Materi Pelatihan
PENDAPATAN DAERAH KURSUS KEUANGAN DAERAH Edisi Tahun 2014
Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Materi Pelatihan PENDAPATAN DAERAH “Kursus Keuangan Daerah”
Pengarah
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan – Kementerian Keuangan
Direktur Pembiayaan dan Kapasitas Daerah – DJPK
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah – DJPK
Direktur Dana Perimbangan – DJPK
Editor:
Dr. Hefrizal Handra
Dr. Syarifuddin Saillelah
Kontributor:
Kepala Sub Direktorat Investasi dan Kapasitas Daerah – Dit PKD
Kepala Sub Direktorat Sinkronisasi dan Dukungan Teknis PDRD – Dit PDRD
Kepala Sub Direktorat DAU, Dit Dana Perimbangan
Niniek L. Gyat (Universitas Indonesia) Djaka Waluya (Universitas Gajah Mada) Sri Maryati (Universitas Andalas) Atim Djazuli (Universitas Brawijaya) Fatmawati (Universitas Hasanuddin) Lidia Mawikere (Universitas Sam Ratulangi)
Andi Prasetiawan Hamzah
(Sekolah Tinggi Akuntansi Negara)
Sanusi Fattah (Tim QA) Izzuddin (Tim QA)
Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Didukung oleh: Deutsche Gesellschaft fuer Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH Decentralisation as Contribution to Good Governance (DeCGG) Program Fiscal Decentralisation Component Jakarta 2013
III
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Kata Sambutan Kapasitas sumber daya manusia yang handal di seluruh pemerintah daerah merupakan salah satu kunci sukses pengelolaan keuangan daerah yang effisien, transparan, dan akuntabel. Dalam rangka meningkatkan kompetensi dan pemahaman para aparat pengelolaan keuangan Daerah dari seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) - Kementerian Keuangan sejak tahun 1981/1982 telah menyelenggarakan Kursus Keuangan Daerah (KKD). Sementara itu, kegiatan Kursus Keuangan Daerah Khusus Penatausahaan/Akuntansi Keuangan Daereah (KKDK) diselenggarakan sejak tahun 2007. Dalam pelaksanaannya, KKD dan KKDK dikerjasamakan dengan 7 perguruan tinggi negeri (yang selanjutnya dikenal dengan sebutan center of knowledge/center), yaitu: Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Andalas (Unan), Univeristas Hasanuddin (Unhas), Universitas Brawijaya (UB), Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), dan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Pelaksanaan KKD-KKDK terus mengalami penyempurnaan dan updating terutama terkait dengan kurikulum, satuan acara pembelajaran (SAP), dan modul. Untuk pertama kali, pada tahun 2012, modulmodul kegiatan KKD-KKDK diseragamkan agar setiap lulusan mempunyai pemahaman yang sama atas materi yang diajarkan. Perbaikan kualitas pelaksanaan KKD-KKDK terus dilanjutkan dan pada tahun 2013, DJPK mendapat dukungan dari GIZ untuk melakukan standarisasi Modul KKD-KKDK sehingga modulmodul tersebut diharapkan dapat memenuhi standar modul internasional. Standarisasi modul ini menghasilkan dua produk utama, yaitu: (i) Materi Pelatihan (handbook) ; dan (ii) Panduan Bagi Pelatih (trainer guideline) untuk 6 (enam) jenis pelatihan, yaitu Perencanaan Penganggaran, Pendapatan Daerah, Belanja Daerah, Barang Milik Daerah, Penatausahaan Perbendaharaan Daerah dan Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah. Kami mengucapkan terima kasih kepada GIZ yang telah mendukung pelaksanaan standarisasi materi pelatihan dan panduan bagi pelatih ini sehingga memudahkan bagi para pelatih untuk melaksanakan pelatihan sehingga output dari hasil pelatihan ini memiliki standar yang berkualitas tinggi. Kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para penyusun modul, pimpinan dan pengurus center penyelenggara kegiatan KKD-KKDK serta seluruh pihak yang terlibat dalam proses penyusunan standarisasi materi pelatihan KKD-KKDK ini. Diharapkan dengan kehadiran modul yang telah distandarisasi ini akan menjadikan kualitas dari pelaksanaan pelatihan KKD-KKDK terjaga dengan baik dan juga memudahkan para pelatih dan penyelenggara dalam melaksanakan pelatihan KKD-KKDK. Dengan demikian, diharapkan pelaksanaan pelatihan KKD-KKDK dapat berkontribusi pada perbaikan pengelolaan keuangan daerah. Jakarta, Maret 2014 Direktur Pembiayaan dan Kapasitas Daerah
Adriansyah
IV
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Daftar Isi Kata Sambutan
IV
Abstraksi
IX
Latar Belakang
X
Tujuan Instruksional Umum
XI
Metode Pembelajaran
XI
TOPIK 1 HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
1
1.
3
HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
1.1.
Hubungan Kewenangan Antar Tingkat Pemerintahan
3
1.2.
Hubungan Keuangan antar Tingkat Pemerintahan
8
1.3.
APBN DAN APBD
1.4.
Dana Dekonstrasi, Tugas Pembantuan, dan Dana Urusan Bersama
16
1.5.
Soal Latihan
22
TOPIK 2 PENGANTAR PENDAPATAN DAERAH
23
2.
Pengantar Pendapatan Daerah
25
2.1.
Pengertian Pendapatan Daerah
25
2.2.
Pengertian Pendapatan Asli Daerah
25
2.3.
Sumber-Sumber PAD
29
2.4.
Dasar Hukum PAD
30
2.5.
Pengertian Dana Perimbangan
30
2.6.
Pengertian Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah
31
2.7
Soal Latihan
31
TOPIK 3 PENGANTAR PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
32
3.
Pengantar Pajak dan Retribusi Daerah
34
3.1.
Arti Penting PAD dalam Perekonomian Daerah
34
3.2.
Soal Latihan
37
TOPIK 4 PAJAK DAERAH
V
11
38
4.
PAJAK DAERAH
40
4.1.
Pengertian dan Fungsi Pajak Daerah
40
4.2.
Prinsip-Prinsip Pajak Daerah
42
4.3.
Kriteria Pajak Daerah
43
4.4.
Kriteria Memilih Pajak Daerah
45
4.5.
Jenis-Jenis Pajak Daerah
47
4.6.
Masalah-Masalah dalam Penerapan Pajak Daerah
48
4.7.
Isu-Isu Terkini Pajak Daerah
51
4.8.
Soal Latihan
54
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
VI
TOPIK 5 PENGELOLAAN PBB-P2
55
5.
Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)
57
5.1.
Latar Belakang
57
5.2.
PBB-P2 Sebagai Pajak Pusat
58
5.3.
PBB-P2 Sebagai Pajak Daerah
62
5.4.
Fungsi dan Pelaksanaan PBB-P2
62
5.5.
Langkah-Langkah Optimalisasi PBB-P2
63
5.6.
Masalah-Masalah dalam Pemungutan PBB-P2
65
5.7.
Soal Latihan
65
TOPIK 6 RETRIBUSI DAERAH
66
6.
Retribusi Daerah
68
6.1.
Pengertian dan Fungsi Retribusi Daerah
68
6.2.
Jenis-Jenis Retribusi Daerah
68
6.3.
Prinsip dan Tarif Retribusi Daerah
73
6.4.
Masalah-Masalah dalam Penerapan Retribusi Daerah
77
6.5.
Soal Latihan
78
TOPIK 7 PROYEKSI POTENSI DAN PENENTUAN TARIF PAJAK DAERAH
79
7.
Proyeksi Potensi dan Penentuan Tarif Pajak Daerah
81
7.1.
Menaksir Pertumbuhan dengan Teknik Ekstrapolasi
81
7.2.
Teori dan Latihan Menghitung Potensi Pajak Daerah
85
TOPIK 8 PROYEKSI POTENSI DAN PENENTUAN TARIF RETRIBUSI DAERAH
95
8.
Proyeksi Potensi dan Penetuan Tarif Retribusi Daerah
97
8.1.
Teori dan Latihan Menghitung Potensi Retribusi Daerah
97
8.2.
Soal Latihan
106
TOPIK 9 HASIL PENGELOLAAN KEKAYAAN YANG DIPISAHKAN DAN LAIN-LAIN PENDAPATAN ASLI DAERAH YANG SAH
107
9.
Hasil Pengelolaan Kekayaan yang Dipisahkan dan Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah
109
9.1.
Konsep Dasar LPADS
109
9.2.
Jenis dan Sumber LPADS
110
9.3.
Dasar Hukum LPADS
114
9.4.
Optimalisasi LPADS
115
9.5.
Isu-Isu Terkini tentang LPADS
115
9.6.
Soal Latihan
115
TOPIK 10 SISTEM DAN PROSEDUR ADMINISTRASI PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
116
10.
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
118
10.1.
Ruang Lingkup Sistem dan Prosedur Pengelolaan Pajak Daerah
118
10.2.
Maksud dan Tujuan
118
10.3.
Sistem dan Prosedur Pengelolaan Pajak Daerah
119
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
10.4.
Soal Latihan
TOPIK 11 LATIHAN PROSES PENYUSUNAN PERDA TENTANG PDRD
143
11.
Latihan Proses Penyusunan Perda tentang PDRD
145
11.1.
Proses Penyusunan Peraturan Daerah PDRD
145
11.2.
Pengawasan Penyusunan Peraturan Daerah tentang PDRD
146
11.3.
Soal Latihan
149
TOPIK 12 STUDI KASUS OPTIMALISASI PAD
150
12.
Studi Kasus Optimalisasi PAD
152
12.1.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
152
12.2.
Penutup
171
12.3.
Analisa
172
12.4.
Soal Latihan
174
TOPIK 13 KONSEP, PERANAN, DAN KEBIJAKAN DANA TRANSFER KE DAERAH
175
13.
Konsep, Peranan, dan Kebijakan Dana Transfer ke Daerah
177
13.1.
Konsep dan Peranan Dana Transfer di Indonesia
177
13.2.
Jenis-Jenis Dana Transfer di Indonesia
178
13.3.
Tujuan Dana Transfer
179
13.4.
Soal Latihan
180
TOPIK 14 BAGI HASIL PAJAK
181
14.
Bagi Hasil Pajak
183
14.1.
Pengertian dan Dasar Hukum Dana Bagi Hasil
183
14.2.
Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan (PBB-P3)
185
14.3.
Bagi Hasil Pajak Penghasilan (DBH PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri)
188
14.4.
Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBH CHT)
190
14.5.
Soal Latihan
191
TOPIK 15 BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM (SDA)
192
15.
Bagi Hasil Sumber Daya Alam (SDA)
194
15.1.
Pengertian dan Filosofi DBH SDA
194
15.2.
Dasar Hukum dan Dasar Perhitungan DBH SDA
196
15.3.
Formula Alokasi DBH SDA
197
15.4.
Penetapan Alokasi DBH SDA
210
15.5.
Penyaluran DBH SDA
211
15.6.
Soal Latihan
212
TOPIK 16 DANA ALOKASI UMUM (DAU)
VII
142
213
16.
DANA ALOKASI UMUM (DAU)
215
16.1.
Konsep Dasar, Tujuan dan Fungsi DAU
215
16.2.
Formula DAU (Alokasi Dasar dan Fiscal Gap)
218
17.
ANALISIS PERAN DAU DALAM PEMERATAAN FISKAL ANTAR DAERAH
222
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
16.3.
Analisis Ketergantungan Pendapatan Daerah terhadap DAU
224
16.4.
Permasalahan DAU dan Insentif Pemekaran
225
16.5.
Isu-Isu Berkaitan dengan DAU (Perubahan Formula, Daerah dengan DAU Nol atau Minus, Luas Wilayah Laut dan lain lain)
227
16.6.
Soal Latihan
228
TOPIK 17 DANA ALOKASI KHUSUS (DAK)
229
17.
DANA ALOKASI KHUSUS (DAK)
231
17.1.
Konsep Dasar, Tujuan, dan Fungsi DAK
231
17.2.
Kriteria DAK
234
17.3.
Mekanisme Penyaluran DAK
239
17.4.
Isu-Isu tentang DAK
241
17.5.
Soal Latihan
245
18.
DANA TRANSFER LAINNYA (DANA OTSUS DAN DANA PENYESUAIAN, BOS, DID, TPG, DAN TAMSIL GURU)
247
18.1.
Konsep dan Fungsi
247
18.2.
Isu-Isu Terbaru tentang Dana Transfer Lainnya
254
18.3.
Soal Latihan
255
TOPIK 19 LAIN-LAIN PENDAPATAN DAERAH YANG SAH
256
19.
LAIN-LAIN PENDAPATAN DAERAH YANG SAH (LPDS)
258
19.1.
Konsep, Jenis, dan Sumber Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah
258
19.2.
Bagi Hasil Pajak Provinsi
260
19.3.
Pendapatan Hibah
261
19.4.
Dasar Hukum, Optimalisasi, dan Isu Terkini tentang Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah
264
19.5.
Soal Latihan
265
TOPIK 20 SISTIM DAN PROSEDUR DAN PENATAUSAHAAN PENDAPATAN DAERAH
VIII
244
TOPIK 18 DANA TRANSFER LAINNYA (DANA OTSUS DAN DANA PENYESUAIAN, BOS, DID, TPG, DAN TAMSIL GURU)
266
20.
SISTIM DAN PROSEDUR DAN PENATAUSAHAAN PENDAPATAN DAERAH
268
20.1.
Azas Umum Penatausahaan Keuangan Daerah
268
20.2.
Sisdur dan Penatausahaan
268
20.3.
Soal Latihan
287
TOPIK 21 STUDI KASUS PENDAPATAN ASLI DAERAH
288
21.
STUDI KASUS PENDAPATAN ASLI DAERAH
290
21.1.
Upaya Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Melalui Sektor Wisata di Kabupaten Kuningan
290
21.2.
Soal Latihan
302
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pendahuluan dan Latar Belakang
PENDAHULUAN A. Abstraksi Secara keseluruhan, modul ini membahas mengenai konsep, struktur, dan aspek teknis pendapatan daerah, serta kaitannya terhadap perekonomian daerah pada umumnya. Modul ini terdiri dari 8 Bab yang kemudian terbagi kepada 21 topik. Pada setiap topik terdapat pedoman untuk mempelajari topik. Pada bagian akhir masing-masing topik terdapat soal-soal latihan yang ditujukan untuk mengetahui tingkat penyerapan dan pemahaman peserta terhadap materi pelatihan, sebagai feedback untuk perbaikan pembelajaran selanjutnya. Modul dimulai dengan pendahuluan pada bab pertama. Bab ini berisikan abstraksi, latar belakang, tujuan instruksional umum, serta metode pembelajaran yang diterapkan dalam pelatihan, yang dimaksudkan sebagai pengantar menuju pembelajaran materi modul selengkapnya. Bab kedua, membahas secara ringkas hubungan antara pusat dan daerah, meliputi hubungan kewenangan antar tingkat pemerintah, hubungan keuangan antar tingkat pemerintah, struktur dan hubungan antara APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), serta dana dekonsentrasi, tugas pembantuan, dan dana urusan bersama. Bab kedua adalah topik yang berdiri sendiri. Pengertian-pengertian dasar berkaitan dengan pendapatan daerah, dibahas dalam bab ketiga, sebagai bekal untuk memahami dengan lebih baik materi pelatihan pada bab-bab selanjutnya. Pembahasan mencakup pengertian tentang pendapatan daerah, pendapatan asli daerah (PAD), dana transfer, serta lain-lain pendapatan daerah yang sah. Seperti halnya bab 2, bab 3 ini adalah topik yang berdiri sendiri. Proporsi terbesar materi dalam modul ini adalah tentang pendapatan asli daerah (PAD), yang dibahas dalam bab keempat. Bab ini dimulai dengan pengantar dan isu terkini tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Pokok-pokok bahasan selanjutnya adalah mengenai pajak daerah dan retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, serta sistem dan prosedur administrasi pajak daerah dan retribusi daerah. Pengelolaan PBB-P2 dijadikan pokok bahasan tersendiri oleh karena dalam prakteknya masih banyak daerah yang belum optimal melaksanakannya. Pembahasan diakhiri dengan studi kasus proses penyusunan peraturan daerah tentang PDRD dan studi kasus optimalisasi PAD. Bab ini terdiri dari 12 topik Bab kelima, membahas tentang dana transfer. Bab ini dimulai dengan topik konsep, serta peranan dan kebijakan dana transfer ke daerah, lalu dilanjutkan dengan topik bagi hasil pajak pusat, bagi hasil sumber
IX
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pendahuluan dan Latar Belakang
daya alam, dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK), serta dana transfer lainnya. Lain-lain pendapatan daerah yang sah (LPDS), merupakan pokok bahasan dalam bab ke enam modul ini. Pokok bahasan tersebut mencakup konsep dasar – jenis – sumber – dasar hukum – dan optimalisasi LPDS, bagi hasil pajak provinsi, hibah, dan isu-isu terkini tentang LPDS. Selanjutnya, untuk melengkapi pemahaman tentang aspek teknis berkaitan dengan pendapatan daerah, dalam bab ketujuh modul ini dibahas tentang sistem dan prosedur serta penatausahaan pendapatan daerah sebagai sebuah bunga rampai. Bab terakhir, yaitu bab ke delapan, membahas studi kasus pendapatan daerah. Setelah pengantar, materi dilanjutkan dengan contoh kasus pendapatan daerah, dan diakhiri dengan diskusi solusi permasalahan optimalisasi pendapatan daerah.
B.
Latar Belakang
Sistem sentralisasi yang diterapkan secara konsisten dan cukup ketat selama lebih dari tiga dasa warsa oleh pemerintahan Orde Baru, dirasakan oleh masyarakat sebagai belenggu yang menghambat gerak menuju kemajuan daerah. Tuntutan diberlakukannya desentralisasi semakin memperoleh tempatnya ketika pada akhirnya terjadi gerakan reformasi pada pertengahan tahun 1998. Berlandaskan UndangUndang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah serta berbagai peraturan yang mengikutinya, otonomi daerah dan desentralisasi mulai diterapkan di Indonesia. Sejak saat itu terjadi pemberian kewenangan yang semakin luas kepada daerah untuk memberdayakan diri, terutama berkaitan dengan pengelolaan sumber pendanaan yang dimiliki. Perubahan tersebut menuntut kualitas pelayanan publik yang lebih responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat, tuntutan terhadap peningkatan kemampuan pendanaan daerah khususnya melalui peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), serta terciptanya good governance yang bertumpu pada kualitas, integritas, dan kompetensi aparatur pemerintah daerah. Malangnya, reformasi yang berujung kepada perubahan dari sistem sentraliasi ke sistem desentraliasi dengan konsekuensi logis pemberian kewenangan yang semakin luas kepada daerah tersebut, terjadi tak seiring benar dengan kesiapan aparatur pemerintah untuk melaksanakannya secara optimal. Aparatur pemerintah daerah yang selama masa sentralisasi lebih berperan sebagai pembelanja sehingga relatif pasif dan lebih berfungsi sebagai spesialis, setelah diberlakukannya desentralisasi dituntut untuk berperan sebagai aktor penting yang harus aktif dan lebih berfungsi sebagai generalis. Peningkatan pengetahuan, pemahaman, dan penguasaan konsep serta aspek teknis maupun yuridis berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah, menjadi syarat yang diperlukan (necesarry condition) sekaligus syarat yang mencukupi
X
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pendahuluan dan Latar Belakang
(sufficient condition) agar aparatur pemerintah dapat menjalankan peran dan fungsi baru tersebut dengan sebaik-baiknya. Salah satu aspek yang amat penting – jika tidak boleh dikatakan dominan - dalam pengetahuan, pemahaman, dan penguasaan konsep maupun aspek teknis pengelolaan keuangan daerah, adalah pengetahuan, pemahaman, dan penguasaan konsep maupun aspek teknis berkaitan dengan pendapatan daerah. Sebab, pendapatan daerah memang menduduki posisi sentral. Apabila proses dan kegiatan pembangunan di daerah boleh dianalogikan sebagai gerak faali manusia, pendapatan daerah adalah darah. Darah inilah yang menyediakan, mengalokasikan, dan mendistribusikan energi ke masing-masing unsur faali yang bergerak. Dengan alokasi dan distribusi energi itulah unsur-unsur faali mampu bersinergi agar tubuh dapat bergerak mengarah pada sasaran yang hendak dituju. Dengan latar belakang pemikiran tersebut di atas, dilaksanakanlah pelatihan dengan materi pendapatan daerah, sebagai bagian dari Kursus Keuangan Daerah (KKD) bagi aparatur pemerintah. Pelatihan tersebut merupakan upaya untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas aparatur pemerintah agar mampu melaksanakan tugas pokok dan fungsinya di bidang keuangan daerah secara optimal.
C.
Tujuan Instruksional Umum
Setelah mengikuti dengan aktif dan lulus dari pelatihan ini, peserta dapat mengetahui, memahami, dan menguasai konsep, struktur, dan aspek teknis berkaitan dengan pendapatan daerah dan kaitannya terhadap perekonomian daerah.
D.
Metode Pembelajaran
Setidaknya ada 5 metode pembelajaran utama yang dapat digunakan dalam penyampaian materi pendapatan daerah dalam latihan ini, yakni:
XI
1)
Ceramah, yaitu penyampaian materi latihan secara oral oleh pengajar atau instruktur, digunakan terutama untuk konsep, teori, atau pengertian yang umumnya diberikan secara satu arah. Alat bantu yang sering digunakan dalam ceramah adalah slide atau power point yang berisi pokokpokok materi ajar.
2)
Metode atau pendekatan partisipatif (participatory method atau participative approach), yaitu mengajak peserta pelatihan untuk terlibat aktif memberikan kontribusi dalam kegiatan pelatihan baik secara individu maupun berkelompok. Digunakan terutama untuk curah pendapat, investigasi pengetahuan dasar, berbagi pengalaman praktis (best practice sharing), koleksi isu-isu terkini, dan tanya-jawab. MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pendahuluan dan Latar Belakang
XII
3)
Diskusi, yaitu pembahasan atau pencarian solusi bersama secara terpandu terhadap suatu bagian materi, isu, atau kasus, dengan penekanan kepada pendapat dan argumentasi.
4)
Presentasi, yaitu penyampaian secara visual dan oral hasil diskusi, penugasan, atau kerja kelompok. Dalam kegiatan presentasi, diberikan kepada kelas kesempatan untuk menyampaikan tambahan informasi, saran, kritik, mapun sanggahan, sebagai pelengkap, pengkaya, dan peningkat penguasaan materi.
5)
Latihan atau praktek, yaitu kegiatan untuk meningkatkan penguasaan aspek teknis materi pelatihan dengan menggunakan instrumen yang sesuai. Termasuk dalam teknik pembelajaran ini adalah observasi dan koleksi data pada obyek tertentu yang relevan dengan materi pelatihan.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TOPIK 1
HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
Hubungan Pusat Dan Daerah
Deskripsi: Topik ini menjelaskan hubungan antar tingkat pemerintahan, hubungan keuangan antar tingkat pemerintahan, serta hubungan antara APBN dan APBD.
Sub Topik Hubungan Kewenangan Antar Tingkat Pemerintah Hubungan Keuangan Antar Tingkat Pemerintah APBN dan APBD
Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan
Kata Kunci Negara Kesatuan, Desentralisasi, Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan Pendelegasian Kewenangan pendapatan, kesenjangan vertikal dan horizontal, Bagan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah. Struktur APBN, Struktur APBD, Keterkaitan APBN dan APBD, Anggaran pembiayaan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan
Referensi: 1. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 2. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 3. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah 4. UU No. 12/2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004. 5. Rondinelli, Denis, 'What is Decentralization? in Decentralization Briefing Notes, World Bank Institute, available in http:/www.worldbank.org/. 6. Pelengkap Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah, Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia, berbagai tahun, dapat di download dari http://www.djpk.depkeu.go.id/
2
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Hubungan Pusat Dan Daerah
1.
HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
1.1.
Hubungan Kewenangan Antar Tingkat Pemerintahan
Dalam suatu negara, hubungan kewenangan antar tingkat pemerintahan sangatlah penting. Hubungan tersebut menentukan oleh siapa dan bagaimana pengaturan kehidupan serta upaya-upaya pemenuhan kewajiban maupun hak masyarakat di negara bersangkutan diselenggarakan. Pengaturan kewenangan yang jelas, akan menghindarkan tumpang tindih hak dan tanggung jawab, serta menghindarkan terabaikannya suatu urusan. Kejelasan pengaturan kewenangan, juga akan mengefisienkan biaya penyelenggaraan kehidupan bernegara. Bentuk Negara dan Kewenangan Antar Tingkat Pemerintahan Bentuk negara akan menentukan bagaimana kewenangan antar tingkat pemerintahan dalam negara tersebut diatur. Dua bentuk negara yang terpenting di dunia sekarang ini adalah negara federal atau negara serikat (The Federal State), dan negara kesatuan (The Unitary State). Negara federal, umumnya terbentuk dari bergabungnya negara-negara yang berdaulat. Oleh sebab itu, setiap negara bagian/provinsi juga merupakan wilayah yang berdaulat. Negara bagianlah yang berwenang mengatur peri kehidupan secara internal. Masing-masing negara bagian biasanya memiliki sistem hukum sendiri. Negara bagian berhak membuat undang-undang negara yang berlaku di negara bagian tersebut, termasuk undang-undang tentang pemerintah daerah. Sebagai konsekuensinya, pemerintah daerah merupakan bentukan pemerintah negara bagian, bukan bentukan pemerintah federal. Sistem pemerintahan daerah juga dapat berbeda antara satu negara bagian dengan negara bagian yang lain, karena setiap negara bagian berhak menentukan sistemnya sendiri. Contoh negara federal adalah: Australia, Canada, Jerman, USA. Di negara kesatuan, kedaulatan pada dasarnya ada di pemerintah pusat. Provinsi dan daerah adalah bentukan pusat. Pusat dapat memilih untuk melakukan desentralisasi ataupun sentralisasi. Jumlah provinsi dan daerah dalam negara kesatuan ditentukan oleh pusat, sehingga penggabungan dan pemekaran provinsi atau daerah dapat terjadi. Contoh negara kesatuan adalah: Belanda, China, Indonesia, Inggris, Jepang, Thailand. Meskipun demikian, di negara kesatuan tetap dimungkinkan adanya sistem pemerintahan daerah yang berbeda dari satu wilayah ke wilayah yang lain (desentralisasi asimetrik). Di Inggris, sistem pemerintahan daerah di wilayah England berbeda dengan sistem pemerintahan daerah di Scotland ataupun Wales. Di
3
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Hubungan Pusat Dan Daerah
Indonesia, sistem pemerintahan daerah di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Daerah Otonomi Khusus Aceh, dan Daerah Istimewa Yogyakarta, berbeda dengan sistem pemerintahan daerah lainnya. Bentuk Hubungan Kewenangan Antara Pusat dan Daerah Ada 4 jenis bentuk hubungan kewenangan antara pusat dan daerah, yakni: 1) Devolusi. 2) Desentralisasi. 3) Dekonsentrasi (Desentralisasi Administrasi). 4) Tugas Pembantuan. Di Indonesia, yang dikenal hanya tiga dari empat istilah di atas. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 (UU 32 Tahun 2004) tentang Pemerintahan Daerah: 1)
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2)
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
3) Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa, untuk melaksanakan tugas tertentu. Secara teoretis, devolusi atau desentralisasi politik dimaknai sebagai pemberian kewenangan dalam membuat keputusan dan pengawasan tertentu terhadap sumber-sumber daya yang diberikan kepada badan-badan pemerintah regional dan lokal atau lembaga politik di daerah. Pemberian wewenang ini dimaksudkan untuk memberdayakan kemampuan lokal (empowerment local capacity). Sebagai perbandingan terhadap definisi pada UU No. 32 Tahun 2004, Rondinelli mengklasifikasikan bentuk hubungan antar pemerintahan, sebagai berikut:
4
1)
Deconsentration (dekonsentrasi), yaitu penyelenggaraan urusan pemerintah pusat kepada daerah melalui wakil perangkat pusat yang ada di daerah. Pelaksanaan dekonsentrasi dapat dilakukan melalui dua bentuk yaitu field administration dan local administration. Seterusnya local administration dapat dilaksanakan secara integrated dan unintegrated.
2)
Delegation to semi-outonomous and parastatal organizations, adalah suatu pelimpahan kewenangan dalam pembuatan keputusan dan manajerial dalam melaksanakan tugas-tugas khusus kepada suatu organisasi yang tidak langsung berada di bawah pengawasan pemerintah pusat.
3)
Devolution to local government (devolusi), yaitu penjelmaan dari desentralisasi dalam arti luas, yang berakibat bahwa pemerintah pusat harus membentuk unit-unit pemerintahan di luar pemerintah MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Hubungan Pusat Dan Daerah
pusat, dengan menyerahkan fungsi dan kewenangan untuk dilaksanakan secara sendiri atau disebut dengan desentralisasi teritorial. 4)
Delegation to non-government institutions, yaitu penyerahan atau transfer fungsi dari pemerintah kepada organisasi/institusi non pemerintah. Dengan sebutan lain sebagai privatisasi, yaitu suatu bentuk pemberian wewenang dari pemerintah kepada badan-badan sukarela, swasta, LSM/NGO’s, tetapi juga merupakan penyatuan badan-badan milik pemerintah yang kemudian di swastakan, seperti BUMN dan BUMD dilebur menjadi Perseroan Terbatas (PT).
Di Indonesia, pembentukan pemerintahan otonom terkadang tidak disertai dengan pembentukan institusi dan kewenangan yang jelas. Belajar dari berbagai literatur terkait otonomi, sebuah organisasi pemerintahan yang otonom paling tidak memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Organisasi yang legal. Memiliki kewenangan dan fungsi yang jelas. Paling sedikit mempunyai lembaga eksekutif dan lembaga perwakilan konstituen. Memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pegawainya sendiri. Memiliki budget (anggaran) sendiri. Akuntabilitas ke konstituen dan peraturan perundang-undangan.
Praktek Desentralisasi di Indonesia Indonesia adalah negara kesatuan, yang dibentuk setelah proklamasi 17 Agustus 1945 dengan berlandaskan kepada pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur mengenai bentuk negara Indonesia. Dalam kaitannya dengan desentralisasi, Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur secara rinci mengenai penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa aturan yang lebih khusus mengenai pemerintah daerah dan kekuasaannya akan ditetapkan dengan Undang-Undang. Sejak masa kemerdekaan, ada enam undang-undang (UU) dan satu Instruksi Presiden (Inpres) tentang aspek politik dan administrasi pemerintah daerah, yakni UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, Instruksi Presiden No. 6 Tahun 1959, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan UU No. 32 Tahun 2004. Tiap-tiap undang-undang tersebut memberikan pendekatan yang berbeda untuk sistem desentralisasi. Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri, pada bulan Mei 2013, di Indonesia terdapat 34 provinsi, 407 kabupaten, dan 99 kota. Setiap tingkatan pemerintahan daerah, diberi tanggung jawab tertentu. Provinsi di Indonesia memiliki fungsi yang terbatas. Wewenang utama pemerintah provinsi adalah dalam hal yang berkaitan dengan urusan dan layanan multi-jurisdiksi atau lintas daerah/regional. Provinsi juga menjalankan fungsi lokal yang tidak dapat dijalankan oleh pemerintah kabupaten/kota karena keterbatasan sumber daya. Termasuk didalamnya adalah fungsi perencanaan makro regional, pengembangan dan
5
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Hubungan Pusat Dan Daerah
penelitian sumber daya manusia, pengelolaan pelabuhan regional, perlindungan lingkungan hidup, perdagangan dan promosi pariwisata, pengendalian/karantina hama; dan perencanaan tata ruang. Namun, hampir semua fungsi berkenaan dengan pelayanan publik lokal ditangani oleh kabupaten/kota. Pemerintah kabupaten/kota memiliki tanggung jawab keuangan untuk sekurang-kurangnya empat belas urusan pemerintahan dan layanan lokal, seperti: pekerjaan umum lokal, layanan kesehatan dasar, layanan pendidikan primer dan sekunder dan budaya, lingkungan setempat, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja, dan lain-lain. Tanggung jawab tersebut meliputi kegiatan, seperti perencanaan, penerapan pembiayaan, monitoring dan evaluasi, dan pemeliharaan. Secara umum, konsep otonomi menurut UU No. 32 Tahun 2004 dapat diuraikan sebagai berikut: 1)
General competency untuk kabupaten/kota (kewenangan selain kewenangan Pemerintah dan provinsi).
2)
Terjadi pembagian kewenangan antara Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota.
3)
Berlaku prinsip subsidiarity (concurrent), yaitu kewenangan di setiap bidang dan dapat dibagi antar tingkatan pemerintahan.
4)
Kewenangan sebuah kota besar akan berbeda dengan kewenangan sebuah kota kecil. Kota besar dapat saja memiliki kewenangan pilihan yang jauh lebih banyak dibanding kota kecil. Kabupaten dapat memiliki kewenangan yang berbeda dengan kota.
5)
Otonomi terbatas di provinsi (kewenangan provinsi di batasi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2007).
6)
Hubungan pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota, tidak bersifat hirarkis.
7)
Provinsi diberi tugas koordinasi dan supervisi dan fungsi lintas Kabupaten/Kota.
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, sebagai penjabaran dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. PP ini secara rinci menjelaskan urusan Pemerintah, pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota untuk 31 bidang urusan pemerintahan. Ketigapuluhsatu urusan pemerintahan tersebut dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi, dengan memperhatikan keserasian hubungan antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah, disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. Sedangkan urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur, disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan.
6
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Hubungan Pusat Dan Daerah
Pasal 2 ayat (2) PP No. 38 Tahun 2007, sebagaimana pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004, menyatakan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah, adalah: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut, Pemerintah dapat menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah, atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa. Urusan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, terbagi atas urusan wajib (obligatory) dan urusan pilihan (optional). Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan dasar, meliputi 26 bidang urusan pemerintahan. Sedangkan urusan pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan, meliputi: kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, pariwisata, industri, perdagangan, dan ketransmigrasian. Penyelenggaraan urusan wajib berpedoman pada standar pelayanan minimal yang ditetapkan Pemerintah dan dilaksanakan secara bertahap. Dalam hal pemerintahan daerah melalaikan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib, maka penyelenggaraan urusan tersebut diambilalih dan dilaksanakan oleh Pemerintah dengan pembiayaan bersumber dari atau dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja daerah yang bersangkutan. Skema pembagian urusan antara pemerintah dan pemerintah daerah dapat dilihat pada Gambar-1.1. Gambar 1.1 : Pembagian Penyelenggaran Urusan Pemerintah
Yang Menjadi Kewenangan Pusat
an Daerah,
Urusan Wajib (Obligartory)
6 Urusan Absolut 1. Politik Luar Negri 2. Pertahanan 3. Keamanan 4. Yustisi 5. Moneter dan Fiskal Nasional 6. Agama
Wajib diselenggarakan terkait dengan pelayanan dasar (basic services), seperti: Pendidikan, Kesehatan, Perumahan, Ketahanan Pangan, Sosial.
Concurent
(Urusan Bersama)
Urusan Diluar 6 Urusan Absolut
Sebagian dapat diselenggarakan sendiri oleh Pemerintah; Sebagian dapat dilaksanakan melalui Dekonsentrasi;
Sumber: UU 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
usat dan
es, World
PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAHAN
7
Sebagian dapat diselenggarakan melalui Tugas Pembantuan.
Urusan Pilihan (Optional) Terkait dengan potensi unggulan (Core Competence) seperti Pertambangan, Perikanan, Pertanian, Perkebunan, Kehutannan, Pariwisata Diselenggarakan melalui asas Desentralisasi dengan kriteria: eksternalitas, akuntabilitas, dan efesiensi.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Yang Menjadi Kewenangan Daerah
Hubungan Pusat Dan Daerah
1.2. Hubungan Keuangan antar Tingkat Pemerintahan Hubungan keuangan antar tingkatan pemerintahan paling sedikit mencakup antara lain: 1)
Pembagian kewenangan Pendapatan (Perpajakan).
2)
Sistem dan mekanisme untuk mengatasi ketimbangan vertikal (kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah).
3)
Sistem dan mekanisme untuk mengatasi ketimpangan horizontal (ketimpangan fiskal antar daerah).
Dari segi pendapatan, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengelola jenis pendapatan tertentu. Kewenangan perpajakan pemerintah daerah dirumuskan oleh undang-undang. Sampai saat ini terdapat tiga undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah, yaitu: UU No. 18 Tahun 1997, UU No. 34 Tahun 2000, dan terakhir UU No. 28 Tahun 2009. Selain pembagian kewenangan perpajakan untuk setiap tingkat pemerintahan, hubungan keuangan pusat-daerah juga ada dalam bentuk lain yaitu transfer dari sebagian Pendapatan Pemerintah Pusat (pendapatan negara) kepada pemerintah daerah. Transfer dari pemerintah pusat ke daerah bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fiskal pemerintah daerah yang tidak dapat dipenuhi dengan pendapatan asli daerah. Dengan kata lain, transfer itu adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah (kesenjangan vertikal). Selain itu kesenjangan antara kebutuhan daerah dengan kapasitas fiskal juga disebabkan oleh ketimpangan fiskal horizontal (ketimpangan fiskal antar daerah) yang disebabkan oleh berbedanya potensi fiskal dan kebutuhan antar daerah. Disisi belanja, diberikannya kewenangan fiskal kepada sebuah daerah otonom didasarkan kepada prinsip agar alokasi sumber daya lebih efisien dan efektif. Pemerintah Daerah yang lebih dekat ke masyarakat diasumsikan lebih tahu kebutuhan masyarakat dibandingkan dengan pemerintah pusat yang jauh. Sehingga alokasi sumber daya yang dilakukan oleh Pemerintah daerah akan lebih responsif dan menjawab kebutuhan masyarakat. Sedangkan disisi pendapatan, diberikannya kewenangan perpajakan kepada daerah dimaksudkan agar partisipasi masyarakat untuk mendanai pelayanan publik lebih tinggi karena masyarakat dapat merasakan langsung manfaat dari pembayaran pajak/retribusi tersebut. Skema hubungan keuangan antar tingkat pemerintahan di Indonesia terkait pendapatan dapat dilihat pada Gambar-1.2.
8
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Hubungan Pusat Dan Daerah
Gambar 1.2 : Hubungan Keuangan Antar Pemerintahan di Indonesia
Sumber Pendapatan Nasional
2 Sumber : Handra (2005) 1. Pendelegasian kewenangan perpajakan ke pemerintah daerah berdasarkan berbagai UU.
1
3
4 5
2. Pendelegasian kewenangan perpajakan ke pemerintah daerah. 3. Bagi hasil antara pusat dan daerah. 4. Bantuan bersifat umum dari pusat ke daerah. 5. Bantuan bersifat khusus dan jenis bantuan lainnya dari pusat ke daerah. 6. Bagi hasil antara provinsi dengan kabupaten/kota. 7. Bantuan keuangan dari provinsi ke kabupaten/kota.
Pendapatan Pajak Dan Bukan Pajak Pemerintahan Pusat
Pendapatan Pemerintah Provinsi
6
7
Pendapatan Pemerintah Kabupaten/ Kota
Hubungan keuangan antara pusat dan daerah di Indonesia ditandai dengan besarnya dana transfer yaitu sekitar 87% dari pendapatan kabupaten/kota, dan 55% dari pendapatan pemerintah provinsi selama periode 2008-2010 (lihat Tabel-1.1). Tabel 1.1 : Komposisi Pendapatan Pemerintah Daerah Tahun 2008-2010
Pos Pendapatan
Provinsi
Kabupaten/ Kota
Pendapatan Asli Daerah
43,8%
7,3%
16,0%
Dana Transfer dari Pemerintah Pusat
55,0%
86,8%
79,3%
Dana Bagi Hasil (DBH)
22,9%
16,4%
18,0%
Dana Alokasi Umum (DAU)
22,7%
59,8%
51,0%
Dana Alokasi Khusus (DAK)
1,6%
8,0%
6,5%
Dana Otsus dan Penyesuaian
7,8%
2,5%
3,8%
Pendapatan Lainnya
1,2%
5,9%
4,7%
Total Pendapatan
100,0%
100,0%
100,0%
Sumber: Data Diolah 9
Pemerintah Daerah
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Hubungan Pusat Dan Daerah
Ada dua bentuk transfer yang telah dipraktekkan di Indonesia selama tiga dekade terakhir. Yang pertama adalah dengan mentransfer sebagian pendapatan tertentu dari pajak pusat dan non-pajak kepada daerah penghasil. Hal ini biasa disebut pendapatan bagi hasil (Dana bagi hasil atau DBH). Sebagai contoh, Pajak Penghasilan pribadi yang dikelola oleh Kantor Pajak Pusat harus dibagi ke daerah penghasil. Bentuk kedua dari transfer itu adalah bantuan Pemerintah Pusat untuk daerah. Ada dua bantuan utama di Indonesia, yaitu: Dana Alokasi Umum (DAU) yang merupakan bantuan dengan tujuan umum dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang merupakan bantuan dengan tujuan khusus. Selain itu, ada juga bantuan untuk daerah otonomi khusus dan berbagai bantuan berjenis khusus yang disebut dana penyesuaian. Secara keseluruhan, dana transfer untuk pemerintah daerah mencapai sekitar 34% dari pendapatan negara selama periode 2001-2010 (lihat Tabel-1.2). Tabel 1.2 : Rasio Dana Transfers Terhadap Pendapatan Negara dan PDB Tahun 2001 – 2013
Tahun Anggaran
PDB (Triliun Rupiah)
Pendapatan Negara (Triliun Rupiah)
Transfer ke Daerah
Ratio Transfer Thd PN (%)
Ratio Transfer Thd PDB (%)
2001
1.646,3
300,6
81,1
27
4,9%
2002
1.821,8
298,5
98,2
33
5,4%
2003
2.013,7
340,9
120,3
35
6,0%
2004
2.295,8
403,1
129,7
32
5,7%
2005
2.774,3
493,9
150,5
30%
5,4%
2006
3.339,2
636,2
226,2
36%
6,8%
2007
3.959,9
706,1
253,3
36%
6,4%
2008
4.951,6
979,3
292,4
30%
5,9%
2009
5.613,4
847,1
308,6
36%
5,5%
2010
6.446,9
992,2
344,8
35%
5,3%
2011
7.422,8
1.205,3
411,3
34%
5,5%
2012
8.241,9
1.357,4
478,8
35%
5,8%
2013
9.272,1
1.525,2
528,6
35%
5,7%
Sumber: Data diolah Catatan: Data realisasi untuk tahun anggaran 2001 – 2011, untuk tahun anggaran 2012 merupakan data revisi anggaran dan tahun 2013 adalah data anggaran.
Bentuk lain hubungan keuangan antar pemerintahan di Indonesia adalah hibah, dana dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Secara teknis, dana-dana tersebut tidak dianggap sebagai bagian dari transfer ke pemerintah daerah. Dana dari Pemerintah dikategorikan sebagai hibah, jika bersumber dari pinjaman atau hibah dari negara lain atau lembaga internasional. Dengan kata lain, Pemerintah hanyalah menjadi 10
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Hubungan Pusat Dan Daerah
penyalur dana untuk pemerintah daerah. Hibah tidak dimasukkan sebagai bagian dari transfer karena dananya tidak teratur dan prosedur administratifnya unik. Dana tugas pembantuan dan dekonsentrasi pada dasarnya bertujuan untuk membiayai fungsi Pemerintah yang dijalankan atau dibantu oleh pemerintah daerah. Dana tersebut tidak termasuk ke dalam kategori pendapatan pemerintah daerah melainkan pengeluaran Pemerintah yang dilaksanakan oleh atau melalui pemerintah daerah. Antara provinsi dan kabupaten/kota, juga terdapat beberapa bentuk hubungan keuangan. Di Indonesia, pendapatan pajak daerah suatu provinsi dibagi dengan kabupaten/ kota yang berada di wilayah provinsi tersebut. Pembagian tersebut diatur dalam UU pajak dan retribusi daerah. Selain itu, walaupun tidak ada undang-undang yang menetapkannya, beberapa provinsi juga menyediakan bantuan untuk kabupaten/kota. Sejak berlakunya desentralisasi, ada dua Undang-Undang tentang dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah di Indonesia. Pertama, UU No. 25 Tahun 1999, yang diterapkan tahun anggaran 2001 – 2005. Pada akhir tahun 2004, undang-undang tersebut diganti dengan UU No. 33 Tahun 2004 yang efektif berlaku dari tahun 2006 sampai sekarang. Transfer ke pemerintah daerah dihitung rata-rata sekitar 33,7% dari penerimaan negara atau sekitar 5,8% dari PDB selama periode 2002-2010. Seperti terlihat pada Tabel-2.2, jumlah transfer bervariasi dari 4,9 - 6,8 dari PDB. Transfer mencapai rasio tertinggi terhadap PDB pada tahun anggaran 2006, yakni sebesar 6,8%.
1.3.
APBN DAN APBD
APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, atau disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan, pengeluaran dan pembiayaan negara selama satu tahun anggaran. APBN dapat mengalami satu atau dua kali perubahan dalam satu tahun, tergantung kondisi perekonomian dan perubahan asumsi dalam tahun tersebut. Sehingga terdapat APBN, Perubahan APBN, yang setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang. Selain itu terdapat Pertanggungjawaban APBN yang merupakan laporan realisasi yang juga ditetapkan dengan undang-undang. Pada masa Orde Baru, APBN berlaku dari tanggal 1 April sampai dengan 31 Maret tahun berikutnya. Sedang untuk saat ini APBN dihitung sejak tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
11
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Hubungan Pusat Dan Daerah
Fungsi APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara harus memenuhi fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi. 1)
Fungsi Alokasi Fungsi alokasi pada dasarnya adalah menggunakan berbagai sumber pendapatan untuk menyediakan pelayanan publik. Di dalam APBN diuraikan sumber pendapatan dan pendistribusiannya. Pendapatan yang paling besar dari pemerintah berasal dari pajak. Pendapatan dari pajak dapat dialokasikan ke berbagai sektor pembangunan.
2)
Fungsi Distribusi Pendapatan negara dari pajak dan bukan pajak tidak semua digunakan secara langsung untuk menyediakan pelayanan publik. Tetapi dapat juga didistribusikan dalam bentuk dana subsidi dan dana pensiun. Pengeluaran pemerintah semacam ini disebut transfer payment.
3)
Fungsi Stabilisasi APBN sebagai ujud kebijakan fiskal bersama-sama kebijakan moneter berfungsi untuk menjaga stabilitas harga, stabilitas nilai tukar, dan lain-lain. Perekonomian yang stabil adalah prasyarat dapat berjalannya berbagai aktifitas masyarakat.
Tujuan Penyusunan APBN Tujuan Penyusunan APBN adalah sebagai pedoman pendapatan dan pembelanjaan Negara dalam melaksanakan tugas kenegaraan untuk meningkatkan produksi dan kesempatan kerja dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran masyarakat. APBN merupakan wujud tahunan dari rencana jangka menengah dan jangka panjang negara (RPJM dan RPJP) negara, dan APBN adalah produk hukum berupa undang-undang yang harus dipatuhi oleh segenap lembaga negara. Dalam penyusunan APBN, indikator-indikator ekonomi makro yang digunakan sebagai dasar penyusunan adalah pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP), dan lifting minyak. Indikator-indikator tersebut merupakan asumsi dasar yang menjadi acuan penghitungan besaran-besaran pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam APBN. Apabila realisasi variabel-variabel tersebut berbeda dengan asumsinya, maka besaran-besaran pendapatan, belanja dan pembiayaan dalam APBN juga akan berubah. Oleh karena itu, variasi-variasi ketidakpastian dari indikator ekonomi makro merupakan faktor risiko yang akan mempengaruhi APBN. Klasifikasi Belanja
12
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Hubungan Pusat Dan Daerah
Tabel 1.3 : Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Belanja Pemerintah Pusat dapat dikelompokkan menjadi: a. Belanja Pegawai, b. Belanja Barang, c. Belanja Modal, d. Pembiayaan Bunga Utang, e. Subsidi BBM dan Subsidi Non-BBM, f. Belanja Hibah, g. Belanja Sosial (termasuk Penanggulangan Bencana), h. Belanja Lainnya.
BELANJA PEMERINTAH PUSAT
BELANJA TRANSFER KE DAERAH
Belanja Daerah, adalah belanja yang dibagikan ke Pemerintah Daerah, untuk kemudian masuk dalam pendapatan daerah yang bersangkutan. Belanja Transfer Daerah meliputi: a. Dana Bagi Hasil b. Dana Alokasi Umum c. Dana Alokasi Khusus d. Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian
Belanja Negara
PEMBIAYAAN LUAR NEGERI
PENERIMAAN PERPAJAKAN
Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Pajak Dalam Negeri a. Pajak Penghasilan (PPh), b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN), c. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), d. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) e. Cukai, f. Pajak lainnya. Pajak Perdagangan Internasional, terdiri atas bea masuk dan tarif ekspor.
Pendapatan Negara dan Hibah
Hibah
Pembiayaan
a. Penarikan Pinjaman Luar Negeri, terdiri atas Pinjaman Program dan Pinjaman Proyek. b. Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri, terdiri atas Jatuh Tempo dan Moratorium.
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP) Penerimaan SDA (migas dan non migas). Bagian Laba BUMN. PNBP lainnya.
Setiap penerimaan Pemerintah Pusat dalam bentuk uang, barang, jasa dan/atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali, yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri, yang atas pendapatan hibah tersebut, pemerintah mendapat manfaat secara langsung yang digunakan untuk mendukung tugas dan fungsi K/L , atau diteruskan kepada Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah.
PEMBIAYAAN DALAM NEGERI Pembiayaan Perbankan, Privatisasi, Surat Utang Negara, serta penyertaan modal negara.
Sumber: UU APBN
Definisi:
13
Belanja :
Belanja yang digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan Pemerintah Pusat, baik yang dilaksanakan di pusat maupun di daerah (dekonsentrasi dan tugas pembantuan).
Keseimbangan Primer :
Merupakan selisih antara belanja (di luar pembayaran pokok dan bunga hutang) dengan total pendapatan.
Surplus/Defisit Anggaran :
Deifisit/Surplus anggaran merupakan selisih antara total belanja dengan total pendapatan termasuk hibah.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Hubungan Pusat Dan Daerah
Menurut fungsi pengelolaan Negara digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara terdiri dari: 1) Pelayanan umum; 2) Ketertiban dan keamanan; 3) Ekonomi; 4) Lingkungan hidup; 5) Perumahan dan fasilitas umum; 6) Kesehatan; 7) Pariwisata dan budaya; 8) Agama; 9) Pendidikan; serta 10) Perlindungan sosial. APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) APBD merupakan wujud tahunan dari rencana jangka panjang daerah serta rencana jangka menengah yang dibuat dari visi dan misi kepala daerah. APBD dipersiapkan oleh pemerintah daerah, dibahas dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sehingga pada akhirnya merupakan produk hukum berupa Peraturan Daerah yang harus diikuti oleh segenap lembaga di daerah. Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah harus dicatat dan dikelola dalam APBD. Penerimaan dan pengeluaran daerah tersebut adalah dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas desentralisasi. Sedangkan penerimaan dan pengeluaran yang berkaitan dengan pelaksanaan Dekonsentrasi atau Tugas Pembantuan tidak dicatat dalam APBD. Tahun anggaran APBD sama dengan tahun anggaran APBN yaitu mulai 1 Januari dan berakhir tanggal 31 Desember tahun yang bersangkutan. Sehingga pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan keuangan daerah dapat dilaksanakan berdasarkan kerangka waktu tersebut.
14
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Hubungan Pusat Dan Daerah
Tabel 1.4 : Struktur APBD (menurut Permendagri 13 Tahun 2006)
PENDAPATAN DAERAH
BELANJA DAERAH
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Dana Perimbangan
a. Dana Bagi Hasil; b. Dana Alokasi Umum; dan b. Dana Alokasi Khusus.
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah
Hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Belanja Tidak Langsung
Belanja Langsung
PEMBIAYAAN
a. Pajak daerah; b. Retribusi daerah; c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; d. Lain-lain PAD yang sah.
a. b. c. d. e. f.
Belanja pegawai; Bunga; Subsidi; Hibah; Bantuan sosial; Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan g. g. Belanja tidak terduga. a. Belanja pegawai; b. Belanja barang dan jasa; c. Belanja modal;
Penerimaan pembiayaan mencakup:
a. SiLPA tahun anggaran sebelumnya; b. Pencairan dana cadangan; c. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan; d. Penerimaan pinjaman; dan e. Penerimaan kembali pemberian pinjaman.
Pengeluaran pembiayaan mencakup:
a. Pembentukan dana cadangan; b. Penyertaan modal pemerintah daerah; c. Pembayaran pokok utang; dan d. Pemberian pinjaman.
Sumber: Permendagri 13/2006 Catatan:
15
1).
Pendapatan Daerah Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui Rekening Kas Umum Daerah, yang menambah ekuitas dana lancar, yang merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh Daerah.
Hibah yang merupakan bagian dari lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah merupakan bantuan berupa uang, barang, dan/atau jasa yang berasal dari pemerintah, masyarakat, dan badan usaha dalam negeri atau luar negeri yang tidak mengikat.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Hubungan Pusat Dan Daerah
2). Belanja Daerah Belanja daerah meliputi semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah. Belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundangundangan.
Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan kegiatan, serta jenis belanja. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah.
3). Pembiayaan Daerah Pembiayaan daerah meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahuntahun anggaran berikutnya. Pembiayaan daerah tersebut terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan.
1.4.
Dana Dekonstrasi, Tugas Pembantuan, dan Dana Urusan Bersama
Definisi Definisi dana dekonsentrasi yang dirumuskan dalam UU No. 33 Tahun 2004 sebagaimana tercantum pada pasak 1.26 adalah sebagai berikut:
“Dana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran yang dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah.”
Definisi di atas sejalan dengan definisi dekonsentrasi menurut UU No. 33 Tahun 2004 yang lebih dipersempit sebagaimana tertulis di Pasal 1.9:
“Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah ke Gubernur sebagai wakil pemerintah.”
UU No. 33 Tahun 2004 mempersempit definisi dekonsentrasi menjadi hanya pelimpahan wewenang ke gubernur, tidak termasuk pelimpahan wewenang ke kantor wilayah/cabang. Dengan kata lain, seluruh dana pelaksanaan tugas kementrian/lembaga yang dilaksanakan sendiri oleh kementrian/lembaga tersebut di daerah bukan dikategorikan sebagai dana dekonsentrasi.
16
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Hubungan Pusat Dan Daerah
Sedangkan Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah otonom dan desa yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan. Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan terkait dengan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan dan urusan pemerintahan Pusat. Diantara urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat tersebut adalah Urusan mutlak Pemerintah Pusat dan Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang mutlak menjadi urusan pemerintah pusat, meliputi: 1) Politik luar negeri; 2) Pertahanan; 3) Keamanan; 4) Yustisi; 5) Moneter dan fiskal nasional; 6) Agama. Dalam menyelenggarakan 6 urusan mutlak pemerintahan tersebut (pasal 10 ayat 3 UU No. 32 Tahun 2004), Pemerintah dapat: 1) 2) 3)
menyelenggarakan sendiri; melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah, atau menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa.
Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan, yaitu semua urusan pemerintahan di luar urusan mutlak pemerintah pusat, meliputi 31 bidang sebagaimana diatur dalam Pasal 2 PP No. 38 Tahun 2007. Untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan di luar 6 urusan tersebut, Pemerintah dapat: 1) 2) 3)
menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan, atau melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah, atau menugaskan sebagian urusan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur juga disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan.
17
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Hubungan Pusat Dan Daerah
Tujuan dan Fungsi Dana Dekonsentrasi Pengalokasian dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan tersebut harus didahului dengan pelimpahan wewenang dan penugasan kepada kepala daerah yang ditunjuk dan dilakukan sesuai dengan mekanisme perencanaan dan penganggaran dalam APBN. Pada tahap perencanaan anggaran, menteri atau pimpinan lembaga harus memberikan informasi kepada gubernur dan/atau bupati/walikota mengenai program/kegiatan yang akan dilimpahkan kepada gubernur dan akan ditugaskan kepada gubernur/bupati/walikota. Hal ini dimaksudkan agar informasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan penyusunan APBD, sehingga ada sinkronisasi antara program/kegiatan yang akan dilaksanakan melalui dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan dengan program/kegiatan yang akan dilaksanakan melalui dana APBD. Prinsipnya, program dan kegiatan yang didanai oleh kementerian Negara/lembaga melalui dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan tidak akan tumpang tindih (overlap) dengan program dan kegiatan yang akan didanai dari APBD, karena jenis urusan yang didanainya berbeda. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada wilayah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubenur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi. Gubernur sebagai kepala daerah provinsi berfungsi pula selaku wakil Pemerintah di daerah, dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah kabupaten/kota. Dasar pertimbangan dan tujuan diselenggarakannya asas dekonsentrasi yaitu: 1) 2) 3) 4) 5) 6)
terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; terwujudnya pelaksanaan kebijakan nasional dalam mengurangi kesenjangan antar daerah; terwujudnya keserasian hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan di daerah; teridentifikasinya potensi dan terpeliharanya keaneka-ragaman sosial budaya daerah; tercapainya efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, serta pengelolaan pembangunan dan pelayanan terhadap kepentingan umum masyarakat; dan terciptanya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya dalam sistem administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ruang lingkup dekonsentrasi dan tugas pembantuan mencakup aspek penyelenggaraan, pengelolaan dana, pertanggungjawaban dan pelaporan, pembinaan dan pengawasan, pemeriksaan, serta sanksi. (1)
18
Penyelenggaraan dekonsentrasi meliputi: a). pelimpahan urusan pemerintahan; b). tata cara pelimpahan; c). tata cara penyelenggaraan; dan d) tata cara penarikan pelimpahan.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Hubungan Pusat Dan Daerah
(2) Pengelolaan dana dekonsentrasi meliputi: a) prinsip pendanaan; b) perencanaan dan penganggaran; c) penyaluran dan pelaksanaan; . d) pengelolaan barang milik negara hasil pelaksanaan dekonsentrasi. (3) Pertanggungjawaban dan pelaporan dana dekonsentrasi meliputi: a) penyelenggaraan dekonsentrasi; dan b) pengelolaan dana dekonsentrasi. Tujuan dan Fungsi Tugas Pembantuan Pemerintah dapat memberikan tugas pembantuan kepada pemerintah provinsi atau kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan. Pemerintah provinsi dapat memberikan tugas pembantuan kepada pemerintah kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan provinsi. Pemerintah kabupaten/kota dapat memberikan tugas pembantuan kepada pemerintah desa untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan kabupaten/kota. Urusan pemerintahan yang dapat ditugaskan dari Pemerintah kepada pemerintah provinsi atau kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa merupakan sebagian urusan pemerintahan di luar 6 (enam) urusan yang bersifat mutlak yang menurut peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai urusan Pemerintah. Urusan pemerintahan yang dapat ditugaskan dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa merupakan sebagian urusan pemerintahan yang menurut peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai urusan pemerintah provinsi. Urusan pemerintahan yang dapat ditugaskan dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa merupakan sebagian urusan pemerintahan yang menurut peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai urusan pemerintah kabupaten/kota. Urusan yang dapat ditugaskan dari Pemerintah dijabarkan dalam bentuk program dan kegiatan kementerian/lembaga yang sudah ditetapkan dalam Renja-KL yang mengacu pada RKP. Urusan yang dapat ditugaskan dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa dijabarkan dalam bentuk program dan kegiatan pemerintah provinsi yang sudah ditetapkan dalam Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD) provinsi yang mengacu pada Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) provinsi. Urusan yang dapat ditugaskan dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa dijabarkan dalam bentuk program dan kegiatan pemerintah kabupaten/kota yang sudah ditetapkan dalam Renja SKPD kabupaten/kota yang mengacu pada RKPD kabupaten/kota. Urusan yang dapat ditugaskan wajib memperhatikan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi, serta keserasian pembangunan nasional dan wilayah.
19
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Hubungan Pusat Dan Daerah
Tata Cara Penugasan: 1) 2) 3) 4)
Perencanaa penugasan. Penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa. Penugasan dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa. Penugasan dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa.
Tata Cara Penyelenggaraan Tugas Pembantuan: 1) 2) 3)
Tugas Pembantuan dari Pemerintah kepada pemerintah daerah. Tugas Pembantuan dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota. Tugas Pembantuan dari pemerintah dan/atau pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/ kota kepada pemerintah desa.
Pengelolaan Dana Tugas Pembantuan: 1) 2) 3) 4)
Prinsip pendanaan. Perencanaan dan penganggaran Penyaluran dan pelaksanaan Pengelolaan barang milik negara hasil pelaksanaan Tugas Pembantuan
Pertanggungjawaban dan Pelaporan Tugas Pembantuan: 1) Penyelenggaraan. 2) Pengelolaan dana.
20
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Hubungan Pusat Dan Daerah
Gambar 1.3 : Alur APBN ke Daerah
ALUR APBN KE DAERAH (MONEY FOLLOWS FUNCTION) PUSAT
DAERAH K/L
Belanja Pemerintah Pusat • Belanja Pegawai • Belanja Barang • Belanja Modal • Pembayaran Bunga Utang • Subsidi • Belanja Hibah • Bantuan Sosial • Belanja Lain- lain
APBN
Belanja Pusat di Pusat
Belanja Pusat di Daerah
6 Urusan Mutlak
Di luar 6 Urusan
Kanwil di Daerah
Dikerjakan sendiri melalui UPT
Dana Sektoral di Daerah
Dilimpahkan ke Gubernur
Dana Dekonsentrasi
Ditugaskan ke Gub/Bupati/ Walikota
Dana Tugas Pembantuan
Belanja Transfer Daerah
APBD Dana Perimbangan
Dana Otonomi Khusus
Dana Penyesuaian
Dana Desentralisasi Dana Darurat
Hibah
21
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Hubungan Pusat Dan Daerah
1.5. Soal Latihan
22
1.
Jelaskan perbedaan antara desentralisasi dengan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
2.
Siapa yang melaksanakan tugas desentralisasi di daerah anda (beri contoh institusinya)?
3.
Siapa yang melaksanakan tugas dekonsentrasi di daerah anda (beri contoh institusinya)?
4.
Siapa yang melaksanakan tugas pembantuan di daerah anda (beri contoh institusinya)?
5.
Bagaimana tugas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan dibiayai?
6.
Jelaskan keterkaitan antara APBN dan APBD! Apa saja jenis pendapatan dan belanja negara yang ditransfer ke daerah (APBD)?
7.
Jelaskan apa saja yang menjadi asumsi APBN! Apakah semua asumsi APBN tersebut relevan juga untuk menjadi asumsi APBD? Jelaskan jawaban anda!
8.
Jelaskan persamaan dan perbedaan fungsi APBD dan APBN!
9.
Jelaskan apa saja yang menjadi bagian anggaran pembiayaan daerah! Jelaskan apa sesungguhnya fungsi dari anggaran pembiayaan ini!
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TOPIK 2
PENGANTAR PENDAPATAN DAERAH
Pengantar Pendapatan Daerah
Deskripsi: Topik ini menjelaskan konsep dan struktur pendapatan daerah.
Sub Topik Pengertian Pendapatan Daerah
Kata Kunci PAD, Dana perimbangan, Lain-lain pendapatan daerah yang sah
Pengertian Pendapatan Asli Daerah.
Pajak daerah, Retribusi daerah, pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, Lain-lain PAD yang sah
Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah
PAD yang dominan
Dasar Hukum PAD Pengertian Dana Dana Perimbangan Pengertian Lain-lain
UU No. 28 Tahun 2009
DBH, DBH-Pajak, DBH-SDA, DAU, DAK
Hibah, dana darurat, dana penyesuaian, dana otonomi khusus,
Latihan
Referensi: 1.
Nick Devas (1989).
2.
Mardiasmo (2007), Perpajakan.
3.
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah.
4.
UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
5.
PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
6.
PP No. 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan IMTA.
24
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pengantar Pendapatan Daerah
2.
Pengantar Pendapatan Daerah
2.1.
Pengertian Pendapatan Daerah
Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Pendapatan daerah dirinci menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, kelompok, jenis, obyek dan rincian obyek pendapatan. Pendapatan daerah merupakan semua sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah, antara lain pajak daerah dan retribusi daerah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah, serta pendanaan melalui pemerintah pusat, yang disebut juga sebagai dana transfer, yang dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah
2.2.
Pengertian Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Kebijakan PAD dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah. Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan yang besar kepada daerah untuk menggali potensi yang dimiliki sebagai sumber pendapatan daerah untuk membiayai pengeluaran daerah dalam rangka pelayanan publik. Berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, salah satu sumber pendapatan daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Peningkatan PAD diharapkan dapat meningkatkan investasi belanja modal pemerintah daerah sehingga kualitas pelayanan publik semakin baik, tetapi yang terjadi adalah peningkatan pendapatan asli daerah tidak diikuti dengan kenaikan anggaran belanja modal yang signifikan. Hal ini disebabkan karena pendapatan asli daerah tersebut banyak tersedot untuk membiayai belanja lainnya. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin
25
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pengantar Pendapatan Daerah
Gambar 2.1 : Struktur Pendapatan Daerah Gambar 2.1 : Struktur Pendapatan Daerah
PENDAPATAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN/KOTA Pendapan Asli Daerah (PAD)
Pajak Daerah
• PBB dan BPHTB • Pajak Hotel • Pajak Restoran • Pajak Hiburan • Pajak Reklame • Pajak Penerangan Jalan • Pajak Sarang Burung Walet • Pajak Mineral Bukan Logam • Pajak Parkir
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan
Retribusi Daerah
• Retribusi Jasa Usaha
• Retribusi Jasa Umum
• Pasar Grosir • Terminal • Pemakaian Aset Daerah
lain PAD yang Sah
• Retribusi Perizinan Tertentu
• Pelayanan Kesehatan • Pelayanan Persampahan • Pelayanan KTP dan Capil
• Izin Mendirikan Bangunan • Izin Tempat Usaha • Izin Gangguan
Dana Perimbangan
Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana Alokasi Umum (DAU)
Bagi Hasil Pajak dan SDA
Pendapan Asli Daerah (PAD)
Bagi Hasil dari Propinsi • Bagi Hasil Pajak Kendaraan Bermotor • Bagi Hasil Bea Balik Nama Kend. Bermotor • Bagi Hasil Pajak Bahan Bakar Kend. Bermotor • Bagi Hasil Pajak Air Permukaan
26
Bantuan dari Propinsi
Hibah
Dana Penyesuaian • Dana BOS, TPG, • Dana Insentif Daerah
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Lain - Lain
Pengantar Pendapatan Daerah
Gambar 2.2: Pendapatan Asli Daerah
PAJAK DAERAH LAIN-LAIN PAD YANG SAH RETRIBUSI DAERAH
besarnya tanggung jawab daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, undang-undang ini bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah. Selanjutnya, tujuan yang tak kalah penting adalah untuk memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Ada beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang dipergunakan dalam penyusunan UU No. 28 Tahun 2009, yaitu: 1)
Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tidak terlalu membebani rakyat dan relatif netral terhadap fiskal nasional.
2)
Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam undangundang (Closed-List).
3)
Pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah dalam batas tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam undang-undang.
4)
Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum dalam undangundang sesuai kebijakan pemerintahan daerah.
5)
Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan secara preventif dan korektif.
Adapun materi yang diatur dalam UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah sebagai berikut:
27
1)
Penambahan jenis pajak daerah.
Terdapat penambahan 4 jenis pajak daerah, yaitu 1 jenis pajak provinsi dan 3 jenis pajak kabupaten/ MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pengantar Pendapatan Daerah
kota. Dengan tambahan tersebut, secara keseluruhan terdapat 16 jenis pajak daerah, yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota. Jenis pajak provinsi yang baru adalah Pajak Rokok, sedangkan 3 jenis pajak kabupaten/kota yang baru adalah PBB Perdesaan dan Perkotaan, BPHTB, dan Pajak Sarang Burung Walet. Sebagai catatan, untuk kabupaten/kota ada penambahan 1 jenis pajak yaitu Pajak Air Tanah yang sebelumnya merupakan pajak provinsi. 2)
Penambahan Jenis Retribusi Daerah.
Terdapat penambahan 4 jenis retribusi daerah, yaitu Retribusi Tera/Tera Ulang, Retribusi Pengendalian Menara telekomunikasi, Retribusi Pelayanan Pendidikan, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan. Perlu dicatat bahwa berdasarkan PP No. 97 Tahun 2012, terdapat penambahan 2 jenis retribusi yaitu Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA). Dengan penambahan ini, secara keseluruhan terdapat 32 jenis retribusi yang dapat dipungut oleh daerah yang dikelompokkan ke dalam 3 golongan retribusi, yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu.
3)
Perluasan Basis Pajak Daerah.
Perluasan basis pajak daerah, antara lain adalah: a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, termasuk kendaraan pemerintah; b. Pajak Hotel, mencakup seluruh persewaan di hotel; dan c. Pajak Restoran, termasuk katering/jasa boga.
4)
Perluasan Basis Retribusi Daerah Perluasan basis retribusi daerah dilakukan dengan mengoptimalkan pengenaan Retribusi Izin Gangguan, sehingga mencakup berbagai retribusi yang berkaitan dengan lingkungan yang selama ini telah dipungut, seperti Retribusi Izin Pembuangan Limbah Cair, Retribusi AMDAL, serta Retribusi Pemeriksaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
5)
Kenaikan Tarif Maksimum Pajak Daerah. Untuk memberi ruang gerak bagi daerah mengatur sistem perpajakannya dalam rangka peningkatan pendapatan dan peningkatan kualitas pelayanan, penghematan energi, dan pelestarian/perbaikan lingkungan.
6)
Bagi Hasil Pajak Provinsi. Dalam rangka pemerataan pembangunan dan peningkatan kemampuan keuangan kabupaten/ kota dalam membiayai fungsi pelayanan kepada masyarakat.
7) Earmarking. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan secara bertahap dan terus menerus dan sekaligus menciptakan good governance dan clean government, penerimaan beberapa jenis pajak daerah
28
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pengantar Pendapatan Daerah
wajib dialokasikan (di-earmark) untuk mendanai pembangunan sarana dan prasarana yang secara langsung dapat dinikmati oleh pembayar pajak dan seluruh masyarakat.
2.3. Sumber-Sumber PAD Kelompok Pendapatan Asli Daerah (PAD) dibagi menurut jenis pendapatan, yang terdiri atas: 1) 2) 3) 4)
pajak daerah; retribusi daerah; hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Jenis pajak daerah dan retribusi daerah dirinci menurut obyek pendapatan sesuai dengan undangundang tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Sedangkan Jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup: 1) 2) 3)
bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD; bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/BUMN; bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.
Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14)
29
hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; jasa giro; pendapatan bunga; penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah; penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah; penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan; pendapatan denda pajak; pendapatan denda retribusi; pendapatan hasil eksekusi atas jaminan; pendapatan dari pengembalian; fasilitas sosial dan fasilitas umum; pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; dan pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pengantar Pendapatan Daerah
2.4. 1)
Dasar Hukum PAD Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20 ayat (2), Pasal 22D, dan Pasal 23A UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang- Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang perimabngan keuangan pusat dan daerah Undang- Undang No. 28 tahun 2009 tentang Pajak daerah dan Retribusi daerah Peraturan daerah yang mengatur mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
2) 3) 4) 5)
2.5.
Pengertian Dana Perimbangan
Setiap daerah mempunyai kemampuan keuangan yang tidak sama dalam mendanai kegiatankegiatannya, hal ini menimbulkan ketimpangan fiskal antara satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh karena itu, untuk mengatasi ketimpangan fiskal ini Pemerintah mengalokasikan dana yang bersumber dari APBN untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Salah satu dana perimbangan dari pemerintah ini adalah Dana Alokasi Umum (DAU) yang pengalokasiannya menekankan aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan (UU No. 32 Tahun 2004). Dengan adanya transfer dana dari pusat ini diharapkan pemerintah daerah bisa lebih mengalokasikan PAD yang didapatnya untuk membiayai belanja modal di daerahnya.
Untuk mengatasi ketimpangan fiskal Pemerintah mengalokasikan dana yang bersumber dari APBN untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi Dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah selain DAU adalah Dana Alokasi Khusus (DAK) yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional (UU No. 33 tahun 2004). DAK ini penggunaannya diatur oleh Pemerintah Pusat dan hanya digunakan untuk kegiatan pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, infrastruktur jalan dan jembatan, infrastruktur irigasi, infrastruktur air minum dan sanitasi, prasarana pemerintah daerah, lingkungan hidup, kehutanan, sarana prasarana pedesaan, perdagangan, pertanian serta perikanan dan kelautan yang semuanya itu termasuk dalam komponen belanja modal dan pemerintah daerah diwajibkan untuk mengalokasikan dana pendamping sebesar 10% dari nilai DAK yang diterimanya untuk mendanai kegiatan fisik.
30
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pengantar Pendapatan Daerah
Kelompok Dana Perimbangan dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas: 1) 2) 3)
dana bagi hasil; dana alokasi umum; dan dana alokasi khusus.
Jenis dana bagi hasil dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup: 1) 2)
bagi hasil pajak; dan bagi hasil sumber daya alam.
Jenis dana alokasi umum hanya terdiri atas objek pendapatan dana alokasi umum. Sedangkan jenis dana alokasi khusus dirinci menurut objek pendapatan menurut kegiatan yang ditetapkan oleh pemerintah.
2.6.
Pengertian Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah
Kelompok lain-lain pendapatan daerah yang sah dibagi menurut jenis pendapatan yang mencakup: 1)
hibah berasal dari pemerintah, pemerintah daerah lainnya, badan/lembaga/ organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat/perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak mengikat;
2)
dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/kerusakan akibat bencana alam; dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota; dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah; dan bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya.
3) 4) 5)
Hibah adalah penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau perorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali.
2.7 1) 2) 3)
31
Soal Latihan Jelaskan pengertian pendapatan daerah. Jelaskan mengapa PAD penting dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah. Jelaskan fungsi strategis dana transfer dalam membangun daerah.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TOPIK 3
PENGANTAR PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
Pengantar Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Deskripsi: Topik bertujuan untuk menjelaskan arti penting PAD dalam perekonomian daerah, serta isu-isu terkini berkaitan dengan pajak daerah dan retribusi daerah.
Sub Topik
Kata Kunci
Arti penting PAD dalam perekonomian daerah
Desentralisasi fiskal
Masalah penetapan tarif retribusi daerah
Biaya marginal
Latihan
Referensi: 1.
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
2.
UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
3.
PP No. 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak.
4.
PP No. 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan IMTA.
33
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pengantar Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
3.
Pengantar Pajak dan Retribusi Daerah
3.1.
Arti Penting PAD dalam Perekonomian Daerah
Dalam era otonomi daerah ini, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini berarti, idealnya pelaksanaan otonomi daerah harus mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat, daerah menjadi lebih mandiri, yang salah satunya diindikasikan dengan meningkatnya kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) dalam hal pembiayaan daerah. Pemerintah Daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan secara maksimal khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tentu saja hal ini dilakukan dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk diantaranya adalah pajak daerah dan retribusi daerah yang menjadi unsur PAD yang utama. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan komponen penting bagi pertumbuhan dan kemandirian ekonomi daerah. PAD yang besar dapat menjadi salah satu tolok ukur kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat daerah, perlu dilakukan optimalisasi PAD. Langkah awal yang harus diperhatikan dalam optimalisasi PAD ialah aspek perencanaan, karena perencanaan PAD yang merupakan salah satu fungsi pengelolaan dapat mempengaruhi realisasi PAD. Perencanaan PAD dalam hal ini dimaksudkan sebagai kegiatan terstruktur terkait dengan konsekuensi potensi yang difokuskan pada upaya efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan PAD.
Dengan meningkatnya PAD dari tahun ke tahun, nantinya diharapkan bahwa pemda kabupaten/kota secara bertahap dapat mengurangi ketergantungannya dari pemerintah pusat Sebagai sumber utama Pendapatan Daerah selain Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan, Pemerintah senantiasa mendorong upaya-upaya peningkatan PAD kabupaten/kota, agar pemda yang bersangkutan mampu mendanai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, serta pelayanan kepada masyarakat. Dengan meningkatnya PAD dari tahun ke tahun, nantinya diharapkan bahwa pemda kabupaten/kota secara bertahap dapat mengurangi ketergantungannya dari pemerintah.
34
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pengantar Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Upaya peningkatan PAD tersebut antara lain dapat dilihat dari pendapatan APBD kabupaten/kota Tahun 2007-2011. Pertumbuhan rata-rata total pendapatan APBD seluruh kabupaten/kota sebesar 17,7 persen, sedangkan pertumbuhan rata-rata PAD seluruh kabupaten/kota sebesar 14,1 persen. Pertumbuhan ratarata PAD selama kurun waktu 5 tahun ini memberikan gambaran yang cukup baik dalam memperkuat kemandirian daerah. Selanjutnya, rasio PAD seluruh kabupaten/kota pada tahun 2007 tercatat sebesar 56,6 persen, sedangkan pada tahun 2011 adalah sebesar 59,59 persen. (Lihat Tabel-4.1 dan Tabel-4.2). Tabel 3.1 : Pendapatan APBD Kabupaten/Kota Tahun 2007–2011 (Rp Milyar) Pertumbuhan Rata-rata
119.039,6 Rp Milyar
98.929,6
96.727,3
60000
47.553,7
50000
44.515,5
59.597,2
14,1%
47.331,0
45.366,9
62.110,7
40000
102.318,5
20,9%
47.429,0
45.023,8
42.520,4
35.177,1
30000 20000
22.196.6
10000
11.042,4
4.737,0
0
12.013,4
9.963,7
26,2%
4.658,2
2007
2008
2009
2010
Lain –lain
PAD
2011
Dana Perimbangan
Total
Tahun 2007-2009 angka Realisasi, Tahun 2010-2011 angka Anggaran Keterangan Keterangan :: Tahun 2007-2009 angka Realisasi, Tahun 2010-2011 angka Anggaran Sumber : SIKD Kementerian Keuangan, data diolah Sumber : SIKD Kementerian Keuangan, data diolah
Tabel 3.2 : Pendapatan APBD Kabupaten/Kota Rasio Per Bagian Pendapatan
7,6%
PAD
Dana Perimbangan
Lain-lain Lain-lain 11,1% 7,6%
Lain-lain Lain-lain 4,8% 7,6%
Lain-lain
56,6%
35,7%
PAD
Dana Perimbangan
46,0%
59,2%
2007
43,0%
2008
10,1%
PAD
Dana Perimbangan
2009 Lain-lain
Lain-lain Lain-lain 9,7% 7,6%
46,3%
44%
2010
PAD
Dana Perimbangan
50,1%
39,8%
2011
Keterangan : Tahun 2007-2009 angka Realisasi, Tahun 2010-2011 angka Anggaran Tahun 2007-2009 angkadata Realisasi, Sumber ::SIKD Kementerian Keuangan, diolah Tahun 2010-2011 angka
Keterangan Sumber : SIKD Kementerian Keuangan, data diolah
35
Dana Perimbangan
Anggaran
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
PAD
45,9%
Pengantar Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Walaupun pertumbuhan rata-rata PAD tersebut sudah menunjukkan kondisi yang relatif baik, namun Pemda masih perlu melakukan langkah-langkah strategis terkait pentingnya optimalisasi peningkatan PAD melalui pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD), bagi hasil pajak daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Melalui penguatan sistem perpajakan daerah (local taxing power) di dalam struktur pendapatan daerah, peranan PAD juga diharapkan dapat memberikan dampak positip terhadap pertumbuhan ekonomi, selain menjadi alternatip pendanaan bagi penyediaan prasarana dan saran pelayanan di daerah. Hal ini sejalan dengan prinsip penggunaan hasil pungutan retribusi menurut Pasal 161 UU No. 28/2009 bahwa pemanfaatan dari penerimaan setiap jenis retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan. Dengan tersedianya sarana dan prasarana yang memadai diharapkan dapat mendorong terciptanya iklim investasi yang kondusif sekaligus membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat daerah. Dengan terciptanya lapangan kerja yang baru, diharapkan akan berpengaruh pada peningkatan pendapatan masyarakat sehingga pertumbuhan ekonomi dapat meningkat. Masalah penetapan tarif retribusi daerah
36
1)
Masalah biaya marjinal.
Biaya marjinal atas suatu pelayanan terkadang agak sulit dihitung secara tepat, dalam prakteknya, untuk memudahkan umumnya digunakan biaya rata-rata. Meskipun cara ini bertentangan dengan prinsip ekonomi efisiensi, namun dalam beberapa kasus, biaya marjinal hanya memiliki sedikit perbedaan dengan biaya rata-rata misalnya pemakaian air berdasarkan m3. Selain itu, masalah pengukuran dan pemungutan menjadikan penetapan harga berdasarkan biaya marjinal sulit diimplementasikan. Dalam kasus pelayanan infrastruktur, harga berdasarkan biaya marjinal dapat saja terlalu rendah jika dibandingkan dengan biaya pemungutan.
Terdapat hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan apakah penetapan harga berdasarkan biaya marjinal bersifat jangka pendek atau jangka panjang: dalam kasus penyediaan air bersih, misalnya, terdapat suatu titik di mana tambahan konsumen akan membutuhkan tambahan pelayanan; jelas bahwa dalam situasi seperti ini sangat tidak beralasan apabila mereka dibebankan dengan harga berdasarkan biaya penuh (full cost).
Kasus di atas merupakan bagian dari pendekatan harga berdasarkan biaya marjinal di mana kapasitas yang tersedia seluruhnya terpakai, dan permintaan cenderung melebihi penawaran. Pada kondisi ini, pasar akan menentukan harga di atas biaya marjinal jangka pendek untuk memberikan tambahan sumber daya yang dibutuhkan dalam rangka peningkatan kapasitas.
Penetapan harga berdasarkan biaya marjinal tidak berarti bahwa harga menutupi seluruh biaya (full cost recovery): dalam hal ini biaya modal historis tidak diperhitungkan, atau bahkan biaya operasional (misalnya, biaya operasional overhead tetap yang tidak terpengaruh dengan penggunaan pelayanan). Dalam situasi di mana sumber daya langka, kegagalan untuk menutupi biaya menunjukkan hilangnya kesempatan sebagai alternatif dari penggunaan sumber daya MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pengantar Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
tersebut. Kerugian ini harus dipertimbangkan dengan kerugian efisiensi sehingga penetapan harga di atas biaya marjinal dapat tercapai.
Terdapat pertentangan pandangan dengan konsep “keadilan” (fairness): (1) Hanya mereka yang menerima manfaat yang harus membayar, sementara mereka yang tidak menerima manfaat tidak harus berkontribusi dalam sistem perpajakan; (2) Semua konsumen harus membayar sama, tanpa memandang biaya penyediaan pelayanan tersebut (khususnya biaya pelayanan bagi rakyat miskin umumnya tinggi). Bagian pertama menjelaskan prinsip Marginal Cost Pricing, dan prinsip manfaat, sementara bagian kedua lebih mengarah kepada kerugian atas ekonomi efisiensi yang dihasilkan dari penetapan harga sama dibandingkan dengan penetapan harga marjinal.
Eksternalitas konsumsi, seperti manfaat air bersih untuk mencuci dan memasak bagi kesehatan masyarakat secara signifikan dapat mengubah “harga efisiensi” yang telah ditentukan berdasarkan biaya marjinal. Pada kondisi ini, dapat dibenarkan apabila pelayanan tersebut disubsidi atau bahkan gratis sampai dengan titik tertentu.
Pada akhirnya, berdasarkan pertimbangan keadilan maka orang kaya harus membayar lebih, setidaknya untuk pelayanan seperti air bersih, di mana diskriminasi harga (misalnya, tarif progresif) atas pelayanan dapat dilakukan. Namun demikian, hal ini menyalahi syarat efisiensi. 2)
Tanpa pelayanan tidak boleh dipungut retribusi daerah. Retribusi daerah hanya boleh dipungut apabila pemerintah daerah menyediakan pelayanan yang bermanfaat bagi penerima jasa.
3)
Masalah ‘closed-list’ retribusi daerah. Sesuai prinsip desentralisasi, sebagian besar fungsi pelayanan masyarakat dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Namun, meskipun suatu daerah memiliki kewenangan dan menyediakan layanan, tapi karena kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah bersifat closed list, maka atas pelayanan yang diberikan tidak boleh dipungut retribusi.
3.2.
37
Soal Latihan
1)
Bagaimana peranan PAD dalam mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat dan membangun kemandirian daerah?
2)
Jelaskan mengapa pengukuran dan pemungutan menjadikan penetapan harga berdasarkan biaya marjinal sulit diimplementasikan?
3)
Apa yang dimaksud dengan dampak eksternalitis atas sebuah pelayanan?
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TOPIK 4
PAJAK DAERAH
Pajak Daerah
Deskripsi:
Topik ini menjelaskan definisi pajak daerah (baik pajak propinsi maupun pajak kabupaten/kota), fungsi pajak daerah, serta masalah-masalah yang dihadapi dalam penerapan pajak daerah.
Sub Topik Pengertian dan Fungsi Pajak Daerah Prinsip-prinsip Pajak Daerah Jenis-jenis Pajak Daerah Masalah-masalah dalam Penerapan Pajak Daerah
Kata Kunci Pendapatan Asli Daerah, kontra-prestasi
Yield/Hasil Keadilan
Jenis Pajak
Ekonomi efisiensi atau Netralitas ekonomi
Latihan
Referensi: 1.
Nick Devas (1989).
2.
Mardiasmo (2005), Perpajakan, Andi, Yogyakarta, 2009.
3.
UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
4.
PP No. 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan IMTA.
39
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pajak Daerah
4.
PAJAK DAERAH
4.1.
Pengertian dan Fungsi Pajak Daerah
Sebagai salah satu komponen penerimaan PAD, potensi pungutan pajak daerah lebih banyak memberikan peluang bagi daerah untuk dimobilisasi secara maksimal bila dibandingkan dengan komponenkomponen penerimaan PAD lainnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, terutama karena potensi pungutan pajak daerah mempunyai sifat dan karakteristik yang jelas, baik ditinjau dari tataran teoritis, kebijakan, maupun dalam tataran implementasinya. Pengertian Pajak Daerah Definisi atau pengertian pajak menurut Mardiasmo (2009) mengatakan bahwa: “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” Sedangkan pengertian Pajak menurut Abut (2007) menyatakan bahwa: “Pajak merupakan iuran kepada negara, yang dapat dipaksakan dan terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”
Pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah Bersifat memaksa
Berdasarkan undang-undang
Tidak mendapatkan imbalan secara langsung
Digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dari beberapa pengertian pajak tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan iuran wajib dari rakyat kepada negara sebagai wujud peranserta dalam pembangunan, yang pengenaannya didasarkan pada undang-undang dan tidak mendapat imbalan secara langsung, serta dapat dipaksakan kepada mereka yang melanggarnya.
40
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pajak Daerah
Sejalan dengan penjelasan diatas, UU N0. 28 Tahun 2009 tentang PDRD, sebagai pengganti dari UU N0. 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 34 Tahun 2000 juga lebih mempertegas pengertian pajak dalam tataran pemerintahan yang lebih rendah (daerah), sebagai berikut: “Pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Fungsi Pajak Daerah Sebagaimana halnya dengan pajak pusat, pajak daerah mempunyai peran penting dalam pelaksanaan fungsi negara/pemerintahan, baik dalam fungsi mengatur (regulatory), penerimaan (budgetory), redistribusi (redistributive), dan alokasi sumber daya (resource allocation) maupun kombinasi antara keempatnya. Pada hakikatnya fungsi pajak daerah dapat dibedakan menjadi 2 (dua) fungsi utama, yaitu fungsi budgetory dan fungsi regulatory. Namun, pembedaan ini tidaklah dikotomis. 1)
Fungsi Penerimaan (Budgetair)
Fungsi yang paling utama dari pajak daerah adalah untuk mengisi kas daerah. Fungsi ini disebut fungsi budgetair yang secara sederhana dapat diartikan sebagai alat pemerintah daerah untuk menghimpun dana dari masyarakat untuk berbagai kepentingan pembiayaan pembangunan daerah. Fungsi ini juga tercermin dalam prinsip efisiensi yang menghendaki pemasukan yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya dari suatu penyelenggaraan pemungutan pajak daerah.
2)
Fungsi Pengaturan (Regulerend)
Fungsi lain dari pajak daerah adalah untuk mengatur atau regulerend. Dalam hal ini pajak daerah dapat digunakan oleh pemerintah daerah sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam hal ini, pengenaan pajak daerah dapat dilakukan untuk mempengaruhi tingkat konsumsi dari barang dan jasa tertentu.
Dalam banyak hal, pemungutan pajak daerah ditujukan untuk meningkatkan pendapatan daerah. Terlebih-lebih di era otonomi daerah, dimana kebutuhan dana untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan daerah cukup besar, sementara sumber-sumber pendanaan yang tersedia sangat terbatas. Daerah dipacu untuk secara kreatif menciptakan sumber-sumber pendapatan daerah yang dapat mendukung pembiayaan pengeluaran daerah. Fungsi pengaturan dari pajak daerah dapat dilakukan dengan mengenakan pajak daerah yang tinggi terhadap kegiatan masyarakat yang kurang dibutuhkan. Sebaliknya, untuk kegiatan prioritas yang memberikan dampak positif bagi pengembangan ekonomi masyarakat dikenakan pajak daerah yang rendah.
41
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pajak Daerah
Dalam berbagai literatur dan peraturan perundang-undangan, peningkatan pendapatan asli daerah (yang di dalamnya termasuk pajak daerah) seolah-olah terkait secara langsung dengan kinerja pemerintah daerah. Peningkatan pendapatan asli daerah kadangkala digunakan sebagai indikator keberhasilan daerah. Hal ini mendorong pemerintah daerah berusaha menciptakan berbagai jenis pajak daerah yang berdasarkan pemahaman pemerintahan daerah dapat meningkatkan pendapatan asli daerah tanpa mempertimbangkan dampak dari pengenaan pajak tersebut bagi masyarakat dan bagi kelangsungan kegiatan ekonomi di daerahnya. Fungsi pengaturan dari pajak daerah belum banyak dimanfaatkan oleh daerah. Beberapa daerah memang sudah mengakomodir fungsi pendapatan dan fungsi pengaturan dalam perumusan kebijakan pajak daerah, antara lain melalui penerapan tarif yang berbeda antar golongan masyarakat. Kebijakan ini dapat membantu golongan masyarakat tertentu dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya, namun belum memberikan dampak positif yang signifikan bagi pengembangan ekonomi. Langkah yang belum banyak dipertimbangkan oleh daerah adalah pemberian insentif pajak daerah dalam rangka menarik investasi di daerahnya.
4.2.
Prinsip-Prinsip Pajak Daerah
Suatu pajak daerah harus memenuhi beberapa prinsip umum, sehingga pemungutannya dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Dari sejumlah prinsip yang umum digunakan di bidang perpajakan, di bawah ini diuraikan beberapa prinsip pokok dari suatu pajak yang baik, antara lain:
42
1)
Prinsip keadilan (Equity).
Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya keseimbangan berdasarkan kemampuan masingmasing subjek pajak daerah. Yang dimaksud dengan keseimbangan atas kemampuan subjek pajak adalah dalam pemungutan pajak tidak ada diskriminasi di antara sesama wajib pajak yang memiliki kemampuan yang sama. Pemungutan pajak yang dilakukan terhadap semua subjek pajak harus sesuai dengan batas kemampuan masing-masing, sehingga dalam prinsip equity ini setiap masyarakat yang dengan kemampuan yang sama dikenai pajak yang sama dan masyarakat yang memiliki kemampuan yang berbeda memberikan kontribusi yang berbeda sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
2)
Prinsip Kepastian (Certainty).
Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya kepastian, baik bagi aparatur pemungut maupun wajib pajak. Kepastian di bidang pajak daerah antara lain mencakup dasar hukum yang mengaturnya; kepastian mengenai subjek, objek, tarif dan dasar pengenaannya; serta kepastian mengenai tata MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pajak Daerah
cara pemungutannya. Adanya kepastian akan menjamin setiap orang untuk tidak ragu-ragu dalam menjalankan kewajiban membayar pajak daerah, karena segala sesuatunya diatur secara jelas. 3)
Prinsip Kemudahan (Convenience).
Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya saat dan waktu yang tepat bagi wajib pajak daerah dalam memenuhi kewajibannya. Pemungutan pajak daerah sebaiknya dilakukan pada saat wajib pajak daerah menerima penghasilan. Dalam hal ini negara tidak mungkin melaksanakan pemungutan pajak daerah jika masyarakat tidak mempunyai kekuatan untuk membayar. Bahkan daerah seharusnya memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada masyarakat untuk memperoleh peningkatan pendapatan, dan setelah itu mereka layak memberikan kontribusi kepada daerah dalam bentuk pajak daerah.
4)
Prinsip efisiensi (Efficiency).
Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya efisiensi pemungutan pajak, artinya biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan pemungutan pajak tidak boleh lebih besar dari jumlah pajak yang dipungut. Dalam prinsip ini terkandung pengertian bahwa pemungutan pajak daerah sebaiknya memperhatikan mekanisme yang dapat mendatangkan pemasukan pajak yang sebesar-besarnya dan biaya yang sekecil-kecilnya.
Untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut, maka perpajakan daerah harus memiliki ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri dimaksud, khususnya yang terjadi di banyak negara sedang berkembang, adalah: 1)
pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, yang berarti perbandingan antara penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya;
2)
Relatif stabil, artinya penerimaan pajak tidak berfluktuasi terlalu besar, kadang-kadang meningkat secara drastis dan adakalanya menurun secara tajam;
3)
Basis pajaknya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan (benefit) dan kemampuan untuk membayar (ability to pay).
4.3.
Kriteria Pajak Daerah
Ada beberapa kriteria mengenai pajak daerah, yaitu:
43
1)
Pungutan bersifat pajak dan bukan retribusi.
Pungutan tersebut harus sesuai definisi pajak yang ditetapkan dalam undang-undang, yaitu merupakan kontribusi wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah:
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pajak Daerah
• tanpa imbalan langsung yang seimbang; • dapat dipaksakan berdasarkan perundang-undangan; dan • digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. 2)
Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas cukup rendah, serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
3) Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Pajak ditujukan untuk kepentingan bersama yang lebih luas antara pemerintah dan masyarakat dengan memperhatikan aspek ketentraman dan kestabilan politik, ekonomi, sosial, budaya, serta pertahanan dan keamanan.
44
4)
Potensi pajak memadai, artinya hasil penerimaan pajak harus lebih besar dari biaya pemungutan.
5)
Objek Pajak bukan merupakan objek pajak pusat. Jenis pajak yang bertentangan dengan kriteria ini, antara lain adalah pajak ganda (double tax), yaitu pajak dengan objek dan/atau dasar pengenaan yang tumpang tindih dengan objek dan/atau dasar pengenaan pajak lain yang sebagian atau seluruh hasilnya diterima oleh daerah.
6)
Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif.
Pajak tidak mengganggu alokasi sumber ekonomi dan tidak merintangi arus sumber daya ekonomi antardaerah maupun kegiatan ekspor-impor.
7)
Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat.
Aspek keadilan, antara lain: • objek dan subjek pajak harus jelas sehingga dapat diawasi • pemungutannya; • jumlah pembayaran pajak dapat diperkirakan oleh wajib pajak; • tarif pajak ditetapkan dengan memperhatikan keadaan wajib pajak.
8)
Aspek kemampuan masyarakat.
Pajak memperhatikan kemampuan subjek pajak untuk memikul tambahan beban pajak, sehingga sebagian besar dari beban pajak tersebut tidak dipikul oleh masyarakat yang relatif kurang mampu.
9)
Menjaga kelestarian lingkungan.
Pajak harus bersifat netral terhadap lingkungan, yang berarti bahwa pengenaan pajak tidak memberikan peluang kepada daerah atau pusat atau masyarakat luas untuk merusak lingkungan.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pajak Daerah
4.4.
Kriteria Memilih Pajak Daerah
Dalam mempertimbangkan pemungutan suatu pajak daerah, ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan, utamanya yield atau hasil yang diperkirakan dapat diperoleh dan pemenuhan unsur-unsur keadilan. Yield/Hasil
KE CU K
T
IS
45
IT
PA
AS
ST
EL
IA N
TAN GU UN M
N UA UP
BIAY AP E
Gambar 4.1 : Kriteria Memilih Pajak Daerah
AS
Y BIA
A
KE
1)
Kecukupan: hasil dari pajak harus sesuai dengan pengeluaran yang akan dibiayai. Beberapa pajak yang memberikan hasil kecil cenderung tidak efisien dan menciptakan resistensi dari wajib pajak
2)
Kepastian dan dapat diprediksi: hasil dari pajak sebaiknya tidak mengalami fluktuasi yang besar dari tahun ke tahun, karena hal tersebut menyulitkan dalam perencanaan pengeluaran. Beberapa pajak atas produksi hasil pertanian kemungkinan sulit untuk diprediksi karena faktor iklim yang tidak menentu.
3)
Elastisitas: idealnya, hasil dari pajak sebaiknya meningkat secara otomatis seiring dengan inflasi, pertumbuhan populasi dan meningkatnya pendapatan. Pajak penghasilan progresif elastis terhadap ketiga hal tersebut, sementara “poll tax” hanya elastis terhadap populasi dan tidak kepada dua aspek yang lain. Pajak “ad valorem” (yaitu, persentase pajak dari nilai objek pajak akan jauh lebih elastis dibandingkan dengan pajak yang jumlahnya tetap dalam bentuk nilai uang). Catatan yang perlu diingat bahwa: tarif pajak dapat ditingkatkan seiring dengan inflasi, dan apabila keputusan politik atau tindakan administrasi dibutuhkan maka hal tersebut tidak dapat terjadi secara otomatis.
4)
Biaya pemungutan: rasio antara biaya pemungutan dan hasil dari pajak sebaiknya sekecil mungkin. Populasi penduduk dengan tingkat penyebaran yang luas, masalah transportasi dan infrastruktur menyebabkan biaya pemungutan di negara-negara berkembang menjadi tinggi. Hal ini menyebabkan pajak atas kegiatan sektor informal menjadi mahal karena biaya pemungutan yang tinggi.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pajak Daerah
Keadilan
PRINSIP KEADILAN
Gambar 4.2 : Prinsip Keadilan
PRINSIP VERTIKAL
PRINSIP MANFAAT
PRINSIP KEADILAN
PRINSIP HORISONTAL Beban pajak sebaiknya “adil” dan sesui dengan kemampuan membayar wajib pajak. Oleh karena itu, terdapat beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan:
46
1)
jelas tidak sembarangan: dasar pengenaan pajak dan kewajiban membayar harus jelas dan mudah dipahami. Hal ini penting dalam rangka menghindari tindakan sewenang-wenang dan ketidakadilan dalan penetapan pajak.
2)
prinsip manfaat: adalah prinsip yang menyatakan bahwa mereka yang menerima manfaat (atau paling diuntungkan) atas pelayanan pemerintah harus memberikan kontribusi (atau berkontribusi lebih banyak) atas pelayanan tersebut. Hal ini memberikan pengertian luas untuk perpajakan atau batas geografis bagi perpajakan (misalnya, wajib pajak pada satu daerah tidak harus membiayai pelayanan pada daerah lain), atau mengenakan retribusi langsung atas pelayanan yang diberikan kepada pembayar. Namun demikian, secara umum, prinsip ini tidak digunakan sebagai dasar untuk mengalokasikan beban pajak di antara individu.
3)
keadilan horisontal: artinya orang-orang dalam lingkungan ekonomi yang sama harus diperlakukan sama, misalnya, penghasilan dari pertanian harus dikenakan pajak pada tingkat yang sama dengan penghasilan dari sektor industri atau sektor lainnya.
4)
keadilan vertikal: adalah keadilan yang dikaitkan antara beban pajak dengan kemampuan untuk membayar. Oleh karena itu, perpajakan sebaiknya proporsional (artinya, semua kelompok penghasilan memberikan persentase kontribusi yang sama dari penghasilan tersebut) atau progresif (artinya, kelompok dengan penghasilan tinggi memberikan persentase kontribusi yang lebih besar, seperti pada pajak penghasilan). Sementara, terdapat beberapa pajak yang regresif misalnya pajak “poll”.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pajak Daerah
4.5.
Jenis-Jenis Pajak Daerah
Tabel 4.1 : Pengelompokan Jenis Pajak Daerah Dan Tarif Maksimal
No.
Tarif Maksimal
No.
1.
Pajak Kendaraan Bermotor;
Pajak Provinsi
1%-2%
1.
Pajak Hotel
Pajak Kabupaten/Kota
Tarif Maksimal 10 %
2.
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
20 %
2.
Pajak Restoran
10 %
3.
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
10 %
3.
Pajak Hiburan
75 %
4.
Pajak Air Permukaan; dan
10%
4.
Pajak Reklame
25 %
5.
Pajak Rokok.
10 %
5.
Pajak Penerangan Jalan
10 %
6.
Pajak Parkir
30 %
7.
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
25 %
8.
Pajak Air Tanah
20 %
9.
Pajak Sarang Burung Walet
10 %
10.
PBB Perdesaan Perkotaan
0,3 %
11.
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
5%
Pajak daerah memiliki beberapa perbedaan sesuai dengan Jenis Pajak Daerah, Objek Pajak Daerah dan Subjek Pajak Daerah. Beberapa perbedaan ini menimbulkan pengaturan yang berbeda pula sesuai dengan UU 28 Tahun 2009. Tabel 4.2 : Pengelompokan Pajak Daerah Berdasarkan Jenis, Objek dan Subjeknya No
47
Jenis Pajak Daerah
Objek Pajak Daerah
Subjek Pajak Daerah
1
Pajak Kendaraan Bermotor (oficial assesment)
Kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor
Orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/ atau menguasai Kendaraan Bermotor
2
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (oficial assesment)
Penyerahan Kepemilikan Kendaraan Bermotor
Orang pribadi atau Badan yang dapat menerima penyerahan Kendaraan Bermotor
3
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (oficial assesment)
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan di air
Konsumen Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
4
Pajak Rokok (oficial assesment)
Konsumsi Rokok
Konsumen Rokok
5
Pajak Air Permukaan (Self Assesment)
Pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan
Orang pribadi atau Badan yang dapat melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan
6
Pajak Hotel (Self Assesment)
Pelayanan yang disediakan oleh Hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan Hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga dan hiburan
Orang pribadi atau Badan yang melakukan pembayaran kepada Orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Hotel
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pajak Daerah
7
Pajak Restoran (Self Assesment)
Pelayanan yang disediakan oleh Restoran
Orang pribadi atau Badan yang membeli makanan/minuman dari Restoran
8
Pajak Hiburan (Self Assesment)
Jasa penyelenggaraan Hiburan dengan dipungut bayaran
Orang pribadi atau Badan yang menikmati Hiburan
9
Pajak Reklame (Self Assesment)
Semua penyelenggaraan Reklame
Orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame
10
Pajak Penerangan Jalan (oficial assesment)
Penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain.
Orang pribadi atau Badan yang dapat menggunakan tenaga listrik
11
Pajak Parkir (Self Assesment)
Penyelenggaraan tempat Parkir diluar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
Orang pribadi atau Badan yang melakukan parkir kendaraan bermotor
12
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (Self Assesment)
Kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan.
Orang pribadi atau Badan yang dapat mengambil Mineral Bukan Logam dan Batuan
13
Pajak Air Tanah (Self Assesment)
Pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah
Orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah
14
Pajak Sarang Burung Walet (Self Assesment)
Pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet
Orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet
15
PBB Perdesaan & Perkotaan (oficial assesment)
Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan
Orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atau Bumi dan /atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
16
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (oficial assesment)
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
Orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
Sumber: Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Peraturan Pemerintah No. 91 Tahun 2010.
4.6.
Masalah-Masalah dalam Penerapan Pajak Daerah
Terdapat beberapa permasalahan ketika merancang sistem pajak yang adil, khususnya di negara berkembang, karena:
48
1)
Tingkat rata-rata pajak rendah di mana penghasilan dan jumlah orang kaya relatif kecil, berarti tidak ada alternatif lain kecuali mengenakan pajak pada masyarakat miskin;
2)
Kurangnya data yang akurat berkaitan dengan dasar pengenaan pajak;
3)
Ketidak-akuratan penilaian ditambah dengan penyelundupan (evation) pajak yang dilakukan oleh orang kaya, menyebabkan apapun bentuk dan sistem pajak cenderung akan memberikan beban lebih berat pada masyarakat miskin;
4)
Dorongan atas pengaruh negatif dari pajak progresif berdampak pada pertumbuhan ekonomi. MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pajak Daerah
KAN NA A KS
EK ON
MASALAH MASALAH DALAM PENERAPAN PAJAK DAERAH
NE
TRA
N LIT A S E K O
ENSI FISI IE OM
AMPUAN ME KEM LA
Gambar 4.3 :
OM
I
Ekonomi efisiensi atau Netralitas ekonomi Dalam sistem pasar, harga (dalam arti luas) melakukan fungsi utama sebagai alokasi sumber daya, dan ditentukan oleh hubungan antara penawaran (supply) dan permintaan (demand). Sebagian pajak mempengaruhi harga relatif dan karenanya mempengaruhi keputusan ekonomi melalui konsumer dan produser (keputusan berkaitan dengan apa yang harus dibeli, kombinasi atas input, pilihan antara kerja dan waktu santai, serta antara konsumsi dan investasi, dll)
Pajak atas produk atau jasa tertentu cenderung memiliki pengaruh merugikan yang lebih besar dari sudut pandang “ekonomi efisiensi” dari pada pajak “poll” atau pajak penghasilan, karena kedua pajak terakhir tidak mengintervensi pilihan atas suatu barang. Sistem pajak harus dirancang sedemikian rupa sehingga bersifat netral, yaitu meminimalkan distorsi harga relatif, dan untuk menghindari terjadinya insentif dan disinsentif yang tidak diharapkan. Contoh: perusahaan manufaktur memiliki pilihan di antara dua proses produksi yaitu menggunakan bahan A atau bahan B. Bahan A berlimpah di negara tersebut, karenanya harga menjadi lebih murah dibandingkan bahan B. Namun demikian, terdapat pajak atas bahan A yang mengakibatkan harga bahan A ke perusahaan menjadi lebih tinggi. Berdasarkan hal tersebut, perusahaan cenderung memilih bahan B. Pilihan ini menimbulkan kerugian terhadap perekonomian, sebagai akibat dari distorsi harga relatif pada sistem pajak.
49
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pajak Daerah
Kerugian ekonomi dapat berdampak luas daripada hanya sekedar biaya tambahan pajak konsumen, atau sejumlah uang yang dihasilkan dari pajak. Misalnya, terdapat beberapa pembeli yang hilang dari suatu barang, atau pembeli beralih ke komoditas lain, semua karena pajak. Jumlah total dari kerugian tersebut dikenal sebagai “excess burden” atau “deadweight loss” dalam ilmu ekonomi berkaitan dengan perpajakan. Kemampuan Melaksanakan 1)
Kemampuan diterima secara politis: tidak ada pajak yang populer, tetapi terdapat beberapa pajak yang lebih populer dibandingkan dengan yang lainnya. Kesemuanya banyak tergantung pada visibilitas pajak, seperti pajak yang pembayarannya dilakukan secara langsung (misalnya, pajak properti atau pajak “poll”) kemungkinan akan jauh lebih populer daripada pajak yang disamarkan (misalnya, pajak penjualan atau withholding pajak).
Beberapa jenis pajak kemungkinan sensitif di negara-negara tertentu (misalnya, pajak atas tanah, sapi). Political will dibutuhkan untuk merevisi tarif pajak dalam rangka meyakinkan penilaian yang adil dan untuk mengambil tindakan penegakan hukum bagi yang menghindari pajak. Adanya kepentingan tertentu sering menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan sistim perpajakan yang efektif, khususnya pajak progresif.
Mengalokasikan pendapatan pajak untuk tujuan tertentu (earmark) membuat pajak tersebut secara politis tidak terlalu sensitif, tetapi cenderung mengurangi fleksibilitas anggaran dan pembayar pajak tidak terdorong untuk membayar pelayanan yang kurang populer (misalnya administrasi umum).
2)
Kapasitas administratif: hal ini berkaitan dengan keahlian, ketrampilan dan kejujuran sumber daya manusia dari suatu negara untuk mengelola pajak yang kompleks secara efisien dan efektif. Beberapa pajak lebih mudah dan sederhana untuk dikelola dibandingkan dengan yang lain (misalnya, bea balik nama kendaraan bermotor dibandingkan dengan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan). Administrasi dapat difasilitasi oleh organisasi pada suatu tempat di mana pajak tersebut dikumpulkan (misalnya pajak hotel dan pajak restoran).
Penilaian/Penetapan Pajak Tidak ada pajak yang sempurna. Tujuan dari kebijakan fiskal adalah untuk merancang serangkaian pajak yang dapat meminimalisasi pelanggaran atas kriteria-kriteria pajak di atas. Perlu diingat bahwa kemungkinan konflik di antara kriteria-kriteria tersebut dapat terjadi, misalnya:
50
1)
Antara keadilan dan efisiensi
2)
Antara kemudahan administrasi dan keadilan
3)
Antara hasil dan ekonomi efisiensi, dan lainnya
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pajak Daerah
Namun demikian, kehati-hatian dalam merancang instrumen pajak dapat memperbaiki trade-off di antara kriteria tersebut.
4.7.
Isu-Isu Terkini Pajak Daerah
Dalam pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2009 terdapat sejumlah permasalahan dan tantangan yang memerlukan penanganan dalam rangka mengoptimalkan PAD dan memberikan kepastian hukummengenai pungutan daerah yang menjadi kewajiban masyarakat. Sebagian isu yang timbul adalah terkait dengan gugatan masyarakat terhadap rumusan dalam UU No. 28 Tahun 2009 dan sebagian lainnya terkait dengan implikasi dari pengalihan PBB-P2 dan BPHTB ke daerah. Gugatan terhadap UU No. 28 Tahun 2009 Sampai tahun 2013, setidaknya terdapat 3 gugatan terhadap materi UU No, 28 Tahun 2009 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi, yaitu pajak hiburan objek golf, pajak hiburan objek fitness center, pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor objek alat berat. 1)
Pajak Hiburan objek golf.
Dalam UU No. 28 Tahun 2009, golf dikategorikan sebagai hiburan yang terkena pajak hiburan. Asosiasi Pemilik Lapangan Golf Indonesia mengajukan uji materi mengenai ketentuan tersebut ke Mahkamah Konstitusi dengan tuntutan agar golf tidak dimasukkan sebagai hiburan yang dikenakan pajak hiburan.
Mahkamah Konstitusi pada sidang tanggal 18 Juli 2012 mengabulkan permohonan pemohon dengan pertimbangan: • Golf adalah cabang olahraga, yang merupakan kegiatan fisik yang dapat mendorong, membina, serta mengembangkan potensi jasmani, rohani dan sosial seperti cabang olahraga lainnya, • Pengenaan pajak atas golf menimbulkan pajak ganda untuk objek pajak yang sama, karena golf merupakan objek PPN.
51
Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sejak tanggal 18 Juli 2012, pemerintah daerah tidak boleh memungut pajak hiburan atas permainan golf.
Terlepas dari keputusan Makamah Konstitusi tersebut di atas, ada pandangan lain terkait dengan pengenaan pajak hiburan atas permainan golf, sebagaimana pendapat salah satu Hakim MK, Ahmad Sodiki. Beliau berpendapat bahwa permainan golf layak dikenakan pajak hiburan, karena golf dimainkan oleh orang mampu, sehingga semakin besar kemampuan membayar, maka semakin besar beban yang dikenakan.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pajak Daerah
2)
Pajak Hiburan objek Fitness center
Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009, pusat kebugaran atau fitness center termasuk dalam kategori hiburan yang dikenakan pajak hiburan. Pengusaha dan pengguna pusat jasa kebugaran mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar Pasal 42 ayat (2) huruf i UU No. 28 Tahun 2009 dibatalkan dengan pertimbangan: • bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) dan (2) UUD 1945; • memperlakukan secara diksriminatif bila dibandingkan cabang olahraga lainnya yang juga memungut bayaran dari kliennya, seperti golf, yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
3)
Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) objek alat berat
Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009, alat-alat berat dan alat-alat besar termasuk dalam kategori kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB). Beberapa asosiasi alat berat mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi agar membatalkan ketentuan ini. Namun Mahkamah Konstitusi menolak permohonan tersebut, sehingga atas penguasaan dan pemilikan alat berat tetap dikenakan PKB dan atas penyerahan kepemilikan alat berat dikenakan BBN-KB.
Ada beberapa pandangan dan kritik terhadap pengenaan PKB dan BBNKB atas alat berat, antara lain: •
UU No. 28 tahun 2009 maupun UU No. 34 tahun 2000 tidak memberikan penjelasan, pengertian, maupun definisi alat berat dan alat-alat besar sehingga mengaburkan maksud dan jenis alat berat mengingat banyaknya jenis, ragam dan fungsi alat berat sebagaimana dijelaskan berikut ini.
• Alat berat dan alat konstruksi pada umumnya di bagi sesuai dengan sektor pemakaian alat tersebut, setelah itu baru di kategori dalam jenis dan fungsi alat-alat tersebut dan kemudian dibagi lagi sesuai ukuran dan beratnya. APPAKSI selalu berkomunikasi dengan asosiasi internasional sejenis seperti American Rental Association, Japan Heavy Equipment Industry Association, Korean Machinery Rental Association, dan beberapa asosiasi di negara-negara ASEAN, termasuk Australia. • Dalam beberapa kesempatan berdiskusi di acara pameran international seperti Bauma German dan Conexpo di Amerika, APPAKSI telah mengecek pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor (Road Tax) untuk alat berat dan alat besar. Dari informasi yang diperoleh dari beberapa negara seperti Amerika, Japan, Korea, Malaysia maupun Australia memang tidak dikenakan PKB (Road Tax) untuk alat besar dan alat berat. Bahkan untuk merangsang pembangunan konstruksinya, Amerika memperpanjang Tax Relief Act 2010 section 179 Boost for Small Business dalam Tax Incentives For Equipment Purchase untuk tahun 2011 dan 2012. Ini berarti untuk pembelian alat baru atau rekondisi dengan nilai diatas US $ 500.000 dapat dikompensasi 30% dari pajak penghasilan diluar depresiasi.
52
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pajak Daerah
Usulan Daerah Untuk penyempurnaan Kebijakan BPHTB dan PBB-P2 Potensi PBB-P2 dan BPHTB antar daerah di Indonesia sangat timpang. Daerah yang meiliki potensi rendah mengalami kesulitan untuk meningkatkan pendapatan dari PBB-P2 dan BPHTB karena sebagian besar tanah dan bangunan yang dimiliki atau ditransaksikan tidak dikenakan pajak. 1) NPOP-TKP Pemerintah kabupaten/kota mulai memungut Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) pada tahun 2011. BPHTB dikenakan atas setiap transaksi jual beli tanah dan atau bangunan dengan nilai diatas Rp60 Juta. Untuk jual beli dengan nilai Rp60 Juta atau kurang, tidak dikenakan BPHTB.
Contoh Perhitungan:
NPOP-TKP ditetapkan sebesar Rp60 juta dan tarif BPHTB = 5%. a. Apabila nilai transaksi jual beli objek pajak = Rp100 juta, maka Nilai Perolehan Objek Pajak yang dikenakan BPHTB = Rp100 juta – Rp60 juta = Rp40 juta, sehingga BPHTB terhutang = 5% x Rp40 juta = Rp2 juta. b. Apabila nilai transaksi jual beli objek pajak = Rp50 juta, maka Nilai Perolehan Objek Pajak yang dikenakan BPHTB= Nihil.
Pada sebagian daerah, terutama daerah dengan potensi ekonomi yang belum berkembang, memandang penetapan NPOP-TKP sebesar Rp60 juta terlalu tinggi dan sebaiknya tidak diseragamkan untuk seluruh daerah di Indonesia. Sebagian besar transaksi jual beli tanah dan bangunan di daerah tersebut bernilai kurang dari Rp60 juta, sehingga transaksi yang terjadi tidak dapat dikenakan BPHTB. Akibatnya, pendapatan BPHTB tidak dapat ditingkatkan. Daerah seperti ini mengusulkan agar NPOP-TKP ditinjau kembali dan dibuka kemungkinan untuk menetapkan NPOPTKP yang lebih rendah.
2)
NJOP-TKP sebesar Rp10 juta untuk pemungutan PBB-P2
Pemerintah kabupaten/kota mulai dapat memungut PBB-P2 sejak 1 Januari 2010 dan paling lambat 1 Januari 2014. Dalam pemungutannya, PBB-P2 dikenakan atas tanah dan atau bangunan yang bernilai sekurang-kurangnya Rp10 juta. Atas tanah dan atau bangunan yang nilainya di bawah Rp10 juta tidak dikenakan PBB-P2.
Contoh perhitungan:
NJOP-TKP ditetapkan sebesar Rp10 juta dan tarif PBB-P2 = 0,1%. a. Apabila NJOP sebidang tanah = Rp20 juta, maka NJOP yang dikenakan PBB-P2 = Rp20 juta – Rp10 juta = Rp10 juta, sehingga PBB-P2 terhutang = 0,1% x Rp10 juta = Rp10 ribu. b. Apabila NJOP sebidang tanah = Rp9 juta, maka NJOP yang dikenakan PBB-P2 = Nihil.
53
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pajak Daerah
Terdapat beberapa daerah yang tidak dapat mengenakan PBB-P2 karena NJOP tanah di daerah tersebut sangat kecil sehingga tidak dapat dikenakan PBB-P2 secara optimal. Daerah seperti ini mengusulkan agar NJOP-TKP ditinjau kembali dan membuka kemungkinan untuk mentapkan NJOP-TKP yang lebih rendah.
4.8.
54
Soal Latihan
1)
Jelaskan bagaimana keterkaitan aspek keadilan horisontal dan aspek keadilan vertikal! Yang mana harus didahulukan?
2)
Mengapa hasil merupakan syarat yang penting dalam menentukan sebuah usulan pajak?
3)
Bagaimana kemampuan administratif pemerintah daerah dalam mengimplementasikan pajak daerah dan retribusi daerah secara menyeluruh?
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TOPIK 5
PENGELOLAAN PBB-P2
Pengelolaan PBB-P2
Deskripsi: Topik ini menjelaskan konsep PBB P2, fungsi, optimalisasi PBB-P2, serta masalah yang dihadapi dalam penerapan PBB P2.
Sub Topik PBB-P2 sebelum dijadikan pajak daerah Konsep PBB-P2
Fungsi dan Pelaksanaan PBB-P2 Langkah-langkah Optimalisasi PBB-P2 Masalah-masalah yang Dihadapi dalam Penerapan PBB-P2
Kata Kunci IPEDA
PBB Perdesaan dan Perkotaan
NJOP
Pendataan, penetapan, penagihan
Administrasi SISMIOP, pendataan, penagihan
Latihan
Referensi: 1. UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 2. PP No. 69 Tahun 2010 tentang Tatacara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 3. PP No. 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak 4. Permendagri No. 56 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah. 5. Peraturan Bersama Menkeu dan Mendagri No. 186 Tahun 2010 dan No. 213 Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan Pengalihan PBB-P2 menjadi Pajak Daerah. 6. Darwin (2010).
56
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pengelolaan PBB-P2
5.
Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)
5.1.
Latar Belakang
Berpindahnya pengelolaan PBB-P2 yang sebelumnya dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai pajak pusat menjadi pajak daerah yang dikelola oleh Pemerintah Daerah berdampak pada beberapa hal terkait pelaksanaan operasional pajak. PBB-P2 pada dasarnya merupakan pajak objektif yang mengacu pada objeknya dan memiliki karakter yang berbeda dengan jenis pajak lain, seperti Pajak Penghasilan (PPh) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Siapapun pemiliknya, penggunanya, maupun yang mendapat manfaat dari suatu objek PBB-P2 akan menjadi subjek pajak yang apabila memenuhi kriteria akan menjadi wajib pajak. PBB-P2 yang selama ini dikelola oleh pemerintah pusat, dalam hal ini oleh Direktorat Jenderal Pajak, telah memiliki sistem aplikasi dan database yang sudah sejak lama dibangun dan dikumpulkan. Suatu sistem dibuat untuk mempermudah suatu pekerjaan menjadi lebih efektif dan efisien. Begitu juga dengan sistem yang telah dibangun untuk pengelolaan PBB-P2 ini. Beberapa sistem yang digunakan antara lain adalah Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (SISMIOP) yang memudahkan fiskus dalam mengadministrasikan maupun menganalisis kebijakan apa saja yang akan diambil dalam rangka memaksimalkan penerimaan dan kepatuhan wajib pajak. Selain itu, Sistem Informasi Geografis PBB (SIG PBB) dalam pengelolaan PBB-P2 tidak dapat begitu saja diabaikan karena dengan menggunakan sistem ini dapat diketahui posisi relatif terhadap kondisi sekitarnya. Sistem yang sudah dibangun sejak lama tersebut telah menghasilkan banyak sekali data yang berada di database Direktorat Jenderal Pajak. Data tersebut nilainya sangat tinggi dan merupakan hasil kerja bertahuntahun. Seiring dengan berpindahnya pengelolaan PBB-P2 dari pemerintah ke pemerintah daerah maka semua sistem dan data yang terkait harus ditransfer ke pemerintah daerah. Cukup kompleksnya sistem dan data yang sudah dimiliki Direktorat Jenderal Pajak menjadikan semua sistem yang terkait dengan PBB-P2 menjadi sesuatu yang sangat berharga apabila dapat dikelola oleh pemerintah daerah setempat.
57
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pengelolaan PBB-P2
5.2.
PBB-P2 Sebagai Pajak Pusat
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan pajak yang telah dipungut dalam kurun waktu yang sangat lama, yaitu mulai dari jaman kerajaan, jaman penjajahan, jaman kemerdekaan, hingga sampai saat ini. Dalam melakukan pemungutan PBB, pemerintah daerah harus memahami sejarah pemungutan PBB dengan mempelajari sejarah pengaturan dan praktek pemungutan PBB, hubungan antara pemajakan atas tanah dengan kepemilikan tanah, permasalahan sosial serta konsekwensi hukum yang timbul karena dikeluarkannya produk hukum pemungutan PBB (seperti Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT)). Pemungutan Pajak Atas Tanah Setelah Kemerdekaan Pajak bumi digantikan dengan Pajak Hasil Bumi berdasarkan Undang-undang No 14 tahun 1951 (L.N 1951 No 84) tentang Penggantian Pajak Bumi dengan Pajak Peralihan Tahun 1944. Dalam perkembangannya, pemerintah menyempurnakan Undang-undang No 14 tahun 1951 dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi (L.N. 1959 No 104) dan ditetapkan kembali dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961. Undang-undang ini hanya mengatur tentang pungutan pajak atas tanah adat (tidak termasuk tanah hak barat). Dengan diberlakukannya UUPA pada tahun 1960 serta ditegaskan lagi dengan Keputusan Presidium Kabinet Tanggal 10 Februari Tahun 1967 Nomor 87/Kep/U/4/1967, maka Undang-undang Nomor 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi yang menjadi landasan Pajak Hasil Bumi harus ditafsirkan bahwa semua tanah di Indonesia dipungut Pajak Hasil Bumi. Termasuk tanah-tanah yang diatur dalam Ordonansi Verponding Indonesia tahun 1923 dan tahun 1928. Pungutan Pajak hasil Bumi pada saat itu dikelola oleh Jawatan Pajak Hasil Bumi yang pada tahun 1963 diubah menjadi Direktorat Pajak Hasil Bumi. Dengan pemberian otonomi dan desentralisasi kepada pemerintah Daerah, Pajak Hasil Bumi kemudian namanya diubah menjadi IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Iuran Negara No.PM.PPU 1-1-3 Tanggal 29 November 1965 yang berlaku mulai 1 November 1965. Kelembagaan Direktorat Pajak Hasil Bumi diubah menjadi Direktorat Iuran Pembangunan Daerah (Di Bawah Ditjen Moneter). IPEDA merupakan pungutan yang dilakukan oleh pemerintah pusat atas tanah, yang kemudian hasil pemungutan tersebut seluruhnya dikembalikan kepada daerah untuk kegiatan pembangunan. Dengan keputusan Presiden RI No. 12 tahun 1976 tanggal 27 Maret 1976, Direktorat IPEDA diserahkan dari Direktorat Jenderal Moneter kepada Direktorat Jenderal Pajak. Pada tanggal 27 Desember 1985 dengan diberlakukannya Undang-undang RI No. 12 tahun 1985 Direktorat IPEDA berganti nama menjadi Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Demikian juga unit kantor di daerah yang semula bernama Inspeksi IPEDA diganti menjadi Inspeksi Pajak Bumi dan Bangunan, dan Kantor Dinas Luar IPEDA diganti menjadi Kantor Dinas Luar PBB. Perubahan yang terjadi dengan
58
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pengelolaan PBB-P2
diberlakukannya Undang-undang Nomor 12 tahun 1985 (Undang-undang PBB) adalah dengan hanya menerapkan satu jenis pajak yang dipungut atas objek pajak berupa tanah dan atau bangunan yang sebelumnya dikenakan atasnya beberapa jenis pajak. Ketentuan Pajak Bumi dan Bangunan diberlakukan atas sektor P2 dan P3 sebagaimana juga jenis sektor yang diberlakukan dalam IPEDA.
IPEDA merupakan pungutan yang dilakukan oleh pemerintah pusat atas tanah, yang kemudian hasil pemungutan tersebut seluruhnya dikembalikan kepada daerah untuk kegiatan pembangunan Sebagaimana pungutan melalui IPEDA, penerimaan PBB sebagian besar akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Bagi hasil penerimaan PBB diformulasikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1985 sebagai berikut: •
10% (sepuluh persen) dari hasil penerimaan merupakan bagian penerimaan untuk Pemerintah Pusat dan harus disetor sepenuhnya ke Kas Negara;
•
90% (sembilan puluh persen) dari hasil penerimaan merupakan bagian untuk Pemerintah Daerah
•
Hasil penerimaan (sebesar 90%), setelah dikurangi dengan biaya untuk melakukan pemungutan sebesar 10% (sepuluh persen), dibagi untuk Pemerintah Daerah Tingkat I sebesar 20% dan Daerah Tingkat II sebesar 80%
Dengan diberlakukannya UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), maka pungutan PBB yang sebelumnya dikelola oleh pemerintah pusat, untuk sektor perdesaan dan perkotaan, dikelola oleh kabupaten/kota. Latar belakang pendaerahan pengelolaan PBB ini selaras dengan kebijakan desentralisasi fiskal yang didesain dalam rangka mendukung perkembangan otonomi daerah. Hasil penerimaan PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan (P2) seluruhnya merupakan penerimaan kabupaten/kota. Perkembangan Administrasi Pajak atas Tanah Setelah diberlakukannya UU PBB Sebelum diberlakukanya UU Nomor 12 tahun 1985, dalam pengadministrasian Pajak hasil bumi/IPEDA antara lain dikenal formulir pembukuan data PBB berupa: buku A (daftar pokok pajak), buku B (daftar perincian pajak), buku C (daftar himpunan ketetapan pajak), blangko girik/petok D (daftar keterangan objek pajak untuk ketetapan pajak). Dengan diberlakukannya UU PBB, maka formulir yang dipergunakan adalah: 1) Surat Pemberitahuan Objek Pajak individu/kolektif (Lampiran Kep.Menkeu Nomor 1006/ KMK.04/1985)
59
2)
Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (Lampiran Kep.Menkeu Nomor 19/KMK.04/1986)
3)
Register Desa (KP. PBB-36);
4)
Buku Carakan/Abjad (KP. PBB-37); MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pengelolaan PBB-P2
5)
Pokok Pajak Bumi dan Bangunan (KP. PBB-38);
6)
Daftar Perincian Pajak Bumi dan Bangunan (KP. PBB-39);
7)
Himpunan Ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan (KP. PBB-40);
8)
Daftar Keterangan obyek Pajak Untuk Ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan (KP. PBB-41).
Dijelaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE–62/PJ.7/1988 tentang penggunaan nama (penyebutan) formulir pembukuan bahwa : 1)
KP. PBB-38 disamakan dengan buku A
2)
KP. PBB-39 disamakan dengan buku B
3)
KP. PBB-40 disamakan dengan buku C
4)
KP. PBB-41 disamakan dengan girik/petok D 1
Dengan diberlakukanya ketentuan yang baru maka dalam rangka kadaster pajak juga dilakukan upaya pembaharuan data PBB. Ketentuan pembaharuan data PBB tersebut diatur sebagai berikut (Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-96/PJ.7/1987 tentang Tata Cara Pendataan/Pembaharuan Data Pajak Bumi dan Bangunan): 1)
Untuk obyek pajak eks IPEDA sektor Perkotaan pada umumnya dapat dilaksanakan dengan memberikan Surat Pemberitahuan Objek Pajaka (SPOP) kepada subyek pajaknya. Namun mengingat jumlah subyek/obyek pajak yang demikian banyak serta dengan sifat-sifat yang heterogen, maka pendataan/pembaharuan data PBB dapat dilaksanakan pula dengan jalan pemetaan dan pengukuran obyek pajak/rincikan objek pajak.
2)
Untuk tanah eks IPEDA sektor Pedesaan, pembaharuan datanya tetap dilaksanakan dengan cara Klasiran Praktis sesuai Pedoman Klasiran Praktis (Vide SE-01/PJ.7/1984 tanggal 4 anuari 1984). Dalam pelaksanaannya dibuatkan lebih dahulu Peta Ikhtisar kelurahan/Desa yang terbagi menjadi persil-persil Sawah (S) dan Darat (D) lengkap dengan nomor-nomor persil. Pembukuan dari hasil pembaharuan data ini berupa Register Desa, Buku A, Buku B. Buku Abjad/Carakan, Buku C dan lainlain.
3)
Mengingat banyaknya subyek pajak eks IPEDA, serta kemampuannya untuk mengisi SPOP, maka dibuat bentuk formulir SPOP kolektif.
Sistem pembukuan PBB tersebut selanjutnya diubah dengan komputerisasi melalui aplikasi SISTEP (Sistim Tempat Pembayaran) yang dimulai tahun 1990 s/d tahun 1993. Langkah awal yang dilakukan adalah dengan melakukan perekaman data (hasil rekaman dicetak pada DHR dan divalidasi). Sistem ini mengganti formulir pembukuan data PBB yang diadministrasikan sebelumnya secara manual. Hasil
60
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pengelolaan PBB-P2
Keluaran berupa Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT), Surat Tanda Terima Setoran (STTS), Daftar Hasil Rekaman (DHR) dan Daftar Himppunan Ketetapan Pajak (DHKP) dicetak secara otomasi. Namun demikian, meskipun telah terbentuk SISTEP, Kantor Pelayanan PBB masih menerbitkan Girik/Petuk D/Kekitir/Keterangan Objek Pajak (KP.PBB 41). Pada kenyataannya sampai saat tersebut masih banyak Kepala KP.PBB yang menerbitkan Girik/Petak D/Kekitir/Keterangan Obyek Pajak (KP.PBB 41) atau salinannya atas permintaan perseorangan atau badan yang akan digunakan oleh yang bersangkutan sebagai alat pembuktian hak atas tanah. Dan hal ini telah banyak menimbulkan masalah dan mengganggu tugas pokok KP.PBB Sehubungan dengan hal tersebut, maka diterbitkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-15/PJ.6/1993 tentang Larangan Penerbitan Girik/Petuk D/Kekitir/Keterangan Objek Pajak (KP.PBB 41). Apabila masyarakat memerlukan pelayanan yang berhubungan dengan penentuan status hukum/hak atas tanah disarankan agar menghubungi Kantor Pertanahan setempat, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962 tanggal 1 Agustus 1962, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: SK.26/DDA/1970 tanggal 14 Mei 1970 juncto Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor: Reg. 34.K/Sip/1960 tanggal 10 Februari 1960.
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan (Pasal 1 angka 37 UU 28/2009)
Dalam hal memenuhi panggilan dari instansi Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, maupun instansi Pemerintah lainnya yang berkaitan dengan masalah girik, maka Kantor Pelayanan PBB agar tetap berpedoman kepada: Instruksi Menteri Keuangan RI Nomor: 05/IMK.01/ 1978 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-21/PJ.7/1991 tanggal 26 September 1991. Setelah SISTEP terbentuk, maka Direktorat Jenderal Pajak mengembangkan aplikasi SISMIOP yang sampai saat ini masih digunakan. Pembentukan Basis Data SISMIOP dilakukan dengan konversi data SISTEP atau dengan melakukan pendataan (dalam rangka pembentukan Basis Data SISMIOP). Sesuai dengan SE -04/ PJ.6/1994 maka mulai tahun pajak 1994 seluruh program pencetakan data keluaran penetapan PBB menggunakan aplikasi SISMIOP. Mengingat pembentukan basis data SISMIOP memerlukan biaya dan waktu yang cukup besar, maka sampai saat ini belum semua daerah telah diadministrasikan dengan pola SISMIOP (masih diadministrasikan dengan pola SISTEP).
61
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pengelolaan PBB-P2
5.3. PBB-P2 Sebagai Pajak Daerah Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat melaksanakan otonomi, khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah, Pemerintah menetapkan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya dengan menetapkan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. sebagai pengganti UU No. 34 Tahun 2000 dan UU No. 18 Tahun 1997. Pelaksanaan UU No.28 Tahun 2009 diharapkan dapat meningkatkan pendapatan daerah dalam rangka memperbaiki kualitas pelayanan kepada masyarakat. Setelah adanya perubahan kebijakan pajak daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, ada beberapa perubahan yang cukup signifikan yang berpengaruh pada hubungan keuangan pusat dan daerah. Salah satu di antaranya adalah pengalihan pajak yang sebelumnya merupakan pajak pusat menjadi pajak daerah, yaitu PBB-P2 (PBB Perdesaan dan Perkotaan) dan BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas tanah dan Bangunan). Ketika PBB-P2 dan BPHTB merupakan pajak pusat, maka daerah mendapat bagi hasil dari pendapatan yang dipungut oleh pusat. Namun, setelah PBB-P2 dan BPHTB dijadikan pajak daerah, maka tidak ada lagi dana bagi hasil dari kedua jenis pajak tersebut .
Bila sebelumnya PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB ini merupakan pajak pusat dan daerah mendapat bagi hasil dari PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB, maka setelah diberlakukannya Undang-Undang No.28 Tahun 2009 ini dana bagi hasil untuk PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB tidak ada lagi
5.4.
Fungsi dan Pelaksanaan PBB-P2
Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan mempunyai fungsi sebagai pajak atas kekayaan/ kepemilikan perorangan atau badan. Salah satu pertimbangan diundangkannya UU PBB adalah adanya pajak berganda yang dikenakan pada satu bidang tanah/bangunan. Jenis pajak yang dicabut dengan diberlakukannya Undang-undang PBB adalah sebagai berikut: (1) Pajak Rumah Tangga 1908; (2) Verponding Indonesia 1923; (3) Verponding 1928; (4) Pajak Kekayaan 1932; (5) Pajak Jalan 1942; (6) Pasal 14 huruf j, k, dan i Undang-Undang Nomor 11 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah; dan (7) Pajak Hasil Bumi/ IPEDA
62
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pengelolaan PBB-P2
Optimalisasi peningkatan PAD melalui Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) belum seluruhnya dapat dilakukan di seluruh kabupaten/kota mengingat PBB-P2 dan BPHTB sifatnya masih relatif baru, dalam arti merupakan pajak pusat yang dialihkan menjadi pajak daerah berdasarkan UU N0. 28 Tahun 2009 tentang PDRD. Sementara pengalihan pajak tertentu dari provinsi ke kabupaten/kota sudah dapat diimplementasikan dalam perda sejak berlakunya UU N0. 28 Tahun 2009.
5.5.
Langkah-Langkah Optimalisasi PBB-P2
Berdasarkan pengalaman dalam pengelolaan PBB yang selama ini, kita dapat mengambil pelajaran guna keberhasilan dalam pengelolaan PBB-P2 oleh kabupaten/kota, antara lain: 1.
Aspek hukum.
Meskipun tidak terkait dengan bukti (atas hak) atas suatu kepemilikan tanah, penerbitan SPPT (baru) harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian. Banyak permohonan penerbitan SPPT dengan bukti pendukung berupa fotocopy segel yang menyatakan terdapat jual beli antara pihak penjual dan pembeli, yang dilampiri dengan surat pengantar dari kelurahan (seharusnya surat keterangan lurah), di kemudian hari ternyata bersangkutan dengan permasalahan persengketaan tanah dan kasus hukum lainnya.
2. Pendataan.
Karena jumlah wajib pajak badan terbatas, di masa lalu optimalisasi dukungan teknologi informasi di pemerintah kabupaten/kota dengan menggunakan teknologi komputer yang bersifat standalone sudah dapat dianggap cukup memadai. Namun, ketika jumlah wajib pajak meningkat karena kemudian mayoritas wajib pajaknya adalah perseorangan, pemerintah kabupaten/kota harus mengoptimalkan teknologi komputer berbasis jaringan (network). Sebab, pemberian layanan ke wajib pajak perseorangan yang jumlahnya banyak tidak lagi bisa diberikan oleh satu atau dua orang pegawai pemerintah kabupaten/kota saja. Keseluruhan pegawai pemerintah kabupaten/kota harus terlibat dalam proses pemberian layanan tersebut. Untuk itu, mereka harus didukung oleh suatu teknologi informasi yang andal, terutama perangkat komputer yang berbasis jaringan. Bahkan, dengan perkembangan teknologi informasi dan tuntutan masyarakat, optimalisasi teknologi informasi berbasis web dan mobile sudah harus dipertimbangkan oleh pemerintah kabupaten/ kota. Sebab, wajib pajak perseorangan akan menuntut layanan yang mudah diakses berbagai saluran komunikasi, sesuai dengan perangkat yang dimilikinya.
3. Penilaian
63
Selama ini KPP tidak pernah menerbitkan formulir konfirmasi tentang PBB-P2 yang diterima dari setiap wajib pajak. KPP hanya menerbitkan SPPT tahun berjalan. Akhirnya, wajib pajak kurang
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pengelolaan PBB-P2
dapat mengendalikan berapa sebenarnya pajak terhutang mereka. Mereka baru mengetahui pajak terhutang mereka ketika mereka datang ke KPP. Hal ini terjadi ketika wajib pajak akan melakukan transaksi menjual tanah/bangunannya. Sebab, salah satu prasyarat untuk melakukan transaksi penjualan tanah/bangunan melalui notaris adalah SSP-BPHTB yang tervalidasi. Untuk kepentingan validasi di KPP, wajib pajak harus membayar hutang-hutang pajak sebelumnya.
Sementara itu, mengelola teknologi informasi berbasis jaringan akan berbeda dengan mengelola teknologi informasi berbasis stand-alone. Jika pada teknologi berbasis stand-alone pengelola teknologi informasi dapat merangkap sebagai pengguna aplikasi yang juga melakukan updating data secara langsung, pada teknologi informasi berbasis jaringan peran antara pengelola teknologi informasi dan pengguna harus dipisahkan. Hal ini terutama untuk menjaga terimplementasinya tata kelola teknologi informasi, di mana check and balances tetap terjaga di antara para pihak. Jika tidak, updating data tidak akan terkendali.
4. Penetapan. Lambatnya proses pemutakhiran data PBB-P2 di KPP selama ini juga terjadi pada sistem pembayaran. Mengingat banyaknya pintu gerbang untuk melakukan pembayaran PBB-P2, KPP harus secara rutin melakukan rekonsiliasi dan verifikasi data. Untuk penerimaan pembayaran PBB-P2 yang tidak online, bahkan KPP juga harus merekam data pembayaran ini satu per satu. Rumitnya, keseluruhan proses rekonsiliasi, verifikasi, dan perekaman data pembayaran ini dilakukan oleh Seksi PDI. Hal ini menjadi penyebab seringnya komplain dari masyarakat bahwa mereka merasa telah melakukan pembayaran, tetapi di database KPP ternyata masih dianggap belum melakukan pembayaran. Karena itu, sampai sekarang masih muncul keraguan mengenai akurasi saldo piutang PBB-P2 per wajib pajak 5. Penagihan. Sementara itu, jika diamati, baik di pemerintah kabupaten/kota ataupun kantor pelayanan pajak (KPP), saat ini tidak terjadi pemisahan fungsi pengihan. Pada praktiknya, pengelola teknologi informasi masih merangkap sebagai pengolah data/informasi. Hal ini pun banyak terjadi di instansi pemerintah lain. Pengelola teknologi informasi di instansi pemerintah masih merangkap fungsi updating data transaksi. Padahal, dengan teknologi berbasis jaringan, pengolahan data/ informasi harus dilakukan langsung oleh pemilik data (data owner), yang dalam hal ini adalah seksi/ bagian lain di luar seksi/bagian teknologi informasi. Di KPP sendiri, walaupun pada dasarnya telah menggunakan teknologi informasi berbasis jaringan, umumnya setiap data transaksi yang masuk dientri sendiri oleh Seksi Pengolahan Data/Informasi (PDI). Sementara itu, seksi-seksi lain lebih fokus ke pengurusan substansi perpajakan. Sebagai contoh, ketika wajib pajak mengajukan permohonan perubahan data pemilik di SPPT, petugas layanan hanya bertugas memberikan tanda-terima permohonan tersebut. Selanjutnya, permohonan tersebut akan direview oleh seksi-seksi terkait. Kemudian, jika disetujui, barulah Seksi PDI melakukan updating data. Karena itu, dapat dimaklumi jika sampai sekarang terdapat banyak keluhan tentang data SPPT yang menurut wajib pajak tidak update di beberapa daerah.
64
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pengelolaan PBB-P2
6. Pelayanan. Wajib Pajak PBB-P2 meliputi masyarakat dari semua kalangan masyarakat dari beberapa strata sosial dan ekonomi. Demikian pula bidang tanah (objek pajak) yang diadministrasikan cukup banyak. Pengelolaan PBB memerlukan ketentuan perudang-undangan (tax law) serta administrasi (tax administrasion) yang handal namun efisien/tidak terlalu birokratis sehingga dapat memberikan pelayanan yang memuaskan kepada Wajib Pajak. 7.
Daya Pikul. Kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah/bangunan dilakukan secara cermat dengan memperhatikan kondisi data pasar properti dan daya pikul masyarakat.
5.6.
Masalah-Masalah dalam Pemungutan PBB-P2
1)
Meskipun NJOP hanya sebagai dasar penetapan PBB-P2 terhutang, akan tetapi juga digunakan untuk banyak kepentingan seperti: dasar perhitungan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dasar ganti rugi dalam rangka pembebasan tanah dll. Oleh karena itu, nilai NJOP dalam setiap penerbitan SPPT harus ditentukan dengan benar, baik letak bidang objek pajak serta nilai NJOPnya.
2)
Kegiatan pemungutan melalui petugas pemungut/kolektor yang selama ini telah dilakukan oleh pemerintah daerah sebaiknya dilanjutkan dan ditingkatkan efektifitasnya. Salah satu keuntungan (advantage) dialihkannya pengelolaan PBB-P2 sepenuhnya kepada pemerintah daerah adalah efektifias penagihannya. Hal ini terkait dengan kedudukan pemerintah daerah sebagai “penguasa daerah” serta mempunyai kewenangan otonom untuk mengkaitkan kewajiban pembayaran PBB-P2 dengan ketentuan daerah lainnya.
3)
Administrasi pengelolaan komputer melalui aplikasi SISMIOP dengan komponen basis data SISMIOP dan peta digital (SIG) harus dipertahankan, dengan pertimbagan: • Diskontinuitas dalam fiskal kadaster yang telah berlangsung selama ini menyebabkan terputusnya riwayat tanah atas bidang tanah yang belum bersertifikat. • Sebaiknya di wilayah Republik Indonesia tersedia tata kelola fiskal kadaster yang seragam
5.7.
65
Soal Latihan
1)
Bagaimana logika dibalik dijadikannya PBB P2 menjadi pajak daerah?
2)
Masalah apa yang menjadi hal utama dalam penerapan PBB P2 di daerah?
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TOPIK 6
RETRIBUSI DAERAH
Retribusi Daerah
Deskripsi: Topik ini menjelaskan definisi retribusi daerah, fungsi retribusi daerah, serta masalah-masalah yang dihadapi dalam penerapan retribusi daerah.
Sub Topik Pengertian dan Fungsi Retribusi Daerah Jenis-jenis Retribusi Daerah Prinsip dan Metode Penetapan Tarif Retribusi Daerah Masalah-masalah dalam Penerapan Retribusi Daerah
Kata Kunci Pelayanan Publik
Jasa Umum, Jasa Usaha, Perizinan tertentu.
Pembebanan penuh Marginal Cost Kemampuan membayar
Latihan/Diskusi
Referensi: 1.
Nick Devas (1989).
2.
Mardiasmo(2005,2007), Perpajakan.
3.
UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
4.
PP No. 69 Tahun 2010 tentang Tatacara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
5.
PP No. 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan IMTA.
6.
PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
67
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Retribusi Daerah
6.
Retribusi Daerah
6.1.
Pengertian dan Fungsi Retribusi Daerah
Definisi atau pengertian retribusi daerah adalah iuran yang dibayarkan oleh rakyat kepada daerah yang dapat dipaksakan yang mendapat prestasi kembalinya secara langsung, misalnya retribusi perizinan tertentu, yang penerapannya berlaku umum. Dari pengertian retribusi daerah unsur paksanya bersifat ekonomis sehingga pada hakikatnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan untuk membayar retribusi perzinan tertentu, agar orang tersebut dapat memperoleh izin yang diperlukan.
Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Sejalan dengan penjelasan di atas, UU No. 28 Tahun 2009 tentang Retribusi Daerah, sebagai pengganti dari UU No. 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 34 Tahun 2000, lebih mempertegas pengertian retribusi dalam tataran pemerintahan yang lebih rendah, sebagai berikut: “Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.” Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009, setiap pungutan retribusi daerah harus dilakukan sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.
6.2.
Jenis-Jenis Retribusi Daerah
Berdasarkan kriteria-kriteria pungutan daerah tersebut di atas, UU No. 28 Tahun 2009, yang menganut sistem closed list, menetapkan 30 jenis retribusi daerah yang dapat dipungut oleh provinsi/kabupaten/kota. Jumlah ini bertambah menjadi 32 jenis setelah diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 97 Tahun 2012. Retribusi daerah dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu.
68
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Retribusi Daerah
Tabel 6.1. Penggolongan dan Jenis Retribusi Daerah Jasa Umum
Jasa Usaha
Perizinan Tertentu
1.
Retribusi Pelayanan Kesehatan
1.
Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah
1.
Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol
2.
Retribusi Persampahan/ Kebersihan
2.
Retribusi Pasar Grosir/Pertokoan
2.
Retribusi Izin Mendirikan Bangunan
3.
Retribusi KTP dan Akte Capil
3.
Retribusi Tempat Pelelangan
3.
Retribusi Izin Gangguan
4.
Retribusi Pemakaman/ Pengabuan Mayat
4.
Retribusi Terminal
4.
Retribusi Izin Trayek
5.
Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum
5.
Retribusi Tempat Khusus Parkir
5.
Retribusi Izin Usaha Perikanan
6.
Retribusi Pelayanan Pasar
6.
Retribusi Tempat Penginapan/ Pesanggrahan/ Villa
6.
Retribusi Perpanjangan IMTA
7.
Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor
7.
Retribusi Rumah Potong Hewan
8.
Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran
8.
Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan
9.
Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta
9.
Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga
10.
Retribusi Pelayanan Tera/ Tera Ulang
10.
Retribusi Penyeberangan di Air
11.
Retribusi Penyedotan Kakus
11.
Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah
12.
Retribusi Pengolahan Limbah Cair
13.
Retribusi Pelayanan Pendidikan
14.
Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi
15.
Retribusi Pengendalian lalu-lintas
Sumber: UU No. 28 Tahun 2009 dan PP No. 97 Tahun 2012.
1.
Retribusi Jasa Umum adalah pungutan atas pelayanan yang disediakan atau diberikan pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
Objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan oleh daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
Berikut ini adalah jenis-jenis Retribusi Jasa Umum: 1) Retribusi pelayanan kesehatan, adalah pungutan atas pelayanan kesehatan di puskesmas, balai pengobatan, RSU daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki/ dikelola oleh pemerintah daerah (tidak termasuk pelayanan pendaftaran). 2) Retribusi pelayanan persampahan/kebersihan, adalah pungutan atas pelayanan persampahan/ kebersihan yang diselenggarakan oleh pemrintah daerah, meliputi: pengambilan, pengangkutan, dan pembuangan serta penyediaan lokasi pembuangan/pemusnahan sampah rumah tangga dan perdagangan; tidak termasuk pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, dan sosial.
69
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Retribusi Daerah
3) Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akte Catatan Sipil, adalah pungutan atas pelayanan KTP, kartu keterangan bertempat tinggal, kartu identitas kerja, kartu penduduk sementara, kartu identitas penduduk musiman, kartu keluarga, dan akta catatan sipil (akta perkawinan, akta perceraian, akta pengesahan dan pengakuan anak, akta ganti nama bagi warga negara asing, dan akta kematian). 4) Retribusi pemakaman dan pengabuan mayat, adalah pungutan atas pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat yang meliputi pelayanan penguburan/ pemakaman termasuk penggalian dan pengurugan, pembakaran/pengabuan mayat, dan sewa tempat pemakaman atau pembakaran.pengabuan mayat yang dimiliki atau dikelola oleh daerah. 5) Retribusi Pelayanan Parkir di tepi jalan umum, adalah pungutan atas pelayanan parkir ditepi jalan umum yang disediakan oleh daerah. 6) Retribusi pelayanan pasar, adalah pungutan atas penggunaan fasilitas pasar tradisional/ sederhana berupa pelataran, los yang dikelola daerah, dan khusus disediakan untuk pedagang, tidak termasuk yang dikelola oleh BUMN, BUMD dan pihak swasta. 7) Retribusi pengujian kendaraan bermotor, adalah pungutaj atas pelayanan pengujian kendaraan bermotor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang diselenggarakan oleh daerah. 8) Retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran, adalah pungutan atas pelayanan pemeriksaan dan pengujian oleh daerah terhadap alat-alat pemadam kebakaran yang dimiliki dan/atau dipergunakan oleh masyarakat. 9) Retribusi penggantian biaya cetak peta, adalah pungutan atas pemanfaatan peta yang dibuat oleh pemerintah daerah; seperti peta dasar (garis), peta foto, peta digital, peta tematik, dan peta teknis (struktur). 10) Retribusi penyediaan dan/atau penyedotan kakus, adalah pungutan atas pelayanan penyedotan kakus/jamban yang dilakukan oleh daerah, tidak termasuk yang dikelola BUMD dan swasta. 11) Retribusi pengolahan limbah cair, adalah pungutan yang dikenakan atas pelayanan pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran dan industri yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah. 12) Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang, adalah pungutan atas pelayanan pengujian alat-alat ukur, takar, timbang, dan perlengkapannya dan pengujian barang dalam keadaan terbungkus yang diwajibkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 13) Retribusi pelayanan pendidikan, adalah pungutan yang dikenakan atas pelayanan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis oleh pemerintah daerah. 14) Retribusi pengendalian menara telekomunikasi, adalah pungutan yang dikenakan atas pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi.
70
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Retribusi Daerah
15) Retribusi Pengendalian Lalu Lintas, adalah pungutan yang dikenakan atas penggunaan ruas jalan tertentu, koridor tertentu, kawasan tertentu pada waktu tertentu, dan tingkat kepadatan tertentu. 2.
Retribusi Jasa Usaha adalah pungutan atas pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial yang meliputi: • Pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal; dan/atau • Pelayanan oleh pemerintah daerah sepanjang belum dapat disediakan secara memadai oleh pihak swasta.
Berikut ini adalah jenis-jenis Retribusi Jasa Usaha: 1) Retribusi pemakaian kekayaan daerah, adalah pungutan atas pemakaian kekayaan daerah, antara lain pemakaian tanah dan bangunan, pemakaian ruangan untuk pesta, pemakaian kendaraan/alat-alat berat/alat-alat besar milik daerah. Tidak termasuk penggunaan tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah tersebut, misalnya pemancangan tiang listrik/telepon, dan lain-lain. 2) Retribusi pasar Grosir dan/atau pertokoan, adalah pungutan atas penyediaan fasilitas pasar grosir berbagai jenis barang, dan fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakkan, yang disediakan/ diselenggarakan oleh daerah. Tidak termasuk yang disediakan BUMD dan swasta. 3) Retribusi Tempat Pelelangan adalah pungutan atas pemakaian tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan Termasuk objek Retribusi adalah tempat yang dikontrak oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan. Dikecualikan dari objek Retribusi adalah tempat pelelangan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak swasta. 4) Retribusi terminal, adalah pungutan atas pemakaian tempat pelayanan penyediaan parkir untuk kendaraan penjumpang dan bis umum, tempat kegiatan usaha,dan fasilitas lainnya di lingkungan terminal, yang dimiliki dan/atau dikelola oleh daerah, tidak termasuk pelayanan peron. 5) Retribusi tempat khusus parkir, adalah pungutan atas pemakaian tempat parkir yang khusus disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh daerah, tidak termasuk yang disediakan dan dikelola oleh BUMD dan Swasta. 6) Retribusi tempat penginapan/pesanggrahan/villa, adalah pungutan atas pemakaian tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang dimiliki dan atau dikelola oleh daerah, tidak termasuk yang dikelola BUMD dan swasta.
71
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Retribusi Daerah
7) Retribusi rumah potong hewan, adalah pungutan atas pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah di potong, yang dimiliki dan/atau dikelola oleh daerah. 8) Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan, adalah pungutan atas pelayanan jasa kepelabuhanan, termasuk fasilitas lainnya di lingkungan pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. 9) Retribusi tempat rekreasi dan olahraga, adalah pungutan atas pemakaian tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang dimiliki dan dikelola daerah. 10) Retribusi penyeberangan diatas air, adalah pungutan atas pelayanan penyeberangan orang/ barang dengan menggunakan kendaraan di atas air yang dimiliki dan/ atau dikelola oleh daerah. 11) Retribusi penjualan produksi usaha daerah, adalah pungutan atas perolehan hasil produksi usaha daerah, antara lain: bibit/benih tanaman, bibit ternak, dab bibit/benih ikan. 3.
Retribusi Perizinan Tertentu adalah pungutan atas pelayanan perizinan tertentu oleh pemerintah daerah kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Berikut ini adalah jenis-jenis Retribusi Perizinan Tertentu. 1) Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB), adalah pungutan atas pelayanan pemberian izin untuk mendirikan suatu bangunan. 2) Retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol, aalah pungutan atas pelayanan pemberian izin untuk melakukan penjualan minuman beralkohol di suatu tempat tertentu. 3) Retribusi izin gangguan, adalah pungutan atas pelayanan pemberian izin tempat usaha/ kegiatan di lokasi tertentu yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau gangguan, tidak termasuk tempat usaha/kegiatan yang telah ditentukan oleh daerah. 4) Retribusi izin trayek, adalah pungutan atas pelayanan pemberian izin usaha untuk menyediakan pelayanan angkutan penumpang umum pada satu atau beberapa trayek tertentu. 5) Retribusi izin usaha perikanan, adalah pungutan atas pemberian izin untuk melakukan kegiatan usaha penangkapan dan pembudidayaan ikan. 6) Retribusi perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA), adalah pungutan atas pemberian perpanjangan IMTA kepada pemberi kerja tenaga kerja asing.
Pemanfaatan hasil penerimaan dari masing-masing jenis retribusi daerah diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan dengan jenis layanan bersangkutan yang pengalokasiannya ditetapkan dengan Perda.
72
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Retribusi Daerah
6.3.
Prinsip dan Tarif Retribusi Daerah
1.
Prinsip Penetapan Tarif Retribusi Daerah
Objek masing-masing jenis retribusi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Pemerintah daerah dapat mengatur pengecualian pengenaan retribusi atas objek tertentu namun tidak boleh melakukan perluasan terhadap objek retribusi daerah. Sementara itu, penetapan besaran tarif retribusi harus mengacu pada prinsip dan sasaran penetapan tarif untuk masingmasing jenis retribusi daerah, yaitu: a) Tarif Retribusi Jasa Umum, ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. Biaya dimaksud meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal; b) Tarif Retribusi Jasa Usaha, didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak. Keuntungan yang layak adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar; c) Tarif Retribusi Perizinan Tertentu, didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Biaya penyelenggaraan pemberian izin dimaksud meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
2.
Metode Penetapan Tarif Retribusi Daerah 1) Justifikasi retribusi pelayanan
Pemerintah mengenakan retribusi atas beberapa pelayanan tertentu yang mereka berikan, baik secara langsung maupun melalui badan usaha milik pemerintah. Beberapa alasan atas justifikasi retribusi suatu pelayanan adalah:
Barang privat vs barang publik: apabila manfaat bersifat privat (misalnya: listrik, telepon), maka retribusi dapat dipertimbangkan atas penyediaan pelayanan tersebut. Apabila manfaat bersifat publik, karena pengaruh “spill over” (eksternalitas positif), atau penerima manfaat tidak dapat dikecualikan (misalnya: pertahanan, pengendalian penyakit), dan lain sebagainya, maka pembiayaan melalui pajak atas pelayanan tersebut umumnya yang sesuai. Tetapi: Terdapat masalah dalam mengelompokkan secara tepat antara barang privat dan barang publik, karena beberapa pelayanan memiliki kedua elemen unsur tersebut (misal: pendidikan, transportasi umum). Apabila pelayanan tersebut disediakan oleh pemerintah tidak berarti bahwa barang publik tersebut harus sepenuhnya dibiayai dari pajak.
73
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Retribusi Daerah
Untuk ekonomi efisiensi: ketika individu-individu bebas memilih berapa banyak pelayanan yang akan mereka konsumsi, maka mekanisme harga memegang peranan penting dalam mengalokasi sumber daya melalui: • Perasionalan permintaan: didasarkan pada asumsi bahwa mereka yang mengkonsumsi barang atau pelayanan paling banyak akan membayar lebih besar • Pemberian insentif untuk menghindari pemborosan • Pemberian sinyal dan insentif kepada pemasok tentang skala produksi • Penyediaan sumber daya kepada pemasok untuk menjaga sistem dan meningkatkan pasokan.
Tanpa harga, permintaan (demand) dan penawaran (supply) cenderung tidak akan mencapai ekuilibrium (keseimbangan), dengan demikian alokasi sumber daya secara ekonomi tidak akan efisien. Contoh: penyediaan air bersih, obat-obatan.
Tetapi: • Pasar sering tidak sempurna: dalam banyak kasus, pemerintah menjadi pemasok monopoli. Dalam kondisi ini, pemerintah tidak dapat memanfaatkan situasi tersebut (monopoly power) untuk memaksimalkan keuntungan, seperti, penyediaan air bersih. • Apabila pelayanan tersebut memiliki sifat barang publik (misalnya, eksternalitas positif), maka akan lebih baik jika mengenakan retribusi atas pelayanan tersebut kurang dari harga penuh (full price), atau tanpa harga sama sekali (gratis). • Distribusi yang tidak merata dari penghasilan berarti bahwa orang kaya dapat membayar lebih besar dari orang miskin
Prinsip Manfaat: apabila pelayanan tidak bersifat universal atau tidak sama untuk setiap orang (misalnya, pasokan air bersih untuk rumah tangga, sekolah, perusahaan industri), maka retribusi secara langsung bagi mereka yang menerima manfaat dianggap adil berkaitan dengan prinsip ini. Jadi, mereka yang tidak menerima manfaat atas pelayanan air bersih tidak harus membayar. Pemungutan retribusi dapat dilakukan sepanjang individu yang tidak membayar pelayanan dapat dikecualikan.
2) Argumen kontra berkaitan dengan retribusi
Kesulitan administrasi/biaya: retribusi membutuhkan suatu sistem pengecualian (artinya, dapat membedakan antara perima manfaat dan bukan) dan sistem pengukuran (misalnya, batas-batas untuk jalan tol, meteran untuk pemakaian air bersih). Kedua sistem ini dapat meningkatkan biaya pelayanan.
Tetapi: 74
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Retribusi Daerah
Tergantung dari pelayanan, karakteristik keterukuran dan pengecualian (excludability) membuat penilaian dan pelaksanaan lebih mudah dibandingkan dengan beberapa pajak (seperti, retribusi air atau listrik lebih mudah dibandingkan dengan pajak penghasilan)
Orang miskin tidak mampu membayar: penghasilan sangat tidak merata, sehingga orang miskin tidak mampu membayar untuk pelayanan dasar seperti: air bersih, transportasi umum, bahkan makanan.
Tetapi: • Dapatkah kita membuat daftar kebutuhan pokok? Apa yang dibutuhkan oleh seseorang dapat berbeda untuk orang lain. • Pelayanan gratis dapat mengganggu pilihan individu: daripada pelayanan gratis, beberapa individu lebih memilih untuk memperoleh uang dalam rangka membeli makanan atau buku sekolah. • Apabila kita mempertimbangkan orang miskin, maka pendekatan yang terbaik adalah redistribusi penghasilan (lumpsum transfer). Orang miskin bebas memilih, sehingga tidak mengganggu efisiensi alokasi. Namun, apakah pendekatan ini layak di negara berkembang? • Gratis (atau subsidi) atas pelayanan berdampak pada pemborosan. • Tidak adanya retribusi dapat berarti bahwa tidak tersedia sumber daya yang cukup untuk memperluas pelayanan kepada orang miskin. • Apakah pelayanan gratis atau subsidi benar-benar dinikmati oleh orang miskin? Orang kaya dapat saja lebih menikmati pelayanan subsidi tersebut (misalnya, memiliki akses yang lebih baik, korupsi, dll), atau subsidi dapat dijadikan tameng oleh birokrat untuk melakukan korupsi.
75
Eksternalitas, barang merit dan kewajiban hukum:
Eksternalitas positif (spillover effects), menunjukkan bahwa adanya retribusi atas suatu pelayanan dapat membuat individu enggan untuk mengkonsumsi pelayanan tersebut sehingga berdampak pada hal-hal yang tidak diinginkan (misalnya, imunisasi). Demikian pula, barang yang secara sosial dibutuhkan (merit goods) maka harga retribusi dapat dikurangi atau gratis (misalnya pendidikan). Selain itu, apabila terdapat kewajiban hukum untuk mengkonsumsi pelayanan tersebut (misal pendidikan dasar), maka pelayanan gratis perlu menjadi pertimbangan.
Untuk alokasi sumber daya langka, terdapat beberapa alternatif daripada hanya sekedar melalui harga, misalnya, melalui penjatahan, voucher, sistem antrian. Meskipun metode tersebut mampu meyakinkan bahwa orang miskin mendapat kesempatan yang sama, namun metode ini tidak dapat memenuhi seluruh fungsi dari sistem harga (yaitu mencegah pemborosan dan menghasilkan sumber daya tambahan), dan juga mudah untuk disalahgunakan.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Retribusi Daerah
3.
Metode penetapan Harga Retribusi
Dengan pertimbangan bahwa beberapa pelayanan dikenakan retribusi, maka pertanyaan yang muncul adalah berapa harga yang sesuai atas pelayanan tersebut? Para ahli, umumnya menentukan harga berdasarkan biaya marjinal, yaitu harga yang dibebankan harus sama dengan biaya marjinal (biaya khusus) untuk melayani konsumen. Harga inilah yang sesuai apabila terdapat pasar kompetitif atas pelayanan tersebut. Harga ini disebut sebagai harga ekonomis efisien, karena hargalah yang akan memaksimalkan manfaat ekonomi dan penggunaan terbaik atas sumber daya (asumsi faktor lain dianggap sama). Karenanya, masyarakat memperoleh keuntungan dari peningkatan output atas barang atau jasa sampai pada titik di mana biaya marjinal sama dengan harga.
Prinsip harga berdasarkan biaya marjinal adalah prinsip yang umum digunakan dalam pasar yang kompetitif (misalnya, harga di restoran, biaya menyewa kendaraan, biaya telepon, dll).
Harga berdasarkan biaya marjinal, umumnya memperhitungkan secara penuh biaya-biaya sebagai berikut: • Biaya operasional variabel • Biaya overhead semi variabel, seperti pemeliharaan • Biaya penggantian atas aset modal yang digunakan dalam memberikan pelayanan • Aset modal tambahan yang dibutuhkan untuk memenuhi tambahan permintaan (keterbatasan kapasitas)
76
Harga berdasarkan biaya marjinal, dengan demikian, tidak memperhitungkan biaya modal historis (misalnya, biaya modal atas jembatan yang sudah ada) atau biaya overhead murni yang tidak berhubungan sama sekali dengan penggunaan pelayanan (misalnya, nilai lukisan yang ada di galeri seni)
Kasus klasik biaya historis adalah pada jembatan penyeberangan: harga berdasarkan biaya marjinal mengatakan bahwa tidak ada pungutan yang dikenakan karena biaya marjinal atas penggunaan adalah nol (atau mendekati nol). Sepanjang kapasitas tersedia atas pelayanan jembatan penyeberangan, maka mengenakan biaya/retribusi atas pelayanan tersebut akan mengurangi penggunaan, dan hal ini dapat mengurangi manfaat ekonomi keseluruhan dari pelayanan tersebut.
Sebaliknya, biaya marjinal penyediaan perumahan tidak nol, karena, sekali rumah ditempati maka kapasitas habis digunakan, sehingga biaya marjinal penyediaan perumahan adalah biaya pengadaan rumah (ditambah biaya pemeliharaan, dll). Kebijakan harga di atas bukan merupakan sesuatu yang unik bagi sektor publik. Di sektor bisnis dengan surplus kapasitas, misalnya kamar hotel pada off peak season, akan menjual kamar setidaknya pada harga yang dapat menutupi biaya marjinal. Apabila mereka menetapkan harga penuh (yaitu harga yang menutupi biaya historis) ketika memiliki surplus kapasitas, maka akan mengurangi keinginan pelanggan sehingga menyebabkan terjadinya kerugian yang besar. MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Retribusi Daerah
Contoh: listrik, biaya marjinal bervariasi tergantung dari: a) volume yang dikonsumsi b) jarak dari jalur pusat (supply utama) c) waktu/ jam sehari (waktu sibuk/tidak sibuk)
4.
Ringkasan Prinsip dan Praktek Retribusi
Beberapa pelayanan barang dan jasa yang disiapkan oleh pemerintah lebih tepat apabila dibiayai melalui retribusi: semakin dekat pelayanan tersebut ke dalam pengelompokan barang privat maka semakin tepat dibiayai melalu retribusi. Namun demikian, identifikasi batas antara barang publik dan privat agak sulit dilakukan dan pengelompokan harus berdasarkan pada pelayanan satu per satu.
Kegagalan menetapkan retribusi secara tepat dapat menyebabkan distorsi harga relatif dan masalah serius berkaitan kesalahan alokasi sumber daya (pemborosan), dan mengurangi pilihan konsumen. Dalam prakteknya, dari sudut pandang administrasi, pertimbangan sosial dan politik memiliki peranan yang lebih besar dibandingkan dengan ekonomi efisiensi. Namun, gagal dalam menetapkan retribusi atas pelayanan publik merupakan penyebab utama defisit fiskal di beberapa negara miskin (LDCs)
6.4.
77
Masalah-Masalah dalam Penerapan Retribusi Daerah
1.
Perda bermasalah.
Sebelum berlakunya UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD, pemerintah telah membatalkan sejumlah perda PDRD yang bermasalah. Penyebabnya antara lain, substansi pungutan daerah yang diatur dalam UU No. 34 Tahun 2000 masih bersifat open list sehingga kondisi ini membuka peluang bagi pemda menciptakan pungutan daerah yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan dan retribusi daerah. Disamping itu, pungutan daerah yang diatur dalam perda dimaksud saling tumpang tindih dan bertentangan dengan kepentingan umum serta menghambat lalu lintas barang dan jasa.
2.
Masih lemahnya pengawasan terhadap Perda PDRD. Mekanisme pengawasan Perda PDRD yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009 disesuaikan dengan ketentuan yang terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang emerintahan daerah. Pelanggaran atas mekanisme pengawasan dapat dikenakan sanksi. Sanksi berupa penundaan atau pemotongan dana perimbangan. Tata cara penundaan atau pemotongan dana perimbangan ditetapkan dengan peraturan meteri keuangan. Sanksi tegas kepada daerah yang tidak taat aturan (khususnya terhadap Perda yang bermasalah).
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Retribusi Daerah
3.
Kurangnya kapasitas daerah dalam penetapan subyek, obyek dan tarif retribusi daerah.
4.
Pengenaan pajak dan retribusi tidak sebanding dengan kualitas pelayanan yang diberikan oleh daerah.
6.5.
78
Soal Latihan
1.
Jelaskan dalam hal apa retribusi perlu diterapkan?
2.
Bagaimana melindungi orang miskin dalam mengkonsumsi pelayanan publik?
3.
Apabila manfaat bersifat publik, karena pengaruh “spill over” (eksternalitas positif), atau penerima manfaat tidak dapat dikecualikan (misalnya: pertahanan, pengendalian penyakit), dan lain sebagainya, pembiayaan apa yang paling cocok?
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TOPIK 7
PROYEKSI POTENSI DAN PENENTUAN TARIF PAJAK DAERAH
Proyeksi Potensi dan Penentuan Tarif Pajak Daerah
Deskripsi: Topik ini menjelaskan: 1. prinsip yang harus diperhatikan dalam menentukan potensi pajak daerah yang ditetapkan; 2. pendekatan yang digunakan dalam melakukan perencanaan penerimaan pajak daerah; 3. teknik perhitungan potensi penerimaan dan tarif pajak daerah serta batasan-batasan dalam penetapan dan pemungutan pajak daerah.
Sub Topik Teknik Menghitung Pertumbuhan dengan Ekstrapolasi
Latihan Menghitung Potensi Pajak Daerah Latihan Menghitung Tarif Pajak Daerah
Kata Kunci Ekstrapolasi
Lingkungan potensi pajak
Tarif Pajak
Referensi:
80
1.
Buku statistik (berbagai penulis).
2.
Buku statistik daerah (daerah dalam angka).
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Proyeksi Potensi dan Penentuan Tarif Pajak Daerah
7.
Proyeksi Potensi dan Penentuan Tarif Pajak Daerah
7.1.
Menaksir Pertumbuhan dengan Teknik Ekstrapolasi
Ada banyak teknik yang dapat digunakan untuk melakukan penaksiran pertumbuhan, mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks. Intinya, penaksir yang baik adalah penaksir yang paling kecil simpangannya terhadap data yang diwakili oleh penaksir bersangkutan (ordinary least square estimation = OLSE). Salah satu teknik sederhana untuk melakukan penaksiran pertumbuhan, adalah teknik ekstrapolasi, yaitu melakukan penaksiran dengan menggunakan dua data terpilih untuk mewakili sebaran data yang akan disusun penaksirnya. Dengan demikian, teknik ekstrapolasi mengasumsikan bahwa pertambahan nilai variabel terikat untuk setiap satuan perubahan nilai variabel bebas, bersifat tetap (linear). Tentu saja oleh karena kesederhanaannya, teknik ini bisa menghasilkan nilai taksiran yang rendah akurasinya bahkan kadang-kadang dapat menyesatkan. Namun, pada kondisi tertentu (misalnya ketika sedang berada di lapangan yang jauh dari fasilitas teknis, atau oleh karena keterbatasan data yang tersedia sebagai dasar penaksiran), teknik ekstrapolasi dapat sangat membantu untuk melihat gambaran kasar. Teknik ekstrapolasi tidak lain adalah mencari persamaan penaksir berupa garis lurus yang melalui 2 titik: A(xA,yA) dan B(xB,yB) Persamaannya: yt – yA yB – yA
=
xt – xA xB – xA
yt – yA
=
yB – yA (xt – xA) xB – xA
yt
=
yB – yA (xt – xA) xB – xA
yt
= {(y
B
+
yA atau
– yA)/(xB – xA)}(xt – xA) + yA
Tingkat pertumbuhan diperoleh dengan membandingkan perubahan nilai y (yaitu: yt – yt-1) dengan nilai yt-1. Jadi, tingkat pertumbuhan berdasarkan persamaan garis lurus yt adalah:
81
rt = {(yt – yt-1)/yt-1)} x 100%
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Proyeksi Potensi dan Penentuan Tarif Pajak Daerah
Ambil contoh data hipotetis penerimaan pajak daerah Kabupaten Percontohan sebagai berikut: Penerimaan Pajak Daerah (Juta Rp)
No
Tahun
x
Koordinat
1.
2012
0
300.000
C (0; 300.000)
2.
2013
1
310.000
D (1; 310.000)
3.
2014
2
?
E (2; ?)
4.
2015
3
?
F (3;?)
Persamaan garis lurus penaksir penerimaan pajak daerah Kabupaten Percontohan dengan menggunakan data tahun 2012 tahun 2013 dan tersebut di atas adalah:
yt = {(310.000 – 300.000)/(1 - 0)}(xt – 1) + 300.000 yt = 10.000 (xt – 0) + 300.000 yt = 10.000 xt + 300.000
Penerimaan pajak daerah Kabupaten Percontohan pada tahun 2014 berdasarkan persamaan penaksir di atas adalah sebesar:
y2014 = 10.000 x2014 + 300.000 y2014 = 10.000 (2) + 300.000 = 320.000 Tingkat pertumbuhan pada tahun 2014, ditaksir sebesar: r2014 = {(y2014 – y2013) / y2013} x 100% r2014 = {(320.000 – 310.000) / 310.000} x 100% r2014 = 3,22%
Bagaimana dengan taksiran besarnya penerimaan (y2015) dan pertumbuhan penerimaan (x2015) pajak daerah Kabupaten Percontohan untuk tahun 2015? Ah, operasinya sama saja dengan penaksiran untuk tahun 2014 di atas. Langkah-langkahnya, persis.
y2015 = 10.000 x2015 + 300.000 y2015 = 10.000 (3) + 300.000 = 330.000 Tingkat pertumbuhan pada tahun 2015, ditaksir sebesar: r2015 = {(y2015 – y2014) / y2014} x 100% r2015 = {(330.000 – 320.000) / 320.000} x 100% r2015 = 3,12%
Berdasarkan 2 penaksiran tersebut di atas (untuk tahun 2014 dan tahun 2015), terlihat bahwa pertambahan nilai y bersifat konstan (yaitu sebesar 10.000 per tahun), namun tingkat pertumbuhannya berbeda dari
82
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Proyeksi Potensi dan Penentuan Tarif Pajak Daerah
tahun ke tahun, yaitu 3,22% pada tahun 2014 dan menurun menjadi 3,12% pada tahun 2015. Hal yang sama akan diperoleh untuk penaksiran tahun 2016 dan seterusnya. Dalam hal pertambahan nilai y secara faktual memang (relatif) konstan, penaksiran dengan menggunakan teknik ekstrapolasi tersebut memang tidak (terlalu) bermasalah. Permasalahan serius akan muncul jika secara faktual, nilai y untuk tahun-tahun yang akan dipergunakan sebagai basis penaksiran, ternyata berfluktuasi atau tidak beraturan perubahannya. Baiklah, kita ambil contoh menghitung perkiraan pertumbuhan penerimaan pajak daerah Kabupaten Percobaan untuk tahun 2014, dengan data hipotetis tahun 2010 sampai dengan tahun 2013 sebagai berikut (dibulatkan): Penerimaan Pajak Daerah (Juta Rp)
No
Tahun
x
Koordinat
1.
2010
0
300.000
A (0; 300.000)
2.
2011
1
332.000
B (1; 332.000)
3.
2012
2
310.000
C (2; 310.000)
4.
2013
3
320.000
D (3; 320.000)
5.
2014
4
?
E (4; ?)
Jika data tersebut kita sebarkan ke dalam diagram sebar (scatter diagram), akan diperoleh grafik sebagai berikut: 340.000 E
B
1
332.000 D
E 2
320.000 E
C
3
310.000 A 300.000
0 2010
83
1 2011
2 2012
3 2013
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
4 2014
Proyeksi Potensi dan Penentuan Tarif Pajak Daerah
Jika digunakan teknik ekstrapolasi untuk menaksir penerimaan pajak daerah Kabupaten Percontohan pada tahun 2014, muncul persoalan: 2 data mana yang akan digunakan sebagai basis penyusunan fungsi penaksir? Kemungkinan pemilihan data dan implikasi yang dapat timbul oleh karenanya, adalah: a)
Menggunakan data tahun 2012 dan tahun 2013 sebagai basis (garis penaksir CDE1), dengan implikasi terjadi penaksiran terlalu optimis atau terlalu tinggi (over estimate) karena dalam kenyataannya terjadi penurunan penerimaan pajak daerah pada tahun 2012. CDE1 yt = {(320.000 – 310.000)/(3 - 2)}(xt – 2) + 310.000 CDE1 Yt = 10.000 (xt – 2) + 310.000 CDE1 yt = 10.000 xt + 290.000 y2014 = 10.000 (4) + 290.000 = 330.000 r2014 = {(y2014 – y2013) / y2013} x 100% r2014 = {(330.000 – 320.000) / 320.000} x 100% r2014 = 3,12%
b)
Menggunakan data tahun 2011 dan tahun 2013 sebagai basis (garis penaksir BDE3), dengan implikasi terjadi penaksiran terlalu pesimis atau terlalu rendah (under estimate) karena dalam kenyataannya selama kurun waktu 2010-2013, lebih sering terjadi kenaikan dibandingkan penurunan penerimaan pajak daerah. BDE2 yt = {(320.000 – 332.000)/(3 - 1)}(xt – 1) + 332.000 BDE2 Yt = -6.000 (xt – 1) + 332.000 BDE2 yt = -6.000 xt + 338.000 y2014 = -6.000 (4) + 338.000 = 314.000 r2014 = {(y2014 – y2013) / y2013} x 100% r2014 = {(314.000 – 320.000) / 320.000} x 100% r2014 = -1,88% (pertumbuhan negatif )
c)
Menggunakan data tahun 2010 dan tahun 2013 sebagai basis (garis penaksir ADE2), dengan implikasi diperoleh penaksiran yang optimis namun tidak terlalu optimis sebagaimana penaksir CDE1. Pilihan ini memang menghasilkan penaksir terbaik di antara 3 penaksir yang kita buka kemungkinannya (CDE1, BDE3, ADE2), namun belum tentu penaksir ini merupakan penaksir yang baik (memenuhi syarat OLSE).
CDE1 yt = {(320.000 – 310.000)/(3 - 2)}(xt – 2) + 310.000 CDE1 Yt = 10.000 (xt – 2) + 310.000 CDE1 yt = 10.000 xt + 290.000 y2014 = 10.000 (4) + 290.000 = 330.000 r2014 = {(y2014 – y2013) / y2013} x 100% r2014 = {(330.000 – 320.000) / 320.000} x 100% r2014 = 3,12%
84
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Proyeksi Potensi dan Penentuan Tarif Pajak Daerah
Untuk lebih memperhalus hasil penaksiran, dalam praktek biasanya digunakan data rata-rata dari setiap 2 data yang berurutan, sehingga pada akhirnya hanya tertinggal 2 data saja yang selanjutnya digunakan sebagai basis data penaksiran. Dalam contoh kita tadi, data tahun 2010 dan tahun 2011 diambil nilai rata-ratanya (diperoleh data AB20102011); kemudian data tahun 2012 dan tahun 2013 juga diambil nilai rata-ratanya (diperoleh data CD20122013).
Tahun
x
Penerimaan Pajak Daerah (Juta Rp)
1.
2010 - 2011
0,5
316.000
AB (0,5; 316.000)
2.
2012 – 2013
2,5
315.000
CD (2,5; 315.000)
3.
2014
4
?
No
Koordinat
E (4; ?)
Dengan 2 data hasil perhitungan rata-rata tadi, yaitu AB(0,5; 316.000) dan CD(2,5; 315.000), dapat dilakukan penaksiran pertumbuhan penerimaan pajak daerah Kabupaten Percontohan sebagai berikut: yt = {(315.000 – 316.000)/(2,5 – 0,5)}(xt – 0,5) + 316.000 yt = -2 (xt – 0,5) + 316.000 yt = -2 xt + 317.000 y2014 = -2 (4) + 317.000 = 309.000 r2014 = {(y2014 – y2013) / y2013} x 100% r2014 = {(309.000 – 315.000) / 315.000} x 100% r2014 = -1,90%
7.2. Teori dan Latihan Menghitung Potensi Pajak Daerah Ada beberapa kriteria yang biasa digunakan dalam menetapkan pajak daerah yaitu: (1) Hasil: memadai tidaknya hasil suatu pajak dalam kaitannya dengan berbagai layanan yang dibiayainya, stabilitas dan mudah tidaknya memperkiranya hasil pajak tersebut, perbandingan hasil pajak dengan biaya pungut, elastisitas hasil pajak terhadap invalasi dan pertambahan pendapatan. (2) Keadilan (equity): kewajiban membayar pajak daerah harus jelas dan tidak sewenang-wenang, pajak harus adil secara horizontal artinya beban pajak harus sama antara berbagai kelompok yang berbeda tetapi dengan kedudukan ekonomi yang sama, adil secara vertikal artinya beban pajak harus lebih banyak ditanggung oleh kelompok yang memiliki sumber daya yang lebih besar. 85
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Proyeksi Potensi dan Penentuan Tarif Pajak Daerah
(3) Efisiensi ekonomi: pajak daerah hendaknya mendorong penggunaan sumber daya secara efisien dan efektif dalam kehidupan ekonomi, mencegah jangan sampai pilihan konsumen dan produsen menjadi salah arah, dan memperkecil beban lebih pajak. (4) Kemampuan melaksanakan: pajak daerah harus dapat dilaksanakan baik dari aspek politik maupun administratif. (5) Kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah. Meskipun UU No. 28 Tahun 2009 sudah berlaku, pedoman yang dapat diterapkan terkait dengan kronologi yuridis, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (4) UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, penetapan potensi pajak daerah harus memperhatikan prinsip sebagai berikut: a) Bersifat pajak dan bukan retribusi; b) Obyek pajak terletak atau terdapat di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah, serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan; c) d) e) f) g) h)
Obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum; Obyek pajak bukan merupakan obyek pajak provinsi dan/atau obyek pajak pusat; Potensinya memadai; Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif; Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan Menjaga kelestarian lingkungan.
Dengan memperhatikan prinsip tersebut, potensi pajak yang ditetapkan sebagai target penerimaan akan lebih mendekati realisasi yang diharapkan. Selain juga harus berpedoman pada asas pemungutan pajak secara umum, yaitu: asas equity (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan); asas certainty (asas kepastian hukum), asas convenience of payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan); dan asas efficiency (asas efisiensi atau asas ekonomis). Pajak daerah - secara teori – hendaknya memenuhi beberapa persyaratan, antara lain: a) Tidak bertentangan atau searah dengan kebijakan pemerintah pusat. b) Sederhana dan tidak banyak jenisnya. c) Biaya administrasinya rendah. d) Tidak mencampuri sistem perpajakan pusat. e) Kurang dipengaruhi oleh “business cycle” tapi dapat berkembang dengan meningkatnya kemakmuran. f) Beban pajak relatif seimbang dan “tax base” yang sama diterapkan secara nasional.
86
Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang akan mendukung pemberian kewenangan kepada
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Proyeksi Potensi dan Penentuan Tarif Pajak Daerah
daerah dalam rangka pembiayaan desentralisasi, yang juga berarti memberikan suatu local taxing power. Untuk itu pemerintah daerah dalam melakukan pungutan pajak harus tetap menempatkan sesuai dengan fungsinya, yaitu: (1) Fungsi Budgeter, adalah fungsi anggaran, yaitu sebagai sumber penerimaan untuk membiayai pengeluaran. Fungsi ini mempunyai sifat tetap dan selalu meningkat. Kriteria tetap dalam arti selalu dapat diharapkan sebagai sumber penerimaan, sedangkan kriteria selalu meningkat, artinya akan selalu mengalami kenaikan penerimaan. (2) Fungsi Regulerent (Fungsi Pengaturan), yaitu sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, (mengatur redistribusi barang dan jasa) dalam hal ini termasuk layanan.
Hal yang juga tidak dapat dipungkiri adalah terdapatnya berbagai kendala dalam melaksanakan pemungutan pajak daerah, antara lain: a) Kesadaran masyarakat yang masih rendah terhadap pembayaran pajak. b) Banyak masyarakat yang belum memahami apa kegunaan pajak. c) Kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pembayaran pajak semestinya ditindaklanjuti degan sosialisasi. d) Banyak petugas pajak yang belum mempunyai keterampilan yang memadai dalam melaksanakan tugasnya. e) Sarana dan prasarana yag masih kurang. f) Belum diterapkannya sanksi hukum yang optimal terhadap pelanggaran di bidang pajak daerah. Solusi untuk mengatasi kendala tersebut, diantaranya adalah dengan melakukan: a) intensifikasi pemungutan pajak daerah dengan melibatkan SKPD secara aktif; dan b) penyelidikan pada objek/subjek pajak yang tidak membayar atau kurang membayar pajak daerah dengan yang telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak daerah, dengan melakukan kerjasama dengan lembaga penegak hukum yang terkait. Dalam perencanaan penerimaan pajak terdapat tiga pendekatan, yaitu: a) makro, b) mikro, dan c) inkremental.
87
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Proyeksi Potensi dan Penentuan Tarif Pajak Daerah
Pendekatan inkremental lebih praktis dan pragmatis untuk diterapkan pada perencanaan penerimaan pajak daerah. Metode yang digunakan dalam pendekatan inkremental ini dilakukan melalui perhitungan realisasi penerimaan tahun sebelumnya dengan penyesuaian terhadap pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi. Penyesuaian dapat juga dilakukan terhadap variabel lain seperti bunga, harga dan produkasi migas, PDRB, kurs rupiah terhadap dollar, dan faktor lain.
Sementara pola variabel tax base dapat dijadikan sebagai pilihan dalam melakukan proyeksi penerimaan pajak dengan memperhatikan faktor yang mempengaruhinya antara lain: 1) 2) 3) 4) 5)
Kondisi ekonomi makro; Daya beli masyarakat; Penyediaan jasa; Kebijakan publik; Mobilisasi penduduk.
Sebagai gambaran dalam pendekatan inkremental, digunakan contoh berikut: Realisasi penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor pada tahun tertentu adalah sebesar Rp.100.000.000,00. Berdasarkan berbagai faktor yang mempengaruhi pendapatan tersebut di atas diasumsikan penerimaan akan meningkat sebesar 5%; maka target penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor tahun berikutnya dapat ditetapkan sebesar Rp.105.000.000,00.
Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 tarif pajak daerah ditetapkan dalam persentase tertentu dengan batasan maksimal atau interval yang harus ditetapkan secara definitif di dalam Perda tentang pajak daerah. Batasan dalam penentuan tarif ini, memberikan diskresi kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah sesuai dengan potensi dan kemampuan masyarakatnya.
Contoh:
Tarif Pajak Kendaraan Bermotor: a) Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009, tarif pajak kendaraan bermotor atas kepemilikan kendaraan bermotor yang pertama adalah paling rendah 1% dan paling tinggi 2%.
Dalam Perda dapat ditetapkan tarif Pajak Kendaraan Bermotor atas kepemilikan kendaraan bermotor yang pertama sebesar 1,2%.
Tarif Pajak Hotel: b)
Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009, tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10%.
Dalam Perda dapat ditetapkan tarif Pajak Hotel sebesar 10% atau lebih rendah.
Dalam melakukan penetapan proyeksi penerimaan pajak daerah, perlu ditentukan klasifikasi potensi penerimaan untuk setiap jenis pajak daerah. Klasifikasi ini secara umum dapat digunakan untuk jenis pungutan lainnya (retribusi daerah). Klasifikasi potensi penerimaan pajak dapat digolongkan menjadi:
88
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Proyeksi Potensi dan Penentuan Tarif Pajak Daerah
a.
Penerimaan Prima Pajak daerah yang termasuk klasifikasi penerimaam prima jika rasio tambahan (pertumbuhan) lebih besar atau sama dengan satu.
b.
Penerimaan Potensial Pajak daerah yang termasuk klasifikasi penerimaan potensial jika rasio tambahan (pertumbuhan) lebih kecil atau sama dengan satu dan rasio proporsi atau sumbangannya terhadap rata-rata total penerimaan pajak atau retribusi daerah lebih besar atau sama dengan satu.
c. Berkembang Pajak daerah yang termasuk klasifikasi berkembang jika rasio tambahan (pertumbuhan) lebih besar atau sama dengan satu dan ratio proporsi atau sumbangannya terhadap rata-rata total penerimaan pajak daerah lebih besar atau sama dengan satu. d. Terbelakang. Pajak daerah yang termasuk klasifikasi berkembang jika rasio tambahan (pertumbuhan) atau sumbangannya terhadap rata-rata total penerimaan pajak daerah keduanya lebih kecil atau sama dengan satu. Untuk menentukan potensi penerimaan pajak daerah ke dalam klasifikasi tersebut di atas diperlukan 2 indikator pokok, yaitu: a)
Ratio Proporsi Penentuan ratio proporsi dilakukan dengan membandingkan antara realisasi penerimaan jenis pajak daerah tertentu dengan rata-rata penerimaan pajak daerah. Rata-rata pajak daerah diperoleh dari perhitungan jumlah seluruh penerimaan pajak daerah dibagi dengan jumlah jenis pajak daerah.
b)
Ratio Tambahan Penentuan ratio tambahan dilakukan dengan membandingan pertumbuhan jenis pajak tertentu dengan pertumbuhan total pajak daerah.
Selama ini penentuan target penerimaan pajak daerah lebih didasarkan pada kaidah inkremental (dinaikkan sekian persen dari penerimaan tahun lalu), bukan didasarkan pada potensi penerimaan. Potensi penerimaan daerah untuk masing masing jenis pajak daerah belum dihitung secara menyeluruh. Pengukuran prestasi kerja dalam penerimaan pajak daerah masih didasarkan pada rasio pengumpulan (collection ratio), yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur persentase realisasi penerimaan pajak daerah dari target penerimaan pajak daerah, bukan ukuran rasio cakupan (coverage ratio), yang meliputi rasio proporsi dan rasio pertumbuhannya. Sedangkan rencana tindakan (action plan) peningkatan pendapatan daerah lebih dianggap sebagai kegiatan rutin instansi pemungut. Rumus rasio pengumpulan (collection ratio) pajak daerah:
89
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Proyeksi Potensi dan Penentuan Tarif Pajak Daerah
RPPxi
Realisasi xi Taget xi
X 100%
dimana: RPP = Rasio pengumpulan pajak, xi = Jenis Pajak Daerah tahun berkenaan. Contoh: Pajak Hotel Target Penerimaan Pajak Hotel Tahun 2011 sebesar Rp 400.000.000,Realisasi Penerimaan Pajak Hotel Tahun 2011 sebesar Rp 450.000.000,-
RPPxi =
450.000.000 X 100% = 112,5% 400.000.000
Artinya: realisasi penerimaan Pajak Hotel pada tahun 2011 mencapai 112,5% dari target penerimaan. Sedangkan untuk mengetahui berapa persen pertumbuhan Pajak Daerah dari tahun lalu dapat dipakai rumus sebagai berikut:
rPxi(t) = rP
Xi(t) – Xi(t-1) X 100% Xi(t-1)
= Pertumbuhan Pajak Daerah
Xi(t)
= Penerimaan Jenis Pajak Daerah tahun ke t.
Xi(t-1)
= Penerimaan Jenis Pajak Daerah tahun ke t-1.
Contoh: Pajak Hotel Penerimaan Pajak Hotel Tahun 2010 = Rp 400.000.000,Penerimaan Pajak Hotel Tahun 2011 = Rp 450.000.000,-
rPxi(2011) =
450.000.000 – 400.000.000 400.000.000
X 100%
Pertumbuhan Pajak Hotel tahun 2011 = 12,5%, artinya terjadi pertumbuhan penerimaan Pajak Hotel pada tahun 2011 sebesar 12,5% dari tahun 2010.
Rumusan Matriks Klasifikasi Potensi Penerimaan Pajak adalah: Rasio Proporsi Rasio Pertumbuhan rPXi rPXtotal rPXi
rPXtotal
90
Xi Rata-rata X
>1
Xi Rata-rata X
>1
Prima
Berkembang
<1
Potensial
Terbelakang
<1
rPXi Pertumbuhan penerimaan jenis Pajak Daerah rPXtotal Pertumbuhan total penerimaan seluruh Pajak Daerah Xi Rata rata penerimaan seluruh Pajak Daerah
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Proyeksi Potensi dan Penentuan Tarif Pajak Daerah
Artinya: • Jika Rasio Proporsi > 1 dan Rasio Pertumbuhan > 1, maka penerimaannya prima atau sangat potensial. • Jika Rasio Proporsi > 1 dan Rasio Pertumbuhan < 1, maka penerimaannya potensial. •
Jika Rasio Proporsi < 1 dan Rasio Pertumbuhan > 1, maka penerimaannya berkembang atau masih ada potensi untuk dikembangkan.
•
Jika Rasio Proporsi < 1 dan Rasio Pertumbuhan < 1, maka penerimaannya terbelakang atau kurang potensial.
Contoh proyeksi potensi penerimaan 8 jenis Pajak Daerah: 1)
Pertumbuhan jenis Pajak Daerah Tahun 2011 dari Tahun 2010 Realisasi Penerimaan No. 1
Jenis Pajak Daerah Pajak Hotel
Tahun 2010 (Rp)
Tahun 2011 (Rp)
300.000.000
350.000.000
2
Pajak Restoran
250.000.000
260.000.000
0,04
Pajak Hiburan
100.000.000
120.000.000
0.20
4
Pajak Reklame
75.000.000
80.000.000
0.07
5
Pajak Penerangan Jalan
50.000.000
60.000.000
0,20
6
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
80.000.000
85.000.000
0,06
7
Pajak Parkir
90.000.000
95.000.000
0,06
8
Pajak Air Tanah
40.000.000
45.000.000
0,13
1.595.000.000
Rata rata
91
0,17
3
Total
2)
Pertumbuhan
159.500.000
Rasio Proporsi dan Rasio Pertumbuhan 10 jenis Pajak Daerah: No.
Jenis Pajak Daerah
Rasio Proporsi
Rasio Pertumbuhan
Keterangan
1
Pajak Hotel
2,19
1,73
Prima
2
Pajak Restoran
1,63
0,42
Potensial
3
Pajak Hiburan
0,75
2,08
Berkembang
4
Pajak Reklame
0,50
0,69
Terbelakang
5
Pajak Penerangan Jalan
0,38
2,08
Berkembang
6
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
0,53
0,65
Terbelakang
7
Pajak Parkir
0,60
0,58
Terbelakang
8
Pajak Air Tanah
0,28
1,30
Berkembang
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Proyeksi Potensi dan Penentuan Tarif Pajak Daerah
Dari contoh hasil perhitungan tersebut di atas, dapat diketahui pertumbuhan penerimaan dari tahun sebelumnya, rasio proporsi, dan rasio pertumbuhan 8 jenis pajak daerah, sehingga dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1)
Pajak Hotel dengan rasio proporsi 2,19 dan rasio pertumbuhan 1,73 merupakan pajak daerah yang penerimaannya prima artinya penerimaannya sangat potensial, karena rasio proporsi dan rasio pertumbuhannya lebih dari satu, sehingga untuk proyeksi potensi penerimaan pajak daerah ini kedepan sangat layak untuk diteruskan pemungutannya, karena penerimaannya sangat potensial.
2) Pajak Restoran dengan rasio proporsi 1,63 dan rasio pertumbuhan 0,42 merupakan pajak daerah yang penerimaannya potensial, karena rasio proporsinya lebih dari satu sedangkan rasio pertumbuhannya kurang dari satu, sehingga untuk proyeksi potensi penerimaan pajak daerah ini kedepan masih layak untuk diteruskan pemungutannya, karena penerimaannya yang potensial. 3)
Pajak Hiburan dengan rasio proporsi 0,75 dan rasio pertumbuhan 2,08, Pajak Penerangan Jalan dengan rasio proporsi 0,38 dan rasio pertumbuhan 2,08, dan Pajak Air Tanah dengan rasio proporsi 0,28 dan rasio pertumbuhan 1,30 merupakan pajak daerah yang penerimaannya berkembang artinya masih ada potensi untuk dikembangkan, karena rasio proporsinya kurang dari satu sedangkan rasio pertumbuhannya lebih dari satu, sehingga untuk proyeksi potensi penerimaan pajak daerah ini kedepan dapat dipertimbangkan untuk diteruskan pemungutannya, karena potensinya masih dapat dikembangkan.
4)
Pajak Reklame dengan rasio proporsi 0,5 dan rasio pertumbuhan 0,69, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan dengan rasio proporsi 0,53 dan rasio pertumbuhan 0,65, dan Pajak Parkir dengan rasio proporsi 0,60 dan rasio pertumbuhan 0,58, merupakan pajak daerah yang penerimaannya terbelakang artinya kurang potensial, karena rasio proporsi dan rasio pertumbuhannya kurang dari satu, sehingga untuk proyeksi potensi penerimaan pajak daerah ini kedepan dipertimbangkan kembali untuk diteruskan pemungutannya, karena potensinya kurang.
Upaya untuk meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah agar mendekati atau bahkan bahkan sama dengan potensinya, secara umum ada dua cara, yaitu dengan cara instensifikasi dan ekstensifikasi. a) Cara intensifikasi adalah melakukan pemungutan secara efektif dan efisien pada objek dan subjek pajak daerah yang sudah ada misalnya melakukan perhitungan potensi, penyuluhan, peningkatan pengawasan dan pelayanan. b) Cara ekstensifikasi adalah melakukan usaha-usaha untuk menjaring wajib pajak baru melalui pendataan dan pendaftaran atau menggali pajak baru.
Alternatif kebijakan atau upaya yang dapat diambil atau diterapkan dalam usaha meningkatkan setiap jenis klasifikasi yang disebut diatas akan berbeda-beda. Jika jenis pajak daerah termasuk prima, maka kebijaksanaan yang telah diterapkan pada tahun-tahun sebelumnya dapat tetap digunakan dengan mempertahankan tingkat pertumbuhan dan kontribusinya. Jika jenis pajak termasuk penerimaan yang
92
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Proyeksi Potensi dan Penentuan Tarif Pajak Daerah
potensial, maka upaya yang perlu dilakukan adalah dengan mengintensifkan pemungutan dari sumber penerimaan yang ada sehingga terjadi pertumbuhan penerimaan. Untuk pajak daerah dengan klasifikasi berkembang, upaya peningkatan yang dilakukan adalah dengan menggali sumber-sumber baru dengan tingkat pertumbuhan seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Jika pajak daerah dalam klasifikasi terbelakang, maka upaya peningkatannya dilakukan dengan menggali sumber-sumber penerimaan baru dan meningkatkan penerimaan dari tahun sebelumnya dari sumber peneriman yang ada.
7.3. Soal Latihan 1.
Uraikanlah apa yang Saudara pahami terkait dengan prinsip yang harus diperhatikan dalam menentukan potensi pajak daerah!
2.
Pemungutan pajak harus dilaksanakan sesuai dengan fungsinya. Berikan penjelasan Saudara fungsi tersebut.
3.
Dalam penentuan proyeksi penerimaan pajak daerah ada bebarapa pendekatan yang digunakan. Berikanlah penjelasan Saudara terkait penentuan proyeksi penerimaan pajak daerah tersebut.
4.
Berikan perhitungan Saudara untuk pertumbuhan, rasio proporsi, dan rasio pertumbuhan penerimaan pajak daerah di Kabupaten X dengan data sebagai berikut:
No
93
Jenis Pajak Daerah
Realisasi Penerimaan (Rp) Tahun 2010
Tahun 2011
1.
Pajak Restoran
300.000.000,-
320.000.000,-
2.
Pajak Reklame
200.000.000,-
250.000.000,-
3.
Pajak Penerangan Jalan
150.000.000,-
160.000.000,-
4.
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
650.000.000,-
900.000.000,-
5.
Pajak Sarang Burung Walet
120.000.000,-
320.000.000,-
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TOPIK 8
PROYEKSI POTENSI DAN PENENTUAN TARIF RETRIBUSI DAERAH
Proyeksi Potensi dan Penetuan Tarif Retribusi Daerah
Deskripsi: Topik ini menjelaskan tentang jenis retribusi daerah yang berpotensi atau yang tidak berpotensi untuk dilakukan pemungutan dengan mengacu pada penerimaan retribusi daerah.
Sub Topik Prinsip dan Sasaran dalam Penetapan Tarif Retribusi
Proyeksi Potensi Penerimaan Retribusi
Kata Kunci Potensi Retribusi
Lingkungan potensi
Latihan
Referensi:
96
1.
Buku statistik (berbagai penulis).
2.
Buku statistik daerah (daerah dalam angka).
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Proyeksi Potensi dan Penetuan Tarif Retribusi Daerah
8.
Proyeksi Potensi dan Penetuan Tarif Retribusi Daerah
8.1.
Teori dan Latihan Menghitung Potensi Retribusi Daerah
Tarif retribusi daerah adalah nilai rupiah atau persentase tertentu yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi daerah yang terutang. Tarif retribusi daerah dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi, misalnya perbedaan tarif retribusi untuk masuk tempat rekreasi antara anak dan dewasa, perbedaan tarif retribusi untuk kendaraan parkir di tepi jalan umum antara mobil roda 4 dan roda 6 dan sebagainya. Struktur dan besarnya tarif retribusi daerah merupakan diskresi Pemerintah Daerah untuk menetapkan dalam Peraturan Daerah dengan memperhatikan peraturan sektoral yang berkaitan dengan jenis retribusi tersebut, misalnya untuk menetapkan struktur tarif Retribusi Izin Trayek, maka harus memperhatikan peraturan sektoralnya yang mengatur mengenai Izin Trayek yaitu UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum. Pemerintah Daerah tidak boleh menetapkan tarif retribusi dengan Peraturan atau Keputusan Kepala Daerah, karena struktur dan besarnya tarif retribusi merupakan muatan minimal yang diatur dalam Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sesuai dengan Pasal 156 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah. Peninjauan Tarif Tarif retribusi dapat ditinjau kembali secara berkala dengan memperhatikan prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi, Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian daerah berkaitan dengan objek retribusi yang bersangkutan. Dalam Pasal 155 UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, peninjauan kembali tarif retribusi daerah, dapat dilakukan paling lama 3 (tiga) tahun sekali dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian dan ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.
1.
Prinsip dan Sasaran dalam Penetapan Tarif Retribusi
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi daerah sesuai dengan UU No.28 Tahun 2009 adalah sebagai berikut:
97
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Proyeksi Potensi dan Penentuan Tarif Pajak Daerah
1) Retribusi Jasa Umum
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. Biaya tersebut meliputi biaya operasi, biaya pemeliharaan, biaya bunga dan biaya modal. Dalam hal penetapn tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya.
2) Retribusi Jasa Usaha Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak, yaitu keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar. 3) Retribusi Perizinan Tertentu Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan, meliputi: biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan, penegakan hukum, penatausahaan dan biaya dampak negativ dari pemberian izin tersebut.
Prinsip dasar untuk mengenakan retribusi biasanya didasarkan pada total cost (biaya penyediaan jasa) dari pelayanan yang disediakan. Akan tetapi akibat adanya perbedaan-perbedaan tingkat pembiayaan mengakibatkan tarif retribusi tetap dibawah tingkat biaya (full cost). Ada 4 alasan utama mengapa hal ini terjadi: a) Apabila suatu pelayanan pada dasarnya merupakan kepentingan umum (public good) yang disediakan karena untuk melayani kepentingan umum masyarakat (jasa umum). Penetapan tarif retribusi disini memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. Karena tarif retribusi disini memperhatikan kemampuan masyarakat dan aspek keadilan, maka tidak ada unsur keuntungan yang diperoleh, sehingga tingkat biaya yang dikeluarkan dapat lebih tinggi dari penerimaan retribusi yang diterima. b) Apabila suatu pelayanan merupakan bagian dari swasta (jasa usaha) dan sebagian lagi merupakan good public (jasa umum). Misalnya tarif Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan. Disatu sisi Pemerintah Daerah menyediakan Pasar Grosir dan/atau Pertokoan sebagai jasa usaha untuk mencari keuntungan, tetapi disisi lain Pemerintah Daerah juga menyediakan Pasar Grosir dan/atau Pertokoan untuk memenuhi kepentingan umum, sehingga hal ini dapat berimplikasi pada tingkat biaya yang dikeluarkan dapat lebih tinggi dari penerimaan retribusi yang dihasilkan. c) Pelayanan seluruhnya merupakan private good yang dapat disubsidi jika hal ini merupakan permintaan terbanyak dan Kepala Daerah enggan menghadapi masyarakat dengan full cost. Disatu sisi private good merupakan kepentingan pribadi, sehingga Pemerintah Daerah tidak
98
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Proyeksi Potensi dan Penentuan Tarif Pajak Daerah
perlu harus menyediakannya, tetapi kalau kepentingan yang bersifat pribadi tersebut banyak yang meminta, akhirnya menjadi kepentingan umum, sehingga dengan pertimbangan kepentingan umum, Pemerintah Daerah perlu untuk menyediakannya. Misalnya fasilitas rekreasi dari kolam renang. Kalau banyak masyarakat yang meminta fasilitas rekreasi dari kolam renang, maka fasilitas tersebut yang seharusnya bersifat private good (kepentingan pribadi) menjadi public good (kepentingan umum), akibatnya biaya yang dikeluarkan untuk penyediaan jasa retribusi tersebut dapat lebuh tinggi dari penerimaan retribusinya. d) Private good yang dianggap sebagai kebutuhan dasar manusia dan kelompok berpenghasilan rendah. Apabila private good yang merupakan kepentingan pribadi merupakan kebutuhan dasar bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah, maka sifatnya dapat berubah menjadi public good karena ketidak mampuan masyarakat untuk mencapai private good tersebut Misalnya kebutuhan masyarakat akan kesehatan yang merupakan private good, tetapi karena ketidak mampuan mereka untuk membayar biaya kesehatan tersebut, maka private good yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dapat mengakibatkan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan yaitu biaya pelayanan kesehatan lebih tinggi dari penerimaan Retribusinya.
2.
Proyeksi Potensi Penerimaan Retribusi Daerah
Selama ini penentuan target penerimaan lebih didasarkan pada kaidah incremental (dinaikkan sekian persen dari tahun lalu), bukan didasarkan pada potensi penerimaan. Potensi penerimaan daerah untuk masing masing jenis/sumber Retribusi daerah belum dihitung secara menyeluruh. Pengukuran prestasi/kinerja instansi pemungut retribusi masih terbatas pada ukuran rasio pengumpulan (collection ratio), yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur persentase realisasi penerimaan retribusi dari target penerimaan retribusi bukan ukuran rasio cakupan (coverage ratio), yang meliputi rasio proporsi dan rasio pertumbuhannya. Sedangkan rencana tindakan (action plan) peningkatan pendapatan daerah lebih dianggap sebagai kegiatan rutin instansi pemungut.
99
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Proyeksi Potensi dan Penentuan Tarif Pajak Daerah
RPRxi RPR xi
= Realisasi xi X 100% Taget xi = Rasio Pengumpulan Retribusi = Jenis Retribusi tahun berkenaan
Contoh: Retribusi Pelayanan Pasar Target Retribusi Tahun 2011 = Rp.250.000.000,Realisasi Retribusi Tahun 2011 = Rp.300.000.000,RPRxi RPRxi
= 300.000.000 X 100% . = 120,0% 250.000.000 = 120 % artinya realisasi penerimaan Retribusi Pelayanan Pasar pada tahun 2011 mencapai 120% dari target penerimaan.
Sedangkan untuk mengetahui berapa persen pertumbuhan Retribusi dari tahun lalu dapat dipakai rumus sebagai berikut: rRxi(t) rR Xi(t) Xi(t-1)
= Xi(t) – Xi(t-1) X 100% Xi(t-1) = Pertumbuhan Retribusi Daerah = Penerimaan Jenis Retribusi Daerah tahun ke t. = Penerimaan Jenis Retribusi Daerah tahun ke t-1.
Contoh: Retribusi Pelayanan Pasar Penerimaan Retribusi Tahun 2010 = Rp.250.000.000,Penerimaan Retribusi Tahun 2011 = Rp.300.000.000,rRxi(2011) rRxit
= 300.000.000 – 250.000.000 X 100% 250.000.000 = 20 % artinya terjadi pertumbuhan penerimaan Retribusi Pelayanan Pasar pada tahun 2011 sebesar 20 % dari tahun 2010.
Rumus Rasio Pengumpulan (collection ratio) Retribusi Daerah: Potensi penerimaan retribusi dapat dibedakan menjadi 4 kelompok: 1) Prima artinya sangat potensial. 2) Potensial. 3) Berkembang artinya masih ada potensi yang dapat dikembangkan. 4) Terbelakang artinya kurang potensi. Ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk menghitung proyeksi potensi penerimaan retribusi dan salah satunya adalah teori dengan menggunakan pendekatan rasio proporsi dan rasio pertumbuhan dengan rumus dan matriks sebagai berikut:
100
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Proyeksi Potensi dan Penentuan Tarif Pajak Daerah
Rasio Proporsi Rasio Pertumbuhan rPXi rPXtotal rPXi
Xi Rata-rata X
>1
Xi Rata-rata X
>1
Prima
Berkembang
<1
Potensial
Terbelakang
<1
rPXtotal
rPXi
= Pertumbuhan penerimaan jenis Pajak Daerah
rPXtotal
= Pertumbuhan total penerimaan seluruh Pajak Daerah
Xi
= Rata rata penerimaan seluruh Pajak
Daerah
Artinya: • Jika Rasio Proporsi > 1 dan Rasio Pertumbuhan > 1, maka penerimaannya prima atau sangat potensial. • Jika Rasio Proporsi > 1 dan Rasio Pertumbuhan < 1, maka penerimaannya potensial. • Jika Rasio Proporsi < 1 dan Rasio Pertumbuhan > 1, maka penerimaannya berkembang atau masih ada potensi untuk dikembangkan.
• Jika Rasio Proporsi < 1 dan Rasio Pertumbuhan < 1, maka penerimaannya terbelakang atau kurang potensi. Contoh proyeksi potensi penerimaan 10 jenis Retribusi Daerah: 1)
Pertumbuhan jenis Pajak Daerah Tahun 2011 dari Tahun 2010: No.
Jenis Retribusi Daerah
Realisasi Penerimaan Tahun 2010 (Rp)
Tahun 2011 (Rp)
1
Retribusi Pelayanan Kesehatan
300.000.000
350.000.000
0,17
2
Retribusi Pelayanan Pasar
250.000.000
260.000.000
0,04
3
Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
100.000.000
120.000.000
0.20
4
Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akta Capil
75.000.000
80.000.000
0.07
5
Retribusi Pelayanan Pe-makaman dan Pengabuan Mayat
50.000.000
60.000.000
0,20
6
Retribusi Pelayanan Per-sampahan/Kebersihan
80.000.000
85.000.000
0,06
7
Retribusi Pengujian Ken-daraan Bermotor
90.000.000
95.000.000
0,06
8
Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran
40.000.000
45.000.000
0,13
9
Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi
400.000.000
425.000.000
0,06
10
Retribusi Pelayanan Tera/ Tera Ulang
70.000.000
75.000.000
0,07
Total Rata-rata
101
Pertumbuhan
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
1.595.000.000 159.500.000
Proyeksi Potensi dan Penentuan Tarif Pajak Daerah
2)
Rasio Proporsi dan Rasio Pertumbuhan 10 jenis Retribusi Daerah:
No.
Jenis Pajak Daerah
Rasio Proporsi
Rasio Pertumbuhan
Keterangan
1
Retribusi Pelayanan Kesehatan
2,19
1,73
Prima
2
Retribusi Pelayanan Pasar
1,63
0,42
Potensial
3
Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
0,75
2,08
Berkembang
4
Retribusi Penggantian
0,50
0,69
Terbelakang
5
Biaya Cetak KTP dan Akta Capil
0,38
2,08
Berkembang
6
Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat
0,53
0,65
Terbelakang
7
Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan
0,60
0,58
Terbelakang
8
Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor
0,28
1,30
Berkembang
9
Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran
2,66
0,65
Potensial
10
Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi
0,47
0,74
Terbelakang
Dari contoh hasil perhitungan tersebut di atas, dapat diketahui pertumbuhan penerimaan dari tahun sebelumnya, rasio proporsi dan rasio pertumbuhan 10 jenis retribusi daerah, sehingga dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1) Retribusi Pelayanan Kesehatan merupakan retribusi yang penerimaannya prima artinya penerimaannya sangat potensial, karena rasio proporsi dan rasio pertumbuhannya lebih dari satu, sehingga untuk proyeksi potensi penerimaan retribusi ini kedepan sangat layak untuk diteruskan pemungutannya, karena penerimaannya sangat potensial. 2) Retribusi Pelayanan Pasar dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi merupakan retribusi yang penerimaannya potensial, karena rasio proporsinya lebih dari satu sedangkan rasio pertumbuhannya kurang dari satu, sehingga untuk proyeksi potensi penerimaan retribusi ini kedepan masih layak untuk diteruskan pemungutannya, karena penerimaannya yang potensial.
102
3)
Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum, Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat, dan Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran merupakan retribusi yang penerimaannya berkembang artinya masih ada potensi untuk dikembangkan, karena rasio proporsinya kurang dari satu sedangkan rasio pertumbuhannya lebih dari satu, sehingga untuk proyeksi potensi penerimaan retribusi ini kedepan dapat dipertimbangkan untuk diteruskan pemungutannya, karena potensinya masih dapat dikembangkan.
4)
Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil, Retribusi Pelayanan Persampahan/ Kebersihan, Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor dan Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Proyeksi Potensi dan Penentuan Tarif Pajak Daerah
merupakan retribusi yang penerimaannya terbelakang artinya kurang potensial, karena rasio proporsi dan rasio pertumbuhannya kurang dari satu, sehingga untuk proyeksi potensi penerimaan retribusi ini kedepan dipertimbangkan kembali untuk diteruskan pemungutannya, karena potensinya kurang. Selain dengan cara menghitung penerimaan jenis retribusi dan penerimaan total retribusi, rasio proporsi dan rasio pertumbuhan, proyeksi potensi penerimaan dan penentuan tarif retribusi juga dapat diketahui dari beberapa hal sebagai berikut:
103
1)
Kebutuhan / permintaan masyarakat akan jasa pelayanan tersebut. Semakin tinggi kebutuhan/permintaan masyarakat akan jasa pelayanan terhadap suatu jenis retribusi, maka tarif yang ditetapkan dapat semakin tinggi sesuai dengan kebutuhan/permintaan tersebut dan sebaliknya semakin rendah kebutuhan/permintaan akan jasa pelayanan tersebut, maka tarif yang ditetapkan juga semakin rendah atau dengan kata lain kebutuhan/permintaan jasa pelayanan berbanding lurus dengan tarif yang akan ditetapkan. Hal ini sesuai dengan prinsip ekonomi, yaitu semakin tinggi permintaan akan suatu barang/jasa, maka akan semakin tinggi pula harga barang/ jasa yang ditawarkan dan semakin rendah permintaan akan harga barang/jasa, maka akan semakin rendah juga harga barang/jasa yang ditawarkan. Apabila prinsip tersebut dilanggar, maka akan mengakibatkan kerugian, contoh kebutuhan/permintaan masyarakat akan jasa pelayanan tempat penginapan rendah, tetapi tarif yang ditetapkan untuk pelayanan tempat penginapan tersebut tinggi, maka akan banyak tempat penginapan yang kosong, karena masyarakat semakin enggan menggunakan jasa yang tarifnya tinggi tersebut sementara mereka tidak begitu membutuhkan pelayanan tersebut. Contoh lain, yaitu rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan lainnya. Selama masyarakat di wilayah daerah tersebut membutuhkan akan pelayanan kesehatan di rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan lainnya, maka potensi penerimaan dari sektor Retribusi Pelayanan Kesehatan akan meningkat, demikian pula sebaliknya apabila masyarakat di daerah tersebut tidak begitu membutuhkan pelayanan kesehatan di rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan lainnya karena mungkin mereka memilih berobat dengan cara non medis, misalnya dengan cara menggunakan ramuan atau herbal, maka potensi penerimaan dari sektor Retribusi Pelayanan Kesehatan akan menurun. Pemerintah Daerah perlu memberikan pengertian kepada masyarakat akan pentingnya pelayanan tersebut bagi mereka, yang pada akhirnya masyarakat akan merasa membutuhkan pelayanan tersebut dan berimplikasi terhadap potensi penerimaan retribusi daerah menjadi meningkat.
2)
Besarnya Tarif retribusi yang ditetapkan. Besarnya tarif retribusi daerah merupakan diskresi Pemerintah Daerah untuk menetapkannya, namun demikian dalam menetapkan tarif retribusi daerah hendaknya juga memperhatikan tarif retribusi di wilayah daerah lain yang berdekatan. Apabila di wilayah daerah lain yang berdekatan menetapkan tarif retribusi untuk jenis retribusi yang sama lebih rendah, maka dikhawatirkan masyarakat akan memilih pelayanan yang ditawarkan oleh daerah lain atau berpindah menggunakan jasa pelayanan di daerah lain yang tarif retribusinya lebih rendah, sehingga hal ini akan mengakibatkan kerugian
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Proyeksi Potensi dan Penentuan Tarif Pajak Daerah
bagi daerah yang menetapkan tarif retribusi lebih tinggi dari daerah lain dan berdampak pada penerimaan kas daerah yang menurun karena potensi penerimaan untuk jenis retribusi tersebut akan berkurang. Sebaliknya apabila daerah lain menetapkan tarif retribusi lebih tinggi untuk jenis retribusi yang sama, maka merupakan keuntungan bagi daerah yang tarif retribusinya lebih rendah, karena disamping masyarakat di daerah tersebut akan menggunakan jasa pelayanan yang tarifnya lebih rendah, daerah tersebut juga dapat menarik masyarakat di daerah lain yang tarif retribusinya lebih tinggi untuk jenis retribusi yang sama untuk menggunakan jasa pelayanan tersebut, sehingga menguntungkan daerah yang tarif retribusinya lebih rendah dan berdampak positif bagi pendapatan kas daerah yang meningkat karena potensi penerimaannya meningkat. Contohnya tarif Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor. Apabila tarif Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor di daerah tersebut lebih rendah, maka masyarakat di daerah tersebut akan melakukan pengujian kendaraan bermotor di daerahnya bahkan tidak menutup kemungkinan masyarakat di daerah lain akan melakukan pengujian kendaraan bermotor di daerah yang tarifnya lebih rendah, tetapi apabila tarif retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor di daerah lebih tinggi dari daerah lain, maka tidak menutup kemungkinan masyarakat di daerah tersebut akan melakukan pengujian kendaraan bermotor di daerah lain yang tarifnya lebih rendah. 3)
104
Sarana prasarana yang mendukung pelayanan tersebut Sarana prasarana yang tersedia dapat mempengaruhi proyeksi potensi penerimaan dan penentuan tarif retribusi, karena dengan sarana prasarana yang tersedia lengkap, masyarakat akan senang untuk menggunakan jasa pelayanan tersebut. Tarif retribusi yang ditetapkan hendaknya disesuaikan dengan sarana prasarana yang tersedia Apabila sarana prasarana yang mendukung pelayanan tersebut kurang memadai, maka hendaklah tarif yang ditetapkan jangan lebih tinggi. Sebaliknya apabila sarana prasarana yang mendukung pelayanan tersebut memadai, maka tarif yang ditetapkan dapat lebih tinggi. Contoh penetapan tarif retribusi tempat rekreasi dan olah raga, hendaknya melihat apakah sarana prasarana yang mendukung tempat rekreasi dan olah raga tersebut sudah mencukupi atau bahkan lebih baik. Kalau sarana prasarana yang dibuat masih minim atau bahkan Pemda hanya sedikit membangun sarana prasarana untuk tempat rekreasi atau fasilitas lainnya yang mendukung tempat rekreasi tersebut dengan kata lain semuanya masih alami, maka apabila tarif retribusi yang ditetapkan lebih tinggi, maka masyarakat akan merasa enggan untuk mendatangi tempat rekreasi tersebut, sebaliknya apabila Pemda sudah membangun sarana prasarana yang bagus untuk tempat rekreasi tersebut dan fasilitas lainnya, maka seandainya tarif yang ditetapkan Pemda agak lebih tinggi, kemungkinan masyarakat akan tetap mendatangi tempat rekreasi tersebut karena merasa nyaman, aman dan terhibur. Contoh lain sarana prasarana yang tersedia pada rumah sakit atau tempat kesehatan lainnya. Dengan sarana prasarana yang tersedia lengkap, maka diharapakan masyarakat di wilayah daerah tersebut akan mendatangi pelayanan kesehatan di rumah sakit atau tempat kesehatan lainnya yang ada di wilayah daerah tersebut dan tidak akan mendatangi pelayanan kesehatan di rumah sakit atau tempat kesehatan lainnya di wilayah daerah lain, sehingga potensi penerimaan dari sektor Retribusi Pelayanan Kesehatan di wilayah daerah tersebut diharapkan akan meningkat seiring dengan meningkatnya sarana
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Proyeksi Potensi dan Penentuan Tarif Pajak Daerah
prasarana yang tersedia. Sebaliknya jika sarana prasarana yang tersedia kurang baik dan kurang lengkap, maka dikhawatirkan masyarakat diwilayah tersebut akan mancari pelayanan kesehatan di wilayah daerah lain yang lebih lengkap sarana prasarananya, sehingga hal ini dapat berimplikasi pada proyeksi penerimaan dari sektor pelayanan kesehatan yang menurun. 4)
Tingkat/kualitas pelayanan yang diberikan. Tingkat/kualitas pelayanan juga dapat mempengaruhi proyeksi potensi penerimaan retribusi dan penetapan tarif retribusi. Apabila kualitas pelayanan yang diberikan baik, maka banyak masyarakat yang menginginkan pelayanan tersebut, sehingga tarif yang ditetapkan dapat lebih tinggi dan berimplikasi pada penerimaan kas daerah yang meningkat karena potensi penerimaan retribusi meningkat. Sebaliknya apabila kualitas pelayanan yang diberikan kurang baik, dan tarif yang ditetapkan lebih tinggi, maka masyarakat akan mencari pelayanan yang sejenis di daerah lain yang lebih baik dan mungkin tarifnya lebih rendah, sehingga hal ini dapat merugikan Pemerintah Daerah dari segi penerimaan karena ada potensi penerimaan yang hilang untuk jenis retribusi yang sama. Contoh pada Retribusi Pelayanan Kesehatan di rumah sakit atau tempat kesehatan lainnya. Apabila pelayanan kesehatan di rumah sakit atau tempat kesehatan lainnya di daerah tersebut baik, maka diharapakan masyarakat di wilayah daerah tersebut akan mendatangi pelayanan kesehatan di rumah sakit atau tempat kesehatan lainnya yang ada di wilayah daerah tersebut dan tidak akan mendatangi pelayanan kesehatan di rumah sakit atau tempat kesehatan lainnya di wilayah daerah lain, sehingga penerimaan dari sektor pelayanan kesehatan dapat meningkat karena potensi penerimaannya meningkat. Tetapi jika pelayanan rumah sakit atau tempat kesehatan lainnya tersebut kurang baik, maka masyarakat akan mencari pelayanan kesehatan di rumah sakit atau tempat kesehatan lainnya di daerah lain yang pelayanannya lebih baik, sehingga penerimaan dari rumah sakit atau tempat kesehatan lainnya tersebut ke kas daerah menurun karena ada potensi penerimaan yang hilang. Dengan pelayanan rumah sakit atau tempat kesehatan lainnya yang baik, diharapkan potensi penerimaan dari jenis retribusi tersebut akan meningkat seiring dengan meningkatnya kualitas pelayanan. Sebaliknya dengan kualitas pelayanan yang kurang baik, maka dikhawatirkan masyarakat didaerah tersebut akan mancari pelayanan kesehatan di daerah lain yang lebih baik pelayanannya, sehingga hal ini dapat berimplikasi pada potensi penerimaan dari sektor pelayanan kesehatan.
3.
Penentuan Tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi
Besaran tarif retribusi merupakan diskresi pemerintah daerah untuk menetapkan besarannya, tetapi khusus untuk tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi, besaran tarifnya dibatasi maksimal yaitu paling tinggi 2% dari Nilai Jual Objek Pajak PBB menara telekomunikasi, sesuai dengan penjelasan Pasal 124 UU No.28 Tahun 2009. Pemerintah daerah dalam menetapkan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi disarankan memakai batasan tersebut dan tidak memakai besaran lumpsum, karena kalau memakai besaran lumpsum dan ternyata setelah dihitung berdasarkan batasan maksimal
105
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Proyeksi Potensi dan Penentuan Tarif Pajak Daerah
tersebut jumlahnya melebihi 2% dari NJOP PBB menara telekomunikasi, maka akan dilakukan restitusi untuk mengembalikan kelebihan pembayaran tersebut.
8.2. Soal Latihan Diketahui Pemerintah Daerah dengan jenis retribusi daerah dan realisasi penerimaan retribusi daerah Tahun 2010 dan Tahun 2011 sebagai berikut:
No.
Realisasi Penerimaan
Jenis Retribusi Daerah
Tahun 2010 (Rp)
Tahun 2011 (Rp)
1
Retribusi Pelayanan Kesehatan
275.000.000
300.000.000
2
Retribusi Pelayanan Pasar
250.000.000
280.000.000
3
Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
110.000.000
115.000.000
4
Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akta Capil
85.000.000
90.000.000
5
Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat
60.000.000
75.000.000
6
Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan
70.000.000
75.000.000
Pertanyaan:
106
1.
Berapakah pertumbuhan penerimaan tiap jenis retribusi daerah dari tahun 2010 ke 2011?
2.
Berapakah rasio proporsi tiap jenis retribusi daerah tersebut ?
3.
Berapakah rasio pertumbuhan tiap jenis retribusi daerah tersebut ?
4.
Dari penghitungan tersebut, jenis retribusi daerah manakah yang dapat dikategorikan pemungutan prima (sangat potensial), potensial, berkembang dan terbelakang (kurang potensial) ?
5.
Jenis retribusi daerah manakah yang masih dapat diteruskan pemungutannya dan yang sebaiknya dihentikan pemungutannya ?
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TOPIK 9
HASIL PENGELOLAAN KEKAYAAN YANG DIPISAHKAN DAN LAIN-LAIN PENDAPATAN ASLI DAERAH YANG SAH
Hasil Pengelolaan Kekayaan Yang Dipisahkan Dan Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah
Deskripsi: Topik ini menjelaskan hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah (LPADS).
Sub Topik Konsep Dasar LPADS
Kata Kunci Kekayaan daerah Kekayaan yang dipisahkan
Jenis dan Sumber LPADS
Hasil penjualan kekayaan daerah
Dasar Hukum LPADS
Pengelolaan barang milik daerah
Optimalisasi LPADS
Isu-isu Terkini Tentang LPADS
Pengembangan objek LPADS
Swastanisasi BUMD
Latihan
Referensi: 1.
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
2.
Peraturan Daerah yang terkait
dan Pemerintahan Daerah.
108
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Hasil Pengelolaan Kekayaan Yang Dipisahkan Dan Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah
9.
Hasil Pengelolaan Kekayaan yang Dipisahkan dan Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah
9.1.
Konsep Dasar LPADS
Sebagaimana telah dibahas pada bagian sebelumnya, terlihat struktur APBD yang merupakan satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan, sebagai berikut: a) b) c)
pendapatan daerah; belanja daerah; dan pembiayaan daerah.
Pendapatan daerah tersebut di atas, selanjutnya dikelompokan atas: a) b) c)
pendapatan asli daerah; dana perimbangan; dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Kelompok pendapatan asli daerah dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas: a) b) c) d)
pajak daerah; retribusi daerah; hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah (LPADS) adalah merupakan pendapatan yang tidak dapat dipisahkan dari pendapatan yang secara keseluruhan masuk dalam Pendapatan Pemerintah/Daerah. LPADS ini merupakan wewenang dari daerah untuk mengelola dan menggunakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Penyajian dalam Laporan Realisasi Anggaran Sebagai contoh, kita dapat melihat penyajian Lain-lain PAD Yang Sah dalam Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Kota Yogyakarta tahun 2007 sebagai berikut:
109
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Hasil Pengelolaan Kekayaan Yang Dipisahkan Dan Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah
Sedangkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan, Lain-lain PAD Yang Sah tersebut disajikan sebagai berikut:
9.2.
Jenis dan Sumber LPADS
Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis PAD lainnya (pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah) yang dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup: a) b) c) d)
hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; jasa giro dan pendapatan bunga; penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah; penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah;
e) f) g) h) i) j) k) l) m)
penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan; pendapatan denda pajak dan pendapatan denda retribusi; pendapatan hasil eksekusi atas jaminan; pendapatan dari pengembalian; fasilitas sosial dan fasilitas umum; pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; dan pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan. Hasil pengelolaan dana bergulir.
Hasil Penjualan Kekayaan Daerah Yang Tidak Dipisahkan, antara lain: • • • 110
Pelepasan Hak Atas Tanah Penjualan Peralatan/Perlengkapan Kantor Tidak Terpakai Penjualan Mesin/Alat-Alat Berat Tidak Terpakai MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Hasil Pengelolaan Kekayaan Yang Dipisahkan Dan Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah
• • • • • • • • • • • • • • •
Penjualan Rumah Jabatan/Rumah Dinas Penjualan Kendaraan Dinas Roda Dua Penjualan Kendaraan Dinas Roda Empat Penjualan Drum Bekas Penjualan Hasil Penebangan Pohon Penjualan Lampu Hias Bekas Penjualan Bahan-Bahan Bekas Bangunan Penjualan Perlengkapan Lalu Lintas Penjualan Obat-Obatan dan Hasil Farmasi Penjualan Hasil Pertanian Penjualan Hasil Kehutanan Penjualan Hasil Perkebunan Penjualan Hasil Peternakan Penjualan Hasil Perikanan Penjualan Hasil Sitaan
Pendapatan Jasa Giro dan Pendapatan Bunga Berdasarkan PP Nomor 39 tahun 2007, maka BUD berwenang: • • • •
mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan APBD; menyimpan Uang Daerah; melaksanakan penempatan Uang Daerah; mengelola dan menatausahakan investasi;
Kepala Daerah juga diberi kewenangan untuk membuka Rekening Kas Umum Daerah pada Bank Sentral atau Bank umum, yang dimuat dalam sebuah perjanjian yang antara lain mengatur pemberian bunga/ jasa giro/bagi hasil atas saldo rekening yang terdapat dalam Rekening Kas Umum Daerah. Pendapatan dari hasil penempatan dana inilah yang selanjutnya dianggarkan dalam APBD dan dilaporkan dalam LRA sebagai pendapatan Jasa Giro dan Pendapatan Bunga. Jasa Giro adalah penerimaan yang bersumber dari bunga (imbalan) yang diberikan oleh bank atas dana Pemda yang tersimpan dalam rekening giro. Sedangkan pendapatan bunga adalah penerimaan yang bersumber dari bunga (imbalan) yang diberikan oleh bank atas dana Pemda yang tersimpan baik dalam rekening tabungan biasa, maupun deposito (baik jangka pendek maupun jangka panjang).
111
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Hasil Pengelolaan Kekayaan Yang Dipisahkan Dan Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah
Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah; Permendagri 13 tahun 2006 menyatakan bahwa setiap kerugian daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Kepala SKPD dapat melakukan tuntutan ganti rugi, setelah mengetahui bahwa dalam SKPD yang bersangkutan terjadi kerugian akibat perbuatan dari pihak manapun, baik atas uang maupun barang daerah.
Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah; Dalam proses penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah, tidak jarang Pemda memperoleh penerimaan dari proses tersebut. Komponen penerimaan ini adalah untuk menampung penerimaan daerah yang bersumber dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. Penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; Tidak jarang Pemda melakukan pembayaran, penerimaan, atau simpanan dalam bentuk mata uang asing. Pada saat transaksi, tidak jarang juga Pemda mendapatkan keuntungan atas selisih kurs. Komponen penerimaan ini adalah untuk menampung penerimaan daerah yang bersumber dari adanya selisih kurs tersebut. Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan; Dalam kontrak pengadaan barang dan jasa sebagaimana diatur dalam Perpres 54 tahun 2010, maka para pihak sepakat tentang adanya tenggat waktu pelaksanaan pekerjaan yang harus ditepati. Bilamana rekanan melanggar batas waktu yang telah ditentukan, maka akan dikenakan denda. Pendapatan denda pajak dan Pendapatan Denda Retribusi; Mengacu pada Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, maka diatur bahwa setiap Surat Tagihan Pajak Daerah dan Surat Tagihan Retribusi Daerah mencantumkan adanya sanksi administrative berupa bunga dan/atau denda. Setiap denda yang terjadi dan dibayarkan oleh Wajib Pajak dan Wajib Retribusi dilaporkan sebagai Pendapatan Denda Pajak dan Pendapatan Denda Retribusi. Antara lain: • • • • •
112
Pendapatan Denda Pajak Hotel Pendapatan Denda Pajak Restoran Pendapatan Denda Pajak Hiburan Pendapatan Denda Pajak Reklame Pendapatan Denda Pajak Penerangan Jalan MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Hasil Pengelolaan Kekayaan Yang Dipisahkan Dan Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah
• • • • • • • • • • •
Pendapatan Denda Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C Pendapatan Denda Pajak Parkir Pendapatan Denda Pajak Air Tanah Pendapatan Denda Pajak Sarang Burung Walet Pendapatan Denda Pajak Lingkungan Pendapatan Denda Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan Pendapatan Denda Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan Pendapatan Denda Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Pendapatan Denda Retribusi Jasa Umum Pendapatan Denda Retribusi Jasa Usaha Pendapatan Denda Retribusi Perizinan Tertentu
Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan; Dalam melakukan kegiatannya terkait dengan pihak lain, sering Pemda menerapkan adanya jaminan. Apabila pihak lain tersebut gagal melaksanakan kewajibannya, maka eksekusi atas jaminan tersebut dilaporkan sebagai pendapatan hasil eksekusi atas jaminan. Antara lain: • • •
Hasil Eksekusi Atas Jaminan atas Pelaksanaan Pekerjaan Hasil Eksekusi Atas Jaminan atas Pembongkaran Reklame Hasil Eksekusi Atas Jaminan atas KTP Musiman
Pendapatan dari pengembalian; Pemda sering melakukan pembayaran-pembayaran atas pengeluarannya, yang karena adanya kesalahan administratif, terjadi kelebihan pembayaran. Untuk itu, pihak penerima wajib mengembalikan kelebihan pembayaran tersebut, yang selanjutnya dilaporkan sebagai Pendapatan dari pengembalian. • • • • •
Pendapatan Dari Pengembalian Pajak Penghasilan Pasal 21 Pendapatan Dari Pengembalian Kelebihan Pembayaran Asuransi Kesehatan Pendapatan Dari Pengembalian Kelebihan Pembayaran Gaji dan Tunjangan Pendapatan Dari Pengembalian Kelebihan Pembayaran Perjalanan Dinas Pendapatan Dari Pengembalian Uang Muka
Fasilitas sosial dan fasilitas umum; Banyak fasilitas sosial dan fasilitas umum (fasos dan fasum) yang digunakan oleh pihak lain, dan menimbulkan adanya pendapatan Daerah, yang dilaporkan sebagai pendapatan fasilitas umum dan fasilitas sosial. Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; Pendapatan ini terjadi bukan hanya dalam penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah, tetapi juga apabila Pemda melaksanakan pendidikan dan pelatihan, dengan mengikutsertakan pihak lain dan
113
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Hasil Pengelolaan Kekayaan Yang Dipisahkan Dan Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah
biaya pelatihan dibebankan kepada peserta tersebut. Pembayaran dari peserta tersebut dilaporkan dalam Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan. Antara lain: • • •
Uang Pendaftaran/Ujian Masuk Uang Sekolah/Pendidikan dan Pelatihan Uang Ujian Kenaikan Tingkat/Kelas
Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan. Antara lain: • • •
Angsuran/Cicilan Penjualan Rumah Dinas Daerah Golongan III Angsuran/Cicilan Penjualan Kendaraan Perorangan Dinas Angsuran/Cicilan Ganti Kerugian Barang Milik Daerah
Hasil Pengelolaan Dana Bergulir Guna memfasilitasi pemberian kredit kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di daerah, saat ini banyak Pemda yang telah membentuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) untuk mengelola Dana Bergulir. Mengingat BLUD bukan merupakan kekayaan yang dipisahkan, maka seluruh pendapatan BLUD akan dilaporkan sebagai Pendapatan Pemda.
9.3.
Dasar Hukum LPADS
Dalam rangka melaksanakan pengelolaan Lain-lain Pendapatan asli Daerah Yang Sah, maka telah diterbitkan beberapa peraturan perundang-undangan terkait yaitu: a) b) c) d) e) f) g) h) i)
j)
114
Undang-undang Nomor 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah; Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah; Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah; Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara dan Daerah; Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan; Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2011; Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah;
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Hasil Pengelolaan Kekayaan Yang Dipisahkan Dan Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah
9.4.
Optimalisasi LPADS
Optimalisasi LPADS dapat dilakukan baik melalui usaha intensifikasi maupun ekstensifikasi. Intensifikasi dimaksudkan adalah bagaimana upaya untuk meningkatkan LPADS dengan cara meningkatkan usaha pemungutan dari obyek LPADS yang selama ini belum dilakukan secara optimal; sehingga realisasinya akan meningkat. Sedangkan usaha ekstensifikasi dilakukan melalui usaha-usaha untuk mengembangkan obyek LPADS yang terbaru yang sebelumnya tidak dilakukan; seperti misalnya pengenaan pajak atas sewa untuk kost pelajar/mahasiswa. Selain itu perlu dilakukan pemutakhiran data objek LPADS sehingga dapat diketahui potensi LPADS.
9.5.
Isu-Isu Terkini tentang LPADS
Isu-isu yang berkembang saat ini yang berkaitan dengan LPADS, dengan akan dilakukan swastanisasi dari BUMN/BUMD serta fasilitas pemerintah lainnya, maka akan membawa dampak pada kepemilikan asset tersebut, sehingga masing-masing daerah akan mengambil langkah-langkah dalam pengelolaan pengalihan asset yang bersangkutan. Isu lainnya adalah pemindahan pengelolaan PBB oleh daerah yang dimulai tahun 2014 akan membawa dampak terhadap pengelolaan LPADS.
9.6. 1) 2)
115
Soal Latihan Jelaskan apa saja yang dimaksud dengan LPADS Jelaskan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan LPADS.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TOPIK 10
SISTEM DAN PROSEDUR ADMINISTRASI PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Deskripsi: Topik ini menjelaskan konsep dan aspek teknis dasar sistem dan prosedur administrasi pajak daerah dan retribusi daerah,menyangkut pemahaman self assesment versus official assesment, pendataan, penetapan, serta penagihan dan penerapan sanski.
Sub Topik Pendataan
Penetapan
Penagihan dan Penerapan sanksi
Kata Kunci Sisdur
self assesment versus official assesment
Penagihan
Latihan
Referensi: 1.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999 tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Penerimaan Pendapatan Lain-lain.
2.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 55 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penatausahaan dan Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban Bendahara serta Penyampaiannya.
117
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
10. Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah
10.1. Ruang Lingkup Sistem dan Prosedur Pengelolaan Pajak Daerah Ruang lingkup keuangan daerah meliputi: 1)
Hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman. Kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintah daerah dan membayar tagihan pihak ketiga;
2)
Penerimaan daerah;
3)
Pengeluaran daerah;
4)
Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah;
5)
Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah daerah dan/atau kepentingan umum.
Memperhatikan ke empat aturan dasar tersebut dan mengingat aturan pedoman pelaksanaan tentang pajak dan retribusi daerah serta pentingnya pedoman pengadministrasian pendapatan maka dipandang perlu untuk menyusun Sistem dan Prosedur Pengelolaan Pajak Daerah yang merupakan bagian dari Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah, yang diperlukan untuk mendukung terciptanya tata kelola pemerintahan yang akuntabel terutama dibidang pendapatan.
10.2. Maksud dan Tujuan Penyusunan Sistem dan Prosedur Pengelolaan Pajak Daerah dimaksudkan untuk mendukung terselenggaranya tertib administrasi pengelolaan pendapatan daerah di lingkungan Pemerintah Daerah. Adapun tujuannya adalah sebagai pedoman dan petunjuk bagi seluruh SKPD untuk mengadministrasikan pemungutan, pembukuan dan pelaporan atas pajak daerah yang dikelolanya. Dengan demikian terdapat kesamaan pemahaman bagi seluruh SKPD dalam pengadministrasian pengelolaan pajak daerah. Urutan penyajian penyusunan Sistem dan Prosedur Pajak Daerah dalam modul ini yaitu:
118
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
1) Pendaftaran dan Pendataan 2) Penetapan 3) Penagihan Hal lain dalam kaitannya dengan sistim dan prosedur ini akan di bahas dalam bagian lain. Untuk memudahkan pemahaman, setiap sistem dan prosedur dari suatu kegiatan/sub kegiatan disajikan dalam sistematika sebagai berikut: 1) Pengertian Berisi penjelasan tentang prosedur yang diuraikan. 2)
Pihak-pihak yang terkait Berisi semua pihak-pihak yang terlibat dalam sistem dan prosedur dari suatu kegiatan. Uraian ini dimaksudkan untuk menghindari tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas
3) Prosedur Merupakan uraian langkah-langkah pelaksanaan pekerjaan dalam suatu kegiatan, serta hubungannya dengan kegiatan yang lain, untuk menghasilkan data atau informasi yang akan menjadi masukan bagi pelaksanaan kegiatan yang lainnya. 4)
Bagan alur Bagan alur menjelaskan alur dokumen maupun alur pekerjaan yang dilaksanakan dari awal sampai berakhirnya suatu kegiatan. Selain itu, juga menjelaskan jenis pekerjaan, jenis dokumen yang digunakan, serta alur pendistribusian dokumen dari satu pihak/bagian kepada pihak/bagian lain yang terkait dalam suatu proses pelaksanaan sistem dan prosedur
10.3. Sistem dan Prosedur Pengelolaan Pajak Daerah Pajak daerah yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh Orang Pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan daerah. Sistem dan prosedur administrasi pajak daerah mengatur tata cara urutan pelaksanaan pekerjaan administrasi perpajakan, dalam suatu proses yang berkesinambungan dalam suatu fungsi, untuk menghasilkan masukan bagi pelaksanaan kegiatan pada fungsi lain.
119
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
1.
Pendaftaran dan Pendataan Kegiatan Pendaftaran dilakukan untuk mendaftarkan Wajib Pajak (WP) baru dengan cara penetapan oleh Bupati sebagai Kepala Daerah (Official Assessment) atau Self Assessment (dibayar sendiri oleh WP). Sedangkan kegiatan Pendataan dilakukan untuk WP baru maupun untuk WP lama yang sudah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD) dengan menggunakan salah satu metode tersebut (Official Assessment atau Self Assessment).
Kegiatan Pendaftaran dan Pendataan terdiri dari beberapa sub kegiatan dengan penjelasan dibawah ini. 1) Kegiatan Pendaftaran Dengan Cara Penetapan Oleh Bupati (Official Assessment) atau Dibayar Sendiri (Self Assessment) a) Pengertian Sistem dan prosedur ini menjelaskan proses pendaftaran wajib pajak dengan cara Penetapan oleh Bupati (Official Assessment) atau Dibayar Sendiri (Self Assessment). b) Pihak-pihak Yang Terkait Pihak-pihak yang terkait dalam sistem dan prosedur pendaftaran WP baru adalah: a) Seksi Pendaftaran dan Pendataan, dan b) Wajib Pajak. c) Prosedur 1) Seksi Pendaftaran dan Pendataan menyiapkan Formulir Pendaftaran; 2) Menyerahkan Formulir Pendaftaran kepada WP setelah dicatat dalam Daftar Formulir Pendaftaran dan dibuatkan tanda terimanya; 3) Setelah Formulir Pendaftaran diterima WP dan tanda terima telah di tandatangani oleh WP atau yang diberi kuasa, Seksi Pendaftaran dan Pendataan mengarsipkan tanda terimanya; 4) WP atau yang diberi kuasa mengisi formulir pendaftaran dan melengkapi lampiran yang diperlukan dan menyerahkan kembali ke DIPENDA; 5) Berdasarkan formulir pendaftaran dari WP, Seksi Pendaftaran dan Pendataan memeriksa kebenaran dan kelengkapan pengisiannya: (a) Apabila pengisiannya benar dan lampirannya lengkap, dalam Daftar Formulir Pendaftaran diberi tanda dan tanggal penerimaan dan selanjutnya dicatat dalam Daftar Induk WP, Daftar WP per Golongan, serta dibuatkan Kartu NPWPD; (b) Apabila belum lengkap Formulir Pendaftaran dan lampirannya dikembalikan kepada WP untuk dilengkapi dan diserahkan kembali ke DIPENDA; (6) Setelah NPWPD dibuat rangkap dua, Asli diserahkan kepada wajib pajak dan tembusannya sebagai arsip.
120
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
d) Bagan Alur Lihat Bagan 10.1. Bagan 10.1. Sisdur Pendaftaran Dengan Cara Penetapan Oleh Bupati (Official Assessment)
SEKSI PENDAFTARAN DAN PENDAPATAN
WAJIB PAJAK
Mulai Form Pendaftaran
Persiapkan Form
dicatat
tanda terima
Form Pendaftaran tanda terima
Daftar Form Pendaftaran
dicatat tanggal diterimanya
tanda terima Setelah di tanda tangani
Form Pendaftaran
Benar & Lengkap
Form Pendaftaran
Tidak
Ya
Daftar Induk WP
Daftar WP Per Gol.
Kartu NPWPD Kartu NPWPD
Sumber: Permendagri Keputusan Menteri Dalam NegeriNomor Nomor 43 1999 Sumber: Permendagri Keputusan Menteri Dalam Negeri 43Tahun Tahun 1999
121
Isi dan Lengkapi
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Selesai
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
2) Kegiatan Pendataan Untuk Wajib Pajak Baru Dengan Cara Penetapan Oleh Bupati (Official Assessment) a) Pengertian
Sistem dan prosedur ini menjelaskan proses pendataan wajib pajak baru secara penetapan oleh Bupati atau secara Official Assessment.
b) Pihak-pihak Yang Terkait
Pihak-pihak yang terkait dalam sistem dan prosedur pendataan WP baru adalah: (1) Seksi Pendaftaran dan Pendataan, dan (2) Wajib Pajak.
c) Prosedur (1) Seksi Pendaftaran dan Pendataan menyiapkan Formulir Pendataan (Surat Pemberitahuan Pajak Daerah/SPTPD); (2) Menyampaikan Formulir Pendataan (SPTPD) kepada WP setelah dicatat dalam Daftar SPTPD dan dibuatkan tanda terimanya; (3) Setelah Formulir Pendataan (SPTPD) diterima WP dan tanda terima telah ditandatangani oleh WP atau yang diberi kuasa, Seksi Pendaftaran dan Pendataan mengarsipkan tanda terimanya; (4) WP atau yang diberi kuasa mengisi formulir pendataan (SPTPD) dan melengkapi lampiran yang diperlukan dan menyerahkan kembali ke DIPENDA; (5) Berdasarkan formulir pendataan dari WP, Seksi Pendaftaran dan Pendataan menerima dan memeriksa kebenaran dan kelengkapan pengisiannya: (a) Apabila pengisiannya telah benar dan lampirannya lengkap, dalam Daftar Formulir Pendataan diberi tanda dan tanggal penerimaan; (b) Apabila belum lengkap Formulir Pendataan (SPTPD) dan lampirannya dikembalikan kepada WP untuk dilengkapi dan diserahkan kembali ke DIPENDA; (6) Mencatat data pajak daerah dalam Kartu Data yang selanjutnya dilakukan proses penetapan. d) Bagan alur. Lihat Bagan 10.2.
122
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Bagan 10.2. Sisdur Pendataan Untuk Wajib Pajak Baru Dengan Cara Penetapan Oleh Bupati (Official Assessment)
SEKSI PENDAFTARAN DAN PENDAPATAN
WAJIB PAJAK
Mulai Form Pendaftaran
Persiapkan Form
dicatat
tanda terima
Form Pendaftaran tanda terima
Daftar Form Pendaftaran
dicatat tanggal diterimanya
tanda terima Setelah di tanda tangani
Form Pendaftaran
Benar & Lengkap
Form Pendaftaran
Tidak
Ya
Daftar Induk WP
Daftar WP Per Gol.
Kartu NPWPD Kartu NPWPD
Sumber: Permendagri Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999
Sumber: Permendagri Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999
123
Isi dan Lengkapi
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Selesai
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
3) Kegiatan Pendataan WP Yang Sudah Memiliki NPWPD Dengan Cara Penetapan Bupati (Official Assessment) a) Pengertian Sistem dan prosedur ini menjelaskan proses pendataan wajib pajak yang sudah memiliki NPWPD secara penetapan oleh Bupati atau secara Official Assessment. b) Pihak-pihak yang terkait Pihak-pihak yang terkait dalam sistem dan prosedur pendaftaran WP Lama adalah: (1) Seksi Pendaftaran dan Pendataan, dan (2) Wajib pajak. c) Prosedur (1) Berdasarkan Daftar WP, Seksi Pendaftaran dan Pendataan menyiapkan Formulir Pendataan (SPTPD); (2) Menyerahkan Formulir Pendataan (SPTPD) kepada WP, setelah dicatat dalam Daftar SPTPD dan dibuatkan tanda terimanya; (3) Setelah Formulir Pendaftaran diterima WP dan tanda terima telah ditandatangani oleh WP atau yang diberi kuasa, Seksi Pendaftaran dan Pendataan mengarsipkan tanda terimanya; (4) WP atau yang diberi kuasa mengisi formulir pendataan (SPTPD) dan melengkapi lampiran yang diperlukan dan menyerahkan kembali ke DIPENDA; (5) Berdasarkan SPTPD dari WP, Seksi Pendaftaran dan Pendataan menerima dan memeriksa kebenaran dan kelengkapan pengisiannya: (a) Apabila pengisiannya benar dan lampirannya lengkap, dalam Daftar Formulir Pendataan diberi tanda dan tanggal penerimaan; (b) Apabila belum lengkap, Formulir Pendataan (SPTPD) dikembalikan kepada WP untuk dilengkapi dan diserahkan kembali ke DIPENDA; (6) Mencatat data pajak daerah dalam Kartu Data untuk selanjutnya digunakan sebagai sumber data untuk proses Penetapan. d) Bagan alur.
124
Lihat Bagan 10.3.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Bagan 10.3.Sisdur Pendataan WP Yang Sudah Memiliki NPWPD Dengan Cara Penetapan Bupati (Official Assessment)
SEKSI PENDAFTARAN DAN PENDAPATAN
Mulai
WAJIB PAJAK
Daftar WP
Persiapkan Form
dicatat
Form Pendaftaran
Form Pendaftaran
tanda terima tanda terima Setelah di tanda tangani
tanda terima
Daftar SPTPD
dicatat tanggal diterimanya
Form Pendaftaran STPD
Benar & Lengkap
Form Pendaftaran STPD Tidak
Ya
Kartu Data
Selesai
Sumber: Permendagri Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999
Sumber: Permendagri Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999
125
Isi dan Lengkapi
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
4) Kegiatan pendataan WP yang sudah memiliki NPWPD dengan cara dibayar sendiri (Self Assessment) a) Pengertian Sistem dan prosedur ini menjelaskan proses pendataan wajib pajak yang sudah memiliki NPWPD dengan cara dibayar sendiri atau secara Self Assessment. b) Pihak -pihak Yang Terkait Pihak-pihak yang terkait dalam sistem dan prosedur pendaftaran WP Lama adalah: (1) Seksi Pendaftaran dan Pendataan, dan (2) Wajib Pajak. c) Prosedur (1) Seksi Pendaftaran dan Pendataan mempersiapkan Formulir pendataan (SPTPD); (2) Menyerahkan Formulir Pendataan (SPTPD) kepada WP, setelah dicatat dalam Daftar SPTPD dan dibuatkan tanda terimanya; (3) Setelah Formulir Pendataan diterima WP dan tanda terima telah ditandatangani oleh WP atau yang diberi kuasa, Seksi Pendaftaran dan Pendataan mengarsipkan tanda terimanya; (4) WP atau yang diberi kuasa mengisi formulir pendataan (SPTPD) dan melengkapi lampiran yang diperlukan termasuk Rekapitulasi Penerimaan Pembayaran dan Rekapitulasi Penerimaan per Jenis Layanan, dan menyerahkan kembali ke DIPENDA; (5) Berdasarkan SPTPD dari WP, Seksi Pendaftaran dan Pendataan memeriksa kebenaran dan kelengkapan pengisiannya: (a) Apabila pengisiannya benar dan lampirannya lengkap, dalam Daftar Formulir Pendataan diberi tanda dan tanggal penerimaan; (b) Apabila belum lengkap, Formulir Pendataan (SPTPD) dikembali kan kepada WP untuk melengkapi; (6) Mencatat data pajak daerah dalam Kartu Data dan ke dalam Daftar SPTPD WP Self Assessment. d) Bagan alur.
126
Lihat Bagan 10.4.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Bagan 10.4. Sisdur Pendataan WP Yang Sudah Memiliki NPWPD Dengan Cara Dibayar Sendiri (Self Assessment)
SEKSI PENDAFTARAN DAN PENDAPATAN
Mulai
WAJIB PAJAK
Daftar WP
Persiapkan Form
dicatat
Form Pendaftaran
Form Pendaftaran
tanda terima tanda terima Setelah di tanda tangani
tanda terima
Daftar SPTPD
dicatat tanggal diterimanya
Form Pendaftaran STPD
Benar & Lengkap
Tidak
Ya
Kartu Data
Selesai
Sumber: Permendagri Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999
Sumber: Permendagri Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999
127
Isi dan Lengkapi
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Form Pendaftaran STPD
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
2. Penetapan
Kegiatan penetapan jumlah pajak yang harus dibayar oleh WP dapat melalui cara penetapan oleh Bupati selaku Kepala Daerah (Official Assessment) atau Self Assessment. Kegiatan ini terdiri dari beberapa sub kegiatan dengan uraian dibawah ini. 1) Kegiatan Penetapan Dengan Cara Penetapan Bupati (Official Assessment) a) Pengertian Sistem dan prosedur ini menjelaskan proses penetapan jumlah pajak yang harus dibayar oleh WP dengan cara penetapan oleh Bupati selaku Kepala Daerah (Official Assessment). b) Pihak-pihak yang terkait Pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan sistem dan prosedur ini antara lain: (1) Seksi Penetapan; (2) Bidang Akuntansi dan Pelaporan; (3) Wajib Pajak; (4) Seksi Penagihan; dan (5) Bidang Perencanaan dan Pengendalian Pendapatan(P3). c) Prosedur (1) Berdasarkan Kartu Data dari Seksi Pendaftaran dan Pendataan, Seksi Penetapan membuat Nota Perhitungan Pajak Daerah; (2) Berdasarkan Nota Perhitungan Pajak Daerah, diterbitkan SKPD atau SKPDT jika terdapat tambahan obyek pajak yang sama sebagai akibat ditemukannya data baru dan mencatatnya ke dalam Daftar SKPD/SKPDT; (3) SKPD/SKPDT ditandatangani oleh Kepala Bidang Pendapatan I atas nama Kepala DIPENDA dan Daftar SKPD/SKPDT ditandatangani oleh Kepala Bidang Pendapatan I dan disiapkan tanda terimanya. SKPD/SKPDT dibuat rangkap 5 (lima), dengan distribusi sebagai berikut: (a) Asli untuk Wajib Pajak; (b) Tembusan masing-masing untuk Bidang Akuntansi dan Pelaporan, Seksi Penagihan dan Bidang Perencanaan dan Pengendalian Pendapatan; (c) Arsip. (4) Seksi Penetapan mendistribusikan tembusan SKPD/SKPDT kepada pihak-pihak terkait. Sedangkan Asli SKPD/SKPDT disampaikan kepada Wajib Pajak dan dibuatkan tanda terimanya; (5) Setelah Asli SKPD/SKPDT diterima wajib pajak dan tanda terima ditandatangani, Seksi Penetapan mengarsipkannya. Daftar penetapan ditembuskan kepada Bidang Akuntansi dan Pelaporan, dan Bidang Perencanaan dan Pengendalian Pendapatan; (6) Apabila SKPD/SKPDT yang diterbitkan tidak atau kurang dibayar setelah lewat waktu
128
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak SKPD/SKPDT diterima, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) tiap bulan dengan menerbitkan Surat Tagihan Bagan 10.5. PajakPenetapan Daerah (STPD). Kegiatan Dengan Cara Penetapan Bupati (Official Assessment)
d) Bagan alur.
Lihat Bagan 10.5.
Bagan 10.5. Kegiatan Penetapan Dengan Cara Penetapan Bupati (Official Assessment)
SEKSI PENETAPAN
BIDANG AKUTANSI & PELAPORAN
WAJIB PAJAK
SEKSI PENAGIHAN
Mulai Kartu Data
Perhitungan Pajak Terulang
Nota Perhit Pajak Daerah
Penerbitan SKPD / SKPDT
Tembusan SKPD juga DIsampaikan Kepada Bidang P3
SKPD/ SKPDT
SKPD/ SKPDT
tanda terima
SKPD/ SKPDT
Lunas Lebih dari 30 Hari
tanda terima
Tidak
Ya
Daftar SKPD
tanda terima Setelah di tanda tangani
SKPD/ SKPDT
Pembuatan STPD
Selesai
STPD
Selesai
Sumber: Permendagri Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999
Sumber: Permendagri Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999
129
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
2) Kegiatan Penetapan Dengan Cara Dibayar Sendiri atau Self Assessment a) Pengertian Sistem dan prosedur ini menjelaskan proses penetapan jumlah pajak yang harus dibayar oleh WP dengan cara dibayar sendiri (Self Assessment). b) Pihak-pihak Yang Terkait Pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan sistem dan prosedur ini antara lain: (1) Seksi Penetapan; (2) Bidang Akuntansi dan Pelaporan; (3) Wajib Pajak; (4) Seksi Penagihan; dan (5) Bidang Perencanaan dan Pengendalian Pendapatan (P3). c) Prosedur (1) Setelah WP membayar pajak terhutang berdasarkan SPTPD, dicatat dalam Kartu Data; (2) Berdasarkan Kartu Data dan Hasil Pemeriksaan atau keterangan lain, Seksi Penetapan membuat Nota Perhitungan Pajak dengan cara menghitung jumlah pajak terhutang dan jumlah kredit pajak yang diperhitungkan dalam Kartu Data; (3) Berdasarkan Nota Perhitungan Pajak Daerah tersebut dibuat surat ketetapannya yaitu: (a) Jika Pajak terhutang kurang atau tidak dibayar maka diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB); (b) Jika tidak terdapat selisih antara pajak terhutang dan kredit pajak, maka diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil (SKPDN); (c) Jika terdapat tambahan obyek pajak yang sama sebagai akibat ditemukannya data baru, maka diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT); (d) Jika terdapat kelebihan pembayaran pajak terutang, maka diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar (SKPDLB); (4) Setelah pembuatan surat ketetapan selesai, dicatat dalam Daftar Surat Ketetapan (SKPDKB, SKPDN, SKPDKBT, dan SKPDLB); (5) Surat Ketetapan ditanda tangani oleh Kepala Bidang Pendapatan I atas nama Kepala DIPENDA, dan Daftar Surat Ketetapan tersebut ditandatangani oleh Kepala Bidang Pendapatan I. Surat Ketetapan (SKPDKB, SKPDN, SKPDKBT) dibuat rangkap 5 (lima) dengan distribusi sebagai berikut: (a) Asli untuk wajib pajak; (b) Tembusan masing-masing untuk Bidang Akuntansi dan Pelaporan, Seksi Penagihan, dan Bidang Perencanaan dan Pengendalian Pendapatan (P3); (c) Arsip.
130
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(6) Seksi Penetapan mendistribusikan tembusan SKPDKB, SKPDN, dan SKPDKBT kepada pihak-pihak terkait. Sedangkan Asli SKPDKB, SKPDN, dan SKPDKBT disampaikan kepada Wajib Pajak dan dibuatkan tanda terimanya; (7) Setelah SKPDKB, SKPDN, dan SKPDKBT Asli diterima wajib pajak dan tanda terima telah ditandatangani, Seksi Penetapan mengarsipkannya; (8) Sanksi administrasi atas jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB, SKPDKBT berupa kenaikan pokok dan bunga (9) Apabila SKPDKB, SKPDKBT yang diterbitkan tidak atau kurang dibayar setelah lewat waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak SKPDKB, SKPDKBT diterbitkan, WP dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) setiap bulan dengan menerbitkan STPD. d) Bagan Alur. Lihat Bagan 10.6 Sisdur Kegiatan Penetapan Dengan Cara Dibayar Sendiri atau Self Assessment SEKSI PENETAPAN
Kartu Data hasil Pemeriksaan dan Ket lainnya WP bayar Pajak Terutang Berdasar SPTPD di catat pada Kartu Data
BIDANG AKUTANSI & PELAPORAN
Perhitungan Pajak Terutang
SKPDKB/ SKPDN/ SKPDKBT/ SKPDLB
SKPDKB/ SKPDN/ SKPDKBT/ SKPDLB
SKPDKB/ SKPDN/ SKPDKBT/ SKPDLB
tanda terima
Nota Perhit Pajak Daerah
Lunas Lebih dari 30 Hari Tidak
1. SK di TTD Oleh Ka. Unit Penetapan a.n Kepala DIPENDA
Ya
SKPDKB/ SKPDN/ SKPDKBT/ SKPDLB tanda
Pembuatan STPD
terima
Selesai Daftar SKPDKB/ SKPDN/ SKPDKBT/ SKPDLB
tanda terima Setelah di tanda tangani
Sumber: Permendagri Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999
131
SEKSI PENAGIHAN
Mulai
Penerbitan SKPDKB/ SKPDN/ SKPDKBT/ SKPDLB
2. SK Tembusan SK juga disampaikan Kepala Bidang P3
WAJIB PAJAK
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Sumber: Permendagri Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999
STPD
Selesai
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
3) Kegiatan Penetapan Secara Jabatan a) Pengertian Sistem dan prosedur ini menjelaskan kegiatan penetapan pajak terutang secara jabatan. Hal ini dilakukan karena wajib pajak tidak memenuhi kewajibannya untuk mengisi SPTPD. b) Pihak-pihak Yang Terkait Pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan sistem dan prosedur ini antara lain yaitu: (1) Seksi Penetapan; (2) Bidang Akuntansi dan Pelaporan; (3) Wajib Pajak; (4) Seksi Penagihan; dan (5) Bidang Perencanaan dan Pengendalian Pendapatan (P3). c) Prosedur (1) Berdasarkan kartu data dari hasil pemeriksaan dan atau keterangan lain karena SPTPD tidak disampaikan dan telah diberikan surat teguran untuk memasukkan SPTPD, Seksi Penetapan membuat Nota Perhitungan Pajak Daerah; (2) Atas dasar Nota Perhitungan Pajak Daerah, Seksi Penetapan menerbitkan SKPD/SKPDKB dan dicatat dalam Daftar Surat Ketetapan; (3) SKPD/SKPDKB ditandatangani oleh Kepala Bidang Pendapatan I atas nama Kepala DIPENDA. Daftar Surat Ketetapan ditandatangani oleh Kepala Bidang Pendapatan I. Surat Ketetapan (SKPD dan SKPDKB) dibuat rangkap 5 (lima) dengan distribusi sebagai berikut: (a) Asli untuk wajib pajak; (b) Tembusan masing-masing untuk Bidang Akuntansi dan Pelaporan, Seksi Penagihan dan Bidang Perencanaan dan Pengendalian Pendapatan (P3); (c) Arsip. (4) Seksi Penetapan mendistribusikan tembusan SKPD/SKPDKB kepada pihak-pihak terkait. Sedangkan Asli SKPD/SKPDKB disampaikan kepada Wajib Pajak dan dibuatkan tanda terimanya; (5) Setelah Asli SKPD/SKPDKB diterima wajib pajak dan tanda terima telah ditandatangani, Seksi Penetapan mengarsipkannya; (6) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB karena berdasarkan hasil pemeriksaan pajak terutang tidak atau kurang dibayar dan jika SPTPD tidak disampaikan kepada Bupati dalam 15 (lima belas) hari dan telah ditegur tertulis, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak;
132
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(7) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB karena kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi dan pajak yang terutang ditetapkan secara jabatan, dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan dari pokok pajak ditambah sanksi administrasi berupa bunga dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak; Sanksi administrasi atas jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB, berupa kenaikan pokok dan bunga diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang Nomor:10 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah; (8) Apabila SKPD/SKPDKB yang diterbitkan tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo Baganyaitu 10.7. paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya pajak, wajib pajak Sisdur Penetapan Jabatan dikenakan sanksi Secara administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak Daerah atau STPD. d) Bagan alur. Lihat Bagan 10.7. Sisdur Penetapan Secara Jabatan SEKSI PENETAPAN
BIDANG AKUTANSI & PELAPORAN
WAJIB PAJAK
SEKSI PENAGIHAN
SKPD/ SKPDKB
SKPD/ SKPDKB
Mulai
Kartu Data hasil Pemeriksaan dan Ket lainnya
Perhitungan Pajak Terutang
SKPD/ SKPDKB
tanda terima
Nota Perhit Pajak Daerah
Penerbitan SKPD/ SKPDKB
Lunas Lebih dari 30 Hari Tidak
Ya
1. SK di TTD Oleh Ka. Unit Penetapan a.n Kepala DIPENDA 2. SK Tembusan SKPD/ SK juga SKPDKB disampaikan Kepala Bidang P3 tanda terima
Daftar SKPD/ SKPDKB
tanda terima Setelah di tanda tangani
Sumber: Permendagri Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999
133
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Sumber: Permendagri Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999
Pembuatan STPD
STPD
Selesai
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
3. Penagihan
Penagihan pajak dilakukan apabila sampai batas waktu yang ditentukan WP belum melakukan kewajibannya. Proses penagihan dalam sisdur administrasi pajak meliputi beberapa kegiatan yaitu: penagihan dengan surat teguran, penagihan dengan surat paksa, penagihan dengan surat perintah melaksanakan penyitaan yang dilanjutkan dengan pengumuman dan pelaksanaan lelang atau pencabutan penyitaan dan pengumuman lelang bila WP beritikad baik dan melaksanakan kewajibannya yang tertunda. Kegiatan penagihan ini terdiri dari beberapa sub kegiatan yang diuraikan lebih lanjut dibawah ini. 1) Kegiatan Penagihan dengan Surat Teguran a) Pengertian Sistem dan prosedur ini menjelaskan langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka melakukan penagihan kepada wajib pajak atas ketetapan pajak daerah yang sudah jatuh tempo tetapi belum ada pembayaran. b) Pihak-pihak yang terkait Pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan sistem dan prosedur ini antara lain: (1) Wajib Pajak; (2) Bidang Pendapatan I - Seksi Penagihan; (3) Juru Sita; (4) Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN); (5) Seksi Akuntansi dan Pelaporan; (6) Bupati. c) Prosedur (1) Berdasarkan tunggakan per WP, Seksi Penagihan melakukan pengolahan data Wajib Pajak yang telah 7 (tujuh) hari setelah batas waktu jatuh tempo pembayaran tapi belum ada pembayaran dan membuat Surat Teguran. Surat Teguran dibuat rangkap 3 (tiga) dengan distribusi: (a) Asli untuk Wajib Pajak; (b) Satu tembusan untuk Seksi Akuntansi dan Pelaporan; (c) Arsip. (2) Berdasarkan Surat Teguran, Seksi Penagihan mencatat dalam Daftar Surat Teguran/Surat Paksa; (3) Selanjutnya Surat Teguran disampaikan ke Kepala DIPENDA untuk diotorisasi dan mencatatnya dalam Kartu Kendali; (4) Seksi Penagihan mendistribusikan Surat Teguran kepada WP dan pihak yang terkait.
134
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bagan 10.8.
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Sisdur Penagihan dengan Surat Teguran d) Bagan alur. Lihat Bagan 10.8.
Bagan 10.8. Sisdur Penagihan dengan Surat Teguran
SEKSI PENAGIHAN
KEPALA DIPENDA
WAJIB PAJAK
SEKSI AKUTANSI & PELAPORAN
Mulai Daftar Tunggakan per WP Olah Data & Pembuatan Surat Teguran Pembuatan Surat Teguran
SURAT TEGURAN
SURAT TEGURAN Otorisasi
Daftar Surat Teguran / Surat Paksa
SURAT TEGURAN
SURAT TEGURAN
Selesai
SURAT TEGURAN
Kartu Kendali
Sumber: Permendagri Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999
Sumber: Permendagri Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999
135
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
SURAT TEGURAN
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
2) Kegiatan Penagihan dengan Surat Paksa a) Pengertian Sistem dan prosedur ini menjelaskan langkah-langkah yang dilakukan untuk melakukan penagihan utang pajak dan biaya penagihan pajak kepada wajib pajak. b) Pihak-pihak yang terkait Pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan sistem dan prosedur ini antara lain: (1) Seksi Penagihan; (2) Kepala DIPENDA; (3) Wajib Pajak; (4) Seksi Akuntansi dan Pelaporan. c) Prosedur (1) Berdasarkan Daftar Surat Teguran/Surat Paksa, Seksi Penagihan melakukan pengolahan data untuk WP yang setelah lewat waktu 21 (dua puluh satu) hari setelah tanggal Surat Teguran belum menyetor Pajak terutangnya dan dilanjutkan dengan pembuatan Surat Paksa. Surat Paksa dibuat rangkap 3 (tiga) dengan distribusi: (a) Asli untuk Wajib Pajak; (b) Satu tembusan untuk Seksi Akuntansi dan Pelaporan; (c) Arsip. (2) Berdasarkan Surat Paksa, Seksi Penagihan mencatat dalam Daftar Surat Teguran/Surat Paksa; (3) Selanjutnya Surat Paksa disampaikan ke Kepala DIPENDA untuk diotorisasi dan mencatatnya dalam Kartu Kendali; (4) Seksi Penagihan mendistribusikan Surat Paksa kepada WP dan pihak yang terkait. Penyerahan Surat Paksa kepada WP yang bersangkutan melalui Juru Sita Pajak. d) Bagan alur.
136
Lihat Bagan 10.9.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Bagan 10.9. Sisdur Penagihan Dengan Surat Paksa
SEKSI PENAGIHAN
KEPALA DIPENDA
WAJIB PAJAK
SEKSI AKUTANSI & PELAPORAN
Mulai Daftar Tunggakan per WP Pemilahan Surat Teguran yang belum dilunasi dalam 21 Hari
Pembuatan Surat Paksa
SURAT PAKSA
SURAT PAKSA Otorisasi
Daftar Surat Teguran / Surat Paksa
SURAT PAKSA
SURAT PAKSA
Selesai
melalui juru sita paajak
SURAT PAKSA
Kartu Kendali
Sumber: Permendagri Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999
Sumber: Permendagri Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999
137
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
SURAT PAKSA
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
3) Kegiatan Penagihan dengan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan a) Pengertian Sistem dan prosedur ini menjelaskan mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan untuk melakukan penagihan dengan menerbitkan surat peintah melaksanakan penyitaan. Hal ini dilakukan apabila utang pajak tidak dilunasi Penanggung Pajak dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah diberikan Surat Paksa. b) Pihak-pihak yang terkait Pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan sistem dan prosedur ini antara lain: (1) Seksi Penagihan; (2) Kepala DIPENDA; (3) Juru Sita Pajak; (4) Wajib Pajak. c) Prosedur (1) Berdasarkan daftar surat teguran/surat paksa, Seksi Penagihan melakukan pengolahan data untuk WP yang belum melunasi hutang Pajaknya 2 X 24 Jam (dua hari) setelah tanggal Surat Paksa dan pembuatan surat perintah melaksanakan penyitaan. Penerbitan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dibuat rangkap 3 (tiga) dengan distribusi: (a) Asli untuk wajib pajak (b) Tembusan untuk juru sita pajak (c) Arsip (2) Berdasarkan daftar surat teguran/surat paksa, Seksi Penagihan melakukan pengolahan data untuk WP yang belum melunasi hutang Pajaknya 2 X 24 Jam (dua hari) setelah tanggal Surat Paksa dan pembuatan surat perintah melaksanakan penyitaan. Penerbitan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dibuat rangkap 3 (tiga) dengan distribusi: (3) Berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Seksi penagihan mencatat dalam Daftar Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; (4) Selanjutnya Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan disampaikan ke Kepala DIPENDA untuk diotorisasi dan setelah itu mencatatnya ke dalam Kartu Kendali. (5) Seksi penagihan mendistribusikan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan pihak yang terkait; (6) Atas dasar Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Juru Sita Pajak melaksanakan penyitaan dengan menyegel barang barang milik WP yang boleh disita menurut Perundang-undangan yang dirinci pada Berita Acara Pelaksanaan Sita; (7) Mendasarkan BA Pelaksanaan Sita, Juru Sita Pajak membuat Laporan Pelaksanaan Penyitaan dengan di ketahui oleh Kepala Dipenda
138
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
d) Bagan alur. Lihat Bagan 10.10. Bagan 10.10. Sisdur Penagihan dengan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan
SEKSI PENAGIHAN
KEPALA DIPENDA
JURU SITA PAJAK
WAJIB PAJAK
Mulai Daftar SUrat Teguran/ Surat Paksa Pemilahan Surat Teguran yang belum dilunasi dalam 2x 24 jam
SPM PENYITAAN
Pembuatan SPM Penyitaan SPM PENYITAAN
SPM PENYITAAN Otorisasi
Daftar SPM Penyitaan
Pelaksana Penyitaan
BA Pelaksanaan Sita
Pelaporan SPM PENYITAAN SPM PENYITAAN
Kartu Kendali
Lap.Pelaksana Penyitaan
Selesai
Sumber: Permendagri Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999
Sumber: Permendagri Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999
139
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
SPM PENYITAAN
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
4) Kegiatan Penagihan dengan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus a) Pengertian Sistem dan prosedur ini menjelaskan langkah-langkah dalam melakukan penagihan atas hutang pajak yang belum disetor oleh wajib pajak. Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, masa pajak, dan tahun pajak. Penagihan dengan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus dilakukan apabila: (1) Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selamalamanya atau berniat untuk itu; (2) Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia; (3) Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya; (4) Badan usaha akan dibubarkan oleh Negara; atau (5) Terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tandatanda kepailitan. b) Pihak-pihak yang terkait Pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan sistem dan prosedur ini antara lain: (1) Seksi Penagihan ; (2) Juru Sita Pajak; (3) Wajib Pajak; (4) Seksi Akuntansi dan Pelaporan. c) Prosedur (1) Berdasarkan buku pembantu penerimaan sejenis, Seksi Penagihan melakukan pengolahan data dan membuat Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus (SPPS & S) untuk WP yang belum menyetor. SPPS dan S dibuat rangkap 3 (tiga) dengan distribusi: (a) Asli untuk wajib pajak; (b) Tembusan untuk Juru Sita Pajak; (c) Arsip (2) Seksi Penagihan menyampaikan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus (SPPS & S) kepada Kepala DIPENDA untuk diotorisasi, selanjutnya dicatat kedalam Daftar Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus (SPPS & S);
140
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(3) Setelah dicatat, Seksi Penagihan mendistribusikan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus (SPPS & S) tersebut, yaitu: asli untuk Wajib Pajak dan tembusan untuk Juru Sita Pajak dan arsip; (4) Berdasarkan tembusan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus (SPPS & S), Juru Sita Pajak melaksanakan penagihan; (5) Selanjutnya membuat laporan pelaksanaan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus dengan diketahui oleh Kepala DIPENDA. Laporan dibuat rangkap 3 (tiga) dengan distribusi sebagai berikut: (a) Seksi Penagihan; (b) Seksi Akuntansi dan Pelaporan; (c) Arsip (6) Setelah ditandatangani Kepala DIPENDA, Juru Sita Pajak mendistribusikan kepada pihak yang terkait. d) Bagan alur. Lihat Bagan 10.11. Sisdur Penagihan dengan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus SEKSI PENAGIHAN
KEPALA DIPENDA
JURU SITA PAJAK
WAJIB PAJAK
SEKSI AKUTANSI & PELAPORAN
Mulai Buku Penerimaan dan Penyetoran
SPPS & S
SPPS & S Olah Data & Pembuatan Daftar SPPS & S
Otorisasi
SPPS & S
SPPS & S
SPPS & S
Pelaksanaan Penagihan Seketika & Sekaligus
SPPS & S
Laporan Pelaksanaan SPPS & S
Daftar SPPS & S Laporan Pelaksanaan SPPS & S
Laporan di buat oleh juru sita Pajak dan diketahui oleh Kepala DAPENDA
Laporan Pelaksanaan SPPS & S
Selesai
Sumber: Permendagri Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999
141
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
10.4. Soal Latihan Jelaskan kelemahan dari sisdur berikut ini, berikan solusi untuk memperbaiki sisdur bersangkutan. SEKSI PENAGIHAN
KEPALA DIPENDA
JURU SITA PAJAK
WAJIB PAJAK
Mulai Daftar SUrat Teguran/ Surat Paksa Pemilahan Surat Teguran yang belum dilunasi dalam 2x 24 jam
SPM PENYITAAN
Pembuatan SPM Penyitaan SPM PENYITAAN
SPM PENYITAAN Otorisasi
Daftar SPM Penyitaan
Pelaksana Penyitaan BA Pelaksanaan Sita BA Pelaksanaan Sita
SPM PENYITAAN SPM PENYITAAN
Pelaporan
Lap.Pelaksana Penyitaan
Kartu Kendali
Selesai
Sumber: Permendagri Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999
142
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
SPM PENYITAAN
TOPIK 11
LATIHAN PROSES PENYUSUNAN PERDA TENTANG PDRD
Latihan Proses Penyusunan Perda tentang PDRD
Deskripsi: Topik ini adalah latihan menjelaskan: 1. mekanisme dan tahapan penyusunan Peraturan Daerah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 2. muatan-muatan yang wajib dicantumkan dalam penyusunan Peraturan Daerah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 3. ketentuan pengawasan penyusunan Peraturan Daerah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Sub Topik Keterkaitan antara Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, dan Peraturan Kepala Daerah
Kata Kunci Perda PAD
Latihan
Referensi:
144
1.
UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
2.
Irawan S. (1993).
3.
Jazim H. (2005).
4.
Template Peraturan Daerah dan Kepala Daerah (DJPK)
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Latihan Proses Penyusunan Perda tentang PDRD
11. Latihan Proses Penyusunan Perda tentang PDRD 11.1.
Proses Penyusunan Peraturan Daerah PDRD
Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah kepada masyarakat harus berdasarkan Peraturan Daerah. Pemungutan Pajak Daerah yang bersifat memaksa, serta pemungutan retribusi atas pelayanan jasa yang disediakan Pemerintah Daerah tentu memerlukan keterlibatan DPRD sebagai wakil rakyat, yang akan menilai kelayakan tarif yang akan dikenakan kepada masyarakat. Pembentukan Peraturan Daerah mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Perencanaan Penyusunan Peraturan Daerah PDRD Penyusunan Peraturan daerah PDRD diawali dengan tahap perencanaan yaitu penyusunan Program Legislatif Daerah (Prolegda). Dalam Prolegda dicantumkan judul Peraturan Daerah PDRD yang akan diproses, materi yang diatur serta keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Materi yang diatur dalam prolegda merupakan hasil dari pengkajian dan penyelerasan yang dituangkan dalam naskah akademik, yang memuat tentang latar belakang dan tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan jangkauan dan arah pengaturan. Penyusunan Peraturan Daerah PDRD Rancangan Peraturan Daerah PDRD dapat disusun baik dari pihak Pemerintah Daerah maupun inisiatif dari DPRD. Rancangan Peraturan Daerah diajukan dengan menyertakan penjelasan atau keterangan, dan/atau Naskah Akademik. Apabila penyusunan Peraturan Daerah merupakan inisiatif dari DPRD, maka pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah, ketentuan minimal yang harus dimuat adalah mengenai: 1) nama, objek, dan subjek pajak; 2) dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak; 3) wilayah pemungutan; 4) masa pajak; 5) penetapan; 6) tata cara pembayaran dan penagihan; 7) kedaluwarsa;
145
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Latihan Proses Penyusunan Perda tentang PDRD
8) 9)
sanksi administratif; dan tanggal mulai berlakunya.
Peraturan Daerah tentang Pajak dapat juga mengatur ketentuan mengenai hal-hal sebagai berikut: 1) pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya; 2) 3)
tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan/atau asas timbal balik, berupa pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan kelaziman internasional.
Sedangkan pada Peraturan Daerah tentang Retribusi Daerah paling sedikit harus memuat ketentuan mengenai: 1) nama, objek, dan subjek retribusi; golongan retribusi; 2) cara mengukur tingkat penggunaan jasa yang bersangkutan; 3) prinsip yang dianut dalam penetapan struktur dan besarnya tarif Retribusi; 4) struktur dan besarnya tarif retribusi; 5) wilayah pemungutan; 6) penentuan pembayaran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran; 7) sanksi administratif; 8) penagihan; 9) penghapusan piutang Retribusi yang kedaluwarsa; dan 10) tanggal mulai berlakunya. Peraturan Daerah tentang Retribusi Daerah dapat juga mengatur ketentuan mengenai: 1. masa retribusi; 2. pemberian keringanan, pengurangan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok 3. retribusi dan/atau sanksinya; dan/atau 4. tata cara penghapusan piutang Retribusi yang kedaluwarsa. Selanjutnya Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah dilakukan oleh DPRD bersama Pemerintah Daerah melalui beberapa kali pembahasan yang dilakukan melalui rapat komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.
11.2. Pengawasan Penyusunan Peraturan Daerah tentang PDRD 1.
Perda Pemerintah Provinsi
Sebelum ditetapkan, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tentang PDRD yang telah disetujui bersama oleh Gubernur dan DPRD Provinsi, harus disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud. Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah untuk menguji kesesuaian Rancangan
146
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Latihan Proses Penyusunan Perda tentang PDRD
Peraturan Daerah dengan ketentuan UU Nomor 28 Tahun 2009 dan peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi. Menteri Dalam Negeri dalam melakukan evaluasi berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan dapat berupa persetujuan atau penolakan. Selanjutnya hasil evaluasi disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada gubernur dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya Rancangan Peraturan Daerah dimaksud. Dalam hal hasil evaluasi berupa persetujuan, Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat langsung ditetapkan. Apabila hasil evaluasi berupa penolakan, maka penyampaian hasil evaluasi harus disertai alasan penolakan. Kemudian Rancangan Peraturan Daerah yang ditolak dapat diperbaiki oleh gubernur, untuk kemudian disampaikan kembali kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan untuk dievaluasi kembali.. 2.
Perda Pemerintah Kabupaten/Kota
Proses penetapan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang disusun oleh Pemerintah Kabupaten/Kota juga melalui tahapan evaluasi. Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/ kota tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang telah disetujui bersama oleh bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota, sebelum ditetapkan disampaikan kepada gubernur dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud. Gubernur melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan UU Nomor 28 Tahun 2009, kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi. Gubernur dalam melakukan evaluasi berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Hasil evaluasi disampaikan oleh gubernur kepada bupati/walikota dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya Rancangan Peraturan Daerah dimaksud. Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan dapat berupa persetujuan atau penolakan. Dalam hal hasil evaluasi berupa persetujuan, Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat langsung ditetapkan. Namun apabila hasil evaluasi berupa penolakan maka disampaikan dengan disertai alasan penolakan. Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan, Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat diperbaiki oleh bupati/walikota bersama DPRD Kabupaten/Kota yang bersangkutan, untuk kemudian disampaikan kembali kepada gubernur dan Menteri Keuangan. 3.
Penetapan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui oleh Menteri Dalam Negeri atau Gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah. Salinan Peraturan Daerah yang telah ditetapkan harus disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan.
147
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
4.
Pembatalan Peraturan Daerah tentang PDRD
Dalam hal Peraturan Daerah bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, Menteri Keuangan merekomendasikan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Penyampaian rekomendasi pembatalan oleh Menteri Keuangan kepada Menteri Dalam Negeri dilakukan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya Peraturan Daerah. Berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden. Keputusan pembatalan Peraturan Daerah ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya Peraturan Daerah. Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan pembatalan, Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Peraturan Daerah dimaksud. Jika provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan Daerah dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung dapat berupa menolak atau mengabulkan (sebagian atau seluruhnya) keberatan Kepala Daerah. Dalam hal keberatan diterima, putusan Mahkamah Agung dapat menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan suatu Peraturan Daerah, maka Peraturan Daerah dimaksud dinyatakan berlaku. 5. Sanksi Apabila terjadi pelanggaran atas ketentuan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah, maka daerah dapat dikenakan sanksi berupa penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil atau restitusi. Ketentuan mengenai sanksi atas pelanggaran peraturan di bidang PDRD diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/MK.07/2010 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi terhadap Pelanggaran Ketentuan di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dengan pokok-pokok sebagai berikut: 1) Pengenaan sanksi berupa penundaan DAU atau Dana Bagi Hasil PPh bagi daerah yang melakukan pelanggaran Menetapkan Perda PDRD tanpa melalui proses evaluasi, menetapkan Perda PDRD tidak sejalan dengan hasil evaluasi, atau tidak menyampaikan Perda yang telah ditetapkan. Besaran penundaan DAU ditetapkan 10% alokasi DAU atau 10% DBH PPh bagi daerah yang tidak memperoleh DAU untuk setiap penyaluran. 2) Pengenaan sanksi berupa pemotongan DAU atau DBH PPh bagi Daerah yang tetap melaksanakan pemungutan atas dasar Perda yang telah dibatalkan. Besaran pemotongan DAU atau DBH PPh ditetapkan sejumlah perkiraan PDRD yang dipungut berdasarkan Perda yang telah dibatalkan. Apabila jumlah PDRD yang dipungut tidak dapat diperkirakan, maka pemotongan DAU ditetapkan sebesar 5% dari DAU atau DBH PPh (mana yang terbesar).
148
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
11.3. Soal Latihan Pemerintah Daerah Kabupaten AB dalam menyusun Raperda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang memuat seluruh jenis Pajak Daerah dan sebagian Retribusi Daerah yang diperkenankan peraturan perundang-undangan dimulai pada awal tahun anggaran 2011.
149
1.
Mempertimbangkan jangka waktu Perda lama yang diperkenankan berlaku hanya sampai dengan akhir tahun 2011, apa yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten AB dalam teknis penyusunan perda terkait dengan penggolongan pajak daerah dan Retribusi Daerah.
2.
Apabila ada beberapa perda jenis pajak daerah yang tidak dapat ditetapkan sampai dengan akhir tahun 2011, apakah Pemda AB dapat tetap melakukan pemungutan dengan menggunakan perda PDRD yang lama?
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TOPIK 12
STUDI KASUS OPTIMALISASI PAD
Studi Kasus Optimalisasi PAD
Deskripsi: Topik ini menjelaskan latihan mengenai: 1. kebijakan terkait Pendapatan Asli Daerah; 2 ruang lingkup Pendapatan Asli Daerah; 3 pengelolaan Pendapatan Asli Daerah.
Sub Topik Membaca Kasus
Kata Kunci PAD
Mendiskusikan kasus
Referensi: Referensi : UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
151
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Optimalisasi PAD
12. Studi Kasus Optimalisasi PAD 12.1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) sebagai salah satu representasi adanya kehidupan demokrasi, tampaknya harusbenar-benar diperhatikan ketersediaan dan kualitasnya. Karena APBD adalah alat ukur kualitas suatu pemerintahan. APBD Gunung Kidul TA. 2010 telah menggunakan format sesuai dengan Permendagri No. 13 Tahun 2006tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri No. 26 Tahun 2006 tentang PedomanPenyusunan Angggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2007.APBD ini ditetapkan tanggal 25 Januari 2010. Dalam membiayai program kegiatan pemerintahan daerah sebagai upaya untuk melaksanakan pembangunan dan memenuhi kebutuhan masyarakat sangat tergantung pada jumlah pendapatan daerah. Berkaitan dengan UU No. 28 Tahun 2009 yang efektif berlaku mulai 1 Januari 2010, Pemda Kabupaten Gunung Kidul pada tahun 2010 belum sepenuhnya melaksanakan pemungutan sesuai UU yang baru tersebut. Hal ini tercermin dari Peraturan Daerah (Perda) tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang masih menggunakan Perda PDRD yang lama (masih berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000). Namun demikian, secara legal hal ini masih dibenarkan oleh UU, bahwa Perda PDRD yang sudah tidak diatur lagi dalam UU No. 28 Tahun 2009 masih dapat diberlakukan sampai dengan 31 Desember 2010, sedangkan Perda PDRD lama yang masih diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009 dapat diberlakukan sampai dengan 31 Desember 2011. Kembali kepada Penerimaan Daerah, Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi Fiskal terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan Daerah. Berdasarkan definisi, Pendapatan Daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan, yang bersumber dari: 1) 2) 3)
152
Pendapatan Asli Daerah (PAD); Dana Perimbangan; dan Lain-lain Pendapatan.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Optimalisasi PAD
Sedangkan Pembiayaan Daerah adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahuntahun anggaran berikutnya, yang bersumber dari: 1) 2) 3) 4)
Sisa lebih perhitungan anggaran Daerah; Penerimaan Pinjaman Daerah; Dana Cadangan Daerah; dan Hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan.
Dipandang dari sudut tujuan, PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan Otonomi Daerah sesuai dengan potensi Daerah sebagai perwujudan Desentralisasi Fiskal dalam rangka Otonomi Daerah, Dana Perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dan antar-Pemerintah Daerah, Pinjaman Daerah bertujuan memperoleh sumber pembiayaan altematif dalam rangka penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah, sedangkan Lain-lain Pendapatan bertujuan memberi peluang kepada Daerah untuk memperoleh pendapatan selain pendapatan tersebut diatas. Perbandingan Pendapatan APBD Gunung Kidul Tabel 12.1. Perbandingan Pendapatan APBD Gunung Kidul, Tahun 2007 – 2010 (Rupiah)
Milyar Rupiah
800 700 600 500 400 300 200 100 0
709,501,511,672
729,518,588,364
650,655,344,555 573,552,434,040 Rp. 586,697,618,097
Rp. 635,317,518,463
Rp. 606,911,930,000
Rp. 529,089,447,170
Rp. 27,473,888,570 Rp. 16,989,098,300
2007
Lain-lain pendapatan yg sah
Rp. 38,718,181,000 Rp. 25,239,545,458
2008
Rp. 70,638,960,400 Rp. 31,950,621,272
2009
Dana perimbangan
Rp. 39,756,344,801 Rp. 54,444,725,100
2010
Pendapatan asli daerah
Total
PAD yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul dikumpulkan dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang dilakukan oleh 14 SKPD, terdiri dari penerimaan Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan Lain-lain PAD yang sah. Dengan porsi berkisar antara 4% sampai dengan 6% dari total Pendapatan di APBD, jumlah PAD ini masih tergolong kecil dan pendapatan dalam APBD masih didominasi dari Dana Perimbangan.
153
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Optimalisasi PAD
Apabila dilihat dari jumlah PAD, penyumbang terbesar adalah Retribusi Pelayanan Kesehatan di RSUD yang mencapai 35% dari PAD, ditambah Retribusi Pelayanan Kesehatan yang dikelola oleh Dinas Kesehatan sebesar 8%, sehingga retribusi dari bidang kesehatan sendiri menyumbang 43% dari total PAD. Penyumbang terbesar lainnya adalah Pajak Penerangan Jalan yang mencapai 14,6% dari PAD. Gambar 12.1. Penyumbang PAD Gunung Kidul Tahun 2010
15
13.981.449.000 Dinas Pengelola Pasar
12 9 6 3
5.800.000.000 5.412.500.000 5.242.318.675 3.156.535.000 1.455.650.400 1.000.887.400
0
Disparbud Dinas Kesehatan Penyairan Modal BUMD Lain-lain pendapatan PPJU RSUD
Diolah dari Dokumen APBD 2007 -2010
Bidang Kesehatan Kesehatan merupakan hak dasar dari warga negara yang harus dipenuhi oleh Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Data tahun 2007, di kabupaten ini jumlah keluarga hampir miskin, miskin dan miskin sekali sebanyak 95.722 keluarga dari 185.878 jumlah keluarga atau sekitar 51,49%. Dengan tingkat kemiskinan yang masih cukup tinggi, Pemerintah Daerah harus memperhatikan pemenuhan hak dasar warga negara, terutama bagi keluarga miskin, termasuk untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang murah dan berkualitas. Kebijakan Otonomi Daerah telah mendorong Pemerintah Daerah untuk berupaya meningkatkan PAD sebagai bagian dalam memenuhi kebutuhan belanja daerah. Diantara upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah adalah dengan mengubah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) yang sebelumnya bernaung dibawah Dinas Kesehatan, lembaga Pemerintah Daerah yang berfungsi pelayanan menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Dengan demikian RSUD didorong untuk bisa mencukupi kebutuhan operasionalnya yang berakibat pada peningkatan Retribusi Pelayanan Kesehatan. Kenaikan Retribusi Pelayanan Kesehatan RSUD Wonosari ini diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) nomor 6 Tahun 2007. Pertimbangan kenaikan Retribusi Pelayanan Kesehatan selain karena kenaikan biaya operasional dan bahan-bahan logistik dan peralatan, juga karena untuk warga miskin telah mendapatkan jaminan
154
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Optimalisasi PAD
kesehatan berupa jamkessos dan jamkesmas. Sehingga diharapkan kenaikan Retribusi Pelayanan Kesehatan tidak berdampak pada keluarga miskin. Namun kenyataanya, tidak semua warga miskin mempunyai kartu berobat gratis. Disisi lain, masyarakat yang berobat menggunakan fasilitas askeskin, mereka mengeluhkan bahwa pelayanan yang diberikan oleh pihak rumah sakit tidak sebaik dengan pasien yang membayar.
Gambar 12.2. Peningkatan PAD dari Retribusi Pelayanan Kesehatan RSUD
Milyar Rupiah
15 13.981.449.000
12 11.461.170.000
9 6
9.041.584.008 7.604.224.000
3 0
2007
Diolah dari Dokumen APBD Diolah dari: Gunungkidul dalam angka 2008
2008
2009
2010
2007 -2010
Realisasi Perda tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan di RSUD Wonosari dapat dilihat daritarget pendapatan yang selalu naik secara signifikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008 ada kenaikan 18,90% dibanding tahun 2007, dimana mencapai Rp.9.041.584.008,00, sedangkan untuk tahun 2009 menjadi Rp.11.461.170.000,00, yang berarti naik 26,76%. Kemudian pada tahun 2010 ditargetkan ada kenaikan anggaran sebesar 21,98% dari tahun sebelumnya atau mencapai Rp.13.981.449.000,00. Apabila dilihat kenaikan pendapatan retribusi RSUD dari tahun 2008 sampai tahun 2010, rata-rata mengalami kenaikan sekitar Rp.2,5 miliar setiap tahun.
155
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Optimalisasi PAD
Gambar 12.2. Peningkatan PAD dari Retribusi Pelayanan Kesehatan RSUD
Table 12.2.
Beberapa Sumber Pendapatan dari Retribusi RSUD SUMBER PENDAPATAN
TAHUN 2008
PAD
9.041.584.000
%
2009 1.461.170.000
2010 3.981.449.000
21,99%
4.500.000.000
7.122.000.000
58,27%
628.000
4.500.000
6.000.000
33,33%
2.920.000
2.160.000
3.200.000
48,15% 46,52%
Sumber Pendapatan yang Naik Klaim askes untuk PNS dan Gakin Jasa Sarana Poliklinik Karyawan/Umum Jasa Sarana Poliklinik Kulit dan Kelamin Jasa Rawat Jalan
79.970.000
163.800.000
240.000.000
Jasa Rawat Inap
130.450.000
504.000.000
674.400.000
33,81%
Jasa tindakan IBS
75.300.000
115.200.000
156.000.000
35,42%
Jasa tindakan rawat darurat
74.550.000
General check-up Pendapatan Lain-lain
133.800.000
160.200.000
19,73%
481.620.000
660.000.000
37,04%
48.300.000
148.624.000
207,71%
Pendapatan yang Menurun Jasa Sarana Poliklinik Bedah
4.150.000
Pemulasaraan Jenazah
3.600.000
3.000.000
-16,67%
481.620.000
1.620.000
-99,66%
980.000
3.600.000
2.700.000
-25,00%
Jasa Sarana Poliklinik Obsgyn dan BBL
5.640.000
6.600.000
5.550.000
-15,91%
Jasa Sarana Poliklinik Fisiotherapi
1.284.000
1.950.000
900.000
Jasa Sarana Poliklinik IRD
33.600.000
46.080.000
31.560.000
Jasa Sarana Laboratorium
1.036.000
1.500.000
750.000
2.000.000.000
2.490.000.000
2.310.000.000
192.000
900.000
250.000
-72,22%
11.500.000
13.800.000
11.550.000
-16,30%
Jasa Sarana Polikilnik Jiwa
Obat-Obatan Jasa Sarana Poliklinik Gizi Jasa Sarana Poliklinik Anak
-53,85% -31,51% -50,00% -7,23%
Sumber: APBD Gunung Kidul 2008-2010.
Adanya kenaikan 21,99% untuk Retribusi Pelayanan Kesehatan pada tahun 2010 dibanding tahun yang lalu lebih banyak diperoleh dari klaim jaminan askes. Selain ada retribusi yang naik, namun ada juga beberapa sektor yang mengalami penurunan hasil retribusi. Retribusi Pelayanan Kesehatan yang mengalami penurunan tertinggi ada pada Pemulasaraan Jenazah, Obat-Obatan dan Jasa Sarana Poliklinik Anak.
156
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Optimalisasi PAD
Selain itu penurunan target retribusi juga terjadi pada poliklinik fisiotherapi dan laboratorium walaupun jumlahnya tidak begitu banyak. Gambar 12.3. Jumlah dan Jenis Layanan Kesehatan (Pemerintah dan Swasta) di Gunung Kidul, Tahun 2007
108 5 29
152
9
29 1 108 43
Rumah Sakit Puskesmas Puskesmas Pembantu Klinik KB Program Posyandu Polindes Rumah Bersalin Praktek Dokter
1.457
Praktek Bidan Apotik
Diolah dari: Gunungkidul dalam angka 2008 Diolah dari: Gunungkidul dalam angka 2008
Selain pendapatan yang dihasilkan dari pelayanan kesehatan di RSUD, Pendapatan Asli Daerah dari sektor kesehatan adalah pendapatan yang diperoleh dari Retribusi PUSKESMAS, Retribusi Rumah Bersalin dan Rumah Sakit Swata Kelas D, yang dikelola oleh Dinas Kesehatan. Pada tahun 2010 ditargetnya mengalami kenaikan 97,35%, dari Rp1.599.884.000 pada tahun 2009 menjadi Rp3.156.635.000 pada tahun 2010. Kenaikan tertinggi terjadi pada biaya rawat jalan yang mengalami kenaikan 183,6%, kemudian disusul retribusi rawat inap yang ditargetkan mengalami kenaikan 113,9%. Pada tahun 2010 ini tidak ada retribusi pelayanan kesehatan yang dikelola oleh Dinas Kesehatan yang ditargetkan mengalami penurunan.
Tabel 12.3.
Retribusi Pelayanan Kesehatan yang dikelola oleh DINAS KESEHATAN SUMBER PENDAPATAN
TAHUN 2008
PAD
2009
580.563.000
1.599.884.000
3.156.635.000
97,30%
Rawat inap
106.400.000
330.000.000
706.125.000
113,98%
Rawat jalan
324.400.000
348.000.000
986.960.000
183,61%
730.800.000
1.100.000.000
50,52%
Penunjang Medik
73.080.000
150.000.000
105,25%
UGD
20.880.000
97.500.000
366,95%
Ambulan
10.900.000
4.100.000
29,36%
3.160.000
9.500.000
200,63%
Tindakan medik
Rujukan Medik
Sumber: APBD Gunung Kidul 2008-2010
157
% 2010
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Optimalisasi PAD
Seperti yang terjadi pada Retribusi Pelayanan Kesehatan di RSUD, kenaikan pendapatan dari pelayanan kesehatan dari layanan rawat inap dan rawat jalan juga cukup tinggi. Khusus untuk penyakit Demam Berdarah, justru terjadi peningkatan jumlah penderita, dimana pada tahun 2005 hanya 107 penderita, sedangkan pada tahun 2007 ada 327 penderita. Walaupun tidak ada data berapa persen jumlah penderita yang berasal dari keluarga miskin, namun dengan adanya kenaikan Retribusi Pelayanan Kesehatan baik di Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan di RSUD, berarti menambah beban bagi masyarakat miskin. Gambar 12.3. Jumlah dan Jenis Layanan Kesehatan (Pemerintah dan Swasta) di Gunung Kidul, Tahun 2007 Diare
3,26% 3,27% 3,53 %
14.651
Influenza
12,22 %
14.680
54.889
15.836
Gangguan Sendi Rheumatoid Artihitis
3,65%
9,35 %
16.382
41.994
Asma Hipertensi Gangguan jaringan Otot Desmatitis
4,58
5,74%
20.594 5,07%
22.777
5,37% 5,28%
25.738
24.112
23.730
Catritis Nasopharingitis ISPA
Diolah dari:dalam Gunungkidul dalam angka 2008 Diolah dari: Gunungkidul angka 2008
Bidang Infrastrutur dan Komunikasi Pendapatan Asli Daerah di Dinas Pekerjaan Umum mengandalkan Retribusi Persampahan dan Retribusi IMB, serta pemakaiaan alat berat. Untuk tahun 2010, Retribusi Persampahan di pasar dan tempat wisata tidak lagi dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum seperti tahun sebelumnya, sehingga tidak ditargetkan adanya kenaikan dari tahun sebelumnya, dan yang terjadi adalah pendapatan yang dikelola oleh Dinas PU mengalami penurunan. Sekalipun hanya mengalami kenaikan 2,5% dari tahun sebelumnya, Retribusi IMB masih menempati urutan tertinggi, yaitu Rp123.000.000,00 atau menyumbang 48% dari pendapatan yang dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum. Mengingat setiap tahun selalu ada perkembangan pemukiman, pertokoan dan infrastruktur, maka sudah selayaknya ada kenaikan retribusi IMB dan persampahan sekalipun jumlahnya tidak besar.
158
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Optimalisasi PAD
Tabel 12.4.
PAD yang Dikelola Oleh Dinas Pekerjaan Umum SUMBER PENDAPATAN
TAHUN
PAD
%
2008
2009
2010
292.180.000
314.180.000
255.740.000
-18,60%
Sumber Pendapatan yang Naik dan yang Turun Retribusi persampahan Toko warung makan
17.800.000
17.800.000
22.210.000
24,78%
Pemukiman/rumah tangga
13.200.000
13.200.000
13.250.000
0,38%
100.000.000
120.000.000
123.000.000
2,50%
65.000.000
65.000.000
73.560.000
13,17%
66.000.000
66.000.000
0,00%
Retrubisi IMB Pemakaian kekayaan daerah Retribusi Sampah Pedagang pasar
Pajak yang dikelola oleh BPKKD Pajak Penerangan Jalan Pajak Reklame
4.000.000.000
4.800.000.000
5.800.000.000
20,83%
200.000.000
300.000.000
380.000.000
26,67%
Sumber: APBD Gunung Kidul 2008-2010
Terkait dengan sarana layanan publik, Pajak Penerangan Jalan (PPJ) ditargetkan adanya peningkatan sampai 20,83% dari tahun sebelumnya, namun pengelolaan PPJ ini bukan oleh Dinas PU, melainkan oleh Badan Pengelolaan Kekayaan dan Keuangan Daerah (BPKKD) yang menangani seluruh jenis Pajak Daerah. Dengan demikian diprediksikan pada tahun 2010 akan terjadi peningkatan konsumsi listrik minimal 20% di daerah Gunung Kidul, baik dilakukan dengan pamasangan baru maupun penambahan daya. Tabel 12.5.
Beberapa sumber pendapatan yang dikelola oleh Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi SUMBER PENDAPATAN PAD
TAHUN
%
2008
2009
2010
633.264.000
722.482.000
738.972.500
2,28%
Sumber Pendapatan yang Naik Retribusi Parkir di Pelataran
92.240.000
182.098.000
193.960.000
6,51%
Retribusi dengan kontrak kerjasama
79.920.000
85.948.000
99.168.000
15,38%
Biaya pemeriksaan/uji
69.646.000
31.512.000
33.900.000
7,58%
12.150.000
3.600.000
5.450.000
51,39%
Ijin trayek tetap
Sumber: APBD Gunung Kidul 2008-2010
159
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Optimalisasi PAD
Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi hanya mentargetkan adanya kenaikan pendapatan 2,28% pada tahun 2010, yaitu sebesar Rp722.482.000,00 pada tahun 2009 meningkat menjadi Rp738.972.500,00. Salah satu sumber pandapatannya dari Retribusi Tempat Khusus Parkir yang diatur dengan Perda Nomor 3 Tahun 2000, dimana disebutkan bahwa tarif parkir untuk sepeda motor Rp 200,- mobil Rp 500,- dan bus, truck Rp 1.000,-/sekali parkir. Target kenaikan pendapatan dari retribusi 97,41% pada tahun 2009 tentunya sudah dengan pertimbangan pertumbuhan kendaraan dan pertumbuhan sarana umum. Beberapa sumber pendapatan ditargetkan sama dengan tahun yang lalu, namun ada juga sumber pendapatan yang justru ditargetkan menurun secara signifikan atau bahkan tidak ada lagi. Retribusi di Taman Parkir Wonosari justru turun lebih dari 50% dari tahun yang lalu. Sedangkan beberapa pendapatan yang tidak ada pada tahun 2010 adalah Pengelolaan parkir dengan kerjasama pihak ke III dan tunggakan retribusi parkir tahun 2003/2004. Pada tahun 2011, akan ada penerimaan baru yang signifikan menyumbang PAD Kabupaten Gunung Kidul, dengan diundangkannya beberapa Perda pungutan yang sesuai dengan UU No. 28 Tahun 2009, di antaranya adalah: 1)
Perda Kabupaten Gunung Kidul Nomor 2 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor; dan
2)
Perda Kabupaten Gunung Kidul Nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum.
Bidang Sosial Kemasyarakatan Kewajiban Pemerintah selain memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dibidang kesehatan, pendidikan, fasilitas publik, juga pemenuhan kebutuhan yang terkait dengan administrasi. Bukti pengakuan Pemerintah terhadap Warga Negara yang diwujudkan dalam bentuk Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK) dan Akta Catatan Sipil adalah pelayanan yang harus diberikan oleh Pemerintah Daerah terhadap masyarakat sebagai Warga Negara. Pelayanan yang diberikan ini menjadi salah satu sumber pendapatan asli daerah sekalipun jumlahnya tidak terlalu besar. Namun paling tidak retribusi yang diambil dari pelayanan KTP, KK dan Akta Catatan Sipil tersebut bisa menutup biaya operasionalnya. Untuk mendapatkan Akta Kelahiran, beberapa daerah mempunyai kebijakan tersendiri, berbeda dengan KTP dan KK. Akta Kelahiran bisa diperoleh secara gratis. Adapun penerimaan yang ada dari pelayanan Akta Kelahiran adalah dari pencetakan atau penerbitan Kutipan Kedua dan seterusnya, dan/atau pelayanan pembuatan Salinan Akta, dan/atau pencetakan ulang akta karena hilang atau rusak. Pada tahun 2010, pemerintah Kabupaten Gunung Kidul tidak mentargetkan adanya kenaikan retribusi untuk surat-surat yang terkait dengan urusan kependudukan, seperti retribusi dari KTP, KK, Akta Catatan Sipil
160
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Optimalisasi PAD
dan kebutuhan surat menyurat lainnya. Dengan demikian pemerintah Gunung Kidul mengansumsikan bahwa kebutuhan surat menyurat bagi masyarakat diprediksikan sama dengan tahun sebelumnya. Tabel 12.6.
Beberapa sumber pendapatan yang Dikelola Oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil SUMBER PENDAPATAN
TAHUN
%
2008
2009
2010
PAD
247.260.000
425.000.000
425.000.000
0,00%
KTP
112.500.000
264.000.000
264.000.000
0,00%
KK Akta Catatan Sipil Legalsasi
25.000.000
51.000.000
51.000.000
0,00%
102.000.000
102.000.000
102.000.000
0,00%
1.000.000
1.240.000
1.240.000
0,00%
Sumber: APBD Gunung Kidul 2008-2010
Bidang Ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu pencerminan kemajuan perekonomian suatu daerah, yang didefinisikan sebagai keseluruhan nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan dalam waktu satu tahun di wilayah tersebut. PDRB Kabupaten Gunung Kidul atas dasar harga berlaku tahun 2007 sebesar Rp 4.872.123.000.000,- dengan kontribusi terbesar diberikan oleh sektor pertanian sebesar 34,03%, kemudian disusul oleh sektor jasa dengan sumbangan sebesar 18,25%. Apabila dilihat dari tahun 2006, PDRB Kabupaten Gunung Kidul terjadi kenaikan 10,4%, di mana kenaikan ini terjadi di setiap sektor dengan prosentase yang tidak sama. Tabel 12.7.
PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (Tahun 2006 – 2007) (Rp juta) LAPANGAN USAHA
2006
2007
%
Pertanian
1,568,130
1,657,982
5.73%
Jasa-jasa
766,398
889,062
16.01%
Perdagangan, Hotel dan Restoran
615,467
806,670
31.07%
Industri Pengolahan
482,494
490,155
1.59%
Bangunan
365,068
430,013
17.79%
Angkutan dan Komunikasi
291,060
329,625
13.25%
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
200,748
233,880
16.50%
Pertambangan dan Galian
92,421
98,466
6.54%
Listrik, Gas dan Air Bersih
31,058
36,271
16.78%
Sumber: APBD Gunung Kidul 2008-2010
161
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Optimalisasi PAD
Pertanian Di bidang tanaman pangan dan holtikultura kiranya tidak bisa diandalkan menjadi sumber PAD yang bisa dikembangkan. Justru pada tahun 2010 ini ada penurunan pendapatan sebesar 14,39% dari tahun sebelumnya. Bahkan untuk kebun Jeruksari dan Tawarsari, mulai tahun 2008 sudah tidak memberikan kontribusi terhadap PAD. Apabila memang kebun-kebun yang selama ini dikelola oleh Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura dijadikan sumber pandapatan, seharusnya dikelola secara optimal. Tabel 12.8.
PAD yang Dikelola Oleh Dinas Tanaman Pangan Dan Holtokultura SUMBER PENDAPATAN
TAHUN 2008
PAD Kebun Karangmojo Kebun Siraman
2009
% 2010
12,500,000
13,000,000
11,128,425
-14.40%
10,000,000
10,400,000
9,128,425
-12.23%
2,500,000
2,600,000
2,000,000
-23.08%
Peternakan Walaupun terkenal dengan daerah rawan kekeringan, namun Kabupaten Gunung Kidul cukup berpotensial dalam bidang peternakan, bahkan tahun ini mulai dikembangan usaha perikanan darat. Jumlah ternak besar maupun ternak kecil mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Untuk ternak Sapi jumlah pada tahun 2003 sebanyak 106.804 ekor, kemudian terus bertambah dan pada tahun 2007 mencapai 114.139 ekor. Begitu juga dengan jumlah ternak kambing yang pada tahun 2003 berjumlah118.504 ekor, pada tahun 2007 bertambah menjadi 145.232 ekor. Tabel 12.9.
PAD yang dikelola oleh Dinas Peternakan SUMBER PENDAPATAN PAD
TAHUN 2007 4,202,100,000
2008 453,409,000
% 2009 330,750,000
160,910,000
-51.35%
Ternak Sapi/Kerbau
16,800,000
20,160,000
22,560,000
23,910,000
5.98%
Ret. Penjualan Straw
146,250,000
165,750,000
165,750,000
-
-100.00%
4,024,145,000
252,000,000
126,000,000
112,000,000
-11.11%
4,000,000
4,000,000
12,500,000
212.50%
Ret. Penjualan Penggemukan Sapi Potong Penjualan Ternak Tidak Layak
Sumber: APBD Gunung Kidul 2007-2010
162
2010
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Optimalisasi PAD
Sumber PAD yang dikelola oleh Dinas Peternakan berasal dari 3 bidang, yaitu Retribusi Pemeriksaan Hewan, Retribusi Rumah Potong Hewan dan Retribusi Penjualan Produksi. Secara keseluruhan PAD yang dikelola oleh Dinas Peternakan mengalami penurunan sampai 51,34% dari tahun sebelumnya. Hal ini karena pada tahun 2010 tidak ada lagi pendapatan untuk penjualan Straw yang pada tahun lalu menyumbang Rp 165.750.000. Kenaikan pendapatan yang terjadi pada Retribusi Penjualan Ternak Tidak Layak dari Rp 4.000.000 pada tahun lalu menjadi Rp 12.500.000 pada tahun ini atau naik sampai 212,5%. Kehutanan dan Perkebunan. Luas hutan Kabupaten Gunung Kidul 29.340,5 ha atau (19,75 %) dari luas wilayah, yang terdiri dari Hutan Negara seluas 13.221,5 ha dan Hutan Rakyat seluas 16.119 ha. Berdasarkan fungsinya Hutan Negara terdiri : • Hutan suaka marga satwa seluas : 619,66 hektar. • Taman Hutan Raya seluas : 617 hektar. • Hutan produksi seluas : 11.359,84 hektar. • Hutan pendidikan (Wanagama) seluas : 625 hektar. Disamping itu, Kabupaten Gunung Kidul juga memiliki tanah AB seluas 1.700 ha yang direkomendasikan oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta untuk difungsikan sebagai hutan. Pengelolaan hutan negara yang diarahkan lebih pada fungsi konservasi sehingga memiliki peran sangat strategis untuk mendukung ekonomi wilayah (bioregion), ekowisata, pusat pendidikan (Wanagama), dan ekonomi masyarakat. Keberadaan jenis tegakan hutan di Kabupaten Gunung Kidul sangat bervariasi yaitu jenis tegakan jati, akasia, mahoni, sonokeling, kayu putih, dan lain-lain. Melihat luas wilayah hutan di Kabupaten Gunung Kidul, kiranya mempunyai potensi untuk dioptimalkan sebagai penyumbang PAD, baik dari sektor pariwisata, penjualan bibit tanaman hutan serta penjualan hasil hutan. Apabila dilihat dari APBD tahun 2009, peningkatan PAD di sektor kehutanan hanya dari hasil penjualan bibit tanaman hutan yang jumlahnya masih sangat kecil. Sedangkan fungsi sebagai hutan produksi (kayu putih) tidak terlihat dalam pendapatan Dinas Kehuatanan dan Perkebunan. Padahal pohon kayu putih selalu dipanen setiap tahun dengan biaya produksi yang cukup rendah. Hal ini karena pengelolaan hutan kayu putih melibatkan partisipasi masyarakat dengan memanfaatkan lahan di bawah tegakan. Tabel 12.10.
PAD yang Dikelola oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan SUMBER PENDAPATAN PAD Ret. Pengukuran dan Pengujian Hasil Hutan Penjualan Hasil Hutan (bibit)
TAHUN 2008
2009
510,000,000
514,000,000
539,000,000
4.86%
500,000,000
500,000,000
525,000,000
5.00%
10,000,000
14,000,000
14,000,000
0.00%
Sumber: APBD Gunung Kidul 2008-2010
163
%
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
2010
Studi Kasus Optimalisasi PAD
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Gunung Kidul bagian selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, di wilayah ini terdapat garis pantai sepanjang 67 km terbentang dari Kecamatan Purwosari sampai dengan Kecamatan Girisubo. Di sepanjang garis pantai terdapat tempat-tempat yang dapat didarati oleh kapal/perahu perikanan. Gambar 12.3. Jumlah dan Jenis Layanan Kesehatan (Pemerintah dan Swasta) di Gunung Kidul, Tahun 2007 2000000
1.691.942
1500000
1000000
656.097
715.700 436.111
617.100
500000
0
Tahun 2002
Tahun 2003
Tahun 2004
Tahun 2005
591.400
Tahun 2006
Tahun 2007
Diolah dari: Gunungkidul dalam angka 2008
Melihat data produksi ikan laut dari tahun 2002 sampai tahun 2007, pada tahun 2007 terjadi peningkatan 186% dibanding tahun sebelumnya. Untuk Retribusi Tempat Pelelangan Ikan telah diatur dengan Perda nomor 3 tahun 2002, yang menetapkan besarnya retribusi lelang ikan sebesar 8% dari harga transaksi yang dibebankan pada pihak penjual dan pihak pembeli. Pada tahun 2010, Dinas Kelautan dan Perikanan hanya mentargetkan adanya kenaikan retribusi kurang dari 1%. Apabila dilihat produksi ikan laut untuk konsumsi pada tahun 2007 meningkat sampai 186%, sedangkan PAD dari retribusi tempat pelelangan ikan hanya Rp 150.000.000,- berarti produksi ikan laut pada tahun 2008 mengalami peningkatan lebih besar lagi. Hal ini karena ada kenaikan PAD dari Retribusi Tempat Pelelangan Ikan dari Rp 150.000.000,- pada tahun 2007 meningkat menjadi Rp 510.000.000,pada tahun 2008 dan tahun 2009 yang kemudian pada tahun 2010 meningkat menjadi Rp 515.000.000. Karena dengan berlandaskan Perda nomor 3 tahun 2002, berarti sampai tahun ini tidak ada kenaikan tarif retribusi, namun kenaikan PAD terjadi karena produksi ikan yang meningkat dan/atau harga jual ikan mengalami kenaikan.
164
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Optimalisasi PAD
Table 12.11.
PAD yang Dikelola oIeh Dinas Kelautan dan Perikanan SUMBER PENDAPATAN PAD Retribusi Tempat Pelelangan Ikan Penjualan Hasil Perikanan
TAHUN 2007
2008
% 2009
2010
50,000,000
510,000,000
510,000,000
515,000,000
0.98%
135,000,000
500,000,000
500,000,000
500,000,000
0.00%
15,000,000
10,000,000
10,000,000
15,000,000
50.00%
Sumber: APBD Gunung Kidul 2007-2010
Bidang Perindustrian dan Pertambangan Potensi bahan galian industri di wilayah Kabupaten Gunung Kidul antara lain batu kapur, zeolit, kaolin, breksi batu apung, pasir tufan, dan batuan andesit. Ekploitasi bahan galian telah diatur dalam Perda Nomor 7 Tahun 2003 tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian. Sub sektor Pertambangan dan Galian selalu mengikuti perkembangan PDRB. Apabila pada tahun 2003 Sub sektor Pertambangan dan Galian mencapai 17.835 juta rupiah, maka pada tahun 2009 meningkat menjadi 98.455 juta rupiah atau menempati urutan kedelapan. Khusus untuk pajak galian golongan C yang sekarang nomenklatur-nya menjadi Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan diatur dalam Perda nomor 5 tahun 1998 tentang Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C, dengan tarif pajak eksploitasi ditetapkan sebesar 20% dari nilai jual. Pajak usaha pertambangan bahan galian tidak dikelola langsung oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pertambangan, namun dikelola oleh Dinas Pendapatan, Pengelola Keuangan dan Aset Daerah. Terkait dengan Retribusi Izin Gangguan telah diatur dengan Perda nomor 12 Tahun 2000 tentang Retribusi Izin Gangguan. Kenaikan 15,38% dari Retribusi Izin Gangguan bagi perusahaan memperlihatkan adanya perkembangan jumlah perusahaan maupun perubahan status dari perusahaan kecil menjadi perusahaan besar. Pertumbuhan perusahaan tentunya akan mendukung perekonomian masyarakat, apalagi jika pemilik perusahaan tersebut adalah masyarakat lokal. Dengan demikian masyarakat lokal akan menjadi pemain langsung, bukan hanya sebagai penonton.
165
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Optimalisasi PAD
Tabel 12.12.
PAD di Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pertambangan SUMBER PENDAPATAN
TAHUN
PAD Retribusi Ijin Gangguan Kemanan Ret. SIU Perdagangan Ret. Wajib daftar perusahaan
%
2008
2009
111,000,000
153,300,000
173,850,000
13.41%
90,000,000
130,000,000
150,000,000
15.38%
8,000,000
10,000,000
10,000,000
0.00%
10,000,000
10,000,000
10,000,000
0.00%
-
-
550,000
100.00%
310,000,000
310,000,000
0.00%
Iuran tetap pertambangan
2010
Dikelola Oleh BPKKD Pajak Pengambilan Bahan Galian Gol C/ Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
280,000,000
Sumber: APBD Gunung Kidul 2008-2010
Gambar 12.6. Jumlah SIUP dan TDP yang diterbitkan dari tahun 2003-2007. 286
300 233
250 188
200 150 100
177
124 75
116
91 60
Tahun 2007
79
Tahun 2006 Tahun 2005
50 0
Tahun 2004 Tahun 2003
SIUP
TDP
Diolah dari: dalam Gunungkidul dalam angka 2008 Diolah dari: Gunungkidul angka 2008
Peningkatan hasil Retribusi Izin Gangguan tentunya akan seiring dengan peningkatan hasil Retribusi Surat Ijin Usaha Perdagangan. Namun untuk Retribusi Wajib Daftar Perusahaan yang telah diatur dalam Perda nomor 8 tahun 2003 tentang Retribusi Wajib Daftar Perusahaan tidak mengalami kenaikan. Dalam perda tersebut disebutkan bahwa retribusi berlaku untuk tanda daftar perusahaan (TDP) baru, perubahan, penggantian maupun pendaftaran ulang dan pembaharuan TDP. Begitu juga apabila dilihat dari jumlah SIUP dan TDP yang dikeluarkan oleh pemerintah Kabupaten Gunung Kidul dari tahun 2003 – 3007 selalu mengalami peningkatan. Sehingga perlu dipertanyakan alasannya apabila pada tahun 2009 tidak ditargetkan adanya peningkatan jumlah retribusi untuk TDP.
166
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Optimalisasi PAD
Bidang Perdagangan dan Pasar Pasar adalah tempat kehidupan ekonomi masyarakat dan juga menjadi tempat untuk sosialisai, interaksi dan berkomunikasi. Ada kecenderungan Pemerintah Daerah mempunyai obsesi untuk mengubah pasar tradisional menjadi pasar modern yang berakibat menggeser keberadaan pedagang tradisional. Berdirinya super market dan mall telah menggeser pola belanja dari pasar tradisional kepasar modern, terutama bagi remaja dan mereka yang berekonomi menengah keatas. Akibatnya sedikti demi sedikit pasar tradisional yang kondisinya dan kebersihannya lebih buruk dibanding pasar modern, mulai ditinggalkan oleh pembeli. Pembangunan infrastruktur pasar juga sering menimbulkan persoalan bagi pedagang yang menempati. Keberadaan infrastruitur pasar yang lebih baik, lebih tertata dan lebih bersih menjadi sebuah alasan bagi Pemerintah Daerah untuk menaikkan Retribusi maupun Sewa Tempat/Kios. Bagi pedagang yang mempunyai modal cukup, kenaikan retribusi dan sewa kios tidak begitu menjadi persoalan, namun bagi pedagang-pedagang kecil, mereka terancam gulung tikar. Hal ini akan menimbulkan persoalan tersendiri, karena mereka yang tidak lagi bisa berdagang di pasar tersebut dan harus mencari sumber pendapatan lain untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Munculnya pengepul-pengepul hasil pertanian juga menjadi salah satu faktor menurunnya pendapatan retribusi untuk beberapa pasar. Dimana para petani tidak perlu menjual hasil pertaniannya kepasar, namun para pengepul sudah mengambil dirumah mereka.
Tabel 12.13.
PAD yang Dikelola Oleh Kantor Pengelolaan Pasar SUMBER PENDAPATAN
TAHUN 2008
PAD
%
2009
2010
1,480,513,200
949,826,300
1,000,887,400
5.38%
Retribusi Pasar
551,300,000
564,400,000
648,950,000
14.98%
Retribusi Sewa Kios
101,533,200
114,026,800
91,834,400
-19.46%
4,000,000
1,560,000
1,563,000
0.19%
754,500,000
189,839,500
140,000,000
-26.25%
69,180,000
80,000,000
52,590,000
-34.26%
Retribusi Kartu Bukti Pedagang Ret. Penempatan/Perpanjangan Kios/Los Ret. Pemakaian Ke-kayaan Daerah
Sumber: APBD Gunung Kidul 2008-2010
167
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Optimalisasi PAD
Pada tahun 2010 Retribusi Pasar hanya ditargetkan mengalami kenaikan sebesar 5,2%, dimana padatahun 2009 justru mengalami penurunan dibanding tahun 2008. Namun untuk Retribusi Sewa Kios justru mengalami penurunan 19,46%, kemudian Retribusi untuk Peanjangan Sewa Kios mengalami penurunan sampai 26,25%, serta Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah mengalami penurunan lebih besar lagi sampai 34,26%. Adanya penurunan hasil sewa kios dimungkinkan karena pedagang-pedagang merasakan keberatan karena tarif sewa yang mahal. Apabila pedagang-pedagang kecil meresa keberatan untuk membayar sewa kios, maka nantinya akan dikuasai oleh pedagang-pedagang yang mempunyai modal besar. Dengan demikian pedagang-pedagang dengan modal kecilakan semakin tergusur. Kenaikan Retribusi Pasar yang sangat kecil dikarenakan adanya perubahan pengelolaan retribusi dari beberapa lokasi. Untuk kios dan pasar di lokasi terminal sekarang dikelola oleh Dinas Perhubungan, sedangkan kios dan pasar yang berada di lokasi pariwisata dikelola oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Sehingga walalupun secara umum ada peningkatan hasil retribusi disetiap sektor, namun karena beberapa wilayah tidak lagi dikelola oleh Dinas Pengelola Pasar, maka kenaikannya hanya kecil.
Bidang Pariwisata Dan Kebudayaan Bidang Pariwisata adalah merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah yang bisa digali dan terus dikembangkan. Potensi wisata yang cukup potensial dikembangkan adalah kawasan pantai, pegunungan kars, gua serta hutan wisata. Keberadaan tempat pelelangan ikan di beberapa pantai selatan akan menambah daya tarik wisatawan, seperti di pantai Baron dan Sadeng. Tinggal bagaimana Pemerintah Daerah mampu untuk fasilitas yang memadai dan nyaman bagi pengunjung lokal yang ada. Dengan demikian terwujudnya pengembangan dibidang pariwisata juga berdampak positif pada kesejahteraan masyarakat setempat. Pada tahun 2010, Pemerintah Daerah mentargetkan pendapatan untuk Dinas Pariwisata dan Kebudayaan sebesar 1.465.650.400 atau naik 22,13% dari tahun sebelumnya, dimana target terbesar untuk retribusi melalui pintu wisata pantai Baron (Kemadang) yang mencapai 1.242.650.650.000. Kabupaten Gunung Kidul yang mempunyai potensi kawasan wisata yang cukup banyak sangat layak untuk dikembangkan dan nantinya bisa menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah yang dapat diandalkan.
168
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Optimalisasi PAD
Tabel 12.14.
PAD yang dikelola oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan SUMBER PENDAPATAN
TAHUN 2008
PAD
%
2009
2010
975.000.000
1.199.999.472
1.465.650.400
22,14%
777.976.800
1.004.399.472
1.242.650.000
23,72%
Tepus
36.000.000
37.000.000
40.000.000
8,11%
Ret. Tempat Wisata Pulegundes
42.996.000
47.500.000
50.000.000
5,26%
Wediombo
20.000.000
21.000.000
25.000.000
19,05%
Sadeng
13.200.000
14.000.000
15.000.000
7,14%
Ret. Tempat Wisata Baron/ Kemadang
Gelora Handayani
5.010.600
Gua Cerme
3.000.000
Ret. Pemakaian Kekayaan Daerah
1.956.000
Ret. Pelayanan Pasar
10.994.400
Pelayanan Kebersihan Tempat Wisata
2.700.000
Sumber: APBD Gunung Kidul 2008-2010
Seperti pada tahun 2009, pada tahun 2010 obyek wisata Gua Cerme yang berada diperbatasan kabupaten Bantul dan Gunung Kidul dan Gelora Handayani sudah tidak ditargetkan adanya pendapatan. Sebagai sarana oleh raga, apabila yang menggunakan adalah klub-klub oleh raga lokal, kiranya perlu mendapatkan perlakuan khusus dengan tidak membayar retribusi. Namun apabila digunakan untuk envent-event yang besar tentunya perlu adanya retribusi sebagai biaya perawatan tempat tersebut. Seperti tertuang dalam Perda nomor 6 Tahun 2000 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga. Perda nomor 6 tahun 2000 menyebutkan bahwa untuk Kawasan Wisata Baron, Kukup, Drini, Krakal dan Sundak dilaksanakan pada 3 pintu masuk, yaitu dari sisi barat, tengah dan timur, dengan tarif Rp.1.500 untuk dewasa dan Rp.750 untuk anak-anak ditambah parkir Rp.500,- sekali datang, tarif tersebut masih sangat murah, karena dengan sekali membayar retribusi sudah bisa menikmati ke 4 pantai tersebut. Mungkin kedepannya perlu dipikrkan bagaimana pengelolaan kawasan pantai tersebut bisa menyumbang PAD yang besar tanpa harus memberatkan pengujung dan penyedia layanan wisatawan. Apabila memungkinkan diatur retribusi setiap kawasan wisata tersebut Rp.1.000/orang, berarti dari 4 kawasan wisata pantai tersebut sudah memperoleh Rp.4.000,-/orang/sekali kedatangan.
169
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Optimalisasi PAD
Badan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (BPKKD) Beberapa sumber Pendapatan Asli Daerah dikelola oleh Badan Pengelolaan Keuangan dan KekayaanDaerah (BPKKD), di antaranya adalah: a) b) c) d) e) f) g) h)
Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak PengambilanBahan Galian Golongan C atau yang sekarang bernama Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Penerangan Jalan, Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah, dan Laba Penyertaan.
Tabel 12.15.
Pendapatan Asli Daerah yang Dikelola oleh Badan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah SUMBER PENDAPATAN
TAHUN 2008
PAD
2009
% 2010
10.386.672.250
3.751.479.100
7.326.422.075
26,00%
8.750.000
10.000.000
12.000.000
20,00%
Pajak Restoran/Rumah Makan
37.109.750
42.000.000
50.000.000
19,05%
Pajak Hiburan
8.000.000
10.750.000
15.000.000
39,53%
Pajak Reklame
200.000.000
300.000.000
380.000.000
26,67%
Pajak Pengambilan Bahan Galian Gol C/ Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
280.000.000
310.000.000
310.000.000
0,00%
47.812.500
101.479.100
104.603.500
3,08%
Laba Penyertaan modal pada BUMD
2.680.000.000
4.000.000.000
5.242.500.000
31,06%
Lain-lain Pendapatan
3.125.000.000
5.176.000.000
5.412.500.000
4,57%
PPJ
4.000.000.000
4.800.000.000
5.800.000.000
20,83%
Pajak Hotel
Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah
Sumber: APBD Gunung Kidul 2008-2010
Dari sekian sektor sumber pendapatan yang dikelola oleh BPKKD semuanya ditargetkan naik dari tahun sebelumnya. Kenaikan paling tinggi sebesar 39,53% ditargetkan untuk pendapatan dari Pajak Hiburan,
170
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Optimalisasi PAD
walau jumlahnya hanya sedikit. Sedangkan untuk pendapatan terbesar diperoleh dari Pajak Penerangan Jalan yang mencapai 5.800.000.000,-. Target kenaikan untuk Pajak Hotel, Restoran, Hiburan dan Reklame mengindikasikan bahwa ada perkembangan dibidang pariwisata maupun hiburan. Perkembangan jumlah losmen dan hotel mempunyai dampak positif maupun negatif. Dampak positif dari perkembangan hotel dan losmen akan mendukung bidang pariwisata, namun adanya orentasi pemilik hotel dan losmen hanya sekedar untuk mencari keuntungan, tidak dipungkiri bahwa ada beberapa pengelola hotel dan losmen yang melanggar aturan yang ada. Penyertaan modal pada BUMD yang ditargetkan mengalami kenaikan sebesar 31,36%, ini lebih kecil dari tahun sebelumnya yang mengalami kenaikan mencapai 59,25%. Pemerintah Daerah perlu melakukan upaya-upaya nyata untuk mendorong perkembangan BUMD, karena perkembangan BUMD tidak hanya akan meningkatkan PAD, tetapi juga akan berdampak pada peningkatan perekonomian masyarakat.
12.2. Penutup Secara keseluruhan jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada tahun 2010 mengalami kenaikan 24,43% dibanding tahun 2009. Hanya saja jumlah pendapatan yang mengalami peningkatan cukup signifikan justru dari Retribusi Pelayanan Kesehatan RSUD yang mencapai 2,5 M. Dengan diberlakukannya Perda Nomor 6 Tahun 2007 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan RSUD Wonosari dan Perda Nomor 7 Tahun 2007 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan di PUSKESMAS justru menambah kerentanan masyarakat. Pemerintah Daerah seharusnya memperhatikan mana saja sumber-sumber pendapatan yang apabila dinaikan akan menambah kapasitas masyarakat. Jangan sampai pendapatan yang digali akan berdampak pada pengeluaran yang jauh lebih banyak karena munculnya berbagai persoalan baru. Apabila dilihat dari kebijakan tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, kebijakan yang terbaru adalah tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan di RSUD dan PUSKESMAS, Sedangkan kebijakan-kebijakan yang lain dikeluarkan antara tahun 2000 – 2003. Bahkan untuk kebijakan tentang Pajak Pengambilan Bahan Galian C, Pajak Reklame, Pajak Hotel dan Restoran dan Retribusi Penggunaan Alat-Alat Berat Milik Pemerintah dikeluarkan pada tahun 1997 dan 1998. Tentunya tarif yang ditentukan padatahun 1997 atau tahun 1998 sudah tidak sesuai lagi diberlakukan pada tahun sekarang. Kebijakan tarif Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang disesuaikan dengan nilai tukar rupiah dan laju inflasi akan meningkatkan PAD. Selama ini sepertinya pihak-pihak pengambil kebijakan perencanaan pembangunan dan penganggaran masih memprioritaskan anggaran belanja. Begitu juga dengan pihak-pihak diluar Pemerintah masih
171
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Optimalisasi PAD
terfokus untuk menyoroti dari sisi belanja, namun masih sangat sedikit atau malah belum ada yang mengkritisi masalah pendapatannya. Menginngat anggaran belanja tergantung pada pendapatan, maka disisi pendapatan daerah perlu mendapatkan perhatian bersama. Kedepan, dengan kebijakan baru di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Kabupaten Gunung Kidul telah mempersiapkan beberapa instrumen pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang lebih baik dan menyesuaikan dengan ketentuan yang baru. Beberapa Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang baru akan menggantikan Perda-Perda lama yang sudah usang, diantaranya adalah sebagai berikut: 1.
Perda Kabupaten Gunung Kidul No. 3 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah; mengatur Pajak Hotel,Pajak Restoran,Pajak Hiburan,Pajak Reklame,Pajak Penerangan Jalan,Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan,Pajak Parkir,Pajak Air Tanah,Pajak Sarang Burung Walet, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB).
2.
Perda Kabupaten Gunung Kidul No. 16 Tahun 2010 tentang Retribusi Izin Gangguan;
3.
Perda Kabupaten Gunung Kidul No. 18 Tahun 2010tentang Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil;
4.
Perda Kabupaten Gunung Kidul No. 2 Tahun 2011 tentangRetribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;
5.
Perda Kabupaten Gunung Kidul No. 8 Tahun 2011 tentangRetribusi Pelayanan Pasar;
6.
Perda Kabupaten Gunung Kidul No. 9 Tahun 2011 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah;
7.
Perda Kabupaten Gunung Kidul No. 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum.
12.3. Analisa 1)
172
Adanya kenaikan penerimaan dari beberapa jenis pelayanan kesehatan baik di RSUD, Puskesmas termasuk layanan rawat inap dan rawat jalan, dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2010 terjadi kenaikan jumlah pasien. Apabila memang diprediksikan terjadi kenaikan jumlah pasien, hal ini ada 2 kemungkinan, yang pertama adalah masyarakat sudah mulai sadar akan pentingnya menjaga kesehatan, sehingga sebelum mereka jatuh sakit sudah memeriksakan ke rumah sakit, dokter atau sarana kesehatan yang lain. Yang kedua bisa juga dikarenakan memang jumlah masyarakat yang sakit semakin banyak, jika demikian yang terjadi, maka upaya Pemerintah Daerah dalam
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Optimalisasi PAD
173
membangun masyarakat dibidang kesehatan tidak berhasil. Bagaimana menyikapi hal ini?
2)
Pajak Penerangan Jalan (PPJ) yang diberlakukan kepada semua konsumen pelanggan listrik (PLN) terkadang masih menyisakan persoalan di tingkat masyarakat. Penerangan jalan umum sebenarnya tidak hanya kebutuhan bagi masyarakat kota, karena warga desa yang menjadi konsumen pelanggan listrik juga harus membayar PPJ yang telah menjadi satu dengan tagihan rekening listrik. Sampai saat ini pengadaan penerangan jalan umum masih sebatas pada jalan kabupaten, jalan propinsi dan jalan nasional. Sedangkan untuk jalan desa belum mendapatkan fasilitas penerangan jalan umum.
Untuk memberikan rasa keadilan kepada seluruh warga masyarakat sebagai pembayar Pajak, kiranya Pemerintah Daerah harus mencari langkah-langkah strategis. Anda bisa memberikan beberapa alternatif langkah strategis yang bisa ditempuh, atau Anda lebih memilih “Do Nothing” dengan menganggap bahwa hal tersebut sudah sesuai prinsip “Pajak Daerah” sebagai pungutan wajib tanpa adanya imbalan langsung kepada pembayar pajak.
3)
Tarif Retribusi Parkir, kebijakan tarif parkir seringkali tidak ditaati oleh petugas parkir, contohnya, berdasarkan Perda Nomor 3 Tahun 2000 tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir, tarif parkir untuk sepeda motor 200,- mobil 500,- dan bus/truck 1.000,-/sekali parkir. Kenyataan dilapangan, parkir untuk sepeda motor antara 500 – 1.000,-/sekali parkir, dan untuk mobil juga jauh diatas tarif yang ditetapkan. Dengan demikian pengutan retribusi parkir beotensi besar terhadap praktek korupsi, karena selain petugas parkir menentukan tarif sendiri, seringkali konsumen tidak diberikan kartu parkir atau kartu parkir digunakan berkali-kali.
Apa yang seharusnya dilakukan untuk menghindari hal tersebut berlarut-larut terjadi?
4)
Pendapatan dari Pajak Bahan Galian Golongan C atau yang sekarang menjadi Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, pada tahun 2010 tidak mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Jika dapat disimpulkan, hal Ini berarti Pemerintah Gunung Kidul tidak lagi mengembangkan daerah pertambangan maupun membuka izin baru untuk usaha penambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan. Apabila hal ini yang terjadi, berarti sudah ada kesadaran Pemerintah Daerah untuk memperhatikan masalah kerusakan lingkungan akibat kegiatan penambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan.
Bagaimana pendapat Saudara?
5)
Kawasan wisata Gua Cerme, sejak tahun 2009 sudah tidak ditargetkan lagi sebagai salah satu sumber PAD, hal ini dikarenakan pintu masuk Gua Cerme berada di wilayah Kabupaten Bantul, namun sepanjang gua tersebut merupakan wilayah Gunung Kidul. Bagi pengunjung yang bermaksud menelusuri gua tersebut, berarti akan masuk dari wilayah Bantul dan keluar di wilayah Gunung Kidul. Keberadaan sungai didalam gua yang jernih akan sangat tergantung pada kondisi alam diatasnya, dimana wilayah tersebut merupakan wilayah Kabupaten Gunung Kidul, sehingga pengelolaan kelestarian hutan disekitar gua tersebut yang akan mendukung keberadaan kawasan wisata MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Optimalisasi PAD
Gua Cerme agar tetap diminati oleh wisatawan sedikit banyak juga merupakan tanggungjawab Pemerintah Gunung Kidul, dengan alokasi dana yang tidak sedikit.
Apa yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Daerah Gunung Kidul untuk dapat memperoleh PAD dari Kawasan Wisata Gua Cerme?
12.4. Soal Latihan 1.
Jelaskan definisi Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Tidak Dipisahkan!
2.
Jelaskan jenis-jenis Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Tidak Dipisahkan!
3.
Jelaskan penyajian Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang tidak Dipisahkan dalam Laporan Keuangan berdasarkan PP 71 Tahun 2010!
4.
Jelaskan penyajian Lain-lain PAD Yang Sah dalam Laporan Realisasi Anggaran!
5.
Jelaskan komponen Lain-lain PAD Yang Sah!
6.
Jelaskan definisi Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Tidak Dipisahkan!
7.
Jelaskan jenis-jenis Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Tidak Dipisahkan!
8.
Jelaskan penyajian Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang tidak Dipisahkan dalam Laporan Keuangan berdasarkan PP 71 Tahun 2010!
9.
Jelaskan penyajian Lain-lain PAD Yang Sah dalam Laporan Realisasi Anggaran!
10. Jelaskan komponen Lain-lain PAD Yang Sah!
174
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TOPIK 13
KONSEP, PERANAN, DAN KEBIJAKAN DANA TRANSFER KE DAERAH
Konsep, Peranan, Dan Kebijakan Dana Transfer Ke Daerah
Deskripsi: Topik ini menjelaskan konsep, peranan, dan kebijakan dana transfer ke daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah, serta mampu membandingkan antara kebijakan dengan implementasinya di daerah. Perkiraan
Waktu 10 menit
10 menit
Sub Topik
Kata Kunci
Konsep dan Peranan Dana Transfer
Kesenjangan vertikal
Jenis-Jenis Dana Transfer di Indonesia
Dana Perimbangan, Dana Otsus, Dana Penyesuaian
15 menit
Tujuan Dana Transfer
10 menit
Diskusi/Latihan
Kesinambungan fiskal
Referensi: 1.
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
2.
PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
3.
Nota Keuangan RAPBN Tiap Tahunnya dapat di download dari web http://www.anggaran.depkeu.go.id
4.
Pelengkap Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah, Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia, berbagai tahun, dapat di download dari http://www.djpk.depkeu.go.id/
5.
176
PMK tahun berjalan
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Konsep, Peranan, Dan Kebijakan Dana Transfer Ke Daerah
13. Konsep, Peranan, dan Kebijakan Dana Transfer ke Daerah 13.1. Konsep dan Peranan Dana Transfer di Indonesia Dana Transfer di Indonesia adalah instrumen dari kebijakan desentralisasi fiskal. Sedangkan desentralisasi fiskal adalah kebijakan, bukan suatu tujuan. Desentralisasi fiskal adalah salah satu pilihan dalam mengelola pembangunan guna mendorong perekonomian daerah maupun nasional. Melalui mekanisme hubungan keuangan yang lebih baik diharapkan akan tercipta kemudahan dalam pelaksanaan pembangunan di daerah, sehingga akan berimbas kepada kondisi perekonomian yang lebih baik dan pada gilirannya adalah terujudnya kesejahteraan masyarakat. Desentralisasi fiskal di Indonesia adalah desentralisasi fiskal di sisi pengeluaran yang didanai terutama melalui dana transfer ke daerah. Dengan desain desentralisasi fiskal ini maka esensi otonomi pengelolaan fiskal daerah dititikberatkan pada diskresi (kebebasan) untuk membelanjakan dana sesuai kebutuhan dan prioritas masing-masing daerah. Penerimaan negara tetap sebagian besar dikuasai oleh pemerintah Pusat, dengan tujuan untuk menjaga keutuhan berbangsa dan bernegara dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam konteks itulah, dana transfer secara keseluruhan dapat dipandang sebagai pengisi kesenjangan fiskal vertikal. Kesenjangan yang dimaksud disebabkan karena kapasitas fiskal yang dimiliki oleh seluruh Pemerintah Daerah tidak mencukupi untuk mendanai seluruh kebutuhan belanja Pemda. Kapasitas fiskal daerah yang sangat rendah terlihat dari kecilnya sumbangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total pendapatan daerah. Sementara itu kebutuhan belanja daerah dapat terlihat secara jelas dengan besarnya tanggungjawab daerah untuk mendanai berbagai urusan. Salah satu yang terbesar adalah kebutuhan Pemda kabupaten/kota untuk membayar gaji PNS daerah sebesar Rp. 203 triliun, jauh melebihi jumlah PAD kabupaten/kota yang hanya sebesar Rp. 37,7 triliun di tahun 2012. Kebutuhan Pemda untuk penyediaan pelayanan publik di daerah termasuk belanja PND daerah secara relatif terpenuhi dengan jumlah dana transfer sebesar 478 triliun di tahun 2012. Sebagai ilustrasi, diawal desentralisasi tahun 2001 kesenjangan fiskal meningkat tajam dengan penyerahan kewenangan dan fungsi kepada daerah. Namun hal itu diikuti dengan penyerahan dan tambahan sumber pendapatan daerah dalam bentuk dana transfer. Rasio dana transfer terhadap Pendapatan Dalam Negeri (PDN) naik tajam dari hanya 16% di tahun 2000 menjadi 31% di tahun 2001. Sejak tahun 2001 hingga saat ini rasio dana transfer terhadap PDN berada dalam range 31-34%. Tentu sudah saatnya untuk dievaluasi
177
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Konsep, Peranan, Dan Kebijakan Dana Transfer Ke Daerah
apakah rasio dana transfer hingga menjadi 34% di tahun 2010 memang setara dengan kebutuhan keseluruhan Pemda.
13.2. Jenis-Jenis Dana Transfer di Indonesia Dana transfer secara keseluruhan merupakan bagian dari Kebijakan Fiskal Nasioal. Proporsi transfer dalam belanja negara, dalam periode 2002-2013, stabil pada tingkat 31%. Dana Transfer di Indonesia terdiri dari: 1) Dana Perimbangan, 2) Dana Otonomi Khusus (Aceh dan Papua), 3) dan Dana Penyesuaian Sementara itu Dana Perimbangan yang diatur oleh UU 33 Tahun 2004, terdiri dari 1) Dana Alokasi Umum (DAU) 2) Dana Bagi Hasil (DBH) dan 3) Dana Alokasi Khusus (DAK) Ketiga dana perimbangan merupakan satu kesatuan dengan peranan untuk mengatasi ketimpangan vertikal dan horizontal. DBH terutama berperan untuk mengurangi ketimpangan vertikal, sedangkan DAU ditujukan untuk mengurangi ketimpangan horizontal. Sementara itu DAK selain untuk mengurangi ketimpangan horizontal, juga bertujuan untuk mendanai urusan daerah yang menjadi prioritas nasional. DAU dan DBH adalah merupakan unconditional transfer yaitu dana yang bebas dialokasikan oleh daerah. Sedangkan DAK harus dibelanjakan untuk bidang dan kegiatan yang didikte oleh Pemerintah Pusat. Dana Otonomi Khusus diatur dalam UU otonomi khusus Papua dan UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Khusus untuk Propinsi Aceh dan Papua (Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat), dana otsus paling sedikit 2% DAU untuk Papua selama 20 tahun dari tahun 2002 dan 2% DAU untuk Aceh pada 15 tahun pertama dan 1% untuk tahun ke 16 sampai 20. Selain itu ada dana infrastruktur untuk Papua dan Papua Barat Dana Penyesuaian merupakan bagian dari kebijakan fiskal tahunan diatur setiap tahunnya dalam UU APBN.
178
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Konsep, Peranan, Dan Kebijakan Dana Transfer Ke Daerah
Gambar 13.1. Dana Transfer ke Daerah (2001-2013)
350 300 250 200 150 100 50 0
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Bagi hasil
DAU
DAK
Data Otsus
Dana Penyesuaian
13.3. Tujuan Dana Transfer Tujuan transfer ke daerah antara lain untuk: (1) Mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah (vertical fiscal imbalance) dan antar daerah (horizontal fiscal imbalance); (2) Meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah; (3) Meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional; (4) Dan mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro. Dana transfer memiliki tujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal, baik vertikal maupun horizontal. Dana transfer secara keseluruhan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah. Urusan desentralisasi (urusan daerah) memerlukan pendanaan yang besar, namun daerah tidak memiliki kapasitas fiskal yang cukup. Selain itu, dana transfer juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antar daerah. Keberagaman potensi daerah mengakibatkan perbedaan kapasitas fiskal yang tajam antar daerah. Untuk itu terdapat jenis dana transfer yang tujuan utamanya untuk mengurangi kesejangan fiskal horizontal tersebut, yaitu Dana Alokasi Umum.
179
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Konsep, Peranan, Dan Kebijakan Dana Transfer Ke Daerah
Dana transfer keseluruhan diharapkan juga dapat dialokasi oleh daerah untuk penyediaan dan pelayanan publik dan pembangunan daerah. Dengan adanya kewenangan/keleluasaan untuk pemanfaatan dana transfer oleh Pemda, maka diharapkan terujud efisiensi alokasi sumber daya nasional, karena Pemda lebih tahu dari Pemerintah Pusat kondisi daerah dan diharapkan Pemda dapat mengalokasikan dana untuk merespon kebutuhan masyarakat. Dana transfer sebagai bagian dari kebijakan fiskal nasional, tidak bisa berdiri sendiri, namun tetap dalam kerangka mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro. Keterbatasan sumber daya nasional, mengakibatkan jumlah dana transfer juga terbatas. Pemerintah tidak bisa memaksakan diri untuk menyediakan dana bagi kebutuhan daerah dalam bentuk dana transfer, jika kebijakan itu akan memperlebar defisit anggaran yang pada gilirannya akan mengganggu keberlanjutan fiskal nasional dan stabilitas makro ekonomi.
13.4. Soal Latihan
180
1.
Jelaskan peranan dana transfer terkait dengan kebutuhan fiskal daerah.
2.
Jelaskan perbedaan dasar hukum dana perimbangan dengan dasar hukum dana otonomi khusus.
3.
Jelaskan tujuan dana transfer untuk mendukung kesinambungan fiskal nasional.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TOPIK 14
BAGI HASIL PAJAK
Bagi Hasil Pajak
Deskripsi: Topik ini menjelaskan tentang: 1. Bagaimana memahami mengenai dasar filosofis, konsep kebijakan dan alokasi DBH Pajak. 2. Esensi kebijakan dan alokasi DBH Pajak. 3.Alokasi sementara, alokasi definitif dan mekanisme penyaluran DBH Pajak.
Sub Topik Pengertian dan Dasar Hukum Dana Bagi Hasil Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan (DBH PBB P3) Bagi Hasil Pajak Penghasilan (DBH PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29 WPODN) Masalah-masalah dalam Penerapan Retribusi Daerah
Kata Kunci Ketimpangan vertikal, Dana Bagi Hasil
Basis PPB P3, Perhitungan PBB Migas
WPOP
Pembayar Cukai
Referensi: 1.
UU No. 12 Tahun 1994
2.
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
z
Pemerintahan Daerah.
3.
UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
4.
PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
5.
PP PPh Perseorangan
6.
UU No 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai
7.
Pelengkap Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah, Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia, berbagai tahun, dapat di download dari http://www.djpk.depkeu.go.id/
8.
182
Peraturan Menteri Keuangan No 84/PMK/07/2008
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bagi Hasil Pajak
14. Bagi Hasil Pajak 14.1. Pengertian dan Dasar Hukum Dana Bagi Hasil Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan pendapatan pemerintah yang dibagihasilkan dengan daerah/ wilayah dimana lokasi pendapatan itu dihasilkan sesuai dengan proporsi tertentu atas dana yang sudah dikumpulkan (proportionality of collection). Pengertian dan definisi dari DBH ini juga mengindikasikan bahwa fokus dari DBH adalah untuk mengatasi ketimpangan vertikal antara pemerintah pusat dan daerah. Ketimpangan Vertikal disebabkan oleh penguasaan sumber pendapatan oleh pusat jauh melebihi penguasaan sumber pendapatan oleh daerah, sehingga daerah tidak akan dapat membiayai urusannya tanpa adanya transfer/bagi hasil atas pendapaan pusat tersebut. Ketimpangan vertikal juga bisa diartikan sebagai kesenjangan antara potensi sumber pendapatan daerah dengan kebutuhan pendanaan urusan daerah. Dibandingkan dengan jenis dana transfer lainnya DBH merupakan dana transfer yang relatif penting didalam menjamin tingkat desentralisasi (high degree of decentralization) melalui unconditionality dalam penggunaan dana. Dana transfer DBH umumnya bersifat unconditional (bebas digunakan oleh penerima). Penggunaan DBH yang diatur dan diarahkan juga akan mengaburkan tujuan dari alokasi dana bagi hasil itu sendiri. DBH yang diterapkan selama ini memiliki issue terkait dengan: 1) proporsi bagi hasil, 2) penentuan total penerimaan yang dibagihasilkan, 3) eligibility untuk daerah penerima DBH, dan 4) alokasi periode PNBP (pool revenue) yang dibagihasilkan.
183
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bagi Hasil Pajak
Tabel 14.1.
Porsi Bagi Hasil antara Pemerintah Pusat dan Daerah berdasarkan jenis DBH dan peraturan terkait UU 33 Tahun 2004
Papua dan Papua Barat
Nanggroe Aceh Darrussalam
Pusat
Daerah
Pusat
Daerah
Pusat
Daerah
Bagi Hasil Pajak PPh Individu
80
20
80
20
80
20
PBB-P3
10
90
10
90
10
90
CHT 1)
98
2
98
2
98
2
Minyak Bumi
85
15
30
70
30
70
Gas
70
30
30
70
30
70
Pertambangan Umum
20
80
20
80
20
80
Kehutanan
20
80
20
80
20
80
Perikanan
20
80
20
80
20
80
Geothermal
20
80
20
80
20
80
Bagi Hasil SDA
Catatan: 1) basis daerah adalah propinsi Sumber: Aceh PEER (Worldbank 2006), UU No.21 Tahun 2001
Tabel 5 menggambarkan proporsi bagi hasil untuk pemerintah pusat dan total proporsi bagi hasil untuk pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Khusus bagi hasil pajak PPh Individu dan bagi hasil cukai dan hasil tembakau, yang dimaksud dengan proporsi bagi hasil daerah adalah bagi hasil untuk tingkat pemerintahan propinsi. Proporsi bagi hasil pajak cukup besar untuk pajak-pajak yang selayaknya diklasifikasikan sebagai pajak daerah, namun demikian proporsi bagi hasil untuk daerah relatif rendah untuk pajak yang termasuk sebagai pajak pusat. PBB-P2 dan BPHTB dialihkan menjadi dengan UU No. 28 Tahun 2009. pajak daerah dalam perkembangannya merupakan proses panjang yang dimulai melalui mekanisme bagi hasil terutama dengan proporsi bagi hasil PBB dan BPHTB yang memang sudah besar untuk daerah. Untuk bagi hasil sumber daya alam (SDA), proporsi bagi hasil juga terkait dengan pengelolaan sumber daya alam terkait oleh daerah. Penetapan propinsi Papua, Papua Barat, dan propinsi Nangroe Aceh Darussalam sebagai wilayah yang memperoleh otonomi yang diperluas (otonomi khusus), berimplikasi pada penetapan bagi hasil SDA untuk minyak bumi dan gas yang lebih besar untuk daerah. Dasar pelaksanaan DBH Pajak tertuang dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah serta PP Nomor 55 tentang Dana Perimbangan.
184
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bagi Hasil Pajak
Selanjutnya untuk pelaksanaan DBH Cukai Hasil tembakau merupakan amanat dari UU Nomor 39 Tahun 2007 dan amanat MK 54/PUU-VI/2008. Sebagai pedoman mekanisme Penyaluran Dana Transfer pada umumnya dan DBH pajak khususnya telah diterbitkan PMK No. 06/PMK.07/2012 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer dan PMK No 165/PMK.07/2012 tentang Pengalokasian Anggaran Transfer ke Daerah.
14.2. Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan (PBB-P3) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) memiliki peran yang cukup besar bagi kelangsungan dan kelancaran pembangunan, sehingga perlu ditangani dan dikelola lebih intensif. Penanganan dan pengelolaan tersebut diharapkan mampu menuju tertib administrasi serta mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pembangunan. Subyek Pajak Bumi dan Bangunan adalah orang atau badan yang nyata-nyata memiliki dan/atau menguasai bumi dan/atau bangunan. Obyek Pajak Bumi dan Bangunan adalah bumi dan bangunan. Bumi adalah tubuh bumi, permukaan bumi atau tanah, bangunan yang ada di atasnya, perairan maupun udara di atas tanah tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan bangunan adalah gedung, jalan, kolam renang, pagar, tempat olahraga, dermaga, tanaman, dan lain-lain yang memberikan manfaat. Wajib pajak adalah orang atau badan yang memenuhi. syarat-syarat obyektif yaitu yang memiliki obyek yang nilai jualnya melebihi nilai minimum yang dibebankan dari pengenaan pajak. Berdasarkan karakteristik objek pajaknya, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dapat dikelompokan menjadi:
185
1)
PBB Sektor Pedesaaan adalah objek PBB dalam suatu wilayah yang memiliki ciri-ciri pedesaan seperti sawah, ladang, empang tradisional dan lain-lain.
2)
PBB Sektor Perkotaan adalah objek PBB dalam suatu wilayah yang memiliki fasilitas perkotaan, seperti: pemukiman penduduk yang memiliki fasilitas perkotaan, real state, komplek pertokoan, industri, perdagangan daan jasa.
3)
PBB Sektor Perkebunan adalah objek PBB yang diusahakan dalam bidang budidaya perkebunan, baik yang diusahakan oleh BUMN, BUMD, maupun swasta.
4)
PBB Sektor Perhutanan adalah objek PBB di bidang usaha yang menghasilkan komoditas hasil hutan, seperti kayu tebangan, rotan, dammar, dan lain-lain.
5)
PBB Sektor Pertambangan adalah objek PBB di bidang usaha yang menghasilkan komoditas hasil tambang seperti emas, batubara, minyak, dan gas bumi dan lain-lain.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bagi Hasil Pajak
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (selanjutnya disebut UU PDRD), maka PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) diserahkan menjadi pajak daerah. Untuk itu Pemerintah Daerah (dalam hal ini pemerintah kabupaten/kota) harus mengelola sendiri PBB P2. Selama ini PBB P2 dikelola dan dipungut oleh Pemerintah Pusat, kemudian daerah menerima sebagian besar hasil pemungutannya. Dengan UU PDRD pengelolaan dan pemungutan PBB P2 sepenuhnya menjadi menjadi tanggungjawab dan hak pemerintah daerah kota/kabupaten tanpa harus ‘membagi’ kepada pemerintah pusat. Pemerintah Pusat dalam hal ini DJP (Direktorat Jendral Pajak) Kementrian Keuangan bertanggung jawab mengelola PBB P2 sampai 31 Desember 2013 sepanjang belum dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota berdasarkan Perda. Akan tetapi mulai 1 Januari 2014 pengelolaan PBB sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kabupaten/Kota. Sementara itu, PBB P3 tetap merupakan penerimaan pemerintah pusat yang dibagihasilkan dengan daerah
Ketika PBB P2 dikelola oleh pemerintah pusat maka Penerimaan Negara dari PBB dibagi antara daerah provinsi, daerah kabupaten/kota dan pemerintah dengan rincian sebagai berikut: a. 10% Bagian Pemerintah pusat; b. 16,2% Bagian provinsi yang bersangkutan; c. 64,8% Bagian kabupaten/kota yang bersangkutan; dan d. 9% Biaya pemungutan. Bagian Pemerintah pusat sebesar 10% dibagi kembali ke daerah dengan rincian sebagai berikut: a. 6,5% dibagi secara merata kepada seluruh Kabupaten/Kota. b. 3,5% dibagikan sebagai insentif kepada Daerah Kabupaten/ Kota yang realisasi penerimaan PBB sektor pedesaan dan perkotaan pada TA sebelumnya mampu mencapai/ melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan. Adapun penyaluran Dana Bagi Hasil PBB dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
186
a)
Untuk DBH PBB bagian provinsi (16,2%) bagian kabupaten/kota (64,8%) dan biaya pemungutan PBB (9%) dari sektor perdesaan, perkotaan, perkebunan, perhutanan dan pertambangan non migas. Penyaluran dilaksanakan secara mingguan melalui penerbitan SPM oleh KPPN setempat berdasarkan realisasi pembayaran PBB di masing-masing kabupaten/kota kecuali untuk penyaluran DBH PBB sektor pertambangan migas dan sektor pertambangan panas bumi.
b)
Untuk DBH PBB sektor pertambangan migas dan sektor pertambangan panas bumi bagian daerah, alokasi sementara DBH PBB sektor pertambangan migas dan sektor pertambangan panas bumi yang bersumber dari rencana penerimaan PBB sektor pertambangan migas dan sektor pertambangan panas bumi dalam APBN tahun anggaran berjalan digunakan sebagai dasar penyaluran triwulan I, II dan III tahun anggaran berjalan, masing-masing sebesar 25% dari alokasi sementara. Realisasi MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bagi Hasil Pajak
PBB sektor pertambangan migas dan sektor pertambangan panas bumi tahun anggaran berjalan ditetapkan sebagai alokasi definitif DBH PBB sektor pertambangan migas dan sektor pertambangan panas bumi. Penyaluran triwulan IV merupakan selisih antara alokasi definitif dengan jumlah dana yang telah dicairkan pada triwulan I s.d III. Khusus untuk alokasi DBH PBB sektor pertambangan migas dihitung dengan formula yang memperhatikan jumlah penduduk, luas wilayah, PAD dan potensi produksi sumber daya migas. Penyaluran DBH PBB bagian pemerintah menggunakan alokasi sementara yang menjadi dasar penyaluran tahap I dan II, dimana ditetapkan masing-masing sebesar 25% dan 50% dari perkiraan alokasi sementara. Untuk penyaluran DBH PBB bagian pemerintah tahap III, prognosa realisasi penerimaan yang ditetapkan oleh Ditjen Pajak digunakan sebagai dasar alokasi definitif. Penyaluran tahap III merupakan selisih antara alokasi definitif dengan jumlah dana yang telah dicairkan selama tahap I dan II. Dalam penyaluran tahap III ini disalurkan pula insentif kepada kabupaten dan/kota yang realisasi penerimaan PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan pada tahun anggaran sebelumnya mencapai/ melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan. Perhitungan DBH PBB migas dan panas bumi Perhitungan alokasi DBH PBB migas dan panas bumi ditatausahakan dengan ketentuan sebagai berikut: 1)
PBB migas onshore dan panas bumi ditatausahakan berdasarkan letak dan kedudukan objek pajak dan dibagi by origin;
2)
PBB migas offshore dan PBB migas tubuh bumi ditatausahakan per kabupaten/kota dengan menggunakan formula dan dibagi sesuai persentase DBH PBB, dimana perhitungan PBB migas offshore dan PBB migas tubuh bumi per kabupaten/kota dari PBB migas yang ditanggung Pemerintah ditetapkan: • 10% menggunakan formula • 90% dibagi secara proporsional sesuai realisasi PBB migas tahun anggaran sebelumnya.
Perhitungan DBH PBB migas dan panas bumi Perhitungan alokasi DBH PBB migas dan panas bumi ditatausahakan dengan ketentuan sebagai berikut:
187
1)
PBB migas onshore dan panas bumi ditatausahakan berdasarkan letak dan kedudukan objek pajak dan dibagi by origin;
2)
PBB migas offshore dan PBB migas tubuh bumi ditatausahakan per kabupaten/kota dengan menggunakan formula dan dibagi sesuai persentase DBH PBB, dimana perhitungan PBB migas offshore dan PBB migas tubuh bumi per kabupaten/kota dari PBB migas yang ditanggung
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bagi Hasil Pajak
Pemerintah ditetapkan: • 10% menggunakan formula • 90% dibagi secara proporsional sesuai realisasi PBB migas tahun anggaran sebelumnya.
Formula yang digunakan untuk menghitung PBB migas yang ditanggung pemerintah:
PBB per Kabupaten/ Kota =
20% x rasio JP + 10% x rasio LW + (5% x rasio PAD + (65% x rasio lifting Migas)
x
PBB Migas Off Shore dan PBB Migas tubuh bumi
PBB migas yang dibayar langsung oleh KKKS ke bank persepsi menggunakan formula:
PBB per Kabupaten/ Kota = Rasio lifting Migas x
PBB Migas Off Shore dan PBB Migas tubuh bumi
14.3. Bagi Hasil Pajak Penghasilan (DBH PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri) Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan atas tambahan kemampuan ekonomis dalam bentuk apapun, baik diperoleh dari Indonesia atau luar negeri, digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak. Secara umum ada dua jenis pajak penghasilan, yaitu (i) pajak penghasilan (PPh) badan dan (ii) pajak penghasilan (PPh) individu. PPh Badan tidak dibagihasilkan dan sepenuhnya menjadi pendapatan pemerintah pusat. Sedangkan PPh Individu termasuk jenis yang dibagihasilkan dengan daerah otonom. Jenis PPh yang dibagihasilkan adalah PPh yang diatur pada pasal 21 dan pasal 25/29. Pajak penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan atas gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh WPOP dalam negeri. Pajak Penghailan Pasal 21 dipotong, disetor, dan dilaporkan oleh Pemotong Pajak, yaitu pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan dan penyelenggaraan kegiatan. Pelaporan penerimaan PPh Pasal 21 dilakukan berdasarkan tempat kerja PPh Pasal 25 terkait dengan Pajak Penghasilan orang pribadi dalam negeri yang menjalankan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas atau memperoleh penghasilan teratur lainnya yang bersifat tidak final yang
188
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bagi Hasil Pajak
diangsur setiap bulannya. Sedangkan PPh Pasal 29 adalah Pajak Penghasilan yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai akibat PPh Terutang dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan lebih besar dari pada kredit pajak yang telah disetor sendiri. Pencatatan penerimaan PPh Pasal25/29 berdasarkan asas domisili wajib pajak Secara umum dapat dikatakan bahwa PPh pasal 21 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima dari pemberi kerja, sedangka PPh pasal 25 adalah pajak yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak pada tiap bulan. Objek pajak penghasilan, yaitu: a)
Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur;
b)
Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
c)
Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis;
d)
Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
e)
Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan;
f)
Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.
Penerimaan Negara dari PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29 WPOPDN yang dibagihasilkan ke daerah sebesar 20% dari realisasi penerimaan PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29 WPOPDN dengan rincian sebagai berikut: a) b)
Bagian Provinsi sebesar 8%. Bagian Kabupaten atau Kota sebesar 12%, dengan rincian: 1) 8,4% untuk kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar 2) 3,6% untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan dengan bagian yang sama besar.
Penyaluran DBH PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29 WPOPDN dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a) Alokasi sementara, yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan, digunakan sebagai dasar penyaluran triwulan I, II dan III tahun anggaran berjalan masing-masing sebesar 20% dari alokasi sementara. 189
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bagi Hasil Pajak
b)
Alokasi definitif, yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan paling lambat pada bulan pertama triwulan IV tahun anggaran berjalan, digunakan sebagai dasar penyaluran triwulan IV dengan memperhitungkan jumlah dana yang telah dicairkan selama triwulan I, II dan III.
14.4. Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBH CHT) Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) merupakan dana bagi hasil yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah penghasil dari pembayaran pajak berupa cukai tembakau. Pembayar cukai tembakau adalah konsumen pemakai bahan baku produksi yang memiliki pita cukai dan hasil tembakau mentah yang dijualbelikan untuk produksi pabrik Sesuai amanat UU 39 Tahun 2007 mulai tahun 2008 cukai hasil tembakau dibagihasilkan sebesar 2% dari penerimaan cukai hasil tembakau kepada kabupaten/kota/provinsi yang menghasikan cukai hasil tembakau dengan rincian pembagian sebagai berikut: a) 30% untuk provinsi penghasil b) 40% untuk kabupaten/kota penghasil c) 30 % untuk kabupaten/kota lainnya Penggunaan DBH CHT bersifat specific grant yaitu untuk : a) Peningkatan kualitas bahan baku b) Pembinaan industri c) Pembinaan lingkungan sosial d) Sosialisasi ketentuan di bidang cukai e) Pemberantasan barang kena cukai ilegal. Melalui keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-VI/2008 tanggal 14 April 2009, DBH CHT yang semula hanya dibagihasilkan kepada daerah penghasil cukai hasil tembakau, mulai tahun 2010 juga dibagihasilkan kepada daerah penghasil tembakau. Pembagian alokasi DBH CHT per provinsi sesuai PMK No 197/PMK.07/2012 tentang Alokasi Definitif Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau adalah sebagai berikut : a) Penerimaan cukai hasil tembakau sebesar 57,5%; b) Rata-rata produksi tembakau kering sebesar 37,5%; c) Indeks Pembangunan Manusia sebesar 3%; d) Tingkat penyerapan CHT sebesar 1%; dan e) Tingkat pemberantasan cukai ilegal sebesar 1%.
190
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bagi Hasil Pajak
Setelah alokasi DBH CHT per provinsi ditetapkan, selanjutnya pembagian alokasi DBH CHT untuk bagian provinsi dan kabupaten/kota dalam provinsi, merupakan wewenang gubernur yang dituangkan dalam Peraturan Gubernur. Sesuai dengan PMK Nomor 06/PMK.07/2012 penyaluran DBH CHT dilakukan secara triwulanan dengan perincian sebagai berikut: a) Triwulan I sebesar 20% dari alokasi sementara. b) Triwulan II sebesar 30% dari alokasi sementara c) Triwulan III sebesar 30% dari alokasi sementara d) Triwulan IV selisih antara alokasi definitif dengan alokasi yang sudah disalurkan pada triwulan I s.d triwulan IV Khusus untuk penyaluran triwulan IV dipersyaratkan laporan realisasi penggunaan alokasi DBH CHT semester I tahun anggaran bersangkutan.
14.5. Soal Latihan 1) 2) 3)
191
Jelaskan pengertian dan tujuan Dana Bagi Hasil Pajak! Jelaskan perbedaan antara PPB Pedesaan Perkotaan dengan PBB Migas! Menurut anda, menjadi objek PBB mana seharusnya tanah dan bangunan yang masuk area pertambangan Migas! Jelaskan pengertian istilah alokasi sementara
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TOPIK 15
BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM (SDA)
Bagi Hasil Sumber Daya Alam (Sda)
Deskripsi: Topik ini menjelaskan tentang : 1. Filosofis, konsep dan kebijakan DBH SDA. 2. Berbagai jenis DBH SDA di Indonesia 3. Prinsip pengalokasian DBH SDA dan mekanisme penyalurannya.
Sub Topik Pengertian dan filosofi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Dasar Hukum dan Dasar Perhitungan DBH SDA Alokasi DBH SDA (Migas, Pertambangan Umum, Kehutanan, Perikanan, Panas Bumi) Mekanisme Penyaluran DBH SDA
Kata Kunci Externality, kepemilikan
PNBP SDA
Formula Bagi Hasil, Perhitungan Perkiraan, Realisasi
Triwulan V
Latihan/Diskusi
Referensi: Referensi 1.
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
2.
PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
3.
Bappenas - LPEM UI (2000)
4.
Nota Keuangan RAPBN Tiap Tahunnya dapat di download dari web http://www.anggaran.depkeu.go.id
5.
Pelengkap Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah, Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia, berbagai tahun, dapat di download dari http://www.djpk.depkeu.go.id/
193
6.
Peraturan Menteri Keuangan No. 06/2012
7.
Peraturan Menteri Keuangan No. 165/2012
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bagi Hasil Sumber Daya Alam (Sda)
15. Bagi Hasil Sumber Daya Alam (SDA) 15.1.
Pengertian dan Filosofi DBH SDA
Sumber penerimaan SDA adalah bersifat Non Renewable Resources atau tidak dapat diperbaharui. Hal ini telah menjadi bahan diskusi para akademisi di berbagai Negara mengenai batasan dan kriteria penerimaan SDA mana yang dapat dibagihasilkan kepada daerah. Beberapa sektor SDA yang menurut best practices dapat dibagihasilkan antara lain sumber daya mineral yang berasal dari minyak bumi, gas bumi, pertambangan umum, dan geothermal karena diasumsikan memiliki keterbatasan input dan tidak terbarukan. Namun demikian, terdapat sektor SDA lainnya seperti kehutanan dan perikanan dapat pula dibagihasilkan walaupun secara teoritis termasuk sumber daya yang terbarukan (replenishable) karena hal ini dimungkinkan dengan asumsi masa pemulihan yang relatif lama, tingkat eksploitasi dan konsumsi lebih tinggi daripada upaya untuk memperbaharuinya, dan memiliki nilai ekonomi yang cukup signifikan terhadap penerimaan negara. Di Indonesia, Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA) adalah Pendapatan Negara dari SDA yang dibagihasilkan dengan daerah dimana lokasi SDA itu berasal. DBH SDA merupakan salah satu bentuk dana transfer ke daerah yang merupakan bagian dari dana perimbangan dan sangat penting bagi daerah-daerah yang memiliki SDA di daerahnya. Sebagai bagian dari dana transfer, DBH lebih ditujukan untuk mengurangi ketimpangan vertikal, yaitu ketimpangan antara Pusat dan Daerah. Pembagian hasil pendapatan Negara dari SDA ke daerah didasari oleh alasan antara lain: Argumen DBH SDA sebagai Biaya Kompensasi Eksternalitas Eksploitasi SDA memiliki potensi resiko yang tinggi terutama menimbulkan eksternalitas (dampak lingkungan) yang membutuhkan kompensasi biaya sosial dan biaya perbaikan infrastruktur serta reklamasi bekas tambang. Pengeboran minyak dan gas alam dapat mencemari lingkungan dan menimbulkan biaya sosial serta community development untuk masyarakat sekitar. Kegiatan penebangan kayu dan berbagai jenis pertambangan dapat menimbulkan biaya pemulihan lahan agar dapat kembali pada kondisi awal, atau dapat menimbulkan biaya sosial yang tinggi jika lahan tempat perusahaan berproduksi tersebut tidak dapat dipulihkan . Selain social cost, hal lain yang paling banyak membutuhkan biaya adalah biaya infrastruktur. Eksplorasi dan Eksploitasi SDA harus difasilitasi dengan infrastruktur pendukung agar dapat memperlancar proses produksi dan transportasi termasuk jalan, utilitas umum, fasilitas pelabuhan, dan infrastruktur pendukung
194
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bagi Hasil Sumber Daya Alam (Sda)
lainnya. Biaya-biaya lainnya yang perlu diantisipasi adalah terkait dengan pelayanan kepada masyarakat sekitar lokasi produksi bahkan dapat lebih besar daripada biaya untuk melayani pegawai perusahaan yang meliputi biaya pendidikan, kesehatan, penegakan hukum, dan pelayanan masyarakat umum lainnya.
Argumen SDA Sebagai Endowment yang Terbatas Meskipun menurut UUD 45 SDA adalah milik Negara, namun SDA seringkali dianggap sebagai “warisan” oleh masyarakat di daerah penghasil yang dapat dijadikan sumber bagi kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Berbeda dengan warisan keindahan alam dan budaya untuk pariwisata yang masa “eksploitasi”nya tidak terbatas, SDA dibatasi oleh jumlah kandungan deposit cadangan mineral yang tidak dapat diperbaharui. Apabila dibandingkan dengan sektor perpajakan yang selalu meningkat seiring dengan pertumbuhanan ekonomi dan jumlah penduduk, SDA dibatasi hanya pada masa tertentu sesuai dengan dengan periode eksploitasinya yang suatu ketika akan berakhir. Dengan demikian, argumen bahwa SDA yang bersifat terbatas harus dioptimalkan untuk meningkatkan penerimaan negara dan terutama bagi daerah penghasil dan daerah lain di sekitarnya dalam satu provinsi. Meskipun demikian, keberadaan DBH SDA memiliki berbagai permasalahan, antara lain:
195
1)
DBH SDA berpotensi tidak stabil Pendapatan yang bersumber dari DBH SDA secara inheren tidak stabil, sehingga alokasi belanja dalam APBD untuk penyediaan pelayanan di daerah tidak boleh bertumpu pada sumber pendanaan yang tidak stabil.
2)
DBH SDA berpotensi menimbulkan ketimpangan keuangan antar daerah Tujuan utama dari pelaksanaan bagi hasil sumber daya alam adalah untuk mengurangi ketimpangan vertikal (memenuhi kebutuhan belanja daerah penghasil). Namun disisi lain, DBH SDA berpotensi menimbulkan ketimpangan antar daerah, karena sumberdaya alam yang belokasi di daerah tertentu saja. MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bagi Hasil Sumber Daya Alam (Sda)
15.2. Dasar Hukum dan Dasar Perhitungan DBH SDA Dasar hukum DBH SDA saat ini adalah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005. Pada Pasal 1 ayat 20, disebutkan:
Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
Dari definisi di atas terlihat bahwa DBH SDA ditujukan untuk membiayai kebutuhan pendanaan tugas daerah karena desentralisasi, bukan tugas Pusat di daerah. DBH dialokasikan berdasarkan prinsip by origin, yaitu ke daerah penghasil (baik daerah propinsi maupun daerah kabupaten/kota). Sedangkan penyaluran DBH dilakukan berdasarkan prinsip by actual, dimana besarnya DBH yang disalurkan kepada daerah didasarkan atas realisasi penyetoran Penerimaan Negara Pajak (PNP) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tahun anggaran berjalan. DBH SDA yang diatur saat ini berasal dari PNPB bidang kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi. Perhitungan Dana Bagi Hasil SDA dilakukan berdasarkan Penerimaan Negara bukan Pajak dari masing-masing jenis sumber daya alam yang menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 dibagihasilkan kepada daerah. Dasar perhitungan DBH SDA adalah sebagai berikut:
196
1)
DBH SDA Minyak bumi, dihitung berdasarkan produksi minyak yang terjual (lifting) dan produksi gas yang terjual dari masing-masing Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) setelah dikurangi dengan Domestic Market Obligation (DMO), Fee Usaha Hulu Migas, Pajak-pajak (PPN dan PBB), serta Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
2)
DBH SDA Pertambangan Umum, dihitung berdasarkan penerimaan dari iuran yang diterima negara sebagai imbalan atas kesempatan penyelidikan umum, eksplorasi atau eksploitasi pada suatu wilayah kerja (Landrent) dan iuran produksi pemegang kuasa usaha pertambangan atas hasil dari kesempatan eksplorasi/eksploitasi (Royalty).
3)
DBH SDA Kehutanan, dihitung berdasarkan penerimaan negara dari Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), dan Dana Reboisasi (DR). IIUPH merupakan pungutan yang dikenakan kepada Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan atas suatu kawasan hutan tertentu yang dilakukan sekali pada saat izin usaha diberikan. PSDH adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil yang dipungut dari Hutan Negara. Sedangkan DR adalah dana yang dipungut dari Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari Hutan Alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan.
4)
DBH SDA Perikanan, dihitung berdasarkan Pungutan Pengusahaan Perikanan (P3) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP). Pungutan Pengusahaan Perikanan adalah pungutan negara yang dikenakan MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bagi Hasil Sumber Daya Alam (Sda)
kepada pemegang Izin Usaha Perikanan dan/ atau Persetujuan Penggunaan Kapal Asing (PPKA) sebagai imbalan atas kesempatan yang diberikan oleh Pemerintah untuk melakukan usaha perikanan dalam Wilayah Perikanan Republik Indonesia. Pungutan Hasil Perikanan adalah pungutan negara yang dikenakan kepada pemegang Surat Penangkapan Ikan (SPI) dan atau Surat Izin Kapal Penangkap dan Pengangkut Ikan Indonesia (SIKPPII) dan atau Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) sesuai dengan hasil produksi perikanan yang diperoleh dan dijual di dalam negeri dan atau luar negeri. 5) DBH SDA Panas Bumi, dihitung berdasarkan setoran bagian Pemerintah setelah dikurangi kewajiban perpajakan dan pungutan lainnya atas dasar kontrak pengusahaan panas bumi yang ditandatangani sebelum Undang-undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi ditetapkan dan Iuran Tetap dan Iuran Produksi. Iuran Tetap merupakan iuran yang dibayarkan kepada negara sebagai kesempatan atas eksplorasi, studi kelayakan, dan ekspoitasi pada suatu wilayah, sedangkan Iuran Produksi adalah iuran yang diberikan kepada negara atas hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan panas bumi.
15.3. Formula Alokasi DBH SDA Dana Bagi Hasil SDA memegang peranan cukup dominan dalam memberikan kontribusi terhadap penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terutama kepada daerah-daerah penghasil yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Penerimaan DBH SDA diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005, bersumber dari PNBP dalam APBN yang dibagihasilkan kepada daerah dengan angka persentase tertentu didasarkan atas daerah penghasil untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DBH SDA berasal dari penerimaan: a. Pertambangan Minyak Bumi; b. Pertambangan gas Bumi; c. Pertambangan umum; d. Pertambangan Panas Bumi; e. Kehutanan; dan f. Perikanan. Alokasi DBH SDA ditunjukkan dalam skema berikut ini:
197
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bagi Hasil Sumber Daya Alam (Sda)
Gambar 15.2, Skema Bagi Hasil SDA Bagi Hasil Sumber Daya Alam
Kehutanan
Iuran Hak Penguasaan Hutan (IHPH)
Daerah 80%
Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)
Daerah 80%
Dana Reboisasi
Pertambangan Umum
Iuran Tetap (Land Rent) Iuran Eksplorasi dan Eksploitasi (Royalty)
Pusat 20%
Pusat 20%
Pusat 60%
Provinsi (16%) Kabupaten/Kota (64%) Provinsi (16%) Kabupaten/Kota Penghasil (32%) Kabupaten/Kota dalam satu provinsi (32%)
Daerah 40%
Pusat 20% Daerah 80% Pusat 20% Daerah 80%
Provinsi (16%) Kabupaten/Kota (64%) Provinsi (16%) Kabupaten/Kota Penghasil (32%) Kabupaten/Kota dalam satu provinsi (32%)
Perikanan
Pungutan Pengusahaan Perikanan
Pusat 20%
Pungutan Hasil Perikanan
Pertambangan Minyak Bumi
Pertambangan Gas Bumi
Pertambangan Panas Bumi
Kabupaten/Kota 80%
Provinsi 3,1%
0,1% Untuk Anggaran Pendidikan Dasar
Pusat 84,5%
Kabupaten/Kota Penghasil (6,2%)
0,2% Untuk Anggaran Pendidikan Dasar
Daerah 15,5%
Kabupaten/Kota Dalam 1 Provinsi (6,2%)
0,2% Untuk Anggaran Pendidikan Dasar
Provinsi 6,1%
0,1% Untuk Anggaran Pendidikan Dasar
Kabupaten/Kota Penghasil (12,2%)
0,2% Untuk Anggaran Pendidikan Dasar
Kabupaten/Kota Dalam 1 Provinsi (12,2%)
0,2% Untuk Anggaran Pendidikan Dasar
Pusat 69,5% Daerah 30,5% Setoran Bagian Pemerintah
Pusat 20%
Iuran tetap dan produksi
Daerah 80%
16% Peovinsi; 32% Kab/Kota Penghasil; 32% Kab/Kota dalam 1 provinsi
Sumber: Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004.
1.
DBH SDA Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (DBH SDA Migas)
Pola Pembagian DBH SDA Migas Porsi pembagian DBH SDA Minyak dan Gas menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 dapat dilihat pada gambar 5.2. dan 5.3. berikut:
198
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bagi Hasil Sumber Daya Alam (Sda)
Gambar 15.3. Porsi Pembagian DBH SDA Minyak Bumi
Daerah Penghasil Provinsi Provinsi Penghasil
5%
Seluruh Kab/Kota dalam provinsi yang bersangkutan
5%
Daerah Penghasil Kab/Kota
15% +
Provinsi Penghasil
0,17%
Seluruh Kab/Kota dalam provinsi yang 0,33% bersangkutan
0,5% Untuk Pendidikan Dasar
3%
Provinsi Yang bersangkutan
6%
Kab/ Kota Penghasil
6%
Kab/Kota dalam provinsi yang bersangkutan
0,1% Provinsi Yang bersangkutan 0,2%
Kab/ Kota Penghasil
0,2%
Kab/Kota dalam provinsi yang bersangkutan
Gambar 15.4. Porsi Pembagian DBH SDA Gas Bumi
Daerah Penghasil Provinsi Provinsi Penghasil
10%
Seluruh Kab/Kota dalam provinsi yang bersangkutan
20%
Daerah Penghasil Kab/Kota
6%
30% +
Provinsi Penghasil
0,17%
Seluruh Kab/Kota dalam provinsi yang 0,33% bersangkutan
0,5%
Provinsi Yang bersangkutan
12% Kab/ Kota Penghasil 12% Kab/Kota dalam provinsi yang bersangkutan 0,1% Provinsi Yang bersangkutan 0,2%
Kab/ Kota Penghasil
0,2%
Kab/Kota dalam provinsi yang bersangkutan
Pola pembagian tersebut tidak berlaku untuk Daerah Otonomi Khusus yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Papua Barat, selain mendapatkan DBH Migas, daerah otonomi khusus tersebut
199
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bagi Hasil Sumber Daya Alam (Sda)
mendapatkan tambahan DBH Migas yang merupakan bagian dari penerimaan pemerintah provinsi dengan ketentuan sebagai berikut: • •
bagian dari pertambangan Minyak Bumi sebesar 55%; dan bagian dari pertambangan Gas Bumi sebesar 40%.
Perhitungan Perkiraan DBH SDA Migas Perkiraan DBH SDA Migas per provinsi/kabupaten/kota yang dihitung oleh Ditjen Perimbangan Keuangan, selanjutnya dituangkan ke dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil SDA Migas. Dalam perhitungan tersebut, data yang digunakan disupply oleh berbagai instansi, antara lain: a)
Prognosa lifting per daerah penghasil berdasarkan Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Penetapan Daerah Penghasil Migas dan Dasar Perhitungan DBH SDA Migas;
b)
Surat Dirjen Anggaran-Kementerian Keuangan tentang Perkiraan PNBP Migas per KKKS (per jenis minyak khusus untuk minyak bumi, kecuali PT PERTAMINA EP).
Dalam perhitungan, Ditjen Perimbangan Keuangan melakukan grouping per KKKS (per jenis minyak khusus untuk minyak bumi, kecuali PT PERTAMINA EP) berdasarkan data Prognosa lifting dalam Surat Keputusan Menteri ESDM tentang penetapan daerah penghasil Migas dan Dasar Perhitungan DBH SDA Migas yang disampaikan oleh Ditjen Migas dengan data perkiraan PNBP per KKKS yang disampaikan Ditjen Anggaran. Lifting yang tersusun perdaerah penghasil per KKKS pada data Ditjen migas dikonsolidasi dengan data lifting per KKKS dari Ditjen Anggaran sehingga didapatkan data lifting per KKKS per daerah penghasil; data hasil grouping tersebut di persentasekan dengan total lifting per KKKS sehingga didapat rasio lifting per KKKS per daerah penghasil. Rasio lifting dimaksud untuk mengetahui porsi lifting yang dihasilkan KKKS pada daerah penghasil tertentu. Rasio tersebut dikalikan dengan PNBP per KKKS (sebagaimana yang tercantum dalam Surat Dirjen Anggaran tentang Perkiraan PNBP Migas) untuk mengetahui PNBP per KKKS per daerah penghasil. PNBP per KKKS per daerah penghasil yang berada pada daerah penghasil yang sama dijumlahkan sehingga didapatkan PNBP per daerah penghasil. PNBP per daerah penghasil dihitung porsi DBH-nya untuk bagian Pemerintah, daerah penghasil, dan daerah pemerataan berdasarkan undang-undang dan peraturan pemerintah. porsi DBH dari masing-masing daerah penghasil tersebut dijumlah sehingga didapat perkiraan alokasi DBH SDA Migas per provinsi/ kabupaten/kota untuk selanjutnya ditetapkan dalam peraturan Menteri Keuangan. Penghitungan Realisasi DBH SDA Migas Proses penghitungan realisasi DBH SDA Migas berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1) 200
penghitungan realisasi DBH SDA Migas dilakukan setiap triwulan; MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bagi Hasil Sumber Daya Alam (Sda)
2)
dana yang dibagihasilkan adalah penerimaan negara dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan;
3)
mekanisme perhitungan realisasi DBH SDA Migas hampir sama dengan penghitungan perkiraan alokasi DBH SDA Migas, yang membedakannya adalah data yang dirasiokan yakni data Realisasi Gross Revenue, sedangkan pada mekanisme penghitungan perkiraan alokasi DBH SDA Migas yang digunakan adalah data prognosa lifting. Hal ini dikarenakan Realisasi Gross Revenue sudah berbentuk satuan mata uang, sehingga perhitungan yang dihasilkan dianggap lebih mendekati dibanding jika menggunakan realisasi lifting;
4) Data yang disajikan baik oleh Ditjen Migas maupun Ditjen Anggaran dalam mekanisme penghitungan realisasi DBH SDA Migas ini merupakan kumulatif triwulanan, sehingga dikenal data realisasi triwulan I, realisasi s.d. triwulan II, realisasi s.d. triwulan III, dan realisasi s.d. triwulan IV. Proses pelaksanaan perhitungan dalam dilihat pada diagram berikut: Gambar 15.5. Mekanisme Perhitungan DBH SDA Migas
Daerah Penghasil Provinsi
DEP. ESDM DitJen Migas
DEPKEU DitJen PK Proses Perhitungan
Lifting per Daerah per KKKS Ratio Lifting/GR
BP. MIGAS DEP. KEU Dit. PNBP DJA Dep. Keu DJP
PNBP per KKKS
PNBP per Daerah
PBB. MIGAS DBH per Daerah
Penyaluran DBH SDA Migas Setelah diketahui hasil perhitungan DBH SDA Migas yang akan disalurkan ke masing-masing provinsi/ kabupaten/kota, maka dilakukan proses rekonsiliasi data antara Pemerintah (yang diwakili oleh BP Migas, Kemendagri, Ditjen Migas, Ditjen Anggaran, Ditjen Pajak dan Ditjen Perimbangan Keuangan) dengan daerah penghasil. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa perhitungan realisasi DBH SDA dilakukan secara triwulanan melalui mekanisme rekonsiliasi data antara Pemerintah dan daerah penghasil. Hasil rekonsiliasi dituangkan dalam berita acara rekonsiliasi yang kemudian menjadi dasar penyaluran DBH SDA Migas ke rekening umum kas provinsi/kabupaten/kota penerima DBH SDA Migas.
201
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bagi Hasil Sumber Daya Alam (Sda)
Format penyaluran DBH SDA Migas sudah mengalami beberapa perubahan sejalan dengan kebijakan Dirjen Perimbangan Keuangan. Penyaluran DBH Migas mulai dari tahun 2008 dilakukan secara triwulan dengan ketentuan sebagai berikut: a)
Penyaluran DBH Migas triwulan I dan triwulan II masing-masing dilaksanakan sebesar 20% dari pagu perkiraan alokasi sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan. DBH SDA Migas triwulan I disalurkan pada bulan Maret dan triwulan II pada bulan Juni;
b)
Penyaluran DBH Migas triwulan III memperhitungkan realisasi DBH SDA Migas bulan Desember s.d. Mei dikurangi penyaluran triwulan I dan triwulan II. DBH SDA Migas triwulan III disalurkan pada bulan September;
c)
Penyaluran DBH Migas triwulan IV memperhitungkan realisasi DBH SDA Migas bulan Desember s.d. Agustus dikurangi penyaluran triwulan I s.d. triwulan III. DBH SDA Migas triwulan IV disalurkan pada bulan Desember;
d)
Penyaluran DBH Migas rampung (bersumber dari dana cadangan) memperhitungkan realisasi DBH SDA Migas bulan Desember s.d. November (satu tahun anggaran) dikurangi penyaluran triwulan I s.d. triwulan IV dengan batas maksimal sebesar pagu perkiraan alokasi sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan. Sisa rampung DBH SDA Migas tersebut disalurkan pada bulan Februari tahun anggaran berikutnya;
e)
Apabila penyaluran DBH SDA Migas terdapat kekurangan yakni Pemerintah kurang bayar, maka penyaluran dilakukan melalui mekanisme APBN dan/atau APBN-P tahun berikutnya;
f)
Realisasi penyaluran DBH SDA Migas tidak boleh melebihi 130% dari asumsi dasar harga Minyak dan Gas Bumi dalam APBN. Apabila melebihi maka penyaluran dilakukan melalui mekanisme APBN Perubahan.
Adapun diagram proses pelaksanaan perhitungannya sebagai berikut: Gambar 15.6. Alur Perhitungan dan Penyaluran DBH Migas DitJen Pajak
DJA/DPNBP
PBB PNBP Per KKKS
DJPK
PNBP Netto per Daerah BP. MIGAS Lifting, Gross, Revenue, Cost Recovery, FTP, Lifting BGN Pemerintah, PPN
KKKS
202
SPM
Perhitungan Dengan Ratio
DBH Migas Per Daerah
DJPB DIPA
DitJen Migas SP2D
Lifting Pemda
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
BI
Bagi Hasil Sumber Daya Alam (Sda)
Selanjutnya mekanisme penyaluran DBH Migas dan proporsi pencairan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 15.1.
Pola Penyaluran DBH Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi Triwulan
Periode Realisasi
Besaran Penyaluran
Waktu Penyaluran
I
Tidak mempertimbangkan realisasi
20% dari perkiraan alokasi
Maret
II
Tidak mempertimbangkan realisasi
20% dari perkiraan alokasi
Juni
III
Desember s/d Mei
Realisasi dikurangi penyaluran Tw I dan Tw II
September
IV
Desember s/d Agustus
Realisasi dikurangi penyaluran Tw I s/d Tw III
Desember
V
Desember s/d November
Realisasi dikurangi penyaluran Tw I s/d Tw IV
Februari
Sumber: Kementerian Keuangan RI.
Pemantauan dan Evaluasi Pada dasarnya DBH SDA Migas sebagaimana DBH SDA lainnya bersifat Block Grant yang kewenangan penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada pemda penerima, kecuali untuk dana Tambahan Anggaran Pendidikan Dasar sebesar 0,5% dari porsi DBH SDA Migas harus digunakan untuk sektor pendidikan dasar yang tata cara penggunaannya akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan. Menteri Keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi atas penggunaan dana tambahan anggaran pendidikan dasar tersebut. Pemantauan atas dana tambahan ini menyangkut apakah penggunaannya sesuai dengan peruntukannya. Apabila hasil pemantauan dan evaluasi mengindikasikan adanya penyimpangan dalam pelaksanaannya, maka Menteri Keuangan meminta aparat pengawasan fungsional untuk melakukan pemeriksaan. Hasil pemeriksaan tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengalokasian DBH SDA Migas untuk tahun anggaran berikutnya, yaitu daerah tersebut dapat dikenai sanksi administrasi berupa pemotongan penyaluran DBH SDA Migas untuk periode berikutnya.
2.
DBH SDA Pertambangan Umum
Penerimaan Negara Bukan Pajak dari sektor pertambangan umum terdiri dari iuran eksplorasi dan eksploitasi (royalty) dan iuran tetap (landrent). Kedua iuran tersebut ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku
203
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bagi Hasil Sumber Daya Alam (Sda)
Pada Departemen ESDM. Dalam peraturan tersebut, tarif iuran tetap merupakan tarif satuan atas nilai US$ per luas area eksploitasi/eksplorasi (hektar). Besarnya tarif dibedakan atas dasar tahap kegiatan dan status (perpanjangan atau tidak) untuk Kuasa Pertambangan, tarif iuran tetap yang dikenakan pada Kuasa Pertambangan merupakan tarif satuan atas nilai rupiah per satuan luas eksploitasi/ eksplorasi (hektar) dan besarnya tarif juga dibedakan atas dasar tahap kegiatan dan status (perpanjangan atau tidak). Pemungutan iuran tetap, yang dikenakan di sektor pertambangan dilakukan setiap semester. Iuran Eksplorasi/Eksploitasi (royalty) adalah iuran produksi yang diterima Negara dalam hal Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi mendapat hasil berupa bahan galian yang tergali atas kesempatan eksplorasi yang diberikan kepadanya serta atas hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan eksploitasi satu atau lebih bahan galian. Royalty adalah pembayaran kepada Pemerintah berkenaan dengan produksi mineral yang berasal dari area penambangan. Royalti harus dibayar dalam satuan rupiah atau satuan lainnya yang disetujui bersama. Tarif royalti untuk pertambangan mineral dan batubara ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003, tarif royalti bersifat advalorem (dalam persentase) dan dikenakan terhadap harga jual yang telah dikalikan dengan jumlah produksi. Tata cara penghitungan Iuran Eksplorasi/Eksploitasi (royalty) sebagai berikut:
Jumlah Produksi yang Terjual x Persentase Tarif (%) x Harga Jual (US$)
Besarnya tarif berbeda-beda untuk setiap jenis dan kualitas bahan galian. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 ini juga memasukkan peraturan mengenai besarnya tarif royalti untuk bahan tambang batubara. Sebelumnya pengenaan royalti untuk batubara sudah termasuk dalam bagian Pemerintah dari Dana Hasil Produksi Batubara (DHPB) yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1996. Dalam peraturan tersebut, Pemerintah mendapat 13,5% dari produksi batubara (dana hasil produksi batubara/DHPB). Bagian Pemerintah sebesar 13,5% tersebut sudah mencakup pembayaran royalti yang diestimasikan sebesar 3,3% dari 13,5% DHPB. Iuran Tetap (landrent/deadrent) adalah seluruh penerimaan iuran yang diterima Negara sebagai imbalan atas kesempatan penyelidikan umum, eksplorasi atau eksploitasi pada suatu Wilayah Kuasa Pertambangan (dalam hal ini termasuk Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara). Tatacara penghitungan Iuran Tetap (landrent/deadrent) sebagai berikut:
Luas Wilayah KP/KK/PKP2B (Ha) x Tarif (Rp/US$)
Selanjutnya untuk perhitungan DBH SDA Pertambangan umum sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005, bagian daerah dari landrent adalah sebesar 80% dengan rincian 16% untuk provinsi yang bersangkutan dan 64% untuk kabupaten/kota penghasil (lihat gambar 3.9). Untuk bagian daerah
204
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bagi Hasil Sumber Daya Alam (Sda)
dari royalti adalah sebesar 80% dengan rincian 16% untuk provinsi yang bersangkutan, 32% untuk kabupaten/ kota penghasil, dan 32% untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Gambar 15.7. DBH SDA Pertambangan Umum DitJen Pajak
Iuran Tetap
Royalty
Provinsi
Kab/ Kota Penghasil
Provinsi
Kab/ Kota Penghasil
16%
64%
16%
32%
Kab/Kota lain dalam provinsi yang bersangkutan
32%
Selanjutnya, porsi pembagian DBH SDA Pertambangan Umum berdasarkan jenis DBH dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 15.2.
Porsi Pembagian DBH SDA Pertambangan Umum JENIS DBH PERTAMBANGAN UMUM UNTUK DAERAH
3.
% UNTUK DAERAH
PORSI PROV
KAB/ KOTA PENGHASIL
KAB/ KOTA LAIN DALAM PROV
LAND RENT PENGHASIL KAB/KOTA
80%
16%
64%
-
LAND RENT PENGHASIL PROVINSI
80%
80%
-
-
ROYALTI PENGHASIL KAB/KOTA
80%
16%
32%
32%
ROYALTI PENGHASIL PROVINSI
80%
26%
-
54%
DBH SDA Kehutanan
Dana Bagi Hasil SDA Kehutanan berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak dari sektor kehutanan terdiri: a)
205
Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH); adalah pungutan yang bersifat license fee (terkait dengan perizinan) yang dikenakan kepada Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan atas suatu kawasan hutan tertentu yang dilakukan sekali pada saat izin tersebut diberikan. Tarif IIUPH terakhir diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998. Di dalam peraturan tersebut dinyatakan MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bagi Hasil Sumber Daya Alam (Sda)
bahwa tarif yang dikenakan adalah tarif satuan Rupiah per satuan luas Hak Pengusahaan Hutan (HPH) (hektar). Besarnya tarif tergantung dari (1) kategori wilayah dan (2) status HPH (baru/ perpanjangan/ HPHTI). IHPH dikenakan satu kali untuk jangka waktu berlakunya HPH (atau sekitar 20 tahun). b)
Dana Reboisasi (DR); adalah dana yang dipungut dari pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari Hutan Alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan.
c)
Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH); adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil yang dipungut dari Hutan Negara.
Tarif PSDH tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 859/KptsII/1999. Dalam peraturan tersebut, tarif yang dikenakan adalah tarif satuan Rupiah per m3, yang besarnya tergantung dari (1) kategori wilayah dan (2) kelompok jenis kayu/bukan kayu. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dikenakan terhadap pemegang HPH, pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) dan pemegang Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) (lihat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 juga Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999). Pada HPH, untuk penyaluran produksi ke industri terkait dengan HPH, pembayaran dilakukan oleh pihak industri penerima. Untuk produksi yang disalurkan ke industri yang tidak terkait dengan pemegang HPH, pembayaran dilakukan oleh pemegang HPH pada saat pengangkutan. Pembayaran dilakukan setiap bulan atas dasar produksi bulan sebelumnya, disetor langsung ke Rekening Menteri Kehutanan dan Perkebunan. Perhitungan jumlah kayu yang dikenai kewajiban untuk membayar PSDH dan Dana Reboisasi didasarkan dari Laporan Hasil Penebangan (LHP). Sistem pelaporan produksi hasil hutan tersebut bersifat self assessment yaitu perusahaan pemegang HPH mengisi volume produksi dan jenis tanaman. Setelah itu diterbitkan dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang sebelumnya disebut Surat Angkutan Kayu Olahan (SAKO). Pengesahan LHP dilakukan setelah diadakan pengukuran sampling 10% dari area produksi oleh petugas kehutanan untuk menguji kebenaran pengisian dokumen LHP. Jika terjadi penyimpangan volume <5%, LHP tetap disahkan, namun tidak berlaku untuk kesalahan pengisian jenis tanaman. Gambar 15.8. Perhitungan DBH SDA Kehutanan Penerimaan Kehutanan
IUUPH
206
20 %
16 %
Bagian Pusat
Bagian Provinsi
PSDH
64 % Bagian
Kab/ Kota Penghasil
20 %
16 %
Bagian Pusat
Bagian Provinsi
DR
32 % Bagian
Kab/ Kota Penghasil
32 % Pemerataan untuk Kab/Kota lain dalam Provinsi
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
40 % Bagian
Kab/ Kota Penghasil
Bagi Hasil Sumber Daya Alam (Sda)
Mulai tahun 2006 dilakukan pengalihan sumber penerimaan yang berasal dari kehutanan yakni semula Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) menjadi DBH Dana Reboisasi (DBH-DR) serta Penetapan DBH PPh Wajib Pajak orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN) dan PPh Psl 21 masing-masing kabupaten/ kota yang sebelumnya ditetapkan oleh Gubernur mulai tahun 2006 ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Dalam perkembangannya, realisasi DBH senantiasa menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya realisasi penerimaan dalam negeri yang dibagihasilkan. Tarif Dana Reboisasi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan Dan Perkebunan. Tarif Dana Reboisasi merupakan tarif satuan US $ per m3, dimana besarnya tergantung dari (1) kategori wilayah dan (2) kelompok jenis kayu/bukan kayu. Menurut undang¬undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pungutan Dana Reboisasi ini dikenakan terhadap pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan. Perhitungan bagian daerah akan ditetapkan berdasarkan rencana produksi hasil hutan dan rencana penerbitan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau Usaha Pemanfaatan Hutan (UPH) dengan perhitungan sebagai berikut: •
•
Perkiraan penerimaan IHPH/IIUPH, baik hutan alam maupun tanaman yang dihitung dari luas areal yg akan diterbitkan izin HPH/UPH dikalikan tarif IHPH yang berlaku; Perkiraan penerimaan PSDH yang dihitung dari target produksi hasil hutan kayu dan bukan dan dikali tarif PSDH yang berlaku; Perkiraan Penerimaan PSDH dan yang bersumber dari tunggakan PSDH.
4.
DBH SDA Perikanan
•
Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Perikanan berasal dari Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP). Pungutan Pengusahaan Perikanan, yaitu pungutan hasil perikanan yang dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia yang memperoleh Izin Usaha Perikanan (IUP), Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman Modal (APIPM), dan Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), sebagai imbalan atas kesempatan yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia untuk melakukan usaha perikanan dalam wilayah perikanan Republik Indonesia. Pungutan Hasil Perikanan, yaitu pungutan hasil perikanan yang dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia yang melakukan usaha penangkapan ikan sesuai dengan Surat Penangkapan Ikan (SPI) yang diperoleh. Pungutan untuk sektor perikanan ini diatur dalam SK Menteri Pertanian Nomor 424/ Kpts/7/1977. Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) bersifat license fee, dikenakan satu kali pada saat pengajuan permohonan Surat Ijin Kapal Perikanan. Tarif PPP merupakan tarif nominal (US$) dan didasarkan atas
207
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bagi Hasil Sumber Daya Alam (Sda)
ukuran kapal penangkapan ikan (Dead weight Ton - DWT). Dalam hal ini tarif dikenakan atas dasar berat kosong kapal. Adapun Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dikenakan pada hasil produksi sektor perikanan yang diekspor. Tarif yang dikenakan bersifat ad valorem (persentasi), dimana besar tarif dibedakan menurut kelompok jenis ikan. Perhitungan DBH SDA Perikanan a)
Pungutan Pengusahaan Perikanan, obyek yang penting dalam penghitungan PPP adalah: Kapal Penangkapan Ikan.
Rumus yang dipakai untuk menghitung PPP adalah:
PPP = Tarif (US $) x Ukuran Kapal (DWT) Data yang dibutuhkan untuk dapat menghitung PPP adalah: 1) Data Jumlah Surat Izin Kapal Perikanan yang dikeluarkan. 2) Daftar Tarif Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) Tabel 15.3.
Tarif Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) No.
Ukuran Kapal
Tarif
1.
< 50 DWT
US$ 500
2.
50-100 DWT
US$1.000
Sumber: SK Mentan No.424/Kpts/7/1977 Catatan: untuk setiap kelebihan di atas 100 DWT dengan pembulatan perhitungan sampai dengan 50 DWT, dikenakan tambahan tarif sebesar US$ 250.
b)
Pungutan Hasil Perikanan (PHP)
Obyek dalam penghitungan PHP ini adalah: Hasil Produksi Sektor Perikanan yang diekspor, dengan rumus sebagai berikut:
PHP = Hasil Produksi (Ton) x Tarif (%) Data yang diperlukan adalah: 1) Data Hasil Ekspor Produksi Sektor Perikanan. 2) Daftar Tarif PHP untuk setiap jenis ikan.
208
Dalam penghitungan ini hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah jumlah kapal dan volume hasil produksi perikanan yang akan diekspor.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bagi Hasil Sumber Daya Alam (Sda)
Tabel 15.4.
Tarif Pungutan Pungutan Hasil Perikanan (PHP) No.
Ukuran Kapal
Tarif %
1
Udang
2,0
2
Ikan tuna, cakalang.
1,5
3
Lain-lain yang tidak termasuk gol.1 dan 2
1,0
Sumber: SK Mentan No.424/Kpts/7/1977
5.
DBH SDA Pertambangan Panas Bumi
Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Pertambangan Panas Bumi diperhitungkan berdasarkan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari: a)
Setoran Bagian Pemerintah
Setoran pengusahaan panas bumi yang diterima pemerintah sebesar 34% dari pemerimaan bersih usaha atau Net Operating Income (NOI) setelah dikurangi kewajiban perpajakan. Setoran bagian pemerintah ini dikenakan atas kontrak pengusahaan panas bumi yang ditandatangani sebelum berlakunya UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.
b)
Iuran Tetap dan Iuran Produksi
Iuran Tetap adalah Iuran yang dibayarkan kepada negara sebagai kesempatan atas eksplorasi, studi kelayakan, dan eksploitasi SDA pada suatu wilayah. Sedangkan Iuran Produksi adalah iuran yang diberikan kepada negara atas hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan panas bumi.
Penerimaan Iuran Tetap dan Iuran Produksi ini dikenakan atas kontrak pengusahaan panas bumi yang ditandatangani setelah berlakunya UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.
PNBP dari pertambangan panas bumi sampai dengan tahun 2011 (existing) masih berasal dari Setoran Bagian Pemerintah yang ditempatkan pada Rekening Panas Bumi nomor 508.000084 pada Bank Indonesia. Selain untuk menampung penerimaan setoran bagian Pemerintah, rekening tersebut juga digunakan untuk membayarkan pengeluaran kewajiban Pemerintah terkait dengan kegiatan usaha panas bumi yaitu:
209
•
Pembayaran kembali (reimbursment) Pajak Pertambahan Nilai (PPN);
•
Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
•
Pembayaran lainnya. MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bagi Hasil Sumber Daya Alam (Sda)
Selisih dari penerimaan dan pembayaran kewajiban pemerintah tersebut merupakan penerimaan negara yang dapat dibagihasilkan kepada daerah dalam bentuk DBH SDA Panas Bumi. DBH SDA Panas Bumi sesuai Pasal 14 huruf g UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dibagi dengan imbangan 20% bagian Pemerintah dan 80% bagian daerah. Bagian daerah dengan rincian: 16% bagian provinsi, 32% bagian kab/kota penghasil dan 32% bagian kab/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
15.4. Penetapan Alokasi DBH SDA Penetapan Alokasi DBH SDA diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2005 pasal 27 sebagai berikut: 1)
Menteri Teknis menetapkan daerah penghasil dan dasar penghitungan DBH SDA paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan setelah berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri.
2)
Dalam hal sumber daya alam berada pada wilayah yang berbatasan atau berada pada lebih dari satu daerah, Menteri Dalam Negeri menetapkan daerah penghasil sumber daya alam berdasarkan pertimbangan menteri teknis terkait paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah diterimanya usulan pertimbangan dari menteri teknis.
Gambar 15.9. Mekanisme Penetapan Alokasi DBH SDA
APBN
Penetapan Daerah Penghasil Men. Teknis
SK Daerah Penghasil
Konsultasi Batas Wilayah Dalam hal sumber daya alamaberada pada wilayah yang berbatasan atau berada pada lebih dari 1 daerah
Per Kab/Kota (dalam rupiah Volume Produksi) Penetapan Perkiraan Alokasi
MenKeu
a. b.
210
Mendagri
PMK Alokasi DBH SDA
Per Kab/Kota (dalam rupiah)
Ketetapan Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud menjadi dasar penghitungan DBH sumber daya alam oleh menteri teknis. Ketetapan Menteri teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri Keuangan. MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bagi Hasil Sumber Daya Alam (Sda)
c.
Menteri Keuangan menetapkan perkiraan alokasi DBH SDA untuk masing-masing daerah paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya ketetapan dari menteri teknis.
d.
Perkiraan alokasi DBH SDA Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk masing-masing daerah ditetapkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah menerima ketetapan dari menteri teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perkiraan bagian pemerintah, dan perkiraan unsur-unsur pengurang lainnya.
15.5. Penyaluran DBH SDA Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, kekuasaan pengelolaan keuangan negara tersebut diserahkan kepada gubernur/bupati/ walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintahan daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Hal ini berarti, pemerintah daerah melakukan sendiri pengelolaan keuangan daerah mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan sampai dengan pertanggungjawabannya. Sejalan dengan amanat undang-undang tersebut, dalam upaya menyempurnakan bagan akun standar Menteri Keuangan telah mengelompokkan bagan akun yang terkait dengan pengalokasian Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian ke dalam kelompok bagan akun tersendiri yaitu ”Kelompok Transfer ke Daerah” menggantikan ”Kelompok Belanja ke Daerah”. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar. Spada tahun 2008, perubahan ini diimplementasikan ke dalam perubahan nomenklatur APBN dari sebelumnya ”Belanja ke Daerah” menjadi ”Transfer ke Daerah” dan diikuti pula dengan perubahan mendasar dalam pelaksanaan penyalurannya dari kas negara ke kas daerah. Pelaksanaan penyaluran ini terakhir diatur dalam Permenkeu No. 126/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah. Penyaluran angggaran Transfer ke Daerah dilakukan dengan cara pemindahbukuan dari rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah. Dalam rangka penyaluran tersebut, Bendaharawan Umum Daerah (BUD) atau Kuasa BUD membuka rekening pada bank sentral atau bank umum untuk menampung penyaluran semua anggaran Transfer ke Daerah (DBH Pajak, DBH SDA, DAU, dan DAK) dengan nama Rekening Kas Umum Daerah. Secara umum, pola penyaluran DBH SDA dilaksanakan secara triwulanan, yaitu: a) b) 211
Triwulan I sebesar 20% dari pagu di Peraturan Menteri Keuangannya; Triwulan II sebesar 20% dari pagu di Peraturan Menteri Keuangannya; MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bagi Hasil Sumber Daya Alam (Sda)
c)
Triwulan III berdasarkan: • perhitungan perkiraan realisasi penerimaan negara sampai dengan triwulan II. • penyaluran triwulan I dan II (40 persen PMK)) + (lebih salur tahun sebelumnya).
d) Triwulan IV berdasarkan (perhitungan perkiraan realisasi penerimaan negara sampai dengan triwulan III) – (penyaluran s.d. triwulan III) e)
Penyaluran rampung tahun sebelumnya (bulan Februari) berdasarkan (perhitungan perkiraan realisasi penerimaan negara sampai dengan triwulan IV) – (penyaluran s.d. triwulan IV).
15.6. Soal Latihan
212
1.
Jelaskan Pengertian DBH dan perbedaan dengan Dana Alokasi Umum (DAU)
2.
Kenapa DBH berpotensi menimbulkan ketimpangan fiskal antar daerah
3.
Apa saja jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari SDA yang dibagihasilkan di Indonesia
4.
Jelaskan Formula Alokasi DBH Migas antara daerah dengan status Otonomi Khusus dengan daerah otonom lainnya
5.
Apa yang dimaksud dengan Triwulan ke V dalam penyaluran DBH.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TOPIK 16
DANA ALOKASI UMUM (DAU)
Dana Alokasi Umum (DAU)
Deskripsi: Topik ini menjelaskan tentang: • Konsep, tujuan dan fungsi Dana Alokasi Khusus • Formula DAK dan peranan masing-masing variabel dalam penentuan jumlah DAK setiap daerah
Sub Topik Konsep Dasar, Tujuan dan Fungsi DAK
Kata Kunci Pemerataan Fiskal,
Kriteria DAK
Grant Specific, Matching Grant, urusan daerah prioritas nasional, close-ended
Mekanisme Penyaluran DAK
Formula DAK, indeks fiskal netto, tahapan penyaluran, monitoring dan evaluasi, pelaporan
Referensi: 1.
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
2.
UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
3.
PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
4.
Nota Keuangan RAPBN Tiap Tahunnya dapat di download dari web
5.
Pelengkap Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah,
Pemerintahan Daerah.
http://www.anggaran.depkeu.go.id Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia, berbagai tahun, dapat di download dari http://www.djpk.depkeu.go.id/ 6.
214
PMK Tahun berjalan.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Alokasi Umum (DAU)
16.
DANA ALOKASI UMUM (DAU)
16.1. Konsep Dasar, Tujuan dan Fungsi DAU Dana Alokasi Umum (DAU) diberbagai Negara disebut General Purpose Grants adalah salah satu jenis transfer yang menjadi pendapatan umum bagi penerimanya. Jenis transfer ini juga disebut unconditional grant dimana grant yang diberikan tidak dikaitkan dengan persyaratan apapun oleh sipemberi. Unconditional grant bukanlah satu-satunya bentuk transfer antar pemerintahan. Terdapat berbagai jenis transfer dari Pemerintah Pusat ke daerah yang dipraktekkan di dunia antara lain seperti grant untuk bidang tertentu (specific grant), matching grant, grant untuk menutupi defisit (deficit grant) dan kondisi tak terduga (emergency grant), dll. Unconditional grant yang penggunaannya bebas adalah bentuk transfer dalam rangka mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal yang memberikan keleluasaan kepada daerah penerima untuk mengalokasikannya sesuai dengan prioritas daerah (local priorities). Dengan kata lain, tujuan pemberian grant ini adalah untuk mendukung ketersediaan dana bagi Pemerintah Daerah dalam menjalankan fungsi yang telah didesentralisasikan. Tujuan pemberian grant ini sangat berbeda dengan tujuan berbagai jenis specific grants yang biasanya diberikan kepada daerah untuk pencapaian tujuan nasional (national priorities) tertentu yang pelaksanaan tugasnya sudah menjadi tanggungjawab daerah. Dengan sifatnya yang bebas digunakan, unconditional grant pada umumnya juga digunakan sebagai instrumen utama pemerataan kemampuan fiskal antar daerah. Sehingga jenis tranfer ini juga dinamai equalization grant (grant pemerataan). Program pemerataan kemampuan fiskal dipraktekkan oleh banyak negara di dunia, baik negara federasi maupun negara kesatuan. Program ini dapat dianggap sebagai upaya untuk menempatkan daerah-daerah pada posisi fiskal yang sama untuk menjalan tugasnya. Program pemerataan fiskal dilakukan dengan berbagai cara didasarkan kepada prinsip tertentu dan sasaran yang ingin dicapat oleh negara tersebut. Di Kanada, sebagai contoh, sasarannya adalah untuk memberdayakan setiap propinsinya dapat menyediakan pelayanan publik pada tingkat yang relatif sama kepada seluruh penduduknya dengan pengenaan tingkat pajak yang relatif sama pula. Demikian juga halnya dengan Australia dimana sasaran yang dideklarasikan adalah untuk mengoreksi ketidakmerataan fiskal horizontal (ketidak merataan antar negara bagian) untuk menyediakan pelayanan dengan standar nasional tertentu kepada penduduknya
215
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Alokasi Umum (DAU)
Meskipun beberapa negara memiliki sasaran yang hampir sama untuk program pemerataan fiskalnya, namun penerapannya bisa saja berbeda. Sebagai contoh, Australia dan Kanada memiliki sasaran pemerataan fiskal yang sama, namun metode yang digunakan dalam mengalokasikan dana sangat berbeda. Sistem di Kanada hanya mengupayakan pemerataan kapasitas fiskal tanpa mempertimbangkan kebutuhan fiskal dari propinsi-propinsinya. Sedangkan sistem pemerataan fiskal di Australia mengakomodasi keduanyanya (kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal). Sistem Pemerataan Fiskal di Australia dikenal sebagai salah satu sistem yang paling komprehensif di dunia. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa program pemerataan fiskal dirancang untuk membantu daerah yang rendah pendapatannya dan/atau tinggi biaya penyediaan pelayanannya dengan pengorbanan daerah yang tinggi pendapatannya dan/atau rendah biaya pelayanannya (Walsh & Thomson, 1994). Meskipun demikian, tidak akan pernah ada sistem pemerataan fiskal yang sempurna. Yang terjadi pada prakteknya adalah upaya untuk mengurangi ketimpangan fiskal diantara daerah yang se- tingkat sampai ke tingkat yang dapat diterima (acceptable level). Dalam praktek di berbagai negara, ada dua cara untuk mengalokasikan equalisation transfer ke daerah yaitu dengan formula dan tanpa formula. Bagaimanapun juga pengalokasian dengan formula memiliki banyak kelebihan. Diantaranya yang paling penting sebagaimana yang dijelaskan Ma(1997) adalah terhindarinya upaya untuk melakukan lobi oleh Pemerintah daerah. Dengan penggunaan formula diharapkan terjadinya sistem alokasi yang adil dan transparan. Pengunaan formula sudah dilakukan oleh banyak negara maju seperti Australia, Inggris, Kanada, Jerman, Swiss dan Jepang. Namun, formula memerlukan ketersediaan data yang dapat diandalkan untuk memperkirakan kebutuhan belanja dan kapasitas fiskal daerah. Sistem grant pemerataan di Inggris, misalnya, menggunakan sekitar 30 variabel dalam tujuh kategori belanja pemerintah daerah untuk mengestimasi kebutuhan belanjanya1. Commonwealth Grant Commission (CGC) di Australia, sebagai contoh, menggunakan sekitar 11 kategori belanja dengan 5 variabel pada setiap kategori untuk mengukur kebutuhan fiskal negara bagiannya2. Perhitungan yang sangat komprehensif di Australia dan di Inggris adalah hasil dari pengembangan sistem dalam beberapa dekade. Sumber dana dari equalization transfer biasanya ada dua macam. Pertama dari penerimaan pemerintah pusat dan kedua dari kumpulan dana tertentu di tingkat negara bagian/propinsi/daerah. Di beberapa negara seperti Inggris, Jepang dan Korea, sumber dana equalisation transfer adalah penerimaan pemerintah pusatnya. Namun di Jerman, sumber transfer adalah kumpulan dari penerimaan negara bagian yaitu pajak pertambahan nilai (PPN) dan pembayaran pemerataan antar negara bagian (Ma, 1997 & Spahn, 1997). Lotz (1997, p.200) menyebut model jerman sebagai model Robin-Hood dimana sumber daya 1 Lihat Devas (1994), Davey (1989), and Ma (1997). 2 Lihat Commonwealth Grant Commission (2002).
216
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Alokasi Umum (DAU)
diambil dari wilayah yang kaya dan diberikan ke wilayah miskin tanpa adanya dana dari Pemerintah Pusat. Dalam menentuan jumlah dana yang ditransfer untuk pemerataan, beragam cara dipraktekkan di dunia. Di beberapa negara jumlahnya dipatok sebagai prosentase tertentu dari penerimaan pemerintah pusat. Namun di negara tertentu, jumlah yang di transfer sepenuhnya merupakan kewenangan dari pemerintah pusat untuk menentukannya. Yang menjadi perhatian disini adalah adalah keandalan (reliability) dan prediktabilitas dari dana. Apabila jumlahnya dipatok sebagai prosentase tertentu dari penerimaan pemerintah pusat, maka reliable dan predictable dari jumlah dana akan mengikuti kondisi penerimaan negara. Namun jika jumlah yang ditransfer ditentukan oleh pemerintah pusat, akan ada ketidakpastian dalam hal jumlah yang akan ditransfer. Indonesia sejak tahun 2001 telah mendistribusikan Dana Alokasi Umum (DAU). DAU didistribusikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah daerah dengan sasaran untuk memeratakan kemampuan fiskal antar daerah, sebagaimana tertulis pada pasal 1 ayat 18 UU No. 25 Tahun 1999 dan juga pasal 1 ayat 21 UU No. 33 Tahun 2004 sebagai berikut:
Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah bagian dari dana perimbangan yang ditransfer oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah untuk tujuan mengurangi ketimpangan fiskal horizontal (horizontal fiscal imbalance). Itu berarti DAU juga disebut equalization grant yaitu grant (bantuan) yang ditujukan untuk memeratakan kemampuan keuangan daerah. Daerah yang “miskin” (kemampuan keuangan yang rendah) akan mendapat DAU yang relatif lebih besar dari daerah yang “kaya” (kemampuan keuangan yang tinggi). Sebagai general purpose grant, keberadaan DAU dilandasi oleh prinsip categorical equity (keadilan kategori) menyatakan bahwa seluruh warga negara dimanapun berada berhak mendapatkan pelayanan dasar (seperti pendidikan dasar, pelayanan kesehatan, infrastruktur daerah, dll) pada standar minimum tertentu. Oleh karena pelayanan dasar adalah merupakan tanggungjawab Pemerintah Daerah, maka Pemda yang “miskin” harus diberi bantuan dana agar dapat menyediakan pelayanan dasar dengan standar minimum tersebut. Artinya pengalokasian DAU yang optimal adalah dapat memeratakan kemampuan keuangan daerah untuk mendanai penyediaan pelayanan dasar tertentu pada standar minimum nasional.
217
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Alokasi Umum (DAU)
16.2. Formula DAU (Alokasi Dasar dan Fiscal Gap) Dasar hukum Dana Alokasi Umum: a)
UUD 1945 Pasal 18A ayat (2): Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan berdasarkan undang-undang.
b)
UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Bab V Pasal 22 Ayat (1): Pemerintah Pusat mengalokasikan Dana Perimbangan kepada Pemerintah Daerah.
c)
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dengan Pemerintahan Daerah.
d)
PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
DAU adalah dana yang bersumber dari Pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dari definisi yang diberikan UU 33 Tahun 2004, jelas bahwa DAU merupakan instrumen transfer yang ditujukan untuk meminimumkan ketimpangan fiskal antar daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 porsi Dana Alokasi Umum (DAU) ditetapkan sekurangkurangnya 26 persen dari Penerimaan Dalam Negeri Netto. Sementara itu, proporsi pembagian DAU adalah bagian 10% untuk Provinsi dan bagian 90 persen untuk Kabupaten/Kota. Pengalokasian DAU didasarkan atas formula dengan konsep Alokasi Dasar dan Celah Fiskal (Fiscal Gap), yaitu selisih antara Kebutuhan Fiskal dengan Kapasitas Fiskal. a.
Variabel DAU 1) Variabel Alokasi Dasar adalah belanja pegawai yang dicerminkan oleh jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD). 2) Variabel kebutuhan fiskal terdiri dari jumlah penduduk, luas wilayahdarat dan perairan, Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Kemahalan Konstruksi, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita (sesuai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004). 3) Variabel kapasitas fiskal yang merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan DBH Pajak dan DBH SDA.
b.
218
Formula DAU dalam Kerangka Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Bentuk umum formula alokasi DAU kepada masing-masing daerah secara formula dapat ditunjukkan pada persamaan berikut ini:
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Alokasi Umum (DAU)
DAU = Alokasi Dasar (AD) + Celah Fiskal (CF) Alokasi Dasar ≈ Belanja Gaji PNSD Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal (KbF) – Kapasitas Fiskal (KpF)
1) Kebutuhan Fiskal (KbF) Rumusan tentang kebutuhan fiskal (KbF) dapat ditunjukkan sebagai berikut: KbF = TBR (α1IP + α2IW + α3IPM + α4IKK + α5IPDRB/kap)
Dimana: TBR IP IW IPM IKK IPDRB/kap α1, α2, α3, α4, α5 α1 + α2 + α3 + α4 + α5 2) Kapasitas (KpF): KpF DBH Pajak
= Total Belanja Rata-rata APBD; = Indeks Jumlah Penduduk; = Indeks Luas Wilayah; = Indeks Pembangunan Manusia; = Indeks Kemahalan Konstruksi; = Indek Produk Domestik Regional Bruto per kapita; = Bobot dari masing-masing indeks variabel; = 100%.
= PAD + DBH Pajak + DBH SDA = PBB + BPHTB + PPh + CHT
Keterangan: PAD : Pendapatan Asli Daerah; DBH : Dana Bagi Hasil; PBB : Pajak Bumi dan Bangunan; BPHTB : Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan; PPh : Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan Pasal 25 dan 29, PPh WPOPDN; CHT : Cukai Hasil Tembakau; SDA : Sumber Daya Alam c.
Data Perhitungan DAU 1) Alokasi Dasar (AD). Dalam penghitungan besaran DAU, alokasi dasar dihitung berdasarkan Belanja Pegawai PNS Daerah dengan memperhatikan kebijakan perbaikan penghasilan PNS antara lain kenaikan gaji pokok, gaji bulan ke-13 dan mempertimbangkan formasi CPNSD. Gaji PNSD terdiri dari komponen Gaji Pokok, Tunjangan Keluarga, Tunjangan Jabatan, Tunjangan PPh, dan Tunjangan Beras.
219
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Alokasi Umum (DAU)
2) Kebutuhan Fiskal. Kebutuhan Fiskal Daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Setiap kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum diukur secara berturut-turut dengan: (a) jumlah penduduk (b) luas wilayah (c) Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) (d) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (e) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita 3) Kapasitas Fiskal. Kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari: (a) Pendapatan Asli Daerah (PAD), meliputi pajak daerah, retribusi daerah, laba perusahaan milik daerah, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. (b) Dana Bagi Hasil Pajak. (c) Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam. 4) Jenis, Waktu, dan Penyedia Data Dasar DAU. Berikut ini adalah daftar jenis, waktu, dan penyedia data dasar DAU.
No
Keterangan
Jenis
Waktu
Penyedia Data
1.
Alokasi Dasar
Gaji PNSD
T- 1/2
Daerah dan Kemenkeu
Formasi PNSD
T -1/2
Menpan/BKN
Penduduk
T -1
BPS
Luas Wilayah
T- 1
Kemendagri/ Bakorsutanal
IKK
T -1
BPS
IPM
T -2
BPS
PDRB Per Kapita
T–2
BPS
Total Belanja Rata-rata
T-2
Daerah dan Kemenkeu
PAD
T -2
Daerah dan Kemenkeu
DBH Pajak
T- 2
Kemkeu
DBH SDA
T-2
Kemkeu
2.
3.
Kebutuhan Fiskal
Kapasitas Fiskal
5) Bobot untuk masing-masing variabel: Bobot masing-masing variabel untuk provinsi dan kabupaten/kota, tidak ditetapkan dalam UU ataupun PP, melainkan ditentukan kemudian sebagai bagian dari upaya untuk mengoptimalkan pemerataan fiskal antar daerah. Sebagai contoh, bobot variabel pada tahun 2012 adalah sebagai berikut: 220
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Alokasi Umum (DAU)
Jenis Indeks
Bobot Provinsi
Kabupaten/ Kota
1.
Indeks Jumlah Penduduk (IP)
30,0%
30,0%
2.
Indeks Luas Wilayah (IW)
15,0%
13,5%
3.
Luas Perairan
30,0%
35,0%
4.
Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)
30,0%
30,0%
5.
Indeks PDRB per Kapita
15,0%
16,5%
6.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
10,0%
10,0%
6) Variasi Hasil Perhitungan DAU (Hasil penerapan formula dan pengolahan data dasar): Variasi Hasil Perhitungan DAU 2012 dibanding DAU 2011: (a) Naik: pada umumnya terjadi di daerah yang Kapasitas Fiskalnya rendah, yaitu daerah yang menerima DBH Pemerataan dan PAD-nya rendah. (b) Sama: sejak tahun 2008 sangat jarang bahkan tidak ada daerah yang menerima DAU sama dengan tahun sebelumnya. Hal ini terkait dengan kondisi data dasar dan kebijakan Formula DAU yang berubah setiap tahunnya. (c) Turun: pada umumnya terjadi pada daerah yang mengalami kenaikan Kapasitas Fiskal yang berarti. (d) Nol: daerah yang tidak mendapatkan DAU bukan karena TIDAK DIHITUNG melainkan karena HASIL PERHITUNGAN menunjukkan NILAI MINUS atau NOL. Hasil demikian pada umumnya terjadi pada daerah dengan Kapasitas Fiskal Tinggi dan mengalami kenaikan yang cukup berarti.
Pagu/Total DAU dan pembagiannya untuk provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2009, dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 16.1. Total DAU dan Pembagiannya Untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota Perpres No. 53/2009, pasal 1 ayat (3) Penerimaan Dalam Negri (PDN)
Dikurangi
Dana Bagi Hasil (DBH)
Penerimaan Dalam Negri Netto
26%
90% Dibagi Kepada semua Kab/Kota yang berhak
221
Total DAU
Perpres No. 53/2009, pasal 1 ayat (3)
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
10% Dibagi Kepada semua Provinsi yang berhak
Dana Alokasi Umum (DAU)
Semua daerah (524 daerah) terdiri 33 provinsi dan 491 kabupaten/kota, mendapatkan DAU TA. 2012, karena: Pendapatan Dalam Negeri (PDN) dalam APBN meningkat signifikan à besaran PDN Neto juga meningkat à pagu DAU Nasional meningkat cukup tinggi (dari Rp.225,5 Triliun menjadi Rp.273.8 Triliun). Rincian DAU TA. 2013 untuk provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia, dapat diperiksa dalam lampiran modul ini (Lampiran Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2013).
17.
ANALISIS PERAN DAU DALAM PEMERATAAN FISKAL ANTAR DAERAH
DAU sebagai instrumen fiskal hanya dapat mengatasi ketimpangan fiskal antar daerah. Sementara itu ketimpangan tingkat pelayanan publik antar daerah tidak otomatis dapat diselesaikan dengan DAU karena akan sangat tergantung bagaimana daerah mengalokasikannya. Secara statistik, ketimpangan fiskal antar daerah dapat diukur dengan berbagai metode seperti (1) koefisien variasi (KV), (2) Indeks Williamson (IW), dan (3) rasio pendapatan perkapita maksimum terhadap pendapatan perkapita minimum (RMM). Hasil perhitungan ketimpangan fiskal antar daerah di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 16.1.
Tingkat Ketimpangan Fiskal Antar Daerah Pendapatan Perkapita 1999/2000
Pendapatan Perkapita 2001
Pendapatan Perkapita 2002
Pendapatan Perkapita 2008
Pendapatan Perkapita 2010
Rata-rata (rupiah)
205,044
616,643
705,198
2,505,932
2.838.845
Koefisien Variasi (KV)
0,76
1,16
1,02
1,13
1,16
Rasio Pendapatan Per Kapita Maksimum dan Minimum (RMM)
32:1
60:1
42:1
69:1
75:1
Williamson Index
-
0,70
0,67
0,70
0,70
Sumber: Diolah dari data di Kemenkeu RI dan Handra (2005
Dari tabel di atas, ada beberapa hal yang bisa kita simpulkan: 1)
222
Angka koefisien variasi memperlihatkan bahwa ketimpangan fiskal antar daerah kabupaten/kota dalam periode 2001-2010 tidak mengalami perbaikan dan juga tidak mengalami pemburukan. Namun tingkat ketimpangan fiskal dalam periode ini masih lebih tinggi dibanding tingkat ketimpangan tahun 1999/2000. Jika pada tahun 2001 KV terhitung sebesar 1,16 (yang berarti besarnya standar deviasi adalah 1,16 kali dari rata-rata), maka pada tahun 2010 KV tetap terhitung 1,16. MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Alokasi Umum (DAU)
2)
Rasio pendapatan perkapita maksimum dengan minimum (RMM) memperlihatkan bahwa dalam periode 2001-2010 terjadi peningkatan ketimpangan. Jika pada tahun 2001 RMM adalah 60:1 (pendapatan perkapita daerah terkaya adalah 60 kali pendapatan perkapita daerah termiskin), maka pada tahun 2010 RMM meningkat menjadi 75:1.
3)
Angka indeks williamson (IW) juga memperlihatkan tidak adanya peningkatan ketimpangan fiskal antar daerah. Pengamatan pada tahun 2001, 2008 dan 2010, angka IW tetap berada pada posisi 0,7. Artinya, diukur dengan IW, ketimpangan fiskal antar daerah tidak mengalami pemburukan, namun juga tidak membaik.
Tidak adanya perbaikan dalam tingkat ketimpangan fiskal antara daerah dalam periode 2001-2010 tidaklah berarti bahwa DAU tidak punya peran. Peranan DAU dalam menurunkan kesenjangan fiskal antar daerah sesungguhnya dapat dilihat dari kemampuannya menurunkan ketimpangan ketimpangan fiskal yang ditimbulkan oleh pendapatan daerah lainnya terutama PAD dan DBH. Tabel 2 memperlihatkan kesenjangan pendapatan antara daerah kabupaten/Kota yang berasal dari PAD dan DBH pada tahun 2010 diukur dengan koefisien variasi adalah 210%. Namun setelah DAU yang diterima daerah diperhitungkan, mana kesenjangan fiskal tahun 2010 menurun menjadi 125%. Penurunan angka koefisien variasi setelah DAU diperhitungkan menunjukkan bahwa peranan DAU dalam pemerataan kemampuan fiskal daerah memang sangat besar. Tanpa DAU, maka perbedaan kemampuan fiskal antara daerah yang “miskin” dengan daerah yang kaya sangat lebar.
223
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Alokasi Umum (DAU)
Tabel 16.2.
Peranan DAU dalam menurunkan kesenjangan fiskal antar kabupaten/kota Tahun 2002 dan 2010 Rupiah Perkapita
APBD 2002
APBD 2010
PAD+DBH
PAD+DBH+DAU
PAD+DBH
PAD+DBH+DAU
Rata-Rata
199,420
705,198
601.083
2.390.927
Standar Deviasi
470,180
717,377
1.261.775
2.977.434
Koefisien Variasi
236%
102%
210%
125%
Sumber: Diolah dari Data Ringkasan APBD 2002 dan 2010, Kemenkeu RI.
Tabel 3 secara sederhana memperlihatkan bagaimana DAU berperan mengurangi ketimpangan fiskal antar daerah. Keempat Provinsi tersebut hampir setara dalam jumlah penduduk. Propinsi Kalimantan Barat (Kalbar) dan Propinsi NTT yang memiliki PAD dan Dana Bagi Hasil (DBH) yang jauh lebih rendah dari Propinsi Riau dan Propinsi Kalimantan Timur. Kapasitas fiskal kedua propinsi (Kalbar dan NTT) menjadi lebih baik setelah mendapatkan DAU yang relatif lebih besar.
Tabel 16.3
Perbandingan DAU Tahun 2012 Empat Propinsi (dalam Juta Rp) Uraian
Prov. Riau
Prov. Kalimantan Barat
Prov. Kalimantan Timur
Prov. Nusa Tenggara Timur
PAD
1.824.504,00
1.113.388,00
4.295.804,00
389.647,00
Dana Perimbangan
2.998.999,00
1.207.643,00
4.392.796,00
1.102.993,00
DBH
2.447.327,00
140.500,00
4.287.267,00
105.258,00
DAU
489.180,00
1.023.230,00
52.638,00
940.647,00
DAK
62.491,00
43.913,00
52.891,00
57.089,00
Lain-lain Pendapatan yang Sah
664.274,00
516.378,00
414.013,00
714.538,00
Total Pendapatan
5.487.776,00
2.837.409,00
9.102.613,00
2.207.179,00
Sumber: Data Ringkasan APBD 2012, Kemenkeu RI.
16.3. Analisis Ketergantungan Pendapatan Daerah terhadap DAU Daerah otonom, khususnya daerah Kabupaten/Kota sangat tergantung kepada DAU sebagai sumber pendapatan. Tabel berikut memperlihatkan bahwa ketergantungan pendapatan Kabupaten/Kota terhadap DAU mencapai rata-rata sebesar 60%. Terlihat juga bahwa terdapat kecenderungan penurunan dari tahun ke tahun.
224
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Alokasi Umum (DAU)
Tabel 16.4.
Rasio PAD terhadap Pendapatan Daerah Kabupaten/Kota se Indonesia 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Pendapatan
79,0
96,9
112,6
112,0
124,9
183,3
147,5
200,4
285,7
300,7
360,1
414,3
Dana Alokasi Umum
54,0
59,6
68,0
68,4
70,2
109,9
97,3
126,3
167,7
173,2
203,8
246,1
DAU/Total Pendapatan
68%
62%
60%
61%
56%
60%
66%
63%
59%
58%
57%
59%
Diolah dari data Ringkasan APBD beberapa tahun, Kemenkeu R
Sementara itu pendapatan daerah Propinsi, tidak terlalu tergantung kepada DAU, karena DAU hanya sekitar 17% pada tahun 2012. Terlihat juga kecenderungan penurunan ketergantungan terhadap DAU. Tabel 16.5.
Rasio PAD terhadap Pendapatan Daerah Propinsi se Indonesia 2006
2012
Pendapatan
64,253
162,758
DAU
13,751
27,052
DAU/ Pendapatan
21%
17%
Sumber: Diolah dari Data Ringkasan APBD 2002 dan 2010, Kemenkeu RI.
16.4. Permasalahan DAU dan Insentif Pemekaran Terdapat beberapa kelemahan kelemahan dalam formulasi DAU yang berlaku saat ini, terutama terkait dengan pemekaran daerah. Formula DAU memberikan insentif jika terjadi pemekaran. Dengan kata lain, jika satu daerah mekar menjadi dua daerah, maka pertumbuhan total DAU yang diterima kedua daerah akan jauh lebih besar dari pertumbuhan DAU yang hanya oleh satu daerah. Penjelasannya adalah sbb:
225
1)
Saat ini terdapat lima variabel yang digunakan untuk mengestimasi kebutuhan fiskal, yaitu jumlah penduduk, luas wilayah, indeks pembangunan manusia (IPM), indeks kemahalan konstruksi (IKK) dan PDRB per kapita.
2)
Tiga variabel yang mengestimasi kebutuhan fiskal, yaitu IPM, IKK dan PDRB Perkapita mengandung insentif bagi pemekaran daerah. Sebagai contoh, sebuah daerah A yang memiliki penduduk 400 MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Alokasi Umum (DAU)
ribu mekar menjadi dua daerah B dan C. Maka jumlah penduduk kedua daerah baru akan tetap 400 orang, demikian juga luas wilayah. Namun variabel IPM, IKK dan PDRB Perkapita tidak akan terbagi ketika terjadi pemekaran daerah. Jika daerah A yang memiliki IPM 70 maka kemungkinan besar kedua daerah baru B dan C akan memiliki IPM yang sama-sama 70. Ketika variabel IPM diperlakukan berdiri sendiri dan memiliki bobot sendiri dalam menghitung kebutuhan fiskal, maka kedua daerah baru ini akan dihitung memiliki kebutuhan fiskal yang sama untuk meningkatkan kualitas manusia. Artinya pemekaran daerah akan diberi insentif oleh variabel IPM, IKK dan PDRB Perkapita yang tidak terbagi dalam menghitung kebutuhan fiskal 3)
Adanya Alokasi Dasar (AD) dalam formula DAU saat ini yang dihitung dari kebutuhan belanja pegawai daerah tentunya akan menjadi insentif bagi daerah untuk mengusulkan pengangkatan pegawai sebanyak-banyaknya. Dapat juga dikatakan bahwa dengan adanya AD, paling tidak daerah tidak punya insentif untuk mengurangi jumlah pegawai ke tingkat yang rasional. Penambahan jumlah pegawai negeri sipil daerah (PNSD) yang tidak rasional dan melebihi pertumbuhan DAU, menyebabkan sebagian besar DAU akan terserap untuk keperluan belanja pegawai tersebut. Tidak bisa dihindari bahwa adanya AD dalam formula DAU menimbulkan kesan bahwa DAU memang diperuntukkan untuk membayar gaji.
Tabel berikut memperlihatkan Kabupaten Pontianak yang dimekarkan pada tahun 2008 mengalami kenaikan DAU yang luar biasa pada tahun 2010 setelah dalam formula dihitung sebagai dua daerah, kabupaten Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya. Peningkatan DAU yang dialami kedua kabupaten pada tahun 2010 juga dapat dibandingkan dengan peningkatan DAU kabupaten/kota yang lain di Indonesia.
Tabel 16.6.
Perbandingan Kenaikan DAU daerah pemekaran dengan lainnya, Tahun 2010 Kab P+KR
2008
2009
Naik 2009
2010
Naik 2010
531.739
561.076
29.338
727.916
166.839
5,5%
Kab. Pontianak
185.529
313.155
127.626
68,8%
Kab. Kubu Raya
375.547
414.760
39.213
10,4%
463.406
16.067
3,6%
Kab. Sambas
422.843
447.339
24.496
5,8%
Kota Pontianak
399.351
404.247
4.896
1,2%
408.180
3.933
1,0%
Kab. Ponorogo
538.600
550.746
12.146
2,3%
563.868
13.122
2,4%
Sumber: Diolah dari data Kemenkeu RI beberapa tahun.
226
29,7%
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Alokasi Umum (DAU)
16.5. Isu-Isu Berkaitan dengan DAU (Perubahan Formula, Daerah dengan DAU Nol atau Minus, Luas Wilayah Laut dan lain lain) Perkembangan formulasi DAU sejak 2001 juga ditandai dengan adanya perubahan-perubahan antara lain perubahan variabel dan perubahan data yang digunakan. Perubahan tersebut tidak terlepas dari proses politik yang terjadi. DAU yang dimulai pada tahun anggaran 2001 adalah pengalaman pertama Indonesia mengalokasikan dana dengan formula yang menggunakan pendekatan mengurangi kesenjangan fiskal (fiscal gap). Namun formula pertama ini ditandai dengan modifikasi dengan penambahan variabel transisi. Yang dijadikan variabel transisi adalah Dana Rutin Daerah (DRD) dan Dana Pembangunan Daerah (DPD) tahun 2000. Dengan DPR dan DPD tidak terjadi fluktuasi tinggi dari transfer yang diterima oleh daerah. Formula DAU diperbaiki pada tahun 2002 karena dianggap terdapat banyak kelemahan dalam formula tahun 2001. Perbaikan dilakukan terutama terhadap formula kapasitas fiskal. Namun formula DAU 2002 tetap memasukkan variabel transisi yaitu gaji PNS daerah dan sejumlah lumpsum yang secara keseluruhan disebut Alokasi Minimum. Secara umum terjadi perbaikan pada formula DAU 2002 dengan meningkatnya peranan kesenjangan dari 20% menjadi 40%. Namun implementasinya ternyata tidak mudah secara politis. Formula tersebut ternyata mengakibatkan sejumlah daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi mengalami penurunan DAU dan bahkan ada yang tidak mendapat DAU sama sekali. Simulasi formula ini kemudian memunculkan perlawanan politik dari beberapa daerah propinsi dan kabupaten/ kota, khususnya yang kaya sumber daya alam (SDA). Tuntutan daerah kaya SDA tersebut kemudian diakomodasi dalam sebuah kesepakatan politik antara Pemerintah dan DPR yang mengharuskan alokasi DAU tahun 2002 tidak boleh lebih kecil dari tahun 2001. Kesepakatan ini disebut kebijakan holdharmless. Untuk tahun 2003, 2004 dan 2005, formula DAU hampir tidak mengalami perubahan yang mendasar. Yang terlihat diperbaiki dari tahun ke tahun adalah peranan kesenjangan fiskal dalam formula DAU ditingkatkan sejalan dengan penurunan peran variable transisi. Peningkatan perananan kesenjangan fiskal secara berkelanjutan dalam formula adalah sebuah strategi untuk menuju penerapan formula murni. Namun kesepakatan politik tahun 2001 tentang holdharmless tetap dilanjutkan. Kesepakatan yang tidak membolehkan satu daerah pun mengalami penurunan DAU berakibat strategi untuk menerapkan formula murni tidak berjalan. Salah satu indikasinya adalah jumlah dana penyeimbang yang harus disediakan sebagai kompensasi untuk daerah yang mengalami penurunan DAU meningkat terus. Formula DAU kemudian diubah oleh UU 33 Tahun 2004 dengan adanya variabel Alokasi Dasar (AD) yang dihitung berdasarkan kebutuhan belanja pegawai daerah. Berbeda dengan formula yang diatur oleh UU 25/1999, variabel Penghitung kebutuhan fiskal ditambah dengan memasukkan PDRB (produk domestik regional bruto) sebagai penghitung kebutuhan. Selain itu Juga terdapat salah satu kelebihan UU 33 Tahun 2004 yang membuat peranan pemerataan DAU lebih baik yaitu menghilangkan holdharmless. UU 33 Tahun 2004 secara eksplisit menyatakan bahwa sebuah daerah dapat saja menerima DAU lebih kecil
227
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Alokasi Umum (DAU)
dari DAU sebelumnya atau bahkan nol jika Kebutuhan Fiskal ditambah AD nya lebih kecil dari Kapasitas Fiskal nya (lihat penjelasan pasal 32 UU 33 Tahun 2004). Kebijakan ini diterapkan oleh Pemerintah pada tahun 2008 dengan adanya daerah yang mendapat DAU nol dan turun dari tahun sebelumnya. Dalam perkembangannya, pada tahun 2009 juga terjadi perubahan penggunaan data, khususnya data luas wilayah dalam formulasi DAU. Keputusan Pemerintah bersama DPR dalam pembahasan formulas DAU menyepakati bahwa luas wilayah laut perlu ditambahkan ke total luas wilayah sebuah daerah, baik propinsi maupun kabupaten/kota. Dalam perhitungan total luas wilayah untuk DAU 2010 digunakan perhitungan berikut:
Luas wilayah Propinsi = 100% x wilayah darat + 30% x Luas laut Propinsi
Luas Wilayah Kabupaten/Kota = 100% x wilayah darat + 35% x Luas Laut kab/kota
Data luas wilayah yang digunakan untuk penghitungan alokasi DAU meliputi data luas wilayah daratan (administratif) bersumber dari Kementerian Dalam Negeri dan data luas wilayah perairan (laut) bersumber dari Bakosurtanal. Luas wilayah merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana prasarana per satuan wilayah. Data luas wilayah daratan DAU 2010 berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 6/2008 tanggal 21 Januari 2008 beserta revisinya terkait dengan Daerah Otonom Baru/ Daerah Pemekaran. Data luas wilayah lautan yang digunakan untuk DAU 2010 berdasarkan Surat Ka Bakosurtanal No. SV.03.02/1017B-PD/VII/ 2009 tanggal 23 Juli 2009 tentang data luas wilayah perairan dalam rangka perhitungan DAU 2010. Data luas wilayah darat secara nasional untuk perhitungan DAU tahun 2011 yang berasal dari Kementerian Dalam Negeri sebesar 1.910.931,32 km2 atau sama dengan data luas wilayah darat perhitungan DAU tahun 2010.
16.6. Soal Latihan 1) 2) 3) 4) 5)
228
Jelaskan kenapa diperlukan pemerataan kemampuan fiskal antar daerah! Jelaskan tujuan dari Dana Alokasi Umum (DAU), dan jelaskan juga beda DAU dengan DAK dengan sesuai dengan UU No. 33 Tahun 2004! Jelaskan apa yang dimaksud dengan Alokasi Dasar dalam formula DAU! Jelaskan variabel apa saja yang digunakan untuk perhitungan kebutuhan fiskal DAU! Apabila dua daerah digabungkan, jelaskan dampaknya terhadap DAU daerah penggabungan
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TOPIK 17
DANA ALOKASI KHUSUS (DAK)
Dana Alokasi Khusus (DAK)
Deskripsi: Topik ini menjelaskan pengertian dan tujuan Dana Alokasi Khusus, formula perhitungan alokasi per daerah, dan mekanisme penyalurannya.
Sub Topik Konsep Dasar, Tujuan dan Fungsi DAK Kriteria DAK (Kriteria Umum, Khusus, dan Teknis)
Kata Kunci Grant spesifik, matching grant, closed-ended grant, urusan daerah dan prioritas nasional Indeks fiskal netto, indeks karakteristik kewilayahan, indeks teknis, formula DAK
Mekanisme Penyaluran DAK
Tahapan penyaluran, monitoring dan evaluasi, pelaporan
Isu-isu Terbaru tentang DAK
Pengalihan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan
Referensi: 1.
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
2.
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
3.
PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
4.
Pelengkap Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah,
Pemerintahan Daerah.
Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia, berbagai tahun, dapat di download dari http://www.djpk.depkeu.go.id/
230
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Alokasi Khusus (DAK)
17.
DANA ALOKASI KHUSUS (DAK)
17.1.
Konsep Dasar, Tujuan, dan Fungsi DAK
DAK (Dana Alokasi Khusus) adalah salah satu jenis dana transfer (grant) dari Pemerintah Pusat ke Daerah di Indonesia. Secara umum terdapat dua jenis grant dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, yaitu: a)
General Purpose Grant (Grant Bersifat Umum)
b)
Specific Grant (Grant Bersifat Khusus)
Grant bersifat umum (general purpose grant) atau bantuan tanpa syarat (unconditional grant) yang di Indonesia disebut Dana Alokasi Umum (DAU) adalah jenis bantuan yang bebas digunakan oleh si penerima. Tidak ada arahan terhadap penggunaan dana tersebut dan umumnya ditujukan untuk pemerataan kemampuan fiskal antar daerah. Sementara itu Specific Grant sesuai namanya merupakan grant bersifat khusus atau bantuan bersyarat (conditional grant). Grant spesifik biasanya ditujukan untuk membiayai bidang tertentu yang telah menjadi kewenangan daerah otonom, namun Pemerintah Daerah (Pemda) sebagai si penerima tidak boleh menggunakan dana tersebut kecuali untuk kegiatan yang telah ditentukan oleh pemberi.
Specific grant sangat beragam jenisnya dengan berbagai tujuan yang dirancang oleh si pemberi, diantaranya: a)
Untuk mencapai tujuan nasional tertentu, namun fungsi dan kewenangannya urusannya telah didesentralisasikan ke daerah otonom.
b)
Untuk mempengaruhi pola belanja daerah penerima.
c)
Untuk mengakomodasi spillover benefit (penyediaan pelayanan publik oleh daerah tertentu tetapi dimanfaatkan oleh penduduk daerah lain/tetangga).
Bantuan spesifik dapat digunakan oleh pemberi (pemerintah pusat) untuk tujuan dan prioritas nasional, misalnya untuk mencapai tujuan nasional di bidang pelayanan pendidikan, kesehatan dan infrastrutur namun urusannya telah didesentralisasikan ke daerah. Karena pusat tidak dapat mendikte daerah untuk penggunaan dana bantuan umum, maka pusat dapat melakukannya dengan menyediakan bantuan spesifik. Bantuan spesifik dapat juga ditujukan untuk mempengaruhi pola belanja daerah. Dengan penggunaannya yang spesifik dan mensyaratkan dana pendamping dari sumber pendapatan daerah lainnya, akan tersedia sejumlah dana yang harus dibelanjakan oleh daerah untuk bidang yang diinginkan pusat. Lebih spesifik lagi, bantuan dapat disediakan oleh si pemberi untuk mengakomodasi
231
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Alokasi Khusus (DAK)
beban pembiayaan bagi daerah tertentu, misalnya daerah yang menyediakan pelayanan yang juga dimanfaatkan oleh penduduk daerah lain. Bantuan spesifik tentunya juga dapat disediakan oleh pusat untuk mengakomodasi kekhususan daerah, yang terkait dengan ketidakmampuan daerah tersebut untuk membiayai pelayanan khusus. Berbagai jenis specific grant (bantuan khusus) dipraktek didunia, antara lain: a)
Grant untuk program/kegiatan/pelayanan tertentu (specific grant),
b)
Grant yang mengharuskan dana pendamping dari penerima (matching grant),
c)
Grant untuk menutupi defisit (deficit grant),
d)
Grant untuk membantu daerah menghadapi situasi darurat/emergensi (emergency grant),
e)
Grant untuk belanja modal (capital grant),
Kemudian dari sisi penentuan jumlah bantuan spesifik yang akan ditransfer ke daerah, dapat pula dikelompokkan pada dua jenis (lihat Bergvall, et al, 2006): a)
Closed-ended grant (jumlah yang akan ditransfer ke daerah telah ditetapkan dari awal dan realisasinya sama dengan pagu anggaran).
b)
Open-ended grant (jumlah jumlah akhir dari grant ditentukan oleh realisasi belanja daerah dan biasanya jenis bantuan ini dirancang sangat menantang untuk dapat direalisasikan oleh daerah).
Dengan variasi yang demikian, pemerintah dapat memilih jenis bantuan khusus sesuai dengan sasaran yang diinginkan. Untuk tujuan mencapai standar pelayanan minimum nasional di seluruh daerah, jenis bantuan yang paling direkomendasi adalah bantuan khusus tanpa dana pendamping, yang diikuti dengan spesifikasi penggunaan dana bagi standar pelayanan minimum. Untuk tujuan mengakomodasi spillover benefit (pelayanan yang disediakan suatu daerah yang juga dimanfaatkan penduduk daerah lain) direkomendasikan jenis bantuan khusus dengan dana pendamping (matching grant), dengan tingkat dana pendamping yang bervariasi. Bagi daerah yang tingkat spillover benefit nya tinggi, dana pendamping tentunya lebih rendah. Sedangkan untuk tujuan mempengaruhi pola belanja daerah di bidang yang merupakan prioritas nasional disarankan untuk menggunakan open-ended matching grant (bantuan khusus dengan dana pendamping dengan jumlah akhir yang dapat saja lebih kecil ataupun lebih besar dari pagunya). Open-ended grant mengisyaratkan bahwa jumlah bantuan yang diterima oleh setiap daerah ditentukan oleh realisasinya untuk bidang yang telah ditentukan dalam jangka waktu tertentu. Dana Alokasi Khusus (DAK) di Indonesia diatur oleh UU 33 Tahun 2004 dan PP 55 Tahun 2005. Namun demikian pengaturan yang sama juga ada di UU 32 Tahun 2004. Dari peraturan tersebut DAK di Indonesia dapat dikatakan sebagai specific matching grant, yaitu bantuan yang bersifat khusus dengan mensyaratkan dana pendamping. Namun dalam peraturan perundang-undangan tidak ditentukan
232
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Alokasi Khusus (DAK)
apakah DAK ini merupakan close-ended grant atau open-ended grant. Dalam prakteknya selama ini DAK merupakan close-ended grant dalam arti jumlah yang akan diterima oleh daerah untuk satu tahun anggaran sudah ditentukan dari awal tahun anggaran. Seterusnya apabila daerah tidak bisa menggunakan DAK sebagaimana ketentuan teknisnya, sisa DAK diakhir tahun anggaran akan menjadi SILPA (sisa lebih perhitungan anggaran) dan dapat digunakan untuk tujuan yang sama pada tahun anggaran berikutnya. Dengan itu dapat dipahami bahwa DAK di Indonesia tidak mencakup berbagai jenis specific grant lainnya seperti bantuan khusus tanpa dana pendamping, bantuan defisit, bantuan emergensi, dll. Apa sesungguhnya tujuan DAK di Indonesia? Tujuan DAK menurut UU 32 Tahun 2004 dan UU 33 Tahun 2004 adalah untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Seterusnya dijelasan bahwa DAK dialokasikan kepada daerah tertentu yang memenuhi kriteria yang ditetapkan (kriteria umum, kriteria teknis dan kriteria khusus). Dengan demikian tidak semua daerah mendapatkan alokasi DAK (lihat tabel 1) Sebagai tambahan dari regulasi tersebut, DAK juga diatur oleh PP 55 Tahun 2005 tentang dana perimbangan yang membatasi DAK hanya untuk kegiatan yang bersifat fisik, sebagaimana tertulis pada pasal 60 ayat 3 yang berbunyi sbb:
DAK tidak dapat digunakan untuk mendanai administrasi kegiatan, penyiapan kegiatan fisik, penelitian, pelatihan, dan perjalanan dinas.
Pembatasan DAK lebih lanjut di PP No. 55 Tahun 2005 mengakibatkan tidak adanya DAK untuk kegiatan yang bersifat non-fisik.
233
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Alokasi Khusus (DAK)
Tabel 17.1.
Definisi DAK menurut UU 32 Tahun 2004 dan UU 33 Tahun 2004 UU 32 Tahun 2004 Pasal 162 1.
DAK dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu dalam rangka pendanaan pelaksanaan desentralisasi untuk:
1.
DAK untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional
•
2.
Dialokasikan tiap tahun dalam APBN
3.
Dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah
4.
Kegiatan khusus sesuai dengan fungsi dalam APBN
5.
Pemerintah menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria tehnis.
6.
Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD
7.
Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundangundangan dan karakteristik Daerah
8.
Kriteria tehnis ditetapkan oleh Kementerian Negara/Departemen Tehnis
9.
Dana pendamping: • Minimal 10% dari alokasi DAK • Dianggarkan dalam APBD • Pengecualian bagi daerah dengan kapasitas fiskal yang rendah
10.
Ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah
•
mendanai kegiatan khusus yang ditentukan Pemerintah atas dasar prioritas nasional mendanai kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu
2.
Penyusunan kegiatan khusus ditentukan oleh Pemerintah dikoordinasikan dengan Gubernur
3.
Penyusunan kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu dilakukan setelah dikoordinasikan oleh daerah yang bersangkutan
4.
UU 33 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat 23, Pasal 38-41
Ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah
Sumber: UU 32 Tahun 2004 dan UU 33 Tahun 2004
17.2. Kriteria DAK Terdapat tiga kriteria yang akan menentukan daerah penerima serta jumlah DAK yang akan diterima daerah, yaitu:
234
a.
Kriteria Umum.
Kriteria umum dihitung untuk melihat kemampuan APBD untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan dalam rangka pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Alokasi Khusus (DAK)
belanja pegawai. Daerah yang memiliki kemampuan keuangan di bawah rata-rata nasional mendapatkan alokasi DAK. 1) Kemampuan Keuangan Daerah (KKD) = Penerimaan Umum APBD – Belanja Pegawai Daerah. 2) Penerimaan Umum = DBH + PAD + DAU. 3) Belanja Pegawai Daerah = gaji PNSD. b.
Kriteria Khusus 1) Ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yaitu otonomi khusus NAD dan Papua. 2) Karakteristik wilayah: daerah pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan dengan negara-negara lain, daerah tertinggal/terpencil, dan daerah yang masuk ketegori ketahanan pangan. 3) Hasil kesepakatan Pemerintah dan DPR menambah karakteristik wilayah yaitu: daerah rawan banjir/lonsor, daerah penampung dan penerima pengungsi, daerah penerima transmigrasi, daerah pasca konplik, daerah rawan pangan/kekeringan dan daerah yang memiliki pulau terluar.
c.
Kriteria Teknis.
Ditetapkan oleh kementrian negara/departemen teknis, yang dicerminkan dengan indikator indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi sarana/prasarana pada masingmasing bidang/kegiatan yang akan didanai oleh DAK, antara lain: 1) Bidang Pendidikan (a) Jumlah ruang kelas setara SD yang mengalami kerusakan berat. (b) Indeks kemahalan konstruksi (IKK).
235
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Alokasi Khusus (DAK)
2) Bidang Kesehatan (a) Human Poverti Indeks (Indeks Kemiskinan Masyarakat/IKM). (b) Jumlah Puskesmas (perawatan dan non perawatan), puskesmas pembantu (Pustu), Polindes, Pusling (perairan dan roda empat), Rumah dinas dokter dan paramedis. (c) Indeks kemahalan konstruksi (IKK). 3) Bidang Infrastruktur. (a) Infrastruktur Jalan. • Panjang prasarana jalan (km). • Panjang prasarana jalan dalam kondisi mantap (km). • Indeks kemahalan konstruksi (IKK). (b) Infrastruktur Irigasi. • Luas daerah irigasi keseluruhan (ha). • Luas daerah irigasi fungsional (ha). • Kondisi kerusakan irigasi (ha). • Produksi padi (ton). • Indeks kemahalan konstruksi (IKK). (c) Infrastruktur Air Bersih Pedesaan. • Jumlah desa (desa). • Jumlah desa rawan air bersih (desa). • Indeks kemahalan konstruksi (IKK). 4) Bidang Kelautan dan Perikanan. (a) Luas baku usaha budidaya (ha). (b) Produksi perikanan budidaya (ton). (c) Jumlah balai benih ikan (unit). (d) Produksi perikanan tangkap (ton). (e) Jumlah Pangkalan Pendaratan Ikan (unit). (f) Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK). 5) Bidang Pertanian. (a) Jumlah balai perbenihan/pembibitan (unit). (b) Populasi ternak (ekor). (c) Luas lahan pertanian (ha). (d) Jumlah kantor penyuluh pertanian (unit). (e) Jumlah penyuluh (orang). (f) Indeks kemahalan konstruksi (IKK). 236
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Alokasi Khusus (DAK)
6) Bidang Prasarana Pemerintahan Daerah. Mempertimbangkan kebutuhan minimum prasarana gedung kantor untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai dampak pemekaran daerah. Besaran alokasi DAK suatu daerah ditentukan berdasarkan perhitungan kriteria pengalokasian, yaitu Indeks Fiskal Netto (IFN) mewakili kriteria umum, Indeks Karakteristik Wilayah (IKW) mewakili kriteria khusus dan Indeks Teknis (IT) mewakili kriteria teknis. Pengalokasian DAK diprioritaskan untuk daerah-daerah yang mempunyai kemampuan fiskal dibawah rata-rata, yaitu dengan Indeks Fiskal Netto kurang dari satu (IFN < 1) Indeks Fiskal NettoIFN adalah rasio Fiskal Netto daerah dengan Fiskal Netto seluruh daerah dikalikan dengan jumlah daerah. Rumus matematisnya adalah:
IFNi
FNi FNn
=
xN
FNi =
KKD i,t-2 – BP i,t-2
dimana: i FNi N KKDi,t-2 BPi,t-2
= daerah ke 1, 2, ......... N. = Fiskal netto daerah ke-i. = Jumlah daerah. = Kemampuan Keuangan Daerah i pada waktu t – 2. = Belanja pegawai daerah i pada waktu t – 2.
Bagi daerah yang kemampuan fiskal riilnya diatas rata-rata ( IFN > 1), maka perlu dilihat dulu Indeks karakteristik wilayahnya (IKW). Dengan rumus:
IKW i
=
(X1 + X2 + ....... + X7 ) (X1 + X2 + ....... + X7 )n
XN
di mana: N = jumlah daerah. X1 ... X7 = bobot karakteristik wilayah, di mana: X1 = Daerah perbatasan darat; X2 = Daerah pesisir dan kepulauan; X3 = Daerah pasca kerusuhan; X4 = Daerah rawan banjir dan longsor;
237
X5 X6 X7
= Daerah ketahanan pangan; = Daerah tertinggal dan terpencil; = Daerah yang menampung program transmigran;
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Alokasi Khusus (DAK)
dengan nilai sebagai berikut: Xi = 1, jika daerah i termasuk wilayah yang dipertimbangkan. Xi = 0, jika daerah i tidak termasuk wilayah yang dipertimbangkan.
Penentuan Indeks Fiskal Wilayah (IFW): IFWi = a1 (IFNi)-1 + a2 (IKWi)
Perlakuan invers pada IFN, untuk menyamakan arah pengaruh dengan IKW, karena IFN adalah filter pertama maka a1 = a2 = 0,5, ditentukan beradasarkan simulasi yang terbaik.
Penentuan Indeks Daerah (ID): IDi = (IFWi)-1
Daerah yang layak berdasarkan Indeks Daerahnya adalah daerah yang kondisi fiskal netto dan kerakteristik wilayahnya dikategorikan belum mampu menjamin kebutuhan dasar publik, yaitu daerah yang mempunyai ID < 1 (ID di bawah rata-rata). Table 17.2. Jenis dan Jumlah DAK dari Tahun 2003 sampai 2011 (dalam Triliun Rupiah)
Jenis dan Jumlah DAK dari Tahun 2003 sampai 2011 (dalam Triliun Rupiah) Sektor/Tahun
238
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Pendidikan
623,4
638,2
1.196,1
2.919,5
5.195,3
7.015,4
9.334,9
9.334,9
10.041,3
Kesehatan
375,0
447,8
607,7
2.406,8
3.381,3
3.817,4
4.017,4
2.829,8
3.000,8
Infrastruktur Jalan
842,5
844,0
992,3
3.924,4
3.113,1
4.044,7
4.500,9
2.810,2
3.900,0
Infrastruktur Irigasi
338,5
369,9
397,1
1.214,0
858,9
1.497,2
1.549,0
968,4
1.311,8
Prasarana Pemerintah
88,0
276,0
144,0
834,4
539,1
362,0
562,0
386,3
400,0
Kelautan dan Perikanan
-
320,8
327,9
1.489,6
1.100,4
1.100,4
1.100,4
1.207,8
1.500,0
Infrastruktur Air Minum
-
-
221,2
1.169,8
1.064,5
1.142,3
1.142,3
357,2
419,6
Pertanian
-
-
169,6
2.106,8
1.492,2
1.492,2
1.492,2
1.543,6
1.806,1
Lingkungan Hidup
-
-
-
217,5
351,6
351,6
351,6
351,6
400,0
Keluarga Berencana (Kependudukan)
-
-
-
-
-
279,0
329,0
329,0
368,1
Kehutanan
-
-
-
-
-
100,0
100,0
250,0
400,0
Sarana dan Prasarana Perdesaan
-
-
-
-
-
-
190,0
300,0
315,5
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Alokasi Khusus (DAK)
Jenis dan Jumlah DAK dari Tahun 2003 sampai 2011 (dalam Triliun Rupiah) Sektor/Tahun
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Perdagangan
-
-
-
-
-
-
Sanitasi
-
-
-
-
-
-
Listrik Pedesaan
-
-
-
-
-
Perumahan dan Pemukiman
-
-
-
-
-
Keselamatan Transportasi Darat
-
-
-
-
Transportasi Pedesaan
-
-
-
Sarana dan Prasarana Perbatasan
-
-
2.267,4
2.896,8
Total Alokasi DAK per Tahun
2010
2011
150,0
107,3
300,0
-
357,2
419,6
-
-
-
150,0
-
-
-
150,0
-
-
-
-
100,0
-
-
-
-
-
150,0
-
-
-
-
-
-
100,0
4.056,0
16.282,7
17.096,2
21.202,1
24.819,6
21.133,3
25.232,8
17.3. Mekanisme Penyaluran DAK Mekanisme penyaluran DAK diatur dengan berbagai peraturan terutama Peraturan Menteri Keuangan. UU 33 Tahun 2004 tidak mengatur secara detail mengenai mekanisme penyaluran DAK, sebagaimana pada pasal 42 UU 33 Tahun 2004 disebutkan bahwa “ketentuan lebih lanjut mengenai DAK diatur dalam peraturan pemerintah”. Peraturan pemerintah di maksud adalah PP 55 Tahun 2005 tentang dana perimbangan. Pada PP tersebut pasal 62 dijelaskan bahwa “DAK disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah”. Untuk itu (pasal 63) Kepala daerah menyampaikan laporan triwulan yang memuat laporan pelaksanaan kegiatan dan penggunaan DAK kepada : 1) 2) 3)
Menteri Keuangan; Menteri teknis; dan Menteri Dalam Negeri.
Dalam PP juga dijelaskan bahwa penyaluran DAK dapat ditunda apabila Daerah tidak menyampaikan laporan, dan penundaan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan. Sekaligus kemudian pada pasal 65 PP 55 Tahun 2005 disebutkan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan program dan kegiatan, penyaluran, dan pelaporan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan”
239
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Alokasi Khusus (DAK)
Mekanisme penyaluran DAK yang telah berjalan hampir satu dekade terus berubah sejalan perubahan institusi yang menanganinya di Kementrian Keuangan. Institusi pengelola tersebut awalnya bernama Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (DJPKPD), kemudian Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan (DJAPK), lalu terakhir bernama Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK). Penyaluran DAK 2007, misalnya, diatur lebih lanjut melalui Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor 01/PB/2007 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Pengesahan dan Pencairan daftar isian Pelaksanaan Anggaran DAK TA 2007, yang secara garis besar menyebutkan bahwa pencairan dana DAK dilakukan secara bertahap, yaitu: 1)
Tahap I sebesar 30% berdasarkan Surat Perintah Membayar (SPM) yang dilampiri Daftar Penggunaan DAK dan copy DPA-SKPD/DASK
2)
Tahap II dan seterusnya maksimal sebesar 30% dibayarkan apabila sisa dana DAK di KASDA maksimal 10% dari yang sudah dicairkan, berdasarkan copy SP2D (Surat Perintah Pencairan Dana) daerah, Daftar Penggunaan Dana dan copy PPh/PPN.
Kemudian mekanisme penyaluran DAK pada tahun 2010 diatur melalui PMK Nomor 126/PMK.07/2010 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan dan Pertanggung Jawaban Anggaran Transfer Ke Daerah, yang secara garis besar menyebutkan bahwa pencairan dana DAK dilakukan secara bertahap, yaitu Tahap I sebesar 30%, Tahap II dan Tahap III masing-masing sebesar 45% dan 25%. Terakhir, Mekanisme penyaluran DAK diatur dengan PMK 06/PMK.07/2012, pada pasal 26 yang pada intinya merupakanb penyederhanaan mekanisme dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah yang dilaksanakan secara bertahap, yaitu sebagai berikut: 1)
Tahap I : disalurkan sebesar 30% dari pagu alokasi DAK, dilaksanakan paling cepat pada bulan februari setelah Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan (DJPK) menerima Perda APBD tahun anggaran berjalan, laporan penyerapan penggunaan DAK tahun anggaran sebelumnya, laporan realisasi penyerapan DAK tahap III tahun anggaran sebelumnya, dan surat pernyataan penyediaan dana pendamping.
2)
Tahap II : disalurkan sebesar 45% dari pagu alokasi DAK, dilaksanakan paling lambat 15 hari kerja setelah DJPK menerima laporan realisasi penyerapan DAK tahap I tahun anggaran berjalan yang secara kumulatif telah mencapai 90%.
3)
Tahap III : disalurkan sebesar 25% dari pagu alokasi DAK, dilaksanakan paling lambat 15 hari kerja setelah DJPK menerima laporan realisasi penyerapan DAK tahap II tahun anggaran berjalan.
Dalam pelaksanaannya, penyaluran DAK yang terbanyak terjadi pada triwulan terakhir (OktoberDesember) setiap tahunnya. Keterlambatan penyaluran terutama disebabkan persoalan perencanaan dan pelaksanaan anggaran di daerah serta terlambatnya petunjuk teknis pelaksanaan dari Kementrian/ Lembaga terkait.
240
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dalam perencanaan dan penganggaran dalam APBD, daerah penerima harus menyediakan dana pendamping dalam APBD sekurang-kurangnya 10% dari alokasi DAK. Dana pendamping ini dapat digunakan untuk administrasi kegiatan; penyiapan kegiatan fisik; penelitian; pelatihan; dan perjalanan pegawai daerah. Untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan DAK dapat dibentuk Tim Koordinasi pada masing-masing pemerintah daerah yang bersifat fungsional, yang bertugas mengkoordinasikan kegiatan DAK dalam: 1.
Perencanaan, pelaksanaan, pelaporan dan pemantauan.
2. Melakukan sinkronisasi dan sinergi, serta menghindari tumpang tindih dengan kegiatan pembangunan lainnya, serta. 3.
Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan yang terkait dengan aspek transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas pada masing-masing kegiatan DAK.
Pemantauan dan Pengawasan 1) Menteri teknis melakukan pemantauan dari segi teknis terhadap penyelenggaraan kegiatan di daerah yang di danai dari DAK sesuai dengan kewenangan masing-masing. 2)
Menteri Keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi pengelolaan keuangan DAK.
3)
Daerah melalui tim koordinasi melakukan evaluasi terhadap manfaat pelaksanaan DAK yang melibatkan fihak terkait setempat.
Pelaporan 1) Kepala daerah penerima DAK wajib menyampaikan laporan triwulanan tentang pelaksanaan kegiatan dan penggunaan DAK kepada: (a) Menteri Keuangan c.q Dirjen Anggaran dan Perimbangan Keuangan dan Dirjen Pembendaharaan. (b) Menteri Teknis. (c) Menteri Dalam Negeri. 2) Penyampaian laporan triwulan dilakukan selambat-lambatnya 14 hari setelah triwulan yang bersangkutan berakhir. 3)
Kelalaian kepala daerah dalam menyampaikan laporan triwulan dapat dijadikan pertimbangan Menteri Keuangan dalam pengalokasian DAK tahun berikutnya.
17.4. Isu-Isu tentang DAK Salah satu isu tentang DAK adalah Pengalihan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan ke DAK, sebagaimana UU 33 Tahun 2004 pada pasal 108, menyatakan sebagai berikut:
241
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan yang merupakan bagian dari anggaran kementrian negara/lembaga yang digunakan untuk melaksanakan urusan yang menurut peraturan perundang-undangan menjadi urusan daerah, secara bertahap dialihkan menjadi Dana Alokasi Khusus.
Kebijakan pengalihan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang membiayai urusan desentralisasi menjadi Dana Alokasi Khusus adalah sebuah kebijakan penting dalam rangka peningkatan disiplin fiskal dan penguatan desentralisasi fiskal. Kebijakan ini juga akan mendukung akuntabilitas, mengurangi standar ganda di daerah, mendukung efektifitas DAK, serta memperkuat mekanisme pemerataan fiskal antar daerah. Namun kebijakan ini tidak dengan mudah dapat dilaksanakan. Paling sedikit ada 3 masalah/tantangan dalam pengalihan Dana Dekon dan TP menjadi DAK. Berikut uraiannya: a.
Kejelasan pembagian urusan antara pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Tantangan utama yang dihadapi dalam upaya menerapkan kebijakan fiscal discipline ini adalah kejelasan pembagian urusan antar tingkat pemerintahan. Pengalihan Dana Dekon dan TP menjadi DAK menuntut kejelasan tetang pembagian urusan tersebut. Sudah ada PP 38/2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota. Namun tetap ada bidang urusan tertentu yang menyisakan permasalahan.
b.
Sempitnya Definisi DAK mengurangi fleksibilitas dalam menampung berbagai cara Kementrian/ Lembaga untuk menyalurkan dana sektoral. DAK dalam peraturan perundang-undangan kita diatur sangat sempit. DAK yang sekarang dipraktekkan pada dasarnya adalah sejenis matching grant, yaitu bantuan spesifik yang mensyaratkan dana pendamping. Padahal bantuan spesifik itu sangat beragam jenisnya, mulai dari bantuan spesifik yang diblok untuk bidang pelayanan tertentu sampai kepada bantuan spesifik yang dikompetisikan (competitive grant). Sempitnya definisi DAK di peraturan perundang-undangan menyulitkan kementrian/lembaga untuk mengalihkan Dana Dekon dan TP ke DAK. Kementrian/ lembaga punya berbagai macam cara/metode dalam mengalokasi anggarannya ke daerah dan belum tentu kesemuanya dapat diakomodasi oleh DAK menurut aturan yang sedang berlaku.
242
c.
Resistensi Kementrian/Lembaga Pusat
Pengalihan Dana Dekon dan TP yang membiayai urusan daerah menjadi DAK memiliki konsekuensi berkurangnya anggaran kementerian/lembaga. Konsekuensi inilah yang biasanya sulit diterima oleh lembaga pemerintahan di Indonesia. Lembaga pemerintahan di Indonesia sudah terbiasa dengan praktek anggaran tradisional yang bersifat line-item dan incremental. Turunnya anggaran, meskipun akibat pengalihan itemnya ke lembaga lain seringkali dianggap sebagai punishment bagi lembaga tersebut.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Alokasi Khusus (DAK)
Selain itu, pengalihan akan mengurangi peranan kementrian/lembaga pusat terhadap program sektoral di daerah. Meskipun kementrian/lembaga pusat dapat memiliki peranan dalam membuat petunjuk teknis penggunaan DAK, namun sebagian kontrol terhadap alokasi dana tersebut ke daerah ditarik oleh mekanisme dana perimbangan. Kehilangan kontrol terhadap pengalokasian dana serta berkurangnya anggaran kementrian/lembaga jelas akan menimbulkan resistensi terhadap proses pengalihan tersebut. Sehingga apabila pembagian urusan antara pusat dan daerah tetap tidak jelas dan memunculkan berbagai interpretasi, proses pengalihan tidak akan dapat berjalan sebagai mana yang diharapkan oleh kebijakan desentralisasi fiskal. Tidak mudah memang untuk mengharmoniskan antara pembangunan dengan pendekatan regional dan pembangunan dengan pendekatan sektoral. Desentralisasi Fiskal pada dasarnya adalah untuk mendukung pembangunan dengan pendekatan regional. Desentralisasi fiskal adalah memberi keleluasaan fiskal bagi wilayah otonom. Sedangkan pembangunan dengan pendekatan sektoral memberi penekanan kepada tercapainya sasaran nasional secara sektoral. Akan selalu ada pihak yang mewakili masing-masing pendekatan pembangunan. Kemenkeu dan Kemendagri dapat dianggap sebagai pihak yang mewakili pendekatan desentralisasi fiskal, sedangan Kementerian Teknis/Sektoral mewakili pihak yang mewakili pendekatan pembangunan sektoral. Untuk itu, proses pengalihan Dana Dekon dan TP yang membiayai urusan daerah menjadi DAK memerlukan sebuah kebijakan yang dirancang secara bersama terutama oleh kedua pihak yang terkait serta pemerintah daerah. Isu lain adalah terkait dengan penggunaan DAK di berbagai daerah yang cenderung belum optimal. Berbagai faktor turut menyumbangkan terhadap permasalahan ini:
243
1)
Kegiatan DAK lebih diutamakan untuk kegiatan fisik. Hal ini sejalan dengan keinginan UU No.33 Tahun 2004 dan PP 55 Tahun 2005 yang mengutamakan kegiatan pembangunan dan/atau pengadaan dan/atau peningkatan dan/atau perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar. Dalam prakteknya, peraturan ini mempersulit pemanfaatan DAK di daerah, karena berbagai program yang bersifat non-fisik, yang mana masih sangat dibutuhkan oleh daerah, seperti program penyuluhan keluarga berencana dan keluarga sehat, yang juga merupakan prioritas nasional, menjadi tidak terbantu oleh DAK. Di pihak lain, fasilitas fisik berupa gedung puskesmas di daerah mungkin sudah relatif terpenuhi.
2)
DAK dianggarkan secara tahunan, padahal berbagai proyek fisik memerlukan waktu penyelesaian lebih dari satu tahun anggaran. DAK yang hanya ditetapkan setiap tahun akan menyebabkan tidak efektifnya pencapaian tujuan DAK. Sebagai contoh, dengan penentuan tahunan, maka program yang ditetapkan daerah bisa terputus, jika tahun berikutnya tidak turun DAK bersangkutan ke daerah tersebut.
3)
DAK dianggap tidak sesuai dengan yang dibutuhkan oleh daerah meskipun mekanisme alokasi DAK kepada daerah sudah menggunakan kombinasi pendekatan yang bersifat top-down serta bottom-up. MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Alokasi Khusus (DAK)
4)
Untuk beberapa daerah yang kurang mampu, alokasi DAK sangatlah dibutuhkan untuk memperbaiki kondisi pelayanan sesuai dengan standar nasional. Namun demikian, daerah-daerah tersebut terkendala dalam melaksanakan DAK karena diharuskannya untuk menyediakan dana pendamping (matching grant).
Untuk tahun 2013 ada terobosan untuk mengatasi berbagai kelemahan DAK dengan payung UU APBN 2013. Pemerintah bersama DPR bersepakat untuk menyediakan DAK tambahan yang mekanismenya berbeda dengan DAK Reguler. Salah satunya yaitu, DAK tambahan tersebut disediakan tanpa dana pendampingnya untuk daerah yang KKD nya sangat rendah.
17.5. Soal Latihan 1) 2) 3) 4) 5) 6)
244
Jelaskan perbedaan antara DAK dengan Dana Alokasi Umum (DAU) Apa tujuan DAK di Indonesia, apa bedanya dengan tujuan DAU? Jelaskan pengertian Kriteria Umum, hitunglah Kemampuan Keuangan Daerah anda dan perkirakan IFN daerah anda! Jelaskan pengertian Kriteria Khusus dan Kriteria Teknis dalam DAK, kaitkan jawaban dengan kondisi daerah anda! Jelaskan kelebihan dan kelemahan mekanisme penyaluran DAK yang saat ini berlaku Jelaskan kesulitan dalam mengalihkan Dana Dekonsetrasi dan Tugas Pembantuan ke DAK!
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TOPIK 18
DANA TRANSFER LAINNYA (DANA OTSUS DAN DANA PENYESUAIAN, BOS, DID, TPG, DAN TAMSIL GURU)
Dana Transfer Lainnya (Dana Otsus Dan Dana Penyesuaian, Bos, Did, Tpg, Dan Tamsil Guru)
Deskripsi: Tujuan Instruksional Khusus. Topik ini menjelaskan tentang: 1. Dana Otonomi Khusus 2. Dana Penyesuaian. 3. Beberapa Jenis Dana Penyesuaian: BOS, DID, TPG, Tamsil Guru serta aspek-aspeknya. 4. Kriteria alokasi dan penggunaan dana.
Sub Topik Dana Otonomi Khusus
Dana Penyesuaian Dana BOS Dana Insentif Daerah Dana TPG dan Tamsi Guru
Kata Kunci Otsus Aceh dan Papua
Ad hoc Satuan Pendidikan Dasar Kriteria kinerja Tunjangan Profesi Guru
Isu terkait Dana Transfer lainnya, Diskusi/latihan
Referensi: Referensi 1.
UU No. 33/2004
2.
PP No. 55/2005
3.
Bappenas - LPEM UI (2000)
4.
UU APBN dan Nota Keuangan RAPBN Tiap Tahunnya dapat di download dari web http://www.anggaran.depkeu.go.id
5.
Pelengkap Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah, Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia, berbagai tahun, dapat di download dari http://www.djpk.depkeu.go.id/
246
6.
PMK 06/2012
7.
PMK 165/2012
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Transfer Lainnya (Dana Otsus Dan Dana Penyesuaian, Bos, Did, Tpg, Dan Tamsil Guru)
18. DANA TRANSFER LAINNYA (DANA OTSUS DAN DANA
PENYESUAIAN, BOS, DID, TPG, DAN TAMSIL GURU)
18.1. Konsep dan Fungsi 1.
Dana Otsus (Otonomi Khusus)
Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang diberikan kepada daerah tertentu berdasarkan undang-undang otonomi khusus. Ada dua undang-undang yang mengatur Otonomi Khusus, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (jo) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dana otonomi khusus merupakan dana yang khusus diberikan untuk percepatan pembangunan di daerah. Alokasi Dana Otsus untuk Papua ditetapkan sebesar 2% (dua persen) dari plafon DAU Nasional pertahunnya dan berlaku selama 20 (dua puluh) tahun. Dari Alokasi tersebut, ditetapkan bahwa Provinsi Papua mendapatkan proporsi 70% (tujuh puluh persen) dan sisanya untuk Provinsi Papua Barat. Selain dana Otsus, kepada Provinsi Papua dan Papua Barat juga mendapatkan alokasi Dana Tambahan Infrastruktur yang besarnya disesuaikan kemampuan keuangan negara dan tambahan porsi DBH SDA Minyak Bumi dan DBH SDA Gas Bumi masing-masing sebesar 55% dan 40% dari PNBP SDA Minyak Bumi dan SDA Gas Bumi yang berasal dari wilayah propinsi yang bersangkutan. Dana Otsus untuk Provinsi Aceh adalah berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dana Otsus ini juga berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun ke-15 besarnya setara dengan 2 % (dua persen) plafon DAU Nasional dan untuk tahun ke-16 sampai dengan tahun ke-20 besarnya setara dengan 1 % (satu persen) plafon DAU Nasional. Sedangkan tambahan porsi DBH SDA Minyak Bumi dan DBH SDA Gas Bumi besarnya sama dengan untuk Propinsi Papua dan Papua Barat yaitu masing-masing sebesar 55% dan 40% dari PNBP SDA Minyak Bumi dan SDA Gas Bumi yang berasal dari wilayah propinsi yang bersangkutan. Penyaluran Dana Otsus tersebut dilaksanakan setelah mendapatkan pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri. Penyaluran Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh serta Dana Tambahan Infrastruktur dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dilaksanakan secara bertahap dan tidak dapat dilakukan sekaligus, yaitu:
247
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Transfer Lainnya (Dana Otsus Dan Dana Penyesuaian, Bos, Did, Tpg, Dan Tamsil Guru)
Tahap I : 30 % dari alokasi (Maret) Tahap II : 45 % dari alokasi (Juli) Tahap III : 25 % dari alokasi (Oktober) 2.
Dana Penyesuaian
Dana Penyesuaian adalah dana transfer yang bersifat adhoc. Pada dasarnya dana penyesuaian ini bertujuan untuk menampung program-program tertentu yang tidak tertampung dalam definisi dana perimbangan, terutama tidak tertampung dalam definisi DAK di Indonesia. Berbagai program prioritas Pemerintah yang menjadi tugas pemerintah daerah dan menimbulkan beban keuangan di daerah namun tidak tertampung dalam dana perimbangan, dimunculkan dalam bentuk dana penyesuaian. Sebagai contoh adalah dana penyesuaian dialokasikan untuk tambahan tunjangan kependidikan guru Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD), muncul karena adanya UU Guru dan Dosen yang mengharuskan Pemerintah untuk menyediakan tambahan dana untuk membayar guru yang sudah disertifikasi. Demikian juga Dana BOS yang muncul sebagai kebijakan untuk memberikan bantuan operasional ke sekolah dasar, namun harus disalurkan sebagai bagian dari Dana Transfer ke daerah mengingat sekolah dasar adalah merupakan urusan Pemda. Berikut contoh berbagai jenis Dana Penyesuaian di APBN dan APBNP 2010: • Data Tambahan tunjangan guru PNSD • Dana Insentif Daerah • Kurang Bayar DAK 2008 • Kurang Bayar Dana Infrastruktur Sarana dan Prasarana (DISP) • Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan Percepatan Pembangunan Daerah • Dana Penguatan Infrastruktur dan Prasarana Daerah • Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pendidikan Sedangkan Dana Penyesuaian pada tahun 2011 di APBN dan APBNP adalah: • Data Tambahan penghasilan guru PNSD • Dana Insentif Daerah • Tunjangan Profesi Guru • Bantuan Operasional Sekolah • Dana Penyesuaian Infrsatruktur Daerah (DPID) • Kurang Bayar Dana Sarana dan Prasarana Infrastruktur Propinsi Papua Barat Tahun 2008 Dana Penyesuaian untuk tahun 2013 • Data Tambahan penghasilan guru PNSD • Dana Insentif Daerah • Tunjangan Profesi Guru
248
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Transfer Lainnya (Dana Otsus Dan Dana Penyesuaian, Bos, Did, Tpg, Dan Tamsil Guru)
• •
Bantuan Operasional Sekolah Dana Penyesuaian lainnya
3.
Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah)
Dasar Hukum Pelaksanaan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) diatur dengan beberapa peraturan menteri yaitu: 1.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.07/2011 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana Bantuan Operasional Sekolah Tahun Anggaran 2012. Peraturan Menteri ini antara lain mengatur mekanisme penyaluran dana BOS dari Kas Umum Negara ke Kas Umum Daerah serta pelaporannya.
2.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 26/PMK.07/2012 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana Bantuan Operasional untuk Sekolah di Daerah Terpencil Tahun Anggaran 2012.
3.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 62 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Peraturan Menteri ini antara lain mengaturmekanisme pengelolaan dana BOS di daerah dan mekanisme penyaluran dari Kas Umum Daerah Propinsi ke Sekolah dengan hibah.
4.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51 tahun 2011 tentang Petunjuk Teknis tentang Penggunaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Laporan Keuangan BOS tahun anggaran 2012. Peraturan Menteri ini antara lain mengatur mekanisme pengalokasian dana BOS dan penggunaan dana BOS di Sekolah.
Dana BOS merupakan dana yang dialokasikan kepada daerah kabupaten dan kota untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 12 (duabelas) tahun yang bermutu. Adapun sekolah penerima BOS adalah Sekolah Dasar/Sekola Dasar Luar Biasa (SD/SDLB) dan Sekolah Menengah Pertama/Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa/Sekolah Menengah Pertama Terbuka (SMP/SMPLB/SMPT) baik Negeri maupun swasta, termasuk SD-SMP Satu Atap (SATAP)Sekolah Menengah Atas dan yang sederajad dan Tempat Kegiatan Belajar Mandiri (TKBM) yang diselenggarakan oleh masyarakat, baik negeri maupun swasta di seluruh provinsi di Indonesia. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) adalah dana yang digunakan terutama untuk biaya non personalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar dan dapat dimungkinkan untuk mendanai beberapa kegiatan lain sesuai pertunjuk teknis Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sejak tahun 2011 penyaluran BOS dilakukan melalui transfer langsung dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah, menggantikan mekanisme sebelumnya dimana dana BOS disalurkan melalui DIPA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana konsep dekonsentrasi. Untuk tahun
249
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Transfer Lainnya (Dana Otsus Dan Dana Penyesuaian, Bos, Did, Tpg, Dan Tamsil Guru)
2011 dana BOS disalurkan langsung kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, dilaksanakan secara triwulanan masing-masing sebesar ¼ (satu perempat) dari pagu alokasi kepada pemerintah. Selanjutnya pemerintah daerah wajib menyalurkan BOS kepada masing-masing sekolah paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah diterima di Rekening KUD. Penyaluran BOS Tahun Anggaran 2012 Mekanisme penyaluran dana BOS 2012 dilakukan melalui transfer dana dari Rekening Kas Umum Negara (RKUN) ke Rekening Kas Umum Daerah Provinsi, untuk selanjutnya diteruskan oleh Propinsi secara langsung ke satuan pendidikan dasar dalam bentuk hibah. Penyaluran BOS dilakukan secara triwulanan (tiga bulanan) masing-masing sebesar ¼ (satu perempat) dari alokasi BOS yaitu: • Triwulan Pertama (bulan Januari sampai dengan bulan Maret) dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja pada awal bulan Januari 2012; • Triwulan Kedua (bulan April sampai dengan bulan Juni) dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja pada awal bulan April 2012; • Triwulan Ketiga (bulan Juli sampai dengan bulan September) dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja pada awal pada bulan Juli 2012; dan • Triwulan Keempat (bulan Oktober sampai dengan bulan Desember) dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja pada awal bulan Oktober 2012. Pemerintah Provinsi wajib menyalurkan BOS kepada masing-masing sekolah paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah diterima di Rekening Kas Umum Daerah Provinsi setiap triwulannya. Penyaluran BOS tersebut mengacu kepada rincian alokasi BOS masing-masing sekolah per kabupaten/kota yang dihitung/ditetapkan berdasarkan data nama sekolah dan jumlah siswa serta ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS. Mulai tahun 2012 dana BOS disalurkan melalui Pemerintah Propinsi secara triwulanan masing-masing sebesar ¼ (satu perempat) dari pagu alokasi, selanjutnya Pemerintah Propinsi menyalurkan langsung kepada sekolah dengan mekanisme hibah kepada masing-masing sekolah paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah diterima di Rekening KUD Propinsi. Dana BOS 2012 membedakan antara penyaluran daerah non terpencil dan terpencil, untuk daerah terpencil penyaluran dilakukan secara semesteran. Pada Semester I, DJPK menyalurkan BOS utk daerah terpencil ke Pemda Provinsi paling lambat 14 hari setelah PMK alokasi diundangkan. Besaran penyaluran sebesar 50% dari alokasi untuk tiap semester-nya. Pemda Propinsi menyalurkan ke masing-masing sekolah paling lambat 7 hari kerja setelah dana diterima di RKUD.
250
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Transfer Lainnya (Dana Otsus Dan Dana Penyesuaian, Bos, Did, Tpg, Dan Tamsil Guru)
Untuk tahun angaran 2012 alokasi untuk SD dan SMP per siswa per tahun diberikan sebesar: • SD/SDLB di kabupaten dan kota sebesar Rp. 580.000,00 per siswa per tahun; • SMP/SMPLB/SMPT di Kabupaten dan kota sebesar Rp. 710.000,00 per siswa per tahun. Total alokasi BOS TA 2012 adalah sebesar Rp. 23.594.800.000.000,00 (dua puluh tiga triliun lima ratus sembilan puluh empat miliar delapan ratus juta rupiah) disediakan untuk daerah dengan rincian sebagai berikut: •
BOS yang dialokasikan ke kabupaten/kota melalui propinsi sebesar Rp. 22.441.115.420.000 untuk 36.579.003 siswa yang terdiri dari 27.153.667 siswa SD dan 9.425.336 siswa SMP; dan
•
Dana Cadangan BOS (Buffer fund) sebesar Rp. 1.153.684.580.000,00 yang dipergunakan untuk mengantisipasi jumlah siswa yang belum terhitung atau bertambahnya jumlah siswa dari perkiraan semula per triwulannya pada tahun anggaran berjalan.
Pelaporan dan Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah Provinsi wajib membuat dan menyampaikan: •
Laporan Realisasi Penyaluran BOS kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat pada setiap akhir triwulan yang bersangkutan. Laporan dimaksud dilengkapi dengan Surat Pernyataan Tanggung Jawab dan Daftar Surat Perintah Pencairan Dana Yang Diterbitkan Untuk Penyaluran; dan
•
Laporan Realisasi Penyerapan BOS kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan c.q. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar. Laporan dimaksud sekurangnya memuat kurang salur dan lebih salur pembayaran BOS masing-masing sekolah pada triwulan yang bersangkutan.
Pencairan Dana Cadangan (Buffer Fund) dan Perlakuan atas Lebih Salur Dana cadangan BOS (Buffer fund) pencairannya dilakukan setelah mendapatkan rekomendasi kurang salur BOS dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berdasarkan ketersediaan dan perkembangan data jumlah siswa per triwulan dalam tahun anggaran berjalan. Informasi terkait kurang salur BOS selanjutnya ditindaklanjuti dengan penyampaian rekomendasi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kepada Menteri Keuangan untuk menjadi dasar pencairan dana cadangan BOS yang selanjutnya akan disalurkan ke provinsi. Apabila terdapat lebih salur, maka lebih salur tersebut akan diperhitungkan sebagai pengurang dalam penyaluran alokasi BOS triwulan berikutnya. Untuk lebih salur pada Triwulan Keempat akan diperhitungkan sebagai pengurang dalam penyaluran Triwulan Pertama tahun anggaran berikutnya setelah memperhatikan rekomendasi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
251
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Transfer Lainnya (Dana Otsus Dan Dana Penyesuaian, Bos, Did, Tpg, Dan Tamsil Guru)
4. DID (Dana Insentif Daerah) Tujuan utama dialokasikannya DID adalah untuk mendorong agar daerah berupaya untuk mengelola keuangannya dengan lebih baik yang ditunjukkan dari perolehan opini Badan Pemeriksa Keuangan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah, dan berfungsi membantu daerah dalam rangka melaksanakan program pendidikan sebagai kebijakan Pemerintah Pusat. Kriteria Penilaian DID dialokasikan kepada daerah provinsi dan kabupaten/kota dengan mempertimbangkan kriteria daerah yang berprestasi yang memenuhi 3 (tiga) kriteria tertentu, yaitu Kriteria Utama, Kriteria Kinerja, dan Batas Minimum Kelulusan Kinerja. a.
Kriteria Utama, meliputi sekurang-kurangnya mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan dan penetapan APBD yang tepat waktu.
b.
Kriteria Kinerja, terdiri dari Kriteria Kinerja Keuangan, Kriteria Kinerja Pendidikan, dan Kriteria Kinerja Ekonomi dan Kesejahteraan. (1) Kriteria Kinerja Keuangan meliputi daerah yang mampu meningkatkan dan empertahankan kualitas Laporan Keuangannya untuk memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau WDP dari BPK, daerah yang menetapkan Peraturan Daerah tentang APBD secara tepat waktu, dan kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di atas rata-rata Nasional. (2) Kriteria Kinerja Pendidikan meliputi daerah yang mampu mencapai Angka Partisipasi Kasar Sekolah Dasar dan sederajatnya di atas rata-rata nasional dan/atau daerah yang mampu mencapai Angka Partisipasi Kasar Sekolah Menengah Pertama dan sederajatnya di atas ratarata nasional, dan daerah yang mampu mengurangi jarak indeks Pembangunan Manusia (IPM) terhadap IPM ideal (100) di atas rata-rata nasional. (3) Kriteria Kinerja Ekonomi dan Kesejahteraan meliputi daerah yang mampu mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, daerah yang mampu mengurangi tingkat kemiskinan di atas rata-rata pengurangan tingkat kemiskinan nasional, daerah yang mampu mengurangi tingkat pengangguran di atas rata-rata tingkat pengangguran nasional, dan daerah yang memiliki Kemampuan Fiskal Daerah terhadap IPMnya di atas atau di bawah rata-rata nasional.
c.
252
Batas Minimum Kelulusan Kinerja adalah nilai minimum tertentu atas hasil pembobotan terhadap masing-masing unsur penilaian dan Kriteria Kinerja Keuangan, Kriteria Kinerja Pendidikan, serta Kriteria Kinerja Ekonomi dan Kesejahteraan.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Transfer Lainnya (Dana Otsus Dan Dana Penyesuaian, Bos, Did, Tpg, Dan Tamsil Guru)
Alokasi Minimum Dalam alokasi DID Tahun Anggaran 2012 juga dikenal adanya alokasi minimum yang diberikan kepada daerah yang telah memenuhi minimal persyaratan penilaian atas kriteria utama diberikan alokasi minimal sebesar Rp2.000.000.000,- sedangkan bagi daerah yang menyampaikan LKTD ke BPK tepat waktu mendapatkan insentif tambahan sebesar Rp.3.000.000.000,-. Penggunaan DID DID dialokasikan untuk membantu daerah dalam rangka melaksankan fungsi pendidikan sebgai kebijakan pemerintah pusat. Pengalokasian fungsi belanja pendidikan dalam APBD menjadi kewenangan/urusan daerah untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Penggunaan DID diutamakan untuk kegiatan penuntasan reahabilitasi ruang kelas SD dan SMP yang rusak. Selain itu dapat juga untuk kegiatan-kegiatan lain dalam rangka pelaksanaan fungsi kendidikan dengan jenis belanja modal, barang, pegawai, bantuan keuangan dan hibah. Kegiatan yang tidak dapat dibiayai dari DID meliputi pendanaan untuk dana pendamping DAK, kegiatan yang dibiayai dari DAK, BOS, pendidikan kedinasan dan hibah kepada perusahaan daerah. Penyaluran Penyaluran DID dilakukan secara sekaligus melalui transfer dari Rekening Kas Umum Negara kepada Rekening Kas Umum Daerah setelah daerah penerima menyampaikan Perda APBD tahun berjalan, Surat Pernyataan pencantuman DID dalam APBD/ APBD-P, dan Rencana penggunaan DID kepada Dirjen Perimbangan Keuangan.
5.
Dana TPG (Tunjangan Profesi Guru) dan Tamsil Guru
Dana TPG Dana Tunjangan Profesi Guru diberikan kepada Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah yang telah memiliki sertifikat pendidik dan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tunjangan Profesi Guru-PNSD diberikan sebesar maksimal 1 kali gaji pokok PNS yang bersangkutan. Penyaluran TPGuru-PNSD dilaksanakan dengan cara pemindahbukuan dari RKUN ke RKUD secara triwulanan pada akhir triwulan yang bersangkutan, masing-masing triwulan sebesar 25% pagu alokasi per daerah. Penyaluran Triwulan II dilakukan setelah Laporan Realisasi Semester II Dana TPGuru-PNSD TA 2011 diterima oleh Dirjen Perimbangan Keuangan. TP-Guru PNSD merupakan obyek Pajak Penghasilan Pasal 21
253
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Transfer Lainnya (Dana Otsus Dan Dana Penyesuaian, Bos, Did, Tpg, Dan Tamsil Guru)
Dana Tamsil Guru (Tambahan Penghasilan Guru) Dana ini diperuntukkan bagi guru yang belum mendapatkan tunjangan profesi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja dan kesejahteraan guru PNSD. Disalurkan secara triwulanan pada akhir triwulan yang bersangkutan, masing-masing triwulan sebesar 25% pagu alokasi per daerah. Penyaluran Triwulan II dilakukan setelah Laporan Realisasi Semester II Dana TPG PNSD TA sebelumnya diterima oleh Dirjen Perimbangan Keuangan. Mulai tahun 2009, DTP Guru PNSD merupakan komponen Anggaran Transfer ke Daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam hal DTP Guru PNSD yang telah disalurkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah tidak mencukupi kebutuhan pembayaran DTP Guru PNSD, Pemerintah Daerah dapat melaksanakan optimalisasi penyerapan DTP Guru PNSD yang tersalur dengan cara melaksanakan pembayaran DTP Guru PNSD kepada Guru PNSD berdasarkan jumlah bulan. Apabila masih terdapat selisih anatra pagu yang ditrasnfer dengan realisasinya akan diperhitungkan dengan alokasi DTP Guru PNSD Tahun Anggaran berikutnya
Pola Penyaluran Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian A.
Dana Otonomi Khusus dan Dana Tambahan Infrastruktur
Penyaluran dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan dari Mendagri - Tahap I (Maret): 15%; Tahap II (Juni): 30%; Tahap III (Sept): 40%; Tahap IV (Nov): 15%
B.
Dana Bantuan Operasional Sekolah
Penyaluran dilaksanakan secara Triwulanan untuk daerah non-terpencil masing-masing 25%; sedangkan untuk daerah terpencil secara semesteran (50%)
C.
Dana Tambahan Penghasilan Bagi Guru PNSD
Penyaluran dilaksanakan secara Triwulanan masing-masing 25%
D.
Dana Tunjangan Profesi Guru PNSD
Penyaluran dilaksanakan secara Triwulanan masing-masing 25%
E.
Dana Insentif Daerah
Penyaluran dilaksanakan jika Daerah telah menyampaikan Perda APBD 2010 dan Surat Pernyataan dan disalurkan secara sekaligus
F.
Dana Penyesuaian lainnya
Diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku
18.2. Isu-Isu Terbaru tentang Dana Transfer Lainnya Dengan adanya Dana Transfer Lainnya akan sangat membantu dalam operasional daerah baik Kabupaten maupun Kota. di samping adanya keuntungan juga terdapat kekurangan didalam pelaksanaannya.
254
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Transfer Lainnya (Dana Otsus Dan Dana Penyesuaian, Bos, Did, Tpg, Dan Tamsil Guru)
Seperti misalnya untuk Dana Otonomi Khusus terdapat penyimpangan dalam penggunaannya; yang semestinya untuk percepatan pembangunan daerah akan tetapi digunakan untuk mendanai operasional pemerintahan. Sedangkan untuk yang lainnya adalah tidak sampainya dana tersebut kepada sasaran dan sering terjadi penyelewengan.
18.3. Soal Latihan
255
1.
Jelaskan, kenapa harus ada dana penyesuaian!
2.
Jelaskan mekanisme dana BOS dari Pemerintah hingga sampai ke Sekolah!
3.
Kriteria kinerja apa saja yang digunakan dalam perhitungan Dana Insentif Daerah?
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TOPIK 19
LAIN-LAIN PENDAPATAN DAERAH YANG SAH
Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah
Deskripsi: Topik ini menjelaskan konsep Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah (LPDS), optimalisasi LPDS, dan Isu-isu Terkini tentang LPDS.
Sub Topik
Kata Kunci
Konsep, Jenis dan Sumber LPDS. Bagi Hasil Pajak Provinsi
Hibah
Dasar Hukum, optimalisasi dan Isu Terkini Tentang LPDS
Struktur APBD, Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan Jenis pajak propinsi yang dibagihasilkan
Hibah dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah, Penerusan pinjaman/hibah Luar Negeri melalui hibah ke Daerah Dasar hukum, Ekstensifikasi LPDS
Latihan
Referensi: 1.
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
257
2.
PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
3.
PP No. 57 Tahun 2005 tentang Hibah.
4.
PP No. 10/2011 tentang Tatacara pinjaman LN dan Penerimaan Hibah.
5.
PMK tahun berjalan
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah
19. LAIN-LAIN PENDAPATAN DAERAH YANG SAH (LPDS) 19.1.
Konsep, Jenis, dan Sumber Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah
Sebagaimana telah dibahas pada bagian sebelumnya, struktur APBD merupakan satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan, yaitu sebagai berikut: a. pendapatan daerah; b. belanja daerah; dan c. pembiayaan daerah. Pendapatan daerah tersebut di atas, selanjutnya dikelompokan atas: a. Pendapatan Asli Daerah; b. Dana Perimbangan; dan c. Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Kelompok Pendapatan Asli Daerah terdiri atas: a. pajak daerah; b. retribusi daerah; c. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan d. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah (LPDS) adalah merupakan pendapatan yang tidak dapat dipisahkan dari pendapatan yang secara keseluruhan masuk dalam Pendapatan Pemerintah/Daerah. LPDS ini merupakan wewenang dari daerah untuk mengelola dan menggunakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Perlu diperhatikan bahwa “LPDS” (Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah) berbeda dengan “LPADS” (Lain-lain PAD yang Sah). Penyajian dalam Anggaran Sebagai contoh, kita dapat melihat penyajian Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah (LPDS) dalam Ringkasan APBD 2013 Kabupaten Subang sebagai berikut:
258
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah
Tabel 19.1
PEMERINTAH KABUPATEN SUBANG RINGKASAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2013 No
Uraian
1.
PENDAPATAN DAERAH
1.1.
PENDAPATAN ASLI DAERAH
1.1.1.
HASIL PAJAK DAERAH 1)
42.415.500.000,00
1.1.2.
HASIL RETRIBUSI DAERAH 1)
18.569.535.200,00
1.1.3.
HASIL PENGELOLAAN KEKAYAAN DAERAH YANG DIPISAHKAN
1.1.4.
LAIN-LAIN PENDAPATAN ASLI DAERAH YANG SAH
1.2.
DANA PENGEMBANGAN
1.2.1.
DANA BAGI HASIL PAJAK/BAGI HASIL BUKAN PAJAK
1.2.2.
DANA ALOKASI UMUM
1.2.3.
DANA ALOKASI KHUSUS
59.497.100.000,00
1.3.
LAIN-LAIN PENDAPATAN DAERAH YANG SAH
68.737.236.599,00
1.3.1.
PENDAPATAN HIBAH
1.3.3.
DANA BAGI HASIL PAJAK DARI PROPINSI DAN PEMERINTAH DAERAH LAINNYA
JUMLAH PENDAPATAN
Jumalah 1.499.668.098.462,00 119.940.035.200,00
11.410.000.000,00 47.545.000.000,00 1.310.990.826.663,00 218.926.194.663,00 1.032.567.532.000,00
2.425.100.000,00 66.312.136.599,00
1.499.669.098.462,00
Semua jenis pendapatan yang sah yang tidak masuk kepada kategori PAD dan Dana Perimbangan adalah merupakan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Jenisnya antara lain: 1.
Pendapat Hibah
2.
Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemerintah daerah lainnya
3.
Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemerintah Daerah lainnya
4.
Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus
5.
Dana Darurat
6. Lainnya. Pada bagian berikutnya akan diuraikan beberapa jenis lain-lain pendapatan daerah yang sah yang cukup besar. Terkait dana penyesuaian dan dana otonomi khusus, penjelasannya ada di bagian dana transfer lainnya.
259
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah
19.2. Bagi Hasil Pajak Provinsi Sebagaimana diamanatkan oleh UU 32 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, salah satu sumber pendanaan Pemerintahan Daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang bersumber dari pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Lebih lanjut, pelaksanaan pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah tersebut diatur dengan Undang-undang tersendiri, yang saat ini adalah UU 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Berdasarkan UU 28/2009 tersebut, pendapatan pajak provinsi yang harus dibagihasilkan kepada kabupaten/kota dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 19.2.
Pendapatan Pajak Provinsi yang Dibagihasilkan Kepada Kabupaten/Kota Jenis Pajak
Proporsi Bagi Hasil Provinsi
Kab/Kota
Pajak Kendaraan Bermotor
70%
30%
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
70%
30%
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
30%
70%
Pajak Rokok
30%
70%
Pajak Air Permukaan
50%
50%
20%
80%
*) untuk air permukaan yang berada hanya pada 1 kabupaten/ kota
Selanjutnya bagian kabupaten/kota dialokasikan per kabupaten/kota yang ada di provinsi tersebut, dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar kabupaten/kota. Contoh Kasus
260
1)
Penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor Provinsi X senilai Rp500 miliar. Provinsi X terdiri dari 1 Kota dan 4 Kabupaten. Buatlah beberapa alternatif Bagi Hasil yang dapat diterapkan oleh Pemerintah Provinsi X dengan memperhitungkan aspek pemerataan dan/atau potensi (buat asumsi potensi setiap kabupaten/ kota).
2)
Penerimaan Pajak Air Permukaan Provinsi Y senilai Rp1 miliar. Provinsi Y terdiri dari 1 kota dan 4 kabupaten. Penerimaan Pajak Air Permukaan diperoleh dari pemanfaatan sungai yang mengaliri 1 kota dan 1 kabupaten. Buatlah beberapa alternatif Bagi Hasil yang dapat diterapkan oleh Pemerintah Provinsi Y dengan memperhitungkan aspek pemerataan dan/atau potensi (buat asumsi potensi setiap kabupaten/ kota). MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah
19.3. Pendapatan Hibah Konsep Dasar Pendapatan Hibah adalah pendapatan yang diterima Pemerintah Daerah, baik berupa barang/jasa ataupun uang dari dari berbegai pihak (seperti Pemerintah, Pemerintah Daerah, BUMN, individu/badan swasta dalam negeri) yang tidak perlu dibayar kembali. Sesuai dengan definisi di atas Pendapatan Hibah Pemerintah Daerah dapat bersumber dari Pemerintah (pusat), pemerintah daerah lain, badan/lembaga organisasi swasta dalam negeri, dan atau kelompok masyarakat/perorangan dalam negeri. Hibah dari lembaga internasional/pemerintah asing ke Pemerintah Daerah harus melalui Pemerintah Pusat. Sehingga hibah dari Pemerintah (pusat) sendiri dapat bersumber dari pendapatan APBN, pinjaman luar negeri, dan/atau hibah luar negeri. Hibah dari Pemerintah Pusat yang bersumber dari Luar Negeri disebut juga penerusan hibah ke daerah. Nilai dari keseluruhan hibah ke daerah khususnya dari Pemerintah (pusat) selama beberapa tahun ini memang tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan transfer ke daerah. Hibah kepada Pemerintah Daerah dapat digunakan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan urusan pemerintahan yang merupakan kewenangan Pemerintah Daerah. Untuk Hibah yang bersumber dari penerimaan dalam negeri APBN dan dari pihak lain di dalam negeri dituangkan dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). Sedangkan Hibah yang bersumber dari luar negeri (baik dari pinjaman luar negeri maupun hibah luar negeri yang diterus hibahkan) dilakukan melalui Pemerintah Pusat melalui penandatanganan Naskah Perjanjian Penerusan Hibah (NPPH) antara Pemerintah c.q. Menteri Keuangan atau kuasanya dengan kepala daerah. Khusus untuk hibah dari Pemerintah (pusat) yang bersumber dari pinjaman luar negeri, prioritas diberikan kepada daerah berkapasitas fiskal rendah berdasarkan peta kapasitas fiskal yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan dan atau prioritas sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang/Menengah (RPJP/RPJM). Pemberian hibah harus memenuhi kriteria paling sedikit: 1) Peruntukannya secara spesifik telah ditetapkan; 2) Peruntukannya untuk peningkatan fungsi Pemerintahan, layanan dasar umum, dan pemberdayaan aparatur; 3) Peruntukannya guna penyelenggaraan kegiatan Pemerintah Daerah yang berskala regional di daerah; 4) Peruntukannya guna melaksanakan kegiatan sebagai akibat kebijakan Pemerintah yang mengakibatkan penambahan beban APBD; 5) Tidak wajib, tidak mengikat dan tidak terus menerus setiap tahun anggaran, kecuali ditentukan Iain oleh peraturan perundang-undangan; dan memenuhi persyaratan penerima hibah.
261
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah
Apabila dalam naskah Perjanjian Hibah Daerah dipersyaratkan untuk menyediakan dana pendamping, maka hibah diberikan kepada penerima hibah yang bersedia menyediakan dana pendamping. Hibah mempunyai 3 bentuk, yaitu: 1) Hibah dalam bentuk uang; 2) Hibah dalam bentuk barang dapat berupa tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan jalan irigasi jaringan, aset tetap lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; 3) Hibah dalam bentuk jasa dapat berupa bantuan teknis pendidikan, pelatihan, penelitian dan jasa Iainnya. Ruang lingkup hibah daerah meliputi: 1)
Hibah Daerah, meliputi: a. Hibah kepada Pemerintah Daerah; b. Hibah dari Pemerintah Daerah.
2)
Hibah kepada Pemerintah Daerah dapat berasal dari: a. Pemerintah; b. Pemerintah Daerah Lain; c. badan, lembaga, atau organisasi dalam negeri; dan/atau d. kelompok masyarakat atau perorangan dalam negeri.
Hibah dari pemerintah kepada Pemerintah Daerah dapat diteruspinjamkan, diterushibahkan, dan/ atau dijadikan penyertaan modal kepada badan usaha milik daerah dalam kerangka hubungan keuangan antara Pemerintah Daerah dan badan usaha milik daerah.
3)
Hibah dari Pemerintah Daerah dapat diberikan kepada: a. Pemerintah; b. Pemerintah Daerah lain; c. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah; dan/atau d. badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia.
4)
Hibah dari Pemerintah yang bersumber dari APBN meliputi: a. penerimaan dalam negeri; b. hibah luar negeri; dan c. Pinjaman Luar Negeri.
Mekanisme Penyaluran Penyaluran hibah kepada pemerintah daerah berdasarkan Rencana Tahunan untuk setiap permintaan penyaluran hibah kepala daerah wajib menyampaikan surat permintaan penyaluran hibah yang dilampiri dengan Surat Tanggung Jawab Mutlak dan dokumen terkait kepada Kuasa Pengguna Anggaran Hibah
262
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah
kepada Pemerintah Daerah. Permintaan penyaluran dilakukan setelah ada pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Hibah kepada Pemerintah Daerah. Dokumen terkait tersebut harus mendapat pertimbangan dari kementerian lembaga terkait sebelum disampaikan Kuasa Pengguna Anggaran – Hibah Kepada Pemerintah Daerah (KPA-HPD). Penyaluran hibah berupa uang yang sumbernya berasal dari pendapatan APBN dilakukan melalui pemindahbukuan dari RKUN ke RKUD. Pemerintah daerah dalam rangka penyaluran hibah membuka rekening tersendiri yang bersifat khusus untuk menampung dana hibah sebagai bagian dari RKUD sesuai peraturan perundang-undangan. Kepala Daerah atau kuasanya menyampaikan nomor rekening, nama rekening dan nama bank kepada KPA- HPD yang dilampiri dengan copy bukti pembukaan rekening. Permintaan atas penyaluran hibah untuk tahap pertma dilampiri dengan dokumen terkait: a) Rencana penggunaan hibah b) Copy DPA – SKPD dan dokumen pendukung terkait c) Copy SPM yang disampaikan oleh SKPD kepada BUD dalam rangka pencairan dana hibah dan dokumen pendukung terkait. Permintaan atas penyaluran hibah sebagaimana dimaksud untuk tahap berikutnya dilampiri dengan dokumen terkait: a) Rencana penggunaan hibah b) Copy SPM yang disampaikan oleh SKPD kepada BUD dan copy rekening Koran dalam rangka pencairan dana hibah dan dokumen pendukung terkait c) Laporan kemajuan pelaksanaan kegiatan dan dokumen terkait d) Copy SP2D yang disahkan oleh BUD untuk tahap sebelumnya dan dokumen terkait e) Laporan penggunaan hibah dan laporan penggunaan dana pendamping untuk tahap sebelumnya yang ditetapkan oleh SKPD dan BUD serta dokumen pendukung terkait Dalam hal penyaluran hibah tahap terakhir telah dilakukan oleh KPA – HDP, Kepala Daerah atau kuasanya menyampaikan dokumen antara lain: a) Copy SP2D yang disahkan oleh BUD dan dokumen pendukung terkait. b) Laporan penggunaan hibah dan laporan penggunaan dana pendamping secara keseluruhan yang ditetapkan oleh SKPD dan dokumen pendukung terkait. Isu-isu Tentang Hibah Hibah daerah seringkali dikaitkan dengan politik di daerah-daerah, misalnya untuk pilkada.
263
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah
19.4. Dasar Hukum, Optimalisasi, dan Isu Terkini tentang Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah Dasar Hukum Dalam rangka melaksanakan pengelolaan Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah, maka telah diterbitkan beberapa peraturan perundang-undangan terkait yaitu: 1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; 2) Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; 3) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah; 4) Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah; 5) Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; 6) Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah; 7) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara dan Daerah; 8) Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010 tentang Standar akuntansi Pemerintahan; 9) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2011; 10) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Optimalisasi Optimalisasi LPDS dapat dilakukan baik melalui usaha intensifikasi maupun ekstensifikasi. Intensifikasi dimaksudkan adalah bagaimana upaya untuk meningkatkan LPDS dengan cara meningkatkan usaha pemungutan dari obyek LPDS yang selama ini belum dilakukan secara optimal; sehingga realisasinya akan meningkat. Sedangkan usaha ekstensifikasi dilakukan melalui usaha-usaha untuk mengembangkan obyek LPDS yang terbaru yang sebelumnya tidak dilakukan. Optimalisasi LPDS yang berada dalam lingkup kewenangan Pemerintah Daerah adalah terkait dengan Bagi Hasil Pajak Propinsi. Jika Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membantu Pemerintah Propinsi untuk mengoptimalkan pendapatan pajak propinsi, maka Pemerintah Kabupaten/Kota akan menerima bagihasil yang semakin besar. Isu Terkini Isu-isu yang berkembang saat ini yang berkaitan dengan LPDS adalah dengan semain banyaknya jenis dana penyesuaian (dalam bentuk dana transfer dari Pusat ke daerah) yang bersifat ad hoc tentu akan mengganggu kepastian pendapatan daerah. Dana yang bersifat ad hoc tidak bisa diandalkan sebagai sumber pendanaan pelayanan publik di daerah karena bisa mengganggu keberlanjutan pelayanan jika
264
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah
hanya bersifat temporer. Namun ada juga LPDS yang berasal dari dana penyesuaian yang sudah menjadi rutinitas tahunan seperti Dana BOS. Dana ini sebaiknya ke depan dipindahkan ke kelompok transfer rutin, bukan di LPDS.
19.5. Soal Latihan
265
1.
Jelaskan penyajian Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah dalam Laporan Realisasi Anggaran!
2.
Jelaskan perbedaan antara LPDS dengan Lain-lan PAD yang sah!
3.
Jelaskan komponen Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah!
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TOPIK 20
SISTIM DAN PROSEDUR DAN PENATAUSAHAAN PENDAPATAN DAERAH
Sistim Dan Prosedur Dan Penatausahaan Pendapatan Daerah
Deskripsi: Topik ini menjelaskan tentang : • Azas umum penatausahaan keuangan daerah; • Sisdur penerimaan pendapatan SKPD dan PPKD; • Sisdur penyetoran pendapatan ke kas daerah; • Sisdur restitusi penerimaan pendapatan.
Sub Topik azas umum penatausahaan keuangan daerah;
Kata Kunci Kewajiban penyelenggaraan penatausahaan
sisdur penerimaan pendapatan SKPD dan PPKD;
Surat Ketetapan Retribusi
sisdur penyetoran pendapatan ke kas daerah
bendahara penerimaan PPPKD
sisdur restitusi penerimaan pendapatan
Nota Kredit
Latihan
Referensi:
267
1.
PP No. 58/2005
2.
Permendagri No. 13/2006 jo. 59/2007 jo 21/2011
3.
Permendagri No. 55/2008
4.
PP No. 60/2008
5.
Abdul Halim (2012)
6.
SE Ditjen DJPK ttg Sisdur.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistim Dan Prosedur Dan Penatausahaan Pendapatan Daerah
20. SISTIM DAN PROSEDUR DAN PENATAUSAHAAN
PENDAPATAN DAERAH
Berdasarkan amanah Permendagri Nomor 13/2006 jo Permendagri 50/2007 jo Permendagri 21/2011 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Kepala Daerah menetapkan peraturan kepala daerah tentang sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah. Sistem dan prosedur (Sisdur) pengelolaan keuangan daerah tersebut mencakup tata cara penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan dan akuntansi, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban kepala daerah.Sisdur tersebut dimaksudkan untuk memberikan pedoman (guidance) bagi pejabat penatausahaan keuangan daerah yang mempunyai tugas dan tanggung jawab mengelola keuangan daerah, serta seluruh pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan keuangan daerah, sehingga tercipta pengelolaan keuangan daerah yang tertib, efisien, efektif, transparan dan akuntabel yang sesuai dengan peraturan perudang-undangan yang berlaku.
20.1. Azas Umum Penatausahaan Keuangan Daerah Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 184 Permendagri 13/2006, azas umum penatausahan keuangan daerah meliputi 2 hal yaitu: 1)
Kewajiban penyelenggaraan penatausahaan.
Bahwa Pengguna Anggaran/Kuasa pengguna anggaran, bendahara penerimaan/pengeluaran dan orang atau badan yang menerima atau menguasai uang/barang/kekayaan daerah wajib menyelenggarakan penatausahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2)
Tanggung jawab kebenaran material atas bukti penerimaan dan/atau pengeluaran.
Bahwa Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar penerimaan dan/atau pengeluaran atas pelaksanaan APBD bertanggungjawab terhadap kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud.
20.2. Sisdur dan Penatausahaan Berdasarkan Permendagri 55 tahun 2008 tentang Tata Cara Penatausahaan dan Pertanggungjawaban Bendahara serta Penyampaiannya, disebutkan jenis penatausahaan penerimaan pendapatan meliputi :
268
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistim Dan Prosedur Dan Penatausahaan Pendapatan Daerah
• •
Penatausahaan penerimaan pendapatan SKPD Penatausahaan penerimaan pendapatan PPKD
1.
Sisdur Penerimaan Pendapatan SKPD
a.
Dasar penerimaan
Penerimaan pendapatan didasarkan pada Surat Ketetapan Pajak (SKP) Daerah dan/atau Surat Ketetapan Retribusi (SKR) dan/atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SKP/SKR dari wajib pajak dan/atau wajib retribusi dan/atau pihak ketiga yang berada dalam pengurusannya.
b.
Prinsip umum • Setiap penerimaan pendapatan yang diterima oleh Bendahara penerimaan SKPD harus disetor ke rekening Kas Umum Daerah paling lambat 1 (satu) hari kerja berikutnya.
Untuk daerah yang kondisi geografisnya sulit dijangkau dengan komunikasi dan transportasi sehingga melebihi batas waktu penyetoran, maka hal ini akan ditetapkan dengan peraturan kepala daerah (SE-900/316/BAKD Tahun 2007).
• Penyetoran penerimaan pendapatan ke rekening Kas Umum Daerah pada bank pemerintah yang ditunjuk dianggap sah setelah kuasa BUD menerima nota kredit dari bank. • Bendahara penerimaan dilarang menyimpan uang, cek atau surat berharga yang dalam penguasaannya lebih dari 1 (satu) hari kerja dan/atau atas nama pribadi pada bank atau giro pos. • Penerimaan SKPD tidak boleh digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran. • Bendahara penerimaan pada SKPD wajib menyelenggarakan pembukuan terhadap seluruh penerimaan dan penyetoran atas penerimaan yang menjadi tanggungjawabnya. • Bendahara penerimaan pada SKPD wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan kepada PPKD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. c.
Dokumen yang digunakan 1) Surat Tanda Bukti Pembayaran 2) Nota Kredit 3) Bukti Penerimaan yang Sah 4) Surat Tanda Setoran.
d.
Pihak-pihak yang terkait 1) PPKD • Berwenang menetapkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) Daerah
269
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistim Dan Prosedur Dan Penatausahaan Pendapatan Daerah
2)
Pengguna Anggaran • Berwenang menetapkan Surat Ketetapan Retribusi (SKR) • Menerima dan mengesahkan Laporan Pertanggungjawaban Penerimaan dari Bendahara Penerimaan melalui PPK SKPD
3)
PPK SKPD • Berwenang melakukan verifikasi harian atas penerimaan
4)
Bendahara Penerimaan • Bertugas menerima pembayaran sejumlah uang yang tertera pada SKP Daerah/SKR dari Wajib Pajak/Retribusi • Memverifikasi kesesuaian jumlah uang yang diterima dengan dokumen SKR yang diterimanya dari Pengguna Anggaran • Membuat Surat Tanda Setoran (STS) dan Surat Tanda Bukti Pembayaran/Bukti lain yang sah • Menyerahkan Tanda Bukti Pembayaran/tanda bukti lain yang sah kepada Wajib Pajak/Retribusi • Membuat dan menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban Penerimaan kepada Pengguna Anggaran dan PPKD selaku BUD
5)
PPKD selaku BUD • Bertugas menerima Laporan Pertanggungjawaban Penerimaan dari Bendahara Penerimaan • Melakukan verifikasi, evaluasi, serta analisis atas laporan pertanggungjawaban bendahara penerimaan SKPD dalam rangka rekonsiliasi penerimaan.
e.
Sisdur Penerimaan Pendapatan dan Bagan alir (Flowchart)
Prosedur penerimaan pendapatan SKPD dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: 1) Prosedur penerimaan pendapatan Tunai; 2) Prosedur penerimaan pendapatan melalui rekening Kas Umum Daerah; 3) Prosedur penerimaan pendapatan melalui rekening Bank Lain.
Secara garis besar Sisdur penerimaan pendapatan dapat dilihat pada Bagan 20.1. Bagan 20.1. Penatausahaan Penerimaan Pendapatan
Sisdur Penerimaan Pendapatan
Sisdur Penatausahaan Bendahara
Sisdur Penatausahaan Akutansi
(1)
(2)
(3)
Sumber: diolah.
270
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistim Dan Prosedur Dan Penatausahaan Pendapatan Daerah
(1) Sisdur Penerimaan Pendapatan Sisdur penerimaan pendapatan meliputi:
2.1 Sisdur Penerimaan Pendapatan Tunai 2.2 Sisdur Penerimaan Pendapatan melalui Kas Umum Daerah 2.3 Sisdur Penerimaan Pendapatan melalui rekening bank lain Penjelasan dari setiap Sisdur Penerimaan Pendapatan sebagai berikut: 1.1. Sisdur Penerimaan Pendapatan Tunai Urutan Langkah/prosedur yang dilakukan sehubungan dengan penerimaan pendapatan tunai sebagai berikut: 1) PPKD menyerahkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) Daerah yang telah diterbitkan kepada Bendahara Penerimaan dan Wajib Pajak/Retribusi. 2) Pengguna Anggaran menyerahkan Surat Ketetapan Retribusi (SKR) yang telah diterbitkan kepada Bendahara Penerimaan dan Wajib Pajak/Retribusi. Bagi Bendahara Penerimaan, SKP Daerah dan SKR tersebut nantinya digunakan untuk keperluan melakukan verifikasi pada saat penerimaan pendapatan; 3) Wajib Pajak/Retribusi membayarkan sejumlah uang sesuai dengan yang tertera dalam SKP Daerah/SKR kepada Bendahara Penerimaan; 4) Bendahara Penerimaan memverifikasi kesesuaian jumlah uang yang diterima dari Wajib Pajak/Retribusi dengan dokumen SKP Daerah/SKR; 5) Jika hasil verifikasi diperoleh kesesuaian antara jumlah uang yang diterima dari Wajib Pajak/ Retribusi dengan SKP Daerah/SKR, maka Bendahara Penerimaan menerbitkan Surat Tanda Bukti Pembayaran/Bukti lain yang sah dan membuat Surat Tanda Setoran (STS); 6) Bendahara Penerimaan menyerahkan Surat Tanda Bukti Pembayaran/Bukti lain yang sah kepada Wajib Pajak/Retribusi dan menyetorkan uang yang diterima dari Wajib Pajak/ Retribusi dengan disertai STS ke Bank yang ditetapkan; 7) Bank mengotorisasi STS dan membuat Nota Kredit. STS yang telah diotorisasi diserahkan kembali ke Bendahara Penerimaan sedangkan Nota Kredit diserahkan ke BUD.
271
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistim Dan Prosedur Dan Penatausahaan Pendapatan Daerah
Contoh SKPD (Surat Ketetapan Pajak Daerah) PEMERINTAH PROVINSI/KABUPATEN/KOTA ……….
SURAT KETETAPAN PAJAK DAERAH (SKP-DAERAH)
MASA TAHUN NAMA ALAMAT NOMOR POKOK WAJIB PAJAK DAERAH (NPWPD) TANGGAL JATUH TEMPO NO
KODE REKENING
NO. URUT : ………..
: ………………………………………… … : ………………………………………… …
: …………………………………………… : …………………………………………… : …………………………………………… : …………………………………………… URAIAN PAJAK DAERAH
1 2 3 4
JUMLAH (Rp)
Jumlah Ketetapan Pokok Pajak Jumlah Sanksi: a. Bunga b. Kenaikan Jumlah Keseluruhan Dengan huruf : …………………………………………………………………………………………………………….. PERHATIAN : 1. Harap penyetoran dilakukan pada Bank/ Bendahara Penerimaan ……………. 2. Apabila SKPD ini tidak atau kurang dibayar lewat waktu paling lama 30 hari setelah SKPD diterima (tanggal jatuh tempo) dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % perbulan ………………...Tanggal ……………… Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (Tanda tangan) (nama lengkap) NIP. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ potong di sini_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ______ _ NO. URUT : ………… TANDA TERIMA … NAMA ALAMAT NPWPD
: ………………… : ………………… : …………………
………………...Tanggal ……………… Yang menerima, (Tanda tangan) (Nama Lengkap)
272
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistim Dan Prosedur Dan Penatausahaan Pendapatan Daerah
Contoh SKRD (Surat Ketetapan Retribusi Daerah)
PEMERINTAH PEMERINTAH PROVINSI/KABUPATEN/KOTA ..........
SURAT KETETAPAN RETRIBUSI SURAT KETETAPAN RETRIBUSI (SKR) MASA TAHUN
NAMA ALAMAT NO. POKOK WAJIB RETRIBUSI (NPWR) TANGGAL JATUH TEMPO NO. 1 2 3 4 5
KODE REKENING
NO. URUT : ……….. NO. URUT : ………..
: ………………………… : …………………………
: …………………………………… : …………………………………… : …………………………………… : …………………………………… URAIAN RETRIBUSI
JUMLAH (Rp)
Jumlah Ketetapan Retribusi Jumlah Sanksi: a. Bunga b. Kenaikan Jumlah Keseluruhan:
Dengan huruf : …………………………………………………………………………………………………………….. PERHATIAN : 1. Harap penyetoran dilakukan pada Bank/ Bendahara Penerimaan ……………. 2. Apabila SKR ini tidak atau kurang dibayar lewat waktu paling lama 30 hari setelah SKR diterima (tanggal jatuh tempo) dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % perbulan ………………...Tanggal ……………… Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran (Tanda tangan) (nama lengkap) NIP. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ potong di sini_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _______ NO. URUT : TANDA TERIMA …………… NAMA ALAMAT
: …………………………………………… : ……………………………………………
………………...Tanggal ……………… Yang menerima, (Tanda tangan) (nama lengkap)
273
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistim Dan Prosedur Dan Penatausahaan Pendapatan Daerah
Contoh Surat Tanda Setoran
PEMERINTAH PROVINSI/KABUPATEN/KOTA .......... SURAT TANDA SETORAN (STS) Bank : …………… No. Rekening : ……………
STS No. … … … … … …
Harap diterima uang sebesar …………………………………………………………………… (dengan huruf) (……………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………….….) Dengan rincian penerimaan sebagai berikut: No.
Kode Rekening
Uraian Rincian Obyek
Jumlah (Rp)
1 2 3 4 5 Jumlah Uang tersebut diterima pada tanggal ……… ………………………………………….……….
Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran
Bendahara Penerimaan
(Tanda tangan)
(Tanda tangan)
(nama lengkap) NIP.
(nama lengkap) NIP.
(Catatan: STS dilampiri Slip Setoran Bank)
Adapun bagan alir (flowchart) penerimaan pendapatan secara tunai dapat dilihat pada Bagan 20.2.
274
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistim Dan Prosedur Dan Penatausahaan Pendapatan Daerah
Bagan 20.2. Bagan Alir (Flowchart) Penerimaan Pendapatan secara Tunai.
Uang
SKP Daerah / SKP
Uang
STS
STS
Diserahkan Ke BUD Nota Kredit STS
SKP Daerah / SKP Uang
Verifikasi STS Surat Tanda Bukti Pembayaran/ Bukti lain yang sah
SKP Daerah / SKP
Surat Tanda Bukti Pembayaran/ Bukti lain yang sah
Uang
ket. warna WP/ Retribusi
Bendahara Penerimaan
Pengguna Anggaran
Bank
Uraian : 1. Pengguna Anggaran Menyerahkan SKP Daerah/SKR kepada Bendahara Penerimaan dan Wajib Pajak/Retribusi
2. Wajib Pajak/ Retribusi membayarkan sejumlah uang tertera dalam SKP Daerah/ SKR kepada Bendahara Penerimaan
3. Bendahara Penerimaan memverifikasi kesesuaian jumlah uang yang diterimanya dengan dokumen SKP Daerah/ SKR yang diterimanya dari pengguna anggaran
4. Setelah diverifikasi, Bendahara penerimaan akan menerbitkan STS dan Surat Tanda Bukti Pembayaran/ Bukti lain yang sah
5. Bendahara menyerahkan Tanda Bukti Pembayaran/ Bukti lain yang Sah kepada Wajib Pajak/ Retribusi dan menyerahkan uang yang diterimanya tadi beserta STS kepada Bank
6. Bank Membuat Nota Kredit dan mengotorisasi STS. Bank kemudian menyerahkan kembali STS kepada Bendahara Penerimaan. Nota Kredit disampaikan Kepada BUD
Sumber : Depdagri, Bagan Alir Siklus Pengelolaan Keuangan Daerah, 2006
1.2. Sisdur Penerimaan Pendapatan melalui Kas Umum Daerah Urutan Langkah/prosedur yang dilakukan sehubungan dengan penerimaan pendapatan melalui Kas Umum Daerah sebagai berikut: 1) PPKD menyerahkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) Daerah yang telah diterbitkan kepada Bendahara Penerimaan dan Wajib Pajak/Retribusi. Pengguna Anggaran menyerahkan Surat Ketetapan Retribusi (SKR) yang telah diterbitkan kepada Bendahara Penerimaan dan Wajib Pajak/Retribusi. Bagi Bendahara Penerimaan, SKP Daerah dan SKR tersebut nantinya digunakan untuk keperluan melakukan verifikasi pada saat penerimaan pendapatan; 2) Wajib Pajak/Retribusi membayarkan sejumlah uang sesuai dengan yang tertera dalam SKP Daerah/SKR ke rekening Kas Umum Daerah;
275
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistim Dan Prosedur Dan Penatausahaan Pendapatan Daerah
3) Bank menerbitkan Slip Setoran/Bukti lain yang sah dan Nota Kredit; 4) Bank menyerahkan slip setoran/bukti lain yang sah kepada Wajib Pajak/Retribusi dan Nota Kredit kepada BUD; 5) Wajib Pajak/Retribusi menyerahkan slip setoran/bukti lain yang sah kepada Bendahara Penerimaan. Contoh Dokumen Tanda Bukti Pembayaran PEMERINTAH PROVINSI/KABUPATEN/KOTA.......... TANDA BUKTI PEMBAYARAN NOMOR BUKTI …. a. Bendahara Penerimaan/Bendahara Penerimaan Pembantu …………………………………… Telah menerima uang sebesar Rp …………………………………… b. (dengan huruf ………………………………………………………………………………………) c. Dari Nama : …………………………………………………… Alamat : …………………………………………………… d. Sebagai pembayaran : …………………………………………………… …………………………………………………… …………………………………………………… Kode Rekening
f.
Tanggal diterima uang
:
….……………………………..
Mengetahui, Bendahara Penerimaan
Lembar asli Salinan 1 Salinan 2
276
Jumlah (Rp.)
Pembayar/Penyetor
(Tanda tangan)
(Tanda tangan)
(nama lengkap) NIP.
(nama lengkap)
: Untuk pembayar/ penyetor/ pihak ketiga : Untuk Bendahara penerimaan/ Bendahara Pembantu : Arsip
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistim Dan Prosedur Dan Penatausahaan Pendapatan Daerah
Adapun bagan alir (flowchart) penerimaan pendapatan melalui rekening Kas Umum Daerah dapat dilihat pada Bagan 20.3. Bagan 20.3. Bagan Alir (Flowchart) Penerimaan Pendapatan melalui Kas Umum Daerah SKP Daerah / SKR
Nota Kredit
Slip Setoran/ Bukti lain yang sah
SKP Daerah / SKR Nota Kredit Uang Slip Setoran/ Bukti lain yang sah SKP Daerah / SKR
Slip Setoran/ Bukti lain yang sah
Uang
ket. warna WP/ Retribusi
Bank KASDA
Bendahara Penerimaan
Pengguna Anggaran
BUD
Uraian : 1. Pengguna Anggaran Menyerahkan SKP Daerah/ SKR kepada wajib pajak/ retribusi dan Bendahara penerimaan
4. Bank Kasda menyerahkan Slip Setoran/ Bukti lain yang sah kepada WP/ Retribusi dan Nota Kredit kepada BUD
2. Wajib Pajak/ Retribusi membayarkan uang kepada Bank Kasda sejumlah yang tertera di SKP Daerah/ SKR
5. WP/ Retribusi Menyerahkan Slip Setoran/ Bukti lain yang sah kepada Bendahara Penerimaan
3. Bank Kasda Menerbitkan Slip Setoran/ Bukti lain yang Sah dan Nota Kredit
1.3. Sisdur Penerimaan Pendapatan melalui rekening bank lain Urutan Langkah/prosedur yang dilakukan sehubungan dengan penerimaan pendapatan melalui Bank Lain sebagai berikut: 1) PPKD menyerahkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) Daerah yang telah diterbitkan kepada Bendahara Penerimaan dan Wajib Pajak/Retribusi. Pengguna Anggaran menyerahkan Surat Ketetapan Retribusi (SKR) yang telah diterbitkan kepada Bendahara Penerimaan dan Wajib Pajak/Retribusi. Bagi Bendahara Penerimaan, SKP Daerah dan SKR tersebut nantinya digunakan untuk keperluan melakukan verifikasi pada saat penerimaan pendapatan; 2) Wajib Pajak/Retribusi membayarkan sejumlah uang sesuai dengan yang tertera dalam SKP Daerah/SKR ke bank lain;
277
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistim Dan Prosedur Dan Penatausahaan Pendapatan Daerah
3) Bank lain membuat Slip Setoran/Bukti lain yang sah dan Nota Kredit. Slip setoran/bukti lain yang sah diserahkan ke Wajib Pajak/Retribusi sedangkan uang beserta Nota Kredit diserahkan ke Bank Kas Umum Daerah; 4) Bank Kas Umum Daerah menyerahkan Nota Kredit kepada BUD; 5) Wajib Pajak/Retribusi menyerahkan slip setoran/bukti lain yang sah kepada Bendahara Penerimaan.
Adapun bagan alir (flowchart) penerimaan pendapatan melalui Bank lain dapat dilihat pada Bagan 20.4
Bagan 20.4. Bagan Alir (Flowchart) Penerimaan Pendapatan melalui Bank lain Uraian
1. Pengguna Anggaran menyerahkan SKP Daerah/ SKR kepada Wajib Pajak/ Retribusi dan Bendahara Penerimaan.
2. Wajib Pajak/ Retribusi membayarkan uang kepada Bank lain sejumlah yang tertera di SKP Daerah/ SKR 3. Bank lain membuat Slip Setoran/Bukti lain yang Sah dan nota Kredit serta menyerahkan uang kepada Bank Kasda 4. WP/Retribusi menyerahkan Slip Setoran/ Bukti lain yang sah kepada Bendahara Penerimaan
WP/Retribusi
Bank Lain
Bendahara Penerimaan
Pengguna Anggaran
SKP Daerah / SKR SKP Daerah / SKR
Uang
Slip setoran/ bukti lain yang sah
SKP Daerah / SKR
Uang
Slip setoran/ bukti lain yang sah
Nota Kredit
Nota Kredit
Uang
Slip setoran/ bukti lain yang sah
Sumber : Depdagri, Bagan Alir Siklus Pengelolaan Keuangan Daerah, 2006
278
Bank Kasda
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistim Dan Prosedur Dan Penatausahaan Pendapatan Daerah
(2) Sisdur Penatausahaan Bendahara oleh Bendahara Penerimaan Urutan Langkah/prosedur yang dilakukan sehubungan dengan penatausahaan penerimaan pendapatan oleh Bendahara Penerimaan sebagai berikut: 1) Bendahara Penerimaan melakukan penatausahaan penerimaan berdasarkan dokumen SKP Daerah, SKR, STS dan Surat Tanda Bukti Pembayaran/Bukti lain yang sah, sehingga menghasilkan dokumen: • BKU Penerimaan • Buku Pembantu (Rincian Objek Penerimaan) • Buku Rekapitulasi Penerimaan Harian 2) Bendahara Penerimaan membuat SPJ Penerimaan berdasarkan BKU Penerimaan, Buku Pembantu (Rincian Objek Penerimaan), dan Buku Rekapitulasi Penerimaan Harian ditambah SPJ Penerimaan Pembantu; 3) Bendahara Penerimaan mengirimkan SPJ Penerimaan dan lampirannya (dokumen yang menjadi dasar pembuatan SPJ Penerimaan), diserahkan ke PPK SKPD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya; 4) PPK SKPD menyerahkan SPJ Penerimaan kepada Pengguna Anggaran paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya; 5) Setelah SPJ Penerimaan diotorisasi oleh Pengguna Anggaran, selanjutnya SPJ Penerimaan tersebut diserahkan oleh Pengguna Anggaran ke BUD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya; 6) BUD memverifikasi, mengevaluasi dan menganalisis SPJ Penerimaan dan membuat SPJ Penerimaan 7) BUD menyerahkan Surat Pengesahan SPJ Penerimaan kepada Pengguna Anggaran
279
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistim Dan Prosedur Dan Penatausahaan Pendapatan Daerah
Bagan 20.5. Bagan Alir (Flowchart) Penatausahaan Pendapatan oleh Bendahara Penerimaan Dilakukan dalam rangka Rekonsiliasi Penerimaan BKU Penerimaan SKP Daerah, SKR, STS, dan Surat Tanda Bukti pembayaran atau tanda bukti lain yang sah
Surat Pengesahan SPJ
Verifikasi, Evluasi, Analisis
Buku Pembantu
Surat Pengesahan SPJ
SPJ Penerimaan
Buku Rekapitulasi
Tgl 10 Bln Berikutnya SPJ Penerimaan
SPJ Penerimaan Pembantu
Tgl 10 Bln Berikutnya SPJ Penerimaan
SPJ Penerimaan
Tgl 10 Bln Berikutnya
ket. warna PPK SPD
Bendahara Penerimaan
Pengguna Anggaran
BUD
Uraian : 1. Berdasarkan dokumen SKP Daerah, SKR, STS, dan Surat Tanda Bukti Pembayaran/ Bukti lain yang sah, Bendahara Penerimaan melakukan Penatausahaan penerimaan. 2. Dari proses penatausahaan penerimaan, bendahara penerimaan akan menghasilkan dokumen berupa : BKU Penerimaan; Buku Pembantu (Rincian Objek Penerimaan); Buku Rekapitulasi penerimaan harian 3. Berdasarkan ketiga dokumen tadi ditambah dokumen SPJ Penerimaan
Pembantu, Bendahara Penerimaan membuat SPJ Penerimaan. Lampiran SPJ Penerimaan yaitu : BKU; Buku Pembantu perincian objek penerimaan; buku rekapitulasi penerimaan harian; bukti penerimaan lain yang sah. 4. Bendahara penerimaan menyerahkan SPJ penerimaan kepada PPK-SKPD paling lambat tanggal 10 bln berikutnya. 5. PPK-SKPD menyerahkan SPJ penerimaan kepada pengguna anggaran paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
6. Setelah diotorisasi, pengguna Anggaran menyerahkan SPJ penerimaan kepada BUD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. 7. Dalam rangka rekonsiliasi penerimaan, BUD memverivikasi, mengevaluasi, menganalisis SPJ penerimaan. 8. Kemudian BUD mengesahkan SPJ penerimaan. 9. BUD menyerahkan Surat pengesahan SPJ kepada pengguna Anggaran.
Sumber : Depdagri, Bagan Alir Siklus Pengelolaan Keuangan Daerah, 2006
280
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistim Dan Prosedur Dan Penatausahaan Pendapatan Daerah
(3) Sisdur Penatausahaan Akuntansi oleh PPK SKPD Urutan Langkah/prosedur yang dilakukan sehubungan dengan penatausahaan penerimaan pendapatan oleh Bagian Akuntansi sebagai berikut: 1) PPK SKPD menerima SPJ Penerimaan dari Bendahara Penerimaan dan mencatatnya dalam buku Jurnal Penerimaan Kas; 2) Jurnal tersebut dan jurnal-jurnal lainnya kemudian diposting ke Buku Besar; 3) Berdasarkan Buku Besar, PPK SKPD membuat Neraca Saldo sebagai dasar untuk menyusun laporan keuangan.
Bagan 20.6. Sisdur Penatausahaan Pendapatan oleh PPK SKPD
Akutansi Penerimaan Kas SPJ Penerimaan
Akutansi Pengeluaran Kas SPJ Pengeluaran
Register Pengeluaran Kas
BP2D
Register Pengeluaran Kas
Akutansi Aset
Akutansi Selain Kas
Bukti Transaksi
Bukti Transaksi
Bukti Memorial
Bukti Memorial
Register Jurnal Umum
Register Jurnal Umum
Akutansi Aset
Akutansi Selain Kas
Register Buku Besar BKPD
Neraca Saldo BKPD
ket. warna Akutansi Penerimaan Kas
Akutansi Pengeluaran Kas
Uraian : 1. PPK-SKPD Menjurnal: SPJ Penerimaan
281
Bukti memorial transaksi selain kas
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH dalam register jurnalIndonesia, penerimaan kas;Jenderal Perimbangan di buat berdasarkan bukti transaksi Kementerian Keuangan Republik Direktorat Keuangan
SPJ Pengeluaran dan SP2D dalam register jurnal pengeluaran kas; Bukti
yang terdiri dari: BAPenerimaan barang; SK penghapusan barang;
ket. warna Akutansi Penerimaan Kas
Akutansi Pengeluaran Kas
Akutansi Akutansi Sistim Dan Prosedur Dan Selain Penatausahaan Pendapatan Daerah Aset Kas
Uraian : 1. PPK-SKPD Menjurnal: SPJ Penerimaan dalam register jurnal penerimaan kas; SPJ Pengeluaran dan SP2D dalam register jurnal pengeluaran kas; Bukti memorial transaksi aset tetap dalam register jurnal umum; Bukti memorial transaksi selain kas dalam register jurnal umum. Bukti Memorial transaksi aset tetap dibuat berdasarkan bukti transaksi yang terdiri dari: BA penerimaan barang; SK Penghapusan barang; SK Mutasi barang; BA pemusnahan barang; BA serah terima barang; BA penilaian; BA Penyelesaian Pekerjaan.
Bukti memorial transaksi selain kas di buat berdasarkan bukti transaksi yang terdiri dari: BAPenerimaan barang; SK penghapusan barang; Surat pengiriman barang; SK mutasi barang; BA pemusnahan barang; BA Serah terima barang; BA penilaian. 2. Jurnal- Jurnal tersebut oleh PPK-SKPD dipostingke Register Buku Besar SKPD. 3. Berdasarkan Buku Besar SKPD, PPSKPD membuat Neraca Saldo SKPD
Sumber : Depdagri, Bagan Alir Siklus Pengelolaan Keuangan Daerah, 2006
2.
Sisdur Penerimaan Pendapatan dan Pembiayaan PPKD
a.
Jenis Pendapatan PPKD
Tidak semua kelompok pendapatan daerah dapat dipungut dan diterima oleh bendahara penerimaan PPPKD. Pendapatan yang dipungut dan diterima oleh bendahara penerimaan PPKD terdiri atas: 1) Kelompok pendapatan asli daerah, yaitu pajak daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
282
Jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup: a) bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD; b) bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/BUMN; c) bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistim Dan Prosedur Dan Penatausahaan Pendapatan Daerah
2) Sebagian dari kelompok lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang meliputi: a) Jasa giro; b) Pendapatan bunga; c) Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah; d) Penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; e) Pendapatan denda pajak; f) Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan; Selain tersebut di atas, menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, pasal 30 (1) dinyatakan bahwa ”...lain-lain pendapatan asli daerah yang sah yang ditransfer langsung ke kas daerah, ...”, dianggarkan oleh SKPKD, sehingga merupakan pendapatan PPKD 3) Kelompok Dana Perimbangan Kelompok pendapatan dana perimbangan ini dirinci lebih lanjut menurut jenis pendapatan, yang terdiri atas: a) Dana Bagi Hasil. Jenis dana bagi hasil dirinci lebih lanjut menurut objek pendapatan yang mencakup: 1) Bagi hasil pajak, dan 2) Bagi hasil bukan pajak. b) Dana Alokasi Umum. Jenis dana alokasi umum hanya terdiri atas objek pendapatan dana alokasi umum c) Dana Alokasi Khusus. Jenis dana alokasi khusus dirinci menurut objek pendapatan menurut kegiatan yang ditetapkan oleh pemerintah. 4) Kelompok Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Kelompok lain-lain pendapatan daerah yang sah dibagi menurut jenis pendapatan yang mencakup: a) Hibah yang berasal dari pemerintah, pemerintah daerah lainnya, badan/lembaga/ organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat/perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak mengikat. b) Dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/kerusakan akibat bencana alam. c) Dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota. d) Dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah. b.
283
Dokumen yang digunakan 1) Nota Kredit 2) Bukti Penerimaan yang Sah
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistim Dan Prosedur Dan Penatausahaan Pendapatan Daerah
c.
Pihak-pihak yang terkait
d.
Sisdur Penerimaan Pendapatan dan Bagan alir (Flowchart) Sistem penerimaan pendapatan di PPKD terdiri dari prosedur-prosedur berikut: 1) Prosedur penerimaan pendapatan dan pembiayaan di Bendahara Penerimaan PPKD 2) Prosedur penatausahaan (pembukuan) penerimaan pendapatan dan pembiayaan di Bendahara Penerimaan PPKD 3) Prosedur pertanggungjawaban Bendahara Penerimaan PPKD.
3)
Prosedur Penerimaan Pendapatan dan Pembiayaan di Bendahara Penerimaan PPKD
Penerimaan yang dikelola PPKD dapat berupa pajak daerah, pendapatan dana perimbangan, pendapatan lain-lain yang sah, dan pembiayaan penerimaan. Penerimaan-penerimaan tersebut diterima secara langsung di Kas Umum Daerah. Berdasarkan penerimaan tersebut, Bank membuat Nota Kredit yang memuat informasi tentang penerimaan tersebut, baik berupa informasi pengiriman, jumlah rupiah maupun kode rekening yang terkait. Bendahara penerimaan wajib mendapatkan nota kredit tersebut melalui mekanisme yang telah ditetapkan.
4) Prosedur Penatausahaan (Pembukuan) Penerimaan Pendapatan dan Pembiayaan
di Bendahara Penerimaan PPKD
Bendahara penerimaan PPKD menggunakan Buku Penerimaan Pendapatan PPKD untuk membukukanpendapatan yang diterimanya. Dokumen-dokumen yang digunakan sebagai dasar pencatatan ke dalam buku tersebut antara lain berupa: a) Nota Kredit b) Bukti Penerimaan Lainnya Yang Sah Pembukuan penerimaan pendapatan dan pembiayaan di Bendahara Penerimaan PPKD dimulai dari saat bendahara penerimaan PPKD menerima informasi dari BUD/Kuasa BUD mengenai adanya penerimaan di rekening kas umum daerah. Langkah-langkah pencatatannya adalah sebagai berikut: a) Berdasarkan Nota kredit atau Bukti Penerimaan Lain yang sah, bendahara penerimaan PPKD mencatat bukti penerimaan tersebut ke dalam Buku Penerimaan PPKD, pada bagian kolom tanggal dan kolom nomor bukti.
284
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistim Dan Prosedur Dan Penatausahaan Pendapatan Daerah
b) Kemudian bendahara penerimaan PPKD mengidentifikasi dan mencatat jenis dan kode rekening pendapatan. c) Setelah itu, bendahara penerimaan PPKD mencatat nilai transaksi pada kolom jumlah.
Prosedur pembukuan penerimaan pendapatan dan pembiayaan di Bendahara Penerimaan PPKD dapat digambarkan dalam bagan alir berikut.
Berikut adalah contoh format Buku Penerimaan PPKD. Pembukuan Penerimaan PPKD Bendahara Penerimaan PPKD
Proses Penerimaan di kas umum daerah yang telah diatur dalam PerKDH mengenai system dan
Nota Kredit/Bukti Lain yang sah
Melakukan Pengisian Buku Penerimaan PPKD
Buku Penerimaan PPKD
Uraian : 1. Bendahara penerimaan PPKD menerima Nota Kredit/bukti lain yang sah dari penyetoran melalui rekening kas daerah. 3. Hasil akhir dari proses ini adalah Buku Pendapatan PPKD .
285
2. Berdasarkan Nota Kredit/bukti lain yang sah Bendahara Penerimaan PPKD mencatat penerimaan di Rekening kas umum daerah itu pada Buku Penerimaan PPKD
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistim Dan Prosedur Dan Penatausahaan Pendapatan Daerah
PEMERINTAH PROVINSI/KABUPATEN/KOTA ......... BUKU PENERIMAAN PPKD BENDAHARA PENERIMAAN PPKD Nomor
Tanggal
1
2
Kode Kredit 3
Bukti Lain 4
Kode Rekening 5
Uraian
Jumlah
Keterangan
6
7
8
Jumlah bulan ini Jumlah s/d bulan lalu Jumlah Akhir Menyetujui: PPKD
........., tanggal ............... Bendahara Penerimaan PPKD
(Tanda Tangan)
(Tanda Tangan)
(Nama Jelas) NIP.
(Nama Jelas) NIP.
Cara Pengisian: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
286
Judul diisi dengan nama PROVINSI/KABUPATEN/KOTA, Kolom 1 diisi dengan nomor urut Kolom 2 diisi dengan tanggal penerimaan Kolom 3 diisi dengan nomor nota kredit penerimaan Kolom 4 diisi dengan nomor bukti lain apa bila tidak menggunakan nota kredit Kolom 5 diisi dengan kode rekening pendapatan Kolom 6 diisi dengan uraian pendapatan Kolom 7 diisi dengan jumlah pendapatan Kolom 8 diisi dengan keterangan jika diperlukan Jumlah bulan ini adalah total penerimaan selama satu bulan*
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sistim Dan Prosedur Dan Penatausahaan Pendapatan Daerah
11. Jumlah sampai dengan bulan lalu adalah saldo pendapatan sampai dengan bulan lalu 12. Jumlah akhir adalah jumlah antara jumlah bulan ini ditambah jumlah sampai dengan bulan lalu 13. Kolom tanda tangan ditandatangani oleh Bendahara Penerimaan PPKD dan PPKD disertai nama jelas 14. Diisi hanya pada saat penutupan di akhir bulan untuk keperluan penyusunan Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Penerimaan PPKD.
20.3. Soal Latihan
287
1.
Jelaskan perbedaan jenis penerimaan pendapatan di SKPD dan PPKD!
2.
Jelaskan prinsip umum penerimaan pendapatan di SKPD!
3.
Uraikan prosedur penerimaan pendapatan tunai SKPD dengan menggambarkannya melalui bagan alir!
4.
Uraikan prosedur penerimaan pendapatan melalui rekening bank SKPD dengan menggambarkannya melalui bagan alir!
5.
Jelaskan prosedur penerimaan pendapatan PPKD!
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TOPIK 21
STUDI KASUS PENDAPATAN ASLI DAERAH
Studi Kasus Pendapatan Asli Daerah
Deskripsi: Topik adalah latihan untuk menganalisis upaya-upaya mendorong pertumbuhan pendapatan asli daerah.
Sub Topik Pengantar Studi Kasus
Kata Kunci Strategi peningkatan PAD
Contoh Kasus Pendapatan Daerah
Pariwisata dan PAD
Diskusi Solusi Permasalahan Optimalisasi Pendapatan Daerah
Kecenderungan Pertumbuhan PAD
Referensi:
289
1.
UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
2.
Modul pelatihan tentang Pajak Daerah.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Pendapatan Asli Daerah
21. STUDI KASUS PENDAPATAN ASLI DAERAH 21.1. Upaya Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Melalui Sektor Wisata di Kabupaten Kuningan Penyerahan urusan pemerintahan dan pembangunan kepada daerah kabupaten/kota disertai juga dengan penyerahan kewenangan kepada daerah dalam mencari sumber - sumber pembiayaan untuk menyelenggarakan urusan - urusan tersebut. Sumber – sumber pembiayaan itu berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), bantuan pemerintah pusat dan sumber- sumber lain yang sah. Di antara berbagai sumber pembiayaan tersebut, PAD merupakan sumber yang mempunyai arti penting karena mencerminkan kemandirian daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Kenyataan menunjukkan banyak daerah yang masih tergantung pada bantuan pemerintah pusat dalam pembiayaannya karena minimnya PAD . Padahal banyak daerah kabupaten/kota yang memiliki potensi PAD yang cukup besar, tetapi potensi-potensi tersebut belum dapat digali dengan baik. Hal ini memberikan tantangan kepada daerah kabupaten/kota untuk meningkatkan PAD dari sektor-sektor potensial melalui kebijakan intensifikasi maupun ekstensifikasi penggalian PAD dari berbagai sektor yang potensial. Kabupaten Kuningan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang memiliki potensi yang cukup besar dalam PAD -nya. Salah satu potensi PAD Kabupaten Kuningan adalah dari sektor pertanian dan pariwisata yang merupakan keunggulan kompetitif Kabupaten Kuningan karena letak dan kondisi geografisnya di daerah dataran tinggi dengan iklim yang sejuk dan tanah yang subur. Secara geoggrafis Kabupaten Kuningan berada di Region III dengan Cirebon sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN). Oleh karena itu arah pembangunan Kabupaten Kuningan dalam posisi ini akan berperan sebagai buffer zone , yang secara global akan memberikan daya dukung berupa catchment area, penyedia air bersih, pereduksi polusi/karbon, jasa pariwisata dan alternatif hunian yang nyaman. Salah satu potensi besar yang dapat menjadi modal pembangunan di Kabupaten Kuningan adalah kekayaan potensi pariwisata berbasis alam. Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor andalan Kabupaten Kuningan dalam meningkatkan PAD, sehingga dalam rencana pembangunan menempatkan pariwisata sebagai komponen pembangunan yang utama. Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 dan sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2010, Pemerintah Kabupaten Kuningan telah menargetkan menjadi “Kabupaten Agropolitan dan Wisata Termaju di Jawa Barat Tahun 2027”. Target tersebut dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
290
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Pendapatan Asli Daerah
tahun 2009-2013 dengan menetapkan tujuan pembangunan selama 5 tahun seperti yang dimuat dalam visi RPJM yaitu “Kuningan Lebih Sejahtera Berbasis Pertanian dan Pariwisata Yang Maju Dalam Lingkungan Yang Lestari dan Agamis Tahun 2013”. Prioritas dan dukungan bagi pengembangan pariwisata akan menempati tempat utama dalam kebijakan dan perencanaan pembangunan daerah. Hal tersebut didukung pula dengan adanya Rencana Strategis Pembangunan Pariwisata Kabupaten Kuningan 20092013 melalui Dinas Kebudayaandan Pariwisata. Pariwisata yang dikembangkan di Kabupaten Kuningan sebagian besar merupakan wisata alam dan saat ini Kabupaten Kuningan memiliki 38 obyek wisata, 5 diantaranya masih merupakan potensi yang belum dikembangkan. Beberapa obyek wisata di Kabupaten Kuningan sudah dikenal di tingkat regional dan nasional seperti Linggajati, Cibulan, Waduk Darma, Sangkanhurip, dan Curug Sidomba. Obyek-obyek wisatatersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi pendapatan yang optimal sehingga dapat meningkatkan PAD Kabupaten Kuningan Potensi Peningkatan PAD dari Pariwisata Dalam melakukan perjalanan wisata, seorang wisatawan memerlukan bermacam jasa dan produk wisata yang dibutuhkannya. Berbagai macam jasa dan produk wisata inilah yang disebut dengan Komponen Pariwisata . Komponen pariwisata ini dapat disediakan oleh pihak pengusaha, masyarakat atau siapapun yang berminat untuk menyediakan jasa pariwisata. Komponen pariwisata ini bisa meliputi: 1) Objek dan daya tarik wisata 2) Akomodasi 3) Angkutan Wisata 4) Sarana dan fasilitas wisata 5) Prasarana wisata. Dengan mengetahui komponen pariwisata diatas, maka arah pengembangan pembangunan pariwisata bisa terarah dengan baik. Banyak sekali manfaat yang bisa didapat jika pembangunan pariwisata ini terarah dan bisa memancing minat wisatawan untuk berkunjung. Beberapa manfaat dalam pembangunan pariwisata ini antara lain:
291
1)
Manfaat Ekonomi Adanya penerimaan penerimaan devisa atau Pendapatan Asli Daerah (PAD) Adanya kesempatan untuk berusaha Terbukanya lapangan kerja Meningkatnya Pendapatan masyarakat dan pemerintah Mendorong pembangunan daerah
2)
Manfaat Sosial Budaya, Pelestarian budaya dan adat istiadat, Meningkatkan kecerdasan masyarakat, Mengurangi konflik sosial
3)
Manfaat dalam berbangsa dan bernegara, Mempererat persatuan, Menumbuhkan rasa memiliki, Memelihara hubungan baik internasional dalam hal pengembangan pariwisata.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Pendapatan Asli Daerah
4)
Manfaat Bagi Lingkungan, Arah pembangunan pariwisata agar dapat memenuhi keinginan wisatawan seperti bersih, jauh dari populasi, santai, dan sejuk akan memberikan upaya dalam pengembangan untuk melestarikan lingkungan supaya hijau dan bersih.
Sasaran yang akan dicapai dalam rangka otonomi daerah seperti yang tertuang dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat harus dapat menggali potensi-potensi yang ada di daerah. Dalam hal ini potensi-potensi yang ada di daerah berkenaan dengan pariwisata yang bertujuan dapat peningkatan PAD. Potensi Sektor Pariwisata di Kabupaten Kuningan Kabupaten Kuningan memiliki potensi yang besar dalam PAD-nya , salah satunya adalah dari sektor pertanian dan pariwisata yang merupakan keunggulan kompetitif Kabupaten Kuningan karena letak dan kondisi geografisnya di daerah dataran tinggi dengan iklim yang sejuk dan tanah yang subur. Oleh karena itu arah pembangunan Kabupaten Kuningan dalam posisi ini akan berperan sebagai buffer zone, yang secara global akan memberikan daya dukung berupacatchment area , penyedia air bersih, pereduksi polusi/karbon, jasa pariwisata dan alternatif hunian yang nyaman. Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor andalan Kabupaten Kuningan dalam meningkatkan PAD, sehingga dalam rencana pembangunan menempatkan pariwisata sebagai komponen pembangunan yang utama. Objek wisata di Kabupaten Kuningan
Objek Wisata di Kabupaten Kuningan No.
Nama dan Lokasi di Kabupaten Kuningan
I
Kecamatan Cigugur 1. Objek Wisata Cigugur 2. Situs Musium Taman Purbakala Cipari 3. Gua Maria Fatimah Sawer Rahmat 4. Cagar Budaya Nasional Paseban Tri Panca Tunggal 5. Curug Putri 6. Curug Landung (Potensi) 7. Buper dan Jalur Pendakian Palutung
II
PDAU Disparbud Swasta Swasta Perhutani TNGC
Kecamatan Ciganda Mekar: 1. Sangkanhurip Alami
Swasta
2. Taman Rekreasi Salsabila
Swasta
3. Sitonjul
Pemdes
4. Situ Janggala
Swasta
5. Linggarjati Indah
Swasta
6. Kebon Balong (Potensi)
292
Pengelola
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
-
Studi Kasus Pendapatan Asli Daerah
Objek Wisata di Kabupaten Kuningan No.
Nama dan Lokasi di Kabupaten Kuningan
III
Kecamatan Pesawahan 1. Telaga Remis 2. Telaga Nilem (Potensi)
Pemdes Pemdes
1. Gedung Perundingan Linggarjati
Disparda
2. Bumi Perkemahan Cibereum
Pemdes
PDAU
3. Curug Sidomba
Swasta
Kecamatan Darma:
3. Embah Dalem Cageur (Potensi)
-
1. Perkebunan Salak, Durian dan Wisata Kuliner Bin Amar Agro
Swasta
2. Ciangir
Swasta
Kecamatan Kramat Mulya
IX
Kecamatan Luragung:
X
Kecamatan Nusa Herang:
XI
Kecamatan Cidahu:
1. Kolam renang Tirta Agung Mas
1. Curug Bangkong
1. Kolam Renang ABN
Swasta
Swasta
Swasta
Swasta
Kecamatan Kuningan: 1. Kolam Renang Saaggariang
XIII
Kecamatan Karangkancana:
XIV
Kecamatan Subang:
1.Gua Indrakila
1. Pemandian Air Panas Subang
293
PDAU Pemdes
Kecamatan Cibingin
1. Lembah Cilengkrang
XII
Pemdes
2. Balong Dalem
2. Balong Keramat Darmaloka
VIII
PDAU
Kecamatan Jalaksana:
1. Waduk Darma
VII
PDAU
Kecamatan Cilimus:
1. Cibulan
VI
-
4. Situ Cicerem
3. Buper dan Jalur Pendakian Cibunar
V
PDAU
3. Balong Kambang
5. Bumi Perkemahan Paniis
IV
Pengelola
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Swasta
Swasta
Swasta
Studi Kasus Pendapatan Asli Daerah
Objek Wisata di Kabupaten Kuningan No.
Nama dan Lokasi di Kabupaten Kuningan
XV
Kecamatan Mandirancan:
XVI
Kecamatan Hantara:
1. Lamping Sibilik
Pengelola Swasta
1. Puteran (Potensi)
-
Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kuningan, 2012
Objek wisata di Kabupaten Kuningan
Situs dan Seni Budaya Tradisional Kabupaten Kuningan No.
Jenis
Nama dan Lokasi
1
Situs
Adipati Ewangga (Kuningan), Aria Kemuning (Kuningan), Eyang Weri (Kuningan), Cangkuang (Kuningan), Hasan Eyang Maolani (Kuningan) Taman Purbakala (Cipari), Pasanggrahan Dipati Ewangga (Cigugur), Gedung Paseban Tri Panca Tunggal (Cigugur), Kompleks Arca (Palutungan), Batu Tili (Cigugur), Gedung Perundingan Linggarjati (Cilimus), Lingga Sagarahiyang (Darma), Untap-untap Sanghiyang Panten (Darma), Darmaloka (Darma), Balong Kadungan (Karamatmulya), Monumen Tentara Pelajar (Jalaksana), Patilan Prabu Siliwangi (Cibulan), Batu Yoni (Ciawigebang), Gua Indrakila (Karangkencana), Gunung Gentong (Subang)
2.
Seni Budaya Tradisional
Septon, Seren Taun, Sintren, Kawin Cai, Pesta Dadung, Cingcowong, Babarit Desa, Tari Buyung, Goong Renteng, Gemyung, Tayub, Kuda Lumping, Seni Buroq, Pajang Jimat.
Kuliner Khas dan Cinderamata Kabupaten Kuningan
Kuliner Khas dan Cinderamata Kabupaten Kuningan No.
Jenis
Nama dan Lokasi
1
Makanan khas
Tape ketan/peuyeum, gemblong/ketempling, leupeut dan koecang, kripik gadung, opak baker, kripik singkong, cuhcur, angling, papais monyong, wajit subang, emping keripik melinjo, raginang, kupat tahu (hucap), gemet (dage saemet), sop tutut, rujak kangkung
2.
Minuman khas
Jeruk nipis, wedang jahe, wedang koneng, cuwing, sirop limus.
3.
Cinderamata
Peti antik, celengan bambu, batu cincin, kerang lukis, timah putih, pernakpernik, anyaman bambu, kerajinan kayu.
Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kuningan, 2012
294
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Pendapatan Asli Daerah
Sarana Pendukung Pariwisata di Kabupaten Kuningan
Sarana Pendukung Pariwisata di Kabupaten Kuningan No.
Sarana Pendukung
Jumlah
1
Restoran/Rumah Makan
44 buah
2.
Hotel/Penginapan
36 buah
3
Tempat Oleh-oleh Khas Kuningan
7 buah
4
Toserba
11 buah
Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kuningan, 2012
Kunjungan Wisatawan ke Objek Wisata di Kabupaten Kuningan Tahun 2009-2011
Kunjungan Wisatawan ke Objek Wisata di Kabupaten Kuningan Tahun 2009-2011 Sektor/Tahun
2010
2011
Wisma
Wisdom
Wisman
Wisdom
Wisman
17.713
-
58.886
-
92.719
-
145.220
5
171.458
-
182.379
-
978
-
200
-
6.370
-
101.399
-
128.656
-
122.050
-
Sangkanhurip Alami
46.916
-
58.886
-
64.571
-
Curug Sidomba
Situs Seni Budaya Tradisional Balong Dalem Linggarjati Indah
10.298
-
16.802
-
5.047
-
Taman Purbakala Cipari
8.040
12
11.548
12
9.471
-
Balong Keramat Darmaloka
10.180
-
4.090
-
-
-
Waduk Darma
42.750
-
5.400
-
19.522
Gedung Perundingan Linggarjati
65.298
262
75.102
255
72.650
208
Lembah Cilengkrang
13.110
-
18.210
-
29.641
-
Telaga Remis
27.510
-
19.072
-
42.617
-
Telaga Nilem (Potensi)
-
-
-
-
-
-
Taman Rekreasi Salsabila
-
-
-
-
-
-
Balong Kambang Pasawahan
-
-
-
-
-
-
Sitonjul
-
-
-
-
-
-
Situ Cicerem
-
-
-
-
-
-
Curug Bangkong
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Curug Landung (Potensi)
295
2009 Wisdom
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Pendapatan Asli Daerah
Kunjungan Wisatawan ke Objek Wisata di Kabupaten Kuningan Tahun 2009-2011 Sektor/Tahun
2009
2010
2011
Wisdom
Wisma
Wisdom
Wisman
Wisdom
Wisman
-
-
-
-
-
-
Kolam Renang Tirta Agung Mas
75.986
-
48.005
-
37.177
-
Kolam Renang ABN
17.709
-
9.398
-
-
-
Kolam Renang Sanggariang
35.831
-
32.632
-
31.192
-
Perkebunana Salak, durian dan wisata kuliner Bin Amar Agro
-
-
-
-
350
-
Gua Maria Fatimah Sawer Rahmat
-
-
3.650
-
5.295
-
Cagar Budaya Nasional Paseban Tri Panca Tunggal
-
-
1.307
-
1.482
-
Gua Indrakila
-
-
472
-
550
-
Pemandian Air Panas Subang
-
-
-
-
-
-
Curug Putri
-
-
-
-
-
-
Situ Janggala
-
-
-
-
-
-
1.599
-
632
-
300
-
Lamping Sabilik
-
-
-
-
-
-
Buper dan Jalur Pendakian Palutungan
16.814
-
50.288
-
68.657
-
Bumi Perkemahan Paniis
12.028
-
17.522
-
56.918
-
Buper dan Jalur Pendakian Cibunar
10.124
-
-
-
-
-
Puteran (Potensi)
-
-
-
-
-
-
Embah Dalem Cageur (Potensi)
-
-
-
-
-
-
Kebon Balong (Potensi)
-
-
-
-
-
-
Ciangir
Bumi Perkemahan Cibeureum
Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kuningan, 2012
296
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Pendapatan Asli Daerah
Target dan Realisasi PAD dari Sektor Pariwisata Tahun 2001-2011 Tahun 2001
Target (Rp.) 204.607.000
Realisasi (Rp.) 231.034.625
Presentase (%) 112,92
2002
258.180.000
272.187.275
105,42
2003
289.666.000
290.919.900
100,43
2004
302.270.160
314.737.070
104,12 101,57
2005
347.849.000
353.309.055
2006
387.358.600
385.516.060
99,50
2007
471.809.000
478.269.550
101,37
2008
541.348.350
544.002.325
100,49
2009
622.550.600
671.154.260
107,81
2010
1.157.788.000
1.205.655.375
104,13
2011
733.305.000
759.839.200
103,62
Sumber: Dispenda Kabupaten Kuningan, 2012
Kontribusi Sektor Pariwisata Terhadap PAD Kabupaten Kuningan Tahun 2001-2011 Tahun
Penerimaan dari Sektor Pariwisata (Rp.)
PAD (Rp.)
2001
231.034.625
12.093.675.538
1,91
2002
272.178.275
16.496.871.043
1,65
2003
290.919.900
20.511.178.117
1,42
2004
314.737.070
24.412.352.859
1,29
2005
353.309.055
31.064.548.152
1,14
2006
385.516.060
35.731.420.985
1,08
2007
478.269.550
43.507.886.549
1,09
2008
544.002.325
42.825.180.706
1,27
2009
671.154.260
63.573.538.311
1,06
2010
1.205.655.375
2.935.375.414
1,65
2011
759.839.200
82.913.615.301
0,92
Rata-rata
-
Sumber: Dispenda Kabupaten Kuningan, 2012
297
Presentase (%)
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
1,32
Studi Kasus Pendapatan Asli Daerah
Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dari Sektor Pariwisata di Kabupaten Kuningan Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor andalan Kabupaten Kuningan dalam meningkatkan PAD, sehingga dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 dan sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2010, Pemerintah Kabupaten Kuningan telah menargetkan menjadi “Kabupaten Agropolitan dan Wisata Termaju di Jawa Barat Tahun 2027”. Target tersebut dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2009-2013 dengan menetapkan tujuan pembangunan selama 5 tahun seperti yang dimuat dalam visi RPJM yaitu “Kuningan Lebih Sejahtera Berbasis Pertanian dan Pariwisata Yang Maju Dalam Lingkungan Yang Lestari dan Agamis Tahun 2013”. Prioritas dan dukungan bagi pengembangan pariwisata akan menempati tempat utama dalam kebijakan dan perencanaan pembangunan daerah. Hal tersebut didukung pula dengan adanya Rencana Strategis Pembangunan Pariwisata Kabupaten Kuningan 2009-2013 melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Dalam rangka meningkatan pariwisata di Kabupaten Kuningan, pemerintah daerah setempat telah menetapkan Peraturan daerah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Rencana Induk pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA). RIPPDA ini disusun dengan pertimbangan bahwa potensi kepariwisataan di Kabupaten Kuningan perlu dikembangkan guna menunjang Pembangunan Daerah dan Pembangunan Kepariwisataan pada khususnya. RIPPDA adalah rumusan pokok-pokok kebijaksanaan perencanaan dan pemanfaatan pembangunan pariwisata di daerah yang didalamnya mencakup aspek ketataruangan, usaha pariwisata, faktor penunjang dan pengembangan kepariwisataan secara berlanjut dan berwawasan lingkungan. RIPPDA merupakan landasan bagi semua kegiatan pemanfaatan potensi pariwisata secara optimal, serasi, selaras, seimbang, terpadu, tertib, lestari dan berkelanjutan. RIPPDA berfungsi sebagai : 1)
Pedoman pembinaan dan pengembangan kawasan pariwisata, obyek dan daya tarik wisata, sarana dan prasarana wisata, pemasaran wisata, promosi, kelembagaan kepariwisataan, sumber daya manusia kepariwisataan, serta investasi pembangunan di bidang kepariwisataan.
2)
Pedoman bagi pengawasan dan pengendalian pengembangan pariwisata,obyek dan daya tarik wisata.
3)
Pedoman penyusunan rencana pembangunan Daerah sub sektor pariwisata.
4)
Penjabaran pemanfaatan ruang sub sektor kepariwisataan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kuningan.
Ruang Lingkup RIPPDA terdiri atas : 1)
298
Ruang Lingkup wilayah RIPPDA adalah Daerah dengan batas yang ditentukan bedasarkan aspek administratif mencakup wilayah daratan seluas 111.857,55 Ha. Batas-batas wilayah adalah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Cirebon, sebelah timur dengan Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah, sebelah selatan dengan Kabupaten Ciamis dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Majalengka. MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Pendapatan Asli Daerah
299
2)
Ruang lingkup Pekerjaan RIPPDA memfokuskan pada perencanaan satu atau beberapa obyek wisata yang menjadi atau akan menjadi unggulan Daerah.
3)
Ruang lingkup Substansi RIPPDA, meliputi : a) Kebijaksanaan makro dan mikro pariwisata Daerah; b) Obyek dan Daya Tarik Wisata(ODTW); c) Sarana dan Prasarana pendukung wisata; d) Karakteristik Pasar Wisatawan; e) Kawasan wisata unggulan dan prioritas pengembangan wisata; f) Kebijaksanaan, strategi dan program pengembangan kepariwisataan.
Kebijaksanaan sektor pariwisata Daerah menurut RIPPDA, meliputi: 1) peningkatan mutu sarana dan prasarana serta pelayanan jasa pariwisata dan jasa penunjang dengan tetap memelihara kebudayaan Daerah; 2) Pembinaan pelestarian peninggalan sejarah dan promosi obyek-obyek pariwisata yang dilakukan sesuai dengan perkembangan kepariwisataan; 3) Kegiatan kepariwisataan diarahkan untuk penggalian obyek wisata baru.
Sasaran pembangunan pariwisata Daerah menurut RIPPDA, yaitu: 1) Terkelolanya seluruh potensi pariwisata secara lebih profesional dengan melibatkan peran aktif masyarakat dan pengusaha yang sejalan dengan kepentingan penataan ruang, peningkatan pendapatan asli daerah, pengembangan seni dan budaya Daerah serta pelestarian lingkungan; 2) Menjadikan Daerah menjadi daerah tujuan wisata regional Jawa Barat; 3) Memperluas kesempatan berusaha dan lapangan kerja, mendorong penggunaan produk lokal; 4) Menjadikan kegiatan pariwisata menjadi kegiatan masyarakat dan pemerintah. 5) Menjaga kelestarian serta memupuk rasa cinta alam dan budaya serta memperhatikan nilai-nilai agama.
RIPPDA juga menetapkan strategi kebijaksanaan dalam pengembangan pariwisata, yaitu: 1) Pengembangan dan penataan obyek serta daya tarik wisata dan menggali obyek dan daya tarik wisata baru. 2) Membangun, mengembangkan sarana dan prasarana pendukung kepariwisataan. 3) Meningkatkan promosi kepariwisataan untuk mewujudkan Daerah sebagai tujuan wisata. 4) Meningkatkan pendidikan dan latihan kepariwisataan guna lebih terampil dan mampu bagi tenaga usaha pariwisata dan aparat terkait. 5) Menggali, melestarikan dan mengembangkan seni budaya Daerah serta memelihara dan melestarikan benda-benda purbakala sebagai peninggalan sejarah dan aset Daerah. 6) Meningkatkan peranan sektor pariwisata sebagai lapangan kerja, sumber Pendapatan Daerah dan masyarakat. 7) Melestarikan dan menertibkan sarana transportasi berciri khas Daerah (delman) yang berdimensi wisata. MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Pendapatan Asli Daerah
Adapun strategi pengembangan pariwisata menurut RIPPDA yaitu: 1) Strategi Pengembangan Produk Wisata, meliputi: a) Menata dan mengembangkan produk wisata secara teratur sesuai dengan pasar wisatawan, terutama wisatawan nusantara. b) Mengoptimalkan produk wisata yang mempunyai selling point (nilai jual) secara khusus, untuk pasar wisatawan mancanegara. c) Menata event-event pariwisata secara teratur untuk ditingkatkan menjadi event regional dan nasional. d) Usaha penganekaragaman produk/daya tarik wisata. e) Menata dan mengembangkan produk wisata yang berwawasan lingkungan. f) Menjaga kelokalan dan keaslian, mengatur dan menetapkan agar setiap obyek wisata mempunyai kekhasan sendiri. g) Menggabungkan obyek wisata menjadi satu kesatuan kawasan dan menyatukan kawasan menjadi satu kesatuan daerah tujuan. 2) Strategi pemasaran dan promosi pariwisata, meliputi : a) Meningkatkan dan mengembangkan sistem informasi serta kualitas promosi yang efektif dan kemudahan wisatawan untuk memperoleh semua hal tentang produk wisata yang ada dan siap jual. b) Meningkatkan citra produk wisata Daerah agar mampu bersaing dengan daerah-daerah wisata lainnya yang sudah berkembang di Jawa Barat. c) Meningkatkan peran serta biro perjalanan di Cirebon dan Majalengka untuk menjual produk wisata Daerah. d) Meningkatkan “sadar wisata“ dan sapta pesona di kalangan para pejabat, pengusaha dan masyarakat, agar tumbuh kegiatan wisata yang berwawasan lingkungan. 3) Strategi Pengembangan Aksesibilitas, meliputi: a) Meningkatkan akses antara daerah-daerah yang memiliki potensi wisatawan, khususnya jalur Bandung- Majalengka- Kuningan –Cirebon. b) Menata sistem penunjuk jalan/rambu-rambu lalu-lintas yang mempermudah para wisatawan untuk mencapai obyek dan daya tarik wisata yang terdapat di Daerah. c) Terintegrasi dengan sektor yang lain. 4) Strategi pengembangan prasarana untuk menunjang kegiatan pariwisata meliputi: a) Perencanaan kebutuhan prasarana pariwisata yang meliputi : jalan, jembatan, air bersih, listrik, telepon disesuaikan dengan arah perkembangan objek dan daya tarik wisata. b) Pemenuhan kebutuhan prasarana pariwisata secara bertahap diusahakan pada objek-objek dan daya tarik wisata unggulan atau yang sudah berkembang yang seterusnya menyebar ke setiap objek dan daya tarik wisata lainnya. c) Penetapan legalitas kewenangan dan pungutan.
300
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Pendapatan Asli Daerah
5) Strategi pengembangan usaha, meliputi: a) Mewujudkan iklim yang menguntungkan bagi dunia usaha kepariwisataan dan memberikan kemudahan-kemudahan bagi pengusaha yang akan menanamkan modalnya dalam bidang pariwisata. b) Membina pengusaha pariwisata menengah dan kecil dalam upaya peningkatan kualitas jasa usaha pariwisata. c) Menumbuhkan dan mengembangkan profesionalisme. d) Bertahap dan konsisten (tahap eksplorasi, pengembangan, konsolidasi dan stagnat). e) Pola pariwisata inti rakyat dan kemitraan. Pelaksanaan RIPPDA berbentuk program pembangunan pariwisata daerah yang diselenggarakan oleh pemerintah, perseorangan, kelompok masyarakat, atau badan usaha swasta yang harus memperhatikan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Program pembangunan pariwisata Daerah meliputi beberapa tahapan, yaitu: 1)
Prioritas Rencana Tindak, meliputi: a) Rencana Tindak Pengembangan Sarana dan Prasarana. b) Pentahapan Insentif dan disinsentif Program Investasi. c) Pentahapan Program Investasi. d) Prosedur Kemitraan.
2)
Prioritas Program, meliputi: a) Prioritas Program Penanganan. b) Prioritas Penanganan Kawasan c) Tahapan Pelaksanaan Program, meliputi: d) Indikasi Program. e) Indikasi Program Pembangunan Sektoral. f) Indikasi Program Pembangunan.
RIPPDA ditetapkan pada tahun 2009 dan mulai efektif diimplementasikan pada tahun 2010. Oleh karena itu, keberhasilan strategi pengembangan pariwisata yang ditetapkan dalam RIPPDA dapat dilihat dari realisasi penerimaan PAD dari sektor pariwisata tahun 2010 dan 2011 (sesudah RIPPDA dilaksanakan) dengan membandingkannya dengan tahun 2009 (sebelum RIPPDA dilaksanakan). Mengenai hal tersebut, dengan berdasarkan data pada tabel 4.4 dan 4.5 di muka, maka dapat diketahui bahwa : 1)
301
Berdasarkan data pada Tabel di atas, nilai nominal realisasi PAD dari sektor pariwisata dibandingkan dengan targetnya, dari tahun ke tahun memang terus meningkat tetapi tidak berbanding lurus dengan prosentasi realisasinya. Pada tahun 2009 (sebelum RIPPDA dilaksanakan), persentase realisasinya adalah sebesar 107,81 %. Tetapi pada tahun 2010 dan 2011 (setelah RIPPDA dilaksanakan), prosentase realisasinya justru terus menurun yaitu sebesar 104,13 % pada tahun 2010 dan 103,62 % pada tahun 2011. Hal ini disebabkan oleh adanya pengalihan pengelolaan beberapa obyek wisata MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Studi Kasus Pendapatan Asli Daerah
dari Disparda Kabupaten Kuningan dan pihak ketiga kepada PD. Aneka Usaha. 2)
Berdasarkan data pada Tabel di atas, nilai nominal kontribusi sektor pariwisata terhadap PAD memang terus mengalami kenaikan, tetapi tidak berbanding lurus dengan prosentase kontribusinya. Pada tahun 2009 (sebelum RIPPDA dilaksanakan) prosentase kontribusinya adalah sebesar 1,06 %, tetapi pada tahun 2010 dan 2011 (setelah RIPPDA dilaksanakan) kontribusinya berfluktuasi yaitu meningkat menjadi 1,65 % pada tahun 2010 tetapi menurun menjadi 0,92 % pada tahun 2011. Hal ini juga disebabkan oleh adanya pengalihan pengelolaan beberapa obyek wisata dari Disparda Kabupaten Kuningan dan pihak ketiga kepada PD. Aneka Usaha (PDAU), tetapi PDAU sendiri pada tahun 2011 belum memberikan kontribusi berupa Bagian Laba Perusahaan Daerah terhadap PAD.
21.2. Soal Latihan 1)
Seberapa besarkah pengaruh pariwisata terhadap peningkatan PAD?
2)
Aspek-aspek apakah yang dapat berkembang dengan berkembangnya sektor pariwisata?
3) Apakah strategi Pemerintah daerah Kabupaten Kuningan sudah tepat dalam mendorong peningkatan PAD?
302
4)
Masalah-masalah apa yang bisa muncul dan apa solusinya?
5)
Buatlah perkiraan pertumbuhan PAD sektor Pariwisata.
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan