SEKILAS KPPOD
S
ebagai tindak lanjut hasil Seminar Nasional “Menyelamatkan Otonomi Daerah” yang diselenggarakan KPEN (Komite Pemulihan Ekonomi Nasional), CSIS (Center for Strategic and International Studies) dan LPEM-FEUI (Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan MasyarakatFakultas Ekonomi Universitas Indonesia) pada tanggal 7 Desember 2000, para penyelenggara secara intensif membahas dan menyepakati pembentukan suatu lembaga independen pemantauan pelaksanaan otonomi daerah yang di kemudian hari bernama Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Dalam perkembangannya, sejumlah institusi lain ikut bergabung melalui kesertaan para figur pimpinannya sebagai unsur pendiri: Sekolah Tinggi Manajemen Prasetiya Mulya, The Jakarta Post, Bisnis Indonesia, dan Suara Pembaruan. Melihat latar belakang institusi pendiri tersebut, dapat dikatakan kelahiran KPPOD merupakan hasil eksperimentasi kerjasama dunia bisnis, akademik, dan media massa sebagai tiga pilar penting dalam formasi sosial di Indonesia dewasa ini. Sebagai dasar pemikiran yang menyemangati kerja-kerja profesionalnya, KPPOD memaknai desentralisasi dan otonomi daerah sebagai kebijakan yang bertujuan mengubah struktur tata kelola pemerintahan dari sentralisme menjadi terdesentralisasi, sekaligus menggeser pola pembangunan yang didominasi negara menuju kesempatan yang lebih terbuka bagi masyarakat dan dunia usaha. Maka pada setiap kebijakan pemerintah haruslah tercermin suatu komitmen nyata untuk mendorong keterlibatan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan daerah. Mengalir pada pilihan wilayah isu, KPPOD menaruh fokus sentral pemantauannya pada segala hal terkait kebijakan dan pelayanan publik di bidang ekonomi dan kebijakan desentralisasi/otonomi daerah secara umum. Dengan menggunakan pendekatan multi-perspektif (ekonomi, politik, hukum dan administrasi publik), KPPOD melakukan studi, advokasi, dan asistensi teknis bagi peningkatan mutu tata kelola ekonomi dan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis di daerah.
WILAYAH ISU KPPOD PEMBANGUNAN EKONOMI
TATA KELOLA EKONOMI DAERAH
1.
TATA KELOLA KEUANGAN DAERAH
Reformasi Regulasi Usaha:
Mendorong deregulasi melalui upaya rasionalisasi jumlah dan atau jenis Perijinan usaha maupun pungutan (pajak/retribusi) di daerah.
2.
Reformasi Birokrasi Perijinan:
Mendorong debirokratisasi melalui upaya efisiensi business process (pengurusan) perijinan lewat kelembagaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di daerah.
3.
Desentralisasi dan Manajemen Fiskal:
Studi dan advokasi kebijakan desentralisasi fiskal yang mendukung kemandirian daerah dan perbaikan kualitas tata kelola keuangan di daerah (APBD) yang pro-pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan publik.
4.
Isu-isu Strategis Otda lainnya:
Pemekaran daerah, kerja sama antar-daerah, rencana pembangunan daerah, pemilihan kepala daerah, dan sebagainya.
2
Editorial
Otonomi dan Pemerintahan Baru daftar isi Artikel ....................................... 4 Review Regulasi ...................... 11 Dari Daerah............................. 14 Opini ........................................ 19 Laporan Pelatihan RIA .......... 24 Seputar Otonomi .................... 26 Agenda KPPOD...................... 28
Susunan Redaksi Pemimpin Redaksi: Robert Endi Jaweng Redaktur Pelaksana: Ig. Sigit Murwito Staff Redaksi: Sri Mulyati Boedi Rheza Elizabeth Karlinda M. Iqbal Damanik Distribusi: Regina Retno Budiastuti Kurniawaty Septiany Agus Salim Layout: Winantyo
Alamat Redaksi: Gd. Permata Kuningan Lt.10 Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C Guntur, Setiabudi Jakarta Selatan 12980 Phone : +62 21 8378 0642/53 Fax : +62 21 8378 0643 www.kppod.org http://perda.kppod.org http://pustaka.kppod.org
I
ndonesia sedang memasuki fase baru kepemimpinan nasional. Duet Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam posisi puncak pemerintahan jelas sentral dalam formasi baru kepemimpinan Republik hari ini dan ke depan. Di sini, kita tidak saja menjalankan siklus perubahan kepemimpinan, tetapi karakter dan arah baru yang hendak dihadirkan pemimpin nasional ini tampak memberikan harapan dan janji perubahan. Dalam konteks desentralisasi dan otonomi daerah, mereka mengusung ikrar akan “membangun Indonesia dari pinggir”. Narasi besar nan konvensional selama ini yang bertumpu pada membangun Indonesia dari pusat-pusat pertumbuhan tertentu, dengan pilihan sektor dan wilayah terbatas, hendak dibalik: Indoensia dibangun di atas kaki 542 Propinsi/ Kabupaten/Kota dan 73 ribu Desa yang tersebar di seantero Nusantara. Inilah genderang Nawacita yang menandai pembalikan paradigma dan strategi pembangunan di era baru ini. Kekuatan yang didorong adalah hasil usaha kita sendiri, dari dalam, dari pinggir, dari bawah. Selain kekuatan nasional, desa dan daerah yang akan membangun Indonesia.
KPPODBrief ini, terutama pada sejumlah rubrik utama, mengangkat agenda otonomi yang dimaksudkan sebagai bacaan awal bagi pemerintah baru. Pertama-tama kita menengok apa yang ada: arah kebijakan dan praktik desentralisasi hari-hari ini, baik secara nasional maupun pengalaman yang diambil dari kasus spesifik daerah tertentu. Kami memberikan bacaan awal: masalah-masalah klasik di level makrokebijakan hingga mikro implementasi mesti terlebih dulu dibenahi dan ditata. Kita masih bermasalah pada prakondisi desentralisasi yang tak kunjung beres. Kita tetap saja berkutat pada kapasitas rendah dalam sejumlah elemen desentralisasi. Prakondisi dan elemen yang kurang terkelola baik tersebut menyumbang pada lemahnya kapasitas delivery otonomi bagi perbaikan layanan publik, pembangunan ekonomi, hingga daya saing daerah sehingga tujuan akhir perbaikan kualitas hidup dan peningkatan kesejahteraan rakyat masih jauh panggang dari api. Namun, lembaran yang disajikan tidak semata berisi masalah dan lingkungan persoalan baru, tetapi juga keberhasilan. Dari daerah, mengambil kasus Kota Balikpapan, tersiar kabar yang patut mendatangkan optimisme: pengelolaan pajak (PBB & BPHTB) yang baik, untuk tidak menyebut inovatif. Desentralisasi harus menjadi “cara baru berpemerintahan” agar Nawacita bisa berenerji dan terealisasi. Pemerintah memulai dengan membereskan masalah-masalah yang ada dan memandu perjalanan baru ke depan. Publik tentu memberikan dukungan dan terlibat aktif dalam batas-batas kompetensi masing-masing. Selamat bekerja, bekerja dan bekerja!
3
Artikel
Menuju Desentralisasi Efektif Sketsa Masalah sebagai Bacaan Awal Pemerintahan Baru
P
emerintahan 2014-2019 dibawah duet kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla secara benderang meringkas komitmen mereka bagi pelaksanaan otonomi dan pembangunan daerah dalam salah satu butir Nawacita: “Membangun Indonesia dari Pinggir”. Mereka meyakini, selain peran pusat, membangun Indonesia juga patut dilakukan dari daerah. Maka, arsitektur kewenangan, pembagian fiskal, hingga kapasitas lokal diarahkan ke pencapaian cita besar tersebut. Adapun secara nasional, komitmen dan soliditas kebijakan level pusat digalang lewat penetapan rezim desentralisasi sebagai model tata kelola utama yang menggantikan dominasi rezim sektoral selama ini.
Jalan menuju “titik balik paradigma pembangunan” tersebut jelas bukan rute gampang. Namun, suatu komitmen politik dan kapasitas teknokratik yang kuat diyakini menjadi modal untuk meniti sulitnya rute ke depan. Untuk itu, melihat ke belakang, melihat praktik otonomi kemarin hingga hari ini, jelas menjadi langkah awal nan penting guna membangun optimisme dan ikhtiar nyata ke depan. Mendagri dan semua Menteri sektoral mesti membaca rangkaian perjalanan yang ada sebagai cermin untuk berkaca diri dan membangun arah baru penataan kearah yang lebih baik, yakni arah menuju “desentralisasi efektif”di mana pembangunan daerah bisa mengantarkan kesejahteraan dan kualitas hidup lebih baik.
Sketsa Masalah dan Usulan Penataan Secara umum, desain kebijakan dan praktik (kinerja) pemerintahan daerah kita sejauh ini belum sepenuhnya mampu membuktikan desentralisasi sebagai jalan membangun Indonesia dari daerah. Kapasitas lokal belum terbangun kuat, sementara otoritas yang diberikan kepada Pemda begitu besar. Akuntabilitas lemah: kontrol Pusat atas daerah belum berjalan efektif, antara lain, disebabkan kepemimpinan dan manajemen politik yang lemah serta hilangnya Propinsi (the missing link) dalam mata rantai penyelenggaraan pemerintahan. Terkait dukungan bagi pengembangan ekonomi makro, desentralisasi belum sepenuhnya mengalirkan manfaat bersih bagi ekonomi. Instrumen fiskal di daerah
4
Robert Endi Jaweng Direktur Eksekutif KPPOD
Artikel
masih belum efektif menjadi stimulans pertumbuhan dan sumber pembiayaan program pengembangan usaha. Harus diakui, otonomi kita masih saja berkutat dengan masalah-masalah pada tingkat pemenuhan prakondisi awal hingga kapasitas delivery mechanismnya bagi perbaikan layanan publik dan daya saing sebagai jalan mencapai kesejahteraan rakyat (lihat Gambar 1).
pada sisi regulasi, selain masih munculnya Perda pungutan (Pajak/Retribusi) bermasalah saat ini, dimensi masalah yang tak kalah pelik adalah absennya pembatalan Perda oleh Pemerintah Pusat sejak Januri 2010 hingga hari ini sehingga sistem prevensi dan penalti atas kemunculan Perda bermasalah menjadi sulit diwujudkan. Bagi pelaku usaha maupun masyarakat secara umum, kapasitas delivery dan dampak nyata desentralisasi itu menjadi perhatian paling penting. Di sini, ukuran pokoknya adalah pelayanan publik dan pelayanan usaha/ekonomi bermutu. Dalam hal pelayanan ekonomi, survei KPPOD membuktikan arti penting tata kelola sebagai instrumen peningkatan daya saing dan penciptaan iklim usaha yang kondusif di daerah. Di sini, elemen-elemen pokok desentralisasi menjelma pada tingkat strategi kebijakan berupa perijinan usaha, biaya transaksi, dll memainkan peran penting bagi pertumbuhan swasta (biaya menurun, pendapatan usaha)yang menyumbang kepada penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan atau daya beli yang membuat masyarakat bisa menikmati peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraannya.
Gambar 1: Rute Utuh Menuju Desentralisasi Efektif
Dalam hal fiskal, misalnya, Pemda seolah tak merasa perlu bertanggung jawab ke pusat (upwardaccountability) maupun kepada masyarakat (downwardaccountability) kalau dana yang mereka kelola tidak mencapai target capaian yang ditetapkan (kualitas belanja). Di sini, misalnya, tak jelas bagaimana bentuk respon dan akuntabilitas pemda atas isu-isu seperti banyaknya belanja APBD dihabiskan untuk birokrasi (TA 2013: 297 Kabupaten/Kota membelanjakan 50%-70% APBD untuk Belanja Pegawai), atau tidak terserap optimalnya belanja tersebut (TA 2013: SILPA Daerah sekitar 94 Triliun), atau buruknya administrasi pelaporan keuangan/LKPD (TA 2013: hanya 152 Daerah yang memperoleh opini WTP). Pada sisi lain, desentralisasi belum sepenuhnya mengalirkan manfaat bersih bagi ekonomi, serta belum terlihat optimal dampak/pengaruhnya atas iklim usaha dan daya saing daerah. Beberapa tahun terakhir memang muncul sejumlah daerah yang terbilang berhasil mereformasi birokrasi berupa pembentukan PTSP yang memungkinkan business process perijinan menjadi lebih mudah (persyaratan), jelas (prosedur), proporsional (biaya) dan cepat (waktu pengurusan). Namun, jumlah daerah yang mencapai kondisi ideal (PTSP berkinerja efektif) masih minimal. Sementara
Desentralisasi tanpa kepemimpinan kuat jelas mustahil. Kepemimpinan merupakan prakondisi pertama yang sangat penting lantaran desentralisasi selalu berintikan perubahan hubungan Pusat dan Daerah (Syarif Hidayat, FGD di ProRep, 17 Februari, 2014) yang ditandai bergeraknya pendulum kekuasaan atas urusan pemerintahan dan uang dari Pusat ke Daerah. Tanpa kapasitas kepemimpinan dan manajemen politik yang baik maka pusat yang kekurangan kuasa dan uang sama bahayanya dengan daerah yang tiba-tiba berkelebihan kuasa dan uang. Resistensi selalu muncul di Pusat, terutama pada fase transisi desentralisasi di Indonesia saat ini, sementara kebebasan berlebihan (kebablasan) akan muncul di daerah sehingga kekuasaan yang mereka peroleh sulit terkelola secara akuntabel, bahkan cenderung korup (power tends to corrupt).
5
Artikel
Sejauh ini, Indonesia memang tak memiliki regulasi khusus yang mengatur perihal prasyarat kepemimpinan bagi dukungan desentralisasi. Namun, suatu analisis tentang prinsip kepemimpinan akan menemukan gap cukup lebar antara ideal-normatif dengan kenyataan yang terjadi. Ideal-ideal kepemimpinan nasional bagi kebijakan desentralisasi seperti kejelasan visi otonomi dan peta jalan, kemampuan membangun konsensus dengan DPR/DPD, ketegasan dalam mensinerji Kementerian/LPNK dan koordinasi dengan Pemda, kurang menonjol dalam sosok para pemimpin nasional kita selama era reformasi ini. Masalah desentralisasi seolah diserahkan dan hanya menjadi urusan Mendagri, padahal jelas desentralisasi memerlukan suatu manajemen politik dari otoritas tertinggi, yakni Presiden sendiri sebagai sumber kewenangan dan penanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan. Lemahnya kepemimpinan dan manajemen politik menyumbang kepada buruknya kerangka kebijakan yang ada. Dari sisi policy content, UU No.32/2004 tak sepenuhnya mengandung pengaturan berkualitas bagi dukungan pelaksanaan desentralisasi. Di luar soal pilkada langsung yang dinilai relatif bagus, berbagai klausul lainnya membawa gerak otonomi kita ke arah tak jelas, bahkan jalan di tempat. UU ini, misalnya, hanya mengatur soal pemerintahan (teknokratik), seolah otonomi itu identik dengan pemda semata, tanpa mendudukan relasinya dengan masyarakat (khususnya yang terwadahi dalam organisasi seperti NGO/CSO) dan pelaku usaha yang justru hari ini berpengaruh kuat dalam dinamika lokal. Gejala “decentralization within the state“ ini membuat desentralisasi kita lebih kental orientasi teknokratik ketimbang ideologis dan politik bagi penguatan warga. Pada dimensi lain, masalah kerangka kebijakan lebih terlihat nyata dalam hubungannya dengan regulasi sektoral yang sekaligus menunjukan lemahnya konsensus atas desentralisasi sebagai simpul rujukan. Dalam regulasi fiskal, yakni perimbangan keuangan sebagai pasangan terpenting pembagian urusan, prinsip money follows function belum tampak optimal. Memang diakui bahwa nominal dana transfer ke daerah semakin besar setiap tahunnya (uraian lebih rinci pada bagian terkait berikutnya), namun rasio prosentase dan alokasi riilnya belum sebanding dengan beban (jumlah dan kompleksitas) 31 urusan yang diserahkan ke daerah—unfunded mandate. Problem sinkronisasi lain bisa secara gampang ditemukan dalam regulasi lain seperti manajemen aparatur (UU No.43/1909 juncto UU No.5/2014), pertambangan (UU No.4/2009), pendidikan (PP No.48/2008), hingga
6
ribuan Perda yang --merujuk hasil studi KPPOD atau Kementerian Keuangan-- potensial menghambat aktivitas investasi dan menyebabkan ketidakpastian hukum. Lemahnya konsensus dan manajemen politik membuat setiap Kementerian, LPNK hingga Pemda bergerak sendiri dengan segala inisitaif kebijakan yang tidak saling terkait yang menunjukan menurunnya peran regulasi otonomi sebagai acuan dalam cara baru berpemerintahan. Minimnya konsensus tersebut tidak sebatas antara Kementerian sektoral dengan Kementerian Dalam Negeri sebagai penanggung jawab otonomi tetapi juga antar Pusat dengan Daerah, bahkan antara masyarakat dengan Pemerintah. Presiden Yudhoyono mengakui ini secara gamblang dalam buku terbarunya: Selalu ada Pilihan (Penerbit Kompas, 2014, hlm.23-29). Menurut Presiden, saat ini pemerintah Pusat banyak yang masih berpikir sentralistik, bahkan otoriter. Mereka masih belum sadar akan arti penting pemberian otoritas yang lebih besar kepada daerah untuk mengatur dirinya sendiri. Pada sisi lain, daerah juga selain mengidap masalah kelemahan kapasitas dan kesiapan menjalankan otonomi, tampak kuat bahwa mereka lebih memaknai otonomi sebagai perjuangan untuk mendapatkan lebih banyak kewenangan dan bukan tanggung jawab dan kewajiban. Sementara di sisi masyarakat, otonomi belum dipahami sepenuhnya bahwa sudah banyak urusan yang sekarang menjadi tanggung jawab daerah; dalam praktik masyarakat justru sering menuntut tanggung jawab atas berbagai masalah di daerah dan melemparkan kesalahan kepada pemerintah Pusat. Suatu desentralisasi efektif tentu juga mensyaratkan tingkat keterpenuhan kapasitas lokal yang memadai. Terlihat jelas di banyak daeraah bahwa kekuasaan dan uang yang banyak tidak ditunjang kemampuan pemda dalam pengelolaan elemen-elemen inti desentralisasi tersebut: terjadi gap antara authority yang berlimpah dengan capacity yang masih lemah. Pada tataran masyarakat, lantaran lemahnya pendidikan politik, peluang demokrasi lokal tidak bisa dimanfaatkan sepenuhnya karena lemahnya kapasitas mereka dalam menjalankan perannya sebagai warga Negara yang memiliki kebebasan dan berdaya secara politik dalam partisipasi dan kontrol atas pemda—(masalah quality of democracy). Kelemahan-kelemahan kapasitas tersebut semakin diperparah oleh buruknya prilaku elite politik dan birokrasi kita. Tanpa sistem integritas yang terbangun kuat, era desentralisasi justru ditandai maraknya korupsi lokal yang menyeret 305 Kepala Daerah dan sekitar 1500 anggota DPRD ke proses
Artikel
hukum (sebagai saksi, tersangka, terpidana). Yang terjadi hari ini adalah desentralisasi uang dan kuasa telah diikuti oleh desentralisasi korupsi yang masif. Korupsi sungguh telah “mengorupsi otonomi”. Untuk lebih mengkonkritkan potret umum di atas, berikut diulas potret masalah spesifik dan usulan penataannya, baik yang memiliki keterkaitan langsung dengan pembangunan ekonomi dan upaya penciptaan iklim usaha maupun yang secara umum ikut memberikan dampak atas keberhasilan dalam mendorong pertumbuhan berkualitas lima tahun ke depan: (1) pemekaran daerah; (2) pembagian urusan; (3) perimbangan keuangan.
Pemekaran Wilayah: Beban Fiskal, Kinerja Buruk A. Masalah Selain 26 Propinsi dan 293 Kabupaten/Kota yang sudah ada pada akhir Orde Baru, selama 14 tahun (19992013) era desentralisasi kita mencatat laju pertambahan daerah baru yang amat cepat melalui upaya “pemekaran daerah”. Dengan rerata 2 DOB lahir setiap bulan, saat ini para pendatang baru tersebut menggenapi jumlah total 539 Daerah di Indonesia: 34 Propinsi dan 505 Kabupaten/Kota. Bahkan hingga jelang akhirnya periode kerja DPR 2009-2014 September lalu, upaya memekarkan 87 calon DOB terus diupayakan, meski akhirnya kandas di rapat Tingkat I (Komisi II) lantaran tidak diperolehnya kata sepakat antara DPR dan Pemerintah.
kebijakan yang berdasarkan kriteria obyektif seperti administratif, teknis dan fisik. Proses pemekaran yang dipaksakan tersebut ibarat melahirkan bayi prematur yang pada gilirannya hanya membuat suatu DOB sulit berkembang normal guna mencapai segala tujuan pemekaran tersebut. Pada soal kinerja, evaluasi umum menunjukan 80% dari 205 DOB sepanjang 1999-2010 dinilai berkinerja buruk dan membenai keuangan Negara. Evaluasi yang dilakukan Bappenas atas kinerja DOB yang lahir tahun 2007-2010 menunjukan gambaran persoalan serius. Sebagai kebijakan yang sering dianggap sebagai rute khusus/alternatif bagi percepatan perbaikan pelayanan publik dan pembangunan ekonomi, ternyata rata-rata pencapaian indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2007-2010 pada DOB tidak lebih baik dan bahkan lebih buruk daripada rata-rata pencapaian IPM pada Daerah non-DOB. Hasil serupa juga terlihat pada rata-rata pencapaian kinerja dari Indikator komposit IPM (Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Melek Huruf, dan Angka Lama Sekolah) maupun kinerja pembangunan dan kesejahteraan, di mana rata-rata PDRB pada DOB lebih rendah dibandingkan ratarata PDRB pada daerah non-DOB dan rata-rata angka kemiskinan pada Daerah Otonom Baru (DOB) tampak lebih tinggi daripada rata-rata angka kemiskinan pada daerah non-DOB.
B. Solusi Pada level strategis, agenda perbaikan kebijakan (proses) pemekaran dan kinerja DOB ke depan
Grafik 1: Laju Pertambahan DOB (1999-2013)
Masalah terjadi pada dua tingkat: proses pemekaran dan kinerja DOB sebagai hasil pemekeran. Dalam hal proses, pemekaran berlangsung masif, antara lain, karena daya tawar Pusat lemah dalam menghadapi tekanan daerah. Kerangka regulasi dicederai oleh kuatnya proses politik atas nama aspirasi publik, sementara mekanisme administratif gagal mengelola aspirasi politik dan mempertahankan disiplin
setidaknya berfokus pada (1) aras manajemen politik: membangun konsensus dengan DPR untuk menyepakati moratororium pemekaran dan dukungan DPR untuk menutup pintu usulan mereka meski dibolehkan oleh proses pembentukan suatu UU sehingga kedepan hanya mengenal satu pintu usulan, yakni melalui Kemendagri. (2) aras perbaikan kebijakan: memasukan klausul manajemen transisi
7
Artikel
atau daerah persiapan dalam pembentukan DOB dan klausul-klausul penting Desain Besar Penataan Daerah (Desartada) dalam UU Pemda yang baru, seperti revisi desain dana transfer (khususnya DAU) agar menjadi disinsentif pemekaran, kewajiban DPR melakukan fungsi pengawasan politik atas kinerja DOB. (3) aras manajemen kebijakan: mewajibkan Pemerintah melakukan evaluasi tahunan atas DOB guna menghasilkan rekomendasi teknis bagi fasilitasi peningkatan kinerja DOB maupun rekomendasi politis untuk melikuidasi dan menggabungkan DOB gagal sebagai penalti atas kegagalan perbaikan kinerja.
Urusan Pemerintahan: kebijakan kabur, implementasi lemah A. Masalah Pada tatanan kebijakan, pengaturan urusan pemerintahan daerah dalam UU No.32/2004 dan PP No.38/ 2007 tak jelas basis pembagiannya: atas dasar fungsi ataukah skala urusan dan tingkat pemerintahan. Ketidakjelasan ini menyebabkan dua masalah dalam praktiknya di lapangan: (1) tumpang tindih bahkan rebutan antar level pemerintahan atas urusan yang dianggap urusan “mata air”; atau (2) saling lempar tanggung jawab dan terbengkelainya urusan yang berkategori urusan “mata air” atau cost-center yang membebani anggaran suatu pemerintahan. Pada tingkat lanjut, masalah terjadi saat penyerahan urusan: sebagian urusan yang mestinya sudah diserahkan ke daerah justru ditahan Pusat: pertanahan, administrasi kependudukan, dll. Masalah krusial lain pada aras kebijakan adalah lemahnya kewenangan kebijakan/mengatur pada pihak daerah, sementara yang justru lebih mengemuka adalah kewenangan administrasi/ mengurus dan bahkan daerah merasa bahwa yang terjadi sesungguhnya bukan pelimpahan urusan melainkan pembebanan tugas. Selain itu, disharmoni terjadi: baik secara sektoral (K/L) maupun Pusat dengan Daerah. Banyak kementerian/LPNK yang mengabaikan PP No.38 Tahun 2007 dalam menjalankan program sektoral mereka. Sementara di daerah, kewajiban untuk menetapkan standar minimum (SPM) pada sejumlah urusan dasar dan keharusan merujuk pada NSPK dalam pelaksanaan urusan masih banyak diabaikan.
B. Solusi Hulu masalah pada soal urusan pemerintahan ini adalah pada level kebijakan. Revisi UU Pemda jelas
8
menjadi keniscayaan. Dasar pembagian urusan harus memperhitungkan ketepatan (berdasarkan berbagai parameter): urusan apa paling tepat dilakukan di mana (Daan Patinasarani, Ekonom Bank Dunia, FGD KPPOD-Apindo, 12 Maret 2014) dan meletakan soal pembagian urusan ini dalam kerangka “Desentralisasi yang proporsional” (Wariki Sutikno, Direktur Otonomi Daerah Bappenas, FGD KPPOD-Apindo, 12 Maret 2014). Dalam kerangka itu, usulan strategis yang disampaikan dalam pembagian urusan ini adalah: Kabupaten/Kota lebih banyak berkonsentrasi pada urusan yang terkait pelayanan publik (public service), sementara propinsi diarahkan untuk menangani urusan pengembangan potensi ekonomi.
Keuangan Daerah: ketergantungan fiskal, mismanajemen anggaran A. Masalah Selain masih bermasalah perihal pemberian sumber keuangan negara kepada Pemda yang belum didasarkan pada penyerahan tugas pemerintahan ke daerah -money follow function, isu desentralisasi fiskal kita masih ditandai kuatnya ketergantungan fiskal daerah terhadap Pusat: rasio PAD terhadap total belanja dalam APBD di sebagian besar daerah berada di bawah 20% (lihat Tabel 1). Sebab utama dari problem otonomi fiskal tersebut bersumber dari rendahnya potensi pajak (local taxing power), termasuk dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 yang memberlakukan closedlist system bagi jenis dan obyek pungutan (pajak/retribusi) di daerah. Sebab lain adalah terkait kebijakan Pusat yang memberlakukan ketentuan perolehan DAU berbanding terbalik dengan peningkatan PAD sehingga berdampak disinsentif bagi daerah untuk menggali potensi pajak mereka. Di sini pemda tidak saja mengalami ketergantungan fiskal tetapi juga mengidap gejala fiscal stress sebagai tanda buruknya kesehatan fiskal: sumber penerimaan sendiri jauh lebih kecil dan nyaris tak bisa diperbandingkan dengan perilaku pengeluaran (sisi belanja Daerah). Tidak heran kalau masalah kemandirian fiskal ini secara halus menjadi alasan dan instrumen Pusat dalam pengendalian politik dan administrasi atas daerah. Pada aspek manajemen fiskal, masalah tata kelola APBD tampaknya masih belum beranjak dari isuisu lama, dengan muara besarnya adalah perihal kememadaian dan kualitas belanja bagi pembiayaan layanan publik maupun sebagai stimulans ekonomi yang belum terpenuhi oleh banyak daerah. Pertama,
Artikel Tabel 1: Rasio PAD terhadap Belanja APBD Kab./Kota 2011-2012 Rasio PAD dari Total Pengeluaran APBD <10% 10 - <20% 20 - <30% 30 - <40% 40 - <50% >50% Total
1999 Jumlah Jumlah Kabupaten Provinsi (%) dan Kota (%) 3 (11,1%) 156 (51,1%) 4 (14,8%) 86 (29,2%) 11 (40,7%) 0 6 (22,2) 14 (4,6%) 1 (3,7%) 8 (2,6%) 2 (7,4%) 2 (0,7%) 27 (100%) 305 (100%)
kecukupan sumber pembiayaan bagi penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pembangunan. Kedua, proporsi alokasi yang memberat kepada alokasi belanja pegawai dari pada belanja publik berupa pos belanja modal dan barang/jasa (lihat Tabel 2). Ketiga, mutu administrasi pelaporan di mana masih sebagian besar daerah belum memperoleh opini bagus berdasarkan standar penilaian BPK. Keempat, daya serap Anggaran yang tidak optimal, termasuk simpanan sebagian SILPA di perbankan (BPD) maupun dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (lihat Tabel 3). Selain belum berhasilnya reformasi birokrasi yang ditujukan bagi efisiensi anggaran, diskoneksi antara perencanaan dan penganggaran, dan proses pengesahan APBD yang terlambat, sebagian sebab lain mismanajemen anggaran adalah rendahnya komitmen dan kapasitas Pemda dalam mendorong satu simpul prioritas dan standar layanan yang harus dipenuhi pendanaannya (SPM). Ketiadaan skala prioritas belanja di banyak daerah ini jelas mempersulit upaya membangun suatu “manajemen fokus” dalam aspek anggaran. B. Solusi Solusi strategis pada elemen keuangan adalah perbaikan kebijakan berupa redesain arsitektur dana perimbangan melalui sebuah analisa-diagnostik berbasis permintaan atau kebutuhan daerah dan beban urusan yang mereka
2012 Jumlah Jumlah Kabupaten Provinsi (%) dan Kota (%) 4 (12,1%) 381 (80,0%) 3 (9,1%) 65 (13,7%) 3 (9,1%) 22 (4,6%) 10 (30,3%) 6 (1,3%) 5 (15,2%) 1 (0,2%) 8 (24,2%) 1 (0,2%) 33 (100%) 476 (100%)
selenggarakan. Analisa kebutuhan daerah tersebut menjadi titik tolak dalam penentuan besaran dana perimbangan (kembali ke prinsip money follows function). Pada dimensi manajemen fiskal, perbaikan dilakukan melalui: [1] penegasan lebih spesifik Undang-Undang Keterbukaan Informasi dalam isi UU Pemda dengan mewajibkan pemda melakukan politik anggaran terbuka (open budget system) baik berupa proses deliberasi saat penyusunan RAPBD maupun transparansi atas dokumen APBD yang gampang diakses publik. (2) kewajiban alokasi minimum 50% belanja modal dalam APBD dan pengetatan pagu alokasi belanja Aparatur sehingga daerah terongrong pula melakukan “reformasi birokrasi bagi efisiensi anggaran”. (3) asistensi peningkatan kapasitas dalam tata kelola anggaran yang meminimalisir maladministrasi, mismanajemen, belanja tak berkualitas dan bahkan korupsi. Catatan Akhir Gambaran masalah di atas menunjukkan bahwa jalan menuju desentralisasi yang efektif memang masih menempuh rute panjang. Gambar 1 di atas memperlihatkan rute utuh desentralisasi di mana tahap perkembangan membangun “desentralisasi efektif ” di Indonesia sejauh ini masih bergerak terbatas pada soal prakondisi, kinerja elemen-elemen dan instrumen desentralisasi (ciri khas fase transisi desentralisasi) dan belum secara signifikan memasuki fase awal
Tabel 2: Prosentase Belanja Pegawai dalam APBD Kab/Kota 2011-2013 % Belanja Pegawai dalam APBD Kab/Kota Belanja pegawai >75% dari anggaran belanja
2011
2012
2013
Jumlah Daerah
Rasio
Jumlah Daerah
Rasio
Jumlah Daerah
Rasio
0
0%
1
0%
0
0%
Belanja pegawai: 50%-75% dari anggaran belanja
308
63%
305
62%
276
56%
Belanja pegawai < 50% dari anggaran belanja
183
37%
185
38%
215
44%
Jumlah
491
100%
491
100%
491
100%
9
Artikel Tabel 3: SILPA dan Simpanan Pemda (Kab/Kota) di Perbankan 2008-2012
konsolidasi desentralisasi. Itu artinya, setelah belasan tahun berotonomi, kita sejatinya belum banyak menuai dampak dan manfaat bersih dari desentralisasi, termasuk bagaimana mendudukan desentralisasi itu dalam rangka pencapaian MP3EI, atau berkontribusi bagi upaya keluar dari Middle-Income Trap, bahkan menjadi bagian dari strategi besar “transformasi indonesia”, dst. Presiden Joko Widodo dan pemerintahan baru (2014-2019) mesti memimpin perubahan menuju desentralisasi efektif dengan pertama-tama membereskan prakondisi dan kinerja elemen desentralisasi tersebut. Selanjutnya, membawa hasil pembenahan agenda transisi desentralisasi tersebut mesti dibawa ke fase lanjut berupa mengalirkan manfaat bersih dalam bentuk tata kelola pemerintahan
dan pencapaian tujuan akhir: titik di mana rakyat menunggu hasil nyata kita berotonomi. Komitmen politik dan visi besar Presiden baru jelas menjadi kata kunci. Hanya kepemimpinan seorang Presidenlah yang membuat segala persiapan terkait penataan prakondisi desentralisasi di atas bisa terwujud. Selanjutnya, kapasitas manajemen politik diperlukan guna mengelola segala proses perubahan dan lingkungan kebijakan terkait: antara Pusat dan Daerah maupun antarsektoral (Kementerian) di Pusat sendiri. Dalam dirinya, desentralisasi mengandung muatan perubahan yang berimplikasi kepada banyak pihak/institusi, di mana kepemimpinan dan manajemen politik kuat yang mampu mengelola resistensi dan resiko yang potensial muncul dari arus perubahan tersebut. n
VISI & MISI KPPOD VISI KPPOD ikut mewujudkan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat dengan mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif di seluruh Indonesia.
MISI KPPOD menganalisa, menilai dan memberikan masukan bagi kebijakan dan praktik Pemerintah Pusat dan Daerah dalam melaksanakan otonomi daerah bagi pembangunan ekonomi Nasional.
10
Review Regulasi
Perda Sebagai Instrumen Fiskal di Kota Bisnis Perda Balikpapan tentang BPHTB
K
ota Balikpapan, Kalimantan Timur, merupakan salah satu kota dengan perekonomian yang cukup besar dengan tingkat pertumbuhan mencapai 5.3% (2013). Perekonomian Balikpapan ditopang oleh sektor industri dan pengolahan (46%), sektor konstruksi (21%) dan sektor perdagangan, hotel dan restoran (16%). Perekonomian Kota Balikpapan yang terus berkembang, dan menjadi daya tarik investor untuk menanamkan modal atau berinvestasi di Kota Balikpapan. Untuk mendukung investasi, Pemerintah Kota (Pemkot) Balikpapan mengeluarkan kebijakan khususnya pungutan (Pajak dan Retribusi). Salah satu pungutan yang diberlakukan oleh Pemkot Balikpapan adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang dikenakan pada setiap transaksi jual beli tanah. Tahun 2013 tercatat penerimaan BPHTB di kota Balikpapan mencapai 53 milyar rupiah.
Ringkasan Isi Perda Peraturan Daerah (Perda) Kota Balikpapan Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ini diterbitkan oleh Pemerintah Kota Balikpapan sebagai payung hukum untuk pemungutan BPHTB tersebut. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ini adalah suatu pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak. Penerbitan perda tersebut bertujuan untuk mendapatkan pemasukan daerah dari transaksi properti baik tanah maupun bangunan yang ada di Kota Balikpapan.
Boedi Rheza Peneliti KPPOD
Wajib Pajak dan Subjek Pajak dalam perda ini adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). Tarif pajak untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan sebesar 5%. Perda juga menetapkan bahwa nilai tidak kena pajak objek pajak sebesar enam puluh juta rupiah. Untuk menghitung besaran pokok pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, menggunakan formulasi tarif pajak dikalikan dengan hasil pengurangan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).
11
Review Regulasi
Analisis Isi A. Aspek Yuridis Perda Kota Balikpapan Nomor 14 Tahun 2010 ini sudah memasukkan konsiderans yang sesuai yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, yang menjadi acuan bagi setiap perda pungutan termasuk perda BPHTB. Dari sisi muatan perda, perda ini sudah memiliki kelengkapan muatan yang diwajibkan dalam oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pasal 95, yaitu perda harus memuat nama, objek, dan subjek retribusi, golongan retribusi, cara pengukuran tingkat penggunaan jasa yang bersangkutan, prinsip yang dianut dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi, wilayah pemungutan, penentuan pembayaran, tempat pembayaran dan penundaan, sanksi administratif, penagihan, penghapusan, piutang retribusi yang kadaluwarsa dan tanggal mulai berlakunya. Sehingga dapat dikatakan perda ini sudah memiliki kesesuaian konsiderans, kemutakhiran konsiderans dan kelengkapan yang harus dimiliki oleh sebuah perda.
B. Aspek Substansi Perda dengan jelas bermaksud mengatur BPHTB sebagai salah satu jenis pungutan yang boleh dipungut oleh Kota. Perda menyebutkan dengan jelas tentang nama pungutan, objek pungutan dan subjek pungutan. Untuk tarif pajak dan tata cara perhitungan pajak juga telah disebutkan dengan jelas di pasal 5 dan 6 perda ini. Perda juga memuat ketentuan bagi pejabat serta tata cara pembayaran pajak. Untuk penetapan tarif, disebutkan bahwa tarif ditentukan dengan formula 5% dikali dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). NPOPTKP yang ditetapkan di Kota Balikpapan sebesar 60 juta rupiah. Ini berarti perda telah memiliki kejelasan dalam hal tarif, serta memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak. Dengan adanya kepastian hukum tentang tarif, maka masyarakat maupun dunia usaha tidak akan terbebani dengan pungutan yang tidak jelas. Besaran nilai pengurang (NPOPTKP) di dalam formula perhitungan BPHTB, sudah sesuai dengan ketetapan yang ada di UU Nomor 28 Tahun 2009. Namun, seharusnya nilai pengurang investasi ini dapat menjadi insentif dan daya tarik investasi dengan nilai yang lebih besar, karena nilai 60 juta rupiah tersebut adalah nilai minimum. Jika nilai pengurang ini dapat ditetapkan lebih tinggi dari nilai minimum yang ditetapkan dalam
12
UU, maka dapat menjadi insentif untuk investasi, seperti yang diterapkan di Kota Batam dan DKI Jakarta. Kota Batam menerapkan nilai NPOPTKP sebesar 70 juta rupiah, sementara DKI Jakarta menerapkan nilai NPOPTKP sebesar 80 juta rupiah. Karena dengan nilai pengurang yang semakin besar, maka pajak yang dibayarkan menjadi lebih murah dan dapat menjadi faktor penarik investasi. Perda BPHTB Kota Balikpapan juga memasukkan klausul pengajuan keberatan, banding, dan gugatan wajib pajak. Pengajuan tentang keberatan, banding dan gugatan mengatur tentang mekanisme pengajuan dan apa saja yang boleh diajukan untuk ketiga hal tersebut. Ketentuan tentang jangka waktu pengajuan keberatan, gugatan dan banding juga diatur secara jelas di dalam perda ini. Klausul ini memperlihatkan bahwa perda tidak hanya memuat yang diwajibkan oleh UU Nomor 28 Tahun 2009, namun juga memberikan pengaturan lainnya yang juga memperhatikan hak dan kewajiban wajib pajak. Pengurangan atas BPHTB juga diatur dalam perda ini. Pengurangan BPHTB diberikan karena beberapa hal seperti kondisi tertentu wajib pajak, atau kondisi tanah yang diperjualbelikan akan digunakan untuk kepentingan sosial. Pemberlakuan aturan pengurangan ini dapat menjadi contoh baik bahwa meskipun perda ini diimplementasikan untuk penerimaan daerah, namun tetap memperhatikan kondisi masyarakat sebagai wajib pajak dan kondisi sosial di Kota Balikpapan. Pengaturan sanksi atas pelaksanaan pemungutan BPHTB juga terdapat di dalam Perda ini. Sanksi ini berupa sanksi administratif dalam bentuk denda dan juga sanksi pidana. Sanksi yang dimuat dalam perda ini tidak hanya dikenakan kepada wajib pajak, namun juga kepada pemerintah dan pejabat (PPAT). Pengaturan sanksi ini menunjukkan bahwa perda ini menjamin kejelasan hak dan kewajiban wajib pajak maupun pemda.
C. Aspek Prinsip Aspek prinsip dalam analisis suatu perda mencakup beberapa hal seperti, dampak ekonomi negatif, keutuhan wilayah ekonomi nasional, akses masyarakat terhadap kepentingan umum dan lainnya. Dari beberapa aspek tersebut, Peraturan daerah Kota Balikpapan Nomor 14 Tahun 2010 tentang BPHTB, secara keseluruhan tidak memiliki permasalahan dalam aspek prinsip. Salah satu contohnya adalah peraturan daerah ini telah mengatur tentang wilayah pemungutan pajak. Di pasal 7, disebutkan bahwa wilayah
Review Regulasi
pemungutan adalah Kota dimana Tanah dan Bangunan berada. Ini berarti, perda tersebut telah memberikan batasan yang jelas tentang wilayah pemungutan, sehingga tidak ada pelanggaran kewenangan pemerintahan dalam perda ini.
Kesimpulan Setelah dilakukan analisis terhadap isi Perda Kota Balikpapan Nomor 14 Tahun 2014 tentang BPHTB,
maka di dapat kesimpulan bahwa perda ini tidak bermasalah baik dari Aspek yuridis, substansi maupun prinsip, sehingga dapat tetap diimplementasikan. Meskipun tidak ada pelanggaran yang terjadi, namun seharusnya perda ini dapat menjadi peraturan yang menarik investasi jika aturan besaran nilai NPOPTKP sebagai nilai pengurang diperbesar, sehingga pajak yang dibayarkan dunia usaha dan masyarakat menjadi lebih kecil, seperti yang dilakukan di Kota Batam dan DKI Jakarta. n
13
Dari Daerah
Menarik Animo Masyarakat Membayar Pajak Praktik Baik Pengelolaan PBB-P2 di Kota Balikpapan
K
ota Balikpapan merupakan kota dengan letak geografis yang strategis, pada posisi silang jalur perhubungan nasional dan internasional. Struktur perekonomian pun didominasi oleh sektor industri dan pengolahan (46%), sektor konstruksi (21%) dan sektor perdagangan, hotel dan restoran (16%). Hal ini menjadikan Kota dengan jumlah penduduk 660.437 jiwa ini sebagai pusat jasa, perdagangan dan indusri yang tak hanya berskala regional, namun juga berkembang sebagai salah satu sentra di Pulau Kalimantan dan Indonesia Bagian Tengah.
Sebagai salah satu sentra ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi 5,3%, Kota Balikpapan memiliki potensi yang sangat besar untuk dikelola dan dioptimalkan Pemerintah Kota (Pemkot) sehingga menjadi sumber APBD dari pajak dan retribusi daerah. Salah satu pajak yang menjadi sumber APBD di daerah saat ini adalah Pajak Bumi BangunanPerdesaan dan Perkotaan (PBB P2). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, PBB merupakan salah satu pajak yang dikelola oleh Daerah di mana penyerahannya paling lambat tahun 2014.
Kerjasama dengan KPP dalam Proses Pengalihan PBB Disahkannya Peraturan Daerah Kota Balikpapan Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pajak Bumi dan Bangunan mengamanahkan bahwa Pemkot Balikpapan telah melakukan pengelolaan PBB terhitung mulai Januari 2012. Dalam masa proses pengalihan tersebut, Pemkot Balikpapan melakukan beberapa persiapan termasuk kerjasama dengan Kantor Pelayanan Pajak Balikpapan. Pemkot dalam hal ini adalah Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Balikpapan bekerjasama dengan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Kota Balikpapan khususnya dalam perapihan objek pajak baik umum maupun khusus serta transfer pengetahuan dan teknologi. Dalam rangka transfer pengetahuan dan teknologi, beberapa pegawai Dispenda melakukan kegiatan magang (internship) selama beberapa bulan di KPP. Mereka dilatih dan dibekali pengetahuan terkait pelayanan dan pengelolaan PBB sehingga saat pengelolaan PBB sudah dilimpahkan, para pegawai Dispenda sudah tidak asing untuk mengelolanya.
14
Elizabeth Karlinda Peneliti KPPOD
Dari Daerah
Adanya Ketentuan Pusat yang Mempersulit Pembayaran PBB Untuk memberikan pelayanan yang optimal, pada masa transisi pengalihan PBB ke daerah, Pemkot Balikpapan sudah menawarkan kerjasama dengan beberapa Bank Swasta sebagai loket pembayaran pajak daerah. Namun kerjasama ini terhalang dengan UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dalam undang-undang tersebut, diatur bahwa penerimaan daerah dari PBB harus disetor ke kas daerah maksimal 1x24 jam. Tentunya hal ini memberatkan bagi Bank Swasta. Bagaimanapun pihaknya menginginkan penerimaan daerah mengendap di Bank Swasta selama minimal 14 hari agar Bank mendapat keuntungan. Dengan demikian, hanya ada satu bank yaitu Bank Kaltim yang sanggup memenuhi ketentuan tersebut. Hal ini memungkinkan karena kas daerah disimpan di Bank Kaltim sehingga pihak Bank bisa memindahbukukan secara langsung. Gagalnya kerjasama dengan Bank Swasta sebagai loket penerimaan PBB menyebabkan pembayaran PBB tidak semudah sebelumnya yang dapat dilakukan melalui beberapa Bank Swasta, baik secara langsung maupun secara elektronik (online). Para Wajib Pajak hanya dapat membayar PBB di Loket pembayaran yang tersedia di Dispenda, Bank Kaltim dan enam kecamatan di Kota Balikpapan. Tidak hanya itu, waktu pembayaran pun hanya bisa dilakukan pada jam operasional kantor (tidak bisa 24 jam). Terbatasnya loket pembayaran PBB ini seringkali dikeluhkan karena masyarakat kesulitan untuk membayar PBB. Para Wajib Pajak tidak lagi memiliki keleluasaan waktu dalam membayar pajak. Mereka pun butuh waktu lama untuk mengantri di loket pembayaran PBB. Terlebih sesaat sebelum jatuh tempo, terjadi lonjakan antrian di loket pembayaran PBB sehingga mereka butuh waktu yang sangat lama untuk membayar PBB. Pada saat dua bulan sebelum jatuh tempo seperti ini, Dispenda membuka loket pembayaran hingga pukul 21.00 WITA. Ada sekitar 1.000 wajib pajak setiap harinya yang mengantri hingga malam hari untuk membayar PBB.
MoU dengan BRI untuk pembayaran PBB secara elektronik (e-tax) Melihat kondisi sulitnya pembayaran pajak di Kota Balikpapan, Pemkot belajar dari Pemda Bogor dan Pemda DKI Jakarta terkait pengelolaan PBB di daerah. Dari proses tersebut, Pemkot Balikpapan mengetahui bahwa diperbolehkan untuk membuka Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) di Bank Swasta lainnya, tidak
hanya BPD (Bank Pembangunan Daerah) Kaltim. Oleh karena itu, Pemkot membuka penawaran kerjasama dengan Bank Swasta untuk membuka RKUD khusus. Penawaran kerjasama tersebut datang dari Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang memang memiliki program untuk mendekatkan diri dan meningkatkan pelayanan kepada mayarakat.
“Kita melihat Bank BRI sebagai Bank BUMN dan melihat performance BRI. Kebetulan mereka memiliki tujuan yang sama untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. BRI dengan sekian banyak unitnya dan bisa dilakukan pembayaran melalui transfer dan ATM mampu meyakinkan kami untuk menerima tawaran kerjasam dengan BRI.” Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Balikpapan, Tirta Dewi.
Pada tanggal 16 Juli 2014, dilakukan penandatanganan perjanjian kerjasama (Memorandum of Understanding/ MoU) antara Pemkot Balikpapan dengan BRI Cabang Kota Balikpapan. Dalam kerjasama tersebut, Pemkot Balikpapan membuka RKUD khusus di Bank BRI. Dua hari kemudian, tepatnya pada tanggal 18 Juli 2014 lalu, dilakukan launching pembayaran PBB melalui Bank BRI. Setelah penandatanganan kerjasama tersebut, beberapa terobosan untuk meningkatkan kemudahan pelayananpun dilakukan, baik oleh Pemkot Balikpapan maupun Bank BRI. Pertengahan Agustus 2014 lalu, BRI sudah membuka loket pembayaran PBB di 2 cabang, 23 unit dan 36 teras BRI yang ada di Kota Balikpapan. Selain itu, untuk semakin meningkatkan kemudahan pelayanan PBB, BRI sudah menerapkan sistem electronic tax (e-tax) yakni pembayaran secara elektronik melalui transfer dan ATM. Dengan demikian, kini pembayaran PBB di Kota Balikpapan dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja selama 24 jam. Berbagai program peningkatan pelayanan tersebut tentunya sangat memudahkan masyarakat dalam melakukan pembayaran PBB. Tidak sedikit wajib pajak yang memanfaatkan fasilitas e-tax tersebut. Hal ini terbukti dari menurunnya jumlah antrian loket pembayaran PBB di Dispenda. Jam operasional loket pembayaran di Dispenda pun tidak lagi hingga pukul 9 malam, hanya sampai pukul 2 siang. Jika dilihat dari nilai transaksi, jumlah kas yang masuk melalui Bank BRI juga terbilang cukup tinggi yakni sekitar Rp 400 juta per hari.
15
Dari Daerah
Untuk menginformasikan kemudahan pembayaran PBB melalui Bank BRI kepada masyarakat, Pemkot Balikpapan telah melakukan berbagai sosialisasi melalui media, radio, koran, spanduk serta sosialisasi langsung. Sosialisasi langsung ini bertajuk sosialisasi sadar hukum, dimana salahsatunya adalah kepatuhan dalam pembayaran pajak. Dalam kegiatan tersebut juga dilaksanakan lomba patuh pajak dimana 90% masyarakat di setiap kelurahan harus lunas PBB. Untuk mencapai target 90% lunas PBB tersebut, Dispenda membuat program agar para ketua RT dan warganya patuh dalam membayar pajak.
Menggerakkan Ketua RT untuk Membaharui dan Menyampaikan SPPT PBB Selama tahun 2014-2015 ini, Dispenda memiliki beberapa program optimalisasi pengelolaan PBB daerah. Target program hingga akhir tahun ini, Dispenda bekerjasama menggerakkan 500 Ketua Rukun Tetangga (RT)1 untuk program pembaharuan dan validasi data Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) PBB sebanyak 60.000 Objek Pajak di Kecamatan Balikpapan Tengah dan Balikpapan Selatan.Dalam pembaharuan dan validasi SPPT, para ketua RT diberikan formulir pembaharuan atas setiap objek pajak yang berada di wilayahnya. Kemudian para ketua
RT akan mengisi data objek pajak dan melaporkannya kembali ke Dispenda. Setiap minggunya, ada 5 (lima) tim dimana setiap tim terdiri dari 10 (sepuluh) orang petugas Dispenda turun ke lapangan untuk kegiatan tersebut. Dispenda juga turut menggerakkan para ketua RT untuk menyampaikan SPPT PBB kepada masyarakat. Pada April 2014 lalu, Dispenda telah menyampaikan SPPT PBB untuk 185.845 wajib pajak di Kota Balikpapan. Untuk meningkatkan keaktifan dan antusiasme dalam menyampaikan SPPT PBB, Dispenda memberikan beberapa insentif kepada para Ketua RT. Setiap ketua RT yang menyampaikan/mensosialisasi tentang pembayaran PBB mendapat insentif sebesar Rp 3.000/SPPT dan mereka pun akan mendapatkan tambahan insentif Rp 3.000 untuk setiap masyarakatnya yang sudah melakukan pelunasan PBB. Sejauh ini, para Ketua RT memberikan respon yang positif atas kegiatan ini.
Program Digitalisasi Data Tanah dan Bangunan Selain bekerjasama dengan para Ketua RT, Dispenda juga bekerjasama dengan beberapa instansi lainnya seperti Kantor Pertanahan, Bappeda, Dinas Tata Kota dan Perumahan dan Badan Penaman Modal
1) Tidak ada Rukun Warga (RW) dalam susunan administrasi wilayah Kota Balikpapan. Penghapusan RW ini untuk menghilangkan prosedur berkepanjangan dalam koordinasi antara pemkot dengan RT yang dijadikan sebagai street-level bureaucracy di Kota Balikpapan.
16
Dari Daerah
dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPMP2T) Kota Balikpapan. Pada tahun 2015, Dispenda bersama Kantor Pertanahan dan Bappeda akan melakukan digitalisasi data dan pemetaan dengan foto satelit sehingga data yang diperoleh lebih tepat dan akurat. Dispenda juga akan bekerjasama dengan Dinas Tata Kota dan Perumahan tentang pembaharuan data luas atau pembetulan bangunan. Hingga kini, fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak sedikit masyakat yang enggan melaporkan perubahan bangunan ke Dispenda. Oleh karena itu, perlu adanya sinkronisasi data yang ada di Dinas Tata Kota dan Perumahan dengan data di Dispenda sehingga nantinya apabila terjadi perubahan data yang ada di Dinas Tata Kota dan Perumahan karena pengurusan izin mendirikan bangunan atau pembetulan bangunan dari masyarakat, maka secara otomatis juga akan mengubah data yang ada di Dipenda.
tersebut. Dengan demikian, Pemkot mendapatkan data tanah dan bangunan yang lebih akurat daripada instansi vertikal.
“Pertama, kita dapat data yang lebih akurat. Kalau sudah begitu, uang pasti mengikuti. PBB yang didaerahkan, Pemda akan memetakan semua tanah dan bangunan dengan lebih intensif dan akurat dibanding dengan instansi vertikal. Mengapa demikian? Karena apabila instansi vertikal, targetnya sudah terpenuhi ya selesai. Berbeda dengan instansi daerah. Apabila pemda melihat objek potensial yang belum didata, maka akan lebih giat dan lebih jeli lagi.” Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Balikpapan, Tirta Dewi.
Mendekatkan Pelayanan kepada Masyarakat
Dampak Pengalihan PBB ke Daerah Hingga 2014, sebanyak 482 daerah telah melakukan pengalihan PBB ke daerah. Sementara 10 daerah lainnya yakni Kab. Seram (Maluku), Kab. Intan Jaya, Kab. Lanny Jaya, Kab. Mamberamo Tengah, Kab. Mamberamo Raya, Kab. Puncak, Kab. Paniai dan Kab. Tolikara (Papua), Kab. Mamasa (Sulawesi Barat), dan Kab. Sitaro (Sulawesi Utara) belum melakukan pengalihan PBB. Alasan beberapa daerah tersebut belum mengalihkan PBB ke daerah karena potensinya yang rendah dan organisasi serta sumberdaya manusia belum siap. Daerah tersebut memiliki akses yang sulit sehingga Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) mereka lebih rendah dari harga pasar. Apabila PBB dikelola daerah sendiri, maka daerah yang kurang potensial tersebut mengeluarkan biaya operasional yang lebih besar dari keuntungan yang diperoleh sehingga mereka merasa lebih menguntungkan dengan sistem bagi hasil ketimbang mengelola sendiri. Kota Balikpapan termasuk salah satu daerah yang telah melakukan pengalihan PBB ke daerah sejak 1 Januari 2012. Pemkot menilai sistem pengelolaan PBB daerah ini memberikan banyak keuntungan. Beberapa keuntungan yang dirasakan oleh Pemkot Balikpapan diantaranya adalah sebagai berikut:
Pemda dinilai lebih peduli dengan potensi daerahnya daripada instansi vertikal. Kepedulian ini ditunjukkan dengan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga masyarakat semakin aktif dalam membayar pajak. Kemudian, penerimaan daerah dari pajak dan retribusi tersebut langsung dikembalikan kepada masyarakat setempat melalui pelayanan kesehatan, pendidikan maupun infrastruktur. Dengan ini, diharapkan masyarakat dapat merasakan keuntungan dari pajak dan retribusi yang dibayarkan. “Pemerintah daerah lebih peduli dari pada instansi vertikal. Ikatan emosional lebih berasa. Ketika Pemda melihat masih ada potensi objek yang belum digali, maka Pemda lebih giat dalam menggali potensi tersebut ketimbang Pemerintah Pusat. Pemkot memberikan layanan, masyarakat membayar pajak/retribusi yang menjadi penerimaan daerah, kemudian penerimaan tersebut juga langsung dikembalikan ke masyarakat melalui pelayanan kesehatan, pendidikan maupun infrastruktur. Jika pelayanan yang diberikan untuk masyarakat buruk, masyarakat juga bisa secara langsung melakukan pengaduan.” Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Balikpapan, Tirta Dewi.
Mendapatkan Data PBB yang Lebih Akurat. Dengan pengelolaan PBB oleh daerah, Pemkot akan terlibat langsung dalam pendataan tanah dan bangunan. Jika ada objek yang belum digali, Pemkot akan lebih jeli dan teliti dalam melakukan pendataan
Meningkatkan PAD Kota Balikpapan Dari data BPS (Badan Pusat Statistik), realisasi penerimaan daerah dalam APBD dari pajak
17
Dari Daerah
meningkat dari Rp 170 miliar pada tahun 2011 menjadi Rp 340 miliar pada tahun 2013. Hal ini menujukkan bahwa pendapatan daerah yang diperoleh dari pengelolaan PBB oleh Pemkot Balikpapan lebih besar daripada sebelumnya (skema bagi hasil). Meningkatkan Transparansi Keuangan Daerah
“Dengan pembayaran ke kas daerah, transparansi penggunaan pajak tersebut ke program pemerintahan semakin jelas. Penerimaan dan pengeluaran tercatat ke kas daerah dan Rencana Kerja Anggaran (RKA) sehingga meminimalkan kebocoran anggaran di instansi pemerintah daerah.” Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Balikpapan, Tirta Dewi.
Catatan Akhir Sejak disahkannya UU Nomor 28 Tahun 2009, PBB merupakan salah satu pajak yang dikelola oleh daerah. Hal tersebut membuka kesempatan sebesar-besarnya bagi daerah untuk mengelola dan memanfaatkan potensi PBB di daerahnya. Sebagai daerah yang telah mengelola PBB selama 2 (dua) tahun, Kota Balikpapan terbukti berhasil meningkatkan penerimaan daerah mejadi 2 (dua) kali lipat lebih besar dibanding pada tahun 2011. Ini menunjukkan bahwa Kota Balikpapan memiliki potensi yang sangat besar untuk tanah dan bangunan. Potensi yang besar ini perlu dikelola secara optimal serta diselaraskan dengan peningkatan pelayanan kepada masyarakat sebagai wajib pajak sehingga penerimaan daerah meningkat. Tidak hanya sampai di situ saja, hasil penerimaan ini pun perlu dikelola dengan baik untuk kepentingan masyarakat yang diharapkan dapat meningkatkan perekonomian daerah. n
Saat ini KPPOD memiliki koleksi sekitar 20.000 Perda dalam versi elektronik menyangkut topik ekonomi/ investasi di daerah (Pajak, Retribusi, Perijinan, dll). Untuk melihat daftar koleksi tersebut, silahkan akses http://perda.kppod.org. Bagi individu/ korporasi/ organisasi yang akan memesan koleksi kami, dapat menelusuri prosedur dan syarat pemesanan yang tertera pada menu layanan submenu pemesanan perda.
Terima kasih (Bagian Dokumentasi)
18
Opini
PBB P2, BPHTB dan Kesenjangan antar Daerah
D
ari awal berdirinya NKRI tahun 1945 hingga saat ini, pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia mengalami pasang surut. Pasang surut pelaksanaan pola hubungan antar tingkatan pemerintahan tersebut terkait erat dengan posisi politis pemerintah pusat dan daerah. Manakala pemerintahan pusat dalam keadaan kuat, otonomi daerah bergerak pada ekstrim sentralisme; sebaliknya ketika pemerintahan pusat dalam posisi lemah “konsesi” yang diberikan kepada daerah akan besar dengan palaksanaan desentralisasi.
Setelah otonomi daerah diberlakukan tahun 2001, desentralisasi fiksal di Indonesia mengalami perkembangan yang luar biasa. Pengeluaran Pemda tahun anggaran 2001 meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, yakni menjadi lebih dari 30% dari total pengeluaran pusat dan daerah (Brodjonegoro dan MartinezVazques, 2002). Alasan pemberlakuan desentralisasi fiskal adalah meningkatkan efisiensi penyediaan barang publik sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi (Martinez-Vazques dan McNab, 2003; Brueckner, 2006). Namun dibalik harapan otonomi daerah dapat meingkatkan pertumbuhan ekonomi, otonomi daerah juga berpotensi meningkatkan disparitas pendapatan regional jika tidak dikelola dengan baik (Lessmann, 2006; Shah, 2006). Kekhawatiran ini terjadi karena dalam sistem desentralisasi, pemda mengelola anggaran masing-maing dengan pertimbangan kesejahteraan warganya tanpa berkewajiban memperhatikan warga di luar wilayahnya.
Ig. Sigit Murwito Deputi Direktur Eksekutif KPPOD
Struktur Pendapatan Daerah Otonomi daerah (otda) mengharapkan kemandirian daerah dari sini penerimaan dan keleluasaan dalam membelanjakannya. Sebagai konsekwensi dari pelaksanaan otda di Indonesia, dimana local taxing power yang cukup, merupakan necessary condition bagi terwujudnya otda yang nyata. Memang bukan berarti bahwa daerah harus mampu membiayai semua pengeluarannya dari pendapatannya sendiri. Yang terpenting dalam kemandirian keuangan dalam rangka otda adalah adanya sejumlah sumber penerimaan yang cukup signifikan bagi daerah, sehingga punya keleluasaan untuk memanfaatkannya.
19
Opini
Sejak otonomi daerah diterapkan, kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara rata-rata belum signifikan. Keuangan daerah masih didominasi oleh Dana Perimbangan baik berupa DBH, DAU dan DAK, yang kontribusi secara rata-rata mencapai 63% dari penerimaan daerah. Provinsi relatif lebih mandiri dari sisi penerimaan, dengan kontribusi PAD yang mencapai 46,7% dari total penerimaan daerah. Sementara daerah Kabupaten adalah pihak yang paling tinggi
Kesenjangan Anggaran antar Daerah
Otonomi daerah membawa konsekwensi desentralisasi fiskal yang cenderung membuat anggaran antar daerah lebih beragam. Hal ini dapat dilihat pula dari derajat desentralisasi tiap daerah yang sangat beragam. Dengan melihat kontribusi PAD terhadap APBD masing-masing daerah, kita dapat melihat kesenjangan yang luar biasa. Kesenjangan tersebut tampak antara daerah provinsi, antar kabupaten, kabupatenkota, maupun antar kota. Ada Tabel 1. Struktur Pendapatan Daerah tahun 2013 (dalam %) sekitar 2% kabupaten yang Sumber Pendapatan Kabupaten Seluruh memiliki kontribusi PAD Provinsi Kabupaten Kota Daerah & Kota Daerah lebih dari 20%, namun yang Kontribusi Terhadap APBD memiliki kontribusi antara 10Dana Perimbangan 31,7 79,5 63,6 76,3 63,4 20% mencapai 9,5%, dan yang DBH 15,1 13,1 10,3 12,6 13,3 terbanyak (53,3% daerah) DAU 15,6 59,6 50,0 57,7 45,5 memiliki kontribusi kurang dari 5%. Hal yang sama juga DAK 0,9 6,8 3,4 6,1 4,6 terjadi dengan daerah kota, Lain-lain Pendapatan 21,6 13,0 17,0 13,8 16,1 Daerah yang Sah maupun provinsi. Kondisi ini tentunya akan berpengaruh PAD 46,7 7,5 19,4 9,9 20,5 pada keberagaman anggaran Kontribusi Terhadap PAD antar daerah. Pajak daerah 85,3 39,2 65,8 49,5 73,1 Retribusi daerah
2,5
19,0
14,1
Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
3,1
8,2
3,0
Lain-lain PAD yang sah
9,1
33,5
17,1
Sumber: APBD 2013 DPKPD, diolah
ketergantungan dari dana perimbangan yakni mencapai rata-rata hampir 80%, sementara kota mencapai sekitar 64%. Rendahnya kontribusi PAD tersebut disebabkan karena memang sumber-sumber PAD yang terbatas potensinya. Pajak Daerah adalah sumber PAD terbesar dibandingkan dengan lainnya, yakni untuk provinsi mencapai 85%, sedangkan untuk kota 65%, sedangkan kabupaten hanya 39,2%. Menarik bahwa untuk daerah kabupaten ternyata sumber PAD yang juga signifikan adalah dari pendapatan lain-lain yang sah. Artinya adalah bahwa daerah-daerah kabupaten harus bekerja lebih ekstra untuk menggali potensi PAD dibandingkan dengan Provinsi ataupun Kota. Hal ini terjadi karena basis pajak daerah memang cenderung bias ke daerah perkotaan.
17,1
7,5
6,2
4,2
Sisi penerimaan yang beragam, mengakibatkan keberagaman dari sisi 27,1 15,3 penganggaran. Bila kita membandingkan anggaran perkapita daerah-daerah di Indonesia, khususnya antara daerah kabupaten/kota maka akan terlihat disparitas yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Disparitas anggaran antar daerah, sebelum dan setelah otonomi daerah dapat dilihat
Tabel 2. Sebaran Kontribusi PAD terhadap APBD Provinsi, Kabupaten, dan Kota tahun 2013 (Jumlah Daerah & Prosentase)
Kontribusi PAD terhadap APBD < 5% 5% - 10% 10% - 20% 20% - 30% 30% - 40% 40% - 50% 50% - 60% 60% - 70% 70% - 80% Rata-rata Jumlah Daerah
Provinsi
Kabupaten
N 2 1 5 4 7 5 5 4 0
N 212 139 38 6 2 0 0 0 1
% 6,1 3,0 15,2 12,1 21,2 15,2 15,2 12,1 0,0 46,7 33
Sumber: APBD 2013 DPKPD, diolah
20
% 53,3 34,9 9,5 1,5 0,5 0,0 0,0 0,0 0,3 7,5 398
Kota N 12 32 31 11 4 2 1 0 0
% 12,9 34,4 33,3 11,8 4,3 2,2 1,1 0,0 0,0 19,4 93
Opini
pada grafik 1. Nilai grafik Williamson yang semakin tinggi menunjukkan keragaman anggaran daerah yang semakin besar. Tahun 1995 (sebelum otonomi daerah) nilai Indeks Williamson masih berada pada angka 0,4947, sementara pada tahun 2013 angkanya mencapai 0,7858, dan memperlihatkan trend yang semakin meningkat setiap tahunnya (kecuali ditahun 2007 sempat turun). Grafik 1. Indeks Williamson APBD Perkapita Kabupaten/Kota di Indonesia
Kecenderungan desentralisasi fiskal yang membuat keragaman anggaran antar wilayah, terjadi karena salah satunya pengeluaran pemerintah tergantung dari besarnya penerimaan. Kita tahu bahwa kewenangan pemda sejak otonomi daerah menjadi lebih luas dalam penerimaan daerah termasuk untuk mendapatkan PAD dan DBH. Komponen PAD dan DBH antar daerah sangat beragam karena potensi pajak dan sumber daya alam antar daerah juga beragam. Daerah yang memiliki potensi pajak yang tinggi atau SDA yang melimpah cenderung mendapatkan penerimaan lebih besar. Beberapa pajak/retribusi yang ditetapkan untuk daerah berdasarkan UU Pajak dan Retribusi Daerah, memiliki basis pungutan yang relatif kecil dan untuk beberapa jenis pajak yang potensial penyebarannya tidak merata antar daerah. Yang diuntungkan dengan design perpajakan daerah umumnya adalah daerah perkotaan dan kabupaten yang berbasis pariwisata. Daerah-daerah tersebut memiliki potensi pajak reklame, penerangan jalan, hotel dan restoran. Di tingkat popinsi hanya daerah yang memiliki banyak kendaraan bermotor yang menikmati penerimaan PAD. Sementara untuk daerah terpencil ataupun daerah pertanian, relatif hanya sedikit PAD yang terderivasi dari aktivitas ini. Daerahdaerah perkotaan atau daerah-daerah yang memiliki
tingkat urbanisasi tinggi (urban bias) ternyata lebih diuntungkan dengan struktur pajak daerah yang ada. Kemampuan administrasi pungutan di daerah yang bervariasi pun menjadi penyebab disparitas pendapatan antar daerah, sehingga cenderung pemungutan pajak terbebani oleh biaya pungut yang besar. PAD masih tergolong memiliki tingkat “buoyancy” yang rendah.
Kesenjangan Penerimaan PBB P2 dan BPHTB antar Daerah. Perbedaan penerimaan antar daerah semakin lebar sejak pemberlakuan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, dimana salah satu komponen PAD bertambah dengan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Pedesaan (PBB P2) dan Bea Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) menjadi kewenangan daerah. Jika ditinjau dari sisi pengalihan penerimaan sebenarnya tidak semua daerah akan menikmati pertumbuhan PAD dari PBB P2 dan BPHTB. Dari hasil analisa perhitungan perubahan penerimaan PBB P2 akibat dari berlakunya UU Nomor 28 Tahun 2009, hanya akan dinikmati oleh kota-kota besar saja yang dalam waktu dekat akan mengalami penambahan penerimaan dari proses devolusi ini. Dengan berlakunya UU PDRD maka skema bagi hasil atas PBB menjadi tidak berlaku lagi. Pemda Kabupaten/ Kota akan murni menerima seluruh penerimaan PBB P2 untuk setiap tanah dan atau bangunan yang hanya berada di lokasinya saja menjadi PAD tanpa perlu dibagi ke daerah lain dan Propinsi. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah masalah biaya pengololaan PBB P2 (collection cost). Biaya pengelolaan yang selama ini ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah pusat dengan berlakunya UU PDRD maka pemerintah daerah secara otomatis akan menanggungnya. Artinya dimungkinkan ada daerah yang biaya pengelolaannya nanti akan lebih besar dibandingkan dengan hasil pemungutannya. Hal ini bisa dilihat dari penerimaan daerah dari PBB P2 dan BPHTB selama tahun 2013. Kehadiran PBB P2 dan BPHTB, tampak semakin mempertajam disparitas pendapatan antar daerah. Apalagi mengingat sebelum kedua pajak tersebut didaerahkan dengan design desentralisasi fiskal yang ada telah mengakibatkan disparitas. Dari 491 Kabupaten/Kota di Indonesia, pada tahun anggaran
21
Opini Tabel 3. Sebaran Kontribusi PBB P2 dan BPHTB terhadap Keuangan Daerah tahun 2013 (Jumlah Daerah)
PBB P2 Kontribusi
BPHTB
Pajak Daerah
PAD
APBD
Pajak Daerah
PAD
APBD
< 10%
10
55
127
207
363
439
10% - 20%
27
63
2
116
50
3
20% - 30%
45
8
0
55
17
0
30% - 40%
32
3
0
39
8
0
40% - 50%
14
0
0
10
3
0
> 50%
1
0
0
15
1
0
Rata-rata
26,97
11,44
1,8
15,62
5,76
0,78
Jumlah Daerah
129
129
129
442
442
442
Sumber: APBD 2013 DPKPD, diolah
2013 terdapat 129 daerah yang sudah memungut PBB P2. Kebanyakan daerah-daerah yang telah memungut PBB P2 adalah daerah-daerah di Jawa dan Bali, serta daerah-daerah perkotaan di luar Jawa. Hal ini dapat dimaklumi karena potensi dari PBB P2 ini memang lebih besar di daerah dengan karakter perkotaan yang memiliki nilai obyek pajak yang tinggi dibandingkan daerah-daerah di rural. Kontribusi PBB P2 terhadap keuangan daerah cukup signifikan. Dari 129 daerah, rata-rata kontribusi PBB P2 terhadap pajak daerah adalah sebesar 27%, sedangkan terhadap PAD adalah 11% dan terhadap keseluruhan penerimaan daerah sebesar 2%. Sekitar 30% daerah memiliki kontribusi PBB P2 lebih dari 30% terhadap Pajak Daerah, namun seluruhnya adalah daerah-daerah di Jawa dan Bali, dan hanya 10 daerah yang berasal dari luar Jawa itupun daerah-daerah perkotaan. Hanya Surabaya dan Medan yang kontribusi PBB P2 mencapai lebih dari 40% dari Pajak Daerahnya. Hasil yang relatif sama juga terjadi pada BPHTB, yang memperlihatkan disparitas antar daerah yang tinggi serta tetap bias urban. Hal ini memperjelas bahwa kehadiran PBB P2 dan BPHTB semakin membuat disparitas pendapatan antar daerah. Tidak mengherankan jika hingga tahun 2013 kemudian baru ada 129 daerah yang memungut PBB P2, karena untuk sebagian besar daerah administrasi pemungutan dan potensi penerimaan PBB P2 lebih menguntungkan bila dijadikan pajak pusat dan didistribukan dalam bentuk bagi hasil.
Tata Kelola Anggaran dan Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah Maka keragaman penerimaan pemda akan berdampak pada keragaman pengeluaran pemerintah, yang pada akhirnya berdampak pada performa perekonomiannya.
22
Harus disadari bahwa performa perekonomian suatu wilayah merupakan hasil kinerja dari sebuah sistem ekonomi. Hal ini menyebabkan perbedaan output antar daerah, karena pengeluaran pemerintah merupakan salah satu variabel penentu output. Dalam sistem ekonomi terdapat pelaku ekonomi yang terdiri dari produsen, konsumen dan pemerintah. Produsen dan konsumen berinteraksi dalam sistem pasar, sedangkan pemerintah mempengaruhi pasar melalui pemberlakuan kebijakan ekonomi baik moneter maupun fiskal.
Sempitnya basis pajak ini bagi sementara daerah memperkecil kemampuannya untuk melakukan manuver keuangan daerah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya. Dengan demikian perbedaan pengeluaran pemerintah akan berpotensi menciptakan kesenjangan ekonomi antar wilayah, karena Pemda akan mengutamakan kesejahteraan warganya tanpa berkewajiban mengurus kesejahteraan daerah lain. Pengeluran daerah kaya cenderung lebih besar daripada pengeluaran daerah miskin. Hal ini berdampak pada output yang dihasilkan oleh masingmasing daerah, dimana output daerah kaya akan lebih tinggi daripada output daerah miskin. Selain keberagaman anggaran, perbedaan dalam pengelolaan urusan pemerintahan juga menjadi penyebab keragaman pendapatan. Sejak otonomi daerah, sebagian urusan pemerintah dilimpahkan ke daerah seperti diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, serta PP Nomor 38 Tahun 2007. Dalam mengelola urusan pemerintahan, setiap daerah memiliki kemampuan yang berbeda karena perbedaan dalam faktor endowment. Faktor endowment tersebut antara lain: kapasitas pemerintah darah, sumber daya manusia, dan ketersediaan infrastruktur. Perbedaan pengelolaan urusan pemerintahan pada gilirannya menyebabkan perbedaan kecepatan pertumbuhan ekonomi yang terefleksikan dalam disparitas pendapatan yang semakin besar. Dengan menggunakan Indeks Williamson PDRB Per Kapita, kita dapat mengukur kesenjangan output antar daerah. Pada tahun 1995 tingkat kesenjangan (nilai Indeks Williamson) adalah sebesar 0,721, sementara di tahun 2013 melonjak lebih dari 100% yakni menjadi 1,5706. Nilai indeks yang semakin besar menunjukkan derajat kesenjangan yang semakin tinggi. Dari
Opini Grafik 2. Indeks Williamson PDRB Perkapita Kabupaten/Kota di Indonesia
grafik 2, kita bisa melihat bahwa selama pelaksanaan desentralisasi justru menunjukkan trend kesenjangan antar daerah semakin tinggi. Hal tersebut dapat terjadi kemungkinan karena dalam lingkup regional, pengeluaran pemerintah daerah turut berperan dalam menentukan output daerahnya. Oleh kerena itu, pengaruh pengeluaran pemerintah daerah terhadap perekonomian lokal dapat terjadi melalui sisi penawaran dan permintaan. Besar peran pemda dalam mempengaruhi permintaan dapat dilihat dari nilai multiplier, yang menunjukkan perubahan output yang diakibatkan pengeluaran pemerintah. Besarnya pengeluaran daerah sangat tergantung dari penerimaan daerah, maka keragaman penerimaan pemda akan berdampak pada keragaaman pengeluaran. Daerah yang kaya cenderung lebih besar dalam pengeluaran daerah, selanjutnya berdampak pada output yang dihasilkan.
Fragmentasi Pemerintahan Mempersempit Ruang Fiskal Pemerataan antar Daerah. Pemerintah pusat, semestinya memerankan diri untuk mendorong integrasi antar daerah dan memperkecil kesenjangan. Dengan membuka akses antar daerah, pembangunan infrastruktur jalan, pelabuhan, dan
lainnya sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi mestinya menjadi peran pemerintah pusat. Infrastruktur merupakan salah satu trigger yang dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi. Namun demikian dampak dari penerapan otonomi daerah mengakibatkan dana yang dipegang oleh pemerinah pusat semakin sedikit. Semakin besarnya transfer pusat ke daerah akan mempersempit ruang fiskal pemerintah pusat untuk membuat kebijakan dan program pemerataan antar daerah.
DAU semestinya mampu menyeimbangkan disparitas antar daerah. Namun fenomena fragmentasi pemerintahan di Indonesia turut serta dalam memperburuk pemerataan perekonomian antar daerah. Fragmentasi di pusat terlihat dari pendekatan sektoral yang cenderung terlalu kuat. Masing-masing kementerian relatif otonom dan diperparah lagi dengan afiliasi politik Menteri yang beragam dan koalisi pemerintah yang rapuh. Fragmentasi pusat tersebut turun ke daerah, yang terlihat dari kehadiran kementerian secara sendirisendiri tanpa koordinasi di setiap daerah “binaannya”. Fragmentasi antar Level Pemerintahan tersebut kentara terlihat dari kehadiran Pusat di daerah dengan danadana dekonsentrasi, provinsi dan kabupaten/Kota dengan otonominya. Akibatnya skema DAU tidak mampu sebagai mekanisme untuk mempersempit celah fiskal antar daerah, dan kesenjangan antar daerah semakin terasa selama masa desentralisasi ini. Memperkecil perbedaan anggaran antar daerah dengan meningkatkan penerimaan daerah tertinggal melalui penambahan transfer tampaknya perlu dipikirkan. Artinya reformulasi desentralisasi fiskal menjadi satu agenda prioritas pemerintah kedepan dalam mengatasi kesenjangan antar daerah. Perlakuan khusus dari sisi fiskal terhadap daerah-daerah terbelakang salah satu yang dapat dipikirkan untuk masuk dalam perhitungan formulasi desentralisasi fiskal. Tanpa upaya-upaya fiskal yang serius disparitas anggaran dan ekonomi antar wilayah tak akan dapat diselesaikan.
23
Laporan Pelatihan RIA
Perumusan Kebijakan Melalui Metode RIA
M
etode Analisis Dampak Regulasi (Regulatory Impact Assesment) Atau yang sering disingkat dengan RIA merupakan salah satu cara untuk mengkaji permasalahan dan kebutuhan akan kebutuhan regulasi, menghitung untung ruginya, dan mempertimbangkan berbagai alternative solusi atas masalah yang diidentifikasi.
Metode RIA bukanlah sebuah metode baru, di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Inggris, Belanda, dan Jepang konsep ini telah diberlakukan, bahkan metode ini sudah menjadi pondasi yang secara resmi (legal) digunakan dalam merumuskan kebijakan. Di Indonesia sendiri, belum terdapat peraturan perundang-undangan yang secara spesifik mewajibkan penggunaan metode ini. Namun, jika meninjau Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, dimana UU ini mewajibkan partisipasi masyarakat, Menunjukan bahwa metode RIA tepat untuk digunakan. Metode ini mampu mengakomodir partisipasi masyarakat dan mempertimbangkan untung rugi bagi seluruh pihak yang terdampak. Mengingat besarnya manfaat yang dapat diperoleh dari Metode RIA maka Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) melaksanakan pelatihan Metode RIA kepada seluruh staf KPPOD. Pelatihan RIA diselenggarakan pada 30 Juni hingga 03 Juli 2014 berlokasi di Hotel Royal Kuningan. Kegiatan ini juga merupakan salah satu rangkaian kegiatan program Knowledge Sector Initiative (KSI) untuk mengembangkan kapasitas internal organisasi. Konsep pelatihan ini berbentuk Training for Trainer (TFT), artinya pelatihan ini bertujuan untuk memproyeksikan para peneliti KPPOD tidak sekedar mampu menggunakan metode RIA namun mampu melakukan pendampingan kepada pemerintah daerah (pemda) untuk menggunakan metode RIA sebagai alat penyusun kebijakan.
24
M. Iqbal Damanik Peneliti KPPOD
Laporan Pelatihan
Penggunaan metode RIA oleh pemda diharapkan mampu menghasilkan kebijakan yang baik. Menurut Agus Ediawan yang menjadi trainer penuh dalam pelatihan ini, paling tidak ada dua kunci utama metode RIA dianggap dapat memenuhi ukuran kebijakan yang baik. “Ada dua kunci utama metode RIA ini mampu memenuhi ukuran kebijakan yang baik. Pertama, adanya partisipasi masyarakat (stakeholder) yang dapat meningkatkan transparansi, kepercayaan dan mengurangi resiko ditolaknya sebuah kebijakan. Kedua, RIA mampu Menemukan pilihan yang paling efektif dan efisien sehingga dapat mengurangi biaya implementasi bagi pemerintah dan biaya transaksi bagi masyarakat.” Katanya di sela-sela pelatihan berlangsung. Rangkaian Kegiatan Hari pertama pelatihan berfokus pada pengenalan RIA sebagai tools untuk mengkaji dan menyaring kebijakan. Pada tahap ini, peserta diharapkan membangun pemahaman yang sama bahwa metode RIA dapat menghasilkan kebijakan yang berkualitas. Dijelaskan pula mengenai definisi dan manfaat RIA. RIA membantu pemerintah untuk mengidentifikasi apakah suatu peraturan sungguh-sungguh diperlukan, apa saja untung rugi penerapan peraturan yang diusulkan untuk diterapkan, dan solusi alternatif untuk peraturan tersebut. Hari kedua, pelatihan ini dilanjutkan dengan agenda merumuskan tujuan perumusan alternatif tindakan (opsi), serta merumuskan alternatif tindakan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya melalui metode RIA akan timbul berbagai opsi atas kebijakan yang sedang ditelaah.
Hari ketiga kegiatan difokuskan pada analisis manfaat dan biaya. Menyambung pertemuan di hari kedua, menganalisis banyaknya pilihan yang ditawarkan. Untuk memilih tindakan yang tepat tentu membutuhkan argumentasi yang kuat. Dengan menganalisis biaya serta manfaat dari masing-masing alternatif tindakan yang ada, akan terlihat tindakan mana yang lebih besar manfaatnya. Ini sekaligus akan memperkuat argumentasi memilih tindakan tersebut. Kegiatan selanjutnya adalah mempelajari konsultasi stakeholder dan strategi implementasinya. Setelah tindakan dipilih konsultasi stakeholder kembali dilakukan, untuk menghimpun dukungan sekaligus “uji publik” terhadap keputusan yang akan diambil. Yang tidak kalah penting adalah strategi implementasi, agar kebijakan tidak terkesan gagal, karena masyarakat tidak mengetahui keberadaan kebijakan tersebut. Untuk itulah penting mempelajari strategi implementasi kebijakan yang tepat yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat dewasa ini. Pelatihan hari keempat, sekaligus menjadi rangkaian kegiatan terakhir adalah penulisan RIA Statement (RIAS) dan menyiapkan bahan presentasi. Hasil analisis kebijakan dengan menggunakan metode RIA, menghasilkan draft keputusan tindakan yang disebut dengan RIA Statement atau disingkat RIAS. RIAS inilah yang nantinya akan didiseminasikan kepada stakeholder. Untuk publikasi bagi stakeholder terkait dapat dilakukan dengan mempresentasikan hasil keputusan tersebut. Itulah pentingnya mempelajari teknik presentasi yang baik, mengingat pelatihan ini diperuntukan bagi calon trainer RIA tentunya teknik presentasi menjadi sangat penting dipelajari. n
25
Seputar Otonomi
Perubahan Landasan Hukum Otonomi Daerah
1. Pengesahan UU No.23 Thn 2014 Tentang Pemda Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengesahkan Rancangan UndangUndang (RUU) Pemerintah Daerah, Jumat (26/9) yang lalu. Poin-poin dalam UU yang baru disahkan mencakup segala hal berkaitan dengan proses demokrasi kedepan dan penataaan infrastruktur pemerintah pusat-daerah. Hal itu antara lain, pertama tentang kewenangan yang lebih clear antara pemerintah pusat dan provinsi, kota serta kabupaten. Dalam UU ini kewenangan Gubernur diperkuat, salah satunya terkait dengan pertambangan, kehutanan, kelautan, dan perikanan yang sebelumnya merupakan kewenangan kabupaten/kota. Kedua, tentang kepulauan, yakni percepatan pembangunan daerah kepulauan yang dahulu masuk dan dirancang dalam UU Pemilu, sekarang bisa dipisahkan. Ketiga, penataan otonomi daerah baru, diketahui saat ini terlalu banyak usulan pembentukan DOB baru di mana ke depan diperketat aturan pembentukan DOB. Pemekaran daerah dilakukan melalui tahapan daerah persiapan provinsi atau daerah persiapan kabupaten/kota. Pembentukan daerah persiapan harus memenuhi persyaratan dasar dan administratif. Daerah persiapan nantinya akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah dengan jangka waktu daerah persiapan selama tiga tahun. Selama menjadi daerah persiapan, daerah induk berkewajiban menyiapkan daerah persiapan agar bisa menjadi DOB. Pemerintah pusat ikut membina, mengawasi, dan mengevaluasi selama masa daerah persiapan. Sementara DPR dan DPD ikut melakukan pengawasan. Setelah tiga tahun, apabila daerah persiapan dinyatakan tidak layak menjadi DOB, daerah persiapan akan dikembalikan ke daerah provinsi/kabupaten/kota induk. Meskipun ada Perppu yang dikeluarkan terkait UU ini yaitu Perppu Nomor 2 Tahun 2014. UU ini tetap berlaku. Perubahan yang terjadi pada Perppu Nomor 2 Tahun 2014 hanya mencabut dua pasal, yakni yang terkait dengan kewenangan DPRD memilih kepala daerah.
26
M. Iqbal Damanik Peneliti KPPOD
Seputar Otonomi
2. Terbitnya Perppu Sebagai Tanggapan Terhadap Pilkada tak Langsung Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah hanya berlaku dalam hitungan hari. UU ini mendapat penentangan yang luas dari publik, dikarenakan mengatur pemilihan kepala daerah secara tidak langsung atau melalui DPRD. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menanggapi polemic ini dengan menerbitkan dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang guna mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung. Perppu yang diterbitkan adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, serta Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 ini sekaligus mencabut UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang diputuskan DPR pada 26 September yang mengatur pilkada oleh DPRD. Sementara Perppu Nomor 2 Tahun 2014 hanya mencabut dua pasal UU Nomor 23 Tahun 2014 yang terkait dengan kewenangan DPRD memilih kepala daerah. Perppu ini dikeluarkan sebagai respon Presiden yang menyatakan sependapat dengan pandangan, pilkada langsung merupakan buah demokrasi. Penerbitan Perppu ini dasari atas dasar kegentingan memaksa. Kuatnya aspirasi rakyat menolak pilkada tidak langsung menjadi alasan bahwa Undang-Undang ini tidak mendapat dukungan dari rakyat. Hal lainnya yang menjadi dasar kegentingan memaksa ialah jadwal dari total 204 pemilihan kepala daerah pada tahun 2015. Perppu ini nantinya akan berubah menjadi UU dan sebagai dasar pelaksanaan pilkada langsung yang akan dilaksanakan serentak di tahun 2015 jika diterima dalam sidang paripurna DPR. Namun, jika ditolak maka UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang pemilihan kepala daerah akan berlaku kembali.
3. Disahkannya RUU Administrasi Pemerintahan Pemerintah dan DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Administrasi Pemerintahan yang telah dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR, di Jakarta, Jumat (26/9). Dengan disahkannya RUU tersebut, akan memberikan angin segar karena Undang-Undang ini akan menciptakan tertib penyelenggaraan administrasi pemerintahan, kepastian hukum mencegah terjadinya penyalagunaan wewenang, memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan aparatur pemerintahan, serta membuat pejabat negara tidak punya keragu-raguan dalam mengambil kebijakan. Undang-Undang ini akan menjadi manual bagi kepala daerah menjalankan pemerintahannya. Undang-Undang ini juga membuat pembuat keputusan tak mudah dikriminalisasi, yang selama ini dianggap bisa melemahkan saat melakukan inovasi di pemerintahan. Secara umum, Undang-Undang ini berisi jenisjenis kewenangan atribusi, delegasi, dan mandat. Lalu yang kedua kejelasan tanggung jawab dan kewenangan. Ketiga, kejelasan soal larangan penyalahgunaan wewenang. Undang-Undang ini diharapkan mampu menjawab tantangan atau permasalahan yang muncul dari upaya reformasi birokrasi. undang-undang ini diharapkan menjadi landasan hukum untuk mengenali sebuah keputusan dan atau tindakan sebagai kesalahan administrasi atau penyalahgunaan wewenang yang berujung pada tindak pidana. Kehadiran Undang-undang tentang Administrasi Pemerintahan sekaligus menjaga agar badan atau pejabat pemerintahan tidak mengambil keputusan atau tindakan sewenang-wenang. dan masyarakat pun terlindungi dari kesewenang-wenangan dan praktek mal-administrasi yang dilakukan oleh pejabat negara. n
27
Agenda KPPOD
Kegiatan KPPOD Terkini
1. Workshop Kemudahan Berusaha 4 Kota di Indonesia KPPOD bekerjasama dengan BKPM dan didukung oleh Asian Development Bank (ADB) telah melaksanakan studi evaluasi implementasi rencana aksi kemudahan berusaha di daerah. Studi yang telah dilaksanakan pada bulan Agustus-September tersebut dilakukan di 4 Kota besar di Indonesia yaitu Surabaya, Balikpapan, Medan, dan Makassar. Kegiatan Workshop dengan tema “Evaluasi Pelaksanaan Rencana Aksi Pemerintah untuk Peningkatan Kemudahan Berusaha 4 Kota di Indonesia” ini telah diselenggarakan pada Rabu, tanggal 15 Oktober 2014, di Jakarta. Workshop ini dihadiri oleh perwakilan dari Pemda dari daerah studi, Kementerian terkait seperti BKPM, Ditjen Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenpanRB), Kementerian Perdagangan, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dan pihak terkait lainnya.
28
Winantyo IT & Dokumentasi KPPOD
Agenda KPPOD
Dengan menggunakan metodologi survei Doing Business yang dilakukan oleh World Bank dan IFC (International Finance Corporation), studi ini difokuskan pada 4 Indikator yaitu indikator memulai usaha, indikator izin-izin mendirikan bangunan, pendaftaran tanah dan bangunan, dan proses pembayaran pajak dan premi asuransi. Studi dilakukan melalui proses wawancara mendalam kepada pihak-pihak terkait dalam proses berusaha di daerah seperti Pemda (perangkat daerah terkait) sebagai penyedia layanan, notaris, biro jasa perizinan, dan asosiasi pengusaha. Dari studi tersebut didapat data dan informasi bagaimana implementasi rencana aksi pemerintah pusat di daerah. Data yang terkumpul diantaranya data dan informasi terkait penyelenggaraan proses berusaha di daerah dari sisi prosedur, biaya, dan waktu yang harus dikeluarkan oleh pengusaha sejak proses mendirikan usaha hingga perusahaan tersebut beroperasi. Workshop ini ditujukan untuk memberikan hak sanggah kepada Pemda terkait atas hasil studi sementara yang telah dihasilkan. Selain itu, workshop ini juga ditujukan untuk mendapatkan tanggapan dan masukan dari pihak lain atas hasil studi sementara serta dapat menghasilkan rekomendasi kebijakan untuk langkah perbaikan proses kemudahan berusaha ke depan.
2. Renstra KPPOD Kedepan Masih dalam kerangka tema penguatan kapasitas kelembagaan hasil kerjasama antara KPPOD
dengan KSI (Knowledge Sector Initiative), KPPOD bekerjasama dengan Penabulu Alliance berupaya membangun rencana strategis (rensta) KPPOD kedepan. Kegiatan yang berlangsung selama 2 hari ini (13-14 Oktober 2014) diikuti oleh seluruh Staf KPPOD. Metode FGD digunakan dalam training ini untuk menghimpun seluruh pandangan Staf tentang kondisi kekinian KPPOD, lalu membangun rancangan bersama tujuan KPPOD kedepannya. Hari pertama penyusunan rentra ini digunakan untuk mengidentifikasi suluruh pekerjaan KPPOD. Hal-hal apa saja yang sudah dilakukan dan apa saja keunggulan dari kegiatan tersebut. Dari proses ini ditemukan produk unggul yang sudah dilakukan KPPOD, sekaligus mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang tidak begitu berkontribusi dalam pencapaian visi dan Misi KPPOD. Hari kedua penyusunan rentra seluruh staf KPPOD berfokus kepada rancangan kegiatan kedepannya yang bertolak dari hasil evaluasi di hari pertama. Dari proses ini di hasilkan nilai dasar dari kegiatan dan inovasi yang akan dilakukan. Penyusunan Renstra organisasi diharapkan akan memudahkan KPPOD dalam menjalankan roda organisasi. Pekerjaan demi pekerjaan yang dilakukan KPPOD tidak keluar dari tujuan awal yang sesuai dengan visi dan misi KPPOD yaitu “KPPOD ikut mewujudkan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat dengan mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif di seluruh wilayah Indonesia.” n
29
PUBLIKASI KPPOD
T K E D (Tata Kelola Ekonomi Daerah) 2011 ini bertujuan memberikan gambaran mengenai kualitas TKED di 245 kabupaten/kota di 19 provinsi di Indonesia. Studi ini diharapkan dapat menjadi basis bagi pemerintah daerah kab./ kota untuk memprioritaskan reformasi dan perbaikan kinerja atas berbagai aspek tata kelola ekonomi daerahnya. Selain itu, studi ini juga diharapkan dapat menciptakan iklim kompetisi antar kab./kota yang sehat. Bagi pemerintah provinsi hasil kajian ini dapat dipergunakan sebagai salah satu alat pemantauan kinerja kab./kota. Bagi pelaku usaha, hasil studi ini diharapkan memberikan informasi mengenai kualitas tata kelola ekonomi di masing-masing kabupaten/kota yang dapat membantu mereka melakukan putusan inventasi dan pengembangan usaha.
Doing Business di Indonesia 2012 merupakan laporan khusus kedua yang mengukur kinerja di daerah dari seri Doing Business di Indonesia. Tahun 2010, analisa telah dilakukan atas indikator-indikator kuantitatif yang terkait dengan peraturan-peraturan usaha di 14 kota: Balikpapan, Banda Aceh, Bandung, Denpasar, Jakarta, Makassar, Manado, Palangka Raya, Palembang, Pekanbaru, Semarang, Surabaya, Surakarta, dan Yogyakarta. Tahun 2012, Doing Business di Indonesia mencatat perbaikan di 14 kota yang telah diukur sebelumnya dan memperluas cakupan analisa ke 6 kota lainnya seperti: Batam, Gorontalo, Jambi, Mataram, Medan, dan Pontianak. Kriteria seleksi mencakup tingkat urbanisasi, populasi, kegiatan ekonomi, keragaman politis dan geografis, dan faktor lain.
Panduan Pembuatan Kebijakan (Perda Ramah Investasi) ini bertujuan untuk memandu dalam penyusunan Ranperda (Rancangan Peraturan Daerah) bagi pemerintah provinsi, kabupaten dan kota agar lebih terencana dengan jelas, terpadu dan sistematis agar perda yang terbit tidak berbenturan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Karena perda yang ditemui seringkali dibuat justru tidak bertujuan untuk memecahkan masalah dan kadang kurangnya pembaharuan data/kemutakhiran acuan yuridis, kurang aspiratif dan partisipatif, serta substansinya sering membebani dunia usaha.
Peningkatan Rantai Nilai Produksi Kakao dimaksudkan untuk memberi kontribusi bagi penciptaan lingkungan investasi yang kondusif bagi aktivitas usaha kakao yang merupakan cerminan ekonomi kerakyatan. Program ini sekaligus untuk evaluasi dan masukan atas pelaksanaan program nasional GERNAS untuk meningkatkan produksi dan kualitas kakao. Daerah penelitian dilaksanakan di Kabupaten Majene (Provinsi Sulawesi Barat) dan Kabupaten Sikka (Provinsi Nusa Tenggara Timur). Studi penelitian ini dilakukan mengingat bahwa pada tahun 2009 Indonesia tercatat menjadi produsen kakao terbesar ketiga di dunia. Export kakao juga merupakan terbesar ketiga untuk sektor pertanian (Setelah kelapa sawit dan karet).
30
Edisi Mendatang KPPOD Brief Edisi Oktober - Desember 2014, mengangkat tema: Evaluasi Implementasi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 (Evaluasi Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi Daerah). KPPOD Brief Edisi Januari - Maret 2015, mengangkat tema: Penguatan Kapasitas Fiskal Daerah.
Menerima Sumbangan Tulisan KPPOD menerima sumbangan tulisan dalam bentuk kategori, Opini, Artikel, Esai maupun Feature. Tulisan yang dikirim merupakan hasil karya sendiri dan dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis, dan tidak merendahkan pihak tertentu. Tulisan yang dimuat akan mendapat imbalan secukupnya. Syarat dan ketentuan tulisan adalah sebagai berikut: Tulisan sesuai dengan tema-tema KPPOD, seperti Desentralisasi Ekonomi, Pelayanan Publik di Daerah, Iklim Investasi, dan Profil Daerah (Rubrik dari Daerah). Menggunakan bahasa yang mudah dipahami, baik dan benar. Untuk kategori Feature (dari Daerah), panjang tulisan maksimal 10000 karakter tanpa spasi. Untuk kategori Esai, Opini, Artikel, panjang tulisan maksimal 5500-6000 karakter tanpa spasi (disertai dengan foto kejadian). Menyertakan identitas penulis secara singkat dan jelas disertai dengan foto, dan menyertakan nomor telepon yang dapat dihubungi. Isi tulisan menjadi tanggung jawab penulis. Tulisan yang dikirim akan diedit seperlunya tanpa merubah substansi. Tulisan dikirim ke redaksi KPPOD Brief, email:
[email protected] dan cc ke:
[email protected]
31
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Regional Autonomy Watch Permata Kuningan Building 10th Fl. Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C Guntur, Setiabudi, Jakarta Selatan 12980 Phone : +62 21 8378 0642/53, Fax : +62 21 8378 0643 http://www.kppod.org, http://perda.kppod.org, http://pustaka.kppod.org