Membangun Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah di Wilayah Metropolitan di Indonesia (Tantangan Pengembangan Wilayah Dalam Konteks Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah)
Tommy Firman Pendahuluan: Reformasi di Indonesia yang digulirkan pada akhir tahun 1990an pada dasarnya bertujuan untuk mendorong proses demokratisasi dan meningkatan pelayanan kepada publik dan kesejahteraan masyarakat, terutama bagi penduduk yang masih berpendapatan rendah; menjadikan pemerintahan semakin dekat dengan masyarakat; menguatkan peran pemerintah daerah, dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD), dan masyarakat lokal; serta menjadikan penggunaan dana publik menjadi lebih transparan dan efektif serta efisien dalam upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik. Satu dasawarsa pelaksanaan reformasi telah membawa perubahan yang luar biasa dalam berbagai kehidupan sosial-ekonomi dan politik di Indonesia, termasuk terbitnya undangundang tentang Pemerintahan Daerah (UU 22/1999) dan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU 25/1999) yang kemudian diamandemen menjadi masing-masing UU 32/2004 (selanjutnya diamandemen lagi menjadi UU 12/2008) dan UU 33/2004. Kedua Undang-Undang ini merupakan pilar bagi Desentralisasi dan Otonomi Daerah, serta penataan kembali Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang dipandang lebih adil dan aspiratif. Desentralisasi di Indonesia seringkali dipandang sebagai suatu desentralisasi yang sangat ambisius, dan dilaksanakan dengan serentak (big-bang), yang pada saat ini melibatkan lebih dari 500 pemerintah kota, kabupaten dan provinsi, lebih dari 235 juta penduduk dengan berbagai ragam kultur serta etnis dan kondisi sosial-ekonomi yang sangat berbeda, serta dalam lingkungan geografis yang beragam pula.
Kebijakan Desentralisasi dan Perimbangan Keuangan yang telah berjalan selama lebih dari satu dasawarsa (1999-2011) juga telah berpengaruh besar pada berbagai aspek pemerintahan dan pembangunan, tidak terkecuali dalam bidang pembangunan wilayah dan kota (urban and regional development). Ini tentu saja sesuatu yang dapat dipandang positif untuk suatu proses pembangunan yang aspiratif, namun hal tersebut dalam perjalanannya sangat berliku-liku dan memunculkan tantangan-tantangan baru, yang semula tidak terantisipasi. 1
Menurut Hidayat (2010) terdapat dua perspektif dalam pemahaman desentralisasi. Pertama, perspektif politik, yang melihat desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan (devolution of power) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, sedangkan yang kedua, yaitu perspektif administrasi, yang memaknai desentralisasi sebagai pendelegasian wewenang dan pengambilan keputusan (decision making) dalam perencanaan dan pengaturan fungsi publik dari pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi ke pemerintah yang tingkatnya lebih rendah, semisal dari pemerintah pusat ke pemerintah provinsi dan kabupaten/kota (hal. 7). Sesungguhnya kedua hal tersebut saling terkait, seperti dua tepi dari mata uang logam yang sama, dimana satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Secara normatif desentralisasi dan otonomi daerah diharapkan dapat mendorong pemerintah lokal (kota, kabupaten dan provinsi) untuk dapat lebih tanggap (responsif) kepada kebutuhan publik, samasekali tidak dimaksudkan untuk melemahkan peran pemerintah pusat. Desentralisasi juga dimaksudkan untuk mengurangi secara signifikan ketergantungan pemerintah lokal kepada pemerintah pusat; meningkatkan akuntabilitas; mendorong perubahan institusional; serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat (Grindle, 2007). Sementara itu menurut Hidayat (2010) kepentingan pemerintah pusat dalam hal desentralisasi adalah sebagai ajang pelatihan kepemimpinan politik dan upaya penciptaan stabilitas politik, sementara bagi pemerintah daerah desentralisasi bermakna untuk ‘kesetaraan’ politik, akuntabilitas lokal, dan tanggap lokal (local responsiveness, hal. 8-9). Desentralisasi akan melibatkan transfer kewenangan dan tanggung jawab dalam pembelanjaan publik (public expenditure) dan penerimaan (revenues) dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota. Dengan transfer ini diharapkan pemerintah kabupaten/kota maupun provinsi dapat lebih mengambil prakarsa untuk mendorong pembangunan ekonomi lokal, karena mereka kini memiliki kewenangan (diskresi) yang lebih luas, bila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Itu suatu harapan, tapi dalam kenyataannya proses ini tidaklah berjalan selancar seperti yang diinginkan. Pada tahun 1950 dan 1960 banyak negara sedang berkembang yang baru merdeka mengadopsi perencanaan pembangunan terpusat (sentralistik) dengan tujuan untuk efisiensi penggunaan sumber daya yang sangat terbatas, serta lebih penting lagi untuk mempertahankan kesatuan nasional. Hal ini sangat disarankan oleh teori modernisasi yang sangat dominan pada waktu itu, yang sangat yakin akan terjadinya ‘spread effects’ (lihat Cheema dan Rondinelli, 1983). Namun demikian dalam kenyataannya teori tersebut tidak berjalan seperti yang dijanjikan, bahkan telah menjadikan disparitas antar wilayah dan disparitas masyarakat kaya dengan miskin semakin melebar. Semenjak tahun 1970an mulai dirasakan semakin sulitnya mengelola program pembangunan dengan efektif dan efisien melalui perencanaan sentralistik pada suatu negara yang secara sosial-ekonomi, kultur, geografis dan politik yang sangat 2
heterogen. Untuk itulah kini banyak negara berkembang yang telah merubah orientasi politik pembangunannya dari sentralistik menjadi desentralistik, yang akhir-akhir ini lebih didorong lagi oleh tren demokratisasi dan juga urbanisasi secara global (Freire dan Stren, 2001; Freire, 2007). Diyakini bahwa desentralisasi dan otonomi daerah akan dapat mendorong pembangunan lokal, walaupun dalam kenyataannya sering terjadi bahwa keputusan-keputusan yang terkait dengan desentralisasi dibuat dengan pertimbangan jangka pendek, alih-alih berdasarkan tujuan-tujuan jangka panjang (Shah dan Thompson, 2004). Patut juga digarisbawahi bahwa desentralisasi bukanlah obat mujarab (panacea) bagi semua permasalahan pembangunan daerah dan nasional, bahkan sesungguhnya berisiko dapat menciptakan instablitas ekonomi dan kesatuan nasional, bila tidak dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian. Menurut Azis (2003) risiko terbesar dalam pelaksanaan desentralisasi adalah kerentanan pemerintahan lokal untuk dimanfatkan oleh elit lokal untuk tujuan politis mereka sendiri (local capture, lihat juga Hadiz, 2004 dan 2010). Demikian juga dalam implementasinya seperti dikemukakan oleh Seymour dan Turner (2002) bahwa desentralisasi di negara berkembang pada dewasa ini tidak selalu mendorong kemajuan (development) ataupun demokratisasi. Namun demikian, diyakini bahwa desentralisasi mempunyai potensi untuk meningkatkan kemampuan kelembagan pemerintahan pada skala lokal terkait dengan koordinasi, penegakan hukum dan resolusi konflik bila direncanakan dan dilaksanakan dengan baik (Shah dan Hutter, 1998; Grindle, 2007). Orasi ilmiah ini akan membahas tantangan-tantangan utama dalam pengembangan wilayah (regional development) dalam konteks desentralisasi dan otonomi daerah yang dikemukakan diatas. Disadari bahwa pembahasannya sangat luas, namun demikian penulis hanya akan membatasi pada masalah (issues) yang mendasar saja, khususnya mengenai dimensi kerjasama antar daerah, yang juga lebih difokuskan pada wilayah metropolitan, yakni suatu wilayah perkotaan yang relatif luas dan terjadi interaksi yang sangat intensif antara kota induknya dengan kota-kota disekitarnya. Tujuannya adalah untuk mencari kemungkinan bentuk-bentuk kerjasama yang paling tepat untuk Metropolitan Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-TangerangBekasi) dan Kartamantul (Yogyakarta-Sleman-Bantul). Kerjasama antar daerah di wilayah metropolitan merupakan suatu issue yang sangat relevan dengan pengembangan wilayah dan kota pada era desentraliasasi dan otonomi daerah dewasa ini. Difahami bahwa suatu orasi ilmiah sangat berbeda dengan laporan hasil riset yang dipublikasikan, yang tentunya sarat dengan analisis data baik kuantitatif maupun kualitatif. Suatu orasi ilmiah pada dasarnya lebih bersifat kontemplatif dan reflektif, hasil perenungan dari berbagai kegiatan Tridharma dalam bidang keilmuan yang ditekuni oleh pelakunya. Setelah bagian pendahuluan, naskah orasi ini akan dibagi menjadi tiga bagian utama: Bagian pertama yang akan membahas orientasi serta masalah (issue) pembangunan daerah 3
(kota/kabupaten dan provinsi). Selanjutnya bagian kedua akan difokuskan pada makna kerjasama pembangunan antar pemerintah daerah di wilayah metropolitan; dan Bagian ketiga yang merupakan kesimpulan. Kondisi dan Orientasi Kabupaten dan Kota Dalam Konteks Desentralisasi: Seperti telah dikemukakan diatas bahwa kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah serta kebijakan perimbangan keuangan pusat-daerah pada dewasa ini sebenarnya secara teoritis memberikan peluang yang sangat besar bagi daerah, khususnya kota dan kabupaten, untuk berkembang dengan lebih cepat dan untuk meningkatkan pelayanan kepada publik, karena kini daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam menentukan arah dan merencanakan pembangunannya sesuai dengan aspirasi dan masalahnya secara lebih spesifik. Hal ini sesuatu yang tidak mungkin dilakukan pada masa orde baru dimana hampir seluruh kebijakan pembangunan daerah bersifat top-down (sentralistik), sementara peran pemerintah daerah hanya merupakan pelaksana kebijakan-kebijakan pemerintah pusat semata. Demikian juga anggaran rutin dan pembangunan mengalami perubahan yang mendasar. Kini pemerintah kota/kabupaten dan provinsi berhak memperoleh DAU (Dana Alokasi Umum), DBH (Dana Bagi Hasil), serta DAK (Dana Alokasi Khusus), serta tentu saja PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang besarnya sangat bervariasi. Memang betul bahwa desentralisasi fiskal yang dianut di Indonesia pada saat ini adalah desentralisasi dalam expenditure (pembelanjaan), bukan desentralisasi dalam revenue (pendapatan), karena dengan berbagai pertimbangan revenue masih menjadi domain pemerintah pusat. Kendatipun demikian, pola yang sekarang secara teoritis memungkinkan pembiayaan dapat dalokasikan sesuai dengan program yang direncanakan dan kebutuhan lokal. Banyak keluhan dari berbagai pemerintah kota/kabupaten bahwa DAU itu sebenarnya hanya cukup, bahkan kurang, untuk kebutuhan rutin saja, yang kini bebannya semakin menjadi tanggungan pemerintah kota/kabupaten. Tidak mengherankan pula bahwa sebagian besar pemerintah daerah berupaya meningkatkan PADnya dengan berbagai pajak daerah dan retribusi daerah yang sebenarnya berpotensi menjadi kontraproduktif dengan upaya memacu pertumbuhan ekonomi, karena hal ini pada gilirannya berpotensi menciptakan ekonomi biaya tinggi (high-cost economy) (lihat Lewis, 2003; Brodjonegoro, 2006; Hill, 2008 dan Eckardt, 2008). Kabupaten/Kota yang memiliki potensi sumberdaya alam yang luas, seperti minyak bumi, pertambangan, hutan, perikanan dan lainnya serta potensi sektor properti yang umumnya dimiliki oleh kota-kota besar, seperti DKI Jakarta, tentu saja seperti mendapat durian runtuh, karena mereka mendapat bagian yang signifikan dari hasil sumberdaya tersebut. Selama satu dasawarsa ini telah terjadi kecenderungan pergeseran dalam ketimpangan wilayah (regional disparities) dari Jawa dengan Luar jawa; Kota dengan Desa; Jakarta dengan Daerah lainnya
4
semasa orde baru, menjadi antara daerah yang kaya sumberdaya alam dengan daerah defisit sumberdaya (lihat Firman, 2003; Silver, 2003; Brodjonegoro, 2006). Akankah kebijakan perimbangan keuangan pusat-daerah ini akan meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat di kabupaten/kota, terutama mereka dengan DBH yang besar? Teoritis ya, tapi dalam kenyataannya belum tentu, dan ini tidak merupakan jaminan. Banyak daerah yang mampu medorong peningkatan pelayanan kepada publik dan kesejahteraan masyarakat miskin, yang sesungguhnya ternyata tidak selalu bergantung pada dana yang besar, sementara sebagian lagi belum dapat melakukan hal tersebut bahkan tidak banyak beranjak dari kondisi pra-desentralisasi. Sesungguhnya yang sangat menonjol pada ‘keberhasilan’ beberapa kabupaten/kota tersebut adalah peran kepeloporan dan kepemimpinan (leadership), serta pola pikir (mindset) maupun pola tindak para Bupati dan Walikotanya. Fenomena lain yang terjadi dengan berbagai kabupaten/kota dan juga provinsi adalah ‘egosentrism daerah’. Dengan kewenangan yang lebih luas yang dimiliki daerah, banyak kabupaten/kota cenderung hanya mementingkan dirinya sendiri, sebagai suatu otoritas penuh seperti sebuah ‘Kerajaan Kecil’, dan mengabaikan kepentingan kabupaten/kota tetangganya, padahal sebenarnya mereka saling bergantung antara satu dengan lainnya. Dengan kata lain ada kecenderungan banyak berbagai kabupaten/kota menjadi sangat ‘inward looking’, bahkan lebih jauh lagi banyak terjadi ‘perselisihan’ atau konflik diantara mereka yang biasanya terkait dengan sumberdaya dan batas-batas wilayah administratif (lihat juga Keban, n.d.). Tentu saja pada gilirannya, ‘perselisihan’ ini potensial berdampak pada kerugian-kerugian bagi mereka sendiri, karena tidak dapat bersinergi untuk menanggulangi masalah bersama. Contoh yang paling umum pada wilayah metropolitan adalah dalam masalah lokasi TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah di kota-kota besar, seperti yang pernah terjadi di Jakarta, Bandung, dan akhir-akhir ini di Kota Tangerang Selatan. Kota-kota tersebut jelas tidak memiliki TPA didalam kota karena membutuhkan area yang cukup luas, sehingga lokasinya harus berada di Kabupaten tetangganya. Bila terjadi ‘perselisihan’ antara keduanya, maka hal tersebut akan menjadi masalah terutama bagi kota, karena sampah tidak dapat diangkut. Masalah lain yang pernah mencuat adalah masalah sumber bahan baku air bagi PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) bagi kota, sementara lokasi sumber tersebut berada di kabupaten yang menjadi daerah tetangganya. Era Desentraliasi dewasa ini juga diwarnai dengan kebijakan Pemekaran Daerah, dimana suatu kota atau kabupaten dapat dibagi menjadi dua atau lebih daerah otonom, seperti yang diatur dalam PP 129/2000 yang kemudian disempurnakan dalam PP 78/2007. Tujuan dasarnya adalah untuk membangun pemerintah daerah yang efektif dan mendekatkan politisi kepada konstituennya, serta meningkatkan pelayanan kepada publik. Sebenarnya pemekaran daerah secara potensial dapat membawa dampak positif bagi pengembangan wilayah, antara lain 5
mempercepat perkembangan ekonomi kabupaten/kota yang baru dibentuk, meningkatkan kontrol dan pengawasan (surveilance) daerah yang jauh (remote), mengindari konflik horizontal, dan mengefektifkan rentang kendali (span of control) pemerintah kabupaten/kota (lihat Pratikno, 2008, hal. 4-8). Kebijakan pemekaran daerah sebenarnya sudah dimulai pada masa orde baru bahkan sebelum itu, akan tetapi yang terjadi saat ini pemekaran daerah berjalan dengan sangat cepat, cenderung tidak terkontrol dan merupakan inisiatif lokal (lihat Catatan 1). Selama periode 1999-2008 sejumlah 191 daerah otonomi telah dibentuk, terdiri dari 7 provinsi, 153 kabupaten, dan 31 kota. Secara keseluruhan jumlah daerah otonom (kabupaten/kota dan provinsi) meningkat dari 324 pada tahun 1999 menjadi 477 pada tahun 2008, dan telah mencapai lebih dari 500 pada tahun 2009 (Firman, 2009). Tujuan pemekaran daerah pada hakekatnya sejalan dengan maksud pengembangan wilayah, namun dalam kenyataannya pemekaran daerah cenderung digunakan untuk tujuan politis dan keuntungan finansial oleh berbagai pihak atas nama ‘aspirasi lokal’. Kebijakan pemekaran daerah telah semakin mendorong fragmentasi dan egosentrism kedaerahan, yang tentu saja pada gilirannya sangat berpotensi menjadi kontra produktif dengan tujuan pengembangan wilayah itu sendiri. Banyak sekali bukti-bukti anekdotal mengenai perselisihan antara kabupaten induk dengan kabupaten/kota hasil pemekaran, terutama yang terjadi di luar Jawa, terkait dengan sumber daya alam, batas wilayah, dan fasilitas publik (lihat Catatan 2). Pemekaran daerah telah berimplikasi pada kebutuhan kelembagaan pada kabupaten/kota hasil pemekaran, termasuk bupati/walikota, DPRD, dinas-dinas dan kelembagaan lainnya, yang tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit, yang harus disediakan dalam APBN. Menurut Mardiasmo (2008 dan 2009) biaya yang dibutuhkan untuk pengembangan kelembagaan kabupaten/kota hasil pemekaran mencapai rata-rata Rp. 7 milyar rupiah per daerah. Disamping itu tiap daerah otonom baru berhak untuk mendapat DAU (Dana Alokasi Umum) dan sumbersumber lain seperti yang diatur dalam UU 33/2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sebagai ilustrasi dapat dicatat bahwa pemerintah pusat pada tahun 2003 telah mengalokasikan dana Rp. 1,3 trilyun untuk DAU untuk 22 kabupaten/kota otonomi baru hasil pemekaran, sementara jumlah ini meningkat menjadi Rp. 2,6 trilyun untuk DAU 40 kabupaten/kota baru pada tahun 2004 (LPEM – Universitas Indonesia dalam Firman, 2009). Dapat dicatat pula bahwa jumlah rata-rata DAU yang diterima oleh pemerintah kabupaten/kota seluruh Indonesia meningkat dengan tajam dari Rp. 161,6 milyar pada tahun 2001 menjadi Rp. 358, 2 milyar pada tahun 2008 (Departemen Keuangan, dalam Mardiasmo, 2008). Peraturan Pemerintah (PP) no. 78/2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah mengatur transfer aset dari kabupaten/kota induk ke kabupaten/kota hasil pemekaran, serta mengenai batas yurisdiksi (Pasal 33-35), namun dalam kenyataannya praktek pemekaran daerah sangat diwarnai oleh perselisihan dan konflik antara 6
kabupaten/kota induk dengan kabupaten/kota hasil pemekaran, khususnya mengenai sumberdaya, aset dan tapal batas antara keduanya. Yang menarik perhatian adalah bahwa PP ini sebenarnya mengatur bukan saja pemekaran, namun juga penggabungan (merger) beberapa daerah otonom, akan tetapi hal ini tidak pernah terjadi, kemungkinan besar karena tidak adanya pendorong (insentif) bagi penggabungan (merger) daerah. Kondisi pemekaran daerah di Indonesia pada dewasa ini memiliki kemiripan dengan pemekaran daerah yang terjadi di Nigeria pada dasawarsa 1980 dan 1990, walaupun konteksnya berbeda. Pada saat ini jumlah pemerintah daerah di Nigeria meningkat hampir dua kali, dari 301 menjadi 589 (Fitriani, dkk, hal. 58). Pembentukan pemerintah daerah baru di negara tersebut mendorong konflik fisik antar etnis dan kelompok-kelompok masyarakat, karena prosesnya tidak transparan, sementara penguasa militer melakukan campur tangan dalam proses ini (Nwanko, 1984; Uwiko, 2006). Sementara itu pemekaran daerah (territorial reform) di Albania telah menimbulkan fragmentasi pemerintah daerah, yang pada gilirannya telah memperlemah kapasitas pemerintah daerah dan justru semakin memperburuk akses masyarakat kepada pelayanan untuk publik (Ferazzi, 2007). Sejauh mana kabupaten/kota dapat memanfaatkan peluang-peluang dari desentralisasi dan otonomi daerah bagi pengembangan wilayah sangat bergantung pada kepeloporan serta kepemimpinan (leadership) dan kapasitas inovasi maupun komitmen para bupati/walikota kabupaten/kota tersebut. Kepemimpinan disini terutama dimaksudkan adanya visi pimpinan daerah akan pengembangan kabupaten/kota tersebut dalam perspektif jangka panjang, bukan sesaat saja pada waktu mereka dalam kekuasaan, serta kemampuan menjabarkan visi tersebut kedalam program-program pembangunan (misi) secara lebih rinci (lihat Matsui, 2005; Rondinelli dan Heffron, 2009). Sesuatu yang sangat penting juga adalah kemampuannya dalam membawa dan mendorong bawahannya untuk berkomitmen melaksanakan program-program tersebut untuk tercapainya maksud peningkatan kualitas pelayanan kepada publik dan peningkatan kesejahteraan publik, khususnya penanggulangan kemiskinan. Bupati/Walikota dengan kepemimpinan yang visioner juga sebenarnya akan melihat bahwa desentralisasi dan otonomi daerah sangat membuka peluang untuk membangun kerjasama dengan pemerintah kabupaten/kota tetangganya, karena sangat jelas bahwa mereka tidak mungkin membangun kabupaten/kotanya secara efektif dan efisien tanpa melihat konteks wilayah yang lebih luas dan tanpa kerjasama dengan daerah sekitarnya untuk membangun sinergi (lihat juga Stubbs dan Clarke, 1996; Von Luebke, 2008). Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sebenarnya memberikan peluang bagi pemerintah kabupaten/kota untuk berkembang dengan lebih cepat dalam penyediaan pelayanan kepada publik dan kesejahteraan masyarakat, karena mereka dewasa ini telah memiliki otonomi serta diskresi untuk menentukan arah pembangunan 7
sesuai dengan aspirasi daerah. Namun demikian hingga saat ini tujuan tersebut belum tercapai secara merata, ada yang telah mulai menampakan hasil-hasil nyata namun ada juga yang masih belum, bahkan mungkin kondisinya tidak lebih baik dari masa pra-reformasi. Yang jelas dewasa ini terjadi kecenderungan ‘Sub-nation Fragmentation’, dimana banyak kabupaten/kota yang memandang dirinya sebagai ‘Kerajaan Kecil’ dalam eforia reformasi. Sementara itu kebijakan dan praktek pemekaran daerah (regional proliferation) semakin memperkokoh situasi tersebut. Dari perspektif pengembangan wilayah (regional development) hal ini telah menjadikan suatu kondisi Fragmentasi Keruangan (Spatial Fragmentation) yang pada gilirannya akan berpotensi menghambat implementasi rencana pengembangan wilayah, karena suatu wilayah pada dasarnya secara sosial-ekonomi dan geografis merupakan suatu kesatuan. Masalah pembangunan di Jabodetabek (Metropolitan Jakarta) tidak dapat dipecahkan secara sendirisendiri oleh masing-masing pemerintah daerah yang ada di wilayah tersebut, yang terdiri dari tiga provinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten) serta tujuh pemerintah Kabupaten/Kota (Kabupaten Bogor, Tangerang dan Bekasi; Kota Tangerang, Bekasi, Bogor dan Depok). Membangun Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah di Wilayah Metropolitan: Dalam kondisi fragmentasi spasial seperti yang dikemukakan diatas, maka tantangan yang dihadapi untuk tujuan-tujuan pengembangan wilayah adalah bagaimana mengintegrasikan dan merekatkan kembali kabupaten/kota yang ‘terserak’ tersebut, namun tetap dalam konteks reformasi kepemerintahan daerah seperti yang telah digariskan dalam UU 32 dan 33/2004. Disinilah letak pentingnya upaya menumbuhkan dan memperkuat kerjasama antar daerah (selanjutnya lihat Catatan 3). Masalah ini dirasakan lebih menekan, khususnya pada wilayahwillayah metropolitan, seperti Jabodetabek, Gerbangkeratusila, Mebidang (Medan Raya) dan Bandung Raya. Pada dasarnya bentuk kerjasama antar daerah menurut Feiock (2004, 2004a; lihat juga Oakerson, 2004 dan Post, 2004) dapat meliputi persetujuan antar dua atau lebih pemerintah daerah; koalisi antar pemerintah daerah dalam upaya untuk memperoleh bantuan atau hibah dari pemerintah pusat; kerjasama pemerintah dan swasta (Public Private Partnership); dan otoritas metropolitan (metropolitan authority). Dalam kaitan dengan wilayah metropolitan, tantangan yang dihadapi adalah meningkatkan daya saing (competitiveness) secara nasional dan global. Peningkatan daya saing ini juga terkait dengan tuntutan menjadikan wilayah dan kota tersebut ‘layak mukim’ (liveable), dan keharusan adanya suatu kelembagaan (institusi) dan tata kelola (governance) yang dapat mengoptimalkan potensi yang dimilikinya untuk tujuantujuan pembangunan wilayah dan kota secara berkelanjutan (Friedmann, 1999; Bird dan Slack, 2007; Freire, 2007). Terdapat beberapa kemungkian bentuk kerjasama antar daerah dalam suatu metropolitan, seperti yang dikemukan oleh Laquian (2005, 2005a dan 2008): Pertama, unified metropolitan 8
governance, yang merupakan suatu bentuk lembaga metropolitan dengan kewenangan yang luas, dan merupakan suatu konsolidasi kota dan kabupaten (districts) di suatu wilayah metropolitan, seperti Tokyo Metropolitan Authority (lihat juga Vogel, 2005), dan Seoul Metopolitan Authority; kedua, multi-tier confederated metropolitan governance, yang didalamnya terdapat dua atau lebih pembagian otoritas, yaitu otoritas metropolitan yang dipimpin oleh seorang Gubernur dan otoritas kota-kota dan kabupaten (districts), seperti di Greater Vancouver. Dalam hal ini Gubernur Metropolitan bekerja sama dengan Dewan Legislatif dengan keanggotannya berasal dari anggota legislatif kota dan distrik yang ada didalamanya. Contoh yang lain adalah Metro Manila Development Authority (MMDA), Dhaka Capital Development Authority, dan Bangkok Metropolitan Administration (lihat juga Talukder, 2006); ketiga, mixed or voluntary system of metropolitan governance, yaitu model campuran dimana pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah lokal secara bersama memainkan perannya secara spesifik sesuai dengan kewenangannya; keempat, special or single-purpose districts, yang terbatas pada kerjasama antar daerah untuk satu atau hanya beberapa bidang saja (selanjutnya lihat catatan 4). Dalam proses pembentukannya, ada tiga jenis kerjasama antar daerah dalam suatu metropolitan, yaitu: (1) Hierarchical partnership, dimana mobilisasinya digerakan oleh tingkat pemerintah diatasnya; (2) Spontaneous partnership, yang mobilisasinya dilakukan dengan inisiatif pemerintah lokal; (3) Hybrid, yang merupakan kombinasi antara keduanya (Luo dan Shen, 2009). Untuk yang pertama mekansime kerjanya adalah melalui undang-undang dan peraturan pemerintah, sedangkan untuk yang ‘hybrid’ dengan kombinasi antara peraturan dengan kesepakatan antar pemerintah lokal untuk kepentingan bersama (mutual interest). Mekanisme kerjasama untuk spontaneous partnership adalah seluruhnya melalui kesepakatan bersama antar pemerintah lokal yang merasa mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama dalam satu atau berbagai aspek terkait dengan pengembangan wilayah. Bentuk-bentuk kerjasama diatas sebenarnya hanya untuk suatu perbandingan, sebab bentuk kerjasama metropolitan di Indonesia harus dirumuskan secara spesifik, sesuai dengan karakteristik sosial-ekonomi, politik , geografis, perundang-undangan yang berlaku. Seperti juga ditegaskan oleh Clark dkk (2009) bahwa ‘a key challenge to government leaders and planners in Asia [including in Indonesia] is creating new, more appropriate model of urban development outside of the traditional, largely Western model’ (p.vi; lihat juga McGee, 2005). Tidak ada bentuk kerjasama antar daerah yang bersifat ‘one size fits all’. Berdasarkan landasan konsepsional yang dibahas diatas, selanjutnya orasi ini akan difokuskan pada telaah kritis kerjasama antar daerah di Metropolitan Jabodetabek dan Kartamantul, yang relatif telah lebih berkembang (advanced) bila dibandingkan dengan di metropolitan lainnya di Indonesia, dengan tujuan untuk mengidentifikasi masalah dan hambatan serta faktor kunci keberhasilan implementasi dan operasi institusi kerjasama antar daerah ini. 9
1. Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi): Pada saat ini untuk Jabodetabek telah ada BKSP (Badan Kerjasama Pembangunan) Jabotabek (sekarang Jabodetabek, Gambar 1) yang dibentuk oleh Pemerintah DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat pada tahun 1976, yang kemudian diperbaharui lagi dalam peraturan bersama Gubernur DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten serta para Bupati/Walikota se Jabodetabek dan Cianjur pada tahun 2006 sebagai upaya merevitalisasi BKSP (Ruyani, 2011), guna mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pembangunan di wilayah tersebut secara lebih baik. Lembaga ini beranggotakan semua pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang berada di Jabodetabek, dengan jumlah penduduk lebih dari 20 juta jiwa dan kontribusi sekitar 25 persen kepada PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia (lihat misalnya Rustiadi, 2007), dipimpin secara bersama oleh Gubernus DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten, sedangkan pelaksana harian dijabat oleh seorang sekertaris eksekutif yang diangkat oleh pimpinan lembaga ini untuk periode lima tahun secara bergilir. BKSP sebenarnya diharapkan dapat berfungsi sebagai forum komunikasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Jabodetabek, namun demikian lembaga ini sebenarnya tidak memiliki otoritas yang cukup untuk pelaksanaan pembangunan di Jabodetabek, karena kewenangan masih berada pada masing-masing pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Begitu pula BKSP tidak memiliki sumberdaya finansial maupun staf secara independen, karena semuanya masih sangat bergantung pada sumberdaya yang dialokasikan oleh Pemerintah DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. Tidak mengherankan jika peran yang diharapkan dari BKSP Jabodetabek sebenarnya kurang efektif. UU 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai ibukota NKRI mengamanatkan bahwa Pemerintah Provinsi DKI, Jawa Barat dan Banten bersama dengan pemerintah kabupaten/kota yang berada di Jabodetabek dapat melakukan kerjasama atas dasar kesepakatan bersama (Ps. 27). Kerjasama terutama harus difokuskan pada perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang yang dikoordinasikan oleh pemerintah pusat melalui Kementerian terkait. Mengingat sangat luasnya cakupan permasalahan pembangunan di Jabodetabek, maka suatu lembaga metropolitan untuk Jabodetabek harus fokus pada hal-hal yang bersifat lintas yurisdiksi baik antar kabupaten/kota maupun antar provinsi, khususnya dalam sistem transpotasi, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), pengembangan tata ruang wilayah, serta pengelolaan limbah. Demikian pula karena luasnya cakupan tugas ini dan kebutuhan sumber daya finansial yang akan sangat besar untuk pembangunan infrastrukturnya maka peran pemerintah pusat sangat dibutuhkan, bahkan sebenarnya menuntut pula kerjasama dengan sektor swasta (Public-Private Partnership) secara lebih luas. Seperti juga dikatakan oleh Einsiedel (1999) bahwa ‘national capital territory management will need a voice at the highest 10
level of government (hal. 135-136; lihat juga Stubbs dan Clarke, 1996, hal. 93; dan Talukder, 2006, hal. 104). Dalam hal ini institusi Metropolitan Jabodetabek harus mempertimbangkan keberadaan BKSP yang secara politis telah diterima oleh seluruh Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota di Jabodetabek. Dengan demikian yang harus dilakukan adalah ‘Reformasi’ dan ‘Pemberdayaan’ (Empowerment) BKSP, sedangkan bentuk yang paling mendekati dan cocok tampaknya adalah bentuk ‘Campuran’ (mixed) seperti yang dikemukakan diatas. Untuk itu dibutuhkan pula landasan hukum bagi pembaharuan BKSP. ‘Reformasi’ dan ‘Pemberdayaan’ ini seharusnya menjadikan ‘BKSP Baru’ dapat memiliki otoritas perencanaan dan pengembangan jaringan infrastruktur yang bersifat multi yurisdiksi untuk Jabodetabek secara keseluruhan. Sementara, masing-masing pemerintah provinsi, kabupaten dan kota tetap memegang otoritas mereka masing-masing pada tata kelola pemerintahan daerah. Gambar 1:
DKI Jakarta 17.48%Bodetabek Rest of Indonesia 75.37%
7.15%
Luas wilayah DKI J a k a rta: 0 .0 3% lu as In do ne si a Bo d e ta b e k: 0.3 2% l u as In do ne si a J u m l a h Pen du du k DKI J a k a rta: 4 .1 4% ju ml ah pe nd ud uk In do n esi a Bo d e ta b e k: 6.9 3% j u ml ah p en d ud uk In do ne si a Su m b e r: Rusti adi , 2 007
Jabodetabek (Jakarta Dan Sekitarnya)
Sumber: Google
2. Kartamantul (Yogyakarta-Sleman-Bantul): Pemerintah Kota Yogyakarta beserta Kabupaten Sleman dan Bantul (Kartamantul, Gamber 2) mengambil inisiatif untuk secara bersama membentuk suatu sekertariat bersama untuk pembangunan infrastruktur di wilayah ini pada tahun 2001, dengan tujuan untuk mengkoordinasikan, merencanakan dan melaksanakan pembangunan infrastruktur bagi wilayah ini secara keseluruhan, yang bersifat multi yurisdiksi. Ketiga pemerintah kota/kabupaten, dengan jumlah penduduk mendekati 2 juta jiwa, ini menyadari bahwa kerjasama sangat penting agar pembangunan serta pengelolaan infrastruktur dapat berjalan 11
secara optimum, dan harus dilakukan sebagai suatu sistem yang bersifat multi yurisdiksi. Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) juga sangat mendukung kerjasama ini. Gambar 2: Kartamantul (Yogyakarta-Sleman-Bantul)
Sumber: Fariani, 2011 Seketrariat Bersama Kartamantul ini memiliki tiga jenjang pengelolaan. Pertama, Bupati dan Walikota ketiga pemerintah daerah ini pada tingkat tertinggi; Pada tingkat kedua, pengelolaan dilaksanakan bersama oleh pejabat teras kota/kabupaten tersebut, termasuk Sekertaris Daerah, Kepala Bappeda, dan beberapa kepala dinas; Ketiga, pada tingkat yang paling rendah pelaksanaan dilakukan oleh para pejabat teknis. Pada dasarnya ada enam kerjasama yang dikelola oleh sekertariat ini, meliputi pengelolaan limbah padat, limbah cair, air bersih, transportasi umum, jalan, dan sistem drainase, yang tentu saja tidak untuk dilaksanakan sekaligus namun secara bertahap. Hingga saat ini kerjasama tersebut berfokus pada pengelolaan limbah padat dan limbah cair. Bentuk sekertariat bersama ini pada dasarnya merupakan salah satu cara pengelolaan wilayah metropolitan, walaupun terbatas hanya pada beberapa aspek yang dikerjasamakan. Sekertariat Kerjasama Kartamantul dipandang berhasil dalam melakukan pengelolaan ini, bahkan mendapat penghargaan dari Departmen Dalam Negeri dan Bank Dunia pada awal tahun 2000an sebagai salah satu inovasi pembangunan kota di Indonesia. Kunci keberhasilan Sekertariat Bersama kerjasama Metropolitan Kartamantul adalah: pertama, pengambilan 12
keputusan kolektif yang baik; kedua, transparansi dalam proses negosiasi diantara pemerintah kabupaten/kota terkait, walaupun kemungkinan terdapat perbedaan kepentingan; ketiga, kepemimpinan dan visi serta komitmen bersama dari walikota/bupati di wilayah tersebut mengenai perlunya pengembangan infrastruktur dilakukan dalam suatu sistem yang terpadu; keempat, dukungan dari pemerintah Provinsi DIY. Studi Kasus Sekertariat Kartamantul menunjukan bahwa tata kelola (governance) metropolitan tidak harus selalu diinisiasi oleh pemerintah pusat (top-down), namun dapat merupakan inisiasi dari pemerintah kabupaten/kota (bottom-up), yang ternyata dapat berjalan dengan efektif karena tidak terlampau birokratis. Model kerjasama ‘voluntary’ inilah sebenarnya yang menjadi keunikan Sekertariat kerjasama Kartamantul. Apakah sekertariat bersama ini akan berlanjut (sustained) dimasa yang akan datang? Inilah tantangan utamanya. Ada tiga pilihan yang telah dipikirkan untuk pengembangannnya pada masa yang akan datang dimana tuntutan kebutuhan pengembangan wilayahpun akan semakin meningkat, yaitu: (1) sebagai sebuah forum koordinasi dengan fokus pada membantu proses pengambilan keputusan; (2) sebagai institusi pelaksana, dengan kewenangan implementasi, pemantauan dan evaluasi; (3) sebagai asosiasi shareholders. Kombinasi dari ketiga pilihan tersebut juga sangat memungkinkan (lihat juga Sutrisno, 2004).
Kesimpulan: Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang dicanangkan sejak tahun 1999 sebenarnya membuka peluang bagi kabupaten/kota di Indonesia untuk berkembang dengan lebih cepat sesuai dengan kondisi-kondisi lokal maupun aspirasi di daerah, karena kabupaten/kota kini memiliki diskresi untuk melakukan hal tersebut. Beberapa kabupaten/kota memang telah dapat memanfaatkan kebijakan untuk menjadikan daerah mampu memberikan pelayanan kepada publik dengan lebih baik dan meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakatnya. Namun demikian, dalam perjalannya kebijakan ini telah mendorong terjadinya fragmentasi spasial (spatial fragmentation), termasuk pada wilayah metropolitan. Masalah Fragmentasi Wilayah dapat dijawab dengan membangun kerjasama antar daerah, khususnya pada wilayah metropolitan. Sesungguhnya telah ada berbagai kerjasama antar daerah di wilayah metropolitan di Indonesia, yang tentu saja tingkat kemajuannya berbedabeda, ada yang baru sampai pada tahap wacana hingga yang telah mencapai tahap implementasi, sesuai juga dengan lamanya kerjasama ini digulirkan. Dalam bentuknya kerjasama antar daerah di wilayah metropolitan ini ada yang dilakukan secara top-down, diinisiasi oleh pemerintah pusat, seperti pembentukan BKSP Jabodetabek sejak 1976 hingga saat ini, namun sebaliknya ada juga yang sepenuhnya merupakan inisiatif lokal (bottom-up) pemerintah kabupaten/kota terkait secara kolektif secara sukarela (voluntary), seperti pembentukan Sekertariat Bersama Kartamantul (Yogyakarta-Sleman-Bantul). Tujuan 13
pembentukan lembaga kerjasama ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas koordinasi pembangunan yang lintas yurisdiksi, sama sekali tidak dimaksudkan untuk membentuk tingkatan (level) pemerintahan yang baru. BKSP Jabodetabek pada awalnya diharapkan dapat menjadi suatu forum komunikasi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di wilayah tersebut, namun dalam perjalanannya hingga kini dirasakan bahwa institusi ini kurang efektif, karena tidak memiliki otoritas yang jelas untuk melaksanakan tugasnya. Untuk itu dibutuhkan suatu reformasi pada institusi ini, dengan fokus pada masalah pembangunan yang bersifat lintas yurisdiksi. Mengingat fungsi dan peran Jabodetabek yang sangat instrumental secara nasional, dan juga kebutuhan sumberdaya yang sangat besar untuk pembangunannya, maka kebutuhan akan keterlibatan pemerintah pusat dalam tata kelola (governance) Jabodetabek menjadi sangat penting. Keberadaan BKSP yang secara politis sudah diterima oleh seluruh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di wilayah tersebut harus tetap dipertahankan. Bila ada wacana di masyarakat mengenai pengembangan wilayah ‘Greater Jakarta’ (Jakarta Raya), yang lebih luas dari Jabodetabek, meliputi juga Kabupaten Purwakarta, Karawang dan Sukabumi serta Kota Sukabumi adalah sesuatu yang beralasan, karena interkasi harian kabupaten/kota tersebut dengan Kota Jakarta semakin meningkat, bahkan sesungguhnya lebih jauh lagi telah mencapai Kabupaten Serang dan Kota Cilegon di arah barat, karena sangat difasilitasi oleh jalan bebas hambatan (toll road). Wilayah tersebut secara keseluruhan sedang tumbuh menjadi suatu ‘Urban Region’ dengan beberapa koridor perkotaan didalamnya. Namun demikian, sesungguhnya yang sangat penting adalah bagaimana membangun tata kelola (governance) untuk ‘Urban Region’ ini. Pengembangan fisik dapat dilakukan melalui suatu rencana tata ruang secara terpadu, namun tanpa suatu institusi yang memadai, bagaimanapun baiknya rencana tata ruang akan sangat sukar untuk diimplementasikan. Perlu pula dicatat bahwa pengertian ‘The Greater Jakarta’ itu sendiri samasekali tidak identik dengan aneksasi atau perluasan wilayah yurisdiksi DKI Jakarta. Sekertariat Bersama Kartamantul dalam perjalanannya selama satu dasawarsa telah menunjukan efektifitas dalam pengelolaan limbah padat dan limbah cair di wilayah Metropolitan Yogyakarta (Yogyakarta-Sleman-Bantul). Pengalaman ini menunjukan bahwa kerjasama yang diinisiasi dari tingkat lokal ternyata lebih efektif. Sebenarnya tata cara pelaksanaan kerjasama antar daerah telah diatur dalam PP 50/2007. Hal ini sangat penting sebagai pedoman dasar, akan tetapi yang sesungguhnya sangat dibutuhkan adalah insentif (dan disinsentif) bagi kerjasama antar daerah, baik yang berupa finansial maupun non finansial. Insentif ini harus mendorong inisiatif lokal untuk melakukan kerjasama antar daerah, seperti Kartamantul. Hal inilah yang perlu dipikirkan lebih lanjut untuk perbaikan (amandemen) Peraturan Pemerintah tersebut. Membangun kerjasama antar daerah pada 14
hakekatnya merupakan upaya menumbuhkan kapasitas lokal, yang menjadi salah satu tujuan desentralisasi dan otonomi daerah. Kini semakin dirasakan betapa rumitnya issue pengembangan wilayah pada era desentralisasi dan otonomi daerah, menyangkut bukan saja perspektif teori pengembangan wilayah namun juga disiplin keilmuan lain, khususnya administrasi dan kebijakan publik, bahkan hukum tata negara. Empat-lima dasawarsa yang lalu perspektif teoritik keilmuan itu sangat didominasi oleh pemikiran bahwa pengembangan wilayah adalah fungsi sumber daya alam, keuntungan lokasi, infrastuktur, ekonomi wilayah, serta organisasi ruang (spatial organization) dan pusat pertumbuhan dengan berbagai varian serta perdebatan paradigmatik didalamnya. Seperti yang dikatakan oleh John Friedmann pada waktu itu (1965; Friedmann dan Alonso, 1964 dan 1974) bahwa ‘regional development is externally induced’ (lihat juga Isard, 1960). Paradigma ini memang masih merupakan arus utama (mainstream) keilmuan pengembangan wilayah, namun demikian selama tiga dasawarsa terahir keilmuan pengembangan wilayah juga diwarnai dengan semakin menonjolnya dimensi ekonomi global dan globalisasi (lihat misalnya, McGee, 2001; Douglass, 2001; Lo dan Marcotullio, 2001), issue lingkungan global khususnya perubahan iklim (climate change) (lihat misalnya Satterthwaite, 2008; Mc Granahan, Balk dan Anderson, 2009; Satterthwaite dkk, 2009; Fuchs, 2010; Firman dkk, 2011); Tata Kelola (governance, lihat misalnya Friedmann, 1999; Freire and Stern, 2001), dan faktor endogenous, seperti aspek kelembagaan, kepemimpinan, inovasi dan kreatifitas, serta modal sosial (social capital), bukan hanya sumberdaya alam dan ekonomi wilayah serta pusat pertumbuhan (lihat Stimpson, dkk, 2006). Pengembangan wilayah dan kota semakin perlu untuk dimaknai dalam perspektif antar disiplin keilmuan, karena masalahnya terlalu kompleks untuk diserahkan kepada satu disiplin keilmuan saja.
Ucapan Terima Kasih: Penulis mengucapkan terimakasih serta penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Rektor ITB, Prof. Dr. Akhmaloka, atas kesempatan dan kepercayaan yang diberikan kepada penulis untuk menyampaikan orasi ilmiah pada acara Dies Natalis ITB ke 52 yang sangat penting ini pada tanggal 2 Maret 2011. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dekan SAPPKITB, Prof. Dr. Benedictus Kombaitan atas segala bantuan dan perhatian yang diberikan. Demikian juga penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada kolega di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota ITB, khususnya kepada rekan-rekan di Kelompok Keilmuan Perencanaan Wilayah dan Perdesaan (KK-PWD). Selanjutnya, ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada para asisten dan mahasiswa Program Sarjana dan PascaSarjana PWK yang telah bersama penulis melakukan penelitian berbagai aspek yang terkait dengan tajuk orasi ilmiah ini. Last but not least terimakasih yang tak 15
terhingga penulis juga sampaikan kepada istri dan anak-anak tercinta di rumah atas segala perhatiannya selama ini. Mudah-mudahan Allah SWT membalas segala kebaikan bapak/ibu dan Sdr sekalian. Semoga kita selalu berada dalam lindunganNYA. Amin. Wass. W.W. Tommy Firman
16
Catatan: 1. Menurut Fitriani dkk (2005) pemekaran daerah merupakan perubahan yang fundamental dalam lansekap administratif, politik dan fiskal kepemerintahan daerah di Indonesia. Menurut mereka alasan pemekaran daerah dalam realitasnya adalah: (1) Bureaucratic and political rent seeking; (2) Admintrative dispersion, because jurisdiction is too large; (3) Preference of homogeneity, with respect to ethnicity, religion, language and so on; (4) Fiscal spoils, since splitting could bring additional fiscal resources (hal. 66). Kemungkinan pemekaran daerah memang berkorelasi positif dengan disperse geografis, politik dan keragaman ethnis, sumber daya alam, dan ‘rent seeking’ (hal. 57). 2. Studi yang dilakukan oleh Bappenas bersama UNDP (2008) perihal evaluasi pemekaran daerah dalam kaitan dengan pertumbuhan ekonomi, penanggulangan kemiskinan, dan manajemen fiskal pada beberapa daerah otonomi baru hasil pemekaran daerah selama periode 2001-2007 menunjukan bahwa perkembangan ekonomi di kabupaten/kota hasil pemekaran sangat berfluktuasi bila dibandingkan dengan kabupaten induknya. Begitu juga daerah otonom baru belum mampu mengejar ketertinggalannya dari daerah induknya. Studi ini menunjukan juga bahwa anggaran pemerintah daerah otonom baru kurang efektif untuk mendorong perkembangan ekonomi, sementara itu pelayanan kepada publik juga belum meningkat secara berarti. 3. Menurut Moenek (2005), pada konteks Indonesia, kerjasama antar daerah dapat berbentuk (1) kerjasama antar provinsi; antar provinsi dengan kabupaten dan atau kota diluar provinsi ybs; antar kabupaten dan atau kota pada provinsi yang berbeda; (2) kerjasama daerah dengan swasta; dan (3) kerjasama antar daerah dengan swasta. Obyek kerjasama antar daerah meliputi bidang pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom, sedangkan lingkup kerjasama terkait dengan potensi daerah, penyiapan perencanaan kebijakan baik untuk pembangunan, pembiayaaan dan pengaturan, peraturan daerah/perijinan, penyediaan infrastruktur dan pelayanan kepada publik. Sementara itu secara umum alasan untuk kerjasama daerah antara lain karena adanya ketimpangan (disparitas) laju pertumbuhan antar daerah; inefisiensi dan inefektifitas dalam pemanfaatan sumberdaya alam, dan tidak tertibnya penggunaan ruang. Selanjutnya mengenai bentuk kerjasama antar daerah Moenek (2005) menegaskan beberapa kemungkinan: (1) pemakaian fasilitas secara bersama (kontrak pelayanan antar pemerintah daerah dan kesepakatan pelayanan bersama; (2) kerjasama penyertaan modal daerah dalam usaha bersama antar daerah kabupaten/kota pada suatu provinsi yang difasilitasi oleh Gubernur; (3) kerjasama penyertaan modal daerah dalam usaha bersama antar provinsi, kabupaten/kota yang difaslitasi oleh Menteri; (4) pendirian organisasi secara bersama dalam bentuk Badan Kerjasama Antar Daerah; dan (5) kerjasama dalam bentuk asosiasi lintas daerah.
17
4. Kanada adalah contoh Negara yang menerapkan berbagai jenis metropolitan governance selama 50 tahun terakhir (Sancton, 2005, hal. 310), termasuk aneksasi atau merger pemerintahan kota kedalam wilayah metropolitan (Calgary dan Halifax); otoritas Metropolitan dua jenjang (Winipeg); amalgamasi beberapa otoritas metropolitan berjenjang dua kedalam satu otoritas tunggal (Toronto dan Ottawa); deamalgamasi (Quebec Metropolitan Area); dan pembentukan metropolitan governance yang fleksibel dan inovatif (District of British Columbia).
18
Daftar Pustaka: Azis, I. J. (2008), ‘Institutional Constraints and Multiple Equilbria in Decentralization, Review of Urban and Regional Development Studies, 20(1), hal. 22-33. Bappenas dan United Nations Development Programme (2008), ‘Evaluation of the Proliferation of Administrative Regions in Indonesia, 2001-2007, Jakarta. Bird, R. dan E. Slack (2007), ‘An Approach to Metropolitan Governance and Finance’, Environment and Planning C: Government and Policy, 25, hal. 729-755. Brodjonegoro, B. (2006), ‘Desentralisasi sebagai Kebijakan Fundamental Untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional dan Mengurangi Kesenjangan Antar Daerah di Indonesia’, Pidato pengukuhan GuruBesar Tetap, Fakultas Ekonomi – Universitas Indonesia, Jakarta, Maret. Cheema, S. dan D. Rondinelli (1983), Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries, Sage Publications, Beverly Hills. Douglass, M. (2001), ‘Urban and Regional Policy after the Era of Naïve Globalism’ dalam A. Kumasa dan T. McGee (ed), New Regional Development Paradigms: Globalization and the New Regional Development, Greenwood Press, Westport, Connecticut, hal. 33-56. Eckardt, S. (2008), ‘Political Accountability, ‘Fiscal Conditions and Local Government Performance – Cross-Sectional Evidence from Indonesia’, Public Administration and Development 28(1), hal. 1-17. v.Einsiedel,. I.N. (1999), ‘Managing Mega-Cities of Asia-Pacific: Governance and Institutional Challenges’, dalam Asia-Pacific Development Monitor, vol 1. Asia-Pacific Development Center, Kuala Lumpur. Feiock, R.C. (2004), ‘Introduction: Regionalism and Institutional Collective Action’ in R.C. Feiock (ed.), Metropolitan Governance: Conflict, Competition, and Cooperation, hal. 3-16, Georgetown University Press, Washington, D.C. Feiock, R.C. (2004a), ’Concluding Thoughts: Regionalism, Urban Politics, and Governance’ R.C. Feiock (ed.), Metropolitan Governance: Conflict, Competition, and Cooperation, hal. 240-248, Georgetown University Press, Washington, D.C. Ferrazi, G. (2007), ‘International Experience in Territorial Reform – Implications for Indonesia, main report, USAID Democratic Reform Support Program (DRSP) for the Management Group on Territorial Reform, August, Jakarta. Firman, T. (2003), ‘Potential Impacts of Indonesia’s Fiscal Decentralization Reform on Urban and Regional Development: Towards a Pattern of Spatial Disparity’, Space and Polity, 7(3), hal. 247-271. Firman, T. (2008), ‘In Search of a Governance Institution Model for Jakarta Metropolitan Area (JMA) under Indonesia’s Decentralization Policy’, Public Administration and Development 28, hal. 280-290.
19
Firman, T. (2009), ‘Decentralization Reform and Local-Government Proliferation in Indonesia: Towards a Fragmentation of Regional Development’, Review of Urban and Regional Development Studies 21(2/3), hal. 143-157. Firman, T. (2010), ‘Multi Local-Government Cooperation under Indonesia’s Decentralization Reform: The Case of Kartamantul’, Habitat International 34, hal. 400-405. Firman, T., I. Surbakti, I. Idroes, A. Simarmata (2011, forthcoming), ‘Potential Climate Change related Vulnerabilities in Jakarta: Challenges and Current Status’, Habitat International. Fitriani, F, B. Hofman dan K. Kaiser (2005), ‘Unity in Diversity?: The Creation of New Local Governments in a Decentralizing Indonesia’, Bulletin of Indonesian Economic Studies 41(1), hal. 57-79. Freire, M. (2007), ‘Sustainable Cities: the Role of Local Governance in Managing Change’, Paper Presented to the Symposium ‘a Global Look at urban and Regional Governance: the State-Market-Civic Nexus, Emory University, January 18-19. Freire, M. dan R. Stern (eds. 2001), The Challenge of Urban Governance’, the World Bank, Washington, DC. Friedmann, J. dan W. Alonso (1964), ‘Regional Development and Planning: A Reader’, The MIT Press, Cambridge, Massacussetts. Friedmann, J. dan W. Alonso (1974), Regional Development Policy, The MIT Press, Cambridge, Massachussets. Friedmann, J. (1965), Regional Developmnent Policy: The Case Study of Venezuela, The MIT Press, Cambridge, Massachussetts. Friedmann, J. (1999), ‘The Governance of City-Regions in East and Southeast Asia’. Paper Presented to International Conference on Cities in Asia, December, Hiroshima, Japan. Fuchs, R. (2010), ‘Cities at Risk: Asia’s Coastal Cities in Age of Climate Change’ Asia-Pacific Issues no. 96, East-West Center, Honolulu, Hawaii, July. Grindle, M. (2007), ‘The Promise of Good Governance’, dalam M.S. Grindle (ed.), Going Local: Decentralization, Democratization, and the Promise of Good Governance’, hal. 164-186, Princeton University Press, Princeton. Hadiz, V. (2004), ‘Decentralization and Democracy in Indonesia’, Development and Change 35(4), hal. 607-618. Hadiz, V. (2010), ‘Localizing Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective’, Stanford University Press, Stanford, California. Hidayat, S. (2010), ‘Mengurai Peristiwa – Merentas Karsa: Refleksi Satu Dasawarsa Reformasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah’, Prisma 29(3), hal. 3-22. 20
Hill, H. (2007), ‘The Indonesian Economy: Growth, Crisis, and Recovery’, The Singapore Economic Review 52(20, hal. 1-30. Hill, H. (2008), ‘Globalization, Inequality, and Local-Level Dynamics: Indonesia and the Philippines’, Asian Economic Policy Review 3, hal. 42-61. Isard, W. (1960), ‘Method of Regional Analysis: An Introduction to Regional Science’, The MIT Press, Cambride, Massacussetts. Keban, J. (n.d.), ‘Kerjasama Antar pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi: Isu Strategis, Bantuk dan Prinsip’, manuskrip, Fisipol, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Laquian, A.A. (2005), ‘Metropolitan Governance Reform in Asian’, Public Administration and Development, 25, hal. 307-315. Laquian, A.A. (2005a), Beyond Metropolis: The Planning and Governance of Asia’s Mega-Urban Regions, Woodrow Wilson Center Press, Washington, DC., and The Johns Hopkins University Press, Baltimore. Laquian, A.A. (2008), ‘The Planning and Governance of Asia’s Mega-Urban Regions’, Paper presented to the United nations Expert Group Meeting on Population Distribution, Urbanization, Internal Migration and Development, New York: Population Division, Department of Economic and Social Affairs, United Nation Secretariat, 21-23 January. Lewis, B. (2003), ‘Tax and Charge Creation by Regional Governments Under Fiscal Decentralization and Explanations’, Bulletin of Indonesian Economic Studies 39(2), hal. 177-192. Lo, F.C. dan P. Marcotullio (2001), ‘Globalization, World City Formation, and Functional City System, and Urban Sustainability in the Asia-Pacific Region’, dalam A. Kumasa dan T. McGee (ed), New Regional Development Paradigms: Globalization and the New Regional Development, Greenwood Press, Westport, Connecticut, hal. 91-128. Luo, X. dan J. Shen (2009), ‘A Study on Inter-City Cooperation in the Yangtze River Delta Region, China’., Habitat International 32, hal. 52-62 Mardiasmo (2008), ‘Penyesuaian Atas Sistem Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam menghadapi Fenomena Pemekaran Daerah’, Semiloka Nasional Grand Strategy Pemekaran Daerah di Indonesia, 18 Desember. Mardiasmo (2009), ‘Relasi Fiskal pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah: Pengaruh Kebijakan Pemekaran Daerah Terhadap kemampuan Negara’, Jakarta, Juni. Matsui, K. (2005), ‘Post-Decentralization Regional Economies and Actors: Putting the Capacity of Local Governments to the Test’ The Developing Economies XLIII(1), hal.171-189.
21
McGee, T. (2001), ‘Rethinking Regional Policy in an Era of Rapid Urbanization and Volatile Globalization’, dalam A. Kumasa dan T. McGee (ed), New Regional Development Paradigms: Globalization and the New Regional Development, Greenwood Press, Westport, Connecticut, hal. 75-88. McGee, T. (2005), ‘Distinctive Urbanization in the Peri-Urban Regions of East and Southeast Asia: Renewing the Debates’, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 16(1), hal.39-55. McGranahan, G., D. Balk, dan B. Anderson (2009), ‘The Rising Tide: Assessing the Risks of Climate Change and Human Settlements in Low-Elevation Coastal Zones’, dalam J. Bicknell, D. Dodman, dan D. Satterthwaite, Adapting Cities to Climate Change: Understanding and Addressing the Development Challenges, hal. 51-76, Earthscan, London. Moenek, R. (2005), ‘Kerjasama Antar Daerah: Strategi, Peluang dan Tantangannya’, Kelembagaan Metropolitan Jabodetabekjur, Jakarta, 7 Desember.
Saresehan
Nwanko, G. (1984), ‘Management Problems of the Proliferation of Local Government in Nigeria’, Public Administration and Development 4(1), hal. 63-76. Oakerson, R.J. (2004), ‘The Study of Metropolitan Governance’ in R.C. Feiock (ed.), Metropolitan Governance: Conflict, Competition, and Cooperation, hal. 17-45. Georgetown University Press: Washington, D.C. Post, S.S. (2004), ‘Metropolitan Area Governance and Institutional Collective Action’ Governance’ dalam R.C. Feiock (ed.), Metropolitan Governance: Conflict, Competition, and Cooperation, hal. 47-67, Georgetown University Press: Washington, D.C. Rondinelli, D. dan J. Heffron (2009), ‘Leadership for Development; What Globalization Demands of Leaders Fighting for Change’, Kumarian Press, Sterling, Virginia. Rustiadi, E. (2007), ‘Analisis Spasial Permasalahan Pembangunan Kawasan Jabodetabek’, slides presentasi powerpoint, Institut Pertanian Bogor. Ruyani, M. (2011), ‘Perkembangan Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) jabodetabekjur’, makalah disampaikan pada Lokakarya ‘Rencana Aksi Penguatan dan Pengembangan Kerjasama Antar Daerah’, GIZ, Kementrian Dalam Negeri, Decentralization Support Facility (DSF), 7 Februari, Jakarta. Sancton, A. (2005), ‘The Governance of Metropolitan Areas in Canada’, Public Administration and Development 5, hal. 317-327 Satterthwaite, D. (2008), ‘Climate Change and Urbanization: Effects and Implications for Urban Governance’ Paper presented to the United Nations Expert Group Meeting on Population Distribution, Urbanization, Internal Migration, and Development, United Nation Secretariat, New York, January 21-23. Satterthwaite, D., S. Huq, H. Reid, M. Pelling, dan P. Lankao (2009), ‘Adapting to Climate Change in Urban Areas: The Possibilities and Constraints in Low- and Middle-Income Nations’ dalam J. Bicknell, D.
22
Dodman, dan D. Satterthwaite, Adapting Cities to Climate Change: Understanding and Addressing the Development Challenges, hal. 3-50, Earthscan, London. Seymour, R. dan S. Turner (2002), ‘Otonomi Daerah: Indonesia’s Decentralizarion Experiment’, New Zealand Journal of Asian Studies 4(2), hal . 33-51. Shah, A. dan J. Hutter, J. (1998), ‘Applying a Simple Measure of Good Governance to the Debate on Fiscal Decentralization’, The World Bank, Washington, DC. Shah, A. dan T. Thompson (2004), ‘Implementing Decentralized Local Governance: a Treacherous Road with Potholes, Detours and Road Closures’, World Bank Policy Research Working Paper 3353, June, Washington DC. Silver, C. (2003), ‘Do the Donors Have It Right? Decentralization and Changing Local Governance in Indonesia’, The Annals of Regional Science 37, hal. 421-434. Stimson, R., R. Stough, dan B. Roberts (2006), Regional Economic Development: Analysis and Planning Strategy, Springer, New York. Stubbs, J. dan G. Clarke (ed.) (1996), ‘Megacity Management in the Asian and Pacific Region: Policy Issues and Innovative Approaches’. Proceeding of Regional Seminar on Megacities Management in Asia and the Pacific. Asian Development Bank, United Nations, and the World Bank. Urban Management Programme for Asia and the Pacific, Manila. Sutrisno, S. (2004), ‘Joint Secretariat: a Method for Integrating Urban Management of Bordering Local Government in a New Decentralization Era in Indonesia’ a Paper presented to the 19th EAROPH World Planning and Housing Congress and Australian National Housing Conference, 19-22 September, Melbourne, Australia. Talukder, S. (2006), ‘Managing Megacities: A Case Study of Metropolitan Governance for Dhaka’. Disertasi Doktor, Murdoch University, Australia. Uwiko, U. (2006), ‘Creation of Local Government Areas and Ethnic Conflicts in Nigeria: The Case of Warri, Delta State. Paper Presented to West Africa Workshop, Accra, Ghana, March. Vogel, R. (2005), ‘Decentralization and Urban Governance: Reforming Tokyo Metropolitan Region’, dalam B. Ruble, R. Stern, J. Tulchin, dan D. Varet (ed.) Urban Governance Around the World, Woodrow Wilson International Center for Scholars, Washington, DC. Von Luebke, C. (2008), ‘The Political Economy of Local Governance: Findings from an Indonesian Field Study’, Bulletin of Indonesian Economic Studies 45(2), hal. 201-30.
23
BioData Singkat: Tommy Firman Tempat dan Tgl Lahir: Bandung 2/4/1950 Pendidikan: Sarjana Teknik Planologi (ITB, 1974); Master of Science (Asian Institute of Technology, Thailand, 1980); Doctor of Philosophy (University of Hawaii/The East-West Center, 1988). Pekerjaan: Dosen ITB (1976-sekarang) dan GuruBesar ITB (1999-sekarang); Ketua Program Magister PWK ITB (1988-1990); Ketua Jurusan Planologi ITB (1989-1990); Pembantu Dekan bid. Akademik FTSPITB (1990-1997); Asisten Direktur bid Akademik, Program PascaSarjana ITB (1999-2001); Dekan FTSPITB (2000-2003); Direktur (Dekan) Program PascaSarjana ITB (2002-2004); Ketua Senat Akademik ITB (2006-2008). Penghargaan dan Scholarship: Anggota Sigma Xi, The Scientific Society of North America – membership number 890980199 (1995-sekarang); East-West Center Scholarship untuk menempuh PhD program di University of Hawaii (1982-1987); Ristek Award dari Kementrian Ristek (1991); Adithya Tridharma Nugraha dari Depdikbud untuk Dosen Teladan Nasional Peringat II (1991); Fulbright Fellowship untuk Visiting Scholar di Department of Urban Planning and Studies, Massachussetts Institute of Technology (MIT) (1994); Rockefeller Foundation Award untuk Scholar-in-Residence di Rockefeller Foundation International Study and Conference Center, Bellagio, Italy (Summer 1994); Anggota Dewan Riset Nasional (1999-2004); Otto Koenigsberger Award dari Habitat International dan Elsevier Publisher (2000); Fulbright Fellowship untuk Visiting Scholar di Institute of Urban and Regional Development (IURD), University of California at Berkeley (2005); Program Academic Recharging (PAR) dari Ditjen Dikti untuk menjadi Visiting Affiliate di Asia Research Institute (ARI), National University of Singapore (2009); Satya Lencana Karya Satya 20 Tahun dari Pemerintah R.I. (1998); Satya Lencana Karya Satya 30 Tahun dari Pemerintah R.I. (2007); Penghargaan Pengabdian 25 tahun dari ITB (2002); Penghargaan dari Gubernur Jawa Barat sebagai Anggota Komite Perencana Pembangunan di Jawa Barat (2010); Anugerah Dalam Rangka 50 tahun Pendidikan Perencanaan di Indonesia dari SAPPK-ITB (2009); Dua Penghargaan Ganesa Wira Adiutama dari ITB (2007), masing-masing untuk Dekan FTSP-ITB periode 2000-2003 dan Direktur Program PascaSarjana ITB periode 2002-2004. Publikasi: Menulis lebih dari 40 artikel jurnal (dan book chapters) di berbagai Jurnal International (peer reviewed), termasuk Urban Studies (University Glasgow Press); Habitat International (Pergamon Press, Elsevier); Cities: The International Journal of Urban Policy and Planning (Pergamon Press, Elsevier); Third World Planning Review (sekarang International Development Planning Review, Univeristy of Liverpool Press); Review of Urban and Regional Development Studies (Blackwell Publishers); Land Use Policy (Pergamon Press, Elsevier); Public Administration and Development (Wiley-Blackwell); Canadian Journal of Development Studies (University of Ottawa Press); Australian Geographical Studies (Blackwell Publishers); Singapore Journal of Tropical Geography (Blackwell Publishers); Tijdschrift voor Economische en Sociale Geografie (KNAG, Amsterdam); SOJOURN (Institute of Southeast Asian Studies, Singapore); Built Environment (Academic Press); Asian Pacific Viewpoint (Blackwell Publishers); Space 24
and Polity (Carfax Publishing); Urban Policy Research (Routledge, Taylor and Francis Group); Population, Space and Place (Wiley and Sons); Bulletin of Indonesian Economic Studies (Australian National University); Majalah Prisma (LP3ES, Jakarta); Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota (JPWK, ITB). Menulis beberapa puluh artikel populer di media massa, termasuk Harian Kompas, Suara Pembaruan, The Jakarta Post, dan Majalah Tempo (sejak 1990). Keanggotaan Editorial Board: International Editorial Board Member pada Jurnal ‘Habitat International’ (Elsevier, 1997-2008); International Editorial Board Member pada Jurnal ‘International Development Planning Review’ (University of Liverpool Press, 1998-sekarang); International Advisory Board Member pada Jurnal ‘Asian Population Studies’ (Routledge, Taylor and Francis Group, 2005-2008); Anggota Editor Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota (ITB). Seminar Internasional: Menghadiri dan mempresentasikan makalah lebih dari 25 kali pada berbagai pertemuan internasional, termasuk di Canada, USA, Jepang, Malaysia, Singapore, Thailand, Korea Selatan, India, Inggris, Belanda, China, Taiwan, Italia dan Australia (1990-sekarang). Adhoc Reviewer: Reviewer Manuscript untuk beberapa Jurnal International, meliputi Urban Studies; International Development Planning Review; Development and Change; Planning Theory; dan Habitat International. Penguji External Disertasi Doktor: Sydney University; University of Melbourne; University of Adelaide; University of British Columbia; University of Groningen; Universitas Gajah Mada; Universitas Indonesia; Institut Teknologi Sepuluh November. Konsultansi: Penyusunan Rencana Tata Ruang, Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) beberapa Kabupaten dan Provinsi; Penyusunan Agenda 21 Nasional (United Nations Development Programme, 1995); Studi Kinerja Pengembangan Wilayah di Indonesia (World Bank, 2010); Urbanization and Migration in Indonesia (United Nations University, Tokyo).
25