Model Kelembagaan dari Kerjasama Antar Daerah dalam Pengelolaan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Wilayah Jabodetabek Mufti Iqbal Tawaqal, Drs. Mohammad Riduansyah M.Si Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
[email protected] Abstract Skripsi ini bermula dari pesatnya pertumbuhan Jakarta yang mendorong pembangunan ke daerah-daerah sekitar sehingga membentuk megapolitan bernama Jabodetabek. Tingginya volume sampah menarik perhatian pemerintah daerah untuk mengembangkan pemanfaatannya sebagai sumber energi alternatif Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Keterbatasan yang dimiliki masing-masing wilayah memunculkan perlunya kerjasama antar daerah di Jabodetabek. Untuk itu, penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi model kerjasama antar daerah yang tepat dalam pengelolaan PLTSa di wilayah Jabodetabek. Berdasarkan analisis dengan metode kualitatif, didapatkan simpulan bahwa pemerintah daerah di Jabodetabek memilih Regional Special Districts And Authorities untuk mengakomodir pembangunan berkesinambungan. Model kelembagaan ini dipilih dalam rangka memberikan pelayanan publik melewati batas-batas kota dan provinsi.
Institutional Model of the Cooperation among Region on Waste-to-Energy Power Plant Management in Jabodetabek Area Abstract This thesis examines the phenomenon of massive growth in Jakarta that lead the government to expand its development to urban areas and create a megapolitan city named Jabodetabek. The amount of current waste attracts local governments of five cities in Jabodetabek to consider waste as alternative energy sources in Wasteto-Energy Power Plant. Realising the challenges that may faced in plant management latter rises the importance of cooperation among region. Therefore, this research objective is to identify an ideal institutional model of the cooperation among region on Waste-to-Energy Power Plant management in Jabodetabek area. From qualitative analysis, we may conclude that the governments of the region in Jabodetabek assume Regional Special Districts And Authorities as the ideal model to accommodate comprehensive development within area. This institutional model chosen in order to deliver public services throughout five cities’ local government.
Keywords: institutional model, cooperation among region, waste
Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014
Pendahuluan Pertumbuhan dan perkembangan perkotaan di banyak negara di dunia tidak dipungkiri mendorong kota-kota menjadi magnet bagi penduduk lainnya. Merujuk laporan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, hampir separuh dari penduduk dunia tinggal di wilayah perkotaan (UN, 1998: 2 dalam Kuncoro, 2012: 215). Laporan ini juga mengangkat suatu proyeksi menarik. Pertama, begitu melewati milenium baru, penduduk perkotaan akan melampaui jumlah penduduk yang tinggal di wilayah pedesaan untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia. Kedua, pada tahun 2030, 3 dari 5 penduduk dunia diperkirakan tinggal di wilayah perkotaan, baik kota kecil, kota besar, maupun kota metropolitan. Dengan ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai serta lapangan pekerjaan yang beragam, dengan harapan hidup yang lebih baik, banyak penduduk memiliki berpindah dari desa ke kota atau yang dikenal dengan istilah urbanisasi. Migrasi penduduk dari desa ke kota ini tak pelak menimbulkan berbagai bentuk permasalahan baru, di Pulau Jawa proses pemiskinan terjadi karena terlalu padatnya penduduk sehingga menyebabkan makin terbatasnya lapangan kerja. Sebaliknya, di luar Pulau Jawa proses pemiskinan justru disebabkan kekurangan penduduk sebagai sumber daya manusia (Yudohusodo, 1998: 24). Meski demikian, bila tingginya laju urbanisasi mampu dikelola dengan benar dan tepat, ini bisa menjadi kekuatan bagi pembangunan kota. Tiongkok dan India merupakan contoh negara yang mampu mengelola laju urbanisasi dengan baik dan tepat. Hal itu dapat dilihat dari korelasi tingkat urbanisasi di kedua negara ini dengan Produk Domestik Bruto (PDB) dari negara-negara ini, yang mana setiap peningkatan urbanisasi sebesar 1 persen, PDB negara tersebut turut meningkat sekitar 6-8%. Berbeda halnya dengan Indonesia, setiap peningkatan urbanisasi sebesar 1 persen, kenaikan PDB yang terjadi baru mencapai 2%. Melihat fakta demikian, cara pandang pemerintah kota akan urbanisasi harus diubah. Urbanisasi bukan hanya sebuah persoalan melainkan juga sebuah peluang. Dengan urbanisasi kebutuhan warga akan meningkat, sektor informal menjadi “hidup”, serta tuntutan peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan publik menjadi tak terelakan, Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, masing-masing kota kini bergerak pada arus yang sama, yaitu ke arah koalisi-koalisi perkotaan yang disebabkan meluasnya areal perkotaan, baik secara fisik maupun non fisik. Fenomena ini dikenal dengan istilah megapolitan. Munculnya gejala megapolitanisasi di wilayah perkotaan mendorong kebutuhan untuk masing-masing kota atau daerah yang terkait baik secara fisik maupun non fisik untuk
Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014
melakukan kerjasama, konsep ini dikenal dengan istilah kerjasama antar daerah (KAD). Urbanisasi , rencana megapolitan hingga pentingnya kerjasama antar daerah rupanya telah menjadi perhatian Presiden Ir. Soekarno sejak awal, hanya saja hal ini baru dapat terlaksana di masa Presiden Soeharto dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976 yang membentuk Otoritas Perencanaan Wilayah Jabotabek yang melibatkan Deputi Bappenas, Direktur Jenderal Cipta Karya, serta Gubernur DKI Jakarta dan Jawa Barat. Kerjasama antar daerah (Jabodetabek) makin mendapatkan angin segar dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 195. Pada pasal 195 angka 1 dan 2 disebutkan bahwa “dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang dapat diwujudkan dalam bentuk badan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama”. Pemerintah DKI Jakarta dan Jawa Barat dilandasi Undang-Undang tersebut dan peraturan terkait kemudian membentuk Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) Jabotabek untuk pengembangan wilayah di kawasan Jabotabek. (Suselo, 2005: 1-4). Pembentukan
BKSP
ini
semakin
memperkuat
kemungkinan
dibentuknya
Megapolitan Jabotabek yang diharapkan mampu bekerjasama pada berbagai bidang, meliputi: pembangunan yang berkelanjutan di wilayah Jabodetabekjur, pengendalian pertambahan penduduk baik alamiah maupun migrasi, pengelolaan prasarana dan sarana fasilitas pendidikan dan kesehatan, Kerjasama dalam pengelolaan prasarana dan sarana jaringan transportasi makro (busway, subway, monorail), pengelolaan dan pendistribusian pusat-pusat logistik hasil industri dan pertanian, keterpaduan perencanaan peruntukan lahan dan fungsi lahan, kerjasama terpadu dalam penanganan sampah, bencana alam/banjir, kerawanan sosial dari hulu ke hilir, pengelolaan dan perencanaan keterhubungan kota Jakarta dan kota sekitar, serta kerjasama dalam pengelolaan terpadu dengan terbentuknya pusat pertumbuhan baru antara lain kawasan komersial, perkantoran, perumahan, perdagangan dan bisnis (Sutiyoso, 2006 : 56-57). Kerjasama-kerjasama di atas didukung pula oleh payung hukum berupa pasal 196 angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan “pelaksanaan urusan pemerintahan yang melibatkan dampak lintas daerah dikelola bersama oleh daerah terkait”. Begitu tingginya konsentrasi masyarakat di wilayah Jabodetabek yang dilatari berbagai faktor penarik yang dimiliki Jabodetabek, pada gilirannya memunculkan konsekuensi bagi Jabodetabek dan nasional. sumbangan perekonomian Jabodetabek terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia pada rentang tahun 1993 - 2006, dapat dilihat dominansi perekonomian yang berasal dari suatu wilayah megapolitan bernama
Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014
Jabodetabek dibanding puluhan kota lainnya yang ada di Indonesia. Besarnya peran perekonomian
Jabodetabek
di
atas,
mendorong
pembentukan
BKSP
guna
mengkonsolidasikan kegiatan di wilayah Jabodetabek yang selanjutnya tidak hanya mampu memperkuat struktur kerjasama antara daerah di wilayah Jabodetabek namun juga mampu meminimalisasi ketimpangan pertumbuhan ekonomi secara nasional. Salah satu poin dari sembilan poin bidang yang menjadi konsentrasi BKSP adalah sektor persampahan. Sebagaimana dikutip dari World Bank, setidaknya terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi timbunan sampah perkotaan di suatu negara, yaitu tingkat konsumsi, tingkat pendapatan dan kepadatan penduduk di daerah perkotaan (World Bank, 1999: 5). Artinya, masalah sampah ini muncul seiring pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Permasalahan pemanfaatan sampah perkotaan menarik perhatian pemerintah pusat hingga memasukkannya sebagai salah satu dari prioritas nasional bidang energi baru dan terbarukan yang tertuang dalam Agenda Riset Nasional 2010-2014. Hal ini yang melatarbelakangi munculnya penelitian-penelitian ilmiah dengan menjadikan sampah sebagai objek penelitian dalam konversi energi listrik. Kebutuhan energi yang semakin tinggi mendorong manusia untuk mengembangkan teknologi pembangkit listrik dari berbagai sumber energi selain minyak bumi, seperti sinar matahari, angin, bioenergi, geothermal, hydro, hingga tenaga gelombang laut (Vaughn, 2011: 2-3). Sampah sendiri termasuk dalam salah satu sumber bioenergi. Bioenergi ini diperoleh dengan cara pembakaran sampah di Tempat Pembuangan Akhir setelah dipilah mana yang dapat didaur ulang dan dijadikan kompos. Di Amerika Serikat, dari 135 juta ton sampah yang ditempatkan di Tempat Pembuangan Akhir selama tahun 2008, terdapat 17,5 juta ton sampah yang menjadi sumber bioenergi. Dari angka tersebut, setiap 1 juta ton sampah menghasilkan gas sebanyak 12.200 m3/hari yang dapat diolah menjadi sumber energi (Vaughn, 2011: 201). Indonesia masih perlu belajar pada negara-negara seperti Amerika dan Uni Eropa dalam memanfaatkan sampah. Berdasarkan data Environmental Protection Agency (EPA), upaya daur ulang dan pembuatan kompos di AS berhasil mencegah pembuangan 85,1 juta ton sampah pada 2010, naik dari hanya 15 juta ton pada 1980. Hal ini setara dengan mencegah sekitar 186 juta metrik ton emisi setara karbon dioksida ke udara, yang juga setara dengan memensiunkan 36 juta mobil dari jalan raya dalam waktu satu tahun. Swedia dapat menjadi contoh lainnya. Hanya sekitar 4% sampah di negeri ini yang ditimbun di tanah. Pada tahun 2012, negara ini sampai harus melakukan impor sampah dari negara tetangganya seperti Italia, Rumania, Bulgaria, ataupun dari negara-negara Baltik.
Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014
Tidak hanya Swedia, Belanda pun melakukan hal serupa. Negara ini berhasil memanen listrik untuk memenuhi ¾ kebutuhan warganya sekaligus mengurangi produksi CO2 sebanyak 470 kiloton per tahun. Wuhan, sebuah ibukota provinsi di Cina bahkan menyusun rencana induk sanitasi dan mengembangkan insinerator sampah menjadi energi, dari kapasitas 6.500 ton sampah menghasilkan energi sebesar 150 MW. Di Indonesia, pemerintah mulai menaruh perhatian atas hal ini dengan mengeluarkan kebijakan terkait pengelolaan sampah, salah satunya dengan menetapkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengolahan Sampah. Ini menjadi indikasi bahwa persoalan tersebut telah masuk ke dalam ranah permasalahan nasional sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan, serta dapat mengubah perilaku masyarakat. Salah satu tugas pemerintah dan Pemda dalam pengelolaan sampah sebagaimana disebutkan pada Pasal 6 adalah melaksanakan pengelolaan sampah dan memfasilitasi penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah. Oleh karena itu, pasal 6 tersebut mengisyaratkan perlunya Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan koordinasi antarlembaga pemerintah, masyarakat dan dunia usaha agar terdapat keterpaduan dalam pengelolaan sampah. Sampah telah lama menjadi momok bersama daerah-daerah di kawasan Jabodetabek, telah banyak solusi yang muncul terkait penanganan dan pengelolaan sampah, mulai dari dibentuknya bank sampah di berbagai daerah, daur ulang sampah hingga gagasan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) oleh pemerintah kota/kabupaten. Menurut perhitungan, bila tumpukan sampah per kota mencapai sekitar 752,9 ton per hari akan dapat dihasilkan energi panas sebanyak 9,29 x 10 kiloJoule per jam. Jika energi thermal ini dikonversikan menjadi energi listrik maka diperoleh pasokan daya listrik sebesar 6 Mega Watt (MW) sehingga manfaat sampah dapat dirasakan oleh banyak orang. Di Indonesia, pemanfaatan sampah sebagai sumber energi telah diprakarsai oleh Walikota Bandung Dada Rosada. Berawal dari longsornya sampah di TPA Leuwigajah Kota Cimahi 21 Februari 2005 tragedi ini menimbulkan korban jiwa sebanyak 147 warga setempat. Sistem open dumping yang dipakai di Kota Cimahi tersebut ternyata berdampak pada terjadinya musibah besar yang menjadi perhatian nasional maupun internasional. Walikota Bandung saat itu, Dada Rosada lantas berkesimpulan Kota Bandung tidak dapat lagi menggunakan open dumping ataupun sanitary landfill. Lahirlah sebuah ide membuat Waste to Energy (WTE) atau PLTSa. Tenaga PLTSa ini bersumber dari panas yang
Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014
dihasilkan dari proses pembakaran 500 ton sampah per hari yang akan diubah menjadi energi listrik terbarukan berkekuatan 7 MW. Kebutuhan listrik untuk proses pembakaran itu sendiri sebesar 1 MW. Namun pada perjalanannya, pembangunan PLTSa ini mengalami kendala, salah satunya penolakan warga sekitar, seperti yang disebutkan oleh Direktur Eksekutif WALHI Dadan Ramdan dalam konferensi pers yang diadakan pada tanggal 28 Agustus 2013, terdapat lima alasan penolakan tersebut, yakni: 1. Pemerintah kota belum menyusun Peraturan Daerah yang mengatur kerjasama PLTSa dalam kontrak tahun jamak padahal Nota Kesepahaman antara pemerintah kota dan PT. Bril selaku pengelola PLTSa akan ditandatangani pada 3 September 2013. 2. Terdapat masalah beban biaya jasa pengolahan sampah, yang nantinya akan dibebankan pada masyarakat, yang dianggap sangat besar. 3. PLTSa yang menggunakan teknologi insinerator dianggap dapat berakibat bencana. Pasalnya, alat tersebut bisa mengganggu kesehatan dengan polusi udara berupa dioksin yang membahayakan sistem syaraf manusia. 4. Rencana ini masih dalam evaluasi Kementerian Pekerjaan Umum. 5. PLTSa serupa pernah diterapkan di kota Harrisburg, Pennsylvania Amerika Serikat dan mengeluarkan beban pengeluaran yang cukup besar hingga menyebabkan krisis keuangan kota. (Ispranoto, 2013: 1). Nilai investasi pembangunan PLTSa yang terletak di Gedebage tersebut senilai Rp5,62 miliar. Sebagaimana dituturkan oleh Direktur Pengembangan Kerjasama Pemerintah dan Swasta Bappenas Bastari Panji Indra, PLTSa tersebut diniatkan menjadi percontohan PLTSa nasional seperti Batam, Jakarta, Palembang, Surabaya dan Solo (Kurniawan, 2014: 1). Melalui tulisan ini diharapkan, dapat diidentifikasi model kelembagaan kerjasama antar daerah yang memungkinkan dalam pengelolaan PLTSa di wilayah Jabodetabek. Sehingga PLTSa sebagai salah satu inovasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sampah dapat lebih lagi dalam hal kebermanfaatan dengan disokong kelembagaan yang unggul. Tinjauan Teoritis Begitu krusialnya model kelembagaan suatu megapolitan, mendorong para ahli perkotaan memunculkan gagasan mengenai model kelembagaan megapolitan yang tepat yang ditinjau dari berbagai aspek. Menurut R.M Bird dan E. Slack (dalam Kurniawan, 2006: 4), terdapat beberapa klasifikasi konsep kelembagaan metropolitan/ megapolitan, yaitu.
Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014
a. Sistem satu tingkat -
Kawasan Metropolitan/Megapolitan dikelola oleh satu otorita kota yang bertanggung jawab secara penuh dalam menyediakan pelayanan.
-
Terdiri dari pemerintahan yang terfragmentasi dan pemerintahan tunggal dari suatu kota besar yang terbntuk dari proses amalgamasi (penggabungan dari dua atau lebih kota dalam suatu wilayah) atau aneksasi (pengambilan sebagain wilayah suatu kota oleh kota yang lebih besar)
-
Keunggulan dari sistem ini yaitu: menyediakan kordinasi pelayanan yang lebih baik, akuntabilitas menjadi lebih jelas, pembuatan kebijakan menjadi lebih sederhana dan efisien.
-
Kelemahan sistem ini yaitu: wilayah yang terlalu luas dan birokratis seringkali justru mengurangi akses masyarakat terhadap pelayanan.
-
Contoh model kelembagaannya, yaitu: Urban County di Malaysia dan Consilidation of Houston.
b. Sistem dua tingkat -
Terdiri dari dua bentuk pemerintahan; pemerintahan tingkat atas berperan menyediakan pelayanan untuk lingkup wilayah yang lebih luas, sedangkan pemerintah dibawahnya bertugas atau bertanggung jawab dalam menyediakan pelayanan yang manfaatnya dapat dirasakan secara lokal.
-
Keuntungan dari sistem ini, yaitu: pemerintah menjadi lebih tanggap dalam pemenuhan layanan masyarakat, efisiensi dalam pemberian layanan dan kejelasan pembagian peran.
-
Kelemahan sistem ini, yaitu: riskannya terjadi duplikasi pemberian layanan yang mengakibatkan
pemborosan,
mengingat
pemerintah
tingkat
atas
dan
lokal
menyediakan layanan yang sama dan dianggap kurang transparan. -
Contoh model kelembagaannya, yaitu: Extra Metropolitan Region of Tokyo (EMR) atau Tokyo Metropolitan Government, Manila Metropolitan Development Authorithy (MMDA) dan Greater London (Metropolitan Federation).
c. Kerjasama sukarela -
Terdapat suatu badan dengan status otorita independen, tidak adanya pejabat yang secara khusus mewakili daerahnya dalam forum ini, dan bersifat tidak permanen pada suatu wilayah yang luas yang dibentuk berdasarkan kerjasama sukarela diantara daerah-daerah dalam wilayah tersebut.
Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014
-
Keunggulan sistem ini, yaitu: mudahnya pembentukan dan pembubaran institusi ini dan tidak perlu terjadinya penyatuan dan konsolidasi antar daerah sehingga daerah tetap dapat mempertahankan otonominya.
-
Kelemahan sistem ini, yaitu: ketidakjelasan akuntabilitas atau pertanggungjawaban serta sulitnya mencapai keberlanjutan koordinasi antar daerah mengingat sistem ini mendorong pihak-pihak yang terlibat tidak memiliki ikatan yang kuat dengan institusi ini.
-
Contoh model kelembagaan ini adalah Badan Kerjasama Pembangunan di wilayah Jabodetabek.
d. Distrik Khusus -
Dibentuk suatu otorita di wilayah metropolitan/megopolitan dalam rangka penyediaan pelayanan yang melewati batas-batas kota.
-
Distrik khusus dapat berbentuk otoritas bersama antar kota satu sektor yang mampu menyediakan pelayanan bagi sejumlah kota yang memiliki eksternalitas yang signifikan.
-
Contoh model kelembagaannya, yaitu: Regional Special Districts and Authorities di AS dan Otoritas Transport di Greater London.
Metode Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan kualitatif. Mengingat skripsi ini akan mengidentifikasi model kelembagaan Kerjasama Antar Daerah yang ideal di wilayah Jabodetabek, maka dibutuhkan pendalaman dan analisis deskriptif atas model kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah di lima wilayah tersebut, yang tidak dapat dicapai dengan kuantifikasi. Untuk itulah peneliti memilih pendekatan kualitatif. Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian eksploratif, yakni penelitian yang menyajikan untuk menggali suatu gejala yang relatif masih baru. Jika ditinjau dari manfaatnya, penelitian ini merupakan penelitian murni karena penelitian ini tidak bertujuan untuk menyelesaikan suatu permasalahan ataupun disponsori oleh suatu organisasi untuk meneliti, Berdasarkan aspek dimensi waktu, maka penelitian ini termasuk dalam crosssectional. Penelitian cross-sectional Penelitian ini dilakukan dalam suatu periode tertentu, yaitu dalam kurun waktu Maret hingga Juni 2014 dan tidak diperbandingkan dengan penelitian lain.
Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengumpulan data kualitatif berupa wawancara dan studi kepustakaan (library research).. Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah perbandingan analitis. Dalam penelitian ini peneliti menyusun tipe ideal yang terdiri dari kelompok-kelompok pertanyaan sebagai dasar pengumpulan data kepada informan, meliputi volume sampah di kota masingmasing, kebijakan dan mekanisme pengelolaan sampah, pandangan terhadap potensi sampah sebagai sumber energi alternatif, serta pandangan terhadap model kelembagaan kerjasama antar daerah yang ideal untuk diterapkan di Jabodetabek. Adapun informan dari penelitian ini yaitu, Murwani Dinar Safitri, Kasubdit Pengelolaan Sumber Daya Sampah dan Limbah B3, Badan Pengelola Lingkungan Hidup DKI Jakarta; Suhandi S.E, M.Si, Kepala UPTD Pengolahan Sampah Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor; Kania, Kepala Badan Lingkungan Hidup Kota Depok; Ivan Yudianto, Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Tangerang; Kiswatiningsih, M.Sc, Kasubag Umum dan Perencanaan Pemerintah Kota Bekasi; Asep, Kepala Sekretariat Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi; Heru Sriwidodo, Manajer Senior Energi Alternatif PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Hasil Penelitian Wilayah Jabodetabek sejauh ini telah memiliki lembaga kerjasama antar daerah yang mengakomodir fungsi kordinasi dan fasilitasi dalam kerjasama antar daerah yang dalam hal ini lembaga itu adalah Badan Kerjasama Pembangunan Jabodetabek (BKSP), lembaga ini memiliki kewenangan menjadi kordinator dan fasilitator dalam kerjasama antar daerah di Jabodetabek yang terdiri dari 9 bidang dan 22 sektor kerjasama antar daerah, salah satu bidang kerjasama antar daerah itu ialah sampah. Telah banyak kerjasama antar daerah di sektor sampah, hanya saja sejauh ini kerjasama antar daerah yang terjadi terkait sektor persampahan ini belum optimal dalam menekan angka pertambahan jumlah sampah di Jabodetabek, melalui proses wawancara mendalam, ditemukanlah hambatan lembaga BKPS ini. Hambatan pertama terkait kualitas sumberdaya manusia di BKSP Jabodetabekjur, yang mana pihak-pihak yang mengisi posisi pada struktur sekretariat BKSP bukan orang-orang yang ahli di bidangnya melainkan hanya aparatur daerah yang diembankan tugas untuk menjadi perwakilan daerahnya di BKSP
Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014
Jabodetabekjur, hal ini sangat menghambat kinerja BKSP dalam upaya Kepala BKSP saat ini Bapak Ahmad Heryawan merevitalisasi BKSP. Hambatan kedua terkait anggaran atau pendanaan, yang mana dari hasil wawancara dengan Kepala Sekretariat BKSP Jabodetabekjur, ditemukan fakta bahwa sumber pendanaan BKSP Jabodetabekjur seringkali hanya merupakan anggaran sisa dari masing-masing anggaran daerah di Jabodetabekjur. Hambatan ketiga terkait ketersediaan sarana dan prasarana BKSP Jabodetabekjur, hambatan ini terkait erat dengan hambatan kedua yaitu pendanaan. Hambatan ini cukup menghambat kinerja BKSP Jabodetabekjur sehingga menyebabkan aktifitas kerjasama antar daerah di wilayah Jabodetabek harus menunggu kucuran dana dari daerah itu turun yang mana sering kali kucuran dana dari daer baru turun saat masalah itu muncul. Hambatan Keempat terkait kewenangan, mengingat dalam peraturan pembentukan BKSP, BKSP memang hanya dijadikan lembaga fasilitator dan Kordinator, sehingga ruang gerak BKSP sebagai lembaga kerjasama antara daerah sulit tercapai. Terkait hambatan-hambatan diatas, penelitian ini mencoba melakukan identifikasi te model kelembagaan kerjasma antar daerah yang tepat untuk mengelola pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di wilayah Jabodetabek, mengingat dalam hal ini BKSP sebagai lembaga kerjasama antar daerah yang menangani sektor persampahan, sehingga dalam prosesnya penelitian ini secara paralel menghasilkan evaluasi terhadap model kelembagaan BKSP. Membahas mengenai model kelembagaan yang tepat untuk menjembatani kerjasama antar daerah di wilayah Jabodetabek, masing-masing informan mengemukakan pandangan yang berbeda. Argument tersebut ditampilkan dalam tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Usulan Model Kelembagaan
No.
Wilayah
Model Kelembagaan yang
Alasan
Dipilih 1.
DKI Jakarta
Penguatan BKSP
Model Kelembagaan yang di Usulkan
Kewenangan yang lebih luas
Regional Special Districts and Authorities
2.
Kota Bogor
Penguatan BKSP
Kinerja sudah efektif, tinggal
Kerjasama Sukarela
dikuatkan 3. 4.
Kota Depok Kota Tangerang
Dinas Instansi Selevel Menteri
Lebih berkompeten dan
Regional Special Districts
Anggaran Besar
and Authorities
Menghindari tarik ulur
Regional Special Districts
Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014
5.
Kota Bekasi
Selevel Menteri
kepentingan pimpinan daerah
and Authorities
Mengingat keberadaannya
Jakarta Metropolitan
meliputi tiga provinsi, yakni
Authority (JMA)
DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten maka perlu otoritas yang lebih tinggi agar dapat mengkoordinasikan ketiga provinsi tersebut, terutama terkait pelaksanaan hak dan kewajibannya. 6.
BKSP
Selevel Menteri
Dengan dibawah
Regional Special Districts
Kementerian, mengundang
and Authorities
daerah yang terlibat itu untuk datang menjadi lebih dihargai dan lebih dipatuhi.
Perwailan informan dari DKI Jakarta memandang pentingnya penguatan lembaga kerjasama antar daerah, 3 hal yang perlu dikuatkan yaitu sarana-prasarana, pendanaan dan perubahan format yang tidak lagi berbentuk sekretariat, mengingat menurutnya dengan hanya berbentuk sekretariat, ruang gerak BKSP menjadi terbatas. Sejalan dengan BPLH DKI Jakarta, Kepala UPTD Pengolahan Sampah Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor lebih menyarankan penguatan kelembagaan dari BKSP mengingat BKSP dianggapnya telah berperan secara efektif dengan kewenangan yang dimilikinya. Berbedahalnya dengan DKI Jakarta dan Bogor, Kepala Badan Lingkungan Hidup Kota Depok memandang, model kelembagaan kerjasama antar daerah di wilayah Jabodetabek lebih baik di tangani setingkat Dinas. Menurutnya sejauh ini dinas lebih berkompeten, baik secara sumber daya manusia mapun kinerjanya, sedangkan BKSP dirasa tidak lebih dari lembaga kordinator saja. Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Tangerang memandang pentingnya lembaga kordinasi kerjasama antar daerah seperti halnya BKSP, ditangani oleh aparatur negara setingkat Menteri, menurut pandangannya, bila lembaga kordinasi di Jabodetabek dikelola oleh aparatur negara setingkat Gubernur, akan selalu terjadi tarik ulur kepentingan mengingat masih munculnya kebanggaan kedaerahan. Di lainhal, terkait pentingnya penangan
Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014
lembaga kerjasama antar daerah dengan apartur negara selevel menteri adalah untuk memperkuat sumber pendanaan dari lembaga kerjasama ini yang diharapkannya dapat berasal dari APBN. Kepala Dinas Kebersihan Kota Bekasi memandang terkait model kelembagaan kerjasama antara daerah di wilayah Jabodetabek selayaknya ditangani pada badan khusus dibawah Presiden. Sedangkan BKSP memiliki Empat kata kunci dalam membenahi dan lebih memberdayakan itu ialah penguatan SDM, Anggaran, kewenangan dan penyediaan Sarana-Prasarana.
Segi Sumber daya manusia, untuk merevitalisasi BKSP sebagai lembaga strategis kerjasama antar daerah di Jabodetabek, diperlukan sumber daya manusia yang kompeten seluruh bidang yang menjadi tanggung jawab BKSP Jabodetabekjur, sehingga kualitas produk kerjasama antar daerah serta peforma BKSP dapat ditingkatkan. Segi anggaran, BKSP yang sejauh ini hanya bertumpu keuangannya dari sisa anggaran tiap-tiap daerah di wilayah Jabodetabek tidak dapat lagi seperti ini, meningkatnya permasalahan lintas batas serta kebutuhan kerjasama antar daerah di Jabodetabek menempatkan BKSP pada posisi yang strategis, sejalan dengan apa yang disampaikan kepala sekretariat BKSP Jabodetabekjur, pendanaan BKSP perlu dibuka secara lebih luas, baik yang berasal dari pemerintah pusat, daerah maupun lembaga-lembaga donor. Segi Sarana-Prasarana, penting dalam menunjang kinerja BKSP Jabodetabekjur, ketidakjelasan gedung Sekretariat BKSP yang hingga kini masih menumpang di salah satu gedung kepunyaan Pemprov DKI sebaiknya segera dituntaskan, sehingga aktifitas BKSP Jabodetabekjur tidak terganggu. Segi kewenangan, hal ini merupakan tumpu dari revitalisasi BKSP, dalam usaha menjadikan BKSP lembaga strategis kerjasama antar daerah, BKSP Jabodetabekjur tidak dapat lagi hanya dijadikan sebagai fasilitator dan kordinator dalam kerjasama antar daerah di wilayah Jabodetabek, peranan BKSP Jabodetabekjur dapat di tingkatkan lagi guna menjadi mensinergsikan kerjasama antar daerah di wilayah Jabodetabek. Merujuk ke empat fokus dari Kepala Sekretariat BKSP Jabodetabekjur, ditambah akan pandangan pentingnya BKSP Jabodetabekjur kedepannya dipimpin oleh suatu kementerian atau menteri maka model kelembagaan yang sejalan dengan pandangan perwakilan dari BKSP Jabodetabekjur ini ialah Regioanl Special Districts and Authorities, dengan model ini, dari segi sumberdaya manusia dapat terjadi peningkatan kualitas smberdaya manusia BKSP mengingat BKSP berada di bawah kewenagan Kementerian, dilainhal terbukanya sumber pendanaan dalam model kelembagaan Regional Special District and Authorities dapat mendorong BKSP dalam berinvestasi pada sumberdaya manusia serta perbaikan dan pemenuhan sarana-prasarana yang dibutuhkan BKSP Jabodetabekjur.
Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014
Regional Special Districts And Authorities mampu meningkatkan peranan BKSP, yang sebelumnya hanya lembaga fasilitator dan kordinator kerjasama antar daerah menjadi lembaga strategis kerjasama antar daerah, mengingat keberadaan menteri sebagai pemimpin dari BKSP Jabodetabekjur. Tabel 2. Identifikasi Kelebihan dan Kelemahan Konsep Kelembagaan Megapolitan Konsep
Deskripsi
Kelebihan
Kekurangan
Satu Tingkat
1. Terdapat satu
1. Memudahkan kordinasi
1. Terlalu luasnya cakupan
(Urban County &
organisasi pemerintahan
dalam penyediaan layanan
pelayanan dari pemerintahan
Consilidation Of
metropolitan
2. Pembuatan kebijakan
megapolitan
Houston)
2. Bertanggung jawab
menjadi lebih cepat dan
2. Sulitnya pendistribusian
penuh menyediakan
mudah
pelayanan secara merata,
pelayanan publik.
3. Akuntabilitas menjadi
3. Penyampaian
3. Terbentuk melalui
lebih jelas.
masukan/aspirasi terkait
Kelembagaan
proses amalgasi dan
pelayanan publik menjadi sulit.
aneksasi. Dua Tingkat
1.Terdapat dua bentuk
1.Terbaginya kewenangan
1. Memungkinkan terjadinya
(Extra
pemerintahan
penyediaan pelayanan
duplikasi kebijakan
Metropolitan
2.Pembagian
publik antara pemerintah
2. Transparansi menjadi sulit
Region, Jakarta
kewenangan atas azas
atas dan bawah, hal ini
di ukur.
Metropolitan
lingkup dan manfaat
2. Distribusi pelayanan
3. Tidak Efisien dalam
publik secara cepat dan
pelayanan publik.
Authority)
merata 3.Pelayanan publik menjadi representatif kebutuhan masyarakat Sukarela
1. Dibentuk suatu
1.Kemudahan dalam
1.Secara struktural tidak kuat
(BKSP)
lembaga independen,
pembentukan dan
2. Tidak ada figur pemersatu
2. Bersifat tidak
pembubaran lembaga
atau pengikat
permanen, sehingga
2. Otonomi atau
3. Minim Akses pendanaan,
lembaga kerjasama
kewenangan masing-
4. Hanya Lembaga Kordinasi
3. Mudah dibentuk dan
masing daerah tetap
5. Tidak dijadikan lembaga
Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014
dibubarkan
terjaga
kerjasama utama
3. Kebijakan representatif Distrik Khusus
1.Pembentukan otorita,
1.Kuatnya ikatan antar
1.Harus mendobrak budaya
(Regional Special
distrik atau komisi
daerah-daerah yang
hegemoni kedaerahan,
Districts And
khusus,
berkerjasama,
Authorities)
2.Pembentukannya
2.Tidak menghilangkan
diatur oleh Undang-
peran masing-masing
Undang Negara.
daerah dalam mengelola
3.Berwenang dalam
daerahnya sendiri,
menyediakan pelayanan
3.Sumber pendanaan
khusus.
beragam dan Akuntabel
4.Sumber pembiayaan
4.Keberlanjutan
beragam dan transparan
Kerjasama
5.Mensyaratkan pemerintah daerah yang otonom dan kuat
Hasil dari penelitian ini, Regional Special Districts And Authorities dipilih mayoritas Informan dalam penelitian ini, adapun alasan dari pemilihan Regional Special Districts And Authorities sebagai model kelembagaan kerjasama antar daera di wilayah Jabodetabek ialah: Kebutuhan Kepemimpinan setingkat menteri di lembaga kerjasama antar daerah di wilayah Jabodetabek, Sumber pendanaan yang beragam ( dapat berasal dari pemerintah pusat, daerah maupun lembaga lainnya), legitimasi lembaga kerjasama antar daerah dapat tercapai dengan format kelembagaan otorita atau komisi khusus dibawah kepemimpnan Menteri, kewenangan lembaga kerjasama antar daerah semakin dipertajam dengan format kelembagaan otorita atau komite khusus, sehingga tidak lagi sekedar fasilitator atau kordinator dalam kerjasama antar daerah di wilayah jabidetabek. Adapun informan yang memilih model kelembagaan ini yaitu: - DKI Jakarta (Kasubdit Pengelolaan Sumber Daya Sampah dan Limbah B3- BPLH DKI Jakarta) , - Tanggerang (Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Tanggerang)
Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014
- Depok (Kepala BPLH Kota Depok) - BKSP (Kepala Sekretariat BKSP Jabodetabekjur). Model kelembagaan Jakarta Metropolitan Authority belum dapat dilaksanakan di lembaga kerjasama antar daerah di wilayah Jabodetabek, meskipun terdapat banyak hal positif dari model kelembagaan kerjasama antar daera JMA ini, diantaranya pendanaan, kelembagaan dan legitimasi yang sangat kuat, hanya saja pensyaratan pembentukan kementerian khusus untuk menangani kerjasama antar daerah di wilayah Jabodetabek perlu dilakukan kajian lebih jauh, terkait efisiensi anggaran nasional. Adapun informan yang memilih model kelembagaan JMA yaitu Kota Bekasi (Kepala Dinas Kebersihan Kota Bekasi). Sedangkan yang terakhir, masukan model kerjasama antar daerah dengan model kerjasama sukarela, tidak dapat dilaksanakan mengingat hal itulah yang mnejadi titik lemah dari BKSP Jabodetabekjur saat ini. adapun masukan pilihan model kelembagaan kerjasama sukarela ini berasal dari Kota Bogor (Kepala UPTD Pengelolaan Sampah- Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor).
Simpulan Volume sampah di Jabodetabek mencapai11.506,96 ton/hari. Namun secara rinci, Jakarta menjadi penyumbang sampah harian terbesar yaitu 6.500 ton/hari. Melihat tingginya jumlah sampah tersebut, dan masih terbatasnya pemanfaatan sampah di Jabodetabek, maka muncul wacana untuk memanfaatkannya sebagai sumber energi alternatif sebagaimana wacana pemerintah. Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) menjadi salah satu energi alternatif yang dikembangkan saat ini. Baik pemerintah pusat yang diwakili Kementerian ESDM, PT PLN maupun Pemerintah Daerah sangat tertarik untuk memanfaatkan sampah menjadi energi alternatif yang dalam hal ini listrik. Di beberapa daerah seperti DKI Jakarta dengan TPST Bantargebangnya sudah mengelola sampah menjadi energi listrik. Demikian pula daerahdaerah lainnya di Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi yang mengarah pada arah yang sama, yaitu mempertimbangkan pemanfaatan sampah menjadi energi listrik. Sejauh ini, daerahdaerah tersebut telah membuka peluang bagi investor yang tertarik mengelola sampah kota menjadi energi listrik untuk bekerjasama dengan pemerintah daerah. Dengan kerjasama ini, daerah akan mendapatkan keuntungan karena daerahnya bersih dari sampah dan biaya pengelolaan sampah menjadi minim, di lain hal investor juga mendapat keuntungan dari listrik yang diperjualbelikan dengan PT PLN (Persero).
Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014
Terkait model kelembagaan kerjasama antar daerah dalam pengelolaan sampah menjai energi listrik, mengacu pada konsep R.M Bird and E. Slack, maka dapat disimpulkan bahwa model kelembagaan kerjasama antar daerah yang dipilih adalah Regional Special Districts And Authorities. Dengan Regional Special Districts And Authorities, tarik ulur kepentingan yang selama ini terjadi melalui mekanisme BKSP dapat diminimalisir karena adanya otorita khusus yang memiliki kuasa dalam membuat keputusan dalam rangka pelayanan publik melewati batas-batas kota. Otoritas khusus inipun nantinya semakin diperkuat dengan kepemimpinan aparatur setingkat menteri, sehingga baik dalam pendanaan, kelembagaan serta kewenangan BKSP dengan model kelembagaan Regional Special Districts And Authorities jauh lebih kuat. Regional Special Districts And Authorities nantinya akan bertanggungjawab secara penuh terkait hal-hal kerjasama antar daerah di wilayah Jabodetabek, di lainhal lembaga inipun berperan aktif dalam mengatasi masalah lintas batas di Jabodetabek. Pengutan kualitas SDM dan perbaikan saran- prasarana dapat dicapai mengingat dengan Regional Special Districts And Authorities sumber pendanaan BKSP nantinya menjadi lebih beragam, yaitu DARI Pemerintah Pusat, Daerah maupun lembaga lainnya. Model Regional Special Districts And Authorities tetap menghargai dan menghormati otonomi tiap daerah di Jabodetabek, sehingga muncul pembagian kewenagan yang mana urusan bersama di tangani oleh BKSP sedangkan urusan-urusan yang bersifat lokalitas atau kedaerahan tetap dipercayakan kepada masing-masing daerah. Perwakilanperwakilan dari kepala daerah atau tiap daerah akan diakomodir dalam model kelembagaan kerjasama ini, sehingga representasi kebutuhan atau kepentingan daerah tetap ada. Saran Berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan, Terkait lembaga kerjasama antar daerah yaitu BKSP Jabodetabek, revitalisasi yang menjadi semangat Kepala BKSP saat ini (Ahmad Heryawan) perlu didukung oleh berbagai pihak. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) beserta segenap pemerintah daerah di wilayah Jabodetabek perlu mempertimbangkan model yang tepat bagi lembaga kerjasama antar daerah ini sehingga lembaga kerjasama antar daerah dapat lebih berdaya dan memberdayakan. Lembaga kerjasama antar daerah selayaknya tidak dipandang sebelah mata, konsep megapolitan secara riil terjadi dan memunculkan kesamaaan masalah dan kebutuhan yang perlu ditangani bersama.
Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014
Dengan megapolitan, pengelolaan sampah secara bersama-sama adalah suatu hal yang mutlak dilakukan, baik dalam tahap koordinasi maupun pengelolaan dalam suatu usaha bersama karena adanya keterkaitan yang erat antara persoalan suatu daerah dengan daerah lainnya di kawasan megapolitan Jabodetabek. Beragamnya energi anternatif atau energi baru terbarukan dapat menjadi pilihan bagi pemerintah daerah guna memberdayakan inovasi dan aparatur daerah sembari mengurangi perusakan alam karena penggunaan energi fosil. Terkait BKSP, terdapat beberapa rencana aksi yang perlu dilakukan, Pertama, Penguatan posisi serta kewenangan BKSP melalui Undang-Undang atau perangkat peraturan lainnya tentang Megapolitan Jabodetabek dan Kelembagaan BKSP sehingga terdapat kesepahaman antar daerah di Jabodetabek mengenai peranan BKSP. Kedua, Penempatan tenaga yang kompeten di BKSP sesuai bidang tugasnya sehingga meningkatkan daya tawar dari lembaga BKSP serta meningkatkan kualitas kebijakan dari BKSP, lembaga kerjasama atau koordinasi harus didudukan pada posisi penting,
lembaga ini tidak lagi hanya
diberdayakan saat ada masalah saja melainkan jauh-jauh hari sebelum masalah itu muncul sehingga dapat dilakukan mitigasi resiko. Ketiga, Lembaga kerjasama antar daerah Jabodetabek perlu dipegang atau dikepalai oleh suatu lembaga terpisah atau suatu elemen yang memiliki pengarus yang lebih besar dibandingkan para pemimpin daerah di wilayah Jabodetabek sehingga tarik ulur kepentingan yang selama ini terjadi dapat ditengahi dan diputuskan secara cepat. Keempat, Anggaran untuk BKSP selayaknya dibuka sebesarnyabesarnya dari berbagai sumber lembaga donor atau penyumbang, sehingga kinerja BKSP tidak lagi terhambat masalah anggaran. Kelima, Pelaksanaan forum-forum diskusi oleh BKSP dengan berbagai stakeholder terkait guna melihat urgensi persoalan yang perlu dikerjasamakan.
DAFTAR RUJUKAN Buku: Creswell, John W. 2003. Research Design, Quantitative dan Qualitative Approaches. Jakarta: KIK Press. Kuncoro, Mudrajad. 2012. Perencanaan Daerah: Bagaimana Membangun Ekonomi Lokal, Kota, dan Kawasan. Jakarta: Salemba Empat. Ruland, Jurgen. 1996. The Dynamics of Metropolitan Management in Southeast Asia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014
Suselo, Hendropranoto. 2005. Jabodetabek dan Turunannya Sepanjang Sejarah. Jakarta: Anonim. Sutiyoso, (2007). Megapolitan, Pemikiran Tentang Strategi Pengembangan Kawasan Terpadu dan Terintegrasi Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi dan Cianjur. Jakarta, PT.Elexmedia Komputindo Kelompok Gramedia. World Bank, the International Bank for Reconstruction and Development. 1999. What a Waste: Solid Waste Management in Asia. Washington, D.C: Urban Development Sector Unit of East Asia and Pasific Region. Yudohusodo, Siswono. 1998. Transmigrasi, Kebutuhan Negara Kepulauan Berpenduduk Heterogen dengan Persebaran yang Timpang. Jakarta: Jurnalindo Aksara Grafika. Yunus, Hadi Sabari. 2006. Megapolitan: Konsep, Problematika dan Prospek. Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar. Jurnal: Budiono, Haris. 2011. Penyusunan Model Kerjasama Ciayumajakuning. Jurnal Kybernan, 2, 131. 146. Kurniawan, Teguh. 2006. Kepemerintahan Kawasan Metropolitan: Sumbangan Pemikiran Untuk Revisi UU 34/1999. Jurnal Industri dan Perkotaan, X, 1188-1207. Maksum, Irfan Ridwan. 2009. Mengelola Megapolitan Jakarta: Quo Vadis?. Makara Sosial Humaniora, 13, 13-18.
Website: Ispranoto. 2013. “Bermasalah, Aktivis Tolak Pembangunan PLTSa Gedebage”. Diakses dari http://daerah.sindonews.com/read/2013/08/29/21/776795/bermasalah-aktivis-tolakpembangunan-pltsa-gedebage diakses pada 18 Maret 2014, pukul 2.38 WIB. Karya Tulis: Fatimah, Siti Ade. 2009. Analisis Kelayakan Usaha Pengolahan Sampah Menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Kota Bogor. Skripsi. IPB.
Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014
Keban, Yeremias T. 2005. Kerjasama Antar Pemerintah Daerah dalam Era Otonomi: Isu Strategis, Bentuk dan Prinsip. Administrasi Negara. Yogyakarta: UGM. Raharjo, Bambang Tino. 2009. Model Kelembagaan dari Kerjasama Antar Daerah di Jabodetabek. TESIS. Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik. Universitas Indonesia. Sinaga, Murbanto. 2005. Model Kerjasama Antar Daerah dalam Pembiayaan Pembangunan Daerah.
Karya Tulis. Ekonomi Pembangunan. Univeristas Sumatera. Tidak
Diterbitkan. Surakusumah, Wahyu. 2010. Permasalahan Sampah Kota Bandung dan Alternati Solusinya. Karya Tulis. Biologi. Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak Diterbitkan. Swasaono, Sri Edi. 2000. Kerjasama Antar Daerah. Disampaikan pada Raker Gubernur SeJawa Bali 13-14 April. Tiwow, Clara et al. 2008. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS07). Program Pasca Sarjana/S3. Bogor: IPB. Warsono, Hardi. 2009. Regionalisasi dan Manajemen Kerjasama Antar Daerah: Studi Kasus Dinamika Kerjasama Antar Daerah yang Berdekatan di Jawa Tengah. Disertasi. Yogyakarta: UGM.
Model kelembagaan…, Mufti Iqbal Tawaqal, FISIP UI, 2014