KPPOD
Membangun Indonesia dari Daerah
Edisi April-Juni 2015
Optimalisasi Fiskal bagi Pertumbuhan Ekonomi Daerah Memacu Pertumbuhan Ekonomi Melalui BUMD Sistem Informasi bagi Reformasi Anggaran
2
Editorial
APBD bagi Pembangunan, Benarkah?
Daftar Isi Artikel ....................................... 4 Review Regulasi ...................... 10 Dari Daerah............................. 13 Opini ........................................ 17 Laporan Kegiatan ................... 20 Seputar Otonomi .................... 23 Agenda KPPOD...................... 25
Susunan Redaksi Pemimpin Redaksi: Robert Na Endi Jaweng Redaktur Pelaksana: Ig. Sigit Murwito Staff Redaksi: Sri Mulyati Boedi Rheza Elizabeth Karlinda M. Iqbal Damanik Margaretha N. Sianturi Tities Eka Agustine
A
PBD--Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah--berperan sentral sebagai instrumen fiskal pemda dalam membangun perekonomian. Setidaknya, lewat alokasi belanja (government spending), fiskal bisa menjadi stimulan bergeraknya investasi swasta, juga sumber pembiayaan bagi layanan publik. Melihat postur APBD di sebagian daerah, baik yang bersumber dari transfer Pusat (khususnya Dana Perimbangan) maupun tambahan dari daerah (khususnya PAD), tak berlebihan mengatakan bahwa daerah saat ini memiliki sumber daya yang cukup untuk menjadi motor penggerak ekonomi. Namun, kemajuan dalam aspek desentralisasi fiskal tersebut tidak selalu sejalan kondisinya dengan kemampuan pada aspek manajemen fiskal. Kualitas tata kelola keuangan yang buruk membuat sambungan antara instrumen fiskal dengan kinerja ekonomi terganggu, bahkan seolah terputus. Ekonomi tidak banyak didorong belanja APBD: titik ungkit justru lebih banyak dari investasi produktif swasta dan konsumsi masyarakat. Di sini kita menemukan gambaran suatu belanja yang tak berkualitas. Entah berwujud proporsi alokasi yang terlalu memberat (heavy) ke belanja aparatur dan operasional pemerintahan. Entah pula persoalan berbentuk inefisiensi dan korupsi. Tetapi juga wujud masalah datang dari pemda dan lingkungan kebijakannya: kapasitas daya serap dan kompleksitas masalah terkait lainnya. KPPODBrief edisi ini secara khusus menampilkan sejumlah rubrik utama terkait tema penting tersebut. Bertolak dari laporan hasil kerja riset sebagai bahan dasar publikasi di rubrik yang ada, APBD dianalisis secara kuantitatif maupun kualitatif yang melibatkan studi kasus di daerah. Tesis yang dibangun adalah bahwa APBD merupakan instrumen fiskal strategis bagi bergeraknya roda perekonomian di daerah.
Alamat Redaksi:
Dalam rubrik artikel, opini dan beberapa rubrik terkait lainnya, sidang pembaca akan melihat gambaran beragam perihal tesis tersebut. Sebagai temuan memberikan konfirmasi, namun tak kalah banyak data, informasi dan ilustrasi kasus yang menunjukan arah yang berkebalikan. Perihal rendahnya daya serap anggaran menjadi salah satu faktor penting yang menjelaskan hubungan fiskal dan ekonomi, kita membaca aneka rupa sebab turunan, baik terkait kapasitas kerja birokrasi, sistem tender, diskoneksi perencanaan dan penganggaran serta dimensi persoalan lain yang lebih umum seperti pembebasan lahan sulit sehingga proyek yang sudah dianggarkan terlambat dijalankan.
Gd. Permata Kuningan Lt.10 Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C Guntur, Setiabudi Jakarta Selatan 12980 Phone : +62 21 8378 0642/53 Fax : +62 21 8378 0643 www.kppod.org http://perda.kppod.org http://pustaka.kppod.org
Apapun ceritanya, komitmen pembangunan ke depan adalah kita wajib mengupayakan optimalnya kontribusi APBD bagi perekonomian. Jelas, belanja berkualitas adalah syarat sine qua non dari pertumbuhan berkualitas yang merupakan input utama bagi pembangunan daerah. Ikhtiar besar dalam agenda keuangan daerah ke depan bukan semata memperbesar desentralisasi fiskal tetapi juga--bahkan terutama-memperbaiki kualitas manajemen anggaran sebagai syarat terbangunnya tata kelola yang efektif dan akuntabel di ranah lokal. (EJ)
Distribusi: Regina Retno Budiastuti Devi Widiyanti Agus Salim Layout: Winantyo
Semoga.
3
Artikel
Optimalisasi Fiskal bagi Pertumbuhan Ekonomi Daerah: Peran Belanja Operasional dan Belanja Modal
A
nggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan instrumen kebijakan fiskal utama bagi pemerintah daerah. APBD mencerminkan potret pemerintah daerah dalam menentukan skala prioritas terkait program dan kegiatan yang akan dilaksanakan dalam satu tahun anggaran. Penetapan prioritas-prioritas tersebut beserta upaya pencapaiannya merupakan konsekuensi dari meningkatnya peran dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam mengelola pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Dengan demikian, daerah harus memastikan dana tersebut benar-benar dimanfaatkan untuk program dan kegiatan yang memiliki nilai tambah besar bagi masyarakat.
Namun, lebih dari satu dekade pelaksanaan otonomi, masih terdapat masalah dalam pengelolaan keuangan daerah yang ditunjukkan oleh beberapa indikator yaitu kemandirian daerah, rasio belanja daerah dan ruang fiskal daerah. Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu 2010-2014) menunjukkan, secara nasional proporsi dana perimbangan masih dominan setiap tahunnya: lebih dari 60% APBD bersumber dari dana perimbangan (Gambar 1). Dengan kata lain, daerah masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pemerintah pusat dalam menjalankan rumah tangganya. Dilihat dari rasio belanja daerah, data Kemenkeu menunjukan bahwa belanja pegawai masih mendominasi struktur belanja daerah dengan rata-rata dari tahun 2010-2014 sebesar 43,75%. Sementara porsi belanja modal rata-rata hanya sebesar 23,92%. Hal ini menunjukkan bahwa belanja modal yang seyogyanya berpengaruh besar terdapat pembangunan justru mendapatkan porsi yang kecil. Dilihat dari ruang fiskal, secara nasional dari tahun 20072014 terjadi penurunan ruang fiskal. Penurunan ruang fiskal daerah ini menunjukkan bahwa kemampuan dan fleksibilitas daerah dalam menggunakan anggaran mereka untuk kebutuhan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan riil mereka menjadi semakin sempit. Di sisi lain, permasalahan juga terjadi pada perekonomian nasional. Pada tahun 2011-2014, data BPS menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan tren pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam kurun waktu tersebut berturut-turut 6,49%, 6,26%, 5,73%, dan 5,06% (Gambar 4).
4
Elizabeth Karlinda Peneliti KPPOD
Artikel
Sumber: Kemenkeu RI
Sumber: Kemenkeu RI
Sumber: Kemenkeu RI
Sumber: BPS
Berdasarkan latar belakang tersebut, muncul pertanyaan, apakah ada korelasi antara APBD dengan pertumbuhan ekonomi? Apakah APBD merupakan salah satu penyebab penurunan pertumbuhan ekonomi saat ini? KPPOD sebagai lembaga riset dan advoksi melakukan sebuah studi untuk mengkaji pengaruh APBD terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
negatif. Oleh karena itu, pertambahan penduduk harus dimanfaatkan sebagai sumber daya yang positif. Adapun yang tergolong sebagai modal adalah bahan baku, mesin, peralatan, komputer, bangunan dan uang. Dalam memproduksi output, faktor modal dan tenaga kerja dapat dikombinasikan dalam berbagai model kombinasi.
Tinjauan Pustaka
Teori Pengeluaran Pemerintah Keyness Modal dalam teori pertumbuhan neoklasik juga dapat berupa uang. Dalam hal ini, uang yang beredar di masyarakat tidak hanya berasal dari swasta, namun juga berasal dari pemerintah. Ini sejalan dengan teori pengeluaran pemerintah yang dicetuskan oleh Keyness. Inti dari teori ini adalah pemerintah harus campur tangan dalam peningkatan belanja masyarakat, baik dengan cara meningkatkan suplai uang atau dengan melakukan pembelian barang dan jasa oleh pemerintah sendiri.
Model Pertumbuhan Ekonomi Neoklasik Sollow Model Neoklasik Sollow dikembangkan oleh Robert Solow menekankan perhatiannya pada pertumbuhan output yang akan terjadi atas hasil kerja dua faktor input utama, yaitu modal dan angkatan kerja. Pada model ini diasumsikan bahwa angkatan kerja mengikuti model pertumbuhan eksponensial dengan laju yang konstan. Di sini, pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern dan hasil input maupun output. Pertumbuhan penduduk yang terjadi dapat berdampak positif dan
Keyness berpendapat tingkat kegiatan dalam perekonomian ditentukan oleh perbelanjaan agregat.
5
Artikel
Pada umumnya perbelanjaan agregat dalam suatu periode tertentu adalah kurang dari perbelanjaan agregat yang diperlukan untuk mencapai tingkat full employment. Keadaan ini disebabkan karena investasi yang dilakukan para pengusaha biasanya lebih rendah dari tabungan yang akan dilakukan dalam perekonomian full employment. Di sini, sistem pasar bebas diyakini Keyness tak akan dapat membuat penyesuaian-penyesuaian yang akan menciptakan full employment. Untuk mencapai kondisi tersebut diperlukan kebijakan pemerintah. Persamaan keseimbangan pendapatan nasional menurut Keyness adalah Y= C+I+G. Dimana (Y) merupakan pendapatan nasional, (C) merupakan pengeluaran konsumsi dan (G) adalah Pengeluaran pemerintah. Dengan membandingkan nilai (G) terhadap Y serta mengamati dari waktu ke waktu dapat diketahui seberapa besar kontribusi pengeluaran pemerintah dalam pembentukan pendapatan nasional. Inti dari kebijakan makro Keyness adalah bagaimana pemerintah bisa memengaruhi permintaan agregat. Dengan demikian, akan memengaruhi situasi makro agar mendekati posisi “Full Employment”-nya Menurut Keyness, untuk menghindari timbulnya stagnasi dalam perekonomian, pemerintah berupaya untuk meningkatkan jumlah pengeluaran pemerintah (G) dengan tingkat yang lebih tinggi dari pendapatan nasional, sehingga dapat mengimbangi kecenderungan mengkonsumsi (C) dalam perekonomian. Teori Aglomerasi Salah satu cara untuk menghemat biaya produksi adalah melalui aglomerasi. Menurut Kuncoro (2002), aglomerasi adalah konsentrasi spasial dari aktifitas ekonomi dikawasan perkotaan karena penghematan akibat dari perusahaan yang letaknya saling berdekatan dan tidak akibat dari kalkulasi perusahaan secara individual. Richardson berpendapat bahwa dengan adanya persaingan antar industri maka semakin lama hal itu terjadi maka akan meningkatkan harga bahan baku dan faktor produksi, dan mengakibatkan biaya per unit mulai naik yang berdampak relokasi aktifitas ekonomi ke daerah lain yang belum mencapai skala produksi maksimum. Aglomerasi ekonomi di suatu wilayah mendorong pertumbuhan ekonomi pada wilayah tersebut karena terciptanya efisiensi produksi, sedangkan pada wilayah lain yang tidak mampu bersaing akan mengalami kemunduran dalam pertumbuhan ekonominya.
6
Metodologi Artikel ini mengambil bahan dasar dari hasil studi KPPOD dengan melakukan pengolahan data APBD tahunan dan data BPS dari 255 kabupaten/kota di Indonesia pada periode 2010-2013. Penggunaan data panel pada penelitian ini diharapkan dapat menyajikan informasi lebih lengkap dan mampu menunjukkan hubungan yang lebih realistis karena jumlah observasi yang lebih banyak. Untuk menganalisis pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi, dilakukan regresi data panel yang menggunakan persamaan yang digunakan mengacu pada model pertumbuhan neoklasik sollow yang ditransformasikan kedalam fungsi Cobb-Douglass (logaritma) dan sejumlah uji pemilihan model tertentu. Regresi ini ditujukan untuk mengetahui pengaruh belanja operasi dan belanja modal Pemda terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain itu, studi ini juga mengulas pengaruh faktor lain yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan aglomerasi sektor manufaktur (Location Quotient/LQ).
Hasil dan Pembahasan Belanja Operasi, Belanja Modal, IPM dan LQ berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Untuk mengetahui pengaruh belanja dalam APBD terhadap pertumbuhan ekonomi, dilakukan pengujian menggunakan regresi data panel dengan menggunakan variabel bebas lain yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang merupakan proksi dari kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), Loqation Question (LQ) sektor manufaktur sebagai proksi dari aglomerasi, serta dummy kota dan dummy pulau Jawa. Dari hasil run data menggunakan software eViews 9, diperoleh hasil sebagai berikut :
Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa IPM, LQ, belanja operasi, belanja modal serta dummy kota dan pulau Jawa berpengaruh positif dan signifikan secara statistic (pada tingkat kepercayaan 95%) terhadap pertumbuhan ekonomi. Variabel log(IPM) berpengaruh signifikan dengan nilai koefisien sebesar 4,2. Artinya, setiap kenaikan IPM sebesar 1%, akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,2%, cateris paribus. Variabel log(LQ) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan koefisien sebesar 0,14 yang berarti
Artikel
Nilai koefisien determinasi (R2) dari model ini cukup tinggi yakni 80,12%. Artinya 80,12% pertumbuhan ekonomi di Indonesia dipengaruhi oleh IPM, LQ, belanja operasional pemda, belanja modal pemda, karakteristik kota dan karakteristik daerah Pulau Jawa. Sementasa 19,82% dipengaruhi oleh faktor lain (diluar model). Indeks Pembangunan Manusia merupakan faktor yang paling mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Kita semua tahu, pembangunan manusia pada dasarnya suatu proses untuk memperbanyak pilihanpilihan yang dimiliki oleh manusia. (HDR, 1990). Diantara banyak pilihan tersebut, pilihan yang terpenting adalah untuk berumur panjang dan sehat, untuk berilmu pengetahuan, dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mengukur capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup. Sebagai ukuran kualitas hidup, IPM dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar. Dimensi tersebut mencakup umur yang panjang dan sehat; pengetahuan, dan kehidupan yang layak. Ketiga dimensi tersebut memiliki pengertian sangat luas karena terkait banyak faktor. Untuk mengukur dimensi kesehatan, digunakan angka harapan hidup waktu lahir. Selanjutnya untuk mengukur dimensi pengetahuan digunakan gabungan indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Adapun untuk mengukur dimensi hidup layak digunakan indikator kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang
dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup layak. Umur Panjang & Sehat Angka Harapan Hidup saat lahir
•
Indeks Pembangunan Manusia
•
•
bahwa kenaikan LQ sebesar 1% akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,14%, cateris paribus. Variabel log(Belanja Operasi) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan nilai 1,64, artinya bahwa setiap kenaikan belanja operasional sebesar satu persen akan menaikkan perumbuhan ekonomi sebesar 1,64%, cateris paribus. Variabel log(Belanja Modal) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan koefisien 0,13 menunjukkan bahwa setiap peningkatan belanja modal sebesar 1%, akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,13%, cateris paribus. Nilai koefisien dummy kota sebesar 0,1 artinya rata-rata perbedaan pertumbuhan ekonomi antara kota dengan kabupaten adalah sebesar 0,1% serta nilai koefisien dummy jawa sebesar 0,16 artinya rata-rata perbedaan pertumbuhan ekonomi antara daerah di Jawa dengan di luar Jawa adalah sebesar 0,16%, cateris paribus.
Kehidupan yang Layak
Pengetahuan
Pengeluaran Riil per Kapita yang Disesuaikan
Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah
IPM ini menggambarkan kualitas SDM yang ada dalam suatu wilayah. Nilai IPM yang tinggi berarti SDM wilayah tersebut memiliki kualitas yang baik. Semakin baiknya kualitas SDM, akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja di daerah tersebut. Pada akhirnya, peningkatan produktivitas ini yang mendorong pertumbuhan ekonomi di suatu daerah. Hasil analisis regresi data panel menunjukkan bahwa nilai koefisien IPM paling tinggi dibanding variabel lainnya. Artinya IPM merupakan variabel yang paling mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di suatu daerah. Kualitas SDM merupakan elemen terpenting dalam pembangunan ekonomi daerah. Oleh karenanya, perlu adanya upaya yang serius dari Pemda untuk memperhatikan faktor IPM ini. Lima daerah yang memiliki nilai IPM tertinggi pada tahun 2013 adalah Kota Jakarta Selatan (80,47), Kota Jakarta Timur(80,07), Kota Depok (80,14), Kota Yogyakarta (80,51) dan Kota Makassar (80,17). Kelima daerah tersebut memiliki persamaan karakteristik, yakni daerah pelajar, wilayah perkotaan dengan perekonomian besar. Sementara lima daerah yang terendah adalah Kab. Nduga (49,29), Kab. Intan Jaya (49,61), Kab. Yalimo (49,86), Kab. Mamberamo Tengah (50,11) dan Kab. Puncak (50,18) dimana kelima kabupaten tersebut merupakan daerah terpencil di Provinsi Papua. Pemusatan aktivitas ekonomi sektor manufaktur terbukti menghemat biaya produksi LQ sector manufaktur yang merupakan proksi dari
7
Artikel
aglomerasi menunjukkan bahwa adanya pemusatan aktivitas ekonomi di sektor manufaktur. Menurut teori, daerah yang menunjukkan adanya pemusatan aktivitas ekonomi di sektor manufaktur akan menghemat biaya produksi, sehingga didapat keuntungan yang lebih besar. Pada akhirnya, hal ini akan mendorong perekonomian. Tabel 1. Rata-rata nilai LQ dengan pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia LQ
Pertumbuhan Ekonomi
<1 1 >1
6,30 6,42 6,63
Hal ini sejalan dengan tabel di atas. Pada Tabel 1, daerah-daerah yang memiliki LQ > 1, maka rata-rata pertumbuhan ekonominya 6,3. Sementara daerah yang memiliki nilai LQ = 1, rata-rata pertumbuhan ekonominya 6,42. Daerah yang memiliki LQ > 1, maka rata-rata pertumbuhan ekonominya 6,63. Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa daerah yang memiliki LQ semakin besar, maka rata-rata pertumbuhan ekonominya pun semakin besar. Teori tersebut juga sesuai dengan hasil analisis regresi dimana LQ sektor manufaktur berpengaruh signifikan positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Artinya, semakin besar LQ sektor manufaktur di suatu daerah, maka pertumbuhan ekonomi juga semakin meningkat.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pengeluaran masyarakat di Indonesia masih didominasi untuk konsumsi, dengan rata-rata (dari 2010-2014) sebesar 64,6%. Pengeluaran konsumsi ini jauh lebih besar dibanding pengeluaran untuk investasi yang sebesar 32%. Dilihat dari laju pertumbuhannya, pada tahun 2014 pertumbuhan pengeluaran konsumsi di Indonesia lebih tinggi (7,86%) daripada pertumbuhan pengeluaran investasi (4,73%). Meskipun memiliki nilai jangka manfaat yang lebih kecil, namun faktanya sektor konsumsi bagi masyarakat Indonesia masih memegang peranan penting bagi perekonomian daerah. Sektor investasi yang memiliki nilai manfaat lebih panjang justru belum banyak mendominasi perekonomian. Hal ini sejalan dengan temuan studi ini bahwa belanja konsumsi pemda lebih berpengaruh terhadap perekonomian daripada belanja modalnya.
Gambar 5 Produk Domestik Regional Bruto Menurut Pengeluaran Tahun 2010-2014
Belanja operasi lebih berpengaruh daripada belanja modal mengindikasikan sektor konsumsi masih mendominasi perekonomian Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No.71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah, Belanja Operasi Sumber: BPS merupakan pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari pemerintah pusat atau daerah yang memberi manfaat jangka pendek. Belanja operasi antara lain meliputi belanja pegawai, belanja barang, belanja bunga, subsidi, hibah dan atau bantuan sosial. Dari definisi tersebut, dijelaskan bahwa belanja operasi tersebut hanya memiliki manfaat jangka pendek dimana manfaat tersebut tidak lebih dari satu tahun. Belanja pemerintah ini bukan bertujuan untuk investasi sehingga dapat dikatakan belanja operasi merupakan belanja konsumsi pemerintah daerah.
8
Berdasarkan hasil analisis regresi data panel dalam studi ini, ditemukan bahwa belanja operasi ini memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Artinya apabila belanja operasi yang dikeluarkan pemda semakin besar, maka pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut semakin tinggi. Bahkan, belanja operasi ini lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daripada belanja modal.
Buruknya kualitas belanja modal memperkecil kontribusi belanja modal terhadap perekonomian Belanja Modal menurut Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 2010 didefinisikan sebagai pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan, aset tak berwujud. Berbeda dengan belanja operasi yang digunakan sebagai konsumsi, belanja
Artikel
Gambar 6 Produk Domestik Regional Bruto Menurut Pengeluaran Tahun 2010-2014
Sumber: BPS
modal ini digunakan oleh pemerintah daerah sebagai belanja investasi. Hasil regresi data panel menunjukkan bahwa belanja modal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Hal ini sesuai dengan teori yang ada. Semakin tinggi belanja modal, maka pembentukan asset tetap sebagai faktor produksi makin besar. Meningkatnya faktor produksi di daerah akan meningkatkan output produksi sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun sayangnya, pengaruh belanja modal ini lebih kecil dibanding pengaruh belanja operasi. Sebagai contoh, di Kabupaten Donggala. Peningkatan infrastruktur dan energi merupakan salah satu prioritas pembangunan daerah. Untuk mendukung prioritas pembangunan tersebut, anggaran yang dikeluarkan untuk belanja modal sebesar 21,7%. Pejabat Dinas Pekerjaan Umum yang ditemui dalam kesempatan penelitian lapangan menjelaskan bahwa proses perencanaan dengan penganggarannya telah sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku. Nominal anggaran modal pun tidak banyak bermasalah. Namun, dinamika yang terjadi adalah saat pembahasan dengan DPRD mengenai penentuan lokasi penggunaan belanja modal. Dalam pembahasan tersebut, DPRD memberikan usulan mengenai lokasi penggunaan anggaran tersebut. Untuk menghindari pembahasan yang berkepanjangan, Pemda pun menyepakati pembangunan infrastruktur di beberapa lokasi yang diusulkan oleh DPRD. Lokasi ini biasanya merupakan lokasi dari Daerah Pemilihan (Dapil) masing-masing. Pembangunan infrastruktur yang terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan daerah inilah
yang mungkin menyebabkan pengaruh/ dampak belanja modal ini tidak begitu besar terhadap perekonomian daerah (Uraian terkait lihat pada rubrik ‘Opini’)
Berbeda halnya dengan belanja operasi Pemda. Belanja operasi merupakan pengeluaran pokok yang harus dikeluarkan agar pemerintahan dapat berjalan. Karakteristik belanja operasi ini bersifat baku dan terstandar, artinya penggunaan item-itemnya sulit untuk diubah. Pembahasan anggaran antara eksekutif dan legislatif pun tidak banyak merubah penggunaan anggaran ini. Ruang fiskal yang sempit pada belanja ini menyebabkan minimnya dinamika politik dalam penetapan pagu anggaran sehingga anggaran yang dibelanjakan dapat digunakan sesuai dengan kebutuhannya.
Catatan Akhir Simpulan yang ingin kembali ditegaskan adalah: IPM, LQ, belanja modal dan belanja operasi merupakan faktor yang berpengaruh positif terhadap pertumbuahan ekonomi. Faktor yang berpengaruh paling besar adalah IPM yang merupakan proksi dari kualitas SDM. Untuk itu, ke depan, peningkatan kualitas SDM ini harus menjadi perhatian besar bagi semua Pemda dalam rangka pembangunan ekonomi daerah. Simpulan lain, dibandingkan belanja modal, pengaruh belanja operasi ternyata lebih besar terhadap pertumbuhan. Adanya dampak yang besar dari belanja operasi ini bukan berarti bahwa Pemda perlu meningkatkan belanja operasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hasil ini menunjukkan bahwa faktanya sektor konsumsi masih mendominasi perekonomian daerah. Kondisi ini bukanlah komposisi perekonomian yang ideal. Oleh karena itu, Pemda harus berupaya untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas belanja modal sehingga investasi yang diberikan oleh Pemda tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pada akhirnya, perekonomian daerah menuju ke kondisi ideal dimana sektor investasi yang memberikan efek jangka panjang lebih mendominasi dan berpengaruh terhadap perekonomian dibanding sektor konsumsi.
9
Review Regulasi
Memacu Pertumbuhan Ekonomi Melalui BUMD Analisis Perda No.10/2014 tentang Tambahan Penyertaan Modal Pemkot Semarang kepada BUMD
D
alam rangka menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan masyarakat, dan pembangunan, pemerintahan pada hakekatnya mengemban tiga fungsi utama yakni fungsi alokasi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan masyarakat, fungsi distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat serta pemerataan pembangunan, dan fungsi stabilisasi berupa pertahanan-keamanan, ekonomi dan moneter.
Dalam rangka menjalankan fungsi alokasi, saat ini Indonesia menerapkan kebijakan desentralisasi Fiskal. Melalui kebijakan ini Pemda mempunyai kewenangan yang besar untuk menyusun, melaksanakan dan mengelola pembangunan sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Pendelegasian kewenangan ke Pemda ini utamanya untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelayanan kepada masyarakat. Pendelegasian tugas pelayanan ini diikuti oleh pendelegasian kewenangan keuangan (money follow function). Dengan demikian, Pemda pun diberi kewenangan luas untuk menyusun dan mengelola keuangan daerahnya masing-masing. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrument kebijakan fiskal yang utama bagi pemerintah daerah. APBD mencerminkan potret kebijakan dan politik anggaran suatu pemda dalam menentukan skala prioritas terkait program dan kegiatan yang akan dilaksanakan dalam satu tahun anggaran. Penetapan prioritas-prioritas tersebut beserta upaya pencapaiannya merupakan konsekuensi dari meningkatnya peran dan tanggung jawab pemda dalam mengelola pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Dengan demikian, daerah harus memastikan dana tersebut benar-benar dimanfaatkan untuk program dan kegiatan yang memiliki nilai tambah yang sangat besar bagi masyarakat. Salah satu upaya pemda dalam menggunakan APBD, Pemda memiliki ruang untuk ikut serta berperan dalam pasar, atau setidaknya aktif mendorong pasar untuk tumbuh beraktifitas. Salah satunya adalah dengan mengalokasikan anggaran kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Selain itu, dibentuknya BUMD adalah menjalankan
10
M. Iqbal Damanik Peneliti KPPOD
Review Regulasi
amanat ketentuan UUD Pasal 33 khususnya ayat (2) dan (3)yang bermaksud agar “cabang-cabang produksi penting bagi Negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”. Kemudian bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tugas pertama Negara dengan membentuk badan usaha tersebut adalah untuk memenuhi segala kebutuhan masyarakat (Public Service Obligation/PSO), terutama jika sektor-sektor tersebut belum dapat dikelola oleh swasta. Kemudian tugas-tugas seperti itu diterjemahkan sebagai bentuk “pioneering” usaha oleh badan Usaha Milik Daerah (BUMD) menjadi agen pembangunan. Tugas percepatan pembangunan ekonomi ini tidak serta merta diserahkan kepada dunia usaha, Pemda harusnya juga berperan dalam memacu pertumbuhan tidak hanya sebagai aktor yang mengatur dengan regulasi dan kebijakan, namun menjadi sumber penggerak (motor) pertumbuhan ekonomi dengan ruang fiskal yang dimiliki melalui kebijakan anggaran di APBD. Dalam rangka mendorong pembangunan ekonomi tersebut, Pemerintah Kota Semarang berkomitmen meningkatkan kinerja BUMD melalui penambahan penyertaan modal. Unutk itu, pada tahun 2014 disusun perda penyertaan modal yang bertujuan untuk memperkuat struktur permodalan Badan Usaha Milik Daerah dalam rangka pengembangan usaha dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat serta peningkatan pendapatan asli daerah.
Substansi Perda Dengan tujuan memberikan kepastian hukum dan sebagai upaya meningkatkan kinerja BUMD. Pemda Kota Semarang menetapkan perda No.10/2014. Dalam ketentuan pasal 2 ruang lingkup tambahan penyertaan modal Pemerintah Daerah kepada BUMD meliputi : a. Perusahaan Daerah Rumah Pemotongan Hewan dan Budidaya Hewan Potong; b. Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan Kota Semarang; dan c. Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Moedal Kota Semarang. Tambahan penyertaan modal daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip meningkatkan pelayanan dan mendapatkan keuntungan. Tambahan penyertaan modal memiliki tujuan khusus di masing-masing BUMD. Pertama, bagi
Perusahaan Daerah Rumah PemotonganHewan dan Budidaya Hewan Potong, tambahan penyertaan modal dimaksudkan untuk meningkatkan sarana dan prasarana pemotongan hewan, budidaya hewan potong. Kedua, bagi Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan Kota Semarang, tambahana tersebut ditujukan untuk meningkatkan struktur permodalan; dan Ketiga, bagi Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Moedal Kota Semarang, skema tambahan serupa diperuntukkan guna meningkatkan kinerja pelayanan air bersih bagi masyarakat. Perda ini menetapkan total tambahan penyertaan modal BUMD sebesar 12,5 Miliar, dengan rincian slot penyertaan terbesar ada di PDAM sebesar 10 Miliar, 1,5 Miliar Untuk BPR BKK dan 1 Miliar untuk Rumah Potong Hewan. Sumber dana penyertaan modal ini sepenuhnya berasal dari APBD perubahan tahun 2014.
Analisis dan Dampak Penerapan Perda Perda telah menggunakan acuan hukum yang relevan sebagi konsideren. Ditinjau dari aspek yuridis, perda No.10/2014 yang ditetapkan pada 10 Desember 2014 telah menggunakan acuan hukum terbaru yang masih berlaku, lengkap dan relevan dengan substansi materi yang diatur dalam perda. Regulasi tersebut mencantumkan landasan yuridis terbaru, yakni UU No.23/2014 tentang Pemerintah Daerah, dan peraturan sektoral lainnya seperti UU No.7/1992 tentang Perbankan, UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air, dan UU No.18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Adanya landasan hukum yang jelas atas penyelenggaran penambahan penyertaan modal di Kota Semarang. Sebelum perda ini terbit, tentu saja pemda lebih dulu menerbitkan perda tentang pembentukan ketiga BUMD ini beserta dengan penyertaan modal awalnya. Terbitnya perda No.10 Tahun 2014 ini memberikan kepastian hukum yang lebih kuat lagi kepada pemda kota semarang untuk melakukan penambahan penyertaan modal. Perda ini juga memberikan tugas kepada masingmasing BUMD untuk memfokuskan peningkatan kinerja yang ingin dicapai melalui penambahan modal. Hal ini tertuang dalam tujuan khusus dari perda, misalnya, PDAM Tirta Moedal yang diminta untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, dengan pelayanan yang baik diharapkan dapat meningkatkan kepuasan masyarakat akan
11
Review Regulasi
Perda ini dapat dicontoh oleh daerah-daerah lain, khususnya daerah yang ingin menstimulus kegaitan ekonomi. “Positioning” BUMD sebagai agen pembangunan harus terus digalakkan, karena dengan kewenangan anggaran yang dimiliki, Pemda mampu mendorong kegiatan ekonomi untuk tumbuh.
penggunaan layanan PDAM Tirta Moedal, secara khusus pelayanan yang baik dan kemudahan dalam mendapatkan layanan air bersih yang pada gilirannya juga akan mendorong masuknya investasi ke Kota Semarang. Skema penyertaan ini juga sesuai dengan prioritas Kota Semarang dalam kerangka mendorong tumbuhnya industri. Untuk itu, dalam perda ini Pemda Kota Semarang menyertakan modal sebesar 1,5 Miliar di BPR BKK. Hal ini didorong oleh perkembangan (sebagaimana terlihat pada data tahun 2013) di mana jumlah total industri kecil, sedang dan besar di Semarang sebanyak 3.589 buah. Pada tahun 2012 jumlah industri di Kota Semarang sebanyak 3.559 industri atau meningkat sebesar 0,57 % dibanding tahun 2011 yang tercatat sebanyak 3.539 industri. Data Ini menunjukan adanya peningkatan unit usaha pada sektor industri dan perdagangan di Kota Semarang. Meningkatkan performa BUMD dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Pelaksanaan investasi daerah haruslah bertujuan untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial dan/atau manfaat lainnya seperti peningkatan pendapatan asli daerah. Investasi yang berupa tambahan penyertaan modal dimaksudkan agar Badan Usaha Milik Daerah memiliki struktur permodalan yang lebih kuat, sehingga dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, mengalokasikan APBD terhadap BUMD juga akan memicu tumbuhnya pembangunan di daerah. Usaha yang dilakukan BUMD akan mendorong tumbuhnya kegiatan usaha lain di daerah tersebut.
Catatan Akhir Dalam konteks Pemerintahan Daerah BUMD adalah upaya intervensi negara terhadap perekonomian. Ekonom Paul Krugman menjelaskan, dengan melakukan stimulus fiskal maka pembelanjaan pemerintah membantu mendorong perusahaanperusaan terus berproduksi hingga sampai pada titik di mana konsumsi masyarakat sampai pada titik yang stabil. Krugman percaya bahwa peranan negara di dalam ekonomi sebagai pemicu atau perangsang timbulnya aktivitas ekonomi yang lebih independen. Namun agar BUMD benar-benar bisa memicu aktivitas ekonomi, penyertaan modal oleh pemda terhadap BUMD perlu pengawasan yang ketat. Sering sekali BUMD dijadikan sapi perah oleh penguasa politik. Hal ini menyebabkan kurang profesionalnya pegawai dari BUMD itu sendiri. Mengatasi hal tersebut pemda perlu merumuskan kebijakan yang melepaskan intervensi politik yang terlalu jauh kedalam teknis jalannya BUMD sebagai unit usaha. Perda ini mencontohkan salah satu hal baik, meski tidak menjawab keraguan terhadap BUMD yaitu. Adanya tujuan khusus yang ditujukan kepada masingmasing BUMD dari suntikan modal yang diberikan pemda.
VISI & MISI KPPOD VISI KPPOD ikut mewujudkan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat dengan mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif di seluruh Indonesia.
MISI KPPOD menganalisa, menilai dan memberikan masukan bagi kebijakan dan praktik Pemerintah Pusat dan Daerah dalam melaksanakan otonomi daerah bagi pembangunan ekonomi nasional.
12
Dari Daerah
Sistem Informasi bagi Reformasi Anggaran di Kota Semarang
P
erkembangan Kota Semarang, yang berjuluk Kota Atlas, kian pesat hari ini. Banyak hotel, pusat perbelanjaan, taman, dan pranata fisik yang terus bertambah beberapa tahun belakangan. Semarang memang tidaklah seramai atau sepadat metropolitan/megapolitan seperti Kota Surabaya apalagi Kota Jakarta. Namun seperti layaknya penyakit kota pada umumnya, Semarang juga sering macet dan panas akibat polusi. Karena itulah pemerintah kota saat ini berusaha mengatasinya dengan cara memompa pembangunan infrastruktur di wilayah pingiran jalan hinterland dan jalan-jalan tembus. Infrastruktur memiliki porsi yang sangat besar dalam skema perencanaan dan prioritas penganggaran di Kota Semarang
Data belanja daerah menunjukan, urusan pekerjaan umum (terdiri dari Dinas Bina Marga, Dinas PSDA dan ESDM) yang membawahi pembangunan infrastruktur di Kota Semarang mendapatkan porsi sebesar 21,33% dari total belanja APBD Tahun 2014. Hal ini menunjukan tingginya komitmen Pemda untuk melakukan pembangunan guna mencapai visi dan misi “Waktunya Semarang Setara” sebagai momentum kebangkitan Kota Semarang agar mampu sejajar dengan kota-kota metropolitan lainnya. Hal yang menarik saat memperhatikan Kota Semarang ialah mengenai pasar-pasar tradisionalnya yang di bangun kembali menjadi pasar yang cukup modern dan bersih. Hal ini dilakukan oleh pemerintah Kota Semarang, dimana pasar yang merupakan tempat transaksi ekonomi masyarakat harus mampu bersaing dengan mall atau pusatpusat perbelanjaan modern lainnya. Ini juga didukung oleh komitmen DPRD Kota Semarang dalam menginisisasi di KUA-PPAS setiap tahunnya sehingga Dinas Pasar memiliki porsi anggaran yang cukup besar untuk periode pemerintahan saat ini.
Margaretha N. Sianturi Peneliti KPPOD
Komitmen yang tinggi dengan melakukan pembangunan di bidang infrastruktur merupakan langkah yang diambil oleh pemerintah kota untuk mewujudkan visi Kota Semarang tahun 2010-2015 dalam RPJMD nya yaitu “Terwujudnya Semarang Kota Perdagangan dan Jasa, yang Berbudaya Menuju Masyarakat Sejahtera”. Dalam
13
Dari Daerah
sehingga bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan auditor. Namun sayangnya, mekanisme ini baru efektif dilaksanakan dalam mekanisme perencanaan dan penganggaran tahun 2015 ini.
visi tersebut tergambarkan bahwa kota yang terkenal dengan lumpia dan bandeng presto ini ingin menjadi sentra industri dan perdagangan bagi daerah di sekitarnya. Namun apabila dilihat dalam chart diatas porsi anggaran belanja, Dinas Perindustrian dan Perdagangan yang seharusnya menjadi perangkat daerah yang cukup strategis untuk mendukung terwujudnya visi tersebut hanya mendapatkan porsi anggaran sebesar 0,31%
Perencanaan dan Penganggaran Penyelenggara pemerintahan daerah ialah terdiri atas unsur pemerintah daerah dan DPRD. Untuk itu, kedua unsur ini harus saling bekerja sama dengan baik dalam melakukan pembangunan-pembangunan didaerah agar tujuan dari otonomi daerah dapat terlaksana dan tercapai dengan sebaik-baiknya. Dua hal kerjasama yang akan selalu dilakukan oleh pemerintah daerah dan DPRD setiap tahunnya adalah menyusun perencanaan dan penganggaran daerah. Dimulai dari siklus perencanaan, Kota Semarang melakukan perencanaan dari tingkatan Rembug Warga (RW), Musrenbang Kelurahan, Forum SKPD dan Rumpun SKPD, serta Musrenbang Kota. Pelibatan aktif DPRD dalam siklus perencanaan ini diharapkan agar pokok-pokok pikiran dewan sudah diwadahi sejak perencanaan, dan tidak lagi --sebagaimana lazimnya-- “menyalip” atau didesakkan saat mekanisme penyusunan anggaran. Hal ini yang didorong oleh Bappeda Kota Semarang agar kerjasama antara pemerintah kota dan dewan dapat terjalin dengan baik dan efisien. Selain itu, untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas publik, Bappeda meminta kepada dewan agar pokok pikiran tersebut dilampirkan dengan berita acara masa reses
14
Hal yang menarik ialah mengenai Rembug Warga di Kota Semarang. Kami melihat, tidak banyak daerah yang memperhatikan bahwa brainstorming harus dimulai dari tataran grass root. Pemerintah Kota Semarang melakukan mekanisme ini bersama dengan LSM (Pattiro) dan lembaga pendidikan (UNDIP) di mana Pattiro berperan sebagai pendamping masyarakat mengenai perencanaan, sementara UNDIP memberikan sosialisasi mengenai pembangunan nasional dan tata ruang daerah. Selain itu, Rembug Warga ini diatur dalam peraturan walikota yang terbit setiap tahun agar menjadi komitmen bersama untuk dapat dilaksanakan. Secara umum, perencanaan dan penganggaran di Kota Semarang cukup baik dan sesuai satu sama lain. Hal ini cukup baik, mengingat komitmen dari pemda untuk melakukan penganggaran berbasis perencanaan. Selain itu, adanya Sistem Informasi Manajemen yang dibangun oleh pemerintah untuk melakukan efisiensi dan efektivitas perencanaan dan penganggaran, serta untuk mencapai transparansi dan akuntabilitas publik cukup dapat membantu kesesuaian antara perencanaan dan penganggaran di Kota Semarang.
Sistem Informasi Manajemen Saat kita mengunjungi Balai Kota tempat Walikota berkantor sehari-hari, kita akan menemukan salah satu gedung di sisi Balai Kota yang bertuliskan PIP (Pusat Informasi Publik). Gedung ini bisa dikunjungi oleh siapa saja yang ingin mengetahui informasi mengenai kota, baik mengenai pariwisata, pendidikan, kesehatan, maupun seputar pemerintahan yang sedang berjalan. Kota Atlas ini telah mengembangkan sistem E-Government. Salah satu pengembangan E-Government yang sedang di bangun oleh pemerintah Kota Semarang ialah mengenai Sistem Informasi Manajemen (SIM). Salah satu-nya ialah Simperda. Simperda ialah sistem informasi manajemen perencanaan daerah yang dikembangkan di bawah Bappeda. Melalui sistem ini setiap rangkaian perencanaan dari tingkatan kecamatan
Dari Daerah
sampai dengan kabupaten dilakukan secara terintegrasi. Simperda, dimulai melalui proses yang namanya mekanisme musrenbang RT RW, kemudian kelurahan, dan diakhiri dengan musrenbang tingkat kota yang ujungnya menghasilkan dokumen RKPD dan kemudian tercatat dalam sistem ini. Simperda ini dikembangkan oleh Bappeda sejak tahun 2007 dan advance tahun 2011. Seperti halnya mekanisme perencanaan yang dimulai dari tataran Rembug Warga (RW), Kelurahan hingga Kecamatan, Simperda ini juga dibuat mulai dari Simperda Kecamatan yang mana inputnya berasal dari musrenbang kelurahan. Program dan kegiatan yang diusulkan dan diinput dalam sistem Simperda Kecamatan menjadi program dan kegiatan di SKPD, sehingga secara sistem akan terbaca dalam Simperda SKPD masing-masing sesuai dengan urusannya. Selanjutnya SKPD akan melakukan verifikasi terhadap usulan tersebut dan dibahas dalam Forum SKPD dan Musrenbang Kota. Apabila usulan tersebut sudah disetujui maka akan menjadi dokumen perencanaan kerja bagi SKPD. Seluruh proses ini dilaksanakan secara online melalui Simperda. Jadi, sistem ini bekerja juga mengikuti mekanisme siklus perencanaan yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Simperda itu sistemnya mengunci pagu anggaran masing-masing SKPD. SKPD diberikan waktu untuk mengisi Simperda masing-masing berdasarkan prioritas Renja, Renstra dan RPJMD dan hasil dari musrenbang. Dalam simperda tersebut, SKPD harus membuat skala prioritas, di mana prioritas satu adalah prioritas yang paling utama/penting dan kemudian sampai skala prioritas tiga. Skala prioritas ini dilakukan karena keterbatasan anggaran yang tidak memungkinkan untuk mengakomodir semua program dan kegiatan yang diajukan oleh SKPD maupun dalam musrenbang, sehingga dengan skala prioritas ini saat anggaran pendapatan dan belanja daerah telah keluar, maka akan otomatis diurutkan (shorted) oleh sistem dan dipotong berdasarkan pagu anggaran yang nantinya akan diterima oleh masing-masing SKPD tersebut.
unsur keuangan yaitu DPKAD memverifikasi besaran pagu; dan unsur pembangunan memverifikasi target waktu dan sebagainya. Dari verifikasi ini akan diajukan di desk alokasi anggaran, dari situ TAPD memaparkan dari usulan yang diberikan dari Renja dan RKPD, yang mana SKPD sudah harus membuat list mana prioritas 1, prioritas 2, dan prioritas 3 setelah itu akan diurutkan (shorted) mana yang diprioritaskan di simperda kemudian simperda akan memotong dengan sendirinya. Tapi itu menjadi long list karena dokumen RKPD belum memperhitungkan dana DAU dan DAK sehingga ada kemungkinan untuk semua prioritas terakomodir selama pagu anggarannya mencukupi. Simperda ini terintegrasi dengan Simkeuda (Sistem Informasi Manajemen Keuangan Daerah) yang berada di bawah DPKAD. Disinilah transparansi anggaran terbentuk. Jadi semua program dan kegiatan berdasarkan prioritas dalam Simperda akan masuk dalam sistem Simkeuda. Untuk itulah penganggaran kota Semarang berbasis pada perencanaan. Selain itu, pada tahun 2015 ini Simperda dan Simkeuda akan dintegrasikan kembali dengan SimBpp (Sistem Informasi Manajemen Bendahara Pembantu) dan Simmonev (Sistem Informasi Manajemen Monitoring dan Evaluasi), sehingga sewaktu-waktu bisa dilakukan monitoring dan evaluasi mengenai penyelenggaraan pembangunan di Kota Semarang dan membantu dalam mengambil kebijakan. Dalam Simmonev ini juga ada menu kesesuaian antar dokumen perencanaan sehingga bisa menjadi kontrol bagi SKPD. Simmonev ini berada di bawah koordinasi Bappeda.
Dalam sistem informasi manajemen ini ada verifikator-nya. Ada 3 unsur dalam verifikator ini yaitu dari unsur bappeda, unsur keuangan, dan unsur pembangunan. Bappeda bertugas memverifikasi sasaran, output, outcome; Sumber: Diolah
15
Dari Daerah
Simbpp dikembangkan oleh Bappeda karena selama ini bendahara pembantu itu harus melaporkan setiap bulan ke 4 SKPD: Bappeda, Inspektorat, DPKAD, dan Bagian pembangunan Sekda, dengan tujuan yang berbedabeda. Jadi dengan adanya sistem ini, mereka tidak harus datang dan mencetak laporan tersebut sehingga bisa menghemat waktu dan kertas, sedangkan yang dilaporkan dan dicetak ke 4 instansi itu hal yang sama
Catatan Akhir Kota Semarang telah berkembang cukup pesat beberapa tahun terakhir. Guna mencapai visi dan misi “menjadi setara dengan kota besar di Indonesia lainnya”, Semarang memiliki komitmen yang cukup tinggi dalam melakukan pembangunan khususnya di bidang infrastruktur. Komitmen yang dibangun oleh pemerintah kota Semarang adalah belanja modal harus lebih tinggi daripada belanja tidak langsung. Komitmen lain yaitu melakukan penganggaran berbasis perencanaan dan telah didukung oleh sistem informasi manajemen yang cukup memadai. E-Government
16
dibangun untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas publik. Dan ini merupakan contoh baik bagi otonomi daerah. Hal lain yaitu, dinamika politik dalam perencanaan dan penganggaran yang berusaha diatasi oleh pemerintah kota semarang dengan cara meminta DPRD untuk memberikan pokok-pokok pikirannya sebelum KUAPPAS, lebih baik lagi jika diberikan pada tahapan musrenbang. Selain itu, dewan harus menyertakan berita acara masa reses-nya dalam memberikan pokok-pokok pikiran tersebut. Ini merupakan langkah yang baik untuk meningkatkan performa dewan dan akuntabilitas dewan, sebagai bagian dari unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pokok pikiran dewan ini juga terinput dalam Simperda SKPD. Semoga reformasi sistem informasi manajemen yang terjadi di Kota Semarang dapat menjadi sebuah contoh baik bagi daerah lain. Sehingga apa yang menjadi tujuan daripada otonomi daerah untuk melakukan pembangunan sebaik-baiknya dan mensejahterakan masyarakat dapat terwujud secara efektif dan efisien.
Opini
Dana Aspirasi, Berpotensi Ganggu Kesesuaian Perencanaan dan Penganggaran di Daerah?
D
alam sumpah jabatannya, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berikrar “memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Sekelumit kalimat sumpah tersebut saat mereka dilantik. Kata aspirasi ini kemudian diterjemahkan dalam pasal 80 huruf j UU MD3, di mana DPR berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan. Pasal ini kemudian menjadi landasan hukum bagi DPR menafsirkan aspirasi menjadi sebuah program dan pagu anggaran, dikenal dengan istilah “Dana Aspirasi”.
Sidang paripurna DPR-RI kemudian menetapkan pembagian dana sebesar Rp 20 miliar kepada masing-masing anggotanya. Dengan jumlah anggota dewan sebanyak 560 orang, maka total anggaran yang dibutuhkan sebesar 11,2 triliun rupiah. Di tingkat nasional ketetapan DPR-RI ini kemudian menjadi polemik yang dibicarakan dari hari ke hari di media masa nasional, bahkan pemerintah dengan jelas menegaskan bahwa dalam rancangan APBN 2016 perihal Dana Aspirasi sama sekali tidak dianggarkan. Di tingkat DPRD Propinsi, Kabupaten dan Kota muncul keinginan untuk mendapatkan Dana Aspirasi sama halnya dengan DPR-RI. Karena hak mengusulkan dan memperjuangkan program, pembangunan juga merupakan hak dari anggota DPRD Propinsi, Kabupaten maupun Kota. Keinginan untuk mendapatkan Dana Aspirasi sudah disuarakan dibeberapa daerah, bahkan di Sulawesi Tenggara sudah menetapkan Dana Aspirasi sebesar Rp 600 Juta per anggota dewan. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan aspirasi? Tanpa adanya Dana Asipirasi DPR/ DPRD memiliki hak untuk mengusulkan dan kewajiban memperjuangkan program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dari daerah yang diwakilinya. Hak ini pun selalu digunakan oleh DPR/DPRD dalam mengawasi dan membahas anggaran yang diusulkan pemerintah. Jika dana aspirasi dirunut hingga ke tinggkat DPRD maka kekisruhan yang saat ini terjadi di nasional juga akan mengikut ke daerah. Kondisi demikian tentu saja akan mengganggu mekanisme yang sebelumnya sudah berjalan dengan baik.
M. Iqbal Damanik Peneliti KPPOD
Tities Eka Agustine Peneliti KPPOD
17
Opini
Sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional, usulan pembangunan daerah yang dihasilkan oleh DPR maupun DPRD sudah terakomodir dalam proses perencanaan lewat pendekatan politis maupun pendekatan bottom-up jika para anggota Dewan hadir dan mengawal setiap usulan yang muncul dalam Musrenbangdes sehingga tidak begitu saja hilang ketika beradu dengan hasil proses teknokratis yang didominasi perspektif dan kepentingan SKPD sektoral di tingkat Kabupaten/Kota maupun Propinsi. Untuk itu, keberadaan dana aspirasi ini menjadi repetisi dalam perencanaan pembangunan, dan semakin mengecilkan ruang fiskal pemerintah. Fakta lain menunjukan, jika pada tingkatan nasional DPR masih sibuk dengan Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP), pada tingkat daerah sesungguhnya DPRD telah menerapkan praktek yang baik. Dari hasil studi yang dilakukan oleh Andi Darmawati Tombolotutu dari Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako, Palu, misalnya, peran DPRD dalam menghimpun aspirasi masyarakat dan mensinkronkannya dalam dokumen perencanaan berjalan dengan konsisten. Bahkan anggota DPRD tetap mengawal kemauan masyarakat sampai ke musrenbang kabupaten. Proses deliberatif dalam musrenbang diharapkan dapat menggali aspirasi dan kebutuhan masyarakat pada tingkat desa/kelurahan. Dari sisi teknokratis, sebelum dilakukan musrenbang kabupaten Bappeda telah memperlihatkan draft hasil musrenbang kecamatan yang menjadi kebutuhan dan menjadi prioritas untuk mendukung visi misi bupati. Dari sisi politik, disinilah peran DPRD yang hadir pada saat musrenbang kecamatan mengusulkan aspirasi yang sudah mereka jaring pada saat reses. DPRD juga telah menjaring aspirasi sehingga semua dapat sinkron dan apa yang menjadi kemauan masyarakat tetap dikawal anggota DPRD sampai pada saat musrenbang kabupaten. Proses meneruskan aspirasi masyarakat melalui saluran legislatif terbukti tidak terkendala oleh ketiadaan anggaran untuk pembangunan daerah pemilihan. Namun, lebih kepada komitmen (political will) dan kapasitas politik dari para anggota dewan untuk memperjuangan aspirasi masyarakat. Ketimbang DPRD sibuk dengan upaya coba-coba meniru DPRD memperjuangkan dana aspirasi yang notabene jelasjelas problematik, terutama dari sisi tata negara yang mengenal pembagian fungsi di mana pemerintah sebagai pelaksana dan DPRD menjadi counterpart
18
dalam membahas serta menyetujui lalu melaksanakan pengawasan. Dana aspirasi ini jelas bukanlah trobosan karena jika dianggap anggaran pemerintah tidak menampung aspirasi masyarakat sangatlah mengherankan, karena dalam penyusunan perencanaan sendiri keterlibatan masyarakat merupakan menjadi syarat mutlak. Di sini, seharusnya DPRD melakukan fungsinya sebagai perwakilan yang memiliki hak mengantarkan aspirasi masyarakat. Anggota DPRD semestinya berkemauan dan berkemampuan membangun sistem yang kuat dan terpadu dalam penganggaran, jika memang yang diinginkan adalah anggaran yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan sesuai dengan perencanaan daerah maka hal itulah yang harus diperjuangkan dan diaspirasikan dalam pembahasan anggaran bersama pemerintah. Agar DPRD mengetahui apa yang dibutuhkan masyarakat maka proses reses harus maksimal dilakukan oleh elite DPRD, tidak hanya sebagai ajang mobilisasi politik semata atau kunjungan temu kangen antara masyarakat dengan perwakilannya. Merujuk pada penelitian oleh Andi Darmawati, DPRD harus mendorong masyarakat dan bersama-sama mengawal jalannya pemerintahan. Dan beberapa hal ini bisa dilakukan legislatif untuk memperkuat peranannya adalah dengan: 1. Adanya keterlibatan aktif dari komisi DPRD terkait dalam proses diskusi, peninjauan, dan evaluasi usulan masyarakat dalam Musrenbang; 2. Adanya pemahaman terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat disuarakan dalam Musrenbang dan memberikan masukan atas prioritas program berdasarkan prioritas masyarakat; 3. Kemampuan untuk dapat memastikan konsistensi dan keseimbangan antara program dan anggaran tahunan daerah dengan prioritas nasional dan provinsi dan antara prioritas sektoral dengan alokasi anggaran; 4. Kemampuan untuk dapat memastikan bahwa Musrenbang menerapkan standar konsultasi publik yang sesuai; 5. Kemampuan untuk dapat mencermati kebutuhan pengembangan regulasi untuk mendukung program dan kegiatan yang diprioritaskan di Musrenbang. Disebutkan juga dalam UU MD3 bahwa fungsi DPRD berupa legislasi, anggaran dan pengawasan. Keberadaan ketiga fungsi tersebut menandakan keberadaan ruang yang luas bagi legislatif untuk mengawal perencanaan pembangunan berbasiskan kebutuhan masyarakat luas.
Opini
Catatan Akhir Peran DPRD sebagai counterpart dalam mengawasi perencanaan penganggaran hingga pelaksanaannya harus dimaksimalkan dan selalu fokus kepada fungsi pokoknya. Dana Aspirasi yang memposisikan DPRD sebagai pengguna anggaran malah akan mengecilkan fungsi mereka dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Arah pembangunan daerah juga akan terganggu karena tidak akan terjadi sinkronisasi kepentingan teknokratik pemerintah daerah dan proses politik di DPRD. Pembangunan akan berjalan sendiri-sendiri karena dianggap pemerintah tak mampu menampung aspirasi masyarakat. Sesungguhnya DPRD dalam menjalankan sumpah “memperjuangkan aspirasi” bisa direalisasikan dan
akan lebih efektif dalam kunjungan kerja lapangan. Pada masa reses anggota DPRD berkesempatan bertemu dengan konstituennya. DPRD harus mengevaluasi sampai sejauh mana kebutuhan dari masyarakat di daerah tersebut mendapat tanggapan positif dari pemerintah. Hasil-hasil reses ini harus terus dikawal oleh DPRD, agar ditindaklajuti oleh pemerintah. Selanjutnya, berbasis asipirasi ini, pemerintah menguatkan operasional dan kinerja SKPD yang ada, baik dalam aspek anggaran, struktur kelembagaan, dan seterusnya. Hak politik yang dimiliki DPRD harus digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Politik dalam konteks bernegara bukan hanya sekedar memperjuangkan versi kepentingan dari masing-masing anggota DPRD.
19
Laporan Kegiatan
Pelatihan Menulis Opini Diskusi tentang “Fraud Control”
K
PPOD menyelenggarakan pelatihan penulisan opini yang bertujuan dapat menuangkan pemikiran riset ke dalam karya tulisan yang dapat dimengerti oleh semua kalangan dan juga pelatihan fraud control yang bertujuan mengenal faktor-faktor penyebab fraud, pengendalian terhadap fraud dan juga tindakan yang memicu fraud untuk seluruh tim peneliti KPPOD dan jaringan. Dengan dukungan dari program Knowledge Sector Initiative (KSI), kegiatan ini juga menjadi sarana untuk mengembangkan kapasitas internal organisasi.
Membumikan Hasil Riset Tulisan merupakan media komunikasi antara penulis dan pembaca. Seorang penulis dituntut untuk dapat dengan mudah mentransfer informasi penting kepada para pembaca dari berbagai kalangan. Tulisan ilmiah, menjadi tulisan yang memiliki tantangan berat untuk dikomunikasikan, mengingat informasi didalamnya tertuju kepada pembaca yang berada dalam tujuan penelitian. Penggunaan bahasa dan istilah yang tidak lazim akan membuat pembaca umum mengalami kesulitan. Berbeda dengan tulisan populer, yang memiliki bahasa ringan dan tidak terlalu banyak menggunakan istilah akademis. Jenis tulisan populer yang dipublikasikan oleh media adalah tulisan yang dapat dibaca oleh semua kalangan usia dan latar belakang pendidikan. KPPOD sebagai lembaga riset yang menghasilkan tulisan dan laporan penelitian ilmiah. Beberapa dokumen hasil riset dituliskan menggunakan bahasa akademis dan juga dikirimkan kepada sasaran pembaca yang sudah terpilih. Untuk lebih membumikan hasil riset yang rumit, maka dibutuhkan metode penulisan yang lebih sederhana namun tidak mengurangi substansi dari tulisan. Pelatihan menulis opini, diselenggarakan dalam dua pertemuan, pada tanggal 6 dan 20 April 2015 di Hotel Royal Kuningan. Peserta yang hadir selain tim peneliti KPPOD adalah perwakilan dari Apindo. Kegiatan ini didampingi oleh tim desk opini Tempo Institute. Pada pertemuan pertama, pemateri memaparkan tentang tipe-tipe opini yang dimuat dalam media cetak, fungsi opini, modal yang dibutuhkan untuk menulis, kriteria opini yang layak muat, nilai-nilai berita, kiat menulis opini dan pemaparan tentang ide, gagasan dan lead. Pertemuan kedua, pemateri meminta peserta untuk
20
Tities Eka Agustine Peneliti KPPOD
Laporan Kegiatan
membuat sebuah tulisan opini yang nanti akan direview bersama oleh pemateri. Setelah pelatihan menulis opini ini, diharapkan seluruh staf KPPOD dapat mengkomunikasikan hasil riset kepada masyarakat melalui kolom pendapat yang disediakan dalam media massa. Untuk memulai menulis opini, sebaiknya penulis mengidentifikasi ketentuan tulisan opini dan isu yang dibawa oleh masing-masing media. Dalam menulis opini modal yang dibutuhkan adalah kompetensi penulis dalam memahami isu, kemampuan dalam menstrukturkan ide dan argumentasi, memperkaya referensi dan mengikuti tren informasi yang beredar di masyarakat. Tulisan opini yang dimuat tentunya harus memenuhi nilai dari sebuah berita. Terdapat sepuluh nilai berita yang harus juga diperhatikan: 1) Magnitude (besaran perstiwa); 2) Aktualitas (kekinian berita); 3) signifikansi (seberapa penting peristiwa); 4) Proksimitas (kedekatan geografis dan emosional); 5) Kejadian pertama kali; 6) Tokoh atau nama besar; 7) Dramatis dan human interest; 8) Unik; 9) Eksklusivitas; 10) Tren baru. Perbedaan tulisan opini dan ilmiah dapat ditinjau dari kriteria tulisan yang bersifat aktual, ringkas, berdasarkan data, dan mengandung informasi terbaru. Berbeda dengan tulisan riset yang panjang dan banyak menampilkan data-data lapangan. Untuk membuat tulisan riset lebih populer maka, penulis dapat meringkas tulisan tersebut menjadi 5000-7000 karakter saja. Jumlah karakter yang sedikit tidak akan membuat pembaca merasa bosan dan lebih mudah mencerna informasi yang disampaikan. Dalam sebuah tulisan opini terdapat angle, yang merupakan sudut pandang yang dimiliki penulis. Pemilihan angle ini dapat digunakan juga untuk memotret informasi menarik dalam hasil riset. Penulis dapat memilih salah satu temuan hasil penelitian yang menarik dan sesuai dengan isu yang hangat saat ini. Setelah penentuan angle, judul menjadi poin yang penting. Judul merupakan kesan pertama dari sebuah tulisan dan merupakan inti tulisan. Dalam tulisan opini judul dibuat lebih menarik, komunikatif, mudah dipahami dan menggugah rasa penasaran pembaca. Konversi judul laporan penelitian juga harus dilakukan untuk menarik minat pembaca. Terdapat beberapa teknis yang dapat dijadikan referensi untuk membuat judul, yaitu ungkapan tren yang sudah umum di masyarakat, permainan kata, ungkapan rasa, nama tempat dan bisa juga kalimat yang memprovokasi.
Laporan riset tidak mengenal lead (paragraf pembuka tulisan). Lead dalam penulisan opini seperti sebuah intro lagu, lead ini akan menggiring pembaca masuk dalam inti tulisan. Lead juga harus menarik, sama posisinya ketika membuat judul. Biasanya lead berupa ringkasan isi tulisan, lead deskriptif berupa penggambaran suasana yang menguras perasaan, lead kutipan dari tulisan/ pernyataan orang terkenal atau orang berpengaruh, lead pertanyaan, lead nyentrik seperti kutipan puisi, lagu atau kata pendek dan yang terakhir adalah lead gabungan. Untuk mempermudah menulis hasil riset dalam tulisan populer, maka penulis dapat membuat outline. Kerangka tulisan (outline) akan menjadi panduan/ perencanaan pokok-pokok pikiran yang akan dituliskan. Tujuan dibuatnya outline supaya tulisan mengalir lancar, fokus, dan tidak melenceng dari angle yang telah dipilih. Selain itu, outline juga dapat digunakan untuk mencari sumber informasi yang mendukung dengan argumen tulisan. Celah ini dapat ditutup menggunakan hasil riset yang ada. Strukur penulisan riset yang berbentuk piramida terbalik, tidak berlaku dalam penulisan opini. Penulis opini menggunakan pola jam pasir, dengan struktur tulisan: 1) Lead; 2) Penjelasan kalimat pemancing yang memuat pokok pikiran terpenting yang ingin disampaikan; 3) Konteks tulisan; 4) Deskripsi permasalahan; 5) Eksplorasi data dan argumen; dan 6) Penutup. Bagian penutup, menitikberatkan kepada pemberian kesan yang mendalam pada pembaca. Topik penutup tulisan juga harus mengait ke awal tulisan (lead/intro). Pengaitan topik ini untuk membungkus inti informasi dan memberikan kesimpulan yang padat bagi pembaca.
Fraud Control, Mencegah Korupsi Sejak Dini Transparansi merupakan salah satu prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan sudah lama digaungkan. Prinsip tersebut berlaku bagi organisasi sektor publik dan privat, tak kecuali juga untuk organisasiorganisasi masyarakat sipil (OMS). Seperti yang tertulis dalam Pasal 21 Point E UU No.17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, setiap organisasi kemasyarakatan berkewajiban melakukan pengelolaan keuangan secara transparan dan akuntabel. Hasil dari pengelolaan keuangan tersebut adalah tersedianya laporan keuangan yang valid atau tidak memiliki catatan kecurangan (fraud). Merespon mandatori tersebut, maka diselenggarakan training fraud sebagai upaya untuk melembagakan
21
Laporan Kegiatan
prinsip-prinisp tata kelola yang baik dalam internal organisasi, serta menyajikan kepada publik pelaporan keuangan yang transparan dan akuntabel. Training ini diselenggarakan tanggal 5 Juni 2015, dengan narasumber Sri Indiyastutik (Wakil Direktur YAPPIKA) dan Riena Luciana (Manajer Keuangan YAPPIKA) di Hotel Royal Kuningan. Selama satu hari tersebut, narasumber menyampaikan sejumlah isu penting, seperti faktor-faktor penyebab fraud, pengendalian terhadap fraud dan juga saling berbagi pengalaman tindakan yang memicu fraud. Dari kegiatan tersebut kami memahami fraud sebagai tindakan penipuan atau kekeliruan yang dibuat oleh seseorang atau badan yang mengetahui bahwa kekeliruan tersebut dapat mengakibatkan beberapa manfaat tidak baik kepada individu atau entitas atau pihak lain (Association of Certified Fraud Examinners (ACFE) tahun 2002). Fraud juga diartikan sebagai ketidakjujuran dengan mengambil keuntungan seperti melakukan penipuan/kecurangan secara tangible (terlihat) dan intangible (tidak terlihat). Kecurangan yang dapat terlihat adalah tindakan kecurangan yang dapat dibuktikan oleh temuan auditor. Sedangkan kecurangan yang tidak terlihat adalah seperti penggunaan peralatan kantor untuk kebutuhan pribadi yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. Kegiatan pelatihan ini juga memberikan informasi dasar perihal bentuk-bentuk tindakan fraud, yakni: Pertama, Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud), berbentuk kecurangan laporan keuangan yang dikategorikan sebagai kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dalam bentuk salah saji material yang merugikan investor dan kreditor. Kecurangan ini dapat bersifat financial atau kecurangan non financial. Kedua, Penyalahgunaan aset (Asset Misappropriation), berbentuk penyalahgunaan aset yang dapat digolongkan ke dalam ‘Kecurangan Kas’ dan ‘Kecurangan atas Persediaan dan Aset Lainnya’, serta pengeluaranpengeluaran biaya secara curang (Fraudulent disbursement). Dan ketiga, Korupsi (Corruption) sebagai tindakan kecurangan yang terbagi ke dalam pertentangan kepentingan (conflict of interest), suap (bribery), pemberian tidak sah (illegal gratuity), dan pemerasan (economic extortion). Sebagai pembelajaran bagi KPPOD, kegiatan ini memberikan pemahaman perihal upaya prevensi ke depan. Upaya tersebut dinilai erat kaitannya dengan penyebab terjadinya Fraud, yakni: motivasi, pembenaran dan kesempatan lantaran lemahnya
22
sistem pengawasan yang diterapkan. Untuk itu, dalam kerangka mencegah terjadinya fraud, upaya tindak lanjut yang patut diperhatikan ke depan adalah: a) Pengendalian suasana kerja, yang berkaitan dengan etika, misalnya membuat core behaviour organisasi yang harus dijunjung oleh setiap staf; b) Peningkatan kesejahteraan; c) Pembagian wewenang dan tanggung jawab yang jelas dalam manajemen keuangan; d) Penyadaran mengenai fraud melalui training atau briefing khusus kepada seluruh personil organisasi (terutama keuangan dan program); e) Pengawasan internal yang ketat untuk meminimalkan tindakan fraud: pelaporan tepat waktu, pemeriksaan berkala terhadap petty cash dan input data keuangan. Pada sisi lain, kegiatan pelatihan juga memberikan tips untuk menanganai kerusakan yang terjadi jika fraud sudah terjadi. Langkah yang perlu dilakukan adalah memperhatikan konflik kepentingan, mengidentifikasi dimana letak fraud dilakukan, dalam tataran internal organisasi atau mitra, melakukan review seluruh kebijakan terkait dengan fraud dan mengumpulkan semua bukti. Untuk memperlancar proses investigasi terkait fraud, sebaiknya personil yang bersangkutan dibebastugaskan sementara, menutup akses komunikasi dan data, pemulihan nama baik jika memang terbukti bersalah melakukan fraud sebaiknya ditentukan sanksi sesuai dengan tingkatannya. Selain itu, audit internal juga perlu melakukan upaya penanganan atas masalah yang ada maupun mencegah potensi terjadinya fraud. Langkah-langkah yang dapat dilakukan auditor dalam mendeteksi fraud, antara lain, melalui komunikasi yang efektif dengan seluruh staf organisasi untuk mengingatkan tindakan-tindakan yang mendekati kecurangan. Auditor menerapkan unsur unpredictability (tidak dapat ditebak) dalam prosedur auditnya, misalnya mengacak sifat, jadwal dan sampel pengujiannya. Auditor perlu mengasah sensitivitasnya terhadap transaksikeuangan yang mencurigakan dan tidak valid. Dalam menjalankan jasa profesionalnya, auditor perlu menerapkan praktik-praktik manajemen risiko secara lebih baik. Akhirnya, untuk memperkecil kemungkinan fraud perlu membuat kebijakan organisasi terkait dengan keuangan. Standar Operasional Prosedur keuangan menjadi kebijakan digunakan sebagai panduan dalam mempertanggungjawabkan dana organisasi. Dan terakhir, setiap organisasi harus melakukan audit keuangan oleh auditor eksternal baik untuk program dan kelembagaan.
Seputar Otonomi
Otonomi Daerah April-Juni 2015
K
ejadian dan isu otonomi daerah sepanjang April hingga Juni 2015 sesungguhnya adalah lanjutan dari peristiwa bulan-bulan sebelumnya, dan pada gilirannya bersambung pula dengan rangkaian peristiwa beberapa bulan ke depan. Beberapa tema menonjol dalam kurun tiga bulan tersebut masih sama dengan yang diulas sebelumnya dan akan menjadi tema pokok hingga akhir tahun bahkan awal tahun depan terutama dua kejadian dan isu ini: pilkada serentak dan realisasi Dana Desa.
Pilkada: Tak Putus Dirundung “Gangguan” Meski amanat UU No.8 Tahun 2015 dan penjadwalan di KPU sudah jelas bahwa pilkada serentak putaran pertama diselenggarakan Desember 2015, berbagai kejadian dan isu silih berganti datang untuk mengganggu konsentrasi dalam persiapan menuju perhelatan besar tersebut. Dari senayan, isu politik yang ditengarai mengganggu dan bahkan potensial melumpuhkan KPU adalah gugatan sebagian anggota DPR terkait hasil audit BPK yang menemukan persoalan dalam pengelolaan dana pemilu 2014 lalu. Dengaan ragam modusnya, hasil audit tersebut menemukaan sekitar 334 Miliar dana pemilu yang dikategorikan “bermasalah” atau sebagai bentuk “penyelewengan”.
Robert Endi Jaweng Direktur Eksekutif KPPOD
Terlepas dari kebenaran temuan tersebut, publik menolak hasil tersebut dikaitkan dan apalagi dijadikan dasar bagi penundaan pilkada. Manuver politik sejumlah partai, terutama Golkar, terus gencar termasuk dengan mengeskploitasi isu-isu demikian. Muaranya jelas: menunda pelaksanaan pilkada yang memakan biaya sebesar 7 triliun tersebut agar cukup waktu bagi mereka melakukan konsolidasi diri yang saat ini sedang diterpa krisis internal berkepanjangan yang membuat partai warisan Orba ini terancam tak ikut pilkada. Isu panas lain terkait pengaturan soal dinasti politik. Pengaturan norma tersebut dalam UU No.8 Tahun 2015 tidak otomatis membuat polemik berkurang. Malah dalam dua bulan terakhir kembali menghangat. Pemicunya adalah mundurnya Kepala Daerah di sejumlah tempat (Kota Pekalongan, Kota Sibolga, Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Kutai Timur) sebelum masa jabatan mereka rampung guna memberi jalan bagi keluarga/kerabatnya untuk maju dalam pilkada Desembeer 2015. Celah
23
Seputar Otonomi
yang digunakan adalah tafsir atas definisi “jeda sementara satu periode” bagi keluarga petahana untuk mencalonkan diri. Belakangan, Nomor 302/ KPU/VI/2015 seolah memperjelas bias tafsir tersebut sehingga Kepala Daerah yang mundur beberapa hari/ minggu/bulan sebelum masa pendaftaran calon (per 26 Juli 2015) pun dianggap sudah bukan lagi petahana saat kerabat/keluarganya mendaftarkan diri. Bola kini ada di tangan Menteri Dalam Negeri (Mendagri). UU No.23 Tahun 2014 mengatur tata cara dan legalitas pengunduran diri seorang Kepala Daerah. Bukti sah seseorang sudah bukan petahana tidak tergantung pada perbuatan hukum berupa pengunduran diri tetapi keputusan Mendagri yang menetapkan sikap atas pengunduruan diri tersebut. Dalam konteks ini, Mendagri memiliki ruang diskresi untuk hanya mengabulkan pengunduran diri setelah masa pendafataran calon kepala diri berlangsung. Hanya dengan cara itu, manipulasi para elite lokal tadi atas maksud UU No.8 Tahun 2015 dan UU No.24 Tahun 2014 dapat dicegah dengan otoritas sah seorang pembuat keputusan (Mendagri). Calon Independen dalam Pilkada Pada sisi lain, pilkada serentak putaran pertama ini juga ditandai munculnya calon perseorangan di sejumlah daerah. Sejauh ini, secara nasional, terdapat 174 pasangan calon yang lolos dalam verifikasi KPU: 8 pasangan di 6 Propinsi, 38 pasangan di 21 Kota dan 208 pasangan di 112 kabupaten. Terdapat sekurangnya 80 pasangan lainnya gagal proses kualifikasi tersebut, dan lebih banyak lagi yang hanya bertahan pada etape awal dan memilih tidak melanjutkan proses. Jalur alternatif ini diharapkan bisa membuka akses setara bagi tiap warga negara yang memenuhi syarat guna menduduki jabatan publik dan kebebasan bagi rakyat untuk memilih secara otonom calon mereka sejak tahap pencalonan. Jumlah tersebut memang terbilang kecil jika dibandingkan dengan pilkada sebelumnya. Beratnya persyaratan untuk menjadi calon perseorangan dalam UU No.8 Tahun 2015 berdampak pada minimnya jumlah pasangan calon yang menempuh jalur alternatif tersebut dalam Pilkada di 269 daerah tahun 2015 ini. Jumlah syarat minimal dukungan dan sebaran geografis dukungan jauh lebih berat, bahkan di sebagian daerah berpenduduk banyak dipatok persentase yang mencapai 10% dari total penduduk (bukan terhadap jumlah pemilih!). Dari sebaran geografis, jumlah minimal dukungan itu mesti
24
menyebar di sekurangnya 50% kecamatan untuk calon Bupati/Walikota dan 50% kabupaten/kota untuk calon kepala daerah propinsi. Dana di Daerah/Desa Sebagai tindak lanjut Perpres No.36 Tahun 2015, sejak April 2015 dana transfer dalam APBN-P 2015 yang dialokasikan ke daerah dan desa mengalami peningkatan, baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya maupun dengan APBN murni Tahun Anggaran 2015. Peningkatan dimaksud, anatara lain, terjadi pada komponen dana perimbangan, dana otonomi khusus, dana transfer lain, dana desa yang baru berlaku 2015 (perbandingan antara APBN 2015 dengan APBN-P 2015). Dalam hal Dana Perimbangan, misalnya, pada APBN 2015 dialokasikan sebesar 516 Triliun, pada versi perubahan meningkat menjadi Rp 521 Triliun. Sementara Dana Desa bertambah signifikan dari semula Rp 9,1 Triliun menjadi Rp 20,8 Triliun dalam APBN-P 2015. Namun, menjanjikan pada tataran kebijakan, ternyata tidak selalu demikian pada pelaksanaannya. Pada kasus Dana Desa, sepanjang April hingga Juni muncul banyak persoalan yang ujungnya membuat aliran dana tersebut tersendat: hingga saat ini hanya menyentuh sebagian desa, sementara sisa lainnya masih menunggu selesainya persiapan operasional dan regulasi turunan (Peraturan Bupati) sebagai dasar perhitungan bagi alokasi dari Kabupaten ke setiap Desa, sekaligus sebagai pedoman bagi Desa dalam menyiapkan dokumen perencanaan (RKPDes) dan anggaran (RAPBDes). Gerak lamban, pasif bahkan sikap resisten pemda sungguh menjadi faktor negatif signifikan dalam fase persiapan implementasi UU Desa, khusunya pada sisi Dana Desa Tidak heran, di sebagian daerah bahkan hingga hari ini jarang terdengar persiapan Pemda Kabupaten berkenaan alokasi dana desa (ADD), apalagi berlanjut kepada persiapan alokasi dana bagi hasil pajak/retribusi daerah (PDRD) dan Alokasi Dana Desa/ADD dalam APBD. Lebih jauh, dalam persiapan operasional, pemda juga tak tampak serius mensosialisasi (transfer pengetahuan) soal kebijakan baru tersebut, apalagi memfasilitasi program penguatan kapasitas aparat desa dalam kerangka tata kelola pemerintahan modern (anggaran, administrasi, dll), padahal desa (apalagi desa adat) sebagai street level bureaucracy yang selama ini memang kurang familiar.
Agenda KPPOD
Kegiatan KPPOD Terkini
1. Lokalatih “Menulis Opini di Media Massa” Pada tanggal 6 April 2015 KPPOD menyelenggarakan kegiatan workshop dengan topik penulisan opini. Acara ini diselenggarakan di Royal Kuningan Hotel, Jakarta. KPPOD sebagai lembaga riset yang menghasilkan tulisan dan laporan penelitian ilmiah. Beberapa dokumen hasil riset dituliskan menggunakan bahasa akademis dan juga dikirimkan kepada sasaran pembaca yang sudah terpilih. Untuk lebih membumikan hasil riset yang rumit, maka dibutuhkan metode penulisan yang lebih sederhana namun tidak mengurangi substansi dari tulisan. Workshop ini dukungan dari program Knowledge Sector Initiative (KSI) Indonesia, kegiatan ini juga menjadi sarana untuk mengembangkan kapasitas internal organisasi.
Winantyo IT & Dokumentasi KPPOD
Kegiatan ini didampingi oleh tim desk opini Tempo Institute yang digawangi Bapak Yos Rizal. Pada pertemuan pertama, pemateri memaparkan tentang tipetipe opini yang dimuat dalam media cetak, fungsi opini, modal yang dibutuhkan untuk menulis, kriteria opini yang layak muat, nilai-nilai berita, kiat menulis opini dan pemaparan tentang ide, gagasan dan lead. Pertemuan kedua, pemateri meminta peserta untuk membuat sebuah tulisan opini yang nanti akan direview bersama pemateri.
2. Workshop mengenai “Child Protection” Isu yang sedang hangat tidak terlupakan oleh KPPOD, kegiatan Workshop dengan topik child protection di adakan oleh KPPOD di Royal Kuningan Hotel Jakarta pada tanggal 20 April 2015. Kegiatan ini dipandu oleh Bapak Amrullah, pegiat perlindungan hak anak dari Plan International. Diskusi ini dilaksanakan dalam rangka memahami dan
25
Agenda KPPOD
mengetahui lebih dalam tentang hak anak dan juga hak perempuan sebagai bagian yang tak terpisah. Diskusi ini membahas tentang hak-hak anak dan perempuan, memberikan informasi sejauh mana dapat melibatkan anak-anak dalam pelaksanaan riset dan juga sebagai informan riset serta dapat merespon isu tersebut dalam management internal organisasi. Pesan yang disampaikan begitu penting untuk kita khususnya bagi orang tua/dewasa untuk mulai melindungi anak dari kekerasan dan mendidik anak-anak dari perlakuan yang tidak baik agar tidak menjadi trauma di masa dewasa nanti. Sehingga anak akan mempunyai pemikiran yang sehat, positif dan tidak tertekan oleh lingkungan sosialnya. Salah satu alasan melindungi anak adalah untuk melindungi generasi penerus bangsa di masa depan.
3. Workshop mengenai “Fraud Control” Untuk meningkatkan kapasitas personil KPPOD dalam hal bentuk-bentuk kecurangan keuangan, KPPOD melaksanakan kegiatan pelatihan “Fraud”. Acara ini di selenggarakan pada tanggal 5 Juni 2015 di Royal Kuningan Hotel, Jakarta. KPPOD menyelenggarakan training fraud ini sebagai
26
upaya untuk meningkatkan pengetahuan staff KPPOD dalam menyajikan pelaporan keuangan yang transparan dan akuntabel kepada publik dan lembaga donor. Training ini memberikan gambaran kepada seluruh staff KPPOD tentang bentukbentuk kecurangan beserta klasifikasi kecurangan, memberikan gambaran audit investigatif guna mengungkap kecurangan, mengidentifikasi temuan kedalam aspek hukum serta tindak lanjut dalam temuan tersebut, dan mendapatkan pemahaman tentang tindak pidana korupsi sebagai sarana proteksi yang mengacu kepada undang-undang.
4. Kick off dan Penelitian “Produk Unggulan di Daerah” KPPOD bekerja sama dengan Ford Foundation melakukan kegiatan Kick of Meeting di tiga daerah, yakni Kabupaten Donggala (Prov. Sulawesi Tengah), Kabupaten Sikka (Prov. NTT) dan Kabupaten Ende (Prov. NTT). Kegiatan ini merupakan rangkaian program pengembangan produk unggulan sebagai basis ekonomi lokal Kakao di tiga daerah tersebut. Kegiatan Kick of Meeting di Donggala di selenggarakan pada bulan Mei 2015 dan di Sikka maupun Ende diadakan pada awal Juni 2015. Output dari kegiatan ini diharapkan terbangunnya komitmen kerjasama yang baik antara Pemda dengan KPPOD yang akan mendampingi Pemda dalam mengembangkan potensi produk unggulan daerah. Sebagai tindak lanjutnya KPPOD kemudian memulai rangkaian pelaksanaan proyek dengan terlebih dahulu melakukan penelitian lapangan yang diadakan di Kab. Ende dan Kab. Donggala secara bersamaan pada akhir Juni hingga Awal juli 2015.
27
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Regional Autonomy Watch Gd. Permata Kuningan Lt. 10 Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C Guntur, Setiabudi, Jakarta Selatan, 12980 Telp: (+62 21) 8378 0642/53, Fax: (+62 21) 8378 0643 hĴp://www.kppod.org, hĴp://perda.kppod.org, hĴp://pustaka.kppod.org