INFO DESA Membangun Indonesia dari Pinggiran
INFO DESA DESEMBER 2016
DESA WISATA,
POTENSI EKONOMI, DAN KREATIVITAS LOKAL
05
05
DESEMBER 2016
KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI
DESA MEMBANGUN INDONESIA:
BANGKITLAH DESAKU, JAYALAH NEGERIKU Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi (Balilatfo)
“
Membangun Indonesia Dari Pinggiran dengan Memperkuat Daerah-daerah dan Desa Dalam Kerangka Negara Kesatuan.
Surat Redaksi
Pembaca budiman, Menutup akhir tahun, edisi Info Desa menyuguhkan tema liputan utama tentang desa wisata. Gagasan ini digaungkan kembali oleh Presiden Joko Widodo di sela-sela acara Puncak Sail Karimata 2016 di Pelataran Pantai Pulau Datok, Desa Sutera, Kecamatan Sukadana, Kabupatan Kayong Utara, Kalimantan Barat, pada pertengahan Oktober lalu. Memadukan pendekatan desa dan wisata, Presiden Jokowi memiliki tujuan nyata dari gagasan yang disampaikannya tersebut, yaitu meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat desa melalui kegiatan wisata. Sebagai pelaksana teknis, kami, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi bersama Kementerian Pariwisata berkomitmen mewujudkan harapan Presiden tersebut. Pada awal Desember lalu, kami pun menandatangani Nota Kesepahaman dengan Kementerian Pariwisata untuk mengoptimalkan potensi desa wisata di Indonesia.
Harapan kami, dari 74.754 desa di Indonesia saat ini, sampai dengan 2019, ada sekitar 7.500 desa wisata dan masyarakat desa dapat hidup sejahtera melalui kegiatan berbasis wisata. Selain liputan utama tersebut, kami juga menyajikan kajian riset yang dilakukan Balilatfo tentang KKN Tematik, profil tokoh, potret transmigrasi, hingga gambaran tentang desa maju di Indonesia, serta info-info menarik lainnya. Akhir kata, selamat membaca edisi kali ini. Mungkin Anda tertarik mengunjungi salah satu desa wisata di Indonesia untuk menikmati keindahan alamnya, kehangatan dan keramahan warga desa, serta kekayaan budaya yang dimiliki desa. Dengan mengunjungi desa wisata, Anda ikut berkontribusi secara nyata dalam meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat desa.
Dr Ir H M Nurdin, MT Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi
Kami tunggu kritik dan saran untuk perbaikan majalah melalui email:
[email protected] l
Desember, 2016
Info Desa
3
Daftar Isi
12
Liputan Utama
Menggerakkan Ekonomi Desa Berbasis Wisata
36-45
Desa Maju
• Desa Blang Krueng, Aceh PARTISIPASI DI SEGALA LINI • Desa Padang Jaya, Kalimantan Timur SUMBANGSIH BISNIS AIR BERSIH • Desa Tajun, Bali MENGELOLA CENGKIH DAN PASAR DESA
• BUMDES TERBAIK SE-INDONESIA • Desa Dalil, Bangka Belitung MELEK TEKNOLOGI INFORMASI • Desa Amin Jaya, Kalimantan Tengah BERKELIT DARI TENGKULAK
4
Info Desa
Desember, 2016
• Desa Minggirsari, Jawa Timur LEJITKAN POTENSI PERTANIAN • Desa Tamangalle, Sulawesi Barat MERAJUT ASA TENUN SUTRA • Desa Binaus, Nusa Tenggara Barat MENJAWAB KEBUTUHAN DASAR WARGA
Tokoh
32 Muhammad Yamin Langkah Padu Para Pemburu Madu
Jentera
46-49
PENERBIT
Pusat Data dan Informasi Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi (BALILATFO) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi PENASIHAT Eko Putro Sandjojo Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi PEMIMPIN UMUM H. M. Nurdin Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi WAKIL PEMIMPIN UMUM Ahmad Iman Staf Khusus Bidang Media PEMIMPIN REDAKSI Helmiati Kepala Pusat Data dan Informasi TIM REDAKSI Jajang Abdullah (Sekretaris Balilatfo) Leroy Sami Uguy (Kepala Puslitbang) Anto Pribadi (Kepala Puslatmas) Suparman (Kepala Pusdiklat)
• Membangunkan Kembali Geliat Tepian Sungai Kahayan
SEKRETARIAT REDAKSI
Elly Sarikit Kabid. PDT dan Transmigrasi
• Jalan Terjal Menikmati Kopi di Manipi
Aditya Hendra Krisna Kabid. Pengembangan Sistem Informasi dan Sumberdaya Informatika Rusman Staf Bidang Media Ria Fajarianti Kasubbid. Pengumpulan dan Pengolahan Data PDT dan Transmigrasi
Transmigrasi
Anton Tri Susilo Kasubbid. Penyajian Informasi PDT dan Transmigrasi
50
Ichsan Nur Ahadi Kasubbid. Pengumpulan dan Pengolahan Data Desa Nur Haryadi Kasubbid. Penyajian Informasi Desa Hardiman Wahyudi Kasubbid. Sumber Daya Informatika Wuwuh Sarwoaji Kasubbag. Tata Usaha
Merajut Asa di Kaltara
Karya
58
Layar Terkembang Bersama Pinisi
Alfandi Pramandaru Penyusun Bahan Data dan Informasi
ALAMAT
Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi (Balilatfo). Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Jalan TMP Kalibata No 17 Jakarta Selatan 12750 Telp : 021 – 7900039 Fax : 021 - 7900030
Desember, 2016
Info Desa
5
Peristiwa
Jokowi Janji Dana Desa Naik Dua Kali Lipat
P
TWITTER/KEMENDESA
residen Joko Widodo berjanji untuk terus menaikkan anggaran dana desa hingga dua kali lipat. Jika pada tahun ini dana desa dianggarkan Rp 47 triliun, kata dia, pada tahun anggaran 2017 dana tersebut akan dinaikkan menjadi Rp 60 triliun dan setelah itu akan terus ditingkatkan lagi. “Setelah tahun depan, sudah dihitung-hitung, saya mau naikkan dua kali lipat. Pada 2018 dua kali lipat,” kata Jokowi di Desa Sumurgeneng, Kecamatan Tasikharjo, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, Senin, 28 November 2016. Sebagai mandat pelaksanaan UU Desa No 6/2014, pemerintah sejak 2015 menyalurkan dana desa. Besarnya dana desa yang disalurkan ketika itu mencapai Rp 20,76 triliun di mana rata-rata per desa mendapatkan Rp 280,3 juta. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo mengatakan, besarnya dana desa yang diperoleh oleh masing-masing desa akan dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat berskala lokal yang diselenggarakan secara swakelola. “Kontribusi dana desa pada Produk Domestik Bruto sebesar 0,9 persen,” kata Menteri Eko dalam makalahnya berjudul Membangun Ekonomi Indonesia dari Desa yang disampaikan pada acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia yang diselenggarakan oleh Indef, di Jakarta, pada Selasa, 6 Desember 2016. Selain memberikan kontribusi signifikan terhadap PDB, Eko menuturkan, dana desa juga berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 0,04 persen, kesempatan bekerja masyarakat miskin desa sebesar 6,56 persen, dan penyerapan tenaga kerja 2.331.235 orang.
6
Info Desa
Desember, 2016
Sejak disalurkan pertama kali pada 2015, manfaat dana desa telah dirasakan masyarakat. Kepala Desa Kemiri Barat, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Ali Muhyidin menilai program dana desa memberi perubahan cukup signifikan bagi desa. Dana desa terbukti efektif membangkitkan semangat masyarakat dalam membangun desa. “Selama tujuh puluh tahun Indonesia merdeka, desa yang awalnya hanya menjadi obyek pembangunan, kini bisa menentukan nasibnya sendiri,” katanya. Muhyidin menuturkan, pada 2015, desanya mendapat dana Rp 290 juta. Dana itu digunakan untuk membuat tanggul. Dulu bantuan untuk desa menunggu dari pemerintah pusat. Namun sekarang bantuan untuk setiap desa hampir sama
dan penerapan di lapangan cukup baik. Sementara itu, untuk dana desa tahun 2016, Muhyidin berencana menggunakan dana itu untuk membangun jalan dan jembatan. Tahun ini desanya menerima Rp 651 juta. Pembangunan jalan dan jembatan itu diakui sudah melalui musyawarah desa. Lain halnya dengan Desa Tani Bhakti, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara. Warga desa di sana menggunakan dana desa untuk membuat penampungan cadangan air bersih atau embung. Saat mengunjungi desa tersebut pada Senin, 5 Desember 2016, Presiden Joko Widodo didampingi Ibu Iriana Joko Widodo mengatakan, kebutuhan air pada musim hujan di Samboja terbilang mencukupi. Namun kondisi
Peristiwa sebaliknya terjadi bila sudah masuk musim kemarau. “Itu sebabnya pembuatan embung akan terus diperbanyak guna mengatasi kekurangan air di seluruh desa, terutama pada musim kemarau,” ujar Jokowi. Turut mendampingi kunjungan kerja Presiden antara lain Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek, Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari, dan Kepala Desa Tani Bhakti Alamsyah. Jokowi mengatakan pengerjaan embung atau tandon air sudah rampung semuanya. Embung yang pertama menghabiskan dana desa Rp 201 juta di setiap lokasi. Ada juga embung yang memakan biaya Rp 238 juta. Luasnya sekitar 5.000 meter persegi. Jokowi menjelaskan, pembuatan embung di Samboja lebih murah dibandingkan di Pulau Jawa. Di Jawa, satu embung yang dilapisi plastik dengan luas satu hektare menghabiskan biaya Rp 1 miliar. “Di sini habisnya kira-kira Rp 500 juta, tapi belum ada plastiknya. Saya kira lebih murah,” katanya. l
Dari Ketahanan Pangan hingga Restorasi Gambut
P
residen Joko Widodo berkomitmen membangun ketahanan pangan nasional, salah satu upayanya, mengarahkan pemanfaatan program dana desa sebesar Rp 60 triliun pada 2017 untuk meningkatkan produksi pangan. Hal itu disampaikan Presiden pada sambutan penyerahan penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara tahun 2016 di Istana Negara, Rabu, 30 November 2016. “Akan saya kontrol terus penggunaan dana desa ini agar bisa masuk kepada yang berkaitan dengan produksi pangan, baik membangun irigasi atau pembuatan embung (kantong air). Ini akan meningkatkan produksi pangan kita. Saya kalau dengar yang namanya impor pangan, sedih banget,” ujarnya seperti dikutip dari laman presidenri.go.id. Untuk terus meningkatkan pembangunan fasilitas produksi pangan di pedesaan tersebut, pemerintah juga berkomitmen meningkatkan alokasi dana desa. Untuk tahun 2017, alokasi dana desa sudah ditetapkan sebesar Rp 60 triliun, naik dari sebelumnya, Rp 47 triliun. “Tahun lalu dana desa kita berikan Rp 20,5 triliun, tahun ini Rp 47 triliun, tahun depan Rp 60 triliun. Untuk tahun 2018 saya sudah minta pada menteri, supaya bisa Rp 120 triliun,” tegasnya.
Pemerintah juga ingin menggunakan dana desa untuk merestorasi lahan gambut. Dana desa ini dinilai cocok dan sesuai jika digunakan untuk memperbaiki lahan gambut yang rusak. “Lahan gambut sering terbakar saat kemarau, dan ketika lahan dikeringkan, air akan jadi tambah susah. Nah, dana desa kan gunanya untuk infrastruktur yang kelihatan, seperti jalan dan sekolah, serta tentang air dan sumbernya,” kata Nazir Fuad, Ketua Badan Restorasi Gambut. Alasan menggunakan dana desa, kata Nazir, karena pihaknya ingin mendorong penyimpanan air di lahan gambut. Sehingga, saat kemarau nanti, persediaan airnya cukup. “Itu juga bagus untuk tanaman dan kebutuhan sehari-hari,” ujarnya. Nazir mengatakan, Badan Restorasi Gambut (BRG) menargetkan merestorasi lahan gambut di 2.945 desa di tujuh provinsi yang memiliki lahan gambut. Tingginya kebakaran hutan dan lahan menjadi alasan untuk merestorasi lahan gambut di Indonesia yang memiliki variasi gambut tertinggi di dunia. “Ini menambah posisi tawar negosiasi untuk kepentingan di Indonesia dalam politik global,” katanya. Tujuh provinsi menjadi prioritas restorasi lahan gambut, yaitu adalah Jambi, Sumatera Selatan, Riau, Papua, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan. l
Desember, 2016
7
Info Desa
Peristiwa
Membangun Desa Butuh Komitmen Lintas Kementerian
M
embangun desa tidak semudah membalikkan telapak tangan, melainkan harus fokus dan membutuhkan komitmen lintas kementerian supaya desa-desa di Indonesia maju dan berkembang di masa depan. Presiden Joko Widodo berkomitmen membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Hal itu disampaikan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo dalam acara malam penganugerahan Desa Unggulan Pilihan Tempo 2016, di Hotel Bidakara Jakarta, pertengahan November 2016. “Membangun desa tidak perlu menunggu program sempurna terlebih dulu, melainkan harus dimulai dan fokus,” katanya. Dia juga mengajak semua pihak untuk bersatu dalam membangun desa. “Tanpa persatuan dan kesatuan kita tidak bisa membangun desa-desa di Indonesia selama 71 tahun Indonesia merdeka,” ujarnya. Selain Menteri Eko, hadir dalam acara tersebut, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dan Menteri Koperasi dan UMKM AA Gede Ngurah Puspayoga. Eko mengatakan, saat ini ada 17 kementerian yang fokus membangun desa-desa di Indonesia, salah satunya Kementerian Pertanian. Peran Kementerian Pertanian dibutuhkan mengingat 80 persen masyarakat desa hidup di sektor pertanian. “Keberhasilan pembangunan desa juga ditentukan dari peran Kementerian Pertanian yang membantu masyarakat desa dalam masa tanam, panen, dan pasca panen. Desa-desa yang maju ditandai dengan skala produksi yang besar sehingga memungkinkan tersedianya sarana pasca panen.
8
Info Desa
Desember, 2016
Jika tidak ada sarana pasca panen, komoditi pertanian tidak tertampung dan membuat harga turun,” ujarnya. Menanggapi hal itu, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan Kementerian Pertanian terus membantu petani di desa agar hasil panen baik dan harga tidak jatuh. “Kami usahakan tidak banyak impor. Kalau impor pangan, harga petani jatuh,” katanya. Kementerian Pertanian, Amran melanjutkan, juga membangun irigasi di desa-desa yang menjadi program unggulan tahun ini. “Air itu penting sekali untuk petani apalagi bagi desa yang hanya mengandalkan air hujan,” ucapnya. Selain itu, Kementan juga membantu petani untuk menyediakan alat-alat pertanian.
Menteri Eko menambahkan, desa-desa di Indonesia mempunyai potensi yang besar untuk membantu menaikkan perekonomian di Indonesia. Namun sebelum itu, perekonomian di desa harus digerakkan agar masyarakat desa dapat hidup mandiri. “Karena itu fokus kita selalu bantu desa salah satunya dengan pemberian dana desa,” ujarnya. Menteri Koperasi dan UMKM AA Gede Ngurah Puspayoga mengatakan, untuk membangun desa dibutuhkan sinergitas antar kementerian dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan. “Dengan demikian akan tercipta pemerataan kesejahteraan di seluruh desa di Indonesia,” katanya berharap. l
Peristiwa
Raup Untung Besar, BUMDes Diproyeksikan Masuk Pasar Modal
M
enteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo mengatakan, potensi yang dimiliki Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sangat besar. Saat ini, dari 12.000 BUMDes, 8.000 di antaranya sudah beroperasi dan 30 persennya memiliki profit bagus. “Rata-rata keuntungan yang diperoleh BUMDes mencapai Rp 1 miliar per tahun. Jika masing-masing desa memiliki BUMDes, maka total keuntungan yang dimiliki BUMDes mencapai Rp 70 triliun. Ini menunjukkan potensi BUMDes sangat besar, sehingga BUMDes bisa masuk pasar modal dan membiayai proyekproyek pembangunan,” kata Menteri Eko di depan peserta Rembuk Desa Nasional, di Jakarta, pertengahan November 2016. Pembicara lain dalam acara tersebut adalah Tanri Abeng, mantan Menteri BUMN yang juga seorang pengusaha, dan Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo. Eko berharap, dengan mengoptimalkan BUMDes, potensi dan sumber daya alam milik desa bisa termanfaatkan secara maksimal dalam pembangunan ekonomi masyarakat desa. “Pengelolaan sumber daya di desa perlu ditingkatkan, harapannya kesempatan bagi desa untuk sukses akan besar. Mari sama-sama membangun desa,” ajak Menteri Eko. Tanri Abeng mengatakan, desa memiliki harta karun yang sangat besar, namun sayangnya belum dikelola dengan baik. Persoalan lain, usaha kecil di desa tidak punya akses dana dan manajemen sehingga proses penciptaan nilai tidak terjadi. “Padahal, tugas pelaku usaha di seluruh dunia adalah menciptakan kemakmuran,
tidak terkecuali di desa. Pemerintah, dalam hal ini, hanya memfasilitasi,” ujarnya. Oleh karena itu, Tanri menyarankan agar BUMDes memperhatikan tiga hal mendasar supaya bisa menciptakan nilai tambah dan berkembang. Ketiga hal mendasar tersebut adalah struktur, sistem, dan keterampilan (skill). Tanri menuturkan, BUMDes perlu membuat struktur yang jelas untuk mengembangkan bisnis berikut potensi yang dimiliki hingga mampu menciptakan pasar. Sedangkan sistem terkait dengan cara-cara mengelola BUMDes. Adapun keterampilan berkaitan dengan kemampuan SDM dalam mengelola BUMDes. “BUMDes yang sukses sangat tergantung dari kualitas SDM, karakter, dan integritas dalam mengelola BUMDes secara teknis,” ucapnya.
Bupati Yoyok menekankan BUMDes bukan milik perorangan, melainkan milik desa. “Membuat BUMDes itu susahnya setengah mati. Jika salah kelola bisa bahaya. Namun sebaliknya, jika mampu dikelola dengan baik, maka BUMDes bisa menjadi kekuatan ekonomi yang dahsyat, karena membangun BUMDes sejatinya membangun kewirausahaan sosial di desa,” ujarnya. Yoyok berharap pengelolaan BUMDes dilakukan secara transparan dan inovatif. “Jika dua hal ini mampu dijalankan, maka Anda membangun desa di atas pondasi yang kokoh, sebaliknya jika tidak mampu dijalankan, Anda membangun desa di dasar pasir yang mudah runtuh,” katanya. l
Desember, 2016
9
Info Desa
Peristiwa
Kemendesa dan Kemenkes Gagas Rumah Sehat
K
ementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi bersama Kementerian Kesehatan menggagas ide tentang rumah sehat. Gagasan tersebut mengemuka dalam pertemuan di kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, pada minggu pertama November 2016. Hadir dalam pertemuan tersebut antara lain Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo, Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek, serta pejabat eselon 1 dari masing-masing kementerian. Kepala Balilatfo Kemendesa PDTT, Nurdin, yang hadir dalam pertemuan tersebut mengatakan, gagasan tersebut muncul sebagai upaya dua kementerian untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di desa. “Selain pendidikan,
10
Info Desa
Desember, 2016
kesehatan merupakan layanan dasar bagi masyarakat desa dan kami ingin mewujudkan layanan dasar tersebut melalui pendirian rumah sehat,” katanya. Nurdin menambahkan, saat ini penyakit stroke muncul di desa. “Ini yang menjadi keprihatinan bersama kami, juga terhadap persoalan-persoalan kesehatan yang lain yang terjadi di desa. Saat ini, gagasan rumah sehat sedang dibahas dalam tim Kemendesa dan Kemenkes. Melalui rumah sehat kami ingin melakukan upaya preventif sekaligus promotif,” ujarnya. Ditemui terpisah, Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek mengatakan, bicara soal kesehatan tidak bisa berdiri sendiri, melainkan butuh kerja sama lintas sektoral, salah satunya dengan Kementerian Desa PDTT. “Saya selalu mengatakan antara puskesmas dan rumah, ada komunitas.
Di situlah ada rumah sehat. Kita harus lihat kondisi rumahnya bagaimana? Apakah ada ventilasi dan sanitasinya atau tidak? Ini merupakan pendekatan rumah sehat melalui keluarga,” ujarnya. “Pak Menteri Desa (Eko Putro Sandjojo) sudah setuju untuk membangun rumah sehat di desa mana di dalamnya ada kegiatan posyandu, aktivitas senam untuk ibu hamil dan lansia, serta sosialisasi tentang makanan sehat,” kata Nila. Nila menambahkan, gagasan tentang rumah sehat ini sudah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo. “Nantinya Kementerian Desa akan membangun rumah sehat, sementara aktivitas kesehatan di dalamnya kami dari Kementerian Kesehatan yang akan mengisi. Masyarakat desa juga akan dilibatkan dalam menjaga kesehatan,” ujarnya. l
Peristiwa
Kemendes PDTT – BKKBN Bersinergi dalam Program KKBPK
K
ementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi terus berusaha mensejahterakan daerah tertinggal. Karena itu, selain membangun infrastruktur, Kementerian juga memperbaiki sumber daya manusia (SDM) masyarakat pedesaan. Mendes PDTT Eko Putro Sandjojo memutuskan untuk meminta bantuan kepada Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk mewujudkan mimpi pemerintah untuk membebaskan desa di Indonesia dari predikat desa tertinggal. BKKBN jalin kesepahaman bersama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi untuk meningkatkan sinergi dalam program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK). Hal ini sebagai upaya menjawab berbagai tantangan menghadang program KKBPK seperti mekanisme operasional program KKBPK yang relatif belum berjalan secara optimal, terbatasnya kuantitas dan kualitas tenaga lini lapangan maupun infrastruktur program KKBPK, terutama di wilayah tertinggal, terpencil dan perbatasan, serta dana operasional lini lapangan. Mendes PDTT Eko Putro Sandjojo, berkomitmen akan membantu program keluarga berencana di desa melalui tenaga pendamping desa yang tersebar diseluruh Indonesia. “Lewat upaya ini, seluruh jajaran BKKBN dapat memberikan masukan materi terkait program KB bagi tenaga pendamping desa yang ada diseluruh Indonesia, selain itu juga dapat melalui pelatihan kepada kepala desa terkait program KB,” ujarnya.
Eko mengakui, saat ini program-program di desa masih fokus pada pembangunan infrastruktur dan peningkatan kualitas ekonomi. Meski demikian, tidak dengan melupakan sisi pemberdayaan masyarakat. “Karena faktor ekonomi tidak melulu menjadi penyebab tingginya anak stunting. Contohnya saja Sleman yang merupakan daerah lumbung pangan Yogya, tetapi stunting-nya hingga 26 persen. Ini masalah ada pada edukasi dan sanitasi air bersih terutama,” ujarnya. Eko melanjutkan, BKKBN dapat menjadi salah satu yang memberikan pemahaman kepada pendamping desa dan kepala desa, yang berkaitan dengan program-program BKKBN. Sehingga, masyarakat desa menjadi lebih memahami pentingnya program-program yang dijalankan BKKBN, misalnya aturan minimal usia remaja yang menikah. “Kita punya pendamping desa, saat pelatihan kita masukkan materi-materi BKKBN. Saat pelatihan kepala-kepala desa juga. Kita sepakat untuk membic-
arakan program-program dengan kementerian dan lembaga terkait agar tidak ada duplikasi program,” ujarnya. Menanggapi hal tersebut, Kepala BKKBN Surya Chandra Surapaty menjelaskan, selain program Kampung KB, program yang bisa dikerjasamakan dengan Kementerian Desa adalah program Genre (Generasi Berencana). Menurut dia, jika selama ini program genre berbasis mahasiswa dan pelajar, maka ke depan akan dikembangkan menjadi berbasis masyarakat desa. “BKKBN terus berupaya menyinergikan pentingnya program KKBPK pada masyarakat. BKKBN terus-menerus menjalin kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan melalui kerja sama dalam beragam bentuk,” kata Surya Chandra Surapaty. Diharapkan, kesepahaman bersama ini menjadi daya ungkit bagi sinergitas antara BKKBN dan para pemangku kepentingan juga mitra kerja dalam pelaksanaan program KKBPK untuk mewujudkan Indonesia sejahtera. l
Desember, 2016
11
Info Desa
Liputan Utama Desa bisa menjadi kawasan wisata yang hebat karena memiliki keunikan alam, kehangatan warga, keanekaragaman budaya, keotentikan adat istiadat. Pengelolaannya di bawah BUM Des atau koperasi.
P
ertengahan Oktober lalu, Pemerintah Kabupaten Temanggung punya hajatan. Untuk menarik kunjungan wisatawan, pemerintah kabupaten meluncurkan 10 desa wisata. Pembukaan acaranya cukup unik, diawali kirab budaya dengan mengusung sejumlah gunungan yang tersusun dari hasil bumi setempat, sebelum acara Gerebek Agung Tuk Tempurung di kawasan Situs Liyangan, Desa Purbosari, di lereng Gunung Sindoro, dimulai.
Menggerakkan Ekonomi Desa Berbasis Wisata 12
Info Desa
Desember, 2016
Kirab tersebut dipimpin Kades Purbosari Saifuddin Ansory. Kirab yang diikuti beberapa kelompok kesenian tradisional tersebut dimulai dari balai desa menyusuri jalan desa yang masih berupa tatanan batu menuju situs Liyangan. Setelah doa bersama, gunungan tersebut menjadi rebutan warga. Di areal utama situs Liyangan, empat seniman menampilkan tarian ritual Mustika Tirto yang diiringi dengan rebab dan kenong sembari seorang warga mengalunkan kidung untuk keamanan dan kesejahteraan warga. Di akhir kegiatan, Bupati Temanggung dan Kades Purbosari menyiramkan air dari Tuk Tempurung ke bangunan candi sebagai penanda warga untuk menjaga sumber air dan kesuburan. Saifuddin mengatakan, ritual itu merupakan wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan nikmat dan karunia tidak terhitung kepada warga. Melalui ritual ini, warga
Liputan Utama diingatkan untuk selalu menjaga lingkungan. Terjaganya lingkungan akan berfaedah pada tanah yang tetap subur dan sumber air tetap bersih. “Ritual ini juga untuk memperkenalkan potensi Liyangan pada masyarakat luas,” katanya. Situs Liyangan yang terdapat di Desa Purbosari merupakan satu dari 10 desa wisata yang diluncurkan pada hari itu. Bupati Temanggung Bambang Sukarno, menyebutkan, sembilan desa wisata yang lain adalah Ngropoh, Traji, Pagergunung, Tegalrejo, Soropadan, Menggoro, Tawangsari, Kedu, dan Tlahab. Bambang mengatakan, peluncuran desa wisata di daerahnya bertujuan membangkitkan kebudayaan dan keindahan alam di Temanggung untuk menarik wisatawan. “Saya kira 10 desa tersebut nantinya menjadi ikon Temanggung. Sepuluh desa wisata itu sudah ditetapkan, tinggal mencarikan anggaran, termasuk dari APBD Kabupaten Temanggung,” ujarnya.
Di Tabanan baru ada sekitar 41 desa wisata, tapi belum semuanya beroperasi secara optimal. Diharapkan ke depannya pemerintah pusat melalui BUMN ikut membantu mengangkat status desa menjadi desa wisata, seperti yang dilakukan terhadap Desa Pinge. Antusiasme pemerintah daerah mendorong desa-desa di wilayahnya menjadi desa wisata merupakan respons atas gagasan Presiden Joko Widodo. Di sela-sela acara Puncak Sail Karimata 2016 di Pelataran Pantai Pulau Datok, Desa Sutera, Kecamatan Sukadana, Kabupatan Kayong Utara, Kalimantan Barat, pada pertengahan Oktober lalu, Presiden Jokowi melemparkan gagasan tentang desa wisata.
Pada Senin, 17 Oktober 2016, Arief kemudian mengutus Deputi Pengembangan Destinasi dan Industri Kemenpar Dadang Rizky untuk menindaklanjuti pembahasan teknis dengan Dirjen PPMD Kemendesa PDTT Ahmad Erani Yustika.
Di Bali, Pemerintah Kabupaten Tabanan antusias mendorong semua desa di daerahnya menjadi desa wisata. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi alih fungsi lahan pertanian sehingga dapat mempertahankan status lumbung pangan Bali. Bupati Tabanan Putu Eka Wiryastuti meyakini status desa wisata lebih ampuh menahan laju alih fungsi lahan menjadi sarana akomodasi wisata. “Kalau semua jadi desa wisata, otomatis tanahnya tidak dijual, dan pendapatan masyarakat meningkat karena mereka tidak hanya menjadi penonton,” katanya saat penandatanganan kerja sama BUMN dengan Desa Pinge di Tabanan, pada pertengahan November lalu. Wiryastuti mengatakan, setelah bekerja sama dengan Desa Pinge, pihaknya akan mendorong Desa Belimbing di Kecamatan Pupuan untuk menjadi desa wisata. Menurut dia, keberadaan desa wisata sangat membantu meningkatkan pendapatan masyarakat.
Ditemui usai acara Rembuk Desa Nasional, di Jakarta, pada pertengahan November 2016, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo optimistis pengembangan desa wisata di Indonesia dapat berjalan. “Pengembangan desa wisata banyak yang sudah jalan, lihat saja Ponggok. Mudah-mudahan dana desa yang diberikan pemerintah kepada desa-desa di Indonesia bisa men-support pengembangan desa-desa wisata, salah satunya untuk membuat food court atau saung di sekitar pantai,” ujarnya. Ponggok adalah nama desa di Kecamatan Polanharjo, Klaten, Jawa tengah, yang mengembangkan desa wisata berbasis atraksi bawah air. Dalam setahun, desa ini mampu menghasilkan pendapatan Rp 4-6 miliar.
Mendengar gagasan tersebut, Menteri Pariwisata Arief Yahya langsung berkoordinasi dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. “Saya sudah mengontak Pak Eko Putro Sandjojo, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Kami akan segera menentukan quick win, destinasi mana saja yang paling siap diformat menjadi desa wisata,” kata Arief, seperti dilansir dari twitter Kemenpar.
Dadang Rizky menuturkan, desa-desa wisata di Indonesia perlu dikembangkan, sesuai dengan karakteristik dan potensi yang terdapat di masing-masing desa. “Kita dorong desa-desa yang memiliki potensi tersebut melalui pemanfaatan anggaran dana desa yang diputuskan melalui musyawarah desa. Harapan kami, dana desa bisa dimanfaatkan oleh desa yang mengusulkan daerahnya menjadi desa wisata,” ujarnya saat ditemui Info Desa pada peluncuran Kalender Wisata Pesona Manado 2017 di Gedung Sapta Pesona, kantor Kementerian Pariwisata, pada minggu ketiga November 2016. Dadang mengatakan, karakter desa wisata yang nantinya dikembangkan oleh Kementerian Pariwisata dan Kementerian Desa meliputi 3A, yaitu atraksi, akses, dan amenitas. “Destinasi yang bagus karena ada atraksi yang unik dan menarik, seperi di Labuan Bajo ada atraksi komodo. Kami
Desember, 2016
13
Info Desa
Liputan Utama berharap, desa-desa wisata mampu membuat atraksi yang unik dan khas dari desa sehingga atraksi yang ditampilkan bisa menjadi pengalaman seumur hidup bagi turis yang datang. Mereka juga bisa mengikuti kehidupan di desa saat menginap di homestay-homestay milik warga desa,” katanya. Dadang memperkirakan, wisata budaya berbasis tradisi masyarakat lokal akan lebih disukai turis ketimbang wisata alam dan wisata buatan. “Tapi berapa prosentasenya masih kami hitung, apakah wisata budaya yang akan lebih banyak mendapat sambutan dari turis atau wisata alam atau juga wisata buatan, termasuk jumlah kunjungan wisatawan ke desa wisata,” ucapnya. Kerja sama dua kementerian untuk mengembangkan desa wisata akhirnya berbuah manis dengan ditandatanganinya beberapa poin kesepakatan. “Dua minggu lalu, kami menandatangani MoU dengan Kementerian Pariwisata,” kata Dirjen PPMD Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Ahmad Erani Yustika mengonfirmasi hal tersebut saat ditemui di ruang kerjanya, pada minggu ketiga Desember 2016. Erani menjelaskan, salah satu poin kesepakatan kerja sama tersebut antara lain Kementerian Pariwisata menunjuk 10 destinasi wisata prioritas yang telah ditetapkan pemerintah sebagai lokasi pengembangan desa wisata. Kesepuluh destinasi wisata prioritas tersebut adalah Mandalika, Lombok; Labuan Bajo; Pulau Morotai; Tanjung Kelayang; Tanjung Lesung; Danau Toba; Wakatobi; Bromo-Tengger-Semeru; Candi Borobudur, dan Kepulauan Seribu. “Kementerian Desa sendiri menargetkan dari 74.754 desa di Indonesia, ada sekitar 7.500 desa wisata di Indonesia sampai dengan 2019,” ujarnya. Erani mengatakan, Kementerian Desa telah merancang program desa wisata sejak 2015 ketika pertama kali mengawal pelaksanaan dana desa. Saat itu, Kementerian Desa telah memfasilitasi 10 desa yang dijadikan pilot project, salah satunya di Sulawesi Tenggara. Di Kementerian Desa, Erani menjelaskan, program
14
Info Desa
Desember, 2016
desa wisata berada di bawah payung Lumbung Ekonomi Desa yang tujuannya memperkuat ekonomi desa. “Kami bahkan meletakkan kegiatan desa wisata pada urutan nomor satu karena kami menilai desa memiliki segala sumber daya yang memungkinkan desa menjadi kawasan wisata yang hebat,” katanya. Yang dimaksud Erani desa menjadi kawasan wisata yang hebat karena desa memiliki keunikan alam, kehangatan warga, keanekaragaman budaya, keotentikan adat istiadat dan norma-norma yang memungkinkan keseluruhan faktor tersebut menjadi daya topang bagi penciptaan tren wisata di masa yang akan datang. “Setiap desa di Indonesia memiliki keunikan dan potensi untuk dikembangkan wisatanya,” ujarnya. Erani melanjutkan, saat ini tren wisata kembali kepada keaslian lingkungan dalam pengertian luas di mana wisatawan, khususnya wisatawan mancanegara ingin belajar budaya asli masyarakat setempat, arsitektur otentik masing-masing wilayah, keaslian lingkungan alam, kehangatan dan harmoni warga desa. “Itu yang saat ini dicari oleh wisatawan mancanegara dan desa memiliki semua itu, tinggal bagaimana sekarang mengolah sumber daya tersebut dengan manajemen modern.” Erani mengatakan, Kementerian Desa akan mengawinkan pengembangan desa wisata dengan Badan Usaha Milik Desa (BUM Des). “Nantinya yang mengelola desa wisata adalah BUM Des atau koperasi sehingga keberadaan desa wisata benar-benar bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat desa,” katanya. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat desa, Erani menuturkan, pengembangan desa wisata diarahkan pada
tiga hal pokok sesuai visi dan misi Kementerian Desa. Pertama, desa harus menguasai dan menggerakkan potensi ekonomi lokal, tidak boleh hal itu dibiarkan menganggur atau digerakkan oleh orang di luar desa. Kedua, masyarakat desa bisa membangun organisasi ekonomi yang kokoh di desa, sebab bagaimanapun kegiatan ekonomi perlu diorganisir. Salah satu yang kita dorong melalui BUM Des, sehingga sumber daya di desa tidak menjadi milik privat, tetapi menjadi keberkahan semua warga desa. Ketiga, pengelolaan desa wisata diarahkan pada pendekatan lingkungan dan partisipasi warga yang menjadi tiang penyangganya. “Dengan demikian, pendekatannya bukan semata modal material tetapi modal sosial ditambah dengan sensitivitas warga untuk menyeimbangan antara kepentingan ekonomi dan lingkungan. Tiga hal pokok ini yang kita jaga dalam pengembangan desa wisata,” ujarnya. Menteri Arief Yahya mengatakan, untuk memberdayakan masyarakat di sekitar daerah wisata, Kementerian Pariwisata melihat solusinya terletak pada pengembangan homestay. “Homestay akan kita bangun untuk desa-desa wisata yang ada di semua destinasi,” ujarnya kepada Info Desa. Program desa wisata, Arief menambahkan, juga berkaitan dengan rencana membangun 100 ribu homestay yang akan dimulai pada 2017. “Ketika desa wisata sudah siap jual, akan langsung dipromosikan. Lalu, selling platform juga dimasukkan dalam DMP atau Digital Market Place. Desa wisata bisa berfungsi ganda, yakni amenitas dengan homestay dan atraksi karena berada dalam atmosfer kehidupan masyarakat desa,” kata Arief. l
Liputan Utama
Proyek SPRITE dan Explore Rural India Dampak keberadaan desa wisata antara lain menciptakan lapangan pekerjaan baru, mengurangi arus urbanisasi, dan alternatif pekerjaan di sektor pertanian.
M
ungkin tidak banyak yang tahu bahwa aktivitas wisata berbasis pedesaan di Jerman sudah berlangsung sejak tahun 1970-an. Kemunculan sektor wisata di negeri Der Panzer, julukan Jerman, sendiri didorong insentif liburan yang diberikan kepada para pekerja kelas menengah. Mereka yang berasal dari kelas sosial ini kemudian memutuskan menghabiskan waktu berlibur di kawasan pedesaan. Walhasil, kawasan pedesaan di Jerman tumbuh menjadi destinasi wisata baru di luar perkotaan, sekaligus menggerakkan roda perekonomian desa.
Apa yang dilakukan pemerintah Jerman dan Cina merupakan langkah konkret dalam mengembangkan kawasan desa menjadi desa wisata. Mereka secara kreatif memanfaatkan basis-basis sejarah dan budaya lokal yang kuat berikut pesona keindahan alam desa menjadi ciri pembeda yang tidak dimiliki destinasi di wilayah perkotaan. Kebijakan pengembangan wisata berbasis pedesaan tersebut memberikan dampak yang cukup signifikan bagi desa. Penelitian yang dilakukan de la Tore, Hedalgo, dan Fuentes menyebutkan dampak keberadaan desa wisata antara lain menciptakan lapangan pekerjaan baru, mengurangi arus urbanisasi, dan alternatif pekerjaan di sektor pertanian.
Lain halnya di Cina. Pemerintah negeri Tirai Bambu tersebut menggabungkan potensi alam, kebudayaan masyarakat lokal, dan jejak sejarah perdagangan untuk tujuan wisata. Cina dikenal sebagai negara yang memiliki latar belakang historis jalan sutra. Wilayahwilayah sepanjang jalan sutra yang telah lama ditinggalkan kemudian dihidupkan kembali. Dampak kebijakan tersebut signifikan. De-Gang dan Xiao Li mencatat, wilayah-wilayah sepanjang jalan sutra kini ramai dikunjungi wisatawan.
Tingginya peluang pengembangan wisata berbasis pedesaan kemudian mendorong negara-negara Uni Eropa memulai proyek yang disebut Supporting and Promoting Integrated Tourism in Europe’s Lagging Rural Region (SPRITE). Proyek tersebut melibatkan berbagai negara, seperti Republik Ceko, Perancis, Yunani, Irlandia, Spanyol, dan Inggris. Menurut Clark dan Chabrel, tujuan utama proyek tersebut adalah mengembangkan kawasan pedesaan yang terbelakang dengan menggantungkan harapan pada sektor wisata.
Langkah serupa juga dilakukan India. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah di Negeri Hindustan ini gencar menggalakkan proyek desa wisata melalui kementerian pariwisata. Tiap desa akan mendapatkan bantuan untuk membangun desa wisata setelah sebelumnya mereka diminta membuat proposal tentang pengembangan wisata di desa masing-masing. Proposal tersebut akan dinilai oleh kementerian pariwisata dan dinas pariwisata provinsi. Hanya proposal terbaik yang berhak mendapatkan dana pembangunan desa wisata yang anggarannya berasal dari pemerintah pusat. Perhatian pemerintah pusat tidak berhenti sampai di situ saja. India yang dikenal di dunia dengan brand “Incredible India”-nya ini kemudian memasarkan desa-desa wisata di sana dengan tagline “Explore Rural India”. Pemerintah juga aktif mengikutsertakan desa-desa wisata di India untuk mengikuti berbagai forum wisata internasional. Indonesia bisa belajar dari India, juga dari Jerman, Cina dan negara-negara lain yang gencar mengembangkan desa wisata. l
Desember, 2016
15
Info Desa
Liputan Utama
Eko Putro Sandjojo, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi:
Potensi Desa Wisata di Indonesia Cukup Besar
16
Info Desa
Desember, 2016
Liputan Utama
M
enjelang perhelatan Sail Karimata 2016 yang dipusatkan di Pantai Pulau Datuk, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat, dan dibuka secara langsung oleh Presiden Joko Widodo, pada pertengahan Oktober lalu, ratusan turis mancanegara telah berdatangan. Setelah yacht mereka bersandar di Kayong, mereka kemudian mengunjungi Pantai Pasir Mayang, Pantai Tambak Rawan, dan Desa Wisata Sudahan Jaya. Selama berada di Desa Wisata Sudahan Jaya, turis-turis tersebut antusias melihat secara langsung aktivitas penduduk lokal dalam membuat gula aren, termasuk menikmati tarian melayu dan Bali, serta menyantap kuliner khas masyarakat lokal di desa tersebut. Melihat aktivitas turis mancanegara tersebut, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo mengatakan Sail Karimata menjadi momentum untuk membangkitkan daerah tertinggal. “Dengan adanya Sail Karimata 2016, Kayong Utara yang masih masuk kategori daerah tertinggal, bisa memperkenalkan potensinya di tingkat nasional bahkan internasional,” katanya seperti dilansir dari Antara. Di sela-sela event wisata tahunan tersebut, Presiden Jokowi melemparkan gagasan tentang desa wisata, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Bagaimana pengembangan desa wisata di Indonesia, berikut petikan wawancara dengan Menteri Eko Putro Sandjojo dalam sejumlah kesempatan.
Bagaimana Anda menilai gagasan desa wisata? Menurut saya, gagasan tersebut bagus. Desa memiliki beragam potensi yang bisa dikembangkan di masa depan. Selain pertanian, perikanan dan kerajinan, sektor pariwisata di desa bisa menjadi tumpuan ekonomi nasional. Kemajuan di desa juga dapat mendorong munculnya pengusaha-pengusaha kreatif di semua sektor. Ada desa di Bali yang mampu menghasilkan pendapatan hampir Rp 30 miliar dari sektor pariwisata. Itu artinya, desa yang dibangun berbasis wisata memiliki potensi besar dalam menggerakkan ekonomi desa.
Sejauh mana pelaksanaan desa wisata di Indonesia? Sudah banyak yang jalan. Selain desa di Bali yang saya ceritakan tadi, beberapa desa mulai mengembangkan desa wisata. Salah satunya, Ponggok. Dalam setahun, desa yang terletak di Kecamatan Polanharjo, Klaten, Jawa Tengah ini mampu menghasilkan pendapatan sekitar Rp 4-6 miliar dan dikelola oleh BUM Des. Pendapatan sebesar itu berhasil mereka capai berkat kreativitas aparatur pemerintah setempat bersama warga desa dalam mengembangkan wisata berbasis atraksi bawah air. Keberhasilan Ponggok dan desa di Bali diharapkan mampu menjadi inspirasi bagi desa-desa lain dalam mengembangkan desa wisata di Indonesia.
Seperti apa konsep desa wisata dari Kementerian Desa? Kami merancang program desa wisata sejak pertama kali kami mengawal pelaksanaan dana desa pada 2015. Intinya, desa wisata dalam konsep Kementerian Desa adalah desa yang mampu mengeksplorasi potensi wisata yang dimilikinya dengan tetap menjunjung tinggi identitas lokal. Selain itu, desa-desa yang mengembangkan daerahnya dengan berbasis pada kegiatan wisata, saya harapkan untuk lebih menjaga dan memelihara lingkungannya, sebab citra desa wisata yang sudah
Desember, 2016
17
Info Desa
Liputan Utama dikenal masyarakat luas dan memiliki kesan positif bisa rusak hanya karena desa tidak mampu mengelola lingkungan termasuk sampah dengan baik. Jika desa wisata mampu menjaga dan memelihara lingkungan desa, maka desa bisa mewujudkan skala ekonomi yang lebih baik melalui BUM Des. Desa-desa seperti ini yang akan terus kami dorong dan kami bantu agar tercipta kesejahteraan bagi masyarakat desa.
Apa bentuk dukungan yang diberikan Kementerian Desa untuk mengembangkan desa wisata? Pada prinsipnya kami menaruh perhatian pada pengembangan desa wisata dengan memberikan pelatihan administrasi, pengelolaan keuangan, manajemen BUM Des, dan pelatihan lain yang mendukung pengembangan dan pemberdayaan perekonomian desa. Dana desa yang kami berikan mudah-mudahan bisa digunakan oleh desa untuk men-support pengembangan desa-desa wisata, salah satunya untuk membuat food court atau saung di sekitar pantai, sehingga penggunaan dana desa tidak saja diperuntukkan untuk pembangunan infrastruktur. Desa Kemasan, di Kecamatan Sawit Boyolali, Jawa Tengah, adalah salah satu desa yang telah memanfaatkan dana desa untuk mendukung wisata air yang dikelola oleh desa. Desa juga diharapkan dapat membuat embung. Selain menjadi solusi ketika desa menghadapi musim kemarau, embung dapat menjadi atraksi wisata yang menarik.
Menurut Anda, apa daya tarik dari desa wisata? Daya tarik yang dimiliki desa wisata, menurut saya, cukup banyak. Udara pegunungan yang sejuk, pemandangan alam desa yang indah, serta lingkungan desa yang bersih menjadi keunggulan sekaligus daya tarik yang dimiliki desa wisata. Itu belum ditambah dengan kekayaan budaya lokal dan tradisi yang sampai sekarang masih dipegang kuat oleh masyarakat akan melengkapi keberadaan desa wisata.
18
Info Desa
Desember, 2016
Liputan Utama Selain itu? Saat melakukan kunjungan kerja ke Yogyakarta, saya menyempatkan singgah di salah satu homestay milik warga di Desa Pentingsari. Homestay tersebut pernah dijadikan tempat live in wisatawan dari Australia. Selama live in, menurut cerita warga, turis dari Australia dan turis dari beberapa negara lain mengikuti aktivitas masyarakat sehari-hari, seperti menanam padi, memasak dengan kompor kayu. Mereka senang dan antusias dengan kegiatan yang diadakan masyarakat desa sehari-hari. Yang juga tidak kalah menarik dari Desa Pentingsari adalah tersedianya homestay yang disiapkan warga desa. Di sana ada 50 rumah milik warga yang dijadikan homestay dengan daya tampung sekitar 400 orang. Harganya terjangkau dan toiletnya bersih. Tidak hanya itu. Warga desa sekarang bahkan telah memiliki jeep sendiri yang dikelola oleh komunitas
jeep desa untuk melayani wisata lava tour ke Gunung Merapi. Ini menurut saya luar biasa.
Apa manfaat dari keberadaan desa wisata bagi masyarakat desa? Masyarakat desa bisa belajar banyak hal. Mulai dari mengidentifikasi potensi yang dimiliki desa untuk dikembangkan secara bersama-sama sebagai bagian dari atraksi wisata dalam menarik wisatawan datang. Lalu masyarakat desa bisa mengajukan pendapat dan usul dalam musyawarah desa, serta belajar berorganisasi dalam menyusun perencanaan program termasuk pengalokasian anggaran untuk kegiatan. Masyarakat desa juga bisa belajar cara berkomunikasi yang baik termasuk berbicara dalam bahasa Inggris saat melayani turis asing yang datang, serta mampu menemukan solusi secara bersama-sama dalam memajukan desa
wisata di daerahnya. Jika hal-hal tersebut telah dilatih dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa, maka program pemerintah dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di desa melalui pengembangan desa wisata dapat terwujud. Warga desa pun dapat menikmati kesejahteraan.
Apa harapan Anda terhadap desa wisata? Desa wisata dapat menjadi desa mandiri, desa yang mampu mengelola kebutuhan warganya secara mandiri tanpa tergantung dari pihak mana pun. Saya menargetkan sebanyak 15 ribu desa di daerah akan menjadi desa mandiri pada 2019 mendatang. Mudah-mudahan target tersebut tercapai berkat dukungan, komitmen dan kerja keras dari seluruh pemangku kepentingan di desa bersama warga desa dalam membangun desa menjadi lebih baik di masa depan. l
Desember 2016
19
Info Desa
Liputan Utama meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara maupun domestik. “Konsep desa wisata cukup sederhana, namun daya tariknya kuat. Seperti desa wisata di Bantul yang menyewakan sepeda ontel untuk menikmati suasana persawahan, ini juga cukup digemari banyak wisatawan Belanda,” ujarnya. Dalam catatannya, jumlah desa wisata yang terdaftar di lima kabupaten/ kota sampai saat ini mencapai 122 desa dengan sebaran 38 desa wisata di Sleman, 14 desa wisata di Gunung Kidul, 27 di Kota Yogyakarta, 33 di Bantul, dan 10 di Kulon Progo. Aris menargetkan kunjungan wisata di DIY selama 2016 dapat meningkat 10-15 persen dibanding 2015. Jumlah kunjungan wisatawan nusantara selama 2015 mencapai 3.813.720 orang atau melebihi target yang ditetapkan mencapai 3.581.860 orang. Sementara wisatawan manca-
Konsep desa wisata cukup sederhana, namun memiliki daya tarik kuat. Desa-desa wisata menawarkan atraksi wisata yang unik untuk memikat wisatawan.
L
ima tahun lalu, Desa Pentingsari yang terletak di Kelurahan Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta pernah dikunjungi 20 mahasiswa asal Austria. Dua puluh mahasiswa yang sedang belajar di Pusat Studi Asia Pasifik (PSAP) UGM Yogyakarta tersebut melakukan kunjungan lapangan (field trip) ke desa yang berjarak 20 km dari pusat kota Yogyakarta dan berada di bawah kaki Gunung Merapi. Di sana, mereka belajar tentang perkebunan, pengelolaan kopi, budidaya jamur, sayur organik, kerajinan, maupun petualangan alam.
20
Info Desa
Desember, 2016
Dari Atraksi Ronda Malam Hingga Petik Buah Setelah menyuguhkan tema wisata seputar pertanian dan perkebunan, kali ini warga desa punya ide yang sedikit nyeleneh. Mereka menyodorkan kegiatan ronda malam sebagai daya tarik wisata utama. “Ronda memang kegiatan biasa, namun dikemas menjadi sesuatu yang menarik bagi wisatawan, karena kegiatan ronda malam sudah mulai jarang dilakukan di perkotaan,” kata Kepala Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Aris Riyanta, seperti dilansir dari Antara. Aris mengatakan, Dinas Pariwisata DIY masih mengandalkan desa wisata sebagai salah satu wisata unggulan untuk
negara mencapai 272.162 orang, atau melebihi target 258.636 orang. Karena itu, pengembangan inovasi dan kreativitas warga desa untuk menunjang keragaman destinasi dan atraksi wisata tetap harus diperhatikan. “Tapi tidak perlu meniru daerah lain, melainkan mengacu pada potensi alam serta budaya yang dimiliki Yogyakarta,” ucapnya. Keberadaan desa-desa wisata di Yogyakarta menjadi alternatif wisata di samping destinasi wisata utama yang selama ini telah menjadi ikon Yogyakarta, seperti Candi Prambanan, Kota Gede, Keraton Yogyakarta, dan Taman Sari, tetap menjadi destinasi pilihan wisatawan.
Liputan Utama Lain halnya di Banyuwangi. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, mengembangkan agrowisata petik jeruk di Desa Temurejo, Kecamatan Bangorejo, untuk melengkapi tujuan wisata lainnya yang kini sedang maju pesat di daerah itu. Bupati Abdullah Azwar Anas menjelaskan agrowisata petik jeruk di Desa Temurejo, itu merupakan bagian dari upaya satu desa satu produk yang didorong oleh pemerintah daerah. “One village one product diterjemahkan sesuai potensi desa. Ada daerah yang sumber airnya melimpah kami dorong dengan program 10 ribu kolam ikan. Desa Temurejo sendiri merupakan salah satu sentra jeruk dan buah naga yang kita dorong sebagai agrowisata,” katanya. Agrowisata hortikultura ini, kata Azwar, akan menjadi rasa baru dan alternatif wisata bagi wisatawan yang berkunjung ke kabupaten berjuluk “The Sunrise of Java” itu. Di lokasi itu wisatawan akan merasakan sensasi memetik buah jeruk langsung di kebun. Menurut Anas, wisata agro sangat cocok dikembangkan di Banyuwangi mengingat potensi hortikultura yang ada di daerah itu. “Seperti jeruk, musimnya hampir sepanjang tahun ada. Kalau tidak ada jeruk, bisa diganti petik buah naga atau kopi, menyesuaikan musimnya,” ujarnya.
persen total produksi jeruk di Kecamatan Bangorejo. “Desa Temurejo juga dijadikan pilot project sentra jeruk nasional oleh Kementerian Pertanian,” tutur Anas. Sementara itu, Kepala Desa Temurejo, Fuad Musyadad, mengatakan, agrowisata petik jeruk akan dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUM Des). Nantinya, selain menambah penghasilan petani, hasil agrowisata juga dimanfaatkan untuk pengembangan desa. “Untuk mendukung agrowisata kami juga sudah meminta kepada pemilik kebun untuk membangun pondok-pondok di tengah kebun untuk tempat istirahat para wisatawan,” ujarnya.
mendukung agrowisata petik jeruk, terlebih lahan yang dimilikinya mudah diakses karena berada di pinggir jalan. Dari hasil kebunnya itu, Murkani mengaku sudah bisa memenuhi semua kebutuhan keluarganya. Dari satu hektare lahan yang dimilikinya dia bisa mendapatkan hasil panen Rp 300 juta per tahun. “Mulai dari pendidikan anak, sandang pangan hingga memiliki kendaraan sudah terpenuhi dari kebun jeruk ini. Saya tambah senang kalau desa ini dijadikan agrowisata. Selain dapat hasil panen juga dapat tambahan dari agrowisata ini,” ujar Murkani.
Dikatakan Fuad, sebenarnya ini bukan destinasi baru karena sebelumnya sudah banyak wisatawan yang datang. Namun, pihaknya sekarang ingin mengembangkan potensi tersebut lebih serius. “Bila biasanya wisatawan dari Pantai Pulau Merah langsung balik hotel, sekarang ini mulai banyak wisatawan yang beragrowisata petik buah naga ataupun jeruk di sini. Mereka mampir ke sini, untuk merasakan sensasi petik buah sambil buahnya dijadikan oleh-oleh,” ujar dia.
Anas mengatakan, agrowisata di Banyuwangi saat ini mulai tumbuh. Di sisi Utara Banyuwangi, tepatnya di Desa Gombengsari, Kecamatan Kalipuro juga tengah dikembangkan wisata kembang kopi. Di desa tersebut terhampar 850 hektare lahan perkebunan kopi rakyat.
Fuad melanjutkan, beberapa agen travel sudah meminta pihaknya untuk bekerja sama menjadikan Desa Temurejo sebagai bagian dari paket wisata. Wisata Petik buah jeruk menjadi salah satu atraksi wisata yg dipaketkan dengan destinasi wisata dari Pulau Merah ke Gunung Ijen atau sebaliknya. “Kami mengemas agrowisata dengan membebaskan pengunjung memetik sendiri buah jeruk di kebun milik warga. Per orang dikenakan biaya Rp 25 ribu bisa mengambil jeruk sebanyak 3 kilogram,” katanya.
Desa Temurejo sendiri menjadi sentra jeruk dengan hamparan kebun seluas 940 hektare. Dengan produksi 28.200 ton, desa tersebut menyumbangkan 40,75
Warga desa pun menyambut gembira adanya dukungan pengembangan wisata agro di desanya. Salah satu petani jeruk Murkani, 55 tahun, mengatakan sangat
Data Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Perkebunan Pemkab Banyuwangi menunjukkan produksi jeruk daerah itu terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2011, produksi jeruk berkisar 103.268 ton dengan luas panen 10.727 hektare. Produktivitasnya waktu itu mencapai 17,2 ton per hektare. Pada 2015, produksinya naik menjadi 354.685 ton dengan luas panen 12.804 hektare. Produktivitasnya naik menjadi 27,7 ton per hektare. l
Desember 2016
21
Info Desa
Liputan Utama
Ketika BUMN Terpikat Memoles Desa Wisata Program sinergi BUMN di bidang pariwisata merupakan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.
P
ertengahan November lalu, kesibukan Bupati Tabanan Putu Eka Wiryastuti berlipat. Maklum, desa yang dipimpinnya kedatangan Menteri BUMN Rini Soemarno dan lima pimpinan BUMN yang berkomitmen mengembangkan Desa Wisata Pinge sebagai desa binaan sinergi BUMN. Kelima perusahaan pelat merah tersebut adalah PT Indonesia Tourism Development Corporation, Semen Indonesia, Bank Tabungan Negara, PT Taman Candi Borobudur dan PT Patra Jasa Jasa.
22
Info Desa
Desember, 2016
Mereka sepakat membantu meningkatkan kualitas infrastruktur hingga layanan hospitality di Desa Pinge, sehingga nantinya layak dijadikan sebagai contoh pengembangan desa wisata yang lain. Menteri BUMN Rini M Soemarmo mengatakan pengembangan desa wisata ini bagian dari dukungan program pemerintah pusat mendatangkan sebanyak 20 juta pada 2019. “Pembangunan pariwisata bukan hanya membangun hotel, tetapi bagaimana membangun hal-hal yang menarik yang didasarkan keaslian dan kearifan lokal. Kami bukan hanya menambah jumlah kunjungan tapi bagaimana masyarakat lebih sejahtera,” kata Menteri Rini usai penandatanganan kerja sama. Rini memaparkan, pengembangan desa wisata merupakan upaya meningkatkan kualitas pariwisata dengan tetap menjaga kelestarian alam. Hal itu bertujuan agar pariwisata tidak hanya diperuntukkan bagi wisatawan semata, tetapi ikut menambah pendapatan masyarakat sehingga menjadi sejahtera.
Direktur Utama ITDC Abdulbar M Mansoer menuturkan, program pengembangan Desa Wisata Pinge dilaksanakan untuk menyambut gagasan konsep pariwisata yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada pertengahan Oktober lalu, yakni memadukan potensi desa dengan pariwisata. Kegiatan ini sekaligus menjadi program nasional sinergi BUMN pariwisata untuk membangun desa wisata di kawasan-kawasan pariwisata strategis nasional. “Diharapkan ke depan kami dapat melahirkan lebih banyak desa wisata di tanah air yang berkontribusi terhadap peningkatan perekonomian masyarakat,” ujarnya. Desa Pinge adalah salah satu desa yang telah ditetapkan Pemerintah Kabupaten Tabanan sebagai desa wisata. Desa ini yang memiliki luas 145 hektare yang terdiri dari 160 Kepala Keluarga atau 810 jiwa penduduk dan berada di ketinggian 500 meter di atas permukaan laut. Dengan pesona alam yang memikat dan kekayaan budaya, seperti kerajinan ukir, kerajinan alat musik, kuliner lokal dan tari, Desa Pinge memiliki potensi besar
Liputan Utama untuk menjadi destinasi wisata andalan di waktu mendatang. Pengembangan Desa Wisata Pinge merupakan lanjutan dari pengembangan Desa Wisata Borobudur yang secara resmi dimulai pembangunannya minggu lalu. Abdulbar menegaskan Desa Pinge dipilih karena dinilai sudah siap dibandingkan dengan desa yang lain di Bali. Dia menegaskan jika Desa Wisata Borobudur dikembangkan dengan konsep pembangunan Balai Ekonomi Desa (Balkondes), maka Desa Wisata Pinge dikembangkan dengan konsep yang lebih menyeluruh berupa perbaikan sarana dan prasarana pariwisata. Nantinya akan dibangun Tourist Information Center (TIC), fasilitas seperti peningkatan kualitas homestay dan pendampingan berkesinambungan kepada masyarakat terkait hospitality, manajemen serta pelatihan pemasaran.
“Di samping itu, kami juga akan membangun Balkondes sebagai sarana masyarakat menampilkan keunggulan-keunggulan desa, sehingga dapat mendukung perekonomian desa,” ujar Abdulbar M Mansoer. Desa Wisata Pinge yang dikembangkan dengan metode community-based tourism diharapkan dapat menjadi menjadi destinasi unggulan baru di wilayah Bali Utara sekaligus sebagai upaya untuk pemerataan pengembangan pariwisata Bali yang selama ini terpusat di Bali Selatan. Hal itu sejalan dengan tugas yang diamanatkan pada ITDC untuk mengembangkan destinasi wisata di seluruh Indonesia. “Kami berharap sinergi BUMN dan pemerintah daerah dapat terus terjalin dalam mendorong potensi wisata yang ada di Indonesia termasuk juga dalam pengembangan desa wisata. Melalui Si-
nergi BUMN dan gerakan BUMN Peduli kami optimistis pariwisata dapat menjadi motor baru pertumbuhan ekonomi Indonesia,” tuturnya. Bupati Tabanan Putu Eka Wiryastuti menyambut baik program sinergi BUMN dalam mengembangkan desa wisata di daerahnya. Bupati Ayu mengatakan, Pemerintah Kabupaten Tabanan antusias mendorong semua desa di daerahnya menjadi desa wisata. “Kalau semua jadi desa wisata, otomatis tanahnya tidak dijual, dan pendapatan masyarakat meningkat karena mereka tidak hanya menjadi penonton,” katanya. Wiryastuti mengatakan, setelah bekerja sama dengan Desa Pinge, pihaknya akan mendorong Desa Belimbing di Kecamatan Pupuan untuk menjadi desa wisata. “Keberadaan desa wisata sangat membantu meningkatkan pendapatan masyarakat,” ujarnya. l
Wisata Sumur Minyak Tua
S
umur minyak tradisional yang terletak di wilayah Desa Wonocolo, Kabupaten Bojonegoro, sudah lebih dari 100 tahun beroperasi secara tradisional dan dikelola oleh masyarakat setempat. Mayoritas warga Desa Wonocolo bergantung hidup pada kelangsungan sumur tradisional tersebut. Secara alami produksi minyak pasti akan mengalami penurunan, sehingga suatu saat tidak dapat diproduksi kembali. Cepu Field Manager PT Pertamina (Persero) Agus Amperianto mengatakan, Desa Wonocolo merupakan sesuatu yang unik. Warga beraktivitas secara tradisional untuk memproduksi minyak dari sumur-sumur tua sejak lebih dari 100 tahun. “Untuk menjaga keunikan local heritage disini, kami bersama Pemda Bojonegoro dan dukungan dari seluruh
stakeholder mencoba membuat sebuah desa wisata migas yang kami beri nama Petroleum Geoheritage Wonocolo,” ujarnya. Agus menambahkan pendirian Petroleum Geoheritage Wonocolo ini didasari karena keunikan yang dimiliki oleh struktur geologi di Desa Wonocolo ini. “Disini masyarakat diajak melihat langsung penambangan tradisional yang eksotik, dengan keberadaan tiang penyangga kayu dan dioperasikan secara tradisional. Selain itu ada trek untuk jeep, motor trail dan sepeda,” terangnya. Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto yang berkesempatan mencoba langsung trek sepeda mengungkapkan Desa Wisata Migas di Wonocolo sangat menarik. “Dengan melintas menggunakan sepeda maupun jeep, selain membuat badan
dan pikiran fresh, kita bisa melihat dan membayangkan bagaimana sejarah operasi migas di Indonesia pada masa lampau,” ujarnya. Untuk mengelola desa wisata sebagai pusat wisata migas pertama di Indonesia, pihaknya berkolaborasi dengan Paguyuban Warga Desa Wonocolo. Kolaborasi tersebut disertai dengan penanaman pohon di sekitar lokasi sumur tua sebagai komitmen penghijauan. “Bagi yang ingin tahu sejarah perminyakan di Indonesia, Wonocolo merupakan salah satu tempat yang bisa dikunjungi,” kata Agus. l
Desember 2016
23
Info Desa
Riset
KKN TEMATIK
Inisiatif Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat Desa Salah satu tujuan program KKN Tematik adalah meningkatkan kemampuan masyarakat desa dalam mengidentifikasi, memprioritaskan masalah desa, dan menumbuhkan gagasan kreatif.
S
ekretaris Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT), Anwar Sanusi rupanya menaruh harapan besar terhadap perguruan tinggi dalam membantu membangun dan mengembangkan desa-desa di Indonesia. Sebab sebagai institusi keilmuan, kata Anwar, perguruan tinggi memiliki kompetensi yang diperlukan untuk dapat memberikan
24
Info Desa
Desember, 2016
kontribusi bagi pemerintah agar dapat menghasilkan kebijakan yang memang sesuai dengan konteks dan kebutuhan masyarakat. “Jumlah desa yang mencapai sekitar 75 ribu dan tersebar di berbagai pulau, membutuhkan tanggung jawab yang tidak mudah dari perguruan tinggi,” katanya, di Pusat Inovasi Agro Teknologi (PIAT) UGM di Kalitirto, Sleman, Yogyakarta, pertengahan November lalu, seperti dikutip dari Antara. Namun, diakuinya, pihaknya kesulitan untuk menetapkan leverage apa yang dibutuhkan, dan apa penyebab suatu desa menjadi tertinggal. Kesulitan tersebut dijawab oleh Balilatfo Kemendesa PDTT dengan mengembangkan model KKN Tematik Desa Membangun. Kepala Balilatfo Kemendesa PDTT, Nurdin menuturkan, KKN Tematik merupakan strategi dalam pembangunan SDM, keberdayaan dan modal sosial budaya masyarakat desa. “Program ini merupakan kolaborasi strategis antara Kemendesa PDTT dan perguruan tinggi di Indonesia untuk mengintegrasikan
program KKN ke dalam pembangunan desa,” tuturnya. Nurdin mengatakan, ada tiga tujuan yang ingin dicapai dari program ini. Pertama, meningkatkan kemampuan masyarakat desa dalam mengidentifikasi, memprioritaskan masalah desa, dan menumbuhkan gagasan kreatif. Kedua, memperluas ruang bagi mahasiswa untuk belajar bersama masyarakat tentang pembangunan desa dengan pendekatan desa membangun (learning society). “Ketiga mendayagunakan KKN sebagai pendekatan pemberdayaan masyarakat,” katanya. Sejauh ini, Nurdin mengatakan, pilot project dari program ini telah berjalan, salah satunya di Desa Matawai Maringu, Sumba Timur. Bekerja sama dengan Universitas Nusa Cendana, pelaksanaan KKN Tematik di desa tersebut berupa penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). Ke depan, Nurdin menuturkan, program ini akan diperluas dengan melibatkan lebih banyak lagi perguruan tinggi di Indonesia.
Riset Rektor ITB Prof Dr Ir Kadarsah Suryadi menyambut baik program ini. Menurut dia, program KKN Tematik memberikan latihan soft skill kepada mahasiswa supaya memiliki sikap empati terhadap persoalan yang terjadi di desa, ikut memikirkan masalah bangsa dari hal mendasar hingga penerapan teknologi di desa, serta menumbuhkan nasionalisme. “Selama pelaksanaan KKN Tematik, kami meminta kepada mahasiswa untuk dapat berkontribusi dalam meningkatkan kesehatan masyarakat desa, memajukan pendidikan di desa, serta meningkatkan kehidupan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat desa,” ujarnya. Sesuai namanya, Kadarsah menuturkan, program KKN Tematik diharapkan mampu menjawab kebutuhan masyarakat desa. Karena itu, sebelum mahasiswa turun ke lapangan, pihaknya melakukan pertemuan dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten, termasuk melakukan riset, sehingga program yang disiapkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. “Dengan demikian, masyarakat desa dapat merasakan manfaat langsung dari program KKN dan kami tidak sekadar membuat bangunan monumental yang tidak berguna bagi masyarakat,” ucapnya. Kadarsah mengatakan, beberapa program KKN Tematik yang telah dijalankan ITB selama tujuh tahun terakhir antara lain membangun jembatan di Desa Culamega, Tasik Selatan, Jawa Barat. Selain jembatan, ITB bekerja sama dengan PLN menyediakan aliran listrik bagi warga di desa tersebut yang selama 71 tahun Indonesia merdeka belum teraliri listrik. “Listrik membuat anak-anak dapat belajar,” ujarnya. Ke depan, Kadarsah berharap, program ini dapat diterapkan lebih luas di seluruh perguruan tinggi di Indonesia yang saat ini jumlahnya mencapai sekitar 4.000 perguruan tinggi. “Jika satu perguruan tinggi mampu membina satu desa per tahun, maka ada 4.000 desa yang dibina oleh perguruan tinggi. Kalau 5 desa, maka ada 20.000 desa yang dibina. Dalam lima tahun, 74 ribu desa di Indonesia selesai kita bina, kesenjangan tidak ada
lagi, bahagialah negara ini, sehingga cita-cita pemerintah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan dapat tercapai,” ujarnya. Rektor UGM Prof Ir Dwikorita Karnawati, MSc, PhD mengatakan, secara kelembagaan, UGM telah melaksanakan program KKN Tematik selama 40 tahun terakhir. “Melalui program tersebut, kami ingin membangun desa dan daerah-daerah tertinggal di Indonesia,” katanya. Tentang kerja sama program KKN Tematik antara Kemendesa PDTT dan perguruan tinggi, Dwikorita menjelaskan, pihaknya mengusulkan agar pelaksanaan program tersebut bersifat co-creation. “Kami tidak ingin memberikan hadiah kepada masyarakat, tapi melibatkan masyarakat untuk bersama-sama membangun desa,” ujarnya. Seperti halnya ITB, UGM juga melakukan riset awal sebelum mahasiswa melakukan KKN. Dwikorita menyebutnya pemetaan sosial. Kegiatan yang dilakukan dosen bersama mahasiswa yang akan mengikuti KKN dan masyarakat berlangsung selama 1 bulan. “Dari pemetaan sosial tersebut akan terdeteksi persoalan-persoalan apa yang dihadapi masyarakat sehingga program yang akan dijalankan pas dan jitu sesuai kebutuhan masyarakat, termasuk dalam hal pengentasan kemiskinan melalui knowledge based society,” katanya.
Pemetaan sosial tersebut, Dwikorita melanjutkan, juga bertujuan memperkaya data sosial masyarakat, sebab selama ini data yang digunakan untuk menganalisis persoalan di desa berbasis pada data nasional yang bersumber dari BPS. “Data dari BPS kalau langsung dianalisis belum tentu pas dengan persoalan yang dihadapi masyarakat desa. Dengan melakukan pemetaan sosial harapannya kebijakan yang diambil untuk desa bisa lebih jitu,” katanya. Dwikorita mengatakan, pelibatan masyarakat dalam program KKN Tematik cukup beralasan, sebab masyarakat yang lebih tahu persoalan di desa mereka. “Namun pelibatan tersebut sifatnya bukan gotong royong, begitu program jadi baru mengajak masyarakat untuk bergotong royong membangun jalan, misalnya. Tapi pelibatan masyarakat tersebut dilakukan sejak awal supaya masyarakat ikut memikirkan tentang pembangunan desa mereka, karena kami menganggap masyarakat desa itu cerdas,” ujarnya. “Harapannya melalui program KKN Tematik, desa-desa di Indonesia menjadi desa yang cerdas dan tangguh dalam melihat persoalan di desa mereka seperti pendidikan, kesehatan, wirausaha, dan mampu mencari jalan keluarnya. Kecerdasan lokal tersebut dibutuhkan supaya program pembangunan di desa berkelanjutan,” kata Dwikorita menambahkan. l
Desember 2016
25
Info Desa
Pendapat
desa wisata benar-benar bermanfaat bagi kesejahteraan warga desa.
Ahmad Erani Yustika, Direktur Jendral Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
Desa Wisata dan Kemandirian Ekonomi Desa
P
rogram desa wisata, yang berada di bawah payung Lumbung Ekonomi Desa, menjadi prioritas program kerja Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT). Program itu sendiri sudah dirancang sejak 2015 atau ketika pertama kali Kemendesa PDTT mengawal pelaksanaan dana desa. Ketika itu, Kemendesa PDTT memfasilitas 10 desa sebagai pilot project yang disiapkan sebagai desa wisata guna memperkuat ekonomi desa. Ditempatkannya program desa wisata sebagai prioritas di bawah payung Lumbung Ekonomi Desa sangat beralasan. Hal itu lantaran desa memiliki segala sumber daya yang memungkinkan desa menjadi kawasan wisata yang hebat. Hebat yang dimaksud di sini, karena desa memiliki keunikan alam, kehangatan warga, keanekaragaman budaya, keo-
26
Info Desa
Desember, 2016
tentikan adat istiadat, dan norma-norma yang memungkinkan keseluruhan faktor tersebut menjadi daya topang bagi penciptaan tren wisata di masa yang akan datang. Di masa depan, tren wisata akan kembali kepada keaslian lingkungan dalam pengertian luas, di mana wisatawan ingin belajar budaya asli masyarakat setempat, arsitektur otentik masing-masing wilayah, keaslian lingkungan alam, kehangatan dan harmoni warga desa. Itu yang saat ini dicari, khususnya oleh wisatawan mancanegara dan desa memiliki semua itu. Tinggal bagaimana mengolah sumber daya tersebut dengan manajemen modern. Kemendesa PDTT akan memadukan pengembangan desa wisata dengan Badan Usaha Milik Desa (BUM Des). Nantinya BUM Des atau koperasi yang akan mengelola desa wisata sehingga keberadaan
Jika melihat konstruksi pengembangan desa wisata kali ini dalam kaitannya dengan aktivitas ekonomi, maka setidaknya ada tiga hal pokok yang harus mendapat perhatian. Pertama, desa perlu mengoptimalisasi sumber daya lokal yang selama ini tidak dimanfaatkan dan saat ini memiliki nilai ekonomi yang pesat. Kedua, kegiatan wisata memiliki dampak ekonomi karena multi player effect-nya yang besar. Dalam kegiatan tersebut akan tumbuh permintaan untuk penginapan, kuliner, merchandise, transportasi, dan beberapa hal lain yang itu kemudian akan memperbesar kue ekonomi desa. Ketiga, kegiatan wisata memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraan warga karena ada penyerapan tenaga kerja. Karena itu, Kemendesa PDTT terus mendorong terciptanya keanekaragaman kegiatan wisata supaya industri wisata di desa memiliki nilai yang sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi desa dan desa menjadi mandiri untuk menggerakkan ekonomi, khususnya melalui desa wisata. Kemendesa PDTT berharap nantinya dari 74.754 desa di Indonesia, setidaknya 10 persen dari jumlah desa yang ada saat ini mengembangkan desa wisata, maka ada sekitar 7.500 desa wisata di Indonesia yang ditargetkan terealisir sampai 2019. Jika hal itu mampu dikelola dengan baik, maka akan memberikan dampak yang luar biasa bagi desa. Kemendesa PDTT telah mengundang Badan Pusat Statistik (BPS) untuk membuat pengukuran-pengukuran yang kredibel tentang berapa persen pertumbuhan ekonomi yang terjadi di desa dari kegiatan desa wisata. Kendala mengembangkan desa wisata bukannya tidak ada sama sekali. Kendala tersebut antara lain minimnya pemahaman dari perangkat dan warga desa tentang desa wisata, dukungan pemerintah daerah, kondisi infrastruktur
Pendapat yang belum seluruhnya bagus, ditambah pengetahuan dari seluruh pemangku kepentingan yang belum sama mengenai konsep dan format pengembangan desa wisata. Tapi jika seluruh pemangku kepentingan bersama warga fokus pada potensi yang dimiliki desa, ditambah komitmen yang kuat untuk mendorong pengembangan desa wisata, saya kira rintangan tersebut bisa diterobos. Supaya wisatawan mancanegara singgah di desa wisata yang terdapat di 10 destinasi wisata prioritas yang telah ditetapkan pemerintah, kata kuncinya terletak pada tersedianya infrastruktur yang mudah dan murah menuju lokasi, ketersediaan prasarana jalan, serta penginapan yang memadai. Selebihnya adalah informasi yang mudah diakses oleh wisatawan tentang desa wisata tersebut. Maka Kemendesa PDTT memfasilitasi agar semua desa wisata memiliki website sehingga informasi tentang desa bisa diketahui oleh wisatawan mancanegara. Ini potensi yang luar biasa besar tapi
harus digarap serius. Infrastruktur dan informasi menjadi bagian penting dalam pengembangan desa wisata. Selain itu, agar pengembangan desa wisata berhasil, pola pikir wisatawan domestik juga perlu diubah, bahwa konteks wisata tidak harus selalu berada di perkotaan yang membuat “gengsi” mereka naik. Pola pikir tersebut harus diubah supaya wisatawan domestik memiliki persepsi yang sama tentang potensi keragaman budaya asli masyarakat setempat, arsitektur otentik masing-masing wilayah, keaslian lingkungan alam, kehangatan dan harmoni warga desa. Itu semua merupakan bagian dari kekayaan yang harus dimiliki oleh setiap wisatawan. Pola pikir semacam itu perlu ditumbuhkan dalam diri wisatawan domestik. Visi dan misi Kemendesa PDTT terhadap pengembangan desa wisata amat jelas. Pertama, desa harus menguasai dan menggerakkan potensi ekonomi lo-
kal, tidak boleh potensi tersebut dibiarkan menganggur atau digerakkan oleh orang di luar desa. Kedua, masyarakat desa harus mampu membangun organisasi ekonomi yang kokoh di desa. Salah satunya terkait dengan pengelolaan desa wisata melalui BUM Des, sehingga sumber daya di desa tidak menjadi milik privat, tapi menjadi keberkahan semua warga. Ketiga, pengelolaan desa wisata menggunakan pendekatan lingkungan dan partisipasi warga yang menjadi tiang penyangganya. Pendekatannya bukan semata modal material, tapi modal sosial, ditambah dengan sensitivitas pemangku kepentingan bersama warga desa untuk menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan lingkungan. Tiga hal pokok ini yang terus didorong oleh Kemendesa PDTT dalam pengembangan desa wisata. Desa sendiri diharapkan tidak kehilangan jati diri atau identitas lokalnya. Ini yang betul-betul harus dijaga dan dirawat, sehingga paket desa wisata memuat penguatan identitas lokal di dalamnya. l
Desember 2016
27
Info Desa
Tepat Guna
Menyalakan Indonesia dengan Program Indonesia Terang 28
Info Desa
Desember, 2016
Tepat Guna
L
istrik menjadi salah satu pintu pembuka peradaban yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Sayangnya, masih banyak tempat di Indonesia yang belum teraliri listrik. Hingga saat ini masih ada 12.659 desa tertinggal yang belum teraliri listrik. Oleh karena itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kemendesa Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT), dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) bersinergi membentuk Program Indonesia Terang (PIT).
TEROBOSAN INDONESIA TERANG Sasaran pertama program ini adalah desa-desa tertinggal di Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, NTB, dan NTT.
Program ini bertujuan menghadirkan akses listrik baru bagi 10.300 desa di enam provinsi hingga akhir 2019. “Sasaran dari PIT adalah Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, NTB, dan NTT,” jelas Suprayoga Hadi, Direktur Jenderal Pengembangan Daerah Tertentu (PDTu). Sulitnya akses membuat keenam provinsi tersebut menjadi prioritas. Baru setelah bagian timur ‘dinyalakan’, program ini akan bergeser ke bagian barat Indonesia. Berdasarkan rapat koordinasi di Kantor Pusat PLN pada tanggal 2 Maret 2016, Kemendesa PDTT berperan menyediakan data terkait kebutuhan elektrifikasi, fasilitasi, pengelolaan, persiapan, dan pemetaan potensi energi baru dan terbarukan di desa-desa tertinggal. Hal ini dilakukan karena kondisi geografis antarwilayah yang sangat berbeda, sehingga data dan informasinya pun berbeda. Harapannya, dengan ketersediaan data yang akurat, pelaksanaan elektrifikasi oleh Kementerian ESDM dapat berjalan dengan efisien. l
S
ejak pertama kali diluncurkan pada Mei 2016, Program Indonesia Terang (PIT) terus mempercepat penyediaan listrik agar terwujud target rasio elektrifikasi 97 persen pada 2019. Beberapa capaian PIT adalah terbentuknya sejumlah inovasi serta skema bisnis model pada pelaksanaannya. Strategi pertama dalam Program Indonesia Terang adalah mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan, seperti tenaga surya, air, angin, biomassa, hingga arus laut. Dengan memanfaatkan energi setempat, pembangkit listrik dapat dibangun secara lokal dan tak harus menunggu datangnya jaringan dari pusat. Model ini disebut sebagai pengembangan lepas-jaringan (off-grid). Perkiraan dana yang dibutuhkan untuk memasok 1.000 MegaWatt listrik dari sumber energi baru terbarukan adalah 100 triliun rupiah. Untuk memenuhi kebutuhan dana ini, pemerintah menggabungkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), investasi swasta dan masyarakat, serta dana hibah dari program Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan terkait.
Hal ini selaras dengan pernyataan Suprayoga Hadi tentang perlunya upaya konsolidasi dengan berbagai pihak dan lintas kementerian. “Termasuk menjaring aspirasi dari tingkat daerah dan masyarakat untuk menjadi masukan dalam penyusunan rencana aksi PIT dalam kurun waktu 2016-2019,” ujarnya. Percepatan program ini juga dilakukan dengan menerbitkan Peraturan Menteri (Permen). “Targetnya bulan ini sudah keluar Permennya yang menjadi landasan hukum untuk melistriki daerah yang selama ini sulit dapat listrik baik dari PLN atau non PLN,” kata Sujatmiko, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian ESDM. l
Tipologi Desa 2016 Berdasarkan jumlah desa yang belum teraliri listrik
174
2.837KK
3.608
42.184KK
22.882
409.266KK
Desa Mandiri
Desa Maju
Desa Berkembang
33.592 Desa Tertinggal
13.453
Desa Sangat Tertinggal
belum teraliri listrik
belum teraliri listrik
belum teraliri listrik
1.222.828KK belum teraliri listrik
1.026.886KK belum teraliri listrik
Sumber data: Potensi Desa 2014
Desember 2016
Info Desa
29
Tepat Guna
Bersama untuk #IndonesiaTerang Pembiayaan
Mekanisme Lama
Program #IndonesiaTerang
APBN
Swasta
Masyarakat
Insentif
Dibebankan sepenuhnya pada APBN
Kontribusi semua pihak untuk mengurangi beban APBN
Berbasis proyek yang ditinggalkan setelah selesai
Berbasis program yang terintegrasi dan berkelanjutan
Pelaksanaan
Pengelolaan Pemda
Proyek Proyek
Pemda
Masyarakat
Pemda tidak memiliki anggaran dan kapasitas untuk mengelola aset EBT
30
Info Desa
Desember, 2016
BUMD Komunitas lokal
Dikoordinasi oleh BLU PIT
Pengelolaan yang terintegrasi oleh PIT untuk menjamin keberlanjutan aset
Masyarakat
Tepat Guna
Program #IndonesiaTerang Elektrifikasi desa dengan energi terbarukan (ET) Desa-desa pedalaman, terpencil dan sulit dijangkau oleh PLN
Dimulai dari Indonesia Timur menuju Barat Indonesia
Penuhi 1.000 MW dari 35.000 MW Program Listrik Nasional
Perkiraan Pendanaan Rp 100 Triliun (APBN+Dana Hibah, CSR, Lembaga Donor)
Desember 2016
Info Desa
31
Tokoh
Muhammad Yamin
Langkah Padu Para Pemburu Madu Sempat ditolak beberapa warga, kini bisnis madu Muhammad Yamin merambah kota-kota besar di Indonesia.
W
aktu baru menunjukkan pukul enam petang, tapi pekat sudah menyelimuti hutan di Dusun Semongkat, Kecamatan Batu Lanteh, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Berbekal senter kecil, Muhammad Yamin dan sejumlah warga mencari rekannya yang tersesat di tengah hutan. Seperti inilah dinamika kehidupan para pemburu madu hutan demi menghidupi keluarganya.
32
Info Desa
Desember, 2016
Praktek pengambilan madu liar digagas Yamin dan istrinya sejak 1988 karena mereka prihatin akan kondisi ekonomi Dusun Semongkat. Kala itu sebagian besar warga berprofesi sebagai petani ladang. Potensi madu hutan yang melimpah sama sekali tidak dilirik. Ia hanya dimanfaatkan sebagai pengganti gula ketika ada kegiatan adat. Bahkan sejumlah pihak sempat mencibir dan menolak ide Yamin untuk mengembangkan bisnis madu hutan. “Menurut mereka, ide saya ini tidak masuk akal,” kenang Yamin. Namun langkahnya tak surut. Berbekal gaji sebagai pegawai Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumbawa dan pinjaman dari sana-sini, pada 1996 ia
mendirikan kelompok pemburu madu hutan sumbawa yang diberi nama Madu Lestari. Beranggotakan hanya 17 orang,
Tokoh
k e lompok ini pontang-panting melakukan misinya.Mereka berbagi tugas, dari memanjat pohon, mengasapi sarang lebah, menyaring madu, sampai menitipkannya ke toko-toko. Namun metode pengambilan madunya masih sangat tradisional, sehingga setiap tahun ada saja pemburu madu yang meninggal dunia akibat terjatuh dari pohon. Pemasarannya juga tidak mudah. Kurangnya modal membuat Yamin tidak bisa membeli madu banyak-banyak dari warga, padahal permintaan di kota semakin besar. Beruntung sejak 2007, Perusahaan Listrik Negara (PLN) Kabupaten Sumbawa berinisiatif membina kelompok pemburu madu yang diketuai Muhammad Yamin. Bantuan yang diberikan berupa
alat pengolahan madu dan perlengkapan berburu madu. Dengan tali, pakaian, dan sabuk pengaman, risiko terjadinya kecelakaan kerja dapat dihindari. Selain itu, PLN juga membantu pemasaran Madu Lestari ke kota-kota lain, antara lain melalui acara pameran produk dan publikasi di media massa. Berkat bantuan dari berbagai pihak, kini bisnis madu hutan Sumbawa ayah tiga anak ini maju pesat. Kelompok pemburu madunya sendiri telah memiliki 562 anggota. Penjualannya juga telah merambah ke kota-kota besar di seluruh Indonesia, seperti Jakarta, Lombok, dan Surabaya. Menanggapi popularitas Madu Lestari yang kian menanjak, Yamin bersyukur karena kondisi tempat tinggalnya telah banyak berubah. “Kami ini kan tinggal di daerah pegunungan dan pelosok hutan, jadi hanya inilah yang bisa saya lakukan untuk mengubah kondisi ekonomi masyarakat,” ujarnya.
Meski usaha madunya sudah maju dan menjadi percontohan bagi desa lain, Yamin tak berpuas diri. Seperti biasa, sepulang dari kantor, ia segera kembali ke tengah penduduk desa, melanjutkan perburuan madu di tengah belantara.
Inovasi Madu Lestari Wisatawan diajak melihat proses berburu madu, dari pengambilan di sarang lebah sampai pengolahan. Muhammad Yamin menggunakan teknik peras dalam menyaring madu dari sarang lebah. Hal inilah yang membuat Madu Lestari istimewa. Dengan diperas, kandungan polen dan propolis dari bongkahan sarang lebah jenis Apis dorsata dapat masuk ke dalam madu hasil perasan. Polen adalah serbuk sari bunga jantan yang diambil lebah dan dijadikan makanan pokok bagi seluruh koloni
Desember 2016
33
Info Desa
Tokoh lebah. Sering disebut sebagai makanan super, polen lebah mengandung zat hidrat arang, protein, asam lemak esensial, vitamin, mineral, dan aneka enzim yang dibutuhkan tubuh. Sementara propolis adalah antibiotik alami dari air liur lebah yang ampuh mengobati berbagai penyakit. Hebatnya lagi, bisnis Madu Lestari tidak berhenti pada penjualan madu murni. Para ibu di Dusun Semongkat juga diberdayakan untuk membuat diversifikasi produk khas Sumbawa, antara lain madu kunyit instan, madu jahe instan, dan minyak sumbawa. Satu botol madu dijual sekitar Rp 90 ribu, belum termasuk ongkos kirim. Hebatnya, semua produk ini disambut baik oleh pasar.
34
Info Desa
Desember, 2016
Dengan pengelolaan yang semakin baik, Madu Lestari dapat menghasilkan 2,5 ton madu setiap bulan. Hal ini tak lepas dari metode perburuan madu yang berkelanjutan. Pertama, para pemburu madu harus teliti memilih sarang lebah yang siap panen. Ini terlihat dari bentuk sarang, gerakan, dan suara lebahnya. Selanjutnya, pemburu madu menyiapkan obor asap yang terbuat dari ranting dan dedaunan kering untuk mengusir lebah dari sarangnya. Pemotongan sarang lebahnya juga tidak boleh sembarangan. Hanya bagian sarang dengan kandungan madu saja yang dipotong, sehingga larva lebah yang masih tinggal di sarang dapat tumbuh menjadi lebah dewasa.
Wisata Berburu Madu Satu lagi inovasi yang digagas Muhammad Yamin adalah pendirian kelompok sadar wisata dengan aktivitas berburu madu hutan. Selain diminati wisatawan domestik, program ini ternyata juga menarik banyak turis asing. Kebanyakan turis dari Australia, Korea, Jepang, dan Jerman. Rata-rata dalam satu minggu ada satu rombongan wisatawan luar negeri yang datang ke Dusun Semongkat. Melalui kegiatan ini, para wisatawan dapat ikut berburu madu hingga ke sarang lebah liar. Mereka dipersilakan melihat proses pemotongan sarang lebah, pengolahan, sampai pengemasan yang dijadikan buah tangan khas Sumbawa.
Tokoh Untuk menjamin keselamatan, tersedia jaket pengaman agar wisatawan tidak disengat lebah. Dalam hal pemasaran dan publikasi, Ketua Umum Kelompok Madu Lestari ini sebenarnya memiliki angan-angan untuk menggunakan Internet. Sayangnya sumber daya manusia dan infrastruktur jaringannya belum memadai, sehingga Yamin harus menunda dulu rencananya. Namun ketiadaan toko daring ternyata tidak mampu membendung gaung Madu Lestari di mancanegara. Salah satu potensi ekspornya adalah ke Korea Utara. Sayangnya permintaannya terlalu banyak, yakni 5 ton per bulan. “Kami tidak mampu memenuhi permintaan itu, sebab usaha madu ini kan tergantung pada kebaikan alam,” ungkap Yamin. Apalagi kini telah banyak media massa nasional yang meliput kiprah Muhammad
Yamin sebagai salah satu tokoh inspiratif dari pinggiran. Uniknya, ketika diberi apresiasi oleh beberapa pihak berupa uang tunai, Yamin justru menggunakannya untuk kepentingan warga Dusun Semongkat. Uang itu ia gunakan untuk melakukan membangun 15 unit rumah, merenovasi masjid, dan membuat toilet umum di desanya. “Keberhasilan saya ini kan berkat orang banyak, karena usaha anggota dan warga desa. Jadi kapan lagi saya bisa berbuat sesuatu untuk mereka kalau bukan sekarang,” pungkasnya. Berminat membeli madu? Hubungi UD Madu Lestari, Desa Semongkat, RT 10/05, Kecamatan Batu Lanteh, Sumbawa Besar Atau pesan via SMS ke 085239730242 (Muhammad Yamin). l
Desember, 2016
35
Info Desa
Desa Maju
BUMDES TERBAIK SE-INDONESIA
Apresiasi BUMDes dinilai berdasarkan kreativitas, inovasi, hingga kemampuannya untuk melibatkan warga desa.
B
adan Usaha Milik Desa (BUMDes) mengemban peran vital sebagai tulang punggung perekonomian desa. Jumlahnya sendiri terus meningkat tajam, dari 1.022 unit pada 2015, menjadi 12.848 unit pada ta-
36
Info Desa
Desember, 2016
hun ini. Bahkan sedikitnya ada 40 BUMDes yang meraih omzet antara Rp 300 juta hingga Rp 8 miliar per tahun.
berkembang, rintisan tourism-natural, rintisan eco-agriculture, dan rintisan partisipatif.
Karena itu, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) terus mendorong lahirnya BUMDes baru demi memajukan perekonomian pedesaan. Melalui gelaran Rembuk Desa Nasional pada 7 November 2016 di Jakarta, Kemendesa PDTT mengumumkan sejumlah BUMDes terbaik yang tersebar di seluruh Nusantara.
Strategi yang dilakukan desa-desa penerima penghargaan tersebut bervariasi, dari mengoptimalkan komoditas unggulannya, hingga mengoptimalkan unit usaha simpan pinjam. BUMDes Lentera di Desa Lendang Nangka misalnya, mengelola perusahaan air minum dengan harga jauh lebih murah dari harga perusahaan air minum lainnya, yakni Rp 200 per meter kubik. Ini dikarenakan melimpahnya air bersih dari pegunungan Rinjani. Sementara BUMDes Mattiro Bulu membangun Simpan Pinjam khusus perempuan yang kini beromzet Rp 600 juta lebih.
Apresiasi ini terbagi menjadi 11 kategori, yakni berkembang, trendi, eco-agriculture, kreatif, inovatif, partisipatif, rintisan handicraft-kerajinan desain, rintisan
Desa Maju Sudah selayaknya para penerima penghargaan ini menjadi inspirasi bagi desadesa lainnya untuk mengoptimalkan pemanfaatan Badan Usaha Milik Desa. Terkait hal tersebut, pada acara Rembuk Desa Nasional Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Eko Sandjojo mengatakan, ada banyak peluang sinergi yang bisa dilakukan BUMDes dengan badan usaha lain, seperti Badan Usaha Milik Negara, perusahaan swasta, dan koperasi. “Semuanya saling melengkapi untuk menggerakkan ekonomi desa. BUMDes dapat bekerjasama dengan koperasi atau membentuk unit usaha koperasi sebagai bagian dari unit usaha yang dikelola BUMDes,” ujar Menteri Eko. l
Kategori BUMDes Terbaik Berkembang:
BUMDes Mandiri Bersatu (Lampung), BUMDes Mandala Giri Amertha (Bali)
Trendi:
BUMDes Tirta Mandiri (Jawa Tengah)
Eco-Agriculture:
BUMDes Amanah (Kalimantan Timur)
Kreatif:
BUMDes Karya Jaya Abadi (Kalimantan Tengah)
Inovatif:
BUMDes Lentera (NTB), BUMDes Aneotob (NTT), BUMDes Mandiri (Sumatera Utara)
Partisipatif:
BUMDes Blang Krueng (Aceh), BUMDes Mattiro Bulu (Sulawesi Selatan)
Rintisan Handicraft - Kerajinan Desain:
BUMDes Tamangalle Bisa (Sulawesi Barat)
Rintisan Berkembang:
BUMDes Tunas Jaya Sasak (Sumatera Barat), BUMDes Karya Usaha (Bengkulu), BUMDes Cahaya Makmur (Sulawesi Tengah)
Rintisan Tourism-Natural:
BUMDes Andal Berdikari (BangkaBelitung)
Rintisan Eco-Agriculture:
BUMDes Maju Makmur (Jawa Timur)
Rintisan Partisipatif:
BUMDes Beberahan Berkah (Banten)
Desember, 2016
37
Info Desa
Desa Maju
Desa Dalil, Bangka Belitung
MELEK TEKNOLOGI INFORMASI BUMDes Andal Berdikari menggunakan media sosial untuk memperkenalkan potensi wisatanya.
B
adan Usaha Milik Desa (BUMDes) Andal Berdikari di Desa Dalil, Kecamatan Bakam, Kabupaten Bangka, Bangka Belitung berdiri pada 2014 dengan mengelola lima hektare kebun sawit. Tergerak untuk mendorong kegiatan ekonomi warganya, dibentuklah unit usaha simpan pinjam. Direktur BUMDes Andal Berdikari Yazi Suwardi mengungkapkan, pada tahun pertama, BUMDes meraih untung Rp 83 juta dari 77 ton sawit hasil panen setahun. Selain lahan sawit, Desa Dalil ternyata memiliki Air Terjun Bolang dan Hutan Idat di Kaki Bukit Maras, Air Terjun Tujuh Tingkat di kaki Bukit Bui’, serta Hutan Rimbe’ Mambang yang sudah dicanangkan sebagai Kebun Raya Daerah. Melalui BUMDes Andal Berdikari, desa ini segera bergerak membenahi potensi wisata yang dimilikinya. Regulasi pun telah ditetapkan, yakni berdasarkan Peraturan Bupati Bangka Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pembangunan Kawasan Pedesaan yang berbasis pada sektor pertanian dan pariwisata. Setelah itu, upaya promosi objek wisata terutama Hutan Rimbe’ Mambang, Air Terjun Bolang, dan Gunung Bui’ gencar dilakukan. Demi meraih hasil yang optimal, promosinya dilakukan menggunakan teknologi informasi, misalnya melalui akun Facebook Deswita (Dalil Desa Edukasi dan Wisata). Dengan cara ini, promosi yang dilakukan mampu menyasar khalayak yang lebih luas dan semakin ramai diperbincangkan di jejaring sosial. Di samping membangun lokasi wisatanya, juga dikembangkan penjualan madu asli Rimbe’ Mambang. Kegigihan dan kemampuan mengolah potensi alam inilah yang kemudian mengantarkan Andal Berdikari meraih gelar BUMDes terbaik kategori Rintisan Tourism-Natural. l
38
Info Desa
Desember, 2016
Desa Maju
Desa Amin Jaya, Kalimantan Tengah
BERKELIT DARI TENGKULAK BUMDes Karya Jaya Abadi berhasil membebaskan petani sawit dari permainan harga oleh tengkulak.
E
kspansi perusahaan sawit di Kalimantan Tengah memang menjanjikan keuntungan yang menggiurkan bagi petani. Namun impian ini tak terwujud ketika tengkulak menentukan harga jual buah sawit. Beruntung akhirnya para petani dan warga Desa Amin Jaya menyepakati pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) bernama Karya Jaya Abadi. Dibentuk pada 1 Maret 2014, BUMDes ini berperan membantu transportasi dan penjualan buah sawit. Dengan dukungan dana dari pemerintah desa, BUMDes juga melakukan kontrak kerja dengan pabrik di sekitar desa, sehingga petani bisa menjual hasil kebun langsung ke pabrik. Setelah mengirim buah, petani akan mendapatkan surat keterangan dari pabrik untuk digunakan sebagai bukti pembayaran di BUMDes. Pembukuan dilakukan dengan aplikasi daring sehingga agar prosesnya transparan dan mudah diawasi.
“Pembayaran dilakukan BUMDes kapan pun petani ingin dibayar. Asal ada bon yang dikeluarkan dari pabrik sehingga harganya stabil,” terang Muchtar, Sekretaris BUMDes Karya Jaya Abadi. Strategi tersebut membuat desa yang berada di Kecamatan Pangkalan Banteng, Kabupaten Kotawaringin Barat ini dinobatkan sebagai BUMDes terbaik dari kategori kreatif.
Selain unit usaha tandan buah segar sawit, Ketua BUMDes Karya Jaya Abadi, Hilman mengatakan, BUMDes juga memiliki sejumlah bidang usaha yang langsung bersentuhan dengan masyarakat, seperti usaha paving blok dan perawatan jalan perkebunan. ”Kita juga memiliki mitra usaha lain di bidang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan kelompok wanita Desa Amin Jaya,” katanya. l
Desember, 2016
39
Info Desa
Desa Maju
Desa Blang Krueng, Aceh
PARTISIPASI DI SEGALA LINI Nyaris semua aspek kehidupan masyarakat dijadikan sumber pendapatan desa, dari penggemukan sapi, sampai pernikahan.
D
idera konflik dan bencana alam secara bertubi-tubi, desa atau gampong di Aceh berusaha bangkit dengan berbagai cara. Salah satunya dengan mengoptimalkan kinerja Badan Usaha Milik Gampong (BUMG). Hasilnya, BUMG Blang Krueng yang berada di Kecamatan
40
Info Desa
Desember, 2016
Baitusalam, Aceh Besar dinobatkan sebagai BUMDes terbaik dari kategori partisipatif. Penilaian ini didasarkan pada kemampuan BUMG dalam mengelola lini usaha masyarakat yang sangat beragam. Nyaris semua aspek kehidupan masyarakat menjadi sumber pemasukan.
Tepatnya ada 10 unit usaha yang dijalankan, dari simpan pinjam, penyewaan rumah, penggemukan sapi, depot isi ulang air minum, penyewaan teratak, penyediaan lahan pertanian, produksi kue keukarah, fasilitas traktor tangan, bank sampah, sampai penyewaan pelaminan. Meski mengelola banyak unit, masing-masing sektor ternyata mampu berkembang dengan maksimal. Unit usaha penggemukan sapi contohnya, telah berkembang pesat hingga mencapai 100 ekor sapi. Sementara rumah yang disewakan kepada masyarakat pendatang atau mahasiswa yang kuliah di Banda Aceh mencapai 10 unit. Dari sektor lingkungan, bank sampah dibuat untuk mengelola sampah domestik sekaligus menambah pendapatan warga melalui proses daur ulang dan produksi pupuk kompos. Semua usaha itu dimaksudkan untuk peningkatan pendapatan asli gampong dan perluasan lapangan kerja bagi sekitar 586 kepala keluarga di Blang Krueng. l
Desa Maju
Desa Padang Jaya, Kalimantan Timur
SUMBANGSIH BISNIS AIR BERSIH Pendapatan kotor BUMDes Amanah mencapai Rp 13 juta per bulan.
Sektor air bersih merupakan penyumbang signifikan pendapatan asli desa setiap tahunnya. BUMDes Amanah bahkan mampu memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat walaupun pada musim kemarau. Wajar jika kemudian Amanah mendapat predikat BUMDes terbaik dari kategori eco-agriculture.
Kepala BUMDes Padang Jaya, Sutisno, mengungkapkan bahwa pendapatan kotor BUMDes mencapai Rp 13 Juta per bulan. “Sehingga aset keseluruhan BUMDes di Desa Padang Jaya ini secara keseluruhan senilai 1,3 miliar,” kata Sutisno. Ia pun berharap ada bantuan stimulan dari pemerintah agar kelak BUMDes tersebut dapat dikembangkan menjadi perusahaan air mineral. Hal serupa juga terjadi di Desa Karangrejek, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Pengelolaan Air Bersih (PAB) Tirta Kencana yang didirikan BUMDes Karangrejek menghasilkan hanya berhasil mencukupi kebutuhan air bersih warga, melainkan juga menuai laba yang signifikan. Bahkan desa sekitarnya, seperti Desa Siraman, Desa Baleharjo, dan Desa Duwet turut merasakan melimpahnya hasil pengeboran PAB Tirta Kencana. l
D
esa Padang Jaya yang berada di Kecamatan Kuaro, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur merupakan eks Unit Pemukiman Transmigrasi. Baru menjadi desa definitif pada 2004, kondisi perekonomiannya langsung tumbuh pesat berkat kehadiran Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Amanah. Amanah sendiri merupakan akronim dari agamais, aman, nyaman, dan harmonis, sesuai dengan karakter penduduk desa yang beragam. BUMDes yang berdiri sejak 2009 ini telah mengelola tiga badan usaha yang dikelola secara langsung dan mandiri. Ketiga badan usaha tersebut terdiri dari air bersih, perkebunan kelapa sawit, dan pasar desa. Hal ini selaras dengan mayoritas profesi penduduk yang menjadi petani dan karyawan perkebunan sawit.
Desember, 2016
41
Info Desa
Desa Maju
Desa Tajun, Bali
MENGELOLA CENGKIH DAN PASAR DESA BUMDes Mandala Giri Amertha dioptimalkan untuk mengembangkan perkebunan cengkih, pasar bahan pokok, hingga simpan pinjam.
M
enjadi bagian dari Pulau Dewata tidak serta-merta membebaskan Desa Tajun dari belenggu kemiskinan. Namun berkat didirikannya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) lima tahun lalu, kondisinya telah banyak berubah. BUMDes Mandala Giri Amertha bahkan menyandang predikat BUMDes terbaik dari kategori berkembang. Desa ini berada di dataran tinggi dengan ketinggian 500–600 meter dari permukaan laut, sehingga cocok dijadikan lahan pertanian dan perkebunan. Hal ini sesuai dengan mata pencaharian penduduk yang sebagian besar petani, meski ada beberapa yang menjadi pegawai dan pengusaha industri rumah tangga. Menurut perbekel atau kepala Desa Tajun, Gede Ardana, salah satu potensi komoditas di sana adalah cengkih. “Kami mapping cengkih dengan benar demi menciptakan iklim ekonomi yang baik.
42
Info Desa
Desember, 2016
BUMDes diberdayakan untuk meningkatkan kemampuan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.,” ujarnya. Selain cengkih, desa di Kecamatan Kubutumbahan, Kabupaten Buleleng ini juga mengembangkan unit usaha di sektor pengelolaan air bersih, pasar desa, pengelolaan sampah, dan simpan pinjam. Menurut Ardana, keberadaan pasar membantu perputaran ekonomi di desa. Berkat pengelolaan yang baik, kini sudah ada sekitar seratus kios di Pasar Desa Tajun. Unit usaha yang berperan besar menggerakkan perekonomian warga adalah simpan pinjam. Berawal dari modal
senilai Rp 10 juta, kini mencapai angka miliaran. “Dari modal minimal kami berusaha maksimalkan. Aset Bumdes sekarang diperkirakan sudah mencapai omzet angka Rp 17 Milliar,” kata Ardana. Terkait perencanaan anggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), Ardana telah menyusun program pemberdayaan kelembagaan desa. Karenanya tidak mengherankan jika banyak tamu dari provinsi dan luar Bali belajar pengelolaan anggaran ke Desa Tajun. “Kami berharap Desa Tajun dapat menjadi estalasenya Buleleng, tempat setiap desa untuk belajar BUMDes,” tandasnya. l
Desa Maju
Desa Minggirsari, Jawa Timur
LEJITKAN POTENSI PERTANIAN BUMDes Maju Makmur mengembangkan potensi pertanian melalui usaha simpan-pinjam dan distribusi pupuk murah.
S
ejak 2003 sampai 2007, kinerja Unit Pengelola Kegiatan (UPK) di Desa Minggirsari tak maksimal. Usaha simpan-pinjamnya pun mengalami kemacetan. Beruntung desa di Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar ini segera berbenah. Sejak berdirinya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Maju Makmur pada 2008, perekonomian warga perlahan membaik. Pemerintah desa menyulap bekas aula Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) menjadi kantor BUMDes sekaligus toko. BUMDes Maju Makmur mengawali pelayanannya dengan usaha simpan pinjam. Kemudian melihat besarnya potensi pertanian, dibuatlah usaha di bidang penyediaan kebutuhan pertanian, salah satunya distribusi pupuk murah. Bertempat di tepi jalan arteri Desa Minggirsari, tampak kantor operasional
simpan-pinjam di bilik kanan dan toko produk pertanian di bilik sebelah kiri. Di pintu toko terpampang papan bertuliskan ‘Harga Pupuk Turun’. Ini menimbulkan daya tarik tersendiri bagi penduduk desa yang 60 persennya bekerja di sektor pertanian. Berkat komitmen dan kerja kerasnya, Pemerintah Kabupaten Blitar meluncurkan program lainnya, seperti bantuan sapi perah dan program asuransi. Hal ini selaras dengan fungsi BUMDes sebagai
pilar kegiatan ekonomi sekaligus lembaga sosial dan komersial. Kini kegiatan pengurus BUMDES yang beromzet ratusan juta per bulan ini sudah semakin padat. Tak hanya mengelola keuangan desa dan menyediakan kebutuhan warga, mereka juga sibuk menerima tamu dari seluruh Indonesia yang melakukan studi banding. Tak heran jika kemudian BUMDes ini meraih penghargaan dari kategori Rintisan Eco-Agriculture. l
Desember, 2016
43
Info Desa
Desa Maju
Desa Tamangalle, Sulawesi Barat
MERAJUT ASA TENUN SUTRA
Tak berbeda jauh dengan pendapatan para nelayan yang minim dan tak menentu. Kesulitan ekonomi desa di Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar ini berangsur membaik sejak kehadiran Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). BUMDes Tamangalle Bisa berperan besar dalam membantu pemasaran kain tenun sutra buatan warga. Dalam sebulan, paling tidak empat lembar sarung dapat terjual. “Kami mendapat Rp. 1 juta sekarang,” kata Hanifah, salah satu penenun di sana. Sarung sutra buatan Tamangalle yang juga disebut lipaq saqbe dalam bahasa lokal, bukanlah tenun biasa. Sutranya ditenun tanpa menggunakan mesin dan tidak mudah luntur. Dari desa saja, sarung ini sudah dibandrol dengan harga Rp 200–400 ribu selembar. Di bawah pengelolaan BUMDes, jumlah penenunnya pun semakin banyak, dari 15 menjadi 25 orang. Sementara untuk meningkatkan pemasaran, BUMDes Tamangalle Bisa kerap mempromosikan sutra Mandar melalui pameran produk dan media sosial. “Kami masih terus meningkatkan kualitas produk dan kemasan agar kami bisa menjual pada wilayah nasional,” ujar Husain Nawawi, Kepala Desa Tamangalle.
Pemasaran sutra yang digagas BUMDes Tamangalle Bisa berhasil meningkatkan keuntungan warga hingga dua kali lipat.
44
Info Desa
Desember, 2016
K
ain tenun Mandar dari Provinsi Sulawesi Barat memiliki ciri khas warnawarna cerah. Sayangnya penghasilan para ibu rumah tangga di Desa Tamangalle sebagai penenun tak secerah warna sarung buatannya. Keuntungan dari usaha tenun hanya sekitar Rp 500 ribu per bulan.
Dukungan terhadap industri kerajinan tenun ini didasarkan pada tradisi perempuan desa yang turut menyokong pendapatan keluarga. Semua penenun merupakan perempuan yang sedang ditinggal suaminya melaut selama berbulan-bulan. Sehingga produktivitas mereka menjadi elemen vital yang menghidupkan geliat perekonomian desa. Kemampuan membaca potensi desa berupa kerajinan tenun inilah yang membuat Tamangalle Bisa terpilih menjadi BUMDes terbaik dari kategori Rintisan Handicraft dan Kerajinan Desain. l
Desa Maju
Desa Binaus, Nusa Tenggara Barat
MENJAWAB KEBUTUHAN DASAR WARGA BUMDes Aneotob membuat unit usaha sederhana namun berdampak besar, seperti penyediaan air bersih dan penyewaan tenda.
U
paya pembangunan desa kerap dipandang hanya dari besarnya angka yang dicetak Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Padahal, BUMDes juga dinilai berdasarkan kemampuannya memberikan manfaat. Hal inilah yang dilakukan BUMDes Aneotob di Desa Binaus, Kecamatan Mollo Tengah, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Barat. Mereka mendirikan unit usaha berdasarkan kebutuhan dasar warga.
harga ditetapkan Rp 60 ribu untuk setiap tangki air. Usaha BUMDes terus berkembang dan semakin beragam. Mereka membuka penyewaan tenda bagi warga yang menggelar perhelatan, syukuran, dan acara lain. Uniknya, penyewaan tenda ini berkaitan erat dengan usaha untuk menjaga kelestarian alam. “Usaha penyewaan tenda ini untuk mencegah penebangan pohon oleh warga. Setiap menggelar perhelatan, warga
desa sering kali menebang pohon tanpa peduli tanah menjadi gundul. Kami tak mau desa kami gundul karena pohonnya ditebang untuk hajatan,” tegas Nakor. Selain itu, letak desa yang jauh dari kota melahirkan ide pendirian bengkel sepeda motor. Hal yang dilakukan BUMDes Aneotob mungkin terlihat biasa dan kurang bernilai ekonomis. Namun, kejelian BUMDes menjawab kebutuhan warga merupakan inovasi yang membuatnya terpilih menjadi BUMDes terbaik dari kategori inovatif. l
Ketika awal didirikan pada 2013, BUMDes Aneotob mendapatkan bantuan untuk mengebor sumur air bersih di tujuh titik demi menjangkau warga desa yang kekurangan air. “Sekarang warga tinggal mengambil air dengan membayar Rp 20 ribu per bulan,” jelas Kepala Desa Binaus, Nakor Tasekep. Setelah kebutuhan air warga terpenuhi, barulah BUMDes Aneotob menjual air bersih dalam tangki-tangki bagi desa lainnya. Dengan berbagai pertimbangan,
Desember, 2016
45
Info Desa
Jentera
Membangunkan Kembali Geliat Tepian Sungai Kahayan Membuat mandiri secara ekonomi tanpa mengesampingkan nilainilai lokal yang tertanam semenjak ratusan tahun silam.
S
udah selama ratusan tahun, hutan dan isinya menjadi teman bagi warga Desa Henda, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Dari hasil hutan itu pula mereka mencukupkan kebutuhan sehari-harinya. Namun, dampak industrialisasi mengakibatkan eksploitasi pada hutan dan alam. Eksploitasi yang tidak terkontrol pun menjadikan hubungan warga Desa Henda dengan alam sekitarnya menjadi timpang.
Eksploitasi alam ini terjadi salah satunya disinyalir karena Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) pada 1995 melalui konversi lahan seluas 1 juta hektar. Karena konversi lahan yang dilatarbelakangi keinginan untuk swasembada beras inilah areal gambut di wilayah Pulang Pisau tempat Desa Henda berada rusak. Dalam PPLG, ratusan kilometer kanal dibangun dimaksudkan sebagai sarana irigasi penyuplai tanaman padi. Namun, proyek ini gagal karena lahan gambut tidak cocok untuk tanaman padi. Akibat kanal ini, lahan gambut menjadi kering yang mengakibatkan sering terjadinya kebakaran. Terletak di Daerah Aliran Sungai Kahayan, Desa Henda adalah desa yang dihuni masyarakat asli Dayak. Kehidupan mereka bergantung kepada hasil pertanian ladang dan perkebunan karet. Seiring dengan proses deforestasi dan degradasi hutan yang berlangsung secara terus menerus sejak pembukaan PPLG, hasil rotan pun menurun drastis dan mempengaruhi kehidupan ekomoni masayarakat Desa Henda. Ditambah lagi akibat sering terjadinya kebakaran gambut sebagai efek PPLG dan deforestasi secara masif.
46
Info Desa
Desember, 2016
Jentera Kondisi seperti ini tentunya tak bisa dibiarkan. Sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, Desa Henda pun layak menikmati kehidupan yang setara dengan daerah lain di Indonesia. Namun, bagaimanakah solusi untuk menjaga keberlangsungan kampung dengan kearifan lokal nya yang berdiri sejak 1902 ini dan membuatnya bisa mandiri secara ekonomi tanpa mengesampingkan nilai-nilai lokal yang tertanam semenjak ratusan tahun silam? Sebelum rotan di Desa Henda menghilang karena deforestasi, perempuanperempuan Desa Henda menganyam rotan untuk kemudian dipakai sebagai alat rumah tangga ataupun dijual. Namun, seiring hilangnya pohon rotan serta desakan peralatan rumah tangga modern yang menggantikan peralatan hasil anyaman rotan, para ibu rumah tangga di Desa Henda tidak tertarik lagi meneruskan kegiatan menganyam rotan yang telah lama menjadi tradisi masyarakat Dayak Kalimantan Tengah. Tradisi ini pun dipacu untuk hidup dan bergeliat kembali. Perlu kesadaran untuk membangkitkan lagi tradisi menganyam rotan di kalangan perempuan dari generasi yang lebih muda. Badan Kerja Sama Antar Desa (BKAD) Jabiren Raya seabagai salah satu lembaga masyarakat yang dibina oleh PNPM Mandiri Pedesaan memberikan kegiatan pelatihan penganyaman rotan kepada kelompok perempuan di Desa Henda. Terdapat tiga jenis pelatihan berbeda yang diberikan, yaitu pelatihan menganyam rotan, pelatihan pengembangan motif anyaman, danpelatihan pemasaran hasil anyaman rotan. Bukan berarti tanpa tantangan, setelah proses pelatihan ini yang menjadi
t a n t a n g a n adalah komitmen dan konsistensi untuk terus belajar meningkatkan ketrampilan menganyam rotan beragam motif dan bentuk, sesuai dengan permintaan pasar. Penyesuaian permintaan pasasr bakal memperluar cakupan pemasaran hasil anyaman tidak hanya di sekitaran Desa Henda saja.
Pelatihan anyaman rotan ini dapat memberikan manfaat ganda. Pertama berupa penguatan ekonomi keluarga dan kemudian mendorong masyarakat untuk tidak menebang pohon secara sporadis karena rotan membutuhkan pohon untuk bisa tumbuh. Karenanya, selain pelatihan menganyam rotan, hal lain yang dilakukan adalah menjalankan proyek ‘Orang Dayak Tanam Sejuta Pohon’ demi menjadikan Desa Henda mandiri dan setara. l
Indeks Desa 2014 Kabupaten Pulang Pisau:
Presentase Klasifikasi Desa Kabupaten Pulang Pisau
57,59
Desa Tertinggal:
15,79% Desa Berkembang:
84,21%
Status:
Berkembang
Desa Mandiri:
0%
Desember, 2016
Info Desa
47
Jentera
Jalan Terjal Menikmati Kopi di Manipi Meskipun berjalan dengan segala keterbatasannya, Desa Manipi bukanlah wilayah yang tanpa potensi.
B
erada di perbatasan antara Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan membuat Desa Manipi di Kecamatan Pana, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat jauh dari akses. Posisinya jauh dari pusat pemerintahan Sulbar di Mamuju dan lebih jauh lagi dari pusat pemerintahan dan ekonomi Sulsel di Makassar. Akses ke desa ini pun semakin terbatas karena infrastruktur jalan yang belum memadai. Terbatasnya kondisi Desa Manipi ini akan semakin parah bilamana hujan turun cukup deras. Pada akhir Oktober lalu, akibat hujan yang terus menerus
48
Info Desa
Desember, 2016
turun di wilayah Kabupaten Mamasa membuat akses jalan provinsi terputus. Desa Manipi menjadi salah satu desa yang menjadi korban terputusnya jalan akibat longsor tersebut. Bencana longsor menjadi momok bila musim hujan telah tiba. Praktis, dengan terputusnya jalanan ini membuat pergerakan ekonomi di Desa Manipi semakin tersendat. Dengan kondisi yang serba terbatas ini mencatatkan Desa Manipi belum mampu unutk menjadi desa mandiri. Kurangnya infrastruktur penunjang saat ini menjadi kendala utama. Usia Provinsi Sulawesi Barat yang masih muda se-
Jentera Desa Manipi juga masih menghidupi kearifan lokal Kampung Manipi. Penduduk Manipi sebagian hidup di lereng gunung dan lembah yang dialiri Sungai Masuppu, salah satu anak sungai Saddang yang bermuara di Kabupaten Pinrang. Kedekatan dengan alam dan lingkungan gunung telah menyatukan hidup dengan lingkungan gunung dan menggantungkan kebutuhan hidup dari alam sekitar.
bagai hasil pemekaran dari Provinsi Sumatera Selatan pada 2004 lalu juga sedikit banyakmemberi pengaruh pada lambatnya pembangunan infrastruktur di Manipi khususnya dan Sulbar pada umumnya. Bukan tanpa tindakan nyata dari pemerintah, topografi perbukitan yang dilewati jalan memang menjadi kendala untuk membangun infrastruktur yang stabil. Selian jalan, elektrisasi juga masih belum cukup dan lagi-lagi topografi masih menjadi kendala untuk elektrisasi. Meskipun berjalan dengan segala keterbatasannya, Desa Manipi bukanlah wilayah yang tanpa potensi. Desa Manipi punya perkebunan kopi yang potensial untuk dikembangkan menjadi penghasil kopi unggulan maupun dimanfaatkan untuk wisata. Merespon potensi ini, Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat akan melakukan pembangunan pabrik pengolahan kopi bubuk di Kabupaten Mamasa. Pembangunan pabrik tersebut diproyeksikan untuk menampung langsung produksi kopi di kawasan Ma-
masa termasuk hasil kopi di Manipi. Nantinya kopi hasil pertanian petani tidak akan langsung dipasarkan dengan harga murah. Pabrik ini akan mempunyai fasilitas pengolahan yang pastinya bisa memberikan added value sehingga nilai ekonominya bisa lebih tinggi.
Indeks Desa Kabupaten Mamasa:
Selain rencana fasilitas pembangunan pabrik, untuk mengatasi problematika yang dihadapi Manipi untuk bisa mandiri berbagai terus diupayakan. Untuk membantu elektrisasi Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) bisa menjadi solusi. Apalagi dengan keberadaan aliran air sungai cocok untuk aplikasi PLTMH. Pembangkit listrik tipe ini memang lebih fleksibel untuk menjangkau daerah yang cukup jauh dari pusat jalur kabel dari Perusahaan Listrik Negara dan biaya yang dikeluarkan lebih rendah karena menggunakan tenaga air. Terkait infrastruktur, digalakkannya proyek jalan dan jalur kereta trans Sulawesi diharapkan mampu memberikan kualitas infrastruktur yang mumpuni untuk menjadi nadi transportasi di Sulawesi termasuk di Manipi. Dan kedepannya Kopi Manipi pun lebih mudah dinikmati. l
Presentase Klasifikasi Desa Kabupaten Mamasa
47.25
Desa Tertinggal:
55,95% Desa Berkembang:
44,05%
Status:
Tertinggal
Desa Mandiri:
0%
Desember, 2016
49
Info Desa
Transmigrasi
Merajut Asa di Kaltara Transmigrasi dapat membentuk pusat pertumbuhan ekonomi yang baru
S
enyum lebar menghiasi wajah Purwanti, 34 tahun, di Satuan Permukiman Transmigrasi Desa Sepunggur Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, Selasa (25/10) pagi. Pagi itu Purwanti bersama ratusan transmigran lain disambut oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo yang sengaja datang untuk melihat langsung kedatangan 175 kepala keluarga transmigran dari Jawa Tengah dan Yogyakarta.
diperlukan untuk membantu mewujudkan asa dari para transmigran.
Purwanti sudah bertekad bertransmigrasi di Desa Sepunggur bersama suami dan kedua anaknya. “Saya ingin mengubah nasib untuk masa depan anak-anak,” kata ibu rumah tangga asal Yogyakarta, ini di Desa Sepunggur, Selasa (25/10).
175 kepala keluarga yang bertransmigran ke Desa Sepunggur ini terdiri dari 100 kepala keluarga transmigran asal Jawa Tengah, 50 kepala keluarga dari Daerah Istimewa Yogyakarta, dan 25 kepala keluarga dari daerah setempat. Mayoritas transmigran berpendidikan SD dan SMP, dengan pekerjaan awal kebanyakan sebagai petani. Namun ada beberapa transmigran yang mengenyam pendidikan tinggi seperti D3 dan S1, serta satu di antaranya merupakan anggota TNI.
Memutuskan untuk mengubah nasib di tempat yang baru melalui program transmigrasi bukanlah keputusan yang mudah. Bagaimana tidak, transmigran rela meninggalkan tanah kelahiran, sanak saudara, dan lingkungan sosial yang sudah bertahun-tahun dijalani, untuk memulai hidup yang baru di tempat transmigrasi. Komitmen dan keberpihakan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan stakeholder terkait sangat
50
Info Desa
Desember, 2016
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo pun mengakuinya. “Dorongan semangat sepantasnya perlu selalu kita berikan bagi para transmigran yang telah memutuskan untuk pindah memperbaiki masa depan melalui program transmigrasi,” kata Menteri Eko saat memberikan sambutan untuk 175 transmigran di Desa Sepunggur, Selasa (25/10).
Menurut Eko, transmigrasi merupakan motor penggerak ekonomi di luar Jawa. Buktinya, kata Eko, ada sekitar 1.000 desa mandiri yang awalnya merupakan desa transmigrasi. Karenanya, Menteri
Eko meyakini 175 transmigran yang telah ditempatkan di Kaltara ini mampu menyulap Desa Sepunggur menjadi desa maju. Dalam sambutannya, Menteri Eko juga berbagi tips agar berhasil di kawasan transmigrasi. Menurut Eko, kunci keberhasilan para transmigran ditentukan oleh tiga aspek. Aspek pertama, permukiman transmigrasi harus memenuhi kriteria Clear and Clean, layak huni, layak usaha, dan layak berkembang. Aspek kedua, transmigran harus berkualitas dan berdaya juang tinggi. Dan ketiga, pembinaan serta pengembangan kapasitas masyarakat transmigran harus sesuai dengan potensi bio fisik di lokasi permukiman dan kondisi sosial di kawasan transmigrasi. Menurut Eko, keberhasilan para transmigran di kawasan transmigrasi sangat bergantung pada sifat dan sikap dasar transmigran. Transmigran yang disiplin, jujur, bertanggung jawab, dan bekerja keras akan berhasil di kawasan transmigrasi. Karena, kata Eko, mengolah lahan
Transmigrasi
Di tempat yang sama, Gubernur Kalimantan Utara Irianto Lambrie mengatakan transmigrasi di Kaltara sudah ada sejak 1950-an. Irianto mengakui keuletan dan ketekunan transmigran di Kaltara telah teruji keberhasilannya “De-
yang baru di lokasi transmigrasi, apalagi dengan dukungan fasilitas yang masih terbatas, tentulah tidak mudah. Namun, Eko optimistis transmigran di Desa Sepunggur dapat berhasil karena desa ini berada di tanah yang subur dan tidak kekurangan air. Dengan tekad dan asa yang besar, Purwanti memang telah memiliki rencana untuk mengubah nasibnya di Sepunggur. Jika sebelumnya suami Purwanti sehari-hari berjualan pulsa telepon di Yogyakarta, Purwanti bertekad akan menanam sayuran dan bersawah di Desa Sepunggur.
ngan wilayah yang luas, transmigrasi di Kaltara mampu meningkatkan pemerataan daerah,” kata Irianto. Catatan statistik menunjukkan transmigran memiliki kehidupan yang lebih baik dibanding di daerah asalnya. Bahkan yang lebih membanggakan, keputusan yang besar dan sulit untuk bertransmigrasi pada akhirnya tak hanya membuat diri dan keluarganya berhasil. Transmigrasi juga telah mampu mendorong tumbuhnya kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat dan daerah yang didatanginya sehingga membentuk pusat pertumbuhan ekonomi yang baru. Keberhasilan ini terlihat di Desa Bumi Rahayu yang berada di Kawasan Transmigrasi Salim Batu, yang merupakan eks Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) Jelerai Selor SP 1. Setelah menyambut transmigran baru di Desa Sepunggur, pada Rabu (26/10) Menteri Eko juga menyempatkan diri mengunjungi lokasi transmigrasi yang sudah dibangun sejak 1992 ini. Kawasan transmigrasi ini awalnya ditempati sekitar 250 kepala keluarga dan telah berkembang menjadi desa definitif pada 1997. Kawasan transmigrasi Salim Batu yang memiliki luas 61.890 hektare itu kini dihuni oleh 11.273 kepala keluarga yang terdiri dari 3 kecamatan, 20 desa asli, 20 desa eks permukiman transmigrasi, dan 8 lokasi transmigrasi yang masih dibina. l
Desember, 2016
51
Info Desa
Lensa Inspirasi
52
Info Desa
Desember, 2016
Lensa Inspirasi
DESA WISATA SEMBALUN
Tempat Singgah nan Indah di Kaki Gunung Rinjani
Desember, 2016
53
Info Desa
Lensa Inspirasi
Desa Sembalun menjadi tempat singgah favorit pendaki sebelum menaklukkan Gunung Rinjani.
H
ijau dan asri, kesan ini sangat terasa saat menjejakkan kaki di Desa Sembalun, yang terletak di sebelah utara kaki Gunung Rinjani. Awalnya desa ini hanya dikenal sebagai salah satu titik awal jalur populer untuk mendaki Gunung Rinjani. Berjarak 4 jam perjalanan dari Kota Mataram, Desa Sembalun menjadi tempat singgah untuk pendaki mengumpulkan tenaga sebelum menaklukkan Gunung Rinjani. Namun kini, desa kecil nan indah di ketinggian 1.156 ini menjadi desa wisata yang memiliki penggemarnya sendiri. Bagaimana tidak, sejauh mata meman-
54
Info Desa
Desember, 2016
dang, pepohonan hijau dan vegetasi pegunungan mendominasi desa ini. Pemandangan alam hijau dan permai ini semakin indah dengan latar penampakan Gunung Rinjani nan gagah dan pemandangan laut Gili Trawangan dari kejauhan. Nuansa pedesaan sangat terasa dengan udaranya yang sejuk. Ladangladang pertanian terhampar rapi, di mana para petani setempat menanam sayur-sayuran di lahan bertingkat. Cara kerja petani yang masih menggunakan peralatan tradisional menambah kental nuansa pedesaan di Desa Sembalun. Desa Sembalun juga dikelilingi oleh tebing-tebing batu yang kemiringannya
hampir mencapai 90 derajat. Dinding batu ini merupakan hasil pembekuan materi letusan yang dimuntahkan Gunung Rinjani ratusan tahun lalu. Di Desa Sembalun pun ada pemandangan unik berupa tujuh rumah dengan tujuh tangga yang masuk ke dalam. Rumah ini merupakan rumah pertama dan rumah tertua di Desa Sembalun dan diberi nama Desa Beleq yang berarti desa besar. Selain itu ada juga dua rumah kecil yang diberi nama Geleng atau lumbung, tempat menyimpan hasil pertanian seperti padi dan jagung. Semua pemandangan indah ini menjadi wisata tersendiri sebelum menaklukkan Gunung Rinjani. l
Lensa Inspirasi
Desember, 2016
55
Info Desa
Lensa Inspirasi
56
Info Desa
Desember, 2016
Lensa Inspirasi
Desember, 2016
57
Info Desa
Karya
Layar Terkembang Bersama Pinisi Dari tangan-tangan terampil mereka, kapalkapal layar raksasa lahir untuk membelah samudera.
P
utera Mahkota Kerajaan Luwu, Sawerigading, diceritakan tengah punya hajatan bersejarah dalam hidupnya. Ia hendak melamar seorang Putri Tiongkok, We Cudai, ke negeri seberang. Saat itu tak ada pesawat terbang yang bisa mengantarnya ke Negeri Tirai Bambu. Tak hilang akal, ia pun membuat sebuah kapal layar yang bisa mengantarkannya menemui gadis pujaan. Bahan untuk membuat perahu tersebut diambil dari pohon welengreng (pohon dewata) yang terkenal sangat kokoh dan tidak mudah rapuh. Namun, sebelum pohon itu ditebang, terlebih dahulu dilaksanakan upacara khusus agar penunggunya bersedia pindah ke pohon lainnya. Cerita itu tertuang dalam naskah Lontarak I Babad La Lagaligo pada abad
58
Info Desa
Desember, 2016
ke 14. Naskah itu juga menceritakan soal kapal layar Pinisi, kapal kayu yang telah digunakan di Indonesia sejak beberapa abad yang lalu. Pinisi merupakan kapal layar tradisional khas asal Indonesia, yang berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan. Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang, umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau. Kapal ini menggunakan layar jenis sekunar dengan dua tiang dengan tujuh helai layar yang mempunyai makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengharungi tujuh samudera besar di dunia. Kapal ini kini menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia dan diakui dunia sebagai salah satu kapal layar terbesar dan termegah. Ketenaran dan ketangguhan kapal ini sudah terdengar di seluruh dunia. Sudah sejak sekitar abad ke-14, Kapal Pinisi sudah berlayar dan menjelajah samudera di seluruh dunia. Tapi, tahukah Anda, kapal ini dibuat oleh tangan-tangan ahli tanpa menggunakan bantuan peralatan modern. Seluruh bagian kapalnya terbuat dari kayu dan dirangkai tanpa menggunakan paku. Walaupun terbuat dari kayu, kapal ini mampu bertahan dari terjangan ombak dan badai di lautan lepas. Kapal Pinisi adalah satu-satunya kapal kayu besar
Karya dak menggunakan paku (paku besi). Papan kayu saling disatukan dan dipaku dengan menggunakan kayu sisa pembuatan badan kapal. Proses pembuatan kapal ini tergantung dari ukuran kapal, biasanya memakan waktu selama 6 bulan hingga 1 tahun.
dari sejarah lampau yang masih diproduksi sampai sekarang.
asa disebut sebagai Punggawa (kepala tukang).
Proses pembuatannya masih tradisional. Adalah warga Kelurahan Tana Beru, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, yang hingga kini meneruskan tradisi pembuatan Pinisi ini. Letaknya kira-kira 150 Km perjalanan darat dari Makassar, mengarah ke pesisir pantai tenggara Sulawesi Selatan.
Seorang Punggawa memimpin proses pembuatan tanpa menggunakan catatan. Catatan seperti perhitungan ukuran, desain kapal dan detail-detailnya tidak direkam dalam bentuk tulisan ataupun bentuk lain. Semua pengetahuan yang dimiliki seorang Punggawa tersimpan di kepalanya, dan diturunkan selama beratus-ratus tahun lewat lisan. Karena itu, Bulukumba mendapatkan julukan sebagai Bumi Para Ahli Pembuat Perahu.
Tana Beru sebagai Pusat Kerajinan Perahu Pinisi terletak sekitar 176 kilometer dari Kota Makassar atau 23 kilometer dari Kota Bulukumba. Perjalanan dari Kota Bulukumba ke Tana Beru dapat ditempuh dengan menggunakan mobil pribadi maupun angkutan umum.
Bahan utama untuk membuat kapal ini biasanya dari kayu jati, kayu besi, atau kayu jati. Perakitan Kapal Pinisi juga ti-
Sebagai sebuah hasil kebudayaan, pembuatan Kapal Pinisi disertai juga dengan upacara adat masyarakat setempat. Dari mulai pemilihan kayu, penebangan, awal pembuatan, sampai peluncuran kapal ke perairan tak lepas dari upacara adat. Rangkaian upacara ini bertujuan agar kapal yang dibuat bisa berfungsi sampai lapuk kayunya dan selalu selamat ketika berlayar di lautan bebas. Suku Bugis Makassar terkenal ahli kelautan sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Mereka berlayar ke berbagai belahan bumi yang lain hanya dengan mengandalkan ilmu navigasi alam. Misalnya membaca bintang, membaca pola pergerakan awan, membaca arah angin, dan lain-lain. Hingga saat ini, warga Kabupaten Bulukumba masih terus memproduksi Kapal Pinisi. Para pengrajinnya tetap mempertahankan tradisi dalam pembuatan perahu tersebut. Dari tangan-tangan terampil mereka, kapal-kapal layar raksasa lahir untuk membelah samudera. l
Di pesisir pantai inilah Anda masih bisa menjumpai tangan-tangan ahli pembuat kapal kayu Pinisi. Keahlian membuat kapal ini dimiliki oleh suku-suku di Sulawesi yang tinggal di daerah pesisir, yaitu suku Bugis Makassar. Keahlian ini diturunkan selama beratus-ratus tahun dari jaman nenek moyang mereka hingga sekarang. Kapal Pinisi adalah kapal kayu tradisional buatan tangan (hand-made). Dibuat dengan menggunakan peralatan yang sederhana, dan dikerjakan oleh tangan-tangan ahli sebanyak 10 orang (biasanya disebut sebagai Sawi) yang dipimpin oleh 1 orang. Seseorang ini bi-
Desember, 2016
Info Desa
59
English Section 62
74
Empowering TourismBased Village Economy
KKN TEMATIK:
Empowerment Initiative for Village Communities
76 MUHAMMAD YAMIN:
The Honey Hunters
78 The Best BUMDES in Indonesia
Cover Story
Empowering Tourism-Based Village Economy
A village can be a great tourism area because it has natural uniqueness, people’s hospitality, cultural diversity, and customs authenticity. The management is under Village-owned Enterprises (VOE=BUMDes) or cooperatives.
I
n mid-October, the Temanggung Regency Government had held a celebration. To attract tourists, the regency government launched 10 tourism villages. The opening of the show is quite unique, it started with culture carnival carrying a number of mountains composed of local crops, before the Gerebek Agung Tuk Tempurung in Liyangan Site area, Purbosari Village, on the slopes of Mount Sindoro, began. The carnival was led by the head of Purbosari Village Saifuddin Ansory. The carnival followed by some traditional art
62
Info Desa
Desember, 2016
groups started from the village hall down the village road, which is still a stone structure, toward Liyangan site. After praying together, the mountains became residents seizure. In the main area of Liyangan site, four artists performed Tirta Mustika ritual dance accompanied by fiddle and kenong while a villager was reciting a ballad for the security and the welfare of citizens. At the end of the activity, the Regent of Temanggung and Purbosari head-village tossed some water from Tuk Tempurung to the temple as a reminder for the citizens to preserve water resources and fertility.
Saifuddin said the ritual was an act of gratitude to God Almighty who had given innumerable favors and gifts to the citizens. Through this ritual, citizens were reminded to always preserve the environment. Preserving the environment would be beneficial to the soil remains fertile and water sources remain clean. “This ritual is also to introduce the potentials of Liyangan to a wider community,” he said. Liyangan site located in Purbosari Village was one of the ten villages that were launched on that day. Temanggung Regent Bambang Sukarno said the other nine villages were Ngropoh, Traji, Pagergunung, Tegalrejo, Soropadan, Menggoro, Tawangsari, Kedu, and Tlahab. Bambang said the launching of tourism villages in the region was aimed to raise the cultural and natural beauty in Temanggung to attract tourists. “I think the ten villages will become icons of Temanggung. Ten tourism villages have been set. We just need to find the budget,
Cover Story including from Temanggung Regency budget,” he said. In Bali, Tabanan Regency Government enthusiastically encourage all the villages in the area into to become tourism villages. This was done to anticipate the conversion of agricultural land in order to maintain the status of Bali barns. Tabanan Regent Putu Eka Wiryastuti believed the tourism village status was more powerful to restrain the rate of land conversion into tourist accommodation facilities. “If all villages become tourist village, the land will not be sold, and people’s income will increase because they are not just a spectator,” she said during the signing of cooperation of SOE and Pinge Village in Tabanan, in mid November. Wiryastuti said that after working with Pinge Village, she will boost Belimbing Village in Pupuan District to be a tourism village. According to her, the existence of tourism village really help improving people’s income. There are about 41 tourism villages in Tabanan, but not all of them are optimally operated. It is expected that in the future central government through State Owned Enterprises could help to elevate the status of the villages into tourism village, as did such to Pinge Village.
determine the quick win, which destinations are most ready to be formatted into a tourist village,” said Arief, as reported from Kemenpar twitter. Met after National Village Conference in Jakarta, in mid November 2016, the Minister of Village, Development of Disadvantage Region and Transmigration, Eko Putro Sandjojo was optimistic that the development of tourism village in Indonesia could be carried out. “A lot of tourism villages development has been carried out, just look at Ponggok. Hopefully the village funds from the government to villages in Indonesia can support the development of tourism villages, among others to make food court or huts around the beach,” he said. Ponggok is the name of the village in Polanharjo district, Klaten, Central Java, which develops tourism village based on underwater attractions. Within a year, the village is able to generate revenues of four to six billion rupiahs. On Monday, October 17, 2016, Arief then sent Deputy for Industry and Destination Development, Ministry of Tourism, Dadang Rizky to follow up technical discussions with the PPMD General Director of Ministry of Village PDTT Ahmad Erani Yustika. Dadang Rizky said, tourism villages in Indonesia needs to be developed, according
to the characteristics and the potential in of each village. “We encourage villages with such potential through the utilization of village budgetary funds which was decided through community meetings. We expect that the village fund can be used by villages which proposed its area to become tourist villages,” he said when met by Info Desa at the launching of Manado Tourism Enchantment 2017 Calendar at Sapta Pesona Building, the Ministry of Tourism office, on the third week of November 2016. Dadang said, the character of tourist villages that will be developed by the Ministry of Tourism and the Ministry of Village includes 3A, namely attractions, access and amenities. “Great destinations have unique and exciting attractions, like in Labuan Bajo there is a komodo dragon attraction. We hope, tourist villages are able to create unique and distinctive attractions of the village so that the attraction can be a lifetime experience for the visiting tourists. They can also experience the village life while staying in homestays belonged to villagers,” he said. Dadang estimated, cultural tourism based on local community tradition would be more preferred by tourists than natural and artificial tourism. “But we still calculate the percentage, whether cultural tourism will get more response
The enthusiasm of local governments to encourage villages in the region to become tourism villages was a response to the idea of President Joko Widodo. At the sidelines of main event of Karimata Sail 2016 at Pulau Datok beach, Sutra Village, Sukadana District, North Kayong Regency, West Kalimantan, in mid-October, President Jokowi tossed the idea of tourism village. Having learned about these ideas, Minister of Tourism Arief Yahya immediately coordinated with the Ministry of Village, Development of Disadvantage Region and Transmigration. “I’ve contacted Mr. Eko Putro Sandjojo, the Minister of Village, Development of Disadvantage Region and Transmigration. We will soon
Desember, 2016
63
Info Desa
Cover Story from tourists or natural or artificial tourism, including the number of tourists visiting the tourism village,” he said. The cooperation of the two ministries to develop tourism village finally resulted in the signing of few points in an agreement. “Two weeks ago, we signed an MoU with the Ministry of Tourism,” confirmed the PPMD General Director of the Ministry of Village, Development of Disadvantage Region, and Transmigration, Ahmad Erani Yustika when met at his office, on the third week of December 2016. Erani explained, one of the points of in the cooperation agreement was that the Ministry of Tourism appointed 10 other priority tourist destinations set by the government as a location for tourism village development. The ten priority tourist destinations are Mandalika, Lombok; Labuan Bajo; Morotai Island; Tanjung Kelayang; Tanjung Lesung; Lake Toba; Wakatobi; Bromo-Tengger-Semeru; Borobudur Temple, and Kepulauan Seribu. “The Ministry of the Village is targeting of the 74,754 villages in Indonesia, there will be about 7,500 tourism villages in Indonesia until 2019,” he said. Erani said the Ministry of Village has designed a tourism village program since 2015 when it first oversaw the implementation of village funds. At that time, the Ministry of Village had facilitated 10 pilot project villages, one of them was in Southeast Sulawesi. At the Ministry of Village, Erani explained, tourism village programs were under the umbrella of Village Economic Barn aimed at strengthening the economy of the village. “We even
64
Info Desa
Desember, 2016
put the activities of a tourism village in the top priority as we consider the village has all the resources that enable it to become a great tourism area,” he said. What Erani meant was the village becomes a great tourism area due to its unique nature, the people’s hospitality, cultural diversity, customs authenticity and norms that allow the whole of these factors to support the creation of travelling trends in the future. “Every village in Indonesia has a uniqueness and the potential for development of tourism,” he said. Erani continued, currently travelling trend was returning to environment authenticity in the broad sense in which the tourists, especially foreign tourists want to learn the native culture of the local community, authentic architecture of each region, the authenticity of the natural environment, warmth and harmony of the villagers. “Those things were sought by foreign tourists, and villages have them all, now it is just how to make use of these resources with modern management.” Erani said, the Ministry of Village will collaborate the tourism village development with village-owned enterprises (BUM Des). “Later those tourist villages will be managed by BUM-Des or cooperatives so that the existence of a tourist village will be really beneficial for the welfare of rural communities,” he said. In the context of vilage communities empowerment, Erani said, tourism village development was directed at three main points according to the vision and mis-
sion of the Ministry of Village. First, the village must take control and drive the local economic potential, it should not be left idle or driven by people outside the village. Second, the villagers could build a solid economic organization in the village, because in any way all economic activities need to be organized. It is one of the things that we encourage through Village-Owned Enterprises (BUM Des), so that the resources in the village do not become private property, but being a blessing for all the villagers. Third, the tourism village management is directed at environmental approach and the participation of citizens who become a support pillar. “Thus, the approach is not merely material capital but also social capital added by the sensitivity of citizens to balance the economic and environmental interests. These three main things are that we keep in the development of tourism village,” he said. Minister Arief Yahya said, to empower people around the tourism areas, the Ministry of Tourism saw the solution lied in the development of homestay. “We will build homestays for tourism villages in all destinations,” he told Info Desa. The tourism village program, Arief added, is also related to the plan to build 100 thousand homestays which will begin in 2017. “When a tourism village was ready to sell, it will be immediately promoted. Then selling platform is also incorporated in the DMP or the Digital Market Place. Tourist village can have double function, ie amenity with homestay and attractions of being in an atmosphere of village life,” said Arief. l
Cover Story
SPRITE Project and Explore Rural India Among the impacts of tourism villages are the creation of new work opportunities, reducing the flow of urbanization, and creating new job alternatives in agricultural sector.
M
ost people probably never know that rural-based-tourism activities in Germany has been going on since the 1970s. The rise of tourism sector in Germany itself was boosted by the vacation incentive given to middle-class workers. They then decided to spend their vacation time in village area. As a result, rural regions in Germany had emerged to become new tourism destinations out of town, which in the end supports the village economy.
to become distinguishing features which were absent in cities and urban regions. The rural-based-tourism development policy evidently had caused significant impacts to the villages. A research made by de la Tore, Hedalgo, and Fuentes had mentioned that the impacts of tourism villages include the creation of new work opportunities, reducing the flow of urbanization, and creating new job alternatives in agricultural sector.
What happened in China was another case. The Chinese government integrated natural resources, local cultures, and trails of historical trade for tourism purpose. China has been popular as a country with silk road historical background. Regions along the long lost silk road were revived. The impact was significant. DeGang and Xiao Li note that the regions along the silk road are now crowded with tourists.
The high success opportunity of rural based tourism then encouraged European Union countries to start a project called as Supporting and Promoting Integrated Tourism in Europe’s Lagging Rural Region (SPRITE). The project involved several countries such as Czech Republic, France, Greece, the Rpublic of Ireland, Spain, and United Kingdom. According to Clark and Chabrel, the main purpose of the project was to develop lagging rural regions by integrating their tourism sector.
What the governments of both countries were concrete actions in developing village regions to become tourism villages. They had creatively exploited historical bases and strong local cultures as well as the beautiful sceneries of the villages
A similar action was also taken by India. Within the last several years, the Indian government has been aggressively promoting tourism village projects through their Ministry of Tourism. Villages would receive aid to develop a tourism
village after submitting proposals for tourism development in their respective village. The proposals would then be assessed by the Ministry of Tourism and the province’s Tourism Office. Only the best proposals would be rewarded with funds for tourism village development, which budget came from the federal government. Once the fund is received, it would be used to finance various activities, such as the construction of village roads, provision of street lighting, construction of lodging houses, etc. The federal government asks that the turism village fund is used with regard to transparency and accountability. The federal government’s attention would not stop there. India, which is known for their “Incredible India” brand, then promoted the tourism villages using the “Explore Rural India” tagline. The government were also actively engaging the tourism villages in various international tourism forums. Indonesia may learn from India, as well as from Germany, China, and other countries who actively promote their tourism villages. l
Desember, 2016
65
Info Desa
Cover Story
The Great Potentials for Tourism Villages in Indonesia
66
Info Desa
Desember, 2016
Cover Story
Eko Putro Sandjojo, the Minister of Village, Development of Disadvantaged Regions, and Transmigration
H
undreds of foreign tourists had come for the 2016 Sail Karimata event, which would be centered in Pulau Datuk Beach of Kayong Utara Regency, West Kalimantan, and opened by President Joko Widodo midOctober. Once their yachts docked in Kayong, they visited Pasir Mayang Beach and Tambak Rawan Beach, as well as Sudahan Jaya Tourism Village. During their visit in Sudahan Jaya Tourism Village, the tourists were enthusiastly watching the locals’ activities in making palm sugar, enjoying Malay and Balinese dances, and savoring the village’s local cuisine. Seeing the foreign tourists’ activities, the Minister of Village, Development of Disadvantaged Regions, and Transmigration, Eko Putro Sandjojo, said that Sail Karimata had become a momentum to revive disadvantaged regions. “With the 2016 Sail Karimata, Kayong Utara, which is still classified as a disadvantaged region, is able to introduce their potentials nationally, and even internationally,” he said, as quoted by Antara. In the annual tourism event, President Jokowi has thrown the idea of tourism village, with the purpose of improving the welfare of the villagers. Following are excerpts of interviews with Minister Eko Putro Sandjojo about the development of Indonesian tourism village in several occations.
What do you think about the idea of tourism village?
I believe that it is an excellent idea. Villages have a variety of potentials that can be developed in the future. Aside from agriculture, fisheries, and handycraft, the village’s tourism sector can also support the national economy. The advancement in villages may encourage creative businessmen in all sectors. There is a village in Bali capable of generating income of almost 30 billion rupiah from tourism sector. It shows that villages which are developed for tourism have large potentials in supporting the village economy.
How far has the tourism village been implemented in Indonesia?
There are plenty that have run. Aside from the village in Bali which I told you earlier, several villages have started developing the tourism village. One of them is Ponggok. Annually, the village which is located in Polanharjo District of Klaten, Central Java, was capable of generating between four and six billion rupiah of income, which was managed by Village Owned Enterprises. That income was generated thanks to the creativities of the local administration and the villagers in developing tourism based on underwater attractions. The success of Ponggok as well as the village in Bali are expected to inspire other villages in developing tourism villages in Indonesia.
Desember, 2016
67
Info Desa
Cover Story
What is the concept for tourism village from the Ministry of Village?
We had designed the tourism village program since the first time we implemented the village fund program in 2015. In essence, tourism village in the concept of the Ministry of Village is a village which is capable of exploring their tourism potential with respect to its local identities. In addition, the villages which develop their regions based on tourism activities are expected to preserve their environment, since the image of tourism village can be damaged just because the village cannot manage their environment, including waste, properly. If the tourism village is capable of preserving the environment, then the village can accomplish a better economic scale through Village Owned Enterprises. We will keep supporting these villages in creating welfare for the villagers.
What form of support does the Ministry of Village provide to develop tourism villages?
In principle, we give attention to tourism village development by providing
68
Info Desa
Desember, 2016
trainings on administrations, financial management, management of Village Owned Enterprises, as well as other trainings that can help the development and economic empowerment for the villages. Teh village fund that we provide can hopefully be utilized to support the development of tourism villages, including constructing food courts or gazeboes around beaches, so that the utilization of the village fund is not limited to infrastructure development. Kemasan Vilage in Sawit District of Boyolali, Central Java, is one of the villages that have utilized their village fund to support village-controlled water recreation. Villages are also expected to make their own retention basins. Aside from helping the village when facing dry season, these retention basins can become attractive tourism spots.
According to you, what is so appealing from tourism villages?
I believe that there are plenty attractive things in tourism villages. The cool mountain breeze, beautiful village scen-
eries, and clean village environment can be featured as attractions of tourism villages. As an addition, the local cultural wealth and tradition that are still held by the village community will complement the appeal of the tourism village.
And aside from that?
During my work visit to Yogyakarta, I visited one of the villager’s homestays in Pentingsari Village. Some Australian tourists had stayed at the homestay when visiting there. According to the villagers, during their visit, the Australian tourists as well as other foreign tourists followed their daily activities, such as planting rice crops and cooking on wood stoves. They were happy and enthusiast when doing the daily activities of the local villagers. What is also fascinating about Pentingsari Village is that the villagers provide homestays for tourists’ accommodation. There are around fifty houses owned by villagers which are converted to be homestays with total capacity reaching aaround 400 people. The rates are affordable, and the toilets are clean. Ad-
Cover Story
enjoy a better welfare.
What are your expectations from the tourism villages?
I expect that tourism villages can be self-sufficient villages capable of managing the villagers’ needs independently without relying on any other party. My target is to have 15 thousand villages becoming self-sufficient villages in 2019. Hopefully, we can achieve the target with the support, commitment, and hard work from all village stakeholders together with the village communities in developing their villages to become better in the future. l
ditionally, currently villagers have managed to own jeeps, which are managed by the village jeep community to serve lava tours to Mount Merapi. To me, this is spectacular.
How do the village communities benefit from the tourism village?
The villagers can learn many things. Starting from identifying the village potentials that can be developed jointly as part of tourist attractions. Then, village communities can submit opinions as well as suggestions in village meetings, and learn to organize in arranging program plannings, including fund allocations, in their activities. They can also learn how to communicate properly, including speaking English when serving foreign tourists who come to visit, as well as finding solutions together in advancing the tourism village in their region. Once those skills are learned and practiced in their daily lives, the government’s program that can accelerate the village’s economic growth through development of tourism village can turn into realisation. As a result, the villagers can
Desember, 2016
69
Info Desa
Cover Story
From Night Attraction to Fruit Picking The concept of tourism village is quite simple, yet contains a strong appeal. These tourism villages offer unique attraction, leaving the tourists in awe.
F
ive years ago, Pentingsari Village that locates in Umbulharjo, Cangkringan District, Sleman, Yogyakarta was once visited by 20 Austrian students. The students were studying at Asia Pacific Study Center (PSAP) at University of Gadjah Mada, Yogyakarta. They were conducting field trip to a village, situated around 20 kilometers away from the heart of the city, near Mt.
70
Info Desa
Desember, 2016
Merapi. During the trip, they learned about plantation, coffee management, mushroom cultivation, organic vegetables, crafts, and some natural adventures. After showcasing the area’s beauty through farms and plantations, the locals now have a more eccentric idea. They offer night patrolling activity, locally known as ronda, as their major tourist attraction. “Ronda is a regular activity, but packaged into something attractive for tourists. Ronda is now rarely done in urban areas,” said the Head of Tourism Special Region of Yogyakarta (DIY), Aris Riyanta, as quoted by Antara. Yogyakarta’s Tourism Office, however, still relies on tourism village as one of their key tourist attractions to boost the number of local and foreign tourist in the area, he continued. “The concept of tourism village is quite simple. Take Bantul Village as an example. The locals there provide sepeda ontel (an antique-style bicycle) service
that allow tourists to enjoy the beauty of rice fields, which is pretty popular among Dutch tourists,” he said. According to his notes, the number of registered tourism village in five districts/ cities has reached 122 villages as of now, with the distribution of 38 tourism villages in Sleman, 14 tourism villages in Gunung Kidul, 27 in Yogyakarta, 33 in Bantul, and the remaining 10 located in Kulon Progo. Aris aims to reach 10 to 15 percent increase of tourist visit throughout the year of 2016. The number of local tourist in 2015 reached 3.813.720 people, exceeding the target of 3,581,860 people. Meanwhile, the number of foreign tourist reached 272,162 people; the number is higher than the target of 258,636 people. Therefore, the innovation development and creativity is key to support the destination diversity and tourism attraction. “But we don’t need to imitate other areas. We can focus on natural and cultural potentials in Yogyakarta,” he said.
Cover Story The tourism village has become alternative option in Yogyakarta, besides its well-known iconic tourist attractions, such as Prambanan Temple, Kota Gede, Yogyakarta Palace, and Taman Sari. In other area, like Banyuwangi in East Java, the local government develops agro tourism of orange picking at Temurejo Village, Bangorejo District. Its Regent Abdullah Azwar Anas said that the orange picking is the village’s effort called “One Village, One Product”, aiming to increase its tourism sector with the support from local government. “One Village, One Product can be translated according to the village’s potentials. There are areas with abundant source of water. We encourage them with 10 Thousand Ponds Program. Temurejo Village itself is known as center of orange and dragon fruit. Thus, we encourage the village to be an agro tourism one,” he said. The horticulture agro tourism, Anas said, will be a brand new option for tourists who wish to visit the village, which also known as “The Sunrise of Java”. The tourist will enjoy the sensation of picking oranges right from the gardens. Anas said that the agro tourism is a perfect idea to be implemented in Banyuwangi, regarding to its horticulture potential. “Orange, for example, is available in the area all throughout the year. If we run out of orange, we can pick dragon fruits or coffee. All depends on its seasons,” he said.
also becomes a pilot project of nation’s orange center, as set by Ministry of Agriculture,” Anas said. Temurejo’s Village Head, Fuad Musyadad, said that the agro tourism will be managed by the Village-Owned Enterprises (BUM Des). The result will later be used to develop the village while increasing the farmers’ incomes. “To support the agro tourism, we have requested the plantation’s owners to build huts in the middle of the plantation for tourists to rest,” he explained. The Village Head mentioned that it is not a new destination; many tourists have visited the area before. However, he continued, the local government plans to develop the area more seriously. “Usually the tourists would get back to their hotels right after visiting Pulau Merah Beach. Now that the plantation is opened, they start to visit the area to pick some dragon fruits or oranges. They drop by only to feel the sensation of fruit picking and hand them back to their home countries,” he said. Some travel agents even have requested him for partnership by making Temurejo Village as one of their tourism packages. Orange fruit picking becomes one of the tourist attractions included in the package, from Pulau Merah Beach to
Mt. Ijen or vice versa. “We pack the agro tourism package by letting the tourists picking their oranges. Each person will be charged Rp25,000 to pick 3-kilogram orange,” Fuad continued. The locals are delighted with such initiative that aims to develop the agro tourism in the area. One of the orange farmers, Murkani (55), said that he fully supports the orange picking agro tourism; his land can be easily accessed from the main street. From his garden, Murkani is able to meet all his family’s need. From his one-hectare land, he can earn Rp300 million per year. “This orange plantation is able to support my children’s education, food, clothing, and vehicle. I am more than happy if my village is set as agro tourism destination. I can earn more money from both the harvest and the tourism,” he told. According to the data from the Agency of Agriculture, Forestry, and Plantation in Banyuwangi, the local orange production continues to rise annually. Back in 2011, the production was around 103,268 tons with 10,727 hectare of harvested area. Its productivity reached 17.2 tons per hectare. Later in 2015, the production hiked to 354,685 tons with 12,804 hectare of harvested area; the productivity rose to 27.7 tons per hectare. l
He also added that the agro tourism in the area begins to grow. In Gombengsari, Kalipuro District located at the northern part of Banyuwangi, the local government is currently developing coffee in 850-hectare width of locals’ plantation area. Meanwhile, Temurejo Village has 940-hectare width of orange plantation. With production as much as 28,200 tons, the village contributes around 40.75 percent of the total orange production in Bangorejo District. “Temurejo Village
Desember, 2016
71
Info Desa
Cover Story
When State Owned Enterprises (SOE) Attracted to Polish Tourism Village
I
n mid-November, the bustle of Tabanan Regent Putu Eka Wiryastuti was doubled. Understandably, the village he leads was visited by Minister of State Owned Enterprises Rini Soemarno and leaders from five State Owned Enterprises who are committed to develop Pinge Tourism Village as an SOE synergy guided village.
program from the central government to attract as many as 20 millions tourists by 2019. “The development of tourism is not just about building hotels, but also about building interesting things based on authenticity and local wisdom. We do not only increase the number of visits but also think how people are more prosperous,” said Minister Rini after the signing the cooperation.
The five government owned companies are PT Indonesia Tourism Development Corporation, Semen Indonesia, Bank Tabungan Negara, PT Taman Candi Borobudur, dan PT Patra Jasa Jasa. They agreed to help improving the quality of the infrastructure to hospitality services in Pinge Village, so that later it is eligible as an example of the development of other tourism villages.
Rini explained, tourism village development is an effort to improve the quality of tourism while maintaining the conservation of nature. It is intended that tourism is not just reserved for tourists only, but also are increasing people’s income to become prosperous.
Minister of State Owned Enterprises Rini M Soemarmo said that the development of tourism village is part of the support
72
Info Desa
Desember, 2016
Director of ITDC Abdulbar M Mansoer said Pinge Tourism Village development program was conducted to welcome the idea of tourism concept made by President Joko Widodo in mid-October, combining the potential of the village
State Owned Enterprises (SOE) synergy program in tourism field is an effort to improve the welfare of village communities.
with tourism. This activity is a national program of tourism SOE synergy to build tourism villages in national strategic tourism areas. “It is expected that in the future we can produce more tourism villages in the country that contribute to improving the economy of the community,” he said. Pinge Village is one of the villages that has been set by Tabanan District Government as a tourism village. The village has an area of 145 hectares, comprising 160 families or 810 inhabitants and is located at an altitude of 500 meters above sea level. With enchanting natural charms and cultural richness, such as woodcarving, musical instruments craft, local culinary and dance, Pinge Village has a great potential to become a mainstay tourist destination in the future. Pinge Tourism Village development is a continuation of Borobudur Tourism Village development which officially
Cover Story began construction last week. Abdulbar asserted that Pinge Village has been chosen because it is considered ready compared to other villages in Bali. He said that if the Borobudur Tourism Village was developed with the concept of Village Economic Institute (Balkondes) development, the Pinge Tourism Village was developed with the concept of a more thorough form of tourism facilities and infrastructure improvements. Tourist Information Center (TIC) will be built, facilities such as improvement of homestay quality and continuous assistance to the public related to hospitality, management and marketing training.
centrated in South Bali. This was in line with the tasks mandated to the ITDC to develop tourist destinations throughout Indonesia. “We expect the synergy of SOE and local governments can continually intertwine in encouraging the potentials of tourism in Indonesia as well as tourism village development. Through SOE Synergy and SOE Care movement we are optimistic that tourism can become a new engine of economic growth in Indonesia,” he said.
“In addition, we will also build Village Economic Institute (Balkondes) as a means for community to show the advantages of the village, so it can support the local economy,” said Abdulbar M Mansoer.
Tabanan Regent Putu Eka Wiryastuti welcomed the SOE synergy program in the development of tourism village in the region. Regent Putu said, Tabanan Regency Government enthusiastically encourages all villages in the district into a tourist village. “If all villages become a tourism village, the land will not be sold, and people’s income will increase because they are not just spectators,” he said.
Pinge Tourism Village which was developed by the method of community-based tourism is expected to become the new leading destination in the region of North Bali as well as an effort to ensure Bali tourism development equity which has been con-
Wiryastuti said that after working with Pinge Village, he will encourage Belimbing Village in Pupuan District to become a tourism village. “The existence of a tourism village really help to improve people’s income,” he said. l
Old Oil Wells Tour
T
raditional oil wells located in Wonocolo Village area, Bojonegoro, has already operated traditionally for more than 100 years and were managed by local communities. The majority of Wonocolo Village people depend on the lasting of the traditional wells. Naturally, oil production will decrease, so that one day it can not be reproduced. Cepu Field Manager of PT Pertamina (Persero) Amperianto Agus said, the Wonocolo Village is unique. Villagers traditionally produce oil from old wells dating back more than 100 years. “To maintain the uniqueness of the local heritage here, we with the Bojonegoro local government and with the support of all stakeholders try to create a petroleum tourist village that we named Wonocolo Petroleum Geoheritage,” he said. Agus added that the establishment of Wonocolo Petroleum Geoheritage was based on the uniqueness of the geological structure in Wonocolo Village. “Here, people are invited to see directly the exotic traditional mining, with the presence of wooden poles and traditional operation. Additionally, there is a track for jeep, motorcycle and bicycle trail,” he explained. President Director of PT Pertamina (Persero) Soetjipto who had the opportunity to try the bike tracks directly revealed that Tourism Village of Oil and Gas in Wonocolo was very interesting. “By using a bicycle or jeep, in addition to making the body and mind fresh, we can see and imagine how the history of oil and gas operations in Indonesia in the past,” he said. To manage tourism village as the first oil and gas tourism center in Indonesia, the company collaborated with the Wonocolo Villagers Society. The collaboration was accompanied by planting trees around the old well site as re-vegetation commitments. “For those who want to know the history of oil in Indonesia, Wonocolo is one of the places that can be visited,” said Agus. l
Desember, 2016
73
Info Desa
Research
KKN TEMATIK
Empowerment Initiative for Village Communities One of the KKN Tematik objectives is to improve the skills of community village in identifying, prioritizing, and growing creative ideas.
S
ecretary General of Ministry of Village, Development of Disadvantaged Regions and Transmigration (Kemendesa PDTT), Anwar Sanusi, has high hopes for universities to help build and develop villages in Indonesia. As educational institutions, Anwar said, universities have the competency needed to assist the
74
Info Desa
Desember, 2016
government in producing policies that answer to the context and need of the people. “The up to 75,000 villages on various islands need a high degree of responsibility from universities,” he said, at the Agro Technnology Innovation Center (PIAT) of the Gajah Mada University (UGM) in Kalitirto, Sleman, Yogyakarta, mid November, as quoted by Antara. Nevertheless, he admitted that his department found difficulty to determine the kind of leverage needed, and the reason why a village is disadvantaged. The difficulty is solved by the Development, Research, Training and Informartion Agency at the Ministry of Village, Development of Disadvantaged Regions and Transmigration (Balilatfo Kemendesa PDTT) by developing the Village Building
Community Development Program or KKN Tematik Desa Membangun. Head of Balilatfo Kemendesa PDTT, Nurdin, said KKN Tematik is a strategy in building human resources, empowerment and groundwork for the village community’s sociocultural development. “This program is a collaborative strategy between Kemendesa PDTT and Indonesian universities in integrating the KKN program into village development,” he said. Nurdin said the program has three objectives. First, to increase the skills of village people in identifying, prioritizing village issues, and growing creative ideas. Second, to expand university students’ space to learn with the people about village development by implementing the village building approach. “Third, by leveraging KKN as a community empowerment approach,” he said.
Research So far, Nurdin said, the pilot project for this program has gone underway, one of which at the Matawai Maringu Village, East Sumba. Collaborating with the Nusa Cendana University, the implementation of KKN Tematik at the village takes the form of the creation of the Village Medium Term Development Plan (RPJMDes). In the future, Nurdin explained, the program will be expanded by involving more universities in Indonesia. Bandung Institute of Technology (ITB) Rector Dr Ir Kadarsah Suryadi welcomes this program with open arms. According to him, the KKN Tematik program provides college students with soft skill training so that they will have empathy for village problems, participate in generating ideas to solve the nation’s problems, from basic issues to technology implementation in the village and strengthening nationalism. “During the implementation of KKN Tematik, we ask that college students contribute in improving the health of the village people, advancing education in the village, and improving the economic life and welfare of the village people,” he said. Like its name, Kadarsah said, the KKN Tematik program is hoped to be able to answer to the village people’s needs. Because of that, before the college students take to the field, his team will conduct a meeting with the provincial and district governments as well as conduct research, so that the prepared program will suit the people’s needs. “That way, the people of the village will be able to reap direct benefits from the KKN program, and we don’t just build useless monuments,” he said. Kadarsah said that the KKN Tematik program that has been undertaken by ITB for the last seven years include a bridge constructioin at Culamega Village, South Tasik, West Java. Other than the bridge, ITB also works together with PLN in providing electricity to the village’s residents, which, for the last 71 years since Indonesia gained its independence, had not enjoyed electricity. “Electricity allows children to learn,” he said.
In the future, Kadarsah hoped that the program can be implemented in all 4,000 Indonesian universities. “If one university is able to develop one village per year, that means there will be 4,000 villages that they develop. If five universities are doing this, then there will be 20,000 villages being developed. In five years, 74,000 villages in Indonesia will have been developed – disparity will be non existent, and the country will prosper, so that the government’s vision to build Indonesia from the periphery by strengthening outlying areas and villages in the framework of the united state can become a reality,” he said.
in such area as poverty alleviation through knowledge based society,” he said.
UGM Rector Prof Ir Dwikorita Karnawati, MSc, PhD said that, institutionally, UGM has implemented the KKN Tematik program for the last 40 years. “Through the program, we would like to develop the villages and disadvantaged regions in Indonesia,” he said. On the KKN Tematik collaborative program between Kemendesa PDTT and universities, Dwikorita explained that he suggested a co-creational program implementation. “We don’t want to give a present to the people, but instead involve them in developing the village collaboratively,” he said.
Dwikorita said that the people’s involvement in the KKN Tematik program is quite reasonable, because the people will know more about the issues in the villages. “Nevertheless, the involvement is not based on mutual cooperation – it is only when the program is finished that the people are asked to cooperatively build roads, for example. The people’s involvement needs to start early so that they are involved in thinking about the development of their villages, because we think they are smart,” he said.
Just like ITB, UGM has also done an early research before its students conduct KKN. Dwikorita called it social mapping. The activities that are participated by the professors and students who will join KKN and the community take place for a month. “The social mapping will detect the problems that the community faces, ensuring that the program suit the people’s needs, including
The social mapping, Dwikorita continued, also aims to enrich the social data of the people, because for all these times, the data used to analyze issues in the village are based on the national data that are sourced from the Central Bureau of Statistics (BPS). “The data from BPS, if analyzed directly, will not ncessarily correspond to the problems the village people face. By way of social mapping, the hope is that the policies taken for the villages can be more suitable,” he said.
“The hope is that, through the KKN Tematik program, the villages in Indonesia can become smart and resilient villages in seeing the problems faced by their villages in such areas as education, health and entrepreneurship, and find the solution. This local intelligence is necessary to ensure the sustainability of the development program in the villages,” Dwikorita added. l
Desember, 2016
75
Info Desa
Persona
Muhammad Yamin
THE HONEY HUNTERS Although it’s been met with rejection before, Muhammad Yamin’s honey business has now branched out to big cities in Indonesia.
I
t was only six in the afternoon, but darkness had fallen upon the forest at Dusun (village) Semongkat, Batu Lanteh district, Sumbawa, West Nusa Tenggara. With a small flashlight, Muhammad Yamin and a number of villagers began the search for their colleague who got lost in the woods. This is a part of the
76
Info Desa
Desember, 2016
dynamics of life of the people who hunt for honey to feed their families. The practice of harvesting wild honey has been initiated by Yamin and his wife since 1988 because they were concerned about the economical condition in Dusun Semongkat. At that time, most of the villagers worked as farmers. Wild honey, with their abundant potential, didn’t attract them at all. It was only regarded as the replacement for sugar at traditional ceremonies. Yamin’s idea to develop the wild honey business was even frowned upon by some people. “According to them, my idea didn’t make sense,” Yamin reminisced. But it didn’t deter him at all. With the money he got from his salary as an employee at the Central Statistics Agen-
cy (Badan Pusat Statistik) of Sumbawa regency and loans, he founded Madu Lestari, a group of honey hunters at the Sumbawa forest, in 1996. With only 17 members, the group went all out to perform their mission. They divided team tasks, from climbing the trees, smoking the bee hives, filtering the honey, to distributing the products to stores. Their method for harvesting honey was still so traditional, that every year there was a honey hunter who fekk from the tree and died. Luckily, in 2007, the state-owned electricity company (PLN) of Sumbawa regency had the initiative to foster Madu Lestari by providing the members with tools to process and hunt wild honey. Other than that, PLN also assisted in marketing the
Persona ginger honey and Sumbawa oil. With a good managementm Madu Lestari is able to produce 2,5 tons of honey every month. One more innovation from Muhammad Yamin is the establishment of tourism awareness group whose activities include wild honey-hunting. The program attracts not only domestic tourists, but also foreigners. Most of them are tourists from Australia, Korea, Japan and Germany. At average, in one week, there is at least one group of tourists to Dusun Semongkat. Through this activity, the tourists can join in the hunting for honey at the wild beehives. They are welcomed to look at the cutting, processing and packaging of Sumbawa’s souvenir.
The unique thing is, when given appreciation by some people in the form of cash, Yamin will use it for the benefit of the villagers. The money will be used to build 15 houses, renovate the mosque and build public toilet. “My success is possible because of other people, because of the members and villagers. If not now, when can I do something for them?” he said. l
Fancy some honey? Contact UD Madu Lestari, Desa Semongkat, RT 10/05, Kecamatan Batu Lanteh, Sumbawa Besar. Or order via SMS at 085239730242 (Muhammad Yamin).
honey to other cities through trade fair and publications. Today, Madu Lestari has 562 members. It has also been sold to big cities in Indonesia such as Jakarta, Lombok and Surabaya. Moreover, Madu Lestari doesn’t stop at selling raw honey. The women of Dusun Semongkat have also come together to focus on product diversification by creating Sumbawa’s signatures such as instant turmeric honey, instant
Desember, 2016
77
Info Desa
Save Village
The Best BUMDES in Indonesia The awards for the best BUMDes are decided based on the creativity, innovation and ability to get the villagers involved.
V
illage-owned enterprise or Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) assumes a vital role as the backbone of village economy.The amount has been increasing sharply, from 1.022 units in 2015 to 12.848 units this year. There are at least 40 BUMDes whose turnover ranges between 300 million to 8 billion Rupiah per year. Therefore, the Ministry of Rural Development and Transmigration (Kemende-
78
Info Desa
Desember, 2016
sa PDTT) continuously promoting the founding of new BUMDes so as to strengthen the village economy. Through National Village Conference (Rembuk Desa Nasional), which was held on 7 November 2016 in Jakarta, Kemendesa PDTT announced the best BUMDes in the country. The award is divided into 11 categories, namely developing, trendy, eco-agriculture, creative, innovative, participatory, handicraft startups, developing startups, tourism-natural startups, eco-agriculture startups and participatory startups. The award-winning villages had varied strategies, from optimizing their top-quality commodities to optimizing the savings and loan association. BUMDes Lentera in Lendang Nangka village, for example, is managing a water company with a lower price, which is 200 Rupiah per cubic meter. This is possi-
ble thanks to the clean water flowing from the Rinjani mountains. BUMDes Mattiro Bulu, meanwhile, is building a Savings and Loan especially for women with a turnover of more than 600 million Rupiah. It is only right for these award winners to inspire other villages to optimize their BUMDes. Regarding this, at the Rembuk Desa Nasional, the Rural Development and Transmigration Ministry, Eko Sandjojo, said that there are a lot of opportunities for BUMDes to collaborate with other business entities such as state-owned enterprise, private companies and cooperatives. “Every piece is completing one another to move village economy forward. BUMDes can work with a cooperative or form a cooperative business unit as a part of BUMDes-managed business units,” said Minister Eko. l
Save Village
The Best BUMDes Developing:
BUMDes Mandiri Bersatu (Lampung), BUMDes Mandala Giri Amertha (Bali)
Trendy:
BUMDes Tirta Mandiri (Central Java)
Eco-Agriculture:
BUMDes Amanah (East Borneo)
Creative:
BUMDes Karya Jaya Abadi (Central Borneo)
Inovative:
BUMDes Lentera (West Nusa Tenggara), BUMDes Aneotob (East Nusa Tenggara), BUMDes Mandiri (North Sumatra)
Participatory:
BUMDes Blang Krueng (Aceh), BUMDes Mattiro Bulu (South Sulawesi)
Handicraft startup:
BUMDes Tamangalle Bisa (West Sulawesi)
Developing startup:
BUMDes Tunas Jaya Sasak (West Sumatra), BUMDes Karya Usaha (Bengkulu), BUMDes Cahaya Makmur (Central Sulawesi)
Tourism-Natural startup:
BUMDes Andal Berdikari (Bangka-Belitung)
Eco-Agriculture startup:
BUMDes Maju Makmur (East Java)
Participatory:
BUMDes Beberahan Berkah (Banten)
Desember, 2016
79
Info Desa
Save Village
Weaving Hope in Kaltara (North Kalimantan) Transmigration can establish a new center of economic growth
B
ig smile was on Purwanti’s face, 34 years old, at Sepunggur Village Transmigration Settlement Unit, Bulungan District, North Kalimantan, Tuesday (25/10) morning. That morning, Purwanti along with hundreds of other migrants were welcomed by the Minister of Village, Deve-
80
Info Desa
Desember, 2016
lopment of Disadvantage Regiona and Transmigration Eko Putro Sandjojo who had come to see the arrival of 175 migrating families from Central Java and Yogyakarta. Purwanti was determined to resettle in Sepunggur Village with her husband and two children. “I want to change my fate,
for the future of my children,” said the housewife from Yogyakarta, in Sepunggur Village, Tuesday (25/10). Making a decision to change the fate in a new place through transmigration program was not easy. How can it not be, the migrants are willing to leave their native land, relatives, and social environments that has been lived for years, to start a new life in the transmigration. The commitment and support of the central and local government, and relevant stakeholder are needed to help implementing hope of the migrants.
Save Village
Minister of Village, Development of Disadvantage Region and Transmigration Eko Putro Sandjojo even admitted it. “We need to keep giving encouragement to the migrants who have decided to relocate to improve their future through the transmigration program,” said Minister Eko while giving a speech to 175 migrants in Sepunggur Village, Tuesday (25/10). The 175 families that relocated to Sepunggur Village consisted of 100 families from Central Java, 50 families from Yogyakarta, and 25 families from the local area. The majority of migrants have elementary and junior high schools education, with the initial work mostly as farmers. However, there were some migrants who have higher education such as D3 and S1, and one of whom was a member of the TNI. According to Eko, transmigration is the motor of the economic growth outside Java. The proof, said Eko, there are about 1,000 independent villages which were originally resettlement villages. Therefore, Minister Eko believes the 175 migrants who have been placed in Kaltara (North Kalimantan) will be able to conjur Sepunggur Village as an advanced village. In his speech, Minister Eko also shared tips to be successful in transmigration area. According to Eko, the key to the success of the migrants is determined the by three aspects. The first aspect, transmigration settlements must meet the Clear and Clean criteria, livable, fit for business, and worth developing. The second aspect, migrants must be qualified and highly combative. And third, the coach-
ing and capacity building of migrants must correspond with the potential of bio-physical at settlement locations and social conditions in transmigration areas. According to Eko, the success of the migrants in transmigration areas heavily depended on the nature and the basic attitude of migrants. The disciplined, honest, responsible, and hardworking migrants will be successful in transmigration areas. Because, Eko said, cultivating new land in transmigration site, especially with limited facility support, is certainly not easy. However, Eko was optimistic the migrants in Sepunggur Village could be successful because the village was located in fertile lands and has no water shortage. With great determination and hope, Purwanti has already had a plan to change her fortune in Sepunggur. If Purwanti’s husband previously sold phone credit/token in Yogyakarta, Purwanti was determined to grow vegetables and to plant rice in Sepunggur Village. In the same place, the Governor of North Borneo Irianto Lambrie said the transmigration in Kaltara (North Kalimantan) has been around since the 1950s. Irianto acknowledged the tenacity and perseverance of homesteaders in North Kalimantan have been proven successful. “With a vast area, transmigration in North Kalimantan can improve regional Statistical records show migrants have better lives than in their native regions. Even more heartening, the big and difficult decision to transmigrate in the end not only make themselves and their fam-
ily successful, transmigration has also been able to stimulate the growth of a better life for the people and the area that they came to so that a new center of economic growth was formed. This success is seen in Bumi Rahayu Village, located in Salim Batu Transmigration Area, which is a former Transmigration Settlement Unit (UPT) Jelerai Selor SP 1. After welcoming new settlers in Sepunggur Village, on Wednesday (26/10) Minister Eko also visited the transmigration site that has been built since 1992. The transmigration area was originally occupied by some 250 heads of families and has grown into a definitive village in 1997. Salim Batu transmigration area which has an area of 61,890 hectares is now inhabited by 11,273 heads of households consisted of three districts, 20 native villages, 20 villages former transmigration settlements, and 8 transmigration sites that are still developed. l
Desember, 2016
81
Info Desa
Save Village Specific Area Development (PDTu). The provinces’ severe lack of access has made them a priority. After the eastern Indonesia has been “electrified,” then it will be the western part’s turn. According to a coordination meeting at PLN’s headquarter on 2 March 2016, Kemendesa PDTT is willing to arrange the data relating to the need of electricity, facilities, management, preparation and mapping of a new potential and renewable energy in impoverished villages.
Brighten up Indonesia with the Bright Indonesia Program The first targets of this program are the impoverished villages in Papua, West Papua, Maluku, North Maluku, West Nusa Tenggara and East Nusa Tenggara.
E
lectricity opens the door to civilization, which in turn will affect the economic growth in an area. Unfortunately, a lot of places in Indonesia are still without power. Until today, the amount of impoverished villages still lacking electricity reach 12.659.
Village Typology 2016
According to the total of villages without electrify • 173 Desa Mandiri (self-sufficient villages): 2.837 houses are lacking power • 3.608 Desa Maju (developed villages): 42.184 houses are lacking power • 22.882 Desa Berkembang (developing villages): 409.266 • 33.592 Desa Tertinggal (impoverished villages): 1.222.828
82
Info Desa
Desember, 2016
• 13.453 Desa Sangat Tertinggal (extremely impoverished villages): 1.026.886 Source: Potensi Desa (Village Potential Survey) 2014
This is why the Ministry of Energy and Mineral Resources (ESDM), the Ministry of Rural Development and Transmigration Ministry (Kemendesa PDTT) and state electricity company (PLN) cooperate to form the Bright Indonesia Program or Program Indonesia Terang (PIT). The program aims to provide 10.300 villages in six provinces with access to electricity by the end of 2019. “The targets of PIT are Papua, West Papua, Maluku, North Maluku, West Nusa Tenggara and East Nusa Tenggara,” explained Suprayoga Hadi, the Director General for
This is important because of the geographical difference between areas, which may produce different data and information. It is hoped that, accurate data reporting will make the electrification process by ESDM Ministry run more efficiently. Since it was launched in May 2016, PIT has been accelerating the said process, which will allow the 97 percent electration ratio target in 2019 to be achieved. One of the accomplishments made by PIT is the realization of several innovations and the scheme for business model during the execution. The first strategy in PIT is to optimize the renewable energy such as the solar, water, wind, biomass and wave power. By utilizing the local energy, energy plants can also be built locally, eliminating the need to wait for a network from the center. This model is referred to as off-grid. The budget needed to supply 1.000 MegaWatt worth of electricity from renewable energy is 100 trillion Rupiah. To meet this budget, the government has combined the annual state budget (APBN) and private and community investments with the grants from companies’ Corporate Social Responsibility (CSR) programs. To further speed up the process, a minister regulation (Permen) has been composed. “The target is to issue the Permen this month, which hopefully will become the basis of the law to electrify the areas with little access to power from PLN or non-PLN,” said Sujatmiko, the head of Communications at the ESDM Ministry. l
KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI
DESA MEMBANGUN INDONESIA:
BANGKITLAH DESAKU, JAYALAH NEGERIKU Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi (Balilatfo)
“
Membangun Indonesia Dari Pinggiran dengan Memperkuat Daerah-daerah dan Desa Dalam Kerangka Negara Kesatuan.
INFO DESA Membangun Indonesia dari Pinggiran
INFO DESA DESEMBER 2016
DESA WISATA,
POTENSI EKONOMI, DAN KREATIVITAS LOKAL
05
05
DESEMBER 2016