Edisi Januari-Maret 2016
Penguatan UMKM dalam Menghadapi MEA Menjadi Pemain Utama di Era MEA
KPPOD
Membangun Indonesia dari Daerah
Dana Transfer dan Harapan Baru Kepala Daerah
2
Editorial
Memenangkan MEA Daftar Isi Artikel ....................................... 4 Review Regulasi ........................ 8 Dari Daerah............................. 12 Opini ........................................ 16 Laporan Kegiatan ................... 19 Seputar Otonomi .................... 21 Agenda KPPOD...................... 25
Susunan Redaksi Penanggung Jawab: Robert Na Endi Jaweng Pemimpin Redaksi: M. Iqbal Damanik Redaktur Pelaksana: Boedi Rheza Staff Redaksi: Tities Eka Agustine M. Yudha Prawira Nur Azizah Febryanti H. Nurcahyadi Suparman Aisyah Nurrul Jannah Distribusi: Regina Retno Budiastuti Eka Sukmana Agus Salim Layout: Winantyo
Alamat Redaksi: Gd. Permata Kuningan Lt.10 Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C Guntur, Setiabudi Jakarta Selatan 12980 Phone : +62 21 8378 0642/53 Fax : +62 21 8378 0643 www.kppod.org http://perda.kppod.org http://pustaka.kppod.org
S
ebagai sebuah organisasi regional di wilayah Asia Tenggara, ASEAN terus berupaya untuk menciptakan wilayah ekonomi yang terintegrasi. Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) adalah salah satu perwujudan dari keinginan tersebut dan bertujuan menciptakan ekonomi yang stabil di wilayah Asia Tenggara serta mendorong daya saing negaranegara anggotanya di kancah perekonomian global. MEA merupakan sistem pasar bebas, yang berarti Indonesia harus siap untuk menghadapi persaingan antar negara anggota. Peran pemerintah dalam membentuk regulasi dan perundang-undangan tentang masalah investasi dan kompetisi usaha harus diperkuat. Kebijakan yang diambil pemerintah akan jadi penentu kemenangan atau kekalahan Indonesia. Di lain pihak, pemerintah harus memfasilitasi masyarakat dalam mendorong pertumbuhan kualitas barang dan jasa. Pemerintah juga harus menyadari bahwa tanpa peran masyarakat, terutama pelaku bisnis, Indonesia akan sulit untuk bersaing dengan negara-negara anggota lainnya. Apalagi, negara-negara tetangga Indonesia merupakan pemain besar di bidang ekonomi global, seperti Malaysia dan Singapura. KPPODBrief kali ini mencoba untuk memberikan satu sudut pandang mengenai MEA, yaitu peran apa yang bisa diambil oleh pemerintah daerah dalam mensukseskan Indonesia dalam kancah pasar bebas bernama MEA. Mengambil UMKM sebagai titik tolak pembahasan Rubrik Artikel menjelaskan secara spesifik dukungan UMKM dalam perekonomian masyarakat ASEAN serta peluang menguntungkan bagi Indonesia yang semakin besar jika berfokus pada pengembangan UMKM. Tentu, UMKM yang dimaksud harus berdaya saing, memiliki kualitas produksi yang bagus, dan intensifikasi penggunaan teknologi. Mengambil contoh dukungan pemerintah daerah, Rubrik Dari Daerah mencoba menghimpun cerita dari Kota Surabaya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa, belum adanya peta jalan yang diberikan oleh pemerintah pusat dalam menghadapai MEA. Menyadari hal ini Pemkot Surabaya berinisiatif untuk memasukkan MEA ke dalam isu strategi dokumen perencanaan pembangunan daerah. Melalui Dinas sektoral seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi dan UMKM, dan Dinas Ketenagakerjaan menguatkan UMKM dan tenaga kerja melalui tupoksi yang mereka miliki. Misalnya program pembinaan UMKM, dibukanya rumah Bahasa serta pelatihan tenaga kerja gratis. Inisiatif yang mensinergikan dinas sektoral untuk sama-sama berperan aktif mensukseskan MEA patut dicontoh oleh daerah lain, bahkan menjadi masukan bagi pemerintah pusat. Tak hanya bercerita tentang pemda dan UMKM, KPPODBrief kali ini juga memberikan suatu gambaran luas tentang bagaimana posisi Indonesia dalam era MEA. Rubrik Opini mencatat dengan data dan analisis yang mendalam mengenai peluang dan tantangan. Usul serta gagasan juga kami berikan kepada pemerintah Indonesia untuk menyusun langkah-langkah yang jelas agar MEA tak malah menjadi kerjasama yang merugikan. Sejumlah rubrik kami sajikan ke hadapan pembaca dengan harapan memberikan ide yang mencerahkan pada pengampuh kewenangan dan tentu saja agar ide ini juga dapat disebarluaskan oleh kita semua. MEA bukanlah sebuah beban namun pemicu untuk Indonesia berbenah. (ID)
3
Artikel
Penguatan UMKM dalam Menghadapi MEA
U
saha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) mendapat perhatian dalam “Blueprint Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”. Pilar ketiga MEA menegaskan pembangunan merata (equitable development) yang berfokus kepada pengembangan UMKM. Bagaimana upaya Pemerintah, terutama Pemda, membangun daya dukung kebijakan dan program bagi penguatan UMKM di daerah ini untuk bisa bersaing secara nasional dan juga di kancah regional, tentu menarik ditelaah lebih jauh
Penegasan fokus kepada UMKM tentu bukan tanpa alasan. UMKM, antara lain, dinilai mampu memberi kontribusi signifikan dalam penyerapan tenaga kerja dan PDB di negara-negara anggota ASEAN. Dari kajian literatur dan pemberitaan media massa, tampaknya MEA memberi peluang serentak tantangan serius bagi pengembangan UMKM. Dalam kondisi seperti ini, UMKM tidak bisa dibiarkan bergelut sendiri. Pemerintah baik pusat maupun daerah mesti menfasilitasi UMKM agar bertahan dan tidak tergerus arus kompetisi di arena MEA.
Peran dan Kebermasalahan UMKM UMKM merupakan kekuatan pendorong pembangunan ekonomi dan sosial, terutama di negara-negara berkembang. Selain menciptakan dan meningkatkan kesempatan kerja dan mengurangi pengangguran, UMKM memfasilitasi pengembangan keterampilan dalam usaha bisnis, menjamin perluasan peluang pasar, menggunakan bahan baku lokal, mempromosikan perusahaan padat karya, mempromosikan ekspor serta impor pengganti (Tambunan, 2015). Dengan demikian, pengembangan UMKM adalah strategi pembangunan ekonomi komprehensif yang menjamin pemerataan pertumbuhan jangka pendek dan menengah. ASEAN menunjukkan kenyataan yang sama. UMKM menjadi bagian integral dari pembangunan dan pertumbuhan ekonomi seluruh negara anggota ASEAN. Berdasarkan data yang dihimpun Sekretariat ASEAN (per April 2014), UMKM di
4
Armand Suparman Peneliti KPPOD
Artikel
ASEAN merupakan 96% dari total perusahaan yang beroperasi, menyerap tenaga kerja dari 50% hingga 85% dari total angkatan kerja. Selain itu, UKM juga memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi (PDB), yaitu berkisar antara 30-53%. Sementara terhadap aktivitas ekspor, UMKM menyumbang kinerja antara 19% hingga 31%. Untuk konteks Indonesia, jumlah UMKM mencapai 99,9 % dari total unit usaha, menyerap 96, 99 % tenaga kerja dan menyumbang 30-57% terhadap PDB (Gatra, 2 Desember 2015) Hasil penelitian ASEAN Working Group (2014) yang bekerja sama dengan Economic Research Institute for ASEAN (ERIA) dan Organization for Economic Research Cooperation and Development (OECD) menunjukkan bahwa indeks kebijakan pengembangan UMKM Indonesia mencapai 4,1. Angka ini berada di atas indeks rata-rata ASEAN; 3,7. Hasil ini menimbulkan optimisme pemerintah akan kesiapan pelaku UMKM untuk tampil di panggung MEA.
(mismatch) antara dana yang tersedia dengan yang dapat diakses oleh UMKM; (2) tidak adanya pendekatan yang sistematis dalam pendanaan UMKM; (3) biaya transaksi yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh prosedur kredit yang cukup rumit sehingga menyita banyak waktu sementara jumlah kredit yang dikucurkan kecil; (4) kurangnya akses ke sumber dana yang formal, baik disebabkan oleh ketiadaan bank di pelosok maupun tidak tersedianya informasi yang memadai; (5) bunga kredit untuk investasi maupun modal kerja yang cukup tinggi; (6) banyak UMKM yang belum bankable, baik disebabkan belum adanya manajemen keuangan yang transparan maupun kurangnya kemampuan manajerial dan finansial.
Kedua, masalah organisasi manajemen (non-finansial), antara lain: (1) kurangnya pengetahuan atas teknologi produksi dan quality control yang disebabkan oleh minimnya kesempatan untuk mengikuti perkembangan teknologi serta kurangnya pendidikan dan pelatihan; (2) kurangnya pengetahuan tentang pemasaran, yang disebabkan oleb Gambar 1. Indeks Kebijakan Pengembangan UMKM di ASEAN terbatasnya informasi yang dapat dijangkau oleh UMKM mengenai pasar;(3) keterbatasan sumber daya manusia (SDM); (4) kurangnya pemahaman mengenai keuangan dan akuntansi.
Namun, performa ekspor sektor UMKM Indonesia hanya menyumbang 15,68 % dari total ekspor nonmigas yang menjadi mencapai Rp. 1.161,33 triliun. Data ini menunjukkan ketimpangan dengan hasil eskpor dari usaha besar yang hanya berjumlah 0,01 % dari total seluruh usaha di Indonesia (Gatra, 2 Desember 2015). Dalam konteks MEA, meski pasar dalam negeri sangat besar, 60 % pasar ASEAN ada di Indonesia, pelaku UMKM mesti berekspansi ke negaranegara ASEAN lain untuk meraih keuntungan yang lebih besar. Performa ekspor seperti ini merupakan satu titik dari semesta kebermasalahan dan tantangan yang dihadapi pelaku UMKM di Indonesia. Secara umum UMKM menghadapi dua permasalahan utama, yaitu masalah finansial dan masalah non-finansial. Pertama, masalah finansial antara lain: (1) kurangnya kesesuaian
Di samping dua permasalahan utama di atas, UMKM juga menghadapi permasalahan linkage antarperusahaan dan ekspor. Persoalan linkage antarperusahaan, antara lain disebabkan oleh di industri pendukung yang lemah dan keterbatasan SDM. Sedangkan permasalahan yang terkait dengan ekspor di antaranya sebagai berikut: kurangnya informasi mengenai pasar ekspor yang dapat dimanfaatkan, kurangnya lembaga yang dapat membantu mengembangkan ekspor, sulitnya mendapatkan sumber dana untuk ekspor, dan pengurusan dokumen yang diperlukan untuk ekspor yang birokratis. ASEAN SME Working Group (2014) merangkum permasalahan-permasalahan di atas dalam tiga kategori: hambatan regulasi, keterbatasan akses finansial, dan keterbatasan akses teknologi. Dalam konteks MEA, ketiga masalah ini menjadi semakin krusial. Artinya, hambatan-hambatan ini mesti diatasi agar UMKM bisa memiliki daya saing di era MEA. Pertanyaannya, siapa atau pihak mana yang
5
Artikel
bertanggung jawab untuk mengurai benang kusut kebermasalahan UMKM ini?
Peran Pemda dalam Penguatan UMKM Partisipasi Indonesia dalam MEA merupakan salah satu jalan menuju pintu gerbang kesehateraan masyarakat. Dalam konteks desentralisasi dan otonomi daerah, pemerintah daerah berwenang dan memiliki ruang luas untuk menata kebijakan publik agar mendekatkan masyarakat lokal ke citacita kesejahteraan itu. Dan, UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah, kesejahteraan itu bisa dicapai melalui pengembangan potensi lokal. Salah satu potensi lokal adalah UMKM yang sudah terbukti memberi dampak positif bagi kehidupan ekonomi Indonesia. UMKM memiliki posisi strategis di Indonesia. Pertama, UMKM tidak memerlukan modal yang besar sebagaimana perusahaan besar sehingga pembentukan usaha ini tidak sesulit usaha besar. Kedua, tenaga kerja yang diperlukan tidak menuntut pendidikan formal tertentu. Ketiga, sebagian besar berlokasi di pedesaan dan tidak memerlukan infrastruktur sebagaimana perusahaan besar. Keempat, UMKM terbukti memiliki ketahanan yang kuat ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi. Dengan pemberlakuan MEA, UMKM bisa memiliki kesempatan untuk meningkatkan kapasitas dan perannya dalam pembangunan ekonomi. Namun, MEA juga bisa mengancam UMKM. Ada dua faktor petentu, yaitu kesiapan UMKM lokal dan keseriusan pemerintah dalam mendukung atau mempromosikan pembangunan kapasitas di dalamnya. Menilik potensi dan kebermasalahan UMKM yang sudah diuraikan pada bagian sebelumnya, keseriusan pemerintah daerah menjadi penentu utama dan pada gilirannya menentukan kesiapan UMKM lokal untuk bertarung di arena MEA. Membenah Kualitas SDM Pembenahan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan langkah prioritas pemerintah dalam upaya menumbuhkembangkan UMKM. Penelitian Ardiana dkk (2010) terhadap pelaku usaha UMKM di Surabaya tahun 2008 menunjukkan bahwa kemampuan SDM memiliki pengaruh yang dominan terhadap kinerja UMKM. Ardiana dkk.menemukan bahwa semakin tinggi kemampuan SDM pelaku UMKM, maka semakin tinggi kinerja UMKM di Kota Surabaya. Penelitian Moorthy dkk dalam Tedjasukmana [2014) juga
6
memberi kesimpulan yang sama. Dalam penelitiannya terhadap 7443 UMKM di Malaysia menyatakan bahwa variabel effective entrepreneurship, manajemen sumber daya manusia, informasi pemasaran dan aplikasi tehnologi informasi berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja UMKM. Mendukung Ekspansi UMKM ke Pasar ASEAN Selama ini pemerintah mengarah pelaku UMKM untuk menguasai pasar dalam negeri. Sebab, 60 % pasar ASEAN berada di Indonesia. Namun, dalam konteks MEA, UMKM tidak cukup menguasai pasar dalam negeri mengingat produk serupa dari negara sesama anggota ASEAN akan berekspansi ke dalam negeri. Karena itu, UMKM perlu memanfaatkan MEA untuk berani menguasai pasar luar negeri. Karena itu, pemerintah daerah perlu mendukung ekspansi UMKM Indonesia atau daerah ke pasar ASEAN dan pasar global. Ekspansi ke pasar internasional dan integrasi ke dalam rantai nilai global memberikan dampak signifikan bagi perkembangan pelaku usaha domestik termasuk UMKM. Menurut Yose R. Damuri (Gatra, 2 Desember 2015), partisipasi dalam global value chain (GVC) akan menjadi pendorong pembangunan industri domestik. Negara-negara yang yang berpartisipasi dalam GVC cenderung memiliki daya saing dan kinerja industri yang lebih baik. Hal ini terjadi karena partisipasi dalam GCV mendorong proses learning by doing antara perusahaan atau pelaku usaha yang terlibat di dalamnya. Tentu MEA merupakan sebuah ruang yang luas untuk merajut rantai nilai perdagangan di antara para pelaku usaha UMKM. Di Surabaya, meski masih pada tataran lokal, UMKM sudah menjalin kerja sama dengan retail untuk memasarkan produk-produknya. Ini menjadi best practice yang perlu mendapat dukungan kebijakan dan regulasi dari pemda. Melakukan Deregulasi dan Standardisasi Deregulasi dan standardisasi merupakan tuntutan krusial saat ini. Spirit MEA yang terartikulasi dalam Blueprint-nya ingin menghilangkan hambatanhambatan regulasi sehingga peluang UMKM untuk berekspansi ke luar negeri semakin semikn luas. Memang perlu dibedakan antara regulasi perdagangan lintas negara adan regulasi dalam negeri. Regulasi perdagangan lintas negara ASEAN berjalan selama ini. Namun, yang patut menjadi perhatian pemerintah saat ini adalah regulasi dunia usaha dalam negeri. Praktik di Indonesia menunjukkan bahwa UMKM sulit mengembangkan bisnisnya karena regulasi-
Artikel
regulasi yang tumpang tindih dan menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Selain regulasi, standarisasi produk UMKM juga perlu mendapat perhatian pemerintah. Standarisasi sangat menentukan tingkat daya saing produk dalam kancah liberalisasi MEA. Dalam Blueprint MEA, negara-negara ASEAN sudah berkomitmen untuk memastikan implementasi dari reformasi regulasi, standarisasi yang lebih luas di seluruh sektor, dan memperluas pengakuan standar produk. Membuka Akses Finansial Kondisi finansial merupakan menjadi faktor penentu utama keberlanjutan UMKM. Keterbatasan dana dan ketiadaan akses ke perbankan membuat UMKM stagnan dan kesulitan untuk mengembangkan usahanya. Meliada Sembiring, delegasi Indonesia untuk ASEAN Small and Medium Enterprise ke 37 di Bali, menyatakan pada level nasional, pemerintah pusat bisa menurunkan suku bunga pinjaman dana bergulir. Untuk koperasi sektor riil, diturunkan dari 6 % menjadi 5 % per tahun atau 0,3 % per bulan. Untuk koperasi Simpan Pinjam (KSP) turun dari 9 % menjadi 8 % per tahun atau 0,4 % per bulan. Selain itu, penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) dari Rp 20 juta menjadi 25 juta dengan bunga maksimal dari 22 % menjadi 12 % (Gatra, 2 Desember 2015). Di level daerah, pemerintah daerah sebenarnya perlu menfasilitasi UMKM untuk mengakses modal ke lembaga keuanga baik bank maupun non-bank. Penelitian tentang Rantai Nilai Produk Unggulan yang dilakukan KPPOD di Ende, NTT, menunjukkan bahwa intervensi pemerintah sangat berpengaruh terhadap akses modal pelaku usaha ke lembaga keuangan. Karena dari penelitian yang sama, merekomendasikan untuk mengatasi persoalan pelaku usaha (UMKM) baik dari akses modal maupun akses pasar, pemerintah daerah perlu berinisiatif untuk membangun forum lintas stakeholder. Forum berguna untuk merancangbangun sektor-sektor yang menjadi fokus bersama atau produk unggulan daerah.
Fasilitasi dan intensifikasi penggunaan teknologi Penguasaan teknologi memungkinkan UMKM untuk mengakses pasar dan berinovasi. UMKM yang bermodal terbatas membutuhkan kebijakan pemerintah yang mendukung kreativitas, kewirausahaan, pemanfaatan dan pengembangan teknologi. Dukungan terhadap penguasaan teknologi tentu sejalan dengan perkembangan perdagangan global yang cenderung mengunakan teknologi canggih dan “serba online”. Karena itu, pembangunan infrastruktur internet dan pelatihan-pelatihan penguasaan IT sangat dibutuhkan pelaku UMKM.
Catatan Akhir UMKM sudah memberi kontribusi bagi pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia. Di bidang ekonomi, UMKM mampu menyerap tenaga kerja dan menjadi sumber penting bagi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Di bidang sosial, UMKM mampu memberikan manfaat sosial yaitu mereduksi ketimpangan pendapatan. Peranan usaha kecil tidak hanya menyediakan barang-barang dan jasa bagi konsumen yang berdaya beli rendah, tetapi juga bagi konsumen perkotaan lain yang berdaya beli lebih tinggi. Lebih dari itu,tujuan sosial dari UMKM adalah untuk mencapai level kesejahteraan minimum, yaitu menjamin kebutuhan dasar rakyat. MEA memberi harapan baru sekaligus tantangan bagi pengembangan UMKM. Harapan dan tantangan ini sangat bergantung pada keseriusan pemerintah (daerah) untuk membangun kapasitas UMKM agar bisa berdaya saing dalam MEA. Pemerintah sebetulnya bisa mengandeng pelaku usaha besar dan dunia akademis untuk bergerak bersama menggenjot daya saing UMKM. Kerja sama bermodel triple helix antara ketiga stakeholder ini diharapkan bisa memampukan UMKM menjadi pelaku utama dalam pembangunan, baik di Indonesia maupun ASEAN.
VISI & MISI KPPOD VISI KPPOD ikut mewujudkan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat dengan mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif di seluruh Indonesia.
MISI KPPOD menganalisa, menilai dan memberikan masukan bagi kebijakan dan praktik Pemerintah Pusat dan Daerah dalam melaksanakan otonomi daerah bagi pembangunan ekonomi nasional.
7
Review Regulasi
Pajak sebagai Indikator Daya Saing Menghadapi MEA: Analisis Perda Kota Cilegon No.13 Tahun 2011
P
Perpajakan menjadi perhatian dalam Blueprint Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), terutama berkenaan kebijakan pemotongan pajak (witholding tax) dan perluasan jaringan penghindaran pengenaan pajak berganda antar negara ASEAN. Bagi Pemerintah Indonesia, arahan dalam Blueprint MEA tersebut merupakan tantangan tersendiri dalam mengharmonisasikan regulasi dan pencegahan pajak berganda (double taxation). Dengan terwujudnya kebijakan yang harmoni dan tidak membebani maka diharapkan kawasan ASEAN dapat menjadi kawasan ekonomi berdaya saing tinggi.
Tugas mengharmonisasikan regulasi dan pencegahan pajak berganda tidak serta merta menjadi tanggung jawab bagi Pemerintah Pusat. Pemda juga seharusnya berperan dalam kebijakan perpajakan untuk meningkatkan daya saing produk nasional. Utamanya di era otonomi sekarang, Pemda memiliki kewenangan untuk mengelola pajak. Kontribusi Pemda dapat dimulai dengan memperbaiki kebijakan perpajakan di daerah khususnya pajak yang dibebankan kepada pelaku usaha. Melalui kebijakan perpajakan yang baik maka pelaku usaha tidak perlu mengeluarkan biaya produksi yang tinggi, sehingga produk nasional akan dapat bersaing secara kompetitif di antara negara-negara ASEAN baik dalam rangka mengisi pasar ASEAN maupun pasar dalam negeri. Kota Cilegon sebagai salah satu daerah sentra industri di pesisir Pulau Jawa mempunyai peranan penting dalam peningkatan daya saing perindustrian. Kota ini merupakan penghasil baja terbesar di Asia Tenggara, dengan kisaran 6 juta ton baja yang dihasilkan tiap tahunnya di Kawasan Industri Krakatau Steel, maka tidak heran jika kota ini dikenal dengan kota baja. Kelebihan Kota Cilegon lainnya yakni terdapat berbagai macam objek vital negara antara lain Pelabuhan Merak, Pelabuhan Cigading Habeam Centre, Kawasan Industri Krakatau Steel, PLTU Suralaya, PLTU Krakatau Daya Listrik, Krakatau Tirta Industri Water Treatment Plant, (Rencana Lot) Pembangunan Jembatan Selat Sunda dan (Rencana Lot) Kawasan Industri Berikat Selat Sunda. Bertolak dari besarnya potensi investasi yang dimiliki, Pemerintah Kota (Pemkot) Cilegon mengeluarkan kebijakan khususnya pungutan (pajak dan retribusi). Salah
8
Nur Azizah Febryanti Peneliti KPPOD
Review Regulasi
satu pungutan yang diberlakukan Pemkot adalah Pajak Penerangan Jalan (PPJ) yang dikenakan kepada masyarakat untuk setiap penggunaan tenaga listrik. Di tahun 2014 penerimaan PPJ Pemkot Cilegon mencapai Rp.163.208.397.168 dan di tahun 2015 meningkat menjadi Rp.199.008.735.868. berikut ini merupakan data penerimaan PPJ Kota Cilegon pada tahun 2014 dan 2015: Jenis pajak
2014
2015
Total Jumlah Pajak Penerangan Jalan
Rp.163.208.397.168
Rp.199.008.735.868
Pajak Penerangan Jalan PLN
Rp.118.922.632.172
Rp.123.994.779.008
Pajak Penerangan Jalan Non PLN
Rp.44.285.764.996
Rp. 75.013.926.860
PPJ merupakan jenis pajak terbesar yang diterima oleh Pemko Cilegon. Sumber pungutan PPJ ini banyak didominasi oleh sektor industri dan menjadi andalan dalam kekuatan fiskal Kota Cilegon. Dalam pelaksanaanya, PPJ di pungut dengan dasar Perda Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pajak Penerangan Jalan. Perda ini diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Cilegon sebagai instrumen hukum untuk pungutan PPJ sebagaimana yang diamanatkan UU 28/2009. Substansi Perda PPJ yang dimaksud di dalam Perda ini diartikan sebagai pajak penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun yang di peroleh dari sumber lain. Objek pajak yang dikenakan pajak dalam aturan ini adalah penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain. Perda juga mengatur mengenai objek yang tidak dikenakan pajak, yaitu: a. Penggunaan tenaga listrik oleh instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah b. Penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat yang digunakan oleh Kedutaan, Konsulat, dan perwakilan asing dengan asas timbal balik c. Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait d. Penggunaan tenaga listrik yang khusus digunakan untuk tempat ibadah. Subjek dan Wajib PPJ adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan tenaga listrik. Dasar pengenaan pajak dalam regulasi ini adalah nilai jual tenaga listrik. Nilai jual tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran adalah jumlah tagihan biaya beban/ tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik. Sedangkan
tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, nilai jual tenaga listrik dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu penggunaan listrik dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah daerah. Pengaturan tarif PPJ Tarif pajak dalam regulasi ini dibedakan berdasarkan jenis kegiatan. Tarif pajak untuk jenis kegiatan rumah tangga ditetapkan sebesar 4%, jenis kegiatan bukan untuk industri dan non rumah tangga ditetapkan sebesar 5%, jenis kegiatan untuk industri, pertambangan minyak bumi, dan gas alam ditetapkan sebesar 3%, dan untuk penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri ditetapkan sebesar 1.5%. Besaran pokok pajak penerangan jalan dihitung menggunakan formulasi tarif pajak dengan mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak (nilai jual tenaga listrik). PPJ Termasuk Earmarked Tax Dalam konsep perpajakan, earmarked tax adalah pajak yang disisihkan untuk membayar proyek atau kegiatan spesifik. Pengaturan PPJ sebagai earmarked tax termaktub dalam pasal 56 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang berbunyi, “hasil penerimaan Pajak Penerangan Jalan sebagian dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan”. Dari amanah dalam Undang-Undang tersebut, maka penerimaan PPJ daerah wajib dialokasikan untuk mendanai pembangunan sarana dan prasarana penerangan jalan yang secara langsung dapat dinikmati oleh pembayar pajak dan seluruh masyarakat. Dalam perda ini ketentuan earmarked tax termaktub dalam pasal 8 yang berbunyi, “hasil dari penerimaan pajak penerangan jalan sebagian dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan”.
Analisis Isi dan Dampak Penerapan Perda Perda telah menggunakan acuan yuridis yang relevan sebagai konsiderans Perda Kota Cilegon Nomor 13 Tahun 2013 ini sudah memasukkan konsiderans sesuai yang sesuai yaitu Undang-Undang No. 28 tahun 2009, yang menjadi acuan bagi setiap Perda pajak dan retribusi. Dari sisi muatan Perda, Perda ini sudah memiliki kelengkapan muatan yang diwajibkan dalam UU No. 28 tahun 2009 pasal 95. Sehingga dapat dikatakan bahwa Perda ini sudah memiliki kesesuaian, kemutakhiran, dan kelengkapan yuridis yang harus dimiliki oleh Perda. Tarif PPJ untuk tenaga listrik dari sumber lain oleh industri berpotensi memberatkan pelaku usaha Tarif PPJ untuk jenis kegiatan yang menggunakan tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan
9
Review Regulasi
minyak bumi dan gas alam, Kota Cilegon menetapkan tarif maksimal yang ditetapkan dalam UU 28/2009 yaitu sebesar 3%. Walaupun besaran tarif pajak sudah sesuai, namun besaran tarif ini berpotensi dapat memberatkan bagi pelaku usaha khususnya bagi industri yang penggunaan tenaga listrik yang besar, padahal tarif pajak bisa digunakan sebagai insentif dan daya tarik investasi yang lebih besar. Rendahnya tarif PPJ juga akan berdampak pada pengeluaran biaya produksi yang rendah bagi industri sehingga harga produk jadi dipasaran lebih murah dan dapat bersaing dengan produk Negara lain. Hasil penelitian yang dilakukan KPPOD di Kota Cilegon menunjukkan bahwa beban pajak yang ditanggung pelaku usaha berbeda-beda sesuai sumber listrik dan kapasitas pemakaian listrik. Besarnya tenaga listrik yang digunakan dalam proses produksi berakibat pada tingginya beban pajak yang dibayarkan setiap bulan. Terdapat perusahaan yang setiap tahun terbebani dengan PPJ sebesar Rp. 72 Milyar, nominal sangat besar yang harus dibayarkan pelaku usaha kepada Pemda. Berikut ini merupakan perhitungan PPJ dengan membandingkan penggunaan tenaga listrik yang digunakan oleh perusahaan di Kota Cilegon. Kedua perusahaan ini merupakan perusahaan industri bahan kimia, perusahaan A merupakan perusahaan yang penggunaan listriknya kecil sedangkan perusahaan B adalah perusahaan yang penggunaan listriknya besar setiap bulannya.
jalan. Kemudian pajak rokok sebesar 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan dan penegakan hukum. Tidak adanya pengaturan besaran persentase dan nominal tersebut menyebabkan tidak terikatnya Pemda untuk mengalokasikan dana dalam jumlah tertentu bagi penyediakan fasilitas penerangan jalan. Tidak heran, hasil penelitian KPPOD di kota Cilegon, menunjukkan bahwa fasilitas penerangan jalan [terutama di kawasan industri] tersedia dalam jumlah yang amat minim, bahkan di banyak lokasi tidak tersedia sama sekali. Padahal pajak earmark dapat digunakan sebagai alat untuk mengurangi resistensi yang tinggi dari pembayar pajak, serta akuntabilitas yang diinginkan oleh pembayar pajak seperti akuntabilitas yang berkaitan dengan bagaimana uang pajak mereka dibelanjakan. Melihat kondisi tersebut, maka perlu menambahkan subtansi terkait besarnya alokasi yang dijelaskan secara eksplisit besaran persentase atau nominal alokasi PPJ untuk penyediaan fasilitas dan perawatan penerangan jalan, sehingga dapat terjamin dampak pajak terhadap fasilitas penerangan jalan.
Pengenaan pajak atas listrik yang dihasilkan sendiri sangat memberatkan. ketentuan di dalam Perda pasal 6 yang menyebutkan bahwa penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1.5%. Ketentuan ini dinilai memberatkan bagi pelaku usaha lantaran mereka harus membayar pajak atas tenaga listrik yang mereka Perusahaan A Perusahaan B sediakan sendiri. Hal ini Rata-rata tagihan listrik PLN per bulan Rata-rata tagihan listrik PLN per bulan juga semakin memberatkan Rp. 200.000.000.000 (200M) Rp. 1.333.000.000 (1.3 M) bagi pelaku usaha jika PPJ Listrik dari sumber lain PPJ Listrik dari sumber lain: tenaga listrik tidak 1 bulan : Rp. 1.400.000.000 x 3% = digunakan. Rp. 200.000.000.000 x 3% = Rp. 40.000.000/bulan Rp. 6.000.000.000 PPJ Listrik dari sumber sendiri: 1 tahun : Rp. 20.000.000/bulan Hasil penelitian yang Rp. 70.000.000.000 (Rp. 72 M) Total PPJ : dilakukan KPPOD di 1 bulan : Rp. 60.000.000 Kota Cilegon menemukan 1 tahun : Rp. 720.000.000 bahwa terdapat salah satu perusahaan yang bergerak Sumber: hasil studi lapangan KPPOD (2016) di industri kimia tetap dikenakan beban pajak atas Besarnya tarif PPJ tidak diikuti dengan perbaikan fasilitas penggunaan tenaga listrik yang tidak digunakan selama penerangan jalan. satu bulan. Beban pajak tersebut dihitung berdasarkan Meskipun PPJ termasuk pajak earmarked, namun tidak pemakaian listrik pada bulan sebelumnya yang sudah diatur secara eksplisit ketentuan besaran persentase atau dibayarkan. Adapun sebenarnya Pemda tidak keberatan nominal yang dialokasikan Pemda untuk penerangan jika perusahaan yang menggunakan tenaga listrik sendiri jalan. Hal ini bertolak belakang dengan earmarked tax tidak dikenakan pajak mengingat pajak dari sumber ini lain seperti pajak kendaraan bermotor yang menentukan tidak berdampak signifikan terhadap penerimaan PPJ besaran 10% untuk pemeliharaan dan pembangunan secara keseluruhan. Melihat kondisi ini Pemko Cilegon
10
Review Regulasi
perlu mempertimbangan untuk mengecualikan genset dan tenaga listrik lain yang dihasilkan sendiri sebagai obyek pungutan PPJ yang ditetapkan sebesar 1.5%. Pembiaran atas genset-genset illegal. Dalam praktik di Kota Cilegon, PPJ hanya dikenakan kepada sejumlah perusahaan yang memiliki izin penggunaan genset, sementara yang tidak mengurus/ memiliki izin tersebut justru tidak ditertibkan dan tidak dikenakan pungutan PPJ. Hal ini menimbulkan ketidakadilan dan disinsentif bagi perusahaan yang taat aturan untuk memiliki legalitas usaha dan membayar kewajiban pajak. Dari sisi legalitas usaha, Pemda wajib menertibkan keberadaan genset-genset illegal lewat instrumen perizinan dan pengawasan.
Catatan Akhir Dengan adanya MEA sistem perdagangan menjadi bebas, Pemerintah mampu meningkatkan ekspor akan tetapi Pemerintah harus waspada akan resiko kompetisi (competition risk) yang muncul dengan banyaknya
barang impor yang akan mengalir dalam jumlah banyak ke Indonesia yang akan mengancam industri lokal dalam bersaing dengan produk-produk luar negeri yang jauh lebih berkualitas. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan defisit neraca perdagangan bagi Indonesia sendiri. Dibutuhkan dukungan dari Pemerintah Daerah untuk meningkatkan daya saing produk nasional, karena salah satu dimensi untuk meningkatkan daya saing produk industri adalah biaya (cost) yang menjadi modal mutlak dimiliki oleh suatu industri. Pengurangan tarif PPJ dalam Peraturan Daerah dapat menjadi solusi untuk mengurangi biaya produksi sehingga harga produk nasional dapat bersaing dengan produk luar. Pemerintah Daerah juga perlu mempertimbangan untuk mengecualikan genset dan tenaga listrik lain yang dihasilkan sendiri sebagai obyek pungutan PPJ. Selain itu, Penetapan besaran alokasi PPJ untuk fasilitas penerangan jalan harus dijelaskan secara eksplisit besaran presentase atau nominalnya, karena hal ini dapat meminimalisir resistensi yang tinggi dari pembayar pajak.
11
Dari Daerah
Persiapan MEA di Daerah Tanpa Dukungan Pusat
M
asyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) secara prinsip didesain sebagai daya dorong bagi peningkatan kinerja perekonomian regional di negara Asia Tenggara. Titik tekan dalam kerjasama ini terletak pada tiga komponen: liberalisasi perdagangan barang dan jasa; fasilitasi perdagangan/jasa dan investasi; serta harmonisasi melalui penyederhanaan regulasi dan platform pasar modal. Indonesia, termasuk daerah sebagai unit-unit spasial pembentuk daya saing kita, harus mampu membangun kapasitasnya agar bisa mengambil manfaat dalam interaksi, kerja sama dan bahkan persaingan regional tersebut.
Kota Surabaya yang kami kunjungi awal Maret lalu hendak diangkat dalam “Rubrik” ini sebagai contoh kasus yang baik untuk melihat kesiapan kapasitas dimaksud. Kota berskala ekonomi terbesar kedua di Indonesia ini merupakan magnet perekonomian yang memiliki potensi Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) besardari perdagangan, perindustrian dan jasa. Selain itu, letak strategis Surabaya menjadi pemantik pertumbuhan ekonomi daerah disekitarnya. Dukungan infrastruktur yang memadai seperti pelabuhan, bandara, kereta api double track, juga jaringan jalan arteri yang menghubungkan antar pusat utama kota dengan pusat kota di kabupatenkabupaten sekitar yang berbatasan langsung. Selain itu, jumlah usia produktif penduduk Surabaya sebesar 2.174.545 jiwa membuat dampak kerjasama regional ini menjadi harapan untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Menimbang aneka modal tersebut, Surabaya memiliki kesempatan besar untuk dapat “Surabaya sudah mempersiapkan MEA memanfaatkan MEA. jauh-jauh hari, ketika KTT ASEAN di Bali, secara langsung Ibu Risma ketika itu masih Hanya Berbekal TUPOKSI menjabat sebagai Kepala Bappeko” Kepala Dinas Koperasi dan UMKM MEA dilihat pemda Surabaya sebagai isu strategis dalam perencanaan pembangunan daerah. Namun, tidak ada perencanaan khusus yang mengarah ke MEA. Namun, Pemkot Surabaya hanya menyiapkan sambutan untuk
12
Tities Eka Agustine Peneliti KPPOD
Dari Daerah
AFTA 2015, persiapan yang dilakukan juga tidak dikhususkan hanya berupa perencanaan program dan penambahan volume tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI) masing-masing SKPD teknis. Dalam tulisan ini persiapan difokuskan pada tiga bidang yang terdiri dari perdagangan, perindustrian, UMKM dan ketenagakerjaan. Sinergi dari masing-masing SKPD terletak pada peran Badan Perencanaan Pembangunan Kota (BAPPEKO), sebagai salah satu leading sector dalam perencanaan daerah. BAPPEKO mengambil porsi cukup besar dalam menarik garis merah pembangunan Surabaya. Melalui RPMJD, seluruh sinkronisasi kegiatan antar SKPD diletakkan. Bahkan dalam dokumen perencanaan lima tahunan tersebut, BAPPEKO juga menuliskan angka target capaian kinerja dari masing-masing program. Kejelasan capaian dan indikator tersebut, ternyata memberikan kemudahan bagi SKPD dalam menjalankan program. Sinergi program yang melibatkan tiga dinas menjadi instrumen untuk menguatkan daya saing usaha mikro, kecil dan menengah. Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapemas) dan KB, Dinas Koperasi dan UMKM serta Dinas Perindagin sebagai leading sektor. Bapemas dan KBmenjadi instansi pionir yang bertugas mengawal ketahanan dan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin dalam skala kota. Kegiatan pemberdayaan dan memfasilitasi pengembangan usaha, pembentukan lembaga keuangan mikro, mensupervisi pemanfaatan tekonologi tepat guna dan juga pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat. Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) menjadi basis pembianaan dari tim Bapemas, kegiatan pelatihan yang diberikan ternyata direspon positif oleh masyarakat Surabaya. Tak kurang 575 orang yang hadir dalam pelatihan membatik, bentuk pelatihan terdiri dari berbagai bidang, baik makanan dan minuman, aksesoris, menjahit, dan lain-lain. Pengembangan KSM juga dibantu oleh tim Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STESIA) melalui program pengabdian masyarakat, dll. KSM yang dinilai sudah cukup kuat dan memiliki penilaian yang baik, diberikan peningkatan kapasitas
dari Dinas Koperasi dan UMKM. Dalam hal ini, Dinas Koperasi dan UMKM memiliki dua peran pertama membentuk dan mendampingi kegiatan koperasi yang bertujuan sebagai dukungan ketersediaan modal. Kedua, berkaitan dengan peningkatan omset UMKM, serta peningkatan pemasaran dan produksi. Anggota koperasi yang merupakan pemilik UMKM, maka dengan terbentuknya kelembagaan koperasi yang berkualitas, maka anggota koperasi dapat saling menguatkan seperti pengadaan input, pemasaran hasil produksi, dan pemanfaatan sarana produksi bersamasama. Kelengkapan kebutuhan dari berdirinya sebuah koperasi hingga aktivitas didalamnya menjadi poin dalam pendampingan yang dilakukan oleh Dinkop dan UMKM. Dinas Koperasi dan UMKM juga memiliki concern dalam pengembangan Pedagang Kaki Lima (PKL), tak kurang ada 10 sentra PKL yang tersebar diseluruh titik wilayah Surabaya. Masing-masing sentra diperkirakan dapat menampung 1.000 hingga 2.000 PKL. Perkembangan dari PKL yang sudah dibina telah merasakan manfaatnya, dengan adanya pusat perdagangan dan juga kenyamanan lokasi, mendatangkan banyak konsumen. Selalu ramainya aktivitas di sentra PKL membuktikan bahwa daya saing para pedangang mulai meningkat. Setelah penguatan dilakukan oleh Bapemas dan Dinkop, anggota binaan kedua instansi yang memiliki perkembangan cukup pesat kemudian akan menjadi anggota binaan Disperindag. Dalam hal ini Disperindag juga menguatkan perkembangan produk yang lebih luas, tidak hanya berakhir dalam skala kota namun juga luar kota, provinsi, dan bahkan ke luar negeri. Tugas Disperindag adalah menjadi fasilitator pengembangan usaha industri kecil dan menengah memiliki penguatan dari sisi marketing, branding dan legalitas. Terdapat 18 sentra industri kecil dan mikro yang terus menerus dipantau agar mampu untuk melakukan ekspansi produk. Beberapa bentuk penguatan yang diberikan sebagai berikut: ✓ Dukungan bagi legalitas produk dan usaha dilakukan dengan pemberian sertifikasi produk berstandar nasional dan akses kemudahan izin bagi pelaku usaha. Bentuk sertifikasi yang dibantu oleh Pemkot diantaranya pendaftaran sertifikat halal, pendaftaran produk melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). ✓ Pengemasan produk yang berstandar nasional dan juga menarik juga didorong untuk dapat bersaing dengan produk luar negeri. Dalam pengemasan produk ini, Disperindag menggandeng tim dari
13
Dari Daerah
Institut Teknologi Surabaya (ITS) untuk turun tangan dari segi desain kemasan produk. ✓ Pemasaran produk merupakan tantangan akhir dari penguatan daya saing industri kecil dan mikro. Dalam hal ini Disperindag bekerjasama dengan retail untuk memasarkan produk dari anggota binaan. Selain itu, adanya kegiatan untuk mempertemukan jaringan usaha seperti matchmaking forum, membangun sentra UMKM di wilayah Surabaya dan bekerjasama dengan Pemda di luar Kota Surabaya untuk masuk ke pameran produk. Lebih jauh, tak hanya aktif dalam pembenahan bagi kesiapan sektor perdagangan, Pemkot Surabaya juga mempersiapkan penguatan kemampuan (skill) tenaga kerja. Program penguatan tersebut ditransformasikan melalui TUPOKSI Dinas Ketenagakerjaan. Salah satu program bidang ketenagakerjaan adalah pelatihan kerja dan sertifikasi profesi yang dibiayai oleh Pemkot Surabaya, sehingga peserta pelatihan tidak perlu membayar (gratis). Terdapat 14 bidang pelatihan yang terdiri dari perhotelan, aplikasi computer akuntansi, pemrograman database, teknisi computer, alat angkut, adminstrasi perkantoran, satpam, desain grafis, las listrik, sablon, terapi SPA, fotografi, otomotif R2 dan R4. Kemudian, terdapat bidang sertifikasi yaitu las listrik, otomotif R2 & R4, operator forklift, pariwisata, terapi SPA dan TIK. Peserta pelatihan tenagakerja ini dikhususkan untuk masyarakat yang memiliki KTP Surabaya. Untuk meningkatkan daya saing Kota Surabaya di dunia internasional, terdapat dua program yang juga disediakan oleh Pemkot Surabaya. Pertama, Rumah Bahasa yang menyediakan 10 kursus bahasa (Bahasa Inggris, Bahasa Korea, Bahasa Mandarin, Bahasa Perancis, Bahasa Jepang, Bahasa Jerman, Bahasa Thailand, Bahasa Arab, Bahasa Jawa, dan Bahasa Belanda) dan juga kursus teknologi informasi. Dengan meningkatnya kemampuan berbahasa, maka peserta pelatihan dapat memiliki nilai tambah dalam mendapatkan peluang bekerja di perusahaan multinasional. Untuk pengusaha, kemampuan berbahasa asing akan mempermudah proses pengembangan pasar ke luar negeri. Selain itu, sebagai penunjang kegaitan perdagangan, dalam Rumah Bahasa juga menyediakan klinik binis, klinik konsultasi investasi bisnis yang terbuka untuk umum. Layanan konsultasi bisnis yang disediakan berupa klinik investasi, klinik perdagangan dan jasa, klinik koperasi dan UMKM, klinik ketenagakerjaan,
14
klinik informasi dan teknologi. Seluruh warga yang memiliki KTP Surabaya dipersilahkan secara gratis untuk mengikuti fasiltias yang terdapat dalam rumah bahasa ini. Perencanaan ini merupakan salah satu upaya untuk mendorong peningkatan kemampuan individu untuk menyambut persaingan internasional. Konsultasi ini ditujukan supaya masyarakat mampu mengembangkan bisnisnya dan tidak kalah bersaing dengan pengusaha kecil dari Negara-negara ASEAN.
Hambatan dan tantangan Upaya intergrasi dari berbagai pihak yang dilakukan oleh Pemda Kota Surabaya menunjukkan hasil yang positif. Menggerakkan seluruh peran masing-masing aktor dari berbagai lini telah mempermudah kinerja pembangunan dan memiliki dampak yang besar. Namun, terdapat beberapa hambatan yang dihadapi oleh Pemkot dalam menjalankan program penguatan daya saing ini. Dari sisi perdagangan, motivasi internal UMKM, keterbatasan modal serta suplay produk yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pasar merupakan kendala mendasar yang harus ditanggulangi. Selain itu perencanaan terkait dengan ekspor produk usaha dari Surabaya masih terbatas, hal ini dikarenakan sertifikasi internasional yang sulit dan mahal untuk di dapatkan. Sertifikasi standar nasional yang ada tak mampu masuk pasar luar negeri. Keterbatasan yang tidak dapat ditembus oleh Pemda seharusnya difasilitasi oleh pemerintah ditingkat nasional. Menggeliatnya produksi UMKM di Kota Surabaya jika tidak direspon cepat maka akan kehilangan momentum. Dengan adanya MEA sebagai pintu gerbang pasar tunggal ASEAN, menuntut arahan dan juga dukungan dari tingkat nasional untuk meneruskan suara pengusaha di daerah. Begitu pula dengan kondisi ketenagakerjaan di Kota Surabaya, dimana sudah terfasilitasi dengan baik, tetapi jika tidak ada tindak lanjut maka akan berakhir pada skala kota. Pada tataran MEA, hanya ada 8 jenis pekerjaan yang diperbolehkan untuk dilakukan pertukaran yaitu terdiri dari: dokter, perawat, insinyur, dokter gigi, pariwisata, akuntan, surveyor pengukur tanah. Jika dikaitkan dengan upaya Pemkot Surabaya dalam melakukan sertifikasi tenagakerja, dari delapan bidang kerja yang disebutkan hanya bidang pariwisata yang bisa menembus pasar tenaga kerja ASEAN. Kondisi kemampuan tenaga kerja yang lainnya seperti las listrik, otomotif R2 & R4, operator forklift, pariwisata, terapi SPA dan TIK (tenaga kerja semi skill)
Dari Daerah
membutuhkan diplomasi dari pemerintah Indonesia. Delegasi Indonesia untuk ASEAN seharusnya dapat bernegosiasi dengan memasukkan bidang tenaga kerja semi skill kedalam kesepakatan dengan negara-negara ASEAN. Persiapan daerah tak akan berarti apapun jika memang tidak ada sinergi dan integrasi dalam kebijakan yang lebih makro.
Pusat belum memiliki Peta Jalan untuk Daerah Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, Pemerintah pada tingkat nasional belum memiliki perencanaan yang detail tentang implementasi MEA untuk daerah-daerah. Sejauh ini, sebagaimana terlihat pada contoh kasus Surabaya, Pemda hanya menjalankan tugas sesuai dengan TUPOKSI formal mereka, terlepas ada atau tidak adanya panduan nasional tentang penerapan MEA bagi Daerah. Pemerintah memang menerbitkan dua Instruksi Presiden untuk mendorong MEA yaitu Inpres No. 11 tahun 2011 dan Inpres No. 6 tahun 2016. Namun, sasaran regulasi pertama adalah bagi Pemerintah Pusat sendiri, sebagai respon kebijakan nasional atas komitemen yang telah disepakati denga negara-negara anggota MEA. Sementara regulasi kedua memang
menjadi instruksi yang ditujukan kepada Gubernur dan Walikota atau Bupati, namun tidak ada penjelasan detil tentang pengejawantahan dari skema MEA kepada daerah. Seiring berjalannya MEA yang sudah dua bulan ini masih belum kunjung terlihat tanda-tanda terbitnya kebijakan nasional dalam merespon tantangan dari daerah.
Catatan Akhir Sejak awal 2016 ini MEA sudah berada di halaman rumah Indonesia. Namun, sejauh ini, bagi daerah, MEA lebih terdengar sebagai kabar dalam berita media atau forum diskusi. Belum nampak aspek kebijakan, perencanaan dan peta jalan nasional yang jelas bagi Pemda. Padahal, momentum MEA merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk dapat melempar produk unggulan daerah ke pasar ASEAN. Persiapan daerah tak akan berjalan baik tanpa adanya dukungan kebijakan dan fasilitasi pada tingkat programatik dari Pemerintah Pusat. Surabaya, sebagai contoh kasus yang dianggap relatig proaktif dalam merespon pakta baru regional tersebut, masih saja menemui kesulitan mendasar. Sulit dibayangkan bagaimana daerah-daerah lain yang hingga hari ini belum terdengar kabar kesiapannya. Bagi mereka, jalan liberalisasi dan integrasi dengan MEA memang sungguh menjadi jalan panjang, jalan berliku penuh ketidakpastian.
Salah satu sentra penjualan produk UMKM Kota Surabaya
15
Opini
Menjadi Pemain Utama di Era MEA
A
SEAN adalah sebuah organisasi regional sebagai wadah kerjasama berbagai negara di kawasan Asia Tenggara. Luas wilayah ASEAN adalah sebesar 4.480.000 km2 dengan jumlah populasi sebanyak kurang lebih 600 juta orang. Secara garis besar, organisasi ASEAN memiliki tiga pilar utama. Pilar pertama adalah Asean Political Security Community (APSC) yang ditujukan untuk menjaga stabilitas politik dan keamanan di wilayah Asean. Pilar kedua adalah Asean Economic Community (AEC) yang harihari ini lebih popular dengan sebutan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) untuk meningkatkan integrasi perdagangan antar negara-negara Asean. Dan pilar ketiga adalah Asean Socio-cultural Community (ASCC) sebagai instrumen untuk mengharmonisasikan dan meningkatkan kualitas hidup sosial antar negara-negara di Asean. Tulisan saya kali ini akan fokus pada pilar kedua, yaitu AEC/MEA, dengan fokus tingkat kesiapan Pemerintah Indonesia untuk menghadapinya.
MEA merupakan salah satu hasil dari proses integrasi ekonomi dari negara-negara anggotanya untuk dapat menciptakan iklim perdagangan yang baik. Ukuran paling mudah untuk memahami tentang integrasi ekonomi ini adalah melalui volume perdagangan antar negara intra-trade (eksport dan import). Semakin tinggi arus perdagangan Indonesia dengan negara-negara Asean maka semakin tinggi pula integrasi ekonomi Indonesia dengan Asean begitu juga sebaliknya. Berdasarkan data dari United Nations Comtrade Database pada gambar 1 disamping, terlihat bahwa integrasi perdagangan Indonesia dengan negara-negara Asean cukup tinggi bila dibandingkan dengan Gambar 1. mitra dagang seperti Volume Perdagangan Indonesia dan Mitra Dagang (2011-2015) Korsel, USA, China (RRT) dan Jepang. Namun jika kita melihat utilisasi eksport kita jika dibandingkan dengan negara-negara di Asean, Indonesia menduduki peringkat empat. Peringkat Sumber: UN Comtrade Statistic pertama adalah
16
Gigih Prihantono Dosen FEB Universitas Airlangga
Opini
Singapore, karena negaranya adalah entry port dan memang hidup mereka dari berdagang. Peringkat dua dan tiga adalah Malaysia dan Thailand serta peringkat terbawah adalah negara Myanmar.
Gambar 2. Intra Trade ASEAN Countries Exports in 2015 (Juta US$)
Inilah yang menjadi Sumber: UN Comtrade Statistic perdebatan apakah dengan adanya MEA ini, Indonesia akan mengalami keuntungan atau malah akan mengalami kerugian. Tentunya jika trennya seperti gambar 2 dibawah (sebelum MEA) maka Indonesia jelas mengalami kerugian. Karena sebelum dibuka MEA dan sesudah dibuka MEA nilai eksport Indonesia “stagnan”. Namun jika setelah dibukanya MEA ternyata nilai eksport intratrade kita meningkat tentu MEA ini membuat Indonesia untung dan ini yang kita harapkan. Permasalahannya apa yang harus kita perbaiki untuk menuju kesana?
Agenda I Meningkatkan Total Factor Productivity dan Diversifikasi
Pada gambar 3 terlihat bahwa pertumbuhan TFP Indonesia pasca krisis ekonomi, tidak dapat kembali lagi pada capaiannya saat sebelum krisis ekonomi. Hal ini menunjukkan terdapat indikasi suatu hambatan dari sisi supply, sehingga menyebabkan pertumbuhan TFP Indonesia tertinggal dibelakang beberapa negara ASEAN. Hambatan pertama adalah terkait dengan ketersediaan dan kualitas infrastruktur baik infrastruktur darat maupun infrastruktur laut sebagai manifestasi negara kepulauan. Hambatan kedua adalah terkait dengan produktivitas tenaga kerja. Produktivitas tenaga kerja sangat terkait dengan kemampuan penggunaan teknologi produksi. Memang dalam beberapa tahun terakhir penguasaan teknologi oleh para tenaga kerja Indonesia meningkat. Namun perbaikan ini masih terkonsentrasi di sektorsektor tertentu. Sehingga bisa dilihat ada sektor yang pertumbuhan produktivitasnya meningkat dan ada sektor yang malah mengelami penurunan produktivitas.
Produk yang berdaya saing merupakan pintu masuk Dampak dari rendahnya pertumbuhan TFP Indonesia pertama agar barang dan jasa dari Indonesia dapat mengakibatkan diversifikasi eksport Indonesia juga mengambil porsi yang cukup besar dalam perdagangan rendah. Hasil penelitian dari SEADI (Support for intra treade Asean. Untuk melihat seberapa kompetitif Economic Analysis Development in Indonesia) pada daya saing produk kita, ukuran sederhana adalah tahun 2013 menunjukkan bahwa indeks diversifikasi dengan membandingkan total factor productivity (TFP) eksport Indonesia telah terus menerus menurun sejak kita dengan TFP negara lain. TFP mencerminkan tahun 1990 dan tetap terendah di ASEAN1). Pada awal seberapa banyak input produksi yang dibutuhkan untuk menghasilkan tahun 1990-an eksport Gambar 3. suatu output. Semakin utama Indonesia adalah Total Factor Productivity (TFP) in Asean tinggi nilai TFP maka barang peralatan mencerminkan semakin dan teknologi tinggi. baik perekonomian Tetapi sejak awal bekerja. Sayangnya tahun 2000-an, pola TFP kita berada pada eksport Indonesia posisi terbawah diantara telah terbalik, barang negara Malaysia, primer lebih dominan Thailand, Singapore, dan barang peralatan bahkan Vietnam. serta teknologi turun2). Tentunya hal ini wajib Dari gambaran ini jelas dan harus kita perbaiki, Indonesia tidak berhasil atau ini bisa dikatakan melakukan diversifikasi. Sumber: UN Comtrade Statistic alarm merah.
1.) Seadi (2013). Upgrading Indonesia Export Basket. New York 2.) Sekkat, (2016). Export Diversification in Developing Countries. The Quartely Review of Economic and Finance, Vol 59 hal 1-14.
17
Opini
Agenda II Meningkatkan Daya Tarik Investasi Langsung Untuk meningkatkan pertumbuhan TFP secara signifikan tentunya harus diperbaiki mesin pendorongnya. Salah satu mesin pendorong utama TFP adalah terkait dengan peningkatan efisiensi investasi. Efisiensi investasi merupakan hasil dari seberapa besar tambahan output yang dihasilkan ketika terjadi tambahan investasi. Konesp ini dinamakan sebagi capital-output ratio (ICOR). Selama kurun waktu 10 tahun (2002-2012) rata-rata ICOR Indonesia adalah sebesar 4,4. Angka ini memberikan pengertian bahwa untuk menaikkan Rp. 1 unit output dibutuhkan tambahan modal sebesar Rp. 4,4. Dengan angka sebesar ini sebenarnya menunjukkan bahwa perekonomian kita masih belum efisien. ICOR yang efisiensi nilai ratarata adalah 3. Maka tidak heran banyak perusahaanperusahaan besar memilih untuk merelokasikan industrinya ke negara lain karena ketidakefisienan tersebut. Tentu saja ini tugas berat bagi pemerintah untuk menyakinkan investor-investor lain agar mereka mau menanamkan modalnya ke negara ini. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) tahun 2012 memetakan faktor-faktor dominan yang mampu mempengaruhi daya tarik investasi3). Faktor pertama adalah kelembagaan yaitu faktor yang berkaitan dengan kemampuan dan kapasitas pemerintah dalam menjamin kepastian dan penegakan hukum, pelayanan kepada masyarakat dan mengurangi biaya transaksi usaha. Faktor kedua adalah terkait dengan hubungan “sosial-politik” antara elemen masyarakat, pemerintah dan bisnus. Faktor ketiga adalah terkait dengan ketersediaan lahan usaha. Faktor keempat adalah terkait dengan ketersediaan dan kualitas infrastruktur. Faktor kelima adalah terkait dengan proses dan biaya perijinan. Kelima faktor inilah yang mempengaruhi daya tarik investasi. Pemerintah sebenarnya sudah berusaha melakukan perbaikan kearah tersebut dengan mengeluarkan UU No 25 tahun 2007 tentang Penanam Modal. Didalam pasal tersebut terdapat mekanisme insentif biaya dan pemberian kemudahan pada investor untuk memperoleh ijin usaha. Tetapi ternyata kenyataan di lapangan memberikan temuan yang berbeda. Hasil kajian KPPOD pada tahun 2015 menunjukkan bahwa untuk memulai usaha di Indonesia saja rata-rata waktu
yang dibutuhkan adalah 104 hari dengan biaya 20,5% dari PDB Perkapita4). Hal ini menunjukkan apa? bahwa biaya transaksi kita masih sangat tinggi dan inilah yang menyebabkan investasi yang masuk tidak efisien. Tentunya hal ini harus segera diperbaiki jika masih mau meningkatkan daya saing dalam era MEA ini.
Langkah Perbaikan Ke Depan Dengan melihat gambaran diatas, dan hanya jika pemerintah benar-benar mempunyai minat untuk memperbaiki tingkat efisiensi dan produktivitas maka yang harus kita lakukan hanya ada dua jalan, jalan pertama adalah melalui kebijakan yang bersifat jangka pendek dan jalan kedua adalah kebijakan yang bersifat jangka panjang. Kebijakan yang bersifat jangka pendek pertama kali harus dibenahi terkait dengan sinkronisasi peraturan pemerintah pusat dan kepastian hukum, antara provinsi dan daerah tingkat dua yang terkait dengan penciptaan iklim investasi dan iklim usaha yang baik. Selain itu pemerintah mempunyai kebijakan pembuatan cluster economy, kebijakan ini harus dijalankan secara serius terutama penegakan regulasi yang memfasilitasi para cluster industri. Dimana jangan sampai adanya pembentukan cluster industri malah meningkatkan biaya produksi. Selain itu dalam jangka pendek ini, Pemerintah juga harus mulai serius membangun infrastruktur yang berkualitas baik, tidak hanya infrastruktur darat tetapi juga infrastruktur laut termasuk didalamnya pelabuhan dan teknologi kapal lautnya. Untuk kebijakan jangka panjang kita harus kembali “back to the basics”. Yaitu membuat peningkatan perbaikan pada sisi supply side terutama faktor tenaga kerja, perbaikan pada peningkatan pendidikan dan mulai membangun sendiri teknologi yang tepat. Target peningkatan pendidikan, proses belajar mengajarnya mulai diarahkan pada science dan matematika terutama pada level SMA/SMK dan untuk level Universitas mulai dilakukan technical training yang berkaitan dengan transfer teknologi. Kondisi tersebut dapat membantu Negara ini untuk mengurangi “jurang pemisah” antara permintaan dan penawaran di pasar tenaga kerja. Terakhir lindungi hasil-hasil dari R&D melalui mekanisme patent dan mekanisme transferring patent harus dibuat sesimpel mungkin serta selalu mendukung peningkatan produktivitas. Terakhir semoga kita mampu memperbaiki itu semua dan menjadi pemain utama didalam MEA ini.
3.) KPPOD, (2013). Tata Kelola Ekonomi Daerah di 20 Kabupaten/Kota. USAID. Jakarta 4.) KPPOD,( 2015). Jalan Panjang Reformasi Perizinan Usaha. Asian Development Bank. Manila Philippiness.
18
Laporan Kegiatan
Briefing Mitra Peneliti Lokal Studi TKED 2016
P
roses pelaksanaan desentralisasi telah menciptakan berbagai tantangan bagi Indonesia, termasuk persoalan pada iklim investasi di daerah. Berbagai upaya perbaikan pun terus dilakukan oleh Pemda melalui perbaikan kualitas tata kelola ekonomi daerah (TKED) sebagai instrumen strategi pembentukan iklim investasi dan daya saing suatu daerah.
Bagi KPPOD, studi TKED dilakukan untuk mengukur kualitas dukungan Pemda tersebut. Kami mengukur peran kebijakan, desain kelembagaan dan pelayanan usaha oleh Pemda dalam rangka penciptaan iklim usaha yang kondusif di daerah. Studi ini sudah dilakukan oleh KPPOD sejak tahun 2007. Pada tahun ini, bekerja sama dengan KSI (Knowledge Sector Initiative) di bawah DFAT, KPPOD kembali melakukan studi yang dilaksanakan di 33 daerah ibukota provinsi di Indonesia. Rangkaian dari studi TKED 2015 ini terdiri dari persiapan survei (pembuatan dokumen riset), pembekalan (briefing) para mitra peneliti lokal, dan selanjutnya pelaksanaan survei di lapangan selama 3 bulan (Februari-April 2016). Guna memberikan pemahaman dan kesepakatan bersama atas substansi studi TKED, KPPOD melakukan briefing kepada mitra peneliti lokal yang diselenggarakan di Jakarta, pada tanggal 26-28 Januari 2016 lalu.
Aisyah Nurrul Jannah Peneliti KPPOD
Acara yang berlangsung selama 3 (tiga) hari ini dihadiri, antara lain, oleh 33 mitra lokal dari ibukota provinsi, peneliti KPPOD, APEKSI, KSI, dan LPEM FE-UI. Pada hari pertama, acara dibuka oleh Bapak Robert Endi Jaweng selaku Direktur Eksekutif KPPOD yang memaparkan bahwa studi ini adalah instrumen advokasi kepada stakeholders untuk meningkatkan mutu tata kelola ekonomi daerahnya melalui kebijakan yang dihasilkan. Sesi selanjutnya, DR Riyanto dari LPEM FE-UI menjelaskan tentang pemahaman penelitian sebagai bahan pengantar, beserta hasil studi dan datadata apa saja yang diperlukan. Tim peneliti KPPOD juga turut membantu dalam proses
19
Laporan Kegiatan
elaborasi mengenai hal teknis dan substantif studi, seperti proses pemilihan sampel, teknik wawancara, instrumen penelitian, maupun kerangka konseptual dari studi tersebut. Pada hari kedua, kegiatan dilanjutkan dengan pemaparan oleh tim peneliti KPPOD terkait penilaian terhadap 10 variabel, daftar kuesioner, dan showcard secara menyeluruh. Tentunya, pembahasan ini tidak terlepas dari proses diskusi panjang dengan mitra peneliti lokal untuk memperkaya substansi instrumen penelitian. Hari ketiga, kegiatan ini ditutup dengan pembahasan soal manajemen penelitian dan persiapan
20
teknis survei. Bagi KPPOD, hasil studi ini nantinya akan menjadi basis data atau informasi dan temuan untuk pengembangan program KPPOD secara keseluruhan. Bagi pelaku usaha, temuan studi kiranya menjadi salah satu sumber pengetahuan bagi mereka untuk mengenal lebih dalam kondisi iklim berusaha di daerah dan menjadi stok informasi dalam pembuatan keputusan investasi. Akhirnya, bagi para pemangku peran di pemerintahan, terutama Pemda, hasil studi ini menjadi masukan perbaikan regulasi/kebijakan, penyusunan program iklim usaha, dan pembelajaran antardaerah.
Seputar Otonomi
Dana Transfer dan Harapan Baru Kepala Daerah
M
emasuki tahun kedua usia pemerintahan Presiden Jokowi, terdapat beberapa isu krusial terkait daerah dan pelaksanaan otonomi. Peningkatan Dana Transfer di dalam APBN 2014, dan juga dana desa yang meningkat sebesar 6% menjadi salah satu indikasi bahwa Pemerintah Pusat kembali berfokus kepada Daerah. Isu lainnya terkait otonomi daerah adalah perjalanan proses pemekaran daerah yang saat ini statusnya juga masih dibicarakan oleh Pemerintah dan DPR. Selain itu, pilkada serentak yang dilakukan pada Desember 2015 juga telah menghasilkan Kepala Daerah yang akan memimpin selama lima tahun ke depan..
Pengelolaan Dana Perimbangan Pemerintah telah mengesahkan APBN untuk tahun fiskal 2016. Menilik pada rincian APBN 2016, khusus untuk Dana Alokasi Umum (DAU) mendapat porsi sebesar Rp. 385 trilyun (27.7% dari total APBN 2016). Sesuai ketentuan UU No.33/2004, besaran DAU Nasional ditetapkan sekurang-kurangnya 26 persen dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN) neto. Besaran DAU ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai sebesar Rp 352,8 Trilyun. Dana Alokasi Khusus juga mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya.
Boedi Rheza Peneliti KPPOD
Proporsi alokasi dana transfer yang semakin besar ini sudah selayaknya membantu Pemda untuk melakukan pembangunan di daerahnya. Dana transfer yang besar ini, kemudian sudah seharusnya dikelola untuk kemajuan pembangunan. Fakta yang terjadi kemudian, peningkatan dana transfer ini tidak serta merta digunakan untuk membangun, akan tetapi digunakan untuk belanja rutin tidak langsung. Salah satu contoh yaitu format Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai Block Grant kepada daerah seharusnya memungkinkan daerah menggerakkan perekonomian melalui pembukaan lapangan pekerjaan baru. Pembukaan lapangan kerja baru, akan mendorong peningkatan pendapatan daerah dan pada akhirnya juga dapat berdampak pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kenyataan yang terjadi di lapangan, kebanyakan daerah menggunakan Dana transfer
21
Seputar Otonomi
Gambar 1. Komposisi Dana Transfer dalam APBN 2016
tersebut–terkecuali DAK yang digunakan untuk membiayai prioritas nasional di daerah- untuk membiayai belanja rutin pegawai. Kecenderungan yang terjadi, Pemda semakin bergantung pada Dana Transfer, dan tidak berusaha . Bahkan di beberapa daerah, proporsi PAD hanya berada di kisaran 7-8%. Kondisi ini tentunya mengkhawatirkan mengingat kemandirian daerah yang tidak kunjung tercapai. Kemandirian daerah yang tidak tercapai serta ketergantungan terhadap dana transfer kemudian berdampak pada beban pemerintah pusat dari sisi fiskal. Di sisi lain, dengan ketidakmandirian daerah dapat dipastikan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan akhir dari otonomi daerah tidak tercapai. Pengelolaan terhadap dana transfer yang semakin meningkat dan juga APBD harus diperhatikan agar penyerapan anggaran dapat optimal. Penyerapan anggaran di daerah juga masih terlihat tidak optimal, karena adanya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA). Hal ini menunjukkan bahwa serapan anggaran masih tidak optimal. Ada beberapa kegiatan yang kemudian tidak dapat dilakukan karena pengelolaan anggaran yang tidak baik. Kegiatan yang tidak berjalan optimal ini akan berdampak pada terhambatnya pembangunan di daerah dan melesetnya target-target yang telah di tetapkan dalam perencanaan sebelumnya.
Menumpuknya saldo dana pemda di Bank Percepatan transfer dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dilakukan pada awal 2016.. Saat ini, posisi dana yang ditransfer kepada Pemda sudah mencapai Rp. 180 trilyun. Tujuan dari dilakukannya
22
percepatan ini adalah agar daerah memiliki modal atau sumber daya yang memadai untuk melakukan pembangunan di daerah. Saat ini, total sado dana Pemerintah, baik Pemerintah Kabupaten, Kota, dan Propinsi tercatat Rp 180 Trilyun. Besarnya saldo simpanan ini terkait percepatan penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak dan DBH Sumber Daya Alam (SDA) Triwulan 1 2016, yang biasanya dilakukan di bulan maret. Saldo simpanan Pemda per akhir Januari 2016 juga lebih besar Rp. 11 Trilyun dibandingkan simpanan pemda di periode yang sama di tahun 2015. Terlepas dari tersedianya sumber pendanaan ini, yang tidak kalah pentingnya adalah proses penggunaan dana tersebut. Umumnya Pemda baru akan menggunakan dana tersebut di periode semester dua tahun fiskal berjalan. Hal ini tidak terlepas dari proses pengadaan barang dan jasa yang memakan waktu lama. Dengan adanya perbedaan waktu antara penganggaran dan pelaksanaan ini, maka serapan anggaran di daerah juga tidak optimal. Jika modal besar ini kemudian hanya mengendap di rekening kas daerah tanpa ada penggunaan, maka dana tersebut akan menjadi dana tidak produktif dan tidak memberikan manfaat ataupun menggerakan perekonomian di daerah. Dana yang cukup besar ini dapat diefektifkan penggunaannya dengan melakukan keselarasan antara percepatan proses transfer dengan percepatan implementasi kegiatan di daerah. Salah satu cara percepatan implementasi adalah dengan mempercepat proses lelang untuk kegiatan, sehingga dana tersebut dapat digunakan dalam kegiatan pembangunan di daerah. Contoh daerah yang melakukan percepatan proses lelang adalah Kolaka. Hal ini bertujuan agar kegiatan dapat dilakukan lebih awal. Penumpukan saldo dana pemerintah di Bank juga berdampak pada satu hal yaitu adanya bunga atas penyimpanan dana tersebut. Hal ini dikarenakan penyimpanan dana pemda tersebut disimpan di dalam rekening kas daerah di Bank Daerah. Jika dana transfer tersebut tersimpan di perbankan, dan kemudian menghasilkan bunga, maka akan menjadi satu tugas tersendiri, tidak hanya Pemda namun juga Pemerintah Pusat untuk mengawasi pendapatan dari bunga tersebut. Pasal 25 (PP) No. 39/2007 tentang Pengelolaan Keuangan Negara dan Daerah menyebutkan bahwa terhadap uang Negara/Daerah yang berada di Bank Umum/badan lain, Bendahara Umum Negara/Daerah berhak memperoleh bunga, jasa giro/bagi hasil pada tingkat bunga yang berlaku umum untuk keuntungan
Seputar Otonomi
Kas Negara/Daerah. Pasal tersebut menyebutkan bahwa bendahara umum berhak memperoleh bunga, namun untuk keuntungan Kas Daerah. Ini berarti bahwa tidak boleh ada penggunaan bunga dari rekening kas daerah untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Tentunya peran inspektorat perlu dimaksimalkan dalam mengawasi pendapatan bunga tersebut.
Pemekaran Daerah Tanpa Arah Semenjak otonomi daerah diterapkan tahun 1999, pemekaran daerah menjadi warna tersendiri dalam tataran implementasinya. Sampai tahun 2014, tercatat setidaknya ada 223 daerah otonom baru (DOB). DOB tersebut terdiri dari 8 propinsi baru, 182 kabupaten dan 33 Kota. Terakhir, sampai tahun 2016, tercatat setidaknya ada 87 usulan DOB yang masuk kepada Pemerintah. Tujuan dari pemekaran suatu daerah sendiri adalah untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, termasuk memudahkan akses masyarakat dan juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
tahapan status sebagai “daerah persiapan”. Status Daerah Persiapan memiliki arti bahwa daerah yang dimekarkan harus memenuhi tiga syarat yaitu persyaratan dasar kewilayahan, Persyaratan dasar kapasitas daerah, persyaratan administrasi. Jika pemenuhan persyaratan tersebut terpenuhi, maka calon daerah baru harus menjadi daerah persiapan yang dipayungi dengan Peraturan Pemerintah (PP). Dalam masa persiapan selama tiga tahun, daerah induk berkewajiban menyiapkan daerah persiapan tersebut agar bisa menjadi daerah otonom baru, dimana pemerintah pusat DPR, DPD, juga ikut terlibat membina, mengawasi dan mengevaluasi. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan beberapa indikator, yang dapat menentukan apakah daerah tersebut berhasil meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Kembali lagi harus disadari bahwa, tujuan pemekaran daerah selayaknya dikembalikan kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan juga pendekatan akses layanan kepada masyarakat. Pemerintah pusat juga seharusnya belajar dan berhati-hati dalam memutuskan DOB ini. Kesalahan-kesalahan pemekaran di masa sebelumnya diharapkan tidak terulang kembali, dan justru dengan persiapan yang matang akan menjadikan daerah pemekaran mencapai tujuannya.
Fakta yang terlihat dari pemekaran adalah tidak banyak daerah baru yang mampu atau setidaknya berhasil meningkatkan kinerja daerahnya, semisal dari sisi perekonomian. Sekitar 80 % daerah hasil pemekaran bahkan mendapat nilai merah dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Fakta tersebut tentunya tidak bisa diabaikan mengingat kemudian pemekaran yang terjadi adalah hanya atas kepentingan segelintir elit di daerah.
Perubahan Mekanisme Transfer Dana Desa
Pemerintah sendiri menyampaikan bahwa mengacu pada UU No. 23 Tahun 2014, pemekaran daerah tidak lagi bisa langsung di setujui. Daerah yang akan diajukan sebagai daerah pemekaran baru haruslah melewati
Salah satu amanat UU Desa adalah adanya dana desa. Dana desa adalah dana perimbangan yang diberikan kepada desa yang bersumber dari APBN. Dalam APBN 2016, peningkatan dana desa sekitar 6% dibandingkan
Gambar 2. Persyaratan Pembentukan Daerah Pemekaran
23
Seputar Otonomi
tahun sebelumnya. Proporsi pembagian dana desa adalah 90% dibagi rata kepada seluruh desa dan 10% dibagi berdasarkan beberapa indikator seperti luas wilayah, angka kemiskinan dan jumlah penduduk. Dana desa diberikan kepada desa melalui melalui tiga tahap dana transfer. Mekanisme transfer tiga tahap ini sesuai dengan PP No. 60/2014 yang menyebutkan bahwa dana desa di transfer dengan mekanisme tiga kali pentransferan. Tahap pertama dilakukan pada bulan April dengan besaran 40% dari total. Tahap kedua dilakukan di bulan Agustus dengan besaran 40%, dan 20% di lakukan pada November tahun fiskal berjalan. Pada awal 2016 terjadi perubahan skema penyaluran dana desa, dari yang semula tiga tahap menjadi dua tahap. Proporsi dana desa yang disalurkan juga menjadi berubah yaitu 75% untuk penyaluran tahap pertama dan 25% untuk tahap kedua. Menurut Menteri Desa, penyaluran ini agar desa dapat melakukan kegiatan pembangunan secara langsung dan tidak terputus. Selain tahapan tersebut, penyaluran dana desa dilakukan langsung ke kas desa, bukan melewati kas Kabupaten. Tujuan perubahan mekanisme penyaluran dana desa tersebut memang baik. Tetapi, perlu diingat bahwa aturan mengenai penyaluran dana desa yaitu PP No.60/2014. Seperti yang telah disebutkan di atas, penyaluran dilakukan di tiga tahap dan disalurkan melalui rekening kas kabupaten. Jika penyaluran dana desa dilakukan melalui dua tahap dan dilakukan langsung ke kas desa, maka akan terjadi pelanggaran atas peraturan tersebut. Permasalahan lain yang akan muncul, tentunya pada kesiapan desa sendiri. Perubahan mekanisme ini, akan berdampak pada pola implementasi kegiatan seperti yang telah direncanakan sebelumnya, dan akan diperlukan perubahan dari rencana sebelumnya. Perubahan tahapan penyaluran dana desa perlu dipikirkan lebih matang lagi. Penting bagi pemerintah agar tidak ‘menabrak’ rambu peraturan. Di sisi lain, kesiapan daerah menyambut perubahan ini juga harus di tingkatkan. Pengharmonisasian perencanaan dan kegiatan menjadi kunci penting agar nantinya perubahan tahapan penyaluran tersebut berdaya optimal bagi pembangunan desa.
24
Harapan untuk Kepala Daerah Baru Pilkada serentak yang dilakukan pada 9 Desember 2015 di 269 daerah telah sampai pada tahap pelantikan kepala daerah baru. Dari sekitar 269 daerah, 9 Propinsi dan 260 Kab./Kota yang melakukan pemilihan Kepala Daerah terdapat Kepala Daerah baru. Bahkan pada pilkada serentak ini, tercatat ada 30 Kepala Daerah wanita terpilih. Pelbagai macam harapan tentunya sudah banyak digantungkan kepada Kepala Daerah terpilih. Proses Pilkada langsung memang membuka peluang bagi siapapun untuk maju. Tidak terkecuali juga kalangan selebritas yang memiliki popularitas lebih yang dapat diandalkan ketika menarik dukungan masyarakat. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengenai kapasitas dari Kepala Daerah sendiri. Mampukah Kepala Daerah yang belum mumpuni kapasitasnya membangun satu daerah? Kapasitas Kepala Daerah dalam memimpin suatu daerah sudah menjadi keharusan. Kapasitas yang mumpuni akan membuat Kepala Daerah mampu menjawab permasalahan pembangunan di daerahnya melalui perencanaan. Kapasitas dalam hal tata kelola menjadi penting untuk menjawab harapan atas perbaikan-perbaikan yang diperlukan, khususnya dalam hal pelayanan publik. Perencanaan yang tidak menjawab permasalahan kunci di daerah menjadi cerminan bahwa banyak Kepala Daerah tidak memiliki visi dan misi yang baik untuk memimpin dan membangun daerahnya. Kapasitas Kepala Daerah yang belum mumpuni juga memberikan gambaran lemahnya mekanisme rekrutmen Kepala Daerah. Contoh teranyar adalah tertangkapnya Bupati Ogan Ilir yang baru dilantik 17 Februari karena kasus Narkoba. Mekanisme rekrutmen juga nampak tidak berjalan sebagaimana seharusnya di internal Partai. Partai tidak mampu menghasilkan kader-kader yang memiliki kapasitas dan kompetensi untuk menjadi pimpinan daerah. Seringkali kader partai yang terpilih sebagai Kepala Daerah justru terjerat kasus-kasus hukum, dan minim menghasilkan champion-champion kepemimpinan di daerah.
Agenda KPPOD
Kegiatan KPPOD Terkini
1. Workshop dan Briefing Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) 2016 Pada tanggal 26-28 Januari 2016 KPPOD menyelenggarakan kegiatan workshop dan briefing bersama mitra peneliti dari 33 Provinsi. Acara briefing yang diadakan selama 3 hari ini bertempat di Hotel Pomelotel, Jakarta Selatan. Studi TKED KPPOD kali ini akan dilaksanakan di 33 daerah ibukota provinsi di Indonesia, bekerjasama dengan KSI (Knowledge Sector Initiative) dibawah DFAT. Acara yang berlangsung selama 2 hari ini di hadiri 33 mitra peneliti lokal, seluruh staf peneliti KPPOD, APEKSI, KSI, dan LPEM FE-UI. Studi TKED di harapkan bagi pelaku usaha sebagai salah satu sumber pengetahuan untuk mengenal lebih dalam kondisi iklim berusaha di daerah dan menjadi stok informasi dalam pembuatan keputusan investasi. Akhirnya, bagi para pemangku peran di pemerintahan, terutama Pemda, hasil studi ini menjadi masukan perbaikan regulasi/kebijakan, penyusunan program iklim usaha, dan pembelajaran antardaerah.
Winantyo IT & Dokumentasi KPPOD
2. Diskusi Media "Reformasi Perizinan di Daerah" KPPOD melakukan diskusi dengan sejumlah pewarta dari berbagai media massa mengangkat topik "Reformasi Perizinan di Daerah". Diskusi ini bertujuan memberikan gambaran kepada masyarakat luas melalui media massa tentang rumitnya regulasi perizinan di daerah maupun nasional.
25
Agenda KPPOD
Diskusi ini diselenggarakan pada Minggu tanggal 28 Februari 2016, yang bertempat di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Selatan.
3. Forum Dialog Investasi Bekerjasama dengan FCO-British Embassy dan Badan Koordinasi Penanaman Modal, KPPOD melakukan riset "Penyederhanaan Perizinan Usaha di Daerah" Riset yang dilakukan di 6 (enam) daerah dan mengindentifikasi seluruh peraturan nasional ini, disebarluaskan melalui sebuah forum dialog investasi. Forum ini di hadiri oleh sejumlah pihak, baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga pelaku usaha. Hadir sebagai pembicara dalam dialog ini yakni Azhar Lubis (Deputi Pengendalian
26
Pelaksanaan Penaman Modal BKPM), Ir. Hervian Tahier (Ketua Komite Tetap Bidang Pengembangan Investasi, SDM & UKM Kadin Indonesia), Abdullah Abu Bakar (Walikota Kediri), dan Robert Endi Jaweng (Direktur Eksekutif KPPOD), Acara Dialog Investasi ini dilaksanakan pada tanggal 17 Maret 2016 di Hotel Le Meridien, Jakarta.
Menerima Sumbangan Tulisan KPPOD menerima sumbangan tulisan dalam bentuk kategori, Opini, Artikel, Esai maupun Feature. Tulisan yang dikirim merupakan hasil karya sendiri dan dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis, dan tidak merendahkan pihak tertentu. Tulisan yang dimuat akan mendapat imbalan secukupnya. Syarat dan ketentuan tulisan adalah sebagai berikut: Tulisan sesuai dengan tema-tema KPPOD, seperti Desentralisasi Ekonomi, Pelayanan Publik di Daerah, Iklim Investasi, dan Profil Daerah (Rubrik dari Daerah). Menggunakan bahasa yang mudah dipahami, baik dan benar. Untuk kategori Feature (dari Daerah), panjang tulisan maksimal 10000 karakter tanpa spasi. Untuk kategori Esai, Opini, Artikel, panjang tulisan maksimal 5500-6000 karakter tanpa spasi (disertai dengan foto kejadian). Menyertakan identitas penulis secara singkat dan jelas disertai dengan foto, dan menyertakan nomor telepon yang dapat dihubungi. Isi tulisan menjadi tanggung jawab penulis. Tulisan yang dikirim akan diedit seperlunya tanpa merubah substansi. Tulisan dikirim ke redaksi KPPOD Brief, email:
[email protected] dan cc ke:
[email protected]
27
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Regional Autonomy Watch Gd. Permata Kuningan Lt. 10 Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C Guntur, Setiabudi, Jakarta Selatan, 12980 Telp: (+62 21) 8378 0642/53, Fax: (+62 21) 8378 0643 http://www.kppod.org, http://perda.kppod.org, http://pustaka.kppod.org