KARAKTERISTIK DAN PERMASALAHAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) SERTA STRATEGI PENATAAN DAN PEMBERDAYAANNYA DALAM KAITAN DENGAN PEMBANGUNAN EKONOMI WILAYAH KOTA BOGOR
ACHMAD MUBAROK
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Karakteristik dan Permasalahan Pedagang Kaki Lima (PKL) serta Strategi Penataan dan Pemberdayaannya dalam Kaitan dengan Pembangunan Ekonomi Wilayah Kota Bogor adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini
Bogor, Januari 2012
Achmad Mubarok NRP : A165030021
ii
ABSTRACT
ACHMAD MUBAROK. Characteristic and Problems of Street Vendors, Management and Empowerment Strategy in Relationship with Regional Economic Development in Bogor City, Under direction of BAMBANG JUANDA as Chairman, HERMANTO SIREGAR and HEDI M.IDRIS as Members of Advisory Committee. The research objectives are : (1) to analyze characteristics of street vendors and factors that affect their income, (2) to analyze contribution of street vendors on economic development, (3) to identify policy implementation on street vendors and (4) to formulate management and empowerment strategy for the street vendors. The research has been conducted in Bogor City using survey methods. Three street vendor typologic has been selected namely night vegetables market (pasar sayur malam), temporary market (pasar tumpah), and culinary market (pasar kuliner). The total sample is 180 respondents consisting of street vendors, consumers, residents, competitors and suppliers. AWOT analysis uses experts amounting 16 respondents. The samples are selected using the porposive sampling. The data are analyzed descriptively and AWOT analysis is used to formulate the strategy. The results indicates that street vendors can be characterized as having sufficient elementary education level, not poor, having net income higher than the city minimum wage and vulnerable on harassment. The regression result suggests that street vendors net income is significantly affected by omzet and starting up costs. On typology basis, net income significantly affects consumption level of street vendor’s household. Street vendors are able to create job opportunity in urban area and if properly managed, have large contribution on local revenue. However, the implementation of existing local regulations seem suboptimal. Some strategies have been proposed, including : (1) Registering and construct street vendor database, (2) economic empowerment for the actors, (3) unifying perception for street vendor management, (4) delayed condemnation delay and dialogue with local government, and (5) confining street vendor number in a location. Keywords :Street Vendors, AWOT analysis, Empowerment Strategy, Bogor City.
iii
RINGKASAN
ACHMAD MUBAROK. Karakteristik dan Permasalahan Pedagang Kaki Lima (PKL) Serta Strategi Penataan dan Pemberdayaannya Dalam Kaitan Dengan Pembangunan Ekonomi Wilayah di Kota Bogor, Di bawah bimbingan dari BAMBANG JUANDA sebagai Ketua, HERMANTO SIREGAR dan HEDI M.IDRIS sebagai Anggota dari Komisi Pembimbing. Bogor mengalami permasalahan pengelolaan kota dengan meningkatnya PKL. Pertumbuhan PKL di kota Bogor semakin nampak ketika krisis ekonomi terjadi di Indonesia. Terdapat dualisme pandangan mengenai keberadaan PKL yaitu positif dan negatif. Di sisi positif, PKL menyediakan peluang kerja bagi penduduk yang tidak terserap sektor formal dengan meningkatnya pengangguran dan pada saat yang sama menyediakan barang dan jasa dengan harga yang terjangkau bagi warga miskin kota. Di sisi negatif, PKL sering menyebabkan kemacetan, merusak wajah kota, kejahatan dan ketidaknyamanan sosial lainnya. Dua sisi keberadaan PKL ini menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan PKL sebagai mata pencaharian alternatif penduduk miskin kota dan bagaimana pemerintah kota Bogor menghadapi tantangan ini untuk permbangunan perkotaan. Dengan demikian tujuan dari penelitian ini adalah : (1) Menganalisis karakteristik umum dan faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL, (2) Menganalisis sejauh mana kontribusi PKL dalam pembangunan ekonomi wilayah di kota Bogor, (3) Mengidentifikasi sejauh mana keberhasilan dari kebijakan pemerintah Kota Bogor dalam menata dan memberdayakan PKL dan (4) Merumuskan strategi penataan dan pemberdayaan PKL. Penelitian dilakukan di kota Bogor, dari Juni 2009 sampai bulan Juli 2011 menggunakan rancangan penelitian survei. Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Populasi penelitian terdiri dari Pelaku PKL, Konsumen, Masyarakat, Pesaing, dan Supplier. Tipologi PKL yang dipilih adalah : Pasar Sayur Malam, Pasar Kuliner, Pasar Tumpah. Matode pengambilan sampel adalah Purposive Sampling. Total sampel yang diambil adalah 180 responden Untuk responden pakar total sampel yang diambil adalah 16 responden. Data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk mengkarakteristikkan PKL dan persepsi masyarakat, pemasok dan pesaing mengenai keberadaan PKL. Analisis regresi dilakukan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL. Untuk menganalisis strategi penataan dan pemberdayaan PKL digunakan metode hibrid AWOT. Hasil analisis menunjukkan bahwa : pertama, PKL Bogor dapat dikarakteristikkan sebagai berpendidikan rendah, tidak dapat dikategorikan miskin dan mampu mendapatkan pendapatan bersih di atas UMR kota. PKL bekerja dalam lingkungan kotor dengan jam kerja lama dan tanpa hari libur dan tidak memiliki jaminan sosial dan sebagian besar belum terdaftar di pemerintah kota. Kedua, Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel omzet, modal awal dan
iv
dummy lokasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan PKL. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa pendapatan PKL berpengaruh nyata terhadap konsumsi rumah tangga hal ini berarti bahwa kontribusi PKL terhadap perekonomian /pembangunan wilayah terutama dari sisi belanja konsumsi. Ketiga, PKL berkontribusi terhadap ekonomi kota Bogor karena telah menjadi mata pencaharian utama dan menciptakan peluang dan lapangan kerja. Analisis kebijakan menunjukkan sudah adanya perangkat legal pengelolaan PKL di kota Bogor namun implementasinya masih belum optimal dan belum mengakomodasi kepentingan bersama antara PKL dan Pemerintah Kota. Keempat, beberapa strategi dirumuskan yaitu : (a) Registrasi dan pembuatan database PKL, (b) Pemberdayaan ekonomi pelaku PKL, (c) Menyatukan persepi dalam pengelolaan PKL, (d) Penundaan penggusuran & dialog dengan pemda, (e) Pembatasan jumlah pedagang dalam satu lokasi and (f) mensyaratkan setiap pengelola gedung/pabrik/kompleks perumahan untuk menyediakan lokasi tertentu bagi PKL, serta melakukan Penataan lokasi PKL
Kata kunci : PKL, analisis AWOT, Strategi Pemberdayaan, Kota Bogor.
v
KARAKTERISTIK DAN PERMASALAHAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) SERTA STRATEGI PENATAAN DAN PEMBERDAYAANNYA DALAM KAITAN DENGAN PEMBANGUNAN EKONOMI WILAYAH KOTA BOGOR
ACHMAD MUBAROK
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
vi
©Hak Cipta milik IPB , tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan . penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpaizin IPB.
vii
Judul Disertasi
Nama NRP Program Studi
: Karakteristik dan Permasalahan Pedagang Kaki Lima (PKL) serta Strategi Penataan dan Pemberdayaannya dalam Kaitan dengan Pembangunan Ekonomi Wilayah Kota Bogor : Achmad Mubarok : A 165030021 : Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.Si. Ketua
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Anggota
Dr. Ir. Hedi M. Idris , M.Si. Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.Si.
Tanggal Ujian : 13 Januari 2012
Dekan Program Pascasarjana
Dr.Ir.Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Lulus :
viii
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr.Ir. Yusman Syaukat, M.Ec 2. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr.Ir. Slamet Sutomo, M.Si. 2. Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si
ix
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan desertasi ini dapat diselesaikan pada waktunya. Penulis berharap bahwa hasil penelitian yang dituangkan dalam desertasi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat terutama para stakeholder baik di jajaran birokrasi pemerintahan, akademisi, maupun pelaku pembangunan lainnya demi terciptanya program-program pembangunan serta terciptanya masyarakat yang sejahtera, adil, makmur dan sentosa. Penulis mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.Si, Bapak Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec., dan Bapak Dr. Ir. Hedi M. Idris, M.Si. yang masing-masing selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, atas dorongan dan bimbingannya. Semoga Allah membalas dengan pahala yang lebih besar lagi. Amien. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan hingga tersusunnya desertasi ini, kepada : 1. Bapak dosen dan seluruh staf Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah Dan Perdesaan, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor yang telah mengajarkan ilmu pengetahuan kepada penulis 2. Kepada para responden penelitian yang telah memberikan bantuan data dan informasi yang sangat penting bagi penyusunan desertasi ini 3. Seluruh pengurus Yayasan Pendidikan Ibn Khaldun Bogor, Rektor UIKA beserta staf jdan Dekan FEUIKA beserta atas segala dorongan dan bantuannya. 4. Isteri tercinta E.Murtinah dan anak-anak, mantu-mantu serta cucu-cucu tersayang yang senantiasaa memberikan doa, dorongan semangat dan mengorbankan waktu, kesempatan serta perasaannya untuk keberhasilan studi penulis. 5. Almarhum ayah ibu tercinta yang berkat doa dan jerih payahnya, hingga penulis dapat mencapai harapan dan cita-cita. 6. Kakakku tercinta Mas Widodo dan Ceu Ipah yang selama ini telah menjadi pengganti orangtua bagi penulis 7. Semua pihak yang tidak dapaat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu terselesaikannya penyusunan tesis ini. Dalam penyusunan desertasi ini disadari masih banyak kekurangan dan kelemahan, sehingga kritik dan saran yang membangun dari pembaca akan selalu diharapkan. Akhirnya semoga Allah Yang Maha Kuasa membalas amal kebajikan semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan desertasi ini. Bogor, Januri 2012
Achmad Mubarok
x
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 12 Oktober 1947 sebagai anak keduabelas dari pasangan R.H.M Sudjai dan R.Siti Hajar. Pada tahun 1971 penulis menikah dengan E.Murtinah dan telah dikarunia enam orang anak., lima orang menantu serta sebelas orang cucu. Saat ini Penulis bekerja sebagai staf pengajar tetap di Fakultas Ekonomi Universitas Ibn Khaldun Bogor. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Ibn Khaldun Bogor lulus tahun 1990. Dalam proses pendidikan yang berkelanjutan, pada tahun 1999 penulis menyelesaikan pendidikan magister manajemen di Universitas Satyagama, Jakarta. Pada tahun 2003 penulis memperoleh kesempatan melanjutkan pendidikan program doktor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Karya ilmiah penulis yang akan segera diterbitkan adalah ” Karakteristik Usaha dan Ekonomi Serta Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan PKL di Kota Bogor” pada jurnal Inovator, Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Ibn Khaldun Bogor. Salah satu artikel lain berjudul ”Karakteristik, Persepsi dan Permasalahan Pedagang Kaki Lima (PKL) dalam Kaitannya dengan Pembangunan Ekonomi di Kota Bogor” juga akan diterbitkan dalam Jurnal Sosio Ekonomika, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Karya Ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
DAFTAR ISI
Halaman Daftar Isi………………………………………………………………
xi
Daftar Tabel…………………..….……………………………………
xiv
Daftar Gambar…………………………………………………………
xx
Daftar Lampiran…………………….……………………………..…..
xxi
I. 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5
PENDAHULUAN………….……………………………… Latar Belakang ........................................................................ Permasalahan ........................................................................... Tujuan Penelitian ..................................................................... Manfaat Penelitian.................................................................... Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian...................................
1 1 10 11 12 12
II. 2.1
2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 2.10
TINJAUAN PUSTAKA..………………………………….. Konsep Pembangunan dan Ekonomi .……………………… 2.1.1 Pembangunan Ekonomi……………………………… 2.1.2 Ekonomi Wilayah……………………………………. 2.1.3 Pembangunan Ekonomi Wilayah……………………. Teori-Teori Loka…………………………………………….. 2.2.1 Teori Pola Produksi Pertanian von Thunen………….. 2.2.2 Teori Lokasi Alfred Weber….………………………. 2.2.3 Teori Lokasi August Losch………………………….. 2.2.4 Teori LokasiIndustri Christaller…..………………… Sektor Informa……………………..………………………… 2.3.1 Usaha mikro Kecil dan Menengah ( UMKM)………. 2.3.2 Usaha Produktif……………………………………… 2.3.3 Pengertian dan Definisi Sektor Informal……….……. 2.3.4 Pedagang Kaki Lima (PKL)…………………………. Kebijakan Publi……………………………………………… 2.4.1 Konsepsi Kebijakan Publik………………………….. 2.4.2 Instrumen Kebijakan Publik di Daerah……………… 2.4.3 Sumber-sumber Pendapatan Daerah………………… Pemberdayaan Masyarakat…………………………………. Strategi Pemberdayaan…………..………………………… Lingkungan Eksternal dan Internal………………………… Strategi Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi….……… Penelitian Terdahulu Tentang Pedagang Kaki Lima PKL)…. Novelty (Kebauran)…………………………………………
13 13 13 14 15 16 17 19 20 22 24 25 27 27 30 32 32 36 39 45 50 52 54 61 67
III. 3.1 3.2 3.3
METODE PENELITIAN………………………………… Kerangka Penelitian………………………………………… Lokasi dan Waktu Penelitian……………………………….. Jenis dan Sumber Data…………………………………...
81 81 83 85
2.2
2.3
2.4
xii
3.4 3.5
3.6 3.7
Pedoman Pengambilan Sampel……………………………… Metode Analisis Data……………………………………….. 3.5.1 Analisis Deskriftif…………………………………… 3.5.2 Analisis Persentase…………………………………... 3.5.3 Analisis Regresi……………………………………… 3.5.4 Analisis AHP SWOT.……………..……………….... Definisi Operasional………………………………………..... Keterbatasan Penilitian……………………………………….
87 88 88 88 89 93 103 104
IV. 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 4.11 4.12 4.13
KONDISI UMUM KOTA BOGOR……………………….. Kondisi dan Potensi………………………………………….. Sejarah Kota Bogor………………………………………….. Pemerintahan……………………………………………….. Penduduk dan Ketenagakerjaan…………………………….. Pendidikan, kesehatan/Keluarga Berencana dan Agama……. Pertanian…………………………………………………….. Perindustrian, Pertambangan dan Energi………..…………... Perdagangan………………………………………………..... Transportasi, Komunikasi dan Pariwisata……..……………. Keuangan dan Harga……………………………..………….. Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk…………..………….. Pendapatan Regional………………………………………… Kemiskinan…………………………………………………..
105 105 107 108 108 110 111 114 116 117 118 120 121 123
V.
KARAKTERISTIK DAN PERMASALAHAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BOGOR………… Distribusi Sampel dan Tipologi PKL……………………….. Karakteristik Demografis……………………………………. 5.2.1 Jenis Kelamin (A3)………………………………… 5.2.2 Umur (A4)…………………………………………. 5.2.3 Status Perkawinan…………………………………. 5.2.4 Tingkat Pendidikan (A6)…………………………... 5.2.5 Asal Responden (A7)……………………………… 5.2.6 Suku bangsa (A8)………………………………….. 5.2.7 Status Dalam Keluarga (A9)……………………… 5.2.8 Tanggungan dalam Keluarga (A10)………………. 5.2.9 Pendidikan Tertinggi dalam Keluarga ( A12)…….. 5.2.10 Kondisi Kesehatan (A13)…………………………. 5.2.11 Kondisi Ekonomi (A16)…………………………… Karakteristik Usaha………………………………………….. 5.3.1 Usaha/Pekerjaan sebelum Menjadi PKL................... 5.3.2 Motivasi menjadi PKL (B2)...................................... 5.3.3 Lama menjadi PKL (B3)........................................... 5.3.4 Keberadaan Usaha di Tempat Lain (B4)................... 5.3.5 Pemilihan Lokasi (B5)............................................. 5.3.6 Jenis Barang Dagangan (B6)..................................... 5.3.7 Jenis Sarana Usaha Yang Digunakan (B8)............... 5.3.8 Pola Penyebaran PKL............................................... 5.3.9 Waktu Operasi PKL (B10)........................................
125 126 127 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 142 144 145 147 148
5.1 5.2
5.3
xiii
5.4 5.5
5.6 5.7 5.8 VI. 6.1 6.2 6.3 VII.
5.3.10 Lama Waktu Operasi (C2)........................................ 5.3.11 Tempat Usaha (B12)................................................. 5.3.12 Luas Tempat Usaha (B13)......................................... 5.3.13 Penilaian terhadap Kondisi Kebersihan (B14).......... 5.3.14 Keberadaan Usaha di Tempat Lain........................... 5.3.15 Registrasi PKL (B18)................................................ Pekerja dan Kompensasi.......................................................... Aspek Keuangan dan Lain-Lain............................................. 5.5.1 Modal Awal................................................................. 5.5.2 Jenis dan Sumber Modal.............................................. 5.5.3 Modal Kerja dan Pendapatan.................................... 5.5.4 Sewa Lapak............................................................... 5.5.5 Fluktuasi Usaha......................................................... 5.5.6 Pengeluaran............................................................... Permasalahan dan Prospek....................................................... Persepsi PKL terhadap Penataan.............................................. Persepsi Pesaing, Pemasok dan Masyarakat Terhadap Keberadaan PKL ..................................................................... KONTRIBUSI PKL TERHADAP EKONOMI WILAYAH………………………………………………….. Kontribusi PKL Terhadap Ekonomi Wilayah……………… Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan PKL........................ Keterkaitan ke Belakang (Backward) dan ke Depan (Forward) dari PKL ..............................................................
148 149 150 151 152 153 155 157 157 158 160 163 165 166 169 171 174 183 183 186 193
ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BOGOR…………. Peraturan Daerah Pengelolaan PKL......................................... Pihak-pihak Yang terkait.......................................................... Implementasi Perda PKL di Bogor..........................................
197 197 199 202
8.3 8.4
STRATEGI PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BOGOR................. Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal................................ 8.1.1 Faktor Eksternal…………………………………… 8.1.2 Faktor Internal…………………………………….. Strategi Penataan dan Pemberdayaan PKL………………….. 8.2.1 Strategi Prioritas…………………………………… 8.2.2 Alternatif Strategi Lainnya………………………… Usulan Penataan dan Relokasi PKL…………………………. Langkah-langkah Strategis…………………………………...
207 207 208 215 223 227 233 236 241
IX. 9.1 9.2
KESIMPULAN DAN SARAN…………………………….. Kesimpulan………………………………………………….. Saran………………………………………………………….
243 243 245
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................
247
LAMPIRAN..........................................................................................
257
7.1 7.2 7.3 VIII. 8.1
8.2
xiv
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Pekerja Menurut Status Pekerjaan, 2007-2009 (dalam juta orang).. Omzet Penjualan Harian (dalam Rupiah)........................................ Definisi Jenis Usaha dari Berbagai Departemen.............................. Lapangan kerja menurut aktivitas ekonomi di Indonesia................ Matrik kebijakan publik berdasarkan makna................................... Bagi Hasil Pajak Provinsi................................................................ Penerima manfaat dalam Pengaturan PKL melalui Peraturan Daerah.............................................................................................. Indikator Manfaat Pengaturan PKL melalui Peraturan Daerah....... Manfaat dan Biaya Pengaturan PKL melalui Regulasi (Peraturan Daerah)............................................................................................. Manfaat dan Biaya Mengelola PKL tanpa Regulasi........................ Kajian Literatur Sektor Informal Selama 10 Tahun Terakhir.......... Sumber Data, Aspek Penelitian dan Pokok (analisis)...................... Responden Penelitian....................................................................... Responden Penelitian untuk Analisis AHP SWOT......................... Matrik Internal dan Eksternal.......................................................... Skala Perbandingan Berpasangan.................................................... Matrik Pendapat Individu (MPI)...................................................... Perbandingan berpasangan pada Matrik Pendapat Gabungan (MPG), VA, dan VP (bobot)............................................................ Nilai Random Index (RI)................................................................. Matrik Analisis SWOT.................................................................... Pembobotan Tiap Unsur SWOT...................................................... Rangking Alternatif Strategi............................................................ Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2011................................................................... Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk di Kota Bogor Tahun 1990, 2000 dan 2010.................................................. Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Menurut Jenis Kegiatan Utama di Kota Bogor tahun 2008-2010........................................... Penduduk 10 Tahun ke Atas Menurut Partisipasi Sekolah dan Jenis Kelamin di Kota Bogor Tahun 2010....................................... Penggunaan Lahan Pertanian Sawah Menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2010................................................................... Penggunaan Lahan Pertanian Bukan Sawah Menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2010 (dalam Ha)........................................... Target, Realisasi dan Produksi Tanaman Palawija (lahan bukan sawah) Menurut jenis Tanaman di Kota Bogor Tahun 2010........... Populasi Ternak Besar dan Ternak Kecil Menurut Jenisnya di Kota Bogor Tahun 2010................................................................... Populasi Unggas Menurut Jenisnya di Kota Bogor Tahun 2010..... Produksi Ikan Menurut Tipe Kolam di Kota Bogor Tahun 2010....
3 8 26 30 35 45 65 65 66 66 69 86 87 88 96 97 97 99 100 101 101 102 108 109 109 110 111 112 112 113 113 114
xv
Halaman 33 34 35 36 37 38 39
40 41 42 43
44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64
Potensi Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan di Kota Bogor Tahun 2010...................................................................................... Potensi Industri Logam, Mesin, Elektronika dan Aneka di Kota Bogor Tahun 2010........................................................................... Jumlah Realisasi Ekspor Non migas Menurut Jenis Komoditi di Kota Bogor Tahun 2010................................................................... Realisasi Penerimaan Daerah Menurut Jenis Penerimaan di Kota Bogor Tahun 2010........................................................................... Realisasi Pengeluaran Daerah Menurut Jenis Pengeluaran di Kota Bogor Tahun 2010........................................................................... Pengeluaran Rata-rata Perkapita Sebulan Menurut Kelompok Barang Makanan di Kota Bogor Tahun 2006-2010 (Rupiah)......... Pengeluaran Rata-rata Perkapita Menurut Kelompok Barang Non Makanan dan Golongan Pengeluaran Per Kapita Sebulan di Kota Bogor Tahun 2010 (Rupiah)............................................................ Produk Domestik Bruto ( PDRB) Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2008-2010 Produk Domestik Bruto ( PDRB) Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2008-2010..................... Laju Pertumbuhan PDRB Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2008-2010.................................................... Jumlah, Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman dan Indeks Keparahan Kemiskinan di Kota Bogor Tahun 2009-2010............................................................................. Distribusi Lokasi Pengambilan Sampel PKL................................... Tipologi Jenis Usaha PKL............................................................... Jenis Kelamin Responden................................................................ Jenis Kelamin Responden Menurut Tipologi................................... Kelompok Umur Responden............................................................ Kelompok Umur Responden menurut tipologi................................ Status Perkawinan............................................................................ Status Perkawinan menurut Tipologi PKL...................................... Tingkat Pendidikan Responden....................................................... Tingkat Pendidikan Responden menurut tipologi PKL................... Asal Kota Responden....................................................................... Asal Kota Responden menurut Tipologi PKL................................. Suku Bangsa Responden.................................................................. Suku Bangsa Responden menurut Tipologi..................................... Status Responden dalam Keluarga................................................... Status Responden dalam Keluarga menurut Tipologi..................... Tanggungan dalam Keluarga........................................................... Jumlah Tanggungan dalam Keluarga............................................... Tingkat Pendidikan Tertinggi dalam Keluarga................................ Kondisi Kesehatan Keluarga PKL Selama 3 Bulan Terakhir.......... Kondisi Kesehatan Keluarga Menurut Tipologi..............................
114 115 117 118 119 120
121 121 122 122
123 126 127 127 128 128 129 129 130 130 131 131 132 132 133 134 134 134 135 135 136 136
xvi
Halaman 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107
Biaya Berobat Responden................................................................ Responden Penerima BLT............................................................... Usaha Sebelum menjadi PKL (B.1)................................................. Motivasi menjadi PKL..................................................................... Lama Menjadi PKL.......................................................................... Pernah Tidaknya Responden Berusaha atau Berjualan di Tempat Lain ................................................................................................ Alasan Pemilihan Lokasi Seluruh Sampel....................................... Jenis Barang Dagangan PKL................................................................ Sarana Usaha yang Digunakan PKL..................................................... Pola Penyebaran PKL........................................................................... Waktu Operasi PKL............................................................................. Lama Waktu Operasi....................................................................... Lama Hari Kerja Dalam Seminggu.................................................. Tempat Usaha.................................................................................. Posisi Lokasi Usaha......................................................................... Luas Ruang yang Digunakan PKL.................................................. Kondisi Kebersihan.......................................................................... Kepemilikan Usaha di Tempat Lain................................................ Registrasi PKL................................................................................. Rekapitulasi PKL yang sudah mendapatkan Ijin Penggunaan Lokasi PKL per tanggal 28 Nopember 2008................................... Jumlah Responden yang Menggunakan Tenaga Kerja.................... Tunjangan dan Bonus Bagi Pekerja................................................. Bentuk Tunjangan atau Bonus Bagi Pekerja.................................... Modal Awal yang Diperlukan dalam Memulai Usaha..................... Sumber Modal PKL......................................................................... Sumber Pinjaman Modal.................................................................. Modal Kerja Harian.............................................................................. Omzet Kotor Harian PKL Menurut Tipologi................................... Jenis Pembukuan Pelaku PKL......................................................... Pembayaran Tempat Usaha.............................................................. Jangka Waktu Pembayaran.............................................................. Pihak Penerima Pembayaran Sewa Lapak....................................... Rata-rata Pengeluaran Bulanan Responden..................................... Penghasilan yang Dibawa Pulang Harian........................................ Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (RT) Harian...................... Pendapatan Bersih PKL Harian Rata-rata....................................... Masalah atau Kesulitan yang Dihadapi PKL................................... Bentuk Bantuan yang Diharapkan................................................... Pemahaman Responden Terhadap Aturan....................................... Kemauan PKL Untuk Ditata........................................................... Bentuk Penataan yang Diharapkan.................................................. Sistem Pembayaran yang Diharapkan Per Lapak Standar............... Persepsi Gangguan PKL Terhadap Usaha Pesaing dan Pemasok....
137 138 139 140 141 142 142 145 146 147 148 149 149 149 150 151 152 152 153 154 156 156 157 158 159 159 161 162 162 163 164 164 167 168 169 169 170 171 172 172 173 173 174
xvii
Halaman 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130
Bentuk Gangguan usaha PKL Terhadap Pesaing............................ Manfaat Keberadaan PKL Bagi Pemasok........................................ Manfaat Aktivitas PKL bagi Pesaing, Pemasok dan Masyarakat Umum............................................................................................... Alasan Masyarakat Berbelanja di PKL............................................ Persepsi Keberadaan PKL untuk Kepentingan Umum.................... Persepsi Pengaturan untuk Aktivitas PKL....................................... Persepsi Terhadap Bentuk-Bentuk Pengaturan................................ Persepsi Terhadap Penggusuran....................................................... Mekanisme Penggusuran................................................................. Pengaruh Pendapatan PKL Terhadap Tingkat Pendidikan, Kesehatan dan Konsumsi Keluarga PKL......................................... Uji Ragam Untuk Pendapatan Bersih Antara Pasar Tumpah dan Pasar Sayur Malam.......................................................................... Uji Ragam Untuk Pendapatan Bersih Antara Pasar Tumpah dan Pasar Kuliner.................................................................................... Uji Ragam Untuk Pendapatan Bersih Antara Pasar Sayur Malam dan Pasar Kuliner............................................................................. Keterkaitan Manfaat Langsung Kedepan dan Kebelakang dari PKL.................................................................................................. Perlunya Keterlibatan Pihak-pihak Lain.......................................... Beberapa Tindakan Pemerintah Kota Bogor terhadap PKL di Beberapa Lokasi............................................................................... Program dan Pendekatan Pengelolaan PKL di Beberapa Kota di Indonesia.......................................................................................... Hasil Perhitungan Bobot Faktor Eksternal Peluang......................... Hasil Perhitungan Bobot Faktor Eksternal Ancaman...................... Hasil Perhitungan Bobot Faktor Internal Kekuatan......................... Hasil Perhitungan Bobot Faktor Internal Kelemahan...................... Matrik SWOT untuk Perumusan Strategi Penataan dan Pemberdayaan PKL di Kota Bogor................................................. Prioritas Alternatif Strategi untuk Penataan dan Pemberdayaan PKL di kota Bogor...........................................................................
175 176 176 177 178 179 179 180 181 188 190 191 192 195 200 202 204 208 211 215 219 224 226
xviii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Asal Pedagang Kaki Lima di kota Bogor......................................... Status Pedagang Kaki Lima di Kota Bogor..................................... Jumlah PKL Kota Bogor Tahun 2005 berdasarkan jenis kelamin... Waktu Berjualan PKL di Kota Bogor.............................................. Kebijakan Publik.............................................................................. Proses Kebijakan Publik.................................................................. Alur Kebijakan Publik Berdasarkan Kompetisi Politik................... Alur Kebijakan Publik Berdasarkan Sumberdaya Ekonomi............ Alur Kebijakan Publik Campuran................................................... Proses Penyusunan Regulasi pada Tingkat Daerah......................... Kerangka Pemikiran Konseptual..................................................... Analisis SWOT................................................................................ Fluktuasi Kegiatan PKL Selama 12 Bulan Terakhir........................ Distribusi Pendapatan Bersih PKL (Rp/hari) Menurut Tipologi dalam Bokspot.................................................................................. Distribusi Pendapatan Bersih PKL (Rp/hari) Antara Pasar Sayur Malam dan Pasar Tumpah dalam Bentuk Bokspot......................... Distribusi Pendapatan Bersih PKL (Rp/hari) Antara Pasar Tumpah dan Pasar Kuliner dalam Bentuk Bokspot....................... Distribusi Pendapatan Bersih PKL (Rp/hari) Antara Pasar Kuliner dan Pasar Sayur Malam dalam Bentuk Bokspot.............................. Pembongkaran Kios PKL Semi Permanen di Pomad Oleh Satpol PP..................................................................................................... Peta Usulan Lokasi PKL di Terminal Baru.....................................
6 7 7 9 32 33 34 34 35 37 84 95 165 190 191 192 193 221 240
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Hasil Analisis Regresi untuk Semua Tipologi.................................... Hasil Analisis Regresi untuk Setiap Tipologi PKL............................ Matrik Pendapat Gabungan untuk Faktor Internal dan Eksternal....... Kuisioner untuk Pelaku PKL.............................................................. Kuisioner Persepsi Pemasok terhadap PKL........................................ Kuisioner Persepsi Pesaing terhadap PKL.......................................... Kuisioner Persepsi Masyarakat terhadap PKL................................... Kuisioner untuk AHP-SWOT............................................................. Perda PKL di kota Bogor.................................................................... Dokumentasi Aktifitas Penelitian ......................................................
257 259 264 266 272 274 276 278 291 310
BAB I PENDAHULUAN
Kita memiliki tanggung jawab bersama untuk menegakkan prinsip-prinsip kemuliaan, persamaan hak, dan keadilan manusia di tingkat global. Oleh karena itu sebagai pemimpin, kita mempunyai tugas untuk seluruh umat di dunia, terutama mereka yang paling lemah dan khususnya kepada anak-anak di dunia yang di pundak mereka masa depan berada (United Nations, 2000, dalam Todaro, 2006).
1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi dan finansial di kawasan Asia pada pertengahan tahun 1997 telah mengakibatkan kehancuran banyak industri skala besar dan skala kecilmenengah di Indonesia.
Menurut Rachmanu (2004), terdapat dua hipotesis
mengenai terjadinya krisis ekonomi - finansial di Indonesia tersebut. Pertama, penyebabnya adalah rusaknya dasar-dasar ekonomi, bukan hanya parameter ekonomi seperti inflasi, defisit anggaran pemerintah, dan neraca devisa berjalan tetapi juga masalah kelembagaan seperti pergeseran kebijakan, belum optimalnya perhatian pemerintah terhadap usaha swasta, dan terbatasnya aturan pasar yang transparan. Kedua, argumentasi bahwa ekonomi Indonesia pada dasarnya menyuarakan fundamentalnya. Fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini terlihat baik ternyata tidak dapat menahan laju krisis yang berkepanjangan. Krisis tersebut muncul dari kepanikan investor internasional terhadap ketidak-stabilan pasar modal internasional. Kondisi ini diperparah dengan berlanjutnya krisis politik yang pada akhirnya membuat arah kebijakan pembangunan ekonomi menjadi kabur dan tidak terfokus. Tahun 2008/2009 kembali terjadi krisis, yaitu krisis Finansial Global. Krisis ini bersumber dari krisis suprime mortgage di Amerika Serikat. Hal tersebut juga berdampak buruk terhadap perekonomian Indonesia namun tidak separah krisis finansial Asia dalam arti cakupan dan dimensinya lebih terbatas dan lebih cepat. Usaha ekonomi produktif yang selama ini dijalankan sektor informal, ternyata telah menyelamatkan perekonomian selama krisis dan bertindak sebagai "katup pengaman'' perekonomian Indonesia (Sumodiningrat, 2004). Kemampuan
2 tersebut dikarenakan umumnya sektor informal memiliki fleksibilitas usaha yang tinggi dan jaminan keamanan terhadap permodalan dimana modal usaha lebih banyak bersumber pada modal sendiri dan bersifat lokal. Ekonomi informal sendiri mengalami pertumbuhan yang sangat cepat di negara-negara berkembang dan mulai banyak menarik perhatian akademisi, peneliti, aktivitis pembangunan sosial, dan perencana kebijakan.
Umumnya
diyakini bahwa pertumbuhan sektor ini dipicu oleh meningkatnya pengangguran di negara-negara berkembang. Angka pengangguran terbuka di Indonesia per Agustus 2008 mencapai 9.39 juta jiwa atau 8.39 % dari total angkatan kerja. Angka pengangguran turun dibandingkan posisi Februari 2008 sebesar 9.43 juta jiwa (8.46 %). Jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor informal masih mendominasi angkatan kerja nasional. Survei menunjukkan per Agustus 2008 terdapat 71.35 juta jiwa pekerja yang bekerja di sektor informal, dari total 102.55 juta jiwa angkatan kerja (Tempo, 2009). Dari
sisi
penyerapan
tenaga
kerja,
Tim
Nasional
Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan TNP 2 K menyatakan bahwa per Februari 2009 dari 104,49 juta orang yang bekerja, status pekerjaan utama yang terbanyak adalah sebagai buruh/karyawan sebesar 27.67 % atau 28.91 juta orang, berusaha dibantu buruh tidak tetap sebesar 21.64 juta orang (20.71 %), dan berusaha sendiri sejumlah 20.81 juta orang (19.92 %), sedangkan yang terkecil adalah berusaha dibantu buruh tetap sebesar 2.97 juta orang (2.84 %). Jika dibanding keadaan setahun yang lalu, struktur pekerja menurut status pekerjaan relatif stabil namun ada kecenderungan peningkatan pada kelompok kegiatan informal, khususnya pada status berusaha sendiri dan pekerja keluarga. Menurut ILO (2004), terbatasnya lapangan kerja sektor formal dan terbatasnya skill pada sisi angkatan kerja menyebabkan pertumbuhan substansial pada sektor informal dimana sebagian pekerjanya dicirikan dengan pendapatan yang rendah dalam kondisi kerja yang buruk dan tidak teregulasi. Sektor informal adalah aktivitas skala kecil yang tidak diakui, tidak tercatat, dan tidak teregulasi yang mencakup usaha kecil, usaha rumah tangga, sektor wiraswasta kecil seperti pedagang kaki lima (selanjutnya disingkat PKL), penyemir sepatu, pengasong, dan sebagainya.
3 Tabel 1. Pekerja Menurut Status Pekerjaan, 2007-2009 (dalam juta orang) 2007
2008
2009
Status Pekerjaan Utama Agustus
Pebruari
Agustus
Pebruari
Berusaha sendiri
20.32
20.08
20.92
20.81
Berusaha dibantu buruh tidak tetap
21.02
21.60
21.77
21.64
Berusaha dibantu buruh tetap
2.88
2.98
3.02
2.97
Buruh/karyawan
28.04
28.52
28.18
28.91
Pekerja bebas di pertanian
5.92
6.13
5.99
6.35
Pekerja bebas di non pertanian
4.46
4.80
5.29
5.15
Pekerja keluarga
17.28
17.94
17.38
18.66
Total
99.93
102.55
102.55
104.49
Sumber : http://tnp2k.wapresri.go.id/data/ketenagakerjaan-indnesia.html
Dicirikan dengan aktivitas produksi dan jasa skala kecil, sektor informal tidak dimasukkan dalam aktivitas ekonomi terorganisasi. Sebagian besar pekerja yang masuk ke dalam sektor ini adalah kaum migran dan motivasinya adalah memperoleh pendapatan yang mencukupi untuk bertahan hidup, menggantungkan pada sumberdaya yang dimilikinya untuk menciptakan pekerjaan (Singh, 2000). Mereka umumnya bekerja dalam jam kerja yang lama. Adalah sulit untuk mengestimasi besaran total dari sektor informal dan di negara-negara miskin, diperkirakan bahwa 50 % angkatan kerja menjalankan ekonomi informal (Gottdiener and Budd, 2005). Aspek-aspek tersebut sayangnya banyak diabaikan oleh otoritas kota karena PKL dipandang sebagai aktivitas illegal dan terkadang diperlakukan seperti kriminal. Studi menunjukkan bahwa hampir di semua negara-negara Asia, PKL tidak mempunyai status legal dalam menjalankan usahanya dan mereka terus mendapatkan tindakan kekerasan oleh pemerintah kota dengan program yang mengatasnamakan penertiban atau penataan (Bhowmik, 2005). Di sisi lain, peran yang dijalankan sektor informal termasuk PKL belum sepenuhnya diterima pemerintah kota. PKL lebih dipandang sebagai aktivitas non-profit, karena tidak
4 berkontribusi pada ekonomi lokal atau nasional melalui pajak. Mereka dimarginalkan dalam agenda pembangunan, dengan demikian terkena dampak buruk dari kebijakan makro sosio-ekonomi. Terbatasnya dukungan kebijakan membuat sektor ini tidak aman (Bhowmik, 2005), yang berdampak buruk pada mata pencaharian penduduk miskin urban. Mereka terkenal karena memberikan sebagian penduduk urban kebutuhan barang atau jasa yang tidak dapat disediakan oleh outlet ritel besar.
Disamping fakta bahwa PKL adalah sumber mata
pencaharian penting bagi penduduk miskin urban, PKL juga menempati badanbadan jalan dan trotoar dan tidak menyisakan cukup ruang bagi pejalan kaki. Kondisi ini menjadi perhatian publik karena menciptakan masalah kemacetan dan pergerakan orang di pedestrian, dan menciptakan lingkungan kotor dan kurang sehat. PKL yang menempati ruang dan jalan publik juga dapat menciptakan masalah sosial seperti hadirnya pencopet, pencuri, dan sebagainya. Situasi ini menciptakan masalah dalam pengelolaan, pembangunan dan merusak morfologi dan estetika kota. Adanya sektor informal dan formal di perkotaan menyebabkan munculnya kondisi dualistik pada kota-kota di Indonesia karena adanya perbedaan aspekaspek kehidupan kota. Dualistik merupakan kondisi dimana terjadi pertemuan antara dua kondisi atau sifat yang berbeda (Widjajanti, 2000). Pada aspek fisik kota, dualistik tersebut terjadi pada pembauran pola dan struktur rancang kota, seperti yang ditegaskan Sujarto dalam Widjajanti (2000), karakter dualistik tercermin dalam pola dan struktur kota-kota di Indonesia. Perkembangan kondisi dualistik harus diimbangi dengan kebijakan yang mengatur dan mengendalikan perkembangan tersebut, sehingga diharapkan nantinya tidak terjadi penurunan estetika kota. Hal yang perlu mendapat perhatian utama bahwa sektor informal ternyata tidaklah identik dengan kemiskinan, beberapa studi menunjukkan secara agregat pendapatan pada sektor informal dapat diperbandingkan dengan sektor formal dan bahkan lebih tinggi (Tinker, 1997; Suharto, 2003).
Studi Suharto (2003)
menunjukkan rata-rata keuntungan per bulan PKL di Bandung adalah Rp 1 610 580,-. Penerimaan ini jelas lebih tinggi dibandingkan garis kemiskinan yang
5 dibuat oleh World Bank sebesar $1 per hari per kapita atau di atas upah minimum regional untuk kota Jakarta sekalipun. Jadi jelas bahwa sektor informal khususnya PKL memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian sehingga perlu didukung dan difasilitasi. Becker (2004) mengatakan terdapat 13 aspek kunci dalam memandang sektor informal di antaranya adalah perlunya pemerintah memperhatikan dan memfasilitasi sektor ini serta perlunya perbaikan regulasi. Hanya saja selama ini para perencana/aparat pemerintah kota memandang PKL sektor informal lebih sebagai faktor negatif dalam pembangunan wilayah perkotaan. Pandangan negatif tersebut antara lain PKL sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya kemacetan, merusak tata kota (berjualan di tempat yang bukan peruntukannya, membuat lingkungan menjadi kumuh, meninggalkan sampah, pekerja ilegal, dan lain-lain). Penelitian
di
Indonesia
yang
dilakukan
oleh
Firnandy
(2002)
merekomendasikan bahwa arah kebijakan pengembangan sektor informal memerlukan intervensi langsung maupun tidak langsung dari pemerintah. Timbul pertanyaan, apakah di level nasional atau di level pemerintah kota yang harus lebih dalam melakukan intervensi. Seiring diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 32 tahun 2004, Pemerintah Pusat telah melimpahkan kewenangan yang lebih besar kepada Pemerintah Daerah untuk mengurusi rumah tangganya. Kewenangan ini juga termasuk upaya penciptaan sistem governance yang baik dengan keterlibatan masyarakat. Oleh karena itu, Pemerintah Kota mempunyai peran yang sangat penting dalam memperbaiki keseluruhan kondisi yang berkaitan dengan keberadaan informal ekonomi perkotaan. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Soegijoko (1990) yang menyatakan pembangunan suatu wilayah bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang pada akhirnya adalah peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Sebagaimana kota-kota lain di Indonesia, kota Bogor sebagai kawasan buffer bagi DKI Jakarta (ibukota negara Indonesia) juga mengalami permasalahan pengelolaan kota dengan tumbuh pesatnya PKL di kota ini.
Seperti di kota
lainnya, pertumbuhan sektor ini di kota Bogor semakin mendapat momen setelah terjadinya krisis ekonomi mulai pertengahan tahun 1997. Hasil pendataan oleh
6 Pemerintah Derah, pada tahun 1996 tercatat PKL di titik-titik pusat keramaian berjumlah 2140 pedagang, kemudian pada akhir tahun 1999 berdasarkan hasil survei pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk) Kota Bogor jumlahnya hampir tiga kali lipat menjadi 6340 pedagang. Pada akhir tahun 2002 berdasarkan hasil pendataan
Dinas
Perindustrian
dan
Perdagangan
Kota
Bogor
jumlah
PKL meningkat lagi menjadi 10350 pedagang, yang tersebar di 51 titik PKL, dimana 82 % dari para pedagang tersebut berasal dari luar kota Bogor. Tahun 2004 terdapat 50 lokasi PKL dengan jumlah pedagang sekitar 12000 PKL. Dari database Pedagang Kaki Lima, Kota Bogor, (2005) ternyata kebanyakan para PKL tersebut bukan penduduk asli kota Bogor. Menurut Wahyu (2003), komposisi PKL adalah 41 % dari luar kota Bogor, 46.2 % dari Kabupaten Bogor dan penduduk kota Bogor sendiri hanya 12.8% (Gambar 1). Jika dilihat dari status kontinuitas usahanya,
46.2 %
adalah temporer sedangkan yang
permanen sebanyak 53.8 % (Gambar 2).
Gambar 1. Asal Pedagang Kaki Lima di Kota Bogor Sumber : Wahyu (2003).
7
Gambar 2. Status Pedagang Kaki Lima di Kota Bogor Sumber : Wahyu (2003).
Dari catatan Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Bogor Tahun 2005, dari 6239 pedagang yang tercatat, 5598 orang (89.73 %) di antaranya adalah laki-laki dan perempuan sebanyak 641 orang (10.27 %), secara grafik dapat dilihat pada Gambar 3. Laki-laki, 5598
Perempuan, 641
Jenis Kelamin PKL
Gambar 3. Jumlah PKL Kota Bogor Tahun 2005 berdasarkan Jenis Kelamin Sumber : Disperindagkop Kota Bogor (2005)
Berdasarkan asal menggunakan
modal usaha
modal sendiri
diperoleh data sebanyak 4879 orang
sedangkan 1360 orang
menggunakan modal
pinjaman, baik berupa uang ataupun barang (Gambar 4). Dari Gambar 4 diperoleh
8 gambaran bahwa mayoritas PKL mampu berusaha dengan modal sendiri serta mengelola sendiri keuangannya. Studi yang dilakukan oleh Disperindagkop Kota Bogor (2005) menunjukkan besaran omzet penjualan PKL di Kota Bogor. Hasil penelitiannya dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Omzet Penjualan Harian (dalam Rupiah) No 1 2 3 4 5
Omzet Penjualan 20 000 - 50 000 51 000 - 100 000 101 000 - 200 000 > 200 000 Tidak tahu /tidak tentu Jumlah
Jumlah (orang) 1 083 2 576 544 905 1 131 6 239
% 17.36 41.29 8.72 14.50 18.13 100
Sumber : Disperindagkop Kota Bogor (2005)
Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa omzet harian PKL di Kota Bogor cukup besar dimana omzet harian mayoritas PKL (41.29 %) berkisar antara Rp 51 000,– Rp 100 000,-.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa PKL merupakan
potensi ekonomi yang menarik bagi masyarakat, karena omzet hariannya yang cukup besar, bahkan lebih besar bila dibandingkan dengan UMR kota Bogor tahun 2009 (Rp 893 412.00). Mengenai waktu berjualan, Wahyu (2003) membagi menjadi 9 kategori yaitu pagi, pagi sampai siang, pagi sampai malam, siang sampai sore, siang sampai malam, siang sampai pagi, sore sampai malam, dan sore sampai pagi. Gambar 4 menunjukkan bahwa sebanyak 29.1 % PKL melakukan aktivitas dari pagi – malam, yang kedua adalah sore – malam sebanyak 16.4 % serta sore – pagi sebanyak 16.4 %.
Sementara itu waktu pagi dan siang – pagi
hanya
dimanfaatkan oleh 1.8 % pedagang untuk melakukan aktivitasnya. Dengan demikian seharusnya Pemda dapat mengatur keberadaan PKL secara lebih tepat, mengingat jadwal PKL beraktivitas telah diketahui.
9
Gambar 4. Waktu Berjualan PKL di Kota Bogor Sumber : Wahyu (2003)
Sebaran PKL mayoritas berada pada sepanjang jalan-jalan utama, dan lebih terkonsentrasi di daerah yang berdekatan atau berada di pasar-pasar dan pusat keramaian lainnya seperti stasiun kereta api dan terminal bis. Keberadaan ini terkait dengan adanya peluang untuk melakukan aktivitas ekonominya secara lebih menguntungkan. Sebaran terpadat berada di daerah Pasar Anyar, Jalan Merdeka, Pasar Bogor, dan Jalan Sukasari. Bahkan untuk kawasan PKL Pasar Anyar dan Jalan Merdeka, sudah sulit dipisahkan.
Artinya, kedua kawasan
tersebut sudah beraglomerasi secara sempurna (Wahyu, 2003). Fenomena pengesampingan penataan PKL dalam perencanaan kota juga terlihat di Kota Bogor melalui penertiban PKL. Dalam penataan PKL sepertinya Pemerintah Kota Bogor masih mengedepankan paradigma bahwa PKL adalah faktor negatif dalam pembangunan wilayah perkotaan. PKL adalah penyebab timbulnya kemacetan, ketidak-indahan kota, kumuh, dan sebagainya. PKL belum dianggap sebagai salah satu kontributor dalam perekonomian kota Bogor sehingga dalam prakteknya, penertiban yang dilakukan adalah penggusuran, bukan pemberdayaan sehingga penataan PKL Kota Bogor masih belum memperlihatkan hasil yang positif.. Bila dikelola dan ditata dengan konsisten, keberadaan PKL justru dapat menambah eksotik keindahan sebuah lokasi wisata di tengah kota. Hal ini bisa terjadi apabila PKL dijadikan sebagai bagian dari solusi (Tamba dan Sijabat, 2006).
10 Sisi positif dan negatif keberadaan PKL menyebabkan adanya kebutuhan Pemerintah Kota Bogor untuk memahami peran sektor informal yaitu dalam derajad apa PKL mampu menjadi mata pencaharian bagi penduduk miskin urban dan bagaimana Pemerintah Kota menghadapi tantangan ini untuk pembangunan perkotaan. Dengan demikian maka perlu dilakukan penelitian untuk menemukan akar permasalahan dan alternatif solusi strategi penataan dan pemberdayaan PKL dalam pemerataan pembangunan ekonomi wilayah di kota Bogor.
1.2. Permasalahan Persoalan sektor informal, dalam hal ini PKL, di kota Bogor selalu dilematis. Di satu sisi, PKL berpotensi ekonomi dan sosial, sementara di sisi lain sebagai penyebab menurunnya kualitas lingkungan perkotaan.
Eskistensi potensi
ekonomi sudah terbukti selama periode krisis dimana PKL dipandang sebagai sebuah alternatif lapangan kerja ketika pemerintah tidak mampu membuka lapangan kerja yang mencukupi bagi warganya. Inilah yang menyebabkan PKL tumbuh subur di kawasan perkotaan, termasuk di kota Bogor. Di sisi lain, Pemerintah Kota kurang mengantisipasi dalam mengatasi perkembangan sektor informal ini melalui ketersediaan lokasi yang mencukupi sehingga PKL menyebar di kawasan strategis perkotaan seperti kawasan perdagangan, perkantoran, wisata, pemukiman, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya. Ketidakteraturan lokasi yang disebabkan bentuk fisik aktivitas usaha yang beragam menjadikan visual kota yang telah direncanakan dan dibangun dengan baik, terkesan kumuh dan tidak teratur sehingga menurunkan citra suatu kawasan.
Inilah yang menyebabkan aktivitas PKL di kota Bogor dipandang
menurunkan kualitas lingkungan perkotaan. Beragam program telah dilakukan Pemerintah Kota Bogor dalam mencari alternatif pemecahan masalah PKL, antara lain dengan menggusur, merelokasi dan menata aktivitas PKL. Faktanya, setelah program penertiban yang terkadang disertai bentrok fisik antara aparat Pemerintah Kota dengan pedagang, PKL kembali beroperasi di lokasi semula dengan jumlah lebih besar. Kembalinya PKL ke tempat yang telah digusur atau yang telah ditertibkan, menjadi suatu hal yang menarik. Ada beberapa alasan mengapa PKL bertahan di
11 lokasi semula atau kembali ke lokasi yang dilarang Pemerintah Kota, di antaranya adalah karena banyak pembeli, yang identik dengan suatu kerumunan masyarakat dalam jumlah besar secara terus menerus. Kerumunan masyarakat tersebut dapat diidentikkan dengan sebuah pasar atau adanya pusat pembelanjaan, sehingga relokasi yang dilakukan akan berhadapan dengan ada atau tidaknya kerumunan orang seperti yang telah diuraikan. Ketika relokasi dijalankan dan ternyata PKL dirugikan, maka mereka akan kembali ke lokasi semula. Selain itu di lapangan terlihat bahwa walaupun telah ada penertiban atau penggusuran tetapi jumlah PKL di Kota Bogor tidak menurun. Kondisi ini menuntut adanya penataan ulang dan penanganan masalah PKL secara komprehensif, mencakup karakterisasi dan dapat menangkap permasalahan umum PKL di kota Bogor. Kajian tersebut juga harus dapat mengetahui peranan PKL dalam pembangunan kota Bogor melalui strategi penataan dna pemberdayaan yang tepat, juga harus menganalisis kebijakan yang ada di kota Bogor. Dari uraian di atas, terdapat beberapa rumusan pertanyaan penelitian, yaitu : 1.
Bagaimana karakteristik dan permasalahan umum PKL di kota Bogor?
2.
Seberapa besar kontribusi PKL terhadap pembangunan ekonomi wilayah kota Bogor?
3.
Sejauh mana keberhasilan kebijakan Pemerintah Kota Bogor dalam menata PKL?
4.
Bagaimana strategi penataan dan pemberdayaan PKL dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi wilayah di kota Bogor?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Menganalisis latar belakang dan karakteristik umum PKL serta faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL berdasarkan tipologinya.
2.
Menganalisis sejauh mana kontribusi atau peranan PKL di kota Bogor terhadap pembangunan ekonomi wilayah
3.
kota Bogor.
Mengidentifikasi dan menganalisis keberhasilan dari kebijakan Pemerintah Kota Bogor dalam menata dan memberdayakan PKL.
12 4.
Merumuskan strategi penataan dan pemberdayaan PKL yang lebih menguntungkan semua pihak sehingga dapat bermanfaat bagi pembangunan ekonomi wilayah kota Bogor.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang berharga bagi Pemerintah Kota Bogor dalam menjalankan kebijakan pembangunan wilayahnya, khususnya dalam penataan dan pemberdayaan PKL. Analisis deskriftif terhadap PKL diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai kondisi riil PKL Kota Bogor di tengah ketidak-konsistenan data yang tersedia. Melalui metode SWOT kuantitatif (A’WOT) diharapkan strategi yang dirumuskan lebih berbobot dan dapat membantu penanganan PKL secara lebih tepat yang dapat berkontribusi bagi pembangunan kota Bogor.
1.5. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Ruang lingkup yang dikaji adalah PKL di kota Bogor. Sehubungan dengan terbatasnya dana dan waktu, maka kajian dalam penelitian ini dibatasi pada tiga tipologi PKL dan pengambilan sampelnya dilakukan di beberapa lokasi yang benar-benar padat oleh PKL. Tipologi PKL yang dikaji mencakup Pasar Tumpah, Pasar Sayur Malam, dan Pasar Kuliner.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Konsep Pembangunaan dan Ekonomi
2.1.1. Pembangunan Ekonomi Terdapat dua hal yang menjadi fokus perhatian dari pembangunan ekonomi khususnya di negara-negara berkembang yaitu bagaimana pembangunan ekonomi suatu negara mampu menurunkan angka kemiskinan dalam jangka pendek, serta memberikan jaminan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang. Hal ini sejalan dengan pandangan Hayami (2001) bahwa tugas utama ekonomi pembangunan adalah mengeksplorasi kemungkinan pengentasan kemiskinan bagi negara-negara berkembang. Tujuan utama ekonomi pembangunan adalah mendapatkan jawaban dari pertanyaan bagaimana ekonomi negara-negara berpendapatan rendah saat ini dapat diletakkan pada jalur pembangunan ekonomi berkelanjutan untuk mencapai tujuan jangka pendek dalam mengentaskan kemiskinan dan tujuan jangka panjang mencapai kesejahteraan ekonomi. Untuk mencapai tujuan ekonomi pembangunan tersebut terdapat nilai-nilai pokok dan tujuan dari sebuah pembangunan ekonomi. Tiga nilai inti pembangunan tersebut adalah : -
Kecukupan, yaitu kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar.
-
Harga diri menjadi manusia seutuhnya.
-
Kebebasan sikap dari menghamba. Menurut Todaro dan Smith (2006), pembangunan memiliki tiga tujuan utama
yaitu : -
Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barang kebutuhan hidup yang pokok.
-
Peningkatan standar hidup.
-
Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial. Berawal dari serangkaian pertanyaan mendasar yang diajukan Prof. Dudley
Seers mengenai makna pembangunan, Todaro dan Smith (2006) mendefinisikan pembangunan ekonomi sebagai “Kemampuan suatu negara untuk mengatasi
14 masalah-masalah kemiskinan penduduk, tingkat pengangguran, dan perubahanperubahan yang berarti atas penanggulangan masalah ketimpangan pendapatan”. Jika suatu negara telah mampu mengatasi masalah-masalah kemiskinan penduduk, tingkat pengangguran dan perubahan-perubahan yang berarti atas penanggulangan masalah ketimpangan pendapatan maka negara tersebut telah melakukan pembangunan. Jika salah satu dari ketiga masalah mendasar tersebut menjadi semakin buruk maka negara tersebut tidak bisa dikatakan melakukan pembangunan yang positif meskipun pendapatan perkapitanya mengalami peningkatan. Jadi pada intinya keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya dengan mengukur atau melihat besarnya pendapatan nasional ataupun pendapatan per kapita saja, tetapi termasuk juga di dalamnya pemerataan disitribusi pendapatan di masyarakat. 2.1.2. Ekonomi Wilayah Pembangunan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari kondisi suatu negara atau wilayah yang sangat mungkin berbeda-beda. Perbedaan tersebut menyebabkan kebijakan pembangunan ekonomi suatu negara atau wilayah harus berbeda-beda karena karakteristik spasial yang berbeda. Ilmu ekonomi wilayah membahas atau menganalisis kegiatan ekonomi suatu wilayah (atau bagian wilayah) secara keseluruhan atau melihat berbagai wilayah dengan potensinya yang beragam dan bagaimana mengatur suatu kebijakan yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi seluruh wilayah (Tarigan, 2005) Teori regional adalah penjelasan tentang perilaku ekonomi di dalam ruang atau spasi, ekonomi regional adalah studi tentang perilaku ekonomi masyarakat dalam ruang di dalam suatu pengaturan spasial mengenai proses dan struktur ekonomi sebagai sub sistem dari perekonomian suatu negara (Adisasmita 2005). Berdasarkan pendapat Tarigan dan Adisasmita di atas dapat disimpulkan bahwa ekonomi wilayah sebagai upaya untuk mengatasi masalah-masalah kemiskinan dan ketimpangan, tidak dapat berdiri sendiri atau terlepas dari perilaku ekonomi dalam ruang maupun spasialnya dan kaitan antar wilayah dengan sistem ekonomi di atasnya (ekonomi nasional).
15 2.1.3. Pembangunan Ekonomi Wilayah Pembangunan secara filosofis dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai altenatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Secara konseptual pembangunan adalah suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi dan pembangunan adalah mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada atau belum dilakukan sebelumnya (Rustiadi et al, 2009). Menurut Todaro (2006),
pembangunan harus memenuhi tiga komponen
dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang paling hakiki yaitu kecukupan memenuhi kebutuhan pokok (subsistence), meningkatkan rasa harga diri atau jati diri (selfesteem) dan kebebasan (freedom) untuk memilih. Todaro (2006) berpendapat bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multi dimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusional, di samping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan serta
pengentasan
kemiskinan.
Pada
hakekatnya
pembangunan
harus
mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun spiritual. Menurut Anwar (2001), perubahan total di atas secara incremental maupun paradigma adalah mengarahkan pembangunan kepada terjadinya pemerataan (equity) yang mendukung pertumbuhan ekonomi (efficiency), dan berkelanjutan (sustainability). Tanpa terjadinya pemerataan, efisiensi dan berkelanjutan maka pembangunan tersebut dapat menjadi bumerang bagi suatu wilayah. Di sisi lain, Jhingan (1983) menyatakan bahwa kemiskinan di suatu tempat merupakan bahaya bagi kemakmuran. Ketimpangan pendapatan yang terlalu jauh yang memungkinkan terjadi kemiskinan pada suatu wilayah dapat berkembang
16 pada pemiskinan wilayah-wilayah sekitarnya, yang ditandai dengan urbanisasi dan migrasi penduduk ke suatu wilayah secara terus-menerus dalam jumlah yang tidak terkendali, yang pada akhirnya menimbulkan kekumuhan dan kemiskinan di wilayah baru tersebut. Menurut Meier dan Baldwin dalam Jhingan (1983), pengkajian mengenai kemiskinan bangsa-bangsa bahkan terasa lebih mendesak dari pada pengkajian kemakmurannya. Prof. G. Myrdal dalam bukunya “Economic Theory and Underdevelopment Region“ mengatakan bahwa negara terbelakang seyogyanya tidak menerima tanpa kritik teori-teori ekonomi yang telah diwariskan, tetapi menyaring dan mencocokkan dengan kepentingan dan permasalahan sendiri, karena jika teoriteori tersebut hendak diterapkan tanpa kehati-hatian pada masalah yang dihadapi maka ia akan celaka (Jhingan, 1983). Perlu menjadi perhatian serius bagi para pembuat kebijakan ekonomi adalah apa yang dikatakan Yujiro Hayami dalam bukunya “Development Economics From The Poverty to The Wealth of Nation”, bahwa 16 % penduduk dunia ini mendapatkan 80 % dari pendapatan dunia. Sebaliknya, 3.2 milyar penduduk atau hampir 60 % dari populasi dunia, di negara-negara berpendapatan per kapita di bawah $700 mendapatkan 5 % dari pendapatan dunia. Dengan demikian pelepasan diri dari kemiskinan melalui pembangunan ekonomi harus menjadi tujuan nasional bagi negara-negara berpendapatan rendah (Hayami, 2001). Namun demikian, pengentasan kemiskinan bagi negara-negara berkembang bukan hanya diinginkan dalam konteks kemanusiaan tetapi juga diperlukan bagi negara-negara maju dimana kedamaian dan kesejahteraan sangat penting untuk menjaga stabilitas internasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan pemahaman mengenai struktur dan mekanisme ekonomi pendapatan rendah (Hayami, 2001). 2.2.
Teori-Teori Lokasi
Teori lokasi adalah ilmu yang mengkaji tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi atau alokasi geografis dari sumber-sumber yang langka serta hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap lokasi berbagai macam usaha baik ekonomi maupun sosial (Tarigan, 2005). Walaupun teori yang menyangkut
17 pola lokasi tidak banyak berkembang tetapi sudah dirintis oleh beberapa peneliti sejak awal abad 19. Analisis lokasional ini pada awalnya merupakan pertanyaan inti dari ilmu ekonomi wilayah. Analisis yang dikembangkan oleh von Thunen, Weber, Losch dan Christaller di abad 19 dan awal abad 20 pada dasarnya mencari jawabanjawaban tentang dimana dan mengapa aktivitas ekonomi memilih lokasi (Rustiadi et al, 2009) Pada awalnya (hingga tahun 1950-an) teori lokasi hanya didominasi oleh pendekatan-pendekatan geografis-lokasional atau teori lokasi klasik (von Thunen, Weber, Palander, Hotelling, Predohl, Losch dan lain-lain). Sejak tahun 1950-an, teori lokasi berkembang diperkaya
dengan analogi-analogi ilmu ekonomi umum dan
analisis-analisis kuantitatif standar ilmu ekonomi, khususnya
ekonometrika, dynamic model dan model-model optimasi seiring berkembangnya ilmu kewilayahan (regional science). Sejak akhir tahun 1980-an mulai tumbuh pendekatan-pendekatan metodologis kuantitatif yang mempertimbangkan aspekaspek spasial, khususnya dengan dimasukkannya pertimbangan autokeralasi spasial dan heterogenitas spasial. Pada tahap-tahap modern, model-model spatio temporal semakin dikembangkan, khususnya dengan berkembangnya metodemetode statistika spasial, ekonometrika spasial dan Sistem Informasi Geografis, (Rustiadi et al, 2009). 2.2.1.
Teori Pola Produksi Pertanian Von Thunen
Perkembangan teori lokasi klasik diawali dengan analisis lokasi areal pertanian oleh Johann Heinrich von Thunen, seorang ekonom Jerman, pada tahun 1826 dengan tulisannya berjudul Der Isolierte Staat (negara yang terisolasi). Karya ini adalah tonggak penting konsep tata ruang wilayah.
Asumsi yang
digunakan von Thunen adalah suatu negara terisolasi dengan kondisi iklim, tanah, topografi dan alat transportasi yang seragam. Secara keseluruhan, buku tersebut membahas masalah pertanian, ekonomi nasional, upah, suku bunga dan land rent. Teori von Thunen menghubungkan antara konsep ekonomi dengan lokasi spasial sehingga meskipun teorinya sudah lama tetapi tetap berguna sampai saat ini (Rustiadi et al, 2009).
18 Dalam menyusun modelnya, von Thunen menggunakan asumsi-asumsi sebagai berikut : 1. Pusat kota sebagai pusat pemasaran, lokasi di pusat suatu wilayah homogen secara geografis. Bagian pusat adalah pusat pemukiman, pusat industri yang sekaligus merupakan pusat pasar. 2. Biaya transportasi berbanding lurus dengan jarak 3. Petani
secara
rasional
cenderung
memilih
jenis
tanaman
yang
menggambarkan
suatu
menghasilkan keuntungan maksimal. Dalam
menganalisis
modelnya,
von
Thunen
kecenderungan pola ruang dengan bentuk wilayah yang melingkar seputar kota, yang didasarkan pada economic rent dimana setiap tipe penggunaan lahan akan menghasilkan hasil bersih per unit areal yang berbeda-beda, sehingga modelnya disusun berupa zone-zone konsentrik. Konsep von Thunen pada dasarnya menjelaskan bahwa penggunaan lahan sangat ditentukan oleh biaya angkut produk yang diusahakan yang pada akhirnya menentukan sewa ekonomi tanah (land rent). Kesimpulan penting yang dapat diambil dari pengembangan teori von Thunen adalah : 1)
Kecenderungan
semakin menurunnya keuntungan akibat makin jauhnya lokasi produksi dari pasar, namun terdapat perbedaan laju penurunan antar komoditas dan 2) Jumlah pilihan-pilihan menguntungkan yang semakin menurun dengan bertambahnya jarak ke kota atau pusat kota. Rustiadi et al (2009) menyatakan bahwa konsep land rent yang dikembangkan von Thunen untuk aplikasi landuse perkotaan menghadapi sejumlah kendala karena : 1) Penggunaan lahan perkotaan terbesar untuk sektor perumahan, bukan untuk aktivitas produksi; 2) Kota mempunyai struktur sangat kompleks, tidak hanya berdimensi horisontal tetapi juga vertikal sehingga landuse perkotaan juga bercampur baur dan 3) Masih ada kota-kota besar yang mempunyai aksesibilitas tunggal terhadap pasar. Oleh karenanya di kota tidak ditemukan pola konsentris yang rapi, tidak seperti di lokasi pertanian.
19 2.2.2.
Teori Lokasi Alfred Weber
Alfred Weber seorang ahli ekonomi Jerman menulis buku berjudul Uber den Standort der Industrien pada tahun 1909. Jika Von Thunen menganalisis lokasi kegiatan pertanian maka Weber menganalisis lokasi kegiatan industri. Weber mendasarkan teorinya bahwa pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip minimisasi biaya. Weber menyatakan lokasi setiap industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja dimana penjumlahan keduanya harus minimum. Tempat dimana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum. Dalam perumusan modelnya, asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut: 1.
Bidang bahasan adalah suatu wilayah yang terisolasi, iklim yang homogen, konsumen terkonsentrasi pada beberapa pusat dan kondisi pasar adalah persaingan sempurna.
2.
Beberapa sumber daya alam seperti air, pasir dan batu-bata tersedia dimanamana (ubiquitous) dalam jumlah yang memadai.
3.
Material lainnya seperti bahan bakar mineral dan tambang tersedia secara sporadis dan hanya terjangkau pada beberapa tempat terbatas.
4. Tenaga kerja tidak ubiquitous (tidak menyebar secara merata) tetapi berkelompok pada beberapa lokasi dan dengan mobilitas yang terbatas. Berdasarkan asumsi itu, ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu : Biaya transportasi; Upah tenaga kerja; dan Dampak aglomerasi dan Deaglomerasi. Biaya transportasi dan biaya upah tenaga kerja merupakan faktor umum yang secara fundamental menentukan pola lokasi dalam kerangka geografis. Dampak aglomerasi atau deaglomerasi merupakan kekuatan lokal yang berpengaruh menciptakan konsentrasi atau pemencaran berbagai kegiatan dalam ruang. Biaya transportasi merupakan faktor pertama dalam menentukan lokasi sedangkan kedua faktor lainnya merupakan faktor yang memodifikasi lokasi. Biaya transportasi bertambah secara proporsional dengan jarak. Jadi titik terendah biaya transportasi adalah titik yang menunjukkan biaya minimum untuk angkutan bahan baku dan distribusi hasil produksi.
20 Aglomerasi memberikan keuntungan antara lain berupa: fasilitas seperti tenaga listrik, air, perbengkelan, pemondokan, dan lain-lain. Sering kali pada lokasi seperti ini sudah terdapat pula tenaga kerja yang terlatih. Fasilitas ini akan menurunkan biaya produksi atau kebutuhan modal karena kalau terpisah jauh semua fasilitas harus dibangun sendiri. Aglomerasi Versi Weber. Aglomerasi adalah pengelompokkan beberapa perusahaan dalam suatu daerah atau wilayah sehingga membentuk daerah khusus industri. Aglomerasi juga bisa dibagi mencadi dua macam, yaitu aglomerasi primer di mana perusahaan yang baru muncul tidak ada hubungannya dengan perusahaan lama dan aglomerasi sekunder jika perusahaan yang baru beroperasi adalah perusahaan yang memiliki tujuan untuk memberi pelayanan pada perusahaan yang lama. Beberapa sebab yang memicu terjadinya aglomerasi : 1) Tenaga kerja tersedia banyak dan banyak yang memiliki kemampuan dan keahlian yang lebih baik dibanding di luar daerah tersebut; 2) Suatu perusahaan menjadi daya tarik bagi perusahaan lain; 3) Berkembangnya suatu perusahaan dari kecil menjadi besar, sehingga menimbulkan perusahaan lain untuk menunjang perusahaan yang membesar tersebut; 4) Perpindahan suatu kegiatan produksi dari satu tempat ke beberapa tempat lain; 5) Perusahaan lain mendekati sumber bahan untuk aktifitas produksi yang dihasilkan oleh perusahaan yang sudah ada untuk saling menunjang satu sama lain. Deglomerasi. Deglomerasi adalah suatu kecenderungan perusahaan untuk memilih lokasi usaha yang terpisah dari kelompok lokasi perusahaan lain. Beberapa sebab yang memicu terjadinya deglomerasi: 1) Harga buruh yang semakin meningkat di daerah padat industri; 2) Penyempitan luas tanah yang dapat digunakan karena sudah banyak dipakai untuk perumahan dan kantor pemerintah; 3) Harga tanah yang semakin tinggi di daerah yang telah padat; 4) Sarana dan prasarana di daerah lain semakin baik namun harga tanah dan upah buruh masih rendah. 2.2.3. Teori Lokasi August Losch Berbeda dengan Weber yang melihat persoalan dari sisi produksi, Losch melihat persoalan dari sisi permintaan pasar. Losch mengatakan bahwa lokasi penjual berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat dijaringnya. Makin
21 jauh dari pasar, konsumen enggan membeli karena biaya transportasi (semakin jauh tempat penjualan) semakin mahal. Produsen harus memilih lokasi yang menghasilkan penjualan terbesar. Losch menyarankan lokasi produksi ditempatkan di dekat pasar (Centre Business District).
Kontribusi utama Losch adalah memperkenalkan potensi
permintaan (demand) sebagai faktor penting dalam lokasi industri, Kedua, kritik terhadap pendahulunya yang selalu berorientasi pada biaya terkecil; padahal yang biasanya dilakukan oleh industri adalah memaksimalkan keuntungan (profit– revenue maximation) dengan berbagai asumsi, Losch mengemukakan bagaimana economic landscape terjadi, yang merupakan keseimbangan (equillibrium) antara supply dan demand. August Losch merupakan orang pertama yang mengembangkan teori lokasi dengan segi permintaan sebagai variabel utama. Teori ini bertujuan untuk menemukan pola lokasi industri sehingga diketemukan keseimbangan spasial antar lokasi. Losch berpendapat bahwa dalam lokasi industri yang tampak tak teratur dapat diketemukan pola keberaturan. Teori Losch berasumsi suatu daerah yang homogen dengan distribusi sumber bahan mentah dan sarana angkutan yang merata serta selera konsumen yang sama. Kegiatan ekonomi yang terdapat di daerah tersebut merupakan pertanian berskala kecil yang pada dasarnya ditujukan bagi pemenuhan kebutuhan petani masing-masing. Perdagangan baru terjadi bila terdapat kelebihan produksi. Untuk mencapai keseimbangan, ekonomi ruang Losch harus memenuhi beberapa syarat sebaai berikut : 1) Setiap lokasi industri harus menjamin keuntungan maksimum bagi penjual maupun pembeli; 2) Terdapat cukup banyak usaha pertanian dengan penyebaran cukup merata sehingga seluruh permintaan yang ada dapat dilayani; 3) Terdapat free entry dan tak ada petani yang memperoleh super-normal propfit sehingga tak ada rangsangan bagi petani dari luar untuk masuk dan menjual barang yang sama di daerah tersebut; 4) Daerah penawaran adalah sedemikian hingga memungkinkan petani yang ada untuk mencapai besar optimum dan 5) Konsumen bersikap indifferent terhadap penjual manapun dan satu-satunya pertimbangan untuk membeli adalah harga yang rendah. Pada teori Losch, wilayah pasar bisa berubah ketika terjadi inflasi (perubahan) harga. Hal ini disebabkan karena produsen tidak
22 mampu memenuhi permintaan yang karena jaraknya jauh akan mengakibatkan biaya transportasi naik sehingga harga jualnya juga naik, karena tingginya harga jual maka pembelian makin berkurang. Hal ini mendorong petani lain melakukan proses produksi yang sama untuk melayani permintaan yang belum terpenuhi. Dengan makin banyaknya petani yang menawarkan produk yang sama, maka akan terjadi dua keadaan : 1) Seluruh daerah akan terlayani; 2) Persaingan antar petani penjual akan semakin tajam dan saling berebut pembeli. Losch berpendapat bahwa akhirnya luas daerah pasar masing-masing petani penjual akan mengecil dan dalam keseimbangannya akan terbentuk segienam beraturan. Bentuk ini dipilih karena menggambarkan daerah penjualan terbesar yang masih dapat dikuasai setiap penjual dan berjarak minimum dari tempat lokasi kegiatan produksi yang bersangkutan. Keseimbangan yang dicapai dalam teori Losch berasumsi bahwa harga hanya dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran, oleh karenanya keseimbangan akan terganggu bila salah seorang penjual menaikkan harga jualnya. Keputusan ini mengakibatkan tidak hanya pasar menyempit karena konsumen tak mampu membeli tapi sebagian pasar akan hilang dan direbut oleh penjual yang berdekatan. Untuk memperluas jangkauan pasar dapat dilakukan dengan menjual barang yang berbeda jenis dari yang sudah ditawarkan. 2.2.4 Teori Lokasi Industri Christaller Walter Christaller (1933) menulis buku berjudul Central Places In Southern Germany. Dalam buku ini Christaller mencoba menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya di dalam satu wilayah. Model Christaller ini merupakan suatu sistem geometri dimana angka 3 yang diterapkan secara arbiter memiliki peran yang sangat berarti. Itulah sebabnya disebut sistem K=3 dari Christaller (Tarigan, 2005). Christaller mengembangkan modelnya untuk suatu wilayah abstrak dengan ciri berikut: 1. Wilayahnya adalah daratan tanpa roman, semua adalah datar dan sama. 2. Gerakan dapat dilaksanakan ke segala arah (isotropic surface). 3. Penduduk memiliki daya beli yang sama dan tersebar secara merata pada
seluruh wilayah.
23 4. Konsumen bertindak rasional sesuai dengan prinsip minimisasi jarak atau
biaya. Luas pemasaran minimal sangat tergantung pada tingkat kepadatan penduduk pada wilayah asumsi. Makin tinggi kepadatan penduduk makin kecil wilayah pemasaran minimal, begitu sebaliknya. Wilayah pemasaran minimal disebut thereshold. Tidak boleh ada produsen untuk komoditas yang sama dalam ruang threshold. Apabila ada, salah satu akan gulung tikar atau kedua-duanya akan gulung tikar dan kemudian muncul pengusaha baru. Model Chistaller tentang terjadinya model area perdagangan heksagonal sebagai berikut: 1.
Mula-mula terbentuk areal perdagangan satu komoditas berupa lingkaranlingkaran. Setiap lingkaran memiliki pusat dan menggambarkan threshold dari komoditas tersebut.
2.
Kemudian digambarkan lingkaran-lingkaran berupa range dari komoditas tersebut yang lingkarannya boleh tumpang tindih.
3.
Range yang tumpang tindih dibagi antara kedua pusat yang berdekatan sehingga terbentuk areal yang heksagonal yang menutupi seluruh daratan yang tidak lagi tumpang tindih.
4.
Tiap barang berdasarkan tingkat ordenya memiliki heksagonal sendirisendiri. Dengan menggunakan k=3, barang orde I lebar heksagonalnya adalah 3 kali heksagonal barang orde II. Barang orde II lebar heksagonalnya adalah 3 kali heksagonal barang orde III, dan seterusnya. Tiap heksagonal memiliki pusat yang besar kecilnya sesuai dengan besarnya heksagonal tersebut. Heksagonal yang sama besarnya tidak saling tumpang tindih, tetapi antara heksagonal yang tidak sama besarnya akan terjadi tumpang-tindih.
Berdasarkan model k=3, pusat dari hierarki yang lebih rendah berada pada sudut dari hierarki yang lebih tinggi sehingga pusat yang lebih rendah berada pada pengaruh dari tiga hierarki yang lebih tinggi darinya. Christaller menyatakan bahwa produsen berbagai jenis barang untuk orde yang sama cenderung berlokasi pada titik sentral di wilayahnya dan hal ini mendorong terciptannya kota.
24 Uraian tentang range dan thereshold dapat menjelaskan mengapa terjadi konsentrasi dari berbagai jenis usaha pada satu lokasi tetapi konsep itu tidak dapat menjelaskan mengapa dipasar juga ada kecenderungan bahwa pedagang dari komoditas sejenis juga memilih untuk berlokasi secara berkonsentrasi atau berdekatan. Konsep tidak memungkinkan produsen atau pedagang sejenis berada berdekatan karena pada satu ruang threshold hanya boleh ada satu produsen atau pedagang. Apabila berdekatan harus ada yang gulung tikar dan yang tersisa hanya satu produsen atau pedagang. Jadi kemungkinan penyelesaiannya adalah hanya mungkin lewat penelaahan sikap manusia. Adalah menjadi sifat manusia untuk berusaha mendapatkan barang yang diinginkan dalam batas waktu tertentu dengan harga yang semurah mungkin. Apabila pembeli hanya berhadapan dengan seorang penjual, harga yang ditawarkan penjual menjadi tidak jelas bagi pembeli, apakah harga itu adalah harga terendah yang dapat dia peroleh atau tidak. Dengan berkumpulnya banyak penjual barang sejenis pada lokasi yang sama, pembeli mendapat kesempatan untuk membandingkan harga di antara para penjual dan akan membeli pada penjual yang menawarkan harga terendah (pembeli butuh informasi untuk membuat keputusan). Hal ini membuat lokasi yang memiliki banyak penjual barang sejenis, lebih memiliki daya tarik bagi pembeli ketimbang lokasi yang hanya memiliki sedikit penjual. 2.3. Sektor Informal Seringkali sektor ekonomi dibagi menjadi sektor formal dan informal. Pembagian ini lebih didasarkan pada kaitannya dengan perijinan dan regulasi dari pemerintah setempat. Dikatakan sektor formal bila sektor ekonomi terdaftar pada pemerintah dan informal jika tidak terdaftar. Dikotomi ini menghasilkan implikasi kebijakan yang berbeda pada pemerintah lokal dan nasional.
Bukti empiris
menunjukkan bahwa justru sektor informal yang mampu menjadi katup penyelamat ekonomi nasional selama krisis. Pembahasan sektor informal tidak dapat dipisahkan dari pembahasan sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Usaha dalam skala ini berkembang pesat khususnya di negara-negara berkembang seperti di Indonesia karena keterbatasan lapangan kerja di sektor formal.
25 2.3.1. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Sesuai dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), usaha mikro adalah usaha ekonomi produktif milik orang perorangan dan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian, baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian, baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Menurut Undang-Undang No. 9/1995
tentang Usaha Kecil, usaha yang
diklasifikasikan sebagai usaha kecil adalah yang memenuhi kriteria: (a) memiliki aset kurang dari atau sama dengan Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan, (b) omzet tahunan kurang dari atau sama dengan Rp 1 milyar, (c) dimiliki oleh orang Indonesia, (d) independen, tidak terafiliasi dengan usaha menengah-besar dan (e) boleh berbadan hukum, boleh tidak.
Badan Pusat Statistik (BPS) lebih
menspesifikkan jenis usaha dengan membaginya menjadi usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah berdasarkan jumlah pekerjanya. Usaha mikro adalah usaha dengan jumlah pekerja kurang dari 5 orang termasuk tenaga keluarga yang tidak dibayar. Usaha kecil adalah usaha dengan jumlah pekerja 5-19 orang. Berdasarkan aset usahanya, kriteria usaha kecil adalah yang memiliki nilai kekayaan (aset) bersih di bawah Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan usaha atau di bawah penjualan (omzet) maksimal Rp 1 milyar. Di atas kriteria itu adalah usaha menengah. Dewasa ini tercatat ada 2.9 juta unit UMKM yang mampu menyerap tenaga kerja sebesar 66.83 juta atau 89 % angkatan kerja dan memberikan kontribusi berarti (39.8 %) bagi produk domestik bruto (PDB) nasional.
26 Definisi dan kriteria industri kecil dari berbagai departemen disajikan pada Tabel 3. Namun demikian, para ahli ekonomi dan pembangunan di Indonesia seringkali men-generalisasikan industri rumah tangga sebagai sektor usaha kecil menengah (UKM). Tabel 3. Definisi Jenis Usaha dari Berbagai Departemen Organisasi Menneg Koperasi & PKM
Bank Indonesia
Jenis Usaha Usaha Kecil (UU No. 9/1995) Usaha Menengah (Inpres 10/1999) Usaha Mikro (SK Dir BI No. 31/24/KEP/DIR tgl. 5 Mei 1998)
Usaha Kecil (UU No. 9/1995) Menengah (SK Dir BI No. 30/45/Dir/UK tgl. 5 Januari 1997)
Bank Dunia
Usaha Mikro KecilMenengah
Keterangan Kriteria Aset ≤ Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan • Omzet tahunan Rp 1 milyar Aset antara Rp 200 juta - Rp 10 milyar Usaha yang dijalankan oleh rakyat miskin atau mendekati miskin. • Dimiliki oleh keluarga, sumber daya lokal dan teknologi sederhana • Lapangan usaha mudah untuk exit dan entry Aset ≤ Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan • Omzet tahunan ≤ Rp 1 milyar Aset ≤ Rp 5 milyar untuk sektor industri • Aset ≤ Rp 600 juta di luar tanah dan bangunan untuk sektor non industri manufakturing • Omzet tahunan < Rp 3 milyar Pekerja < 20 orang • Pekerja 20-150 orang • Aset ≤ US$ 500 ribu di luar tanah dan bangunan
Sumber : Ayub (2004)
Realitas membuktikan bahwa sejak terjadinya krisis ekonomi, sektor UKM mampu bertahan bahkan menjadi penyelamat perekonomian nasional. UKM yang saat ini jumlahnya diperkirakan 40,19 juta unit usaha memberi kontribusi yang sangat signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB). Pada tahun 2001 diperkirakan UKM memberi kontribusi terhadap PDB sebesar 54,74 % (Karyadi 2004). Dewasa ini tercatat ada 2,9 juta unit UKM yang mampu menyerap tenaga kerja sebesar 66,83 juta atau 89 % angkatan kerja dan memberikan kontribusi berarti (39,8 %) bagi PDB nasional (Bisnis.com 2004). Dalam konteks pengembangan masyarakat, industri ini sangat berperan dalam mengembangkan masyarakat. Hal ini dilakukan melalui beberapa cara yaitu : (1) Keterlibatan masyarakat sekitar sebagai tenaga kerja berarti menjamin
27 keberlangsungan pendapatannya, (2) Adanya transfer pengetahuan baru bagi masyarakat, baik ilmu produksi, organisasi, manajemen maupun pemasaran, dapat diartikan sebagai pengembangan sumber daya manusia dan (3) Keterlibatan institusi-institusi pembangunan menjamin adanya transfer pengetahuan yang lebih luas bagi masyarakat lokal dan menjamin adanya proses pembelajaran masyarakat. 2.3.2. Usaha Produktif Seringkali terjadi salah kaprah di kalangan birokrat tingkat pemerintahan daerah dalam mengartikan apa yang dimaksud dengan usaha produktif, sehingga terdapat beberapa sektor usaha yang seolah-olah tidak merupakan usaha produktif. Hal ini mengakibatkan sektor tersebut seringkali agak terpinggirkan dalam konteks pembangunan ekonomi. Oleh karenanya maka untuk menyamakan persepsi, terlebih dahulu perlu melihat pengertian dari produksi itu sendiri. Adapun yang dimaksud dengan produksi dalam ekonomi merupakan kegiatan manusia untuk menciptakan dan menambah nilai atau kegunaan suatu barang atau jasa dengan cara mengubah bentuk ataupun tidak (Assauri, 1999). Kegunaan dibedakan atas dasar bentuk, tempat, waktu dan pemilikan, sehingga
usaha
perdagangan barang dan jasa pun merupakan usaha yang produktif. 2.3.3. Pengertian dan Definisi Sektor Informal Tinjauan mengenai sektor informal diawali dari dikotomi pemahaman antara ekonomi informal versus ekonomi formal (economy) yang telah banyak mendapatkan kritikan. Hal ini terutama disebabkan karena adanya
kesulitan
dalam membuat batasan yang jelas antar kedua tipe ekonomi ini. “Sektor informal” bukanlah benar-benar suatu 'sektor' seperti yang lazimnya dipahami dalam konteks formal (seperti sektor pertanian, finansial, manufakturing dan sebagainya), bahkan aktivitas informal terdapat pada beberapa sektor ekonomi. Oleh karenanya, istilah “ekonomi informal” semakin banyak digunakan dibandingkan istilah sektor informal. Lemahnya batasan yang jelas antar ekonomi formal dan informal terjadi karena beberapa kriteria atau kondisi yang digunakan untuk membedakan apakah suatu aktivitas ekonomi dipandang sebagai formal atau informal. Di antara kriteria ini adalah status administratif dari aktivitas ekonomi (terdaftar atau tidak,
28 teregulasi atau tidak), status legal (legal-ilegal), penerimaan melalui norma-norma bersama, kepermanenannya (permanen atau tidak permanen, memiliki domisili yang tetap atau tidak), status membayar pajak (pembayar pajak-bukan pembayar pajak), komprehensivitas organisasi (terstruktur-tidak terstruktur) dan beberapa kondisi lainnya (URDI, ILO 2005). Konsep “sektor informal“ diperkenalkan oleh Keith Hart, ahli ekonomi dari Inggris yang melakukan penelitian tentang kegiatan ekonomi di daerah perkotaan Ghana (Nurul 2009). ILO membedakan sektor informal dengan sektor formal dilihat dari sisi apa yang ada di kedua sektor tersebut. Istilah ini mengacu pada kegiatan-kegiatan ekonomi berskala kecil dan tidak terdaftar (ILO, 2002 dalam Nurul, 2009). Istilah “ekonomi informal” kemudian diperkenalkan sebagai istilah baru yang mengikutsertakan tipe-tipe kesempatan kerja informal yang tidak tercakup dalam definisi statistik ”sektor informal”. Istilah baru ini mencakup, baik unit usaha maupun hubungan kerja (ILO, 2002 dalam Nurul, 2009). Dalam konteks yang berbeda dan menggunakan perspektif yang berbeda, sektor informal dikenal dengan beberapa nama. Sektor ini sering disebut sebagai ekonomi informal, ekonomi tidak teregulasi, sektor tidak terorganisasi atau lapangan kerja tidak teramati. Tipikal sektor ini menunjukkan unit ekonomi dan pekerja yang terlibat dalam beragam aktivitas komersil dan pekerjaan di luar realisme pekerjaan formal (Williams dan Windebank, 1998 dalam Suharto, 2003). Di sebagian negara-negara maju dan berkembang aktivitas sektor informal tidak dimasukkan ke dalam statistika lapangan kerja nasional (Suharto, 2003). Dalam upaya membawa sektor ini untuk mendapat perhatian nasional dan menghilangkan ketakutan akan tingginya level pengangguran, sekarang sudah umum di beberapa negara maju dan berkembang memasukkan sektor informal ke dalam figur nasional (Fortes et al, 1989; Williams & Windebank, 1998). Karena aktivitasnya yang sebagian besar tidak tercatat dan tidak terdaftar dalam neraca pendapatan nasional, maka sektor ini tetap dianggap tidak penting dan tidak tersentuh. Bahkan jika aktivitas ini terdaftar, dalam banyak hal sektor informal tidak mengikuti regulasi perlindungan tenaga kerja, provisi jaminan kerja, dan tindakan proteksi di tempat kerja (ILO, 1998; UNDP, 1997; Williams & Windebank, 1998).
29 Ekonomi informal - dengan PKL sebagai wajah utamanya - dikenal dengan beragam nama dan definisi. Ekonomi ini disebut sebagai irregular economy (Ferman dan Ferman, 1973), subterranean economy (Gutmann, 1977), underground economy (Simon dan Witte, 1982; Houston, 1987), black economy (Dilnot & Morris, 1981), shadow economy (Frey, Weck & Pommerehen, 1982; Cassel & Cichy, 1986) dan informal economy (McCrohan & Smith, 1986). Beberapa media juga memberikan istilah beragam seperti invissible economy, hidden economy, submerged economy, irregular economy, non official economy, unrecorded economy atau clandestine economy (US Department of Labor, 1992). Selain keberagaman definisi dan istilah ini, batas antara ekonomi formal dan informal juga cenderung kabur. Kondisi ini terkait tiga hal. Pertama, karena beberapa kriteria atau kondisi yang dapat digunakan untuk membedakan apakah suatu aktivitas ekonomi dipandang sebagai formal atau informal. Kedua, beberapa aktivitas ekonomi di negara berkembang menunjukkan kombinasi dari kondisi tersebut. Misalnya, aktivitas ekonomi tertentu bisa jadi memiliki domisili yang jelas, terdaftar pada salah satu badan pemerintah, dan secara teratur membayar retribusi tertentu, membayar fee untuk layanan pemerintah tertentu namun masih dipandang sebagai informal karena tidak adanya status legal. Ketiga, keterkaitan yang kuat antara ekonomi informal dan formal. Beberapa aktivitas ekonomi informal seperti industri rumah tangga kecil menyalurkan produknya ke kesatuan bisnis formal, dengan atau tanpa kontrak formal.
Beberapa pemilik properti
komersil formal “mengijinkan” penyedia makanan informal untuk berjualan di propertinya agar dapat menyediakan makanan bagi pegawai atau konsumennya. Juga ada PKL atau 'usaha kecil' yang 'dijalankan dari bawah' oleh bisnis yang dari besaran ekonominya tidak dapat dipandang sebagai usaha kecil dan sebaiknya dipandang menjadi entitas ekonomi formal. Lee dan Eyraud (2007) yang mengkaji perubahan kondisi lapangan kerja di Asia dan Pasifik menyimpulkan bahwa lapangan kerja di Asia semakin “terinformalkan”. Di Indonesia sendiri, ekonomi informal tumbuh pesat selama beberapa tahun terakhir seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.
30 Tabel 4. Lapangan Kerja menurut Aktivitas Ekonomi di Indonesia Ekonomi Formal Informal
1996 37.2 62.8
1998 34.6 65.4
Tahun (dalam %) 2000 2002 35.1 30.4 64.9 69.6
2004 30.3 69.7
2006 30.2 69.8
Sumber : Lee dan Eyraud (2007)
Data ini mengindikasikan bahwa dalam satu dekade terakhir, lapangan kerja sektor formal menunjukkan tren semakin menurun, sedangkan lapangan kerja informal menunjukkan tren semakin meningkat. Tren ini terjadi khususnya karena kegagalan ekonomi formal dalam menyerap pengangguran dan yang belum bekerja (termasuk meningkatnya angkatan kerja baru). Uraian di atas menunjukkan bahwa sektor informal mencakup berbagai sektor dalam perekonomian, seperti sektor informal di sektor pertanian, manufaktur, perdagangan barang dan jasa, dan sebagainya sehingga penggunaan istilah sektor informal dapat menimbulkan kerancuan dalam pengertiannya yang selanjutnya berimplikasi pada penataan dan pemberdayaannya. Demikian pula halnya jika untuk sektor informal digunakan istilah atau nama ekonomi informal. Jika digunakan istilah atau nama ekonomi maka pengertiannya akan sangat luas, padahal bukan itu maksud dari istilah sektor informal (Wiliams & Windebanki, 1998; Suharto, 2003). 2.3.4. Pedagang Kaki Lima (PKL) PKL merupakan salah satu bentuk aktivitas perdagangan sektor informal (Kuntjoro Jakti, 1986). PKL adalah pedagang kecil yang umumnya berperan sebagai penyalur barang-barang dan jasa ekonomi kota. Keberadaan PKL dapat ditemukan, baik di negara maju maupun berkembang (Schneider, 2002). Istilah kaki lima sendiri berasal dari trotoar yang dahulu berukuran lebar 5 feet atau sama dengan kurang lebih 1.5 meter, sehingga dalam pengertian ini PKL adalah pedagang yang berjualan pada kaki lima, dan biasanya mengambil tempat atau lokasi di daerah keramaian umum seperti trotoar di depan pertokoan atau kawasan perdagangan, pasar, sekolah dan gedung bioskop (Widodo, 2000). Pengertian PKL terus berkembang sehingga sekarang menjadi kabur artinya. Mereka tidak lagi berdagang di atas trotoar saja, tetapi di setiap jalur pejalan kaki, tempat-tempat parkir, ruang-ruang terbuka, taman-taman, terminal bahkan di
31 perempatan jalan dan berkeliling ke rumah-rumah penduduk (Sari, 2003). Mc. Gee dan Yeung (1977) memberikan pengertian PKL sama dengan hawker, yang didefinisikan sebagai sekelompok orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual pada ruang publik, terutama di pinggir jalan dan trotoar. Dalam konteks kota, usaha informal mencakup operator usaha kecil yang menjual makanan dan barang atau menawarkan jasa dan pada gilirannya melibatkan ekonomi uang dan transaksi pasar. Ini disebut sebagai sektor informal perkotaan atau Urban Informal Sector (Suharto, 2003). Sebagai sebuah unit usaha, PKL merupakan kegiatan usaha informal karena tidak mempunyai legalitas usaha. Relasi yang dibangunpun sering merupakan relasi informal dalam artian tidak menggunakan perjanjian tertulis di antara mereka (Nurul, 2009). Pengetahuan tentang karakteristik formal dan informal menjadi penting jika dikaitkan dengan kebijakan. PKL sering dianggap sebagai kegiatan informal dan tidak tercatat sehingga kontribusi ekonomi mereka tidak diperhitungkan dalam kegiatan ekonomi kota. Karena kontribusi ini tidak dihitung maka pendekatan yang diambil Pemerintah Kota terhadap kelompok PKL terutama adalah pendekatan yang bersifat pengaturan/kontrol dan pelarangan (Nurul, 2009). PKL adalah orang yang melakukan usaha produktif dengan menghasilkan suatu barang tertentu atau melakukan usaha jasa perdagangan, baik barang-barang baru maupun bekas dengan menggunakan tempat di trotoar jalan ataupun tepi jalan atau di jalan itu sendiri tanpa mendapat izin secara formal. Wiego (Women in Informal Employment : Globalizing and Organizing) dalam papernya A Policy Response to the Informal Economy, Addressing Informality, Reducing Poverty, pada tahun 2009 menyatakan bahwa terdapat beberapa paradigma terhadap PKL antara lain adalah : 1. Sektor
informal adalah ekonomi tradisional yang akan mati dengan
pertumbuhan industri modern. Produktivitasnya hanya marginal. 2. Keberadaaannya terpisah dari ekonomi formal. 3. Mencerminkan surplus tenaga kerja. 4. Sebagian besar sektor ini adalah pengusaha bisnis ilegal atau tidak terdaftar untuk menghindari regulasi dan pajak.
32 5. Pekerjaan pada ekonomi informal sebagian besar terdiri dari aktivitas untuk bertahan hidup dengan demikian bukan menjadi subyek kebijakan ekonomi. 6. Terutama terdiri dari usaha tidak terdaftar, pedagang jalanan, dan produsen skala sangat kecil. 7. Tidak teregulasi. 8. Karena tidak teregulasi dan tidak kena pajak sebagian yang bekerja pada sektor informal adalah tidak sejahtera. 9. Tidak berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. 2.4. Kebijakan Publik 2.4.1 Konsepsi Kebijakan Publik Fokus utama dalam pembahasan kebijakan publik adalah penciptaan lingkungan yang memungkinkan semua aktor bisnis maupun nirlaba untuk dapat bertahan dalam konteks global maupun domestik. Suatu kebijakan dapat disebut sebagai kebijakan publik apabila memiliki derajat tertentu, dipikirkan atau setidaknya diproses melalui prosedur-prosedur tertentu dan di bawah pengaruh atau kontrol pemerintah (Hogwood dan Gunn, 1986). Kebijakan publik yang baik adalah kebijakan yang mendorong setiap warga masyarakat untuk membangun daya saingnya masing-masing dan bukan semakin menjerumuskan ke dalam pola ketergantungan (Nugroho, 2004). Dengan demikian kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat atau Daerah perlu mengedepankan aspek kemandirian masyarakat dalam meningkatkan daya saingnya, baik dalam konteks global atau domestik. Kebijakan publik merupakan jalan untuk mencapai masyarakat yang dicita-citakan, ditunjukkan seperti pada Gambar 5. Kebijakan Publik Masyarakat pada masa awal
Masyarakat pada masa transisi
Gambar 5. Kebijakan Publik Sumber : Nugroho (2004)
Masyarakat yang dicita-citakan
33 Dengan demikian apa yang dikerjakan dari sebuah kebijakan publik adalah untuk pencapaian tujuan masyarakat secara nasional atau domestik (tingkat daerah), serta mempunyai parameter keberhasilan dari sebuah kebijakan publik. Untuk mencapai tujuannya, kebijakan publik meliputi pengaturan perilaku, mengorganisir birokrasi, mendistrbusikan manfaat dan memungut pajak. Menurut Nugroho (2004), proses dari suatu kebijakan publik mencakup empat komponen yaitu perumusan kebijakan, implementasi kebijakan, monitoring kebijakan dan evaluasi kebijakan.
Perumusan Kebijakan Evaluasi Kebijakan
Implementasi Kebijakan Monitoring Kebijakan
Gambar 6. Proses Kebijakan Publik Sumber : Nugroho (2004)
Proses kebijakan publik di atas menjelaskan beberapa hal yaitu : 1.
Terdapat isu atau masalah publik. Disebut isu apabila masalahnya bersifat strategis, yakni bersifat mendasar, menyangkut banyak orang atau keselamatan bersama, (biasanya) berjangka panjang, tidak bisa diselesaikan oleh orang-orang, dan memang harus diselesaikan.
2.
Isu ini kemudian menggerakkan pemerintah untuk merumuskan kebijakan publik dalam menyelesaikan masalah tersebut. Rumusan kebijakan ini akan menjadi hukum bagi seluruh negara dan warganya, termasuk pimpinan negara.
3.
Setelah dirumuskan kemudian kebijakan publik ini dilaksanakan, baik oleh pemerintah, masyarakat atau pemerintah bersama-sama dengan masyarakat.
4.
Dalam proses perumusan, pelaksanaan dan pasca pelaksanaan, diperlukan evaluasi sebagai sebuah siklus baru sebagai penilaian kebijakan tersebut
34 sudah dirumuskan dengan baik dan benar dan diimplementasikan dengan baik dan benar pula. 5.
Implementasi kebijakan bermuara kepada output yang dapat berupa kebijakan itu sendiri maupun manfaat langsung yang dapat dirasakan oleh pemanfaat.
6.
Dalam jangka panjang kebijakan tersebut menghasilkan outcome dalam bentuk dampak kebijakan yang diharapkan semakin meningkatkan tujuan yang hendak dicapai dengan kebijakan tersebut. Tidak mudah membuat kebijakan publik yang dapat mengakomodasi semua
kepentingan golongan masyarakat karena kebijakan publik akan berhadapan dengan beragam kepentingan masyarakat dan kondisi yang berbeda, terlebih adanya kepentingan politik dari golongan tertentu. Dalam hubungannya dengan aspek politis, terdapat empat hubungan antara kebijakan publik dan politik, yaitu : 1.
Kompetisi Politik.
Merupakan model sistem paling awal dalam bidang
kebijakan. Sumber daya ekonomi akan menentukan tingkat kompetisi dan partisipasi pemilih. Faktor-faktor politik ini menentukan kebijakan publik dalam kesejahteraan, kesehatan, jalan raya, pajak, belanja negara dan sebagainya. Alur kebijakan publik dapat dilihat pada gambar berikut : Sumber Daya Ekonomi
Kompetisi Partisipasi
Kebijakan Publik
Gambar 7. Alur Kebijakan Publik berdasarkan Kompetisi Politik Sumber : http://www.scribd.com
2. Sumber Daya Ekonomi. Variabel pengembang ekonomi lebih berpengaruh dibandingkan karakteristik sistem politik dalam membentuk kebijakan publik di negara bagian. Kompetisi Partisipasi
Sumber Daya Ekonomi
Kebijakan Publik
Gambar 8. Alur Kebijakan Publik berdasarkan Sumber Daya Ekonomi Sumber : http://www.scribd.com
35 3. Perkembangan ekonomi berdampak pada kebijakan publik tetapi bila dampak kebijakan publik dikendalikan, maka faktor politik hanya berpengaruh kecil terhadap outcome kebijakan. 4. Campuran (Hybrid), Sumber daya ekonomi membentuk kebijakan publik secara langsung maupun tidak, dengan mempengaruhi kompetisi dan partisipasi, yang pada gilirannya mempengaruhi kebijakan publik. Kompetisi Partisipasi
Sumber Daya Ekonomi
Kebijakan Publik
Gambar 9. Alur Kebijakan Publik Campuran Sumber : http://www.scribd.com
Menurut Nugroho (2004), kebijakan publik dapat dibagi ke dalam beberapa jenis yaitu : 1.
Berdasarkan makna dari kebijakan publik. Kebijakan publik sebagai hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk dikerjakan dan tidak dikerjakan. Kebijakan seperti ini dapat digambarkan dalam sebuah matrik sebagaimana Tabel 5 Tabel 5. Matrik Kebijakan Publik Berdasarkan Makna .
Kegiatan strategis
Masyarakat mampu melaksanakan
I (pemerintah dengan masyarakat) III Pemerintah
Masyarakat tidak mampu untuk melaksanakan
Kegiatan tidak/kurang strategis II Masyarakat IV Pemerintah (dibiarkan)
Sumber : Nugroho (2004)
2.
Berdasarkan bentuknya. Dalam hal ini terdapat 2 bentuk kebijakan yaitu peraturan-peraturan pemerintah yang tertulis dalam bentuk perundangan dan peraturan-peraturan tidak tertulis (konvensi), yang merupakan bentuk kerjasama antara legislatif dengan eksekutif atau yang dibuat hanya oleh eksekutif.
36 Kebijakan yang hanya dibuat oleh eksekutif di Indonesia di antaranya adalah : a. Peraturan Pemerintah (PP) b. Keputusan Presiden (Kepres) c. Keputusan Menteri atau kepala lembaga pemerintah non departemen d. Dan seterusnya. Kebijakan eksekutif pada tingkat daerah di antaranya : a. Keputusan gubernur dan bertingkat keputusan dinas-dinas di bawahnya. b. Keputusan bupati/walikota dan bertingkat keputusan dinas-dinas di bawahnya. 3.
Karakter. Karakter adalah bagian dari kebijkan tertulis formal, yang dalam hal ini kebijakan publik dibagi menjadi 2 yaitu : a. Regulatif versus deregulatif atau restriktif versus non restriktif. b. Alokatif versus distributif atau redistributif. Kebijakan jenis pertama adalah kebijakan yang menetapkan hal-hal yang dibatasi dan hal-hal yang dibebaskan dari pembatasan-pembatasan. Sebagian besar kebijakan publik berkenaan dengan hal yang regulatif atau restruktif dan deregulasi atau non restruktif. Kebijakan jenis kedua
biasanya berupa
kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan anggaran atau keuangan publik. 2.4.2. Instrumen Kebijakan Publik di Daerah Instrumen kebijakan publik di daerah yang dibahas dalam penelitian ini dibatasi hanya kepada kebijakan publik yang menyangkut bidang ekonomi, berhubungan dengan keberadaan sektor informal termasuk PKL. 1. Regulasi Regulasi pada tingkat daerah dapat dilakukan oleh kebijakan eksekutif saja dan atau kebijakan eksekutif bersama dengan legislatif (DPRD). Kebijakan eksekutif pada tingkat daerah (hanya eksekutif dan bersama DPRD) di antaranya : a.
Keputusan gubernur dan bertingkat keputusan dinas-dinas di bawahnya.
b.
Keputusan bupati/walikota dan bertingkat bawahnya.
c.
Peraturan daerah.
keputusan dinas-dinas di
37 Undang-undang No. 32/ 2004 Ayat 20 menyatakan bahwa pada setiap strata pemerintahan (legislatif dan pemerintah; nasional, propinsi, dan kabupaten atau kota) harus mempertimbangkan aspek-aspek kepastian hukum, proporsional, efektivitas dan efisiensi. Undang-undang ini juga mengamanatkan kriteria-kriteria baru untuk pembuatan peraturan daerah, yaitu: kejelasan tujuan, efektivitas, efisiensi, transparansi, kepastian hukum dan partisipasi masyarakat. Proses penyusunan regulasi pada tingkat daerah digambarkan seperti pada Gambar 10 berikut. PEMERINTAH PROVINSI GUBERNUR
BIRO HUKUM
Hanya untuk Pajak, Retribusi, APBD dan RTRW
BAGIAN HUKUM
WALIKOTA/ BUPATI
PEMERINTAH DAERAH EKSEKUTIF LEGISLATIF PUBLIK
DRAFT
LEGISLATIF
TASK FORCE
DINAS
DINAS
DINAS
DINAS
DINAS
Gambar 10. Proses Penyusunan Regulasi pada Tingkat Daerah Sumber : UU 32/2004
Instrumen kebijakan publik pada tingkat daerah yang dimaksudkan untuk pengaturan perilaku, mengorganisir birokrasi, mendistribusikan benefit di antaranya adalah
pajak dan retribusi. Regulasi pajak daerah dan retribusi
dikeluarkan dan dikelola pada tingkat daerah secara berjenjang. 2.
Pajak Pembangunan yang dilakukan Pemerintah Pusat atau Daerah merupakan hasil
dari pendapatan negara setelah dikurangi dengan pengeluaran rutin.
Besar-
kecilnya tabungan pemerintah ditentukan oleh hasil dari pajak-pajak dan hasil keluaran sumber daya alam, dikurangi dengan pengeluaran rutin. Untuk memperbesar tabungan, Pemerintah Pusat atau Daerah berusaha memperbesar hasil dari pajak-pajak dan atau sumber daya alam serta memperkecil pengeluaran
38 rutin, melalui pengawasan yang ketat hingga tidak terjadi kebocoran dan korupsi (Soemitro, 1987). Pajak-pajak yang dipungut dan yang digunakan harus berdasarkan pada undang-undang sehingga memiliki kekuatan paksa dan sanksi hukum, serta menuntut adanya pengawasan. Pajak-pajak ini pada hakekatnya mengenai hidup negara secara ekonomis, bukan hidup secara manusiawi. Kebutuhan negara adalah kelangsungan hidup lembaga-lembaganya, yang mampu melakukan fungsinya masing-masing. Banyak-sedikitnya uang yang diperlukan oleh negara tergantung kepada tingkat ekonomi negara serta rakyatnya. Lebih besar tingkat ekonomi negara, lebih besar kebutuhannya dan lebih besar pula pendapatan (Soemitro, 1987). Pada hakekatnya pajak memiliki tujuan untuk memungut dana dari masyarakat. Definisi pajak menurut Sumihardjo dalam Apip (2006) adalah : “Pajak adalah iuran wajijb, berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang dan jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”. Definisi lainya adalah menurut Soemitro dalam Apip (2006) yaitu : “ Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplus yang digunakan untuk public saving untuk membiayai public investment”. Sementara itu menurut Brotodihardjo dalam Apip (2006), pajak didefinisikan sebagai : “Pajak adalah keseluruhan dari peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui kas negara”. Dari ketiga definisi tersebut terdapat beberapa hal yang dapat dikemukakan, yaitu : a) Pajak dipungut oleh pemerintah (baik pusat atau daerah). b) Tidak mengandung jasa timbal-balik secara langsung. c) Pungutan pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin. d) Pajak digunakan untuk kesejahteraan umum. e) Pajak mencakup barang dan jasa.
39 3.
Retribusi Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Retribusi dapat disebut sebagai Pajak Daerah dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). Perbedaan mendasar antara pajak dan retribusi adalah terletak pada timbal-balik langsung. Untuk pajak tidak ada timbal-balik langsung kepada para pembayar pajak, sedangkan untuk retribusi ada timbal-balik langsung dari penerima retribusi kepada pembayar retribusi. 4.
Subsidi Subsidi adalah suatu bentuk bantuan keuangan yang dibayarkan kepada suatu
usaha atau sektor ekonomi. Sebagian besar subsidi yang dibuat oleh pemerintah untuk produsen atau distributor dalam industri guna mencegah penurunan (misalnya industri, sebagai hasil usaha yang tidak menguntungkan) atau kenaikan harga dari produk atau untuk mendorong agar
mempekerjakan lebih
banyak tenaga kerja (seperti dalam kasus subsidi upah). Contoh lainnya adalah subsidi untuk mendorong penjualan ekspor; subsidi pada beberapa makanan untuk mengurangi biaya hidup khususnya di daerah perkotaan; dan subsidi untuk mendorong perluasan lahan produksi dan mencapai kemandirian dalam produksi pangan. Secara
ekonomis
subsidi
dapat
dianggap
sebagai
suatu
bentuk
proteksionisme atau hambatan perdagangan dengan membuat barang dan jasa domestik buatan dalam negeri kompetitif terhadap barang impor. Subsidi dapat mendistorsi pasar dan dapat menimbulkan biaya ekonomi yang besar. Bantuan keuangan dalam bentuk subsidi mungkin berasal dari pemerintahan, tetapi dengan istilah subsidi juga merujuk kepada bantuan yang diberikan oleh orang lain, seperti individu atau lembaga non pemerintah, walaupun ini lebih sering digambarkan sebagai amal. 2.4.3. Sumber-sumber Pendapatan Daerah Dalam Bab III UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
pada
Pasal 3 mengenai Sumber-sumber
40 Penerimaan
Daerah
dalam
Pelaksanaan
Desentralisasi,
sumber-sumber
penerimaan daerah mencakup : a. Pendapatan Asli Daerah. b. Dana Perimbangan. c. Pinjaman Daerah. d. Lain-lain Penerimaan yang sah. Selanjutnya pada Pasal 4, disebutkan bahwa Sumber Pendapatan Asli Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a terdiri dari: a. Hasil pajak daerah. b. Hasil retribusi daerah . c. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan
daerah
lainnya yang dipisahkan. d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Dengan demikian, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk mendapatkan pendapatan asli daerah melalui instrumen pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan serta pendapatan asli daerah lainnya yang sah. Tanggal 18 Agustus 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) menjadi undang-undang, sebagai pengganti Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000. Pengesahan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) ini sangat strategis dan mendasar di bidang desentralisasi fiskal, karena terdapat perubahan kebijakan yang cukup fundamental dalam penataan kembali hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah. Undang-undang ini mulai berlaku per 1 Januari 2010. UU PDRD mempunyai tujuan sebagai berikut : 1. Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. 2. Meningkatkan
akuntabilitas
daerah
dalam
penyediaan
layanan
dan
penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah.
41 3. Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Ada beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang dipergunakan dalam penyusunan UU ini, yaitu: 1.
Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tidak terlalu membebani rakyat dan relatif netral terhadap fiskal nasional.
2.
Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam undang-undang (closed-list).
3.
Pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah dalam batas tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam undangundang.
4.
Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum dalam undang-undang sesuai kebijakan pemerintahan daerah. Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan secara
preventif dan korektif. Rancangan Peraturan Daerah yang mengatur pajak dan retribusi harus mendapat persetujuan Pemerintah sebelum ditetapkan menjadi Perda. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dikenakan sanksi. Materi yang diatur dalam UU PDRD yang disahkan tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Penambahan Jenis Pajak Daerah Terdapat penambahan 4 jenis pajak daerah, yaitu 1 jenis pajak propinsi dan 3
jenis pajak kabupaten atau kota. Dengan tambahan tersebut, secara keseluruhan terdapat 16 jenis pajak daerah, yaitu 5 jenis pajak propinsi dan 11 jenis pajak kabupaten atau kota. Jenis pajak propinsi yang baru adalah Pajak Rokok, sedangkan 3 jenis pajak kabupaten atau kota yang baru adalah PBB Perdesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Sarang Burung Walet. Sebagai catatan, untuk kabupaten/kota ada penambahan 1 jenis pajak yaitu Pajak Air Tanah yang sebelumnya merupakan pajak propinsi. a. Pajak Rokok Pajak Rokok dikenakan atas cukai rokok yang ditetapkan oleh Pemerintah. Hasil penerimaan Pajak Rokok tersebut sebesar 70 % dibagi-hasilkan kepada kabupaten/kota di propinsi yang bersangkutan. Walaupun pajak ini merupakan
42 jenis pajak baru, namun diperkirakan pengenaan Pajak Rokok tidak terlalu membebani masyarakat karena rokok bukan merupakan barang kebutuhan pokok dan bahkan pada tingkat tertentu konsumsinya perlu dikendalikan. Di pihak lain, pengenaan pajak ini tidak terlalu berdampak pada industri rokok karena beban Pajak Rokok akan disesuaikan dengan kebijakan strategis di bidang cukai nasional dan besarannya disesuaikan dengan daya pikul industri rokok mengikuti natural growth (pertumbuhan alamiah) dari industri tersebut. Selain itu, penerimaan Pajak Rokok dialokasikan minimal 50 % untuk mendanai pelayanan kesehatan (pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (smoking area), kegiatan memasyarakatkan tentang bahaya merokok dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok) serta penegakan hukum (pemberantasan peredaran rokok ilegal dan penegakan aturan mengenai larangan merokok). b. PBB Perdesaan dan Perkotaan Selama
ini
PBB
merupakan
pajak
pusat,
namun
hampir
seluruh
penerimaannya diserahkan kepada daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, khusus PBB sektor perdesaan dan perkotaan dialihkan menjadi pajak daerah. Untuk PBB sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan masih merupakan pajak pusat. Dengan dijadikannya PBB Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak daerah, maka penerimaan jenis pajak ini akan diperhitungkan sebagai pendapatan asli daerah (PAD). c. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Selama ini BPHTB merupakan pajak pusat, namun seluruh hasilnya diserahkan kepada daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, BPHTB dialihkan menjadi pajak daerah. Penetapan BPHTB sebagai pajak daerah akan meningkatkan PAD. d. Pajak Sarang Burung Walet Pajak Sarang Burung Walet merupakan jenis pajak daerah baru, yang dapat dipungut oleh daerah untuk memperoleh manfaat ekonomis dari keberadaan dan perkembangan sarang burung walet di wilayahnya. Bagi daerah yang memiliki potensi sarang burung walet yang besar akan dapat meningkatkan PAD.
43 2. Penambahan Jenis Retribusi Daerah Terdapat penambahan 4 jenis retribusi daerah, yaitu Retribusi Tera/Tera Ulang, Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, Retribusi Pelayanan Pendidikan, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan. Dengan penambahan ini, secara keseluruhan terdapat 30 jenis retribusi yang dapat dipungut oleh daerah yang dikelompokkan ke dalam 3 golongan retribusi, yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu. a. Retribusi Tera/Tera Ulang Pengenaan Retribusi Tera/Tera Ulang dimaksudkan untuk membiayai fungsi pengendalian terhadap penggunaan alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya oleh masyarakat. Dengan pengendalian tersebut, maka alat ukur, takar, dan timbang akan berfungsi dengan baik sehingga penggunaannya tidak merugikan masyarakat. b. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi Pengenaan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi ditujukan untuk meningkatkan pelayanan dan pengendalian daerah terhadap pembangunan dan pemeliharaan menara telekomunikasi. Dengan pengendalian ini, keberadaan menara telekomunikasi akan memenuhi aspek tata ruang, keamanan dan keselamatan, keindahan dan sekaligus memberikan kepastian bagi pengusaha. Untuk menjamin agar pungutan daerah tidak berlebihan, tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak melampaui 2 % dari Nilai Jual Objek Pajak PBB menara telekomunikasi. c. Retribusi Pelayanan Pendidikan Pengenaan retribusi pelayanan pendidikan dimaksudkan agar pelayanan pendidikan, di luar pendidikan dasar dan menengah, seperti pendidikan dan pelatihan untuk keahlian khusus yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dapat
dikenakan
pungutan
dan
hasilnya
digunakan
untuk
membiayai
kesinambungan dan peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dimaksud. d. Retribusi Izin Usaha Perikanan Pengenaan Retribusi Izin Usaha Perikanan tidak akan memberikan beban tambahan bagi masyarakat, karena selama ini jenis retribusi tersebut telah dipungut oleh sejumlah daerah sesuai dengan kewenangannya. Sebagaimana
44 halnya dengan jenis retribusi lainnya, pemungutan Retribusi Izin Usaha Perikanan dimaksudkan agar pelayanan dan pengendalian kegiatan di bidang perikanan dapat terlaksana secara terus-menerus dengan kualitas yang lebih baik. 3. Perluasan Basis Pajak Daerah Perluasan basis pajak daerah, antara lain adalah: a) PKB dan BBNKB, termasuk kendaraan pemerintah; b) Pajak Hotel, mencakup seluruh persewaan di hotel; dan c) Pajak Restoran. 4. Perluasan Basis Retribusi Daerah Perluasan basis retribusi daerah dilakukan dengan mengoptimalkan pengenaan Retribusi Izin Gangguan, mencakup berbagai retribusi yang berkaitan dengan lingkungan yang selama ini telah dipungut, seperti Retribusi Izin Pembuangan Limbah Cair, Retribusi AMDAL, serta Retribusi Pemeriksaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja. 5. Kenaikan Tarif Maksimum Pajak Daerah Untuk memberi ruang gerak bagi daerah mengatur sistem perpajakannya dalam rangka peningkatan pendapatan dan peningkatan kualitas pelayanan, penghematan energi, dan pelestarian atau perbaikan lingkungan, tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah dinaikkan, antara lain: a. Tarif maksimum Pajak Kendaraan Bermotor, dinaikkan dari 5 %. Khusus untuk kendaraan pribadi dapat diterapkan tarif progresif. b. Tarif maksimum Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dinaikkan dari 10 % menjadi 20 %. c. Tarif maksimum Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dinaikkan dari 5 % menjadi 10 %. Khusus untuk kendaraan angkutan umum, tarif dapat ditetapkan lebih rendah. d. Tarif maksimum Pajak Parkir, dinaikkan dari 20 % menjadi 30 %. e. Tarif maksimum Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (sebelumnya Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C), dinaikkan dari 20 % menjadi 25 %. 6. Bagi Hasil Pajak Propinsi Dalam rangka pemerataan pembangunan dan peningkatan kemampuan keuangan kabupaten/kota dalam membiayai fungsi pelayanan kepada masyarakat,
45 pajak propinsi dibagi-hasilkan kepada kabupaten/kota, dengan proporsi disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Bagi Hasil Pajak Propinsi No 1 2 3 4 5
Jenis Pajak Pajak Kendaraan Bermotor Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor Pajak Air Permukaan Pajak Rokok
Propinsi 70% 70% 30% 50% 30%
Kab/kota 30% 30% 70% 50% 70%
Sumber : UU 32/ 2004
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan secara bertahap dan terus-menerus dan sekaligus menciptakan good governance dan clean government, penerimaan beberapa jenis pajak daerah wajib dialokasikan (di-earmark) untuk mendanai pembangunan sarana dan prasarana yang secara langsung dapat dinikmati oleh pembayar pajak dan seluruh masyarakat. Pengaturan earmarking tersebut adalah: a.
Sebesar 10 % dari penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor wajib dialokasikan untuk pemeliharaan dan pembangunan jalan serta peningkatan sarana transportasi umum.
b.
Sebesar 50 % dari penerimaan Pajak Rokok dialokasikan untuk mendanai pelayanan kesehatan dan penegakan hukum.
c.
Sebagian penerimaan pajak penerangan jalan digunakan untuk penyediaan penerangan jalan. Dengan penetapan UU PDRD ini, diharapkan struktur APBD menjadi lebih
baik, iklim investasi di daerah menjadi lebih kondusif karena Perda-Perda pungutan daerah yang membebani masyarakat secara berlebihan dapat dihindari. 2.5. Pemberdayaan Masyarakat Perhatian terhadap inisiatif pengembangan/pemberdayaan masyarakat bukanlah model pembangunan baru. Inisiatif pengembangan masyarakat sendiri dapat dirunut kembali ke tahun 1920-an, dimana pilot project Etawah, India, telah menggunakan
konsep
pengembangan
masyarakat
untuk
pembangunan
komunitasnya pasca pemerintahan kolonial. Selanjutnya program pengembangan masyarakat ini telah menyebar di negara-negara berkembang selama tahun 1950-
46 an, tetapi pada pertengahan tahun 1960-an mulai ditinggalkan karena sejumlah kegagalan (Korten, 1996). Menurut Korten (1996) kegagalan ini disebabkan oleh beberapa hal di antaranya adalah : (1) kurangnya perhatian terhadap kontrol aset dan hambatan struktural penduduk miskin, (2) program dan target pengembangan masyarakat diformulasikan secara terpusat (tricle down process) dan dijalankan melalui struktur birokrasi konvensional sehingga kurang mendapatkan perhatian masyarakat dan (3) kurangnya usaha pemerintah untuk mengembangkan independensi, keterlibatan, kemandirian dan keswadayaan masyarakat sebagai target pembangunan. Dengan kata lain bahwa kegagalan praktik pengembangan masyarakat
lebih
disebabkan kegagalan dalam menterjemahkan
konsep
pengembangan masyarakat dalam implementasi riil oleh pemerintah. Pada akhir tahun 1960-an dan 1970-an, keadilan dan partisipasi telah menjadi bagian dari agenda pembangunan internasional.
Teori maupun konsep
pembangunan yang menyangkut perbaikan-perbaikan kehidupan masyarakat di bidang ekonomi, sosial, politik maupun lingkungan hidup telah banyak mengalami perubahan yang mendasar. Konsekuensinya, perencanaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik di tingkat lokal maupun regional pada masa sekarang telah banyak mengalami pergeseran yang fundamental (Hilman, 2004). Dalam paradigma baru pembangunan sekarang, kekuasaan pemerintah seharusnya semakin dibatasi hanya pada bidang public goods dan bidang-bidang dimana pihak swasta dan masyarakat tidak punya insentif untuk melakukannya. Dengan paradigma pembangunan tersebut, telah berlangsung perubahan ke arah perbaikan secara terus-menerus dari waktu ke waktu.
Dari hasil pergeseran
tersebut dapat disimpulkan bahwa penekanan hakiki tujuan pembangunan adalah tercapainya pemerataan (equity), pertumbuhan (eficiency), dan keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan ekonomi yang lebih berkualitas. Paradigma baru pembangunan ini mengacu kepada apa yang disebut dalil kedua fundamental ekonomi kesejahteraan (The second fundamental welfare economics), dimana sebenarnya pemerintah dapat memilih target pemerataan ekonomi yang mendorong pertumbuhan yang diinginkan melalui cara transfer,
47 perpajakan dan subsidi, sedangkan aspek ekonomi selebihnya dapat diserahkan kepada persaingan melalui mekanisme pasar. Dengan demikian, penterjemahan dan dalil tersebut kepada paradigma baru pembangunan sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah (Hilman, 2004). Pengalaman empirik menunjukkan bahwa ketidakseimbangan dalam investasi keempat kapital (natural, physical, human, dan social capital) dapat menimbulkan kesenjangan tingkat kehidupan dalam
masyarakat yang pada gilirannya akan
menjadi sumber dari krisis ekonomi, sosial dan lingkungan. Oleh karena itu, paradigma baru ini lebih menekankan kepada proses-proses
partisipatif dan
kolaboratif (participatory and collaborative processes) yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan material, termasuk meningkatnya keadilan dalam distribusi kekuasaan, pengelolaan dan manfaat pembangunan dalam rangka mewujudkan kebebasan dan kemandirian masyarakat banyak. Menurut Sam Landon (1998), dasar penggunaan model pengembangan masyarakat berakar dari beberapa premis utama. Premis tersebut menunjukkan bahwa dalam hubungan antara pemerintahan dan masyarakat, pendekatan berbasis masyarakat dan lokal berpotensi untuk : a.
Membuat masyarakat memiliki posisi yang lebih baik untuk merespon dan beradaptasi dengan kondisi ekologi dan sosialnya dan lebih dapat menunjukkan kepentingan dan preferensinya.
b.
Lebih mengetahui proses dan praktik-praktik manajemen.
c.
Lebih
mampu
memobilisasikan
sumberdayanya
melalui
akses
dan
manajemen yang adaptif. d.
Lebih mampu dalam proses pengambilan keputusan bagi kebutuhan hidupnya. Lebih lanjut, Sam Landon (1998) menyatakan bahwa disamping potensinya,
model pengembangan masyarakat juga memiliki resiko dan kendala. Masyarakat umumnya merupakan kesatuan heterogen (berbeda dalam hal jenis kelamin, umur, kondisi ekonomi, status sosial, grup politik, dan sebagainya). Dimana mereka saling berkompetisi dan memiliki konflik kepentingan masing-masing. Bagi Indonesia, dengan diberlakukannya UU No. 22 dan UU No. 25 tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pusat dan
48 Daerah berimplikasi luas dalam sistem perencanaan pembangunan di wilayahwilayah. Kebijaksanaan desentralisasi melalui otonomi daerah sebenarnya memberi
isyarat
pemberdayaan
tentang
dalam
pentingnya pendekatan pembangunan
rangka
pengembangan
masyarakat
berbasis
lokal (locality
development) dan wilayah (regional development) dibanding dengan pendekatan sektoral dan terpusat. Dengan kata lain, kebijakan otonomi daerah mendorong dilakukannya pengembangan masyarakat lokal dan wilayah. Paradigma baru pengembangan di tingkat lokal dan wilayah pada saat ini didasarkan kepada prinsip-prinsip pembangunan yang menekankan aspek-aspek berikut: 1.
Mengutamakan peran-serta (participation) masyarakat dan memprioritaskan untuk menjawab kebutuhan hidup masyarakat setempat. Pemerintah sebaiknya lebih berperan sebagai fasilitator pembangunan daripada sebagai inisiator dan pelaksana.
2.
Menekankan aspek proses interaktif dibandingkan pendekatan-pendekatan yang menghasilkan “produk-produk” perencanaan berupa master plan dan sejenisnya.
3.
Para pihak (stakeholders) yang berinteraksi bekerjasama secara kolaboratif dengan kedudukan yang setara, dan bebas dan hierarki birokrasi. Sasaran
utama pengembangan
masyarakat
adalah
masyarakat
yang
terpinggirkan, termasuk kaum perempuan dan anak-anak, juga masyarakat lain yang terabaikan. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan bagi orang lain untuk mengikuti kegiatan-kegiatan pemberdayaan. Tahapan-tahapan umum yang digunakan dalam proses pengembangan masyarakat adalah sebagai berikut. Tahap 1. Seleksi wilayah Tahap 2. Sosialisasi pengembangan masyarakat Tahap 3. Proses pengembangan masyarakat, yang terdiri dari: Kajian keadaan pedesaan partisipatif Pengembangan kelompok Penyusunan rencana dan pelaksanaan kegiatan Monitoring dan evaluasi partisipatif
49 Tahap 4. Pemandirian masyarakat 1. Seleksi Wilayah Seleksi wilayah dilakukan sesuai dengan kriteria yang disepakati oleh lembaga, pihak-pihak terkait, dan masyarakat. Penetapan kriteria ini penting agar tujuan lembaga dalam pengembangan masyarakat akan tercapai serta pemilihan lokasi dilakukan sebaik mungkin. 2. Sosialisasi Pengembangan Masyarakat Sosialisasi pengembangan masyarakat adalah suatu kegiatan yang sangat penting untuk menciptakan komunikasi serta dialog dengan masyarakat. Sosialisasi pengembangan masyarakat dapat membantu meningkatkan pengertian masyarakat dan pihak terkait tentang program. Proses sosialisasi sangat menentukan ketertarikan masyarakat untuk berperan dan terlibat di dalam program. 3. Proses Pengembangan Masyarakat Maksud pemberdayakan masyarakat adalah meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya (tujuan umum).
Dalam proses tersebut masyarakat bersama-sama dilibatkan
dalam : a.
Mengidentifikasi dan mengkaji permasalahan, potensi serta peluang.
b.
Menyusun rencana kegiatan kelompok berdasarkan hasil kajian.
c.
Menerapkan rencana kegiatan kelompok.
d.
Memantau
proses
dan
hasil
kegiatan
secara
terus-menerus
(Monitoring dan Evaluasi Partisipatif ). Pelaksanaan tahap-tahap di atas sering bersamaan dan lebih bersifat proses yang diulangi terus-menerus. Pengembangan masyarakat
kerapkali dilakukan
melalui pendekatan kelompok dimana anggota bekerjasama dan berbagi pengalaman dan pengetahuan. Untuk pengembangan kelompok ada kegiatankegiatan khusus yang berjalan bersamaan dengan kegiatan lain. Berkaitan dengan pengembangan masyarakat untuk mandiri dalam meningkatkan taraf hidupnya, maka arah pendampingan kelompok adalah mempersiapkan masyarakat agar benar-benar mampu mengelola sendiri kegiatannya. Dalam semua kegiatan sering dimanfaatkan teknik dan alat visualisasi yang
50 mendukung diskusi antara masyarakat dan memudahkan proses pengembangan masyarakat. Melalui teknik-teknik tersebut, diharapkan bahwa proses kajian, penyusunan rencana kegiatan, penerapan, monitoring dan evaluasi dilakukan secara sistematis. Teknik-teknik kajian yang sering digunakan antara lain Participatory Rural Appraisal (PRA). Monitoring dan evaluasi merupakan suatu tahap yang sangat penting untuk memperbaiki proses secara terus-menerus agar tujuan dapat tercapai. Aspek-aspek yang dimonitor dan dievaluasi meliputi 'proses', 'pencapaian' dan 'dampak' proses pengembangan masyarakat. Dengan perubahan paradigma pembangunan di atas, model pengembangan masyarakat semakin banyak diadopsi oleh peneliti dalam upaya mengembangkan komunitas. Model ini digunakan untuk pengembangan masyarakat mulai dari masyarakat industri, kehutanan, pedesaan, pertanian, nelayan, maupun manajemen sumber daya alam. Ashby dan Sperling (1995), Child (1996), Colchester (1994), Corbridge dan Jewitt (1997) telah menggunakan model pengembangan masyarakat untuk melibatkan masyarakat dalam sistem manajemen hutan. Davos (1998), Christie dan White (1997), ICLRAM dan NSC (1997) telah menggunakan model ini untuk menganalisis manajemen masyarakat nelayan dan perikanan. Gubbels (1997), Hirashima dan Gooneratne (1998) telah menggunakan pendekatan ini untuk pengembangan masayarakat tani dan pedesaan. Terakhir, Dhai (1994) dan Farringtton (1996) telah menggunakan pendekatan ini untuk riset dan manajemen sumber daya alam. Secara umum, peneliti di atas menyimpulkan bahwa model pengembangan masyarakat masih applicable sampai saat ini sepanjang pendekatan yang digunakan tepat. 2.6. Strategi Pemberdayaan Strategi adalah suatu perencanaan induk yang komprehensif, yang menjelaskan bagaimana organisasi akan mencapai semua tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan misi yang telah ditentukan (Rangkuti, 1999). Pearce dan Robinson (1997) mendefinisikan strategi sebagai suatu perencanaan, cara, pola, posisi dalam lingkungan organisasi, dan prospektif. Menurut Jauch dan Glueck (1995), manajemen strategik adalah seni dan ilmu dari pembuatan, penerapan dan evaluasi keputusan-keputusan strategik antar fungsi-fungsi yang memungkinkan sebuah organisasi mencapai tujuan-tujuan
51 masa datang. Untuk mengatasi masalah-masalah strategik perlu berpikir secara strategik yang muncul seiring dengan berkembangnya perusahaan/organisasi. Karakteristik dari manajemen strategik adalah : (1) berorientasi pada masa depan, (2) biasanya berhubungan dengan unit bisnis yang sangat kompleks, (3) memerlukan perhatian dari manajemen puncak, (4) akan mempengaruhi kemakmuran jangka panjang dari perusahaan dan (5) melibatkan pengelolaan sejumlah besar sumber-sumber daya perusahaan. Lebih lanjut, Kotler (2000) mendefinisikan manajemen strategik sebagai seni dan ilmu untuk memformulasikan, mengimplementasikan dan mengevaluasi keputusan-keputusan lintas fungsional yang memungkinkan suatu organisasi mencapai sasarannya. Manajemen strategik adalah ilmu yang memadukan manajemen pemasaran, keuangan, produksi/operasi, informasi, penelitian dan pengembangan untuk mencapai keberhasilan organisasi. Menurut Jauch dan William (1995), manajemen strategik terdiri dari tiga tahapan yaitu formulasi strategi, implementasi strategi, dan evaluasi strategi. Lebih lanjut, dinyatakan bahwa formulasi strategik mencakup pengembangan misi bisnis, identifikasi peluang dan ancaman, menentukan kekuatan dan kelemahan, menetapkan sasaran jangka panjang, menyusun alternatif strategi dan memilih strategi tertentu.
Implementasi strategik merupakan tindakan dalam strategi
manajemen yang antara lain menetapkan sasaran tahunan dan kebijakan, memotivasi karyawan, mengalokasikan sumber daya secara efektif. Implementasi strategik dilaksanakan pada tiga tingkat hirarki dalam organisasi yaitu di tingkat organisasi, unit bisnis, dan tingkat fungsional. Evaluasi strategik merupakan tahap akhir dalam manajemen strategik, dimana terdapat tiga kegiatan utama : (1) mengevaluasi faktor internal dan eksternal yang didasarkan pada strategi saat ini, (2) mengukur kinerja, dan (3) mengadakan perbaikan dari kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan. Jauch dan William (1995) membagi strategi menjadi tiga tingkatan dalam struktur organisasi yaitu strategi tingkat organisasi, strategi tingkat unit binis dan strategi tingkat fungsional. Strategi tingkat organisasi menggambarkan arah yang menyeluruh bagi suatu perusahaan dalam pertumbuhan dan pengelolaan berbagai bidang usaha, untuk mencapai keseimbangan produk atau jasa yang dihasilkan.
52 Strategi ini biasanya dibuat sebagai arahan dasar berbagai strategi pada unit usaha dan strategi fungsional yang disusun. Strategi tingkat unit bisnis menekankan pada usaha peningkatan daya saing perusahaan dalam suatu industri atau segmen pasar. Strategi tingkat fungsional menciptakan kerangka kompleks kerja untuk manajemen fungsi seperti produksi, pemasaran, keuangan, dan sumber daya manusia. Berpikir strategik memerlukan beberapa tahapan. Menurut Jauch dan William (1995), tahapan berpikir strategik meliputi lima hal yaitu : (1) identifikasi masalah, (2) pengelompokan masalah, (3) proses abstraksi, (4) penentuan metode pemecahan masalah, dan (5) perencanaan untuk implementasi. Selanjutnya David (1999) menyatakan bahwa dalam identifikasi masalah dilakukan identifikasi masalah-masalah strategik yang muncul dengan melihat gejala-gejala yang mengikutinya. Pengelompokan masalah dilakukan dengan mengelompokkan masalah sesuai dengan sifatnya. Proses abstraksi dilakukan dengan mengidentifikasi masalah-masalah yang paling penting dari tiap kelompok, kemudian melakukan analisa terhadap masalah tersebut dalam rangka mencari faktor penyebab timbulnya masalah. Penentuan metode yang paling tepat untuk menyelesaikan/memecahkan masalah yang telah diidentifikasikan pada tahap sebelumnya. Perencanaan untuk implementasi yaitu produk, pemasok atau penyandang dana. 2.7. Lingkungan Eksternal dan Internal Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan industri kecil secara garis besar dapat dibagi menjadi faktor eksternal dan internal. Faktor Eksternal.
Menurut David (1999), faktor eksternal merupakan
faktor-faktor yang bersumber dari luar dan biasanya tidak berhubungan dengan situasi operasional suatu organisasi. Faktor eksternal terdiri dari : (1) faktor ekonomi, (2) sosial, (3) politik, (4) teknologi, dan (5)
faktor ekologi.
Lingkungan ini memberi peluang dan ancaman bagi suatu organisasi. Sebuah perusahaan/organisasi
tidak
mempunyai
peranan
yang
berarti
untuk
mempengaruhi lingkungan eksternal secara keseluruhan tanpa dukungan dari organisasi lainnya.
53 Faktor ekonomi. Faktor ekonomi berkaitan dengan sifat dan arah sistem ekonomi tempat suatu organisasi/perusahaan beroperasi.
Faktor ekonomi
mencakup pertumbuhan ekonomi, suku bunga, inflasi, nilai tukar, dan pendapatan per kapita. Faktor sosial-budaya.
Faktor sosial-budaya yang mempengaruhi suatu
organisasi adalah kepercayaan, sikap, opini dan gaya hidup orang-orang di lingkungan eksternal organisasi yang berkembang dari pengaruh kultural, ekologi, demografi, agama, pendidikan dan etnik. Faktor politik. Arah dan pertimbangan faktor-faktor politik merupakan pertimbangan penting bagi organisasi dalam merumuskan strateginya. Faktor politik menentukan parameter legal dan regulasi yang membatasi operasi organisasi. Kegiatan politik tersebut mempunyai dampak besar atas dua fungsi pemerintah yang mempengaruhi lingkungan eksternal organisasi yaitu : a. Fungsi pemasok : keputusan pemerintah mengenai aksesibilitas usaha swasta ke sumber daya alam dan cadangan nasional hasil usaha milik pemerintah. b. Fungsi pelanggan : kebutuhan pemerintah akan produk dan jasa dapat menciptakan, mempertahankan, memperkuat dan meniadakan peluang pasar. Faktor teknologi.
Faktor teknologi berpengaruh untuk menghindari
keusangan dan mendorong inovasi.
Adaptasi teknologi yang kreatif dapat
membuka terciptanya produk baru, penyempurnaan produk yang sudah ada atau penyempurnaan dalam teknik produksi dan pemasaran. Faktor ekologi.
Faktor ini mengacu pada hubungan antara manusia
(organisasi) dan makh,luk hidup lainnya dengan udara, lahan dan air yang mendukung kehidupan mereka. Sinergisme hubungan antara manusia dengan lingkungan menentukan keberlanjutan suatu usaha. Faktor Internal.
Faktor internal adalah kelompok atau individu yang
merupakan bagian internal dari organisasi itu sendiri (David 1999).
Faktor
internal dapat memberikan kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) bagi suatu organisasi/perusahaan. Beberapa faktor internal yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya usaha industri kecil adalah sifat produk, sumberdaya manusia, akses teknologi, ketersediaan modal, dan manajemen home industry. Produk sepatu dan sandal
54 bukan lagi merupakan produk sekunder tetapi sudah menjadi kebutuhan primer masyarakat.
Agar kompetitif, produk ini harus dikembangkan sesuai dengan
keinginan pasar, baik dalam hal kualitas, harga, dan modelnya. Faktor sumber daya manusia terkait dengan ketersediaan tenaga kerja di sekitar lokasi home industry.
Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia akan mempengaruhi
industri kecil dalam melakukan inovasi dan melakukan diversifikasi produk. Faktor akses teknologi terkait dengan lokasi usaha, dalam hal ini kedekatan lokasi usaha dengan sumber-sumber pengetahuan seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan universitas-universitas di wilayah tersebut. Faktor permodalan terkait dengan akses terhadap sumber-sumber finansial seperti bank dan lembaga keuangan lainnya yang dapat digunakan sebagai kekuatan industri kecil untuk memantapkan struktur permodalannya. 2.8. Strategi Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi Terdapat
beberapa
strategi
pertumbuhan
dalam
kaitannya
dengan
pembangunan ekonomi, yaitu : (1) strategi usaha minimum kritis, (2) strategi pembangunan seimbang, dan (3) strategi pembangunan tidak seimbang. 1. Strategi Upaya Minimum Kritis Strategi upaya minimum kritis ini dikemukakan oleh Harvey Leibenstein yang menyatakan bahwa sebagian besar negara berkembang dicekam oleh lingkaran setan kemiskinan yang membuat mereka tetap berada pada tingkat keseimbangan pendapatan per kapita yang rendah. Jalan keluar dari kebuntuan ini adalah dengan melakukan suatu upaya minimum kritis (critical minimum effort) tertentu yang akan menaikkan pendapatan per kapita pada tingkat di mana pembangunan yang berkesinambungan (sustainable) dapat terjadi. Leibenstein mengatakan bahwa dalam tahap transisi dari keadaan keterbelakangan ke keadaan yang lebih maju, dengan pertumbuhan jangka panjang mantap, diperlukan suatu kondisi di mana suatu perekonmian harus mendapatkan rangsangan pertumbuhan yang lebih besar di atas batas minimum kritis tertentu. Menurut strategi ini, setiap ekonomi tunduk pada hambatan dan rangsangan. Hambatan
berdampak
menurunkan pendapatan per kapita dari tingkat
sebelumnya, sedangkan rangsangan cenderung akan meningkatkan pendapatan per kapita. Suatu negara menjadi terbelakang jika besarnya rangsangan terlalu
55 kecil dibandingkan besarnya hambatan yang dihadapi. Jika faktor-faktor yang dapat meningkatkan pendapatan itu mendapat rangsangan yang lebih daripada faktor-faktor yang dapat menurunkan pendapatan, maka strategi minimum kritis dapat tercapai dan suatu perekonomian akan bisa berkembang. Strategi Leibenstein didasarkan pada bukti empiris bahwa laju pertumbuhan penduduk merupakan fungsi dari laju pendapatan per kapita. Laju pertumbuhan penduduk berkaitan erat dengan berbagai tahap pembangunan ekonomi. Mulamula, pada tingkat keseimbangan sub sisten, laju pendapatan, kesuburan dan kematian "sesuai" dengan tingkat kelangsungan hidup penduduk. Jika pendapatan per kapita naik di atas posisi keseimbangan tersebut maka tingkat kematian (mortalitas) akan turun, tetapi tanpa dibarengi penurunan tingkat kesuburan. Akibatnya pertumbuhan penduduk meningkat. Jadi, kenaikan pendapatan per kapita cenderung menaikkan laju pertumbuhan penduduk, tetapi kecenderungan ini hanya sampai titik tertentu. Melampaui titik tersebut, kenaikan pendapatan per kapita akan menurunkan tingkat kesuburan dan ketika pembangunan sudah mencapai tahap maju maka laju pertumbuhan penduduk akan menurun. Di samping pertumbuhan penduduk, terdapat beberapa faktor lain yang memerlukan pelaksanaan upaya minimum kritis. Faktor tersebut adalah skala disekonomis internal akibat tak dapat dibaginya produksi, disekonomi eksternal akibat adanya ketergantungan eksternal, hambatan budaya-kelembagaan yang ada di negara-negara berkembang. Menurut Leibenstein, apakah agen pertumbuhan itu berkembang atau tidak, akan tergantung pada besarnya rangsangan pertumbuhan. Rangsangan tersebut terdiri dari 2 macam yaitu :
Rangsangan zero-sum yang tidak meningkatkan pendapatan nasional tetapi hanya bersifat upaya distributif .
Rangsangan positive sum yang menuju pada pengembangan pendapatan nasional. Hanya tipe kegiatan positive-sum yang akan menghasilkan pembangunan
ekonomi. Kompleknya kondisi yang dihadapi negara berkembang membuat para pengusahanya terlibat pada kegiatan-kegiatan zero-sum. Kegiatan zero-sum tersebut mencakup :
56
Kegiatan bukan dagang (non trade) untuk menjamin posisi monopolistik yang lebih besar, kekuatan politik, dan prestise sosial.
Kegiatan dagang yang membawa ke posisi monopolist yang lebih besar yang tidak menambah sumber-sumber agregat.
Kegiatan spekulatif yang tidak memanfaatkan tabungan tetapi memboroskan sumber kewiraswastaan yang langka,
Kegiatan yang memang-memakai tabungan netto, tetapi investasi yang dilakukannya mencakup bidang-bidang usaha yang nilai sosialnya nihil atau lebih rendah daripada nilai privatnya.
.
Kegiatan zero-sum bukanlah kegiatan yang secara riil dapat menciptakan pendapatan riil tetapi sekedar pemindahan likuiditas dari pemilik yang satu ke pemilik lainnya. Untuk mengatasi pengaruh yang membuat perekonomian berada dalam keadaan keterbelakangan maka diperlukan suatu upaya minimum kritis yang cukup besar guna menopang laju pertumbuhan ekonomi yang cepat yang akan menggairahkan rangsangan positive-sum dan menciptakan kekuatan untuk menandingi kegiatan zero-sum. Sebagai hasil dari upaya minimum kritis itu pendapatan per kapita akan naik dan cenderung menaikkan tingkat tabungan dan investasi, yang pada gilirannya, akan membawa kepada:
Ekspansi agen pertumbuhan.
Meningkatnya sumbangan mereka per unit modal, begitu rasio modal output turun.
Berkurangnya keefektifan faktor-faktor yang merintangi pertumbuhan.
Penciptaan kondisi lingkungan dan sosial yang meningkatkan mobilitas ekonomi dan sosial.
Peningkatan spesialisasi dan perkembangan sektor sekunder dan tersier.
Terciptanya iklim yang cocok bagi perubahan yang lebih mendatangkan perubahan ekonomi dan sosial, khususnya lingkungan yang pada akhirnya menyebabkan menurunnya kesuburan dan laju pertumbuhan penduduk. Teori Leibenstein lebih realistis daripada teori dorongan besar-besaran (big
push theory) dari Rosenstein - Rodan yang menjalankan strategi pertumbuhan dengan memberikan dorongan kuat kepada program industrialisasi secara
57 mendadak pada negara berkembang. Upaya minimum kritis dapat dijadwalkan secara tepat dan dapat dipecah-pecah ke dalam rangkaian upaya yang lebih kecil guna meletakkan ekonomi pada jalur pembangunan yang berkesinambungan. Teori ini juga sesuai dengan gagasan perencanaan demokratis yang dianut oleh sebagian besar negara berkembang. Namun demikian, strategi tersebut mengandung beberapa kelemahan yaitu: a.
Laju pertumbuhan penduduk berkaitan dengan tingkat kematian.
b.
Penurunan tingkat kelahiran bukan dikarenakan kenaikan pendapatan per kapita.
c.
Mengabaikan usaha pemerintah untuk menurunkan tingkat kelahiran.
d.
Tingkat pertumbuhan lebih tinggi dari 3 % tidak menyebabkan lepas landas.
e.
Mengabaikan unsur waktu.
f.
Hubungan kompleks antara pendapatan per kapita dan faju pertumbuhan.
g.
Dapat diterapkan pada ekonomi tertutup.
2.
Strategi Pertumbuhan Seimbang Strategi pertumbuhan seimbang bisa diartikan sebagai pembangunan berbagai
jenis industri secara berbarengan (simultaneous) sehingga industri tersebut saling menciptakan pasar bagi yang lain. Selain itu, strategi pembangunan seimbang dapat juga diartikan sebagai keseimbangan pembangunan di berbagai sektor, misalnya antara sektor industri dan sektor pertanian, sektor luar negeri dan sektor domestik, antara sektor produktif dan sektor prasarana. Singkatnya, strategi pembangunan seimbang mengharuskan adanya pembangunan yang serentak dan harmonis di berbagai sektor ekonomi sehingga semua sektor tumbuh bersama. Dalam menjalankan strategi ini, diperlukan keseimbangan antara sisi permintaan dan sisi penawaran. Sisi penawaran memberikan tekanan pada pembangunan serentak dari semua sektor yang saling berkaitan dan berfungsi meningkatkan penawaran barang. Ini meliputi pembangunan serentak dan harmonis dari barang setengah jadi, bahan baku, sumber daya energi, pertanian, pengairan, transportasi, dan lain-lain serta semua industri yang memproduksi barang konsumen. Sebaliknya, sisi permintaan berhubungan dengan penyediaan kesempatan kerja yang lebih besar dan penambahan pendapatan agar permintaan barang dan jasa dapat tumbuh. Sisi berkaitan dengan industri yang sifatnya saling
58 melengkapi, industri barang konsumen, khususnya industri produk pertanian dan industri manufaktur. Jika semua industri dibangun secara serentak maka jumlah tenaga kerja yang terserap akan sangat besar. Dengan cara ini akan tercipta permintaan barang-barang dari masing-masing industri, dan semua barang akan habis terjual. Pembangunan seimbang dilaksanakan dengan maksud untuk menjaga agar proses pembangunan tidak menghadapi hambatan-hambatan dalam :
Memperoleh bahan baku, tenaga ahli, sumber daya energi (air dan listrik), dan fasilitas-fasilitas untuk mengangkut hasil-hasil produksi ke pasar.
Memperoleh pasar untuk barang-barang yang telah dan yang akan diproduksi. Dengan demikian pembangunan seimbang dapat didefinisikan sebagai usaha
pembangunan yang berupaya untuk mengatur program investasi sedemikian rupa sehingga sepanjang proses pembangunan tidak akan timbul hambatanhambatan'yang bersumber dari penawaran maupun permintaan. Istilah pembangunan seimbang diciptakan oleh Nurkse (1953). Namun demikian, teori ini pertama kali dikemukakan oleh Paul Rosenstein-Rodan (1953), dengan nama the big push theory yang menulis gagasan untuk menciptakan program pembangunan di Eropa Timur dan Eropa Tenggara dengan melakukan industrialisasi secara besar-besaran. Kedua orang ini beranggapan bahwa melakukan industrialisasi di daerah yang kurang berkembang merupakan cara yang tepat untuk menciptakan pembagian pendapatan .yang lebih merata di dunia dan untuk meningkatkan pendapatan di daerah semacam itu agar lebih cepat daripada di daerah yang lebih kaya. Dalam upaya untuk melaksanakan program tersebut berbagai industri haruslah dibangun secara berbarengan. Tujuan utama dari strategi ini adalah untuk menciptakan berbagai jenis industri yang berkaitan erat satu sama lain sehingga setiap industri akan memperoleh eksternalitas ekonomi dari industrialisasi tersebut. Scitovsky mendefinisikan eksternalitas ekonomi sebagai jasa-jasa yang diperoleh dengan cuma-cuma oleh suatu industri dari satu atau beberapa industri lainnya. Dengan demikian jika sebuah perusahaan memperoleh eksternalitas ekonomi, maka biaya produksinya dapat dikurangi dan perusahaan tersebut dapat melaksanakan kegiatannya dengan lebih efisien.
59 Menurut Rosenstein-Rodan (1953), pembangunan industri secara besarbesaran akan menciptakan 3 macam eksternalitas ekonomi yaitu:
Yang diakibatkan oleh perluasan pasar.
Karena industri yang sama letaknya berdekatan.
Karena adanya industri lain dalam perekonomian tersebut.
Menurut Rosenstein-Rodan, eksternalitas yang pertama yang paling penting. Strategi pembangunan seimbang banyak mendapatkan kritikan dari para ahli. Singer dalam Arsyad (1999) mengkritisi pandangan yang menekankan tentang perlunya menciptakan pembangunan yang berbarengan pada berbagai industri. Pandangan tersebut melupakan sektor pertanian sehingga sektor pertanian akan
menghadapi kesukaran untuk
memenuhi pertambahan
permintaan bahan pangan dan bahan baku pertanian yang akan digunakan sektor industri. Jadi, strategi pembangunan seimbang harus diperluas hingga meliputi usaha pembangunan secara besar-besaran di sektor pertanian. Dengan demikian kenaikan produktivitas dan produksi sektor pertanian akan dapat memenuhi kenaikan permintaan sektor industri. Di sisi lain, negara berkembang kurang memiliki kemampuan dalam menyediakan sumber daya untuk pembangunan besar-besaran tersebut. Strategi pembangunan seimbang tidak menyadari masalah utama yang dihadapi negara berkembang yaitu kekurangan sumber daya. Pendapat Hirschman tentang pembangunan seimbang pada hakekatnya hampir sama dengan Singer. Menurut Hirschman (1958) dalam Arsyad (1999), strategi
pembangunan
seimbang
melupakan
kenyataan
historis
yang
menunjukkan bahwa secara gradual (bertahap) kegiatan industri modern telah mulai berkembang pada masa lalu, dan telah sanggup menggantikan beberapa industri rumah tangga maupun menghasilkan barang-barang yang pada mulanya diimpor. Strategi itu juga telah mengabaikan kenyataan sejarah yang menunjukkan bahwa hasil-hasil industri modern telah mengakibatkan kenaikan pengeluaran masyarakat sehingga mengurangi tabungan mereka serta mendorong mereka untuk bekerja lebih giat. Menurut Hirschman, hambatan-hambatan terhadap pembangunan terutama industrialisasi tidaklah serius seperti yang sering
60 dikemukakan orang, termasuk orang yang mencetuskan pandangan tentang perlunya pembangunan seimbang. Hirschman juga mengatakan ketidak-yakinannya apakah negara berkembang sanggup melaksanakan program pembangunan seimbang tanpa adanya bantuan dari luar, karena pelaksanaan pembangunan tersebut memerlukan tenaga-tenaga ahli dalam jumlah besar, yang notabene sangat terbatas jumlahnya di negara berkembang.
Selain itu, Hirschman juga menyatakan bahwa pembangunan
seimbang dapat menciptakan efisiensi dan keuntungan yang lebih tinggi kepada masing-masing industri tetapi juga dapat menimbulkan eksternalitas disekonomis. Misalnya, pembangunan seimbang akan mengajarkan cara-cara bekerja pada masyarakat. Kerugiannya adalah keahlian tradisional tidak berguna lagi, corak kegiatan perdagangan yang lama hancur, dan pengangguran tercipta. Kalau keadaan demikian terjadi maka akan menimbulkan berbagai jenis |biaya sosial (social cost) bagi masyarakat. 3.
Strategi Pembangunan Tak Seimbang Pembangunan tak seimbang merupakan keadaan yang berlawanan dengan
keadaan pada pembangunan seimbang. Istilah ini digunakan untuk menyatakan bahwa program pembangunan disusun sedemikian rupa sehingga dalam perekonomian tersebut akan timbul kelebihan dan kekurangan dalam berbagai sektor
sehingga
menimbulkan
distorsi-distorsi
ketidakstabilan
dalam
perekonomian. Strategi pembangunan tak seimbang dikemukakan oleh Albert Hirschman dan Paul Streeten. Pembangunan tak seimbang adalah pola pembangunan yang lebih cocok untuk mempercepat proses pembangunan di negara berkembang. Strategi pertumbuhan tak seimbang dikemukakan
berdasarkan pertimbangan sebagai
berikut :
Secara historis pembangunan ekonomi yang terjadi coraknya tidak seimbang.
Untuk memnpertinggi efisiensi penggunaan sumber daya yang tersedia.
Pembangunan tak seimbang akan menimbulkan kemacetan (bottlenecks) atau gangguan-gangguan dalam proses pembangunan tetapi akan menjadi pendorong bagi pembangunan selanjutnya.
61 Menurut Hirschman, jika kita mengamati proses pembangunan yang terjadi antara dua periode waktu tertentu akan tampak bahwa berbagai sektor kegiatan ekonomi mengalami perkembangan dengan laju yang berbeda, yang berarti bahwa pembangunan berjalan tidak seimbang. Perkembangan sektor pemimpin (leading sector)
akan
merangsang
perkembangan
sektor
lainnya.
Begitu
pula
perkembangan di suatu industri tertentu akan merangsang perkembangan industriindustri lain yang erat keterkaitannya dengan industri yang mengalami perkembangan tersebut. 2.9. Penelitian Terdahulu Tentang Pedagang Kaki Lima (PKL) 1.
Stigma Negatif PKL Permasalahan PKL pada setiap kota di seluruh Indonesia adalah persoalan
klasik. Kebanyakan Pemda memandang PKL sebagai negative problem. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan yang dikeluarkan yang pada umumnya berisikan penertiban, bukan pemberdayaan. Kompas tanggal 13 Februari 2003 menuliskan hal sebagai berikut : “Belakangan ini, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya kembali melakukan berbagai operasi penertiban terhadap pedagang kaki lima (PKL) yang hingga kini masih memadati sudut-sudut Kota Surabaya. Ruas-ruas jalan protokol yang telah dinyatakan steril dari PKL, ternyata tidak bisa seratus persen bebas PKL….. ... Di mata Pemkot Surabaya, khususnya aparat penegak hukum mungkin benar bahwa keberadaan sektor informal acapkali dinilai selalu melanggar hukum dan menjadikan kota tampak kumuh...” Tindakan Pemda melakukan penertiban ini disebabkan pandangan aparat Pemda yang menganggap bahwa PKL sebagai penyebab timbulnya kemacetan sebagaimana tertuang dalam penelitian Ester (2003) yang mengungkapkan : ”...Salah satu wujud dari sektor informal adalah kegiatan Pedangang Kaki Lima, kegiatan ini timbul karena tidak terpenuhinya kebutuhan pelayanan oleh kegiatan formal yang mana kegiatan mereka sering menimbulkan gangguan terhadap lingkungannya dan sering dipojokkan sebagai penyebab timbulnya kemacetan lalu lintas di kawasan Pusat Kota Sidoarjo, yang mana Pedagang Kaki Lima menggunakan lahan-lahan umum (public land)...” Cara pandang yang sama juga dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung, hal ini dijelaskan oleh Suharto (2003) sebagai berikut : ”...di Kota Bandung misalnya, Pemerintah Kota terus melakukan operasi “penertiban” di tujuh wilayah terpadat (dikembangkan dari lima wilayah
62 sejak tahun 2001), yaitu Jalan Sudirman, Asia Afrika, Dalem Kaum, Kepatihan, Dewi Sartika, Otista, dan kompleks Plaza Bandung Indah. Pemerintah Kota meyakini bahwa wilayah tersebut harus bebas gangguan dari pedagang kaki lima, khususnya bila ada acara-acara kenegaraan (misalnya pertemuan internasional, peringatan konferensi Asia Afrika, kunjungan pejabat pemerintah pusat) ke kota tersebut.” Penolakan terhadap keberadaan pedagang kaki lima dan umumnya sektor informal terjadi di semua kota di Indonesia. Sebagai dampak utama urbanisasi, PKL diakui sebagai fenomena struktural yang akan terus ada (Aswindi, 2002). Sepanjang pengamatan Aswindi (2002), belum ada satu pun kota di Indonesia yang berhasil menghapuskan keberadaan PKL. Kutipan-kutipan di atas seakan menegaskan bahwa PKL menjadi sumber ketidaktertiban,
kemacetan,
dan
ketidakaturan
sebuah
kota.
Namun,
Tempointeraktif.com (2005) melaporkan PKL di Jakarta Barat melalui Asosiasi Pedagang Kaki Lima bisa mengatur diri. Hal ini bisa dilihat di Pasar Taman Surya di Jakarta Barat. 2.
PKL sebagai Alternatif Pekerjaan dan Sumber PAD Fundamen
ekonomi
Indonesia
yang
rapuh
pada
tahun
1997-an
mengakibatkan krisis ekonomi yang merontokkan terutama sektor properti dan perbankan. Kedua sektor ini yang paling banyak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). PKL sebagai salah satu wujud sektor informal, tidak hanya mendatangkan keruwetan, namun juga mendatangkan manfaat yang banyak. Studi Profil Pekerja di Sektor Informal dan Arah Kebijakan Ke Depan yang dilakukan Bappenas menunjukan bahwa sebesar 65.40 % (Sakernas BPS 1998) dan kemudian meningkat menjadi 69.63 % (Sakernas BPS 2002). Hal ini menunjukan bahwa terjadi perpindahan lapangan usaha dari sektor formal ke sektor informal. Satu contoh terkait dengan ungkapan di atas, ditulis oleh Korompis (2005) yang menyatakan bahwa para pengangguran melakukan kompensasi positif dengan memilih bekerja di sektor informal, bahkan yang paling diminati adalah menjadi PKL. Selanjutnya, Korompis (2005) mengungkapkan bahwa PKL mempunyai potensi untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja, terutama bagi tenaga
63 kerja yang kurang memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai untuk bekerja di sektor formal karena rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki. Studi Bappenas menjelaskan bahwa terdapat empat keunggulan sektor informal. 1. Daya Tahan. Selama krisis ekonomi, terbukti sektor informal tidak hanya
dapat bertahan, bahkan berkembang pesat. Hal ini disebabkan faktor permintaan (pasar output) dan faktor penawaran. Dari sisi permintaan, akibat krisis ekonomi, pendapatan riil rata-rata masyarakat turun drastis dan terjadi pergeseran permintaan masyarakat, dari barang-barang sektor formal atau impor (yang harganya relatif mahal) ke barang-barang sederhana buatan sektor informal (yang harganya relatif murah). Dari sisi penawaran, akibat banyak PHK di sektor formal selama masa krisis, ditambah dengan sulitnya angkatan kerja baru mendapat pekerjaan di sektor formal, maka suplai tenaga kerja dan pengusaha ke sektor informal meningkat. Temuan Purwanugraha et al. (2000) memperkuat pernyataan bahwa pekerjaan sebagai PKL merupakan salah satu pekerjaan yang relatif tidak terpengaruh krisis ekonomi. 2. Padat Karya. Dibanding sektor formal, khususnya usaha skala besar, sektor
informal yang pada umumnya adalah usaha skala kecil bersifat padat karya. Jumlah tenaga kerja di Indonesia yang sangat banyak menyebabkan upah relatif lebih murah jika dibandingkan di negara-negara lain dengan jumlah penduduk yang kurang dari Indonesia. 3. Keahlian Khusus (Tradisional). Bila dilihat dari jenis-jenis produk yang
dibuat di industri kecil (IK) dan industri rumah tangga (IRT) di Indonesia, dapat dikatakan bahwa produk-produk yang mereka buat umumnya sederhana dan tidak terlalu membutuhkan pendidikan formal, tetapi membutuhkan keahlian khusus (traditional skills). Keahlian khusus tersebut biasanya dimiliki pekerja atau pengusaha secara turun-temurun, dari generasi ke generasi. 4. Permodalan. Kebanyakan pengusaha di sektor informal menggantungkan diri
pada uang (tabungan) sendiri, atau dana pinjaman dari sumber-sumber informal (di luar sektor perbankan/keuangan) untuk kebutuhan modal kerja dan investasi mereka.
64 Manfaat lain dari keberadaan PKL dinyatakan oleh Korompis (2005) adalah : ” Pedagang kaki lima merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi yang luas kepada masyarakat, dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional pada umumnya dan stabilitas ekonomi pada khususnya. Bahkan pedagang kaki lima, secara nyata mampu memberikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berpenghasilan rendah, sehingga dengan demikian tercipta suatu kondisi pemerataan hasilhasil pembangunan. Selain itu, kelompok pedagang kaki lima mempunyai potensi yang cukup besar untuk memberikan kontribusi terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di sektor penerimaan retribusi daerah seiring dengan kebutuhan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah”. Jadi, secara lokal PKL mempunyai peranan ekonomi terhadap masayarakat dalam hal pemerataan dan peningkatan pendapatan sekaligus sebagai potensi penerimaan retribusi daerah untuk pemerintah daerah. Korompis (2005) menemukan bahwa rata-rata penerimaan PAD Pemerintah Kota Manado dari sisi retribusi pasar, restribusi kebersihan dan lainnya yang dibayarkan oleh PKL setiap bulan sebesar Rp 77.708,-/PKL. Angka ini hanya berkisar 51.51 % dari target yang ditetapkan dan diprediksikan setiap bulan, di mana Pemerintah Kota Manado akan dapat menyerap dana retribusi dari seluruh PKL di Kota Manado rata-rata sebesar Rp 175 juta per bulan dengan asumsi Rp 5.000,- per PKL per hari. Laporan Regulation Impact Analysis mengenai PKL di Palembang yang dilakukan oleh Laboratorium Hukum Universitas Sriwijaya (2004), berisi daftar penerima manfaat dari kebijakan penataan PKL melalui peraturan daerah. Daftar penerima manfaat ini disajikan pada Tabel 7.
65 Tabel 7. Penerima Manfaat dalam Pengaturan PKL melalui Peraturan Daerah
Manfaat
Penerima
Kepastian hukum tempat/lokasi berdagang Kesejahteraan meningkat Pasar tertib dan rapi Lalu lintas lancar Keamanan kondusif Pasar mudah dijangkau Saling menghargai meningkat Biaya penertiban turun Biaya sosial PP, PKL rendah Areal parkir cukup Kewibawaan pemerintah kota baik Pendapatan pemerintah naik
Pedagang pasar (PP), PKL PKL dan pedagang pasar (PP) Pemerintah, PKL, PP, masyarakat PP, PKL, pemerintah, masyarakat PP, PKL, pemerintah, masyarakat Konsumen PP, PKL, pemerintah Pemerintah PP, PKL, konsumen Konsumen dan pemerintah Pemerintah, PP, PKL, masyarakat Pemerintah
Sumber : Laboratorium Hukum Universitas Sriwijaya (2004)
Indikator-indikator manfaat dari peraturan daerah mengenai pengaturan PKL di Palembang ditunjukkan pada Tabel 8. Tabel 8. Indikator Manfaat Pengaturan PKL melalui Peraturan Daerah Manfaat Kepastian lokasi/tempat berdagang Kesejahteraan PP-PKL meningkat Pasar rapi dan bersih Lalu lintas lancar Keamanan kondusif Pasar mudah dijangkau Saling menghargai antara PP, PKL, aparatur meningkat Biaya penertiban turun Biaya sosial PP, PKL rendah Areal parkir cukup Pendapatan pemerintah naik
Penerima PP tidak mengeluhkan PKL, PKL merasa aman berjualan Pendapatan per tahun meningkat Tertata baik Tidak macet Keluhan keamanan makin berkurang Waktu tempuh menjadi singkat dan tidak melelahkan Sedikit mungkin terjadinya perselisihan dan pelanggaran Alokasi anggaran diperkecil Tidak ada pungutan liar, tidak ada denda pelanggaran Kendaraan konsumen banyak di tempat parkir PAD meningkat
Sumber : Laboratorium Hukum Universitas Sriwijaya (2004)
Dalam laporan ini diketahui bahwa ada perbedaan manfaat dan biaya sebagai konsekuensi dan dampak dari regulasi PKL oleh Pemda Palembang. Sebagaimana terlihat pada tabel 9 dan tabel 10 berikut :
66 Tabel 9. Manfaat dan Biaya Pengaturan PKL melalui Regulasi (Peraturan Daerah) Kelompok Manfaat Pemerintah Kepastian hukum Kota penataan PKL Kota Tertib Wibawa pemerintah PKL Keabsahan lokasi/ tempat berdagang Perlindungan Hukum Ketenangan berjualan Prospek Pembeli/ Akses ke pasar konsumen Keamanan Sopir Ruas jalur angkot angkot Kelancaran lalu lintas
B/S/K Biaya B Biaya penertiban
B/S/K S
B B B
Pengadaan lokasi Moral Hazard Tempat baru
B K S
B B B B S B B
Pungutan liar Sanksi
K K
Biaya sosial
K
BBM
S
Keterangan : B (Baik), S (Sedang), K (Kurang) Sumber : Laboratorium Hukum Universitas Sriwijaya (2004)
Tabel 10 : Manfaat dan Biaya Mengelola PKL tanpa Regulasi Kelompok Manfaat B/S/K Biaya Pemerintah Kepastian hukum penataan K Biaya penertiban Kota PKL Ketertiban K Pengadaan lokasi Wibawa pemerintah K Moral Hazard PKL Keabsahan lokasi/ tempat K Tempat baru berdagang Perlindungan Hukum K Pungutan liar Ketenangan berjualan K Sanksi Prospek S Pembeli/ Akses ke pasar K Biaya sosial konsumen Keamanan K Sopir angkot Ruas jalan angkot K BBM Kelancaran lalu lintas K
B/S/K B K B K B B B B
Keterangan : B (Baik), S (Sedang), K (Kurang) Sumber : Laboratorium Hukum Universitas Sriwijaya (2004)
Penelitian Suharto (2003) menunjukan bahwa rata-rata manfaat berupa penghasilan PKL di Bandung mampu melebihi upah minimum regional untuk DKI Jakarta. Dengan demikian PKL Kota Bandung memiliki kontribusi yang cukup besar dalam memberikan lapangan pekerjaan layak.
Sementara itu,
penelitian PKL yang dilakukan oleh Bambang Wahyu (2003) di Kota Bogor menunjukan karakteristik dan sebaran PKL. Namun belum membahas pada aspek manfaat keberadaan PKL.
67 2.10. Novelty (Kebaruan) Penelitian-penelitian terhadap PKL tidak terlepas dari penelitian sektor informal baik di negara maju maupun berkembang. Untuk mengetahui kebaruan dari penelitian ini, seperti disajikan dalam tabel 11 berikut adalah ringkaian dari beberapa kajian literatur sektor informal selama 10 tahun terakhir baik dari sumber nasional maupun internasional.. Penelitian ini menawarkan kebaruan dalam beberapa aspek khususnya sampling dan teknik sampling dan metode penelitian yang digunakan. Pertama, dari sisi sampling, penelitian ini menggunakan tiga tipologi sebagai pewakil PKL di kota Bogor.
Penelitian-penelitian di Indonesia seperti Budi
(2006) untuk PKL di Pemalang, Suharto (2003) di Bandung,
Laboratorium
Hukum Universitas Sriwijaya (2004) untuk PKL di Palembang, Korompis (2005) untuk PKL di Bogor, Tohar (2007) di Kota Medan, Rahmawati (2008) di Bogor, menggunakan teknik sampling berdasarkan persentase jumlah seluruh PKL yang ada. Penggunaan tipologi ini adalah hal baru dari sisi penelitian PKL. Kedua, Penelitian mengenai persepsi terhadap PKL umumnya didasarkan pada persepsi masyarakat dan pemerintah lokal (misalnya Tohar, 2003; Budi, 2006; Disperidagkop, 2010).
Penelitian ini memiliki kebaruan karena
memasukkan persepsi toko pesaing (sektor formal yang bergerak dalam penjualan barang atau jasa yang sama) dan persepsi pemasok (sektor formal dan informal yang memasok barang dagangan ke PKL). Persepsi toko pesaing dan pemasok perlu dikaji untuk dapat secara lebih luas menangkap persepsi terhadap PKL. Ketiga, dari sisi metodologi, penggunaan teknik A’WOT adalah hal baru untuk bidang kajian PKL karena menawarkan pembobotan pada faktor-faktor yang mempengaruhi strategi dalam penataan dan pemberdayaan PKL. Kajian terhadap literatur di atas menunjukkan bahwa teknik ini belum digunakan dalam kajian PKL. Kajian PKL di kota Bogor yang dilakukan oleh Rahmawati (2008) lebih membahas pada aspek efektivitas penataan PKL sedangkan PT Oxalis Subur dan Disperindagkop kota Bogor (2010) menggunakan teknik SWOT tanpa pembobotan. Kempat, kebaruan berikutnya dalam penelitian tentang PKL ini sampai pada tahap formulasi seperangkat strategi yang perlu dilakukan secara sinergis dan
68 komprehensif. Seperangkat strategi ini diharapkan dapat diimplementasikan oleh Pemerintah Daerah. Pada penelitian penelitian terdahulu belum ditemukan hasil penelitian berupa seperangkat strategi yang sinergis, melainkan strategi yang dihasilkan masih bersifat parsial. Kelima,
dalam
penyusunan
formulasi
strategi
dan
usulan
relokasi
mempertimbangkan teori teori lokasi. Teori teori lokasi ini penting untuk dipertimbangkan mengingat PKL memiliki kepentingan atas kelangsungan usahanya, dimana kerumunan orang merupakan potensi untuk dapat berjualan. Sementara disisi lain Pemerintah Daerah memiliki keterbatasan ruang dan infrastruktur lainnya, dan Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri.
69 Tabel 11. Kajian Literatur Sektor Informal Selama 10 Tahun Terakhir Tahun
Penulis/peneliti
Judul
Jurnal
2002
Friedrich Schneider
Size And Measurement Of The Informal Economy In 110countries Around The World
Paper, disajikan pada Workshop of Australian National Tax Centre, ANU, Canberra, Australia, Juli 17, 2002
2002
Santosh Mehrotra And Mario Biggeri
Social Protection in the Informal Economy: Home Based Women Workers and Outsourced Manufacturing in Asia
UNICEF Innocenti Research Centre and Department of Economics, University of Florence
Sampling dan teknik sampling, metode Model currency demand dan discrepancy method
Survey di 5 negara Asian – dua negara berpendapatan rendah (India, Pakistan) dan tiga negara berpendapatan menengah (Indonesia, Thailand, Philippines). Metode kuantitatif Menggunakan survey ad hoc rumah tangga, dengan kuisioner dari UNICEF. Studi kasus dengan focus group
Kesimpulan Tidak ada metode terbaik dalam mengukur ekonomi informal; setiap pendekatan memiliki kelemahan dan kelebihan. Ukuran ekonomi informal di sebagian besar negara transisi dan OECD cenderung meningkat selama dekade terakhir. Ekonomi Informal adalah fenomena komplek, terdapat baik di negara maju dan berkembang. Orang menjalankan ekonomi informal dengan beragam alasan, yang terpenting adalah tindakan pemerintah, terutama pajak dan regulasi. Perlindungan sosial diperlukan bagi pekerja wanita Pekerja industri rumah tangga bekerja dalam kodisi eksploitatif dimana mereka mendapatkan bagian yang kecil dari total harga yang dibayarkan konsumen akan produknya Feminisasi pekerjaan berimplikasi penting untk dimensi gender dalam siklus pengembangan sdm dalam rumah tangga. Rendahnya level pendidikan dan masalah kesehatan dari pekerja
70 Tahun
2002
Penulis/peneliti
Edi Suharto
Judul
Human Development And The Urban Informal Sector In Bandung, Indonesia: The Poverty Issue
Jurnal
New Zealand Journal of Asian Studies 4, 2 (Desember, 2002): 115-133.
Sampling dan teknik sampling, metode discussions (FGD) dan survey kuantitatif dengan kuisioner. Desain survey adalah purposif (ad hoc) Menggunakan analisis Value chain Micro-level surveys “multistage cluster sampling technique” (150 orang).
Kesimpulan memerlukan intervensi publik.
Mayoritas (80 persen) PKL masih dikategorikan miskin dan rentan. Profil pedagang kakilima di Bandung berbentuk hexagonal, berbeda dengan bentuk pyramid dari studi keterkaitan antara sektor informal dan kemiskinan di negara berkembang khususnya Amerika Latin Dengan referensi indikator manusia dan modal sosial, PKL dapat dikategorikan tidak ‘miskin’karena memiliki pendidikan dasar yang mencukupi dan akses terhadap jasa kesehatan dan fasilitas perumahan, meski propensitas dalam aktivitas sosial rendah. Indikator pembangunan manusia dan sosial dari pedagang kakilima nampak lebih baik dibandingkan angka nasional.
71 Tahun
Penulis/peneliti
Judul
Jurnal
Sampling dan teknik sampling, metode Review 6 studi kasus di 6 negara Afrika. Menggunakan data primer dan sekunder.
Kesimpulan PKL penting sebagai sumber pendapatan dan lapangan kerja PKl memberikan peluang yang dapat meminimalkan dampak sosial PKL bekerja dalam lingkunga yang keras tanpa infrastruktur dan layanan dasar. Mereka menghadapi masalah pasar dan investasi. Meski mereka membayar retribusi ke pemda, pemda tidak dapat memberikan layanan yang mencukupi. Komunikasi yang lemah antara PKL dan otoritas urban. Asosiasi PKL lemah dan membutuhkan fasilitasi dalam berorganisasi. PKL tidak memiliki akses terhadap pembiayaan formal, dan sebagian besar tergatung pada tabungan sendiri, pembiayaan dari teman dan kerabat.
2003
Winnie V. Mitullah
Street Vending In African Cities: A Synthesis Of Empirical Findings From Kenya, Cote D’ivoire, Ghana, Zimbabwe, Uganda And South Africa
Background Paper for the 2005 World Development Report, 16 Agustus 2003
2003
Ali Tohar
Profil Dan Strategi Pengembangan Sektor Informal Di Kota Medan
Thesis. Program Pascasarjana, Universitas Sumetera Utara
Analisis deskriptif dan regresi berganda
Modal investasi, pengalaman berdagang, jam kerja, modal kerja per bulan dan jam kerja berpengaruh pada pendapatan PKL di kota Medan
2005
Tim Slack
Work, Welfare, and the Informal Economy : An Examination of Family Livelihood Strategies in
Manuscript disiapkan untuk presentasi pada Northeastern U.S. Rural Poverty Conference
in-depth interview, survey dengan telepon, sampel random, multiple
Struktur umur rumah tangga penting dalam memahami partisipasinya dalam ekonomi informal
72 Tahun
Penulis/peneliti
Judul
Jurnal
Rural Pennsylvania
Mei 3-4, 2005 State College, PA
Sampling dan teknik sampling, metode regression analysis
Kesimpulan Jejaring dan norma sosial timbal balik penting dalam memfasilitasi ekonomi informal Pendekatan survey sesuai dalam studi ekonomi informal
2006
Tri widodo
Peran sektor informal terhadap perekonomian daerah : pendekatan delphiIO dan aplikasi
Jurnal ekonomi dan bisnis indonesia vol 21, no.3, 2006, 254-267
Pendekatan survey dan non survey; Analisis IO
Sektor informal berkontribusi positif pada pembangunan DIY melalui peningkatan output, penyediaan lapangan kerja, pendapatan masyarakat Kontribusi positif sektor informal punya batas tertentu dan jika sudah melebihi batasnya maka akan menurun kontribusinya
2006
Ari Sulistyo Budi
Kajian Lokasi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Preferensi Pkl Serta Persepsi Masyarakat Sekitar Di Kota Pemalang
Thesis. Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro, Semarang
Penelitian deskriptif sedangkan analisis yang digunakan adalah analisis distribusi frekuensi, tabulasi silang dan deskriptif kualitatif.
PKL merupakan salah satu alternatif mata pencaharian bagi warga kota Pemalang yang tidak dapat memasuki sektor formal karena mempunyai ciri-ciri mudah dimasuki, tidak membutuhkan pendidikan tinggi, tidak membutuhkan modal yang besar, namun dapat menghasilkan pendapatan yang kadang melebihi sektor formal. PKL cenderung mengelompok dengan sejenisnya. Kegiatan PKL sebagai salah satu sektor informal belum terantisipasi dalam perencanaan tata ruang kota sehingga sarana dan prasarana yang ada biasanya
73 Tahun
Penulis/peneliti
Judul
Jurnal
Sampling dan teknik sampling, metode
Kesimpulan kurang mendukung kegiatan PKL
2007
Sertac Gonec and Harun Tanrivermis
Factor that affecting informal economy of rural turkey
Journal of Applied Sciences, 7(21) :3138-3153, 2007, Asian Network for scientific information
Data primer dari survey 394 rumah tangga dengan simple random sampling Korelasi Pearson dan Analisis regresi berganda
Ukuran usaha, jumlah tenaga kerja keluarga dan akses pasar ditemukan sebagai faktor penting Transformasi struktur informal menjadi formal dapat dilakukan dengan memfasilitasi integrasi usaha dengan pasar
2008
Ishola Rufus Akintoye
Reducing Unemployment Through the Informal Sector: A Case Study of Nigeria
European Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences ISSN 1450-2275 Issue 11 (2008)
Data sekunder ketenagakerjaan
Sektor informal sebagai media dalam menurunkan pengangguran di Nigeria Pemerintah dan semua stakeholder yang relevan harus berusaha menurunkan pengangguran memberikan dukungan keberadaan sektor informal
2008
Aloysius Gunadi Brata
Vulnerability Of Urban Informal Sector: Street Vendors In Yogyakarta, Indonesia
Paper prepared for the International Conference on Social, Development and Environmental Studies: Global Change and Transforming Spaces, November 18-19th , 2008, School of Social, Development and Environmental Studies, Faculty of Social Sciences and Humanities, University Kebangsaan Malaysia
Survei lapang, index kerentanan dengan sampel 122 PKL.
Tingkat kerentanan PKL di Yogyakarta adalah sedang
74 Tahun
Penulis/peneliti
Judul
Jurnal
2009
Rudra Suwal dan Bishnu Pant
Measuring Informal Sector Economic Activities in Nepal
Paper Prepared for the Special IARIW-SAIM Conference on “Measuring the Informal Economy in Developing Countries” Kathmandu, Nepal, September 23-26, 2009
2009
Kevin Greenidge, Carlos Holder And Stuart Mayers
Estimating The Size Of The Informal Economy In Barbados
Business, Finance & Economics In Emerging Economies Vol. 4 No. 1 2009
Sampling dan teknik sampling, metode Membandingkan data sektor informal dari hasil dua survey : sensus ekonomi vs survey khusus
unrestricted error correction model dan general-to-specific (GETs) modelling
Kesimpulan Di negara berkembang seperti Nepal sektor informal berkontribusi penting pada ekonomi nasional. Perlu melakukan survei teratur untuk menangkap aktivitas ekonomi sektor informal Sektor informal cukup besar dan tumbuh sepertiga dari besaran ekonomi formal Tingginya derajad informalitas antara sektor formal dan informal Kehilangan signifikan penerimaan pajak langsung akibat sektor informal namun diimbangi dengan lebih tingginya penerimaan pajak tidak langsung (PPN) and kesejahteraan sosial Tidak disarankan menghilangkan sektor informal, tetapi perlahanlahan memformalkannya Signifikansi sektor informal berimplikasi pada kebijakan moneter dan fiskal. Pengaruh spillover antar sektor informal dan formal harus dipertimbangkan dalam desain kebijakan.
75 Tahun 2009
2009
Penulis/peneliti Suparwoko Nitisudarmo
Rob Davies dan James Thurlow
Judul The role of the informal sector in contributing to the urban landscape in Yogyakarta – Indonesia concerning on the urban heat island issue
Formal–Informal Economy Linkages and Unemployment in South Africa
Jurnal Proceedings Real Corp 2009 Tagungsband 22-25 April 2009, Sitges. http://www.corp.at
IFPRI Discussion Paper 00943, International Food Policy Research Institute December 2009
Sampling dan teknik sampling, metode Survey langsung
Model CGA multiregion yang dikalibrasi secara empiris.
Kesimpulan Pedagang Informal dapat menarik wisatawan lokal dan internasional. Penempatan PKL di pedestrian tidak sesuai dengan konsep “place for people” Perlu kerjasama antar stakeholder termasuk Pemkot, LSM, universitas, komunitas PKL dan pemimpin lokal. PKL yang beroperasi di ruang publik tidak mendukung dan memotivasi pembangunan landskap urban yang berimbang dalam hal elemen alami lingkungan urban. Keberadaan PKL sejalan dengan teori simulasi perubahan tata guna lahan akibat migrasi dengan alasan ekonomi Liberalisasi perdagangan menurunkan lapangan kerja nasional. Pada saat yang sama meningkatkan lapangan kerja formal, merugikan produsen informal, dan menguntungkan pedagang informal, yang diuntungkan dari lebih murahnya impor. Subsidi upah bagi pekerja formal berketrampilan rendah mendoroh lapangan kerja nasional tetapi merugikan produsen informal
76 Tahun
Penulis/peneliti
Judul
Jurnal
Sampling dan teknik sampling, metode
Kesimpulan dengan memperberta kompetisi pada pasar produk domestik. Transfer cash tidak kondisional mendorong permintaan produk informal, pada gilirannya meningkatkan lapangan kerja informal tanpa merugikan produsen formal. Arti penting pembedaan antara sektor formal dan informal pada kebijakan sosio-ekonomi.
2009
Andrew Henley, G,Reza Arabsheibani Dan Francisco G. Carneiro
On Defining and Measuring the Informal Sector: Evidence from Brazil
World Development Vol. 37, No. 5, pp. 992–1003, 2009
Data survei rumah tangga Brazil periode 1992–2004. Analisis Regresi
Pengukuran yang tepat sangat penting dalam analisis kebijakan dan desai strategi yang tepat untuk menurunkan informalitas. Informalitas dapat diukur melalui status kontrak kerja, perlindungan jaminan sosial dan sifat pekrjaan dan karateristik pekerjanya. Pengambil kebijakan harus jelas mengenai sub-group dalam sektor informal untuk mendesain kebijakan. Desai kebijakan untuk mendorong dinamisme kewirausahaan dalam ekonomi perlu mempertimbangkan konsekuensi yang tidak diinginkan yang dapat memperburuk proteksi sosial atau legal bagi sub-groups pekerja informal. Di sisi lain kebijakan untuk mendorong proteksi sosial dan
77 Tahun
Penulis/peneliti
Judul
Jurnal
Sampling dan teknik sampling, metode
Kesimpulan legal dapat berdampak buruk terhadap aktivitas kewirausahaan.
2009
Simon Commander, Natalia Isachenkova, dan Yulia Rodionova3
A model of the informal economy with an application to Ukraine
Earlier drafts of the paper were presented at an IZAEBRD Conference on Labour Market Dynamics, Role of Institutions and Internal Labour Markets, held at the University of Bologna, May 5-8 2005, and at a LIRT-HSE’s seminar in the spring of 2009.
Panel dataset dari Ukraine Longitudinal Monitoring Surveys (ULMS) tahun 2003 and 2004 menggunakan mixed multinomial logit model
Perusahaan Privat memilih apakah menjadi formal – dan membayar pajak – atau tetap informal, subyek pelanggaran pajak Perlunya peningkatan efisiensi tenaga kerja di negara-negara transisi
2010
Henky Japina
Analisis Determinan Pendapatan Sektor Informal Di Kecamatan Rantau Utara Kabupaten Labuhan batu
Thesis, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, Ps Ekonomi Pembangunan
model regresi linier berganda dengan alat Metode nonprobability sampling metode Ordinary Least Squares (OLS).
modal kerja, jumlah tenaga kerja dan alokasi waktu usaha secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap pendapatan sektor informal Lama berusaha secara individu tidak berpengaruh signifikan terhadap pendapatan sektor informal di Kecamatan Rantau Utara Kabupaten Labuhanbatu.
2010
Florencia G, Casanova-Dorotan, Phoebe Cabanilla, Maria Corazon Tan and Maria Antonette Montemayor
Informal Economy Budget Analysis in Philippines and Quezon City
Inclusive Cities Research Report No. 6. Women in Informal Employment: Globalizing and Organizing (WIEGO) under the Inclusive Cities Project March 2010
Data sekunder dan FGD.
Budget nasional dan lokal di Philippina akan dapat merubah kehidupan pekerja ekonomi informal yang miskin, khususnya pekerja home industri, PKL dan pemulung di Quezon City, hanya jika pengeluaran publik dapat memberikan mata pencaharian
78 Tahun
Penulis/peneliti
Judul
Jurnal
Sampling dan teknik sampling, metode
Kesimpulan yang layak dan perlindungan sosial, jika mereka diberdayakan secara politis, jika hak asasinya dilindungi, dan jika mendapatkan kualitas hidup lebih baik.
2010
Mohammad Akharuzzaman dan Atsushi Deguchi
Public Management for Street Vendor Problems in Dhaka City, Bangladesh
Proc. of International Conference on Environmental Aspects of Bangladesh (ICEAB10), Japan, Sept. 2010
Survey lapang
PKL menjalankan usahanya secara temporer tanpa sistem manajemen berkelanjutan dengan keterbatasan keterlibatan pemerintah di Dhaka City. Dengan rendahnya rasa tanggung jawab, PKL menghadirkan masalah sampah dan kemacetan di pusat urban. Tetapi banyak warga urban tergantung pada PKL baik sebagai pekerjaan atau untuk berbelanja. PKL adalah sektor perdagangan urban penting di Dhaka City. Namun dengan situasi informal, pemkot sering melakukan penggusuran dan kekerasan Pemkot perlu membangun sistem manajemen untuk PKL agar dapat berusaha dengan tanggung jawab dan pemkot dapat mengumpulkan pajak Sistem management ini sebaiknya dijalankan oleh pemkot, PKL dan masyarakat sebagai kerja masyarakat.
79 Tahun
Penulis/peneliti
Judul
Jurnal
Sampling dan teknik sampling, metode Studi kasus menggunakan data sekunder dan rekapitulasi riset primer yang dilakukan sebelumnya.
Kesimpulan Riset PKL menunjukkan kisaran yang lebar dalam pengalaman, kemampuan menyediakan nilai tambah pada barang dan jasa dan motif bisnis. Mayoritas PKL memiliki ambisi level UMR minimum dan lemah dalam konsep marketing atau nilai tambah produk PKL menyediakan lapangan kerja. Harga PKL lebih murah
2010
John Walsh
The Street Vendors of Bangkok: Alternatives to Indoor Retailers at a Time of Economic Crisis
American Journal of Economics and Business Administration 2 (2): 185188, 2010 ISSN 1945-5488
2011
Krishna Prasad Timalsina
An Urban Informal Economy: Livelihood Opportunity to Poor or Challenges for Urban Governance
Global Journal of Human Social Science, Volume 11 Issue 2 Version 1.0 March 2011, Publisher: Global Journals Inc. (USA)
Data sekunder dan primer Kuisioner open-ended, interview, observasi (partisipatif dan nonpartisipatif) Sampel 30 PKL dengan snowball sampling.
Aktivitas PKL didominasi oleh migran dari pedesaan, dengan pendidikan dan skill rendah. PKL menciptakan peluang dan kesempatan kerja PKL menyediakan barang dengan harga lebih murah Sulit dalam mengontrol dan mengelola PKL Solusi : penyediaan lokasi khusus.
2011
Abdullah Takim
Effectıveness of the Informal Economy in Turkey
European Journal of Social Sciences – Volume 19, Number 2 (2011)
Studi literatur
Menghapuskan kendala finansial sebagai salah satu alasan dasar keberadaan sektor informal akan membantu dalam mengontrol ekonomi informal. Meningkatkan kesadaran sosial dalam mengekang sektor informal. Kurangnya kesadaran sosial
80 Tahun
Penulis/peneliti
Judul
Jurnal
Sampling dan teknik sampling, metode
Kesimpulan terkait dengan ketidakmampuan pemerintah untuk mengamati secara transparan situasi di masa lalu. Perjuangan untuk mengontrol ekonomi informal terlebih dulu dilakukan dengan membangun kebijakan jika volume ekonomi informal ingin diturunkan sampai pada level minimum yang dapat diterima. Kebijakan jangka pendek bukanlah penyelesaian permanen untuk ekonomi informal. Kontrol yang efektif berperan penting dalam menyelesaikan masalah ekonomi informal.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran Dalam Rencana Strategis Kota Bogor tahun 1999-2009 seperti yang tercantum dalam Perda No. 1 Tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah, fungsi Kota Bogor adalah : (1) Sebagai kota perdagangan, (2) Sebagai kota industri, (3). Sebagai kota permukiman, (4) Wisata ilmiah, dan (5) Kota pendidikan. Fungsi ini menentukan arah perkembangan kota Bogor dalam jangka pendek, menengah, dan panjang.
Fungsi pertama sampai ketiga memiliki
konsekuensi pembangunan kota Bogor yang mengakomodasi perdagangan, industri, dan pemukiman yang dicirikan dengan pesatnya pertumbuhan ketiga sektor ini, dengan tumbuh suburnya outlet-outlet perdagangan di sepanjang Jalan Pajajaran, pembangunan ruko-ruko baru di Loji, dan pembangunan pusat-pusat perbelanjaan. Dalam konteks pembangunan kota Bogor, kinerja pembangunan ekonomi kota ini didukung oleh dua sektor yaitu sektor formal dan sektor informal. Terdapat koneksi yang erat antara sektor informal dan formal, baik pada level ekonomi lokal, nasional maupun global melalui jejaring sub kontrak dan rantai komoditas (Brown, 2005). Namun demikian kedua sektor ini memiliki karakteristik berbeda sehingga perlakuan kebijakan terhadap kedua sektor inipun berbeda. Sektor informal perkotaan dicerminkan oleh Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai wajah utamanya. Scheneider (2002) menyatakan bahwa ekonomi informal adalah fenomena komplek, terdapat baik di negara maju maupun berkembang. Ekonomi informal sendiri mengalami pertumbuhan yang sangat cepat di negaranegara berkembang. Umumnya diyakini bahwa pertumbuhan sektor ini dipicu oleh meningkatnya pengangguran di negara-negara berkembang. Pertumbuhan sektor informal (PKL) di perkotaan memiliki dua sisi koin yang berbeda. Pada sisi koin positif, PKL mampu menjadi katup penyelamat ekonomi melalui kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja dan bila dikelola dapat
82 memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan asli daerah. Pada sisi koin lainnya keberadaannya berada di ruang publik seperti badan-badan jalan dan trotoar dan tidak menyisakan cukup ruang bagi pejalan kaki. Kondisi ini menjadi perhatian publik karena menciptakan masalah kemacetan dan menghambat pergerakan orang di pedestrian, dan menciptakan lingkungan kotor dan kurang sehat. PKL yang menempati ruang dan jalan publik juga dapat menciptakan masalah sosial seperti hadirnya pencopet, pencuri, dan sebagainya. Situasi ini menciptakan masalah dalam pengelolaan, pembangunan dan merusak morfologi kota. Kedua sisi ini seharusnya dapat dikelola oleh pemerintah kota sehingga PKL dapat diakomodasi dan tidak bertentangan dengan konsep ruang urban sebagai place for people bagi seluruh warga kota. Dengan demikian diperlukan kajian PKL secara komprehensif untuk dapat merumuskan strategi penataan dan pemberdayaan yang tepat bagi keberadaan PKL. Studi komprehensif terhadap PKL di kota Bogor sebaiknya mencakup aspekaspek : (1) karakteristik pelaku PKL (demografis, usaha, pekerja dan kompensasi, keuangan,
permasalahan dan prospek), (2) Persepsi terhadap PKL (persepsi
Pemkot, toko pesaing, pemasok, dan masyarakat), (3) Kontribusi PKL terhadap ekonomi wilayah (faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL), dan (4) Analisis kebijakan yang sudah ada dan implementasinya (Perda PKL, regulasi PKL, dan Keputusan Walikota tentang PKL). Untuk dapat menangkap aspek-aspek di atas, diperlukan alat analisis yang tepat. Karakteristik PKL dan persepsi dapat dianalisis secara deskriptif menggunakan persentase dan rata-rata. Kontribusi PKL terhadap ekonomi wilayah dapat dianalisis menggunakan analisis regresi dan deskriptif, sedangkan analisis kebijakan dapat dilakukan secara deskriptif.
Dengan alat-alat analisis ini
diharapkan didapatkan gambaran yang komprehensif terhadap PKL di kota Bogor. Hasil analisis di atas dapat dijadikan masukan dalam penyusunan strategi penataan dan pemberdayaan PKL di kota Bogor. Namun demikian, penyusunan strategi juga seyogyanya memperhatikan faktor internal dan eksternal yang berkembang di lingkungan pemerintah kota Bogor.
Analisis SWOT dapat
menangkap kedua faktor ini dan merumuskan strategi melalui matrik SWOT. Strategi yang dihasilkan dalam analisis SWOT standar bersifat subyektif karena
83 ditentukan oleh peneliti.. Dalam penelitian ini, pembobotan faktor-faktor analisis SWOT menggunakan teknik perbandingan berpasangan yang diakomodasi dari metode Analytical Hierarchy Process (AHP) berdasarkan opini berbagai pihak (wakil pemerintah kota, wakil dinas terkait, ahli dan pemerhati sektor informal dan akademisi). Kombinasi kedua metode ini sering disebut sebagai A’WOT dan dapat menurunkan aspek subyektivitas dalam penetapan strategi. Melaui metode ini diharapkan dapat dihasilkan strategi penataan dan pemberdayaan PKL yang pada gilirannya menghasilkan pembangunan perkotaan yang humanistik. Berdasarkan uraian di atas, kerangka pemikiran penelitian disusun sebagaimana pada Gambar 11. 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kota Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposif sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian. Pertimbangannya adalah Bogor bersama-sama Tangerang, Bekasi, dan DKI Jakarta adalah bagian dari kawasan metropolitan Jakarta, konsentrasi urban terbesar di Indonesia. Ekonomi informal di Bogor tumbuh pesat selama beberapa tahun terakhir, khususnya karena kegagalan ekonomi formal dalam menyerap pengangguran dan yang belum bekerja (termasuk meningkatnya angkatan kerja baru). Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juni 2009 sampai bulan Juli 2011. Kegiatan yang dilakukan meliputi persiapan penelitian, pengumpulan data dan informasi, pengolahan data dan analisis data, serta penulisan dan konsultasi.
84 Visi dan Misi Kota Bogor
Sektor Formal
Sektor Informal (PKL)
Pembangunan Kota Bogor
Sisi Positif
Sisi Negatif Studi Komprehensif PKL
Karakteristik
Kontribusi terhadap ekonomi
- Demografis - Usaha - Pekerja dan kompensasi - Keuangan - Permasalahan dan prospek
- Faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL - Kontribusi pendapatan terhadap pendidikan, kesehatan, lapangan kerja
Analisis deskriptif (persentase)
Analisis regresi berganda dan deskriptif
Faktor Eksternal e
Persepsi terhadap PKL - Persepsi Pemkot - Persepsi pesaing - Persepsi pemasok - Persepsi masyarakat
Analisis deskriptif (persentase)
Analisis AHP-SWOT Strategi Penataan dan Pemberdayaan PKL
Pembangunan kota yang humanistik Gambar 11 : Kerangka Pemikiran Konseptual
Analisis Kebijakan - Perda PKL - Regulasi - Keputusan Walikota
Analisis deskriptif
Faktor internal
85 3. 3. Jenis dan Sumber Data Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan penelitian survei, yaitu penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data utama. Menurut Durianto et al (2001), penelitian survei adalah metode penelitian deskriptif yaitu metode penelitian untuk membuat gambaran suatu kejadian. Metode survei dilakukan bila data yang dicari sebenarnya sudah ada di lapangan atau obyek penelitiannya telah jelas. Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif, yaitu: a.
Data Primer. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan mengenai kondisi riil PKL dan hasil pengisian kuesioner dari responden penelitian. Data primer yang digunakan berupa pemberian kuesioner kepada subyek penelitian dengan wawancara secara intensif dan mendalam (in-depth interview).
b.
Data Sekunder. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait yaitu Kantor Pemerintah
Kota Bogor, Dinas Pasar, Dinas Tata Ruang, Dinas
Kependudukan, Dinas Perdagangan dan Perindustrian, dan pihak-pihak lain yang relevan dengan penelitian. Data sekunder yang digunakan berupa Kota Bogor dalam Angka, Statistik Ekonomi Keuangan Daerah Jawa Barat, dan data penunjang lainnya. Data/informasi yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dengan beberapa cara di bawah ini : a.
Observasi, yaitu pengamatan kondisi lapangan secara langsung.
b.
Studi literatur, yaitu mendalami berbagai informasi penting seperti literatur dan teori yang berkaitan budaya kerja, organisasi, manajemen sumberdaya manusia, dan hasil-hasil penelitian terdahulu.
c.
Wawancara dan pengisian kuesioner, yaitu pengumpulan fakta dan data dengan cara melakukan wawancara dan pengisian kuesioner secara intensif dan mendalam, terstruktur dan sistematis. Data yang diperoleh selanjutnya dipergunakan untuk keperluan analisis
(data primer) dan sebagai rujukan atau penunjang (data sekunder). Sumber data, aspek penelitian dan kegunaannya disajikan dalam Tabel 12.
86 Tabel 12. Sumber Data, Aspek Penelitian dan Pokok (Analisis) Jenis data dan Informasi
Aspek Penelitian
Karakteristik responden
Karakteristik usaha
Primer
Pekerja dan kompensasi
Keuangan dan lainlain
Permasalahan dan prospek
Persepsi masyarakat, pesaing dan pemasok
Primer dan sekunder
Regresi linier dan berganda AHP-SWOT
Pokok (Analisis) Jenis kelamin, Umur, Status perkawinan, Pendidikan, Asal, Suku bangsa, Status dalam keluarga, Jumlah tanggungan Pendidikan tertinggi anggota keluarga Status kesehatan keluarga, Penerima BLT Usaha sebelum menjadi PKL Motivasi menjadi PKL Waktu dan Lama usaha Alasan pemilihan lokasi Pengelompokan usaha Jenis barang dagangan Jenis sarana usaha Luas lokasi dan status kebersihan Registrasi formal Jumlah tenaga kerja Jam kerja usaha Lama usaha dalam seminggu Karakteristik tenaga kerja Tunjangan bagi tenaga kerja Jumlah modal awal, modal kerja harian Pendapatan (omzet) harian Jenis pembukuan Sumber modal dan lama pengembalian Pembayaran tempat usaha Fluktuasi usaha Pengeluaran Penghasilan bersih dan konsumsi Kesulitan yang dihadapi PKL Bantuan yang diharapkan PKL Pemahaman terhadap kebijakan Bentuk penataan yang diharapkan Pembayaran yang diharapkan Persepsi ganguan usaha dan bentuk gangguan Persepsi penurunan omzet Persepsi manfaat Persepsi keberadaan PKL terhadap kepentingan umum Persepsi pengaturan PKL dan kebutuhan pengaturan Persepsi penggusuran Persepsi mekanisme penggusuran Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL Pengaruh pendapatan terhadap tingkat pendidikan tertinggi, kesehatan dan konsumsi keluarga setiap tipologi PKL Identifikasi faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi PKL di kota Bogor
Sosial-ekonomi
Tingkat pendidikan, ekonomi, potensi ekonomi, sumbangan sektor informal terhadap PAD di lokasi penelitian
Sistem kebijakan
Peraturan perundang-undangan Rencana tata ruang wilayah Renstra Kota Bogor
Sekunder
87 3.4. Metode Pengambilan Sampel Populasi penelitian terdiri dari pelaku PKL, konsumen, masyarakat umum, toko pesaing, supplier (sektor formal) di kota Bogor. Untuk pelaku PKL, tipologi PKL yang dipilih adalah : 1.
Pasar malam (pedagang sayuran) yang berlokasi di sekitar Jl. Suryakancana dan Jl. Merdeka.
2.
Pasar kuliner (pedagang makanan) yang berlokasi di Jl. Pajajaran, Pasar Anyar, dan Jembatan Merah.
3.
Pasar tumpah (pedagang macam-macam kebutuhan) yang berlokasi di sekitar Pasar Bogor, Jl. Pedati, sekitar Pasar Anyar, Jl. Dewi Sartika, Jl. Nyi Raja Permas, Jl. Sawo Jajar, dan Jl. Pabrik Gas. Populasi pelaku PKL di kota Bogor menurut catatan Dinas Perindustrian,
Perdagangan dan Koperasi Kota Bogor tahun 2005 adalah 6 239 PKL. Mengingat bahwa data terbaru mengenai jumlah PKL, baik secara keseluruhan maupun per lokasi belum tersedia, maka matode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling terhadap masing-masing tipologi PKL terpilih
dengan
mempertimbangkan berbagai karakteristik yang hampir sama sehingga mewakili PKL dan responden yang ada. Pertanyaan atau wawancara dilakukan kepada berbagai pihak seperti terlihat pada Tabel 13. Tabel 13. Responden Penelitian No.
Populasi
1. 2. 3. 4. 5.
Pelaku PKL Konsumen Masyarakat umum (non pengguna) Toko pesaing Supplier (sektor formal) Jumlah
Pasar malam 40 10 5 3 2 60
Tipologi (orang) Pasar Pasar kuliner tumpah 40 40 10 10 5 5 3 3 2 2 60 60
Jumlah 120 30 15 9 6 180
Untuk responden pakar, penarikan sampel dilakukan terhadap pihak pemerintah kota Bogor (wakil dari Bappeda, Satpol PP, Disperindagkop, Dispenda, Dinas Pasar), praktisi sektor informal, dan ahli sektor informal. Data dari responden ini akan digunakan dalam merumuskan kebijakan untuk analisis AHP SWOT. Pemilihan responden dalam AHP dilakukan berdasarkan teknik
88 purposive sampling dengan pertimbangan bahwa responden adalah pelaku, baik individu atau lembaga yang dianggap mengerti permasalahan yang terjadi dan mempunyai kemampuan dalam pembuatan kebijakan atau memberi masukan kepada para pengambil kebijakan yaitu pemerintah, non pemerintah, perguruan tinggi, dan masyarakat. Rincian responen pakar dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Responden Penelitian untuk Analisis AHP SWOT No.
Responden
Jumlah (orang)
1.
Pemda • Bappeda • Satpol PP • Disperindagkop • Dispenda • Dinas Pasar Praktisi sektor informal Ahli sektor informal (universitas) LSM Jumlah
10 2 2 2 2 2 2 2 2 16
2. 3. 4.
3. 5. Metode Analisis Data Data yang diperoleh berupa data kualitatif, selanjutnya ditranskripsikan secara tertulis. Setelah proses transkripsi selesai maka data tersebut dianalisis. 3.5.1. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif dilakukan untuk melihat latar belakang tumbuhnya PKL, faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL, peranan PKL dalam pembangunan kota Bogor, persepsi dari pihak-pihak yang secara langsung dan tidak langsung terlibat dengan PKL, kebijakan yang ada atau sudah dilakukan dalam penanganan PKL, meliputi dasar kebijakan, model kebijakan, dan proses
sebelum kebijakan
tersebut diimplemetasikan atau dilaksanakan serta hasilnya. 3.5.2. Analisis Persentase Karakteristik demografis, ekonomis, potensi dan prospek PKL dianalisis dengan menggunakan metode persentase dan rata-rata. digunakan adalah sebagai berikut :
Rumus umum yang
89
3.5.3. Analisis Regresi Model regresi yang digunakan dalam menganalisis penelitian ini adalah model regresi linier berganda, karena melibatkan peubah dummy (Juanda 2009). Analisis regresi dilakukan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL dan peranan pendapatan tersebut terhadap kesejahteraan PKL. Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL, model regresi yang digunakan sebagai berikut: Yi = β0 + β1 X1i + β2 X2i + β 3 X3i + β4 X4i + β5 X5i+ β6 X6+ β7 X7i + β8 X8i +
β9 X9i + β10 X10i + β11D1i + β12D2i+ β13D3i + β14D4i + β15D5i + ei Dimana: Yi X 1i X 2i X 3i X 4i X 5i X 6i X 7i X 8i X 9i X 10i D 1i D 2i
= = = = = = = = = = = = =
D 3i D 4i D 5i
= = =
ei
=
Pendapatan PKL ke-i (Rp/bulan) Omzet PKL ke-i (Rp/ bulan) Jam kerja PKL ke-i (jam/hari) Modal awal/investasi PKL ke-i (Rp) Jumlah lapak/tempat usaha PKL ke-i Modal kerja PKL ke-i (Rp/hari) Retribusi/pungutan resmi PKL ke-i (Rp/hari) Pungutan tidak resmi PKL ke-i (Rp/hari) Upah tenaga kerja PKL ke-i (Rp/hari) Biaya-biaya internal PKL ke-i (Rp/hari) Lama usaha pada jenis usaha yang bersangkutan PKL ke-i (tahun) Jenis usaha PKL ke-i (pasar sayur malam, pasar kuliner, pasar tumpah) Nilai lokasi (strategis, tidak strategis), diindikasikan dengan adatidaknya kerumunan orang atau dekat-tidaknya dengan pasar Jenis kelamin (laki-laki, perempuan) Asal pedagang (Bogor, luar Bogor) Kebersihan (bersih, kotor), mempengaruhi keinginan konsumen untuk membeli error standard. ke- i
Pendapatan PKL secara tidak langsung berpengaruh pada pembangunan wilayah kota Bogor melalui peningkatan kesejahteraan keluarga PKL. Dalam hal ini pendapatan PKL akan secara langsung mempengaruhi kesejahteraan PKL yang tercermin dari pendidikan tertinggi yang dicapai anggota keluarga PKL, kesehatan, dan konsumsi. Untuk menganalisis peran PKL terhadap perekonomian wilayah, model regresi yang digunakan sebagai berikut:
90 Z i = β 0 + β 1 Y i, Dimana: Zi = Kesejahteraan PKL (pendidikan, kesehatan dan konsumsi responden ke i) Y i = Pendapatan PKL ke i Variabel-variabel yang digunakan dalam kedua model tersebut adalah sebagai berikut : 1. Variabel-variabel
dalam
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi pendapatan PKL : Pendapatan PKL (Y i )
Adalah pendapatan yang diterima pelaku usaha PKL
ke-i
yang
merupakan
selisih
antara
penerimaan yang diperoleh dengan biaya untuk menghasilkan barang atau jasa usaha tersebut. Pendapatan dinyatakan dalam rupiah per bulan yang dihitung dengan cara mengalikan pendapataan harian kali 30 hari kerja dalam satu bulan. Omzet (X 1i )
Adalah rata-rata hasil penjualan barang atau jasa PKL ke-i yang dinyatakan dalam rupiah per bulan, dihitung dengan cara mengalikan omzet penjualan harian kali 30 hari kerja dalam satu bulan.
Jam kerja (X 2i )
Adalah banyaknya jam kerja PKL ke-i
yang
digunakan untuk melakukan usaha, dinyatakan dalam jam per hari. Modal awal/investasi (X 3i )
adalah uang dan atau nilai barang dan peralatan yang digunakan PKL ke-i untuk memulai usaha yang dinyatakan dalam rupiah.
Jumlah lapak/tempat usaha (X 4i )
Adalah jumlah tempat berusaha dalam satu lokasi yang digunakan untuk melakukan usaha PKL ke-i, dinyatakan dalam satuan unit dengan tidak melihat luasnya.
Modal kerja (X 5i )
Adalah rata-rata jumlah uang dan atau nilai barang yang disediakan PKL ke-i untuk memulai usaha, dinyatakan dalam rupiah per hari.
91 Retribusi/pungutan resmi (X 6i )
Adalah pungutan-pungutan resmi yang dilakukan oleh dinas-dinas terkait kepada PKL ke-i karena berusaha di lokasi tersebut dan jumlah nilainya masuk dalam kas daerah, dinyatakan dalam rupiah per hari.
Pungutan tidak resmi (X 7i )
adalah pungutan-pungutan yang dilakukan oleh oknum-oknum (preman, jasa keamanan, dan lainlain) kepada PKL ke-i karena berusaha sebagai PKL di lokasi tersebut, dinyatakan dalam rupiah per hari.
Upah tenaga kerja (X 8i )
Adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan
untuk
upah tenaga kerja yang membantu PKL ke-i dalam usaha, yang besarnya dinyatakan dalam rupiah per hari. Biaya-biaya internal (X 9i )
Adalah biaya-biaya yang harus dikeluarkan PKL ke-i, terkait dengan aktivitas usahanya seperti biaya transportasi, makan, penyewaan peralatan, listrik dan sebagainya, dinyatakan dalam rupiah per hari.
Lama usaha (X 10i )
Adalah lamanya berusaha (pengalaman usaha) pada jenis usaha yang bersangkutan dari PKL ke-i, dinyatakan dalm satuan tahun.
Jenis usaha (D 1i )
Adalah barang dagangan yang dijual oleh pelaku PKL ke-i, dinyatakan dengan skor sebagai berikut: 3 = Usaha kuliner. 2 = Pasar sayur malam 1 = Pasar tumpah menjual barang dan jasa macammacam (heterogen).
Nilai lokasi (D 2i )
Adalah nilai tempat berusaha PKL ke-i
yang
dibedakan menjadi strategis dan tidak strategis dengan kreteria ada-tidaknya kerumunan orang atau dekat-tidaknya dengan pasar atau lokasi keramaian seperti mall, terminal, dan sebagainya:
92 1 = Lokasi strategis 0 = Lokasi kurang strategis Adalah jenis kelamin pelaku PKL ke-i:
Jenis kelamin (D 3i )
1 = Laki-laki 0 = Perempuan Adalah daerah atau kota asal PKL ke-i:
Asal pedagang (D 4i )
1 = Luar Bogor 0 = Bogor Adalah kondisi kebersihan tempat uaha PKL ke-i:
Kebersihan (D 5i )
1 = Bersih 0 = Kotor
2. Variabel-variabel
dalam
menganalisis
peranan
PKL
terhadap
pembangunan kota Bogor : Kesejahteraan PKL (Z i `)
Adalah ukuran-ukuran yang mengidentifikasikan pada peningkatan kesejahteraan, minimal pada
tingkat
pendidikan, kesehatan, dan konsumsi keluarga. Pendapataan PKL (Y i )
Adalah pendapatan PKL ke-i.
Untuk melihat nyata-tidaknya peranan keragaman peubah penjelas terhadap keragaman peubah endogen dilakukan pengujian hipotesis secara statistik. Hipotesis ini dirumuskan sebagai berikut: H 0 : β 1 = β 2 = ….. = β k = 0 H 1 : Minimal ada satu nilai β j yang tidak sama dengan nol: j = 1, 2, 3 …, k Pengujian peranan keragaman peubah penjelas secara bersama-sama terhadap keragaman peubah endogen dilakukan dengan statistik uji-F, yaitu:
Jumlah kuadrat tengah regresi / k FHitung = Jumlah kuadrat tengah sisa / (n – k – 1 )
93 Bila: F hitung > Fα (k, n-k-1) ………………………… Tolak H 0 F hitung ≤ Fα (k, n-k-1) ………………………… Terima H 0 Dimana: K = Jumlah peubah penjelas n = Jumlah contoh ά =Taraf nyata 3.5.4. Analisis AHP SWOT Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities dan Threats) menjadi salah satu alat analisis paling populer dalam perencanaan strategik. Analisis ini muncul pada tahun 1960-an (Learned et al. 1965), dan dipopulerkan oleh Weihrich (1982). Alat ini digunakan untuk analisis situasi internal dan eksternal, yang selanjutnya mendukung perumusan strategi yang dapat menyelesaikan situasi tersebut. Analisis SWOT adalah alat analisis yang banyak diaplikasikan dalam analisis lingkungan internal dan eksternal untuk mendapatkan pendekatan sistematis bagi suatu situasi keputusan strategik.
Faktor internal dan eksternal yang sangat
penting bagi masa depan usaha disebut sebagai faktor strategik. Dalam SWOT faktor-faktor ini (disebut sebagai faktor-faktor SWOT) dikelompokkan menjadi empat kategori yang disebut sebagai grup SWOT yaitu : kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats). Tujuan utama penggunaan SWOT dalam proses perencanaan strategikadalah membangun dan mengadopsi strategi yang dihasilkan dari kecocokan antara faktor-faktor internal dan eksternal. SWOT juga dapat digunakan jika alternatif strategi tibatiba muncul dan konteks keputusan yang relevan dengan aternatif tersebut sudah dianalisis (Kangas et al. 2001). Jika digunakan dengan benar, analisis SWOT dapat menjadi dasar yang baik untuk merumuskan strategi. Analisis SWOT juga dapat digunakan lebih efisien dibandingkan penggunaan lazimnya (McDonald, 1993). Ketika menggunakan SWOT, analisnya lemah dalam hal
kemungkinan
penilaian komprehensif terhadap situasi pembuatan keputusan strategis karena pada level ini hanya menunjuk pada faktor tertentu. Eskpresi setiap faktor seringkali sangat umum dan ringkas (Hill and Westbrook, 1997). Lebih lanjut,
94 SWOT juga tidak memiliki cara analitik dalam menetapkan arti penting faktor atau menilai alternatif keputusan terkait dengan faktor tersebut. Jika digunakan secara individual, SWOT adalah analisis kualitatif yang dibuat dalam proses perencanaan berdasarkan kemampuan dan keahlian orang yang terlibat dalam proses tersebut. Hasil analisis SWOT seringkali hanya merupakan daftar atau uji kualitatif yang tidak lengkap terhadap faktor-faktor internal dan eksternal. Inilah mengapa SWOT seringkali disebut sebagai So WOT (Kangas et al. 2001) Ide dalam mengkombinasikan AHP (Saaty, 1977, 1980) dalam kerangka kerja SWOT adalah agar dapat secara sistematis mengevaluasi faktor-faktor SWOT dan membuatnya dapat terukur terkait dengan intensitasnya (Kurttila et al. 2000). Kualitas AHP dipandang dapat menjadi karakteristik yang berguna dalam analisis SWOT. Nilai tambah dari analisis SWOT diperoleh dengan melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) antara faktor-faktor SWOT dan selanjutnya menganalisisnya menggunakan teknik nilai eigen (eigen value) seperti yang diaplikasikan dalam AHP. SWOT dapat menjadi kerangka dasar untuk melakukan analisis situasi keputusan dan AHP akan membuat SWOT lebih analitik. Metode hibrid ini sering disebut sebagai A'WOT (Kangas et al. 2001). Setelah melakukan perbandingan informasi kuantitatif yang berguna, dapat diperoleh situasi pembuatan keputusan. Berdasarkan perbandingan faktor-faktor SWOT dan grupnya maka dapat dianalisis apakah suatu kelemahan tertentu lebih membutuhkan perhatian dibandingkan kelemahan lainnya atau apakah ancaman terhadap perusahaan di masa datang lebih besar dibandingkan peluangnya (Kurttila et al. 2000). Di sisi lain, A'WOT membuat alternatif pilihan dapat dievaluasi untuk masing-masing faktor SWOT dan setiap grup SWOT (Pesonen et al. 2000). Jika arti penting dari berbagai grup SWOT sudah ditetapkan, alternatif pilihan dapat diprioritaskan terkait dengan situasi pilihan strategik secara keseluruhan. Dalam konteks penelitian ini, untuk merumuskan strategi pemberdayaan khususnya bagi PKL di kota Bogor dilakukan menggunakan kombinasi SWOT dan AHP. Matrik SWOT digunakan untuk memformulasikan berbagai alternatif pilihan strategi dalam pengelolaan PKL di Bogor.
95 Metode hibrid A’WOT dilakukan menggunakan tahapan-tahapan seperti yang dikemukakan oleh Kangas et al. (2001) dimana terdapat 5 tahapan dalam mengkombinasikan kedua metode tersebut. Tahapan-tahapan ini dijelaskan sebagai berikut: (i) Melakukan Analisis SWOT Analisis SWOT dapat dipahami sebagai pengkajian kekuatan dan kelemahan internal suatu organisasi serta peluang dan ancaman lingkungan eksternal. Alat umum digunakan dalam tahap awal pembuatan kebijakan perencanaan strategik untuk beragam jenis aplikasi. Jika diaplikasikan dengan benar, keputusan strategi yang baik dapat diperoleh. Secara skematis analisis SWOT disajikan pada Gambar 12. KELEMAHAN
PELUANG ANCAMAN
KEKUATAN
ANALISIS SWOT Gambar 12. Analisis SWOT Sumber : Flouris dan Yilmaz (2010)
Proses awal yang harus dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT adalah pengambilan data yaitu evaluasi faktor internal dan eksternal. Dalam penelitian ini, pengambilan data internal dan eksternal pengelolan PKL di kota Bogor dilakukan dengan wawancara dan pengisian kuesioner dari responden pakar dan stakeholder. Dalam hal ini peneliti mendaftar faktor internal kunci (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal kunci (peluang dan ancaman) yang disebutkan atau diidentifikasikan dari responden (Marimin, 2004) ke dalam matrik internal dan eksternal. (ii) Melakukan Perbandingan Berpasangan Antar Faktor-faktor SWOT yang Dilakukan Secara Terpisah dalam Setiap Grup SWOT Data yang didapatkan dimasukkan dalam matrik internal dan eksternal untuk dilakukan pembobotan. Matrik internal dan eksternal berisi daftar faktor internal
96 dan eksternal kunci yang didapatkan pada tahap pengumpulan data.
Contoh
matrik internal dan eksternal disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Matrik Internal dan Eksternal Faktor Rating
Skor
Faktor Internal (kekuatan – kelemahan) 1. Kekuatan (Strengths) S1 S2 S3 S4 …. Total 2. Kelemahan (Weaknesses) W1 W2 W3 W4 …. Total Faktor Eksternal (peluang – ancaman) 3. Peluang (Opportunities) O1 O2 O3 O4 …. Total 4. Ancaman (Threats) T1 T2 T3 T4 …. Total Sumber : Marimin (2004)
Dari daftar faktor internal dan eksternal tersebut dilakukan pembobotan faktorfaktor kunci. Tujuannya adalah mensistematiskan masalah dan menyelesaikannya pada berbagai level dan beragam aspek. Skala yang digunakan adalah skala Likert 1, 2, ..., 9 untuk menunjukkan perbandingan dari semua bobot sehingga membentuk suatu matrik. Skala perbandingan berpasangan yang dikembangkan oleh Saaty (1993) disajikan pada Tabel 16.
97
Tabel 16. Skala Perbandingan Berpasangan Nilai Kepentingan 1
3
5
7
9
2,4,6,8
Kebalikan
Definisi
Penjelasan
Kedua elemen sama pentingnya Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lainnya Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen yang lainnya Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen yang lainnya
Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan Pengalaman dan penilaian sedikit menyokong satu elemen dibanding elemen lainnya Pengalaman dan penilaian dengan kuat menyokong satu elemen dibanding elemen lainnya Satu elemen yang kuat disokong dan dominan terlihat dalam kenyataan Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi menguatkan Nilai ini diberikan bila ada dua komponen di antara dua pilihan
Nilai-nilai di antara dan pertimbangan yang berdekatan Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktifitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibanding dengan i
Sumber : Saaty (1993)
Data yang didapatkan dari masing-masing responden ahli disebut sebagai Matrik Pendapat Individu (MPI). Contoh formulasi matrik pendapat individu disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Matrik Pendapat Individu (MPI) G C1 C2 …. Cn
C1 a 11
C2 a 12 a 22
……. …… …… a ....
Keterangan : G = Faktor internal atau eksternal; C = Faktor ke-n Sumber : Diadopsi dari Chang, Huang (2005)
Cn a 1n a 2n ….. A nn
98 Dalam hal ini C 1 , C 2 , …, Cn adalah set elemen faktor kunci dalam SWOT dan G adalah grup SWOT.
Kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi
berpasangan membentuk matrik n x n. Nilai a ij
merupakan nilai matrik
pendapat hasil komparasi yang mencerminkan nilai kepentingan C i terhadap C j. Mengingat bahwa terdapat beberapa responden dengan respon penilaian yang berbeda, maka matrik pendapat individu ini perlu digabungkan sehingga akan dihasilkan apa yang disebut sebagai Matrik Pendapat Gabungan (MPG). MPG merupakan matrik baru yang elemen-elemennya (
) berasal dari rata-rata
geometrik elemen matrik pendapat individu yang nilai rasio
konsistensinya
(CR) memenuhi syarat. Matrik ini selanjutnya digunakan untuk mengukur tingkat konsistensi serta vektor prioritas dari elemen-elemen hirarki yang mewakili semua responden. MPG ini didapatkan dengan menggunakan formulasi sebagai berikut :
Dimana
= MPG baris ke-i kolom ke-j dan m adalah jumlah MPI (atau a ij
adalah matrik pendapat individu). Jika
menggunakan
AHP
untuk
menentukan
bobot
kriteria
dalam
perbandingan berpasangan maka harus membentuk matrik perbandingan berpasangan (A). Dalam struktur hirarki ini, faktor untuk setiap level ditandai sebagai A 1 , A 2 , ..., An. Berdasarkan indek dari level di atas, bobot faktor w 1 ,w 2 , ..., w n ditentukan. Arti penting relatif a i dan a j ditunjukkan sebagai a ij . Matrik perbandingan berpasangan dari faktor A1 , A 2 , ..., A n adalah A = [a ij ] sedangkan elemen-elemennya ditunjukkan dalam formula :
Dalam martik ini, berpandingan berpasangan dari elemen a ij = 1/a ij dan dengan demikian jika i = j, a ij = 1. Nilai w i bervariasi antara 1 sampai 9 (Tabel skala penilian).
99
Setelah dilakukan berbandingan berpasangan pada MPG,
pengolahan
berikutnya adalah mencari vektor antara (VA) dan vektor prioritas (VP). Vektor priotitas inilah yang disebut sebagai bobot. Contoh formulasi matrik pendapat gabungan, VA, dan VE disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Perbandingan berpasangan pada (MPG), VA, dan VP (bobot) G C1 C2 ……. Cn a 11 a 12 …… a 1n C1 a 21 A 22 …… a 2n C2 …… …… a .... ….. …. a n1 An2 …… A nn Cn
Matrik
Pendapat
Gabungan
VA VP (bobot) VAC 1 VPC 1 VAC 2 VPC 2 …. …. VACn VPCn Jumlah VA tot Rumus yang digunakan dalam menghitung VA dan VP adalah sebagai
berikut :
Dan
Saaty (1993) menyatakan bahwa nilai eigen maksimum (λ max) dapat dihitung menggunakan formulasi sebagai berikut :
Jika
A adalah matrik yang konsisten, eigen vector w dapat dihitung
menggunakan rumus : (A − λ max I)w = 0 dimana λ max adalah eigen value maksimum dari matrik A, w adalah vektor bobot, dan I adalah matrik identitas.
100 Untuk menentukan indek konsistensi suatu matrik, dilakukan uji konsistensi. Konsistensi
logis
menunjukan
intensitas
relasi antara pendapat
yang
didasarkan pada suatu kriteria tertentu dan saling membenarkan secara logis. Tingkat konsistensi menunjukkan suatu pendapat mempunyai nilai yang sesuai dengan pengelompokan elemen pada hirarki. Tingkat konsistensi juga menunjukan tingkat akurasi suatu pendapat terhadap elemen-elemen pada suatu tingkat hirarki. Untuk mengetahui indeks konsistensi (CI) digunakan formulasi sebagai berikut :
Dimana: λmax = Nilai eigen value dan n = jumlah yang dibandingkan Untuk
mengetahui
konsistensi
secara
menyeluruh
dari
berbagai
pertimbangan dapat diukur dari nilai Ratio Konsistensi (CR). Nilai CR adalah perbandingan antara CI dengan Random Index (RI), dimana nilai RI telah ditentukan seperti terlihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Nilai Random Index (RI) n
RI
n
RI
n
RI
n
RI
n
RI
1
0.00
2
0.00
3
0.52
4
0.89
5
1.11
6
1.25
7
1.35
8
1.40
9
1.45
10
1.49
Sumber : Saaty dan Vargas (1994)
Pengolahan yang terkait dengan perbandingan berpasangan ini dilakukan menggunakan software expert choice ver 9.0 atau menggunakan MS Excell. Dalam penelitian ini, program MS Excell dipilih karena kesederhanaannya dan penggunaan metode AHP tidak melibatkan penggunaan level hirarki. (iii) Penyusunan Alternatif Strategi Menggunakan Matrik SWOT Setelah didapatkan bobot yang konsisten dari setiap faktor kunci, baik untuk faktor internal dan eksternal, langkah berikutnya adalah menyusun alternatif strategi berdasarkan kesesuaian terbaik dari faktor-faktor tersebut. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities) suatu kegiatan umum secara bersamaan
101 dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Matrik analisis SWOT disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Matrik Analisis SWOT Faktor Internal Strenghts (Kekuatan) S1 S2 S3 S4 … Faktor Eksternal Sn Opportunity (Peluang) O1 O2 Strategi S – 0 O3 O4 … On Threats (Ancaman) T1 T2 Strategi S – T T3 T4 … Tn
Weaknesses (Kelemahan) W1 W2 W3 W4 … Wn
Strategi W - P
Strategi W - T
Sumber : Pearce and Robinson, 1997
Dalam matrik ini dihasilkan empat alternatif strategi (SO, ST, WO, WT). Hasil pembobotan dari setiap faktor SWOT menggunakan metode perbandingan berpasangan di atas dimasukkan ke dalam tabel pembobotan seperti yang disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Pembobotan Tiap Unsur SWOT Kekuatan Bobot Peluang Bobot Kelemahan S1 P1 W1 S2 P2 W2 S3 P3 W3 S.. P.. W.. Sn Pn Wn
Bobot Ancaman Bobot T1 T2 T3 T.. Tn
102 Alternatif strategi pada matriks hasil analisis SWOT dihasilkan dari penggunaan unsur-unsur kekuatan untuk mendapatkan peluang yang ada (SO), penggunaan kekuatan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang (ST), pengurangan kelemahan yang ada dengan memanfaatkan peluang yang ada (WO) dari pengurangan kelemahan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang (WT). Penjumlahan dari bobot faktor SWOT dilakukan terhadap keterkaitan faktor-faktor SWOT, seperti disajikan pada Tabel 22. Tabel 22. Ranking Alternatif Strategi Faktor SWOT Strategi SO SO 1 SO 2 SO… SO n Strategi ST ST 1 ST 2 ST… ST n Strategi WO WO 1 WO 2 WO… WO n Strategi WT WT 1 WT 2 WT… WT n
Keterkaitan
Bobot
Prioritas
S 1 , S 2 ,..,S n, O 1 ,O 2 ,..,O n
Penggunan teknik AHP masih menjadi perdebatan teoritis. Perbandingan berpasangan adalah yang paling banyak diperdebatkan. Fenomena ini masih belum dapat diselesaikan dan mungkin tidak pernah terselesaikan karena agregasi preferensi yang ditransformasikan dari skala dengan unit berbeda tidak mudah diinterpretasikan dan cukup dapat dipertanyakan (Roy, 1996). Asumsi independensi kriteria (tidak ada korelasi) juga menjadi kelemahan AHP (dan metode pengambilan keputusan kriteria majemuk lainnya). Analytic Network Process (ANP), yang merupakan generalisasi AHP dengan umpan balik untuk menyesuaikan bobot, bisa jadi menjadi penyelesaian (Saaty and Takizawa, 1986).
103 3.6. Definisi Operasional Untuk menyamakan persepsi maka perlu dikemukakan definisi operasional dari beberapa istilah yang dipergunakaan dalam penelitian ini, antara lain : •
Konsumen adalah bagian masyarakat yang pernah, suka, ataupun sering berbelanja pada PKL.
•
Masyarakat non pengguna adalah bagian masyarakat yang tidak pernah berbelanja pada PKL.
•
Masyarakat umum adalah masyarakat secara keseluruhan, baik konsumen ataupun masyarakat non pengguna.
•
Pasar kuliner adalah para PKL yang berjualan bermacam-macam makanan dan menempati lokasi secara bersama-sama di tempat tertentu dan biasanya berjualan mulai sore hari sampai menjelang pagi hari.
•
Pasar sayur malam adalah para PKL yang berjualan sayur-mayur serta bermacam-macam keperluan dapur atau keperluan untuk masak-memasak dan menempati lokasi secara bersama-sama di tempat tertentu dan biasanya berjualan mulai malam hari sampai pagi hari.
•
Pasar tumpah adalah para PKL yang berjualan bermacam-macam barang dan jasa atau peralatan-peralatan kecil kebutuhan rumah tangga sehari-hari dan kebutuhan-kebutuhandan lain, yang menempati lokasi secara bersama-sama, di tempat tertentu sekitar pasar tradisional resmi yang diremajakan dan biasanya kebanyakan mereka berasal dari pedagang pasar lama yang tergusur karena tidak mampu membeli kios-kios di pasar yang baru atau sebab lain, dan biasanya berjualan mulai pagi hari sampai sore hari.
•
Pelaku PKL adalah orang yang berusaha mencari nafkah dengan menggunakan bahu jalan atau badan jalan atau ruang-ruang publik untuk tempat usahanya dengan lokasi yang tetap (tidak berkeliling).
•
Pemberdayaan PKL adalah usaha pemerintah kota atau lembaga-lembaga lain untuk meningkatkan kemampuan modal dan sumber daya lainnya dari PKL dengan cara yang benar dan manusiawi, bertujuan agar suatu saat mereka mampu menjadi pengusaha formal yang tidak menggunakan lokasi ruang publik lagi untuk tempat usahanya.
104 •
Penataan PKL adalah usaha pemerintah kota atau lembaga-lembaga lain untuk menata atau mengatur tata letak tempat usaha PKL dengan tujuan menghilangkan kesan-kesan negatif atas keberadaan PKL.
•
Toko pesaing adalah mereka yang berusaha di tempat formal (tidak menggunakan ruang publik), menjual atau memproduksi barang atau jasa yang sama ataupun berbeda dengan PKL, tetapi tempat tersebut menjadi terhalang oleh keberadaan PKL.
•
Pungutan liar adalah pembayaran yang dilakukan oleh PKL kepada oknum atau orang atau kelompok orang yang tidak jelas peruntukannya dan tidak ada dalam peraturan resmi dari instansi terkait, atau pembayaran yang dilakukan bukan karena adanya transaksi jual-beli atau sewa-menyewa atas pemilikan dan atau penggunaan suatu barang tertentu.
3.7.
Keterbatasan Penelitian Penelitian PKL di suatu perkotaan adalah sangat kompleks karena
melibatkan banyak stakeholder, membutuhkan banyak biaya, waktu dan tenaga. Dengan demikian, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yaitu: 1.
Hanya menggunakan tiga tipologi sebagai pewakil PKL sehingga tidak sepenuhnya dapat mewakili semua tipologi PKL yang ada di kota Bogor.
2.
Terbatasnya ruang kota dan dana pembangunan perkotaan yang membatasi opsi-opsi strategisnya yang dapat dirumuskan.
3.
Ketidaktersediaan database PKL terbaru sehingga informasi jumlah dan sebaran PKL di kota Bogor masih tidak konklusif
4.
Kompleknya permasalahan PKL karena melibatkan banyak stakeholder dan banyak kepentingan yang pada gilirannya membatasi penyelesaian masalah PKL.
BAB IV KONDISI UMUM KOTA BOGOR
4.1. Kondisi dan Potensi Kota Bogor adalah salah satu kota yang berada di bawah wilayah administratif Propinsi Jawa Barat dan hanya berjarak lebih kurang 50 km dari pusat pemerintahan Indonesia, Jakarta. Kota dengan luas 11.850 ha ini dihuni lebih dari 820.707 jiwa yang tersebar di 6 kecamatan, 68 kelurahan, yang dibatasi oleh Kabupaten Bogor. Sebelah Utara
: Wilayah Kecamatan Kemang, Kecamatan Bojong Gede, dan Kecamatan Sukaraja.
Sebelah Barat
: Wilayah Kecamatan Darmaga dan Kecamatan Ciomas.
Sebelah Timur
: Wilayah Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi.
Sebelah Selatan : Wilayah Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin. Kota Bogor terletak pada ketinggian antara 190 sampai dengan 350 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 4.000 mm/tahun. Tingginya curah hujan di Kota Bogor menyebabkan mendapat julukan Kota Hujan, dan terkadang salah diartikan juga sebagai daerah “pengirim” banjir ke Jakarta melalui dua sungai besar, yaitu Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane. Secara administratif, kota Bogor dikelilingi oleh Kabupaten Bogor dan sekaligus menjadi pusat pertumbuhan Bogor Raya dan secara geografis dikelilingi oleh bentangan pegunungan, mulai dari Gunung/Pegunungan Pancar, Megamendung, Gunung Gede, Gunung Pangrango, Gunung Salak dan Gunung Halimun yang menyerupai huruf U. Secara topografis, kemiringan tanah di Kota Bogor berkisar antara 0-15 persen dan hanya sebagian kecil daerahnya mempunyai kemiringan antara 15-30 persen. Jenis tanah di hampir seluruh wilayah adalah lotosil coklat kemerahan dengan kedalaman efektif tanah lebih dari 90 cm dengan tekstur tanah yang halus serta bersifat agak peka terhadap erosi. Dengan ketinggian antara 190-330 m diatas permukaan laut, suhu di Kota Bogor relatif sejuk, didukung frekuensi curah hujan cukup tinggi. Pada tahun 2010 curah hujan tertinggi pada bulan Februari
106 (806,4 mm) dan terendah pada bulan Desember (276,8 mm). Jumlah rata-rata hujan di Kota Bogor selama tahun 2010 adalah 21 hari per bulan. Berdasarkan Perda No. 1 Tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (Tahun 1999-2009), fungsi Kota Bogor adalah : 1.
Sebagai kota perdagangan
2.
Sebagai kota industri
3.
Sebagai kota permukiman
4.
Wisata ilmiah
5.
Kota pendidikan Dalam konteks regional, posisi straregis kota Bogor adalah :
1.
Kabupaten Bogor, bahwa kota Bogor sebagai pusat pengembangan di Wilayah VII yang melayani areal kota Bogor dan areal sekitar kota Bogor.
2.
Jabodetabek, bahwa kota Bogor merupakan kota yang diarahkan untuk menampung 1,5 juta jiwa pada tahun 2009.
3.
Negara, kota Bogor merupakan kota yang menampung kegiatan yang jenuh di ibukota. Dalam konteks internasional, kota Bogor merupakan pusat kegiatan-kegiatan
internasional seperti konferensi antara lain Jakarta Informal Meeting untuk APEC yang dihadiri oleh para pemimpin negara dari Asia Pasifik termasuk Amerika Serikat. Dengan demikian kota Bogor harus menyiapkan dirinya menjadi
kota
jasa
yang
siap
melayani
kebutuhan
event-event
nasional/internasional yang diselenggarakan di kota Bogor. Pelayanan yang ekstra bagi pemenuhan kebutuhan warga juga menjadi tuntutan utama karena semakin berkembang dan beragamnya kebutuhan seluruh warga terhadap barang dan jasa. Implikasi dari semua ini adalah meningkatnya kebutuhan pengadaan sarana transportasi masyarakat kota, timbulnya kemacetan, meningkatnya jumlah PKL secara berlebihan, rusaknya tata kota, semakin menurunnya kualitas kebersihan kota sebagai akibat dari kelebihan penduduk dan segala aktivitasnya yang melebihi daya dukung lingkungan. Dengan posisi yang strategis sebagai salah satu penyangga ibukota serta kondisi alamnya yang relatif lebih nyaman dibanding kota penyangga lainnya, kota Bogor menjadi pilihan bagi penduduk, baik yang datang dari sekitar Bogor
107 maupun para perantau dari daerah lain yang menjadikan Bogor atau Jakarta sebagai sumber mencari mata pencaharian. Kondisi tersebut memberikan dampak yang luas bagi kota Bogor, baik dalam tatanan kependudukan, kemasyarakatan maupun perekonomian, dan kondisi lainnya. 4.2. Sejarah Kota Bogor Kota Bogor merupakan salah satu kota tua di Indonesia yang telah berdiri pada abad XV (Tahun 1579) sebelum masuknya VOC. Dulu merupakan pusat Kerajaan Pajajaran, namun setelah penyerangan pasukan Banten, kota ini menjadi hancur lebur dan hampir hilang ditelan sejarah selama satu abad. Pada saat VOC menguasai Banten dan sekitarnya wilayah Bogor berada dibawah pengawasan VOC. Dalam rangka “membangun” wilayah kekuasaannya, Pemerintah Belanda melakukan ekspedisi dan ternyata tidak ditemukan reruntuhan bekas ibukota Pajajaran (Scipio-1687) kecuali di daerah Cikeas, Citeureup, Kedung Halang dan Parung Angsana. Selanjutnya Parung Angsana diberi nama Kampung Baru dan dari sinilah cikal bakal Bogor dibangun (Tanujiwa 1689-1705). Di Kampung Baru didirikan tempat peristirahatan oleh GJ. Baron Van Imhoff (1740), yang sekarang dikenal dengan Istana Bogor dan tahun 1745 Bogor ditetapkan sebagai Kota Buitenzorg. Di sekitar tempat peristirahatan tersebut dibangun Pasar Bogor (1808) dan Kebun Raya (1817). Tahun 1904 Buitenzorg resmi menjadi pusat kedudukan dan kediaman Gubernur Jenderal dengan wilayah seluas 1.205 ha, terdiri dari 2 kecamatan dan 7 desa. Dengan keputusan Gubernur Jendral Van Nederland Indie Nomor 289 tahun 1924, ditambah dengan Desa Bantar Jati dan Desa Tegal Lega seluas 951 ha sehingga luasnya menjadi 2.156 ha yang diproyeksikan untuk 30.000 jiwa. Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1941, Buitenzorg secara resmi lepas dari Batavia dan mendapat otonomi sendiri. Berdasarkan UU No. 16 tahun 1950 Kota Bogor ditetapkan menjadi Kota Besar dan Kota Praja yang terbagi dalam 2 wilayah kecamatan dan 16 lingkungan. Tahun 1981 jumlah kelurahan menjadi 22 kelurahan, 5 kecamatan dan 1 perwakilan kecamatan. Terakhir berdasarkan PP. No. 44/1992 Perwakilan Kecamatan Tanah Sareal ditingkatkan statusnya menjadi
108 kecamatan. Saat ini terdapat 6 kecamatan dan 68 kelurahan dengan luas 11.850 ha dan diproyeksikan untuk 1.500.000 jiwa pada tahun 2009. 4.3. Pemerintahan Kota Bogor terdiri dari 6 kecamatan dengan total kelurahan sejumlah 68. Pada tahun 2010 ada 758 RW serta 3.392 RT. Jumlah anggota DPRD Kota Bogor adalah 45 orang dengan mayoritas anggota dari fraksi Partai Demokrat sebanyak 15 Orang. Menurut SIMPEG Kota Bogor, tahun 2010 terdapat 3.241 PNS di lingkungan Pemda Kota Bogor dengan jumlah PNS tertinggi bergolongan II yaitu 1.359 orang (41,93%) dan terendah pada PNS golongan IV yaitu 238 orang (7,34%). Pada tahun 2010 terdapat 3.328 anggota Linmas di Kota Bogor. 4.4.
Penduduk Dan Ketenagakerjaan Berdasarkan hasil sementara sensus penduduk 2010, jumlah penduduk
Kota Bogor adalah 950.334 orang dengan rincian 484.791 lakilaki dan 465.543 perempuan. Sex rasio Kota Bogor tahun 2010 adalah 104 dan jumlah rata-rata anggota 4 orang per rumah tangga. Kepadatan jumlah penduduk di Kota Bogor adalah 8.020 orang/ km2. Kecamatan yang memiliki kepadatan tertinggi adalah Kecamatan Bogor Tengah yaitu 12.472 orang/ km2 , dan kepadatan terendah ada di Kecamatan Bogor Selatan yaitu 5.887 orang/ km2. Tabel 23. Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk di Kota Bogor Tahun 20011 Luas
Kecamatan
Menurut
Penduduk (Orang)
Kecamatan Kepadatan Penduduk (Orang/Km2)
Km2
%
Jumlah
%
Bogor Selatan
30,81
26,00
181.392
19,09
5.887
Bogor Timur
10,15
8,57
95.098
10,01
9.369
Bogor Utara
17,72
14,95
170.443
17,94
9.619
Bogor Tengah
8,13
6,86
101.398
10,67
12.472
Bogor Barat
32,85
27,72
211.084
22,21
6.426
Tanah Sareal
18,84
15,90
190.919
20,09
10.134
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
109 Tabel 24. Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk di Kota Bogor Tahun 1990, 2000, dan 2010 Jumlah penduduk
Kecamatan
Laju Pertumbuhan Penduduk per tahun (%) 1990-2000 2000-2010 10,50 2,09
Bogor Selatan
1990 52.061
2000 147.507
2010 181.392
Bogor Timur
62.403
77.000
95.098
2,12
2,13
Bogor Utara
81.046
132.113
170.443
4,93
2,57
Bogor Tengah
35.393
91.230
101.398
9,55
1,07
Bogor Barat
40.808
166.427
211.084
14,17
2,40
Tanah Sareal
-
136.542
190.919
-
3,38
271.711
750.819
950.334
10,25
2,38
Jumlah
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
Pada tahun 2010 di Kota Bogor terdapat 418.742. orang angkatan kerja dengan 82% sudah bekerja. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) tahun 2010 adalah 65,56% dan tingkat pengangguran 17,20%. Proporsi tertinggi penduduk bekerja di Kota Bogor, yaitu 31,38% adalah di bidang perdagangan, rumah makan dan hotel. Tabel 25. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Jenis Kegiatan Utama di Kota Bogor Tahun 2008-2010 Jenis Kegiatan Utama I. Angkatan Kerja
2008
2009
2010
463.172
476.126
418.742
1. Bekerja
377.388
385.488
346.727
2. Penganguran
85.784
90.638
72.015
303.907
316.876
220.004
767.079
793.002
638.746
60,38
60,04
18,52
19,04
II. Bukan Angkatan Kerja Sekolah, Mengurus, Rumah tangga, dan Lainnya Jumlah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)(%) Tingkatan Pengangguran (%) Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
65,56 17,20
110
4.5.
Pendidikan, Kesehatan/ Keluarga Berencana Dan Agama Hasil Susenas 2010 menyatakan bahwa 98,36% penduduk Kota Bogor
sudah dapat membaca dan menulis. Penduduk usia 10 tahun keatas yang menamatkan SMA/MA/SMK sebesar 31,48% sedangkan yang memiliki ijazah lebih dari tingkat SMA hanya sebesar 9,51%. Kondisi ini menunjukan bahwa usaha pemerintah untuk meningkatkan kualitas SDM melalui pendidikan formal di Kota Bogor belum cukup optimal. Tabel 26. Penduduk 10 Tahun Ke atas Menurut Partisipasi Sekolah Dan Jenis Kelamin di Kota Bogor Tahun 2010 Partisipasi Sekolah Tidak/Belum sekolah
Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan 3.419 10.258
Jumlah 13.677
SD/MI
21.370
24.790
46.160
SMP/MTs
22.653
23.935
46.588
SMA/MA/SMK Kejuruan
20.516
14.959
35.475
Perguruan Tinggi
18.806
10.258
29.064
Tidak Bersekolah Lagi
309.016
302.178
611.194
Jumlah
395.780
386.378
782.158
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
Pembangunan bidang kesehatan di Kota Bogor menunjukan hasil yang cukup signifikan. Ada 10 rumah sakit dengan 1.808 tempat tidur yang tersebar di 6 kecamatan di Kota Bogor. Selain ada 24 Puskemas dan 28 Pustu di seluruh Kota Bogor. Untuk mendukung program Keluarga Berencana (KB), tersedia banyak fasilitas KB di seluruh wilayah Kota Bogor yang mampu melayani 22.938 akseptor baru KB. Akseptor baru KB terbanyak di Kecamatan Tanah Sareal, yaitu 6.238 akseptor dan terendah di Kecamatan Bogor Utara (1.984 akseptor) serta Kecamatan Bogor Barat (1.968 akseptor). Selain data pendidikan dan kesehatan, data sosial lain yang sering dimanfaatkan untuk analisis sosial adalah tentang agama. Agama mayoritas penduduk Kota Bogor adalah Islam dengan jumlah pemeluk Islam terbesar 91,78%, jumlah haji yang berasal dari Kota Bogor tahun 2010 sebanyak 1.025 orang.
111
4.6.
Pertanian Sektor pertanian di Kota Bogor bukan merupakan sektor ekonomi yang
dominan, tetapi penggunaan lahan baik sawah maupun bukan sawah masih tetap mendapat perhatian utama pemerintah daerah Kota Bogor. Pada tahun 2010 terdapat 793 Ha lahan sawah dan 2.375 Ha lahan bukan sawah di Kota Bogor. Selain padi dan palawija, tanaman holtikultura merupakan andalan sektor pertanian di Kota Bogor. Selain pertanian tanaman pangan, sektor peternakan dan perikanan juga masih cukup berkembang di Kota Bogor. Penggunaan Lahan Pertanian Sawah menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2010 disajikan pada Tabel 27. Dari total luas lahan sawah sebesar 793 ha, luasan lahan sawah yang beririgasi teknis adalah 295 Ha, Irigasi setengah teknis 120 ha, irigasi sederhana 370 ha, dan sawah tadah hujan 8 ha. Tabel 27. Penggunaan Lahan Pertanian Sawah Menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2010
Bogor Selatan
156
Irigasi setengah teknis 0
Bogor Timur
139
38
1
0
Bogor Utara
0
0
2
0
Bogor Tengah
0
1
0
0
Bogor Barat
0
76
239
0
Tanah Sareal
0
6
0
8
295
120
370
8
Kecamatan
Jumlah
Irigasi teknis
Irigasi sederhana
Tadah Hujan
127
0
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
Penggunaan Lahan Pertanian bukan sawah menurut kecamatan di Kota Bogor Tahun 2010 disajikan pada Tabel 28. Dari total luas lahan bukan sawah sebesar 2.375 Ha ha, penggunaan untuk kebun adalah yang terbesar yaitu 964 ha, diikuti oleh penggunaan lainnya yaitu 912 ha, hutan rakyat 366 ha, kolam/empang 75 ha, perkebunan 30 ha dan sementara tidak diusahakan 28 ha.
112 Tabel 28. Penggunaan Lahan Pertanian bukan sawah Menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2010 (dalam Ha) Kecamatan Bogor Selatan Bogor Timur Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Barat Tanah Sareal Jumlah
Hutan Kolam/ Tambak Rakyat empang
Sementara tidak lainnya diusahakan 11 195
Tegal/ kebun
Perkebunan
282
0
73
0
19
137
0
54
0
18
7
167
195
0
93
0
13
3
192
3
0
3
0
5
0
5
128
30
72
0
8
2
235
219
0
71
0
12
5
118
964
30
366
0
75
28
912
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
Penggunaan lahan pertanian bukan sawah ditujukan untuk produksi beragam komoditas seperti jagung, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar dan talas. Dilihat dari nilai total produksi, ubi kayu menunjukkan produksi tertinggi sebesar 4.424 ton, diikuti oleh Ubi jalar (1.332 ton), talas (957 ton), jagung (815 ton) dan kacang tanah (121 ton) dengan total produksi sebesar 7.649 ton. Tabel 29. Target, Realisasi dan Produksi Tanaman Palawija (Lahan Bukan Sawah) Menurut Jenis Tanaman di Kota Bogor Tahun 2010 Target (Ha) 187
Realisasi (Ha) 194
Produksi (Ton) 815
2. Kacang Tanah
74
67
121
3. Ubi Kayu
308
316
4.424
4. Ubi Jalar
110
111
1.332
5. Talas
177
165
957
Jumlah
856
853
7.649
Tanaman 1. Jagung
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
Sama seperti pertanian tanaman pangan, produksi ternak juga bukan merupakan sektor unggulan di kota Bogor. Total produksi ternak besar (sapi perah, sapi potong, kerbau dan kuda) adalah 1307 ekor yang didominasi oleh jenis sapi perah sebesar 952 ekor. Total produksi ternak kecil (kambing dan domba) adalah 10.752 ekor yang didominasi oleh jenis domba sebanyak 8.255 ekor.
113 Tabel 30. Populasi Ternak Besar dan Ternak Kecil Menurut Jenisnya di Kota Bogor Tahun 2010 Kecamatan
Ternak Besar (ekor) Sapi Kerbau Kuda Potong 3 26 29
Ternak Kecil (ekor)
Bogor Selatan
Sapi perah 256
Bogor Timur
28
18
0
5
259
547
Bogor Utara
21
10
0
0
213
386
Bogor Tengah
0
0
0
0
0
206
Bogor Barat
14
189
19
20
755
1.720
Tanah Sareal
633
0
0
36
648
878
Jumlah
952
220
45
90
2.470
8.255
Kambing
Domba
595
4.518
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
Pada kelompok unggas, produksi terbesar adalah ayam kampung sebanyak 237.397 ekor, diikuti oleh ayam ras potong (265.000 ekor), itik (15.758 ekor) dan ras petelur (4.000 ekor). Dilihat dari total produksi per kecamatan, kecamatan Bogor Selatan menunjukkan produksi tertinggi sebesar 172.769 ekor dan yang terendah adalah Bogor Timur sebanyaj 24.192 ekor. Tabel 31. Populasi Unggas Menurut Jenisnya di Kota Bogor Tahun 2010
Bogor Selatan
Ayam kampung 58.267
Ras Petelur 0
Ras Potong 110.000
4.502
Jumlah (ekor) 172.769
Bogor Timur
22.030
500
0
1.662
24.192
Bogor Utara
31.999
2.000
5.000
2.323
41.322
Bogor Tengah
24.579
0
0
994
25.573
Bogor Barat
58.321
0
10.000
3.613
71.934
Tanah Sareal
42.201
1.500
40.000
2.664
86.365
Jumlah
237.397
4.000
165.000
15.758
422.155
Kecamatan
Itik
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
Produksi ikan dapat dibedakan menurut tipe kolamnya. Produksi ikan kolam air tenang di Kota Bogor adalah yang tertinggi yaitu 2.609.036 ekor, diikuti produksi ikan kolam air deras (637.439 ekor), Ikan di sawah (114.759 ekor) dan Ikan Keramba (12.665 ekor) dengan total produksi 3.373.899 ekor.
Kontribusi
terbesar produksi ikan adalah dari kecamatan tanah sareal sebesar 1,221.585 ekor dan yang terkecil dari Bogor Tengah yaitu 56.468 ekor.
114 Tabel 32Produksi Ikan menurut tipe kolam di Kota Bogor Tahun 2010
Bogor Selatan
Kolam air tenang 271.906
Kolam Air Deras -
Ikan di sawah 34.319
Ikan Keramba 4.265
Bogor Timur
343.956
637.439
38.975
-
Bogor Utara
460.786
-
-
3.714
464.500
Bogor Tengah
56.464
-
-
4.426
56.468
Bogor Barat
256.924
-
15.615
260
272.799
Tanah Sareal
1.219.000
-
25.850
-
1,221.585
Jumlah
2.609.036
637.439
114.759
12.665
3.373.899
Kecamatan
Total 310.490 1.020.370
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
4.7.
Perindustrian, Pertambangan dan Energi Pembangunan industri di Kota Bogor diarahkan untuk mendorong
terciptanya struktur ekonomi yang kuat dan berimbang sehingga dapat menjadi landasan pengembangan ekonomi daerah yang kokoh dan mandiri. Unit usaha industri di Kota Bogor masih dominan oleh industri kecil non formal. Jumlah tenaga kerja yang terserap di bidang industri selama tahun 2010 adalah 55.892 orang dengan total nilai investasi sebesar lebih dari 790 milyar rupiah. Tabel 33 Potensi Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan di Kota Bogor Tahun 2010 Unit Usaha (buah)
Tenaga Kerja (orang)
Nilai Investasi (Rp)
1. Makanan
25
1.422
30.171.184.400
2. Minuman
13
1.819
113.021.251.278
3. Kayu Olahan dan Rotan
13
2.362
31.103.084.707
4. Pulp dan Kertas
12
671
67.688.516.000
5.Bahan Kimia Industri dan Karet 6. Bahan Galian Non Logam
9
507
13.308.955.000
2
65
7.085.000.000
7. Kimia
9
1.223
46.058.175.250
Jenis Usaha I. Industri Besar dan Menengah
115 Unit Usaha (buah)
Tenaga Kerja (orang)
Nilai Investasi (Rp)
1. Makanan
240
2.213
10.620.830.800
2. Minuman
69
534
3.552.910.000
3. Kayu Olahan dan Rotan
120
1.104
3.504.610.000
4. Pulp dan Kertas
93
645
7.744.520.000
5Bahan Kimia Industri dan Karet
1
193
4.676.618.974
6. Bahan Galian Non Logam
37
823
2.323.400.000
7. Kimia
71
565
4.963.312.850
1. Makanan
1.057
4.895
1.082.969.470
2. Minuman
221
964
197.671.950
3. Kayu Olahan dan Rotan
84
355
321.959.872
4. Pulp dan Kertas
41
123
70.243.100
-
-
6 Bahan Galian Non Logam
36
198
288.650.000
7 Kimia
31
126
124.787.000
2.206
20.807
Jenis Usaha II. Industri Kecil Formal
III. Industri Kecil Non Formal
5Bahan Kimia Industri dan Karet
Jumlah
-
347.908.650.651
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
Tabel 34. Potensi Industri Logam, Mesin, Elektronika dan Aneka di Kota Bogor Tahun 2010 Jenis Usaha I. Industri Besar dan Menengah 1. Mesin & Rekayasa
Unit Usaha (buah)
Tenaga Kerja (orang)
Nilai Investasi (Rp)
-
-
-
2. Logam
12
1.966
23.727.455.000
3. Alat Angkut
5
938
32.276.500.000
4. Industri Tekstil
26
21.129
5. Industri Kulit
2
68
6.736.000.000
6. Industri Alpora
1
300
3.652.152.000
7. Industri Elektronika
3
622
38.454.160.000
206.576.740.000
116 Unit Usaha (buah)
Jenis Usaha
Tenaga Kerja (orang)
Nilai Investasi (Rp)
II. Industri Kecil Formal 1 Mesin & Rekayasa
6
211
1.636.560.000
2 Logam
91
877
12.409.160.000
3 Alat Angkut
52
1.069
4.124.260.000
4 Industri Tekstil
88
3.176
5.917.878.650
5 Industri Kulit
75
1.695
2.608.630.000
6 Industri Alpora
15
180
917.620.000
7 Industri Elektronika
9
47
311.369.000
III. Industri Kecil Non Formal 1 Mesin & Rekayasa
-
-
-
2 Logam
155
377
373.540.000
3 Alat Angkut
65
184
314.600.000
4 Industri Tekstil
152
664
389.192.700
5 Industri Kulit
333
1.326
6 Industri Alpora
18
49
52.294.600
7 Industri Elektronika
42
207
119.762.500
1.150
35.085
Jumlah
2.325.813.800
342.923.688.250
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
Untuk mengimbangi pertumbuhan pemukiman dan kebutuhan sektor ekonomi lainnya, PLN meningkatkan pelayanan dalam pemenuhan kebutuhan listrik di Kota Bogor. Pada tahun 2010 terdapat 201.850 pelanggan listrik dengan jumlah daya tersambung sebanyak 385.170.581 VA. Selain listrik, pemenuhan kebutuhan gas kota juga terus meningkat. Tahun 2010, jumlah pelanggan gas adalah 16.792 pelanggan dengan jumlah gas yang disalurkan sebanyak 401.606.548 m3 dan nilai
sebesar Rp 885.518.458,-
sedangkan PDAM “Tirta Pakuan” selama tahun 2010 memiliki 94.995 pelanggan dan
menyalurkan
air
sebanyak
28.185.401
m3
bernilai
sebesar
Rp
101.942.938.200,-. 4.8.
Perdagangan Sektor perdagangan merupakan salah satu sektor ekonomi andalan di Kota
Bogor. Pada tahun 2010 jumlah realisasi eksport non migas
mengalami
117 peningkatan sebesar 0,24%. Eksport non migas ini masih didominasi oleh komoditas pakaian jadi yaitu senilai US $ 74.189.259 atau sekitar 48,85%. Tabel 35. Jumlah Realisasi Ekspor Non Migas Menurut Jenis Komoditi di Kota Bogor Tahun 2010 Jenis Komoditi
Satuan
Volume
Nilai (US$)
1. Pakaian Jadi
Pcs
23.289.288 74.189.259
2. Ban Kendaraan Bermotor
Unit
4.523.209
40.239.289
3. Tekstil
Meter
4.253.259
6.920.249
4. Kera Ekor Panjang
Ekor
753
120.000
5. Busana Muslim Bordir
Pcs
512
9.359
6. Sandal
Pcs
929.249
982.259
7. Obat-obatan Farmasi
Kg
3.205.329
3.982.289
8. Makanan dan Minuman
Karton
982.102
10.282.249
9. Ikan Hias
Ekor
16.259
6.102
10. Kerajinan Mainan Anak dari Kayu
Pcs
2.000
25.000
11. Furniture
Pcs
8.298.289
14.389.788,9
12. Tas
Pcs
6.650
7.259
13. Kerajinan Daur Ulang Kertas
Pcs
8.500
10.258
14. Kerajinan Bordir
Pcs
5.000
10.500
15. Minyak Atsiri
Kg
30.000
318.914
16. Serpihan Kayu Gaharu & Kayu Cendana
Kg
10.000
35.000
17. Sari Mengkudu
Botol
153.259
280.235
18. Bola Kaki
Pcs
120.000
52.259
Jumlah
151.860.268,9
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
4.9. Transportasi, Komunikasi, dan Pariwisata Disektor transportasi, jasa angkutan kereta api merupakan primadona bagi penduduk Kota Bogor yang bekerja di luar kota, terutama Jakarta. Selama tahun 2010 jumlah penumpang yang terangkut oleh moda angkutan ini sebanyak 12.793.217 orang. Penjualan tiket kereta api pada tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 4,27% dibanding tahun sebelumnya. Seiring perkembangan di sektor komunikasi, peran Kantor Pos dalam pengiriman surat mengalami penurunan. Namun jasa pengiriman pos ekspres dan
118 paket pos cenderung meningkat. Pada tahun 2010 Kantor Pos Kota Bogor mengirimkan 818.637 surat/paket ke seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, jumlah wesel dan giro pos yang dikirim pun cenderung meningkat dan tahun ke tahun. Selain sektor transportasi dan komunikasi yang berkembang secara positif, Kota Bogor juga senantiasa meningkatkan kunjungan wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Posisi strategis Kota Bogor yang cukup dekat dengan Jakarta serta potensi wisata yang cukup beragam menjadikan Kota Bogor sebagai salah satu kota tujuan wisata nasional. Pada tahun 2010 wisatawan yang mengunjungi Kota Bogor terus meningkat namun tetap didominasi oleh wisatawan domestik yaitu sebesar 97,38%. Kebun Raya Bogor merupakan tujuan utama wisata yang paling banyak dikunjungi dengan jumlah pengunjung sebanyak 1.678.237 orang.
Untuk
menunjang sektor pariwisata, fasilitas perhotelan juga terus ditingkatkan. 4.10
Keuangan dan Harga Menurut laporan pertanggungjawaban akhir walikota Bogor tahun 2010,
realisasi penerimaan daerah Kota Bogor adalah Rp 842.751.061.665,- sedangkan pengeluarannya adalah Rp 944.550.304.942,-. Ditinjau dari sisi harga, inflasi Kota Bogor tahun 2010 rata-rata adalah sebesar 0.53. Dengan inflasi tertinggi di sektor bahan makanan. Inflasi tertinggi terjadi pada bulan Juli 2010. Tabel 36. Realisasi Penerimaan Daerah Menurut Jenis Penerimaan di Kota Bogor Tahun 2010 Jenis Penerimaan
Nilai (Rp.)
Penerimaan Daerah : 1. Bagian Pendapatan Asli Daerah
127.488 .089.831
1.1 Pajak Daerah
66.504.761.353
1.2 Retribusi Daerah
34.681.146.445
1.3 Bagian Laba Usaha Daerah
15.137.968.088
1.4 Penerimaan Lain-Lain
11.164.213.945
119 Jenis Penerimaan
Nilai (Rp.)
2. Bagian Dana Perimbangan
659.141.536.834
2.1 Bagi Hasil Pajak
129.983.594.372
2.2 Bagi Hasil Bukan Pajak
18.704.027.015
2.3 Dana Alokasi Umum
426.093.607.000
2.4 Dana Alokasi Khusus (DAK)
9.756.700.000
2.5 Bagi Hasil Pajak dan Bantuan Keuangan dari Provinsi
74.603.608.447
2.5.1. Bagi Hasil Pajak Provinsi
74.603.608.447
2.5.2. Bantuan Keuangan dari Provinsi
-
3. Lain-Lain Pendapatan Yg Sah
56.121.435.000
3.1. Pendapatan Hibah
2.999.965.000
3.1. Pendapatan Lainnya
53.121.470.000
Jumlah Penerimaan
842.751.061.665
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
Tabel
37.Realisasi Pengeluaran Daerah di Kota Bogor Tahun 2010
Menurut
Jenis Penerimaan
Jenis
Nilai (Rp.)
1. Belanja Operasi
775.827.453.091
a. Belanja Pegawai/Personalia
513.777.201.790
b. Belanja Barang & Jasa
158.124.717.210
c. Bunga
-
d. Subsidi
-
e. Hibah
15.825.365.924
f. Bantuan Sosial
88.100.168.167
2. Belanja Modal
165.939.883.691
a. Belanja Tanah
42.273.009.900,00
b. Belanja Peralatan dan Mesin
23.877.998.920,00
c. Belanja Gedung dan Bangunan
13.536.944.046,00
d. Belanja Jalan, Irigasi, dan Jaringan
86.040.827.925,00
e. Belanja Aset Tetap Lainnya
211.102.900,00
f. Belanja Aset Lainnya
-
3. Belanja Tidak Tersangka
2.782.968.160
Jumlah Penerimaan
944.550.304.942
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
Pengeluaran
120 4.11
Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Tingkat kesejahteraan masyarakat dapat ditinjau dari segi pendapatannya.
Namun karena data pendapatan sulit diperoleh maka tingkat kesejahteraan masyarakat didekati dari sisi pengeluaran rumah tangga. Berdasarkan hasil SUSENAS 2010, rata-rata pengeluaran per kapita sebulan di Kota Bogor tahun 2010 adalah Rp 328.776,- untuk kelompok barang makanan dan Rp 417.704,untuk kelompok barang non makanan. Tabel 38. Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan Menurut Kelompok Barang Makanan di Kota Bogor Tahun 2006 - 2010 (rupiah) Makanan
2006
2007
2008
2009
2010
Padi-padian
31.253
31.756
32.102
37.370
38.789
Umbi-umbian
1.630
1.469
2.393
1.762
1.857
Ikan/cumi/kerang
14.011
15.710
15.805
17.376
15.297
Daging
10.681
12.452
14.546
18.630
10.988
Telur dan Susu
16.989
20.060
23.010
26.874
15.581
Sayur-sayuran
13.544
13.271
15.696
15.776
14.397
Kacang-kacangan
6.726
8.700
8.635
11.184
9.817
Buah-buahan
8.491
9.107
11.758
12.903
5.552
Minyak dan Lemak
6.345
7.561
10.392
9.143
8.307
Bahan Minuman
7.399
7.884
9.079
8.842
9.582
Bumbu-bumbuan
4.957
4.135
3.774
5.019
4.479
Konsumsi Lainnya
10.560
.922
9.250
10.279
10.266
Makanan/Minuman Jadi Non Alkohol Minuman Beralkohol Tembakau dan Sirih
45.319
54.981
73.737
87.691
46.024
169
258
44
18
-
24.173
24.091
27.961
33.382
25.420
Jumlah
202.247
220.357
258.182
296.249
216.356
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
Jika melihat perkembangan dari tahun ke tahun, pengeluaran ratarata per kapita untuk kelompok barang makanan pada tahun 2010 mengalami penurunan sekitar 26,97% dibanding tahun 2009 dan 16,20%
dibanding tahun 2008.
Sementara untuk pengeluaran rata-rata per kapita kelompok barang non makanan meningkat 5,13% dibanding tahun 2009.
121 Tabel 39. Pengeluaran Rata-rata per Kapita Menurut Kelompok Barang Non Makanan dan Golongan Pengeluaran per Kapita Sebulan di Kota Bogor Tahun 2010 (rupiah) Non Makanan
2006
2007
2008
2009
2010
Perumahan dan fasilitas rumah tangga Aneka barang dan jasa
140.879
132.107
193.827
219.109
222.436
57.120
56.112
103.353
88.475
91.855
Biaya pendidikan
17.756
16.243
26.527
34.700
16.081
Biaya kesehatan
9.109
5.353
23.059
16.744
28.349
Pakaian, alas kaki dan tutup kepala Barang tahan lama
11.221
12.661
18.474
18.785
21.274
5.315
3.281
34.873
8.823
11.299
Pajak, pungutan dan asuransi Keperluan Pesta dan upacara Jumlah
6.783
4.788
13.038
10.700
14.571
2.206
1.361
-
-
11.839
250.389
231.906
413.151
397.336
417.704
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
4.12. Pendapatan Regional Secara umum keadaan ekonomi Kota Bogor dapat dilihat dari laju pertumbuhan PDRB menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan. Laju pertumbuhan ekonomi Kota Bogor tahun 2010 adalah sebesar 6,01%. Sektor ekonomi di Kota Bogor tahun 2010 tetap didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan kontribusi sebesar 38,04%, diikuti oleh sektor industri pengolahan sebesar 25,57%. Tabel 40. Produk Domestik Bruto (PDRB) Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2008 - 2010 Sektor
2008
2009*
2010**
1.Pertanian
22.265,70
24.008,43
25.916,73
2.Pertambangan Dan Penggalian
192,14
207,34
223,97
3. Industri Pengolahan
2.532.965,67
3.044.078,40
3.644.311,09
4. Listrik, Gas, Dan Air Bersih
214.413,78
245.221,37
281.368,13
5. Bangunan
575.020,92
653.511,28
744.153,29
6. Perdagangan, Hotel, Dan
3.955.080,82
4.528.576,95
5.228.757,94
122 Sektor
2008
2009*
2010**
7. Pengangkutan Dan
1.338.788,63
1.719.767,35
2.159.576,94
8. Keuangan, Persewaan, & Jasa Perusahaan 9. Jasa-Jasa
1.023.935,21
1.216.482,77
1.461.932,02
427.281,09
472.745,77
524.111,15
Produk Domestik Regional Bruto
10.089.943,96 11.904.599,66
14.070.351,26
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
*) Angka Perbaikan **) Angka Sementara Tabel 41. Produk Domestik Bruto (PDRB) Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2008 - 2010 Sektor
2008
2009*
2010**
1.Pertanian
13.121,58
13.539,61
13.975,80
2.Pertambangan dan Penggalian
120,53
121,98
123,85
3.Industri Pengolahan*
1.197.768,02
1.273.762,00
1.355.090,75
4. Listrik, Gas, dan Air Bersih
136.829,56
146.236,51
156.395,94
5. Bangunan
299.804,17
312.096,14
324.954,50
6. Perdagangan, Hotel, Restoran
1.267.518,19
1.331.874,52
1.398.254,93
7.Pengangkutan dan Komunikasi
422.723,25
453.533,15
487.253,72
8. Keuangan, Persewaan, & Jasa Perusahaan 9. Jasa-Jasa
602.517,87
648.625,82
699.701,41
312.418,61
328.811,32
346.556,29
Produk Domestik Regional Bruto
4.252.821,78
4.508.601,05
4.782.307,18
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
*) Angka Perbaikan **) Angka Sementara Tabel 42. Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2008 - 2010 Sektor 1. Pertanian
2008 3,18
2. Pertambangan Dan Penggalian
2009*
2010**
3,19
3,22
1,88
1,20
3. Industri Pengolahan*
6,32
6,34
6,38
4. Listrik, Gas, Dan Air Bersih
6,82
6,87
6,95
123 Sektor
2008
2009*
2010**
6. Perdagangan, Hotel, Dan Restoran
5,18
5,08
4,98
7.
7,17
7,29
7,44
8. Keuangan, Persewaan, & Jasa Perusahaan
7,44
7,65
7,87
9.
5,22
5,25
5,40
5,98
6,01
6,07
Pengangkutan Dan Komunikasi
Jasa-Jasa
Produk Domestik Regional Bruto Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
*) Angka Perbaikan **) Angka Sementara 4.13. Kemiskinan Sama seperti wilayah-wilayah lain di Indonesia, Kota Bogor juga masih bergelut dengan masalah kemiskinan, walaupun dari tahun ke tahun
jumlah
penduduk miskin Kota Bogor mengalami penurunan dari 91.710 orang pada tahun 2009 menjadi 90.200 orang pada tahun 2010. Garis kemiskinan di Kota Bogor tahun 2010 adalah RP 278.530,-. Tabel .43.
Jumlah, Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman dan Indeks Keparahan Kemiskinan di Kota Bogor Tahun 2009 – 2010 Rincian
2009
2010
91,710
90,20
8,82
9,47
Garis Kemiskinan (Rp/Kap/Bulan)
256.414
278.530
Indeks Kedalaman kemiskinan (P1)
n.a
1,60
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
n.a
0,48
Jumlah Penduduk miskin (000 Orang) Persentase Penduduk Miskin (%)
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
BAB V KARAKTERISTIK DAN PERMASALAHAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BOGOR
Ekonomi informal mengalami pertumbuhan sangat cepat di negara-negara berkembang dan semakin menarik perhatian akademisi, peneliti, aktivis pembangunan sosial dan perencana kebijakan. Secara umum diyakini bahwa pertumbuhan yang cepat pada sektor ini dipengaruhi oleh meningkatnya pengangguran di negara berkembang. Menurut ILO (2004), terbatasnya pekerjaan sektor formal dan terbatasnya keterampilan menyebabkan pertumbuhan sektor informal. Sektor informal terdiri dari aktivitas usaha skala kecil yang sebagian besar belum mendapatkan pengakuan, tidak tercatat dan tidak teregulasi, termasuk usaha kecil, usaha rumah tangga, sektor wiraswasta seperti PKL, pembersih, penyemir sepatu, pedagang asongan, penjaja makanan, dan lain sebagainya. Mengingat luasnya jenis usaha sektor informal, kajian terhadap semua jenis usaha sektor ini tentunya banyak membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga. Untuk mendapatkan pemahaman lebih mendalam pada sektor ini, maka penelitian difokuskan pada jenis usaha PKL.
PKL merupakan jenis usaha yang umum
ditemukan pada sektor informal di kota, karena usaha ini relatif paling mudah dimasuki serta berhadapan langsung dengan kebijakan perkotaan. Aktivitas usaha PKL sangat beragam sehingga penelitian menyeluruh terhadap aktivitas PKL akan sangat kompleks, membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga yang tidak sedikit.
Dengan pertimbangan ini, penelitian ini hanya
membahas tiga tipologi PKL yang umum ditemukan di kota Bogor yaitu pasar tumpah, pasar sayur malam, dan pasar kuliner. Namun demikian, karena aktivitas PKL juga berhubungan dengan sektor formal maka penelitian ini juga mengambil data pemasok dan pesaing bagi usaha PKL.
Pemasok dan pesaing umumnya adalah sektor formal berupa toko,
distributor atau pasar formal yang memasok kebutuhan barang dagangan PKL. Data dari pemasok digunakan untuk mengetahui pengaruh PKL terhadap rantai pasokan distribusi barang dan jasa, sedangkan data pesaing digunakan untuk
126
mengetahui kompetisi dengan usaha sejenis. Aktivitas PKL juga berhubungan dengan masyarakat sekitar sehingga penelitian ini juga menggunakan masyarakat sebagai responden untuk mengetahui persepsinya terhadap keberadaan PKL. 5.1. Distribusi Sampel dan Tipologi PKL Total responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah 180 responden yang terdiri dari 120 responden untuk pelaku PKL, 9 responden pesaing, 6 responden pemasok, dan 45 responden masyarakat sekitar.
Distribusi lokasi
pengambilan sampel penelitian (B11) disajikan pada Tabel 44. Tabel. 44. Distribusi Lokasi Pengambilan Sampel PKL No.
Lokasi
Responden
Persen
1.
Dewi Sartika
20
16,67
2.
Jembatan merah
2
1,67
3.
Mantarena
1
0,83
4.
Merdeka
35
29,17
5.
MA Salmun
6
5,00
7.
Pasar Bogor
3
2,50
8.
Pasar Anyar
25
20,83
9.
Pajajaran
2
1,67
10.
Pengadilan
1
0,83
11.
Surya Kencana
24
20,00
12.
Veteran
1
0,83
120
100
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Data pada Tabel 44 menunjukkan bahwa mayoritas sampel diambil di tiga lokasi utama konsentrasi PKL sesuai dengan tipologi yang dikaji yaitu di Dewi Sartika (16,67 %), Merdeka (29,17 %) dan Pasar Anyar (20,83 %). Lokasi lain pada umumnya terdapat di sekitar ketiga lokasi utama tersebut, kecuali Jalan Pajajaran yang merupakan jalan utama di kota Bogor.
Responden di Jalan
Pajajaran nampak agak terpisah dilihat dari posisinya terhadap tiga lokasi konsentrasi. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa PKL bukan hanya terdapat di lokasi-lokasi khusus tetapi juga di lokasi-lokasi lainnya.
127
Berdasarkan tipologi PKL yang digunakan sebagai responden (B7), jumlah responden untuk tiap tipologi adalah 40 responden sehingga totalnya adalah 120 responden. Data mengenai pengelompokan tipologi ditunjukkan pada Tabel 45. Tabel 45 Tipologi Jenis Usaha PKL No.
Tipologi Jenis Usaha
Jumlah
Persen
1.
Pasar tumpah
40
33,33
2.
Pasar sayur mayur malam
40
33,33
3.
Usaha kuliner
40
33,33
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Menurut Mc. Gee dan Yeung (1977), jenis dagangan PKL sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di sekitar kawasan di mana PKL tersebut beraktivitas. Misalnya di suatu kawasan perdagangan, maka jenis dagangan yang ditawarkan akan beranekaragam, bisa berupa makanan/minuman, barang kelontong, pakaian, dan lain-lain. 5.2. Karakteristik Demografis Analisis demografis dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik responden pelaku PKL. Analisis ini mencakup jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pengeluaran per bulan, dan pekerjaan. Analisis ini berguna untuk mengetahui trend demografis pelaku PKL saat ini. 5.2.1. Jenis Kelamin (A3) Hasil perhitungan analisis demografis untuk jenis kelamin responden disajikan pada Tabel 46 yang menunjukkan bahwa responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 91,67 % (110 responden) sedangkan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 8,33 % (10 responden). Tabel 46. Jenis Kelamin Responden No. 1. Laki-laki 2.
Jenis Kelamin
Jumlah 110
Persen 91,67
Perempuan
10
8,33
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
128
Hasil ini nampak wajar mengingat bahwa pada umumnya laki-laki adalah kepala keluarga yang bertanggung jawab memberi nafkah keluarga. Perempuan yang bekerja sebagai PKL lebih bersifat membantu suami dalam mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Dominasi responden berjenis kelamin laki-laki juga ditunjukkan pada ketiga tipologi PKL. Hasil analisis pada Tabel 47 menunjukkan bahwa responden lakilaki mendominasi setiap tipologi dibandingkan perempuan. Mayoritas responden pasar tumpah (90,00 %), pasar sayur malam (95,00 %), dan pasar kuliner (90,00 %) adalah laki-laki. Tabel 47. Jenis Kelamin Responden Menurut Tipologi Pasar Tumpah
Pasar Sayur Malam
Pasar Kuliner
Jenis Kelamin
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
1.
Laki-laki
36
90,00
38
95,00
36
90,00
2.
Perempuan
4
10,00
2
5,00
4
10,00
Total
40
100,00
40
100,00
40
100,00
No.
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
5.2.2. Umur (A4) Analisis demografis untuk umur responden dilakukan pada kelompok umur 17 sampai lebih dari 65 tahun. Kelompok umur ini merupakan kelompok umur produktif yang melakukan aktivitas usaha dalam mencukupi ekonomi keluarga. Hasil analisis demografis kelompok umur responden disajikan pada Tabel 48. Tabel 48. Kelompok Umur Responden No.
Kelompok Umur (tahun)
Jumlah
Persen
1.
≤ 20
5
4,17
2.
20 - 30
39
32,50
3.
31 - 45
57
47,50
4.
46 - 65
18
15,00
5.
> 65
1
0,83
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden berumur antara 3145 tahun sebesar 47,50 %. Urutan selanjutnya adalah kelompok umur 20-30
129
tahun (32,50 %), 46-65 tahun (15,00 %), ≤ 20 tahun (4,17 %), dan > 65 tahun (0,83 %). Hasil ini menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah kelompok usia dewasa dan dipandang sudah memiliki pertimbangan yang rasional dalam berusaha. Kecenderungan serupa ditunjukkan dalam analisis kelompok umur responden menurut tipologinya. Untuk ketiga tipologi, kelompok umur antara 31-45 tahun mendominasi pasar tumpah (47,50 %), pasar sayur malam (55,00 %), dan pasar kuliner (40,00 %). Kelompok umur responden menurut tipologi disajikan pada Tabel 49. Tabel 49. Kelompok Umur Responden menurut tipologi No.
Kelompok Umur (tahun)
Tipologi Pasar Tumpah
Pasar Sayur Malam
Pasar Kuliner
Jml
%
Jml
%
Jml
%
1.
≤ 20
3
7,50
1
2,50
1
2,50
2.
20 - 30
14
35,00
12
30,00
13
32,50
3.
31 - 45
19
47,50
22
55,00
16
40,00
4.
46 - 65
4
10,00
5
12,50
9
22,50
5.
> 65
0
0,00
0
0,00
1
2,50
Total
40
100,00
40
100,00
40
100,00
Sumber : Data Primer 2011 (diolah)
5.2.3. Status Perkawinan Analisis demografis untuk status perkawinan responden disajikan pada Tabel 50. Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden sudah menikah (72,50 %) dan sisanya (27,50 %) belum menikah. Tabel 50. Status Perkawinan No.
Status Perkawinan
Jumlah
Persen
1.
Belum menikah
33
27,50
2.
Menikah
87
72,50
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Kecenderungan serupa juga ditunjukkan oleh ketiga tipologi dimana mayoritas responden adalah sudah menikah. Hasil ini nampak konsisten dengan
130
hasil pada kelompok umur responden dimana mayoritas responden adalah kelompok dewasa yang berada dalam usia pernikahan (Tabel 49). Hasil analisis status perkawinan responden menurut tipologinya disajikan pada Tabel 51. Tabel 51. Status Perkawinan menurut Tipologi PKL No. 1. 2.
Status Perkawinan Belum menikah Menikah Total
Pasar Tumpah Jml 15 25 40
% 37,50 62,50 100,00
Pasar Sayur Malam Jml % 8 20,00 32 80,00 40 100,00
Pasar Kuliner Jml 10 30 40
% 25,00 75,00 100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Dari Tabel 51 nampak bahwa untuk tipologi pasar tumpah, sebanyak 62,50 % sudah menikah, untuk pasar sayur malam sebanyak 80,00 % sudah menikah, dan untuk pasar kuliner sebanyak 75,00 % sudah menikah. 5.2.4. Tingkat Pendidikan (A6) Salah satu ciri dari sektor informal adalah rendahnya tingkat pendidikan para pelakunya. Analisis demografis untuk tingkat pendidikan responden disajikan pada Tabel 52. Tabel 52. Tingkat Pendidikan Responden No.
Tingkat Pendidikan
Jumlah
Persen
1.
SD/sederajat
67
55,83
2.
SMP/sederajat
37
30,83
3.
SMA/sederajat
13
10,83
4.
Akademi/sederajat
3
2,50
5.
Sarjana
0
0,00
6.
Pascasarjana
0
0,00
120
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Tabel 52 menunjukkan bahwa mayoritas responden berpendidikan SD atau sederajat yaitu sebesar 55,83 %. Urutan selanjutnya adalah SMP atau sederajat (30,83 %), SMA atau sederajat (10,83 %), dan akademi atau sederajat (2,50 %). Tidak terdapat responden dengan tingkat pendidikan sarjana dan pascasarjana.
131
Tabel 53. Tingkat Pendidikan Responden menurut Tipologi PKL No
Pendidikan
Pasar tumpah Jml
%
Pasar Sayur Malam Jml %
Pasar Kuliner Jml
%
1
SD/sederajat
22
55,00
27
67,50
18
45,00
2
SMP/sederajat
12
30,00
13
32,50
12
30,00
3
SMA/sederajat
6
15,00
0
0,00
7
17,50
4
Akademi/sederajat
0
0,00
0
0,00
3
7,50
5
Sarjana
0
0,00
0
0,00
0
0,00
6
Pascasarjana
0
0,00
0
0,00
0
0,00
Total
40
100,00
40
100,00
40
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Berdasarkan tipologinya, dapat dilihat bahwa ketiga tipologi menunjukkan kecenderungan yang sama dimana tingkat pendidikan dasar (SD atau sederajat) mendominasi responden. Tingkat pendidikan untuk pasar kuliner lebih beragam dimana terdapat 7,50 % responden berpendidikan akademi atau sederajat yang kemungkinan disebabkan karena usaha kuliner membutuhkan skill khusus. Tingginya persentase tingkat pendidikan SD menunjukkan bahwa mayoritas responden pelaku PKL berpendidikan rendah. Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian Timalsina (2011) bahwa aktivitas PKL didominasi oleh migran dari pedesaan dengan pendidikan dan skill rendah. Beberapa peneliti seperti Suharto (2003) dalam studi PKL di Bandung, Budi (2006) dalam studi PKL di Pemalang, Disperindagkop kota Bogor (2009) juga menunjukkan bahwa mayoritas PKL berpendidikan setara SD. 5.2.5. Asal Responden (A7) Analisis demografis asal responden dimaksudkan untuk mengetahui dampak migrasi tenaga kerja terhadap pertumbuhan PKL di kota Bogor. Hasil analisis asal kota responden disajikan pada Tabel 54. Tabel 54. Asal Kota Responden No. 1. 2.
Asal Kota Kota Bogor Luar kota Bogor Total
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Jumlah
Persen
82 38 120
68,33 31,67 100,00
132
Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden berasal dari kota Bogor (68,33 %) dan sisanya (31,67%) berasal dari luar kota Bogor. Hasil ini mengindikasikan bahwa banyak warga kota Bogor yang bekerja sebagai PKL untuk mendukung aktivitas perekonomiannya.
Meskipun hasil ini kurang
konklusif, tetapi menunjukkan bahwa profesi PKL bukan saja didominasi oleh pekerja migran tetapi warga lokal juga turut menjalankan aktivitas ini. Tabel 55. Asal Kota Responden menurut Tipologi PKL No.
Asal Kota
Pasar Tumpah Jml
%
Pasar Sayur Malam Jml %
Pasar Kuliner Jml %
1.
Kota Bogor
33
82,50
29
72,50
20
50,00
2.
Luar kota Bogor
7
17,50
11
27,50
20
50,00
Total
40
100,00
40
100,00
40
100,00
Sumber : Data Primer 2011 (diolah)
Hasil ini sejalan dengan temuan Disperindagkop (2010) dalam studi pemetaan lokasi PKL di kota Bogor dimana sebanyak 76 % PKL berasal dari kota Bogor. Hal ini menunjukkan bahwa mereka terlibat dalam usaha PKL karena adanya kedekatan dengan akses berjualan. 5.2.6. Suku Bangsa (A8) Hasil analisis demografis suku bangsa responden menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah suku Sunda (79,17 %), diikuti oleh suku Jawa (15,83 %), Padang (3,33 %), dan suku lainnya (1,67 %). Hasil analisis suku bangsa responden disajikan pada Tabel 56. Tabel 56. Suku Bangsa Responden No
Suku Bangsa
Jumlah
Persen
1
Jawa
19
15,83
2
Sunda
95
79,17
3
Batak
0
0,00
4
Padang
4
3,33
5
Lainnya
2
1,67
120
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
133
Berdasarkan
tipologinya,
suku
bangsa
responden
menunjukkan
kecenderungan yang sama yaitu didominasi oleh suku Sunda. Hasil ini nampak konsisten dengan Tabel 43 dimana mayoritas responden berasal dari kota Bogor (Sunda). Namun perlu dipahami bahwa suku bangsa tidak selalu berkorelasi dengan asal. Contoh, responden yang berasal dari kota Bogor tetapi suku bangsa Jawa karena dia keturunan Jawa yang orang tuanya sudah lama menetap di Bogor sehingga mempunyai KTP Bogor. Hasil analisis suku bangsa menurut tipologi disajikan pada Tabel 57. Tabel 57. Suku Bangsa Responden menurut Tipologi No
Suku Bangsa
Pasar tumpah
Pasar Sayur Malam
Pasar Kuliner
Jml
%
Jml
%
Jml
%
1
Jawa
4
10,00
1
2,50
14
35,00
2
Sunda
32
80,00
39
97,50
24
60,00
3
Batak
0
0,00
0
0,00
0
0,00
4
Padang
3
7,50
0
0,00
1
2,50
5
Lainnya
1
2,50
0
0,00
1
2,50
Total
40
100,00
40
100,00
40
100,00
Sumber : Data Primer 2011 (diolah)
5.2.7. Status dalam Keluarga (A9) Analisis demografis responden juga dilakukan terhadap status responden dalam keluarga. Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah kepala rumah tangga (69,17 %). Hasil ini konsisten dengan Tabel 50 dimana mayoritas responden sudah menikah. Bila di-crosscheck antara responden yang belum menikah (33 responden) dengan status sebagai anggota keluarga, terlihat bahwa sebanyak 4 responden yang sudah menikah ternyata masih menjadi anggota keluarga. Hal ini disebabkan karena rumah tangga tersebut merupakan rumah tangga baru sehingga belum memiliki Kartu Keluarga sendiri dan masih menginduk pada orang tua. Hasil analisis status dalam keluarga disajikan pada Tabel 58 dan perbandingan menurut tipologinya disajikan pada Tabel 59.
134
Tabel 58. Status Responden Dalam Keluarga No.
Status dalam Keluarga
Jumlah
Persen
1.
Kepala rumah tangga
83
69,17
2.
Anggota keluarga
37
30,83
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Tabel 59. Status Responden Dalam Keluarga menurut Tipologi No.
Status dalam Keluarga
Pasar Tumpah Jml
%
Pasar Sayur Malam Jml %
Pasar Kuliner Jml %
1.
Kepala rumah tangga
24
60,00
30
75,00
29
72,50
2.
Anggota keluarga
16
40,00
10
25,00
11
27,50
Total
40
100,00
40
100,00
40
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
5.2.8. Tanggungan dalam Keluarga (A10) Responden bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dirinya sendiri tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Hasil analisis tanggungan dalam keluarga disajikan pada Tabel 60. Tabel 60. Tanggungan dalam Keluarga No.
Tanggungan
Jumlah
Persen
1.
Punya tanggungan
71
59,17
2.
Tidak punya tanggungan
49
40,83
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Tabel 60 menunjukkan bahwa mayoritas responden (59,17 %) memiliki tanggungan dalam keluarga. Jika di-crosschek dengan Tabel 46 maka terlihat bahwa sebagian responden yang berstatus sebagai anggota keluarga memiliki tanggungan keluarga. Tanggungan tersebut dapat berupa orang tua atau kerabat. Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa dari 71 responden yang menyatakan memiliki tanggungan, secara rata-rata responden menyatakan memiliki tanggungan lebih dari 3 orang (62,50 %). Hasil ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan temuan Disperindagkop (2010) bahwa rata-rata PKL kota Bogor memiliki
tanggungan sebanyak 4 orang. Jumlah tanggungan akan
berimplikasi kepada beban ekonomi. Semakin banyak tanggungan maka semakin
135
besar beban ekonomi yang harus dipenuhi. Hasil analisis jumlah tanggungan keluarga responden disajikan pada Tabel 61. Tabel 61. Jumlah Tanggungan dalam Keluarga No.
Tanggungan
Jumlah
Persen
1.
≤ 2 orang
39
54,93
2.
> 2 orang
32
45,07
Total
71
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
5.2.9. Pendidikan Tertinggi dalam Keluarga (A12) Analisis berikutnya diarahkan pada tingkat pendidikan tertinggi yang dicapai dalam keluarga responden. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 96 responden yang memberikan jawaban, mayoritas tingkat pendidikan tertinggi yang dicapai dalam keluarga adalah SMA atau sederajat (35,42 %). Sebanyak 23,96 % responden menyatakan dapat menyekolahkan tanggungannya sampai ke akademi atau sederajat, dan sebagian kecil (3,13 %) bahkan mampu menyekolahkan sampai tingkat sarjana. Tabel 62. Tingkat Pendidikan Tertinggi dalam Keluarga No.
Tingkat Pendidikan
Jumlah
Persen
1.
SD/sederajat
13
13,54
2.
SMP/sederajat
23
23,96
3.
SMA/sederajat
34
35,42
4.
Akademi/sederajat
23
23,96
5.
Sarjana
3
3,13
6.
Pascasarjana
0
0,00
Total
96
100,00
Sumber : Data Primer 2011 (diolah)
Hasil ini kontradiktif dengan temuan Suharto (2003) pada studi PKL di kota Bandung bahwa mayoritas (80 %) PKL masih dikategorikan miskin dan rentan, bahkan menurut pandangan umum pekerjaan PKL sebagai sektor inferior dibandingkan sektor formal dan seringkali dikaitkan dengan faktor kemiskinan perkotaan.
Faktanya, mereka mampu menyekolahkan anak pada pendidikan
menengah sampai tinggi sehingga mereka tidak dapat dikatakan miskin.
136
5.2.10. Kondisi Kesehatan (A13) Kondisi kesehatan keluarga PKL didekati dengan pertanyaan mengenai jumlah keluarga yang sakit selama tiga bulan terakhir.
Pertanyaan ini juga
digunakan untuk mengetahui kontribusi PKL terhadap pembangunan kota Bogor dalam analisis regresi pada bagian pembahasan berikutnya. Hasil analisis kondisi kesehatan keluarga PKL dalam tiga bulan terakhir disajikan pada Tabel 63. Tabel 63. Kondisi Kesehatan Keluarga PKL selama 3 bulan terakhir No.
Kondisi Kesehatan
Jumlah
Persen
1.
Ya
45
37,50
2.
Tidak
75
62,50
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan mayoritas responden (62,50 %) menyatakan bahwa selama tiga bulan terakhir tidak ada keluarga yang sakit dan 37,50 % menyatakan ada sebagian anggota keluarga yang sakit. Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat kesehatan responden secara umum cukup baik. Perbandingan antar tipologi menunjukkan kecenderungan serupa dimana mayoritas responden menyatakan tidak ada keluarga yang sakit dalam tiga bulan terakhir.
Untuk tipologi pasar kuliner, mayoritas responden (55,00 %)
menyatakan bahwa terdapat keluarga yang sakit selama tiga bulan terakhir meski jumlahnya tidak jauh berbeda dengan yang menyatakan tidak ada keluarga yang sakit. Hasil analisis kondisi kesehatan keluarga menurut tipologi disajikan pada Tabel 64. Tabel 64. Kondisi Kesehatan Keluarga Menurut Tipologi No.
Keberadaan Anggota Keluarga yang Sakit
Pasar Tumpah Jml
%
Pasar Sayur Malam Jml %
Pasar Kuliner Jml %
1.
Ya
13
32,50
10
25,00
22
55,00
2.
Tidak
27
67,50
30
75,00
18
45,00
Total
40
100,00
40
100,00
40
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Tidak semua responden bersedia menyebutkan rata-rata pengeluaran kesehatan per bulan (A14). Sebanyak 40 responden memberikan respon terhadap
137
biaya pengobatan. Asumsi kisaran biaya pengobatan adalah sakit ringan ke dokter umum atau hanya membeli obat ringan ke apotik/toko adalah kurang dari Rp 30.000,-/bulan, sakit sedang antara Rp 30.000,- sampai Rp 100.000,-/bulan, dan sakit berat lebih dari Rp 100.000,-/bulan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa
mayoritas responden (47,50 %) mengeluarkan biaya pengobatan kurang dari Rp 30.000,-/bulan.
Hasil ini menunjukkan bahwa sakit yang dialami anggota
keluarga umumnya berupa sakit ringan seperti flu, pusing, demam, dan lain-lain yang hanya membutuhkan obat-obatan ringan.
Hasil analisis biaya berobat
disajikan pada Tabel 65. Tabel 65. Biaya Berobat Responden No.
Biaya Berobat (Rp)
Jumlah
Persen
1.
≤ 30.000
19
47,50
2.
30.000 - 100.000
15
37,50
3.
>100.000
6
15,00
Total
40
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Analisis lebih lanjut terhadap kondisi kesehatan keluarga responden diarahkan pada pertanyaan frekuensi sakit dalam tiga bulan terakhir (A15). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa frekuensi sakit per bulan rata-rata adalah 1,6. kali per keluarga. Merujuk pada hasil biaya berobat, sakit tersebut adalah sakit ringan dan dapat diobati dengan obat-obatan yang umum tersedia di pasar. 5.2.11. Kondisi Ekonomi (A16) Sektor informal seringkali dikaitkan dengan kemiskinan perkotaan sehingga pertanyaan berikutnya diarahkan pada salah satu indikator kemiskinan yang digunakan di Indonesia yaitu Bantuan Langsung Tunai (BLT).
BLT adalah
kompensasi berupa transfer cash akibat dicabutnya subsidi bahan bakar minyak bagi keluarga kurang mampu, yang diberikan per tiga bulan.
Meski banyak
diperdebatkan BLT tetap berjalan sesuai dengan kebijakan pemerintah.
BLT
menjadi salah satu indikator apakah suatu keluarga dikatakan kurang mampu atau tidak. Salah satu indikator penerima BLT adalah berpendapatan kurang dari Rp 600.000,- per bulan. Hasil analisis responden sebagai penerima BLT disajikan pada Tabel 66.
138
Tabel 66. Responden Penerima BLT No.
Mendapatkan BLT
Jumlah
Persen
7
5,83
1.
Ya
2.
Tidak
113
94,17
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa sebanyak 94,17% responden tidak menerima atau bukan penerima BLT. Hasil analisis tersebut mengejutkan dan kontradiktif dengan pandangan umum bahwa PKL berhubungan dengan kemiskinan. Suharto (2003) menemukan bahwa mayoritas (80%) PKL masih dikategorikan miskin dan rentan. Dengan referensi indikator manusia dan modal sosial, PKL dapat dikategorikan tidak ‘miskin’ karena memiliki pendidikan dasar mencukupi dan akses terhadap jasa kesehatan dan fasilitas perumahan, meski propensitas dalam aktivitas sosial rendah. Pendekatan dalam analisis ini digunakan dengan asumsi bahwa penerima BLT adalah keluarga miskin. 5.3. Karakteristik Usaha PKL sekarang bukan lagi sebagai pekerjaan sampingan tetapi sudah menjadi pekerjaan utama sebagian masyarakat. Untuk lebih mengetahui kondisi usaha PKL maka beberapa pertanyaan yang terkait dengan karakteristik usaha diajukan kepada responden. Pertanyaan tersebut adalah : usaha sebelum menjadi PKL (B1), motivasi menjadi PKL (B2), lama menjadi PKL (B3), pernah berusaha di tempat lain (B4), alasan pemilihan lokasi PKL (B5), jenis barang dagangan (B6), tipologi (B7), prasaranan usaha (B8), pengelompokan usaha (B9), waktu usaha (B10), lokasi nama jalan tempat usaha (B11), tempat usaha (B12), luas penggunaan tempat (B13), kondisi kebersihan lokasi usaha (B14), posisi lokasi usaha (B15), usaha serupa di tempat lain (B16), jumlah usaha di tempat lain (B17) dan registrasi usaha (B18). Untuk kepentingan pembahasan, pertanyaan tipologi (B7) dan lokasi nama jalan tempat usaha (B11) dibahas terpisah di bagian atas pada distribusi sampel dan tipologi PKL.
139
5.3.1. Usaha/Pekerjaan sebelum Menjadi PKL Usaha PKL menjadi alternatif bagi mereka yang tidak mendapatkan posisi pekerjaan di sektor formal. PKL sebagai bagian dari sektor informal muncul ke permukaan karena sektor formal tidak memberikan ruang lingkup yang cukup sehingga kegiatan ekonomi berlangsung di luar sektor yang terorganisir. Hasil analisis usaha responden sebelum menjadi PKL disajikan pada Tabel 67. Tabel 67. Usaha Sebelum menjadi PKL (B1) No.
Usaha sebelum PKL
Jumlah
Persen
1.
Tidak punya usaha
46
38,33
2.
Karyawan swasta
25
20,83
3.
Pedagang kios pasar
7
5,83
4.
Usaha di rumah
12
10,00
5.
Lainnya (kuli, asongan, sayur)
30
25,00
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden (38,33 %) menyatakan tidak mempunyai usaha sebelum menjadi PKL. Hasil analisis ini sejalan dengan pandangan Bromley (dalam Manning dan Effendi, 1996) yang menyatakan bahwa usaha PKL merupakan jenis pekerjaan yang penting dan relatif khas dalam sektor informal di kota. Kekhususan tersebut dikarenakan usaha ini relatif paling mudah dimasuki. Hasil analisis juga menunjukkan meski masih dikategorikan PKL, banyak responden memiliki usaha lain (25,00 %) berganti usaha ke tiga tipologi yang digunakan dalam analisis penelitian ini yang mungkin lebih menguntungkan dari sisi pendapatannya. Hasil ini mengindikasikan bahwa sebenarnya PKL sudah memiliki jiwa kewirausahaan sehingga sangat paham akan usahanya, jika dirasakan kurang menguntungkan akan berganti ke usaha PKL lain. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa sebanyak 20,83 % responden sebelumnya bekerja di sektor formal (karyawan swasta). Perpindahan menjadi PKL disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi secara masif selama krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 dan 1998.
Alasan lain
terkait dengan rendahnya upah bagi pekerja kelas buruh di Indonesia.
Upah
140
minimum regional untuk kota Bogor pada tahun 2011 tercatat sebesar Rp 1.172.060,-. Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan Upah Minimum Regional dan Upah Minimum Propinsi tetapi dirasakan masih kurang mencukupi tuntutan kebutuhan ekonomi yang terus meningkat. Sebanyak 10 % responden memiliki usaha di rumah sebelum menjadi PKL. Karakteristik usaha di rumah sangat berbeda dengan usaha PKL yang langsung berhubungan dengan konsumen meski dari sisi tempat usaha lebih ada jaminan. Sebanyak 5,83 % responden menyatakan bekerja sebagai pedagang kios pasar sebelum menjadi PKL. Mereka menjadi PKL disebabkan oleh: Pertama, terjadi kebakaran Pasar Anyar sehingga banyak pedagang kios pasar yang kehilangan tempat usaha.
Kedua, meningkatnya biaya sewa kios pasar resmi sehingga
mereka tidak mampu menutup biaya sewa untuk usahanya.
Ketiga, semakin
longgarnya penertiban kawasan PKL yang dilakukan Pemerintah Kota Bogor. 5.3.2. Motivasi Menjadi PKL (B2) Beragam motif mendasari responden untuk menjadi PKL. Untuk mengetahui jawaban motivasi ini maka responden dapat memberikan lebih dari satu jawaban terhadap pertanyaan ini sehingga total diperoleh 123 jawaban.
Hasil analisis
menunjukkan bahwa mayoritas responden memilih bekerja sebagai PKL karena lebih menguntungkan (29,27 %) dibandingkan usaha lain yang dapat mereka lakukan. Tabel 68. Motivasi Menjadi PKL No.
Motivasi Menjadi PKL
Jumlah
Persen
1.
Menganggur
28
22,76
2.
PHK
7
5,69
3.
Usaha lebih menguntungkan
36
29,27
4.
Merintis usaha lebih besar
28
22,76
5.
Modal usaha ringan atau kecil
24
19,51
Total
123
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Tabel 68 juga menunjukkan bahwa sebanyak 22,76 % responden memiliki motivasi merintis usaha lebih besar. Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki harapan untuk mengembangkan usaha dimana aktivitas PKL digunakan sebagai
141
batu loncatan. Hal ini dapat terwujud bila Pemerintah Kota lebih memperhatikan kapasitas mereka dalam berusaha. Banyak contoh PKL yang sekarang memiliki usaha lebih besar. Sebagian responden menjadi PKL karena menganggur (22,76 %) dan karena PHK (5,69 %). Hasil ini mengindikasikan bahwa PKL mampu menjadi pekerjaan alternatif bagi mereka yang tidak memiliki pekerjaan atau mereka yang terkena PHK di tempat kerjanya. Survei Disperindagkop (2010) menemukan bahwa mayoritas PKL memiliki keinginan berdagang dari diri sendiri (66 %), diajak keluarga (23 %), diajak teman (10 %), dan lainnya (1 %).
Dari sisi pajak dan regulasi, Schneider (2002)
menemukan bahwa orang menjalankan ekonomi informal dengan beragam alasan, di antara yang terpenting adalah tindakan pemerintah, terutama pajak dan regulasi. 5.3.3. Lama Menjadi PKL (B3) Berdasarkan lama menjadi PKL, mayoritas responden telah menggeluti usaha ini lebih dari 5 tahun (47,50 %). Sebanyak 52 responden (43,33 %) menyatakan bahwa mereka telah mulai membuka usaha kaki lima antara 1-5 tahun dan sebanyak 9,17 % responden menjalankan usahanya kurang dari setahun. Hasil ini mengindikasikan bahwa kegiatan usaha kaki lima bukan lagi menjadi pekerjaan sampingan tetapi alternatif mata pencaharian utama yang dapat menjaga kelangsungan hidup keluarga PKL. Hasil analisis lama menjadi PKL disajikan pada Tabel 69. Tabel 69. Lama Menjadi PKL No.
Lama Menjadi PKL
Jumlah
Persen
1.
≤ 1 tahun
11
9,17
2.
1 - 5 tahun
52
43,33
3.
>5 tahun
57
47,50
Total
120
100,00
Sumber : Data Primer 2011 (diolah)
Di satu sisi, lama menjadi PKL juga menunjukkan bahwa usaha PKL dapat memberikan pendapatan yang mencukupi bagi pelaku PKL dan di sisi lain mengindikasikan bahwa belum tersedia lapangan kerja yang lebih baik bagi pelaku PKL.
142
5.3.4. Keberadaan Usaha di Tempat Lain (B4) Eksplorasi lebih lanjut terhadap pernah-tidaknya responden berusaha atau berjualan di tempat lain menunjukkan bahwa mayoritas responden (55,00 %) pernah berjualan di tempat lain dan sisanya (45,00 %) belum pernah berusaha di tempat lain. Dengan kata lain mereka berpindah ke lokasi sekarang. Perpindahan ini karena penggusuran, lokasi yang lebih ramai dan menguntungkan, lebih dekat dengan tempat tinggal atau alasan-alasan lain. Hasil analisis pernah-tidaknya responden berusaha atau berjualan di tempat lain disajikan pada Tabel 70. Tabel 70. Pernah-Tidaknya Responden Berusaha atau Berjualan di Tempat Lain No.
Pernah Usaha di Tempat Lain
Jumlah
Persen
1.
Ya
66
55,00
2.
Tidak
54
45,00
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
5.3.5. Pemilihan Lokasi (B5) Keberhasilan usaha PKL sangat tergantung pada keputusan pemilihan lokasi. Untuk mengetahui kisaran jawaban yang lebih luas, maka responden dapat menjawab lebih dari satu jawaban.
Hasil analisis faktor pemilihan lokasi
disajikan pada Tabel 71. Tabel 71. Alasan Pemilihan Lokasi Seluruh Sampel No.
Alasan Memilih Lokasi
Jumlah
Persen
1.
Ramai/sering dikunjungi pembeli
80
44,44
2.
Pendapatan memuaskan
17
9,44
3.
Biaya transportasi murah/dekat rumah
33
18,33
4.
Berkumpul dengan usaha sejenis
10
5,56
5.
Tidak mampu beli kios
25
13,89
6.
Kios resmi penuh
3
1,67
7.
Lainnya
12
6,67
Total
180
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis pada Tabel 71 menunjukkan bahwa mayoritas responden (44,44 %) memilih lokasi dengan pertimbangan ramai atau sering dikunjungi pembeli. Urutan berikutnya adalah biaya transportasi murah/dekat rumah (18,33 %), tidak
143
mampu membeli kios (13,89 %), pendapatan memuaskan (9,44 %), pertimbangan lainnya (6,67 %), berkumpul dengan usaha sejenis (5,56 %), dan kios resmi penuh (1,67 %). Pertimbangan ramai atau sering dikunjungi pembeli paling banyak menjadi alasan responden. Hal ini berkaitan dengan salah satu fungsi pemasaran, yaitu mendekatkan komoditi pada konsumen (place utility). Dengan demikian, aktivitas kegiatan perdagangan sektor informal akan hadir di lokasi-lokasi keramaian seperti pada kawasan perdagangan, perkantoran, pendidikan, perumahan, dan lokasi-lokasi strategis lainnya. Bromley dalam Manning dan Effendi (1996) menggunakan studi pedagang sektor informal di Cali, Colombo, menyatakan bahwa para pedagang sektor informal dijumpai di semua sektor kota, terutama berpusat di tengah kota dan pusat-pusat hiburan lainnya ketika ada pertunjukan, sehingga menarik sejumlah besar penduduk. Kecenderungan penggunaan ruang kota bagi aktivitas usaha PKL tidak lepas dari keberadaan sektor formal di suatu lokasi. menyatakan
bahwa
pada
umumnya
PKL
McGee dan Yeung (1977) cenderung
berlokasi
secara
mengelompok pada area yang memiliki tingkat intensitas aktivitas yang tinggi, seperti pada simpul-simpul jalur transportasi atau lokasi-lokasi yang memiliki aktivitas hiburan, pasar, maupun ruang terbuka. Studi yang dilakukan oleh Joedo (1977) dalam Widjajanti (2000) menemukan bahwa lokasi yang diminati aktivitas perdagangan sektor informal, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1.
Terdapat akumulasi orang yang melakukan kegiatan bersama-sama pada waktu yang relatif sama sepanjang hari. Ciri ini bisa kita jumpai di lokasilokasi perdagangan, pendidikan, dan perkantoran.
2.
Berada pada kawasan tertentu yang merupakan pusat kegiatan perekonomian kota dan pusat non ekonomi perkotaan, tetapi sering
dikunjungi dalam
jumlah besar. Kondisi ini merupakan ciri dari lokasi-lokasi wisata atau ruangruang rekreatif kota, seperti taman kota dan lapangan olah raga yang biasa ramai di hari libur. 3.
Mempunyai kemudahan untuk terjadinya hubungan antara pedagang dengan calon pembeli, walaupun dilakukan dalam ruang yang relatif sempit.
144
4.
Tidak memerlukan ketersediaan fasilitas dan utilitas pelayanan umum. Transportasi murah/dekat rumah juga menjadi pertimbangan responden dalam
memilih lokasi usaha. Hasil penelitian Rachbini dan Hamid (1994) mengenai PKL di Jakarta dan Surabaya mengemukakan bahwa ada korelasi yang tinggi antara tingkat mobilitas tempat usaha dengan mobilitas tempat tinggal. Dengan kata lain mobilitas tempat tinggal terjadi karena mobilitas tempat usaha dan bukan sebaliknya. Massa pedagang dan jasa informal harus mengikuti dan bertempat tinggal di mana saja dan ke mana gerobak alat dagangannya akan dipangkalkan. Mereka harus dekat dengan tempat usaha. Jika tidak, mereka akan dililit oleh masalah ongkos transportasi dan kesulitan-kesulitan lain menyangkut cara membawa dan menyimpan alat-alat usahanya. Dalam teori lokasi yang mengemukakan tentang transportasi disebutkan bahwa penting untuk menentukan lokasi sehingga diperoleh biaya angkutan minimum (Djojodipuro, 1992). Hal ini berkaitan pula dengan ketersediaan sarana transportasi, baik
bagi
PKL
bersangkutan
maupun
bagi
pembeli/konsumen.
Aktivitas
perekonomian kota umumnya merupakan tempat yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan pelaku kegiatan.
5.3.6. Jenis Barang Dagangan (B6) Jenis barang dagangan PKL sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di sekitar kawasan di mana pedagang tersebut beraktivitas. Misalnya di suatu kawasan perdagangan, maka jenis dagangan yang ditawarkan akan beranekaragam, bisa berupa makanan/minuman, barang kelontong, pakaian, dan lain-lain. Jenis dagangan yang ditawarkan oleh PKL dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok utama, yaitu : 1.
Makanan yang tidak dan belum diproses, termasuk di dalamnya makanan mentah seperti daging, buah-buahan, dan sayuran.
2.
Makanan siap saji, seperti nasi dan lauk-pauk serta minuman.
3.
Barang bukan makanan, mulai dari tekstil hingga obat-obatan.
4.
Jasa, yang terdiri dari beragam aktivitas, misalnya tukang potong rambut dan lain sebagainya. Hasil analisis jenis barang dagangan PKL untuk tiga tipologi PKL disajikan pada
Tabel 72.
145
Tabel 72. Jenis Barang Dagangan PKL No.
Jenis Barang Dagangan
Jumlah
Persen
1.
Sayur- mayur
51
42,50
2.
Makanan/lauk-ppauk mentah
11
9,17
3.
Bumbu dapur
4
3,33
4.
Makanan/minuman jadi
36
30,00
5.
Asesoris
1
0,83
6.
Lainnya
17
14,17
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas pedagang (42,50 %) memilih berdagang sayur-mayur, diikuti oleh makanan/minuman jadi (30,00 %), barang dagangan lainnya (14,17 %), makanan/lauk-pauk mentah (9,17 %), bumbu dapur (3,33 %), dan asesoris (0,83 %). Hasil ini konsisten dengan tipologi pedagang yang digunakan sebagai populasi penelitian yaitu pasar tumpah dengan jenis barang dagangan beragam (jenis barang dagangan lainnya), pasar sayur malam (jenis barang dagangan sayur-mayur), dan pasar kuliner (jenis barang dagangan makanan/lauk-pauk mentah dan makanan/minuman jadi). 5.3.7. Jenis Sarana Usaha yang Digunakan (B8) Bentuk sarana perdagangan yang digunakan oleh PKL dalam menjalankan aktivitasnya sangat bervariasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh McGee dan Yeung (1977) di kota-kota di Asia Tenggara menunjukkan bahwa pada umumnya bentuk sarana tersebut sangat sederhana dan biasanya mudah untuk dipindah atau dibawa dari satu tempat ke tempat lain dan dipengaruhi oleh jenis dagangan yang dijual. Hasil analisis terhadap tiga tipologi PKL (Tabel 73) menunjukkan bahwa mayoritas responden (49,17 %) menggunakan gelaran atau hamparan dalam berdagang. Gelaran atau alas tersebut berupa tikar, terpal, kain atau lainnya untuk menjajakan dagangan. Pedagang PKL tipe ini dapat dikategorikan dalam aktivitas semi permanen (semi static).
146
Tabel 73. Sarana Usaha yang Digunakan PKL No.
Sarana Usaha
Jumlah
Persen
1.
Warung tenda
23
19,17
2.
Gerobak/kereta dorong
30
25,00
3.
Pikulan/keranjang
6
5,00
4.
Gelaran/hamparan
59
49,17
5.
Kios
0
0,00
6.
Sementara
1
0,83
7.
Lainnya: mobil, sepeda, dan lain-lain
1
0,83
120
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Sebanyak 25,00 % responden menggunakan gerobak atau kereta dorong . Bentuk sarana ini terdiri dari 2 macam, yaitu gerobak/kereta dorong tanpa atap dan gerobak/kereta dorong yang beratap untuk melindungi barang dagangan dari pengaruh cuaca. Bentuk ini dapat dikategorikan sebagai aktivitas PKL yang permanen (static) atau semi permanen (semi static), dan umumnya dijumpai pada PKL yang berjualan makanan, minuman, dan rokok.
Dikelompokkan permanen jika
gerobak/kereta dorong tersebut tidak dipindah-pindah atau menetap dan dikatakan semi permanen jika berpindah-pindah.
Warung tenda juga banyak digunakan sebagai sarana usaha (19,17 %). Gerobak/kereta dorong diatur sedemikian rupa secara berderet dan dilengkapi dengan kursi dan/atau meja. Bagian atap dan sekelilingnya biasanya ditutup dengan pelindung yang terbuat dari plastik, terpal atau lainnya yang tidak tembus air. Berdasarkan sarana usaha tersebut, PKL demikian dapat dikategorikan sebagai pedagang permanen (static) yang umumnya untuk jenis dagangan makanan dan minuman. Sebagian PKL (5,00 %) menggunakan pikulan/keranjang. Bentuk sarana perdagangan ini digunakan oleh PKL keliling (mobile hawkers) atau semi permanen (semi static), yang sering dijumpai pada PKL yang berjualan beragam jenis barang dan minuman. Bentuk ini dimaksudkan agar barang dagangan mudah dibawa atau dipindah tempat. Tidak terdapat PKL yang menggunakan sarana kios (0,00 %). Bentuk sarana PKL ini menggunakan papan-papan yang diatur sedemikian rupa sehingga
147
menyerupai sebuah bilik semi permanen dan si pedagang juga tinggal di tempat tersebut. PKL ini dapat dikategorikan sebagai pedagang menetap (static).
Sarana lain seperti mobil, sepeda, dan lain-lain juga digunakan oleh PKL (0,83 %). Bentuk sarana ini digunakan oleh PKL keliling (mobile hawkers) atau semi permanen (semi static) yang berpindah-pindah lokasi untuk mencari konsumen.
5.3.8. Pola Penyebaran PKL (B9) Berdasarkan pola penyebarannya, aktivitas PKL dapat dikelompokkan dalam 2 pola, yaitu berkelompok dengan usaha sejenis dan bercampur dengan usaha jenis lain. Hasil analisis pola penyebaran PKL disajikan pada Tabel 74.
Tabel 74. Pola Penyebaran PKL No.
Pengelompokan Dagangan
Jumlah
Persen
1.
Berkelompok dengan usaha sejenis
35
29,17
2.
Bercampur dengan usaha jenis lain
85
70,83
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden bercampur dengan usaha jenis lain (70,83 %). Pada umumnya pola penyebaran memanjang atau linier concentration terjadi di sepanjang atau di pinggir jalan utama atau pada jalan yang menghubungkan jalan utama. PKL tipe ini dapat ditemukan di sekitar Taman Topi, Merdeka, Pasar Bogor, Pasar Anyar dimana pola jaringan jalan menentukan aktivitas PKL. Pola kegiatan linier lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan aksesibilitas yang tinggi pada lokasi yang bersangkutan. Dari sisi pangsa pasar, hal ini sangat menguntungkan, karena mempunyai peluang yang tinggi dalam maraih konsumen. Jenis komoditi yang biasa diperdagangkan adalah pakaian, sepatu, kelontong, dan sebagainya. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa PKL memiliki pola berkelompok dengan usaha sejenis (29,17 %). Pola penyebaran seperti ini biasanya banyak dipengaruhi oleh adanya pertimbangan aglomerasi, yaitu suatu pemusatan atau pengelompokan pedagang sejenis atau pedagang yang mempunyai sifat komoditas yang sama atau saling menunjang di suatu tempat. Dari tiga tipologi pedagang yang dianalisis, pola ini dapat ditemukan pada pasar sayur malam (Pasar Bogor, Pasar Anyar, Merdeka) dan pasar kuliner (Merdeka, depan Pusat Grosir Bogor, dan Jembatan Merah).
148
5.3.9. Waktu Operasi PKL (B10) McGee dan Yeung (1977) menyatakan bahwa pola aktivitas PKL menyesuaikan denganp irama ciri kehidupan masyarakat sehari-hari.
Penentuan periode waktu
kegiatan PKL didasarkan pula atau sesuai dengan perilaku kegiatan formal. Adapun perilaku kegiatan keduanya cenderung sejalan, walaupun pada saat tertentu kaitan aktivitas keduanya lemah atau tidak ada hubungan langsung antara keduanya. Hasil analisis waktu operasi PKL disajikan pada Tabel 75.
Tabel 75. Waktu Operasi PKL No.
Waktu Operasi
Jumlah
Persen
1.
Malam-Pagi
39
32,50
2.
Pagi-Malam
9
7,50
3.
Pagi-Siang
51
42,50
4.
Siang-Malam
21
17,50
120
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Dalam penelitian ini, waktu operasi dibagi ke dalam 4 kelompok. Jika diamati, pengelompokan waktu operasi tersebut menunjukkan bahwa aktivitas operasi PKL di kota Bogor berlangsung penuh selama 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas PKL beroperasi pada waktu pagi-siang (42,50 %). Waktu operasi ini sesuai dengan aktivitas masyarakat umum yang umumnya berlangsung pagi-siang sehingga dengan waktu tersebut mereka dapat memperoleh konsumen secara maksimal. Kondisi ini dapat teramati di sekitar Pasar Anyar dan Merdeka dimana pada waktu pagi-siang PKL beroperasi penuh, sedangkan menjelang sore-malam kondisinya sangat sepi. Urutan waktu operasi berikutnya adalah malam-pagi (32,50 %). PKL tipe ini
umumnya adalah pasar sayur malam. Waktu operasi berikutnya adalah siangmalam (17,50 %) yang biasanya adalah PKL pasar kuliner, penjual kelontong dan penjual pakaian yang menggunakan tempat/kios kecil di tempat-tempat ramai . 5.3.10. Lama Waktu Operasi (C2) Hasil analisis data menunjukkan bahwa rata-rata PKL bekerja selama 10 jam (9,73 jam) per hari. Waktu operasi ini sedikit lebih tinggi bila dibandingkan jam kerja kantoran dari jam 08.00-16.00 yaitu sekitar 8 jam. Pengamatan lapangan
149
menunjukkan bahwa lama waktu operasi ini tergantung pada setiap PKL. Mereka cenderung berhenti bekerja jika barang dagangannya sudah cukup terjual. Tabel 76. Lama Waktu Operasi No.
Lama Kerja (jam)
Ya
Persen
1.
<=5
5
4,17
2.
5-10
77
64,17
3.
>10
38
31,67
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Dari sisi jumlah hari kerja dalam seminggu (C3), hasil analisis yang disajikan pada Tabel 77 menunjukkan bahwa mayoritas responden (75.00%) bekerja penuh selama seminggu tanpa memiliki hari libur. Kondisi ini mencirikan aktivitas usaha informal dimana mereka mengatur sendiri waktu liburnya. Mereka akan libur bila ada keperluan tertentu saja. Tabel 77. Lama Hari Kerja dalam Seminggu No.
Lama Kerja (Hari)
Ya
Persen
1.
5
5
4,17
2.
6
25
20,83
3.
7
90
75,00
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
5.3.11. Tempat Usaha (B12) Hasil analisis pemanfaatan ruang bagi usaha PKL disajikan pada Tabel 78. Hasil analisis untuk ketiga tipologi menunjukkan bahwa mayoritas PKL menempati badan jalan (48,33 %), trotoar (37,50 %), dan lahan parkir (14,17 %). Tabel 78. Tempat Usaha No.
Tempat Usaha
Jumlah
Persen
1.
Trotoar
45
37,50
2.
Lahan Parkir
17
14,17
3.
Badan Jalan
58
48,33
Total
90
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
150
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa PKL menempati ruang publik dan ruang privat. Ruang publik
merupakan ruang
milik pemerintah yang
diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat luas, seperti taman atau hutan kota, trotoar, ruang terbuka hijau, lapangan, dan sebagainya, termasuk fasilitas atau sarana yang terdapat di dalamnya seperti halte, jembatan penyeberangan, dan sebagainya. Ruang privat atau pribadi adalah ruang yang dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu, seperti lahan pribadi pemilik pertokoan, perkantoran, dan sebagainya. Penggunaan ruang-ruang inilah yang akhirnya menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) antara Pemerintah Kota, PKL, masyarakat dan bahkan pemilik ruang privat yang lahannya dipakai untuk PKL. Bentuk penyelesaian konflik sangat kompleks. Dari sisi pelaku PKL (Tabel 79), penempatan usaha di ruang publik dan privat tersebut dipandang strategis (96,67 %). Dari sisi usaha, PKL akan memilih lokasi yang mendekati pasar atau pembeli. Mereka akan berusaha agar barang atau jasa yang dijual terlihat oleh pembeli. Tabel 79. Posisi Lokasi Usaha No.
Posisi Usaha
1.
Strategis
2.
Tidak Strategis
Jumlah
Persen
116
96,67
4
3,33
120
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Dari aspek pemasaran, mereka akan memilih lokasi-lokasi yang strategis dan menguntungkan di pusat kota atau lokasi aktivitas masyarakat, seperti lokasi aktivitas perdagangan, pendidikan, perkantoran, dan aktivitas sosial masyarakat lainnya. Dalam teori lokasi disebutkan bahwa bagi pedagang terdapat kecenderungan
untuk
berorientasi kepada
konsentrasi konsumen
dalam
menentukan lokasi tempat usaha (Djojodipuro, 1992). Sesuai pula dengan yang dikatakan dalam ilmu manajemen bahwa salah satu kriteria dalam pemilihan lokasi adalah dekat dengan pasar ( Umar H, 2005). 5.3.12. Luas Tempat Usaha (B13) Analisis berikutnya diarahkan pada luas tempat (ruang) yang digunakan oleh PKL dalam menjalankan usaha (Tabel 80). Dari keseluruhan responden yang
151
dianalisis rata-rata pemanfaatan ruang PKL adalah 4 m2. Hasil ini lebih rendah dibandingkan hasil analisis Budi (2005) yang mengkaji penyebaran PKL di Tegal dimana rata-rata pemanfaatan ruang oleh PKL adalah lebih dari 5 m2. Perbedaan hasil ini terkait dengan perbedaan tipologi PKL yang dianalisis. Semakin besar luas ruang yang digunakan maka akan semakin banyak ruang publik atau privat yang terpakai. Dengan kata lain hasil ini berimplikasi strategis bagi pengaturan ruang yang dapat dipakai PKL dalam menjalankan usahanya. Tabel 80. Luas Ruang yang Digunakan PKL No.
Luas Lahan (m2)
Jumlah
Persen
1. 2. 3.
≤1 1-3 >3 Total
24 42 54 120
26,67 46,67 60,00 133,33
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa mayoritas responden menempati ruang lebih dari 3 m2 (60,00 %), menempati ruang 1 sampai 3 m2 (46,67 %), dan sisanya kurang dari 1 m2. Luas penggunaan ruang ini berhubungan erat dengan sarana dan prasarana PKL. Budi (2005) menemukan hubungan yang signifikan antara sarana dagang dengan luas ruang. Implikasinya adalah dalam peraturan daerah perlu diperhitungkan jenis sarana dagang dan luas tempat agar dapat dibatasi jumlah PKL yang menempati suatu lokasi. 5.3.13. Penilaian terhadap Kondisi Kebersihan (B14) Pemanfaatan ruang untuk aktivitas PKL berhubungan dengan kondisi kebersihan sekitarnya. Terdapat pandangan umum bahwa PKL menyebabkan lingkungan yang kotor dan mengurangi estetika wajah kota. Kondisi kebersihan juga berhubungan dengan rentan-tidaknya pelaku PKL terhadap penyakit. Untuk menguji pandangan ini maka dilakukan penilaian terhadap kondisi kebersihan untuk aktivitas PKL yang dilakukan oleh petugas survei dengan melakukan pengamatan kondisi sekitar usaha dan kondisi usaha PKL tanpa sepengatahuan PKL. Hasil analisis kondisi kebersihan aktivitas PKL disajikan pada Tabel 81.
152
Tabel 81. Kondisi Kebersihan No.
Kondisi Kebersihan
Jumlah
Persen
1.
Bersih
31
25,83
2.
Kotor
89
74,17
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas PKL dikategorikan kotor (74,17 %). Hasil ini berimplikasi penting bagi strategi penataan PKL yang membutuhkan keterlibatkan beberapa pihak secara langsung seperti Dinas Kebersihan dan Dinas Kesehatan terutama untuk memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap masalah kebersihan dan kesehatan.
Dalam konteks ini, Mehrotra and Mario
(2002) menemukan bahwa masalah kesehatan PKL memerlukan intervensi publik yaitu perhatian dari otoritas kota untuk memberikan bimbingan kepada PKL. 5.3.14. Keberadaan Usaha di Tempat Lain Kepemilikan usaha PKL di tempat lain perlu juga dikaji. Pertanyaan ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi lebih lanjut jiwa kewirausahaan responden pelaku PKL.
Jika usahanya dipandang layak dan menguntungkan,
mereka akan membangun usaha sejenis di tempat lain.
biasanya
Pertanyaan ini juga
berimplikasi pada strategi pengelolaa PKL dimana perlu pengaturan batas maksimal usaha PKL yang dapat dimiliki seseorang. Dengan demikian maka jumlah PKL tidak melebihi ambang batas kapasitas maksimal yang dapat diterima di suatu tempat atau kota.
Berdasarkan Perda No. 13 Tahun 2005, terdapat
larangan bagi PKL untuk mempunyai tempat usaha di lebih dari satu tempat yang bertujuan untuk membatasi jumlah PKL. Tabel 82. Kepemilikan Usaha di Tempat Lain No.
Usaha di Tempat Lain
Jumlah
Persen
1.
Ya
14
11,67
2.
Tidak
106
88,33
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Sesuai tipologinya maka hasil analisis pada Tabel 82 menujukkan
bahwa
mayoritas PKL di kota Bogor tidak memiliki usaha sejenis di tempat lain
153
(88,33%) dan sisanya (11,67 %) memiliki usaha di tempat lain. Analisis lebih lanjut terhadap 14 responden (yang memiliki lapak di tempat lain) menunjukkan bahwa secara rata-rata mereka memiliki 2 lapak. Lapak yang satu biasanya dioperasikan oleh kerabat atau orang lain yang diberi upah. 5.3.15. Registrasi PKL (B18) Salah satu karakteristik sektor informal adalah tidak teregulasi atau tidak terdaftar dalam institusi resmi. Untuk menguji tesis ini, maka diajukan beberapa pertanyaan terkait dengan apakah responden terdaftar dalam institusi pajak, pemerintah lokal, koperasi, paguyuban atau ormas/LSM.
Pertanyaan tersebut
mempunyai implikasi kebijakan bagi pengelolaan PKL di kota Bogor. Hasil analisis disajikan pada Tabel 83 yang menunjukkan bahwa mayoritas respoden tidak terdaftar di kantor pajak (90,83 %), namun bukan berarti mereka menghindari pajak.
Richardson (1984) menyatakan bahwa motivasi utama
sebagai PKL adalah untuk mata pencaharian dan pendapatan dibandingkan keuntungan.
Schneider (2002) menyatakan hal sebaliknya dimana salah satu
motivasi dalam menjalankan PKL adalah pajak. Kedua pendapat di atas dapat saja benar karena inti permasalahannya adalah tidak atau belum terdaftar di kantor pajak sehingga sering disebut juga sebagai hidden economy. Timalsina (2011) menyatakan bahwa karena dipandang sebagai aktivitas non profit, maka PKL (atau lebih umumnya sektor informal) tidak berkontribusi dalam ekonomi nasional dalam sisi pajak. Implikasi kebijakannya adalah jika sektor ini ingin diformalkan maka kantor pajak atau pemerintah daerah/kota perlu melakukan pendataan pelaku sektor ini. Tabel 83. Registrasi PKL
1.
Terdaftar di Institusi Kantor pajak
2.
Pemerintah Daerah
4
3,33
105
87,50
11
9,17
120
3.
Koperasi
3
2,50
106
88,33
11
9,17
120
4.
Paguyuban
44
36,67
74
61,67
2
1,67
120
5.
Ormas/LSM
0
0,00
109
90,83
11
9,17
120
No.
%
Total
90,83
Tidak Tahu 10
8,33
120
Ya
%
Tidak
%
1
0,83
109
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
154
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa mayoritas respoden tidak terdaftar di pemerintahan daerah (87,50 %). Dalam penelitian ini yang dimaksud terdaftar adalah sudah diberi ijin penggunaan lokasi. Data Disperindagkop kota Bogor per 25 Nopember 2008 seperti tertera pada Tabel 84 menunjukkan jumlah PKL yang sudah terdaftar di Disperindag sangat kecil dibandingkan jumlah PKL yang ada di kota Bogor. Tabel 84. Rekapitulasi PKL yang Sudah Mendapatkan Ijin Penggunaan Lokasi PKL per 28 Nopember 2008 No.
Lokasi
Jumlah PKL berijin
1.
Jl. Pajajaran (samping Balitnak IPB)
32
2.
Gg. Selot (samping SMAN 1 Bogor)
30
3.
Seputar Air Mancur
30
4.
Jl. Pengadilan (samping DTKP)
40
5.
Jl. Pajajaran (samping Damkar)
21
6.
Jl. Otista
14
Jumlah
167
Sumber : Disperindagkop (2011)
Di sisi lain data yang didapatkan dari Disperindagkop hanya berisi daftar PKL tahun 2005. Belum terdapat update versi terbaru untuk data ini.
Dengan
metodologi yang kurang tepat dan jumlah sampel yang kurang representatif, pada tahun 2010 konsultan PT. Oxalis Subur (2010) melakukan penelitian untuk memetakan PKL dengan menggunakan GIS. Hasil penelitian tersebut ternyata semakin mengaburkan pemetaan PKL.
Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa
diperlukan pendaftaran ulang secara detil, PKL di kota Bogor. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa mayoritas respoden tidak terdaftar di koperasi (88,33 %). Koperasi adalah organisasi otonom yang berada dalam lingkungan
sosial
ekonomi
dan
sistem
yang
memungkinkan
setiap
individu/kelompok orang merumuskan tujuan-tujuannya secara otonom dan mewujudkan tujuan itu melalui aktivitas ekonomi yang dilaksanakan secara bersama. Kegiatan koperasi dilandasiprinsip gerakan ekonomi rakyat berdasarkan asas kekeluargaan. Yang dimaksud koperasi dalam penelitian ini adalah koperasi hasil bentukan PKL atau Pemerintah Kota sebagai wadah organisasi PKL.
155
Dengan kata lain mayoritas PKL belum memiliki wadah yang dapat digunakan untuk menyalurkan aspirasinya. Mayoritas respoden tidak terdaftar di paguyuban (61,67%) namun cukup banyak yang terdaftar di paguyuban (36,67%). Paguyuban dapat diartikan sebagai perkumpulan yang bersifat kekeluargaan, didirikan oleh orang-orang yang sepaham (sedarah) untuk membina persatuan (kerukunan) di antara para anggotanya.
Dalam konteks PKL, paguyuban biasanya bersifat lokasional
(misalnya paguyuban PKL Pasar Anyar) atau asal daerah (paguyuban pedagang Minang, Batak). Paguyuban dapat digunakan untuk menyalurkan aspirasi politis bagi anggota, sebagaiwadah berkeluarga dan mengatasi kesulitan finansial anggotanya. Mayoritas respoden tidak terdaftar di LSM (90,83 %). Dikaitkan dengan paguyuban, maka
paguyuban lebih berperan sebagai wadah PKL dalam
menyalurkan aspirasinya. Hasil ini juga menunjukkan kurangnya peran LSM lokal dalam mewadahi atau memberdayakan PKL di kota Bogor. Peranserta LSM akan sangat membantu PKL dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi. 5.4. Pekerja dan Kompensasi Analisis lebih lanjut dilakukan terhadap pekerja dan kompensasi.
Analisis
ini diperlukan karena kegiatan usaha kaki lima mampu memberikan lapangan pekerjaan, tidak hanya bagi PKL tetapi juga bagi tenaga kerja yang membantu kegiatan PKL. Kompensasi yang dimaksud adalah imbalan bagi tenaga kerja, seperti gaji atau bonus keuntungan, tunjangan kesehatan atau hari raya. Ini perlu diketahui karena dapat menunjukkan absorbsi tenaga kerja dari aktivitas PKL. Hasil analisis yang disajikan pada Tabel 85 menunjukkan bahwa mayoritas PKL (80,83 %) tidak memiliki pegawai, artinya mereka sendiri bertindak sebagai pemilik dan sekaligus pekerja dalam usaha PKL. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa sebanyak 19,17 % PKL menggunakan pegawai untuk membantu aktivitas usaha. Ini menunjukkan bahwa usaha ini mampu berkontribusi dalam menyerap tenaga kerja yang tidak terserap sektor formal. Lapangan kerja sektor formal mensyaratkan skill dan latar belakang pendidikan tertentu yang sifatnya formal,
156
sehingga tenaga kerja yang tidak tertampung akan memilih sektor informal untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Tabel 85. Jumlah Responden yang Menggunakan Tenaga Kerja No.
Memiliki Pegawai
Ya
Persen
1.
Ya
23
19,17
2.
Tidak
97
80,83
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Kemampuan PKL dalam menyerap tenaga kerja juga berdimensi sosial. Effendy (2000) menyatakan bahwa ketidakmampuan sektor formal dalam menampung tenaga kerja dan kemampuan sektor informal sebagai pengaman antara pengangguran dan keterbatasan peluang kerja, menyebabkan sektor informal mampu meredam kemungkinan keresahan
sosial akibat langkanya
peluang kerja. Eksplorasi lebih lanjut terhadap responden yang menggunakan tenaga kerja (23 responden) menunjukkan bahwa mayoritas responden memberikan bonus bagi tenaga kerjanya (52,17 %). Ini menunjukkan bahwa mereka memahami arti reward bagi para pekerjanya. Dalam konteks ekonomi, rewards dapat berfungsi sebagai perangsang agar mereka berkinerja lebih baik, sekaligus retensi agar mereka tidak berpindah ke tempat lain. Tabel 86. Tunjangan dan Bonus bagi Pekerja No. 1. 2.
Bonus bagi Pekerja Ya Tidak Total
Ya
Persen
12 11 23
52,17 47,83 100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Tunjangan atau bonus yang diberikan dapat berupa tunjangan sakit, tunjangan hari raya, bonus keuntungan, dan bentuk-bentuk lain seperti lembur. Hasil analisis bentuk tunjangan atau bonus disajikan pada Tabel 87.
Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 12 responden yang memberikan bonus bagi pekerjanya, mayoritas (75,00 %) memberikan bonus atau tunjangan dalam bentuk tunjangan hari raya (THR). Sebagian memberikan tunjangan sakit (8,33 %), bonus keuntungan (8,33 %), dan tunjangan atau bonus bentuk lain
157
(8,339 %).
THR adalah bentuk tunjangan yang paling umum diberikan di
Indonesia sehingga seperti yang diduga menunjukkan hasil mayoritas. Tabel 87. Bentuk Tunjangan atau Bonus bagi Pekerja No.
Jenis Bonus
Ya
Persen
1.
Tunjangan sakit
1
8,33
2.
Tunjangan hari raya
9
75,00
3.
Bonus keuntungan
1
8,33
4.
Lainnya
1
8,33
Total
12
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
5.5. Aspek Keuangan dan Lain-Lain Menurut Sari (2003), salah satu ciri sektor informal dari aspek keuangan adalah modal, peralatan dan perlengkapan, serta omzet biasanya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan harian. Untuk menguji pandangan ini maka penelitian diarahkan dengan memberikan pertanyaan terkait dengan jumlah modal awal, jumlah modal kerja harian, jumlah pendapatan (omzet), sumber modal dan kemampuan pengembalian modal. 5.5.1. Modal Awal
Hasil analisis pada Tabel 88 menunjukkan bahwa mayoritas responden (40,83 %) membutuhkan modal antara Rp 1.000.000,- sampai Rp 5.000.000,- untuk memulai usaha sebagai PKL. Urutan berikutnya adalah kebutuhan modal antara kurang dari Rp 500.000,- (37,50 %), antara Rp 500.000,- sampai Rp 1.000.000,(15,00 %), lebih dari Rp 5.000.000,- (3,33 %) dan tanpa modal (3,33 %). Hasil analisis ini sedikit berbeda dengan yang ditemukan oleh Budi (2005) bahwa mayoritas responden PKL mempunyai modal kurang dari Rp 1.000.000,-. Perbedaan ini terkait dengan tipologi PKL yang dianalisis dalam penelitian ini. Budi (2005) tidak memilah PKL menurut tipologi, sementara penelitian ini menggunakan tiga tipologi.. Hasil ini sejalan dengan temuan Disperindag (2010) bahwa rata-rata modal awal yang dikeluarkan PKL kota Bogor adalah Rp 1.566.629,-. Hasil analisis menemukan adanya PKL yang tidak menggunakan modal untuk memulai usaha sebagai PKL. Jika data yang diperoleh (Lampiran) dilihat lebih mendalam, maka responden yang tidak menggunakan modal
158
ditemukan pada tipologi pasar tumpah (2 responden) dan pasar sayur malam (2 responden). Tabel 88. Modal Awal yang Diperlukan dalam Memulai Usaha No.
Modal Awal
Ya
Persen
1.
Tanpa Modal
4
3,33
2.
<=500.000
45
37,50
3.
500.000-1.000.000
18
15,00
4.
1.000.000-5.000.000
49
40,83
5.
> 5.000.000
4
3,33
120
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Modal mereka hanya tenaga karena mereka mengambil barang dari bos (distributor), menjualnya, dan melakukan setoran ke bos ketika jam operasinya selesai. Mereka memperoleh pendapatan dari selisih harga dari bos dengan harga jual. Berdasarkan
rata-rata
modal
awal
yang
digunakan,
hasil
analisis
menunjukkan bahwa tipologi pasar kuliner paling banyak membutuhkan modal awal (Rp 3.860.250,-). Hal ini karena pasar kuliner lebih banyak membutuhkan sarana dan prasarana usaha seperi tenda, kursi, meja, mangkok, piring, sendok dan lain sebagainya. Pasar tumpah rata-rata membutuhkan modal awal Rp 1.957.500,dan yang terkecil adalah pasar sayur malam (Rp 855.000,-). Hasil ini tentunya tidak konklusif atau tidak dapat digeneralisasi mengingat bahwa kebutuhan modal awal akan sejalan dengan skala usaha yang digunakan. Analisis modal awal mencirikan PKL di kota Bogor dalam konteks tipologi PKL. Secara keseluruhan, hasil survai modal awal tersebut menunjukkan bahwa usaha pada sektor informal terutama PKL merupakan usaha dengan modal relatif kecil dan merupakan unit usaha skala kecil yang sesuai dengan karakteristik sektor informal pada umumnya. 5.5.2. Jenis dan Sumber Modal
Modal usaha dapat berupa modal sendiri, modal sendiri ditambah sebagian pinjaman, dan seluruhnya pinjaman dari sumber-sumber modal. Hasil analisis pada Tabel 89 untuk 116 responden yang menggunakan modal menunjukkan
159
bahwa mayoritas responden menggunakan modal sendiri (81,90 %) dalam memulai usaha sebagai PKL. Hasil ini konsisten dengan Tabel 78 bahwa modal yang diperlukan untuk memulai usaha relatif kecil sehingga mayoritas responden tidak harus melakukan pinjaman. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa responden mengkombinasikan modal sendiri dan pinjaman (14,66 %) untuk memulai usaha dan sebagian kecil menggunakan modal yang seluruhnya pinjaman (3,45 %). Tabel 89. Sumber Modal PKL No.
Sumber Modal
Ya
Persen
1.
Modal sendiri
95
81,90
2.
Sebagian pinjaman
17
14,66
3.
Seluruhnya pinjaman
4
3,45
116
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Beragam sumber penyedia modal tersedia di pasar seperti dari saudara, teman, perbankan atau lembaga keuangan pemerintah, rentenir atau bank keliling, dan sumber-sumber lainnya. Hasil analisis pada Tabel 90 menunjukkan bahwa dari 21 responden yang menggunakan modal sebagian pinjaman dan seluruhnya pinjaman (jumlah No. 2 dan 3 pada Tabel 89), mayoritas responden meminjam dari teman (47,62 %) untuk modal usaha. Urutan berikutnya adalah meminjam dari saudara sendiri (33,33 %), rentenir atau bank keliling (9,52 %), bank atau lembaga keuangan pemerintah (4,76 %), dan dari sumber lain (4,76 %). Tabel 90. Sumber Pinjaman Modal No.
Sumber Pinjaman Modal
Ya
Persen
1.
Saudara sendiri
7
33,33
2.
Teman
10
47,62
3.
Bank/lembaga keuangan pemerintah
1
4,76
4.
Rentenir/bank keliling
2
9,52
5.
Lainnya
1
4,76
Total
21
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
160
Hasil ini cukup menarik dicermati. Bank atau lembaga keuangan pemerintah belum banyak dimanfaatkan untuk mendapatkan dana pinjaman.
Hasil ini
mengkonfirmasi salah satu karakteristik sektor informal yang disebutkan oleh Sari (2003) yaitu kurang mengenal sistem perbankan, pembukuan, perkreditan, dan sebagainya. Mitullah (2003) dalam kajian empiris PKL di Kenya, Pantai Gading, Ghana, Zimbabwe, Uganda, dan Afrika Selatan juga menemukan bahwa PKL tidak memiliki akses terhadap pembiayaan formal, dan sebagian besar tergatung pada tabungan sendiri, pembiayaan dari teman dan kerabat. Kurangnya ketergantungan PKL terhadap sumber kredit formal tidak mencerminkan kemampuan PKL dalam melakukan pembayaran pinjaman. Untuk mengetahui
kemampuan
pengembalian
pertanyaan berapa lama mereka mampu
modal
pinjaman
melunasi pinjaman.
maka
diajukan
Hasil analisis
terhadap responden yang memberikan jawaban menunjukkan bahwa rata-rata mereka dapat mengembalikan pinjaman kurang dari 2 bulan. Ini menunjukkan bahwa mereka sebenarnya bankable yang berarti memiliki kemampuan dalam mengembalikan pinjaman. Kurangnya penggunaan lembaga bank karena kebanyakan bank mensyaratkan agunan, perijinan, atau kepastian usaha dimana PKL relatif tidak memilikinya.
Sebab lain adalah mereka tidak mau terlibat
dengan proses birokratis dalam melakukan pinjaman ke bank. 5.5.3. Modal Kerja dan Pendapatan Analisis lebih lanjut terhadap aspek keuangan dilakukan terhadap jumlah modal kerja/operasional dan pendapatan yang merupakan variabel ekonomi penting dalam mempengaruhi kinerja usaha PKL. Dengan sifat dari data survey, maka pengukuran modal kerja dilakukan secara harian. McGee (1975) dan McGee and Yeung (1977) mengukur modal kerja dan pendapatan usaha menggunakan nilai stok dan pendapatan harian. Nilai stok (didekati dengan harga barang) dipandang sebagai indikator terbaik karena umumnya mencerminkan modal kerja PKL. Dalam penelitian ini, pengukuran modal kerja dilakukan dengan menanyakan langsung pada responden dan tidak menggunakan pendekatan stok barang. Pendekatan ini dipilih karena lebih simpel tanpa harus mengestimasi stok barang. PKL juga membutuhkan modal kerja harian untuk menjalankan aktivitas
161
usahanya. Dalam analisis ini ukuran yang digunakan adalah nilai uang (Rp) per hari karena PKL umumnya mendasarkan perhitungan profit secara harian. Hasil analisis modal kerja harian disajikan pada Tabel 91. Tabel 91. Modal Kerja Harian No.
Modal Kerja Harian (Rp)
Ya
Persen
1.
Tanpa modal
4
3,33
2.
≤ 100.000
31
25,83
3.
100.000-500.000
67
55,83
4.
> 500.000
18
15,00
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil
analisis
menunjukkan
bahwa
mayoritas
responden
(55,83%)
membutuhkan modal kerja harian antara Rp 100.000,- sampai Rp 500.000,-. Urutan berikutnya adalah kurang dari atau sama dengan Rp 100.000,- (25,83 %), lebih dari Rp 500.000,- (15,00 %), dan tanpa modal (3,33 %). Hasil ini sejalan dengan temuan Suharto (2003) dalam kajian PKL di kota Bandung bahwa mayoritas penggunaan modal kerja harian sebesar kurang dari Rp 200.000,-. Hasil serupa juga ditemukan oleh Budi (2005) dimana mayoritas PKL menggunakan modal kurang dari Rp 500.000,-. Hasil analisis mengindikasikan bahwa usaha PKL membutuhkan modal kerja yang relatif tidak terlalu besar. Hasil ini mengkonfirmasi salah satu karakteristik PKL yaitu tidak membutuhkan modal kerja yang besar sehingga sektor ini dapat dengan mudah dimasuki oleh masyarakat umum. Untuk tujuan pragmatis, pendapatan kotor (omzet) dapat digunakan untuk mengidentifikasi pendapatan dari usaha PKL. Pendapatan kotor (pendapatan kotor harian sebelum dikurangi total biaya operasional perdagangan sehari-hari) diperoleh dengan bertanya langsung kepada responden. Untuk menghindari respon jawaban yang terlalu rendah, maka dapat dilakukan pengecekan jumlah stok atau display di lapak PKL. Karena sifat fluktuatif usaha PKL, maka jumlah penjualan untuk tiga tipologi PKL dibagi ke dalam tiga kelas yaitu minimum, rata-rata dan maksimum. Hasil analisis data menunjukkan bahwa tanpa membedakan tipologinya,
162
jumlah penjualan/pendapatan minimum adalah Rp 299.917,-/hari, jumlah penjualan/pendapatan
rata-rata
adalah
Rp
431.833,-/hari,
dan
jumlah
penjualan/pendapatan maksimum Rp 641.849,-/hari. Angka ini diperoleh dengan merata-ratakan penjualan atau pendapatan untuk semua responden. Tabel 92. Omzet Kotor Harian PKL menurut Tipologi. No
Tipologi
Pendapatan Harian (Rp) Minimum
Rata-rata
Maksimum
1
Pasar tumpah
473.750
673.750
980.000
2
Pasar sayur malam
203.625
305.000
448.625
3
Pasar kuliner
222.375
316.750
505.375
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Jika dilihat dari tipologinya,
pendapatan harian rata-rata tipologi pasar
tumpah (Rp 673.750,-) lebih tinggi dibandingkan pasar sayur malam (Rp 305.000,-) dan pasar kuliner (Rp 316.750,-). Dilihat dari gap antara pendapatan minimum, rata-rata, dan maksimum, nampak bahwa pasar tumpah lebih fluktuatif. Ini disebabkan karena pendapatan pada pasar tumpah sangat tergantung dari jumlah pengunjung. Jumlah pengunjung akan banyak pada hari-hari libur dan biasanya sepi pada hari biasa. Manajemen keuangan sangat penting bagi seorang pelaku usaha sehingga analisis berikutnya diarahkan pada jenis pembukuan yang dilakukan responden. Tabel 93. Jenis Pembukuan Pelaku PKL No.
Jenis Pembukuan
Ya
Persen
109
90,83
1.
Tidak ada pembukuan
2.
Pembukuan untuk kepentingan pribadi
8
6,67
3.
Pembukuan sederhana untuk pajak
1
0,83
4.
Pembukuan format yang rinci
1
0,83
5.
Lainnya
1
0,83
120
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis pada Tabel 93 menunjukkan bahwa mayoritas responden tidak memiliki pembukuan (90,83 %) dan sebagian kecil memiliki pembukuan untuk kepentingan pribadi (6,67 %). Hanya satu responden yang menyatakan memiliki
163
pembukuan sederhana untuk pajak dan satu responden memiliki pembukuan format rinci. Responden yang memiliki tipe pembukuan format rinci adalah PKL waralaba yang memiliki format pembukuan dari pewaralabanya Hasil analisis pada Tabel 93 memiliki implikasi dari sisi pemberdayaan PKL, yaitu perlunya pelatihan pembukuan sederhana bagi pelaku PKL oleh dinas-dinas yang relevan. Pelatihan ini penting agar pelaku PKL dapat membedakan atau memilah pos-pos keuangan mereka dalam sistem akuntansi. Mereka seharusnya faham apa yang termasuk dalam komponen pendapatan, komponen pengeluaran, komponen hutang, piutang usaha, dan sebagainya. Yang sering terjadi mereka mencampur-adukkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha sehingga keuntungan yang didapat terkadang merupakan keuntungan semu. 5.5.4. Sewa Lapak PKL memerlukan lokasi dalam memulai usaha. Pemilihan lokasi merupakan hal penting untuk mendapatkan konsumen yang pada gilirannya mempengaruhi keberhasilan usaha.
Beberapa lokasi membutuhkan biaya sewa (lapak) dan
beberapa lokasi lainnya tidak. Hasil analisis pada Tabel 94 menunjukkan bahwa mayoritas PKL membayar untuk mendapatkan tempat usaha (59,17 %), tidak membayar tempat usaha (32,50 %), dan tidak memberikan respon jawaban (8,33%). Tabel 94. Pembayaran Tempat Usaha No. 1. 2. 3.
Pembayaran Tempat Usaha Ya Tidak Tidak menjawab Total
Ya
Persen
71 39 10 120
59,17 32,50 8,33 100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Sebanyak 71 responden menyatakan mereka membayar untuk memperoleh tempat usaha, rata-rata sebesar Rp 126.693,- per bulan atau sekitar Rp 5.000,- per hari, suatu jumlah yang relatif kecil. Mayoritas responden (85,92 %) menyatakan bahwa sistem pembayaran umumnya harian (85,92 %), bulanan (9,86 %), dan tahunan (4,23 %).
164
Tabel 95. Jangka Waktu Pembayaran No.
Jangka Waktu Pembayaran
Ya
Persen
1.
Harian
61
85,92
2.
Mingguan
0
0,00
3.
Bulanan
7
9,86
4.
Tahunan
3
4,23
Total
71
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Untuk mengetahui apakah pembayaran tersebut masuk ke pendapatan asli daerah (PAD) yang dapat digunakan untuk kepentingan pembangunan maka diperlukan kajian terhadap penerima pembayaran sewa lapak tersebut.
Pihak
penerima pembayaran sewa lapak dapat berupa pihak resmi atau Pemerintah Kota, koperasi,
paguyuban, LSM/ormas dan oknum tertentu.
Hasil analisis pihak
penerima pembayaran menurut responden disajikan pada Tabel 96. Tabel 96. Pihak Penerima Pembayaran Sewa Lapak No.
Penerima Pembayaran
Ya
Persen
1.
Pemerintah (resmi)
5
7,04
2.
Koperasi
0
0,00
3.
Paguyuban
37
52,11
4.
LSM/ormas
0
0,00
5.
Oknum
29
40,85
Total
71
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa lebih setengah dari responden melakukan pembayaran pada paguyuban (52,11 %), diikuti oleh oknum tertentu (40,85 %), dan hanya 7,04 % yang melakukan pembayaran resmi pada pihak Pemerintah Kota Bogor. Hasil ini mengindikasikan bahwa sebagian besar pendapatan dari sewa lapak tidak masuk ke dalam PAD tetapi diterima organisasi pedagang itu sendiri dan oknum-oknum tertentu. Hasil analisis menunjukkan bahwa hanya sedikit PKL yang melakukan pembayaran resmi ke Pemerintah Kota Bogor. Kondisi ini berhubungan dengan masih banyaknya PKL yang belum berijin dalam menggunakan lokasi PKL. Berdasarkan Keputusan Walikota Bogor No. 511.23.45-23 tahun 2007, Kepala
165
Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi ditunjuk untuk memberikan ijin penggunaan lokasi, pembinaan dan penataan PKL.
Pemerintah Kota Bogor
mewajibkan pembayaran restribusi pemakaian kekayaan daerah, restribusi pelayanan sampah dan bagi PKL kuliner wajib membayar pajak restoran, tetapi tidak mewajibkan pembayaran lapak atau tempat usaha. 5.5.5. Fluktuasi Usaha Tingkat pendapatan PKL rata-rata per hari tergantung pada waktu. Pada harihari biasa, tingkat pendapatan mereka sangat minim, tetapi pada hari libur atau pada waktu ada keramaian, tingkat pendapatan mereka akan naik tajam. Untuk mengetahui fluktuasi kegiatan usaha PKL pada ketiga tipologi, responden diminta memberikan penilaian terhadap kegiatan usahanya selama 12 bulan terakhir (D11). Dalam penilaian ini, responden memberikan nilai 1 untuk bulan dengan minimum kegiatan, 2 untuk rata-rata dan 3 untuk kegiatan maksimal. Hasil analisis fluktuasi usaha disajikan pada Gambar 13.
Gambar 13. Fluktuasi Kegiatan PKL selama 12 Bulan Terakhir Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Dari Gambar 13 nampak bahwa kegiatan PKL sangat fluktuatif setiap bulannya.
Pada bulan Januari kegiatan berlangsung di atas rata-rata,
kemungkinan terkait dengan meningkatnya kebutuhan di awal tahun. Pada bulan Pebruari mengalami penurunan drastis dan mulai meningkat lagi sampai Mei dan puncaknya dicapai pada bulan Desember (akhir tahun). Analisis menggunakan regresi linier menghasilkan persamaan y = 0.004x + 2.002 (R2 = 0.057) dengan
166
nilai R2 = 0,057 (kecil) dan datar. Hal ini dapat diartikan bahwa sebenarnya kegiatan tersebut berada di sekitar angka rata-rata tertentu sepanjang tahun. 5.5.6. Pengeluaran Analisis lebih mendalam tentang kondisi keuangan dilakukan terhadap komponen pengeluaran yang terdiri dari biaya operasional, biaya resmi dan biaya tidak resmi. Penilaian dilakukan per hari dan dikonversi menjadi per bulan karena beberapa komponen dibayarkan bulanan. Selain itu juga dilakukan pembagian antara perhitungan yang menggunakan tenaga kerja (dan bonus) dengan yang tanpa biaya tenaga kerja (dan bonus). Pembedaan ini diperlukan terkait hasil pada Tabel 85, dimana hanya sebagian PKL yang menggunakan tenaga kerja, sementara mayoritas tidak menggunakan tenaga kerja. Bila PKL menggunakan tenaga kerja maka komponen bonus akan dimasukkan dan sebaliknya jika tidak. Hasil analisis rata-rata item pengeluaran responden disajikan pada Tabel 97. Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran PKL yang menggunakan tenaga kerja adalah Rp 4.601.342,- dan yang tidak menggunakan tenaga kerja sebesar Rp 2.525.820,-. Pada PKL yang menggunakan tenaga kerja, komponen terbesar pengeluaran adalah upah dan gaji pekerja yaitu sebesar 27,09 %, sedangkan pada PKL yang tidak menggunakan tenaga kerja komponen terbesar adalah kuli angkut yaitu 22,78 %. Pengamatan lebih mendalam menunjukkan bahwa komponen biaya resmi (kebersihan dan restribusi) lebih kecil dibandingkan biaya tidak resmi (keamanan). Hasil ini mengindikasikan bahwa banyak pihak luar yang mengambil keuntungan dari keberadaan PKL. Biaya keamanan yang dimasukkan ke dalam komponen tidak resmi dapat berupa biaya untuk preman, satpam setempat, oknum satpol PP, oknum desa atau kecamatan dan sebagainya. Istilah keamanan dapat merujuk pada pengertian keamanan dari pencurian, tindakan penggusuran dan sebagainya. Implikasi bagi kebijakan adalah seharusnya biaya tidak resmi dapat diturunkan atau dihilangkan agar PKL mendapat keuntungan yang layak dan jika perlu dikonversi ke biaya resmi sehingga pendapatan pemerintah lebih besar untuk tujuan pembangunan.
167
Tabel 97. Rata-rata Pengeluaran Bulanan Responden No.
Komponen Biaya
Dengan Tenaga dan Bonus (Rp)
%
Tanpa Tenaga dan Bonus (Rp)
%
-
-
Biaya Operasional 1.
Upah dan gaji pekerja
1.246.522
27,09
2.
615.000
13,37
3.
Jaminan sosial (asuransi yang berhubungan dengan pekerja, misalnya : jamsostek, asuransi jiwa dan kesehatan) jika ada Bonus pekerja
214.000
4,65
4.
Minyak tanah/LPG
243.172
5,28
243.172
9,63
5.
Air
98.333
2,14
98.333
3,89
6.
Listrik
78.696
1,71
78.696
3,12
7.
193.588
4,21
193.588
7,66
8.
Sewa tempat (lapak) dan peralatan Transportasi
357.807
7,78
357.807
14,17
9.
Makan
508.750
11,06
508.750
20,14
10.
Komunikasi (HP, telp.)
166.750
3,62
166.750
6,60
11.
Kuli angkut
575.455
12,51
575.455
22,78
12.
Biaya perbaikan dan pemeliharan fasilitas usaha
166.583
3,62
166.583
6,60
Biaya Resmi 13.
Kebersihan
46.686
1,01
46.686
1,85
14.
Retribusi
90.000
1,96
90.000
3,56
480.000
10,43
480.000
19,00
4.601.342
100,00
2.525.820
100,00
Biaya Tidak Resmi 15.
Keamanan Total
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Usaha PKL menjadi mata pencaharian utama bagi mereka yang terlibat di dalamnya.
Untuk mengetahui keuntungan/profit PKL maka responden diberi
pertanyaan mengenai berapa besar penghasilan yang dibawa pulang (D16), yang dalam konteks ekonomi dapat dikatakan sebagai net profit atau pendapatan bersih. Dengan kelemahan PKL yang tidak memiliki pembukuan yang jelas (Tabel 93) maka mereka tidak melakukan perhitungan profit bulanan, tetapi profit harian. Dengan demikian maka pengukuran terhadap pertanyaan tersebut adalah harian, yang hasil analisisnya disajikan pada Tabel 98.
168
Tabel 98. Penghasilan Yang dibawa Pulang Harian No.
Tipologi
Penghasilan Yang dibawa Pulang Harian Rata-rata (Rp) 85.132
1.
Pasar tumpah
2.
Pasar sayur malam
81.500
3.
Pasar kuliner
110.485
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Penghasilan yang dibawa pulang harian adalah saldo uang atau kas harian setelah dikurangi pengeluaran-pengeluaran dan modal operasional harian atau harga beli barang yang terjual (penghasilan harian yang dibawa kerumah). Analisis terhadap tiga tipologi yang dikaji menunjukkan tipologi pasar kuliner memiliki pendapatan bersih rata-rata tertinggi yaitu sebesar Rp 110.485,- diikuti oleh pasar tumpah Rp 85.132,- dan pasar sayur malam Rp 81.500,-. Hasil ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian Suharto (2003) yang mengkaji sektor informal di Bandung, dimana sektor informal dibagi menjadi sektor pangan, barang dan jasa. Kisaran pendapatan yang digunakan adalah interval Rp 10.000,dari mulai kisaran terendah Rp 0,- sampai Rp 10.000,- hingga kisaran tertinggi lebih dari Rp 40.000,-. Suharto (2003) menemukan bahwa sektor barang (pasar tumpah dan sayur malam) memiliki pendapatan lebih tinggi dibandingkan sektor pangan (dalam hal ini pasar kuliner). Perbedaan ini terkait dengan perbedaan nilai uang tahun 2002 dan tahun 2011 dimana penelitian ini berlangsung. Penghasilan yang dibawa pulang harian rata-rata di atas tidak dapat diartikan bahwa tipologi pasar kuliner lebih menguntungkan dibandingkan dua tipologi lainnya. Hasil di atas bersifat deskriptif dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut terkait dengan kelayakan usaha menurut tipologi PKL. Studi kelayakan akan lebih baik jika memperhitungakan resiko dengan menggunakan analisis sensitivitas. Mengingat tidak adanya data yang valid dari Pemerintah Kota Bogor maka studi tersebut sebaiknya menggunakan data primer dengan jumlah sampel lebih besar. Sebagian besar penghasilan yang dibawa pulang digunakan untuk kebutuhan konsumsi dan pengeluaran rumah tangga lainnya.
Dalam penelitian ini
pengukuran pengeluaran rumah tangga didekati dengan kebutuhan konsumsi harian karena konsumsi merupakan komponen terbesar pengeluaran rumah
169
tangga. Hasil analisis pengeluaran rumah tangga (D17) disajikan pada Tabel 99. Tabel 99. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (RT) Harian No.
Tipologi
Pengeluaran Konsumsi RT Harian Rata-rata (Rp) 36.711
1.
Pasar tumpah
2.
Pasar sayur malam
30.000
3.
Pasar kuliner
35.900
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi harian rata-rata pasar tumpah (Rp 36.711,-) lebih besar dibandingkan pasar kuliner (Rp 30.000,-) dan pasar sayur malam (Rp 35.900,-). Namun demikian, jumlah pengeluaran konsumsi sebenarnya tergantung pada jumlah anggota keluarga. Semakin banyak tanggungan keluarga maka akan semakin besar pengeluaran konsumsi yang diperlukan. Kombinasi
Tabel 98 dan Tabel 99 menghasilkan
pendapatan bersih
(Penghasilan – Konsumsi RT) harian PKL di kota Bogor (Tabel 100). Tabel 100 menunjukkan bahwa pasar kuliner memiliki pendapatan bersih harian tertinggi (Rp 74.585,-) dibandingkan pasar sayur malam (Rp 51.500,-) dan pasar tumpah (Rp 48.421,-). Perhitungan ini masih kasar karena belum dikurangi pengeluaranpengeluaran lain, tetapi setidaknya mengindikasikan bahwa usaha PKL mampu memberikan pendapatan yang mencukupi bagi para pelakunya. Tabel 100. Pendapatan bersih PKL Harian Rata-rata
1.
Pasar tumpah
85.132
Rerata Konsumsi Rumah Tangga (Rp) 36.711
2.
Pasar sayur malam
81.500
30.000
51.500
3.
Pasar kuliner
110.485
35.900
74.585
No.
Tipologi
Rerata Pendapatan (Rp)
Net (Rp) 48.421
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
5.6. Permasalahan dan Prospek Beragam masalah dihadapi oleh PKL, antara lain masalah perlindungan sosial, rendahnya pendidikan, dan buruknya kesehatan (Mehrotra and Biggeri, 2002), miskin dan rentan (Suharto, 2003), bekerja dalam lingkungan yang keras
170
tanpa infrastruktur dan layanan dasar, serta masalah pasar dan investasi (Mitullah 2003), tata kota (Nitisudarmo, 2009), proteksi sosial dan legal (Henley et al, 2009), penggusuran dan kekerasan (Akharuzzama et al, 2010), dan kendala finansial (Takim, 2011). Untuk mengeksplorasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi PKL di kota Bogor maka dilakukan pertanyaan mengenai kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi. Pertanyaan ini memiliki implikasi kebijakan bagi pengelolaan PKL di masa datang. Hasil analisis disajikan pada Tabel 101. Tabel 101. Masalah/Kesulitan yang Dihadapi PKL No.
Permasalahan
Ya
Persen
1.
Pasokan bahan baku
21
7,92
2.
Penjualan produk – kekurangan pelanggan
23
8,68
3.
Penjualan produk – terlalu banyak pesaing
26
9,81
4.
Kesulitan keuangan
36
13,58
5.
Tempat usaha sempit
16
6,04
6.
Kekurangan perlengkapan
16
6,04
7.
Kesulitan mengatur usaha
13
4,91
8.
Terlalu banyak biaya resmi
11
4,15
9.
Terlalu banyak biaya tidak resmi
22
8,30
10.
Penggusuran
38
14,34
11.
Pendapatan kecil
31
11,70
12.
Ketidakamanan (preman, pencurian, dan lain-lain)
11
4,15
13.
Ketidak pastian tempat usaha
1
0,38
265
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas PKL menghadapi kesulitan terkait dengan penggusuran (14,34 %). Selain itu mereka juga menghadapi kesulitan keuangan (13,58 %), pendapatan kecil (11,70 %), penjualan produk – terlalu banyak pesaing (9,81 %), penjualan produk – kekurangan pelanggan (8,68 %), terlalu banyak biaya tidak resmi (8,30 %) pasokan bahan baku (7,92 %), tempat usaha sempit (6,04 %), kekurangan perlengkapan (6,04 %), kesulitan mengatur usaha (4,91 %), terlalu banyak biaya resmi (4,15 %), ketidakamanan seperti preman dan pencurian (4,15 %), dan ketidak pastian tempat usaha (0,38 %).
Untuk mengatasi masalah di atas maka perlu ditanyakan harapan mereka
171
terkait dengan permasalahan yang mereka hadapi. Hasil analisis pada Tabel 102 menunjukkan bahwa mereka mengharapkan akses memperoleh pinjaman (18,87 %), bantuan memperoleh suplai (12,45 %), penataan usaha atau tempat (12,45%), pelatihan teknis (9,81 %), pelatihan manajemen dan keuangan (9,43 %), akses informasi pasar (9,43 %), pendaftaran usaha (6,04 %), dan iklan produk/layanan baru (1,13 %). Tabel 102. Bentuk Bantuan yang Diharapkan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Bentuk Bantuan yang Diharapkan Pelatihan teknis Pelatihan manajemen dan keuangan Bantuan memperoleh suplai Akses memperoleh pinjaman Akses informasi pasar Penataan usaha/tempat Pendaftaran usaha Iklan produk/layanan baru Lainnya Total
Ya
Persen
26 25 33 50 25 33 16 3 0 211
9,81 9,43 12,45 18,87 9,43 12,45 6,04 1,13 0,00 80,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
5.7. Persepsi PKL terhadap Penataan Eksplorasi lebih lanjut diarahkan pada pemahaman PKL terhadap peraturan yang ada. Di Bogor sudah terdapat Perda yang berhubungan dengan PKL yaitu Perda No. 13 Tahun 2005.
Yang perlu dikaji adalah apakah Perda ini sudah
disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat umum atau PKL, karena masih terdapat PKL yang menempati titik-titik yang peruntukannya bukan untuk PKL. Hasil analisis kesadaran responden PKL terhadap peraturan yang ada disajikan pada Tabel 93, yang menunjukkan bahwa mayoritas PKL (67,50 %) menyadari bahwa usaha mereka di ruang publik atau privat menyalahi atau melanggar aturan Pemerintah Kota.
Namun demikian
PKL yang tidak
mengetahui bahwa mereka melanggar aturan juga cukup besar (32,50 %). Hasil ini mengindikasikan dua hal, yaitu: • Sosialisasi Perda belum maksimal karena masih cukup banyak PKL yang tidak mengetahui.
172
• Perda belum mengakomodasi kepentingan PKL sehingga mereka cenderung mengabaikan peraturan yang ada. Kedua hal tersebut berimplikasi pada kebijakan atau strategi pengelolaan PKL di Kota Bogor. Tabel 103. Pemahaman Responden terhadap Aturan No.
Pemahaman terhadap Aturan
Ya
Persen
1.
Paham
81
67,50
2.
Tidak paham
39
32,50
Total
120
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Eksplorasi lebih lanjut terhadap kesediaan PKL untuk ditata (Tabel 94) menunjukkan bahwa mayoritas responden (60,83 %) berkeinginan untuk ditata, sedangkan 39,17 % PKL tidak mau ditata. Tabel 104. Kemauan PKL untuk Ditata No.
Kemauan Ditata
Ya
Persen
1.
Bersedia
73
60,83
2.
Tidak bersedia
47
39,17
120
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Bagi PKL yang mau ditata maka perlu dicarikan bentuk-bentuk pengelolaan yang selaras dengan Perda untuk mengakomodasi harapan atau keinginan mereka. Bagi mereka yang tidak mau ditata, diperlukan tindakan persuasif dari dinas-dinas yang relevan sehingga mereka mau berpartisipasi dalam pembangunan kota Bogor sesuai dengan visi dan misi kota Bogor. Tindakan persuasif diperlukan untuk menghindari konflik
antara PKL dengan
Pemkot
Bogor,
tetapi tetap
mengakomodasi kepentingan keduanya. Analisis lebih lanjut terhadap bentuk penataan yang diharapkan oleh mereka yang mau ditata (Tabel 95) menunjukkan bahwa dari 73 responden, mayoritas (60,27 %) mengharapkan tetap di tempat usaha sekarang tetapi lebih dikelola. Sebanyak 30,14 % menginginkan ditempatkan di pasar yang ada (mendapatkan lapak usaha), dan sebagian kecil (9,59 %) ingin ditempatkan di lokasi baru.
173
Tabel 105. Bentuk Penataan yang Diharapkan No.
Bentuk Penataan
Ya
Persen
1.
Ditempatkan di pasar yang telah ada
22
30,14
2.
Tetap di tempat sekarang dan diatur
44
60,27
3.
Direlokasi ke tempat baru
7
9,59
73
100,00
Total Sumber : Data Primer 2011 (diolah)
Bentuk-bentuk penataan ini membutuhkan biaya APBD Kota Bogor yang signifikan dan komitmen Pemkot untuk melakukan pengelolaan PKL. Untuk memberikan kontribusi positif bagi pembangunan kota Bogor, setiap lapak standar perlu dikenai pembayaran dengan sistem dan jumlah yang dapat diterima oleh PKL. Sistem pembayaran dapat bersifat harian, mingguan, bulanan, tahunan atau membeli kios-kios pasar milik pemerintah. Hasil analisis pada Tabel 96 menunjukkan bahwa mayoritas responden (90,41 %) menginginkan bentuk pembayaran harian, sebanyak 6,85 % menginginkan bentuk pembayaran bulanan dan 2,74 % menginginkan secara mingguan. Hasil ini sesuai dengan pendapatan PKL yang bersifat harian sehingga mereka dapat langsung menyisihkan sebagian pendapatan hariannya untuk membayar sewa lapak. Tabel 106. Sistem Pembayaran yang Diharapkan er Lapak Standar No.
Bentuk Penataan
Ya
Persen
1.
Harian
66
90,41
2.
Mingguan
2
2,74
3.
Bulanan
5
6,85
4.
Tahunan
0
0,00
5.
Beli permanen
0
0,00
73
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Dari sisi jumlah uang yang harus dibayarkan, secara rata-rata responden mengharapkan besaran sewa lapak Rp 8.564 per hari atau jika dikonversi menjadi Rp 256.920,- per bulan.
Jumlah ini
cukup besar jika mampu dikelola oleh
Pemerintah Kota untuk kepentingan pembangunan.
Untuk memaksimalkan
174
kontribusi sewa lapak terhadap pembangunan diperlukan strategi lebih lanjut agar dana tersebut tidak dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu bagi kepentingan pribadi. 5.8. Persepsi Pesaing, Pemasok, dan Masyarakat terhadap Keberadaan PKL Persepsi pesaing, pemasok, dan masyarakat terhadap keberadaan PKL menjadi salah satu komponen penting dalam penelitian ini. Hal ini menjadi unsur yang membedakan bila dibandingkan dengan penelitian lain tentang PKL di Indonesia.
Suharto (2003) dalam penelitian PKL di kota Bandung, Jawa Barat
dan Brata (2008) di Yogyakarta tidak membahas persepsi masyarakat terhadap PKL. Budi (2006) dalam kajian lokasi PKL di kota Pemalang hanya menggunakan persepsi masyarakat umum terhadap keberadaan PKL. Dalam penelitian ini, jumlah responden yang digunakan adalah pemasok (9 responden), pesaing (6 responden) dan masyarakat umum (45 responden). Jumlah masyarakat lebih banyak mengingat mereka adalah pihak yang terkena dampak langsung dan tidak langsung dari keberadaan PKL. Usaha PKL (informal) tidak berlangsung tanpa kompetisi.
Mereka
berkompetisi dengan PKL sejenis dan toko-toko (formal) yang ada di sekitarnya. Walsh (2010) dan Timalsina
(2011) menyatakan bahwa PKL mampu
menyediakan harga produk lebih murah sehingga” menguntungkan” konsumen masyarakat umum tetapi menjadi pesaing bagi usaha toko-toko di sekitarnya. Dengan demikian maka perlu memasukkan persepsi pesaing dalam analisis. Hasil analisis yang disajikan pada Tabel 97 menunjukkan bahwa mayoritas pesaing (55,56 %) memandang bahwa keberadaan PKL tidak mengganggu mereka dalam berusaha, tetapi proporsi yang terganggu juga cukup besar yaitu 44,44 %. Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan PKL di sekitar warung/toko mereka dipandang sebagai pesaing bila barang yang dijual adalah barang sejenis. Tabel 107. Persepsi Gangguan PKL terhadap usaha Pesaing dan Pemasok No. 1. 2.
Gangguan Usaha Ya Tidak Total
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Pesaing Jumlah Persen 4 5 9
44,44 55,56 100,00
Pemasok Jumlah Persen 1 5 6
16,67 83,33 100,00
175
Dari sisi pemasok, mayoritas responden (83,33 %) menyatakan bahwa keberadaan PKL tidak mengganggu aktivitas usaha mereka. Pemasok adalah penyedia suplai PKL sehingga PKL bukan dipandang sebagai gangguan usaha. Eksplorasi lebih lanjut terhadap pesaing yang merasa terganggu menunjukkan bahwa mayoritas (23,08 %) mengalami penurunan omzet penjualan. Hal ini tekait dengan keberadaan PKL yang mengganggu parkir konsumen (15,38 %) dan menyebabkan tempat usaha kurang dapat dilihat konsumen (15,38 %). Tabel 108. Bentuk Gangguan usaha PKL terhadap Pesaing No.
Bentuk Gangguan usaha
Ya
Persen
1.
Menurunkan omzet penjualan
3
23,08
2.
Menyebabkan konsumen enggan berbelanja
1
7,69
3.
Mengganggu parkir konsumen
2
15,38
4.
Menyebabkan tempat usaha kurang bisa dilihat konsumen
2
15,38
5.
Lingkungan menjadi kotor dan kurang rapi
2
15,38
6.
Jalanan menjadi sesak dan macet
2
15,38
7.
Merasa kurang aman
1
7,69
8.
Lainnya
0
0,00
Jumlah jawaban
13
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Berdasarkan data Persepsi Pesaing (B3) menunjukkan bahwa adanya PKL sejenis dengan usaha pesaing menyebabkan penurunan omzet penjualan pesaing rata-rata sekitar Rp. 377.778,- per bulan. Angka ini sebaiknya diverifikasi lebih lanjut dengan sampel pesaing lebih banyak untuk memastikan
apakah
keberadaan PKL menyebabkan penurunan omzet pesaing atau toko di sekitarnya. PKL dipandang memberikan manfaat bagi pemasok. Mayoritas responden pemasok (83,33 %) menyatakan bahwa keberadaan PKL menambah rantai pemasaran dan sebagian kecil (16,67 %) menyatakan bahwa PKL memberikan manfaat lain seperti mitra usaha dan sebagainya.
176
Tabel 109. Manfaat Keberadaan PKL bagi Pemasok No.
Manfaat Keberadaan PKL
Ya
Persen
1.
Menambah rantai pemasaran
5
83,33
2.
Meningkatkan jumlah barang yang dipasok (diversifikasi produk) Lainnya
0
0,00
1
16,67
6
100,00
3.
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Penelitian lebih lanjut diarahkan pada manfaat aktivitas PKL bagi pesaing, pemasok, dan masyarakat umum. Hasil analisis disajikan pada Tabel 110. Tabel 110. Manfaat Aktivitas PKL bagi Pesaing, Pemasok, dan Masyarakat Umum No.
Manfaat keberadaan PKL
Pesaing
Pemasok
Masyarakat
Jml
%
Jml
%
Jml
%
1.
Tidak Ada
2
11,76
0
0,00
2
3,39
2.
Lokasi menjadi lebih ramai Mudah mendapatkan kebutuhan Meningkatkan perekonomian masyarakat kecil Mengurangi pengangguran Lainnya
3
17,65
0
0,00
3
5,08
5
29,41
2
33,33
21
35,59
1
5,88
2
33,33
19
32,20
6
35,29
1
16,67
13
22,03
0
0,00
1
16,67
1
1,69
17
100,00
6
100,00
59
100,00
3. 4.
5. 6.
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Mayoritas pesaing (35,29 %) menyatakan bahwa keberadaan PKL dapat menurunkan jumlah pengangguran di masyarakat. Mayoritas pemasok (33,33 %) dan masyarakat umum (35,59 %) menyatakan bahwa keberadaan PKL membuat mereka mudah mendapatkan kebutuhan.
Hasil untuk masyarakat ini sejalan
dengan temuan Budi (2005) pada kajian PKL di Pemalang bahwa aktivitas PKL memiliki manfaat yang bervariasi bagi konsumennya. Intinya adalah aktivitas PKL memberikan kemudahan karena keberadaan mereka yang cenderung dekat dengan aktivitas masyarakat.
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa rata-rata
177
frekuensi berbelanja masyarakat umum ke PKL adalah 14,33 (∼15) kali dalam sebulan. Ini menunjukkan ketergantungan masyarakat umum terhadap aktivitas PKL di sekitarnya. Ketergantungan masyarakat terhadap aktivitas PKL terkait dengan beberapa alasan. Alasan mereka berbelanja ke PKL sangat beragam. Hasil analisis alasan masyarakat memilih berbelanja/makan di lokasi PKL disajikan pada Tabel 111. Tabel 111. Alasan Masyarakat Berbelanja di PKL No.
Alasan Berbelanja
Ya
Persen
1.
Harga lebih murah dibanding yang lain
35
64,81
2.
Lokasinya dekat
14
25,93
3.
Suasana lebih santai
1
1,85
4.
Produk dan jasa yang ditawarkan beragam
3
5,56
5.
Kualitas produk/jasa sesuai
1
1,85
6.
Lainnya, sebutkan.............
0
0,00
54
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Mayoritas responden (64,81 %) menyatakan bahwa mereka berbelanja karena harganya lebih murah dibandingkan yang lain. Alasan ini dapat dicontohkan dalam harga kran air. Harga level PKL adalah Rp 5.000,- sampai Rp 7.500,sedangkan harga level toko kelontong atau toko bangunan antara Rp 10.000,sampai Rp 15.000,-. Jika kualitas yang menjadi ukuran, barang di toko tentunya lebih bagus, namun ukuran yang digunakan masyarakat menengah ke bawah umumnya adalah adalah harga dibandingkan kualitas. Kedekatan lokasi juga menjadi pertimbangan utama konsumen (25,93 %), khususnya untuk kebutuhan-kebutuhan tertentu seperti rokok, sabun, shampo, dan sebagainya. Sebagai contoh, ketika seseorang ingin membeli rokok maka dia akan mencari warung terdekat yang menjual rokok yang biasanya adalah toko kelontong PKL. Meskipun bermanfaat bagi masyarakat, keberadaan PKL sering dianggap mengganggu kepentingan umum.
Untuk itu persepsi pemasok, pesaing dan
masyarakat terhadap gangguan aktivitas PKL perlu dikaji. Hasil analisis disajikan pada Tabel 112.
178
Tabel 112. Persepsi Keberadaan PKL untuk Kepentingan Umum Persepsi Keberadaan No. PKL untuk Kepentingan Umum 1. Tidak ada 2. 3. 4. 5. 6.
Pesaing
Pemasok
Masyarakat
Jml
%
Jml
%
Jml
%
3
18,75
0
0,00
6
9,09
Mengganggu aktivitas pejalan kaki Parkir menjadi sulit
1
6,25
0
0,00
12
18,18
2
12,50
2
33,33
5
7,58
Lingkungan menjadi kotor dan kurang rapi Jalanan menjadi sesak dan macet Merasa kurang aman
3
18,75
2
33,33
14
21,21
6
37,50
1
16,67
28
42,42
1
6,25
1
16,67
1
1,52
16
100,00
6
100,00
66
100,00
Total Jawaban Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Dari hasil analisis pada Tabel 112 terlihat bahwa persepsi pesaing dan pemasok menunjukkan hasil yang cenderung sama. Mayoritas pesaing (37,50 %) dan masyarakat (42,42 %) menyatakan bahwa PKL menyebabkan jalanan menjadi sesak dan macet. Banyak pesaing (18,75 %) dan masyarakat (21,21 %) menyatakan bahwa PKL menyebabkan lingkungan menjadi kotor dan kurang rapi. Bagi pemasok, PKL menyebabkan parkir menjadi sulit (33,33 %), lingkungan menjadi kotor dan kurang rapi (33,33 %). Jika hasil di atas dicermati,
baik pesaing, pemasok maupun masyarakat
sedikit sekali yang menyatakan bahwa keberadaan PKL membuat mereka menjadi kurang aman (masing-masing 1 %).
Terkait dengan hasil ini, Budi (2005)
menemukan bahwa mayoritas masyarakat berpendapat PKL menyebabkan gangguan sebagai berikut :
ketidaknyamanan pejalan kaki kerena sempitnya
trotoar (18 %), parkir menjadi sulit (10 %), lingkungan kotor (10 %), jalanan yang macet (18 %), merasa tidak aman (4 %), dan alasan lain (6 %). Yang dimaksud dengan gangguan lain adalah gangguan secara visual karena tampilan PKL yang tidak teratur dan tidak tertib. Sebanyak 18 % masyarakat menganggap bahwa kehadiran PKL tidak memberi gangguan yang berarti. Umumnya masyarakat yang berpendapat demikian adalah masyarakat yang lokasi aktivitasnya belum dipenuhi oleh aktivitas PKL sehingga mereka beranggapan bahwa aktivitas PKL yang ada belum terlalu mengganggu.
179
Analisis selanjutnya diarahkan pada persepsi terhadap perlunya pengaturan khusus untuk aktivitas PKL di Kota Bogor (Tabel 113).
Hasil analisis
menunjukkan bahwa mayoritas pesaing (88,89 %), pemasok (66,67 %) maupun masyarakat (84,44 %) menyatakan bahwa keberadaan PKL perlu diatur secara khusus. Tabel 113. Persepsi Pengaturan untuk Aktivitas PKL No.
Persepsi Penataan PKL
Pesaing
Pemasok
Masyarakat
Jml
%
Jml
%
Jml
%
1.
Ya
8
88,89
4
66,67
38
84,44
2.
Tidak
1
11,11
2
33,33
7
15,56
9
100,00
6
100,00
45
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Beragam bentuk pengaturan bisa dilakukan seperti pengelompokan usaha, pengaturan sarana dan prasarana usaha, pengaturan waktu usaha, relokasi usaha, registrasi usaha, dan bentuk-bentuk pengaturan lainnya. Hasil analisis persepsi pesaing, pemasok, dan masyarakat terhadap bentuk pengaturan disajikan pada Tabel 114. Tabel 114. Persepsi terhadap Bentuk-Bentuk Pengaturan No.
Pesaing
Bentuk Pengaturan
Pemasok
Masyarakat
Jml 4
% 36,36
Jml 0
% 0,00
Jml 7
% 12,73
Sarana dan prasarana usaha
5
45,45
2
50,00
28
50,91
3.
Waktu usaha
0
0,00
0
0,00
4
7,27
4.
Relokasi usaha
1
9,09
2
50,00
14
25,45
5.
Registrasi usaha
1
9,09
0
0,00
2
3,64
11
100,00
4
100,00
55
100,00
1.
Pengelompokan usaha
2.
Total Jawaban Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa pesaing memandang perlunya pengaturan sarana dan prasarana usaha (45,45 %), pengelompokan usaha (36,36 %), relokasi usaha (1 %), dan registrasi usaha (1 %). Bagi pemasok, bentuk pengaturan yang perlu dilakukan adalah sarana dan prasarana usaha (50,00 %) dan relokasi usaha (50,00 %). Bagi masyarakat, hal yang paling perlu diatur adalah sarana dan
180
prasarana usaha (50,91 %), relokasi usaha (25,45 %), pengelompokan usaha (12,73 %), waktu usaha (7,27 %), dan registrasi usaha (3,64 %). Bentuk pengaturan sarana dan prasarana dapat dicontohkan di Blitar dimana pemerintah
menyediakan
tenda-tenda
dengan
warna
tertentu
sehingga
memberikan keunikan sendiri pada wajah kota. Tenda tersebut dapat dimiliki PKL dengan cara pembayaran angsuran yang besarannya disesuaiakan dengan kemampuan PKL. Dalam konteks pengaturan PKL, Pemerintah Kota Bogor sering melakukan penggusuran di lokasi-lokasi tertentu sehingga persepsi terhadap penggusuran perlu diketahui. Penggusuran pada dasarnya merupakan penerapan Perda, namun terkadang bersifat represif sehingga menimbulkan bentrok fisik antara PKL dan petugas (Satuan Polisi Pamong Praja, Polisi, Dinas Tata Kota, dan sebagainya). Hasil analisis persepsi pesaing, pemasok, dan masyarakat terhadap penggusuran disajikan pada Tabel 115. Tabel 115. Persepsi terhadap Penggusuran No.
Perlunya Penggusuran
Pesaing
Pemasok
Masyarakat
Jml
%
Jml
%
Jml
%
1.
Ya
7
87,50
4
66,67
30
68,18
2.
Tidak
1
12,50
2
33,33
14
31,82
8
100,00
6
100,00
44
100,00
Total Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa, baik pesaing (87,50 %), pemasok (66,67 %), dan masyarakat (68,18 %) memandang perlu dilakukan penggusuran pada lokasi-lokasi tertentu yang peruntukannya bukan untuk PKL. Agar penggusuran tidak menimbulkan bentrok fisik yang terkadang merenggut korban jiwa, diperlukan mekanisme yang tepat sehingga masing-masing pihak merasa tidak dirugikan.
Persepsi pesaing, pemasok, dan masyarakat terhadap mekanisme
penggusuran yang seharusnya, disajikan pada Tabel 116.
181
Tabel 116. Mekanisme Penggusuran No.
1. 2. 3.
4.
5.
Mekanisme Penggusuran
Pesaing
Pemasok
Masyarakat
Jml
%
Jml
%
Jml
%
Tanpa sosialisasi dan tanpa kompensasi Dengan sosialiasi tapi tanpa kompensasi Dengan sosialiasi, dengan kompensasi, tanpa relokasi Dengan sosialisasi, dengan kompensasi dan relokasi Lainnya
0
0,00
0
0,00
0
0,00
2
28,57
0
0,00
1
20,00
0
0,00
0
0,00
2
40,00
5
71,43
5
100,00
26
20,00
0
0,00
0
0,00
1
20,00
Total Jawaban
7
100,00
5
100,00
30
100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa baik pesaing, pemasok, dan masyarakat mayoritas berpendapat bahwa sosialisasi, kompensasi, dan relokasi adalah mekanisme penggusuran yang sesuai. Mekanisme ini pernah dilakukan dalam pengaturan PKL di Solo, Jawa Tengah dimana Pemerintah Kota melakukan pemberitahuan
sebelumnya
(sosialisasi),
menyediakan
tempat
(relokasi),
menyediakan angkutan secara gratis ditambah modal awal untuk berusaha di lokasi baru (kompensasi). Bentuk pengaturan ini terbukti tidak menimbulkan konflik antara petugas dan PKL karena PKL secara sukarela bersedia pindah ke lokasi baru.
BAB VI KONTRIBUSI PKL TERHADAP EKONOMI WILAYAH
Pembahasan tentang kontribusi PKL terhadap ekonomi wilayah difokuskan pada faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL di kota Bogor dan kajian deskriptif kontribusi PKL terhadap ekonomi wilayah, baik pada level lokal, nasional, maupun global. Kajian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL di kota Bogor dianalisis menggunakan analisis regresi berganda dan kajian deskriptif kontribusi PKL terhadap ekonomi wilayah dianalisis secara empiris menggunakan literatur yang tersedia. 6.1. Kontribusi PKL terhadap Ekonomi Wilayah Timalsina (2011) menyatakan bahwa PKL mampu memberikan peran krusial dalam menyediakan lapangan kerja dan mata pencaharian bagi penduduk miskin urban dan pedesaan.
Meski demikian perannya masih kurang banyak diakui
dalam strategi pengentasan kemiskinan dan dalam program kebijakan perkotaan. 1. PKL sebagai Mata Pencaharian Urban Mata pencaharian penduduk miskin ditentukan oleh konteks dimana mereka tinggal, kendala, dan peluang pada tempat tinggalnya. Ini karena konteks ekonomi, lingkungan, sosial dan politis menentukan aset-aset yang dapat diakses oleh warga, bagaimana mereka dapat menggunakannya (Meikle, 2002), dan kemampuannya dalam mendapatkan matapencaharian yang aman. Penduduk desa melihat peluang baru di wilayah urban dalam konteks lapangan kerja, fasilitas fisik, dan sebagainya. Akibatnya, pekerja pertanian pedesaan memiliki insentif kecil untuk tetap di sektor pertanian. Mereka lebih memilih bermigrasi ke kotakota mencari lapangan kerja non pertanian yang lebih menjanjikan. Mata pencaharian migran urban ini bervariasi menurut level pendidikan dan skill yang dimiliki. Migran yang kompeten dan memiliki skill dapat menemukan pekerjaan formal, sementara yang kurang kompeten dan tidak ber-skill bekerja di sektor informal. Di antara beragam aktivitas informal, PKL tumbuh cepat selama beberapa dekade terakhir. Di kota Bogor, meski keabsahan datanya masih diragukan, dari
184 hasil pendataan oleh Pemerintah Kota Bogor tahun 1996 tercatat PKL berjumlah 2.140 pedagang. Pada akhir tahun 1999 berdasarkan hasil survei Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk) Kota Bogor jumlahnya hampir tiga kali lipat menjadi 6.340 pedagang. Pada akhir tahun 2002 berdasarkan hasil pendataan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor jumlah PKL meningkat lagi menjadi 10.350 PKL yang tersebar di 51 titik PKL, dimana 82 % dari para pedagang tersebut berasal dari luar kota Bogor. Tahun 2004 terdapat 50 lokasi PKL dengan jumlah pedagang sekitar 12.000 PKL. Dari sisi aspek ekonomi, pertumbuhan PKL berkontribusi positif. Peran PKL dalam menggerakkan roda perekonomian tidak dapat diabaikan. Perputaran uang PKL setiap hari jumlahnya sangat besar. Hasil analisis pada Tabel 91 (Bab 5) menunjukkan bahwa rata-rata modal kerja harian PKL di kota Bogor adalah Rp 421.336,-. Dengan jumlah PKL sebanyak 12.000 makajumlah perputaran uang per hari yang dihasilkan sekitar Rp 5.056.034.483,-, suatu jumlah yang luar biasa besar. Jumlah ini akan mempu menggerakkan roda ekonomi kota Bogor dan berkontribusi positif terhadap ekonomi wilayah. Kontribusi PKL terhadap ekonomi wilayah dapat dilihat dari jumlah retribusi yang mampu ditarik dari PKL.
Regulasi di kota Bogor (Surat Keputusan
Walikota No. 511.23.45.146. tahun 2008) mensyaratkan bahwa PKL harus mendapatkan ijin usaha. Pemkot Bogor mewajibkan PKL yang sudah berijin membayar
retribusi
pemakaian
kekayaan
daerah,
retribusi
pelayanan
persampahan, dan pajak restoran khusus untuk pedagang makanan dan minuman. Sayangnya belum banyak PKL yang sudah berijin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata PKL membayar sekitar Rp 1.000,- per hari untuk kebersihan. Dengan jumlah PKL sebanyak 12.000 maka dihasilkan sekitar Rp 12.000.000,per hari (∼ Rp 360.000.000,- per bulan), suatu jumlah yang sangat besar bagi PAD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PKL mau membayar pemakaian kekayaan daerah rata-rata sebesar Rp 8.564,- per hari (E6), sehingga potensi PAD yang dapat dikumpulkan adalah Rp 102.768.000,- per hari (∼Rp 3.083 milyar/bulan), suatu jumlah sangat fantastis.
185 Widodo (2006) yang menggunakan analisis input-output dalam analisis PKL di Yogyakarta menyatakan bahwa sektor informal berkontribusi positif pada pembangunan DIY melalui peningkatan output, penyediaan lapangan kerja, pendapatan masyarakat. Perlu diingat bahwa kontribusi positif sektor informal mempunyai batas tertentu sehingga kontribusinya akan menurun jika sudah melebihi batas tersebut. 2. PKL sebagai Peluang Mata Pencaharian PKL adalah suatu profesi yang hadir seiring dengan perkembangan kota. Selain sebagai lapangan kerja, PKL juga mampu memberikan jasa yang dapat terjangkau mayoritas penduduk urban. PKL adalah bagian integral dari ekonomi kota, menyediakan jasa-jasa penting dan menciptakan lapangan kerja sendiri dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi (Timalsina, 2011). Peran PKL dalam ekonomi sama pentingnya dengan penyediaan barang dan jasa bagi penduduk urban. Dalam konteks ini, bekerja sebagai PKL menarik bagi mereka yang memiliki peluang terbatas untuk mendapatkan pekerjaan formal atau bisnis yang prestisius, dan meminimalkan peluang ekslusi sosial dan marginalisasi. PKL semakin menjadi opsi mata pencaharian bagi orang-orang termarginalkan. PKL mampu menyediakan lapangan kerja musiman bagi penduduk pedesaan dan menjadi sumber pendapatan. Oleh karenanya, PKL dapat dipandang sebagai peluang bagi komuniytas miskin. a. Peluang Kerja dan Lapangan Kerja Agar dapat bertahan hidup maka penduduk yang bermigrasi ke wilayah urban harus menciptakan lapangan kerja sendiri untuk menghasilkan pendapatan. PKL menjadi peluang pekerjaan dan lapangan kerja bagi penduduk miskin dan penduduk yang kurang sejahtera. Sektor ini juga berhubungan dengan sektor formal dalam penyediaan tenaga kerja dan pemasaran produk. Studi menunjukkan bahwa beragam barang yang dijual oleh PKL seperti baju, sepatu dan sandal, barang-barang plastik dan alat-alat rumah tangga diproduksi oleh industri rumah tangga. Industri ini sangat tergantung pada PKL dalam memasarkan produknya (Gottdiener and Budd, 2005). Dengan cara ini, PKL memberikan jasa dalam
186 keberlanjutan industri-industri rumah tangga yang akan menggerakkan ekonomi wilayah. Selain menjadi mata pencaharian bagi sebagian penduduk kota, sektor ini juga memberikan peluang kerja bagi warga yang lebih berpendidikan, seiring menurunnya lapangan kerja formal. Dalam derajat tertentu, PKL menjadi pilihan bagi orang yang tidak mendapatkan pekerjaan meski berpendidikan dan berketerampilan mencukupi.
Pekerjaan sebagai PKL di kota Bogor dapat
menyerap mereka yang berpendidikan SMA atau sederajat (10,83 %) dan akademi atau sederajat (2,50 %). Di sisi lain, melalui penyediaan barang yang murah maka penduduk miskin mampu mendapatkan kebutuhan dasarnya melalui PKL. Kelompok berpendapatan rendah membelanjakan pendapatannya ke PKL karena harga murah dan terjangkau (Bhowmik, 2005). Dengan cara ini, PKL membantu kelompok warga lain untuk bertahan hidup. Melalui penyediaan barang murah, PKL dapat dikatakan menyediakan subsidi bagi penduduk miskin urban, subsidi yang seharusnya disediakan oleh Pemerintah Kota. b. Mata Pencaharian bagi Keluarga Batih PKL mampu memberikan peluang pendapatan dan mata pencaharian bagi anggota keluarga batih karena para migran terkadang membawa keluarganya ke kota. Kebutuhan dasar anggota keluarga ini menjadi tanggung jawab anggota keluarga yang muda dan dewasa. Di kota Bogor, beberapa PKL bekerja sebagai PKL untuk menghidupi keluarga tanggungannya. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara rata-rata responden PKL di kota Bogor memiliki tanggungan lebih dari 3 orang (62,50 %). 6.2. Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan PKL Pendapatan PKL dipengaruhi banyak faktor. Tohar (2003) menyatakan bahwa pendapatan pedagang sektor informal di kota Medan dipengaruhi oleh modal investasi, jam kerja, tenaga kerja, dan modal kerja. Gonec and Harun (2007) menemukan bahwa ukuran usaha, jumlah tenaga kerja, keluarga, dan akses pasar sebagai faktor penting bagi ekonomi informal di Turki. Japina (2010) menunjukkan bahwa modal kerja, total tenaga kerja, dan waktu berdagang secara
187 signifikan mempengaruhi pendapatan PKL di Kecamatan Rantau Utara, Kabupaten Labuhan Batu, Medan, Sumatera Utara. Seperti hasil penelitian di atas, pendapatan PKL di kota Bogor juga dipengaruhi faktor yang beragam. Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL di kota Bogor model yang digunakan adalah : Y i = β 0 + β 1 X 1i + β 2 X 2i + β 3 X 3i + β 4 X 4i + β 5 X 5i + β 6 X 6 + β 7 X 7i + β 11 D 1i + β 12 D 2i + β 13 D 3i + β 14 D 4i + ei
dimana Y i = Pendapatan bersih PKL ke-i (Rp/hari) X 1i = Omzet PKL ke-i (Rp/hari) X 2i = Modal awal/investasi PKL ke-i (Rp.) X 3i = Jumlah lapak/tempat usaha PKL ke-i X 4i = Modal kerja PKL ke-i (Rp/hari) X 5i = Retribusi/pungutan resmi PKL ke-i (Rp/hari) X 6i = Biaya-biaya internal PKL ke-i (Rp/hari) X 7i = Pungutan tidak resmi PKL ke i (Rp/hari} D 1i = Nilai lokasi (strategis, tidak strategis) D 2i = Jenis kelamin (laki-laki, perempuan) D 3i = Asal pedagang (Bogor, luar Bogor) D 4i = Kebersihan lokasi ei = Error standar ke -i Regresi tersebut dianalisis menggunakan analisis regresi berganda dengan program SPSS ver. 16 for Win. Persamaan regresi yang diperoleh adalah sebagai berikut : Y = 102773.132* + 0.012 X* 1 + 0.002 X* 2 – 2.04E4 X 3 + 0.014 X 4 - 0.055 X 5 (1.679) (1.889) (1.936) (-0.930) (0.806) (-0.858) + 0.004 X 6 – 5.41E2 X 7 + 1.14E4 D 1 – 4.0E3D 2 – 3.64E4D* 3 (0.590) (-0.757) (0.327) (-0.167) (-2.754)
+ 2.47E4D* 4 (1.709)
R = 0.652 ; R2= 0.425, Sig-F=0.000 , (.....) = t–hitung,* = nyata pada α=0.10 Nilai R (multiple R) adalah koefisien korelasi berganda untuk mengukur keeratan hubungan antara variabel dependent dan independent. Dari persamaan di atas diperoleh nilai R sebesar 0.652, yang berarti bahwa model tersebut keseluruhan dapat mengukur keeratan sebesar 65,2 %.
secara
188 Nilai R2 (koefisien determinasi) adalah nilai yang menunjukkan seberapa jauh model yang dihasilkan menerangkan kondisi yang sebenarnya. Dari persamaan di atas, nilai R2 yang didapat adalah 0.425, yang berarti bahwa model tersebut mampu menjelaskan kondisi riil sebesar 42,5 %.
Secara rinci, hasil analisis
disajikan pada Lampiran. Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel X 1 (omzet, Sig-t = 0.062), X2 (modal awal, Sig-t = 0.056), dan D4 (dummy lokasi, Sig-t = 0.07) berpengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan PKL pada taraf 10 %. menunjukkan bahwa peningkatan omzet Rp1000,-/hari
Hal ini
akan meningkatkan
pendapatan bersih pedagang sebesar Rp12,-/hari , cateris paribus. Peningkatan modal awal Rp1000,- akan meningkatkan pendapatan bersih sebesar Rp2,-/hari. Variabel asal pedagang (D3) berpengaruh signifikan (Sig-t = 0.007) dengan tanda negatif. Dummy kebersihan juga berpengaruh signifikan (sig-t = 0.091). Untuk melihat pengaruh pendapatan PKL tiap tipologi terhadap tingkat pendidikan tertinggi anggota keluarga, kesehatan, dan konsumsi maka dilakukan analisis regresi linier sederhana untuk tiap tipologi. Hasil analisis disajikan pada Tabel 117. Tabel 117. Pengaruh Pendapatan PKL terhadap Tingkat Pendidikan, Kesehatan, dan Konsumsi Keluarga PKL Tipologi Pasar sayur malam
Model
Variabel
Z 1i = β 0 + β 1 Y 1i = Pendapatan PKL sayur malam ke-i Y 1i, Z 1i = Tingkat pendidikan tertinggi anggota Z 2i = β 0 + β 1 Y 1i keluarga PKL sayur Z 3i = β 0 + β 1 Y 1i malam ke-i Z 2i = Kesehatan keluarga PKL sayur malam ke-i Z 3i = Konsumsi keluarga PKL sayur malam ke-i
Regresi Z 1i = 7E-06Y 1 + 1.944 R² = 0.034, Sig-F = 0.24 Z 2i = 2E-06 Y1 + 1.643 R² = 0.020, Sig-F =0.37 Z 3i = 0.214 Y1 + 18928 R² = 0.179, Sig-F = 0.006*
189 Tipologi Pasar kuliner
Pasar tumpah
Model
Variabel
Regresi
Z 4i = β 0 + β 1 Y 2i
Y 2i = Pendapatan PKL kuliner ke-i Z 4i = Tingkat pendidikan tertinggi anggota keluarga PKL kuliner ke-i Z 5i = Kesehatan keluarga PKL kuliner ke-i Z 6i = Konsumsi keluarga PKL kuliner ke-i
Z 4i = 1E-06Y 2 + 2.733 R² = 0.011; Sig-F = 0.51
Z 5i = β 0 + β 1 Y 2i Z 6i = β 0 + β 1 Y 2i
Z 7i = β 0 + β 1 Y 3i Z 8i = β 0 + β 1 Y 1i Z 9i = β 0 + β 1 Y 1i
Y 3i = Pendapatan PKL pasar tumpah ke-i Z 7i = Tingkat pendidikan tertinggi anggota keluarga PKL pasar tumpah ke-i Z 8i = Kesehatan keluarga PKL pasar tumpah ke-i Z 9i = Konsumsi keluarga PKL pasar tumpah ke-i
Z 5i = 4E-07 Y2 + 1.407 R² = 0.006 ; Sig-F = 0.60 Z 6i = 0.122 Y2 + 19924 R² = 0.451 ; Sig-F = 2.04569E-06* Z 7i = 3E-06Y 3 + 2.295 R² = 0.055 ; Sig-F = 0.14 Z 8i = -7E-07 Y3 + 1.808 R² = 0.015 ; Sig-F = 0.45 Z 9i = 0.139 Y3 + 23989 R² = 0.245 ; Sig-F = 0.001*
Keterangan : * Berbeda nyata pada level kepercayaan 95 %
Pada tipologi pasar sayur malam, pendapatan PKL tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat pendidikan tertinggi dan kesehatan anggota keluarga meski trendnya menunjukkan peningkatan dengan nilai R2 yang rendah.
Hasil serupa
didapatkan untuk tipologi pasar kuliner dan pasar tumpah. Secara keseluruhan untuk ketiga tipologi, pendapatan tidak berpengaruh nyata pada tingkat pendidikan dan kesehatan, tetapi berpengaruh nyata pada konsumsi keluarga PKL. Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa konsumsi meningkat dengan bertambahnya pendapatan. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa komponen konsumsi mendominasi pengeluaran keluarga PKL, sedangkan terhadap tingkat pendidikan dan kesehatan keluarga PKL ada kecenderungan yang lemah. Analisis lebih lanjut dilakukan untuk mengetahui perbedaan net pendapatan antara ketiga tipologi.
Untuk memulainya, pada Gambar 14 disajikan boksplot
net pendapatan untuk ketiga tipologi. Gambar 14 menunjukkan bahwa pasar tumpah dan pasar kuliner memiliki batas bawah dan atas hampir sama namun cukup berbeda dengan pasar sayur malam. Untuk menguji lebih lanjut dilakukan t test antar masing-masing tipologi.
190
Gambar 14. Distribusi Pendapatan Bersih PKL (Rp/hari) menurut Tipologi dalam Boksplot Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Uji ragam untuk net pendapatan antara pasar tumpah dan pasar sayur malam menunjukkan P value sebesar 0.059, berbeda nyata pada taraf 10 %. Hasil uji ragam disajikan pada Tabel 108 sedangkan boksplot disajikan pada Gambar 15. Tabel 118. Uji Ragam untuk Pendapatan Bersih Antara Pasar Tumpah dan Pasar Sayur Malam Pasar tumpah Mean Variance Observations Pooled Variance df
Pasar sayur malam
80875
59000
6147291667
1550256410
40
40
3848774038 78
t Stat
1.576891646
P(T<=t) one-tail
0.059433918
t Critical one-tail
1.292499597
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
191
Gambar 15. Distribusi Pendapatan Bersih PKL (Rp/hari) antara Pasar Sayur Malam dan Pasar Tumpah dalam Bentuk Boksplot Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Analisis antara pasar tumpah dan pasar kuliner tidak menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 10 %, dengan P value 0.313. Hasil uji ragam disajikan pada Tabel 119 sedangkan boksplot disajikan pada Gambar 16. Tabel 119. Uji Ragam untuk Pendapatan Bersih antara Pasar Tumpah dan Pasar Kuliner Pasar tumpah Mean Variance Observations Pooled Variance df t Stat
Pasar kuliner
80875
91150
6147291667
11691874359
40
40
8919583013 78 -0.486546724
P(T<=t) one-tail
0.313971957
t Critical one-tail
1.292499597
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
192
Gambar 16. Distribusi Pendapatan Bersih PKL (Rp/hari) antara Pasar Tumpah dan Pasar Kuliner dalam bentuk Boksplot Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Analisis antara pasar sayur malam dan pasar kuliner menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 10 %, dengan P value 0.040. Hasil uji ragam disajikan pada Tabel 110, sedangkan boksplot disajikan pada Gambar 17. Tabel 120. Uji Ragam untuk Pendapatan Bersih antara Pasar Sayur Malam dan Pasar Kuliner Pasar sayur malam Mean Variance Observations Pooled Variance df t Stat
59000
91150
1550256410
11691874359
40
40
6621065385 78 -1.766981639
P(T<=t) one-tail
0.040571501
t Critical one-tail
1.292499597
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Pasar kuliner
193
Gambar 17. Distribusi Pendapatan Bersih PKL (Rp/hari) antara Pasar Kuliner dan Pasar Sayur Malam dalam bentuk Boksplot Sumber : Data primer 2011 (diolah)
6.3. Keterkaitan ke Belakang (Backward) dan ke Depan (Forward) dari PKL Penelitian ini tidak secara langsung mengkaji adanya keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage) dari keberadaan PKL. Keterkaitan yang dikemukakan terbatas pada keterkaitan langsung baik manfaat maupun kerugian atau pengorbanan yang diakibatkan oleh keberadaan PKL. Pemaparan yang dilakukan lebih bertujuan untuk mengingatkan para pembuat kebijakan bahwa setiap kebijakan ataupun regulasi yang dibuat untuk PKL akan berpengaruh langsung terhadap banyak pihak yang terkait. Oleh karenanya, pembahasan mengenai backward linkage dan forward linkage bersifat deskriptif dan menggunakan studi literatur. Adanya peningkatan output sektor tertentu akan mendorong peningkatan output sektor-sektor lainnya, melalui dua cara.
Pertama, peningkatan output
sektor i akan meningkatkan permintaan input sektor i tersebut. Input sektor i tersebut dapat berasal dari sektor i sendiri atau berasal dari sektor lain, misal sektor j. Oleh karenanya, sektor i akan meminta output sektor j lebih banyak
194 daripada sebelumnya (sebagai input dalam proses produksi). Dengan demikian harus ada peningkatan output sektor j yang pada gilirannya akan meningkatkan permintaan input untuk sektor j itu sendiri atau dengan kata lain akan terjadi peningkatan output sektor-sektor lainnya, begitu seterusnya. Keterkaitan ini adalah keterkaitan ke belakang karena bersumber dari mekanisme penggunaan input produksi. Keterkaitan ke depan terjadi melalui penggunaan output sektor i untuk sektor i sendiri atau sektor lainnya dalam ekonomi. Dalam penelitian ini, peningkatan output (penjualan) pada tipologi pedagang sayur malam mempunyai backward linkage secara langsung dengan kebutuhan akan lebih banyak input produk sayur-sayuran dari petani. Output pasar sayur malam digunakan untuk kebutuhan industri pengolahan seperti warung makan, restoran dan sebagainya sehingga pasar sayur malam mempunyai forward linkage secara langsung dengan industri pengolahan makanan. Sebagian output pasar sayur malam juga digunakan sebagai input makanan olahan yang dijual pada pasar kuliner seperti bakso, siomay, pecel lele dan lain sebagainya. Peningkatan output pasar kuliner tersebut akan meningkatkan kebutuhan input dari industri alat-alat pengolalahan makanan. Secara deskriptif kualitatif keterkaitan ke depan dan ke belakang dari tiga tipologi PKL yang dikaji dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 121.
195 Tabel 121. Keterkaitan Manfaat Langsung ke Depan dan ke Belakang dari PKL Tipologi PKL Pasar Sayur Malam, Pasar Tumpah dan Pasar Kuliner
Backward Linkage
Forward Linkage
Sektor Pertanian dan Industri: Memperpendek rantai pemasaran hasil produksi pertanian maupun industri lain. Untuk sektor pertanian, petani dimungkinkan membawa langsung hasil produksinya ke pasar.
Konsumen : - Konsumen langsung - Industri Pengolahan, warung makan, restoran dan lain-lain - Pedagang keliling dan pedagang kecil di perkampungan - Pemulung, baik pemulung sisa dagangan untuk diolah menjadi makanan ternak maupun kompos ataupun pemulung lain Jasa Angkutan Angkutan kota ,Ojeg dan sebagainya Penciptaan kesempatan / peluang kerja dalam berbagai bentuk baaik sebagai tenaga kerja bagi PKL maupun sebagai akibat keberadaan PKL, antara lain Lapangan kerja sebagai petugas kebersihan, Lapangan kerja bagi Satpol PP, Lapangan kerja sebagai penarik Retribusi ataupun sebagai kuli angkut bagi konsumen dan sebagainya. Sektor Jasa lain-lain : Jasa pedagang penyedia kebutuhan pedagang atau konsumen saat itu, seperti, pedagang bahan-bahan pembungkus, pengikat, penyedia toilet, jasa bongkar muat, pedagang kuliner, parkir dan sebaginya.
Sektor Angkutan: Jasa angkutan mulai dari produsen hingga ke PKL Sektor Tenaga Kerja : Menciptakan peluang/ kesempatan kerja dalam berbagai bentuk
Sektor Jasa lain-lain Penerangan, bongkar muat, parkir, sewa tempat, sewa alat dan sebagainya.
Widodo (2006) dalam studi peran sektor informal terhadap perekonomian daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta menggunakan pendekatan delphi IO menemukan bahwa dari lima sektor yang dikaji yaitu : 1). pertanian dan pertambangan; 2). industri pengolahan; 3). perdagangan, restoran, hotel, listrik, gas, air dan bangunan; 4). angkutan dan komunikasi; dan 5). lain-lain; kesemuanya menunjukkan perubahan backward dan forward linkage yang positif terhadap sektor informal. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan sektor informal (termasuk PKL) mampu meningkatkan keterkaitan ke depan dan ke belakang dari sektor formal. Output sektor formal tertentu yang pada awalnya
196 tidak berhubungan dengan sektor formal lainnya, dengan kehadiran sektor informal, keduanya menjadi terhubung. Dalam hal ini, kegiatan sektor informal menjadi jembatan bagi sektor formal. Keterkaitan kerugian atau pengorbanan langsung sebagai akibat keberadaan dari ketiga tipologi PKL tersebut antar lain adalah, kesemrawutan , kekumuhan, kemacetan dan penyerobotan hak-hak publik lain selain PKL. Dari paparan selintas di atas ternyata bahwa kontribusi PKL terhadap perekonomian wilayah sangat luas, belum lagi manfaat-manfaaat lain yang berhasil dimanfaatkan oleh fihak-fihak tertentu seperti oknum dan preman. Oleh karenanya para pembuat kebijakan harus jeli daan jujur melihat keterkaitan– keterkaitan ini ini agar penataan dan pemberdayaan PKL dapat memperoleh hasil yang optimal.
BAB VII ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BOGOR
Dalam menganalisis kebijakan pengelolaan PKL di kota Bogor terdapat dua issu penting saling kontradiktif yang perlu dikaji yaitu apakah PKL menciptakan peluang peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat kecil perkotaan atau tantangan bagi pengelolaan pembangunan perkotaan. Di satu sisi, PKL menjadi sumber penting mata pencaharian bagi sebagian penduduk di wilayah perkotaan dan menyediakan barang lebih murah kepada. Di sisi lain, terdapat issu yang berhubungan dengan manajemen perkotaan dan pengendalian penurunan kualitas lingkungan kota terkait meningkatnya aktivitas PKL yang menghadirkan tantangan bagi pembangunan perkotaan. Terjadi konfrontasi antara otoritas kota dan PKL dalam hal perijinan, pajak, penggunaan tempat publik, trotoar dan badan jalan serta meningkatnya masalah-masalah sosial. Dalam menganalisis kebijakan pengelolaan PKL di kota Bogor, aspek-aspek yang dianalisis mencakup peraturan daerah (Perda) yang berlaku terkait PKL di kota Bogor, Keputusan Walikota Bogor terkait PKL, dan implementasi kedua kebijakan tersebut.
Implementasinya dianalisis dalam konteks
efektivitas
pelaksanaan dan hasilnya dibandingkan dengan implementasi di beberapa kota lain di Indonesia. Analisis juga dilakukan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam penanganan PKL. Metode analisis yang digunakan adalah studi literatur, wawancara intensif dan mendalam dengan pihak yang relevan seperti Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP); Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop); Dinas Tata Kota dan Pertamanan (DTKP); Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup (DLHK); serta Dinas Lalulintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ). 7.1. Peraturan Daerah Pengelolaan PKL Pemerintah Kota Bogor telah mensahkan Perda yang berhubungan dengan Penataan PKL yaitu Perda No. 13 tahun 2005.
Perda tersebut antara lain
mengatur penataan dan pengaturan yakni pasal 2 ayat (1) mengenai penunjukan
198 lokasi dimana kegiatan usaha PKL dapat dilakukan di daerah. Ayat (2) menyebutkan bahwa lokasi PKL ditentukan oleh Walikota atau pejabat yang ditunjuk, kecuali untuk lokasi di dalam lingkungan instansi pemerintah, lingkungan sekolah, lingkungan tempat peribadatan, sekitar lokasi pasar, parit dan tanggul, taman kota dan jalur hijau, monumen dan taman pahlawan, di sekeliling Kebun Raya dan Istana Bogor, dan di seluruh badan jalan. Dalam pasal 3 disebutkan, setiap orang dilarang melakukan transaksi perdagangan dengan PKL pada lokasi yang dilarang untuk digunakan PKL. Perda juga mengatur jenis komoditi. Pada pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa jenis komoditi yang diperdagangkan oleh PKL berupa barang dan atau jasa kecuali, daging, ikan dan telur, palawija dan bumbu, sayuran, tahu dan tempe, sembako, pakan ternak serta unggas dan atau ternak kecil. Bangunan dan jenis tempat usaha diatur dalam pasal 5 ayat (1): bentuk bangunan tidak permanen/sementara, yang bentuk dan jenisnya diatur Walikota. Ayat (2) mengatur jenis tempat usaha yang terdiri dari lesehan, gelaran, tenda, gerobak beroda, motor, dan mobil. Waktu berjualan diatur dalam pasal 6 bahwa penetapan waktu berjualan PKL diatur oleh Walikota. Pasal 7 mengatur mekanisme perizinan, yaitu pasal 7 ayat (1): setiap PKL yang akan menggunakan izin usaha wajib mendapat izin tertulis Walikota atau pejabat yang ditunjuk; ayat (2): setiap PKL hanya dapat memiliki satu izin; ayat (3): izin diberikan dalam jangka waktu satu tahun dan dapat diperpanjang. Permohonan izin PKL disebutkan dalam pasal 8 ayat (2): harus melampirkan tanda penduduk kota Bogor, pasfoto terbaru ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 lembar, dan mengisi formulir yang memuat nama, alamat/tempat tinggal/lama tinggal, jenis usaha yang dimohon, tempat usaha yang dimohon, luas tempat usaha, waktu usaha, perlengkapan yang digunakan, surat pernyataan persetujuan dari pemilik tanah, dan jumlah modal usaha. Selain itu harus membuat pernyatan belum memiliki tempat usaha, membuat surat pernyataan kesanggupan untuk menjaga ketertiban, keamanan, kesehatan, kebersihan, dan keindahan serta fungsi fasilitas umum. Harus membuat surat pernyataan tidak akan memperdagangkan barang ilegal, tidak akan merombak, menambah dan mengubah fungsi serta fasilitas yang
199 ada di tempat atau lokasi PKL, kesanggupan mengosongkan atau mengembalikan atau menyerahkan lokasi PKL kepada Pemerintah Kota tanpa syarat apapun apabila lokasi dimaksud sewaktu-waktu dibutuhkan oleh Pemerintah Kota, dan lokasi usaha tidak ditempati selama satu tahun. Hal lain yang diatur antara lain perpanjangan izin (pasal 11); pajak dan retribusi (pasal 12); hak, kewajiban, dan larangan (pasal 13, 14, dan pasal 15). Yang menarik adalah bahwa Perda ini juga mengatur tentang pembinaan, pemberdayaan, dan pengembangan (pasal 16); dan peran-serta masyarakat (pasal 18). Selain itu, Perda juga mengatur tentang ketentuan pidana, bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan dalam pasal 2 ayat (2), pasal 3, pasal 4, pasal 5, pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 11, pasal 12, pasal 14 dan pasal 15, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp 50 juta yang dibayarkan langsung ke rekening kas daerah setelah ditetapkan oleh Hakim Sidang Pegadilan Negeri Bogor. Sanksi administrasi diatur dalam pasal 20, 21, 22 dan 23. Perda di atas sudah secara rinci dan lengkap mengatur pengelolaan PKL. Permasalahannya terletak pada implementasi yang melibatkan beberapa pihak yang berhubungan dengan pengelolaan PKL. Selain itu, keterlibatan pihak-pihak lain yang berkepentingan juga perlu dianalisis.
Sejauh ini tindakan yang
dilakukan Pemerintah Kota Bogor berupa penertiban (penggusuran) dan relokasi PKL sehingga implementasi Perda tersebut perlu dianalisis. 7.2. Pihak-pihak yang Terkait Penataan PKL melibatkan secara langsung lembaga terkait yang tergabung dalam Tim Penataan PKL Kota Bogor, meliputi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop), Dinas Tata Kota dan Pertamanan (DTKP), Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup (DLHK), serta Dinas Lalulintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ). Hasil analisis pada Bab 5 menunjukkan perlunya keterlibatan beberapa pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Tabel 122 menjustifikasi
beberapa hasil penelitian terdahulu dan hasil penelitian ini tentang keterlibatan pihak selain yang disebutkan di atas.
200 Tabel 122. Perlunya Keterlibatan Pihak-pihak Lain No.
Peneliti
Judul
Hasil
Indonesia : Extension of Social Insurance Coverage to the Informal Economy; ILO Subregional Office for South East Asia; Asian Decent Work Decade; 2006-2015 Informal Sector: The Credit Market Channel
Keterbatasan jaring pengaman sosial bagi sektor informal .
Perlunya melibatkan dinas sosial
Dengan menurunkan ketergantungan PKL terhadap mekanisme kredit informal akan berdampak penting terhadap kesejahteraan. Manfaat potensial program microcredit bagi PKL. Beberapa lembaga pembiayaan mikro, grup riset, akademisi, LSM, lembaga networks dan akar rumput bekerja sama membangun mekanisme proteksi sosial melalui layanan asuransi mikro Proses pemberdayaan melalui social learning dengan media institusi lokal yang dibentuk atas prakarsa masyarakat
Perlunya keterlibatan lembaga keuangan seperti bank, lembaga keuangan mikro
1
ILO (2006)
2
Straub (2003)
3
The Ford Roundtable on Foundation Microinsurance (2010) Services in The Informal Economy: The Role of Microfinance Institutions
4
Yahya et al. (2003)
Pemberdayaan Masyarakat Sektor Informal di Perkotaan (Studi Kasus Pelaksanaan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan [P2KP] di Kelurahan Kasin Kecamatan Klojen Kota Malang)
Analisis
Perlunya keterlibatan LSM, institusi akar rumput dalam membangun mekanisme perlindungan sosial
Perlunya keterlibatan LSM
201
Hasil kajian literatur di atas menunjukkan perlunya keterlibatan pihak-pihak lain dalam pengelolaan PKL.
ILO (2006)
menemukan lemahnya jaring
pengaman sosial bagi sektor informal (termasuk PKL) sehingga dalam pengelolaan PKL membutuhkan peran serta dinas sosial.
Straub (2003)
menemukan manfaat potensial program micro-credit bagi PKL, sehingga peran lembaga finansial penyedia kredit mikro juga diperlukan. Ford Foundation (2010) dan Yahya (2003) menunjukkan perlunya keterlibatan LSM dan institusi akar rumput dalam membangun mekanisme perlindungan sosial. Dalam konteks hasil penelitian ini (Bab 5), PKL rentan terhadap masalah kesehatan, dengan demikian ada kebutuhan keterlibatan secara tidak langsung dari dinas kesehatan. Tabel 42 menunjukkan bahwa PKL lemah atau rendah dalam hal pendidikan sehingga perlu juga melibatkan dinas pendidikan.
Tabel 76
menunjukkan bahwa PKL rentan dalam jaminan asuransi tenaga kerja sehingga perlu melibatkan pihak atau lembaga asuransi ketenagakerjaan. Dari analisis regresi pada Bab 6 diketahui bahwa pendapatan PKL tidak berpengaruh terhadap tingkat pendidikan anggota keluarga dan tingkat kesehatan. Hal ini mengindikasikan bahwa kebanyakan PKL merasa tidak terlalu penting untuk mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Mereka menganggap sekolah cukup sampai tingkat SLTA, yang terlihat dari persentase terbesar pendidikan anggota keluarga adalah SLTA. Dengan demikian diperlukan penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Analisis regresi memperlihatkan bahwa pendapatan PKL berpengaruh nyata terhadap tingkat konsumsi rumah tangga, pendapatan bersih (D16) menunjukkan nilai yang cukup besar, yang pada akhirnya dipergunakan untuk hal-hal konsumtif dan bukan untuk invstasi. Kondisi demikian menyebabkan perlunya pemerintah memberikan penyuluhan/pemberdayaan kepada mereka untuk merubah pola pikir agar mempunyai keinginan untuk meningkatkan status usahanya. Tidak sedikit PKL yang berfikiran maju dan berhasil menjadi pengusaha formal yang cukup besar. Karenanya dalam rangka pemberdayaan diperlukan keterlibatan akademisi serta keterlibataan LSM yang terkait.
202
7.3. Implementasi Perda PKL di Bogor Implementasi Perda PKL dapat dilihat pada Tabel 113.
Tabel tersebut
menunjukkan bahwa sejauh ini pengelolaan PKL di kota Bogor masih berupa penertiban (penggusuran) dan/atau relokasi. Contoh lokasi yang ditertibkan adalah di depan Polwil Bogor. Di tempat tersebut selanjutnya dibangun pot-pot bunga, pagar besi yang ditumbuhi tanaman, dan pemasangan pengumuman Perda PKL. Cara ini bertujuan agar masyarakat mengetahui bahwa peruntukan lokasi tersebut bukan untuk PKL. Tabel 123. Beberapa Tindakan Pemerintah Kota Bogor terhadap PKL di beberapa Lokasi Lokasi Penataan
Pelaksa naan
1.
Jalan MA Salmun, Dewi Sartika, dan Nyi Raja Permas
Nopem ber 2007
2.
Taman Kencana
Maret 2009
No.
Tindakan
Hasil
Analisis
• 4.000 PKL ditata dan dipindahkan ke lokasi lain • Mengembali-kan fungsi jalan seperti semula sebagai jalan raya dua jalur. • Membuat pot-pot bunga dan pagar besi yang ditumbuhi tanaman, memperbaiki badan jalan yang berlubang, serta memasang rambu dan mengatur arus lalulintas 20 bangunan terpaksa dibongkar paksa puluhan petugas Satpol PP tanpa perlawanan
Kondusif
Sejumlah PKL tetap berjualan di Jalan MA Salmun, Dewi Sartika, dan Nyi Raja Permas, meskipun jumlahnya tidak sebanyak sebelum ditertibkan dan belum menggunakan lapak berkonstruksi kayu. PKL di bawah awning di Jalan Nyi Raja Permas, sudah penuh kembali seperti sebelumnya
Lokasi eks PKL berubah menjadi taman publik
Sejumlah PKL berpindah ke sekitar kampus IPB Taman Kencana
Sumber : BogorPlus.com
Hasil analisis dan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa untuk lokasi penataan Jalan MA Salmun, Dewi Sartika, dan Nyi Raja Permas, sebanyak 4.000
203 PKL ditata dan dipindahkan ke lokasi lain. Penataan ini tanpa perlawanan karena sudah dilakukan sosialisasi sejak awal.
Namun demikian, setelah beberapa
minggu penataan, sejumlah PKL kembali berjualan. Dewasa ini, jumlah PKL di Jalan MA Salmun, Dewi Sartika, dan Nyi Raja Permas tidak sebanyak sebelum ditertibkan dan belum menggunakan lapak berkonstruksi kayu, sedangkan di Jalan Nyi Raja Permas PKL di bawah awning sudah penuh kembali seperti sebelumnya. Pengamatan
ini
menunjukkan
bahwa
implementasi
Perda
melalui
penggusuran dan relokasi belum mencapai hasil optimal dan tidak ada tindak lanjut dalam hal pemantauan PKL untuk tidak kembali ke lokasi yang sudah ditertibakan. Tindakan penggusuran pada dasarnya bukan merupakan solusi yang efektif meski tindakan tersebut dibenarkan oleh Perda. Penggusuran juga dilakukan pada tahun 2009 di Taman Kencana. Sebanyak 20 bangunan terpaksa dibongkar paksa puluhan petugas Satpol PP tanpa perlawanan, dan lokasi tersebut dirubah menjadi taman publik. Berdasarkan pengamatan di lapangan diketahui bahwa sebenarnya PKL bukan hilang tetapi berpindah ke lokasi di sekitar kampus IPB Taman Kencana dan masih menempati badan-banda jalan. Hal ini menunjukkan bahwa penggusuran bukan penyelesaian terbaik karena inti permasalahan PKL masih belum tersentuh kebijakan. Dalam menganalisis apa yang sudah dilakukan terhadap PKL di kota Bogor adalah perlu membandingkan dengan tindakan-tindakan yang sudah dilakukan di beberapa kota di Indonesia.
Hasil perbandingan program dan pendekatan
terhadap pengelolaan PKL di beberapa kota di Indonesia disajikan pada Tabel 124. Sama seperti kota Bogor, kota-kota besar dan metropolitan seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, dan Makassar masih menggunakan program penggusuran PKL dan relokasi ke tempat yang kurang strategis. Berbeda dengan keenam kota besar tersebut, Bogor tidak menerapkan retribusi yang mahal untuk sewa tempat. Kota-kota kecil seperti Blitar dan Kendari hanya melakukan relokasi PKL ke lokasi kurang strategis. Blitar menerapkan langkah lebih konkrit yaitu mengelola PKL melalui penyediaan tenda-tenda khusus sehingga PKL lebih tertata rapi.
204 Program dan Pendekatan Pengelolaan PKL di Beberapa Kota di Indonesia
Medan
Makassar
Bogor
•
•
•
•
•
•
•
Relokasi ke lokasi tidak strategis Retribusi mahal untuk sewa tempat
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Kendari
Semarang
Menggusur
Kota Kecil
Blitar
Bandung
Kota Menengah
Surabaya
Metropolitan dan Kota Besar
Jakarta
Negatif
Program dan Pendekatan
Balikpapan
Tabel 124.
•
•
Keterangan: • = ada indikasi dukungan pemerintah kota = Tidak ada indikasi dukungan pemerintah kota Sumber : Kosasih (2007)
Hasil analisis yang dilakukan Kosaih (2007) tersebut juga menunjukkan indikasi dukungan kepada pelaku ekonomi informal, baik dari pemerintah, swasta maupun LSM, walau umumnya masih bersifat parsial (case-by-case). Skala dukungan juga tidak sebanding dengan skala permasalahan yang luar biasa besar sehingga kebijakan yang disusun belum menyentuh akar permasalahan yang dihadapi PKL. Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa kebijakan yang dilakukan di kota Bogor masih belum efektif dan efisien dalam mengelola PKL. Program atau pendekatan yang digunakan seharusnya mempertimbangkan
terciptanya
“enabling environment” yang dapat memberikan peluang bagi semua orang yang paling miskin sekalipun, baik warga maupun pendatang untuk mencari sumber penghidupan guna meningkatkan kesejahteraan tanpa merugikan orang lain. Disamping aspek ketertiban, keindahan, dan kenyamanan publik, penanganan PKL yang dilakukan harus tetap mempertimbangkan aspek kebutuhan ekonomi masyarakat, baik kepentingan pelaku PKL maupun kepentingan
masyarakat
konsumen. Konsep yang digunakan adalah konsep penataan dan penertiban. Hasil yang dicapai sejauh ini belum signifikan sehingga situasi dan kondisi PKL dalam kota relatif belum beranjak dari tahun-tahun sebelumnya. PKL masih memadati kawasan seputar pasar, terutama Pasar Kebon Kembang dan Pasar Bogor, karena tingginya aktivitas perekonomian di kawasan tersebut. Lokasi yang
205 juga dipadati PKL adalah seputar Air Mancur, Jembatan Merah, Jalan Pajajaran, Jalan Dewi Sartika, dan Jalan Surya kencana. Penertiban yang telah dilakukan sejauh ini lebih dititikberatkan pada upaya mengurangi gangguan PKL terhadap kelancaran lalu lintas dan pejalan kaki sehingga seperti Jalan MA Salmun, Jalan Merdeka, Jalan Dewi Sartika, dan Jalan Surya kencana bisa dilalui kendaraan. Pada beberapa kawasan yang berhasil dibebaskan dari PKL telah dibuat taman dan pagar untuk mencegah kembalinya PKL ke lokasi tersebut. Kegiatan penertiban PKL memang menjadi tantangan tersendiri di tengah belum idealnya jumlah personil Satpol PP dibandingkan jumlah penduduk. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 73 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Penyelenggaran Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa 1 orang Satpol PP melayani 400 orang penduduk. Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa jumlah personil Satpol PP di kota Bogor masih belum ideal. Pada tahun 2010 nilai rasio hanya mencapai 0,025 atau satu orang personil Satpol PP melayani 3.975 penduduk. Dari hasil penelitian diketahui bahwa kesemrawutan yang terjadi bukan hanya disebabkan oleh PKL, tetapi juga karena ketidak-konsistenan, ketidak-tegasan, persiapan yang kurang matang,
kurangnya sosialisasi peraturan dari fihak
pemerintah, serta banyaknya oknum yang memanfaaatkan keberadaan PKL untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Beberapa contoh kegagalan pemerintah dalam melaksanakan peraturan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat, adalah sebagai berikut: 1. Pemindahaan pedagang dan PKL dari Pasar Ramayana (sekarang Bogor Trade Mall atau BTM) ke Pasar Jambu Dua sekitar akhir tahun 1990-an masih menyisakan janji-janji pemerintah yang tidak dilaksanakan. Hal ini mengakibatkan pedagang kembali menjadi PKL di sekitar Pasar Bogor, Jalan Juanda, dan Jalan Suryakancana. 2. Banyaknya PKL di Jalan Pedati cenderung mematikan usaha ikan asin, padahal pada awalnya Lawang Saketeng dan Jalan Pedati merupakan pusat distributor ikan asin ke sebagian besar pelosok Jawa Barat.
206 3. Kegagalan relokasi PKL ke Pasar Yasmin yang mengakibatkan bangkrutnya para pedagang yang mengikuti aturan. 4. Kegagalan relokasi PKL di sekitar Taman Topi atau Jalan Dewi Sartika, Jalan Nyi Raja Permas, Jalan MA Salmun, Jalan Pabrik Gas serta Jalan Merdeka. Pembentukan PD Pasar pada tahun 2011
diharapkan dapat berpengaruh
terhadap pengelolaan PKL di seputar kawasan pasar, melalui langkah penertiban dan optimalisasi pemanfaatan kios-kios dan lahan yang berada dalam pasar.
BAB VIII STRATEGI PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BOGOR
Keberadaan dan tumbuh berkembangnya PKL dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Formulasi strategi yang efektif akan dapat dirumuskan jika kedua faktor tersebut dianalisis dengan tepat. Metode SWOT yang berbasis pada kondisi internal dan eksternal suatu organisasi telah banyak digunakan untuk merumuskan strategi pada berbagai bidang kajian.
Dalam perkembangannya,
metode ini sering dikombinasikan dengan teknik-teknik pembobotan (weighting) terhadap faktor internal dan eksternal sehingga rumusan strategis yang dicapai memiliki aspek kualitatif. Dalam penelitian ini, pembobotan faktor internal dan eksternal dalam metode SWOT menggunakan teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dari Saaty (1983). Menurut Kangas et al (2001) penggunaan pairwise comparison dalam SWOT ini menghasilkan teknik yang disebut sebagai A’WOT atau AHPSWOT. Cara ini akan menghasilkan perumusan strategi yang terboboti. Strategi yang disusun dalam bab ini secara bertahap diharapkan akan mampu mentransformasi sektor informal PKL menjadi kegiatan yang lebih formal. 8.1. Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal Formulasi strategis pengelolaan PKL di kota Bogor perlu mengiidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi PKL.
Faktor internal
didefinisikan sebagai faktor yang berasal dari dalam lingkungan organisasi (Pearce & Robinson, 1997), dalam hal ini Pemerintah Kota Bogor, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar organisasi. Faktor internal dapat menjadi kekuatan dan kelemahan sedangkan faktor eksternal dapat berupa peluang atau ancaman dalam strategi pengelolaan PKL di kota Bogor. Identifikasi faktor internal dan eksternal diperoleh dari data primer berupa pengisian kuesioner dan wawancara dengan responden yang relevan. Dengan demikian, pembobotan lebih didasarkan pada penilaian (judgement) ahli. Responden yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Bab 3 Metode
208 Penelitian. Hasil wawancara tersebut selanjutnya disintesis untuk mendapatkan bobot faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengelolaan PKL secara optimal di kota Bogor. 8.1.1 Faktor Eksternal a. Peluang (Opportunity) Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, beberapa faktor diidentifikasi sebagai peluang dalam pengelolaan PKL di kota Bogor.
Peluang-peluang
tersebut mencakup keberadaan Perda tentang PKL, ketersediaan SDM, kontribusi PKL pada PAD, ketersediaan barang dan jasa dengan harga terjangkau, ketersediaan lembaga keuangan mikro, dan kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan. Selanjutnya faktor-faktor ini dianalisis menggunakan metode perbandingan berpasangan. Hasil analisis perhitungan bobot disajikan pada Tabel 125. Tabel 125. Hasil Perhitungan Bobot Faktor Eksternal Peluang Peluang
VE
VP
VA
VB
λ-
CI
RI
CR
0,10
1,40
0,07
Max Keberadaan Perda tentang PKL Ketersediaan SDM
2,06
0,29
4,29
14,86
0,86
0,12
0,98
8,16
Kontribusi PKL pada PAD Ketersediaan barang dan jasa dengan harga terjangkau Ketersediaan lembaga keuangan mikro Kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan
1,70
0,24
3,04
12,78
0,47
0,07
0,21
3,25
0,44
0,06
0,31
4,98
1,60
0,22
2,54
11,31
7,13
1,00
6,51
39,05
Sumber : Data primer, 2011 (diolah), n = 8 responden Keterangan : CR = Konsistensi rasio, CR < 0,1 menunjukkan konsistensi yang baik, CR > 0.1 menunjukkan data perlu direvisi VE = Perkalian baris VP = Vektor prioritas atau vektor Eigen. VA = Vektor antara VB = Vektor baris λ max = Nilai Eigen maksimum CI = Indeks konsistensi CR = Rasio Konsistensi
209 Hasil analisis di atas menghasilkan nilai consistency ratio (CR) sebesar 0.07 yang berarti bahwa data pengisian kuisioner dari responden cukup konsisten sehingga tidak perlu dilakukan revisi pendapat.
Revisi pendapat dilakukan
apabila nilai CR > 0,1, dengan pengulangan pengisian kuesioner atau melakukan pengolahan data (adjustment) (Saaty, 1983). Hasil analisis pembobotan faktor eksternal yang memberikan peluang menunjukkan bahwa keberadaan Perda tentang PKL mendapatkan bobot relatif tertinggi (0,29) dibandingkan faktor lainnya. Urutan bobot relatif lainnya adalah kontribusi PKL pada PAD (0,24), kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan (0,22), ketersediaan SDM (0,12), ketersediaan barang dan jasa dengan harga terjangkau (0,07), dan ketersediaan lembaga keuangan mikro (0,06). Keberadaan Perda tentang PKL (0,29) adalah peluang yang dapat dimanfaatkan dalam mengelola PKL di kota Bogor. Perda PKL yang saat ini digunakan adalah Perda No. 13 Tahun 2005 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima. Keberadaan Perda ini didukung dengan adanya Surat Keputusan Walikota Bogor Nomor 511.23.45.237 tentang Penunjukan Lokasi dan Penataan PKL. Kedua perangkat legal ini masih didukung dengan Perda Kota Bogor Nomor 1 Tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 1999-2000 dimana kota Bogor memiliki fungsi sebagai kota perdagangan, kota industri dan kota pemukiman, kota wisata ilmiah, dan kota pendidikan. Peluang kedua adalah kontribusi PKL pada PAD (0,24).
Beberapa hasil
penelitian terdahulu menunjukkan bahwa PKL memberikan kontribusi positif dan signifikan terhadap PAD. Merujuk pada data Disperindagkop tahun 2005, jumlah PKL di Kota Bogor mencapai 10 ribu orang. Jumlah tersebut dewasa ini diperkirakan telah bertambah. Meski jumlahnya sangat banyak, kontribusi mereka terhadap PAD sangat kecil, padahal mereka dikenakan setoran Rp 2.000,- sampai Rp 3.000,- setiap hari. Dengan jumlah PKL sebanyak 10 ribu orang, maka jumlah setoran mencapai Rp 30 juta per hari atau Rp 900 juta per bulan atau dapat mencapai lebih dari Rp 10 miliar per tahun. Sejak 30 September 2009, legalitas PKL di kota Bogor sudah dicabut sesuai Perda No. 13 tahun 2005 tentang PKL. Sejak saat itu, Dinas Pendapatan,
210 Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Bogor tidak lagi memungut retribusi PKL.
Sejauh ini retribusi yang dibayarkan ternyata
dimanfaatkan oleh oknum tertentu. Apabila Pemerintah Kota Bogor mampu mengumpulkan serta mengelola dengan baik dan benar maka jumlah ini tentunya sangat signifikan untuk pembangunan kota Bogor.. Terkait dengan pengentasan kemiskinan, PKL turut berpeluang dalam program pengentasan kemiskinan (0,22). Mitullah (2003) menyatakan bahwa PKL berperan penting sebagai sumber pendapatan dan lapangan kerja sehingga dapat meminimalkan dampak sosial. Widodo (2006) menemukan bahwa sektor informal berkontribusi positif pada pembangunan DIY melalui peningkatan output, penyediaan lapangan kerja, dan pendapatan masyarakat.
Dalam
penelitiannya di Dhaka City, Akharuzzama, et al (2010) menemukan bahwa PKL adalah sektor perdagangan urban penting di Dhaka City. Semua hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PKL mampu memberikan peluang dalam menciptakan pendapatan bagi para pelakunya. Ketersediaan SDM (0,12) di lingkungan pemerintah kota Bogor
adalah
sumber peluang lain bagi strategi pengelolaan PKL. Saat ini terdapat bebeberapa instansi/dinas yang terlibat langsung dalam pengelolaan PKL di kota Bogor yaitu Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop), Dinas Tata Kota dan Pertamanan (DTKP), Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup (DLHK), serta Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ). PKL mampu menyediakan barang dan jasa dengan harga terjangkau (0,07) bagi sebagian komunitas kota.
PKL merupakan salah satu penggerak roda
perekonomian, karena memberikan kontribusi positif dalam menjalankan aktivitas transaksi keuangan antara penjual (pedagang) dengan pembeli (konsumen). Dengan harga yang murah/terjangkau dan mutu barang yang bagus kaki lima menjadi salah satu alternatif untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Peluang terakhir adalah ketersediaan lembaga keuangan mikro (0,06) yang memberikan peluang pendanaan bagi PKL agar dapat bertransformasi dari sektor informal ke sektor formal. Dalam dua dasawarsa terakhir keuangan mikro telah menjadi suatu wacana global yang diyakini oleh banyak pihak menjadi metode
211 untuk mengatasi kemiskinan. Di Indonesia posisi keuangan mikro dalam tataran wacana dan kebijakan masih marjinal
meski sebenarnya keuangan mikro
memiliki sejarah yang amat panjang. Beberapa waktu lalu wacana keuangan mikro kembali diangkat seiring perhatian yang semakin besar untuk mencari pendekatan alternatif dalam menanggulangi kemiskinan dan memberdayakan ekonomi rakyat yang peran strategisnya semakin diakui (Krisnamurthi, 2002). b. Ancaman (Threath) Beberapa faktor diidentifikasikan sebagai ancaman bagi pengelolaan PKL. Secara rinci dan hasil perhitungan bobot faktor eksternal yang memberikan ancaman dalam pengelolaan PKL di kota Bogor disajikan pada Tabel 126. Tabel 126. Hasil Perhitungan Bobot Faktor Eksternal Ancaman Ancaman
VE
VP
VA
VB
Kebijakan tata ruang kurang konsisten Terbatasnya kesempatan kerja lain yang lebih baik Kurangnya alokasi tempat untuk relokasi PKL Terbatasnya dana operasional Lemahnya kerjasama lintas badan/institusi Lemahnya penegakan hukum Kebijakan intervensi pemda yang tidak konsisten Lemahnya posisi politis PKL Belum adanya registrasi pelaku PKL
1,14
0,12
1,41
11,40
1,30
0,14
1,73
12,32
1,30
0,14
1,71
12,15
0,83
0,09
0,83
9,21
1,05
0,11
1,18
10,33
1,24
0,13
1,67
12,46
0,98
0,11
1,03
9,67
0,68
0,07
0,49
6,66
0,72
0,08
0,53
6,80
9,24
1,00
λMax 10,11
CI 0,14
RI
CR
1,40 0.10
90,99
Sumber : Data primer, 2011 (diolah), n= 8 responden Keterangan : CR = Konsistensi rasio, CR < 0,1 menunjukkan konsistensi yang baik, CR > 0.1 menunjukkan data perlu direvisi VE = Perkalian baris VP = Vektor prioritas atau vektor Eigen. VA = Vektor antara VB = Vektor baris
212 λ max = Nilai Eigen maksimum CI = Indeks konsistensi CR = Rasio Konsistensi
Hasil pembobotan di atas memberikan nilai konsistensi rasio (CR) sebesar 0,10 yang berarti bahwa data kuesioner cukup konsisten sehingga cukup valid untuk analisis lebih lanjut. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa dua faktor secara relatif dipandang sebagai ancaman utama dalam pengelolaan PKL di kota Bogor yaitu terbatasnya kesempatan kerja lain yang lebih baik (0,14) dan kurangnya alokasi tempat untuk relokasi PKL (0,14). Faktor yang dipandang sebagai ancaman terlemah adalah lemahnya posisi politis PKL (0,07). Terbatasnya kesempatan kerja lain yang lebih baik (0,14) dipandang sebagai ancaman utama pengelolaan PKL di kota Bogor. Sampai akhir tahun 2009 angka pengangguran di kota Bogor berkisar 15 % atau naik 1,36 % dari tahun 2008 yang mencapai 13,64 %. Tantangan untuk menurunkan angka pengangguran tidak mudah karena selain menyangkut ketersediaan lapangan kerja yang masih berbanding terbalik dengan jumlah tenaga kerja, juga ada beberapa faktor lain yang turut memperburuk kondisi tersebut. Pertama, pasar kerja yang tidak sesuai dengan pencari kerja. Kedua, tersedianya lapangan kerja yang sesuai potensi tetapi tidak sesuai dengan minat pencari kerja. Ketiga, tidak terdapat lapangan kerja karena keterbatasan potensi pencari kerja. Keterbatasan lapangan kerja yang lebih baik ini menjadikan usaha PKL sebagai lapangan kerja alternatif bagi mereka yang tidak tertampung di sektor formal sehingga akan memperbesar jumlah PKL di kota Bogor. Kurangnya alokasi tempat untuk relokasi PKL (0,14) juga menjadi ancaman utama dalam pengelolaan PKL. Untuk pembinaan dan penataan PKL, relokasi pedagang merupakan salah satu solusi alternatif penataan PKL. Untuk melakukannya, Pemerintah Kota Bogor masih memiliki keterbatasan dalam hal ketersedian lahan serta lokasi strategis bagi relokasi PKL.
Hal ini membuat
program penataan PKL menjadi semakin sulit sehingga memberikan ancamana bagi pengelolaan PKL di kota Bogor. Ancaman lainnya adalah kebijakan tata ruang kurang konsisten (0,12). Hingga 2009, telah ditetapkan 18 lokasi atau Zoning Pembinaan dan Penataan PKL, yaitu : Jalan Bangbarung, Batu Tulis, Siliwangi, Papandayan, Otista, Gang
213 Selot di Jalan Djuanda, seputar Air Mancur, Kelurahan Sempur, Jalan Pengadilan, Pajajaran (sekitar Villa Duta-B dan samping Damkar Sukasari), Jalan Cidangiang, Jalan Sukasari III, Pejagalan, Dadali, Ahmad Yani, dan KH. Abdullah bin Nuh di Curug. Upaya penggusuran di beberapa lokasi seperti di Taman Kencana tidak berhasil memindahkan PKL ke zonasi pembinaan dan penataan PKL tersebut. Mereka hanya berpindah beberapa meter ke sekitar kampus IPB Taman Kencana, bahkan hasil pengamatan terbaru menunjukkan mereka masih berada di sekitar lokasi penggusuran.
Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan penertiban yang
dilakukan tidak konsisten karena tidak ada evaluasi apakah program yang dijalankan berjalan sesuai harapan atau tidak. Ancaman berikutnya adalah keterbatasan dana operasional (0,09) bagi pengelolaan PKL di kota Bogor. Dana operasional bersumber dari APBD kota Bogor. Dalam Renstra kota Bogor, penanganan PKL menjadi salah satu prioritas, namun model penanganan dengan penertiban PKL sebenarnya sangat mahal harganya bagi pemerintah kota.. Untuk tahun 2011 Pemerintah Kota Bogor telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 498,1 juta untuk program pembinaan PKL dan asongan, namun dana ini masih terbatas untuk pelaksanaan program, belum termasuk honor petugas. Rahmawati (2007) menemukan bahwa staf yang bertugas di Satpol PP dan Hartib Pasar 80 % masih berstatus honorer dengan gaji Rp 300.000,- ditambah dengan tunjangan lain mencapai Rp 600.000,-/bulan.
Untuk meningkatkan kinerja
petugas maka diperlukan anggaran cukup besar. Lemahnya kerjasama lintas badan/institusi (0,11) menjadi ancaman lain bagi pengelolaan PKL di kota Bogor. Upaya penataan PKL membutuhkan penanganan yang komprehensif, melibatkan banyak pihak. Karena setiap pihak memiliki kepentingan berbeda maka diperlukan kesamaan persepsi antar dinas/instansi dalam menata PKL. Kelemahan ini dapat ditunjukkan dengan tidak adanya tindak lanjut pasca penataan, perbedaan data jumlah PKL di tiap institusi, dan tidak adanya pembinaan PKL. Lemahnya penegakan hukum (0,13) juga dapat menjadi ancaman dalam penataan PKL. Berdasarkan Perda tentang PKL maka sudah ditentukan zona atau
214 tempat yang diperbolehkan untuk berdagang, tetapi dari pengamatan di lapangan terlihat bahwa penegakan hukum belum dilakukan secara konsisten. Suatu saat hukum/aturan diberlakukan, tapi pada saat lain seperti terjadi pembiaran. Dua contoh berikut dapat menggambarkan kondisi tersebut. Sejumlah PKL diajukan ke sidang tindak pidana ringan karena melanggar Perda No. 13 Tahun 2005 tentang Penataan PKL. PKL tersebut terjaring operasi penertiban yang dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) di sejumlah lokasiseperti di Jalan Ir. H. Djuanda, Sudirman, Suryakencana, Sukasari, Lawanggintung, Bondongan, Batu Tulis, Empang, Kapten Muslihat (Taman Topi), Pajajaran, dan Warung Jambu. Operasi berjalan lancar, tanpa ada penolakan dan perlawanan dari PKL. Dalam sidang yang dipimpin Hakim Andi Risajaya, SH dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Andi Hermawati SH, mereka divonis hukuman denda rata-rata Rp 40 ribu sampai Rp 50 ribu, subsider 3 bulan kurungan. Pada awalnya sejumlah pedagang keberatan atas keputusan itu karena mereka menilai denda yang djatuhkan terlalu tinggi. Namun, akhirnya para pedagang menerima vonis yang dijatuhkan majlis hakim. Ancaman hukuman yang melanggar Perda No. 13 Tahun 2005 adalah kurungan 3 bulan atau denda Rp 50 juta, tetapi karena mereka kebanyakan pedagang kecil, majelis hakim hanya menjatuhkan denda rata-rata Rp 40 ribu sampai Rp 50 ribu. Adanya semacam pembiaran oleh Pemerintah Kota Bogor dapat dilihat di sepanjang Jalan Pajajaran yang merupakan zona larangan PKL. tetapi masih terdapat PKL yang menempati trotoar jalan untuk berdagang. Bila hukum tidak ditegakkan, akan semakin banyak PKL yang berjualan di ruas jalan tersebut. Lemahnya posisi politis PKL (0,07) juga dapat menjadi ancaman dalam penataan PKL. Keterwakilan PKL dalam ranah politis masih lemah khususnya terkait dengan pembahasan kebijakan.
Pemerintah Kota Bogor tidak pernah
melakukan komunikasi sebelumnya dengan PKL mengenai langkah penataan yang diinginkan pemerintah, sehingga timbul mis-komunikasi karena komunikasi politik hanya bersifat satu arah. Ketika Perda diajukan ke Pemkot dan disetujui oleh DPRD, maka PKL tidak mematuhinya karena dianggap sangat merugikan. Belum adanya registrasi pelaku PKL (0,08) juga menjadi ancaman lain dalam pengeloalaan PKL di kota Bogor. Dalam Perda No. 13 tahun 2005 telah diatur
215 tatacara registrasi (perijinan) PKL. Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap PKL yang akan menggunakan izin usaha wajib mendapat izin tertulis Walikota atau pejabat yang ditunjuk; ayat (2), setiap PKL hanya dapat memiliki satu izin; ayat (3), izin diberikan dalam jangka waktu satu tahun dan dapat diperpanjang. Dalam Pasal 8 ayat (2) disebutkan bahwa permohonan izin , harus melampirkan tanda penduduk kota Bogor, pasfoto terbaru ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 lembar, mengisi formulir yang memuat tentang nama, alamat/tempat tinggal/lama tinggal, jenis usaha yang dimohon, tempat usaha yang dimohon, luas tempat usaha, waktu usaha, perlengkapan yang digunakan, surat pernyataan persetujuan dari pemilik tanah, dan jumlah modal usaha.
Menurut
Bogorplus.com (25 Mei 2011), jumlah pedagang ilegal (tidak terdaftar) di kota Bogor mencapai 4.500 pedagang dan mayoritas berjualan pada malam hari. 8.1.2 Faktor Internal Beberapa hal diidentifikasi sebagai faktor eksternal yang dapat memberikan kekekuatan dan kelemahan dalam pengelolaan PKL secara optimal di Kota Bogor. a. Kekuatan (Strength) Hasil pembobotan faktor internal di kota Bogor disajikan pada Tabel 117. Hasil analisis menunjukkan bahwa konsistensi data hasil pengisian kuesioner cukup baik (CR < 0.10) sehingga hasil analisisnya cukup valid untuk dikaji lebih jauh. Tabel 127. Hasil Perhitungan Bobot Faktor Internal Kekuatan Kekuatan Kebijakan dan komitmen Pemda Perkembangan sistem teknologi dan informasi Stabilitas nilai mata uang Tersedianya pasar Pulihnya sektor ekonomi dari krisis global
VE
VP
VA
VB
1,29
0,16
1,78
11,36
0,87
0,11
0,78
7,41
0,96
0,12
0,92
7,94
0,81 1,30
0,10 0,16
0,75 1,73
7,66 10,96
λMax 8,86
CI
RI
CR
0,12
1,40
0.09
216 Kekuatan Penciptaan lapang kerja baru Mengurangi masalah sosial Kemudahan sistem registrasi
VE
VP
VA
VB
1,38
0,17
2,00
11,92
0,99
0,12
0,98
8,23
0,65
0,08
0,42
5,40
8,24
1,00
λMax
CI
RI
CR
70,87
Sumber : Data primer, 2011 (diolah), n = 8 responden Keterangan : CR = Konsistensi rasio, CR < 0,1 menunjukkan konsistensi yang baik, CR > 0.1 menunjukkan data perlu direvisi VE = Perkalian baris VP = Vektor prioritas atau vektor Eigen. VA = Vektor antara VB = Vektor baris λ max = Nilai Eigen maksimum CI = Indeks konsistensi CR = Rasio Konsistensi
Hasil penilaian terhadap bobot relatif (VP) menunjukkan bahwa penciptaan lapangan kerja baru (0,17) serta
kebijakan dan komitmen Pemda (0,16)
merupakan kekuatan utama dalam mengelola PKL di kota Bogor. Urutan bobot berikutnya adalah pulihnya sektor ekonomi dari krisis global (0,16), stabilitas nilai mata uang (0,12), mengurangi masalah sosial (0,12),
perkembangan sistem
teknologi dan informasi (0,11), tersedianya pasar (0,10), dan kemudahan sistem registrasi (0,08). Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah Kota Bogor untuk menciptaan lapangan kerja baru (0,17) bagi penduduk.
Dinas Tenaga Kerja Sosial dan
Transmigrasi (Disnakersostrans) Kota Bogor secara rutin setiap tahun menggelar bursa kerja
untuk menyalurkan angkatan kerja pada perusahaan-perusahaan
sesuai dengan kompetensinya.
Bursa kerja digelar sebagai salah satu upaya
mempertemukan pengguna jasa dan pencari kerja sehingga dapat mengurangi jumlah angka pengangguran di kota Bogor. Dari jumlah penduduk kota Bogor sebanyak 973.113 jiwa, sebanyak 42.475 adalah penganggur dan 16.876 adalah pencari kerja. Di sisi lain
Disnakersostrans juga harus membuat jejaring kerja dengan
semua lini ketenagakerjaan di antaranya bursa khusus yang ada di swasta seperti di sekolah-sekolah, lembaga latihan swasta yang pada dasarnya untuk
217 menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat Bogor. Upaya ini dapat menjadi kekuatan dalam mengelola PKL dimana salah satu faktor penyebab tumbuh dan berkembangnya PKL adalah terbatasnya lapangan kerja. Kebijakan dan komitmen dari Pemda (0,16) adalah kekuatan dalam pengelolaan PKL di kota Bogor. Pemda bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah harus menyatukan visi dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang kondusif bagi upaya terkait, mencakup perumusan dan revisi perda PKL, penertiban, dan fasilitasi kepentingan PKL.
Tanpa komitmen yang jelas dan
tegas, maka upaya ini hanya sebatas konsep yang tidak pernah terealisasi. Komitmen Pemda Bogor ditunjukkan dengan memasukkan penertiban atau pengelolaan PKL dan Rencana Strategis kota Bogor. Isu strategis ini meliputi masalah transportasi dan kemacetan lalu lintas kota Bogor, PKL,
kebersihan
kota dan lingkungan hidup, dan kemiskinan yang masih melanda sebagian warga kota Bogor. Perkembangan sistem teknologi dan informasi (0,11) menjadi kekuatan lain dalam pengelolaan PKL di kota Bogor. Perkembangan sistem teknologi dan informasi yang pesat membuat arus informasi berjalan sangat cepat dan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Kondisi ini semakin membuka wawasan masyarakat tentang berbagai hal, seperti peraturan daerah terkait PKL, sumbersumber lapangan kerja alternatif selain PKL, sumber-sumber pembiayaan untuk usaha formal, dan sebagainya. Pengelolaan PKL akan semakin prospektif bila stabilitas nilai mata uang terjaga (0,12).
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada tahun 2011
diproyeksikan relatif stabil dengan kecenderungan relatif melemah seperti yang diproyeksikan oleh Pjs Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution saat rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR. Asumsi nilai tukar rupiah RAPBN 2011 sebesar Rp 9.300,- per dolar AS dan masih menjadi daya tarik bagi arus modal yang masuk ke Indonesia.
Hal ini juga didukung oleh fundamental makro
Indonesia dan sovereign credit rating yang membaik. Kondisi ini bisa tercapai bila pemerintah pusat dan daerah mampu menjalankan sistem perekonomian dengan tepat, masyarakat mendukung
pemerintahan, dan pada akhirnya
kepercayaan investor semakin bertambah sehingga arus investasi meningkat.
218 Upaya ini memerlukan waktu yang panjang terutama bila dikaitkan dengan kenyataan krisis ekonomi dan politik baru di Indonesia. Ketersediaan pasar (0,10) bagi produk domestik juga menjadi kekuatan dalam pengelolaan PKL. Kota Bogor merupakan sentra bagi beberapa UKM seperti sandal, sepatu, dan tas. Penyediaan pasar bagi produk lokal akan membuat sektor UKM tumbuh positif dan dapat menyerap tenaga kerja lokal lebih besar sehingga mampu mengurangi angka pengangguran dan menciptakan lapangan kerja alternatif selain menjadi PKL. Ini merupakan kekuatan dalam kaitannya dengan pengelolaan PKL di kota Bogor. Penyediaan pasar diperlukan untuk menampung hasil produksi dari masyarakat sehingga ekonomi tumbuh, daya beli meningkat dan perputaran uang semakin meningkat. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1987 memberikan implikasi jangka panjang bagi sektor riil dan dampaknya masih tersisa hingga sekarang. Krisis ekonomi yang disertai dengan PHK besar-besaran telah meningkatkan jumlah pelaku sektor informal (termasuk PKL) di Indonesia. Upaya pemulihan krisis ekonomi telah membawa hasil yang cukup signifikan bagi pertumbuhan ekonomi. Krisis tersebut memberi pelajaran penting bagi Indonesia akan pentingnya stabilitas ekonomi sehingga krisis global tahun 2008 tidak terlalu berimbas pada perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi pada 2009 dii Bogor mencapai 6,02 %, meningkat dibanding tahun sebelumnya 5,98 %. Pulihnya sektor ekonomi dari krisis (0,16) akan menjadi kekuatan lain dalam pengelolaan PKL. Keberadaan PKL yang menjadi alternatif pekerjaan bagi mereka yang tidak terserap sektor formal dapat mengurangi masalah sosial (0,12).
PKL memiliki
aspek sosial yang bagus yaitu adanya hubungan baik antara PKL dengan warga setempat dalam merespon kegiatan kemasyarakatan (keagamaan maupun nasional). Kondisi ini harus selalu dijaga dan dipelihara agar menjadi kekuatan dalam mengelola PKL. Mitullah (2003) menemukan bahwa PKL memberikan peluang yang dapat meminimalkan dampak sosial. Slack (2005) menemukan bahwa
jejaring dan norma sosial timbal-balik berperan penting dalam
memfasilitasi ekonomi informal.
219 Kemudahan sistem registrasi (0,08) sangat diperlukan dalam mengelola PKL. Perda No. 13 Tahun 2005 telah mengatur tata cara sistem registrasi seperti mengatur mekanisme perizinan dan persyaratan permohonan izin menjadi PKL. Kemudahan sistem registrasi akan membuat pelaku PKL
secara sukarela
mendaftar ke Disperindagkop. b. Kelemahan (Weakness) Beberapa kelemahan yang diidentifiksikan terkait dengan pengelolaan PKL di kota Bogor mencakup pertumbuhan angka pengangguran, perilaku free rider PKL, sektor informal inferior dibandingkan sektor lain, keinginan menggunakan lahan secara permanen, pertumbuhan ekonomi yang rendah, sektor “abu-abu” lahan
korupsi,
ketidakberpihakan
dinas/institusi
terkait,
kemacetan
dan
kekumuhan wajah kota, dan perbedaan persepsi aktor. Hasil perhitungan bobot (VP) terhadap faktor-faktor kelemahan disajikan pada Tabel 128. Tabel 128. Hasil Perhitungan Bobot Faktor Internal Kelemahan Kelemahan
VE
VP
VA
VB
Pertumbuhan angka pengangguran Perilaku free rider dari PKL Sektor informal inferior dibandingkan sektor lain Keinginan menggunakan lahan secara permanen Pertumbuhan ekonomi yang rendah sektor abu-abu lahan korupsi Ketidakberpihakan dinas/institusi terkait Kemacetan dan kekumuhan wajah kota Perbedaan persepsi aktor Total
0,99
0,11 1,07
9,86
1,10
0,12 1,29 10,70
1,20
0,13 1,51 11,40
0,80
0,09 0,72
8,19
0,95
0,10 0,96
9,18
1,11
0,12 1,36 11,12
1,01
0,11 1,07
9,69
0,77
0,08 0,62
7,35
1,17
0,13 1,45 11,27
9,10
1,00
Sumber : Data primer, 2011 (diolah), n= 8 responden
88,75
λmax 9.86
CI
RI
CR
0.11 1.40 0.08
220 Keterangan : CR = Konsistensi rasio, CR < 0,1 menunjukkan konsistensi yang baik, CR > 0.1 menunjukkan data perlu direvisi VE = Perkalian baris VP = Vektor prioritas atau vektor Eigen. VA = Vektor antara VB = Vektor baris λ max = Nilai Eigen maksimum CI = Indeks konsistensi CR = Rasio Konsistensi
Pertumbuhan angka pengangguran (0,11) dapat menjadi ancaman dalam pengelolaan PKL di kota Bogor. Dengan meningkatnya angka pengangguran, masyarakat yang masuk dalam angkatan kerja akan mencari sumber-sumber pekerjaan alternatif dan usaha sebagai PKL prospektif untuk dimasuki karena kemudahannya untuk entry. PKL membutuhkan modal, skill, dan pengetahuan yang relatif rendah dan dapat dimasuki semua jenjang pendidikan. Akintoye (2008) dalam studi mengenai sektor informal di Nigeria menemukan bahwa sektor informal sebagai media dalam menurunkan pengangguran di Nigeria. Mitullah (2003) menemukan bahwa PKL penting sebagai sumber pendapatan dan lapangan kerja. Kelemahan lain adalah perilaku free rider PKL sendiri (0,12). Perilaku free rider adalah pelaku PKL yang memanfaatkan fasilitas publik tanpa kepedulian terhadap lingkungan sekitar seperti kebersihan, keindahan, dan ketertiban. Sebagian PKL bahkan membangun bangunan semi dan permanen di tempat tersebut dan merasa memiliki sehingga melakukan perlawanan bila ditertibkan . Sebagian mereka juga memanfaatkan usaha PKL untuk menghindari pajak, menjual barang-barang hasil pencurian, dan sebagainya. Sektor informal inferior dibandingkan sektor lain (0,13). Keberadaan PKL khususnya di perkotaan dianggap sebelah mata oleh pemerintah daerah setempat karena mereka menjalankan aktivitas usaha bukan pada tempat dan menyebabkan kesemerawutan, kemacetan,
yang
merupakan salah satu problematika
pembangunan kota maupun modernisasi kota, padahal salah satu image dari suatu kota yang baik adalah tertib dan nyaman bagi masyarakat kota itu. PKL juga dianggap merupakan salah satu penyakit kota yang harus bisa disembuhkan oleh kebijakan / Perda yang diusulkan oleh pemerintah daerah dan disetujui oleh wakil rakyat (anggota DPRD) tanpa mendengar serta memperhatikaan keinginan atau
221 kebutuhan dari PKL dan masyarkatnya. Pemerintah kota harus menyadari bahwa tidak mungkin PKL dapat hidup tanpa adanya konsumen
sehingga dalam
pembuatan kebijakan tentang PKl terlebih dulu pemerintah harus melihat, mencermati dan mengkaji lebih dalam dari berbagai aspek (Ekonomi, Sosial dan Politik) yang melatarbelakanginya. Banyak PKL yang memiliki keinginan menggunakan lahan secara permanen (0,09). Di beberapa lokasi publik (lapangan Sempur, Papandayan, Gunung Gede) PKL membangun lahan semi permanen untuk aktivitas usaha, bahkan sebagai tempat tinggal. Kondisi tersebut akan mengancam pengelolaan PKL karena tidak jarang terjadi bentrok fisik antara
Satpol PP dengan PKL ketika dilakukan
penertiban dan pembongkaran.
Gambar 18. Pembongkaran Kios PKL Semi Permanen di Pomad oleh Satpol PP Sumber : BogorNews.com (2011)
Pertumbuhan
ekonomi
rendah
juga
mengancam
pengelolaan
PKL.
Berdasarkan data BPS (Biro Pusat Statistik) laju pertumbuhan ekonomi kota Bogor tahun 2009 berada pada kisaran 6,02 %, lebih baik dari tahun 2008 yang mencapai 5,98 %. Pertumbuhan ekonomi kota Bogor juga tergambar dari pertumbuhan angka PDRB atas dasar harga yang berlaku tahun 2009 yang mencapai Rp 12,294 triliyun. Peningkatan makro pembangunan tergambar dari total investasi tahun 2009 yang mencapai Rp 869,51 miliar, naik sebesar Rp 1,09 miliar dari tahun 2008 yang mencapai Rp 868,42 miliar. Inflasi berhasil ditekan pada tingkat 6 % dibandingkan tahun 2008 sebesar 14,20 %. Dari gambaran di atas, perekonomian kota Bogor mengalami pertumbuhan, namun belum mampu menekan angka pengangguran.
222 Dengan dikeluarkannya Perda No. 13 Tahun 2005, maka sejak 30 September 2009 legalitas PKL di Kota Bogor sudah dicabut. Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Bogor tak lagi memungut retribusi PKL sehingga kontribusi mereka untuk PAD adalah nihil.
Berdasarkan
pengakuan para PKL, mereka dikenakan setoran Rp 2.000,- sampai Rp 3.000,setiap hari, tetapi mereka tak tahu penggunaan dana tersebut. Ini menunjukkan bahwa pada sektor PKL terdapat sektor abu-abu lahan korupsi bagi oknum-oknum tertentu. Kondisi ini akan melemahkan upaya pengelolaan PKL, karena oknumoknum tersebut tentu tidak mau kehilangan lahan. Ketidak berpihakan dinas atau institusi terkait (0,11) juga menjadi kelemahan dalam upaya pengelolaan PKL di kota Bogor. Berbagai institusi terlibat dalam pengelolaan PKL. Dalam prakteknya, pengelolaan lebih diterjemahkan sebagai penggusuran tanpa solusi bagi PKL. Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Bogor tidak pernah melakukan upaya pembinaan PKL yang telah digusur atau ditertibkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa PKL menyebabkan kemacetan dan kekumuhan wajah kota (0,08) meski tidak sepenuhnya demikian. Keberadaaan angkutan umum dan kendaraan pribadi yang melebihi kapasitas jalan juga turut menjadi penyebab kemacetan. Persepsi terhadap penyebab kemacetan dan kekumuhan kota adalah kelemahan dalam mengelola PKL. PKL cenderung ditindak represif tanpa memperhatikan hak-hak mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Dari sisi aktor yang terlibat dalam masalah PKL, perbedaan persepsi aktor (0,13) dapat menjadi sumber kelemahan dalam pengelolaannya. Pemerintah Kota berpersepsi bahwa PKL perlu ditertibkan karena menempati ruang publik. DLLAJ memandang bahwa PKL menyebabkan kemacetan. Toko-toko formal memandang PKL menyebabkan berkurangnya pendapatan dan menjadi pesaing usaha. LSM memandang PKL sebagai sumber mata pencaharian bagi rakyat kecil sehingga perlu diperlakukan manusiawi.
Oknum-oknum pelaku pungli
memandang PKL sebagai ”sumber basah” untuk korupsi, dan sebagainya. Perbedaan pandangan ini akan menyebabkan benturan-benturan kepentingan dalam pengelolaan PKL sehingga akan memperlemah upaya pengelolaan PKL di kota Bogor.
223 Selanjutnya, identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal ini digunakan untuk merumuskan strategi penataan dan pemberdayaan PKL di kota Bogor dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT merupakan cara sistematis untuk mengidentifikasi faktor-faktor eksternal dan internal dan merumuskan strategi yang menggambarkan kecocokan yang paling baik di antara faktor-faktor tersebut. Analisis ini didasarkan pada asumsi bahwa suatu strategi yang efektif akan memaksimalkan kekuatan dan peluang yang ada serta meminimalkan kelemahan dan ancaman yang dimiliki. Bila diterapkan secara akurat, asumsi ini mempunyai dampak yang sangat besar bagi keberhasilan rancangan suatu strategi (Pearce & Robinson, 1997). 8.2. Strategi Penataan dan Pemberdayaan PKL Perumusan strategi penataan dan pemberdayaan PKL menggunakan beberapa asumsi karena kompleknya permasalahan PKL. Beberapa Asumsi atau batasan dalam perumusan strategi ini adalah : PKL : -
Berusaha memperoleh keuntungan maksimal.
-
Berusaha meminimalkan biaya.
-
Bersedia untuk ditata dan diberdayakan.
Masyarakat dan konsumen : -
Memaksimalkan kepuasan.
-
Meminimalkan pengeluaran.
Pemerintah Kota Bogor : -
Memaksimalkan manfaat bagi masyarakat banyak.
-
Meminimalkan pengorbanan dan biaya.
-
Dalam setiap kebijakan lebih mengedepankan/ berpihak pada kepentingan masyarakat banyak (pro rakyat banyak) dari pada pemilik modal (kapitalis).
-
Memiliki komitmen kuat dalam melaksanakan strategi yang diusulkan.
Strategi penataan dan pemberdayaan PKL di kota Bogor dirumuskan dengan mengindentifikasi faktor internal dan eksternal, kemudian merumuskannya menjadi strategi menggunakan matrik SWOT. Hasil perumusan strategi menggunakan matrik SWOT disajikan pada Tabel 129.
224 Tabel 129. Matrik SWOT untuk Perumusan Strategi Penataan dan Pemberdayaan PKL di Kota Bogor
INTERNAL
EKSTERNAL
Kekuatan (Strength) : 1. Penciptaan lapang kerja baru (0,17) 2. Kebijakan dan komitmen Pemda (0,16) 3. Pulihnya sektor ekonomi dari krisis global (0,16) 4. Stabilitas nilai mata uang (0,12) 5. Mengurangi masalah sosial (0,12) 6. Perkembangan sistem teknologi dan informasi (0,11) 7. Tersedianya pasar (0,10) 8. Kemudahan sistem registrasi (0,08)
Peluang (Opportunity) : 1. Keberadaan Perda tentang PKL (0,29) 2. Kontribusi PKL pada PAD (0,24) 3. Kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan (0,22) 4. Ketersediaan SDM (0,12) 5. Ketersediaan barang dan jasa dengan harga terjangkau (0,07) 6. Ketersediaan lembaga keuangan mikro (0,06)
Strategi S – O : • Penundaan penggusuran & dialog dengan pemda (S1,2,7,8 : O1,2,3,5) • Pemberdayaan ekonomi pelaku PKL (S1,2,3,4,5,7: O2,3,6) • Konsolidasi Program pemodalan dan perkreditan (S1, 2,3,7 : O2,3,6)
Ancaman (Threat) : 1. Terbatasnya kesempatan kerja lain yang lebih baik (0,14) 2. Kurangnya alokasi tempat untuk relokasi PKL (0,14) 3. Lemahnya penegakan hukum (0,13) 4. Kebijakan Tata ruang kurang konsisten (0,12) 5. Lemahnya kerjasama lintas badan/institusi (0,11) 6. Kebijakan intervensi pemda yang tidak konsisten (0,11) 7. Terbatasnya dana operasional (0,09) 8. Belum adanya registrasi pelaku PKL (0,08) 9. Lemahnya posisi politis PKL (0,07)
Strategi S – T : • Pelatihan-pelatihan ekonomi, hukum, kesejahteraan sosial dan lain-lain (S1,2,3,5,6,7 : T1,2,3,4,6) • Registrasi dan pembuatan database PKL (S1,2,3,4,5,6,7,8 :T2,4, 8, 9) • Penguatan kelembagaan PKL (S1,2, 5 : T6, 7,8,9)
Kelemahan (Weakness) : 1. PKL inferior dibandingkan sektor lain (0,13) 2. Perbedaan persepsi aktor(0,13) 3. Perilaku free rider dari PKL (0,12) 4. sektor abu-abu lahan korupsi (0,12) 5. Pertumbuhan angka pengangguran (0,11) 6. Ketidakberpihakan dinas/institusi terkait (0,11) 7. Pertumbuhan ekonomi yang rendah (0,10) 8. Keinginan menggunakan lahan permanen (0,09) 9. Kemacetan dan kekumuhan wajah kota (0,08) Strategi W – O : • Penataan lokasi PKL (W5,8, 9 : O1,2,4,5) • Pembatasan jumlah pedagang dalam satu lokasi (W1,2,3,4,6, 8,9 : O1,2,3) • Perubahan Persepsi terhadap PKL (W1,2,6 : O1,2,3,4) • Pengendalian dan pengawasan berkesinambungan dan terpadu (W1,2, 8,9 : O1,2,3,4) Strategi W – T : • Penguatan sektor riil (W5,7 : T1, 2,7) • Menyatukan persepsi dalam pengelolaan PKL (W1,2,6,7, 8, 9 : T4,5,6) • Pembangunan pasar sentra kaki lima (W1, 3, 4, 6, 8,9 : T1,2,3,4) • Mensyaratkan setiap pengelola gedung/ pabrik/kompleks perumahan untuk menyediakan lokasi tertentu bagi PKL (W1,3,4,5,7,8,9 : T1,2,4,6)
225
Dari hasil analisis SWOT pada Tabel 125, dirumuskan empat strategi kunci untuk penataan dan pemberdayaan PKL di kota Bogor. Pearce dan Robinson (1997) dan Hunger & Thomas (2003) menyatakan bahwa dalam matrik SWOT terdapat empat strategi utama yaitu strategi agresif (S-O) yang berorientasi pada pertumbuhan, strategi diversifikasi (S-T), strategi
berbenah diri (W-O), dan
strategi defensif (W-T). Strategi agresif menunjukkan situasi yang paling disukai suatu organisasi. Organisasi memiliki banyak peluang lingkungan dan banyak kekuatan yang mendorong dimanfaatkannya peluang tersebut. Situasi ini menyarankan strategi yang berorientasi pada pertumbuhan (growth oriented strategy) untuk memanfaatkan situasi yang menguntungkan ini. Dalam matrik SWOT di atas strategi agresif yang berhasil dirumuskan adalah penundaan penggusuran & dialog dengan Pemda (S 1,2,7,8 : O 1,2,3,5 ), pemberdayaan ekonomi pelaku PKL (S 1,2,3,4,5,7 : O 2,3,6 ), dan konsolidasi program pemodalan dan perkreditan (S 1,2,3,7 : O 2,3,6 ). Strategi diversifikasi adalah kondisi organisasi dengan kekuatan-kekuatan tertentu menghadapi lingkungan yang tidak menguntungkan (ancaman). Dalam situasi ini strateginya akan memanfaatkan kekuatan yang ada untuk meminimalkan ancaman. Dalam matrik SWOT di atas strategi diversifikasi yang dirumuskan adalah pelatihan-pelatihan ekonomi, hukum, kesejahteraan sosial dan lain-lain (S 1,2,3,5,6,7 : T 1,2,3,4,6 ), registrasi dan pembuatan database PKL (S 1,2,6,8 : T 2,3,4,8,9 ), dan penguatan kelembagaan PKL (S 1,2,5 : T 6,7, 8,9 ). Strategi berbenah diri adalah kondisi dimana organisasi menghadapi peluang yang impresif tetapi terkendala oleh kelemahan-kelemahan internal sehingga fokus strateginya adalah menjadikan kendala internal untuk mengefektifkan peluang yang ada. Strategi berbenah diri yang dirumuskan dalam analisis SWOT di atas mencakup penataan lokasi PKL (W 5,8,9 : O 1,2,4,5 ), pembatasan jumlah pedagang dalam satu lokasi (W 3,4,8,9 : O 1,2,3,4,5 ), perubahan persepsi terhadap PKL (W1,2,6 : O 1,2,3,4 ) dan
pengendalian dan pengawasan berkesinambungan dan
terpadu (W1,2,8,9 : O 1,2,3,4 ).
226 Terakhir, strategi defensif adalah kondisi yang paling tidak disukai suatu organisasi. Organisasi menghadapi ancaman lingkungan yang besar dan kelemahan internal yang kritis sehingga fokus strateginya adalah dengan meminimalkan kelemahan dalam menghadapi ancaman lingkungan.
Strategi
defensif yang dirumuskan dari analisis SWOT di atas adalah penguatan sektor riil (W5,7 : T 1,2,7 ), menyatukan persepsi dalam pengelolaan PKL (W1,2,6,7, 8,9 : T 4,5,6 ), pembangunan pasar sentra kaki lima (W 1,3,4,6,8,9 : T 1,2,3,4,6,7 ), dan mensyaratkan setiap pengelola gedung/pabrik/kompleks perumahan untuk menyediakan lokasi tertentu bagi PKL (W1,3,4,5,7,8,9 : T 1,2,4,6 ). Strategi-strategi yang dirumuskan di atas perlu diprioritaskan dalam konteks kepentingan relatifnya. Banyak cara dilakukan dalam memprioritaskan strategi seperti penilaian subyektif (judgement) dari peneliti, focos group discussion (FGD) yang melibatkan banyak aktor dalam penetapan prioritas, atau penggunaan matriks QSPM (Quantitive Strategic Planning Matrix). Dalam penelitian ini, prioritasi strategi menggunakan matrik QSPM dengan menjumlahkan nilai total dari penggabungan faktor penentu internal dan eksternal pada matrisk SWOT. Hasil penyusunan prioritas alternatif strategi untuk penataan dan pemberdayaan PKL di kota Bogor disajikan pada Tabel 130. Tabel 130. Prioritas Alternatif Strategi untuk Penataan dan Pemberdayaan PKL di kota Bogor Alternatif Strategi
Nilai
Prioritas
• Registrasi dan pembuatan database PKL (S1,2,3,4,5,6,7,8 :T2,4, 8, 9) • Pemberdayaan ekonomi pelaku PKL (S1,2,3,4,5,7: O2,3,6)
0,59
1
0,31
2
• Menyatukan persepsi dalam pengelolaan PKL (W1,2,6,7, 8, 9 : T4,5,6)
0,30
3
• Penundaan penggusuran & dialog dengan pemda (S1,2,3,4,5,6,7,8 : O1,2,3) • Pembatasan jumlah pedagang dalam satu lokasi (W1,2,3, 4, 6, 8,9 : O1, 2, 3) • Mensyaratkan setiap pengelola gedung/pabrik/kompleks perumahan untuk menyediakan lokasi tertentu bagi PKL (W1,3,4,5,7,8,9 : T1,2,4,6) • Penataan lokasi PKL (W5,8, 9 : O1, 2, 4, 5) • Pembangunan pasar sentra kaki lima W1, 3, 4, 6, 8,9 : T1,2,3,4) • Perubahan Persepsi terhadap PKL (W1,2,6 : O1, 2,3,4)
0,27
4
0,24
5
0,24
6
0,18
7
0,13
8
0,10
9
227
Alternatif Strategi
Nilai
Prioritas
• Konsolidasi Program pemodalan dan perkreditan (S1, 2, 3, 7 : O2, 3,6)
0,07
10
• Pengendalian dan pengawasan berkesinambungan dan terpadu (W1, 2, 8,9 : O1,2,3,4)
-0,44
11
• Pelatihan-pelatihan ekonomi, hukum, kesejahteraan sosial dan lainlain (S1,2,3,5,6,7 : T1,2,3,4,6)
-0,53
12
• Penguatan kelembagaan PKL (S1,2, 5 : T6, 7, 8,9)
-0,44
13
• Penguatan sektor riil (W5,7 : T1, 2,7)
-0,16
14
Agar upaya penataan dan pemberdayaan PKL di kota Bogor lebih terfokus maka strategi yang telah disusun menggunakan matrik SWOT dibagi menjadi strategi prioritas dan strategi alternatif. Sebanyak 7 strategi dengan nilai tertinggi ditetapkan sebagai strategi prioritas dan sebanyak 7 strategi ditetapkan sebagai strategi alternatif 8.2.1 Strategi Prioritas Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu memperoleh strategi penataan dan pemberdayaan PKL di Kota Bogor sehingga peneliti membatasi pembahasan hanya sampai pada strategi. Peneliti tidak membahas mendalam sampai dengan tehnis pelaksanaan., karena untuk keperluan tersebut penulis menganggap masih perlu adanyaa penelitian lanjutan. Untuk menentukan strategi prioritas ini peneliti mendasarkan kepada hasil analisis ASWOT yang pembobotan untuk masing-masing strategi tidak dilakukan secara kualitatip oleh peneliti tetapi atas dasar pilihan para responden dengan menggunakan metode perbandingan berpasangan yang selanjutnya diolah dengan menggunaakaan matrix QSPM.. Hasil pembobotan menggunakan matrik QSPM menunjukkan bahwa terdapat tujuh strategi yang dapat dijadikan strategi prioritas dalam pengelolaan dan pemberdayaan PKL yaitu : Registrasi dan pembuatan database PKL, Pemberdayaan ekonomi pelaku PKL, Menyatukan persepsi dalam pengelolaan PKL, Penundaan penggusuran & dialog dengan pemda, Pembatasan jumlah
228 pedagang
dalam
satu
lokasi,
Mensyaratkan
setiap
pengelola
gedung/pabrik/kompleks perumahan untuk menyediakan lokasi tertentu bagi PKL, dan Penataan lokasi PKL. Mengingat bahwa masing-masing strategi ini merupakan seperangkat formulasi yang komprehensif, sehingga dalam implementasinya strategi-strategi ini tidak dilakukan satu persatu atau tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus bersamaan
agar dapat memperoleh hasil yang optimal.
Untuk lebih jelasnya di bawah ini diuraikan masing-masing strategi tersebut Strategi registrasi dan pembuatan database PKL. Strategi ini layak mendapatkan prioritas utama karena registrasi dan database yang ada saat ini belum seperti yang diharapkan. Keputusan Walikota Bogor No. 511.23.45.23 tahun 2007 tentang penunjukan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor untuk menandatangani penggunaan ijin lokasi pembinaan dan penataan usaha PKL. Disperindag mencatat hanya sebanyak 267 PKL yang teregistrasi sampai 29 Juli 2008, sementara database PKL yang ada di Disperindag adalah data tahun 2005 yang tentunya telah mengalami perubahan signifikan. Database tersebut masih berbentuk hardcopy dan belum dibuatkan softcopy-nya. Untuk dapat menata dan memberdayakan PKL diperlukan data dasar yang valid yang merupakan hasil survei komprehensif dan selalu di-update setiap tahun. Strategi ini dapat dilakukan dengan beberapa program sebagai berikut : 1. Sosialisasi syarat-syarat registrasi sesuai Perda No. 13 Tahun 2005. 2. Melakukan sistem jemput bola dengan mendatangi PKL untuk melakukan registrasi agar mendapatkan ijin sebagai PKL sambil melakukan survei PKL secara komprehensif. 3. PKL yang sudah diregistrasi diwajibkan memasang foto dan Surat Ijin Usaha di tempat usahanya. Bila tidak, maka dianggap sebagai PKL ilegal. 4. Membuat hardcopy dan softcopy hasil survei PKL. Untuk selanjutnya dilakukan update per tahun untuk mendapatkan data yang valid mengenai jumlah PKL, khususnya PKL yang masuk dan keluar. 5. Registrasi PKL juga perlu memasukkan mereka sebagai wajib pajak melalui pembuatan NPWP.
229 Hasil yang diharapkan dari strategi ini adalah didapatkan data PKL yang up to date sehingga pergerakan PKL selalu dapat diamati dan dikontrol. Dengan memasukkan mereka sebagai wajib pajak, PKL akan mampu memberikan kontribusi positif bagi pembangunan kota Bogor. Dari sisi kebijakan, Henley et al, (2009) menyarankan pengambil kebijakan harus jelas mengenai sub-group dalam sektor informal untuk mendesain kebijakan yang tepat. Strategi pemberdayaan ekonomi pelaku PKL. Dengan adanya database PKL maka dapat disusun strategi pemberdayaan ekonomi PKL, dengan memberikan pelatihan-pelatihan kepada pelaku PKL terkait masalah usaha seperti pelatihan pembukuan, manajemen, pasar, dan investasi.
Tabel 82 menunjukkan bahwa PKL lemah dalam hal pembukuan
sehingga diperlukan pelatihan pembukuan agar akuntansi keuangan usahanya lebih baik. Mitullah (2002) menemukan bahwa PKL menghadapi masalah pasar dan
investasi
sehingga
diperlukan
pelatihan
pemasaran
dan
investasi.
Akharuzama (2010) menemukan bahwa PKL menjalankan usaha secara temporer tanpa sistem manajemen berkelanjutan sehingga diperlukan pelatihan manajemen usaha. Walsh (2010) menemukan bahwa mayoritas PKL lemah dalam konsep marketing atau nilai tambah produk sehingga diperlukan pelatihan pemasaran dan nilai tambah produk. Hasil yang diharapkan dari strategi ini adalah pelaku PKL yang sudah teregistrasi semakin kuat dari sisi kewirausahaan sehingga mereka mampu menjalankan usahanya secara lebih efektif dan efisien. Melalui pemberdayaan ekonomi, ada harapan bahwa dengan berkembangnya usaha, pelaku PKL akan bertransformasi dari informal menjadi formal, misalnya mereka mampu menyewa kios resmi di dinas-dinas pasar.
Gonec and Tanrivermis (2007) menemukan
bahwa transformasi struktur informal menjadi formal dapat dilakukan dengan memfasilitasi integrasi usaha dengan pasar. Menyatukan persepsi dalam pengelolaan PKL. Prioritas strategi berikutnya adalah menyatukan persepsi dalam pengelolaan PKL.
Strategi ini menjadi prioritas mengingat banyaknya stakeholder yang
berhubungan langsung dengan penataan dan pemberdayaan PKL.
Para
stakeholder harus duduk bersama dengan pelaku PKL (atau wakilnya) sehingga
230 ditemukan kesamaan persepsi dalam mengelola PKL. Nitisudarmo (2009) menyarankan perlunya kerjasama antar stakeholder termasuk Pemkot, LSM, universitas, komunitas PKL dan pemimpin lokal. Akintoye (2008) menyarankan bahwa pemerintah dan semua stakeholder yang relevan harus berusaha menurunkan pengangguran dengan memberikan dukungan keberadaan sektor informal. Dalam penyatuan persepsi terhadap penataan dan pemberdayaan PKL, perlu dipikirkan langkah yang lebih berani.
Pemerintah kota Bogor
perlu
merestrukturisasi lembaga/dinas yang selama ini mengkoordinasikan pengelolaan PKL. Penataan kelembagaan dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: (1) menyederhanakan dan mengkonsolidasikan badan atau institusi yang mengurusi kegiatan fasilitasi PKL, (2) membentuk komite yang berfungsi sebagai think tank untuk tugas-tugas policy formulation, yang wewenang keputusan akhimya berada di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan (3) merevisi peraturan daerah PKL yang benar-benar serius menangani sektor informal di level lokal. Strategi ini diharapkan menghasilkan upaya yang lebih fokus dalam penataan dan pemberdayaan PKL, menghindari pemborosan dana dan duplikasi program. Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi lebih
difungsikan sebagai
pelaksana kebijakan (bukan sekedar koordinasi) dengan fokus pada penataan dan pemberdayaan PKL. Penundaan penggusuran & dialog dengan Pemda. Strategi ini perlu dilakukan karena pemerintah belum mampu menurunkan angka pengangguran dan menciptakan lapangan kerja yang mencukupi. Akaruzama (2009) menyatakan bahwa penggusuran dan kekerasan dalam pengelolaan PKL.
tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan menciptakan
pengangguran-pengangguran baru karena hilangnya pekerjaan di sektor formal. Greenidge et al, (2009) menyarankan untuk tidak menghilangkan sektor informal (melalui penggusuran atau penertiban), tetapi perlahan-lahan memformalkannya. Rahmawati (2007) menemukan bahwa PKL kembali ke lokasi yang sama beberapa saat setelah penggusuran dan penertiban.
Ini menunjukkan bahwa
penggusuran hanya efektif sementara waktu, namun tidak efektif jika digunakan sebagai program jangka panjang. Hasil ini sesuai dengan Takim (2011) yang
231 menemukan bahwa kebijakan jangka pendek bukanlah penyelesaian permanen untuk ekonomi informal. Semua hasil penelitian tersebut menjustifikasi perlunya penundaan penggusuran dan dialog antara Pemerintah Kota dan PKL. Melalui dialog diharapkan tercipta penyelesaian yang memberikan manfaat bagi semua pihakyang
berkepentingan.
Penyelesaian ini akan dapat
mengakomodasi kepentingan Pemerintah Kota Bogor dan kepentingan PKL. Konsensus yang dicapai harus dihormati bersama dan secara konsekuen dijalankan sehingga tidak ada lagi pihak-pihak yang merasa dirugikan. Patut kiranya keberhasilan Pemda Solo dalam merelokasi PKl dijadikan pembelajaran, dimana sebelumnya Walikota Solo telah melakukan puluhan kali dialog dengan PKL kota Solo. Pelaksaanaan dialog inipun diperlukan sejak sebelum pendataan dilakukan agar dapat dicegah kemungkinan salah pengertian dari PKl dan fihakfihak terkait yang dapat merugikan semua fihak. Pembatasan jumlah pedagang dalam satu lokasi. PKL merupakan aktivitas yang dapat mengurangi pengangguran dan terbatasnya lapangan kerja di sektor formal. Akan tetapi jika pertumbuhannya melebihi daya tampung kota, akan berdampak buruk juga bagi perkembangan perkotaan. Schneider (2002) menemukan bahwa besaran ekonomi informal di sebagian besar negara transisi dan OECD cenderung meningkat selama dekade terakhir. Greenidge et al, (2009) menemukan bahwa sektor informal cukup besar dan tumbuh sepertiga dari besaran ekonomi formal. Pertumbuhan sektor informal, khususnya PKL, perlu dicermati dan dikontrol. Kontrol dilakukan terkait dengan beberapa hasil penelitian.
Widodo (2006)
menemukan bahwa kontribusi positif sektor informal mempunyai batas tertentu. Jika batas itu sudah terlewati maka kontribusinya akan menurun. Nitisudarmo (2009) menyimpulkan bahwa penempatan PKL di pedestrian tidak sesuai dengan konsep place for people dan PKL yang beroperasi di ruang publik tidak mendukung dan memotivasi pembangunan landskap urban yang berimbang dalam hal elemen alami lingkungan urban. Takim (2011) menyatakan bahwa untuk mengontrol ekonomi informal, terlebih dahulu harus dibangun kebijakan yang mengarah kepada penurunan minimum yang dapat diterima.
volume ekonomi informal sampai pada level
232 Strategi pembatasan jumlah PKL dalam satu lokasi dapat dikaitkan dengan strategi prioritas pertama yaitu registrasi dan pembuatan database PKL. Tersedianya database PKL pada lokasi tertentu membuat jumlah PKL dapat dikelola dan dipantau. Selain itu, perlu dilakukan kajian tentang daya tampung suatu lokasi sehingga jumlah PKL tidak melebihi ambang batas yang berdampak negatif bagi perkembangan perkotaan. Registrasi tidak akan dikeluarkan lagi jika jumlah PKL sudah melebihi ambang batas yang ditetapkan. Hasil yang diharapkan dari strategi ini adalah pemerintah kota akan mendapatkan kontribusi positif dari keberadaan PKL, untuk Pendapatan Asli Daerah. Di sisi lain, dampak negatif seperti kemacetan, kekumuhan, dan kesremawutan dapat dihindari.
PKL akan lebih nyaman berusaha, kompetisi
berlebihan tidak terjadi, dan tingkat profit dapat terjaga. Mensyaratkan setiap pengelola gedung/pabrik/kompleks perumahan untuk menyediakan lokasi tertentu bagi PKL. Harus ada keberanian
Pemkot untuk mensyaratkan setiap pengelola
gedung/ruko memberikan ruang bagi PKL. Alternatif strategi ini akan memberikan tiga keuntungan, yaitu: PKL tetap dapat menjalankan usaha, ruang publik yang digunakan PKL akan berkurang, dan masalah utama kemacetan dapat diturunkan. Strategi ini diperlukan bukan saja untuk menampung konsumen dari luar, tetapi terutama adalah untuk menampung kebutuhan atau permintaan dari pegawai atau penduduk dari lokasi itu sendiri. Sebagai contoh di depan garment di jalan Sudirman yang menjadi macet pada saat-saat waktu istirahat dan waktu pulang pegawainya. Demikian pula disekitar lokasi Botanic Square di Baranang Siang tumbuh PKL kuliner yang kebanyakan adalah menampung permintaan dari karyawan pertokoan serta hotel di Botanic Square sendiri, hal ini dikarenakan tidak mungkin para karyawan tersebut setiap makan atau berbelanja di restauran atau di toko yang ada di Botanic Square sendiri. Dengan demikian terjadi simbiosis mutualistis antara sektor informal (PKL) dengan sektor formal. Patut dicontoh penampungan pedagang kecil yang ada di dalam kampus IPB Dramaga dan Universitas Ibn Khaldun Bogor.
233 Penataan lokasi PKL. Strategi ini dicapai dengan penetapan kawasan-kawasan khusus yang diperbolehkan untuk aktivitas PKL. Berdasarkan Keputusan Walikota Bogor No. 511.23.45.146 Tahun 2008 tanggal 19 Mei 2008 telah ditetapkan daftar lokasi pembinaan dan penataan usaha PKL, namun belum mencantumkan jumlah PKL maksimal yang diperbolehkan di kawasan tersebut. Konsistensi pelaksanaan strategi ini sangat diperlukan sehingga ada kepastian bahwa apa yang sudah diputuskan benar-benar dijalankan. Lokasi sebagaimana dimaksud dalam keputusan Walikota Bogor di atas, masih menceminkan lokasi yang umum terjadi untuk sebuah lokasi PKL, yaitu kumuh, kotor becek dan semrawut. Dengan demikian penetapan lokasi tersebut perlu ditindak lanjuti dengan penataan ruang dan infrastrukturnya. Disamping itu perlu di bentuk suatu entitas sendiri yang dapat mengelola masing-masing lokasi tersebut dan dapat mereduksi penambahan PKL yang terus menerus (Over capacity). Hal sama untuk lokasi-lokasi yang tidak termasuk dalam Keputusan Walikota di atas, namun di bawah kapasitas, dan masih bisa ditolerir keberadaan PKL perlu dilakukan penataan ruang dan infrastrukturnya. Sedangkan untuk lokasi yang sudah tidak bisa ditolelir lagi maka tidak ada jalan lain harus di relokasi , apakah ketempat yang sudah ada atau ke tempat yang baru. Strategi ini akan terlaksana dengan baik apabila pemda sudah punya data PKL serta melakukan dialog yang intensif. 8.2.2 Alternatif Strategi Lainnya Selain strategi yang telah diuraikan di atas, terdapat strategi-strategi lain sebagai alternatif, yaitu : Pembangunan pasar sentra kaki lima. Strategi ini dihadapkan pada kendala terbatasnya alokasi lahan untuk PKL di kota Bogor.
Alternatif strategi ini dapat dicapai apabila Pemkot Bogor
mengalokasikan dana khusus untuk pembelian lokasi pembangunan pasar sentra kaki lima. Lokasi yang potensial adalah eks gedung Muria atau eks Gedung Film Merdeka. Strategi ini
harus disertai dengan relokasi ke tempat tersebut dengan
mekanisme yang berpihak pada PKL.
Mekanisme tersebut dapat berupa
234 penyediaan angkutan gratis (seperti yang dilakukan di Solo, Jawa Tengah), kepastian PKL mendapatkan lapak, bantuan dana untuk memulai usaha di tempat baru, dan penyediaan sarana dan prasarana yang mendukung usaha PKL (seperti yang dilakukan di Blitar). Konsolidasi program pemodalan dan perkreditan. Strategi ini adalah peran yang harus dimainkan secara intensif oleh Pemerintah Kota Bogor. Pemikiran yang mendasarinya adalah sebagai berikut : Pertama, dalam melakukan upaya pemberdayaan ekonomi rakyat, terdapat tiga pelaku ekonomi yaitu masyarakat, pemerintah, sektor swasta atau privat. Ketiganya harus dapat bekerja sama, saling membagi fungsi. Fungsi pemerintah adalah menfasilitasi kegiatan usaha kerakyatan. Kedua, rendahnya akses PKL pada kredit perbankan atau lembaga finansial disebabkan oleh faktor internal perbankan, internal PKL, dan regulasi yang menyebabkan derajat keleluasaan perbankan dalam menyalurkan kredit kepada PKL tidak begitu besar. Ketiga, meskipun dalam beberapa media massa sering diungkapkan bahwa usaha mikro akan menjadi target perbankan, dalam kenyataan perbankan masih menganggap usaha mikro mempunyai resiko yang tinggi. Keempat, aspek lain yang menyebabkan tingginva resiko penyaluran kredit pada usaha mikro berkaitan dengan regulasi Bank Indonesia. Perbankan hanya dapat menerima sertifikat tanah dan bangunan sebagai bentuk agunan yang dapat menjadi pengurang PPAP (Penghapusan Penyusutan Aktiva Produktif). Di sisi lain, sebagian besar usaha mikro di Indonesia tidak merniliki agunan seperti yang dipersyaratkan oleh regulasi Bank Indonesia. Perbankan lebih memilih menyimpan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Dari empat dasar pemikiran di atas jelas bahwa pemerintah mempunyai peran signifikan dalam mengkoordinasikan program permodalan dan kredit bagi usaha mikro, khususnya PKL. Untuk menjalankan strategi tersebut, beberapa program yang dapat dilakukan adalah : (1) penyediaan informasi sumber-sumber pembiayaan, (2) menjembatani akses ke sumber pembiayaan tersebut, (3) menyediakan pendampingan (advisory role), baik dari segi penyusunan kelayakan usaha, kewirausahaan, pemasaran maupun dari aspek teknis-manajerial, (4) menjaga iklim eksternal yang kondusif untuk dunia usaha.
235
Pengendalian dan pengawasan berkesinambungan dan terpadu. Konsistensi dalam pengendalian dan pengawasan terhadap aktivitas PKL diperlukan agar aktivitas tersebut dapat ter-managable. Upaya ini dapat dilakukan apabila ada keseriusan dari pihak-pihak terkait dalam mengelola PKL sehingga tidak menjadikannya sebagai komoditas untuk kepentingan politis praktis dan lahan korupsi melalui pungutan liar. Harus ada kejelasan tugas dan wewenang setiap stakeholder dalam mengawasi PKL sehingga tidak ada tumpang-tindih dalam pelaksanaannya. Takim (2011) menemukan bahwa kontrol yang efektif berperan penting dalam menyelesaikan permasalahan klasik sektor informal. Pelatihan-pelatihan ekonomi, hukum, kesejahteraan sosial dan lain-lain. Alternatif strategi ini akan membantu kelemahan PKL dalam permasalahan ekonomi, hukum dan kesejahteraan sosial.
Mehrotra and Mario (2002)
menemukan bahwa rendahnya level pendidikan dan masalah kesehatan pekerja informal memerlukan intervensi publik yang dapat berupa pelatihanl-pelatihan bagi sektor ini. Takim (2011) menemukan perlunya peningkatan kesadaran sosial melalui pelatihan dalam mengekang sektor informal. Penguatan kelembagaan PKL. Alternatif strategi ini diperlukan terkait dengan lemahnya komunikasi antara PKL dan otoritas urban. Mitullah (2002) menemukan bahwa komunikasi yang lemah antara PKL, otoritas urban, dan asosiasi PKL menyebabkan perlunya fasilitasi dalam berorganisasi. Pemerintah kota perlu memperkuat kelembagaan PKL yang berfungsi bukan hanya mewakili kepentingan PKL tetapi juga menjadi mitra kerja pemerintah kota dalam mengelola dan mengontrol PKL. Dengan demikian asosiasi ini seharusnya tidak dipandang sebagai ancaman yang memperkuat posisi PKL tetapi sebagai partner dalam penataan dan pemberdayaan PKL. Asosiasi PKL akan lebih baik bila sifatnya lokasional, bukan menurut tipologi barang dagangan karena mereka akan dapat mewakili dan mengontrol setiap lokasi PKL. Apapun strategi yang dipilih oleh Pemerintah Kota Bogor dalam menata dan memberdayakan PKL, harus ada persepsi pada pemerintah kota bahwa PKL dapat
236 berkontribusi signifikan dan positif dalam pembangunan kota Bogor apabila mampu ditata dan diberdayakan secara manusia. 8.3. Usulan Penataan dan Relokasi PKL Penataan dan relokasi PKL tidak dapat dipisahkan dari teori lokasi karena berdimensi spasial. Usulan penataan dan relokasi PKL di kota Bogor dapat dibagi menjadi usulan jangka pendek (mendesak dilaksanakan) dan usulan jangka panjang. Beberapa usulan jangka pendek yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut : -
Penataan ulang Pasar Jambu Dua Pasar sayur malam di Jalan Juanda, Jalan Surya kencana, Jalan Roda, dan Jalan Otista seharusnya dikembalikan ke Pasar Jambu Dua, sesuai dengan janji pemerintah, bahwa tidak akan ada pasar sayur malan di daerah sekitar Pasar Bogor
-
Pasar tumpah di Jalan Pedati seharusnya dikembalikan ke Pasar Bogor sesuai janji pemerintah bahwa pasar tumpah di Jalan Pedati bersifat sementara. Dengan demikian pengusaha di Jalan Pedati dan Lawang Saketeng kembali hidup.
-
Tata kembali pasar-pasar tradisional lama.
-
Penataan ulang Pasar Yasmin.
-
Penataan
lokasi
yang
sudah
sangat
sulit
untuk
dihindari dengan
memperhatikan daya dukung spatial. -
Pembebasan lokasi-lokasi yang peruntukannya bukan untuk PKL sesuai Perda untuk direlokasi ke tempat baru.
Dalam hal ini, satu-satunya opsi yang
tersedia bagi PKL adalah pindah ke lokasi baru. -
Penataan lokasi yang berpotensi akan menjadi lahan keberadaan PKL di waktu yang akan datang. Usulan jangka panjang adalah penyediaan lokasi baru untuk sentra PKL.
Relokasi PKL adalah salah satu bentuk intervensi pembangunan perkotaan (menciptakan ruang kota yang lebih nyaman dengan memindahkan sebagian PKL) yang harus dilakukan oleh pemerintah kota Bogor. Pemerintah Kota Bogor harus merubah konsep dan strategi pembangunan yang bias kota dan mengedepankan
237 aglomerasi pembangunan di pusat-pusat pertumbuhan.
Friedman (1968)
berpendapat bahwa hanya pertumbuhan kota-kota kecil di kawasan peripheri (hinterland) yang dapat menandingi kecenderungan aglomerasi yang berlebihan di pusat-pusat kota. Keterbatasan lahan di kota Bogor dikaitkan dengan rencana pembangunan jangka panjang kota Bogor membuat pilihan lokasional untuk relokasi PKL menjadi terbatas. Salah satu lokasi yang paling memungkinkan adalah relokasi ke dekat rencana lokasi terminal baru di daerah tanah baru. Tanah adalah wilayah periphey (hinterland) dari Kota Bogor yang berdekatan dengan lokasi pedesaan baik wilayah Kabupaten maupun Kota. Usulan relokasi PKL ke jalan baru diharapkan dapat menciptakan hubungan desa-kota yang lebih kuat atau keterkaitan sinergis dalam arti dapat mendorong perkembangan secara berimbang baik pedesaan maupun perkotaan. Menurut Douglas (1998) keterkaitan desa-kota (rural-urban linkage) setidaknya dapat dideskripsikan dalam lima bentuk keterkaitan atau aliran utama yaitu : 1) Orang/penduduk; 2) Produksi; 3) Komoditas; 4) Modal dan informasi. Keterkaitan penduduk/orang adalah berwujud aliran migrasi, dalam hal ini migrasi tidak lagi terkonsentrasi ke pusat kota tetapi menyebar ke pinggiran.
Aliran
produksi dan komoditas berujud aliran barang dalam sistem bisnis. Pemindahan PKL ke lokasi baru ini akan mendekatkan aliran produksi pertanian dan home industri dari desa ke kota dan sebaliknya.
Aliran modal berlangsung karena
terjadi aliran yang meningkatkan nilai tambah dan juga melalui perputaran uang di usaha PKL dan terakhir aliran informasi akan menjembatani informasi dari kota ke desa dan sebaliknya. Usulan relokasi PKL ke tanah baru ini juga tidak dapat dipisahkan dari pertimbangan teori lokasi karena berdimensi spasial. Untuk merelokasi PKL ke lokasi yang tepat dapat dikaji dari beberapa teori lokasi seperti yang dikemukakan oleh von Thunen, Weber, Christaller dan Losch. Teori Lokasi von Thunen. Von Thunen menggunakan model zona konsentris yang didasarkan pada economic rent dimana setiap penggunaan lahan akan menghasilkan hasil bersih per unit areal yang berbeda-beda. Rustiadi et al, (2009) menyatakan bahwa konsep land rent yang dikembangkan von Thunen untuk
238 aplikasi landuse perkotaan menghadapi sejumlah kendala karena : 1) Penggunaan lahan perkotaan terbesar untuk sektor perumahan, bukan untuk aktivitas produksi; 2) Kota mempunyai struktur sangat kompleks, tidak hanya berdimensi horisontal tetapi juga vertikal sehingga landuse perkotaan juga bercampur baur; dan 3) Masih ada kota-kota besar yang mempunyai aksesibilitas tunggal terhadap pasar. Oleh karenanya di kota tidak ditemukan pola konsentris yang rapi, tidak seperti di lokasi pertanian.
Dengan demikian pola konsentris von Thunen tidak dapat
diterapkan namun konsep land rent dapat diaplikasikan pada lokasi baru untuk PKL dalam bentuk sewa lapak kepada pelaku PKL Teori lokasi Alferd Weber.
Untuk tujuan relokasi PKL, teori lokasi
industri yang dikemukan oleh Alfred Weber dapat digunakan. Weber mendasarkan teorinya bahwa pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip minimisasi biaya. Weber menyatakan lokasi setiap industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja dimana penjumlahan keduanya harus minimum. Tempat dimana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum. Konsep ini dapat diaplikasikan dalam pemilihan lokasi untuk relokasi PKL yaitu penyediaan lokasi dengan biaya transportasi termurah bagi pelaku PKL sehingga dapat diperoleh keuntungan maksimum bagi PKL Teori lokasi industri Agust Losch. Losch melihat persoalan pemilihan lokasi dari sisi permintaan pasar. Losch mengatakan bahwa lokasi penjual berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat dijaringnya karena berhubungan dengan biaya transportasi. Produsen harus memilih lokasi yang menghasilkan penjualan terbesar. Disisi lain Losch juga mengemukakan bagaimana economic landscape terjadi, yang merupakan keseimbangan (equillibrium) antara supply dan demand. Terkait dengan teori ini, untuk menentukan lokasi PKL maka terdapat beberapa syarat yaitu : 1) lokasi tersebut harus menjamin keuntungan maksimum bagi penjual (PKL) maupun pembeli (konsumen); 2) Terdapat free entry dan tak ada PKL yang memperoleh super-normal propfit sehingga tak ada rangsangan bagi PKL dari luar untuk masuk dan menjual barang yang sama di daerah tersebut; 3) Daerah penawaran adalah sedemikian hingga memungkinkan PKL yang ada untuk mencapai besar optimum; dan 4) Konsumen bersikap indifferent terhadap
239 penjual manapun dan satu-satunya pertimbangan untuk membeli adalah harga yang rendah. Dari konsep-konsep teoritis lokasi di atas, pemilihan relokasi PKL adalah di dekat/bersebelahan dengan lokasi terminal bis antar kota yang akan dipindahkan dari Baranangsiang ke lokasi antar Tanah Baru dan Cimahpar (Gambar 19) Pemindahan terminal ini akan membawa konsumen yang besar bagi PKL di lokasi baru, sesuai dengan teori Losch yang mendekatkan penjual ke pembeli. Sentralisasi PKl ini sesuai dengan teori Aglomerasi Weber dimana aglomerasi PKL akan memberikan beberapa manfaat diantaranya Aglomerasi memberikan keuntungan antara lain berupa : fasilitas seperti tenaga listrik, air, perbengkelan, pemondokan, dan lain-lain. Sering kali pada lokasi seperti ini sudah terdapat pula tenaga
kerja
yang
terlatih.
Fasilitas
ini
akan
menurunkan
biaya
produksi/kebutuhan modal karena kalau terpisah jauh semua fasilitas harus dibangun sendiri. Penggunaan ruang oleh aktivitas PKL dapat menciptakan land rent (von Thunen) yang berupa sewa lahan/tempat/lapak bagi pelaku PKL. Ini dapat menciptakan tambahan pendapatan bagi pemerintah kota Bogor.
240
Lokasi relokasi
yang diusulkan
Gambar 19. Peta Usulan Lokasi PKL di Terminal Baru Sumber: Google map
Namun demikian, beberapa hal perlu diperhatikan dalam mempersiapkan lokasi relokasi PKL adalah sebagai berikut: - Lokasi yang dipersiapkan diarahkan dapat berfungsi sebagi pasar PKL, sarana olahraga ringan atau massal, sarana wisata belanja dan hiburan. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kegagalan relokasi PKL seperti kegagalan kasus pemindahan PKL di Nairobi. Kamunyori (2007) dalam studi relokasi PKL di Nairobi menyatakan bahwa kegagalan relokasi PKL dari pusat kota Nairobi (Central Business District, CBD) dikarenakan lokasi baru memiliki lalu lintas pejalan kaki yang rendah dan atau konsumen memiliki daya beli yang rendah dibandingkan dengan di CBD. - Ada jaminan dari pemerintah bahwa tidak ada PKL lain yang menempati lokasi asal PKL setelah lokasi tersebut ditinggalkan
241 - Tempat usaha PKL tidak dalam bentuk kios-kios permanen ataupun semi permanen. - Pembuatan tempat usaha diserahkan kepada PKL dengan ketentuan harus portable. Pemerintah atau pengelola hanya menyediakan gambar model, aturan warna atau jenis bahan yang dipergunakan. - Sarana prasarana yang disediakan dalam bentuk jalan yang berputar-putar (mempunyai aksesibilitas tinggi), sarana toilet, sarana ibadah, kantor pengelola, prasarana parkir, sarana hiburan dalam bentuk panggung massal, dan sarana lain yang benar-benar diperlukan. - Pengaturan waktu berjualan. - Jangan menghilangkan ciri khas PKL. - Persiapkan akses angkutan umum dari banyak arah (angkutan umum hanya diizinkan lewat, bukan parkir ataupun terminal). - Lakukan sosialisasi dan promosi yang intensif. 8.4. Langkah-langkah Strategis Untuk memperoleh hasil yaang optimal, langkah-langkah yang sangat diperlukan dalam implementasi usulan strategi adalah sebagia berikut : - Melakukan studi kelayakan menyeluruh sehingga dapat menampung keinginan atau harapan PKL, masyarakat, pemerintah, dan pengelola. - Prioritas utama penempatan adalah untuk pedagang lama. Apabila masih terdapat tempat kosong, pemberian izin bisa diberikan kepada pedagang atau PKL baru. - Pedagang atau PKL tidak diperkenankan membeli atau mengontrak tempat untuk jangka waktu lama, melainkan diberlakukan sewa harian jika mereka berjualan. Jika dalam jangka waktu tertentu pedagangatau PKL tidak beroperasi maka tempat tersebut dapat diberikan kepada pedagang atau PKL lain yang memerlukan. - Untuk jangka waktu tertentu pedagang dibebaskan dari sewa tempat.
Ini
belajar dari kasus keberhasilan relokasi di Singapura dimana pada tahap awal biaya sewa tempat sudah termasuk pada biaya perijinan (Azhar, 2011) - Lakukan pendekatan persuasif, bijak, dan tegas kepada tokoh pedagang atau oknum yang menjadi backing pedagang di tempat lama, karena
mereka
242 diperlukan oleh
PKL. Selama tidak melanggar hukum maka keberadaan
mereka tidak perlu dihilangkan, tetapi diatur dan dibatasi. - Pemerintah harus konsekuen, konsisten, tegas, dan bijak. Pemerintah harus mau belajar dari kegagalan masa lalu. Jangan semua kesalahan ditimpakan hanya kepada PKL.
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN
9.1.
Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari hasil analisis dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Karakteristik Umum.
PKL Kota Bogor dapat dikarakteristikkan sebagai
berikut : (a) berpendidikan rendah, tidak dapat dikategorikan miskin karena mereka bukan penerima BLT dan mampu mendapatkan pendapatan bersih di atas UMR kota, mayoritas tidak memiliki usaha sebelum menjadi PKL, sudah lama menjadi PKL dan mereka memilih berlokasi di tempat strategis menempati badan jalan dan trotoar dengan luasan rata-rata 4m2; (b) Bekerja dalam lingkungan kotor dengan jam kerja rata-rata 10 jam perhari dan tanpa hari libur,
pekerjanya tidak memiliki jaminan sosial dan sebagian besar
belum terdaftar di pemerintah kota; (c)
Diperlukan modal kecil untuk
menjadi PKL (antara Rp 1.000.000,- – Rp 5.000.000,-) dengan mayoritas bersumber dari modal sendiri, mereka harus membayar untuk mendapatkan lapak kepada paguyuban atau oknum. Dari sisi biaya, komponen biaya resmi (kebersihan dan restribusi) lebih kecil dibandingkan biaya tidak resmi (keamanan). Harapan PKL. Secara umum PKL mengharapkan akses memperoleh pinjaman, bantuan memperoleh suplai dan penataan usaha atau tempat. PKL menyadari
bahwa
usaha
mereka
di
ruang
publik
atau
privat
menyalahi/melanggar aturan Pemerintah Kota dan menunjukkan keinginan untuk ditata dan dikelola di tempat usaha sekarang. Persepsi Masyarakat, Pemasok, dan Pesaing.
Baik pemasok dan pesaing
memandang PKL tidak mengganggu usaha mereka. Pemasok menyatakan bahwa keberadaan PKL menambah rantai pemasaran.
Dari sisi manfaat
keberadaan PKL, pesaing menyatakan bahwa keberadaan PKL dapat menurunkan jumlah pengangguran yang ada di masyarakat. Pemasok dan masyarakat umum menyatakan bahwa keberadaan PKL membuat mereka
244
mudah mendapatkan kebutuhan dan memperpendek rantai pemasaran. Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
Pendapatan
PKL.
Hasil
analisis
menunjukkan bahwa variabel X 1 (omzet, Sig-t= 0.062), X2 (modal awal, Sig-t = 0.056) dan D4 (dummy lokasi, Sig-t = 0.07) berpengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan PKL pada taraf 10 %. Peningkatan omzet Rp.1 000,-/bulan akan meningkatan pendapatan bersih pedagang sebesar Rp.12,-/bulan, cateris paribus. Peningkatan modal awal Rp.1 000,- akan meningkatkan pendapatan bersih Rp.2,-/bulan. Variabel asal pedagang (D3) meski berpengaruh signifikan (Sig-t = 0.007) tetapi menunjukkan tanda negatif. Dummy kebersihan juga berpengaruh signifikan (sig-t = 0.091). 2.
PKL berkontribusi terhadap ekonomi kota Bogor karena telah menjadi mata pencaharian utama dan menciptakan peluang dan lapangan kerja. Potensi kontribusi PKL terhadap PAD dikumpulkan melalui retribusi penggunaan kekayaan daerah, retribusi sampah dan kebersihan dan pajak restoran untuk pedagang makanan dan minuman. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa pendapatan PKL tidak berpengaruh nyata terhadap pendidikan dan kesehatan tetapi berpengaruh nyata terhadap konsumsi rumah tangga, hal ini berarti bahwa kontribusi PKL terhadap perekonomian/pembangunan wilayah terutama dari sisi belanja konsumsi.
3.
Analisis kebijakan menunjukkan sudah ada perangkat legal pengelolaan PKL di kota Bogor dalam bentuk Perda No. 13 tahun 2005 dan Surat Keputusan Walikota Bogor No. 511.23.45.146. Tahun 2008. Implementasi dari dua bentuk regulasi tersebut masih belum optimal dan belum mengakomodasi kepentingan bersama antara PKL dan Pemerintah Kota.
4.
Dari hasil analisis A’WOT menunjukkan bahwa seperangkat strategi prioritas yang perlu dilakukan secara komprehensip adalah : a.
Registrasi dan pembuatan database PKL.
b.
Pemberdayaan ekonomi pelaku PKL.
c.
Menyatukan persepsi dalam pengelolaan PKL.
d.
Penundaan penggusuran & dialog dengan pemda.
e.
Pembatasan jumlah pedagang dalam satu lokasi.
f.
Mensyaratkan setiap pengelola gedung/pabrik/kompleks perumahan
245
untuk menyediakan lokasi tertentu bagi PKL, g. 9.2.
Melakukan penataan lokasi PKL. Saran Terkait dengan hasil penelitian ini, beberapa saran yang dapat diajukan
adalah sebagai berikut : 1.
Pemerintah kota Bogor disarankan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut : a. Melakukan pemetaan ulang jumlah PKL sebagai database yang valid untuk keberadaan PKL yang di-update per 6 bulan sehingga jumlah dan kondisi PKL akan selalu terkontrol dan terkelola. b. Pembuatan Sistem Informasi Manajemen PKL dari hasil pemetaan ulang dan pemetaan spasial menggunaan GIS untuk lebih mengetahui sebaran PKL di kota Bogor. c. Pemerintah kota Bogor seharusnya menjadikan lokasi tertentu sebagai pilot project pengelolaan PKL dan
akan lebih baik bila didasarkan pada
tipologi tertentu. d. Ada kebutuhan bagi Pemerintah Kota untuk membeli lokasi-lokasi tertentu yang nantinya digunakan sebagai sentra PKL agar mampu memberikan kontribusi riil bagi pembangunan kota Bogor. e. Pemerintah kota Bogor harus konsisten, konsekuen, tegas dan bijak dalam mengimplementasikan kebijakan atau peraturan yang sudah dibuat dan disepakati bersama dengan PKL. 2.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait dengan hal-hal berikut : a. Kapasitas PKL pada suatu jalan sehingga tidak melebihi daya dukung lingkungan. b. Penelitian studi kelayakan (ekonomi, sosial dan lingkungan) apabila pemerintah akan membeli lokasi-lokasi baru untuk sentra PKL. c. Penelitian dengan pendekatan input-ouput untuk mengetahui multiplier
effect dari PKL dan batas optimum jumlah PKL yang masih mampu memberikan kontribusi positif bagi pembangunan wilayah kota Bogor.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Handbook Apip A., 2006. Pembebanan pajak Pendapatan Perseroan (Inkomsbelsting) terhadap badan Koperasi di Indonesia,Wawasan Tridharma nomor 2 tahun XIX September 2006, Kopertis Wilayah IV Arifin B dan Didik J. Rachbini., 2004. Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik : Di balik Krisis Ekonomi Di Indonesia Resensi Buku oleh M. Muzamil (Universitas Terbuka) Penerbit:Indef & FISIP UI. 294 hal. Arsyad L.. 1999. Ekonomi Pembangunan. Edisi 4. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi. Yayasan Keluarga Pahlawan Indonesia. Yogyakarta Asian Development Bank and BPS-Statistics Indonesia, 2011, The informal sector and informal employment in Indonesia. Mandaluyong City, Philippines: Asian Development Bank. Assauri S., 1999. Manajemen Produksi dan Operasi. Edisi Revisi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Bintarto R. dan Surastopo H., 1991, Metode Analisa Geografi, LP3ES, Bogor Blunt, P dan D.M. Warren., 1996 Indigenous Organization and Development. Intermediete Technology Publications Ltd, London. [BPS], Biro Pusat Statistik, 1998, Sakernas 1998. Jakarta. BPS [BPS], Biro Pusat Statistik, 2002, Sakernas 2002. Jakarta. BPS Daldjoeni N., 1998, Geografi Kota dan Desa, PT. Alumni Bandung. David F., Robinson , 1999, Strategic Management : Concept and Case. Seventh Edition. Prentice Hall International Inc. Upper Saddle River, New Jersey. [Disperindakop Kota Bogor] Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kota Bogor, 2005, Data Base Pedagang Kaki Lima Kota Bogor. Disperindakop Kota Bogor. Bogor. Durianto D., Sugiarto dan Tony S., 2001, Strategi Menaklukkan Pasar Melalui Riset Ekuitas dan Perilaku Merek. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Edgcomb, E dan Tamrat H. 2004. The informal economy : making it in america. FIELD (Microenterprise Fund for Innovation,Effectiveness, Learning and Dissemination) The Aspen Institute One Dupont Circle, NW, Suite 700 Washington, DC. Engel, J.F, R.D. Blackwell dan P.W. Miniard. 1994. Consumer Behavior. Edisi 8. Forth Worth: The Dryden Press. Firdaus, M dan Farid, 2008. Aplikasi metode kuantitatif terpilih untuk manajemen dan bisnis. Seri metode kuantitatif. IPB Press, Bogor.
248 Gaspersz, V. 1997, Manajemen Kualitas Jasa dalam Industri Jasa. Terjemahan. Gramedia. Jakarta. Hayami, Y. 2001, Development Economics From The Poverty to The Wealth of Nation, Second Edition. Hendar dan Kusnadi, 2005, Ekonomi Koperasi, Lembaga Penerbit FEUI, Jakarta [ILO], 2004, The Informal Economy & Workers in Nepal, International Labour Organization (ILO), Series 1, Kathmandu, Nepal. Jauch, L.R. dan W.F. Glueck, 1995, Manajemen Strategis dan Kebijakan Perusahaan. Edisi ketiga. Penerbit Erlangga, Jakarta. Jhingan M L, 2008, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Edisi keenambelas, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Juanda B, 2007, Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis, IPB Press, Bogor. Juanda B, 2009, Ekonometrika Permodelan dan Pendugaan, IPB Press, Bogor. Koestoer R.H., 1997, Prespektif Lingkungan Desa dan Kota, Teori dan Kasus, UI Press, Jakarta. Korten D.C. 1986, Introduction : Community Based Resources Management. In Community Management : Asian Experiences and Perspective. Pp 1- 15, West Hartford CT : Kumarian Press. Kotler P., 2000. Marketing Management : The Millenium Edition. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Kunctjoro D, Ed. 1986, Kemiskinan di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Mangara T, 2002. Strategi Industrialisasi Berbasis Usaha Kecil dan Menengah : sebuah rekonstruksi pada masa pemulihan dan pasca krisis ekonomi. Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Marimin. 2004, Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan kriteria majemuk. Grassindo, Jakarta. Pearce, J.A. dan R.B. Robinson, 1997, Manajemen Strategik, Formulasi, Implementasi dan Pengendalian. Jilid I. Bina Rupa Aksara Jakarta. Raharja P dan Manurung M, 2004,Pengantar Ilmu Ekonomi . Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, edisi revisi. Rangkuti, F, 1999, Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju D R, 2009, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Saaty, T.L. 1993, Pengambilan Keputusan bagi para Pemimpin. Seri Manajemen No. 134. PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta Sam Landon, 1998, Community-Based natural Resources Management. The International Development Research Center, Ontario; Kanada.
249 Soemitro R, 1987, Asas dan Dasar Perpajakan 1, PT.Eresco Bandung Stanton, W. J., Michael, J.E dan B.J. Walker, 1994, Fundamentals of Marketing. Tenth Edition. McGraw Hill Inc. Stoner J.A.F, Freeman R.E., and Gilbert D.R., Jr, 1996, Manajemen. Jilid I, Jakarta, PT. Buana Ilmu Populer. Sumodiningrat, 1999, PemberdayaanMasyarakatdanJaringPengamanSosial, PT Gramedia, Jakarta. Sumodiningrat G. ,2004, Strategi Pemberdayaan masyarakat dalam Pelaksnaaan Otonomi Daerah, PT. Gramedia Jakarta Sumodiningrat G., 2007, Pemberdayaan Sosial, Penerbit Kompas, Jakarta. Tarigan R, 2005, Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi. PT Bumi Aksara, Jakarta. Tinker I., 1997, Street Foods: Urban Food and Employment in Developing Countries, New York: Oxford University Press. Todaro M. dan Smith S.C, 2006, Economic Development, edisi IX,Pearson Education Limited, United Kingdom Umar H., 2005, Studi Kelayakan Bisnis ,Edisi 3, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Uphoff N., Esman M.J. dan Khrisna A., 1998, Reason for Success : Learning from Instructive Experiences in Rural Development. Kumarian Press, Kanada. Walpole R.E., 1995, Pengantar Statistika. Edisi Ke-3. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Makalah, Paper dan Jurnal Akharuzzaman, M dan Atsushi D., 2010, Public Management for Street Vendor Problems in Dhaka City, Bangladesh. Proc. of International Conference on Environmental Aspects of Bangladesh (ICEAB10), Japan, Sept. 2010 Akintoye I.R., 2008, Reducing Unemployment Through the Informal Sector: A Case Study of Nigeria. European Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences ISSN 1450-2275 Issue 11 (2008) Anonimius, 2000, Kota Bogor Dalam Angka Tahun 1999, Badan Pusat Statistik Kota Bogor. Anwar A, 2001, Pembangunan Wilayah Pedesaan dengan Desentralisasi Spasial Melalui Pembangunan Agropolitan yang Mereplikasi Kota-Kota Menengah dan Kecil, Makalah Disampaikan Pada Pembahasan Proyek Perintisan Pengembangan Wilayah Pedesaan, Jakarta 15 November 2001. Aswindi, W., 2002, Perilaku Politis Pemanfaatan Ruang di Pusat Kota. Studi Kasus : Pedagang Kaki Lima di Pusat Kota Majalaya. Jurnal Analisis Sosial Vol.7 No. 2 Juni 2002. Akatiga. Bandung. 2002
250 Ayub H., 2004, Analisis Industri Rumah Tangga untuk Penentuan Strategi Pemberdayaannya (Studi Kasus Industri Rumah Tangga Sepatu dan Sandal di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor). Thesis. Program Magister Ilmu Administrasi Universitas Muhammadiyah Jakarta Azhar G., 2014, A Receipt For Success; How Singapore Hawker Come To Be. Institue Of Policy Studies, Sngapore. Bhowmik S. K., 2005, 'Street Vendors in Asia: A Review', Economic and Political Weekly, May 28-June 4 pp.2256-2264. Brown A., 2005, 'Claming Rights to the Street: the Role of Public Space and Diversity in Governance of the Street Economy', School of City and Regional Planning, Cardiff University. Casanova Dorotan, Phoebe F.G, Maria CT dan Maria A.M., 2010, Informal Economy Budget Analysis in Philippines and Quezon City. Women in Informal Employment: Globalizing and Organizing (WIEGO) under the Inclusive Cities Project. Research Report No. 6. Commander S., Natalia I. dan Yulia R., 2009, A model of the informal economy with an application to Ukraine. paper were presented at LIRT-HSE’s seminar in the spring of 2009. Davies R. dan James T., 2009, Formal–Informal Economy Linkages and Unemployment in South Africa. IFPRI Discussion Paper 00943, International Food Policy Research Institute December 2009. Douglas M., 1998, A regional network strategy for reciprocal rural-urban linkage. A agenda for policy research with reference to Indonesia. TWPR, 20(1). Elías Osuna E. dan Aranda A ., 2007, Combining Swot And Ahp Techniques For Strategic Planning. ISAHP 2007. Viña del Mar, Chile, August 2-6. Ester, 2003, Pengarahan Lokasi Pedagang Kaki Lima Sebagai Dasar Pertimbangan Kebijakan Sidoarjo (Studi Kasus : Jl Gajah Mada). ITS Digital Library. Surabaya. 2003 Firnandy , 2002, Studi Profil Pekerja Di Sektor Informal Dan Arah Kebijakan Ke Depan. Direktorat Ketenagakerjaan Dan Analisis Ekonomi, Jakarta. Flouris T dan A. Kucuk Y., 2010, The Risk Management Framework to Strategic Human Resource Management. International Research Journal of Finance and Economics, Issue 36 . Friedman J., 1968, The Strategy to deliberate urbanization. AIP Journal. No. 364-71. Gonec, S dan Harun T., 2007, Factor that affecting informal economy of rural turkey. Journal of Applied Sciences, 7(21) :3138-3153, 2007, Asian Network for scientific information. Gottdiener M., and Budd L., 2005, Key Concepts in Urban Studies, Sage Publication, Thousand Oaks and India.
251 Greenidge, K., Carlos H dan Stuart M., 2009, Estimating The Size Of The Informal Economy In Barbados. Business, Finance & Economics In Emerging Economies Vol. 4 No. 1 . Gunadi Brata A., 2008, Vulnerability Of Urban Informal Sector: Street Vendors In Yogyakarta, Indonesia. Paper prepared for the International Conference on Social, Development and Environmental Studies: Global Change and Transforming Spaces, November 18-19th , 2008, School of Social, Development and Environmental Studies, Faculty of Social Sciences and Humanities, University Kebangsaan Malaysia Hart K., 1973, Informal Income Opportunities and Urban Employment in Ghana. Journal of Modern African Studies 11(1): 61-89. Henley A.G., Reza A dan Francisco G. Carneiro, 2009, On Defining and Measuring the Informal Sector: Evidence from Brazil. World Development Vol. 37, No. 5, pp. 992–1003. Ishizaka A, dan L. Ashraf. 2009, Analytic Hierarchy Process and Expert Choice: Benefits and Limitations, ORInsight, 22(4), p. 201-220, 2009. Jungho Suh dan N.F. Emtage. 2005, Identification of Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats of the Community-based Forest Management Program. Annals of Tropical Research 27(1): 55-66 (2005) Kamunyori, S.W. 2007, A Growing Space For Dialogue: The Case Of Street Vending In Nairobi’s Central Business District. Department Of Urban Studies And Planning, Massachusetts Institute Of Technology. Kangas, Pesonen J. M., Kurttila M., dan Kajanus M., 2001, A'wot: Integrating The Ahp With Swot Analysis. Isahp. Berne, Switzerland, August 2-4. Kevin Greenidge, Carlos Holder And Stuart Mayers, 2009, Estimating The Size Of The Informal Economy In Barbados. Business, Finance & Economics In Emerging Economies Vol. 4 No. 1. Korompis Fransiska R.,2005, Pemberdayaan Sektor Informal : Studi Tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Loma dan Kontribusinya Terhadap Penerimaan PAD di Kota Manado. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Sam Ratulangi. Manado. Kosasih K., 2007, Potensi Dan Masalah Perdagangan Kaki Lima Sebagai Bagian Dari Ekonomi Informal Perkotaan. Bandung Krisnamurthi B., 2002, RUU Keuangan Mikro : Rancangan Keberpihakan Terhadap Ekonomi Rakyat, www.bmm-online.org , Februari. Kuncoro E.A., 2003, Peran Ikopin Membangun UKM. Kompas. Kamis, 24 Juli 2003, Jakarta
ARTIKEL dalam
Laboratorium Hukum Fak. Hukum Universitas Sriwijaya, 2004, Laporan Regulatory Impact Assessment (Ria) Di Palembang. Lynch O.J. dan Emily H., 2002, Whose Natural Resources ?. Whose Common Good ? : Toward A New Paradigm of Environmental Justice And National Interest In Indonesia. Center for International Environment Law (CIEL). Jakarta.
252 Marzuki L., 1999, Penerapan Sistem Ekonomi Kerakyatan Dalam Kerangka Paradigma Pembangunan Kemandirian Lokal. Paper dalam Seminar Penyusunan Aspirasi Masyarakat Sebagai Bahan Penyusunan Kerangka Penyusunan GBHN Tahun 2000 – 2002. Kerjasama MPR-RI Dengan Universitas Hasanudin. McGee, Terry G., 1975, Hawkers in Selected Southeast Asian Cities: the Comparative Research Study Outline, Findings and Policy Recommendations, A report to be presented at a conference on the Role of Marginal Distribution Systems in Development sponsored by the International Development Research Centre, Canada, to be held in Kuala Lumpur, Malaysia, September 23-26. McGee, Terry G. and T. Firman, 2000, “Labour Market Adjustment in the Time of Krismon: Changes in Employment Structure in Indonesia,1997-98”, Singapore Journal of Tropical Geography, Vol.21, No.3, pp.316-335. McGee, Terry G. and Yeung Y.M., 1977, Hawkers in Southeast Asian Cities:Planning for the Bazaar Economy, Canada: International Development Research Centre. Mehrotra, S dan Mario B., 2002, Social Protection in the Informal Economy: Home Based Women Workers and OutsourcedManufacturing in Asia. UNICEF Innocenti Research Centre and Department of Economics, University of Florence. Meikle S., 2002, 'The Urban Context and Poor People', in Urban Livelihood: A PeopleCenter Approach to Reducing Poverty, edited by Rakodi, C. and Lloyd-Jones, T. , Earthscan Publications London. Mitullah W.V., 2003, Street Vending In African Cities: A Synthesis Of Empirical Findings From Kenya, Cote D’ivoire, Ghana, Zimbabwe, Uganda And South Africa. Background Paper for the 2005 World Development Report, 16 August 2003 Nugroho, R.D., 2004, Kebijakan Publik, Formulasi, implementasi dan evaluasi, Elex Media Komputindo, Jakarta Purwanugraha, Heribertus A, Harsiwi Th. Agung M., 2000, Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Keberadaan Pedagang Kaki Lima di Kawasan Malioboro : Studi Pada Aspek Manajemen dan Pengelolaan Modal. Laporan Penelitian Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya. Yogyakarta. Rahardjo B., 1999, Aplikasi Teknologi Informasi Bagi Industri Kecil Menengah. Pusat Penelitian Antar Universitas (PPAUME) Mikroelektronika, Institut Teknologi Bandung, Bandung Richardson, H.W., 1984, The role of the urban informal sector. An Overview. Regional Development Dialoque, 5:2. Rustiadi, E. Saefulhakim dan Dyah P., 2009, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Ruston P., 1999, Shopping The Future of Retailing, The British Library, London
253 Schneider F., 2002, Size And Measurement Of The Informal Economy In 110 countries Around The World. Paper, disajikan pada Workshop of Australian National Tax Centre, ANU, Canberra, Australia, July 17, 2002 Singh A., 2000, Organising Street Vendors' in www.india-seminar.com, accessed on 28-09-06. Slack T., 2005, Work, Welfare, and the Informal Economy : An Examination of Family Livelihood Strategies in Rural Pennsylvania. Manuscript disiapkan untuk presentasi pada Northeastern U.S. Rural Poverty Conference May 3-4, 2005 State College, PA Stiglitz J.E., 1998, Towards a New Paradigm for Development : Strategies, Policies, and Processes Given as the 1998 Prebisch Lecture at UNCTAD, Geneva in October 19. Straub S., 2003, Informal Sector: The Credit Market Channel. Paper for seminar in University of Edinburgh, November 13. Suharto E., 2003, Accommodating the Urban Informal Sector in the Public Policy Process, New Zealand Journal of Asian Studies 4, 2, pp.115-133. Suryadi, 2004, Paradigma Pembangunan dan Kapabilitas Aparatur. Swara Diklat. Badan Pendidikan dan Pelatihan, Propinsi Jawa Timur. Suwal R dan Bishnu P., 2009, Measuring Informal Sector Economic Activities in Nepal. Paper Prepared for the Special IARIW-SAIM Conference on “Measuring the Informal Economy in Developing Countries” Kathmandu, Nepal, September 23-26. Takim A., 2011, Effectıveness of the In formal Economy in Tu rk ey. European Journal of Social Sciences – Volume 19, Number 2 (2011) The Ford Foundation. 2010, Roundtable On Microinsurance Services In The Informal Economy: The Role Of Microfinance Institutions. International Coalition On Women And Credit, And Annette Krauss, Special Unit For Microfinance Of UNCDF Thomas L. Saaty, 2008, Relative Measurement and Its Generalization in Decision Making Why Pairwise Comparisons are Central in Mathematics for the Measurement of Intangible Factors. The Analytic Hierarchy/Network Process. Rev. R. Acad. Cien. Serie A. Mat. Vol. 102 (2), 2008, pp. 251-318 Timalsina K. P., 2002, Impact of Bhimdhunga- Lamidanda-Road on the Livelihood Strategy of Rural People: A Case Study of Jivanpur VDC, Dhading District, M. A. Thesis in Georaphy, Central Department of Geography, Tribhuvan University, Kathmandu, Nepal Venida V.S., 1998, Employment, Productivity And The Informal Sector In The Philippines, 1974-88: An Input-Output Analysis, Paper presentation at the Twelfth International Conference on Input-Output Techniques, New York City, May.
254 Walsh J., 2010., The Street Vendors of Bangkok: Alternatives to Indoor Retailers at a Time of Economic Crisis. American Journal of Economics and Business Administration 2 (2): 185-188, 2010 Widodo T., 2006, Peran sektor informal terhadap perekonomian daerah : pendekatan delphi-IO dan aplikasi. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia vol 21, no.3, 2006, 254-267 Women in Informal Employment : Globalizing and Organizing (WIEGO), 2009. A Policy Response to the Informal Economy , Addressing Informality, Reducing Poverty .www.wiego.org/publication/ policy booklet.pdf diunduh 8 Januari 2009) World Bank, 2003, Poverty Reduction and Economic Management, Report Document South Asia Region, World Bank, 2003. Yahya, K, Suwondo dan Rijadi S. Pemberdayaan Masyarakat Sektor Informal Di Perkotaan (Studi Kasus Pelaksanaan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan [P2KP] di Kelurahan Kasin Kecamatan Klojen Kota Malang), Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, Malang Thesis dan Desertasi Budi AS., 2006, Kajian Lokasi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Preferensi PKL Serta Persepsi Masyarakat Sekitar Di Kota Pemalang. Thesis. Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro, Semarang Rachmanu W., 2004, Analisa Sikap Dan Perilaku Karyawan Terhadap Budaya Kerja Perusahaan. Studi Kasus Pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Kantor Cabang Utama Bogor. Thesis. Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi IMMI. Tohar A., 2003, Profil Dan Strategi Pengembangan Sektor Informal Di Kota Medan. Thesis. Program Pascasarjana, Universitas Sumetera Utara Wahyu B S, 2003, Distribusi Lokasi dan Tipe Pedagang Kaki Lima Kota Bogor 2002. Thesis Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta. Widjajanti R., 2000, Penataan Fisik Kegiatan PKL Pada Kawasan Komersial di Pusat Kota (Studi Kasus : Simpang Lima Semarang) Tesis tidak diterbitkan. Bidang Khusus Perencanaan Kota, Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota , ITB, Bandung Zahrah S., 2003, Sektor informal kota: analisis ekonomi rumah tangga pekerja sektor informal kota. Thesis. Program Pascasarjana, Universitas Sumetera Utara, Medan. Surat Kabar dan Majalah Tamba H, Sijabat S, 2006, Infokop Tempointeraktif.com.,2005, Pedagang Kaki Lima Bisa Menata Diri. Jakarta. 14 Maret 2005. Harian Kompas, 2003, Penertiban PKL di Surabaya Parsial dan Diskriminatif. 13 Februari.
255 Internet dan Homepage http//www.google.maps.co.id http://www.kota-bogor.go.id http://www.Kota-bogor.go.id http://en.wikipedia.org/wiki/Subsidy http://id.wikipedia.org/wiki/Retribusi http//www.wiego.org/publication/ policy booklet.pdf, http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php http://staf.unp.ac.id/yusranrdy/media/isu_kebijakan.pdf http://www.djpk.depkeu.go.id/ http://www.scribd.com/doc/8524602/ringkasan-kebijakan-publik, http//www.wiego.org/publication/ policy booklet.pdf http://tnp2k.wapresri.go.id/data/ketenagakerjaan-indnesia.html http://www.tempo.co/read/news/2009/01/05/056153874/Jumlah-Pengangguran
Lampiran 1. Hasil Analisis Regresi untuk semua Tipologi Variables Entered/Removedb Model 1
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Variables Removed
Variables Entered D5, X2, X4, D2, X3, X10, D3, X5, X6, D4, D1, X9, X1a . . . . . . . . . .
Method . Enter
X2 D1 D3 D2 X9 X6 X10 X5 X4 D5
Backward (criterion: Probability of F-to-remove >= .100). Backward (criterion: Probability of F-to-remove >= .100). Backward (criterion: Probability of F-to-remove >= .100). Backward (criterion: Probability of F-to-remove >= .100). Backward (criterion: Probability of F-to-remove >= .100). Backward (criterion: Probability of F-to-remove >= .100). Backward (criterion: Probability of F-to-remove >= .100). Backward (criterion: Probability of F-to-remove >= .100). Backward (criterion: Probability of F-to-remove >= .100). Backward (criterion: Probability of F-to-remove >= .100).
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: Y Model Summary Model R R Square Adjusted R Square c 3 .652 .425 .354 c. Predictors: (Constant), D5, X4, D2, X3, X10, D3, X5, X6, D4, X9, X1
Std. Error of the Estimate 58658.63682
ANOVAl Model Sum of Squares df Mean Square 3 Regression 2.266E11 11 2.060E10 Residual 3.062E11 89 3.441E9 Total 5.329E11 100 c. Predictors: (Constant), D5, X4, D2, X3, X10, D3, X5, X6, D4, X9, X1 l. Dependent Variable: Y
F
Sig. .000c
5.987
Coefficientsa Standardized Coefficients
Unstandardized Coefficients Model 3
B (Constant)
Std. Error
Beta
t
Sig.
102773.132
61217.025
1.679
.097
X1
.012
.006
.364
1.889
.062
X2
.002
.001
.162
1.936
.056
X3
-20465.543
21994.718
-.080
-.930
.355
X4
.014
.018
.154
.806
.422
X5
-.055
.065
-.074
-.858
.393
X6
.004
.006
.065
.590
.557
X7
-541.408
714.749
-.062
-.757
.451
D1
11460.455
35000.169
.027
.327
.744
D2
-4004.710
23917.428
-.014
-.167
.867
D3
-36458.094
13237.683
-.235
-2.754
.007
D4
24706.292
14455.625
.145
1.709
.091
c. Predictors in the Model: (Constant) : X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7 D1, D2, D2, D4 k. Dependent Variable: Y
258
Descriptive Statistics N Y X1 X2 X3 X4 X5 X6 X9 X10 Valid N (listwise)
Minimum 103 103 103 103 103 103 103 103 101 101
20000.00 100000.00 3.00 50000.00 1.00 10000.00 .00 150000.00 .25
Maximum 500000.00 19500000.00 17.00 60000000.00 2.00 7000000.00 960000.00 8280000.00 35.00
Mean 78796.1165 1369223.3010 9.6748 2325339.8058 1.9126 449708.7379 35058.2524 1373610.6796 9.0751
Std. Deviation 73328.21184 2189190.44009 2.43112 6402434.40458 .28377 779646.98687 96360.51844 1284143.83242 8.33463
259
Lampiran 2. Hasil Analisis Regresi untuk Setiap Tipologi PKL 1. Tipologi Pasar Sayur Malam : Pendidikan Tertinggi vs Pendapatan SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.18692526 R Square 0.03494105 Adjusted R Square 0.00954477 Standard Error 1.13135888 Observations 40 ANOVA df 1 38 39
SS 1.761029151 48.63897085 50.4
Coefficients 1.94417562 6.8925E-06
Standard Error 0.352170818 5.87615E-06
Regression Residual Total
Intercept X Variable 1
MS 1.76103 1.27997
F 1.3758331
Significance F 0.24811262
t Stat 5.52055 1.17296
P-value 2.588E-06 0.2481126
Lower 95% 1.23124307 -5.003E-06
Upper 95% 2.65710816 1.8788E-05
2. Tipologi Pasar Sayur Malam : Kesehatan vs Pendapatan SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.144611 R Square 0.020912 Adjusted R Square -0.00485 Standard Error 0.439592 Observations 40 ANOVA df Regression Residual Total
Intercept X Variable 1
1 38 39
SS 0.156843 7.343157 7.5
Coefficients 1.64381 2.06E-06
Standard Error 0.136837 2.28E-06
MS 0.156843 0.193241
F 0.811643
Significance F 0.373309
t Stat 12.01293 0.900912
P-value 1.65E-14 0.373309
Lower 95% 1.366798 -2.6E-06
Upper 95% 1.920821 6.68E-06
260
3. Tipologi Pasar Sayur Malam : Konsumsi vs Pendapatan SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.42364072 R Square 0.17947146 Adjusted R Square 0.1578786 Standard Error 14322.4347 Observations 40 ANOVA df 1 38 39
SS 1704978840 7795021160 9500000000
Coefficients 18928.3607 0.21446275
Standard Error 4458.305516 0.074389085
Regression Residual Total
Intercept X Variable 1
MS 1.705E+09 205132136
F 8.3116126
Significance F 0.00645016
t Stat 4.2456401 2.8829867
P-value 0.0001353 0.0064502
Lower 95% 9902.99308 0.06386992
Upper 95% 27953.728 0.3650556
4. Tipologi Pasar Kuliner : Pendidikan Tertinggi vs Pendapatan SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.10638812 R Square 0.01131843 Adjusted R Square -0.0146995 Standard Error 1.08324001 Observations
40
ANOVA df Regression Residual Total
Intercept X Variable 1
1 38 39
SS 0.510461306 44.58953869 45.1
Coefficients 2.73372826 1.1344E-06
Standard Error 0.245788373 1.71986E-06
MS 0.51046 1.17341
F 0.4350242
Significance F 0.51351162
t Stat 11.1223 0.65956
P-value 1.638E-13 0.5135116
Lower 95% 2.23615572 -2.347E-06
Upper 95% 3.231301 4.62E-06
261
5.
Tipologi Pasar Kuliner : Kesehatan vs Pendapatan
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.08325978 R Square 0.00693219 Adjusted R Square -0.0192012 Standard Error 0.50864555 Observations 40 ANOVA df 1 38 39
SS 0.068628687 9.831371313 9.9
Coefficients 1.40736703 4.1593E-07
Standard Error 0.115412246 8.07577E-07
Regression Residual Total
Intercept X Variable 1
6.
MS 0.0686287 0.2587203
F 0.265262
Significance F 0.609511042
t Stat 12.194261 0.515036
P-value 1.05E-14 0.609511
Lower 95% 1.173727152 -1.2189E-06
Upper 95% 1.641007 2.05E-06
Tipologi Pasar Kuliner : Konsumsi vs Pendapatan
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.672082921 R Square 0.451695452 Adjusted R Square 0.437266385 Standard Error 13729.46049 Observations 40 ANOVA df Regression Residual Total
Intercept X Variable 1
1 38 39
SS 5900847760 7162927240 13063775000
Coefficients 19923.84989 0.12196244
Standard Error 3115.229983 0.021798287
MS 5.9E+09 1.9E+08
F 31.3046
Significance F 2.04569E-06
t Stat 6.39563 5.59505
P-value 1.6E-07 2E-06
Lower 95% 13617.39654 0.077834115
Upper 95% 26230.3 0.166091
262
7.
Tipologi Pasar Tumpah : Pendidikan Tertinggi vs Pendapatan
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.2365169 R Square 0.0559403 Adjusted R Square 0.0310966 Standard Error 0.9703481 Observations 40 ANOVA df 1 38 39
SS 2.12013572 35.77986428 37.9
Coefficients 2.2959341 3.047E-06
Standard Error 0.228487421 2.03075E-06
Regression Residual Total
Intercept X Variable 1
MS 2.12014 0.94158
F 2.2516899
Significance F 0.141732
t Stat 10.0484 1.50056
P-value 2.985E-12 0.1417324
Lower 95% 1.833386 -1.1E-06
Upper 95% 2.758483 7.16E-06
8. Tipologi Pasar Tumpah : Kesehatan vs Pendapatan SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.12322 R Square 0.01518 Adjusted R Square -0.01073 Standard Error 0.44088 Observations 40 ANOVA df Regression Residual Total
Intercept X Variable 1
1 38 39
SS 0.113882 7.386118 7.5
Coefficients 1.80888 -7.1E-07
Standard Error 0.103813 9.23E-07
MS 0.1139 0.1944
F 0.5859
Significance F 0.44873696
t Stat 17.424 -0.7654
P-value 1E-19 0.44874
Lower 95% 1.59872529 -2.574E-06
Upper 95% 2.019041 1.16E-06
263
9.
Tipologi Pasar Tumpah : Konsumsi vs Pendapatan
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.4955635 R Square 0.2455832 Adjusted R Square 0.2257301 Standard Error 18961.191 Observations 40 ANOVA df Regression Residual Total
Intercept X Variable 1
1 38 39
SS 4447358253 13662016747 18109375000
Coefficients 23988.684 0.139566
Standard Error 4464.783015 0.039682061
MS 4.4E+09 3.6E+08
F 12.37
Significance F 0.001148054
t Stat 5.37287 3.51711
P-value 4.1E-06 0.00115
Lower 95% 14950.20301 0.059233881
Upper 95% 33027.1642 0.21989815
264
Lampiran 3. Matrik Pendapat Gabungan untuk Faktor Internal dan Eksternal 1.
Matrik Pendapat Gabungan untuk Faktor Eksternal –Peluang Faktor Eksternal-Peluang
1
2
3
4
5
6
1
Keberadaan Perda tentang PKL
1.00
3.45
1.25
3.63
4.44
1.09
2
Ketersediaan SDM
0.29
1.00
0.59
1.09
4.73
0.45
3
Kontribusi PKL pada PAD
0.80
1.68
1.00
3.34
4.86
1.09
4
Ketersediaan barang dan jasa dengan harga terjangkau
0.28
0.92
0.30
1.00
0.32
0.44
5
Ketersediaan lembaga keuangan mikro
0.23
0.21
0.21
3.08
1.00
0.25
6
Kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan
0.92
2.20
0.92
2.28
4.00
1.00
2.
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Matrik Pendapat Gabungan untuk Faktor Eksternal – Ancaman
Faktor Eksternal-Ancaman Kebijakan Tata ruang kurang konsisten Terbatasnya kesempatan kerja lain yang lebih baik Kurangnya alokasi tempat untuk relokasi PKL Terbatasnya dana operasional Lemahnya kerjasama lintas badan/institusi Lemahnya penegakan hukum Kebijakan intervensi pemda yang tidak konsisten Lemahnya posisi politis PKL Belum adanya registrasi pelaku PKL
3.
2
3
4
5
6
7
8
9
1.00
0.96
0.65
1.12
0.56
1.00
2.00
2.00
2.10
1.04
1.00
0.96
1.93
1.76
0.90
1.71
2.04
0.99
1.54
1.04
1.00
1.83
1.62
1.77
1.51
0.81
1.02
0.89
0.52
0.55
1.00
0.66
0.33
0.65
2.36
2.25
1.78
0.57
0.62
1.51
1.00
0.73
1.19
1.93
1.00
1.00
1.11
0.57
3.00
1.36
1.00
0.83
1.60
2.00
0.50
0.59
0.66
1.54
0.84
1.21
1.00
1.65
1.68
0.50
0.49
1.23
0.42
0.52
0.63
0.61
1.00
1.26
0.48
1.01
0.98
0.44
1.00
0.50
0.59
0.79
1.00
Matrik Pendapat Gabungan untuk Faktor Internal –Peluang
Faktor Internal-Kekuatan Kebijakan dan komitmen Pemda 1 2
1
Perkembangan sistem teknologi dan informasi Stabilitas nilai mata uang
3
1
2
3
4
5
6
7
8
1.00
1.80
0.94
2.06
0.56
1.00
2.00
2.00
0.56
1.00
0.65
1.15
1.03
0.53
0.95
1.55
1.06
1.54
1.00
0.77
0.54
0.92
0.97
1.13
0.49
0.87
1.30
1.00
0.66
0.33
0.65
2.36
1.78
0.97
1.85
1.51
1.00
0.73
1.19
1.93
1.00
1.89
1.08
3.00
1.36
1.00
0.99
1.60
0.50
1.05
1.03
1.54
0.84
1.01
1.00
1.25
0.50
0.65
0.88
0.42
0.52
0.63
0.80
1.00
Tersedianya pasar 4 Pulihnya sektor ekonomi dari krisis global 5 Penciptaan lapang kerja baru 6 7
Mengurangi masalah sosial Kemudahan sistem registrasi
8
265
4.
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Matrik Pendapat Gabungan untuk Faktor Eksternal – Ancaman
Faktor Eksternal-Ancaman Pertumbuhan angka pengangguran Perilaku free rider dari PKL Sektor informal inferior dibandingkan sektor lain Keinginan menggunakan lahan secara permanen Pertumbuhan ekonomi yang rendah sektor abu-abu lahan korupsi Ketidakberpihakan dinas/institusi terkait Kemacetan dan kekumuhan wajah kota Perbedaan persepsi aktor
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1.00
0.57
0.65
1.12
0.56
1.00
2.00
2.00
0.96
1.77
1.00
0.92
1.30
1.76
0.90
1.14
1.53
0.39
1.54
1.09
1.00
1.41
1.62
1.77
1.51
0.81
0.64
0.89
0.77
0.71
1.00
0.66
0.33
0.65
2.36
0.81
1.78
0.57
0.62
1.51
1.00
0.73
1.19
0.96
0.82
1.00
1.11
0.57
3.00
1.36
1.00
0.83
1.28
0.97
0.50
0.88
0.66
1.54
0.84
1.21
1.00
1.65
1.41
0.50
0.65
1.23
0.42
1.04
0.78
0.61
1.00
1.12
1.04
2.57
1.57
1.23
1.22
1.03
0.71
0.90
1.00
266
Lampiran 4. Kuisioner untuk Pelaku PKL Nama surveyor
: ……..……………
Tgl survei
: …………………..
Lokasi
: ……………………
Tanda Tangan
: ……………………
A.
IDENTIFIKASI RESPONDEN
A.1.
Nama Responden
: ………………………………………………
A.2.
Alamat
: ………………………………………………
A.3.
Jenis Kelamin : 1 Laki-laki
A.4.
Umur Bapak/Ibu : ………….Tahun
A.5.
Status Perkawinan 1 Belum menikah Pendidikan terakhir Bapak/Ibu :
A.6.
A.7.
A.9.
Perempuan
2
Sudah menikah
1
SD atau sederajat
2
SMP atau sederajat
3 SMA atau sederajat
4
Akademi atau sederajad
5
Sarjana
6 Pascasarjana
Tempat asal : 1
A.8.
2
Kota Bogor
2
Luar Kota Bogor
Suku Bangsa : 1
Jawa
2
Sunda
3 Batak
4
Padang
5
Lainnya : …….
Status dalam Keluarga 1
Kepala Keluarga
2
Anggota keluarga
A.10. Jumlah tanggungan keluarga sekarang : .......orang A.11. Jumlah tanggungan keluarga sebelumnya (1 bulan yang lalu) : ........ orang A.12. Pendidikan tertinggi yang sudah dicapai oleh tanggungan keluarga sekarang atau sebelumnya :
A.13
1
Tidak sekolah
3
Tamat SLTP
5
Sarjana
: .......orang
:.......orang
4 Tamat SLTA
: .......orang
: .......orang
6 Pascasarjana
: .......orang
Dalam 3 bulan terakhir, adakah salah satu anggota keluarga anda yang sakit: 1
A.14
2 Tamat SD
Ya : ........orang
2 Tidak
2 (→A.15)
Jika Ya, berapa rata-rata pengeluaran kesehatan anda per bulan : Rp ......................
A.15 Frekuensi rata-rata sakit per bulan untuk anda dan keluarga anda ..................... kali A.16. Apakah keluarag anda sekarang termasuk yang mendapatkan BLT ? 1
Ya
2
Tidak
267
B.
KARAKTERISTIK USAHA
B.1.
Apa usaha/pekerjaan anda sebelum menjadi PKL ?
B.2.
1
Tidak Punya usaha
2
Karyawan swasta
3
Pedagang kios pasar
4
Usaha dirumah
5
Lainnya, sebutkan ...............
Apakah penyebab atau dorongan ( motivasi) terhadap anda untuk menjadi PKL? 1
Karena menganggur
2
Karena PHK
3
Karena Usaha yang lebih menguntungkan
4
merintis usaha lebih besar
4
Modal usaha ringan atau kecil
5
Lainnya, sebutkan ...............
B.3.
Sudah berapa lama anda Menjadi PKL ditempati ini ? ...............tahun
B.4.
Apakah sebelum ditempat ini anda sudah berusaha/ berjualan ditempat lain? 1
B.5.
Ya
2
Tidak
Apakah alasan Anda untuk memilih lokasi ini sebagai tempat berdagang ? jawaban dapat lebih dari satu
B.6.
B.7.
B.8.
B.9.
1
Ramai / sering dikunjungi pembeli
2 Pendapatan memuaskan
3
Biaya transportasi murah/dekat rumah
4 Berkumpul dengan usaha sejenis
5
Tidak mampu beli kios
6 Kios resmi Penuh
7
Lainnya, sebutkan : ……………….
Apa jenis barang dagangan anda ? 1
Sayur- mayur
2 Makanan/ Lauk Pauk
mentah
3
Bumbu dapur
4 Makanan/ Minuman jadi
5
Acessories
6 Lain-lain : ...............................
Usaha Bapak/ Ibu/ Sdr, termasuk kelompok jenis usaha ? ( diisi petugas ) . 1
Pasar Tumpah (menawarkan macam-macam barang/jasa)
2
Pasar sayur mayur malam
3
Usaha Kuliner ( Makanan/Minuman)
Jenis sarana usaha yang anda gunakan : 1
Warung Tenda
2 Gerobak/kereta dorong
3 Pikulan/keranjang
4
Gelaran/hamparan
5 Kios
6 sementara
7
Lainnya, sebutkan : …………………………
Bagaimana pengelompokan dagangan anda saat ini : 1
Berkelompok dengan usaha sejenis
2
Bercampur dengan usaha jenis lain
B.10. Waktu berjualan mulai pukul : ..................... s.d. pukul ...................... B.11. Lokasi usaha saat ini (nama jalan/tempat) : ………………… B.12. Tempat usaha : 1
Trotoar
2
Lahan Parkir
3
Badan Jalan
4
Lainnya, sebutkan : ………………
B.13. Berapa luas tempat yang Anda gunakan untuk berdagang? ……………..……m2
268
B.14. (Diisi petugas) Penilaian terhadap kondisi kebersihan ? 1
Bersih
2
Kotor
B.15. Menurut anda, bagaimana lokasi berusaha anda saat ini ? 1
Strategis
2
Tidak strategis
(cat : indikator :ada tidaknya kerumunan atau dekat dengan pasar) B.16. Apakah anda mempunyai tempat usaha lain dimana anda juga menjalankan kegiatan yang sama? 1
Ya
2
Tidak
(→ B.18)
B.17. Jika “Ya” berapa jumlah lapak yang anda miliki ? …….buah B.18. Apakah usaha anda terdaftar di salah satu intitusi di bawah ini ? Ya
Tidak
tidak tahu
B.18.1. Kantor pajak
1
2
3
B.18.2. Pemerintah Daerah
1
2
3
B.18.3. Koperasi
1
2
3
B.18.4. Paguyuban
1
2
3
B.18.5. Ormas / LSM
1
2
3
C.
PEKERJA DAN KOMPENSASI
C.1.
Berapa orang termasuk anda, yang bekerja dalam usaha anda ? …….…orang
C.2.
Berapa jam kerja usaha anda dalam sehari ? .................Jam
C.3.
Berapa hari usaha berjalan dalam seminggu ? …………………..Hari
C.4.
Berapa hari rata-rata anda libur usaha dalam seminggua : ..................Hari
C.5.
Karakteristik pekerja (tidak termasuk anda) :
No
Nama
Jenis kelamin
Umur (tahun)
Status pekerjaan
Kontrak kerja
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Jumlah Jam kerja (7)
Jumlah Hari kerja (8)
Dasar pembayaran (9)
Gaji & pendapatan (10)
Kode Kolom Kolom 3 Laki-laki Perempuan
C.6.
1 2 3 4 5 6
Kolom 5 Pemilik yang mempekerjakan orang lain Usaha sendiri Buruh/karyawan Pekerja keluarga yang dibayar Pekerja keluarga tidak dibayar Rekan kerja/ usaha
1
Pemilik
Kolom 6
Kolom 9 1 Per minggu
2 3 4 5 6 7
Kontrak tertulis tanpa jangka waktu Kontrak tertulis dengan jangka waktu Perjanjian lisan Masa percobaan Tanpa kontrak Kerja sama lisan
2 3 4 5 6 7
Adakah tunjangan dan bonus yang dibayarkan ke pekerja? 1
Ada (→ C. 7 )
2
Tidak ada(→ D )
Per bulan Setiap hari kerja Per pekerjaan Komisi Bagi hasil Tidak dibayar
269
C.7.
Tunjangan atau bonus yang diberikan 1
Tunjangan sakit
2
Tunjangan hari raya
3
Bonus keuntungan
4
Jaminan sosial lainnya : ...................
D.
KEUANGAN DAN LAIN-LAIN
D.1. Jumlah modal awal yang diperlukan dalam memulai usaha : Rp .......……….… D.2. Jumlah modal kerja harian /operasional yang diperlukan dalam berusaha : Rp. .............../Hr D.3.
Jumlah pendapatan harian dari hasil usaha (omzet) : D.3.1 penjualan/pendapatan minimum
: Rp. …………………/Hr
D.3.2 penjualan/pendapatan rata-rata
: Rp. …………………/Hr
D.3.3 penjualan/pendapatan maksimum
: Rp. …………………/Hr
D.4. Apa jenis pembukuan yang anda lakukan pada usaha ini ? 1
Tidak ada pembukuan
2 Pembukuan untuk kepentingan pribadi
3
Pembukuan sederhana untuk pajak
4 Pembukuan format yang rinci
5
Lainnya, sebutkan : ……............
D.5. Darimana anda memperoleh modal awal dalam berusaha: 1
Modal sendiri (→ D8)
2 Sebagian Pinjaman
3 Seluruhnya pinjaman
D.6. Jika anda melakukan pinjaman, dari mana pinjaman anda peroleh ? 1
Saudara sendiri
2 Teman
3
Bank/lembaga keuangan pemerintah
4 Rentenir / Bank Keliling
5
Lainnya :......................................
D.7. Jika anda melakukan pinjaman untuk modal , berapa lama biasanya anda mampu melunasinya ? ..........bulan D.8. Apakah anda membayar untuk memperoleh tempat usaha disini ? 1
Ya ( Rp. ...............)
Tidak ( → D.11)
2
D. 9 Untuk jangka waktu berapa lama pembayaran tersebut berlaku ? 1
Harian
2
Mingguan
3
Bulanan
4
Tahunan
D.10. Kepada siapa anda membayar uang tersebut ? 1
Pemerintah (resmi)
2
Koperasi
3
Paguyuban
4
LSM/ Ormas
5
Oknum
6
PKL Sebelumnya
D.11. Bagaimana fluktuasi kegiatan usaha anda selama 12 bulan terakhir ? Variabel
Bulan 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kode 0 = Tidak ada kegiatan
1 = Minimum
2=
Rata-rata
3 = Maksimum
11
12
270
D.12. Bagaimana fluktuasi kegiatan usaha anda selama 12 bulan terakhir ? Variabel
Bulan (hijriah) 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Kode 0 = Tidak ada kegiatan
Keterangan : 1. Muharam 4. Rabi’ul Akhir/ Silih Mulud 7. Rajab 10. Syawwal
1 = Minimum
2=
Rata-rata
3 = Maksimum
2. Shafar 5. Jumadil Awwal 8. Sya’ban /Ruwah 11. Dzulqa’dah / Hapit
3. Rabi’ul Awwal (Mulud) 6. Jumadil Akhir 9. Ramadhan/Puasa 12. Dzulhijjah/ Haji
D.13 Pengeluaran No
Item Pengeluaran Biaya Operasional: Upah dan gaji pekerja Jaminan sosial (asuransi yang berhubungan dengan pekerja, misalnya : jamsostek, asuransi jiwa dan kesehatan ) jika ada Bonus pekerja Minyak Tanah/LPG Air Listrik Sewa tempat (lapak) dan peralatan Transportasi Makan Komunikasi (HP, Telp) kuli angkut Biaya perbaikan dan pemeliharan fasilitas usaha Biaya lainya yang resmi : Kebersihan Lainya sebutkan ........................... Lainya sebutkan ........................... Lainya sebutkan ........................... Biaya tidak langsung (izin usaha) Biaya lainnya yang tidak resmi : sebutkan ........................... sebutkan ........................... sebutkan ........................... sebutkan ...........................
1 2 3 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Per Hari (RP
Per bulan (Rp)
D.14 Apakah anda mengikuti arisan sesama pedagang kaki lima : 1
Ya (→D.15)
2
Tidak
2
Mingguan (Rp …………….)
D.15 Bentuk arisan yang diikuti : 1
Harian (Rp …………….)
3
Bulanan (Rp …………….)
D.16 Penghasilan yang dibawa ke rumah per hari dari usaha PKL : Rp …………………… D.17 Rata-rata biaya konsumsi keluarga per hari : Rp. …………………….
E.
PERMASALAHAN DAN PROSPEK
E.1
Apakah anda mempunyai masalah/kesulitan terkait dengan aspek-aspek berikut : Jawaban dapat lebih dari satu
271
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. E.2
Permasalahan Pasokan bahan baku Penjualan produk – kekurangan pelanggan Penjualan produk – terlalu banyak pesaing Kesulitan keuangan Tempat usaha sempit Kekurangan perlengkapan Kesulitan mengatur usaha Terlalu banyak biaya resmi Terlalu banyak biaya tidak resmi Penggusuran Pendapatan kecil Ketidakamanan (preman, pencurian dll) Ketidak pastian tempat usaha : ………. Lainnya, sebutkan : ………. Lainnya, sebutkan : ………. Lainnya, sebutkan : ……….
Ya
Untuk menyelesaikan masalah tersebut, apakah anda ingin dibantu dalam hal : Bentuk bantuan yang diinginkan 1. Pelatihan teknis 2. Pelatihan manajemen & keuangan 3. Bantuan memperoleh suplai 4. Akses memperoleh pinjaman 5. Akses informasi pasar 6. Penataan usaha / tempat 7. Pendaftaran usaha 8. Iklan produk/layanan baru 9. Lainnya, sebutkan : ………. 10. Lainnya, sebutkan : ………. 11. Lainnya, sebutkan : ……….
E.3.
E.6.
Tidak
Ya
2
Tidak
2
Tidak
Bersediakah anda, jika kegiatan PKL di tata ? 1
E.5.
Ya
Apakah anda menyadari bahwa usaha ditempat ini menyalahi/ melanggar aturan? 1
E.4.
Tidak
Ya (→E. 5)
Jika bersedia, maka bentuk penataan yang diharapkan berupa : 1
Ditempatkan dipasar yang telah ada
2
Tetap ditempat sekarang dan diatur
3
Direlokasi ke tempat baru
4
Lainnya, ……………
Jika bersedia bagaimana system pembayaran yang anda harapkan per lapak standar: 1
Harian : Rp…………….
2
Mingguan : Rp…………….
3
Bulanan : Rp…………….
4
Tahunan : Rp…………….
5
Beli Permanen : Rp…………….
Diisi Petugas
:
Catatan Lain
:
.......................................................................................................................... .......................................................................................................................... SEKIAN DAN TERIMA KASIH ATAS PARTISIPASINYA
272
Lampiran 5. Kuisioner Persepsi Pemasok terhadap PKL Nama surveyor Tgl survei Kota Kecamatan Desa/Kelurahan
A.
: : : : :
………………………………………………………. ………………………………………………………. ………………………………………………………. ………………………………………………………. ……………………………………………………….
IDENTIFIKASI RESPONDEN
A.1.
Nama Responden
: ………………………………………………
A.2.
Alamat : ………………………………………………
A.3.
Jenis Kelamin : 1 Laki-laki
A.4.
Umur Bapak/Ibu : ………….Tahun
A.5.
Pendidikan terakhir Bapak/Ibu : 1 SD atau sederajat 3 SMA atau sederajat 5 Sarjana
B.
2 Perempuan
2 SMP atau sederajat 4 Akademi atau sederajad 6 Pascasarjana
PERSEPSI PEMASOK
B.1. Apakah keberadaan PKL mengganggu anda dalam berusaha ? 1 Ya 2 Tidak (→B3) B.2. Jika ”Ya” dalam bentuk apa gangguan PKL terhadap usaha anda ? 1 Mengganggu pasokan barang ke ritel 2 Menyaingi penjualan barang dari ritel 3 Menyediakan produk sejenis dengan harga murah 4 Lainnya, sebutkan : ……………………………… B.3. Jika ”Tidak”, apa manfaat aktivitas PKL terhadap usaha anda ? 1 Menambah rantai pemasaran 2 Meningkatkan jumlah barang yang dipasok (diversifikasi produk) 3 Lainnya : ...................... B.4. Menurut Bapak/ibu, apa manfaat aktivitas PKL di sekitar anda bagi masyarakat secara umum : 1 Tidak Ada 2 Lokasi menjadi lebih ramai 3 Mudah mendapatkan kebutuhan 4 Meningkatkan perekonomian masyarakat kecil 5 Mengurangi pengangguran 6 Lainnya, sebutkan : …………………… B.5. Keberadaan PKL sering dianggap mengganggu kepentingan umum. Permasalahan apa yang bapak/ibu rasakan dengan adanya aktivitas PKL di sekitar anda ? 1 Tidak Ada 2 Mengganggu aktivitas pejalan kaki
273
3 Parkir menjadi sulit
4 Lingkungan menjadi kotor dan kurang rapi 5 Jalanan menjadi sesak dan macet 6 Merasa kurang aman 7 Lainnya, sebutkan : ………………………
B.6. Menurut bapak/ibu, apakah perlu dilakukan pengaturan khusus untuk aktivitas PKL ?. 1 Ya 2 Tidak B.7. Jika “Ya”, hal-hal apa saja yang menurut bapak/ibu perlu diatur untuk aktivitas PKL ? . 1 Pengelompokan Usaha 2 Sarana dan Prasarana Usaha 3 Waktu usaha 4 Relokasi usaha 5 Registrasi usaha 6 Lainnya, sebutkan : ……………………… B.8. Menurut bapak/ibu, apakah pemda perlu melakukan tindakan penggusuran pada lokasi-lokasi tertentu yang peruntukannya memang bukan untuk aktivitas PKL ? 1 Ya 2 Tidak B.8.1. Jika “Ya” bagaimana mekanisme yang seharusnya ? 1 Tanpa sosialisasi dan tanpa kompensasi 2 Dengan sosialiasi tapi tanpa kompensasi 3 Dengan sosialiasi, dengan kompensasi, tanpa relokasi 4 Dengan sosialisasi, dengan kompensasi dan relokasi 5 Lainnya : …………………….
Diisi Petugas
:
Catatan Lain
:
.......................................................................................................................... .......................................................................................................................... .......................................................................................................................... ..........................................................................................................................
SEKIAN DAN TERIMA KASIH ATAS PARTISIPASINYA
274
Lampiran 6. Kuisioner Persepsi Pesaing terhadap PKL Nama surveyor Tgl survei Kota Kecamatan Desa/Kelurahan
A.
: : : : :
………………………………………………………. ………………………………………………………. ………………………………………………………. ………………………………………………………. ……………………………………………………….
IDENTIFIKASI RESPONDEN
A.1.
Nama Responden
: ………………………………………………
A.2.
Alamat : ………………………………………………
A.3.
Jenis Kelamin : 1 Laki-laki
2
Perempuan
A.4.
Umur Bapak/Ibu : ………….Tahun
A.5.
Pendidikan terakhir Bapak/Ibu : 1 SD atau sederajat
2
SMP atau sederajat
3 5
4 6
Akademi atau sederajad Pascasarjana
SMA atau sederajat Sarjana
B. PERSEPSI PESAING
B.1. Apakah keberadaan PKL mengganggu anda dalam berusaha ? 1 Ya 2 Tidak (→B4) B.2. Jika ”Ya” dalam bentuk apa gangguan PKL terhadap usaha anda ? 1 Menurunkan omzet penjualan (→B3) 2 Menyebabkan konsumen enggan berbelanja 3 Mengganggu parkir konsumen 4 Menyebabkan tempat usaha kurang bisa dilihat konsumen 5 Lingkungan menjadi kotor dan kurang rapi 6 Jalanan menjadi sesak dan macet 7 Merasa kurang aman 8 Lainnya, sebutkan : ……………………………… B.3. Berapa kira-kira penurunan omzet anda per bulan dengan adanya PKL sejenis dengan usaha anda ? Rp. ........................ B.4. Menurut Bapak/ibu, apa manfaat aktivitas PKL di sekitar anda : 1 Tidak Ada 2 Lokasi menjadi lebih ramai 3 Mudah mendapatkan kebutuhan 4 Meningkatkan perekonomian masyarakat kecil 5 Mengurangi pengangguran 6 Lainnya, sebutkan : …………………………
275
B.5. Keberadaan PKL sering dianggap mengganggu kepentingan umum. Permasalahan apa yang bapak/ibu rasakan dengan adanya aktivitas PKL di sekitar anda ? 1 Tidak Ada 2 Mengganggu aktivitas pejalan kaki 3 Parkir menjadi sulit 4 Lingkungan menjadi kotor dan kurang rapi 5 Jalanan menjadi sesak dan macet 6 Merasa kurang aman 7 Lainnya, sebutkan : ……………………………… B.6. Menurut bapak/ibu, apakah perlu dilakukan pengaturan khusus untuk aktivitas PKL ?. 1 Ya 2 Tidak B.7. Jika “Ya”, hal-hal apa saja yang menurut bapak/ibu perlu diatur untuk aktivitas PKL ?.
1 Pengelompokan Usaha 3 Waktu usaha 5 Registrasi usaha
2 Sarana dan Prasarana Usaha 4 Relokasi usaha 6 Lainnya, sebutkan :
……………………… B.8. Menurut bapak/ibu, apakah pemda perlu melakukan tindakan penggusuran pada lokasi-lokasi tertentu yang peruntukannya memang bukan untuk aktivitas PKL ? 1 Ya 2 Tidak B.9. Jika “Ya” bagaimana mekanisme yang seharusnya ? 1 Tanpa sosialisasi dan tanpa kompensasi 2 Dengan sosialiasi tapi tanpa kompensasi 3 Dengan sosialiasi, dengan kompensasi, tanpa relokasi 4 Dengan sosialisasi, dengan kompensasi dan relokasi 5 Lainnya : …………………….
Diisi Petugas
:
Catatan Lain
:
.......................................................................................................................... .......................................................................................................................... .......................................................................................................................... ..........................................................................................................................
SEKIAN DAN TERIMA KASIH ATAS PARTISIPASINYA
276
Lampiran 7. Kuisioner Persepsi Masyarakat terhadap PKL Nama surveyor Tgl survei Kota Kecamatan Desa/Kelurahan
A.
: : : : :
………………………………………………………. ………………………………………………………. ………………………………………………………. ………………………………………………………. ……………………………………………………….
IDENTIFIKASI RESPONDEN
A.1.
Nama Responden
: ………………………………………………
A.2.
Alamat : ………………………………………………
A.3.
Jenis Kelamin : 1 Laki-laki
A.4.
Umur Bapak/Ibu : ………….Tahun
A.5.
Pendidikan terakhir Bapak/Ibu : 1 SD atau sederajat 3 SMA atau sederajat 5 Sarjana
2
Perempuan
2 4 6
SMP atau sederajat Akademi atau sederajad Pascasarjana
B. PREFERENSI RESPONDEN B,1. Seberapa sering bapak/ibu berbelanja di PKL dalam sebulan ? ..................kali B.2. Apa alasan Bapak/Ibu memilih berbelanja/makan di lokasi PKL :
1 Harganya lebih murah dibanding toko/Mall/swalayan 3 Suasana lebih santai 5 Kualitas produk/jasa sesuai 7 Harga dapat ditawar
2 Lokasinya dekat 4 Produk/jasa beragam 6 Lebih Familiar 8 Lainnya, sebutkan : ……….
B.3. Menurut Bapak/ibu, apa manfaat aktivitas PKL di sekitar anda :
1 Tidak Ada 3 Mudah mendapatkan kebutuhan masyarakat kecil 5 Mengurangi pengangguran ………………………
2 Lokasi menjadi lebih ramai 4 Meningkatkan perekonomian 6 Lainnya, sebutkan :
B.4. Keberadaan PKL sering dianggap mengganggu kepentingan umum. Permasalahan apa yang bapak/ibu rasakan dengan adanya aktivitas PKL ?
1 Tidak Ada 2 Mengganggu aktivitas pejalan kaki 3 Parkir menjadi sulit 4 Lingkungan menjadi kotor dan kurang rapi 5 Jalanan menjadi sesak 6 Merasa kurang aman dan macet 7 Lainnya, sebutkan : ………………………………
277
B.5. Menurut bapak/ibu, apakah perlu dilakukan pengaturan khusus untuk aktivitas PKL ?. 1 Ya 2 Tidak B.6. Jika “Ya”, hal-hal apa saja yang menurut bapak/ibu perlu diatur untuk aktivitas PKL ?. 1 Pengelompokan Usaha 2 Sarana dan Prasarana Usaha 3 Waktu usaha 4 Relokasi usaha 5 Registrasi usaha 6 Lainnya, sebutkan : ……………………… B.7. Menurut bapak/ibu, apakah pemda perlu melakukan tindakan penggusuran pada lokasi-lokasi tertentu yang peruntukannya memang bukan untuk aktivitas PKL ? 1 Ya 2 Tidak B.8. Jika “Ya” bagaimana mekanisme yang seharusnya ? 1 Tanpa sosialisasi dan tanpa kompensasi 2 Dengan sosialiasi tapi tanpa kompensasi 3 Dengan sosialiasi, dengan kompensasi, tanpa relokasi 4 Dengan sosialisasi, dengan kompensasi dan relokasi 5 Lainnya : …………………….
Diisi Petugas
:
Catatan Lain
:
.......................................................................................................................... .......................................................................................................................... .......................................................................................................................... ..........................................................................................................................
SEKIAN DAN TERIMA KASIH ATAS PARTISIPASINYA
278
Lampiran 8. Kuisioner Untuk AHP-SWOT
Nama Responden Umur Alamat Posisi /Jabatan Bidang Keahlian
: : : : :
................................................................................... ................................................................................... ................................................................................... ................................................................................... ...................................................................................
Petunjuk Pengisian Kuisioner Untuk Perbandingan Berpasangan 1. Untuk memberikan judgment (penilaian) terhadap elemen-elemen permasalahan dari setiap level yang sedang diteliti prioritasnya, penilaian dinyatakan secara numerik (skala 1 hingga 9), dengan menggunakan skala sebagai berikut : Skala Perbandingan Definisi (verbal) Numerik 1 Sama penting (equal importance) 3 Sedikit lebih penting (moderate importance)
Penjelasan Dua elemen menyumbang sama besar terhadap tujuan Pengalaman dan judgement agak menyukai sebuah elemen dari pada yang lainnya
5 Lebih penting (esensial/ strong importance) 7 Sangat lebih penting (very strong importance)
Pengalaman dan judgment kuat lebih menyukai sebuah elemen daripada yang lainnya
Mutlak sangat penting (extreme importance)
Sebuah elemen sangat kuat lebih disukai daripada yang lainnya; dominasinya kelihatan nyata dalam keadaan yang sebenarnya
Merupakan angka kompromi diantara penilaian diatas
Fakta sebuah elemen lebih disukai dari lainnya berada pada kemungkinan yang tertinggi
9
2,4,6,8
Bila kompromi diperlukan antara dua penilaian
279
2. Dalam penilaian kepentingan relatif dua elemen, berlaku aksioma resiprokal artinya jika elemen i dinilai 3 kali lebih penting dibanding elemen j, maka elemen j 1/3 kali lebih penting dibanding elemen i. Contoh Pengisian Kuisioner Berikan tanda (←) atau (→) penilaian Bapak/Ibu terhadap pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan berpedoman pada petunjuk pengisian angket kuesioner. Bandingkan elemen-elemen pada kolom 1 dengan elemen-elemen pada kolom 2 Kolom 1
1
2
3
Regulasi dan birokrasi
5 ←
Ketersediaan SDM Ketersediaan SDM
4
→
6
7
8
9
Kolom 2 Regulasi dan Birokrasi Rencana Tata Ruang Rencana Tata Ruang
Penjelasan : a. Tanda arah panah ke kiri (←) menunjukan bahwa kolom 1 lebih penting dari kolom 2. b. Tanda arah panah ke kanan (→) menunjukan bahwa kolom 2 lebih penting dari kolom 1. c. Ketersediaan sumberdaya manusia (kolom1) 5 kali lebih penting dibandingkan regulasi dan Biokrasi (kolom 2), d. Cara penulisan : tanda arah panah kekiri (←) ditulis dibawah angka 5. e. Jika Tata ruang 3 kali lebih penting dibandingkan Ketersediaan SDM, f. Cara penulisan : tanda arah panah kekanan (→) ditulis dibawah angka 3. g. Lanjutkan sampai selesai. Catatan :
Jika kolom 1 lebih penting daripada kolom, maka penilaian (←) diisikan dibawah Angka prioritas. Jika kolom 2 lebih penting daripada kolom 1, maka penilaian (→) diisikan dibawah Angka prioritas
280
PENENTUAN RATING CRITICAL SUCCESS FACTOR 1. Faktor Internal berikut diidentifikasi memberikan kekuatan dalam perumusan strategi pemberdayaan PKL di kota bogor Faktor-faktor kekuatan mana yang lebih penting untuk diperhatikan. (Bandingkan masing-masing elemen pada baris yang sama pada kolom 1 dengan kolom 2)
Kolom 1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kolom 2
Keberadaan Perda tentang PKL Keberadaan Perda tentang PKL
Ketersediaan SDM
Keberadaan Perda tentang PKL
Ketersediaan barang dan jasa dengan harga terjangkau
Keberadaan Perda tentang PKL
Ketersediaan lembaga keuangan mikro
Keberadaan Perda tentang PKL
Kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan
Ketersediaan SDM
Kontribusi PKL pada PAD
Ketersediaan SDM
Ketersediaan barang dan jasa dengan harga terjangkau
Ketersediaan SDM
Ketersediaan lembaga keuangan mikro
Ketersediaan SDM
Kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan
Kontribusi PKL pada PAD
281
Kolom 1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kolom 2
Kontribusi PKL pada PAD
Ketersediaan barang dan jasa dengan harga terjangkau
Kontribusi PKL pada PAD
Ketersediaan lembaga keuangan mikro
Kontribusi PKL pada PAD
Kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan
Ketersediaan barang dan jasa dengan harga terjangkau
Ketersediaan lembaga keuangan mikro
Ketersediaan barang dan jasa dengan harga terjangkau
Kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan
Ketersediaan lembaga keuangan mikro
Kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan
2. Faktor Internal berikut diidentifikasi memberikan kelemahan dalam perumusan strategi pemberdayaan PKL di kota bogor. Faktor-faktor kelemahan apa yang lebih penting untuk diperhatikan. (Bandingkan masingmasing elemen pada baris yang sama pada kolom 1 dengan kolom 2) Kolom 1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kolom 2
Kebijakan Tata ruang kurang konsisten
Terbatasnya kesempatan kerja lain
Kebijakan Tata ruang kurang konsisten
Kurangnya alokasi tempat untuk relokasi PKL
Kebijakan Tata ruang kurang konsisten
Terbatasnya dana
282
Kolom 1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kolom 2 operasional
Kebijakan Tata ruang kurang konsisten
Lemahnya kerjasama lintas badan/institus i
Kebijakan Tata ruang kurang konsisten
Lemahnya penegakan hukum
Kebijakan Tata ruang kurang konsisten
Kebijakan intervensi pemda yang tidak konsisten
Kebijakan Tata ruang kurang konsisten
Lemahnya posisi politis PKL
Kebijakan Tata ruang kurang konsisten
Belum adanya registrasi pelaku PKL
Terbatasnya kesempatan kerja lain
Kurangnya alokasi tempat untuk relokasi PKL
Terbatasnya kesempatan kerja lain
Terbatasnya dana operasional
Terbatasnya kesempatan kerja lain
Lemahnya kerjasama lintas badan/institus i
Terbatasnya kesempatan kerja lain
Lemahnya penegakan hukum
Terbatasnya kesempatan kerja lain
Kebijakan intervensi pemda yang tidak konsisten
Terbatasnya kesempatan kerja lain
Lemahnya posisi politis
283
Kolom 1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kolom 2 PKL
Terbatasnya kesempatan kerja lain
Belum adanya registrasi pelaku PKL
Kurangnya alokasi tempat untuk relokasi PKL Kurangnya alokasi tempat untuk relokasi PKL
Terbatasnya dana operasional
Kurangnya alokasi tempat untuk relokasi PKL
Lemahnya penegakan hukum
Kurangnya alokasi tempat untuk relokasi PKL
Kebijakan intervensi pemda yang tidak konsisten
Kurangnya alokasi tempat untuk relokasi PKL
Lemahnya posisi politis PKL
Kurangnya alokasi tempat untuk relokasi PKL
Belum adanya registrasi pelaku PKL
Terbatasnya dana operasional
Lemahnya kerjasama lintas badan/institus i
Terbatasnya dana operasional
Lemahnya penegakan hukum
Terbatasnya dana operasional
Kebijakan intervensi pemda yang tidak konsisten
Terbatasnya dana operasional
Lemahnya posisi politis
Lemahnya kerjasama lintas badan/institus i
284
Kolom 1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kolom 2 PKL
Terbatasnya dana operasional
Belum adanya registrasi pelaku PKL
Lemahnya kerjasama lintas badan/institusi
Lemahnya penegakan hukum
Lemahnya kerjasama lintas badan/institusi
Kebijakan intervensi pemda yang tidak konsisten
Lemahnya kerjasama lintas badan/institusi
Lemahnya posisi politis PKL
Lemahnya kerjasama lintas badan/institusi
Belum adanya registrasi pelaku PKL
Lemahnya penegakan hukum
Kebijakan intervensi pemda yang tidak konsisten
Lemahnya penegakan hukum
Lemahnya posisi politis PKL
Lemahnya penegakan hukum
Belum adanya registrasi pelaku PKL
Kebijakan intervensi pemda yang tidak konsisten
Lemahnya posisi politis PKL
Kebijakan intervensi pemda yang tidak konsisten
Belum adanya registrasi pelaku PKL
Lemahnya posisi politis PKL
Belum adanya registrasi pelaku PKL
285
3. Faktor Eksternal berikut diidentifikasi memberikan peluang dalam perumusan strategi pemberdayaan PKL di kota bogor Faktor-faktor Peluang apa yang lebih penting untuk diperhatikan. (Bandingkan masing-masing elemen pada baris yang sama pada kolom 1 dengan kolom 2) Kolom 1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kolom 2
Kebijakan dan komitmen Pemda
Perkembanga n sistem teknologi dan informasi
Kebijakan dan komitmen Pemda
Stabilitas nilai mata uang
Kebijakan dan komitmen Pemda
Tersedianya pasar
Kebijakan dan komitmen Pemda
Pulihnya sektor ekonomi dari krisis global
Kebijakan dan komitmen Pemda
Penciptaan lapang kerja baru
Kebijakan dan komitmen Pemda
Mengurangi masalah sosial
Kebijakan dan komitmen Pemda
Kemudahan sistem registrasi
Perkembangan sistem teknologi dan informasi
Stabilitas nilai mata uang
Perkembangan sistem teknologi dan informasi
Tersedianya pasar
Perkembangan sistem teknologi dan informasi
Pulihnya sektor ekonomi dari krisis global
Perkembangan sistem teknologi dan informasi
Penciptaan lapang kerja baru
Perkembangan sistem teknologi dan informasi
Mengurangi masalah sosial
286
Kolom 1 Perkembangan sistem teknologi dan informasi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kolom 2 Kemudahan sistem registrasi
Stabilitas nilai mata uang Stabilitas nilai mata uang
Tersedianya pasar
Stabilitas nilai mata uang
Penciptaan lapang kerja baru
Stabilitas nilai mata uang
Mengurangi masalah sosial
Stabilitas nilai mata uang
Kemudahan sistem registrasi
Tersedianya pasar
Pulihnya sektor ekonomi dari krisis global
Tersedianya pasar
Penciptaan lapang kerja baru
Tersedianya pasar
Mengurangi masalah sosial
Tersedianya pasar
Kemudahan sistem registrasi
Pulihnya sektor ekonomi dari krisis global Pulihnya sektor ekonomi dari krisis global
Penciptaan lapang kerja baru
Pulihnya sektor ekonomi dari krisis global
Kemudahan sistem registrasi
Penciptaan lapang kerja baru
Mengurangi masalah
Pulihnya sektor ekonomi dari krisis global
Mengurangi masalah sosial
287
Kolom 1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kolom 2 sosial
Penciptaan lapang kerja baru
Kemudahan sistem registrasi
Mengurangi masalah sosial
Kemudahan sistem registrasi
4. Faktor Eksternal berikut diidentifikasi memberikan ancaman dalam perumusan strategi pemberdayaan PKL di kota bogor. Faktor-faktor ancaman apa yang lebih penting untuk diperhatikan. (Bandingkan masing-masing elemen pada baris yang sama pada kolom 1 dengan kolom 2) Kolom 1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kolom 2
Pertumbuhan angka pengangguran
Perilaku free rider dari PKL
Pertumbuhan angka pengangguran
Sektor informal inferior dibandingkan sektor lain
Pertumbuhan angka pengangguran
Keinginan menggunaka n lahan secara permanen
Pertumbuhan angka pengangguran
Pertumbuhan ekonomi yang rendah
Pertumbuhan angka pengangguran
Sektor abuabu lahan korupsi
Pertumbuhan angka pengangguran
Ketidakberpi hakan dinas/institusi terkait
Pertumbuhan angka pengangguran
Kemacetan dan kekumuhan wajah kota
Pertumbuhan angka pengangguran
Perbedaan persepsi
288
Kolom 1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kolom 2 aktor
Perilaku free rider dari PKL
Sektor informal inferior dibandingkan sektor lain
Perilaku free rider dari PKL
Keinginan menggunaka n lahan secara permanen
Perilaku free rider dari PKL
Pertumbuhan ekonomi yang rendah
Perilaku free rider dari PKL
Sektor abuabu lahan korupsi
Perilaku free rider dari PKL
Ketidakberpihakan dinas/institusi terkait
Perilaku free rider dari PKL
Kemacetan dan kekumuhan wajah kota
Perilaku free rider dari PKL
Perbedaan persepsi aktor
Sektor informal inferior dibandingkan sektor lain
Keinginan menggunaka n lahan secara permanen
Sektor informal inferior dibandingkan sektor lain
Pertumbuhan ekonomi yang rendah
Sektor informal inferior dibandingkan sektor lain
Sektor abuabu lahan korupsi
Sektor informal inferior dibandingkan sektor lain
Ketidakberpihakan dinas/institusi terkait
289
Kolom 1 Sektor informal inferior dibandingkan sektor lain
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kolom 2 Kemacetan dan kekumuhan wajah kota
Sektor informal inferior dibandingkan sektor lain
Perbedaan persepsi aktor
Keinginan menggunakan lahan secara permanen Keinginan menggunakan lahan secara permanen
Pertumbuhan ekonomi yang rendah
Keinginan menggunakan lahan secara permanen
Ketidakberpihakan dinas/institusi terkait
Keinginan menggunakan lahan secara permanen
Kemacetan dan kekumuhan wajah kota
Keinginan menggunakan lahan secara permanen
Perbedaan persepsi aktor
Pertumbuhan ekonomi yang rendah
Sektor abuabu lahan korupsi
Pertumbuhan ekonomi yang rendah
Ketidakberpihakan dinas/institusi terkait
Pertumbuhan ekonomi yang rendah
Kemacetan dan kekumuhan wajah kota
Pertumbuhan ekonomi yang rendah
Perbedaan persepsi aktor
Sektor abu-abu lahan korupsi
Ketidakberpihakan dinas/institusi terkait
Sektor abuabu lahan korupsi
290
Kolom 1 Sektor abu
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kolom 2 Kemacetan dan kekumuhan wajah kota
Sektor abu
Perbedaan persepsi aktor
Ketidakberpihakan dinas/institusi terkait
Kemacetan dan kekumuhan wajah kota
Ketidakberpihakan dinas/institusi terkait
Perbedaan persepsi aktor
Kemacetan dan kekumuhan wajah kota
Perbedaan persepsi aktor
291
Lampiran 9. Perda PKL di Kota Bogor LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR
TAHUN
2005
NOMOR
9
SERI
E
PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR
NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BOGOR, Menimbang
Mengingat
: a.
bahwa keberadaan Pedagang Kaki Lima di Kota Bogor pada dasarnya adalah hak masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup;
b.
bahwa kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh Pedagang Kaki Lima merupakan usaha ekonomi kerakyatan yang perlu pembinaan dan penataan dalam melaksanakan usahanya sehingga sejalan dengan upaya mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib, dan aman dengan sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dan berwawasan lingkungan sesuai dengan visi Kota Bogor Kota Jasa yang Nyaman dengan Masyarakat Madani dan Pemerintahan Amanah;
:
c.
bahwa dalam rangka peningkatan upaya perlindungan, pemberdayaan, pengendalian, dan pembinaan terhadap Pedagang Kaki Lima serta perlindungan terhadap hakhak pihak lain perlu dilakukan penataan dan pengaturan;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, maka perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Penataan Pedagang Kaki Lima;
1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan dalam Lingkungan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana telah diubah dengan Undang-
292
Undang Nomor 13 Tahun 1954 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1954 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 551); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3215); 3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3480); 4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3611); 5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3685) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4048); 6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3685); 7. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); 8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); 9. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444);
293
10. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4139); 11. Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 1 Tahun 1990 tentang Kebersihan, Keindahan dan Ketertiban di Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor (Lembaran Daerah Kota Bogor Tahun 1990 Nomor 01 Seri C); 12. Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 4 Tahun 1999 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kota Bogor Tahun 1999 Nomor 2 Seri B); 13. Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 5 Tahun 2000 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Daerah Kota Bogor Tahun 2000 Nomor 5 Seri D); 14. Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 1 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor (Lembaran Daerah Kota Bogor Tahun 2001 Nomor 1 Seri C); 15. Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 2 Tahun 2001 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kota Bogor Tahun 2001 Nomor 1 Seri B); 16. Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pajak Restoran (Lembaran Daerah Kota Bogor Tahun 2002 Nomor 2 Seri A); 17. Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 13 Tahun 2004 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Daerah Kota Bogor Tahun 2004 Nomor 4 Seri D); 18. Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 6 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Lalu lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Daerah Kota Bogor Tahun 2005 Nomor 3 Seri E); 19. Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 7 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Pasar (Lembaran Daerah Kota Bogor Tahun 2005 Nomor 4 Seri E);
294
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BOGOR dan WALIKOTA BOGOR MEMUTUSKAN : Menetapkan
: PERATURAN DAERAH PEDAGANG KAKI LIMA.
TENTANG
PENATAAN
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1.
Daerah adalah Kota Bogor.
2.
Pemerintah Daerah adalah Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
3.
Walikota adalah Walikota Bogor.
4.
Pedagang Kaki Lima yang dapat disingkat PKL adalah penjual barang dan atau jasa yang secara perorangan dan atau kelompok berusaha dalam kegiatan ekonomi yang tergolong dalam skala usaha kecil yang menggunakan fasilitas umum dan bersifat sementara/tidak menetap dengan menggunakan peralatan bergerak maupun tidak bergerak dan atau menggunakan sarana berdagang yang mudah dipindahkan dan dibongkar pasang.
5.
Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaaan tanah, dan atau air, serta diatas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
6.
Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum.
7.
Jalan khusus adalah jalan yang dibangun oleh instansi, badan usaha, perseorangan, atau kelompok masyarakat untuk kepentingan sendiri.
295
8.
Trotoar adalah bagian dari jalan yang fungsi utamanya diperuntukan bagi lalu lintas pejalan kaki.
9.
Jalur Hijau adalah setiap jalur tanah yang terbuka tanpa bangunan yang diperuntukkan untuk pelestarian lingkungan sebagai salah satu sarana dalam pengadaan Taman Kota.
10. Fasilitas Umum adalah lahan, bangunan dan peralatan atau perlengkapan yang disediakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan atau pihak lain. 11. Lokasi adalah batasan-batasan wilayah atau kawasan tertentu sesuai dengan pemanfaatan wilayah atau kawasan tersebut yang dapat digunakan untuk melakukan kegiatan usaha bagi PKL. 12. Izin adalah penggunaan lokasi pedagang kaki lima yang diberikan oleh Walikota. 13. Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut retribusi, adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan usaha bagi orang pribadi atau kelompok. 14. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang dapat disingkat PPNS adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah.
BAB II
PENATAAN DAN PENGATURAN Bagian Pertama Penunjukan Lokasi Pasal 2 (1) Kegiatan usaha PKL dapat dilakukan di Daerah. (2) Usaha PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan pada tempat yang ditetapkan oleh Walikota. (3) Lokasi yang tidak dapat ditetapkan sebagai tempat usaha PKL adalah sebagai berikut:
296
a. b. c. d. e. f. g. h. i.
di dalam lingkungan instansi pemerintah; di dalam lingkungan Sekolah; di dalam lingkungan tempat peribadatan; di sekitar lokasi pasar; menempati parit dan tanggul; menempati taman kota dan jalur hijau; di sekitar monumen dan taman pahlawan; di sekeliling Kebun Raya dan Istana Bogor; di seluruh badan jalan.
(4) Penetapan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan serta mempertimbangkan kepentingan umum, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan, ekonomi, keamanan, dan ketertiban serta kebersihan lingkungan sekitarnya. (5) Walikota dalam menetapkan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melibatkan masyarakat di sekitar lokasi PKL.
Pasal 3 Setiap orang dilarang melakukan transaksi perdagangan dengan PKL pada lokasi yang dilarang digunakan untuk tempat usaha PKL.
Bagian Kedua Jenis Komoditi Pasal 4 (1)
Jenis komoditi yang diperdagangkan oleh PKL berupa barang dan atau jasa, kecuali : a. b. c. d. e. f.
(2)
daging, ikan, dan telur; palawija dan bumbu; sayuran, tahu, dan tempe; sembako; pakan ternak; serta unggas dan atau ternak kecil.
Jenis komoditi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Walikota.
297
Bagian Ketiga Bangunan dan Jenis Tempat Usaha Pasal 5 (1)
Bentuk bangunan tidak permanen/sementara yang bentuk dan jenisnya diatur oleh Walikota.
(2)
Jenis tempat usaha terdiri dari lesehan, gelaran, tenda, gerobak beroda, motor, dan mobil.
Bagian Keempat Waktu Berjualan Pasal 6 Penetapan waktu berjualan PKL diatur oleh Walikota. BAB III MEKANISME IZIN Bagian Pertama Perizinan Pasal 7
(1)
Setiap PKL yang akan menggunakan tempat usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib mendapat izin tertulis Walikota atau Pejabat yang ditunjuk.
(2)
Setiap PKL hanya dapat memiliki satu izin.
(3)
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang.
298
Bagian Kedua Permohonan Izin Pasal 8 (1)
Setiap permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Walikota.
(2)
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan: a. kartu tanda penduduk Kota Bogor; b. pas photo terbaru ukuran 4 x 6 cm sebanyak dua lembar; c. mengisi formulir yang memuat tentang: 1) nama; 2) alamat/tempat tinggal/lama tinggal; 3) jenis usaha yang dimohon; 4) tempat usaha yang dimohon; 5) luas tempat usaha; 6) waktu usaha; 7) perlengkapan yang digunakan; 8) surat pernyataan persetujuan dari pemilik tanah; 9) jumlah modal usaha. d. membuat surat pernyataan belum memiliki tempat usaha; e. membuat surat pernyataan kesanggupan untuk menjaga ketertiban, keamanan, kesehatan, kebersihan, dan keindahan serta fungsi fasilitas umum; f. membuat surat pernyataan yang berisi : 1) tidak akan memperdagangkan barang ilegal; 2) tidak akan merombak, menambah, dan mengubah fungsi serta fasilitas yang ada ditempat atau lokasi PKL; 3) kesanggupan mengosongkan atau mengembalikan atau menyerahkan lokasi PKL kepada Pemerintah Daerah tanpa syarat apapun apabila: a) lokasi dimaksud sewaktu-waktu dibutuhkan oleh Pemerintah Daerah; b) lokasi usaha tidak ditempati selama satu bulan.
(3)
Tata cara untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Walikota.
(4)
Bentuk dan isi formulir permohonan izin beserta lampiran-lampirannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Walikota.
299
Bagian Ketiga Penerbitan Izin Pasal 9 (1)
Izin diterbitkan setelah pemohon memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
(2)
Permohonan izin yang diterima, Walikota menerbitkan izin paling lambat 5 (lima) hari kerja.
(3)
Permohonan izin yang ditolak, Walikota memberikan alasan yang jelas secara tertulis paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah pemohon mengajukan permohonan izin. Bagian Keempat Pencabutan Izin Pasal 10
Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dicabut apabila: a. b. c. d. e. f. g. h.
pemegang izin melanggar ketentuan yang terdapat di dalam Surat Izin; lokasi usaha yang bersangkutan tidak lagi ditetapkan sebagai tempat usaha PKL; pemegang izin melanggar ketentuan perundang-undangan; berakhir masa berlaku izin; tidak memperpanjang izin; tidak melakukan usaha PKL lagi; melanggar ketentuan jenis komoditi yang telah ditetapkan; memperjual-belikan izin PKL.
Bagian Kelima Perpanjangan Izin Pasal 11 (1)
Setiap permohonan perpanjangan izin harus diajukan secara tertulis kepada Walikota paling lambat 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa izin.
(2)
Persetujuan perpanjangan izin merupakan kewenangan Walikota.
300
BAB IV PAJAK DAN RETRIBUSI Pasal 12 PKL wajib membayar pajak dan/atau retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V HAK, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN Bagian Pertama Hak Pasal 13 Setiap PKL mempunyai hak: a. melakukan kegiatan usaha di lokasi yang telah diizinkan; b. mendapatkan pelayanan perizinan; c. mendapatkan pengaturan, penataan, dan pembinaan, supervisi dan pendampingannya dalam pengembangan usahanya. Bagian Kedua Kewajiban Pasal 14 Setiap PKL mempunyai kewajiban: a. b. c. d.
e. f.
g.
mematuhi ketentuan perundang-undangan; mematuhi jam buka dan jam tutup kegiatan usaha yang ditetapkan oleh Walikota; memelihara kebersihan, keindahan, ketertiban, keamanan dan kesehatan lingkungan tempat usaha; menempatkan dan menata barang dagangan dan atau jasa serta peralatan dagangan dengan tertib dan teratur serta tidak mengganggu lalu lintas dan kepentingan umum; mencegah kemungkinan timbulnya bahaya kebakaran; menyerahkan tempat usaha atau lokasi usaha tanpa menuntut ganti rugi dalam bentuk apapun, apabila sewaktu-waktu lokasi tersebut dibutuhkan oleh pemerintah daerah atau lokasi usaha tidak ditempati selama 1 (satu) bulan; menempati tempat atau lokasi usaha yang telah ditentukan oleh pemerintah daerah sesuai izin yang dimiliki PKL;
301
h.
melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga Larangan Pasal 15 PKL dilarang: a. melakukan kegiatan usahanya di dalam lingkungan instansi pemerintah, sekolah dan tempat peribadatan serta di sekitar lokasi pasar, menempati parit, tanggul, taman kota, jalur hijau, monumen dan taman pahlawan; b. melakukan kegiatan usahanya di ruas-ruas jalan tertentu yang tidak ditetapkan untuk lokasi PKL; c. merombak, menambah, dan mengubah fungsi serta fasilitas yang ada di tempat atau lokasi usaha PKL yang telah disediakan dan atau ditentukan Walikota; d. menempati lahan atau lokasi PKL untuk kegiatan tempat tinggal (hunian); e. berpindah tempat atau lokasi dan atau memindahtangankan izin tanpa sepengetahuan dan seizin Walikota; f. menelantarkan dan atau membiarkan kosong tanpa kegiatan secara terus menerus selama 1 (satu) bulan; g. mengganti jenis komoditi dan atau memperdagangkan barang ilegal; h. melakukan kegiatan usaha dengan cara merusak dan atau mengubah bentuk trotoar, fasilitas umum, dan/atau bangunan di sekitarnya; i. menggunakan badan jalan untuk tempat usaha, kecuali yang dikhususkan untuk lokasi PKL; j. PKL yang menggunakan kegiatan usaha dengan menggunakan kendaraan dilarang berdagang di tempat-tempat larangan parkir, pemberhentian sementara, atau trotoar; k. membuat bangunan tempat usaha yang bersifat permanen; l. memperjualbelikan tempat usaha PKL kepada pedagang lainnya. BAB VI PEMBINAAN, PEMBERDAYAAN, DAN PENGEMBANGAN Pasal 16 (1)
Pembinaan, pemberdayaan, dan pengembangan usaha PKL dilakukan untuk meningkatkan usaha dari PKL menjadi Pedagang Kecil di dalam pasar yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan atau bekerja sama dengan pihak lain.
(2)
Bentuk pembinaan, pemberdayaan, dan pengembangan, meliputi : a. pembinaan manajemen usaha; b. penguatan modal usaha; c. peningkatan kualitas dan kuantitas usaha PKL;
302
d. peningkatan kualitas alat peraga PKL; e. pengembangan usaha melalui kemitraan dan pelaku ekonomi yang lain; f. pembinaan kesehatan lingkungan usaha. BAB VII PENGAWASAN Pasal 17 (1)
Pengawasan terhadap usaha PKL dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh Walikota.
(2)
Walikota dalam melaksanakan pengawasan terhadap PKL dapat meminta bantuan kepada komponen masyarakat dan/atau instansi yang terkait. BAB VIII PERAN SERTA MASYARAKAT
(1)
(2)
Pasal 18 Masyarakat berhak: a. berperan serta dalam penataan PKL; b. memperoleh informasi mengenai penataan PKL; c. memperoleh manfaat atas penataan PKL; d. dapat membentuk paguyuban PKL. Masyarakat dapat ikut menjaga ketertiban PKL. BAB IX KETENTUAN PIDANA
Pasal 19 (1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 14, dan Pasal 15, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan dibayarkan langsung ke rekening kas daerah setelah ditetapkan oleh Hakim Sidang Pengadilan Negeri Bogor.
(2)
Tindak pidana pelanggaran.
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
adalah
303
(3)
Selain tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tindakan yang menyebabkan perusakan dan pencemaran lingkungan hidup, serta mengakibatkan kerugian bagi pihak lain diancam hukuman pidana sesuai peraturan perundang-undangan. BAB X SANKSI ADMINISTRASI Pasal 20
(1)
Selain diancam pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), terhadap pelanggaran ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 14, dan Pasal 15 Walikota atau pejabat yang ditunjuk berwenang untuk : a. Mencabut ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; b. Menutup usaha Pedagang Kaki Lima yang tidak mempunyai izin dan/atau menempati lokasi selain yang telah diizinkan.
(2)
Walikota atau pejabat yang ditunjuk selain mempunyai kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga mempunyai kewenangan untuk mencabut izin penggunaan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, apabila : a. Lokasi yang dipergunakan oleh Pedagang Kaki Lima, digunakan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan umum yang lebih luas; b. 30 (tiga puluh) hari berturut-turut lokasi tidak dipergunakan tanpa keterangan yang dapat dipertanggungjawabkan; c. Pedagang Kaki Lima melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 21 Tindakan pencabutan izin dan menutup usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilaksanakan tanpa harus menunggu adanya Keputusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. BAB XI PENYIDIKAN Pasal 22 Selain oleh penyidik umum, penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dilaksanakan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Pemerintah Daerah.
304
Pasal 23 Dalam melaksanakan tugas penyidikan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 berwenang: a. b.
c. d. e.
f. g.
h. i. j.
menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana; meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi dan atau kelompok tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana; meminta keterangan dan barang bukti dari orang pribadi dan atau kelompok sehubungan dengan tindak pidana; memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana; melakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap barang bukti tersebut; meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana; menyuruh berhenti, melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e; mengambil sidik jari dan memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana; memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; menghentikan penyidikan setelah mendapatkan petunjuk dari penyidik POLRI bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui penyidik POLRI memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.
BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 24 (1)
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, PKL yang melakukan kegiatan usaha di luar tempat atau lokasi yang ditetapkan oleh Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak berlakunya Peraturan Daerah ini wajib menempati lokasi yang telah ditentukan.
(2)
Pedagang Kaki Lima yang telah melakukan usaha sebelum Peraturan Daerah ini ditetapkan tetap dapat melaksanakan usahanya dan diberikan hak lebih
305
dahulu untuk memperoleh izin dari Walikota sepanjang tempat usahanya ditetapkan sebagai lokasi atau tempat usaha Pedagang Kaki Lima. (3)
Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penataan PKL sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini dinyatakan tetap berlaku.
BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 25 Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini mengenai pelaksanaannya ditetapkan dengan Peraturan Walikota paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan. Pasal 26 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Bogor. Ditetapkan di Bogor pada tanggal 20 Desember 2005 WALIKOTA BOGOR, t.t.d DIANI BUDIARTO Diundangkan di Bogor pada tanggal 21 Desember 2005 SEKRETARIS DAERAH KOTA BOGOR, t.t.d DODY ROSADI LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2005 NOMOR 9 SERI E PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA
306
I. PENJELASAN UMUM Sebagai upaya untuk mewujudkan kesejahteran masyarakat berdasarkan prinsip demokrasi ekonomi, masyarakat Kota Bogor perlu diikutsertakan dan berperan aktif dalam kegiatan ekonomi. Namun demikian disadari bahwa kemampuan Pemerintah Daerah dalam menyediakan fasilitas tempat berusaha disektor formal sangat terbatas, disisi lain masyarakat berharap mendapatkan peluang usaha yang disediakan oleh Pemerintah Daerah, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara permintaan dengan fasilitas yang tersedia. Oleh karena itu perlu diciptakan iklim yang mendorong kegiatan usaha oleh masyarakat, termasuk didalamnya yang dilaksanakan oleh Pedagang Kaki Lima (PKL) dengan tetap memperhatikan hubungan yang saling menguntungkan dan persaingan usaha yang sehat dengan usaha lainnya dengan membentuk Peraturan Daerah tentang Penataan Pedagang Kaki Lima. Tujuan dibentuknya Peraturan Daerah ini adalah untuk memberikan jaminan tempat usaha yang layak serta menjadikan sektor usaha PKL tersebut sebagai suatu usaha yang lebih produktif dalam membangun perekonomian daerah. Dengan demikian PKL, masyarakat, dan Pemerintah Daerah dapat memperoleh manfaat yang maksimal. Peraturan Daerah ini merupakan dasar hukum bagi Pemerintah Kota untuk memfasilitasi, membina, mengatur, dan menertibkan PKL. Selain hal tersebut diatas tujuan Penataan PKL juga untuk mewujudkan sistem perkotaan Kota Bogor yang seimbang, aman, tertib, lancar, bersih, dan sehat. Dengan demikian, disamping PKL diberi kesempatan untuk dikembangkan, keseimbangan terhadap kebutuhan bagi kegiatan lainnya juga harus tetap terjaga.
II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1
:
cukup jelas
Pasal 2 ayat (1) ayat (2) ayat (3) ayat (4) ayat (5)
Pasal 3
: : : : :
cukup jelas cukup jelas cukup jelas cukup jelas yang dimaksud masyarakat di sekitar lokasi PKL antara lain LSM, LPM, RT, RW, Paguyuban PKL, dan Kelompok masyarakat lainnya : cukup jelas
Pasal 4 ayat (1) : yang tidak termasuk dalam komoditi yang dilarang adalah Talas Bogor dan yang dimaksud dengan barang dan jasa antara lain:
307
a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l.
perlengkapan rumah tangga atau kelontong; aksesoris; alat-alat elektronik; sandang dan pakaian; buah-buahan; komoditi campuran; makanan dan minuman; Percetakan, Reklame; Cukur Rambut; Tukang Semir Sepatu; Jasa BPKB, STNK; Salon Motor.
ayat (2) : cukup jelas Pasal 5 ayat (1) : Bentuk bangunan tidak permanen adalah bangunan yang bersifat tidak tetap dan mudah dibongkar pasang. ayat (2) : Adanya penyeragaman bangunan Pasal 6 :
dalam
bentuk
dan
warna
cukup jelas
Pasal 7 : ayat (1) : cukup jelas ayat (2) : cukup jelas ayat (3) : cukup jelas Pasal 8 ayat (1) : cukup jelas ayat (2) : Telah tinggal di Kota Bogor dan memiliki KTP Kota Bogor minimal 5 tahun ke belakang setelah Peraturan Daerah ini diberlakukan. ayat (3) : cukup jelas ayat (4) : cukup jelas Pasal 9 ayat (1) : cukup jelas ayat (2) : cukup jelas ayat (3) : cukup jelas
308
Pasal 10 : cukup jelas Pasal 11 ayat (1) : cukup jelas ayat (2) : cukup jelas Pasal 12 : Jenis pungutan yang dipungut bagi yang melakukan kegiatan PKL adalah retribusi pemakaian kekayaan daerah, retribusi pelayanan persampahan/kebersihan dan pajak restoran atau pajak rumah makan Pasal 13 : cukup jelas Pasal 14 : Ketentuan pada pasal ini dimaksudkan untuk tetap menjaga kebersihan, keindahan, ketertiban, dan kesehatan lingkungan tempat usaha. Pasal 15 : cukup jelas Pasal 16 : ayat (1) :
Yang dimaksud dengan penyelenggaraan pembinaan adalah bimbingan, penyuluhan, dan pelaksanaan penataan tempat kepada PKL agar dapat tetap terjaga keamanan, ketertiban, keindahan dan kesehatan lingkungan.
ayat (2) : cukup jelas Pasal 17 ayat (1) : cukup jelas ayat (2) : cukup jelas Pasal 18 ayat (1) : cukup jelas ayat (2) : cukup jelas Pasal 19 ayat (1) : cukup jelas
309
ayat (2) : cukup jelas ayat (3) : cukup jelas Pasal 20 ayat (1) : cukup jelas ayat (2) : cukup jelas Pasal 21 : cukup jelas Pasal 22 : cukup jelas Pasal 23
:
cukup jelas
Pasal 24 ayat (1) : Khusus lokasi Jl. MA. Salmun, Jl. Nyi Raja Permas, dan Jl. Dewi Sartika berakhir sampai akhir bulan Oktober 2007 ayat (2) : cukup jelas ayat (3) : cukup jelas Pasal 25 Pasal 26
:
cukup jelas
: cukup jelas
310
Lampiran 10. Dokumentasi Aktivitas Penelitian A.
PKL dan Wajah Kota
Aktivitas PKL yang tidak teratur menyebabkan kemacetan dan kekumuhan wajah kota
Ketidakkonsistenan penataan PKL menyebabkan kesremawutan wajah kota
311
B.
Pasar Kuliner
Aktivitas Pasar Kuliner di Sekitar Terminal Baranangsiang
Aktivitas Pasar Kuliner di Jalan Pajajaran
Aktivitas Pasar Kuliner di Sekitar Sukasari
Aktivitas Pasar Kuliner di Warung Jambu
Aktivitas Pasar Kuliner di Sekitar Sukasari
Aktivitas Pasar Kuliner di Air Mancur
312
C.
Pasar Tumpah
Aktivitas Pasar Tumpah di sekitar Taman Topi
Aktivitas Pasar Tumpah depan Bioh
Aktivitas Pasar Tumpah di Djuanda
Aktivitas Pasar Tumpah di Dewi Sartika
Aktivitas Pasar Tumpah di dekat masjid raya
Aktivitas Pasar Tumpah di Merdeka
313
D.
Pasar Sayur Malam
Aktivitas Pasar Sayur Malam di Pasar Bogor
Aktivitas Pasar Sayur Malam di Pasar Bogor
Aktivitas Pasar Sayur Malam di dekat BTM
Aktivitas Pasar Sayur Malam di Merdeka
Aktivitas Pasar Sayur Malam di dekat BTM
Aktivitas Pasar Sayur Malam di Merdeka
314
E. Propil salah seorang PKL di Taman Topi
Catatan : Lokasi Taman Topi Luas Tempat Usaha : 1 x 1,5 m2 Usia PKL : 26 Tahun Status perkawinan : Belum Menikah Pendidikan : SMP Tanggungan Keluarga : 4 orang ( seorang Ibu, seorang Kakak, seorang adik, seorang keponakan ) Lama berjualan : 3 Tahun Keeterangan lain : Komoditi yang dijual : kaus kaki Modal awal Rp. 2 Juta , diperoleh dengan pinjaman dari teman, Pinjaman lunas kurang lebih setelah 3 bulan . Nilai barang jualan sekarang sekitar Rp, 3 juta, uang sendiri. Mampu memberi uang belanja kepada orang tua rata-rata sekitar Rp. 40.000,-/ hari. Adik baru selesai SMA, keponakan di SD menjadi tanggungannya. Mampu membayar cicilan motor sekitar Rp. 500.000,- per bulan ( sudah satu tahun lebih)
315
Lampiran 11 Peta Kota Bogor dan Persebaran PKL
Sumber : Wahyu (2003)
316
Lokasi kerumunan PKL
= kerumunan PKL
Daerah PasarAnyar , J Merdeka dan Jembatan Merah
2/4
317
Daerah Psr. Bogor, Suryakencana, Jl.Roda ,Otosta, Pajajaran dan Tanjakan Empang, Jl Juanda
Air Mancur
Jambu Dua
3/4
Sempur, Tmn. Kencana
4/4
124