukan pertanian di kota, RT golonganmenengah sektor bukan industri di kota Infrastruktur transportasi, Komoditas Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, sektor industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, modal, RT golonganmenengah sektor bukan industri di kota Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di kota, RT golongan menengah sektor industri di kota
0.058
Infrastruktur transportasi, Tenaga tata usaha bukan pertanian di kota, RT golongan menengah sektor industri di kota Infrastruktur transportasi, Tenaga kepemimpinan bukan pertanian di kota, RT golongan menengah sektor industri di kota Infrastruktur transportasi, Komoditas Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam, sektor industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam dan Industri, Tenaga produksi bukan pertanian di kota, RT golongan menengah sektor industri di kota Infrastruktur transportasi, Komoditas Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, sektor industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, Tenaga produksi bukan pertanian di kota, RT golongan menengah sektor industri di kota Infrastruktur transportasi, Tenaga kepemimpinan bukan pertanian di kota, RT buruh pertanian Infrastruktur transportasi, Komoditas Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam, sektor industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam dan Industri, Tenaga kepemimpinan bukan pertanian di kota, RT buruh pertanian
0.051
Direct Effect
Path Mult.
Total Effect
% of Glob al
0.001
1.458
0.002
2.9
0.001
1.436
0.002
2.2
0.001
1.457
0.002
3
0.011
1.181
0.013
22.3
0.002
1.125
0.002
3.1
0.002
1.168
0.003
5
0.001
1.867
0.002
4.1
0.002
1.439
0.003
4.9
0.007
1.163
0.008
15.5
0.001
1.893
0.002
4.1
Infrastruktur transportasi, Komoditas Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, sektor industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, Tenaga kepemimpinan bukan pertanian di kota, RT buruh pertanian
0.002
1.421
0.004
6.9
Infrastruktur transportasi, Komoditas Jasa Perseorangan, Rumah tangga dan Jasa Lainnya, Jasa Perseorangan, Rumah tangga dan Jasa Lainnya, Tenaga kepemimpinan bukan pertanian di kota, RT buruh pertanian
0.001
1.19
0.001
2.9
0.006
1.103
0.007
15.8
Infrastruktur transportasi, modal, RT golongan menengah sektor bukan industri di desa
0.003
1.179
0.004
8.4
Infrastruktur transportasi, Komoditas Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, sektor industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, modal, RT golongan menengah sektor bukan industri di desa
0.002
1.437
0.003
5.8
0.005
1.174
0.006
16.4
Infrastruktur transportasi, Tenaga tata usaha bukan pertanian di kota, RT golongan bawah sektor bukan industri di kota
0.001
1.115
0.001
3.3
Infrastruktur transportasi, Tenaga kepemimpinan bukan pertanian di kota, RT golongan bawah sektor bukan industri di kota
0.001
1.159
0.001
3.8
0.009
1.087
0.01
29.6
0.001
1.337
0.001
4.2
0.007
1.164
0.008
26.7
0.001
1.42
0.002
5.9
0.018
0.004
1.077
0.004
23.6
0.017
0.004
1.079
0.005
28.4
Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di desa, RT golongan menengah sektor bukan industri di desa
Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di kota, RT golongan bawah sektor bukan industri di kota
Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di desa, RT golongan menengah sektor industri di desa Infrastruktur transportasi, Komoditas Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, sektor industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, Tenaga produksi bukan pertanian di desa, RT golongan menengah sektor industri di desa Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di kota, RT golongan bawah sektor industri di kota Infrastruktur transportasi, Komoditas Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, sektor industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, Tenaga produksi bukan pertanian di kota, RT golongan bawah sektor industri di kota Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di desa, RT golongan bawah sektor bukan industri di desa Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di desa, RT golongan bawah sektor industri di desa
Sumber: SNSE Jawa Barat 2010, diolah kembali
0.044
0.035
0.033
0.031
180 Lampiran 2.Analisis Jalur Dampak Investasi Infrastruktur Transportasi Terhadap Sektor Produksi Provinsi Jawa Barat Tahun 2010 Path Global Effect Infrastruktur transportasi, Komoditas industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam, Sektor industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam
0.402
Direct Effect
Path Mult.
Total Effect
% of Global
0.118
1.702
0.201
50
0.004
1.809
0.007
1.8
0.001
1.991
0.002
0.5
Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di kota, RT golongan atas sektor industri di kota, Komoditas industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam, Sektor industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam
0.008
1.865
0.015
3.8
Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di kota, RT golongan atas sektor bukan industri di kota, Komoditas industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam, Sektor industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam
0.004
1.915
0.007
1.7
Infrastruktur transportasi, Tenaga kepemimpinan bukan pertanian di kota, RT golongan atas sektor bukan industri di kota, Komoditas industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam, Sektor industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam
0.001
1.934
0.002
0.5
0.002
2.08
0.004
1.1
0.005
1.881
0.009
2.1
0.004
1.752
0.007
1.7
0.231
1.257
0.291
78.2
0.001
1.337
0.001
0.4
0.004
2.08
0.009
2.4
0.001
1.267
0.002
0.4
0.003
1.418
0.004
1
0.001
1.456
0.002
0.7
0.03
1.924
0.058
20.2
0.047
1.484
0.069
24.1
0.002
1.511
0.003
1.4
0.001
1.438
0.002
0.8
0.005
1.451
0.007
2.8
0.01
1.483
0.015
6.3
0.003
1.579
0.005
2.3
Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di desa, RT golongan atas sektor industri di desa, Komoditas industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam, Sektor industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di kota, RT pengusaha pertanian, Komoditas industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam, Sektor industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam
Infrastruktur transportasi, Komoditi industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, Sektor industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, Komoditas industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam, Sektor industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam Infrastruktur transportasi, Komoditas angkutan darat, Sektor angkutan darat, Komoditas industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam, Sektor industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam Infrastruktur transportasi, Komoditas Jasa perseorangan, sektor jasa perseorangan, Komoditas industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam, Sektor industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam Infrastruktur transportasi, Komoditi industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, Sektor industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di desa, RT golongan menengah sektor industri di desa, Komoditi industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, Sektor industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen
0.372
Infrastruktur transportasi, Komoditas industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam, Sektor industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam, Komoditi industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, Sektor industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen Infrastruktur transportasi, Komoditas infrastruktur non transportasi Infrastruktur non transportasi Komoditi industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, Sektor industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen Infrastruktur transportasi, Komoditas angkutan darat, Sektor angkutan darat, Komoditi industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, Sektor industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen Infrastruktur transportasi, Komoditas industri Kayu & Barang dari Kayu, TTM, Jasa perdagangan, Sektor perdagangan
0.287
Infrastruktur transportasi, Komoditas industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam, TTM, Jasa perdagangan, Sektor perdagangan Infrastruktur transportasi, Komoditi industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, TTM, Jasa perdagangan, Sektor perdagangan Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian desa, RT pengusaha pertanian, Komoditas industri Makanan, Minuman dan Tembakau, Sektor Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian desa, RT golongan bawah sektor industri di desa, Komoditas industri Makanan, Minuman dan Tembakau, Sektor Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian desa, RT golongan atas sektor industri di desa, Komoditas industri Makanan, Minuman dan Tembakau, Sektor Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian desa, RT golongan atas sektor bukan industri di desa, Komoditas industri Makanan, Minuman dan Tembakau, Sektor Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian kota, RT pengusaha pertanian, Komoditas industri Makanan, Minuman dan Tembakau, Sektor Industri Makanan, Minuman dan Tembakau
di 0.235 di
di
di
di
181
Path
GlobalEf fect
Direct Effect
Path Mult.
Total Effect
% of Global
0.003
1.528
0.005
2
0.008
1.537
0.012
5.3
0.001
1.525
0.002
0.7
0.001
1.553
0.002
0.7
0.005
1.573
0.007
3.1
0.002
1.519
0.002
1.1
0.002
1.555
0.003
1.3
0.001
1.568
0.002
0.9
0.002
1.542
0.003
1.1
0.037
1.159
0.043
25.6
Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di desa, RT golongan atas sektor industri di desa, Komoditas angkutan darat, Sektor angkutan darat
0.004
1.234
0.004
2.7
Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di desa, RT golongan atas sektor bukan industri di desa, Komoditas angkutan darat, Sektor angkutan darat
0.001
1.302
0.001
0.9
Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di kota, RT golongan atas sektor industri di kota, Komoditas angkutan darat, Sektor angkutan darat
0.002
1.325
0.003
1.6
0.002
1.367
0.002
1.2
0.003
1.881
0.005
3.1
0.003
2.088
0.006
3.3
0.006
1.418
0.008
4.9
0.004
1.622
0.007
4
Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di kota, RT golongan menengah sektor industri di kota, Komoditas industri Makanan, Minuman dan Tembakau, Sektor Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di kota, RT golongan atas sektor industri di kota, Komoditas industri Makanan, Minuman dan Tembakau, Sektor Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di kota, RT golongan bawah sektor bukan industri di kota, Komoditas industri Makanan, Minuman dan Tembakau, Sektor Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di kota, RT golongan menengah sektor bukan industri di kota, Komoditas industri Makanan, Minuman dan Tembakau, Sektor Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di kota, RT golongan atas sektor bukan industri di kota, Komoditas industri Makanan, Minuman dan Tembakau, Sektor Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Infrastruktur transportasi, Tenaga kepemimpinan bukan pertanian di kota, RT buruh pertanian, Komoditas industri Makanan, Minuman dan Tembakau, Sektor Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Infrastruktur transportasi, Tenaga kepemimpinan bukan pertanian di kota, RT pengusaha pertanian, Komoditas industri Makanan, Minuman dan Tembakau, Sektor Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Infrastruktur transportasi, Tenaga kepemimpinan bukan pertanian di kota, RT golongan atas sektor bukan industri di kota, Komoditas industri Makanan, Minuman dan Tembakau, Sektor Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Infrastruktur transportasi, modal, RT golongan atas sektor bukan industri di desa, Komoditas industri Makanan, Minuman dan Tembakau, Sektor Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Infrastruktur transportasi, Komoditas angkutan darat, Sektor angkutan darat
Infrastruktur transportasi, Tenaga produksi bukan pertanian di kota, RT golongan atas sektor bukan industri di kota, Komoditas angkutan darat, Sektor angkutan darat Infrastruktur transportasi, Komoditas industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam, Sektor industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam, Komoditas angkutan darat, Sektor angkutan darat Infrastruktur transportasi, Komoditas industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam, TTM, Komoditas angkutan darat, Sektor angkutan darat Infrastruktur transportasi, Komoditi industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, Sektor industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, Komoditas angkutan darat, Sektor angkutan darat Infrastruktur transportasi, Komoditi industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen, TTM, Komoditas angkutan darat, Sektor angkutan darat
Sumber: SNSE Jawa Barat 2010, diolah
0.167
182 Lampiran 3. Dekomposisi global effect multiplier mH1A39 dari matriks Ma
Injek si pada kolo mj (1) A39
Pengar uh injeksi pada baris i (2) H1
A39
H1
A39
H1
A39
H1
A39
H1
A39
H1
A39
H1
A39
H1
A39
H1
A39
H1
A39
H1
A39
H1
A39
H1
A39
H1
Sumber Keterangan
Dekomposisi Multiplier mH1A39 dari matrik Ma Gol. Direct- Indirect- Total Direct- IndirectRuma direct direct Effect indirect indirect h effect effect dari A39 effect effect Tangg a (3) (4) (5) (6) (7) (8) hh1 0,000 0,025 0,025 0,000 0,024 06 12 18 03 92 hh2 0,000 0,003 0,003 0,000 0,046 01 31 32 09 73 hh3 0,000 0,000 0,000 0,000 0,049 00 38 38 09 66 hh4 0,000 0,000 0,000 0,000 0,049 00 83 83 09 21 hh5 0,000 0,001 0,001 0,000 0,048 00 96 96 09 08 hh6 0,000 0,000 0,000 0,000 0,049 00 87 87 10 17 hh7 0,000 0,001 0,001 0,000 0,048 00 55 55 10 49 hh8 0,000 0,003 0,003 0,000 0,046 00 90 90 10 14 hh9 0,000 0,000 0,000 0,000 0,049 00 44 44 10 60 hh10 0,000 0,001 0,001 0,000 0,048 00 49 49 09 55 hh11 0,000 0,003 0,003 0,000 0,046 01 65 66 09 39 hh12 0,000 0,000 0,000 0,000 0,049 00 99 99 10 05 hh13 0,000 0,001 0,001 0,000 0,048 00 82 82 10 22 hh14 0,000 0,003 0,003 0,000 0,046 00 74 74 09 30
Total Global Effect Effect pada mH1A39 Rumah Tangga (9) (10) 0,024 0,050 95 14 0,046 0,050 82 14 0,049 0,050 75 14 0,049 0,050 30 14 0,048 0,050 17 14 0,049 0,050 26 14 0,048 0,050 59 14 0,046 0,050 23 14 0,049 0,050 70 14 0,048 0,050 65 14 0,046 0,050 48 14 0,049 0,050 15 14 0,048 0,050 31 14 0,046 0,050 40 14
: Diolah dari SNSE Jawa Barat 2010. : A39 adalah sektor infrastuktur transportasi. H1 adalah rumah tangga buruh pertanian. hh1-hh14 adalah seluruh golongan rumah tangga yang terkena dampak secara tidak langsung.
183 Lampiran 4. Dekomposisi global effect multiplier mH2A39 dari matriks Ma
Injek si pada kolo mj (1) A39
Pengar uh injeksi pada baris i (2) H2
A39
H2
A39
H2
A39
H2
A39
H2
A39
H2
A39
H2
A39
H2
A39
H2
A39
H2
A39
H2
A39
H2
A39
H2
A39
H2
Sumber Keterangan
Dekomposisi Multiplier mH2A39 dari matrik Ma Gol. Direct- Indirect- Total Direct- IndirectRuma direct direct Effect indirect indirect h effect effect dari A39 effect effect Tangg a (3) (4) (5) (6) (7) (8) hh1 0,000 0,003 0,003 0,000 0,144 01 90 91 34 57 hh2 0,000 0,080 0,080 0,000 0,067 27 52 79 08 94 hh3 0,000 0,001 0,001 0,000 0,147 01 16 17 34 31 hh4 0,000 0,002 0,002 0,000 0,146 01 43 44 34 04 hh5 0,000 0,005 0,005 0,000 0,142 01 87 88 34 59 hh6 0,000 0,002 0,002 0,000 0,145 00 60 60 35 86 hh7 0,000 0,004 0,004 0,000 0,143 00 56 57 34 90 hh8 0,000 0,012 0,012 0,000 0,136 00 00 00 34 47 hh9 0,000 0,001 0,001 0,000 0,147 00 24 25 34 22 hh10 0,000 0,003 0,003 0,000 0,144 01 70 71 34 76 hh11 0,000 0,011 0,011 0,000 0,137 02 38 40 33 09 hh12 0,000 0,002 0,002 0,000 0,145 00 92 92 34 54 hh13 0,000 0,005 0,005 0,000 0,143 00 23 23 34 24 hh14 0,000 0,010 0,010 0,000 0,137 01 93 94 34 53
Total Global Effect Effect pada mH2A39 Rumah Tangga (9) (10) 0,144 0,148 90 81 0,068 0,148 02 81 0,147 0,148 65 81 0,146 0,148 37 81 0,142 0,148 93 81 0,146 0,148 21 81 0,144 0,148 25 81 0,136 0,148 81 81 0,147 0,148 57 81 0,145 0,148 10 81 0,137 0,148 41 81 0,145 0,148 89 81 0,143 0,148 58 81 0,137 0,148 87 81
: diolah dari SNSE Jawa Barat 2010. : A39 adalah sektor infrastuktur transportasi. H2 adalah rumah tangga pengusaha pertanian. hh1-hh14 adalah seluruh golongan rumah tangga yang terkena dampak secara tidak langsung.
184 Lampiran 5. Dekomposisi global effect multiplier mH3A39 dari matriks Ma
Injek si pada kolo mj (1) A39
Pengar uh injeksi pada baris i (2) H3
A39
H3
A39
H3
A39
H3
A39
H3
A39
H3
A39
H3
A39
H3
A39
H3
A39
H3
A39
H3
A39
H3
A39
H3
A39
H3
Sumber Keterangan
Dekomposisi Multiplier mH3A39 dari matrik Ma Gol. Direct- Indirect- Total Direct- IndirectRuma direct direct Effect indirect indirect h effect effect dari A39 effect effect Tangg a (3) (4) (5) (6) (7) (8) hh1 0,000 0,000 0,000 0,000 0,015 00 45 45 05 92 hh2 0,000 0,001 0,001 0,000 0,015 00 07 07 05 30 hh3 0,000 0,007 0,008 0,000 0,008 04 99 02 01 38 hh4 0,000 0,000 0,000 0,000 0,016 00 27 27 05 10 hh5 0,000 0,000 0,000 0,000 0,015 00 64 64 05 73 hh6 0,000 0,000 0,000 0,000 0,016 00 29 29 05 08 hh7 0,000 0,000 0,000 0,000 0,015 00 50 50 05 87 hh8 0,000 0,001 0,001 0,000 0,015 00 32 32 05 05 hh9 0,000 0,000 0,000 0,000 0,016 00 13 13 05 24 hh10 0,000 0,000 0,000 0,000 0,015 00 39 39 05 98 hh11 0,000 0,001 0,001 0,000 0,015 00 32 32 05 05 hh12 0,000 0,000 0,000 0,000 0,016 00 32 32 05 04 hh13 0,000 0,000 0,000 0,000 0,015 00 55 55 05 82 hh14 0,000 0,001 0,001 0,000 0,015 00 15 15 05 22
Total Effect pada Rumah Tangga (9) 0,015 97 0,015 35 0,008 39 0,016 15 0,015 78 0,016 13 0,015 92 0,015 10 0,016 28 0,016 03 0,015 10 0,016 09 0,015 87 0,015 27
Global Effect mH3A39 (10) 0,016 42 0,016 42 0,016 42 0,016 42 0,016 42 0,016 42 0,016 42 0,016 42 0,016 42 0,016 42 0,016 42 0,016 42 0,016 42 0,016 42
: diolah dari SNSE Jawa Barat 2010. : A39 adalah sektor infrastuktur transportasi. H3 adalah rumah tangga industri golongan bawah di desa. hh1-hh14 adalah seluruh golongan rumah tangga yang terkena dampak secara tidak langsung.
185 Lampiran 6. Dekomposisi global effect multiplier mH4A39 dari matriks Ma
Injek si pada kolo mj (1) A39
Pengar uh injeksi pada baris i (2) H4
A39
H4
A39
H4
A39
H4
A39
H4
A39
H4
A39
H4
A39
H4
A39
H4
A39
H4
A39
H4
A39
H4
A39
H4
A39
H4
Sumber Keterangan
Dekomposisi Multiplier mH4A39 dari matrik Ma Gol. Direct- Indirect- Total Direct- IndirectRuma direct direct Effect indirect indirect h effect effect dari A39 effect effect Tangg a (3) (4) (5) (6) (7) (8) hh1 0,000 0,000 0,000 0,000 0,031 00 78 78 07 22 hh2 0,000 0,001 0,001 0,000 0,030 01 88 89 07 11 hh3 0,000 0,000 0,000 0,000 0,031 00 23 23 07 77 hh4 0,000 0,017 0,017 0,000 0,014 05 36 41 02 64 hh5 0,000 0,001 0,001 0,000 0,030 00 16 16 07 83 hh6 0,000 0,000 0,000 0,000 0,031 00 51 51 07 49 hh7 0,000 0,000 0,000 0,000 0,031 00 88 88 07 12 hh8 0,000 0,002 0,002 0,000 0,029 00 34 34 07 65 hh9 0,000 0,000 0,000 0,000 0,031 00 24 24 07 76 hh10 0,000 0,000 0,000 0,000 0,031 00 72 72 07 28 hh11 0,000 0,002 0,002 0,000 0,029 00 26 26 07 74 hh12 0,000 0,000 0,000 0,000 0,031 00 57 57 07 43 hh13 0,000 0,000 0,000 0,000 0,031 00 99 99 07 00 hh14 0,000 0,002 0,002 0,000 0,029 00 09 09 07 90
Total Global Effect Effect pada mH4A39 Rumah Tangga (9) (10) 0,031 0,032 29 07 0,030 0,032 18 07 0,031 0,032 84 07 0,014 0,032 66 07 0,030 0,032 91 07 0,031 0,032 56 07 0,031 0,032 19 07 0,029 0,032 73 07 0,031 0,032 83 07 0,031 0,032 35 07 0,029 0,032 81 07 0,031 0,032 50 07 0,031 0,032 07 07 0,029 0,032 97 07
: diolah dari SNSE Jawa Barat 2010. : A39 adalah sektor infrastuktur transportasi. H4 adalah rumah tangga industri golongan menengah di desa. hh1-hh14 adalah seluruh golongan rumah tangga yang terkena dampak secara tidak langsung.
186 Lampiran 7. Dekomposisi global effect multiplier mH5A39 dari matriks Ma
Injek si pada kolo mj (1) A39
Pengar uh injeksi pada baris i (2) H5
A39
H5
A39
H5
A39
H5
A39
H5
A39
H5
A39
H5
A39
H5
A39
H5
A39
H5
A39
H5
A39
H5
A39
H5
A39
H5
Sumber Keterangan
Dekomposisi Multiplier mH5A39 dari matrik Ma Gol. Direct- Indirect- Total Direct- IndirectRuma direct direct Effect indirect indirect h effect effect dari A39 effect effect Tangg a (3) (4) (5) (6) (7) (8) hh1 0,000 0,001 0,001 0,000 0,079 78 00 55 55 10 hh2 0,000 0,003 0,003 0,000 0,077 01 87 89 10 46 hh3 0,000 0,000 0,000 0,000 0,080 00 47 47 11 87 hh4 0,000 0,001 0,001 0,000 0,080 00 00 01 11 33 hh5 0,000 0,052 0,052 0,000 0,028 07 47 54 04 87 hh6 0,000 0,001 0,001 0,000 0,080 00 06 06 11 27 hh7 0,000 0,001 0,001 0,000 0,079 00 82 82 11 51 hh8 0,000 0,004 0,004 0,000 0,076 00 95 96 11 38 hh9 0,000 0,000 0,000 0,000 0,080 00 49 49 11 85 hh10 0,000 0,001 0,001 0,000 0,079 00 35 35 11 99 hh11 0,000 0,004 0,004 0,000 0,076 01 53 53 10 81 hh12 0,000 0,001 0,001 0,000 0,080 00 16 16 11 17 hh13 0,000 0,002 0,002 0,000 0,079 00 10 10 11 23 hh14 0,000 0,004 0,004 0,000 0,076 00 51 51 11 83
Total Global Effect Effect pada mH5A39 Rumah Tangga (9) (10) 0,079 0,081 89 44 0,077 0,081 56 44 0,080 0,081 97 44 0,080 0,081 44 44 0,028 0,081 91 44 0,080 0,081 38 44 0,079 0,081 62 44 0,076 0,081 49 44 0,080 0,081 95 44 0,080 0,081 09 44 0,076 0,081 91 44 0,080 0,081 28 44 0,079 0,081 34 44 0,076 0,081 93 44
: diolah dari SNSE Jawa Barat 2010. : A39 adalah sektor infrastuktur transportasi. H5 adalah rumah tangga industri golongan atas di desa. hh1-hh14 adalah seluruh golongan rumah tangga yang terkena dampak secara tidak langsung.
187
Lampiran 8. Dekomposisi global effect multiplier mH6A39 dari matriks Ma Dekomposisi Multiplier mH6A39 dari matrik Ma Injek Pengar Gol. Direct- Indirect- Total Direct- Indirect- Total Global si uh Ruma direct direct Effect indirect indirect Effect Effect pada injeksi h effect effect dari A39 effect effect pada mH6A39 kolo pada Tangg Rumah mj baris i a Tangga (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) A39 H6 hh1 0,000 0,000 0,000 0,000 0,030 0,030 0,030 00 57 57 02 06 08 65 A39 H6 hh2 0,000 0,001 0,001 0,000 0,029 0,029 0,030 01 54 54 02 09 11 65 A39 H6 hh3 0,000 0,000 0,000 0,000 0,030 0,030 0,030 00 18 18 02 45 47 65 A39 H6 hh4 0,000 0,000 0,000 0,000 0,030 0,030 0,030 00 40 40 02 23 25 65 A39 H6 hh5 0,000 0,001 0,001 0,000 0,029 0,029 0,030 00 02 02 02 61 64 65 A39 H6 hh6 0,000 0,018 0,018 0,000 0,012 0,012 0,030 00 53 54 02 10 12 65 A39 H6 hh7 0,000 0,000 0,000 0,000 0,029 0,029 0,030 00 73 73 02 90 92 65 A39 H6 hh8 0,000 0,002 0,002 0,000 0,028 0,028 0,030 00 00 00 02 63 65 65 A39 H6 hh9 0,000 0,000 0,000 0,000 0,030 0,030 0,030 00 20 20 02 43 45 65 A39 H6 hh10 0,000 0,000 0,000 0,000 0,030 0,030 0,030 00 55 56 02 08 10 65 A39 H6 hh11 0,000 0,001 0,001 0,000 0,028 0,028 0,030 00 66 67 02 97 99 65 A39 H6 hh12 0,000 0,000 0,000 0,000 0,030 0,030 0,030 00 46 46 02 17 20 65 A39 H6 hh13 0,000 0,000 0,000 0,000 0,029 0,029 0,030 00 88 88 02 75 77 65 A39 H6 hh14 0,000 0,001 0,001 0,000 0,028 0,028 0,030 00 91 91 02 72 74 65 Sumber Keterangan
: diolah dari SNSE Jawa Barat 2010. : A39 adalah sektor infrastuktur transportasi. H6 adalah rumah tangga industri golongan bawah di kota. hh1-hh14 adalah seluruh golongan rumah tangga yang terkena dampak secara tidak langsung.
188 Lampiran 9. Dekomposisi global effect multiplier mH7A39 dari matriks Ma
Injek si pada kolo mj (1) A39
Pengar uh injeksi pada baris i (2) H7
A39
H7
A39
H7
A39
H7
A39
H7
A39
H7
A39
H7
A39
H7
A39
H7
A39
H7
A39
H7
A39
H7
A39
H7
A39
H7
Sumber Keterangan
Dekomposisi Multiplier mH7A39 dari matrik Ma Gol. Direct- Indirect- Total Direct- IndirectRuma direct direct Effect indirect indirect h effect effect dari A39 effect effect Tangg a (3) (4) (5) (6) (7) (8) hh1 0,000 0,001 0,001 0,000 0,055 00 12 12 05 36 hh2 0,000 0,003 0,003 0,000 0,053 01 00 01 04 48 hh3 0,000 0,000 0,000 0,000 0,056 00 35 35 05 13 hh4 0,000 0,000 0,000 0,000 0,055 00 77 78 05 70 hh5 0,000 0,001 0,001 0,000 0,054 00 93 93 05 55 hh6 0,000 0,000 0,000 0,000 0,055 00 81 81 05 66 hh7 0,000 0,033 0,033 0,000 0,022 02 64 65 03 84 hh8 0,000 0,003 0,003 0,000 0,052 00 82 82 05 66 hh9 0,000 0,000 0,000 0,000 0,056 00 39 39 05 09 hh10 0,000 0,001 0,001 0,000 0,055 00 14 15 05 33 hh11 0,000 0,003 0,003 0,000 0,053 01 24 25 04 23 hh12 0,000 0,000 0,000 0,000 0,055 00 89 89 05 59 hh13 0,000 0,001 0,001 0,000 0,054 00 71 71 05 77 hh14 0,000 0,003 0,003 0,000 0,052 00 66 66 05 82
Total Global Effect Effect pada mH7A39 Rumah Tangga (9) (10) 0,055 0,056 41 53 0,053 0,056 52 53 0,056 0,056 18 53 0,055 0,056 75 53 0,054 0,056 59 53 0,055 0,056 71 53 0,022 0,056 87 53 0,052 0,056 71 53 0,056 0,056 13 53 0,055 0,056 38 53 0,053 0,056 28 53 0,055 0,056 64 53 0,054 0,056 81 53 0,052 0,056 86 53
: diolah dari SNSE Jawa Barat 2010. : A39 adalah sektor infrastuktur transportasi. H7 adalah rumah tangga industri golongan menengah di kota. hh1-hh14 adalah seluruh golongan rumah tangga yang terkena dampak secara tidak langsung.
189 Lampiran 10. Dekomposisi global effect multiplier mH8A39 dari matriks Ma
Injek si pada kolo mj (1) A39
Pengar uh injeksi pada baris i (2) H8
A39
H8
A39
H8
A39
H8
A39
H8
A39
H8
A39
H8
A39
H8
A39
H8
A39
H8
A39
H8
A39
H8
A39
H8
A39
H8
Sumber Keterangan
Dekomposisi Multiplier mH8A39 dari matrik Ma Gol. Direct- Indirect- Total Direct- IndirectRuma direct direct Effect indirect indirect h effect effect dari A39 effect effect Tangg a (3) (4) (5) (6) (7) (8) hh1 0,000 0,002 0,002 0,000 0,156 01 62 62 10 94 hh2 0,000 0,007 0,007 0,000 0,152 02 10 13 08 45 hh3 0,000 0,000 0,000 0,000 0,158 00 82 82 10 74 hh4 0,000 0,001 0,001 0,000 0,157 01 88 88 10 68 hh5 0,000 0,004 0,004 0,000 0,154 01 80 81 10 75 hh6 0,000 0,001 0,001 0,000 0,157 00 94 94 10 61 hh7 0,000 0,003 0,003 0,000 0,156 00 36 36 10 20 hh8 0,000 0,110 0,110 0,000 0,048 02 75 77 08 81 hh9 0,000 0,000 0,000 0,000 0,158 00 94 94 10 62 hh10 0,000 0,002 0,002 0,000 0,156 01 75 76 10 81 hh11 0,000 0,007 0,007 0,000 0,152 01 51 53 09 05 hh12 0,000 0,002 0,002 0,000 0,157 00 10 10 10 46 hh13 0,000 0,004 0,004 0,000 0,155 00 11 11 10 45 hh14 0,000 0,008 0,008 0,000 0,150 00 89 89 10 67
Total Global Effect Effect pada mH9A39 Rumah Tangga (9) (10) 0,157 0,159 04 66 0,152 0,159 53 66 0,158 0,159 84 66 0,157 0,159 78 66 0,154 0,159 85 66 0,157 0,159 72 66 0,156 0,159 30 66 0,048 0,159 89 66 0,158 0,159 72 66 0,156 0,159 91 66 0,152 0,159 14 66 0,157 0,159 56 66 0,155 0,159 55 66 0,150 0,159 77 66
: diolah dari SNSE Jawa Barat 2010. : A39 adalah sektor infrastuktur transportasi. H8 adalah rumah tangga industri golongan atas di kota. hh1-hh14 adalah seluruh golongan rumah tangga yang terkena dampak secara tidak langsung.
190 Lampiran 11. Dekomposisi global effect multiplier mH9A39 dari matriks Ma
Injek si pada kolo mj (1) A39
Pengar uh injeksi pada baris i (2) H9
A39
H9
A39
H9
A39
H9
A39
H9
A39
H9
A39
H9
A39
H9
A39
H9
A39
H9
A39
H9
A39
H9
A39
H9
A39
H9
Sumber Keterangan
Dekomposisi Multiplier mH9A39 dari matrik Ma Gol. Direct- Indirect- Total Direct- IndirectRuma direct direct Effect indirect indirect h effect effect dari A39 effect effect Tangg a (3) (4) (5) (6) (7) (8) hh1 0,000 0,000 0,000 0,000 0,017 00 43 43 04 55 hh2 0,000 0,001 0,001 0,000 0,016 00 06 06 03 92 hh3 0,000 0,000 0,000 0,000 0,017 00 13 13 04 85 hh4 0,000 0,000 0,000 0,000 0,017 00 27 27 04 71 hh5 0,000 0,000 0,000 0,000 0,017 00 68 68 04 30 hh6 0,000 0,000 0,000 0,000 0,017 00 29 29 04 69 hh7 0,000 0,000 0,000 0,000 0,017 00 50 50 04 48 hh8 0,000 0,001 0,001 0,000 0,016 00 35 35 04 63 hh9 0,000 0,009 0,009 0,000 0,008 03 57 60 01 41 hh10 0,000 0,000 0,000 0,000 0,017 00 35 35 04 63 hh11 0,000 0,001 0,001 0,000 0,016 00 26 26 03 72 hh12 0,000 0,000 0,000 0,000 0,017 00 32 32 04 67 hh13 0,000 0,000 0,000 0,000 0,017 00 57 57 04 41 hh14 0,000 0,001 0,001 0,000 0,016 00 22 22 04 76
Total Global Effect Effect pada mH9A39 Rumah Tangga (9) (10) 0,017 0,018 59 02 0,016 0,018 96 02 0,017 0,018 89 02 0,017 0,018 75 02 0,017 0,018 34 02 0,017 0,018 73 02 0,017 0,018 52 02 0,016 0,018 67 02 0,008 0,018 42 02 0,017 0,018 67 02 0,016 0,018 76 02 0,017 0,018 70 02 0,017 0,018 45 02 0,016 0,018 80 02
: diolah dari SNSE Jawa Barat 2010. : A39 adalah sektor infrastuktur transportasi. H9 adalah rumah tangga bukan industri golongan bawah di desa. hh1-hh14 adalah seluruh golongan rumah tangga yang terkena dampak secara tidak langsung.
191 Lampiran 12. Dekomposisi global effect multiplier mH10A39 dari matriks Ma
Injek si pada kolo mj (1) A39
Pengar uh injeksi pada baris i (2) H10
A39
H10
A39
H10
A39
H10
A39
H10
A39
H10
A39
H10
A39
H10
A39
H10
A39
H10
A39
H10
A39
H10
A39
H10
A39
H10
Sumber Keterangan
Dekomposisi Multiplier mH10A39 dari matrik Ma Gol. Direct- Indirect- Total Direct- IndirectRuma direct direct Effect indirect indirect h effect effect dari A39 effect effect Tangg a (3) (4) (5) (6) (7) (8) hh1 0,000 0,001 0,001 0,000 0,041 00 03 04 08 73 hh2 0,000 0,002 0,002 0,000 0,040 01 59 60 07 17 hh3 0,000 0,000 0,000 0,000 0,042 00 31 31 08 45 hh4 0,000 0,000 0,000 0,000 0,042 00 66 66 08 10 hh5 0,000 0,001 0,001 0,000 0,041 00 69 69 08 08 hh6 0,000 0,000 0,000 0,000 0,042 00 71 71 08 05 hh7 0,000 0,001 0,001 0,000 0,041 00 23 23 08 53 hh8 0,000 0,003 0,003 0,000 0,039 00 32 32 08 45 hh9 0,000 0,000 0,000 0,000 0,042 00 33 33 08 43 hh10 0,000 0,022 0,022 0,000 0,020 06 62 68 03 14 hh11 0,000 0,003 0,003 0,000 0,039 01 04 04 08 73 hh12 0,000 0,000 0,000 0,000 0,041 00 77 77 08 99 hh13 0,000 0,001 0,001 0,000 0,041 00 42 42 08 34 hh14 0,000 0,003 0,003 0,000 0,039 00 04 04 08 72
Total Global Effect Effect pada mH10A3 Rumah 9 Tangga (9) (10) 0,041 0,042 81 84 0,040 0,042 25 84 0,042 0,042 53 84 0,042 0,042 18 84 0,041 0,042 16 84 0,042 0,042 14 84 0,041 0,042 61 84 0,039 0,042 53 84 0,042 0,042 51 84 0,020 0,042 17 84 0,039 0,042 80 84 0,042 0,042 07 84 0,041 0,042 42 84 0,039 0,042 80 84
: diolah dari SNSE Jawa Barat 2010. : A39 adalah sektor infrastuktur transportasi. H10 adalah rumah tangga bukan industri golongan menengah di desa. hh1-hh14 adalah seluruh golongan rumah tangga yang terkena dampak secara tidak langsung.
192 Lampiran 13. Dekomposisi global effect multiplier mH11A39 dari matriks Ma
Injek si pada kolo mj (1) A39
Pengar uh injeksi pada baris i (2) H11
A39
H11
A39
H11
A39
H11
A39
H11
A39
H11
A39
H11
A39
H11
A39
H11
A39
H11
A39
H11
A39
H11
A39
H11
A39
H11
Sumber Keterangan
Dekomposisi Multiplier mH11A39 dari matrik Ma Gol. Direct- Indirect- Total Direct- IndirectRuma direct direct Effect indirect indirect h effect effect dari A39 effect effect Tangg a (3) (4) (5) (6) (7) (8) hh1 0,000 0,003 0,003 0,000 0,165 01 72 73 26 63 hh2 0,000 0,009 0,009 0,000 0,160 03 34 37 24 00 hh3 0,000 0,001 0,001 0,000 0,168 01 12 13 27 23 hh4 0,000 0,002 0,002 0,000 0,166 01 40 41 26 94 hh5 0,000 0,006 0,006 0,000 0,163 01 03 04 26 31 hh6 0,000 0,002 0,002 0,000 0,166 00 55 55 27 79 hh7 0,000 0,004 0,004 0,000 0,164 00 41 41 27 94 hh8 0,000 0,011 0,011 0,000 0,157 00 90 91 27 44 hh9 0,000 0,001 0,001 0,000 0,168 00 19 19 27 16 hh10 0,000 0,003 0,003 0,000 0,166 01 28 29 26 07 hh11 0,000 0,104 0,104 0,000 0,064 18 58 76 09 77 hh12 0,000 0,002 0,002 0,000 0,166 00 79 79 27 56 hh13 0,000 0,005 0,005 0,000 0,164 00 11 11 27 24 hh14 0,000 0,010 0,010 0,000 0,158 01 92 93 27 43
Total Global Effect Effect pada mH11A3 Rumah 9 Tangga (9) (10) 0,165 0,169 89 62 0,160 0,169 24 62 0,168 0,169 49 62 0,167 0,169 21 62 0,163 0,169 58 62 0,167 0,169 07 62 0,165 0,169 21 62 0,157 0,169 71 62 0,168 0,169 43 62 0,166 0,169 33 62 0,064 0,169 86 62 0,166 0,169 83 62 0,164 0,169 51 62 0,158 0,169 69 62
: diolah dari SNSE Jawa Barat 2010. : A39 adalah sektor infrastuktur transportasi. H11 adalah rumah tangga bukan industri golongan atas di desa. hh1-hh14 adalah seluruh golongan rumah tangga yang terkena dampak secara tidak langsung.
193 Lampiran 14. Dekomposisi global effect multiplier mH12A39 dari matriks Ma
Injek si pada kolo mj (1) A39
Pengar uh injeksi pada baris i (2) H12
A39
H12
A39
H12
A39
H12
A39
H12
A39
H12
A39
H12
A39
H12
A39
H12
A39
H12
A39
H12
A39
H12
A39
H12
A39
H12
Sumber Keterangan
Dekomposisi Multiplier mH12A39 dari matrik Ma Gol. Direct- Indirect- Total Direct- IndirectRuma direct direct Effect indirect indirect h effect effect dari A39 effect effect Tangg a (3) (4) (5) (6) (7) (8) hh1 0,000 0,000 0,000 0,000 0,033 00 72 72 03 73 hh2 0,000 0,001 0,001 0,000 0,032 01 91 92 03 53 hh3 0,000 0,000 0,000 0,000 0,034 00 22 22 03 22 hh4 0,000 0,000 0,000 0,000 0,033 00 49 50 03 95 hh5 0,000 0,001 0,001 0,000 0,033 00 25 25 03 20 hh6 0,000 0,000 0,000 0,000 0,033 00 52 52 03 92 hh7 0,000 0,000 0,000 0,000 0,033 00 91 91 03 53 hh8 0,000 0,002 0,002 0,000 0,031 00 45 45 03 99 hh9 0,000 0,000 0,000 0,000 0,034 00 25 25 03 19 hh10 0,000 0,000 0,000 0,000 0,033 00 70 70 03 74 hh11 0,000 0,002 0,002 0,000 0,032 00 09 09 03 35 hh12 0,000 0,019 0,019 0,000 0,014 01 48 49 02 96 hh13 0,000 0,001 0,001 0,000 0,033 00 09 10 03 35 hh14 0,000 0,002 0,002 0,000 0,032 00 35 35 03 09
Total Global Effect Effect pada mH12A3 Rumah 9 Tangga (9) (10) 0,033 0,034 76 47 0,032 0,034 55 47 0,034 0,034 25 47 0,033 0,034 98 47 0,033 0,034 23 47 0,033 0,034 95 47 0,033 0,034 56 47 0,032 0,034 02 47 0,034 0,034 22 47 0,033 0,034 77 47 0,032 0,034 38 47 0,014 0,034 98 47 0,033 0,034 38 47 0,032 0,034 12 47
: diolah dari SNSE Jawa Barat 2010. : A39 adalah sektor infrastuktur transportasi. H12 adalah rumah tangga bukan industri golongan bawah di kota. hh1-hh14 adalah seluruh golongan rumah tangga yang terkena dampak secara tidak langsung.
194 Lampiran 15. Dekomposisi global effect multiplier mH13A39 dari matriks Ma
Injek si pada kolo mj (1) A39
Pengar uh injeksi pada baris i (2) H13
A39
H13
A39
H13
A39
H13
A39
H13
A39
H13
A39
H13
A39
H13
A39
H13
A39
H13
A39
H13
A39
H13
A39
H13
A39
H13
Sumber Keterangan
Dekomposisi Multiplier mH13A39 dari matrik Ma Gol. Direct- Indirect- Total Direct- IndirectRuma direct direct Effect indirect indirect h effect effect dari A39 effect effect Tangg a (3) (4) (5) (6) (7) (8) hh1 0,000 0,001 0,001 0,000 0,066 00 45 45 06 77 hh2 0,000 0,003 0,003 0,000 0,064 01 87 89 05 34 hh3 0,000 0,000 0,000 0,000 0,067 00 45 45 06 77 hh4 0,000 0,001 0,001 0,000 0,067 00 00 00 06 22 hh5 0,000 0,002 0,002 0,000 0,065 00 52 52 06 70 hh6 0,000 0,001 0,001 0,000 0,067 00 05 05 07 16 hh7 0,000 0,001 0,001 0,000 0,066 00 85 85 07 37 hh8 0,000 0,004 0,004 0,000 0,063 00 92 92 07 29 hh9 0,000 0,000 0,000 0,000 0,067 00 51 51 07 71 hh10 0,000 0,001 0,001 0,000 0,066 00 44 45 06 77 hh11 0,000 0,004 0,004 0,000 0,064 01 21 22 06 00 hh12 0,000 0,001 0,001 0,000 0,067 00 15 15 07 07 hh13 0,000 0,039 0,039 0,000 0,029 02 06 09 04 15 hh14 0,000 0,004 0,004 0,000 0,063 00 74 74 06 48
Total Global Effect Effect pada mH13A3 Rumah 9 Tangga (9) (10) 0,066 0,068 83 28 0,064 0,068 40 28 0,067 0,068 83 28 0,067 0,068 28 28 0,065 0,068 76 28 0,067 0,068 23 28 0,066 0,068 43 28 0,063 0,068 36 28 0,067 0,068 77 28 0,066 0,068 84 28 0,064 0,068 06 28 0,067 0,068 13 28 0,029 0,068 19 28 0,063 0,068 54 28
: diolah dari SNSE Jawa Barat 2010. : A39 adalah sektor infrastuktur transportasi. H13 adalah rumah tangga bukan industri golongan menengah di kota. hh1-hh14 adalah seluruh golongan rumah tangga yang terkena dampak secara tidak langsung.
195 Lampiran 16. Dekomposisi global effect multiplier mH14A39 dari matriks Ma
Injek si pada kolo mj (1) A39
Pengar uh injeksi pada baris i (2) H14
A39
H14
A39
H14
A39
H14
A39
H14
A39
H14
A39
H14
A39
H14
A39
H14
A39
H14
A39
H14
A39
H14
A39
H14
A39
H14
Sumber Keterangan
Dekomposisi Multiplier mH14A39 dari matrik Ma Gol. Direct- Indirect- Total Direct- IndirectRuma direct direct Effect indirect indirect h effect effect dari A39 effect effect Tangg a (3) (4) (5) (6) (7) (8) hh1 0,000 0,003 0,003 0,000 0,179 01 62 62 16 76 hh2 0,000 0,009 0,009 0,000 0,173 03 70 73 14 67 hh3 0,000 0,001 0,001 0,000 0,182 01 12 12 16 25 hh4 0,000 0,002 0,002 0,000 0,180 01 51 52 16 86 hh5 0,000 0,006 0,006 0,000 0,177 01 29 30 16 08 hh6 0,000 0,002 0,002 0,000 0,180 00 63 63 17 74 hh7 0,000 0,004 0,004 0,000 0,178 00 60 60 17 77 hh8 0,000 0,012 0,012 0,000 0,171 00 27 28 17 10 hh9 0,000 0,001 0,001 0,000 0,182 00 28 29 17 09 hh10 0,000 0,003 0,003 0,000 0,179 01 81 82 16 56 hh11 0,000 0,010 0,010 0,000 0,172 02 45 47 15 92 hh12 0,000 0,002 0,002 0,000 0,180 00 88 88 17 50 hh13 0,000 0,005 0,005 0,000 0,177 00 56 56 17 82 hh14 0,000 0,116 0,116 0,000 0,066 07 65 71 10 72
Total Global Effect Effect pada mH14A3 Rumah 9 Tangga (9) (10) 0,179 0,183 92 54 0,173 0,183 81 54 0,182 0,183 42 54 0,181 0,183 02 54 0,177 0,183 24 54 0,180 0,183 91 54 0,178 0,183 94 54 0,171 0,183 27 54 0,182 0,183 26 54 0,179 0,183 72 54 0,173 0,183 07 54 0,180 0,183 66 54 0,177 0,183 98 54 0,066 0,183 83 54
: diolah dari SNSE Jawa Barat 2010. : A39 adalah sektor infrastuktur transportasi. H14 adalah rumah tangga bukan industri golongan atas di kota. hh1-hh14 adalah seluruh golongan rumah tangga yang terkena dampak secara tidak langsung.