KPPOD
Membangun Indonesia dari Daerah
Edisi Oktober-Desember 2014
Evaluasi Perda-Perda Pungutan Pasca UU No.28 Tahun 2009 Sistem Closed-List UU No.28 Tahun 2009 dan Optimalisasi Penerimaan Daerah Sketsa Otonomi Daerah Tahun 2014
Editorial
Rezim Pungutan di Daerah, Masihkah?
Daftar Isi Artikel ....................................... 4 Review Regulasi ...................... 10 Dari Daerah............................. 14 Opini ........................................ 18 Laporan Kegiatan ................... 22 Seputar Otonomi .................... 24 Agenda KPPOD...................... 28
Susunan Redaksi Pemimpin Redaksi: Robert Endi Jaweng Redaktur Pelaksana: Ig. Sigit Murwito Staff Redaksi: Sri Mulyati Boedi Rheza Elizabeth Karlinda M. Iqbal Damanik Distribusi: Regina Retno Budiastuti Kurniawaty Septiany Devi Widiyanti Agus Salim Layout: Winantyo
Alamat Redaksi: Gd. Permata Kuningan Lt.10 Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C Guntur, Setiabudi Jakarta Selatan 12980 Phone : +62 21 8378 0642/53 Fax : +62 21 8378 0643 www.kppod.org http://perda.kppod.org http://pustaka.kppod.org
S
udah menjadi pengetahuan luas, otonomi yang kita jalankan hari ini turut mendorong munculnya aneka pungutan di daerah. Ada pungutan illegal maupun legal yang bernama pajak, retribusi dan jenis pungutan lain yang memiliki dasar hukum tertentu. Kita juga mengenal istilah kreativitas bermasalah dari Pemda, di mana otoritas yang mereka miliki menjadi dasar lejitim untuk memberlakukan Perda pungutan. Inilah latar dari fenomena merebaknya rezim pungutan. Desentralisasi tampaknya membawa tekanan baru kepada daerah. Dalam kapasitas fiskal terbatas, pemda eksesif menggali potensi keuangan daerah sehingga gampang tergelincir untuk mengejar target PAD. Hasil review regulasi menemukan kisaran 30% perda dinilai bermasalah. Kemenkeu pernah mengumumkan hasil kajiannya atas 13.252 perda pajak/retribusi. Sebanyak 4.885 (35%) dinilai bermasalah dan mesti dibatalkan. Sayangnya, putusan pembatalan oleh Mendagri hanya mencakup 1.843 perda, sementara sisa 3.042 tetap dibiarkan berlaku. Apakah tendensi umum tersebut masih terjadi hari ini? Apakah peta kebermasalahan yang pelik ini masih berulang hingga kita memasuki usia 14 tahun berotonomi? Pemerintah telah memberikan respon atas kemunculan masalah yang lahir di sepuluh tahun awal otonomi, yakni kurun 2000-2009 di bawah UU No.34/2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Di bawah UU ini, para pelaku usaha memikul beban aneka pungutan berlebihan yang mendistorsi iklim usaha di daerah. Sementara bagi Pemda, UU tersebut dinilai justru telah turut melemahkan taxing power mereka sehingga daerah tak kunjung otonom secara fiskal. Sejak 2010, beleid baru diberlakukan, yakni UU No.28/2009. Di sini, pemerintah tampaknya berobsesi untuk mencapai sejumlah point penting sekaligus: menjamin kepastian berusaha, memperkuat local-taxing power, dan menjaga netralitas dampak bagi fiskal nasional. Dalam kerangka itu, sejumlah terobosan diatur. Untuk menjamin kepastian berusaha, misalnya, UU ini merubah sistem open-list menjadi closed-list: daerah hanya bisa memungut pajak/retribusi yang ada dalam menu terdaftar di klausul UU. Sistem open-list dalam UU No.34/2000 selama ini dinilai telah hanya merangsang kreativitas bermasalah di kalangan Pemda karena tiadanya garis batas yang jelas dan pemahaman fungsi pajak/retribusi dalam kerangka pembangunan dan tata desentralisasi yang minim di kalangan aparatur daerah. Dengan sistem yang baru, opportunity cost bisa lebih terjaga, serta terjaminnya kepastian dan prediktabilitas biaya berbisnis. Sejumlah rubrik inti dalam edisi ini berupaya mendiskusikan pertanyaan di atas. Memeriksa dampak kehadiran UU baru ini bagi perubahan dalam kepastian berusaha di daerah, terutama yang terlihat pada perubahan rezim pungutan melalui kehadiran perda pajak dan retribusi menuju semangat baru UU No.28/2009. Hasil kajian komparatif (baca rubrik “Artikel”) dengan perda-perda semasa UU No.34/2000 sengaja dihadirkan untuk memberikan jawaban awal atas pertanyaan tersebut. Q
3
Artikel
Evaluasi Perda-Perda Pungutan Pasca UU No.28 Tahun 2009
P
elaksanaan otonomi daerah bertujuan akhir (ultimate-goal) untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat. Untuk itu, Pemerintah memberikan daerah kewenangan lebih luas untuk mengatur dan mengurus masalahnya menurut prakarsa lokal/setempat. Termasuk di sini adalah kewenangan melakukan pungutan berupa pajak dan retribusi daerah. Pemerintah kemudian memberikan kerangka regulasi sebagai acuan atas pungutan tersebut melalui Undang-Undang.
Pada fase awal desentralisasi, Undang-Undang yang menjadi alas legal pengenaan pungutan dimaksud adalah UU No. 34 Tahun 2000. Beleid ini memberikan acuan bagi daerah untuk memungut pajak/retribusi sejauh ada potensi penerimaan dari objek yang akan dipungut (open list system), tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi. Klausul ini terasa longgar dan gampang ditafsirkan berbeda oleh pemda sesuai orientasi dan kepentingan masing-masing. Multitafsir ini, antara lain, mendorong lahirnya “kreativitas bermasalah” berupa munculnya banyak perda pungutan yang tumpang tindih sehingga terjadi double taxation dan menimbulkan ketidakpastian berusaha di daerah.
Boedi Rheza Peneliti KPPOD
Merespon situasi demikian, Pemerintah kemudian menerbitkan beleid baru: UU No. 28 Tahun 2009. UU baru ini dibuat untuk tiga tujuan: memberikan kepastian berusaha, penguatan kapasitas fiskal daerah, dan menjaga netralitas dampak bagi fiskal nasional. UU ini menganut sistem daftar tertutup (closed list system) untuk pungutan yang boleh dipungut oleh daerah. Dalam konteks kelahiran UU baru tersebut, artikel ini hendak mendiskusikan sejumlah soal berikut. Apakah perda pungutan yang terbit pada masa UU No. 28 Tahun 2009 lebih baik dari sebelumnya? Dan apakah perda telah memberikan kepastian berusaha bagi pelaku usaha di daerah? Untuk mengetahui hal tersebut, dilakukan dua tahapan kegiatan, yaitu Desk Analysis Perda Pungutan dan Kajian Dampak Perda di lapangan.
Elizabeth Karlinda Peneliti KPPOD
Profil Perda Pungutan Sejumlah perda pungutan yang dikaji Tim Peneliti KPPOD bagi kepentingan penulisan artikel ini adalah perda-perda yang terbit setelah otonomi daerah diberlakukan atau lebih tepatnya sejak UU No. 34 Tahun 2000 diberlakukan sampai perda-perda yang diterbitkan
4
Iqbal Damanik Peneliti KPPOD
Artikel
setelah UU No. 28 Tahun 2009 diterbitkan. Sebanyak 9.455 perda pungutan berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000 dan 4.673 perda pungutan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 berhasil dikumpulkan sebagai basis data kajian. Dari jumlah tersebut diambil sampel 1.500 perda pungutan yang akan dikaji dengan komposisi 1.117 perda pungutan berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000 dan 383 perda pungutan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009. Secara umum, perda-perda yang dikaji terdiri dari perda yang mengatur pajak, retribusi, dan jenis pungutan lainnya. Menurut UU No. 34 Tahun 2000, terdapat sekurangnya 4 Jenis pajak propinsi, 7 jenis Pajak Kab./Kota dan 27 jenis retribusi yang terbagi dalam tiga jenis besar, yaitu retribusi jasa usaha sebanyak 13 jenis, retribusi jasa umum sebanyak 10 jenis dan 4 jenis retribusi yang tergolong dalam retribusi perizinan tertentu. UU No. 34 Tahun 2000 juga membolehkan daerah memungut pungutan diluar jenis yang telah ditetapkan selama potensinya ada dan dapat dipungut. Dengan adanya klausul tersebut, dari screening awal yang dilakukan sekurangnya 45 jenis pajak dan 320 jenis retribusi yang tidak termasuk di dalam daftar tersebut. Selain itu, ditemukan juga ada pungutan berganda yang dikenakan kepada 1 objek pungutan (Pungutan berjenis pajak dan retribusi). Sementara itu, menurut UU No. 28 Tahun 2009, pajak dan retribusi yang boleh dipungut adalah pajak dan retribusi yang ada dalam UU tersebut (closed list). Ada 5 jenis pajak yang boleh dipungut oleh propinsi, 11 Jenis pajak kab./kota, dan 30 jenis retribusi yang terbagi dalam retribusi jasa umum sebanyak 14 jenis, retribusi
jasa usaha sebanyak 11 jenis dan retribusi perizinan tertentu sebanyak 5 jenis. Dari screening awal yang dilakukan terhadap perda pungutan yang dikumpulkan ditemukan 2 jenis perda di luar daftar yang ditentukan oleh UU. 2 jenis pungutan tersebut adalah Sumbangan Pihak Ketiga dan Retribusi Penggilingan Padi. Hal ini dapat dikatakan melanggar sistem daftar tertutup (closed list) UU No. 28 Tahun 2009. Selain itu, ditemukan juga perda yang berpotensi menimbulkan pungutan yaitu Perda Pertambangan Mineral dan Batubara Kota Samarinda. Tipologi Kebermasalahan Perda Untuk melihat kebermasalahan suatu perda, digunakan metode Regulatory Review yang terdiri dari tiga aspek yaitu aspek yuridis, substansi dan prinsip ekonomi. Masing-masing aspek ini terdiri dari sejumlah kriteria yang merupakan rumusan penilaian kebermasalahan perda. Perda pungutan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 lebih tidak bermasalah dibandingkan perda pungutan berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000 pada aspek yuridis. Dari keseluruhan perda yang dikaji, terdapat perbedaan kebermasalahan antara perda pungutan berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000 dan perda pungutan yang diterbitkan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009. Untuk perda-perda berdasarkan UU No. 34, kebermasalahan paling tinggi terdapat pada kriteria kemutakhiran (Up to Date) acuan yuridis yang mencapai 54% perda dikaji. Hal ini berbeda dengan potensi kebermasalahan perda berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009, dimana kriteria relevansi acuan yuridis
Grafik 1. Komposisi Populasi dan Sampel Perda Pungutan
5
Artikel
usaha. Perda-perda pungutan berdasarkan UU No. 28 memiliki kebermasalahan, yaitu sebanyak 23% perda Tahun 2009, tidak ada yang melanggar kewenangan dikaji. Hal ini menunjukkan bahwa, perda-perda pemerintah. Pelanggaran kewenangan pemerintah pungutan saat ini relatif sudah memiliki acuan yang dalam hal pungutan berpotensi dapat menimbulkan terbaru, walaupun kadang masih terdapat perda yang pungutan berganda (double taxation) di daerah. Ini tidak memasukkan acuan yang relevan dengan objek menunjukkan bahwa yang diatur (Lihat Grafik 2). Grafik 2. Kebermasalahan Aspek Yuridis sistem daftar tertutup (Closed List) dapat Perda pungutan diterapkan secara efektif. berdasarkan UU No. 28 (Lihat Grafik 5) Tahun 2009 sudah sesuai dengan prinsip dan Dari potensi filosofi pungutan yang kebermasalahan perda dikenakan. Sistem daftar yang ditemukan pada tertutup yang diterapkan tiga aspek di atas, Tim dalam UU No. 28 Tahun Peneliti KPPOD kemudian 2009, telah memberikan mengambil 3 perda dasar yang jelas bagi yang dinilai memiliki penetapan suatu pungutan kebermasalahan krusial di daerah. Meskipun untuk didalami lebih jauh tingkat kebermasalahan dampak penerapannya bagi kepastian berusaha di sudah relatif menurun, namun kebermasalahan daerah (lokasi studi lapangan). Perda yang terpilih bagi setiap kriteria antara perda pungutan berdasarkan keperluan ini adalah: (1) Perda Pelarangan Penjualan UU No. 28 dengan UU No. 34 relatif sama. Tren dan Peredaran Minuman Beralkohol Kota Cirebon kebermasalahan yang sama ini menunjukkan bahwa yang bermasalah pada acuan yuridis dan menghalangi perlu ada perbaikan-perbaikan terkait muatan perda akses masyarakat. (2) Perda Pelaksanaan dan Retribusi pungutan. Kebermasalahan terbesar pada aspek TPI Kota Cirebon yang dinilai bermasalah pada aspek substansi terdapat pada kriteria kejelasan standar kejelasan struktur tarif dan kejelasan obyek pungutan. waktu, biaya dan prosedur (Lihat Grafik 3). Dan (3) Perda Grafik 3. Kebermasalahan Aspek Substansi Pertambangan Jika menilik Mineral dan lebih dalam lagi, Batubara Kota kebermasalahan Samarinda yang pada standar berdasarkan waktu, biaya, kajian tekstual dan prosedur dianggap ini lebih banyak berpotensi terjadi pada menimbulkan perda-perda pungutan diluar retribusi. Hal ini aturan yang menunjukkan sudah ditentukan bahwa, di perdaUU Pajak dan perda retribusi, Retribusi Daerah. diperlukan suatu acuan yang lebih mendetil untuk standar waktu, biaya, prosedur dan struktur tarif (Lihat Grafik 4). Dampak penerapan Perda Kota Cirebon No. 4 Tahun 2013 tentang pelarangan peredaran dan penjualan Kebermasalahan kewajaran tarif masih menjadi minuman beralkohol Kota Cirebon kebermasalahan terbesar pada perda pungutan. Perda pungutan adalah perda yang bersinggungan langsung Perda No. 4 th. 2013 tentang pelarangan peredaran dengan kegiatan usaha. Untuk itu, sangat penting dan penjualan minuman beralkohol kota Cirebon muatan-muatan dalam perda tidak menghambat atau mengatur tentang pelarangan peredaran dan penjualan membebani kegiatan usaha. Penetapan tarif yang tidak minuman beralkohol di kota Cirebon. Perda ini wajar ini kemudian berpotensi membebani pelaku muncul dikarenakan keresahan masyarakat atas
6
Artikel
ormas islam. Selain itu, perdebatan yang terjadi pada peredaran minuman beralkohol (minol) yang sudah saat pembahasan adalah bentuk pengaturan minol tidak terkendali. Peredaran yang tidak terkendali ini sendiri apakah pengendalian atau pelarangan total. membuat minol mudah di akses, dan dikonsumsi secara Setelah dilakukan pembahasan beberapa kali, dilakukan berlebihan. Beberapa dampak yang terjadi adalah pengesahan perda korban jiwa akibat Grafik 4. Kebermasalahan kejelasan standar waktu, biaya dan dalam suasana konsumsi minol prosedur dan struktur tarif berdasarkan jenis pungutan demonstrasi, dan yang berlebihan. bentuk pengaturan Dampak lain yang adalah pelarangan terjadi akibat total. Pengaturan penyalahgunaan ini berbeda minol adalah kasus dibandingkan tabrak lari yang dengan daerahmenyebabkan korban daerah lain, jiwa. seperti Mojokerto dan Indramayu, Di dasari hal ini, yang melakukan maka salah satu pengendalian ormas di kota terhadap minol Cirebon kemudian melalui penetapan mengirimkan surat tarif tinggi dan lokasi penjualan. pengaduan/aspirasi kepada komisi A DPRD Kota Cirebon yang berisikan keluhan atas kondisi ini dan Penerapan perda minol di Kota Cirebon, memiliki mengharapkan adanya satu solusi untuk kondisi ini dampak kepada para stakeholder. Dampak positif berupa pengaturan dalam bentuk pelarangan peredaran yang di dapat dari penerapan perda minol ini adalah minol. Komisi A DPRD Kota Cirebon kemudian menurunnya angka korban jiwa akibat penyalahgunaan menerima surat ini, dan membahas surat ini. DPRD minol, keselarasan dengan nilai budaya Kota Cirebon. Kota Cirebon kemudian menyetujui adanya pengaturan Dampak lainnya adalah meningkatnya citra politisi untuk minol ini. Oleh karena usulan ini muncul dari DPRD Kota komisi A DPRD Grafik 5. Kebermasalahan pada Aspek Prinsip Ekonomi Cirebon karena Kota Cirebon, menyetujui maka perda ini diterbitkannya adalah perda perda pelarangan inisiatif dari total. Namun DPRD Kota dengan adanya Cirebon. Setelah pelarangan total itu, DPRD Kota ini, kemudian Cirebon membuat muncul penjual Naskah Akademik minol illegal dan Ranperda yang diikuti dengan dibantu dengan pungutan oleh Lembaga oleh oknum Bantuan Hukum aparat. Selain Independen. itu, permasalahan yang terjadi pada penerapan perda Dalam Naskah akademik ini, disimpulkan perlu ini adalah pertentangan dengan aturan lain yang lebih pengaturan terhadap penjualan minol. tinggi yang mengatur peredaran minol yaitu Perpres No. 74 Tahun 2013. Biaya lainnya yang muncul dari Proses selanjutnya adalah pembahasan ranperda yang penerapan perda ini adalah penutupan beberapa melibatkan stakeholder terkait, seperti Pemkot Cirebon perusahaan hiburan yang berdampak pada munculnya (Disperindag, Satpol PP, Disbudpora), Ormas, dan pengangguran. Selain itu, dikarenakan penerapan perda Pengusaha yang diwakili oleh asosiasi usaha seperti ini, justru konsumen minol tidak melakukan konsumsi PHRI. Proses pembahasan ini dilakukan sekitar 3-4 di daerah Kota Cirebon namun di Kabupaten Cirebon. kali. Pada saat pembahasan ini pelaku usaha merasa Hal ini membuat kerawanan sosial di Kabupaten tidak diakomodir dan lebih mengakomodir masukan
7
Artikel
Cirebon menjadi meningkat. Dari penilaian dampak tersebut, perda ini ternyata memunculkan biaya yang lebih banyak dibandingkan dengan manfaat yang didapatkan oleh para stakeholder yang terkait penjualan minol di Kota Cirebon. Perda ini memang memberikan manfaat berupa kesesuaian dengan nilai budaya Kota Cirebon dan menurunnya korban jiwa akibat penyalahgunaan minol, namun penerapan perda ini juga membuat munculnya beberapa biaya seperti munculnya penjual minol illegal, bahkan pertentangan dengan Pemerintah Pusat. Dampak Penerapan Perda Kota Cirebon No. 5 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan dan Retribusi TPI Kota Cirebon Perda Kota Cirebon No. 5 Tahun 2011 mengatur tentang pelaksanaan retribusi tempat pelelangan ikan. Perda ini muncul karena nelayan di Kota Cirebon tidak mendapatkan harga yang layak atas hasil tangkapan. Hal ini kemudian menyebabkan nelayan tidak mendapatkan keuntungan yang dapat menutupi biaya melaut. Selain itu, Keberadaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Kota Cirebon tidak terawat. Keadaan TPI ini kemudian membuat proses jual beli melalui proses lelang tidak berjalan. Berlatar belakang hal tersebut, kemudian Pemkot Cirebon berupaya mengatasi hal tersebut dengan membuat pengaturan terhadap TPI. Selain permasalahan diatas, alasan adanya perda ini adalah pelaksanaan kewenangan yang diamanatkan oleh PP No. 38 Tahun 2007, untuk perikanan. Proses pembuatan perda ini diawali dengan pembuatan naskah akademik dan ranperda. Beberapa pengaturan yang ada di dalam ranperda ini juga mengambil pengalaman dari daerah-daerah lain. Hal ini terlihat pada perbandingan perda ini dengan perda di daerah sekitar, yang relatif tidak jauh berbeda. Hal ini dapat terlihat dari jenis-jenis pengaturan yang ada dalam perda ini, seperti pengenaan tarif retribusi, penetapan besaran tarif, dasar pengenaan tarif, penganggaran penerimaan dari retribusi dan lainnya. Ranperda ini difinalisasi secara internal oleh Pemkot Cirebon (DKPPP dan Bagian Hukum), sebelum diajukan kepada DPRD Kota Cirebon. Setelah ranperda tersebut diterima, dilakukan rapat konsultasi dengan para stakeholder seperti nelayan, asosiasi, bakul ikan, maupun dinas terkait. Rapat konsultasi ini berlangsung beberapa kali sebelum ranperda disahkan menjadi perda. Setelah perda ini terbit, Walikota Cirebon kemudian membuat
8
peraturan pelaksana melalui peraturan Walikota yaitu Perwali No. 57 Tahun 2011. Perwali ini mengandung petunjuk pelaksanaan Perda No. 5 Tahun 2011 tentang penyelenggaraan dan retribusi tempat pelelangan ikan. Penerapan perda ini menimbulkan dampak bagi para stakeholder terkait. Bagi nelayan dan bakul ikan, dengan adanya perda ini maka akan terjadi proses lelang yang baik dan hasilnya adalah kepastian atas harga ikan dan harga ikan yang baik yang menguntungkan nelayan. Dengan adanya keuntungan ini, maka nelayan dapat meningkatkan kesejahteraannya. Pemkot Cirebon juga memperoleh manfaat berupa adanya retribusi dari TPI. Retribusi ini, selain nanti dialokasikan untuk pemeliharaan TPI, juga dialokasikan untuk dana paceklik bagi nelayan, sehingga nelayan mendapatkan dana talangan jika tidak dapat melaut karena kondisi alam. Selain itu, terdapat manfaat lainnya seperti ketertiban administrasi data produksi perikanan, yang berguna bagi pengukuran potensi kelautan Kota Cirebon. Selain manfaat, terdapat biaya yang muncul yaitu biaya pemeliharaan TPI, pengawasan dan penegakan perda. Selain itu, dampak biaya juga ditanggung oleh nelayan dan bakul ikan sebagai aktor kunci melalui adanya pemungutan retribusi TPI yang didasari pada harga jual. Retribusi ini dirasakan memberatkan oleh nelayan karena pendapatan nelayan dari sekali melaut tidak terlalu menutup biaya operasional. Dampak penerapan Perda No 12 Tahun 2013 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dalam Wilayah Kota Samarinda. Potensi pertambangan batubara di kota Samarinda harus di tata dengan baik, mengingat Samarinda sebagai ibu kota propinsi Kalimantan timur dengan aktifitas pelayanan jasa dan perdagangan yang besar. Dari kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah, dalam mengurus pertambangan batubara. Pemerintah kota Samarinda mengeluarkan peraturan daerah No 12 Tahun 2013 tentang pertambangan mineral dan batubara di wilayah kota Samarinda. Proses penerbitan perda dimulai dengan membuat naskah akademik dan ranperda. Setelah naskah akademik dan ranperda tersebut dibuat, dilakukan proses pembahasan. Proses pembahasan ini tidak melibatkan stakeholder terkait dan hanya dilakukan oleh DPRD. Hal ini menunjukkan proses partisipasi yang sangat minim dan berpotensi menyebabkan perda tidak sesuai kebutuhan stakeholder di daerah. Alasan tidak dilakukannya proses konsultasi yang
Artikel
optimal adalah minimnya anggaran untuk melakukan konsultasi publik. Setelah perda ini diterbitkan, banyak keluhan dari masyarakat karena perda ini dianggap tidak menyelesaikan permasalahan pertambangan batubara di Samarinda. Bahkan kalangan akademisi dan aktivis LSM melakukan eksaminasi publik terhadap perda ini dan direkomendasikan untuk segera dibatalkan. Hasil Desk Study sendiri menunjukkan bahwa perda ini memiliki potensi kebermasalahan pada beberapa kriteria seperti Kriteria Acuan Yuridis, karena dianggap bertentangan dengan perturan di atasnya. Kriteria Kejelasan Prosedur, Perda ini tidak memperjelas prosedur pokok, seperti prosedur penerbitan Izin Usaha Pertambangan, bahkan prosedur penerbitan Surat Keterangan Asal Barang (SKAB), Meskipun SKAB ini sudah dilarangan kegunaannya. Masuknya ketentuan SKAB inilah yang menjadi potensi pungutan di luar list dan berpotensi menghambat Keutuhan wilayah ekonomi nasional/prinsip free internal trade, dimana setiap barang yang melewati batas daerah seakan-akan harus mendapatkan izin pengangkutan meski masih dalam wilayah ekonomi nasional. Perda ini kemudian tidak hanya bermasalah secara substansi, namun juga tidak menjawab permasalahan yang muncul akibat dampak aktifitas pertambangan batubara. Perda sendiri juga berbeda dari Naskah Akademik. Naskah akademik merekomendasikan mekanisme lelang atas IUP dan kegiatan reklamasi dan pasca tambang, namun dua hal pokok ini tidak termaktub di dalam perda. Perda yang memakan waktu lama untuk di sahkan ini bahkan belum dilaksanakan oleh SKPD pelaksananya dalam hal ini Dinas Pertambangan Batubara dan Energi. KPPOD menganalisis lebih dalam perda ini untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan Perda bermanfaat dan menimbulkan biaya baru dengan menggunakan Cost and Benefit Analysis. Diawali dengan mengumpulkan potensi stakeholder terdampak dan indikator potensi manfaat dan potensi biaya yang ditimbulkan dari perda ini. Secara keseluruhan dari Analisis Biaya dan manfaat. Biaya yang ditimbulkan perda ini jauh lebih besar, baik yang ditanggung oleh pengusaha, pemerintah daerah, dan masyarakat. Perda ini memberikan manfaat pada Pemerintah daerah dan masyarakat. Namun ketidakjelasan muatan perda yang langsung mengarah
pada pengaturan substansi dari kebermanfaatan tersebut, manfaat dari perda ini akan sulit dengan cepat dirasakan oleh stakeholder. Melihat analisis biaya dan manfaat ini, hemat kami Pemkot Samarinda perlu kembali menyusun perancanaan pembangunan daerahnya, dan kebijakan yang langsung menyelesaikan permasalahan aktifitas pertambangan batubara. Dari kondisi yang terjadi dan fakta empiris dampak dari perda ini diterapkan, kebijakan terbaik Kota Samarinda adalah membatasi aktifitas pertambangan, dengan menutup kemungkinan diterbitkannya Izin Usaha Pertambangan di Wilayah Kota Samarinda. Menanggulangi dampak bencana alam dan lingkungan hidup, serta memperketat pengawasan terhadap penyelenggraan aktifitas pertambangan batubara di Samarinda. Catatan Penutup Dari berbagai ulasan di atas dapat ditarik kesimpulan: perda-perda pungutan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 relatif tidak bermasalah dibandingkan perdaperda pungutan berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000. Sistem daftar tertutup (closed list) yang diterapkan dalam UU No. 28 Tahun 2009 relatif efektif dalam memagari multitafsir pemda (kreativitas bermasalah) sebagaimana rejim open-list dalam kerangka UU No.34 Tahun 2000. Lebih jauh, sistem tersebut memberikan dampak cukup baik bagi kegiatan usaha, yakni kepastian hukum bagi pengusaha dalam memperkirakan biaya pajak dan atau restribusi mereka tanggung. Namun demikian, kami menilai masih adanya beberapa kebermasalahan tersisa, antara lain ihwal kejelasan standar waktu, biaya prosedur dan struktur tarif; kewajaran tarif; penetapan tarif yang tidak sesuai objek; dan penetapan aturan yang menabrak hukum yang lebih tinggi. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan upaya-upaya seperti penerapan mekanisme pengawasan dan pengendalian perda yang lebih intensif untuk menjamin harmonisasi peraturan di daerah dan tingkat pusat; peningkatan kapasitas aparatur di daerah dalam pembuatan kebijakan khususnya perda; dan penetapan acuan yang lebih jelas lagi khususnya bagi pungutan retribusi. Semua ini tentu menjadi pekerjaan rumah lanjutan bagi Pemerintah Pusat maupun Daerah dalam melakukan perbaikan kerangka kebijakan dan penataan administrasi pemungutan di hari-hari mendatang.
9
Review Regulasi
Ketentuan Legal vs Kearifan Lokal: Perda No.4/2013 tentang Pelarangan Peredaran Minuman Beralkohol di Kota Cirebon
K
ota Cirebon yang terletak di pesisir utara pulau Jawa (pantura) memiliki peran strategis sebagai daerah penghubung antara Jakarta dengan wilayah Jawa Tengah-Jawa Timur. Jarak yang tidak jauh dari Jakarta menjadikan Kota Cirebon sebagai daerah transit bagi wisatawan maupun kalangan bisnis. Kemudahan akses dan banyaknya variasi moda transportasi, Keberadaan Keraton Kasepuhan dan Kanoman yang masih memegang teguh adat istiadat, ragam kesenian daerah, serta sejarah Sunan Gunung Jati sebagai salah satu Wali Songo menjadi daya tarik Kota Cirebon sebagai salah satu destinasi wisata baru. Seiring dengan berkembangnya industri wisata, industri hiburan, perhotelan dan restoran/café juga semakin tumbuh pesat.
Dengan semakin berkembangnya kota yang memiliki luas wilayah hanya 37,54 km2 dan penduduk 369,355 ribu jiwa (2013), Pemda Kota Cirebon melalui visinya yang dikenal RAMAH (Religius, Aman, Maju, Aspiratif dan Hijau), berupaya mewujudkan kota Cirebon sebagai daerah yang agamis, dan aman baik bagi masyarakat setempat maupun bagi wisatawan. Upaya tersebut salah satunya diwujudkan dengan menerapkan Perda Nomor 4 Tahun 2013 tentang Pelarangan Perda Minuman Beralkohol (Mihol). Dampak mihol yang semakin hari semakin besar dapat merusak tatanan hidup di lingkungan masyarakat. Banyaknya kasus kecelakan hingga kematian sebagai salah satu dampak dari konsumsi mihol. Bebasnya anak sekolah dengan berpakaian seragam membeli mihol di pinggir jalan, menimbulkan keprihatinan dan kekhawatiran rusaknya generasi mendatang. Dengan latar belakang temuan tersebut dan banyaknya laporan dari masyarakat semakin menguatkan komitmen Pemda dan DPRD kota Cirebon mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) Pelarangan Mihol di Kota Cirebon pada 25 Juni 2013. Substansi Pengaturan Perda Pengaturan “Zero” Mihol di Kota Cirebon Dengan tujuan memberikan kepastian hukum dan sebagai upaya untuk mencegah
10
Sri Mulyati Peneliti KPPOD
Review Regulasi
penyalahgunaan minuman beralkohol yang dapat menimbulkan gangguan keamanan, ketentraman, ketertiban umum dan kesejahteraan masyarakat, Pemda Kota Cirebon bersama dengan DPRD menetapkan Perda No.4 Tahun 2013 tentang Pelarangan peredaran mihol di Kota Cirebon. Berbeda dengan daerah lainnya, perda ini menetapkan pelarangan total atas peredaran mihol di Kota Cirebon. Dalam ketentuan pasal 4 jelas disebutkan bahwa setiap orang dan/atau badan hukum dilarang memproduksi, mengkonsumsi, menjamu, menyimpan, menjual dan/atau mengedarkan minuman beralkohol, baik golongan A, B, C termasuk di dalamnya minuman hasil oplosan, dan jenis minuman beralkohol lainnya kecuali untuk kegiatan keagamaan tertentu. Ketetapan Pelarangan Peredaran Mihol Otomatis Mencabut Izin Berlaku SIUP MB Dalam ketentuan peralihan, 3 (tiga) bulan sejak penetapan perda, bagi perusahaan yang sebelumnya memegang SIUP MB, maka secara otomatis izinnya dicabut dan tidak berlaku. Perusahaan distributor maupun pengecer tidak diperbolehkan lagi untuk menjual semua jenis klasifikasi mihol baik golongan A, B, C maupun minuman beralkohol jenis lainnya. Mihol yang masih ditemukan akan disita dan dimusnahkan. Selanjutnya, dalam ketentuan pasal 5 dan 6 perda ini disebutkan bahwa pemusnahan barang bukti disertai dengan berita acara yang memuat nama, jenis, jumlah, serta rincian waktu, tempat dan tanggal kegiatan secara jelas dan lengkap. Kegiatan pemusnahan dilaksanakan oleh penyidik pejabat kepolisian disaksikan oleh pejabat Kejaksaan, Pejabat Pemda dan pihak terkait lainnya serta pejabat kejaksaan disaksikan oleh Pejabat Pemda, dan pihak terkait lainnya. Penetapan Pidana Maksimal 6 Bulan dan Denda Maksimal Rp 50 juta Ketentuan tersebut dicantumkan secara jelas dalam pasal 8 perda No. 4 Tahun 2013. Bagi setiap orang yang tertangkap maka akan dipidanakan dan hukumannya ditetapkan oleh pengadilan sesuai keputusan pengadilan. Dalam hal melakukan penyidikan menjadi tugas dan tanggungjawab instansi terkait dalam hal ini Satpol PP sebagai instansi yang bertugas dalam melakukan penegakan perda dengan tetap berkoordinasi dengan instansi terkait lainnya. Selain itu, masyarakat juga dapat berperan serta dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan pengedaran mihol. Masyarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang apabila mengetahui adanya penyalahgunaan dan pengedaran minuman beralkohol.
Analisis Substansi dan Dampak Penerapan Perda Perda telah menggunakan acuan hukum yang relevan sebagai konsideran Ditinjau dari aspek yuridis, perda No. 4 Tahun 2013 yang telah ditetapkan pada 25 Juni 2013 telah menggunakan acuan hukum terbaru yang masih berlaku, lengkap dan relevan dengan substansi materi yang diatur dalam perda. Perda mencantumkan UU No. 36 Tahun 2009 tentang UU Kesehatan, UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pedoman Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Keppres No. 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol (Mihol), Permendagri No. 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, dan Permenkes No. 86/Men.Kes/Per/IV/1977 Tentang Minuman Keras. Namun seiring dengan diterbitkannya Perpres No. 74 Tahun 2013 (pada Desember 2013) Tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, maka Kepres No. 3 Tahun 1997 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Hal tersebut menandakan adanya ketentuan baru mengenai pengaturan mihol, sehingga Perda ini harus menyesuaikan dengan ketentuan terbaru. Ketentuan “Zero” Mihol Berpotensi Bertentangan dengan Ketentuan Hukum Diatasnya Sesuai ketentuan Keppres No. 3 Tahun 1997, dan Permendag No. 20/M-DAG/PER/4/2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol, Pemerintah mengatur mekanisme peredaran mihol dengan membatasi penjualan mihol ditempat-tempat tertentu, dan tidak menyebutkan pelarangan total terhadap peredaran Mihol. Selain di tempat yang telah diatur oleh undang-undang seperti hotel, restoran, dan bar, Pemda memiliki kewenangan mengatur/ menetapkan tempat-tempat yang diperbolehkan untuk menjual mihol. Selaras dengan peraturan pendahulunya (Keppres No.3 Tahun 1997), Perpres No. 74 Tahun 2013 juga masih mengatur hal yang sama, yakni mengatur pembatasan peredaran mihol ditempat-tempat tertentu hanya saja ditambahkan klausul bahwa ketentuan yang dibuat tetap harus menyesuaikan dengan karakteristik daerah dan budaya lokal daerah setempat. Jika merujuk pada ketentuan pusat tersebut, ketentuan Perda Mihol Kota Cirebon jelas bertentangan dengan Keppres No. 3 Tahun 1997 yang telah diubah menjadi Perpres No. 74 Tahun 2013, dimana perda menyebutkan secara jelas di judul perda yakni pelarangan peredaran mihol di Kota Cirebon.
11
Review Regulasi
Jika merujuk UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pedoman Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, suatu produk hukum daerah (Perda) harus menyesuaikan dengan ketentuan pusat agar tidak terjadi pertentangan dalam pelaksanaannya di lapangan. Jika bertentangan, maka daerah harus meninjau ulang ketentuan pasal yang bertentangan, merevisi atau bahkan membatalkan perda tersebut. Sama halnya dengan kasus ini, pada awal penerapannya banyak pihak khususnya kalangan pengusaha yang mengajukan gugatan ke MA untuk mendapatkan kejelasan dan penegasan atas hal yang dianggap bertentangan tersebut. Pihak Kemendagri pun telah berkirim surat meminta Pemda Kota Cirebon untuk memberikan klarifikasi dan tanggapan atas isi perda. Pihak Pemda Kota Cirebon mengakui adanya perbedaan pengaturan mengenai pengaturan dan pengendalian mihol di Kota Cirebon. Namun dengan menggunakan UU Kesehatan sebagai dasar hukum, dan mempertimbangkan aspirasi masyarakat yang begitu kuat untuk menjunjung tinggi norma agama dan nilai kearifan lokal kota Cirebon sebagai kota Wali, maka Pemda bersama dengan DPRD Kota Cirebon bersikukuh untuk tidak merevisi sesuai ketentuan Perpres No. 74 Tahun 2013, dan tetap menjalankan perda pelarangan mihol. Pembentukan produk hukum di daerah harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat, norma agama, dan menjunjung tinggi nilai kearifan lokal Hal tersebut merupakan prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011. Berdasar pada bunyi ketentuan tersebut, masyarakat kota Cirebon mendesak Pemda dan DPRD Kota Cirebon untuk tetap mempertahankan perda pelarangan mihol di Kota Cirebon. Pertimbangan lain yang digunakan Pemda Kota Cirebon adalah ketentuan
12
Perpres No. 74 Tahun 2013 yang mengatur bahwa dengan mempertimbangkan karakteristik daerah dan budaya lokal, Bupati/Walikota dan Gubernur untuk DKI Jakarta dapat menetapkan pembatasan peredaran minuman beralkohol di daerah dapat menyesuaikan pola pengendalian mihol berdasarkan karakteristik daerah masing-masing. Hal tersebut diartikan sebagian daerah sebagai kewenangan daerah untuk mengatur pengendalian mihol termasuk pelarangan sebagai bentuk ekstrim dari upaya pengendalian yang dilakukan. Ketentuan “Zero” Mihol Berpotensi Menimbulkan Ketidakadilan Bagi Pelaku Usaha Dengan adanya pelarangan peredaran mihol baik memproduksi, mengedarkan, menjual, menjamu dan mengkonsumsi, beberapa perusahaan khususnya industri hiburan terkena dampak lebih besar. Umumnya mereka mengakui menurunnya omzet perusahaan sebagai dampak dari penerapan perda. Menurut pengakuan Disperindag, dengan dicabutnya SIUP MB, maka beberapa pelaku industri hiburan terpaksa tutup atau beralih ke daerah lain. di satu sisi, penerapan perda menyebabkan tercabutnya hak msyarakat untuk berusaha, dimana sebenarnya hak tersebut telah dilindungi Perpres No. 74 Tahun 2013, namun di sisi lain, Pemda melihat adanya kepentingan masyarakat yang lebih besar untuk dibela dan dipertahankan sehingga Pemda Kota Cirebon memilih untuk tetap menjalankan perda ini. Dalam hal pendapatan daerah, Pemda tidak memiliki kekhawatiran beralihnya pengusaha industri hiburan ke daerah lain ataupun menurunnya PAD Kota Cirebon akibat penerapan perda mihol. Praktik penerapan perda, pengawasan serta penindakan pada para pelanggar aturan Penerapan perda mihol di satu sisi membatasi peredaran mihol dan memberikan kejelasan serta
Review Regulasi
payung hukum yang jelas dan kuat bagi Satpol PP dan dinas terkait lain dalam melakukan pengawasan dan penindakan, namun diakui masih adanya transaksi gelap antara oknum aparat dengan penjual mihol. Praktik tersebut diakui oleh ormas masih banyak dan membuat tingginya pungutan yang harus dibayarkan penjual mihol kepada oknum aparat penegak. Oleh karena itu diperlukan ketegasan bagi aparat penegak hukum dengan menerapkan sanksi maksimal bagi para pelanggar sehingga dapat menimbulkan efek jera. Catatan Penutup Kontroversi penerapan “zero” mihol di Kota Cirebon masih menuai beberapa kontroversi baik dari kalangan pelaku usaha maupun dari Pemerintah Pusat sendiri yang masih memberikan batasan pengaturan pada peredaran mihol di daerah. Jika merujuk pada ulasan perda di atas, dan merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan diatasnya, perda No. 4 Tahun 2013 tentang Pelarangan Perda Mihol masih mengandung beberapa pertentangan dengan ketentuan pusat. Pertentangan tersebut tidak dapat dikatakan sepenuhnya merupakan kesalahan daerah dalam memaknai ketentuan pusat ataupun aturan pusat yang tidak selaras dengan kebutuhan dan karakteristik daerah, namun kedepannya harus ada ketetapan hukum yang tegas dan mengikat sehingga ada kepastian hukum dalam pelaksanaannya di Daerah. Keberagaman penerapan perda di daerah, dalam hal ini perda mihol dapat dimaknai sebagai upaya membuka akses adanya bottom-up proses dari penyusunan kebijakan hingga ditetapkannya ketentuan perundang-undangan yang lebih jelas. Dari ulasan Perda di atas, berikut beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan bersama dalam menyusun kebijakan mengenai Mihol: 1. Pengaturan Perda Mihol baiknya dikembalikan ke daerah. Beberapa daerah seperti Indonesia timur masih toleransi mihol dengan kadar tertentu sedangkan di Indonesia bagian barat ada daerah tertentu yang sangat tegas melarang peredaran
dan konsumsi mihol. Melihat keragaman budaya Indonesia tersebut, ada baiknya jika pengaturan terkait mihol dikembalikan ke daerah yang dianggap lebih memahami karakteristik masyarakat daerah setempat. 2. Mempertegas kembali ketentuan Perpres No. 74 Tahun 2013 dengan mempertimbangkan peraturan UU lainnya sehingga tidak lagi terjadi disharmoni antar peraturan di pusat yang dapat menimbulkan multi interpretasi di daerah. Beberapa daerah merujuk pada ketentuan UU No. 12 Tahun 2011, dan UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan keduanya menyebutkan bahwa baik dalam penyusunan peraturan undang-undang maupun prinsip kepariwisataan, norma agama, nilai budaya dan adat istiadat tetap harus dijunjung tinggi. Dari ketentuan UU tersebut dijadikan daerah sebagai dasar hukum dalam menyusun perda mihol. 3. Aspirasi dan partisipasi masyarakat harus tetap menjadi instrumen dalam penyusunan peraturan perundang-undangan termasuk perda. Pemerintah pusat maupun daerah tetap harus membuka seluasluasnya akses masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya terhadap suatu kebijakan, karena pada akhirnya kebijakan yang akan diambil akan mengikat masyarakat itu sendiri. Dengan ruang partisipasi yang lebar, maka diharapkan kebijakan yang lahir akan sesuai dengan kebutuhan. 4. Pemerintah membuat Undang-undang (UU) pokok yang mengatur peredaran mihol. UU ini akan bersinergi dengan UU lainnya termasuk UU Kesehatan, UU Kepariwisataan dan UU pedoman penyusunan perundang-undangan. adanya sinergi tersebut diharapkan pengaturan mihol menjadi lebih jelas dan tidak menimbulkan multi interpretasi antar satu UU dengan UU lainnya. 5. Adanya mekanisme pengawasan dan penindakan yang sangat tegas baik kepada staf internal maupun pedagang pengecer maupun konsumen sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar.
13
Dari Daerah
Tata Kelola Pertambangan Batubara di Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur
P
Pertumbuhan dan industrialisasi di Negara-negara Asia mendorong konsumsi bahan baku mineral yang semakin besar. Dalam menanggapi tren peningkatan konsumsi listrik serta kebutuhan standar hidup atas pertumbuhan populasi penduduk dunia serta industri yang semakin meningkat, banyak Negara harus memacu pembanguan pembangkit listrik seperti pembangkit listrik tenaga uap dan gas (PLTU/PLTGU). Menurut hasil penelitian Badan Dunia Coal Institute menyatakan, hampir 50% dari PLTU di seluruh dunia saat ini memakai bahan mineral dari batubara. Semua hal ini berkaitan erat dengan keamanan pasokan mineral energi batubara yang kesinambungan. Maka kedudukan Indonesia sebagai Negara penghasil steam coal utama dunia menduduki faktor penting.
Indonesia melalui kementerian ESDM memiliki hak dalam menentukan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) batubara di Indonesia, hal ini tertuang dalam UU No. 4 Tahun 2009. Penetapan wilayah ini diaminkan oleh wilayah kabupaten/kota yang masuk dalam WUP dengan membuat kebijakan yang mengatur pertambangan batubara di wilayahnya. Era desentralisasi membuka peluang bagi pemerintah daerah (Pemda) untuk turut mengatur aktifitas pertambangan. Tugas dan wewenang yang dimiliki pemda dalam hal pertambangan salah satunya tertuang di UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Pemda berhak mengeluarkan Izin usaha Pertambangan (IUP), menetapkan luas dan batas WUP serta melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pasca tambang. Kota Samarinda merupakan salah satu wilayah yang ditetapkan kementerian ESDM masuk dalam wilayah usaha pertambangan, dengan itu Pemkot Samarinda mengeluarkan kebijakan pengelolaan pertambangan batubara sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Dinas Pertambangan dan Energi Kota Samarinda mencatat hingga tahun 2014, ada 5 IUP dalam bentuk PKP2B yang sepenuhnya dikeluarkan oleh pemerintah pusat, 1 IUP Pemerintah Propinsi, dan 63 IUP yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah Kota Samarinda. Dengan luasan masing-masing 33,48% PKP2B, 3,25% IUP Propinsi, 38,37% IUP Kota. Total dari luas wilayah pertambangan terhadap luas wilayah Kota Samarinda sudah mencapai angka 71%.
14
Iqbal Damanik Peneliti KPPOD
Dari Daerah
Sebagai Ibu Kota Propinsi Kalimantan timur, Samarinda memiliki karakteristik berbeda dengan daerah kabupaten/kota lainnya di Kalimantan Timur yang juga memiliki potensi pertambangan batubara. Jumlah penduduk Samarinda merupakan paling tinggi di Kalimantan timur, hasil sensus tahun 2010, jumlah penduduk Samarinda 727.500 jiwa. Jumlah penduduk yang besar dan wilayah usaha pertambangan yang luas, membuat ruang terbuka hijau Kota Samarinda hanya sekitar 5%, sedangkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan ruang terbuka hijau minimal 30% dari wilayah kota. Melihat hal ini, bentang alam atau kondisi ekologis Samarinda sudah menutup kemungkinan diterbitkannya lagi IUP, yang secara langsung akan menambah luasan wilayah usaha pertambangan. Hasil produksi batubara Kota Samarinda juga terus menurun setiap tahunnya, dengan rata-rata penurunan 627.302 Ton/pertahun. Menurut Dinas Pertambangan Batubara dan Energi, pemegang IUP yang masih benar-benar beroperasi hanya sekitar 20 perusahaan. Hal ini kembali menunjukkan bahwa usaha pertambangan di Kota Samarinda sudah mencapai masa “matahari tenggelam”, diprediksi kurang dari 10 tahun lagi tidak akan ada lagi batubara yang diangkut dari wilayah Kota Samarinda. Aktifitas pertambangan di kota dengan sebutan kota tepian ini sudah lebih dari satu dasawarsa dan menyisakan permasalahan yang masih terus berlangsung. Permasalah ini tentu saja bermula dari proses penerbitan izin usaha pertambangan batubara tanpa mempertimbangkan pemenuhan syarat-syarat yang harus dipenuhi pemohon, seperti kesanggupan dari segi keuangan dan pengelolaan dampak lingkungan, bahkan banyak perusahaan pemegang IUP yang tidak memiliki dokumen AMDAL dan NPWP dan Jaminan Reklamasi. Perusahaan yang diberikan IUP meski tidak memiliki Jaminan Reklamasi, menyebabkan banyak lubang bekas tambang ditinggalkan begitu saja. Hal ini berdampak jangka panjang terhadap kondisi lingkungan hidup Kota Samarinda yang terus memburuk. Dari hasil pemeriksaan BPK menunjukkan salah satu kelemahan pemberian ijin pertambangan dikarenakan tidak adanya prosedur dan tata kerja formal yang mengatur secara rinci tentang proses pemberian ijin, tugas dan fungsi unit kerja yang terlibat. Hal ini mengakibatkan kekurangjelasan mekanisme pemberian ijin usaha pertambangan di Kota Samarinda.
Pemerintah kota menerbitkan IUP secara sembarangan, tanpa memperhatikan atau mempersyaratkan dokumen Amdal dan jaminan reklamasi menjadi dasar munculnya permasalahan pertambangan yang terjadi hingga saat ini. Perlahan, titik banjir di Kota Samarinda terus bertambah, hingga saat ini tercatat terdapat 35 titik banjir dengan potensi jumlah Kepala Keluarga (KK) terdampak sejumlah 20.106 KK. Bencana banjir bandang juga terjadi di beberapa titik, yang hal ini disebabkan jebolnya tanggul atau kolam bekas tambang. Jumlah penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Kota Samarinda juga terus meningkat, hingga tahun 2010 tercatat 17.811 kasus atau 34% dari sepuluh besar penyakit di Kota Samarinda, menurut kajian Badan Pemberdayaan Propinsi Kalimantan Timur Penyakit ISPA yang terjadi di Kota Samarinda lebih disebabkan oleh debu yang muncul akibat aktifitas pertambangan. Tidak direklamasinya lubang pasca tambang, juga menyebabkan dampak sosilogis. Tercatat delapan anak meninggal, akibat tenggelam di kolam bekas tambang. Tumpang tindih antara pemukiman dan pertambangan juga semakin mempertegas konflik antara masyarakat yang tinggal disekitar tambang dengan perusahaan pertambangan. Di Samarinda banyak pertambangan yang bersinggungan kurang dari 500 meter dari daerah pemukiman.
Kebijakan Baru, Masalah Baru Lebih dari satu dasawarsa aktifitas pertambangan di Kota Tepian, akhirnya pemerintah daerah mencoba menata dengan mengeluarkan kebijakan pertambangan dalam bentuk peraturan daerah No. 12 Tahun 2013. Namun, dikeluarkannya Perda ini tidak sepenuhnya menjawab permasalahan pertambangan di Samarinda. Perda ini masih memungkinkan Pemkot Samarinda mengeluarkan IUP batubara, dengan kondisi ekologis kota samarinda yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk diterbitkannya izin baru. Prosedur penerbitan IUP dalam Perda ini juga bertentangan dengan UU No. 4 Tahun 2009 dimana proses penerbitan IUP dengan mekanisme lelang tidak diatur, Perda ini juga bertentangan dengan Surat Edaran Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM No. 02 E/30/DJB/2012 yang tidak memperbolehkan diberlakukannya Surat Keterangan Asal Barang (SKAB). Namun, Perda ini masih mencantumkan SKAB sebagai prasyarat pengangkutan batubara, klausul ini juga muncul tiba-tiba pada pasal megenai CSR, SKAB digunakan sebagai alat ukur
15
Dari Daerah
besarnya CSR yang harus dialokasikan oleh perusahaan. SKAB sendiri berpeluang menimbulkan pungli dan biaya ekonomi tinggi, karena tidak ada prosedur jelas tata cara pengurusannya. Dinas Pertambangan dan Energi Kota Samarinda memang tidak memungut proses pengurusan SKAB. SKAB sendiri tidak diatur dalam peraturan sendiri hanya dikeluarkan secara d’facto saja, namun dilapangan menurut pengusaha proses pengangkutan batubara yang tidak memiliki SKAB bisa dikenakan pungli sekitar 75 juta rupiah, jika tidak pengangkutan batubara tidak bisa berjalan. Menurut, catatan KPPOD yang melakukan review terhadap perda ini dengan menggunakan 14 kriteria kajian regulasi peraturan daerah, maka Perda ini bernilai minus di tiga kriteria yaitu, kriteria relevansi yuridis, kriteria keutuhan wilayah ekonomi nasional/ prinsip free internal trade, dan kriteria kejelasan prosedur. Produk hukum terbaru yang mengatur pertambangan ini tidak hanya melanggar beberapa ketentuan pemerintah pusat mengenai pertambangan batubaru, Perda ini juga tidak sesuai dengan aspirasi dan kondisi lingkungan Kota Samarinda. Jika melihat kebelakang, proses penyusunan Perda ini memiliki banyak keterbatasan dan tidak mengindahkan beberapa kaidah dalam proses penyusunan Perda. Pertama, Naskah Akademik Perda ini tidak menggambarkan kondisi kekinian Kota Samarinda. Sehingga, setidaknya Perda tidak lagi mengatur regulasi perizinan baru dalam bentuk IUP Eksplorasi dan IUP Eksploitasi, namun lebih diarahkan untuk membangun pola regulasi yang bertujuan untuk menertibkan keberadaan izin yang sudah dikeluarkan
16
dan meningkatkan pengawasan terhadap aktifitas pertambangan. Naskah akademik Perda ini lebih menjabarkan kembali isi UU Minerba tanpa melihat kondisi Kota Samarinda. Kedua, dalam proses penyusunannya Perda ini minim partisipasi. RDPU hanya dilakukan satu kali, DPRD tidak pernah melakukan uji publik terhadap ranperda, dan tidak melibatkan dinas terkait dalam hal ini Dinas Pertambangan Batubara dan Energi dalam penyusunannya. Ketua Balegda DPRD Kota Samarinda Periode 2009-2014 menyatakan bahwa keterbatasan dana menjadi penyebab Perda ini minim pertisipasi. “Pada periode lalu, untuk 26 ranperda hanya satu kali kunjungan kerja karena untuk membatasi anggaran setiap alat kelengkapan dewan hanya diberikan satu kali kunjungan kerja. Karena kendala dana, Perda ini hanya dilakukan satu kali RDPU, jadi kalau Perda ini kurang dari sempurna ya tentu saja, tapi tujuan kami adalah untuk menertibkan kegiatan pertambangan di Samarinda.” Minimnya pertisipasi dan naskah akademik yang tidak menggambarkan kondisi objektif Kota Samarinda menyebabkan Perda ini tidak menjadi solusi permasalahan pertambangan, Dinas Pertambangan Batubara dan Energi sebagai pelaksana Perda ini tidak menggunakannya sebagai landasan hukum pengawasan, dan beranggapan bahwa Perda ini tidak akan berlaku, dengan disahkannya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Perda ini juga menuai kritik dari kalangan Akademis dan aktifis lingkungan di Kota Samarinda dengan melakukan eksaminasi publik terhadap Perda dan direkomendasikan untuk dicabut.
Dari Daerah
Selain menerbitkan Perda No. 12 Tahun 2013, Perda lainnya yang berkaitan langsung dengan aktivitas pertambangan batubara adalah Perda mengenai Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Samarinda. Di awal tahun 2014 pemerintah daerah menerbitkan Perda No. 2 tahun 2014. Perda yang bertujuan menata ruang dan wilayah ini secara langsung akan mengatur aktifitas pertambangan di Kota Samarinda. Berdasarkan perda sebelumnya, yaitu Peraturan Daerah Kota Samarinda No. 12 Tahun 2002 tentang Revisi Tata Ruang dan Wilayah Kota Samarinda 1994-2004, maka lokasi tambang batubara hanya diperbolehkan di Kelurahan Siring, Kecamatan Samarinda Utara seluas 7.583 hektar yang tertera jelas di Pasal 22. Jika setengahnya yang dialokasikan maka sudah jelas, luasan tambang yang ada di Samarinda seharusnya 3.791,5 hektar. Idealnya, tambang yang ada di Samarinda ini tidak sepenuhnya diekspoitasi. Namun disesuaikan dengan Perda yang berlaku. Menanggapi hal ini Dinas Cipta Karya dan Tata Kota (DCKTK) menanggapi bahwa tidak ada hubungan aktifitas pertambangan dengan DCKTK. Dokumen RTRW dalam menetapkan perizinan terkait tata ruang dan wilayah pemerintah kota berdasarkan SK Walikota tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota Tahun 2002. Pada Perda RTRW terbaru Kota Samarinda yaitu Perda No. 12 Tahun 2014, bukan memberikan pembatasan atas aktifitas pertambangan, namun memberikan keleluasaan kepada pemerintah kota untuk secara bebas menerbitkan IUP. Pada pasal 47 yang membagi kawasan peruntukan di Kota Samarinda, tidak secara jelas mengatur wilayah peruntukan pertambangan batubara. Ayat (5) point b, pada pasal ini menyebutkan: “b. kawasan pertambangan kelompok batubara yang meliputi: 1. Batubara yang ijinnya dikeluarkan oleh Kementerian ESDM terletak di Kecamatan Sambutan, Kecamatan Sungai Pinang, Kecamatan Samarinda Utara, Kecamatan Samarinda Ulu, Kecamatan Sungai Kunjang, Kecamatan Loa Janan Ilir, Kecamatan Samarinda Seberang, Kecamatan Palaran dan Kecamatan Samarinda Ilir; dan 2. Batu bara yang ijinnya dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Samarinda.” Angka 2, di point b pada pasal 47 memberikan kewenangan pada pemerintah kota untuk menerbitkan izin diseluruh wilayah Kota Samarinda. Hal ini juga tergambar dari pernyataan Kepala Bidang Penataan Kota Dinas Cipta Karya dan Tata Kota,
Kota Samarinda, yang menyatakan “Seluruh ruang kosong di Samarinda diperbolehkan dilakukan adanya pertambangan, dengan tetap mempertimbangkan dokumen Amdal. Dinas CKTK tidak terlibat dalam proses penerbitan izin karena kami memang tidak memiliki wewenang dalam hal itu. Kantor Wali Kota ini pun jika dibawahnya ditemukan potensi batubara maka bisa dipindahkan, dan diperbolehkan untuk ditambang, urusan kami adalah setelah ditambang dikembalikan ke kondisi semula.” Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Samarinda yang baru saja disahkan dan logika penataan kota dari pemerintah kota samarinda menunjukkan bahwa garis besar perencanaan pembangunan tunduk dan mengikut pada rencana pertambangan batubara. Gesekan pembangunan dengan RTRW bukanlah hal tidak pernah terjadi. Bahkan banyak daerah melakukan perubahan peruntukan suatu kawasan. Namun, rencana tata ruang dan wilayah yang tidak secara jelas mengatur kawasan pertambangan batubara akan mengakibatkan kerugian perekonomian Samarinda. Kawasan aktifitas berusaha tidak mendapatkan kepastian wilayah, disebabkan operasi pertambangan batubara yang terbuka luas di seluruh wilayah Kota Samarinda. Tidak bisa dipungkiri, sektor batubara memberikan dorongan dan kontribusi terhadap perekonomian Samarinda, seperti dana bagi hasil pajak dan bukan pajak, dan tumbuhnya sektor pendukung lainnya, seperti jasa dan usaha. Namun, perlu dipertimbangkan bahwa kontribusi sektor batubara sangat terbatas bahkan Dinas Pertambangan Batubara dan Energi Kota Samarinda memprediksi produksi batubara akan berakhir tidak lebih dari sepuluh tahun yang akan datang. Melihat kondisi ini, mulai dari bentang wilayah yang tidak memungkinkan lagi memperluas wilayah pertambangan, hasil produksi batubara yang terus menurun, dampak pertambangan terhadap lingkungan hidup yang terus memburuk, baiknya pemerintah kota mulai merevisi kebijakan di sektor pertambangan. Kebijakan pembangunan harus memberikan kondisi kota yang lebih layak huni. Pengaturan harus dibuat untuk memperkuat pengawasan, dan mencabut izin perusahan yang melanggar ketentuan. Karena kualitas hidup warga Kota Samarinda yang lebih baik, akan lebih mampu memberikan kontribusi untuk mewujudkan visi Kota Samarinda sebagai kota jasa, industri, Perdagangan dan pemukiman yang berwawasan lingkungan. Q
17
Opini
Sistem Closed-List UU No.28 Thn 2009 dan Optimalisasi Penerimaan Daerah
S
elama ini, peranan PAD (pajak dan retribusi) dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat kecil dan bervariasi antar daerah yaitu kurang dari 10% hingga 50%. Peranan pajak dan retribusi dalam pembiayaan pembangunan di daerah yang sangat rendah dan bervariasi terjadi karena adanya perbedaan dalam jumlah penduduk, keadaan geografis, dan kemampuan masyarakat. Variasi dalam penerimaan ini diperparah dengan sistem bagi hasil yang didasarkan pada daerah penghasil sehingga menguntungkan daerah tertentu. Besarnya dana transfer dari pemerintah pusat kepada daerah memunculkan pertanyaan, apakah tidak mengakibatkan daerah semakin mengandalkan bantuan dari pusat, sehingga mereka lalai berupaya mengembangkan potensinya sendiri? Tidakkah bantuan pusat tersebut lebih baik dikaitkan dengan usaha daerah di bidang perpajakan dibandingkan dengan kriteria kebutuhan seperti misalnya jumlah penduduk?
Pertanyaan diatas sejatinya telah ada sejak fase berlimpahnya pendapatan Indonesia dari minyak telah berakhir di tahun 80-an. Pemerintah pusat tidak lagi dapat mengandalkan pendapatan dari pajak perusahaan-perusahaan perminyakan untuk membiayai proyek pembangunan. Oleh karena itu, yang ditekankan kemudian adalah bagaimana agar meningkatkan penghasilan dari non migas secepat mungkin, dan pada akhirnya regional taxable capacity (potensi daerah untuk dipungut pajaknya) dan upaya pengembangannya meningkat. Era sentralisasi fiskal di Indonesia kemudian bergeser ke arah desentralisasi, lebih karena perubahan fondasi ekonomi yang tidak memungkinkan untuk mengelola secara sentralistik. Tantangan Peningkatan Kapasitas Fiskal Daerah Sejatinya persoalan fiskal Indonesia yang tersentralisasi dan tidak mendukung upaya peningkatan kemampuan daerah dalam menggali sumber pendapatannya sendiri merupakan topik klasik pada hampir semua pembahasan mengenai kebijakakan fiskal di Indonesia dari tiap waktu. Di era otonomi daerah, persoalan peningkatan kapasitas fiskal daerah pun masih menjadi persoalan yang belum terpecahkan. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa distribusi kewenangan perpajakan antara daerah dan pusat sangat timpang. Pajak yang dipungut oleh daerah hanya sebesar 3,39%
18
Ig. Sigit Murwito Deputi Direktur Eksekutif KPPOD
Opini
dari total penerimaan pajak Pusat dan Pajak Daerah. Ketimpangan dalam penguasaaan sumber-sumber penerimaan pajak memberikan petunjuk bahwa perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia dari sisi revenue assignment masih terlalu ”sentralistis”. Sementara distribusi pajak antar daerah timpang karena basis pajak antar daerah sangat bervariasi, sedangkan pemungutan pajak dan retribusi daerahpun masih menyisakan sejumlah persoalan. UU No.34/2000, tentang Pajak dan Retribusi Daerah memberikan daerah untuk berkreasi dalam membuat perda-perda pungutan diluar yang ditentukan oleh UU ini disambut dengan praktik kreatif yang berlebihan. Studi KPPOD atas 9.587 perda pungutan yang dikeluarkan berdasarkan UU No.34/2000 yang dikeluarkan sejak tahun 2000 sampai dengan 2009, mencatat ada 11 jenis pajak (4 pajak provinsi dan 7 pajak kabupaten/kota), serta 27 jenis retribusi yang diatur dalam UU tersebut. Diluar itu, tercatat tidak kurang ada 45 jenis pajak baru dan 320 retribusi baru diluar yang telah ditetapkan dalam UU tersebut. Sayangnya banyaknya jenis pajak dan retribusi tersebut justru berbenturan dengan upaya mendorong peningkatan investasi, karena dinilai berpotensi menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi aktivitas usaha.
UU No.28/2009 mendorong Intensifikasi Pajak dan Retribusi Daerah Undang-Undang No.28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah sebagai pengganti UU No.34/2000 membawa paradigma baru dalam ruang gerak kuasa perpajakan dengan memberikan sebuah batasan lebih pasti (kepastian hukum), baik dalam pengaturan (yuridis) maupun pemungutan (administrasi) oleh Pemda. Undang-undang ini bersifat close list, sehingga Pemda tidak lagi memiliki peluang diskresi memungut di luar yang tercantum dalam undang-undang, dan mereduksi keluarnya berbagai Perda yang bermasalah. Kajian KPPOD terhadap 4.541 perda pajak dan retribusi daerah yang dikeluarkan berdasarkan UU No.28/2009 memperlihatkan terdapat 16 pajak (5 pajak provinsi dan 11 pajak kabupaten/kota), serta 30 jenis retribusi. Dari penelusuran KPPOD tidak ditemukan jenis pajak baru diluar yang sudah diatur dalam UU No.28/2009, sementara untuk retribusi hanya ditemukan satu perda yang diluar daftar UU No.28/2009, yakni retribusi usaha penggilingan padi. UU No.28/2009 ini juga diharapkan membawa angin perubahan dalam mendorong sikap realistis Pemda
untuk mampu mengkalkulasi kapasitas pelayanan sebelum membuat Perda baru, serta mendorong tata kelola angggaran yang akuntabel dimana alokasi pajak daerah menjadi jelas. Pajak daerah tidak dijadikan iuran wajib bagi rakyat, tetapi menjadi sebuah kontra prestasi hak rakyat untuk mendapatkan pelayanan publik yang memadai. Dengan UU No.28/2009 yang bersifat close list tersebut, lantas apa yang dapat dilakukan oleh pemda untuk meningkatkan pendapatan dari pajak dan retribusi daerah? Kendala Pengelolaan Pajak dan Retribusi Daerah Secara umum faktor penghambat penerimaan pajak dan retribusi daerah, antara lain adalah kurangnya sarana prasarana dan fasilitas, kesadaran wajib pajak, penyimpangan oleh aparatur pajak, dan sebagainya. Hal-hal tersebut menyebabkan adanya potential loss, yakni selisih antara potensi pajak dengan realisasi penerimaan pajak. Diluar itu belum tersedianya data basis objek, potensi dan pemetaan pajak dan retribusi daerah, menyebabkan kebanyakan daerah belum mendasarkan data potensi yang seharusnya dapat terealisasi, untuk menentukan besaran dan proses pemungutan pajak dan retribusi. Skala aktivitas ekonomi wilayah sebagai obyek pungutan yang tidak memadai dan kinerja ekonomi yang belum mampu meningkatkan PDRB dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga turut menjadi penyebab rendahnya penerimaan dari pungutan ini. Persoalannya, jika pajak dan retribusi tidak ditingkatkan melalui pemberdayaan aktifitas perekonomian masyarakat maka Pajak dan Retribusi merupakan pengalihan beban dari pemerintah kepada masyarakat dengan cara tidak adil, pada gilirannya mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat. Kerugian karena tindakan aparat pajak tanpa prosedur yang benar, yang pada intinya untuk memperkaya diri sendiri, juga berakibat pada tidak tercapainya target penerimaan. Sedang kerugian karena wajib pajak yang tidak patuh melalui penghindaran pajak (tax avoidance) dan penyelundupan pajak (tax evasion). Termasuk di dalamnya perbuatan para wajib pajak yang mencari celah (loopholes) dari ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dengan maksud untuk mengecilkan pembayaran pajaknya. Hal diatas mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah dan biaya pungut pajak yang cenderung besar. Pajak dan retribusi daerah masih tergolong memiliki buoyancy yang rendah.
19
Opini
Salah satu sebabnya adalah diterapkan sistem “target” dalam pungutan daerah. Sebagai akibatnya, beberapa daerah lebih condong hanya memenuhi target tersebut, walaupun dari sisi pertumbuhan ekonomi sebenarnya pemasukan pajak dan retribusi daerah dapat melampaui target yang ditetapkan. Stategi Peningkatan Kemampuan Keuangan Daerah Para penganut paham federalism memberikan perhatian penuh kepada permasalahan kemampuan perpajakan (taxable capacity) dan usaya perpajakan (tax effort) pada pemerintah daerah. Tax effort diartikan sebagai kemampuan perpajakan suatu unit fiskal dari suatu sumber daya khusus, atau sebagai sejumlah pajak dalam unit yang dapat ditingkatkan melalui penerapan suatu kenaikan berkala (standard rate schedule) berdasarkan atas penghasilan sendiri. Tingginya suatu unit fiskal perpajakan dalam hubungannya dengan sumber pendapatan (atau usaha perpajakan) dapat didefinisikan sebagai rasio penghasilan yang secara nyata diperoleh dari sumber itu terhadap kapasitas yang dapat dikenai pajak1 Standardrate schedule dalam definisi tersebut mengindikasikan bahwa kemampuan perpajakan secara esensial merupakan suatu konsep relatif. Sebetulnya, merupakan suatu cara yang memungkinkan otoriatasotoritas fiskal untuk menyusun tax performance (hasil pajak yang ditargetkan) dari unit pemerintahan tertentu dalam hububungannya dengan beberapa standar umum. Dalam pemungutan pajak hotel dan restoran misalnya, dapat ditaksir dalam kaitannya dengan jumlah yang seharusnya dapat dipungut jika standar jadwal untuk pajak hotel dan restoran di keseluruh wilayah daerah diterapkan berdasarkan landasan pajak hotel dan restoran dalam unit ini. Masalahnya, setelah kemampuan perpajakan dan usaha perpajakan didefinisikan, maka estimasi mereka membutuhkan suatu landasan data yang dapat dipertanggungjawabkan (considerable). Dengan tidak adanya landasan data, estimasi kemampuan perpajakan dan usaha perpajakan yang lebih sederhana dan lebih teragregasi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membuat indeks kemampuan perpajakan, misalnya dari jumlah pendapatan regional, dan membandingkan pendapatan regional senyatanya dengan indeks tersebut. Apabila suatu jenis pajak tertentu (misalnya pajak Bumi
dan Bangunan – PBB P2) mendominasi pendapatan daerah, suatu indikator dari usaha perpajakan dapat dikonstruksi dengan membandingkan penghasilan dari pajak ini dengan beberapa perkiraan suatu dasar tersebut, misalnya nilai tambah di sektor pertanian di daerah. Dengan demikian Pemda diharapkan dapat memanfaatkan peluang dan mencari terobosan untuk meningkatkan pajak dan retribusi sehingga dapat menjadi bagian sumber keuangan andalan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan. Melihat persoalan dalam peningkatan kemampuan keuangan daerah diatas maka strategi dan kebijakan untuk peningkatan kemampuan keuangan daerah haruslah mencakup ekstensifikasi sumber-sumber penerimaan daerah; perubahan struktur ekonomi daerah; intensifikasi sumber-sumber penerimaan yang sudah ada; dan peningkatan kemampuan mengelola dinamika perekonomian dan PAD. Perlu disadari pula bahwa faktor yang mendukung penerimaan pajak dan retribusi daerah diantaranya adalah kesadaran dalam pembayaran, pengawasan yang lebih intensif, tingkat koordinasi yang baik antar pengelola baik intern maupun ekstern dengan seluruh pihak terkait. Dengan demikian terdapat prasyarat untuk melakukan intensifikasi penarimaan pajak dan retribusi daerah, seperti kemampuan administrasi, kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan, dan membangun sistem yang efisien. Secara umum, upaya yang perlu dilakukan oleh Pemda dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah melalui optimalisasi intensifikasi pemungutan pajak dan retribusi daerah, secara ringkas antara lain dapat dilakukan dengan cara-cara berikut: 1. Memperluas basis penerimaan. Tindakan yang dilakukan untuk memperluas basis penerimaan pungutan daerah, yang dalam perhitungan ekonomi dianggap potensial, antara lain dengan mengidentifikasi pembayar pajak baru (potensial) dan jumlah pembayar pajak, memperbaiki basis data objek, memperbaiki penilaian, menghitung kapasitas penerimaan dari setiap jenis pungutan. Selajutnya perlu adanya perencanaan dan perhatian untuk mendorong perkembangan aktifitas ekonomi tertentu yang berbasis sektor unggulan daerah. Tentunya dengan harapan penambahan produksi bisa menjadi dasar perhitungan penambahan kegiatan usaha sebagai objek pajak dan retribusi
1. R.L. Mathews and T.A. Sweeny, “Concepets and Measures of Taxable Capacity and Tax Effort, dalam R.L. Mathews, ed., State and Local Taxation, Camberra, Australian National University Press, 1977.
20
Opini
Daerah. Untuk itu perlu digagas investasi yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kualitas dan hasil pembangunan daerah, memberikan pelayanan publik yang efektif, efisien dan maksimal, menciptakan keselamatan, yang akan memiliki implikasi dan memungkinkan kompetitif keadaan untuk berinvestasi. 2. Memperkuat proses pemungutan. Antara lain dengan peningkatan kualitas SDM, dapat melalui pelatihan maupun bimbingan teknis tentang pengelolaan pendapatan daerah. Untuk meningkatkan SDM dalam meningkatkan PAD haruslah merubah akuntabilitas birokrasi. Dengan menerapkan pertanggung jawaban ganda kepada setiap pegawai, sehingga lahir inovasi dan kreativitas dalam meningkatkan PAD. Indikator pencapaian kinerja tidak hanya didasarkan kepada realisasi dari target PAD yang ditetapkan tetapi dengan menciptakan indikator lain misalnya bagaimana menciptakan kemandirian daerah dalam membiayai sendiri biaya aparaturnya sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban publik. Sehingga gaji atau biaya aparatur dapat dibiayai dari PAD bukan mengharapkan bantuan DAU atau DAK. Perlu dibuat regulasi untuk meningkatkan kedisiplinan pegawai melalui imbalan ekstrinsik berupa penghargaan kepada pegawai yang berprestasi baik dan hukuman bagi pegawai yang berprestasi buruk. Peningkatan peran pengawasaan dari masing – masing atasan langsung pegawai dan perbaikan metode promosi dan jenjang karir dengan prinsip objektivitas dan berkeadilan, lemahnya kinerja birokrasi dalam meningkatkan PAD adalah disebabkan oleh faktor akuntabilitas, dan budaya kerja. 3. Meningkatkan pengawasan. Mencakup: pengawasan dan pengendalian yuridis, teknis, dan penata usahaan. Hal ini dapat dengan melakukan pemeriksaan secara dadakan dan berkala, memperbaiki proses pengawasan, menerapkan sanksi terhadap penunggak pajak dan sanksi terhadap pihak fiskus, serta meningkatkan pembayaran pajak dan pelayanan yang diberikan oleh daerah. Untuk pengawasan mengenai tarif perlu diidentifikasi oleh Pemda yang dikoordinir DPKD dengan melakukan pengecekan secara langsung ke lapangan mengenai tarif terhadap
objek dan subjek pajak dan retribusi. Koordinasi yang intensif dan efektif dengan seluruh SKPD pengelola pendapatan, termasuk dengan instansi vertical perlu dilakukan sehingga dapat dihindari suatu tindakan usaha yang menyebabkan kerugian. Kerjasama itu berada dibawah koordinasi pimpinan daerah. 4. Meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya pemungutan. Tindakan yang dilakukan oleh daerah yaitu antara lain memperbaiki prosedur administrasi pajak melalui penyederhanaan administrasi pajak, meningkatkan efisiensi pemungutan dari setiap jenis pemungutan. Selain itu peningkatan sarana dan prasarana, seperti pengembangan kantor dan sarana pelayanan untuk meningkatkan kenyamanan masyarakat dalam membayar Pajak dan Retribusi Daerah juga perlu dilakukan. Peningkatan kualitas pelayanan tersebut ditujukan pula untuk memperpendek jarak antara wajib pajak dengan fiskus, misalnya antara lain melalui peningkatan dan pengembangan pelayanan Samsat Unggulan, pemanfaatan teknologi informasi dalam pelayanan pajak daerah dan sistem pelaporannya melalui sistem online, dan penyederhanaan sistem dan prosedur pelayanan pajak dan retribusi daerah. Catatan Penutup Kesadaran masyarakat dalam pembayaran pajak dan retribusi daerah adalah salah satu faktor yang mendukung penerimaan pajak dan retribusi daerah. Oleh karenanya peningkatan ketaatan masyarakat dalam memenuhi kewajibanya membayar Pajak Daerah melalui sosialisasi, peningkatan pengawasan dan penegakan sanksi perlu dilakukan. Meningkatkan kegiatan penyuluhan kepada masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat membayar pajak dan retribusi perlu terus dilakukan. Pajak dan retribusi daerah bukanlah satu-satunya dan yang utama sebagai penerimaan daerah, oleh karenanya pengembangan alternatif sumber pembiayaan pemda harus terus diupayakan. Kesulitan yang dihadapi oleh pemerintah dalam memperoleh sumber pembiayaan di daerah perlu disikapi dengan menyiapkan terobosan alternative pembiayaan. Diantara yang dapat dilakukan adalah efisiensi anggaran, revitalisasi perusahaan daerah, dan kerjasama dengan swasta.
21
Laporan Kegiatan
Pelatihan “Legislative Drafting” untuk staf KPPOD
P
enguatan kapasitas internal suatu organisasi adalah mutlak untuk mendukung kerja-kerja organisasi. Penguatan ini bisa berupa penguatan pada kelembagaan, SDM maupun infrastruktur suatu organisasi. Organisasi yang kuat kemudian dapat mencapai tujuan-tujuan dari pendirian organisasi tersebut. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) sebagai sebuah organisasi juga membutuhkan penguatan untuk dapat mencapai tujuan-tujuan dari organisasi.
Salah satu bentuk penguatan kapasitas organisasi yang dilakukan KPPOD adalah penguatan kapasitas SDM dalam melakukan pengkajian perda yang merupakan salah satu kegiatan utama KPPOD. Kegiatan pendukung untuk peningkatan kapasitas ini adalah Pelatihan Legislatif Drafting. Pelatihan ini bertujuan agar para personil KPPOD dapat memahami bagaimana sebuah peraturan perundang-undangan terbentuk, termasuk di dalamnya metode, sistem dan proses pembentukan sebuah peraturan perundang-undangan (legislative drafting). Bentuk kegiatan ini adalah pelatihan yang dilakukan secara intensif selama beberapa hari. Pelatihan ini adalah gabungan antara kegiatan transfer pengetahuan dan latihan penggunaan legislative drafting. Pelatihan Legislatif Drafting dilaksanakan selama tiga hari yang melibatkan trainer dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Beberapa topik materi yang disampaikan dalam pelatihan ini adalah Proses Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Metode dan Teknik Penyusunan Rancangan peraturan perundang-undangan, jenis, norma, perumusan norma, dan Ragam Bahasa Hukum dalam Peraturan Perundang-Undangan, Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan, dan pengesahan, penetapan, Pengundangan, dan sosialisasi Peraturan Perundang-undangan. Metode untuk mengantarkan seluruh materi dalam training ini adalah metode interaktif, komunikatif dan partisipatif antara trainer dengan peserta. Training didahului dengan penyampaian materi yang disampaikan di dalam suatu presentasi dan kemudian dilanjutkan dengan diskusi dan tanya jawab dari peserta lokalatih. Training juga dilengkapi dengan simulasi atau latihan yang sesuai dengan materi training.
22
Boedi Rheza Peneliti KPPOD
Laporan Kegiatan
Rangkaian Kegiatan Pelatihan ini dibuka dengan penyampaian materi tentang problematika-problematika hukum yang terjadi saat ini dan arah pengembangan hukum ke depan. Dalam sesi yang diantarkan oleh Kepala BPHN, Dr. Enny Nurbaningsih, disampaikan permasalahanpermasalahan yang terjadi seperti penyusunan kebijakan yang tidak partisipatif dan aspiratif; perencanaan pembuatan kebijakan yang tidak terkait dengan RPJMD serta masih adanya kebijakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka pemerintah maupun Pemda sudah selayaknya membuat semacam perencanaan untuk pembuatan kebijakan yang disebut dengan program legislasi daerah (prolegda). Selain itu, agar kebijakan tepat sasaran atau sesuai kebutuhan, diperlukan sebuah naskah akademik. Naskah akademik berfungsi sebagai bahan awal atau bahan pertimbangan bagi rancangan sebuah kebijakan termasuk perda. Kemudian sesi berikutnya adalah pemaparan tentang naskah akademik. Naskah akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah dalam suatu RUU dan Ranperda sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. Di dalam sesi ini, disampaikan posisi Naskah Akademik di dalam rangkaian proses pembuatan kebijakan, dan substansi dari naskah akademik. Dilanjutkan, Sesi Perencanaan Pembentukan Peraturan Perundangundangan (Perda) dan simulasi Untuk memberikan pemahaman lebih lanjut dari proses penyusunan pembentukan perda. Perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya perda, dimaksudkan agar pemerintah memiliki suatu prioritas di dalam pembuatan kebijakan. Hal ini penting bagi pemerintah agar memiliki suatu gambaran obyektif tentang kondisi umum perundangundangan. Dengan adanya perencanaan ini, juga
akan mencegah terjadinya tumpang tindih peraturan perundang-undangan, dan dapat menumbuhkan sinergitas antar lembaga. Di hari kedua, pelatihan dibuka dengan sesi simulasi penyusunan naskah akademik. Di sesi ini, disampaikan tentang pengertian, posisi, fungsi dan sistematika naskah akademik. Naskah akademik memiliki posisi penting dalam pembuatan suatu kebijakan. Hasil keluaran dari naskah akademik adalah dasar atau rumusan hal-hal yang ingin dicapai dalam pembuatan suatu kebijakan. Oleh karena itu, naskah akademik juga harus dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Sesi selanjutnya adalah sesi Metode dan teknik penyusunan kebijakan, khususnya peraturan daerah (Perda). Sesi ini sangat penting bagi KPPOD yang dengan aktif mengadvokasi kebijakan-kebijakan di daerah khususnya perda. Pedoman dalam penyusunan peraturan perundang-undangan mengacu pada kerangka yang terdapat dalam UU Nomor 12 Tahun 2011. UU tersebut mengatur tentang pedoman konsiderans, substansi, dan dictum dari suatu perundang-undangan. Hari kedua ditutup dengan sesi latihan untuk mencermati atau mengkaji perda berdasarkan pedoman yang telah disampaikan di sesi sebelumnya. Di dalam sesi latihan ini peserta tidak hanya diminta untuk mengkaji substansi perda namun juga dari sisi teknis perda. Materi akhir yang disampaikan dalam pelatihan ini adalah materi tentang pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan peraturan perundangundangan. Dalam sesi ini disampaikan tentang tata cara pengesahan, dan pengundangan perda. Dalam penyebarluasan peraturan perundang-undangan, penyebarluasan tidak hanya pada saat peraturan perundang-undangan sudah terbit, namun juga pada saat proses pembuatan, seperti pada tahap pembahasan dengan penyebaran ranperda untuk mendapatkan masukan dari masyarakat.
23
Seputar Otonomi
Sketsa Otonomi Daerah Tahun 2014
T
ahun 2014, kita catat, sebagai tahun politik. Rangkaian pemilu dan segala peristiwa politik besar tumpah di sepanjang kalender waktu. Pada tahun ini kita memiliki pemimpin baru pemerintahan. Tentu juga, pada tahun ini kita menyambut anggota parlemen yang didominasi wajah-wajah baru, dengan profil dan rekam jejak yang beragam, baik di level nasional maupun yang tersebar di 500 daerah otonom (propinsi/kabupaten/kota).
Dalam agenda desentralisasi/otonomi, tahun 2014 menandai lahirnya berbagai kebijakan besar. Segala dinamika politik sudah menjadi saksi sejarah dibalik dan mengiringi kelahiran sebagian UU, terutama berkenan pengaturan khusus sistem pemilihan kepala/wakil kepala daerah (pilkada). Pada aras implementasi, sejumlah agenda otonomi pada tahun ini juga terbilang strategis. Sebagian perjalanan kita berotonomi di tahun 2014 ini akan diangkat dalam sebuah catatan ringkas berikut. Tataran Kebijakan Boleh jadi, sepanjang sejarah politik legislasi kita, tahun 2014 menjadi satu-satunya tahun di mana berbagai kebijakan besar terkait otonomi dan penyelenggaraan pemerintahan lokal diterbitkan. Awal 2014 Pemerintah mengesahkan beleid baru tentang Desa, yakni UU No.6 Tahun 2014, yang disahkan bersamaan beleid pendukung reformasi birokrasi—UU No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Menjelang berakhirnya masa jabatan DPR periode 2009-2014, di penghujung September disetujui dan kemudian disahkan paket undang-undang pokok pengaturan Pemda, yakni UU No.22 Tahun 2014 tentang Pilkada (kemudian diubah menjadi Perppu No.1 Tahun 2014), UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemda (kemudian diubah menjadi Perppu No.2 Tahun 2014), dan UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Semua UU di atas membawa satu level baru dalam pengaturan pemerintahan dan membentuk pola yang berdimensi lain dalam hubungan Pusat-Daerah di masa
24
Robert Endi Jaweng Direktur Eksekutif KPPOD
Seputar Otonomi
mendatang. Tidak heran, sebagian pihak menyebut bahwa semua beleid tersebut adalah tanda hadirnya babak baru dalam otonomi daerah di negeri ini. Lihat, sekedar misal, muatan isi dan perubahan yang terkandung dalam UU Pemda. Di bawah UU tersebut, pemda tak lagi memiliki ruang otonomi seluas sebelumnya, sebagaimana yang mereka nikmati saat pemberlakuan UU No.22 Tahun 1999 maupun UU No.32 Tahun 2004. Otoritas Pemerintah Pusat ke depan akan hadir dalam derajat yang tinggi, bahkan berujung pada jatuhnya sanksi pemberhentian Kepala Daerah. 1. UU Pemda lebih memberikan penekanan pada garis akuntabilitas Daerah kepada Pusat. Selama ini kita hanya menuntut perluasan kewenangan dan fiskal dari Pusat ke Daerah namun lemah dalam akuntabilitas kinerja (yang ada hanya akuntabilitas prosedural) dari daerah ke Pusat. Bahkan, dalam UU Pemda dikenalkan sanksi pemberhentian kepada Kepala Daerah, meski pada level PP masih perlu dijabarkan lebih detil kriteria dan mekanismenya agar menghindari potensi politisasi oleh Pusat kepada Kepala Daerah. 2. Penarikan sejumlah urusan (pertambangan, kehutanan, kelautan dan perikanan) yang saat ini di urus Kabupaten/Kota ke Propinsi. Pada satu sisi ini memang dilematis lantaran prinsip otonomi untuk mendekatkan jarak antara birokrasi dengan masyarakat dan memperpendek rentang kendali pemerintahan jelas diabaikan. Mengingat praktik buruk di daerah selama ini dan kebutuhan skala ekonomi, pertimbangan eksternalitas urusanurusan yang berbasis lahan luas, penarikan kembali urusan tersebut diharapkan bisa menjamin efisiensi dan kepastian business-process (perijinan hingga
pengendalian/pengawasan) oleh pemerintah kepada pelaku usaha. 3. Penguatan Propinsi, khususnya Gubernur sebagai Wakil Pusat di daerah, dalam menjalankan fungsi korbinawas (koordinasi, pembinaan, pengawasan) atas Kab/Kota. Bahkan, kalau sebelumnya Perda dibatalkan Presiden, ke depan Gubernur berwenang membatalkan Perda Kab/kota dan Mendagri membatalkan Perda Propinsi. Pergeseran otoritas pembatalan Perda ini diharapkan segera dilapisi dengan penguatan kapasitas (kelembagaan/personil) agar proses review Perda yang saat ini banyak bermasalah bisa dilakukan secara efektif. 4. Perubahan mekanisme pemekaran dan pembentukan daerah otonom baru (DOB) merupakan terobosan penting dalam UU Pemda yang baru. Pertama, pintu usulan hanya melalui Kemendagri (pintu usulan DPR dan DPD ditutup). Dijadikannya pemerintah sebagai titik akses tunggal dalam pintu usulan pemekaran diharapkan bisa menghindari politisasi pemekaran sejak di hulu (fase usulan) sebagaimana yang ditengarai selama ini. Kedua, konsep daerah persiapan di mana daerah baru tidak langsung berstatus sebagai daerah otonom namun mesti melewati proses sebagai daerah persiapan selama 3 tahun dengan dasar pembentukannya adalah PP. Tataran Implementasi Dalam praktik dan dinamika di lapangan, tahun 2014 sarat dengan catatan penting. Dari sisi anggaran, APBN 2014 mengalokasikan sekitar 30% belanja Negara ke daerah, yakni sebesar Rp 592 Triliun dalam bentuk
Tabel 1. Dana Perimbangan maupun Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian BELANJA NEGARA Rp 1.842,5 TRILIUN Dana Perimbangan Rp 487,9 Triliun, terdiri atas:
Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian Rp 104,6 Triliun, terdiri atas:
z Dana Otonomi Khusus Rp 16,1 T dibagi untuk Prov. Papua, Prov. Papua TRANSFER Barat, dan Prov. Aceh, termasuk dana tambahan Otsus Infrastruktur z DBH Rp 113,7 T dialokasikan kepada KE Rp 2,5 T, untuk Prov. Papua dan Prov. Papua Barat. Dana tambahan daerah berdasarkan pendapatan APBN guna DAERAH Otsus Infrastruktur digunakan untuk mempercepat pembangunan dan mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pemeliharaan infrastruktur Prov. Papua dan Prov. Papua Barat; pelaksanaan desentralisasi; z DAU Rp 341,2 T dialokasikan sebagai Rp 592,6 z Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Rp 523,9 T dialokasikan untuk penyelenggaraan urusan Keistimewaan Daerah alat pemerataan kemampuan keuangan Triliun Istimewa Yogyakarta; dan antardaerah dan mengurangi kesenjangan z Dana Penyesuaian Rp 87,9 T antara lain untuk: fiskal antardaerah; dan • Tunjangan Profesi Guru PNSD, Bantuan Operasional Sekolah (BOS); z DAK Rp 33,0 T dialokasikan untuk urusan • Dana Insentif Daerah (DID) diberikan agar daerah berupaya untuk daerah dan sesuai dengan prioritas nasional mengelola keuangannya dengan lebih baik yang ditunjukkan dengan dalam rangka mendorong percepatan perolehan opini Badan Pemeriksa Keuangan atas laporan keuangan pembangunan daerah dan pencapaian pemerintah daerah dan menetapkan APBD secara tepat waktu. sasaran nasional.
Ã
25
Seputar Otonomi
Dana Transfer (Dana Perimbangan maupun Dana Otsus dan Penyesuaian) dari total Rp 1.842 Triliun Belanja Negara. Isu utama yang muncul di sini bukan saja lagu lama soal masih kurangnya alokasi ke daerah dibandingkan beban urusan yang terdesentralsiir tetapi juga kualitas belanja (efisiensi), daya serap dan mutu administrasi pelaporan yang masih buruk. Dalam kasus daya serap anggaran, misalnya. Jika pada tahun-tahun silam tingkat daya serap akhir semester pertama tahun fiskal biasanya sekitar 35% dari total belanja, tahun 2014 ini ternyata hanya mencapai 31% (Tabel 2). Laju realisasi anggaran tersebut mengkhawatirkan, sehingga banyak pihak yang memperkirakan bahwa rerata nasional daya serap akhir tahun anggaran 2014 bisa jauh lebih rendah dari capaian umum selama ini yang berkisar 95%-97% per tahunnya. Ujungnya, lagu lama soal sisa lebih anggaran atau tabungan di perbankan kembali terulang, bahkan dengan jumlah yang boleh jadi lebih besar (Tabel 3).
Pada dimensi isu yang lain, reformasi birokrasi perijinan usaha yang menjadi salah satu prioritas pemerintahan Jokowi-JK juga menampakkan sisi capaian yang patut diperhatikan. Selain terbitnya Perpres No.97 Tahun 2014 yang mencoba mengatur “model bersama” untuk menjembatani model PTSP versi Kemendagri dan model BKPM selama ini, pada tahun 2014 ini juga kita melihat semakin banyaknya daerah yang membentuk PTSP. Meski soal kinerja (efektifitas) dan dampak perubahan (citra birokrasi, animo masyarakat dan realisasi jumlah ijin) adalah soal lain, kuantitas yang membesar ini bisa dianggap sebagai langkah awal bagi daerah dalam mendorong reformasi birokrasi di daerahnya. Perhatian pada tahap lanjut, selain penguatan PTSP yang sudah terbentuk, adalah dorongan kepada daerah yang belum ber-PTSP mengingat pentingnya kualitas pelayanan usaha dan daya saing sebagai pintu masuk reformasi sektor publik dalam persaingan global kini.
Tabel 2. Realisasi Belanja Per Propinsi, Semester I 2014
Tabel 3. Simpanan Pemda di Perbankan, Semester I 2014
26
Seputar Otonomi
Tabel 4. Jumlah Daerah yang Memiliki PTSP, 2014
Sebagai pasangan kembar perijinan adalah pungutan (pajak, retribusi) atas kegiatan usaha di daerah. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, terutama sejak 2010, tahun ini juga kita tidak melihat adanya perda yang dibatalkan. Kementerian Keuangan maupun KPPOD, misalnya, dalam kajiannya menemukan sejumlah perda bermasalah dan bahkan patut untuk direvisi/dibatalkan namun pembatalan tersebut tak kunjung terwujud lantaran terlalu tingginya otoritas pembatalan Perda di tangan Presiden. Untuk itu, advokasi yang dilakukan saat perubahan UU Pemda adalah “menurunkan” kembali otoritas pembatalan Perda dari Presiden ke Mendagri dan Gubernur, serta memperkuat kapasitas teknis penanganan (review, evaluasi dan pengawasan) ke depan. Advokasi tersebut berhasil diakomodir dalam UU No.23 Tahun 2014 dan khusus untuk perda bidang pajak dan retribusi daerah diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Menkeu No. SE-1/MK.7/2014 tentang Mekanisme Koordinasi Evaluasi Ranperda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Di penghujung 2014, cerita lama kembali berulang: sebagian pemda belum juga menyusun APBD untuk TA 2015. Hingga ujung 2014 masih ada 8 dari total 34 provinsi yang belum menyerahkan RAPBD. Sementara 21 provinsi sudah menyerahkan draft RAPBD yang telah melewati proses evaluasi dan sudah diterbitkan Kepmendagri untuk ditetapkan sebagai APBD 2015, dan RAPBD dari 5 Propinsi masih dalam proses evaluasi akhir. Gambaran lebih bervariasi adalah pada kabupaten/kota: lebih dari setengah total Kab/Kota masih belum berkepastian mengenai dasar hukum
pengelolaan anggarannya di tahun aanggaran 2015 nanti. Menyikapi persoalan demikian, Mendagri menerbitkan Surat Edaran No. 903/6865/SJ berisi penegasan kepada semua daerah perihal deadline penyusunan APBD. Jika batas waktu tersebut dilanggar maka sanksi dikenakan kepada Kepala Daerah dan DPRD berupa pemotongan hak-hak keuangan (gaji, tunjangan, dll) mereka. Hal tersebut merupakan penegasan atas UU No.23 Tahun 2014. Namun, sejauh mana sanksi tersebut dapat berlaku efektif dalam penerapannya… masih kita lihat pembuktiannya di tahun 2015 mendatang. Catatan Penutup Selepas tahun politik 2014, kita sesungguhnya belum lepas dari status tahun politik. Pada tahun 2016 nanti terdapat 205 daerah yang menyelenggarakan pilkada, dan menurut Perppu No.1 Tahun 2014 dilakukan secara serentak. Sejumlah biaya dan enerji anak bangsa tentu akan dialokasikan ke sana. Namun, kita tentu tidak bisa hanya mengurus perhelatan politik tersebut. Otonomi harus berputar normal dan kembali bertenaga untuk menghantarkan kesejahteraan dan kualitas hidup yang membaik bagi masyarakat. Kerja, kerja dan kerja adalah tekad Presiden Jokowi dan Kabinet Kerja saat ini. Dalam konteks otonomi, nawacita “membangun Indonesia dari Pinggir” adalah tekad untuk memulai pekerjaan mahaserius di tahun 2015 kelak. Mari kita bekerja, menghadirkan bukti, dan mewujudkan cita kesejahteraan yang menyifati tujuan dalam semesta otonomi kita.
27
Agenda KPPOD
Kegiatan KPPOD Terkini
1. Studi Evaluasi UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah Dalam rangka untuk terus memberikan kontribusi pada perbaikan iklim investasi di Indonesia, KPPOD melakukan kajian terhadap Perda-Perda yang diterbitkan pasca diberlakukannya UU No. 28. Tahun 2009. Study ini dilakukan dengan membandingkan kondisi Perda pada era UU No. 34 Tahun 2000. Dengan mengumpulkan 14.128 perda yang berkaitan dengan pungutan dan perizinan KPPOD melakukan desk study sejak Oktober hingga November 2014. Memperkuat hasil temuan desk study, KPPOD melakukan field study di dua daerah, yaitu Kota Cirebon di Provinsi Jawa Barat dan Kota Samarinda di Provinsi Kalimantan Timur. Field Study yang dilakukan sejak tanggal 24 hingga 29 November 2014 bertujuan untuk melihat dampak penerapan perda yang dianggap memiliki atau berpotensi masalah pada study sebelumnya. Secara umum studi ini menemukan bahwa perda-perda pungutan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 relatif tidak bermasalah dibandingkan perda-perda pungutan berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000. Sistem daftar tertutup (closed list) yang diterapkan dalam UU No. 28 Tahun 2009 memberikan dampak cukup baik bagi kegiatan usaha, yakni kepastian hukum bagi pengusaha dalam memperkirakan biaya pajak dan atau restribusi mereka tanggung.
2. Program Knowledge Sector Initiative (KSI) Sebagai program peningkatan kapasitas lembaga mitra, KSI secara rutin menyelenggarakan kegiatan yang menyokong kinerja. Pada Tanggal 3 Desember 2014, KPPOD mengikuti Training Taksonomi yang bertempat di kantor KSI. Training yang diperuntukkan oleh lembaga mitra KSI ini bertujuan utama untuk meningkatkan kemampuan dalam memanagement pengetahuan yang dimiliki oleh setiap lembaga mitra agar lebih tertata dan mudah diakses Pengertian Taksonomi sendiri adalah salah satu bagian dari manajemen
28
Winantyo IT & Dokumentasi KPPOD
Agenda KPPOD
pengetahuan organisasi. Taksonomi membantu menata dan mengelola kekayaan informasi untuk kepentingan bersama. Sebagai bagian dari pengelolaan pengetahuan yang lebih besar, taksonomi memperhitungkan teknologi informasi, budaya organisasi, dan sumber daya manusia di setiap organisasi. Taksonomi mendukung klasifikasi dan manajemen dokumen di database bersama (shared drive) sebagai sebuah proses standar dalam bekerja. sehingga membantu semua staf memahami organisasi, program, kemajuan dan hasil akhir. Taksonomi mendorong setiap anggota tim untuk menerapkan struktur folder dan penamaan file yang konsisten, serta membiasakan diri mengelola konten kegiatan secara tepat waktu. Selain itu, pelaksanaan taksonomi secara efektif juga mendukung setiap anggota tim untuk bekerja secara independen dengan aliran informasi yang transparan dan tepat waktu.
3. Program Ford Foundation Pada Tanggal 6 hingga 8 Oktober 2014 KPPOD mengikuti ELOPHE Learning and Sharing Meeting yang dilaksanakan oleh Ford Foundation. Kegiatan ini bertujuan agar lembaga yang bekerjasama dengan Ford Foundation saling bertukar ide. Keunggulan dan keberhasilan setiap lembaga dapat diadopsi oleh lembaga-lembaga lainnya. Ford Foundation juga melaksanakan Program Training Strategi Komunikasi. Training ini diselenggarakan selama dua hari berturut-turut, sejak tanggal 9 hingga 10 Desember 2014 bertempat di Kantor Ford Foundation Jakarta. Training yang dipandu oleh Spitfire Strategies bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan strategi dalam menggunakan komunikasi. Hasil dari training ini diharapkan masing-masing lembaga akan memiliki perancanaan strategi komunikasi dalam setiap program.
29
PUBLIKASI KPPOD
T K E D (Tata Kelola Ekonomi Daerah) 2011 ini bertujuan memberikan gambaran mengenai kualitas TKED di 245 kabupaten/kota di 19 provinsi di Indonesia. Studi ini diharapkan dapat menjadi basis bagi pemerintah daerah kab./ kota untuk memprioritaskan reformasi dan perbaikan kinerja atas berbagai aspek tata kelola ekonomi daerahnya. Selain itu, studi ini juga diharapkan dapat menciptakan iklim kompetisi antar kab./kota yang sehat. Bagi pemerintah provinsi hasil kajian ini dapat dipergunakan sebagai salah satu alat pemantauan kinerja kab./kota. Bagi pelaku usaha, hasil studi ini diharapkan memberikan informasi mengenai kualitas tata kelola ekonomi di masing-masing kabupaten/kota yang dapat membantu mereka melakukan putusan inventasi dan pengembangan usaha.
Doing Business di Indonesia 2012 merupakan laporan khusus kedua yang mengukur kinerja di daerah dari seri Doing Business di Indonesia. Tahun 2010, analisa telah dilakukan atas indikator-indikator kuantitatif yang terkait dengan peraturan-peraturan usaha di 14 kota: Balikpapan, Banda Aceh, Bandung, Denpasar, Jakarta, Makassar, Manado, Palangka Raya, Palembang, Pekanbaru, Semarang, Surabaya, Surakarta, dan Yogyakarta. Tahun 2012, Doing Business di Indonesia mencatat perbaikan di 14 kota yang telah diukur sebelumnya dan memperluas cakupan analisa ke 6 kota lainnya seperti: Batam, Gorontalo, Jambi, Mataram, Medan, dan Pontianak. Kriteria seleksi mencakup tingkat urbanisasi, populasi, kegiatan ekonomi, keragaman politis dan geografis, dan faktor lain.
30
Edisi Mendatang KPPOD Brief Edisi Januari - Maret 2015, mengangkat tema: Penguatan Kapasitas Fiskal Daerah.
Menerima Sumbangan Tulisan KPPOD menerima sumbangan tulisan dalam bentuk kategori, Opini, Artikel, Esai maupun Feature. Tulisan yang dikirim merupakan hasil karya sendiri dan dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis, dan tidak merendahkan pihak tertentu. Tulisan yang dimuat akan mendapat imbalan secukupnya. Syarat dan ketentuan tulisan adalah sebagai berikut: Tulisan sesuai dengan tema-tema KPPOD, seperti Desentralisasi Ekonomi, Pelayanan Publik di Daerah, Iklim Investasi, dan Profil Daerah (Rubrik dari Daerah). Menggunakan bahasa yang mudah dipahami, baik dan benar. Untuk kategori Feature (dari Daerah), panjang tulisan maksimal 10000 karakter tanpa spasi. Untuk kategori Esai, Opini, Artikel, panjang tulisan maksimal 5500-6000 karakter tanpa spasi (disertai dengan foto kejadian). Menyertakan identitas penulis secara singkat dan jelas disertai dengan foto, dan menyertakan nomor telepon yang dapat dihubungi. Isi tulisan menjadi tanggung jawab penulis. Tulisan yang dikirim akan diedit seperlunya tanpa merubah substansi. Tulisan dikirim ke redaksi KPPOD Brief, email:
[email protected] dan cc ke:
[email protected]
31