DINAMIKA KUALITAS TANAH, EROSI DAN PENDAPATAN PETANI AKIBAT ALIH GUNA LAHAN HUTAN MENJADI LAHAN PERTANIAN DAN KAKAO/AGROFORESTRI KAKAO DI DAS NOPU, SULAWESI TENGAH
ANTHON MONDE
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam disertasi yang berjudul : “Dinamika Kualitas Tanah, Erosi dan Pendapatan Petani Akibat Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian dan Kakao/Agroforestri Kakao Di DAS Nopu, Sulawesi Tengah” adalah benar merupakan karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, September 2008 ANTHON MONDE NRP: A 262030071
ii
ABSTRACTS ANTHON MONDE. Dynamic of Soil Quality, Erosion and Income of Farmer an Effect of Forest Conversion into Agriculture and Cocoa/Cocoa Agroforestry Landuses in Nopu Watershed, Central Sulawesi. Under supervision of NAIK SINUKABAN, KUKUH MURTILAKSONO and NORA H PANDJAITAN. Sustainable agriculture development requires a high quality and proper land management in order to get high farmer’s income and to prevent environmental resources degradation. This research was conducted in Nopu watershed, Central Sulawesi Province. The objectives of this research were 1) To analyze the impact of forest conversion into various agriculture systems on soil quality, 2) To asses the erosion dynamics caused by forest conversion into various agriculture systems and cocoa agroforestry systems, 3) To analyze the income dynamics of farmers caused by forest conversion into various agriculture and cocoa agroforestry systems, 4) To formulate a sustainable agriculture systems in Nopu watershed. The erosion and surface runoff were observed by making erosion plots on various kind of plants and ages of cocoa landuse (monoculture and agroforestry). The soil quality indicators were observed by analyzing the physical and chemical properties of soil samples, which were collected from various kind of plants and ages of cocoa agroforestry area. Whereas, the soil profile permeability and soil surface coverage were directly observed on the field. Production and farmer’s income of various kinds of plants and cocoa landuse systems in Nopu watershed were collected through farmers interview using questioners. The sustainable agriculture systems of cocoa (monoculture and agroforestry) were obtained through technique simulates using various scenarios. The results of this research showed that: 1) Forest conversion into agriculture and cocoa landuse caused a substantive degradation of soil quality; 2) Forest conversion into cocoa landuse tended to increase soil erosion and runoff; 3) Farmers income in the existing agriculture systems did not meet the income that can support worth living life 4) To establish a sustainable cocoa farming systems in Nopu watershed, the agriculture systems should be improved by practicing a proper and balance fertilization, application of adequate soil and water conservation techniques such as mulching, construction of closed ditches (rorak) and ridges (sengkedan). Keywords: cocoa, erosion, farmer’s income, forest conversion, soil quality,
iii
RINGKASAN ANTHON MONDE. Dinamika Kualitas Tanah, Erosi dan Pendapatan Petani Akibat Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian dan Kakao/Agroforestri Kakao Di DAS Nopu, Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh NAIK SINUKABAN, KUKUH MURTILAKSONO dan NORA H PANDJAITAN. Pembangunan pertanian berkelanjutan membutuhkan manajemen lahan yang berkualitas baik dan tepat agar kegiatan usahatani yang dilakukan dapat memberikan pendapatan yang tinggi, tidak terjadi degradasi lahan dan dapat digunakan petani secara lestari. Kondisi ini akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas petani dan keluarganya. Dalam kegiatan pengelolaan DAS indikator yang secara simultan dan dipakai sebagai jaminan, adalah pendapatan yang cukup tinggi, dalam arti cukup untuk dapat menghidupi petani dengan layak secara lestari. Untuk rnewujudkan hal tersebut maka produktivitas harus tinggi dan hasilnya memiliki nilai jual yang tinggi di pasar. Untuk menjamin produktivitas lahan secara terus-menerus maka agroteknologi yang diterapkan harus dapat menciptakan kondisi dimana erosi yang ditimbulkan lebih kecil dari nilai erosi yang dapat ditoleransi serta dapat diterima dan dikembangkan oleh masyarakat dengan sumberdaya lokal yang tersedia. Tujuan penelitian ini adalah : 1) menganalisis dampak alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian terhadap kualitas tanah, 2) mengkaji dinamika erosi yang terjadi pada alih guna lahan hutan menjadi berbagai bentuk lahan pertanian dan kakao/agroforestri kakao, 3) menganalisis dinamika pendapatan petani pada alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan agroforestri kakao 4) merumuskan perencanaan pengelolaan lahan yang berkelanjutan di DAS Nopu. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni 2005 sampai dengan bulan Maret 2006. Lokasi penelitian di DAS Nopu yang merupakan salah satu sub-sub DAS Gumbasa di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Petak penelitian disusun dalam pola rancangan acak kelompok pada tiga tingkat kemiringan lahan. Untuk mengetahui dampak alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian. diamati masing-masing lahan hutan, lahan kakao umur ≤3 tahun, jagung, kacang tanah dan agroforestri vanili. Untuk alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao/agroforestri kakao dilakukan pengamatan pada lahan kakao umur ≤3 tahun, kakao 6 tahun, agroforestri kakao 7 tahun, kakao 11 tahun dan agroforestri kakao 12 tahun. Untuk mendapatkan data erosi dan aliran permukaan digunakan petak erosi yang dibuat pada berbagai penggunaan lahan. Data kualitas tanah diperoleh dengan pengamatan langsung maupun dengan pengambilan sampel di lapang yang kemudian dianalisis di laboratorium untuk memperoleh data sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Untuk mendapatkan data kegiatan usahatani masyarakat di DAS Nopu dilakukan survei dengan menggunakan kuesioner. Dengan tersedianya ketiga jenis data tersebut kemudian dapat dirumuskan perencanaan pengelolaan yang berkelanjutan dengan melakukan simulasi dengan berbagai pilihan teknologi pertanian dan teknik konservasi tanah dan air.
iv
Memperhatikan hasil-hasil dan pembahasan dari penenlitian ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1) Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan penurunan kualitas tanah dilihat dari indikator sifat fisik (bobot isi semakin meningkat, porositas semakin menurun, permeabilitas dan agregate tanah menurun), kimia (kadar C-organik, N, P dan K tanah menurun) dan biologi tanah (total karbon mikrobia tanah menurun). 2)Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao berdampak terhadap meningkatnya erosi dan aliran permukaan. Erosi sangat tinggi ketika kakao berumur <3 tahun dan berkurang setelah berumur >6 tahun. Kemudian aliran permukaan semakin tinggi dengan semakin berkembangnya tanaman kakao. 3) Pendapatan petani dengan sistem pengelolaan usahatani eksisting tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup layak. Produksi kakao yang diperoleh petani masih rendah (890 kg/ha/th) dengan pendapatan Rp 7,88 juta/ha/th atau dengan pendapatan Rp11,75 juta/kk/th (
v
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
vi
DINAMIKA KUALITAS TANAH, EROSI DAN PENDAPATAN PETANI AKIBAT ALIH GUNA LAHAN HUTAN MENJADI LAHAN PERTANIAN DAN KAKAO/AGROFORESTRI KAKAO DI DAS NOPU, SULAWESI TENGAH
ANTHON MONDE
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
vii
Judul Penelitian
: Dinamika Kualitas Tanah, Erosi dan Pendapatan Petani Akibat Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian dan Kakao/Agroforestri Kakao Di DAS Nopu, Sulawesi Tengah
Nama Mahasiswa
: Anthon Monde
Nomor Pokok
: A262030071
Disetujui: Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, MSc. Ketua
Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS Anggota
Dr. Ir. Nora H Pandjaitan, DEA Anggota Diketahui :
Ketua Program Studi Pengelolaan DAS,
Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, MSc.
Tanggal ujian : 10 Juli 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana,
Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro, MS.
Tanggal lulus :
viii
PRAKATA Ucapan puji dan syukur pada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan pertolonganNya sehingga penelitian dan penulisan disertasi berjudul “Dinamika Kualitas Tanah, Erosi dan Pendapatan Petani Akibat Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian dan Kakao/Agroforestri Kakao Di DAS Nopu Sulawesi Tengah” ini dapat dirampungkan. Ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Prof. Dr.Ir. Naik Sinukaban, MSc. selaku ketua komisi pembimbing, Dr.Ir. Kukuh Murtilaksono, MS dan Dr. Ir. Nora H Pandjaitan, DEA selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, petunjuk dan saran sejak dari penyusunan rencana penelitian sampai selesainya disertasi ini. Selain itu penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dekan Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB dan Ketua Progran Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menempuh pendidikan Strata 3 di SPs IPB. Ucapan terima kasih juga disampaikan pada Rektor dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan program doktor di IPB Bogor. Selain itu penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas dukungan beasiswa BPPS dan dana Penelitian Hibah Bersaing. Kemudian ucapan terima kasih disampaikan kepada Pengelola Kerjasama Penelitian Stability of Rain Forest Margin (STORMA) atas bantuan sarana penelitian dan pada PEMDA SULTENG atas sarana asrama yang disiapkan di Bogor serta pada Yayasan Dana Mandiri atas bantuan dana penyelesaian studi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Silver Hutabarat, MSc. (Direktur Pengelolaan DAS Departemen Kehutanan) dan Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, MSc. atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi. Ucapan terima kasih yang tulus dan dalam penulis sampaikan kepada kedua orang tua Ayahanda J Sampe (almarhum) dan Ibunda L Rante atas segala kasih sayang dan doa restu mereka. Kepada keluarga kakak S Songgo, Ruth Sampe dan adik Elisabeth, Agus, Maria, adik Stevanus Salu dan Siana, penulis sampaikan terima kasih atas segala dukungan dan doanya. Kepada istri tercinta Frida Pare, SPd. dan anak Paul Frianto Monde, Theresia Ayu Isabela Monde dan Valencia Das Putra Monde, penulis sampaikan terima kasih atas kerelaan terpisah jarak dan waktu, dorongan semangat, kasih sayang dan doa restunya selama penulis mengikuti pendidikan S3 di IPB Bogor. Kepada kawan-kawan seperjuangan pada program studi DAS yang telah memberikan dorongan dan kerjasama selama menempuh perkuliahan juga diucapkan terima kasih. Kepada bapak Risman sekelaurga yang memberi penulis akomodasi selama melakukan penelitian di Nopu, penulis sampaikan terima kasih. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr.Ir. Syamsudin Koloi, Dr. Ir. Danang Widjayanto dan kepada rekan sesama mahasiswa Pascasarjanan IPB yang berasal dari Sulawesi Tengah atas bantuan dan kerjasama selama menempuh pendidikan di Pascasarjana IPB Bogor. Semoga segala bantuan, dukungan dan perhatian yang telah diberikan mendapat balasan berkat yang melimpah dari Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Bogor,
September 2008
ix
Anthon Monde
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Makasar Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Februari 1960 sebagai anak ketiga dari delapan bersaudara dari pasangan Bapak J Sampe (almarhum) dan Ibu Lintje Rante. Pendidikan SD dan SMP diselesaikan di Makasar dan kemudian di SPMAN Pembangunan di Gowa Sulawesi Selatan. Pendidikan sarjana (S1) ditempuh pada Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu dan lulus
tahun 1987. Pada tahun ajaran 1990/1991 penulis mendapat
beasiswa BPPS DIKTI untuk menempuh pendidikan jenjang S2 (Magister) pada program studi Sistem-sistem Pertanian pada Program Pascasarjana Universitas Hasanudin Makasar dan lulus pada awal tahun 1993. Pada tahun 2003 penulis diterima pada program Doktor Sekolah Pascasarjana IPB Bogor pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Pada tahun 1987 hingga 1988 penulis bekerja pada CARE Internasinal Perwakilan Sulawesi Tengah. Kemudian penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Tadulako sejak tahun 1988 hingga sekarang. Penulis menikah dengan Frida Pare, SPd. tahun 1992 dan telah dikarunia dua orang putra yaitu Paul Frianto Monde dan Valencia Das Putra Monde serta seorang putri Theresia Ayu Isabela Monde. Bogor, September 2008. Anthon Monde
x
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL
.......................................
xiii
DAFTAR GAMBAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
xv
DAFTAR LAMPIRAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
xvi
PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1
Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Kerangka Pikir . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Hipotesis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Kegunaan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Kebaharuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1 5 7 7 7 7
TINJAUAN PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
8
Tanah Hutan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Konsep Degradasi Lahan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Dampak Alih Guna Lahan Hutan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Sistem Agroforestri dan Penerapan Teknik Konservasi Sebagai Pendukung Usahatani Berkelanjutan . . . . . . . . . . . . . Kualitas Tanah Sebagai Indikator Dampak Dari Perubahan Pengelolaan Lahan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Kapasitas Penyangga (Soil Resistance) dan Pemulihan Tanah (Soil Resilience) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Analisis Usahatani . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
8 9 11 23 27 31 34 39
METODE PENELITIAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
45
Waktu dan Keadaan Umum Tempat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Pengumpulan dan Analisis Data . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Kualitas Tanah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Dinamika Erosi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . Stok Karbon Vegetasi dan Penutupan Tanah . . . . . . . . . . . . . . . . Analisis Statistik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Analisis Usahatani dan Optimalisasi Penggunaan Lahan . . . . . . .
45 46 47 48 52 53 54
HASIL DAN PEMBAHASAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
60
Kualitas Tanah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Stok Karbon Vegetasi dan Penutupan Permukaan Tanah . . . . . . . Aliran Permukaan dan Erosi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Analisis Usahatani Kakao . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Pengelolaan Usahatani yang Berkelanjutan. . . . . . . . . . . . . . . . . .
60 71 75 87 96 xi
KESIMPULAN DAN SARAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
101
Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Saran. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
101 102
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
103
LAMPIRAN. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
112
xii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Karakteristik bahan organik tanah dan efeknya terhadap tanah ............................ ..........................................................
17
Klasifikasi sifat-sifat tanah yang berkontribusi terhadap kualitas tanah didasarkan atas kepermanenannya dan tingkat kepekaannya terhadap pengelolaan..........................................
33
3
Dosis Pemupukan pada berbagai Umur Kakao .......................
38
4
Parameter pengamatan dan metode analisis .........................
46
5
Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao terhadap kadar C-organik tanah.....................................
61
Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao terhadap indeks stabilitas agregat tanah ......................
63
Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan lahan kakao terhadap bobot isi dan porositas tanah ................
64
Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao terhadap permeabilitas tanah (cm jam-1) ......................
66
Korelasi C-organik dengan sifat-sifat tanah pada alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao............................................
66
Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao terhadap kandungan N dan P2O5 tanah.........................
68
Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanain dan kakao terhadap kandungan Ca, Mg, dan K (mmol kg-1) tanah
69
Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao terhadap total C-mik tanah ....................................
71
Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan lahan kakao terhadap stok karbon...................................
72
Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian terhadap total karbon lantai lahan....................................................................
73
Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian terhadap penutupan permukaan lahan
74
Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao terhadap aliran permukaan .....................................
77
Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao terhadap erosi ...............................................................
78
2
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Korelasi antara sifat fisik tanah terhadap erosi dan aliran xiii
permukaan akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao ...............................................................
79
Konsentrasi sedimen dan hara dalam erosi akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian........................................
80
Konsentrasi sedimen dan hara dalam erosi akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao ...........................................
80
Kehilangan C-organik, N dan P2O5, K, Ca dan Mg melalui sedimen erosi akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanin.....................................................................................
81
Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao terhadap kehilangan C-organik N, P2O5, K, Ca dan Mg yang terbawa erosi............................................................................
82
Hasil simulasi erosi pada berbagai skenario (jenis tanaman, umur tanaman kakao dan agroteknologi) ................................
87
Hasil analisis sensifitas usahatani kakao dengan agroteknologi (PB, M dan R) akibat fluktuasi harga, produksi dan biaya produksi .................................................
89
Dinamika tingkat kelayakan usahatani kakao pada tiga kondisi pengelolaan..................................................................
91
26
Aliran Kas Usahatani Kakao di DAS Nopu per Ha.........................
93
27
Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di DAS Nopu............................
94
28
Hasil simulasi usahatani pada berbagai tanaman dan umur kakao dengan aplikasi agroteknologi .....................................
100
19 20 21
22
23 24
25
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Bagan alir kerangka pikir penelitian .........................................
7
2
Skema fraksionasi bahan organik tanah/humus. ........................
16
3
Ilustrasi hubungan antara soil resistance dan soil resilience dengan kualitas tanah..................................................................
35
Ilustrasi pengaruh dari gangguan, resistensi dan resilensi terhadap fungsi-fungsi tanah ......................................................
36
Peta Prov. Sulawesi Tengah (a), Taman Nasional Lore Lindu (b) dan DAS Nopu (c) ................................................................
45
6
Plot pengamatan erosi dan aliran permukaan. ............................
49
7
Dinamika rasio pengayaan N, C dan P akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian (a) dan kakao (b) ................... Dinamika pendapatan dan biaya pengelolaan usahatani pada berbagai tingkatan umur tanaman kakao pada kondisi eksisting
4 5
8 9 10
11
84 91
Tingkat pendapatan dan luas lahan uahatani yang dibutuhkan untuk memenuhi KHL pada berbagai umur kakao (eksisting) ..
94
Dinamika biaya pengelolaan (Rp/ha/tahun) usahatani kakao umur 1 - 15 tahun........................................................................
95
Dampak agroteknologi terhadap pendapatan usahatani kakao
97
xv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Dena petak penelitian alih guna lahan hutan . . . . . . . . . . . . . . .
112
2
Klasifikasi erosi menurut Hammer (1981) . . . . . . . . . . . . . . . .
113
3
Kriteria tingkat kritis sifat-sifat fisik dan kimia tanah (Lal, 1984 dalam Shukla, Lal dan Ebinger, 2004) . . . . . . . . . . . . . . .
113
Kriteria kesesuaian lahan berdasarkan nilai kumulatif indeks lahan dari 11 indikator pada lampiran 7 (Lal, 1994) . . . . . . . . .
113
5
Kriteria permeabilitas menurut survei tanah Amerika Serikat . .
114
6
Klasifikasi indeks stabilitas agregat tanah . . . . . . . . . . . . . . . .
114
7
Hasil pengukuran curah hujan periode Juni 2005 hingga Mei 2006 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
114
Erosi yang dapat ditoleransi pada berbagai penggunaan lahan di DAS Nopu . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
115
9
Komposisi tekstur tanah (%) tanah daerah penelitian. . . . . . . .
116
10
Kriteria penilaian sifat kimia tanah (Staf Pusat Penelitian Tanah Bogor, 1983) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
116
Analisis NPV, IRR dan B/C rasio usahatani kakao pada tiga kondisi pengelolaan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
117
Rekapitulasi analisis pendapatan usahatani kakao pada 3 kondisi pengelolaan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
120
13
Rata-rata biaya pemeliharaan rutin kakao. . . . . . . . . . . . . . . . . .
123
14
Kriteria kualitas tanah modifikasi (FAO,1979) . . . . . . . . . . . .
124
15
Korelasi antar parameter pengamatan . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . .
125
16
Nilai faktor kedalaman sub order tanah (Arsyad, 2000) . . . . . .
126
17
Pengaruh temperatur terhadap pembentukan tanah (Arsyad, 2000) .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
126
4
8
11 12
18
Kedalaman tanah minimum untuk pertumbuhan tanaman (Arsyad, 2000) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . .
127
xvi
Penguji Luar Komisi : 1. Dr. Ir. Silver Hutabarat, M.Sc. (Direktur Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosisal Departemen Kehutanan RI) 2. Dr. Ir Suria Darma Tarigan, M.Sc. (Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Faperta, IPB)
xvii
PENDAHULUAN Latar belakang Hutan merupakan salah satu bentuk penggunaan lahan, berupa aneka pepohonan dan semak sehingga membentuk tajuk berlapis. Hutan yang demikian mampu mempertahankan tanah dari proses kerusakan akibat erosi. Sejumlah hasil penelitian telah mengungkapkan berbagai dampak dari alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian atau peruntukkan lainnya (Kang dan Juo, 1986; Lal dan Eliot, 1994; Juo et al., 1995; Dariah et al., 2004), namun bila kebutuhan akan lahan begitu mendesak, konversi lahan hutan sangat sulit untuk dihindari. Pertumbuhan penduduk yang tinggi menuntut penyediaan lahan untuk perumahan dan lahan usaha/lapangan pekerjaan. Akibat kurang berkembangnya lapangan pekerjaan diluar sektor pertanian, maka orientasi masyarakat di pedesaan untuk dapat memenuhi kebutuhannya umumnya dengan membuka lahan pertanian baru. Orientasi masyarakat untuk membuka areal pertanian baru juga terjadi karena rendahnya hasil pertanian yang diperoleh per satuan luas, sehingga untuk memenuhi kebutuhan dilakukan perluasan kepemilikan lahan. Kasus demikian terjadi juga di Provinsi Sulawesi Tengah dimana alih guna lahan kawasan hutan tergolong tinggi khusunya untuk budidaya kakao. Penebangan pepohonan besar-besaran dan serentak di hutan maupun di perkebunan baik secara legal maupun illegal (penjarahan), akibatnya sama saja yaitu terbukanya permukaan tanah pada saat yang sama. Dengan demikian sinar matahari mengenai permukaan tanah secara langsung, terjadi percepatan prosesproses reaksi kimia dan biologi, salah satunya adalah penguraian bahan organik tanah (dekomposisi). Sebaliknya, air hujan yang jatuh selama musim penghujan tidak ada lagi tajuk yang menghalangi sehingga
secara langsung mencapai
permukaan tanah yang berakibat pada pecahnya agregat tanah, meningkatnya aliran permukaan dan sekaligus mengangkut partikel tanah dan bahan-bahan lain. Kondisi ini terbukti ketika sebagian dari Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) pada tahun 2000, khususnya di sekitar Dongidongi dirambah oleh masyarakat dan menjadikannya areal pemukiman dan pertanian, dalam selang tiga tahun kemudian terjadi banjir dan erosi yang sangat besar. Dampak negatif dari alih
2 guna lahan secara tak terkendali ini dapat dilihat dari kerusakan yang ditimbulkan oleh banjir, yakni terjadi longsor dibeberapa tempat, melebarnya sungai akibat pengikisan, hanyutnya jembatan dan terputusnya jalan raya serta tertimbunnya sawah oleh erosi dan longsoran. Kerusakan tanah yang disebabkan oleh ulah manusia adalah penurunan kapasitas tanah dalam mendukung kehidupan (Rapa-FAO, 1993) baik saat ini atau saat yang akan datang (Oldeman, 1993). Selanjutnya dikemukakan bahwa kerusakan tanah adalah hilangnya atau menurunnya fungsi tanah, baik sebagai sumber unsur hara tumbuhan maupun sebagai matrik tempat akar tumbuhan berjangkar dan tempat air tersimpan (Arsyad, 2000). Dalam definisi tersebut, terkandung pengertian tanah rusak adalah tanah yang telah menurun kemampuannya dalam mendukung kehidupan manusia. Penurunan kemampuan tanah dalam mendukung pertumbuhan dan produksi tanaman merupakan dampak dari penurunan kemampuan tanah dalam mensuplai unsur hara dan air maupun sebagai media tumbuh yang menyediakan ruang bagi akar untuk berkembang. Agroforestri kakao yang sudah berkembang dapat menjadi sarana konservasi tanah dengan peranan mengintersepsi air hujan dan mengurangi tenaga terpaan (energi kinetik) air hujan. Selain itu, juga dapat membentuk lapisan serasah di permukaan tanah. Agroforestri kakao pada umumnya menggunakan tanaman naungan (shade tree), menyebabkan terbentuknya tajuk tanaman yang bertingkat (sistem multistrata), dengan sistem ini, kebun kakao dapat menyerupai hutan. Meskipun demikian, terdapat masa kritis dalam sistem usahatani kakao khususnya pada saat tingkat penutupan lahan oleh tanaman kakao dan serasah yang dihasilkannya masih relatif rendah. Kondisi tersebut menjadi sangat beresiko karena kakao banyak ditanam pada lahan berlereng curam, seperti yang terjadi di DAS Nopu. Di daerah ini tanaman kakao umumnya ditanam pada lahan dengan kemiringan curam. Rata-rata curah hujan tahunan yang tergolong tinggi (>2000 mm/tahun), dengan demikian peluang terjadinya degradasi lahan yang disebabkan oleh erosi sangat besar. Erosi diperkirakan
merupakan penyebab utama kerusakan tanah di
perkebunan kakao, utamanya pada areal yang kemiringannya cukup tinggi. Kerusakan tanah juga dapat terjadi karena menurunnya kadar bahan organik dan
3 hilangnya atau berkurangnya unsur hara melalui panen dan pencucian. Rendahnya kadar bahan organik tanah tersebut disebabkan oleh proses dekomposisi bahan organik di daerah tropika yang relatif sangat cepat. Verstraete (1989) menyatakan bahwa laju dekomposisi bahan organik tanah di daerah tropika basah jauh lebih cepat dibandingkan dengan di daerah beriklim sedang. Faktor suhu dan kelembaban yang lebih sesuai untuk perkembangan organisme dekomposer, sehingga tanah di daerah tropika basah kehilangan bahan organik lebih cepat jika dilakukan pembukaan lahan. Kehilangan hara melalui panen dan pencucian serta terhanyutnya sejumlah hara seperti NPK dan bahan organik bersamaan dengan terjadinya erosi turut berperan penting dalam proses degradasi kualitas tanah. Proses pembukaan lahan hutan menjadi kebun kakao umumnya dilakukan dengan cara tebang bakar dan pembersihan permukaan tanah. Kegiatan ini diduga sebagai penyebab rusaknya struktur tanah baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Kerusakan struktur tanah akan berdampak terhadap penurunan jumlah porositas tanah dan lebih lanjut akan diikuti penurunan laju infiltrasi permukaan tanah dan peningkatan limpasan
permukaan. Kerusakan struktur tanah yang
demikian akan menyebabkan berubahnya pola aliran air di dalam sistem tanah. Kerusakan struktur tanah nampak pada penurunan kestabilan agregat tanah sebagai akibat dari pukulan air hujan dan kekuatan limpasan permukaan. Penurunan kestabilan agregat tanah berkaitan dengan penurunan kandungan bahan organik tanah, aktivitas perakaran tanaman dan mikroorganisme tanah. Penurunan ketiga agen pengikat agregat tanah tersebut akan menyebabkan agregat tanah relatif mudah pecah menjadi partikel yang lebih kecil yang mudah terangkut oleh agen pengangkut yakni air hujan. Kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya erosi sangat besar sekali. Agregat atau partikel-partikel yang halus akan terbawa aliran air ke dalam tanah
sehingga
menyebabkan
penyumbatan
pori
tanah.
Akibat
proses
penyumbatan pori tanah, porositas tanah, distribusi pori tanah, dan kemampuan tanah untuk mengalirkan air mengalami penurunan dan sebaliknya limpasan permukaan akan meningkat.
4 Pembangunan pertanian berkelanjutan mensyaratkan pengelolaan lahan berkualitas tinggi dan sesuai dengan kapasitas lahan dan memperlakukan lahan tersebut dengan bijaksana agar kegiatan usahatani yang dilakukan dapat memberikan pendapatan yang cukup tinggi kepada petani dan degradasi sumber daya lahan dan lingkungan dapat diminimalkan. Degradasi sumber daya lahan dan lingkungan akibat kegiatan usahatani yang dilakukan tanpa penerapan teknik-teknik konservasi tanah dan air secara signifikan telah menurunkan produktivitas dan pendapatan usahatani (on site effect) dan menurunkan kualitas sumber daya lingkungan di wilayah lain yang dipengaruhinya (off site effect). Kakaonisasi
merupakan
penomena
ekonomi
yang
sangat
penting
dipedesaan sejak terjadinya krisis ekonomi nasional yang terjadi sejak pertengahan 1997. Akibatnya pembukaan lahan hutan tejadi dimana-mana. Sunderlin et al. (2000) menunjukkan bahwa dalam rentang waktu 1997 – 1999, pembukan lahan hutan terbesar terjadi di Kalimatan Barat dan Timur, Riau, Jambi, dan Lampung. Di daerah Sulawesi Tengah juga telah terjadi alih guna lahan hutan, khusus pada Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) diperkirakan sekitar 3500 ha lahan hutan di Dongi-dongi dan sepanjang garis batas bagian Utara TNLL telah dialih gunakan sebagai lahan pemukiman dan pertanian khususnya kakao (Montesari, 2002). Selain dirambah, secara resmi pemerintah juga memberikan izin kepada pihak investor swasta untuk membangun perekebunan. Dalam kawasan TNLL ada 8 perusahaan yang mengelola sekitar 13.813 ha lahan perkebunan, yang terdiri atas kopi 5.400 ha, kakao 298 ha, cengkeh 375 ha dan lainnya 7.740 ha (Hikam, 2002). Begitu besarnya desakan kebutuhan manusia, khususnya sebagai sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan primer seperti pangan, papan dan sandang keluarga, maka alih guna lahan hutan menjadi agroforestri menjadi alternatif. Agroforestri
dapat mengurangi kemungkinan terjadinya degradasi lahan,
mempertahankan fungsi hidrologis dan sekaligus memberikan tambahan pendapatan bagi petani (de Foresta et al., 2000). Jika dikelola dengan baik kebun kakao merupakan sistem usahatani yang dapat mengarah ke sistem agroforestri. Dengan sistem agroforestri diharapkan
5 dampak negatif dari alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao dapat dikurangi. Sistem agroforestri kakao selain memiliki fungsi produksi, juga mempunyai fungsi jasa lingkungan terutama berkaitan dengan pengendalian erosi, serta pemeliharaan dan perbaikan kualitas tanah. Untuk itu perlu dilakukan penelitian sejauhmana hal-hal yang terjadi sehubungan dengan perubahan penggunaan hutan menjadi lahan pertanian umumnya dan khususnya kakao/agroforestri kakao. Dalam hal ini yang menjadi fokus kajian adalah dinamika erosi, kualitas tanah dan pendapatan petani akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao/agroforestri kakao Kerangka Pikir Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian seperti jagung, kacang tanah, kakao/agroforestri kakao selain mengakibatkan berkurangnya hutan, juga akan meyebabkan berubahnya tingkat penutupan lahan. Perubahan ini akan berpengaruh terhadap total karbon tegakan, kontribusi serasah di atas tanah, cadangan bahan organik tanah dan daya sanggah lahan terhadap faktor iklim terutama hujan dan sinar matahari yang ekstrim. Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian berpengaruh pada kualitas tanah. Kondisi lahan yang terbuka ketika awal penanaman kakao, pertanaman jagung dan kacang tanah akan menjadi sumber erosi bila tidak dilakukan secara bijaksana. Lahan hutan umumnya memiliki kualitas tanah yang setabil, namun setelah dialihkan menjadi lahan pertanian maka akan terjadi penurunan kualitas tanah. Kondisi ini akan lebih parah lagi apabila dalam proses pengelolaannya tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi. Hal ini akan menyebabkan lahan rentan terhadap erosi dan kehilangan hara. Proses budidaya tanaman yang dilakukan oleh petani seperti pengolahan tanah, pemeliharaan tanaman dan panen akan mengakibatkan pemadatan tanah. Keadaan tersebut akan berdampak negatif pada kapasitas tanah dalam menyerap air ketika terjadi hujan. Efek lanjutan dari hal tersebut akan menyebabkan aliran permukaan yang besar. Bertambahnya jumlah penduduk di perdesaan menuntut adanya lapangan pekerjaan salah satunya dibidang pertanian. Namun karena terbatasnya lahan yang
6 dapat dikonversi menjadi lahan pertanian maka lahan hutan lindungpun kemudian dijarah. Padahal sebelumnya sebagian masyarakat sudah memanfaatkan hutan tersebut sebagai tempat pemungutan hasil hutan seperti rotan dan damar. Namun pekerjaan tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga tani.
Kondisi
inilah
yang
mendorong
petani
disekitar
TNLL
untuk
mengalihgunakan lahan hutan menjadi lahan pertanian khususnya kakao. Apabila hasil penelitian menunjukkan degradasi kualitas tanah, erosi melebihi ambang yang ditoleransi dan pendapatan tidak mencukpi kebutuhan hidup layak, maka diperlukan penerapan agroteknologi pertanian, teknik konservasi tanah dan air yang memadai dan secara ekonomis menguntungkan. Sesuai dengan uraian tersebut maka secara ringkas kerangka pikir penelitian disajikan pada Gambar 1. Hutan
Jagung
Kacang Tanah
Agroforestri Vanili
Stokl Karbon Erosi ≤ ETol
ya
tidak
Kakao/Agroforestri kakao
Kualitas Tanah Agroteknologi Altenatif
tidak
Pendapatan ≥ KHL
ya
Skenario Optimalisasi Sosial & Budaya
Paket Agroteknologi
Rekomendasi Pengelolaan. Berkelanjutan
Gambar 1 Bagan alir kerangka pikir penelitian
7 Tujuan Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis dampak alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian terhadap kualitas tanah. 2. Mengkaji dinamika aliran permukaan dan erosi yang terjadi pada alih guna lahan hutan menjadi berbagai lahan pertanian dan kakao/agroforestri kakao 3. Menganalisis dinamika pendapatan petani akibat
alih guna lahan hutan
menjadi lahan pertanian. 4. Merumuskan rencana pengelolaan lahan yang berkelanjutan berdasarkan erosi yang diperkenankan (ETol) dan
pendapatan yang dapat memenuhi
kebutuhan hidup layak (KHL) Hipotesis 1. Kualitas tanah akan menurun pada awal alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian/awal pertanaman kakao tetapi kemudian akan meningkat dengan berkembangnya agroforestri kakao. 2. Erosi meningkat pada alih guna lahan hutan menjadi berbagai lahan pertanian 3. Erosi yang terjadi pada lahan usahatani kakao umur <3 tahun berada di atas ambang batas erosi yang diperbolehkan (tolerable soil loss) dan laju erosi akan berkurang dengan berkembangnya kakao/agroforestri kakao. 4. Alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao/agroforestri kakao dapat meningkatkan pendapatan petani. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi pengambil kebijakan, peneliti dan petani dalam perencanaan dan pengembangan pertanian berkelanjutan khususnya kakao di Sulawesi Tengah. Kebaharuan Penelitian Kebaharuan penelitian ini memberikan informasi antara lain : 1. 2. 3. 4. 5.
Kualitas tanah akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao Kebutuhan hidup layak bagi setiap keluarga petani kakao di daerah penelitian. Erosi dan aliran permukaan akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao Stok karbon pada sistem pertanian kakao/agroforestri kakao Produksi dan pendapatan usahatani kakao per satuan luas per tahun
TINJAUAN PUSTAKA Tanah Hutan Tanah hutan adalah tanah yang terbentuk di bawah pengaruh gabungan antara mikroorganisme
dengan penutup hutan (forest cover).
Tanah hutan
dicirikan oleh adanya pengaruh dari perakaran pepohonan, gabungan dari berbagai organisme spesifik dengan vegetasi hutan, siklus hara
dari antara
gabungan komponen tegakan hutan serta pencucian dan lapisan humus yang keberadaannya terpelihara oleh proses dekomposisi serasah yang berlangsung terus menerus (Brown, 1997). Di dalam lahan hutan, akar-akar hidup lebih lama dibanding dengan lahan tanaman semusim ataupun padang rumput. Tambahan sisa tanaman setiap tahunnya sebagian besar terdiri dari daun dan ranting yang jatuh ke permukaan minjadi tumpukan bahan organik terus sepanjang tahun yang melindungi tanah dari tetesan air hujan. Hasil penelitian menunjukan bahwa produksi/penambahan serasah
setiap tahun pada tegakan hutan Hopea bancana V.SI. dan Shorea
balangeran Burck. di hutan penelitian Darmaga
Bogor diperoleh
15,17
ton/ha/thn,yang terdiri atas daun 11,29 ton/ha/thn, cabang dan ranting 3.10 t/ha/thn, serasah reproduksi bunga dan buah 0,02 t/ha/thn, dan serasah kulit puhon dan lainnya 0,77 t/ha/thn. Dibawah tegakan Shorea balangeran Burck diperoleh serasah 6,92 t/ha/thn, terdiri atas daun 5,01 t/ha/thn, dahan dan ranting 1,25 t/ha/thn dan organ reproduksi 0,002 t/ha/thn dan serasah kulit pohon dan lainnya sebesar 0,65 t/ha/thn (Amelia, 2006). Budiarti (2004). Menemukan bahwa pada zona montana yakni pada ketinggian 1500 – 2400 dpl diperoleh serasah sebesar 4,91 t/ha/thn yang terdiri atas
serasa daun 3,78 ton/ha/thn, ranting dan cabang 0,46 t/ha/thn, organ
reproduksi 0,51 t/ha/thn dan kilit pohon dan lainnya sebesar 0,16 t/ha/thn. Berat vulume tanah meningkat dari hutan primer (HP) menjadi bekas tebangan yakni dari 1,02 – 1,39 g/cm3, sebaliknya porositas menurun. Lahan HP memiliki porositas stabil yakni 77,75 dan terus menurun
pada areal bekas
tebangan. Stabilitas agregat dipengaruhi kandungan liat, hasil penelitian lain menunjukkan bahwa kandungan bahan organik berpengaruh positif terhadap stabilitas agregat tanah (Idawu, 2003). Selanjutnya dikemukakan bahwa kadar C
9 organik dan N relatif tidak berbeda yakni sekitar 1,22 – 2,20 % dan 0,12 – 0,20 % pada kedalaman 0-10 cm dan semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman (10-20 cm) pada kedua unsur tersebut. Hasil penelitian Sulistyono (2006) menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata terhadap N tersedia antara bekas hutan dengan hutan primer. Kandungan NO3 hutan primer rata-rata 566,37 mg/kg, bekas tebangan 256,22 mg/kg, tanaman umur 3 tahun 285,88 mg/kg, tanaman umur 5 tahun 334,43 mg/kg dan tanaman umur 7 tahun 350,61 mg/kg. Sedangkan NH3 antara 54,81 mg/kg; 39,93 mg/kg; 32,10 mg/kg; 35,23 mg/kg dan 35,24 mg/kg. Sebagian sisa-sisa bahan organik dirombak di atas permukaan kemudian mikroba tanah memindahkan dan mencampur dengan tanah bagian atas yang relatif tipis (top soil). Di dalarn hutan dengan pohon-pohon besar yang keras dimana cacing-cacing tanah aktif, ditemukan 81 ton bahan organik per hektar terdapat pada kedaman 15 cm pada tanah lapisan atas (horison A) dan kemudian hanya 25 t/ ha pada lapisan tanah dengan kedalaman 15 cm. Hasil penelitian sebelumnya mengklasifikasi tanah di DAS Nopu dengan menggunakan sistem klasifikasi tanah USDA, di peroleh bahwa daerah DAS Nopu terbentuk dari tanah dengan ordo Inceptisols dan Entisols dengan Subgroup Humitropepts dan Eutropepts pada bahagian hulu dan bahagian hilir didominasi oleh Thopoquepts dan Thopofluvents (Gerold dan Murtilaksono, 2003). Menurut Hardjowigeno (1993)
tanah dengan Greatgrup Humitropepts dan Eutropepts
adalah tanah yang pembentukannya pada tingkat pemula (inceptum) dengan kondisi suhu tropis (trop) yang hangat yang kaya bahan organik atau humus (hum) dan tanah yang subur dengan kandungan basa yang tinggi (eutrophic). Sedangkan pada bagian hilirnya pembentukannya permulaan
sebagian adalah tanah yang tingkat
yang selalu basah dan tanah baru terbentuk
(Entisols) pada dataran banjir yang tertimbun atau berlapis-lapis.
Konsep Degradasi Lahan Degradasi adalah penurunan kualitas lahan dan produktivitas potensial dan atau pengurangan kemampuannya, baik secara alami atau karena pengaruh manusia. Degradasi lahan secara ekstrim dapat menyebabkan lahan tidak dapat
10 berproduksi sama sekali baik secara alami maupun dengan pengelolaan. Oleh karena besarnya variasi, maka degradasi lahan mengalami perkembangan dalam fase-fase yang menunjukkan tingkatan keparahan sebelum mencapai suatu kondisi ekstrim (Seybold el al., 1999).
Menurut Lal (1986) salah satu penyebab
terjadinya degradasi lahan adalah degradasi tanah yang dapat menyebabkan hilangnya produksi jangka panjang. Secara umum penyebab degradasi lahan dapat dikelompokkan menjadi : 1) aktivitas pertanian : penebangan hutan, pengolahan tanah yang berlebihan, penanaman menurut arah lereng yang monokultur dan tanpa azas konservasi, penggunaan pestisida yang berlebihan; 2) urbanisasi:limbah kota dan konversi lahan ke nonpertanian; 3) aktivitas industri: limbah industri dan hujan asam (Lal, 1986). Dalam penelitian ini penyebab terjadinya degradasi adalah penebangan hutan dan pengolahan tanah tidak sesuai dengan kapasitasnya. Degradasi tanah yang terjadi akibat erosi air terjadi dalam tiga bentuk yakni fisik, kimia dan biologi tanah. Degradasi fisik terjadi akibat adanya penebangan hutan, penanaman intensif tanpa atau hanya dengan input hara rendah, sedangkan degradasi kimia diakibatkan oleh penggaraman atau pemasaman tanah. Degradasi biologi dicirikan oleh penurunan produksi dan kandungan bahan organik tanah (Lal, 1995). Pembangunan yang berkelanjutan adalah suatu upaya pembangunan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui optimalisasi pernanfaatan sumber daya alam untuk generasi saat ini dan generasi mendatang. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya alam dilakukan sesuai dengan daya pulih alam (natural regenerating) untuk sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan pemanfaatan yang optimal sesuai dengan umur teknisnya untuk sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources). Adanya konvergensi antara kepuasan manusia yang tidak terbatas dan ketersediaan sumber daya yang terbatas menyebabkan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem dan lingkungan (Soemarwoto, 1978). Pembangunan pertanian berkelanjutan mensyaratkan penggunaan lahan sesuai dengan kapasitas daya dukung lahan dan memperlakukan lahan tersebut dengan cara-cara yang bijaksana agar kegiatan usahatani yang dilakukan dapat
11 memberikan pendapatan yang cukup tinggi kepada petani dan degradasi sumber daya lahan dan lingkungan dapat diminimalkan. Degradasi sumber daya lahan dan lingkungan akibat kegiatan usahatani yang dilakukan tanpa penerapan teknik-teknik konservasi tanah dan air secara signifikan telah menurunkan produktivitas dan pendapatan usahatani (on site effect) dan menurunkan kualitas sumber daya lingkungan di wilayah lain yang dipengaruhinya (off site effect). (Freebairn. 2004a; Soemarwoto, 1978 ) Dinamika proses perubahan di dalam DAS (daerah aliran sungai) akibat kegiatan manusia dicerminkan oleh respons perubahan aliran permukaan (surface run off), aliran bawah permukaan (sub surface flow), aliran air bumi (ground water flow), serta proses erosi dan sedimentasi yang dihasilkannya. Eksploitasi sumber daya alam yang berlangsung sangat intensif dewasa ini telah rnenyebabkan berbagai bentuk aktivitas pembangunan yang dilakukan di dalam suatu wilayah (DAS) sering tidak memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkannya. Kerusakan DAS yang disebabkan oleh penebangan hutan yang tak terkendali, perladangan berpindah, kegiatan usahatani/penggunaan lahan yang tidak menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, serta pembangunan perumahan dan industri yang luas di daerah resapan air telah menyebabkan berubahnya fungsi hidrologi DAS, sehingga pada musim hujan terjadi banjir dan pada musim kemarau, air menjadi semakin langka. Peningkatan laju erosi dan sedimentasi akan mempercepat pengkayaan badan-badan air (eutrofikasi), pedangkalan sungai dan waduk sehingga umur teknis bangunan tersebut menjadi berkurang dan biaya pemeliharaannya semakin meningkat (Arsyad, 2000).
Dampak Alih Guna Lahan Hutan Alih guna lahan hutan di daerah tropis menjadi lahan pertanian merupakan suatu hal yang umum terjadi, mengingat sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Isu degradasi hutan tropis yang terus menerus berlangsung dengan tak terkendali sebagaimana terjadi di Indonesia, mengundang kontroversi masyarakat Intenasional. Di Indonesia laju degradasi hutan rata-rata 1.871.000 ha/tahun atau sekitar 2% per tahun dari luas hutan yang tersisa 88.495.000 ha pada tahun 2005.
Laju deforestasi di Indonesia rata-rata 51
12 km2/hari (setara 300 lapangan sepakbola per jam), merupakan rekor tertinggi dibanding dengan negara lainnya. Selanjutnya FAO melaporkan bahwa dari 44 negara di dunia yang secara kolektif
memiliki
sekitar 90% hutan dunia,
Indonesia merupakan pemegang rekor tercepat dalam penghancuran hutan. Kemudian negara tercepat kedua dalam penghancuran hutan adalah Zimbabwe 1,7 % per tahun (rata-rata 313.000 ha/tahun) dari luas 17.540.000 ha hutan yang tersisa, kemudian disusul pada urutan ketiga oleh Myanmar dengan
laju
pengrusakan hutan 1,4 % per tahun (rata-rata 466.000 ha/tahun) dari total luas hutan 32.222.000 ha pada tahun 2005. Sebenarnya penghancuran hutan paling besar terjadi di Negara Brasil yakni sekitar
3.103.000 ha/tahun, namun
presentasenya hanya sekitar 0,6 % dari luas hutan yang tersisa seluas 477.698.000 ha di tahun 2005 (Kompas, 4 Mei 2007) 1) Konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian diawali dengan penebangan vegetasi hutan yakni menyingkirkan hampir semua tanaman/kayu-kayuan yang pada mulanya menutup permukaan tanah dengan relatif rapat. Sebagai akibat dari aktifitas ini permukaan tanah menjadi terbuka dan mendapat pengaruh langsung dari radiasi matahari dan curah hujan. Para ahli pengelolaan tanah memberikan
argumen
bahwa dengan
teknologi canggih, kestabilan ekosistem yang tergolong rapuh (fragile) akan tetap dapat terpelihara setelah hutan tersebut berubah guna menjadi lahan pertanian dan produktivitas lahan secara ekonorni dapat berlanjut melalui pengelolaan lahan yang tepat, sementara pihak lain mengkhawatirkan akan terjadinya bencana dan penurunan kualitas lahan yang cepat segera setelah dilakukan pembukaan dan pembudidayaan lahan hutan (Lal, 1986). Beberapa hasil penelitian tmenunjukkan bahwa berbagai dampak negatif dari dilakukannya pembukaan lahan hutan, di antaranya adalah terjadinya perubahan water halance. Contoh analisis data hidrologi untuk sub-DAS Way Besay serta kecenderungan curah hujan total tahunan dari tahun 1975 sampai tahun 1998 menunjukkan bahwa dengan semakin menyempitnya luas hutan dari tahun ke tahun, jumlah hari dalam setahun yang debit airnya melebihi kriteria tertentu (dalam hal ini 15, 25 dan 35 m3/detik) makin meningkat, walaupun curah 1)
KOMPAS, 4 Mei 2007. Indonesia Masuk Rekor Dunia, Tercatat sebagai penghancur hutan tercepat di dunia.. Penerbit PT Kompas Media Nusantara, Jakarta.
13 hujan tahunan cenderung menurun. Ini berarti bahwa debit sungai meningkat dengan berkurangnya luas hutan. Peningkatan ini dapat dihubungkan dengan berkurangnya intersepsi tajuk pohon-pohonan, sehingga makin banyak air hujan yang jatuh langsung ke permukaan tanah, berkurangnya infiltrasi air ke dalam tanah karena kerusakan struktur tanah lapisan atas pada lahan bekas hutan. Dalam keadaan ekstrim, apabila hutan dibuka pada. areal yang luas, akan meningkatkan kemungkinan terjadinya banjir. Berkurangnya penutupan lahan, baik oleh tajuk maupun serasah tanaman menyebabkan teradinya peningkatan daya rusak tetesan hujan, sehingga tingkat bahaya erosi menjadi lebih tinggi. Dilaporkan bahwa hubungan antara erosi dengan penebangan hutan, yaitu erosi dari suatu DAS kecil di Guyana Perancis meningkat secara drastis setelah dilakukannya penebangan hutan. Hasil penelitian yang dilakukan pada skala petak kecil juga menunjukkan bahwa penebangan vegetasi alami telah menyebabkan terjadinya peningkatan koefisien runoff 25-100 kali, sementara itu erosi meningkat pula sampai lebih dari 10 kali lipat (Roose, 1986). Permukaan tanah yang menjadi lebih terbuka menyebabkan pula terjadinya fluktuasi suhu dan regim kelembaban tanah menjadi lebih besar. Hal ini menyebabkan terjadinya percepatan penurunan kadar bahan organik tanah (Lal, 1994). Dampak lain dari pembukaan lahan hutan adalah terjadinya peningkatan pelepasan
karbon
(carbon
release),
sehingga
menyebabkan
terjadinya
peningkatan kadar C02 di atmosfir. Pembukaan hutan juga dapat menyebabkan perubahan iklim mikro, diantaranya ditunjukkan oleh perbedaan nilai kelembaban relatif (Palm et al., 1986). Dampak alih guna lahan hutan terhadap kehilangan unsur hara Beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa tanah-tanah padang rumput dibanding tanah di bawah tegakan hutan mempunyai perbedaan: 1) bahwa bahan organik dalam profil tanah padang rumput sekitar dua kali lebih banyak dibanding tanah hutan, 2) suatu penurunan bahan organik bertahap dengan meningkatnya kedalaman tanah (Foth, 1988).
Penjelasan tentang perbedaan
dalarn jumlah dan penyebaran bahan organik di tanah hutan dan di tanah-tanah
14 padang rumput dihubungkan dengan perbedaan dalarn pertumbuhan tanaman dan bagaimana sisa-sisa tanaman akan bergabung kedalarn tanah. Akar-akar rumput, hidup dalarn waktu yang singkat dan setiap tahun perombakan akar-akar yang mati mendukung besarnya humifikasi bahan organik, serta
banyaknya akar
menurun secara bertahap dengan meningkatnya kedalaman tanah. Kondisi menjadi lain ketika lahan hutan dikonversi menjadi lahan pertanian.
Pada keadaan ini yang terjadi adalah pembersihan semua bahan
organik yang ada dipermukaan tanah (land clearing) yang biasanya dilakukan dengan pembakaran, sehingga terjadi degradasi bahan organik yang dipercepat. Bahan organik asal residu tanaman mengandung, bermacam-macam unsur hara yang dapat dimanfaatkan kembali oleh tanaman. Residu organik dari setiap jenis tanaman dapat memiliki komposisi hara yang berbeda-beda. Kualitas setiap residu tanaman sebagai sumber unsur hara tergantung pada kadar unsur hara dan tingkat kemudahan dekomposisi serta mineralisasinya. Unsur hara yang terkandung dalam residu organik baru dapat dimanfaatkan oleh tanaman apabila telah mengalami dekomposisi dan mineralisasi. Kedua sifat tersebut berkaitan erat dengan proporsi antar unsur hara dalam residu organik. Cobo et al. (2002a) menunjukkan bahwa pembenaman bahan organik berupa pupuk hijau sebelum penanaman padi meningkatkan kadar NH4+, N03- maupun N total dalam tanah. Jenis bahan organik yang lebih lambat dekomposisinya (laju pelepasan N lebih lambat) menunjukkan pengaruh yang lebih lama terhadap tanaman pokok, sehingga menyebabkan serapan N oleh tanaman pokok lebih tinggi dibandingkan dengan bahan organik yang cepat terlapuk. Bahan organik yang cepat lapuk melepaskan sebagian besar N sebelum tanaman pokok mampu menyerapnya. Selanjutnya dinyatakan oleh Cobo et al. (2002b) bahwa korelasi yang tinggi antara kualitas bahan organik dengan laju pelepasan unsur N pada parameter nisbah lignin/N (r = -0.71 dan nisbah (lignin + polifenol)/N (r = - 0.70). Proses pembentukan agregat dimulai dari penghancuran bongkah-bongkah tanah oleh akar tumbuhan. Akar tumbuhan memasuki bongkah dan menyebabkan timbulnya retakan, kemudian terpisah menjadi butir-butir sekunder. Akar tumbuhan maupun miselia jamur mengikat butir-butir tanah secara mekanik maupun kimia, sehingga agregat menjadi mantap (Arsyad, 2000).
15 Pembentukan agregat dapat tejadi baik dengan bahan organik maupun tanpa bahan organik. Pembentukan agregat dimulai dengan pengikatan antar partikel tanah. Ikatan antar partikel liat dapat terjadi antara domain liat dengan domain liat lainnya melalui jembatan kation pada permukaan negative domain liat. Selain melalui jembatan kation, ikatan tersebut juga dapat terjadi melalui permukaan negatif domain liat dengan ujung permukaan positif dari domain liat lainnya. Dalam pengikatan molekul antar agregat terdapat 4 macam gaya yang bekerja di dalam agregat, yaitu: (1) gaya van der Waals, (2) gaya hidrasi, (3) gaya tolak lembar ganda dan (4) gaya yang dihasilkan karena absorbsi makromolekul tak bermuatan (Murray dan Quirk, 1990). Senyawa organik yang terdapat dalam tanah dapat berada dalam beberapa macam bentuk, yaitu serasah, fraksi bahan organik ringan, biomassa mikroorganisme, humus (asam humat, asam fulvat, dan humin), dan senyawa nonhumat (seperti asam amino, karbohidrat, lemak, lilin, resin, dan lain-lain). Bahan organik tanah (humus) dipelajari dan dikelompokkan berdasarkan kelarutannya dalam alkali atau asam. Berdasarkan kelarutannya tersebut, bahan organik tanah dipilah menjadi 3 kelompok, yaitu asam humat, asam fulvat dan humin. Asam fulvat adalah fraksi baban organik tanah yang larut dalam asam maupun alkali, asam humat adalah fraksi bahan organik tanah yang larut dalam alkali dan tidak larut dalam asam, sedangkan humin adalah fraksi bahan organik tanah yang tidak larut dalam alkali maupun asam. Selain ketiga bentuk senyawa organik tersebut, di dalam tanah juga terdapat bentuk-bentuk senyawa organik lain, seperti biomassa tanah dan senyawa nonhumat (asam amino, karbohidrat, lemak, resin, asam-asam organik dan lain-lain). Fraksionasi bahan organik tanah dilakukan menurut skema pada Gambar 2. Kadar bahan onganik yang terdapat dalam tanah bervariasi sangat luas. Antar jenis tanah dapat memiliki kadar bahan organik tanah yang berbeda-beda. Tanah Molisol dan tanah-tanah tergenang tetap umumnya memiliki kadar bahan organik yang tinggi. Sebaliknya tanah-tanah terlapuk lanjut yang banyak ditemukan di daerah tropik, umumnya memiliki kadar bahan organik rendah. Kadar bahan organik tanah merupakan fungsi dari waktu, iklim, vegetasi, bahan induk, topografi, dan manusia.
16
Bahan organik (humus) Diekstrak dengan alkali
Larut
Tidak larut (Humat)
Larut dlm alkohol
As. fulfat (tidak mengendap)
As. fulfat (tidak mengendap)
Ekstrak dengan basa dan elektrolit
Asam himatomelanik
As. Humat kelabu (mengendap)
As. Humat coklat (tidak mengendap)
Gambar 2. Skema fraksionasi bahan organik tanah/humus (Stevenson, 1994). Pada lahan berdrainase baik, akumulasi bahan organik terbatas sampai pada keseimbangan faktor-faktor lingkungan yang menentukan laju dekomposisi dan produksi. Sedangkan pada lahan tergenang dapat terjadi peningkatan bahan organik secara terus-menerus. Iklim mempengaruhi kadar bahan induk melalui produksi biomassa. Makin basah tipe curah hujannya, umumnya kadar bahan organik tanah juga makin tinggi. Topografi mempengaruhi kadar bahan organik tanah melalui pengaruhnya terhadap vegetasi, erosi dan aliran permukaan, evaporasi dan transpirasi. Sedangkan manusia umumnya menyebabkan penurunan kadar bahan organik tanah melalui budidaya tanaman (Stevenson, 1994). Stevenson (1994) menunjukkan bahwa bahan organik bebas menurun dengan bertambahnya kedalaman tanah, sebaliknya bentuk terikat Fe dan Al meningkat sampai horison iluviasi. Karakteristik bahan organik dan efeknya terhadap tanah disajikan dalam Tabel 1.
17 Tabel 1 Karakteristik bahan organik tanah dan efeknya terhadap tanah (Stevenson, 1994) No 1 2
3
4
5
6 7 8
9
Karakteristik
Keterangan
Efeknya terhadap tanah
Warna Retensi air
Gelap Penghangatan tanah Kapasitas retensi air dari -Mencegah pengeringan bahan organik tanah adalah cepat dan pengerutan -Memperbaiki retensi air 20 kali bobotnya oleh tanah Kombinasi Sebagai pengikat partikel -Memperbaiki pertukaran dengan liat tanah untuk agregat gas -Menstabilkan struktur tanah -Meningkatkan permeabilitas Pembentukan Membentuk senyawa Meningkatkan ketersediaan khelat kompleks yang stabil unsur hara mikro 2+ 2+ 2+ dengan Cu , Mn , Zn , maupun kation polivalen lainnya Kelarutan dalam Tidak larut dalam air Pencucian bahan organik air karena berasosiasi dengan sangat sedikit liat, maupun garam dengan ion divalent atau trivalent Daya sangga Menunjukkan daya sangga Mempertahankan reaksi dalam kisaran agak asam, tanah yang relatif seragam netral dan alkali Kapasitas tukar KTK humus 300 – 1400 Meningkatkan KTK tanah kation (KTK) cmol/kg Mineralisasi Dekomposisi bahan Sebagai sumber hara bagi organik menghasilkan tanaman CO2, NH4+, NO3-, PO43-, SO4+ Kombinasinya Mempengaruhi Memperngaruhi dosis dengan senyawa bioaktifitas, persistensi dan aplikasi pertisida xenobiotik biodegradasi dari pestisida
Dampak alih guna lahan hutan terhadap aliran permukaan Air hujan yang tiba pada permukaan tanah sebagian akan mengalir ke arah sungai, danau, atau laut sebagai aliran permukaan, aliran bawah permukaan, dan aliran bawah tanah. Air larian permukaan atau aliran permukaan (surface runoff atau overland-flow) adalah bagian dari air limpasan yang mengalir di atas permukaan tanah dan terus menuju saluran utama dalam DAS. Air larian
18 permukaan adalah aliran air di atas permukaan tanah yang terjadi karena laju curah hujan melampaui laju infiltrasi. Aliran bawah permukaan (subsurface runoff atau interflow) adalah bagian dari air larian yang dihasilkan dari bagian hujan yang terinfiltrasi ke dalam tanah dan bergerak secara lateral bergabung dengan aliran sungai. Sinukaban (1999), membagi aliran bawah permukaan menjadi aliran bawah permukaan yang segera keluar lalu masuk ke sungai (prompt subsurface runoff) dan aliran bawah permukaan tertunda (delayed subsurface runoff) yaitu aliran bawah permukaan yang mencapai saluran dalam waktu yang lama. Aliran bawah tanah (groundwater flow) merupakan bagian dari air larian yang dihasilkan melalui proses perkolasi dalam (deep percolation) dari air yang terinfiltrasi yang terus masuk ke dalam tanah. Aliran sungai adalah gabungan dari aliran permukaan dan aliran bawah permukaan serta air bawah tanah ditambah dengan curah hujan langsung yang jatuh ke saluran dan sungai, merupakan total air larian. Berdasarkan kecepatan aliran, aliran sungai digolongkan ke dalam tiga tipe aliran (Ward, 1975), yaitu: • Aliran sementara (ephemeral stream), yaitu aliran yang terdiri atas aliran cepat segera setelah turun hujan dan berlangsung hanya selama terjadi hujan • Aliran terputus-putus (intermittent stream), yaitu aliran yang terjadi selama musim hujan dan mengering pada musim kemarau, terdiri dari aliran cepat sebagai aliran utama dan aliran lambat sebagai penyokong pada musim hujan • Aliran tahunan (perennial stream), yaitu aliran yang tejadi sepanjang tahun baik pada musim hujan maupun pada musim kering, dirnana aliran bawah tanah mempunyai peranan dalam menyokong aliran total sepanjang waktu. Dalam literatur geologi, sistem aliran sungai diklasifikasikan sebagai sistem aliran influent, effluent, dan intermitent. Sistem aliran sungai influent adalah aliran sungai yang memasok (memberi masukan) air tanah. Sebaliknya pada aliran effluent sumber aliran sungai berasal dari air tanah, dan pada umumnya berlangsung sepanjang tahun sehingga disebut sebagai perennial stream. Selanjutnya aliran terputus (intermitent) umumnya terjadi setelah turun hujan
19 besar dan seringkali menjadi sumber air tanah musiman (perched water table) (Asdak, 2002). Kegiatan tataguna lahan yang bersifat merubah tipe atau jenis penutup lahan dalam suatu DAS dapat mernperkecil atau mernperbesar hasil air. Pengelolaan vegetasi khususnya vegetasi hutan dipercaya dapat mengurangi waktu dan penyebaran aliran air. Pengelolaan vegetasi di daerah hulu dapat menurunkan besarnya sedimen yang masuk kedalam saluran, waduk, ataupun penampung air lainnya sehingga dapat memperpanjang umur penggunaannya. Hutan dapat berfungsi sebagai pengatur tata air (streamflow regulator) dalam arti bahwa hutan dapat menyimpan air yang tersedia selarna musim hujan dan melepasnya pada saat kemarau tiba. Tetapi disisi lain pengelolaan vegetasi tanpa disertai perencanaan yang benar justru dapat menurunkan hasil air karena cadangan air tanah di tempat berlangsungnya kegiatan tersebut berkurang oleh adanya proses evapotranspirasi yang berlebihan (Asdak, 2002). Bosch dan Hewlet (1982), dalam penelitiannya tentang pengaruh pengelolaan vegetasi terhadap hasil air menyatakan bahwa aliran tahunan akan meningkat apabila jumlah vegetasi berkurang cukup besar misalnya dalam deforestasi yang tidak terkendali. Secara umum kenaikan aliran air disebabkan oleh berkurangnya jumlah air yang diuapkan oleh vegetasi melalui proses transpirasi sehingga aliran air permukaan maupun air tanah menjadi lebih besar. Jumlah aliran air akan meningkat apabila: a. Vegetasi ditebang atau dikurangi dalam jumlah cukup besar b. Jenis vegetasi diubah dari tanarnan yang berakar dalam menjadi tanaman berakar dangkal c. Vegetasi penutup tanah dengan kapasitas intersepsi tinggi diganti dengan tanaman kapasitas intersepsi yang lebih rendah Brooks et al. (1985) dalam Asdak (2002), menyatakan bahwa bagian air yang diuapkan oleh vegetasi dari keseluruhan curah hujan yang jatuh pada suatu masyarakat tumbuhan adalah cukup besar. Di daerah arid dan semi arid dari jumlah curah hujan tahunan, 85 – 95% air yang diterima diuapkan kembali atau dikonsurnsi oleh bagian tanaman, yang artinya aliran air yang tersedia hanya berkisar antara 5-15% dari jumlah air hujan yang diterima di daerah tersebut.
20 Disamping kuantitas, darnpak penting pengelolaan DAS terhadap aliran air adalah terjadinya perubahan kualitas air. Perubahan kualitas air ini terutarna di akibatkan oleh upaya peningkatan produksi pertanian melalui pernanfaatan tanah dan penggunaan pupuk serta pestisida secara intensif Peningkatan penggunaan pupuk terutama N, P, dan K merupakan upaya untuk meningkatkan produksi pertanian yang paling umum dilakukan baik di negara maju maupun negara. Berkembang (Holy, 1980). Dalam sistern pertanian, ketersediaan air dan pernupukan merupakan dua faktor penting untuk mendukung suksesnya keberhasilan tanaman. Tetapi karena kurangnya pengetahuan dan pengalaman, petani seringkali menggunakan kedua faktor ini secara berlebih sehingga menimbulkan gangguan terhadap lingkungan. Aktivitas pertanian telah menjadi sumber utama dalam peningkatan nitrogen dan pospor dalam aliran air. Penggunaan pupuk secara besar-besaran merupakan implikasi dari kebutuhan untuk meningkatkan kandungan hara dalam tanah yang hilang akibat pengolahan tanah yang berlebihan. Dampak alih guna lahan hutan terhadap erosi tanah Degradasi lahan merupakan konsepsi komprehensif yang pada hakekatnya berkaitan erat dengan kesalahan manusia dalam penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan. Pengertian konsepsi tersebut mencakup penurunan kualitas tanah sebagai akibat proses erosi tanah, salinisasi tanah, dan pencemaran tanah (Barrow, 1991). Erosi
tanah
menyebabkan
kehilangan
hara
tanaman
yang
dapat
mempengaruhi tingkat produktivitas tanah. Hal tersebut memberikan konsekuensi semakin meningkatnya biaya yang diperlukan untuk mempertahankan kesuburan tanah (Kurniawan, 1999). Hashim dan Abdullah (2001) menyatakan bahwa erosi tanah sebanyak 47,6 ton ha-1 pada lahan petani di Viantiane telah mengangkut unsur hara nitrogen, fosfor, dan kalium masing-masing sebanyak 104,2, 32,3, dan 358,7 kg ha-1. Lal (1995) menyatakan bahwa pengaruh erosi pada tempat terjadinya dibedakan atas pengaruh langsung yang terjadi pada jangka pendek dan pengaruh tidak langsung yang terjadi pada jangka panjang. Pengaruh langsung dari proses
21 erosi tanah adalah robohnya tanaman sebagai akibat terkikisnya tanah yang mendukung sistem perakaran dan hanyutnya pupuk yang telah diberikan. Pengaruh tidak langsung dalam jangka panjang adalah menurunnya kedalaman solum sebagai akibat terhanyutnya tanah bersamaan dengan aliran permukaan, menurunnya kapasitas air tanah tersedia, dan kandungan karbon organik. Sinukaban et al. (2000) telah mempelajari perubahan sistem hidrologi di Sub DAS Way Besay sebagai akibat perubahan penggunaan lahan hutan menjadi areal budidaya pertanian. Berkurangnya luas hutan sejak periode 1975 – 1998 menyebabkan meningkatnya debit sungai yang melebihi kriteria lebih besar dari 15, 25, dan 35 m3 detik-1. Perubahan tersebut disebabkan karena berkurangnya intersepsi tajuk pohon, berkurangnya evapotranspirasi, dan kerusakan struktur tanah lapisan atas (top soil) sebagai akibat terjadinya erosi tanah. Pengkajian erosi tanah memerlukan tolok ukur yang dapat digunakan sebagai dasar perancangan sistem usahatani konservasi. Konsep TSL (Tolerable Soil Loss) atau erosi tanah yang masih dapat ditoleransi digunakan di Amerika Serikat sejak awal tahun 1940-an (Troeh et al., 2004). Utomo (1993) mengemukakan bahwa adanya dasar pemikiran pembentukan tanah hanya terjadi pada tanah lapisan bawah dan bukan lapisan atas digunakan untuk mempertahankan kedalaman tanah (solum) yang berguna bagi pertumbuhan tanaman. Nilai erosi tanah yang masih dapat ditoleransi merupakan suatu ukuran yang menyatakan besarnya laju erosi tanah yang masih dapat ditoleransi apabila dilakukan eksploitasi sumberdaya lahan pada suatu areal tertentu berdasarkan batas waktu tertentu. Besarnya nilai erosi yang masih dapat ditoleransi dapat diprediksi dengan menggunakan metode Hammer (1981) sebagai berikut: TSL = [ ( DE – Dmin) / T ] + LPT ........................................................... (1) dimana: TSL menyatakan laju erosi tanah yang masih dapat ditoleransi (mm tahun-1) ; DE menyatakan kedalaman tanah ekivalen (mm); Dmin menyatakan kedalaman tanah minimum yang diperlukan untuk perkembangan perakaran suatu jenis tanaman tertentu (mm); T menyatakan umur guna tanah (tahun); dan LPT menyatakan laju pembentukan tanah (mm/tahun).
22 Pada hakekatnya pengelolaan DAS merupakan upaya manusia untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dan manusia yang meliputi segala aktivitasnya dengan tujuan untuk menjaga kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan manfaat sumberdaya alam bagi umat manusia secara berkelanjutan (Asdak, 2002). Kakade et al. (2003) mengemukakan bahwa pendekatan secara holistik dalam perencanaan pengelolaan DAS perlu mempertimbangkan bahwa terganggunya salah satu komponen pada sistem alam akan berpengaruh terhadap komponen lainnya dalam sistem tersebut. Pendekatan perencanaan ekosistem dalam pengelolaan DAS bersifat multidisiplin dan multisektoral yang meliputi keterkaitan antara faktor-faktor ekologi, sosial, politik, dan ekonomi. Ditinjau dari sudut pandang ekonomi, sistem pengelolaan DAS merupakan proses produksi yang mempertimbangkan faktor biaya yang diperlukan untuk pemakaian sumberdaya serta keuntungan ekonomi yang diperoleh dari hasil proses pengelolaan sumberdaya (Dixon dan Easter, 1986). Hufschmidt (1986) berpendapat bahwa pengelolaan DAS sebagai sebuah sistem perencanaan memiliki kerangka pemikiran yang meliputi 3 dimensi pendekatan analisis, yaitu: 1) proses yang melibatkan langkah-langkah perencanaan dan pelaksanaan yang terpisah tetapi mempunyai kaitan yang erat, 2) sistem perencanaan pengelolaan dan alat implementasi program melalui kelembagaan yang relevan dan terkait, dan 3) serial aktivitas yang saling berkaitan dan memerlukan perangkat pengelolaan yang spesifik. Pengelolaan DAS pada umumnya berkaitan dengan kegiatan antisipasi kejadian jangka panjang, oleh sebab itu akan menghadapi masalah ketidak pastian. Sejumlah ketidakpastian yang pada awalnya berkaitan dengan ketersediaan data dan informasi seringkali muncul dan selanjutnya menyebabkan kesulitan bagi perencana pengelolaan DAS untuk memprediksi berbagai kondisi yang akan datang. Ketidakpastian dalam masalah teknis tersebut dapat mengakibatkan dampak munculnya ketidakpastian dalam masalah sosial-ekonomi dan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam. Sebagai contoh, usahatani konservasi dalam kaitannya dengan pengelolaan DAS juga memerlukan sebuah perencanaan yang bersifat lintas sektoral. Pertimbangan-pertimbangan fisik-
23 lingkungan, sosial, ekonomi, dan politik secara holistik diperlukan untuk mengatasi ketidakpastian dalam pengelolaan DAS (Freebaim, 2004b).
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Pengertian DAS Daerah aliran sungai (DAS) adalah sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh diatasnya ke sungai utama yang bermuara ke danau atau lautan (Manan, 1978). Daerah aliran sungai adalah daerah yang dibatasi punggungpunggung gunung sehingga air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung dan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai utarna (Asdak, 2002). Daerah aliran sungai didefinisikan sebagai wilayah yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan ke sungai, baik dalam bentuk aliran permukaan, aliran bawah permukaan dan aliran bawah tanah.
Wilayah ini
dipisahkan dengan wilayah lainnya oleh pemisahalami topografi yaitu punggung bukit dan keadaan geologi terutama formasi batuan (Wiersum et al., 1979). Sedangkan Linsley et al. (1980) memberikan batasana bahwa DAS (watershed atau river basin atau drainage basin atau cathment area) adalah seluruh wilayah yang dialiri oleh sebuah sistem sungai yang saling berhubungan sehingga semua aliran sungai yang berasal dari wilayah ini keluar melalui satu muara (single outlet). Food and Agricultural organization (FAO, 1962) dalam Sheng (1968) mengemukakan bahwa daerah aliran sungai adalah suatu. kawasan yang mengalirkan air yang jatuh di atasnya kedalam satu sistem aliran sungai yang mengalir dari hulu menuju muara atau tempat-tempat tertentu atau untuk suatu pengukuran arus. Tempat tertentu ini dapat berupa danau, kampung, kota atau stasiun pengukur arus. Oleh karena itu batas ekosistem suatu DAS dapat ditentukan menurut keperluan kita (Soemarwoto, 1978). Chow et al. (1988), mengemukakan bahwa DAS dapat dipandang sebagai suatu sistem hidrologi dimana curah hujan merupakan input dari aliran sungai serta evapotranspirasi adalah output sistem. Selanjutnya dikatakan bahwa DAS merupakan tempat tedadinya proses-proses yang berangkaian dan menjadi bagian
24 dari siklus hidrologi. Proses tersebut dapat ditinjau mulai dari terjadinya hujan (presipitasi), yang merupakan produk langsung dari awan yang berbentuk air maupun saiju. Hujan yang jatuh sebagian tertahan di tajuk tanaman dan atap bangunan, kemudian jatuh ke tanah (intersepsi), sebagian lainnya jatuh ke tanah. Saat air jatuh ke tanah, maka terjadi proses infiltrasi yaitu perjalanan air melalui perrmukaan tanah dan menembus masuk kedalamnya. Proses infiltrasi akan terus berlanjut sepanjang terjadinya proses perkolasi yaitu aliran air gravitasi ke dalam tanah, karena perkolasi akan memungkinkan air terinfiltrasi yang ada di permukaan tanah. Sebagian air yang masuk ke dalam tanah akan kembali ke saluran-saluran sebagai subsurface-flow, dan sebagian akan menjadi air tanah, air tanah ini mengalir di dalam sebagai groundwater-flow. Berbeda dengan aliran permukaan (surface-runoff), yang terjadi sesaat setelah infiltrasi mencapai konstan, aliran air dalarn tanah berlangsung secara lambat dan akan muncul ke permukaan tanah pada tanah-tanah yang rendah sebagai groundwater-outflow. Air akan meninggalkan DAS melalui penguapan atau evaporasi, aliran sungai, dan sebagian besar air yang terserap tanaman akan diuapkannya melalui transpirasi. Pada proses transpirasi, air hujan yang jatuh di permukaan tanah akan dikembalikan ke atmosfer melalui penguapan.
Konsep Pengelolaan DAS Pengelolaan DAS adalah suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah. Ini berarti bahwa pengelolaan dan alokasi sumberdaya alam di daerah aliran sungai termasuk pencegahan banjir dan erosi, serta perlindungan nilai keindahan yang berkaitan dengan sumberdaya alam. Dalam hal ini juga termasuk identifikasi keterkaitan antara tataguna lahan, tanah dan air, kemudian keterkaitan antara hulu dan hilir suatu DAS . Pengelolaan DAS perlu pula mempertimbangkan aspek-aspek sosial, ekonomi, budayadan kelembagaan yang beroperasi di dalam dan di luar daerah aliran sungai yang bersangkutan (Asdak, 2002).
25 Sheng (1968) mengemukakan bahwa dalam pengelolaan DAS, akan lebih banyak menyangkut daerah aliran sungai yang berhutan dan yang ditutupi oleh tanaman pertanian lainnya. Dalam hubungan ini ada 3 unsur pokok yang perlu diperhatikan yaitu lahan, air/sungai dan manajemen. Unsur lahan disini meliputi semua komponen dari suatu unit geografi dan atmosfer tertentu, air, tanah,batuan, vegetasi dan kehidupan binatang, manusia, dan perkembangannya. Oleh karena itu pengelolaan DAS dapat didefinisikan
sebagai manajemen dari lahan untuk
tujuan produk air dengan kualitas yang optimum, pengaturan hasil air dan stabilitas tanah yang maksimal, serta produk-produk lainnya. Tujuan dari pengelolaan DAS ini sangat erat hubungannya dengan tingkat penutupan tanah oleh vegetasi terutama vegetasi hutan. Seperti yang dikemukakan oleh Rakhmanov (1970) bahwa antara persen luas penutupan hutan pada DAS dan aliran air tahunan dalam sungai terdapat hubungan, dimana pada setiap penambahan 10 % penutupan hutan akan menghasilkan peningkatan 14 mm air dalam aliran sungai (stream flow) tahunan. DAS dapat memberikan respon hidrologis berupa erosi, sedimentasi, aliran permukaan dan pengangkutan nutrient yang berbeda-beda terhadap hujan yang jatuh diatasnya. Proses-proses hidrologi yang terjadi tergantung dari kondisi tanah, air dan tanaman yang bergabung membentuk parameter-parameter pendukung di dalam DAS.
Parameter-parameter tesebut adalah penutupan
tanaman, jenis pengelolaan lahan, kekasaran permukaan tanah, kemiringan lahan, panjang lereng, tekstur tanah, kadar air tanah, porositas tanah, kapasitas lapang, erodibilitas tanah dan kondisi saluran (Ilyas, 1996). Pengelolaan DAS adalah penggunaan sumberdaya alam di dalam daerah aliran sungai tersebut secara rasional untuk mendapatkan ciri DAS yang baik. Sinukaban (1999), mengemukakan DAS yang baik adalah yang mempunyai ciri : • Produktivitas yang tinggi secara lestari/terus menerus yang meliputi pertanian, perdagangan, kehutanan, rekreasi, serta. semua pengelolaan sumberdaya yang ada di dalamnya yang bisa menjamin kehidupan yang laya • Hasil air yang baik, meliputi kuantitas, kualitas dan distribusinya • Pendapatan masyarakat merata (equity), dimana semua orang mendapatkan kesempatan yang sama untuk memperoleh pendapatan yang layak
26 • Kelenturan (resilient) yang tinggi, dalam artian apabila dalam satu titik dalam DAS tersebut terjadi guncangan dapat ditopang oleh tempat yang lain Dalam kegiatan pengelolaan DAS harus diciptakan indikator yang secara simultan dan dipakai sebagai jaminan, yaitu : pendapatan yang cukup tinggi, dalam artian jumlah yang bisa menghidupi petani dengan layak secara lestari. Untuk rnewujudkan hal tersebut maka produktivitas harus tinggi dan hasilnya mempunyai nilai jual yang tinggi serta laku di pasar. Untuk menjamin produktivitas lahan secara terus-menerus maka agroteknologi yang diterapkan harus dapat menciptakan kondisi dimana erosi yang ditimbulkan lebih kecil dari nilai erosi yang dapat ditolenransi serta dapat diterima dan dikembangkan oleh masyarakat dengan sumberdaya lokal yang tersedia (Sinukaban et al., 1996 ). Untuk mewujudkan hal di atas, fokus utama dalam kegiatan pengelolaan DAS adalah: 1) Menggunakan sumberdaya alam. sesuai dengan kemampuannya, 2) Melindungi sumberdaya alam dari faktor-faktor yang merusaknya. Menurut Asdak (2002), dari segi fisik indikator untuk mengetahui normal tidaknya suatu DAS dapat dilihat dari beberapa
hal. Dimana suatu DAS
dikategorikan dalam kondisi baik apabila memiliki ciri sebagai berikut : • Koefisien air larian (C), yang menunjukkan perbandingan antara besamya air larian terhadap besamya curah hujan, berffluktuasi secara normal, dalarn artian nilai C dari sungai utama di DAS yang bersangkutan cenderung kurang lebih sama dari tahun ke tahun • Nisbah debit maksimurn (Qmax)/debit minimum (Qmin) relatif stabil dari tahun ke tahun • Tidak banyak terjadi perubahan koefisien arah pada kurva kadar lumpur (Cs) terhadap debit sungai (Q) Salah satu sistem pengelolaan lahan dalam rangka mewujudkan terciptanya kondisi DAS yang baik adalah Sistem Pertanian Konservasi (Sinukaban, 1994). Sistem Pertanian Konservasi (SPK) adalah sistem pertanian yang mengintegrasikan tindakan/teknik konservasi tanah dan air ke dalarn sistern pertanian yang telah ada dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan kesejahteraan petani dan sekaligus menekan erosi sehingga sistem pertanian tersebut dapat berlanjut secara terus menerus tanpa batas waktu
27 (sustainable). Tujuan utama pertartian konservasi adalah untuk mewujudkan kondisi sebagai berikut: • Produksi pertanian cukup tinggi sehingga petani tetap bergairah melanjutkan usahanya • Pendapatan petani yang cukup tinggi, sehingga petani dapat merancang masa depan keluarganya dari pendapatan usahataninya • Teknologi yang diterapkan sesuai dengan kemampuan petani dan dapat diterima oleh petani, sehingga sistem pertanian tersebut dapat dan akan diteruskan oleh petani dengan kemampuannya sendiri secara terus menerus • Komoditi pertanian yang diusahakan beragam dan sesuai dengan kondisi biofisik daerah, dapat diterima oleh petani dan laku dipasar • Laju erosi minimal, lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan sehingga produktivitas yang cukup tinggi dapat dipertahankan/ditingkatkan secara lestari dan fungsi hidrologis daerah terpelihara dengan baik sehingga tidak terjadi banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau • Sistem penguasaan/pemilikan lahan dapat menjamin keamanan investasi jangka panjang dan menggairahkan petani umuk terus berusahatani. Mengingat setiap DAS memiliki karakteristik sendiri maka pengelolaannya juga harus memperhatikan masing-masing spesifakasi DAS tersebut. Bentuk DAS, panjang sungai, luas DAS, kerapatan drainase dan aktivitas yang ada didalamnya, akan menjadi bahan pertimbangan dalam pegelolaan agar penggunaannya dapat berkelanjutan. Sistem Agroforestri dan Penerapan Teknik Konservasi Sebagai Pendukung Usahatani Berkelanjutan Agroforestri Kakao Dampak negatif dari alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dapat ditekan sekecil mungkin bila diterapkan suatu sistem pertanian berkelanjutan. Pada saat ini banyak definisi untuk istilah berkelanjutan (sustainable), karena istilah tersbut saat ini merupakan nilai sosial, mencerminkan banyak pandangan, nilai, prioritas, tujuan dan pelaku yang berbeda-beda. Oleh karena itu sistem pertanian berkelanjutan tidak merupakan suatu model atau paket sederhana yang
28 dipaksakan untuk disepakati. Namun demikian demi alasan praktis, IBSRAM (International Board for Soil Research and Management) memakai definisi sebagal berikut: "Pengelolaan lahan berkelanjutan menggabungkan teknologi, kebijakan, dan kegiatan yang bertujuan untuk memadukan prinsip-prinsip sosial ekonomi dengan masalah lingkungan sehingga secara bersamaan dapat mempertahankan atau meningkatkan produksi/jasa, mengurangi tingkat resiko dalam berproduksi, melindungi potensi sumberdaya alam dan mencegah degradasi kualitas tanah dan air, secara ekonomis menguntungkan dan secara sosial diterima" (Bechstedt, 1997). FAO (1995) mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai dasar pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam dan orientasi dari perubahan teknologi dan kelembagaan, dengan cara yang sedemikian rupa dengan tujuan untuk menjamin pencapaian dari keberlanjutan pemenuhan kebutuhan umat manusia saat ini dan di masa yang akan datang. Sistem agroforestri merupakan salah satu tipe penggunaan lahan yang mempunyai potensi untuk mendukung terciptanya suatu sistem pertanian berkelanjutan. Mulyadi (1981) menyatakan bahwa sistem agroforestri mempunyai potensi besar untuk dikembangkan di daerah tropis, khususnya untuk tanah-tanah marginal dan untuk rehabilitasi lahan yang tidak produktif, dalam rangka pemanfaatan sumberdaya lahan secara rasional. Walaupun sudah banyak dibicarakan pentingnya sistem agroforestri, namun istilah agroforestri merupakan suatu istilah yang masih sering menimbulkan berbagai penafsiran bagi sebagian ilmuwan. Berbagai definisi agroforestri telah banyak dikemukakan oleh para pakar (Satjapradja, 1981; Arsyad, 2000). Pada saat ini agroforestri diartikan secara luas terhadap suatu sistem usahatani atau penggunaan tanah yang mengintegrasikan secara spatial dan/atau temporal tanaman pohon-pohonan di dalam sistern produksi tanaman rendah, dan/atau ternak, ikan pada sebidang tanah yang sama (Arsyad, 2000). Secara, sederhana ICRAF (2000) mengartikan agroforestri sebagai penggunaan pobon-pohonan dalarn sistem usahatani, sedangkan definisi yang lebih lengkap dinyatakan sebagai berikut: Agroforestri merupakan sistem, pengelolaan sumberdaya alam yang bersifat
dinamik,
dan
berwawasan
lingkungan
melalui
pengintegrasian
29 pohon-pohonan dalam sistem usahatani, bersifat diversifikasi dengan sistem produksi berkelanjutan, ditujukan untuk meningkatkan keuntungan sosial, ekonorni dan lingkungan para pengguna lahan pada semua tingkatan. Tanaman kakao sesuai dengan daerah asalnya, yakni dari hutan Brasilia, Amerika Selatan yang tumbuh baik di bawah naungan kanopi hutan. Oleh karena itu dalam pembudidayaan kakao selalu dilakukan bersamaan dengan penanaman pohon pelindung, sehingga bila dikelola dengan baik, kebun kakao merupakan sistem usahatani yang dapat mengarah ke sistem agroforestri. Pengelolaan yang dimaksud meliputi pengelolaan hara, erosi, bahan organik, tanaman dan air (Lal, 1995). Dalam masa perkembangannya tanaman kakao memerlukan pelindung, pada umumnya jenis tanaman yang digunakan adalah jenis leguminosa (misalnya lamtoro, gliricideae) yang mampu memfiksasi N dari udara sehingga dapat mendukung salah satu aspek pengelolaan hara. Dalam periode tertentu tanaman legum juga dapat dipangkas dan dapat berperan dalam pengelolaan bahan organik. Adanya tanaman pelindung juga dapat menciptakan komunitas tanaman dengan berbagai strata tajuk (multistrata), dan kondisi ini merupakan salah satu penekanan dalam konsep agroforestri yang dikemukakan oleh P.A Huxley dari ICRAF (Arsyad, 2000). Namun demikian, terdapat kondisi/masa kritis dalam sistem usahatani kakao, yaitu pada saat tanaman masih berurnur muda, pada saat tersebut tingkat penutupan tajuk tanaman kakao masih relatif jarang, sementara itu tanaman pelindung belum tumbuh secara baik. Pada kondisi tanaman masih berumur muda, umumnya petani juga melakukan penyiangan lahan sampai bersih, serasah yang dihasilkan tanaman kakao juga relatif masih sedikit, sehingga permukaan tanah menjadi terbuka. Pada kondisi ini laju degradasi lahan dapat berlangsung secara cepat, di antaranya karena peningkatan erosi; apalagi jika usahatani kakao dilakukan pada lahan berlereng curam. Oleh karena itu untuk menjaga keberlanjutan usahatani, perlu dilakukan penerapan teknik konservasi tanah. Rorak Penerapan teknik konservasi rorak merupakan salah satu teknologi yang efektif untuk mengerem laju aliran permukaan dimana sebagian besar aliran permukaan dapat tertampung pada rorak sehingga lebih banyak waktu agar air
30 dapat masuk dalam tanah. Rorak adalah lubang yang digali dengan ukuran dalam 60 cm, lebar 50 cm dengan panjang sekitar 4-5 m (Arsyad, 2000), sedangkan Agus et al. (1999) menyatakan umumnya rorak berukuran panjang 1-2 m, lebar 25-50 cm dan dalam 20-30 cm. Rorak yang direkomendasikan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (1998) berukuran panjang 100 cm, lebar 30 cm dan dalam 30 cm. Panjang rorak dibuat sejajar kontur atau memotong lereng. Jarak ke samping antara satu rorak dengan rorak lain berkisar antara 10- 15 m, sedangkan jarak horizontal berkisar antara 20 m pada lereng yang landai dan agak miring sampai 10 m pada lereng yang lebih curam (Arsyad, 2000). Adanya lubang rorak dapat menekan tingkat erosi pada suatu lahan usahatani dimana tanah yang terbawah aliran permukaan sebagian tertampung dalam rorak, sehingga tidak keluar dari lahan tersebut. Hasil-hasil penelitian menunjukkan tingkat efektivitas rorak dalam mengendalikan erosi dan aliran permukaan. Rorak yang dikombinasikan dengan mulsa vertikal mampu mengurangi erosi sampal 94% dari erosi pada petak kontrol (tanpa penerapan teknik konservasi). Teknik tersebut juga merupakan suatu cara pemanenan air yang tergolong efektif khususnya untuk lahan yang agak curam (10-25 %), salah satu di antaranya dicerminkan oleh kemampuannya dalam pemeliharaan lengas tanah (Noeralam, 2002). Pemeliharaan lengas tanah besar sekali artinya dalam budidaya tanaman. kopi (khususnya kopi robusta), karena kopi robusta tergolong sangat peka terhadap cekaman air dan hal ini merupakan salah satu kendala produksi yang sangat penting (Abdoellah, 1997; Nur dan Zaenudin, 1999). Guludan Guludan adalah tumpukan tanah yang dibuat memanjang menurut arah garis kontur atau memotong arah lereng. Tinggi tumpukan tanah dibuat sekitar 25-30 cm dengan lebar dasar sekitar 25-30 cm. Jarak antar guludan tergantung pada kecuraman lereng, kepekaan erosi tanah dan erosivitas hujan. Guludan dapat diterapkan pada tanah dengan kemiringan sampal 6%. Pada lereng yang lebih curam atau tanah yang lebih peka erosi, guludan dilengkapi dengan saluran. Guludan bersaluran dapat dibuat pada lereng sampai 12% (Arsyad, 2000). Teras gulud (gulud bersaluran yang dilengkapi dengan tanaman penguat gulud) cocok-
31 untuk kemiringan lahan antara 10-40%, tetapi dapat juga diganakan pada kemiringan 40-60%, namun kurang efektif (Agus et al., 1999). Di Indonesia, teras gulud relatif kurang populer; padahal jika dibandingkan dengan teras bangku, teras gulud mempunyai beberapa keunggulan yakni biaya pembuatan relatif lebih murah dan dapat diterapkan pada tanah dengan solum dangkal (Agus et al., 1999). Hasil penelitian Rachman et al. (1989) pada Oxisol di Kuamang Mining, Jambi menunjukkan interval tegak untuk teras gulud sebesar 1,25 m cukup efektif dalam pengendalian erosi. Teras gulud dengan strip vetiver sanggup menekan erosi sebesar 85% dan aliran permukaan 91% dibanding dengan kontrol (Tala'ohu et al., 1994). Kualitas Tanah sebagai Indikator Dampak dari Perubahan Pengelolaan Lahan Secara umum kualitas tanah (soil quality) didefinisikan sebagai kapasitas tanah untuk berfungsi dalam suatu ekosistem dalam hubungannya dengan daya dukungnya terhadap tanaman dan hewan, pencegahan erosi dan pengurangan terjadinya pengarah negatif terhadap sumberdaya air dan udara (Karlen et al., 1997). Kualitas tanah dapat dilihat dari 2 sisi: (1) sebagai kualitas inherent tanah (inherent soil quality) yang ditentukan oleh lima faktor pembentuk tanah, atau (2) kualitas tanah yang bersifat dinamis (dynamic soil quality), yakni perubahan fungsi tanah sebagai pengaruh dari penggunaan dan pengelolaan tanah oleh manusia (Seybold et al., 1999). Terdapat konsensus umum bahwa ruang lingkup kualitas tanah mencakup tiga komponen pokok, yakni: (1) produksi berkelanjutan yaitu kemampuan tanah untuk meningkatkan produksi dan tahan terhadap erosi; (2) mutu lingkungan yaitu mutu air, tanah dan udara dimana tanah diharapkan mampu untuk mengurangi pencemaran lingkungan, penyakit dan kerusakan di sekitarnya; (3) kesehatan mahluk hidup yaitu mutu makanan sebagai produksi yang dihasilkan dari tanah harus memenuhi faktor keamanan (safety) dan komposisi gizi (Parr et al., 1992). Karena bersifat kompleks, kualitas tanah tidak dapat diukur, namun dapat diduga dari sifat-sifat tanah yang dapat diukur dan dapat dijadikan indikator dari kualitas tanah (Acton dan Padbury, 1978 dalam Islam dan Weil, 2000).
32 Indikator Kualitas Tanah Indikator kualitas tanah adalah sifat fisik, kimia dan biologi serta proses dan karakteristik yang dapat diukur untuk memantau berbagai perubahan dalam tanah (USDA, 1996). Secara lebih spesifik Doran dan Parkin (1994) menyatakan bahwa indikator kualitas tanah harus memenuhi kriteria: (a) berkorelasi baik dengan berbagai proses ekosistem dan berorientasi modeling, (b) mengintegrasikan berbagai sifat dan proses kimia, fisika. dan biologi tanah, (c) mudah diaplikasikan pada berbagai kondisi lapang dan dapat diakses oleh para pengguna, (d) peka terhadap variasi pengelolaan dan iklim (terutama untuk menilai kualitas tanah yang bersifat dinamis), (e) sedapat mungkin merupakan komponen dari basis data. Minimum data set yang berpotensi untuk menjaring kondisi kualitas tanah adalah indikator fisik tanah meliputi: tekstur tanah, ketebalan tanah (lebih ditulukan sebagai kualitas inherent tanah), infiltrasi, berat isi tanah dan kemampuan tanah mernegang air. Indikator kimia tanah meliputi: pH, daya hantar listrik, N, P, dan K terekstrak. Indikator biologi tanah meliputi: biomas mikroba, C dan N, potensi N dapat dimineralisasi, respirasi tanah, kandungan air dan suhu (Doran dan Parkin, 1994; Larson dan Pierce, 1994). Meskipun banyak sifat-sifat tanah yang potensial untuk dijadikan indikator kualitas tanah, namun pemilihan sifat-sifat tanah yang akan digunakan untuk indikator kualitas tanah sangat tergantung pada tujuan dilakukannya evaluasi. Karlen et al. (1997) menyatakan bahwa untuk mengimplementasikan penilaian kualitas tanah, perlu dilakukan identifikasi indikator-indikator yang sensitif terhadap praktek produksi pertanian. Jangka waktu suatu pengelolaan juga akan berpengaruh terhadap pemilihan parameter yang akan digunakan. Idealnya indikator-indikator tersebut akan dapat dideteksi perubahannya dalam jangka pendek (1-5 tahun) setelah dilakukannya perubahan pengelolaan. Islam dan Weil (2000) menunjukkan klasifikasi. sifat-sifat tanah yang berkontribusi terhadap kualitas tanah yang didasarkan kepermanenannya (permanence) dan tingkat kepekaannya (sensitivity) terhadap pengelolaan. Beberapa sifat tanah dapat berubah dalam jangka waktu harian (ephemeral), atau mudah berubah dari hari ke hari sebagai hasil dari praktek pengelolaan secara rutin atau adanya pengaruh cuaca. Sifat tanah lainnya adalah sifat-sifat yang
33 permanen yang merupakan sifat bawaan (inherent) tanah atau lokasi (site) dan sedikit terpengaruh oleh pengelolaan. Sifat-sifat atau parameter yang digunakan untuk penilaian kualitas tanah yang diorientasikan pada pengelolaan, merupakan peralihan (intermediate) dari kedua faktor ekstrim tersebut (Tabel 2) Tabel 2. Klasifikasi sifat-sifat tanah yang berkontribusi terhadap kualitas tanah didasarkan atas kepermanenannya dan tingkat kepekaannya terhadap pengelolaan (Islam dan Weil, 2000) Berubah dalam jangka harian atau rutin (Ephemeral)
Ditentukan oleh manajemen dari beberapa tahun (Intermediate)
Sifat bawaan (Permanent)
• Kadar air
•
Agregasi
•
Kedalaman tanah
• Respirasi tanah
•
Microbial biomassa
•
Lereng
• pH
•
Basal respiration
•
Iklim
• N mineral
•
Specific respiration quotient
•
Restrictive layers
•
•
Tekstur
C-aktif
•
•
Batuan
Kandungan BO
•
Minerologi
• K tersedia • P tersedia • BD
Mudah berubah Sulit berubah Selama ini evalusi terhadap kualitas tanah lebih difokuskan terhadap sifat fisik dan kimia tanah, karena metode pengukuran yang sederhana dari parameter tersebut relatif lebih tersedia (Larson dan Pierce, 1991). Akhir-akhitr ini telah disepakati bahwa sifat-sifat biologi dan biokimia dapat lebih cepat teridentifikasi dan merupakan indikator yang sensitif dari kerusakan agroekosistem, atau perubahan produktivitas tanah (Kenedy dan Pependick, 1995). Hasil penelitian Islam dan Weil (2000) menunjukkan tiga parameter yang paling menjanjikan untuk dimasukkan dalam indeks kualitas tanah yakni CTMB (Total Microbial Biomass Carbon), CAMB (Active Microbial Biomass Carbon), dan qC02 (Spesific Respiration Quotient). Karlen et al. (1999) juga menyatakan bahwa
pengukuran
microbial
biomass
C
(C-mic)
dapat
mendeteksi
perbedaan/perubahan karbon akfif yang disebabkan oleh variasi praktek pengelolaan lahan. Parameter total N organik dan inorganik sangat bermanfaat jika digunakan untuk mempelajari pengaruh suatu praktek pengelolaan terhadap
34 pool N-inorganik yang dapat tercuci atau hilang dari profil tanah. Total karbon berguna untuk mendokumentasikan perubahan kualitas tanah dalam jangka panjang, dan tidak cukup sensitif untuk mendeteksi perubahan jangka pendek. Stabilitas agregat dalam air (water-stable agregate) atau distribusi ukuran agregat direkomendasikan sebagai indikator kualitas tanah lapisan permukaan (surface soil quality). Resistensi agregat untuk terdispersi ketika dibasahi merupakan sifat tanah yang tergolong penting karena faktor ini mempengaruhi banyak fungsi tanah dan juga dapat merefleksikan keterkaitan sifat biologi, kimia dan fisik tanah (Karlen et al., 1999; Islam dan Weil, 2000). Berat isi merupakan quite varibale, tetapi harus dimasukkan dalam evaluasi kualitas tanah. Bukan hanya sebagai parameter sifat fisik tanah tetapi juga untuk mengkonversi data konsentrasi ke unit volumetrik yang lebih relevan (Karlen et al., 1999). Kapasitas Penyangga (Soil Resistance) dan Pemulihan Tanah (Soil Resilience) Istilah resilience telah digunakan dalam literatur-literatur ekologi sejak tahun 1960-an dan awal tahun 1970, akhir-akhir ini istilah resilience diperkenalkan pula dalam i1mu tanah, khususnya ditujukan dalam hubungannya dengan permasalahan ekologi tanah dan pengelolaan lahan secara berkelanjutan (sustainable land use). Beberapa ahli tanah mendefinisikan soil resilience sebagai kapasitas tanah untuk memulihkan fungsi dan kemantapan (integritas) strukturalnya setelah mengalami gangguan. Sedangkan soil resistance (resistensi tanah) didefinisikan sebagai kapasitas tanah untuk tetap melakukan fungsinya walaupun mengalami gangguan (Seybold el al., 1999). Soil resilience dihubungkan dengan kualitas tanah dalam hubungannya dengan pemulihan (recovery) ftmgsi-fungsi tanah, sedangkan
soil
resistance
(resitensi
tanah)
berhubungan
dengan
ketahanan/kemampuan tanah untuk mempertahankan kualitasnya sebagai akibat adanya gangguan (Gambar 3)
35 Kualitas Tanah
Fungsi Tanah
Indikator (kapasitas untuk berfungsi)
Mekanisme penyangga Kapasitas pemulihan
Indikator (kapasitas untuk melawan perubahan/ soil resistance) Indikator (kapasitas untuk pulih /soil resilience)
Gambar 3. Ilustrasi hubungan antara soil resistance dan soil resilience dengan kualitas tanah (Seybold et al., 1999) Secara lebih pasti dinyatakan bahwa selama terjadinya gangguan, kualitas tanah menjadi fungsi dari resistensi tanah (soil resistance), sedangkan sesudah terjadi gangguan, kualitas tanah merupakan fungsi dari soil resilience. Karena gangguan (disturbances) merupakan hal yang umum terjadi di alam (terjadi dimana-mana), maka karateristik dari soil resilience dan soil resistance menjadi komponen dasar dari kualitas tanah. Gambar 3 mengilustrasikan pengaruh dari adanya gangguan, resistensi tanah dan soil resilience terhadap fungsi-fungsi tanah. Ditunjukkan pula bahwa kapasitas tanah untuk pulih mempunyai dua komponen yaitu laju pemulihan dan derajat pemulihan. Soil resilience dan soil resistance dipengaruhi oleh karakeristik inherent (bawaan) tanah maupun karakteristik tanah yang mudah berubah (dynamic soil characterics) (Seybold et al., 1999). Slfat-sifat tanah yang berpengaruh terhadap kepekaan tanah terhadap erosi sangat menentukan tingkat resistensi suatu tanah. Misalnya tanah yang mempanyai kandungan pasir halus dan debu relatif finggi mempunyai tingkat kepekaan tanah terhadap erosi relatif lebih tinggi, artinya tanah tersebut mempunyai tingkat resistensi yang relatif rendah. Kerusakan Tanah Kerusakan tanah didefinisikan sebagai proses atau fenomena penurunan kapasitas tanah dalam mendukung kehidupan (Rapa-FAO, 1993)). Arsyad (2000) menyatakan bahwa kerusakan tanah adalah hilangnya atau menurunnya fungsi tanah. baik fungsinya sebagai sumber unsur hara tumbuhan maupun fungsinya sebagai matrik tempat akar tumbuhan berjangkar dan tempat air tersimpan.
36 Oldeman (1993) mendefinisikan kerusakan tanah sebagai suatu proses atau fenomena penurunan kemampuan tanah dalam mendukung kehidupan pada saat ini atau pada saat yang akan datang yang disebabkan oleh ulah manusia. Dari definisi tersebut, terkandung, pengertian tanah rusak adalah tanah yang telah menurun kemampuannya dalam mendukung kehidupan manusia. Penurunan kemampuan tanah dalam mendukung pertumbuhan dan produksi tanaman merupakan dampak dari penurunan kemampuan tanah dalam mensuplai unsur hara dan air maupun sebagai media tumbuh yang menyediakan ruang bagi akar untuk berjangkar. Gangguan
100
A
75
B
25
C
Fungsi Tanah (% Kapasitas)
Fungsi Tanah (% Kapasitas)
100
75
25
Tanah dengan resistensi rendah dan resilensi tinggi
Waktu
a)
Gangguan
Waktu
b)
Pengelolaan terbaik
Gangguan 100
Fungsi Tanah (% Kapasitas)
100 Fungsi Tanah (% Kapasitas)
Tanah dengan resilensi tinggi
Pemadatan
75
25
Gangguan yang sama
75
25
c)
Waktu
d)
Waktu
Gambar 4 Ilustrasi pengaruh gangguan, resistensi dan resilensi terhadap fungsifungsi tanah: a) konsep umum, b) dua tanah dengan tingkat resistensi dan resilensi yang berbeda, c) dampak pengelolaan yang bersifat positif terhadap resilensi tanah, dan d) gangguan yang berulang tanpa proses pemulihan yang memadai (Seybold et al., 1999) Erosi ditengarai merupakan penyebab utama kerusakan tanah di perkebunan kakao, utamanya pada areal yang kemiringannya cukup tinggi. Kerusakan tanah
37 juga dapat terjadi karena menurunnya kadar bahan organik dan hilangnya atau berkurangnya unsur hara melalui panen dan pencucian. Hasil penelitian Pujiyanto (1996) menunjukkan bahwa hampir seluruh lahan perkebunan kakao di Jawa Timur memiliki kandungan bahan organik rendah (kadar C-organik kurang dari 2%).
Rendahnya kadar bahan organik tanah tersebut disebabkan oleh
dekomposisi bahan organik di daerah tropika yang relatif sangat cepat. Verstraete (1989) menyatakan bahwa laju dekomposisi bahan organik tanah di daerah tropika basah jauh lebih cepat dibandingkan dengan di daerah beriklim sedang karena suhu dan kelembaban yang lebih sesuai untuk perkembangan organisme dekomposer, sehingga tanah di daerah tropika basah kehilangan bahan organik lebih cepat jika dilakukan pembukaan lahan. Kehilangan hara melalui panen dan pencucian turut berperan penting dalam proses degradasi tanah. Jenis tanaman tertentu cenderung menyerap sejumlah unsur hara dengan perbandingan tertentu pada setiap periode pertumbuhannya. Akibatnya adalah terjadi perubahan perbandingan antar unsur hara di dalam tanah, sedangkan tanaman membutuhkan perbandingan hara tertentu untuk dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal (Landon, 1984). Perbandingan hara K : Ca : Mg di dalam tanah yang optimal untuk tanaman kakao adalah 8 : 68 : 24. Apabila perbandingan antar unsur hara tidak mendekati perbandingan optimal tersebut, pertumbuhan dan produksi tanaman akan terganggu. Tanaman kakao lebih respon terhadap perbandingan kadar hara dalam tanah dibandingkan terhadap taraf kecukupannya. Oleh karena itu upaya pemupukan tanaman kakao akan lebih efektif jika ditujukan pada tercapainya perbandingan hara yang optimal daripada ditujukan untuk pencapaian kecukupan kadar hara (Jadin dan Snoeck. 1985). Perbaikan tanah dapat dilakukan melalui perbaikan sifat-sitat kimia, fisik maupun biologinya agar tanah tersebut memiliki kemampuan lebih besar dalam mendukung produksi tanaman. Agar ketiga sifat tanah tersebut dapat diperbaiki secara simultan, maka pemberian bahan organik serta pupuk anorganik dipandang merupakan altematif yang terbaik. Permasalahannya adalah jumlah bahan organik yang perlu ditambahkan umumnya sangat besar dan tidak tersedia dalam jumlah dan mutu yang sesuai. Sdain itu, jika bahan organik tersebut didatangkan dari
38 tempat lain maka biaya ameliorasi bahan tersebut menjadi sangat tinggi dan sering kali menjadi tidak layak untuk dilakukan. Oleh karena itu upaya untuk menghasilkan bahan organik in situ yang berasal dan tanaman penutup tanah maupun tanaman penaung dipandang merupakan pilihan yang tepat. Menurut Arsyad (2000) fungsi tanaman penutup tanah adalah (1) sebagai pelindung permukaan tanah dari daya rusak tetesan air hujan sehingga menekan erosi dan (2) sumber bahan organik tanah untuk memperbaiki sifat kimia, fisik, maupun biologi tanah. Selain itu, tanaman penutup tanah juga berperan dalam menekan pertumbuhan gulma yang menggangu tanaman pokok. Kehilangan hara N, P, K dan Mg melalui pengangkutan hasil panen (per ton) adalah sebagai berikut Biji kakao setara dengan : 42 – 50 kg Urea, 43 – 48 kg TSP, 34 – 43 kg KCl dan 20 kg Kiserit. Kemudian kulit buah setara dengan : 33 – 37 kg Urea, 20 – 25 kg TSP, 249 – 310 kg KCl dan 22 kg Kiserit (BP2TP, 2008) Rekomendasi Pemupukan • Takaran pupuk untuk bibit dalam kantong plastik adalah urea 5 g + TSP5 g + KCl 4 g + Kiserit 4 g/bibit. • Takaran pupuk untuk tanaman di lapangan. Tabel 3 Dosis Pemupukan pada berbagai Umur Kakao Umur (thn)
N
P2O5
K2O
MgO*)
0-1
g/pohon//tahun 10 10
10
5
1-2
20
20
20
10
2-3
40
40
40
15
3-4
80
80
80
20
>4
100
100
100
30
*) sumber MgO dari Kiserit (27%) atau Dolomit (19% MgO). Sumber: Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BP2TP, 2008)
39 Analisis Usahatani Indikator kelayakan usahatani Berbagai
cara penilaian investasi telah dikembangkan dan digunakan
dibidang pertanian. Cara yang sering digunakan dalam bidang pertanian adalah berdasarkan atas
prosedur diskounting.
Dengan cara ini penilaian kembali
sejumlah modal pada awal usaha (diskonting)
memungkinkan untuk
mengkonversi besarnya pembayaran dan penerimaan yang terjadi pada berbagai periode dalam waktu yang akan datang kedalam nilai sekarang. Hasil penilaian kembali ini kemudian dapat dijumlahkan untuk memperoleh nilai bersih sekarang (net present value, NPV) suatu usaha. NPV merupakan suatu ukuran yang menggambarkan kemampuan suatu usaha.
Apabila NPV positif, maka usaha
tersebut dapat dikatakan menguntungkan. Sebaliknya kalau negatif, maka usaha tersebut tidak menguntungkan. Jadi apabila ingin memilih suatu usaha mana yang paling menguntungkan, maka yang dipilih adalah yang memiliki nilai NPV yang paling besar (Soekartawi et al., 1986). Selain NPV, alternatif lain
untuk mempertimbangkan pengembangan
suatu usaha dengan memanfaatkan modal pinjaman untuk diinvestasikan, adalah dengan mempertimbangkan internal rate of retturn (IRR). IRR adalah suku bunga yang dapat membuat NPV suatu usaha sama dengan nol. Umumnya IRR dihitung dengan melanjutkan perhitungan NPV sehingga suku bunga yang diperlukan dapat diperoleh. Bila nilai IRR sama dengan suku bunga investasi yang digunakan maka usaha tersebut layak karena dapat membayar pinjaman sesuai dengan waktu yang disepakati, dan apabila IRR lebih besar dari suku bunga yang berlaku, maka waktu pengembalian investasi dapat dipercepat. Untuk mempercepat identifikasi suatu bunga yang diperlukan dapat dipakai metode interpolasi (Gittinger, 1986). IRR = i1 + [∑NPV+ /(∑NPV+ - ∑NPV- )] (i2 – i1) i1 = Bunga dng total NPV positif i2 = Bunga dng total NPV negatif
Analisis usahatani yang dimaksudkan adalah analisis biaya dan pendapatan usahatani yang diperoleh keluarga tani berdasarkan produksi kakao dan
40 pendapatan lain di luar agroforestri kakao. Besarnya pendapatan bersih petani dihitung dengan persamaan (Soekartawi et al., 1986) : n
n
i =1
i =1
T = ∑ YiPyi − ∑ XiPxi T = pendapatan bersih Yi = jumlah output komoditi ke-i Pyi = harga local output komoditi ke-i Xi = jumlah input ke-i Pxi = harga lokal input ke-i
Biaya-biaya usahatani adalah semua biaya yang dikeluarkan petani selama proses produksi dalam setiap jenis tanaman yang disusahak an. Secara garis besar biaya tersebut dapat dibagi atas dua bagian yakni biaya variabel (biaya tidak tetap) dan biaya tetap. Biaya-biaya tidak tetap adalah semua biaya yang dikeluarkan petani sesuai dengan jenis usahatani yang akan dikerjakan dan sistem pengelolaan yang akan diterapkannya. Adapun yang termasuk biaya tidak tetap ini antara lain pembelian bibit, pengolahan tanah, pemupukan, pencegahan hama/penyakit, pemanenan, penjemuran hasil (pengolahan hasil), pemasaran. Biaya tetap dapat berupa pajak, biaya perawatan alat, biaya penyusutan, retribusi dan bunga pinjaman (Soekartawi et al., 1986). Untuk mengetahui kelayakan usahatani sistem agroforestri kakao yang diusahakan petani digunakan parameter B/C rasio, IRR (internal rate return) dan NPV. Diasumsi bahwa jenis tanaman yang diusahakan memiliki umur ekonomi tertentu (t) dan menggunakan tenaga kerja keluarga dan modal terbatas, dilakukan analisis nilai bersih sekarang (net present value = NPV) sesuai dengan persamaan (Gittinger, 1986) sebagai berikut: B − Ct NPV = ∑ t t t =1 (1 + r ) t
Bt Ct r t
= manfaat dalam tahun ke-t (Rp) = biaya produksi dalam tahun ke-t (Rp) = tingkat diskonto dan bunga (%) = umur ekonomi tanaman (tahun)
Benefit - cost ratio (BCR) atau nisbah manfaat dan biaya ditentukan berdasarkan perbandingan keuntungan (pendapatan) bersih usahatani dengan biaya usahatani yang dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut:
41
NetB / C =
NPVB −Cpositif NPVB −CNegatif
Apabila B/C lebih besar dari satu maka usahatani layak dikembangkan, sebaliknya bila B/C lebih kecil dari l maka usahatani tidak layak untuk dikembangkan. Dalam penilaian kelayakan usahatani agroforestry ditetapkan asumsi-asumsi : • Umur ekonomi dari tanaman utama pada usahatani kakao/agroforestry kakao 15 tahun, karena produksi rata-rata pada umur > 15 th sudah mulai menurun • Tingkat suku bunga (discount factor) yang digunakan dalam analisis ekonomi adalah 18%. Tingkat suku bunga berperilaku progresif mengurangi nilai sekarang hasil dan manfaat yang diperoleh di waktu yang akan datang. Makin jauh waktu dipilih ke depan, makin kecil nilai manfaat untuk waktu yang akan datang. Adapun usahatani kakao/ agroforestry ini, umur ekonomi diperhitungkan 15 tahun dan tergolong usahatani menengah dan merupakan tingkat suku bunga yang berlaku saat penelitian dilakukan. Untuk mengantisipasi terjadinya fluktuasi perubahan jumlah, biaya dan harga produksi, diperlukan analisis sensitifitas dengan asumsi-asumsi sebagai berikut : • Harga produksi turun 15%, jumlah dan biaya produksi tetap • Biaya produksi meningkat 15%, jumlah dan harga produksi tetap • Harga produksi turun 15%, biaya produksi naik 15%, jumlah produksi tetap • Jumlah dan harga produksi masing-masing turun 15%, biaya produksi tetap • Jumlah dan harga produksi masing-masing turun 15%, biaya produksi meningkat 15% Besarnya persentase dalam analisis sensitifitas ditetapkan 15%, karena usahatani pola agroforestry kakao terdapat beberapa umur tanaman, dimana besarnya perubahan jumlah dan biaya produksi berbeda-beda. Kebutuhan Hidup Layak Pengertian kemiskinan menurut versi pemerintah sangat beragam, antara lain menurut: (1) BKKBN, kemiskinan adalah jumlah keluarga miskin prasejahtera yang tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya; tidak mampu makan 2 kali sehari; tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah,
42 bekerja dan bepergian; bagian tertentu dari rumah berlantai tanah; dan tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan; (2) BPS, kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang hanya dapat memenuhi kebutuhan makannya kurang dari 2.100 kalori per kapita per hari (Lingkar Diskusi Groningen, 2005) dan
(3)
Bappenas
(2002),
kemiskinan
mencakup
unsur-unsur:
(a)
ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar (pangan, pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih, transportasi, dan sanitasi); (b) kerentanan; (c) ketidakberdayaan; (d) ketidakmampuan menyalurkan aspirasinya; Sajogjo (1977) mengemukakan bahwa ukuran garis kemiskian untuk wilayah Indonesia
dispesifikasi atas tiga tingkat kemiskinan yang mencakup
konsepsi “Nilai Ambang Kecukupan Pangan” yaitu miskin, miskin sekali, sangat miskin. Garis kemiskinan tersebut dinyatakan (Rp/bln) dalam ekuivalen dengan nilai tukar beras (kg/orang/tahun) sehingga dapat dibandingkan dengan nilai tukar antar daerah dan antar waktu, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Nilai ambang kecukupan pangan untuk tingkat pengeluaran rumah tangga di daerah pedesaan berkisar antar 240 – 320 kg/orang/tahun,
sedangkan untuk daerah
perkotaan berkisar antara 360 – 480 kg/orang/tahun. Untuk mengukur apakah suatu keluarga tani telah
hidup layak, yakni
apabila keluarga tersebut telah dapat memenuhi kebutuhan meliputi pangan, tempat tinggal, pakaian, pendidikan, kesehatan, kegiatan sosial, rekreasi, asuransi dan tabungan (3). Berdasarkan asumsi tersebut, maka jumlah pendapatan bersih yang harus diperoleh setiap keluarga tani untuk dapat hidup layak minimal senilai beras 320 kg/thn x harga (Rp/kg) x jumlah anggota keluarga x 2,5 (Sinukaban, 2007). Selanjutnya dikemukakan bahwa rincian kebutuhan hidup layak sebagai berikut: • Nilai setara 320 kg beras/org/th untuk memenuhi 3 kebutuhan hidup primer (pangan, sandang, papan) dengan rincian 8,9 kg beras x 3 x 12 bl = 320 kg atau dibulatkan 320 kg/org/th (100%). Dalam sehari kebutuhan hidup per orang sebesar 290 g beras, sebulan 290 g x 30 = 8,9 kg dibulatkan 9 kg/org/bln • Untuk kebutuhan kesehatan dan rekreasi 50% x 320 kg beras/org/th • Kebutuhan pendidikan 50% x 320 kg beras/org/th
43 • Kebutuhan sosial, asuransi dll. 50% x 320 kg beras/org/th Jadi kebutuhan layak bagi sebuah keluarga tani yang terdiri atas 5 orang (ayah, ibu dan 3 orang anak) dengan harga beras Rp 3750/kg, dibutuhkan pendapatan sebesar: 320 kg x Rp.3750 x 5 x 2,5 = Rp.15.000.000/tahun Untuk menetapkan luas lahan minimal (Lm) dalam rangka memperoleh pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL), digunakan persamaan : Lm = KHL/Pb, dimana: Pb adalah pendapatan bersih per hektar. Optimalisasi Pengelolaan Lahan Hasil pengamatan erosi, kualitas tanah, total karbon dan luas minimal lahan yang dapat memberikan pendapatan bagi kehidupan layak, akan menjadi acuan dalam perencanaan pengelolaan lahan di DAS Nopu. Langkah selanjutnya adalah mengoptimalkan
pengelolaan
lahan
misalnya
dengan
menekan
erosi,
meningkatkan total karbon dan memperbaiki kualitas tanah. Dalam hal mengoptimalkan penggunaan lahan sangat tergantung pada kondisi masingmasing lahan. Dengan demikian dari pengamatan tersebut di atas, dapat dibuat beberapa alternatif pengelolaan, antara lain sebagai berikut : • Apabila hasil pengamatan pertama yakni erosi melebihi ambang yang dapat ditoleransi, maka diperlukan upaya untuk menekan erosi misalnya dengan penambahan bahan organik (mulsa), pembuatan rorak dll. Hal yang sama dilakukan untuk memperbesar infiltrasi dalam rangka menyediakan air dimusim kemarau, agar terjadi keseimbangan debit antara musim hujan dan kemarau. • Apabila kualitas tanah pada lokasi penelitian pada sistem pertanaman tertentu cukup memadai untuk menunjang produksi tanaman, maka hal tersebut akan menjadi model pengembangan, sebaliknya bila kualitas tanah ternyata rendah maka diperlukan usaha-usaha pengelolaannya misalnya pemberian pupuk berimbang. • Apabila hasil pengamatan tentang karbon organik bagian atas tanaman, diatas permukaan tanah dan dalam tanah rendah dan berkaitan erat dengan besarnya erosi, aliran permukaan dan kualitas tanah yang rendah, maka
44 pengelolaannya memerlukan kombinasi perlakuan
misalnya pemberian
mulsa/bahan organik, dan pemupukan. Analisis ditujukan untuk mendapatkan pola penggunaan lahan yang berkelanjutan (Sinukaban et al., 1996) ditinjau dari sisi ekologis, ekonomi dan dengan agroteknologi yang dapat diterima oleh masyarakat setempat pada masingmasing pola penggunaan lahan yang diusahakan di DAS Nopu. Sistem usahatani yang dapat digunakan untuk mengakomodasi semua tujuan tersebut secara bersamaan pada masing-masing penggunaan lahan Dengan mengetahui kondisi saat ini pada daerah penelitian, apakah kondisi telah memenuhi kriteria pengelolaan lahan yang berkelanjutan atau sebaliknya belum mencapai kriteria tesebut. Bila kondisinya ternyata belum memenuhi standar pengelolaan bekelanjutan,
maka dilakukan simulasi dengan berbagai
input yang dapat berupa teknologi pengelolaan tanaman dan tanah, ataupun teknologi teknik konservasi tanah dan air. Simulasi ini dapat dikombinasikan dengan berbagai alternatif hingga
aspek pengelolaan usahatani berkelanjutan
dapat tercapai yakni dari sisi ekologis tidak merusak lingkungan, secara ekonomis dapat memberikan pendapatan untuk memenuhi hidup layak dan aspek agroteknologi yang dapat diterima dan dikembangkan oleh masyarakat setempat.
METODE PENELITIAN Waktu dan Keadaan Umum Tempat Penelitian dilaksanakan
mulai bulan Juni 2005 sampai dengan bulan
Maret 2006. Lokasi penelitian di DAS Nopu yang merupakan salah satu sub-sub DAS dari DAS Gumbasa dan termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah (Gambar 5). Letak geografi lokasi penelitian sekitar 01o 11` 50,7” LS dan 120o 05` 10,5” BT. Kondisi topografi di areal penelitian bervariasi dengan kemiringan lereng dari miring (9%) hingga sangat curam (>45%). Suhu rata-rata 25-26 oC, curah hujan rata-rata 2500 mm/th dengan ketinggian antara 600 m hingga 1400 m dari permukaan laut. Hasil survei sebelumnya melaporkan bahwa jenis tanah di daerah penelitian menurut klasifikasi USDA didominasi oleh Humitropepts dan Eutropepts pada bagian hulunya dan Tropoquepts dengan horizon gleyic atau Tropofluvents pada bagian hilirnya (Gerold dan Murtilaksono, 2003). a
b
c
Gambar 5 Peta Prov. Sulawesi Tengah (a), Taman Nasional Lore Lindu (b) dan DAS Nopu (c) Wilayah DAS Nopu memiliki luas 250 ha, bagian hilir merupakan daerah yang telah ditanami kakao dengan umur lebih dari 10 tahun dan telah berproduksi (53,01 ha). Bagian tengah DAS ditanami kakao yang telah berumur antara 1 hingga 5 tahun (91,19 ha) dan berbagai tanaman semusim seperti jagung dan kacang tanah (11,86 ha). Bagian hulu DAS Nopu masih berupa hutan seluas 94,26 ha (Gerold dan Murtilaksono, 2003). Sistem pembukaan lahan hutan ketika dialihgunakan menjadi lahan pertanian dilakukan dengan cara tebang bakar. Lahan mula-mula ditanami
46 tanaman semusim kemudian secara berangsur-angsur ditanami dengan tanaman perkebunan dan/atau disertai tanaman pelindung berupa tanaman kayu (pepohonan). Kondisi ini dikategorikan sebagai agroforestri sederhana (de Foresta dan Michon, 1993). Pengumpulan dan Analisis Data Data yang akan dikumpulkan dan metode pengumpulannya secara ringkas disajikan dalam Tabel 3. Tabel 4 Parameter Pengamatan dan Metode Analisis No 1 a b c d a b c d a 2 a b c 3 a b c 4
Parameter pengamatan Kualitas Tanah Sifat kimia : C-organik N total, P2O5 , Basa-basa dapat tukar (K, Mg, Ca,) Sifat fisik : Porositas Berat volume Permeabilitas Agregat Sifat Biologi : Total karbon mikrobia (C-mik) Penutupan dan Karbon Vegetasi Pentupan tanah Karbon seresah Total karbon vegetasi Erosi dan Debit Sedimen erosi Aliran permukaan Hubungan Erosi dengan sifat tanah Usahatani
a Pendapatan usahatani b Kelayakan usahatani c Luas lahan minimum untuk KHL 5
Metode/Alat Analisis Harkat kualitas tanah (PPT, 1983) Walkey and Black Kjeldhal Bray 1 AAS Gravimetri Gravimetri Permeameter Ayakan basah dan kering Ultrasonik Petak bujur sangkar Petak kuadrat dalam jalur Lingkar batang (Hairiah et al, 2002) Petak erosi Liter Regresi dan korelasi Survei (kuisioner) pada petani NPV, IRR, Net B/C rasio Survei (kuisioner)
Pengelolaan Lahan berkelanjutan a Pendapatan usahatani maksimal b Erosi diminimalkan
Simulasi (pendapatan ≥ KHL, Sinukaban, 2007) USLE (Erosi<Etol )
Dalam penelitian ini, dinamika erosi diartikan sebagai besarnya erosi yang terjadi akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian (jagung, kacang
47 tanah, kakao/agroforestri kakao) selain itu dinamika erosi juga diamati pada berbagai umur tanaman agoforestri kakao. Sedangkan dinamika kualitas tanah diartikan sebagai besarnya perubahan sifat-sifat kimia, fisik dan biologi yang terjadi akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan berbagai tingkat umur kakao. Demikian pula halnya dengan dinamika pendapatan dari usahatani jagung, kacang tanah dan kakao/agroforestri kakao pada berbagai tingkatan umur. Kualitas Tanah Kualitas tanah (soil quality) didefinisikan sebagai kapasitas tanah untuk berfungsi dalam suatu ekosistem dalam hubungannya dengan daya dukungnya terhadap tanaman, hewan, pencegahan erosi dan pengurangan terjadinya pengaruh negatif terhadap sumber daya air dan udara (Karlen et al., 1997). Secara garis besar kualitas tanah dapat dilihat dari 2 sisi (Seybold et al., 1999) yakni: 1) kualitas bawaan tanah (inherent soil quality) yang ditentukan oleh lima factor pembentuk tanah yakni bahan induk, iklim, organisme, lereng dan waktu. 2) kualitas tanah yang bersifat dinamis (dynamic soil quality), yakni perubahan fungsi tanah sebagai pengaruh dari penggunan dan pengelolaan tanah oleh manusia (kadar air, pH, ketersedian NPK, BO, massa mikroba, BD). Sifat-sifat tanah. Agar data pengamatan dapat dianalisis sesuai dengan prosedur statistik, maka untuk pengamatan di lapang disusun dengan menggunakan rancangan acak kelompok, dimana pengelompokan dilakukan sebagai ulangan pada tiga tingkat kemiringan lereng yakni 9- 12%, 25-30% dan >45%. Untuk mengetahui sifat-sifat tanah sebagai indikator kualitas tanah pada daerah penelitian maka selain dilakukan pengamatan langsung di lapang, juga dilakukan pengambilan sampel secara proporsional berupa sampel tanah utuh dan tidak utuh. Pengambilan sampel tanah utuh dilakukan dengan menggunakan ring sampel ukuran diameter 5 cm dan tinggi 7 cm pada lapisan atas tanah (top soil). Sampel tanah utuh tersebut digunakan untuk menentukan berat isi dan porositas tanah. Pengambilan sampel tanah tidak utuh secara komposit untuk penentuan
48 sifat-sifar kimia, fisik dan C-mik
tanah dilakukan pada lapisan olah pada
kedalaman 0 – 10 cm. Sampel tanah tidak utuh yang telah diambil dari lapang dikering anginkan terlebih dahulu sebelum dilakukan analisis sifat fisik dan kimia. Khusus untuk analisis C-mikroba sampel tanah yang diambil di lapang diletakan dalam kotak pendingin untuk menjaga keutuhan mikroba tanah. Untuk penelitian kualitas tanah dilakukan pada berbagai penggunaan lahan yakni hutan, kebun jagung, kebun kacang tanah dan kebun kakao, khusus untuk kakao/ agroforestri kakao dilakukan pada berbagai tingkat perkembangan tanaman yaitu umur <3 tahum, 6-7 tahun, 11-12 tahun. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode pengambilam sampel bertingkat (stratified random sampling).
Tingkatan
dilakukan berdasarkan umur agroforestri kakao. Parameter yang digunakan untuk menentukan kualitas tanah adalah sifat kimia: C-organik, N total, P2O5, basa-basa dapat tukar K, Ca dan Mg; sifat fisik : porositas, bobot isi, permeabilitas; dan sifat biologi tanah: C-mikrobia dan total karbon vegetasi. Untuk mengetahui tingkat kualitas tanah akibat alih guna lahan akan dibandingkan dengan kriteria kualitas tanah (Lampiran 3 dan 4). Kemudian untuk mengetahui komponen-komponen sifat tanah yang paling mempengaruhi kualitas tanah dilakukan analisis komponen utama (AKU) dengan menggunakan software Minitab (Iriawan dan Astuti, 2006). Dinamika Erosi Aliran Permukaan dan Erosi Pengamatan aliran permukaan dan erosi dilakukan dengan membuat petak erosi dengan ukuran panjang 5-10 m dan lebar 2-4 m, tergantung kondisi di lapang seperti panjang lereng, jarak tanam dan lebar tajuk. pengamatan
Jumlah plot
ditentukan oleh jenis pengggunaan lahan masing-masing {hutan
(Hut), kebun jagung (jag), kebun kacang tanah (Kta), kakao umur <3 tahun (K3), vanili (van)} masing-masing dua plot. Kemudian untuk mengkaji dinamika erosi pada berbagai tingkat perkembangan kakao {≤3 th (K3), 6 th (K6), agroforestri 6 th (KA7), 11 th (K11) dan agroforestri 12 th (KA12)}, masing-masing tiga plot. Dena penelitian disajikan pada Lampiran 1.
49 Untuk menghitung besarnya aliran permukaan dan erosi maka pada setiap ujung bagian bawah plot erosi diletakkan bak penampung aliran permukaan yang membawa erosi (Wischmeier dan Smith, 1978; Arsyad, 2000; Schwab et al., 1997). Air aliran permukaan dan erosi yang tertampung dalam bak erosi ditakar untuk mengetahui volume dan banyaknya sedimen (Gambar 6). Selanjutnya sampel erosi yang diambil dari bak erosi lalu dikeringkan dengan oven dan ditimbang berat kering tanah yang tererosi per satuan luas per satuan hari waktu kejadian hujan. 2m
Tanaman
8m
20 cm
Seng plat Lebar 40 cm
Bak penampung 120 x 40 x 30 cm
Lubang pembuang ∅ 1 in. Selang penghubung ∅ 1 in. Cerigen 20 l
Gamabar 6 Plot pengamatan erosi dan aliran permukaan Aliran permukaan dan erosi yang terjadi pada setiap plot merupakan total dari aliran permukaan dan sedimen yang tertampung dalam bak penampung dan yang masuk dalam cerigen. Total aliran permukaan untuk setiap kejadian hujan dihitung (Schwab et al., 1997) dengan persamaan : Rp = Rg + (Rc x Lp), aliran permukaan per satuan luas (ha) dihitung sebagai berikut: RO = 10000m2/luas plot m2 x Rp (ltr).................................. (2) Ket: Rp = aliran permukaan plot (ltr), Rg = volume yang masuk bak penampung (ltr), Rc = volume yang masuk ke cerigen (ltr), Lp = banyaknya lubang pembuang, RO= aliran permukaan (ltr/ha).
50 Nilai koefisien aliran permukaan dihitung dengan persamaan (Asdak, 2002): Kr = Rt / CH
........................................................................................ (3)
Kr = koefisien aliran permukaan, Rt = total volume aliran permukaan (mm), CH = jumlah curah hujan (mm). Total erosi dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Schwab et al., 1997): Ep = Pt + Sg x [Vg + (Rc x Lp)], erosi dalam satu hektar dihitung dengan rumus E=10000 (m2)/luas plot (m2) x Ep (g) ................................................. (4) Ket: Ep = erosi plot (g/plot), Sg = kadar erosi dalam sampel bak penampung (g/ltr), Vg = volume aliran permukaan yang masuk bak penampung (ltr, Rc = volume aliran permukaan yang masuk ke cerigen (ltr), Sc = kadar erosi dalam sampel cerigen (g/ltr), Lp = banyaknya lubang pembuang, E= erosi (g/ha).
Sampel erosi diambil pada setiap hari kejadian hujan. Pengambilan sampel pada bak penampung dan cerigen dilakukan secara proporsional. Pengambilan sampel dilakukan dengan terlebih dahulu dilakukan pengadukan sehingga suspensi
aliran permukaan menjadi homogen.
Sampel erosi yang diperoleh
kemudian dikeringkan dalam oven dan seterusnya ditimbang untuk mengetahui besarnya erosi per plot (Kriteria erosi pada Lampiran 2). Pengambilan sebagian sampel aliran permukaan (sedimen dan air) dilakukan saat hujan berlangsung (sebelum masuk dalam bak penampungan) dengan menggunakan botol sampel ukuran 200 ml. Sampel kemudian di analisis di laboratorium untuk menentukan nitrogen, fosfor, dan bahan organik. Pengambilan sampel komposit dilakukan pada tiga kali kejadian hujan selama penelitian berlangsung. Hasil analisis hara dan bahan organik tersebut akan digunakan untuk menghitung nisbah pengayaan
(enrichment ratio) dengan
menggunakan persamaan (Arsyad, 2000) : NP = Cus/Cut ...............................................................................
(5)
NP = Nisbah pengayaan, Cus = konsentrasi unsur hara atau bahan organik dalam erosi yang telah terangkut, Cut = konsentrasi unsur hara (atau bahan organik) pada tanah asal.
51 Untuk menetapkan konsentrasi hara pada tanah asal, sampel tanah diambil secara komposit pada tanah lapisan atas (top soil) pada awal periode pengamatan kemudian dianalisis di laboratorium. Pengamatan curah hujan dilakukan dengan menggunakan alat manual yang dipasang pada setiap blok pengamatan dan dengan alat pencatat curah hujan otomatis yang dipasang pada DAS Nopu. Erosi Dapat Ditoleransi Erosi yang terjadi tidak boleh melampaui erosi yang dapat ditoleransikan (Etol) agar lahan dapat digunakan secara lestari. Dengan perkataan lain besarnya erosi minimal harus sama dengan atau lebih kecil dari Etol. Erosi yang dapat ditolenransi dihitung melalui persamaan yang dikemukakan oleh Wood dan Dent (1983) sebagai berikut:
ETol =
DE − DMIN + LPT MPT
......................................................... (6)
ETol = erosi yang dapat ditolenransi (mm/tahun) DE = kedalaman ekuivalen (kedalaman efektif x nilai faktor kedalaman, mm) DMIN = kedalaman tanah minimum (mm) LPT = laju pembentukan tanah (mm/tahun) MPT = masa pakai tanah (tahun) Korelasi Karakteristik Tanah dengan Erosi Pengamatan sifat-sifat tanah pada lokasi penelitian dilakukan secara deskriptif dan kuantitatif. Untuk mengetahui kedalaman tanah dilakukan pengeboran pada beberapa tempat dan sekaligus dilakukan pengambilan sampel tanah untuk analisis sifat fisik dan kimia. Kemudian untuk mengetahui kedalaman efektif tanah yakni kedalaman dimana akar masih dapat berkembang dengan baik dilakukan dengan penggalian profil atau pengeboran tanah. Untuk menentukan sifat-sifat tanah yang dominan dalam menentukan tingkat erosi yang terjadi pada lokasi penelitian, dilakukan uji statistik dengan menggunakan metode Analisis Komponen Utama (principle component analysis:PCA) (Gaspersz, 1995). Adapun komponen yang akan digunakan antara lain porosita, bobot isi, permeabilitas, stabilitas agregat, kandungan karbon organik tanah, penutupan permukaan tanah dan total masa serasah
52 Stok Karbon Vegetasi dan PenutupanTanah Untuk pengukuran biomassa dan stok karbon dilakukan pada tiga tempat yakni vegetasi (diatas permukaan tanah), serasah (di permukaan tanah) dan akar (di bawah permukaan tanah) yang semuanya dilakukan dalam petak contoh. Untuk mengukur biomassa vegetasi di atas permukaan tanah dapat dilakukan dengan dua tahap yakni: Pertama, metode pendugaan dengan menggunakan persamaan allometrik W= aDb terutama pada pohon yang berdiameter > 5 cm dengan petak contoh berukuran 10 x 10 m. Total biomasa vegetasi dan stok karbon (C) dalam suatu areal agroforestri dapat dihitung melalui persamaan pendugaan biomasa dan stok karbon vegetasi (Brown, 1997) sebagai berikut : W = 0,118D2,53 ..............................................................................(7) C = 0,5 x W
..............................................................................(8)
W = Total biomasa pohon (ton/ha) D = diameter batang (5 – 148 cm) setinggi dada orang dewasa C = kadar karbon (ton/ha) Kedua, untuk pengukuran biomasa tumbuhan bawah atau rerumputan/ semak dilakukan dengan petak contoh ukuran 2 x 2 m2. Kemudian masingmasing jenis yang terdapat dalam petak contoh diambil dengan bobot yang sama misalnya 200 g. Contoh tersebut selanjutnya dikering dalam oven dengan suhu 70o C selama 2 kali 24 jam lalu ditimbang bobot keringnya (Hairiah et al., 2002). Pengukuran biomassa serasah baik yang halus mapun yang kasar dilakukan dengan metode kuadrat berukuran 0,5 x 0,5 m2. Selain mengumpulkan semua serasah yang ada diatas tanah juga dikumpulkan serasah halus yang ada pada kedalaman 5 cm di bawah permukaan tanah yakni akar-akar halus yang telah lapuk yang lolos ayakan 2 mm. Sedangkan yang dikategorikan dengan serasah kasar adalah semua sisa tanaman yang belum terdekomposisi termasuk pohon mati berdiameter < 5 cm dan panjang < 5 m, dan ranting serta daun yang tidak terbakar
(Hairiah et al., 2002).
Selanjutnya contoh serasah yang telah
dikumpulkan tersebut dikering udarakan lalu dikering oven pada suhu 70o C selama 2 kali 24 jam kemudian ditimbang.
53 Estimasi biomasa akar untuk vegetasi hutan/pohon menggunakan persamaan (Hairiah et al., 2001) : WR = WS : (S/R rasio) ...................................................................... (9) C = 0,5 x WR dimana: WR= Biomasa akar; WS = Biomasa vegetasi di atas tanah; S/R rasio = 4
Pengukuran biomasa akar untuk vegetasi bawah (semak dan rumput) dilakukan dengan metode blok tanah (Brady, 1996) dengan ukuran 10 x 10 x 10 cm3 pada kedalaman 0 – 30 cm dengan prosedur sebagai berikut: • Tanah dan akar dipisahkan dengan melakukan pengayakan basah • Akar halus (fine root) berdiameter < 2 mm dan akar kasar (coarse root) dengan diameter > 2 mm dipisahkan dan dicuci. • Akar hidup dan mati dipisahkan berdasarkan penampakan visual dan sifat teksturnya • Sampel akar dengan bobot 100 – 200 g pada masing-masing kategori dikering ovenkan selama 2 kali 24 jam pada suhu konstan 70o C, kemudian ditimbang untuk menentukan bobot biomasa akar. Penentuan tingkat penutupan tanah oleh serasah ataupun gulma dilakukan dengan menggunakan petak bujur sangkar 1 x 1 m2. Kemudian petak tersebut dibagi lagi dalam 10 petak yang sama besarnya (10 x 10 cm2 = 100 petak). Petak bujur sangkar ini diletakkan diatas tanah kemudian dilakukan penghitungan petak yang tertutup serasah dan petak kelihatan permukaan tanahnya Analisis Statistik Untuk mengetahui pengaruh yang terjadi akibat perbedaan penggunaan lahan dan umur pertumbuhan dan perkembangan agroforestri kakao di DAS Nopu dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok. Parameter-parameter yang akan dianalisis dengan sidik ragam terutama terhadap sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah serta data lainnya yang dianggap penting dengan tingkat kepercayaan 95%. Apabila hasil sidik ragam atau uji F menunjukkan pengaruh yang nyata maka akan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan Mutiple Range Test (DMRT) untuk mengetahui perbedaan antar perlakukan tersebut di atas terhadap
54 variable fisik, kimia dan biologi tanah. (Steel dan Torrie, 1989; Mattjik dan Sumertajaya, 2002).
Analisis Usahatani dan Optimalisasi Penggunaan Lahan Penentuan responden petani yang akan diwawancarai diambil dari petani kacang tanah, jagung, kakao atau agroforestri kakao yang telah berproduksi dan dilakukan secara acak pada masing-masing kelompok masyarakat tani yakni petani maju, petani berkembang dan tokoh masyarakat di kawasan DAS Nopu. Jumlah responden yang akan diwawancarai pada tiap kelompok masing-masing 10% dari total petani.
Data yang berhubungan dengan proses produksi dan
pemasarannya yang akan dikumpulkan antara lain luas lahan garapan dan statusnya, jumlah anggota keluarga, tenaga kerja yang tersedia, tenaga kerja yang dibutuhkan pada setiap aktifitas produksi, produksi tanaman yang diperoleh, sarana produksi yang digunakan, teknologi konservasi, pemasaran dan harga per satuan produksi. Untuk mendapatkan data sosial-ekonomi (sosek)
dilakukan
wawancara dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan. Analisis Usahatani Analisis finansial yang dimaksudkan adalah analisis biaya dan pendapatan usahatani yang diperoleh keluarga tani berdasarkan produksi kakao dan pendapatan lain di luar agroforestri kakao. Besarnya pendapatan bersih petani dihitung dengan persamaan (Soekartawi, 1995) : n
n
i =1
i =1
T = ∑ YiPyi − ∑ XiPxi
(10)
T = pendapatan bersih Yi = jumlah output komoditi ke-i Pyi = harga local output komoditi ke-i Xi = jumlah input ke-i Pxi = harga lokal input ke-i Biaya-biaya usahatani adalah semua biaya yang dikeluarkan petani selama proses produksi untuk setiap jenis tanaman yang disusahakan. Secara garis besar biaya tersebut dapat dibagi atas dua bagian yakni biaya variabel (biaya tidak tetap) dan biaya tetap. Biaya-biaya tidak tetap adalah semua biaya yang dikeluarkan
55 petani sesuai dengan jenis usahatani yang akan dikerjakan dan sistem pengelolaan yang akan diterapkannya. Adapun yang termasuk biaya tidak tetap ini antara lain pembelian bibit, pengolahan tanah, pemupukan, pencegahan hama/penyakit, pemanenan, penjemuran hasil (pengolahan hasil) dan pemasaran. Biaya tetap dapat berupa pajak, penyusutan alat, retribusi dan bunga pinjaman. Untuk mengetahui kelayakan usahatani sistem agroforestri kakao yang diusahakan petani digunakan parameter B/C rasio, IRR (internal rate return) dan NPV. Diasumsikan bahwa jenis tanaman yang diusahakan memiliki umur ekonomi tertentu (t) dan menggunakan tenaga kerja keluarga dan modal terbatas. Analisis nilai bersih sekarang (net present value = NPV) dihitung sesuai dengan persamaan (Gittinger, 1973) sebagai berikut: NPV
=
t
∑
t =1
Bt − C t (1 + r ) t
(11)
Bt = manfaat dalam tahun ke-t (Rp), Ct = biaya produksi dalam tahun ke-t (Rp) r = tingkat diskonto dan bunga (%), t = umur ekonomi tanaman (th)
Benefit - cost ratio atau nisbah manfaat dan biaya bersih (BCR) ditentukan berdasarkan perbandingan keuntungan (pendapatan) bersih usahatani (NPV positif) dengan biaya usahatani (NPV negatif) yang dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut:
NetB / C =
∑ ∑
NPV
B − Cpositif
NPV
B − CNegatif
.................................................. (12)
Apabila B/C lebih besar dari satu maka usahatani layak dikembangkan, sebaliknya bila B/C lebih kecil dari l maka usahatani tidak layak untuk dikembangkan Dalam penilaian kelayakan usahatani agroforestri ditetapkan asumsi-asumsi : • Umur ekonomi dari tanaman utama pada usahatani agroforestri adalah 15 tahun, karena peningkatan produksi rata-rata pada umur >13 tahun sudah mulai menurun • Tingkat suku bunga (discount factor) yang digunakan dalam analisis ekonomi adalah 18%. Tingkat suku bunga berperilaku progresif mengurangi nilai sekarang hasil dan manfaat yang diperoleh di waktu yang akan datang.
56 Makin jauh waktu dipilih ke depan, makin kecil nilai manfaat untuk waktu yang akan datang. Usahatani kakao ini, umur ekonomi diperhitungkan 15 tahun dan tergolong usahatani menengah. Tingkat suku bunga 18% yang flat merupakan suku bunga yang diberlakukan oleh pedagang/rentenir setempat saat penelitian berlangsung, mengingat dilokasi penelitian belum ada lembaga keuangan resmi (bank) yang dapat memberikan kredit. • Jensi tanah diasumsikan relatif sama dan topografi tidak menjadi kendala Untuk mengantisipasi terjadinya fluktuasi perubahan jumlah, biaya dan harga produksi, diperlukan analisis sensitifitas dengan asumsi-asumsi sebagai berikut : • Harga produksi turun 15%, jumlah dan biaya produksi tetap • Biaya produksi meningkat 15%, jumlah dan harga produksi tetap • Harga produksi turun 15%, biaya produksi meningkat 15%, jumlah produksi tetap • Jumlah dan harga produksi masing-masing turun 15%, biaya produksi tetap • Jumlah dan harga produksi masing-masing turun 15%, biaya produksi meningkat 15% Besarnya prosentase dalam analisis sensitifitas ditetapkan 15%, karena usahatani pola agroforestry terdapat beberapa jenis tanaman dan/atau ternak di dalamnya, dimana besarnya perubahan jumlah, biaya dan harga produksi masing-masing jenis tanaman dan/atau ternak berbeda-beda. Kebutuhan Hidup Layak Pengertian kemiskinan menurut versi pemerintah sangat beragam, antara lain menurut: (1) BKKBN, kemiskinan adalah jumlah keluarga miskin prasejahtera yang tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya; tidak mampu makan 2 kali sehari; tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja dan bepergian; bagian tertentu dari rumah berlantai tanah; dan tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan; (2) BPS kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang hanya dapat memenuhi kebutuhan makannya kurang dari 2.100 kalori perkapita per hari (Lingkar Diskusi Groningen, 2005); (3) Bappenas (2002), kemiskinan mencakup unsur-unsur: (a) ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar (pangan, pendidikan, kesehatan, perumahan, air
57 bersih, transportasi, dan sanitasi); (b) kerentanan; (c) ketidakberdayaan; (d) ketidakmampuan menyalurkan aspirasinya; Sajogjo (1977) mengemukakan bahwa ukuran garis kemiskian untuk wilayah Indonesia
dispesifikasi atas tiga tingkat kemiskinan yang mencakup
konsepsi “Nilai Ambang Kecukupan Pangan” yaitu miskin, miskin sekali, sangat miskin. Garis kemiskinan tersebut dinyatakan (Rp/bln) dalam ekuivalen dengan nilai tukar beras (kg/orang/tahun) sehingga dapat dibandingkan dengan nilai tukar antar daerah dan antar waktu, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Nilai ambang kecukupan pangan untuk tingkat pengeluaran rumah tangga di daerah pedesaan berkisar antar 240 – 320 kg/orang/tahun,
sedangkan untuk daerah
perkotaan berkisar antara 360 – 480 kg/orang/tahun. Untuk mengukur apakah suatu keluarga tani telah
hidup layak, yakni
apabila keluarga tersebut telah dapat memenuhi kebutuhan meliputi: pangan, tempat tinggal, pakaian, pendidikan, kesehatan, rekreasi, kegiatan sosial dan tabungan. Berdasarkan asumsi tersebut, maka jumlah pendapatan bersih yang harus diperoleh setiap keluarga petani untuk dapat hidup layak minimal senilai beras 320 kg/thn x harga (Rp/kg) x jumlah anggota keluarga x 2,5 (Sinukaban, 2007). Selanjutnya dikemukakan bahwa rincian kebutuhan hidup layak sebagai berikut: • Nilai setara 320 kg beras/org/th untuk kebutuhan fisik minimal (pangan, sandang, papan) dengan rincian 8,89 kg beras x 3 x 12 bl = 320 kg atau dibulatkan 320 kg/org/th (100%). Dalam sehari kebutuhan hidup per orang sebesar 300 g beras dan dalam sebulan 300 g x 30 = 8.89 kg dibulatkan 9 kg/org/bln/kegiatan atau sektor (pangan, sandang dan papan) • Untuk kebutuhan kesehatan dan rekreasi 50% x 320 kg beras/org/th • Kebutuhan pendidikan 50% x 320 kg beras/org/th • Kebutuhan sosial, asuransi dll. 50% x 320 kg beras/org/th Jadi kebutuhan layak bagi sebuah keluarga tani yang terdiri atas 5 orang (ayah, ibu dan 3 orang anak) dengan harga beras Rp 3000/kg, dibutuhkan pendapatan sebesar: 320 kg x Rp.3750 x 5 x 2,5 = Rp.15.000.000/tahun
58 Untuk menetapkan luas lahan minimal (Lm) dalam rangka memperoleh pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL), digunakan persamaan : Lm = KHL/Pb, dimana: Pb adalah pendapatan bersih per hektar. Pengelolaan Usahatani Berkelanjutan Hasil pengamatan erosi, kualitas tanah, total karbon dan luas minimal lahan yang dapat memberikan pendapatan bagi kehidupan layak, akan menjadi acuan dalam perencanaan pengelolaan lahan di DAS Nopu. Langkah selanjutnya adalah mengoptimalkan
pengelolaan
lahan
misalnya
dengan
menekan
erosi,
meningkatkan total karbon dan memperbaiki kualitas tanah. Dalam hal mengoptimalkan penggunaan lahan sangat tergantung pada kondisi masingmasing lahan. Dengan demikian dari pengamatan tersebut di atas, dapat dibuat beberapa alternatif pengelolaan, antara lain sebagai berikut : • Apabila hasil pengamatan pertama yakni erosi melebihi ambang yang dapat ditoleransi, maka diperlukan upaya untuk menekan erosi misalnya dengan penambahan bahan organik (mulsa), pembuatan rorak dan sengkedan. Hal yang sama dilakukan untuk memperbesar infiltrasi dalam rangka menyediakan air dimusim kemarau, agar terjadi keseimbangan debit antara musim hujan dan kemarau. • Apabila kualitas tanah pada lokasi penelitian pada sistem pertanaman tertentu cukup memadai untuk menunjang produksi tanaman, maka hal tersebut akan menjadi model pengembangan, sebaliknya bila kualitas tanah ternyata rendah maka diperlukan usaha-usaha pengelolaannya misalnya pemberian pupuk berimbang. • Apabila hasil pengamatan tentang karbon organik bagian atas tanaman, diatas permukaan tanah dan dalam tanah rendah dan berkaitan erat dengan besarnya erosi, aliran permukaan dan kualitas tanah yang rendah, maka pengelolaannya memerlukan kombinasi perlakuan
misalnya pemberian
mulsa, pembuatan rorak, sengkedan dan pemupukan. Analisis ditujukan untuk mendapatkan pola penggunaan lahan yang berkelanjutan (Sinukaban, 1999) ditinjau dari sisi ekologis, ekonomi dan dengan agroteknologi yang dapat diterima oleh masyarakat setempat pada masing-masing
59 pola penggunaan lahan yang diusahakan di DAS Nopu. Input agroteknologi yang dipilih diharapkan dapat mengakomodasi semua tujuan tersebut secara optimal pada berbagai usahatani/penggunaan lahan. Dengan mengetahui kondisi saat ini pada daerah penelitian, maka dapat dilakukan penilaian apakah sistem pengelolaan usahatani telah memenuhi kriteria pengelolaan lahan yang berkelanjutan atau sebaliknya. Bila kondisinya ternyata belum memenuhi standar pengelolaan bekelanjutan, maka dilakukan simulasi dengan berbagai input agroteknologi yang dapat berupa teknologi pengelolaan tanaman dan tanah, ataupun teknologi konservasi tanah dan air. Simulasi ini dapat dikombinasikan dengan berbagai alternatif hingga
aspek pengelolaan
usahatani berkelanjutan dapat tercapai yakni dari sisi ekologis tidak merusak lingkungan, secara ekonomis dapat memberikan pendapatan untuk memenuhi hidup layak dan dari aspek sosial ekonomi bahwa agroteknologi tersebut dapat diterima dan dikembangkan oleh masyarakat setempat.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Tanah Karbon organik (C-org) Tanah Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao nyata menurunkan kandungan C organik tanah. Penurunan kadar C-organik tanah tersebut terjadi karena pembukaan lahan dilakukan dengan sistem tebang bakar. Kehilangan vegetasi dan serasah yang sebelumnya menutup rapat permukaan tanah mengakibatkan tanah menjadi terbuka sehingga sangat rentan terhadap faktor-faktor iklim terutama cahaya, suhu dan hujan. Selain itu, adanya pengelolaan lahan pertanian sepanjang tahun juga menjadi penyebab menurunnya kandungan karbon organik tanah. Lahan yang terbuka seperti kakao umur ≤3 tahun atau digunakan sebagai lahan jagung dan kacang tanah mengakibatkan kehilangan bahan organik melalui erosi dan aliran permukaan maupun percepatan dekomposisi bahan organik (Tabel 5). Kondisi lahan yang terbuka memungkinkan terjadinya benturan air hujan pada permukaan tanah. Hal ini akan menyebabkan terjadinya dispersi terhadap tanah sehingga melepaskan partikel-partikel halus (liat dan humus) yang kemudian mudah tererosi bila terjadi aliran permukaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa C organik yang hilang melalui erosi pada lahan yang relatif terbuka (kakao umur ≤3 tahun, jagung dan kacang tanah) mencapai 800-900 kg ha-1 th-1. Dengan demikian lahan-lahan pertanian umumnya mengalami degradasi karbon organik karena kehilangan melalui erosi sepanjang waktu bila tanpa usaha konservasi untuk mengatasinya. Kandungan karbon organik tanah akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao tidak mampu balik seperti semula walaupun telah berlangsung 12 tahun. Hal ini terjadi karena dekomposisi bahan organik berlangsung dengan cepat. Perubahan suhu dan kelembaban menciptakan kondisi yang kondusif bagi perkembangbiakan mikro organisme tanah. Berkembangnya mikro organisme dengan pesat menyebabkan kebutuhan bahan organik sebagai sumber energi meningkat. Aktivitas mikro organisme yang intensif tersebut memacu proses dekomposisi bahan organik sehingga cepat berkurang dalam tanah.
61 Kandungan C organik pada lahan hutan sangat tinggi karena produksi serasah tinggi, poses dekomposisi yang stabil dan erosi yang rendah. Dengan demikian deposit C organik terus meningkat karena laju penambahan dari serasah lebih besar dibanding yang hilang melalui erosi (Brown, 1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa status C organik lahan hutan sangat tinggi (>5,00%) kemudian menurun statusnya menjadi sedang (2,01-3,00%) setelah dialihkan menjadi lahan kakao umur ≤3 tahun. Pada lahan jagung dan kacang tanah status karbon organik tanah rendah (1,00-2,00%) namun pada lahan agroforestri vanili berubah menjadi sedang. Kemudian alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao menurunkan status C organik menjadi sedang (umur ≤3 th), rendah (kakao 6-11 th) dan menjadi sedang pada lahan kakao agroforestri 12 th (Lampiran 10). Tabel 5 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao terhadap kadar C-organik tanah Penggunaan Lahan Hut K≤3 Jag Kta Van
C-organik (%) 5,28 a 2,56 b 1,98 b 1,71 b 2,05 b
Penggunaan Lahan Hut K ≤3 K 6 K.A 7 K 11 K-A 12
C-organik (%) 5,28 a 2,56 b 1,61 b 1,97 b 1,64 b 2,14 b
Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom, tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan α 0.05. hutan (Hut), jagung (Jag), kacang tanah (Kta), agroforestri vanili (Van), kakao umur ≤3 th (K3), 6 th (K6), kakao agroforestri 7 th (KA7), kakao 11 th (K11) dan kakao agroforestri 12 th (KA12)
Stabilitas Agregat Hasil analisisi statistik menunjukkan bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao nyata menurunkan indeks stabilitas agregat (ISA) tanah. Lahan hutan memiliki indeks stabilitas agregat sangat stabil (80200) dan setelah dialihkan menjadi lahan pertanian secara perlahan ISA tanah menurun (Tabel 6). Terjadinya perubahan tutupan lahan baik pada kanopi maupun pada permukaan tanah membawa dampak yang sangat besar terhadap jumlah mikroba dan aktivitas perombakan terhadap bahan organik baik dipermukaan maupun dalam tanah. Pada lahan pertanian agregasi tanah akan menurun dengan makin menipis suplai bahan organik ke dalam tanah. Kondisi ini semakin diperburuk lagi dengan adanya kebiasaan petani dalam pengangkutan
62 seluruh hasil panen keluar dari lahan pertanian. Dalam lahan hutan terjadi stabilitas aktivitas mikro organisme tanah karena suplai energi dari serasah yang kontinyu yang pada gilirannya akan menghasilkan substrat-substrat dan miselia yang dapat mempertahankan stabilitas agregat tanah. Alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao nyata menyebabkan penurunan stabilitas agregat tanah setelah kakao berumur > 6 tahun bila ditanam dengan sistem monokultur (Tabel 6). Sementara itu, bila kokao ditanam dengan sistem agroforestri agregasi tanah nyata menurun setelah berumur 12 tahun. Namun demikian secara keseluruhan status stabilitas agregat tanah daerah penelitian umumnya masih dalam kondisi stabil (66-80) karena pembukaan dan penyiapan lahan dilakukan secara konvensional. Konversi lahan hutan menjadi lahan kakao yang umumnya dilakukan dengan sistem tebang bakar mengakibatkan hilangnya sebagian besar bahan organik, berkurangnya jumlah dan komposisi mikro organisme tanah. Kondisi lahan yang terbuka tersebut memungkinkan terjadinya pengurasan bahan organik tanah akibat erosi dan aliran permukaan. Tisdall dan Oades (1982) mengelompokan bahan organik pemantap agregat dalam 3 kelompok, yaitu : a) transient, terutama berupa polisakarida, b) temporer, berupa akar dan hifa, c) persisten, terutama berupa senyawa-senyawa aromatik yang berasosiasi dengan kation logam atau polimer yang teradsorbsi. Akar dan hifa merupakan pemantap agregat makro (diameter >250 um), sedang agregat mikro sangat dipengaruhi oleh bahan organik yang persisten. Stabilitas agregat
mikro merupakan
karakteristik tanah yang tidak dipengaruhi oleh
pengolahan tanah, sebaliknya stabilitas agregat makro sangat dipengaruhi, oleh karena itu pengolahan tanah mempengaruhi perkembangan akar (Oades, 1993). Hasil pengukuran ISA dilokasi penelitian menunjukkan bahwa lahan hutan memiliki ISA sangat stabil sementara pada lahan pertanian bervariasi dari sangat stabil hingga agak stabil (Lampiran 6). Pengelolaan yang relatif intensif mengakibatkan dekomposisi bahan organik berlangsung cepat dengan demikian kandungan bahan organik tanah cepat berkurang. Kondisi ini diperburuk oleh rendahnya suplai bahan organik karena sebagian serasah tanaman semusim terangkut dari lahan saat panen berlangsung. Kondisi agregasi tanah relatif sama
63 terjadi pada alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao setelah umur 6 tahun turun drastis bila ditanam
secara monokultur. Menurunnya agregasi tanah
tersebut terjadi karena kandungan bahan organik tanah semakin berkurang. Agregasi tanah pada lahan kakao monokultur hingga umur 11 tahun terus menurun. Namun kakao dengan sistem agroforestri hingga umur 7 tahun agregasi tanah lebih stabil dan setelah berumur 12 tahun cenderung menurun karena kadar karbon organik tanah juga semakin menurun. Tabel 6 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao terhadap indeks stabilitas agregat tanah Penggunaan Lahan
Penggunaan Lahan
ISA
Hut
129,55
b
K≤3
102,75
ab
Jag
66,35
a
Kta
67,85
a
Van
72,55
a
Hut K ≤3 K 6 K.A 7 K 11 K-A 12
ISA 129,55 102,75 78,65 88,37 73,25 77,25
b ab a ab a a
Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom, tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan α 0.05
Porositas dan Bobot Isi Hasil uji statistik menunjukkan bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian nyata meningkatkan bobot isi dan nyata menurunkan porositas tanah (Tabel 7). Lahan hutan memiliki bobot isi tanah nyata lebih kecil dan porositas yang tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan untuk agroforestri vanili. Kondisi ini sangat berhubungan dengan kandungan bahan organik pada lahan hutan yang masih tinggi Kandungan bahan organik yang tinggi pada lahan hutan menciptakan ruang pori atau porositas tanah tinggi, sebaliknya bobot isi tanah menjadi lebih ringan.
Bobot isi berbanding terbalik dengan porositas
tanah, bila bobot isi tanah rendah maka porositas tanah tinggi dan sebaliknya bila bobot isi tanah tinggi maka porositas tanah rendah. Salah satu faktor penyebab meningkatnya bobot isi/penurunan porositas tanah pada lahan pertanian adalah adanya pengelolaan yang dilakukan secara intensif dalam rangka mendapatkan hasil yang maksimal (Iqbal et al., 2006). Pengelolaan lahan yang dilakukan secara reguler seperti mengolah tanah, menyiang, memupuk, pencegahan hama/penyakit, mengairi, panen dan sebagainya mengakibatkan terjadinya
64 pemadatan tanah. Erosi dan aliran permukaan juga memberi andil yang berarti pada peningkatan bobot isi tanah, dimana material-material halus mengisi pori tanah dan atau hilangnya bahan organik tanah melalui erosi. Hasil analisisi statistik menunjukkan bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao nyata meningkatkan bobot isi dan sebaliknya nyata menurunkan porositas tanah (Tabel 7). Semakin lama penggunaan lahan sebagai lahan semakin meningkat pula bobot isi dan sebaliknya porositas tanah menurun. Meningkatnya kepadatan tanah tersebut karena tingginya frekuensi kunjungan petani, terutama pada lahan yang dekat dengan pemukiman. Akses yang cukup dekat tersebut memungkinkan petani dan keluarganya senantiasa mengunjungi lahan tersebut dalam rangka pemeliharaan dan pengambilan hasil panen tanaman lainnya yang ditanam secara campuran dengan kakao. Penggunaan lahan pada daerah yang landai awalnya saat dibuka menjadi lahan pertanian digunakan sebagai lahan sawah dan pertanaman palawija. Namun seiring berkembangnya tanaman kakao dengan pesat di daerah Sulawesi Tengah diawal tahun 1990-an membuat masyarakat mengkonversi lahan sawah menjadi perkebunan kakao yang memiliki nilai ekonomis yang lebih menguntungkan. Selain itu karena keterbatasan sumber air irigasi yang tidak dapat mencukupi kebutuhan lahan pertanain karena kondisi iklim yang kadang tidak menentu. Tabel 7 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan lahan kakao terhadap bobot isi dan porositas tanah Penggunaan Lahan
Bobot isi (g cm-3)
Porositas (%)
Penggunaan Lahan
Hut
0,77 a
70,94 a
Hut
K≤3
0,97ab
63,40 ab
Jag
1,00ab
62,26ab
Kta
1,16ab
56,23 ab
Van
1,32 b
50,19 b
K ≤3 K 6 K.A 7 K 11 K-A 12
Bobot isi (g cm-3) 0,77 a
Porositas (%) 70,94 a
0,97ab
63,40ab
1,08ab
59,25ab
1,14ab
56,98ab
1,28 b
51,70 b
1,15ab
56,60ab
Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom, tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan α 0.05
Permeabilitas Hasil analisisi statistik menunjukkan bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian nyata menurunkan permeabilitas tanah pada kedalaman
65 10 cm dan 30 cm. Lahan hutan memiliki permeabilitas yang sangat tinggi (>25 cm/jam)
karena tumpukan seresah yang mengalami penambahan dan
perombakan secara alamia. Sebaliknya pada sistem budidaya pertanian terjadi campur tangan manusia dalam mengelola usahataninya. Adanya pengaturan jarak tanam sehingga cahaya matahari mencapai permukaan tanah, pengolahan tanah, pembersihan gulma memacu terjadi perombakan bahan organik/serasah sehingga dalam waktu singkat kehilangan bahan organik. Kondisi ini dipacu juga oleh tingkat kunjungan petani ke lahan usahataninya yang pada akhirnya mengakibatkan peningkatan kepadatan tanah. Meningkatnya kepadatan tanah tersebut menyebabkan porositas tanah berkurang, dengan demikian kapasitas tanah melewatkan air ke dalam tanah (permeabilitas) menurun (Tabel 8). Ada kecenderungan bahwa lahan hutan yang telah dialihgunakan menjadi lahan pertanian mengalami penurunan permeabilitas seperti lahan kacang tanah, jagung dan vanili, sebaliknya pada lahan yang baru dibuka tingkat penurunan permeabilitasnya relatif masih rendah (kakao umur ≤ 3 tahun). Terjadinya penurunan kapasitas permeabilitas ini sangat dipengaruhi oleh kepadatan tanah, hal ini dapat dilihat pada indikator bobot isi tanah. Peningkatan kepadatan tanah juga dapat terjadi karena pengolahan yang intensif terutama pada lahan tanaman semusim yang kurang diimbangi dengan usaha perbaikan fisik tanah misalnya dengan pemupukan organik. Selain itu intensitas
kunjungan petani ke lahan pertaniannya, semakin dekat dengan
pemukiman cenderung meningkatkan kepadatan tanah pertanian. Pada Tabel 8 terlihat bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao nyata menurunkan permeabilitas tanah pada kedalaman 10 cm dan 30 cm. Penurunan sangat tajam terjadi pada lahan kacang tanah dimana dalam penyiapannya dilakukan dengan pengolahan tanah sehingga terjadi pemecahan partikel tanah secara mekanik. Kondisi ini memungkinkan terjadinya pengsian pori tanah oleh partikel liat sehingga sulit melewatkan air ke dalam tanah. Tingkat kualitas permeabilitas lahan hutan sangat cepat(>25 cm/jam), pada lahan kakao umur < 3 tahun
sangat cepat hingga cepat (12,51-25,00
cm/jam) dan pada lahan kacang tanah yakni sedang hingga agak cepat (2,0112,50 cm/jam). Sementara pada alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao
66 bervariasi dari sangat cepat hingga sedang (2,01- >25,00 cm/jam). Kriteria kualitas permeabilitas tanah disajikan pada Lampiran 5. Tabel 8 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao terhadap permeabilitas tanah (cm jam-1) Penggunaan Lahan
Dalam 10 cm
Dalam 30 cm
Hut
114,20c
29,39 a
Penggunaan Lahan Hut
52,5bc
13,04ab
K ≤3
10,07ab
4,87 b
K≤3
Dalam 10 cm 114,20 c
Dalam 30 cm 29,39a
52,51 b
13,04a
K 6 7,41 a 2,93a KA7 19,72ab 4,67a Kta 7,60 a 2,67 b K 11 4,09 a 2,50a Van 9,07ab 5,54 b K-A 12 11,03ab 4,91a Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama salam satu kolom tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan α 0.05 Jag
Pada Tabel 9 disajikan korelasi C-organik dengan sifat fisik tanah seperti stabilitas agregat, porositas, bobot isi dan permeabilitas dihubungkan satu dengan yang lain, maka diperoleh korelasi yang sangat tinggi diantara sifat-sifat tanah tersebut. Karbon organik memiliki korelasi positif yang sangat erat dengan sifat tanah stabilitas agregat, porositas dan permeabilitas. Semakin tinggi kadar Corganik tanah maka akan berdampak positif terhadap stabilitas agregat, porositas dan permeabilitas tanah. Kemudian C-organik berkorelasi negatif yang kuat dengan bobot isi tanah, dimana semakin tinggi kandungan C-organik tanah maka bobot isi makin kecil. Tabel 9 Korelasi C-organik dengan sifat-sifat tanah pada alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao Sifat tanah C-organik Indeks Stabilitas Agregat Porositas Bobot isi Permeabilitas 10 cm Permeabilitas 30 cm
Satuan (%) (%) (g/cm3) (cm/jam) (cm/jam)
Korelasi (%) 0.92 0.88 -0.90 0.98 0.93
Nitrogen dan Fosfor Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kandungan N (nitrogen) dan P (phospor = fosfor)) tanah nyata menurun akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian sebagaimana disajikan pada Tabel 10. Kadar N tanah di bawah
67 tegakan hutan
lebih tinggi karena kandungan bahan organik tanah yang
merupakan sumber alami utama N juga masih tinggi. Sebaliknya N berkurang dengan nyata bila kadar bahan organik tanah rendah sebagaimana yang terjadi pada lahan agroforestri
vanili. Apabila dilihat kriteria sifat kimia tanah
(Lampiran 10), kandungan N lahan hutan, kakao umur ≤3 tahun dan jagung umumnya sedang, kecuali lahan kacang tanah dan vanili kadarnya rendah. Analisisi statistik menunjukkan bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian nyata menurunkan kadar fosfor. Kadar fosfor menurun setelah digunakan sebagai lahan tanaman jagung dan kacang tanah. Perubahan penggunaan lahan hutan menjadi lahan pertanian secara perlahan terjadi degradasi kandungan fosfor tanah. Kandungan fosfor tanah daerah penelitian sangat rendah menurut kriteria Pusat Penelitian Tanah Bogor. Secara keseluruhan nampak bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian menunjukkan adanya penurunan kadar N dan P tanah. Hal ini dapat terjadi karena dengan terbukanya lahan suhu akan meningkat sehingga laju dekomposisi bahan organik dipercepat. Selain itu serapan N dan P oleh tanaman yang kemudian diangkut keluar dari lahan dalam bentuk hasil. Kandungan hara N dan P akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao disajikan pada Tabel 10. Alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao nyata menyebabkan penurunan kadar N setelah kakao berumur
>10 tahun baik
monokultur maupun agroforestri. Sedangkan kadar P tanah menurun setelah kakao berumur >10 yang ditanam secara monokultur. Sistem agroforestri memiliki perakaran dalam yang dapat mengangkat hara P yang jauh di dalam tanah yang dikembalikan dalam bentuk bahan organik. Secara umum nampak bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao menyebabkan terjadinya penurunan kadar N dan P. Kondisi ini terjadi karena sebagian hara telah terangkut oleh erosi dan aliran permukaan serta terangkut dalam hasil panen biji kakao. Kondisi ini diperparah lagi oleh tidak adanya usaha pemupukan untuk mensuplai hara ke dalam tanah. Status hara N pada lahan kakao taraf sedang hingga rendah dan P tersedia umumnya sangat rendah. Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian yang umumnya dilakukan dengan sistem tebang bakar mengakibatkan sebagian besar tumpukan bahan
68 organik habis terbakar dan sebagian lagi terbawa erosi saat terjadi hujan Kandungan N tanah pada lahan hutan, kakao umur ≤ 3 dan lahan jagung tarafnya sedang (0,21- 0,50%) dan terus menurun menjadi rendah setelah digunaan menjadi kacang tanah dan vanili. Sedangkan kandungan P tersedia tanah tempat penelitian umumnya sangat rendah (<10 ppm). Dinamika kandungan N dan P tanah ketika alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao umumnya menurun, namun bila kakao ditanam dengan sistem agroforestri kandungan unsur P relatif stabil setelah kakao berumur 12 tahun. Sumbangan bahan organik dari serasah baik dari tanaman kakao maupun pohon pelindung pada sistem pertanian agroforestri memiliki peran penting dalam pemeliharaan hara tanah. Tabel 10 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao terhadap kandungan N dan P2O5 tanah Penggunaan Lahan
N (% )
Penggunaan Lahan
N (% )
P2O5 (ppm)
Hut
0,38 a
4,32 a
Hut
0,38 a
P2O5 (ppm) 4,32 a
K≤3
0,35 a
3,78ab
K ≤3
0,35 a
3,78ab
Jag
0,28ab
1,86 b
K 6
0,29ab
3,38ab
0,20ab
1,51 b
K.A 7
0,24ab
3,97ab
Kta
2,52 b
Van
2,92ab
K 11
0,19 b
0,18 b
K-A 12
0,20 b
4,08ab
Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom, tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan α 0,05
Kandungan K, Ca dan Mg Tanah Hasil analisis laboratorium kadar K, Ca dan Mg tanah akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan lahan kakao disajikan pada Tabel 11. Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian nyata menurunkan kation Ca dan Mg. Sedangkan alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao tidak mempengaruhi kadar K, Ca dan Mg tanah. Berkurangnya konsentrasi Ca dan Mg pada lahan yang ditanami kacang tanah, jagung dan Ca pada lahan vanili karena lahan tersebut telah mengalami pencucian dan erosi yang cukup besar. Lahan vanili sebelumnya merupakan lahan yang ditanami tanaman semusim sehingga diduga telah banyak kehilangan kalsium baik oleh erosi, aliran permukaan maupun karena terangkut hasil panen.
69 Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa
alih guna lahan hutan
menjadi lahan kakao tidak nyata terhadap kandungan Ca, K dan Mg tanah (Tabel 11). Taraf kadar Ca dalam tanah daerah penelitian bervariasi dari rendah hingga tinggi, kemudian Mg pada taraf sedang sampai tinggi dan K umumnya bertaraf rendah hingga sangat tinggi (Lampiran 10). Kalsium dan magnesium semakin berkurang ketersediaannya dengan bertambahnya waktu pengalihan lahan hutan. Pengangkutan hara melalui hasil panen, adanya erosi menjadi faktor penyebab berkurangnya hara esensial tersebut. Secara alamiah kalium, kalsium dan maksium bersumber dari mineral-mineral primer dalam tanah. Ketersedian hara tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat pelapukan bahan induk dan kondisi kemasaman tanah. Mineral pemasok kalium dalam tanah antara lain feldspar, mika dan lain-lain, sedangkan kalsium berasal dari meneral dolomit, karbonat, plagioklas dan magnesium bersumber dari meneral dolomit, biotit, augit dan sebagainya (Hardjowigeno, 1993). Tabel 11 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao terhadap kandungan Ca, Mg, dan K (mmol kg-1) tanah Penggunaan Lahan
Ca
Mg
K
Penggunaan Lahan Hut
Ca
Mg
K
135,42
37,27
4,48
K ≤3
68,99
29,06
5,80
K 6
87,43
11,90
3,86
Hut
135,42 a
37,27 a
4,48
K≤3
68,99ab
29,06ab
5,80
Jag
84,48ab
10,24 b
6,30
K,A 7
96,03
12,44
7,63
Kta
91,62ab
12,24 b
6,19
K 11
60,64
13,98
2,62
Van
53,97 b
25,20ab
3,97
K-A 12
116,83
18,13
4,50
Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan α 0.05
Mikrobia Tanah Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa total karbon mikrobia (C-mik) lahan hutan nyata lebih tinggi dibanding dengan total C-mik lahan kacang tanah, jagung dan kakao umur ≤3 tahun. Ketersedian serasah pada lahan hutan dan agroforestri vanili menjadi faktor penting bagi perkembangan mikroorganisme tanah. Pada kedua lahan tersebut tersedia cukup banyak serasah yang merupakan sumber energi bagi mikrobia tanah. Penumpukan bahan organik yang berlangsung kontinyu memungkinkan proses dekomposisi berlangsung secara
70 alami sehingga cadangan bahan organik tetap tersedia sepanjang waktu. Sebaliknya pada lahan pertanian (lahan kacang tanah, jagung dan kakao umur ≤3 tahun) terjadi campur tangan manusia dalam pengelolaannya sehingga menciptakan kondisi yang memungkin proses dekomposisi bahan organik berlangsung dengan cepat. Selain itu rendahnya tingkat penutupan kanopi dan permukaan tanah yang berdampak pada kondisi mikro iklim (suhu dan kelembaban tanah) yang menyebabkan perkembangan miroorganisme tanah terhambat. Suplai serasah yang relatif sedikit menyebabkan cadangan energi bagi mikroorganime menjadi berkurang sehingga komposisi jenis dan perkembangan populasi rendah. Kandungan C-mik pada alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao sebagaimana disajikan pada Tabel 12 menunjukkan bahwa lahan hutan memiliki total C-mik nyata lebih tinggi dibanding dengan semua lahan kakao yang diamati. Kemudian C-mik meningkat secara perlahan setelah tanaman kakao umur ≤3 tahun berkembang menjadi lahan kakao agroforestri umur 7 dan kakao umur >10 tahun baik yang ditanam dengan sistem monokultur maupun agroforestri. Penutupan tajuk yang memadai dan tingginya tumpukan serasah menjadi faktor penentu terhadap jumlah mikribia tanah, hal ini berkaitan dengan adanya sumber energi dan kestabilan mikro iklim yang memungkinkan berkembangnya mikrobia tanah.
Pada lahan dengan kondisi penutup tanah relatif kecil dan
penutupan kanopi tanaman yang relatif sedikit menjadi faktor pembatas terhadap perkembangan mikrobia tanah pada lahan kakao umur ≤3 tahun, tanaman jagung dan tanaman kacang tanah. Total karbon mikrobia ini juga menjadi tolok ukur bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian terjadi penurunam jumlah mikrobia dalam tanah. Terjadinya degradasi ini disebabkan oleh adanya pengelolaan yang intensif terutama pada sistem pertanian tanaman semusim, demikian pula halnya pada lahan kakao umur ≤3 tahun yang umumnya dibarengi dengan penanaman tanaman semusim diantara tanaman kakao. Kondisi lahan yang terbuka memacu proses dekomposisi bahan organik akan lebih dipercepat, sebaliknya diwaktu musim hujan sebagian besar hasil dekomposisi tersebut terbawa air aliran permukaan bersamaan terjadinya erosi (Stevenson, 1994; Pujiyanto, 1996).
71 Tabel 12 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao terhadap total C-mik tanah Penggunaan Lahan Hut K≤3 Jag Kta Van
C-mik (ppm) 560,46 a 194,11 b 223,61 b 239,02 b 379,01 ab
Penggunaan Lahan Hut K ≤3 K 6 K.A 7 K 11 K-A 12
C-mik (ppm) 560,46 a 194,11 b 250,98 b 307,74ab 316,33ab 324,22ab
Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom, tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan α 0,05
Stok Karbon dan Penutupan Permukaan Tanah Stok Karbon Hasil pengamatan dinamika stok karbon akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disajikan pada Tabel 13. Pengamatan stok karbon dilakukan dengan mengambil sampel pada beberapa plot ukuran 10 m x 10 m. Lahan hutan memiliki stok karbon nyata lebih tinggi (358,46 t.ha-1) dibanding stok karbon pada penggunaan lahan jagung (5,07 t.ha-1), kacang tanah (3,59 t.ha1
), agroforestri vanili (39,90 t.ha-1) ataupun kakao umur ≤3 tahun (19,36 t.ha-1). Hutan memiliki kapasitas stok karbon yang jauh lebih besar dibanding
dengan sistem pertanian karena populasi pohon/vegetasinya sangat tinggi. Akumulasi karbon yang sangat kompleks dalam jaringan kayu menjadikannya sangat padat. Diameter batang yang besar dan pohon/vegetasi yang tinggi merupakan wujud tingginya daya serap karbon hutan. Sebaliknya
tanaman
semusim seperti jagung dan kacang tanah yang merupakan jenis
tanaman
berbatang bukan kayu memiliki kapasitas yang terbatas dalam mengikat karbon. Hasil penelitian Tomich et al. (1998) menunjukkan bahwa lahan hutan alami di Riau memiliki stok karbon sebesar 497 t.ha-1 dan menurun drastis bila hutan dikonversi menjadi lahan tanaman semusim. Data pada Tabel 13 menunjukkan bahwa lahan hutan memiliki stok karbon nyata lebih tinggi dibanding
pada semua penggunaan lahan kakao.
Sistem pertanaman kakao agroforestri yang telah berumur 12 tahun memiliki stok karbon (132,25 t.ha-1) nyata lebih tinggi dibandingkan dengan lahan kakao umur ≤3 tahun (19,36 t.ha-1) dan kakao umur 6 dan 7 tahun (39,43 t.ha-1 dan
72 57,62 t.ha-1). Kakao dengan sistem agroforestri memiliki stok karbon cukup tinggi karena memiliki pohon pelindung yang pertumbuhannya cepat seperti dadap, glisideae ataupun pohon buah-buahan. Tabel 13 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan lahan kakao terhadap stok karbon Stok Karbon Penggunaan Stok Karbon Penggunaan Lahan (t ha-1 ) Lahan (t ha-1 ) 358,46 d 358,46 c Hut Hut 19,36 a K ≤3 19,36ab K≤3 39,43ab K 6 5,07 a Jag 57,62ab K.A 7 3,59 a Kta 74,19bc K 11 39,90 b Van 132,25 c K-A 12 Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan α 0,05
Karbon Serasah Hasil uji statistik menunjukkan bahwa lahan hutan memiliki karbon serasah penutup tanah nyata lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya (Tabel 14). Penumpukan serasah pada lantai hutan stabil karena proses pelapukan berlangsung secara alami tanpa proses percepatan. Sebaliknya pada lahan pertanian selain serasah yang dihasilkan relatif sedikit, populasi tanaman rendah, juga karena pengelolaan yang mempercepat proses dekomposisi. Pada pertanian tanaman semusim seperti tanaman jagung dan kacang tanah serasah yang diproduksi sangat sedikit dan umumnya ditumbuhi rerumputan dan apabila dibersihkan maka sebagian besar lahan akan terbuka. Sebaliknya pada lahan hutan dan agroforestri vanili memiliki tumpukan serasah yang cukup banyak yang berasal dari guguran daun, pohon/ranting, kulit buah/bunga. Selain itu kedua penggunaan lahan tersebut memiliki tanaman bawah berupa semak/rumput.
Laju dekomposisi bahan organik/serasah pada
lahan pertanian relatif lebih tinggi karena kelembaban dan suhu sesuai bagi proses dekomposisi dibanding dengan bahan organik dibawah tegakan hutan dengan mikro iklim relatif stabil (Stevenson, 1994). Stok karbon serasah lahan hutan nyata lebih tinggi dibandingkan dengan semua tingkatan umur
kakao.
Jumlah karbon serasah yang terdapat pada
permukaan tanah sangat mempengaruhi penutupan permukaan tanah pada
73 masing-masing penggunaan lahan.
Jumlah karbon serasah memiliki korelasi
positif dengan tingkat penutupan permukaan tanah, semakin besar total karbon serasah maka tingkat penutupan permukaan tanah meningkat. Tabel 14
Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian terhadap stok karbon serasah
Penggunaan Lahan Hut K≤3 Jag Kta Van
Stok karbon serasah (t ha-1) 16,03c 0,45a 0,26a 0,25a 5,79b
Penggunaan Lahan Hut K ≤3 K 6 K.A 7 K 11 K-A 12
Stok karbon serasah (t ha-1) 16,03b 0,45a 1,23a 1,73a 2,08a 3,37a
Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan α 0,05
Penutupan Permukaan Tanah Data
hasil
pengamatan
prosentase
penutupan
permukaan
tanah
menunjukkan bahwa alih guna lahan huatn menjadi lahan pertanian nyata menurunkan tingkat penutupan permukaan tanah (Tabel 15). Hal ini terjadi karena serasah yang dihasilkan tanaman semusim dan kakao umur ≤3 tahun sangat rendah. Selain itu tindakan pengelolaan yang intensif dalam rangka pemeliharaan tanaman juga menjadi penyebab sebagian serasah mudah terdekomposisi. Sebaliknya pada lahan hutan penumpukan serasah pada lantai hutan berlangsung secara alami dimana proses dekomposisi berlangsung secara alami atau tanpa campur tangan manusia. Lahan yang ditanami jagung, kacang tanah dan kakao umur ≤ 3 tahun rendah masing-masing
memiliki penutupan permukaan tanah yang
kurang dari 30 %. Penutupan permukaan tanah
agroforestri vanili mencapai 78,6%. Rendahnya penutupan permukaan tanah pada sistem pertanian tanaman semusim terjadi karena adanya penyiapan lahan dan pemeliharaan tanaman secara berkala yakni penyiangan dan pembumbunan. Selain itu, sewaktu panen sebagian sisa tanaman dibakar atau digunakan sebagai pakan ternak tambahan. Kondisi yang sama terjadi pada tanaman kakao umur ≤ 3 tahun, ketika ditumpangsarikan dengan jagung ataupun kacang tanah.
74 Alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao nyata menurunkan tingkat penutupan permukaan tanah ketika kakao berumur ≤3 tahun. Pembukaan lahan dengan sistem tebang bakar mengakibatkan bahan organik berkurang sehingga menyebabkan
permukaan
tanah
menjadi
terbuka.
Namun
dengan
berkembangnya tanaman kakao, penutupan permukaan tanah kembali meningkat nyata ketika kakao dengan sistem agroforestri berumur 12 tahun (Tabel 15). Penutupan terendah terjadi pada saat tanaman berumur ≤ 3 tahun dan cenderung meningkat seiring dengan semakin besarnya tanaman kakao, terlebih lagi bila ditanam dengan sistem agroforestri. Tanaman kakao yang telah berumur >10 tahun menghasilkan serasah cukup banyak sehingga dapat menutup permukaan tanah sampai 80%.
Semakin bertambahnya serasah, penutupan
permukaan tanah pada kakao semakin bertambah. Fluktuasi kondisi penutupan permukaan tanah pada lahan kakao yang masih remaja dan yang dewasa juga sangat dipengaruhi oleh tingkat pengelolaan. Pada kondisi tertentu petani mengumpulkan serasah disuatu tempat lalu membakarnya, mengumpulkannya dalam gundukan dalam barisan diantara tanaman dan yang lainnya dibiarkan berserakan menutupi permukaan tanah.
Bertambahnya jumlah serasah yang
dihasilkan seiring dengan semakin berkembangnya tanaman kakao memberikan dampak positif terhadap keterlindungan tanah dari terpaan langsung air hujan. Serasah juga menjadi cadangan energi bagi mikro organisme tanah dan deposit bahan organik tanah. Tabel 15 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian terhadap penutupan permukaan lahan Penggunaan Penggunaan Penutupan (%) Penutupan (%) Lahan Lahan 96,75 a 96,75a Hut Hut 26,25 b K≤3 26,25b K≤3 62,38ab K 6 22,05b Jag 71,75ab KA7 24,10b Kta 73,80ab K 11 78,60ab Van 80,20 a K A 12 Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan α 0,05
75 Aliran Permukaan dan Erosi Curah Hujan Hasil pengamatan curah hujan selama penelitian menunjukkan bahwa curah hujan tinggi (>200 mm) terjadi pada bulan Juni hingga Juli. Curah hujan dengan kategori sedang (antara 100-200 mm) terjadi selama lima bulan dan yang lain curah hujan dengan kategori rendah (<100 mm). Total curah hujan (CH) selama penelitian 1.467,3 mm atau rata-rata 122,3 mm/bulan dengan jumlah hari hujan (HH) 89 hari (Lampiran 7). Curah hujan yang terjadi saat penelitian berlangsung jumlahnya relatif lebih rendah dari curah hujan rata-rata sebelumnya, demikian pula distribusinya dan musim hujan yang terjadi relatif tidak sama, dimana konsentrasi hujan terjadi di musim angin timur. Aliran Permukaan Hasil uji statistik menunjukkan bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan lahan kakao nyata meningkatkan aliran permukaan (runoff = RO) sebagaimana disajikan pada Tabel 16. Peningkatan aliran permukaan ini terjadi oleh karena menurunnya kualitas tanah pada lahan pertanian (jagung, kacang tanah, agroforestri vanili dan kakao umur ≤ 3 tahun dan). Adanya faktor pengelolaan yang dilakukan
oleh para petani mengakibatkan penutupan
permukaan tanah dan kualitas tanah menurun drastis. Lahan hutan memiliki penutupan yang terdiri atas beberapa strata kanopi yang efektif meredam energi kinetik air hujan dan mengurangi jumlah air yang tiba di permukaan tanah. Tingkat kerapatan populasi tanaman pada lahan pertanian yang rendah menyebabkan sebagian besar hujan dapat mencapai permukaan tanah, sebaliknya vegetasi hutan efektif mengintersepsi air hujan. Lahan hutan jauh lebih efektif menyerap dan menyimpan air dibanding lahan penggunaan lainnya. Hal ini terjadi karena lahan hutan memiliki porositas tinggi sehingga permeabilitasnya sangat cepat. Selain itu karena kandungan bahan organik yang tinggi, dimana bahan organik dapat menyerap air sangat tinggi yakni 20 kali lipat dari bobot keringnya (Stevenson, 1998). Terciptanya tumpukan bahan organik yang tebal sangat efektif meredam energi kenetik air hujan sehingga butir air hujan tidak langsung menerpa butiran tanah. Dengan demikian tidak terjadi dispersi partikel tanah sehingga tidak
76 tersedia butiran tanah yang akan tererosi ketika terjadi aliran permukaan. Porositas tanah yang tinggi dapat mencegah laju aliran permukaan sebagaimana yang diperoleh dalam penelitian ini. Dengan kondisi demikian memungkinkan air masuk dalam tanah hingga kapasitas tertentu dan bila telah jenuh maka akhirnya akan mengalir di atas permukaan tanah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lahan hutan memeiliki kemampuan yang tinggi dalam memelihara kualitas tanah, mencegah erosi dan menyerap air. Begitu besarnya kapasitas hutan dalam pengaturan tata hidrologi baik pada kanopi maupun kapasitas penyerapan air hujan yang tiba pada permukaan lahan hutan, maka perlu pengaturan yang tepat dan bijaksana dalam pengelolaan suatu kawasan DAS, dimana diperlukan kawasan hutan minimal 30% dari total luas DAS sesuai dengan UU No. 41. Akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian atau kakao menghasilkan koefisien aliran permukaan yang beragam. Koefisien aliran permukaan lahan hutan 4,07% dan meningkat setelah dialihkan menjadi lahan kakao umur ≤ 3 tahun (20,53%), tanaman semusim (31,68%-34,20%), dan lahan agroforestri vanili (19,36%). Alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao menyebabkan peningkatan aliran permukaan yang nyata pada semua tingkatan umur kakao (Tabel 16). Aliran permukaan pertanaman kakao umur ≤ 3 tahun nyata lebih rendah bila dibandingkan dengan jumlah aliran permukaan pada kakao umur 11 tahun yang ditanam dengan sistem monokultur. Namun bila kakao ditanam dengan sistem agroforestri jumlah aliran permukaan dapat ditekan. Meningkatnya aliran permukaan pada lahan kakao dewasa karena terjadi pemadatan tanah. Kunjungan petani kelahan dalam rangka pemeliharaan yang intensif dan sistem panen kontinyu menjadi penyebab kepadatan tanah pada lahan kakao. Hal tersebut mengakibatkan permeabilitas menurun sehingga menjadi pembatas dalam penyerapan air kedalam tanah. Tingginya aktifitas petani pada lahan kakao yang telah berproduksi menyebabkan kondisi tanah semakin padat dengan demikian air sulit meresap ke dalam tanah sehingga aliran permukaan semakin besar. Hal ini terlihat dengan semakin besarnya koefisien aliran permukaan yakni 20,53% saat kakao berumur ≤3 tahun dan meningkat menjadi 28,26%-35,29% ketika kakao berumur >10 tahun.
77 Tabel 16 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao terhadap aliran permukaan selama penelitian berlangsung Aliran permukaan (mm)
Koefisien RO* (%)
59,67 a
4,07
K≤3
301,24bc
20,53
Jag
464,87 c
31,68
Kta
501,89 c
34,20
Van
284,01 b
19,36
Penggunaan Lahan Hut
Penggunaan Lahan
Aliran permukaan (mm)
Koefisien RO* (%)
Hut K ≤3 K 6 K.A 7 K 11 K-A 12
59,67 a 301,24 b 366,59 bc 352,17bc 517,89 c 414,73 bc
4,07 20,53 24,98 24,00 35,29 28,26
Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom, tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan α 0,05; A= agroforestri, RO= runoff, *CH=1.467,3 mm (Koefisien. RO= RO/CH x 100%).
Erosi Hasil uji statistik menunjukkan bahwa lahan hutan menghasilkan erosi nyata lebih rendah bila dibandingkan erosi yang terjadi pada lahan vanili, kacang tanah, jagung dan kakao umur ≤3 tahun (Tabel 17).
Kondisi areal pertanaman
yang relatif terbuka pada lahan kacang tanah, jagung dan kakao umur ≤3 tahun memungkinkan air hujan dapat langsung membentur permukaan tanah menjadi faktor utama terjadinya erosi yang lebih tinggi pada ketiga lahan tersebut. Sedangkan pada lahan agroforestri vanili dan hutan erosi yang terjadi relatif kecil karena tingkat penutupan serasah dan rerumputan pada lahan hutan dan areal agroforestri vanili sangat tinggi. Erosi yang berasal dari lahan hutan dan agroforestri kakao umur >10 tahun nyata lebih rendah dibanding dengan erosi yang berasal dari lahan kakao umur ≤3 tahun dan kakao monokultur umur 6 tahun (Tabel 17). Tingginya erosi yang terjadi pada lahan kakao umur ≤3 tahun karena terbukanya permukaan tanah akibat belum tersedia serasah yang memadai sebagai penutup tanah. Selain itu sistem tumpangsari dengan tanaman semusim (jagung, kacang tanah atau singkong) menyebabkan petani melakukan penyiangan/pembersihan rerumputan. Namun demikian dengan semakin besarnya tanaman kakao (umur >10 tahun), serasah yang dihasilkan juga semakin berpengaruh positif terhadap penutupan lahan. Dengan semakin meningkatnya penutupan permukaan lahan maka erosi yang terjadi menurun dengan drastis.
78 Tabel 17 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao terhadap erosi selama penelitian berlangsung Penggunaan Erosi Erosi -1 Lahan (t.ha-1) Penggunaan Lahan (t. ha ) 0,25 c Hut 0,25a Hut 9,40 a K ≤3 9,40c K≤3 3,46ab K 6 11,31c Jag 2,90abc K.A 7 13,00c Kta 2,02 bc K 11 1,34b Van 1,76 bc K-A 12 Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom, tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan α 0,05
Aliran permukaan berkorelasi negatif yang sangat kuat dengan jumlah serasah,
kandungan
C-organik
tanah,
penutupan
tanah,
agregasi
dan
permeabilitas pada kedalaman 10 cm, sebaliknya berat volume dan porositas tanah korelasinya kecil.
Ini berarti bahwa
semua sifat fisik tanah yang
berkorelasi negatif akan berbanding terbalik dengan besarnya aliran permukaan, dimana aliran permukaan akan berkurang bila sifat fisik atau kualitas tanah tersebut meningkat. Hubungan erosi dengan penutupan permukaan tanah, jumlah serasah dan kandungan C-organik tanah berkorelasi positif yang kuat, dengan kata lain bahwa dengan meningkatnya ketiga unsur tersebut akan berdampak terhadap berkurangaya erosi. Sementara stabilitas agregat dan permeabiltas korelasinya sedang dan lemah pada berat isi dan porositas tanah. Hasil analisis komponen utama (AKU) dan diteruskan dengan analisis faktor diperoleh dua variabel baru yakni F1 (faktor utama pertama) dan F2 (faktor utama kedua) terhadap erosi. Kedua komponen utama tersebut berfungsi sebagai peubah baru yang dapat menerangkan
keragaman data hingga 98%
(dimana 58,4% dapat diterangkan oleh F1 dan 39,6% dapat diterangkan oleh F2) Korelasi antara sifat fisik tanah dengan erosi dan aliran permukaan akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao permukaan
disajikan pada Tabel 18. Aliran
berkorelasi negatif yang sangat kuat dengan
agregat, porositas,
permeabilitas, C-organik dan serasah dan sebaliknya berkorelasi positif dengan berat volume, sedangkan penutupan tanah kurang berkorelasi.
79 Erosi berkorelasi negatif yang sangat kuat dengan penutupan permukaan tanah, kuat dengan serasah dan lemah terhadap C-organik, sedangkan sifat fisik lainnya korelasinya sangat lemah. Hasil analisis komponen utama (AKU) diperoleh dua variabel baru yakni F1 (faktor utama pertama) dan F2 (faktor utama kedua) terhadap erosi. Kedua komponen utama tersebut berfungsi sebagai peubah baru yang dapat menerangkan keragaman data hingga 96,8 % (dimana 74,6 % dapat diterangkan oleh F1 dan 22,2% dapat diterangkan oleh F2). Tabel 18 Korelasi antara sifat tanah terhadap erosi dan aliran permukaan akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao
Parameter
Lahan Pertanian Aliran Erosi Permukaan
Aliran permukaan Erosi Serasah C-organik Penutup permukaan tanah Agregat Bobot isi Porositas Ks10 cm Ks 30 cm
1 0,83 -0,82 -0,75 -0,84 -0,82 0,20 -0,20 -0,77 -0,57
Lahan Kakao Aliran Erosi Permukaan
1 -0,87 -0,63 -0,97 -0,49 -0,02 0,02 -0,51 -0,46
1 -0,07 -0,76 -0,92 -0,17 -0,98 0,93 -0,93 -0,92 -0,92
1 -0,52 -0,17 -0,97 -0,01 -0,01 0,01 -0,02 -0,03
Kehilangan Hara Akibat Erosi Hasil pengamatan menunjukkan bahwa konsentrasi sedimen erosi pada lahan hutan dan lahan agroforestri vanili nyata lebih rendah dibanding dengan konsentrasi sedimen pada lahan kakao umur ≤ 3 tahun. Kondisi ini terjadi karena adanya penutup permukaan tanah berupa serasah yang cukup tebal pada kedua lahan tersebut sehingga dapat meredam energi kenetik air hujan dan aliran permukaan. Meskipun demikian lahan hutan memiliki konsentrasi C-org dan hara N, P, K, Ca dan Mg yang tinggi (Tabel 19). Tebalnya tumpukan serasah pada lahan hutan menjadi sangat efektif menghambat aliran permukaan dan erosi, sehingga hanya partikel-partikel halus yang terbawa aliran permukaan. Partikelpartikel halus tersebut terdiri atas liat dan koloid yang banyak mengandung unsur hara, mengakibatkan konsentrasi hara yang terangkut dalam erosi semakin besar, meskipun konsentrasi sedimen yang terangkut erosi rendah.
80 Tabel 19 Konsentrasi sedimen dan hara dalam erosi akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian Penggunaan Lahan Hutan Ka <3 thn Jagung K Tanah Vanili
Sedimen g/ltr 0,34 a 3,11 b 1,84ab 1,96ab 0,44 a
C-org N …….. %....... 23,36 a 0,93 a 9,80ab 0,72ab 8,04 b 0,67ab 6,43 b 0,61 b 7,25 b 0,69ab
P2O5 K ppm ……… 10,16 a 22,69 a 8,33ab 12,88ab 4,27ab 9,93ab 4,04 b 7,83 b 8,23ab 7,30 b
Ca mmol/kg 286,16 a 156,08ab 103,52 b 136,60ab 121,03 b
Mg ..……. 76,08 a 34,85ab 27,87ab 36,59ab 18,77 b
Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom, tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan α 0,05
Alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao nyata meningkatkan konsentrasi sedimen terutama pada saat kakao berumur ≤ 3 tahun, kemudian setelah tanaman kakao/agroforestri kakao berumur ≥7 konsentrasi sedimen dalam erosi menurun dengan nyata. Hal ini terjadi karena pada awal alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao ≤ 3 tahun kondisi permukaan masih terbuka, namun setelah tanaman kakao berumur 6 tahun produksi serasah tanaman cukup tinggi sehingga dapat menutupi permukaan tanah. Kondisi ini mengakibatkan air hujan tidak langsung mencapai permukaan tanah sehingga kemungkinan terjanya erosi semakin kecil. Permukaan lahan yang tertutup dengan serasah menyebabkan selektifitas yang tinggi terhadap partikel-partikel yang terbawa erosi, hanya partikel halus seperti liat dan koloid yang kaya akan unsur hara. Hal inilah yang menjadi faktor penyebab tingginya konsentrasi C-organik dan hara N, P, K, Ca dan Mg dalam sedimen erosi (Tabel 20). Pada lahan kakao agroforestri umur 12 tahun cenderung memiliki konsentrasi hara N, P dan K cukup tinggi sebagai akibat semakin meningkatnya serasah yang dihasilkan sehingga meningkatkan selektivitas pengangkutan partikel dalam aliran permukaan. Tabel 20 Konsentrasi sedimen dan hara dalam erosi akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao Penggunaan Lahan Hutan K 3 K 6 KA 7 K 11 KA 12
Sedimen g/ltr 0,34 a 3,11 b 0,86ab 0,75 a 0,41 a 0,40 a
C ……. 23,36a 9,80b 5,15b 6,66b 7,87b 9,14b
N %........ 0,93 a 0,72ab 0,58 b 0,65 b 0,65 b 0,72ab
P2O5 ppm 10,16 a 8,33 b 7,95 b 8,38 b 8,02 b 8,56ab
K ……… 22,69 a 12,88ab 9,84 b 8,49 b 8,98 b 15,71ab
Ca mmol/kg 286,16 a 156,08ab 127,20 b 105,92 b 115,61 b 123,49 b
Mg ……. 76,08a 34,85b 29,66b 25,99b 23,42b 31,45b
Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom, tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan α 0,05; A= agroforestri.
81 Data pada Tabel 21 menunjukkan bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian nyata terhadap kehilangan C, N dan P dan Mg melalui erosi. Kehilangan karbon organik (C-organik) saat terjadinya erosi jauh lebih besar dibandingkan unsur lainnya. Kehilangan terbesar terjadi pada lahan kakao umur ≤3 tahun, jagung dan kacang tanah karena pada ketiga lahan tersebut erosi relatif tinggi. Sebaliknya C, N, P, K, Ca dan Mg yang hilang pada lahan hutan dan agroforestri vanili rendah karena erosi tanah yang terjadi rendah. Besarnya kehilangan C, N, P, K, Ca dan Mg pada lahan kakao umur ≤3 tahun, lahan jagung dan kacang tanah karena kondisi ketiga lahan tersebut relatif terbuka. Kondisi tersebut dapat mempercepat proses pelapukan dan sebaliknya pada lahan hutan ataupun lahan
agroforestri vanili relatif stabil kondisinya
sehingga pelapukan berlangsung relatif lambat. Kondisi ini menyebabkan penumpukan bahan organik pada lantai hutan lebih banyak (Foth, 1988). Fosfor (P2O5) yang hilang terbawa erosi pada lahan hutan lebih rendah dibanding dengan lahan kakao umur ≤3 tahun dan lahan jagung. Kehilangan fosfor relatif kecil karena unsur ini sangat sedikit tersedia dalam tanah dan sifatnya yang sangat kuat terikat oleh partikel tanah. Penumpukan serasah pada permukaan tanah hutan menjadi pelindung yang efektif terhadap kemungkinan kehilangan hara melalui erosi. Tabel 21 Kehilangan C-organik, N dan P2O5, K, Ca dan Mg melalui erosi akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian Penggunaan Lahan Hutan Ka <3 thn Jagung K Tanah Vanili
C N -1 -1 .........kg ha th ....... 47,43a 1,89 a 919,08b 67,66 b 887,75b 74,33 b 814,91b 77,30 b 90,19a 8,61ab
P2O5 g ha-1th-1 2,06 a 78,09 b 47,14ab 51,23ab 10,24ab
K Ca Mg -1 -1 ..................kg ha th .............. 0,02 0,12 0,02 a 0,47 2,93 0,39ab 0,43 2,29 0,37ab 0,39 3,46 0,56 b 0,04 0,30 0,03ab
Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom, tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan α 0,05
Hasil pengukuran kehilangan N, C, P K, Ca dan Mg melalui erosi akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao disajikan pada Tabel 22. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao nyata menyebabkan kehilangan C-org, N, P, K, Ca dan Mg. Kehilangan unsur-
82 unsur tersebut sangat tinggi pada lahan kakao umur ≤ 3 tahun namun setelah tanaman kakao berumur >6 tahun laju kehilangan unsur tersebut menurun. Pada lahan terbuka butir air hujan dapat membentur langsung permukaan tanah sehingga mengakibatkan dispersi agregat menjadi butir-butir tanah yang lepas. Apabila hujan berlangsung dengan intensitas tinggi dan durasi lama maka terjadi aliran permukaan yang dapat mengangkut butir tanah yang kaya humus dan hara. Sebaliknya pada lahan yang tertutup permukaannya, air hujan tidak langsung menerpa
tanah sehingga tidak terjadi dispersi agregat, dengan
demikian tidak tersedia butiran tanah yang dapat terangkut aliran permukaan. Karbon organik yang hilang melalui erosi pada lahan kakao ≤ 3 tahun nyata lebih tinggi namun setelah kakao berumur > 6 tahun kehilangan C organik turun drastis. Tingkat kehilangan C organik, N dan P pada lahan kakao umur ≤ 3 tahun karena penutupan serasah maupun kanopi masih sangat sedikit. Dengan demikian cahaya matahari dapat mencapai permukaan tanah sehingga dapat merangsang proses dekomposisi bahan organik berlangsung dengan cepat. Proses dekomposisi bahan organik yang cepat memungkinkan tersedianya sejumlah partikel humus yang mudah terangkat erosi bila terjadi hujan. Apabila kondisi ini terus berlangsung tanpa usaha-usaha pengendalian, maka pada gilirannya akan terjadi degradasi kualitas tanah dan pemiskinan tanah. Erosi tanah sangat menentukan besarnya kehilangan hara dari suatu lahan. Selain itu konsentrasi hara yang dikandung oleh suatu tanah juga sangat mempengaruhi besar hara yang hilang saat terjadi erosi. Dengan demikian semakin besar erosi tanah maka semakin besar pula jumlah hara yang tererosi. Tabel 22 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao terhadap kehilangan C-organik N, P2O5, K, Ca dan Mg yang terbawa erosi Penggunaan Lahan Hutan K 3 K 6 KA 7 K 11 KA 12
C N .........kg ha-1th-1...... 47,43a 1,89a 919,08b 67,66b 163,32a 18,43a 175,05a 17,00a 165,06a 13,67a 151,61a 11,93a
P2O5 K Ca Mg g ha-1 th-1 ................kg ha-1th-1............. 2,06 a 0,02a 0,12a 0,02a 78,09 b 0,47b 2,93b 0,39b 25,21ab 0,12a 0,81a 0,11a 22,03ab 0,09a 0,56a 0,08a 16,82 a 0,07a 0,48a 0,06a 14,20 a 0,10a 0,41a 0,06a
Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom, tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan α 0,05
83 Dinamika rasio pengayaan hara N, C dan P akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disajikan pada Gambar 6a. Data menunjukkan bahwa rasio pengayaan ketiga unsur N, C dan P lebih besar dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa kadar hara yang terbawa erosi jauh lebih tinggi dibanding dengan kadar hara pada tanah asalnya. Ketika proses erosi berlangsung, terjadi pula selektivitas terhadap partikel-partikel tanah. Dimana selektivitas ini secara alami terjadi oleh adanya tumpukan bahan organik dan serasah dalam tanah dan di atas permukaan tanah Partikel-partikel yang halus seperti koloid dan humus akan mudah terbawa erosi dan aliran permukaan (Sinukaban et al., 2007). Rasio pengayaan C rata-rata lebih tinggi dibanding dengan lahan kakao umur ≤ 3 tahun, lahan jagung, kacang tanah dan vanili. Rasio pengayaan N dan C terendah terjadi pada lahan vanili dan jagung. Kemudian rasio pengayaan P lebih tinggi pada lahan jagung lalu diikuti dengan kakao umur ≤ 3 tahun dan lahan vanili dan terendah pada lahan kacang tanah dan hutan (Gambar 7a). Rasio pengayaan hara N, C dan P akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao disajikan pada Gambar 7b. Rasio hara N dan C pada lahan hutan realatif tinggi lalu secara perlahan dan teratur menurun pada lahan kakao umur ≤ 3 tahun dan berkurang terus hingga kakao berumur 6-7 tahun. Kemudian meningkat secara perlahan setelah kakao berumur >10 tahun baik monokultur maupun sistem agroforestri. Dinamika rasio pengayaan N dan C sejalan dengan kadar bahan organik dalam tanah, dimana rasio pengayaan akan tinggi bila konsentrasi bahan organik dalam tanah tinggi pula. Hal ini disebabkan karena sumber utama N dalam tanah adalah dari bahan organik. Rasio pengayaan P pada lahan hutan relatif rendah, demikian pula setelah dialih-gunakan menjadi lahan kakao ≤ 3 tahun hingga kakao agroforestri berumur >7 tahun. Dilain pihak kakao monokultur setelah berumur 6 tahun mengalami penurunan namun setelah kakao monokultur berumur >10 tahun meningkat cukup besar. Simulasi Agroteknologi Sesuai dengan hasil pengamatan di atas terlihat jelas bahwa kualitas tanah menurun akibat alih guna lahan hutan menjadi berbagai bentuk lahan pertanian dan lahan kakao/agroforestri kakao. Kandungan hara N, P dan Ca umumnya rendah, sementara K dan Mg tanah dalam taraf sedang. Unsur hara tersebut
84 mengalami penurunan akibat pemiskinan yang terjadi melalui erosi, aliran permukaan dan terangkut melalui hasil panen. Dilain pihak petani umumnya belum melakukan upaya perbaikan dalam rangka meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman yang usahakannya. Akibat dari kurang maksimalnya aplikasi agroteknologi dalam memperbaiki kualitas tanah tersebut adalah masih rendahnya hasil kakao yang diperoleh per satuan luas hanya rata-rata 890,8 kg.ha-1th-1. a
b
Rasio Pengayaan
4 3 2 1 0
Hut
K≤3
Jag
Kta
C
4.42
3.83
3.25
3.76
Van 3.53
N
2.42
2.06
2.39
3.01
3.75
P 2O5
2.35
2.20
2.29
2.67
2.82
Penggunaan Lahan 5
Rasio Pengayaan
4
3
2
1
-
Hut
K3
K6
KA7
K11
KA12
C
4.42
3.83
3.21
3.38
4.79
4.27
N
2.42
2.06
2.03
2.72
3.47
3.64
P2O5
2.35
2.20
2.36
2.11
3.18
2.10
Penggunaan Lahan
Gambar 7 Dinamika rasio pengayaan N, C dan P akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian (a) dan lahan kakao (b) Untuk memperoleh hasil kakao yang maksimal diperlukan pemupukan berimbang. Apabila perbandingan antar unsur hara tidak mendekati perbandingan optimal tersebut, pertumbuhan dan produksi tanaman akan terganggu. Tanaman kakao lebih respon terhadap perimbangan kadar hara dalam tanah dibandingkan terhadap taraf kecukupannya. Oleh karena itu upaya pemupukan tanaman kakao akan lebih efektif
jika ditujukan pada tercapainya perbandingan hara yang
optimal daripada ditujukan untuk pencapaian kecukupan kadar hara (Jadin dan Snoeck. 1985). Dosis pemupukan yang dianjurkan untuk tanaman kakao adalah 200-400 kg urea/ha, 50-150 kg SP36/ha, 50-150 kg KCl/ha, Dolomit 200 kg/ha dan Kiserit 100 kg/ha dan unsur mikro sesuai kebutuhan (BP2TP, 2008).
85 Penentuan dosis pemupukan selain ditentukan oleh umur tanaman juga sangat dipengaruhi oleh tingkat kesuburan tanah. Selain hal tersebut di atas, dari sisi konservasi tanah dan air belum dilakukan usaha-usaha yang memadai dalam rangka mencegah aliran pemukaan dan erosi. Sementara itu akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan menurunnya penutupan permukaan tanah, kadar karbon organik, porositas, permeabiltas dan jumlah mikro organisme tanah merupakan faktor penyebab terjadinya erosi dan aliran permukaan. Alih guna lahan hutan menjadi lahan
tanaman semusim (jagung dan
kacang tanah) dan kakao umur ≤ 3 tahun mengakibatkan erosi dan aliran permukaan meningkat. Meningkatnya erosi pada ketiga lahan tersebut karena minimnya penutupan permukaan tanah. Kondisi permukaan tanah yang terbuka tersebut memungkinkan terjadinya dispersi agregat tanah ketika turun hujan, kemudian butir tanah yang halus tersebut akan tererosi bila terjadi aliran permukaan. Pada tanaman agroforestri vanili, kakao/agroforestri kakao yang telah berumur > 6 tahun dapat menekan erosi karena serasah yang dihasilkannya telah mampu menutupi sebagian besar permukaan tanah. Melihat hasil pengamatan kualitas tanah yang semakin menurun dan erosi serta aliran permukaan yang masih tinggi maka diperlukan agroteknologi untuk memperbaikinya. Aplikasi agroteknologi, misalnya pemberian pupuk organik dan anorganik untuk memperbaiki kualitas tanah, penambahan mulsa pada lahan yang masih terbuka dan pembuatan rorak atau sengkedan untuk menekan aliran permukaan dan erosi yang tinggi. Keberadaan mulsa akan menghambat pergerakan aliran permukaan, sehingga tersedia waktu yang cukup untuk memungkinkan air meresap kedalam tanah. Hasil simulasi dengan berbagai skenario (eksisting, pemupukan berimbang, pemberian mulsa/rorak dan kombinasi pemupukan berimbang dan pemulsaan/ pembuatan rorak menunjukkan bahwa pada kondisi eksisting dan aplikasi pemupukan
berimbang
pada
berbagai
pengunaan
lahan
dan
tingkat
perkembangan kakao menyebabkan erosi yang dihasilkan umumnya masih sangat tinggi dan melampaui Etol. Pada Tabel 23 disajikan berbagai skenario untuk mendapatkan agoteknologi yang dapat menekan erosi hingga lebih kecil daripada
86 Etol.
Apabila
diaplikasikan
mulsa,
pembuatan
rorak/sengkedan
atau
dikombinasikan dengan pemupukan berimbang maka erosi yang dihasilkan menurun drastis hingga lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan (skenario 3 dan 4).
Pemberian mulsa sangat efektif melindungi tanah karena dapat
meredam energi kinetik air hujan pada permukaan tanah sehingga dapat mencegah terjadinya dispersi butir tanah, selain itu mulsa juga dapat menjadi filter partikel erosi dan meredam arus aliran pemukaan. Pada skenario (1) (eksisting) dan skenario (2) (pemupukan berimbang = PB) tidak menjadi pilihan karena tidak dapat menurunkan erosi atau erosi yang dihasilkan masih lebih tinggi dibanding dengan Etol. Hasil simulasi menunjukkan bahwa
pemberian mulsa pada tanaman
semusim dan kakao umur ≤ 3 tahun efektif menurunkan erosi hingga lebih kecil dari Etol. Semakin meningkatnya penutupan permukaan tanah, sejalan dengan semakin besarnya tanaman kakao menyebabkan erosi berkurang. Dalam hal ini serasah berfungsi sebagai mulsa sangat efektif menekan erosi, kondisi ini terjadi karena mulsa dapat meredam energi butiran hujan yang jatuh ke permukaan tanah (Sinukaban et al., 2007). Aplikasi rorak pada lahan kakao umur 6-7 tahun dan >10 tahun juga dapat menekan erosi hingga lebih rendah dari erosi yang dapat ditoleransikan. Hal ini dapat terjadi karena sebagian besar aliran permukaan masuk ke dalam rorak dan terinfiltrasi ke dalam tanah, dengan demikian aliran permukaan semakin berkurang dan cadangan air dalam tanah bertambah. Hasil penelitian Murtilaksono et al. (2008) menunjukkan bahwa aplikasi rorak dapat meningkatkan kelembaban tanah dan produksi tandan buah segar (TBS) pada tanaman kelapa sawit. Dalam rangka pengelolaan lahan perkebunan kakao yang berkelanjutan maka pada tanaman semusim (jagung dan kacang tanah), kakao umur ≤ 3 tahun yang relatif terbuka diberikan mulsa 4-6 t.ha-1 (Arsyad, 2000) untuk meredam energi kinetik ketika hujan turun. Kemudian pada lahan agroforestri vanili dan kakao/agroforestri kakao yang telah berumur > 6 tahun diaplikasikan rorak untuk menekan aliran permukaan. Rorak yang dibutuhkan dalam satu hektar sekitar 40-50 unit dengan ukuran panjang 5 m x lebar 0,5 m x dalam 0,6 m yang diletakkan 10 m kearah
87 samping dan 20 m arah vertikal.
Rorak dapat difungsikan sebagai lubang
pengomposan, dimana lubang tersebut diisi serasah kemudian secara berkala (tiga bulan) bahan organik tersebut dikeluarkan dan digunakan sebagai pupuk organik. Dengan demikian dalam setahun diperoleh pemanenan pupuk organik empat kali. Suplai bahan organik secara berkelanjutan tersebut akan meningkatkan kualitas tanah dan selanjutnya akan berdampak positif terhadap produksi tanaman kakao. Tabel 23 Hasil simulasi erosi pada berbagai skenario (jenis tanaman, umur tanaman kakao dan agroteknologi) Penggunaan Lahan
Jagung K Tanah Vanili Kakao 3 th Kakao 6 th Kakao-A 7 th Kakao 11 th Kakao-A 12 th
Eksisting (1)
PB*** (2)
Skenario M, R /S (3)
PB*** + M, R/S (4)
Etol
.................................Prediksi Erosi (t ha-1 th-1 ).................................
268.30 375.46 74.48 244.64 156.39 207.06 197.43 91.12
268.30 375.46 74.48 244.64 156.39 207.06 197.43 91.12
36.83* 48.80* 4.47** 23. 97 * 9.38** 12.42** 11.85** 5.47**
36.83* 48.80* 4.47** 23.97* 9.38** 12.42** 11.85** 5.47**
50.78 56.39 69.33 55.34 38.83 38.61 63.64 53.41
M= mulsa, R= rorak, S= sengkedan, PB= pemupukam berimbang, * Pemberian mulsa, ** pembuatan rorak/sengkedan, *** (200 kg urea +100 kg KCl +100 kg SP36 + 4-6 ltr pupuk mikro cair per tahun), Etol= Erosi yang dapat ditoleransi,
Analisis Usahatani Kakao Pemungutan Hasil Hutan Hasil survei di lapang menunjukkan bahwa untuk memungut hasil hutan terutama rotan memerlukan waktu 2 hingga 4 minggu sekali masuk hutan. Hasil yang diperoleh oleh setiap anggota rata-rata 200 kg, dengan jumlah anggota 30 orang dengan demikian diperoleh hasil rotan sekitar 6000 kg. Apabila harga rotan rata-rata Rp 1000 kg-1, maka setiap anggota mendapat pendapatan Rp 200.000. Untuk memasuki areal panen pada lokasi yang sama diperlukan waktu kurang lebih 3 tahun atau bahkan lebih. Jadi untuk mendapatkan rotan, maka para pemungut rotan tersebut harus menjelajah lebih jauh lagi, akibatnya diperlukan waktu lebih lama dan biaya hidup yang lebih besar pula. Saat berangkat masuk hutan biasanya para pemungut rotan mendapat pinjaman uang atau bahan pangan untuk bekal dari pedagang pengumpul atau pemilik kios setempat, dan
88 pelunasannya dilakukan pada saat hasil rotan tersebut dijual/dibeli oleh pedagang pengumpul. Kadangkala setengah atau bahkan lebih dari hasil penjualan rotan tersebut habis terpotong oleh hutang untuk bekal pada pedagang pengumpul ataupun pemilik kios di desa. Meskipun demikian pekerjaan memungut hasil rotan ini bukan mata pencaharian tetap karena para pelakunya umumnya adalah petani lahan kering. Kegiatan ini dilakukan terutama pada saat-saat pekerjaan di lahan pertanian mereka tidak membutuhkan tenaga banyak. Pekerjaan usahatani dapat diselesaikan oleh ibu tani dan anak-anak, atau saat musim paceklik dan kondisi iklim yang sangat ekstrim sehingga hasil pertanian sangat sedikit. Usaha pencarian rotan di hutan oleh masyarakat disekitar hutan Taman Nasional Lore Lindu umumnya dilakukan oleh petani dengan usia yang masih relatif muda, karena medan yang ditempuh adalah bukit-bukit dengan lereng yang sangat curam. Selain itu saat menarik rotan dari hutan menuju tempat penampungan/penjualan dibutuhkan tenaga yang kuat dan fisik yang prima. Ketika mewawancarai para petani yang pernah melakukan pekerjaan mencari rotan di hutan, mereka rata-rata mengaku bahwa perkerjaan tersebut sangat berat dan tidak menguntungkan. Mereka melakukan hal tersebut hanyalah keterpaksaan semata. Hanya karena dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sangat mendesak. Bertani secara tetap dengan mengelola lahan pertanian yang dimiliki adalah jauh lebih baik dari pada melakukan pencaharian rotan dihutan dan meninggalkan anak dan istri selama berminggu-minggu ataupun bahkan berbulan-bulan. Masalahnya adalah faktor ketersediaan lahan yang semakin terbatas, sehingga banyak dari petani di desa-desa sekitar TNLL merambah lahan hutan dan mengalihgunakan menjadi lahan pertanian khususnya lahan perkebunan kakao. Kelayakan Usahani Kakao Berbagai cara penilaian investasi telah dikembangkan dan digunakan dibidang pertanian. Cara yang sering digunakan dalam bidang pertanian adalah berdasarkan atas
prosedur diskounting.
Dengan cara ini penilaian kembali
sejumlah modal pada awal usaha memungkinkan untuk mengkonversi besarnya
89 pembayaran dan penerimaan yang terjadi pada berbagai periode dalam waktu yang akan datang kedalam nilai sekarang. Hasil investigasi dilapang diketahui bahwa produksi rata-rata kakao kering adalah 890,81 kg/ha/tahun, sedangkan potensi produksi 2000 kg/ha tahun (BPS, 2005). Hasil analisis usahatani kakao di daerah penelitian menunjukkan NPV sebesar Rp16.641.422 dengan asumsi suku bunga sebesar 18% per tahun sepanjang usahatani tersebut berlangsung (Lampiran 11). Ini berarti bahwa usahatani kakao di daerah tersebut menguntungkan, NPV merupakan suatu ukuran yang menggambarkan kemampuan suatu usaha. Apabila NPV positif, maka usaha tersebut dapat dikatakan menguntungkan. Sebaliknya kalau negatif, maka usaha tersebut tidak menguntungkan. Hasil uji sensitivitas usahatani kakao dengan aplikasi agroteknologi (PB, M dan R) bila terjadi penurunan produksi dan harga masing-masing15% serta kenaikan biaya produksi 15%,
masih memberikan indikator ekonomi yang
positif. Apabila ketiga asumsi itu terjadi maka diperoleh NPV Rp 8.626.383, IRR 28,7 dan B/C rasio 1,9 (Tabel 24). Melihat indikator-indikator tersebut maka dapat disimpulkan bahwa usahatani kakao masih layak dikembangkan. Tabel 24 Hasil analisis sensitivitas usahatani kakao dengan agroteknologi (PB, M dan R) akibat fluktuasi harga, produksi dan biaya produksi Asumsi
Total pendaptan
NPV*
IRR
B/C rasio
PBP th
1
Tanpa fluktuasi
153.242.882
26.720.876
45,66
4,03
5,2
2
Biaya produksi naik 15%
141.449.732
23.400.106
41,88
3,47
5,7
3
Harga produksi turun 15%
117.806.405
18.735.080
39,22
3,13
6,0
4
Harga turun & biaya naik 15%
106.013.255
15.414.310
35,29
2,63
6,6
5
Produksi & harga turun 15%
87.685.399
11.947.153
32,89
2,36
7,0
6
Produksi & harga turun 15%
& biaya naik 15% 75.892.249 Ket : *Diskonto 18%, PBP= Payback periode
8.626.383
28,70
1,91
8,1
No
Hasil perhitungan
internal rate of
return (IRR) diperoleh bahwa
usahatani kakao memiliki IRR hingga 42,93 %. Pencapaian IRR demikian berarti bahwa usahatani kakao memiliki kemampuan yang cukup tinggi dalam pengembalian biaya investasi dengan bunga sebesar 42,93 % per tahun dengan B/C rasio 3,78. Bila nilai IRR sama dengan suku bunga investasi yang digunakan
90 maka usaha tersebut dapat membayar pinjaman sesuai waktu yang disepakati. Apabila IRR lebih besar dari suku bunga, maka waktu pengembalian investasi dapat dipercepat. Berdasarkan hasil analisis usahatani
diketahui bahwa tanaman kakao
dilihat dari sisi kelayakan usaha sangat layak, karena nilai net B/C rasio 3,78. Meskipun dari sisi indikator usahatani dapat dikatakan layak, namun pendapatan yang diperoleh masih belum dapat memenuhi KHL. Hal ini disebabkan oleh sistem pengelolaan lahan yang dilakukan petani pada kondisi eksisting belum maksimal. Tanaman kakao mulai memberikan hasil setelah
berumur 3-4 tahun,
namun hasil tersebut masih sangat minim. Kemudian setelah tanaman berkembang dengan baik maka produksi terus meningkat hingga tanaman berusia 12 – 13 tahun, namun setelah itu pendapatan secara perlahan menurun. Hal ini terjadi karena produksi mulai menurun dan sehingga keuntungan
menurun
biaya pengelolaan meningkat,
(Gambar 8). Hasil kakao dengan kondisi
eksisting secara umum menunjukkan bahwa pendapatan petani dengan luas kepemilikan lahan 1,49 ha/kk tidak dapat memenuhi KHL (
bahwa NPV
usahatani kakao
memiliki kapasitas yang tinggi dalam memberikan keuntungan usaha yakni sebesar Rp16.641.422. Kemudian bila dilihat dari sisi indikator kelayakan usaha IRR, usahatani kakao mencapai nilai 42,93 %. Hal ini berarti bahwa usahatani kakao sangat layak memperoleh pinjaman investasi dari sumber-sumber keuangan karena mempunyai kemampuan yang cukup tinggi dalam mengembalikan nilai investasi tersebut hingga bunga perbankan mencapai 42,93%. (Lampiran 11) Investasi ini sangat dibutuhkan para petani dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi persatuan luas. Hasil investigasi pada petani kakao menunjukkan bahwa produksi kakao di daerah penelitian masih rendah yakni sekitar 890,81 kg ha-1th-1. Sedangkan menurut Asosiasi Kakao Indonesia (BPS, 2005), potensi produksi kakao di Indonesia antara 1800 – 2000 kg/ha/tahun. Rendahnya produksi kakao petani di daerah penelitian disebabkan oleh berbagai faktor antara lain sistem pengelolaan yang masih sangat konvensional, belum melakukan sistem usahatani yang intensif. Untuk itu masih dibutuhkan investasi
91 yang cukup tinggi untuk mendapatkan produksi maksimal. Sebagai contoh pemupukan yang seharusnya dilakukan setiap tahun ataupun setiap musim ternyata belum dilakukan, yang umumnya dilakukan hanya memberi pupukpupuk perangsang yang disemprotkan pada permukaan tanaman terutama daun. Pemberian unsur pupuk melalui daun belum memadai untuk memenuhi kebutuhan hara bagi tanaman tanpa pemupukan melalui tanah, dimana akar dapat menyerap hara dalam jumlah tinggi. Sementara itu, kemampuan petani dalam pengelolaan usahatani dan pendidikan yang masih rendah, kurang tersedianya fasilitas kredit yang dapat menjangkau petani di pedesaan juga menjadi kendala. Biaya (Rp/ha)
Juta
Kuntungan Rp/ha)
N ila i (R p /h a /th )
10 8 6 4 2 0
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Umur Kakao (th)
Gambar 8 Dinamika pendapatan dan biaya pengelolaan usahatani pada berbagai tingkatan umur tanaman kakao pada kondisi eksisting Tabel 25 menyajikan indikator kalayakan usahatani kakao pada tiga kondisi pengelolaan. Pada kondisi eksisting
NPV dengan diskonto 18%
mencapai Rp16.641.422, IRR 42,93%, Net BCR 3,78 dengan pendapatan ratarata Rp7.883.198/ha/th. Kemudian setelah disimulasi dengan pemberian mulsa, rorak/sengkedan, maka semua indikator kalayakan usahatani menurun. Namun dalam kerangka pengembangan usahatani yang berkelanjutan, selain perbaikan dari sisi ekologis, yakni pengurangan resiko erosi dan aliran permukaan juga yang menjadi pertimbangan yang penting adalah sisi ekonomi. Oleh sebab itu pada simulasi berikutnya, yakni pemupukan berimbang, pembuatan rorak atau pemberian mulsa, menyebabkan semua indikator kelayakan usahatani meningkat dibandingkan dengan hanya mengaplikasikan mulsa dan rorak/sengkedan.
92 Tabel 25 Dinamika tingkat kelayakan usahatani kakao pada tiga kondisi pengelolaan Aplikasi Agroteknologi pada Usahatani kakao
NPV 18% (Rp)
Indikator kelayakan IRR Net B/C Pendapatan (%) rasio (Rp/ha/th)
Kondisi eksisting Mulsa, rorak/sengkedan Pupuk berimbang, mulsa dan rorak/sengkedan
16.641.422 10.980.612
42,93 33,39
3,78 2,45
7.883.198 6.713.968
26.720.876
45,66
4,03
12.559.860
Pada Tabel 26 disajikan aliran kas usahatani kakao pada tiga kondisi pengelolaan.
Pada kondisi eksisting (A) total penerimaan selama 15 tahun
Rp138.966.579 dan biaya yang dikeluarkan sebesar Rp42.980.302 dengan demikian keuntungan yang diperoleh Rp95.986.277. Apabila usahatani kakao tersebut dalam proses pengelolaan menggunakan pinjaman dari lembaga keuangan dengan suku bunga 18% per tahun maka keuntungan yang diperoleh sebesar Rp16.641.422.
Bunga maksimal yang dapat dimanfaatkan secara
ekonomis pada kondisi eksisting adalah 42%. Selanjutnya bila dilakukan aplikasi teknologi konservasi tanah (B) maka biaya akan meningkat menjadi Rp60.120.302, dengan demikian pendapatan berkurang menjadi Rp78.846.277. Oleh karena itu dalam rangka membangun pertanian kakao yang berkelanjutan, selain memperhatikan usaha konservasi tanah juga diusahakan peningkatan produksi agar pendapatan persatuan luas usahatani kakao meningkat. Dalam simulasi aplikasi pemupukan berimbang yang dipadukan dengan aplikasi mulsa dan rorak/sengkedan (C) diperoleh keuntungan yang lebih besar yakni Rp153.242.882 dengan biaya yang dikeluarkan Rp83.000.302. Aplikasi gabungan agroteknologi ini meningkatkan kemampuan usahatani kakao untuk membayar bunga pinjaman hingga 45%. Kebutuhan Hidup Layak dan Luas Lahan Minimum Untuk memenuhi KHL/kk dibutuhkan biaya sebesar Rp15.000.000 tahun-1, sebagaimana disajikan dalam Tabel 27. Dalam hal ini yang diperhitungkan sebagai komponen KHL yakni Kebutuhan Fisik Minimal (KFM: sandang, papan dan pangan), pendidikan, kesehatan dan biaya sosial (tabungan, rekreasi dan lainnya). Apabila dilihat dari pendapatan petani pada usahatani kakao
93 sebagaimana pada Gambar 9 nampak bahwa kakao diawal berproduksi yakni pada umur 3-5 tahun masih relatif rendah sehingga pendapatan yang diperoleh belum dapat memenuhi KHL. Dalam hal ini tingkat kehidupan masyarakat di daerah tersebut masih belum layak atau hanya dapat memnuhi KFM.
94 Tabel 26 Aliran Kas Usahatani Kakao di DAS Nopu per Ha A. Kondisi eksisting ………………………………………………………………………………………………………………………T a h u n……………………………………………………………………………………………………………………… NO
URAIAN
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Jumlah
……………………………………………………………………….………….……Rp/ Ha ………… …………………………………………………………………………….. 1
ALIRAN MASUK
0
0
0
3759767
5412977
7488000
9120000
11202488
11486442
12163770
12208919
13480657
13512576
13338157
12996365
12796461
138.966.579
2
ALIRAN KELUAR
4379302
1028000
1028000
1345000
2425000
2425000
2425000
2735000
2755000
2755000
2755000
3385000
3385000
3385000
3385000
3385000
42.980.302
3
KEUNTUNGAN
-4379302
1028000
-1028000
2414767
2987977
5063000
6695000
8467488
8731442
9408770
9453919
10095657
10127576
9953157
9611365
9411461
95.986.277
N PV (Bunga 18 %)
-4379302
-871186
-738294
1477006
1578302
2244556
2506710
2658157
2322897
2121264
1806308
1634679
1389701
1157429
947189
786007
16.641.422
NPV (Bunga 42%)
-4379302
-723944
-509819
847546
752601
889403
825403
727338
528177
400809
283614
213286
150676
104283
70917
48903
229.890
NPV (Bunga 43%)
-4379302
-718881
-502714
829889
731769
858737
791371
692472
499342
376278
264394
197441
138507
95190
64281
44017
-17210
B. Aplikasi Mulsa, rorak/Sengkedan NO
Jumlah
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
0.00
0.00
0.00
3759767
5412977
7488000
9120000
11202488
11486442
12163770
12208919
13480657
13512576
13338157
12996365
12796461
138.966.579
4379302
2028000
2028000
2345000
3425000
3625000
3625000
3935000
3935000
3935000
3935000
4585000
4585000
4585000
4585000
4585000
60.120.302
KEUNTUNGAN
-4379302
-2028000
-2028000
1414767
1987977
3863000
5495000
7267488
7551442
8228770
8273919
8895657
8927576
8753157
8411365
8211461
78.846.277
N PV (Bunga 18 %)
-4379302
-1718644
-1456478
861071
1025376
1688553
2035521
2281447
2008972
1855226
1580852
1440376
1225038
1017885
828931
685789
10.980.612
NPV (Bunga 33%)
-4379302
-1524812
-1146475
601354
635338
928253
992791
987240
771288
631932
477744
386198
291416
214829
155219
113932
136945
NPV (Bunga 34%)
-4379302
-1513433
-1129427
587991
616584
894130
949159
936808
726426
590734
443265
355652
266364
194896
139765
101824
-218565
URAIAN
1
ALIRAN MASUK
2
ALIRAN KELUAR
3
C. Aplikasi pemupukan berimbang dan teknologi rorak /mulsa Jumlah
NO
URAIAN
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
1
ALIRAN MASUK
0
0
0
6391605
9202060
12729600
15504000
19044230
19526951
20678410
20755162
22917117
22971378
22674867
22093821
21753983
2
ALIRAN KELUAR
4379302
2828000
2828000
3145000
4225000
4825000
4825000
5855000
5855000
5855000
5855000
6505000
6505000
6505000
6505000
6505000
83,000,302
3
KEUNTUNGAN
-4379302
-2828000
-2828000
3246605
4977060
7904600
10679000
13189230
13671951
14823410
14900162
16412117
16466378
16169867
15588821
15248983
153,242,882
N PV (Bunga 18 %)
-4379302
-2396610
-2031026
1975984
2567112
3455174
3955838
4140430
3637261
3342028
2846891
2657434
2259509
1880357
1536262
1273535
26,720,876
NPV (Bunga 45%)
-4379302
-1950345
-1345065
1064941
1125903
1233218
1149007
978686
699659
523162
362669
275497
190626
129099
85834
57906
201,494
NPV (Bunga 46%)
-4379302
-1936986
-1326703
1043208
1095372
1191559
1102588
932716
662228
491782
338581
255437
175535
118064
77960
52233
(105,727)
236,243,184
95 Tabel 27 Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di DAS Nopu No
Jenis pengeluaran
%
Harga beras (Rp/kg)* 6 3.750 3.750 3.750
KFM
1 1 2 3 4
2 3 4 5 (3x4) KFM 100 320 320 Pendidikan 50 320 160 Kesehatan 50 320 160 Sosial, asuransi & tabungan 50 320 160 KHL Ket: *Harga beras th 2006 di lokasi penelitian
Pengeluaran (Rp/th) 7 (5x6) 1.200.000 600.000 600.000
3.750
Anggota keluarga (org) 8 5 5 5
Jumlah Kebutuhan (Rp/kk/th) 9 (7x8) 6.000.000 3.000.000 3.000.000
5
3.000.000 15.000.000
600.000
Seiring dengan berkembangnya tanaman kakao, produksi
terus
meningkat maka penerimaan usahatani bertambah pula. Ketika tanaman kakao telah berumur 7 tahun hingga umur 12 tahun dan setelah itu mulai mengalami penurunan. Meskipun pendapatan maksimal diperoleh pada saat kakao berumur 12 tahun, namun pendapatan yang diperoleh dengan luas lahan 1,49 ha/kk belum mampu memenuhi KHL (Gambar 9). Ini berarti pengelolaan lahan kakao yang dilakukan oleh para petani di DAS Nopu belum maksimal, dimana produksi yang diperoleh (890 kg/ha/th) masih jauh dibawah potensi produksi sebesar 2000 kg/ha/th. Sangat minimnya kemampuan pengelolaan (kondisi eksisting) yang dilakukan oleh petani sehingga meskipun luas lahan yang dimiliki cukup besar, namun pendapatan yang diperoleh hanya dapat memenuhi KFM. Kuntungan
Juta
Luas KHL 0
16
1.5 1.8 1.7 1.6 1.6
2.2 3.0
12
8.5 8.8
5.0
8 6.2
4
1.5 1.5 1.6 1.6
2.4
9.4 9.5
10.1 10.1 10.0 9.6 9.4
2 4 6
6.7 5.1
3.0
8
0
Luas KHL (ha/kk)
Pendapatan (Rp/ha/th)
20
10 3 4 5 6 7 8
9 10 11 12 13 14 15
Umur Kakao (th)
Gambar 9 Tingkat pendapatan dan luas lahan uahatani yang dibutuhkan untuk memenuhi KHL pada berbagai umur kakao (eksisting)
96 Secara umum kecenderungan biaya pengelolaan pertanaman kakao per hektar sejak tahun pertama hingga umur 15 tahun meningkat secara logaritmik (Gambar 10) dengan persamaan sebagai berikut : Y = 13263,66x2 + 384293,49+ 591514,29 dengan R2 = 0,92 Pada Gambar 10 menunjukkan bahwa pada awal tanaman kakao berproduksi yakni saat tanaman berumur 3 tahun biaya produksi per ha relatif rendah
dan terus meningkat seiring semakin besarnya tanaman kakao.
Peningkatan biaya pengelolaan terjadi karena semakin besarnya biaya pestisida, pemangkasan, panen, pengolahan hasil, angkutan dan tenaga kerja. Peningkatan biaya pestisida makin tinggi karena volume yang dibutuhkan bertambah, demikian pula biaya pemangkasan meningkat oleh karena semakin besarnya tanaman sehingga memerlukan waktu dan tenaga lebih banyak untuk mengerjakannya.
B iay a pengelolaani (Rp/ha/th)
4.0
Juta
3.5 3.0 2.5 2.0 1.5
y = -13263.66x 2 + 384293.49x + 591514.29 R2 = 0.92
1.0 0.5 0.0 Bia ya
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15
1,0 1,0 1,3 2,4 2,4 2,4 2,7 2,7 2,7 2,7 3,3 3,3 3,3 3,3 3,3
Umur kakao (th)
Gambar 10 Dinamika biaya pengelolaan (Rp/ha/tahun) usahatani kakao umur 1 - 15 tahun (eksisting) Pengelolaan Usahatani yang Berkelanjutan Melihat hasil analisis usahatani di atas nampak bahwa usahatani kakao memiliki peluang untuk dikembangkan karena memiliki B/C rasio yang tinggi dan kemampuan pengembalian investasi yang cukup tinggi yakni IRR sebesar 42,9%. Sedangkan jenis usahatani jagung dan kacang tanah tidak dapat dikembangkan lebih lanjut karena usahatani tersebut tidak dapat memenuhi KHL, sifatnya hanya sementara karena hanya ditanam disela tanaman kakao (umur <3 th). Sementara
97 usahatani agroforestri vanili belum dapat dikembangkan karena petani belum menguasai dengan baik sistem budidaya, membutuhkan modal besar dan pemasarannya masih terbatas. Dalam hal penanaman vanili, petani umumnya baru dalam taraf penjajakan dengan penanaman dalam skala kecil (±50 pohon per petani). Areal tanaman vanili yang ada saat penelitian berlangsung merupakan kebun bibit yang dikelola Dinas Pertanian Kabupaten Donggala. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pemberian mulsa/rorak tidak dapat meningkatkan produksi, sebaliknya aplikasi mulsa/rorak berdampak pada peningkatan beban biaya sehingga pendapatan yang diperoleh semakin menurun dan lebih kecil dibanding dengan pendapatan kondisi eksisting. Rendahnya pendapatan yang diperoleh dari sknario ini menjadi faktor pembatas dalam pengembangan usahatani kakao secara berkelanjutan. Untuk skenario berikutnya, lahan yang ada sekarang tetap dipertahankan, kemudian dilakukan pengelolaan yang lebih intensif yakni dengan melakukan pemupukan secara berimbang untuk meningkatkan produksi kakao per satuan luas dan aplikasi teknologi konsersvasi untuk meminimalkan aliran permukaan dan erosi terutama lahan pertanian. Untuk meningkatkan produksi diperlukan pupuk masing-masing Urea 200 kg ha-1, SP36 100 kg ha-1 dan KCl 100 kg.ha-1 (BP2TP, 2008) Konsekuensi dari penerapan teknologi tersebut adalah bertambahnya biaya pengelolaan. Sebaliknya bila penerapan teknologi tersebut dapat meningkat produksi kakao per satuan luas maka pendapatan akan meningkat. Aplikasi agroteknologi dengan pemberian mulsa/teknik konservasi rorak serta pemupukan berimbang pada kakao umur >10 tahun menjadi pilihan yang ideal, karena disatu sisi dapat menekan erosi juga dapat meningkatkan pendapatan persatuan luas lahan kakao. Sebagaimana pada skenario ketiga nampak bahwa pemberian mulsa pada lahan kakao umur ≤3 tahun dan pembuatan rorak pada kakao >6 tahun efektif menekan erosi dan mencegah degradasi kualitas tanah. Pengelolaan usahatani di DAS Nopu dengan hanya melakukan pemupukan tidak akan menjamin keberlanjutan usahatani kakao tersebut.
Untuk menjaga
keberlanjutan usahatani kakao tersebut, selain peningkatan produksi persatuan luas juga harus dibarengi dengan teknik konservasi tanah dan air. Dalam hal ini pemberian mulsa penutup tanah untuk mencegah erosi yang selama ini masih
98 tinggi pada tanaman kakao muda dan tanaman semusim, sedangkan pembuatan rorak dan sengkedan diperlukan pada lahan kakao umur >6 tahun untuk menurunkan laju aliran permukaan dan erosi. Pada Gambar 11 disajikan dampak pemberian pupuk dan pemulsaan/ pembuatan rorak terhadap pendapatan usahatani kakao, dimana dengan adanya tambahan biaya pemberian mulsa atau pembuatan rorak tidak menyebabkan pendapatan menurun karena produksi kakao meningkat. Ketika kakao berumur 6 tahun pendapatan keluarga tani mencapai Rp10,67 juta ha-1 th-1. Ini berarti bahwa luas lahan yang di miliki para petani sebesar 1,49 ha.kk-1 memperoleh pendapatan sebesar Rp15.911.710 kk-1th-1. Dengan demikian aplikasi agroteknologi sebagaimana disimulasikan dalam penelitian ini ketika kakao telah berumur >6 tahun telah memberikan pendapatan lebih besar dari standar KHL. Kemudian dengan semakin meningkatnya produksi, pendapatanpun meningkat yakni lebih besar Rp20 juta kk-1th-1 ketika kakao umur 8-15 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa dengan kepemilikan lahan 1,49 ha/kk, petani kakao di DAS Nopu telah memperoleh pendapatan yang jauh melampaui KHL, dengan demikian
Pendapatan Luas 1,49 ha (Rp/th)
masyarakat tidak perlu menambah luas lahan untuk memenuhi KHL. Juta 25 20
KHL
15 10 5 0
Pendapatan
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
4,8 7,41 11,7 15,9 19,6 20, 22, 22, 24, 24, 24, 23, 22,
Umur Kakao (th)
Gambar 11 Dampak agroteknologi terhadap pendapatan usahatani kakao Aplikasi agroteknologi pemupukan dan teknik konservasi rorak atau pemulsaan selain diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani, juga dapat menekan laju aliran permukaan dan erosi. Pada penggunaan lahan yang relatif
99 terbuka seperti kakao umur ≤3 tahun, kacang tanah dan jagung dilakukan pemberian mulsa sebanyak 6 t ha-1 dan pada lahan kakao umur >6 tahun dibuat rorak untuk menampung dan mamasukan air ke dalam tanah. Hasil simulasi menunjukkan bahwa penerapan teknik koservasi tanah tersebut dapat menekan erosi dalam DAS Nopu hingga lebih rendah dari erosi yang dapat ditoleransi. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kombinasi pemupukan berimbang dan aplikasi mulsa dan pembuatan rorak juga berdampak pada meningkatnya biaya operasional pengelolaan kakao lebih besar dibanding dengan kondisi eksisting yakni mencapai Rp 5,6 juta ha-1th-1. Namun demikian keuntungan yang diperoleh cukup tinggi yakni sekitar
Rp.16,4 juta ha-1th-1
sehingga untuk
memenuhi KHL hanya membutuhkan lahan seluas 0,91 ha.kk-1. Ini berarti kepemilikan lahan
1,49 ha/kk sangat memungkinkan petani memperoleh
pendapatan yang lebih besar lagi. Namun demikian, besarnya biaya produksi dalam rangka pengadaan pupuk dan aplikasi mulsa dan pembuatan rorak menjadi kendala bagi petani yang kurang memiliki modal untuk mengelola lahan kakao. Pada Tabel 28 disajikan pendapatan usahatani dengan berbagai jenis tanaman dan umur kakao. Aplikasi mulsa pada lahan jagung (Jak), kacang tanah (Kta) dan rorak atau sengkedan pada lahan vanili (Van) tidak dapat memberikan pendapatan yang memadai untuk memenuhi KHL (Rp15.000.000/kk/th). Jadi dengan usahatani tersebut hanya dapat memenuhi kebutuhan hidup minimal (Rp6.000.000/kk/th) dan belum dapat memenuhi kebutuhan lainnya seperti biaya pendidikan, kesehatan dan biaya sosial lainnya. Namun demikian penghasilan dari tanaman semusim tersebut telah dapat menutupi kebutuhan fisik minimal, terutama ketika kakao belum berproduksi (umur 1-2 tahun). Kondisi yang sama terjadi pada usahatani kakao yang diaplikasi dengan mulsa, rorak atau sengkedan, terutama saat tanaman kakao masih kecil. Hasil usahatani kakao dengan kepemilikan lahan 1,49 ha/kk yang diberi teknologi konservasi tanpa usaha peningkatan produksi belum dapat memberikan pendapatan yang dapat memenuhi KHL. Penerapan agroteknologi ini hanya dapat memberikan pendapatan untuk kebutuhan hidup minimal. Hal ini mengindikasikan bahwa skenario ini tidak layak untuk dikembangkan karena secara ekonomi tidak dapat memenuhi KHL.
100 Pada skenario dengan aplikasi agroteknologi pemupukan berimbang yang dipadukan dengan teknik konservasi tanah dan air yakni pemberian mulsa pada lahan usahatani jagung dan kacang tanah tidak memberikan produksi yang maksimal. Usahatani jagung, kacang tanah dan vanili tidak dapat memberikan pendapatan yang memenuhi KHL (Lampiran 12), dengan demikian tidak layak untuk dikembangkan, namun demikian usahatani jagung atau kacang tanah dapat dijadikan usahatani pendukung pada awal penanaman kakao, ketika kakao belum berproduksi. Tanaman jagung atau kacang tanah tersebut dapat ditanam dengan sistem tumpangsari dengan kakao hingga umur 3 tahun. Pada kondisi tersebut pendapatan dari tanaman semusim dapat menunjang kebutuhan hidup minimal keluarga tani. Ini berarti tingkat kehidupan petani tersebut belum memenuhi KHL. Tanaman kakao mulai berproduksi setelah berumur 3 tahun, namun hingga umur 5 tahun pendapatan yang diperoleh belum dapat memenuhi KHL. Dalam kondisi penghasilan usahatani kakao yang belum dapat memenuhi KHL salah satu alternatif yang dilakukan oleh petani adalah memungut hasil hutan seperti rotan dan hasil hutan lainnya. Selain itu, menjadi buruh kasar bila ada pelaksanaan proyek pembangunan disekitar desanya. Setelah tanaman kakao berumur 6 tahun dengan luas kepemilikan lahan 1,49 ha/kk pendapatan yang diperoleh lebih besar dari standar KLH.
Pada tahun ke 6 kakao memberikan pendapatan sebesar
Rp15.911.710/tahun dan terus meningkat hingga tanaman berumur 15 tahun. Secara umum hasil penelitian ini memberikan informasi bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian menurunkan kualitas tanah, namun secara finansial dapat memberikan pendapatan pada petani khususnya dari tanaman kakao. Hasil survei menunjukkan bahwa petani di DAS Nopu rata-rata memiliki lahan kering 1,49 ha/kk dengan produksi kakao yang masih relatif rendah sekitar 891 kg/ha/th sehingga pendapatan penjualan hasil kakao tidak dapat memenuhi KHL. Masih rendahnya pendapatan usahatani kakao tersebut karena sistem pengelolaan tidak dilakukan secara intensif, dimana belum diterapkannya prinsipprinsip pertanian konservasi sehingga kualitas tanah mudah terdegradasi. Menurunnya kualitas tanah terutama ketersediaan hara bagi tanaman dan tidak dilakukannya usaha pemupukan menjadi salah satu faktor utama rendahnya hasil yang diperoleh. Hasil simulasi menunjukkan dengan pemberian pupuk berimbang
101 (Urea 200, SP36 100 dan KCl 100 kg/ha/th) dan penggunaan mulsa (6 t/ha) dan rorak (50 unit/ha) dapat meningkatkan pendapatan petani, dimana dengan luasan lahan 1,19 ha/kk telah dapat memenuhi KHL. Penerapan agroteknologi tersebut selain dapat meningkatkan kesejahteraan petani, juga diharapkan petani tidak lagi berorientasi menambah pendapatan dengan memperluas areal garapannya dengan merambah hutan TNLL. Selain usaha tersebut, pengembangan lapangan kerja diluar sektor pertanian di pedesaan diharapkan dapat diprogramkan pemerintah sehingga sebagian tenaga kerja dapat tertampung. Dengan demikian tekanan perambahan terhadap kawasan lindung dapat dikurangi atau dicegah. Tabel 28 Hasil simulasi usahatani pada berbagai jenis tanaman dan umur kakao dengan aplikasi agroteknologi Skenario Aplikasi R/S/M Jenis UT
Penerimaan
Jag*
Biaya
Aplikasi PB+R/S/M Pendapatan
..……….…(Rp/1,49 ha/th)…………… 4.432.000# 8940000 4508000
Penerimaan
Biaya
Pendapatan
……………(Rp/1,49 ha/th).…..………… 17880000 7924000 9.956.000
Kta*
8046000
4508000
3.538.000#
17433000
7924000
9.509.000
**
11920000
4788000
7.132.000
19072000
8484000
10.588.000
Van
Umur kakao
1*
0
3021720
-3.021.720
0
4213720
-4.213.720
*
0
3021720
-3.021.720
0
4213720
-4.213.720
*
3
5602053
3494050
2.108.003
9523491
4686050
4.837.441
**
8065335
5103250
2.962.085
13711070
6295250
7.415.820
**
11157120
5401250
5.755.870
18967104
7189250
11.777.854
**
13588800
5401250
8.187.550
23100960
7189250
15.911.710
**
16691708
5863150
10.828.558
28375903
8723950
19.651.953
**
17114798
5863150
11.251.648
29095157
8723950
20.371.207
**
18124018
5863150
12.260.868
30810830
8723950
22.086.880
**
18191289
5863150
12.328.139
30925191
8723950
22.201.241
**
20086179
6831650
13.254.529
34146504
9692450
24.454.054
**
20133738
6831650
13.302.088
34227354
9692450
24.534.904
**
19873854
6831650
13.042.204
33785552
9692450
24.093.102
**
19364584
6831650
12.532.934
32919794
9692450
23.227.344
**
19066727
6831650
12.235.077
32413435
9692450
22.720.985
2 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 *
**
Pemberian mulsa, pembuatan rorak/sengkedan, PB= pemupukam berimbang (200 kg urea +100 kg KCl +100 kg SP36 + 4-6 ltr pupuk mikro cair), #Penanaman 2 kali setahun, Jag= jagung, Kta= kacang tanah, Van= Agroforestri vanili
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Bedasarkan hasil dan pembahasan di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan penurunan kualitas tanah dilihat dari indikator sifat fisik (bobot isi semakin meningkat, porositas semakin menurun, permeabilitas dan agregate tanah menurun), kimia (kadar C-organik, N, P dan K tanah menurun) dan biologi tanah (total karbon mikrobia tanah menurun). 2. Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao berdampak terhadap meningkatnya erosi dan aliran permukaan. Erosi sangat tinggi ketika kakao berumur <3 tahun dan berkurang setelah berumur >6 tahun. Kemudian aliran permukaan semakin tinggi dengan semakin berkembangnya tanaman kakao. 3. Pendapatan petani dengan sistem pengelolaan usahatani eksisting tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup layak. Produksi kakao yang diperoleh petani masih rendah (890 kg/ha/th) dengan pendapatan Rp 7,88 juta/ha/th. atau dengan pendapatan Rp11,75 juta/kk/th (
Saran Untuk menjaga keberlanjutan pengelolaan usahatani pada DAS Nopu dan kelestarian lingkungan maka beberapa hal yang perlu dilakukan antara lain: 1. Untuk mempertahankan kualitas tanah pada lahan perkebunan kakao maka perlu dikembangkan penanaman dengan sistem agroforestri
102 2. Untuk memperbaiki sifat tanah yang cenderung merosot setelah tanaman kakao dewasa diperlukan pupuk organik (kompos dan bokasi). 3. Untuk mencapai produksi kakao yang maksimal per satuan luas perlu dilakukan pemupukan berimbang, dengan dosis 200 kg urea +100 kg KCl +100 kg SP36 +4-6 ltr pupuk mikro cair ha-1th-1. 4. Agar aliran permukaan dan erosi dapat diperkecil pada lahan kakao yang telah berumur >6 tahun
perlu dibuat rorak berukuran 5 m x 0,5 m x 0,6 m
sebanyak 40-50 unit ha-1 untuk 10 m ke arah samping dan 20 m ke arah vertikal (searah lereng). Rorak dibuat memotong lereng untuk menampung aliran permukaan. 5. Untuk mengurangi erosi yang tinggi pada lahan tanaman semusim dan kakao umur ≤3 tahun perlu diberikan mulsa sebanyak 4-6 t ha-1 th-1 6. Untuk optimalisasi manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat, maka luas kawasan hutan harus dipertahankan minimal 30% dari luas DAS dengan sebaran proporsional (UU RI No.41 Pasal 18 ayat 2 tahun 1999, tentang Kehutanan).
DAFTAR PUSTAKA Abdoellah S. 1997. Ancaman cekaman air di musim kemarau panjang pada tanaman kopi dan kakao. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. 13(2): 7782. Adyana O. 2002. Pengembangan sisten usahatani pertanian berkelanjutan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 19 (2): 38-49 Agus F, A Abdurachman, A Rachman, SH Tala'ohu, A Dariah, BR.Prawiradiputra, B Hafif dan S Wiganda. 1999. Teknik konservasi tanah dan air. Sekretariat Tim Pengendali Bantuan Penghijauan dan Reboisasi Pusat. Jakarta. Amelia T. 2006. Pendugaan produktivitas serasah selama musim hujan pada tegakan Hopea bancana dan Shorea balangeran di hutan penelitian Darmaga Bogor. Jawa Barat. Skripsi Dept. Managemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Arsyad S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. UPT Produksi Media Informasi. Lembaga Sumberdaya Informasi Institut Pertanian Bogor. IPB Press. Bogor Asdak C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. (BAPPENAS) Badan Perencana Pembangunan Nasional. 2002. Pengentasan kemiskinan. Deputi bidang kemiskinan, ketenagakerjaan dan UKM. http://www.bappenas.go.id (1 April 2005) Barrow CJ. 1991. Land Degradation . Development and breakdown of eerrestrial environments. Cambridge Univ. Press. Cambridge-New York. (BI) Bank Indonesia. 2005. Proposal kredit Usahatani Kakao. http://www.bi.go.id/ sipuk/ind/kakao/produksi.htm (1 April 2005) Bechstedt HD. 1997. Training manual on participatory research for sustainable land management, The Management of Sloping Land for Sustainable in Indonesia. IBSRAM/ASIALAND Network. Bosch JM. and JD Hewlet. 1982. Review of catchment experiments to determine the effects of vegetation changes on water yield and evapotranspiration. Journal of Hidrology (55):3- 23. (BPS) Biro Pusat Statistik 2005. Sulawesi Tengah dalam angka. Kantor Dinas Statistik Provinsi Sulawesi Tengah Palu. (BP2TP) Balai pengakajian dan pengembangan teknologi pertanian. 2008. Dosis pemupukan spesifik kakao. http://www.balitbang deptan.go.id/Pemupukan spesifik lokasi (31 Maret 2008) Brady MA. 1996. Effect of vegetation changes on organic matter dynamics in three control peat deposits in Sumatera, Indonesia. In: Rirely JO and SE Page (eds). Proceedings of the international Symposium on Biodiversity Environmental Importance and Sustainability of Tropical Peat and Peatland Held in Palangkaraya, Central Kalimantan, 4-8 September 1995.
104 Brown S. 1997. Estimating biomassa change of tropical forest. A Forest Resources Assesment Publication. FAO Forestry Paper 134. Roma. Budiarti W, 2004. Pendugaan produktivitas serasah zona montana di hutan hujan pegunungan, gunung gede jawa barat. Skripsi Dept. Managemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Chow VT, R David and. Larry W. 1988. Applied hydrology. Mc. Grow-Hill. New York Cobo JG, E Barrios, DCL Kass and RJ Thomas. 2002a. Decomposition and nutrient release by green manures in the tropical hillside agro-ecosystem. Plant soil~ 240. 331 - 342. ___________________________________________.2002b. Nitrogen mineralization and crop uptake from surface-applied leaves of green manure species on a tropical volcanic-ash soil. Biol. Fertil. Soil. 36: 87 - 92. Dariah A, F Agus, S Arsyad, Sudarsono, and Maswar. 2004. Erosi dan limpasan permukaan pada agroforestri berbasis kopi di Sumberjaya, Lampung Barat. Agrivita 26: 52 – 60. Faperta UNIBRAW, Malang. de Foresta H, A Kuswono, G Michon dan WA Djatmiko. 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan. Agroforest Khas Indonesia. Sebuah Sumbangan Masyarakat. International Center for Research in Agoforestry, Bogor. de Foresta H dan G Michon. 1993. Creation and management of rural agro-forests in Indonesia: potential applications in Africa. In: AM Hadik (ed). Tropical forest, people and food. Bio-cultural Interaction and Application to Development. UNESCO MAB Series, No 13, UNESCO and Parthenon Publishing Group. p.709-724. Dent FJ. 1993. Toward the standard methodology for the collection and analysis of land degradation data. Proposal for discussion. In. Report of the Experts Consultation of the sian Network on Problem Soil. Bangkok, 25-29 oct 1993. p 1-10 Dixon JA and Easter KW. 1986. Economic Analysis at the Watershed Level. Watershed Resource Management. An Integrated Framework with Studies from Asia and Pacific. Studies in Water Policy and Management, No. 10. West-views Press / Boulder and London. Doran JW and TB Parkin. 1994. Defining and assessing soil quality. In JW Doran, DC Coleman, DF Bezdicek., and BA Stewart (Eds.) Defining Soil Quality for Sustainable Environment. SSSA. Madison, Wisconsin. Special Publication. 35:3-21. (FAO) Food and Agriculture Organization. 1995. The den Bosch Declaration and Agenda for Action on Sustainable Agricultural Research. Report of the Conference. FAO, Rome. Foth HD. 1988. Fumdamental of Soils. Terjemahan: Damayanti. Gadjah Mada Press, Yogyakarta. Freebairn D. 2004a. Indicators of sustainability. What are the Useful Ones Australian Association of Natural Resource Management. 7 (1): 29 – 30.
105 __________ 2004b. Erosion control. Some observations on the role of soil conservation structures and conservation. Australian Association of Natural Resource Management. 7 (1): 8 – 13. Gerold G and K Murtilaksono. 2003. The influence of pedo-hydrological changes on the water and nutrient cycle in catchment area. Project B2. Stability of Rainforest Margins (STORMA). Georg-August-Univesitat Gottingen.. Gottingen Gittinger JP. 1986. Economic Analysis of Agriculture Project. The John Hopkins University Press. Terjemahan: Slamet Sutomo dan Komet Mangiri. Analisa ekonomi proyek-proyek pertanian. Universitas Indonesia Press, Jakarta Hairiah K, SM Sitompul, M Van Noordwijk and C Palm. 2001. Carbon tock of tropical landuse syatem as part of the global C balance: effects of forest coverstion and option for clean development activities. ASB Lecture Note 4A. ICRAF,Bogor, 49pp _________, Widianto, SR Utami dan B Lusiana. 2002. Wanulcas model simulasi untuk sistem agroforestri. ICRAF. Southeast Asia Regional Research Program, Bogor. Hamlin A. 1992. How do we know when agriculture system are sustainable? In Environmental Indicators for Sustainable Agriculture. Report of a National Workshop, 28-29 November 1991. Grains Research Corporation, Camberra, Australia Hammer WI. 1981. Second soil conservation consultant report. Agof/Ins/78/606 note. No. 10. Center for Soil Research, Bogor. Hardjowigeno H. (1993). Pressindo, Jakarta.
Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis.
Akademika
Hashim GM. and WY. Wan Abdullah. 2001. Soil erosion processes and nutrient loss in highland agricultural areas. In Agrochemical Pollution of Water Resources. ACIAR Proceeding. 104: 17-25. Hayuningtyas HP, 2006. Perubahan sifat fisik dan kimia tanah dalam plaksanaan sistem tebang pilih tanaman jalur di HPH HTI PT. Sari Bumi Kusuma unit S.Seruyan KalTeng. Skripsi Dept. Budidaya Hutan Fak Kehutanan IPB Bogor. Hikam Z. 2002. Koflik tapal batas di Taman Nasional Lore Lindu. Dalam M Nasir Abas,T Siera dan SA Awang (Editors) Interaksionisme Simbolik DongiDongi. Debut Press. Yogyakarta Holy M. 1980. Erosion and Environment. Pergamon Press. London. Hufschmidt M.M. 1986. A Conceptual Framework for Watershed Management. Watershed Resource Management. An Integrated Framework with Studies from Asia and the Pacific. Studies in Water Policy and Management, No. 10. West-view Press / Boulder and London. (ICRAF) International Center Research Agro Forestry. 2000. Agro-forestry facts. ICRAF-online. http://www.icraf org/ agjacts/ag_facts.htm (17 Maret 2005)
106 Idawu OJ, 2003. Relationship between aggregate stability and selected soil properties in humid tropical environment. Communications in Soil Science and Plant Analysis. Vol.34, No. 5 & 6, pp 695-708. Ilyas. M.A. 1996. Pengembangan model hidrologi dengan sistem parameter terdistribusi pada daerah aliran sungai untuk penanggulanggan mausalah sumberdaya air. Prosiding Seminar Nasional: Strategi Pengelolaan Wilayah dalarn Mencapai Pembangunan Berkelanjutan, Yogyakarta. 31 Agustus 1996. Iqbal, T Mandang dan EN Sembiring, 2006. Pengaruh lintasan traktor dan pemberian bahan organik terhadap pemadatan tanah dan keragaan tanaman kacang tanah. Jurnal Keteknikan Pertanian. Perhimpunan Teknik Pertanian Indonesia (PERTETA) dan Departemen Teknik Pertanian (FATETA) IPB, Bogor. 20: 225-234 Iriawan N dan SP Astuti. 2006. Mengelola data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14. Andi, Yogyakarta. Islam KR and RR Weil. 2000. Soil quality indicator properties in mid-atlantic soils as influenced by conservation management. J. Soil and Water Cons. 55 (1):69-78. Jadin P and J Snoeck. 1985. The soil diagnosis method to calculate the fertilizer requirements of the cocoa tree. Coffee Cacao. 39: 267 - 272. Juo ASR, K Frannzluebbers, A Dabiri and Ikhile. 1995. Changes in soil properties during long-term fallow and continuous cultivation after forest clearing in Nigeria. Agr. Eco and Env. 56: 9-18. New York. Kakade B, K Petare, G Neelam, S Pawar.and AChaurasia. 2003. Combating drought through a participatory watershed development approach. A Case Study from Gokulpura-Govardhanpura Villages in Bundi District, Rajasthan, India. Australian Association of Natural Resource Management. 6 (2): 2 – 11. Kang BT and ASR Juo. 1986. Effect of forest clearing on soil chemical properties and crop performance. In: R Lal, PA Sanchez, RW Cummings, (Eds.). Land Clearing and Development in The Tropics. AA Balkema/Roterdam/Boston. p. 383-394. Karlen DL, MJ Mausbach, JW Doran, RG Cline, RF Harris and GE Schuman. 1997. Soil quality: a concept, definition and framework for evaluation (a guest editorial). Soil Sci. Soc. Am. J. 61:4-10. Washington. Kenedy AC and RI Papendick. 1995. Microbial characteristics of soil quality. J. Soil and Water Cons. 50: 243-248. Kurniawan P. 1999. Pengalaman pembinaan petani kopi di Propinsi Lampung. Warta Pusat Penelitian Kopi dan kakao. 15 (1):167-176. Lal R. 1986. Deforestation and soil erosion. In R. Lal, PA Sanchez, RW Cummings (Eds.) Land Clearing and Development in the Tropics. AA Balkema, Roterdam. p.199-316. _____ and W Elliot. 1994. Erodibility and erosivity. In: R Lal, (Ed.). Soil Erosion Research Methods. Soil and Water Conservation Society. Florida. p. 181-210.
107 _____ 1995. Sustainable management of soil resources in the humid tropics. United Nations University Press. Tokyo. New York. Paris. Landon J. R. 1984. Booker Tropical Soil Manual. A Handbook for Soil Survey and Agricultural Land Evaluation in the Tropics. Booker Agric. Int. Ltd. London. Larson WE. and FJ. Pierce, 1994. The dynamic of soil quality as a measure of sustainable management. Defining Soil Quality for a Sustainable Environment. SSSA Special Publication. 35: 38-51. Linsley RK, MA Kohler and JLH Paulhus. 1980. Surface Retention and Detention and Overland Flow. Applied Hydrology. Chap. 11: 260 - 302. Mc GrawHill Book Co., New York. Lingkar Diskusi Groningen. 2005.Mengentaskan kemiskinan. http://www Lingkar Diskusi Groningen/Policy Making (Wed, 30 Mar 2005) Manan S. 1976. Pengaruh hutan dan managemen daerah aliran sungai. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor Mattjik AA dan IM Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid I Edisi kedua. IPB Press, Bogor. Montesari. 2002. Tumpang tindih peruntukan lahan di Taman Nasional Lore Lindu. Dalam M Nasir Abas,T Siera dan SA Awang (Editors) Interaksionisme Simbolik Dongi-Dongi. Debut Press. Jogjakarta Mulyadi D. 1981. Landasan pendayagunaan sumberdaya tanah untuk pembangunan pertanian. hIm. 291-298 dalam Proceeding Seminar Agroforestri dan Pengendallan Perladangan. Jakarta, 19-21 Nopemver 1981. Kerjasama Direktorat Reboisasi dan Rebabilitasi, Direk-torat Jenderal Kehutarian dengan Balai Penelitian Hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Badar, Litbang Pertapian. Murray RS. and JP Quirk. 1990. Inter-particle forces in relation to the stability of soil aggregates. pp. 439 - 461. In: M.F. De Boodt, M.H.D. Hayes A Herbillon.(Eds). Soil Colloids and Their Association in Aggregates. Plenum Press. New York. Murtilaksono K, ES Sutarta, NH Darlan dan Sudarmo. 2008. Aplikasi teras gulud dan rorak bermulsa vertikal dalam upaya peningkatan produksi kelapa sawit. Prosiding Seminar dan Kongres Nasional MKTI VI. Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia. Noeralam A. 2002. Tehnik pemanenan air yang efektif dalam pengelolaan lengas tanah pada usahatani lahan kering. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Nur, A.M. dan Zaenudin. 1999. Perkernbangan buah dan permulihan pertumbuhan kopi robusta akibat cekaman kekeringan. Pelita Perkebunan. 15 (3): 162174. Asosiasl Peneliti Perkebunan Indonesia ________ 2000. Dampak La Nina terhadap produksi kopi robusta: Studi kasus tahun basah 1998. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 16 (1)50-58.
108 Oades JM, 1993. The role of biology in the formation, stabilization and degradation of soil structure, Geoderma 56:377-400 Oldeman LR. 1993. An International methodology for an assessment of soil degradation land geo-referenced soil and terrain database. In : Report of the Expert Consultation of the Asian Network on Problem Soils. Bangkok. pp 33-60. Palm CA, RA Houghton, JM Mello, D Skole and GM Woodwell. 1986. The effect of tropical deforestation on atmospheric CO2. p. 181-194. In: R. Lal, P.A. Sanchez, Parr JF, RI Papendick, SB Hornick, and RE Meyer. 1992. Soll quality: Attributes and relationship to alternative and sustainable agriculture, Am. J, Alt. Agr. 7:(1 and 2). (PPT) Pusat Penelitian Tanah Bogor. 1983. Jenis dan macam tanah di Indonesia untuk keperluan survei dan pemetaan tanah daerah transmigrasi. PPT Bogor. Pujiyanto. 1996. Status bahan organik tanah pada perkebunan kopi dan kakao di Jawa Timur. Warta Pusat Penelitian Kopi Kakao. 12 (2): 115 - 119. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. 1998. Pedoman Teknis Budidaya Tanaman Kopi (Coffee sp). Pusat Penelitlan Kopi dan Kakao. Jember. Rachman A, H Suwardjo dan D Erfandl. 1989. Pengaruh perbedaan vertical interval teras gulud dan mulsa terhadap erosi pada tanah Oxisol di Jambi. Prosiding Pertermuan Teknis Penelitian Tanah. Bogor, 18-20 Jun 1987. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Rakhmanov. 1970. Dependence of stream flow upon the percentage of forest Cover of catchment. In: Proceedings International Symposium on Forest Inflluences and watershed Management. FAO/Moscow. Rapa-FAO. 1993. Summary of recommendation and conclusions. In : Report of the Experts Consultation of the Asian Network on Problem Soils, Bangkok. 25-29 Oct. 1993. pp.16-21. Roose EJ. 1986. Runoff and erosion before and after clearing depending on the type of crop 'in Western Africa. p. 317-330. In R. Lal, P.A. Sanchez, R.W. Cummings, JR (Edv.) Land Clearing and Development in The Tropics, AA. Balkema/ Roterdam/Boston. Sajogyo. 1977. Garis Miskin dan Kebutuhan Minimum Pangan. Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaan (LPSP). Institut Pertanian Bogor. Bogor. Santoso S. 2002. Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik. Gramedia, Jakarta. Satjapradja 0. 1981. Agroforestry di Indonesia: Pengertian dan implementasinya. Dalam Proceeding Seminar Agroforestry dan Pengendalian Perladangan. Jakarta, 19-21 Nopeniver 1981. Kerjasama Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi. Direk-torat Jenderal Kehutanan dengan Balai Penelitian Hutan, Pusat Penelitlan dan Pengembangan Kehutanan, Badan Litbang Pertanian. Schwab GO, RK Frevert, TW Etminster and KK Barnes. 1997. Soil and Water Conservation Engineering. John Wiley & Sons. New York.
109 Seybold CA, JE Hemick and JJ Brejda. 1999. Soil resilience: a fundamental component of soil quality. Soil Sci. 164(4):224-233. Lippicott Wiliams & Wilkins. Inc. New York. Sheng TC. 1968. Concepts of Watershed Management. Lecture Notes for Forest Training Course in Watershed Management and Soil Conservation. UNDP/FAO, Jamaica. Shukla MK, R Lal and MH Ebinger. 2004. Soil quality indicators for the north appalachian experimental watersheds in Coshocton Ohio. Soil Science 169 (3):195-205. New York. ______________________________. 2005. Physical and chemical properties of minespoil eight years after reclamation in Northeastern Ohio. Soil Sci. Soc. Am. J. 69: 1288 – 1297 Sihite JHS. Valuasi ekonomi dari perubahan penggunaan lahan di sub DAS Beasay DAS Tulang Bawang-Lampung. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Sinukaban, N.1994. Membangun pertanian menjadi industri yang lestari dengan pertanian konservasi. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Konservasi dan Pengelolaan Tanah dan Air, Fakultas Pertanian IPB, Bogor. ___________, AN Gintings, H Santoso dan S Goenardi, 1996. Konservasi tanah dan air kunci pemberdayaan petani dan pelestarian sumberdaya alam. Prosiding Kongres II dan Seminar Nasional MKTI di Yogyakarta, 27-28 Oktober 1993. Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia, Bogor. ___________. 1999. Sistem pertanian konservasi kunci pembangunan pertanian berkelanjutan. Makalah pada seminar sehari ”Paradikma Baru Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Lahan yang Berkelanjutan”, dalam rangka Diesnatalis ke 43 FP-USU, Medan. ___________, SD Tarigan, W Purwakusuma, DPT.Baskoro, and ED Wahyuni. 2000. Analysis of watershed functions. Sediment transfer across various types of filter strips. Prosiding Kongres II dan Seminar Nasional MKTI di Yogyakarta, 27-28 Oktober 1993. Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia, Bogor. __________ 2007. Membangun pertanian menjadi industri yang lestari dengan pertanian konservasi. Dalam : N Sinukanban. Konservasi Tanah dan Air Kunci Pembangunan Berkelanjutan. Direktorat Jenderal RLPS, Jakarta. __________, Sudarmo dan K Murtilaksono. 2007. Pengaruh pemberian mulsa dan pengolahan tanah terhadap erosi, aliran permukaan dan selektivitas erosi pada Latosol colakt kemerahan Darmaga. Dalam : N Sinukanban. Konservasi Tanah dan Air Kunci Pembangunan Berkelanjutan. Direktorat Jenderal RLPS, Jakarta. Smith WH and JR Frank. 1985. Comparative biomasss yields of energy crops. In W Palm J Commbs and DO Hall (eds). Energy from Biomass, 3rd EC Conference. Elsevier Applied Science Publisher. London pp323-329.
110 Soekartawi, A Soeharjo, JL Dillon, dan JB Hardaker. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Universitas Indonesia Press, Jakarta Soemarwoto 0. 1978. Aspek ekologi dalam pengelolaan daerah aliran sungai. Dalam: Proceeding Pertemuan Diskusi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Direktorat Reboasasi dan Rehabilitasi, Jakarta. Steel RGD and JH Torrie. 1989. Principal and Procedures of Statistics. Terjemahan B Sumantri. Prinsip dan Prosedur Statistik. Gramedia. Jakarta Stevenson FJ. 1994. Humus Chemistry. Genesis, Composition, Reaction. 2nd ed. John Wiley and Sons. New York Sulistyono H. 2006. Hubungan antara struktur vegetasi dengan kandungan Nitrogen tersedia pada tanah (studi kasus HPHHTI PT. Sari Bumi Kusuma KalTeng). Skripsi. Dept. Budidaya Hutan Fak Kehutanan IPB Bogor. Sunderlin WD, IAP Resosudarmo, E Rianto, and A Angelsen. 2000. The Effect of Indonesia’s Economic Crisis on Small Farmers and Natural Forest Cover in Outer Island. MacArthur Foundation. Central International Forest Organization Research (CIFOR), Bogor. Swift M and D Bignell. 2001. Standard Methods for Soil Assessment of Soil Biodiversity and Landuse Practice. Alternatives to Slash and Burn Project. ICRAF, Bogor. Tala’ohu SD, I Juarsah, S Sukmana dan Kusman. 1994. Penerapan teras gulud dan strip Vetiver danoide dalarn penanganan perladangan berpindah di Propinsi Surnatera Selatan. h1m. 41-50 dalam Risalah Hasil Penelitian Peningkatan Produktivias dan Konservasi Tanah untuk Mengatasi Masalah Perladangan Berpindah. Pasat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Tisdall JM and JM Oades, 1982. Organic matter and water-stable aggregates in soils. J Soil Sci. 33: 141-163 Tomich TP, M van Noordwijk, S Budisudarsono, A Gillison, T Kusumanto, D Murdiyarso, F Stolle and AM Fagi, 1998. Alternative to slash and urn in Indonesia: Summary Report and Synthesis of Phase II. ICRAF South East Asia, Bogor. Troeh FR, JA Hobbs and RL Donahue. 2004. Soil and Water Conservation for Productivity and Environmental Protection. Fourth edition. Pearson Education, Inc. Upper Saddle River, New Jersey. Utomo WH. 1993. Erosi dan Konservasi Tanah. IKIP Press, Malang USDA (United State Department of Agriculture). 1996. Soil quality information sheet. USDA. Natural Resource Conservation Service. Wisconsin. Verstraete W. 1989. Soil Microbial Ecology. State Universitet Ghent. Ward RC. 1975. Principles of Hydrology 2nd ed. Mc.Graw-Hill Book Company, Ltd. London
111 Widianto D Suprayogo, H Noveras, RH Widodo, P Purnomosidhi, dan M van Noordwijk. 2004. Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian: apakah fungsi hidrologis hutan dapat digantikan sistem kopi monokultur? Agrivita 26: 47-52. Faperta UNIBRAW, Malang. Wiersum K.F, P Budiriyanto and D Rhomdoni. 1979. Influence of Forest on Erosion.Iinstitute of Ecology. Pajajaran University Press. Bandung. Wischmeier WH and DD Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses – a Guide to conservation planning. USDA Agrc. Handbook No. 537. 58pp. Wisconsin. Wood SR. and FJ Dent. 1983. LECS. A land Evaluation Computer System Methodology. Center for Soil Research, Bogor.
112 Lampiran 1 Dena petak penelitian alih guna lahan hutan a. menjadi lahan pertanian
U
Jagung
Hutan
Vanili
Kacang Tanah
Kakao <3 thn
Hutan
Vanili
Jagung
Kacang Tanah
Kakao <3 thn
Kelompok I Lereng 9-12%
Kelompok II lereng 25-30%
Vanili
Kakao <3 thn
Hutan
Jagung
Kacang Tanah
Kelompok III lereng > 45%
b. Menjadi lahan kakao dan agroforestri kakao Kakao < 3 thn
Kakao 6 thn
Kakao 11 thn
Agrof kakao 7 thn
Agrof. Kakao 12 thn
Agrof. Kakao 12 thn
Hutan
Kakao < 3 thn
Kakao 6 thn
Kakao 11 thn
Agrof kakao 7 thn
Kakao 6 thn
Agrof kakao 7 thn
Hutan
Agrof. Kakao 12 thn
Kakao < 3 thn
Hutan
Kakao 11 thn
Kelompok I Lereng 9-12%
Kelompok II lereng 25-30%
Kelompok III lereng > 45%
113 Lampiran 2 Klasifikasi erosi menurut Hammer (1981) Kehilangan tanah Ton/ha/thn mm/thn <10 <0.6 10 – 50 0.6 – 3.3 50 – 200 3.3 – 13.3 >200 >13.3
Tingkat erosi Sangat rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
Lampiran 3 Kriteria tingkat kritis sifat-sifat fisik dan kimia tanah (Lal, 1984 dalam Shukla, Lal dan Ebinger, 2004) Pembatas Tanpa Sedikit Sedang Berat Ekstrim Pembatas Tanpa Sedikit Sedang Berat Ekstrim
Bobot 1 2 3 4 5 Bobot 1 2 3 4 5
Pembatas
Bobot
S. rendah rendah Sedang Tinggi S. tinggi
1 2 3 4 5
Konduktivitas (K: cm h-1 ) >2 0.2-2 0.02-.02 0.002-0.02 <0.002
B.Organik (SOC: Mg ha-1) 70-130 45-70 14-45 7.5-14 <7.5
Tekstur
DHL (dsm-1)
pH
Lempung SiL, Si,SiCL CL, SL SiC C, S
<3 3-5 5-7 7-10 >10
6-7 5.8-6/7-7.4 5.4-5.8/7.4-7.8 5.0-5.4/7.9-8.2 <5.0 / >8.2
Porositas (f:cm3 cm3 ) >0.20 0.18-0.20 0.15-0.18 0.10-0.15 <0.10
Air tersedia (AWC:cm)
Infiltrasi (i: cm h-1)
>30 20-30 8-20 2-8 <2
>5 2-5 1-2 0.5-1 <0.5
S.Agregat (WSA: g kg-1) >750 500-750 250-500 50-250 <50
B. partikel (MWD:mm ) 2.5 2 - 2.5 1–2 0.5 – 1 <0.5
Bobot Isi (Δb: Mg m-3) <1.3 1.3-1.4 1.4-1.5 1.5-1.6 >1.6
Penurunan KTK (%/tahun)* Rendah Sedang 16-24 Tinggi >24 <16 me/100g me/100 g me/100 g <0.75 <1.25 <2.5 0.75-1.25 1.25-2.50 2.5-5.0 1.25-2.50 2.50-5.0 5.0-7.50 2.505.0 5.0-7.5 7.50-10 >5.0 7.5 >10
Keterangan : * Kriteria Kualitas Tanah Modifikasi (FAO,1979)
Lampiran 4 Kriteria kesesuaian lahan berdasarkan nilai kumulatif indeks lahan dari 11 indikator pada lampiran 7 (Lal, 1994) Kesesuaian Sangat sesuai Sesuai Sesuai dengan input tinggi Sesuai untuk penggunan lain Tidak sesuai
Indeks (RWF) 1 2 3 4 5
Total (CR) <20 20 -25 25 – 30 30 – 40 >50
114
Lampiran 5 Kriteria permeabilitas menurut survei tanah Amerika Serikat Kec Permeabilitas cm/jam 1 < 0.12 2 0.13-0.50 3 0.51-2.00 4 2.01-6.25 5 6.26-12.50 6 12.51-.25.00 7 >25.00 Sumber: Arsyad (2002) No
Kriteria sangat lambat lambat agak lambat sedang agak cepat cepat sangat cepat
Lampiran 6 Klasifikasi indeks stabilitas agregat tanah Kelas Sangat stabil sekali Sangat stabil Stabil Agak stabil Kurang stabil Tidak stabil
Indeks stabilitas >200 80 - 200 66 - 80 50 - 66 40 - 50 <40
Sumber : Sarief (1998)
Lampiran 7 Hasil pengukuran curah hujan periode Juni 2005 hingga Mei 2006 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
BULAN Jun'05 Jul Agu Sep Ok Niv Des Jan'06 Peb Mar Apr Mei Jumlah Rata-rata
CH (mm) 258,90 229,50 124,70 86,10 129,60 129,80 91,74 92,70 164,90 159,41 41,21 22,43 1467,34 122,28
HH 14 14 8 8 7 4 7 8 5 5 4 5 89 7,42
115
Lampiran 8 Erosi yang dapat ditoleransi pada berbagai penggunaan lahan di DAS Nopu No Plot 1
Kedalaman Efektif mm 2
Konstan Ekuiv 3
DE . mm 4 2x3 1500.00 1500.00 1500.00 1500.00 1500.00 1500.00 931.00 931.00 931.00 931.00 931.00 931.00 931.00 931.00 931.00
Dmin (mm 5
B isi g//cm3 6
LPT 2 mm/th 7
MPT th 8
300 1 1500 1.00 500.00 1.29 2.00 300 2 1500 1.00 500.00 1.38 2.00 300 3 1500 1.00 500.00 1.32 2.00 300 4 1500 1.00 500.00 1.28 2.00 300 5 1500 1.00 500.00 1.24 2.00 300 6 1500 1.00 500.00 1.05 2.00 300 7 931 1.00 500.00 1.15 2.00 300 8 931 1.00 500.00 1.11 2.00 300 9 931 1.00 500.00 1.05 2.00 300 10 931 1.00 500.00 1.09 2.00 300 11 931 1.00 150.00 1.20 2.00 300 12 931 1.00 240.00 1.17 2.00 300 13 931 1.00 500.00 1.25 2.00 300 14 931 1.00 500.00 1.21 2.00 300 15 931 1.00 500.00 1.22 2.00 1931 1.00 1931.00 500.00 1.05 2.00 300 16 300 17 1010 1.00 1010.00 500.00 1.07 2.00 300 18 931 1.00 931.00 500.00 0.80 2.00 300 19 931 1.00 931.00 500.00 0.97 2.00 300 20 931 1.00 931.00 500.00 0.79 2.00 300 21 931 1.00 931.00 500.00 0.95 2.00 300 22 931 1.00 931.00 500.00 0.85 2.00 300 23 931 1.00 931.00 500.00 0.75 2.00 300 5a 1500 1.00 1500.00 500.00 1.32 2.00 300 9a 931 1.00 931.00 500.00 1.07 2.00 300 11a 931 1.00 931.00 150.00 1.25 2.00 300 16a 931 1.00 931.00 240.00 1.19 2.00 300 19a 931 1.00 931.00 500.00 1.06 2.00 Ket Kedalaman Ekivalen = 1 (BPPT Bogor,1998) Kedalaman Ekivalen = 1 (BPPT Bogor,1998) Laju pelapukan tanah (LPT) = 2 mm/thn (Arsyad, 2000) Kedalaman Ekivalen = 1 (BPPT Bogor,1998) Laju pelapukan tanah (LPT) = 2 mm/thn (Arsyad, 2000 Masa pakai Tanah (MPT) 400 thn Masa pakai Tanah (MPT) 400 thn Kolom D= kolom Bx kolom Kolom D= kolom Bx kolom LPT 2 = 2 mm/thn Rumus
ETol=
DE − DMIN + LPT MPT
Etol 2 mm/th 9
Etol 2 ton/ha/th 10 10 x10x6
5.33
68.80
5.33
73.60
5.33
70.40
5.33
68.27
5.33
66.13
5.33
56.00
3.44
39.52
3.44
38.15
3.44
36.09
3.44
37.46
4.60
55.24
4.30
50.35
3.44
42.96
3.44
41.58
3.44
41.93
6.77
71.09
3.70
39.59
3.44
27.49
3.44
33.34
3.44
27.15
3.44
32.65
3.44
29.21
3.44
25.78
5.33
70.40
3.44
36.77
4.60
57.54
4.30
51.21
3.44
36.43
116
Lampiran 9 Komposisi tekstur (%) tanah daerah penelitian Penggunaan
Kelas tekstur
Lahan
Pasir %
Pasir sngt halus %
Debu
Liat
%
%
Ka ≤3 thn
Lmp Berpasir
35.08
23.39
27.80
15.24
Jagung
Lempung
25.89
17.26
38.02
18.33
K Tanah
Lmp Berpasir
34.17
22.78
29.30
13.75
Ka 6 thn
Lmp Berpasir
32.48
21.65
36.04
10.84
Ka-A 6 thn
Lmp Berpasir
30.39
20.26
36.01
13.35
Ka >10 thn
Lmp lt berpasir
33.41
22.28
22.39
21.82
Ka-A > 10 thn
Lmp Berpasir
33.52
22.35
29.64
14.50
Vanili
Lmp Berpasir
36.65
24.43
24.12
14.81
Hutan Lmp Berpasir Ket: Lmp= lempung, lt= liat
33.49
22.33
29.36
14.83
Lampiran 10 Kriteria penilaian sifat kimia tanah (Staf Pusat Penelitian Tanah Bogor, 1983) Sangat rendah <1.00 <0.10 <5 <10
Rendah
Sedang
Tinggi
1.00 - 2.00 0.10 -0.20 5 - 10 10 - 20
2.01 - 3.00 0.2.1 - 0.50 11 - 15 21 - 40
3.01 - 5.00 0.51 - 0.75 16 - 25 41 - 60
Sangat tinggi >5.00 >0.75 >25 >60
P2O5 Bray I (ppm)
<10
10 - 15
16 - 25
26 - 35
>35
P2O5 Olsen (ppm)
<10
10 - 25
26 - 45
46 - 60
>60
K2O5 HCl 25 (Mg/100g) KTK (cmol(+)/kg) Susunan Kation K ((cmol(+)/kg) Na (cmol(+)/kg) Mg (cmol(+)/kg) Ca (cmol(+)/kg) Kejenuhan Basa (%) Kejenuhan Al (%) pH
<10 <5
10 - 20 5 - 16
21 - 40 17 - 24
41- - 60 25 - 40
>60 >40
<0.1 <0.1 <0.1 <2 <20 <10
0.1 - 0.2 0.1 - 0.3 0.4 - 1.0 2-5 20 - 36 10 - 20
0.3 - 0.5 0.4 - 0.7 1.1-2.0 6 - 10 36 - 50 21 -30
0.6 - 1.0 0.8 - 1.0 2.1-8 11 - 20 51 - 70 31 - 60
>1.0 >1.0 >8 >20 >70 >60
Sifat tanah C (%) N (%) C/N rasio P2O5 HCl (mg/100g)
Sangat masam
Masam
pH H2O <4.5
4.5 - 5.5
Agak masam 5.6 - 6.5
Netral 6.6- 7.5
Agak alkalis 7.6 - 8.5
Alkalis >8.5
117 Lampiran 11 Analisis NPV, IRR dan B/C rasio usahatani kakao pada tiga kondisi pengelolaan A. Analisis Net Present Value (NPV) Usahatani Kakao di DAS Nopu Saat ini (Eksisting) Manfaat Umur Pohon
Biaya
Discounted
Manfaat Bersih
Diskounto Bunga
(Rp/Ha)
biaya
(Rp/Ha)
0.18
Discounted
(Rp/Ha)
manfaat
NPV
Diskonunto Bunga
0.18
0.42
0
0
0
4379302
4379302
-4379302
1
-4379302
1
0
0
1028000
871186.4407
-1028000
0.847457627
-871186.4407
2
0
0
1028000
738293.5938
-1028000
0.71818443
-738293.5938
3
3759767.442
2288310.539
1333000
811304.9533
2426767.442
0.608630873
1477005.586
4
5412976.744
2791953.186
2353000
1213651.223
3059976.744
0.515788875
5
7488000
3273073.811
2353000
1028517.986
5135000
0.437109216
1
NPV
Diskounto Bunga
0.42
0.43
NPV 0.43
-4379302
1
-4379302
0.704225352
-723943.662
0.699300699
-718881.1189
0.495933347
-509819.4803
0.489021468
-502714.0691
0.349248836
847545.7034
0.341973055
829889.0748
1578301.963
0.245949884
752600.926
0.239141996
731768.9469
2244555.825
0.173204144
889403.2785
0.167232165
858737.1682 791370.6726
6
9120000
3378335.637
2353000
871625.4117
6767000
0.370431539
2506710.226
0.121974749
825403.1276
0.11694557
7
11202488.37
3516741.534
2735000
858584.9658
8467488.372
0.313925033
2658156.568
0.085897711
727337.8664
0.081780119
692472.206
8
11486441.86
3055831.9
2755000
732935.1411
8731441.86
0.266038164
2322896.759
0.060491346
528176.6667
0.057188894
499341.5061
9
12163770.35
2742395.871
2755001
621131.7009
9408769.349
0.225456071
2121264.17
0.042599539
400809.238
0.039992234
376277.7037
10
12208918.6
2332690.525
2755002
526382.9885
9453916.605
0.191064467
1806307.536
0.029999675
283614.4298
0.027966597
264393.8764
11
13480656.98
2182775.033
3385003
548096.4353
10095653.98
0.16191904
1634678.598
0.021126532
213286.1568
0.019557061
197441.3195
12
13512575.58
1854189.206
3385004
464488.6417
10127571.58
0.137219525
1389700.564
0.014877839
150676.3839
0.013676266
138507.3665
13
13338156.98
1551064.04
3385005
393634.5584
9953151.977
0.116287733
1157429.482
0.010477352
104282.6739
0.009563823
95190.18008
14
12996365.41
1280777.859
3385006
333588.7074
9611359.407
0.098548926
947189.1515
0.007378417
70916.61477
0.006687988
64280.65494
15
12796460.76
1068709.72
3385007
282702.3779
9411453.756
0.083516039
786007.3425
0.005196068
48902.55463
0.004676915
44016.5653
31316848.86
42752330
14675427.13
96214249.07
6.091577559
16641421.74
3.36858079
229890.4781
3.31470485
-17209.94696
22630203.77
-5988782.034
138966579.1
IRR =
i1 + { [NPV+ / (NPV+ - NPV-)] [i2 – i1] }
Total pendaptan=
96214249.07
NPV
=
16641421.74
= 42% + {229,890 / [229.890 – (-17.200)] [43% - 42%]}
IRR (%)
=
42.93035242
= 42% + {[229.890 / 247.100] 1%}
B/C rasio
=
∑diskon manfaat /
B/C rasio
=
22630203.77 /5988782.034
=
3,78
∑diskon biaya
Investasi akan kembali setelah tanaman berumur 6 tahun
= 42% + 0,003 %
t =n
NetB / C =
= 42.93 %
∑ NPV t =1
B −Cpositif
t =n
∑ N PV t =n
B −CNegatif
Net B/C Rasio =
22.630.204 /5.988.782
Net B/C Rasio =
3.778765639
118 Lampiran 11. Lanjutan B. Analisis Net Present Value (NPV) Usahatani Kakao setelah aplikasi mulsa, rorak/sengkedan di DAS Nopu Manfaat
Discounted
Biaya
Discounted
Manfaat Bersih
(Rp/Ha)
manfaat
(Rp/Ha)
biaya
(Rp/Ha)
0
0
0
4,379,302
4,379,302
-4,379,302
1
0
0
2,028,000
1,718,644
-2,028,000
Umur Pohon
2
0
0
2,028,000
1,456,478
-2,028,000
3
3,759,767
2,288,311
2,345,000
1,427,239
1,414,767
4
5,412,977
2,791,953
3,425,000
1,766,577
1,987,977
5
7,488,000
3,273,074
3,625,000
1,584,521
3,863,000
6
9,120,000
3,378,336
3,625,000
1,342,814
5,495,000
7
11,202,488
3,516,742
3,935,000
1,235,295
7,267,488
8
11,486,442
3,055,832
3,935,000
1,046,860
7,551,442
9
12,163,770
2,742,396
3,935,000
887,170
8,228,770
10
12,208,919
2,332,691
3,935,000
751,839
8,273,919
11
13,480,657
2,182,775
4,585,000
742,399
8,895,657
12
13,512,576
1,854,189
4,585,000
629,152
8,927,576
13
13,338,157
1,551,064
4,585,000
533,179
8,753,157
14
12,996,365
1,280,778
4,585,000
451,847
8,411,365
15
12,796,461
1,068,710
4,585,000
382,921
8,211,461
138,966,579
31,316,849
60,120,302
20,336,237
78,846,277
Diskounto Bunga
NPV
Diskonunto Bunga
NPV
(0.18)
(0.18)
0.33
0.33
1.000 0.847 0.718 0.609 0.516 0.437 0.370 0.314 0.266 0.225 0.191 0.162 0.137 0.116 0.099 0.084 6.092
-4,379,302 -1,718,644 -1,456,478 861,071 1,025,376 1,688,553 2,035,521 2,281,447 2,008,972 1,855,226 1,580,852 1,440,376 1,225,038 1,017,885 828,931 685,789 10,980,612
1.000 0.752 0.565 0.425 0.320 0.240 0.181 0.136 0.102 0.077 0.058 0.043 0.033 0.025 0.018 0.014 3.988
Diskounto Bunga
NPV
0.34
0.34
-4,379,302
1.000
-4,379,302
-1,524,812
0.746
-1,513,433
-1,146,475
0.557
-1,129,427
601,354
0.416
587,991
635,338
0.310
616,584
928,253
0.231
894,130
992,791
0.173
949,159
987,240
0.129
936,808
771,288
0.096
726,426
631,932
0.072
590,734
477,744
0.054
443,265
386,198
0.040
355,652
291,416
0.030
266,364
214,829
0.022
194,896
155,219
0.017
139,765
113,932
0.012
101,824
136,945
3.905
-218,565
Total pendaptan =
78,846,277
Analisis Internal Rate of Return (IRR)
NPV positf
NPV negatif
NPV
10,980,612
IRR = i1 + { [NPV+ / (NPV+ - NPV-)] [i2 – i1] }
18,535,036
-7,554,424
IRR
= =
33.39
B/C rasio = B/C rasio =
= 33 % + { 136945/ [136945 – (-218564.6)] [34% - 33%]} 31,843,232
/-10.278.641
(2.45)
Investasi akan kembali setelah tanaman berumur 7 tahun
= 33% + {[136945 /355509.42 390.673] 1%} = 33 % + 0,39 % = 33,39 %
t =n
NetB / C =
∑ NPV t =1
B − Cpositif
t=n
∑ N PV t=n
B/C rasio = (2.45)
B − CNegatif
119 Lampiran 11. Lanjutan C. Analisis Net Present Value (NPV) Usahatani Kakao dengan aplikasi pupuk berimbang, rorak/mulsa di DAS Nopu Umur Pohon
Manfaat
Discounted
Biaya
Discounted
Manfaat Bersih
(Rp/Ha)
manfaat
(Rp/Ha)
biaya
(Rp/Ha)
Diskounto Bunga
Diskonunto Bunga
NPV
NPV
Diskounto Bunga
NPV
-0.18
-0.18
0.45
0.45
0.46
0.46
0
0.00
0.00
4379302.00
4379302.00
-4379302.00
1.0000
-4379302.00
1.00000
-4379302.00
1.00000
4379302.00
1
0.00
0.00
2828000.00
2396610.17
-2828000.00
0.8475
-2396610.17
0.68966
-1950344.83
0.68493
1936986.30
2
0.00
0.00
2828000.00
2031025.57
-2828000.00
0.7182
-2031025.57
0.47562
-1345065.40
0.46913
1326702.95
3
6391604.65
3890127.92
3145000.00
1914144.09
3246604.65
0.6086
1975983.82
0.32802
1064940.64
0.32132
1043207.83
4
9202060.47
4746320.42
4225000.00
2179208.00
4977060.47
0.5158
2567112.42
0.22622
1125902.82
0.22008
1095371.64
5
12729600.00
5564225.48
4825000.00
2109051.97
7904600.00
0.4371
3455173.51
0.15601
1233218.09
0.15074
1191559.19
6
15504000.00
5743170.58
4825000.00
1787332.18
10679000.00
0.3704
3955838.41
0.10759
1149006.73
0.10325
1102588.48
7
19044230.23
5978460.61
5855000.00
1838031.07
13189230.23
0.3139
4140429.54
0.07420
978686.13
0.07072
932716.07
8
19526951.16
5194914.23
5855000.00
1557653.45
13671951.16
0.2660
3637260.78
0.05117
699659.09
0.04844
662228.17
9
20678409.59
4662072.98
5855000.00
1320045.30
14823409.59
0.2255
3342027.69
0.03529
523161.88
0.03318
491781.75
10
20755161.63
3965573.89
5855000.00
1118682.45
14900161.63
0.1911
2846891.44
0.02434
362669.44
0.02272
338580.87
11
22917116.86
3710717.56
6505000.00
1053283.35
16412116.86
0.1619
2657434.20
0.01679
275496.81
0.01556
255436.64
12
22971378.49
3152121.65
6505000.00
892613.01
16466378.49
0.1372
2259508.64
0.01158
190625.97
0.01066
175535.04
13
22674866.86
2636808.87
6505000.00
756451.70
16169866.86
0.1163
1880357.16
0.00798
129098.86
0.00730
118064.50
14
22093821.19
2177322.36
6505000.00
641060.77
15588821.19
0.0985
1536261.59
0.00551
85834.37
0.00500
77960.26
15
21753983.28
1816806.52
6505000.00
543271.84
15248983.28
0.0835
1273534.69
0.00380
57905.64
0.00343
52233.37
236243184.42
53238643.07
83000302.00
26517766.91
153242882.42
Pendaptan bersih = IRR
=
153242882.42 45.66
B/C rasio =
31843232.16 / /-10.278.641
B/C rasio =
-4.03
Investasi akan kembali setelah tanaman berumur 6,2 tahun
26720876.15
201494.25
-105727.43
120 Lampiran 12 Rekapitulasi Analisis Pendapatan Usahatani Kakao pada 3 Kondisi Pengelolaan A. Kondisi Eksisting Umur (th)
Produksi (kg/ha)
Harga Produksi (Rp/Kg)
1 2 3 1 2 3 313 12.000 4 451 12.000 5 624 12.000 6 760 12.000 7 934 12.000 8 957 12.000 9 1.014 12.000 10 1.017 12.000 11 1.123 12.000 12 1.126 12.000 13 1.112 12.000 14 1.083 12.000 15 1.066 12.000 Jumlah 11.581 Rataan 891 Ket: # = lihat lampiran 13
Penerimaan Usahatani (Rp/ha) 4 (2 x 3)
3.759.767 5.412.977 7.488.000 9.120.000 11.202.488 11.486.442 12.163.770 12.208.919 13.480.657 13.512.576 13.338.157 12.996.365 12.796.461 138.966.579 10.689.737
Biiaya pemeliharaan rutin (Rp/ha)# 5 1.028.000 1.028.000 1.345.000 2.425.000 2.425.000 2.425.000 2.735.000 2.735.000 2.735.000 2.735.000 3.385.000 3.385.000 3.385.000 3.385.000 3.385.000
Pendapatan Usahatani (Rp/ha/th) 6 (4 - 5) (1.028.000) (1.028.000) 2.414.767 2.987.977 5.063.000 6.695.000 8.467.488 8.751.442 9.428.770 9.473.919 10.095.657 10.127.576 9.953.157 9.611.365 9.411.461 102.481.579 7.883.198
Pendapatan Usahatani kakao (Rp/1,49ha)
Lm KHL (ha) 7
3,598,003 4,452,085 7,543,870 9,975,550 12,616,558 13,039,648 14,048,868 14,116,139 15,042,529 15,090,088 14,830,204 14,320,934 14,023,077 152,697,553 11,745,966
6,21 5,02 2,96 2,24 1,77 1,71 1,59 1,58 1,49 1,48 1,51 1,56 1,59 1,90
121 Lampiran 12. Lanjutan B. Dengan Aplikasi Mulsa/ Rorak (M/R) Umur (th)
Produksi (kg/ha)
Harga (Rp/kg)
Penerimaan Usahatani (Rp/ha)
Biaya pemeliharaan rutin (Rp/ha)#
Biaya Rorak/mulsa Rp/ha
1 2 3 4 (2 x 3) 5 6 1 0 0 0 1.028.000 1.000.000* 2 0 0 0 1.028.000 1.000.000* 3 313 12.000 3.759.767 1.345.000 1.000.000* 4 451 12.000 5.412.977 2.425.000 1.000.000* 5 624 12.000 7.488.000 2.425.000 1.200.000** 6 760 12.000 9.120.000 2.425.000 1.200.000** 7 934 12.000 11.202.488 2.735.000 1.200.000** 8 957 12.000 11.486.442 2.735.000 1.200.000** 9 1.014 12.000 12.163.770 2.735.000 1.200.000** 10 1.017 12.000 12.208.919 2.735.000 1.200.000** 11 1.123 12.000 13.480.657 3.385.000 1.200.000** 12 1.126 12.000 13.512.576 3.385.000 1.200.000** 13 1.112 12.000 13.338.157 3.385.000 1.200.000** 14 1.083 12.000 12.996.365 3.385.000 1.200.000** 15 1.066 12.000 12.796.461 3.385.000 1.200.000** Jumlah 11.581 156.000 138.966.579 38.541.000 Rataan 891 12.000 10.689.737 2.569.400 Ket: # = lihat lampiran 13, *=biaya mulsa, **= biaya pembuatan rorak
Total biaya (Rp/ha) 7 (5+6) 2.028.000 2.028.000 2.345.000 3.425.000 3.625.000 3.625.000 3.935.000 3.935.000 3.935.000 3.935.000 4.585.000 4.585.000 4.585.000 4.585.000 4.585.000 55.741.000 3.716.067
Pendapatan Usahatani kakao (Rp/ha) 8 (4 - 7) -2.028.000 -2.028.000 1.414.767 1.987.977 3.863.000 5.495.000 7.267.488 7.551.442 8.228.770 8.273.919 8.895.657 8.927.576 8.753.157 8.411.365 8.211.461 87.281.579 6.713.968
Pendapatan Usahatani kakao (Rp/1,49ha)
Lm KHL (ha) 9
2.108.003 2.962.085 5.755.870 8.187.550 10.828.558 11.251.648 12.260.868 12.328.139 13.254.529 13.302.088 13.042.204 12.532.934 12.235.077 130.049.553 10.003.812
10,60 7,55 3,88 2,73 2,06 1,99 1,82 1,81 1,69 1,68 1,71 1,78 1,83 3,16
122 Lampiran 12. Lanjutan
C. Aplikasi Pemupukan berimbang, Mulsa/Rorak (PB+M/R) Umur (th)
Produksi Simulasi (Kg/ha)
Harga (Rp/Kg)
Penerimaan Usahatani (Rp/ha)
Biaya pemeliharaan rutin (Rp/ha)#
Biaya Pemupukan (Rp/ha)
Biaya Rorak/Mulsa Rp/ha
Total biaya (Rp/ha)
Pendapatan Usahatani kakao(Rp/ha)
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Total Rataan
2
3
4 (2 x 3)
5 1.028.000 1.028.000 1.345.000 2.425.000 2.425.000 2.425.000 2.735.000 2.735.000 2.735.000 2.735.000 3.385.000 3.385.000 3.385.000 3.385.000 3.385.000 38.541.000 2.569.400
6 800.000 800.000 800.000 800.000 1.200.000 1.200.000 1.920.000 1.920.000 1.920.000 1.920.000 1.920.000 1.920.000 1.920.000 1.920.000 1.920.000 22.880.000 1.525.333
7 1.000.000* 1.000.000* 1.000.000* 1.000.000* 1.200.000** 1.200.000** 1.200.000** 1.200.000** 1.200.000** 1.200.000** 1.200.000** 1.200.000** 1.200.000** 1.200.000** 1.200.000**
8 (5+6+7) 2.828.000 2.828.000 3.145.000 4.225.000 4.825.000 4.825.000 5.855.000 5.855.000 5.855.000 5.855.000 6.505.000 6.505.000 6.505.000 6.505.000 6.505.000 78.621.000 5.241.400
9 (4-8) -2.828.000 -2.828.000 3.246.605 4.977.060 7.904.600 10.679.000 13.189.230 13.671.951 14.823.410 14.900.162 16.412.117 16.466.378 16.169.867 15.588.821 15.248.983 163.278.184 12.559.860
0 0 533 767 1.061 1.292 1.587 1.627 1.723 1.730 1.910 1.914 1.890 1.841 1.813 19.687 1.514
0 0 12.000 12.000 12.000 12.000 12.000 12.000 12.000 12.000 12.000 12.000 12.000 12.000 12.000 156.000 12.000
0 0 6.391.605 9.202.060 12.729.600 15.504.000 19.044.230 19.526.951 20.678.410 20.755.162 22.917.117 22.971.378 22.674.867 22.093.821 21.753.983 236.243.184 18.172.553
Ket: # = lihat lampiran 13, *=biaya mulsa, **= biaya pembuatan rorak
Pendapatan Usahatani kakao(Rp/ 1,49 ha)
Lm KHL (ha) 10
4.837.441 7.415.820 11.777.854 15.911.710 19.651.953 20.371.207 22.086.880 22.201.241 24.454.054 24.534.904 24.093.102 23.227.344 22.720.985 243.284.495 18.714.192
4.62 3.01 1.90 1.40 1.14 1.10 1.01 1.01 0.91 0.91 0.93 0.96 0.98 1.19
123
Lampiran 13 Rata-rata biaya pemeliharaan rutin kakao Umur (th) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Pajak tanah Penyusutan alat Pupuk cair Pestisida Tenaga kerja Transportasi Total biaya (Rp/ha/th) (Rp/ha/th) (Rp/ha/th) (Rp/ha/th) (Rp/ha/th) (Rp/ha/th) (Rp/ha/th) 20.000 0 0 528.000 480.000 0 1.028.000 20.000 0 0 528.000 480.000 0 1.028.000 20.000 125.000 0 540.000 480.000 180.000 1.345.000 20.000 125.000 80.000 540.000 1.480.000 180.000 2.425.000 20.000 125.000 80.000 540.000 1.480.000 180.000 2.425.000 20.000 125.000 80.000 540.000 1.480.000 180.000 2.425.000 20.000 125.000 160.000 300.000 1.860.000 270.000 2.735.000 40.000 125.000 160.000 300.000 1.860.000 270.000 2.755.000 40.000 125.000 160.000 300.000 1.860.000 270.000 2.755.000 40.000 125.000 160.000 300.000 1.860.000 270.000 2.755.000 40.000 125.000 320.000 600.000 1.940.000 360.000 3.385.000 40.000 125.000 320.000 600.000 1.940.000 360.000 3.385.000 40.000 125.000 320.000 600.000 1.940.000 360.000 3.385.000 40.000 125.000 320.000 600.000 1.940.000 360.000 3.385.000 40.000 125.000 320.000 600.000 1.940.000 360.000 3.385.000
124
Lampiran 14 Kriteria kualitas tanah modifikasi (FAO,1979) Kode 1 2 3 4 5
Kelas degradasi Erosi Salinisasi Sangar rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Sodikasi
1 2 3 4 5
Sangar rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Degradasi Kimia
1 2 3 4 5
Sangar rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Degradasi Fisik
1 2 3 4 5
Sangar rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
1 2 3 4 5
Sangar rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Degradasi Biologi Sangar rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
1 2 3 4 5
< 1,0 g/cm3 < 2,5 2,5-5 5-10 10-15 >15
Kriteria Menurut Kriteria Hammer, 1980 Peningkatan Daya Hantar Listrik <1 mmhos/cm/th 1- 2 mmhos/cm/th 2- -3 mmhos/cm/th 3- 5 mmhos/cm/th >5 mmhos/cm/th Peningkatan ESP per tahun ESP: Persentase Na dapat ditukarkan <0,5 ESP/th 0,5- 1 ESP/th 1–2 ESP/th 2–3 ESP/th >3 ESP/th Penuruna KTK (%/th) <16 me/100g 14-24 me/100g >24 me/100g Rendah Sedang Tinggi < 0,75 < 1,25 < 2,5 0,75-1,25 1,25-2,5 2,5- 5 1,25-2,5 2,5- 5 5 -7,5 2,5- 5 5 -7,5 7,5-10 >5 > 7,5 >10 Peningkatan Bobot Isi (%/th) 1-1,25 g/cm3 1,25-1,4g/cm3 1,4-1,6g/cm3 < 1,25 < 0,75 < 0,5 1,25-2,5 0,75-1,5 0,5- 1 2,5- 5 1,5-2,5 1- 2 5- 7,5 2,5-5 2–3 >7,5 >5 >3 Penurunan Hantaran Hidrolik Jenuh (%/th) > 10 cn/jam 5-10 cm/jam < 5 cm/jam Cepat Sedang Rendah <1,25 < 0,75 < 0,5 1,25-2,5 0,75-1,25 0,5 – 1 2,5-10 1,25 - 5 1–2 10-50 5 - 20 2 - 10 .50 >20 > 10 Penurunan C organik (%/th) < 0,5 0,5 – 1 1 – 2,5 2,5- 5 >5
125
Lampiran 15 Korelasi antar parameter pengamatan
A Permukaan (mm) Erosi t/ha serasah % C % Penutupan Agregat B Vol. Porositas Ks 10 cm Ks 30 cm
A Permukaan (mm)
Erosi t/ha
serasah
% C
Penutupan (%)
Agregat
B Volume
1 0.43 (0.78) (0.76) (0.53) (0.81) 0.36 (0.36) (0.76) (0.62)
1 (0.59) (0.22) (0.97) (0.34) (0.23) 0.23 (0.15) (0.03)
1 0.86 0.70 0.71 (0.44) 0.44 0.81 0.67
1 0.33 0.79 (0.70) 0.70 0.97 0.93
1 0.47 0.08 (0.08) 0.27 0.07
1 (0.64) 0.64 0.84 0.61
1 (1.00) (0.73) (0.67)
Porositas
1 0.73 0.67
Ks 10cm
Ks 30cm
1 0.89
1
126 Lampiran 16 Nilai faktor kedalaman sub order tanah (Arsyad, 2000)
Lampiran 17 Pengaruh temperatur terhadap pembentukan tanah (Arsyad, 2000)
127
Lampiran 18 Kedalaman tanah minimum untuk pertumbuhan tanamn (Arsyad, 2000)
Penguji Luar Komisi : 1. Dr. Ir. Silver Hutabarat, M.Sc. (Direktur Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosisal Departemen Kehutanan RI) 2. Dr. Ir Suria Darma Tarigan, M.Sc. (Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Faperta, IPB)