KPPOD
Membangun Indonesia dari Daerah
Edisi Januari-Maret 2015
Deregulasi Izin: Melanjutkan Reformasi Perizinan di Daerah Menyederhanakan Perizinan, Meraih Investasi Perizinan Usaha di Daerah: Langkah Penyederhanaan melalui Deregulasi
2
Editorial
Penyederhanaan Perizinan
Daftar Isi Artikel ....................................... 4 Review Regulasi ...................... 16 Dari Daerah............................. 20 Opini ........................................ 24 Laporan Kegiatan ................... 30 Seputar Otonomi .................... 32 Agenda KPPOD...................... 36
Susunan Redaksi Pemimpin Redaksi: Robert Na Endi Jaweng Redaktur Pelaksana: Ig. Sigit Murwito Staff Redaksi: Sri Mulyati Boedi Rheza Elizabeth Karlinda M. Iqbal Damanik Margaretha N. Sianturi Tities Eka Agustine Distribusi: Regina Retno Budiastuti Devi Widiyanti Agus Salim Layout: Winantyo
Alamat Redaksi: Gd. Permata Kuningan Lt.10 Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C Guntur, Setiabudi Jakarta Selatan 12980 Phone : +62 21 8378 0642/53 Fax : +62 21 8378 0643 www.kppod.org http://perda.kppod.org http://pustaka.kppod.org
R
eformasi perizinan usaha tampak terus bergerak saat ini. Selain reformasi pada aspek birokrasi berupa pembentukan PTSP dan pengendalian biaya perizinan dalam rangka implementasi UU No.28/2009, arah perhatian Pemerintah hari-hari ini mulai menyasar kepada reformasi regulasi/kebijakan yang mendasari pengaturan materi perizinan. Fokus baru ini kita kenal sebagai penyederhanaan substansi syarat dan jumlah/jenis perizinan, dengan metode utamanya adalah deregulasi. Gerak perubahan pada tingkat lanjut tersebut tak terelakan. Selain memang demikianlah rute normal yang mesti ditempuh, juga terutama lantaran esensi persoalan perizinan kita juga banyak bersumber dari banyak/rumitnya syarat dan jumlah/jenis perizinan itu sendiri. Secara nasional, setidaknya terdapat 1200 jenis izin yang kini masih berlaku bagi aktivitas usaha di daerah. Di propinis DKI Jakarta, sekedar contoh, ada 518 izin yang kini terdata untuk diurus oleh instansi PTSP (dari Badan PTSP hingga Satpel PTSP Kelurahan) untuk kegiatan usaha di wilayah ibukota. Menjadi pertanyaan awal nan mendasar: apakah pemerintah membutuhkan sedemikian banyak syarat dan izin untuk fungsi pengendalian kegiatan usaha? Apakah pelaku usaha merasakan relevansi dari perizinan berjibun tersebut bagi legalisasi usaha mereka? Jika fungsi perizinan diselami dan dijalankan secara konsisten, sesungguhnya kita bisa tau seberapa jumlah ideal perizinan yang layak dibuat. Sebagaimana ditulis dalam rubrik “Opini”, suatu perizinan terbilang baik dan relevan jika memang ditujukan bagi pemenuhan satu atau gabungan fungsi berikut: instrumen pencegah atas gagal-pasar, alat rekayasa pembangunan, dasar legal berusaha, dan sumber pendapatan bagi Negara/pemda. Rasionalisasi menuju penyederhanaan izin dan deregulasi kebijakan menjadi pilihan tak terhindarkan kalau fungsi-fungsi tersebut dijadikan dasar pertimbangan, bukan asal membentuk rezim perizinan atau hanya berorientasi kepada PAD (rezim pungutan) semata. Semangat perubahan kini mulai muncul di sejumlah daerah sebagai pionir penyederhanaan perizinan: beberapa kabupaten/kota di propinsi Aceh, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Sebagaimana dilihat pada rubrik “Review Regulasi” maupun rubrik “Artikel”, Kabupaten Barru di Sulsel, misalnya, bahkan telah menyederhanakan jumlah perizinan mereka dari 129 menjadi hanya 22 izin tersisa saat ini. Tantangan lanjut, sebagaimana yang menjadi misi KPPODBrief edisi ini, adalah memperluas (scalling-up) gerakan reformasi tersebut agar menjangkau semakin banyak daerah. Untuk itu, reformasi perizinan mesti menjadi gerakan nasional atau agenda pemerintah Pusat, yakni menjadikan agenda deregulasi aneka regulasi terkait di Pusat sebagai dasar perubahan dan pintu masuk penyederhanaan perizinan secara luas di level daerah. KPPOD dan khalayak pembaca menunggu respon Pusat. Selanjutnya, mari bergandengan tangan dalam berbagai inisiatif yang perlu, untuk secara aktif mendorong pemangku otoritas Pusat bergerak nyata. n
3
Artikel
Deregulasi Izin: Melanjutkan Reformasi Perizinan di Daerah
S
ejalan dengan kebijakan desentralisasi, Pemerintah Daerah (Pemda) berkewajiban untuk membina dan mengembangkan dunia usaha di daerah sebagai pilar pertumbuhan ekonomi daerah. Langkah dan upaya meningkatkan investasi secara sistematis merupakan perwujudan dari upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Investasi di daerah akan berjalan baik jika para investor mendapatkan kepastian hukum dan kemudahan dalam menjalankan usahanya. Iklim investasi yang kondusif dapat terwujud jika ditopang oleh layanan birokrasi yang baik pula, seperti prosedur perizinan yang sederhana, infrastruktur yang efisien dan efektif, jaminan akses, kepastian lahan, dan sebagainya.
Dalam rangka meningkatkan layanan publik dan pertumbuhan ekonomi di daerah, hari-hari ini pemerintah terlihat giat melakukan reformasi birokrasi. Salah satu bentuk reformasi birokrasi yang dilakukan adalah penyederhanaan perizinan. Reformasi ini perlu segera dilakukan karena kondisi tata kelola perizinan masih menjadi hambatan dalam lingkungan usaha di daerah. Terbitnya Permendagri No. 24 Tahun 2006 dan Permendagri No. 20 Tahun 2008 mengenai Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP), merupakan komitmen nyata Pemerintah dalam melakukan reformasi perizinan di daerah. PTSP dibangun untuk melakukan efisiensi business process pengurusan izin. Seperti percepatan dalam hal waktu, kemudahan dalam syarat/prosedur dan biaya yang proporsional. Proses debirokratisasi yang dilakukan sudah banyak mengalami kemajuan. Data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menunjukkan bahwa hingga akhir 2013 90,74% (451 dari 497) kabupaten/kota dan 84,85% (28 dari 33) provinsi telah membentuk PTSP dan dengan dengan kapasitas kelembagaan PTSP yang lebih baik. Namun upaya debirokratisasi Perizinan tersebut, belum diikuti dengan upaya pengurangan jumlah/jenis izin (deregulasi) secara optimal dan masif. Saat ini, masih terdapat kurang lebih 1.300 izin di tingkat nasional yang berdampak pada banyaknya perizinan di daerah. Izin-izin ini seringkali pada intinya sama, tetapi memakai nama atau istilah berbeda. Banyaknya izin yang harus diurus, bukan hanya menjadi beban dunia
4
Iqbal Damanik Peneliti KPPOD
Artikel
usaha, tetapi juga menambah beban kerja Pemda. Karenanya, upaya pengurangan jenis izin merupakan satu langkah penting dalam kebijakan reformasi birokrasi perizinan khususnya untuk meningkatkan iklim investasi yang kondusif. Upaya penyederhanaan jumlah/jenis izin bukanlah proses yang mudah. Banyak aspek yang mempengaruhi keberhasilan proses deregulasi, khususnya di daerah. KPPOD mencoba untuk memotret proses pelaksanaan penyederhanaan jumlah izin di daerah dan menganalisis tantangan serta konsekuensi yang akan dihadapi Pemda dari penerapan kebijakan tersebut melalui sebuah studi. Studi yang dilakukan ini tidak hanya difokuskan pada bagaimana cara penyederhanaan jumlah izin saja, tetapi juga melihat tantangan dan konsekuensi dari adanya penyederhanaan jumlah izin tersebut. Penyederhanaan perizinan secara menyeluruh meliputi empat aspek yang saling terkait. Keempat aspek tersebut adalah penyederhanaan proses penerbitan izin, persyaratan memperoleh izin, pengendalian biaya pengurusan izin, dan penyederhanaan jenis izin. Pada tataran implementasi, seringkali Pemda melupakan pentingnya aspek penyederhanaan jenis izin. Padahal, aspek keempat ini menjadi salah satu hal yang memudahkan Pemda dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Maka kajian ini berfokus melihat dan menganalisis proses penyederhanaan jenis izin yang dilakukan di daerah. Penyederhanaan jenis izin dapat dilakukan dengan menghapus, mengelompokkan dan menggabungkan izin. Studi ini dilakukan di dua daerah dengan karakteristik yang berbeda, baik dari skala ekonomi dan proses yang dilakukan dalam menyederhanakan jenis izin, yakni
di Kota Kediri, Jawa Timur dan Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Studi dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan memakai metode wawancara mendalam (in-depth interview) kepada narasumber yang mewakili masing-masing stakeholder. Kajian ini berfokus pada kebijakan pengurangan jumlah izin yang dilakukan di daerah, serta melihat konsekuensi dari pengurangan izin tersebut dan faktor apa saja yang menjadi kunci sukses penyederhanaan izin di daerah.
MOMENTUM PENYEDERHANAAN JENIS IZIN Terbitnya UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah Instrumen Pemda dalam melakukan pungutan adalah dengan memberlakukan izin. Sebelumnya, Pemda melakukan pungutan berlandasakan UU No.34 Tahun 2000. UU ini membuka peluang Pemda untuk melakukan pungutan melalui penerapan berbagai macam izin. Hal ini menyebabkan buruknya iklim investasi di daerah, karena pelaku usaha diberatkan dengan berbagai macam jenis izin dan pungutan berganda. Permasalahan ini diatasi dengan terbitnya UU No.28 Tahun 2009 yang memberlakukan sistem daftar pungutan tertutup bagi daerah. Dengan adanya UU ini, Pemda tidak dapat lagi menerbitkan izin yang bervariasi dan berpotensi memberatkan pelaku usaha. Di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, momentum terbitnya UU ini dijadikan sebagai dasar deregulasi perizinan. Pemda Kabupaten Barru berinisiatif melakukan evaluasi perda-perda pungutan yang di dalamnya terdapat aturan atau muatan norma perizinan. Evaluasi perda perizinan menghasilkan rekomendasi pengklasifikasian perda, yaitu perda perizinan non retribusi dan perda retribusi.
5
Artikel
Pelimpahan Kewenangan ke PTSP PTSP lahir sebagai upaya untuk menyederhanakan seluruh proses perizinan, mulai dari menyederhanakan business process, menyederhanakan persyaratan, mengendalikan biaya, hingga menyederhanakan jenis izin. PTSP menjadi tempat akhir yang memastikan reformasi ini benar-benar bisa berjalan atau tidak, karena PTSP diharapkan menjadi satu-satunya satuan kerja di daerah yang mengurusi perihal perizinan. Momentum pelimpahan kewenangan perizinan ke PTSP dapat digunakan Pemda untuk menyederhanakan perizinan. Di Kota Kediri, momentum pelimpahan kewenangan terhadap PTSP sekaligus dijadikan proses penyederhanaan jenis izin. Pada saat melakukan pemetaan perizinan, Pemda Kota Kediri mengidentifikasi dan mengevaluasi izin-izin yang akan dilimpahkan dan izin yang bisa disederhanakan sesuai dengan kebutuhan Kota Kediri. PTSP juga harus memperlihatkan kesiapan secara kelembagaan untuk menerima kewenangan izin-izin dari tiap SKPD sektoral, memastikan dan menjamin bahwa izin akan diselenggrakan dengan lebih baik.
UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Banyak daerah sudah melakukan reformasi perizinan meskipun belum ada landasan yang mengatur atau memayungi kegiatan ini pemerintah tetap berkomitmen untuk memberikan layanan publik terbaik bagi masyarakat. Namun, dengan terbitnya UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pemda tidak perlu lagi merasa ragu untuk segera melakukan penyederhanaan izin. UU No.30 Tahun 2014 memberikan kepastian hukum pada aparatur pemerintahan dalam mengambil kebijakan termasuk dalam proses penyederahanna perizinan. Beleid bidang Administrasi Pemerintahan tersebut bisa digunakan oleh Pemda sebagai landasan hukum deregulasi perizinan. UU ini menjadi manual bagi kepala daerah dalam mengambil kebijakan. Maksud dari UU ini seperti yang tercantum pada Pasal 2 adalah “undang-undang tentang administrasi pemerintahan dimaksudkan sebagai salah satu dasar hukum bagi badan dan/atau pejabat pemerintahan, warga masyarakat, dan pihak-pihak lain yang terkait dengan administrasi pemerintahan dalam upaya meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan.”
6
Penyederhanaan izin adalah bagian dari upaya pemerintah melakukan pengaturan administrasi. Pada Pasal 4 ayat (2) disebutkan bahwa pengaturan administrasi pemerintah mencakup tentang hak dan kewajiban pejabat pemerintahan, kewenangan pemerintahan, diskresi, penyelenggaraan administrasi pemerintahan, prosedur administrasi pemerintahan, keputusan pemerintahan, upaya administratif, pembinaan dan pengembangan administrasi pemerintahan, dan sanksi administratif. Tidak ada aturan hukum yang mengatur secara rinci tentang proses penyederhaan izin di daerah. Namun, UU No.30 Tahun 2014 ini bisa digunakan sebagai landasan dalam rangka menata administrasi pemerintahan. Jika ada suatu kebijakan yang diambil dan belum memiliki dasar hukum daerah maka Pemda boleh mengambil kebijakan berdasarkan kewenangan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Pengambilan kebijakan berdasarkan AUPB juga dijelaskan pada UU No.30 Tahun 2014, Pasal 9 ayat (4), “ketiadaan atau ketidakjelasan peraturan perundang-undangan, tidak menghalangi badan dan/ atau pejabat pemerintahan yang berwenang untuk menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan sepanjang memberikan kemanfaatan umum dan sesuai dengan AUPB.” Pengajar hukum perizinan Universitas Airlangga, Dr.Lilik Pudjiastuti, sebagai salah satu Narasumber penelitian untuk Kota Kediri, menambahkan bahwa selama tujuan dari penyederhanaan izin tidak menyalahi kewenangan dan sesuai dengan asas-asas pemerintahan yang baik, maka hal tersebut dapat dilakukan : “Penyederhanaan perizinan dapat dilakukan selama tujuannya tidak berbeda, dan tidak mencampuradukkan kewenangan, menyalahgunakan kewenangan, melampaui kewenangan dan bertindak sewenang-wenang, dan tentu saja harus sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.”
FAKTOR PENDORONG KEBERHASILAN PENYEDERHANAAN JENIS IZIN Komitmen dan Keinginan Kuat dari Kepala Daerah Keberhasilan penyelengaraan penyederhanaan jenis izin di daerah, tidak terlepas dari komitmen dan keinginan yang kuat dari pemimpin dan aktor yang terlibat lainnya. Political will dan keseriusan pemimpin
Artikel
dalam menjalankan fungsi utama pemerintahan menjadi modal dasar perangkat daerah lainnya untuk ikut terlibat dalam komitmen tersebut. Komitmen kepala daerah yang berpengaruh terhadap proses penyederhaan izin telah dibuktikan oleh Bupati Kabupaten Barru. Pada masa kepemimpinan Ir. H. Andi Idris Syukur, M.Si (Bupati Kabupaten Barru periode 2010-2015). Kabupaten Barru telah berhasil melakukan reformasi perizinan, berupa pelimpahan kewenangan dan penyederhanaan izin. Bupati Andi Idris juga menyampaikan secara tegas komitmen tersebut kepada seluruh SKPD agar seluruh proses perizinan dialihkan ke PTSP. Keberhasilan tersebut sangat berbeda dengan kondisi sebelumnya (periode 2005-2010), dimana PSTP di Kabupaten Barru yang sudah terbentuk masih belum banyak melayani jenis perizinan. “Yang paling utama internal (SKPD) PD) D) dulu yang dipahamkan, dan saya pikir, aparat kita juga sudah memahami adanya reformasi birokrasi, jadi sudah ada tekad untuk melakukan upaya-upaya yang lebih baik.” Bupati Kabupaten n Barru, Ir. H. Andi Idris Syukur, M.Si. Salah satu faktor yang mendukung penyederhanaan izin dapat berjalan dengan baik adalah dengan adanya kelompok kerja (Pokja) khusus yang bekerja untuk penyederhanaan perizinan. Terbentuknya Pokja dalam proses ini tidak terlepas dari instruksi Bupati. Bupati kemudian menunjuk Sekda sebagai ketua Pokja. Penunjukan Sekda menjadi ketua Pojka dapat memberikan efek kepada tiap SKPD untuk turut terlibat secara aktif. Lebih dari itu, Bupati juga mendelegasikan seluruh kewenangan penandatanganan izin kepada PTSP. Komitmen untuk mengawal proses penyederhanaan izin yang ditunjukkan oleh Bupati Kabupaten Barru pada Rancangan Perda Penyelenggaraan Izin Non Retribusi. Bupati memperjuangkan Ranperda ini untuk disetujui oleh DPRD menjadi Perda (saat ini sudah menjadi Perda No.2 Tahun 2012). Perda inilah yang kemudian menjadi dasar proses deregulasi dan menutup peluang dikeluarkannya izin tanpa landasan hukum yang jelas di Kabupaten Barru. Komitmen yang sama juga ditunjukkan oleh Walikota Kediri. Walikota Kediri mendorong reformasi birokrasi perizinan ketingkat yang lebih advance dari daerah
lain, yaitu tahapan proses pengurangan jumlah atau jenis izin. Dalam hal ini, Walikota Kediri memberikan instruksi langsung kepada seluruh SKPD untuk melimpahkan kewenangan perizinan kepada PTSP. “Saya panggil semuanya (SKPD), ), kalau nggk begitu bisa sepuluh sampai tujuh kali kerja, saya. Saya sampaikan bahwa kedepannya seluruh pengurusan izin harus ada di PTSP.” Walikota taa Kediri, Bapak Abdullah Abu Bakar. arr. Dengan adanya instruksi ini, seluruh SKPD, menunjukkan komitmen yang sama dan memegang teguh semua prosedur dan aturan kerja yang telah ditetapkan. Komitmen di tiap level pemerintahan memberikan trickle down effect kepada staf dan bawahan di semua lini sehingga proses penyederhanaan izin dapat berjalan dengan baik dan menghindarkan terjadinya penyimpangan dalam pengurusan izin.
Keterlibatan Lembaga Fasilitator Daerah-daerah yang saat ini sudah melakukan penyederhanaan izin, pada umumnya adalah daerah yang mendapatkan pendampingan dari fasilitator. Keberadaan fasilitator sangat menunjang keberhasilan penyederhanaan izin di daerah. Tanpa fasilitator akan sulit bagi Pemda melakukan penyederhanaan izin. Fasilitator sebagai institusi di luar Pemda juga berperan dalam memberikan bantuan kepada daerah mulai dari peran pendanaan hingga peran sebagai konsultan yang mendampingi masing-masing tahapan refromasi birokrasi. Pendanaan yang diberikan tentu bukan pendanaan yang bersifat mengikat, namun lebih kepada pendanaan dalam memfasilitasi pemda untuk melakukan inisiatif bersama penyederhanaan izin. Proses awal pendampingan yang dilakukan oleh fasilitator adalah melakukan kajian tentang reformasi birokrasi perizinan. Kajian inilah yang nantinya menjadi dasar mengapa penyederhanaan jenis izin perlu dilakukan dan bagaimana melakukannya. Setelah itu, fasilitator mendorong semua lini Pemda untuk sepaham dalam proses penyederhanaan izin dan menganggap penyederhanaan izin sebagai hal yang “penting” dan harus segera dilaksanakan agar proses deregulasi dapat berjalan sukses. Di Kabupaten Barru, semangat reformasi birokrasi yang didorong Kepala Daerah mendapatkan dukungan
7
Artikel
dari lembaga yang mamfasilitasi asistensi teknis kepada Pemda. Fasilitator di Kabupaten Barru mendampingi hingga memfasilitasi forum-forum diskusi yang dibutuhkan Pemda dalam menyamakan persepsi tiap stakeholder. Begitu juga halnya dengan Kota Kediri, fasilitator mendorong reformasi birokrasi perizinan dengan memfasilitasi pertemuan antar SKPD dalam upaya menyamakan persepsi dan bertindak sebagai penengah atau mediasi antar SKPD. Tidak hanya SKPD, fasilitator juga memberikan masukan kepada PTSP untuk terus memperbaiki kinerjanya.
Partisipasi Stakeholder Partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan dalam pembangunan di daerah. Bahkan dari sisi legal, pemerintah pusat membuat peraturan perundangundangan untuk memperluas peran masyarakat dalam semua konteks pembangunan. Pada UU No. 23 Tahun 2014 secara tegas menyebutkan pentingnya peran dan keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan. Pada Bab XIV beleid baru otonomi daerah tersebut diatur bahwa partisipasi masyarakat mencakup hak warga untuk mendapatkan informasi tentang pelaksanaan pemerintahan daerah dan keterlibatannya dalam proses-proses pemerintahan. Keterlibatan masyarakat juga harus sampai pada aspek teknis. Pemerintah harus memberikan ruang bagi masyarakat dalam mengkomunikasikan tuntutan khususnya terkait isu-isu publik. Hal ini dilakukan agar pemerintah dapat bekerjasama secara lebih dekat dan erat dengan masyarakat untuk mengeksplorasi berbagai hambatan dan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Penyederhanaan izin adalah salah satu isu publik yang sangat penting oleh karena itu, partisipasi seluruh stakeholder seperti Pemda, DPRD, NGO/CSO, media massa, pelaku usaha dan masyarakat umum sangat dibutuhkan untuk mensukseskan upaya ini. Mereka berkontribusi untuk memetakan kebutuhan dan masalah yang mereka alami, sehingga kebijakan yang diambil oleh Pemda akan lebih tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan stakeholder terkait.
➢ SKPD Sektoral Pelibatan SKPD sektoral dalam proses penyederhanaan izin adalah hal yang wajib dilakukan. Terpecahpecahnya pengurusan izin di masing-masing satuan kerja memunculkan ego sektoral atas kewenangan penerbitan izin. Ego sektoral ini bisa menjadi hambatan utama, karena perangkat Pemda tidak satu pandangan dalam mengartikan reformasi birokrasi di
8
bidang perizinan. SKPD sektoral dapat memberikan gambaran kondisi perizinan dan mengetahui substansi permasalahan perizinan di daerah. Meskipun izin sudah disederhanakan atau dilimpahkan ke PTSP, SKPD tetap akan menjadi tim teknis perizinan. Dengan melibatkan SKPD, koordinasi dan komunikasi antara PTSP dan SKPD terkait penyelesaian semua masalah yang terjadi pada saat penyederhanaan dilakukan dapat terselesaikan dengan baik. Begitu juga ketika terjadi resistensi terhadap PTSP oleh SKPD yang terbiasa dengan pola pengelolaan izin yang terdahulu. Dengan kerjasama ini, ego sektoral bisa diredam dan dihilangkan.
➢ DPRD Kebijakan eksekutif dalam rangka menyederhanakan jenis izin harus didukung oleh DPRD. Untuk itu, DPRD perlu dilibatkan sejak awal proses pengambilan keputusan. Komitmen dan pemahaman yang sama antara DPRD dengan Pemda akan memudahkan proses penyusunan peraturan daerah. Hasil akhir dari penyederhanaan jenis izin adalah adanya perda yang mewadahi pengaturan soal penyelenggaraan perizinan yang sudah disederhanakan di daerah. Peraturan daerah akan memberikan kekuatan legal formal dalam pelaksanaan perizinan. Seperti yang terjadi di Kabupaten Barru, pengesahan perda penyelenggaraan izin non retribusi sebagai titik dasar penyederhanaan jenis izin di Kabupaten Barru adalah berkat keterlibatan DPRD dalam proses FGD. Berangkat dari pemahaman yang sudah sama, DPRD kemudian memberikan dukungan dengan membahas Ranperda yang diusulkan eksekutif menjadi Perda. Berbeda dengan Kota Kediri, meski dari sisi hukum, level hukum peraturan walikota sudah cukup untuk melakukan penyederhanaan izin. Namun, perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan level landasan hukumnya menjadi Perda. Perda melindungi pejabat pemerintah dari gugatan perizinan dan Perda juga akan menjaga keberlanjutan kebijakan ini. DPRD yang tidak terlibat dalam proses penyederhanaan izin di Kota Kediri bisa jadi merupakan salah satu alasan kebijakan eksekutif tidak mendapat perhatian atau dukungan dari DPRD. Walikota Kediri, juga menunjukkan keengganan untuk melibatkan DPRD dalam proses reformasi birokrasi, sehingga kebijakan ini bisa “diperdakan”. “Perda memang menguntungkan, tapi kalau sulit bagi saya untuk apa? yang hubungannya
Artikel
dengan DPRD memang kita hindari,” Walikota Kediri, Bapak Abdullah Abu Bakar. Fungsi DPRD sebagai partner Kepala Daerah dalam membangun daerah tentu tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Penyederhanaan izin adalah hal yang menyangkut persoalan keseluruhan masyarakat, maka pelaksanaannya juga harus mendapat dukungan dari DPRD sebagai wakil rakyat. Dukungan dari DPRD akan memberikan kekuatan bagi Pemda dalam mengimplementasikan kebijakan.
➢ Bagian Hukum Sekretariat Daerah Stakeholder dari kalangan Pemda yang juga memiliki peran penting adalah Bagian Hukum Sekretariat Daerah. Pengetahuan terhadap seluk beluk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan ditingkat nasioanal dan daerah, menjadikan keterlibatan Bagian Hukum tidak bisa dipisahkan dalam proses ini. Kontribusi Bagian Hukum di Kabupaten Barru berupa hasil kajian yang dilakukan Biro Hukum yang memetakan jumlah izin dan proses ini berdasar dari rekomendasi hasil evaluasi perda-perda pasca disahkannya UU No.28 Tahun 2009. Di Kota Kediri, kontribusi bagian hukum bersama dengan fasilitator adalah memberikan penjelasan mengenai konsekuensi-konsekuensi hukum dan kewenangan dalam hal perizinan. Penjelasan tentang konsekuensi hukum ini menjadi dasar kesepahaman dan keterlibatan SKPD dalam melakukan pelimpahan kewenangan dan penyederhanaan izin.
➢ Media Massa Peranan media massa dalam pembangunan di daerah salah satunya adalah sebagai agen pembaharu (agent of social change) atau membantu memperkenalkan perubahan sosial. Dalam hal ini media massa dapat dimanfaatkan untuk menstimulasi proses pengambilan keputusan, memperkenalkan usaha modernisasi dan membantu mempercepat proses pemahaman masyarakat menganai program-program pembangunan di daerah. Secara umum, media masa memiliki beberapa fungsi, diantaranya: (1) fungsi pengawasan; (2) fungsi penghubung; (3) fungsi pentransferan budaya atau pengetahuan; dan (4) fungsi hiburan. Fungsi media massa dalam pembangunan di daerah lebih banyak ditujukan untuk melakukan pengawasan, menjadi penghubung dan meneruskan kebijakan Pemda kepada masyarakat.
Fungsi pengawasan yang dilakukan media massa dalam penyederhanaan izin berbentuk kritik dalam pemberitaan. Pemda yang tidak mendapat perhatian atau kritik dari media massa, terkhusus dalam hal pemberian pelayanan kepada masyarakat, akan cenderung abai dalam memberikan pelayanan. Media massa yang mengabarkan tentang penyederhanaan jenis izinakan menjadikan proses ini menjadi hal yang penting dan akan menimbulkan dukungan publik Pemda. Dalam proses penyederhanaan izin di Kabupaten Barru, media massa dilibatkan oleh Pokja dalam tiap FGD dan proses pengambilan keputusan. Tiap usaha penyederhanaan jenis izin yang dilakukan oleh Pemda diberitakan oleh media massa. Pemberitaan ini memberikan tekanan kepada pejabat Pemda di setiap level untuk berkomitmen melakukan reformasi birokrasi perizinan. Para jurnalis di Kabupaten Barru juga diberikan akses seluas-luasnya untuk mengetahui proses reformasi birokrasi perizinan. Informasi yang diberitakan oleh media akan berimbang dari tiap pihak dan masyarakat mendapatkan informasi yang lengkap.
➢ Dunia Usaha dan Kelompok Masyarakat Sipil Dunia usaha dan masyarakat merupakan stakeholder yang paling merasakan dampak dari rumitnya penyelenggaraan izin di daerah. Sebagai stakeholder yang menggunakan langsung pelayanan perizinan (user). Saran dan masukan dari dunia usaha dan masyarakat atas hambatan yang mereka alami selama ini akan menjadikan kebijakan penyederhanaan izin tepat sasaran. Pelaksanaan penyederhanaan izin pada akhirnya akan memudahkan dunia usaha dan masyarakat dalam mendapatkan izin usaha, hal ini tentu saja akan mendorong pertumbuhan perekonomian. Begitu juga halnya dengan Kelompok Masyarakat Sipil (NGO/CSO). Elemen NGO/CSO merupakan salah satu saluran aspirasi masyarakat.CSO bekerja menghimpun saran dan keluhan dari masyarakat. Keterlibatan NGO/CSO dapat menjadi sarana penghubung antara masyarakat luas dengan Pemda. Masukan NGO/CSO yang berdasar pada permasalahan yang terjadi di masyarakat dapat membantu Pemda dalam mengambil kebijakan yang sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi Pemda untuk mempertimbangkan tiap masukan NGO/CSO. Dalam hal melakukan upaya reformasi birokrasi perizinan partisipasi stakeholder dibutuhkan.
9
Artikel
Partisipasi ini akan memberikan dorongan kepada pejabat pemerintah di setiap lini bekerja. Ego sektoral dapat diminimalisir dan dilebur dalam perencanaan Pemda. Setiap elemen pemerintahan daerah dan stakeholder harus bisa berkoordinasi dan bekerjasama. Proses pengambilan keputusan kebijakan ini, membutuhkan gambaran secara menyeluruh mengenai persoalan perizinan di daerah, dengan begitu setiap stakeholder berkontribusi mengurangi hambatanhambatan perizinan di daerah. Di Kabupaten Barru, partisipasi stakeholder dilembagakan secara formal, dalam bentuk Multi Stakeholder Forum (MSF) berdasarkan Surat Keputusan Kepala PTSP (KP3EM) No.15/kp3m/ xii/2014 tentang Pembentukan Multi Stakeholder Forum Perizinan. Hal ini sejalan dengan amanat UU No.23/2014 bahwa Pemda dalam meningkatkan partisipasi masyarakat harus mengembangkan pelembagaan dan mekanisme pengambilan keputusan yang memungkinkan kelompok dan organisasi kemasyarakatan dapat terlibat secara efektif (Pasal 354 ayat (2)). Dengan demikian, keterlibatan setiap stakeholder akan berlanjut, fungsi kontrol dan pengawasan terhadap kinerja pemerintah khususnya dalam hal ini kinerja PTSP dapat dilakukan secara periodik dan terlembaga.
TAHAPAN PENYEDERHANAAN IZIN Secara teknis, Pemda dapat melakukan penyederhanaan izin dengan beberapa langkah. Dari pengalaman Kabupaten Barru dan Kota Kediri, dirumuskan beberapa langkah yang baik dalam menyelenggarakan izin sebagai berikut; Pertama, membentuk Kelompok kerja (Pokja); Kedua, menyamakan persepsi tiap stakeholder; Ketiga,
10
memetakan regulasi perizinan dan jenis izin; Keempat adalah menyusun payung hukum penyederhanaan izin.
Membentuk Kelompok Kerja Pemda perlu membentuk Pokja agar upaya penyederhanaan izin dapat berjalan dengan baik. Pokja adalah tim yang terdiri dari unsur tiap stakeholder dan dipimpin oleh pejabat Pemda. Pokja ini nantinya akan merumuskan langkahlangkah teknis dan strategis dalam melakukan upaya penyederhanaan perizinan maupun perencanaanperencanaan kedepan. Pembentukan Pokja sudah seharusnya dilembagakan agar pengawalan proses penyederhanaan perizinan berjalan secara sistematis. Kelembagaan Pokja dapat diperkuat melalui Surat Keputusan Kepala Daerah tentang Pembentukan Pokja. Pokja sebagai “motor” kebijakan penyederhanaan perizinan, akan memiliki gerak yang lebih kuat. Pokja memiliki kewenangan untuk mengkoordinasikan tiap stakeholder, dan menghimpun data perizinan dari tiap SKPD.
Kesenjangan antar stakeholder dan hambatan lainnya dapat diatasi. Hasil dari proses penyederhanaan perizinan akan menjadi keputusan yang terlembaga. Di Kabupaten Barru, Pokja tak bisa dihilangkan dari catatan kesuksesan dalam menyederhanakan perizinan. Pokja perizinan menjadi tempat bertemunya para stakeholder dalam menghimpun dan merumuskan kebijakan. Pokja harus diketuai oleh
Artikel
pejabat dengan level di atas Kepala SKPD. Pokja penyederhanaan perizinan diketuai oleh Sekda, dengan begitu upaya Pokja dalam menghimpun SKPD dalam satu forum pengambilan keputusan menjadi lebih mudah. Secara struktural, pejabat berwenang di masing-masing SKPD akan bersedia terlibat jika difasilitasi oleh pejabat yang lebih tinggi, seperti Sekda, wakil walikota atau bahkan walikota sendiri. Pembentukan Pokja juga sebagai bentuk komitmen dari Pemda yang menandakan bahwa proses ini merupakan kebijakan terpusat bukan kebijakan sektoral atau atas dasar keinginian PTSP saja. Berbeda dengan Kabupaten Barru, reformasi perizinan di Kota Kediri tidak dimotori oleh Pokja, namun langsung dimotori oleh PTSP dan dibantu oleh lembaga fasilitator. Hal ini mengakibatkan resistensi masih muncul dari tiap SKPD. Resistensi terjadi karena persepsi dari SKPD sektoral bahwa kebijakan ini hanyalah kebijakan yang mementingkan PTSP saja. Tanpa adanya Pokja, proses penyederhanaan perizinan akan memakan waktu lama karena tarik ulur kepentingan antar stakeholder masih tinggi dan tidak terkoordinasinya tiap upaya penyederhanaan perizinan.
kehadiran level pengambil keputusan seperti Kepala Dinas/SKPD dalam proses FGD.
Memetakan Regulasi Izin dan Jenis Izin Tahapan ini merupakan bagian dari proses memetakan perizinan secara sistematis dan berdasarkan pertimbangan akademis khususnya hukum perizinan. Pemetaan izin memberikan gambaran kondisi perizinan di daerah. Proses ini sangat menentukan ketepatan substansi dan aturan hukum dalam upaya penyederhanaan izin. Ada dua jenis pemetaan yang harus dilakukan oleh pemda; Pertama, adalah memetakan seluruh produk hukum di daerah yang menjadi dasar penyelenggaran seluruh perizinan di daerah. Dari kegiatan ini dapat ditemukan jumlah eksisting izin di daerah, beserta substansi dan SKPD yang menjadi penyelenggara izin tersebut. Kedua, adalah pemetaan izin yang diterbitkan oleh SKPD yang tidak berdasarkan produk hukum di daerah, dan yang langsung merujuk pada peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Proses ini dapat menghimpun jumlah dan jenis izin yang dikeluarkan oleh masing-masing SKPD.
Menyamakan Persepsi tiap Stakeholder Dalam proses pengurangan jumlah izin, tahapan awal yang perlu dilakukan adalah menyamakan persepsi setiap SKPD teknis tentang upaya reformasi birokrasi perizinan. Upaya ini dibutuhkan oleh Pemda untuk memperhitungkan konsekuensi positif dan negatif yang akan terjadi. Proses ini bisa dilakukan dalam bentuk Focus Group Discussion (FGD), serial diskusi, atau coaching clinic yang mempertemukan dan melibatkan seluruh stakeholder, khususnya Pemda. Di kedua daerah, tahap awal melakukan penyederhanaan jenis izin dengan melakukan FGD yang melibatkan setiap SKPD terkait. FGD dilakukan beberapa kali hingga didapatkan kesepakatan dan kesamaan persepsi. Dari FGD inilah didapatkan dukungan dan komitmen setiap stakeholder, terutama SKPD dalam proses penyederhanaan perizinan di daerah. Perwakilan dari setiap SKPD dalam FGD haruslah pejabat pengambil keputusan, dalam hal ini adalah Kepala SKPD. Kehadiran Kepala SKPD akan mempercepat pengambilan keputusan. Dalam hal ini, proses di Kota Kediri menggaris bawahi pentingnya
Temuan dari hasil pemetaan ini adalah: 1. Izin-izin yang tidak pernah diterbitkan Pemda dalam dua tahun terakhir; 2. Izin-izin yang merupakan duplikasi izin yang lain, dalam arti jenis izinnya berbeda tetapi pada dasarnya mengatur hal yang sama; 3. Izin-izin yang dasar hukumnya hanya peraturan di tingkat daerah tanpa ada dukungan peraturan di atasnya; 4. Izin-izin yang diatur oleh peraturan menteri atau peraturan setingkat tetapi dianggap kurang sesuai dengan semangat reformasi birokrasi perizinan; 5. Izin-izin yang diatur oleh peraturan menteri atau peraturan setingkat tetapi tidak ada produk hukum di daerah yang mengaturnya; 6. Izin-izin yang berpotensi untuk digabung karena diurus oleh unit usaha yang sama. Di Kabupaten Barru, hasil dari pemetaan izin mendorong penyederhanaan jenis izin terbagi atas dua klasifikasi, yaitu izin yang memiliki retribusi dan non retribusi. Dengan klasifikasi tersebut akan memberikan pemahaman kepada SKPD untuk melakakukan penyelenggaraan perizinan dan menyusun landasan hukum yang lebih terarah.
11
Artikel
Selain itu, masyarakat akan mendapatkan kepastian pelayanan izin. Begitu juga halnya dengan Kota Kediri, pemetaan perizinan yang baik dan detail menyebabkan Kota Kediri memahami izin yang dibutuhkan oleh Pemda. Sehingga izin yang diatur oleh Pemda adalah izin-izin yang sesuai dengan kompetensi yang dimiliki Pemda. Hal ini pula yang menyebabkan penyederhanaan izin di Kota Kediri dilakukan dengan hati-hati agar tidak menyalahiperaturan pemerintah pusat, dan tidak menyimpang dari substansi izin.
Menyusun Payung Hukum Penyederhanaan Jenis Izin Hasil akhir dari proses penyederhanaan jenis izin harus memiliki payung hukum. Izin-izin yang digabungkan, dihapus, dan dikelompokkan tentu akan mengubah nomenklatur dan perlu diterbitkan produk hukumnya di daerah. Dengan adanya payung hukum, fungsi izin sebagai alat pengendalian di daerah akan semakin kuat, dengan kata lain daerah tidak akan menerbitkan izin yang tidak memiliki produk hukum daerah. Selain itu, keberadaan payung hukum tidak hanya memberikan kekuatan atas fungsi izin sebagai alat pengendalian namun juga sebagai perlindungan bagi pejabat yang diberikan kewenangan menerbitkan izin. Keberadaan payung hukum terhadap hasil penyederhanaan izin, berangkat dari filosofi izin sebagai hak dari masyarakat. Proses penyederhanaan izin secara tidak langsung adalah proses pengurangan/ pembatasan hak tersebut, untuk itu diperlukan persetujuan dari wakil rakyat melalui Perda. Pentingnya keberhasilan peyederhanaan perizinan “diperdakan” juga untuk menjamin keberlanjutan kebijakan ini. Siklus demokrasi memungkinkan perubahan kebijakan di daerah karena adanya perubahan kepemimpinan. Dengan adanya Perda, perubahan kepemimpinan tidak terlalu berpengaruh pada keberlanjutan inovatif dan kebijakan positif sudah ada.
PENDEKATAN MENYEDERHANAKAN JENIS IZIN Beberapa pendekatan dalam menyederhanakan jenis izin, seperti menghapus, menggabungkan ataupun mengelompokkan dapat dilakukan oleh Pemda. Dalam pelaksanaannya, Pemda tetap harus memperhatikan
12
tiap jenis izin yang disesuaikan dengan pendekatan penyederhanaannya. Dengan begitu, keberhasilan upaya penyederhanaan jenis izin akan optimal dan sesuai dengan kebutuhan Pemda. Berikut penjelasan mengenai beberapa pendekatan dalam menyederhanaan jumlah izin:
Menghapus Penghapusan izin dilakukan dengan beberapa pertimbangan, seperti: Pertama terhadap izin-izin yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas, baik di pusat maupun di daerah; Kedua, izin-izin yang dipandang tidak diperlukan atau tidak akan efektif dijalankan; Ketiga, izin yang tidak sesuai dengan karakteristik daerah; Keempat, izin yang daerah tidak memiliki kompetensi untuk melakukan pengujian kelayakan diterbitkannya izin. Di Kota Kediri, izin penggilingan padi (Huller) telah dihapus dengan argumentasi tidak ada masyarakat yang menggunakan atau memiliki usaha penggilingan padi. Selain itu, kondisi alam Kota Kediri tidak ada bentang persawahan. Oleh karena itu, contoh berikutnya adalah izin lift dan forklift. Kota Kediri menghapus izin ini karena Pemda Kota Kediri tidak memiliki kompetensi untuk melakukan pengujian. Penyelenggaran izin lift dan forklit diserahkan kepada Pelayanan Perizinan Terpadu (P2T) Provinsi Jawa Timur yang memiliki kompetensi untuk melakukan pengujian.
Mengelompokkan Pengelompokan izin dilakukan dengan cara menyatukan izin-izin yang memiliki fungsi yang sama ke dalam satu jenis izin. Pengelompokan ini dilakukan tanpa mengurangi atau menghapus substansi dari izin tersebut. Seperti izin–izin yang bersifat sektoral dijadikan keterangan jenis izin. Contoh izin yang dikelompokkan dapat dilihat dari penyederhanaan jenis izin yang dilakukan di Kabupaten Barru. Seperti, semua izin usaha yang termasuk dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia dikelompokkan dalam Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) atau Surat Izin Tempat Usaha (SITU). Contoh yang lebih jelasn seperti, izin usaha obat hewan di tingkat depo, toko, kios dan pengecer obat hewan, poultry shop dan pet shop, izin usaha budidaya hewan kesayangan, izin usaha alat angkut/ transportasi produk peternakan hanya dijadikan satu izin yaitu SIUP.
Artikel
Begitu juga dengan izin usaha pusat perbelanjaan, izin usaha pasar modern atau tradisional dan sejenisnya, pada dasarnya mengatur hal yang sama (tempat usaha). Izin-izin seperti itu secara nomenklatur bisa dihapus, substansinya dimasukkan ke dalam Surat Izin Tempat Usaha (SITU)/HO dan jenis usaha atau sektor menjadi keterangan yang dicantumkan di dalam dokumen SITU/HO tersebut. Contoh lainnya di bidang kesehatan seperti izin praktek dokter spesialis, izin praktik dokter umum, izin praktik bidan, dan izin praktik perawat sebenarnya mengatur hal yang sama, yaitu izin praktik bagi tenaga kesehatan. Dalam kasus seperti itu, izin-izin tersebut dapat dikelompokkan menjadi satu, misalnya dengan nama Izin Praktik Tenaga Kesehatan dengan mencantumkan keterangan jenis tenaga kesehatan di dalam dokumen izin tersebut.
Menggabungkan Penggabungan izin adalah beberapa izin yang tadinya terpecah-pecah di banyak sektor dan mengatur hal yang sama dijadikan satu. Berbeda dengan pengelompokkan izin, menggabungkan izin tidak mencantumkan keterangan jenis dalam izin tersebut. Contohnya, di Kota Kediri, izin usaha toko obat hewan, dan izin usaha makanan ternak digabungkan menjadi izin usaha toko obat dan makanan ternak. Contoh penggabungan izin lainnya, juga dapat dilakukan dengan menggabungkan izin dari sektor yang berbeda, seperti izin Penyelenggaraan Lembaga Pelatihan Kerja dan Kursus yang dikeluarkan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dengan Izin Pendirian Penyelenggaraan LPK di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, yang sudah digabungkan dalam Izin Penyelenggaraan Lembaga Pelatihan Kerja dan Kursus.
POLA PENYEDERHANAAN JENIS IZIN DI DAERAH Reformasi birokrasi perizinan terbagi atas dua hal, pertama penyederhanaan dalam hal business process. Kedua adalah penyederhanaan dalam hal regulasi. Dua hal ini tidak bisa dipisahkan, karena praktik reformasi perizinan yang baik adalah business process yang sederhana dengan jenis izin yang sederhana pula. Penyederhanaan ini hanya dapat dilakukan di satu PTSP. Pola penyederhanaan jenis izin, dapat dibagi kedalam beberapa cara:
Penyederhanaan Izin Dilakukan Sebelum Pelimpahan Kewenangan ke PTSP Kabupaten Barru secara penuh melakukan penyederhanaan izin sebelum adanya pelimpahan kewenangan kepada PTSP. Sedangkan di Kota Kediri, Pemda menerapkan pola penyederhanaan izin yang dilakukan sebelum pelimpahan kewenangan ke PTSP, namun hanya untuk beberapa izin saja. Beberapa izin sudah disederhanakan sebelum dilakukan melimpahkan kewenangan ke PTSP. Konsekuensi menggunakan pola ini adalah resistensi yang muncul dari masing-masing SKPD akan lebih besar, dibandingkan dengan kewenangan sudah berada pada PTSP. Namun, penggunaan pola ini dapat menghasilkan kerjasama antara SKPD dengan PTSP, karena kesepakatan penyederhanaan izin menjadi kesepakatan bersama. Keterlibatan SKPD tetap memberikan tanggung jawab untuk menjalankan fungsi perizinan. Di Kota Kediri, beberapa izin sudah disederhanakan dalam Perwal tersendiri diluar Perwal No.43/2014 tentang PTSP. Contohnya Perwal No.18/2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Obat Hewan dan/atau Pakan Ternak yang menyederhanakan dua izin yaitu Izin Usaha Toko Obat Hewan dan Izin Usaha Makanan Ternak menjadi satu izin, Izin Usaha Toko Obat dan Makanan Ternak.
Penyederhanaan Izin Dilakukan Setelah Pelimpahan Kewenangan ke PTSP Dalam beberapa pandangan, penyederhanaan izin akan mudah dilakukan ketika kewenangan menerbitkan izin sudah berada pada PTSP. Adanya penyederhanaan izin juga mengurangi munculnya resistensi dari SKPD sektoral. Selain itu izin-izin yang kewenangannya sudah berada pada PTSP dapat disederhanakan secara spesifik dan hanya melibatkan SKPD sektor terkait dengan PTSP. PTSP tidak bisa dengan mudah menggunakan kewenangannya secara langsung untuk menyederhanakan izin. PTSP harus melibatkan SKPD terkait, karena SKPD tetap berfungsi sebagai tim teknis dari izin dan sebagai instansi yang mengawasi, dan mengontrol penggunaan izin. Penggunaan pola ini berpotensi memunculkan permasalahan struktural, jika level kelembagaan PTSP berada di bawah SKPD. Misal, PTSP yang kelembagaannya “Kantor” akan sulit berkoordinasi
13
Artikel
dengan SKPD yang secara struktur berada di atas PTSP. Selain itu, pola ini juga menyebabkan SKPD merasa tidak dilibatkan dalam proses penyederhanaan izin.
meski hanya persoalan nomenklatur saja.
Pelimpahan Kewenangan.
Penyederhanaan izin khususnya untuk izin-izin yang bersifat teknis perlu memperhatikan nomenklatur agar tidak menimbulkan persoalan baru bagi pemegang izin, seperti yang terjadi pada izin operesional klinik diatas.
Kota Kediri menerapkan pola ini dalam melakukan penyederhanaan izin. Inisiatif pelimpahan kewenangan izin ke PTSP diawali proses pemetaan izin-izin yang akan dilimpahkan. Proses pemetaan izin dilakukan secara bersama-sama antara PTSP dengan SKPD, dan menghasilkan temuan izin-izin yang harus disederhanakan. Pada dasarnya pola penyederhanaan jenis izin seperti ini, akan lebih mudah dilakukan karena dikerjakan bersamaan dengan pelimpahan kewenangan. PTSP dan SKPD memiliki upaya yang sama dalam proses pemetaan izin, sehingga proses kerja penyederhanaan ini menjadi lebih efisien.
Permasalahan ini juga mungkin terjadi pada bidang kesehatan lainnya, seperti pengelompokkan izin praktek dokter spesialis, izin praktik dokter umum, izin praktik bidan, dan izin praktik perawat yang dikelompokkan ke dalam izin tenaga kesehatan. Izinizin ini merupakan izin teknis yang dipersyaratan dalam mengurus izin lainnya. Penyederhanaan izin dalam bentuk pengelompokkan ini tentu saja tetap bisa dilakukan, namun Pemda perlu melakukan penyamaan persepsi dengan institusi teknisnya seperti Rumah Sakit dan BPJS, agar permasalahan nomenklatur tidak menyulitkan pemegang izin.
Penyederhanaan Izin Dilakukan Bersamaan dengan
Peraturan Pemerintah Pusat RAMBU-RAMBU DALAM MENYEDERHANAKAN IZIN Substansi dan Fungsi dari Izin Dalam menyederhanakan jenis izin, substansi dan fungsi dari izin tidak boleh hilang. Jika hasil dari penyederhanaan izin tidak sesuai dengan subsansi dan fungsinya akan mengakibatkan masyarakat menjadi kesulitan. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan tujuan dasar upaya reformasi birokrasi, yaitu memudahkan masyarakat. Salah satu contoh penyederhanaan izin yang kurang memperhatikan substansi terjadi di Kabupaten Barru, khususnya untuk izin-izin di bidang kesehatan. Perda penyelenggaran izin non retribusi tidak mengakomodir adanya nomenklatur izin operasional klinik. Izin ini digabung ke dalam SIUP dengan argumentasi jenis izin ini termasuk dalam daftar KBLI. Padahal nomenklatur izin operasional klinik dibutuhkan oleh pengusaha klinik karena BPJS mempersyaratkan izin operasional klinik dalam perjanjian kerja sama penyelenggaraan layanan kesehatan. Persyaratan BPJS yang berbeda nomenklatur dengan izin yang dikeluarkan PTSP menjadi permasalahan yang dihadapi klinik. Dr. Rahman yang bertugas di Dinas Kesehatan yang merupakan anggota Pokja penyederhanaan perizinan di Kabupaten Barru mengatakan bahwa hal ini menjadi salah satu konsekuensi yang harus diterima,
14
Peraturan Menteri (Permen) adalah petunjuk teknis dari pelaksanaan izin di daerah. Pada proses penyederhanaan izin ini harus memperhatikan Permen yang ada. Hal ini bertujuan agar izin yang disederhanakan tidak melanggar acuan hukum dari pelaksanaan izin yang sudah ada, dan mencantumkan Permen terkait perihal Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) izin. Sebagai contoh di Kabupaten Kediri, terdapat penyederhanaan izin dari dua Permen yang berbeda, yaitu izin Penyelenggaraan Lembaga Pelatihan Kerja dan Kursus. Izin ini merupakan penyederhanaan dari izin Pendirian Penyelenggaraan LPK yang diatur oleh Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER-17/MEN/VI/2007 dan izin Satuan Pendidikan Non Formal yang diatur dengan Permendikbud No.81 Tahun 2013. Penggabungan izin dengan Permen yang berbeda bukanlah pelanggaran terhadap peraturan pusat, selama izin baru tersebut tetap mencantumkan permen sebagai Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK). Artinya upaya menyederhanakan izin harus mempertimbangkan peraturan pemerintah pusat, seperti Permen misalnya. Namun peraturan pemerintah pusat sering kali menjadi hambatan penyederhanaan jenis izin di daerah. Kementrian lembaga (K/L) sering mengeluarkan peraturan secara parsial tanpa melihat peraturan yang sudah ada. Bahkan terdapat satu
Artikel
substansi izin yang sama diatur lebih dari satu K/L. Hal inilah yang menyebabkan adanya izin-izin yang tumpang tindih baik pusat maupun daerah. Salah satu contoh penerapan izin yang tumpang tindih akibat adanya peraturan pusat adalah kasus tempat penjualan minuman beralkohol (minol). Tempat penjualan minol dikenai dua izin berbeda, yaitu izin Tempat Penjualan Minol dan SITU. Hal yang kurang lebih sama juga terjadi pada SIUP dan TDP. Dimana izin-izin tersebut memiiki fungsi yang sama yaitu mengatur izin tempat usaha dan izin melalukan aktivitas usaha (perdagangan) serta untuk pendataan. Ke depan, dalam menerbitkan peraturan, Pemerintah pusat harus meninjau dan mensinkronkan peraturan pokok yang ada, seperti UU, PP dan Permen dari kementrian yang berbeda. Peraturan Pusat terkait perizinan seringkali juga mengakibatkan keberadaan izin-izin di daerah yang tidak sesuai dengan karakteristik daerah. Akibatnya, Pemda (SKPD sektoral) sering menyelenggarakan izin tanpa ada produk hukum daerah dan hanya mengacu pada peraturan pusat tersebut. Contohnya sering terjadi pada izin-izin di sektor kesehatan seperti izin operasional klinik dan pendirian rumah sakit, langsung mengacu pada Peraturan Menteri Kesehanan No. 147/MENKES/PER/I/2010. Padahal, daerah memiliki kewenangan dan tanggungjawab menerbitkan produk hukum mengenai perizinan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan di daerah. Jika ada penerbitan izin di daerah tanpa dilandasi produk hukum daerah akan membuat Pemda rentan tersangkut permasalahan hukum. Seperti halnya yang disampaikan oleh Dr. Lilik yang menyatakan bahwa perlindungan hukum pejabat daerah akan kurang kuat jika tidak ada aturan hukum daerah yang mengatur penyelenggaraan perizinan.
“Izin tetap bisa dikeluarkan oleh Pemda meski tanpa adanya Perda, tapi tidak akan kuat dari sisi legitimasi. Perda salah satu fungsinya adalah melindungi pejabat dalam proses pengeluaran izin dan legitimasi.” Dr. Lilik Pudjiastuti.
PENUTUP Semangat reformasi perizinan adalah upaya menjadikan perizinan efektif dan efesien. Beragamnya produk hukum dan institusi yang berwenang menyelenggarakan perizinan menjadi hambatan bagi pemohon izin. Maka, pemerintah pusat dan daerah harus mengatasi hambatan ini melalui deregulasi perizinan. Hasil dari kajian terhadap proses deregulasi perizinan menunjukkan bahwa deregulasi harus dilakukan di tingkat pusat dan daerah. Pertama di tingkat daerah, keberhasilan deregulasi perizinan dapat tercapai jika didukung political will yang kuat dari pemimpin daerah. Komitmen ini akan mendorong seluruh SKPD untuk berpartisipasi dalam penyederhanaan izin. Dalam prosesnya Pemda perlu melibatkan seluruh stakeholder, agar kebijakan yang diambil tepat sasaran dan munculnya kesamaan persepsi mengenai deregulasi. Akhir dari deregulasi di daerah adalah Pemda membentuk produk hukum sebagai landasan penyelenggaraan perizinan dan untuk menjaga keberlanjutan kebijakan ini. Kedua, pemerintah pusat harus berbenah melakukan penyesuaian regulasi. Produk hukum yang harmonis di pusat dan di daerah memberikan kepastian hukum penyelenggaraan izin. Jika kedua hal tersebut tercapai, proses pengurusan izin menjadi lebih pasti dan efisien. Lebih jauh lagi, pertumbuhan ekonomi di daerah akan terdorong, karena iklim investasi semakin baik dengan adanya penyederhanaan izin.
15
Review Regulasi
Deregulasi Perizinan melalui Perda Kabupaten Barru No.2/2012 tentang Penyelenggaraan Perizinan Non Retribusi
B
erdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009-2013, Kabupaten Barru ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Emas. Penetapan KEK pada Kabupaten ini didasarkan pada ketersediaan lahan untuk KEK yang mencapai 4.000 hektar dengan harga tanah yang sangat kompetitif dan jauh dari kawasan konservasi. Selain itu, penetapan tersebut tak lepas dari dukungan infrastruktur yang relatif sudah memenuhi persyaratan sebagai KEK. Hal ini menjadi peluang bagi para investor untuk menanamkan modalnya di Kabupaten dengan luas wilayah 1.174,72 km2 (117.472 hektar) ini.
Untuk dapat merealisasikan secara optimal peluang/kesempatan besar yang ada, dukungan faktor institusi berupa kemudahan perizinan (khususnya untuk memulai usaha) jelas menjadi prasyarat yang mesti dipenuhi. Sebagai upaya reformasi birokrasi dan deregulasi perizinan untuk meningkatkan kemudahan berusaha tersebut, pada tahun 2012, Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Barru dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menetapkan Peraturan Daerah (Perda) No. 2 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perizinan Non Retribusi.
Inisiatif Perda Berasal dari Pemda Kabupaten Barru Posisi Kabupaten Barru yang ‘diapit’ oleh dua kota besar, yakni Kota Makassar dan Kota Pare-Pare, bisa memberikan nilai yang menguntungkan, namun juga bisa sebaliknya. Berada di tengah-tengah dua kota dengan skala ekonomi yang besar serta posisi Kabupaten Barru yang masuk dalam sepuluh daerah dengan perekonomian terkecil di Sulawesi Selatan, membuat banyak investor lebih tertarik untuk menanamkan modalnya di dua kota besar tersebut ketimbang di daerah dengan skala ekonomi yang lebih kecil. Keterbatasan ini mendorong Pemda setempat perlu membuat terobosan dan inovasi, dengan tujuan utama untuk menarik investasi masuk ke daerahnya. Dari tahun 2007 hingga kini Pemda Kabupaten Barru telah melakukan berbagai
16
Elizabeth Karlinda Peneliti KPPOD
Review Regulasi
upaya untuk memperbaiki citra pelayanan publiknya. Beberapa upaya tersebut diantaranya pemberian insentif inovasi melalui Perda No.1 Tahun 2008 tentang Pokok-pokok Perlindungan Investasi, pembentukan Kantor Pelayanan Perizinan dan Penanaman Modal (KP3M) pada tahun 2008 melalui Perda No.6 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tatakerja Kecamatan dan Kelurahan di Kabupaten Barru serta Perda No. 2 Tahun 2012 ini. Lahirnya perda ini berawal dari inisiatif pihak eksekutif yang dikoordinasikan oleh Kepala Daerah setempat. Selanjutnya, dibuat kelompok kerja (pokja) perizinan untuk membahas mengenai proses pelayanan perizinan yang efektif dan efisien di Kabupaten Barru. Pokja tersebut merupakan tim yang beranggotakan perwakilan dari setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang langsung berada di bawah koordinasi Sekretaris Daerah (Sekda). Selain menjadi fasilitator bertemunya para perumus kebijakan terkait, pokja ini juga mengurangi resistensi dari SKPD yang kewenangannya dilimpahkan ke PTSP. Berangkat dari pengkajian atas UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), Tim Pokja melakukan evaluasi perda-perda pungutan yang memuat aturan perizinan. Seluruh jenis izin yang ada diklasifikasi menjadi izin beretribusi dan izin non retribusi. Pada tahap selanjutnya, dilakukan pemetaan terhadap izin-izin non retribusi untuk dilihat izin-izin yang masih perlu ada, digabung ataupun dihapus. Pembahasan Tim Pokja menghasilkan daftar jenis perizinan non retribusi yang menjadi kewenangan Pemda Kabupaten Barru. Tim Pokja juga menyepakati pelimpahan kewenangan seluruh jenis izin tersebut ke KP3M. Seluruh hasil dan kesepakatan tersebut dituangkan dalam Ranperda yang kemudian dibahas oleh DPRD. Pembahasan Ranperda antara pihak eksekutif dan legislatif ini minim resistensi dan minim kepentingan sehingga proses legalisasi menjadi perda berjalan dengan lancar.
b. Terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan perizinan yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan korporasi yang baik; c. Terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan perizinan sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan d. Terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan. Penyelenggaraan perizinan ini meliputi kegiatan pemberian atau penolakan izin, pengawasan atas pelaksanaan izin serta pencabutan izin apabila pemilik izin melanggar ketentuan. Penyelenggaraan perizinan ini dilakukan oleh Kantor Pelayanan Perizinan dan Penanaman Modal (KP3M) serta instansi teknis. Terdapat 14 jenis izin non-retribusi yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Barru, yaitu: ✓ Surat Izin Tempat Usaha; ✓ Izin Pengelolaan Air Tanah; ✓ Surat Izin Usaha Perdagangan; ✓ Izin Pendirian Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Swasta; ✓ Tanda Daftar Perusahaan; ✓ Izin Lingkungan ✓ Tanda Daftar Gudang; ✓ Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu pada Hutan Produksi; ✓ Izin Usaha Jasa Konstruksi; ✓ Izin Pemanfaatan Penggunaan Tanah ✓ Tanda Daftar Industri; ✓ Izin Penelitian ✓ Izin Penyelenggaraan Reklame; ✓ Izin Pemakaian Kios, Lods dan Pelataran
Ringkasan Isi
Selain 14 jenis izin tersebut, terdapat 8 izin lain --yaitu Izin Gangguan (HO), Izin Mendirikan Bangunan, Izin Trayek, Izin Usaha Perikanan, Izin Pertambangan Rakyat, Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi, Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi dan Izin Usaha Industri-- yang ditetapkan dalam perda lainnya. Izin-izin ini merupakan kelompok izin yang dalam pengurusannya dikenakan biaya retribusi yang diperbolehkan dalam peraturan perundangan.
Maksud ditetapkannya perda ini adalah memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan. Adapun tujuannya adalah sebagai berikut: a. Terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggungjawab, kewajiban dan kewenangan seluruh pihak yang terkait penyelenggaraan pelayanan perizinan;
Dalam perda ini, telah diatur pula perihal tim teknis dalam proses penyelenggaraan perizinan. Tim teknis ini merupakan perwakilan dari instansi teknis yang membantu penyelenggaraan perizinan oleh KP3M, khususnya dalam memberikan rekomendasi terkait kelayakan permohonan izin. Pembentukan tim teknis ini lebih lanjut diatur oleh Bupati.
17
Review Regulasi
Selain itu, Perda No.2 Tahun 2012 juga mengatur mengenai pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan izin. Pembinaan dan pengawasan ini dilakukan oleh instansi teknis yang menangani bidang sesuai izin terkait. Dalam kegiatan pembinaan dan pengawasan tersebut, dilakukan koordinasi dengan SKPD lainya yang terkait dengan kegiatan pemberian izin dan dampak atas penerbitan izinnya.
Analisis Substansi Perda Perda belum mencantumkan aturan sektoralnya Perda ini merupakan salah satu implikasi dari terbitnya Undang-Undang No. 28 Tahun 2009. Oleh karena itu, perda ini mencantumkan UU tersebut sebagai konsiderannya. Perda ini juga sudah mencantumkan beberapa peraturan perundangan sektoral yang menjadi rujukan isi perda, seperti UU No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Namun, dalam konsideran perda masih belum mencantumkan peraturan sektoral terkait izin yang diterbitkan, seperti Peraturan Dalam Negeri (Permendag) No. 36/M-DAG/PER/9/2007 juncto Permendag No. 46/M-DAG/PER/9/2007 juncto Permendag No. 39/M-DAG/PER/12/2011 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Padahal peraturan-peraturan tersebut mendelegasikan daerah untuk menyelenggarakan izin yang diatur dalam perda. Adanya landasan hukum yang jelas atas penyelenggaraan perizinan di Kabupaten Barru Sebelum perda ini terbit, Pemda Barru telah membuat terobosan kebijakan melalui penerbitan Perda No.1 Tahun 2008 tentang Pokok-pokok Perlindungan Investasi. Perda ini mengatur antara lain: penyediaan fasilitas dan infrastruktur berupa bantuan proses pelayanan perizinan, fasilitas, dan persiapan lahan sesuai rencana peruntukannya, kemudahan dan keringanan pajak/retribusi untuk jangka waktu tertentu, ketenagakerjaan, di mana pemda berperan memfasilitasi penyediaan kebutuhan tenaga kerja dan memediasi perselisihan antara investor dengan tenaga kerja dan kepastian berusaha berupa perlindungan pemda atas hak-hak keperdataan investor dan jaminan atas keberadaan lahan konsesi investor. Perda ini diturunkan melalui berbagai peraturan lainnya, termasuk dengan pembentukan Kantor Pelayanan
18
Perizinan dan Penanaman Modal (KP3M) melalui Perda No.6 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tatakerja Kecamatan dan Kelurahan pada Kabupaten Barru. Walaupun KP3M sudah terbentuk dengan perda tersebut, namun institusi tersebut hanya mengurus 7 dari 129 jenis perizinan yang ada. Izin-izin lainnya masih berlandaskan izin berlandaskan peraturan yang bersifat sektoral yang tersebar di masingmasing SKPD. Belum ada suatu perda yang secara utuh mengatur seluruh jenis perizinan. Akibatnya, tidak semua masyarakat yang tidak mengetahui jenis maupun biaya perizinan sehingga muncul pungutanpungutan liar dalam pengurusan izin tersebut. Kondisi ini menjadi makin sulit karena belum ada wadah pengaduan yang jelas. Lahirnya perda ini menjadi landasan hukum yang jelas atas penyelenggaraan perizinan di Kabupaten Barru. Dalam perda ini juga sudah menerapakan sistem closed list terhadap jenis perizinan non retribusi di luar perda ini. Artinya, perda ini menjadi dasar hukum bahwa Pemda Barru tidak diperkenankan menyelenggarakan jenis izin non retribusi lain, selain yang tercantum dalam Perda. Selain jumlah dan jenis izin, instansi penyelenggara pelayanan perizinan juga tertuang dalam materi pengaturan perda. Penyelenggaraan perizinan dilakukan oleh SKPD yang khusus mengurus perizinan (baca: KP3M) yang dibantu oleh Tim Teknis dari Instansi teknis terkait. Pihak pelaksana pembinaan dan pengawasan pun sudah tertuang dalam perda yakni Instansi teknis. Poin pengaturan ini menekankan bahwa SKPD penyelenggara pelayanan perizinan di Kabupaten Barru adalah KP3M. Instansi teknis tidak diperkenankan menyelenggarakan pelayanan perizinan, kecuali sebagai Tim Teknis yang memberikan rekomendasi kepada KP3M serta sebagai tim pembinaan dan pengawasan. Unsur utama dalam penyelenggaraan perizinan sudah diakomodir dalam perda. Dengan demikian penyelenggaraan perizinan di Kabupaten Barru setelah adanya landasan hukum perda ini diharapkan dapat berjalan dengan tertib, serta mengurangi pungli perizinan yang ada. Meningkatkan performa pelayanan perizinan Sebelum terbitnya perda ini, terdapat 129 jenis izin yang ada di Kabupaten Barru yang tersebar di
Review Regulasi
seluruh SKPD teknis, seperti Dinas Kesehatan, Dinas Pariwisata, Dinas Perdagangan dan Perindustrian, Kantor Lingkungan Hidup, dll. Banyaknya jumlah dan jenis izin yang diurus ini serta maraknya pungutan liar menyebabkan proses perizinan di Kab. Barru berbelitbelit, butuh waktu yang lama, biaya yang tidak sedikit, sehingga terjadi inefisiensi perizinan. Hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Pemda setempat bahwa izin-izin tersebut dapat menghambat investasi yang masuk. Pada tahun 2011, dilakukan analisis dan pemetaan izin atas seluruh izin yang ada. Hasil utama dari pemetaan izin tersebut adalah bahwa izin-izin yang akan diterbitkan oleh Pemda berdasar pada tiga filosofi perizinan: izin tempat, izin usaha dan izin operasional. Filosofi tersebut diturunkan menjadi 22 izin yang ada di Kabupaten Barru, 14 diantaranya yang tercantum dalam perda ini. Izin-izin sektoral seperti izin sarana kesehatan dan sarana penunjang kesehatan, izin usaha pariwisata, izin usaha perternakan dan izin sektoral lainnya dihapuskan, dan cukup menggunakan Surat Izin Tempat Usaha (SITU), Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Namun, dalam proses administrasinya masih mensyaratkan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Dinas/Badan melalui Tim Teknis. Penyederhanaan izin yang berlandaskan perda menjadi kelebihan tersendiri bagi Pemda maupun masyarakat Kabupaten Barru. Berangkat dari filosofi izin sebagai hak masyarakat, penyederhanaan izin yang dilakukan oleh Pemda secara tidak langsung merupakan proses pembatasan atau pengurangan hak masyarakat atas izin. Oleh karena itu, penyederhanaan izin tersebut harus mendapatkan persetujuan dari DPRD sebagai perwakilan masyarakat atas pembatasan hak tersebut. Selain penyederhanaan jenis dan jumlah izin, perda ini juga mengatur penyelenggaraan pelayanan perizinan dengan sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Seluruh jenis izin yang ada bermula, berproses dan
berakhir di satu instansi, yakni KP3M. Dengan demikian, masyarakat yang ingin mengurus satu atau beberapa izin hanya perlu datang ke KP3M, baik untuk mengajukan permohonan maupun mengambil dokumen perizinannya. Penyederhanaan izin dari 129 menjadi 22 jenis izin serta pelayanan yang diintegrasikan pada satu pintu (KP3M) tentunya memberikan kemudahan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai contoh, sebelum perda ini terbit, pelaku usaha yang ingin membuka praktek dokter harus mengurus beberapa jenis izin di beberapa instansi teknis berbeda. Pemohon harus mengurus SITU, SIUP dan TDP ke Dinas Perdagangan, kemudian Izin Lingkungan ke Dinas Lingkungan Hidup dan terakhir pemohon harus mengurus izin praktik dokter ke Dinas Kesehatan. Kini, pemohon hanya perlu mengurus SITU, SIUP, TDP dan HO ke satu tempat yaitu KP3M. Dengan sistem dan peraturan baru dapat menghemat biaya dan waktu pengurusan.
Catatan Akhir Berbagai peluang investasi sudah semestinya mampu ditangkap oleh Pemda, termasuk Kabupaten Barru. Ditetapkannya Kab. Barru sebagai KEK tentu merupakan suatu peluang besar bagi pemkab untuk meningkatkan investasi di daerahnya. Oleh karena itu, diperlukan upaya pemerintah dan segenap pihak terkait untuk menciptakan dan menjaga iklim yang kondusif, utamanya di bidang pelayanan perizinan. Perda ini merupakan landasan hukum di Kabupaten Barru yang menunjukkan adanya reformasi birokrasi dan deregulasi bidang perizinan. Adanya landasan hukum perizinan yang jelas, penyederhanaan jenis dan jumlah izin serta sistem pelayanan terpadu yang satu pintu diharapkan dapat meningkatkan efisiensi layanan perizinan dan pada gilirannya dapat menarik para investor untuk datang berinvestasi yang pada akhirnya dapat membangun perekonomian di daerah dengan skala ekonomi yang relatif kecil ini.
19
Dari Daerah
Menyederhanakan Perizinan, Meraih Investasi
I
nvestasi merupakan salah satu faktor penggerak perekonomian. Seperti yang telah diketahui, investasi dilakukan tidak hanya oleh pemerintah (melalui belanja pemerintah), namun juga dilakukan oleh pihak swasta. Bahkan saat ini, Investasi swasta sangat dibutuhkan karena investasi pemerintah (government spending) tidak sepenuhnya mampu untuk memenuhi kebutuhan daerah untuk mengakselerasi tumbuhnya perekonomian. Untuk menarik investasi swasta ke suatu negara/daerah, diperlukan banyak upaya yang kemudian bertujuan membentuk iklim investasi yang kondusif. Upaya-upaya tersebut dilakukan berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada daerah antara lain pelayanan investasi yang baik-khususnya hal perizinan, promosi investasi yang berkelanjutan, penyediaan infrastruktur bermutu baik, dan sebagainya.
Perizinan, sebagai salah satu pintu masuk investasi swasta, sudah selayaknya dikelola dengan baik. Pelayanan perizinan yang mendukung lancaranya kegiatan berusaha dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi pelaku usaha. Beberapa hal yang dilakukan oleh pemda berupa kemudahan dalam memperoleh izin, seperti pengurangan hari pengurusan, kemudahan dalam proses pengajuan, persyaratan memperoleh izin dan lainnya. Beberapa daerah sudah melakukan proses tertentu untuk menciptakan kemudahan dalam perizinan melalui langkah penyederhaan (deregulasi) kebijakan izin. Salah satu daerah yang melakukan proses penyederhanaan dimaksud adalah Kota Kediri, Jawa Timur. Di Kota yang berpenduduk kurang lebih 264 ribu jiwa ini, proses penyederhanaan perizinan yang dilakukan dimulai dengan melakukan pengalihan kewenangan perizinan. Pelimpahan kewenangan perizinan sudah dilakukan sejak awal 2014. Tulisan ini mengangkat proses dan dinamika yang yang terjadi, baik di awal sampai sebagian besar perizinan sudah ada di Badan Penanaman Modal (BPM) Kota Kediri.
Alur Proses dan Dinamika Proses penyederhanaan perizinan di Kota Kediri dimulai pada awal 2014. Kegiatan yang dilakukan pertama kali adalah inventarisasi awal perizinan. Kegiatan ini bertujuan
20
Boedi Rheza Peneliti KPPOD
Dari Daerah
untuk mengidentifikasi izin-izin yang ada di Kota Kediri. Kegiatan ini, yang dalam formatnya disebut coaching clinic, melibatkan seluruh Kepala SKPD agar nanti dicapai kesepakatan dan tindak lanjut dari proses penyederhanaan perizinan. Coaching clinic ini di fasilitasi oleh fasilitator dari pihak ke tiga dan merupakan salah satu bentuk pendampingan. Dengan keberadaan fasilitator, kesepahaman maupun kesepakatan dapat dicapai dengan proses yang lebih lancar. Hasil dari kegiatan ini adalah teridentifikasinya 108 perizinan yang ada di SKPD-SKPD Kota Kediri. Setelah seluruh izin berhasil di identifikasi, proses selanjutnya adalah mengurangi jumlah izin tersebut. Proses pengurangan izin ini dilakukan bersamaan dengan dilakukannya pelimpahan izin-izin ke Badan Penanaman Modal (BPM) Kota Kediri. Pelimpahan izin ini juga merupakan perintah langsung dari Walikota yang menginginkan agar seluruh pengurusan izin ada di BPM “Saya panggil semuanya (SKPD), kalau ngak begitu bisa sepuluh sampai tujuh kali kerja, saya. Saya sampaikan bahwa kedepannya seluruh pengurusan izin harus ada di PTSP” ujar Walikota Kediri. Pelimpahan izin ini juga memiliki payung hukum berupa Peraturan Walikota Kota Kediri No. 43 Tahun 2014, yang juga disertai oleh Surat Keputusan Walikota. Peraturan walikota ini menunjukkan adanya komitmen dari Walikota Kediri untuk mendukung penyederhanaan perizinan. Perwali dipilih sebagai payung hukum karena Walikota Kediri tidak ingin
repot dan berhadapan dengan DPRD kalau payung hukum dibuat perda. Disatu sisi, hal ini memang baik dalam artian proses tidak memakan waktu lama dan pendelegasian dapat dilakukan secara cepat. Namun disisi lain, tersirat bahwa tidak dilibatkannya DPRD dalam pembuatan payung hukum menunjukkan Walikota dan DPRD tidak memiliki hubungan yang terlalu harmonis dalam membuat sebuah kebijakan. BPM sebagai SKPD yang melakukan pengurangan izin, pada prakteknya tetap melakukan koordinasi dengan SKPD terkait. Hal ini dilakukan agar pengurangan izin ini dapat dilakukan secara tepat dan komprehensif. Dalam melakukan pengurangan izin ini, BPM melakukan dalam beberapa mekanisme. Mekanisme penyederhanaan izin yang dilakukan BPM adalah mengurangi izin, menggabungkan izin, menghapuskan izin. Melalui mekanisme ini, jumlah perizinan yang berada dibawah kewenangan BPM Kota Kediri ada 87 izin. Beberapa izin juga dikembalikan ke dinas terkait seperti izin lift dan forklift yang dikembalikan ke Disnaker Propinsi Jawa Timur. Untuk izin yang ada saat ini di BPM, diklasifikasikan menjadi beberapa jenis izin yaitu: izin awal (contoh: izin prinsip dan tata ruang), izin dasar (contoh: HO dan Izin Mendirikan Bangunan, IMB), dan izin operasional (SIUP dan TDP) “Mengurangi izin dilakukan jika izin yang terinventarisir tidak memiliki landasan hukum. Menggabungkan izin dilakukan jika izin sejenis atau hanya nomenklatur berbeda namun substansi izin sama. Sedangkan menghapuskan izin,
21
Dari Daerah
dilakukan jika BPM tidak memiliki kompetensi dalam mengelola perizinan. Penghapusan izin ini dapat berarti juga BPM mengembalikan izin kepada SKPD teknis.” Meskipun demikian, masih terdapat izin-izin yang berada di SKPD, dalam artian belum dilimpahkan ke BPM. Izin yang masih berada di luar SKPD umumnya adalah izin-izin yang pelaksanaannya mengacu pada Permen sektoral, seperti izin optik di Dinas Kesehatan. Dinas Kesehatan berpendapat bahwa izin ini masih tetap di Dinkes karena ada merupakan amanat Kepmenkes Nomor 1424/MenKes/SK/XI/2002, sehingga kewenangan untuk izin optik masih berada di Dinas Kesehatan. Izin lainnya yang terdapat di SKPD adalah izin lingkungan. Saat ini izin lingkungan yang telah dilimpahkan adalah AMDAL, sementara UKL/ UPL dan SPPL masih di SKPD terkait (KLH). Hal ini dikarenakan adanya Permen LH yang mendelegasikan kewenangan izin lingkungan di SKPD yang berwenang mengatur izin lingkungan. Keberadaan Peraturan Menteri (Permen) sektoral, seperti salah satu disebutkan diatas, juga menjadi kendala umum pelaksanaan perizinan di daerah. Hal ini menjadi salah satu hambatan pelaksanaan pelimpahan kewenangan di daerah. Seperti yang diutarakan oleh Ibu Lilik, dosen hukum Univeristas Airlangga, “Peraturan Menteri- dapat dijadikan acuan jika permen tersebut diamanatkan oleh peraturan lebih tinggi diatasnya sehingga menjadi Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK)”. Sehingga sebelum menjadikan suatu Permen
22
sebagai acuan pelaksanaan perizinan, perlu dilakukan evaluasi terhadap Permen tersebut. Hal ini diatur dalam PP No. 37 Tahun 2008 di Pasal 9 angka 1 yang menyebutkan bahwa Menteri/kepala lembaga pemerintah non departemen menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan. Namun, masih dalam pasal yang sama, disebutkan bahwa penetapan NSPK memperhatikan keserasian hubungan Pemerintah dengan pemerintahan daerah dan antar pemerintahan daerah sebagai satu kesatuan sistem dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan harus melibatkan pemangku kepentingan terkait dan berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri Indonesia. Dalam implementasinya, keberadaan Permen sejenis, masih membuka peluang munculnya izin-izin baru di Kota Kediri. Hal ini dikarenakan bahwa BPM Kota Kediri akan menerbitkan izin, diluar jumlah izin yang telah dikurangi tadi jika ada Dinas yang ingin menerbitkan izin baru dengan alasan adanya Permen atas izin tersebut, maka Dinas tersebut dapat menerbitkan izin baru tersebut. Tidak hanya pada tingkatan Peraturan Menteri, namun disharmonisasi antar Undang-Undang juga menjadi kendala. Salah satunya adalah keberadaan UndangUndang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam Undang-Undang tersebut, terdapat salah satu jenis retribusi yaitu retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol. Sementara di sisi lain, ada Surat Izin Tempat Usaha (SITU) yang juga merupakan izin untuk tempat berusaha, termasuk
Dari Daerah
penjualan. Keberadaan dua izin ini pada akhirnya mengakibatkan adanya izin berganda untuk satu objek, yaitu tempat usaha. Kendala ini juga dihadapi oleh BPM Kota Kediri, sehingga masih muncul keraguan dari BPM jika muncul hal yang serupa. Konsekuensi kelembagaan dari proses pelimpahan ini adalah BPM Kota Kediri. BPM sebagai satuan kerja yang menerima pelimpahan kewenangan penyelenggaraan perizinan tentu akan medapatkan beban kerja yang besar pula. Beban kerja yang besar ini membuat BPM melakukan perubahan kelembagaan. Tak tanggung-tanggung, bentuk kelembagaan PTSP sebelumnya adalah Kantor, kemudian berubah menjadi Badan. BPM Kota Kediri juga kemudian menjadi tempat koordinasi setiap SKPD dalam kerangka kerja sama penerbitan izin (tim teknis) sehingga di PTSP sendiri harus ada struktur yang mengurusi hal tersebut. Perubahan struktur juga terjadi dengan adanya bidang regulasi dan kebijakan, yang berfungsi untuk menangani regulasi tentang perizinan. Keberadaan bidang ini juga mendukung kemudahan proses penyederhanaan izin di Kota Kediri dari sisi regulasi. Beberapa kendala yang dihadapi oleh BPM Kota Kediri saat ini adalah berkenaan personil untuk mengisi pos Front Office dan Back Office. Kebutuhan personalia untuk Back Office, terutama adalah personil untuk tim teknis. Hal ini dikarenakan, masih sedikitnya personil BPM yang memiliki kompetensi khusus
untuk menangani perizinan yang membutuhkan evaluasi teknis seperti IMB. Untuk itu, kedepan, BPM Kota Kediri sebagai leading sektor dalam proses penyederhanaan perizinan, berencana akan melakukan rekrutmen untuk mengisi formasi personil yang dibutuhkan.
Catatan Akhir Proses penyederhanaan perizinan di Kota Kediri dapat menjadi satu contoh penyederhanaan perizinan yang dapat dilakukan di daerah. Proses yang dimulai dengan pelimpahan kewenangan sekaligus inventarisir awal izin-izin yang ada, yang dilakukan bersama-sama dengan SKPD terkait, dapat meningkatkan koordinasi antar SKPD kedepan. Selain itu, komitmen Kepala Daerah dalam mendorong proses ini, juga berperan besar. Tidak dapat dipungkiri, bahwa dengan komitmen Kepala Daerah, tidak ada SKPD yang ‘mbalelo’ atau bersikeras dalam melakukan penyederhanaan izin. Peran fasilitator juga sangat penting untuk mendapatkan kesamaan persepsi dari SKPD terkait. Selain itu, proses pemetaan awal terhadap izin yang ada dan regulasi yang menjadi acuannya, dapat menjadi langkah awal yang baik dalam penyederhanaan izin. Dari sekelumit kisah ini juga dapat ditarik, bahwa diperlukan penyederhanaan peraturan-peraturan di tingkat pusat yang dapat berimplikasi terhadap implementasi perizinan di daerah. n
23
Opini
Perizinan Usaha di Daerah: Langkah Penyederhanaan melalui Deregulasi
S
etelah menyelesaikan fase awal integrasi 134 jenis perizinan nasional dari 22 Kementerian/LPNK ke PTSP-BKPM sebagai titik akses tunggal pengurusan izin, fokus reformasi layanan usaha instansi koordinasi investasi tersebut kini perlahan berputar ke ranah lokal. Selain melanjutkan pekerjaan di rute reformasi birokrasi berupa dukungan pembentukan/penguatan PTSP di propinsi dan kabupaten/ kota, sekalian pada saat bersamaan juga merintis rute baru berupa reformasi kebijakan (deregulasi) menuju penyederhanaan jumlah/jenis perizinan.
Menyitir pernyataan Deputi Pengembangan Iklim Penanaman Modal, Farah Ratnadewi Indiriani dalam Media Briefing, 11/3/15, perizinan daerah menjadi satu dari tiga perizinan (selain izin lahan/pertanahan dan izin lingkungan) yang menjadi prioritas untuk mulai digarap April 2015. Beban birokrasi, dunia usaha dan masyarakat umum yang mesti ditanggung lantaran perizinan yang banyak dan berbelit ditengarai turut menyumbang kepada lemahnya daya saing investasi dan pertumbuhan sektor swasta di negeri ini. Agenda besar membangun ekonomi berbasis investasi produktif terancam kandas atau bergerak lamban jika sumbatan di ranah administrasi dan kebijakan tersebut tak kunjung diurai. Tulisan ini berada dalam semangat mendukung ikhtiar besar tersebut. Pekerjaan pada level programatik kemudian adalah soal bagaimana menjalankannya secara politik dan teknokratik. Dalam kerangka itu, upaya mendudukan kembali fungsi ideal perizinan dan upaya mereformasi kebijakan yang melandasinya menjadi fokus bahasan selanjutnya. Uraian ke arah demikian didahului catatan sekilas perihal urgensi penyederhaan izin—sesuatu yang sesungguhnya sudah menjadi kasadaran umum dan kebutuhan kita, khususnya para pengambil kebijakan dan para pihak terkait lainnya.
Urgensi Penyederhanaan Hukum administrasi perizinan di negeri ini belum banyak mendapatkan sentuhan reformasi. Kalau dari sisi administrasi sudah hampir sepuluh tahun diperkenalkan
24
Robert Na Endi Jaweng Direktur Eksekutif KPPOD
Opini
reformasi pengurusan (business-process) melalui pembentukan PTSA dan kemudian PTSP, dari sisi hukum administrasi justru mesin reformasi tersebut tak menggelinding secara berarti. Pemerintah Pusat, sebagai pemangku otoritas kebijakan, belum melakukan langkah signifikan menyederhanakan jumlah/jenis izin usaha. Secara nasional tercatat sekitar 1.200 izin usaha, dengan variasi pemberlakuan yang beragam di daerah (di Propinsi DKI Jakarta, misalnya, terdapat 518 izin). Suatu reformasi layanan usaha yang komplit terjadi jika setidaknya berpadu dengan langkah efisiensi business-process (prosedur), pengendalian biaya, serta penyederhanaan syarat dan jenis izin (visualisasi dapat dilihat pada Gambar 1). Kita telah relatif maju dalam langkah pertama (prosedur) melalui debirokratisasi berupa pembentukan PTSP, juga langkah kedua (biaya) melalui pemberlakukan UU No.28/2009. Namun langkah terakhir, yakni penyederhanaan persyaratan hingga deregulasi kebijakan perizinan terasa masih jauh panggang dari api
ikhtiar perubahan patut berwujud penyederhanaan izin. Mengalir dari kebutuhan demikian, fokus bahasan berikutnya sebagai upaya awal memulai tindakan adalah: (1) mendudukan kembali makna dan fungsi perizinan sebagai acuan normatif dalam menseleksi jenis izin yang sungguh dibutuhkan; (2) mengurai langkah penyederhaan itu sendiri. Harapannya, dalam tulisan lain atau pun pada tingkat programatik, pemikiran awal ini dikembangkan lebih mendalam dan detil sehingga layak menjadi bahan dasar bagi masukan kepada pemangku otoritas kebijakan di Pusat.
Makna dan Fungsi Perizinan Buruknya praktik (penyelenggaraan) perizinan di Indonesia, termasuk di era desentralisasi, selama ini telah membentuk persepsi dan sentimen negatif di benak masyarakat. Perizinan dilihat sebagai wujud hadirnya Negara yang serba mengatur, membatasi, menghalangi dan bahkan membebani pelaku usaha atau publik pada umumnya. Istilah “rezim perizinan”
Gambar 1. Kerangka Penyederhanaan Perizinan
...berbagai upaya tersebut diharapkan mampu menjawab dua tantangan utama berusaha di Indonesia: birokrasi yang tidak efisien dan korup! Pertanyaannya adalah: apakah memang dari sisi kebutuhan pemerintahan (fungsi pengendalian) dan pelaku usaha (formalisasi) mengharuskan kita membuat dan/atau mempertahankan jumlah/jenis izin yang sedemikian banyak? Pertanyaan retoris ini tentu tak butuh suatu jawaban eksplisit nan panjang lagi. Semua pihak menyadari jika negeri ini terlalu berlebihan dalam mendesain rezim perizinannya, dan kita juga sadar bahwa fakta tersebut telah membawa kesulitan serius dalam daya saing usaha dan efisiensi birokrasi itu sendiri. Pertanyaan di atas diajukan lebih bermaksud menggugah kesadaran bertindak kita, yakni suatu
lalu dibaca sebagai sistem administrasi Negara yang menjadikan rakyat sebagai pemohon dan bahkan sasaran untuk diperas, sementara penyelenggara Negara adalah penguasa yang bisa seenaknya “mempersulit yang mudah, memperlama yang cepat, dan mencari peluang mengeruk kantong rakyat bagi upeti, pungli hingga pungutan resmi (retribusi)”. Dalam karakter hukum di mana izin termasuk dalam kategori “hukum bersegi satu”--di mana izin hanya boleh dikeluarkana pemerintah dan pemerintah memegang otoritas tata usaha Negara menentukan
25
Opini
diberikan atau ditolaknya suatu aplikasi-- maka izin lalu menjadi sangat mudah tergelincir menjadi alat manipulasi di tangan para penyelenggara yang bermental kumuh dalam sistem birokrasi yang buruk. Sentimen yang mengarah kepada stigma tersebut melekat erat dalam memori publik, bahkan hingga hari ini. Hal demikian perlahan terbentuk dengan sendirinya jika makna dan fungsi normatif perizinan selalu disimpangkan dalam penerapannya. Padahal, sejatinya perizinan itu didesain sebagai instrument strategis dalam hukum administrasi Negara yang membentuk suatu dimensi relasi yuridis antar pemerintah dan warga yang bersifat khusus, nyata dan individual yang langsung terkait dengan subyek hukum (beschiking). Dengan izin lalu diberikan suatu pelepasan/pembebasan dari larangan kepada “seseorang atau badan hukum tidak boleh melakukan suatu kegiatan kecuali diizinkan pemerintah” atau perkenan dalam suatu keadaan khusus, sekaligus mengatur agar tindakan yang diperkenankan tersebut dilakukan sesuai syarat dan prosedur tertentu. Mengalir dari makna umum tersebut, fungsi perizinan dijabarkan dalam sejumlah fungsi penting, yakni (1) Alat pencegah atau pengendali dari pemerintah atas gagal-pasar (market failure) berupa monopoli atau eksternalitas yang merugikan obyek-obyek tertentu yang dilindungi maupun tata kehidupan publik; (2) Alat rekayasa pembangunan di mana izin menjadi instrument Negara dalam mengarahkan kegiatan usaha masyarakat berdasarkan pilihan prioritas sektor, lokasi, atau sebagai dukungan bagi pencapaian tujuan tertentu pemerintah; (3) Dasar legal berusaha, termasuk sebagai dokumen yang dipersyaratkan dalam hubungan dengan pihak ketiga dan jaminan perlindungan keamanan dari Negara berdasar pemberian legalitas yang ada; (4) selain segala fungsi reguleren di atas, izin pada akhirnya mengemban fungsi budgetair sebagai sumber pendapatan bagi Negara/pemda, setidaknya pemberian izin tersebut self-fund dan tidak membebani anggaran lain di APBN/D. Berbagai fungsi umum di atas menjadi pedoman. Pada realisasinya, pilihan kebijakan berada di tangan Pemerintah. Jika semangat otonomi itu tidak diterjemahkan sebagai sikap merajalela untuk memungut (rezim pungutan) bagi peningkatan PAD semata tetapi justru menjadi kesempatan bagi pemda untuk kreatif dalam mengkapitalisasi izin sebagai instrument insentif investasi dan saling berkompetisi dengan daerah lain, maka reformasi birokrasi dan regulasi menjadi pilihan metoda dalam merealisasikan
26
fungsi umum perizinan di atas. Arah demikian yang mestinya didorong dan/atau ditempuh para pengambil kebijakan dan penyelenggara perizinan di era desentralisasi hari ini. Metode kerjanya--sebagaimana yang berkembang saat ini--berbentuk reformasi birokrasi (debirokrasi) lewat integrasi dan simplifikasi prosedur pengurusan izin (PTSP) yang dipercaya bisa menjamin efisiensi business-process. Namun suatu tingkat perubahan lanjut yang hendak didorong lagi ke depan adalah metode kembarannya, yakni reformasi regulasi (deregulasi) yang menyasar kepada penyederhanaan substansi perizinan yang mewujud dalam jumlah/jenis izin usaha di daerah. Lantaran akar dari pohon masalah perizinan yang kompleks di daerah --sebagaimana yang diyakini penulis dan dikembangkan pada bahasan di bawah ini-terletak pada aras kebijakan nasional maka sepatutnya fokus perhatian pertama dalam langkah deregulasi ini adalah reformasi kebijakan Pemerintah Pusat.
Prinsip dan Desain Deregulasi Kehadiran Negara lewat instrumen perizinan untuk mengatur kehidupan dan aktivitas warga tidak saja perlu, namun juga tak terelakan dalam suatu organisasi Negara-bangsa. Namun, jika kehadiran tersebut bukan lagi dalam rangka memenuhi fungsi-fungsi normatif di atas, jika sudah bergerak terlalu jauh dan berlebihan yang bahkan menimbulkan kesulitan dan hambatan maka Negara di sini sudah menjadi faktor negatif yang bisa-bisa menarik mundur segala gagasan kemajuan dan perkembangan masyarakat. Dalam kasus perizinan, faktor negatif Negara tersebut mewujud dalam profil perizinan yang rumit dalam syarat, mahal dalam biaya dan melelahkan dalam proses pengurusan. Profil buruk ini erat terkait dengan jumlah dan jenis regulasi yang jumlahnya berlebihan dan sering tanpa dilandasi misi pencapaian fungsi di atas. Jika sudah demikan kondisinya, tidak ada cara lain kecuali mengurangi kehadiran Negara dan campur tangan berlebihan dalam aktivitas usaha atau kehidupan warga, dan kemudian mendudukan kembali Negara secara proporsional menurut fungsi-fungsi idealnya. Upaya tersebut, pada aras perizinan, sering disebut deregulasi: pengurangan bahkan peniadaan berbagai peraturan yang irelevan dan berlebihan. Metode deregulasi pada dimensi regulasi ini adalah opsi pendekatan kebijakan guna menyederhanakan substansi (jumlah/jenis) perizinan usaha. Dan dalam fokus tulisan ini, regulasi dimaksud adalah produk hukum di tingkat nasional (peraturan perundang-undangan
Opini
yang dibuat Pemerintah Pusat) yang dilihat sebagai aras kebijakan pengaturan substansi perizinan yang berlaku di daerah. Pada tingkat prinsip penyederhanaan, deregulasi sebagai “hilangnya atau hapusnya sebuah regulasi” tentu perlu melihat batasan-batasan tertentu. Guru Besar Hukum Universitas Indonesia (UI) Hamid S. Attamimi, misalnya, menegaskan prinsip deregulasi yang diartikan sebagai “penyederhanaan peraturan yang masih perlu dan/atau penghapusan peraturan yang tak perlu” dalam tiga ciri berikut: (1) deregulasi itu selalu dengan regulasi; (2) dilakukan terutama terhadap administrative-rules; dan (3) dampaknya berdimensi jangka panjang. Di sini, deregulasi selalu dikaitkan dengan keberadaan suatu regulasi yang menjadi kerangka legal pengaturaan perizinan di Pusat maupun Daerah. Kebutuhan hukum kemudian menentukan apakah suatu regulasi perlu diadakan, atau sebaliknya regulasi yang ada disederhanakan bahkan dihilangkan yang berimplikasi kepada keberadaan atau ketiadaan materi (jenis izin) yang diatur. Masih terkait prinsip deregulasi, senada dengan pandangan di atas, pakar hukum lainnya menegaskan bahwa dalam suatu deregulasi mesti dipastikan tak hilang esensi dari sistem dan fungsi perizinan itu sendiri, terutama perihal fungsi pengarah kegiatan/ kehidupan masyarakat. Selain itu, deregulasi juga perlu memperhatikan asas kepemerintahan yang baik dan tak menghilangkan prinsip-prinisip peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar perizinan (Ridwan HR, 2011: 206). Dalam cara yang positif, deregulasi diharapkan bisa: (1) meminimalisir tumpang-tindih kewenangan perizinan antar instansi, (2) mengurai konsentrasi kekuasaan pada satu unit tertentu yang lalu sulit dikendalikan oleh instansi lebih tinggi; (3) mencegah terjadinya kewenangan semu dalam rupa pemberian perizinan yang melampaui kewenangan sah suatu instansi (Adrian Sutedi, 2010: 184). Pada tingkat operasional, langkah deregulasi menempuh rangkaian proses yang panjang. Sebagaimana terlihat pada Gambar 2, kebutuhan hukum yang berbasis penilaian masalah perizinan yang nyata dan signifikan adalah langkah awal yang menjadi titik tolak alasan dan sekaligus tujuan reformasi regulasi. Hal sederhana namun mendasar adalah stok informasi yang cukup dan database mengenai keberadaan regulasi karena tak jarang regulasi yang hendak kita susun sesungguhnya sudah ada dan masih berlaku sebagai hukum positif. Sehubungan administrasi perizinan berada di tataran daerah, regulasi dimaksud tentu tidak sebatas peraturan perundang-undangan dan pedoman kerja yang dibuat Pemerintah Pusat tetapi juga segala produk hukum terkait yang diterbitkan Pemda. Jika sudah dipastikan perbendaharaan regulasi yang kita miliki, langkah berikutnya adalah review atas regulasi terkait dan analisis masalah yang terjadi. Perpaduan antara kerangka normative dan kenyataan
Gambar 2: Garis Besar Proses Deregulasi Stocktaking Regulasi
Review/ Evaluasi Regulasi yang Ada
Evaluasi biayaManfaat Regulasi (tools: RIA, SCM)
Reformasi Regulasi Usaha Melalui Deregulasi Perizinan
Short-listed Regulasi Prioritas untuk Deregulasi
Penilaian Kebutuhan Regulasi (RIA) dalam Rangka Simplifikasi Perizinan ke depan
:
Implementasi dan Evaluasi Postimplementasi (Kebijakan dan Kualitas Pelaksanaan)
27
akan menghasilkan suatu daftar langkah berikutnya: identifikasi level masalah, penemuan kebutuhan hukum dan timbangan biaya-manfaat (alat bantu: regulatory impact assessment, standard cost model), penetapan daftar regulasi yang dideregulasi (penghilangan, penyesuaian, dan pembuatan regulasi baru). Akhirnya, ujian sesungguhnya adalah pada fase implementasi dan evaluasi untuk menemukan ketepatan intervensi pada tingkat lanjut dan perbaikan kebijakan hingga penguatan kapasitas pelaksanaan. Dalam terjemahannya, deregulasi sebagai istilah generik sesungguhnya memiliki sejumlah pilihan desain perubahan (penyederhanaan) perizinan. Terhadap suatu subtansi perizinan maupun kerangka regulasi yang mengaturnya bisa disederhanakan melalui penghapusan (abolish), penggabungan (combine), penyederhanaan (simplified) atau pelimpahan (decentralize)—atau yang lebih familiar dikenal dengan sebutan hapus, gabung, sederhanakan, limpahkan (HGSL).
Sebagaimana terlihat pada Gambar 3, pilihan atas salah atau atau kombinasi dari sejumlah desain ini juga tak lepas dari analisis SWOT atas kondisi internal dan lingkungan eksternal dengan seoptimal mungkin memanfaatkan kekuatan (strength) untuk meraih peluang (opportunities) yang secara bersamaan perlu menyadari kelemahan (weaknesses) untuk mengatasi ancaman (threats) bagi pilihan perubahan. Matriks uji silang atas keempat dimensi dan hasil pengukurannya menjadi dasar bagi rekomendasi pilihan desain deregulasi: apakah dihapuskan, digabung, disederhanakan atau hanya dilimpahkan dengan menjadikan kepuasan publik atas layanan usaha (perizinan) menjadi ultimate-goal setiap pilihan kebijakan. Dengan SWOT kita bisa menilai kekuatan suatu izin dari sisi kekuatan dasar hukum dan kejelasan tujuan, namun mungkin memiliki kelemahan berupa mekanisme pengurusannya berbelit atau
Box 1: Makna Ringkas HGSL Jika penghapusan merupakan langkah paling maksimal guna menghilangkan substansi izin dan dasar legal yang selama ini mendaarinya, maka penggabungan adalah langkah moderat yang dilkukan terhadap beberapa izin yang dinilai sama secara substansi untuk menjadi satu izin. Sementara penyederhanaan lebih diarahkan kepada persyaratan dan prosedur yang selama ini berlaku di mana Sekarang dinilai tak lagi relevan atau menghambat proses pengurusan suatu izin. Akhirnya pelimpahan --sebagai pilihan cara paling minimal dalam hal dampak bagi perubahan subtansi kebijakan-- adalah langkah pemberian pengurusan izin kepada instansi di bawahnya menurut pertimbangan jangkauan layanan dan efektivitas kerja birokrasi.
Gambar 3: Kerangka Pikir Penyederhanaan Perizinan
Analisa HGSL
Jumlah, Identitas, Jenis & Mekanisme pelayanan perizinan yang ada saat ini
Jumlah, Identitas, Jenis & Mekanisme pelayanan perizinan yang baru. Sesuai dengan prinsip: Sederhana, Jelas, Efisien, Efektif, Ekonomis, Kepastian Hukum, Transparan, dan tepat waktu.
Reinventing Goverment Banishing Bureaucracy
Analisa SWOT
Perubahan paradigma pelayanan publik
KEPUASAN PUBLIK
Pengaruh lingkungan internal dan eksternal Sumber: Kemendagri & LAN, 2007
28
keberadaannya yang justru tumpang-tindih dengan perizinan lainnya. Tinjauan serupa bisa dikembangkan kepada sisi peluang terkait kesempatan bagi pemda untuk berinovasi atas pengurusan suatu izin atau kesempatan lapangan kerja yang tercipta dari investasi yang datang karena diperbaruinya suatu izin yang selama ini menyumbat kelancaran aktivitas usaha. Demikian pula dari sisi ancaman, hilang atau bertahannya suatu perizinan tentu tak lepas dari analisa perkiraan dampak kerusakan lingkungan atau juga dampak berupa berkurangnya PAD lantaran investasi tak bergerak karena masalah perizinan.
Catatan Akhir Uraian singkat di atas tentu jauh dari kompleksitas masalah perizinan yang kita hadapi hari ini. Bahkan ketika sebagian pihak bahwa yang terjadi sekarang adalah suatu “rezim perizinan”, penyematan nama tersebut menunjukan berkelindannya segala dimensi, substansi dan masalah dalam suatu sistem yang begitu liat untuk hanya sekali diurai. Bahkan ketika kita berbicara tentang penyederhanaan izin, segi-segi dalam kompleksitas ternyata tak sekedar substansi kebijakan (jumlah/jenis izin dan persyaratan) tetapi juga terhubung erat dengan prosedur dan bahkan pengendalian biaya (retribusi) sebagai pungutan atas
jasa perizinan yang diberikan. Lebih jauh, soal pilihan deregulasi dan debirokratisasi pun sesungguhnya hanya sebagian dari aneka metode yang dikenal dalam reformasi perizinan: modernisasi, minimalisasi, marketisasi dan desentralisasi manajemen (Eko Prasojo dkk, 2007: 74-83). Menimbang begitu kompleksnya lanskap persoalan, kita memerlukan langkah terpadu-sistematis. Pada titik ini, pengalaman reformasi birokrasi secara umum menunjukan bahwa keberadaan suatu reform-machine to run reforms, sebagai promotor reformasi, adalah langkah imperatif. Tidak banyak bukti yang menunjukan kisah sukses ketika reformasi diserahkan kepada setiap sektor/departemen/ lembaga/level pemerintahan. Kita memerlukan satu promotor sekaligus simpul dari mana mesin perubahan dihidupkan dan bergerak dalam kekuatan penuh. Dalam hal perizinan, menimbang tendensi pelimpahan tanggung jawab penciptaan iklim usaha di masa pemerintahan Jokowi saat ini berada di tangan BKPM, promotor perubahan selayaknya berada di badan koordinasi investasi tersebut. Dari sini sinergi dengan berbagai instansi di Pusat/Daerah maupun dengan pemangku peran lain di masyarakat dikembangkan. Semoga.
VISI & MISI KPPOD VISI KPPOD ikut mewujudkan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat dengan mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif di seluruh Indonesia.
MISI KPPOD menganalisa, menilai dan memberikan masukan bagi kebijakan dan praktik Pemerintah Pusat dan Daerah dalam melaksanakan otonomi daerah bagi pembangunan ekonomi Nasional.
29
Laporan Kegiatan
Diklat Pengelolaan Keuangan Daerah
P
enerapan otonomi daerah yang dimulai sejak tahun 2001 dan saat ini diperkuat kembali dengan terbitnya UU No.23 Tahun 2014, merupakan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bentuk konkrit penerapan otonomi daerah adalah dengan dilimpahkannya sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam bentuk kebijakan desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, dan desentralisasi fiskal.
Berbagai upaya dan evaluasi terus dilakukan untuk menyempurnakan kebijakan otonomi daerah. Termasuk diantaranya upaya penguatan kapasitas fiskal daerah. Namun, banyak daerah dengan peningkatan kapasitas fiskal tidak diikuti dengan peningkatan kualitas layanan publik dan kesejahteraan masyarakat. KPPOD sebagai lembaga yang menganalisa, menilai dan memberikan masukan bagi kebijakan dan pemerintah pusat dan daerah, dituntut untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Sehingga dapat memberi masukan positif bagi kemajuan otonomi daerah di Indonesia. Elizabeth Karlinda
Untuk itu pada tanggal 3-4 Maret 2015, KPPOD menyelenggarakan Diklat Pengelolaan Keuangan Daerah bekerjasama dengan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat - Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM - FEUI). Pelatihan ini diselenggarakan di Gedung Diklat LPEM-FEUI diikuti oleh para staf peneliti KPPOD. Diklat Pengelolaan Keuangan Daerah (PKD) merupakan pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas personil KPPOD di bidang pengelolaan keuangan daerah. Secara spesifik ada dua tujuan dari kegiatan ini, yaitu: Pertama, meningkatkan pemahaman personil KPPOD terhadap kebijakan pengelolaan keuangan daerah; kedua, meningkatkan kemampuan pengetahuan teknis tentang tata cara pengelolaan keuangan daerah dan akuntansi keuangan daerah, sebagai langkah antisipasi perubahan kebijakan reformasi keuangan daerah; dan ketiga, sebagai peningkatan kapasitas KPPOD dalam membuat desain dan instrumen riset topik tersebut yang sedang dilakukan saat ini.
30
Peneliti KPPOD
Laporan Kegiatan
Diklat Pengelolaan Keuangan Daerah (PKD) merupakan pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia KPPOD di bidang pengelolaan keuangan daerah. Secara spesifik ada dua tujuan dari kegiatan ini, yaitu: pertama, meningkatan pemahaman personil KPPOD terhadap kebijakan pengelolaan keuangan daerah. Kedua, meningkatkan kemampuan peserta pengetahuan teknis tentang tata cara pengelolaan keuangan daerah dan akuntansi keuangan daerah, sebagai langkah antisipasi perubahan kebijakan reformasi keuangan daerah. Diklat PKD ini menggunakan metode partisipasi secara aktif (participative and adult training method). Dalam pendekatan ini, peserta dilibatkan dalam proses belajar mengajar melalui komunikasi dua arah, sehingga memberi kesempatan kepada peserta untuk menyumbangkan pikiran dan pengalamannya serta menunjukkan kemampuan menganalisis masalah. Dengan dipandu pengajar yang memiliki kemampuan
dan pengalaman pelatihan ini berjalan lebih menarik, pengajar yang memberikan materi dalam pelatihan ini berasal dari FEUI, Kementrian Keuangan dan BAPPENAS. Kegiatan ini diawali dengan pre-test dimana peserta mengerjakan beberapa soal yang terkait dengan materi yang akan diberikan. Selanjutnya, kegiatan diisi dengan pemateri oleh para pengajar. Terdapat lima materi utama dalam pelatihan ini yakni: (1) Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah; (2) Kaitan Perencanaan dan Penganggaran; (3) Anggaran Terpadu, MTEF dan ABK; (4) Analisis APBD; (5) Analisis Belanja Daerah. Di sesi terakhir diklat digunakan untuk simulasi keuangan daerah, dimana peserta diajak untuk memahami dan berlatih membuat dokumen-dokumen yang dibutuhkan dalam pengelolaan keuangan daerah, mulai dari penganggaran, belanja hingga penatausahaan. Kegiatan ini ditutup dengan post-test.
31
Seputar Otonomi
UU No.1/2015 tentang Pilkada: Kembalinya Pilkada Langsung di Tangan Rakyat
D
isahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perppu Pilkada) menjadi undang-undang mengembalikan proses Pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat. Sebelumnya, melalui UU No.22/2014, Pilkada dilakukan secara tidak langsung oleh rakyat, malainkan oleh anggota DPRD maupun DPR.
Yang krusial dari Pilkada Langsung berdasarkan UU No.1/2015, adalah pelaksanaannya yang dilakukan secara serentak. Namun beragamnya masa jabatan kepala daerah, menyebabkan pilkada serentak harus dilakukan secara bertahap dari tahun 2015 hingga tahun 2021. Sesuai jadwal, sedikitnya 272 pilkada serentak pertama kali akan dilaksanakan pada akhir 2015. Namun, prosesi pilkada tersebut tidak akan selesai pada tahun 2015, karena pelantikan kepala daerah baru bisa dilaksanakan di tahun 2016. Pilkada serentak dimulai 2015, karena tahun 2019 ada pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden Langsung. Bila jadwal pilkada terpaksa harus dimundurkan, maka akan mengubah jadwal pilkada serentak pada tahun 2018 yang hanya tinggal 185 pilkada, dan secara nasional dengan 541 pilkada juga akan diundur pada tahun 2021. Mengingat pilkada serentak merupakan sebuah proses demokrasi yang baru pertama kali akan dilakukan di Indonesia, maka ada beberapa hal krusial yang harus diperhatikan dan perlu diantisipasi. Dana kampanye. Dari aspek kelengkapan peraturan turunan, peraturan yang sangat progresif sebagai kelengkapan UU No.1/2015 diperlukan. Salah satunya mengenai pembatasan dana kampanye yang sudah sejak lama didorong oleh masyarakat sipil. Namun, aturan ini masih memerlukan regulasi yang baik secara teknis, karena di dalam undang-undang yang baru disahkan revisinya pada februari 2015 yang lalu pun masih belum mengatur secara detil mengenai rincian pembatasan dana kampanye yang diperlukan. Anggaran Penyelenggaraan Pemilukada. Kemendagri mengklaim saat ini daerahdaerah sudah siap melaksanakan Pilkada secara serentak baik dari sisi anggaran
32
Ig. Sigit Murwito Deputi Direktur Eksekutif KPPOD
Seputar Otonomi
maupun keamanan. Namun akibat percepatan pilkada serentak untuk 68 daerah, dari yang seharusnya di tahun 2016 menjadi tahun 2015, beberapa daerah tersebut belum menyiapkan dana penyelenggaraan pilkada yang harus ditanggung dengan APBD. Pemerintah pusat tidak dapat menyuntik APBD dengan APBN guna penyelenggaraan pemilukada. Dalam hal ini pemerintah pusat meminta daerah untuk melakukan efisiensi dan realokasi anggarannya. Salah satu alternatif anggaran pemilukada bisa diambil dari dana SILPA APBD sebelumnya dengan Permendagri 37/2015 sebagai payung hukumnya Pelaksana tugas sementara (Plt). Terkait dengan daerahdaerah yang kepala daerahnya telah habis masa jabatan sebelum pilkada dilaksanakan – diperoleh kepala daerah yang baru, maka diperlukan adanya ketentuan mengenai pejabat Pelaksana tugas sementara (Plt). Terkait Plt ini menjadi isu yang diperdebatkan di kalangan DPR dan Pemerintah, karena, untuk menuju pilkada serentak maka akan ada kekosongan kepala daerah sehingga diangkat Plt. Untuk itu perlu dipikirkan untuk memperpendek rentang Plt dan memperpendek pemotongan masa jabatan. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan menyiapkan penjabat sementara pelaksana tugas yang akan ditunjuk oleh mendagri dan presiden. Untuk bupati/ walikota akan ditunjuk oleh mendagri, adapun gubernur akan ditunjuk oleh presiden.
Perselisihan Hasil Pilkada (PHP). DPRD dan Pemerintah sepakat bahwa PHP diselesaikan di Mahkaman Agung (MA) bukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dasar pemikirannya karena pilkada bukan rezim pemilu. Untuk itu perlu memperkuat Bawaslu dan Panwaslu dalam proses administrasi mulai dari tingkat bawah. Namun demikian MA merasa tidak sanggup menangani perselisihan pilkada, dan meminta DPR untuk melakukan revisi UU No.1/2015 tersebut, dan menyerahkan penyelesaian sengketa pemilukada kepada MK. Untuk itu MA meminta DPR untuk merevisi pasal 157 (1) dan Pasal 159 (2) UU No.1/2015, yang mengatur mengenai penyelelesaian pemilukada. Data calon Pemilih. Dalam tahapan penyelenggaraan pilkada serentak gelombang pertama di akhir tahun 2015, pengelolaan data menjadi penting untuk dipersiapkan dalam rangka menunjang kerja-kerja dari penyelenggara pemilu (KPU) termasuk para peserta pilkada, mulai dari partai politik, calon independen, dan juga masyarakat di daerah sebagai pemilih. Belajar dari pemilu legislatif dan presiden beserta wakil presiden pada tahun 2014 yang lalu, adanya transparansi penyelenggara pemilu dalam melakukan pengelolaan data berhasil mendorong peningkatan kualitas pemilu 2014. Ketersediaan data yang akurat adalah untuk menjawab tantangan meningkatkan partisipasi politik masyarakat. 1 Maret 2016
Jadwal Tahapan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2015
Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih Penetapan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota terpilih PHP Calon Gubernur dan Wakil
29 Februari 2016 17 Desember s/d 1 Maret 2016 16 Desember s/d 29 Februari 2016 10 Desember s/d 17 Desember 2015
9 Desember 2015 28 Agustus s/d 6 Desember 2015 24 Agustus 2015 9-24 Juni 2015 24 Juni s/d 6 November 2015
Tenggang waktu sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Calon Bupati dan Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Wakil Walikota Rekapitulasi berjenjang dari TPS hingga provinsi
Pemungutan suara Kampanye Pilkada 2015 Pengumuman kandidat yang lolos dan berhak menjadi peserta Pilkada
KPU melakukan pengolahan daftar penduduk pemilih
Pemutakhiran data pemilih 22 Juli 2015
19 April s/d Mei 2015
7 Juni 2015 20 Mei 2015
Pendaftaran calon kepala daerah Penyerahan dukungan calon Bupati dan Wakil Bupati atau calon Walikota dan Wakil Walikota
Penyerahan syarat dukungan dari calon Gubernur dan Wakil Gubernur Pembentukan badan penyelenggara pemilu adhoc di tingkat kecamatan (PPK) dan Kelurahan (PPS)
33
Seputar Otonomi
KONFLIK AHOK DENGAN DPRD DKI JAKARTA TERKAIT APBD 2015
Pemeritahaan DKI Jakarta terganggu karena konflik antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahya Purnama (Ahok) dengan DPRD DKI. Konflik ini bukan melibatkan pejabat biasa akan tetapi struktur ketatanegaraan yakni eksekutif diwakili Gubernur DKI Jakarta Ahok versus Legislatif yang diwakili para Anggota DPRD DKI Jakarta. Perseteruan ini berdampak strategis pada rencana pembangunan dibawah pemerintahaan Gubernur Ahok. Lebih jauh lagi kendali pemerintahaan dan kursi nomor 1 kekuasaan Ahok terancam oleh adanya upaya anggota DPRD untuk melakukan hak angket yang bisa saja berujung pada impeachment. Sumber utama dari konflik ini adalah terkait APBD DKI Jakarta 2015. DPRD merasa dilecehkan karena dokumen APBD 2015 DKI yang disampaikan oleh Ahok kepada Mendagri berbeda dengan yang telah disepakati dengan DPRD. Akibatnya Ahok dianggap melanggar Undang-Undang. Sebaliknya Ahok beralasan bahwa didalam rencana anggaran yang disepakti dengan DPRD terdapat milyaran dana siluman. Adapun kronologi konflik Ahok dengan DPRD DKI, adalah sebagai berikut: 27 Januari 2015 DPRD dan Pemprov DKI menggelar sidang paripurna, dan memutuskan APBD DKI sebesar Rp73,08 triliun. Meningkat 0,24% dibandingkan APBD 2014. Anggaran tersebut berkurang dari yang diajukan KUA-PPAS oleh Ahok melalui surat Nomor 2525/-1.173 tanggal 13 November 2014. Nilai besaran RAPBD 2015 yang semula mencapai lebih dari Rp76 triliun. 2 Februari 2015 Pemerintah DKI mengajukan draft APBD 2015 ke Kemendagri. Pada tanggal 6 Februari 2015 draft APBD dikembalikan ke Pemerintah DKI dengan alasan tidak lengkap, padahal tangaal 5 Februari, Kemendagri sudah menerima berkas APBD 2015 Pemprov DKI di mana dokumen itu sudah dilengkapi surat persetujuan bersama dari DPRD DKI. Masalahnya Lampiran 1A, yakni ringkasan APBD tidak ada, belanja tidak langsung Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) tidak ada dan format serta struktur
34
APBD tidak sesuai dengan PP No.58 tahun 2005 dan Permendagri No.13 tahun 2006. Menurut Pemprov DKI, format yang diajukan Pemprov dengan sistem e-budgeting tidak memerlukan tanda tangan dewan di setiap lembarnya. 9 Februari 2015 Ahok mengakui draft APBD yang telah dikirimkan ke Kemendagri dipulangkan lagi ke Pemprov DKI, karena ada pihak DPRD yang juga telah mengajukan draft APBD DKI versi mereka ke Kemendagri. Ahok juga menuduh bahwa ada pihak DPRD yang mengirim surat kepada Mendagri agar menolak draft APBD yang dikirimkan oleh Pemprov DKI. 11 Februari 2015 Ahok geram karena pihak DPRD mengirimkan draft APBD versi mereka sendiri tidak dengan sistem e-budgeting, sehingga dapat diubah-ubah dan menyebabkan program DKI berantakan. Sementara DPRD menganggap APBD yang diajukan DKI ke Kemendagri tidak sah, karena tidak ada paraf Ketua DPRD selaku Ketua Badan Anggaran (Banggar). Menurut Ahok, melalui penggunaan e-budgeting, dokumen APBD yang diajukan ke Kemendagri tidak perlu paraf Ketua DPRD DKI. Setelah mendapat evaluasi Kemendagri, baru ditandatangani antar eksekutif dengan legislatif. 14 Februari 2015 Ahok mengaku melaporkan permasalahan itu kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Di situ Ahok menanggapi pernyataan Prasetyo yang menuding pengajuan draf APBD 2015 Pemerintah DKI ke Mendagri bukanlah hasil dari persetujuan di rapat paripurna 27 Januari 2015 lalu. 17 Februari 2015 Beredar isu bahwa Ahok akan dijegal dengan hak interpelasi oleh DPRD. 23 Februari 2015 Mendagri Tjahjo Kumolo mengirimkan tim untuk membantu menyelaraskan APBD 2015, Pemprov telah memperbaiki serta melengkapi dokumen untuk dikembalikan ke Kemendagri. Pemprov DKI mengkalim hanya terkendala masalah teknis, yakni perlu memperbaiki nomor rekening (dinas kurang lengkap sudah kita lengkapi, lampiran KUA (Kebijakan Umum
Seputar Otonomi
Anggaran) dan PPAS (Plafon Prioritas Anggaran Sementara), dan rekomendasi hibah. 24 Februari 2015 Ahok membeberkan cara DPRD menyelipkan “dana siluman” dalam APBD 2015 sebesar Rp 12,1 triliun. Menurutnya, anggaran itu muncul setelah sidang paripurna pada 27 Januari lalu. DPRD memotong sejumlah anggaran dari program unggulan Pemprov sebesar 1015% untuk dialihkan ke yang lainnya, seperti pembelian perangkat uninterruptible power supply (UPS) untuk kantor kelurahan dan kecamatan di Jakarta Barat. Ahok mengancam akan melaporkan DPRD kepada pihak kepolisian maupun ke para penegak hukum. Sementara terkait hak angket, Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo mengklaim sudah ada 90% anggota dewan (95 orang dari 106 anggota DPRD DKI) yang menandatangani hak angket. 25 Februari 2015 Menanggapi wacana Ahok akan melaporkan DPRD kepada Bareskrim Mabes Polri, Jaksa
Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Wakil Ketua DPRD M. Taufik, menyatakan solusinya cuman satu (Ahok) berhenti. 26 Februari 2015 Bertepatan dengan 100 harinya Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta, Ahok dapat “hadiah” hak angket dari DPRD. Sembilan fraksi DPRD telah menyepakati hak angket untuk Ahok dalam sidang paripurna. 5 Maret 2015 Kemendagri memfasilitasi pertemuan mediasi antara DPRD DKI dengan Gubernur DKI. Mediasi dan Klarifikasi Mengenai Evaluasi RAPERDA/APBD DKI Jakarta Tahun Anggaran 2015 di Kantor Kemendagri, untuk mengatasi kekisruhan antara Ahok dengan DPRD DKI Jakarta dalam RAPBD DKI Jakarta 2015, namun sayang menemui jalan buntu bahkan semakin memperuncing hubungan kedua institusi tersebut. (Dirangkum dari berbagai sumber)
35
Agenda KPPOD
Kegiatan KPPOD Terkini
1. Diskusi Publik: “Evaluasi Perda Pungutan di Era UU No. 28/2009” Pada tanggal 15 Januari 2015 KPPOD menyelenggarakan Diskusi Publik yang bertema Evaluasi Perda Pungutan di Era Undang-Undang No.28 Tahun 2009 yang bertempat di ATC (Apindo Training Center) Jakarta. Hadir sebagai pembicara yakni Adriansyah (Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah-Kementerian Keuangan), W. Sigit Pudjianto (Kepala Biro Hukum-Kementerian Dalam Negeri), Anton J Supit (Ketua APINDO), dan Boedi Rheza (Peneliti KPPOD). Secara umum studi ini menemukan bahwa perda-perda pungutan berdasarkan UU No.28 Tahun 2009 relatif tidak bermasalah dibandingkan perda-perda pungutan berdasarkan UU No.34 Tahun 2000. Sistem daftar tertutup yang diterapkan dalam UU No.28 Tahun 2009 memberikan dampak cukup baik bagi kegiatan usaha, yakni kepastian hukum bagi pengusaha dalam memperkirakan biaya pajak dan atau retribusi mereka tanggung.
2. Kunjungan Partai Demokrat Thailand ke KPPOD Partai Demokrat Thailand menyempatkan berkunjung ke Kantor KPPOD di Jakarta pada tanggal 5 Februari 2015 yang lalu. Pertemuan yang membahas Sistem Desentralisasi di
36
Winantyo IT & Dokumentasi KPPOD
Agenda KPPOD
Indonesia dihadiri langsung oleh Pimpinan Partai Demokrat Mr. Chuan Leekpai yang juga merupakan mantan Perdana Menteri Thailand. Rencana tindak lanjut dari pertemuan ini, sedang dibahas di internal Partai Demokrat Thailand.
yang di koordinatori oleh DR. Riyanto, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia dan peneliti LPEM. Pelatihan ini dilaksanakan dalam 10 sesi dengan format pelatihan adalah penyampaian materi yang disertai praktek latihan kasus.
3. Kegiatan Pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah Untuk meningkatkan kapasitas personil KPPOD di bidang pengelolaan keuangan daerah, KPPOD melaksanakan kegiatan pelatihan “Tata Kelola Keuangan Daerah”. Acara tersebut di selenggarakan pada tanggal 3-4 Maret 2015 di Gedung Diklat LPEM-FEUI, Jakarta. Secara spesifik kegiatan ini bertujuan pertama untuk meningkatkan pemahaman terhadap kebijakan pengelolaan keuangan daerah; kedua, meningkatkan kemampuan pengetahuan teknis tentang tata cara pengelolaan keuangan daerah dan akuntansi keuangan daerah, sebagai langkah antisipasi perubahan kebijakan reformasi keuangan daerah; dan ketiga, sebagai peningkatan kapasitas KPPOD dalam membuat desain dan instrumen riset topik tersebut yang sedang dilakukan saat ini.
5. Kegiatan Studi Lapangan “Penyederhanaan Perizinan” Kegiatan studi lapangan “Penyederhanaan Perizinan” dilakukan untuk mendapatkan gambaran praktek penyederhanaan perizinan yang telah dilakukan di daerah. Studi ini dilakukan di 2 daerah yaitu Kabupaten Barru (Sulawesi Selatan) tanggal 23-28 Februari 2015 dan Kota Kediri (Jawa Timur) tanggal 16-20 Maret 2015. Untuk mendapatkan informasi mendalam tentang penyederhanaan perizinan, KPPOD mewawancarai berbagai narasumber yang mewakili stakeholder terkait: perwakilan Pelaku Usaha, SKPD terkait, Akademisi dan Masyarakat Umum.
4. Kegiatan Pelatihan Penggunaan Software Statistik SAS Selama 2 hari, yakni tanggal 5-6 Maret 2015 yang lalu KPPOD melaksanakan pelatihan penggunaan software statistik SAS yang bertempat di kantor KPPOD Jakarta. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas personil KPPOD untuk menghasilkan penelitian yang berkualitas. Hasil dari penelitian yang berkualitas ini dapat digunakan sebagai dasar kegiatan advokasi ke depan. Peserta pelatihan ini adalah semua peneliti KPPOD. Kegiatan pelatihan ini difasilitasi oleh tim pelatih
37
PUBLIKASI KPPOD
T K E D (Tata Kelola Ekonomi Daerah) 2011 ini bertujuan memberikan gambaran mengenai kualitas TKED di 245 kabupaten/kota di 19 provinsi di Indonesia. Studi ini diharapkan dapat menjadi basis bagi pemerintah daerah kab./ kota untuk memprioritaskan reformasi dan perbaikan kinerja atas berbagai aspek tata kelola ekonomi daerahnya. Selain itu, studi ini juga diharapkan dapat menciptakan iklim kompetisi antar kab./kota yang sehat. Bagi pemerintah provinsi hasil kajian ini dapat dipergunakan sebagai salah satu alat pemantauan kinerja kab./kota. Bagi pelaku usaha, hasil studi ini diharapkan memberikan informasi mengenai kualitas tata kelola ekonomi di masing-masing kabupaten/kota yang dapat membantu mereka melakukan putusan inventasi dan pengembangan usaha.
Doing Business di Indonesia 2012 merupakan laporan khusus kedua yang mengukur kinerja di daerah dari seri Doing Business di Indonesia. Tahun 2010, analisa telah dilakukan atas indikator-indikator kuantitatif yang terkait dengan peraturan-peraturan usaha di 14 kota: Balikpapan, Banda Aceh, Bandung, Denpasar, Jakarta, Makassar, Manado, Palangka Raya, Palembang, Pekanbaru, Semarang, Surabaya, Surakarta, dan Yogyakarta. Tahun 2012, Doing Business di Indonesia mencatat perbaikan di 14 kota yang telah diukur sebelumnya dan memperluas cakupan analisa ke 6 kota lainnya seperti: Batam, Gorontalo, Jambi, Mataram, Medan, dan Pontianak. Kriteria seleksi mencakup tingkat urbanisasi, populasi, kegiatan ekonomi, keragaman politis dan geografis, dan faktor lain.
Panduan Pembuatan Kebijakan (Perda Ramah Investasi) ini bertujuan untuk memandu dalam penyusunan Ranperda (Rancangan Peraturan Daerah) bagi pemerintah provinsi, kabupaten dan kota agar lebih terencana dengan jelas, terpadu dan sistematis agar perda yang terbit tidak berbenturan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Karena perda yang ditemui seringkali dibuat justru tidak bertujuan untuk memecahkan masalah dan kadang kurangnya pembaharuan data/kemutakhiran acuan yuridis, kurang aspiratif dan partisipatif, serta substansinya sering membebani dunia usaha.
Peningkatan Rantai Nilai Produksi Kakao dimaksudkan untuk memberi kontribusi bagi penciptaan lingkungan investasi yang kondusif bagi aktivitas usaha kakao yang merupakan cerminan ekonomi kerakyatan. Program ini sekaligus untuk evaluasi dan masukan atas pelaksanaan program nasional GERNAS untuk meningkatkan produksi dan kualitas kakao. Daerah penelitian dilaksanakan di Kabupaten Majene (Provinsi Sulawesi Barat) dan Kabupaten Sikka (Provinsi Nusa Tenggara Timur). Studi penelitian ini dilakukan mengingat bahwa pada tahun 2009 Indonesia tercatat menjadi produsen kakao terbesar ketiga di dunia. Export kakao juga merupakan terbesar ketiga untuk sektor pertanian (Setelah kelapa sawit dan karet).
38
Edisi Mendatang KPPOD Brief Edisi April-Juni 2015, mengangkat tema: Peran APBD terhadap Perekonomian Daerah.
Menerima Sumbangan Tulisan KPPOD menerima sumbangan tulisan dalam bentuk kategori, Opini, Artikel, Esai maupun Feature. Tulisan yang dikirim merupakan hasil karya sendiri dan dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis, dan tidak merendahkan pihak tertentu. Tulisan yang dimuat akan mendapat imbalan secukupnya. Syarat dan ketentuan tulisan adalah sebagai berikut: Tulisan sesuai dengan tema-tema KPPOD, seperti Desentralisasi Ekonomi, Pelayanan Publik di Daerah, Iklim Investasi, dan Profil Daerah (Rubrik dari Daerah). Menggunakan bahasa yang mudah dipahami, baik dan benar. Untuk kategori Feature (dari Daerah), panjang tulisan maksimal 10000 karakter tanpa spasi. Untuk kategori Esai, Opini, Artikel, panjang tulisan maksimal 5500-6000 karakter tanpa spasi (disertai dengan foto kejadian). Menyertakan identitas penulis secara singkat dan jelas disertai dengan foto, dan menyertakan nomor telepon yang dapat dihubungi. Isi tulisan menjadi tanggung jawab penulis. Tulisan yang dikirim akan diedit seperlunya tanpa merubah substansi. Tulisan dikirim ke redaksi KPPOD Brief, email:
[email protected] dan cc ke:
[email protected]
39
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Regional Autonomy Watch Gd. Permata Kuningan Lt. 10 Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C Guntur, Setiabudi, Jakarta Selatan, 12980 Telp: (+62 21) 8378 0642/53, Fax: (+62 21) 8378 0643 http://www.kppod.org, http://perda.kppod.org, http://pustaka.kppod.org