DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN IKLIM PADA KOMODITI PANGAN DI BERBAGAI NEGARA TERHADAP MAKRO DAN SEKTORAL EKONOMI INDONESIA : PENDEKATAN MODEL EKONOMI KESEIMBANGAN UMUM
DISERTASI
KAS AN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
SURAT PERNYATAAN
Saya menyataka n de ngan sebe nar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam
disertasi
saya
PERDAGANGAN PANGAN
DI
SEKTORAL
yang
DAN
PERUBAHAN
BERBAGAI EKONOMI
berjudul:
NEGARA INDONESIA
“DAMPAK IKLIM
LIBERALISASI
PADA
TERHADAP :
KOMODITI
MAKRO
PENDEKATAN
DAN
MODEL
EKONOMI KESEIMBANGAN UMUM” merupaka n gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor,
Januari 2012
KASAN H361064094
ABSTRACT KASAN. 2012. The Impact of Trade Liberalization and Climate Change in Agriculture Commodities in Various Countries on Macro and Economic Sector of Indonesia: General Equilibrium Economic Model Approach. (RINA OKTAVIANI as a Chair, MANGARA TAMBUNAN and POS MARODJAHAN HUTABARAT as Members of the Advisory Committee).
The objectives of study are to analysis: (1) the impact of climate change on agriculture commod ities prod uctivity in various countries including Indo nesia; (2) the impact of trade liberalization of agriculture sector on macro economic performance in main producer and importer of agriculture commodities and particularly on macro and economic sector of Indonesia; and (3) the combination impact of trade liberalization and climate change in agriculture commodities on macro economic performance in producer and importer countries and specific impact on macro and economic sector of Indo nesia. Econometric mode l is used to estimate the impact of climate change on productivity of agriculture commodities at region or country level includ ing Indo nesia, and the multiregional, multisector computable general equilibrium mode l is used to assess the impact of trade liberalization on macro and economic sector in main producer and importer of agriculture commodities including Indo nesia. The similar tools analysis was also used to analysis the combination impact of trade liberalization and climate change on macro and economic sector in main producer and importer of agriculture commod ities. Climate change affected to reduce productivity of paddy rice, wheat and maize in all countries except Russia. Climate change gave negative impact and more dominant to influence gross domestic product in all countries than trade liberalization. Developed countries gain from trade liberalization in agriculture sector for theirs gross domestic product, export, and welfare. In contrary, developing countries including Indonesia lost for their welfare, trade balance and investment. Furthermore, the combination impact of trade liberalization and climate change will push relocation of input factor from agriculture sector to manufacture sector in Indonesia, and it will increase urbanization. The combination impact of climate change and trade liberalization also effected to decrease of employment in all agriculture sectors. The Government of Indonesia should establish the adaptation strategy by diversifying local food consumption to compensate the decreasing of global food production. The Government of Indo nesia should increase implementation of non tariff measures in agriculture sector to reduce the potential lost as a results of agriculture sector liberalization. Both of the government and pr ivate should improve agriculture sector infrastructure such as irrigation facilities, on and off farm technology to reduce the impact of climate change.
Keywords:
Trade Liberalization, Climate Change, Econometric Model, Agricultural Productivity, General Equilibrium Model, Macro and Economic Sector.
RINGKASAN KASAN. 2012. Dampak Liberalisasi Perdagangan dan Perubahan Iklim pada Komoditi Pangan di Berbagai Negara terhadap Makro dan Sektoral Ekonomi Indonesia: Pendekatan Model Ekonomi Keseimbangan Umum. (RINA OKTAVIANI seba gai Ketua, MANGARA TAMBUNAN dan POS MARODJAHAN HUTABARAT sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Selama tiga dekade terakhir isu perubahan iklim (climate change) sudah menjadi salah satu isu utama pada setiap pertemuan internasional. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2007 memprediksikan peningkatan suhu bumi rata-rata 2,8 0 C selama abad 21 disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi CO 2 . Selama 140 tahun terakhir (1840-2005), suhu global terus meningkat, demikian pula 100 tahun ke depan rata-rata suhu global diperkirakan terus meningkat. Berdasarkan beberapa hasil studi menunjukkan bahwa perubahan iklim menyebabkan perubahan produktivitas di sektor pertanian, kehutanan, perikanan dan tenaga kerja yang pada akhirnya membawa konsekuensi kepada kondisi ekonomi maupun sosial dalam jangka panjang (Zhai Fan et al, 2009). Khusus di sektor pertanian perubahan cuaca dan iklim yang sangat mempengaruhi produktivitas antara lain perubahan suhu dan pola curah hujan, maupun dampak resultan dari ketersediaan air, pestisida, penyakit dan terjadinya cuaca yang ekstrim (Zhai Fan et al, 2009). Sektor pertanian di beberapa negara berkembang seperti India, Brazil, Afrika Selatan, dan Indonesia diperkirakan juga akan dipengaruhi oleh terjadinya perubahan iklim tersebut. Selain perubahan iklim yang diperkirakan berdampak pada produktivitas sektor pertanian, isu lainnya yang saat ini juga terus menjadi perhatian masyarakat global adalah liberalisasi perdagangan khususnya sektor pertanian. Liberalisasi perda gangan sektor pertanian (kerangka multilateral/WTO) akan mempengaruhi pola perdagangan komoditi pertanian di berbagai kawasan. Berdasarkan beberapa hasil studi yang dilakukan, misalnya hasil penelitian Rahmanto, B (2005) menunjukkan bahwa pengaruh liberalisasi perdagangan global dalam rentang waktu 1995-2002 memberikan sumbangan nyata secara statistik, baik dalam hal meningkatkan surplus maupun meningkatkan defisit perdagangan pada sebagian besar kelompok komoditi. Selama 1961-2008, defisit neraca perdagangan produk pertanian dunia terus meningkat, terutama gandum dan jagung. Penelitian ini be rtujuan untuk: (1) Mengkaji dampak perubahan iklim terhadap produktivitas komoditi pangan di berba gai negara termasuk Indo nesia; (2) Menganalisis dampak liberalisasi perdagangan sektor pertanian terhadap kondisi makro ekonomi di negara-negara prod usen maupun importir komoditi pangan termasuk Indonesia dan secara khususnya dampaknya terhadap sektoral ekonomi Indo nesia; (3) Menganalisis dampak kombinasi liberalisasi perdagangan dan pe ruba han iklim pada komoditi pangan terhadap kondisi makro ekonomi di beberapa negara prod usen maupun impor tir komoditi pangan termasuk Indo nesia dan secara khusus dampaknya terhadap sektoral ekonomi Indonesia. Simulasi berbagai kebijakan dilakukan dengan menggunakan Computable General Equilibrium (CGE) mode l Global Trade Analysis Project (GTAP) versi 7 untuk
menganalisis dampaknya secara makro dan sektoral ekonomi ke negara-negara produsen dan importir pangan termasuk Indonesia. Beberapa kesimpulan utama dari penelitian adalah: Peruba ha n iklim berdampak pada penurunan produktivitas padi dan jagung di hampir semua negara yang diteliti kecuali Rusia yang masing- masing meningkat sebesar 12,12 persen dan 102,55 persen. Peruba han iklim juga berdampak pada penurunan produktivitas gandum di hampir semua negara yang d iteliti kecuali di Rusia yang meningkat sebesar 10,09 persen dan Thailand (24,55 persen). Perubahan iklim berdampak pada penurunan produktivitas gandum di hampir semua negara prod usen utama dunia yaitu EU25, India, Amerika Serikat, China dan Australia, sehingga akan mempe ngaruhi ketahanan pangan global. Bagi Indonesia sebagai negara pengimpor gandum utama dunia, penurunan produktivitas gandum di negara produsen utama akan mempengaruhi impor gandum secara positif. Liberalisasi perdagangan di sektor pertanian menguntungkan negara maju dalam hal PDB, kesejahteraan, da n ekspor, tetapi merugikan negara berkembang termasuk Indonesia dalam hal kesejahteraan, neraca perdagangan, da n investasi. Liberalisasi perdagangan sektor pertanian berdampak terhadap penurunan output sektor pertanian Indonesia, tetapi menyebabkan peningkatan output di sektor manufaktur, karena terjadi realokasi sumber daya input (faktor produksi) dari sektor pertanian ke sektor manufaktur. Berdasarkan hasil simulasi menunjukkan bahwa perubahan iklim berdampak negatif dan lebih dominan mempengaruhi PDB semua negara yang diteliti dibandingkan dampak liberalisasi perdagangan. Kombinasi dampak perubahan iklim dan liberalisasi perdagangan akan berdampak pada penurunan penyerapan tenaga kerja baik yang terlatih maupun tidak terlatih di Indonesia pada seluruh sektor pertanian dan terjadinya relokasi faktor produksi dari sektor pertanian ke sektor manufaktur di Indonesia, sehingga akan meningkatkan urbanisasi. Kombinasi dampak perubahan iklim dan liberalisasi perdagangan berdampak pada peningkatan GDP dan kesejahteraan di Rusia, EU-25, dan Vietnam, tetapi berdampak negatif terhadap negara lainnya termasuk I ndo nesia. Beberapa implikasi kebijakan yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Indo nesia adalah: Pertama, untuk mengantisipasi ancaman terhadap ketahanan pangan nasional, Pemerintah harus menyusun stratagi adaptasi dengan melakukan diversifikasi konsumsi pangan lokal sebagai kompensasi atas ancaman menurunnya produksi pangan global seperti padi, jagung dan gandum yang selama ini banyak diimpor untuk memenuhi ketahanan pangan nasional. Pemerintah dan swasta harus segera menyiapkan dan meningkatkan infrastruktur pertanian seperti sarana irigasi, teknologi pembenihan, teknologi pengolahan tanah da n teknologi pasca pa nen produk pertanian untuk dapat mengurangi dampak perubahan iklim. Untuk mengantisipasi potensi penurunan produksi pangan nasional dan global, maka perlu diwujudkan program diversifikasi pangan lokal dan pengembangan atau perluasan industri olahan pangan di pedesaan. Pemerintah Indonesia harus tetap melindungi sektor pertanian dari tekanan liberalisasi dalam bentuk kebijakan non tarif agar terhindar dari potensi kerugian yang lebih besar akibat liberalisasi perdagangan sektor pertanian tersebut.
@Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012. Hak Cipta dilindungi Undang-undang. 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipa n
hanya
untuk
kepe ntingan
pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN IKLIM PADA KOMODITI PANGAN DI BERBAGAI NEGARA TERHADAP MAKRO DAN SEKTORAL EKONOMI INDONESIA : PENDEKATAN MODEL EKONOMI KESEIMBANGAN UMUM
KAS AN
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk me menuhi program Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup : 1.
Dr. Ir. Parulian Hutagaol, MS Staf Pengajar, Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
2.
Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Staf Pengajar, Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka : 1.
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Staf Pengajar, Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
2.
Dr. Ir. Deddy Saleh, MS Direktur Jenderal Perda gangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan RI
Judul Disertasi
: Dampak Liberalisasi Perdagangan dan Perubahan Iklim pada Komoditi Pangan di Berbagai Negara terhadap Makro dan Sektoral Ekonomi Indo nesia: Pendeka tan Model Ekonomi Keseimbangan Umum
Nama
: Kasan
Nomor Pokok
: H361064094
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc
Dr. Ir. Pos Marodjahan Hutabarat, MA, M.Sc
Anggota
Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
3. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pe rtanian Bogo r
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Tanggal Ujian : 13 Januari 2012
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan taufik dan hidayahnya-Nya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan disertasi dengan judul: Dampak Liberalisasi Perdagangan dan Perubahan Iklim Pada Komoditi Pangan di Berbagai Negara Terhadap Makro dan Sektoral Ekonomi Indonesia: Pendekatan Model Ekonomi Keseimbangan Umum. Selama tiga dekade terakhir isu perubahan iklim (climate change) sudah menjadi salah satu isu utama pada setiap pertemuan internasional. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2007 juga memprediksikan peningkatan suhu bumi selama abad 21 disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi CO 2 . Selama abad mendatang suhu global diperkirakan terus meningkat. Selain perubahan iklim yang diperkirakan berdampak pada produktivitas komoditi pangan, isu lainnya yang saat ini juga terus menjadi perhatian masyarakat global adalah liberalisasi perdagangan khususnya sektor pertanian. Liberalisasi perdagangan sektor pertanian berdampak pada aliran perdagangan komoditi pertanian primer terutama dari Negara berkembang ke Negara- negara maju. Dengan menggunakan model ekonomi keseimbangan umum, penelitian ini ingin menjawab dampak perubahan iklim pada komoditi pangan dan liberalisasi perdagangan sektor pertanian terhadap makro da n sektoral ekonomi di Negara prod usen da n importer komoditi pangan termasuk Indo nesia. Pada kesempatan ini penulis secara tulus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pembimbing, yaitu: Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. selaku Ketua Komisi Pembimbing; Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc. dan Dr. Ir. Pos Marodjahan Hutabarat, MA, M.Sc,
masing- masing sebagai
Anggota Komisi Pembimbing, yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing penulis sejak penyusunan proposal penelitian hingga penyelesaian disertasi ini. Selanjutnya ucapan terima kasih dan penghargaan juga ingin penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA., Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) yang telah banyak memberikan arahan dan dor ongan semangat yang sangat berharga. 2. Seluruh staf Pengajar Program Studi Ilmu Ekonmi Pertanian IPB yang telah memberikan bekal teori dan ilmu pengetahuan bagi penulis dalam menyelesaikan studi. 3. Rekan-rekan program studi EPN angkatan 2006 atas dorongan moril dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan studi. 4. Bapak Herry Soetanto-Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan, (BPPKP) Kemendag RI, Bapak Muchtar-Ketua Komite Anti Dumping Indonesia, Bapak Erwidodo-Duta Besar RI untuk WTO, Bapak Arief Adang-Sekretaris BPPKP yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi serta semangat dan dorongan yang sangat berharga. 5. Sekretariat Program Ilmu Ekonomi Pertanian, khususnya Mbak Ruby, Mbak Yani yang telah membantu penulis dalam kelancaran penyelesaian administrasi selama Penulis mengikuti studi. 6. Ibu Widyastutik, Mbak Lea, Mas Herry, serta tak lupa rekan-rekan semua di Puska Kebijakan Perdagangan Luar Negeri khususnya, Pak Tarmo, Pak Umar, Bu Enda ng, Mas Adit, Mbak Reni, Mbak Hasni, Mbak Ayu, Mbak Tika,
Mbak Layla yang telah dengan ikhlas meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam penyelesaian proses penyusunan disertasi ini. Penulis menyadari bahwa dengan segala keterbatasan yang dimiliki penulis, penelitian ini jauh dari sempurna. Walaupun demikian, penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya.
Bogor, Januari 2012
Kasan
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir pada tanggal 27 Juli 1966 di Sumedang, Jawa Barat, sebagai putra keenam dari Sembilan bersaudara putera-puteri keluarga Bapak Muhri dan Ibu Misrem. Penulis menikah dengan Ir. Dyah Susilowati, dikaruniai dua orang anak yaitu : Annisa Maulidina dan Rizki Firmansyah. Penulis lulus SDN Babakan Bandung Kecamatan Situraja, Kabupaten Sumedang tahun 1979, SMPN I Situraja tahun 1982 dan SMAN Situraja, Kabupaten Sumedang Jawa Barat tahun 1985. Pada tahun 1985 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui program Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) dan lulus Sarjana Pertanian, Fakultas Pertanian IPB tahun 1989. Pada tahun 1990, penulis mulai bekerja sebagai staf pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Luar Negeri, Badan Litbang Perdagangan Departemen Perdagangan RI di Jakarta. Sejak bulan September 2010 sampai sekarang penulis mendapat tugas sebagai Kepala Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan, Kementerian Perdagangan RI. Pada tahun 1996 penulis memperoleh beasiswa dari Bank Dunia yang dikelola oleh Departemen Keuangan RI untuk melanjutkan pendidikan program Magister Manajemen di bidang Manajemen Internasional di Universitas Indonesia, lulus dan memperoleh gelar Magister Manajemen (MM) pada tahun 1998. Pada tahun 2006, penulis memperoleh beasiswa dari Departemen Perdagangan RI untuk melanjutkan pendidikan Program Doktor (S3) di bidang Ilmu Ekonomi Pertanian pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.........................................................................................iv DAFTAR GAMBAR .................................................................................. vii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ix I.
PENDAHULUAN ..........................................................................................1 1.1 Latar Belakang .........................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah....................................................................................7 1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................25 1.4 Ruang Lingkup Penelitian .....................................................................26 1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................29
II.
TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................30 2.1. Kebijaka n Perda gangan Bebas ..............................................................30 2.2. Peruba ha n Iklim da n Perkiraan Peruba han Suhu di Indo nesia .............43 2.3. Perubahan Iklim Globa l dan Produktivitas Pertanian ...........................45 2.4. Produksi dan Perdagangan Komoditi Pertanian di Pasar Global ..........49 2.5. Peranan Sektor Pertanian terhadap Produk Domestik Bruto Indo nesia ..............................................................................................54 2.6. Tinjauan Studi Terdahulu ......................................................................57 2.7. Kebaruan (Novelty) ..............................................................................63
III. KERANGKA TEORITIS ...........................................................................65 3.1. Teor i Peruba han Iklim...........................................................................65 3.2. Teori Produksi .......................................................................................71 3.3. Teori Produktivitas ................................................................................74 3.3.1. Average Physical Productivity ..................................................74 3.3.2. Marginal Productivity ...............................................................74 3.4. Mode l Estimasi Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Pertanian ................................................................................................77 3.5. Teor i Perda gangan Internasional...........................................................84 3.6. Teori Keseimbangan Umum .................................................................95 3.6.1. Keseimba ngan Prod uksi ...........................................................96
3.6.2. Keseimbangan Sektor Produksi dan Konsumsi .......................99 3.7. Model Computable General Equilibrium Statis dan Dinamis ............100 IV. METODOLOGI PENELITIAN ...............................................................103 4.1. Kerangka Pemikiran ............................................................................103 4.2. Hipot esis Pene litian .............................................................................106 4.3. Alat Analisis ........................................................................................106 4.3.1. Konsep Dasar Global Trade Analysis Project ........................106 4.3.2. Struktur Model Global Trade Analysis Project Standar .........119 4.3.3. Perilaku Produsen Dalam Model Global Trade Analysis Project .....................................................................................134 4.3.4. Perilaku Konsumen Dalam Model Global Trade Analysis Project .....................................................................................144 4.3.5. Pembentukan Modal Tetap dan Alokasi Investasi antar Negara ....................................................................................157 4.3.6. Hubungan Antara Harga dan Penerimaan Pajak dalam Model Global Trade Analysis Project ...................................162 4.3.7. Agregasi dan Disagregasi Sektor dan Region .........................173 4.3.8. Penutup Makro Ekonomi Jangka Panjang ..............................178 4.3.9. Estimasi Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Pertanian .................................................................................181 4.3.10. Formula Penurunan Tarif Produk Pertanian dalam Kerangka World Trade Organization ....................................182 4.4. Sumber Data ........................................................................................183 4.5. Simulasi Kebijakan .............................................................................183 V.
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................185 5.1. Mode l Estimasi Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Pertanian .............................................................................................185 5.2. Kondisi Dasar di Negara Prod usen da n Impo rtir Komod iti Pangan ...189 5.3. Dampak Perubahan Iklim terhadap Kondisi Makro Ekonomi di Negara Produsen dan Importir Komoditi Pangan ..............................192 5.4. Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Pertanian di Negara Produsen Utama Padi, Gandum dan Jagung..........................199 5.5. Dampak Peruba han Iklim terhadap Sektoral Ekonomi Indonesia .....207
ii
5.6. Dampak Liberalisasi Perdagangan Komoditi Pangan terhadap Kondisi Makro Eko nomi di Negara Prod usen dan Importir Komoditi Pangan ................................................................................212 5.7. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Sektoral Ekonomi Negara Produsen dan Importir Utama Padi, Gandum dan Jagung.....219 5.8. Dampak Liberalisasi Perdagangan Sektor Pertanian terhadap Kondisi Sektoral Ekonomi Indonesia................................................227 5.9. Dampak Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Makro Ekonomi Negara Produsen dan Importir Komoditi Pangan ...230 5.10. Dampak Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Sektoral Ekonomi Indonesia ..............................................................235 5.11. Dampak Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perdagangan Terhadap Sektoral Ekonomi Produsen Utama ...................................................239 VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN .................................245 6.1. Kesimpulan ..........................................................................................245 6.2. Implikasi Kebijakan .............................................................................247 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................249 LAMPIRAN .…………………………………………………………… 260
iii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Produksi Beberapa Komoditi Pertanian Indonesia ...........................................3 2. Kinerja Ekspor Produk Pertanian Indonesia .....................................................5 3. Kontribusi Sektor Pertanian terhadap Produk Domestik Bruto........................6 4. Perkiraan Rata-Rata Suhu Udara berdasarkan Estimasi Intergovernmental Panel on Climate Change ..................................................8 5. Rata-rata Suhu Saat ini dan yang Akan Datang di Beberapa Negara .............11 6. Perkembangan Produktivitas Jagung, Gandum, Kedelai dan Beras Dunia Tahun 1961-1983 dan Tahun 1984-2005 .......................................................12 7. Proyeksi Perubahan Produktivitas Pertanian tahun 2050 Akibat Peruba ha n Iklim ..............................................................................................13 8. Perkembangan Produksi Produk Pertanian Dunia ..........................................14 9. Perkembangan Produktivitas Beberapa Komoditi Pertanian Nasional ..........16 10. Perkembangan Produksi Beberapa Produk Pertanian Indonesia ....................17 11. Perkembangan Ekspor dan Impo r Prod uk-Prod uk Pertanian Indo nesia.........19 12. Putaran Perundinga n General Agreement on Tariff and Trade ......................42 13. Distribus i Penj ualan Barang i yang Diprod uksi di Wilayah r ke Pasar Wilayah s ......................................................................................................125 14. Sumber Pengeluaran Rumahtangga dan Pemerintah untuk Barang i di Wilayah s ......................................................................................................127 15. Sumber Pengeluaran Sektor j dari Barang i atau Faktor Primer i.................129 16. Sumber Pendapatan Faktor Jasa Rumahtangga untuk Faktor i ....................130 17. Disposisi dan Sumber Pendapatan Regional ................................................131 18. Sektor Transportasi Global ...........................................................................132 19. Permintaan untuk Barang-barang Investasi Regional...................................133 20. Agregasi Sektoral dan Region/Negara..........................................................174
iv
21. Agregasi Region ...........................................................................................175 22. Agregasi Sektor ............................................................................................176 23. Penutup Jangka Panjang ...............................................................................180 24. Hasil Estimasi Tingkat Produktivitas Padi, Jagung dan Gandum Tahun 2070 ...................................................................................................188 25. Produsen Utama Padi, Gandum dan Jagung Dunia ......................................190 26. Eksportir Utama Padi, Gandum, dan Jagung di Dunia .................................191 27. Impor tir Utama Padi, Gandum, dan Jagung di Dunia ..................................191 28. Bea Masuk Impor Beberapa Prod uk Pangan di Indo nesia ...........................192 29. Dampak Skenario Perubahan Iklim terhadap Keragaan Makroekonomi .....198 30. Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektoral Eko nomi Negara Prod usen Padi ...............................................................................................................200 31. Dampak Peruba han Iklim terhadap Sektoral Eko nomi Negara Prod usen Gandum.........................................................................................................203 32. Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektoral Ekonomi Negara Produsen Jagung ...........................................................................................207 33. Produksi Perika nan Tangkap Dunia Menurut Negara Asal, 2003 – 2007 ....210 34. Dampak Ske nario Perubahan Iklim terhadap Keragaan Sektoral Eko nomi Indonesia Tahun 2070...................................................................................211 35. Dampak Skenario Perubahan Iklim terhadap Kondisi Penyerapa n Tenaga Kerja Indonesia Tahun 2070.........................................................................212 36. Dampak Skenario Liberalisasi Perdagangan terhadap Keragaan Makroekonomi..............................................................................................214 37. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Sektoral Ekonomi Prod usen dan Importir Padi ..........................................................................................222 38. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Negara Produsen dan Importir Padi..............................................................222 39. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Sektoral Ekonomi Prod usen dan Importir Gandum ...................................................................................224
v
40. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Negara Produsen dan Importir Gandum .......................................................224 41. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Sektoral Ekonomi Prod usen dan Importir Jagung ......................................................................................226 42. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Negara Produsen dan Importir Jagung .........................................................227 43. Dampak Skenario Liberalisasi Perdagangan terhadap Keragaan Sektoral Eko nomi Indo nesia .......................................................................................227 44. Dampak Skenario Liberalisasi Perdagangan terhadap Kondisi Penyerapan Tenaga Kerja Indo nesia ............................................................229 45. Dampak Skenario Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perdagangan Terhadap Keragaan Makroekonomi .............................................................234 46. Dampak Skenario Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Keragaan Sektoral Eko nomi Indo nesia..........................................237 47. Dampak Skenario Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Kondisi Penyerapan Tenaga Kerja Indonesia ................................238 48. Dampak Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Sektoral Ekonomi Negara Produsen Padi .....................................................240 49. Dampak Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Penyerapa n Tenaga Kerja di Negara Produsen Padi ....................................241 50. Dampak Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Sektoral Eko nomi Negara Produsen Jagung.................................................243 51. Dampak Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Negara Produsen Jagung ................................243 52. Dampak Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Sektoral Ekonomi Negara Prod usen Gandum ..............................................244 53. Dampak Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Negara Produsen Gandum..............................244
vi
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Perkembangan Rata-Rata Temperatur Permukaan Global.................................8 2. Neraca Perdagangan Produk-produk Pertanian Dunia dan Indonesia Periode 1961-2008 ...........................................................................................18 3. Neraca Perdagangan Beras, Gandum dan Jagung Dunia dan Indonesia Periode 1961-2008 ...........................................................................................18 4. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto, Investasi,Volume Perdagangan dan Perkembangan Tingkat Inflasi Dunia Tahun 1980-2010 ................................23 5. Perkembangan Produk Domestik Bruto Dunia Tahun 1999-2009...................31 6. Perkembangan Ekspor dan Total perdagangan Dunia Tahun 1999-2009........32 7. Struktur Dasar dari Global Trade Analysis Projects........................................48 8. Skema Tinjauan Komponen Sistem Iklim Global Prosesnya dan Interaksinya dan Beberapa Aspek yang Kemungkinan Merubahnya ..............69 9. Fungsi Produksi Leontief .................................................................................72 10. Kurva Isoproduksi Fungsi Reduced Form Mendelsohn-Schlesinger...............79 11. Proses Terjadinya Perdagangan Antara Dua Negara .......................................87 12. Dampak Tarif Pada Model Keseimbangan Umum untuk Kasus Negara Kecil .................................................................................................................92 13. Dampak Tarif Pada Model Keseimbangan Umum untuk Kasus Negara Besar .................................................................................................................94 14. Diagram Kotak Edgeworth pada Kasus Dua Komoditi dan Dua Faktor Produksi............................................................................................................97 15. Kurva Kemungkina n Prod uks i .........................................................................98 16. Keseimbangan Sektor Produksi dan Konsumsi .............................................100 17. Mode l Komparatif Statik................................................................................101 18. Kerangka Pemikiran da n Alur Tahapan Pelaksanaan Penelitian ...................105 19. Model Kasus Satu Wilayah, Perekonomian Tertutup, Tanpa Pajak ..............109 vii
20. Model Multi Wilayah, Perekonomian Terbuka, Tanpa Intervensi Pemerintah......................................................................................................113 21. Model Satu Wilayah, Perekonomian Tertutup, de ngan Pajak .......................114 22. Efek Pajak terhadap Output............................................................................116 23. Efek Subsidi terhadap Output ........................................................................117 24. Linearisasi untuk Persamaan-persamaan yang Non Linear ...........................118 25. Proses Multistep untuk Menurunkan Error Pada Linearisasi.........................119 26. Neraca Pemerintah dan Pengeluaran Pada Sistem Ekonomi Terbuka ...........122 27. Ilustrasi Diagram Pohon Prod uks i..................................................................135 28. Sluggish Endowment ......................................................................................139 29. Pembelian di dalam Model Global Trade Analysis Project...........................140 30. Input Antara yang Bersumber dari Dalam Negeri dan Barang Impor da lam Model Global Trade Analysis Project.................................................142 31. Stuktur Impor Model Global Trade Analysis Project ....................................144 32. Komponen-Komponen Permintaan Akhir Rumahtangga Regional...............145 33. Rumahtangga Regional Didalam Model Global Trade Analysis Project Serta Keunggulan dan Kelemahannya ...........................................................146 34. Sistem Permintaan Konsumen .......................................................................147 35. Struktur Konsumsi dalam Model Global Trade Analysis Project .................156 36. Struktur Permintaan Investasi ........................................................................158 37. Dampak Intervensi di Dalam Model Global Trade Analysis Project ............163 38. Keterkaitan Harga Barang di Rumahtangga Swasta ......................................164 39. Keterkaitan Antar Harga ................................................................................165 40. Keterkaitan Antar Nilai ..................................................................................168
viii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Data Produktivitas Tahunan Padi, Gandum, dan Jagung Periode 1991-2000 di Berbagai Negara ......................................................................260 2. Data Suhu Rata-Rata, Presipitasi Rata-Rata Tahunan, da n Konsentrasi Karbon Tahunan di Berbagai Negara .............................................................261 3. Hasil Estimasi Mode l Eko nometrik Produktivitas Padi .................................262 4. Hasil Estimasi Mode l Eko nometrik Produktivitas Jagung.............................263 5. Hasil Estimasi Mode l Ekonometrik Produktivitas Gandum ..........................264 6. Hasil Uji Asumsi Model Produktivitas Padi .................................................265 7. Hasil Uji Asumsi Model Produktivitas Jagung .............................................267 8. Hasil Uji Asumsi Model Produktivitas Gandum...........................................269
ix
I.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Selama tiga dekade terakhir isu perubahan iklim (climate change) sudah
menjadi salah isu utama yang dibahas pada setiap pertemuan internasional. Pembahasan tersebut di tingkat global terakhir kali dilakukan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Peruba ha n Iklim atau Conference of Parties The United Nations Framework Convention on Climate Change (COP-UNFCCC) ke-15 yang berlangsung pada tanggal 7-18 Desember 2009 di Copenhagen, Denmark. Namun demikian, COP ke-15 tersebut tidak menghasilkan kesepakatan yang mengikat secara hukum negara-negara maju untuk ikut mematuhi kesepakatan internasional da lam penanggulangan pemanasan global. Oleh karena itu, KTT tersebut dianggap gagal menciptakan suatu kesepakatan yang mewajibkan kepada seluruh pihak di dunia untuk mengendalikan perubahan iklim. Banyak pa ra pihak yang mengkhawatirkan ba hwa kegagalan dalam upaya penanggulangan perubahan iklim akan semakin menyudutkan ne gara-negara berkembang yang selama ini dituduh sebagai salah satu sumber terjadinya pemanasan global. Hal tersebut sangat beralasan apabila melihat laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2007 yang memprediksika n bahwa akan terjadi peningkatan suhu bumi rata-rata 2.80 C selama abad 21 dengan perkiraan peningkatan suhu antara 1.8 sampai dengan 4. 0 C yang disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi CO 2, sehingga menghasilkan efek gas rumah kaca di atmospir. Kondisi tersebut diperkirakan akan semakin memburuk karena sampai saat ini tidak ada kebijakan yang mengontrol terjadinya emisi tersebut. Kondisi
2
seperti itu aka n berdampak pada berbagai aspek seperti meningkatnya frekuens i terjadinya suhu ekstrim, da n peningkatan permukaan air laut. Peruba hanperubahan tersebut menyebabkan peruba han produktivitas di sektor pertanian, kehutanan, perikanan dan tenaga kerja yang pada akhirnya membawa ko nsekuens i kepada kondisi ekonomi maupun sosial dalam jangka panjang (Zhai Fan et al, 2009). Khusus di sektor pertanian peruba han cuaca dan iklim yang sangat mempengaruhi produktivitas antara lain peruba han suhu dan po la curah hujan, maupun dampak resultan dari ketersediaan air, pestisida, penyakit dan terjadinya cuaca yang eks trim (Zhai Fan et al, 2009). Hasil studi Zhai Fan et al. yang dilakukan untuk sektor pertanian di China, mengindikasikan juga bahwa hal tersebut akan terjadi di seluruh dunia. Hal ini dapat dilihat dalam studi yang dilakuka n oleh Clien (2007) yang menemukan bahwa pemanasan global akan berdampak negatif terhadap pertanian global secara agregat. Studi tersebut juga menemukan bahwa dampak perubahan iklim atau pemanasan global akan lebih besar pada negara-negara berkembang, terutama ne gara-negara Afrika, Amerika Latin dan India. Sektor pertanian di beberapa negara berkembang seperti India, Brazil, Afrika Selatan, dan Indonesia aka n dipengaruhi oleh terjadinya perubahan iklim tersebut (Cline, 2007). Perubahan iklim juga berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan dan aktivitas manusia. Sektor pertanian sebagai salah satu sektor penyebab dan memberikan kontribusi terhadap peruba han iklim, ternyata juga merupaka n sektor yang menjadi korban dan paling rentan (vulnerabel) terhadap perubahan iklim (Irianto, 2008). Irianto (2008), lebih lanjut menjelaskan bahwa,
3
bagi Indo nesia, perubahan iklim diperkirakan akan menurunkan produktvitas dan produksi produk pertanian di masa depan. Hal ini diperkirakan akan menjadi masalah karena konsumsi produk pertanian diperkirakan meningkat dimasa mendatang akibat peningkatan populasi dan meningkatnya pendapatan per kapita. Hal ini mengingat bahwa sektor pertanian selain berperan penting dalam pemenuhan ketahanan pangan juga berperan dalam penyerapan tenaga kerja dan kontribusinya cukup signifikan terhadap pe reko nomian nasional. Selama hampir tiga dekade produksi komoditi sektor pertanian Indo nesia sebagian besar terus mengalami peningkatan kecuali ubi jalar (sweet potatoes) dan kedelai trend produksinya masing- nasing turun sebesar 0.7 persen da n 2.6 persen (BPS dan Kementan, 2010). Beberapa produk pertanian yang trend produksinya mengalami peningkatan selama periode 1984-2008 hanya naik rata-rata dibawah 10 persen per tahun. Produk pertanian yang trend produksinya meningkat cukup signifikan selama periode 1984-2008 antara lain minyak kelapa sawit (10.3 persen), biji sawit (10.2 persen), coklat (4.9 persen). Sedangkan komoditi pangan lainnya seperti beras, kedelai, dan ubi kayu hanya meningkat rata-rata kurang dari 2 persen per tahun selama periode yang sama seperti yang terlihat pada Tabel 1. Tabe l 1. Produksi Beberapa Komoditi Pertanian Indonesia (Ribu T on)
Komoditi
1984
2004
2005
2006
Ubi Kayu 14 167.0 19 24.0 19 321.0 19 986.0 Ubi Jalar 2 157.0 1 901.0 1 857.0 1 854.0 Kacang tanah 535.0 837.0 836.0 838.0 Kedelai 769.0 723.0 808.0 747.0 Sumber: Kementerian Pertanian, 2010 dan BPS, 2010
2007
2008
19 988.0 1 886.0 789.0 592.0
20794.0 1 906.0 771.0 723.0
Trend (% ) 84-08 1.4 -0.7 1.6 -2.6
4
Tabe l 1. Produksi Beberapa Komoditi Pertanian Indonesia (Lanjutan) (Ribu Ton) 1984
2004
2005
2006
2007
2008
38 136.4
54 089.0
54 151.1
54 454.9
57 157.4
60 325.9
Trend (% ) 84-08 1.6
Padi lahan kering
2 119.1
2 879.0
2 833.0
2 807,0
2 958.0
3 149.0
1.4
Padi lahan basah
36 017.3
51210
51 318.0
51 647.0
54 200.0
57 102.0
1.6
304.8
341.3
415.5
450.4
445.6
452.1
1.3
1 080.5
5 409.1
9 247.4
10 869.4
11 809.9
12 248.9
10.3
229.5
1 270.4
2 115.9
2 315.8
2 592.2
2 846.5
10.2
20
57.1
57.1
55.6
59.1
56.1
4.9
Kopi
22.8
28.9
28.8
25.1
22.6
22.9
1.3
Teh
99.8
134.4
122.3
114.4
128.5
128.0
1.2
1 499.9
2 161.8
2 205.4
2 266.7
2 587.6
2 256.9
0.9
Komoditi Beras :
Karet Minyak Sawit Biji Sawit Coklat
Gu la Tebu
Sumber: Kementerian Pertanian, 2010 dan BPS, 2010
Terjadinya perlambatan laju pertumbuhan produksi pertanian atau bahkan penurunan akan
berdampak
pada
menurunnya
suplai,
sehingga
akan
menyebabkan kenaikan harga produk pertanian. Selanjutnya, jika permintaan diasumsikan tetap atau bahkan meningkat, maka untuk mencukupi kelebihan permintaan biasanya dipenuhi melalui impor produk pertanian dari sumber lain atau negara lain. Hal ini berarti bahwa penurunan produksi pertanian akan mempengaruhi perdagangan (ekspor/impor) produk pertanian tersebut. Kinerja ekspor produk pertanian selama satu dekade nilainya terus mengalami peningkatan cukup signifikan. Pada tahun 2000 nilai ekspor produk pertanian hanya tercatat sebesar US$ 2.7 milyar meningkat menjadi US$ 4.3 milyar pada tahun 2009. Namun demikian, selama periode tersebut kontribusinya terhadap total ekspor non migas terus menurun dari 5.67 persen pada tahun 2000 menjadi 4.46 persen pada tahun 2009 seperti terlihat pada Tabel 2.
5
Tabe l 2. Kinerja Ekspor Produk Pertanian Indonesia (US$ Juta) No
Uraian
Ekspor Non Migas 1
Pertanian
2
Industri
3
Pertambangan
47 757.4
66 428.4
107 894.1
97 491.7
Trend (%) 00-09 11.56
2 709.1
2 880.2
4 584.6
4 352.8
7.19
4.46
42 002.9
55 593.6
88 393.5
73 435.8
10.13
75.33
3 045.3
7 954.6
14 916.1
19 703.1
24.52
20.21
2000
2005
2008
2009
Pangsa (%) 2009 100.00
Sumber: BPS, 2010
Terkait de ngan perda gangan komoditi pertanian tersebut, liberalisasi perda gangan komoditi pertanian baik dalam kerangka multilateral, regional dan bilateral juga mempengaruhi pola perdagangan komoditi pertanian di berbagai kawasan. Berdasarkan hasil penelitian Rahmanto (2005) menunjukkan bahwa dampak liberalisasi perdagangan selama periode 1995-2002 berkontribusi terhadap meningkatkan surplus maupun defisit perdagangan pada sebagian besar kelompok komoditi. Misalnya untuk komoditi sereal, gula, susu, hewan hidup, dan beberapa produk residu dari industri penggilingan, dampaknya sangat nyata terhadap meningkatnya defisit neraca perdagangan komoditi tersebut. Sebaliknya pada kelompok komoditi perikanan, perkebunan, dan industri olahan justru mampu meningkatkan surplus perdagangan komoditi tersebut. Lebih lanjut hasil penelitian Rahmanto (2005) menunjukkan bhawa liberalisasi perdaganga n regional yang telah diimplementasikan oleh Indonesia melalui ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN-China FTA (CAFTA) dan Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) berdampak pada peningkatan ekspor produk pertanian Indonesia dengan negara-negara mitra FTA tersebut. Namun demikian, impo r Indo nesia untuk komoditi pertanian dengan
6
mitra FTA tersebut juga mengalami peningkatan yang jauh lebih tinggi dari peningkatan ekspornya. Dengan demikian, neraca pe rda gangan komoditi pertanian Indonesia dengan negara mitra FTA secara umum menngalami defisit. Sementara itu, bila dilihat peranannya terhadap perekonomina nasional, sampai saat ini pangsa sektor pertanian terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia terus menurun dari 41 persen pada tahun 1970 menjadi 13.61 persen pada tahun 2009 sebagaimana terlihat pada Tabel 3. Pada tahun 1999 sektor pertanian Indonesia dengan kontribusi sebesar 19.6 persen masih mampu menyerap lapangan kerja sebesar 43.2 persen dari seluruh sektor yang ada dan pada tahun 2009 dengan kontribusi tinggal 13.61 persen mampu menyerap lapangan kerja sebanyak 41.2 persen dari seluruh sektor ekonomi nasional (BPS, 2010). Menurut Todaro dan Smith (2006), menurunnya pangsa sektor pertanian tersebut adalah sebagai dampak dari serangkaian kebijakan dan strategi pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah Indo nesia yang lebih berpihak pada sektor non pertanian yang dilakuka n sejak tahun 1990-an.
Tabe l 3. Kontribusi Sektor Pertanian terhadap Produk Domestik Bruto Kontribusi terhadap PDB Pertanian (%) Sub Sektor 1970
1980
1990
1996
1999
2002
2006
2009
Tanaman Bahan M akanan
61.3
60.7
60.6
52.8
52.34
50.64
49.61
50.17
Tanaman Perkebunan
17.2
18.8
16.7
16.2
16.49
16.65
14.57
15.48
Peternakan
5.8
6.1
10.4
11.2
10.09
11.08
11.93
12.40
Perikanan
9.3
5.4
7.8
9.8
11.00
11.85
16.97
16.28
Kehut anan
6.4
9.0
4.5
10.0
9.68
9.78
6.97
5.67
Sumber: BPS, 2009 dan SAKERNAS, 2009.
7
Tabe l 3. Kontribusi Sektor Pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (Lanjutan) Kontribusi terhadap PDB Pertanian (%) Sub Sektor 1970 Pangsa Pertanian Thd Total PDB Pangsa Lapangan Kerja Pertanian
1980
1990
1996
1999
2002
2006
2009
41.0
30.7
21.5
15.4
19.6
17.5
12.90
13.61
66.4
54.8
53.9
44.0
43.2
44.3
43.3
41.2
Sumber: BPS, 2009 dan SAKERNAS, 2009
1.2
Rumusan Masalah Terjadinya peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer
mengakibatkan rata-rata temperatur bumi meningkat. Peningkatan temperatur permukaan bumi diakibatkan oleh dua faktor yaitu faktor alami dan faktor antropogenik atau aktifitas manusia (IPCC, 2007). Faktor alami terdiri dari faktor sirkulasi lautan, gunung meletus dan faktor radiasi matahari yaitu radiasi gelombang panjang yang terperangkap di gas rumah kaca (Marpaung et al, 2008). Sedangkan faktor antrofogenik terdiri dari aktifitas manusia dalam konsumsi energi terutama yang berasal dari bahan bakar fosil dan perubahan tata guna lahan seperti pembukaan hutan untuk lahan perkebunan, pertanian dan pemukiman yang menghasilkan gas rumah kaca ke atmos fer (Marpaung et al, 2008). Meningkatnya suhu rata-rata global (pemanasan global) telah diakui oleh berbagai ilmuwan sebagai pemicu terjadinya perubahan iklim atau perubahan iklim dengan dampak yang lebih besar (IPCC, 2007). Berdasarkan data IPCC (2007) menunjukkan bahwa dari observasi yang telah teramati selama lebih dari 170 tahun (1840-2010) menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan rata-rata temperatur global yang signifikan sebagaimana terlihat pada Gambar 1.
8
Sumber: Intergovernmental Panel on Climate Change, 2007
Gambar 1. Perkembangan Rata-Rata Temperatur Permukaan Global Disamping itu, berdasarkan hasil estimasi yang juga dilakuka n oleh IPCC hingga tahun 2100 menunjukkan bahwa perkiraan naiknya suhu global dengan beberapa skenario estimasi akan meningkat cukup signifikan seperti yang terlihat pada Tabe l 4. Tabel 4. Perkiraan Rata-Rata Suhu Udara berdasarkan Estimasi Intergovernmental Panel on Climate Change (0C)
Tahun
A1B
A1T
A1F1
A2
B1
B2
1750-1990
0.33
0.33
0.33
0,33
0.33
0.33
1990
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
2000
0.16
0.16
0.16
0.16
0.16
0.16
2010
0.30
0.40
0.32
0.35
0.34
0.39
2020
0.52
0.71
0.55
0.50
0.55
0.66
2030
0.85
1.03
0.85
0.73
0.77
0.93
Sumber: Intergovernmental Panel on Climate Change, 2001
9
Tabel 4. Perkiraan Rata-Rata Suhu Udara berdasarkan Estimasi Intergovernmental Panel on Climate Change (Lanjutan) (0C)
Tahun
A1B
A1T
A1F1
A2
B1
B2
2040
0.26
1.41
1.27
1.06
0.98
1.18
2050
0.59
1.75
1.86
1.42
1.21
1.44
2060
1.97
2.04
2.50
1.85
1.44
1.69
2070
2.30
2.25
3.10
2.33
1.63
1.94
2080
2.56
2.41
3.64
2.81
1.79
2.20
2090
2.77
2.49
4.09
3.29
1.91
2.44
2100
2.95
2.54
4.49
3.79
1.98
2.69
Sumber: Intergovernmental Panel on Climate Change, 2001 Keterangan : A1B A1T A1F1 A2 B1 B2
= Skenario yang menggambarkan arah perubahan teknologi alternatif dalam sistem Energi yang seimbang terhadap seluruh sumber daya energi = Skenario yang menggambarkan arah perubahan yang bersumber dari energi non-fossil = Skenario yang menggambarkan arah perubahan teknologi alternatif dalam sistem energ i yang bersumber dari intensif fossil = Skenaro yang menggambarkan dunia sangat heterogen. = Skenario yang menggambarkan dunia bersifat convergen dengan populasi global yang sama yang mencapai puncaknya pada abad pertengahan dan selanjutnya menurun = Skenario yang menggambarkan suatu dunia dimana yang ditekankan adalah solusi lokal dalam aspek ekonomi, sosial, dan kelestarian lingkungan.
Menurut Marpaung et al (2008), peruba han unsur iklim yang pasti adalah peningkatan suhu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa peningkatan tersebut sangat logis karena jumlah penduduk yang bertambah dengan pesat dan aktifitas manusia yang menghasilkan gas rumah kaca ke atmosfer juga semakin meningkat. Sedangkan perubahan iklim yang tidak pasti ada lah peruba han curah hujan serta pengaruh El Nino 1 ) pada iklim di Indonesia (Marpaung, et.al, 2008). Meningkatnya suhu akan menyebabkan menigkatnya penguapan, tetapi karena pengaruh dari sirkulasi udara global dan sangat kompleks, peningkatan curah hujan tidak selalu terjadi pada lokasi yang sama dengan kejadian penguapan (Marpaung et al. 2008). 1 )Fenomena El Nino adalah naiknya suhu di Samudra Pasifik hingga menjadi 310C, sehingga akan menyebabkan kekeringan yang luar biasa di Indonesia.
10
Untuk pendugaan iklim yang akan datang khususnya perubahan suhu global menunjukkan bahwa pada periode 100 tahun ke depan akan terjadi peruba han suhu global yang signifikan hampir disemua negara (Cline, 2007). Berdasarkan studi yang dilakuka nnya, Cline (2007) menunjukkan bahwa pemanasan global akan berdampak pada kenaikan suhu di berbegai negara sebagaimana disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan tabel tersebut, rata-rata suhu saat ini (basis 1961-1990) akan mengalami peningkatan pada masa datang (basis 2070-2099) di hampir semua negara termasuk Indo nesia. Rata-rata suhu di Indonesia yang saat ini sebesar 25.76 0C akan meningkat menjadi rata-rata 28.58 0 C pada masa datang. Artinya dalam kurun waktu kurang dari 100 tahun ke depan suhu rata-rata di Indo nesia akan meningkat sebesar 2.82 0 C. Peruba han suhu yang diprediks ika n oleh Cline (2007) juga terjadi di beberapa negara Asia lainnya seperti India, China, dan negara lainnya. Perubahan iklim tersebut diperkirakan berdampak cukup besar bagi seluruh negara yang ada di be lahan bumi tidak terkecuali Indo nesia. Berbagai peristiwa telah terjadi di berbagai belahan dunia akibat perubahan iklim dan pemanasan global seperti perubahan pola dan distribusi curah hujan di negara tropis, meningkatnya kekeringan, banjir dan tanah longsor, menurunnya produksi pertanian/gagal panen, meningkatnya kejadian kebakaran hutan, meningkatnya suhu di daerah perkotaan, naiknya permukaan laut (Marpaung et al. 2008).
11
Tabe l 5. Rata-Rata Suhu Saat Ini dan yang Aka n Datang di Beberapa Negara (0C)
Suhu Negara Australia Southeast Southwest Central East Central West North Bangladesh Brazil Amazon Northeast South Canada Arctic Central Northwest Territories Pacific Coast Southeast China Beijing Northeast Central Hong Kong Southeast Northwest South Central India Northeast Northwest Southeast Southwest Indonesia Pakistan Russia Caspian Black Sea Far Eastern North European North Urals Siberia Northeast Siberia South Urals Siberia Southeast Siberia Turkey United States Alaska Lakes and Northeast Pacific Northwest Roc kies, Plains Southeast South Pacific Coast Southwest and Plains Vietnam Sumber: Cline, 2007
Saat ini, 1961–1990
Masa Datang 2070–2099
16.68 18.35 22.02 23.49 26.38 24.46
20.27 21.75 26.10 27.63 30.04 28.13
26.04 25.58 22.04
30.38 29.46 25.90
–15.09 –0.47 –8.88 0.79 –0.93
–7.28 5.41 –2.42 5.40 5.42
2.73 9.49 18.78 6.06 17.50
8.89 14.48 22.67 12.08 21.27
20.54 23.55 26.76 26.23 25.76 19.91
24.54 27.52 30.06 29.32 28.58 24.76
7.85 –10.56 2.05 –7.02 –13.97 –0.25 –5.58 11.42
13.52 –2.69 8.60 1.00 –5.84 6.79 1.48 16.14
–5.10 8.26 7.57 6.68 16.69 12.11 15.05 24.09
1.12 14.17 12.11 12.36 21.44 16.56 20.20 27.44
12
Dampak perubahan iklim atau pemanasan global khususnya terhadap sektor pertanian diprediksi akan menurunkan produktivitas dan produksi pertanian di seluruh negara (Cline, 2007). Sebagai gambaran berdasarkan data FAO 2010 terlihat bahwa selama periode 1984-2005, tingkat produktivitas gandum, beras, dan jagung dunia mengalami penurunan dibandingkan 1961-1983 di saat suhu global mengalami peningka tan seperti yang terlihat pada Tabe l 6. Selama periode tersebut, produktivitas gandum di negara produsen utama dunia hampir seluruhnya mengalami penurunan kecuali Australia. Demikian pula produktivitas Beras di negara produsen utama dunia juga mengalami penurunan kecuali di Amerika Serikat dan Vietnam, sedangkan produktivitas jagung mengalami penurunan di Amerika Serikat, Meksiko, Argentina dan China. Tabe l 6. Perkembangan Produktivitas Jagung, Gandum, Kedelai dan Beras Dunia Tahun 1961-1983 dan Tahun 1984-2005 (%)
Komoditi/Negara Gandum Argentina Australia Kanada Cina Perancis India Amerika Serikat Rata-rata tertimbang Beras Bangladesh Cina India Indonesia Amerika Serikat Vietnam Rata-rata tertimbang Jagung Argentina Brazil Cina Meksiko Amerika Serikat Rata-rata tertimbang Sumber: FAO, 2010
1961-1983
1984-2005 1.19 1.19 0.21 2.09 5.88 3.1 3.7 1.73 3.46
1.56 1.56 1.02 1.53 1.82 0.98 1.94 0.83 1.49
1.1 2.96 1.59 3.76 0.87 0.86 2.28
2.71 0.95 1.5 0.61 1.13 2.95 1.38
3.12 1.43 4.63 2.6 2.12 2.77
2.72 3.47 1.47 2.33 1.58 1.83
13
Tabel 6. Perkembangan Produktivitas Jagung, Gandum, Kedelai dan Beras Dunia Tahun 1961-1983 dan Tahun 1984-2005 (Lanjutan) (%)
Komoditi/Negara
1961-1983
Kedelai Argentina Brazil India Amerika Serikat Rata-rata tertimbang
1984-2005
3.68 2.64 3.46 0.98 2.08
1.16 2.45 1.27 1.34 1.62
Sumber: FAO, 2010
Selajutnya Cline (2007) memprediksikan dampak peruba han iklim (kenaikan suhu global) terhadap penurunan tingkat produktivitas pertanian di beberapa negara dengan tingkat penurunan yang berbeda-beda di beberapa negara maju da n negara-negara berkembang pada tahun 2050 dengan mengacu pada perkiraan kenaikan rata-rata suhu global. Berdasarkan Tabel 7 tingkat produktivitas pertanian di negara-negara maju seperti Australia, Jepang, Kanada dan Amerika Serikat masing- masing diprediksikan turun sebesar 17 persen, 4 persen, 1 persen dan 4 persen. Sebaliknya produktivitas pertanian Selandia Baru justru diperkirakan mengalami peingkatan sebesar 1 persen. Penurunan produktivitas pertanian juga terjadi di negara- negara berke mba ng yaitu China, ASEAN, India, Argentina, dan Brazil dengan tingkat penurunan masing- masing sebesar 4 persen, 12 persen, 25 persen, 7 persen dan 10 persen. Tabe l 7. P royeks i Peruba han Prod uktivitas Pertanian Tahun 2050 Akibat Perubahan Iklim (%)
No. 1 2 3 4 5
Negara Australia China Jepang Selandia Baru ASEAN
Sumber: Cline, 2007
Perubahan Produktivitas Pertanian *) -17 -4 -4 +1 -12
14
Tabel 7. Proyeksi Perubahan Produktivitas Pertanian Tahun 2050 Akibat Perubahan Iklim (Lanjutan) (%)
No. 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Negara
Perubahan Produktivitas Pertanian -25 -1 -4 -4 -7 -10 -18 -4 -13
India Kanada Amerika Serikat Eropa lainnya Argentina Brazil Negara kurang berkembang Uni Eropa Negara lainnya
Sumber: Cline, 2007 Keterangan : *) relat if terhadap referensi dasar tahun 1990.
Perkiraan pe nurunan produktivitas pertanian tersebut akan berdampak pada penyedian da n pemenuhan kebutuhan pangan dan perdagangan komoditi pertanian di dunia. Berdasarkan data FAO selama periode 1984-2007 menunjukkan bahwa hanya beberapa jenis produk pertanian yang pertumbuhan produksinya meningkat rata-rata diatas 2 peren per tahun. Komoditi pertanian tersebut antara lain kedelai meningkat rata-rata 4.23 per sen per tahun, susu sapi (3.99 persen), sayuran segar (3.63 persen), tomat (3.54 persen), jagung (2.34 persen). Sedangkan beberapa komoditi pertanian lainnya hanya tumbuh antara 0.41- 0.81 persen per tahun seperti anggur 0.41 persen, kentang (0.81 persen), gandum (0.80 persen) dan beras (1.47 persen) seperti yang terlihat pada Tabe l 8. Tabe l 8. Perkembangan Produksi Produk Pertanian Dunia (Juta M etrik Ton)
Tahun No.
Ko moditi
Trend(%)
1984
1990
2000
2005
2006
2007
84-07
1
Gu la tebu
929.8
1 053.0
1 254.1
1 319.1
1 418.7
1 627.5
2.09
2
Jagung
450.4
483.3
592.5
713.9
706.3
788.1
2.34
465.3
518.6
599.4
634.5
641.1
657.4
1.47
3 Beras(Pad i) Sumber: FAO, 2011
15
Tabe l 8. Perkembangan Produksi Produk Pertanian Dunia (Lanjutan) (Juta M etrik Ton)
Tahun No.
Trend(%)
Ko moditi 1984
1990
2000
2005
2006
2007
84-07
4
Susu segar
452.0
479.0
490.0
543.3
558.8
571.4
0.80
5
290.9
266.6
327.3
325.1
305.6
323.5
0.81
6
Kentang Sayuran Segar
112.4
140.5
216.4
235.0
242.7
244.7
3.63
7
Kedelai
90.8
108.5
161.3
214.3
218.4
219.5
4.23
8
Tomat
64.1
76.3
108.9
126.9
130.1
133.3
3.54
9
Susu Sapi
35.0
44.1
66.5
78.9
81.1
83.6
3.99
Apel
39.8
41.0
59.1
62.5
64.3
66.1
-
11 Anggur Sumber: FAO, 2011
64.5
59.7
64.8
67.2
67.3
66.0
0.41
10
Di tingkat nasional produktivitas beberapa komoditi pertanian masih mengalami peningkatan selama periode 1995-2008 seperti yang terlihat pada Tabe l 9 (BPS, 2010). Namun demikian, tingkat produktivitas beberapa komoditi pertanian tersebut relatif rendah yaitu berkisar antara 0.77 persen sampai dengan 5.12 persen per tahun selama periode tersebut. Produk pertanian yang produktivitasnya relatif tinggi antara lain adalah Coklat mencapai 5.21 persen per tahun, diikuti Karet (5.12 persen), Jagung (4.02 persen), Ubi kayu (3.4 persen), dan Minyak Sawit dan Biji Sawit (2.97 persen). Sedangkan produk pertanian yang tingkat prod uktivitasnya relatif renda h yaitu dibawah satu persen per tahun antara lain Kedelai sebesar 0.97 persen per tahun, Padi (0.8 persen) , Teh (0.77 persen), dan Kopi (0.48 persen). Dengan kondisi
tingkat
produktivitas
beberapa
produk
pertanian
sebagaimana disajikan pada Tabel 9 tersebut, maka pada masa yang akan datang dikhawatirkan berdampak pada penurunan tingkat produksi pertanian itu sendiri. Disamping itu, jika dampak perubahan iklim global sebagaimana dijelaskan pada
16
bagian sebelumnya juga tidak diantisipasi secara baik oleh petani maupun pemerintah, maka tingkat produktivitas produk pertanian juga diperkirakan akan mengalami penurunan yang selanjutnya akan berdampak pada penurunan produksi produk pertanian yang semakin besar. Tabe l 9. Perkembangan Produktivitas Beberapa Komoditi Pertanian Nasional (Ku/Ha)
Tahun Ko moditi
1995
2000
2005
Trend (%) 2006
2007
2008
(1995-2008)
Padi
43.52
44.01
45.74
46.20
47.05
48.94
0.80
Jagung
22.64
27.65
34.54
34.70
36.60
40.78
4.02
Ubi Kayu
117.72
125.00
159.00
163.00
166.36
180.57
3.40
Ubi Jalar
96.09
94.00
104.13
105.05
106.64
107.80
1.60
Kacang Tanah
10.28
10.77
11.61
11.86
11.95
12.15
1.19
Kedelai
11.37
12.34
13.01
12.88
12.91
13.13
0.97
7.23
6.85
8.44
10.81
11.25
11.66
5.12
24.95
17.03
28.16
29.24
27.89
28.23
2.97
Biji Sawit
6.10
3.41
5.95
6.30
6.32
6.43
2.97
Coklat
3.70
3.66
6.42
6.64
6.44
6.55
5.21
Kopi
4.22
4.47
4.69
5.39
4.59
4.88
0.48
Teh
13.71
13.68
15.69
14.72
15.01
15.27
0.77
Gu la Tebu
42.36
45.82
58.72
58.20
61.33
63.34
2.28
Karet Minyak Sawit
Sumber: BPS, 2010
Kekhawatiran terjadinya penurunan produksi yang semakin tinggi di masa depan sebagai dampak terjadinya perubahan iklim global cukup beralasan, apabila melihat kinerja produksi produk pertanian selama periode 1995-2008 seperti yang terlihat pada Tabe l 10. Selama periode 1995-2008, terdapat beberapa produk pertanian yang produksinya terus mengalami penurunan cukup signifikan seperti Kedelai turun rata-rata 7.15 persen per tahun, Teh dan Ubi jalar masing- masing turun 0.35 persen per tahun. Sementara produk pertanian yang produksinya mengalami peningkatan cukup siginfikan selama periode tersebut adalah Minyak
17
Sawit yakni rata-rata tumbuh 12.74 persen per tahun. Sedangkan beberapa produk pertanian yang produksinya masih tumbuh diatas dua persen per tahun adalah Ubi kayu 2.68 persen per tahun, dan Karet 4.93 persen per tahun. Beberapa produk pertanian lainnya pertumbuhan produksinya meningkat antara satu hingga dua persen per tahun seperti Coklat naik 1.93 persen per tahun, Gula tebu (1.87 persen), Kacang Tanah (1.24 pe rsen) dan Padi (1.25 persen).
Tabe l 10. Perkembangan Produksi Beberapa Produk Pertanian Indonesia (Ribu ton) T ahun Komoditi 2000
2005
49 697.44
51 898.85
54 151.10
54 454.94
57 157.44
60 325.93
T rend (%) (95-08) 1.25
8 142.86
9 676.90
12 523.89
11 609.46
13 287.53
16 317.25
4.17
Ubi Kayu
15 365.84
16 089.02
19 321.18
19 986.64
19 988.06
21 756.99
2.68
Ubi Jalar
2 152.78
1 827.69
1 856.97
1 854.24
1 886.85
1 881.76
(0.35)
756.34
736.52
836.30
838.10
789.09
770.05
1.24
1 679.09
1 017.63
808.35
747.61
592.53
775.71
(7.15)
341.00
375.82
432.22
554.63
578.49
613.49
4.93
2 476.40
5 094.86
10 119.06
10 961.76
11 437.99
11 623.82
12.73
605.30
1 018.97
2 139.65
2 363.15
2 593.20
2 646.58
12.74
Coklat
46.40
57.73
55.13
67.20
68.60
71.30
1.93
Kopi
20.80
28.27
24.81
28.90
24.10
25.60
0.12
T eh
111.08
123.12
128.15
115.44
116.50
114.86
(0.35)
2 104.70
1 780.13
2 241.74
2 307.00
2 623.80
2 800.90
1.87
1995 Padi Jagung
Kacang T anah Kedelai Karet Minyak Sa wit Biji Sa wit
Gula T ebu
2006
2007
2008
Sumber : BPS, 2010
Penurunan produksi produk pertanian selanjutnya akan berdampak pada pola perdagangan baik ekspor maupun impor produk pertanian tersebut. Di tingkat global selama periode 1961-2008, defisit neraca perdagangan produk pertanian dunia terus meningkat, terutama gandum dan jagung seperti yang
18
terlihat pada Gambar 2 dan 3. Selama periode tersebut, neraca perdagangan produk pertanian dunia mengalami defisit yang cukup besar pada tahun 2008 sebagai dampak dari krisis pangan dunia akibat cuaca buruk yang menyebabkan terjadinya penurunan produksi di beberapa negara produsen pangan dunia (FAO, 2011). Neraca Perdagangan Produk-produk Pertanian Dunia dan Indonesia 30,0 20,0
Indonesia
10,0
1961 1962 1963 1964 1965 1966 1967 1968 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Miliar US$
0,0 -10,0 -20,0 -30,0 -40,0
Dunia
-50,0
Sumber: FAO, 2011
Gambar 2. Neraca Perdagangan Produk-Produk Pertanian Dunia dan Indonesia Periode 1961-2008 Neraca Perdagangan Gandum, Beras dan Jagung Dunia dan Indonesia 1.000.000 0
Ribu US$
-1.000.000 -2.000.000 -3.000.000 -4.000.000
Neraca Gandum Dunia Neraca Jagung Dunia Neraca Beras Indonesia
-5.000.000
Neraca Beras Dunia Neraca Gandum Indonesia Neraca Jagung Indonesia
-6.000.000 1961
1966
1971
1976
1981
1986
1991
1996
2001
2006
Sumber: FAO, 2011
Gambar 3. Neraca Perdagangan Beras, Gandum, dan Jagung Dunia dan Indonesia Periode 1961-2008 Di tingkat nasional selama periode 2004-2009 ekspor beberapa produk pertanian mengalami penurunan baik nilai maupun volumenya seperti terlihat
19
pada Tabel 11. Produk kehutanan nilai ekspornya mengalami penuruan rata-rata 5.25 persen per tahun dan volume ekspornya turun lebih dari dua kali lipat yaitu mencapai 12,50 persen per tahun selama periode 2004-2009. Tabe l 11. Perkembangan Ekspor dan Impor Produk-Produk Pertanian Indo nesia
No
Uraian
2004
2007
2008
2009
Perub (%) 09/08
Trend (%) 04-09
EKS POR NILAI EKSPOR (US$ Juta) 1 2 3 4 5
1 2 3 4 5
Tanaman Pangan dan Hortikultura Perkebunan Perikanan dan Peternakan Kehutanan Aneka Hasil Pertanian dan Produk Olahannya Tanaman Pangan dan Hortikultura Perkebunan Perikanan dan Peternakan Kehutanan Aneka Hasil Pertanian dan Produk Olahannya
173.12 7 719.20
191.89 16 574.79
233.57 23 610.40
207.20 18 500.48
-11.29 -21.64
6.18 24.09
1 572.08 3 529.41
1 872.56 3 483.46
2 166.75 3 152.84
1 871.72 2 543.20
-13.62 -19.34
5.09 -5.25
474.89 2 207.52 2 902.96 2 888.10 VOLUM E EKSPOR (Ribu Ton)
-0.51
15.54
761.06 12 520.11
697.14 16 887.18
660.13 19 349.21
640.48 22 036.69
-2.98 13.89
-2.62 10.94
831.33 5 465.79
741.23 4 035.13
786.49 3 126.87
743.71 2 940.80
-5.44 -5.95
-1.73 -12.50
1 311.00
1 632.00
2 374.28
1 884.19
-20.64
9.10
IMPOR NILAI IM POR (US$ Juta) 1 2 3 4 5
1 2 3 4 5
Tanaman Pangan dan Hortikultura Perkebunan Perikanan dan Peternakan Kehut anan Aneka Hasil Pertanian dan Produk Olahannya Tanaman Pangan dan Hortikultura Perkebunan Perikanan dan Peternakan Kehut anan Aneka Hasil Pertanian dan Produk Olahannya
Sumber: BPS, 2010
1 992.48 300.88
3 270.01 601.06
4 189.96 849.98
3 572.51 766.53
-14.74 -9.82
18.12 23.14
309.03 135.18
464.66 243.30
890.21 330.51
960.71 225.79
7.92 -31.69
32.35 14.44
867.90 1 974.80 1 784.38 1 825.01 VOLUM E IM POR (Ribu Ton)
2.28
16.19
8 308.65 142.98
10 090.88 221.28
8 495.92 237.36
8 944.62 216.23
5.28 -8.90
2.22 10.02
188.67 265.89
302.67 481.40
462.10 505.84
557.64 350.92
20.67 -30.63
27.38 7.37
1 577.41
3 566.97
1 719.22
2 123.26
23.50
2.76
20
Sementara itu, produk tanaman pangan dan hortikultura nilai ekspornya masih meningka t rata-rata 6.18 persen per tahun, tetapi volume ekspornya turun rata-rata 2.62 persen per tahun. Kondisi yang sama terjdi pada produk perikanan dan peternakan, yaitu nilai ekspornya naik rata-rata 5.09 persen per tahun, tetapi volume ekspornya turun rata-rata 1.73 persen per tahun. Peningkatan nilai ekspor Produk Tanaman Pangan dan Hortikultura, dan produk Perikanan dan Peternakan didukung oleh terjadinya peningkatan harga kedua produk tersebut di pasar internasional. Kinerja perdagangan komoditi pertanian baik dalam skala nasional maupun global juga dipengaruhi oleh adanya kesepakatan di sektor pertanian baik dalam kerangka multilateral, regional maupun bilateral yang suda h dilakuka n oleh berbagai negara. Dalam kerangka multilateral, sebagai anggota WTO, Indo nesia mendukung kebijakan perdagangan global yang bebas dan adil, dimana tujuan jangka panjang dari WTO adalah meliberalkan perdagangan dunia melalui 3 pilarnya, yaitu perluasan akses pasar (market access), pengurangan dukungan domestik (domestic support) yang dapat mendistorsi pasar, dan pengurangan subsidi ekspor (export subsidy) (Suryana, 2004). Tujuan tersebut seyogyanya memberikan manfaat bagi seluruh negara di dunia. Namun, dalam kenyataanya, perdagangan internasional dan hasil perundingan bidang pertanian di WTO lebih banyak merugikan negara- negara sedang berkembang (Suryana, 2004). Terdapat beberapa faktor yang diperkirakan menjadi penyebab tidak tercapainya tujuan dalam menciptakan sistem perdagangan sektor pertanian yang adil dan berorientasi pasar ya itu:
21
1. Negara- negara maju masih tetap mempertahankan, bahkan meningkatkan dukungan domestik melalui subsidi kepada petaninya, terutama produsen pangan dan peternakan (Suryana, 2004 ). Berdasarkan data OECD (2002), nilai dukungan domestik dari kelompok negara OECD meningkat menjadi US$ 248 milyar pada masa implementasi kesepakatan WTO (1999-2001) dibandingkan periode pra WTO (1986-1988) yang tercatat sebesar US$ 236 milyar per tahun. Menurut catatan OECD tersebut, Amerika Serikat dan Uni Eropa meningkatkan dukungan domestiknya masing- masing sebesar 21 persen dan 5 persen pada periode yang sama, sehingga mengakibatkan persaingan tidak adil di pasar dunia. 2. Faktor penyebab lainnya adalah dalam bentuk subsidi ekspor yang besar untuk produk-produk pertanian di negara-nega maju. Kelompok negara Uni Eropa merupakan pemberi subsidi tertinggi, yaitu mencapai US$ 23,2 milyar atau 90 persen dari total nilai subsidi seluruh anggota WTO pada kurun waktu 19951998 (Dixix, Josling and Blandford, 2001 ). Menurut Simatupang (2004 ), subsidi ekspor itu menyebabkan disparitas harga antara pasar dunia dan pasar domestik negara- negara maju, sehingga dapat dipandang sebagai instrumen untuk fasilitasi praktik dumping yang dilarang WTO. 3. Perbedaan tingkat pembangunan ekonomi, teknologi, ketrampilan SDM, dan infrastruktur antara negara maju dan negara berkembang juga menyebabkan ketidakmampuan negara berkembang menciptakan equal playing field (Sawit, 2003 ). Lebih lanjut Sawit (2003) menjelaskan bahwa di ne gara-negara
berkembang pada umumnya, dan Indonesia pada khususnya, karakteristik usaha pertanian umumnya masih bersifat subsisten, da n belum berorientasi
22
komersial secara penuh, karena pertanian masih menjadi sumber kehidupan dan kebudayaan masyarakatnya. Kondisi yang demikian kurang selaras dengan aturan da lam Agreement of Agriculture (AoA) dan mekanisme pasar yang hanya sesuai ba gi industri pertanian modern yang berorientasi pasar di negaranegara maju (Sawit, 2003). 4. Ketidakadilan dalam membuka akses pasar, dimana di satu sisi negara maju memaksa negara berke mbang membuka akses pasar seluas- luasnya, sementara di sisi lain berusaha membatasi akses pasar bagi produk-produk negara berkembang melalui berbagai instrumen, seperti tarif eskalasi, perlindungan sanitary da n phyto-sanitary, da n non-trade barrier lainnya (Sawit, 2003). Perbedaan kepentingan dan ketidakseimbangan itulah yang menimbulkan kondisi perdagangan multilateral sektor pertanian yang tidak seimbang dan mengarah tidak fair. Manfaat reformasi perdagangan global jauh lebih banyak dinikmati oleh negara- negara maju dibandingkan dengan negara berkembang (Sawit, 2003; Khor, 2000; dan Ellwood, 2002). Sawit (2001) mengemukakan bahwa perdagangan global membuat defisit perdagangan negara berkembang semakin lebar karena impor meningkat dengan pesat, sementara ekspor melambat karena tidak mampu bersaing dengan industri negara maju yang support-nya masih tinggi, baik subsidi ekspor, bantuan domestik, maupun berbagai hambatan perdagangan lainnya. Lebih lanjut kombinasi dari dampak perubahan iklim dan liberalisasi perda gangan sektor pertanian akan berdampak terhadap kondisi makro dan juga sektor ekonomi di berbagai negara termasuk Indonesia. Selama periode 19802010 perkembangan indikator makro ekonomi dunia seperti pertumbuhan
23
ekonomi, investasi, tingkat inflasi dan total perdagangan dunia diduga ada kaitannya dengan perubahan iklim dan berkembangnya liberalisasi perdagangan di sektor pertanian seperti yang terlihat pada Gambar 4. Pertumbuhan PDB, Investasi, Volume Perdagangan dan Perkembangan Inflasi Dunia 40,0 30,0
Persen
20,0 10,0 0,0 -10,0 PDB
Investasi
Inflasi
Volume perdagangan total
1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011*
-20,0
Sumber: IPCC, 2007, FAO dan IFS, 2011 (d iolah)
Gambar 4. Pertumbuhan PDB, Investasi, Volume Perdagangan da n Perkembangan Tingkat Inflasi Dunia Periode 1980-2010
Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa perubahan iklim secara faktual sudah terjadi di tingkat lokal, regional maupun global. Peruba ha n iklim juga suda h berdampak pada berbagai aspek kehidupan dan sektor pembangunan di seluruh negara termasuk di Indonesia, salah satunya adalah produktivitas komoditi pertanian yang selanjutnya akan berdampak pada ketersediaan pangan. Di sisi lain liberalisasi perdagangan sektor pertanian baik melalui kesepakatan multilateral, regional dan bilateral juga akan berdampak pada perdagangan komoditi pertanian. Lebih lanjut kombinasi dari dampak perubahan iklim dan liberalisasi perdagangan sektor pertanian akan berdampak terhadap kondisi makro dan juga sektor ekonomi di berbagai negara termasuk Indonesia.
24
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian adalah: 1. Liberalisasi perdagangan di sektor pertanian lebih banyak dinikmati oleh negara-negara maju dibandingkan dengan negara berkembang dan membuat defisit perdagangan negara berkembang semakin lebar. 2. Perubahan iklim telah dirasakan sampai saat ini dan berbagai bukti adanya perubahan iklim telah dirasakan oleh masyarakat dunia mulai dari kenaikan muka laut, mencairnya es di kutub, terjadinya el nino di beberapa bagian negara tropis dan perubahan cuaca yang ekstrim di berbagai belahan bumi termasuk I ndo nesia. 3. Dampak perubahan iklim telah diprediksi terhadap berbagai aspek seperti kesehatan manusia, kelangsungan ekosistem air, darat dan udara, serta dampaknya terhadap produktivitas pertanian baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk Indonesia. 4. Kombinasi dampak liberalisasi perdagangan dan dampak perubahan iklim diperkirakan akan berdampak lebih lanjut pada kondisi makro dan sektoral ekonomi di ne gara maju maupun di negara berke mba ng termasuk I ndo nesia. Berdasarkan rumusan permasalahan, maka pertanyaan penelitian yang diajukan adalah: 1. Bagaimana dampak perubahan iklim terhadap produktivitas komoditi pangan di berba gai negara termasuk Indo nesia ? 2. Bagaimana dampak liberalisasi perdagangan sektor pertanian terhadap kondisi makro ekonomi ne gara-ne gara prod usen maupun impor tir komoditi pangan
25
dan secara khusus bagaimana dampaknya terhadap kondisi makro dan sektoral ekonomi Indo nesia ? 3. Bagaimana dampak kombinasi liberalisasi perdagangan sektor pertanian dan perubahan iklim pada komoditi pangan terhadap kondisi makro ekonomi negara prod usen maupun impor tir komoditi pangan da n secara khusus bagaimana dampaknya terhadap kondisi makro dan sektoral ekonomi Indo nesia ?
1.3
Tujuan Penelitian Dari penjelasan pada bagian latar belakang dan perumusan masalah yang
telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini: 1.
Mengkaji dampak perubahan iklim terhadap produktivitas komoditi pangan di berba gai negara termasuk I ndo nesia.
2.a. Menganalisis dampak liberalisasi perdagangan sektor pertanian terhadap kondisi makro ekonomi di negara-negara prod usen maupun impor tir komoditi pangan. 2.b. Menganalisis dampak liberalisasi perdagangan sektor pertanian terhadap kondisi makro dan sektoral ekonomi Indonesia. 3.a. Menganalisis dampak kombinasi liberalisasi perdagangan sektor pertanian dan perubahan iklim pada komoditi pangan terhadap kondisi makro ekonomi di beberapa negara prod usen maupun impor tir komoditi pangan. 3.b. Menganalisis dampak kombinasi liberalisasi perdagangan sektor pertanian dan perubahan iklim pada komoditi pangan terhadap kondisi makro dan sektoral ekonomi Indonesia.
26
1.4
Ruang Lingk up Penelitian. Penelitian ini mengkaji mengenai dampak liberalisasi perdagangan dan
perubahan iklim pada komoditi pa ngan di berba gai negara terhadap makro dan sektoral ekonomi Indonesia. Istilah perubahan iklim dalam penelitian ini hanya mencakup perubahan suhu global yaitu adanya pemanasan global sebagai dampak dari meningkatnya emisi karbon (CO 2 ) yang membentuk efek Gas Rumah Kaca (GRK). Sedangkan liberalisasi perdagangan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah skema penurunan tarif yang diterapkan pada sektor pertanian dalam kerangka multilateral-WTO. Formula penurunan tarif akan mengacu pada formula penurunan tarif yang sampai saat ini dirundingkan dalam negosiasi isu Pertanian WTO. Komoditi pangan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah mencakup 3 (tiga) jenis yaitu beras (paddyrice), gandum (wheat) dan jagung (maize). Sedangkan Negara yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah mencakup negara prod usen utama komoditi beras, gandum dan jagung ya itu Amerika Serikat, China, Brazil, India, Rusia, EU , Indonesia, Vietnam, Thailand, Australia, Pakistan, Bangladesh, Filipina da n The Rest of the World. Kombinasi da ri dampak liberalisasi perdagangan dan perubahan iklim pada komoditi pangan terhadap kondisi makro ekonomi difokuskan pada ke 14 negara tersebut, sedangkan untuk kasus Indo nesia juga diba has mengenai da mpaknya terhadap kondisi makro dan sektoral ekonomi Indonesia. Fok us penelitian pada aspek makro ekonomi meliputi dampak pada variabel equivalent variation (kesejahteraan), GDP riil, GDP deflator, trade balance, terms of trade, investasi, konsumsi rumah tangga, da n pengeluaran pemerintah. Sedangkan secara sektoral
27
yang akan dianalisis adalah output, harga, ekspor, impor dan kesempatan kerja di Indo nesia. Dalam studi ini, analisis menggunakan Computable General Equilibrium (CGE) mod el Global Trade Analysis Project (GTAP) yang dikembangkan oleh Purdue University di Amerika Serikat, Departemen Ekonomi Pertanian sejak tahun 1993 yang dipimpin dan diprakarsai oleh Prof. Thomas Hertel. Model GTAP yang digunakan adalah GTAP versi 7 yang dikeluarkan pada tahun 2008 dengan data dasar tahun 2004 yang terdiri dari 57 klasifikasi komoditi (sector) dan 113 negara (region). Analisis kuantitatif dalam menentukan besaran elastisitas atau parameter dampak perubahan suhu global terhadap tingkat produktivitas komoditi pangan menggunakan mode l ekonometrik yaitu hubungan perubahan suhu global dengan tingkat produktivitas pertanian yang bersumber dari berbagai hasil penelitian di tingkat internasional seperti IPCC, lembaga penelitian di beberapa negara dan hasil pe nelitian di da lam negeri yang dilakukan oleh beberapa lembaga penelitian yang terkait dengan perubahan suhu dan produksi pertanian nasional. Penggunan data tersebut mempertimbangkan ketersediaan data terutama yang terkait dengan data perubahan suhu dan tingkat produktivitas pertanian. Keterbatasan penelitian juga terkait dengan penggunaan mode l GTAP sebagai alat analisis CGE yang lebih banyak disebabkan oleh kelemahan struktur model CGE itu sendiri. Oleh karena itu, dalam penelitian ini mod el yang digunakan bukan Recursive Dynamic CGE yang memprediksi dampak tahun 2070, tetapi Mode l Comparative Static dengan keseimbangan jangka panjang, sehingga analisis yang dilakukan adalah
28
with and without policy. Lebih lanjut konsep analisis tersebut selengkapnya dijelaskan pada bab 3. Menurut Oktaviani (2008) beberapa keterbatasan model CGE: 1. Dalam mode l CGE, asumsi utama untuk struktur pa sar ada lah Pasar Persaingan Sempurna (PPS) de ngan ko ndisi Constant Return to Scale (CRS), sehingga untuk komoditi dengan pasar non PPS asumsi ini menjadi keterbatasan model. Namun demikian, berdasarkan hasil penelitian Silva dan Horridge (1996), model CGE dapat juga diterapkan pada struktur pasar monopoli dengan kondisi Increasing Return to Scale (IRS). 2. Model keseimbangan tergantung pada pada parameter-parameter benchmark yang dikalibrasi. Hal ini disebabkan parameter-parameter yang digunakan dalam model CGE diambil dari hasil- hasil mode l, baik dilakukan sendiri maupun hasil- hasil penelitian terdahulu. Permasalahan yang biasanya terjadi adalah data tersebut di negara- negara berkembang tidak tersedia. 3. Dalam mod el CGE terlalu kompleks dan terlalu banyak asumsi yang digunakan yang dapat memunculkan permasalahan black box, sehingga apabila hasil estimasi yang didapat tidak sesuai dengan teori ekonomi atau prediksi yang diharapkan, akan sangat sulit untuk menerangkanya. 4. Dalam model CGE tidak ada validitas terhadap hasil pengolahan, sehingga akan sangat riskan menggunakan model CGE bagi orang-orang yang mengutamakan ke-validan dalam model. Validitas model dan data base ditunjukkan dengan pemenuhan asumsi keseimbangan umum dan signifikan dari parameter yang digunakan yang berasal dari penelitian sebelumnya.
29
5. Model CGE tidak menangkap perubahan perekonomian yang sangat besar (tidak dapat menganalisis perubahan persentase lebih dari 100 persen). Semakin kecil perubahan kebijakan yang akan dianalisis, semakin tepat mode l dalam mengestimasi perubahan non linear. 1.5. Manfaat Penelitian. Hasil dari penelitian mengenai dampak liberalisasi perdagangan dan perubahan iklim pada komoditi pangan di berbagai negara terhadap makro dan sektoral ekonomi Indonesia ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : 1. Pemerintah dalam merumuskan posisi Indonesia dalam forum kerjasama multilateral WTO khususnya perundingan liberalisasi sektor pertanian. 2. Pemerintah dalam merumuskan posisi Indonesia dalam keikutsertaannya sebagai party dari kesepakatan yang terka it dengan isu perubahan iklim ba ik melalui Protokol Kyoto, COP-UNFCCC maupun kesepakatan internasional lainnya di bidang lingkungan. 3. Pemerintah dalam merumuskan kebijakan produksi pertanian yang terkait dengan kebijaka n ke tahanan pa ngan nasional seba gai antisipasi terhadap dampak perubahan iklim. 4. Pelaku usaha terutama eksportir dan eksportir produsen, importir produk pertanian serta petani dalam menghadapi peluang dan tantangan dimasa depan untuk mengantisipasi dampak liberalisasi perdagangan dan peruba han iklim. 5. Masyarakat umum dalam memahami dampak liberalisasi perdagangan dan perubahan iklim pada komoditi pa ngan dan menggunakan hasil analisis ini sebagai referensi pembanding untuk penelitian berikutnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebijakan Perdaga nga n Bebas Perdagangan bebas atau liberalisasi perdagangan merupaka n konsep ekonomi yang merujuk kepada sistem perdagangan barang dan jasa antar negara tanpa adanya intervensi pemerintah dalam bentuk tariff dan hambatan perdagangan lainya, seperti kuota, subs udi, dan pajak (Krugman dan Obstfeld, 2000; Husted dan Melvin, 2004). Menurut pendapat sebagian pakar ekonomi, kebijakan perdagagan bebas dengan menghapuskan berbagai intervensi dan hambatan perdagangan diyakini dapat memperluas akses pasar yang diperlukan untuk mengembangkan ekspor (Wibowo, 2009). Perdagangan bebas, disamping akan meningkatkan impor negara yang membuka pasarnya melalui penghapusan tarif, juga akan meningkatan ekspor, sehingga akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selama periode 1999-2009 perdagangan telah menjadi mesin penggerak utama pertumbuhan ekonomi dunia sebagaimana dapat dilihat pada gambar 5 da n 6. Selama periode tersebut total perdagangan dunia meningkat hampir tiga kali lipat dari US$ 12 trilyun pada tahun 1999 menjadi sekitar US$ 33 trilyun pada tahun 2009. Selama periode yang sama PDB dunia meningkat dari US$ 31 trilyun pada tahun 1999 menjadi US$ 58 trilyun pada tahun 2009. Hardo no et al (2004) mengemukakan bahwa perdagangan bebas, minimum akan memberikan lima keuntungan yaitu: (1) akases pasar akan lebih luas karena liberalisasi perdagangan cende rung menciptaka n pusat-pusat produksi baru yang menjadi lokasi berbagai kegiatan industri yang saling terkait dan saling
31
menunjang, sehingga dapat diperoleh efisiensi; (2) iklim usaha lebih kompetitif, sehingga mendorong pengusaha untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumberdaya; (3) mendorong terjadinya alih teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi sebagaa akibat dari adanya arus perdangangan dan investasi yang lebih bebas; (4) signal harga yang dihasilkan lebih “benar”, sehingga dapat meningkatkan efisiensi investasi; dan (5) kesejahteraan kosumen baik ditingkat individu maupun perusahaan akan meningkat. Kesejahteraan individu meningkat karena tersedia beragam jenis barang dengan harga relaif lebih murah sehingga daya beli (purchasing power) bertambah, sementara dipihak lain perusahaan memperoleh keuntungan dari ke muda han akses untuk mendapat sumber bahan baku, ko mpo nen, dan jasa yang lebih kompetitif (Wibowo, 2009). USD Triliun
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 1999
2000
2001
2002
Negara maju
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Negara Emerging dan Berkembang
Sumber: IMF, 2010
Gambar 5. Perkembangan Produk Domestik Bruto Dunia Tahun 1999-2009
32
35 30 Total Perdagangan
Triliun US$
25 20 15 Ekspor
10 5 0 1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber: WTO, 2010.
Gambar 6. Perkembangan Ekspor dan Total Perdagangan Dunia Tahun 19992009
Kebijakan perdagangan bebas pertama kali diprakarsai oleh negara-negara Eropa dan Amerika setelah berakhirnya Perang Dunia II. Sistem perdagangan bebas multilateral pada awal pembentukannya disebut dengan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yaitu suatu perjanjian internasional mengenai tarif dan perdagangan. Selama tiga dekade sejak kesepakatan GATT (1950-1980) sistem multilateral telah mendominasi kebijakan perdagangan internasional (Krueger,1999; Krugman dan Obstfeld, 2000). Namun sejak akhir 1980-an, kebijakan perdagangan bebas mulai bergeser dari sistem multiteral ke sistem regional melalui pembentukan Regional Trade Agreements (RTAs), baik dalam bentuk kesepakatan pemberian konsesi tarif (Prefential Tariff Arranggements), perdagangan bebas regional (Regional Free Trade ) maupun pe nyatuan sistem pabean (Costums Union) (Wibowo, 2009). Berkembang dan meluasnya berbagai kesepakatan RTAs yang dimulai sejak awal tahun 1990-an dipicu oleh lamba nnya penyelesaian sistem perdagangan multilateral dalam kerangka WTO, sehingga fenomena munculnya berbagai
33
bentuk RTAs menimbulkan banyak perdebatan diantara ahli ekonomi mengenai relevansi RTAs dan masa depan sistem multilateral di bawah kerangka GATT/WTO. Terkait de ngan isu tersebut, terdapat dua kubu yang pro da n ko ntra atas meluasnya fenomena RTAs tersebut. Kubu yang pro terhadap kebijakan perdagangan bebas regional (Bergsten, 1997; Baldwin,1997; Ethier,1998; dan Lawrence,1999) mengemukakan bahwa RTAs adalah langka h maju menuju perdagangan bebas multilateral dan akan memperkuat eksistensi WTO serta sistem perda gangan internasional. Sementara itu, Michalak dan Gibb (1997), juga mengemukakan pendapat yang hampir sama bahwa regionalisasi perdagangan merupaka n salah satu strategi awal bagi sebuah negara sebelum melibatkan diri dalam proses perdagangan multiteral. Disamping itu, secara politis RTAs akan lebih mudah dikelola oleh sebuah pe merintah diba ndingka n de ngan sistem multilateral yang komplek dan berlarut larut (Desker, 2004). Dengan RTAs diharapkan negara-negara di suatu kawasan dapat mengintegrasikan ekonomi mereka kedalam sebuah sistem eko nomi yang lebih terbuka de ngan melakukan perdagangan intra-kawasan (Wibowo, 2009). Sementara itu kelompok yang kontra terhadap kebijakan perdagangan bebas regional (Bhagwati,1995; Krueger,1995; da n Panagariya,1999) berpendapat bahwa RTAs justru akan menghambat proses liberalisasi perdagangan multilateral karena akan memberikan keleluasaan akses pasar bagi negara anggota RTAs, tetapi di sisi lainnya memproteksi pasar bagi negara-ne gara di luar angota RTAs. Bhagwati (1995) mengeluarkan istilah yang sampai sekarang seringkali diingat oleh berbagai pihak yang memahami kebijakan perdagangan sebagai efek “spaghetti bowl”, yaitu keracunan atau kesulitan dalam menentukan asal usul
34
barang (rules of origin) yang berhak memperoleh konsesi tarif sesuai kesepakatan Preferential Trade Area (PTA). Pembentuka n Preferential Trade Area antara sebuah eko nomi besar de ngan ekonomi negara-negara berkembang seperti NAFTA, bertentangan de ngan sistem perdagangan bebas multilateral, sebab perbedaan tingkat ekonomi dan standar tenaga kerja diantara mereka akan menciptakan perdagangan yang tidak seimbang (Bhagwati da n Panagariya, 1996). Oleh karena itu, PTA akan lebih sesuai dengan sistem perdagangan global apabila dibentuk diantara sesama negara berkembang yang memiliki tingkat pembangunan ekonomi relatif sama dan telah memiliki hubungan pe rda gangan secara tradisional, seperti MERCOSUR, COMESA, AFTA, yaitu sebuah blok perdagangan regional yang dibentuk diantara negaranegara Amerika Selatan, negara-negara Afrika bagian Selatan dan negara- negara anggota ASEAN. Jika PTA dilakuka n antara ne gara maju de ngan negra berkembang, maka cakupan produk maupun subtansi kerjasama diantara keduanya harus memasuka n aspek ke rjasama eko nomi yang lebih luas di luar perdagangan termasuk kerjasama dalam bentuk Capacity Bulding dan Technical Assistance dari negara maju ke negara berke mbang yang sepka t membe ntuk PTA tersebut. Sementara itu, sistem perdagangan bebas multilateral dimulai sejak adanya kesepakatan GATT yang dibentuk pada tahun 1948. Selanjutnya, setelah berakhirnya Putaran Uruguay tahun 1994, GATT diagantika n dengan WTO (World Trade Organization), yang dibentuk pada tahun 1995. Indonesia sebagai anggota GATT, selanjutnya meratifikasi pembentukan WTO melalui UndangUndang Nomor 7 Tahun 1994, sehingga Indo nesia sebagai negara anggota dan
35
sekaligus bagian dari pendiri WTO memiliki kewajiban untuk memenuhi semua perjanjian yang disepakati dalam WTO. Prinsip prinsip perdagangan multilateral yang dianut dalam GATT/WTO (WTO, 2010) adalah: 1. Trade without discrimination, yang berarti bahwa perdagangan dilakukan tanpa diskriminasi, sehingga semua negara anggota WTO berhak atas perlakuan yang sama atau Most-favoured Nation (MFN). 2. Free trade, yang berarti penghapusan dan penurunan hambatan perdagangan ba ik tarif maupun non dilakukan secara bertahap melalui proses negosiasi. 3. Predictable through binding and transparency, artinya suatu negara (negara anggota) tidak boleh memberlakukan hambatan perdagangan baik tarif maupun non-tarif secara sepihak. Prinsip ini juga mengandung makna bahwa tingkat tarif dan komitmen untuk membuka pasar domestik bersifat mengikat (binding) dan untuk diketahui (notification) oleh semua anggota WTO. 4. Fair competion trade, artinya persaingan pe rda gangan harus dilakukan secara sehat. 5. Encouranging development and economic reform, yang berarti bahwa sistem perda gangan dibawah aturan WTO harus memberikan fleksibilitas kepada kelompok negara berkembang untuk melaksanakan kesepakatan WTO. Disamping itu, prinsip ini juga memberikan perlakuan kepada kelompok negara berkembang agar diberi bantuan teknis dan konsesi perdagangan tertentu guna mendukung pembagunan ekonomi nasionalnya. Sampai saat ini perundingan perdagangan multilateral telah dilakukan sebanyak sepuluh (10) kali putaran, dimulai tahun 1947 di Geneva hingga putaran
36
terakhir yang dikenal dengan putarn Doha atau Doha Development Agenda/DDA (2001-sekarang) seperti terlihat pada tabel 12. Pada awalnya perundingan GATT yang diikuti oleh bebe rapa negara anggota yang terutama dari kelompok negara industri maju, .hanya membahas penurunan tarif perdagangan barang. Namun dalam perkembangan selanjutnya topik perundingan GATT diperluas hingga mencakup hampir semua aspek perdagangan, seperti tarif, tekstil, produk pertanian, sumberdaya alam, perlind ungan hak intelektual, investasi, jasa, dan lain- lain (Wibowo, 2009). Perkembangan perundingan dan ruang lingkup yang dibahas dalam GATT disajika n pada tabel 12. Putaran Doha atau DDA adalah merupakan putaran perundingan perdagangan bebas multilateral yang paling lama dalam sejarah WTO yaitu sudah berjalan lebih dari 10 tahun. Disamping putaran Doha, Putaran Uruguay ada lah juga putaran perundinga n yang terbesar dalam catatan sejarah GATT, selain memakan waktu yang lama yaitu lebih dari tujuh tahun (1986-1994), tetapi juga membahas hampir semua aspek liberalisasi perdagangan internasional yang dimaksudkan untuk mencegah meningkatnya proteksionisme di negara-negara maju. Hasil yang paling menonjol dari putaran Uruguay antara lain adalah disepakatinya perjanjian perdagangan di sektor jasa (the General Agreement of Trade in Services/GATS), perjanjian mengenai hak properti intelektual terkait dengan perdagangan
(Trade-related
Intelectual
Property
Rights/TRIPS),
perjanjian di sektor investasi (Trade-related Investement Mesures/TRIMSs) dan pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) (Wibowo, 2009). Putaran Uruguay juga telah berhasil menurunkan tingkat tarif produk manufaktur di negara-negara indutri secara sugnifikan dari 6.3 persen menjadi 3.9 persen atau
37
penurunan sekitar 40 persen. Sedangka n di negara- negara industri sedang berkembang, tarif manufaktur diturunkan dari rata-rata 15.3 persen menjadi 12.3 persen atau penurunan sebesar 30 persen (OECD,1998). Selanjutnya berdasarkan hasil studi yang dilakuka n oleh OECD (1998), menyimpulkan bahwa liberalisasi perdagangan barang berdasarka n hasil Putaran Uruguay akan meningkatkan GDP dunia sebesar US$ 94 Milyar setiap tahunya (dihitung pada tahun 1992), dan apabila ditambah dengan hasil liberalisasi di sektor investasi, maka kenaikan GDP dunia tersebut mencapai US$ 214 Milyar per tahun atau sekitar 1 persen dari total output dunia pada 1992. Kesimpulan lainnya dari hasil studi yang dilakukan oleh OECD tersebut juga menytakan ba hwa manfaat liberalisasi perdagangan akan dinikmati oleh negara-negara berkembang. Di sektor pertanian, Uruguay Round Agreement on Agriculture (URAA) telah disepakati oleh negara-negara GATT/WTO. Berdasarkan URAA, hambatan non-tarif dalam perdagangan produk pertanian digantikan dengan tarif yang meningkat (bound tariffs), dan disepakati untuk memperluas akses pasar dengan mengurangi subsidi domestik dan subsidi eskpor (Wibowo, 2009). Menurut Malian (2004) ada 3 kesepakatan penting di sektor pertanian yang dihasilkan da lam putaran Uruguay, yaitu: 1. Penurunan tarif di ne gara-negara berkembang sebesar 24 persen selama 10 tahun. Sementara itu, penurunan tarif di negara-negara maju rata-rata sebesar 36 persen dan minimum 15 persen untuk setiap jenis tarif selama 6 tahun. 2. Subs idi do mestik yang ada di negara- negara maju diturunka n sebesar 20 persen tanpa batas waktu, dan bagi negara berkembang subsidi domestik di turunkan sebesar 13.3 persen selama 10 tahun. Selanjutnya, subsidi domestik
38
dibawah 5 persen yang ada di negara- negara maju da n 10 pe rsen di ne garanegara berkembang dari total nilai produk pertanian diperbolehkan. 3. Subsidi ekspor di negara-negara maju yang mencakup 24 persen dari jumlah komoditi ekspor yang disubsidi harus diturunkan sebesar 36 persen. Sedangkan untuk negara-negara berkembang yang mencakup 16 persen dari jumlah komoditi ekspor yang disubsidi harus diturunkan sebesar 20 persen selama 10 tahun. Meskipun kesepakatan dalam sektor pertanian tersebut telah dicapai melalui Putran Uruguay, pada kenyataannya masih banyak
negara maju yang
memproteksi sektor pertaniannya secara berlebihan. Menurut Duncan et al, (1999) beberapa fakta empirirs menunjukkan bahwa proteksi terhadap komoditi pertanian di negara-negara maju cukup besar yaitu di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang berkisar antara 116-463 persen. Pada tahun 1998, ketiga negara tersebut memberikan subsidi ekspor kepada produk pertaniannya masing- masing sebesar US$101.5 Milyar (Amerika Serikat), US$ 142.2 milyar (Uni Eropa), dan US$ 56.8 milyar (Jepang). Selanjutnya OECD (1998) juga mencatat bahwa negaranegara anggota OECD harus menanggung rata-rata sekitar 35 persen dari nilai total produksi sektor pertaniannya untuk memproteksi pasar komoditi pertanian tersebut. Tingginya proteksi sektor pertanian di negara-negara maju sangat merugikan produsen di negara berkembang karena tertutupnya akses pasar untuk ekspor dan penurunan harga komoditi pertanian (Wibowo, 2009). Malian (2004) juga mencatat beberapa kelemahan dalam perjanjian sektor pertanian di WTO, yaitu : (1) akses pasar ke negara maju relatif sulit karena sejak awal mereka telah memiliki ”initial tariff rate” yang jauh lebih tinggi; (2) de ngan kekuatan kapital
39
yang dimiliki, ne gara-negara maju telah menyediakan subsidi ekspor dan subsidi domestik yang tinggi untuk menorong ekspor dari surplus produksi komoditi pertanian yang dimiliki; dan (3) dalam perjanjian WTO tidak terdapat fleksibilitas yang memadai bagi negara- negara be rke mbang untuk melakukan penyesuaian tarif yang sejalan dengan perkembangan permasalahan dan lingkungan setrategis perda gangan ko mod iti di negara-negara tersebut. Sejak dibentuknya WTO tahun 1995 dan dihasilkannnya Putaran Doha, di bulan Nopember 2001, WTO memulai babak perundingan baru yang disebut dengan Doha Development Agenda (DDA). Cakupan agenda yang dirundingkan lebih luas dan lebih sulit dalam mencapai keepka tan diantara gap yang terjadi antara negara maju dan negara berkembang. Agenda yang dirundingkan mencakup: perdagangan produk pertanian, produk non pertanian, investasi, jasa, isu lingkungan, dan hak atas kekayaan intelektual (HAKI), penyelesaian sengketa, dan peraturan WTO. Menurut Wibowo (2009), perundingan di sektor pertanian mencakup tiga isu penting yaitu: (1) perluasan akses pasar melalui penurunan tarif; (2) penurunan subsidi ekspor dan kredit ekspor sehingga tercipta persaingan ekspor yang kompetitif; dan (3) penghapusan/penurunan subsidi domestik kepada petani di negara-negara maju untuk menghilangkan distorsi pasar. Berdasarkan program kerja Doha atau juga sering disebut dengan ”Paket Juli” perundingan ketiga pilar sektor pertanian tersebut dilakukan atas dasar (Wibowo, 2009): 1. Subsidi domestik di negara-negara maju khusunya Eropa dan Amerika Serikat harus dipotong sebesar 20 persen dari total subsidi domestiknya pada tahun pertama implementasi perjanjian di sektor pertanian, dan membatasi subsidinya sebesar 5 persen dari total produksi pertanian untuk kategori blue box.
40
2. Semua subsidi ekspor akan dihapuska n da n dilakuka n secara pa ralel dengan penghapusan elemen subsidi program yaitu: kredit ekspor, garansi kredit ekspor atau program asuransi. 3. Untuk akses pasar, dilakukan penurunan tarif dengan menggunaka n formula bertingkat (tiered formula) terhadap tarif terikat (bound tariff). Dengan fomula tersebut, maka akan memangkas tarif untuk beberapa produk yang bound tariff nya masih tinggi seperti seperti komoditi beras dan gula di Indonesia. Paket Juli 2004 juga memberikan pengecualian perubahan pada beberapa jenis produk (Wibowo, 2009), yaitu: (1) produk khusus (special products) bagi negara berkembang dapat menentukan jumlah produk khusus berdasarkan kriteria: ketahanan pa ngan (food security); (2) ketahanan kehidupan masyarakat pedesaan (livelihood security) dan pembangunan masyarakat pedesaan (rural development). Namun demikian, produk yang masuk dalam kategori produk khusus (special product) oleh suatu ne gara (negara berke mba ng), ne gara tersebut tetap harus menyediakan dalam jumlah presentase tarif tertentu atas produk pertaniannya untuk membuka akses pasar impornya atau mengikuti ketentuan Tariff Rate Quotas (TRQs). Dengan demikian, Indonesia misalnya, tetap terkena ketentuan untuk membuka pasar impor atas produk seperti gula dan beras melalui penerapan sistem kuota tarif. Di lain pihak, negara–negara maju juga diberikan fleksibilitas untuk memasukan produk pertanian tertentu ke dalam kategori produk sensitif (sensitive product), sehingga mereka masih memiliki peluang untuk memproteksi komoditi pertaniannya dari ancaman masuknya komoditi pertanian yang sama dari negara berkembang.
41
Menur ut Achterbo sch et.al (2004), perundingan DDA diperkirakan hanya memberikan dampak relatif kecil terhadap GDP Indonesia, karena sektor pertanian di Indo nesia suda h cukup liberal, dimana tarif impor komoditi pertanian telah diturunkan menjadi 0 – 5 persen, kecuali komoditi beras dan gula pasir, dan subsidi input pertanian telah dicabut sejak tahun 1998. Oleh sebab itu, dengan mengacu pada kerangka teori perdagangan internasional, maka kebijakan proteksi terhadap beras dan gula hanya akan berakibat pada penurunan kesejahteraaan terutama bagi konsumen yang notabene sebagian besar adalah petani padi atau tebu itu sendiri. Kebijakan pembatasan impor yang akan menyebabkan kenaikan harga di pasar domestik harus dihindari, karena selain tidak efektif untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani juga akan menambah beban masyarakat miskin (Wibowo, 2009). Oleh sebab itu, pilihan terbaik bagi Indonesia adalah tetap melanjutkan upaya liberalisasi perdagangan, termasuk di sektor pertanian, dan mengikuti perundingan DAA untuk memperjuangkan agar segala bentuk subsidi pertanian di negara maju dapat dihapuskan (Erwidodo dan Ratnawati, 2004). Pada tahun 2006, ketua Committee on Agriculture-Special Session (CoASS) mengeluarkan draft text modalits perundingan Bidang Pertanian yang ditujukan untuk mencapai hasil yang seimbang. Selanjutnya pada bulan Juli 2008, pembahasan draft text ketua Revisi- ke-3 pada Putaran Tingkat menteri (PTM) di Geneva tidak mencapai kesepakatan mengenai full modalities di bidang isu utama mod alitas pe rundingan pe rtanian da n non pertanian. Salah satu isu yang ba nyak diperdebatkan dan ditentang negara maju khususnya Amerika Serikat adalah Special Safeguard Mechanism (SSM) di bidang pertanian.
42
Tabe l 12. P utaran Perundingan General Agreement on Tariff and Trade Tahun 1947
Tempat/ Nama Perunding an Geneva
Topik Nasional
1949
Annecy, Perancis
Tarif
13
1951
Torquay, Inggris
Tarif
38
1956
Geneva
Tarif
26
1960-1961
Geneva/Dillon Round
Tarif
26
1964-1967
Geneva/Kennedy
Tarif
Tarif dan anti du mping
Juml ah Negara Peserta 23
62
Round 1973-1979
Geneva/Tokyo Round
Tarif, non-tarif dan kerangka perjanjian
102
1986-1994
Geneva/Uruguay Round
Tarif, non-tarif, jasa, hak cipta intelektual, penyelesaian sengketa, tekstil, pertanian, pembentukan WTO, d ll.
123
1995-2000
Doha-Qatar/Doha Round
Menghasilkan Doha Develop ment Agenda (DDAWTO) yang mencakup isu : (Agirulture), non-pertanian (Non Agricuture Market Acces-NAMA), services, TRIPs, Rules, Trade and Environment, dan Trade Facilitation.
123
2001-sekarang
DDA-WTO Round
Isu yang dibahas mencakup: pertanian (Agirulture), nonpertanian (Non Agricuture Market Acces-NAMA), services, TRIPs, Rules, Trade and Environment, dan Trade Facilitation
153
Sumber: WTO, 2011
Sampai akhir tahun 2009 putaran DDA-WTO tidak mencapai kesepakatan yang disebabka n oleh ada nya pe rtentangan yang cukup be sar diantara negara maju dan negara berkembang terutama di bidang akses pasar bidang pertanian. Setelah mengalami kegagalan, maka negara anggota melakukan berbagai pertemuan dan konsultasi informal yang bertujuan untuk menguatkan kembali komitmen untuk menyelesaikan perundingan. Pada berbagai pertemuan yang dilakuka n diteka nka n pentingnya segera menyelesaikan Putaran Doha sebagai putaran yang dapat
43
menciptakan sistem perdagangan yang adil dan seimbang bagi sektor pertanian dengan meningkatkan peluang akses pasar produk pertanian, pengurangan subsidi domestik serta penghapusan subsidi ekspor (Kementerian Perdagangan, 2010).
2.2. Perubahan Iklim dan Perkiraa n Perubahan Suhu di Indonesia Sejak tahun 2001, berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan menunjukkan bahwa suhu global terus menghangat mendekati permukaan bumi (IPCC 2007a). Menurut laporan IPCC (2007) suhu rata-rata global setiap tahunnya sejak 2001 hingga 2005 adalah diantara 10 tahun terhangat sejak dimulainya pencatatan suhu global. Rata-rata suhu global merata terhadap permukaan tanah da n lautan dengan kenaikan sebesar 0.76°C ± 0.19°C antara 50 tahun pengamatan (1850-1899) dan periode lima tahun 2001-2005, dengan trend kenaikan suhu sebesar 0.74°C ± 0.18°C selama lebih dari 100 tahun (1906-2005). Selain itu, rata-rata kenaikan suhu selama lebih dari 50 tahun terakhir juga meningkat dua kali lipat terhadap 100 tahun terakhir yaitu dari rata-rata 0.07°C ± 0.02°C menjadi 0.13°C ± 0.03°C per satu dekade. Suhu rata-rata global sebenarnya tidak meningkat secara perlahan sejak tahun 1990 sebagaimana diharapkan jika hal tersebut hanya dipengaruhi oleh kekuatan dari meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca. Meningkatnya suhu di dekat permukaan juga terjadi dalam beberapa dekade selama pertengahan abad ke-21, yang diikuti oleh suatu periode (lebih dari tiga dekade) ketika suhu global menunjukkan tidak terjadi trend kenaikan yang signifikan. Namun sejak tahun 1970-an permukaan tanah bumi lebih hangat dibandingkan permukaan lautan baik di belahan bumi selatan maupun belahan bumi utara.
44
Sejak tahun 1880 sampai dengan tahun 2007 terjadi peningkatan rata-rata temperatur global (tren meningkat) dan tahun 1998 (Elnino terjadi) merupakan tahun terpanas selama periode pengamatan 1880-2007 (Marpaung Sartono, et al., 2008). Untuk wilayah Indonesia, dari data pengamatan sudah terdeteksi adanya peningkatan temperatur permukaan yang signifikan terutama daerah perkotaan seperti: Jakarta, Cilacap, Medan, dan Surabaya. Suhu Jakarta misalnya tercatat telah mengalami peningkatan sebesar 1.4°C pada bulan Juli (bulan kering) dan 1.04°C pada bulan Januari (bulan basah) selama 100 tahun pengamatan (Marpaung Sartono, et al., 2008). Untuk melihat proyeksi temperatur permukaan pada masa yang akan datang di Indonesia, Marpaung Sartono, et al. (2008) menggunakan data model iklim MICROC3.2 Hires (Model for Interdisciplinary Research on Climate Change High Resolution, Japan) skenario A1B dengan lokasi kajian 28 kota. Model iklim tersebut merupakan model iklim global dengan resolusi 1.1° x 1.1° dan merupakan salah satu mode l iklim dari 23 model iklim global yang digunakan IPCC dalam skenario perubahan iklim. Hasil analisis menunjukkan bahwa proyeksi temperatur permukaan untuk 28 lokasi kajian di indonesia dari tahun 2009 sampai dengan 2050 pada umumnya menunjukkan peningkatan temperatur untuk semua lokasi kajian. Hasil studi Marpaung Sartono, et al. (2008) tersebut lebih lanjut mengemukakan bahwa meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi berdampak pada naiknya permukaan air laut. Permukaan laut naik akibat es di kutub mencair dan mengembangnya volume air laut akibat pemanasan yang terjadi. Dampaknya
45
diperkirakan akan menaikkan muka laut sebe sar 1.1 meter pada tahun 2100 dan akan mengakibatkan tenggelamnya 115 pulau di Indonesia.
2.3
Perubahan Iklim Global dan Produktivitas Pertanian Deressa dan Hassan (2009) melakukan studi menggunakan model Ricardian
untuk menangkap adaptasi yang dilakukan petani terhadap keberagaman faktor lingkungan untuk menganalisa dampak perubahan iklim terhadap tanaman pertanian pangan di Ethiopia. Pendekatan Ricardian mengestimasi pentingnya iklim dan variabel lainnya terhadap kapitalisasi nilai lahan pertanian. Penerimaan neto per hektar diregress terhadap variabel iklim dan variabel bebas lainnya. Variabel iklim yang digunakan meliputi temperatur linier dan kuadratik serta curah hujan untuk empat musim: dingin, panas, semi, dan gugur. Selain itu, variabel bebas lainnya yang digunakan meliputi atribut rumah tangga dan tipe tanah. Variabel rumah tangga dalam model yaitu kepemilikan hewan ternak (livestock), tingkat pendidikan kepala rumah tangga, jarak terhadap pasar input, dan ukuran rumah tangga. Tipe tanah yang dimasukkan dalam model adalah nitosols da n lithosols. Hasil regresi mengindikasikan bahwa mayoritas variabel iklim, rumah tangga, dan tanah memiliki dampak signifikan terhadap penerimaan neto per hektar. Koefisien temperatur musim semi dan musim panas menunjukkan tanda negatif, sedangkan temperatur musim dingin dan gugur memiliki koefisien positif. Koefisien curah hujan musim dingin dan musim gugur bertanda negatif sedangkan curah hujan musim semi dan musim panas bertanda pos itif. Analisis juga dilakukan untuk melihat dampak perubahan temperatur dan curah hujan pada pertanian di Ethiopia. Hasil analisis Deressa dan Hassan (2009) menunjukkan bahwa peningkatan temperatur selama musim dingin dan musim
46
panas secara signifikan mengurangi penerimaan neto per hektar, masing- masing sebesar US$ 997.85 dan US$ 1 277.28. Peningkatan temperatur selama musim semi dan musim gugur akan meningkatkan penerimaan neto per hektar sebesar US$ 375.83 dan US$ 1 887.69. Peningkatan temperatur tahunan mengurangi penerimaan neto per hektar sebesar US$ 21.61 meskipun pada tingkat yang tidak signifikan. Peningkatan curah hujan tahunan secara marginal mengurangi penerimaan neto per hektar sebesar US$ 322.75. Prediksi menggunakan model iklim Special Report on Emition Scenario (SRES) juga dilakukan pada studi Deressa dan Hassan (2009) untuk melihat dampak perubahan iklim terhadap penerimaan neto per hektar petani Ethiopia pada tahun 2050 dan 2100. Hasil analisis mengindikasikan bahwa perubahan iklim mengurangi penerimaan neto per hektar pada tahun 2050 dan 2100 dengan pengurangan terbesar terjadi pada tahun 2100 untuk semua skenario. Sementara itu, Surmaini. et al. (2008) yang meneliti mengenai dampak perubahan iklim terhadap produksi padi di tiga daerah dengan ketinggian berbeda yaitu daerah dataran tinggi di Jawa Barat, daerah dataran sedang di Jawa Timur dan dataran rendah di Jawa Tengah menemukan bahwa di dataran rendah kenaikan suhu sampai 20 C dapat menurunkan produktivitas padi hampir 40 persen, sementara di dataran sedang dan tinggi sekitar 20 persen. Hasil penelitian tersebut juga menemukan bahwa penurunan produksi pada tahun 2050 tertinggi terjadi di Kabupa ten Bandung yaitu sekitar 65 000 ton pada musim hujan dan 50 000 ton pada musim kemarau dan terendah di Kabupaten Semarang yaitu sekitar 40 000 ton pada musim hujan dan 30 000 ton pada musim kemarau.
47
Banyak studi memperkirakan bahwa iklim bumi akan meningkat antara 1.5 sampai dengan 5.0°C untuk abad berikutnya (Manabe dan Wetherald, 1987; Wilson dan Mitchell, 1987; Hansen, et a., 1988; dan Schlesinger dan Zhao, 1989 da lam Roy Darwin et al., 1995). Dari hasil studi yang dilakuka n tersebut menyatakan bahwa hal yang terpenting dari pemanasan ini kemungkinan akan terjadi meskipun usaha globa l dilakukan untuk mengurangi emisi karbon yang menimbulkan efek gas rumah kaca. Oleh karena itu, lebih lanjut hasil studi tersebut menyatankan bahwa estimasi dampak ekonomi dan ekologi dari pemanasan global da n peruba han yang terka it de ngan po la-po la curah hujan diperlukan bagi pengambil keputusan untuk menentukan seberapa besar upa ya yang perlu dilakuka n untuk mengendalikan emisi dan bagaimana cara terbaik untuk mengadaptasi peruba han iklim yang tidak mungkin terhindarkan. Menurut Darwin et al. (1995), konsekue nsi pertanian dari peruba han iklim tersebut ada dua hal. Pertama, perubahan iklim kemungkinan akan mempengaruhi produktivitas tanaman pangan dan ternak. Kedua, adanya respon ekonomi kemungkinan aka n meruba h distribusi da n intensitas pertanian. Oleh kerana itu menurut Darwin et.al (1995), hal ini berarti bahwa untuk beberapa wilayah, (1) produktivitas jangka panjang dan daya saing pertanian kemungkinan berada dalam risiko, (2) komunitas pertanian dapat terganggu, dan (3) konflik antara dampak lingkungan pada pertanian terhadap lahan dan sumber daya air dapat terus berlanjut. Sementara itu, untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap produktivitas
pertanian,
Australian
Bureau
on
Agriculture
Resource
Economics/ABARE (2008) menyusun suatu model yang menghubungkan antara
48
emisi karbon, perubahan iklim dan dampaknya terhadap produktivitas di sektor prtanian. Secara skematis model tersebut disajikan pada gambar 7.
Emissions
Carbon cycle
ECONOMY
Productivity
Atmosphere Concentration
Clymate System
Damage Function
Temperature
Sumber: ABARE, 2008 Keterangan: = Menunjukkan sub model = Variabel yang berhubungan dengan model
Gambar 7. Struktur Dasar da ri Globa l Irrigated Area Map Projects
Model yang dibangun oleh ABARE sebagaimana digambarka n diatas mencakup suatu fasilitas yang memproyeksikan po la emisi gas rumah kaca yang bersamaan dengan aktivitas ekonomi. Pola emisi dari skenario ekonomi awal menjadi bahan penyusunan dua sub model iklim yaitu sub model Carbon-cycle yang memproyeksikan akumulasi gas rumah kaca di atmos fer da n sub model Climate-system yang memproyeksikan perkembangan iklim global berdasarkan konsentrasi atmosfer tersebut. Bagian terakhir adalah suatu sistem Damage Function menterjemahkan perubahan iklim yang diproyeksikan ke dalam perubahan variabel yang relevan
terhadap pembangunan ekonomi misalnya
produktivitas pertanian. Sebagaimana diilustrasikan pada gambar tersebut output dari Damage Function menjadi umpan balik terhadap sub model Economy dan proses tersebut berulang sampai kepuasan secara konvergen tercapai.
49
2.4
Produksi dan Perdaga nga n Komoditi Pertanian di Pasar Global Berdasarkan studi yang dilakukan oleh organisasi PBB untuk Pangan dan
Pertanian (FAO), kecenderungan perdagangan pangan internasional tahun 20152030 menunjukkan bhawa negara berkembang akan berubah dari pengekspor komoditi pangan menjadi negara pengimpor komoditi pangan. Akibatnya devisa negara-negara kurang berke mbang dan negara berkembang akan tersedot dalam jumlah besar hanya untuk impor pangan mencapai 4-5 persen dari produk domestik bruto (Gatra, 24- 30 Januari 2008). Masalah pangan global diperkirakan akan semakin rumit akibat adanya dua kepentingan yang saling berebut untuk mendapatkan pasokan pangan yaitu di satu sisi terjadinya penurunan produksi pangan akibat perubahan iklim global, sementara di sisi lainnya adalah adanya konversi bahan pangan ke energi karena dipicu oleh semakin tingginya harga bahan bakar fosil atau minya bumi. Kelangkaan pangan juga dipicu oleh meningkatnya permintaan akibat adanya kepanikan negara berpenduduk besar untuk membeli stok pangan dunia karena kekhawatiran stok pangan domestik tidak mencukupi permintaan dalam negeri (Sawit, 2008). Berdasarkan data FAO (2010), produksi gandum Amerika Serikat (AS), Australia, Kanada dan Rusia menurun dari 622 juta ton tahun 2005 menjadi 593 juta ton pada tahun 2007 yang me micu ke naikan harga dari US$ 4.52 per bushel pada 2006 menjadi US$ 9.93 per bushel tahun 2007. Fenomena persaingan kebutuhan pangan antara manusia, ternak dan energi akan terus berlanjut di masa yang akan datang (Kompas, 2008).
50
Sementara itu, Sawit (2008) mengemukakan bahwa kelangkaan pangan di Indonesia juga di perparah oleh faktor internal antara lain adanya konversi lahan pertanian yang terus meningkat dari 110 ribu ha tahun 2002 menjadi 145 ribu ha pada tahun 2006. Hal ini dipicu oleh menurunnya produktivitas sektor pertanian yang pada tahun 1997 sebesar Rp 1.7 juta sedangkan sektor industri mencapai Rp 9.5 juta (1 : 5,58) sedangkan kondisi pada tahun 2005 adalah sebesar Rp 6,1 juta untuk sektor pertanian dan Rp 41.1 juta untuk sektor industri (1:6.73). Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian menjadi semakin tidak menarik. Pada awal Juni 2008, di markas besar WTO ada sekitar 237 orang yang berasal dari 55 negara mewakili NGO terkemuka, seperti Action Aid, Oxfam; Sarikat Perdagangan (Trade Union); Organisasi Petani dan Organisasi Kemasyarakatan menyampaikan berbagai pernyataan dan keprihatinan (Sawit, 2008). Mereka menyuarakan kekhawatiranya karena perang dagang ini ternyata belum mengarah ke penyelesaian masalah krisis pangan global, tetapi masih saja terperangkap untuk terus memperdalam liberalisasi perdagangan (Sawit, 2008). Mereka juga prihatin atas harga pangan yang terus bergejolak, meningkatnya ketergantungan impor pangan negara berkembang, dan semakin menguatkan peran Multinational Corporations (MNCs) da lam pasar agribisnis pangan dan pertanian (TWN, 2008b). Berdasarkan data WTO (2005) di tingkat global, peran produk pertanian dibandingkan dengan total barang (merchandise) yang diperdagangkan adalah relatif kecil. Barang yang dominan adalah produk manufaktur dan bahan bakar minyak/hasil tambang. Pada 2004 misalnya, produk pertanian mengambil peran hampir 9 persen. Namun apabila dilihat dalam produk pertanian global itu sendiri,
51
pangan mengambil peran yang dominan yaitu sekitar 80 persen belum termasuk produk perikanan (WTO, 2005). Walaupun peran pangan atau produk pertanian adalah kecil, namun perannya besar buat negara berkembang. Itu tidak hanya menyangkut ekspor untuk memperoleh devisa yang sangat diperlukan untuk pembangunan, tetapi juga keterlibatan banyak petani peternak kecil serta miskin dan menggantungkan hidup dari sektor itu (Sawit, 2008). Sawit (2008), lebih lanjut mengemukakan bahwa sebagian besar penduduk di negara berkembang mengantungkan harapan pada subsektor itu agar dapat mendorong pembangunan desa, mengatasi kemiskinan dan kelaparan, serta sebagai filter terhadap urbanisasi. Penelitian di tingkat globa l dan dalam negeri menyimpulkan bahwa pertumbuhan sektor pertanian dan pangan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengurangan penduduk miskin dan untuk mengatasi kerawanan pangan (food insecurity) (Sawit, 2008). Data FAO (2010) juga menunjukkan bahwa konsentrasi produksi pangan dan perdagangan pangan berada di negara maju, buka n di negara berkembang. Hasil penelitian Sawit (2007a) memperlihatkan bahwa dalam dua dasa warsa terakhir, terungkap bahwa trend produksi pangan semakin mengerucut ke sejumlah kecil negara maju yaitu Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia, Selandia Baru dan Kanada. Hasil studi tersebut lebih lanjut menunjukka n bahwa Amerika Serikat menghasilkan pangan terutama jagung, minyak kedelai, gandum, daging unggas, beras, kedelai, buah dan sayur, daging sapi, susu bubuk skim, dan keju. Uni Eropa memproduksi buah dan sayur, jagung, gula, gandum, daging sapi, daging unggas, susu bubuk skim, mentega, dan keju. Selandia Baru menghasilkan daging sapi, susu bubuk skim, mentega dan keju. Australia manghasilkan jagung,
52
gula, gandum, daging sapi, susu bubuk skim, mentega dan keju. Kanada memproduksi mentega, daging sapi, buah dan sayur, minyak kedelai, gandum dan jagung. Sawit (2008) menemukan bahwa AS mensubsidi paling tinggi terhadap 4 dari 20 komoditi pangan/nonpangan penting yaitu: beras, jagung, kedelai, dan gandum. Subsidi itu cenderung meningkat dari periode sebelum ke periode setelah Perjanjian Pertanian disepakati akhir 2004, itu sesuai dengan UU Usahatani (Farm Bill) (Sawit, 2008). IATP (Institute for Agruculture ond Trade Policy) (2007) menyebutkan bahwa hal tersebut telah menyebabkan tingkat dumping kedelai meningkat dari rata-rata 2 persen/tahun pre-1996 Farm Bill menjadi 11.8 persen post-1996 Farm Bill. Hal yang sama untuk beras, dari 13.5 persen menjadi 19.2 persen; jagung dari 6.8 persen menjadi 19.2 persen. Hal ini berarti bahwa semakin rendah harga pangan tersebut di pasar dunia, berarti semakin tinggi tingkat subsidi yang diberikan ke petani mereka, atau sebaliknya kalau harga pangan tinggi. Sawit (2008) mengemukakan bahwa implikasi dari kebijakan negara produsen pangan di atas, atau perubahan kebijakan pangan negara maju, akan besar pengaruhnya terhadap negara berkembang, termasuk Indo nesia. Setidaktidaknya melalui 3 cara, yaitu: (1) pada saat subsidi besar- besaran itu dilakukan, harga pangan di pasar dunia menjadi rendah. Harga pangan rendah itu bukanlah gambaran efisiensi. Persaingan menjadi tidak fair. Itu telah berpengaruh negatif buat petani di negara berkembang, baik petani di negara impor netto, maupun petani di negara ekspor netto, sehingga sama-sama sulit bersaing secara fair; (2) pada saat kebijakan pangan mereka berubah, misalnya pengalihan ke subsidi biofuel seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir, maka itu akan berdampak negatif
53
buat ko nsumen di negara berkembang impor netto pangan, seperti Indonesia. Harga pangan menjadi mahal dan inflasi akan meningkat; dan (3) bila terjadi serangan hama dan penyakit, serta bencana alam, maka dampaknya adalah meluas, ke seluruh dunia dan global. Negara impor netto tentu akan kesulitan dalam akses pangan dan keterbatasan devisa. Sawit (2008) lebih lanjut mengemukakan bahwa konsentrasi perdagangan juga terlihat dari peran Multinational Corporations (MNCs), yang menguasai industri
hulu (seperti industri benih/pupuk/pestisida) dan hilir
(seperti
pengolahan/pengepakan/standarisasi). Oleh karena itu, mereka semakin perkasa dan bertambah kuat, sehingga dapat mengatur suplai dan harga produk pangan, sesuai dengan kepentingannya. Braun (2008a) dari hasil penelitian International Food Policy Research Institute (IFPRI) memperkiraka n 6.5 milyar konsumen global dilayani oleh berbagai pemasok (suplier), tersebar ke Afrika, Asia, Amerika, dan benua lainnya. Pasar swalayan telah dilayani oleh para pedagang dan industri pengolahan. Industri ini juga disuplai oleh sektor usahatani. Sedangkan sektor usahatani juga menerima input dari industri pupuk, industri kimia, industri benih, dan industri input lainnya (Braun, 2008a ). Dalam sistem itu, mereka telah menjadi konglomerat baru sebagian kongklomerat lama, yang kekuatan (power) dan pengaruh (leverage)-nya secara global, termasuk ke Indonesia semakin meningkat. Berdasarkan hasil studi tersebut, diketahui bahwa antara tahun 2004 dan 2006 dilaporkan bahwa: (1) 10 penjual pangan retail menguasai lebih dari 40 persen, (2) tingkat penjualan dari 10 pengolah pangan dan industri input tumbuh masing-masing sebesar 13 persen dan 10 persen.
54
Sawit (2008) mengemukakan bahwa di Indonesia konsumen akan berhadapan dengan pengecer pangan global yang telah merambah ke berbagai kota lain di Jawa dan Luar Jawa seperti Carrefour. Namun demikian, belum ada hasil penelitian secra menyeluruh mengenai dampak berkembangnya pengecer global tersebut terhadap keberadaan pasar traditional di Indonesia. Di Bangkok dalam sebuah koran disebutkan bahwa sepertiga jumlah retail lokal telah menutup usahanya dalam beberapa tahun terakhir, karena tidak mampu bersaing dengan retail raksasa seperti Wal- Mart (Sawit, 2008). Reardon dan Gulati (2008) dari IFPRI melaporkan ba hwa revolusi supermarket bermata dua. Satu sisi dapat mempermurah harga pangan buat konsumen dan menciptakan peluang buat petani dan pengolah pangan. Namun disisi lain, dapat pula mengancam pengecer kecil, petani, dan pengolah pangan yang tidak mampu menghadapi pesaing baru, sebagian diantaranya raksasa, mereka akan sulit memenuhi sejumlah persyaratan pasar swalayan. Berdasarkan Reardon dan Gulati (2008) dikemukakan bahwa supermarket di negara berkembang Afrika, Asia dan Amerika Latin berkembang dalam 4 gelombang, yang pertumbuhannya lebih pesat daripada pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) di negara berkembang itu sendiri.
2.5
Peranan Sektor Pertanian Terhadap Produk Domestik Bruto Nasional Indonesia Sektor pertanian memegang peran strategis dalam perekonomian nasional
dan daerah, bahkan dalam era reformasi dan otonomi daerah ini diharapkan untuk berperan di garis depan dalam mengatasi krisis ekonomi (Siregar, 2008). Sektor pertanian mempunyai peran strategis sehingga sektor ini patut menjadi sektor
55
andalan dan mesin penggerak pertumbuhan ekonomi, yang dapat digambarkan; (1) penyedia bahan pangan, (2) penyedia lapangan kerja, (3) penyedia bahan baku bagi industri, (4) sumber devisa, dan (4) penjaga kelestarian lingkungan (konservasi lahan, mencegah banjir, dll) (Siregar, 2008). Terkait dengan kontribusi pertanian pada ekonomi nasional, meskipun kontribusinya terhadap PDB cenderung menurun, tetapi pertanian tetap memberikan peran yang signifikan. Pada tahun 1961 pertanian di Indonesia masih menyumbang 51.8 persen PDB, namun berdasarkan atas dasar harga berlaku pada triwulan II-2008 sektor pertanian memberi kontribusi 14.7 persen, dan menempati peringkat kedua setelah sektor industri pengolahan (27.3 persen). Ditinjau dari jumlah tenaga kerja yang diserap, pada tahun 1995 sektor pertanian menyerap 44 persen dari seluruh angkatan kerja di Indonesia. Pada tahun 2006 yang bekerja di sektor pertanian meningkat menjadi 44.3 persen (BPS, 2008), namun pada tahun 2009 turun menjadi 41.2 persen (BPS, 2009). Pentingnya peran sektor pertanian menjadika n perhatian utama pe merintah ke depan pada revitalisasi pertanian dalam arti luas atau dikenal sebagai Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanaan (RPPK) (Siregar, 2008). Dalam perspektif pergerakan pertanian, revitalisasi tersebut dimaksudka n untuk membangkitkan kesadaran memposisikan kembali peranan penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual melalui penggalian kembali vitalitas; pemberdayaan kemampuan; dan peningkatan kinerja pertanian dengan tidak mengabaikan sinerginya dengan sektor lain (Siregar, 2008). Siregar (2008) lebih lanjut mengemukakan bahwa revitalisasi pertanian belum banyak mengubah orientasi kebijakan pertanian di daerah. Misalnya di
56
Jawa Timur, seperti yang dilaporkan Mazhida (2006), total anggaran untuk sektor pertanian secara umum masih relatif kecil, yaitu sekitar 0.54 persen dari total APBD. Secara nominal, rata-rata alokasi anggaran untuk Dinas Pertanian hanya Rp 2,05 miliar. Pemerintah daerah seharusnya sadar bahwa sebagian besar penduduknya berada di sektor pertanian dan di perdesaan dengan tingkat kesejahteraan rendah, sehingga menurut Siregar (2008) sangat ironis kalau proses pengembangan otonomi daerah tidak meningkatkan kemampuan sektor pertanian dengan dukungan alokasi anggaran yang memadai. Pada dasarnya sektor pertanian dapat dijadikan sebagai basis pembangunan perekonomian di daerah karena memiliki keterkaitan dengan sektor lain, baik yang berbentuk kaitan “ke depan” (forward linkages) maupun kaitan “ke belakang” (backward linkages) (Siregar 2008). Keterkaitan langsung ke depan dapat ditunjukkan dengan banyaknya output sektor pertanian yang dipakai oleh sektorsektor lain sebagai input, sementara keterkaitan langsung ke belakang ditunjukkan dengan banyaknya input yang berasal dari produksi berbagai sektor, yang dipakai oleh sektor pertanian dalam suatu proses produksi (Siregar 2008). Besarnya keterkaitan sektor pertanian dengan sektor lain di daerah sangat tergantung pada komponen-komponen faktor kunci, seperti sumberdaya manusia, penelitian dan pengembangan, pasar, akses kepada modal, infrastruktur dan bahan baku/sarana prasarana produksi, serta iklim usaha (Siregar, 2008). Dengan semakin kuatnya keterkaitan sektor pertanian dengan sektor lain, maka posisi sektor pertanian menjadi sangat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah (Siregar, 2008).
57
Menurut Siregar (2008), umumnya pengembangan sektor pertanian di daerah ditujuka n antara lain: untuk peningkatan kemampuan daerah dalam penyediaan pasokan atau cadangan pangan dan hasil- hasil pertanian lainnya; peningkatan daya beli dan akses masyarakat terhadap pangan serta peningkatan pendapatan
terutama dari kelompok
rumah
tangga
tani.
Keberhasilan
pembangunan tersebut diharapka n akan mempengaruhi jumlah permintaan akhir, yang kemudian akan membawa pada perubahan terhadap keseluruhan perekonomin daerah (Siregar, 2008).
2.6
Tinjauan Studi Te rdahulu Zhai et al. (2009) menganalisis mengenai dampak potensial perubahan iklim
global jangka panjang terhadap produksi sektor pertanian dan perdagangan RRC menggunakan model Computable General Equillibrium (CGE). Hasil penelitian dengan menggunakan sekenario baseline menunjukkan bahwa perubahan iklim akan mengakibatkan penurunan PDB sebesar 1.3 persen dan mengakibatkan welfare loss equivalent sebesar 1.1 persen pada tahun 2080 untuk RRC. Pada tataran global, dampak perubahan iklim diproyeksikan menurunka n PDB riil dunia sebesar 1.4 persen dan mengakibatkan penurunan welfare sebesar 1.3 persen. Pada tahun 2080, Zhai et al. (2009) memprediksikan bahwa produksi tanaman pangan global turun sebesar 7.4 persen dika renaka n negara- negara berkembang mengalami dampak perubahan iklim yang lebih parah dibandingkan dengan negara-negara maju. Seba gai ko nsekuensi dari meningka tnya biaya input, sektor hilir tanaman pangan seperti livestock dan makanan olahan juga mengalami penurunan produksi global, masing- masing sebesar 5.9 persen dan 4.6 p ersen.
58
Meskipun kerugian produktivitas tanaman pangan RRC akibat perubahan iklim cukup besar yaitu 7.2 persen, namun penurunan produksi tanaman pangan relatif kecil. Output tanaman pangan RRC kecuali gandum, mengalami penurunan antara 0.2 hingga 0.5 persen pada tahun 2080. Sementara itu, output gandum mengalami peningkatan sebesar 4.2 persen relatif terhadap baseline. Dikarenakan penuruna n produktivitas RRC akibat perubahan iklim masa datang yang lebih rendah daripada rata-rata dunia, maka harga tanaman pangan di tingkat produsen akan turun dibandingkan harga tanaman pangan dunia, sehingga menyebabkan peningkatan ekspor dan penurunan impor di sektor tanaman pangan RRC. Dalam hal ini, ekpor beras RRC diproyeksikan meningkat 46.8 persen, gandum meningkat 126.7 persen, biji-bijian lainnya meningkat 63.7 persen, dan tanaman pangan lainnya meningkat 110.4 persen. Sementara itu, impor beras RRC diproyeksikan mengalami penurunan 43.1 persen, gandum menurun 17.6 persen, biji-bijian lainnya menurun 14.9 persen, dan tanaman pangan lainnya menurun 30.1 persen. Secara umum disimpulkan bahwa, sektor makanan olahan RRC diprediksikan mengalami kerugian yang paling besar dari perubahan produktivitas sektor pertanian akibat perubahan iklim global, sedangkan beberapa sektor tanaman pangan (seperti gandum) di RRC mengalami perkembangan positif karena peningkatan permintaan dari wilayah lain di dunia. Darwin et al. (1995) melakukan evaluasi dampak perubahan iklim global terhadap pertanian dunia dengan suatu model yang menghubungkan antara kondisi iklim terhadap kondisi tanah, sumber daya air, produksi, perdagangan, dan konsumsi 13 komoditi di seluruh dunia. Skenario perubahan iklim yang digunakan didasarkan pada model meteorologi pada Goddard Institute for Space
59
Studies, Geophisical Fuid Dynamic Laboratory, United Kingdom Meteorological Office da n Oregon State University dengan rentang peruba han temperatur global rata-rata 2.8-5.2°C dan perubahan curah hujan sebesar 7.8-15.0 persen. Hasil penelitannya menyimpulkan beberapa temuan sebagai berikut: Pertama, perubahan temperatur dan pola curah hujan untuk 100 tahun ke depan tidak mengancam produksi makanan di dunia secara keseluruhan. Meskipun produksi dunia untuk tanaman bukan biji-bijian cenderung menurun (0.2-1.3 persen), namun produksi gandum cenderung meningkat (0.5-3.3 persen) demikian juga produksi livestock (0.7-0.9 persen). Produksi dunia untuk kelompok makanan olahan juga mengalami peningkatan sebesar 0.2-0.4 persen. Kedua, adaptasi petani merupakan mekanisme utama untuk menjaga agar produksi makanan dunia tetap meningkat di tengah prediksi perubahan iklim global.
Dengan pemilihan kombinasi
input
dan output
yang
paling
menguntungkan atas lahan pertanian yang tersedia, petani dapat memperoleh keuntungan sebesar 79 hingga 88 persen atas 19-30 persen pengurangan suplai sereal dunia secara langsung akibat perubahan iklim. Dengan menyesuaikan terhadap pasar domestik dan perdagangan internasional (lahan pertanian diasumsikan tetap) akan mengurangi 97 persen dampak negatif perubahan iklim. Petani juga dapat beradaptasi terhadap perubahan iklim dengan meningka tka n luas lahan pertanian (7.1-14.8 persen) yang akan meningkatkan produksi sereal dunia sebesar 0.2-1.2 persen. Ketiga, biaya dan manfaat atas perubahan iklim global tidak berdampak secara merata di seluruh dunia. Semakin hangatnya temperatur di daerah kutub dan pegunungan akan meningkatkan kualitas tanah yang sesuai untuk pertanian
60
dan kehutannan, sebaliknya semakin tinggi temperatur di daerah tropis akan mengurangi kelembaban tanah sehingga menurunkan produktivitas pertanian dan kehutanan. Selain itu, PDB di wilayah dengan garis lintang yang tinggi (misalkan Kanada) cenderung akan meningkat akibat perubahan iklim, sedangkan PDB di daerah tropis cenderung menurun. Keempat, perubahan iklim cenderung mempengaruhi seluruh struktur pertanian dan makanan olahan di Amerika Serikat. Tanah yang cocok digunakan untuk pertanian dan kehutanan cenderung meningkat, namun kelembaban tanah berkurang yang berpotensi mengurangi produksi pertanian di Corn Belt dan Southeast. Petani akan beradaptasi dengan meningkatkan produksi gandum dan mengurangi produksi biji-bijian lainnya, terutama jagung. Sebagai hasil dari berkurangnya bahan makanan, produksi livestock juga mengalami pe nurunan. Produksi komoditi makanan olahan secara umum mengalami penurunan. Kelima, PDB dunia dimungkinkan mengalami penurunan jika perubahan iklim cukup signifikan atau perluasan lahan pertanian tidak bisa dilakukan. Berdasarkan skenario perubahan iklim, dampak tahunan neto terhadap PDB dunia berkisar antara -0.1 hingga 0.1 persen. Output dunia untuk makanan olahan juga mengalami penurunan 0.002 hingga 0.58 persen. Hasil ini mengindikasikan bahwa temperatur dan pola hujan yang baru akibat perubahan iklim cenderung mengurangi rata-rata produktivitas pertanian dengan asumsi lahan pertanian dunia tidak berubah. Keenam,
perubahan
penggunaan
tanah
akibat
perubahan
iklim
menyebabkan pergeseran lahan pertanian dan padang rumput permanen, sehingga akan meningkatkan isu sosial dan lingkungan. Walaupun terdapat peningkatan
61
neto pada lahan pertanian di dunia secara keseluruhan, namun sebesar 4.2-10.5 persen lahan pertanian yang ada diuba h unt uk keperlua n lain di bawah skenario perubahan iklim. Selain itu, lahan hutan cenderung menur un di bawah perubahan iklim globa l (3.6-9.1 persen, neto). Hal ini dapat menyebabkan konflik konsekuensi lingkungan atas lahan pertanian di beberapa wilayah. Di wilayah tropis, kompetisi dari produksi tanaman pangan dapat memperburuk dampak langsung perubahan iklim terhadap hutan hujan tropis. Ketujuh, walaupun suplai air cenderung meningkat di dunia secara keseluruhan seiring dengan perubahan iklim, kekurangan dapat terjadi di beberapa wilayah. Berdasarkan simulasi, supplai air dunia meningkat 6.4-12.4 persen. Di Jepang, perubahan supplai air berkisar antara -9,4 hingga 10,2 persen, namun harga air di Jepang meningkat lebih dari 75 persen. Deressa dan Hassan (2009) melakukan studi menggunakan model Ricardian untuk menangkap adaptasi yang dilakukan petani terhadap keberagaman faktor lingkungan untuk menganalisa dampak perubahan iklim terhadap tanaman pertanian pangan di Ethiopia. Pendekatan Ricardian mengestimasi pentingnya iklim dan variabel lainnya terhadap kapitalisasi nilai lahan pertanian. Penerimaan neto per hektar diregress terhadap variabel iklim dan variabel bebas lainnya. Variabel iklim yang digunakan meliputi temperatur linier dan kuadratik serta curah hujan untuk empat musim: dingin, panas, semi, dan gugur. Selain itu, variabel bebas lainnya yang digunakan meliputi atribut rumah tangga dan tipe tanah. Variabel rumah tangga dalam model yaitu kepemilikan hewan ternak (livestock), tingkat pendidikan kepala rumah tangga, jarak terhadap pasar input, dan ukuran rumah tangga. Tipe tanah yang dimasukkan dalam model adalah
62
nitosols da n lithosols. Hasil regresi mengindikasikan bahwa mayoritas variabel iklim, rumah tangga, dan tanah memiliki dampak signifikan terhadap penerimaan neto per hektar. Koefisien temperatur musim semi dan musim panas menunjukkan tanda negatif, sedangkan temperatur musim dingin dan gugur memiliki koefisien positif. Koefisien curah hujan musim dingin dan musim gugur bertanda negatif sedangkan curah hujan musim semi dan musim panas bertanda pos itif. Seperti yang diharapkan pula, tingkat pendidikan kepala rumah tangga dan kepemilikan hewan ternak berpengaruh positif terhadap penerimaan neto per hektar. Jarak terhadap lokasi pasar input berdampak negatif dikarenakan petani mengeluarkan banyak biaya, dari segi uang maupun waktu. Ukuran rumah tangga juga berpengaruh negatif terhadap penerimaan neto per hektar dikarenakan banyaknya orang yang menjadi tanggungan dan tidak produktif di wilayah pedasaan di Ethiopia. Analisis juga dilakukan untuk melihat dampak perubahan temperatur dan curah hujan pada pertanian di Ethiopia. Hasil analisis Deressa dan Hassan (2009) menunjukkan bahwa peningkatan temperatur selama musim dingin dan musim panas secara signifikan mengurangi penerimaan neto per hektar, masing- masing sebesar US$ 997.85 dan US$ 1 277.28. Peningkatan temperatur selama musim semi dan musim gugur akan meningkatkan penerimaan neto per hektar sebesar US$ 375.83 dan US$ 1 887.69. Peningkatan temperatur tahunan mengurangi penerimaan neto per hektar sebesar US$ 21.61 meskipun pada tingkat yang tidak signifikan. Peningkatan curah hujan tahunan secara marginal mengurangi penerimaan neto per hektar sebesar US$ 322.75.
63
Prediksi menggunakan mode l iklim SRES juga dilakuka n pada studi Deressa dan Hassan (2009) untuk melihat dampak perubahan iklim terhadap penerimaan neto per hektar petani Ethiopia pada tahun 2050 dan 2100. Hasil analisis mengindikasikan bahwa perubahan iklim mengurangi penerimaan neto per hektar pada tahun 2050 dan 2100 dengan pengurangan terbesar terjadi pada tahun 2100 untuk semua skenario. Surmaini. et al. (2008) yang meneliti mengenai dampak perubahan iklim terhadap produksi padi di tiga daerah dengan ketinggian berbeda yaitu daerah dataran tinggi di Jawa Barat, daerah dataran sedang di Jawa Timur dan dataran rendah di Jawa Tengah menemukan bahwa di dataran rendah kenaikan suhu sampa i 20 C dapat menurunkan produktivitas padi hampir 40 persen, sementara di dataran sedang dan tinggi sekitar 20 persen.
Hasil penelitian tersebut juga
menemukan bahwa penurunan produksi pada tahun 2050 tertinggi terjadi di Kabupaten Bandung yaitu sekitar 65 000 ton pada musim hujan dan 50 000 ton pada musim kemarau dan terendah di Kabupaten Semarang yaitu sekitar 40 000 ton pada musim hujan dan 30 000 ton pada musim kemarau. 2.7. Kebaruan (Novelty) Penelitian ini didasari oleh adanya 2 isu yang sampai saat ini menjadi pembahasan skala global yaitu “Isu Perubahan Iklim” da n “Isu Liberalisasi Perdagangan”. Berdasarka n be rba gai studi yang telah dilakuka n (Zhai et.al, 2009; Darwin, et.al , 1995; Deressa dan Hasan, 2009; Surmaini et.al, 2008 ), perubahan iklim berdampak terhadap penurunan produktivitas pertanian. Sementara itu, terkait liberalisasi perda gangan terdapa t dua kubu yang berbeda yaitu pro da n ko ntra. Kubu yang pro ((Bergsten,1997; Baldwin,1997;
64
Ethier,1998; dan Lawrence,1999) berpendapat bahwa RTAs merupakan langkah maju menuju perdagangan bebas multilateral dan akan memperkuat eksistensi WTO serta sistem perdagangan internasional. Seda ngka n kubu yang ko ntra (Bhagwati,1995; Krueger,1995; dan Panagariya,1999) berpendapat sebaliknya. Secara khusus, dari berbagai studi yang dilakukan (Sawit, 2003; Khor, 2000; dan Elwood, 2002) menunjukkan bahwa liberalisasi sektor pertanian lebih banyak dinikmati oleh negara maju dibandingkan Negara berkembang. Kebaruan pe nelitian ini adalah: (1) pe ruba han iklim berdampak negatif dan lebih dominan mempengaruhi pereko nomian (PDB) semua negara yang diteliti dibandingkan dampak liberalisasi perdagangan; (2) Negara maju relatif memiliki ketahanan eko nomi terhadap pe rubahan iklim dan liberalisasi perda ga ngan.
III. KERANGKA TEORITIS
3.1. Teori Perubahan Iklim Cuaca dan iklim mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kehidupan di bumi. Keduanya merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari- hari dan esensial bagi kesehatan, produksi pangan dan kehidupan. Banyak pertimbangan mengenai prospek dari perubahan iklim yang diakibatkan ulah manusia sebagai suatu hal yang menjadi perhatian. IPCC (1996) menyajikan bukti-bukti ilmiah bahwa aktivitas manusia mungkin sudah dan sedang mempengaruhi iklim. Jika kita ingin memahami, mendeteksi, dan pada akhirnya memprediksi pengaruh manusia terhadap iklim, satu hal yang perlu adalah memahami sistem yang menentuka n iklim bumi da n proses yang menyebabka n terjadinya perubahan Dalam konteks umum, cuaca dan iklim adalah memiliki definisi yang sangat dekat. Cuaca sebagaimana kita alami sampai saat ini adalah fluktuasi atmos fer di sekitar kita, yang dikarakteristikkan oleh suhu, angin, penyerapan, awan dan unsur cuaca lainnya. Cuaca tersebut adalah hasil dari perkembangan dan dekomposisi sistem cuaca seperti sistem tekanan rendah dan tinggi dari suatu mid-latitude yang bersamaan dengan zona frontal, pemancaran dan cyclone tropis. Cuaca juga memiliki tingkat predictability yang terbatas. Sistem konvektive skala-meso hanya dapat memprediksi periode jam, cyclone skala synoptic mungkin dapat diprediksi dalam periode hari sampai minggu (IPCC, 2001). Sementara iklim berkaitan dengan rata-rata cuaca dalam konteks rata-rata dan variabilitasnya pada sepanjang waktu tertentu dan suatu area tertentu. Klimatologi klasik menyajikan suatu klasifikasi dan deskripsi berbagai regim
66
iklim yang ditemukan di bumi. Iklim bervariasi dari tempat ketempat tergantung ketinggian, jarak ke permukaan laut, vegetasi, keberadaan atau ketidakadaan pegunungan atau faktor- faktor geografik lainnya. Iklim juga bervariasi dalam hal waktu, dari musim ke musim, tahun ke tahun, dekade ke dekade atau skala waktu yang lebih panjang seperti abad es (IPCC, 2001). Variasi yang signifikan secara statistik dari pengertian iklim atau variabilitasnya untuk periode yang lebih panjang atau dekade adalah yang dimaksudkan sebagai perubahan iklim. IPCC (2001) menyatakan bahwa climate change refers to a statistically significant variation in either the mean state of the climate or in its variability, persisting for an extended period (typically decades or longer). Selain itu diperjelas juga bahwa climate change may be due to natural internal processes or external forcings , or to persistent anthropogenic changes in the composition of the atmosphere or in land use. Kementerian Lingkungan Hidup (2001) mendefinisikan perubahan iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia. Peruba han fisik ini tidak terjadi hanya sesaat tetapi dalam kurun waktu yang pa njang. Sedangkan LAPAN (2002) mendefinisikan perubahan iklim adalah perubahan rata-rata salah satu atau lebih elemen cuaca pada suatu daerah tertentu. Sedangkan istilah perubahan iklim skala global adalah perubahan iklim dengan acuan wilayah Bumi secara keseluruhan. Definisi yang umumnya diterima juga berdasarkan pasal 1 Konvensi PBB mengenai Peruba han Iklim yang menyataka n :“Climate change means a change of climate which is attributed directly or inderictly to human activities that alters
67
the composition of the global atmosphere and which is in addition to natural climate variability observed over comparable time periods. Atau diterjemahkan: “Perubahan iklim ialah beruba hnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan komposisi atmosfer secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.” Kamus mende finiskkan pentingnya dan notasi dari variabilitas iklim dan perubahan iklim. Variasi dan perubahan iklim yang disebabkan oleh kekuatan eksternal, mungkin sebagian dapat diprediksi terutama yang lebih besar, benua dan global, dan skala spatial. Karena aktivitas manusia seperti emisi gas rumah kaca atau perubahan penggunaan lahan, menghasilkan dampak faktor eksternal, hal ini dipercaya bahwa aspek perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia dalam skala besar merupakan bagian yang dapat diprediksikan. Namun demikian, ke mampuan unt uk mengaktualisasika n cukup terbatas karena tidak dapat memprediksi secara akurat perubahan populasi, perubahan ekonomi, perkembangan teknologi dan karakteristik yang relevan lainnya dari aktivitas manusia di masa depan. Oleh karena itu, dalam praktek, kita harus berhati- hati dalam menyusun skenario aktivitas manusia da n menentuka n proyeks i iklim yang berbasis skenario aktivitas manusia tersebut. Pengetahuan secara tradisional tentang cuaca dan iklim difokuskan pada variabel- variabe l yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari secara langsung seperti rata-rata, suhu maksimum dan minimum, angin didekat permukaan bumi, penyerapan air dalam berbagai bentuk, kelembaban, bentuk dan jumlah awan, dan radiasi matahari. Namun demikian, variabel tersebut hanya ba gian dari realitas
68
yang menentukan cuaca dan iklim. Pertumbuhan, pergerakan, dan dekomposisi sistem cuaca juga tergantung pada struktur vertikal dari atmos fer, pengaruh penggunaan lahan, dan laut serta
banyak faktor lainnya yang secara tidak
langsung dialami oleh manusia. Iklim ditentukan oleh sirkulasi atmosfer dan interaksinya dengan samudera dalam skala luas dan lahan dengan berbagai gambarannya seperti vegetasi da n kesuburan tanah (IPCC, 2001). Untuk memahami iklim dan variasinya serta memahami dan kemungkinan memprediksi perubahannya yang diakibatkan oleh aktivitas manusia, kita tidak dapat mengesampingkan berbagai faktor dan komponen yang menentukan iklim. Kita harus memahami sistem iklim, yaitu suatu sistem yang sangat kompleks yang terdiri dari atmos fer, samudera, es dan penutup salju, permukaan tanah dan unsurunsurnya, banyaknya interaksi yang bersifat mutual diantara komponen tersebut, dan variasi yang besar secara fisika, kimia, dan biologi terhadap sistem iklim secara keseluruhan termasuk suatu deskripsi secara statistik dari variasinya (IPCC, 2001). Sistem iklim sebagaimana didefinisikan sebelumnya, adalah sistem yang interaktif terdiri dari lima komponen utama yaitu atmosphere, hydrosphere, cryosphere, permukaan tanah dan biosphere, yang didorong atau dipengaruhi oleh berbagai variasi mekanisme kekuatan eksternal dimana yang paling penting ada lah matahari seperti yang terdapat pada Gambar 8. Dampak secara langsung dari aktivitas manusia terhadap sistem iklim juga dipertimbangkan sebagai kekuatan eksternal. Atmosphere adalah bagian yang paling tidak stabil dan berubah sangat cepat dalam sistem iklim. Atmosphere terutama terdiri dari Nitrogen (N 2 ) yang mencapai sekitar 78.1 persen volume mixing ratio, Oxygen
69
(O 2 , 20.9 persen) da n Argon (Ar, 0.93 persen). Carbon dioxide (CO 2 ), methane (CH4 ), selain itu, juga terdapat nitrous oxide (N 2 O) dan ozone (O 3 ), yang mengabsorsi dan menahan radiasi sinar inframerah (IPCC, 2001).
Sumber: Intergovernmental Panel on Climate Change, 2001.
Gambar 8. Skema Tinjauan Komponen Sistem Iklim Globa l Keterangan: Bold : prosesnya Thin arrows: interaksinya Bold arrows: beberapa aspek yang kemungkinan merubahnya
Hydrosphere adalah komponen yang seluruhnya mengandung permukaan berbe ntuk cairan dan dasarnya mengandung air termasuk sungai, danau dan air dari salinasi samudera maupun lautan. Lautan mencakup hampir 70% dari permukaan bumi. Lautan menyimpan dan meminda hkan sejumlah energi yang besar dan menghancurkannya serta menyimpan carbon dioxide dalam jumlah besar. Cryosphere mencakup kumpulan es di Greenland da n Antartica, glatsier di
70
berbagai benua dan ladang salju, serta es di lautan. Karena kumpulan es menyimpan air dalam jumlah besar, variasi dari volumenya merupakan sumber yang potensial terjadinya variasi tingkat permukaan laut (IPCC, 2001). Menurut Rusbiantoro .D (2008), jika ditinjau dari kejadiannya, perubahan iklim merupaka n kejadian yang diakiba tka n oleh : 1. Meningkatnya temperatur rata-rata pada lapisan atmosfer, 2. Meningkatnya temperatur pada air laut, dan 3. Meningkatnya temperatur pada daratan. Lebih lanjut dikemukakan pula bahwa gejala terjadinya perubahan iklim dapat diamati dan dirasakan dengan adanya : 1. Pergant ian mus im yang tidak bisa diprediksi, 2. Hujan badai sering terjadi di mana- mana, 3. Sering terjadi angin puting beliung, 4. Banjir dan kekeringan terjadi pada waktu yang bersamaan, 5. Penyakit mewabah di banyak tempat, dan 6. Terumbu karang memutih. Banyak ahli berpendapat bahwa penyebab utama peruba han iklim adalah aktivitas manus ia walau ada penyebab lain yang bersifat alami. Penyebab pemanasan bumi yang diakibatkan oleh aktivitas manusia ini antara lain : 1
Pembakaran bahan bakar batu bara, misalnya untuk pembangkit listrik,
2
Pembakaran minyak bumi, misalnya untuk kendaraan bermotor,
3
Pembakaran gas alam, misalnya untuk keperluan memasak. Akibat dari proses pembakaran itu, karbon dioksida dan gas- gas lainnya
terlepas ke atmos fer. Gas-gas tersebut disebut dengan gas rumah kaca. Jika gas
71
rumah kaca yang memenuhi atmosfer semakin banyak, maka akan semakin kuat juga menjadi insulator yang menyekat panas dari sinar matahari yang dipancarkan ke permukaan bumi. Diperkirakan proses menghangat dan mendinginnya bumi ini telah saling berganti- ganti dan kurang lebih terjadi selama 4 milyar tahun (Rusbiantoro. D, 2008).
3.2. Teori Produksi Pada model CGE umumnya fungsi produksi yang digunakan adalah fungsi produksi Leontief dan fungsi produksi yang elastisitasnya adalah Constant Elasticity of Substituttion (CES) (Wibowo, 2009). Penggunaan kedua fungsi produksi tersebut bertujuan untuk menyederhanakan dan mengurangi jumlah parameter substitusi yang harus digunakan di dalam persamaan (Hakim, 2004). Berdasarkan Nicholson (2005), fungsi produksi Leontief mengasumsikan bahwa setiap penambahan output akan diikuti dengan peningkatan permintaan input produksi dalam proporsi tetap (fixed proportion). Hal ini berarti bahwa tidak ada substitusi diantara masing- masing input produksi (faktor primer dan input antara). Untuk menjelaskan konsep dasar fungsi produksi Leontief, dijelaskan melalui gambar 9. Mengacu pada konsep teori yang dikemukakan Nicholson (2005), amaka untuk menghasilka n sebuah output misalnya sebanyak q1, diperlukan v unit kapital (K) dan u unit tenaga kerja (L), sehingga untuk output sebesar Y unit akan diperlukan K= vY dan L= uY. Pada kondisi tersebut diasumsikan bahwa L/K = u/v ada lah merupaka n satu-satunya teknologi produksi yang tersedia. Dengan demikian, untuk menghasilkan sebuah output diperlukan kapital dan tenaga kerja dalam proporsi yang tetap. Perlu diingat bahwa penamba han salah satu input
72
produksi tanpa menambah input lainnya secara proporsional tidak akan dapat menghasilkan tambahan output. L
q=2
L’
L*
q=1
u/v K’
K*
K
Sumber: Nicholson, 2005.
Gambar 9. Fungsi Produksi Leontief
Sebagaimana dijelakan pada Nicholson (2005), secara matematis, fungsi produksi Leontief dapat dinyatakan dalam be ntuk persamaan seba gai berikut : Y = min (K/v, L/u). Mengacu pada gambar 9, dapat dijelaskan bahwa jika K berada pada titik K* dan L di titik L’, maka K*/v < L’/u, sehingga Y = K*/v. Pada kondisi tersebut berarti bahwa jumlah tenaga kerja yang paling efisien adalah pada titik-titik dimana K*/v = L/u atau L = (u/v)K*, yaitu pada titik L*. Dengan demikian akan selalu berlaku persamaan Y/L = (l/v)K/L di sepanjang garis “fungsi produksi sama” (isoquant). Sementara itu, fungsi produksi lainnya yang sering digunakan pada model CGE yaitu fungsi produksi CES, yaitu fungs i yang memungkinkan adanya susbtitusi diantara faktor- faktor primer (Wibowo, 2009). Sepe rti dijelaskan pada Nicholson (2005), secara umum fungsi CES dinyatakan dengan persamaan
[
−ρ −ρ sebagai beriut: Y = τ αK + (1 − α ) L
]
−r / ρ
, dimana r adalah tingkat homogenitas
73 dari fungsi produksi; τ > 0 adalah parameter yang menunjukka n ukuran dari fungsi produksi; α adalah parameter shares masing- masing faktor produksi yang besarnya : 0 ≤
α ≤ 1; sedangkan ρ adalah parameter substitusi. Dengan fungsi
produksi CES tersebut, tingkat permintaan faktor primer akan dipengaruhi oleh harga relatif, nilai elastisitas substitusi, share masing- masing faktor dalam biaya produksi, dan tingkat output yang dihasilkan. Dengan kata lain, elastisitas substitusi memungkinkan bagi sebuah industri atau sektor untuk merespon terhadap perubahan harga relatif dan atau ketersediaan faktor primer (Nicholson, 2005). Mankiw (2006) mengemukakan bahwa harga yang diba yarka n untuk setiap faktor produksi-tenaga kerja, tanah, atau modal sama dengan nilai produk marginal dari faktor produksi tersebut. Produk marginal dari setiap faktor produksi akan bergantung pada jumlah faktor tersebut yang tersedia. Karena perilaku penurunan produk marginal, suatu faktor produksi yang ditawarkan dengan berlimpah memiliki produk marginal dan harga yang rendah, dan sebuah faktor produksi yang jarang d itawarkan memiliki produk marginal dan harga yang tinggi. Akibatnya, ketika penawaran faktor-faktor produksi turun, keseimbangan harga faktor produksi meningkat. Berdasarkan Mankiw (2006), djelaskan bahwa ketika penawaran setiap faktor produksi berubah, dampaknya tidak hanya dibatasi pada pasar faktor produksi tersebut. Pada berbagai situasi umum, faktor-faktor produksi digunakan bersama-sama dalam cara tertentu sehingga membuat produktivitas masingmasing faktor bergantung pada jumlah faktor produksi lainnya yang tersedia untuk digunakan dalam proses produksi. Sebagai hasilnya, perubahan dalam
74
penawaran setiap faktor produksi akan mempengaruhi pendapatan dari semua faktor produksi lainnya.
3.3. Teori Produktivitas 3.3.1. Average Physical Productivity Teori produktivitas yang dijelaskan pada bagian berikut berdasarkan teori yang dikemukakan dalam literatur teori mikro ekonomi N.G Mankiw (2006). Dalam penggunaan terminologi secara umum produktivitas tenaga kerja (labour productivity) seringkali diartikan sebagai produktivitas rata-rata atau average productivity. Walaupun konsep produktivitas rata-rata tidak begitu dianggap penting dalam teori ekonomi seperti halnya produktivitas marjinal, konsep produktivitas rata-rata justru mendapat perhatian besar dalam diskusi secara empiris. Hal ini disebabkan produktivitas rata-rata sangat mudah diukur, sehingga seringkali dianggap sebagai ukuran efisiensi. Produktivitas rata-rata dari suatu input misalnya lahan didefinisikan secara matematis sebagai berikut: APl =
output q f (k , l ) …………….......………………………(3.1) = = land input l l
dimana, AP l juga tergantung pada tingkat input modal yang digunakan. 3.3.2. Marginal Productivity Marginal Productivity atau produktivitas marjinal didefinisikan sebagai perubahan output akiba t peruba han salah satu input dari input produktif (Nicholson, 2005). Untuk menjelaskan mengenai produktivitas marjinal tersebut, maka digunakan suatu bentuk fungsi produksi yang menggunakan dua jenis input
75
yaitu modal (k) dan tenaga kerja (l), dalam bentuk fungsi produksi sebagai be rikut :
q = f (k , l )
…………………………………………………………(3.2)
Fungsi produksi tersebut menunjukkan jumlah output yang dapat diproduksi dengan menggunakan alternatif kombinasi dari input capital (k) dan tenaga kerja (l). Penyederhanaan fungs i prod uksi hanya menggunakan dua jenis input yaitu modal dan tenaga kerja dimaks udk an untuk memuda hka n analisis karena pada kenyataannya produksi suatu barang ditentukan oleh lebih dari dua jenis input.
3.3.2.1. Marginal Physical Product Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai variasi dari penggunaan input didefinisikan Marginal Physical Product dari suatu inp ut yaitu tamba han output yang dapat diproduksi dengan menggunakan tambahan satu unit input produksi sementara penggunaan jenis input lainnya bersifat konstan. Mengacu pada mankiw (2005), maka secara matematis dirumuskan:
Marginal Physical Product dari Modal =
MPk =
Marginal Physical Product dari tenaga kerja =
∂q = fk ∂k …….....…(3.3)
MPl =
∂q = f l ……..(3.4) ∂l
Definisi secara matematis dari marginal product menggunakan partial derivatives, yang menggambarkan bahwa penggunaan semua input lainnya adalah konstan sementara input yang digunakan ( dalam hal ini moda l dan tenaga kerja ) adalah bervariasi.
76
3.3.2.2. Diminishing Marginal Productivity Namun de mikian, lebih lanjut Mankiw (2005) menjelaskan bahwa marginal physical product dari suatu input tergantung pada seberapa besar jumlah input yang digunakan. Input tenaga kerja misalnya, tidak dapat ditambah sampai tak terhingga (indefinitely) terhadap suatu tingkat produksi tertentu (sementara jumlah peralatan, pupuk, dan input lainnya tetap) tanpa menggganggu tingkat produktivitas itu sendiri. Oleh karena itu, penamba han satu jenis input pada akhirnya juga akan berdampak pada penurunan marginal productivity atau lebih dikenal sebagai diminishing marginal productivity. Secara matematis, asumsi dari diminishing marginal productivity adalah asumsi mengena i second-order partial derivatives dari fungsi produksi yaitu dirumuskan: ∂MPk ∂ 2 f = 2 = f kk = f11 < 0 ∂k ∂k …………………………………...………(3.5) ∂MP1 ∂ 2 f = 2 = f ll = f 22 < 0 ∂l ∂l …………………………………...…………(3.6) Asumsi diminishing marginal productivity pertama kali dikemukakan oleh Ekonom Thomas Malthus yang mengkhawatirkan bahwa peningkatan populasi yang cepat akan menghasilkan produktivitas tenaga kerja yang lebih renda h. Namun para ahli matematik melihat bahwa terkait dengan fungsi produksi menyarankan bahwa kekhawatiran tersebut salah tempat. Menurut Mankiw (2005), perubahan produktivitas marjinal tenaga kerja sepanjang waktu tergantung tidak hanya bagaimana tingkat pertumbuhan tenaga kerja tersebut tetapi juga pada perubahan input lainnya seperti modal. Hal ini berarti bahwa dalam konteks marginal productivity harus diperhitungkan juga rasio antara tambahan
77
penggunaan tenaga kerja dengan modal atau secara matematis dirumuskan ∂MPl / ∂k = f lk . Dalam banyak kasus f lk > 0, sehingga penurunan produktivitas tenaga kerja ketika kedua input yaitu tenaga kerja dan modal meningkat tidak merupakan kesimpulan yang selalu benar. Berdasarkan fakta yang ada menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja meningkat cukup signifikan sejak Malthus mengemukakan teorinya karena meningkatnya input modal dapat mengkompensasi penurunan produktivitas marjinal itu sendiri (Mankiw, 2005).
3.4. Model Estimasi Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Pertanian Cline (2007) menjelaskan bahwa dampak perubahan iklim dapat diestimasi pada tiga isu utama yaitu pertama, fertilisasi karbon (carbon fertilization), kedua irigasi da n ke tiga dampak terhadap perdagangan produk pertanian. Isu ke tiga tersebut diatas merupaka n isu yang kr usial yaitu apaka h dalam menjelaskan da mpak perubahan iklim terhadap pertanian dengan atau tanpa menggunakan efek operasional melalui perdagangan internasional. Cline (2007) lebih lanjut menjelaskan ba hwa ada dua metode yang dapat digunakan untuk mengestimasi dampak potensial pemanasan global (perubahan iklim) terhadap sektor pertanian pada tahun 2080-an. Kedua model disusun oleh Mendelson-Schlesinger yang diperuntukkan untuk estimasi perubahan iklim di negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Model yang digunakan untuk mengestimasi dampak perubahan iklim terhadap produksi sektor pertanian di negara-negara maju adalah model statistik dalam bentuk reduced form dan cross section model. Model reduced form adalah model yang diturunkan dari ringkasan estimasi secara statistik yang didasarkan pada hasil dari suatu model pertumbuhan
78
produksi pertanian dan model linear programing pertanian Amerika Serikat (Mendelson dan Neuman 1999). Model tersebut menyatakan bahwa dampak perubahan suhu, presipitasi, dan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer mengikuti model persamaan sebagai berikut :
[
y = 2.16 x − 308 + 53.7T − 2.3T 2 + 0.22 P + 36.5 ln(c / 350)
]
..............(3.7)
dimana: y = output sektor pertanian tahunan tahun 1990 (dalam US$ per hektar lahan pertanian) T = Rata-rata suhu tahunan dalam satuan derajat celsius (0 C) P = Presipitasi rata-rata tahunan dalam milimeter c = Konsentrasi karbon dioksida di atmos fer (parts per million atau ppm) Berdasarkan model pada persamaan 3.7. tersebut perlu dicatat bahwa pada periode dasar, konsentrasi karbon dioksida adalah 350 ppm, sehingga besaran angka dalam model persamaan menjadi 36.5 dika li de ngan logaritma natural dari angka 1 (satu) yaitu nol, sehingga nilai fertilisasi karbon dikeluarkan dari model persamaan ketika menjelaskan dampak perubahan iklim terhadap produksi pertanian pada saat ini (1990). Gambar 10 menunjukkan kurva yang menghubungkan output nol dan output sebesar $ 200 per hektar berdasarkan persamaan 3.7. Kedua kurva menunjukkan bahwa suhu optimal pada 11.7 0 C. Pada suhu tersebut, output yang dihasilkan sebesar $ 200 per hektar pada presipitasi sekitar 2.5 mm. Model
kedua
yang
juga
dikemukakan
oleh
Mendelson
dan
Schlesinger(1999) adalah model cross-section atau disebut Ricardian Agricultural
79
Impact Function. Fungsi Ricardion cross-section sebagaimana diidentifikasi pada Mendelson dan Schlesinger (1999) dirumuskan:
[
v = r x g x − 475.5 + 223.2T − 7.87T 2 + 0.063P − 0.000026 P 2 + 480 ln(c / 350)
]
...................................................................................................................(3.8) dimana: r = tingkat bunga yang bernilai 0.03 g = faktor tingkat pertumbuhan output pertanian yang bernilai 1.02 T = rata-rata suhu tahunan dalam satuan derajat celsius (0 C) P = presipitasi rata-rata tahunan dalam milimeter c = konsentrasi karbon dioksida di atmos fer (parts per million atau ppm) Precipitation (mm per day)
16 14 12 10 q=200
8 6 4
q=0
2 0 -5
-2
1
4
7
10
13
16
19
22
25
28
31
Temperature (0C) Sumber: Clien, 2007.
Gambar 10. Kurva Isoproduksi Fungsi Reduced Form Mendelsohn-Schlesinger
Selanjutnya Mendelson, Dinar dan Sanghi (2001) menyusun model estimasi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas pertanian untuk India, kemudian
80
Kurukasuriya et al. (2006) menyusun model estimasi untuk Afrika, dan serangkaian studi yang disponsori oleh World Bank menyusun model estimasi untuk negara- negara Amerika Latin. Ketiga model estimasi tersebut, stuktur modelnya adalah sebagai berikut : z = ∑i [α iTi + β iTi + γPi + δ i Pi 2
2
]+ K
.....................................................(3.9)
dimana: z =
ukuran produktivitas pertanian (net revenue per hektar untuk Afrika, logaritma natural dari net revenue per hektar untuk India, dan nilai lahan per hektar untuk Amerika Latin)
T =
suhu rata-rata tahunan dalam satuan derajat celsius (0 C)
P =
presipitasi rata-rata bulanan dalam milimeter
i =
musim
K=
variabel komposit yang menggambarkan regresi konstan maupun pengaruh dari variabel kontrol lainnya dalam estimasi mode l tertentu.
Sementara itu menurut Garna ut, R (1998) dimensi lain dari penggunaan model keseimbangan umum adalah dapat digunakan dalam analisis dampak perubahan iklim terhadap pertanian yaitu pada harga produk pertanian di pasar global. Oleh karena itu, jika menggunakan model keseimbangan umum, seperti GTAP, peruba han harga ada lah merupaka n variabe l endogenous. Berbagai model estimasi dampak perubahan iklim de ngan menggunakan mod el persamaan ekonometrik sebagaimana dijelaskan diatas, selanjutnya menjadi referensi penulis dalam menyusun model estimasi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas pertanian pada komoditas pangan yaitu padi, gandum dan jagung di berbagai negara. Dalam penyusunan model estimasi tersebut digunakan model regresi be rganda (multiple regression model) yaitu mode l untuk
81
mengestimasi variabel dependent
(dalam penelitian ini
adalah tingkat
produktivitas padi, gandum dan jagung) dengan menggunakan lebih dari satu independent (explanatory) variabel (dalam penelitian ini mencakup tiga variabel indepe nde nt yaitu suhu rata-rata, konsentrasi karbon dan tingkat presipitasi di setiap negara yang diteliti) (Sitepu, R.K dan B.M, Sinaga, 2006). Sedangkan data yang digunakan untuk menyusun model persamaan regresi berganda tersebut adalah berupa data pa nel yaitu sebuah set data yang berisi data sampel individu (dalam penelitian ini individu negara), pada sebuah periode waktu tertentu yaitu selama periode 1991-2000, sehingga akan didapatkan berbagai observasi pada setiap individu di dalam sampel. Dengan kata lain, data panel merupakan gabungan antara data lintas-waktu (time series) dan data lintasindividu (cross section). Baltagi (2005) dalam bukunya menjelaskan beberapa keuntungan dari penggunaan data panel. Data panel berka itan de ngan individual, perusahaan, negara, dan sebagainya dalam periode tertentu, maka tidak ada batasan terhadap heterogenitas dari unit ini. Dengan mengkombinasikan data time series da n cross section, data panel memberikan data yang lebih informatif, lebih bervariasi, sedikit kolinieritas antar variabel, lebih banyak derajat kebebasan (degree of freedom) dan lebih efisien. Dengan mempelajari penelitian cross section yang repetitif, data panel merupakan pendekatan yang lebih baik untuk mempelajari dinamika peruba han. Data panel bisa mendeteksi lebih baik dan mengukur efek yang tidak bisa diobservasi dengan data cross section atau data time series saja. Data panel membuat kita mempelajari model behavioral yang lebih kompleks. Data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregasi individu atau
82
perusahaan karena unit data lebih banyak. Walaupun demikian, menurut Baltagi, data panel bukan merupakan metode yang sempurna dan tetap mempunyai beberapa kelemahan. Diantaranya adalah masalah desain dan pengoleksian data, terjadinya distorsi dan kesalahan pengukuran, masalah selectivity, dimens i seri waktu yang lebih pe ndek d an depe nde nsi cross section. Pada penelitian ini untuk menangkap perilaku individu negara yang mencerminkan perbedaan tingkat produktivitas padi, gandum dan jagung di setiap negara yang diteliti, maka model persamaan regresi berganda yang digunakan adalah menggunakan variabel dummy intersep. Pada model ini, intersep berbeda dari individu ke individu, sementara parameter slope diasumsikan ko nstan pada unit individu dan unit waktu. Jadi penggunaan variabel dummy hanya berperan dalam penggolongan unit individu (Baltagi, 2005). Secara umum model regresi berganda dengan variabel dummy intercept dapat dirumuskan sebagai berikut :
…………….................. (3.10)
dimana: Y
:
variabel dependen
β0
:
koefisien intersep
β i, …, βk :
koefisien parameter regresi
ℇ
faktor pengganggu stokastik (error term)
:
i = 1, 2, … :
DI
pengamatan ke-i
:
koefisien dummy untuk negara
:
variabel dummy negara
83
Untuk mengestimasi parameter-parameter dalam persamaaan regresi berganda yang digunakan dalam penelitian ini digunakan metode kuadrat terkecil/OLS (ordinary least squeares). Dengan asusmsi-asumsi tertentu, maka model OLS memiliki beberapa sifat statistik yang sangat menarik dan powerfull dan popular dalam mengestimasi suatu model persamaan regresi (Sitepu, R.K dan B.M, Sinaga, 2006). Selanjutnya parameter-parameter hasil estimasi baik intersep, dummy intersep, dan koefisien dari masing- masing variabel independent pada setiap model persamaan yang dihasilkan dilakukan evaluasi. Evaluasi hasil estimasi model persamaan umumnya dibagi ke dalam tiga bagian yaitu, kriteria ekonomi, kr iteria statistik da n kriteria ekonometrika (Sitepu, R.K dan B.M, Sinaga, 2006). Lebih lanjut Sitepu, R.K dan B.M, Sinaga ( 2006), menjelaskan bahwa kriteria pertama yaitu Economic ‘A Priori’ Criteria, dalam hal ini ditentukan oleh pr insip-pr ins ip yang sesuai dengan kr ieteria eko nomi yang mengacu pada arah dan besaran (sign da n magnitude) dari nilai koefisien variabel independent yang dihasilkan dalam mode l estimasi. Sementara kriteria kedua adalah statistical criteria, ditentukan oleh teori statistik dan membantu evaluasi mode l secara statistika yang dapat dipercaya dari koe fisien estimasi mode l. Kriteria statistik yang paling sering digunakan adalah correlation coefficient dan standard deviation atau standard error. Sedangkan kriteria ketiga yaitu econometric criteria, ditentukan oleh ilmu ekonometrika yang membantu mengevaluasi apakah asumsi dari metode ekonometrika terpenuhi atau tidak. Kriteria ekonometrik membantu kita untuk menetapkan apakah estimasi yang diinginkan memiliki properties unbiasedness, consistency dan lain- lain. Pada kriteria ekonometrik juga
84
dilakukan pengujian terhadap asumsi dari metode pendugaan OLS, antara lain asumsi multicollinearity, autocorrelation da n heteroscedasticity.
3.5. Teori Perdagangan Internas ional Konsep perdagangan bebas untuk pertama kali diperkenalkan oleh Adam Smith pada awal abad ke-19 dengan teori keunggulan absolut (absolute comparative). Ricardo (1817), kemudian menyempur naka n Teori Adam Smith dengan model keunggulan komparatif (The Theory of Comparative Advantage). Teori ini menekankan pada perbedaan harga relatif antara dua input produksi sebagai penentu terjadinya perdagangan. Selanjutnya Heckscher-Ohlin (H-O) dengan The Theory of Factor Proportions (1949 – 1977) mengembangkan Teori klasik Ricardo tersebut yang intinya menyatakan bahwa walaupun tingkat teknologi yang dimiliki sama, perdagangan internasional akan tetap terjadi bila ada perbedaan kepemilikan faktor produksi (factor endowment) diantara masingmasing negara. Teori H-O menyatakan bahwa satu negara dengan kepemilikan kapital berlebih akan berspesialisasi dan mengekspor komoditi padat kapital (capital-intensive goods), dan sebaliknya negara dengan kepemilikan tenaga kerja berlebih akan memproduksi dan mengekspor komoditi padat tenaga kerja (laborintensive goods). Selanjutnya konsep perdagangan internasional terus berkembang, namun masih tetap menggunakan konsep keunggulan komparatif yang dikembangkan sebelumnya. Krugman dan Obstfeld (2000) menjelaskan bahwa perdagangan antar negara terjadi karena adanya dua alasan, yaitu: (1) karena negara-negara tersebut berbeda satu sama lain, dan (2) negara-negara melakuka n perda gangan dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi. Konsep teori Krugman dan Obsfeld (2000)
85
menyatakan bahwa akan lebih efisien jika dilakukan perdagangan dengan negara lain dibandingkan jika negara itu memproduksi semua produk. Sesuai de nga n tujuan pe nelitian, maka pendekatan tentang perdagangan internasional untuk bisa memahami manfaat yang dapat diperoleh dari adanya perdagangan dilakukan dengan menggunakan keseimbangan umum. Secara sederhana teori keseimbangan umum dapat dijelaskan dengan menggunakan model “ekonomi dua pasar” (Salvatore, 2000). Dengan model ini dimisalkan, ketika pemerintah negara 1 menerapkan tarif terhadap produk yang selama ini diimpor yaitu X, akibatnya harga produk X akan meningkat relatif terhadap harga di pasar internasional. Sesuai dengan hukum penwaran, maka peningkatan harga X akan merangsang produsen domestik di negara 1 untuk meningkatkan produksinya, dan sebaliknya produksi Y akan menurun karena produsen doimestik akan merugi. Sesuai hukum permintaan dan penawaran tenaga kerja, maka dengan m,eningkatnya produksi X, maka akan diikuti oleh relokasi faktor produksi seperti tenaga kerja dari industri yang menghasilkan produk Y ke industri yang memproduksi X. Namun, dalam mode l partial equilibrium, proses terjadinya relokasi faktor input produksi tersebut tidak akan terdeteksi. Contoh lain adalah ketika impor negara 1 menurun karena pe nge naan tarif, maka negara lain yang menerima dampak penurunan impor negara 1 tersebut akan mengalami penurunan penerimaan sehingga kemampuan ekspornya juga akan turun. Hal ini akan mengakibatkan impor negara 1 tersebut juga turun. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa kebijakan tarif impor berdampak terhadap berbagai variabel ekonomi lainnya di negara lain. Namun, karena yang digunakan
86
adalah model partial, maka dampak terhadap negara lain tersebut tidak akan terlihat. Oleh karena itu, agar dampak suatu kebijakan yang diterapkan di suatu negara dapat ditangkap pengaruhnya terhadap negara lainnya, maka analisis yang tepat adalah analisis ekonomi keseimbangan umum. Untuk menjelaskan analisis menggunakan model ekonomi keseimbangan umum yang dicapai melalui perdagangan akan dijelaskan melalaui grafik berikut dengan mengacu pada teori Ekonomi Internasional yang dikemukakan Salvatore (2000).
Berbeda dengan analisis partial, dalam analisis model keseimbangan
umum sudah merangkum aspek dari pelaku yaitu produsen dalam bentuk produksi, dan konsumen melalui konsumsi serta perdagangan, semua dirangkum dalam satu diagram yang utuh pada kondisi keseimbangan. Sisi produksi dari masing- masing negara 1 dan 2 digambarkan dalam satu titik yaitu E*, dimana kurva yang menunjukkan adanya perdagangan atau tawar menawar antara kedua Negara tersebut saling berpotongan. Sebagaimana pemahaman terhadap penggunaan konsep suatu teor i yaitu untuk menyederhanakan suatu fenomena, maka untuk memuda hka n analisis ini juga disederhanakan dengan menggunakan beberapa asumsi yaitu : 1) diasumsikan hanya terdapat dua Negara di dunia yaitu Negara 1 dan Negara 2 secara individu atau merupakan gabungan dari berbagai Negara; 2) diasumsikan juga bahwa hanya terdapat dua jenis produk yaitu X dan Y; 3) struktur pasar diasumsikan pada kondisi pasar persaingan sempurna: 4) Asumsi terakhir adalah perekonomian kedua negara berada dalam kondisi penggunaan tenaga kerja penuh atau full employment.
87
Y 120
Negara 1
100
PB=PB’=1
E 1
80
III
2 E*
60 40 20
X
X
0 60
40
20
20 20
40
60
80
100
120
140
Negara 2
40
60
E’
80 III’
Y Su mber: Salvat ore, 2000.
Gambar 11. Proses Terjadinya Perdagangan Antara Dua Negara Setelah berlangsungnya perdagangan antara Negara 1 dan Negara 2, maka kondisi produksi dan konsumsi terhadap barang X dan Y di masing- masing Negara dapat dijelaskan sebagai berikut. Untuk Negara 1 akan memproduksi barang X dan Y masing- masing sebanyak 130 dan 20 yang ditunjukan pada titik E yang juga identik dengan titik E* . Dengan memproduksi sejumlah barang X dan Y tersebut, maka Negara 1 akan mengkonsumsi barang X dan Y masing- masing sebanyak 70 dan 80 yang juga ditunjukkan pada titik E, tetapi ditarik dari garis sumbu O, sedangkan sisanya yaitu masing- masing sebanyak 60 unit X dan 60 unit Y aka n diperdagangkan dengan Negara 2, yang berarti Negara 1 akan mengekspor barang X dan mengimpor barang Y.
88
Sementara itu, dengan cara yang sama, maka untuk Negara 2 akan memproduksi barang X dan Y masing- masing sebanyak
40 dan 120 yang
ditunjukkan pada titik E’ yang juga identik dengan titik E* . Sedangkan konsumsinya masing- masing sebanyak 100 X dan 60Y yang juga ditunjukkan pada titik E’, tetapi ditarik terhadap garis sumbu O, sehingga sisanya yaitu masing- masing sebanyak 60 X akan diimpor dari Negara 1 dan sebanyak 60 Y akan diekspor ke Negara 1. Jumlah barang X dan Y tersebut adalah yang ke mudian diperda gangka n oleh kedua Negara. Perdagangan
internasional antara
kedua
Negara
akan
mencapai
keseimbangan apabila kedua Negara memperdagangkan masing- masing sebanyak 60X dan 60Y yang didasarkan pada harga relative kedua barang tersebut yaitu ditunjukkan pada Pb=1 yang merupakan perpotongan kurva penawaran kedua Negara tersebut sebagaimana ditunjukkan pada titik E* . Harga relative kedua barang yaitu X da n Y terjadi dalam kondisi keseimbangan pada tingkat harga Pb =1, sehingga harga tersebut yang selanjutnya berlaku dalam transaksi perdagangan di pasar domestik bagi masing- masing Negara.
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa transaksi perdagangan akan didasarkan pada harga relative yang sama bagi produsen, konsumen, dan pedagang di kedua Negara tersebut. Sebagaimana digambarkan pada grafik, titik E milik Negara 1 yang terletak pada kurva indeferen III akan mencerminkan jumlah tingkat konsumsi Negara tersebut diukur dari pusat sumbu atau titik 0, sementara untuk titik E yang sama akan mengukur jumlah produksi barang X dan Y Negara 1 tetapi ditarik dari titik E’.
89
Dengan mengacu pada penjelasan tersebut diatas, maka secara teori perdagangan bebas akan memberikan manfaat yang maksimal bagi kedua belah pihak (Negara 1 dan 2). Namun demikian, pada kenyataanya masih terjadi distorsi pasar sebagai akibat adanya campur tangan atau intervensi pemerintah, sehingga berakibat pada tidak tidak maksimalnya manfaat yang diperoleh oleh pelaku pasar yaitu produsen, konsumen bahkan pemerintah itu sendiri.
Sampai saat ini
berbagai bentuk interventi pemerintah yang sering dilakukan baik di Negara maju maupun di Negara berkembang antara lain pengenaan tariff bea masuk, subsidi terhadap produk ekspor, larangan atau pembatasan ekspor maupun impor dan berbagai bentuk intervensi lainnya yang semuanya berdampak pada munculnya distorsi pasar. Berikut ini akan dijelaskan menge nai pemberlakuan intervensi yang mendistorsi pasar tersebut, yaitu dalam bentuk pemberlakuan tarif bea masuk. Menurut Dunn dan Mutti (2000) tarif adalah pajak atau bea yang dikenakan terhadap suatu produk yang masuk atau ke luar da ri suatu negara. Tarif yang dikenakan terhadap produk yang diimpor disebut tarif impor, sedangkan tarif yang dikenakan terhadap produk ekspor disebut dengan tarif ekspor. Secara teoritis, pajak yang berasal dari tarif memberikan pemasukan bagi pemerintah.
Oleh karena itu, sampai saat ini masih banyak negara terutama
negara-negara berkembang yang mengandalkan tarif sebagai salah satu sumber penerimaan negara. Menurut Dunn dan Mutti (2000), dampak pemberlakuan tarif bisa berbeda antar negara. Pada negara-negara kecil yang tidak mampu mempe ngaruhi harga duni a, pe nerapa n tarif hanya akan meruba h harga di negara tersebut, sementara
90
harga dunia tidak mengalami perubahan. Sebaliknya, pada kasus negara besar, penerapan tarif akan mampu mempengaruhi harga dunia. Berikut ini akan dijelaskan mengenai dampak pemberlakuan tarif impor pada kasus negara kecil dan kasus negara besar. Konsep teori yang digunakan dalam menjelaskan dampak pemberlakuan tarif impor tersebut mengacu pada Dunn dan Mutti (2000).
1. Dampak Pe rubahan Iklim dan Tarif Impor pada Kasus Negara Kecil Menurut Dunn dan Mutti (2000), negara kecil didefinisikan sebagai negara yang tidak mampu mempengaruhi harga dunia, sehingga TOT dunia tidak mengalami perubahan sekalipun negara kecil tersebut melakukan perubahan kebijakan perdagangannya. Mengacu pada teori yang dikemukakan Dunn dan Mutti (200),
maka di dalam keseimbangan perdagangan bebas,
yang
mengasumsikan hanya ada dua komoditi misalkan makanan dan pakaian, negara A akan memaksimumkan kesejahteraannya dengan berproduksi pada titik dimana rasio dari marginal cost (MC) domestiknya sama dengan rasio nilai tukar dunia. Negara tersebut akan melakukan perdagangan untuk mencapai kemungkinan kurva indiferen yang paling tinggi. Keseimbangan perdagangan bebas seperti itu ditunjukkan oleh Gambar 12, dengan rasio harga dunia ditunjukkan oleh slope TT, produksi berada pada titik P 1 , dan konsumsi pada titik C 1 . TT bersinggungan dengan kurva indiferen i2, negara A mengekspor pakaian dan mengimpor maka nan. Sebagaimana dijelaskan Dunn dan Mutti (2000), maka jika negara A menetapkan tarif pada impor makanannya, dampak pertamanya adalah meningkatnya harga domestik makanan, yang menyebabkan divergensi antara rasio nilai tukar domestik dan rasio nilai tukar dunia. Akibatnya rasio nilai tukar
91
domestik menjadi sama dengan slope DD, lebih landai dari TT, yang menunjukkan suatu harga relatif yang lebih tinggi untuk makanan. Tarif tersebut merubah rasio harga domestik dan rasio harga eksternal. Berdasarkan konsep teori yang dijelaskan Dunn dan Mutti (2000), maka secara geometrik hal ini terlihat sebagai sudut antara dua garis harga, dimana harga maka nan yang lebih tinggi menyebabkan perusahaan mengembangkan produksi makanan dan mengurangi produksi pakaian. Titik produksi berpindah ke P 2 , dimana garis harga do mestik (DD) merupaka n tangen terhadap kurva kemungkinan produksi. Lebih lanjut Dunn dan Mutti (2000) menjelaskan bahwa dengan asumsi bahwa rasio harga dunia tetap tidak berubah, perdagangan internasional terjadi sepanjang garis P 2 C2 (pararel terhadap TT). Keseimbangan baru pada konsumsi dicapai ketika dua kondisi terpenuhi: Pertama, garis harga domestik, EE, yang slopenya sama dengan rasio harga domestik, merupakan tangen terhadap suatu kurva indiferen i1 , Kedua, garis harga dunia, P 2 C2 , memotong kurva indiferen komuniti pada titik tangennya dengan garis harga domestik, EE. Kedua kondisi ini terpenuhi pada titik C 2 pada Gambar 12. Menurut Dunn dan Mutti (2000), secara teknis, kondisi pertama menjamin bahwa MRS pada konsumsi menyamai rasio harga domestik yang dihadapi konsumen; kondisi kedua memenuhi persyaratan bahwa rasio harga do mestik berbeda dari rasio harga dunia. Pada keseimbangan baru, negara A terus mengekspor pakaian dan mengimpor makanan tetapi dalam jumlah yang lebih kecil dari sebelumnya. Tarif telah mendorong produksi makanan dan mengurangi ketergantungan negara A terhadap makanan impor.
92
Tarif juga telah mengurangi output domestik berupa ekspor pakaian dan mengurangi kesejahteraan sebagaimana diindikasikan oleh pergerakan kurva indifferent yang lebih rendah, dari i2 ke i1. Jadi, baik dengan menggunakan pendekatan keseimbangan umum maupun keseimbangan parsial, kebijakan tarif pada kasus negara kecil berdampak pada berkurangnya kesejahteraan nasional (Dunn dan Mutti, 2000). Selanjutnya, jika dampak perubahan iklim diasumsikan mempengaruhi produktivitas makanan maupun bahan baku pakaian, maka akan menyebabkan produksi makanan maupun pakaian turun ditunjukkan melalui pergeseran kurva FG ke F 1 G1 . Mekanisme dampak pengenaan tarif dan adanya dampak perubahan iklim terhadap keseimbangan produksi, konsumsi, ekspor, dan impor sama seperti kondisi sebelum adanya dampak perubahan iklim. T
C1 T
Makanan
E C 3T 1
C2
i2
D
i1 C4
F F 1
i 21 Dampak perub. iklim
P2 i 11 E P21
P1 D P 11
0 Pakaian
D1 G1
G
T
Sumber: Dunn dan Mutti, 2000 (dimod ifikasi).
Gambar 12. Dampak Peruba han Iklim da n Tarif Pada Model Keseimba ngan Umum untuk Kasus Negara Kecil
93
2. Dampak Pe rubahan Iklim dan Tarif Impor Pada Kasus Negara Besar Dunn dan Mutti (2000) mengemukakan juga teorinya untuk kasus negara besar yang diasumsika n seba gai negara yang mampu mempengaruhi harga dunia. Artinya, bila negara tersebut mengenakan tarif terhadap suatu komoditi impornya, maka kebijakan tersebut akan berdampak pada perubahan rasio harga dunia sehingga TOT akan berubah. Untuk menjelaskan dampak kebijakan tarif pada kasus negara besar, digunakan contoh yang sama dengan yang diterapkan pada kasus negara kecil sebagaimana dikemukakan Dunn dan Mutti (2000). Diasumsikan ba hwa negara A mengenakan pajak pada makanan impor, dampaknya adalah harga maka nan dunia turun secara relatif terhadap harga pakaian. Karena negara A adalah negara besar, maka untuk suatu tingka t tarif ad valorem tertentu, harga domestik makanan tidak akan meningkat seperti terjadi pada kasus negara kecil, sehingga pergeseran dalam produksi menjadi lebih kecil. Kondisi ini dijelaskan pada Gambar 13 dimana kondisinya adalah sama dengan kasus yang baru dijelaskan pada negara kecil kecuali bahwa tarif sekarang menyebabkan rasio harga dunia berubah dari kemiringan garis TT ke kemiringan garis P2C2, sementara produksi terjadi pada P2. Sebagaimana dijelaskan Dunn dan Mutti (2000), garis tersebut memiliki proporsi yang sama dengan sebelumnya, karena diukur berdasarkan size of the wedge. Perdagangan internasional sekarang terjadi pada rasio harga (sepanjang garis P 2 C 2 ). Kemudian, keseimbangan baru untuk tingkat konsumsi dicapai pada titik C 2 , yaitu saat kedua garis yaitu tarif- garis yang mendistorsi harga do mestik yang merupaka n tangen da ri suatu kur va indiferen, bersinggungan de ngan harga dunia pada titik singgung tersebut.
94
T
Rasio harga duni a setelah tarif C1
T1
C2 i2
Makanan
C3
i1
C4 i2 1
i 11 F F2
Dampak perub. iklim
P2 P4
Rasio harga domestik setelah tarif
P1 P3
0
Pakaian
T1 G2
T
Rasio harga dunia sebelum tarif
G
Sumber: Dunn dan Mutti, 2000 (dimod ifikasi).
Gambar 13.
Dampak Tarif Pada Model Keseimba ngan Umum untuk Kasus Negara Besar
Dengan mengacu pada konsep teori yang dikemukakan Dunn dan Mutti (2000), yang ditunjukkan oleh Gambar
13, negara A mencapa i suatu kurva
indiferen yang lebih tinggi disebabkan oleh tarif da n kondisi ini tidak dapat dihindari. Sebagaimana dijelaskan Dunn dan Mutti (2000), kondisi tersebut responnya tergantung pada besarnya perubahan dari rasio harga dunia. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa negara A mendapatkan keuntungan dari tarif ketika keuntungannya dari perbaikan TOT melebih kerugiannya dari penggunaan sumberdaya domestik yang kurang efisien. Besarnya perbaikan dari TOT akibat pengenaan tarif tersebut tergantung kepada elastisitas permintaan dan penawaran domestik da n luar negeri. Menurut Dunn dan Mutti (2000), keuntungan lainnya adalah adanya kerugian yang akan diterima ROW (negara lainnya). Seandainya negara lain
95
melakukannya secara bersama-sama, maka mereka dapat membalas dengan mengenakan tarif mereka sendiri, sehingga menyebabkan TOT bergeser kembali kebelakang. TOT dapat bergeser ke rasio perdagangan bebas (bukan hasil yang diperlukan), tetapi dampaknya adalah perdagangan dan kesejahteraan dunia berkurang. Sementara, persetujuan perdagangan secara bersama, justru akan membalikkan
pengurangan
tarif
secara
timbal
balik,
sehingga
akan
menguntungkan kedua negara. Selanjutnya, jika dampak perubahan iklim diasumsikan mempengaruhi produktivitas makanan maupun bahan baku pakaian, maka akan menyebabkan produksi makanan maupun pakaian turun ditunjukkan melalui pergeseran kurva FG ke F 2 G2 . Mekanisme dampak pengenaan tarif dan adanya dampak perubahan iklim terhadap keseimbangan produksi, konsumsi, ekspor, dan impor sama seperti kondisi sebelum adanya dampak perubahan iklim.
3.6. Teori Keseimbanga n Umum Pada abad ke-19, Leon Walras adalah orang yang pertama kali mengembangkan teori keseimbangan umum. Teori keseimbangan umum yang dikembangkan Walras adalah model keseimbangan pasar kompetitif pada sebuah sistem ekonomi pertukaran (exchange economy), dimana tidak terdapat kegiatan produksi. Dengan demikian, berdasarkan teori keseimbangan yang dikemukakan Walras, maka semua agen ekonomi adalah para konsumen sehingga aggregat supply adalah sama dengan agregrat endowment yang dimiliki konsumen. Lebih lanjut dalam teori Walras dikemukakan bahwa dalam pendekatan keseimbangan umum, perubahan dalam suatu pasar aka n mengakibatkan perubahan pula di pasar lainnya, karena pendekatan ini memperlakukan pasar sebagai suatu sistem.
96
Konsep dasar ekonomi keseimbangan umum didasarkan pada efisiensi pareto atau pareto optimum pada setiap agen ekonomi (produsen, konsumen, investor, dan pemerintah) (Nicholson, 1994). Konsep teori efisiensi pareto pada bagian ini didasarkan pada Nicholson (1994) yang mengacu pada kondisi sederhana dan terfokus pada kasus, 2 (dua) faktor produksi dan 2 (dua) komoditi.
3.6.1. Keseimbangan Produksi Kerangka teori keseimbangan produksi yang digunakan dalam bagian ini didasarkan pada Nicholson (1994). Berdasarkan teori produksi dinyatakan bahwa produsen berada dalam keseimbangan apabila MRTS
lk
= w1/w2 dimana w1
adalah harga faktor L (tenaga kerja) dan w2 adalah harga faktor K (modal). Untuk kasus dua pe rusahaan yang masing- masing menghasilkan komoditi yang berbeda, yaitu dimisalkan x1 dan x2, maka keseimbangan simultan yang terjadi dijelaskan melalui kotak Edgeworth. Keseimbangan simultan antar dua produk x1 dan x2 aka n tercapai pada saat isokuan x1 bersinggungan dengan isokuan x2. Kondisi ini tercapai karena titik-titik singgung tersebut membentuk kurva yang disebut de ngan Kurva Kontrak atau Contract Curve (CC) (Nicholson, 1994). Sebagaimana dijelaskan Nicholson (1994), dalam ekonomi pertukaran, maka semua alokasi yang efisien akan terletak sepanjang kurva kontrak, sedangkan titik diluar kurva kontrak adalah tdaik efisien, karena seseorang dapat memperoleh kesejahteraan yang lebih tinggi jika pindah dari titik tersebut ke arah kurva kontrak. Di sepanjang kurva kontrak, preferensi individu bersaing satu sama lain, yang berarti kesejehteraan yang dipe roleh seseorang hanya mungkin tercapai atas pengorbanan orang lain (Nicholson, 1994).
97
Secara matematis keseimbangan produksi dapat ditunjukkan sebagai berikut: MRTS1k = MRTS1k =
w1 .........................................................................(3.12) w2
dimana MRTS adalah slope dari isokuan. OX2 X22 X23
X1 P3 X12
X24
K
P2
X11
P1
OX1
L
Sumber: Nicholson, 1994
Gambar 14. Diagram Kotak Edgeworth pada Kasus Dua Komoditi da n Dua Faktor Produksi
Gambar 14 menunjukkan bahwa tingkat output x1 dan x2 yang diproduksi perusahaan harus sesuai dengan permintaan konsumen terhadap barang x1 dan x2 (Oktaviani, 2008) dimana permintaan konsumen ditentuka n oleh harga relatif p1 dan p2. Untuk menyesuaikan sektor penawaran dengan sektor permintaan, dibutuhkan konsep Kurva Kemungkinan Produksi (KKP) atau Production Possibility Curve (PPC) (Oktaviani, 2008). Sebagaimana dijelaskan dalam teori produksi (Nicholson, 1994), maka PPC diturunkan dari kurva kontrak yang terbentuk dalam kotak Edgeworth. PPC tidak lain adalah kumpulan titik-titik yang menggambarkan transformasi dari satu
98
produk menjadi produk lain melalaui alokasi faktor produksi. Sedangkan Slope dari PPC itu sendiri disebut seba gai Marginal Rate of Product Transformation (MRPT). Pada pasar persaingan sempurna MRPT12 harus sama dengan ratio dari harga barang X1 terhadap X2 atau secara matematis dirumuskan sebagai berikut:
MRPT12 =
P1 P2
.......................................................................................(3.13)
OX2 X24
P1
X23
P2
X22
P3
X21
P4
O X11
X12
X13 X14
OX1
Sumber: Nicholson, 1994
Gambar 15. Kurva Kemungkinan Produksi Sebagaimana disajikan pada gambar 15, daerah batas PPC yang ditunjukkan oleh P1, P2, P3, dan P4, memperlihatkan berbagai kombinasi penggunaan K dan L yang efisien untuk menghasilkan X1 dan X2 . Kurva PPC tersebut ditransfer dari lok us titik-titik efisiensi pada gambar 15 tersebut, sedangka n slope PPC memperlihatkan bagaimana output X 1 dapat ditukarkan terhadap output X2 dengan tetap menggunakan sejumlah sumberdaya (input) yang sama.
99
3.6.2. Keseimbangan Sektor Produksi dan Konsumsi Berdasarkan Nicholson (1994), keseimbangan sektor produksi dan konsumsi akan tercapai pada saat MRPT 12 =MRS 12 =
P1 , dimana MRPT P2
menunjukkan tingkat transformasi suatu produk terhadap produk lain, sedangkan MRS menunjukkan sejauh mana konsumen mau mempertukarkan suatu komoditi dengan komoditi lainnya. Lebih lanjut Nicholson (1994) menjelaskan bahwa keseimbangan akan terjadi jika transformasi produksi adalah sama atau sesuai dengan tingkat subtitusi konsumsi atau de ngan kata lain MRPT = MRS. Secara konsep ekonomi, keseimbangan total adalah bahwa kombinasi output X1 dan X2 harus optimal baik dari sudut prod usen maupun ko nsumen, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 16. Keseimbangan umum secara keseluruhan harus terpenuhi de ngan adanya keseimbangan alokasi pada sektor produksi dan konsumsi, dimana keseimbangan tersebut dilakukan melalui mekanisme harga, sehingga akan tercapai efisiensi dalam perekonomian (Oktaviani, 2008). Disamping harus memenuhi asumsi pasar persaingan sempurna dan efisiensi pareto, terdapat beberapa asumsi lain dari model CGE (Gilig dan Carl, 2002) yaitu: a. Pada pasar komoditi dan pasar input, total permintaan sama dengan total penawaran. b. Pada tingka t harga keseimbangan ke untungan pe rusahaan sama de nga n nol. c. Pendapatan rumah tangga sama dengan pengeluaran rumah tangga. d. Penerimaan pemerintah sama dengan pengeluaran pemerintah. Berdasarkan uraian tersebut terlihat bahwa mode l keseimbangan umum adalah model ekonomi yang melihat ekonomi sebagai suatu sistem yang lengkap
100
(Dixon et al., 1992). Model CGE dapat juga dibuat dibuat pada level makro, tetapi harus memasukan level mikro yang lebih rinci karena harus ada keterkaitan antara pe laku-pelaku ekonomi seperti industri, rumah tangga, investor, pemerintah, importir, dan eksportir dan antara pasar yang berbeda. Dengan menagcu pada Nicholson (1994), maka pasar dikatakan mencapai keseimbangan jika memenuhi syarat-syarat ya itu: non negatif, homogen da n memiliki harga ya ng unik, tidak terjadi kelebihan permintaan (excess demand) dan efisien pada harga pasar.
C*
X2
Slope=
P* ∆X 2* = x*1 ∆X 1* Px 2
P X2 1 Slope= X2 *
P*
P ∆X 2 = x1 ∆X 1 Px 2
X2 2
U3 U2
C
U1 O
X1 1
X1 *
X1 2
X1
Sumber: Nicholson, 1994
Gambar 16. Keseimbangan Sektor Produksi dan Konsumsi
3.7. Model Computable General Equilibrium Statis dan Dinamis Model CGE yang tidak memasukkan unsur dinamis disebut sebagai model komparatif (comparative static). Model ORANI merupakan salah satu contoh model CGE komparatif statik untuk kasus ekonomi Australia (Oktaviani, 2008).
101
Sedangkan model WAYANG (Wittwer, 1999) merupakan model komparatif statik untuk kasus ekonomi Indonesia. Menurut Oktaviani (2008), mode l CGE dinamis dapat diklasifikasikan mnjadi: (1) model periode tunggal, dikenal sebagai “sequential solution” atau “recursive”, dan (2) model “fully dynamic” atau “multi period”. Lebih lanjut, Oktaviani (2008), mengemukakan bahwa model comparative static merupakan model yang memodifikasi model statis dengan tidak memasukan unsur periode waktu. Model ini menunjukkan model CGE yang membandingkan perbedaan nilai variabel untuk waktu yang akan datang (T) dengan atau tanpa menggunakan shock variabel eksogen. Semua persamaan dan variabel pada model menunjukkan keadaan perekonomian pada periode yang akan datang. Variabel
C
B O T
(Tahun)
Sumber: Horridge, 1998.
Gambar 17. Model Komparatif Statik Model komparatif statik dapat digambarka n seperti pada Gambar 17, dimana gambar tersebut menunjukkan jumlah tenaga kerja pada periode awal (periode 0) yang dinyatakan dengan B. Kemudian dengan adanya perubahan kebijakan, mka tenaga kerja dapat mencapai titik C. Selanjutnya, pada simulasi
102
model komparatif statik ini akan menghasilkan perubahan persentase pada tenaga kerja sebesar 100* (C-B)/B, yang menunjukkan bagaimana tenaga kerja pada periode T akan dipengaruhi oleh perubahan kebijakan. Perubahan dampak kebijakan dalam jangka pendek atau jangka panjang aka n tergantung pada pemilihan closure pada model (Oktaviani, 2008).
Sebagai contoh perubahan
kebijakan variabel eksogen seperti perubahan tenaga kerja, tabungan, penurunan dalam nilai tukar perdagangan dan pertumbuhan dalam konsumsi publik (Oktaviani , 2008).
IV.
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Kerangka Pe mikiran Berdasarkan studi pustaka dan kerangka teori yang digunakan dalam menganalisis dampak liberalisasi perdagangan dan perubahan iklim pada komoditi pangan di berbagai negara terhadap makro dan sektoral ekonomi Indonesia: Pendekatan Model Ekonomi Keseimbangan Umum, digunakan dua model yaitu model ekonometrik dampak perubahan iklim terhadap produktivitas pertanian dan model keseimbangan umum menggunakan model GTAP. Kedua model tersebut digunakan dan saling berkaitan serta menjadi dasar dalam perancangan model yang akan digunakan. Variabe l- variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini mencakup yang berkenaan dengan liberalisasi perdagangan da lam be ntuk penurunan tarif bea masuk, perubahan suhu global, produktivitas, variabel ekspor dan impor, ketenagakerjaan, pertumbuhan ekonomi, investasi dan variabel ekonomi makro lainnya serta keseimbangan makroekonomi. Kerangka pemikiran analisis dampak
liberalisasi perdagangan dan
perubahan iklim pada komoditi pangan di berbagai negara terhadap makro dan sektoral ekonomi Indonesia menunjukka n hubungan antara ko mbinasi dampak liberalisasi perdagangan dan perubahan iklim global pada komoditi pangan di berbagai negara terhadap perubahan produktivitas komoditi pangan, perdagangan dan variabel makro ekonomi lainnya. Kerangka pemikiran tersebut adalah: 1. Liberalisasi perdagangan yang dalam penelitian ini didefinisikan sebagai penurunan tarif bea masuk dalam kerangka multilateral-WTO khususnya untuk komoditi pertanian, telah berdampak pada kondisi makro ekonomi
104
termasuk kinerja perda gangan negara-negara prod usen maupun impo rter produk pertanian di negara maju maupun di negara berkembang tidak terkecuali Indonesia. 2. Perubahan iklim global yang didefinisikan sebagai perubahan suhu (kenaikan suhu bumi) telah disadari oleh masyarakat bumi sejak tahun 1990-an dan bukti fenomena pemanasan global telah dirasakan sampai saat ini. 3. Berba gai bukti ada nya peruba han iklim telah dirasakan oleh masyarakat dunia mulai dari kenaikan muka laut, mencairnya es di kutub, terjadinya el nino di beberapa bagian negara tropis dan perubahan cuaca yang ekstrim di berbagai be lahan bumi termasuk Indo nesia. 4. Dampak perubahan iklim telah diprediksi oleh lembaga internasional seperti IPCC terhadap berbagai aspek seperti kesehatan manusia, kelangsungan ekosistem air, darat dan udara, serta dampaknya terhadap produktivitas pertanian baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk Indo nesia. 5. Penurunan produktivitas pertanian sebagai dampak
perubahan iklim
sebagaimana telah diprediksikan berbagai lembaga internasional akan berdampak pada penurunan produksi beberapa produk pertanian, namun diperkirakan terjadinya peningkatan produksi pada beberapa jenis produk pertanian lainnya. 6. Penurunan atau peningkatan produksi pertanian akan berdampak pada ketersediaan pangan dan perdagangan (ekspor dan impor) produk pertanian Indo nesia.
105
7. Kombinasi dampak liberalisasi perdagangan dan penurunan produktivitas pertanian sebagai dampak perubahan iklim juga akan berdampak lebih lanjut pada variabel makro ekonomi lainnya seperti ketenagakerjaan, investasi, pertumbuhan eko nomi dan indikator makro lainnya. Seluruh aspek-aspek yang terkait dengan dampak liberalisasi perdagangan dan perubahan iklim akan dianalisis untuk mengkaji seberapa besar pengaruhnya terhadap produktivitas pertanian, produksi, perdagangan serta indikator makro dan sektoral ekonomi Indonesia terutama dalam hal ketenagakerjaan, dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya kerangka pemikiran dan alur tahapan pelaksanaan penelitian disusun seba gaimana disajikan pada Gambar 18. Data Base GTAP Versi 7.1 (2008)
Survey Literatur dan Estimasi Ekonometrik
Perkiraan rata-rata Suhu bumi berdasarkan Estimasi IPCC (2001)
Penurunan tarif bea masuk sektor pertanian dalam kerangka WTO
Agregasi Sektor dan Region (19 Sektor, 14 region)
Simulasi Penurunan tariff bea masuk sektor pertanian dan penurunan/peningkatan produktivitas komoditi pangan di beberapa negara sebagai dampak perubahan iklim Perubahan Alternatif Skenario penurunan tariff dan perubahan iklim yang dipertimbangkan
Hasil Simulasi Dampakny a terhadap : 1. Variabel makro ekonomi 2. Sektoral
M odel Estimasi Dampak Perubahan Iklim terhadap komoditi pangan menggunakan model ekonometrik mengacu model Cline 2007
Tingkat Produktivitas komoditi pangan (beras, jagung, gandum) di beberapa negara
KET ERANGAN Evaluasi Alternatif Kebijakan
Dilakukan Oleh Peneliti
Dari Literatur yang ada
Gambar 18. Kerangka Pemikiran dan Alur Tahapan Pelaksanaan Penelitian
106
4.2. Hipotesis Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, dapat diperkirakan beberapa hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini yaitu: 1. Liberalisasi perdagangan komoditi pangan akan berdampak negatif terhadap negara berkembang tetapi berdampak positif bagi negara-negara maju. 2. Perubahan iklim akan berdampak pada penurunan produksi di beberapa sektor pertanian. 3. Kombinasi dampak liberalisasi perdagangan dan perubahan iklim akan menurunkan pertumbuhan ekonomi nasional sehingga dapat mempengaruhi berbagai variabel ekonomi makro dan sektoral lainnya.
4.3. Alat Analisis 4.3.1. Konsep Das ar Global Trade Analysis Project Konsep dasar GTAP sebagai analisis yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada Oktaviani (2008). Model GTAP dan model CGE merupakan model yang sama-sama menggunakan konsep-konsep dasar pengeluaran dan pembelian antar pelaku ekonomi. Kedua model tersebut merupakan model struktural yang dibangun dengan dasar teori-teori mikroekonomi, dimana perilaku-perilaku di masing- masing a gen eko nomi (behavioral parameters) dijelaskan secara detail. Menurut Oktaviani (2008), mod el CGE menggambarkan interaksi antara agen-agen yang berbeda di dalam suatu negara atau wilayah, sedangkan mode l GTAP menjelaskan interaksi perdagangan antar wilayah. Selain itu, aspek lain yang ada dalam model GTAP adalah juga mencakup transportasi global dan mobilitas investasi. Oleh karena itu, melalui mode l ini dapat dijelaskan bagaimana
107
pengaruh kebijaka n yang dilakuka n suatu negara/wilayah aka n memberika n dampak kepada negara/wilayah lainnya. Lebih lanjut dikemukakan dalam Oktaviani (2008) bahwa dalam model GTAP tidak menangkap kebijakan makroekonomi dan fenomena moneter, karena tidak ada aspek makroekonomi di dalamnya, namun terdapat variabel- variabel agregat yang dapat menentukan interaksi di level makro. Oleh karena itu, “closure macroekonomi” digunakan untuk mengatasi permasalahan yang berhubungan dengan aspek makroekonomi tersebut. Hal ini dapat dilakukan karena di dalam closure dipisahkan antara variabel- variabe l eksogen dan endo gen. Sementara itu, untuk untuk mengatasi tidak tertangkapnya fenomena moneter, maka di dalam model GTAP digunakan “numeraire”, ya itu harga salah satu barang diberi nilai 1 agar didapatkan harga relatif terhadap harga barang lain (Oktaviani, 2008). Untuk keperluan kajian ini, selanjutnya akan dijelaskan perbedaan antar aktivitas eko nomi di da lam mod el GTAP. Intervensi pemerintah dan perdagangan adalah fokus utama yang aka n diba has dalam model. Gambar-gambar yang disajikan merupakan arus nilai (uang) dalam perekonomian dan bukan merupakan arus riil (arus barang), dimana hubungan kedua arus tersebut saring berlawanan (Oktviani, 2008).
4.3.1.1. Ekonomi Tertutup Tanpa Pajak Dalam model ekonomi tertutup tanpa pajak diasumsikan bahwa suatu negara tanpa pajak dan belum ada perdagangan. Model ini adalah sebagai penyederhanaan dari keadaan sesungguhnya, dimana tidak ada depresiasi, pajak dan subsidi. Dalam eko nomi sederhana tersebut diasumsikan terdapat tiga pelaku ekonomi yaitu rumah tangga swasta, pemerintah dan produsen (Oktaviani, 2008).
108
Gambar 19 menunjukkan aktivitas ekonomi versi model GTAP yang menjelaskan keterkaitan antar pe laku ekonomi dan komponen-komponen permintaan Pada bagian atas dari diagram, terdapat rumah tangga regional. yang menerima semua pendapatan yang dihasilkan. Sementara, itu, pengeluaran rumah tangga berdasarkan pada agregat fungsi utilitas (kepuasan) Cobb-Douglas dimana pengeluaran dialokasikan pada tiga kategori yaitu rumah tangga swasta (private), pemerintah dan tabungan da n arus pengeluaran rumah tangga swasta ditunjukkan oleh simbol PRIVEXP (Oktaviani, 2008). Selanjutnya, pada pada bagian tengah model perekonomian dimasukka n unsur pemerintah dan rumah tangga regional menerima pendapatan yang dihasilkan oleh pemerintah, sedangkan arus pengeluaran pemerintah ditunjukkan oleh simbol GOVEXP. Unsur tabungan juga dimasukkan dalam model, meskipun sebe narnya di da lam mode l GTAP tidak menangkap fenomena pasar uang. Namun demikian, seluruh pendapatan rumah tangga regional yang tidak habis dibelanjakan oleh ketiga pelaku ekonomi yaitu pemerintah, rumah tangga swasta da n perusahaan, dimasukkan di dalam pengeluaran sebagai tabungan. Sedangkan arus pengeluaran rumah tangga regional ke dalam tabungan disimbolkan sebagai SAVE (Oktaviani, 2008).
109
Rumah Tangga Regional PRIVEXP Rumah Tangga Swasta
VDPA
SAVE
GOVEXP
Tabungan NETINV
Pemerintah VOA Endw
VDGA
Produsen VDFA
Sumber: Oktaviani (2008) Gambar 19. Mode l Kasus Satu Wilayah, Pereko nomian Tertutup, Tanpa Pajak
Pelaku ekonomi lainnya yang penting di dalam model adalah perusahaan yang akan bertingkah laku seba gai prod usen. Dalam pengertian eko nomi, produsen merupakan pemakai input intermediate dan faktor endowmentt yang menghasilkan output barang dan jasa seperti terlihat pada Gambar 19. Sumber pendapatan rumah tangga regional diasumsikan hanya dari “penjualan” faktor endowmentt (tenaga kerja, lahan, modal, sumber daya alam) kepada perusahaan. Aliran pendapatan ini digambarkan sebagai VOA (endw) yang diartikan sebagai Nilai Output pada harga di tingkat agen dari komoditi endowmentt (Value of Output at Agents’ prices of endowmentt commodities) (Oktaviani, 2008). Rumah tangga swasta merupakan penyedia faktor produksi endowmentt berupa tenaga kerja yang akan dimanfaatkan oleh perusahaan. Arus “penjualan” faktor produksi rumah tangga swasta ke produsen disebut VDPA yang didefinisikan sebagai nilai dari pembelian/belanja rumah tangga swasta domestik berdasarkan harga produsen (VDPA = Value of Domestic Purchases by Private household at agent’ prices) (Oktaviani, 2008).
110
Gambar 19 juga menunjukkan adanya aliran penjualan dari perusahaan kepada pemerintah sebagai pendapatan produsen. Dalam model GTAP, arus ini disimbolkan sebagai nilai dari pembelian pemerintah berdasarkan harga produsen (VDGA = Value of Domestic Puschases by Government at agents’ prices), yang merupakan fungsi Cobbb Douglas. Di dalam model GTAP, diasumsikan penjualan dari barang Investasi dibiayai dari tabungan rumah tangga regional. Oleh karena itu, terdapat arus pendapatan produsen dari tabungan, yaitu NETINV. Di dalam model statistik, investasi tidak mempengaruhi kapasitas tetapi mempengaruhi aktivitas total (Oktaviani, 2008). Mengacu pada Oktaviani (2008), maka perusahaan mengko mbinasika n penggunaan komoditi endowmentt dengan produk antara untuk memproduksi barang untuk permintaan akhir. Olah karena itu, terdapat aliran pendapatan dari produsen ke produsen, yaitu disimbolkan dengan VDFA (Value of Domestic purchases by Firms at agents’ price) dan menggambarkan penggunaan produk antara oleh produsen. Di dalam model ini, perusahaan di asumsikan tidak mendapatkan keuntungan (zero profit) dengan menggunakan fungsi produksi Constant Return to Scalae (CRS). Closure standar yang digunaka n dalam mode l GTAP sederhana ini adalah fungs i utilitas Cobb-Douglas de ngan constant budget share pada setiap kategori pengeluaran. Modifikasi dilakukan dimana pengeluaran pemerintah dan tabungan bisa menjadi peruba h eksogen (tetap atau shock) sehingga pengeluaran rumah tangga swasta bisa menyesuaikan untuk mencapai kendala anggaran rumah tangga regional (Oktaviani, 2008).
111
Di dalam model di atas tidak memasukkan penerimaan pajak pemerintah. Tidak adanya pajak tidak berarti terjadi penurunan di dalam pengeluaran pemerintah di dalam model GTAP. Tidak adanya pajak mengakibatkan penurunan dalam kelebihan beban (excess burden), pendapatan riil regional akan meningkat dan pengeluaran riil pemerintah juga meningkat. Kekurangan fiskal ini terlihat di da lam mode l da ta GTAP yang tidak lengkap mencakup instrumen pajak regional. Oleh karena itu, model tidak dapat memprediksi secara akurat apa yang akan terjadi terhadap total penerimaan pajak, dan pengguna yang memfokuskan dampak pengeluaran pemerintah biasanya membuat beberapa asumsi variabel eksogen. Kelemahan menggunakan asumsi pengeluaran regional di da lam mode l GTAP (Oktaviani, 2008) adalah: 1. Gagal untuk menghubungkan pengeluaran pemerintah dengan penerimaan pajak (artinya penurunan tingkat pajak tidak berarti turunnya pengeluaran pemerintah). 2. Model GTAP tidak dapat memprediksi secara akurat dampak terhadap penerimaan pajak total sehingga perlu modifikasi. Namun demikian, terdapat keunggulan menggunakan asumsi pengeluaran regional di dalam model GTAP, yaitu: 1. Indikator kesejahteraan dari fungsi utilitas regional 2. Misal, jika pengeluaran swasta riil menurun, tabungan dan pengeluaran pemerintah naik, apakah rumah tangga regional lebih baik? Tanpa ada fungsi kepuasan regional pertanyan ini tidak bisa dijawab.
112
4.3.1.2. Ekonomi Terbuka Tanpa Pajak Gambar 20
menunjukkan model sebelumnya dengan memasukkan
perdagangan internasional dengan negara lain. Model seperti Gambar 20 mengacu pada Brockmeier (1996). Adanya perdagangan dengan wilayah luar ditunjukkan dengan adanya Rest of the World (ROW) di bagian bawah. Struktur ekonomi ROW diasumsikan identik dengan ekonomi domestik. Dengan dibukanya hubungan perdagangan dengan luar, maka terdapat sumber impor yang masuk ke domestik dan juga merupakan tujuan ekspor. Masing- masing agen di dalam ekonomi domestik akan memberikan “pembayaran impor” kepada ROW. Arus pembayaran impor kepada ROW dari rumah tangga swasta ditunjukkan dengan VIPA, dari pemerintah adalah VIGA, dan dari produsen adalah VIFA. Perubahan dari ekonomi tertutup menjadi terbuka memunculkan adanya dua sektor global, yaitu bank global dan perdagangan global. Bank global yang ditunjukkan di tengah gambar, menghubungkan antara tabungan global (SAVE) dan investasi barang (REGINV). Perdagangan global dimaksudkan sebagai seluruh ekspor yang menyangkut perdangangan barang dan jasa, transportasi, jasa asuransi dan barang komposit yang digunakan untuk menggerakkan arus perdagangan antar wilayah. Adanya aktivitas ini menimbulkan adanya perbedaan nilai, untuk eskpor terlihat pada nilai FOB, da n untuk impor pada CIF (Oktaviani, 2008).
113
Rumah Tangga Regional PRIVEXP
SAVE
Rumah Tangga
GOVEXP
Bank Global
REGINV
VDPA
Pemerintah VOA Endw
VDGA
Produsen VDFA VIFA VIPA
VXMD
Rest of the World
VIGA
Sumber: Oktaviani (2008) Gambar 20. Model Multi Wilayah, Pereko nomian Terbuka, Tanpa Intervensi Pemerintah
4.3.1.3. Ekonomi Tertutup denga n Pajak Dalam model berikutnya, model ekonomi telah memasukkan variabel pajak. Pajak dimaksudkan sebagai pendapatan rumah tangga regional selain pendapatan yang berasal dari pengeluaran masing- masing agen. Semua pajak, baik dari rumah tangga swasta, pemerintah dan produsen ditambahkan pada rumah tangga regional, sehingga: VOM atau,
= VOA + PTAX
Pendapa tan
= VOA + Pajak – Subs idi
sehingga nilai output di tingkat pasar (market) telah memasukkan unsur pajak. Pajak dapat bernilai positif (taxes) yang akan menambah nilai output di tingkat pasar (VOM), atau bernilai negatif yang akan mengurangi nilai output pasar (VOM),
yang biasanya disebut subsidi (Oktaviani, 2008). Gambar 21
menggambarkan model ekonomi riil satu wilayah yang lengkap dengan pereko nomian tertutup.
114
Rumah Tangga Regional PRIVEXP
GOVEXP
SAVE Taxes
Taxes
Rumah Tangga
Pemerintah Tabungan
VDPA
VOA Endw
Taxes
VDGA
NETINV Produsen VDFA
Sumber: Oktaviani (2008) Gambar 21. Model Satu Wilayah, Perekonomian Tertutup, dengan Pajak
4.3.1.4. Pajak Dalam suatu perekonomian, pajak (Tax) ada lah bentuk kekuatan intervensi pasar di domestik. Adanya pajak akan mempengaruhi harga yang terjadi di setiap agen (PA), sehingga PA=PM*T atau T=PA/PM. Dengan kata lain, pajak didefinisakan sebagai rasio nilai transaksi berdasarkan harga produsen (Agen Prices) de ngan transaksi berdasarka n harga pasar (Market Prices) (Oktaviani, 2008). Pajak biasanya dikenakan pada seluruh aktivitas penjualan dan pembelian ekonomi seperti pajak penjualan penghasilan (PPh), pajak ekspor dan lain sebagainya. Pajak pembelian diberikan kepada pembeli barang dan jasa, seperti Pajak Pembelian (PPn), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak impor, dan lainlain. Namun demikian, tingkat pajak di dalam mode l GTAP berbeda dengan makna pajak secara harfiah, dalam model GTAP pajak dihitung berdasarkan perbedaan nilai di tingkat-tingkat agen ekonomi. Oleh karena itu, di dalam model
115
dikenal istilah Power of Tax, dimana besarnya adalah 1 ditambahkan dengan besarnya tax rate. Misalnya, pajak impor untuk produk pertanian sebesar 5%, maka power of tax tersebut bernilai 1,05. Pemahaman atas konsep ini akan membantu analisis selanjutnya di dalam model GTAP. Apabila pajak penjualan bernilai lebih besar dari satu (T>1) maka artinya pajak tersebut berupa subsidi. Sebaliknya untuk pajak pembelian, dikatakan subsidi jika nilai pajak bernilai kurang dari satu (T<1). Selanjutnya akan dijelaskan pengaruh pajak terhadap o utput nasional sepe rti dijelaskan pada Gambar 22. Apabila kondisi awal perekonomian diasumsikan tidak dikenakan pajak, maka VOM=VOA, ditunjukkan dengan keseimbangan antara permintaan (D0) dan penawaran (S0). Harga kesimbangan pada PM0=PS0. Selanjutnya, jika dibe rlakuka n pa jak pe njualan, maka agen yang aka n terkena dampak langsungnya adalah produsen. Produsen yang memasukkan pajak di dalam biaya produksi akan merespon dengan meningkatkan harga dan menurunkan produksinya, sehingga kurva penawaran bergeser ke kiri atas (AS 1 ). Secara agregat, harga naik menjadi PM 1 dan output nasional riil turun pada Q 1 . Harga di tingkat prod usen (PS 1 ) lebih renda h dari harga di pasar (PM 1 ). Daerah yang berbe ntuk kotak pada Gambar 22 menunjukkan besarnya pajak (PTAX). Nilai output di pasar (VOM) adalah daerah PM 1 -Eq 1 -Q1 -O.
116 Tingka t Harga AS1 AS0 Eq1
PM1 +PTAX PM0=PS0
Eq0
PS1 VOM AD0 O
Q1
Q0
Output Nasional
Sumber: Oktaviani, (2008)
Gambar 22. Efek Pajak terhadap Output Sebaliknya jika diasumsikan bahwa pada perekonomian diberlakukan pajak negatif (pajak yang mengurangi VOM), misal subsidi impor, maka dampaknya terhadap outpu adalah sebagaimana digambarkan pada Gambar 23. Pada kondisi dimana belum adanya subsidi, keseimbangan antara permintaan (D 0 ) dan pe nawaran (S 0 ) berada pada titik Eq 0 . Harga kesimbangan pada PM 0 =PS0 . Kemudian dengan adanya subsidi, harga barang akan turun dan jumlah output akan meningkat. Respon perusahaan terhadap adanya subsidi ini akan menggeser kurva penawaran ke kanan bawah (AS 2 ). Secara agregat, subsidi mengakibatkan harga di pasar turun menjadi PM 2 dan output nasional riil meningkat pada Q 2 . Harga di tingkat produsen (PS 2 ) lebih tinggi dari harga di pasar (PM 2 ). Daerah yang berbentuk kotak menunjukkan besarnya subsidi (PTAX) dan besarnya nilai output di tingkat pasar (VOM) adalah daerah PS 2 -E3 Q 2 -O (Oktaviani, 2008).
117
AS0
PS2
E3
AS2
-PTAX Eq0
PM0=PS0 PM2
Eq2 VOM AD0
O
Q0
Q2
Output Nasional
Sumber: Oktaviani (2008)
Gambar 23. Efek Subsidi terhadap Output 4.3.1.5. Linearisasi Pada umumnya, model- model ekonomi parsial menggunakan satuan nilai mata uang (nominal), misalnya rupiah atau dollar, karena perhitungannya dilakukan dengan pendekatan pengeluaran. Namun demikian, orang biasanya tidak begitu memperdulikan besaran nilai yang akan berubah sebagai akibat diberlakukannya suatu kebijakan (misal peningkatan tarif impor), karena penyebutan angka numerik nilai nominal dari perubahan itu lebih sulit untuk dihapal mengakibatkan orang mengabaikannya. Tetapi biasanya orang akan lebih tertarik untuk memperhatikan angka dalam perubahan persentase. Oleh harena itu, beberapa model CGE dan GTAP menggunakan perubahan persentase dalam perhitungan harga dan kuantitasnya (Oktaviani, 2008). Menurut Oktaviani (2008), persamaan–persamaan ekonomi yang ada di dalam model GTAP tidak semua merupakan persamaan dengan fungsi linear. Agar persamaan-persamaan tersebut dapat terbaca dengan menggunakan
118
persentase perubahan, maka persamaan-persamaan tersebut harus dilinierkan. Solusi
dengan
menggunakan
software
Analisis
Keseimbangan
Umum
(AGE=Analysis General Equilibrium) maupun RunGTAP, dilakukan dengan linearisasi (Pearson, 1991) memecahkan nilai koefisien dengan formula: dV / v = d(PQ) / PQ = p + q Perubahan persentase dalam model GTAP disimbolkan dengan huruf- huruf kecil, sehingga bentuk perubahan persentase dari persamaan di atas adalah p dan q. Secara grafis, ilustrasi linearisasi ini disajikan pada Gambar 24. Misalnya persamaan nonlinear digambarkan seperti kurva Exact. Apabila persamaan tersebut dilinearkan pada tahap 1, maka kurva akan seperti gambar kurva 1 step. Ini disebut de ngan estimasi de ngan pendekatan Johansen (Yj) yang menyediaka n iterasi yang paling sederhana dengan kesalahan (error) Yj>Y 1 . Pendekatan dengan error seperti ini seringkali menuai kritik dari penggunaan model CGE (Oktaviani, 2008).
YJ
dY Yexact Y0 O
X
dX
Sumber: Oktaviani (2008)
Gambar 24. Linearisasi untuk Persamaan-Persamaan yang Non Linear
XF
119
Agar bentuk persamaan (kurva) mendekati bentuk yang sebenarnya (Exact), maka dilakukan terus proses linearisasi pada tahap selanjutnya hingga diperoleh bentuk yang mendekati sebenarnya, misalnya pada gambar kurva 3 step pada Gambar 25. Dengan proses multi-step ini dapat menurunkan error pada linearisasi. Metode solusi Euler memberikan pemecahan seperti ini. Semakin banyak iterasi linearisasi, maka solusi model nonlinear akan semakin akurat. Metode Gragg’s menyediakan iterasi yang seba nyak-banyaknya sampai batas kemampuan komputer mengolahnya dan metode ini dianggap sebagai pendekatan yang paling baik (Oktaviani, 2008).
1 Y
Y2
Y3
3
Yexact
Exac
Y1
Y0 XF O
X
X1
X2
X3
Sumber: Oktaviani (2008)
Gambar 25. Proses Multistep untuk Menurunkan Error pada Linearisasi 4.3.2. Struktur Model Global Trade Analysis Project Standar Konsep dasar struktur model GTAP Standar sebagai analisis yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada Oktaviani (2008). Model GTAP adalah model standar dengan banyak negara dan banyak komoditi dengan mengaplikasikan model ekonomi keseimbangan umum. Pada model GTAP secara eksplisit dilakukan pemodelan pada margin transport internasional. Suatu globa l
120
bank juga dibentuk dalam model sebagai intermediasi dan investasi dan tabungan dunia. Sistem permintaan konsumen diduga dengan menggunakan Constant Difference of Elasticities (CDE) untuk menangkap kepekaan terhadap perbedaan harga dan pendapatan antar negara (Hertel, 2000). Selain itu, aliran barang dalam perdagangan internasional mengikuti model Armington (1969) dimana setiap produk dibedakan berdasarkan asal negara. Setiap barang diasumsikan substitusi yang tidak sempurna satu sama lainnya untuk komoditi yang diproduksi di dalam negeri. Dengan asumsi ini, model dapat menangkap aliran perdagangan antar dua negara. Kelemahan model ini adalah mengasumsikan sistem pasar persaingan sempurna da n ska la usaha yang ko nstan pada aktivitas produksi. Hartel (1997) mengakui bahwa pada konteks negara kecil dan terbuka, asumsi pasar persaingan sempurna mengakibatkan simulasi dampak penurunan tarif menjadi lebih besar dari yang sesungguhnya. Hubungan di dalam model GTAP dirangkum di dalam hubungan antara bermacam- macam nilai agregat. Persamaan-persamaan yang telah dirubah dalam perubahan persentase merupakan persamaan-persamaan yang akan ada di dalam model utama GTAP. Seluruh notasi, variabel, parameter, persamaan dan lain- lain dapat dibaca lebih rinci pada Hertel (1997). Seluruh struktur GTAP terdiri dari persamaan-persamaan simultan yang dapat dikelompokkan menjadi dua bagian,
yaitu: (1) Persamaan yang
menggambarkan hubungan antara penerimaan dan pengeluaran oleh setiap agen ekonomi di suatu region (accounting relationship), dan (2) persamaan yang menjelaska n suatu perilaku agen eko nomi (behavioral equation) (Oktaviani, 2008).
121
Semua set, sub-set, parameter dan variabel bentuk nominal (value levels form) dinotasikan dengan huruf kapital. Sedangkan variabel dalam bentuk persentase perubahan (percentage change) atau be ntuk linear dinotasikan dengan huruf kecil. Sebagai contoh: PM(i,r) adalah variabel bentuk level untuk harga pasar ko mod iti i di region r, dan pm(i,r) = [dPM(i,r)] / PM(i,r) adalah bentuk linear dari variabel harga tersebut. Berikut ini diuraikan secara ringkas struktur model GTAP standar yang bersumber dari Hertel (1997).
4.3.2.1. Hubunga n Perhitunga n Didalam Model GTAP Dalam model GTAP, keseimbangan ekonomi di satu region/wilayah dinyatakan dalam persamaan accounting relationship yang menggambarkan hubungan antara pe nerimaan da n pe ngeluaran yang dilakuka n oleh masingmasing sektor di suatu region dan transaksi perdagangan (ekspor dan impor) dari satu region ke region lainnya (Oktaviani, 2008). Hubungan pe nerimaan dan pengeluaran dalam sebuah sistem ekonomi terbuka (multi region open economy) dengan intervensi pemerintah berupa pengenaan pajak dan pemberian subsidi ditunjukkan dengan Gambar 26. Hubungan di dalam model GTAP dirangkum di da lam hubungan antara bermacam- macam nilai agregat. Persamaan-persamaan yang telah dirubah dalam perubahan persentase merupakan persamaan-persamaan yang akan ada di dalam model utama GTAP. Seluruh notasi, variabel, parameter, persamaan dan lain- lain dapat dibaca lebih rinci pada Hartel (1997 ).
122
Rumah Tangga Regional
TAXES
TAXES
SAVE
PRIVEXP
GOVEXP
TAXES
Pemerintah
Bank Gl obal
Rumah Tangga Swasta
VOA Endw
XTAX NETIN
VDPA
MTAX
VDGA
Produsen VIGA VDFA VIPA
VIFA
VXMD
Rest of The World
Sumber: Brockmeier (1996)
Gambar 26. Neraca Pemerintah dan Pengeluaran pada Sistem Ekonomi Terbuka Pada gambar 26 tersebut, eko nomi sebuah region direpresentasikan oleh satu rumah tangga regional (regional household) yang memperoleh income dari hasil penjualan endowmentt, VOA (value of output at agents prices), dan penerimaan pajak dari industri (TAXES). Selain itu, pajak juga diterima dari region lain (rest of the world) berupa pajak ekspor (XTAX) dan pajak impor (MTAX). Penghasilan rumah tangga region tersebut selanjutnya dialokasikan sebagai pengeluaran (expenditure) sektor rumah tangga swasta (PRIVEXP), rumah tangga pemerintah (GOVEXP), dan sebagai tabungan ke global bank (SAVE) (Oktaviani, 2008). Konsumsi rumah tangga swasta, VDPA (value of domestic purchases by private households at agent’s prices) diasumsikan mengikuti fungsi pengeluaran
123
CDE (Constant Difference of Elasticity). Konsumsi rumah tangga pemerintah, VDGA (value of domestic purchases by government households at agent’s prices) dipresentasikan dengan fungsi utilitas Cobb Douglas sehingga porsi pengeluaran untuk seluruh komoditi adalah konstan. Dalam model GTAP diasumsikan bahwa tabungan seluruhnya digunakan sebagai investasi (NETINV) melalui bank global (Oktaviani, 2008). Di sisi prod usen (ind ustri), penerimaan diperoleh dari hasil penjualan barang konsumsi ke rumah tangga swasta (VDPA) dan pemerintah (VDGA) penjualan ba rang input antara ke industri lain (VDFA), serta pe njualan barang investasi ke sektor tabungan (NETINV). Di samping hasil penjualan di pasar domestik, produsen juga memperoleh penerimaan dari hasil ekspor barang ke region lain (rest of the world). Nilai penerimaan ekspor tersebut dinyatakan sebagai value of exports at market prices by destination (VXMD). Oleh karena setiap industri diasumsikan beroperasi pada kondisi zero profit maka jumlah penerimaan produsen seluruhnya dibelanjakan untuk pembelian faktor primer (VOA), inp ut antara yang diprod uks i di da lam negeri (VDFA) dan input antara yang berasal dari impor (VIFA) (Oktaviani, 2008). Sifat multi-region dari model GTAP selain ditunjukkan dengan bank global juga oleh adanya sektor perdagangan internasional (ekspor dan impor) dari satu negara ke negara lain (rest of the world). Region lain tersebut memperoleh penerimaan impor dari rumah tangga swasta (VIPA), rumah tangga pemerintah (VIGA), dan industri (VIFA). Penerimaan tersebut selanjutnya dibelanjakan untuk barang impor (VXMD), pembayaran pajak ekspor (XTAX) dan pajak impor (MTAX) kepada rumah tangga regional (Oktaviani, 2008).
124
Seluruh hubungan yang menggambarkan hubungan antara penerimaan dan pengeluaran oleh setiap agen eko nomi di suatu region (accounting relationship) tersebut di dalam model GTAP dituliskan dalam bentuk persamaan-persamaan. Persamaan-persamaan tersebut menjelaskan distribusi penjualan ke pasar wilayah di dalam model ekonomi terbuka dengan pajak, sumber pengeluaran rumah tangga dan pemerintah, sumber pengeluaran perusahaan dan pendapatan faktor rumah tangga, disposisi dan sumber pendapatan regional, sektor global, dan kondisi keseimbangan umum (market clearing) (Oktaviani, 2008).
4.3.2.2. Distribusi Penjualan ke Pasar Wilaya h Didalam Model Ekonomi Terbuka dengan Pajak Di dalam model GTAP terdapat hubungan satu-satu antara sektor produksi dengan komoditi antara. Masing- masing memproduksi output tunggal. Berikut akan dijelaskan hubungan tersebut dalam persamaan-persamaan yang ada dalam model GTAP. Distribusi penjualan ke pasar regional di dalam mode l GTAP dapat diringkas dalam Tabel 13. Aliran komoditi dari pasar domestik di wilayah r ke pasar dunia dan pasar domestik di wilayah s. Aliran dimulai dengan Nilai Output pada Harga Agen (value of output at agent’s prices, VOA(i,r)), yang menunjukkan pembayaran yang diterima oleh perusahaan di industri I dari wilayah r. Untuk mendapatkan Nilai Output pada Harga Pasar (value of output at agent’s prices. VOM(i,r)), pajak produsen, PTAX(i,r), harus ditambahkan kepada nilai agen. Nilai Output pada harga pasar juga memberikan penjumlahan dari nilai penjualan domestik pada harga pasar (value of domestic sales at market prices), VDM(i,r), dan nilai
125
ekspor barang i dari wilayah/negara r dinilai pada harga dasar domestik (di negara r), da n negara tujuan s, VXMD(i,s), untuk semua wilayah. Tabe l 13. Distribusi Penjualan Barang i yang Diproduksi di Wilayah r ke Pasar Wilayah s Pasar Domerstik ‘r’
VST (i, r ) +
Pasar Dunia
Pasar Domestik ‘s’
dimana:
Sumber: Hertel dan Tsigas (1997)
Pajak ekspor pada masing- masing ko mod iti da n negara tujuan ditambahka n untuk mendapatkan nilai ekspor menjadi nilai fob. Pajak ekspor ditunjukkan oleh XTAX(i,r,s) dan bisa bervariasi antar ko moditi atau wilayah sehingga menunjukkan detil perdagangan bilateral. Setelah penambahan nilai pajak, nilai
126
ekspor pada harga pasar menjadi nilai ekspor di harga dunia (value of export at world prices), VXWD(i,r,s). Untuk negara pengimpor, ini menjadi nilai dasar penghitungan
cif,
VIWS(i,r,s),
setelah
penambahan
margin
transport
internasional, VTWR(i,r,s) (value of transportation of world prices for commodity i, shipped from r to s). Nilai impor pada harga pasar di masing- masing sumber daya (value of import at market prices by sources), VIMS(i,r,s), diperoleh dari menambahkan pajak impor (import taxes), MTAX(i,r,s), ke dalam nilai cif komoditi. Nilai impor ini masih berdasarkan impor yang dibesarkan (dan harga) dengan alternatif sumberdaya. Nilai ini dikombinasikan dengan komposit tunggal (value of import of i into s at market prices), VIM(i,s), yang akan didistribusikan ke seluruh sektor rumah tangga (VIPM(i,s)), pemerintah (VIGM(i,s)), dan industri (VIFM(i,s)). Semua nilai adalah “produk impor” pada harga pasar di dalam negara pengimpor.
4.3.2.3. Sumber Penge luaran Rumahtangga dan Pe merintah Untuk menunjukkan hubungan konsumsi rumahtangga dijelaskan pada tabel 14. Nilai pengeluaran rumah tangga swasta pada harga agen (value of private household purchases as agent’s prices), VPA(i,s), suatu barang adalah pengeluaran agregatnya terhadap barang-barang yang diproduksi domestik (domestically produced good, VDPA(i,s), dan komposit dari impor barang-barang pada harga agen (composite imports of this good at agents’ prices, VIPA(i,s).
127
Tabe l 14. Sumber Pengeluaran Rumahtangga dan Pemerintah untuk Barang i di Wilayah s
Rumahtangga swasta
dimana:
Rumahtangga pemerintah
dimana:
Sumber: Hertel dan Tsigas (1997)
Nilai pengeluaran domestik oleh rumahtangga swasta pada harga pasar (value of domestic purchases by the private household at market price, VDPM(i,s), ditentukan setelah ditambahkan pajak komoditi domestik (domestic commodity taxes, DPTAX(i,s), dari pengeluaran barang-barang domestik (expenditure on domestic good, VDPA(i,s). Seperti juga pada pengeluaran barangbarang yang diproduksi domestik, untuk mendapatkan nilai impor dari rumahtangga swasta pada harga pasar (value of import by the private household at the market prices, VIPM(i,s), pajak untuk komoditi rumahtangga swasta IPTAX(i,s), ditambahkan dari nilai komposit impor pada harga agen (value
128
composite imports at agents’ prices, VIPA(i,s). Hubungan nilai pengeluaran pemerintah mekanismenya juga sama seperti rumahtangga.
4.3.2.4. Sumber Penge luaran Pe rusahaan dan Pendapatan Faktor Rumah Tangga Input perusahaan terdiri dari dua jenis yaitu faktor antara dan faktor primer. Aliran input antara dapat dijelaskan sebagai nilai pembelian perusahaan untuk komoditi i, sektor j, di regional s pada harga agen (value of firms’ purchases of i, by sector j, in region s at agents’ prices, VFA(i,j,s)), termasuk komponen domestik (the domestic components, VDFA(i,j,s)) dan komponen impor (imported components, VIFA(i,j,s)). Penambahan pajak domestik DFTAX(i,j,s) dari VDFA(i,j,s) menghasilkan nilai komponen domestik pada harga pasar (value of domestic components at market prices, VDFM(i,j,s). Demikian pula jika ingin mendapatkan nilai pasar komponen impor (market value of imported components, VIFM(i,j,s)), diperoleh dari VIFA(i,j,s) dikurangi pajak impor (imports taxes, IFTAX(i,j,s)). Hubungan tersebut lebih jelas ditunjukkan pada Tabel 15. Tabe l 15 juga menunjukkan aliran faktor produksi primer ke produksi. Nilai penjualan perubahan pada harga pasar (value of firms’s purchases at market prices,
VIFM(i,j,s)) dihitung dengan menambahkan pajak
untuk
faktor
endowmentt (taxes on factor endowmentts, ETAX(i,j,s)) dari nilai penjualan perusahaan pada harga agen (value of firms’ purchases at agents’ prices). Pada Pasar
Persaingan
Sempurna
(PPS)
mengisyaratkan
bahwa
perusahaan
memperoleh keuntungan nol (zero profits) sehingga menyebabkan pengeluaran agregat sama dengan nilai penjualannya.
129
Tabe l 15. Sumber Pengeluaran Sektor j dari Barang i atau Faktor Primer i Input Antara i:
dimana:
Faktor Primer i
Kondisi Zero Pure Profits
Sumber: Hertel dan Tsigas (1997)
Pendapatan faktor dari rumahtangga terdiri dari nilai jasa faktor, dimana termasuk didalamnya faktor-faktor yang mobile dan industri tertentu. Dengan menambahkan pajak pada penawaran rumahtangga dari faktor produksi i di region s, HTAX(i,s), dari nilai produk faktor pada harga pasar (value of factor product at market prices, VOM(i,s)), maka dapat ditentukan nilai endowment yang mobile pada harga agen (value at the mobile endowmentts at agents’ prices, VOA(i,s)). Hubungan ini dapat terlihat pada Tabel 16. Pembedaan dibuat antara faktor-faktor yang mobile dan yang tidak mobile yang pada awalnya akan dinilai dengan harga pasar pada satu harga dengan mengabaikan penggunaan industri. Penilaian penggunaan industri akan dinilai
130
pada harga pasar tersendiri. Untuk faktor yang tidak mobile, harga individu didefinisikan pada masing- masing faktor yang dibedakan. Tabe l 16. Sumber Pendapatan Faktor Jasa Rumahtangga untuk Faktor i Faktor yang Mobile de ngan Sempurna (i ε ENDWM): +…
Faktor yang Tidak Mobile de ngan Sempurna (i ε ENDWS): +…
Sumber: Hertel dan Tsigas (1997)
4.3.2.5. Dispos isi dan Sumbe r Pendapatan Regional Di dalam model GTAP, Hertel dan Tsigas (1997) mengasumsikan bahwa terdapat “rumahtangga super” pada masing- masing eko nomi yang disebut rumahtangga regional. Keuntungan asumsi ini adalah kesejahteraan rumahtangga ini menawarkan penggunaan kesejahteraan regional yang diproksi, yang memfasilitasi analisis antar region jika ada intervensi kebijakan. Sebagai model GDP Nasional, pengeluaran permintaan akhir (pengeluaran rumah tangga super) harus seimba ng atau sama dengan pendapatan rumahtangga. Seluruh pendapatan di dalam suatu region diasumsikan ditambahkan pada rumahtangga di region tersebut. Pendapatan regional terdiri dari pembayaran
131
faktor dikurangi depresiasi ditambah pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah. Dua sisi pengeluaran secara detil dijelaskan pada tabel 17 berikut. Tabe l 17. Disposisi dan Sumber Pendapatan Regional EXPENDITURE(r) =
INCOM E =
Pendapatan faktor bersih Pajak pendapatan rumahtangga Pajak impor faktor produksi Pajak impor pengeluaran konsumsi rumahtangga Pajak konsumsi barangbarang domestik Pajak impor pengeluaran pemerintah Pajak do mestik konsumsi pemerintah Pajak impor produk perusahaan Pajak produksi barang domestik Pajak ekspor
Pajak impor
Sumber: Hertel dan Tsigas (1997)
Implikasi fiskal dari adanya pajak/subsidi, termasuk kuota, tertampung di dalam perbandingan nilai transaksi pada harga agen dengan nilai transaksi pada harga pasar (atau harga pasar dengan harga dunia).
132
4.3.2.6. Sektor Global Seperti telah dijelaskan sebelumnya, terdapat dua sektor globa l di dalam model GTAP, yaitu sektor transportasi dan sektor bank globa l. Nilai jasa transportasi globa l untuk ko moditi tertentu yang dikirim pada rute tertentu VTWR (i,r,s), berbeda nilai fob dan cif. Tabel 18 menunjukkan total permintaan untuk jasa transportasi internasional yang agregat sepanjang seluruh rute dan komoditi. Harga jasa transportasi diasumsikan sama untuk semua rute dan komoditi. Tabe l 18. Sektor Transportasi Global Nilai jasa-jasa: VT dimana: VIWS(i,r,s)-
Sumber: Hertel dan Tsigas (1997)
Sektor bank global berperan sebagai penghubung antara tabungan dan investasi. Investasi regional bersih (depresiasi) membentuk suatu komposit barang investasi (GLOBINV). Seluruh rumah tangga regional menunjukkan harga yang sama untuk tabungan (PSAVE) dan tabungan agregatnya harus sama dengan investasi global. Investasi regional bersih ditambah modal stok, VKB(r), memberikan periode akhir modal stok, VKE(r). Belakangan tidak tersedia penggunaan produksi selama periode sekarang, seperti perlakuan stok modal di dalam model nasional. Awalnya (tersedia untuk penggunaan dengan segera) stok modal dialokasikan kepada sektor-sektor berdasarkan fungsi CET (constant elasticity transformation) jika diperlakukan sebagai komoditi yang tidak bergerak
133
(unmobile) atau sebagai permintaan pada harga yang seragam ke semua sektor jika diperlukan sebagai komoditi yang mobile. Tabe l 19. Permintaan untuk Barang-barang Investasi Regional ΣrεREG -VDEP(r)] = ΣrεREG SAVE(r) Stok Moda l di Wilayah r: +REGINV(r) -VDEP(r) =VKE (r) Sumber: Hertel dan Tsigas (1997)
4.3.2.7. Kondisi Keseimbangan Umum Penawaran dan permintaan pada setiap komoditi, termasuk faktor- faktor produksi, harus sama di dalam model keseimbangan umum. Demikian pula dengan nilai penawaran harus sama dengan nilai permintaan. Untuk komoditi yang diperdagangkan, nilai output dihubungkan dengan nilai penjualan. Kuantitas komoditi pada gilirannya akan berhubungan dengan penggunaan input melalui fungsi produksi. Hubungan terakhir yang digambarkan juga dalam nilai. Untuk melengkapi keseimbangan umum, penawaran faktor harus sama dengan permintaan untuk faktor; atau ekuivalen, nilai harus sama. Untuk faktor yang mobile, kondisinya dijelaskan pada Tabel 19. Untuk faktor yang tidak mobile, kondisinya dijelaskan permintaan pada industri harus sama dengan penawarannya. Permintaan spesifik menurut fungsi transformasi. Ini harus ditambahkan ke penawaran. Sehingga, QO=ΣQFE. Tapi QFE secara langsung proporsional dengan
134
QO dan menambahkan 1 dengan asumsi fungsi produksi dan tingkah laku perusahaan. Dengan harga pasar untuk faktor, VOM=ΣVFE. GTAP
memasukka n
seluruh
pe rsamaan
yang
dipe rluka n
unt uk
keseimbangan umum, pada sebagaian besar model CGE, variabel pengganti (atau slack) masuk di dalam variasi persamaan yang membuat persamaan-persamaan tersebut menjadi model yang mudah diubah. Pada GTAP, variabel slack dimasukkan ke dalam persamaan market clearing untuk komoditi yang diperdagangkan dan faktor- faktor yang mobile, diantara yang lain. Di pasar, variabel slack berarti bahwa harga dapat diset menjadi eksogen dengan penawaran dan permintaan dalam kondisi keseimbangan bisa berubah, merefleksikan kelebihan penawaran dan permintaan, dan memfasilitasi analisis kesimbanga n.
4.3.3. Perilak u Produsen dalam Model Global Trade Analysis Project Bagian ini menjelaskan bagaimana perilaku produsen di dalam model GTAP dengan bantuan gambar pohon produksi dan asumsi-asumsi kunc i. Konsep dasar perilaku produsen dalam model GTAP mengacu pada Oktaviani (2008). Ilustrasi matematika akan digunakan pula dengan bentuk level dan bentuk linier. Penjelasan ini aka n membantu memahami adanya fenomena perubahan teknologi dan pemodelan untuk input yang tidak memiliki mobilitas sempurna antar sektor. Bagian akhir menjelaskan struktur persamaan produksi di dalam model GTAP.
4.3.3.1. Pohon Produksi Mengacu pada Oktaviani (2008), maka di da lam Gambar 27 dijelaskan alur produksi untuk menghasilkan output yang dilakukan produsen. Sebelum menghasilkan produk final, produsen akan melakukan kegiatan produksi yang
135
menggunakan input primer ataupun input antara. Asumsi yang digunakan pada persamaan produksi adalah separabilitas. Fungsi produksi yang sesuai adalah fungsi produksi constant returns to scale. Kondisi separabilitas dapat terlihat, pada hubungan antara input primer dan input antara. Pada saat itu kombinasi optimal dari lahan, tenaga kerja dan moda l (kapital) memiliki harga yang tidak berbeda (sama) dengan input antara, dan elastisitas substitusi antara input primer dengan input antara adalah sama. Elastisitas substitusi antara input primerintermediate ada lah ko nstan. Produk Final (qo) ESUBT
Barang Antara (Intermediate) (qf) ( )
Nilai Tambah (qva) CES
ESUBVA
Lahan
Tenaga Kerja
Leontief
Kapital
(qfe) Sumber: Oktaviani (2008)
Gambar 27. Ilustrasi Diagram Pohon Produksi Gambar 27 memperlihatkan bahwa tingkat bawah dari tahapan produksi, produsen diasumsikan meggunakan produksi CES (Constant Elasticity of Substitution). Berikut akan dijelaskan fungsi produksi CES sehingga diperoleh persamaan dalam bentuk perubahan persentase dan produksi utama (CES), fungsi produksi turunan (derived demand), permintaan input primer, dan permintaan input antara. Persamaan-persamaan tersebut secara matematis dituliskan:
136
1. Persamaan Fugsi Prod uks i CES:
2. Fungsi Permintaan Turunan (Derived Demand):
3. Koefisien SVA adalah pangsa biaya da n PVA ada lah indeks harga (price index)
4.
Bentuk Linier CES: unt uk Permintaan Input Kasus dua input a. Permintaan input b. Total Diferensiasi
c. Jika kedua ruas dibagi dengan X1, maka diperoleh persamaan dalam bentuk perubahan persentase
5. Bentuk Linier CES: untuk Indeks Harga Persamaan Indeks Harga a. Untuk menghasilkan bentuk linier, maka kita perlu melakukan 1.
Total diferensiasi
2.
Membagi kedua ruas dengan P
3.
Menulis ulang persamaan dengan pangsa biaya
137
b. Sehingga diperoleh hasil: 6. Bentuk Linier CES: untuk Intermediate a. Persamaan VADEMAND b. Persamaan ini mencerminka n permintaan untuk komposit input primer setiap sektor
c. Persamaan INTDEMAND Persamaan ini mencerminka n permintaan input intermediate setiap sektor
Dari persamaan-persamaan di dalam fungsi produksi dapat dilakukan shock perubahan teknologi.
4.3.3.2. Variabel Pe rubahan Teknolog i Oktaviani (2008), menjelaskan bahwa di dalam proses produksi yang realitas, terdapat perubahan teknologi yang akan mempengaruhi tingkat output yang dihasilkan. Karena di dalam model GTAP perubahan teknologi tidak tertangkap di dalam persamaan-persamaannya, maka ia dapat menjadi variabel eksogen yang akan mempengaruhi variabel lain sehingga dapat dilakukan shock perubahan teknologi. Perubahan teknologi disini dimaksudkan sebagai suatu variabel yang dapat meningkatkan output akhir tidak langsung, seperti faktor
138
primer, input antara dan nilai tambah. Masing- masing akiba t peruba han teknologi ini di dalam mode l GTAP disimbolkan: 1. ao(p) variabe l yang meningka tka n output 2. afe(e,p) variabel yang meningkatkan faktor primer 3. af(t,p) variabel yang meningkatkan komposit ko mod iti intermediate 4. ava(p) variabel yang meningkatkan nilai tambah Catatan: p – komoditi yang diproduksi, t – komoditi yang diperdagangkan, e – komoditi endowmentt Dampak perubahan teknologi terhadap Input primer, jika AFEe,p meningkat, maka akan menghasilkan tiga efek, yaitu: 1. Menurunkan permintaan terhadap sumber daya (input), asumsi harga tetap 2. Menurunkan harga efektif dari input sehingga mendorong terjadinya substitusi input 3. Penurunan biaya yang terjadi aka n mendor ong terjadinya pe ningka tan output Dampak peruba han teknologi terhadap Input Primer dapat dijelaskan melalui persamaan-persamaan: 1. Persamaan Turunan Permintaan
2. Persamaan Harga CES
139
4.3.3.3. Mobilitas Input ya ng Tidak Sempurna Pada kenyataannya, terdapat pula beberapa input yang tidak bergerak (mobile) antar sektor, misalnya lahan di sektor tanaman pangan, tenaga kerja terlatih, dan mesin dan peralatan yang memang kegunaannya sudah tertentu. Konsekuensinya , tingkat pengembalian input berbeda-beda pada setiap sektor. Di dalam GTAP dimungkinkan bagi input yang tidak memiliki mobilitas (bergerak) sempurna, atau seringkali disebut “sluggish factors” seperti terlihat pada Gambar 28.
Makanan (Food)
Pengolahan (Manufactures)
Jasa (Services)
ETRAE
Modal (capital) Sumber: Oktaviani (2008)
Gamba r 28. Sluggish endowment Catatan: endowment dapat pula bergerak dengan sempurna
Oleh karena itu, persamaan penawaran untuk “Sluggish endowments” aka n sedikit berbeda. Fungsi produksi untuk input dengan mobilitas tidak sempurna digunakan fungsi CET (Constant Elasticity Transformation), yaitu: 1.
Bentuk fungsional persamaan CET
2.
Menggunaan Indeks Harga, kita tentukan
140
4.3.3.4. Struktur Produksi Hubungan pembelian (pengeluaran) agen produsen di dalam perekonomian yang telah terbuka dalam mode l GTAP diilustrasikan pada Gambar 29. Sisi kiri menunjukkan industri sebagai pengguna barang intermediate (ImtUSER) yang diproduksi di dalam negeri (domestik). Industri- industri di sektor-sektor utama seperti pertanian, pertambangan, pengolahan, listrik gas da n air, ba ngun an, perdagangan, keuangan dan jasa, memanfaatkan input- input terlebih dahulu. Daerah di da lam garis putus-putus merupakan penggunaan/pembelian domestik. Selain menggunakan input dan faktor endowmentt, penggunaan akhir (final user) juga menggunakan input dari luar atau melakukan ekspor.
ImtUSER
IN
AgricMining (pertanian pertambangan) Manufacture (industri pengolahan) Utilities (listrik, air bersih)
Investasi Households/RT Gov/Pemerintah
FINAL USER
Sumber: Oktaviani (2008)
Gambar 29. Pembelian di dalam Model GTAP
Model GTAP dikatakan sebagai nested model atau model yang bertingkat, dimana sebelum menghasilkan output akhir, si produsen akan melakukan tahaptahap di dalam proses produksi, seperti penggunaan alternatif input dan proses produksi itu sendiri. Pada
masing- masing tingkat dimungkinkan untuk
menggunakan fungsi atau persamaan yang berbeda-beda. Misalnya, di dalam
141
model menggunakan model fungsi Leontief untuk menjelaskan keterkaitan antara pengunaan barang I hingga barang ke-C dan input primer pada tingkat paling atas. Fungsi Leontief menjelaskan koefisien teknologi dari produksi masing- masing komoditi/barang. Fungsi produksi ini dikatakan telah tetap (fixed) karena diasumsikan tidak ada perubahan teknologi dalam waktu relatif pendek di sebagian besar wilayah/negara. Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 27, untuk menghasilka n sebuah output, qo(j,s), produsen/industri akan mengkombinasikan penggunaan nilai tambah faktor primer, qva(j,s), de ngan input antara qf(i,j,s), berdasarkan fungsi produksi Leontief. Model GTAP juga mengasumsikan memiliki skala pengembalian yang konstan (Constant Returns to Scale (CRS)) dan dalam pasar persaingan sempurna. Dalam memproduksi barang 1, 2, 3 hingga barang ke-C, produsen dihadapkan pada penggunaan input barang domestik dan atau dari impor jika input domestik tidak tersedia atau lebih mahal. Untuk menjelaskan bagaimana perilaku produksi yang menggunakan barang domestik dan atau impor digunakan fungsi produksi CES. Barang-barang output yang dihasilkan pada tingkat kedua merupaka n input antara (intermediate) yang paling efisien yang akan digunakan pada tahap selanjutnya untuk menghasilkan output di tingkat teratas (Output). Produsen yang menghasilkan produk 1, 2, 3 hingga produk ke-C melakuka n tindakan dihadapkan pada pilihan apakah ia akan menggunakan barang impor atau domestik. Pilihan-pilihan produsen ini dikatakan melakukan substitusi impor atau domestik seperti yang terlihat pada Gambar 30. Tingkah laku produsen ini tertangkap di dalam model produksi CES.
142
KET.
Output Bentuk Fungsional
Leontief
Up to
Barang 1
Barang C
Input Primer
CES
CES
CES
Barang Domestik 1
Barang Impor 1
Barang Domestik C
Barang Impor C
Skilled Labor
CES
Region
Region
1
2
Tenaga Kerja
Kapital
Input / Output
Sumber Daya Alam
Lahan
UnSkilled Labor
Region
Sumber: Oktaviani (2008)
Gambar 30. Input Antara yang Bersumber dari Dalam Negeri dan Barang Impor dalam Model GTAP
Faktor produksi primer terdiri dari: land, skilled and un-skilled labor, capital, da n natural resources. Jumlah faktor produksi primer yang digunakan adalah sebesar qfe(i,j,s), dimana setiap faktor dapat saling bersubstitusi melalui fungsi Constant Elasticity of Substitution (CES).
143
Input antara (intermediate inputs) dibedakan menjadi yang berasal dari produksi dalam negeri qfd(i,j,s) dan barang impor, qfm(i,j,s) berdasarkan asumsi Armington. Barang impor tersebut merupakan gabungan impor dari beberapa region lain yang ada di dalam model yang diasumsikan dengan fungsi CES. Fungsi CES secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut:
dimana: y = Output x1 = Input 1 x2 = Input 2 A = Parameter efisiensi G = parameter substitusi σ = parameter elastisitas, dimana Dari penjelasan struktur produksi tersebut, dapat diketahui bahwa di dalam model terdapat tiga sumber permintaan input antara, yaitu: sektor industri (produsen), sektor pemerintah, dan sektor rumah tangga. Selanjutnya bagian impor dari ketiga sektor tersebut memiliki komposisi regional yang sama, meskipun secara agregat bagian impor tersebut dapat berasal dari sumber yang berbeda. Impor dibedakan menurut negara asal, sehingga menimbulkan biaya transportasi yang nilainya proporsional terhadap nilai perdagangan. Harga domestik dari barang impor yang masuk ke region r dari negara s adalah sama dengan jumlah harga fob ekspor dari region s, pajak ekspor di region s, biaya transportasi, dan tarif impor yang berlaku di region r. Gambar 31 menunjukkan agragasi impor dan biaya transportasi dari mode l GTAP.
144
Impor Industri
Impor Pemerintah
Impor Rumah
Impor
Dari Region s (Gross Biaya Transportasi)
Dari Region r (Gross Biaya Transportasi)
Jasa Transportasi
Dari Region
Dari Region r
Dari Region s
Jasa Transportasi
Dari Region
Dari Region s
Dari Region s
Sumber: Oktaviani (2008)
Gambar 31. Stuktur Impor Model GTAP 4.3.4. Perilak u Konsume n dalam Model Global Trade Analysis Project Konsep dasar perilaku konsumen dalam model GTAP mengacu pada Oktaviani (2008). Struktur yang dibangun da lam model GTAP didasarkan pada teori Kons umsi Sistem Permintaan (Consumer Demand System/CDS) dimana konsumen diasumsikan akan memaksimumkan utilitasnya. Seperti yang dijelaskan pada konsep dasar GTAP, terdapat rumah tangga regional yang menampung seluruh pengeluaran rumah tangga swasta (private) dan pemerintah. Oleh karena itu, tingkah laku rumah tangga regional merupaka n pe njumlahan agregat utilitas dari konsumsi swasta (private), konsumsi pemerintah, dan tabungan.
4.3.4.1. Komponen-Komponen Pe rmintaan Akhir Rumahtangga Regional Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada model GTAP, seluruh pengeluaran dari masing- masing agen akan masuk di dalam rumahtangga
145
regional. Dalam ekonomi faktual komponen ini tidak ada, namun untuk memudahkan pemahamam model GTAP yang menghubungkan ekonomi satu negara de ngan negara lain, maka rumah tangga seolah-olah ada. Rumahtangga regional menerima semua pendapatan yang dihasilkan dalam wilayah. Untuk memudahkan pemahaman dan pengkodean di model GTAP, maka model seperti pada Gambar 32 menjelaskan secara ringkas. Misalnya, notasi VDPA, huruf pertama nilai kuantitas atau harga (Value), huruf kedua menunjukkan pasar Domestik atau Impor, huruf ketiga menunjukkan jenis agen/pelaku swasta (Private), Pemerintah (Government), dan Perusahaan (Firm), dan huruf keempat menunjukkan jenis harga di tingkat Produsen/Agen, Pasar (Market) atau Dunia (World). Notasi: VDP A: Value of Di mestic P rivate Household P urchases at Agen P rices Huruf ke-1: Value=Nilai, Q=Quantities, P =Harga Huruf ke-2: P asar (Domestik, import) Huruf ke-3: Jenis agen/pelaku (P GF) Huruf ke-4: Jenis harga (P rdsen/Agen, P asar (M), Dunia (World)
Nilai Domestik Balanja RT Swasta atas Dasar Harga P rodusen (Fungsi CDE)
RT Regional
Pemerintah
Pengeluaran Swasta
VDGA
VDPA
Nilai Domestik belanja P emerintah atas dasar Harga P rodusen (Fungsi Cobb-Douglas)
VDA Sewa Input, Nilai Output atas Dasar Harga P rodusen
•
N Sektor yang hanya menghasilkan 1 output • Laba Nol • CRS
Produsen
VDFA
Nilai Domestik Belanja P roduse atas Dasar Harga P rodusen
Sumber : Oktaviani (2008)
Gambar 32. Komponen-Komponen Permintaan Akhir Rumahtangga Regional Dalam membelanjakan pendapatannya, rumahtangga regional diasumsikan menggunakan fungsi kepuasan Cobb Douglas. Keunggulan menggunakan
146
pendekatan rumahtangga regional adalah terdapat indikator kesejahteraan menurut fungsi rumahtangga regional (Gambar 33), Sedangkan kelemahan mengunakan pendekatan ini adalah tidak tertangkapnya hubungan antara pengeluaran pemerintah dan pajak. Rt Regional
PRIVEXP
SAVE
RT S wasta
GOVEXP
Tabungan
Ru mahtangga Regional: • Menerima Semua Pendapatan yang Dihasilkan dalam Wilayah • Membelan jakan Pendapatannya Berdasarkan Fungsi Kepuasan CobbDouglas
Pemerintah
Keunggulan: Terdapat Indikator Kesejahteraan Menurut Fungsi Utilitas Rt Regional Kelemahan: Tidak Terdapat Hubungan Antara Pengeluaran Pemerintah dan Pajak
Sumber : Oktaviani (2008)
Gambar 33. Rumahtangga Regional di dalam Mode l GTAP serta keunggulan da n Kelemahannya 4.3.4.2. Konsums i Rumahtangga Swasta (Private) Seperti pada struktur produksi, struktur konsumsi dari sistem permintaan konsumen bersifat nested (bertingkat). Tingkat teratas menggambarkan konsumsi Cobb Douglas berderajat 1 (α=1). Untuk menggambarkan tingkah laku rumahtangga swasta di dalam mode l GTAP digunakan fungsi CDE (Constant Defference Elasticity). Seperti ditunjukkan
pada
Gambar
34,
masing- masing
mengkonsumsikan kombinasi barang qp 1 hingga qp n .
rumahtangga
swasta
147
Utilitas Per Kapi ta Cobb-Douglas Functi on, σ=1
Swasta Pengeluaran UP
Tabungan QSAVE/POP
Pemerintah Pengeluaran UG/POP Fungsi Cobb-Douglas, σ=0
Fungsi CDE Komoditi qp 1
qp 2
qp n
qg 1
qg 2
qg n
Sumber: Oktaviani (2008)
Gambar 34. S istem Permintaan Konsumen Dalam
mengkonsumsi
berbagai
kombinasi
komoditi,
keputusan
rumahtangga swasta sangat dipengaruhi oleh pendapatan dan harga relatif dari barang-barang yang di konsumsi, sehingga dapat dirumuskan suatu persamaan permintaan rumahtangga swasta. qpi = ∑ EPjk ⋅ ppk + EY j ( yp − pop ) + pop k
dimana qp =
Pangsa Konsumsi Rumahtangga Swasta
EP
=
Elastisitas Permintaan terhadap Harga
Pp
=
Pangsa Harga Relatif
EY =
Elastisitas Permintaan terhadap Pendapatan
Yp =
Pangsa Pendapatan (Pengeluaran)
pop =
Populasi
Fungsi ini berbeda pada masing- masing pilihan bentuk fungsional. Rumus yang digunakan untuk mengkalibrasi EP dan EY bervariasi, tergantung dari preferensi rumahtangga swasta. Dalam kasus ini, tergantung dari pangsa pengeluaran dan harga relatif. Elastisitas permintaan (EP dan EY)
148
berhubungan dengan parameter preferensi dari fungsi CDE (Constant Difference Elasticity).
4.3.4.3. Review Teori Permintaan Untuk lebih menjelaskan bagaimana persamaan-persamaan konsumsi di dalam model GTAP dapat dibangun, be rikut dijelaska n tentang teori permintaan. 1. Persamaan permintaan yang tidak direstriksi untuk rumahtangga tunggal dan pada tingkat harga tertentu (pasar, regional, dunia), yaitu:
Q1 = F ( prices, income) ) 2. Persamaan permintaan yang tidak direstriksi untuk rumahtangga tunggal dan sudah dalam bentuk pe rubahan persentase memiliki be ntuk: qpi = ∑ EPjk ⋅ ppk + EYi ⋅ yh k
dimana: EP ik adalah elastisitas harga barang itu sendiri untuk k=1, dan elastisitas silang untuk≠i k ( ordinary, uncompensated, Marshallian) EYi adalah elastisitas pendapatan (pengeluaran /Engel) Penjumlahan total dari elastisitas : N*N+N Selanjutnya,
konsumen
diasumsikan
memperoleh
kepuasan
dari
mengkonsumsi sejumlah barang yang dinotasikan dengan persamaan:
U = U (Q1, Q 2, Q3,....Qn ) Konsumen memilih
barang Q1,Q2
dan seterusnya dalam rangka
memaksimumkan utility/kepuasan, sementara pengeluaran hanya sebesar YH. Kondisi ini menyebabkan adanya restriksi fungsi permintaan.
149
Kita ingatkan kembali fungsi permintaan Hicksian atau fungsi permintaan yang diko mpensasi/diimbangi. Fungsi permintaan ini mensyaratkan bahwa seorang individu akan tetap mempertahankan utilitasnya disaat harga suatu komoditi berubah, sehingga yang terjadi adalah pendapatannya akan ”terimbangi” dengan melakukan substitusi dengan barang lain, sehingga kesejahteraannya tidak berubah (Nicholson, 2002). Persamaan untuk fungsi permintaan Hicksian adalah sebagai beriut: Qi = F ( prices,U ) atau dalam bentuk pe ruba han persentase qpi = ∑ CPik ⋅ ppk + EYi ⋅ u ' k
dimana: CP adalah elastisitas permintaan yang diko mpe nsasi (Hicks ian) Persamaan ini dapat diubah menjadi Elastisitas Harga (EP) Marshallian (Fungsi permintaan Marshallian menyatakan bahwa adanya perubahan harga barang mengakibatkan utilitas seseorang berubah (konsumen bersedia mengubah utilitasnya) karena pe ndapa tannya ikut be ruba h akibat perubahan barang tersebut) dengan menggunakan dekomposisi Slutsky, yaitu: CPij = EPij + CONSHR j ⋅ EYi
Sehingga diperoleh elastisitas substitusi Allen yang didefinisikan sebagai:
σ ij =
CPij CONSHR j
= σ ji
Terdapat dua keunggulan ketika menggunakan pendekatan maksimisasi utilitas, yaitu: a. Interpretasi kesejahteraan konsumen dari hasil yang diperoleh dapat dilakukan b. Dapat merestriksi jumlah elastisitas independen sesuai dengan keperluan.
150
Persamaan permintaan tetap optimal dengan beberapa kondisi tambahan seperti: 1.
Homogenitas harga (netralitas uang): ketika harga dan pendapatan samasama meningkat 1 persen maka permintaan tidak akan mengalami perubahan:
∑ EP
ik
+ EYi = 0
∀i
k
2.
Agregasi Engel (Kendala anggaran): ketika pendapatan meningkat 1 persen maka nilai total dari permintaan meningkat 1 persen:
∑ CONSHR
k
⋅ EYk = 1
k
3.
Kondisi Simetri: σ ij = σ ji Ada nya homogenitas mengakibatkan Agregasi Engel dan kondisi simetri
menurunkan jumlah elastisitas ”independent” sampai dengan setengahnya. Dimungkinkan untuk menurunkan jumlah tersebut lebih lanjut dengan melakukan spesifkasi bentuk fungsional da ri U. Elastisitas ke mudian menjadi fungsi pangsa pendapatan (budget share) dengan jumlah parameter yang terbatas. Dengan melakukan kalibrasi pada beberapa elastisitas yang telah tertentu, maka dapat menduga semua parameter. Terdapat beberapa catatan dalam pemilihan bentuk fungsi utilitas rumahtangga, yaitu : 1.
Fungsi Cobb Douglas (fixed budget shares) atau pangsa pengeluaran yang tetap sehingga tidak ada parameter yang diestimasi
2.
Linier Expenditure System (fixed marginal budge shares), terdapat N parameter yang diestimasi (N-1 pangsa marginal + pangsa total pengeluaran barang mewah)
151
3.
Fungsi CES, terdapat 1 parameter yang diestimasi. Seringkali beberapa pertanyaan dikemukakan, bagaimana cara membuat 2N
elastisitas dari literatur yang ada? Dimana, N elastisitas harga sendiri, dan N elastisitas pendapatan (pengeluaran). Jawaban yang paling mudah adalah dengan menggunakan bentuk fungsional dualitas CDE (the Constant Difference of elasticity). Lalu bagaimana bentuk fungsi ini? Berikut akan dijelaskan bagaimana fungsi ini. Sebelumnya akan diingatkan kembali mengenai teori dualitas. Pemilihan Qi untuk memaksimasi utilitas dengan kendala anggaran, akan menghasilkan fungsi: Qi = F (Pr ices,E ) Jika U ∗ = MaxU , maka E adalah biaya minimum untuk mencapai kepuasan sebesar U* Qi = G (Pr ices, E ) dimana: G merupakan fungsi minimum (minimum expenditure function) Fungsi permintaan dapat diturunkan dari U atau G. CDE merupakan bentuk khusus dari G , sehingga dapat diperoleh : 1. Fungsi pengeluaran: E = G ( p,u ) 2. Normalisasi fungsi pengeluaran
(
(zi = pi E )
)
G E −1 p, u = G ( z , u ) = 1 ........................................................................(4.1) 3. Sehingga fungsi pengeluaran menjadi (Hanoch): G ( z , u ) = ∑ Biu γ i β i ziβ i .............................................................................(4.2) i
152
dimana,
β i = SUBPAR γ i = INCPAR
SUBPAR = Substitusi Parameter INCPAR = Income Parameter
4. Dengan demikian persamaan permintaan menjadi: Qi = dG dPi ...........................................................................................(4.3) 5. Konversikan persamaan permintaan tersebut dalam bentuk perubahan persentase 6. Elastisitas harga dan pendapatan (pengeluaran) merupakan fungsi dari pangsa pengeluaran (budget shares) serta SU BPAR dan INCPAR 7. Elastisitas parsial Allen dari dua komoditi yang saling bersubstitusi antara i dan k menghasilkan persamaan : APEik = α i + α k − ∑ CONSHRmα m .......................................................(4.4) m
dimana m, i, k ∈ TRAD_COMM dan α i = 1 - βi 8. Persamaan Elastisitas harga barang itu sendiri; APEij = 2α i −
αi CONSHRi
− ∑ CONSHRm ⋅ α m ......................................(4.5) m
Mengapa disebut fungsi CDE (Constant Defference Elasticity) ? Persamaan Elastisitas Parsial Allen dari dua komoditi yang saling bersubstitusi antara i dan k dituliskan seba gai berikut:
σ ik = 1 − β i − β k − β ave ..........................................................................(4.6) β ave ; tidak konstan, tetapi Perbedaan antara ke dua σ
σ ik − σ ij = − β k + β j adalah konstan
153
Sehingga dapat diperoleh fungsi CDE; 9. Elastisitas Pendapatan komoditi itu sendiri;
EYi = (1 − ai )sm(CONSHRmgm ) − 1gm + SmCONSHRmgmam + ai − SmCONSHRmam
..(4.7)
10. Elastisitas harga pada permintaan yang dikompensasi: COMPDEMij = APEij ⋅ CONSHRj .......................................................(4.8)
Beberapa kasus khusus dari Fungsi CDE yang menjadi catatan adalah: a. Leontief:
γ i = 1 dan β i = 1
b. Cobb-Douglas:
γ i = 1 dan β i = 0
c. CES:
γ i = 1 dan β i = b
d. Homogenus CES:
γ i = γ dan β i = b
dimana:
γ = Elastisitas harga β = Elastisitas Pendapatan Cara mengkalibrasikan: 1. Asumsikan pada CDE dengan parameter b sebanyak N dan parameter g juga sebesar N maka kita dapat menduga besarnya N elastisitas harga sendiri (menggunakan rumus pangsa yang sangat kompleks cf.TAB file) 2. Pendekatan lain dengan mengestimasi N elastisitas harga sendiri da n N elastisitas pengeluaran. Dalam hal ini kita tidak menggunakan CDE, sehingga parameter β dan γ tidak diketahui. 3. Para ahli dapat menggunakan rumus yang kompleks dengan sedikit modifikasi ”modifikasi dan manuver” yang dapat mereka lakukan, maka besarnya
154 parameter β dan γ dari elastisitas harga sendiri dan elastisitas pengeluaran dapat ditentuka n. Namun terdapat permasalahan ”The Danish Drinking”, yaitu kasus yang terjadi di Denmark, dimana berdasarkan literatur elastisitas harga masyarakat Denmark terhadap minuman keras adalah -2.5 dan elastisitas pengeluaran sebesar 1.5. Namun berdasarkan data GTAP,
Denmark
membelanjakan semua
pendapatannya untuk minuman keras. Sehingga elastisitas harga sebesar -1 dan elastisitas pendapatan sebesar 1. Jika elastisitas mengikuti seperti yang terdapat dalam literatur, maka parameter β dan γ tidak diketahui. Dengan demikian jika elastisitas dari literatur tetap ingin digunakan maka harus dilakukan beberapa penyesuaian terlebih dahulu. Penyesuaian tersebut dapat dilakukan pada rumahtangga secara individu dan agregat, seperti : Qi = F ( prices, YH )
level rumahtangga tunggal
QPi = F ' ( prices, YP )
level seluruh rumahtangga
QPi = POP ⋅ Qi
dan
YP = POP ⋅ YH
qi = qpi − pop
dan
yh = yp − pop
Persamaan permintaan yang tidak direstriksi (perubahan persen, 1 rumahtangga) qi = ∑ EPik ppk + EYi yh k
qpi = ∑ EPik ppk + EYi ( yp − pop ) + pop k
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perilaku rumahtangga swasta dapat memaksimalisasi kepuasan dengan kendala anggaran dapat dijelaskan melalui fungs i CDE, dimana dalam hal ini fungs i tersebut homothetic. Dalam
155
perhitungan elastisitas rumahtangga swasta perlu memasukkan unsur tingkat pertumbuhan penduduk ke dalam model. Fungsi CES dan Cobb-Douglas merupakan bentuk khusus dari CDE. Dimana fungsi CDE berada diantara fungsi CES dan bentuk yang dapat fleksibel. Dengan demikian kalibrasi untuk mengestimasi elastisitas harga sendiri dan elastisitas pendapatan menjadi lebih mudah dilakuka n.
4.3.4.4. Permintaan Pasar Permintaan terhadap suatu produk merupakan produk kombinasi dari permintaan semua agen pelaku ekonomi Produsen (Firm), Rumahtangga swasta (Private), dan Pemerintah (Government). Persamaan permintaan pasar dapat ditulis dalam persamaan: q0 (i ) = sum( j , SHRFM (i, j ) * qf (i, j )) + SHRPM (i )qp(i ) + SHRGM (i )qg (i )
……………………(4.9)
Respon total suatu permintaan tergantung pada pangsa setiap pelaku dan teknologi/preferensi. Elastisitas pasar dihitung berdasarkan respon kuantitas yang diperoleh dari pengamatan dan harga. Menurut hukum Dalton, tingkat intervensi tergantung pada besarnya elastisitas permintaan dan penawaran, sehingga persamaan dapat dituliskan sebagai:
ps pm = demand elasticity sup ly elasticity Ketika permintaan elastis, sementara penawaran inelastis maka beban pajak lebih banyak ditanggung oleh produsen. Ketika permintaan inelastis, sementara penawaran elastis, maka beban pajak lebih banyak ditanggung oleh konsumen.
156
Elastisitas permintaan pada model CGE umumnya (GTAP
khususnya)
menentukan respon setiap pelaku dalam model. Ketika dikombinasikan dengan elastisitas penawaran, akan dapat diketahui arah da ri pe ruba han harga (naik/turun) dan besaran dari peruba ha n harga/kuantitas yang terjadi.
4.3.4.5. Struktur Konsumsi Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, rumahtangga regional aka n mengalokasikan pendapatannya (income) untuk konsumsi rumahtangga swasta, rumahtangga pemerintah, dan invetasi. Gambar 35 mengilustrasikan perilaku ketiga agen ekonomi untuk aktivitas konsumsi di dalam model GTAP. KET Konsumsi Bentuk Fungsional
Input/ Output
Pemerintah
Rumah Tangga Swasta
Investasi
CobbDouglas
Barang 1
CES
Barang Domestik 1
Barang Impor 1
Up to
CDE
Barang C
Barang 1
CES
CES
Barang Domestik C
Barang Impor C
Barang Domestik 1
Sumber: Oktaviani (2008)
Gambar 35. Struktur Konsumsi dalam Model GTAP
Up to
Barang C
CES
Barang Impor 1
Barang Domestik C
Barang Impor C
157
Konsumsi rumahtangga dispesifikasikan dalam fungsi constant difference of elasticity (CDE). Fungsi CDE digunakan karena memiliki karakteristik seperti yang diharapkan, dimana preferensi rumahtangga tidak bersifat homothetic. Fungsi CDE yang non-homothetic secara konsisten dapat menjelaskan perubahan konsumsi akibat perubahan tingkat pendapatan rumahtangga. Konsumsi rumahtangga pemerintah dispesifikasikan mengikuti fungsi prfrerensi Cobb-Douglas dan bersifat eksogen. Permintan investasi juga bersifat eksogen. Kapital dihasilkan dengan cara yang sama dengan komoditi yang diperdagangkan tetapi tidak menggunakan input faktor primer. Dalam model GTAP permintaan antar- industri dispesifiksikan berdasarkan matrik Input-Ouput.
4.3.5. Pembentukan Modal Tetap dan Alokasi Investasi antar Negara Konsep dasar pembentukan modal tetap dan alokasi investasi antar negara dalam model GTAP mengacu pada Oktaviani (2008). Seperti juga struktur produksi, fungsi investasi untuk barang-barang modal (capital) diasumsikan multi tingkat dengan fungsi CES pada level terbawah dikombinasi dengan sumber daya barang yang berbeda dan fungsi produksi Leontief pada tingkat diatasnya yang mengkombinasi komposit barang-barang antara (intermediate). Diasumsikan bahwa barang modal dapat diproduksi tanpa menggunakan faktor primer. Pada tingkat dibawahnya, total biaya barang-barang impor dan barang-barang domestik diminimalisasi dengan kendala fungsi produksi CES dan tingkat output tertentu seperti pada Gambar 36. Pada bagian ini selanjutya membahas dua alternatif persamaan investasi dalam model GTAP. Pertama, komponen investasi masuk ke dalam hubungan tertutup dari tingkat pengembalian kapital antar region (negara). Kedua,
158
komponen investasi diasumsikan stok kapital global akan dikeluarkan atau tetap. Pada bagian akhir dibahas bagaimana cara memasukkan kedua aternatif persamaan investasi tersebut ke dalam satu set persamaan komposit dan bagaimana menggunakannya. Barang Modal (Kapital) Industri
Leontief
Barang 1
Barang C
CES
Leontief
Barang Do mestik 1 X2 1”dom”i
Barang Impor 1 X2 1”dom”i
Barang Do mestik C
Barang Impor C
Sumber: Oktaviani (2008)
Gambar 36. Struktur Permintaan Investasi
4.3.5.1. Persamaan Komponen Inve stas i Pertama Komponen investasi pertama terdapat hubungan yang erat antar tingkat pengembalian kapital regional. Komponen investasi pertama digambarkan oleh persamaan (4.10)-(4.11) berikut dibawah ini. Persamaan-persamaan tersebut digunakan untuk mengalokasikan investasi di setiap sektor dalam model ORANI (Dixon et al, 1982).
159
Jika diasumsikan produktivitas kapital secara geometris menurun setiap tahunnya, dengan tingkat deperesiasi sebesar DEPR(r) maka stok kapital diakhir periode (KE(r)):
KE (r ) = KB (r ) * [1 − DEPR(r )] + QCGDS (r ) ........................................(4.10) Diferensiasi pada kedua ruas, akan dihasilkan:
dKE (r ) = [1 − DEPR(r )]dKB (r ) + dQCGDS (r ) ..................................... (4.11) Dalam bentuk persamaan perubahan persentase persamaan menjadi: ke(r ) = [1 − DEPR(r )]* [KB(r ) KE (r )]* kb(r ) + ................................... (4.12) [dQCGDS (r ) KE (r )]* qcgds(r )
Jika rasio nvestasi terhadap kapital stok diakhir periode dirumuskan sebagai berikut: INVERATIO(r ) = PCGDS (r ) * [QCGDS (r ) KE (r )] = REGINV (r ) VKE (r )
dan juga:
[1 − DEPR(r )]* [KB(r ) KE (r )] = {VKB(r )[1 − DEPR(r )] + REGINV (r ) − REGINV (r )} VKE (r ) = {VKE (r ) − REGINV (r )} VKE (r ) = 1 − INVKERATIO(r ) Substitusi persamaan diatas ke persamaan (4.12) diperoleh persamaan (4.13):
ke(r ) = [1 − INVKERATIO(r )]* kb(r ) + INVKERATIO(r ) * qcgds(r ) (4.13) Jika “the current net rate of return on fixed capital” (RORC(r)) di wilayah r dirumuskan seba gai:
RORC (r ) = RENTAL(r ) PCGDS (r ) − DEPR(r ) .................................(4.14) Dalam bentuk perubahan persentase:
160 rorc(r ) = RENTAL(r ) RORC (r ) * PCDGDS (r ) *
[rental (r ) − pcgds(r )]
................................(4.15)
Jika diketahui: RENTAL(r ) RORC (r ) * PCGDS (r ) = ................................................(4.16) [RORC (r ) + DEPR(r ) RORC (r )]
Jika kita mendefinisikan rasio tingkat pengembalian (the ratio of gross return) sebagai fungsi :
GRNETRATIO(r ) = [RORC (r ) + DEPR(r )] RORC (r ) ........................(4.17) Jika persamaan (4.16) dan (4.17) disubstitusikan ke persamaan (4.15), maka diperoleh persamaan:
rore(r ) = GRNERATIO(r ) * [rental (r ) − pcgds(r )] Jika diasumsikan investor sangat berhati- hati dalam melihat efek ”net investment” dalam suatu wilayah, maka persamaan RORE (r ) menjadi:
RORE (r ) = RORC (r )[KE (r ) KB (r )] − RORFLEX (r ) ..........................(4.18) Investor juga diasumsikan melihat perubahan tingkat pengembalian modal di setiap wilayah adalah sama dengan perubahan tingkat pengembalian moda l global:
rore(r ) = rorg ......................................................................................(4.19) Dalam hal ini model akan mendistribusikan perubahan dari tabungan global diantara wilayah (negara) dengan membuat semua perubahan “expected regional rate of return” dengan persentase yang sama. Perubahan yang kecil pada RORFLEX (r ) (misal 0.5 ) berimplikasi bahwa perubahan 1 persen da ri KE (r ) diramalkan akan nenurunkan ”rate of return of capital” sebesar 0.5 persen. Dalam hal ini penawaran barang modal baru sangat
161
sensitif pada tingkat pengembalian yang diperkirakan. Dalam rangka menjaga agar perubahan RORE antar negara, model akan menghasilkan perubahan yang besar pada investasi regional.
4.3.5.2. Persamaan Komponen Inve stas i Kedua Komponen investasi yang kedua didasarkan pada asumsi komposisi regional dari kapital stok global dibiarkan tidak berubah dalam simulasi. Persamaan (4.20)-(4.21) menjelaskan persamaan ini. Asumsi pada komponen investasi kedua adalah komposisi regional dari stok modal tetap sehingga investasi bersih global dan regional bergerak secara bersamaan, mengikuti persamaan (4.20): globalcgds = [REGINV (r ) NETINV (r )]* qcgds(r ) − ............................(4.20) VDEP(r ) NETINV (r ) * kb(r )
Dimana globalcgds merupaka n peruba han persentase dari penawaran global kapital baru. Dalam kasus rorg (tingkat pengembalian modal global) adalah ratarata tertimbang dari regional rore: rorg =
∑ [NETINV (r ) GLOBALINV ]* rore(r )
rεREG
dimana:
NETINV (r ) = (REGINV (r ) − VDEP(r )) ..............................................(4.21)
4.3.5.3. Pengga bungan Persamaa n Komponen Inve stas i Penggabungan dua alternatif persamaan investasi di atas dimungkinkan dengan menggunakan parameter RORDELTA, yang merupakan parameter binary dan bernilai antara 0 dan 1. Jika RORDELTA=1, model yang digunakan adalah
162
mod el 1 (rate of rerurn), sedangkan jika RORDELTA=0 untuk model alternatif. Kombinasi tersebut menghasilkan persamaan (4.22) da n (4.23). RORDELTA * rore(r ) + (1 − RORDELTA) * {[REGINV (r ) NETINV (r )]* .......................(4.22) qcgds(r ) − [VDEP(r ) NETINV (r )]* kb(r )} = RORDELTA * rorg + (1 − RORDELTA) * globalcgds
Gabungan dua alternatif persamaan investasi menjadi :
RORDELTA * globalcgds + (1 − RORDELTA) * rorg = RORDELTA *
∑{[REGINV (r ) GLOBINV (r )]
rεREG
...........(4.23)
* qcgds(r ) − [VDEP(r ) GLOBINV (r )]* kb(r ) + (1 − RORDELTA) *
∑{[NETINV (r ) GLOBINV (r )]* rore( ) r
rεREG
Jika tingkat aktivitas investasi tiap wilayah ditentukan, hal ini menentukan kombinasi pengeluaran input domestik dan impor dari modal tetap yang digunakan
dalam
berproduksi
di
wilayah
r.
(VDFA(i,”cgds”,r)
dan
VIFA(i,”cgds”,r)). Hal ini = fungsi produksi yang menggunakan ”tradeable commodities”, tetapi tidak menggunakan input faktor. Diasumsikan per unit kapital da ri investasi di region r merupakan penggabungan komposit input- input antara dalam proporsi yang tetap dan menggunakan fungsi CES. Untuk membedakan dengan fungsi produksi, pembentukan kapital tidak membutuhkan jasa dari faktor primer. Dengan kata lain, penggunaan lahan, tenaga kerja dan kapital yang berhubungan dengan pembentukan kapital telah memasukkan input antara di sektor investasi.
4.3.6. Hubunga n antara Harga dan Pene rimaan Pajak dalam Model GTAP Konsep hubungan antara harga dan penerimaan pajak dalam model GTAP yang dijelaskan pada bagian ini mengacu pada Oktaviani (2008). Persamaan
163
keterkaitan antar harga merefleksikan keberadaan instrumen pajak dalam model. Di dalam model, setiap transaksi memiliki pajak yang terpisah. Persamaan keterkaitan antar harga juga dapat membantu menjelaskan perubahan penerimaan pajak. Persamaan-persamaan tersebut merupakan aliran nilai yang penting dalam mod el. Hubungan antara harga dan penerimaan pajak di dalam persamaan Model GTAP ditunjukkan pada Gambar 37. Instrumen pajak seba gai be ntuk intervensi pemerintah terhadap perekonomian akan dijelaskan dampaknya apabila terdapat perubahan kebijaka n. Kekuatan dampak dari suatu intervensi dihitung berdasarkan tingkatan. Pada model satu wilayah maka terlihat bahwa adanya intervensi akan berpengaruh pada harga atau nilai pada harga agen dan pasar.
Harga atau Nilai pada Harga Agen Model Satu Wilayah Harga atau Nilai pada Harga Pasar
Harga atau Nilai pada Harga Dunia
Model Multi Wilayah
Sumber: Oktaviani (2008)
Gambar 37. Dampak Intervensi di Dalam Model GTAP
Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, di dalam model GTAP dikenal istilah Power of Tax. Pada ekonomi tertutup satu wilayah yang tidak dikenai pajak, keseimbangna yang terjadi ditunjukkan pada nilai output pasar yang sama dengan nilai output di agen (VOM=VOA). Namun apabila pajak dimasukkan, maka VOM=VOA+PTAX. Seluruh penghitungan pajak pada model GTAP diubah dalam bentuk persentase.
164
Berikut disajikan contoh perhitungan pajak pendapatan/output; dalam bentuk level: TOi = VOAi VOM i = PSi ⋅ QOi PM i ⋅ QOi = PSi PM i Dalam bentuk persentase (bentuk diferensial): toi = psi − pmi psi = toi + pmi dimana: toi = perubahan persentase pajak di wilayah i psi = perubahan persentase di penawaran (supply) di wilayah i pmi = perubahan persentase harga di pasar (market) di wilayah i
4.3.6.1. Keterkaitan Antar Harga Keterkaitan antar harga pada level pelaku dan pasar dapat dijelaskan dengan Gambar 38 da n 39. Seluruh pengeluaran dan pendapatan agen-agen ekonomi yang telah dikenai pajak akan menjadi nilai (harga) di tingkat pasar (market). Harga di Agen
PP
Pajak/Subsidi
TP
Harga di Pasar
TP
Pajak/Subsidi
TO
Harga di Agen
TS
Sumber: Oktaviani (2008)
Gambar 38. Keterkaitan Harga Barang di Rumahtangga Swasta
165
Faktor endowment yang digunaka n prod usen merupakan pe ngeluaran produsen yang disimbolkan dengan PFE, seelah dikenakan pajak akan menjadi harga pasar dengan simbol TFE. Sedangkan faktor produksi (input antara) disimbolkan PF yang juga telah dikenai pajak akan menjadi harga pasar, TF. Harga output yang dihasilka n produsen juga dikenai pajak sehingga akan menjadi harga pasar (TO). Demikian juga dengan konsumen dan pemerintah. Seluruh pengeluaran konsumen (rumahtangga swasta) yang telah dimasukan unsur pajak akan menjadi harga pasar (TP). Pengeluaran pemerintah yang telah dikenai pajak menjadi harga pasar TO. Produsen PFE
PS
Konsumen PF
PP
Pemerintah PG Pelaku
TFE
T
TF
TP
T
PM Komoditi yang tidak di tabung
Pasar
Sumber: Oktaviani (2008)
Gambar 39. Keterkaitan Antar Harga
Berikut disajikan ringkasan persamaan keterkaitan antar harga di dalam mod el GTAP:
166
1. SUUPLYPRICES : keterkaitan harga penawaran sebelum dan sesudah pajak untuk semua industri dan endowment 2. MPFACTPRICE : keterkaitan harga permintaan perusahaan dan pasar untuk komoditi endowment yang mobile 3. SPFACTPRICE : keterkaitan harga permintaan perusahaan dan pasar untuk komoditi endowment yang tidak mobile 4. DMNPRICE : keterkaitan harga permintaan perusahaan dan pasar untuk komoditi tradeable 5. PHHPRICE
: keterkaitan harga permintaan rumahtangga swasta dan
pasar untuk komoditi tradeable 6. GHHPRICE : keterkaitan harga permintaan pemerintah dan pasar untuk komoditi tradeable 7. PRICESAVE
: persamaan harga dari tabungan de ngan harga barang
investasi. Tabungan merupakan numerik dalam model sehingga tidak dikenakan pajak.
4.3.6.2. Menghitung Pene rimaa n Pajak Didalam Model GATP Perubahan penerimaan pajak terhadap output dapat digambarkan pada persamaan:
d Re venue = d (VOM i − VOAi ) = dVOM i − dVOAi = dPTAX tetapi:
167
dVOM i
= d (PM i ⋅ QOi ) = dPM i ⋅ QOi + PM i ⋅ dQOi
= PM i ⋅ QOi ⋅ ( pmi + qoi ) 100
= VOM i ⋅ ( pmi + qoi ) 100 Dan identik dengan dV OA
sehingga, peubahan dalam penerimaan pajak, d Re venue
= VOM i ⋅ ( pmi + qoi ) 100 − VOAi ⋅ ( psi + qoi ) 100
Jika peruba han TO : ( ps − pm = to ) Jika TO tidak menyebabkan perubahan: a. Peruba ha n harga (pm=ps) b. Peruba ha n jumlah transaks i (qo) Persamaan Pendapatan Regional setelah ada penerimaan pajak akan menjadi sebagai berikut: INCOME * y = sum{i, ENDW _ COMM ,VOA(i ) * [ ps (i ) + qo(i )]} − VDEP * [ pcgds * kb] + sum{i, NSAV _ COMM ,VOM (i ) * [ pm(i ) + qo(i )]} − VOA(i ) * [ ps (i ) + qo(i )] + sum{ j , PROD _ COMM , sum{i, ENDW _ COMM ,VFA(i, j ) * [ pfe(i, j ) + qfe(i, j )] − VFM (i, j ) * [ pm(i ) + qfe(i, j )]}}
+ sum{ j , PROD _ COMM , sum{i, ENDWS _ COMM ,VFA(i, j ) * [ pfe(i, j ) + qfe(i, j )] − VFM (i, j ) * [ pmes(i ) + qfe(i, j )]}}
+ sum{ j , PROD _ COMM , sum{i, TRAD _ COMM ,VFA(i, j ) * [ pf (i, j ) + qf (i, j )] − VFM (i, j ) * [ pm(i ) + qfe(i, j )]}} + sum{i, TRAD _ COMM ,VFA(i, j ) * [ pp(i ) + qp (i )] − VPM (i, j ) * [ pm(i ) + qp (i )]} + sum{i, TRAD _ COMM ,VGA(i, j ) * [ pp(i ) + qp(i )] − VGM (i, j ) * [ pm(i ) + qg (i )]} + INCOME * incomeslack ;
168
4.3.6.3. Keterkaitan Antar Nilai Keterkaitan antar harga seperti yang dijelaskan pada Gambar 39 jika da lam bentuk nilai akan menjadi seperti Gambar 40. Produsen yang menghasilkan output dalam bentuk nilai dinotasikan dengan VOA. Pengeluaran dari Tabungan dalam bentuk kapital (cgds) juga menyumbang nilai dalam bentuk VOA. Nilai ouput VOA dapat pula berasal dari nilai faktor endowment (VFA endw) dan nilai faktor produksi (VFA prod). Sementara untuk konsumen, nilai pengeluarannya disimbolkan dengan VPA, dan pemerintah dengan VGA. Selain nilai- nilai tersebut, dimasukkan pula nilai depresiasi pengeluaran (-VDEP). Untuk masing- masing nilai (value) tersebut masing- masing dikenakan pajak seperti terlihat pada be ntuk lingkaran Gambar 40. Setelah ditambah pajak/subsidi, maka akan diperoleh nilai (harga) di pasar (market).
-VDEP
Produsen
Pemerintah
VFA endw
VPA
VGA
FTA
PTA
GTA
VFM prod
VPM
VGM
cgd
EVOA
VOA
VFA endw
HTA
Konsumen
Tabungan
ETA
PTA
VFM endw
VOM endw
VOM trad
Sumber: Oktaviani (2008)
Gambar 40. Keterkaitan Antar Nilai
Pelaku
Pasar
169
4.3.6.4. Closure Dalam Model GTAP Closure adalah pengklasifikasian variabel- variabel di dalam model menjadi variabel endogen dan eksogen. Variabel endogen adalah nilai yang ditentukan (untuk memecahkan masalah) oleh model. Variabel eksogen adalah ditentukan diluar model. Oleh karena itu, variabel- variabel ini bisa menjadi shock atau guncang ekonomi/kebijakan. Closure yang valid adalah jika jumlah variabelnya sama dengan jumlah persamaannya. Hal ini menjadi syarat perlu tapi buka n ko ndisi kecukupa n, d imana persamaan harus berdiri sendiri (indepe nden). Closure haruslah memiliki sense matematika dan ekonomi. Dengan closure dimungkinkan penukaran variabel di dalam model. Closure dapat digunakan untuk menangkap rezim kebijakan, struktur yang kaku, da n sebagainya. Closure terdapat dalam mode l Keseimbangan Umum (CGE) ataupun Keseimbangan Parsial (PE) dan menyangkut pilihan variabel-variabe l eksogen. Closure PE dapat menjadi pemisah dampak keseimbangan parsial. Closure GTAP standar memiliki ciri-ciri: 1. Seluruh pasar dalam kondisi keseimbangan 2. Semua perusahaan memperoleh ke untungan nol (zero profit) 3. Rumahtangga regional memiliki kendala anggaran Tingkah laku bagian-bagian agen pada teori Neoklasik tidak diperlukan untuk menentukan closure Keseimbangan Umum (CGE). Namun demikian penghitungan yang mendalam perlu dilakukan untuk membuat closure.
170
Contoh closure GTAP standar. Exogenous 1. pop
10. population
2. psave
11. numeraire
3. profitslack incomeslack endwslack
12. slack variabels
4. cgdslack tradslack
13. slack variabels
5. ao af afe ava
14. technical change
6. dpfpriv dpfgov dpfsav e
15. preferences
7. to tfe tf tg tp
16. policy variabels
8. qo(ENDW_COMM)
17. endowmentts
9. Rest endegoneus Hukum Walras menjelaskan kepada kita bahwa ketika: 1.
Semua pasar (tanpa tabungan) adalah dalam kondisi keseimbangan
2.
Semua perusahaan memperoleh ke untungan nol (zero profit) da n,
3.
Rumahtangga regional memiliki kendala anggaran Oleh karena itu, investasi global harus sama dengan tabungan global. Model
hanya dapa t menentuka n harga relatif: Tingka t harga adalah relatif terhadap numeraire (psave, harga barang-barang modal).
4.3.6.5. Keseimbanga n Tabunga n Inve stas i Keseimbangan tabungan- investasi tergantung pada keseimbangan sebelum simulasi, dimana: 1. Walras_sup = NETINV 2. Walras_dem = SAVE = GLOBINV Setelah dilakukan Linearisasi, bentuk persamaan menjadi: 1. Walras_sup = walras_dem + walraslack
171
Di dalam closure Keseimbangan Umum (GE), walraslack adalah variabel endo gen da n psave adalah eksogen, amati bahwa walraslack = 0 sehingga S=I. Kondisi keseimbangan tercapai saat: 1. Kondisi Market clearing a. Komoditi yang diperdagangkan
tradslack
b. Komoditi endowmentt yang mobile
endwslack
c. Komoditi slugg ish endowmentt
endwslack
2. Kondisi zero pure profit
profitslack
3. Keseimbangan pengeluaran-pendapatan
incomeslack
4. Keseimbangan tabungan- investasi
walraslack
4.3.6.6. Variabel Slack Jika kondisi keseimbangan ditentukan kemudian, maka perubahan di dalam hubungan variabe l- variabel slack sama de ngan nol harus be nar. Dengan ka ta lain, jika beberapa variabel slack tidak sama dengan nol, maka kondisi hubungan keseimbangan tidak bisa ditentukan. Melengkapi antara MMC untuk komoditi yang diperdagangkan dan perubahan harga pa sar pmi. VOMi.qo i = SjVFMij.qfij + VPMi.qp i + VGMi.qgi + VOMi . tradslack Jika
market
clearing
menentukan komoditi i,
maka pm i
bebas
menyesuaikan solus i yang tidak seimba ng (imbalance) antara penawaran dan permintaan. Harga pasar harus menjadi variabel endogen jika pasar di dalam persamaan memenuhipenawaran-permintaan.
4.3.6.7. Menentukan Harga B arang ya ng Diperdaga ngkan Jika kita ingin menentuka n harga ko mod iti pmi , kita harus mengeliminasi kondisi market clearing untuk pasar tertentu. Persamaan-persamaan tidak dihapus
172
tapi variabel slack di dalam persamaan, tradslacki dijadika n endo gen. Misalnya, jika pm i tidak disesuaikan, maka tradslacki harus disesuaikan dan tidak akan sama dengan nol. Variabel tradslacki harus dihapus de nga n pm i di da lam file closure. 4.3.6.8. Closure Kesimbanga n Parsial Clos ure Kesimba ngan Parsial menunjukka n bahwa satu atau lebih ko ndisi keseimbangan tidak dipenuhi. Hukum Walras gagal dilakukan dan walraslack tidak lagi endogen, sehingga psave juga buka n variabe l eksogen. Maka yang harus dilakukan adalah mengganti psave (yang awalnya variabel eksogen) dengan walraslack (yang awalnya variabe l endo gen).
4.3.6.9. Menentukan Kuantitas Barang-barang ya ng Diperdaga ngankan Berikut cara menentukan kuantitas barang-barang yang diperdagangkan: 1. Melengkapi antara ko ndisi zero pure profits da n peruba han output qoj VOAj.psj = SiVFAij.Pfeij + SkVFAkj.pfkj + VOAj. profitslack 2. Jika syarat suda h ditentukan, maka endogen qoj menyesuaikan sehingga terjadi penawaran= permintaan. 3. Jika kita ingin menentukan kuantitas komoditi, qoi, maka kita harus membuat variabel profitslack menjadi endo gen. 4. Misalnya menukar profitslack dengan qoj
173
Dibawah ini merupakan contoh closure keseimbangan parsial dengan penukaran. Menukar........
Dengan.......
Untuk menentukan.......
tradslack
pmi
harga pasar, PM i
endwslack
pmi
harga pasar, PM i
profitslack
qoi
tingkat output, Qoi
incomeslack
y
pendapatan regional
walraslack
psave
jika penukaran beberapa variabel di atas
4.3.7. Agregasi dan Disagregasi Sektor dan Region Penelitian ini menggunakan agregasi 14 negara/region termasuk rest of the world da n 19 sektor. Justifikasi agregasi regional terfok us pada negara- negara yang merupakan produsen/eskportir dan importir komoditi beras, jagung dan gandum. Sementara agregasi sektoral merepresentasikan pemetaan tiga komoditi pangan yang menjadi fokus utama penelitian yaitu beras, gandum dan jagung dan komoditi pertanian lainnya. Sedangkan sektor untuk produk manufaktur diagregasi ke dalam beberapa sektor yang terkait dengan pengolahan produk pertanian, sedangkan jasa diagregasi menjadi satu sektor. Data dasar model GTAP versi 7 memuat antara lain: tabel input-output (IO), nilai tambah sektor produksi, nilai input primer dan input antara, perdagangan bilateral, transportasi, tingkat proteksi, pajak dan subsidi dari 113 region dan 57 sektor. Untuk keperluan penelitian ini, data dasar tersebut akan diagregasi menjadi 14 region dan 19 sektor yang relevan dengan tujuan penelitian.
174
Tabe l 20. Agregasi Sektoral dan Region/Negara No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Sektor Paddyrice Wheat Cereal grains nec (Maize) Vegetables, fruit, nuts Oilseed Sugar cane, sugar beet Cattle,sheep,goats,horses Raw milk Forestry Fishing Other Agriculture Meat: cattle,sheep,goats,horse Vegetable oils and fats Sugar Food and Beverage Leather products Mining, Oil,and Gas Manufacturing products Services
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Negara/Wilayah Australia Rusia China Indo nesia Thailand Vietnam India United States of America Brazil Philipina EU Pakistan Bangladesh RestofWorld
Sumber: GTAP Database Versi 7, 2008
Keempa t belas region yang diagregasi tersebut meliputi Indo nesia, Thailand, Vietnam, China, India, Philipina, Brazil, USA, Australia, EU, Rusia, Pakistan, Bangladesh, dan RestofWorld. Selanjutnya dari 57 sektor dalam data dasar GTAP diagregasi menjadi 19 sektor yang menggambarkan produk pertanian yang diperda gangka n diantara keempat belas negara tersebut. Dalam agregasi sektoral, komoditi pertanian yang mencakup produk pertanian pangan, kehutanan, perika nan da n peternaka n tidak diagregasi, kecuali untuk komoditi yang sangat berdekatan, seperti: gula, gula bit, dan gula tebu diagregasi menjadi gula. Hal ini disesuaikan dengan fokus penelitian, yaitu menganalisis dampak pe ruba han iklim terhadap produktivitas dan produksi dan perdagangan produk pertanian.
175
Sedangkan sektor manufaktur diagregasi ke dalam satu sektor manufaktur. Untuk sektor jasa seluruhnya diagregasi menjadi satu ke dalam kelompok jasa. Untuk melakuka n agregasi region dan sektor tersebut, pertama–tama disusun file pemetaan agregasi antara sektor yang terdapat pada model GTAP standar dengan sektor yang diinginkan dalam penelitian. Selanjutnya pemetaan tersebut di run dengan program DataAgg yang ada di dalam GTAP versi 7 sehingga dihasilkan header array file, parameter, dan setting sesuai dengan agregasi sektor da n region yang dikehendaki. Daftar agregasi region dan sektor yang digunakan dalam penelitian ini selengkapnya disajikan pada Tabel 21 dan Tabe l 22. Tabe l 21. Agregasi Region No. 1 2 3 4 5 6
Code AUS RUS CHN PHL IDN DEU
7 8 9 10 11 12 13
PAK THA VNM IND BGD USA BRA
Description Australia Russian Federation China Philipina Indo nesia European Union: Austria, Belgium, Cypr us, Czech Republic, Denmark, Estonia, Finland, France, Greece, Hungary, Ireland, Italy, Latvia, Lithuania, Luxembourg, Malta, Netherlands, Poland, Portugal, Slovakia, Slovenia, Spain, Sweden, United Kingdom, Germany, France, Switzerland, Norway Pakistan Thailand Vietnam India Bangladesh United States of America Brazil
Sumber: Database GTAP versi 7, 2008
176
Tabe l 21. Agregasi Region (Lanjutan) No. 14
Code
Description
RestofWorld Bangladesh, Rest of Oceania, Sri Lanka, Rest of South Asia, Mexico, Rest of North America, Bolivia, Chile, Colombia, Ecuador, Paraguay, Peru, Uruguay, Venezuela, Rest of South America, Costa Rica, Guatemala, Nicaragua, Panama, Rest of Central America, Caribbean, Bulgaria, Belarus, Croatia, Romania, Russian Federation, Ukraine, Rest of Eastern Europe, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Rest of Former Soviet Union, Armenia, Azerbaijan, Georgia, Islamic Republic of Iran, Rest of Western Asia, Egypt, Morocco, Tunisia, Rest of North Africa, Nigeria, Senegal, Rest of Western Africa, Rest of Central Africa, Rest of South Central, Africa, Ethiopia, Madagascar, Malawi, Mauritius, Mozambique, Tanzania, Uganda, Zambia, Zimbabwe, Rest of Eastern Africa, Botswana, Rest of South African Customs Union, Rest of EFTA, Albania, Cambodia, Lao People's Democratic Republic, Myanmar, Singapore, Rest of Southeast Asia, Hong Kong, Korea, Taiwan, Rest of East Asia.
Sumber: Database GTAP versi 7, 2008
Tabe l 22. Agregasi Sektor No Code
Sector Aggregation
1
Pdr
Paddyrice
2
Wht
3
Gro
4
V_f
Wheat Cereal grains nec (maize) Vegetables, fruit, nuts
5
Osd
6
C_b
7
Ctl
8
Rmk
9 10
Oilseed
Description Paddy Rice: rice, husked and unhusked; Wheat: wheat and meslin; Other Grains: maize (corn), barley, rye, oats, other cereals Veg & Fruit: vegetables, fruitvegetables, fruit and nuts, potatoes, cassava, truffles, Oil Seeds: oil seeds and oleaginous fruit; soy beans, copra
Sugar cane, sugar beet Cattle,sheep, goats,horses Raw milk
Cattle: cattle, sheep, goats, horses, asses, mules, and hinnies; and semen thereof Raw milk; Milk: dairy products
Frs
Forestry
Forestry: forestry, logging and related service activities
Fsh
Fishing
Fishing: hunting, trapping and game propagation
Sugar; Cane & Beet: sugar cane and sugar beet
Sumber: Database GTAP versi 7, 2008
177
Tabe l 22. Agregasi Sektor (Lanjutan) No
Code
Sector Aggregation
Description including related service activities, fishing, fish farms; service activities incidental to fishing
11
Meat
Meat: cattle,sheep,g oats,horse
Cattle Meat: fresh or chilled meat and edible offal of cattle, sheep, goats, horses, asses, mules, and hinnies. raw fats or grease from any animal or bird; Other Meat: pig meat and offal. preserves and preparations of meat, meat offal or blood, flours, meals and pellets of meat or inedible meat offal; greaves
12
Vol
Vegetable oils and fats
Vegetable Oils: crude and refined oils of soyabean, maize (corn),olive, sesame, ground-nut, olive, sunflower-seed, safflower, cotton-seed, rape, colza and canola, mustard, coconut palm, palm kernel, castor, tung jojoba, babassu and linseed, perhaps partly or wholly hydrogenated,interesterified, re-esterified or elaidinised. Also margarine and similar preparations, animal or vegetable waxes, fats and oils and their fractions, cotton linters, oil-cake and other solid residues resulting from the extraction of vegetable fats or oils; flours and meals of oil seeds or oleaginous fruits, except those of mustard; degras and other residues resulting from the treatment of fatty substances or animal or vegetable waxes.
13
Lea
Leather products
Leather: tanning and dressing of leather; luggage, handbags, saddlery, harness and footwear
14
Othagric
Other Agriculture
Sumber: Database GTAP versi 7, 2008
Plant Fibres: cotton, flax, hemp, sisal and other raw vegetable materials used in textiles; Other Crops: live plants; cut flowers and flower buds; flower seeds and fruit seeds; vegetable seeds, beverage and spice crops, unmanufactured tobacco, cereal straw and husks, unprepared, whether or not chopped, ground, pressed or in the form of pellets; swedes, mangolds, fodder roots, hay, lucerne (alfalfa), clover, sainfoin, forage kale, lupines, vetches and similar forage products, whether or not in the form of pellets, plants and parts of plants used primarily in perfumery, in pharmacy, or for insecticidal, fungicidal or similar purposes,
178
Tabel 22. Agregasi Sektor (Lanjutan) No
Code
Sector Aggregation
15
Sgr
Sugar Food and Beverage
16
fdbvrg
17
mining
Mining, Oil,and Gas
18
manufac
Manufacturin g products
19
Svc
service
Description sugar beet seed and seeds of forage plants, other raw vegetable materials, Other Animal Products: swine, poultry and other live animals; eggs, in shell (fresh or cooked), Natural honey, snails (fresh or preserved) except sea snails; frogs' legs, edible products of animal origin n.e.c., hides, skins and furskins, raw , insect waxes and spermaceti, whether or not refined or coloured; Other Food: prepared and preserved fish or vegetables, fruit juices and vegetable juices, prepared and preserved fruit and nuts, all cereal flours, groats, meal and pellets of wheat, cereal groats, meal and pellets n.e.c., other cereal grain products (including corn flakes), other vegetable flours and meals, mixes and doughs for the preparation of bakers' wares, starches and starch products; sugars and sugar syrups n.e.c., preparations used in animal feeding, bakery products, cocoa, chocolate and sugar confectionery, macaroni, noodles, couscous and similar farinaceous products, food products n.e.c.; Wool: wool, silk, and other raw animal materials used in textile Sugar Dairy products; Food products nec; Beverages and tobacco products. Coal; Oil; Gas; Minerals nec; Petroleum, coal products; Mineral products nec; Ferrous metals; Metals nec; Metal products. Textiles; Wearing apparel; Wood products; Paper products, publishing; Chemical,rubber,plastic prods; Motor vehicles and parts; Transport Electricity; Gas manufacture, distribution; Water; Construction; Trade; Transport nec; Sea transport; Air transport; Communication; Financial services nec; Insurance; Business services nec; Recreation and other services; PubAdmin/Defence/Health/Educat; Dwellings.
Sumber: Database GTAP versi 7, 2008
4.3.8. Penutup Makroekonomi Jangka Panjang Pada penelitian ini penutup makroekonomi yang digunakan mengacu kepada Walmsley (1998). Model keseimbangan umum mensyaratkan bahwa
179
jumlah persamaan harus sama dengan jumlah variabel endogen. Namun demikian pada kenyataannya dalam model GTAP persamaan yang terdapat pada file tablo memiliki jumlah variabel yang lebih besar dibanding jumlah persamaan. Untuk mengatasi masalah tersebut maka kelebihan variabel tersebut harus dijadikan sebagai variabel eksogen, sehingga didapat jumlah variabel endogen yang persis sama dengan jumlah persamaan. Variabel- variabel yang dijadika n seba gai variabel eksogen itulah yang disebut dengan penutup makroekonomi (closure). Variabel eksogen digunakan sebagai shock untuk mensimulasikan sebuah kebijakan ekonomi. Model GTAP standar menggunakan penutup makroekonomi neo-klasik dengan karakteristik sebagai berikut: semua pasar dalam keseimbangan, semua perusahaan/industri beroperasi pada pasar bersaing sempurna (zero profit), dan rumahtangga regional menghadapi kendala anggaran (budget constraint). Berdasarkan karakteristik tersebut, maka investasi global harus sama dengan tabungan global. Selain itu, model GTAP hanya dapat menentukan harga relatif, dimana tingkat harga adalah relatif terhadap bilangan numeraire. Kondisi keseimbangan Jangka panjang dicirikan oleh adanya penyesuaian kapital di setiap sektor pada masing- masing regional. Dengan demikian kapital harus dijadikan sebagai variabel endogen. Selanjutnya variabel- variabel yang menunjukka n pe rtumbuhan kapital harus dijadika n sebagai variabe l eksogen. Adapun closure yang digunakan dalam penelitian ini selengkapnya disajikan pada Tabe l 23.
180
Tabel 23. Penutup Jangka Panjang Penutup Model
Keterangan
Population (Pop)
Jumlah penduduk
Saving prices (Psave)
Nu meraire
Profitslack Incomeslack Endowmentts slack (endwslack) Tradeslack (tradslack) Output augmenting technical change in all sectors and regions (aoall) Co mposite intermediate input augmenting technical change in all sectors and regions (afall) Endowmentts augmenting technical change in all sectors and regions (afeall) Output augmenting technical change in sectors (aosec) Output augmenting technical change in regions (aoreg) Value added augmenting technical change in sectors (avasec) Value added augmenting technical change in regions (avareg) Co mposite intermediate input augmenting technical change in commodit ies (afcom) Co mposite intermediate input augmenting technical change in sectors (afsec) Co mposite intermediate input augmenting technical change in regions (afreg) Endowmentts augmenting technical change in co mmodit ies (afecom) Endowmentts augmenting technical change in sectors (afesec) Endowmentts augmenting technical change in regions (afereg)
Variabel-variabel slack
Penutup Model Import augmenting technical change in Armington nest (ams) Transport mode augmenting technical change, worldwide (atm) Freight/shipping augmenting technical change, world wide (atf) Freight/shipping augmenting technical change from a region (ats) Freight/shipping augmenting technical change to a region (atd) Input-neutral shift in utility function (au)
Keterangan Variabel-variabel perubahan teknologi
Govern ment consumption distribution parameter (dpgov) Private consumption distribution parameter (dppriv) Saving distribution parameter (dpsave)
Parameter d istribusi konsumsi pemerintah, rumahtangga dan tabungan
Power o f tax on output or income of non-savings commodity (to) Power o f tax on imports of tradeable co mmodity (t ms) Power o f tax on expo rts of tradeable commod ity (txs) Power of the variable import tax on imports of tradeable commodity (tm) Power of the variable export tax on imports of tradeable commodity (tx) Power o f the private consumption tax (tp)
VA riabel-variabel kebijakan (pajak)
qo(“land”,REG) qo(“unsklab”,rEG) qo(“sklab”,REG) qo(“NatRes”,REG)
Variabel input primer
(rsk)
Variabel risiko
Sumber: Walmsley (1998)
Variabel-variabel perubahan teknologi
181
4.3.9. Estimas i Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Pertanian Model estimasi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas pertanian untuk negara maju da n negara berke mba ng termasuk Indo nesia akan mengacu pada model yang digunakan oleh Mendelson, Dinar dan Sanghi (2001) yaitu model estimasi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas pertanian untuk India. Kemudian Kurukasuriya et al. (2006) yaitu mode l estimasi untuk Afrika, dan serangka ian studi yang dispo nsor i oleh World Bank, yaitu model estimasi untuk ne gara-negara Amerika Latin. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, model estimasi yang digunakan adalah mod el regresi be rganda yaitu mode l untuk mengestimasi variabel dependent, yang dalam penelitian ini adalah tingkat produktivitas padi, gandum dan jagung dengan menggunakan lebih dari satu independent (explanatory) variabel
ya itu suhu rata-rata, konsentrasi karbon dan tingkat
presipitasi di setiap negara yang diteliti. Sedangkan data yang digunakan untuk menyusun model persamaan regresi berganda tersebut adalah berupa data pa nel yaitu sebuah set data yang berisi data sampel individu yaitu individu Negara selama periode 1991-2000, sehingga akan didapatkan berbagai observasi pada setiap individu di dalam sampel. Pada penelitian ini untuk menangkap perilaku individu negara yang mencerminka n perbedaan tingkat produktivitas padi, gandum dan jagung di setiap negara yang diteliti, maka model persamaan regresi berganda yang digunakan adalah menggunakan variabel dummy intersep. Pada model ini, intersep berbeda dari individu ke individu, sementara parameter slope diasumsikan konstan pada unit individu dan unit waktu. Jadi penggunaan variabel dummy hanya berperan
182
dalam penggolongan unit individu (Baltagi, 2005). Secara umum mode l regresi berganda dengan variabel dummy intercept yang digunakan pada penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
……...................... (4.24)
dimana: Y
:
variabel dependen
β0
:
koefisien intersep
β i, …, βk
:
koefisien parameter regresi
ℇ
:
faktor pengganggu stokastik (error term)
i = 1, 2, … :
DI
pengamatan ke-i
:
koefisien dummy untuk negara
:
variabel dummy negara
4.3.10. Formula Penurunan Tarif Produk Pertanian Dalam kerangka WTO Dalam draft text ke-4 dokumen perundingan isu Pertanian WTO pada bagian tiered formula for tariff reductions, “bracket” range angka di Paragraf 61 (d), yaitu pada pemotongan tertinggi telah dihilangkan dan diberikan angka “middle ground” sebesar 70 persen. Dalam isu ini, Indonesia mendukung struktur tiered formula tersebut yaitu pemotongan tarif bagi negara maju pada tier tertinggi sedikit lebih rendah dari 75 persen seperti 73 persen atau 70 persen. Indo nesia juga mendukung agar pe nurunan tarif rata-rata minimum untuk negara maju adalah 54 persen dan menerima usulan pemotongan tarif rata-rata maksimum 36
183
peesen bagi negara berkembang (Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional, 2010). Berdasarkan dokumen tersebut, maka besaran angka penurunan tarif produk pertanian di negara maju sebesar 70 persen da n di negara berkembang sebesar 36 persen akan menjadi acuan dalam simulasi penurunan tarif untuk penelitian ini. Sedangkan simulasi lainnya adalah jika dilakukan liberalisasi penuh (full liberalization) yaitu pe motongan tarif sebesar 100 dari tarif yang berlaku saat ini.
4.4. Sumber Data Penelitian ini akan menggunakan data sekunder berupa data time series ratarata suhu bumi, data curah hujan,data fertilisasi karbon tahun 1969-1990, data base GTAP versi 7 dengan basis data tahun 2004. Data tersebut bersumber dari IPCC, Berbagai lembaga internasional lainnya yang melakukan studi perubahan ikilm (ABARE, IFPRI), Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pertanian, Bank Indo nesia, Badan Meteorologi da n Geofisika Kementerian Perhubungan, UNComtrade, FAO, dan dari berbagai instansi dan asosiasi terkait lainnya. Data sekunder time series di atas akan digunakan untuk membangun model ekonometrika, untuk kemudian dilakukan pendugaan parameter berdasarkan model yang telah dibangun dan selajutnya menggunakan parameter tersebut sebagai policy shock dalam model GTAP untuk menganalisis dampak perubahan iklim terhadap produksi dan perdagangan komoditi pertanian.
4.5. Simulasi Kebijakan Dalam penelitian dampak perubahan iklim akan dilakukan tiga skenario simulasi yaitu :
184
1. Skenario pertama : Diasumsikan liberalisasi perdagangan belum terjadi diantara negara yang ada, tetapi perubahan iklim berdampak pada penurunan/peningkatan produktivitas komoditi pangan mengikuti model dampak perubahan iklim yang disarankan Mendelson, Dinar dan Sanghi (2001). 2. Skenario kedua yaitu terjadi liberalisasi perdagangan dengan penurunan tarif mengacu pada posisi perundingan multilateral-WTO untuk produk pertanian yaitu pemotongan tarif sebesar 70 persen untuk negara maju da n 36 persen untuk negara berkembang da ri existing tarif yang berlaku dan terjadi kenaikan suhu global sebagai dampak perubahan iklim mengikuti model dampak perubahan iklim ya ng disaranka n Mende lson, Dinar dan Sanghi (2001). 3. Skenario ketiga yaitu terjadi liberalisasi perdagangan dengan penurunan tarif sebesar 100 persen dari existing tarif yang berlaku dan terjadi kenaikan suhu global sebagai dampak perubahan iklim mengikuti model dampak perubahan iklim yang disaranka n oleh Mendelson, Dinar dan Sanghi (2001).
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Model Estimas i Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Pertanian Model estimasi dampak perubahan iklim terhadap produktivtas pertanian di berbagai negara mengacu pada model persamaan yang dikemukakan oleh Clien (2007). Dari berbagai model estimasi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas pertanian yang ada (Mendelson-Schlesinger, 1999; Mendelson dan Neuman, 1999; Mendelson, Dinar dan Sanghi, 2001; Kurukasuriya et al, 2006) menunjukkan bahwa variabel perubahan suhu rata-rata di masing- masing negara, tingkat presipitasi rata-rata tahunan dan tingkat konsentrasi karbon merupakan tiga variabel yang mewakili perubahan iklim dan disepakati mempengaruhi tingkat produktivtas pertanian. Berbagai model estimasi dampak perubahan iklim tersebut juga memiliki kesamaan dalam hal waktu atau periode yang cukup panjang yaitu minimal 10 tahunan sebagai salah satu pertimbangan dalam menyusun model estimasi. Namun demikian, berbagai model estimasi dampak perubahan iklim tersebut hanya memprediksi dampaknya terhadap sektor pertanian secara agregat. Dengan mempelajari berbagai model estimasi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas pertanian tersebut, maka dalam penelitian ini disusun model yang dapat mengestimasi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas beberapa komoditi pertanian di beberapa negara produsen mapun konsumen komoditi pertanian. Dalam penyusunan model estimasi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas komoditi pertanian di setiap negara menggunakan model ekonometrika yaitu mod el regresi berganda.
186
Selanjutnya dengan menggunakan data pa nel yang mencakup suhu rata-rata tahunan, presipitasi, dan konsentrasi karbon yang bersumber dari IPCC (2007) dan data produktivitas komoditi padi, jagung dan gandum dari FAO (2010) diperoleh data panel yang mencakup 11 negara selama 10 tahun yaitu periode 1991-2000. Dari data panel tersebut diperoleh jumlah observasi data sebanyak 110 yang terdiri da ri masing- masing 11 negara untuk setiap komoditi selama 10 tahun pengamatan. Berdasarkan hasil analisis dan evaluasi berdasarkan kriteria ekonomi, kriteria statistik dan kriteria ekonometrika, diperoleh tiga model persamaan estimasi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas padi, jagung dan gandum. Mode l persamaan estimasi yang dihasilkan dan selanjutnya digunakan untuk estimasi tingkat produktivitas padi, jagung dan gandum adalah sebagai berikut: 1. Persamaan untuk estimasi tingkat produktivitas padi = 8.97 – 0.259X1 + 17.267X3 + 3.648D australia – 4.658 D rusia + 1.965 D indonesia (5.1)
2. Persamaan untuk estimasi tingkat produktivitas jagung = 12.204 – 0.431 X1 + 21.628 X 3 - 7.063D rusia + 2.263D thailand – 2.259D china + 1.299Dindonesia – 1.161D pakistan ............................................................................. (5.2)
3. Persamaan untuk estimasi tingkat produktivitas gandum = 3.26 – 0.067 X1 – 0.000000 262 X2 2 + 11.698 X 3 + 1.160D china – 0.917Dindonesia + 1.229D india – 1.485Drusia ...................................................................................(5.3)
dimana : X1 = Suhu Rata-rata Tahunan (°C)
187
X2 = Presipitasi Rata-rata Tahunan (mm/tahun) X3 = Ln (Konsentrasi Karbo n Tahun ke-t/Konsentrasi tahun dasar) (ppm) Ketiga model persamaan yang diperoleh, menunjukkan bahwa tanda da n arah dari masing- masing koe fisien variabel independent memenuhi kriteria ekonomi seperti halnya beberapa model estimasi yang dilakukan oleh MendelsonSchlesinger, (1999); Mendelson dan Neuman, (1999); Mendelson, Dinar dan Sanghi, (2001); dan Kurukasuriya et al, (2006). Selain itu, beberapa asumsi yang harus
dipenuhi
berdasarkan
kriteria
ekonometrik
yaitu:
autokorelasi,
multikolinearity dan homoskedastisity juga sudah terpenuhi sebagaimana disajikan pada Lampiran 6-8. Dari ketiga model persamaan tersebut juga diperoleh hasil yaitu koe fisien determinasi (adjusted R2 ) berkisar antara 0.90 hingga 0.94. Dengan demikian, variabel penjelas di dalam mode l dapat menjelaskan fluktuasi setiap variabel endogen secara baik. Selanjutnya bisa diperoleh hasil bahwa pada masing- masing persamaan, variabel penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabe l endo gen, yang ditunjukka n oleh nilai statistik F berkisar antara sebesar 145.540 sampa i sebesar 299.515. Selain itu, variabel endogen di dalam masingmasing persamaan dipengaruhi secara nyata oleh seluruh variabel- variabel penjelas secara individu pada taraf nyata (α) 0.05. Hasil validasi ini menunjukkan bahwa model layak digunakan untuk mensimulasi skenario dampak perubahan iklim terhadap produktivitas padi, jagung dan gandum di 11 negara yang diteliti. Model persamaan secara lengkap untuk 3 jenis komoditi tersebut da n hasil test uji validasi mode l selengkapnya disajikan pada Lampiran 1-3.
188
Berdasarkan hasil estimasi dengan menggunakan model persamaan regresi berganda diperoleh tingkat produktivitas padi, jagung dan gandum di berbagai negara pada tahun 2070 sebagaimana disajikan pada tabel 24. Hasil estimasi yang diperoleh menunjukkan bahwa tingkat produktivitas padi, jagung dan gandum di berbagai negara yang diteliti bervariasi. Hasil ini berbeda denga n hasil estimasi Clein (2007) yang menghasilkan tingkat produktivitas pertanian di seluruh negara tersebut mengalami penurunan. Untuk produktivitas padi yang mengalami peningkatan adalah di Rusia sebesar 12,12 persen. Untuk produktivitas jagung yang mengalami peningkatan adalah di Rusia sebesar 102,55 persen. Sedangkan untuk produktivitas gandum yang mengalami peningkatan adalah di Rusia sebesar 10.09 persen dan Thailand (24,55 persen). Hasil estimasi untuk Rusia, sejalan dengan hasil penelitian Darwin et.al., (1995) yang menyatakan bahwa negara yang berada di dekat kutub, kualitas tanahnya akan meningkat akibat kenaikan suhu (iklim globa l). Tabe l 24. Hasil Estimasi Tingkat Produktivitas Padi, Jagung dan Gandum Tahun 2070 (Ton/Ha)
189
Produktivitas Padi No
Negara
Hasil Taksiran Produktivitas Padi 2070 (Ton/Ha)
Perubahan Terhadap Tahun Dasar 2000 (%)
Produktivitas Jagung Hasil Taksiran Produktivitas Jagung 2070 (Ton/Ha)
Perubahan Terhadap Tahun Dasar 2000 (%)
Produktivitas Gandum Hasil Taksiran Produktivitas Gandum 2070 (Ton/Ha)
Perubahan Terhadap Tahun Dasar 2000 (%)
1 Australia 2 Rusia
6.6
-20.62
1.9
-60.94
1.8
-0.62
3.9
12.12
4.3
102.55
1.8
10.09
3 China 4 Indonesia
5.6
-10.26
4.2
-8.99
3.5
-5.93
4.0
-9.42
1.8
-36.60
0.0
-
5 Pakistan 6 Thailand
3.0
-0.68
0.9
-46.03
1.9
-24.67
1.8
-30.67
2.4
-35.58
0.8
24.55
7 India 8 Bangladesh
2.2
-22.56
0.8
-58.04
2.6
-8.01
2.1
-38.63
0.6
-68.54
0.0
-
9 Amerika Serikat 10 Brazil 11 Filipina
5.8
-17.61
6.7
-21.52
2.5
-11.58
2.0
-33.38
0.5
-83.46
0.0
-
2.1
-31.25
0.6
-66.58
0.1
-
Sumber: Hasil Estimasi Model Perubahan iklim menggunakan model ekonomet rik
Hasil estimasi tersebut sedikit berbeda dengan hasil penelitian Fuglie (2010) terhadap Total faktor produktiviti di tingkat global untuk sektor pertanian. Hasil penelitian Fugli menemukan bahwa tidak ada bukti adanya penurunan produktivitas pertanian minimal sampai dengan tahun 2007 di beberapa negara seperti Brazil dan China. Hasil penelitian Fuglie justru menunjukkan bahwa produktivitas pertanian di kedua negara tersebut mengalami peningkatan termasuk di negara-negara Eropa Timur bekas pecahan uni Soviet.
5.2. Kondisi Dasar di Negara Produsen dan Importir Komoditi Pangan Berdasarkan
database GTAP versi 7, Indo nesia merupaka n salah satu
negara produsen beras terbesar dengan nilai output sebesar US$ 6.87 juta. Namun demikian, Indonesia tetap mengimpor beras sebesar US$ 11.3 ribu pada tahun 2004 dengan tarif impor yang relatif tinggi untuk negara produsen beras. Sedangkan negara berkembang lainnya, yaitu India yang juga merupakan
190
penghasil beras terbesar di dunia produksinya sebesar US$ 11.44 juta dengan nilai ekspor mencapai US$ 128.5 ribu dan hanya mengimpor US$ 0.4 ribu. Untuk negara maju seperti Amerika Serikat yang hanya memproduksi padi senilai US$ 1.54 juta tetapi merupakan pengekspor beras terbesar di dunia, yaitu sebesar US$ 517.7 ribu dengan impor senilai US$ 43.4 ribu. Untuk komoditi jagung, Amerika Serikat merupakan penghasil jagung terbesar di dunia dengan nilai output mencapai US$ 25.59 juta. Hal ini menjadikan Amerika Serikat sebagai negara eksportir jagung terbesar di dunia dengan nilai US$ 8.12 juta. Sedangkan Indonesia yang juga mampu memproduksi jagung senilai US$ 2.28 juta hanya mampu mengekspor senilai US$ 16.4 ribu, namun impornya mencapai US$ 112.9 ribu. Indonesia bukan negara penghasil gandum, namun tercatat output gandum Indonesia sebesar US$ 4.3 ribu. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai importir gandum terbesar dengan nilai US$ 861.2 ribu serta tarif impor untuk komoditi tersebut berkisar antara 0 persen – 1.7 persen. AS merupaka n salah satu negara penghasil dan pengekspor gandum terbesar dengan nilai output sebesar US$ 11.24 juta dan ekspor senilai US$ 9.05 juta. Tabe l 25. Produsen Utama Padi, Gandum dan Jagung Dunia
191
Paddyrice No
Negara
Nilai Output (Ribu USD)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
China India Indonesia Bangladesh Thailand Vietnam Brazil Philippines US Pakistan EU_25 Rusia Australia RestofWorld Total
19 279 11 444 6 867 5 784 4 807 2 901 2 406 1 998 1 543 996 927 156 99 38 955 98 162
Wheat
Pangsa 19.64 11.66 7.00 5.89 4.90 2.96 2.45 2.04 1.57 1.01 0.94 0.16 0.10 39.68 100.00
No
Negara
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
EU_25 India US China Rusia Australia Pakistan Brazil Bangladesh Philipines Indonesia Thailand Vietnam RestofTheWorld Total
Nilai Output (Ribu USD) 19 325 19 263 11 244 9 435 4 118 3 096 1 698 540 337 222 4 2 1 28 381 97 666
Cereal grains nec (maize) Pangsa 19.79 19.72 11.51 9.66 4.22 3.17 1.74 0.55 0.34 0.23 0.00 0.00 0.00 29.06 100.00
No
Negara
Nilai Output (Ribu USD)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
US EU_25 China Rusia India Brazil Indonesia Australia Philippines Thailand Pakistan Vietnam Bangladesh RestofWorld Total
25 595 20 511 9 367 6 311 5 816 3 518 2 281 1 145 573 548 109 64 26 47 066 122 932
Pangsa 20.82 16.68 7.62 5.13 4.73 2.86 1.86 0.93 0.47 0.45 0.09 0.05 0.02 38.29 100.00
Sumber: GTAP Versi 7 database, 2008
Tabe l 26. Eksportir Utama Padi, Gandum, dan Jagung di Dunia Paddyrice Nilai No Negara Output Pangsa (Ribu USD) 1 US 517.68 34.98 2 EU_25 206.43 13.95 3 Thailand 157.90 10.67 4 India 128.52 8.68 5 China 66.39 4.49 6 Pakistan 54.57 3.69 7 Vietnam 54.21 3.66 8 Australia 16.01 1.08 9 Bangladesh 1.99 0.13 10 Rusia 0.56 0.04 11 Brazil 0.43 0.03 12 Indonesia 0.15 0.01 13 Philippines 0.00 0.00 14 RestofWorld 275.06 18.59 Total 1 479.92 100.00
Wheat Nilai No Negara Output Pangsa (Ribu USD) 1 US 9 053.67 43.09 2 EU_25 4 751.07 22.61 3 Australia 2 661.91 12.67 4 Rusia 588.24 2.80 5 India 513.64 2.44 6 Brazil 298.63 1.42 7 China 139.41 0.66 8 Indonesia 2.98 0.01 9 Thailand 2.14 0.01 10 Vietnam 0.69 0.00 11 Pakistan 0.41 0.00 12 Philippines 0.10 0.00 13 Bangladesh 0.05 0.00 14 RestofWorld 2 996.67 14.26 Total 21 009.61 100.00
Sumber: GTAP Versi 7 database, 2008
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Cereal grains nec (maize) Nilai Negara Pangsa Output (Ribu USD) US 8 123.08 44.54 EU_25 4 321.37 23.69 Brazil 853.10 4.68 Australia 728.37 3.99 China 439.75 2.41 India 218.37 1.20 Thailand 166.78 0.91 Rusia 163.15 0.89 Indonesia 16.41 0.09 Vietnam 13.42 0.07 Philippines 0.64 0.00 Pakistan 0.25 0.00 Bangladesh 0.00 0.00 RestofWorld 3 193.10 17.51 Total 18 237.79 100.00
192
Tabe l 27. Importir Utama Padi, Gandum, dan Jagung di Dunia
No
Negara
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
EU_25 Brazil US Vietnam Bangladesh Indonesia Rusia China Australia Thailand India Pakistan Philippines RestofWorld Total
paddyrice Nilai Output Pangsa (Ribu USD) 690.65 28.99 98.96 4.15 43.41 1.82 15.86 0.67 14.23 0.60 11.25 0.47 2.81 0.12 1.63 0.07 1.45 0.06 0.61 0.03 0.41 0.02 0.15 0.01 0.14 0.01 1 500.76 63.00 2 382.32 100.00
Wheat No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Negara
Nilai Output Pangsa (Ribu USD) EU_25 5 486.28 21.81 China 1 455.07 5.79 Indonesia 861.24 3.42 Brazil 763.12 3.03 Philippines 424.12 1.69 Thailand 270.83 1.08 Pakistan 247.19 0.98 Rusia 226.08 0.90 US 205.67 0.82 Bangladesh 197.46 0.79 Vietnam 170.72 0.68 Australia 2.85 0.01 India 1.09 0.00 RestofWorld 14 839.86 59.00 Total 25 151.57 100.00
Cereal grains nec (maize) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Negara
Nilai Output Pangsa (Ribu USD) EU_25 5 476.16 24.14 US 760.95 3.35 China 265.54 1.17 Rusia 171.96 0.76 Indonesia 112.98 0.50 Brazil 82.93 0.37 Bangladesh 45.27 0.20 Thailand 24.02 0.11 Philippines 23.68 0.10 Vietnam 20.26 0.09 Pakistan 19.94 0.09 Australia 4.27 0.02 India 3.38 0.01 RestofWorld 15 674.16 69.09 Total 22 685.52 100.00
Sumber: GTAP Versi 7 database, 2008
Tabe l 28. Bea Masuk Impor Beberapa Produk Pangan di Indonesia
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Negara China Thailand India Vietnam US Australia Rusia Indonesia Philippines EU_25 Pakistan Bangladesh Brazil RestofWorld
Paddyrice Tariff (%) 22.84 18.52 17.28 16.58 15.32 11.61
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Sumber: GTAP Versi 7 database, 2008
Negara Australia US India China EU_25 Rusia Indonesia Philippines Pakistan Thailand Vietnam Bangladesh Brazil RestofWorld
Wheat Tariff (%) 1.67 1.60 1.60 1.59 1.52 1.63
No
Negara
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Australia Vietnam India US Thailand Philippines China Rusia Indonesia EU_25 Pakistan Bangladesh Brazil RestofWorld
Cereal grains nec Tariff (%) 4.49 0.84 0.75 0.32 0.11 0.08 0.06 0.01
193
Tarif Impor padi di Indonesia dari beberapa negara prod usen utama padi seperti RRT da n India cukup tinggi yaitu masing- masing sebesar 22.84 persen dan 17.28 persen. Sedangkan untuk tarif impor produk pangan lain seperti gandum dan jagung Indonesia masih relatif rendah. Tarif impor jagung Indonesia dari negara-negara produsen jagung seperti Amerika Serikat dan RRT masing- masing sebesar 0.32 persen dan 0.06 persen. Sementara untuk tarif impor gandum dari negara penghasil gandum seperti India dan Amerika Serikat memiliki tarif yang sama yaitu sebesar 1.60 persen.
5.3. Dampak Perubahan Iklim terhadap Kondisi Makro Ekonomi di Negara Produsen dan Importir Komoditi Pangan Dalam aspek makroekonomi, analisis prediksi sebagai dampak adanya perubahan iklim dapat diindikasikan oleh hubungan da n magnitude variabelvariabel kunci makroekonomi yang ditunjukkan dalam Tabel 29. Output di level nasional (menggunakan proksi GDP riil), tingkat infasi (GDP deflator), kinerja perdagangan secara agregat
yang ditunjukkan melalui variabel
neraca
perdagangan dan variabel ekspor- impor, tingkat kesejahteraan (dalam US$ ribu), dasar tuka r internasional (TOT), konsumsi, investasi dan pengeluaran pemerintah merupaka n serangka ian variabel yang menjadi fokus pada tataran analisis di level makroekonomi. Dampak perubahan iklim terhadap GDP riil di keseluruhan negara hampir seragam. GDP riil seluruh negara yang dianalisis mengalami penurunan kecuali Rusia. Penurunan tertinggi terjadi di Bangladesh yaitu sebesar 4.22 persen disusul India dan Philipina. Berdasarkan GTAP database versi 7, Bangladesh merupakan salah satu prod usen utama padi, yaitu menduduki peringka t ke-4 setelah China,
194
India da n Indo nesia. Perubahan iklim mempengaruhi produksi padi yang merupakan komoditi strategis Bangladesh sehingga berpengaruh terhadap penurunan GDP riil.
Pemanasan global telah meningkatkan intensitas dan
frekuensi terjadinya cuaca ekstrim. Hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change-IPCC pada tahun 2007 menunjukkan bahwa sejak tahun 1850 tercatat 11 dari 12 tahun terpanas terjadi pada kurun waktu 12 tahun terakhir (Siregar dan Hasanah, 2011). Kenaikan temperatur global dari periode 1850-1899 hingga 2001-2005 adalah 0.76°C. Muka air laut rata-rata global telah meningkat dengan laju rata-rata 1.8 mm per tahun dalam rentang waktu antara tahun 1961 sampai 2003. Kenaikan total muka air laut yang berhasil dicatat pada abad 20 diperkirakan 0.17 m. Dampak peruba han iklim global antara lain terjadinya gangguan terhadap siklus hidrologi dalam bentuk perubahan pola dan intensitas curah hujan, kenaikan permukaan air laut, peningkatan frekuensi dan intensitas bencana alam yang dapat menyebabkan banjir dan kekeringan. Untuk beberapa negara perubahan iklim yang ditandai dengan buruknya cuaca, badai yang disertai hujan da n ba njir mempengaruhi produksi gandum di sejumlah wilayah sentra produksi pertanian dunia di Eropa dan Amerika. Sementara itu, panen gandum di Australia juga mengalami penurunan yang signifikan. Sejak Juli 2002, produksi gandum Australia mengalami penurunan sampai 3 juta ton, terendah semenjak panen tahun 1997-1998. Menurut laporan dari National Climate Center Australia, penurunan ini disebabkan oleh curah hujan dan temperatur yang tidak normal (di bawah rata-rata). Hal ini disebabkan oleh El Nino yaitu gejala alam 5 tahunan yang melanda kawasan Asia dan sekitarnya. Perubahan iklim memiliki dampak serius terhadap sektor pertanian lainnya termasuk Indonesia. Perubahan iklim
195
akibat peningkatan suhu bumi memicu kondisi ekstrim seperti El Nino da n La Nina yang berpotensi memberikan pengaruh pada produksi da n produktivitas komoditi pertanian lainnya seperti jagung, padi dan kedelai di seluruh dunia. Penurunan beberapa produksi pertanian sebagai dampak da ri pe ruba han iklim menyebabkan GDP riil mengalami penurunan, mengingat beberapa komoditi pertanian tersebut memiliki kontribusi yang signifikan terhadap GDP riil negara produsen utama. Berkurangnya produksi sektor pertanian di beberapa Negara produsen utama sebagai dampak perubahan iklim mendorong kenaikan harga beberapa komoditi sektor pertanian. Hal ini be rko ntribusi terhadap k enaikan inflasi di hampir seluruh negara yang dianalisis kecuali Rusia dan Vietnam. Kenaikan tertinggi terjadi di India dan Philipina yaitu masing- masing sebesar 1.70 dan 1.21 persen. Walaupun dampak perubahan iklim tersebut bervariasi antar kawasan satu dengan lainnya terutama negara-negara yang mengandalkan sumber pendapatannya pada kegiatan-kegiatan pertanian dan sektor pertanian agraris, namun magnitude-nya hampir sama yaitu mengalami penurunan produksi. Perubahan iklim yang salah satunya diindikasikan dengan semakin meningkatnya suhu global akan menimbulkan implikasi negatif yaitu penurunan produksi sektor pertanian. Penurunan produksi sektor pertanian akan menyebabkan harga komoditi sektor pertanian mengalami peningkatan. Dari sisi konsumsi, penurunan kesejahteraan dimungkinkan terjadi karena selain harga yang meningkat, konsumen dihadapkan pada semakin langkanya komoditi sektor pertanian. Sedangkan dari sisi produksi, penurunan kesejahteraan terjadi karena pe ruba han iklim aka n menurunkan output
196
sektor pertanian sehingga berpengaruh pada tingkat pendapatan. Penurunan kesejahteraan hampir dialami oleh seluruh negara kecuali Rusia dan Vietnam. Walaupun perubahan iklim mengakibatkan penurunan GDP riil di hampir seluruh negara yang dianalisis, namun kinerja perdagangan yang ditunjukkan oleh neraca perdagangan di beberapa negara mengalami peningkatan. Negara yang mengalami penurunan neraca perdagangan adalah EU-25 sebesar US$ 2.81 juta, AS sebesar US$ 1,36 juta, dan Rusia US$ 0.28 juta, seperti terlihat pada Tabel 29. Perubahan iklim tidak berimplikasi negatif terhadap neraca perdagangan Indonesia. Neraca perdagangan Indonesia mengalami peningkatan sebesar US$ 250.66 ribu. Hal ini disebabkan neraca perdagangan Indonesia tidak hanya didominasi oleh sektor primer saja. Sektor manufaktur dan pertambangan yang tidak dipengaruhi oleh perubahan iklim, outputnya mengalami peningkatan sehingga kinerja ekspornya juga meningkat. Peningkatan kinerja ekspor menyebabka n neraca perda gangan Indo nesia juga mengalami peningkatan. Perubahan iklim juga berpengaruh terhadap konsumsi negara yang dianalisis. Bangladesh yang mengalami penurunan GDP riil paling tinggi, konsumsinya juga mengalami penurunan yang tertinggi yaitu sebesar 2.68 persen. Penurunan ko nsumsi di satu sisi disebabkan karena penurunan pendapatan dari sektor pertanian, di sisi lain penurunan konsumsi disebabkan oleh meningkatnya harga terutama komoditi pertanian. Namun demikian, beberapa negara konsumsinya mengalami peningkatan yaitu India, Vietnam, Philipina, Indonesia, Australia, EU-25 dan Rest of the World (ROW). Beberapa negara tersebut diatas, termasuk Indonesia populasi penduduknya terus meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah populasi di Indonesia pada tahun 2010 berjumlah 237.6 juta jiwa dengan
197
pertumbuhan sebesar 15.7 persen dari tahun 1990-2010 (Siregar dan Hasanah, 2011). Perubahan iklim tidak mempengaruhi tingkat konsumsi Indonesia mengingat pertumbuhan populasi penduduk yang masih tinggi dan rata-rata konsumsi beras yang juga tinggi yaitu 139 kg/kapita/tahun dibandingkan dengan negara lain yaitu 80-90 kg/kapita/tahun (Firdaus et al, 2008). Perubahan iklim tidak mempengaruhi iklim investasi di beberapa negara yang memiliki daya tarik investasi yang tinggi. Negara-ne gara maju yang tetap memiliki daya tarik investasi walaupun ada perubahan iklim tersebut adalah Rusia, EU-25, Australia, dan AS, sedangkan negara berke mba ng hanya satu negara yaitu Vietna m. Untuk Indo nesia, peruba han iklim tidak berpengaruh terhadap keinginan investor untuk berinvestasi disamping sektor pertanian sendiri yang kurang atraktif bagi investor. Pemahaman yang tidak lengkap mengenai prospek pertanian di Indo nesia menjadikan investasi semakin tidak menarik di sektor pertanian. Pertanian dalam persepsi investor adalah usaha ya ng sangat beresiko (high risk), tergantung musim, dan jaminan harga yang tidak pasti. Hasil penelitian Widyastutik et al (2009) menunjukkan sektor primer adalah sektor yang paling sedikit dilirik oleh investor luar, sedangkan sektor sekunder menduduki realisasi investasi paling tinggi baik PMA maupun PMDN. Nilai tukar perdagangan atau dasar-dasar pertukaran (Terms of Trade/TOT) merupakan hubungan antara harga dari satu unit produk ekspor tertentu dan satu unit produk impor tertentu yang secara matematis dirumuskan sebagai
dimana simbol
dan
melambangkan indeks harga ekspor dan impor yang
dihitung pada periode perhitungan yang sama misalnya tahun 2000 = 100. Dasar
198
pertukaran dari suatu negara dikataka n menurun atau memburuk apabila
menurun atau apabila harga- harga ekspor secara relatif mengalami penurunan terhadap harga impor (hal ini bisa terjadi meskipun harga nominal keduanya sama-sama mengalami kenaikan). Secara historis harga-harga ko mod iti primer senantiasa mengalami penurunan relatif terhadap harga produk manufaktur. Peruba ha n iklim mendo rong ke naika n harga, namun secara relatif kenaikan harga komoditi primer tetap lebih rendah dibandingkan harga komoditi manufaktur. Oleh karena itu, dasar-dasar pertukaran bagi negara berkembang yang merupakan pengekspor produk primer cenderung mengalami penurunan. Sedangka n negara penghasil manufaktur seperti AS, TOT-nya mengalami peningkatan. Demikian juga Australia, India, Indo nesia, Vietnam da n Brazil yang ekspornya relatif didominasi
oleh
manufaktur
dan
pertambangan,
TOT-nya
mengalami
peningkatan.
Tabel 29. Dampak Skenario Perubahan Iklim terhadap Keragaan Makroekonomi Negara Australia Rusia China Indo nesia Philippines EU_25 Pakistan Thailand Vietnam India Bangladesh US
Produk Domestik Bruto (%) -0,12 1,11 -0,22 -0,6 -1,15 -0,01 -0,48 -1,06 -0,01 -1,22 -4,22 -0,06
Inflasi (%) 0,22 -1,22 0,14 0,6 1,21 0,03 0,32 -0,24 0,42 1,7 0,85 0,01
Equivalent Variance (000 USD) -17,91 5962,92 -3726,43 -1472,65 -1103,94 -1636,95 -534,49 -1633,72 53,34 -7631,89 -2683,15 -5380,02
Neraca Terms of Trade Perdaga nga n (%) (000 USD) -71,11 0,68 -284,45 -0,12 624,7 -0,02 250,66 0,03 332,22 -0,25 -2811,54 -0,01 113,04 -0,16 1576,48 -0,02 8,46 0,18 1095,31 0,25 522,52 -1,81 -1361,34 0,19
199
Brazil RoW
-0,66 -0,03
0,03 0,03
-3111,51 -6157,27
111,91 -106,86
0,7 -0,13
Sumber: Data Dio lah
Tabe l 29. Dampak Skenario Perubahan Iklim terhadap Keragaan Makroekonomi (Lanjutan) Penge luaran Konsums i Investasi Impor Pemerintah Ekspor (%) Negara (%) (%) (%) (%) Australia Rusia China Indo nesia Philippines EU_25 Pakistan Thailand Vietnam India Bangladesh US Brazil RoW
0,11 -0,58 -0,02 0,14 0,2 0,02 -0,14 -1,47 0,49 0,86 -2,68 -0,05 -0,56 0,02
0,06 0,64 -0,2 -0,61 -2,76 0,11 -0,48 -4,68 0,08 -0,68 -3,48 0,06 -0,47 -0,01
0,08 0,39 -0,14 -0,32 -0,57 0,01 -0,28 -1,8 0,4 -0,32 -5,8 -0,06 -0,8 -0,03
-0,61 -0,63 0,01 0,13 1,43 -0,06 1,12 1,01 -0,1 -0,15 7,3 -0,31 -0,92 -0,05
0,12 -0,93 -0,11 -0,13 0,57 0 0,11 -0,37 0,04 -0,78 0,43 -0,01 -0,44 -0,18
Su mber: Data Diolah
5.4.
Dampak Perubahan Iklim terhadap Produkstivitas Pertanian di Negara Produsen Utama Padi, Gandum dan Jagung
5.4.1. Produsen Padi dan Beras Berdasarkan Tabel 30, hampir keseluruhan output negara produsen utama penghasil padi dan beras mengalami penurunan output sebagai akibat perubahan iklim, kecuali China. Secara historis, beberapa Negara di Asia seperti China, Vietnam, Philipina, Thailand dan Myanmar mengalokasikan dana yang cukup besar untuk peningkatan produktivitas tanaman pangan khususnya padi dan beras melalui penemuan varietas unggul, pemupukan secara kimiawi, pembangunan bendungan
dan jaringan
irigasi,
serta
pengembangan
teknologi
yang
200
meningkatkan produktivitas padi. Namun demikian hanya China mampu bertahan terhadap perubahan iklim akibat kebijakan peningkatan produktivitas yang dilakukan sebelumnya. Pondasi tingkat produktivitas yang tinggi sektor padi dan beras di China menyebabkan perubahan iklim berdampak pada peningkatan output padi dan beras sebesar 0.01 persen. Sementara itu, hasil penelitian Fuglie (2008) menunjukkan bahwa ada bukti empiris terjadinya pertumbuhan produktivitas di seluruh pertanian meskipun tidak pada seluruh komoiti. Namun demikian, kemampuan untuk mengakses terhadap pertumbuhan produktivitas pada tingkat komoditi sangat terbatas karena adanya trend penggunaan lahan yang multi sektor/komoditi dalam proses produksinya. Secara umum karakteristik usahatani padi di Asia relatif sama yaitu diusahakan oleh jutaan petani yang tinggal di pedesaan, skala pengusahaan dan penguasaan yang relatif kecil, kepemilikan modal yang terbatas dan sangat tergantung pada kondisi iklim, khususnya musim penghujan. Dengan kondisi yang relative sama tersebut, perbedaan usaha tani padi terletak pada dukungan kebijakan pemerintah, pengembangan inovasi teknologi, dan tingkat upah tenaga kerja. Usaha untuk meningkatkan produktivitas di China adalah melalui pengembangan varietas unggul baru melalui padi hibridanya. Potensi padi hibrida yang dikembangkan di China mencapai 17.92 ton per ha sehingga produktivitas padi di China secara umum mencapai 6.2 ton per ha lebih tinggi dibandingkan dengan Indo nesia, India, Thailand da n Vietnam yaitu masing- masing sebesar 4.4; 3.0; 2.3 dan 4.2 ton per ha. Dengan produktivitas padi per ha tersebut, biaya produksi padi di China US $ 71 per ton relatif lebih rendah diba ndingkan denga n biaya produksi padi di Indonesia, India, Philipina dan Thailand yang masing-
201
masing mencapai US $ 82, US $ 81, US $ 85, dan US $ 129 per ton. Hal ini disinyalir sebagai faktor yang menyebabkan output padi dan beras di China tetap meningkat walaupun terjadi perubahan iklim. Tabe l 30. Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektoral Ekonomi Negara Produsen Padi (Persen) Perdagangan Negara China India Indonesia Bangladesh Thailand
Output 0.01 -5.05 -3.73 -8.54 -21.32
Harga 13.82 34.48 17.09 60.83 34.36
Ekspor -23.62 -188.93 -44.00 -442.44 -209.52
Impor 23.90 146.01 9.79 243.19 120.51
Tenaga Kerja TK Tidak TK Terdidik Terdidik 11.19 11.24 20.57 20.77 7.48 7.54 38.62 39.10 10.36 10.42
Sumber: Hasil Simulasi Penurunan produksi padi dan beras akan berdampak pada menurunnya suplai. Penurunan suplai aka n menyebabk an kenaika n harga ko mod iti padi dan beras. Hal ini tercermin pada peningkatan harga output padi dan beras pada seluruh Negara produsen utama dengan peningkatan tertinggi di Bangladesh sebesar 60.83 persen disusul India, Thailand, Indonesia, China. China mengalami kenaikan harga output padi dan beras yang tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan Negara produsen utama lainnya yaitu sebesar 2.75 persen dan 13.82 persen. Tetap tingginya harga output sektor padi dan beras di China disebabkan “imported inflation”. Walaupun output padi dan beras di China mengalami peningkatan masih terdapat kesenjangan antara “demand” domestik dengan suplai domestik. Kesenjangan kebutuhan domestik dengan suplai padi dan beras China dipenuhi oleh impor sebagaimana terlihat pada tabel 30. Namun karena suplai dunia mengalami penurunan akibat perubahan iklim global maka dengan
202
permintaan yang tetap akan mendorong kenaikan harga. Harga impor yang tinggi berpengaruh terhadap kenaikan harga output padi dan beras di China. Penurunan output di keseluruhan produsen utama padi dan beras sebagai akibat perubahan iklim menyebabkan pelaku ekonomi mengurangi ekspor dan adanya kesenjangan antara demand da n supply domestik mendorong terjadinya impor. Hampir keseluruhan Negara produsen utama padi dan beras mengalami penurunan ekspor dan peningkatan impor. China yang mengalami peningkatan output padi dan beras mendorong pelaku ekonomi di sektor padi dan beras meningkatkan permintaan terhadap tenaga kerja. Terjadi penyerapan tenaga kerja di China yaitu peningkatan penyerapan tenaga kerja tidak terlatih sebesar 11.19 dan terlatih sebesar 11.24 persen. Hal ini konsisten dengan teori ekonomi, bahwa permintaan tenaga kerja merupaka n derived demand permintaan output. Namun demikian, negara produsen utama padi dan beras lain yang outputnya mengalami penurunan, penyerapan tenaga kerjanya ternyata mengalami peningkatan. Sektor pertanian terutama padi dan beras di hampir keseluruha n Asia merupaka n sektor ya ng menampung banyak tenaga kerja (multiplier efek tenaga kerja tinggi) walaupun kontribusinya dibanding sektor lain relative lebih rendah. Sebagai gambaran untuk kasus Indonesia, pada tahun 1999 sektor pertanian Indonesia dengan kontribusi sebesar 19.6 persen masih mampu menyerap lapangan kerja sebesar 43.2 persen dari seluruh sektor yang ada dan pada tahun 2009 dengan kontribusi tinggal 13.61 persen mampu menyerap lapangan kerja sebanyak 41,2 persen dari seluruh sektor ekonomi nasional (BPS, 2010). Oleh karena itu peruba han iklim yang berda mpak negative terhadap perubahan output, sebaliknya berdampak positif pada
203
peningkatan penyerapan tenaga kerja sebagaimana terlihat pada tabel 30. Selain karena kemampuan sektor padi dan beras dalam menampung tenaga kerja yang tinggi terutama tenaga kerja yang tidak memiliki pendidikan dan keahlian, adanya insentif kenaikan harga mendorong produsen meningkatkan penyerapan tenaga kerjanya. Kenaikan tenaga kerja yang tidak didukung oleh ko ndisi lahan ya ng produktivitasnya turun sebagai akibat perubahan iklim mengakibatkan output tetap mengalami penurunan sesuai dengan hukum ekonomi “diminishing marginal return”.
5.4.2. Produsen Gandum Konsentrasi produksi pangan dan perdagangan pangan berada di negara maju, bukan di negara berkembang. Salah satu faktor penyebabnya adalah karena negara maju salah satunya Eropa mensubsidi pertaniannya secara berlebih untuk sejumlah produk pangan, terutama beras, jagung, kedelai, gula, gandum, daging sapi, daging unggas, susu dan sejumlah buah-buahan dan sayur- sayuran. Berba gai ragam bentuk subsidi itu, diantaranya dapat dilihat dari besaran angka PSE (Producer Support Estimate), meliputi antara lain market price support, payments based on area planted/animal numbers/input use/input constraints. Hasil penelitian Sawit (2007a) memperlihatkan bahwa dalam dua dasa warsa terakhir, terungkap bahwa trend produksi pangan semakin mengerucut ke sejumlah kecil negara maju yaitu Amerika Serikat, Uni Eropa , Australia, Selandia Baru dan Kanada. Uni Eropa memproduksikan buah dan sayur, jagung, gula, gandum, daging sapi, daging unggas, susu bubuk skim, mentega, dan keju. Oleh karena itu perubahan iklim global berdampak pada peningkatan output gandum pada EU_25 dan Rusia.
204
Tabe l 31. Dampak Peruba han Iklim terhadap Sektoral Eko nomi Negara Prod usen Gandum (Persen) Perdagangan Negara
Output
EU_25 India US China Rusia
5.89 -2.72 -32.14 -0.52 36.76
Harga 0.50 10.92 9.80 7.71 -14.68
Ekspor 17.04 -48.56 -39.51 -16.71 157.78
Impor -4.78 41.53 5.79 0.23 -42.78
Tenaga Kerja TK Tidak TK Terdidik Terdidik 6.22 6.23 5.03 5.24 -21.35 -21.35 5.98 6.03 26.09 25.89
Sumber: Hasil Simulasi Pada beberapa negara produsen utama, perubahan iklim berdampak pada penurunan output gandum yaitu di US, India, dan China. British Wheather Services (2011) menyatakan, panen gandum di China, sebagai konsumen gandum terbesar dan panen di AS sebagai negara produsen gandum terbesar, sedang menghadapi masalah serius akibat gagal panen yang mengancam karena La Nina. Akibatnya harga gandum mengalami peningkatan sebesar 5 persen, walaupun area tanam di AS pada tahun 2011 naik 8.2 persen dari tahun sebelumnya, yakni menjadi 23.5 juta hektare (Departemen Pertanian AS, 2011). Hal ini menunjukkan cuaca akibat perubahan iklim menjadi kunci utama output mengalami peningkatan atau pe nurunan. Walaupun area tanam meningkat namun apabila cuaca memburuk maka tidak serta merta produksi akan meningkat. Penurunan
suplai akan
cenderung
mendorong
peningkatan harga.
Peningkatan harga terjadi pada Negara-negara produsen utama yang mengalami penurunan output yaitu India, US, dan China. EU_25 yang mengalami peningkatan output yang tipis tidak mampu menahan kenaikan harga. Peningkatan konsumsi yang besar yang direspon dengan peningkatan output yang relatih lebih rendah cenderung mendorong peningkatan harga walaupun nilainya masih relatif
205
lebih rendah sebesar 0.50 persen dibanding produsen utama lain yang peningkatan harganya lebih tinggi. Penurunan output gandum di US, India, dan China berdampak pada timbulnya kesenjangan antara konsumsi dan produksi. Kesenjangan konsumsi dan produksi dipenuhi dengan impor. Peningkatan impor terjadi di negara prod usen utama yaitu di US, India, dan China. Selain itu, penurunan output menyebabkan tidak adanya excess supply, sehingga ekspor cenderung mengalami penurunan. Berdasarkan Tabel 31, produsen utama yang mengalami penurunan penyerapa n tenaga kerja baik terlatih maupun tidak terlatih hanya terjadi di US yang penurunan outputnya relatif lebih besar dibanding negara produsen utama lainnya yaitu sebesar 32.14 persen. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi bahwa permintaan tenaga kerja merupakan derived demand dari permintaan terhadap output. Karena output turun, maka permintaan terhadap tenaga kerja baik tidak terlatih maupun terlatih akan mengalami penurunan. Sebaliknya EU_25 dan Rusia yang mengalami peningkatan output, penyerapan tenaga kerjanya juga mengalami peningkatan. Sedangkan India dan China walaupun outputnya mengalami penurunan, permintaan terhadap tenaga kerja tetap mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan pelaku ekonomi lebih responsif terhadap peningkatan harga. Peningkatan harga membe rika n insentif bagi pelaku ekonomi untuk menambah tenaga kerjanya. Namun, karena prod uktivitas lahan yang turun akibat pe manasan global menyebabkan output tidak mengalami peningkatan bahkan mengalami penurunan (hukum diminishing marginal return). 5.4.3. Produsen Jagung
206
Berbeda dengan sektor padi dan beras, tidak semua produsen utama jagung mengalami penurunan output sebagaimana terlihat pada tabel 32. Produsen utama yang mengalami peningkatan output adalah tertinggi Rusia sebesar 19.27 persen, disusul EU_25 sebesar 4.25 persen dan China sebesar 3.76. Sedangkan Negara yang mengalami penurunan output yaitu India sebesar 10.87 persen, dan US sebesar 6.78 persen. Perubahan iklim akibat peningkatan suhu bumi memicu kondisi ekstrim seperti El-Nino da n La Nina yang mau tidak mau berpo tensi memberikan pengaruh pada produksi dan produktivitas komoditi pertanian lainnya seperti jagung di seluruh dunia. Namun demikian perubahan iklim tidak berpengaruh negative terhadap output jagung Eropa. Dukungan domestik Eropa sebesar 5 persen dan subsidi ekspor yang besar untuk produk-produk pertaniannya termasuk jagung yakni sebesar US $ 23.2 milyar atau 90 persen dari total subsidi seluruh anggota WTO pada kurun waktu 1995-1998 (Dixix, Josling, dan Blanford, 2001) memperkuat daya tahan pangan terutama pada output jagungnya. Untuk kasus China, perubahan iklim meningkatkan output jagung. Hasil ini sesuai dengan kajian Zai et al (2009). Hasil kajian Zai et al (2009) menunjukkan meskipun kerugian produktivitas tanaman pangan RRC akibat perubahan iklim cukup besar yaitu 7,2 persen, namun penurunan produksi tanaman pangan relatif kecil. Hal ini dikarenakan penurunan produktivitas RRC akibat perubahan iklim masa datang yang lebih rendah daripada rata-rata dunia. Oleh karena itu, harga tanaman pangan di tingka t prod usen aka n turun diba ndingka n harga tanaman pangan dunia, sehingga menyebabkan peningkatan ekspor dan penurunan impor di sektor tanaman pangan RRC. Dalam hal ini, ekspor biji-bijian lainnya RRC meningkat sebesar 63.7 persen, dan tanaman pangan lainnya meningkat 110.4
207
persen. Sementara itu, impor beras RRC diproyeksikan mengalami penurunan 43,1 persen, gandum menurun 17,6 persen, biji-bijian lainnya menurun 14,9 persen, dan tanaman pangan lainnya menurun 30,1 persen. Secara umum disimpulkan bahwa, sektor makanan olahan RRC diprediksikan mengalami kerugian yang paling besar dari perubahan produktivitas sektor pertanian akibat perubahan iklim global, sedangkan beberapa sektor tanaman pangan (seperti gandum) di RRC mengalami perkembangan positif karena peningkatan permintaan dari wilayah lain di dunia. Suplai output jagung yang menurun cenderung mendorong peningkatan harga tak terkecuali EU_25 dan China yang outputnya mengalami peningkatan. Hanya Rusia yang harga outputnya menga lami pe nur unan sangat besar karena outputnya juga mengalami peningkatan yang relative signifikan dibanding EU_25 dan China. Disamping itu, penurunan output yang terjadi pada Negara-negara produsen utama US dan India mencerminkan adanya kelangkaan di domestik sehingga mendorong peningkatan impor dan penurunan ekspor. Dari sisi tenaga kerja, permintaan tenaga kerja cenderung responsif karena adanya peningkatan harga dibanding karena peningkatan output. Negara produsen utama yang harga outputnya mengalami peningkatan, akan direspon oleh pe laku ekonomi dalam hal ini produsen penghasil output jagung dengan meningkatkan penyerapan tenaga kerja terlatih maupun tidak terlatih. Peningkatan terbesar terjadi di India yang memang peningkatan harganya lebih tinggi dibanding Negara produsen utama jagung lainnya, yaitu 52.76 persen untuk tenaga kerja tidak terlatih dan 52.97 persen untuk tenaga kerja terlatih. Sedangkan Rusia yang disatu sisi outputnya mengalami peningkatan sedangkan di sisi lain harga outputnya
208
mengalami penurunan, penyerapan tenaga kerja baik tidak terlatih maupun terlatih mengalami pe nurunan yaitu masing- masing sebesar 89.91 persen dan 90.11 persen. Tabel 32. Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektoral Ekonomi Negara Produsen Jagung (Persen) Perdagangan Negara US EU_25 China Rusia India
Output -6.78 4.25 3.76 19.27 -10.87
Harga 23.68 0.58 14.24 -132.96 77.95
Ekspor
Impor
-19.61 12.26 2.06 348.23 -127.11
7.12 -3.69 -38.80 -91.39 70.14
Tenaga Kerja TK Tidak TK Terdidik Terdidik 15.72 15.72 4.55 4.55 13.78 13.83 -89.91 -90.11 52.76 52.97
Sumber: Hasil Simulasi 5.5. Dampak Pe rubahan Iklim terhadap Sektoral Ekonomi Indonesia Dampak perubahan iklim terhadap keragaan sektoral eko nomi Indo nesia dapat ditunjukkan melalui output, harga, ekspor, impor dan penyerapan tenaga kerja terlatih dan tidak terlatih secara sektoral seperti yang terlihat pada Tabel 34 dan Tabel 35. Hampir keseluruhan sektor pertanian mengalami penurunan output sebagai akibat perubahan iklim. Peningkatan suhu bumi memicu kondisi ekstrim seperti El Nino da n La Nina yang mempengaruhi produksi dan produktivitas komoditi pertanian. Sejak tahun 1998 telah terjadi kenaikan suhu yang mencapai 10 Celcius di Indonesia, sehingga diprediksi akan terjadi lebih banyak curah hujan dengan pe ruba han 2-3 persen per tahun. Dalam 5 tahun terakhir rata-rata luas lahan sawah yang terkena banjir dan kekeringan masing- masing sebesar 29 743 ha (11 043 ha diantaranya puso karena banjir) dan 82 472 ha (8 497 ha diantaranya puso karena kekeringan. Kondisi ini cenderung meningkat pada tahun-tahun kedepan (Kementrian Pertanian, 2010). Dampak lanjutan bagi sektor pertanian
209
Indo nesia de ngan ada nya peruba han iklim adalah bergesernya pola dan kalender tanam, perubahan keanekaragaman hayati, eksplosi hama dan penyakit tanaman dan hewan dan akhirnya adalah penurunan produksi pertanian. Banjir 2009/2010 yang melanda 12 provinsi di Indonesia, menggenangi 34 220 ha sawah dan 8 557 ha diantaranya puso. Namun luas areal pertanaman yang terkena banjir pada tahun 2009/2010 lebih rendah dibandingkan tahun 2008/2009 yaitu seluas 129 212 ha, dan diantaranya mengalami puso seluas 24 198 ha. Di Provinsi Banten mengalami puso 4 666 ha. Sedangkan areal yang terkena banjir antara lain di NAD 1 130 ha, Riau 796 ha, dan Lampung 649 ha, adalah daerah yang paling terparah terkena banjir. Jawa Barat yang terkenal sebagai daerah rawan banjir, total sawah yang terkena banjir 4 219 ha dan areal yang dinyatakan puso 277 ha. Wilayah Jawa Barat yang sawahnya terkena banjir antara lain Kabupaten Karawang 2 063 ha, Bekasi 1 017 ha, Bandung 661 ha, Tasikmalaya 111 ha, Ciamis 104 ha dan kabupaten lainnya 263 ha (www.deptan.go.id). Secara teori dampak perubahan iklim dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu dampak biofisik dan dampak sosio-ekonomik. Dampak biofisik antara lain efek psikologis terhadap kuantitas dan kualitas tanaman pangan rerumputan, hutan, ternak, perubahan kualitas dan kuantitas lahan dan air, peningkatan gulma dan hama pengganggu, pergeseran pada dampak distribusi spasial dan temporal serta peningkatan permukaan air laut dan salinitas laut. Dampak sosio-ekonomi selain penurunan produksi dan penurunan produktivitas serta penurunanan pangsa GDP sektor pertanian adalah fluktuasi harga produk pertanian. Penurunan produksi pertanian disatu sisi, sedangkan disisi lain konsumsi komoditi pertanian semakin meningkat terutama bahan pangan sebagai
210
akibat peningkatan populasi, mendorong harga komoditi sektor pertanian mengalami peningkatan. Berdasarkan Tabel 34, hampir keselur uhan harga komoditi sektor pertanian mengalami peningkatan. Sedangkan sektor services, mining, leather yang merupakan produk yang dikategorikan produk pengolahan, dan manufaktur yang tidak terkena dampak dari perubahan iklim tidak mengalami peningkatan, bahkan mengalami penurunan harga masing- masing sebesar 0.35 persen, 0.33 persen, 0.33 persen, dan 0.18 persen. Hasil skenario dampak perubahan iklim terhadap ekspor sektor pertanian Indonesia dapat dilihat pada Tabel 34. Perubahan iklim berdampak terhadap peningkatan impor komoditi sektor pertanian karena di satu sisi pertumbuhan populasi penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun dengan pertumbuhan 15.17 persen dari tahun 1990 sampai dengan 2010 (www.bps.go.id) yang mendorong peningkatan rata-rata konsumsi bahan pangan, sedangkan di sisi lain terjadi kekurangan pasokan komoditi sektor pertanian. Peningkatan tertinggi terjadi pada komoditi gro (cereal grain) sebesar 34.70 persen dan kedua paddyrice sebesar 12.63 persen. Tingginya rata-rata konsumsi beras masyarakat Indonesia yaitu 139 kg/kapita/tahun mendorong impor komoditi ini lebih tinggi dibandingkan komoditi sektor pertanian lainnya. Sedangkan komoditi sektor pertanian lainnya yang impornya tidak meningkat walaupun terjadi perubahan iklim adalah sektor perikanan dan vegetable oil. Indo nesia sendiri berada di urutan ke-3 dari penghasil produksi perikanan tangkap di dunia, sehingga konsumsi dipenuhi oleh produksi domestik. Wilayah laut Indonesia yang terdiri atas luas perairan Indonesia kurang lebih 3.1 juta km2 (perairan laut teritorial 0.3 juta km2 dan perairan nusantara 2.8
211
juta km2 ) dan perairan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) seluas lebih kurang 2.7 juta km2 menyimpan banyak jenis ika n dan hasil perairan la innya yang me memiliki nila i ekonomis penting. Tabe l 33. Produksi Perika nan Tangkap Dunia Menurut Negara Asal, 2003 – 2007 (dalam Ton) No
Negara
Tahun 2003
2004
2005
2006
2007
Juml ah
88 243 068
92 279 764
92 182 739
89 863 279
90 063.851
1
China
14 347 274
14 464 803
14 588 940
14 631 018
14 659 036
2 3
Peru Indonesia
6 086 060 4 644 715
9 604 527 4 653 888
9 388 488 4 709 074
7 017 491 4 823 587
7 210 544 4 936 629
4
USA
4 938 956
4 959 826
4 892 967
4 852 283
4 767 596
5
Japan
4 670 393
4 315 734
4 389 206
4 344 513
4 211 201
6
India
3 712 149
3 391 009
3 691 362
3 844 837
3 953 476
7 8
3 612 644 3 281 448
4 926 741 2 941 533
4 328 732 3 197 564
4 160 848 3 284 285
3 806 085 3 454 214
9
Chile Russian Federation Philippines
2 165 812
2 211 245
2 269 668
2 318 981
2 499 634
10
Thailand
2 849 724
2 839 612
2 814 295
2 698 803
2 468 784
11
Lainnya
37 933 893
37 970 846
37 912 443
37 886 633
38 096 652
Sumber : Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2009 dalam Listianawati, 2010 Data tahun 2008-2009 belu m tersedia
Tidak terjadinya peningkatan impor komoditi vegetable oil dimungkinkan karena Indo nesia ada lah salah satu prod usen utama CPO menduduki pe ringka t pertama dunia sehingga sama dengan sektor perikanan, konsumsinya dipenuhi dari produksi domestik bukan dari impor, seperti terlihat pada Tabel 34. Tabe l 34. Dampak Skenario Perubahan Iklim terhadap Keragaan Sektoral Ekonomi Indonesia Tahun 2070
Sektor Paddyrice Wheat Vegetables, fruit, nuts
Output Sektoral ( persen)
Harga Sektoral ( persen)
Eks por Sektoral ( persen)
Impor Sektoral ( persen)
-3.73
17.09
-44.00
12.63
-10.73
6.34
-13.24
-3.25
-1.52
3.86
-8.34
4.63
212
Oilseed
-2.61
3.23
-10.33
3.73
Sugar cane, sugar beet
-2.49
2.81
-9.59
1.08
Cattle,sheep,goats,horses
-1.76
5.34
-14.65
5.78
Raw milk
-2.62
5.06
-42.35
4.76
Forestry
0.41
-0.10
-0.34
0.52
Fishing
-0.80
-1.46
2.10
-2.35
Other Agriculture
-4.65
7.36
-28.91
9.04
Meat: cattle,sheep,goats,horse
-1.43
2.03
-10.52
4.65
Vegetable oils and fats
-1.97
1.11
-2.83
-1.62
Sugar
-2.50
1.61
-6.33
1.18
Food and Beverage
-3.25
3.70
-12.13
3.37
Leather products
2.05
-0.33
3.70
-0.08
Mining, Oil,and Gas
0.98
-0.33
2.30
-0.48
Manufacturing products
0.52
-0.18
1.03
-0.36
-0.41
-0.35
1.28
-0.96
Service Sumber: Data Diolah
Secara teori apabila terjadi penurunan jumlah barang yang diproduksi (output), maka akan menyebabkan penurunan jumlah tenaga kerja yang diminta, mengingat permintaan tenaga kerja ada lah permintaan turunan (derived demand) dari permintaan output. Penurunan permintaan terhadap tenaga kerja tercermin dalam penurunan penyerapan terhadap skill labo r dan unskill labor. Berdasarkan hasil estimasi dampak perubahan iklim terhadap output menunjukkan hampir keseluruhan output sektor pertanian mengalami penurunan yang konsekuensinya juga akan menurunkan penyerapan terhadap tenaga kerja di hampir keseluruhan sektor pertanian kecuali paddy rice da n cereal grain yang memang merupakan sektor yang menampung banyak tenaga kerja di Indonesia. Perubahan iklim tidak mempengaruhi output lea
(leather),
mining, dan
manufaktur, sehingga
peningkatan penyerapan tenaga kerja tetap terjadi sebagai dampak peningkatan output.
213
Tabel 35. Dampak Skenario Perubahan Iklim terhadap Kondisi Penyerapan Tenaga Kerja Indonesia Tahun 2070 UnSkLab Paddyrice Wheat Vegetables, fruit, nuts Oilseed Sugar cane, sugar beet Cattle,sheep,goats,horses Raw milk Forestry Fishing Other Agriculture Meat: cattle,sheep,goats,horse Vegetable oils and fats Sugar Food and Beverage Leather products Mining, Oil,and Gas Manufacturing products Service
SkLab 7.48 -10.64 -0.47 -1.67 -1.53 -0.73 -1.69 0.43 -1.24 -3.86 -1.52 -2.07 -2.61 -3.36 1.93 1.12 0.38 -0.58
7.54 -10.58 -0.40 -1.61 -1.47 -0.67 -1.62 0.49 -1.19 -3.78 -1.20 -1.75 -2.29 -3.04 2.30 1.35 0.74 -0.18
Sumber: Data Diolah
5.6. Dampak Liberalisas i Perdag anga n Sektor Pertanian te rhadap Kondisi Makro Ekonomi di Negara Produsen dan Importir Komoditi Pangan Walaupun perda gangan tanpa
hambatan tarif da n non-tarif akan
meningkatkan kesejahteraan dua negara yang mengadakan pertukaran barang, berdasarkan teori ekonomi, masih banyak negara yang dengan alasan ekonomi maupun non eko nomi melakukan hamba tan tersebut. Alasan eko nomi ditujukan untuk melindungi industri yang baru berdiri (infant industry argument), sumber pemasukan negara dan menggairahkan produsen dalam negeri. Sedangkan alasan non-ekonomi biasanya adalah alasan keamanan, keamanan pangan, kebudayaan dan kesehatan. Menurut tinjauan teoritis, pengenaan tarif akan merugikan konsumen domestik, menguntungkan produsen domestik dan negara, serta
214
kerugian masyarakat. Penurunan tingkat tarif diharapkan dapat mengurangi kerugian yang ditimbulkan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perubahan kinerja ekonomi makro sebagai akibat liberalisasi perdagangan sektor pertanian dalam bentuk penurunan tarif bea masuk tidak tampak signifikan untuk
menopang pertumbuhan PDB Riil.
Seluruh negara,
baik
yang
diklasifikasikan sebagai negara maju maupun negara berkembang diprediksi hanya akan mengalami peningkatan PDB rill yang relatif kecil yaitu kurang dari satu persen baik untuk skenario penurunan tarif sebesar 70 persen untuk negara maju dan 36 persen bagi negara berkembang (Skenario 2) dan full across the border trade liberalization sektor pertanian dengan penurunan tarif sebesar 100 persen (Skenario 3). Secara ringkas dapat dikemukakan bahwa arah dan pergerakan intensitas liberalisasi perdagangan dari skenario 2 ke 3 berdampak pada perubahan GDP yang positif bagi semua negara yang diteliti kecuali Brazil. Sementara itu, EU da n Rusia ya ng tergabung dalam negara maju menunjukk an fenomena yang identik dalam peningkatan GDP sebagaimana terlihat pada tabel 36.
Tabe l 36. Dampak Skenario Liberalisasi Perdagangan terhadap Keragaan Makroekonomi
215
Negara
Produk Domestik Bruto (%) Sim 2
Sim 3
Sim 2
Sim 3
Neraca Perdagangan (000 USD) Sim 2
Terms of Trade (%)
Sim 2
Sim 3
0
0
1.39
3.16
1 981.15
4 579.02
247.73
706.32
1.67
3.9
0.51
0.72
-2.36
-3.31
2 514.74
3 837.78
-1 569.89
-1 999.06
-0.33
-0.22
Australia Rusia
Equivalent Variance (000 USD)
Inflasi (%)
Sim 3
Sim 2
Sim 3
China
0.01
0.05
-0.15
-0.44
-226.84
-125.38
-771.26
-3 255.04
-0.07
-0.12
Indonesia
0.05
0.15
-0.94
-2.58
-311.23
-775.11
-224.82
-729.05
-0.54
-1.37
Philippines
0.09
0.26
-0.33
-1.11
90.13
232.63
-41.1
-214.25
0.01
0
EU_25
0.17
0.24
-0.74
-1.1
20 888.82
29 897.35
-3 640.84
2 214.97
-0.06
-0.03 -0.51
Pakistan
0.09
0.26
-0.56
-1.97
77.3
181.25
19.78
40.83
-0.1
Thailand
0.02
0.1
0.35
0.78
462.65
1 204.5
470.27
518.37
0.37
0.92
Vietnam
0.03
0.18
0.19
0.01
74.2
169.77
110.49
161.87
0.19
0.26
India
0.07
0.21
0.05
-0.24
622.76
1 698.64
369.45
561.65
0.15
0.3
0.1
0.32
-1.51
-4.05
-8.15
35.11
-50.24
-176.82
-0.58
-1.3 0.41
Bangladesh US
0.02
0.01
-0.21
-0.14
2 749.37
8 245.65
6 293.84
13 049.89
0.04
Brazil
-0.05
-0.1
2.06
3.84
1 743.49
3 264.94
-364.52
-623.96
2.29
4.35
RestofWorld
0.14
0.41
-0.35
-1.31
12 917.39
29 581.7
-848.89 -10 255.72
-0.05
-0.39
Keterangan: Sim 2: Skenario Liberalisas i Perdagangan untuk Komoditi Pertanian sebesar 70 Persen untuk Negara M aju dan 36 Persen untuk Negara Berkembang Sim 3: Skenario Liberalisasi Perdagangan untuk Komoditi Pertanian sebesar 100 Persen untuk Negara M aju dan Negara Berkembang
Sumber :Data Dio lah
Tabel 36. Dampak Skenario Liberalisasi Perdagangan terhadap Keragaan Makroekonomi (Lanjutan) Negara
Konsumsi (%) Sim 2
Pengeluaran Pemerintah (%)
Investasi (%)
Sim 3
Sim 2
Sim 3
Sim 2
Sim 3
Ekspor (%)
Impor (%)
Australia
1.45
3.31
-0.03
-0.13
1.44
3.23
Sim 2 3.45
Sim 3 6.8
Rusia
-2.41
-3.38
-0.02
-0.18
-1.34
-1.87
3.18
China
-0.17
-0.49
0.04
0.28
-0.13
-0.36
Indonesia
-1.02
-2.81
-0.03
0.15
-0.76
Philippines
-0.26
-0.95
0.29
1.45
EU_25
-0.78
-1.17
0.07
Pakistan
-0.52
-1.88
Thailand
0.46
Vietnam India
Sim 2
Sim 3
2.85
5.44
4.8
6.31
9.22
0.53
1.41
0.74
2.18
-2.05
0.9
2.49
1.32
3.78
-0.15
-0.58
1.23
3.25
1.38
3.87
-0.19
-0.3
-0.48
2.92
4.27
3.01
4.24
-0.06
-0.01
-0.4
-1.48
2.61
6.78
1.52
3.99
1.07
-0.96
-0.76
0.49
1.24
0.33
0.53
-0.07
0.13
0.28
0.25
-0.62
-0.93
0.2
0.19
0.45
1.16
0.1
0.6
0.11
-0.1
-0.2
-0.33
0.14
0.12
1.36
3.31
0.83
2.27
-1.6
-4.29
0.02
0.32
-1.14
-2.95
2.7
7.5
2.58
7.47
US
-0.22
-0.15
-0.26
-0.53
-0.14
-0.06
3.01
5
1.84
2.93
Brazil
2.09
3.88
1.07
1.95
2.04
3.82
2.52
5.57
4.01
8.64
RestofWorld
-0.28
-1.16
0
0.24
-0.12
-0.63
1.8
4.48
2.07
5.43
Bangladesh
Keterangan: Sim 2: Skenario Liberalisas i Perdagangan untuk Komoditi Pertanian sebesar 70 Persen untuk Negara M aju dan 36 Persen untuk Negara Berkembang Sim 3: Skenario Liberalisasi Perdagangan untuk Komoditi Pertanian sebesar 100 Persen untuk Negara M aju dan Negara Berkembang Sumber : Data Diolah
Penurunan tarif ternyata menguntungkan bagi negara maju seperti Amerika Serikat, Rusia, dan
dan EU-25 karena menurunkan GDP deflator atau
216
menurunkan tingkat inflasi di wilayah tersebut. Penurunan tingkat tarif pada komoditi pertanian yang menurunkan harga domestik komoditi pertanian ternyata mempunyai pengaruh terhadap indeks harga umum negara tersebut. Dampak penurunan tarif terhadap perubahan GDP deflator yang juga tinggi adalah di EU25 dan Rusia yang juga menerapkan tarif impor yang tinggi pada komoditi pertanian. Di negara berkembang, dampak dari penurunan tarif pada perubahan GDP deflator paling tinggi terjadi pada Indonesia, Pakistan, dan Bangladesh yang menerapkan tarif yang tinggi pada komoditi pertanian. Australia yang termasuk dalam negara maju terkena dampak penurunan tarif impor yang berbeda dengan negara maju lainnya. Negara tersebut adalah negara pengekspor komoditi pertanian terutama gandum dan produk peternakan dan memiliki tingkat tarif impor yang paling rendah dibandingka n negara maju lainnya. Dampak penurunan tarif terhadap negara tersebut justru meningkatkan GDP deflator. Hal ini bisa terjadi karena adanya peningkatan ekspor pertanian negara tersebut ke negara maju yang disebabka n oleh pe nur unan tarif di negara maju yang dapat dilihat dari perubahan nilai Terms of Trade yang positif. Peningkatan ekspor mengakibatkan kelangkaan penawaran di pasar domestik dan meningkatkan harga di pasar domestik. Hal ini akan meningkatkan indeks harga umum dan secara langsung akan meningkatkan GDP deflator. Anomalitas dampak penurunan tarif sektor pertanian bagi kesejahteraan (Equivalent Variance) ditunjukka n oleh Indo nesia da n China yang merupakan negara pengekspor sekaligus pengimpor produk pertanian. Respon kesejahteraan negatif ba gi kedua negara tersebut menunjukkan bahwa manfaat liberalisasi
217
perdagangan bagi Indonesia dan China dalam level makroekonomi tidak sepenuhnya dapat ditransmisikan kepada kesejahteraan masyarakat. Dampak negatif terhadap kinerja perdagangan dari liberalisasi perdagangan ditunjukkan dengan nilai neraca perdagangan yaitu negatif di Rusia, EU-25, China, Brazil, Indonesia, Philipina dan Bangladesh pada kedua skenario liberalisasi pe rda gangan. Untuk ka sus Indo nesia, isu sentral yang harus dicermati mengenai kinerja perdagangan adalah sejauh mana kekuatan penawaran ekspor Indonesia dapat merespon peluang liberalisasi perdagangan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kebijakan liberalisasi baik dalam bentuk duties (pajak ekspor dan tarif impor) berpotensi untuk meningkatkan laju pertumbuhan impor lebih cepat daripada ekspor. Hal ini terjadi pada Rusia, China, Indonesia, Philipina, Brazil dan ROW pada skenario 2 dan 3, serta EU-25 pada skenario 2. Realitas di Indonesia juga menunjukkan bahwa lebih mudah bagi importir untuk langsung melakukan impor dibanding eksportir merelokasi sumber daya atau faktor produksi untuk melakukan ekspor. Fenomena yang terjadi pada kinerja ekspor Indonesia karena kendala dari sisi penawaran. Namun demikian beberapa negara menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan memberikan insentif peningkatan ekspor lebih besar daripada impor seperti Australia, Pakistan, Thailand, Vietnam, India, Bangladesh, dan AS. Fenomena di beberapa negara berke mba ng tersebut didukung oleh peran riset da n pengemba ngan yang memadai sebagaimana dilaporkan ASTI (Agricultural Science and Technology Indicator) (2002), seperti di India mencapai 0,73% dari PDB sektor pertanian, Bangladesh (0,36%), Pakistan (0,27%), Philipina (0,44%), sedangkan Indonesia hanya 0,18%. Kondisi ini akan semakin buruk jika
218
perdagangan bebas tidak memberikan insentif dan strategi jangka panjang bagi industri untuk meningkatkan produktivitas melalui efisiensi produksi maupun adopsi teknologi. Peningkatan kualitas infrastruktur ekspor, seperti peningkatan kualitas pasca panen, packing dan handling serta penguatan laboratorium uji mutu akan meningkatkan daya saing ekspor Indonesia sehingga dapat menembus pasar ekspor. Peningkatan efisiensi manajemen rantai penawaran juga diperlukan agar produk Indonesia dapat menembus akses pasar di negara tujuan ekspor dengan lebih efisien (Oktaviani et al, 2010). Secara umum, proksi variabel konsumsi riil rumahtangga agregat yang menunjukkan kemampuan daya beli masyarakat meningkat bagi Australia dan Brazil meskipun dengan intensitas yang sangat kecil. Peningkatan konsumsi rumahtangga terjadi karena konsumen memperoleh barang dengan harga yang relatif murah sebagai dampak adanya trade creation effect. Dibukanya potensi perdagangan menstimulasi terjadinya consumption effect dimana secara grafis, kurva indeference akan bergerak ke atas. Ini berarti bahwa adanya perdagangan melalui penurunan tarif membuat masyarakat bisa mengkonsumsi dalam jumlah yang lebih besar. Dengan kata lain bahwa pendapatan riil masyarakat (yaitu pendapatan yang diukur dari berapa jumlah ba rang yang bisa dibe li oleh jumlah uang tersebut) meningkat dengan adanya penurunan tarif. Sementara itu, hampir keseluruhan negara berkembang kecuali Thailand, Brazil dan Vietnam pada kedua skenario dan India pada skenario 2 serta negara maju seperti Australia cenderung mengalami penurunan konsumsi rumahtangga rill pertanian. Kondisi ini serupa dengan ko nsumsi yang dilakuka n oleh pemerintah.
219
Sementara itu, ke terkaitan pos itif antara liberalisisasi perdagangan pertanian dan investasi terjadi di China, Philipina, Bangladesh, Brazil dan ROW pada skenario 2 dan 3 dan EU-25 hanya pada skenario 2 dan Indonesia pada skenario 3. Skema liberalisasi perdagangan secara komprehensif telah menyediakan ruang untuk peningkatan investasi. Persetujuan untuk meliberalisasi perda gangan di sektor barang dan jasa akan mendorong dunia usaha untuk menyesuaikan dengan lingkungan bisnis bilateral tanpa hambatan. Daya tarik bagi investasi akan menjadi semakin tinggi dengan adanya reformasi regulasi, minimisasi resiko ketidakpastian dalam berusaha, dan perbaikan iklim investasi. Negara lain yang turun
investasinya
menunjukkan
bahwa
liberalisasi
perdagangan
yang
menimbulkan konsekuensi penurunan bahkan penghapusan hambatan tarif tidak dapat memberikan insentif bagi investor untuk menanamkan modalnya. Terdapat faktor lain yang lebih dominan mempengaruhi investor dalam melakukan penanaman modalnya. Beberapa penelitian menunjukkan tidak hanya tarif yang mempengaruhi FDI (Foreign Direct Investment). Penelitian Cheng da n Kwang (2000); Asiedu (2002); Mai (2002); Carr, Markusen dan Maskus (2004) menunjukkan bahwa infrastruktur mempengaruhi biaya produksi. Ketersediaan dan kualitas infrastruktur merupaka n faktor yang menentuka n FDI. Di beberapa negara berkembang di kawasan Asia, infrastruktur irigasi merupakan salah satu faktor pendukung berkembangnya investasi di sektor pertanian. Berdasarkan CIA World Fact, selama tahun 2008, luas lahan irigasi di China mencapai 641.410 km2 , India (622.860 km2 ), Bangladesh (50.500 km2 ), Philipina (152.500 km2 ), sedangkan Indonesia hanya 67.220 km2 atau sekitar 10% dari luas irigasi di China. Selain infrastruktur, kebijakan pemerintah negara tujuan
220
juga mempengaruhi distribusi regional dari aliran masuk FDI (Cheng et al, 2000; Mai 2002). Kebijakan yang kondusif akan memberikan iklim investasi yang lebih baik dan memberikan insentif bagi investor menanamkam modalnya.
5.7.
Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Sektoral Ekonomi Negara Produsen dan Importir Utama Padi, Gandum dan Jag ung
5.7.1. P rodusen dan Importir Padi Liberalisasi perdagangan sektor pertanian dalam kerangka WTO, yang sampai saat ini belum mencapai kesepakatan, terjadi karena adanya perbedaan atau gap yang besar antara negara maju yang sebagian besar adalah negara-negara produsen utama dan negara berkembang yang domotori oleh Brazil dan India yang juga sebagai negara produsen. Sementara negara berkembang lainnya seperti China, dan Indonesia selain sebagai produsen juga merupakan negara importir utama dunia sekaligus pasar yang besar bagi produk pertanian. Oleh karena itu, macetnya perundingan sektor pertanian berdampak pada keseluruhan perundingan yang diputuskan melalui pendekatan Single Undertaking. Terkait dengan situasi perundingan sektor pertanian dalam kerangka WTO tersebut diatas, maka simulasi dampak liberalisasi sektor pertanian denga n mengacu pada posisi perundingan dalam kerangka WTO, dapat menjadi salah satu bahan analisis yang dapat digunakan bagi Indonesia khususnya dalam menghadapi perundingan sektor pertanian di WTO. Hasil analisis difokuskan pada 3 jenis komoditi yang diteliti yaitu padi, gandum, dan jagung. Berdasarkan simulasi 2 dan 3 sebagaimana disajikan pada tabel 37 menunjukkan bahwa dampak liberalisasi padi tidak hanya meningkatkan output di seluruh negara produsen utama padi, tetapi juga mampu memberikan insentif terhadap kenaikan output di
221
di negara importir yaitu Amerika Serikat (US). Peningkatan output di negara produsen utama sesuai dengan teori perdagangan internasional (Dunn dan Mutti, 2000), yaitu liberalisasi akan mendorong peningkatan supply di negara produsen dan sebaliknya akan meningkatkan impor di negara importir yang selama ini mengenakan tarif bea masuk terhadap produk yang diliberalisasikan. Hal ini juga ditunjukan oleh peningkatan impor di seluruh negara importir utama padi. Namun de mikian, di negara-negara prod usen padi di ka wasan Asia yaitu China, India, Indonesia, Bangladesh, yang juga negara pengkonsumsi padi terbesar dunia, liberalisasi perdagangan komoditi padi juga mendorong terjadinya peningkatan impor dengan laju yang jauh lebih besar dibandingkan dengan laju peningkatan ekspornya. Hal ini dapat terjadi karena jumlah penduduk dan laju pertumbuhan pe nduduk di negara- negara tersebut relatif tinggi termasuk di Indo nesia, sehingga kebutuhan untuk padi jauh melebihi jumlah output/produksi yang dihasilkan.
Bahkan liberalisasi padi secara penuh (Simulasi 3- yaitu
penurunan tarif menjadi 0 persen) menyebabkan laju impor padi di India dan Thailand akan meningkat dua kali lipat dibandingkan kenaikan ekspor padi. Laju peningkatan impor padi tersebut disertai kenaikan harga komoditi tersebut di Thailand yang juga meningkat dua kali lipat yaitu dari 6.53 persen (Simulasi 2) menjadi 13.92 persen (Simulasi 3).
Namun demikian, kondisi tersebut tidak
terjadi di India, dimana laju kenaikan impor padi yang tinggi tidak disertai oleh peningkatan harga padi. Sementara itu, tingginya kebutuhan padi (beras) di Indo nesia juga ditunjukka n oleh jumlah impor be ras Indo nesia yang masih relatif tinggi yaitu mencapai 1,1 juta ton per tahun atau senilai US$ 341 juta per tahun selama 1993-2010 (BPS, 2011).
222
Liberalisasi perdagangan padi
juga
berdampak
pada
peningkatan
penyerapa n tenaga kerja ba ik yang terlatih maupun yang tidak terlatih di negara produsen utama padi kecuali Bangladesh. Liberalisasi perdagangan padi, berdampak pada penyerapan tenaga kerja yang terlatih di China, India, dan Thailand lebih dari 1 persen (Simulasi 2) dan lebih dari 2 persen (simulasi 3). Namun di Indonesia dampaknya hanya meningkatkan tenaga kerja terlatih di sektor padi kurang dari 1 persen yaitu masing- masing 0.58 persen pada simulasi 2 dan 0.43 persen pada simulasi 3. Hal ini berarti bahwa pembukaan pasar padi melalui liberalisasi padi, tidak mendorong tenaga kerja terlatih untuk terjun di sektor pertanian meskipun ada insentif untuk meningkatkan produksi padi karena terbukanya pasar ekspor di negara importir. Kondisi ini berbeda dengan penyerapan tenaga kerja terlatih di sektor manufaktur yang justru meningkat diatas 2 persen baik pada simulasi 2 maupun simulasi 3, sebagaimana dijelaskan pada bagian 5.8. Dampak liberalisasi padi ternyata juga berdampak pada peningkatan jumlah tenga kerja terlatih terutama di Amerika Serikat. Hal ini sejalan dengan kondisi sebelumnya yang menunjukan bahwa liberalisasi padi menyebabkan peningkatan output padi di Amerika Serikat (US), sehingga mendorong penyerapan tenaga kerja di sektor tersebut terutama tenaga kerja terlatih. Hal ini berarti bahwa liberalisasi padi akan mendorong pertanian padi di US semakin mengarah pada capital intensive yang dikelola oleh tenaga terampil. Sebaliknya liberaliasi padi akan mendorong penurunan penyerapan tenaga kerja terampil di Brazil dan EU25 dengan laju pe nur unan yang cukup signifika n yaitu masing- masing 22.63 persen dan 89.18 persen pada simulasi 2 dan 22.62 persen dan 89.22 pada simulasi 3.
223
Tabe l 37. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Sektoral Ekonomi Produsen dan Importir Padi Klasifikasi Negara
Negara
China Negara India Produsen Indonesia Utama Bangladesh Thailand EU 25 Negara Brazil Importir US Utama Vietnam Bangladesh
Output Sektoral (%) Harga Sektoral (%) Ekspor Sektoral (%) Impor Sektoral (%) Sim 2 Sim 3 Sim 2 Sim 3 Sim 2 Sim 3 Sim 2 Sim 3 1.05 2.86 0.14 -0.11 177.04 454.46 183.62 522.86 1.61 2.59 1.08 0.72 156.76 251.55 188.79 525.91 0.96 2.59 -3.07 -8.92 185.23 406.98 152.7 432.84 0.52 1.27 -3.47 -9.98 198.79 416.83 158.15 447.26 0.72 1.33 6.53 13.92 105.92 274.55 213.74 579.07 -62.79 -86.49 -4.81 -6.66 194.55 289 143.22 203.41 -9 -24.01 4.47 7.62 128.67 377.03 197.12 538.82 32.8 82.57 5.41 16.05 120.87 279.48 317.58 486.94 -0.33 0.81 4.44 8.9 129.77 344.21 197.01 536.44 0.52 1.27 -3.47 -9.98 198.79 416.83 158.15 447.26
Sumber: Hasil Simulasi Tabe l 38. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Negara Produsen dan Importir Padi Klasifikasi Negara Negara Produsen Utama
Negara Importir Utama
Negara China India Indonesia Bangladesh Thailand EU 25 Brazil US Vietnam Bangladesh
Unskilled Labour (%) Sim 2 Sim 3 1.08 1.07 1.86 1.86 0.28 0.22 -0.6 -0.65 2.48 2.6 -64.75 -64.78 -8.11 -8.11 35.1 35.11 1.1 1.18 -0.6 -0.65
Skilled Labour (%) Sim 2 Sim 3 2.77 2.73 2.75 2.73 0.58 0.43 -2.02 -2.18 5.01 5.26 -89.18 -89.22 -22.63 -22.62 89.28 89.3 3.68 3.83 -2.02 -2.18
Sumber: Hasil Simulasi 5.7.2. Produsen dan Importir Gandum Berbeda dengan dampaknya terhadap produsen padi, dampak liberalisasi perdagangan gandum justru memberikan dampak yang berbeda pada negara produsen itu sendiri. Liberalisasi perdagangan gandum menyebabkan penurunan output di negara produsen utama yaitu EU25, dan China, tetapi menyebabkan peningkatan produksi gandum di negara produsen lainnya yaitu India, US dan Rusia sebagaimana terlihat pada tabel 39. Meskipun produksi gandum di EU25 dan China turun, ekspor dari kedua negara tersebut masih mengalami peningkatan
224
baik pada simulasi 2 maupun simulasi 3. Kedua negara tersebut, selain sebagai produsen juga merupakan konsumen gandum yang cukup besar didunia, sehingga selain terjadi peningkatan ekspor gandum, dampak liberalisasi perdagangan juga menyebabkan peningkatan impor gandum yang cukup signifikan yaitu di EU25 impornya mengalami peningkatan sebesar 207.78 persen pada simulasi 2 dan 293.77 persen pada simulasi 3, sementara di China masing- masing meningkat sebesar 79.16 persen (pada simulasi 2) dan 221.16 persen (pada simulasi 3). Sementara itu, dampak liberalisasi perdagangan gandum menyebabkan penurunan output pada negara produsen yaitu EU25, China, dan Philipina, tetapi menyebabkan peningkatan output pada negara importir lainnya yaitu Brazil dan Indo nesia. Peningkatan output gandum di Indo nesia da n Brazil yang sebe narnya merupakan importir utama gandum, terjadi karena di kedua negara tersebut industri pengolahan gandum berkembang cukup baik, sehingga merangsang produsen gandum lokal di kedua negara untuk meningkatkan produksinya. Namun berdasarkan data FAO, 2010, produksi gandum di Brazil dan Indonesia relatif kecil, sehingga laju peningkatan produksi gandum di Indonesia yang mencapai 53.11 persen (simulasi 2) dan 137 persen (simulasi 3) hanya terjadi pada angka volume produksi yang relatif kecil yaitu US$ 4 ribu. Sementara nilai impor gandum Indonesia mencapai 3.8 juta ton per tahun atau senilai US$ 840.8 juta per tahun selama periode 1993-2010 (BPS, 2011). Selanjutnya, dampak liberalisasi perdagangan terhadap penyerapan tenaga kerja baik tidak terdidik maupun terdidik konsisten dengan peningkatan atau penurunan output di masing- masing negara produsen. Penyerapan tenaga kerja di EU25 dan China yang juga merupakan negara konsumen terbesar dunia,
225
mengalami penurunan baik tenaga kerja tidak terdidik maupun terdidik. Berdasarkan tabel 40, pe nurunan pe nyerapan tenaga kerja di sektor gandum di kedua negara tersebut pada simulasi 2 lebih tinggi dibandingkan dengan penurunan pada simulasi 3 kecuali China di simulasi 3. Hal ini berarti bahwa, pembukaan pasar gandum yang lebih luas memberikan peluang bagi peningkatan penyerapa n tenaga kerja di sektor tersebut, sehingga liberalisasi perdaganga n komoditi gandum dalam kerangka WTO diperkirakan akan mendapat dukungan dari kedua negara tersebut. Tabel 39. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Sektoral Ekonomi Produsen dan Importir Gandum Output Sektoral (%) Harga Sektoral (%) Ekspor Sektoral (%) Impor Sektoral (%) Klasifikasi Negara Sim 2 Sim 3 Sim 2 Sim 3 Sim 2 Sim 3 Sim 2 Sim 3 Negara EU_25 -10.37 -2.84 -2.41 -2.87 194.47 321.43 207.78 293.77 Negara India 2.6 7.1 0.95 1.55 89.5 240.9 181.13 503.2 Produsen US 48.23 113.07 6.52 17.61 65.93 149.04 283.78 418.03 Utama China -11.48 -32.11 -1.98 -5.86 97.32 263.54 79.16 221.16 Rusia 17.88 38.76 -9.17 -9.81 197.9 372.94 266.89 429.42 EU 25 -10.37 -2.84 -2.41 -2.87 194.47 321.43 207.78 293.77 Negara China -11.48 -32.11 -1.98 -5.86 97.32 263.54 79.16 221.16 Importir Indonesia 53.11 137.31 0.87 1.42 107.49 284.21 0.99 3.3 Utama Brazil 0.71 7.19 1.69 1.05 97.69 278.13 41.17 111.43 Phillipines -47.46 -128.92 -14.59 -41.7 300.61 674.04 26.67 74.76 Sumber: Hasil Simu lasi
Tabel 40. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Penyerapan Tenaga Kerjadi Negara Produsen dan Importir Gandum Klasifikasi Negara Negara Produsen Utama
Negara Importir Utama
Negara EU_25 India US China Rusia EU 25 China Indonesia Brazil Phillipines
Sumber: Hasil Simu lasi
Unskilled Labour (%) Sim 2 Sim 3 -11.59 -4.15 2.93 7.67 51.02 120.5 -12.17 -34.18 16.47 37.78 -11.59 -4.15 -12.17 -34.18 57.88 149.36 1.89 9.52 -51.27 -139.76
Skilled Labour (%) Sim 2 Sim 3 -11.62 -4.19 2.94 7.65 51.02 120.52 -12.17 -34.22 16.25 37.49 -11.62 -4.19 -12.17 -34.22 57.82 149.21 1.89 9.53 -51.29 -139.86
226
Berdasarkan tabel 40 juga menunjukkan bahwa dampak liberalisasi perda gangan gandum aka n meningka tka n pe nyerapa n tenaga kerja yang cukup signifikan di Indonesia dan Brazil. Hasil ini mendukung fakta selama ini yang mengindikasikan bahwa Indonesia dan Brazil sangat kuat untuk mendorong negara prod usen gandum mencabut subs idinya termasuk melakuka n liberalisasi perdagangan komoditi tersebut, karena akan memberikan benefit yang cukup bagi Indonesia maupun Brazil. Dari hasil simulasi tersebut juga dapat disimpulkan bahwa posisi Indonesia dalam perundingan liberalisasi sektor pertanian harus berupaya untuk membuka pa sar ga ndum ne gara prod usen, agar Indo nesia memperoleh benefit dari penurunan harga komoditi maupun peningkatan tenaga kerja di sketor gandum dan olahannya.
5.7.3. Produsen dan Importir Jagung Kondisi dampak liberalisasi perdagangan jagung terhadap negara produsen dan importir hampir sama dengan kondisi yang terjadi pada komoditi gandum. Berdasarkan tabel 41 menunjukkan bahwa dampak liberalisasi perdagangan jagung menyebabkan kenaikan output pada negara produsen seperti US, China dan India, tetapi berdampak pada penurunan output pada EU25, dan Rusia yang merupakan negara produsen sekaligus konsumen utama jagung dunia. Liberalisasi perdagangan jagung akan memberikan benefit yang jauh lebih besar bagi Amerika Serikat dibandingkan China dan India karena pada kondisi full liberalization produksi jagung Amerika Serikat akan meningkat sebesar 21.04 persen, sementara produksi jagung China dan India masing- masing hanya meningkat 2.13 persen dan 3.21 persen atau kurang dari sepersepuluh kenaikan produksi jagung di Amerika Serikat.
227
Peningkatan output jagung yang siginifikan di Amerika Serikat, tidak disertai oleh peningkatan ekspor yang signifikan, mengingat Amerika Serikat juga adalah konsumen terbesar jagung dunia. Sebaliknya, ekspor jagung China dan India justru mengalami peningkatan yang cukup signifikan bahkan melebih laju pertumbuhan ekspor jagung Amerika Serikat. Pada kondisi full liberalization ekspor jagung China dan India mengalami peningkatan masing- masing sebesar 92.02 persen dan 82.49 persen, sementara ekspor jagung Amerika Serikat hanya meningkat 76.82 persen. Hal ini terjadi karena konsumsi jagung di China dan India relatif lebih kecil dibandingkan konsumsi jagung di Amerika Serikat, sehingga peningkatan produksi yang besar di Amerika Serikat banyak diserap untuk konsumsi domestiknya, sementara kelebihannya untuk eskpor. Sedangkan situasi di China dan India, dimana konsumsi domestiknya tidak terlalu banyak, menyebabkan kenaikan produksi terutama ditujukan untuk ekspor. Tabe l 41. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Sektoral Ekonomi Produsen dan Importir Jagung
Klasifikasi Negara Negara US Negara EU_25 Produsen China Utama Rusia India Negara Importir Utama
Output Sektoral (%) Harga Sektoral (%) Ekspor Sektoral (%) Impor Sektoral (%) Sim 2 Sim 3 Sim 2 Sim 3 Sim 2 Sim 3 Sim 2 Sim 3 7.5 21.04 1.77 6.76 32.67 76.82 76.79 111.3 -2.86 -3.29 -2.92 -4.08 64.33 96.3 64.97 93.07 0.77 2.13 0 -0.41 34.56 92.02 36.34 101.81 -6.69 -9.24 -11.2 -14.77 65.32 125.13 48.23 71.43 1.12 3.21 0.76 0.78 29.95 82.49 46.95 130.73
EU 25 US China Rusia Indonesia
Sumber: Hasil Simu lasi
-2.86 7.5 0.77 -6.69 -0.72
-3.29 21.04 2.13 -9.24 -1.79
-2.92 1.77 0 -11.2 -3.79
-4.08 6.76 -0.41 -14.77 -10.81
64.33 32.67 34.56 65.32 51.03
96.3 76.82 92.02 125.13 129.32
64.97 76.79 36.34 48.23 36.83
93.07 111.3 101.81 71.43 103.95
228
Tabe l 42. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Negara Produsen dan Importir Jagung Klasifikasi Negara Negara Produsen Utama
Negara Importir Utama
Negara US EU_25 China Rusia India EU 25 US China Rusia Indonesia
TK Tdk Terdidik (%) Sim 2 Sim 3 8.41 24.34 -3.89 -4.67 0.78 2 -9.45 -12.85 1.32 3.42 -3.89 -4.67 8.41 24.34 0.78 2 -9.45 -12.85 -1.58 -4.26
TK Terdidik (%) Sim 2 Sim 3 8.41 24.35 -3.92 -4.72 0.78 1.96 -9.67 -13.13 1.33 3.41 -3.92 -4.72 8.41 24.35 0.78 1.96 -9.67 -13.13 -1.63 -4.41
Sumber: Hasil Simu lasi
5.8. Dampak Liberalisasi Perdagangan Sektor Pertanian te rhadap Kondisi Sektoral Ekonomi Indonesia Tabe l 43 menyajikan dampak liberalisasi perdagangan sektor pertanian terhadap keragaan sektoral ekonomi Indonesia dianalisis berdasarkan dampak terhadap output, harga output, kesempatan kerja, upah, ekspor dan impor. Tabel 43. Dampak Skenario Liberalisasi Perdagangan terhadap Keragaan Ekonomi Sektoral Indonesia ( persen)
Sektor Paddyrice Vegetables, fruit, nuts Oilseed Forestry Fishing Other Agriculture Vegetable oils and fats Food and Beverage Leather products Mining, Oil,and Gas Manufacturing products Service
Output Sektoral (%) Harga Output Sektoral (%) Ekspor Sektoral (%) Impor Sektoral (%) Sim 2 Sim 3 Sim 2 Sim 3 Sim 2 Sim 3 Sim 2 Sim 3 0.96 2.59 -3.07 -8.92 185.23 406.98 153.46 434.99 -0.36 -1.63 -3.83 -11.26 74.3 185.24 54.24 150.87 -5.34 -14.22 -5.22 -14.6 87.47 209.33 65.96 184.27 0.26 0.71 -0.12 -0.26 0.29 0.65 0.4 1.06 0.16 0.57 -0.01 0.24 0.47 1.12 -0.07 0.16 1.45 4.01 -2.54 -7.34 10.11 28.09 -5.04 -13.06 1.87 6.61 -3.62 -10.08 1.94 8.13 -6.59 -14.85 0.88 3 -2.37 -6.64 3.38 12.86 -1.83 -5.55 -1.1 -2.2 -0.29 -0.75 -1.78 -3.38 0.62 2.26 0.21 0.36 -0.02 -0.02 0.32 0.5 -0.01 0.13 0.62 1.53 -0.18 -0.48 0.94 2.4 -0.09 -0.05 -0.03 -0.03 -0.21 -0.51 0.57 1.46 -0.22 -0.53
Keterangan: Sim 2: Skenario Liberalisasi Perdagangan untuk Komoditi Pertanian sebesar 70 Persen untuk Negara Maju dan 36 Persen untuk Negara Berkembang Sim 3: Skenario Liberalisasi Perdagangan untuk Komoditi Pertanian sebesar 100 Persen untuk Negara Maju dan Negara Berkembang
Sumber: Data Dio lah
229
Dampak liberalisasi perdagangan di sektor pertanian pada masing- masing sektor di Indonesia terhadap output menunjukkan bahwa sektor gandum, minyak dan lemak (dimana CPO tergabung di dalamnya), pertanian lainnya serta padi/beras merupakan sektor-sektor yang responsif. Di sektor pertanian lainnya, sektor-sektor seperti vegetable and fruit; oil seeds; cereal grains nec; sugar cane, sugar beet; meat cattle, sheep, goats, horses; da n sugar adalah sektor yang akan terpukul akibat dibukanya liberalisasi perdagangan, karena sektor-sektor tersebut akan mengalami penurunan output. Hal ini menunjukkan bahwa pada realitasnya, produk-produk pertanian Indonesia tersebut belum mempunyai supply response yang memadai dan masih belum siap untuk menghadapi perdagangan bebas karena belum adanya keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif secara komprehensif sejak dari industri hulu sampai dengan industri hilir. Meskipun demikian, tekanan impor dari negara maju dan berkembang lainnya akan berkontribusi terhadap output, seiring dengan meningkatnya impor sektoral pada sektor-sektor pertanian tersebut akibat liberalisasi perdagangan. Sementara itu, full liberalization memberikan arah efek yang ekuivalen dengan skema liberalisasi perdagangan WTO dengan respon yang lebih elastis, dimana komoditi pertanian menunjukkan respon positif dalam peningkatan output secara konsisten denga n multiplier output antara 250 sampai dengan 350 persen. Sebagai contoh, output animal vegetable oil (vol) meningkat dari 1,87 menjadi 6.61 persen akibat peningkatan status liberalisasi perdagangan sektor pertanian menjadi full liberalization. Respo n market price dalam skema liberalisasi perdagangan juga menunjukkan bahwa secara umum tekanan food inflation di level komoditi pertanian Indonesia akan menurun meskipun beberapa komoditi
230
menunjukkan respon penurunan output, sehingga akan berdampak pula pada peningkatan purchasing power di level mikro dan rumahtangga. Secara konseptual, ekspansi output sektoral mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja, baik yang terlatih maupun tidak terlatih. Selanjutnya, peningkatan permintaan tenaga kerja dengan asumsi supply labor tetap akan mendorong peningkatan upah. Namun, dengan kondisi mayoritas output di sektor pertanian yang bernilai negative, maka penurunan output sektor-sektor tersebut juga disebabkan menurunnya kapital dan tenaga kerja skill da n unskill di sektor pertanian, bahkan dihampir seluruh sektor. Turunnya nilai output dan ekspor serta meningkatnya impor akan mengurangi penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian. Hal ini akan meningkatkan pengangguran dan menurunkan tingkat pendapatan dan daya beli masyarakat yang pada akhirnya akan menurunkan kesejahteraan sebagian besar masyarakat. Dalam jangka panjang, ketergantungan Indonesia pada sektor pertanian primer seharusnya dikurangi dengan adopsi teknologi pengolahan produk pertanian. Tabe l 44. Dampak Skenario Liberalisasi Perdagangan terhadap Kondisi Penyerapan Tenaga Kerja Indonesia Sektor Paddyrice Vegetables, fruit, nuts Oilseed Forestry Fishing Other Agriculture Vegetable oils and fats Food and Beverage Leather products Mining, Oil,and Gas Manufacturing products Service
Sim 2 Sim 3 UnSkLab SkLab UnSkLab SkLab 0.28 0.22 0.58 0.43 -1.18 -1.24 -4.09 -4.24 -6.68 -6.73 -17.99 -18.14 0.31 0.27 0.86 0.73 0.28 0.23 0.95 0.82 0.78 0.7 2 1.79 2.01 1.74 6.99 6.24 1.04 0.78 3.44 2.69 -0.93 -1.23 -1.74 -2.59 0.43 0.25 0.92 0.39 0.82 0.52 2.08 1.24 0.21 -0.12 0.62 -0.3
Keterangan: Sim 2: Skenario Liberalisasi Perdagangan untuk Komoditi Pertanian sebesar 70 Persen untuk Negara M aju dan 36 Persen untuk Negara Berkembang Sim 3: Skenario Liberalisasi Perdagangan untuk Komoditi Pertanian sebesar 100 Persen untuk Negara M aju dan Negara Berkembang
Sumber: Data Dio lah
231
5.9. Dampak Perubahan Iklim dan Liberalisas i Perdagan ga n te rhadap Makro Ekonomi Negara Produsen dan Importir Komoditi Panga n Untuk menangkap isu perubahan iklim sekaligus isu liberalisasi perdagangan, maka dalam skenario ini dilakukan skenario gabungan perubahan iklim dan liberalisasi perdagangan secara serentak. Skema liberalisasi dalam WTO yang memungkinkan dapat dilakuka n secara gradual memberikan ruang dalam penelitian ini untuk membagi skenario liberalisasi menjadi 2 yaitu (1) perubahan iklim da n liberalisasi perdagangan sektor pertanian sebesar 70 Persen untuk negara maju dan 36 persen untuk negara berkembang, dan skenario (2) Perubahan iklim dan liberalisasi perdagangan untuk komoditi pertanian sebesar 100 persen untuk negara maju dan negara berkembang. Berdasarkan Tabel 45 dapat dilihat perbandingan antara skenario 4 yaitu perubahan iklim dan liberalisasi perdagangan untuk komoditi pertanian sebesar 70 Persen untuk negara maju dan 36 persen untuk negara berkembang, dan skenario 5 yaitu perubahan iklim dan liberalisasi perdagangan untuk komoditi pertanian sebesar 100 persen unt uk ne gara maju dan negara berke mba ng. Peruba han iklim dan liberalisasi perdagangan secara penuh memberikan dampak positif bagi GDP riil keseluruhan negara yang dianalisis. Walaupun GDP riil sama-sama mengalami penurunan pada skenario 4 dan 5, namun penurunan GDP riil pada skenario 5 lebih rendah dibandingkan dengan skenario 4. Liberalisasi tidak dapat serta merta menghilangkan kerugian karena adanya perubahan iklim, namun demikian liberalisasi perdagangan yang mengimplikasikan diterapkannya zero tariff pada skenario 5 memberikan insentif bagi produsen untuk menghasilkan output sehingga meningkatkan GDP riil. Beberapa negara seperti Rusia, EU-25, Vietnam dan ROW, GDP riilnya meningkat di skenario 4. Selanjutnya pada
232
skenario 5 dengan adanya eliminasi tarif secara penuh menyebabkan GDP riilnya lebih meningkat dibandingkan skenario 4. Peningkatan GDP riil di Rusia, EU-25, Vietnam, ROW memberikan konsekuensi terhadap peningkatan kesejahteraan (equivalen variation). Selain dari sisi produksi, peningkatan kesejahteraan dimungkinkan terjadi karena konsumen memperoleh barang dengan harga yang relatif murah sebagai dampak adanya trade creation effect. Dibukanya pasar melalui liberalisasi perdagangan dan di saat yang sama terjadi perubahan iklim, tetap menstimulasi terjadinya consumption effect baik pada skenario 4 maupun 5. Namun demikian dampak eliminasi tarif 100 persen lebih besar terhadap peningkatan kesejahteraan dibandingka n pe nurunan tarif di negara maju yang hanya sebesar 70 persen da n negara berkembang sebesar 36 persen. Diantara negara yang diteliti hanya Australia yang peningkatan kesejahteraannya dominan dipengaruhi oleh consumption effect, mengingat produksi Australia mengalami penurunan. Liberalisasi perdagangan menyebabkan aliran perdagangan lebih bebas tanpa hambatan. Hal ini menyebabkan pasokan komoditi sektor pertanian tidak hanya bersumber dari domestik saja namun juga bersumber dari luar negeri melalui mekanisme impor. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan kolom impor pada Tabel 45. Pasar domestik akan mengalami excess supply, sehingga mendorong penurunan harga. Penurunan harga komoditi pertanian tercermin dalam penurunan GDP deflator hampir di sebagian negara yang dianalisis kecuali Brazil (sebesar 2.11 persen), India (1.75 persen), Australia (1.61 persen), Philipina (0.88 persen), Vietnam (0.61 persen) dan Thailand (0.11). Apabila dibandingkan antara skenario 4 dan 5, penurunan GDP deflator lebih
233
besar di skenario 5 dibandingkan dengan skenario 4. Hal ini disebabkan pada skenario 5 liberalisasi perdagangan menuntut dihilangkannya hambatan tarif, sehingga mendorong aliran barang dan jasa lebih tinggi dibandingkan pada skenario 4 yang masih terdapat hambatan tarif. Kinerja perdagangan beberapa negara menunjukkan adanya peningkatan. Negara- negara yang mengalami peningkatan neraca perdagangannya dari yang tertinggi berturut-turut US, Thailand, India, Bangladesh, Philipina, Australia, Pakistan, Vietnam, dan Indonesia. Walaupun perubahan iklim berdampak pada penurunan output, adanya liberalisasi yang berimplikasi pada penurunan maupun eliminasi tarif memberikan insentif bagi investor untuk meningkatkan ekspor. Untuk Indonesia insentif ekspor terjadi pada beberapa komoditi pertanian, manufaktur dan juga services. Dampak selanjutnya peningkatan eskpor menstimulus pe ningkatan neraca perda ganga n negara- negara tersebut. Skema
liberalisasi
perdagangan
secara
komprehensif
seyogyanya
menyediakan ruang untuk peningkatan investasi. Persetujuan untuk meliberalisasi perdagangan di sektor barang dan jasa akan mendorong dunia usaha untuk menyesuaikan dengan lingkungan bisnis bilateral tanpa hambatan. Kondisi ini hanya dimanfaatkan oleh beberapa negara yang ditunjukkan oleh peningkatan investasi, yaitu Brazil, EU-25, Australia, dan Rusia. Sedangkan negara yang tidak serta merta merespon perubahan iklim dan liberalisasi perdagangan adalah Thailand, Bangladesh, Philipina, India, Indonesia, Vietnam, Pakistan, China, US dan ROW. Penelitian Widyastutik et al. (2009) menunjukkan terdapat faktorfaktor lain yang mempengaruhi inve stor untuk menanamka n mod alnya disuatu negara. Selain daya tarik penurunan atau eliminasi tarif, daya tarik perbaikan
234
iklim investasi berupa reformasi regulasi, minimisasi resiko ketidakpastian dalam berusaha, dan perbaikan infrastruktur mempengaruhi keputusan investor dalam menanamkan modalnya. Disamping itu pemahaman yang tidak lengkap mengenai prospek pertanian menjadikan investasi semakin jauh tak terjangkau bagi sektor pertanian. Pertanian dalam persepsi investor adalah usaha yang sangat beresiko (high risk), tergantung musim, dan jaminan harga yang tidak pasti. Secara teori, dasar pertukaran dari suatu negara dikatakan menurun atau memburuk apabila
menurun atau apabila harga-harga ekspor secara relatif
mengalami penurunan terhadap harga impo r. TOT yang memburuk di Bangladesh, Indonesia, Rusia, Pakistan, Philipina, China, EU-25 dan ROW disebabkan menurunnya harga ekspor relatif dibandingkan harga impor pada komoditi yang diperdagangkan setiap negara tersebut. Di satu sisi peruba han iklim cenderung mendorong kenaikan harga, sedangkan liberalisasi perdagangan menurunkan harga ekspor. Dominasi dampak liberalisasi serta karakteristik komod iti primer yang harganya cenderung lebih rendah diba ndingka n ko mod iti sektor manufaktur dan services menyebabkan TOT negara-negara tersebut diatas mengalami penurunan. Negara yang mengalami peningkatan TOT adalah Brazil, Australia, US, Thailand dan Vietnam. Dari sisi konsumsi, dampak perubahan iklim lebih dominan dibandingkan liberalisasi perdagangan sehingga ske nario gabungan peruba han iklim dan liberalisasi perdagangan melalui penurunan tarif pada skenario 4 dan skenario 5 tidak memberikan insentif bagi konsumen untuk meningkatkan konsumsinya. Konsumsi di hampir keseluruhan negara mengalami penurunan kecuali Brazil yang meningkat sebesar 1.53 persen pada skenario 4 dan 3.31 persen pada
235
skenario 5, Australia meningkat sebesar 1.53 persen pada skenario 4 dan 3.42 persen pada skenario 5, India meningkat 0.97 persen pada skenario 4 dan 0.76 persen pada skenario 5 dan Vietnam meningkat sebesar 0.77 persen pada skenario 4 dan 0.75 persen pada skenario 5. Dampak perubahan iklim dan liberalisasi perdagangan terhadap pengeluaran pemerintah tidak jauh berbeda dengan dampak terhadap konsumsi rumah tangga. Dampak perubahan iklim dan liberalisasi perdagangan cenderung menurunkan pengeluaran pemerintah baik pada skenario 4 dan skenario 5 di hampir keseluruhan negara kecuali Brazil, Australia dan Vietnam. Tabel 45. Dampak Skenario Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perda gangan Terhadap Keragaan Makroekonomi Negara
PDB (%) Sim 4
Sim 5
Inflasi (%) Sim 4
Sim 5
Equivalent Variance (000 USD) Sim 4
Sim 5
Neraca Perdagangan (000 USD) Sim 4
Sim 5
Terms of Trade (%) Sim 4
Sim 5
Australia
-0.12
-0.12
1.61
3.38
1 963.2
4 561
176.6
635.21
2.35
4.59
Rusia
1.62
1.83
-3.58
-4.53
8 477.7
9 801
-1854
-2 284
-0.45
-0.34
China
-0.21
-0.17
-0.01
-0.31
-3 953.3
-3 852
-147
-2 630
-0.08
-0.14
Indonesia
-0.55
-0.46
-0.34
-1.98
-1 783.9
-2 248
25.84
-478.4
-0.51
-1.34
Philippines
-1.06
-0.89
0.88
0.09
-1 013.8
-871.3
291.1
117.97
-0.24
-0.25
EU_25
0.16
0.23
-0.71
-1.07
1 9252
28 260
-6 452
-596.6
-0.07
-0.04
Pakistan
-0.39
-0.23
-0.24
-1.65
-457.19
-353.2
132.8
153.88
-0.26
-0.67
Thailand
-1.04
-0.95
0.11
0.54
-1 171.1
-429.2
2 047
2 094.9
0.35
0.9
Vietnam
0.02
0.17
0.61
0.43
127.54
223.1
119
170.33
0.37
0.44
India
-1.15
-1.01
1.75
1.46
-7 009.1
-5 933
1 465
1657
0.4
0.55
Bangladesh
-4.12
-3.91
-0.65
-3.2
-2 691.3
-2 648
472.3
345.7
-2.39
-3.11
US
-0.05
-0.05
-0.19
-0.13
-2 630.7
2 866
4 933
11 689
0.24
0.6
Brazil
-0.71
-0.76
2.1
3.88
-1 368
153.4
-253
-512.1
2.99
5.05
0.38
-0.32
-1.28
6 760.1
23 424
-956 -10 363
-0.18
-0.52
RestofWorld 0.12 Sumber: Data Diolah
236
Tabel 45. Dampak Skenario Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perdagangan Terhadap Keragaan Makroekonomi (Lanjutan) Konsumsi (%)
Negara
Sim 4
Sim 5
Australia
1.56
3.42
Rusia
-2.99
China
-0.19
Indonesia
Pengeluaran Pemerintah (%)
Investasi (%) Sim 4
Sim 5
Sim 4
Sim 5
Ekspor (%) Sim 4
Impor (%)
Sim 5
Sim 4
Sim 5
0.03
-0.1
1.52
3.32
1.29
2.58
3.09
5.86
-3.96
0.62
0.46
-0.95
-1.48
3.12
4.98
5.61
8.88
-0.51
-0.16
0.08
-0.27
-0.5
0.61
1.66
0.64
2.19
-0.89
-2.67
-0.64
-0.5
-1.08
-2.37
1.49
3.88
1.11
3.54
Philippines
-0.06
-0.75
-2.47
-1.3
-0.72
-1.15
2.69
4.86
1.99
4.62
EU_25
-0.76
-1.15
0.17
-0.1
-0.29
-0.47
3.14
4.67
3.23
4.65
Pakistan
-0.66
-2.02
-0.54
-0.5
-0.68
-1.77
3.95
8.78
1.75
4.48
Thailand
-1
-0.4
-5.64
-5.4
-1.31
-0.55
1
0.81
-0.4
-0.06
Vietnam
0.77
0.75
-0.55
-0.9
0.6
0.59
0.29
1.18
0.26
1.01
India
0.97
0.76
-0.88
-1
-0.17
-0.2
1.14
3.13
0.12
1.75
Bangladesh
-4.28
-6.97
-3.46
-3.2
-6.94
-8.75
10.7
16.62
3.1
8.4
US
-0.26
-0.2
-0.2
-0.5
-0.2
-0.12
2.74
4.5
1.91
3.14
Brazil
1.53
3.31
0.61
1.48
1.24
3.02
-0.55
0.7
3.71
8.61
RestofWorld
-0.25
-1.14
-0.01
0.23
-0.14
-0.66
1.88
5.01
1.96
5.43
Sim 4: Skenario Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perdagangan untuk Komoditi Pertanian sebesar 70 Persen untuk Negara M aju dan 36 Persen untuk Negara Berkembang Sim 5: Skenario Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perdagangan untuk Komoditi Pertanian sebesar 100 Persen untuk Negara M aju dan Negara Berkembang Sumber: Data Diolah
5.10.
Dampak Perubahan Iklim dan Liberalisas i Perdagan ga n Terhadap Sektoral Ekonomi Indonesia Dampak perubahan iklim dan liberalisasi perdagangan terhadap sektoral
ekonomi Indo nesia dianalisis dampaknya terhadap output, ekspor- impor dan penyerapa n tenaga kerja baik terdidik maupun tidak terdidik. Skenario perubahan iklim disertai dengan liberalisasi perdagangan berdampak pada penurunan output di keseluruhan sektor pertanian baik pada skenario 4 maupun 5 seperti terlihat pada tabel 46. Perubahan iklim bersama-sama dengan liberalisasi perdagangan menekan peningkatan output sektoral terutama di sektor pertanian. Perubahan iklim yang ditandai dengan peningkatan suhu bumi memicu kondisi ekstrim seperti El Nino da n La Nina yang mempengaruhi produksi dan produktivitas komoditi pertanian sehingga cenderung mengurangi pasokan komoditi sektor pertanian. Sedangkan liberalisasi perdagangan yang berimplikasi pada dibukanya
237
hambatan tarif menimbulkan konsekuensi terhadap komoditi sektor pertanian domestik untuk bersaing dengan komoditi impor. Beberapa sektor yang meningkat outputnya disinya lir komoditi yang memiliki daya saing tinggi. Sektor yang mengalami peningkatan output antara lain hasil hutan (forest) pada skenario 4 dan 5, vegetable oil (vol) pada scenario 5, leather (lea) pada skenario 4, mining dan manufaktur pada skenario 4 dan 5. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Kementerian Perdagangan bekerjasama dengan Widyastutik dan Lukytawati (2010) yang menunjukkan beberapa komoditi tersebut diatas memiliki daya saing tinggi. Dari 99 komoditi yang dianalisis selama periode 1996-2009, terdapat 10 komoditi
yang
memiliki
tingakat
daya
saing
(Revealed
Comparative
Advantage/RCA) tinggi yaitu: 1.
HS 27 (Mineral fuels, mineral oils and products of their distillation; bituminous substances; mineral waxes)
2.
HS 15 (Animal or vegetable fats and oils and their cleavage products; prepared edible fats; animal or vegetable waxes)
3.
HS 44 (Wood and articles of wood; wood charcoal)
4.
HS 62 (Articles of apparel and clothing accessories, not knitted or crocheted)
5.
HS 87 (Vehicles other than railway or tramway rolling-stock, and parts and accessories thereof)
6.
HS 26 (Ores, slag and ash)
7.
HS 40 (Rubber and articles thereof)
8.
HS 48 (Paper and paperboard; articles of paper pulp, of paper or of paperboard)
9.
HS 03 (Fish and crustaceans, molluscs and other acquatic invertebrates)
10. HS 64 (Footwear, gaiters and the like; parts of such articles)
238
Tabel 46. Dampak Skenario Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Keragaan Ekonomi Sektoral Indonesia ( persen) Sektor
Paddyrice Cereal grains nec Vegetables, fruit, nuts Oilseed Forestry Fishing Other Agriculture Vegetable oils and fats Food and Beverage Leather products Mining, Oil,and Gas Manufacturing products Service
Output Sektoral Sim 4 Sim 5 -2.77 -1.14 -5.53 -6.59 -1.89 -3.16 -7.95 -16.83 0.67 1.12 -0.64 -0.23 -3.2 -0.64 -0.11 4.64 -2.37 -0.25 0.95 -0.15 1.19 1.35 1.14 2.05 -0.44 -0.44
Harga Output Ekspor Sektoral Impor Sektoral Sektoral Sim 4 Sim 5 Sim 4 Sim 5 Sim 4 Sim 5 14.02 8.17 141.23 362.98 166.09 447.62 52.37 45.36 -8.86 69.43 71.53 138.66 0.03 -7.4 65.96 176.89 58.87 155.5 -1.99 -11.37 77.14 199 69.69 188 -0.22 -0.36 -0.05 0.31 0.91 1.58 -1.47 -1.22 2.57 3.22 -2.42 -2.19 4.82 0.02 -18.8 -0.82 4.01 -4.01 -2.52 -8.98 -0.89 5.3 -8.22 -16.47 1.33 -2.94 -8.75 0.73 1.54 -2.18 -0.63 -1.08 1.93 0.33 0.54 2.18 -0.35 -0.36 2.62 2.81 -0.5 -0.36 -0.37 -0.67 1.96 3.43 -0.45 -0.41 -0.56 -0.86 1.85 2.75 -1.18 -1.49
Keterangan: Sim 4: Skenario Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perdagangan untuk Komoditi Pertanian sebesar 70 Persen untuk Negara M aju dan 36 Persen untuk Negara Berkembang Sim 5: Skenario Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perdagangan untuk Komoditi Pertanian sebesar 100 Persen untuk Negara M aju dan Negara Berkembang
Sumber: Data Dio lah
Untuk kasus Indonesia, perubahan iklim cenderung menurunkan produksi sektor pertanian sehingga tidak terjadi excess supply, insentif pe nurunan dan eliminasi tarif lebih dominan sehingga mendorong terjadinya peningkatan ekspor. Apabila kembali pada skenario 2 dan 3 yang hanya fokus pada skenario liberalisasi perdagangan menunjukkan bahwa dampak terhadap output dan ekspor cenderung searah. Pada skenario 2 dan 3, liberalisasi perdagangan memberikan insentif bagi produsen untuk
meningkatkan output. Peningkatan output
menyebabkan terjadinya excess supply pada pasar domestik sehingga mendorong peningkatan ekspor. Dalam hal impor-pun dampak liberalisasi perdagangan lebih dominan dibandingkan dengan dampak perubahan iklim. Penurunan bahkan penghapusan tarif memberikan insentif bagi konsumen untuk meningkatkan impornya. Namun demikian, apabila dilihat untuk keseluruhan negara yang
239
diteliti, maka dampak perubahan iklim lebih dominan mempengaruhi tingkat kesejahteraan da n PDB negara yang diteliti. Sesuai dengan teori ekonomi bahwa permintaan tenaga kerja merupakan permintaan turunan (derived demand) terhadap permintaan output. Penurunan output pada hampir keseluruhan sektor pertanian berdampak pada penurunan penyerapan tenaga kerja di hampir seluruh sektor pertanian baik yang terlatih maupun tidak terlatih. Sedangkan wheat dan forest (frs) yang outputnya mengalami peningkatan, penyerapan tenaga kerjanya baik yang terlatih maupun tidak terlatih juga mengalami peningkatan. Sedangkan paddyrice maupun cereal grain yang merupakan sektor yang terkenal sebagai sektor yang menyerap tenaga kerja cukup banyak tidak terpengaruh terhadap penurunan outputnya. Penyerapan tenaga kerja di kedua sektor tersebut tetap meningkat walaupun outputnya mengalami penurunan. Dampak skenario perubahan iklim dan liberalisasi perdagangan terhadap kondisi penyerapan tenaga kerja Indonesia dapat dilihat pada Tabel 47. Tabe l 47. Dampak Skenario Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Kondisi Penyerapan Tenaga Kerja Indonesia Sektor
Paddyrice Cereal grains nec Vegetables, fruit, nuts Oilseed Forestry Fishing Other Agriculture Vegetable oils and fats Food and Beverage Leather products Mining, Oil,and Gas Manufacturing products Service
Sim 4 UnSkLab SkLab 7.75 7.76 34.75 34.76 -1.65 -1.64 -8.35 -8.34 0.75 0.76 -0.96 -0.95 -3.09 -3.07 -0.06 -0.01 -2.31 -2.26 1 1.06 1.56 1.59 1.2 1.26 -0.37 -0.3
Sim 5 UnSkLab SkLab 8.06 7.97 32.07 31.98 -4.56 -4.64 -19.66 -19.75 1.29 1.22 -0.29 -0.37 -1.87 -1.98 4.92 4.49 0.08 -0.35 0.19 -0.29 2.04 1.74 2.47 1.98 0.04 -0.48
Keterangan: Sim 4: Skenario Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perdagangan untuk Komoditi Pertanian sebesar 70 Persen untuk Negara M aju dan 36 Persen untuk Negara Berkembang Sim 5: Skenario Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perdagangan untuk Komoditi Pertanian sebesar 100 Persen untuk Negara M aju dan Negara Berkembang Sumber: Data Diolah
240
5.11. Dampak Perubahan Iklim dan Libe ralisas i Pe rdaga nga n terhadap Sektoral Ekonomi Produsen Utama 5.11.1. Padi Dampak perubahan iklim dan liberalisasi perdagangan terhadap ekonomi sektoral dianalisis berdasarkan dampak terhadap output, harga output, eksporimpor dan penyerapan tenaga kerja baik terlatih maupun tidak terlatih. Skenario perubahan iklim disertai dengan liberalisasi perdagangan berdampak pada penurunan output di keseluruhan sektor padi dan beras produsen utama di India, Indonesia, Bangladesh dan Thailand baik pada skenario 4 maupun 5 kecuali di China sebagaimana disajikan pada Tabel 48. Produktivitas yang tinggi memberikan pondasi yang kuat bagi China dalam menghadapi perubahan iklim maupun persaingan yang tinggi akibat liberalisasi perdagangan. Bahkan Cina mampu memanfaatkan peluang dengan adanya liberalisasi perdagangan baik pada sim 4 yaitu skenario perubahan iklim dan liberalisasi perdagangan untuk komoditi pertanian sebesar 70 Persen untuk negara
maju dan 36 persen untuk negara
berkembang maupun sim 5 yaitu skenario perubahan iklim dan liberalisasi perdagangan untuk komoditi pertanian sebesar 100 Persen untuk negara maju dan negara berkembang. Apabila diperbandingkan antara sim 4 dan sim 5 maka sim 5 memberikan dampak
peningkatan output
yang lebih
besar
mengingat
dihapuskannya tarif pada sim 5. Penurunan output meningkatkan harga padi dan beras di keseluruhan produsen utama beras dimana tertinggi terjadi di Bangladesh, disusul Thailand, India, dan Indonesia. Harga output padi dan beras China juga mengalami peningkatan, namun jauh lebih kecil dibandingkan keempat produsen utama lainnya yang mengalami penurunan output. Supply yang meningkat dengan
241
peningkatan yang relative kecil tidak mampu menahan permintaan yang tetap tinggi untuk komoditi beras, mengingat jumlah penduduk China yang juga mengalami peningkatan. Pada sim 5, dimana ada insentif penghapusan tariff dan perubahan iklim, ternyata menstimulasi produsen padi dan beras untuk meningkatkan outputnya, sehingga berdampak terhadap harga padi dan beras di China tetap meningkat, tapi lebih redah dibandingkan dengan sim 4. Tabel 48. Dampak Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Sektoral Ekonomi Negara Produsen Padi (Persen) Sim 4 Negara
Sim 5
Sim 4
Output
Harga
Output
Harga
China
1.06
13.96
2.87
13.72
153.42
207.53
430.84
546.77
India
-3.43
35.56
-2.46
35.2
-32.17
334.8
62.62
671.92
Indonesia
-2.77
14.02
-1.14
8.17
141.23
162.49
362.98
442.63
Bangladesh
-8.02
57.36
-7.27
50.85
-243.65
401.34
-25.61
690.46
-20.61
40.9
-20.00
48.28
-103.59
334.25
65.03
699.58
Thailand
Ekspor
Sim 5
Impor
Ekspor
Impor
Sumber: Hasil Pengolahan data Ekspor padi dan beras di beberapa produsen utama seperti di Bangladesh, Thailand, dan India mengalami penurunan pada sim 4 sebagai respon penurunan output padi dan beras, sedangkan pada simulasi 5 keseluruhan negara prod usen utama mengalami peningkatan kecuali Bangladesh. Insentif harga yang tinggi mendorong produsen utama semakin
meningkatkan ekspornya.
Dampak
liberalisasi dan sekaligus perubahan iklim pada sim 4 dan 5 cenderung membuka keran impor. Impor yang tinggi ini didorong oleh 2 faktor yaitu: (1) Perubahan iklim
akan
memperburuk
produktivitas
sehingga
menurunkan
output.
Kesenjangan antara supply dan demand dipenuhi dengan impor, dan (2) liberalisasi perdagangan membuat barang luar negeri harganya menjadi relatif murah sebagai dampak adanya trade creation effect yang memberikan
242
konsekuensi yang luas terhadap perekonomian salah satunya terhadap konsumsi, sehingga (consumption effect) menyebabkan impor meningkat. Peningkatan penyerapan tenaga kerja baik sebagai dampak sim 4 dan 5 tidak sesuai dengan teori sebagaimana terlihat pada tabel 49. Namun hal ini mendukung fenomena empiris, bahwa sektor pertanian khususnya padi dan beras merupaka n sektor yang menampung tenaga kerja walaupun kontribusinya terhadap PDB mengalami penurunan. Sebagai gambaran untuk Indonesia, pangsa sektor pertanian terhadap total PDB Indonesia terus menurun dari 41 persen pada tahun 1970 menjadi 13,61 persen pada tahun 2009 (BPS, 2010). Pada tahun 1999 sektor pertanian Indonesia dengan kontribusi sebesar 19,6 persen masih mampu menyerap lapangan kerja sebesar 43,2 persen dari seluruh sektor yang ada dan pada tahun 2009 dengan kontribusi tinggal 13,61 persen mampu menyerap lapangan kerja sebanyak 41,2 persen dari seluruh sektor ekonomi nasional (BPS, 2010). Tabe l 49. Dampak Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Penyerapan tenaga Kerja di Negara Produsen Padi (Persen)
Sim 4 Negara China India Indonesia Bangladesh Thailand
TK Tidak Terlatih 12.27 22.42 7.75 38.02 12.84
TK Terlatih 12.31 22.64 7.76 38.45 13.02
Sim 5 TK Tidak Terlatih TK Terlatih 13.97 13.98 23.32 23.51 8.06 7.97 36.59 36.92 15.38 15.68
Sumber: Hasil pengolahan data
5.11.2. Jagung Dampak sim 4 skenario perubahan iklim dan liberalisasi perdagangan unt uk komoditi pertanian sebesar 70 Persen untuk negara maju dan 36 persen untuk negara berkembang maupun sim 5 skenario
perubahan iklim dan liberalisasi
243
perdagangan untuk komoditi pertanian sebesar 100 persen untuk ne gara maju da n negara berkembang meningkatkan output jagung sebagaimana terlihat pada Tabel 50. Output jagung mengalami peningkatan. Hasil penelitian ini mendukung penelitian FAO (1984-2007), bahwa output jagung merupakan salah satu komoditi yang tidak mengalami penurunan produktivitas akibat perubahan iklim. Berdasarkan data FAO selama periode 1984-2007 menunjukkan bahwa hanya beberapa jenis produk pertanian yang pertumbuhan produksinya meningkat ratarata diatas 2 persen per tahun, salah satunya jagung yaitu sebesar 2,34 persen. Peningkatan tertinggi terjadi di Rusia, disusul China, EU_25 dan US. Produsen utama yang mengalami penurunan output adalah India. Peningkatan output mendorong penurunan harga, hal ini terjadi di Negara Rusia dan EU_25 pada sim 4 dan 5. Penurunan harga lebih tinggi terjadi pada sim 5 dibanding sim 4. Sedangkan India yang outputnya mengalami penurunan menyebabkan harga output jagung cenderung meningkat. Namun
fenomena
peningkatan harga tidak hanya terjadi pada produsen utama yang outputnya turun. Peningkatan harga juga terjadi di US dan China walaupun outputnya mengalami peningkatan. Peruba han iklim yang cenderung mendo rong ke naika n harga serta ”imported inflation” akibat aliran barang dan jasa yang tanpa hambatan cenderung meningkatkan harga di kedua negara tersebut. Negara produsen utama yang mengalami peningkatan output akan konsisten pada sisi ekspornya yang juga mengalami peningkatan baik pada sim 4 maupun sim 5 dengan besaran relative lebih tinggi pada sim 5 dibanding sim 4. Negara yang ekspornya mengalami peningkatan tertinggi terjadi di Rusia, EU_25, China, dan terakhir US. Disamping itu output domestic yang meningkat secara teori akan
244
menimbulkan konsekwensi penurunan impor, hal ini terjadi di China pada sim 4 serta Rusia pada sim 4 dan 5. Tabel 50. Dampak Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Sektoral Ekonomi Negara Produsen Jagung (Persen)
Negara US EU_25 China Rusia India
Sim 4 Output Harga 0.72 25.44 1.39 -2.34 4.53 14.24 12.58 -144.17 -9.76 78.72
Sim 5 Sim 4 Output Harga Ekspor Impor 14.26 30.44 13.06 83.9 0.96 -3.5 76.59 61.57 5.89 13.83 36.62 -2.45 10.03 -147.74 413.54 -43.18 -7.67 78.74 -97.16 116.81
Sim 5 Ekspor Impor 57.21 118.41 108.56 89.59 94.08 63.02 473.35 -19.83 -44.62 200.15
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Hampir keseluruhan produsen utama baik pada sim 4 dan 5 mengalami peningkatan penyerapan tenaga kerja baik terlatih maupun tidak terlatih kecuali Rusia pada sim 4 dan 5 serta EU_25 pada sim 5 sebagaimana disajikan pada Tabel 51. India yang outputnya mengalami penurunan, penyerapan tenaga kerja tetap mengalami peningkatan. Kasus penurunan penyerapan tenaga kerja tidak terlatih maupun terlatih
pada sim 5 di EU_25 dan Rusia pada sim 4 dan 5 serta
peningkatan penyerapan tenaga kerja di India pada sim 4 dan 5 menunjukkan bahwa perubahan permintaan tenaga kerja lebih responsive karena ada perubahan harga dibandingkan dengan perubahan output. Tabe l 51. Dampak Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Negara Produsen Jagung (Persen)
Negara US EU_25 China Rusia India
Sim 4 TK Tidak Terlatih TK Terlatih 24.13 24.13 0.66 0.63 14.56 14.6 -99.36 -99.78 54.08 54.29
Sumber: Hasil pengolahan data
Sim 5 TK Tidak Terlatih TK Terlatih 40.05 40.07 -0.13 -0.16 15.78 15.79 -102.75 -103.24 56.19 56.38
245
5.11.3. Gandum Dampak simulasi perubahan iklim dan liberalisasi perdagangan hanya akan meningkatkan output gandum di Rusia dan US pada sim 4 dan 5 serta India dan EU_25 pada sim 5 saja sebagaimana disajikan pada tabel 52. Hanya India, China dan Rusia yang ko nsisten de ngan teor i dimana pe nurunan output akan meningkatkan harga dan sebaliknya peningkatan output akan menurunkan harga. Sedangkan terkait dengan dampak terhadap penyerapan tenaga kerja hampir sebagian konsisten dengan teori dimana ketika output mengalami peningkatan maka penyerapan tenaga kerja juga akan meningkat, kecuali India pada sim 4 ketika output turun penyerapan tenaga kerja mengalami peningkatan sebagaimana terlihat pada tabel 53. Tabe l 52. Dampak Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Sektoral Ekonomi Negara Produsen Gandum (Persen)
Negara EU_25 India US China Rusia
Sim 4 Output Harga -4.48 -1.91 -0.11 11.87 16.08 16.32 -12.00 5.72 54.63 -23.85
Sim 5 Sim 4 Output Harga Ekspor Impor 3.05 -2.37 211.51 203.00 4.39 12.47 40.94 222.67 80.93 27.41 26.42 289.57 -32.63 1.84 80.61 79.38 75.51 -24.49 355.69 224.11
Sim 5 Ekspor Impor 338.47 288.99 192.34 544.73 109.53 423.83 246.83 221.39 530.73 386.64
Sumber: Hasil pengolahan data
Tabe l 53. Dampak Perubahan Iklim dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Negara Produsen Gandum (Persen)
Negara EU_25 India US China Rusia
Sim 4 TK Tidak Terlatih -5.37 7.96 29.67 -6.19 42.56
Sumber: Hasil pengolahan data
TK Terlatih -5.39 8.18 29.67 -6.14 42.14
Sim 5 TK Tidak Terlatih TK Terlatih 2.07 2.03 12.69 12.89 99.15 99.16 -28.20 -28.19 63.87 63.38
VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
6.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil simulasi dan analisis dampak liberalisasi perdagangan
dan perubahan iklim pada komoditi pangan terhadap makro dan sektoral ekonomi Indonesia diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.
Perubahan iklim berdampak pada penurunan produktivitas padi dan jagung di hampir semua negara yang diteliti kecuali Rusia yang masing- masing meningkat sebesar 12,12 persen dan 102,55 persen. Perubahan iklim juga berdampak pada penurunan produktivitas gandum di hampir semua negara yang diteliti kecuali di Rusia yang meningkat sebesar 10,09 persen dan Thailand (24,55 persen).
2.
Perubahan iklim berdampak pada penurunan produktivitas padi di semua negara prod usen utama padi di kawasan Asia yaitu China, India, Indonesia, Thailand, Bangladesh, Vietnam, sehingga akan mempengaruhi ketahanan pangan regional di kawasan Asia.
3.
Perubahan iklim berdampak pada penurunan produktivitas gandum di hampir semua negara produsen utama dunia yaitu EU25, India, Amerika Serikat, China dan Australia, sehingga akan mempengaruhi ketahanan pangan global. Bagi Indonesia sebagai negara pengimpor gandum utama dunia, penurunan produktivitas gandum di negara produsen utama akan mempengaruhi impor gandum secara positif.
4.
Perubahan iklim berdampak pada penurunan produktivitas jagung di hampir semua negara produsen utama dunia yaitu EU25, India, Amerika Serikat,
246
China, India dan Brazil, sehingga akan mempengaruhi ketahanan pangan global dan berpotensi meningkatkan kelaparan dan jumlah kemiskinan globa l. 5.
Liberalisasi perdagangan di sektor pertanian berdampak pada peningkatan PDB rill yang relatif kecil yaitu kurang dari satu persen ba ik ba gi negara maju maupun negara berkembang.
6.
Liberalisasi perdagangan di sektor pertanian menguntungkan negara maju dalam hal PDB, kesejahteraan, dan ekspor, tetapi merugikan negara berkembang
termasuk
Indonesia
dalam
hal kesejahteraan,
neraca
perdagangan, dan investasi. 7.
Bagi Indonesia, kebijakan liberalisasi perdagangan menyebabkan laju pertumbuhan ekspor lebih cepat daripada impor pada sektor vegetable, fruit, nuts; oil seeds; fishing; other agriculture; vegetable oil and fats; food and beverage.
8.
Liberalisasi perdagangan sektor pertanian
berdampak positif
terhadap
investasi di China, Philipina, Bangladesh, dan Brazil, tetapi tidak di Indonesia. 9.
Liberalisasi perdagangan sektor pertanian berdampak terhadap penurunan output sektor pertanian Indonesia, tetapi menyebabkan peningkatan output di sektor manufaktur, karena terjadi realokasi sumber daya input (faktor produksi) dari sektor pertanian ke sektor manufaktur.
10. Berdasarkan hasil simulasi menunjukkan bahwa perubahan iklim berdampak negatif dan lebih dominan mempengaruhi PDB semua negara yang diteliti dibandingkan dampak liberalisasi perdagangan. 11. Kombinasi dampak perubahan iklim dan liberalisasi perdagangan akan berdampak pada penurunan penyerapan tenaga kerja baik yang terlatih maupun
247
tidak terlatih di Indonesia pada seluruh sektor pertanian dan terjadinya relokasi faktor produksi dari sektor pertanian ke sektor manufaktur di Indonesia, sehingga akan meningkatkan urbanisasi. 12. Kombinasi dampak perubahan iklim dan liberalisasi perdagangan berdampak pada menurunnya penyerapan tenaga kerja baik yang terlatih maupun tidak terlatih pada seluruh sektor pertanian di Indonesia. 13. Kombinasi dampak perubahan iklim dan liberalisasi perdagangan berdampak pada peningkatan GDP dan kesejahteraan di Rusia, EU-25, da n Vietnam, tetapi berdampak negatif terhadap negara lainnya termasuk Indonesia. 14. Kombinasi dampak perubahan iklim dan liberalisasi perdagangan juga berdampak pada peningkatan ekspor seluruh negara yang diteliti dan peningkatan impor seluruh negara yang diteliti kecuali Pakistan. 15. Kombinasi dampak perubahan iklim dan liberalisasi perdagangan berdampak pada peningkatan ekspor Indonesia di seluruh sektor kecuali Other Agriculture dan Forestry dan berdampak pada peningkatan impor seluruh sektor kecuali Fishing.
6.2. Implikasi Kebijakan 1. Untuk
mengantisipasi ancaman terhadap
ke tahanan pangan nasional,
Pemerintah harus menyusun stratagi adaptasi dengan melakukan diversifikasi konsumsi pangan lokal sebagai kompensasi atas ancaman menurunnya produksi pangan global seperti padi, jagung dan gandum yang selama ini banyak diimpor untuk memenuhiketahanan pangan nasional.
248
2. Pemerintah harus meningkatkan anggaran untuk mendorong penemuan dan adopsi benih padi dan jagung yang mampu berdaptasi terhadap perubahan suhu yang ekstrim. 3. Pemerintah dan swasta harus segera menyiapkan dan
meningkatkan
infrastruktur pertanian seperti sarana irigasi, teknologi pembenihan, teknologi pengolahan tanah dan teknologi pasca panen produk pertanian untuk dapat mengurangi dampak perubahan iklim. 4. Untuk
mengantisipasi
dampak
perubahan
iklim
terhadap
penurunan
produktivitas padi, gandum dan jagung di negara produsen, Pemerintah Indonesia melalui BULOG perlu mengupayakan kontrak pembelian jangka panjang de ngan negara- negara prod usen utama pa ngan dunia agar mampu mengamankan stok pangan nasional. 5. Untuk mengantisipasi potensi meningkatnya pengangguran dan kemiskinan akibat penurunan produksi pangan nasional dan global, maka perlu diwujudkan program diversifikasi pangan lokal dan pengembangan atau perluasan industri olahan pa ngan di pedesaan. 6. Pemerintah harus memberikan pemahaman kepada masyarakat luas agar lebih peduli terhadap dampak perubahan iklim karena berdampak negatif dan lebih dominan mempengaurhi perekonomian nasional dibandingkan liberalisasi perda gangan. 7. Pemerintah Indonesia harus tetap melindungi sektor pertanian dari tekanan liberalisasi dalam bentuk kebijakan non tarif agar terhindar dari potensi kerugian yang lebih besar akibat liberalisasi perdagangan sektor pertanian tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Achterbosch.T.J., H.Ben Hammouda, P. Osakwe, and F. Van Tongeren. 2004. Trade Libe ralisation unde r the Doha Develop ment Agenda : Option and Consequences for Africa Report 6.04.09. Agricultural Economic Research Institute, The Hague. Armington, P.A. 1969. A Theory of Demand for Products Distinguished by Place of Production. International Monetary Fund Staff Papers, 16 (5): 159-178. Asiedu, E. 2002. On the Determinants of Foreign Direct Investment to Developing Countries : Is Africa Different?. World Development, 30(1), 107-119. ASTI (Agricultural Science and Technology Indicator). 2002. www.asti.cgiar.org Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Indonesia 2008. ISSN : 0126-2912. Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Jakarta. _____.2009. Statistik Indonesia 2009. ISSN : 0126-2912. Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Jakarta. _____.2010. Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) 2009. Bada n Pusat Statitik Republik Indonesia, Jakarta. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2007. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sektor Pertanian, serta Strategi Antisipasi dan Teknologi Adaptasi. Naskah Rapat Pimpinan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bulan September 2007. Pengembangan Inovasi Pertanian, 1(2): 138-140. Baldwin, R.E.1997. The Causes of Regionalism. The World Economy, 20: 865888. Baltagi, B. 2007. Econometric Analysis of Panel Data. Third Edition. John Willey & Sons Ltd., West Sussex. Bhagwati, J.N. 1995. Trade and Wages: Choosing Among Alternative Explanations. Federal Reserve Bank of New York Economic Policy Review, New York. Bhagwati, J.N, P. Khrisna., and A. Panagariya. 1996. Preferential Trading Areas and Multilateralism: Strangers, Friends, or Foes?. Discussion Paper No. 1996-09. Department of Economics, Columbia University. _____.Trading Blocks: Alternative Approaches to Analyzing Preferential Trade Agreements. MIT Press, Cambridge.
250
Beattie B.R., and C.B Taylor. 1985. The Economics of Production. John Wiley & Sons, New York. Bergsten. 1997. Ope n Regionalism. IIE Working Paper No: 97/03. Blackorby, C., D. Primont and R.R Russell. 1978. Duality, Separability, and Functional Structure: theor y and Economic App lication. Nor th-Holland, Amsterdam. Boer, R. 2007. Indonesian Country Report: Climate Variability and Climate Change and Their Implications. Government of Indonesia, Jakarta. Braun Von J. 2008. ”Agriculture for Sustainable Economics developments: Globa l R & D Initiative to Avoid a Deep and Complex Crisis”. Charles Valentine Rile Memorial Lecture, Washington DC, (February 2008). Brockmeier. 1996. A Graphical Exposition of the GTAP Model. GTAP Technical Paper, Center for Global Trade Analysis, Purdue University, West Lafayette, Indiana. Budde lmeyer, H., N. Herault, G. Kalb, and de Jong MVZ. 2009. Linking Dynamic CGE Model and a Microsimulation Mode l: Climate Change Mitigation Policies and Income Distribution in Australia. Melbo urne Institute, Working Paper No. 3/09 Budiono. 2001. Ekonomi Internasional. Badan Penerbitan Fakultas Ekonomi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Buetre, B.L. 1996. Structural and Technological Change In The Philipp ines, 1985-1992: A General Equilibrium Analysis, Ph.D. Thesis, The University of Sydney, Sydney. Carr, D. L., J. R. Markusen, and K. E. Maskus. 2004. Competition for Multinational Investment in Developing Countries: Human Capital, Infrastructure and Market Size, in Challenges to Globa lization: Analyzing the Economics - books.google.com. Central Intelligence Agency (CIA). 2011. The World Factbook. www.cia.gov. Cheng Leonard K. and Yum K. Kwan. 2000. What are the determinants of the location of foreign direct investment? The Chinese experience. Journal of International Economics, 51(2): 379-400. Clements, K.W., S. Selvanathan, and E.A Selavanathan. 1994. The Economic Theory opf the Consumer, Discussion Paper 94.18. The University of Western Australia, Perth. Cline, W. 2007. Global Warming and Agriculture: Impact Estimates by Country. Center for Globa l Develop ment and Peterson Institute for International Economics, Washington DC.
251
Darwin, R., T. Marinos, L. Jan, and R. Anton. 1995. World Agriculture and Climate Change: Economic Adaptations. Agricultural Economic Report No. 703 Debertin, D.L. 1986. Agricultural Productions Economics. Macmillan, New York. Deressa, T.T, and R.M Hassan. 2009. Economic Impact of Climate Change on Crop Production in Ethiopia: Evidence from Cross-section Measures. Jour nal of African Economies, 18 (4): 529-554. Desker, B. 2004. In Defence of FTAs: From Purity to Pragmatism in East Asia. Pacific Review, 17 (1): 3-26. Dimaranan, McDougall. 2002. Global Trade, Assistance, and Production: The GTAP 5 Data Base. Center for Global Trade Analysis, Purdue University. Lafayette, Indiana. Dixix, PT., Josling, and D. Blandford. 2001. The Current WTO Agr iculture Negotiations: Option for Progress, Syntesis. International Agricultural Trade Research Consortium Commissioned paper No. 18. Dixon, P.B., B.R Parmenter, J. Sutton, and D.P Vincent. 1992. ORANI: A MultiSectoral Model of the Australian Economy. North Holland, Amsterdam. Duncan, R., D. Robertson, and Y. Yang. 1999. Analysis of Benefits and Chellenges Facing Asian and Pasific Agricultural Exporting Countries in the Post-Uruguay Round Period, p.1-111. In Benefits and Chellenges Facing Asian and Pasific Agricultural Exporting Countries in the Post-Uruguay Round Period. Studies in Trade and Investment, No.11, Economic and Social Commission for Asia and the Pasific (ESCAP), United Nation, Bangkok. Dunn, R.M. 2000. International Economicss. Fith Edition. Routledge, New York. Dunn, R.M, and Mutti, J.H. 2004. International Economicss. Sixth Edition. Routledge, New York. Ellwood, W. 2002. The No-Nonsense Internationalist Publication, Oxford.
Guide
to
Globalization.
New
Erwidodo da n A. Ratnawati. 2004. Indonesia’s Agriculture in Global Unfair Trade : Policy Responses towards Efficient and Competitive Player. Paper presented at the Thematic Workshop on Trade and Industry: Why Trade and Industry Matters ?. January 14-15. Jakarta. Ethier. 1998. “The New Regionalism”. Economic Journal, 108 :1149-1161. FAO. 2010. FAO Statistical Year Book. FAO, Roma.
252
Fukunari, K. 2003. “Construction of FTA networks in East Asia”. Japan Review of International Affairs, 17(3): 168-184. Fuglie, K.O. 2010. Total Factor Productivity in the Global Agricultural Economy: Evidence from FAO Data. Economic Research Servives of the US Department of Agriculture, Iowa. Fuglie, K.O. 2008. Is a Slowdown in Agricultureal Productivity growth Contributing to the Rise in Commodity Price ?. 2008. Agricultural Economic, 39: 431-433. Gatra. 2008. Indonesia Juara Impor. Gatra No. 11 th. XIV, 24-30 Januari 2008. Garnaut, R. 1998. Assoc iation of Southeast Asian Nations and the Regionalization and Globalization of World Trade. ASEAN Economic Bulletin, 14(3):215233. Gilig, D. and B. Carl. 2002. Notes on Formulating and Solving Computable General Equilibrium Mode l within GAMS. Department of Agricultureal Economics, College Station, Texas. Hakim, D.B. 2004. The Implications of the ASEAN Free Trade Area (AFTA) on Agricultural Trade (A Recursive Dynamic General Equilibrium Analysis). PhD Thesis. Goerg-August Universitat, Gottingen Hansen, J., I. Fung, A. Lacis, D. Rind, S. Lebedeff, R. Ruedy, G. Russell, and P. Stone. 1988. Global Climate Changes as Forecast by Goddard Institute for Space Studies Three-Dimensional Model. J Geophys Res, 93 : 9341-9364 Hardo no, G.S., P.S Handewi, da n S.H Suhartini. 2004. Liberalisasi Perdagangan: Sisi Teori, Dampak Empiris dan Perspektif Ketahanan Pangan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 22(2): 75-88. Hermanto. 2008. Reorientasi kebijakan Pertanian Dalam Perspektif pembangunan Berwawasan Lingk ungan da n Otonomi Daerah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), Kepulauan Bangka Belitung. Hertel. 1997. Global Trade Analysis, Modeling and Applications. Cambridge University Press, New York. Hertel, T.W., and M.E. Tsigas. 1997. “Structure of GTAP”, in Hertel, T.W. (ed.), Global Trade Analysis: Modelling and Applications. Cambridge University Press, Cambridge. Hertel, T.W. 2000. GTAP Tutorial. Website: www.gtap.org. Horridge, J.M., B.R Parmenter, and K.R Pearson. 1993. ORANI-F: A General Equilibrium Mode l of the Australian Economy. Economic and Financial Computing, 3 (2): 71-140.
253
Horridge, M. 1998. Orani- G: a General Equilibrium Mode l of The Australian Economy. Centre of Policy Studies and impact Project, Monash University, Melbo urne. Husted, S., and M. Melvin. 2004. International Economics. Sixth Edition. Pearson Education Inc., New York. Institute for Agriculture and Trade. 2007. ”A Fair Farm Bill for the Wor ld” a Series of Paper on the 2007 US Farm Bill. Institute for Agriculture and Trade Policy, Minnesota. International Food Policy Research Institute. 2008. High Food Prices: The What, Who and How of Proposed Policy Actions. IFPRI Policy Brief No. 1 (May 2008). Intergovernmental Panel on Climate Change. 1996. Climate Change 1994. Cambridge University Press, Londo n. ____.2001. Climate Change 2001: Impact, Adaptation and Vulnerability Contribution of Working Group II to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press, Cambridge. ____.2007a. Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Repo rt of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press, Cambridge, London. ____.2007b, Climate Change 2007: The Physical Science Basis, Contribution of Working Group I to the Forth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press, London. Irianto, SG. 2008. Makalah Seminar Nasional Strategi Mitigasi dan Adapatasi Perubahan Iklim di Indonesia di Universitas Brawijaya, Malang. Jemio, L.C., and K. Jansen,. 1993. External Fina nce, Growth and Adjustment: A Computable General Equilibrium Model for Thailand, Working Paper: SubSeries on Money, Finance and Development No.46, Institute of Social Studies, The Hague. Jomini, P., R. McDougall, G. Watts, and P.S Dee. 1994. The Salter Mode l of the World Economy: Model Structure, Database and Parameters, Industry Commision, Canberra. Joseph, E., Stiglitz, and A. Charlton. 2005. Fair Trade For All, How Trade can Promote Development, Oxford University Press, Oxford, pp. 171-260.
254
Kementerian Perdagangan, Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional. 2010. Lapor an Tim Nasional Perundingan Perda gangan Internasional (TIMNAS-PPI), Semester II (Periode Juli- Desember 2009), Jakarta. Kementerian Lingkungan Hidup. 1992. Dampak Perubahan Iklim, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta. _____.2001. Dampak Perubahan Iklim, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta. Kementerian Pertanian. 2010. Statistik Data Pertanian. Kementerian Pertanian, Jakarta. Khor, M. 2000. Globalization and The South: Some Critical Issues. Third Wor ld Network, Penang. Kompas. 2008. Krisis Pangan Gejala Dunia. Kompas, 25 Januari 2008 Krueger, A. 1995. Free Trade Agreements versus Customs Unions. NBER Working Paper No.5084, Cambridge. _____. 1999. Are Preferential Trading Arrangements Trade-Liberalizing or Protectionist ? Journal of Economic Prespectives, 13(4): 105-124. Krugman, R.P., and M Obs tfeld. 2000. International Economics: Theor y and Policy. Fifth Edition. Pearson Adison Wesly, Pearson International Edition, Boston. Kurukulasuriya, Pradeep, Mendelsohn R., Hassan R., Benhin JKA, Deressa T., Diop M., Eid, H.M, Fosu, K.Y, Gbetibouo, G., Jain, S., Mahamadou, A., Mano, R., Mariara, J.K., Samia El-Marsafawy, Molua, E., Ouda, S., Ouedraogo, M., Séne, I., Maddison, S.D., Seo, N., and A. Dinar. 2006. Will African Agriculture Survive Climate Change? World Bank Economic Review, 20(3): 367-388.
LAPAN.2002. Landasan Ilmiah Perubahan Iklim. LAPAN, Bandung. _____. 2003. Landasan Ilmiah Peruba han Iklim. LAPAN, Bandung. _____. 2009. Dampak Perubahan Iklim. LAPAN, Jakarta. Lawrence, R.Z. 1999. Regionalism, Multilateralism and Deeper Integration: Changing Paradigms for Developing Countries. Brookings Institution and Organization of American States, Washington D.C. Low, Linda. 2004. A Comparative Evaluation and Prognosis of Asia Pacific Bilateral and Regional Trade Arrangements. Asian Pacific Economic Literature, 18 (1): 1-11.
255
Mai, Pham Hoang 2002. Regional economic development and foreign direct investment flows in Vietnam, 1988–1998. Journal of the Asia Pacific Economy 7(2): 182–202. Mankiw, da n N. Gregory. 2000. Teori Makro Ekonomi. Edisi Keempat. Penerbit Erlangga, Jakarta Majalah Gatra. 2008. Indonesia Juara Impor, Gatra No. 11 th XIV, 24-30 Januari 2008. Malian, A.H. 2004. Kebijakan Perdagangan Internasional Komoditas Pertanian Indo nesia. Analisis Kebijakan Pertanian (AKP), 2(2): 135-136 Manabe, S. and Wetherald, R. 1987. Large-scale Changes of Soil Wetness Induced by an Increase in Atmospheric Carbo n Dioxide. J. Atmos. Sci, 44: 1211-1236. Marpaung, S., Satiadi, D., Adikusumah, N., Suba rna, D., Suaydhi, Visa, J., dan Kusnandar, D. 2008. Kajian dan Sosialisasi Perubahan Iklim serta Antisipasi Dampaknya. LAPAN, Bandung. Mazhida. 2006. Sektor Pertanian Setelah Lima Tahun Otonomi Daerah: Banyak Kebijakan yang Jalan di Tempat. Jawa Pos, 26 Desember 2006. Mendelsohn, R. and Neumann, J. (eds). 1998. The Economic Impact of Climate Change on the Economy of the United States. Cambridge University Press, Cambridge, London. Mendelsohn, R., and M.E. Schlesinger. 1999. Climate-response Functions. Ambio, 28: 362-366. Mendelsohn, R., A. Dinar, and A. Sanghi. 2001. The Effect of Development on the Climate Sensitivity of Agriculture. Environment and Development Economics, 6: 85-101. Michalak, W., and R. Gibb. 1997. Trading Blocs and Multilateralism in the World Economy. Annals of the Assoc iation of American Geographers, 87(2): 264297. Naylor, R.L., Battisti, D.S., Vimont, D.J., Falcon, W.P., and Burke, M.B. 2007. Assessing Risks of Climate Variability and Climate Change for Indonesian Rice Agriculture. Proceeding of the National Academic of Science, 114: 7752-7757. Nicholson. 1994. Macroeconomic Theory Basic Principles and Extentions. Ninth Edition, Thomson South Western, Canada. Nicholson. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya: Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga, Jakarta.
256
Nicholson. 2005. Macroeconomic Theory Basic Principles and Extentions. Ninth Edition, Thomson South Western, Canada. OECD. 1998. Open Markets Matter: The Benefits of Trade and Investment Liberalization. Organization for Economic Cooperation and Development, Paris. _____. 2002. Agriculture and Trade Liberalization: Extending the Uruguay Round Agreement. Organization for Economic Cooperation and Develop ment. Paris. Oktaviani, R. 2000. The Impact of APEC Trade Liberalisation on Indonesian Economy and Its Agricultural Sector. PhD Thesis. Department of Agricultural Economics, The University of Sydney, S ydney. Oktaviani, R., da n E. Puspitawati. 2006. Peranan Fasilitas Pembiayaan Ekspor terhadap Perekonomian Indonesia. Jurnal Bisnis dan Ekonomi Politik, 6 : 50-66. Oktaviani, R., A. Rifin, and H. Reinhardt. 2006. An Investigation into the Measures Affecting the Integration of ASEAN’s Priority Sectors (Phase 2): Review of Regional Trade and Available Tariff Rate Data. Final Report. AADCP Regional Economic Policy Suppor t Facility. Oktaviani, R. 2008. Model Ekonomi Keseimbangan Umum: Teori dan Aplikasinya di Indonesia. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, I nstitut Pertanian Bogor. Oktaviani, R., dan E. Puspitawati. 2008. Teori, Model dan Aplikasi GTAP (Globa l Trade Analysis Project) Di Indonesia. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Oktaviani, R., Widyastutik, dan S. Amaliah. 2010. Manfaat dan Biaya Pendirian Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN China Terhadap Ekonomi Makro dan Sektoral Indonesia. Makalah dipresentasikan pada FGD Kajian Dampak Persaingan Usaha Terkait dengan Pelaksanaan ACFTA. Kerjasama Universitas Airlangga dan KPPU, Surabaya, 23 September 2010. Panagariya, A. 1999. The Regionalism Debate: An Overview. The Wor ld Economy, 22 (4): 477-511. Park, HM. 2009. Linear Regression Models for Panel Data Using SAS, Stata LIMDEP and SPS. University Information Technology Services Center for Statistical and Mathematical Computing, Indiana University. Pearson, K.R.1991.Automating the Computation of Solutions of Large Economic Models. Economic Modelling, 7 :385-395.
257
Rahmanto, B. 2005. Dampak Liberalisasi Perdagangan Global dan Perubahan Kondisi Ekonomi-Politik Domestik terhadap Dinamika Perda gangan Luar Negeri Kelompok Komoditas Berbasis Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Ratnawati, A. 1996. Dampak Kebijakan Tarif Impor dan Pajak Ekspor terhadap Kinerja Perekonomian, Sektor Pertanian dan Distribusi Pendapatan di Indonesia: Suatu Pendekatan Model Keseimbangan Umum. Disertasi Doktor Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ratnawati, A., da n R. Oktaviani, dan Sahara. 2004. Dampak Restrukturisasi Perbankan dan Peningkatan Produktivitas Pertanian terhadap Kinerja Ekonomi Makro, Sektor Pertanian, dan Distribusi Pendapatan di Indonesia. Laporan Akhir Hibah Bersaing XI/3 Tahun Anggaran 2003-2004. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Reardon, T. and A. Gulati. 2008. The Supe rmarket Revolution in Developing Countries”. IFPRI Policy brief No. 2 (June 2008). Rusbiantoro, D. 2008. Global Warming for Beginner: Pengantar Komprehensif tentang Pemanasan Glonal. Penerbit O2 Penembahan, Yogyakarta. Salvatore, D. 1997. Eko nomi Internasiona l. Haris Munandar [Penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Sawit, M.H. 2001. WTO dan Nasib Negara Miskin. Medium 65, 12-26 April. ____.2003. The Develop ment of the WTO Agreement of Agriculture: Harbonson Proposal and Indonesian Need. Paper Presented in Road to Cancun: Indo nesian Preparation to the next WTO Agreement. Jakarta. ____.2007. Liberalisasi Pangan: Ambisi dan Reaksi dalam Putaran Doha WTO. Lembaga Penerbit, Fakultas Ekonomi UI, Jakarta. ____.2007. Serbuan Impor Pangan dengan Minim Perlindungan di Era Liberalisasi” makalah yang disampaikan pada Kopernas XV dan Kongres XIV Perhepi, di Surakarta, 3-5 Agustus 2007. ____.2008. Peruba han Perda gangan Pangan Globa l da n Putaran Doha WTO: Implikasi Buat Indonesia 2008. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan kebijakan Pertanian, 6(3): 199-221. Schlesinger, M. and Zhao, Z.C. 1989. Seasonal Climate Changes Induced by Doubled CO2 as Simulated by the OSU Atmospheric GCM/Mixed Layer Ocean Model. J. Clim. 2: 459-495.
258
Silva, K.A., and M. Horridge. 1996. Economies of Scale and Imperfect Competition in an Applied General Equilibrium Mode l of the Australian Economy. Preliminary Working paper No.OP-84, Centre of Policy Studies and I mpact Project, Monash University, Melbourne. Simatupang, P. 2004. Justifikasi dan Metode Penetapan Komoditas Strategis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Siregar, H., da n H. Hasanah. 2011. Strategi dan Implikasi Kebijakan untuk Pemantapan Swasembada Beras Berkelanjutan Menghadapi Variabelitas dan Perubahan Iklim. Orange Book 3. Green Economy. Menuju Pembangunan Berkelanjutan. IPB Press, Bogor. Sitepu, R.K., da n B.M Sinaga. 2006. Aplikasi Mode l Ekonometrika: Estimasi, Simulasi, dan Peramalan Menggunakan Program SAS. Program Studi Ilmu Eko nomi Pertanian Seko lah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sumardjo, I.G. 2008. Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan: Dampak dan Strategi Antisiopasi. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Surmaini, E., Rakman, dan R. Boer. 2008. Dampak Peruba han Iklim Terhadap Produksi Padi: Studi Kasus Pada Daerah Dengan Tiga Ketinggian Berbeda. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Suryana, A. 2004. Arah, Strategi dan Program Pembangunan Pertanian 2005– 2009. Makalah Seminar Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor, 4 Agustus 2004. Susanta, G., dan H. Sutjahjo. 2008. Apakah Indonesia Tenggelam Akibat Pemanasan Global. Penebar Swadaya, Bogor. Stephenson, S.M. 1994. The Uruguay Round and Its Benefit to Indonesia. Ministry of Trade, Republic of Indonesia, Jakarta. Thorbecke, E. 1985. “ The Social Accounting Matrix And Consistency Type Development Planning Models”, in G. Pyatt and J. Round (eds), Social Accounting Matrices: A Basis for Planning. World Bank, Washington DC. Thurlow, J., Zhu, T., and X. Diao. 2009. The Impact of Climate Variability and Change on Economic Growth and Poverty in Zambia. IFPRI Discussion Paper No. 00890, Washington D.C. Todaro, M., P Smith, dan C. Stephen. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Erlangga, Jakarta. _____. 2006. Economic Development Ninth Edition. Pearson Education Limited, London.
259
Trewin, R. 1995. Measuring the impact of Uruguay Round Trade Liberalisation on Indo nesian Agriculture”. Paper Presented at the 24th Conference of Economists, University of Adelaide, Adelaide, 24-27 September. TWN, 2008. Doha Round Will Not Solve Global Crisis, Geneva. Walmsley, T.L. 1998. Long-run Simulations with GTAP: Illustrative Results from APEC Trade Liberalisation. GTAP Technical Paper No. 9, Department of Economics, Monash University, Melbourne. Wibowo, P.M. 2009. Dampak Perdagangan Bebas ASEAN–CHINA terhadap Kinerja Eko nomi Indo nesia Khususnya Sektor Pertanian da n Kehutanan: Analisis Simulasi Jangka Panjang. Disertasi Doktor Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Widyastutik, R. Oktaviani, da n A. Asmara. 2007. Analisis Faktor- faktor yang Mempengaruhi Realisasi Investasi Sektor Primer di Indonesia. Hibah Bersaing Tahun Kedua DIKTI, Jakarta. Wilson, C.A. dan Mitchell, J.F.R. 1981. A Doubled CO2 Climate Sensitivity Experiment with a GCM Including a Simple Ocean. J. Geophys. Res, 92 (D11): 13315-13343. Wittwer, G. 1999. “WAYANG 2: A General Equilibrium Mode l Adapted for Indo nesian Economy”. CIES Working Paper. Wittwer, G. 1999. WAYANG: A General Equilibrium Model Adapted For The Indo nesian Economy. Centre for International Economics Studies and School of Economics, University of Adelaide, Adelaide. Won, P.I. 2003. “A CGE Analysis of a Korea-China-Japan Free Trade Area”. The Bank of Korea Economic Papers, 6(2): 151-183. World Trade Organization. 2005. International Trade Stataistics, WTO Geneva. _____. 2010. UNDERSTANDING THE WTO: BASICS: Princ iples of the Trading S ystem.http//www.wto.o rg Zhai, F., Tun, L., and B. Enerelt. 2009. A General Equilibrium Analysis of the Impact of Climate Change on Agriculture in the People’s Republic of China. Asian Developmetn Review, Asian Development Bank. 26(1): 206-225.
LAMPIRAN
Lampiran 1
Data Produktivitas Tahunan Padi, Gandum, dan Jagung Periode 1991-2000 di Berbagai Negara
Produktivitas Padi Negara
(Ton/Ha)
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
Australia
8.84
8.83
7.64
8.15
8.80
6.35
8.33
9.43
9.16
8.26
Rusia
0.00
2.84
2.64
2.71
3.21
2.48
2.34
3.04
2.74
3.49
China
5.62
5.80
5.85
5.83
6.02
6.21
6.31
6.35
6.33
6.26
Indonesia
4.35
4.34
4.38
4.35
4.35
4.42
4.43
4.20
4.25
4.40
Pakistan
2.32
2.37
2.74
2.43
2.75
2.87
2.80
2.89
3.07
3.03
Thailand
2.25
2.17
2.17
2.35
2.42
2.41
2.38
2.47
2.42
2.61
India
2.63
2.61
2.83
2.86
2.70
2.82
2.85
2.88
2.98
2.85
Bangladesh
2.66
2.69
2.72
2.53
2.65
2.76
2.74
2.94
3.21
3.48
Amerika Serikat
6.42
6.43
6.18
6.69
6.30
6.86
6.61
6.35
6.57
7.04
Brazil
2.30
2.13
2.29
2.39
2.57
2.66
2.73
2.52
3.07
3.03
Filipina
2.82
2.94
2.87
2.89
2.80
2.86
2.93
2.70
2.95
3.07
Produktivitas Jagung Negara Australia Rusia China Indonesia Pakistan Thailand India Bangladesh Amerika Serikat Brazil Filipina
1991 3.99 0.00 4.58 2.15 1.42 2.71 1.38 0.98 6.82 1.81 1.30
(Ton/Ha) 1992 5.17 2.68 4.53 2.20 1.36 2.97 1.68 0.93 8.25 2.28 1.33
Produktivitas Gandum Negara 1991 1992 Australia 1.47 1.78 Rusia 0.00 1.90 China 3.10 3.33 Indonesia 0.00 0.00 Pakistan 1.84 1.99 Thailand 0.49 0.68 India 2.28 2.39 Bangladesh 1.68 1.85 Amerika Serikat 2.30 2.64 Brazil 1.42 1.43 Filipina 0.00 0.00
1993 4.43 3.10 4.96 2.20 1.38 2.73 1.60 0.94 6.32 2.53 1.52
1993 1.97 1.77 3.52 0.00 1.95 0.62 2.33 1.85 2.57 1.48 0.00
1994 4.66 1.70 4.70 2.21 1.48 2.93 1.45 0.90 8.70 2.36 1.53
1994 1.14 1.45 3.43 0.00 1.89 0.70 2.38 1.84 2.53 1.55 0.00
1995 4.83 2.76 4.92 2.26 1.60 3.29 1.59 1.07 7.12 2.60 1.52
1995 1.79 1.39 3.54 0.00 2.08 0.64 2.56 1.95 2.41 1.54 0.00
1996 5.77 1.75 5.20 2.49 1.61 3.45 1.71 1.02 7.98 2.70 1.59
1996 2.17 1.55 3.73 0.00 2.02 0.65 2.48 1.95 2.44 1.83 0.00
1997 5.94 3.16 4.39 2.61 1.63 3.20 1.71 1.09 7.95 2.62 1.59
1997 1.84 1.84 4.10 0.00 2.05 0.68 2.68 2.05 2.66 1.64 0.00
1998 4.75 1.64 5.27 2.65 1.73 3.34 1.80 0.73 8.44 2.80 1.62
1999 5.12 1.97 4.95 2.66 1.72 3.55 1.79 1.23 8.40 2.76 1.74
2000 4.94 2.12 4.60 2.76 1.74 3.68 1.82 2.06 8.59 2.74 1.80
1998 1.92 1.36 3.69 0.00 2.24 0.63 2.49 2.24 2.90 1.61 0.00
(Ton/Ha) 1999 2000 2.01 1.82 1.57 1.61 3.95 3.74 0.00 0.00 2.17 2.49 0.63 0.67 2.59 2.78 2.16 2.21 2.87 2.82 1.97 1.56 0.00 0.00
261
Lampiran 2
Data Suhu Rata-Rata, Presipitasi Rata-Rata Tahunan, dan Konsentrasi Karbon Tahunan di Berbagai Negara (0 C)
Suhu Rata-Rata Negara Australia
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
17.89
17.54
17.95
17.75
17.36
18.16
17.32
17.23
17.24
16.68
Rusia
8.33
7.70
6.63
6.93
9.47
7.33
7.60
7.93
8.93
8.87
China
12.59
12.29
12.29
13.00
12.77
12.36
12.95
13.51
13.29
12.78
Indonesia
26.51
26.78
25.89
26.72
26.65
26.48
26.54
27.19
26.36
26.45
Pakistan
22.47
22.19
23.14
22.69
22.48
22.42
22.08
22.86
24.69
23.87
Thailand
27.21
26.93
26.88
27.03
27.10
26.76
27.26
27.97
26.79
26.87
India
25.74
25.59
26.08
25.96
26.03
26.08
25.88
26.14
25.86
25.83
Bangladesh
25.44
25.45
25.28
25.50
25.66
25.66
25.11
25.71
25.89
25.40
Amerika Serikat
11.53
11.05
10.79
11.29
11.50
10.57
11.08
12.39
11.77
11.36
Brazil
22.65
22.61
22.51
23.04
23.08
23.01
23.35
24.29
23.70
23.87
Filipina
25.20
25.28
25.30
25.34
27.49
27.45
27.55
25.87
27.58
25.47
Presipitasi Rata-Rata Tahunan Negara Australia Rusia China Indonesia Pakistan Thailand India Bangladesh Amerika Serikat Brazil Filipina
1991 531.07 36.17 687.87 1 852.54 305.82 1 623.45 1 346.47 268.32 908.95 1 728.12 2 299.60
1992 532.76 45.47 731.59 1 642.09 445.69 1 413.07 1 217.87 185.16 897.81 1 700.36 1 983.70
(mm)
1993 573.88 50.07 776.35 1 658.71 256.65 1 727.56 1 233.60 263.46 917.34 1 369.29 2 192.09
1994 417.01 38.87 818.1 1 449.05 423.72 1 727.05 1 362.05 192.72 875.97 1 648.60 2 300.37
1995 512.25 41.67 745.35 1 705.61 376.69 1 826.48 1 428.19 230.73 876.82 1 606.82 2 417.69
1996 577.86 33.83 749.49 2 022.63 349.09 1 655.79 1 245.04 225.81 917.09 1 554.61 2 629.65
1997 623.47 47.23 742.41 1 001.20 486.23 1 560.36 1 391.63 230.2 870.11 1 489.91 2 022.93
1998 641.33 41.17 843.81 1 710.26 321.5 1 571.44 1 442.30 274.84 926.63 1 397.82 1 753.13
1999 670.11 38.7 763.47 2 048.69 223.25 1 939.21 1 246.38 260.88 795.55 1 412.34 3 105.54
Konsentrasi Karbon Tahunan Negara
2000 679.85 46.33 743.42 1 741.71 185.46 1 858.63 1 268.54 251.89 819.53 1 623.53 2 852.28
(ppm)
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
Australia
355.54
356.29
356.97
358.69
360.71
362.41
363.53
366.64
368.16
369.45
Rusia
355.54
356.29
356.97
358.69
360.71
362.41
363.53
366.64
368.16
369.45
China
355.54
356.29
356.97
358.69
360.71
362.41
363.53
366.64
368.16
369.45
Indonesia
355.54
356.29
356.97
358.69
360.71
362.41
363.53
366.64
368.16
369.45
Pakistan
355.54
356.29
356.97
358.69
360.71
362.41
363.53
366.64
368.16
369.45
Thailand
355.54
356.29
356.97
358.69
360.71
362.41
363.53
366.64
368.16
369.45
India
355.54
356.29
356.97
358.69
360.71
362.41
363.53
366.64
368.16
369.45
Bangladesh
355.54
356.29
356.97
358.69
360.71
362.41
363.53
366.64
368.16
369.45
Amerika Serikat
355.54
356.29
356.97
358.69
360.71
362.41
363.53
366.64
368.16
369.45
Brazil
355.54
356.29
356.97
358.69
360.71
362.41
363.53
366.64
368.16
369.45
Filipina
355.54
356.29
356.97
358.69
360.71
362.41
363.53
366.64
368.16
369.45
262
Lampiran 3
Hasil Estimasi Model Produktivitas Padi Model Summary
R
Adjusted R Square
R Square
.967g
.935
Std. Error of the Estimate
.932
.52665
Predictors: (Constant), Daus, X1, Drus, Dind, Ln_CtbagiC0 ANOVAj Model
Sum of Squares
Regression Residual Total
df
Mean Square
F
415.360
5
83.072
28.845
104
.277
444.205
109
Sig.
299.515
.000g
Predictors: (Constant), Daus, X1, Drus, Dind, Ln_CtbagiC0 Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model B
Std. Error
(Constant)
8.970
.234
Daus
3.648
.182
X1
-.259
Drus Dind Ln_CtbagiC0 a. Dependent Variable: Ypadi
Standardized Coefficients
t
Sig.
Beta 38.310
.000
.522
20.045
.000
.010
-.865
-25.836
.000
-4.658
.225
-.666
-20.684
.000
1.965
.183
.281
10.749
.000
17.267
3.805
.113
4.538
.000
263
Lampiran 4
Hasil Estimasi Model Produktivitas Jagung Model Summary
R
Adjusted R Square
R Square
.969g
.939
Std. Error of the Estimate
.935
.51103
Predictors: (Constant), X1, Drus, Dthai, Dchin, Dind, Dpak, Ln_CtbagiC0 ANOVAi Model
Sum of Squares
Regression Residual Total
df
Mean Square
F
413.517
7
59.074
26.637
102
.261
440.155
109
Sig.
226.206
.000g
Predictors: (Constant), X1, Drus, Dthai, Dchin, Dind, Dpak, Ln_CtbagiC0 Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model B (Constant)
Std. Error
12.204
.271
-.431
.012
Drus
-7.063
Dthai
Standardized Coefficients
t
Sig.
Beta 45.073
.000
-1.442
-36.092
.000
.239
-1.015
-29.575
.000
2.263
.186
.325
12.145
.000
Dchin
-2.259
.204
-.325
-11.085
.000
Dind
1.299
.184
.187
7.050
.000
Dpak
-1.161
.175
-.167
-6.627
.000
Ln_CtbagiC0
21.628
3.694
.143
5.855
.000
X1
a. Dependent Variable: Yjagung
264
Lampiran 5
Hasil Estimasi Model Produktivitas Gandum Model Summary
R
R Square
.953g
Adjusted R Square
.909
Std. Error of the Estimate
.903
.33906
Predictors: (Constant), X2kuadrat, Dchin, Dind, Dindia, Drus, X1, Ln_CtbagiC0 ANOVAo Model Regression
Sum of Squares
Mean Square
F
117.122
7
16.732
11.726
102
.115
128.848
109
Residual Total
df
Sig.
145.540
.000g
Predictors: (Constant), X2kuadrat, Dchin, Dind, Dindia, Drus, X1, Ln_CtbagiC0 Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model B
Std. Error
(Constant)
3.260
.182
X2kuadrat
-2.620E-7
.000
Dchin
1.160
Dind Dindia Drus X1 Ln_CtbagiC0 a. Dependent Variable: Ygandum
Standardized Coefficients
t
Sig.
Beta 17.938
.000
-.439
-12.222
.000
.135
.308
8.614
.000
-.917
.120
-.244
-7.627
.000
1.229
.119
.327
10.292
.000
-1.485
.158
-.394
-9.422
.000
-.067
.008
-.416
-7.923
.000
11.698
2.454
.143
4.767
.000
265
Lampiran 6
Hasil Uji Asumsi Model Produktivitas Padi ASUMSI NORMALITAS
ASUMSI AUTOKORELASI
Adjusted Std. Error of Model R R Square R Square the Estimate 1 .967(a) .935 .932 .52652 a Predictors: (Constant), Dind, X3, Drus, Daus, X1 b Dependent Variable: Y
DurbinWatson 1.182
266
ASUMSI HETEROSKEDASTISITAS
ASUMSI MULTIKOLINEARITAS
267
Lampiran 7
Hasil Uji Asumsi Model Produktivitas Jagung ASUMSI NORMALITAS
ASUMSI AUTOKORELASI
268
ASUMSI HETEROSKEDASTISITAS
ASUMSI MULTIKOLINEARITAS
269
Lampiran 8
Hasil Uji Asumsi Model Produktivitas Gandum ASUMSI NORMALITAS
ASUMSI AUTOKORELASI
270
ASUMSI HETEROSKEDASTISITAS
ASUMSI MULTIKOLINEARITAS