Desa Membangun Tanpa Meninggalkan Kelompok Pinggiran1 Sunaji Zamroni2 Konteks Ada dua momentum besar sedang berlangsung di negeri ini. Momentum yang pertama adalah kepemimpinan nasional yang berpihak dan berorientasi membangun Indonesia dari pinggiran dan desa. Sedangkan momentum kedua adalah pelaksanaan UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), yang mendudukan desa sebagai subyek pembangunan (disebut desa membangun), bukan lagi obyek pembangunan. Joko Widodo dan Jusuf Kalla sejak masa kampanye Pilpres 2014 telah merumuskan 9 agenda prioritas (Nawa Cita)3. Setelah resmi menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI, nawa cita tersebut menjadi agenda prioritas kepemimpinan nasional yang ditetapkan dalam dokumen RPJMN 2015-2019, dimana prioritas ketiga adalah “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerahdaerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.”4 Pilihan prioritas ketiga ini pun jika dicermati secara seksama merupakan pilihan sadar untuk mengembangkan kebijakan desentralisasi asimetris di Indonesia dan mematuhi mandate UU Desa yang telah ditetapkan pada akhir tahun 2013. Desentralisasi asimetris menjadi wacana korektif atas praktik sistem desentralisasi yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade di negeri ini. Keragaman daerah akibat faktor geografis, sosial, budaya dan potensi ekonomi tidak mungkin lagi diwadahi melalui sistem hubungan pusat dan daerah yang seragam (symmetrical decentralization)5. Kehendak inilah yang tercermin dalam rumusan gagasan untuk membangun dari pinggiran, suatu penegasan pengakuan bahwa Indonesia itu beragam dan butuh perlakuan yang beragam pula. Hal yang sama pun tercermin di dalam asas pengaturan desa oleh UU Desa. Sejumlah 74.754 desa di negeri ini memiliki keragaman sejarah, geografis, kapasitas SDM dan SDA, sehingga membutuhkan pengakuan (recognition) dan penghormatan (subsidiarity) dari negara. Masalahnya sejauh ini perhatian dan fokus pembangunan mengabaikan daerah dan masyarakat pinggiran, baik itu di daerah perbatasan maupun pulau-pulau terluar. Bahkan, dalam pengertian tertentu masyarakat pinggiran di desa-desa pun mengalami nasib serupa. Cerita getir berikut bisa menjadi gambarannya. Lumbis Ogong di Kabupaten Nunukan Propinsi Kalimantan Utara (Kaltara) mengagetkan public dan pemerintahan baru Presiden Joko Widodo. Tiga desa di kecamatan yang berbatasan darat langsung dengan wilayah negara 1 Makalah ini ditulis untuk dipaparkan dalam “International Seminar and Workshop Developing from the
margins: Exploring marginal groups as part of Indonesia’s nation-state”, pada tanggal 9-10 November 2016 di Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur 2 Peneliti dan Direktur Eksekutif IRE (Institute for Research and Empowerment) Yogyakarta 3 www.kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_Jokowi_JK.pdf 4 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2014, “Buku I Rancangan Awal RPJMN 2015-2019,” Jakarta: halaman 68. 5 Dalam medio tahun 2008, Jurusan Politik Pemerintahan UGM mengelola serial diskusi tentang masalah dan tantangan desentralisasi di Indonesia, dimana wacana yang menguat adalah gagasan tentang desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization). Gagasan ini kemudian digunakan untuk basis pemikiran dalam merumuskan naskah akademik RUU Keistimewaan Yogyakarta. Lebih lanjut tentang gagasan ini silahkan periksa di MONOGRAPH on Politics and Government Vol 2, No.1. 2008: hal 24, diterbitkan oleh Jurusan Politik Pemerintahan UGM Yogyakarta
1
Malaysia ini, dikabarkan telah menjadi wilayah Malaysia. Kabar ini seakan menampar Menteri Desa, PDT dan Tranmigrasi yang kemudian menegaskan, “desa-desa perbatasan harus diurus dan diprioritaskan dalam pembangunan”6. Selain kisah lepasnya desa Lumbis Ogong, tersiar kabar juga beberapa warga desa di Kabupaten Malinau Propinsi Kaltara memiliki identitas kewarganegaraan ganda (KTP, IC). Bahkan ada pula warga desa yang melakukan eksodus ke Malaysia.7 Informasi ini menyiratkan bahwa masyarakat yang tinggal di desa-desa perbatasan menghadapi dilema, antara mempertahankan nasionalisme atau memenuhi kebutuhan makan. Fenomena di desa-desa perbatasan Kabupaten Nunukan dan Malinau sebenarnya berakar pada ketiadaan sumber-sumber penghidupan yang memadai dan berkelanjutan di desanya. Mereka yang melintas batas (border moving) karena dorongan memperoleh penghidupan yang lebih baik di daerah tujuan. Peristiwa seperti ini lazim dalam perspektif migrasi, pushpull theory, karena daya tarik daerah tujuan maka seseorang terdorong meninggalkan daerah asal, (Everett S. Lee, 1966). Tetapi dalam perspektif state obligation, peristiwa ini menandakan adanya salah urus negara terhadap desa-desa di perbatasan. Jika saat ini negara di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi telah berkomitmen untuk membangun daerahdaerah perbatasan, maka struktur kesempatan ini semestinya digunakan secara maksimal. Situasi memprihatinkan masyarakat di perbatasan, ternyata dialami pula oleh kelompok masyarakat desa yang dikategorikan pinggiran (marginalized group)8. Mereka adalah warga desa yang berjenis kelamin perempuan, berekonomi miskin, difable, berkeyakinan dan beragama minoritas, eks tahanan politik/pengikut atau aktivis PKI, serta berorientasi seks tertentu. Masa lalu desa berwajah muram di bawah kebijakan negara orde baru. Desa menjadi pasar proyek dan obyek pembangunan, (IRE, 2003; 2005; 2012), desa dikerumuni akan lembaga-lembaga korporatis negara (Mas’oed, 1993), desa mengalami negaranisasi (Hans Antlov, 2003), dan sistem sosial budaya desa telah rusak luluh lantah--abih tandeh, (R.Yando Zakaria, 1993). Saat itu, alih-alih desa memikirkan kaum pinggiran desa, kepastian utnuk memperoleh tetesan sumberdaya dari atas pun penuh liku perjuangan. Kebijakan negara yang tidak ramah pada desa, akhirnya menjadikan masyarakat pinggiran desa sebagai tumbalnya. Pertanyaannya sekarang adalah bagaiamana masa depan masyarakat marginal desa dan masyarakat di daerah pinggiran maupun daerah perbatasan di bawah momentum kepemimpinan nasional yang memihak daerah pinggiran dan desa, serta pelaksanaan UU Desa? Tulisan ini secara khusus akan mengelaborasi pengalaman kerja-kerja saya di IRE Yogyakarta dalam mempromosikan village governance reform, baik melalui riset, pendampingan, advokasi kebijakan dan penyusunan produk-produk pengetahuan. Dengan demikian tulisan ini akan fokus pada elaborasi peluang – peluang dalam pelaksanaan UU Desa yang berpotensi memberikan peran, keterlibatan dan manfaat bagi kelompok masyarakat marginal desa.
6
http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/11/tiga-desa-di-nunukan-diklaim-jadi-bagian-malaysia http://www.korankaltim.com/warga-perbatasan-kantongi-identitas-kewarganegaraan-ganda/ 8 Jane Jenson (2000) melalui tulisannya “Thinking about Marginalization”merujuk definisi marginalisasi seperti yang dirumuskan oleh International Consultative Forum on Education for All (EFA Forum), UNESCO, dimana definisi marginalisasi adalah ; “Marginalization occurs when people are systematically excluded from meaningful participation in economic, social, political, cultural and other forms of human activity in their communities and thus are denied the opportunity to fulfil themselves as human beings.” 7
2
Desa Membangun UU Desa memunculkan pendekatan baru dalam semesta perbincangan upaya memperbaiki desa dan masyarakat desa, yaitu melalui mantra “desa membangun, membangun desa”9. Mantra desa membangun merupakan koreksi atas tindakan negara dalam melakukan pembangunan desa selama ini. Negara, sebelum kelahiran UU Desa, menjadikan desa sebagai obyek pembangunan, lokasi proyek-proyek Kementerian, serta sasaran proyek-proyek satuan kerja pemerintah daerah (SKPD Propinsi, SKPD Kabupaten/Kota). Desa dalam situasi seperti itu diperlakukan secara sektoral, tanpa bersinergi antara sector satu dengan yang lain. Kementerian kesehatan berkehendak menjadikan desa sehat, sedangkan kementerian pendidikan menginginkan desa bebas buta aksara. Dalam satu desa ada baraneka visi dan misi, jadilah “desa nano-nano”. Fakta ini menunjukkan bahwa portofolio pembangunan desa akhirnya yang menuntun justru negara melalui piranti kementeriannya (state driven development)10, bukan diimpikan secara kolektif dan sadar oleh masyarakat desa (village driven development)11. Pendekatan negara membangun desa pada akhirnya menghadirkan fenomena desa yang dipandang secara sektoral. Orang dari luar desa, dengan beragam nalar dan kepentingan legalnya, berupaya keras merubah desa.12 Akibatnya, potensi-potensi yang tersedia di dalam diri masyarakat desa terabaikan dan menjadi tumpul. Modal sosial masyarakat desa yang diwarisi dari pendahulunya, terlelap tak berdaya oleh timbunan nalar-nalar berpikir adminsitratif-teknokratis yang dibawa oleh orang-orang proyek. Orbit kekuasaan dan tanggung jawab pemimpin desa pun keluar desa, tidak mengitari kehidupan sehari-hari masyarakat desa. Kepala desa menghabiskan banyak waktu untuk mencari proyek ke kantorkantor pemerintahan, jarang bertahan duduk di kantor desa atau membimbing masyarakatnya. Ukuran keberhasilan kepala desa akhirnya sebanyak proyek pemerintah yang diperolehnya, bukan lagi sebaik pelayanan kepada warga masyarakat. Mantra desa membangun kini menyihir negeri ini. Tidak mudah melacak preferensi teori dan konsep pembangunan yang memandu mantra ini. Kita lebih mengenal konsep pembangunan pedesaaan (rural development), tetapi asing dengan konsep village development. Secara empiris, uraian di atas telah menyinggung prakti-praktik village development yang telah dijalankan negara. Kini, UU Desa telah mengoreksi pendekatan negara dalam menjalankan pembangunan desa. Pasal-pasal penting seperti, pasal 3 (asas pengaturan desa), pasal 4 (tujuan pengaturan desa), pasal 5 (kedudukan desa), dan pasal 18-22 (kewenangan desa) menjadi payung hukum yang menegaskan bahwa desa diakui dan dihormati negara untuk berkuasa dan bertanggung jawab membangun sendiri desanya. Nalar inilah yang menjadi basis kelahiran mantra desa membangun. Adanya kuasa untuk mengatur dan mengurus secara mandiri kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa. Cara pandang pun menjadi bergeser, 9 Periksa penjelasan UU Desa Bagian Umum nomor 10 Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan 10
Studi-studi atau tulisan yang mengkritisi pendekatan negara membangun desa bisa diperiksa kembali antara lain dalam buku karya Clifford Geertz(1980) berjudul “Negara Teater”, Mohtar Mas’oed (2003) berjudul “Politik, Birokrasi dan Pembangunan”, Yando Zakaria (2000) berjudul “Abih Tandeh : Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde Baru”, Hans Antlov (2003) berjudul “Negara Dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal”, Sutoro Eko (2015) berjudul “Regulasi Baru, Desa Baru”. 11 Bangunan nalar tentang “village driven development” (VDD) bisa dilacak kembali dalam laporan riset dan buku-buku yang ditulis oleh para peneliti IRE dan diterbitkan oleh IRE (2011, 2012, 2013, 2015). Selain itu, uraian yang menarik terkait VDD bisa diperiksa kembali dalam buku Sutoro Eko (2015), “Regulasi Baru, Desa Baru”. 12 Buku karya Robert Chambers (1983), “Pembangunan Desa: Mulai dari Belakang”, secara terang benderang menjelaskan bahwa pembangunan desa-desa telah banyak digerakkan oleh “orang luar”, bukan oleh warga masyarakat dari “dalam desa”.
3
dari memandang desa secara sektoral, menjadi desa memandang sektor-sektor penting di wilayahnya. Pendekatan desa membangun lebih mengutamakan kekuatan dari dalam desa (endogenous development). Dalam diri mereka sebenarnya ada modal sosial, ada pranata sistem sosial yang terwariskan, serta ada kehendak serius untuk membangun kehidupan bersama secara lebih baik. Karena itu, UU Desa merekognisi dan menghormati kenyataan tersebut melalui pemenuhan hak atas asal usul dan kemampuan mengurus kepentingan masyarakat pada level lokal berskala desa. Negara pun paham konskuensinya akibat pemenuhan hak-hak tersebut ke desa, yaitu soal keuangan desa. Perdebatan panjang lebar soal keuangan desa baru kelar di waktu-waktu jelang rapat pleno penetapan RUU Desa menjadi UU Desa, terutama transfer dari pusat ke desa. Negara akhirnya mau memenuhi hak desa untuk kedua kalinya, setelah pemenuhan kewenangan kemudian dipenuhi hak keuangan ke desa melalui skema dana desa (DD) dan alokasi dana desa (ADD) dari sebagian dana transfer pusat ke daerah dalam bentuk DAU dan DBH. Adanya kewenangan dan keuangan desa inilah yang menjadi modal dasar bagi desa untuk membangun. Aksi-aksi kolektif warga masyarakat desa bisa digerakkan oleh desa, tanpa harus menunggu dan tergantung pada budi baik dari struktur pemerintahan di atasnya (supradesa). Gambar 1 Desa Dipandang Sektoral, Desa Memandang Sektor Sebelum UU Desa
Masa UU Desa
Gambar 1 telah memberikan visualisasi pada desa, bahwa sebelum UU Desa sector-sektor yang menjadi hajat hidup masyarakat desa (infrastruktur, kesehatan, pendidikan) pemenuhannya oleh supradesa, melalui pendekatan sektoral. Satu sector dengan lainnya tiada koordinasi. Jangankan memikirkan pemenuhan hak dasar kelompok rentan desa, menjamin bahwa desa memperoleh proyek sektoral dari supradesa merupakan kemahalan politik pembangunan saat itu. Kini, sesudah UU Desa diberlakukan pendekatan menjadi berubah total. Desa berkuasa dan bertanggungjawab memenuhi hak dasar warga dalam beberapa sector pelayanan dasar. Desa tidak lagi dipandang secara sektoral, tetapi justru desa memandang sektoral untuk pemenuhan hak-hak dasar warga.
4
Berpijak pada visualisasi Gambar 1 tersebut, struktur kesempatan yang dilahirkan oleh UU Desa menjadi peluang bagi bekerjanya pendekatan inklusi sosial di desa.13 Pendekatan ini pada dasarnya hendak memastikan bahwa dalam proses penyusunan kebijakan dan pengambilan keputusan publik, tidak ada satu pun warga yang ditinggalkan. Dalam jargon gerakan sustainable development goals (SDGs), kini dikenal dengan no one left behind. Kelompok warga marginal atau kelompok pinggiran di desa itu berlatar belakang yang beragam. Ada yang berlatar gender (perempuan), ekonomi (warga miskin), berkebutuhan khusus (difable), berkeyakinan/agama, berlatar etnisitas, maupun berlatar pilihan politik. Mereka ini bagian dari warga masyarakat desa. Selama ini berada di pinggiran arus pembangunan desa yang digerakkan negara (supradesa). Kini, ketika UU Desa menghadirkan pendekatan desa membangun, secercah harapan yang baik bisa direngkuhnya. Meskipun, tiada jaminan bahwa mereka yang terpinggirkan serta merta menjadi pusat perhatian oleh proses desa membangun. Mereka pun bisa saja tetap di garis pinggiran ketika desa membangun. Melibatkan Warga Pinggiran Sejak UU Desa diberlakukan mulai 15 Januari 2014, kami (IRE Yogyakarta) meyakini bahwa desa akan mengalami perubahan yang berarti dari sisi pelembagaan cara-cara berdesa. Musyawarah desa (Musdes) yang menjadi ciri khas masyarakat desa dalam memutuskan keputusan penting menyangkut kepentingan bersama, menjadi pilar demokrasi desa yang dihadirkan UU Desa untuk memastikan no one left behind. Berpijak pada nalar inilah maka kami menginisiasi praktik-praktik implementasi UU Desa, merumuskan kebijakan daerah (Perbup, SE Bupati), pelaksanaan Musdes yang inklusif, merumuskan RPJMDesa dan RKPDesa yang memihak kelompok marginal, serta melakukan civic education kepada kelompok marginal di desa.14 Alas pijak kami melakukan advokasi kepada kelompok marginal di desa adalah pengalaman empiris selama ini dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa. Pengalaman empiris dalam menghadapi praktik-praktik lama itu akhirnya memberikan preferensi untuk merumuskan proposisi bahwa struktur kesempatan yang dihadirkan UU Desa belum tentu serta merta akan menjadikan desa (masyarakat dan pemerintahan desa) mempergunakan secara baik, terlebih memihak kepada kelompok marginal di desa. Apa saja yang diadvokasi? Kami mengidentifikasi fokus dan lokus advokasi melalui riset tentang gap capacity desa dan kabupaten, maupun antardesa dan antarkabupaten. Riset dilakukan di Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah, Kabupaten Gunungkidul DIY dan Kabupaten Bantaeng Sulawesi Selatan. Dari hasil riset di tiga kabupaten kemudian kami melakukan advokasi di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Gunungkidul dan Bantaeng. Riset advokasi ini akhirnya memilih fokus advokasi kebijakan pelembagaan Musdes perencanaan desa yang inklusif dengan lokus di kabupaten dan desa.15 Ada kebutuhan strategis di kabupaten dan desa yang memanggil kami untuk melakukan advokasi, yaitu pedoman bagi desa untuk menyelenggarakan Musdes perencanaan desa yang 13 Spektrum pemikiran social inclusion membentang dari yang kanan ke yang kiri. Pembagian spectrum yang dilakukan oleh Gidley, J, Hampson, G, Wheeler, L and Bereded-Samuel, E (2010), dalam tulisannya di “Jurnal
The Australasian Journal of University-Community Engagement, vol. 5, no. 1, pp. 6-36.”, menarik dipertimbangkan 14 IRE dan CCES Yogyakarta berkolaborasi menjalankan proyek ini di Kabupaten Gunungkidul DIY dan Kabupaten Bantaeng Sulawesi Selatan, atas dukungan pendanaan dari HIVOS. 15 Uraian secara lebih detil dapat ditelusuri di dalam dokumen laporan riset dan laporan program yang disusun oleh IRE dan CCES (2015).
5
melibatkan dan berpihak kepada kelompok warga masyarakat marginal. Jadilah kami membantu kedua kabupaten merumuskan regulasi teknis daerah (Perbup, SE Bupati) untuk memandu desa-desa mempraktikkan Musdes perencanaan desa yang inklusif. Mengapa regulasi teknis di level kabupaten? Kami menyadari dan paham betul bahwa regulasi teknis di level pusat (pemerintah, kementerian) memandatkan agar daerah membentuk regulasi yang lebih teknis dan operasional sesuai konteks, sementara di sisi lain desa-desa membutuhkan cara paham teknis operasional dalam mempraktikkan UU Desa. Misalnya, tata laksana Musdes perencanaan desa yang inklusif, penyusunan dokumen RPJMDesa dan RKPDesa yang tidak meninggalkan kelompok marginal, merupakan proses rutin tahunan desa yang membutuhkan pedoman teknis dari kabupaten. Desa memang berwenang mengatur dan mengurus penyelenggaraan Musdes perencanaan desa, namun demikian kabupaten pun berkewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan kepada desa. Aspek inilah yang kami pilih dan manfaatkan dalam kegiatan advokasi di level kabupaten. Walhasil, kami memperoleh capaian hasil dalam bentuk Perbup tentang Daftar Kewenangan Desa, Surat Edaran Bupati tentang Pedoman Penyelenggaraan Musdes, Musrenbangdesa dan Penyusunan RPJMDesa/RKPDesa yang melibatkan dan memikirkan kepentingan kelompok marginal. Ada beberapa catatan pembelajaran yang bisa dipetik dari kegiatan riset advokasi pelaksanaan UU Desa yang memihak kepada kelompok marginal ini. Pertama, affirmative policy untuk kelompok marginal. Struktur kesempatan yang dihadirkan UU Desa ternyata tidak menjamin begitu saja bagi warga marginal desa memperoleh peluang-peluang perbaikan hidupnya. Mereka yang masih marginal di desa, bisa jadi akan terus terpinggirkan karena kebijakan terkait pelaksanaan UU Desa tidak tegas memihaknya. Peraturan pelaksanaan di level pusat (PP No 43/2014 jo PP No 47/2015, Permendesa No 2/2015, Permendagri No 114/2014) telah mengafirmasi kelompok perempuan dalam kepanitian Musdes, tim perencanaan desa maupun pengisian kelembagaan desa. Tetapi bagi warga marginal berlatar difabel, miskin atau keyakinan agama minoritas belum diperhatikan. Padahal mereka ini nyata ada dan selama ini terpinggirkan, bahkan di desa sekalipun. Peraturan pelaksanaan di kabupaten (Perda, Perbup, SE Bupati) dengan demikian penting untuk mengafirmasi kelompok marginal, baik dalam kepanitiaan, proses (partisipasi), maupun penerima manfaat (kelompok sasaran alokasi belanja desa). Peraturan di desa pun (Perdes, Perkades) harus semakin tegas, nyata, dan jelas bahwa dalam setiap level tata laksana dan pengambilan keputusan desa, ruang bagi kelompok marginal terbuka lebar dan diprioritaskan. Mereka harus dibela oleh peraturan, agar tidak ditinggalkan atau dikecualikan oleh para pelaksana peraturan. Kedua, berlapis ruang untuk kelompok marginal. Kita semua tahu bahwa pemenuhan suatu kebutuhan dasar oleh negara, dalam hal ini pemerintah desa, harus ditempuh melalui proses yang prosedural dan berlapis-lapis. Ruang-ruang yang berlapis ini rentan bagi bekerjanya kepentingan-kepentingan tertentu, sehingga penting memastikan setiap lapisan tersedia ruang bagi kelompok yang marginal. Misalnya, pemenuhan hak dasar kesehatan warga difabel oleh pemerintah desa, mesti melalui proses penyusunan dokumen RPJMDesa, RKPDesa, dan APBDesa. Gambar 2 berikut menjelaskan bahwa dalam menyusun dokumen RPJMDesa ( 6 tahun sekali), berdasarkan Permendagri No 114/2014, harus ditempuh melalui pembentukan Tim Penyusun Perencanaan Desa. Tim ini berperan strategis, dibentuk oleh kepala desa. penting kelompok marginal diberikan afirmasi untuk menjadi salah seorang anggota tim penyusun (tim ini bisa berjumlah 5, 7, 9, atau 11 orang). Turut berperan di tim penyusun akan memperoelh kemanfaatan yang lebih ketimbang tidak terlibat sama sekali. Pada saat proses pengambilan keputusan melalui Musdes dan Musrenbangdes, kelompok marginal harus pula diafirmasi untuk diprioritaskan sebagai peserta atau peran yang lebih strategis lagi, misalnya fasilitator. Begitu juga saat dokumen-dokumen perencanaan
6
program/kegiatan dan anggaran menyusun maupun mengambil keputusan, afirmasi agar penerima manfaat/kelompok sasarannya salah satunya adalah kelompok marginal, menjadi keharusan yang mesti dipastikan. Berlapis ruang pengambilan keputusan di desa penting mengafirmasi keterlibatan kelompok marginal.
Gambar 2 Ruang Keterlibatan Kelompok Marginal
Ketiga, pentingnya menggandakan praktik inovatif untuk kelompok marginal desa. Salah satu temuan di desa yang kami temani pada saat menjalankan piloting pelaksanaan UU Desa yang memihak kelompok marginal adalah kreatifitas desa dalam melibatkan kelompok marginal.16 Kreatifitas ini sebenarnya terobosan atas realitas yang dihadapi pada saat praktik, namun tidak diatur oleh suatu peraturan. Basis yang penting dicatat dari kreatifitas ini sebenarnya komitmen atau keberpihakan, sehingga meskipun tiada di peraturan karena keberpihakan 16 Dalam dokumen laporan riset IRE-CCES yang ditulis Sukasmanto dan Totok Suyanto (2015), mengabarkan
bahwa Desa Plembutan Kecamatan Playen Kabupaten Gunungkidul DIY telah menempuh cara-cara kreatif, misalnya membagikan form sederhana, untuk menjaring masalah dan kebutuhan yang dihadapi warga masyarakat marginal (Difabel). Cara ini ditempuh sebelum Musdes dan Musrenbangdes dokumen RKPDesa. Dengan cara ini, meski tidak hadir di forum pengambilan keputusan, tetapi suara kelompok marginal telah dikumpulkan dan diakomodir.
7
sudah kuat maka akan dimunculkan berbagai alternative terobosan. Praktik inilah, disebut inovatif, yang mesti kita gandakan di tempat lain agar menjadi berkemanfaatan secara lebih luas. Kini, kami bersama beberapa NGO dan perguruan tinggi (Konsorsium Pemberdayaan Masyarakat Marginal Desa) mengembangkan praktik-praktik desa membangun yang memihak kepada kelompok marginal di 12 kabupaten yang tersebar di Propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Salah satu isu krusial yang penting dicermati dalam pelaksanaan UU Desa adalah aspek akuntabilitas sosial program/kegiatan dan alokasi anggaran belanja desa. Akuntabilitas sosial pada dasarnya mencerminkan responsifitas pemerintahan desa dalam mengalokasikan sumberdaya desa kepada masyarakat desa. Bagaimana ide-ide pembangunan di desa diproduksi, dimusyawarahkan, dan diputuskan untuk dialokasikan dari anggaran belanja desa. Apakah masyarakat desa dan warga masyarakat dari kelompok marginal dilibatkan dalam tahapan-tahapan tersebut? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang penting digunakan untuk mengukur akuntabilitas sosial pada sebuah program/kegiatan dan anggaran yang dibelanjakan. Dalam nalar akuntabilitas sosial ini setiap rupiah uang desa yang dibelanjakan harus bisa dipertanggungjawabkan ke masyarakat desa. Dengan kata lain, harus ada penjelasan yang bertanggung jawab ketika uang desa dialokasikan untuk membangun jalan desa, misalnya, dari sisi kemanfaatan bagi semua masyarakat desa, termasuk warga difabel, warga miskin, dan kelompok marginal lainnya. Bisa juga dikatakan, ketika desa memilih membelanjakan uang desa untuk membangun lapangan sepakbola, adakah uang desa yang dibelanjakan untuk memenuhi kepentingan warga miskin, perempuan dan kelompok difabel di desa tersebut? Dalam perspektif akuntabilitas sosial maka kelompok marginal desa akan memperoleh ruang yang leluasa untuk bernegosiasi dan berkompromi atas kepentingan mereka dengan politik anggaran desa. Terlebih lagi aktor-aktor desa juga mempergunakan pendekatan inklusi sosial dalam mendudukan politik anggaran desa, dimana dalam meredistribusikan setiap rupiah anggaran desa harus mempertimbangkan kepentingan semua warga desa, tanpa kecuali kelompok-kelompok marginal. Catatan Penutup Dalam catatan penutup ini saya hendak menegaskan sekali lagi tentang kehadiran struktur kesempatan yang dibawa UU Desa di satu sisi, dan urgensi mendudukan kelompok marginal desa dalam orbit kekuasaan, tanggung jawab dan politik anggaran desa di sisi lain. Desa membangun adalah mantra pendekatan baru pembangunan desa yang mendudukan desa sebagai subyek pembangunan, bukan lagi obyek pembangunan desa. Pendekatan desa membangun menghendaki desa menjalankan kewenangannya untuk meredistribusi sumberdaya desa secara berdaulat, partisipatif, transparan dan akuntabel. Ada beberapa catatan penting yang secara khusus bisa dijadikan insight untuk dielaborasi lebih lanjut. Pertama, pengertian kelompok marginal desa. Ada beragam pengertian yang saat ini digunakan untuk menyebutkan kelompok marginal desa. Kami menggunakan pengertian kelompok marginal desa berdasarkan akses mereka pada proses penyusunan kebijakan dan perencanaan penganggaran desa. Kelompok yang aksesnya terbatas atau dibatasi oleh regulasi dan pelaksana regulasi, seperti perempuan, warga miskin, difabel, minoritas agama, etnis, politik, orientasi seksual, merupakan kelompok marginal desa. Apakah kelompokkelompok warga yang demikian selalu marginal di desa dan penting diafirmasi? Apakah penting untuk menyusun parameter alternative untuk mengkategorikan kelompok marginal yang bisa berlaku secara lebih obyektif dan berlaku di setiap desa?
8
Kedua, peran kelompok marginal dan urgensi kelompok-kelompok yang memediasinya. Kelompok marginal desa ada yang terbatas akses karena dibatasi secara regulasi dan politik. Tetapi ada juga akses yang terbatas karena berkebutuhan khusus (tuna netra, tuna bicara, tuna pendengaran). Peran seperti apa saja yang penting dirumuskan bagi kelompok-kelompok marginal yang memiliki latar persoalan akses yang beragam dalam proses perumusan kebijakan desa tersebut. Sejauh ini ada praktik-praktik mediasi yang dilakukan oleh kelompok tertentu di dalam masyarakat desa, agar kepentingan kelompok marginal dipenuhi oleh pemerintahan desa. Pilihan untuk memenuhi kepentingan kelompok marginal desa di masa depan, apa secara langsung membuka ruang bagi mereka berperan dalam proses perumusakan kebijakan desa? Atau, apakah merekognisi kelompok mediator yang selama ini telah berperan dan berfungsi membela kelompok marginal, serta merevitalisasi peran dan fungsi BPD sebagai lembaga representasi semua warga desa? Ketiga, peta jalan memuliakan kelompok marginal desa. Kini tengah ditempuh beragam peta jalan untuk membela kelompok marginal desa, antara lain; mengintegrasikan mereka dalam proses kerasnya politik sumberdaya desa, mengembangkan jalur-jalur perlindungan tanpa harus mengajak wira-wiri kelompok marginal. Penting dielaborasi lebih lanjut, apakah konteks sosial politik budaya desa akan turut mempengaruhi pilihan peta jalan dalam memuliakan kelompok marginal desa. Apakah peta jalan yang dipilih bersifat general untuk semua desa atau masing-masing konteks desa memiliki pilihan-pilihan peta jalan yang kontekstual?
Daftar Bacaan Antlov, Hans, 2002, “Negara Dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal”, Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama Chambers, Robert, 1983, “Pembangunan Desa: Mulai dari Belakang”, Jakarta: LP3ES Eko, Sutoro, 2015, “Regulasi Baru, Desa Baru”, Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Geertz, Clifford, 1980, “Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bali”, UK: Pricenton University Press Gidley, J, Hampson, G, Wheeler, L and Bereded-Samuel, E 2010, 'Social inclusion: Context, theory and practice', The Australasian Journal of University-Community Engagement, vol. 5, no. 1, pp. 6-36. IRE, 2011, Mempertemukan Dua Hulu: pelajaran desentralisasi fiskal dan penanggulangan kemiskinan dari Gunungkidul”, Yogyakarta: IRE Press ____, 2012, Laporan Penelitian “Menemukan dan Mengembangkan Sumber Penghidupan di Desa-Desa Gunungkidul” ____2013, “Memperbesar dan Memperkuat Penghidupan Berkelanjutan untuk Penanggulangan Kemisinan di Gunungkidul” policy paper yang disiapkan IRE Yogyakarta dan Pemda Gunungkidul ____, 2015, “Desa Mengembangkan Sumber Penghidupan Berkelanjutan”, Yogyakarta: IRE Press IRE dan CCES, 2015, “Laporan Penelitian Program Piloting Pelaksanaan UU Desa di Kabupaten Gunungkidul DIY dan Kabupaten Bantaeng Sulawesi Selatan”, Yogyakarta
9
Jurusan Politik Pemerintahan UGM, 2008, MONOGRAPH on Politics and Government Vol 2, No.1. 2008: hal 24 Lee, Everett S., 1966, “A Theory of Migration”, University of Pennsylvania. Mas’oed, Mohtar, 2003, “Politik, Birokrasi dan Pembangunan”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Press Zakaria, R. Yando, 2000, “Abih Tandeh : Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde Baru”, Jakarta: ELSAM Jenson, Jane, 2000, “Backgrounder: Thinking about Marginalization: What, Who, and Why”, Otawa, Canada: Canadian Policy Research Network Inc.
10