INFO DESA Membangun Indonesia dari Pinggiran
INFO DESA
03
AGUSTUS 2016
BUM Desa: 03
MOTOR EKONOMI DESA?
AGUSTUS 2016
Surat Redaksi
Pembaca budiman, Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memiliki komitmen kuat untuk menjadikan desa dan daerah-daerah pinggiran semakin maju dan berkembang. Hal itu diwujudkan melalui program Dana Desa, sebuah program pemberdayaan untuk menjadikan masyarakat desa berdaya dan mandiri. Dari sisi anggaran, jumlah Dana Desa yang diberikan pemerintah terus bertambah dari tahun ke tahun. Hal tersebuttercermin dalam Road Map Dana Desa 2015-2019 dari Kementerian Keuangan. Harapannya, dengan bertambahnya jumlah dana tersebut, masyarakat dapat menyusun program-program prioritas sehingga penggunaan Dana Desa sesuai kebutuhan di tiap-tiap desa semakin maksimal.
Dalam program pemberdayaan tersebut, Dana Desa bisa dimanfaatkan untuk pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa), pembentukan Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), dan pengembangan kapasitas Ruang Belajar Masyarakat di Desa (Community Center). Itulah tema liputan utama yang kami sajikan pada edisi Agustus, bertepatan dengan peringatan HUT Kemerdekaan RI yang ke-71. Pada setiap HUT Kemerdekaan, saya selalu teringat pada petikan kata-kata Presiden RI pertama Soekarno dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Kata Sukarno, “Engkau tahu apa artinya Indonesia? Indonesia adalah pohon yang kuat dan indah itu. Indonesia adalah langit yang biru dan terang itu. Indonesia adalah mega putih yang bergerak pelan itu. Ia adalah udara yang hangat.”
Sebagai pelaksana teknis program tersebut, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi menetapkan tiga prioritas penggunaan Dana Desa berdasarkan Permendesa No 21/2015.
Saya pun berharap desa-desa di seluruh Indonesia dapat menjadi pohon yang kuat yang tegak berdiri menopang kehidupannya secara mandiri.
Prioritas pertama, penggunaan Dana Desa untuk membangun infrastruktur di desa, seperti jalan, irigasi, jembatan sederhana, dan talud.
Selain liputan utama, kami juga menyuguhkan hasil riset yang dilakukan Balilatfo tentang BUM Desa, profil tokoh, potret transmigrasi, hingga gambaran tentang desa maju di Indonesia, serta info-info menarik lainnya.
Prioritas kedua, penggunaan Dana Desa untuk membangun fasilitas pelayanan kesehatan dan pendidikan, seperti Posyandu dan PAUD, serta memberdayakan masyarakat desa sebagai prioritas ketiga.
Dr. Ir. H. M. Nurdin, MT Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi
Akhir kata, selamat membaca edisi kali ini. Untuk kritik dan saran perbaikan majalah ini dapat disampaikan melalui email:
[email protected] l
Agustus, 2016
3
Info Desa
Daftar Isi PENERBIT Pusat Data dan Informasi
Tokoh
Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi (BALILATFO)
Sistem Informasi Desa ala Kertamalip
32
h.
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi PENASIHAT Eko Putro Sandjojo Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi PEMIMPIN UMUM H. M. Nurdin Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan dan Informasi WAKIL PEMIMPIN UMUM Ahmad Iman Staf Khusus Bidang Media PEMIMPIN REDAKSI Helmiati Kepala Pusat Data dan Informasi
h.
TIM REDAKSI
10
Transmigrasi Lombok Tengah Lunang-Silaut
h.
48-51
Liputan Utama
Desa Maju
h.
36-41 Desa Wisata, Desa Penglipuran Bali:
Maju Bersama Nenek Moyang
Desa Sentra Kerajinan, Desa Celuk Bali:
Buah Karya Desa yang Mendunia Sistem Pertanian Terintegrasi Bali:
Pulau Dewata Memajukan Desa lewat Simantri 4
Info Desa
Agustus, 2016
Elly Sarikit Kabid. PDT dan Transmigrasi
Rusman Staf Bidang Media
Batik Talunombo, Batik dari Lereng Sumbing h.
SEKRETARIAT REDAKSI
Aditya Hendra Krisna Kabid. Pengembangan Sistem Informasi dan Sumberdaya Informatika
Karya
BUM Desa, Jalan Menuju Kesejahteraan Masyarakat Desa
Jajang Abdullah (Sekretaris Balilatfo) Leroy Sami Uguy (Kepala Puslitbang) Anto Pribadi (Kepala Puslatmas) Suparman (Kepala Pusdiklat)
56
Ria Fajarianti Kasubbid. Pengumpulan dan Pengolahan Data PDT dan Transmigrasi Anton Tri Susilo Kasubbid. Penyajian Informasi PDT dan Transmigrasi Ichsan Nur Ahadi Kasubbid. Pengumpulan dan Pengolahan Data Desa Nur Haryadi Kasubbid. Penyajian Informasi Desa Hardiman Wahyudi Kasubbid. Sumber Daya Informatika Wuwuh Sarwoaji Kasubbag. Tata Usaha
Ralat
Alfandi Pramandaru Penyusun Bahan Data dan Informasi
Pada rubrik Lingkungan halaman 54 Majalah Info Desa edisi 02, Juni 2016, terdapat kekeliruan penulisan lembaga Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BP2TP) Bengkulu, yang dikelola oleh Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan, Pelatihan dan Informasi (Balilatfo).
ALAMAT
Seharusnya tertulis, Balai Pengkajian dan Penerapan Teknik Produksi Bengkulu, Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi (Balitlafo). Demikian ralat yang dapat kami sampaikan. Terima kasih. Tim Redaksi
Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi (Balitlafo). Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Jalan TMP Kalibata No 17 Jakarta Selatan 12750 Telp : 021 – 7900039 Fax : 021 - 7900030
Agustus, 2016
5
Info Desa
Peristiwa
Peristiwa
Kemendesa PDTT Gelar Pelatihan Desa Online
Untuk itu, ujarnya, Kemendesa akan bergerak cepat untuk terus melakukan pelatihan kepada pengguna di daerah. Pada tahun ini, Kemendesa akan melatih 200 perwakilan desa. “Belum lama ini di Balikpapan, Kalimantan Timur. Selanjutnya di Makassar, NTT dan Jawa Barat hingga Papua,” tambahnya. Melalui aplikasi desa berbasis web ini, jelas Nurdin, desa-desa di Indonesia tak lagi terisolasi dan akan lebih melek teknologi. “Sudah ada akses informasi untuk memperkenalkan potensi desa secara cepat sampai ke desa lainnya hingga seluruh masyarakat Indonesia,” ujarnya.
K
ementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) terus menggenjot percepatan ekonomi desa dengan aktif memperkenalkan aplikasi Desa Online. Aplikasi tersebut bertujuan memperkenalkan potensi desa kepada dunia luar. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan,
dan Informasi (Balilatfo) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, M. Nurdin mengatakan aplikasi Desa Online akan mampu mempercepat desa membangun. Segala informasi tentang desa ada di dalamnya. “Tidak hanya soal proses pembangunan desa, hingga potensi desa, produk unggulan desa bisa dipromosikan melalui internet,” ujarnya dalam keterangan resmi, pada 1 Agustus 2016.
Kemendesa Gandeng WAMTI Gali Potensi Desa
P
engurus Nasional Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia (WAMTI) mengunjungi kantor Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, pada 29 Juli 2016. Saat menerima kunjungan tersebut, Mendesa PDTT, Eko Putro Sandjojo, mengajak WAMTI untuk saling tukar informasi tentang masalah dan potensi di desa.
Di masa mendatang, ujarnya, aplikasi Desa Online ini akan mempermudah informasi apapun, mulai dari perencanaan, pelaksanaan pembangunan, termasuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) bisa disampaikan kepada masyarakat desa dan terdokumentasi dengan baik.
“Kementerian ini tidak akan bisa berjalan maksimal tanpa bantuan dari teman-teman. Karena kita memiliki keterbatasan tenaga dan informasi. Jangan sampai desa yang tidak membutuhkan irigasi kita berikan irigasi. Nah kita tidak akan tahu kalau tidak ada yang menginformasikan,” ujar Eko.
Kemendesa PDTT menargetkan dapat membangun jaringan desa secara online yang rampung pada 2019. Pada tahun ini Kemendesa menargetkan sekitar 20.000 hingga 30.000 Desa Online. l
Terkait hal tersebut, Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) Ahmad Erani Yustika menjelaskan, upaya untuk menjadikan desa sebagai basis bisnis, demi kesejah-
teraan masyarakat desa. Menurutnya, hal tersebut dikenal dengan program lumbung ekonomi desa. “Jadi desa harus menjadi lokus bagi masyarakat untuk meningkatkan derajat kesejahteraannya,” terangnya. Sementara itu, Ketua WAMTI, Agusdin Pulungan mengapresiasi dan mengaku tertarik dengan program BUM Desa yang digalakkan oleh Kemendes PDTT. Menurutnya, misi BUM Desa senada dengan misi WAMTI yang mencoba mengembangkan bisnis yang mampu berkembang di desa. l
Mendesa Eko Ajak Bangun Desa Lewat CSR
M
enteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendesa PDTT), Eko Putro Sandjojo berkunjung ke kantor PT PP (Persero) Tbk di Jakarta, pada 3 Agustus 2016. Dalam kunjungan tersebut, Eko mengajak PT PP untuk berpartisipasi membangun desa melalui program tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR).
6
Info Desa
Agustus, 2016
“Untuk mensukseskan pembangunan desa kita membutuhkan dukungan dari banyak pihak. Kita harap, dukungan CSR dari PT PP (Pembangunan Perumahan) dapat bersama-sama dimanfaatkan untuk pembangunan desa,” ujar Eko. Eko juga mendorong alokasi program CSR diutamakan untuk desa dengan kategori tertinggal. Program bisa dalam bentuk pemenuhan kebutuhan
infrastruktur desa seperti jalan, jembatan ataupun irigasi. “Dari diskusi kita, PP sudah bersedia membantu kita (pembangunan desa) melalui CSRnya. Tinggal bagaimana kita bersamasama merealisasikannya,” ujarnya. Direktur Bisnis, Riset dan Teknologi PT PP (Persero) Tbk, Lukman Hidayat membenarkan hal tersebut. Dalam hal ini, PT PP (Persero) Tbk akan mengalokasikan program CSR untuk desa
terutama desa tertinggal yang berada di sekitar wilayah garapan perusahaan. “Kita akan alokasikan CSR murni untuk kepentingan desa. Bantuan akan kita sesuaikan dengan kebutuhan desa. Misalnya untuk daerah kering, akan kita buatkan pompa air, atau yang butuh irigasi kita berikan irigasi,” ujarnya. l
Agustus, 2016
7
Info Desa
Peristiwa
Peristiwa
Ajak Kampus Bangun Desa, Kemendesa PDTT Bentuk Pertides
F
orum Perguruan Tinggi untuk Desa (Pertides) dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) sepakat untuk bersinergi membangun desa. Sekjen Kemendesa PDTT, Anwar Sanusi mengatakan, forum Pertides menjadi wadah untuk mengumpulkan pemikiran multidimensi lintas perguruan tinggi bagi kemajuan dan pembangunan desa. Menurutnya, dibentuknya Pertides adalah untuk membantu menyelesaikan permasalahan masyarakat desa. “Permasalahan masyarakat desa beragam, meliputi penerapan teknologi tepat guna, pemberdayaan sumber daya manusia desa, peningkatan keberdayaan manusia di desa, pemberdayaan pemerintah desa dan BUM Desa (Badan
Usaha Milik Desa), dan pembangunan infrastruktur desa,” ujarnya.
sa. Namun perlu ada yang mengawal dan mendampingi, nah di sinilah peran perguruan tinggi dimunculkan,” terangnya.
Dibentuknya Forum Pertides sesuai dengan Keputusan Menteri Desa PDTT No 51 Tahun 2016 tentang Pembentukan Forum Perguruan Tinggi untuk Desa, dimaksudkan untuk memberikan dukungan pemikiran dan gagasan dalam rangka memecahkan permasalahan dalam pelaksanaan Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Terkait hal tersebut Sanusi menjelaskan, ada dua titik peran perguruan tinggi. Pertama dari aspek regulasi, yakni membantu dalam penyusunan kebijakan yang baik dan dipastikan bisa diimplementasikan. Kedua, adanya sumber daya manusia andal yang menghasilkan teknologi yang bisa diterapkan di perdesaan.
Sanusi berharap, para peneliti dari berbagai perguruan tinggi tersebut dapat secara independen menuangkan pemikiran dalam upaya mendorong percepatan pembangunan desa, daerah tertinggal dan transmigrasi. “Perguruan tinggi adalah institusi netral dan objektif. Di sisi lain, desa memiliki potensi yang luar bia-
Sanusi melanjutkan, perguruan tinggi memiliki riset yang baik. Dari riset tersebut, perguruan tinggi dapat memberikan masukan untuk penguatan substansi pembangunan dan pemberdayaan desa. Misalnya hal-hal terkait inovasi, penerapan teknologi tepat guna yang sudah dilakukan melalui riset-riset. l
Desa, Ikon Penting Pembangunan Nasional Inisiatif-inisiatif lokal dari setiap desa memiliki peran penting dalam menumbuhkan kembali spirit membangun desa.
Hal itu disampaikan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo yang dibacakan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Anwar Sanusi, dalam Kolokium Internasional bertajuk Knowledge Sharing in Enhancing Local Initiatives to Promote Local Economic Development in Indonesia yang diselenggarakan Puslitbang Balilatfo Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi bekerja sama dengan Kementerian PPN/Bappenas, dan Australian Aid Knowledge Sector Initiative, di Jakarta, pada Rabu, 10 Agustus 2016. “Inisiatif-inisiatif lokal dari setiap desa memiliki peran penting dalam menumbuhkan kembali spirit membangun desa
8
Info Desa
Agustus, 2016
Okuyama Akira dari JICA menilai, inisiatif lokal memberikan dampak positif bagi pembangunan di desa. “Inisiatif lokal yang muncul di desa akan meningkatkan semangat kemandirian dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat tanpa tergantung dari pihak luar,” ujarnya.
M
enumbuhkan inisiatif lokal dari setiap desa supaya desa mampu mandiri secara berkelanjutan membutuhkan terobosan kreatif yang memadukan paradigma pembangunan kombinasi, dari atas ke bawah maupun dari bawah ke atas sehingga masyarakat desa bisa berkreasi dalam menemukenali potensi yang dimiliki di masing-masing desa.
kapasitas masyarakat desa. “Semua kementerian di Korea mendukung sistem ini diterapkan di desa-desa di Korea dan dalam prakteknya pemerintah tidak ikut campur tangan dalam pengambilan keputusan di tingkat desa, melainkan masyarakat desa sendiri yang mengambil keputusan, dari mereka, oleh mereka dan untuk mereka,” tutur Kwang.
sehingga di masa depan desa mampu menjadi ikon penting pembangunan Indonesia,” katanya. Sanusi mengatakan, desa sebagai entitas bisa berkembang jika wilayahnya juga berkembang. Saat ini terdapat 74.754 desa dengan karakteristik yang berbeda-beda dan kehidupan masyarakat didominasi sektor pertanian. Oleh karena itu, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi memberikan perhatian penuh pada pengembangan kawasan perdesaan supaya bisa tumbuh dan berkembang. “Mudah-mudahan kombinasi pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan saling melengkapi, bukan saling menggantikan,” ujarnya. President of Korean Saemaul Undong Center So Jin Kwang menuturkan, metode Saemaul Undong atau gerakan desa membangun yang diterapkan pada pertengahan 1970-an telah membuat pembangunan desa di Korea efisien dan efektif, serta mampu meningkatkan
Mantan Bupati Wakatobi Hugua mengatakan, inisiatif yang dikembangkan masyarakat memiliki arti penting bagi kehidupan masyarakat. Dia mencontohkan tentang beberapa inisiatif lokal yang dikembangkan di Wakatobi, di antaranya Wa Rika, inisiatif swadaya dan partisipatif yang telah menyelamatkan masyarakat dari kolera; La Meno Inisiator berupa penanaman pohon di atas lahan keluarga seluas 10 hekterae, dan Hamid Inisiator, pembangunan pemecah ombak untuk melindungi Kampung Longa dari abrasi air laut. “Tujuan pembangunan daerah adalah mencapai kesejahteraan masyarakat, membangun manusia, karakter, dan peradaban,” ujarnya. Prof Emil Salim mengatakan, pembangunan perdesaan penting, bukan saja untuk pemerintah namun terlebih untuk masyarakat desa. Oleh karena itu, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi harus membangun desa menjadi desa, bukan membangun desa menjadi kota. “Pendekatan pembangunan desa diarahkan pada pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, sarana dasar sampai ke ujung desa, sehingga perencanaan pembangunan desa terintegrasikan dengan pembangunan nasional,” ujarnya. l
Agustus, 2016
9
Info Desa
Liputan Utama
BUM Desa, Jalan Menuju Kesejahteraan Masyarakat Desa
Liputan Utama
BUM Desa memiliki nilai strategis dalam memberdayakan ekonomi desa. Membuat wajah Indonesia lebih bermartabat dalam jangka panjang.
T
ugas yang diamanatkan Presiden Joko Widodo kepada Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi yang baru, Eko Putro Sandjojo tidak ringan. Kepada Menteri Eko, Presiden Jokowi meminta agar pembangunan perdesaan dipercepat, salah satunya melalui pemberdayaan ekonomi desa. Diberi amanat tersebut, Menteri Eko bergerak cepat. Dia telah menyiapkan sejumlah program, satu di antaranya adalah mendorong pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa). Menurut dia, alasan pembentukan BUM Desa memiliki nilai strategis di mana nantinya desa akan memiliki saluran untuk penyaluran kredit usaha rakyat. “Desa-desa rencananya kami dorong untuk membentuk BUM Desa. Nanti saya akan channelling BUM Desa dengan stakeholder usaha lainnya, misalnya BUMN atau swasta. Kita bisa ajak bank BUMN, jadi mungkin dia alokasikan Rp 100 atau Rp 200 miliar sebagai capital atau equity. BPR bisa menyalurkan dana kredit usaha rakyat (KUR) yang nilainya bisa mencapai puluhan miliar,” ujarnya. Eko mengatakan, dana desa yang dikucurkan pemerintah sebagian bisa digunakan untuk mengembangkan unit usaha melalui BUM Desa. Salah satu yang akan didorong adalah sarana pengelolaan pasca panen dan tempat penyedia sarana produksi.
10
Info Desa
Agustus, 2016
Dari hasil kunjungannya ke desa-desa di Jawa Tengah, Eko menilai, satu desa bisa memiliki beragam komoditas pertanian dan tidak ada yang menjadi unggulan. Akibatnya, jalur distribusi untuk sarana produksi jadi panjang. Selain itu, dia menyebutkan, jalur penjualan pasca panen panjang lantaran hasil panen sedikit. Akibatnya, tidak ada investor yang mau membuat sarana pasca panen. Karena itu, distribusi hasil panen harus melalui tahap yang panjang, misalnya melalui pengumpul ke pengumpul lebih besar, baru ke sarana pasca panen yang lebih besar. Untuk memperbaiki sarana distribusi, Eko mengaku sudah menyiapkan program untuk membentuk desa unggulan. Rencananya, dia menunjuk desa-desa yang berada di satu wilayah berdekatan untuk berkonsentrasi terhadap satu komoditas unggulan. “Misalnya beberapa desa konsentrasinya beras saja, jagung saja, atau tebu saja,” ujarnya. Jika sudah terbentuk pola seperti itu, Eko berencana mengajak investor bekerja sama dengan BUM Desa untuk membangun sarana pasca-panen agar rantai distribusi dipangkas dan harga panen lebih murah. Jika sukses, deviden yang didapat suatu saat bisa mencukupi kebutuhan desa. “Kalau deviden cukup, suatu saat desa bisa mandiri. Tidak perlu disuntik (dana) pemerintah,” ucapnya. Pembentukan BUM Desa merupakan salah satu prioritas penggunaan dana desa. Sesuai Permendesa No. 21/2015 tentang
Agustus, 2016
11
Info Desa
Liputan Utama
Liputan Utama
penetapan prioritas penggunaan Dana Desa 2016, salah satu prinsip penggunaan dana desa adalah mendahulukan kepentingan desa yang lebih mendesak, lebih dibutuhkan, dan berhubungan langsung dengan kepentingan sebagian besar masyarakat desa. Oleh karena itu, prioritas pertama penggunaan dana desa, yaitu membangun infrastuktur antara lain jalan, irigasi, jembatan sederhana, dan talud. Bidang kesehatan dan pendidikan juga perlu diprioritaskan, di antaranya Posyandu dan PAUD. Setelah itu, dana desa dapat digunakan untuk pemberdayaan masyarakat desa, seperti pengembangan Badan Usaha Miliki Desa (BUM Desa), pembentukan Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), dan pengembangan kapasitas Ruang Belajar Masyarakat di Desa (Community Center).
Bermartabat Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Ahmad Erani Yustika mengatakan, pemberdayaan ekonomi desa menjadi program prioritas Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. “Pembangunan dan pemberdayaan ekonomi desa menjadi prioritas tertinggi yang harus mendapat perhatian pemerintah jika kita mengharapkan wajah Indonesia menjadi lebih bermartabat dalam jangka panjang,” katanya. Yustika menilai, BUM Desa merupakan instrumen yang mampu menjaga keseimbangan antara kegiatan ekonomi sektor privat yang dilakukan masyarakat dan koperasi serta adanya keterlibatan negara. “Peran BUM Desa sebetulnya hampir sama dengan BUMN dan BUMD di mana terdapat mandat bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan masuk dalam sektor strategis, mulai dari pengelolaan sumber daya alam, industri pengolahan, iuran simpan pinjam, jaringan distribusi dan pelayanan publik mendasar seperti pengadaan listrik, air bersih, dan sebagainya,” terang Yustika.
12
Info Desa
Agustus, 2016
dan Informasi, Kemendesa PDTT, M. Nurdin mengatakan, percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat menjadi prioritas pembangunan nasional sejak diterbitkannya UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua dan telah tersirat dalam RPJMN sejak 2005 hingga saat ini. “Dukungan anggaran terus meningkat baik APBN dan dana Otsus yang setiap tahunnya terus meningkat. Demikian pula dukungan dana desa pada 2016 untuk Papua sebesar Rp 3,385 triliun untuk 5.419 kampung dan Papua Barat Rp 1,074 triliun untuk 1.744 kampung,” ujar M. Nurdin.
Yustika menambahkan, kontribusi dana desa terhadap penyerapan tenaga kerja di bidang pembangunan infrastruktur bisa mencapai 1,8 juta orang dan di bidang pengembangan ekonomi sebesar 457.280 orang sehingga total tenaga kerja yang terserap mencapai 2,3 juta jiwa. Sementara itu, kontribusi dana desa terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia sebesar 0,041 persen, sehingga masyarakat perlu mengawasi secara bersama penggunaan dana desa agar tepat sasaran. “Dengan demikian, letak penting dari program dana desa bukan dari besarnya jumlah dana yang diterima masyarakat, tetapi dalam penggunaannya terdapat proses partisipasi masyarakat, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai kegiatan monitoring,” ujarnya. “Itu yang lebih berharga. Ada semangat dari warga untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di tingkat musyawarah desa tentang pembangunan desa termasuk dalam hal pembiayaan pembangunan yang akan dilakukan.”
Desa mandiri Ketua Komisi V DPR Fary Djemi Francis berharap, program dana desa dapat membuat masyarakat desa menjadi lebih mandiri dan tidak tergantung dari pihak luar. “Dana desa ini kan sifatnya stimulan, yang suatu waktu kita akan arahkan
bahwa desa itu benar-benar mandiri dan bisa memiliki sumber dana sendiri,” tuturnya. Menurut dia, desa-desa yang sudah menerapkan dengan benar program dana desa antara lain di daerah Belu, NTT, dan Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Di Desa Martajasah, Kabupaten Bangkalan, misalnya, Francis mengatakan, warga di desa tersebut menggunakan dana desa untuk membangun sarana dan prasarana Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan perbaikan jalan desa. “Program dana desa diharapkan mampu menuntaskan kemiskinan sampai ke akarnya,” ujarnya.
Ketua Pokja Papua Judith Dipodiputro mengatakan, Gerakan Papua Bekerja dan Unggul menjadi frame besar untuk membangun Papua ke depan. Gerakan tersebut dirumuskan salah satunya dalam program “Tong Maju”. Program-program dalam Tong Maju adalah Tele Health, Tele Education, Tele Public Service, dan Tele Medicine.
“Tong Maju adalah optimalisasi pemanfaatan teknologi komunikasi, data, teknologi digital dan analog sebagai sarana komunikasi antara kampung dengan seluruh pemangku kepentingannya dalam upaya memenuhi kebutuhan akses komunikasi keluar/masuk desa, memenuhi janji kehadiran Negara, akses pelaksanaan pelayanan publik, akses pendidikan bermutu, akses pelayanan kesehatan, akses pada peluang usaha, dan akses peluang kerja,” katanya. Selain itu, Judith melanjutkan, Tong Maju menyambungkan kampung ke perekonomian daerah dan, yang lebih utama lagi, akses ke pendidikan yang bermutu. Tong Maju diharapkan mempercepat alih pengetahuan dan pengalaman antar pendidik, perbaikan dan penyesuaian kurikulum, akses ke teknologi, identifikasi dan pendampingan murid berprestasi, memformulasi usulan pola ideal bagi sekolah di pedalaman, serta memotivasi sekolah dan murid, serta akses desa
ke perekonomian nasional. Melengkapi program Tong Maju adalah program Rumah Anak Harapan dan Rumah Sehat Sejahtera. “Jadikan dana desa sebagai matching fund, yang mengkaitkan dana ini untuk melengkapi program pemerintah pusat agar jaringan jalan, listrik, irigasi, dan lain-lain sampai ke desa berkat permbiayaan pembangunan infrastruktur. Pemerintah juga perlu membangun infrastruktur jalan yang menghubungkan masyarakat dengan akses pasar,” kata Prof Emil Salim dalam Kolokium Internasional bertajuk Knowledge Sharing in Enhancing Local Initiatives to Promote Local Economic Development in Indonesia yang diselenggarakan Puslitbang Balilatfo Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi bekerja sama dengan Kementerian PPN/Bappenas, dan Australian Aid Knowledge Sector Initiative, di Jakarta, pada Rabu, 10 Agustus 2016. l
Pemerintah melalui Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi sebagai pelaksana teknis program dana desa memang berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Dalam Road Map Dana Desa dari Kementerian Keuangan, jumlah dana desa yang dikucurkan pemerintah terus bertambah. Pada 2019, jumlah Dana Desa mencapai Rp 111,8 triliun yang diperuntukkan bagi 74.754 di mana masing-masing desa akan mendapatkan Rp 1,5 miliar. Pemerintah juga mendukung percepatan pembangunan di Papua Barat dan Papua. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan
Agustus, 2016
13
Info Desa
Liputan Utama
Liputan Utama
EKO PUTRO SANDJOJO Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
BUM Desa untuk Kemakmuran Desa
M
14
Info Desa
Agustus, 2016
enggantikan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar dalam reshuffle Kabinet Kerja Jilid II, Eko Putro Sandjojo langsung dihadapkan pada tanggung jawab yang tak ringan. Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mendapat instruksi dari Presiden Joko Widodo untuk mempercepat pembangunan desa melalui pemberdayaan ekonomi desa. “Pada dasarnya, bagaimana memberdayakan ekonomi desa lebih berkembang,” kata Eko saat ditemui Tim Info Desa di kantor Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Kalibata, Jakarta. Presiden, ujar Eko, memintanya untuk segera mematangkan konsep maupun program dan berkoordinasi dengan kementerian terkait.
BUM Desa, sehingga nantinya desa akan memiliki saluran untuk penyaluran kredit usaha rakyat.
Ia memang telah menyiapkan program yang bisa menyerap tenaga kerja di desa. Selain itu, Eko akan mendorong lagi pembentukan Badan Usaha Milik Desa agar semakin banyak. Alasannya adalah karena uang akan dimasukkan ke
Apa yang menjadi fokus utama program Kemendesa PDTT selanjutnya?
“Kami juga akan memfasilitasi adanya sarana pasca panen, sesuai dengan kebutuhan desa,” ujarnya. Meski begitu, Eko mengakui, untuk menuju ke sana, masih akan ada hal-hal yang harus diperbaiki. Hal-hal itu seperti sumber daya manusia serta koordinasi dengan kementerian terkait, yaitu Kementerian Pertanian dan Kementerian BUMN. Mengenai pesan dari Marwan Jafar sebagai menteri sebelumnya, Eko mengatakan Marwan berpesan agar apa yang sudah ada dipertahankan dan ditingkatkan. “Saya akan meneruskan policy yang sudah dibuat oleh Mas Marwan,” ujar dia. Berikut wawancaranya:
Prinsipnya saya minta tolong dibantu bahwa desa kita itu kan macam-macam, ada desa yang masih tertinggal, ada desa
Agustus, 2016
15
Info Desa
Liputan Utama
Liputan Utama
yang sarananya sudah cukup. Jadi prioritas Kementerian untuk desa-desa yang tertinggal pasti kita akan lengkapi sarana basic desa supaya tidak makin tertinggal. Untuk desa-desa yang tak tertinggal agar dana desa tidak hanya dipakai terus habis, kita akan push untuk pembentukan pemberdayaan ekonomi desa.
Format pemberdayaannya seperti apa? Pemberdayaan ekonomi desa itu kita akan bikin badan usaha milik desa (BUM Desa). Dana desa yang dikucurkan pemerintah sebagian bisa digunakan untuk mengembangkan unit usaha melalui BUM Desa. Salah satu yang akan didorong sarana pengelolaan pasca panen dan tempat penyedia sarana produksi.
Artinya, Dana Desa bisa jadi trigger bagi pembangunan dan pemberdayaan desa? Dana Desa itu fungsinya adalah kita ingin menunjukkan bahwa politik anggaran kita itu sekarang sudah kita geser bukan lagi hanya menyantuni kepentingan wilayah-wilayah tertentu, sektor-sektor tertentu, atau orang-orang tertentu. Politik anggaran sekarang sudah mengarah kepada wilayah yang memang relevansinya sangat kuat untuk didorong tadi, sekaligus jadi afirmasi bahwa politik fiskal itu ditunjukkan dengan sangat jernih di sini. Nah selebihnya nanti mereka harus berpikir bahwa di sekitarnya ada banyak sumber daya yang bisa dimanfaatkan.
Bagaimana dengan pengelolaan BUM Desa sendiri? BUM Desa nanti saya akan channelling sama stakeholder usaha lainnya, misalnya BUMN ata swasta. Contohnya, BUMD di situ bisa bikin unit usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Kita bisa ajak Bank BUMN, jadi mungkin dia alokasikan Rp100 atau Rp200 sebagai capital atau equity. BPR bisa meyalurkan dana kredit usaha rakyat (KUR) yang nilainya bisa mencapai puluhan miliar.
16
Info Desa
Agustus, 2016
Apakah BUMDesa juga mengarah pada optimalisasi sumber daya desa? Untuk BUM Desa, kita ingin mengoptimalisasikan keseluruhan sumber daya yang ada menjadi kegiatan ekonomi. Perannya sebetulnya hampir sama dengan BUMN atau BUMD di mana ada mandat bahwa kegiatan ekonomi masuk ke sektor-sektor strategis, persiapan-persiapan produksi yang penting, kemudian mengelola sumber daya alam. Ada lima sektor yang seharusnya menjadi prioritas, antara lain satu pengelolaan sumber daya alam, industri pengolahan, iuran simpan pinjam, jaringan distribusi, serta pelayanan publik dan sosial dasar seperti pengadaan listrik, air bersih, dan seterusnya.
Adakah kaitannya BUM Desa dengan pengembangan bisnis di desa?
Saya berharap BUMDesa bisa dikembangkan dan bisa bekerjasama dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR) ataupun pihak swasta untuk pengembangannya. Kalau bisa BUMDesa itu dikembangkan dengan KUR ataupun pihak swasta. Saya juga sudah melakukan koordinas dengan kementerian yang lain termasuk dengan Pak Puspayoga (Menteri Koperasi).
jalur penjualan pasca-panen panjang lantaran hasil panen sedikit. Akibatnya, tidak ada investor yang mau membuat sarana pasca-panen. Karena itu, distribusi hasil panen harus melalui tahap yang panjang, misalnya melalui pengumpul ke pengumpul lebih besar, baru ke sarana pasca-panen yang lebih besar.
BUM Desa yang bisa dikembangkan untuk mendorong hasil pertanian salah satunya adalah dengan membikin sarana penyimpanan pasca panen. Pertanian salah satu problemnya adalah minimnya sarana pasca panen. Kalau BUM Desa bisa bikin sarana penyimpanan pasca panen, saya yakin bisa membantu produktivitas pertanian.
Apa solusi yang Anda tawarkan?
{{
Kami juga akan memfasilitasi adanya sarana pascapanen, sesuai dengan kebutuhan desa.
BUM Desa juga merupakan upaya menjadikan desa sebagai basis bisnis, tidak lain adalah demi kesejahteraan masyarakat desa. Hal tersebut dikenal dengan program lumbung ekonomi desa. Jadi desa harus menjadi lokus bagi masyarakat untuk meningkatkan derajat kesejahteraannya. Desa memiliki beberapa unit kegiatan ekonomi seperti halnya koperasi, dan usaha mikro menengah. BUMDes diharapkan mampu melengkapi beberapa unit kegiatan tersebut. Kami dorong BUM Desa pada isu pengelolaan Sumber Daya Alam, sudah ada unsur pengelolaannya. Jadi tidak hanya sekadar penyediaan bahan baku, berikut dengan pendistribusiannya.
Bagaimana dengan program pengembangan BUM Desa sendiri?
Terkait dengan pengolahan pascapanen, bagaimana teknisnya?
BUMDesa bisa berkerja sama dengan BUMN atau swasta untuk membuat pengolahan pasca panen. Kita juga nanti akan minta perusahaan-perusahaan BUMN atau swasta untuk membuat sarana prasarana produksi. Kalau operasinya sudah besar, BUMDes bisa membuat angkutan misalnya. Dengan begitu, dari dana yang sedikit nanti bisa banyak equity yang kita sebar kemana-mana.
Komoditas pertanian di desa juga tidak memiliki produk unggulan. Dari hasil kunjungan saya ke desa-desa di Jawa Tengah, desa bisa memiliki beragam komoditas pertanian dan tidak ada yang menjadi unggulan. Akibatnya, jalur distribusi untuk sarana produksi jadi panjang. Harga di level petani mahal. Selain itu,
Untuk memperbaiki sarana distribusi itu, kita sudah menyiapkan program untuk membentuk desa unggulan. Rencananya desa-desa yang berada di satu wilayah berdekatan untuk berkonsentrasi terhadap satu komoditas unggulan. Misalnya beberapa desa konsentrasinya beras saja, jagung saja, atau tebu saja. Jika sudah terbentuk pola seperti itu, kita akan mengajak investor bekerja sama dengan BUMDes untuk membangun sarana pasca-panen agar rantai distribusi dipangkas dan harga panen lebih murah. Jika sukses, deviden yang didapat suatu saat bisa mencukupi kebutuhan desa. Kalau deviden cukup, suatu saat desa bisa mandiri. Tidak perlu disuntik (dana) pemerintah. Dengan modal yang lebih murah dengan harga jual yang lebih tinggi, income petani akan bisa lebih besar.
tidak mengganggu komoditas unggulan lainnya. Misalnya dengan banyak beras itu kita bisa bikin peternakan ayam, karena kan di situ ada gabahnya, ada sekamnya, jadi itu kan bisa lebih murah, nanti kotorannya kita bikin pupuk, kita bikin tempat pemotongan ayamnya. Kita juga bisa bikin peternakan sapi. Itulah antara lain terobosan yang akan saya kembangkan.
Bagaimana koordinasi dengan kementerian terkait? Kita berkoordinasi dengan kementerian terkait karena kita tak bisa lepas dari Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Koperasi dan UKM, maupun Kementerian BUMN. Saya sudah lobi satu persatu dan ke semua kementerian. Semua piak sangat mendukung termasuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Jadi, kata Presiden, tetap dilaksanakan saja, tetapi juga dipercepat.
Setiap desa tentu memiliki persoalan berbeda. Apa langkah Anda agar aspirasi mereka bisa diserap?
Masing-masing desa memiliki permasalahan dan kebutuhan yang berbeda. Untuk itu, kita memaksimalkan peran kepala daerah untuk memberikan masukan program kepada kementerian. Persoalan utama adalah bagaimana kita mengetahui kebutuhan desa. Jangan sampai desa butuh ‘A’ kita berikan ‘C’. Tapi ada lebih dari 74 ribu desa, tidak mungkin kita pantau sendiri semua. Makanya kita berdayakan kepala daerah. Hal yang akan terus kita gali adalah mengetahui aspirasi masyarakat desa. Karena sistem yang digunakan sekarang adalah mengumpulkan aspirasi dari bawah, sehingga peran pemerintah adalah memfasilitasi. Gubernur dan bupati juga tidak bisa kita gurui. Kita harus bekerja sama, tidak serta merta memberikan perintah.
Apa target Anda? Paling tidak yang sudah ada di APBN 2016 itu penyerapannya masih dikawal. Presiden juga mengingatkan agar dana desa benar-benar dipakai dan dirasakan dampaknya oleh masyarakat. Untuk mencegah terjadinya inefisiensi maupun kelambatan, Presiden juga mengingatkan agar implementasi sistem dan teknologi informasi untuk desa juga segera dipercepat. l
Kendalanya bagaimana? Problemnya, selain masalah finansial, di desa itu juga ada masalah sumber daya manusia. Mereka belum siap untuk running. Dengan mengajak pihak ketiga masuk, nanti orang desa bisa belajar menajemennya. Itu juga yang akan menjadi fokus utamanya. Kita perlu libatkan semua komponen di daerah, mulai dari kepala desa, camat, bupati, dan gubernur, kita akan road show ke daerah untuk men-support program ini.
Anda juga menggagas adanya komoditas sampingan untuk desa. Bisa dijelaskan? Selain ada komoditas unggulan, nanti ada komoditas sampingannya juga, tapi
Agustus, 2016
17
Info Desa
Liputan Utama
Walau Kecil, Partisipasi Masyarakat Desa Penting partisipasi masyarakat, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai kegiatan monitoring. “Itu yang lebih berharga, karena sebelumnya soal partisipasi masyarakat desa sama sekali tidak ada,” katanya. Kedua, lanjut Yustika, masyarakat desa bisa memanfaatkan sumber-sumber vital pendanaan dana desa untuk kebutuhan pembangunan di desa, seperti membangun jalan dan irigasi, membuat jamban, dan sebagainya, termasuk dalam pembiayaan pendamping desa. “Seberapapun kecilnya kegiatan pembangunan yang dilakukan, ada semangat dari warga untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di tingkat musyawarah desa tentang pembangunan termasuk dalam hal pembiayaan pembangunan yang akan dilakukan,” ujarnya.
“Seberapapun kecilnya kegiatan pembangunan yang dilakukan, ada semangat dari warga untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di tingkat musyawarah desa.”
18
Info Desa
Agustus, 2016
A
hmad Erani Yustika, Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mengatakan, program dana desa memberikan kemajuan berarti bagi kehidupan masyarakat di pedesaan. Menurut dia, ada dua manfaat kunci yang didapatkan masyarakat desa dari program dana desa. Pertama, masyarakat belajar bahwa sumber kekuatan pembangunan berasal dari dalam desa bukan dari luar. Dengan demikian, letak penting dari program dana desa bukan dari besarnya jumlah dana yang diterima masyarakat, tetapi dalam penggunaannya terdapat proses
Ketua Komisi V DPR Fary Djemi Francis menilai, program pembangunan perdesaan saat ini dibandingkan periode sebelumnya memiliki perbedaan signifikan. “Saya kira penjelasan Pak
Liputan Utama
Menteri (waktu itu Menteri Marwan Jafar-red) mengacu kepada amanat UU No. 6 tahun 2014 tentang pembangunan desa amat jelas, bahwa pembangunan perdesaan ditujukan untuk memberdayakan masyarakat desa,” ujarnya. Dalam hal program dana desa, Francis mengatakan, ada empat poin tentang pendekatan pemberdayaan masyarakat desa. Pertama, dalam menjalankan program di desa, masyarakat harus tahu bahwa program itu dilaksanakan untuk apa, kegiatannya apa, dimana, kapan, dan manfaatnya apa. “Jadi, masyarakat desa harus benar-benar dilibatkan,” katanya. Kedua, program pembangunan perdesaan itu harus mengutamakan potensi-potensi apa yang dimiliki oleh desa terkait, bukan produk-produk atau materi-materi yang didatangkan dari luar desa. Francis mencontohkan tentang pembangunan irigasi atau jalan di mana materi yang digunakan harus berasal dari desa. Ketiga, sumber daya manusia yang mengerjakan proyek pembangunan di perdesaan diupayakan berasal dari desa. Keempat, manfaat sebesar-besarnya pembangunan perdesaan harus dirasakan dan ditujukan untuk kepentingan masyarakat desa, bukan untuk kepentingan elit atau pihak luar. Tentang pendamping desa, Francis mengatakan, keberadaan pendamping desa
diharapkan mampu memberikan kontrubusi positif dalam pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. “Pendamping desa sebaiknya berasal dari wilayah desa dan bukan dari wilayah desa lain karena mereka yang paham betul dengan karakter dan permasalahan yang ada di desa. Tapi yang terjadi saat ini, beberapa daerah komplain karena mendapatkan pendamping desa dari luar,” ujarnya. Oleh karena itu, Francis mengatakan, komisi yang dipimpinnya akan membentuk Panja Pemanfaatan Dana Desa dan Pendamping Desa. Panja tersebut, kata Francis, diharapkan mampu memberikan dukungan penuh terhadap program dana desa. “Panja ini nantinya akan memberikan rekomendasi-rekomendasi terutama bagaimana mendorong ke-
terlibatan masyarakat dan menyiapkan pendamping desa serta memfasilitasi mereka dengan cara yang benar dan dengan pendekatan yang tepat,” ujarnya. Selain itu, Francis meminta agar Kementerian Desa PDTT menemukan atau mencari desa-desa yang telah menerapkan program dana desa dengan baik sesuai harapan. “Sehingga di kemudian hari, desa tersebut dapat menjadi tempat belajar bagi desa-desa lain di Indonesia,” katanya. Francis berharap, program dana desa dapat membuat masyarakat desa menjadi lebih mandiri dan tidak tergantung dari pihak luar. “Dana desa ini kan sifatnya stimulan, yang suatu waktu kita akan arahkan bahwa desa itu benar-benar mandiri dan bisa memiliki sumber dana sendiri,” tuturnya. Menurut dia, desa-desa yang sudah menerapkan dengan benar program dana desa antara lain di daerah Belu, NTT, dan Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Di Desa Martajasah, Kabupaten Bangkalan, misalnya, Francis mengatakan, warga di desa tersebut menggunakan dana desa untuk membangun sarana dan prasarana Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan perbaikan jalan desa. “Program dana desa diharapkan mampu menuntaskan kemiskinan sampai ke akarnya,” ujarnya. l
Agustus 2016
19
Info Desa
Liputan Utama
Liputan Utama
RKTL ini merupakan sejumlah kegiatan nyata yang memang diharapkan menjadi stimulan bagi warga Distrik Makbon agar bisa berkembang, seperti melaksanakan usaha pengolahan keripik pisang, pembuatan selai mangrove, membentuk koperasi yang menjual sembako, dan menjual hasil ikan.
Komitmen pemerintah Pada Nawa Cita ketiga secara eksplisit dinyatakan, pemerintahan Jokowi-JK berkomitmen membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
Kejutan di Distrik Makbon Dana desa utamanya digunakan untuk pertanian, membangun jembatan, puskesdes, posyandu, sekolah, listrik, dan air bersih. Pemerintah juga memberikan pelatihan untuk memberdayakan masyarakat desa.
20
Info Desa
Agustus, 2016
R
ombongan itu datang tanpa memberi kabar sebelumnya. Walhasil, sejumlah perangkat desa yang ada di Aula Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat sontak terkejut. Menjelang akhir Mei, tepatnya pada Kamis, 26 Mei 2016, rombongan dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) mengunjungi Distrik Makbon untuk melihat dari dekat proses pemberian dana desa berikut pemanfaatannya. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan, dan Pelatihan dan Informasi (Balitlafo) Kemendesa PDTT, M. Nurdin, mengatakan, pihaknya sengaja tidak memberi tahu rencana kedatangan ke Distrik Makbon. “Agar kami dapat melihat perkembangan desa yang sebenarnya tanpa rekayasa,” ujarnya memberikan alasan.
Kedatangan Nurdin dan rombongan ke Distrik Makbon merupakan tindak lanjut dari pemberian dana desa. Kemendesa PDTT menjadi kementerian yang bertugas mengawal prioritas penggunaan dana desa yang telah dikucurkan secara bertahap sejak April 2016 di mana sektor infrastruktur menjadi prioritas dalam penggunaan dana desa tahun 2016. “Dana desa itu utamanya harus digunakan untuk pertanian, membangun jembatan, pusat kesehatan desa (puskesdes), pos pelayanan terpadu (posyandu), sekolah, listrik, dan air bersih,” kata Nurdin saat memberikan pengarahan.
Untuk mewujudkan Nawa Cita ketiga tersebut, Kemendesa PDTT tak tanggung-tanggung telah mengalokasikan dana desa dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun anggaran 2016 sebesar Rp 46,9 triliun. Setiap desa diperkirakan akan menerima sekitar Rp 800 juta. “Mudah-mudahan tahun depan dana desa naik lagi menjadi Rp 1 miliar,” kata Nurdin. Anggaran untuk pembangunan desa memang meningkat terus dalam dua tahun terakhir. Pada 2015, anggaran untuk desa mencapai Rp 20,76 triliun atau setengahnya dari tahun ini.
Besarnya dana yang dialokasikan untuk pembangunan desa memang merupakan bukti besarnya komitmen Kemendesa PDTT dalam membangun Indonesia dari pinggiran. Dengan anggaran sebesar ini, pemerintah berharap pembangunan akan merata ke seluruh penjuru Indonesia. “Pembangunan dan perbaikan infrastruktur desa yang dibarengi dengan penciptaan lapangan kerja bagi penduduk desa, pada akhirnya bisa mengurangi arus perpindahan penduduk dari desa ke kota atau urbanisasi,” ujar Nurdin. Nurdin mengingatkan, dana desa tersebut harus dikelola dengan baik oleh warga di
Distrik Makbon melalui mekanisme musyawarah desa. “Kepala dusun berembuk dengan warganya bersama tokoh adat, tokoh pemuda, dan tokoh masyarakat untuk mengelola dana desa. Bukan kepala kampung yang menentukan,” katanya. Agar dana desa ini tersalurkan dengan baik untuk memperkuat pembangunan di desa, lanjut Nurdin, maka pengelolaannya pun harus mendapat pengawasan dari semua pihak, mulai dari pemerintah kabupaten/kota, tokoh masyarakat, hingga warga setempat. “Belanjanya pun harus sesuai kebutuhan agar dana desa bisa tepat sasaran,” ujarnya. l
Nurdin menuturkan, jika infrastruktur serta sarana dan prasarana desa sudah baik, maka dana desa selanjutnya dapat digunakan untuk pemberdayaan masyarakat desa. Untuk itu, pemerintah terlibat dalam sejumlah pelatihan untuk penduduk desa. Untuk tahun anggaran 2016, Pelatihan Kewirausahaan Angkatan IV Tahun Anggaran 2016 berlangsung pada 24-28 Mei lalu. “Pelatihan ini dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan warga Distrik Makbon,” katanya. Pelatihan yang berisi ceramah, diskusi, tanya jawab, permainan, simulasi, dan praktik, diakhiri dengan penyusunan Rencana Kerja Tindak Lanjut (RKTL).
Agustus 2016
21
Info Desa
Liputan Utama
Liputan Utama
DANA DESA
JUMLAH DESA
(dalam triliun rupiah)
PER DESA (dalam rupiah)
2015
20,766 74.093 280,3
2016
46,982 74.754 628,5
2017
81,843 74.754 1,095
2018
103,791 74.754 1,4
2019
111,8
juta
juta
miliar
miliar
74.754 1,5
miliar
PENGGUNAAN DANA DESA Secara nasional, penggunaan Dana Desa pada 2015 telah terserap untuk sejumlah bidang kegiatan, yaitu:
PETA DANA DESA
S
esuai amanat UU No 6/2014 tentang Desa, sejak 2015, pemerintah mengucurkan anggaran Dana Desa untuk pembangunan infrastruktur desa, seperti irigasi, talut, drainase. Dana Desa juga berguna untuk pengembangan
kapasitas ekonomi desa, seperti koperasi, peternakan, pertanian, dan BUMDesa. Dalam Road Map atau Peta Dana Desa 2015-2019 dari Kementerian Keuangan, pada 2016, pemerintah akan menambah jumlah anggaran
Dana Desa sebesar Rp 46 triliun atau meningkat dibandingkan tahun 2015, yang mencapai Rp 20 triliun. Peningkatan tersebut berdampak pada jumlah dana yang diterima per desa, dari Rp 280 juta pada 2015 menjadi Rp 628 juta pada 2016. l
89,4%
5,4%
Bidang Pembangunan Desa
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Dana Desa digunakan antara lain untuk kegiatan pembangunan jalan desa yang ditujukan untuk membuka akses distribusi hasil kebun/hutan. Selain itu, Dana Desa digunakan untuk pembangunan jembatan yang difungsikan untuk membuka akses sosial masyarakat desa atau pembangunan irigasi guna mendukung pemenuhan dan ketahanan pangan, dan sebagainya.
Dana Desa digunakan untuk kegiatan pendukung pelaksanaan pemerintahan, seperti penyelenggaraan musyawarah desa, pembiayaan penegasan batas desa, penyusunan tata ruang desa, dan sebagainya.
2,6%
2,6%
Pembinaan Kemasyarakatan
Pemberdayaan Masyarakat
Dana Desa digunakan untuk pembinaan kerukunan umat beragama, pembinaan lembaga adat, penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban, dan sebagainya.
Dana Desa digunakan untuk meningkatkan kapasitas kelompok tani, kelompok pengrajin, kelompok pemuda, pelatihan pendidikan dan penyuluhan ekonomi produktif, dan sebagainya.
Sumber: Kementerian Keuangan dan Laporan Tahunan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, 2015.
22
Info Desa
Agustus, 2016
Agustus 2016
23
Info Desa
Riset
Riset
Hukum sehingga tidak dapat mengikuti pergaulan ekonomi.
Menggairahkan Kembali Keberadaan BUM Desa Transmigrasi 2015-2019 yang menyatakan, Pemerintah selama lima tahun ke depan menargetkan berkembangnya BUM Desa sebanyak 5.000 unit (Renstra Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi 2015-2019). Pengembangan BUM Desa telah lama diimplementasikan oleh Pemerintah melalui berbagai program. Sri Najiyati, staf peneliti Pusdatin Balilatfo Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi menilai, sesudah melalui berbagai rintangan, sebagian BUM Desa mampu berkembang sebagaimana yang diharapkan. “Masalahnya sejauhmana fasilitasi oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota, dan Pemerintah Desa yang diperlukan agar prakarsa masyarakat tetap tumbuh dan BUM Desa dapat berkembang secara baik dan berkesinambungan,” ujarnya.
Diharapkan, lembaga yang dikelola dengan semangat kegotong-royongan dan kekeluargaan ini, mampu mengelola aset, jasa pelayanan dan usaha, untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa.
24
Info Desa
Agustus, 2016
B
adan Usaha Milik Desa (BUM Desa) sedang menjadi perhatian para stakeholder pemberdayaan masyarakat desa. Lembaga usaha desa ini mendapatkan gairahnya kembali setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa beserta aturan turunanya. Peraturan Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 2015 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa menyebutkan, salah satu prioritas penggunaan Dana Desa adalah untuk pengembangan BUM Desa. Kondisi ini diperkuat oleh Nawa Kerja Kementerian Desa, PDT, dan
Hal tersebut mendorongnya melakukan kajian tentang BUM Desa dengan mengambil lokasi secara purposive di kabupaten yang termasuk daerah tertinggal (Kabupaten Lombok Barat), kabupaten yang memiliki program pendampingan dalam pengembangan BUM Desa (Kabupaten Malang), dan kabupaten yang satu tahun sebelumnya termasuk daerah tertinggal (Kabupaten Barito Kuala). Dari hasil kajiannya yang menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan jenis penelitian eksplanatif, Najiyati setidaknya memperoleh 8 temuan. Pertama, rata-rata 28,7 persen dari 592 Desa
di Kabupaten Lombok Barat, Malang, dan Barito Kuala, telah memiliki BUM Desa yang masih aktif. Kabupaten Lombok Barat memiliki persentase BUM Desa yang tertinggi yaitu 83,2%, sedangkan Kabupaten Malang dan Barito Kuala, masing-masing 14,3 persen dan 8,7 persen.
menentukan jenis usaha yang layak dikelola BUM Desa, kompetensi terbatas, dan keraguan aparat Desa dalam mendirikan BUM Desa. Selain itu juga trauma terhadap pembentukan BUM Desa yang mengalami kegagalan, serta tidak adanya pendamping profesional.
Kedua, rata-rata sebanyak 40 persen dari 75 Desa di Kabupaten Lombok Barat, Malang, dan Barito Kuala, belum pernah membentuk BUM Desa atau sudah pernah membentuk tetapi bubar. Sebanyak 36,0 persen Desa memiliki BUM Desa yang kurang berkembang atau jalan di tempat dan 13,3 persen BUM Desa dinilai berkembang dalam arti kegiatannya semakin hari semakin menunjukkan peningkatan. Kabupaten Lombok Barat, memiliki BUM Desa berkembang relatif lebih banyak yaitu 20 persen dibandingkan dengan dua kabupaten lainnya yaitu 8 persen di Malang dan 12 persen di Barito Kuala. BUM Desa justru cenderung terbentuk dan berkembang di daerah tertinggal.
Kelima, adanya kendala dalam pengembangan BUM Desa antara lain sebagian besar BUM Desa (masa lalu) memiliki usaha simpan pinjam yang sebagian besar pinjaman tidak dikembalikan, pengelola kurang serius dan tidak kompeten, tidak adanya pelatihan atau pedoman khusus bagi pengembangan usaha yang dilengkapi dengan format tata kelola keuangan untuk masing-masing jenis usaha, dukungan pemerintah desa kurang karena BUM Desa belum dianggap sebagai sarana yang mendesak, tidak paham memilih jenis usaha yang layak, tidak ada pendampingan yang berkelanjutan, minat menjadi pengelola BUM Desa terbatas, BUM Desa belum memiliki Badan
Keenam, faktor keberhasilan pengembangan BUM Desa antara lain pemilihan jenis usaha yang tepat, dukungan komitmen Pemerintah Desa dan Daerah, pemilihan pengelola yang tepat, serta dukungan maasyarakat. Ketujuh, Pemerintah Daerah Provinsi, kabupaten hingga ke Desa, telah memberikan fasilitasi dalam bentuk sosialiasi dan bimtek regulasi BUM Desa, fasilitasi pendataan potensi desa, pengalokasian dana, monitoring dan evaluasi, serta penyusunan Peraturan Bupati dan Peraturan Desa. Kecamatan belum mampu melakukan pendampingan karena keterbatasan anggaran, tenaga dan kompetensi. Sebagian daerah pernah menyediakan pendampingan, tetapi hanya sampai taraf pembentukan. Kedelapan, fasilitasi Pemerintah Daerah dalam pengembangan BUM Desa dianggap belum mencukupi. Najiyati mengusulkan salah satu butir rekomendasi penelitian, yaitu fasilitasi yang selama ini telah dilakukan perlu ditingkatkan. “Fasilitasi tersebut dapat dilaksanakan secara berjenjang oleh pemerintah pusat hingga pemerintah desa,” katanya. Dengan demikian, BUM Desa, lembaga yang dikelola dengan semangat kegotong-royongan dan kekeluargaan ini, mampu mengelola aset, jasa pelayanan dan usaha, untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. l
Ketiga, jenis usaha yang dikembangkan BUM Desa cukup bervariasi, tetapi simpan pinjam merupakan jenis usaha yang paling banyak (86,9 persen) dikembangkan di ketiga lokasi penelitian. Sebagian besar BUM Desa yang bergerak di bidang simpan pinjam saja mengalami stagnasi, karena sebagian besar aset berada di tangan peminjam dan sulit diminta kembali. Sedangkan BUM Desa yang bergerak di bidang lain atau multi bidang, cenderung lebih berkembang. Keempat, kendala yang dihadapi dalam pendirian BUM Desa antara lain terbatasnya minat menjadi pengelola, belum adanya pendamping, kesulitan dalam
Agustus 2016
25
Info Desa
Pendapat
Pendapat
Kemudian sejak tahun 2001, urusan ketransmigrasian disinergikan dengan urusan ketenagakerjaan dalam rangka memperluas lapangan kerja dan peningkatan kesempatan kerja dalam satu departemen dengan nomenklatur Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans). Pada periode ini, acuan regulasinya adalah Kepmenpan Nomor 58/M.PAN/6/ 2004 tentang Jabatan Fungsional PSM dan Angka Kreditnya.
Ir Bambang Sarwono Ar,CBEng,MT Widyaiswara Utama
PSM Menjawab Tantangan Global Penggerak Swadaya Masyarakat (PSM) adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh untuk melaksanakan kegiatan di bidang penggerakan masyarakat.
K
eberadaan Penggerak Swadaya Masyarakat (PSM) dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhannya memang tidak dapat dinisbihkan. Saat ini, bahkan keberadaan PSM dapat ditilik sebagai ujung tombak perwujudan suatu keberhasilan program dan kegiatan pembangunan desa oleh Kementerian Desa Pembangunan Daerah
26
Info Desa
Agustus, 2016
Tertinggal dan Transmigrasi (Kementerian Desa PDTT) melalui mekanisme atas ke bawah (pembangunan desa) dan/ atau mekanisme bawah ke atas (desa membangun). Pada era sekarang dimana desa telah mendjadi entitas sendiri, maka tuntutan kehadiran pemerintah dan negara melalui keberadaan PSM sudah semakin signifikan. Di sisi lain tantangan permasalahan global juga tak mungkin dielakkan. Suka tidak suka, senang tidak senang berbagai macam bentuk infiltrasi pengaruh globalisasi sangat sulit untuk dibendung. Disinilah hakekat dari peran strategis keberadaan PSM untuk dapat dikembangkan sebagai tameng nasionalis dengan kekuatan kompetensi yang dimilikinya.
Sejarah Keberadaan PSM Awalnya, pada tahun 1994 PSM dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Kepmenpan) Nomor : 05/MENPAN/1994. Pembentukan PSM ketika itu bertujuan
untuk mengemban misi Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan (Departemen Transmigrasi dan PPH) dalam rangka meningkatkan keberdayaan masyarakat khususnya masyarakat calon transmingran dan transmigran melalui kegiatan penyuluhan, pelatihan, dan pengembangan masyarakat, yang muaranya adalah untuk mempercepat proses pemandirian masyarakat transmigran di permukiman yang baru.
wujudkan tujuan nasional, dibutuhkan Pegawai ASN dimana tentu di dalamnya termasuk PSM.
Tuntutan Kompetensi
Dijelaskan pula bahwa pegawai ASN diserahi tugas untuk melaksanakan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu. Untuk dapat menjalankan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu tersebut, Pegawai ASN harus memiliki Profesi dan Manajemen ASN yang berdasarkan pada Sistem Merit atau perbandingan antara kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang dimiliki oleh calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan yang dilaksanakan secara terbuka dan kompetitif, sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik.
Menelusuri dari uraian historisnya, maka jelas standar kompetensi PSM sebagai garda depan yang memfasilitasi mekanisasi inisyatif desa membangun mutlak harus dikembangkan. Hal tersebut juga dipertegas pada penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), antara lain diuraikan bahwa untuk me-
Setidaknya ada tiga pilar utama untuk pengembangan PSM yang merupakan bagian dari ASN sebagai sumberdaya manusia atau SDM yang berbasis kompetensi. Ketiga pilar utama pengem bangan dimaksud adalah (1) Pemenuhan terhadap Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) atau Standar Kom-
Saat ini pada era Kabinet Kerja, keberadaan PSM perlu dikuatkan melalui revisi regulasinya. Sebagai pejabat fungsional, PSM harus memiliki kemampuan standar untuk melaksanakan tugas dan fungsinya yang berbasis pada suatu kompetensi.
petensi Kerja Nasional Indonesia (KKNI) yang ditetapkan oleh Menteri atau Kepala Lembaga yang bersangkutan; (2) Pemenuhan Diklat Kompetensi yang diselenggarakan oleh Lembaga Diklat Pemerintah yang bersangkutan; serta (3) Pemenuhan Sertifikasi Kompetensi yang diselenggarakan oleh Lembaga Sertifikasi profesi yang bersangkutan. Di samping itu, diperlukan pengakuan kualifikasi SDM Indonesia termasuk PSM nya melalui upaya peningkatan pengakuan dan penyetaraan kualifikasi, baik di dalam dan di luar negeri. Melalui pengakuan kualifikasi SDM Indonesia, kompetensi individu akan diketahui dan dapat disandingkan pada ranah pekerjaan atau bidang tugasnya. Pengakuan itu dilakukan melalui pedoman yang disebut dengan KKNI sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 serta merupakan pelaksanaan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional (Sislatkernas). Dalam Peraturan Presiden dimaksud disebutkan bahwa KKNI adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan,
Selanjutnya pada 1998, dengan bergantinya masa pemerintahan dari rezim Orde Baru ke rezim Orde Reformasi telah mengubah struktur kabinet, antara lain dengan menyatukan Departemen Transmigrasi dan PPH dengan urusan Kependudukan di Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana menjadi Kementerian Negara Kependudukan dan Transmigrasi. Untuk mendukung keberhasilan reorganisasi lembaga penyelenggara ketransmigrasian tersebut, sebagian dari pejabat struktural yang membidangi ketransmigrasian beralih menjadi Pejabat Fungsional PSM.
Agustus 2016
27
Info Desa
Pendapat
Pendapat
dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor. KKNI merupakan sistem yang berdiri sendiri dan merupakan jembatan antara sektor pendidikan dan pelatihan (diklat) untuk membentuk SDM nasional berkualifikasi (qualified person) dan bersertifikasi (certified person) melalui skema pendidikan formal, non formal, informal, pelatihan kerja atau pengalaman kerja.
Tantangan Global Bagi negara berkembang, seperti Indonesia harus mulai berbenah diri melalui tahapan yang positif untuk mempersiapkan pengembangan SDM dari berbagai aspek terkait dengan kompetensi dalam rangka menyongsong globalisasi. Upaya untuk mempersiapkan kompetensi SDM sejak dini merupakan hal yang sangat diperlukan agar Indonesia melalui PSM di baris terdepannya mampu bersaing memenangkan dan memperebutkan kesempatan kerja yang terbuka di berbagai bidang pekerjaan dan profesi. Sebagaimana diketahui pula bahwa Indonesia sudah meratifikasi GATS (General Agreement on Trade in Sevices) dan AFTA (ASEAN Free Trade Area), sehingga sebagai konsekuensinya globalisasi dan perdagangan bebas antar negara ASEAN tidak bisa dielakkan lagi. Arus globalisasi melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mulai berlaku diakhir tahun 2015 tentu akan membawa dampak bagi setiap negara Anggota ASEAN. Berarti bagi Indonesia tidak akan boleh lagi mencegah masuknya (1) arus barang dan jasa; (2) arus investasi; dan (3) arus SDM yang kompeten. Bila bangsa ini tidak menyiapkan secara sungguh-sungguh dalam meningkatkan SDM yang memenuhi standar kompetensi, maka bisa jadi akan masuk tenaga kerja asing yang memiliki daya saing yang lebih tinggi dan dapat saja dipekerjakan di berbagai sektor industri dan jasa. De-
28
Info Desa
Agustus, 2016
ngan demikian, maka hal ini menjadi suatu tantangan yang langsung ataupun tidak langsung bagi upaya pengembagan standar kompetensi PSM agar setidaknya harus memenuhi SKKNI dengan KKNI nya.
Menjawab Tantangan Guna menjawab tatangan langsung ataupun tidak langsung itu dimulai dengan dengan langkah Pemetaan Kompetensi ASN termasuk PSM nya. Peta Kompetensi adalah gambaran komprehensif tentang kompetensi dari setiap fungsi dalam suatu lapangan usaha yang akan dipergunakan sebagai acuan dalam menyusun standar kompetensi. Salah satu model yang telah dipercaya dan diyakini dunia adalah model RMCS (Regional Model Competency Standard). RMCS adalah model standar kompetensi yang pengembangannya menggunakan pendekatan fungsi dari proses kerja untuk menghasilkan barang dan/atau jasa.
Hal tersebut telah terpayungi secara regulatif berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pada Bagian Kesatu mengenai Klasifikasi Urusan Pemerintahan, dalam Pasal 9 dari Undang-Undang itu disebutkan bahwa Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan Pemerintahan Absolut, urusan Pemerintahan Konkuren, dan urusan Pemerintahan Umum. Urusan Pemerintahan Konkuren sebagaimana dimaksud adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dengan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, yang menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. Disebutkan pula pada Pasal 11 dari Undang-Undang tersebut bahwa Urusan Pemerintahan Konkuren sebagaimana dimaksud menjadi kewenangan daerah, yang mencakup atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. Kedua hal ini erat kaitannya dengan keberadaan PSM yang sangat strategis. Kepanjangan tangan organisasi Pemerintah Pusat di daerah akan dapat
menjadi wahana pelaksanaan pemetaan kompetensi PSM tersebut. Menurut data sementara yang ada di Kementerian Desa PDTT, saat ini keberadaan PSM tidak hanya di Balai Besar Latihan Masyarakat (BBLM) yang berkedudukan di Jakarta dan Jogyakarta, akan tetapi juga menyebar di beberapa wilayah Indonesia. Terdapat 4 (empat) Unit Pelaksana Teknis Pusat (UPTP) yaitu UPTP Pekanbaru, UPTP Banjarmasin, UPTP Bali, dan UPTP Makassar. Setelah langkah Pemetaan Kompetensi akan dapat segera diwujudkan, maka tentunya boleh saja sambil menunggu hasilnya dilakukan langkah simultan untuk merancang Diklat Kompetensi yang diselenggarakan oleh Pusdiklat ASN bersama Puslatmas dijajaran Balilatfo, Kemeneterian Desa PDTT; serta upaya untuk pemenuhan Sertifikasi Kompetensi yang diselenggarakan oleh Kementerian Desa PDTT bekerjasama dengan Lembaga Sertifikasi profesi yang bersangkutan. l
BAMBANG SARWONO ABDUR RAHIM Jalan Proklamasi Blok 14/1 Depok 2 Tengah, 16411 eMail:
[email protected]; HP 0816 985908 DATA PRIBADI: Lahir di Jakarta, tanggal 15 April 1956 Pangkat Terakhir: Pembina Utama (Golongan IV/e) Status berkeluarga, 1 isteri, 2 Anak, 2 Menantu, dan 3 Cucu Jenis kelamin Laki-Laki Beragama Islam Bahasa: Indonesia dan Inggris
Karya Tulis Ilmiah “Goestrategi IndonesiaKumpulan Esai”, Penerbit Fakultas GeografiUGM, Yogyakarta 2014 Karya Tulis Ilmiah “Aktivitas Hilirisasi ANTAM Menuju Penguatan Posisi Strategis Regional Kabupaten Sanggau”, PT.Aneka Tambang (persero),Tbk, Jakarta 2013.
SERTIFIKASI KOMPETENSI:
PENDIDIKAN: 1981: Teknik Lingkungan-ITB (S1) 1993: Teknik Konstruksi Bangunan – Hatagaya University Tokyo-Jepang (Diploma Teknik/S2) 2001: Magister Teknik Studi PembangunanITB (S2)
PENGALAMAN: 1984-2015: Pejabat Struktural mulai dari eselon IV sampai dengan eselon I dengan Pendidikan Manajerial Pimpinan Berjenjang, yang menghasilkan pengalaman kerja sebagai Birokrat (Manajerial Pemerintahan) dan Teknokrat (Konseptor Kebijakan Pemerintah) 2008-2012: Komisaris PT.Timah Industri, yang ikut menggagas, mengawasi, dan mengendalikan pembangunan Pabrik TinChemical di KIEC-Cilegon 2015-Sekarang: sebagai Widyaiswara Utama (melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 178/M Tahun 2015 per tanggal 29 Mei 2015) yang bertugas melakukan Pendidikan, Pengajaran, dan Pelatihan bagi ASN serta Pengembangan dan Evaluasi Lembaga Diklat Pemerintah pada Pusdiklat Pegawai ASN, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
Sertifikat LAN: Management of Training (MoT) Nomor 00007059/DIKLAT TEKNIS/026/3174/LAN/2015 Sertifikat LAN: Training of Trainer (ToT) Nomor 00000900/ DIKLAT FUNGSIONAL/028/3175/2015 Sertivikat LAN: Training of Facilitator (ToF) Bina Damai (Conflict Management) Nomor 00007768/ DIKLAT TEKNIS/086/3171/ LAN/2015 Sertifikat LAN: Training of Facilitator (ToF) Case Base Learning Nomor 3536/D.2,4/ PDP.09.6/2015 Sertifikat BPSDM Kemendagri: Training of Facilitator (ToF) Perumus Standar Kompetensi Nomor 09/893.5/09/ P.I.1/31/2015 Sertifikat LAN: Training Need Assesment (TNA) Nomor 00019605/DIKLAT TEKNIS/028/3174/LAN/2015 Sertifikat LAN: Training of Trainer (ToT) Revolusi Mental
TANDA PENGHARGAAN: 1993: Piagam Satya Karya 10 Tahun, Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi 1997: Piagam Tanda Kehormatan Satyalancana Satya Karya X Tahun (Perunggu), Keputusan Presiden Republik Indonesia
BUKU/KARYA TULIS ILMIAH: Buku “Bunga Rampai Kewidyaiswaraan” (Proses Akhir Penerbitan 2016) Karya Tulis Ilmiah “Langit Biru-40 Alumni Teknik Lingkungan ITB Berpengaruh” (tercantum sebagai salah satu alumni), Penerbit Ikatan Alumni Teknik Lingkungan ITB, 2015
2004: Piagam Tanda Kehormatan Satyalancana Satya Karya XX Tahun (Perak), Keputusan Presiden Republik Indonesia
Buku “Perspektif Hilirisasi Mineral Indonesia”, Antara Potensi dan Peluang, BPPT Press, Jakarta 2014, Perpustakaan Nasional ISBN 978-602-1124-08-6 (Hak Paten/HAKI) Buku “Menata IPTEK di Daerah Tertinggal Menuju Kedaulatan Ekonomi Rakyat”, Pusat Pengkajian Kebijakan Peningkatan Daya Saing BPPT Press, Jakarta 2014, Perpustakaan Nasional ISBN 978-602-170653-4 (Hak Paten/HAKI)
2011: Piagam Tanda Kehormatan Satyalancana Wira Karya (Pembangunan Pabrik Tin-Chemical), Keputusan Presiden Republik Indonesia 2013: Piagam Tanda Kehormatan Satyalancana Satya Karya XXX Tahun (Emas), Keputusan Presiden Republik Indonesia 2015: Piagam Tanda Kehormatan Satyalancana Pembangunan, Keputusan Presiden Republik Indonesia
Agustus 2016
29
Info Desa
Tepat Guna
Tepat Guna
Menyambut Peta Desa Skala Besar Keterangan: RBI Skala 1:10.000 RBI Skala 1:5.000 Data Foto Udara Data Foto Udara dan Lidar
Peta desa diharapkan menjadi titik awal proses pembangunan yang berkelanjutan.
P
emetaan merupakan pondasi vital yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Menyadari hal tersebut, Badan Informasi Geospasial (BIG) sedang menyiapkan pembuatan peta desa berskala besar. Peta desa ini nantinya dapat dijadikan rujukan bagi berbagai kementerian dan lembaga yang sama-sama memiliki kepentingan untuk membangun desa. Sebagai lembaga yang bersentuhan langsung dengan desa, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) sangat menyambut baik program ini. Demi memberikan data seakurat mungkin, peta tersebut memiliki skala 1:5000. Tak hanya skalanya, resolusinya juga tak
30
Info Desa
Agustus, 2016
main-main, mencapai 50 sentimeter. Ada beberapa alat yang dapat digunakan untuk membuat peta semacam ini, seperti peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), foto udara, Light Detection and Ranging (Lidar), dan Citra Satelit Resolusi Tinggi (CSRT). Maka dari itu, BIG menjalin kerja sama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sebagai penyedia citra penginderaan jauh. Pengadaan citra satelit tersebut telah dimulai sejak 2015, yakni menggunakan satelit produk Airbus (Pleiades) dan Digital Globe (World View 2, Quickbird, dan lainnya).
Meski sudah didukung berbagai teknologi yang mumpuni, Kepala BIG, Priyadi Kardono mengaku masih ada sejumlah kendala yang menghambat pembuatan peta, yakni ketersediaan data dasar, anggaran, dan sumber daya manusia. Anggaran dibutuhakan untuk melakukan penyediaan data dasar, dari pengadaan citra, pemrosesan citra, dan proses pemetaan di lapangan. Priyadi Kardono Kepala BIG
Data mentah CSRT yang dibuat LAPAN belum langsung dapat digunakan untuk melakukan pemetaan. “Gedung yang tinggi kalau diambil citranya miring kan jadi terlihat roboh. Nah itulah tugas BIG untuk mene-
gakkan bangunan atau kontur alam yang tidak pas, ujar Priyadi. Namun untuk menegakkan citra, diperlukan titik kontrol di lapangan atau Ground Control Point (GCP). Di sinilah sumber daya manusia dalam jumlah besar diperlukan. Untuk menyiasatinya, BIG tengah menjalin kerja sama serius dengan berbagai universitas, dari Universitas Syiah Kuala, Universitas Negeri Padang, Universitas Lampung, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gajah Mada, Universitas Haluoleo, dan masih banyak lagi. “Tenaga ahli dari universitas ini akan menjadi kepanjangan tangan BIG. Kita minta mereka membuat pelatihan atau sertifikasi agar orang-orang di daerah menjadi lebih paham soal teknologi spasial,” jelas Priyadi.
Ó
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 56 Tahun 2015 tentang Jumlah dan Kode Wilayah Desa dan Kelurahan sejumlah 74.754 Desa serta 8.430 Kelurahan
Ó
Lokasi Peta Batas Wilayah Desa yang telah dipetakan oleh Pusat Pemetaan Batas Wilayah-BIG dalam kurun waktu tahun 2013 – 2015
Saat ini ketersediaan CSRT di BIG berdasarkan pengadaan data raw CSRT tahun 2016 oleh LAPAN adalah seluas 942.639 km2 atau sekitar 50 persen dari luas wilayah darat Indonesia, yakni 1.890.739,36 km2. Sedangkan luas data CSRT yang telah ditegakkan adalah 23.575,8 km2 atau sekitar 1,25 persen dari luas wilayah darat NKRI. Beberapa desa yang sudah dibuat sesuai spesifikasi penyajian peta desa dan menjadi purwarupa adalah Desa Gondangwinangun (Kabupaten Temanggung), Desa Kayuambon, Desa Lembang, Desa Langensari (Kabupaten Bandung Barat), Desa Petungasri (Kabupaten Pasuruan), dan Desa Parangtritis (Kabupaten Bantul). Peta yang sudah jadi ini terbagi menjadi tiga jenis, yakni peta citra, peta sarana dan prasarana, serta peta penutup dan penggunaan lahan. Ketiga peta sama-sama menampilkan unsur toponim, infrastruktur transportasi, perairan, sarana, dan batas wilayah administrasi. Hal yang membedakan adalah fungsi dan fitur tambahan masing-masing peta. Misalnya pada Peta Sarana dan Prasarana, tentu elemen yang lebih detail dan menonjol adalah infrastrukturnya. Tujuannya, agar pejabat yang berwenang bisa mengambil keputusan jalan manakah yang perlu diaspal atau bagian mana yang perlu dibuat irigasi.
Sementara pada Peta Penutup Lahan dan Penggunaan Lahan akan terlihat bagian mana desa yang berupa hutan, sawah, atau semak belukar. Dengan begitu proses pembuatan izin atau pendataan bisa dilakukan tanpa perlu terjun ke lapangan. Jadi kalau peta desa sudah tergambarkan dengan lengkap, semua perencanaan tata ruang tentu dapat dibuat dengan cepat dan akurat. Priyadi memberikan ilustrasi, “Pak Lurah punya gambaran apakah sawahnya perlu dialihfungsikan atau dipertahankan, konflik dengan perusa-
haan tambang bisa dihindari, perseteruan tentang batas desa juga bisa dicegah.” Peta desa menjadi data vital yang dapat digunakan oleh semua lembaga yang ingin membangun negeri dari pinggiran. “Jika beberapa desa sudah dipetakan, satu kecamatan sudah selesai, beberapa kecamatan selesai berarti satu kabupaten selesai. Begitu seterusnya sampai tingkat provinsi dan nasional. Dengan peta ini, Indonesia mau jadi apa dan diapakan akan terlihat dengan jelas,” ujar Priyadi bersemangat. l
Agustus 2016
31
Info Desa
Tokoh
Tokoh
Sistem Informasi Desa ala Kertamalip
menyampaikan kabar desa lewat blog, lalu website, hingga merambah ke jejaring sosial yang populer, seperti Facebook dan Twitter. Kabar yang disampaikan tentu masih seputar kondisi dan hal-hal yang terjadi di Desa Karang Bajo. Misalnya program pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK), produk usaha desa berupa kain tenun tradisonal Bayan, hingga laporan keuangan desa. Semuanya tersaji secara rapi dan enak dibaca di blog, web, dan media sosial Desa Karang Bajo. Namun sepak terjang Kertamalip di dunia maya bukannya tanpa kendala. Ayah tiga anak ini mengeluhkan kurangnya tenaga jurnalis warga yang mampu dan bersedia mengisi berbagai portal online di desanya. Selama ini Kertamalip hanya dibantu oleh operator Sistem Informasi Desa (SID) dalam menulis dan mengunggah berita. Oleh karena itu, Kertamalip mengundang warganya untuk turut aktif mencari berita dan menyumbangkan tulisannya. “Saya ingin masyarakat desa tidak hanya menjadi pembaca dan pengakses Internet, melainkan juga memiliki inisiatif membangun desa lewat teknologi,” ujarnya berharap.
Ó
Tampilan website Desa Karang Bajo
Desa Karang Bajo kerap menjadi sorotan karena keberhasilannya dalam mengoptimalkan penerapan teknologi informasi.
32
Info Desa
Agustus, 2016
S
ejak pertama dibuat, siaran radio Primadona FM senantiasa menjadi sumber informasi warga Desa Karang Bajo, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara. Siapa sangka desa yang berada di kaki Gunung Rinjani ini bisa mempunyai studio radio sendiri. Inilah awal kiprah Kertamalip, salah satu warga yang turut bergotongroyong membuat Primadona FM, sekaligus menjadi penyiarnya. Pengalaman menyiarkan informasi menjadi bekal Kertamalip ketika men-
jabat sebagai Kepala Desa Karang Bajo pada 2004. Bahkan Bang Ardes, nama beken Kertamalip ketika siaran, masih setia menyiarkan berita lokal dan tembang sasak saat menjabat sebagai kepala desa. Ketika studio radio sering rusak, barulah ia beralih pada teknologi yang dapat menjangkau lebih banyak orang, Internet. Tak hanya memanfaatkan hadirnya jaringan Internet di Lombok Utara dengan optimal, Kertamalip juga terus membarui media yang digunakan sesuai perkembangan teknologi informasi. Dari
Ó
Kertamalip, saat menjadi penyiar di Primadona FM
Apalagi kini sepak terjang Kertamalip di bidang Sistem Informasi Desa telah dikenal hingga ke level nasional. Dengan begitu, pemerintah pusat dan perusahaan penyedia layanan telekomunikasi mulai memberikan apresiasinya, baik berupa penghargaan maupun penguatan jaringan Internet di pedesaan. Salah satunya terlihat dari penghargaan Anugerah Telkomsel yang diterima Kertamalip dan 20 tokoh lainnya pada perayaan ulang tahun Telkomsel ke-21 Mei lalu. Dalam sambutannya, Ririek Adriansyah, Direktur Utama Telkomsel menegaskan pentingnya penggunaan teknologi informasi di daerah pelosok. “Kita sudah membangun infrastruktur sampai ke daerah pelosok supaya masyarakat Indonesia bisa terhubung,” ujarnya. l
Agustus 2016
33
Info Desa
Tokoh
Meninjau Karang Bajo Lewat Jagat Maya
D
isiplin dan ketelatenan amat diperlukan untuk mengelola sebuah akun media sosial, apalagi sebuah situs resmi pemerintahan. Jika tidak, konten yang tersaji akan menjadi membosankan karena jarang diperbarui atau memang kurang menarik. Sepertinya Kertamalip mengerti benar pola manajemen sistem informasi ini. Berbagai situs dan akun jejaring sosial Desa Karang Bajo tampak selalu upto-date dan memperoleh banyak respons atau kunjungan. Padahal tidak sedikit portal berita dan akun yang harus ia kelola. Berikut ini beberapa diantaranya.
Blog
Alamat: desakarangbajo.blogspot.co.id Blog menjadi awal perkenalan Desa Karang Bajo dengan teknologi informasi. Blog ini berisi berita dan kegiatan yang dilakukan oleh warga desa, antara lain program rehabilitasi rumah adat, aktivitas bercocok tanam, sampai berita tentang kebakaran rumah warga.
Website
Alamat: karangbajo-lombokutara.sid.web.id
34
Info Desa
Agustus, 2016
Sesuai Undang-Undang Desa nomor 6 tahun 2014, desa berhak mendapatkan akses informasi melalui Sistem Informasi Desa yang dikembangkan oleh pemerintah daerah kabupaten atau kota. Karang Bajo pun bergegas mengembangkan website dengan domain web.id. Situs ini memiliki 12 kanal, seperti profil desa, data desa, berita desa, produk desa, hingga laporan desa.
Facebook
Nama akun: Desa Karang Bajo, Bang Ardes Desa Karang Bajo adalah akun resmi desa, sedangkan Bang Ardes adalah akun pribadi Kertamalip. Meski demikian, sebagian besar status di akun sang kepala desa tetap saja berisi tentang Desa Karang Bajo. Sejumlah warga justru tampak lebih nyaman berinteraksi langsung dengan kepala desanya di akun Bang Ardes.
Tokoh
Meski telah memperoleh sejumlah pencapaian, Kertamalip mengaku belum puas. Ia berharap agar pemerintah dapat memberikan dukungan lebih, misalnya berupa penguatan infrastruktur digital atau pelatihan sumber daya manusia. “Semoga langkah saya di Desa Karang Bajo dapat menginspirasi desa-desa lainnya agar ikut beraksi untuk negeri lewat teknologi,” pungkasnya. l
Twitter
Nama akun: @karangbajo Akun Twitter Desa Karang Bajo baru dibuat pada Desember 2015 lalu sehingga belum memiliki banyak aktivitas. Hal ini juga dikarenakan jejaring sosial Facebook masih jauh lebih disukai oleh warga desa Karang Bajo. Meski demikian, administratornya rajin membagikan tautan berita yang berasal dari situs resmi karangbajolombokutara.sid.web.id. Aktifnya Kertamalip dan Desa Karang Bajo di dunia maya tersebut telah membuatnya mendapatkan sejumlah penghargaan, antara lain Kepala Desa Pelopor Good Governance dalam Pengelolaan Keuangan Desa (2015), Kepala Desa Berprestasi Bidang Informasi Desa (2013), Kader Lestari Bidang Kesehatan dari Kementerian Kesehatan RI, dan Penghargaan Pelita Nusantara yang diserahkan Wakil Presiden Boediono (2013).
Agustus, 2016
35
Info Desa
Desa Maju
Desa Maju
DESA WISATA, DESA PENGLIPURAN BALI
Maju Bersama Nenek Moyang Desa Penglipuran hanyalah sebuah desa yang ingin mempertahankan kebudayaan nenek moyang leluhur. Nama Penglipuran berasal dari kata pengeling dan pura yang berarti mengingat tempat suci (para leluhur). Desa yang berada di ketinggian 700 mdpl ini tercatat memiliki 985 jiwa dalam 234 keluarga. Mereka tersebar di 76 pekarangan yang terbagi rata di setiap sisinya dari total wilayah seluas 112 hektar. Berbeda dengan wisata umumnya di Bali yang dominan dengan pantai, di Desa Penglipuran menyuguhkan keindahan pedesaan yang sangat jauh dari hiruk pikuk arus lalu lintas peradaban yang sangat modern.
Keelokan Penglipuran menjadi bentuk nyata bagaimana pembangunan desa bersinergi dengan alam dan kearifan lokal.
36
Info Desa
Agustus, 2016
D
i sudut Kabupaten Bangli, Provinsi Bali masih segar terpapar desa adat yang sangat kental akan kearifan lokal. Desa yang dikenal dengan nama Penglipuran ini masyarakatnya masih menjunjung tinggi dan memegang teguh adat dan budaya Bali. Desa Penglipuran merupakan salah satu desa adat di Bali yang berkembang menjadi desa wisata yang sangat ramai dikunjungi para wisatawan baik lokal maupun mancanegara.
Awalnya sekitar tahun 1990 ketika Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa Udayana meninggalkan jejak pembangunan taman-taman kecil dan penataan lingkungan. Kemudian berangkat dari sini, sesepuh dan para pemuda bersama perwakilan dari pemerintah daerah dan kota bermusyawarah untuk mengembangkan potensi pariwisata yang ada di Desa Adat Penglipuran. Hingga pada 1993 ditetapkan sebagai Desa Wisata Penglipuran dengan Surat Keputusan (SK) Bupati No.115 tanggal 29 April 1993. Saat memasuki area Desa Adat Penglipuran kita akan melihat jalan utama yang membelah desa dengan deretan gerbang ataupun pintu masuk menuju rumah-rumah adat di Panglipuran ini. Rumah-rumah terbuat dari batu alam yang dihiasi rerumputan di sepanjang jalan perumahan. Deretan pohon Kamboja
Bali di kanan dan kiri jalan juga menambah keindahan desa ini. Pintu masuk di setiap rumah pun di desain dengan bentuk yang serupa yang biasa disebut angko-angko. Tiap-tiap gerbang rumah di sini ditempeli tulisan keterangan nama pemilik rumah dan anggota keluarganya agar memudahkan pengunjung mengenali pemilik rumah. Jalan utamanya terus menanjak disertai dengan undak-undakan dan di ujungnya terdapat pura. Di dalam rumah beberapa pengrajin membuat beragam kerajinan khas Bali. Uniknya, para pengrajin tidak menjual hasil kerajinan di sepanjang jalan desa wisata ini namun menjualnya di
dalam rumah. Tidak diperbolehkan untuk menjual kerajinan di sepanjang jalan supaya desa wisata ini akan tetap terjaga kerapian dan keasriannya. Komitmen dalam menjaga kebudayaan nenek moyang bukan berarti menolak peradaban. Desa Penglipuran ini sangat menghargai kebudayaan. Buktinya, desa ini pernah mendapatkan penghargaan Kalpataru dan mendapat predikat sebagai desa terbersih di dunia. Di awal peresmiannya sebagai desa wisata, Penglipuran mendapatkan penghargaan Kalpataru sebab masyarakat setempat dianggap mampu menyelamatkan lingkungan. Mereka mampu mempertahankan dan memelihara 75 hektar hutan bambu dan 10 hektar vegetasi lainnya yang menjadi ciri khas Desa Penglipuran. Selain itu, masyarakat di desa ini juga mampu mempertahankan adat budaya para leluhur dan juga tata kota serta bangunan tradisionalnya. Hal inilah yang membuat Penglipuran diganjar dengan Kalpataru pada 1995. Tak hnaya pengakuan secara nasional, Desa Penglipuran memperoleh penghargaan dari TripAdvisor berupa The Travellers Choice Destination 2016. Desa Penglipuran dinobatkan sebagai desa terbersih di dunia bersama desa Desa Terapung Giethoorn di Provinsi Overijssel Belanda, dan Desa Mawlynnong yang ada di India. l
Agustus, 2016
37
Info Desa
Desa Maju
Desa Maju
Dan uniknya, setiap perhiasan paling tidak punya 40 model sehingga memberikan beragam variasi pilihan sesuai selera.
DESA SENTRA KERAJINAN, DESA CELUK BALI
Buah Karya Desa yang Mendunia Kesan yang paling menonjol adalah melihat keindahan hasil kerajinan emas perak yang khas dan bagaimana prosesnya.
Desa Celuk. Selain itu juga bisa menemukannya di Pasar Kumbasari yang merupakan pasar tradisional terbesar dan terlengkap di Denpasar. Bahkan di kawasan wisata seperti Kuta, Nusa Dua, Ubud, Kintamani dan Sanur, perhiasan khas Celuk juga bisa didapatkan.
B
ali yang dikenal sebagai Pulau Dewata dianugerahi alam yang mempesona yang begitu menarik perhatian dunia. Sang Dewata menganugerahi Bali dengan pantai, gunung, hingga budaya yang unik dan beda. Selain kondisi alam yang penuh pesona, buah karya tangan masyarakat Bali juga mampu menarik perhatian orang luar Bali untuk menikmati. Seperti yang dihasilkan oleh Desa Celuk di Kabupaten Gianyar ini. Desa Celuk merupakan desa pengrajin emas dan perak di Bali dengan hampir semua penduduknya berprofesi sebagai pengerajin emas dan perak. Berada di Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, kira-kira butuh waktu satu jam perjalanan dari Bandara Ngurah Rai melalui By Pass Ngurah Rai ke arah timur untuk mencapai Desa Celuk. Di sepan-
38
Info Desa
Agustus, 2016
jang jalan, jejeran art shop menyuguhkan beragam kerajinan emas dan perak. Sebagai desa obyek wisata, Desa Celuk dapat dikunjungi setiap hari untuk melihat dari dekat para seniman yang sedang berkreasi membuat perhiasan emas dan perak yang bermutu tinggi. Di sini kita juga bisa membeli langsung perhiasanperhiasan yang dipajang langsung di workshop para seniman. Dalam berkarya, sebagian warga Desa Celuk masih ada yang menggunakan metode tradisional dalam pembuatan
beragam perhiasan tersebut. Namun sebagian yang lain pun sudah memakai metode modern ataupun menggabungkan kedua metode untuk membuat perhiasan sebagaimana yang dijual di toko. Dan di toko atau art shop tersebut kita bisa menyaksikan sebagian atau keseluruhan proses pembuatan perhiasan yang dikerjakan tangan-tangan terampil warga Desa Celuk. Tak hanya dijual di art shop, beragam perhiasan khas Celuk bisa ditemukan di sentra penjualan kerajinan Pasar Sukawati yang hanya berjarak 3 km dari
Hasil kerajinan emas dan perak yang dihasilkan di desa Celuk memiliki kualitas yang bermutu tinggi serta mampu memproduksi dalam kuantitas yang besar. Hampir semua keluarga dan penduduk Desa Celuk terampil dan seni dalam mengembangkan kreasi desain dan variasi terkait dengan kerajinan emas dan perak dimana hasil produksinya telah memasuki pasar lokal, nasional, dan internasional. Beragam jenis kreasi dan variasi perhiasan, baik sebagai cendramata maupun komoditi ekspor diproduksi di desa ini seperti cincin, gelang, kalung, anting-anting, giwang, bross dan berbagai jenis perhiasan lainnya.
buatannya. Dari yang murah seperti liontin seharga sekitar Rp 35.000 hingga yang mahal bisa sekitar Rp 12 juta untuk hasil kerajinan berupa miniatur kapal layar. Dari pergerakan roda ekonomi dan perdagangan seharihari, kerajinan paling laris adalah perhiasan yang rata-rata harganya tidak sampai Rp 1 juta seperti liontin dan cincin. Harga tiap jenis perhiasan juga tergantung modelnya.
Desa wisata Celuk mulai dikenal sebagai daerah pengrajin perak sejak 1976. Alkisah, pada waktu itu hanya ada 3 pengrajin perak di desa tersebut. Mereka membuat kerajinan perak yang kemudian memajangnya di depan rumah. Ketika perkembangan kepariwisataan mulai terasa di Bali dan dengan banyaknya wisatawan-wisatawan yang berdatangan ke Pulau Dewata, akhirnya bermunculan pengrajin-pengrajin perak baru yang mengikuti langkah dari ketiga pengrajin tersebut. Akhirnya warga Desa Celuk lainnya yang semula bermata pencaharian sebagai petani beralih menjadi pengrajin perak dan hingga kini hampir seluruh dari warga desa hidup dari kerajinan perak. Desa Celuk pun tumbuh dan bertahan sebagai desa yang bisa menopang kehidupan dengan kreasi-kreasi warganya yang terus berkembang. l
Untuk harga kerajinan sendiri bergantung jenis dan tingkat kesulitan pem-
Agustus, 2016
39
Info Desa
Desa Maju
Desa Maju
SISTEM PERTANIAN TERINTEGRASI BALI
Pulau Dewata Memajukan Desa lewat Simantri
Simantri mengintegrasikan kegiatan sektor pertanian dengan sektor pendukungnya baik secara vertikal maupun horizontal sesuai potensi masing-masing wilayah dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada. Inovasi teknologi yang diintroduksikan berorientasi untuk menghasilkan produk pertanian organik dengan pendekatan pertanian tekno ekologis. “Saya memiliki impian, Bali menjadi pulau organik. Karena dengan memproduksi pupuk organik akan menjadikan Bali sebagai pulau ramah lingkungan,” harap Gubernur Mangku Pastika. Integrasi yang dilaksanakan dalam Simantri berorientasi pada usaha pertanian tanpa limbah (zero waste) dan menghasilkan 4 F (food, feed, fertilizer, dan fuel). Gubernur Mangku Pastika mengungkapkan di dalam Simantri limbah kotoran sapi baik padat dan cair langsung dipisahkan guna diolah dan dijadikan biourine, biogas dan pupuk organik. “Dari hasil pengolahan limbah tersebut, bisa digunakan untuk tanaman pertanian dan menghasilkan produk-produk unggulan, serta mampu mengubah penghasilan petani di desa tersebut,” paparnya. Sistem inipun menuai pujian dari Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. Saat meninjau unit Simantri Kelompok Tani Sapta Kerta Buana di Desa Bangli, Tabanan, pada 6 Mei 2016, Wapres JK memberikan apresiasi pada keberhasilan sistem pertanian ramah lingkungan yang mengadopsi zero waste system. Dari dialog dengan petani Wapres mendapati data bahwa pupuk
Mengintegrasikan kegiatan sektor pertanian dengan sektor pendukungnya baik secara vertikal maupun horizontal sesuai potensi.
40
Info Desa
Agustus, 2016
K
eragaman kondisi geografis di Provinsi Bali merupakan nilai tambah. Bali punya laut, pantai, hingga gunung. Tanah yang subur di Bali pun menjamin produksi hasil pertanian yang unggulan. Tanpa mengesampingkan kearifan lokal dalam menjaga kelestarian alam, pertanian di Bali pun terus dikembangkan.
Gubernur Bali I Made Mangku Pastika menjelaskan bahwa pertanian di Bali bergerak dengan penerapan Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri) yang memadukan teknologi dengan pertanian. Sistem pertanian terintegrasi adalah upaya terobosan dalam mempercepat adopsi teknologi pertanian karena merupakan pengembangan model percontohan dalam percepatan alih teknologi kepada masyarakat pedesaan.
organik dapat mengurangi pengeluaran pembelian pupuk serta tanah pertanian menjadi lebih subur. Untuk menunjang keberlangsungan sistem ini, Wapres mengingatkan agar petani memiliki konsep dalam meningkatkan populasi sapi dengan harapan mendapatkan pupuk yang murah dan mampu berhenti mengimpor sapi pada masa depan. Program Simantri ini menjadi satu solusi untuk mencapai tujuan ini. Memberikan penjelasan lebih dalam, Mangku Pastika mengungkapkan bahwa dalam mengembangkan Simantri, kelompok tani juga bekerjasama dengan Fakultas Teknik Universitas Udayana. Hal ini bertujuan supaya biogas yang dihasil-
Tak hanya memiliki nilai ekonomi, Simantri juga mampu menggerakkan roda sosial. “Program Simantri juga berhasil membangkitkan kemauan generasi muda di daerah tersebut, untuk mau berternak sapi, dan dengan Simantri
kan Simantri dapat digunakan di rumahrumah anggota kelompok tani Simantri, baik untuk keperluan rumah tangga maupun sumber energi penerangan di rumah.
juga menumbuhkan lagi nilai-nilai gotong royong di daerah tersebut,” papar Mangku Pastika. Dalam prakteknya, Simantri merupakan sistem pertanian yang setiap unitnya senilai 225 juta rupiah. Dalam sistem tersebut di dalamnya terdiri dari 20 sapi betina, kandang koloni sapi, serta sistem pengolahan sapi itu sendiri. Kelompok tani yang mengaplikasinya mendapatkan bantuan dana dari Pemerintah Provinsi Bali. Program yang dibiayai pemerintah provinsi ini bertujuan menjaga ketahanan pangan dan memenuhi kebutuhan daging sapi. Selain itu Simantri membantu setiap anggota kelompok tani dengan menambah pendapatan hariannya rata-rata menjadi 30 ribu rupiah setiap hari. l
Agustus, 2016
41
Info Desa
Jentera
Jentera
Peran Vital Konservasi di Desa Batuah Kerusakan alam di sekitar desa menjadi faktor utama yang memperlambat pertumbuhan ekonomi masyarakat.
S
ungai merupakan bentang alam yang menjadi sumber penghidupan manusia. Jadi wajar jika pola pemukiman Desa Batuah berbentuk memanjang mengikuti kontur aliran Sungai Mentaya. Namun anehnya, desa yang berada di Kecamatan Seranau Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah ini sering kekurangan air bersih. Tak hanya menjadi sumber air minum, mandi, cuci, dan kakus, Sungai Mentaya merupakan akses utama masyarakat Desa Batuah menuju perkotaan. Ini be-
rarti perannya begitu besar untuk menjaga aspek kesehatan dan perekonomian masyarakat. Sayangnya, kualitas air Sungai Mentaya kurang memenuhi standar untuk dijadikan air minum. Karena itu warga sering menampung air hujan sebagai alternatif pemenuhan kebutuhan air minum. Menurut Miftah Ayatussurur, salah satu anggota Ecology and Conservation Center for Tropical Studies (Ecositrop), meski keruh, mau tidak mau air Sungai Mentaya menjadi sumber penghidupan sehari-hari warga. Warga mengambil air memakai
Indeks Des a Membangu n:
0,49067
ember atau lewat instalasi pipa. Setelah itu air ditampung di bak atau tong yang disebut tajau. Air diberi penjernih air atau tawas lalu dibiarkan mengendap minimal selama dua hari. Setelah itu, barulah air dimasak untuk berbagai kebutuhan. Buruknya kualitas air sangat mungkin disebabkan oleh kondisi alam di sekitar desa yang sudah rusak. Warga Tenggarong, Kalimantan Timur, Hanafi Efendi mengungkapkan, awalnya Desa Batuah dikenal sebagai sentra perkebunan lada. Selain menjadi petani lada, ada pula pedagang, peternak, dan pengusaha tanaman hias.Namun sejak diterbitkanya Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Batuah, jumlah perkebunan lada semakin sedikit karena banyak yang dijual ke perusahaan tambang. Selain itu, kasus kebakaran hutan dan semak sangat sering menyambangi Desa Batuah. Pada Oktober 2015 misalnya, terjadi kebakaran selama 3,5 jam yang menghanguskan 3,5 hektare lahan. Peristiwa ini menambah daftar panjang jumlah
42
Info Desa
Agustus, 2016
Status:
Sangat Tert inggal Referensi:
kaltim.prok al.co
kejadian kebakaran. Sedikitnya, ada enam kasus kebakaran lahan dalam sebulan. Untuk mengatasinya, Polsek Loa Janan bekerja sama dengan TNI, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM), Dinas Kehutanan, dan dinas terkait mendirikan posko bencana. Lokasinya berada di Pos Sub Sektor Tahura, Jalan SoekarnoHatta Kilometer 31, Desa Batuah.
Komitmen Melestarikan Alam Demi menangani masalah kerusakan lingkungan tersebut, pemerintah desa
hingga kabupaten bekerja sama dengan Yayasan Puter Indonesia United States Agency for International Development (USAID) menggagas Kesepakatan Konservasi Alam (KKA). Melalui komitmen bersama ini, warga diharapkan untuk beramai-ramai menjaga alam lingkungan Desa Batuah dari kehancuran. KKA ditandatangani pada 2013 dan masih terus berjalan hingga sekarang. Terbukti pada Maret 2016 lalu, diadakan Sosialisasi Pencegahan dan Penanggulangan Karhutla di desa-desa se-Kecamatan Seranau. Arwin Mangaraja Harahap yang bekerja di Yayasan Puter Indonesia mengungkapkan, “Adapun maksud dan tujuan sosialisasi ini adalah menginformasikan mengenai bahaya dan dampak kebakaran terhadap lingkungan dan hajat hidup manusia.” Dengan program pelestarian alam yang berkelanjutan, harapannya masyarakat desa dapat merasakan kehidupan yang layak dan mengusahakan peningkatan perekonomian. l
Agustus, 2016
43
Info Desa
Jentera
Jentera
nya, Desa Teupin Raya masih berstatus desa sangat tertinggal. Di tengah dinamika pembangunan desa, Teupin Raya menemui beberapa masalah. Dari fakta yang ditemukan mahasiswa Universitas Syiah Kuala dalam program KKN, aspek pendidikan memegang peranan penting dalam menghambat kemajuan Desa Teupin Raya. Masyarakat berusia produktif di Teupin Raya umumnya berpendidikan paling tinggi SMA/ MAN. Banyak pemuda-pemudi yang tidak melanjutkan pendidikannya hingga perguruan tinggi. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kondisi ekonomi, kurangnya motivasi, hingga minimnya kesadaran akan pentingnya pendidikan akademik maupun non akademik. Selain itu, kendala lain di bidang pendidikan adalah masih terbatasnya infomasi dikarenakan akses teknologi informasi dan telekomunikasi yang belum memadai.
DESA TEUPIN RAYA
Perlu Ditegaskan Pentingnya Pendidikan dan Kesehatan Kurangnya kesadaran akan potensi menjadi penghambat serius untuk bergerak maju.
44
Info Desa
Agustus, 2016
D
esa atau Gampong Teupin Raya berjarak sekitar 105 kilometer dari Banda Aceh. Dilihat dari kondisi geografisnya, Desa Teupin Raya yang masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Batee, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh ini memiliki area persawahan, pertanian, sungai, dan rawa yang potensial, strategis, dan subur.
(Periode 9 Tahun 2015) di Gampong Teupin Raya, potensi desa berpenduduk sekitar 715 jiwa dari 183 Kepala Keluarga ini adalah komoditas padi dan bawang merahnya. Selain bawang merah, produk lain yang berpotensi tumbuh subur di Teupin Raya adalah kedelai, kacang tanah, kacang hijau, kacang merah, ubi kayu, cabai, tomat, dan perkebunan kelapa serta bambu.
Seperti yang diungkap dalam laporan pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
Dengan potensi yang cukup besar tersebut sudah selayaknya jika Desa Teupin Raya mampu mandiri. Namun realita-
Dalam pergerakan roda ekonomi, masyarakat belum menggali secara penuh potensi yang ada. Lahan yang ada belum dimanfaatkan secara optimal baik dalam pengolahan maupun usaha untuk meningkatkan nilai tambah. Kondisi dengan banyaknya pengangguran dan minimnya lapangan pekerjaan turut mempengaruhi perputaran kondisi ekonomi masyarakat. Untuk pelayanan kesehatan, Teupin Raya juga masih kurang. Terindikasi dari tidak adanya Puskesmas sehingga jika masyarakat ingin berobat harus pergi ke Polindes (Poliklinik desa) dengan perlengkapan medis yang terbatas. Kurangnya kepedulian akan kebersihan lingkungan juga menyebabkan masyarakat mudah terserang penyakit seperti tifus.
Sinergi dalam Membangun Berbagai masalah yang dihadapi Teupin Raya bukan tanpa solusi. Namun, untuk membangun desa menuju mandiri tak
sa Indeks De : n u g Memban
0,49064 Status:
Sangat Tertinggal
bisa sendiri. Hal ini juga ditegaskan oleh Presiden Jokowi bahwa dalam membangun desa arus ada sinergi dan gotong royong antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi dan kabupaten serta stakeholder lainnya seperti BUMN, pihak swasta dan masyarakat, baik itu petani, nelayan, pelaku UKM dan lainnya.
Program KKN seperti yang dilakukan Universitas Syiah Kuala turut berperan dalam sinergi pembangunan desa. Melihat anak-anak desa yang kurang memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar, dalam KKN diselipkan program pemberian les. Selain itu juga memberi pelatihan dan pengertian pada masyarakat akan arti pentingnya pendidikan dan kesehatan. Dalam hal infrastruktur, perbaikan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) difokuskan untuk bisa mendukung kegiatan keseharian warga Teupin Raya. Dengan keberadaan PLTD diharapkan menjadi penopang kegiatan produktif di Teupin Raya. l
DESA TEUPIN RAYA http://webblogkkn.unsyiah.ac.id/teupinraya9/teupin-raya/ http://teupinraya.blogspot.co.id/
Agustus, 2016
45
Info Desa
Jentera
Jentera
Hal tersebut tak membuat warga Desa Talau putus harapan. Masyarakat meminta supaya DAS (Daerah Aliran Sungai) anak sungai itu dihijaukan kembali oleh perusahaan sehingga produksi ikan bisa lebih diandalkan. Mereka juga Mendesak untuk segera didirikan Kebun Pola KKPA untuk Masyarakat Desa Talau.
Tanggung Jawab Sosial di Desa Talau Sinergi segala pihak diperlukan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan kesejahteraan sosial.
D
esa Talau yang dilewati dua aliran anak sungai memberikan ekosistem yang pas untuk pepohonan rindang dan tanaman buah-buahan. Tak hanya menyuburkan, kedua sungai itu juga mampu mendukung kebutuhan sumber protein dari ikan yang bisa dipancing. Seiring maraknya industri kelapa sawit, beberapa bagian wilayah Desa Talau pun dijadikan perkebunan kelapa sawit. Seyogyanya, hadirnya perusahaan berskala besar tersebut dapat memicu desa di Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau ini untuk mengembangkan potensinya. Namun kini kondisinya justru memprihatinkan.
46
Info Desa
Agustus, 2016
Warga juga berharap kepada perusahaan mau menyalurkan aliran listrik perusahaan ke Desa Talau. Saat ini warga hanya mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang tentunya kurang mencukupi.
Tidak tampak perbaikan ekonomi desa dengan penghuni kurang lebih 80 kepala keluarga ini. Rumah warga yang terbuat dari papan dengan ukuran kecil baik itu bangunan baru maupun bangunan lama sangat mendominasi dibandingkan rumah permanen. Infrastruktur umum, baik jalan maupun fasilitas umum masih minim. Tak heran jika desa ini masih masuk dalam kategori desa sangat tertinggal. Hal ini kontras dengan lingkungan perkebunan yang mengelilingi Talau. Jalan mulus di dalam perkebunan dan tersedia aliran lisrik yang stabil di kompleks perumahan karyawan perusahaan.
Untuk melepaskan kondisi memprihatinkan dari Desa Talau ini perlu sinergi antara stakeholder baik pemerintah maupun pihak swasta. Regulasi yang tegas pada para pengguna lahan diyakini mampu membantu kondisi perekonomian masyarakat asli yang lebih dulu tinggal di dalam area usahanya. l
“
Yang menerima KKPA cuma warga yang memiliki lahan. Saat ini sekitar 50 Kepala Keluarga menerima KKPA dengan luas lahan seluas 10 Hektar.
Untuk memutar roda ekonomi, warga Talau cukup kesulitan, apalagi yang tidak punya lahan dan hanya tergantung dari menangkap ikan di sungai. Program Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA) dengan sistem bagi hasil yang sedianya dijalankan perusahaan sawit diakui tidak berjalan. “Yang menerima KKPA cuma warga yang memiliki lahan. Saat ini sekitar 50 Kepala Keluarga meneri-
”
Arisman Tokoh pemuda Talau
ma KKPA dengan luas lahan seluas 10 Hektar,” ucap Arisman, salah satu tokoh pemuda Talau.
Secercah Harapan
Indeks De s Membang a un:
0,49061 Status:
Sangat Tertingga l
Rawin, mantan Kepala Desa Talau menerangkan bila di lokasi perusahaan sawit ada dua anak sungai yang nyaris mati, yaitu Sungai Pagai dan Sungai Pabadean. Dulunya kedua anak sungai tersebut lebar, dalam, dan airnya sangat jernih. Kedua sungai merupakan sumber mata pencaharian warga untuk mencari ikan. Sekarang aliran kedua anak sungai itu telah dangkal dan kotor oleh aktivitas perusahaan.
Agustus, 2016
47
Info Desa
Transmigrasi
Transmigrasi
Bila Bendungan Pelambik Tidak Jadi Dibangun
S
Uju sempat berpindah lokasi tempat tinggal sebelum akhirnya pada 2005, seiring pembukaan tahap kedua UPT Mekar Sari, dia bersama keluarganya memutuskan pindah ke Dusun Padasan yang dihuni 70 Kepala Keluarga (KK). “Dulu waktu masih tinggal di Desa Kabul, saya punya tanah 2 hektare. Sebagian sudah saya jual, sebagian lagi terendam air Bendungan Pelambik,” katanya mengenang. Kini, di UPT Mekar Sari, dia
48
Info Desa
Agustus, 2016
“Jika tanaman padi kami tidak kami jaga, dalam satu malam bisa langsung habis dimakan babi,” ujarnya. Sekali datang, kata Durme, jumlah babi hutan yang turun dari Gunung Bile Tengak yang berjarak sekitar 1 kilometer dari permukiman transmigrasi, mencapai 2-3 ekor. “Besar-besar babinya. Jika digotong butuh 4 orang.” Selama berjaga, Durme mengaku memilih tidak tidur. “Kalau ketiduran, babibabi itu tetap datang dan menghancurkan sawah. Kami juga tidak boleh terlalu asyik mengobrol tetapi harus tetap patroli mengelilingi sawah. Babi takut kalau ada orang, tapi kalau sepi tidak ada suara orang, babi-babi itu tetap akan terus makan tanaman padi kami,” ucapnya.
Pendapatan ekonomi warga meningkat setelah pindah ke permukiman transmigrasi, meski masih menghadapi sejumlah persoalan, salah satunya kurangnya pasokan air.
eandainya Bendungan Pelambik di Lombok Tengah tidak jadi dibangun, Uju Hardi (45) dan keluarganya masih tinggal di Desa Kabul. Namun, pembangunan bendungan tidak bisa ditunda-tunda lagi dan pada 16 Oktober 1994, Presiden Soeharto meresmikan beroperasinya bendungan tersebut.
Durme dan warga Dusun Jogor yang lain memang menghadapi persoalan yang sama, yaitu hama babi hutan yang merusak tanaman padi mereka. Setiap malam Durme kembali lagi ke sawah untuk menjaga padi-padinya yang baru saja ditanam supaya tidak dimakan babi.
mendapatkan bagian tanah seluas 1 hektare. “Sekarang tinggal di sini lebih enak. Dulu meskipun punya tanah luas, tapi penghasilan yang saya peroleh tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga,” ujarnya. Di lahan seluas 1 hektare, Uju menanam rupa-rupa tanaman. Dari padi, jagung, kedelai, jambu mete, sampai kayu mahoni. “Pendapatan saya sekarang mencapai Rp 8 juta per tahun, meningkat dibandingkan dulu yang sebesar Rp 2 juta per 6 bulan,” katanya. Dia lalu merinci pendapatan sebesar Rp 8 juta tersebut diperolehnya dari 2 ton padi jenis gogo rancah yang ditanamnya. Selain padi, Uju juga memperoleh pendapatan dari jagung tiap 3 bulan sebanyak rata-rata 5 ton. “Jika diuangkan, dari 5 ton jagung, saya memperoleh pendapatan Rp 10 juta,” ucapnya dengan wajah berbinar.
Untuk mengolah lahan pertaniannya, dia melibatkan istri dan anggota keluarganya yang berjumlah 4 orang. Uju memilih tidak melibatkan orang lain. “Supaya hasil yang kami peroleh lebih maksimal,” katanya memberikan alasan.
Hama babi Cerita lain tentang kehidupan warga transmigran datang dari Durme (40), salah satu warga Dusun Jogor UPT Mekar Sari. Ketika musim penghujan tiba, sejak pukul 07.00, bapak lima anak ini sudah pergi ke sawah untuk menanam padi jenis gogo rancah. Dari 1 petak sawah, biasanya Durme rata-rata mendapatkan 5 karung beras pada saat panen. Satu karung beratnya 50 kilogram dengan harga beras per kilogram sebesar Rp 10.000. “Tapi itu kalau sedang mujur,” katanya.
Babi hutan memang menjadi gangguan bagi warga transmigran. “Saya sering mendengar keluhan warga soal babi, bahkan mereka sampai menangis kalau sawah mereka diserang babi, karena itu artinya mereka tidak bisa panen sama sekali,” ujarnya. Lalu bagaimana mengusir babi-babi hutan itu? “Kalau kami melihat ada babi hutan yang datang, kami lempar dengan batu. Babi-babi itu langsung pergi,” katanya.
Etos kerja Etos kerja warga transmigran di UPT Mekar Sari harus diakui sangat besar. Untuk mendapatkan hasil panen, mereka memperhatikan betul tahap-tahapannya. Mulai dari menanam, memperhatikan kebutuhan air, termasuk mencegah babi hutan memakan dan merusak tanaman padi mereka. Durme sudah dua belas tahun menetap di Dusun Jogor UPT Mekar Sari sejak Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan
Transmigrasi Kabupaten Lombok Tengah membuka unit permukiman transmigrasi tersebut pada 2003. Sebelum menetap di Dusun Jogor, Durme masih mengingat dengan jelas bagaimana dia diajak ayahnya untuk menjalankan aktivitas yang disebut Ngagum atau mencari tanah kosong milik pemerintah untuk ditempati dan digunakan sebagai tempat bercocok tanam. “Mungkin istilahnya semacam hak pakai. Tanah tetap milik pemerintah tapi boleh ditempati dan digunakan sebagai tempat bercocok tanam,” ujar Durme yang pernah menetap di Desa Kateng yang berjarak 8 kilometer dari UPT Mekar Sari dengan berjalan kaki. Durme menceritakan, aktivitas Ngagum ini sudah dijalankan secara turun-temurun oleh nenek moyangnya sejak zaman Belanda. “Aktivitas Ngagum sifatnya bebas. Kalau mau membuka lahan di hutan sampai sekian hektare silakan saja, tapi biasanya kami membuka lahan kurang lebih 2 hektare,” katanya. Ke depan, Durme mengatakan, warga transmigran sangat membutuhkan pasokan air dari sumur bor. “Kalau dari sumur gali, kebutuhan air untuk sawah kami tidak mencukupi. Sebaliknya, jika menggunakan sumur bor dengan kedalaman 25-40 meter, aik pasti akan mengaliri sawah kami,” katanya berharap. Aik dalam bahasa Lombok, artinya air.
Di lain pihak, meski penghidupannya di UPT Mekar Sari saat ini lebih baik, Uju masih khawatir tentang masa depannya, terlebih soal status lahan permukiman yang ditempatinya dan juga lahan usahanya. “Kami ingin mendapatkan sertifikat atas lahan permukiman dan lahan usaha yang kami kerjakan supaya kami lebih tenang,” ujarnya berharap. Kekhawatiran Uju memang beralasan. Sebab, sekitar 500 meter dari Dusun Padasan merupakan kawasan wisata. Salah satu obyek wisata yang mulai ramai dikunjungi turis-turis asing adalah Pantai Selong Belanak. “Kabarnya, beberapa turis asing sudah mulai membeli tanah di sekitar Pantai Selong Belanak,” kata Syarifuddin, Pembina UPT Mekar Sari sambil membisikkan harga 100 are tanah di sekitar Pantai Selong Belanak mencapai Rp 100 juta. l
Agustus, 2016
49
Info Desa
Transmigrasi
Selarik Terang dari Lunang-Silaut Kawasan Lunang-Silaut adalah daerah hutan dan untuk mencapai jalan utama Padang-Bengkulu, transmigran Silaut harus menempuh waktu kirakira satu hari berjalan kaki.
B
ila mengingat kembali masa itu, Sunarto hanya bisa mengelus dada. Transmigran asal Wonosari yang berangkat melalui program Transmigrasi Swakarsa pada 1987 ke Lunang-Silaut, Kabupaten Pesisir Selatan, Propinsi Sumatera Barat, ini hidup dalam kondisi serba terbatas. Listrik belum ada, infrastruktur jalan masih seadanya, begitu pula kebutuhan air juga minim. Ketika Sunarto tiba, kawasan Lunang-Silaut adalah daerah hutan dan untuk mencapai jalan utama Padang-Bengkulu, transmigran Silaut harus menempuh waktu kira-kira satu hari berjalan kaki. “Apalagi kalau malam, saya hanya sendirian, penerangan menggunakan lampu minyak seadanya dan tetangga jauh. Benar-benar sendirian,” katanya mengenang. Selain minimnya infrastruktur, warga transmigran juga dihadapkan pada terbatasnya jumlah air bersih untuk minum. “Waktu itu, saya harus benar-benar
50
Info Desa
Agustus, 2016
memperhitungkan jumlah air yang saya minum. Jadi, sekalipun haus karena bekerja di tengah panas terik, saya tahan rasa haus. Kalau air yang saya bawa habis, saya tidak tahu lagi harus mencari di mana atau meminta kepada siapa,” ujarnya. Itu cerita Sunarto dua puluh delapan tahun silam. Kini Silaut telah tumbuh menjadi kawasan transmigrasi yang mapan. Memang jalan menuju kampung masih pengerasan, namun jalan utama kecamatan Silaut sudah bertaburan aspal mulus. Begitu pula dengan moda transportasi. Jika dulu warga berjalan kaki, kini mobil sewa hilir mudik mengantar warga Silaut setiap hari ke Kota Padang. Silaut juga tidak lagi menyisakan bekasbekas daerah yang tadinya setiap hari
Transmigrasi
banjir. Semua rumah pun sudah menapak ke tanah. Tak ada lagi rumah panggung yang menandakan seringnya banjir rob melanda kawasan pesisir ini. Tidak hanya menapak, rumah warga pun sudah semakin kokoh karena dibuat dengan semen dan batu bata. Lantai kayu juga tidak ada, hampir semua warga transmigran memiliki rumah dengan lantai ubin. Sunarto pun juga tidak lagi sendirian. Bahkan dirinya terpilih sebagai Wali Nagari Pasir Binjai untuk dua periode berturut-turut. Dalam catatannya, sudah ada 1.643 penduduk di Nagari Pasir Binjai, dengan 804 orang penduduk laki-laki dan 839 orang penduduk perempuan. Pendidikan juga telah berkembang, ditandai dengan 16 orang sarjana di Nagari Pasir Binjai. Begitu pula dengan sarana pendidikan sebagai tanda pengembangan wilayah juga telah ada. “Kini tinggal yang dibutuhkan adalah lembaga pendidikan setingkat SMU/ SMK,” katanya. Rencana pembangunan tersebut masih dibicarakan dengan Nagari lain tentang lokasi penempatannya mengingat jumlah SMU/SMK yang dibangun sementara hanya berjumlah satu, sementara ada 10 Nagari yang mengajukan diri sebagai lokasi sekolah.
Dari sisi ekonomi, Silaut melesat sejak adanya perubahan komoditas yang dikembangkan. Sejak pemerintah mengubah kebijakan pengembangan tanaman pangan menjadi tanaman kebun, Silaut berkembang secara ekonomi karena warga mulai menanam sawit sejak 1997. “Tanaman pangan tidak terlalu cocok dikembangkan di sini. Tanahnya tidak terlalu pas, jadi agak berat,” kata Sunarto yang bersama kelompok tani pimpinannya, Sumber Makmur pernah mendapatkan anugerah dari pemerintah yang disematkan oleh Presiden Habibie.
Tumbuh makmur Kecamatan Lunang juga berkembang secara ekonomi. Kawasan ini bahkan telah tumbuh makmur karena warga transmigran beralih menanam sawit. Dari sisi usia, Kecamatan Lunang telah lebih dahulu ditunjuk sebagai kawasan transmigrasi. Jadi tidak heran bila kawasan ini terlihat lebih padat dan lebih modern. Letaknya yang tidak terlalu jauh dengan jalan lintas Padang-Bengkulu membuat kawasan ini terlihat maju. “Transmigran Lunang telah berkembang. Dari hasil iuran warga bisa membangun masjid. Sudah banyak yang bisa naik haji,” kata Jumari, Wali Nagari Lunang 3. Jumari yang berangkat transmigrasi pada 1981 mengikuti jejak orangtuanya menjadi transmigran. Kisah transmigran di kabupaten Pesisir Selatan memang heroik. Sebuah keberhasilan perjuangan yang membuahkan hasil manis di akhir cerita. Sebuah kisah yang tentu menginspirasi banyak orang karena turut bangga dengan daya juang dan ketabahan para transmigran. Transmigrasi pun masih akan terus relevan sebagai bagian dari pembangunan. “Saat ini saya memikirkan masa depan. Tanaman sawit ini suatu saat akan berhenti berbuah. Lalu selanjutnya bagaimana ekonomi kami ini nantinya. Itulah yang saat ini saya pikirkan,” kata Slamet Riyadi, Wali Nagari Silaut 1.
Menurut Slamet, transmigrasi adalah program yang bagus dan benar-benar telah berhasil mengangkat derajat hidupnya. Slamet bisa mewakili suara salah satu arus bawah, yaitu perlunya merumuskan bentuk transmigrasi yang pas dan menjawab zaman. Tentu bukan sekadar memindahkan penduduk di tempat terpencil. Itulah pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan secara bergotong-royong antara Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi serta kementerian dan lembaga negara lain, pihak swasta, pemerintah daerah dan masyarakat. Dengan demikian, program transmigrasi bisa menjadi program andalan pemerintah untuk mensejahterakan kehidupan transmigran yang sebelumnya berada dalam belenggu kemiskinan. l
Agustus, 2016
51
Info Desa
Lensa Inspirasi
Lensa Inspirasi
Penguatan Potensi Desa
P
embangunan infrastruktur memang menjadi salah satu prioritas Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi saat ini. Namun tak hanya pembangunan fisik, Kemendesa PDTT kini juga tengah gencar-gencarnya membangun masyarakat desa. Salah satunya dengan cara memberi bekal pengetahuan dan keterampilan bagi masyarakat. Sejumlah pelatihan pun diberikan oleh Kemendesa PDTT, antara lain kepada warga di Distrik Senggi Kabupaten Keerom, Provinsi Papua dan Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat, serta warga di Desa Oni Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Di Distrik Makbon, pelatihan diberikan oleh Balai Latihan Masyarakat Makassar, berupa ceramah, diskusi, tanya ja-
52
Info Desa
Agustus, 2016
wab, permainan, simulasi, praktik, dan diakhiri dengan penyusunan Rencana Kerja Tindak Lanjut (RKTL). Warga Distrik Makbon contohnya, membuat RKTL dengan melaksanakan usaha pengolahan keripik pisang, pembuatan selai mangrove, membentuk koperasi yang menjual sembako, dan menjual hasil ikan. Sementara itu, Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan dan Informasi (Balilatfo) Kemendesa PDTT meluncurkan model kampung klaster berbasis sumber daya lokal dan adat di Kampung Usku, Distrik Senggi. Selain itu, Balilatfo juga memberikan pelatihan mengenai budidaya tanaman pangan agar diterapkan oleh warga Kampung Usku. Target pembangunan ini adalah meningkatkan perekonomian desa dengan memanfaatkan potensi desa yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. l
Agustus, 2016
53
Info Desa
Lingkungan
Lingkungan
yang merupakan tempat penambangan emas dapat disuburkan kembali.
Menyulap Lahan Kering Jadi Subur
Sedangkan untuk tanah berpasir, membutuhkan waktu yang lebih singkat. Dengan menggunakan mikroba sebanyak 8 liter per hektarnya, untuk mengembalikan kesuburan tanah hanya butuh waktu 3 sampai 4 bulan. Selain itu dengan pemakaian mikroba ini, juga dapat menghemat pemakaian pupuk. Hal ini terjadi pada tahun 2000 di lahan gambut di Kalimantan. Dalam penelitian yang dilakukan Ali, pemakaian mikroba ini tidak menimbulkan efek samping, hanya meningkatkan kesuburan tanah. Selain itu, beberapa pengujian telah membuktikan terdapat peningkatan produktivitas tanaman pertanian. Mikroba tersebut telah diuji di beberapa tanaman, antara lain kedelai dan jagung. Ali menambahkan, di Desa Rancasanggal, Kecamatan Cinangka, mikroba ini dikembangkan pada tanaman padi, pohon jambu, dan pepaya. “Kemudian kita juga implementasikan menjadi campuran pakan ikan lele. Hasilnya selain ikan lele cepet tumbuh besar tapi menjadikan air kolamnyapun tidak tercium aroma bau tidak sedap sekalipun tidak diganti dari pertama tanam sampai dipanen,” katanya.
Layaknya mesin pencari Google, mikroba ini dapat mencari dan menemukan potensi tersembunyi yang ada di dalam tanah.
D
unia pengetahuan Indonesia sempat dihebohkan oleh penemuan Mikroba Google, yang mampu menyuburkan berbagai macam tanah. Mikroba yang telah dipatenkan oleh penemunya, Ali Zum Mashar, mampu mengembangkan tanah tandus sehingga menjadi subur makmur. Mikroba yang diberi nama BIOP 2000Z ini mempunyai prinsip kerja yang cukup unik. Mikroba ini dapat mencari dan menemukan potensi tersembunyi yang ada di dalam tanah layaknya mesin pencari Google.
54
Info Desa
Agustus, 2016
Yang mencengangkan, waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan kondisi tanah-tanah tersebut terbilang cukup singkat. Jika dengan menggunakan metode konvensional, sebidang tanah bekas tambang membutuhkan waktu tak kurang 30 tahun untuk subur kembali, tak demikian jika menggunakan mikroba ini. Untuk tanah bekas tambang, hanya butuh tiga tahun untuk mengembalikan kondisi tanah menjadi subur kembali. Penelitian ini sudah pernah diujicobakan di daerah Kerengpangi, Kalimantan Tengah. Dengan menggunakan 3 liter mikroba untuk tiap hektarnya, Kerengpangi
Mikroba temuan Ali juga dapat dicampurkan pada pakan ternak seperti pada sapi. “Tubuhnya cepat gemuk dan cepat reproduksi,” katanya. Sontak, penempuan Ali terkait pupuk organik BIOP 2000Z ini mendapat apresiasi banyak kalangan.
man kacang-kacangan yang tumbuh subur di lahan gambut. Setelah menelisik, ia menemukan mikrob yang menetralisir keasaman tanah sehingga tanaman itu mampu tumbuh.
Apalagi, pupuk tersebut menjadi salah satu solusi meningkatkan gairah para petani agar kembali menghasilkan produk kedelai. “Biasanya tanaman kedelai normalnya hanya memiliki tinggi 70 cm dengan jumlah polong 50 buah,” tuturnya.
Begitu juga ketika ia mengunjungi lokasi penambangan emas di Kalimantan Selatan. Di area itu banyak mengandung air raksa (Hg), racun bagi tanaman. Faktanya ia menemukan mikrob yang menetralisir air raksa sehingga tak beracun dan tanaman tumbuh subur.
Dikatakan Doktor Program Studi Ekonomi Sumber Daya Lingkungan ini, pupuk tersebut mampu menyuburkan kedelai hingga berukuran raksasa, hingga mencapai ketinggian hampir empat meter, dengan jumlah polongnya mencapai 300 buah.
Eksplorasi Ali berlanjut ketika berkunjung ke Padang, Sumatera Barat, menemukan mikrob yang mampu menetralisir aluminium tinggi sehingga menjadi tidak berbahaya bagi tanaman. Total jenderal Ali mengkoleksi 18 mikrob unggul yang kemudian ia satukan dalam pupuk buatannya.
Di tangan Ali, gurun pasir di Timur Tengah yang tandus sekalipun berubah menjadi lahan pertanian yang subur. Ia bekerja sama dengan guru besar Universitas King Faisal, Arab Saudi, Nabil Y Kurashi dalam proyek itu. Area itu kini berubah hijau menjadi sentra budidaya beragam komoditas.
Mengapa harus sebanyak itu? “Ibarat tentara, untuk menang harus didukung sepasukan yang kuat,” kata Ali. Ali Zum menambahkan, temuannya memiliki keistimewaan mampu menghasilkan zat hara dan nutrisi penyubur tanah. Selain itu, lanjut Ali, temuannya disebut Mikroba google karena dapat mencari sendiri sasaran bagian tanah yang bisa disuburkan.
Nabil Y Kurashi, girang bukan kepalang. Sebab itu sejak September 2011, negeri petro dolar itu meminta pasokan rutin dua kontainer pupuk hayati per bulan. “Permintaan lebih besar daripada itu, tapi saya belum sanggup,” kata Ali.
“Ini menggunakan teknologi bioperforasi, yaitu menyuntikkan mikroba ke dalam tanah yang dengan bantuan energi matahari dan air akan membuat tanah menjadi subur,” ucap Ali.
Jasa koki Ali memanfaatkan mikroba Google untuk menyuburkan gurun atau lahan ekstrem seperti lahan kritis, bekas penambangan, dan lahan gambut. Jenis mikroba dalam pupuk itu antara lain bergenus Aspergillum, Aspergillus, dan Bacillus yang bahu-membahu menyuburkan lahan. l
Untuk memperolehnya ia mengunjungi hampir seantero Indonesia. Di wilayahwilayah ekstrem seperti lahan gambut atau bekas penambangan itulah ia berburu mikroba unggul. Mula-mula pengusaha itu mengamati vegetasi di sekitar lahan. Jika menemukan tanaman tertentu yang tumbuh subur di lahan ekstrem itu, ia akan mengambil sampel tanah yang mengandung mikroba. Ketika berkunjung ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Ali menemukan tana-
Agustus, 2016
55
Info Desa
Karya
Karya
Batik Talunombo, Batik dari Lereng Sumbing
naik daun dikarenakan unik dan berbeda dengan patron batik pada umumnya, serta termasuk batik modern jika dilihat dari tahun kemunculannya. Agus menceritakan, geliat batik Talunombo berawal pada 2008, ketika untuk pertama kali batik Talunombo mengikuti “Wonosobo Expo”, sebuah pameran rutin tahunan yang diselenggarakan Pemkab Wonosobo dan menampilkan berbagai potensi industri, kesenian dan ekonomi kreatif yang ada di Wonosobo. Saat itu, Agus mengatakan, beberapa pengunjung mengatakan batik produksi Talunombo sangat mirip, bahkan sering dikira batik dari Pekalongan. Hal ini tidak dipungkiri, karena memang para perajin batik Talunombo belajar dari instruktur batik asal Pekalongan, di mana pola batik yang digunakan adalah motif asal Pekalongan. Berangkat dari hal inilah kemudian timbul gagasan untuk membuat patron motif sendiri, motif yang khas dan bisa langsung dikenali. “Lalu muncullah motif Carica dan Purwaceng, dua tumbuhan yang terlebih dahulu dikenal sebagai ikon Wonosobo yang hanya dapat tumbuh di pegunungan Dieng. Lambat laun dua motif ini kemudian terkenal dan mengangkat pesona batik Talunombo,” ujarnya.
Batik motif Carica dan Purwaceng adalah batik khas Talunombo yang paling populer karena unik dan berbeda dengan patron batik pada umumnya.
D
i tengah udara sejuk pegunungan lereng selatan Gunung Sumbing, tepatnya di Desa Talunombo Kabupaten Wonosobo, beberapa perempuan membentuk lingkaran mengelilingi satu wajan berisi cairan lilin. Tangan-tangan mereka terampil mencelup dan memainkan canthing membentuk pola indah di atas kain batik khas Talunombo, sebuah produk unggulan desa di Kecamatan Sapurandan yang juga ikon kerajinan tradisional Kabupaten Wonosobo. Agus Munajat (35), Kepala Desa Talunombo mengatakan, saat ini jumlah
56
Info Desa
Agustus, 2016
warga yang menjadi perajin batik sebanyak 60 orang, yang sebagian besar merupakan kaum perempuan. Para perajin ini tergabung dalam dua kelompok usaha di bawah binaan Karang Taruna desa, yaitu Carica Lestari (40 anggota) dan Artha Nugraha (20 anggota). Setiap hari mereka bekerja sejak jam 8 sampai dengan jam 5 sore membuat batik di kain prima, primis, santun dan krayon, kain bahan dasar untuk membuat batik di desa yang berjarak 24 km atau 30 menit perjalanan dari pusat kota. Batik motif Carica dan Purwaceng adalah batik khas Talunombo yang paling populer. Motif ini paling disukai dan cepat
Selain motif Carica dan Purwaceng, batik khas Talunombo juga memiliki motif “Batik Retak”, berbentuk pola garis-garis halus. Ada pula batik motif Daun Albasia, Daun Talas, Candi Dieng, Sindoro Sumbing, Ikan, Jamur Dieng, Daun Teh, serta motif klasik, yaitu Sidomukti, Kawung, Parang, Sekar jagat Wonosobo.
Sejarah Perkembangan seni batik di Talunombo tak lepas dari peran A. Mukhlasudin. Didampingi Agus Munajat, lelaki 52 tahun ini menceritakan awal mula munculnya batik Talunombo. “Waktu itu, tahun 2007, seluruh desa di Kabupaten Wonosobo sesuai perintah Bupati Wonosobo yang saat itu dijabat Kholiq Arif, diwajibkan untuk merintis produk unggulan desa” ujarnya mengenang.
Satu per satu desa mulai merintis produk unggulan, sebagian besar berupa makanan dan minuman. Mukhlasudin, yang saat itu menjabat Kepala Desa, dan beberapa warga berinisiatif mengusung sesuatu yang baru dan khas serta mudah diingat di luar produk makanan dan minuman. Tercetuslah ide merintis seni batik untuk dikembangkan menjadi produk unggulan Desa Talunombo, sebuah bentuk produk baru yang belum pernah ada sebelumnya di Wonosobo. Setelah itu, Mukhlasudin dan beberapa warga berinisiatif menyampaikan gagasan ini kepada DPRD Kabupaten Wonosobo, yang disambut baik. Hal itu ditandai dengan dikucurkannya anggaran untuk mengadakan pelatihan batik dengan mendatangkan instruktur dari Pekalongan. Pelatihan tersebut dilaksanakan di Desa Talunombo selama satu minggu dengan mayoritas peserta diambil dari warga binaan PKK Desa. Pelatihan itu sendiri berisi materi cara dan teknik pembuatan batik tingkat dasar. Proses pelatihan ini berlanjut beberapa bulan kemudian, tepatnya pada Agustus 2007, melalui anggaran perubahan kabupaten diadakan pelatihan kedua, dengan mendatangkan kembali instruktur dari kota Pekalongan untuk lebih mematangkan teknis pembuatan batik. Setahun kemudian, Mukhlasudin menuturkan, turun anggaran dari Provinsi berupa kegiatan magang ke Yogyakarta yang diikuti oleh lima orang selama satu minggu, khusus belajar tentang teknis pewarnaan batik. Dia masih ingat, setelah beberapa kali pelatihan, warga mulai berani menampilkan produknya dengan mengikuti pameran-pameran baik di Wonosobo maupun kota lain seperti Salatiga dan Semarang. Pemerintah Desa saat itu berupaya untuk melakukan pendampingan kepada para perajin batik. Menurut dia, para perajin ini meskipun terlihat sudah siap tetapi belum bisa mandiri penuh. Berbagai kendala masih saja dihadapi, seperti mahalnya harga bahan baku kain hingga kesulitan modal dan pemasaran. Hal ini diperkuat dengan cerita dua pelaku pendampingan ini, Tariyah (35) dan Umi
(38). Kedua perempuan inilah yang sejak awal mengenalkan batik Talunombo secara door to door, promosi dari kampung ke kampung, dari satu pintu instansi ke pintu instansi yang lainnya. Hal ini terus dilakukan hingga berkembang seperti sekarang. Berbagai terobosan kemudian dibuat oleh pihak Desa Talunombo, salah satunya adalah program wisata batik, program yang mengajak para pengunjung untuk datang langsung ke pusat produksi, diberi kesempatan untuk melihat proses pembuatan batik, bahkan bisa praktik membuat batik sendiri. Beberapa macam batik baik batik tulis, batik cap maupun printing tersedia di sini. Batik tulis yang dikerjakan selama 3-5 hari dijual Rp 150 ribu sampai Rp 500 ribu tiap potong, sedangkan batik printing lebih murah, di bawah Rp 100 ribu per potong. Selain itu, pada 20-28 Agustus mendatang, pemerintah desa akan mengadakan Festival Satu Abad Talunombo yang menampilkan berbagai produk desa seperti makanan khas, yaitu combro, serta produk pertanian dan tentu saja batik. Pada acara ini akan dilangsungkan pembuatan batik kolosal, yaitu membuat batik secara masal oleh 30 peserta dalam waktu bersamaan dengan total panjang kain yang digunakan 60 meter. Pemerintah kabupaten, kata Agus, juga berkeinginan membangun cluster wisata khusus batik di Wonosobo yang disambut dengan sangat baik oleh warga. “Diharapkan dengan adanya cluster tersebut bisa menjadi tempat promosi sekaligus jujugan untuk para penggemar batik yang datang ke Wonosobo,” katanya. Itulah batik Talunombo, sebuah terobosan baru yang sedang menggeliat, menjadikan Desa Talunombo, sebuah wilayah yang sebenarnya secara tradisional tidak memiliki sejarah seni batik yang kuat seperti halnya Solo atau Pekalongan menjadi sentra batik baru. Agus berharap, geliat batik Talunombo dapat meningkatkan kesejahteraan warganya, sebuah citacita yang memerlukan kerja keras dan dukungan dari berbagai pihak. l
Agustus, 2016
57
Info Desa
English Section
60
Village-Owned Enterprises, Way to Achieve Village Welfare
70
Revitalizing BUM Desa
72
Kertamalip’s Village Information System
76
Batuah, Talau, Teupin Raya, Three Villages To Look For Solutions
Cover Story
Cover Story
or BUM Desa. According to the minister, Village-Owned Enterprises has strategic values where villagers will have channel for small loans distribution. “We will encourage the villages in this country to form Village-Owned Enterprises. I will be channeling the Village-Owned Enterprises to other business stakeholders, such as State-Owned Enterprises (BUMN) or privates,” he said.
Village-Owned Enterprises, Way to Achieve Village Welfare Village-Owned Enterprises has strategic values in empowering village economy. This will later bring dignity and honor to Indonesia in the long run.
T
he responsibilities given by President Joko Widodo to the Minister of Disadvantaged Regions and Transmigration Eko Putro Sandjojo is not easy. President Jokowi requests Minister Eko to accelerate the village development through village economy empowerment. Given that mandate, Minister Eko moves quickly. He has prepared number of programs, one of them is encouraging the formation of Village-Owned Enterprises
60
Info Desa
Agustus, 2016
After visiting villages in Central Java, Eko concludes that one village actually owns various agricultural commodities. Unfortunately, none of them becomes competitive commodity. As a result, the distribution channel for production gets too long. Apart from that, the minister mentioned, the post-harvest sales channel is also long due to limited harvest. This has caused investors become reluctant to develop post-harvest facility. Therefore, the harvest distribution should go through a long process, for instance through larger collection and larger post-harvest facility. To improve such distribution facility, Eko claimed that he has prepared to form competitive village. “For instance, some villages may be focus only on rise, corn, or sugarcane,” the minister said. After such pattern is formed, Eko plans to invite investors to team up with Village-Owned Enterprises by developing post-harvest facility in order to cut off the distribution channel and create a more affordable harvest price. In accordance with the Permendesa No. 21/ 2015 on priority of village fund 2016, one of the principal uses of fund is to prioritize the village’s need that is more urgent to the people’s interests. Therefore, the priority is set to build infrastructure. In addition to infrastructure, health and education sector also need to be considered, for instance building integrated health post (Posyandu) and early childhood education center (PAUD). After sorting out those priorities, village fund then can be used to empower local people, including developing Village-Owned Enterprises (BUM Desa), cadre for community empowerment (KPMD), and community center.
Dignity Director General of Rural Community Development and Empowerment at the Ministry of Disadvantaged Regions and Transmigration Ahmad Erani Yustika said the village economy empowerment has become the ministry’s priority. “It is our top priority and it takes government’s support in order to bring dignity and honor to our beloved country in the long run,” he said. He stated that the Village-Owned Enterprises is the instrument that can stabilize the economy in private sectors, cooperative, and state’s involvement. “The Village-Owned Enterprises has similar function as State-Owned Enterprises and Provincial Administration-Owned Enterprises in which there are activities in strategic sectors, ranging from natural resources management, processing industry, savings and loan fees, distribution network, and other basic public services such as electricity, clean water supply, and many more,” he explained. Yustika added that the village fund contribution toward the employment in infrastructure can reach up to 1.8 million people and 457,280 people in economy development which makes the total absorbed workforce of 2.3 million people. In the meantime, the village fund contri-
bution to the country’s economy reaches 0.041 percent, therefore Indonesians need to monitor the village fund use.
Independent Village Chairman of Commission V at House of Representative (DPR) Fary Djemi Francis wishes that the village fund program can create an independent village. “The village fund is nothing more than just a stimulant. We are hoping to shape an independent village which has its own fund,” he said. According to Francis, there are villages across the archipelago that have implemented the village fund program, such as Belu, East Nusa Tenggara, Bangkalan, Madura, and East Java. As stated in Village Fund Road Map of the Ministry of Finance, the amount of village fund disbursed by the government continues to increase. In 2019, the amount of village fund reaches 111.8 trillion rupiahs which will be allocated to 74,754 villages with 1.4 billion rupiah each. Government also pledges to support the development acceleration in West Papua and Papua. Head of Research and Development, Education, Training and Information at the Ministry of Disadvantaged
Regions and Transmigration M. Nurdin said that the development acceleration in those areas has been included in the national development priority since the Law No. 21/ 2001 on Special Autonomy in Papua had been issued. It is also implicitly stated in the RPJMN since 2005 up until today. “The financial support continues to increase every year, both in State Budget and Special Autonomy fund. The amount of village fund 2016 for Papua reaches 3,385 trillion rupiahs, dedicated to 5.419 villages, while West Papua’s fund reaches 1,074 trillion rupiahs for 1,744 villages,” said M. Nurdin. The Chairman of Papua Working Group Judith Dipodiputro said that the Papua Work and Win Movement becomes a big frame to build the province in the future. The movement has program named “Tong Maju” that includes several programs such as Tele Health, Tele Education, Tele Public Service, and Tele Medicine. “Tong Maju is optimization use of communication technology, data, digital and analog technology as mean of communication between villages with all stakeholders. “Let’s make village fund as matching fund, linking its funding to complement government’s programs in order to develop better infrastructure in the village, such as roads, electricity, irrigation and many more. Apart from that, government also needs to build infrastructure that connects local people to the market,” said Prof Emil Salim at the International Colloquium Knowledge Sharing in Enhancing Local Initiatives to Promote Local Economic Development in Indonesia, organized by Research and Development Center Balilatfo at the Ministry of Disadvantaged Regions and Transmigration together with the Ministry of National Development Planning (PPN)/ National Development Planning Board (Bappenas), and Australian Aid Knowledge Sector Initiative, in Jakarta, 10 August 2016. l
Agustus, 2016
61
Info Desa
Cover Story
Cover Story
In the future BUMDes will have channels to other business stakeholders, such as State-Owned Enterprises (BUMN) and private sector. For example, BUMDes in a village can make a Rural Loan Bank (Bank Perkreditan Rakyat, BPR). We can invite State-Owned Bank (to invest), so they can maybe allocate 100 or 200 as capital or equity. BPR can then disburse micro business loans worth tens of billions rupiah.
EKO PUTRO SANDJOJO Minister of Village, Development of Disadvantaged Regions and Transmigration
About the postharvest management, what is the mechanism?
Village-Owned Enterprises for the Village Welfare
BUMDes can cooperate with StateOwned Enterprises or private sector to provide post-harvest management. We will also ask them to provide production facilities. Once it has larger operation, BUMDes can provide transportation, for example. That way, from a small fund we can have plenty equities that we can distribute everywhere.
B
eing a successor to Marwan Jafar as the Minister of Village, Development of Disadvantaged Regions, and Transmigration in the second reshuffle of the Presidential Working Cabinet, Eko Putro Sandjojo is directly faced by a heavy responsibility. The politician from Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) was instructed by President Joko Widodo to accelerate village development through village economic empowerment. “Basically, how to empower the village economy to make it more developed,” Eko said when meeting Info Desa team in the office of Ministry of Village, Development of Disadvantaged Regions, and Transmigration in Kalibata, Jakarta. The President, he continued, asked him to immediately finalize the concepts and programs and coordinate with relevant ministries. He indeed had prepared programs which will absorb labors in villages. In addition, Eko will promote the establishment of
62
Info Desa
Agustus, 2016
more Village-Owned Enterprises. The reason behind this is to have funds put in the village-owned enterprises so that villages will have media to channel micro business loans. “We will also provide post-harvest facilities according to each village’s needs,” Eko said. However, Eko admitted, to reach the goal, certain things need to be fixed first, such as human resources and coordination with Ministry of Agriculture and Ministry of State-Owned Enterprises. Eko said that Marwan Jafar, as his predecessor, advised him that all that already exist are maintained and improved. “I will continue the policies made by Marwan,” he said. Below is the interview.
What will be the main focus of your Ministry’s next programs? Basically, we have an assortment of villages, some are still disadvantaged, and some
have sufficient facilities. The Ministry’s priority for the disadvantaged ones is to provide complete basic facilities to avoid them getting more disadvantaged. For other villages already having sufficient facilities, we will push them to create village economic empowerment so that the village funds are not only exhausted.
What will be the format of the empowerment? For village economic empowerment, we will make Village-Owned Enterprises (Badan Usaha Milik Desa, BUMDes). Some of the village funds disbursed by the government can be used to develop business units through BUMDes. Some that will be pushed are facilities for post-harvest management and production facilities providers.
What about the management of BUMDes?
Agricultural commodities in villages do not have any featured product From my visits to villages in Central Java, villages may have a variety of agricultural commodities but none can be featured. As a result, the distribution channel for production facilities can be very long. Their price for the farmers becomes too expensive. As an addition, post-harvest sales channel is longer since there is only a small amount of harvest. As a result, investors are reluctant to provide post-harvest facilities.
What are your offered solutions? To improve the distribution facilities, we have prepared a program to create a featured village. The plan is to make villages in adjacent regions to concentrate on one featured commodity. A group of villages can concentrate on producing rice, while some others on corn, and so on.
If such a pattern is formed, we can invite investors to cooperate with BUMDes to provide post-harvest facilities so that distribution chain can be cut to eventually lower the harvest price. If it is successful, the gained dividend can suffice the village needs, and the village will be self-sufficient. The government will not need to disburse more funds for them. With smaller capital and higher sales price, the farmers will have more income.
We have to have coordination since we need the involvement of teh Ministry of Agriculture, Ministry of Marine and Fisheries, Ministry of Cooperatives and SMEs, and the Ministry of SOEs. I have lobbied each and all ministries. Everyone is supportive, including the Ministry of Public Works and Public Housing. So, the President told me to implement it with acceleration.
Each village will have different problems. What will be your move to absorb their aspirations?
How about the obstacles? Apart from the financial issue, the village human resource can be a problem, too. They are not ready to run. By inviting a third party to join, the villagers can learn the management. That will also be a main focus. We need to have all components in the region involved, from village chiefs, head of districts, regents, to governors. We will have road shows to support the program.
{{
Each village of course has different problems and needs. To overcome, we will optimize the role of heads of administration to provide program suggestions to the ministry. The main issue is to find out what the village needs. There are more than 74 thousand villages, we cannot monitor them all by ourselves. That is why we will ask heads of administration to help us.
We will also provide post-harvest facilities according to each village’s needs
You also initiated the idea of side commodities for villages. Can you explain about it? Aside from the featured commodity, they will also have side commodities. Of course they should not interfere with the featured commodity. For example, with a high production of rice, we can create poultry farm. We already have rice grains and chaff for the feed, so it will be a lot cheaper. The manure can be used as fertilizer. We can make the slaughterhouse too. We can also make cattle farm.
How will you coordinate with other relevant ministries?
What we will keep digging is the aspirations of the village communities. The system currently used is to compile aspirations from the bottom, so the government’s role is only to facilitate. We cannot dictate governors and regents to do anything. We need to make cooperation, not give orders.
What are your targets? At least we still maintain what are already in the 2016 State Budget. The President also reminded us that the village funds have to have effects on the village communities. To prevent iefficiency or delay, the President wanted that the implementation system and information technology for villages be accelerated. l
Agustus, 2016
63
Info Desa
Cover Story
Cover Story
decision-making upon mutual consensus related to developments, including the financing of future developments,” he said. In addition, Yustika highlighted, the budget politics in the village funding programme has shifted, as it no longer serves the interests of certain regions or sectors, but is instead directed at areas with strong potential to develop. “So the political affirmation in the village fund budget is now very clear,” he said.
No Matter How Small, Rural Community Participation is Important “No matter how small the development activities are, the communities are enthusiastic to participate in decisionmaking upon mutual consensus.”
64
Info Desa
Agustus, 2016
A
hmad Erani Yustika, Director General of Rural Development and Empowerment from the Ministry of Village, Development of Disadvantaged Regions and Transmigration, said that the village funding programme provided a significant development to the community in rural areas. According to him, there are two key benefits obtained by the villagers from the village funding programme. Firstly, they learn that the development power source comes from within the village and not from the outside. Therefore, the importance of the village funding programme
does not lie on the amount of funds received by the people, but on the community participation in using the funds, from the planning and implementation to monitoring activities. “That is more important, because previously, there was not any participation from the rural communities at all,” he said. Secondly, Yustika continued, the rural communities can use the vital sources of village funding to fulfil their development needs in the villages, such as the construction of road and irrigation, toilets and so forth, including the financing of village assistant. “No matter how small the development activities are, the communities are enthusiastic to participate in
Chairman of Commission V of the House of Representatives, Fary Djemi Francis, sees that the current rural development programme has a significant difference in comparison to those of the previous periods. “I think the explanation of the minister (then Minister Marwan Jafar-red) refers to the mandate of Law No. 6 of 2014 on rural development that is very clear, in which the rural development is aimed to empower the rural communities, “he said. In the case of the village funding programme, said Francis, there are four points highlighted in the rural commu-
nity empowerment approach. Firstly, in implementing the programme in villages, the people should know the aim of the programme, the activities, the location, the time and the benefits. “So, the rural community should really be involved,” he said. Secondly, the rural development programme should give priority to the potentials of the village itself, not products or materials imported from outside the village. Francis took example of the construction of irrigation or roads, where the materials used should come from within the village. Thirdly, the human resources working to undertake the rural development projects should also come from within the village. Fourthly, the greatest benefits of rural development should be targeted to and inteded for the interests of the villagers, not for the interests of the elite or outsiders. Regarding the village assistant, said Francis, the existence of a village assis-
tant is expected to provide the community development and empowerment with positive contributions. “A village assistant should come from within the village and not from the other rural areas because they are the ones who are well aware of their own characteristics and problems that exist in the village. But what’s happening right now is that several areas have been complaining because their village assistants come from outside their villages,” he said. Therefore, Francis said, the commission that he leads will establish the Village Funds Utilisation and Village Assistants Committee. The committee, said Francis, is expected to give full support to the village funding program. “This committee will provide recommendations, especially on how to encourage community involvement, and prepare and facilitate village assistants correctly using the right approach,” he said. In addition, Francis requested the Ministry of Village to find or search for villages that have implemented the village funding programme correctly as expected. “So in the future, the village can be a place of learning for other villages in Indonesia,” he said. Francis hopes that the village funding programme can help the villagers become more self-sufficient and independent from the outsiders. “These village funds act as stimulants, so that one day the villages can be completely self-sufficient and have their own funding sources,” he said. According to him, some of the villages that have implemented the village funding programme correctly include those in the area of Belu, East Nusa Tenggara, and Bangkalan, Madura, East Java. In Martajasah Village in the district of Bangkalan, for example, Francis said, the residents use their village funds to build the facilities and infrastructure for Early Childhood Education (PAUD) and the rural roads repair. “The village funding program is expected to eradicate poverty,” he said. l
Agustus, 2016
65
Info Desa
Cover Story
A Surprise at Makbon District The village funds are mainly used for agriculture, bridges construction, poskesdes (village health posts), posyandu (integrated health service posts), schools, electricity, and clean water. The government also provides trainings to empower rural communities.
S
ome villagers at the Hall of Makbon District, Sorong Regency, West Papua Province were taken by surprise when a group of people came without any warning in advance towards the end of May. On Thursday, May 26, 2016, delegations from the Ministry of Village, Development of Disadvantaged Regions and Transmigration (Kemendesa PDTT) visited Makbon District to closely observe the village funding process and the utilisation of its funds. The Head of the Agency of Research and Development, Education and Training, and Information (Balilatfo) of Kemendesa PDTT, M. Nurdin, said that they did not inform the villagers of Makbon District about their unexpected visit as it was deliberately done on purpose. “This is so that we can see the actual development of the village without having any manipulation,” he reasoned. Nurdin and his people’s arrival to Makbon District was a follow-up of the village funding. Kemendesa PDTT becomes a
66
Info Desa
Agustus, 2016
ministry that is responsible to look after the priorities in the use of village funds that have been granted in stages since April 2016. This year, the infrastructure sector has become a priority in the use of village funds. “Those village funds should be mainly used for agriculture, bridges construction, poskesdes (village health posts), posyandu (integrated health service posts), schools, electricity, and clean water,” said Nurdin during the briefing. Nurdin said that if the infrastructure and the facilities of the village had been improved, the village funds could then be used to empower the rural commmunities. Therefore, the government is involved in a number of trainings for the villagers. In the fiscal year 2016, the Fourth Generation of the Entrepreneurship Training took place on May 24-28. “This training is conducted to improve the knowledge and the skills of Makbon District residents,” he said. The training, which consisted of lectures, discussions, Q&A sessions, games, simu-
lations, and practice, was ended with the formulation of Action Plans Follow-Up (RKTL). This RKTL is a number of concrete activities that are expected to act as a stimulant for the Makbon District residents in order to develop, such as conducting the business of processing banana chips, making mangrove jam, building cooperatives that sell groceries, and selling fish.
The government’s commitment In Nawa third Cita explicitly stated, Jokowi-JK government’s commitment to develop Indonesia from the periphery to strengthen these areas and villages within the framework of a unitary state.
Cover Story
The Government’s Commitment The third Nawa Cita explicitly stated that Jokowi-JK government had committed to develop Indonesia from the outskirts by strengthening the districts and villages within the framework of a unitary state. To realise the third Nawa Cita, Kemendesa PDTT has allocated Rp 46.9 trillion of the village funds from the State Budget in the fiscal year 2016. Each village is expected to receive approximately Rp 800 million. “Hopefully, the amount of the village funds can rise again to Rp 1 billion in the coming year,” said Nurdin. Indeed, the budget for rural development has increased steadily in the last two years. In 2015, the budget
for the village reached Rp 20.76 trillion, or half of this year’s. The amount of funds allocated for the rural development is indeed the evidence of Kemendesa PDTT’s huge commitment in building Indonesia from the outskirts. With such a high budget like this, the government hopes that developments will be equally distributed to all parts of Indonesia. “The development and improvement of rural infrastructure that are coupled with the creation of jobs for villagers could eventually reduce the population shift from rural to urban areas or urbanisation,” said Nurdin. Nurdin also reminded that the village funds should be managed properly by the
residents in Makbon District upon mutual consensus. “The village chief should counsel and discuss with its residents, together with the traditional leaders, youth leaders, and community leaders, in managing the village funds. So, it is not the village headman/chief who decides,” he said. In order to allocate village funds properly in the effort to strengthen the development in villages, Nurdin added that the fund management must also receive supervision from all parties, from the district/municipal government and community leaders to local residents. “The funds should be spent according to the villagers’ needs so they can be used correctly and on target,” he said.l
Agustus, 2016
67
Info Desa
Cover Story
Cover Story
VILLAGE FUNDS (trillion rupiah)
NUMBER OF VILLAGE
EACH VILLAGE (rupiah)
2015
20,766 74.093 280,3
2016
46,982 74.754 628,5
2017
81,843 74.754 1,095
2018
103,791 74.754 1,4
2019
111,8
million
million
billion
billion
74.754 1,5
billion
VILLAGE FUNDS UTILISATION Nationally, the Village Funds in 2015 has been used for a number of activities, namely:
VILLAGE FUNDS MAP
A
s per the Law No. 6/2014 on Villages, since 2015, the government has distributed the Village Funds budget for the construction of rural infrastructure, such as irrigation, slope, and drainage. Village Funds can also be use-
ful for the development of the rural economy capacity, such as cooperatives, livestock, agriculture, and village-run enterprises (BUMDesa). In the Road Map or Village Funds Map 2015-2019 from The Ministry of Finance, in 2016, the government will increase the number of Village Funds
budget by Rp 46 trillion, whose figure improves from that in 2015, which reached Rp 20 trillion. The increase impacted the amount of funds received per village, which changed from Rp 280 million in 2015 to Rp 628 million in 2016. l
89,4%
5,4%
The Field of Rural Development
The Enforcement of Rural Government
The Village Funds were used for several activities such as the development of rural roads aimed to open the gardening/forestry distribution access. In addition, the Village Funds were used for the construction of bridges that opens the villagers’ social access or irrigation development in order to fulfil their needs for food, and so on.
The Village Funds were used to support the implementation of government activities, such as organising village meetings, the financing for demarcation of village, the village spatial planning, and so on.
2,6%
2,6%
Community Development
The Village Funds were used for the development of religious harmony, traditional institutions, the implementation of peace and order, and so on.
Community Empowerment
The Village Funds were used to increase the capacity of farmers, craftsmen, youth groups, training, education and counseling for productive economics, and so on.
Source: Ministry of Finance and the Annual Report of the Ministry of Village, Development of Disadvantaged Regions and Transmigration, 2015.
68
Info Desa
Agustus, 2016
Agustus, 2016
69
Info Desa
Research
Research
From her research which used both quantitative and qualitative approaches with explainative type of research, Najiyati found at least eight findings. First, an average of 28.7 percent of 592 villages in the three regencies have had active BUM Desa. West Lombok Regency has the largest percentage of BUM Desa, i.e. 83.2%, while Malang and Barito Kuala regencies only have 14.3% and 8.7% respectively.
Revitalizing BUM Desa It is hoped that the institutions which are managed in the spirit of cooperativeness and kinship will be able to manage their assets, services and businesses, all for the welfare of the village communities.
V
illage-Owned Enterprise (Badan Usaha Milik Desa, BUM Desa) is gaining attention from the stakeholders of village community empowerment. The village business institution was revitalized after the Law No. 6/2014 about Village and
70
Info Desa
Agustus, 2016
its derivative regulations are issued. The Regulation of the Minister of Village, Development of Disadvantaged Regions, and Transmigration No. 5/2015 about the Priorities on the Use of Village Funds mentions that one of the priorities of Village Funds use is for the development of BUM Desa. This is confirmed by the 2015-2019 Nawa Kerja of the Ministry of Village, Development of Disadvantaged Regions, and Transmigration which stated that for the next five years the government is targeting the establishment of 5,000 units of BUM Desa (Strategic Plan of the Ministry of Village, Development of Disadvantaged Regions, and Transmigration for 20152019). The development of BUM Desa has long been implemented by the government through various program. Sri Najiyati, a research staff for Data and Information Centre of Board of Research and Development, Education and Training,
and Information (Pusat Data dan Informasi Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi/Pusdatin Balilatfo) of the Ministry of Village, Development of Disadvantaged Regions, and Transmigration, believed that having gone through an assortment of obstacles, some of BUM Desa have succeeded in evolving as they were expected. “The issue is how far the government and local administrations need to facilitate to keep community initiatives continue to grow and BUM Desa can develop sustainably,” she said. It encouraged her to conduct a research on BUM Desa by taking a purposive location in a disadvantaged regency (West Lombok Regency), a regency that already has advisory program in developing BUM Desa (Malang Regency), and a regency that was a disadvantaged regency one year earlier (Barito Kuala Regency).
Second, an average of 40 percent of 75 villages in West Lombok, Malang, and Barito Kuala regencies had never established any BUM Desa, or had established one, but later dissolved them. As much as 36 percent of the villages have underdeveloped BUM Desa and 13.3 percent of BUM Desa was rated as developing in the sense that their activities increasingly showed improvement. West Lombok Regency has relatively the most developing BUM Desa, about 20 percent, when compared to the other Malang and Barito Kuala regencies who only have 8 and 12 percents respectively. BUM Desa tend to grow and develop in disadvantaged regions. Third, the type of business developed by BUMDes were quite varied, but savings and loan is the most chosen business type (86.9 percent) in the three regions. Most BUM Desa who operated solely in savings and loan business experienced stagnation since most of their assets were distributed in their debitors and were hard to retrieve. On the other hand, BUM Desa which operated in other business or businesses tend to grow better. Fourth, there were several obstacles encountered in the establishment of BUM Desa, including the limited interest of becoming administrators, the absence of advisor, difficulties in determining the type of viable businesses to be managed by BUM Desa, limited competence, and Village official’s hesitation in establishing BUM Desa. There were also trauma to the failure of preceedingly established BUM Desa, as well as the absence of professional advisors.
Fifth, there were obstacles in the development of BUM Desa, including most of the preceeding BUM Desa with savings and loan business whose most of loans cannot be retrieved, incompetent administrators, the absence of trainings and specific guidance for business development with financial management format for each business type, the lack of support from village administration when BUM Desa is not considered as an urgent facility, the lack of comprehension in choosing viable business type, the absence of sustainable advisory, limited interest of becoming BUM Desa administrators, and unregistered BUM Desa as a legal entity so that it cannot follow any economic association. Sixth, the success factors of the development of BUM Desa include selecting the right business type, committed support from the village administration and regency/city administration, selecting the right BUM Desa administrators, and support from the community. Seventh, provincial, regency, and village administrations have provided facilities in forms
of socialization and regulational as wel as technical guidance for BUM Desa, data collection of village potentials, fund allocations, monitoring as well as evaluations, and issuance of Regent Regulations as well as Village Regulations. Districts were still unable of conducting advisories for the lack of fundings, man power, and competence. Several districts had provided advisories, but only to the extent of BUM Desa establishment. Eighth, facilitations provided by local administrations were still considered insufficient. Najiyati heavily proposed one of the research recommendations that the currently conducted facilitations need to be improved. “Those facilitations can be conducted by different levels of government, from the state government to village administration,” she said. That way, BUM Desa, the institutions which are managed in the spirit of cooperativeness and kinship will be able to manage their assets, services and businesses, all for the welfare of the village communities. l
Agustus, 2016
71
Info Desa
Persona
Persona
low the advancement of information technology. From broadcasting village news through blog, website, to more popularsocial netw ork such as facebook and twitter. Of course the news broadcasted are related to the condition and things happening in Karang Bajo Village, such as Citizen Identification Card (KTP) and Family Card (KK) programs, village traditional Bayan woven cloth products, and village financial report. All are presented in an orderly manner and can be easily read in Karang Bajo Village’s blog, website, and social media. However, Kertamalip’s efforts in the virtual world is not free from obstacles. The father of three complained about the lack of citizen journalists who are able and willing to write for the various online portas in the village. All this time, Kertamalip was only assisted by the operator of Village Information System (Sistem Informasi Desa, SID) in writing and uploading news.
Kertamalip’s Village Information System Karang Bajo Village often receives attention for its success in optimizing the implementation of information technology.
72
Info Desa
Agustus, 2016
S
ince the first time it was established, Primadona FM radio broadcast has become the source of information for people in Karang Bajo Village of Bayan District in North Lombok Regency. Noone would have thought that the village located on the foot of Mount Rinjani would have their own radio station. This was the beginning of the story of Kertamalip, one of the villagers who had worked together to build Primadona FM, and then became its broadcaster.
Therefore, Kertamalip invites the villagers to actively participate in finding and writing news. “I want the villagers to be more than readers and internet users, to also
have the initiative to develop the village through technology,” he said, wishful. Especially now that Kertamalip’s efforts in Village Information System have been known in the national level. That way, the government as well as telecommunication service providers start giving appreciations, both in the form of awards and the strengthening of internet connection in rural areas.
One of them is the Anugrah Telkomsel awards received by Kertamalip and twenty other figures in the celebration of Telkomsel’s 21st anniversary last May. In his speech, Ririek Adriansyah, the President Director of Telkomsel, confirms the importance of the use of information technology in remote areas. “We have constructed the infrastructure in remote areas so that the entire Indonesia can be connected,” he said. l
Kertamalip’s experience in broadcasting information became his capital when he served as the village chief of Karang Bajo in 2004. Even Bang Ardes, Kertamalip’s broadcast name, was still devoted to broadcast local news and sasak songs when he was serving as the village chief. When the radio studio got damaged, he then turned to a technology that can reach even more people: the internet. Not only optimally utilizing the internet connection in North Lombok, Kertamalip also keeps renewing the media used to fol-
Agustus, 2016
73
Info Desa
Persona
Persona
Reviewing Karang Bajo Through The Virtual Universe
D
Blog
Address: desakarangbajo.blogspot.co.id
Twitter Account name: @karangbajo
Since Karang Bajo’s twitter account was only made in December 2015, there has not been many activities. Another reason is that Facebook social network is still much more favored by the villagers. However, the administrator often shares news link from the official site karangbajo-lombokutara.sid.web.id.
iscipline and patience are necessary in managing a social media account, let alone a government official website. Otherwise, the content presented will be boring since it is rarely updated or is not interesting enough. Kertamalip seems to really understand about the information system management patterns. Various sites and social network accounts of Karang Bajo Village seem to be always up-to-date and had received many responses and visits, though there are plenty news portals and account that he has to manage. Below are some of them.
count are still about Karang Bajo. Some villagers look more comfortable interacting directly with their village chief in Bang Ardes account.
Blog became the beginning of Karang Bajo Village’s introduction with the information technology. The blog contains news and the villager’s activities, such as the traditional house rehabilitation program, plantation
activities, and the news of house fire incident.
Website
Address: karangbajo-lombokutara.sid.web.id according to the Village Law No. 6/2014, villages are entitled to information access through a Village Information System developed by the regency or city administration. Karang Bajo then hastily developed a website with web.id as domain. The site has twelve channels, such as village profile, village data, village news, village products, and village reports.
The activities of Kertamalip and Karang Bajo Village in the virtual world had resulted a number of awards, such as Good Governance Pioneering Viilage Chief in Village Financial Management (2015), Village Chief with Achievement in Village Information (2013), Kader Lestari Bidang Kesehatan from the Ministry of Health, and Pelita Nusantara Award which was presented by Vice President Boediono (2013). Although Kertamalip has gained a number of achievement, he claimed that he was not satisfied yet. He wished that the government can provide more support, such as strengthening the digital infrastructure or human resources training. “Hopefully my efforts in Karang Bajo can inspire other villages to take actions for the country through technology,” he ended. l
Facebook
Account name: Desa Karang Bajo, Bang Ardes Desa Karang Bajo is the official account of the village, while Bang Ardes is Kertamalip’s personal account. However, most of the status in the village head’s ac-
74
Info Desa
Agustus, 2016
Agustus, 2016
75
Info Desa
Save Village
Save Village
Through the joint commitment, the villagers are expected to maintain the natural environment around Batuah Village from destruction.
Batuah, Talau, Teupin Raya
The same problem occurs in Talau Village of Pangkalan Kuras District in Pelalawan Regency, Riau Province. Rawin, a former Village Chief of Talau explained that at the palm oil company site, two creeks known as Pagai and Pabadean Rivers were dying. The creeks were formerly wide and deep, with clear water. Both creeks were the source of livelihood for the villagers who lived from fishing. But now, the creeks are shallow and dirty as the result of the company’s activities.
Three Villages To Look For Solutions
T
he development and welfare of village communities are determined by many factor, both internal and external, from access of information, infrastructure, level of education, environmental conditions, corporate interventions, the role of government, to natural disasters. All of the aspects must be identified so that problems obstructing the advancement of the villages can be identified and resolved.
most. Many youngsters have decided not to continue their education to colleges or universities.
Let us just take Teupin Raya Village in Pidie Regency, Aceh Province for an example. Although the village has rice fields, rivers, and fertile swap area, the welfare of its people is still relatively poor. One of the causes is the low level of education in the village.
A different case occurs in Batuah Village of Seranau District in East Kotawaringin Regency, Central Kalimantan. The settlement in Batuah Village follows the contour of River Mentaya, but they often lack clean water. The poor quality of water is very likely due to the natural condition around the village has been damaged.
From the information found in a report of Field Practice Program (Kuliah Kerja Nyata, KKN) from students of University of Syiah Kuala (Unsyiah) in Banda Aceh (ninth period, 2015), educational aspect, or in this case the lack of it, holds an important role in obstructing the advancement of Teupin Raya Village. In general, people of productive age in the village have only gone to high school at the
76
Info Desa
Agustus, 2016
Therefore, the village community demanded that the creeks’ banks were restored by the company to make fish production more reliable. They also urged that Plantations Loan from Members Primary Cooperative and electricity for the village community were implemented. The strategy taken to advance a village has to be adapted to the kinds of problems faced. Teupin Raya Village, which faces more of internal factor like the awareness on education, should receive different treatment to Batuah and Talau vilages, who face environmental problems and are dealing with private companies. Strict regulation on land users is believed to help the economy of the natives who had stayed earlier in their business area. l
To overcome the issue, there needs to be a synergy between the government, private sector, the community, and the academics, like the field practice programs conducted by universities. A field practice program from Unsyiah, as an example, which organizes tutoring programs for village children who do not use their spare time for studying.
Hanafi Efendi from Tenggarong, East Kalimantan, revealed that Batuah Village was at first known as a pepper plantation center. However, since the issuance of the Mining Business License in Batuah, the number of pepper plantations is diminishing since many of them have been sold to the mining company.
As an addition, cases of forest fire and bush fire are often happen in Batuah Village. In October 2015, for example, there was a fire for three and a half hour which have burned 3.5 hectares of soil. The incident had added to the long list of fire incidents in the region. There were atleast six cases happened within a month. To overcome the environmental damage, the local administration in cooperation with Puter Indonesia Foundation and United States Agency for International Development (USAID) had initiated the Natural Conservation Agreement (Kesepakatan Konservasi Alam, KKA).
Agustus, 2016
77
Info Desa
Save Village
Save Village
Had Pelambik Dam Was Not Built
Pest Wild Boar In the contrary, Durme (40 years old), a homesteader at Jogor Village UPT Mekar Sari is currently facing challenge. From his field, Durme can only get 5 sacks of rice at harvest time. One sack weights 50 kilograms with the price of Rp 10,000 per kilogram. “That’s only when you’re lucky,” he said.
A Glimpse of Light from Lunang-Silaut
From the economics aspect, Silaut has grown significantly. It happens since the local government make the policy to change the focus of food farming into plantation. They grew palm since 1997 and raising their financial condition right away.
Durme and other people in the village are facing the same problems. Pest wild boars are attacking their rice. Each and every night, Durme goes back to his rice field to protect his paddies from wild boars.
The Road to Prosperity
“If we don’t protect our rice, those wild boars will consume all of our paddy in one night,” he said. Once they come, Durme explained, there are 2-3 wild boars coming down from Bile Tengak Mountain that is situated around 1 kilometer away from the transmigration area. “The boars are big. It takes 4 people to carry one.”
Despite dealing with several hiccups, lack of water supply for example, the income of local people hikes after moving themselves to transmigration area.
O
ne of the locals named Uju Hardi (45 years old) said that his family would live at Kabul Village should Central Lombok’s Pelambik Dam was not built. However, dam construction could not wait any longer that the former President Soeharto finally inaugurated the operation of the dam in October 16, 1994.
78
Info Desa
Agustus, 2016
Back in 2005, as the second phase opening of UPT Mekar Sari, Uju and his family decided to move to Padasan Village that was occupied by 70 families. “I live a better life here. Although we had a vast land before, yet we could not earn sufficient money,” he said. In that one-hectare width area, Uju plants rice, corn, soybean, cashew, and mahogany. “Now I can earn 8 million rupiahs per year. The amount is higher than before of 2 million rupiahs in the first 6 months,” he continued. Aside from rice, Uju also gets another income from his cornfield of evenly 5 tons in every 3 months. “The income is around 10 million rupiahs,” he added. His face beams. Uju also involves his wife and his other 4 family members to cultivate the farm. No other people are invited. “We do this in order to get maximum result,” he explained.
The question then rises: how to cast away those wild boars? “We will throw stones when wild boars coming by. They will leave right away,” Durme answered. He has been living in Jogor Village UPT Mekar Sari for twelve years. But far before that, Durme can still vividly recall the moment when his Father was doing ngagum or seeking for government’s vacant land to be occupied for living and farming. “It’s probably like the right to use. The land still belongs to the government, yet people can live and do farming there,” he said. Moving forward, Durme continued, the homesteaders in the area are strongly in need of water supply from the drilled wells to irrigate the fields. On the other hand, Uju also hopes to get certificate on the residential and business land status in order to able to run his business seamlessly. l
The education level of the residents has grown drastically. There are 16 scholars already in Nagari Pasir Binjai. It is supported especially by education facilities in the districts.
Lunang-Silaut were districts covered by woods in West Sumatera. To get to PadangBengkulu main road, the Silaut transmigrants have to walk for approximately a day.
R
emembering those hard days, Sunarto looked very thoughtful. He was the resident of Wonosari before joining Transmigrasi Swakarsa program in 1987 and moved to Lunang-Silaut, Pesisir Selatan Regency, West Sumatera. The condition in the district was terrible. The village has no electricity, lack of infrastructure, and the
water shortage still became a big issue at that time. “I walk alone in the dark, using only an oil lamp to help me see the road. The neighborhood was far away, I was completely alone,” he said thoughtfully. The situation happened twenty eight years ago. Today Silaut has become a developed transmigration zone. The main road to Silaut District has already covered by asphalt pavement. The residents can use some means of transportation, such as rent car. They also have overcome the flood problem. The houses are no longer built on stilts. They build houses with cements and concrete brick. Sunarto is not alone anymore. He was chosen as the village head or Wali Nagari Pasir Binjai for two periods successively, leading 804 male residents and 839 female residents.
Not only Silaut, Lunang District also grew its economic aspects because there are a lot of residents who work on palm plantation. “Lunang transmigrants are developing. They can build their own mosque and a lot of them has made the pilgrimage to Mecca,” said Jumari, Wali Nagari Lunang 3. These transmigrants’ story should inspire more people. Thus, transmigration still become a vital part of developing a nation. “Now I’m still thinking about the future. The palm plantation will stop growing one day. So what happens next? That’s become my biggest concern today,” said Slamet Riyadi, Wali Nagari Silaut 1. According to Slamet, transmigration is a great program and make a significant results, especially in raising his prosperity. Slamet speaking as one of the residents who desperately need a form of program that can be a solution of many issues. It is not just about migrating people to remote area. This become homework that should be taken care of by The Ministry of Village, Development of Disadvantaged Regions and Transmigration, and also other institutions, companies, local governments, and the society. l
Agustus, 2016
79
Info Desa
Save Village
Save Village
programs called Nawacita, President Joko Widodo and his Vice President Jusuf Kalla plan to develop Indonesia from the periphery by strengthening the regions and villages within the Unitary State. The synergy with the natural resource can be seen at Panglipuran Village. The village wishes to preserve its cultural ancestry. Its name is derived from pengeling and pura which means a sacred shrine for remembrance. The village is situated on 700 meters height above the sea level with 985 people living in 234 families. They are evenly distributed in 76 yards on each side of the total area of 112 hectares. Although Bali is popularly known for its enchanting beaches, in the contrary, Panglipuran Village offers a beautiful and tranquil home, far from the hustle and bustle of the modern city life. It started in 1990 when the students from the University of Udayana conducted a Community Service Program, building small gardens and environmental management in the area. After that, the elders, youths, and the representatives from lo-
From Village to the Nation The natural resources potential should be synced with human resources along with the support from stakeholder in order to accelerate village development.
80
Info Desa
Agustus, 2016
cal government discussed on how to spur the tourism potential in the village. It was in 1993 the village is set as Tourist Village of Panglipuran by Decree Regent No. 115, 29 April 1993. Another example is Celuk Village that continues to explore its potentials to develop itself. Celuk Village is known as silversmith and goldsmith village as most of the people there work as craftsmen. Located in the district of Sukawati, Gianyar, it takes about 1-hour travel time from Ngurah Rai Airport to the eastern side via By Pass Ngurah Rai. Along the road, art shops line up offering variety of silver and gold handicrafts. The craftsmen there only produce high quality handicrafts and are also able to produce in large quantities. Almost all of the families and local people there are skilled in creating creative designs. It is not surprising then that their products have penetrated all levels of markets, from nationwide to worldwide. Not only jewelries, the village also produces souvenirs and export commodities such as ring, bracelet, necklace, earrings, studs, brooch, and many more. Having this situation, the support from local government is key to grow the village. The government has expressed its commitment to develop the area. Bali’s Governor I Made Mangku Pastika explained that the farming in the province focuses on the Integrated Farming System (Simantri) that combines technology and farming. The system is
a breakthrough that aims to speed up the farming technology adoption as a pilot model in accelerating the transfer of technology to the rural people. The integration is a zero-waste oriented and produces 4 Fs namely food, feed, fertilizer, and fuel. The governor also said that the cow manure waste, both in the liquid and solid forms, will be separated and managed well to be bio urine, biogas, and organic fertilizer. l
A
n old saying ‘a developed village will later improve its country as well’ is not just a mere idea. To build a strong country, a nation should develop its bottom government structure as its solid foundation. Developing a village requires a synergy between natural resources and human resources along with the support from related stakeholders. In accordance with the third point of government nine
Agustus, 2016
81
Info Desa
Save Village
Building Soil Fertility With “Google” Microbes This type of microbes can find and discover the hidden potential in the soil.
I
ndonesia was taken by surprise when a great invention in agricultural science called Google Microbes, which have the ability to fertilise a great variety of soils, were discovered for the first time. This type of microbes, which has been patented by its inventor, Ali Zum Mashar, can fertilise barren land and increase soil productivity. Named BIOP 2000Z, these microbes performs a unique way of functioning. They can find and discover the hidden potential in the soil like a Google search engine, with a quite short period of time needed to restore the soil condition.
These microbes have been developed for rice paddies, guava tress and papayas. “Then, we also mix these microbes with catfish food. As a result, the catfish can grow larger in a shorter period of time and it also eliminates the pond odour, even if the water remains unchanged from the beginning to harvest time,” he said.
Using the conventional method, a piece of ex-mining land needs at least 30 years for reclamation, but it is not the case when these microbes are used. It is estimated to take only three years for exmining land to restore its soil fertility.
Ali’s microbes can also be mixed with animal feed for farm animals such as cows. “Their bodies will grow faster and it will also result in fast reproduction,” he said. No wonder, Ali’s invention - the organic fertiliser BIOP 2000Z - receives a lot of appreciations from many people.
This research has been tested in the area of Kerengpangi, Central Kalimantan. Kerengpangi, which is a gold mining site, can be restored by using 3 litres of these microbes per hectare.
Besides, Ali added, his invention is called Google Microbes because it can independently search for the target piece of land that can be fertilised. “This uses the bioperforation technology, which fertilises
82
Info Desa
Agustus, 2016
the land by injecting microbes into the soil with the help of solar energy and water,” said Ali. Moreover, the fertiliser becomes one of the solutions in growing the passion of farmers to reproduce soy products. The Doctor of Economics Study in Environmental Resources Programme said that the fertiliser can fertilise and grow soybeans until it reaches a gigantic size of almost four metres high, with its number of pods reaching 300 pieces. In the hands of Ali, even deserts in the Middle East can be converted into fertile farming areas. He worked with the professor of King Faisal University in Saudi Arabia, Nabil Y Kurashi, for the project, which has now resulted in green areas that are used as the centre of cultivation for a variety of commodities. l