Dr. Muhammad Ilyas Ismail, M.Pd.,M.Si.
ISU-ISU PENDIDIKAN KONTEMPORER
Alauddin University Press
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang: Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini ke dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit All Rights Reserved ISU-ISU PENDIDIKAN KONTEMPORER
Penulis: Dr. Muhammad Ilyas Ismail, M.Pd.,M.Si. Editor: Munirah Cetakan: I 2014 viii+ 271 halaman, 14 cm x 21 cm ISBN : 978-602-237-958-4 Alauddin University Press Kampus I : Jalan Sultan Alauddin No. 63 Makassar Kampus II : Jalan Sultan Alauddin No. 36 Samata – Gowa
ii
SAMBUTAN REKTOR Jika engkau ingin meng”abadi”, maka tinggalkanlah “Legacy” Ungkapan di atas memberi gambaran bahwa setiap manusia hendaknya selalu melahirkan karya terbaiknya untuk dipersembahkan kepada umat. Karya itu akan menjadi sebuah legacy yang akan selalu diingat dan dikenang, bahkan diabadikan dalam catatan sejarah peradaban anak manusia. Jutaan bahkan milyaran anak manusia telah dan akan lahir di permukaan dunia ini, namun tidak semua mampu mencatatkan dirinya dalam kelindan sejarah yang “menyejarah”. Hanya sebagian kecil anak manusia yang mampu menghadirkan dan meng”abadi”kan dirinya dalam garis lingkar lintasan sejarah. Dalam bingkai dan konstruksi emosional, manusia pada hakikatnya ingin abadi. Itulah sebabnya manusia ingin selalu mengabadikan momentum penting dalam ruang dan waktu yang senantiasa berubah. Mereka membuat gambar, foto, lukisan, dan sejenisnya yang seakan-akan berkeinginan menyetop waktu yang senantiasa berubah. Demikian pula aktivitas manusia membangun monumen bersejarah tidak lain tujuannya untuk mengabadikan sebuah peristiwa penting dalam sejarah peradaban manusia, bahkan Khairil Anwar berkata: “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”. Karya akademik pada hakikatnya merupakan sebuah monumen penting dalam kehidupan yang dapat menjadi legacy. Karya itu dapat dinikmati oleh siapa saja yang cinta terhadap pengetahuan. Karya akademik bukan sekadar sebuah tulisan yang menjadi hiasan di dalam rak, lemari atau ruang baca, tetapi dia mampu melahirkan perubahan dan memberikan pencerahan kepada manusia. Terlebih
iii
dalam perspektif eskatologis, karya akademik dapat menjadi amal jariah di “alam sana”. Atas dasar kesadaran itulah, maka program Gerakan Seribu Buku (GSB) ini dilaksanakan, dengan harapan setiap dosen mampu melahirkan “legacy” dalam catatan kehidupannya berupa karya tulis yang dipublikasikan. Gerakan ini diharapkan menjadi “trigger” untuk melahirkan karya-karya berikutnya. Saya merasa gembira bahwa dosen UIN Alauddin tidak saja mampu berorasi di atas mimbar, tetapi juga dapat menuangkan gagasan, ide, dan pikirannya dalam bentuk tulisan. Hingga periode akhir masa jabatan saya sebagai Rektor, program GSB ini telah tuntas dilaksanakan. Itu artinya, hingga saat ini tidak kurang dari 1000 buah karya akademik telah dipublikasikan oleh para dosen UIN Alauddin Makassar. Fakta ini harus diapresiasi dan menjadi catatan penting bagi pejabat (Rektor) berikutnya. Karya tulis merupakan perbendaharaan terbesar di dunia akademik. Hanya dengan budaya menulis dan membaca, maka dunia akademik menjadi hidup, bahkan alQuran mengisyaratkan bahwa lahir dan hadirnya pengetahuan serta peradaban harus diawali dengan budaya “iqra/baca” dan “al-qalam/pena”. Karena itulah, UIN sebagai kampus peradaban harus menjadi pioneer dari tradisi literasi ini, sebab rendahnya budaya “baca-tulis” pada suatu bangsa atau sebuah kampus mengindikasikan lemahnya kesadaran terhadap eksistensi diri, alam, dan Tuhan. Samata, 2 Oktober 2014 Rektor, Prof. Dr. H. A. Qadir Gassing, HT, MS
iv
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil ‘aalamin, segala puji dan syukur kepada Allah SWT semata, yang telah memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyusun dan menyelesaikan buku yang berjudul ISU-ISU PENDIDIKAN KONTEMPORER. Shalawat dan salam, serta kedamaian dan kesejahteraan dari-Nya semoga tercurah kepada Baginda Rasullullah saw penyempurna risalah Ilahi, dan rahmatan lil alamin, beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya. Alhamdulillah, akhirnya buku ini dapat dipublikasikan. Buku ini disusun dengan maksud membantu para prsktisi pendidikan, mulaidari guru, dosen, instruktur, widyaiswara, penilik, pengawas, para pengembang, pengelola, dan penentu kebijakan serta siapa saja yang menaruh minat dalam bidang kependidikan, kiranya buku ini dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan proses pendidikan, dan bahan untuk mengingatkan kembali dalam profesinya sebagai pendidik dan bukan hanya pengajar. Selain dari hal tersebut, buku ini juga diharapkan bermanfaat untuk parama hasiswa kependidikan yang ada di lembaga-lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) FKIP, STKIP, dan UIN, IAIN, STAIN yang memiliki Fakultas dan atau Jurusan Ilmu Pendidikan (Fakultas Tarbiyah), sebagai referensi dalam matakuliah Ilmu Pendidikan, di perguruan tinggi. Penulis sangat menyadari, bahwa tulisan ini tentu tidak akan pernah ada jika tidak didukung dan dibantu oleh mereka, yang banyak terlibat dalam penulisan ini. Karena itu, ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tinggnya disampaikan kepada:
v
1. Prof. Dr. H. A. Qadir Gassing H.T., M.S. selaku, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar yang selalu mendorong para dosen untuk senantiasa meningkatkan potensi inner capacity. 2. Panitia penyelenggara penyusunan Gerakan Seribu Buku Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar tah un 2013 yan g de n gan sabar sen an tiasa me n doron g dan mengingatkan agar penulisan Gerakan Seribu Buku dapat diselesaikan tepat waktu. Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam buku ini masih perlu disempurnakan, oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan tegur sapa dari para pembaca, terutama dari pakar pendidikan agar dapat lebih disempurnakan lagi sehingga buku ini akan memberi manfaat yang maksimal.
Makassar, Agustus 2014 Penulis Dr. Muh. Ilyas Ismail, M.Pd., M.Si.
vi
DAFTAR ISI SAMBUTAN REKTOR ......................................................... KATA PENGANTAR ..................................................... DAFTAR ISI .................................................................... BAB I
BAB II
BAB III
HOMESCHOOLING: Sebuah Pendidikan Alternatif................................................................... A. Pendahuluan............................................... B. Konsep Homeschooling.......................... C. Sejarah Homeschooling........................... D. Klasifikasi Homeschooling..................... E. Dasar Hukum Homeschooling.............. F. Pelaksanaan Homeschooling di Indonesia................................................... G. Homeschooling dan Perkembangan Anak........................................................... PENDIDIKAN ISLAM di ERA GLOBALISASI........................................... A. Pendahuluan............................................... B. Pengaruh Globalisasi dalam Pendidikan Islam............................................................ C. Orientasi Pendidikan Islam di Era Globalisasi .................................................. D. Tantangan dan Peluang Pendidikan Islam di Era Globalisasi............................ KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL A. Pendahuluan ............................................. B. Hakikat Pendidikan Multikultural .......... C. Paradigma Pendidikan Multikultural...... D. Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Islam.........................................
vii
i v vii 1 1 4 11 16 19 21 23 27 27 29 41 49 63 63 66 79 89
BAB IV
UN dan PERMASALAHANNYA A. Pendahuluan ............................................. B. UN dalam Perspektif Evaluasi Pendidikan................................... C. Dasar Pelaksanaan UN.................................. D. Permasalahan U N...................................... E. Dampak UN terhadap Kualitas Pendidikan Nasional............
BAB V PENGEMBANGAN dan IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 .................. A. Pendahuluan................................................. B. Hakikat Kurikulum 2013............................ C. Pengembangan Kurikulum 2013.............. D. Implementasi Kurikulum 2013.................. BAB VI PENDIDIKAN dan OTONOMI DAERAH.................................................. A. Pendahuluan................................................ B. Pengertian Otonomi Daerah.................... C. Pengertian Desentralisasi......................... D. Proses Pemberlakuan UU Otonomi Daerah.......................................................... E. Analisis Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Sistem Desentralisasi.......................... BAB VII PENDIDIKAN KARAKTER: Sebuah Pendekatan Nilai........................................ A. Pendahuluan................................................. B. Hakikat Pendidikan Karakter.................... C. Sumber Nilai Pendidikan Karakter.......... D. Implementasi Pendidikan Karakter.......... BAB VIII
PENDIDIKAN GRATIS dan DANA BOS............................................................ A. Pendahuluan................................................. B. Pendidikan Gratis...................................... viii
101 110 103 107 112 121 131 134 140 156 167 179 179 182 183 190 197 197 199 204 225 235 235 237
C. Pengertian Dana BOS................................ D. Pengaruh Dana BOS................................... E. Latar Belakang Pemberian Dana BOS.............................................................. DAFTAR PUSTAKA ............................................................ RIWAYAT HIDUP.................................................................
ix
245 247 248 254 269
BAB I HOMESCHOOLING: Sebuah Pendidikan Alternatif A. Pendahuluan Kesulitan mencari sekolah ideal bagi anak menjadi isu yang sering diperbincangkan belakangan ini di kalangan orang tua yang memiliki anak usia sekolah. Tak dapat dipungkiri bahwa standar sekolah ideal yang diinginkan para orang tua maupun pemerhati pendidikan menjadi semakin sulit untuk ditemukan. Sebagian orang berpendapat bahwa sekolah merupakan satu-satunya pusat pendidikan, karena sekolah merupakan lembaga yang diperuntukkan secara khusus bagi pendidikan. Kenyataan menunjukkan terdapat banyak pusat pendidikan seperti keluarga, tetangga, kampung halaman, lingkungan, sekolah, masjid, tempat-tempat pertemuan, media massa (seperti surat kabar, radio, dan televisi), dan lain-lain yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap pendidikan dan pembentukan kepribadian individu.1 Namun tetap saja masyarakat masih menganggap sekolah sebagai satusatunya sarana pendidikan yang sangat ampuh untuk memperoleh pendidikan. Ada asumsi bahwa orang yang tidak bersekolah maka orang tersebut tidak berpendidikan. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan pendidikan itu sendiri? Pendidikan merupakan suatu aktivitas untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup. Oleh karena itu, pendidikan tidak harus didapat melalui 1Hery
Noer Aly dan H. Munzier S, Watak Pendidikan Islam (Jakarta: Friska Agung Insani, 2000), h. 197.
bangku sekolah saja. Ada sebagian masyarakat yang kritis terhadap lembaga pendidikan formal itu. Mereka berpendapat bahwa sekolah itu mengungkung dan menjajah anak. Banyak anak yang secara potensial dapat berpikir mendalam, kreatif, dan memiliki sikap sopan santun, kemudian berubah drastis setelah masuk sekolah. Anakanak dipaksa belajar apa saja dalam tempo yang telah ditetapkan dan diikat dengan belenggu kurikulum yang ketat hanya untuk mengejar skor tertentu yang ditetapkan sebagai batas kelulusan dalam Ujian Nasional (UN). Keadaaan demikian membuat anak akan merasa dan mengalami tekanan ketika potensi itu tidak tersalurkan di tempat yang benar. Sebagaimana yang dialami seorang anak usia 15 tahun bernama M. Izza Ahsin yang merasa dirinya terpenjara dalam sekolah formal. Hal ini karena ia mempunyai bakat untuk menulis yang tidak dapat tersalurkan dan diasah bila ia terus berada dalam sekolah formal tersebut. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk keluar dari “penjara” itu.2 Belum lagi adanya gejala komersialisasi pendidikan atau perdagangan ilmu di sekolah, misalnya saat sekolah mewajibkan anak untuk membayar sejumlah diktat atau buku. Sekolah juga sering membebani anak didik. Tugas rumah atau yang sering disebut PR kadang sering menjadi masalah tersendiri bagi anak. Bayangkan dalam satu hari ada dua atau tiga guru memberikan PR masing-masing sepuluh soal, belum lagi di hari berikutnya PR tersebut semakin bertambah. Hal ini bisa menjadikan anak tidak merasa fun dalam belajar karena dihadapkan pada 2M. Izza Ahsin, Dunia Tanpa Sekolah ( Cet. I; Bandung: Read, 2007), h. 30.
2
kewajiban yang memaksa. Kesan lain dari sekolah formal adalah hanya disikapi sebagai lahan untuk mencari ijazah dan mencetak sarjana saja. Semua itu sebagian dari kelemahan sekolah, tetapi sekolah juga mempunyai peran yang penting dalam proses bersosialisasi dan mengembangkan diri. Seperti kata Syafinuddin al-Mandari bahwa sekolah yang mengungkung, membebani, menguras, maupun membius, bebarengan dengan suasana rumah yang tidak akrab dengan hawa keilmuan dan perilaku mulia, menjadikan anak ibarat bergantung pada dahan yang rapuh.3 Berdasarkan berbagai masalah di atas, maka muncullah berbagai alternatif pendidikan. Sebagai solusi untuk mencari format pendidikan yang benar-benar baik untuk anak-anak. Salah satu yang sedang marak di perbincangkan adalah homeschooling. Sebenarnya istilah homeschooling ini bukanlah hal yang baru lagi. Jika ditelusuri biografi para tokoh yang berpengaruh di masa lalu, sesungguhnya merekapun ditempa dengan pendidikan “di rumah”, meskipun formatnya berbeda dengan yang sekarang, seperti Ki Hajar Dewantara dan Buya Hamka. Model pendidikan homeschooling ini tanggung jawabnya secara penuh berada di tangan orang tua, tidak diserahkan kepada pihak lain sebagaimana sekolah formal. Model pendidikan homeschooling sebagai sekolah alternati akan di dalam bab ini dibahas secara teoretis mulai dari bagaimana konsep homeschooling, bagaimana sejarah homeschooling, bagaimana klasifikasi homeschooling, bagaimana dasar hukum pelaksanaan homeschooling, bagaimana Pelaksanaan homeschooling di Indonesia, dan 3Syafinuddin al-Mandari, Rumahku Sekolahku (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), h. 4.
3
dakhiri dengan kajian Bagaimana homeschooling dalam perspektif perkembangan anak. B. Konsep Homeschooling Homeschooling merupakan bahasa Inggris yang terdiri dari kata home dan school. Menurut kamus bahasa Inggris homeschooling merupakan bentuk kata kerja, homeschooling is to instruct (a pupil, for example) in an educational program outside of established schools, especially in the home.4 Homeschooling berarti membimbing (misalnya: seorang murid) dalam program pendidikan di luar sekolah umum, khususnya dilaksanakan di rumah. Banyak istilah yang digunakan untuk menyebutkan homeschooling. Ada home education dan homebased learning/home-based education.5 Home education is the education of children at home, typically by parents or guardians, rather than in a public or private school.6 (Pendidikan rumah adalah pendidikan bagi anak yang dilaksanakan di rumah, tidak seperti sekolah umum baik negeri/swasta, jenis pendidikan ini biasanya dilaksanakan dengan menitikberatkan peran orang tua atau pembimbing). Selanjutnya pengertian home-based education dapat digambarkan dengan makna (a) sebuah komitmen bagi orang tua untuk mendidik anak-anaknya sendiri, (b) 4The Free Online Dictionary, “Definition of Homeschooling” http://www. thefreedictionary.com/homeschool (20 Agustus 2014). 5Sumardiono,
“Pengertian Homeschooling”, http://www. sumardiono.com/index.php?option=com_content&task= view&id=287& itemid= 79 (20 Agustus 2014). 6Wikipedia, “Homeschooling”, http://en.wikipedia.org/wiki/ homeschooling (20 Agustus 2014).
4
pendidikan berbasis keluarga dan biasanya orang tua sebagai pemimpinnya (tetapi kadang siswa juga sebagai pemimpin), (c) suasana yang kondusif untuk mencapai kemandirian, (d) secara umum tidak berada dalam kelas konvensional dan tidak di setting dalam suatu institusi.7 Berbagai istilah yang digunakan untuk menunjukkan arti homeschooling bukanlah hal yang perlu diperdebatkan, karena yang terpenting adalah esensi dan maknanya sama. Istilah yang diperkenalkan oleh Depdikbud adalah sekolah rumah. Istilah ini juga digunakan oleh asosiasi homeschooling yang bernama ASAH PENA (Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif Indonesia). Penggunaan terminologi sekolah rumah kelihatannya merupakan usaha penerjemahan dari homeschooling dengan memberi nama sekolah rumah. Persepsi yang paling umum terbentuk di masyarakat ketika mendengar istilah ini adalah bersekolah di rumah. Persepsi selanjutnya yang biasanya terbentuk adalah orang tua menjadi guru bagi anak-anaknya sendiri. Memang tidak salah dengan persepsi tersebut karena merupakan salah satu pengertian homeschooling. Tetapi, sebenarnya homeschooling jauh lebih luas daripada sekadar sekolah di rumah atau orang tua yang mendidik anaknya sendiri. Salah satu pengertian umum homeschooling adalah sebuah keluarga yang memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anak-anaknya dengan berbasis rumah. Pada homeschooling, orang tua bertanggung jawab sepenuhnya atas proses anak; sementara pada sekolah 7www.homeedsa.com,
“Definition of Homeschooling” http://www.homeedsa.com/Article /HS%20Teaching%20Strategies.asp# Definition%20f%20HS. (20 Agustus 2014)
5
reguler tanggung jawab itu didelegasikan kepada guru dan sistem sekolah. Walaupun orang tua menjadi penanggung jawab utama, akan tetapi pendidikan homeschooling tidak hanya dan tidak harus dilakukan orang tua sendiri. Selain dilakukan sendiri, orang tua juga bisa mengundang guru privat, mendaftarkan pada kursus, melibatkan anak-anak pada proses magang, dan sebagainya. Sesuai namanya homeschooling memang berpusat di rumah, tetapi proses homeschooling tidak hanya mengambil lokasi di rumah. Para orang tua homeschooling dapat menggunakan sarana apa saja dan di mana saja untuk pendidikan homeschooling anaknya. Beberapa orang pemerhati pendidikan merumuskan homeschooling, antara lain: Ella Yulaelawati dalam indosiar.com mengemukakan “homeschooling adalah proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur, dan terarah dilaksanakan oleh orang tua atau keluarga dan proses belajar mengajar pun berlangsung dalam suasana yang kondusif.”8 Sri Utami Soedarsono Djamaluddin dikutip Hendrie Suheryana mengemukakan “homeschooling adalah pilihan program pendidikan yang fleksibel dan bervariasi yang mencerminkan adanya keanekaragaman manusia dalam memilih metode yang dipakai.”9 Sementara Sumardiono menjelaskan “homeschooling atau sekolah mandiri adalah ketika anak-anak tidak tergantung pada sistem sekolah formal yang ada sekarang, tetapi memutuskan sendiri (bersama orang tua sebagai mentornya)
[email protected], “Homeschooling: Sekolah Rumah atau Rumah Sekolah”, http://news. indosiar.com/news_ read.htm?id=60082 (20 Agustus 2014) 9Hendrie
Suheryana,”Home-Schooling Solusi Pendidikan Untuk yang Tidak Puas di Sekolah Formal”,Tabloid Mom & Kiddie, edisi 14, tahun 1, 12-25 Maret 2007, h. 12.
6
mengenal apa yang dipelajari, bagaimana cara belajar, waktu belajar dan di mana proses belajarnya.”10 Homeschooling bisa jadi juga berupa instruksi/modul-modul yang diberikan di rumah namun tetap di bawah supervisi sekolah korespondensi/mitra (correspondence schools) sekolah yang menaungi (umbrella schools). Di beberapa tempat, anak-anak yang akan mengikuti homeschooling dituntut untuk mengikuti kurikulum yang disetujui secara legal. Filosofi homeschooling yang curriculum-free bisa jadi dianggap sebagai unschooling, suatu terma yang diciptakan pada tahun 1977 oleh tokoh pendidikan John Holt dalam majalahnya Growing Without Schooling.11 Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa homeschooling merupakan alternatif pendidikan yang fleksibel, tidak kaku dalam proses belajarnya. Bagaimana cara atau metode belajar yang akan dipakai? Kapan waktu belajar? Di mana kegiatan belajar itu dilaksanakan? Semua itu disesuaikan dengan kondisi dan keadaan anak, sehingga akan muncul perasaan fun dan nyaman dalam belajar. Kalau demikian, anak juga dijadikan subjek dalam pembelajarannya, dan tidak lupa bahwa dalam homeschooling orang tua berperan sebagai penanggung jawab utama.
10Sumardiono, “Homeschooling, Sekolah Rumah/Mandiri,” http://www.sekolahrumah.com/index.php?option=com_content &task=category&sactionied=4&id=13&itemid=31(20 Agustus 2014). 11Chris Verdiansyah (ed). Homeschooling. Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007), h. ix.
7
Berikut ini merupakan persamaan dan perbedaan homeschooling dengan sekolah regular, di antaranya: a. Persamaan 1. Sekolah dan homeschooling merupakan model pendidikan anak. 2. Sekolah dan homeschooling bertujuan untuk mencari kebaikan bagi anak-anak. 3. Sama-sama dapat mengantarkan anak-anak pada tujuan pendidikan b. Perbedaan 1. Sistem di sekolah terstandarisasi, sistem homeschooling customized sesuai dengan kebutuhan anak dan kondisi orang tua. 2. Pengelolaan di sekolah terpusat (kurikulumnya diatur), pengelolaan homeschooling tergantung pada orang tua (orang tua memilih sendiri kurikulum dan materi ajar untuk anak). 3. Jadwal belajar di sekolah telah tertentu, jadwal belajar homeschooling tergantung kesepakatan orang tua dan anak. 4. Tanggung jawab pendidikan di sekolah didelegasikan orang tua kepada guru dan sekolah, pada homeschooling tanggung jawab sepenuhnya ada pada orang tua. 5. Peran orang tua di sekolah relatif minimal karena pendidikan dijalankan oleh sistem dan guru; pada homeschooling peran orang tua sangat vital dalam menentukan keberhasilan pendidikan anak. 6. Pada model belajar di sekolah, sistem sudah mapan dan orang tua tinggal memilih/mengikuti; pada homeschooling membutuhkan komitmen dan kreativitas orang tua untuk mendesain dan melaksanakan homeschooling sesuai kebutuhan anak. 8
Konsep homeschooling adalah mengembalikan suatu hal mendasar yaitu mengembalikan peran orang tua dan keluarga ke tempat yang semestinya karena disanalah peran utama keluarga, khususnya seorang ibu dalam pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Dilihat dari ajaran Islam, anak merupakan karunia dan amanah Allah yang harus dijaga, dibina, dan dibimbing. Amanah wajib dipertanggungjawabkan. Tanggung jawab orang tua terhadap anak tidaklah kecil. Secara umum inti tanggung jawab itu ialah penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak dalam keluarga. Tuhan memerintahkan agar setiap orang tua menjaga keluarganya dari siksa neraka. Hal ini sebagaimana Allah swt. berfirman dalam QS. alTahrim/66: 6: Terjemahnya: Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, da keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.12 Orang tua merupakan pendidik pertama dan utama, mempunyai peranan yang penting untuk menolong pertumbuhan anak-anaknya, baik secara fisik maupun psikis. Anak dilahirkan dalam keadaan fitrah dan
12Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemah (Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009), h. 560.
9
tergantung pada orang tualah untuk menjaga atau merusak fitrah itu. Rasulullah saw. bersabda:
ٍ ْآد ُم َحدَّثَنَا ابْن أيَِب يذئ الر ْْحَ ين ُّ ب َع ين ِّ الزْه ير َّ ي َع ْن أيَِب َسلَ َمةَ بْ ين َعْب يد َ َحدَّثَنَا ُ ٍ ُعن أيَِب هري رَة ر يضي اهلل عْنه قَ َال قَ َال النيَِّب صلَّى اهلل علَي يه وسلَّم ُك ُّل مول ود ُ َ ُ َ َ َ َْ ُ ْ َ ْ َ َ َ َ ْ َ ُ َ ُّ يي يولَ ُد علَى الْ يفطْرية فَأَب واه ي ه ِّودانييه أَو ي نَ ِّ يي ي يم ية تُْنتَ ُج َ ُ ُ ْ َ َ ُ ُ ََ َ َ صَرانه أ َْو ُُيَ ِّج َسانه َك َمثَ يل الْبَه ي 13 ي َ الْبَه َيمةَ َه ْل تَ َرى ف َيها َج ْد َعاء
Artinya: (Imam Bukhari berkata), telah menyampaikan berita kepada kami Adam, telah menyampaikan berita kepada kami Ibnu Abi Zi´bin, dari al-Zuhri, dari Abu Salamah bin ´Abd. Al-Rahman, dari Abu Hurairah ra berkata, Nabi saw. bersabda: setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), kedua orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi atau Nasrani atau Majusi, bagaikan seekor binatang melahirkan anaknya, apakah engkau melihat dia melindunginya? Ilmu pengetahuan, kesabaran, kasih sayang, dan ketulusan, serta tanggung jawab yang tinggi adalah modal untuk membawa diri dan keluarga pada keselamatan itu.14 Konsep homeschooling sama sekali tidak bertentangan dengan Islam, karena menuntut ilmu bisa dilakukan di mana saja, kapan pun dan kepada siapapun tidak dibatasi oleh waktu, usia dan jenis kelamin. Oleh sebab itu,
13Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mugirah alBukhari, Sahih al-Bukhari (CD al-Maktabah al-Syamila Versi 2. 1), Juz 5, h. 182, nomor hadis 1296. 14Maya
Pujiati, “Mendidik Anak adalah Sebuah Investasi”, Selasa 20 Desember 2005, http://my.opera.com/madrasahkeluarga/blog/ show.dml/91758 (20 Agustus 2014)
10
pendidikan bagi anak sangat diutamakan dan orang tua berkewajiban memelihara anak-anaknya dengan cara mendidik, menanamkan nilai keimanan, mengembangkan wawasan, dan mengarjakan akhlak mulia, serta menghindarkannya dari teman-teman yang berbudi pekerti buruk. C. Sejarah Homeschooling Pendidikan di rumah bukanlah hal baru. Sebelum ada sistem pendidikan modern (sekolah) sebagaimana dikenal pada saat ini, pendidikan dilaksanakan dengan berbasis rumah. Pada zaman Yunani, sekolah (skhole) artinya menggunakan waktu senggang secara khusus untuk belajar (leisure devoted to learning). Awalnya memang diadakan di rumah, bersama ibu dan bapak, yang disebut dengan schola materna.15 Lalu karena orang tua mulai sibuk mencari nafkah, maka anak-anak dicarikan tempat pengasuhan anak di mana ada orang yang pandai dalam hal tertentu. Sehingga schola maternal berubah menjadi schola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak di luar rumah sebagai ganti orang tua). Sebelum jenis pekerjaan di sektor formal mulai bermunculan, kebutuhan akan pendidikan formal belum terlalu besar, kurikulum atau muatan pendidikan lebih menitikberatkan pada life skill (keterampilan hidup) sebagai bekal untuk memenuhi kebutuhan hidup serta etika perilaku yang didasarkan pada nilai-nilai agama atau pun 15Schola
maternal adalah tingkatan pendidikan awal dalam keluarga dengan diasuh oleh ibunya sendiri sampai batas umur tertentu, biasanya untuk anak prasekolah. Istilah ini dikemukakan oleh Amos Comenius. Lihat www.glorianet, org/mau/kliping/klipbers.html, dan http:// fuadinotkamal. wordpress.com/2007/12/31/sekolah-sebagai-rumah-kedua/. (20 Agustus 2014).
11
adat kebiasaan masyarakat. Proses belajarnya sendiri dilakukan di rumah masing-masing oleh orang tua maupun keluarga besar. Hanya ketika anak-anak dianggap perlu memiliki keterampilan tambahan, orang tua mengirimnya “berguru” kepada orang-orang yang memang ahli di bidangnya.16 Selain itu para bangsawan zaman dahulu biasa mengundang guru privat untuk mengajar anak-anaknya. Itulah jejak homeschooling masa lalu. Sejak perkembangan revolusi industri, terjadi proses sistematisasi pendidikan dan proses belajar. Perkembangan ilmu filsafat dan ilmu pengetahuan serta usaha untuk memasuki proses pembelajaran selama berabad-abad menghasilkan sebuah evolusi sistem pendidikan yang kemudian dikenal sebagai sekolah. Sekolah adalah salah satu representasi institusional dari nilai-nilai modern yang dipegang manusia saat ini. Institusi modern sekolah adalah solusi untuk mengatasi keterbatasan keluarga dalam mendidik anaknya secara sadar dan terencana. Walaupun sekolah menjadi institusi pendidikan yang terbukti bermanfaat bagi kemanusiaan, tetapi sekolah bukanlah satu-satunya cara bagi anak untuk memperoleh pendidikan. Sekolah merupakan salah satu cara anak untuk belajar dan memperoleh pendidikan. Sebagai sebuah institusi/sistem belajar, sekolah tidaklah sempurna. Itulah sebabnya selalu ada pembaruan untuk memperbaiki sistem pendidikan. Berbagai filsafat dan pemikiran terus
16Jurnal
Madrasah Kelurga, “Melirik Kembali Homeschooling”, http://my.opera.com/madrasahkeluarga/blog/melirik-kembali-homeschooling, (20 Agustus 2014).
12
lahir dan berinteraksi dengan kondisi sosial yang dialami oleh masyarakat. Di Amerika Serikat, gelombang pertama homeschooling terjadi pada era 1960-an. Tepatnya pada tahun 1964, John Caldwell Holt mengemukakan pemikirannya bahwa anak-anak belajar lebih baik jika tanpa instruksi sebagaimana sekolah. Holt sebagaimana dikutip Sumardiono menyatakan bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak disebabkan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh eksistensi sekolah itu sendiri. Ini tertuang dalam karya pertamanya “How Children Fail”.17 Banyak pemikiran muncul mempertanyaan efektivitas sekolah pada masa itu, di antaranya adalah Dr. Raymon dan Dorothy Moore, seorang psikolog perkembangan dan peneliti pendidikan. Mereka melakukan penelitian mengenai kecenderungan orang tua untuk menyekolahkan anak lebih awal (Early Childhood Education). Penelitian mereka menunjukkan bahwa memasukkan anakanak pada sekolah formal sebelum usia 8 sampai 12 tahun bukan hanya tak efektif, tetapi sesungguhnya berakibat buruk bagi anak-anak, khususnya bagi laki-laki (karena keterlambatan kedewasaan mereka).18 Hasil penelitian tersebut dipublikasikan pertama kali pada tahun 1975 dalam buku “Better Late Than Early”. Kemudian pada 1977, Holt mulai mempublikasikan buletin berita sebanyak empat halaman yang di sebut Growing Without Schooling (Tumbuh Tanpa Sekolah) untuk keluarga yang menginginkan ide-ide dan dukungan demi membantu anak-anak mereka belajar di 17Sumardiono,
Homeschooling: A Leap for Better Learning, Lompatan Cara Belajar (Jakarta: PT Elex Media Komputindo), h. 20. 18Sumardiono, Homeschooling: A Leap for Better Learning, Lompatan Cara Belajar, h. 21.
13
luar sekolah. Ide-ide Holt mempengaruhi banyak orang tua yang juga memikirkan hal yang serupa. Dalam waktu enam bulan, GWS, punya hampir lima ratus pelanggan. Istilah yang digunakan Holt pada waktu itu adalah Unschooling (pendidikan tanpa sekolah). Pada awalnya Holt menggunakan kata “pendidikan tanpa sekolah” untuk menggambarkan tindakan mengeluarkan anak seseorang dari sekolah, tapi hal ini segera menjadi sinonim untuk “sekolah di rumah” (homeschooling). Selama beberapa dekade terakhir, arti istilah itu telah menyempit, sehingga unschooling mengacu pada gaya khusus sekolah di rumah yang dianjurkan Holt, berdasarkan pembelajaran yang berpusat pada anak.19 Setelah itu, homeschooling terus berkembang dengan berbagai alasan. Selain karena alasan keyakinan, pertumbuhan homeschooling juga banyak dipicu oleh ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah. Keadaan pergaulan sosial di sekolah yang tidak sehat juga memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan homeschooling. Walaupun awalnya dipersepsi sebagai keluarga konservatif dan menyendiri (isolationists), homeschooling terus tumbuh dan membuktikan diri sebagai sistem yang efektif dan dapat dijalankan. Praktisi homeschooling pun bervariasi; dengan berbagai alasan memilih homeschooling dengan berbagai latar belakang sosial dan profesi.20
19Mary
Griffith, Belajar Tanpa Sekolah: Bagaimana Memanfaatkan Seluruh Dunia sebagai Ruang Kelas Anak Anda (Bandung: Nuansa, 2005), h.11. 20Sumardiono, Homeschooling: A Leap for Better Learning, Lompatan Cara Belajar, h. 23.
14
Sebagai istilah, homeschooling adalah sebuah istilah yang relatif baru dalam khazanah pendidikan Indonesia. Tetapi jika dirunut esensi dari filosofi, model dan praktik penyelenggaraannya, homeschooling bukanlah sebuah hal yang baru. Dengan merunut konsep-konsep kunci homeschooling, didapati bentuk-bentuk praktik homeschooling yang pernah ada di Indonesia. Sebelum pendidikan Belanda hadir di Indonesia, homeschooling sudah berkembang di Indonesia. Di pesantren misalnya, banyak kyai, buya, dan tuan guru secara khusus mendidik anaknya dirumah. Begitu pula para pendekar dan bangsawan zaman dahulu. Mereka melakukan itu semua agar ilmunya dapat diturunkan kepada anaknya, bukan orang lain. Saat ini, perkembangan homeschooling di Indonesia dipengaruhi oleh akses terhadap informasi yang semakin terbuka dan membuat para orang tua memiliki semakin banyak pilihan untuk pendidikan anaknya. Banyak keluarga Indonesia belajar ke luar negeri menyelenggarakan homeschooling untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Selain itu ketidakpuasan terhadap kualitas pendidikan di sekolah formal juga menjadi pemicu bagi keluarga Indonesia untuk menyelenggarakan homeschooling yang dinilai lebih dapat mencapai tujuan pendidikan yang direncanakan oleh keluarga. Ada beberapa teori yang berpengaruh dalam perkembangan homeschooling, salah satunya adalah teori yang digagas oleh Howard Gardner, yaitu multiple intelligences.21 Teori ini berusaha mengubah cara pandang 21Teori ini muncul pada tahun 1983, oleh Gardner, dalam bukunya Frame of Mind., ia mengungkapkan ragam kecerdasan manusia, yaitu: kecerdasan linguistik, kecerdasan logikamatematika, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik-tubuh, kecerdasan musik, kecerdasan interpersonal, dan kecerdasan
15
terhadap kecerdasan seseorang. Seseorang tidak hanya dapat dikatakan cerdas manakala ia cerdas secara kognitif saja. Menurut teori ini setiap manusia memiliki satu atau lebih jenis kecerdasan yang menonjol, dan kecerdasankecerdasan lain yang biasa atau kurang. Sehingga jika seorang anak tidak memiliki satu kecerdasan, misalnya kecerdasan logika-matematika, tidak berarti anak tersebut bodoh. Sangat dimungkinkan anak tersebut memiliki jenisjenis kecerdasan lain yang menonjol. Teori ini sejalan dengan homeschooling yang menghargai keunikan individual seorang anak. D. Klasifikasi Homeschooling Berdasarkan jenisnya, homeschooling dibedakan menjadi tiga, yaitu homeschooling tunggal, homeschooling majemuk, dan komunitas homeschooling. 1. Homeschooling Tunggal Jenis homeschooling ini dilaksanakan oleh orang tua dalam satu keluarga tanpa bergabung dengan lainnya. Biasanya homeschooling jenis ini diterapkan karena adanya tujuan dan alasan khusus yang tak dapat diketahui atau dikompromikan dengan komunitas homeschooling lain. Alasan lain, karena lokasi atau tempat tinggal si pelaku homeschooling yang tidak memungkinkan berhubungan dengan komunitas homeschooling lain. a. Pengajar Bisa ayah, ibu, atau keduanya, tetapi jika keduanya sama-sama bekerja, harus ada pilihan lain, yaitu ada orang yang bisa dipercaya dan dapat mengelola intrapersonal. Lihat Linda Campbell, et al., Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences, terj. Tim Intuisi (Depok: Intuisi Press, 2006), h. 2-3.
16
kegiatan anak, baik itu tante, paman, nenek, atau anggota keluarga lain. b. Kelebihan Anak bisa belajar kapan saja, di mana saja, dan dengan siapa saja. c. Kekurangan Bila anak hanya menjalani kegiatan homeschooling di rumah (tidak bergabung dengan komunitas lain), dikhawatirkan berpengaruh pada kemampuan pergaulan atau sosialisasinya. Selain itu, anak juga tidak memiliki kesempatan untuk bersaing atau berkompetisi dengan orang lain. d. Tantangan 1) Sulitnya memperoleh dukungan atau tempat bertanya, berbagi, dan berbanding keberhasilan. 2) Kurangnya tempat sosialisasi untuk mengekspresikan diri sebagai syarat pendewasaan. 3) Orang tua harus melakukan penilaian hasil pendidikan dan mengusahakan penyetaraan.22 2. Homeschooling Majemuk Homeschooling ini terdiri atas dua keluarga atau lebih.Untuk kegiatan tertentu dilaksanakan oleh dua keluarga atau lebih. Sementara kegiatan pokok tetap dilaksanakan oleh orang tua masing-masing. Alasannya, ada kebutuhan yang dapat dikompromikan oleh beberapa keluarga untuk melaksanakan kegiatan bersama. Misalnya kegiatan olah raga, musik/ seni, sosial, ataupun kegiatan keagamaan. a. Pengajar 22Hilman, “Pilih-Pilih Homeschooling”, Tabloid Nakita, No. 430/TH IX/30 Juni 2007, h. 7.
17
Sama seperti homeschooling jenis tunggal, dilakukan orang tua. b. Kelebihan Ruang gerak sosialisasi peserta didik lebih luas c. Kelemahan Relatif tidak ditemui persoalan d. Tantangan 1) Perlu kompromi dan fleksibelitas jadwal, suasana, fasilitas, dan kegiatan tertentu. 2) Perlu ahli dalam bidang tertentu walaupun kehadiran orang tua harus tetap ada. 3) Anak-anak dengan keahlian atau kegiatan khusus harus menyesuaikan atau menerima lingkungan lainnya dan menerima perbedaan-perbedaan lainnya sebagai proses pembentukan jati diri. 4) Orang tua masing-masing penyelenggara homeschooling harus menyelenggarakan sendiri penyetaraannya.23 3. Komunitas Homeschooling Jenis ini merupakan gabungan beberapa homeschooling majemuk yang menyusun dan menentukan silabus dan bahan ajar. Termasuk meramu kegiatan pokok (olah raga, seni dan bahasa), menyediakan sarana dan prasarana serta jadwal pembelajaran. a. Pengajar Bisa orang tua, bisa juga orang lain yang mampu berperan sebagai fasilitator utama dalam kegiatan anak b. Kelebihan 1) Tersedia fasilitas pendukung pembelajaran yang lebih baik, seperti bengkel kerja, laboratorium alam, perpustakaan, fasilitas olah raga dan kesenian. 23Hilman,
“Pilih-Pilih Homeschooling”, h. 7.
18
2) Dukungan yang lebih besar karena masing-masing bertanggung jawab untuk saling mengajar sesuai keahlian masing-masing. c. Kekurangan Dikhawatirkan komunitas ini tergelincir menjadi sekolah formal, karena terstruktur atau terjadwal, seperti mengadakan kegiatan seminggu dua kali, dan sebagainya. d. Tantangan 1) Perlu kompromi dan fleksibelitas jadwal, suasana, fasilitas, dan kegiatan tertentu yang dapat dilaksanakan bersama-sama. 2) Perlunya pengawasan yang profesional sehingga perlu keahlian dalam bidang tertentu walaupun kehadiran orang tua harus tetap ada. 3) Anak-anak dengan keahlian atau kegiatan khusus harus menyesuaikan atau menerima lingkungan lainnya dan menerima perbedaan-perbedaan lainnya sebagai proses pembentukan jati diri.24 Ketiga jenis homeschooling tersebut dapat dipilih sesuai dengan tipe belajar anak. Karena setiap anak itu mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. E. Dasar Hukum Homeschooling Keberadaan homeschooling legal di mata hukum Indonesia. Homeschooling termasuk kategori pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan dalam bentuk kegiatan belajar secara mandiri. Negara tidak mengatur proses pembelajarannya, tetapi hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan 24Hilman,
“Pilih-Pilih Homeschooling”, h. 7.
19
standar nasional pendidikan. Hal ini termuat dalam UURI No. 20 Tahun 2003 pasal 27: 1) Kegitan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan secara mandiri. 2) Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.25 Siswa yang mengikuti homeschooling akan memperoleh ijazah kesetaraan yang dikeluarkan oleh Depdikbud yaitu Paket A setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMU. Ijazah ini dapat digunakan untuk meneruskan pendidikan sekolah formal yang lebih tinggi.26 Sedangkan jika keluarga homeschooling (pendidikan informal) ingin beralih ke sekolah (jalur pendidikan formal), secara prinsip UU RI No. 20 tahun 2003 menjamin hak untuk berpindah jalur, bahkan secara eksplisit UU RI No 20 Tahun 2003 pasal 12 ayat 1, butir ”e”, menyatakan bahwa: ”Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara.”27 Dukungan pemerintah terhadap keberadaan homeschooling juga ditunjukkan melalui penandatangan Nota Kesepahaman antara Depdiknas dan Asosiasi Sekolah 25Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Cet. IV; Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 19. 26Imas
Kurniasih, Homeschooling Bersekolah di Rumah Kenapa Tidak (Yogyakarta: Cakrawala, 2009), h. 9-10. 27Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, h. 11.
20
Rumah dan Pendidikan Alternatif Indonesia (Asah Pena) pada 10 Januari 2007 yang berisi pengakuan Komunitas Sekolah Rumah sebagai salah satu bentuk Satuan Pendidikan Kesetaraan.28 Jadi, mengenai kredibilitas homeschooling ini sudah diakui oleh pemerintah. Bagi anak homeschooler tidak perlu khawatir jika ingin masuk ke perguruan tinggi di mana saja. Hal ini telah dibuktikan oleh anak pertama Seto Mulyadi atau Kak Seto (psikolog anak) yang mengikuti homeschooling. Seto Mulyadi “Jadi untuk mengikuti ujian nasional kesetaraan itu, mereka cukup mendaftar melalui dinas pendidikan setempat, hasilnya seratus persen setara. Anak saya yang mengikuti ujian paket B dan paket C, sekarang ini sudah masuk di Lim Kok Wing University, Universitas desain di Kuala Lumpur.”29 F. Pelaksanaan Homeschooling di Indonesia Sebetulnya sudah lama bangsa kita mengenal konsep homeschooling ini. Bahkan jauh sebelum sistem pendidikan barat datang. Tengok saja di pesantrenpesantren misalnya, para kyai, buya, dan tuan guru secara khusus mendidik anak-anaknya sendiri. Saat ini sistem persekolahan di rumah juga bisa dikembangkan untuk mendukung program pendidikan kesetaraan.30
28Maria Magdalena, Anakku Tidak Mau Sekolah Jangan Takut Cobalah Homeschooling, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 8. 29Mutiara
Dwi R, “Belajar Tidak Harus di Sekolah Formal”,Tabloid Mom&Kiddie, edisi 14, tahun 1, 12-25 Maret 2007, h. 14. 30Chris Verdiansyah (ed). Homeschooling. Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku, h. 18-19.
21
Bagaimana sikap pemerintah? Secara prinsip tidak ada masalah. Sebagaimana tercantum dalam Undangundang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) dalam pasal 27 ayat (1) dikatakan bahwa, ”Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri”. Lalu pada ayat (2) dikatakan bahwa, “Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan”. Jadi secara hukum kegiatan homeschooling dilindungi oleh undang-undang.31 Perkembangan homeschooling di Indonesia juga dipengaruhi oleh akses terhadap informasi yang semakin terbuka dan membuat para orang tua punya banyak pilihan untuk pendidikan anak-anaknya. Diperkuat dengan aspek legalitas 5 Istilah homeschooling ini sudah cukup populer belakangan ini. Sayangnya, upaya pemasyarakatan homeschooling tidak cukup diikuti dengan informasi yang berkenaan dengan persyaratan yang seharusnya dimiliki dalam menerapkannya. Akibatnya, praktek homeschooling di negara kita menjadi berbeda, alias salah kaprah. Pemasyarakatan homeschooling tidak dengan dasar pikiran yang tepat dan kuat. Masyarakat – seperti biasanya – sangat cepat memberikan respon positif; bila yang berbicara adalah orang-orang yang dianggap ahli. Sebagain kalangan mengatakan bahwa homeschooling di Indonesia tak ubahnya semacam private school yang eksklusif. Orang tua yang memiliki anak-anak yang bermasalah dengan lingkungan sosialnya malah dipindahkan ke sekolah jenis ini. Adapula 31Chris Verdiansyah (ed). Homeschooling. Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku , h. 19.
22
lembaga-lembaga pendidikan yang membuka peluang ini bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Orangtua yang masih berpandangan tradisional umumnya masih menganggap ijazah adalah segala-galanya bagi masa depan anakanaknya. Anak-anak spesial yang –tentu saja – tidak memungkinkan bersekolah di sekolah umum diarahkan untuk mengikuti homeschooling hanya agar dapat menyelesaikan pendidikannya dan…: mendapatkan ijazah! Kalaulah sekolah rumah ini sudah merupakan kebutuhan utama bagi segelintir masyarakat kita, sebaiknya harus dipertimbangkan lagi berbagai kondisi dan dampak yang dihasilkannya. Misalnya saja, harus disadari bahwa homeschooling memiliki kompleksitas yang lebih tinggi karena orangtua harus bertanggung jawab atas keseluruhan proses pendidikan anak. Harus diantisipasi berbagai kelemahan yang dikhawatirkan banyak orang berkenaan dengan ketrampilan sosial anak karena sekolah ini berpotensi menghasilkan keterampilan sosial yang relatif rendah, terutama dengan teman sebaya. Bisa jadi akan menimblkan resiko berkurangnya kemampuan bekerja dalam kelompok, kemampuan berorganisasi dan kemampuan memimpin. Proteksi berlebihan dari orang tua juga akan menyebabkan anak mengalami kesulitan untuk menyelesaikan situasi dan masalah sosial yang kompleks dan tidak terprediksi. G. Homeschooling dan Perkembangan Anak Memperbincangkan tentang bagaimana sebuah sekolah masa kini dapat meningkatkan perkembangan anak, maka bahasan tidak dapat terlepas dari berbagai perubahan dalam filosofi pendidikan yang terjadi sepanjang sejarah yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam teori dan praktek pendidikan. Pendidikan yang mengandalkan “ three 23
R ” (reading, ‘riting, dan ‘rithmetic) ke metode “berpusat pada anak” yang berfokus pada minat anak.32 Saat ini banyak pendidikan yang merekomendasikan pengajaran anak pada tingkat awal dengan mengintegrasikan bidang yang berkaitan dengan subjek dan mendasarkan kepada minat dan bakat alamiah anak. Misalnya belajar membaca dan matematika dalam konteks proyek studi sosial, atau mengajarkan konsep matematika melalui studi musik. Mereka mendukung proyek kooperatif, menawarkan partisipasi aktif pemecahan masalah dan kooperasi rapat orang tua-guru.33 Banyak pendidik kontemporer yang juga menekankan ”R” keempat, yaitu reasoning (penalaran). Anak-anak yang diajari keterampilan berpikir dalam konteks subjek akademis terbukti lebih baik dalam tes kecerdasan dan prestasi sekolah. Stenberg mengungkapkan bahwa siswa akan belajar lebih baik ketika diajari dengan berbagai macam cara, menekankan keterampilan kreatif dan praktis sekaligus mengingat dan berpikir kritis.34 Berbagai perubahan dalam teori dan praktek pendidikan yang disebutkan di atas tampaknya akan sulit dicapai pada model praktek pendidikan yang biasa kita temukan pada sekolah-sekolah formal di Indonesia. Para orangtua yang memiliki perhatian pada pendidikan anakanaknya pada umumnya menganggap bahwa model pendidikan yang tepat hanya mungkin diperoleh dari
32RD.
Feldman Papalia, DE., Old, SW., Human Development (New York-USA: McGraw-Hill, 2004), h. 334-335. h. 335. h. 335.
33RD.
Feldman Papalia, DE., Old, SW., Human Development,
34RD.
Feldman Papalia, DE., Old, SW., Human Development,
24
homeschooling, dimana mereka dapat mengatur sendiri kurikulum dan metode belajar yang mendekati ideal. Di samping sumbangan positifnya terhadap perkembangan anak, ternyata kritik terbesar yang banyak diterima praktek homeschooling juga berkenaan dengan perkembangan anak, yaitu dalam hal kemampuan sosialisasi. Arif Rahman, mengatakan bahwa hal yang harus menjadi titik perhatian penting dari homeschooling adalah strategi untuk menghindari kekhawatiran bahwa siswa yang mengikuti metode pendidikan ini akan teralienasi dari lingkungan sosialnya sehingga potensi kecerdasan sosialnya tidak muncul.35 Kecemasan itu wajar mengingat lingkungan rumah yang sangat terbatas sehingga anak tidak terbiasa dengan perbedaan dan cenderung memahami sesuatu daari sudut pandangnya sendiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyaknya siswa yang berasal dari Asia Timur yang berprestasi bagus di Amerika Serikat adalah karena pengaruh budaya dan praktik pendidikan di negara asal mereka. Hari dan tahun bersekolah yang lebih tinggi dibanding sekolah AS, kurikulum yang diatur secara sentral, kelas lebih besar (sekitar 40 – 50 murid), dan para guru menghabiskan lebih banyak waktu mengajari seluruh kelas, sedangkan anak AS lebih banyak waktu bekerja sendiri atau dalam kelompok kecil dan karena itu menerima perhatian yang lebih besar tetapi lebih sedikit instruksi total.36
35Chris
Verdiansyah (ed). Homeschooling. Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku , h. ix. h. 337.
36RD.
Feldman Papalia, DE., Old, SW., Human Development,
25
Di sisi lain, hasil penelitian Taylor37 menunjukkan bahwa sangat sedikit siswa homeschooling yang mengalami masalah dalam berhubungan sosial. Menurutnya, berbagai kritik yang dilontarkan mengenai homeschooling berkenaan dengan kemampuan sosialisasi anak justru menghasilkan hal yang sebaliknya. Konsep diri yang positif yang diperoleh anak-anak dari pendidikan homeschooling ternyata mampu mendorong kemampuan sosialisasi yang baik.
37Wikipedia.org,
Homeschooling, h. 13.
26
BAB II PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBALISASI A. Pendahuluan Pendidikan selalu berkembang mengikuti dinamika kehidupan masyarakat. Dewasa ini masyarakat Indonesia sedang mengalami perubahan transisional dari masyarakat agraris ke arah masyarakat industri. Bahkan, terjadi lompatan perubahan dari masyarakat agraris ke arah masyarakat informasi. Perubahan tersebut meniscayakan desain pendidikan memiliki relevansi dengan kebutuhan masyarakat yang terus berubah.1 Pendidikan pada masyarakat agraris didesain relevan dengan dinamika dan kebutuhan masyarakat agraris. Pendidikan pada masyarakat industri dan informasi didesain mengikuti arus perubahan dan kebutuhan masyarakat era industri dan informasi. Demikian siklus perkembangan perubahan pendidikan yang senantiasa didesain relevan dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat pada suatu era, baik pada aspek konsep, materi, kurikulum, proses, dan fungsi serta tujuan lembaga-lembaga pendidikan. Pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, kini dihadapkan pada tantangantantangan baru di era globalisasi, sebagai konsekuensi dari dinamika modernitas. Menghadapi tantangan tersebut diperlukan suatu strategi baru yang solutif dan antisipatif.
1H.A.R.
Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan (Cet. IX; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), h. 90.
27
Menurut H.A.R. Tilaar, apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan menggunakan strategi lama, maka segala usaha yang dijalankan akan menemui kegagalan.2 Hal ini menuntut para pemikir dan praktisi pendidikan Islam agar dapat menemukan strategi pendidikan Islam yang tepat untuk menghadapi kehidupan di era globalisasi. Pendidikan Islam seharusnya lebih maju disebabkan social power yang dimilikinya. Berdasarkan konteks Indonesia, pendidikan Islam dalam bentuk madrasah, pesantren, sekolah Islam, dan lembaga pendidikan tinggi Islam seharusnya lebih maju karena berada di tengah wilayah yang memiliki penduduk muslim terbesar di dunia.3 Kenyataan menunjukkan sebaliknya, lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut tidak lebih unggul, bahkan reputasinya lebih rendah dibanding dengan yang lain. Berdasarkan paparan di atas, pendidikan Islam harus diarahkan pada kebutuhan dan perubahan masyarakat di era globalisasi. Menghadapi suatu perubahan, diperlukan suatu desain paradigma baru di dalam menghadapi tuntutantuntutan yang baru. Makalah ini berusaha untuk menguraikan peluang dan tantangan pendidikan Islam di era globalisasi. Model pendidikan Islam di era globalisasi (peluang dan tantangan) di dalam bab ini dibahas secara teoretis mulai dari bagaimana pengaruh globalisasi dalam pendidikan Islam, bagaimana orientasi pendidikan Islam di era 2H.A.R.
Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21 (Magelang: Tera Indonesia, 1998), h. 245. 3Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional (Cet. 1; Jakarta: Kencana, 2004), h. 146-147.
28
globalisasi, bagaimana tantangan dan peluang pendidikan Islam di era globalisasi. B. Pengaruh Globalisasi dalam Pendidikan Islam Keadaan dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam, saat ini sedang digoncang issue dan berbagai tuntutan serta tekanan perubahan kebutuhan masyarakat global, serta ditantang supaya dapat menjawab berbagai permasalahan lokal dan global yang terjadi begitu pesat. Perubahan global meminta perubahan di dalam mengelola dan pengolahan hidup masyarakat, pendidikan harus dijadikan tumbal untuk menjawab keadaan pasar global. Jika keadaan pendidikan bisa dipaksa dan terfokus pada kubutuhan pasar global, tentu tantangan globalisasi dapat diatasi secara cepat, dan peluang pasar global dapat segera dinikmati oleh segenap masyarakat. Keberadan pendidikan yang berorientasi pada pasar global dapat tercapai, tentu membutuhkan berbagai konsep dan teori yang jitu. Pergolakan ini harus segera dirumuskan secara seksama, agar tujuan pendidikan mampu berorientasi pada kemaslahatan umat manusia. Sebelum menguraikan pengaruh globalisasi dalam pendidikan Islam terlebih dahulu dikemukan tentang makna dan dampak globalisasi. 1. Pengertian Globalisasi Globalisasi di ambil dari kata global yang maknanya universal. Menurut Achmad Suparman, globalisasi adalah sebuah proses menjadikan sesuatu benda atau perilaku sebagai ciri dan setiap individu di dunia ini tampa dibatasi oleh wilayah, atau seluruh proses di mana penduduk dunia terhubung ke dalam komunitas dunia tunggal, komunitas
29
global.4 Keterangan di atas, dapat di simpulkan bahwa globalisasi secara singkat adalah Sebuah proses di mana antar individu / kelompok menghasilkan suatu pengaruh terhadap dunia. Setiap manusia tidak bisa terhindar dari arus globalisasi ini, kecuali dia tidak menjalin kontak dengan orang lain, tidak melihat acara-acara di televisi, tidak mendengarkan radio, dan dia hidup dengan apa adanya. Kenyataannya, hanya segelintir manusia bisa melakukan hal seperti itu karena manusia mempunyai sifat makhluk sosial yaitu selalu membutuhkan orang lain. Globalisasi berawal dari transportasi dan komunikasi, tetapi dampaknya segera terasa dalam berbagai bidang kehidupan manusia baik ekonomi, politik, perdagangan, gaya hidup, bahkan agama.5 Begitu cepat masyarakat mengikuti perkembangan zaman, mereka tidak mau ketinggalan sedikitpun dari perkembangan ini. Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia: a. Perubahan dalam konsep dan waktu seperti adanya telepon genggam, televisi, dan internet menjadikan komunikasi semakin cepat. b. Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan Perdagangan international. c. Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa. 4Achmad Suparman, “Pengertian Globalisasi”, http://globalisasiriva.blogspot.com/p/pengertian-globalisasi.html. (Diakses pada 17 Mei 2014). 5Tim Penyusun, Pengantar Studi Islam (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2009), h. 233.
30
d. Meningkatkan masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan krisis multinasional, instalasi regional, dan lain-lain. Globalisasi adalah sebuah fenomena kompleks yang telah memiliki efek luas. Tidak mengherankan, jika istilah, "globalisasi" ini telah memperoleh konotasi arti yang banyak. Globalisasi disatu sisi dipandang sebagai kekuatan yang tak tertahankan dan jinak untuk memberikan kemakmuran ekonomi kepada orang-orang di seluruh dunia, tetapi di sisi lain, ia dituding sebagai sumber dari segala penyakit kontemporer.6 Era globalisasi yang di tandai dengan kompetisi mutu menuntut semua pihak dalam berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan untuk senantiasa meningkatkan kompetisinya, sehingga dalam kondisi yang demikian, tuntutan terhadap kualitas sumber daya manusia sangat di prioritaskan dan kalau diperhatikan di era globalisasi yang dibutuhkan adalah kualitas diri dapat diterima keberadaannya di belahan dunia. Globalisasi merupakan kata serapan berasal dari bahasa Inggris “globalization” yang berakar kata global yang berarti seluruhnya; menyeluruh; garis besar; umumnya; secara utuh.7 Mendorong manusia untuk berorientasi dan mentransformasi peradaban dunia melalui proses modernisasi, industrialisasi dan revolusi informasi. Secara
6Bakhtiari Sadegh, Globalization and Education Challenges and Opportunities (Iran: Journal Isfahan University, 1995), h. 95.
7Pius
A. Partanto & M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkolo, 2001), h. 203. Lihat pula Robertson, Globalization: Sosial Theory and Global Cultur (London: Sage, 1992), h. 12.
31
lebih jauh akan menimbulkan perubahan-perubahan dalam struktur kehidupan bangsa di dunia termasuk Indonesia.8 Globalisasi dapat juga didefinisikan sebagai pengaturan dunia secara luas berdasarkan pada sebuah keyakinan terhadap sistem perdagangan sebagai sebuah pertukaran kontrol, dan pada kebebasan investasi pasar modal, yakni perpindahan sektor modal publik ke sektor swasta. Artinya, globalisasi perspektif terminologis merupakan penggolongan seluruh aspek kehidupan.9 UNDP dalam Human Development Report menggambarkan globalisasi merupakan meningkatnya ketergantungan penduduk dunia, pada tingkat ekonomi, teknologi, budaya, maupun politik. Hal ini dipandang sebagai kecenderungan umum terhadap liberalisasi 8Abudin
Nata, Pendidikan Islam di Era Global (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Press, 2005), h. 342. 9J.
A. Scholte dalam Zubaedi, membagi pengertian globalisasi menjadi lima kategori: 1) Globalisasi sebagai internasionalisasi yaitu pertumbuhan dalam pertukaran dan interdependensi nasional; 2) Globalisasi sebagai liberalisasi yaitu merujuk kepada sebuah proses penghapusan hambatan-hambatan yang dibuat oleh pemerintah terhadap mobilitas antarnegara untuk menciptakan sebuah ekonomi dunia yang “terbuka” dan “tanpa batas”; 3) Globalisasi sebagai universalisasi bahwa proses “mendunia” dan “globalisasi” merupakan proses penyebaran berbagai objek dan pengalaman kepada semua orang ke seluruh penjuru dunia; 4) Globalisasi sebagai westernisasi atau modernisasi yaitu sebuah dinamika, di mana struktur-struktur sosial modernitas (kapitalisme, rasionalisme, industrialisme, birokratisme, dan sebagainya disebarkan ke seluruh penjuru dunia; 5) Globalisasi sebagai penghapusan batas-batas teritorial yaitu mendorong rekonfigurasi geografis sehingga ruang sosial tidak lagi semata dipetakan dengan kawasan teritorial. Lihat Zubaedi, Isu-Isu Baru dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam dan Kapita Selekta Pendidikan Islam (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 97.
32
perdagangan ekonomi, sirkulasi yang lebih luas dari modal, barang dan produk, dan penghapusan kuasi-perbatasan nasional. Kecepatan komunikasi dan biaya yang relatif rendah pengolahan informasi telah menyebabkan jarak untuk dihilangkan. Kategori-kategori ruang dan waktu telah benarbenar terbalik. Model konsumsi, nilai-nilai, dan produkproduk budaya standar sehingga cenderung untuk membuat perilaku dan sikap lebih mirip dan menghapus perbedaan di seluruh dunia.10 Merujuk pada kondisi aktual yang merupakan satu kenyataan bahwa globalisasi harus dipahami sebagai kecenderungan, yakni kecenderunagn terjadi proses hubungan sosial dan ekonomi seluruh dunia, yang menghubungkan lokasi yang jauh satu sama lain secara intensif, sehinga kejadian-kejadian di satu tempat berpengaruh dan terjadi di tempat lain, jadi istilah globalisasi dapat dipergunakan sebagai petunjuk untuk merujuk pada kebijakan ekonomi dan menguatkan keyakinan pemerintah, sistem lembaga pendidikan dan sebagainya. Globalisasi diartikan sebagai fenomena untuk melihat deskripsi penggunaan istilah dan globalisasi sebagai keyakinan untuk pada fungsi yang menentukan peluang. 2. Dampak positif dan negatif globalisasi Globalisasi tampaknya tidak dapat dihindarkan oleh berbagai negara, banyak inisiatif dan upaya telah dilakukan untuk beradaptasi dengan globalisasi, hal ini dilakukan dengan tujuan mengambil peluang untuk mengembangkan potensi masyarakat luas, dalam beberapa tahun terakhir dan 10Bakhtiari Sadegh, Globalization and Education Challenges and Opportunities, h. 96.
33
juga peningkatan kekhawatiran internasional dengan dampak bahaya globalisasi terhadap perkembangan adat dan nasionalisme. Berbagai gerakan sosial telah dimulai oleh negara-negara maju terhadap ancaman globalisasi khususnya di negara-negara berkembang. Dampak negatif dari globalisasi meliputi berbagai jenis baik ekonomi, politik, pendidikan, dan budaya. Selanjutnya, mereka berpikir keras bagaimana memaksimalkan peluang dan manfaat dari globalisasi untuk mendukung perkembangan lokal dan mengurangi ancaman dan dampak negatif dari globalisasi, hal ini merupakan pekerjaan besar yang menjadi perhatian utama negara-negara berkembang.11 Berdasarkan uraian di atas, globalisasi adalah menciptakan kesempatan untuk berbagi pengetahuan, teknologi, nilai-nilai sosial, pendidikan dan norma-norma perilaku serta perkembangan, mereka mempromosikan diri pada tingkat individu, organisasi, masyarakat, dan warga di berbagai negara. Konsep yang mereka usungpun beragam, dan memiliki corak pasar yang bersaing. Secara khusus, keuntungan dari globalisasi dapat meliputi: a. Penguasaan berbagi pengetahuan, keterampilan, dan aset intelektual yang diperlukan untuk beberapa perkembangan pada tingkat yang berbeda; b. Dukungan mutu, melengkapi dan menguntungkan supaya menghasilkan sinergi untuk pengembangan berbagai negara, masyarakat, dan individu;
11Bakhtiari Sadegh, Globalization and Education Challenges and Opportunities, h. 96.
34
c. Menciptakan nilai dan meningkatkan efisiensi melalui berbagi mobilisasi global atas dan saling mendukung untuk melayani kebutuhan lokal dan pertumbuhannya; d. Mempromosikan pemahaman internasional, kerjasama, harmoni, dan penerimaan terhadap keanekaragaman budaya di seluruh negara dan wilayah; e. Memfasilitasi komunikasi, interaksi, dan mendorong multi-budaya kontribusi pada tingkat yang berbeda antar negara.12 Globalisasi, berpotensi menciptakan dampak negatif serius bagi negara berkembang dan negara terbelakang, hal ini juga merupakan alasan utama mengapa ada begitu banyak gerakan sosial yang sedang berlangsung di berbagai belahan dunia terhadap kecenderungan globalisasi khususnya di bidang ekonomi, politik, dan pendidikan. Dampak negatif dari globalisasi berbagai aspek, di antaranya penjajahan politik, ekonomi, pendidikan dan budaya, dan memiliki pengaruh besar terhadap negara-negara maju ke negaranegara berkembang dan meningkat pesat kesenjangannya, antara daerah kaya dan daerah miskin di berbagai belahan dunia. Secara khusus, dampak negatif globalisasi meliputi: a. Meningkatkan kesenjangan teknologi dan digital membagi antara negara maju dan negara-negara kurang berkembang b. Menciptakan peluang yang sah lebih untuk negara-negara maju untuk beberapa bentuk baru penjajahan negaranegara berkembang
12ILO, A Fair Globalization: Creating Opportunities for All (Geneva: International Labour Office, 2004), h. 12.
35
c. Meningkatkan kesenjangan dan konflik antara daerah dan budaya d. Mempromosikan nilai-nilai budaya yang dominan (budaya negatif) dari beberapa daerah maju.13 3. Pendidikan Islam dalam menghadapi era globalisasi Sebagaimana dipahami bahwa pendidikan Islam, baik secara kelembagaan maupun keilmuan, masih menghadapi persoalan-persoalan yang belum terpecahkan, dari persoalan manajemen, ketenagaan, sumber dana, infrastruktur dan kurikulum. Akibatnya mutu pendidikan Islam sangat rendah, juga dibarengi oleh para pengelola pendidikan Islam tidak lagi sempat dan mampu mengantisipasi terhadap adanya tantangan globalisasi yang menghadang. Pendidikan merupakan faktor utama yang dapat dijadikan referensi utama dalam rangka membentuk generasi yang dipersiapkan untuk mengelola dunia global yang penuh dengan tantangan. Demikian pula pendidikan Islam yang bercita-cita membentuk insan kamil yang sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah. Secara lebih spesifik pendidikan Islam adalah pendidikan yang berdasarkan Islam atau sistem pendidikan yang Islami, yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan serta disusun dari ajaran dan nilai fundamental yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadis. Sehingga pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang mendasarkan diri dan dibangun dari al-Qur’an dan Hadis.14 13T. Brown, Challenging Globalization as Discourse and Phenomenon (International Journal of Lifelong Education, 1995), h. 18.
14Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 4.
36
Memperhatikan pendefinisian di atas, pendidikan Islam sebagai upaya pengejawantahan nilai-nilai al-Qur’an dan Hadis, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pendidikan Islam berupaya menjadikan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah swt. yang diberikan kepadanya amanat sebagai ‘abd dan juga menjadi khalifah di muka bumi. Secara khusus, pendidikan Islam bermaksud untuk: a. Memberikan pengajaran al-Qur’an sebagai langkah pertama pendidikan. b. Menanamkan pengertian-pengertian berdasarkan pada ajaran-ajaran fundamental Islam yang terwujud dalam alQur’an dan Sunnah dan bahwa ajaran-ajaran tersebut bersifat abadi. c. Memberikan pengertian-pengertian dalam bentuk pengetahuan dan skill dengan pemahaman yang jelas bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan yang ada dalam masyarakat dan dunia. d. Menanamkan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis iman adalah pendidikan yang tidak utuh dan pincang. e. Menciptakan generasi yang memiliki kekuatan baik dalam keimanan maupun penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. f. Mengembangkan manusia islami yang berkualitas tinggi yang diakui secara universal.15 Mengingat betapa luhur tujuan pendidikan Islam tersebut, sudah menjadi sebuah kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk kembali kepada khiththah pendidikan Islamnya. Apalagi keberadaan pendidikan Islam di era globalisasi ini 15Bashori Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), h. 11.
37
harus mampu menjadi mitra perkembangan dan pertumbuhannya, bukan menjadi counter attack yang justru akan berseberangan dengan semakin pesatnya kemajuan. Era globalisasi ini akan terus berjalan maju dan tidak akan mengenal siapapun yang akan menjadi penikmatnya dan kemajuannya akan mampu menggilas dan menggerus apapun yang menghalanginya. Pendidikan Islam harus mampu menyiapkan sumber daya manusia yang dapat berfikir kritis dengan fokus dan tidak hanya sebagai penerima informasi global, tetapi juga harus memberikan bekal kepada peserta didik agar dapat mengolah, menyesuaikan, dan mengembangkan segala hal yang diterima melalui arus informasi tersebut, yakni manusia yang kreatif dan produktif.16 Efek negatif yang menyertai munculnya globalisasi yang harus dihadapi oleh pendidikan Islam,17 di antaranya persaingan bisnis yang sangat ketat, nilai-nilai agama sudah bergeser dan kabur, dekadensi moral, pergaulan remaja yang cenderung bebas, kebutuhan hidup yang tinggi sehingga sering merusak kelembagaan keluarga, penyalah gunaan obat, minum-minuman keras, dan penyakit sosial lainnya. Menghadapi problem yang demikian berat, pendidikan Islam tidak bisa menghadapinya dengan modelmodel pendidikan dan pembelajaran seperti yang sudah ada sekarang ini. Pendidikan Islam harus terus menerus 16Abudin Nata, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia (Bogor: Kencana, 2003), h. 78. 17Efek negative dari globalisasi harus di hadapi oleh agama yang mendidik kearah perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan hidup. Lihat Abdurrahman Assegap, Pendidikan Tanpa Kekerasan: Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), h. 150.
38
melakukan pembenahan dan inovasi serta bekerja keras untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada dan juga melakukan langkah-langkah baru ke arah kemajuan khususnya Sumber Daya Manusia.18 Berdasarkan pengembangan keilmuan, dari berbagai problem yang muncul di atas, jelas tidak bisa direspon hanya dengan ilmu-ilmu yang selama ini ada di lembaga pendidikan Islam seperti fiqih, ilmu kalam, tasawuf, aqidah akhlak, dan tarikh.19 Ilmu-ilmu tersebut, perlu diinterpretasi sehingga mampu menjawab persoalan aktual pada lingkungan hidup, seperti: global warning, datangnya industri, adanya pencemaran limbah beracun, penggundulan hutan, gedung pencakar langit, polusi udara, dan problem sosial antara lain banyaknya pengangguran, penegakan hokum, hak asasi manusia dan sebagainya. Arus global itu bukan lawan atau kawan bagi pendidikan Islam, melainkan sebagai dinamisator. Bila pendidikan Islam mengambil posisi anti global, maka akan macet tidak bergerak dan pendidikan Islam akan mengalami penutupan intelektual. Sebaliknya bila pendidikan Islam terseret oleh arus global, tanpa daya lagi identitas keislaman sebuah proses pendidikan akan dilindas. Pendidikan Islam harus memposisikan menarik ukur global, dalam arti yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam untuk diadopsi dan 18A.
Malik Fadjar (ed), Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 10. 19T. Raka Joni, Memicu Perbaikan Melalui Kurikulum Dalam Kerangka Pikir Desentralisasi dalam Sindunata (ed), Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 253. Lihat juga Donald Arstine, Philosophy of Education (New York: Harper and Row, 1976), h. 339.
39
dikembangkan, sedangkan yang tidak sesuai dengan nilainilai ajaran Islam diulurkan, dilepas dan ditinggalkan. Pendidikan Islam akan ketinggalan zaman, bila menutup diri (bersikap eksklusif) sedangakan membuka diri beresiko kehilangan jati diri atau kepribadian.20 Arus globalisasi dalam pendidikan Islam bisa menimbulkan paradoks atau gejala kontra moralitas, yakni pertentangan dua visi moral secara dianetral, contohnya guru menekankan dan mendidik para siswanya berdisiplin berlalu lintas tetapi realita di lapangan sopir bus tidak berlalu lintas dengan baik, guru mengajar anak didiknya untuk tidak dan menghindar tawuran antar pelajar akan tetapi siswa melihat dilayar televisi anggota DPR RI tidak bisa mengendalikan emosinya di mata bangsa, di sekolah diadakan razia pornografi di media televisi, internet menampilkan pornografi termasuk iklan-iklan yang merangsang hawa nafsu syahwat, dan lain-lain.21 Dampak globalisasi, langsung atau tidak, dapat membawa paradoks bagi praktik pendidikan Islam, seperti terjadinya kontra moralitas antara apa yang diidealkan dalam pendidikan Islam dengan realitas di lapangan berbeda, maka gerakan pembaruan dalam pendidikan Islam hendaknya melihat kenyataan kehidupan masyarakat lebih dahulu, sehingga ajaran Islam yang hendak dididikkan dapat landing dan sesuai dengan kondisi masyarakat setempat agar dapat dirasakan makna dan faedahnya, akan tetapi mengabaikan
20Mastuhu,
Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 2003), h. 126. 21Sudarman Danim, Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 64.
40
lingkungannya tentu akan kehilangan makna ibadah itu sendiri. Pendidikan Islam dalam tataran idealisme mengalami benturan nilai dengan peristiwa yang terjadi di berbagai belahan dunia, di mana dalam era global ini kita bisa langsung melihat layar televisi mengenai perang antar negara, kerusuhan massal, unjuk rasa yang anarkis, pemberontakan gerakan sparatis, dan lain-lain. Pendidikan Islam mengajarkan aurat kaum hawa apabila menginjak dewasa atau baligh, akan tetapi arus global non-Islami menciptakan sebaliknya yakni buka paha tinggi dan buka wilayah dada, sebagaimana yang ditayangkan di televisi dan internet, berupa pornografi dan pornoaksi, adalah trends modernitas.22 Sebagaimana diketahui bersama bahwa hadirnya media massa terutama televisi memberikan dampak tertentu kepada masyarakat kalangan remaja yang kadang kala menimbulkan efek dehumanisasi, demoralisasi. Tiga hal yang merupakan tema sentral hadirnya turbulensi arus global bagi pendidikan Islam dewasa ini adalah: life style, gaya makanan, gaya hiburan, dan gaya berpakaian (food, fun, and fashion). Apabila pendidikan Islam tidak berbuat dalam menghadapi perkembangan teknologi canggih dan modern tersebut, dapat dipastikan bahwa umat Islam akan pasif sebagai penonton bukan pemain, sebagai konsumen bukan produsen. C. Orientasi Pendidikan Islam di Era Globalisasi Orientasi pendidikan Islam yakni berusaha mengubah keadaan sesorang dari tidak tahu menjadi tahu, 22Sudarman Danim, Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan, h. 107-109.
41
dan dari tidak dapat berbuat menjadi dapat berbuat. Sehingga dengan pendidikan orang mengerti akan diri dan segala potensi kemanusiaanya, lingkungan masyarakat, alam sekitar dan yang lebih dari semua itu adalah dengan adanya pendidikan manusia dapat menyadari sekaligus menghayati keberadaannya di hadapan khaliknya. Berbicara pendidikan adalah berbicara keyakinan, pandangan dan cita-cita, tentang hidup dan kehidupan manusia dari generasi ke generasi, maka pengunaan istilah “Pendidikan Islam” atau penambahan kata Islam dibelakang kata “Pendidikan” pada kajian ini meniscayakan bahwa pendidikan Islam tidak dapat dipahami secara terbatas hanya kepada “Pengajaran Islam” mengingat keberhasilan pendidikan Islam tidak cukup diukur hanya dari segi seberapa jauh anak menguasai hal-hal yang bersifat kognitf atau pengetahuan tentang ajaran agama atau bentuk-bentuk ritual keagamaan semata. Justru yang lebih penting adalah seberapa jauh tertanam nilai-nilai keagamaan tersebut dalam jiwa dan seberapa jauh pula nilai-nilai tersebut mewujud dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari. Berangkat dari fenomena inilah menarik untuk ulasan selanjutnya perlu dijabarkan bagaimana pendidikan Islam dalam bingkai pengertian, fungsi dan tujuan pendidikan Islam itu sendiri. 1. Pengertian pendidikan Islam Berangkat dari pemikiran bahwa suatu usaha yang tidak mempunyai tujuan tidak akan mempunyai arti apa-apa. Ibarat seseorang yang bepergian tak tentu arah maka hasilnya adalah tak lebih dari pengalaman selama perjalanan. Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan sehingga dalam penerapannya ia tak kehilangan arah dan pijakan. 42
Namun sebelum masuk pada pembahasan mengenai fungsi dan tujuan pendidikan Islam terlebih dahulu perlu dijelaskan apa pengertian pendidikan Islam. Pendidikan Islam yaitu sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang berdasarkan kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah, maka tujuan dalam konteks ini terciptanya insan kamil setelah proses pendidikan berakhir.23 Muhammad Daud Ali, berpendapat bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh manusia untuk mengembangkan potensi manusia lain atau memindahkan nilai-nilai yang dimilikinya kepada orang lain dalam masyarakat. Proses pemindahan nilai itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya: (1) melalui pengajaran yaitu proses pemindahan nilai berupa (Ilmu) pengetahuan dari seorang guru kepada murid-muridnya dari suatu generasi kegenerasi berikutnya; (2) melalui pelatihan yang dilaksanakan dengan jalan membiasakan seseorang melakukan pekerjaan tertentu untuk memperoleh keterampilan mengerjakan pekerjaan tersebut; (3) melalui indoktrinnasi yang diselenggarakan agar orang meniru atau mengikuti apa saja yang diajarkan orang lain tanpa mengijinkan si penerima tersebut mempertanyakan nilai-nilai yang diajarkan.24
23Armai
Arif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 16. 24Muhammad
Daud Ali dan Hj. Habiba Daud, Lembagalembaga Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), h. 137.
43
Terkadang apabila ingin membahas seputar Islam dalam Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat menarik terutama dalam kaitannya dengan upaya pembangunan sumber daya manusia Muslim, sebagaimana Islam dipahami sebagai pegangan hidup yang diyakini mutlak kebenarannya akan meraih arah dan landasan etis serta moral pendidikan, atau dengan kata lain hubungan antara Islam dan pendidikan bagaikan dua sisi keping mata uang. Artinya, Islam dan pendidikan mempunyai hubungan filosofis yang sangat mendasar baik secara ontologis, epistimologis maupun aksiologis. Pemikiran di atas sejalan dengan falsafah bahwa sebuah usaha yang tidak mempunyai tujuan tidak akan mempunyai arti apa-apa. Ibarat seseorang yang bepergian tak tentu arah maka hasilnya adalah tidak lebih dari pengalaman selama perjalanan. Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan sehingga dalam penerapannya ia tak kehilangan arah dan pijakan, namun sebelum masuk dalam pembahasan mengenai fungsi dan tujuan pendidikan Islam terlebih dahulu perlu dijelaskan apa pengertian pendidikan Islam itu sendiri. A. Malik Fajar, mengemukakan bahwa pendidikan Islam paling tidak mempunyai tiga pengertian, yakni: (1) lembaga pendidikan Islam itu pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat mengejawantahkan nilai-nilai Islam yang tercermin dalam nama lembaga pendidikan itu dan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan; (2) lembaga pendidikan memberikan perhatian dan menyelenggarakan kajian tentang Islam yang tercermin dalam program sebagai ilmu yang diperlukan seperti ilmu-ilmu lain yang menjadi program kajian lembaga pendidikan Islam yang bersangkutan; (3) mengandung kedua pengertian di atas dalam arti lembaga tersebut 44
memperlakukan Islam sebagai sumber nilai bagi sikap dan tingkah laku yang harus tercermin dalam penyelenggaraannya maupun sebagai bidang kajian yang tercermin dalam program kajiannya.25 Konsep pendidikan Islam sebagaimana dikemukakan A. Malik Fajar tersebut, terkesan sederhana dan belum terlalu luas cakupannya, namun paling tidak konsep ini bisa diterapkan dalam upaya peningkatan sumber daya manusia melalui pencerminan penyelenggaraan pendidikan dan program kajian yang bernuansa Islami dalam proses pemindahan nilai-nilai yang dimiliki dan dapat di bawah ke masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa pendidikan Islam merupakan sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia yang seutuhnya, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang berdasarkan kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah, maka tujuan dan konteks ini terciptanya manusia seutuhnya “Insan Kamil”. Artinya bahwa pendidikan Islam adalah proses penciptaan manusia yang memiliki kepribadian serta berakhlak al-karimah “Akhlak Mulia” sebagai makhluk pengemban amanah di bumi. Pemahaman lain, bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang mampu menyiapkan kaderkader khalifah, sehingga secara fungsional keberadaannya menjadi pemeran utama terwujudnya tatanan dunia yang rahmatan lil–‘alamin. Ditambahkan lagi bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang berwawasan 25A. Malik Fajar, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta : Fajar Dunia, 1999), h. 31.
45
semesta, berwawasan kehidupan yang utuh dan multi dimensional, yang meliputi wawasan tentang Tuhan, manusia dan alam secara integratif. 2. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam Sebelum lebih jauh menjelaskan tujuan pendidikan Islam terlebih dahulu apa sebenarnya makna dari “tujuan” tersebut. Secara etimologi tujuan adalah “arah, maksud atau haluan.26 Terminologinya tujuan berarti sesuatu diharapkan tercapai setelah sebuah usaha atau kegiatan selesai. M. Arifin menyebutkan, bahwa tujuan proses pendidikan Islam adalah “idealitas” (cita-cita) yang mengandung nilai-nilai Islam yang hendak dicapai dalam proses kependidikan yang berdasarkan ajaran Islam secara bertahap.27 Secara umum, tujuan pendidikan Islam terbagi kepada: (1) tujuan umum adalah tujuan yag akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan baik pengajaran atau dengan cara lain; (2) tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam sebuah kurikulum; (3) tujuan akhir adalah tujuan yang dikehendaki agar peserta didik menjadi manusia sempurna (insan kamil); (4) tujuan oprasional adalah tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu. Sementara itu dalam Konferensi Internasional pertama tentang pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977 telah merumuskan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut: 26Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka 1995), h. 1077. 27M.
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 10-11.
46
“Pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional perasaan dan indera. Oleh karena itu pendidikan harus mencakup pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya: spritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individu maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan untuk mencapai kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukkan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia”.28 Konsep di atas sejalan dengan rumusan tujuan pendidikan Islam, yaitu meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengalaman anak tentang Islam, sehingga menjadi manusia Muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Berdasarkan konteks ini pendidikan Islam haruslah senantiasa mengorientasikan diri untuk menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat kita sebagai konsekuensi logis dari perubahan. Hal lain, dapat pula dikatakan, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah kepribadian muslim, yaitu sesuatu kepribadian yang seluruh aspeknya dijiwai oleh ajaran Islam. Orang yang dalam kepribadian muslim dalam al-Qur’an disebut “Muttaqin” karena itu pendidikan Islam berarti pula pembentukan manusia yang bertaqwa, sebagaimana konsep pendidikan nasional yang dituangkan dalam tujuan 28Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Cet. 1; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 57.
47
pendidikan nasional yang akan membentuk manusia pancasila yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan tujuan pendidikan di atas maka dengan sendirinya terimplisit fungsi pendidikan Islam. Fungsi pendidikan Islam adalah untuk menjaga keutuhan unsurunsur individu anak didik dengan mengoptimalkan potensinya dalam garis keridhaan Allah, serta mengoptimalkan perkembangannya untuk bertahan hidup terhadap aspek keterampilan setiap anak. Pendidikan Islam adalah pendidikan terbuka. Artinya Islam mengakui adanya perbedaan, akan tetapi perbedaannya yang hakiki ditentukan oleh amalnya. Pendidikan Islam pada dasarnya terbuka, demokratis, dan universal. Keterbukaan tersebut ditandai dengan kelenturan untuk mengadopsi (menyerap) unsurunsur positif dari luar, sesuai perkembangan dan kebutuhan masyarakatnya, dan tetap menjaga dasar-dasarnya yang original yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadis. Singkatnya, pendidikan Islam secara ideal berfungsi membina dan menyiapkan anak-anak dalam keluarga termasuk anak didik yang berilmu, berteknologi, berketerampilan tinggi dan sekaligus beriman dan beramal saleh. Penjabaran materi pendidikan Islam tidak hanya berkisar pada hal-hal yang berkaitan dengan masalah– masalah ubudiyah yang khas (khusus) seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain–lain, akan tetapi ubudiyah yang lebih umum dan luas, yaitu pengembangan ilmu sosial sehingga anak dapat berinteraksi dengan lingkungannya secara baik maupun pengembangan pengetahuan dan teknologi yang sangat bermanfaat dalam meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan.
48
D. Tantangan dan Peluang Pendidikan Islam di Era Globalisasi Tantangan globalisasi merupakan suatu kondisi kekinian sebagai akibat dari modernisasi. Kondisi tersebut harus dihadapi dan dilalui agar tercapai suatu keberhasilan. Tantangan tidak harus dimaknai sebagai sesuatu yang membuat sulit, atau kadang menghambat sesuatu yang ingin dicapai, tetapi tantangan adalah penggugah tekat untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah. Mastuhu mengemukakan bahwa beberapa tantangan yang dihadapi dunia pendidikan masa kini, yaitu globalisasi, kompleksitas, turbulence, dinamika, akselerasi, keberlanjutan dari yang kuno ke yang modern, koneksitas, konvergensi, konsolidasi, rasionalisme, paradoks global, dan kekuatan pemikiran.29 Selajutnya, Husni Rahim mengemukakan bahwa secara eksternal masa depan pendidikan Islam dipengaruhi oleh tiga isu besar, yaitu globalisasi, demokratisasi, dan liberalisme Islam.30 Sedangkan Haidar Putra Daulay menyebut globalisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan dekadensi moral sebagai tantangan pendidikan Islam masa kini dan masa depan.31 Ketiga pakar di atas berbeda dalam mengidentifikasi tantangan globalisasi karena berbeda sudut pandang yang digunakan. Mastuhu melihatnya dalam perspektif perubahan sosial, Husni Rahim mengamati menurut tinjauan politik, dan 275.
29Mastuhu,
Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, h. 273-
30Husni
Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 14. 31Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional, h. 139-141.
49
Haidar Putra Daulay melihatnya dalam sudut pandang perkembangan iptek. Tanpa bermaksud melakukan simplifikasi, Syahrin Harahap mencoba mengkategorikan ciri-ciri pergaulan global, yaitu: Pertama, terjadi pergeseran. Pergeseran yang dimaksud adalah pergeseran dari konflik ideologi dan politik ke arah persaingan perdagangan, investasi dan informasi; pergeseran dari keseimbangan kekuatan (balance of power) ke arah keseimbangan kepentingan (balance of interest). Kedua, hubungan antara negara/bangsa secara struktural berubah dari sifat ketergantungan (dependency) ke arah saling tergantung (interdependency); hubungan yang bersifat primordial berubah menjadi sifat tergantung kepada posisi tawar (bargaining position). Ketiga, batas-batas geografi hampir kehilangan arti operasionalnya karena ditentukan oleh kemampuan memanfaatkan keunggulan komparatif (comparative advantage) dan keunggulan kompetitif (competitive advantage). Keempat, persaingan antarnegara sangat diwarnai oleh perang penguasaan teknologi tinggi. Demikian juga terciptanya budaya dunia yang cenderung mekanistik, efisien, tidak menghargai nilai dan norma yang secara ekonomi tidak efisien.32 Ketika globalisasi dihadapkan dengan pendidikan Islam, terselip dua implikasi sekaligus, yakni peluang dan tantangan. Zubaedi menjelaskan, sebagai peluang, (globalisasi) satu sisi akan memudahkan pendidikan Islam untuk mengakses berbagai informasi dengan mudah. 32Syahrin Harahap, Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi (Cet. I; Yogyakarta: IAIN Sumatera Utara, 1998), h. 128-129.
50
Memudahkan pendidikan Islam untuk menyebarluaskan (diseminasi) produk-produk keilmuan yang memberikan manfaat seluas-luasnya bagi masyarakat. Selanjutnya sebagai ancaman, ternyata globalisasi tidak hanya mempengaruhi tatanan kehidupan pada tataran makro, namun juga mengubah tata kehidupan pada tataran mikro, misalnya terhadap ikatan kehidupan sosial masyarakat. Fenomena disintegrasi sosial, hilangnya nilai-nilai tradisi, lunturnya adat-istiadat, sopan santun, dan penyimpangan sosial.33 Dampak dalam konteks pendidikan pun tak kalah menarik untuk dicermati, munculnya pemalsuan ijazah, tradisi nyontek dikalangan siswa/mahasiswa, plagiasi skripsi, tesis, dan desertasi. Globalisasi akan memesatkan pengkomersilan pendidikan itu sendiri. Kelompok pengusaha pendidikan akan mengaut keuntungan melalui bidang pendidikan. Hal ini sangat disangsikan jika berketurusan tanpa kontrol dan pendidikan bisa terkorbankan. Dampak lainnya adalah penghayatan ilmu itu semakin terkikis, karena para pelajar hanya belajar ilmu saja tanpa menghayatinya. Belajar hanya untuk tujuan mendapat nilai ujian atau demi memenuhi tugas yang diberikan. Hal ini akan melahirkan generasi yang cerdik pandai tanpa diimbangi dengan menghayatan ilmu itu sendiri. Akibatnya, kemahiran yang mereka miliki mungkin akan digunakan untuk tujuan negatif seperti menipu dan sebagainya. Selain itu, globalisasi juga menumbuhkan gabungan ikatan primordial dengan sistem politik modern yang melahirkan nepotisme, birokratisme, dan otoriterisme. Frustasi eksistensial (existential frustation) juga menggejala 33Zubaedi, Isu-Isu Baru dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam dan Kapita Selekta Pendidikan Islam, h. 54.
51
yang dicirikan dengan hasrat yang berlebihan untuk berkuasa (the will to power), mengumpulkan uang (the will to money), untuk bekerja (the will to work), dan kenikmatan seksual (the will to sex).34 Tantangan utama globalisasi yang lain yang harus segera disikapi oleh pendidikan Islam yaitu: 1. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Pendidikan Islam saat ini sedang ditantang konstribusinya terhadap pembentukan peradaban dan budaya modern yang relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Dimensi ini, pendidikan Islam mengalami kemunduran fungsi (degradasi fungsional) karena pendidikan Islam lebih berorientasi pada aspek moral spiritual. Terdapat banyak pendapat yang mengatakan bahwa pendidikan Islam tidak terlalu fokus memprioritaskan aspek yang bersifat praktis dan pragmatis, seperti penguasaan teknologi. Akibatnya, pendidikan Islam tidak mampu bersaing pada level kebudayaan di tingkat global.35 Secara makro kondisi pendidikan Islam saat ini sudah ketinggalan zaman. Tertinggal karena kalah berpacu dengan perkembangan dan perubahan sosial budaya. Tertinggal sebab alumni yang hasilkan kalah bersaing dalam penguasaan iptek. Iptek dengan beragam kemajuan yang dibawanya bersifat fasilitatif terhadap kehidupan manusia.
h. 129.
34Syahrin
Harahap, Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi,
35M. Saleh A. Putuhena, “Kearah Rekonstruksi Sains Islam,” dalam Norman Said dkk, ed. Sinergi Agama dan Sains: Ikhtiar Membangun Pusat Peradaban Islam (Cet. I; Makassar: Alauddin Press, 2005), h. 106.
52
Artinya, iptek memberi fasilitas kemudahan bagi manusia, tetapi juga dapat merugikan.36 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam memandang perkembangan iptek sebagai tantangan yang harus dihadapi dan dikuasai, sehingga generasi muslim tidak tertinggal oleh kebudayaan yang berkembang. Konteks ini ada dua hal yang penting untuk dipikirkan, yaitu (1) bagaimana supaya perkembangan iptek tidak terlepas dari nilai-nilai ajaran Islam; (2) bagaimana pendidikan Islam dapat berkonstribusi bagi kemajuan iptek di masa depan. 2. Demokratisasi Demokratisasi merupakan isu lain yang mempengaruhi masa kini pendidikan Islam Indonesia. Tuntutan demokratisasi pada awalnya ditujukan pada sistem politik negara sebagai antitesa terhadap sistem politik yang otoriter. Selanjutnya perkembangan tuntutan ini mengarah kepada sistem pengelolaan berbagai bidang termasuk bidang pendidikan.37 Kehidupan demokrasi adalah kehidupan yang menghargai akan potensi individu. Artinya, bahwa setiap bentuk homogenisasi masyarakat adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip hidup demokrasi.38 Sehingga dalam bidang pendidikan semua warga negara memiliki hak yang 36Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual: Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim (Cet. 5; Bandung: Mizan, 1993), h. 70. 37Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2004), h. 15. 38H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21, h. 10.
53
sama untuk memperoleh pendidikan, juga memiliki kewajiban yang sama dalam membangun pendidikan nasional yang berkualitas. Demokratisasi pendidikan Islam menghendaki sistem pendidikan yang bersifat sentralistik, seragam, dan dependen, untuk beralih mengembangkan sistem pendidikan yang lebih otonom, beragam dan independen. 3. Bidang Budaya Bidang budaya (dalam arti yang luas) terjadi perkembangan yang luar biasa cepatnya, terutama dipacu oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.39 Pendidikan Islam yang menganjurkan silaturahmi face to face terpatahkan oleh menjamurnya media jejaring sosial seperti facebook dan twitter. Kalangan anak-anak dan remaja, terjangkit candu game online, lebih miris lagi, berkembang praktik cyberporn (pornografi lewat jaringan komputer).40 Berdasarkan paparan di atas, maka pendidikan Islam membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang handal, memiliki komitmen dan etos kerja yang tinggi, manajemen yang berbasis sistem dan infra-struktur yang kuat, sumber dana yang memadai, kemauan politik yang kuat, serta standar yang unggul.41
39M. Zainuddin dan Muhammad In’am Esha, Horison Baru Pengembangan Pendidikan Islam; Upaya Merespon Dinamika Masyarakat global, (Cet. I; Yogyakarta: Aditya Media, 2004), h. 132. 40Hasbi Indra, Pendidikan Islam Melawan Globalisasi (Cet. II; Jakarta: Rida Mulia, 2005), h. 72.
di
Era
41Abuddin
Nata, “Tantangan dan Peluang Pendidikan Islam Globalisasi” http:// fdi.uinjkt.ac.id/index.php/detail
54
Pendidikan Islam bukan sekedar proses penanaman nilai moral untuk membentengi diri dari akses negatif globalisasi, tetapi yang paling penting adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan sosial, budaya, dan ekonomi. Muhammad Tholchah Hasan dalam Marzuki Wahid mengemukakan tantangan pendidikan Islam yang harus dihadapi di era global ini adalah kebodohan, kebobrokan moral, dan hilangnya karakter muslim. Adapun beberapa tantangan yang ditimbulkan oleh globalisasi adalah : 1. Keberadaan publikasi informasi merupakan sarana efektif penyebaran isu, sehingga dapat menimbulkan saling kecurigaan di antara umat. 2. Aspek keperkasaan Barat dalam dominasi dan imperalisasi informasi, yang dapat menimbulkan sukularisme, kapitalisme, pragmatisme, dan sebagainya. 3. Pelaksanaan komunikasi informasi, ekspos persoalan seksualitas, peperangan, dan kriminal, berdampak besar pada pembentukan moral dan perubahan tingkah laku. 4. Lemahnya sumber daya Muslim sehingga di banyak hal harus mengimport produk teknologi Barat.42 Berdasarkan fenomena tersebut, jelas tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan dalam segala bentuk dan sistem baik bersifat personal maupun global bisa terjadi dalam hitungan waktu yang relatif sangat singkat. Hal ini artikel/10/tantangan_dan_peluang_pendidikan_islam_di_era_glob alisasi(Diakses pada 17 Mei 2014). 42Marzuki
Wahid, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi (Bandung: Pustaka Hidayah, 2011), h. 60.
55
merupakan sebuah tantangan yang mutlak dijawab oleh pendidikan Islam dengan tujuan dan cita-citanya yang luhur, walaupun pada dasarnya Islam sebagai sebuah sistem telah memberikan wacana tentang perubahan yang memang harus terjadi demi mencapai tujuan hidup manusia yang dijadikan landasan tujuan pendidikan Islam. Sebagaimana telah difirmankan Allah swt dalam QS al-Ra’d / 13 : 11. Sebagai berikut:
Terjemahnya: “…sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri …”.43 Berdasarkan ayat tersebut, Islam menganjurkan adanya perubahan yang positif dalam keadaan apapun sehingga mengarah pada kemajuan dan perbaikan. Pemahaman yang demikian perlu ditumbuhkembangkan pada cara berfikir peserta didik sebagai generasi ke depan. Memperluas wawasan dan membentuk sikap yang toleran terhadap berbagai perubahan dengan tanpa kehilangan pegangan dan pendirian, sebab perubahan yang terjadi merupakan sunnatullah. Mempertimbangkan beberapa tantangan pendidikan Islam di atas, telah memberikan sebuah inspirasi bahwa menyiapkan sumber daya manusia yang siap menghadapi tantangan adalah tugas pendidikan Islam. Hal itupun tidak terlepas dari berbagai peluang yang dapat 43Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Cet. III; Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2013), h. 250.
56
dijadikan sebagai jalan untuk membina generasi dan peserta didik untuk dapat bersaing dan berkiprah di era global yang tanpa batas. Menghadapi tantangan globalisasi seperti yang dikemukakan di atas, pendidikan Islam perlu melakukan langkah-langkah strategis dengan membenahi beberapa persoalan internal. Persoalan internal yang dimaksud adalah: (1) persoalan dikotomi pendidikan; (2) tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam; (3) persoalan kurikulum atau materi. Ketiga persoalan tersebut saling terkait antara satu dengan yang lain. 1. Menyelesaikan persoalan dikotomi Persoalan dikotomi ilmu agama dan ilmu umum melahirkan dualisme pendidikan, yaitu pendidikan Islam dan pendidikan umum. Dikotomi dan dualisme merupakan persoalan lama yang belum terselesaikan sampai sekarang. Seiring dengan itu berbagai istilah pun muncul untuk membenarkan pandangan dikotomis tersebut. Misalnya, adanya fakultas umum dan fakultas agama, sekolah umum dan sekolah agama. Dikotomi itu menghasilkan kesan bahwa pendidikan agama berjalan tanpa dukungan iptek, dan sebaliknya pendidikan umum hadir tanpa sentuhan agama. Pendidikan Islam harus menuju pada integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum. Fazlur Rahman menawarkan satu pendekatan untuk menyelesaikan persoalan dikotomi pendidikan yaitu dengan menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana yang berkembang
57
di dunia Barat dan mencoba untuk mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam.44 Ahmad Syafi'i Ma'arif mengatakan bila konsep dualisme dikotomik berhasil diselesaikan, maka dalam jangka panjang sistem pendidikan Islam akan berubah secara keseluruhan, mulai dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi. Pendidikan Islam melebur secara integratif dengan pendidikan umum. Peleburan bukan hanya dalam bentuk satu departemen saja, tetapi lebur berdasarkan kesamaan rumusan filosofis dan pijakan epistemologisnya.45 Upaya intergrasi keilmuan di Indonesia dapat dilihat dengan perubahan kelembagaan perguruan tinggi Islam dari insitut menjadi universitas, pada level madrasah dan pondok pesantren upaya ini diwujudkan dengan memasukkan mata pelajaran umum dalam kurikulum. 2. Revitalisasi tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam. Lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu mendesain ulang tujuan dan fungsinya. Berikut beberapa model pendidikan Islam di Indonesia: a. Pendidikan Islam mengkhususkan diri pada pendidikan keagamaan saja untuk mempersiapkan dan melahirkan ulama-mujtahid yang mampu menjawab persoalanpersoalan aktual atau kontemporer sesuai dengan perubahan zaman. 44Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, terj. Ahsin Mohammad, Islam dan Modernitas (Yogyakarta: Pustaka, 1985), h. 160.
45Ahmad
Syafi'i Ma'arif, “Pemikiran tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia,” dalam Muslih Usa, ed., Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 150.
58
b. Pendidikan Islam yang mengintegrasikan kurikulum dan materi-materi pendidikan umum dan agama, untuk mempersiapkan intelektual Islam yang berpikir secara komprehensif, contohnya madrasah.46 c. Pendidikan Islam meniru model pendidikan sekuler modern dan mengisinya dengan konsep-konsep Islam, contohnya sekolah Islam.47 d. Pendidikan Islam menolak produk pendidikan Barat. Hal ini berarti harus mendesain model pendidikan yang betulbetul orisinil dari konsep dasar Islam dan sesuai dengan lingkungan sosial-budaya Indonesia. e. Pendidikan agama tidak dilaksanakan di sekolah-sekolah saja, tetapi dilaksanakan di luar sekolah. Artinya, pendidikan agama dilaksanakan di rumah atau lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. 3. Reformasi kurikulum atau materi Materi pendidikan Islam terlalu didominasi masalahmasalah yang bersifat normatif, ritual dan eskatologis. Materi disampaikan dengan semangat ortodoksi keagamaan, tanpa ada peluang untuk melakukan telaah secara kritis. Pendidikan Islam tidak fungsional dalam kehidupan seharihari, kecuali hanya sedikit aktivitas verbal dan formal yang bersifat ritual.48 Konteks ini, materi pendidikan Islam secara garis besar diarahkan pada dua dimensi, yakni: (1) dimensi vertikal 46Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, h. 72. 47Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, h. 71. 48A. Malik Fajar, Madrasah dan Tantangan Modernitas (Bandung: Mizan, 1998), h. 5.
59
berupa ajaran ketaatan kepada Allah swt. dengan segala bentuk artikulasinya; (2) dimensi horizontal berupa pengembangan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam atau lingkungan sosialnya. Dimensi yang kedua ini dilakukan dengan mengembangkan materi pendidikan yang berorientasi pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tiga hal yang dikemukakan di atas merupakan tawaran desain pendidikan Islam yang perlu diupayakan untuk membangun pendidikan Islam yang bermutu di tengah kehidupan modern yang kompetitif. Ketiga hal tersebut masih membutuhkan unsur lain sebagai pendukung, seperti sumber daya kependidikan yang berkualitas, pendanaan yang memadai, dan lingkungan sosial yang kondusif. Selanjutnya, Marzuki Wahid mengemukakan bahwa peluang pendidikan Islam di era globalisasi ini dapat diperincikan sebagai berikut:49 1. Pendidikan semakin dituntut untuk tampil sebagai kunci dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia, yaitu manusia yang mempunyai wawasan, kemampuan dan ketrampilan serta kepribadian yang sesuai dengan kebutuhan nyata yang dihadapi umat. 2. Orientasi pada kemampuan nyata yang dapat ditampilkan oleh lulusan pendidikan akan semakin kuat, artinya menciptakan dunia kerja yang cenderung realistis dan pragmatis, di mana dunia kerja lebih melihat kompetensi nyata yang dapat ditampilkan. 3. Mutu pendidikan suatu komunitas atau kelompok masyarakat, tidak hanya diukur berdasarkan kriteria 49Marzuki Wahid, Pesantren Pemberdayaan dan Transformasi, h. 63.
60
Masa
Depan:
Wacana
internal saja, melainkan dibandingkan dengan komunitas lain yang lebih riil. 4. Apresiasi dan harapan masyarakat dunia pendidikan semakin meningkat, yaitu pendidikan yang lebih bermutu, relevan dan hasilnya pun dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari semakin meningkatnya kemakmuran masyarakat yang selalu ingin mendapatkan suatu yang lebih baik. 5. Sebagai komunitas atau masyarakat religius, yang mempunyai keimanan dan tata nilai, maka pendidikan yang diinginkan adalah pendidikan yang mampu menanamkan karakter Islami di samping kompetensi lain yang bersifat akademis dan skill. Berdasarkan uraian di atas, menurut hemat penulis sepertinya pendidikan Islam berada pada suatu posisi sehingga dapat berperan aktif di era global. Namun hal tersebut harus dilandasi beberapa syarat yang dapat menjadikan lebih eksisnya endidikan Islam di era globalisasi dan gencarnya pertumbuhan teknologi informasi yang ada. Adapun syarat-syarat tersebut antara lain: Pertama, pendidikan Islam harus ikut serta sebagai pendukung keberadaan era ini, dengan berusaha memanfaatkan segala informasi yang berkembang dan berperan dalam menanggulangi segala dampak negatif yang di timbulkan. Kedua, pendidikan Islam seyogyanya selalu berusaha memanfaatkan sumber daya elektronika yang telah menjadi media utama transformasi informasi. Mengembangkannya dengan berbagai bentuk informasi positif yang dapat menjadi bahan pelajaran dan materi ajar yang diperlukan, seperti pengembangan E-learning, E-book, tafsir digital dan lain sebagainya. 61
62
BAB III KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL A. Pendahuluan Keragaman dan perbedaan merupakan desain Tuhan (sunatullah) yang tidak dapat dielakkan dari panggung kehidupan, conditio sine qou non.1 Pepatah Arab menyebutnya sebagai min lawazim al-hayah (keniscayaan hidup). Kehadirannya akan senantiasa ada. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt. dalam QS al-Hujurat /49:13. Sebagai berikut:
Terjemahnya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.2 1Ahmad Asroni, “Membendung Radikalisme Islam: Upaya Merajut Kerukunan Antar Umat Beragama”, dalam Erlangga Husada, dkk., Kajian Islam Kontemporer(Jakarta:Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2007), h. 36. 2Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Cet. III; Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2013), h. 517.
63
Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia diciptakan secara berbeda-beda dan yang aling mulia hanya dengan ketaqwaannya. Kendati demikian, ternyata nilai-nilai pluralitas dan multikulturalitas kurang cukup diapresiasi oleh kebanyakan orang. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya individu yang ingin meniadakan kebhinekaan, menggantinya dengan ketunggalan dan keseragaman. Kekerasan, terorisme, dan peperangan dengan mengatasnamakan agama dan etnisitas adalah beberapa contoh tindakan yang menghendaki keseragaman. Indonesia adalah sebuah bangsa yang majemuk dihuni oleh sekitar 230 juta manusia dengan beragam agama, etnis, bahasa, dan budaya.3Indonesia merupakan salah satu negara yang multikultural terbesar di dunia, kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari sosio kultur maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Keragaman ini diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai macam persoalan seperti yang sekarang dihadapi bangsa ini. Seperti korupsi, kolusi, nepotisme, premanisme, perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan, separatisme, perusakan lingkunghan dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghargai hak-hak orang lain adalah bentuk nyata dari multikulturalisme. 3Bukti
bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang majemuk (plural) dapat dilihat dari kondisi sosio-kulturalgeografis Indonesia yang beragam. Tercatat, jumlah pulau yang ada di Indonesia kurang lebih sekitar 17.000 pulau, baik pulau besar maupun kecil. Populasinya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu, penduduk Indonesia menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu serta bermacam-macam aliran kepercayaan. M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), h. 4.
64
Berdasarkan permasalahan seperti di atas, pendidikan multikultural menawarkan satu altrnatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan berbasis pemanfaatan keragaman yang ada dimasyarakat. Misalnya keragaman etnis, budaya, bahasa ,agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan ras. Pendidikan multikultural merupakan alternatif baru di dalam sistem pendidikan di Indonesia. Pendidikan multikultural seyogyanya memfasilitasi proses pembelajaran yang mengubah perspektif monokultural yang esensial, penuh prasangka dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleransi, dan sikap terbuka (inklusif). Perubahan paradigma semacam ini menuntut transformasi yang tidak hanya terbatas pada dimensi kognitif belaka. lebih dari itu, juga menuntut perubahan pada dimensi afektif dan psikomotorik.4 Pendidikan multikultural merupakan gejala baru dalam pergaulan umat manusia yang mendambakan persaman hak, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama untuk semua orang. Penerapan strategi dan konsep pendidikan multikultural yang terpenting dalam strategi ini tidak hanya bertujuan agar supaya siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi juga akan menigkatkan kesadaran mereka agar selalu berperilaku humanis, pluralis dan demokratis. Melihat fenomena tersebut pendidikan di Indonesia haruslah peka mengahadapi perputaran globalisasi, pengalaman pahit masa lalu tidak perlu terulang kembali, 4Choirul Mahfud, Pendidikan Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 17.
65
Multikultural(Cet.
VI;
untuk itu perlu pendidikan multikultural sebagai jawaban atas beberapa problematika kemajemukan tersebut. Oleh sebab itu, penulis berusaha menjabarkan sedikit wawasan tentang konsep pendidikan multikultural. Model pendidikan multikultural di dalam bab ini dibahas secara teoretis mulai dari bagaimana hakikat pendidikan multicultural, bagaimana paradigma pendidikan multikultural di Indonesia, bagaimana pendidikan multikultural dalam perspektif Islam? B. Hakikat Pendidikan Multikultural 1. Pengertian Pendidikan Multikultural Sebagai sebuah wacana baru, pengertian pendidikan multikultural sesungguhnya hingga saat ini belum begitu jelas dan masih banyak pakar pendidikan yang memperdebatkannya. Namun demikian, bukan berarti bahwa definisi pendidikan multikultural tidak ada atau tidak jelas. Sebetulnya, sama dengan definisi pendidikan yang penuh penafsiran antara satu pakar dengan pakar lainnya di dalam menguraikan makna pendidikan itu sendiri. Hal ini juga terjadi pada penafsiran tentang arti pendidikan multikultural. James Banks dalam Choirul Mahfud, mendefinisikan pendidikan multikutural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan). Kemudian, bagaimana seseorang mampu mensikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter.5 Jadi, pendidikan multikultural adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian tentang berbagai macam status sosial, ras, suku, agama agar tercipta 5Choirul
Mahfud, Pendidikan Multi Kultural, h. 175.
66
kepribadian yang cerdas dalam menghadapi masalahmasalah keberagaman budaya. Sonia Nieto mengemukakan bahwa pendidikan multikultural merupakan proses pendidikan yang komprehensif dan mendasar bagi semua peserta didik. Model pendidikan ini menentang segala bentuk rasisme dan bentuk diskriminasi di sekolah, masyarakat dengan menerima serta mengafirmasi pluralitas (etnik, ras, bahasa, agama, ekonomi, jender, dan lain sebagainya) yang terefleksikan di antara peserta didik, komunitas mereka, dan guru-guru. Lebih lanjut menurutnya, pendidikan multikultural ini haruslah melekat dalam kurikulum dan strategi pengajaran, termasuk juga dalam setiap interaksi yang dilakukan di antara para guru, siswa, dan keluarga serta keseluruhan suasana pembelajaran.6 Sementara itu, Bikkhu Parekh mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai sebuah pendididikan yang bebas dari prasangka dan bias entosentris serta bebas untuk mengeksplorasi dan mempelajari berbagai budaya dan perspektif lain.7 Menurut perspektif Azyumardi Azra, pendidikan multikultural merupakan suatu model pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam merespons perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.8 6Sonia
Nieto, Language, Culture, and Teaching (Mahwah, NJ: Lawrence Earlbaum, 2002), h. 29. 7Bikkhu Parekh, Rethingking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge: Harvard University Press, 2000), h. 230.
8Azyumardi
Azra, “Merayakan Kemajemukan, Merawat Indonesia”, Makalah disampaikan pada Orasi Budaya, Institute for Multiculturalism and Pluralism Studies (IMPULSE), di
67
Selanjutnya, Musya Asy’arie mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai proses penanaman cara hidup menghargai, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.9 Demikian halnya, Tilaar mengatakan bahwa pendidikan multikultural adalah suatu wacana yang lintas batas, karena terkait dengan masalah-masalah keadilan sosial (social justice), demokarasi dan hak asasi manusia.10 Secara singkat Andersen dan Custer dalam H.A Dardi Hasyim & Yudi Hartono mengatakan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan mengenai keragaman budaya.11 Sedangkan Zakiyuddin Baidhawy menyatakan bahwa pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengahtengah masyarakat plural.12 Berdasarkan uraian tersebut di atas, definisi yang disampaikan Zakiyuddin Baidhawy adalah definisi yang digunakan sesuai dengan kondisi Indonesia. Auditorium Kanisius, Yogyakarta, pada 30 Agustus 2007. Lihat pula Mashadi Imron, Pendidikan Agama Islam Dalam Persepektif Multikulturalisme (Jakarta: Balai Litbang Agama, 2009), h. 48. 9Musya
Asy’arie, “Pendidikan Mulikultural dan Konflik Bangsa”, http//www.64.2 03.71. 11/kompas/cetak/0409/03/ opini/1246546.htm. (Diakses pada 10 Mei 2014). 10H.A.R Tilaar,Kekusaan Dan Pendidikan Suatu Tinjauan Dan Persepektif Studi Kultural (Jakarta: IndonesiaTeras, 2003), h.167. 11H.A
Dardi Hasyim&Yudi Hartono, Pendidikan Multikultural di Sekolah (Surakarta: UPT penerbitan dan percetakan UNS, 1994 ), h. 28. 12Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (Jakarta: PT Erlangga, 2005), h. 8.
68
Hilda Hernandez dalam Choirul Mahfud mengartikan pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekomomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan.13 Hal ini berarti bahwa ruang pendidikan sebagai media transformasi ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) hendaknya mampu memberikan nilai-nilai multikulturalisme dengan cara saling menghargai dan menghormati atas realitas yang beragam (plural), baik latar belakang maupun basis sosio budaya yang melingkupinya. Pemikiran tersebut sejalan dengan pendapat Paulo Freire (pakar pendidikan pembebasan), bahwa pendidikan bukan merupakan “menara ganding” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan, menurutnya harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.14 Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang menawarkan satu alternatif melalui implementasi strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang terdapat dalam masyarakat, khususnya yang ada pada peserta didik seperti pluralitas etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, jender, 13Choirul 14Lihat
2000), h. 21.
Mahfud, Pendidikan Multikultural, h. 176.
Paulo Freire, Pendidikan Pembebasan(Jakarta: LP3S,
69
kemampuan, umur, dan ras. Strategi pendidikan ini tidak hanya bertujuan supaya peserta didik mudah memahami pelajaran yang dipelajarinya, namun juga untuk meningkatkan kesadaran mereka agar senantiasa berperilaku humanis, pluralis, dan demokratis. Hal terpenting yang perlu digarisbawahi dalam praktek pendidikan multikultural bahwa seorang guru tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mata pelajaran yang diajarkan, namun seorang guru juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme. Pendidikan multikultural merupakan model pendidikan yang menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada peserta didik seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan ras, maka perlu mempertimbangkan beberapa hal, sebagaimana yang dikemukakan Tilaar,15 sebagai berikut: Pertama, pendidikan multikultural secara inhern sudah ada sejak bangsa Indonesia ini ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah bhineka tunggal ika, suka gotong royong, membantu, dan menghargai antar satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat dilihat dalam potret kronologis bangsa ini yang sarat dengan masuknya berbagai suku bangsa asing dan terus berakulturasi dengan masyarakat pribumi. Misalnya etnis cina, etnis arab, etnis afrika dan sebagainya. Semua suku itu ternyata secara kultural telah mampu 15Lihat H.A.R.Tilaar, Manajemen (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), h. 35.
70
Pendidikan
Nasional
beradaptasi dengan suku-suku asli negara Indonesia. Misalnya suku jawa, batak, bugis, makassar, tolaki, dayak, dan suku lainnya. Kedua, pendidikan multikultural memberikan secercah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Pendidikan multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan, heterogenitas, pluralitas dan keragaman, apapun aspeknya dalam masyarakat. Pendidikan multikultural tidak menjadikan semua manusia sebagai manusia yang bermodel sama, kepribadian yang sama, berintelektual yang sama, atau bahkan berkepercayaan yang sama pula. Ketiga, pendidikan multikultural menentang pendidikan yang bererintasi bisnis. Pada saat ini, lembaga pendidikan baik sekolah atau perguruan tinggi berlombalomba menjadikan lembaga pendidikannya sebagai sebuah institusi yang mampu menghasilkan income yang besar, dengan alasan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada peserta didik. Padahal semua orang tahu, bahwa pendidikan yang sebenarnya bagi bangsa Indonesia bukanlah pendidikan keterampilan belaka, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan yang sering dikenal dengan nama kecerdasan ganda (multipleintelligence). Keempat, pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasan. Kekerasan muncul ketika saluran kedamaian sudah tidak ada lagi. Kekerasan tersebut sebagai akibat dari akumulasi berbagai persoalan masyarakat yang tidak terselesaikan secara tuntas dan saling menerima. Ketuntasan penyelesaian berbagai masalah masyarakat adalah prasyarat bagi munculnya kedamaian. Fanatisme yang sempit juga bisa 71
meyebabkan munculnya kekerasan. Fanatisme ini juga berdimensi etnis, bahasa, suku,agama, atau bahkan sistem pemikiran baik di bidang pendidikan, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.16 Konsep pendidikan multikultural merupakan respons terhadap perkembangan keragaman hak bagi setiap kelompok. Dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian. Sedangkan secara luas, pendidikan multikultural mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok seperti gender, etnis, ras, budaya, strata sosial dan agama. 2. Pendekatan Pendidikan Multikultural Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural antara lain sebagai berikut. a. Pendekatan ini memandang bahwa perubahan dalam pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atau pendidikan multikultural dengan menggunakan program-program sekolah formal sangat efektif, misalnya dimasukkan dalam kurikulum pembelajaran, 16Pertimbangan-pertimbangan
itulah yang barang kali perlu dikaji dan direnungkan ulang bagi subjek pendidikan di Indonesia. salah satunya dengan mengembangkan model pendidikan multikultural. Yaitu pendidikan yang mampu mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran, dan saling menghargai. Inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian, kesejahteraan, kebahagian, dan keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia. Lihat H.A.R.Tilaar, Multikulturalisme tantangan-tantangan global masa depan dalam transformsi pendidikan nasional (Jakarta: Grasindo, 2004), h. 66-67.
72
khususnya pada pembelajaran pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai jalur kebudayaan membebaskan pendidik bahwa tanggungjawab primer dalam mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan semua peserta didik. Semakin banyak pihak yang bertanggungjawab karena program-program sekolah terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah. Misalnya, mengadakan festival kebudayaan tiap-tiap daerah di Indonesia. b. Menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Secara tradisional, para pendidik menjelaskan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial daripada dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun programprogram pendidikan multikultural untuk menghilangkan kecenderungan memandang peserta didik secara sebelah mata menurut identitas etnik, dan akan meningkatkan pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan peserta didik dari berbagai kelompok etnik. c. Pengembangan kompetensi di dalam suatu kebudayaan baru biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok merupakan menghambat sosialisasi dalam kebudayaan baru. 73
d. Pendidikan multikultural yang baik di dalam sekolah maupun luar sekolah meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini akan menjauhkan dari konsep dwi budaya antara pribumi dan non-pribumi. Semacam ini dapat bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pendalaman moral manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri peserta didik. Kajian yang lebih spesifik dan mengarah pada pendidikan dan proses pendidikan, pendidikan multikultural dimaknai sebagai konsep kebermaknaan perbedaan secara unik pada tiap orang dan masyarakat. Kelas disusun dengan anggota makin kecil sehingga tiap peserta didik memperoleh peluang belajar semakin besar sekaligus menumbuhkan kesadaran di antara peserta didik. Selanjutnya tahap pendekatan ini dapat menumbuhkan kesadaran akan makna multikultural. 3. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Multikultural Tujuan pendidikan multikultural ada dua, yakni tujuan awal dan tujuan akhir. Tujuan awal merupakan tujuan sementara karena tujuan ini hanya berfungsi sebagai perantara agar tujuan akhirnya tercapai dengan baik. Tujuan awal pendidikan multikultural yaitu membangun wacana pendidikan, pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan dan peserta didik. Harapannya adalah apabila mereka mempunyai wacana pendidikan multikultural yang baik maka kelak mereka tidak hanya mampu untuk menjadi transformator pendidikan multikultural yang mampu menanamkan nilai-nilai pluralisme, humanisme dan 74
demokrasi secara langsung di sekolah kepada para peserta didiknya.17 Sedangkan tujuan akhir pendidikan multikultural adalah peserta didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran yang dipelajarinya akan tetapi diharapkan juga bahwa para peserta didik akan mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis dan humanis. Karena tiga hal tersebut adalah ruh pendidikan multikultural. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa pendidikan multikultural bertujuan agar peserta didik dapat menghormati keanekaragaman budaya yang ada dan mendorong mereka secara nyata untuk dapat mengenali dan melenyapkan kecurigaan serta diskriminasi yang telah ada. Pada intinya pendidikan multikultural mempunyai dua fokus persoalan, yaitu: a. Proses pendidikan yang menghormati, mengakui dan merayakan perbedaan di semua bidang kehidupan manusia. Pendidikan multikultural merangsang anak terhadap kenyataan yang berkembang di masyarakat, yang berupa pandangan hidup, kebiasaan, kebudayaan, yang semuanya telah memperkaya kehidupan manusia. b. Proses pendidikan yang menerapkan persamaan keseimbangan dan HAM, menentang ketidakadilan, diskriminasi, dan menyuarakan nilai-nilai yang membangun keseimbangan.18 17Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, h. 109. 18Lihat Dody S. Truna, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme: Telaah Kritis atas Muatan Pendidikan Multikulturalisme dalam Buku Ajar Pendidian Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum di Indonesia (Jakarta: Kementerian Agama RI., 2010), h. 120-122.
75
Hal senada, Setyo Raharjo mengatakan tujuan pendidikan multikultural adalah: “Membantu anak didik dalam mengembangkan pemahaman dan sikap secara memandai terhadap masyarakat yang beraneka ragam budaya. Anak didik memiliki budaya sendiri yang hakiki, namun tetap memberikan andil terhadap kesejahteraan masyarakat. Mengembangkan pendidikan yang wajar, tanpa memandang perbedaan, membantu peserta didik untuk berpartisipasi dalam suasana kultur yang berbeda. Membantu anak didik dalam memberdayakan potensi yang optimal”.19 Pendidikan multikultural harus memperhatikan beberapa hal antara lain: Pengajaran nilai yang mendukung keberagaman budaya dan keunikan individu. Peningkatan perluasan kualitatif keberadaan budaya etnis dan kerjasama dalam kehidupan sosio ekonomis dan politik, mendukung alternatif pemunculan gaya hidup dan peningkatan pemahaman multikultural, multi bahasa dan multi dialektika. Konteks kehidupan berbangsa yang serat dengan kemajemukan dalam berbagai bidang misalnya: suku, ras, golongan, agama, bahasa daerah, dan kepentingan, maka pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola secara kreatif, sehingga konflik dapat terhindarkan dan dapat dikelola dengan cerdas. Pendidikan multikultural dapat dijadikan pencerahan dalam kehidupan berbangsa ke masa depan yang lebih baik.
19Setyo
Raharjo, “Mengimplementasikan Pendidikan Multikultural di Sekolah” Jurnal Ilmiah Guru “COPE” No. 02/Tahun VI/Desember 2002. h. 27
76
Menurut pandangan penulis, dalam konteks pembelajaran, pendidikan multikultural bertujuan untuk transformasi pembelajaran kooperatif di mana dalam proses pembelajaran setiap individu mempunyai kesempatan yang sama. Sedangkan, transformasi pembelajaran kooperatif itu sendiri mencakup pendidikan belajar mengajar, konseptualisasi dan organisasi belajar. Belajar kooperatif mengandung pengertian sebagai suatu strategi pembelajaran yang menggunakan kelompok kecil, di mana pembelajar bekerja bersama, belajar satu sama lain, berdiskusi dan saling membagi pengetahuan, saling berkomunikasi, saling membantu untuk memahami materi pembelajaran, sehingga dalam pembelajaran kooperatif setiap anggota kelompok bertanggungjawab terhadap keberhasilan setiap anggota kelompoknya. Berdasar tujuan pendidikan multikultural tersebut, pendidikan multikultural berupaya mengajak warga pendidikan untuk menerima perbedaan yang ada pada sesama manusia sebagai hal-hal yang alamiah (natural sunatullah). Selain itu, pendidikan multikultural menanamkan kesadaran kepada peserta didik akan kesetaraan (equality), keadilan (justice), kemajemukan (plurality), kebangsaan, ras, suku, bahasa, tradisi, penghormatan agama, menghendaki terbangunnya tatanan kehidupan yang seimbang, harmonis, fungsional dan sistematik dan tidak menghendaki terjadinya proses diskriminasi, kemanusiaan (humanity), dan nilai-nilai demokrasi (democration values) yang diperlukan dalam beragam aktivitas sosial.20 20Suprapto,
Penanaman Dan Sikap Guru Pendidikan Agama Islam Terhadap Nilai-Nilai Multikultural Jurnal penelitain pendidikan agama dan keagamaan. Vol VII,No 1, Januari-Maret 2009.
77
Adapun fungsi pendidikan multikultural, Zakiyuddin Baidhawy mengatakan bahwa akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yakni kebudayaan memiliki nilai dan kedudukan yang sama dengan setiap kebudayaan lain dengan melihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia.21 Multikultural mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan usaha, HAM., hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu prodiktivitas. Muktikulturalisme ini akan menjadi acuan utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dan kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat mempunyai kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mozaik. Multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang kebudayaan. Tilaar mengatakan bahwa pendidikan multikulturalisme perlu di tumbuh kembangkan, karena potensi yang dimiki Indonesia secara kultural, tradisi, dan lingkungan geografi serta demografis sangat luar biasa. Ia menambahkan bahwa pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti (defference),
21LihatZakiyuddin Baidhawy, Berwawasan Multikultural, h. 4.
78
Pendidikan
Agama
atau politik pengakuan (politics of recognition) terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.22 Pendidikan multikultural di sini juga dimaksudkan bahwa manusia dipandang sebagai makhluk makro dan sekaligus makhluk mikro yang tidak akan terlepas dari akar budaya bangsa dan kelompok etnisnya. Akar makro yang kuat akan menebabkan manusia tidak pernah tercerabut dari akar kemanusiaannya. Sedangkan akar mikro yang kuat akan menyebabkan manusia mempunyai tempat berpijak yang kuat, dengan demikian tidak mudah diombangambingkan oleh perbuatan yang amat cepat, yang menandai kehidupan modern dan pergaulan dunia global.23 Proses untuk mewujudkan multikulturalisme dalam dunia pendidikan, maka pendidikan multikultural perlu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan nasional, yang pada akhirnya dapat menciptakan tatanan masyarakat Indonesia yang multikultural, serta upaya-upaya lain yang dapat dilakukan guna mewujudkannya. Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya yang kerap terjadi di masyarakat Indonesia yang secara realitas plural. C. Paradigma Pendidikan Multikultural Indonesia merupakan bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau pluralis. Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu horizontal dan vertikal. Perspektif horizontal, menjelaskan bahwa 22H.A.R.
Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2002), h. 498. 23Ali Maksum & Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal, h. 190-192.
79
kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian, makanan dan budayanya. Sementara, dalam perspektif vertikal, kemajemukaan bangsa Indonesia dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan dan tingkat sosial budaya.24 Kemajemukan adalah ciri khas bangsa Indonesia. Seperti diketahui bahwa negara Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau terbesar di dunia, yang mencapai 17.667 pulau besar dan pulau kecil. Jumlah pulau sebanyak itu maka wajarlah jika kemajemukan masyarakat di Indonesia merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dielakkan.25 Kemajemukan suatu masyarakat dapat memberikan side effect (dampak) secara positif. Namun, pada sisi lain, ia juga menimbulkan dampak negatif, karena faktor kemajemukan itulah terkadang sering menimbulkan konflik antarkelompok masyarakat. Pada akhirnya, konflik-konflik antarkelompok masyarakat tersebut akan melahirkan
24Usman Pelly dan Asih Menanti, Teori-Teori Sosial Budaya (Jakarta: Dirjen Depdikbud, 1994), h. 68. 25Perlu
disadari bahwa perbedaan dengan kemajemukan tersebut merupakan karunia dan anugerah Allah swt. Karena itulah Usman Pelly menyatakan bahwa, meskipun setiap warga negara Indonesia (WNI) berbicara dalam satu bahasa nasional yakni bahasa indonesia, namun kenyataannya terdapat 350 kelompok etnis, adat istiadat, dan cara-cara sesuai dengan kondisi lingkungan tertentu. Lihat Usman Pelly, Kualitas bermasyarakat: Sebuah Studi Peranan Etnis dan Pendidikan dalam Keserasian Sosial (Medan: Proyek Kerja Sama Kantor Meneg KLH-IKIP Medan, 1988), h. 13. Lihat juga dalam Ali Maksum & Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal (Yogyakarta: IRCiSoD, 2004), h. 190-192.
80
distabilitas keamanan, sosio-ekonomi, dan ketidakharmonisan sosial (social disharmony). Pakar pendidikan, Syafri Sairin dalam tulisannya yang berjudul “Telaah Pengelolaan Keserasian Sosial dari Literatur Luar Negeri dan Hasil Penelitian Indonesia” memetakan akar-akar konflik dalam masyarakat majemuk, adalah sebagai berikut: 1. Perebutan sumber daya, alat-alat produksi, dan kesempatan ekonomi (acces to economic resoutces and to means of production); 2. Perluasan batas-batas sosial budaya (sosial and cultural borderline expansion); 3. Benturan kepentingan politik, ideologi, dan agama (comflict of political, ideology, and religious interest).26 Menghadapi pluralisme budaya tersebut, diperlukan suatu paradigma baru yang lebih toleran, yaitu paradigma pendidikan multikultural. Pendidikan berparadigma multikulturalisme tersebut penting, sebab akan mengarahkan peserta didik untuk bersikap dan berpandangan toleran dan inklusif terhadap realitas masyarakat yang beragam, baik dalam hal budaya, suku, ras, etnis maupun agama. Paradigma ini dimaksudkan bahwa, hendaknya ada apresiatif terhadap budaya orang lain, perbedaan dan keberagaman merupakan kekayaan dan khazanah bangsa Indonesia. Berdasarkan pandangan tersebut, diharapkan sikap ekslusif yang selama ini bersemayam dalam otak dan sikap membenarkan pandangan sendiri (truth claim) dengan
26Syafri
Sairin, Telaah Pengelolaan Keserasian Sosial dari Literatur Luar Negeri dan Hasil Penelitian Indonesia (Jakarta: Kerja Sama Meneg. KLH dan UGM, 1992), h. 66.
81
menyalahkan pandangan dan pilihan orang lain dapat dihilangkan atau paling tidak diminimalisir. Paradigma pendidikan multikultural dalam konteks ini memberi pelajaran kepada kita untuk memiliki apresiasi respek terhadap budaya dan agama-agama orang lain. Atas dasar ini maka penerapan multikulturalisme menuntut kesadaran dari masing-masing budaya lokal untuk saling mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya yang dibalut semangat demokratisasi, kerukunan, dan perdamain. Paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari pasal 4 ayat 1 UndangUndang RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif, dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.27 Berdasarkan Undang-Undang RI tersebut, konsep pendidikan di Indonesia telah mengakomodir pendidikan multikultural sebagai salah satu konsep dalam meminimalisir terjadinya diskriminatif, dan ketidakadilan terutama dalam mendapatkan pendidikan dan pengajaran, serta upaya dalam menanamkan sikap simpatik, respek, apresiasi, dan empati terhadap orang lain. Banyak bukti di negeri ini, tentang kerusuhan dan konflik yang berlatarbelakang SARA (suku, adat, ras, dan agama), sekaligus sangat memilukan bahkan “sangat memalukan” di negeri yang multikultur ini. Sebut saja misalnya pengeboman di Bali, konflik berbau suku, agama, 27Republik
Indonesia, Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional)(UU RI No. 20 Th. 2003) Cet. V; Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 7.
82
ras, dan antargolongan (SARA) di Ambon dan Palu, konflik etnis di Sambas dan sampit, pembakaran masjid milik jamaah Ahmadiyah di berbagai daerah di Indonesia, penyerangan jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, kerusuhan dan perusakan sejumlah gereja di Temangggung, Jawa Tengah, penyerangan terhadap pondok pesantren yang diduga beraliran Syiah di Pasuruan dan Sampang Jawa Timur, teror “bom buku” ke sejumlah tokoh, “bom Jum’at” di Mapolres Cirebon, bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Solo, serta penembakan polisi di Solo dan Poso. Sederet aksi-aksi kekerasan tersebut di atas, membalikkan argumen toleransi masyarakat Indonesia. Bangsa yang dulu dikenal publik dunia dengan keramahan dan tingkat toleransi yang tinggi, tiba-tiba berubah seperti bangsa bar-bar yang tak beradab. Ironisnya, para pelaku kekerasan tersebut mengatasnamakan Tuhan untuk membenarkan sikap keji mereka. Fakta-fakta tersebut juga, sebetulnya telah menunjukkan kegagalan dunia pendidikan dalam menciptakan kesadaran pluralisme dan multikulturalisme. Simbol-simbol budaya, agama, ideologi, bendera, baju dan sebagainya, itu semua sebenarnya boleh berbeda. Tetapi, pada hakikatnya kita semua satu, yaitu satu bangsa dan satu negara Indonesia. Perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural di Indonesia semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter militeristik orde baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa Indonesia namun juga memberikan suatu peluang terhadap meningkatnya kecenderungan primordialisme. Sehingga paradigma 83
pendidikan multikultural hadir untuk menangkal semangat primordialisme.28 Sejarah membuktikan bahwa, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran yang tidak muncul dalam ruangan yang kosong, namun ada interes politik, sosial, ekonomi, dan intelektual yang mendorong kemunculannya.29 James Banks dalam Choirul Mahfud, menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu: 1. Content integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran atau disiplin ilmu. 2. The knowledge constructionprocess, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya kedalam sebuah mata pelajaran (disiplin). 3. An equity paedagogy, yaitu menyusuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya, (culture) ataupun sosial. 4. Prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka. Kemudian, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan, berinteraksi dengan seluruh siswa
28Lihat M Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: CrossCultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan(Yogyakarta: Pilar Media, 2005), h. 56. Lihat pula Zainal Arifin Thoha, Kenylenehan Gusdur(Jakarta: Gama Media, 2005), h. 134. 29Jamaluddin Idris, Kompilasi Pemikiran Pendidikan (Yogyakarta: Taufiqiyah Sa’adah, 2005), h. 67.
84
yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif.30 Menurut Tilaar, pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. Tujuannya membentuk “manusia berbudaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya (berperadaban)”. 2. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilainilai kelompok etnis (cultural). 3. Metodenya demokratis yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis). 4. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.31 Konteks ini pula dapat dikatakan, bahwa pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Selanjutnya, yang terpenting dari strategi pendidikan multikultural ini tidak hanya bertujuan agar peserta didik mudah memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran mereka agar selalu berprilaku humanis, pluralis, dan demokrasi. Paradigma multikultural yang marak didengungkan sebagai langkah alternatif dalam rangka mengelola masyarakat multikultur seperti di Indonesia tampaknya hanya menjadi wacana belaka. Gagasan ini belum mampu dilaksanakan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah
178.
30Lihat
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, h. 177-
31Choirul
Mahfud, Pendidikan Multikultural, h. 187.
85
dalam tindakan praksis. Apa yang mengemuka sepanjang tahun 2000-an hingga sekarang sebagaimana yang dikemukakan di atas merupakan indikasi nyata hal ikhawal tersebut. Faktor lain yang turut menyebabkan mandulnya pendidikan multikultural pada tingkat praksis bisa jadi disebabkan masih dominannya wacana “toleransi” dalam menyikapi realitas multikultural tersebut. Toleransi hanya mungkin terjadi apabila orang rela merelativisasi klaimklaimnya. Namun, toleransi seringkali terjebak pada egosentrisme. Ego-sentrisme di sini adalah sikap seseorang mentoleransi yang lain demi diri sendiri. Artinya, setiap perbedaan mengakui perbedaan lain demi menguatkan dan mengawetkan perbedaannya sendiri, yang terjadi kemudian adalah ko-eksistensi bukannya pro-eksistensi yang menuntut kreativitas dari tiap individu yang berbeda untuk merenda dan merajut tali-temali kebersamaan. Tak aneh kalau kemudian yang muncul bukannya situasi rukun tetapi situasi acuh tak acuh (indifference).32 Pelaksanaan pendidikan multikultural ini mesti dikembangkan prinsip solidaritas. Yakni, kesiapan untuk berjuang dan bergabung dalam perlawanan demi pengakuan perbedaan yang lain dan bukan demi dirinya sendiri. Solidaritas menuntut agar seluruh masyarakat melupakan upaya-upaya penguatan identitas, melainkan menuntut agar berjuang bersama demi kebersamaan yang lain. Artinya, kehidupan multikultural yang dilandasi kesadaran akan eksistensi diri tanpa merendahkan yang lain diharapkan segera terwujud. Membangun masyarakat yang dapat menghasilkan orang (warga negara) menyadari, mengakui, menghargai 32Choirul
Mahfud, Pendidikan Multikultural, h. 190.
86
perbedaan bukan merupakan hal yang mudah. Perlu dirancang secara sistematik. Menerapakan pendidikan multikultural di sekolah diperlukan upaya transformasi pada tiga tahap yaitu: 1. Transformasi Level Diri (transformation of self) Transformasi pada level diri dapat digambarkan dengan sikap positif terhadap perbedaan dan keberagaman yang belum terjadi, transformasi tersebut merupakan salah satu kunci penentu keberhasilan pendidikan multikultural. Misalnya, dari tranformasi level diri seperti dapat menghargai perbedaan beragama pada setiap indvidu atau setiap peserta didik di suatu sekolah. 2. Transformasi Level Sekolah (transformation of school and schooling) Transformasi pada level sekolah digambarkan melalui lima dimensi pendidikan multikultural yaitu: a. Integrasi materi (content integration) Integrasi materi merupakan upaya guru memberikan atau menggunakan contoh dan materi dari bebagai budaya dan kelompok untuk mengajarkan konsep kunci, prinsip, teori, dan lain-lain ketika mengajarkan satu topik atau mata pelajaran tertentu dengan menyisipkan akan adanya kesadaran perbedaan budaya. Misalnya, ketika mengajarkan topik tumbuhan berbiji belah, guru menyinggung bahwa kopi merupakan salah satu contoh dikotil, kemudian dikaitkan dengan bagaimana masyarakat Lampung, Aceh, dan Jawa memanfaatkan kopi sebagai minuman tradisi masing-masing daerah tersebut. b. Proses pembentukan pengetahuan (knowledge construction procwss) Proses pembentukan pengetahuan upaya membantu siswa untuk memahami, mencari tahu, dan menentukan bagaimana suatu pengetahuan atau teori pada dasarnya 87
secara nyata tercipta karena adanya pengaruh budaya, kalangan, dan kelompok tertentu dengan status sosial yang terjadi pada saat itu. Misalnya, Galileo menghasilkan teori helioentris yang mengemukakan asumsi geosentris yang terjadi pada masa dimana pengaruh agama saat itu sangat dominan. Galileo dihukum mati karena teorinya tetapi belakangan ini teori tersebut dipakai oleh masyarakat dunia. c. Reduksi prasangka (prejudice reduction) Reduksi prasangka merupakan upaya guru membantu siswa mengembangkan sifat positif terhadap perbedaan baik dari sisi suku, budaya, ras, gender, status sosial, dan lain-lain. Misalnya, tidak benar kalau guru mendorong sikap atau prasangka yang menganggap bahwa orang papua yang berkulit hitam adalah terbelakang, bodoh dan lain-lain dalam proses interaksi di sekolah inilah yang harus dihindari. Guru seharusnya berkewajiban meluruskan asumsi dan prasangka tersebut. Cara mengurangi prasangka ini adalah melibatkan siswa melakukan aktivitas bersama dengan orang-orang dari berbagai status sosial, gender, ras, dan lain-lain. d. Pendidikan atau perlakuan pedagogik tanpa pandang bulu (equity pendagogy) Pendidikan atau perlakuan pedagogik tanpa pandang bulu adalah upaya guru memperlakukan secara sama dalam proses pembelajaran di kelas. Kenyataan ini akan terlihat dari metode yang digunakan, cara bertanya, penunjukan siswa, dan pengelompokan. Misalnya, guru senantiasa menunjuk seorang siswa sebagai ketua kelompok, karena siswa tersebut anak dari kalangan status sosial tertentu.. e. Pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social structure) 88
Pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial merupakan proses menstrukturisasi dan reorganisasi sekolah sehingga siswa dari beragam ras, suku, dan kelas sosial akan mengalami atau merasakan pemberdayaan maupun persamaan budaya. Semangat multikulturalisme akan tercermin dalam segala aktivitas sekolah, sehingga menuntut adanya perubahan baik dari sisi pendidik dan tenaga kependidikan, kebijakan sekolah, struktur organisasi, iklim sekolah, dan lain-lain. 3. Transformasi Level Masyarakat (transformation of society) Transformasi level masyarakat merupakan upaya paling berat karena sangat komplek dan melibatkan berbagai unsur terkait, hal ini akan terjadi dengan sendirinya jika transformasi level diri dan sekolah berjalan dengan baik. D. Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Islam Pendidikan multikultural sejatinya inheren dalam Islam. Hal ini dapat ditilik dari doktrin dan sejarah Islam. Al-Qur’an secara sangat eksplisit menyebutkan adanya multikulturalitas. Beberapa di antaranya adalah QS alMa’idah / 5 : 48.
Terjemahnya: “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba89
lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu”.33 Penyataan yang kurang lebih sama juga disebutkan sebagaimana firman Allah dalam QS Hud / 11 : 118.
Terjemahnya: “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.”34 Selain ke dua ayat di atas, statement yang sama juga dapat dilihat dalam firman Allah QS al-Nahl /16:93.
Terjemahnya: “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.”35 Multikulturalisme juga dijelaskan dalam alQur’an,sebagaimana firman Allah swt. dalam QS al-Hujurat / 49:13. Sebagai berikut: 116. 235. 277.
33Kementerian
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.
34Kementerian
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.
35Kementerian
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.
90
Terjemahnya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.36 Selain itu, multikulturalisme juga tampak jelas di dalam firman Allah swt. QS al-Baqarah / 2: 256.
Terjemahnya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat
517.
36Kementerian
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.
91
kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”37 Ayat lain yang menjelaskan tentang pengakuan Tuhan akan multikulturalisme adalah QS al-Ma’idah / 5:69
Terjemahnya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.38 Berdasarkan beberapa firman Allah di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan multikultural tampak nyata pula dalam ajaran Islam. Misalnya dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad saw. pernah mempraktikannya ketika beliau memimpin masyarakat Madinah. Nabi Muhammad saw. telah berhasil mengembangkan prinsip toleransi dan desentralisasi menyangkut keberadaan agama lain selain Islam.39 Prilaku toleransi, Nabi Muhammad saw. menginginkan supaya umat Islam memandang agama lain bukan sebagai musuh, namun sebagai teman dalam menciptakan masyarakat damai. Sementara dengan
119.
37Kementerian
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 42.
38Kementerian
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.
39Ustadi
Hamzah, “Yang Satu dan Yang banyak: Islam dan Pluralitas Agama di Indonesia”, “Religiosa” Edisi I/II/Tahun 2006, h. 46-47.
92
desentralisasi, Nabi Muhammad saw. memberikan kebebasan kepada umat beragama lain untuk menjalankan ajaran agamanya, kendatipun mereka dalam kekuasaan pemerintahan Islam. Wujud kongkrit desentralisasi antara lain menyangkut kebijakan bea cukai di wilayah Islam. Pedagang Byzantium yang akan berniaga ke Madinah ditarik bea cukai sebesar cukai pemerintahan Byzantium kepada pedagang Madinah. Demikian juga di wilayah Persia, pedagang muslim tidak ditarik cukai, dan sebaliknya pedagang Persia yang hendak berniaga ke Madinah juga bebas bea cukai. Contoh lain pasca Nabi Muhammad saw. adalah ketika Abu Ubayd Allah al Mahdi (909-934), seorang khalifah pertama dinasti Fatimiyah di Maghrib, meminta nasehat kepada seorang tokoh Kristen untuk mencarikan lokasi yang tepat untuk dijadikan ibukota negara. Sejarah juga mencatat, kedatangan Islam di Spanyol telah mengakhiri politik monoreligi secara paksa oleh penguasa sebelumnya. Pemerintahan Islam yang berkuasa kurang lebih lima ratus tahun telah menciptakan masyarakat Spanyol yang multikulturalistik. Pemeluk tiga agama: Islam, Kristen, dan Yahudi dapat hidup saling berdampingan dan rukun.40 Mengenai hubungan dengan umat Kristen dan Yahudi, Islam memandang keduanya sebagai “saudara sekandung”, sama-sama satu nasab. Secara geneologis,
40Lihat
Heru Nugroho, “Islam dan Pluralisme”, dalam M. Quraish Shihab, dkk., Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h. 65.
93
ketiga agama ini berasal dari bapak yang sama, yaitu Nabi Ibrahim, “Bapak Orang Beriman”.41 Berdasarkan uraian yang di atas, maka pendidikan multikultural dalam perspektif Islam, menemukan pijakannya dalam piagam madinah.42Piagam ini menjadi rujukan suku dan agama pada waktu itu dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat. Piagam ini juga menjadi rujukan orang-orang yang ingin menjelaskan sistem pemerintahan dan ketatanegaraan Islam. Pijakan multikultural juga bisa dilacak pada akhlak dan kepribadian Rasulullah saw. Kenyataan bahwa piagam Madinah dan pribadi Rasulullah menjadi pijakan multikultural, secara tidak langsung menjelaskan al-Quran sebagai muara pijakan tersebut. Hal ini karena dua alasan. Pertama, piagam Madinah diajukan oleh Rasullah sebagai acuan hidup 41Ahmad
Asroni, “Membendung Radikalisme Islam: Upaya Merajut Kerukunan Antar Umat Beragama”, dalam Erlangga Husada, dkk., Kajian Islam Kontemporer, h. 38. 42Piagam Madinah mencakup 47 pasal, antara lain berisi hak-hak asasi manusia, hak dan kewajiban bernegara, hak perlindungan hukum, sampai toleransi beragama. Piagam Madinah secara resmi menandakan berdirinya suatu negara, yang isinya dapat disimpulkan menjadi empat hal, yaitu: Pertama, mempersatukan segenap kaum muslimin dari berbagai suku menjadi suatu ikatan. Kedua, menhidupkan semangat gotong royong, hidup berdampingan, saling menjamin keamanan di antara sesama warga negara. Ketiga, menetapkan bahwa setiap warga masyarakat mempunyai kewajiban memanggul senjata. Dan, keempat, menjamin persamaan dan kebebasan bagi kaum Yahudi dan pemeluk-pemeluk agama lain dalam mengurus kepentingan mereka. Konsep piagam Madinah tersebut merupakan contoh bahwa yuridis formal, Nabi Muhammad saw. mengakui dan melindungi terhadap pemeluk agama lain. Lihat Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia: dari Radikalisme menuju Kebangsaan (Cet. V; Yogyakarta: PT Kanisius, 2013), h. 6162.
94
bermasyarakat karena dukungan ayat-ayat Madaniyah. Kedua, ada keterangan yang menyatakan bahwa akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an. Artinya, kedua alasan ini menegaskan bahwa pijakan pendidikan multikultural dalam Islam adalah al-Qur’an.43 Jadi, orientasi dari pendidikan multikultural dalam Islam ialah tertanamnya sikap simpati, respek, apresiasi (menghargai), dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda untuk meningkatkan kadar taqwa di sisi Allah swt. Karena Allah tidak melihat darimana ia berasal, seberapa tampan atau cantik, seberapa kaya, seberapa tinggi pangkat/jabatan, seberapa kuat badannya, tapi yang dilihat adalah seberapa besar tingkat ketaqwaannya. Mewujudkan pendidikan multikultural Islam (selanjutnya disebut PIM “Pendidikan Islam Multikultural”) ditempuh berbagai cara, di antaranya: 1. Pendidikan Islam multikultural (PIM) mengakui budaya lokal dan menghormati budaya global. Artinya, pendidikan Islam multikultural mengakui adanya realitas budaya lokal sebagai sesuatu yang bisa mewarnai pendidikan Islam. Di sisi lain, PIM juga tidak menafikan budaya global yang juga bisa menambah gairah pendidikan Islam. Ketika kedua budaya tersebut bersitegang, maka peran PIM ini mencari jalan tengah untuk “mendamaikan” keduanya. 2. PIM mencoba mensiasati problem-problem pendidikan atau kemanusiaan lain yang sulit untuk diselesaikan. Ini terkait dengan maraknya benturan-benturan ideologi, 43Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), h.13-14.
95
keyakinan, dan cara pandang dan bagaimana PIM mensiasati benturan-benturan tersebut. Contoh kasus pelaksanaan ujian nasional (UN). Ada ketegangan antara pemerintah, sebagai pembuat kebijakan UN dengan sebagian elemen masyarakat dalam melihat pelaksanaan UN. Pemerintah tetap mengharuskan UN sementara elemen masyarakat tersebut tetap menolak UN. PIM bisa mensiasati ketegangan ini dengan mengajukan rumusan pelaksanaan UN baru, yaitu UN tetap dilaksanakan tapi tidak menjadi salah satu penentu kelulusan. 3. PIM menjadikan globalisasi bukan sebagai musuh tapi sebagai penyeimbang bagi budaya lokal. Ini sejalan dengan konsep PIM sebagai jalan tengah. Artinya posisi, PIM itu tidak mesti menjadi salah satu pendukung globalisasi atau budaya lokal, tapi mengambil peran sebagai fasilitator bagi globalisasi dan budaya lokal. Contohnya ketika globalisasi, di satu sisi, mendorong penggunaan teknologi dalam semua ranah kehidupan, dan di sisi lain, keyakinan akan bahaya teknologi bagi moralitas anak terus dipegang erat oleh masyarakat di perkampungan misalnya, maka PIM menjadi penyeimbang dengan mempersilahkan penggunaan teknologi di masyarakat perkampungan dan mendorong perbaikan metodologi pengajaran al-Qur’an dan ilmuilmu agama lain di perkampungan agar pemahaman terhadap agama semakin baik dan kesadaran tentang moralitas menjadi semakin tinggi. 4. PIM mendorong pluralisme bukan semata-mata sebagai pengakuan terhadap perbedaan dan kemajukan, namun dalam prakteknya menerima perbedaan tersebut secara legowo dan melakukan perubahan dalam cara bertindak. Artinya, pluralisme yang “proyeknya” belum final pada era modernisme itu, didorong untuk menuntaskan 96
proyek tersebut sehingga menghasilkan perubahan yang jelas bagi masyarakat. Kalau pluralisme hanya sebatas gagasan, maka PIM ini melakukan kerja nyata. Contoh apakah masyarakat Indonesia bisa menerima seorang presiden non-muslim, namun bisa mensejahterakan rakyat? Tugas PIM untuk melakukan perubahan terhadap cara pandang masyarakat tersebut, sehingga ukuran utama seorang presiden tersebut bukan didasarkan pada latar belakang agama, namun pada tingkat kemampuan memajukan masyarakat. 5. PIM “melawan” keinginan pemerintah, tokoh pendidikan, atau siapapun yang mencoba melakukan penyeragaman dalam pendidikan. Ini bisa sejalan dengan konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Kedua konsep ini mendorong keragaman proses pembelajaran di setiap sekolah. Rumusan kelima ini memerlukan keberanian dan energi yang lebih untuk “melawan” kebijakan-kebijakan pendidikan yang tidak pro rakyat. 6. PIM membuka perbedaan seluas-luasnya dan memberikan pemahaman bagaimana seharusnya menghadapi perbedaan tersebut. Rumusan terakhir menjelaskan bahwa perbedaan itu sebuah realitas kemanusiaan dan bagaimana masyarakat bisa memahami realitas tersebut dan mempraktekan pemahaman tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, untuk menuju pendidikan Islam multikultural diperlukan kesadaran tentang konsep dan arah multikultural dari semua elemen pendidikan; pemerintah, masyarakat, pimpinan sekolah, orang tua, guru, dan siswa. Kesadaran tersebut, menurut Aurobindo (seorang filosof Hindu Mutakhir) harus berawal dari tingkat kesadaran utama, yang berpuncak 97
pada supermind, yaitu 1) keesaan Tuhan direalisasikan melalui keragaman, 2) setiap individu selaras dengan nilai-nilai universal, dan 3) kehendak individu direfleksikan lewat perubahan yang konkret historis. Konsep kesadaran ini relevan dengan konsep pendidikan pembebasan yang mendorong usaha penyadaran manusia tentang realitas dirinya. Paulo Freire menjelaskan bahwa karena pendidikan menggarap realitas manusia, maka secara metodologis, ia harus disandarkan pada prinsip aksi dan refleksi yang dinamakan sebagai praksis, yaitu aksi dalam pengertian mengubah realitas, dan di sisi lain yang ia sebut sebagai refleksi terus menerus menumbuhkan kesadaran untuk merubah realitas tersebut.44 Selanjutnya, ada dua hal pula yang harus dilakukan untuk mewujudkan pendidikan Islam multikultural. Kedua hal ini bersipat konseptual dan metodologis, yang nanti bisa dikembangkan menjadi langkah-langkah praktis, sebagai berikut: 1. Birokrat pendidikan, guru, dan siswa harus mampu mengakses informasi tentang isu-isu multikultural, baik dari media massa maupun lewat forum diskusi, sehingga mereka tumbuh menjadi seorang figur multikultural. Mereka harus aktif membaca buku dan mengikuti perkembangan informasi lewat media massa. Ketika birokrat pendidikan menjadi seorang figur multikultural, maka kebijakan pendidikan, termasuk produk hukum pun akan mendukung multikultural. Begitupun guru dan siswa. Ketika mereka tumbuh menjadi figur 44Hilmy,
Menggagas Paradigma Pendidikan Berbasis Multikulturalisme Jurnal Ulumuna, Vol. VII. Edisi 12. No. 12 “JuliDesember” (Mataram: STAIN Mataram, 2003), h. 43.
98
multikultural, maka proses pengajaran dan pembelajaran pun akan memuat nilai-nilai multikultural. 2. Kegiatan multikultural adalah bagian dari nilai spiritual. Oleh karena itu, siswa harus diberikan penjelasan tentang nilai-nilai spiritual dari kegiatan yang mereka lakukan tersebut. Sehingga setiap saat mereka akan dihadapkan pada kesadaran spiritual. Sebagai contoh guru mengajak diskusi tentang pentingnya membersihkan lingkungan, menghormati orang yang berbeda agama. Guru mengajak siswa menonton film atau acara-acara televisi yang memuat wawasan dan nilai-nilai kemanusiaan. Ia menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari nilai-nilai multikultural dan refleksi dari ibadah kepada Tuhan.45 Pendidikan multikultural dalam Islam mengapresiasi manusia sebagai makhluk yang mempunyai potensi jasmani, akal, dan ruhani. Ketiga potensi inilah yang mampu menumbuhkan seorang siswa menjadi manusia yang sukses di dunia dan di akhirat. Multikultural adalah sebuah jalan tengah atau siasat yang digunakan untuk “membaca” kenyataan adanya perbedaan dan keragaman. Pendidikan multikultural berangkat dari kenyataan adanya perbedaan dan keragaman tersebut. Oleh karena itu, substansi pendidikan multikultural adalah untuk mengapresiasi perbedaan dan keragaman tersebut. Agar pendidikan multikultural tidak bebas nilai, maka harus dipandu oleh wahyu. Wahyu inilah sebenarnya yang menjadi kekuatan hakiki dari pendidikan Islam multikultural, sehingga setiap kegiatan multikultural tidak terlepas dari nilai-nilai ke-Tuhan-an dan menjadi bukti 45Hilmy, Menggagas Paradigma Multikulturalisme Jurnal Ulumuna, h. 45.
99
Pendidikan
Berbasis
pengabdian kepada Allah Yang Maha Mendidik. Sekaligus mendorong manusia untuk menjadi figur multikultural dan mendorong kesadaran spiritual dalam setiap kegiatan multikultural. Jadi, pendidikan multikultural dalam Islam yaitu usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian di dalam dan di luar sekolah yang mempelajari tentang berbagai macam status sosial, ras, suku, agama agar tercipta kepribadian yang cerdas dalam menghadapi masalahmasalah keberagaman budaya yang disesuaikan dengan nafas Islam sebagai sarana dalam mendekatkan diri pada Allah menuju makhluk yang mulia dengan taqwa.
100
BAB IV UJIAN NASIONAL DAN PERMASALAHANNYA A. Pendahuluan Kontroversi atau silang pendapat tentang kebijakan ujian nasional hingga saat ini masih terus berlangsung. Sebagian kalangan menilai bahwa ujian nasional perlu tetap dipertahankan dengan model yang saat ini sedang berlaku. Argumentasinya adalah ujian nasional diperlukan sebagai instrumen untuk mengukur pencapaian standar nasional pendidikan. Kalangan lain berpendapat bahwa kebijakan ini tidak sesuai dan harus dihapuskan dari sistem pendidikan nasional. Alasannya, ujian nasional memperlakukan peserta didik secara sama padahal fasilitas pendidikan dan sumber daya guru berbeda antara satu daerah dan daerah yang lain. Selain itu, terdapat juga kalangan lain yang memiliki pendapat berbeda, yaitu menolak ujian nasional sebagai penentu kelulusan, sementara fungsinya yang lain masih boleh dipertahankan. Jika dilihat kembali sejarah perjalanan sistem pendidikan nasional, khususnya dalam hal evaluasi, Indonesia sebenarnya telah menerapkan teknik evaluasi yang berganti-ganti dari masa ke masa. Pada tahun 19501964 Indonesia menerapkan “ujian penghabisan.” Tahun 1965-1971 menjadi “ujian negara.” Kemudian tahun 19721979 ujian dilaksanakan oleh sekolah masing-masing. Tahun 1980-2000 dilakukan “evaluasi belajar tahap akhir nasional (EBTANAS).” Baru pada tahun 2001-2004 berlaku “ujian
akhir nasional” yang selanjutnya pada tahun 2005 berganti nama menjadi “ujian nasional.”1 Tujuan pemerintah melaksanakan ujian nasional, antara lain: untuk mengukur pencapaian kompetensi lulusan peserta didik secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi serta untuk memetakan tingkat pencapaian hasil belajar siswa pada tingkat sekolah dan daerah. Sementara fungsinya adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan agar tercipta sumber daya manusia yang mampu bersaing secara global.2 Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan yang kemudian muncul adalah: apakah ujian nasional sesuai dengan hakikat, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional? Apakah ujian nasional berdampak pada peningkatan mutu pendidikan? Masalah ini yang akan dibahas dalam makalah ini untuk selanjutnya akan disimpulkan apakah ujian nasional diperlukan dalam rangka memajukan kualitas pendidikan di Indonesia. Pembahasan tantang Ujian Nasional dan Permasalahannya di dalam bab ini dibahas secara teoretis mulai dari bagaimana posisi ujian nasional dalam perspektif 1“Ujian Nasional dari Masa ke Masa,” Koran Sindo, 16 April 2014. http://www.koran-sindo. com/node/308288 (7 Juni 2014). Berkaitan dengan ketentuan Ujian Nasional dapat dilihat Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. 2Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, “Kebijakan Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2013-2014.” http://litbang. kemdikbud.go.id/Data/sekretariat /Rakor_UN/Rakor_ UN_2013/Paparan/ Kebijakan%20Ujian%20Nasional%20Tahun%202013-2014.pdf (7 Juni 2014).
102
evaluasi pendidikan, dasar hukumpelaksanaan ujian nasional, bagaimana permasalahan yang terjadi dalam ujian nasional, bagaimana dampak ujian nasinal terhadap pencapaian tujuan pendidikan nasional. B. Ujian Nasional dalam Perspektif Evaluasi Pendidikan Ujian nasional disebut merupakan bagian dari evaluasi pendidikan. Oleh sebab itu, kajian tentang evaluasi pendidikan perlu diketengahkan lebih awal untuk memberi pijakan teoretis dalam menjelaskan posisi ujian nasional dalam konteks evaluasi pendidikan. Menurut definisi, evaluasi pendidikan adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan data tentang keberhasilan peserta didik dalam belajar dan keberhasilan guru dalam mengajar.3 M. Ngalim Purwanto mengemukakan, evaluasi pendidikan adalah penilaian/penaksiran terhadap pertumbuhan dan kemajuan peserta didik ke arah tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam kurikulum.4 Berkaitan dengan itu, Suharsimi Arikunto menjelaskan bahwa evaluasi belajar dan pembelajaran adalah proses untuk menentukan nilai belajar dan pembelajaran yang dilaksanakan, dengan melalui kegiatan penilaian atau pengukuran belajar dan pembelajaran. Keberhasilan proses pembelajaran dapat dilihat dari prestasi belajar yang dicapai siswa. Evaluasi
3Anas
Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: PT RajaGrafinda Persada, 2001), h. 6. 4M. Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pembelajaran (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 3.
103
akan memberikan informasi tingkat pencapaian belajar siswa.5 Evaluasi harus mampu memuat semua informasi tentang tingkat pencapaian tujuan yang telah ditentukan.6 Misalnya, pendidikan yang diarahkan untuk melahirkan tenaga cerdas yang mampu bekerja. Tujuan melahirkan tenaga kerja yang cerdas tidak dapat diukur hanya dengan tes belaka. Oleh karena itu, evaluasi harus mampu memetakan kecerdasan peserta didik sekaligus kemampuannya dalam bekerja. Sistem evaluasi yang lebih banyak berbentuk tes objektif akan membuat peserta didik mengejar kemampuan kognitif dan bahkan dapat dicapai dengan cara mengafal saja. Artinya, anak yang lulus ujian dalam bentuk tes obyektif belum berarti bahwa anak tersebut cerdas apalagi terampil bekerja.7 Sebagai konsekuensinya harus dikembangkan sistem evaluasi yang dapat menjawab semua kemampuan yang dipelajari dan diperoleh selama mengikuti pendidikan. Selain itu, evaluasi pendidikan harus mampu membedakan antara anak yang mengikuti pendidikan dengan anak yang tidak mengikuti pendidikan. Kata lainnya adalah evaluasi tidak bisa dilakukan hanya pada saat tertentu, tetapi harus dilakukan secara komperehensif atau
5Suharsimi
Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar, Evaluasi Program Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 5. 6Suharsimi
Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 8. 7Chabib Thoha, Teknik Evaluasi Pendidikan (Jakarta: PT RajaGrafinda Persada, 2003), h. 55.
104
menyeluruh dengan beragam bentuk dan dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan.8 Evaluasi harus mampu memberikan informasi penting, antara lain: penempatan, mastery, dan diagnosis. Penempatan berkaitan dengan pada level belajar yang mana seorang anak dapat ditempatkan sehingga dapat menantang tetapi tidak frustasi. Mastery berkaitan dengan apakah anak sudah memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk menuju ke tingkat berikutnya. Diagnosis berkaitan dengan pada bagian mana yang dirasa sulit oleh anak.9 Secara garis besar dalam proses belajar, evaluasi memiliki fungsi pokok sebagai berikut: (1) Mengukur kemajuan dan perkembangan peserta didik setelah melakukan kegiatan belajar mengajar selama jangka waktu tertentu. (2) Mengukur sampai di mana keberhasilan sistem pengajaran yang digunakan. (3) Sebagai bahan pertimbangan dalam rangka melakukan perbaikan proses belajar mengajar. (4) Sebagai dasar untuk keperluan bimbingan dan konseling.10 Pelaksanaan evaluasi dilakukan oleh guru dengan memakai seperangkat instrumen penggali data seperti tes perbuatan, tes tertulis, dan tes lisan.11 Pelaksanaan evaluasi mempunyai manfaat sangat besar. Manfaat ini dapat
8Moh Fahri Yasin, Sistem Evaluasi Pembelajaran (Gorontalo: Sultan Amai Press, 2009), h. 5-6. 9Baego
Ishak dan Syamsuduha, Evaluasi Pendidikan (Makassar: Alauddin University Press, 2010), h. 23-25. 10Sukardi,
Evaluasi Pendidikan: Prinsip dan Operasionalnya (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h. 4. 55.
11Suharsimi
Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, h.
105
ditinjau dari pelaksanaannya. Adapun jenis evaluasi serta manfaatnya adalah sebagai berikut: 1. Evaluasi formatif, yaitu evaluasi yang dilaksanakan setiap kali selesai dipelajari suatu unit pelajaran tertentu. Manfaatnya sebagai alat penilai proses pembelajaran suatu unit materi pembelajaran tertentu. 2. Evaluasi sumatif, yaitu evaluasi yang dilaksanakan setiap akhir pembelajaran suatu program atau sejumlah unit pelajaran tertentu. Evaluasi ini mempunyai manfaat untuk menilai hasil pencapaian siswa terhadap tujuan suatu program pelajaran dalam suatu periode tertentu, seperti semester atau akhir tahun pelajaran. 3. Evaluasi diagnostik, yaitu evaluasi yang dilaksanakan sebagai sarana diagnosis. Evaluasi ini bermanfaat untuk meneliti atau mencari sebab kegagalan pembelajaran yang tercermin dari hasil evaluasi formatif dan sumatif. 4. Evaluasi penempatan, yaitu evaluasi yang dilaksanakan untuk menempatkan siswa dalam suatu program pendidikan atau jurusan yang sesuai dengan kemampuan (baik potensial maupun lokal) dan minatnya. Evaluasi ini bermanfaat dalam rangka proses penentuan jurusan sekolah.12 Demi mengukur hasil pendidikan sebagaimana digambarkan di atas, maka diperlukan instrumen evaluasi yang variatif dan komprehensif; tidak cukup hanya dengan menggunakan instrumen evaluasi dalam bentuk tes tetapi juga diperlukan dalam bentuk non-tes. Karena evaluasi dalam bentuk tes hanya dapat mengukur penguasaan pengetahuan yang masuk dalam ranah kognitif. Apalagi 12Misykat
Malik Ibrahim, Pengembangan Pengukuran NonTes Bidang Pendidikan: Suatu Pendekatan Psikologi (Makassar, Alauddin University Press, 2012), h. 30-31.
106
bentuk tes yang digunakan hanya dalam bentuk tes pilihan ganda (multiple choise). Sementara untuk mengetahui perkembangan dan keberhasilan pencapaian tujuan pada ranah psikomotorik dan afektif diperlukan alat evaluasi dalam bentuk non-tes, seperti observasi dan praktik. Dilihat dari perspektif evaluasi pendidikan dan teknik penilaian seperti yang telah dikemukakan di atas, ujian nasional tampak mengabaikan beberapa aspek yang semestinya dinilai sebagai tolok ukur keberhasilan peserta didik. Ujian nasional tidak merepresentasikan seluruh keberhasilan yang dicapai oleh peserta didik selama menempuh pembelajaran di sekolah, terutama pada aspek afeksi dan psikomotoriknya. C. Dasar Pelaksanaan Ujian Nasional Ujian nasional (UN) adalah kegiatan penilaian hasil belajar peserta didik yang telah menyelesaikan jenjang pendidikan pada jalur sekolah/madrasah yang diselenggarakan secara nasional. Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab XVI pasal 57 menyebutkan bahwa “evaluasi hasil belajar dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.”13 Prosedur Operasi Standar Pelaksanaan UN Tahun 2014 menyebutkan, UN adalah “kegiatan pengukuran dan penilaian pencapaian standar kompetensi lulusan secara
13Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Cet. IV; Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 37.
107
nasional meliputi mata pelajaran tertentu.”14 Sedangkan menurut Permendiknas No. 20 tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan, UN adalah kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi peserta didik pada beberapa mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka menilai pencapaian standar nasional pendidikan.15 Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa secara sederhana UN merupakan alat untuk menilai ketercapaian standar nasional pendidikan dalam rangka memberikan informasi untuk pengambilan keputusan bagi pemegang kebijakan pendidikan di Indonesia. Selanjutnya bertujuan akhir dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Beberapa pertimbangan yang berkaitan dengan dasar yuridis, historis, dan teoretis telah dijadikan sebagai landasan kebijakan penyelenggaraan ujian nasional. Dasar yuridis pelaksanaan ujian nasional adalah: a. Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. b. Peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. c. Peraturan Menteri nomor 20 tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan. 14Peraturan
Badan Standar Nasional Pendidikan Nomor: 0022/p/bsnp/xi/2013 tentang Prosedur Operasi Standar Penyelenggaraan Ujian Nasional, h. 4. http://akhmadsudrajat. wordpress. com/2013/12/10/ pos-un-tahun-pelajaran-20132014.pdf (7 Juni 2014). 15Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan, h. 7. http:// akhma dsudrajat.files. wordpress.com/2012/01/permen-no-20-standarpenilai-an-pendidikan.pdf (7 Juni 2014).
108
d.
Prosedur Operasi Standar Pelaksanaan Ujian Nasional yang ditetapkan oleh BSNP setiap tahunnya. Dasar historis penyelenggaraan UN mengacu pada realitas sejarah bahwa sejak Indonesia merdeka pernah diterapkan ujian negara yang sifatnya dan skalanya nasional, sampai dengan era awal tahun 1970-an. Saat era ujian negara, ada suatu standar mutu pendidikan dalam skala nasional, dan ketika itu mutu pendidikan Indonesia relatif baik dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Waktu itu, Indonesia banyak mengirimkan tenaga guru ke luar negeri (misalnya ke Malaysia). Sebaliknya, pemerintah Malaysia juga banyak mengirimkan mahasiswa untuk belajar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Selanjutnya, mutu pendidikan Indonesia mulai merosot sejak diterapkan sistem ujian sekolah pada 1970-an. Era ini, sekolah membuat ujian akhir sendiri-sendiri, menyiapkan bahan ujian, dan menetapkan kelulusan sendiri. Tidak ada lagi standar nasional, yang ada adalah standar sekolah, sangat bervariasi, dan tidak dapat dijadikan tolok ukur dalam pengendalian dan peningkatan mutu pendidikan.16 Dasar teoritis penyelenggaraan ujian nasional mengacu pada perkembangan psikologis siswa-siswa dengan berdasar pada teori perkembangan kognitif dan intelektual dari Jean Piaget. Oleh karena itu, pemberian materi/bahan ujian serta tingkat kesulitan soal didasarkan pada tahapan perkembangan peserta didik, baik pada tingkatan siswa-siswa yang berada pada jenjang pendidikan
16S.
Hamid Hasan, “Ujian nasional dan Masa Depan Bangsa: Ditinjau Dari Aspek Legal, Posisi Pemerintah, Pandangan Pendidikan.” http://file.upi.edu (8 Juni 2014).
109
dasar maupun pada jenjang pendidikan menengah.17 Selain itu, dengan standar kompetensi pada masing-masing jenjang pendidikan yang ditetapkan, memberikan acuan mengenai materi ujian dalam hubungannya dengan kriteria pencapaian tujuan pada setiap jenjang pendidikan. Selain dasar di atas, beberapa alasan sehingga UN perlu untuk dilaksanakan, yakni: a. UN mendorong peningkatan mutu pendidikan di sekolah. UN mendorong semua pihak yang terkait untuk bekerja lebih baik, karena khawatir dengan ketidaklulusan. Ujian yang dilakukan ini mendorong siswa tekun belajar dan guru mengajar lebih baik; mendorong kepala kepala sekolah untuk memberikan perhatian lebih serius terhadap mutu pendidikan di sekolah; dan mendorong orang tua untuk memberikan perhatian terhadap pembelajaran anak-anak mereka. Hal ini memberi dampak secara langsung terhadap pencapaian hasil belajar peserta didik dan terhadap mutu pendidikan di sekolah. b. UN merupakan entry point untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia dan daya saing bangsa. UN dapat mendorong peningkatan mutu pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan merupakan tuntutan yang mendesak dan tidak dapat ditawar. Di era globalisasi saat ini, hanya masyarakat dan bangsa yang memiliki sumber daya manusia bermutu yang akan memenangkan persaingan dalam pasar kerja dan pergaulan global. Sumber daya manusia yang bermutu hanya bisa diwujudkan dengan pendidikan bermutu. 17S.
Hamid Hasan, “Ujian nasional dan Masa Depan Bangsa: Ditinjau Dari Aspek Legal, Posisi Pemerintah, Pandangan Pendidikan.” http://file.upi.edu (8 Juni 2014).
110
c.
UN merupakan instrumen untuk pemerataan mutu pendidikan. Bertolak pada perspektif pemeratan mutu pendidikan, UN dapat digunakan sebagai alat untuk memetakan mutu pendidikan, sekolah mana dan daerah mana yang sudah baik dan sekolah mana dan daerah mana yang belum baik mutu pendidikannya. Berdasarkan hasil UN dapat diketahui sekolah-sekolah serta daerah yang sudah baik dan yang masih kurang baik mutu pendidikan dilihat dari pencapaian standar kompetensi kelulusan secara nasional. Selanjutnya, pemerintah dapat membina dan membantu sekolah serta daerah secara proporsional dalam rangka peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan di seluruh tanah air. Jika demikian, pendidikan bermutu tidak hanya terdapat di kota-kota besar, dan tidak hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang yang ekonomi kuat, tetapi tersebar merata di seluruh tanah air, sehingga dapat dinikmati oleh banyak orang.18 Berdasarkan tinjauan di atas disimpulkan bahwa penyelenggaraan ujian nasional memiliki dasar konstitusional, historis, teoretis, dan empiris. Oleh karena itu, pemerintah tetap menyelenggarakan ujian nasional meskipun terdapat muncul berbagai kritik terhadap kebijakan ini. Argumen pemerintah, sebagaimana dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa ujian nasional berguna sebagai instrumen untuk mengukur dan memetakan kualitas pendidikan secara nasional. 18Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, “Kebijakan Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2013-2014.” http://litbang.kemdikbud.go.id/Data/sekretariat/RakorUN/Rak orUN_2013/Paparan/ Kebijakan%20Ujian%20Nasional%20 Tahun%202013-2014.pdf (7 Juni 2014).
111
D. Permasalahan Ujian Nasional Sebagaimana disebutkan pada subbahasan sebelum ini, bahwa ujian nasional diselenggarakan dengan mengacu pada beberapa pertimbangan atau dasar kebijakan. Namun dasar itu perlu untuk ditelaah karena mengandung kontradiksi. Dasar yuridis, misalnya, ini perlu dicermati sebab di dalam buku Tanya Jawab UN 2011 yang dibuat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dinyatakan bahwa landasan pelaksanaan kebijakan UN terdapat pada UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 58 ayat (2)19 bahwa: “evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.”20 Lembaga mandiri yang dimaksud adalah Badan Standar Nasional Pendidikan. Ketentuan di atas pada dasarnya bertentangan dengan pasal sebelumnya, yaitu pasal 58 ayat (1) menyatakan “evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara 21 berkesinambungan.” Ayat (1) sudah jelas menyatakan bahwa evaluasi dilakukan oleh pendidik. Pendidik yang dimaksud di sini adalah guru, dan yang dievaluasi adalah hasil belajar peserta didik. Artinya, perkembangan peserta didik selama belajar 19“Tanya
Jawab Pelaksanaan Ujian Nasional 2011”. Ebook diunduh dari http://kemdiknas. go.id (7 juni 2014) 20Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, h. 38. 21Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, h. 38.
112
di sekolah dinilai dan dievaluasi oleh gurunya sendiri, yang mengajarnya di kelas. Sementara pada ayat selanjutnya yakni ayat (2), yang dimaksud dengan evaluasi peserta didik di sini bukan untuk menentukan lulus dan ketidaklulusan peserta didik dari satuan pendidikan, tetapi untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan. Landasan lain yang dikemukakan oleh pemerintah dalam buku Tanya Jawab UN 2011 adalah mengacu pada Peraturan Pemerintah RI No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 63 ayat (1) tertulis: Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: a. Penilaian hasil belajar oleh pendidik; b. Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan c. Penilaian hasil belajar oleh pemerintah.22 Pasal tersebut khususnya butir (c) menjadi dasar terkuat yang sangat jelas maknanya sebagai landasan bagi pelaksanaan Ujian Nasional. Namun secara hirarki perudang-undangan, kedudukan undang-undang berada di atas peraturan pemerintah. Oleh karena itu, seharusnya peraturan pemerintah adalah penjabaran dari undangundang. Apabila terdapat ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah yang bertolak belakang dengan ketentuan undang-undang, maka yang harus dijadikan pedoman adalah undang-undang. Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas mengamanatkan bahwa evaluasai hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik dan bukan oleh 22Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, h. 45. http://sultra.kemenag.go.id/ file/dokumen/PP19th2005StandarNasionalPendidikan. pdf
113
pemerintah, maka tugas tersebut merupakan hak mutlak dari seorang guru. Pemerintah tidak berhak mengevaluasi hasil belajar peserta didik, terlebih dalam menentukan kelulusan. Peraturan Pemerintah RI No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 68 menyatakan bahwa: Hasil Ujian Nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk a.Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan; b. Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; c.Penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan; d. Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan.23 Berdasarkan pasal ini maka ujian nasional digunakan sebagai penentu kelulusan yang tertera pada butir (c). Patut dikritisi, apakah pemerintah telah menjalankan butir-butir lainnya khususnya butir (a) dan (d)? Tampaknya belum ada upaya yang dilakukan oleh pemerintah terhadap hasil ujian nasional. Hasil ujian nasional dari tahun ke tahun belum bermakna bagi pemetaan dan pembinaan serta pemberian bantuan. Apakah sudah ada langkah-langkah konkret yang dilakukan terhadap sekolah-sekolah yang nilai ujiannya jauh di bawah standar? Sejauh yang teramati selama ini justru sekolah yang dianggap unggulan yang mendapatkan prioritas bantuan.
23Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, h. 50.
114
Sementara itu mengenai kelulusan peserta didik mengacu pada PP No. 19 tahun 2005 pasal 72 ayat (1) yang menyatakan: Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah: 1. menyelesaikan seluruh program pembelajaran; 2. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran yang terdiri atas kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan; 3. lulus ujian sekolah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan 4. lulus Ujian Nasional.24 Butir (d) itulah yang juga menjadi dasar mengapa ujian nasional digunakan sebagai penentu kelulusan. Hal lain yang perlu dipermasalahkan adalah relevansi UN dengan hakikat, fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional. Menurut UU RI No. 20 tahun 2003, Pasal 1 ayat (1) bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
24Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, h. 52.
115
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.25 Terlihat jelas bahwa ketentuan tersebut menekankan pentingnya mewujudkan suasana dan proses pembelajaran yang mendorong peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya. Sementara suasana dan proses pembelajaran yang demikian tidak dapat terwujud dengan berlakunya sistem ujian nasional yang model pembelajarannya menekankan pada kemampuan verbal untuk menjawab soal pilihan ganda. Ujian nasional malah mendorong proses pembelajaran yang mengutamakan kegiatan mendengar, mencatat, dan menghafal pengetahuan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Benjamin Bloom dan juga Soedijarto di Amerika Serikat ditemukan bahwa tingkah laku belajar peserta didik dipengaruhi oleh perkiraan peserta didik terhadap apa yang akan diujikan. Oleh karena itu ujian nasional yang umumnya menanyakan dimensi kognitif dari mata pelajaran akan menyebabkan peserta didik dalam proses belajarnya tidak merasa perlu untuk membaca novel, tidak merasa perlu untuk melakukan percobaan di laboratorium, tidak merasa perlu untuk melakukan berbagai aktivitas belajar lainnya yang bermanfaat bagi pengembangan potensi dirinya karena semua itu tidak akan diujikan.26 Dampak lainnya dari kebijakan ujian nasional adalah guru akan membantu peserta didik untuk menghadapi ujian 25Republik
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, h. 3. 26Erlan
Muliadi “Analisis Kebijakan Ujian Nasional.” Blog. Pribadi. http://erlanmuliadi. blogspot.com/2011/05/analisiskebijakan-pelaksanaan-ujian.html (8 Juni 2014).
116
dengan cara melatih peserta didik menjawab soal-soal ujian. Sekolah dan pemerintah daerah akan berusaha agar siswanya banyak yang lulus termasuk dengan cara-cara yang tidak etis, misalnya pembentukan “tim sukses UN.” Hal ini terjadi karena menyangkut akreditasi dan citra sekolah serta daerah, yang berpengaruh terhadap pandangan masyarakat terhadap sekolah dan daerah tersebut. Sekolah yang siswanya banyak yang tidak lulus akan dianggap sebagai sekolah tidak bermutu, sehingga tahun berikutnya masyarakat tidak mau menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut. Dampak-dampak di atas sebagai akibat diterapkannya kebijakan ujian nasional tidak mungkin mampu mewujudkan proses pembelajaran yang mengembangkan kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan keterampilan. Mengenai fungsi dan tujuan pendidikan nasional, UU RI No. 20 tahun 2003 pasal 3 menyatakan: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.27 Fungsi pendidikan yang dikemukakan dalam UU Sisdiknas tersebut sesuai dengan empat misi negara yang 27Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, h. 7.
117
tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Mengapa para pendiri republik ini menetapkan misi “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai salah satu misi penyelenggaraan negara? Berdasarkan pemahaman tentang latar belakang sejarah Indonesia sebelum kedatangan penjajah, yakni setelah runtuhnya Majapahit pada abad ke15, wilayah nusantara terpecah menjadi puluhan kerajaan kecil yang selanjutnya dikuasai oleh penjajah sejak abad ke17. Kondisi nusantara sejak saat itu sangat jauh tertinggal dalam hampir semua dimensi kehidupan, baik ekonomi, politik, dan iptek oleh bangsa-bangsa Eropa yang telah bangkit menjadi negara-negara industri sejak Renaissance. Oleh karena itu, tampaknya para pendiri republik bercitacita membangun sebuah negara yang cerdas kehidupannya, yaitu masyarakat negara yang maju, modern, demokratis, dan berkeadilan sosial. Tampaknya para pendiri republik pun berpegang kepada paradigma yang dianut oleh negaranegara maju saat itu yakni “build nation build school.”28 Apabila fungsi dan tujuan pendidikan seperti yang digariskan dalam ketentuan UU Sisdiknas tersebut tercapai, Indonesia akan menjadi negara yang maju dan cerdas kehidupannya. Namun faktanya, ujian nasional tidak akan dapat mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan tersebut karena ujian nasional tidak dapat mengukur seberapa jauh perkembangan kemampuan dan watak peserta didik.
28Hafiz
Farihi, “Kebijakan Ujian Nasional,” Blog Pribadi, http://hafizfarihi.blogspot.com /2011/12/positioning-paperkebijakan-ujian.html
118
Fungsi dan tujuan pendidikan nasional tidak akan tercapai melalui proses pembelajaran yang mengutamakan belajar mencatat, mendengar, dan menghafal. Walaupun begitu, pemerintah berpendapat bahwa ujian nasional mampu meningkatkan mutu pendidikan dan meningkatkan etos kerja serta semangat belajar peserta didik. Bagi pemerintah, ujian nasional yang secara statistik mengalami peningkatan nilai kelulusan dari tahun ke tahun diartikan sebagai peningkatan mutu pendidikan. Apakah mutu bisa diartikan sesempit dan sedangkal itu? Lalu semangat belajar peserta didik agar dapat lulus ujian diartikan juga sebagai peningkatan etos kerja. Apakah hal-hal yang menjadi akibat diterapkannya kebijakan ujian nasional benar mampu menciptakan masyarakat yang beretos kerja tinggi? Justru yang terjadi di lapangan adalah maraknya kecurangan dan manipulasi nilai, yang bukan saja tidak berlaku valid untuk menyatakan peningkatan mutu, bahkan kondisi seperti ini telah menyebabkan kemerosotan karakter. Selama sarana prasarana tidak memadai, kualitas pendidikan dan pelatihan guru masih buruk, media belajar yang terbatas, manajemen sekolah yang kacau, dan kurikulum tidak tepat guna, apa yang bisa diharapkan dari peningkatan mutu pendidikan? Jika pemerintah tetap menekankan pada ketercapaian standar kompetensi lulusan tanpa mendorong secara maksimal pemenuhan ketujuh standar lainnya (standar isi, standar proses, standar sarana prasarana, standar pembiayaan, standar pengelolaan, standar penilaian, dan standar pendidik dan tenaga kependidikan) usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan menciptakan sumber daya manusia yang mampu bersaing di dunia internasional tidak akan banyak berarti. 119
Berdasarkan laporan UNDP, Indeks Prestasi Manusia Indonesia tahun 2010 berada di peringkat 108 dari 169 negara di dunia. Peringkat ini berada di bawah negaranegara tetangga lain seperti Malaysia yang berada di 57, China pada posisi 89, Thailand di peringkat 92, dan Filipina di posisi 97. Studi ini menilai tingkat ekonomi, kesehatan, dan pendidikan suatu negara. Artinya Indonesia masih dalam keadaan miskin, sakit, dan bodoh.29 Studi PISA yang dilakukan oleh negara-negara OECD untuk menilai kemampuan membaca, matematika, dan sains siswa menilai bahwa Indonesia berada di peringkat 10 terbawah dari 65 negara pada tahun 2009. Perihal kemampuan membaca, Indonesia berada di peringkat 57 dibawah Thailand yang berada di perngkat 50. Kemampuan matematika Indonesia berada di peringkat 61 dan Thailand tetap di peringkat 50. Kemampuan sains Indonesia mendapat peringkat 60 sementara Thailand di posisi 49.30 Bedasarkan data Depdiknas tahun 2007/2008 sebanyak 35% ruang kelas TK dalam keadaan rusak. Di SD terdapat 48% ruang kelas rusak. Di SMP sebanyak 20% ruang kelas yang ruasak. Sementara di SMA dan SMK 10% dinyatakan rusak. Untuk fasilitas perpustakaan di SMP hanya memenuhi 23% dari seluruh SMP di Indonesia. Artinya 77% SMP tidak dilengkapi dengan perpustakaan. Laboratorium hanya 27% untuk tingkat SMP. Artinya 73% 29Hafiz Farihi, “Kebijakan Ujian Nasional,” Blog Pribadi, http://hafizfarihi.blogspot.com /2011/12/positioning-paperkebijakan-ujian.html 30Hafiz
Farihi, “Kebijakan Ujian Nasional,” Blog Pribadi, http://hafizfarihi.blogspot.com /2011/12/positioning-paperkebijakan-ujian.html
120
SMP tidak memiliki laboratorium. Untuk SMA/SMK, baru 39% sekolah yang sudah dilengkapi perpustakaan sementara 61% belum mempunyai perpustakaan. Laboratorium SMA/SMK hanya memenuhi 59% sehingga 41% SMA/SMK tidak memiliki laboratorium. Data tersebut menunjukkan bahwa sarana dan prasarana sekolah masih belum memadai.31 Hal-hal di atas yang mesti dibenahi oleh pemerintah sebelum menyeragamkan standar kelulusan peserta didik melalui ujian nasional. E.
Dampak Ujian Nasional terhadap Kualitas Pendidikan Nasional Penyelenggaraan ujian nasional memiliki keuntungan dan kelemahan. Adapun keuntungannya adalah: (1) UN dapat menggambarkan indikator kondisi pendidikan di Indonesia secara umum. (2) UN dapat memacu sekolah, dinas pendidikan (provinsi dan kabupaten/kota) untuk berkompetisi dalam meningkatkan kualitas pendidikan. (3) UN dapat memotovasi guru untuk senantiasa meningkatkan kualitas pembelajaran, sehingga guru senantiasa meningkatkan kompetensinya untuk menuju guru yang profesional. (4) UN juga dapat memotivasi siswa untuk terus belajar sehingga mampu meraih nilai UN yang tinggi. Artinya, UN dapat membelajarkan peserta didik sehingga mampu berkembang secara optimal dalam mengembangkan potensinya. Selain keuntungan di atas, pelaksanaan UN juga memiliki kelemahan dan dampak negatif. Apabila kondisi ini terus berlanjut dikhawatirkan kualitas pendidikan akan 31Hafiz
Farihi, “Kebijakan Ujian Nasional,” Blog Pribadi, http://hafizfarihi.blogspot.com /2011/12/positioning-paperkebijakan-ujian.html
121
semakin merosot dan tujuan pendidikan nasional akan sulit untuk diwujudkan, dan pada akhirnya kondisi masyarakat dan bangsa ini tidak akan pernah berubah, terus berada dalam keterpurukan. Adanya keuntungan dan kekurangan dalam pelaksanaan ujian nasional menyebabkan perlu dilakukan evaluasi dan perbaikan sistem dalam penyelenggaraan ujian nasional. Jika keuntungannya lebih besar daripada kelemahannya, tentu ini menjadi pertimbangan untuk tetap melaksanakan ujian nasional di masa mendatang. Berbagai dampak negatif yang nyata terjadi di sekolah sebagai akibat diterapkannya UN di sekolah, yaitu: 1. Terjadi disorientasi pendidikan di sekolah Mata pelajaran yang di-UN-kan tidak seluruh mata pelajaran. Pembatasan mata pelajaran yang diujikan dalam UN, berakibat pada fokus proses pembelajaran di sekolah hanya ditekankan pada penguasaan mata pelajaran tersebut, sedangkan mata pelajaran lain dianggap hanya sebagai pelengkap. Hal ini menyebabkan terjadinya diskriminasi dan pengabaian terhadap mata pelajaran lain. Para siswa dan bahkan orang tua lebih memusatkan perhatiannya terhadap mata pelajaran yang akan di UN-kan, terutama pada siswa kelas akhir. Disorientasi juga terjadi pada arah dan tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Dengan adanya UN, maka pembelajaran cenderung hanya mengembangkan ranah kognitif, pada penguasaan pengetahuan, dan mengesampingkan ranah lain yang sebenarnya tidak kalah pentingnya untuk menghasilkan individu-individu yang
122
utuh dan berkarakter, yaitu ranah afektif dan psikomotorik.32 2. Proses pembelajaran yang tidak bermakna Ketika mempersiapkan para siswanya menghadapi dan mengerjakan soal-soal UN, para guru biasanya menggunakan metode pembelajaran drill, di mana para siswa dilatih untuk mengerjakan sejumlah soal yang diduga akan keluar dalam ujian. Melalui metode ini guru mengharapkan para siswa terbiasa menghadapi soal ujian, dan menguasai teknik-teknik dan trik mengerjakan soal yang dihadapi. Pembelajaran dengan model ini jelas tidak bermakna, karena apa yang dipelajari bersifat mekanistik, bukan pada penguasaan konsep yang esensial. Pembelajaran seperti ini tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir dalam memecahkan masalah, yang menjadi indikator kecerdasan sebagaimana yang diharapkan dicapai melalui pembelajaran.33 3. Upaya-upaya yang tidak fair Tuntutan kelulusan yang tinggi, baik terhadap persentase jumlah siswa yang dinyatakan lulus, maupun besarnya nilai yang diperoleh para siswa, mendorong sekolah untuk melakukan berbagai upaya untuk mencapainya. Tuntutan seperti ini sekaligus berdampak pada terbentuknya citra dan prestise sebuah sekolah. 32Djemari Mardapi dan Badrun Kartowagiran, “Dampak Ujian Nasional,” Laporan Penelitian, http://staff.uny. ac.id/ sites/default/files/6-Dampak%20Ujian%20Nasional.pdf (8 Juni 2014) 33Djemari
Mardapi dan Badrun Kartowagiran, “Dampak Ujian Nasional,” Laporan Penelitian, http://staff.uny. ac.id/sites/ default/files/6-Dampak%20Ujian%20Nasional.pdf (8 Juni 2014)
123
Sekolah yang mampu meluluskan siswanya dengan persentase dan nilai UN yang tinggi, dinilai sebagai sekolah yang berkualitas dan unggul. Setiap sekolah menginginkannya dan berbagai upaya dilakukan untuk mencapai posisi tersebut. Namun, tidak sedikit oknum guru dan kepala sekolah melakukan upaya-upaya yang tidak terpuji. Untuk mewujudkan itu, tidak jarang upaya-upaya yang tidak fair dilakukan oleh oknum guru dan kepala sekolah untuk mencapai target kelulusan yang setinggitingginya. Sekolah membentuk “Tim Sukses” untuk mendapatkan kelulusan 100% supaya memenuhi standar pelayanan minimal pendidikan. Guru memberi ‘contekan’ kepada siswa adalah suatu upaya yang sering dilakukan untuk mendongkrak nilai para siswanya dan prosentase kelulusan di sekolah. Kasus di beberapa sekolah, guru, terutama untuk mata pelajaran yang dibuat secara nasional seperti matematika, bahasa Inggris, bahasa Inggris dengan berbagai modus memberi kunci jawaban kepada siswa. Selain itu, pada tingkat penyelenggara pendidikan daerah seperti dinas pendidikan, usaha untuk menggelembungkan (mark-up) hasil ujian pun terjadi. Caranya dengan membuat tim untuk membetulkan jawaban-jawaban siswa. Kondisi seperti ini jelas jauh dari nilai-nilai kejujuran dalam pendidikan yang seharusnya menjadi bagian yang harus dikembangkan secara serius di sekolah. Jika ini berlanjut, dapat dibayangkan manusia-manusia seperti apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan (formal). Manusia yang berkembang dalam suasana yang serba tidak jujur.34 34Djemari
Mardapi dan Badrun Kartowagiran, “Dampak Ujian Nasional,” Laporan Penelitian, http://staff.uny. ac.id/ sites/default/files/6-Dampak%20Ujian%20Nasional.pdf (8 Juni 2014)
124
4. Hanya ranah kognitif yang terukur UN yang menggunakan bentuk soal multiple choise hanya akan dapat mengukur hasil belajar pada ranah kognitif. Mengacu pada ranah kognitif dari Bloom, tingkatan berpikir yang mampu terukur melalui bentuk soal multiple choise hanya sampai pada tingkat berpikir aplikasi. Kondisi seperti ini mendorong para siswa belajar dengan menghafal. Belum lagi, ranah afektif dan psikomotorik yang merupakan bagian dari tujuan pembelajaran yang juga harus diukur ketercapaiannya, tidak dilakukan. Sulit diharapkan dapat diukur dengan menggunakan UN, yang sifatnya masal dan dilakukan dalam waktu yang sangat terbatas. Sekali lagi kondisi ini akan berakibat pada pembelajaran di sekolah hanya pada pengembangan kecerdasan intelektual, sementara kecerdasan lainnya (multiple intelegence Gardner) akan tidak mendapatkan perhatian yang memadai.35 5. Keputusan yang tidak fair Selama ini hasil UN dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa. Proses belajar yang dilakukan siswa selama 3 tahun di SLTP dan SLTA, nasibnya ditentukan oleh hasil ujian yang dilakukan beberapa jam saja. Ketidaklulusan siswa dalam UN bisa jadi bukan karena faktor ketidakmampuannya menguasai materi pelajaran, tetapi karena faktor kelelahan mental (mental fatique), karena stres pada saat mengerjakan ujian atau karena kesalahan
35Djemari
Mardapi dan Badrun Kartowagiran, “Dampak Ujian Nasional,” Laporan Penelitian, http://staff.uny.ac. id/sites/ default/files/6-Dampak%20Ujian%20Nasional.pdf (8 Juni 2014)
125
pengukuran yang biasa terjadi pada setiap tes (false negative).36 Ketidakadilan juga bisa dilihat dari proses pembelajaran yang dialami siswa di satu sekolah dengan sekolah lainnya yang jauh berbeda. Para siswa yang mengikuti proses pembelajaran dengan situasi dan kondisi yang sangat jauh berbeda diuji dengan cara dan alat yang sama. Di satu sisi, siswa belajar di sekolah yang memiliki fasilitas yang lengkap dan dilayani oleh sumber daya manusia yang jumlah dan kualitasnya sangat memadai. Jelas, hasil belajar siswa yang belajar di sekolah seperti ini, sangat mungkin mencapai hasil yang optimal. Namun di sisi lain, di sekolah ‘nan jauh di sana’, sebagian besar siswanya menjalani proses pembelajaran yang serba seadanya, bahkan gedungnya pun hampir roboh. Bagaimana mungkin para siswanya dapat belajar dengan baik untuk mendapatkan hasil belajar dengan nilai yang baik dengan kondisi seperti itu. Tanpa dilakukan pengujian secara nasional pun, yang memakan biaya ratusan milyar, sudah dapat dibaca kualitas macam apa yang bisa dihasilkan dari model sekolah seperti itu. 6. Menutup akses pendidikan berkualitas bagi masyarakat miskin Selain sebagai persyaratan untuk kelulusan, hasil UN juga dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Sekolah-sekolah yang berkualitas dan ‘favorit’ akan menjadi tujuan para siswa, 36Djemari
Mardapi dan Badrun Kartowagiran, “Dampak Ujian Nasional,” Laporan Penelitian, http://staff.uny. ac.id/sites/ default/files/6-Dampak%20Ujian%20Nasional.pdf (8 Juni 2014)
126
yang berakibat pada terjadinya persaingan yang ketat antarsiswa. Tidak ada pilihan lain bagi mereka, selain berusaha mendapatkan nilai UN yang setinggi-tingginya. Untuk mewujudkan impian itu, dengan mempertimbangkan karakteristik model UN yang akan dihadapi para siswa berusaha menambah waktu belajar tambahan dengan mencari guru privat atau mengikuti bimbingan belajar adalah pilihan yang selama ini dianggap tepat. Upaya ini tentu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mampu, karena upaya tersebut menuntut biaya yang tidak sedikit. Siswa miskin hanya bisa berusaha keras atas kemampuannya sendiri. Kondisi akhir sudah bisa ditebak mereka yang miskin akan kalah bersaing untuk dapat masuk ke sekolah berkualitas.37 Kajian tentang dampak negatif UN telah pula dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat dan beberapa lembaga negara. Tim Advokasi Korban Ujian Nasional (TeKUN) bersama Education Forum juga mengajukan permasalahan ujian nasional ini ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Senada dengan para penggugat, KPAI memandang bahwa kebijakan ujian nasional bermasalah. Setelah pada tahun 2008 KPAI melakukan kajian secara intens yang melibatkan banyak pihak di berbagai bidang ilmu diperoleh kesimpulan bahwa ujian nasional bertentangan dengan perspektif perlindungan anak yang dilihat dari empat hal:
37Djemari
Mardapi dan Badrun Kartowagiran, “Dampak Ujian Nasional,” Laporan Penelitian, http://staff.uny. ac.id/sites/default/files/6-Dampak%20Ujian%20Nasional.pdf (8 Juni 2014)
127
1. Ujian nasional sangat diskriminatif karena kondisi siswa dan sekolah yang sangat berbeda/beragam karena faktor geografis, budaya, dan sosial ekonominya. Tetapi anakanak diperlakukan dan dituntut untuk mencapai target yang sama. 2. Ujian nasional lebih menekankan kepada kepentingan politik pemerintah daripada kepentingan anak. Seharusnya yang diutamakan adalah menjalankan proses pendidikan ramah anak, akses yang mudah, sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, dan guru-guru yang berkualitas. 3. Ujian nasional mengganggu tumbuh kembang anak karena di dalam persiapannya ada proses yang tidak wajar bahkan tidak manusiawi, dengan penuh tekanan, menciptakan suasana khawatir dan takut, serta ancaman kekerasan. 4. Ujian nasional tidak menghargai partisipasi anak karena sementara anak mengalami tekanan kejiwaan, menteri, bupati, kepala dinas pendidikan, dan kepala sekolah bergembira dengan angka-angka kelulusan. Selayaknya anak dihargai dan didengar pendapatnya.38 Selain itu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga mengeluarkan rekomendasi terkait kebijakan ujian nasional. Komnas HAM mendesak kepada Presiden, Mendiknas, dan Ketua BSNP untuk melakukan: 1. Peninjauan ulang terhadap sistem pendidikan nasional; 38Hadi
Supeno, “Ujian Nasional dalam Perspektif Perlindungan Anak,” Makalah disajikan untuk bahan Diskusi Publik seputar “Penolakan kasasi Pemerintah oleh Mahkamah Agung dalam Kasus Gugatan Ujian Nasional” di LBH Jakarta, Selasa 1 Desember 2009. Dikutip dalam Hafiz Farihi, “Kebijakan Ujian Nasional,” Blog Pribadi, http://hafizfarihi.blogspot.com /2011/12/positioning-paper-kebijakan-ujian.html (8 Juni 2014).
128
2. Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dengan menghapus pasal 72 yang menyebutkan UN sebagai syarat kelulusan; 3. Meninjau ulang atau menghentikan Pelaksanaan Ujian Nasional; 4. Mematuhi Putusan hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST yang diperkuat dengan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Nomor : 377/K/PDT/2007/PT.DKI dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 2596K/PDT/2009.39 Pernyataan-pernyataan dari KPAI dan Komnas HAM, terlebih keputusan pengadilan tampaknya tidak mengubah keputusan pemerintah terhadap kebijakan ujian nasional. Pemerintah tidak menghiraukan saran dan kritikkritik tersebut dan tetap melaksanakan ujian nasional. Mencermati berbagai dampak negatif yang muncul sebagai akibat dilaksanakannya UN, perlu dilakukan kajian secara komprehensif, baik menyangkut aspek akademis/pedagogis, yuridis formal, maupun kajian empiric untuk melihat bagaimana seharusnya menempatkan ujian sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan dalam proses pembelajaran di sekolah. Hal ini penting agar peran dan fungsi ujian berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan diselenggarakannya evaluasi dalam suatu proses pembelajaran.
39Pers
Release Tim Advokasi Korban Ujian Nasional dan Education Forum. “Gugatan ujian Nasional Kembali Dimenangkan oleh Mahkamah Agung, Permohonan Kasasi Pemerintah Ditolak.” Jakarta 25 November 2009. Dikutip dalam Dikutip dalam Hafiz Farihi, “Kebijakan Ujian Nasional,” Blog Pribadi, http://hafizfarihi.blogspot.com /2011/12/positioning-paperkebijakan-ujian.html (8 Juni 2014).
129
130
BAB V PENGEMBANGAN DAN IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 A. Pendahuluan Pendidikan secara historis maupun filosofis telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral, dan etik dalam proses pembentukan jati diri bangsa. Pendidikan merupakan variabel yang tidak dapat diabaikan dalam mentransformasi ilmu pengetahuan, keahlian dan nilai-nilai akhlak. Hal tersebut sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan sebagaimana yang tercantum dalam UU RI No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 pasal 3, sebagai berikut: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar manjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”1 Semua program pendidikan di berbagai jenjang, jenis, jalur pendidikan dirancang untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut. Rancangan program pendidikan itu disebut dengan istilah kurikulum. Kurikulum adalah niat dan harapan yang dituangkan dalam bentuk rencana atau program pendidikan untuk dilaksanakan oleh guru di sekolah. 1Republik
Indonesia, Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) (UU RI No. 20 Th. 2003) Cet. V; Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 7.
131
Kurikulum merupakan salah satu alat untuk membina dan mengembangkan siswa menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Salah satu persoalan pendidikan kita yang masih menonjol saat ini adalah adanya kurikulum yang silih berganti dan terlalu membebani anak tanpa ada arah pengembangan yang betul-betul diimplementasikan sesuai dengan perubahan yang diinginkan pada kurikulum tersebut. Tidak bisa dipungkiri bahwa perubahan kurikulum selalu mengarah pada perbaikan sistem pendidikan. Perubahan tersebut dilakukan karena dianggap belum sesuai dengan harapan yang diinginkan sehingga perlu adanya revitalisasi kurikulum. Usaha tersebut mesti dilakukan demi menciptakan generasi masa depan berkarakter, yang memahami jati diri bangsanya dan menciptakan anak yang unggul, mampu bersaing di dunia internasional. Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan dalam suatu sistem pendidikan, karena itu kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan dan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran pada semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan.2 Selain merumuskan tujuan yang harus dicapai, kurikulum juga memberikn pemahaman tentang pengalaman belajar dan rencana belajar yang harus dimiliki setiap peserta didik.3 2Ramayulis,
Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2002),
h. 127. 3Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum di Sekolah (Cet. II; Bandung: CV Sinar Baru, 1992), h. 4-6.
132
Pengembangan kurikulum bukanlah hal yang mudah. Proses pengembangan suatu kurikulum harus memperhatikan sistem nilai yang berlaku serta perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Kurikulum harus berfungsi mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik sesuai bakat dan minatnya, maka proses pengembangan dan implementasi kurikulum harus memperhatikan segala aspek yang terdapat pada diri peserta didik. Alasan inilah kurikulum harus dievaluasi secara terus-menerus dan dikembangkan agar isi dan muatannya selalu relevan dengan tuntutan masyarakat sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.4 Kurikulum sifatnya dinamis karena selalu berubahubah sesuai dengan perkembangan dan tantangan zaman. Semakin maju peradaban suatu bangsa, maka semakin berat pula tantangan yang dihadapinya. Persaingan ilmu pengetahuan semakin gencar dilakukan oleh dunia internasional, sehingga Indonesia juga dituntut untuk dapat bersaing secara global demi mengangkat martabat bangsa. Menghadapi tantangan yang akan menimpa dunia pendidikan kita, ketegasan kurikulum dan implementasinya sangat dibutuhkan untuk membenahi kinerja pendidikan yang jauh tertinggal dengan negara-negara maju di dunia. Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diharapkan dapat mewujudkan proses berkembangnya kualitas pribadi peserta didik sebagai generasi penerus bangsa di masa depan, yang diyakini akan menjadi faktor determinan bagi
4Wina
Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran Teori dan Praktek Pengembangan KurikulumTingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (Cet. I; Jakarta: Kencana Media Group, 2008), h. vii.
133
tumbuh kembangnya bangsa dan negara Indonesia sepanjang jaman. Mencermati sekian banyak unsur sumber daya pendidikan, kurikulum merupakan salah satu unsur yang telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam mewujudkan proses berkembang kualitas potensi peserta didik. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangandan implementasi kurikulum yang berbasis pada kompetensi sangat diperlukan sebagai instrumen untuk mengarahkan peserta didik menjadi insan Indonesia yang memiliki sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi. Pembahasan tentang Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013 di dalam bab ini dibahas secara teoretis mulai dari bagaimana hakekat kurikulum 2013, bagaimana pengembangan kurikulum 2013, bagaimana implementasi kurikulum 2013. B. Hakekat Kurikulum 2013 1. Pengertian Kurikulum Kurikulum merupakan alat yang sangat penting dalam menjamin keberhasilan proses pendidikan, artinya tanpa kurikulum yang baik dan tepat akan sulit mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yang dicita-citakan. Berbicara mengenai pengertian kurikulum akan didapatkan beragam pengertian yang berbeda-beda. Secara etimologis kata kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang berarti pelari dan curere yang berarti tempat berpacu. Istilah ini adalah yang berasal dari dunia olahraga pada zaman Romawi kuno di Yunani, yang mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari garis start sampai finish.5 5Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi Pendidikan (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), h. 176.
134
Muhammad Ali al-Khawli dalam Abdul Mujib mengatakan bahwa kurikulum adalah manhaj yang merupakan seperangkat perencanaan dan media untuk mengantar lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan.6 Kurikulum memuat isi dan materi pelajaran atau sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh dan dipelajari peserta didik untuk memperoleh sejumlah pengetahuan.7 Kurikulum dipandang sebagai rencana pembelajaran merupakan suatu program pendidikan yang disediakan untuk membelajarkan peserta didik. Melalui program ini peserta didik melakukan berbagai kegiatan belajar, sehingga terjadi perubahan dan perkembangan tingkah laku peserta didik menuju tujuan pendidikan dan pembelajaran yang diharapkan.8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 butir 19 menjelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.9 Baego Ishak membagi pengertian kurikulum dalam dua batasan, yakni pengertian kurikulum menurut 6Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam Edisi I (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2008), h. 122. 7Sudirman,
Ilmu Pendidikan (Bandung: CV Remaja Karya, 1987),
h. 9. 8Oemar
Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran Edisi I (Cet. VI; Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 16-17. 9Republik Indonesia, Undang-Undang Pendidikan Nasional) (UU RI No. 20 Th. 2003), h.
135
SISDIKNAS
(Sistem
pandangan lama dan pengertian kurikulum menurut pandangan baru. Pengertian kurikulum menurut pandangan lama dimaknai sebagai hasil pendidikan yang harus dicapai, maksudnya setiap peserta didik harus menempuh sejumlah mata pelajaran tertentu atau sejumlah pengetahuan yang harus dikuasai untuk mencapai suatu tingkat pendidikan atau ijazah tertentu. Sedangkan kurikulum menurut pandangan baru dimaknai sebagai pengalaman belajar peserta didik.10 Sementara itu S. Nasution merinci pengertian kurikulum dalam beberapa penggolongan. (1)kurikulum dilihat sebagai produk; sebagai karya para pengembang kurikulum yang hasilnya dituangkan dalam bentuk buku atau pedoman kurikulum. (2)kurikulum dapat dilihat sebagai program; yakni kurikulum sebagai alat yang digunakan oleh sekolah untuk mencapai tujuannya, selain mata pelajaran juga termasuk seluruh kegiatan yang dapat mempengaruhi perkembangan peserta didik. (3)kurikulum dipandang sebagai hal-hal yang diharapkan akan dipelajari setiap peserta didik yakni pengetahuan, sikap, ketrampilan tertentu. (4)kurikulum dapat dilihat sebagai pengalaman peserta didik; ketiga pandangan sebelumnya berkenaan dengan perencanaan kurikulum sedangkan pandangan keempat ini mengenai apa yang secara aktual menjadi kenyataan pada setiap peserta didik.11 Hal senada juga dapat ditemukan pengertian kurikulum sebagaimana yang disampaikan oleh Dimyati dan Mudjiono. Mereka menyuguhkan lima penggolongan 10Baego
Ishak, Pengembangan Kurikulum (Ujung Pandang: IAIN Alauddin Press,1998), h. 4-8. 11S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum Edisi II (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 8-9.
136
posisi pengertian kurikulum. Kurikulum sebagai jalan meraih ijazah, kurikulum sebagai mata dan isi pelajaran, kurikulum sebagai rencana kegiatan pembelajaran, kurikulum sebagai hasil belajar, dan kurikulum sebagai pengalaman belajar.12 Berdasarkan pengertian kurikulum di atas, penulis berkesimpulan meskipun para ahli kurikulum berbeda pendapat tentang pengertian kurikulum, namun ada kesamaan satu fungsi kurikulum yaitu bahwa kurikulum adalah alat yang bisa digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan itu sendiri, karena setiap kurikulum yang ditetapkan sudah pasti memiliki tujuan-tujuan yang harus dicapai. 2. Mengenal Pelaksanaan Kurikulum 2013 Hal mendasar dari kurikulum 2013, menurut Mulyoto adalah masalah pendekatan pembelajarannya. Selama ini, pendekatan yang digunakan adalah materi,jadi materi di berikan pada anak didik sebanyak-banyaknya sehingga mereka menguasai materi itu secara maksimal. Bahkan demi penguasaan materi itu, drilling sudah diberikan sejak awal, jauh sebelum siswa menghadapi ujian nasional. Pembelajaran seperti ini, tujuan pembelajaran yang dicapai lebih kepada aspek kognitif dengan menafikan aspek psikomotrik dan afektif.13 Ketiga aspek tersebut sebenarnya sudahmendapat penekanan pada kurikulum selama ini. Pemberlakuan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun 2004, aspek kognitif, psikomotorik dan afektif (yang dikenal 12Dimyati
dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 264. 13Mulyoto, Strategi Pembelajaran di 2013(Jakarta:Prestasi Pustaka Raya, 2013), h. 114-115.
137
Era
Kurikulm
dengan taksonomi Bloom tentang tujuan pendidikan), telah juga menjadi kompetensi integral yang harus dicapai. Selanjutnya, pada saat pemberlakuan kurikulum 2006, melalui pendidikan karakter, aspek afektif yang seolah dilupakan para praktisi pendidikan, digaungkan namun demikian dalam tataran praksis hanya aspek kognitif yang dikejar. Penyebabnya adalah kurikulum tidak dikawal dengan kebijakan yang sinergis, tetapi malah dijegal dengan kebijakan ujian nasional. Soal-soal ujian nasional hanya menguji pencapaian aspek kognitif. Pencapaian aspek psikomotorik dan afektif tidak bisa diukur dengan menggunakan tes ini. Bahkan padahal tes ini adalah penentu kelulusan. Akibatnya, pembelajaran yang terjadi adalah pembelajaran yang berbasis materi tanpa memperdulikan penanaman keterampilan dan sikap. Kenyataan menunjukkan bahwa sejak awal siswa telah dibiasakan menghadapi soal-soal model ujian nasional. Pembelajaran mengacu pada kompetensi dasar yang yang nanti akan diujikan dalam ujian nasional. Bahkan ada pula guru yang menggunakan soal-soal ujian nasional yang telah diujikan pada tahun sebelumnya sebagai acuan dalam pembelajaran. Menjelang menghadapi ujian nasional, guru memberikan pembelajaran ujian nasional pada siswanya. Apapun yang tidak ada kaitannya dengan ujian nasional ditiadakan. Berdasarkaan pengalaman selama ini, hal tersebut harus didukung dengan kebijakan yang konsisten, yaitu sistem evaluasi yang mengukur pencapaian kemampuan kognitif, psikomotorik dan afektif secara berimbang. Ujian nasional (UN) atau apapun namanya harus mampu mengukur ketiga aspek tersebut, sehingga penentu kelulusan nantinya adalah transkrip nilai yang diperoleh 138
dari nilai raport tiap semester, karena nilai-nilai raport sebagai hasil evaluasi pembelajaran mengandung ketiga aspek secara menyeluruh, maka pembelajaran juga akan diberikan secara menyeluruh dalam ketiga aspek tersebut. 3. Keunggulan dan Kelemahan Kurikulum 201314 Implementasi kurikulum 2013 diharapkan dapat menghasilkan insane yang produktif, kreatif, dan inovatif. Hal ini dimungkinkan, karena kurikulum ini berbasis karakter dan kompotensi, yang secara konseptual memiliki beberapa keunggulan dan kelemahan. Adapun keunggulan kurikulum 2013, di antaranya: a. Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan yang bersifat alamiah (kontekstual) karena berfokus dan bermuara pada hakekat peserta didik untuk mengembangkan berbagai kompetensi sesuai dengan kompetensinya masing-masing. Hal ini peserta didik merupakan subjek belajar dan proses belajar berlangsung secara alamiah dalam bentuk bekerja dan mengalami berdasarkan kompetensi tertentu, bukan transfer pengetahuan. b. Kurikulum 2013 yang berbasis karakter dan kompetensi boleh jadi mendasari pengembangan kemampuankemampuan lain. Penguasaan ilmu pengetahuan, dan keahlian tertentu dalam suatu pekerjaan, kemampuan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, serta pengembangan aspek-aspek kepribadian dapat dilakukan secara optimal berdasarkan standar kompetensi tertentu. c. Terdapat bidang-bidang studi atau mata pelajaran tertentu yang dalam pengembangannya lebih cepat
14E. Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013 (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), h. 163-165.
139
menggunakan pendekatan kompetensi, terutama yang berkaitan dengan keterampilan. d. Lebih menekankan pada pendidikan karakter. Selain kreatif dan inovatif, pendidikan karakter juga penting yang nantinya terintegrasi menjadi satu. Misalnya, pendidikan budi pekerti luhur dan karakter harus diintegrasikan kesemua program studi. e. Asumsi dari kurikulum 2013 adalah tidak ada perbedaan antara anak desa dan kota. Seringkali anak di desa cenderung tidak diberi kesempatan untuk memaksimalkan potensi mereka. f. Kesiapan terletak pada guru. Guru juga harus terus dipacu kemampuannya melalui pelatihan-pelatihan dan pendidikan calon guru untuk meningkatkan kecakapan profesionalisme secara terus menerus. Selanjutnya, adapun kelemahan Kurikulum 2013, di antaranya: a. Pemerintah seolah melihat semua guru dan siswa memiliki kapasitas yang sama dalam kurikulum 2013. Guru juga tidak pernah dilibatkan langsung dalam proses pengembangan kurikulum 2013. b. Tidak ada keseimbangan antara orientasi proses pembelajaran dan hasil dalam kurikulum 2013. Keseimbangan sulit dicapai karena kebijakan ujian nasional (UN) masih diberlakukan. c. Pengintegrasian mata pelajaran IPA dan IPS dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk jenjang pendidikan dasar tidak tepat, karena rumpun ilmu pelajaranpelajaran tersebut berbeda. C. Pengembangan Kurikulum 2013 Pengembangan kurikulum merupakan suatu proses yang kompleks dan melibatkan berbagai komponen 140
yang saling terkait. Demikian halnya dalam proses pengembangan kurikulum 2013, tidak hanya menuntut keterampilan teknis dari pihak pengembang terhadap pengembangan berbagai komponen kurikulum, tetapi harus pula dipahami berbagai komponen yang mempengaruhinya. 1. Landasan Pengembangan Kurikulum 2013 Pengembangan kurikulum 2013 dilandasi secara filosofis, yuridis dan landasan teoritis sebagai berikut: a. Landasan Filosofis Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional maka pengembangan kurikulum haruslah berakar pada budaya bangsa, kehidupan bangsa masa kini, dan kehidupan bangsa di masa mendatang. Pendidikan berakar pada budaya bangsa. Proses pendidikan adalah suatu proses pengembangan potensi peserta didik sehingga mereka mampu menjadi pewaris dan pengembang budaya bangsa. Melalui pendidikan berbagai nilai dan keunggulan budaya di masa lampau diperkenalkan, dikaji, dan dikembangkan menjadi budaya dirinya, masyarakat, dan bangsa yang sesuai dengan zaman dimana peserta didik tersebut hidup dan mengembangkan diri. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat di pahami bahwa ada 2 landasan filosofis terhadap pengembangan kurikulum 2013, yaitu: 1) Filosofis Pancasila yang memberikan berbagai prinsip dasar dalam pembangunan pendidikan. 2) Filosofis pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai luhur, nilai akademik, kebutuhan peserta didik, dan masyarakat.15
15E.
Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, h.
64.
141
Kemampuan menjadi pewaris dan pengembang budaya tersebut akan dimiliki peserta didik apabila pengetahuan, kemampuan intelektual, sikap dan kebiasaan, keterampilan sosial memberikan dasar untuk secara aktif mengembangkan dirinya sebagai individu, anggota masyarakat, warganegara, dan anggota umat manusia. Pendidikan juga harus memberikan dasar bagi keberlanjutan kehidupan bangsa dengan segala aspek kehidupan bangsa yang mencerminkan karakter bangsa masa kini. Konten pendidikan yang mereka pelajari tidak semata berupa prestasi besar bangsa di masa lalu tetapi juga hal-hal yang berkembang pada saat kini dan akan berkelanjutan ke masa mendatang. Berbagai perkembangan baru dalam ilmu, teknologi, budaya, ekonomi, sosial, politik yang dihadapi masyarakat, bangsa dan umat manusia dikemas sebagai konten pendidikan. Konten pendidikan dari kehidupan bangsa masa kini memberi landasan bagi pendidikan untuk selalu terkait dengan kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, kemampuan berpartisipasi dalam membangun kehidupan bangsa yang lebih baik, dan memosisikan pendidikan yang tidak terlepas dari lingkungan sosial, budaya, dan alam. Lagipula, konten pendidikan dari kehidupan bangsa masa kini akan memberi makna yang lebih berarti bagi keunggulan budaya bangsa di masa lalu untuk digunakan dan dikembangkan sebagai bagian dari kehidupan masa kini. b. Landasan Yuridis Secara konseptual, kurikulum merupakan respon pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat dan bangsa dalam membangun generasi muda bangsanya. Secara pedagogis, kurikulum merupakan rancangan pendidikan yang memberi kesempatan untuk peserta didik 142
mengembangkan potensi dirinya dalam suatu suasana belajar yang menyenangkan dan sesuai dengan kemampuan dirinya untuk memiliki kualitas yang diinginkan masyarakat dan bangsanya. Secara yuridis, kurikulum adalah suatu kebijakan publik yang didasarkan kepada dasar filosofis bangsa dan keputusan yuridis di bidang pendidikan. Adapun landasan yuridis kurikulum 2013 adalah: 1) Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, UndangUndang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; 2) Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; 3) Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompotensi Lulusan; 4) Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi; 5) INPRES Nomor 1 Tahun 2010, tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional, penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasaran nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa.16 c. Landasan Teoritis Kurikulum dikembangkan atas dasar teori pendidikan berdasarkan standar dan teori pendidikan berbasis kompetensi. Pendidikan berdasarkan standar adalah pendidikan yang menetapkan standar nasional sebagai kualitas minimal hasil belajar yang berlaku untuk setiap kurikulum. Standar kualitas nasional dinyatakan sebagai standar kompetensi lulusan. Standar kompetensi
16E.
Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, h.
64.
143
lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.17 Standar kompetensi lulusan dikembangkan menjadi standar kompetensi lulusan satuan pendidikan yaitu SKL SD, SMP, SMA, dan SMK. Standar kompetensi lulusan satuan pendidikan berisikan 3 (tiga) komponen yaitu kemampuan proses, konten, dan ruang lingkup penerapan komponen proses dan konten. Komponen proses adalah kemampuan minimal untuk mengkaji dan memproses konten menjadi kompetensi. Komponen konten adalah dimensi kemampuan yang menjadi sosok manusia yang dihasilkan dari pendidikan. Komponen ruang lingkup adalah keluasan lingkungan minimal dimana kompetensi tersebut digunakan, dan menunjukkan gradasi antara satu satuan pendidikan dengan satuan pendidikan di atasnya serta jalur satuan pendidikan khusus (SMK, SDLB, SMPLB, dan SMALB).18 Kompetensi adalah kemampuan seseorang bersikap, menggunakan pengetahuan dan keterampilan untuk melaksanakan suatu tugas di sekolah, masyarakat, dan lingkungan tempat terjadinya interaksi. Kurikulum dirancang untuk memberikan pengalaman belajar bagi peserta didik untuk mengembangkan sikap, keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk membangun kemampuan tersebut. Pengalaman belajar tersebut adalah hasil belajar peserta didik yang menggambarkan manusia dengan kualitas yang dinyatakan dalam SKL.
17Republik Indonesia, Amandemen Standar Nasional Pendidikan (PP No. 32 Tahun 2013) dilengkapi dengan PP No. 19 Tahun 2005 (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 55. 18Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Draft Kurikulum 2013 (Jakarta: Kemendikbud, 2013), h. 5.
144
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.19 Kurikulum dirancang baik dalam bentuk dokumen, proses, maupun penilaian didasarkan pada pencapaian tujuan, konten dan bahan pelajaran serta proses pembelajaran. Konten pendidikan dalam SKL dikembangkan dalam bentuk kurikulum satuan pendidikan dan jenjang pendidikan sebagai suatu rencana tertulis (dokumen) dan kurikulum sebagai proses (implementasi). Dimensi sebagai rencana tertulis, kurikulum harus mengembangkan SKL menjadi konten kurikulum yang berasal dari prestasi bangsa di masa lalu, kehidupan bangsa masa kini, dan kehidupan bangsa di masa mendatang. Dimensi rencana tertulis, konten kurikulum tersebut dikemas dalam berbagai mata pelajaran sebagai unit organisasi konten terkecil. Setiap mata pelajaran terdapat konten spesifik yaitu pengetahuan dan konten berbagi dengan mata pelajaran lain yaitu sikap dan keterampilan. Secara langsung mata pelajaran menjadi sumber bahan ajar yang spesifik dan berbagi untuk dikembangkan dalam dimensi proses suatu kurikulum. Kurikulum dalam dimensi proses adalah realisasi ide dan rancangan kurikulum menjadi suatu proses pembelajaran. Guru adalah tenaga kependidikan utama yang mengembangkan ide dan rancangan tersebut menjadi proses pembelajaran. Pemahaman guru tentang kurikulum akan menentukan rancangan guru (Rencana Program 19Republik Indonesia, Amandemen Standar Nasional Pendidikan (PP No. 32 Tahun 2013) dilengkapi dengan PP No. 19 Tahun 2005, h. 56.
145
Pembelajaran) dan diterjemahkan ke dalam bentuk kegiatan pembelajaran. Peserta didik berhubungan langsung dengan apa yang dilakukan guru dalam kegiatan pembelajaran dan menjadi pengalaman langsung peserta didik. Pengalaman langsung yang dialami peserta didik akan menjadi hasil belajar pada dirinya dan menjadi hasil kurikulum. Proses pembelajaran harus memberikan kesempatan yang luas kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya menjadi hasil belajar yang sama atau lebih tinggi dari yang dinyatakan dalam standar kompetensi lulusan. Kurikulum berbasis kompetensi adalah “outcomesbased curriculum” dan oleh karenanya pengembangan kurikulum diarahkan pada pencapaian kompetensi yang dirumuskan dari SKL. Demikian pula penilaian hasil belajar dan hasil kurikulum diukur dari pencapaian kompetensi. Keberhasilan kurikulum diartikan sebagai pencapaian kompetensi yang dirancang dalam dokumen kurikulum oleh peserta didik. 2. Tujuan Pengembangan Kurikulum 2013 Pengembangan kurikulum 2013 pada dasarnya bertujuan menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, afektif, dan melalui penguatan sikap, keterampilan, serta pengetahuan yang terintegrasi.20 Pengembangan kurikulum 2013 difokuskan pada pembentukan kompotensi dan karakter peserta didik, berupa paduan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat didmonstrasikan peserta didik sebagai wujud pemahaman terhadap konsep yang dipelajarinya secara
20Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Implementasi Kurikulum 2013 dan Relevansinya dengan Kebutuhan Kualifikasi Kompetensi Lulusan (Semarang: Kemendikbud, 2013), h. 2.
146
kontekstual, serta memungkinkan para guru menilai hasil belajar siswa dalam proses pembelajaran yang mencerminkan penguasaan, pemahaman terhadap apa yang dipelajari.21 Mengacu penjelasan atas Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada bagian umum, dikatakan bahwa strategi pembangunan pendidikan nasional dalam undang-undang ini meliputi: salah satunya “pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi”22 dan pada penjelasan pasal 35 bahwa “Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati”.23 Berdasarkan uraian di atas, maka diadakanlah perubahan kurikulum dengan tujuan untuk melanjutkan pengembangan kurikulum berbasis kompotensi yang telah dirintis pada tahun 2004, kemudian kurikulum tingkat satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006 dengan mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu, bukan secara parsial. Pencapaian tujuan tersebut, menuntut perubahan pada berbagai aspek terutama dalam implementasinya di lapangan. Selanjutnya pada proses pembelajaran, dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu, sedangkan pada proses penilaian, dari berfokus pada pengetahuan melalui 21E.
Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, h.
65. 22Republik
Indonesia, Undang-Undang Pendidikan Nasional) (UU RI No. 20 Th. 2003), h. 51.
SISDIKNAS
(Sistem
23Republik Indonesia, Undang-Undang SISDIKNAS Pendidikan Nasional) (UU RI No. 20 Th. 2003), h. 63-64.
(Sistem
147
penilaian autput menjadi berbasis kemampuan melalui penilaian proses, portofolio dan penilaian output secara utuh dan menyeluruh, sehingga memerlukan penambahan jam pelajaran. 3. Prinsip Pengembangan Kurikulum 2013 Sesuai dengan kondisi Negara, kebutuhan masyarakat, dan berbagai perkembangan serta perubahan yang sedang berlangsung dewasa ini, dalam pengembangan kurikulum 2013 yang berbasis karakter dan kompetensi perlu memperhatikan dan mempertimbangkan prinsipprinsip berikut: a. Pengembangan kurikulum dilakukan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. b. Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. c. Mata pelajaran merupakan wahana untuk mewujudkan pencapaian kompetensi. d. Standar kompetensi lulusan dijabarkan dari tujuan pendidikan nasional dan kebutuhan masyarakat, negara, serta perkembangan global. e. Standar isi dijabarkan dari standar kompetensi lulusan. f. Standar proses dijabarkan dari standar isi. g. Standar penilaian dijabarkan dari standar kompetensi lulusan, standar isi, dan standar proses. h. Standar kompetensi lulusan dijabarkan ke dalam kompetensi inti. i. Kompetensi inti dijabarkan ke dalam kompetensi dasar yang dikontekstualisasikan dalam suatu mata pelajaran. j. Kurikulum satuan pendidikan dibagi menjadi kurikulum tingkat nasional, daerah, dan satuan pendidikan. Tingkat 148
nasional dikembangkan oleh pemerintah pusat, tingkat daerah dikembangkan oleh pemerintah daerah, dan tingkat satuan pendidikan dikembangkan oleh satuan pendidikan. k. Proses pembelajaran diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta member ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. l. Penilaian hasil belajar berbasis proses dan produk. m. Proses belajar dengan pendekatan ilmiah (scientific approach).24 4. Perlunya Perubahan dan Pengembangan Kurikulum 2013 Perubahan dan pengembangan kurikulum harus dilakukan secara sistematis dan terarah, tidak asal berubah. Perubahan dan pengembangan kurikulum tersebut harus memiliki visi dan arah yang jelas, mau dibawa ke mana sistem pendidikan nasional dengan kurikulum tersebut. Sehubungan dengan itu, sejak perubahan dan pengembangan kurikulum 2013 digulirkan, telah muncul tanggapan dari berbagai kalangan, baik yang pro maupun kontra. Berbicara tentang perubahan kurikulum di Indonesia, dapat dilihat dari perkembangan kurikulum yang telah berjalan sejak jaman kemerdekaan sampai dengan diberlakukannya kurikulum 2013. Hal tersebut dapat digambarkan pada diagram berikut:25 24
E. Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, h.
81-82. 25Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Pedoman Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013 (Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya
149
Menghadapi berbagai tanggapan tersebut, terutama “nada miring” dari yang kontra terhadap perubahan kurikulum, menteri Pendidian dan Kebudayaan Muhammad Nuh dalam berbagai kesempatan menegaskan perlunya perubahan dan pengembangan kurikulum 2013. Mendikbud sebagaimana dalam E. Mulyasa mengungkapkan bahwa perubahan dan pengembangan kurikulum merupakan persoalan yang sangat penting, karena kurikulum harus senantiasa disesuaikan dengan tuntutan zaman.26 Perlunya perubahan kurikulum juga karena adanya beberapa kelemahan yang ditemukan dalam KTSP 2006, sebagai berikut: a. Isi dan pesan-pesan kurikulum masih terlalu padat, yang ditunjukkan dengan banyaknya mata pelajaran dan banyak materi yang keluasan dan kesukarannya melampui tingkat perkembangan usia anak. b. Kurikulum belum mengembangkan kompetensi secara utuh sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional. c. Kompetensi yang dikembangkan lebih didominasi oleh aspek kognitif, belum sepenuhnya menggambarkan pribadi peserta didik d. Kompetensi yang diperlukan sesuai dengan perkembangan masyarakat, seperti pendidikan karakter, kesadaran lingkungan, pendekatan dan metode pembelajaran, keseimbangan soft skills dan hard skills, belum terakomodasi di dalam kurikulum. Manusia Pendidikan & Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan, 2013), h. 1. 26E.
Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, h.
60.
150
e. Kurikulum belum peka dan tanggap terhadap berbagai perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun global. f. Standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga mebuka peluang penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru. g. Penilaian belum menggunakan standar penilaian berbasis kompetensi, serta belum tegas memberikan layanan remediasi dan pengayaan secara berkala.27 Berdasarkan beberapa kelemahan di atas, perubahan dan pengembangan kurikulum diperlukan karena adanya beberapa kesenjangan kurikulum yang sedang berlaku sekarang (KTSP). Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni yang berlangsung cepat dalam era global dewasa ini, dapat diidentifikasi beberapa kesenjangan kurikulum sebagaimana dalam materi uji publik kurikulum 2013 yang dikutip E. Mulyasa,28 sebagai berikut:
27Fatkoer, “Perbedaan Kurikulum 2013 dengan KTSP” http://fatkoer.wordpress.com/2013/07/28/perbedaan-kurikulum-2013dan-ktsp/. (diakses tanggal 14 Juni 2014). 28E.
Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, h.
61-62.
151
1
2
3
1
2 3
1 2
3
1
ONDISI SAAT INI KONSEP IDEAL A. KOMPETENSI LULUSAN Belum sepenuhnya Berkarakter mulia menekankan pendidikan karakter Belum menghasilkan Keterampilan yang keterampilan sesuai relevan kebutuhan PengetahuanPengetahuanpengetahuan lepas pengetahuan terkait B. MATERI PEMBELAJARAN Belum relevan Relevan dengan dengan kompetensi materi yang yang dibutuhkan dibutuhkan Beban belajar terlalu Materi esensial berat Terlalu luas, kurang Sesuai tingkat mendalam perkembangan anak C. PROSES PEMBELAJARAN Berpusat pada guru Berpusat pada peserta didik Proses pembelajaran Sifat pembelajaran berorientasi pada yang kontekstual buku teks Buku teks hanya Buku teks memuat memuat materi materi dan proses bahasan pembelajaran, system penilaian serta kompetensi yang diharapkan D. PENILAIAN Menekankan aspek Menekankan aspek 152
kognitif
2
1
2
1
2
3
kognitif, afektif, psikomotorik secara proporsional Tes menjadi cara Penilaian tes pada penilaian yang portofolio saling dominan melengkapi E. PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN Memenuhi Memenuhi kompetensi profesi kompetensi profesi, saja pedagogi, sosial, dan personal Fokus pada ukuran Motivasi mengajar kinerja PTK F. PENGELOLAAN KURIKULUM Satuan pendidikan Pemerintah pusat dan mempunyai daerah memiliki kebebasan dalam kendali kualitas mengelola kurikulum dalam pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan Masih terdapat Satuan pendidikan kecenderungan mampu menyusun satuan pendidikan kurikulum dengan menyusun kurikulum mempertimbangkan tanpa kondisi satuan mempertimbangkan pendidikan, kondisi satuan kebutuhan peserta pendidikan, didik, dan potensi kebutuhan peserta daerah didik, dan potensi daerah Pemerintah hanya Pemerintah 153
menyiapkan sampai menyiapkan semua standar isi mata komponen kurikulum pelajaran sampai buku teks dan pedoman Berdasarkan kondisi tersebut, kurikulum 2006 atau yang dikenal dengan KTSP dikembangkan menjadi kurikulum 2013 didasari pemikiran tentang tantangan masa depan, persepsi masyarakat, perkembangan pengetahuan dan pedagogi, kompetensi masa depan, dan fenomena negative yang mengemuka. Perbedaan paradigma atau pola pikir dalam penyusunan kurikulum KBK 2004 dan KTSP 2006 dengan kurikulum 2013, dapat dilihat pada tabel tentang perubahan pola pikir pada kurikulum 2013,29 sebagai berikut: No 1
2
3
KBK 2004 & KTSP 2006 Standar kompetensi lulusan diturunkan dari standar isi Standar isi diruuskan berdasarkan tujuan mata pelajaran (standar kompetensi lulusan mata pelajaran) yang dirinci menjadi standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran Pemisahan antara mata 29Kementerian
KURIKULUM 2013 Standar kompetensi lulusan diturunkan dari kebutuhan Standar isi diturunkan dari standar kompetensi lulusan melalui kompetensi inti yang bebas mata pelajaran
Semua mata pelajaran
Pendidikan dan Kebudayaan, Pedoman Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013, h. 4. Lihat pula, E. Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, h. 63.
154
4
pelajaran pembentukan sikap, pembentukan keterampilan, dan pembentukan pengetahuan Kompetensi diturunkan dari mata pelajaran
harus berkonstribusi terhadap pembentukan sikap, keterampilan, dan pengetahuan
Mata pelajaran diturunkan dari kompetensi yang ingin dicapai 5 Mata pelajaran lepas satu Semua mata pelajaran dengan yang lain, seperti diikat oleh kompetensi sekumpulan mata inti (tiap kelas) pelajaran terpisah Berdasarkan kerangka inilah perlunya pengembangan kurikulum 2013, untuk menghadapi berbagai masalah dan tantangan masa depan yang semakin lama semakin rumit dan kompleks. Berbagai tantangan masa depan tersebut antara lain berkaitan dengan globalisasi dan pasar bebas, masalah lingkungan hidup, pesatnya kemajuan teknologi informasi, konvergensi ilmu dan teknologi, ekonomi berbasis pengetahuan, kebangkitan industri kreatif dan budaya, pergeseran kekuatan ekonomi dunia, pengaruh dan imbas teknosains, mutu investasi dan transformasi pada sector pendidikan, serta materi TIMSS dan PISA yang harus dimiliki oleh peserta didik. Menghadapi tantangan tersebut, kurikulum harus mampu membekali peserta didik dengan berbagai kompetensi. Kompetensi yang diperlukan di masa depan sesuai dengan perkembangan global antara lain kemampuan berkomunikasi, kemampuan berpikir jernih dan kritis, kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, kemampuan menjadi warga negara yang bertanggung jawab. 155
D. Implementasi Kurikulum 2013 1. Konsep Implementasi Kurikulum Pengertian secara bahasa sebagaimana dalam Oxford Advance Leraner’s Dictionary yang dikutip dalam E. Mulyasa, bahwa implementasi adalah penerapan suatu yang memberikan efek atau dampak. Lebih lanjut disebutkan implementasi adalah proses penerapan ide, konsep, kebijakan atau inovasi dalam suatu tindakan praktis sehingga memberikan dampak baik berupa perubahan pengetahuan, keterampilan, ataupun nilai dan sikap.30 Implementasi kurikulum dapat diartikan sebagai aktualisasi kurikulum tertulis (written curriculum) ke dalam bentuk pembelajaran. Implementasi dapat juga diartikan sebagai pelaksanaan dan penerapan. Terdapat beberapa pendapat sebagaimana yang dikutip dari Wiji Hidayati di antaranya pendapat Majone dan Wildavky yang mengemukakan bahwa implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan, sehingga dimaknai bahwa implementasi merupakan suatu proses penerapan ide dan konsep. Sedangkan kurikulum dapat diartikan sebagai suatu dokumen kurikulum (kurikulum potensial).31 Berdasarkan uraian di atas bahwa implementasi kurikulum merupakan proses interaksi antara fasilitator sebagai pengembangan kurikulum dan peserta didik sebagai subjek belajar, maka implementasi kurikulum adalah penerapan, ide, konsep kurikulum potensial (dalam bentuk
30E. Mulyasa, Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), h. 179. Lihat Pula, E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2003), h. 93. 31Wiji Hidayati, Pengembangan Yogyakarta:Pedagogia, 2012), h. 98.
156
Kurikulum,
(
dokumen kurikulum) ke dalam kurikulum aktual dalam bentuk proses pembelajaraan.32 Selanjutnya, faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kurikulum adalah sebagai berikut: a. Karakteristik kurikulum; yang mencakup ruang lingkup ide baru suatu kurikulum dan kejelasaanya bagi pengguna di lapangan. b. Strategi implementasi: yaitu strategi yang digunakan dalam implementasi, seperti diskusi profesi, seminar, penataran, loka karya, penyediaan buku kurikulum, dan kegiatan-kegiatan yang dapat mendorong penggunaan kurikulum di lapangan. c. Karakteristik pengguna kurikulumyang meliputi pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap guru terhadap kurikulum, serta kemempuanya untuk merealisasikan kurikulum dalam pembelajaran. Sejalan dengan uraian di atas, Mars dalam E. Mulyasa mengemukakan tiga faktor yang mempengaruhi implementasi kurikulum, yaitu dukungan kepala sekolah, dukungan rekan sejawat guru, dan dukungan internal yang datang dalam diri guru sendiri. Beberapa faktor tersebut guru merupakan faktor penentu di samping faktor-faktor yang lain.33 Implementasi Kurikulum 2013 merupakan aktualisasi kurikulum dalam pembelajaran dan pembentukan kompetensi serta karakter peserta didik. Hal tersebut menuntut keaktifan guru dalam menciptakan dan menumbuhkan berbagai kegiatan sesuai dengan rencana yang telah diprogramkan, untuk mencapai tujuan. 32Wiji 33E.
Hidayati, Pengembangan Kurikulum, h. 98.
Mulyasa, Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, h.
179-180.
157
Kurikulum 2013 yang berbasis karakter dan kompetensi, asumsi merupakan parameter untuk menentukan tujuan dan kompetensi yang akan dispesifikasikan. Konsistensi dan validasi setiap kompetensi harus sesuai dengan asumsi, meskipun tujuannya selalu diuji kembali berdasarkan masukan yang memungkinkan terjadinya suatu perubahan. Berdasarkan ulasan di atas, terdapat tujuh asumsi yang mendasari kurikulum 2013 berbasis karakter dan kompetensi. Ketujuh asumsi tersebut adalah sebagai berikut:34 Pertama, banyak sekolah yang memiliki guru yang tidak profesional, sehingga guru tersebut tidak mampu melakukan proses pembelajaran secara optimal, oleh karena itu, penerapan kurikulum berbasis kompetensi menuntut peningkatan kemampuan profesional guru. Kedua, banyak sekolah yang hanya mengoleksi sejumlah mata pelajaran dan pengalaman, sehingga mengajar diartikan sebagai kengiatan menyajikan materi yang terdapat dalam setiap mata pelajaran. Ketiga, peserta didik bukanlah tabung kosong atau kertas putih bersih yang dapat diisi atau ditulis sekehendak guru, melainkan individu yang memiliki sejumlah potensi yang perlu dikembangkan. Pengembangan potensi tersebut menuntut iklim kondusif yang dapat mendorong peserta didik belajar bagaimana belajar (learning how to learn), serta menghubungkan kemampuan yang dimiliki dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Keempat, peserta didik memiliki potensi yang berbeda dan bervariasi, dalam hal tertentu memiliki potensi 34E.
Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, h.
164-165.
158
tinggi, tetapi dalam hal lain mungkin biasa-biasa saja, bahkan rendah. Menyikapi situasi tersebut, guru harus dapat membantu menghubungkan pengalaman yang sudah dimiliki dangan situasi baru. Kelima, pendidikan berfungsi mengkondisikan lingkungan untuk membantu peserta didik mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya secara optimal. Berkaitan dengan hal ini, Sukmadinata memberikan ilustrasi dengan mengumpamakan pendidikan ibarat bertani.35 Keenam, kurikulum sebagai rencana pembelajaran harus berisi kompetensi-kompetensi potensial yang tersusun secara sistematis, sebagai jabaran dari seluruh aspek kepribadian peserta didik, yang mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan dalam kehidupan. Ketujuh, kurikulum sebagai proses pembelajaran harus menyediakan berbagai kemungkinan kepada seluruh peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensinya secara optimal, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.36 Hal ini tugas guru adalah 35Menurut Sukmadinata, ilustasinya adalah petani menyediakan lahan yang gembur, mengatur air, udara, cahaya yang diperlukan tanaman, memupuk, menyayangi dan mencegah tanaman dari hamahama. Guru seperti petani yang penuh rasa saying dan perhatian, dengan tekun dan telaten merawat tanaman kesayangannya. Petani tidak perlu menarik pohon supaya tinggi, membeber-beberkan daun supaya lebar, member parfum supaya wangi. Kalau pohon tersebut punya potensi tinggi, daun lebar, bunga atau buahnya wangi, cirri-ciri tersebut akan dicapainya sendiri asalkan diciptakan kondisi dan perlakuan lingkungan yang mendukung, kalau kondisi dan perlakuan lingkungan tidak mendukung para peserta didik sulit untuk berkembang, begitu pula sebaliknya. Lihat Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), h. 87. 36Ella Yulaelawati, Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofi Teori dan Aplikasi (Bandung: PT Pakar Raya, 2004), h. 27-28.
159
memberikan kemudahan dan kesempatan belajar kepada peserta didik untuk menemukan ide dan menerapkan strategi belajar sesuai denga kemampuan dan kecepatan belajar masing-masing. Berdasarkan asumsi di atas, dalam implementasi kurikulum 2013 dilakukan penambahan beban belajar pada semua jenjang pendidikan, sebagai berikut: a. Beban belajar di SD/MI: Kelas I, II, dan III masingmasing 30, 32, 34 jam setiap minggu sedangkan untuk kelas IV, V, dan VI masing-masing 36 jam setiap minggu, dengan lama belajar untuk setiap jam belajarnya yaitu 35 menit. b. Beban belajar di SMP/MTs.: Beban belajar dari semula 32 jam menjadi 38 jam untuk masing-masing kelas VII, VIII, dan IX, dengan lama belajar untuk setiap jam belajarnya yaitu 40 menit. c. Beban belajar di SMA/MA: Beban belajar untuk kelas X bertambah dari 38 jam menjadi 42 jam belajar, dan untuk kelas XI dan XII bertambah dari 38 jam menjadi 44 jam belajar setiap minggu, dengan lama belajar untuk setiap jam belajarnya yaitu 45 menit.37 Berdasarkan pada uraian di atas, untuk memahami lebih jelas terhadap beban belajar tersebut, berikut ini penulis akan menguraikan beban belajar pada kurikulum 2013, sebagaimana yang terdapat dalam stuktur kurikulum SD, SMP, dan SMA.
37E.
Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, h.
166.
160
Berikut ini adalah struktur Kurikulum SD, sebagaimana pada tabel: ALOKASI WAKTU BELAJAR MATA PER MINGGU PELAJARAN 1 2 3 4 5 6 KELOMPOK A 1. Pendidikan Agama dan 4 4 4 4 4 4 Budi Pekerti 2. Pendidikan Pancasila dan 5 6 6 6 6 6 Kewargane garaan 3. Bahasa 8 8 10 10 10 10 Indonesia 4. Matematika 5 6 6 6 6 6 KELOMPOK B 1. Seni Budaya dan Keterampila n 4 4 4 6 6 6 (termasuk muatan lokal) 2. Pendidikan Jasmani, 4 4 4 4 4 4 Olah Raga dan Kesehatan (termasuk muatan lokal) 161
Pendidikan Jasmani, Olah 30 32 34 36 36 36 Raga dan Kesehatan (termasuk muatan lokal) Sumber Data: Kemendikbud. 2013 “Draft Kurikulum 2013” Menurut pemahaman penulis, mata pelajaran kelompak A merupakan mata pelajaran yang memberikan orientasi kompetensi lebih kepada aspek intelektual dan afektif, sedangkan mata pelajaran kelompok B merupakan mata pelajaran yang lebih menekankan pada aspek afektif dan psikomotorik. Integrasi konten IPA dan IPS adalah berdasarkan makna mata pelajaran sebagai organisasi konten dan bukan sebagai sumber dari konten. Konten IPA dan IPS diintegrasikan ke dalam mata pelajaran PPKn, Bahasa Indonesia dan Matematika yang harus ada berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Selanjutnya, struktur Kurikulum SMP, sebagaimana pada tabel berikut:
162
MATA PELAJARAN
ALOKASI WAKTU BEAJAR PERMINGGU VII VIII IX
KELOMPOK A 1. Pendidikan Agama 3 3 3 dan Budi Pekerti 2. Pendidikan Pancasila dan 3 3 3 Kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 6 6 6 4. Matematika 5 5 5 5. IPA 5 5 5 6. IPS 4 4 4 7. Bahasa Inggris 4 4 4 KELOMPOK B 1. Seni Budaya & Prakarya 3 3 3 (termasuk muatan lokal) 2. Pendidikan Jasmani, Olah Raga, dan 3 3 3 Kesehatan (termasuk muatan lokal) 3. Prakarya (termasuk muatan 2 2 2 lokal) Jumlah Alokasi Waktu 38 38 38 per Minggu Sumber Data: Kemendikbud. 2013 “Draft Kurikulum 2013” 163
Menurut penulis, kelompok A adalah mata pelajaran yang memberikan orientasi kompetensi lebih kepada aspek intelektual dan afektif sedangkan kelompok B adalah mata pelajaran yang lebih menekankan pada aspek afektif dan psikomotor. Sementara untuk menerapkan konsep kesamaan antara SMA dan SMK maka dikembangkan kurikulum pendidikan menengah yang terdiri atas kelompok mata pelajaran wajib dan mata pelajaran pilihan. Mata pelajaran wajib sebanyak 9 (sembilan) mata pelajaran dengan beban belajar 18 jam per minggu. Konten kurikulum untuk mata pelajaran wajib bagi SMA dan SMK adalah sama. Struktur ini menempatkan prinsip bahwa peserta didik adalah subjek dalam belajar dan mereka memiliki hak untuk memilih sesuai dengan minatnya. Mata pelajaran pilihan terdiri atas pilihan akademik (SMA) serta pilihan akademik dan vokasional (SMK). Mata pelajaran pilihan ini memberikan corak kepada fungsi satuan pendidikan dan di dalamnya terdapat pilihan sesuai dengan minat peserta didik. Berikut ini merupakan struktur kurikulum pendidikan menengah kelompok mata pelajaran wajib, adalah sebagai berikut:
164
MATA PELAJARAN
ALOKASI WAKTU BELAJAR PER MINGGU X XI XII
Kelompok Wajib 1. Pendidikan Agama 3 3 3 dan Budi Pekerti 2. Pendidikan Pancasila 2 2 2 dan Kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 4 4 4 4. Matematika 4 4 4 5. Sejarah Indonesia 2 2 2 6. Bahasa Inggris 2 2 2 7. Seni Budaya 2 2 2 8. Prakarya dan 2 2 2 Kewirausahaan 9. Pendidikan Jasmani, Olah Raga, dan 3 3 3 Kesehatan Jumlah Jam Pelajaran Kelompok Wajib per 24 24 24 Minggu Kelompok Peminatan Mata Pelajaran Peminatan 18 20 20 Akademik (SMA/MA) Jumlah Jam Pelajaran yang Harus ditempuh dalam per 42 44 44 Minggu Sumber Data: Kemendikbud. 2013 “Draft Kurikulum 2013” Menurut penulis, kompetensi dasar mata pelajaran wajib memberikan kemampuan dasar yang sama bagi mereka yang belajar di SMA dan SMK.Bagi mereka yang 165
memilih SMA tersedia pilihan kelompok peminatan (sebagai ganti jurusan) dan pilihan antar kelompok peminatan dan bebas. Nama kelompok peminatan digunakan karena memiliki keterbukaan untuk belajar di luar kelompok tersebut, sedangkan nama jurusan memiliki konotasi terbatas pada apa yang tersedia pada jurusan tersebut dan tidak boleh mengambil mata pelajaran di luar jurusan. Nama kelompok minat diubah dari IPA, IPS dan Bahasa menjadi Matematika dan Sains, Sosial, dan Bahasa. Nama-nama ini tidak diartikan sebagai nama kelompok disiplin ilmu karena adanya berbagai pertentangan filosofis pengelompokan disiplin ilmu. Berdasarkan filosofi rekonstruksi sosial maka nama organisasi kurikulum tidak terikat pada nama disiplin ilmu. Berikut ini adalah kelompok mata pelajaran peminatan dan mata pelajaran pilihan (pendalaman minat dan lintas minat), sebagaimana pada tabel:
166
KELAS X XI XII 24 24 24
MATA PELAJARAN
Kelompok Wajib Peminatan Matematika dan Sains I 1. Matematika 3 4 4 2. Biologi 3 4 4 3. Fisika 3 4 4 4. Kimia 3 4 4 Peminatan Sosial II 1. Geografi 3 4 4 2. Sejarah 3 4 4 3. Sosiologi dan 3 4 4 Antropologi 4. Ekonomi 3 4 4 Peminatan Bahasa III 1. Bahasa dan Sastra 3 4 4 Indonesia 2. Bahasa dan Sastra 3 4 4 Inggris 3. Bahasa dan Sastra 3 4 4 Asing lainnya 4. Sosiologi dan 3 4 4 Antropologi Mata Pelajaran Pilihan Pilihan Pendalaman Minat atau Lintas 6 4 4 Minat Jumlah Jam Pelajaran yang 66 76 76 Tersedia Jumlah Jam Pelajaran yang 42 44 44 Harus Ditempuh Sumber Data: Kemendikbud. 2013 “Draft Kurikulum 2013”
167
2. Pendekatan dalam Implementasi Kurikulum Pendekatan dalam implementasi kurikulum secara spesifik berkaitan dengan tindakan/upaya para pelaksana kurikulum di lapangan (guru, kepala sekolah, administratur pendidikan dan stakeholders terkait) untuk mengoptimalkan implementasi kurikulum sehingga memperoleh hasil secara maksimal. Hal ini sejalan dengan pandangan tentang implementasi kurikulum, yang menyebutkan bahwa implementasi kurikulum pada dasarnya merupakan suatu proses penerapan konsep, ide, program, atau tatanan kurikulum ke dalam praktik pembelajaran, yang keberhasilannya setidaknya dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: (a) karakteristik kurikulum; (b) strategi implementasi; dan (c) karakteristik pengguna/pelaksana di lapangan. Pendekatan dalam implementasi kurikulum sebagaimana yang dijelaskan oleh Jackson ada tiga yaitu:38 a. Fidelity Perspective Pendekatan fidelity berangkat dari prinsip kurikulum sentralistik (centralized curriculum), yang menggariskan bahwa desain kurikulum yang dikembangkan oleh pusat adalah sesuatu yang terstandar dan siap diterapkan tanpa harus dilakukan penyesuaian. Sehingga karakteristik utama pendekatan ini menurut Sukmadinata adalah para pelaksana kurikulum di sekolah (guru, kepala sekolah, administrasi pendidikan atau stakeholders terkait) berupaya mengimplementasikan kurikulum sesuai dengan desain yang telah ditetapkan secara standar.39 b. Mutual Adaptation 38Philip
W. Jackson, Handbook of Research on Curriculum (New York: MacMilllan Publishing Company, 1991), h. 404. 39Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Tori dan Praktik, h. 3.
168
Pendekatan ini berangkat dari asumsi bahwa berdasarkan temuan empirik, pada kenyataannya kurikulum tidak pernah benar-benar dapat diimplementasikan sesuai rencana, namun perlu diadaptasi sesuai kebutuhan setempat. Menurut Jackson, pendekatan mutual adaptation pada dasarnya merupakan ciri penting dalam sebuah implementasi dan implementasi kurikulum. Ciri pokok pendekatan ini adalah bahwa dalam implementasinya pelaksana kurikulum mengadakan penyesuaian berdasarkan kondisi, kebutuhan, dan tuntutan perkembangan secara kontekstual.40 Sebagai suatu rencana tertulis pembelajaran, implementasi kurikulum perlu memberikan peluang dilakukannya modifikasi dan penyempurnaan, sehingga pelaksana di lapangan memiliki keluwesan dalam menyusun rencana program (pembelajaran), melaksanakan, maupun melakukan evaluasi hasil pembelajaran. Sebagaimana dijelaskan oleh Murray Print bahwa dalam implementasi kurikulum semestinya perlu diberikan peluang untuk dilakukan beberapa modifikasi, sebab sangat mungkin terjadi perbedaan antara rancangan dengan faktorfaktor yang bersifat lokal dan kontekstual, seperti perbedaan individual siswa, perbedaan sumber-sumber sekolah, perbedaan guru, variasi keadaan orang tua, serta dukungan masyarakat sekitar.41 c. Enactment Curriculum Pendekatan ini menurut Jackson menguraikan bahwa perspektif enactment curriculum memandang bahwa rencana program (kurikulum) bukan merupakan produk 40
Philip W. Jackson, Handbook of Research on Curriculum, h. 428.
41Murray
Print, Curriculum Development and Design (Australia: Allen & Unwin Pty.Ltd., 1993), h. 217-218.
169
atau peristiwa (pengembangan), melainkan sebagai proses yang berkembang. Dalam perspektif enactment curriculum, kurikulum sebagai proses akan tumbuh dan berkembang dalam interaksi antara guru dan siswa, terutama dalam membentuk kemampuan berfikir dan bertindak.42 Pendekatan ini memiliki perbedaan dengan fidelity perspective dan mutual adaptation, dengan ciri utama pelaksana kurikulum melakukan berbagai upaya untuk mengoptimalkan pelaksanaan kurikulum. Secara konseptual, pendekatan ini mendasarkan kepada prinsip bahwa implementasi kurikulum adalah suatu proses, yang di dalamnya akan berinteraksi berbagai faktor penentu. 3. Perbandingan Kurikulum 2013 dengan KTSP 2006 Tema kurikulum 2013 adalah kurikulum yang dapat menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, afektif melalui penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi. Beberapa keunggulan kurikulum 2013 telah di bahas pada pembahasan terdahulu, namun demikian untuk lebih memantapkan pemahaman tentang inovasi kurikulum ini dirasakan perlu mengkaji dan menganalisis beberapa hal mendasar yang dikembangkan dalam kurikulum 2013. Hal ini dapat dilihat dengan perbadingan tata kelola pelaksanaan kurikulum antara kurikulum 2013 dengan kurikulum KTSP 2006. Perbadingan tersebut disajikan dalam tabel sebagaimana yang dikemukakan E. Mulyasa43 sebagai berikut:
42Philip 43E.
W. Jackson, Handbook of Research on Curriculum, h. 429.
Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, h.
167-168.
170
A. Perbandingan Elemen dan Ukuran Tata Kelola Elemen Ukuran KTSP Kurikulum Tata Kelola 2006 2013 Kewenanga Hampir Terbatas n mutlak Kompetensi Harus Sebaiknya tinggi tinggi, bagi Guru yang rendah masih terbantu dengan adanya buku Kebebasan Berat Ringan Efektivitas Rendah Tinggi waktu (banyak untuk waktu kegiatan untuk pembelajara persiapan n ) Peran Besar Kecil penerbit Buku Variasi Tinggi Rendah materi dan proses Variasi Tinggi Rendah harga/beba s siswa Hasil Tergantu Tidak Siswa pembelajara ng sepenuhya n sepenuhn tergantung ya pada guru, tetapi guru juga buku 171
Pemantau an
Titik penyimpan gan Besar Penyimpan gan Pengawasa n
Banyak
Sedikit
Tinggi
Rendah
Sulit, Mudah hampir tidak mungkin B. Perbandingan Proses dan Peran Proses Peran KTSP Kurikulum 2006 2013 Guru Hampir Pengemban mutlak gan dari Penyusun (di batasi yang sudah an Silabus hanya disiapkan oleh SKKD) Pemerintah Hanya Mutlak sampai SKKD Pemerintah Supervisi Supervisi daerah penyusun pelaksanaan an Penerbit Kuat Lemah Guru Hampir Kecil, untuk Penyedia mutlak buku an Buku pengayan Pemerintah Kecil, Mutlak untuk untuk buku kelayaka teks, kecil n untuk buku penggun pengayaan 172
Guru Penyusun an Rencana Pelaksana an Pembelaja ran
Pemerintah daerah
Guru Pelaksana an Pembelaja ran
Penjamin an Mutu
Pemerintah daerah
Pemerintah
aan di sekolah Hampir mutlak
Supervisi penyusun an dan pemanta uan Mutlak Pemanta uan kesesuaia n dengan rencana (variatif) Sulit, karena variasi terlalu besar
Kecil, untuk pengemban gan dar yang ada pada buku teks Supervisi pelaksanaan dan pemantauan Hampir mutlak Pemantauan kesesuaian dengan buku teks (terkendali)
Mudah, karena mengarah pada pedoman yang sama Berdasarkan uraian di atas, dipahami bahwa langkah penguatan tata kelola dilakukan dengan: 1) menyiapankan buku pengangan pembelajaran yang terdiri dari buku siswa, dan buku pegangan guru; 2) menyiapkan guru melalui penataran atau pelatihan supaya dapat memahami pendayagunaan sumber belajar yang telah disiapkan dan sumber lain yang dapat dimanfaatkan dalam
173
proses pembelajaran; 3) memperkuat peran pendampingan dan pemantauan oleh pemerintah pusat dan daerah dalam pelaksanaan pembelajaran. 4. Metode dan Model Pembelajaran dalam Kurikulum 2013 Pelaksanaan dan implementasi kurikulum seperti yang sudah dikatakan di atas, dilaksanakan dengan pendekatan scientific. Pelaksanaan pendekatan ini menekankan pada lima aspek penting, yaitu mengamati, menanya, mencoba, menalar dan komunikasi. Lima aspek tersebut harus benar-benar terlihat pada pelaksanaan pembelajaran, baik metode maupun model pembelajarannya. Metode pembelajaran adalah cara yang digunakan dalam proses pembelajaran sehingga diperoleh hasil yang optimal. Terdapat berbagai metode pembelajaran yang digunakan pendidik dalam kegiatan pembelajaran kurikulum 2013, antara lain: a. Metode ceramah yakni penyampaian materi dari guru kepada siswa melalui bahasa lisan baik verbal maupun nonverbal. b. Metode latihan yakni penyampaian materi melalui upaya penanaman kebiasaan-kebiasaan tertentu sehingga diharapkan siswa dapat menyerap materi secara optimal. c. Metode tanya jawab yakni penyajian materi pelajaran melalui bentuk pertanyaan yang harus dijawab oleh peserta didik. Metode ini bertujuan memotivasi anak mengajukan pertanyaan selama proses pembelajaran atau guru mengajukan pertanyaan dan anak didik menjawab. d. Metode karya wisata yakni metode penyampaian materi dengan cara membawa langsung peserta didik ke objek 174
di luar kelas atau di lingkungan kehidupan nyata agar siswa dapat mengamati atau mengalami secara langsung. e. Metode demonstrasi yakni metode pembelajaran dengan cara memperlihatkan suatu proses atau suatu benda yang berkaitan dengan bahan pembelajaran. f. Metode sosiodrama yakni metode pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk melakukan kegiatan memainkan peran tertentu yang terdapat dalam kehidupan sosial. g. Metode bermain peran yakni metode pembelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan peserta didik dengan cara memerankan suatu tokoh, baik tokoh hidup maupun mati. Metode ini mengembangkan penghayatan, tanggungjawab, dan terampil dalam memaknai materi yang dipelajari. h. Metode diskusi yakni metode pembelajaran melalui pemberian masalah kepada siswa dan siswa diminta untuk memecahkan masalah secara kelompok. i. Metode pemberian tugas dan resitasi yakni metode pembelajaran melalui pemberian tugas kepada siswa. Resitasi merupakan metode pembelajaran berupa tugas untuk melaporkan pelaksanaan tugas yang telah diberikan guru.44 Adapun prinsip dalam pemilihan metode pembelajaran adalah disesuaikan dengan tujuan, tidak terikat pada suatu alternatif, penggunaannya bersifat kombinasi. Faktor-faktor yang menentukan dipilihnya suatu metode dalam pembelajaran antara lain: 1) Tujuan
44Sofan Amri, Pengembangan dan Model Pembelajaran dalam Kurikulum 2013 (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2013), h. 29-30.
175
pembelajaran; 2) Tingkat kematangan anak didik; 3) Situasi dan kondisi yang ada dalam proses pembelajaran.45 Selanjutnya, model pembelajaran adalah suatu pola yang digunakan sabagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran dikelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk didalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan lain-lain.46 Menurut penulis, model pembelajaran memiliki empat ciri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi, metode atau prosedur. Ciri-ciri tersebut adalah : a. Rasional teoritik logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya. b. Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai). c. Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil. d. Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai. Sofan Amri mengatakan bahwa model pembelajaran dikatakan baik jika memenuhi kriteria sebagai berikut : a. Sahih (valid). Aspek validitas dikaitkan dengan dua hal : 1) Model yang dikembangkan didasarkan pada rasional teoritik yang kuat. 2) Terdapat konsistensi internal. b. Praktis. Aspek kepraktisannya dapat dipenuhi jika :
45Sofan
Amri, Pengembangan dan Model Pembelajaran dalam Kurikulum 2013, h. 30. 46Sofan Amri, Pengembangan dan Model Pembelajaran dalam Kurikulum 2013, h. 30.
176
1) Para ahli dan praktisi menyatakan bahwa apa yang dikembangkan dapat terapkan. 2) Kenyataan menunjukkan bahwa apa yang dikembangkan dapat diterapkan. c. Efektif. Parameternya adalah : 1) Ahli dan praktisi menyatakan bahwa model tersebut efektif. 2) Secara operasional, model tersebut memberikan hasil sesuai dengan harapan.47 Berdasarkan uraian di atas, dalam implementasi kurikulum 2013 menuntut guru untuk mengorganisasikan pembelajaran secara efektif. Demikian juga, guru harus dapat menciptakan situasi sehingga materi pembelajaran selalu tampak menarik, dan tidak membosankan dengan mempergunakan berbagai metode dan model pembelajaran yang bervariasi.
47Sofan Amri, Pengembangan dan Model Pembelajaran dalam Kurikulum 2013, h. 35.
177
178
BAB VI PENDIDIKAN DAN OTONOMI DAERAH A. Pendahuluan Otonomi daerah yang dilaksanakan sejak tahun 2001 membawa perubahan besar dalam pengelolaan pendidikan. Di era otonomi daerah, Pemerintah daerah bertanggung jawab atas pengelolaan sektor pendidikan di semua jenjang di luar pendidikan tinggi (SD, SLTP, SLTA). Pemerintah daerah bertanggung jawab atas hampir segala bidang yang terkait dengan sektor pendidikan (kecuali kurikulum dan penetapan standar yang menjadi kewenangan Pusat). Studi ini bertujuan untuk: (1)melihat perubahan yang terjadi dalam hal pola pembiayaan pendidikan setelah diberlakukannya otonomi daerah, (2) melihat perkembangan kemampuan Pemda untuk membiayai sektor pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya, (3)melihat berbagai masalah yang muncul dalam pembiayaan pendidikan di era otonomi daerah, serta (4)merumuskan serangkaian rekomendasi guna mengatasi berbagai masalah yang muncul tersebut. Hasil studi ini menunjukkan bahwa: (1)pelimpahan keuangan dari Pusat ke Daerah dalam rangka pengelolaan sektor pendidikan baru sampai pada taraf pemenuhan kebutuhan rutin, khususnya gaji pegawai,(2)secara relatif, kemampuan Pemda untuk membiayai sektor pendidikan tidak mengalami perbaikan dengan diberlakukannya otonomi daerah, bahkan tidak sedikit daerah yang justru mengalami penurunan, (3) masalah utama yang melatarbelakanhi persoalan pembiayaan pendidikan di era otonomi daerah adalah rendahnya akuntabilitas publik
179
(public accountability), baik di level Pusat maupun di level daerah. Berdasarkan temuan tersebut, paling tidak ada dua solusi yang ditawarkan oleh studi ini, yakni: (1)alokasi dana APBN untuk pembangunan sektor pendidikan sebaiknya dilakukan melalui mekanisme Dana Alokasi Khusus (DAK) sektor pendidikan, bukan melalui DIP departemen teknis (Depdiknas), serta (2)Pemda sebaiknya mempertimbangan implementasi sistem earmarking dalam pembiayaan sektor pendidikan di daerah. Pembahasan tentang Pendidikan dan Otonomi Daerah di dalam bab ini dibahas secara teoretis mulai dari bagaimana pengertian otonomi daerah, bagaimana desentralisasi otonomi daerah, bagaimana proses pemberlakuan undang-undang otonomi daerah, bagaimana analisis terhadap pelaksanaan otonomi daerah dan istem desentralisasi. B. Pengertian Otonomi Daerah Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.1 Pemberlakuan Undang-undang (UU No. 22 tahun 1999 tentang Daerah (lebih popular disebut UU Otonomi Daerah/Otda) pada tahun 2001, yang telah diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004, merupakan tonggak baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Diberlakukannya UU tersebut menandakan dimulainya era otonomi daerah yang memberikan
1Abu
Daud Busroh, Capita Selekta Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 271.
180
wewenang seluas-luasnya kepada pemerintah Daerah beserta seluruh komponen masyarakat setempat untuk mengatur dan menguras kepentingan masyarakat di daerahnya dengan cara sendiri, sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku. Tahap awal UU Pemda itu diberlakukan, telah mengundang suara pro dan kontra. Suara pro umumnya datang dari daerah yang kaya, dengan sumber daya yang sudah tidak sabar ingin rancangan UU tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya, bagi daerah-daerah miskin, mereka pesimis menghadapi era otonomi daerah tersebut. Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di segala bidang termasuk peraturan perundang-undangan dan sumber keuangan daerah.Oleh karena itu, bagi daerahdaerah miskin pada umumnya belum siap ketika RUU Otda itu diberlakukan. Namun pemerintah tetap berpegang pada kornitmennya, bahwa sesuai rencana, tahun 2001 otonomi daerah tetap diberlakukan sekalipun disadari bahwa dalam beberapa hal baik yang menyangkut peraturan perundangundangan, prasarana maupun sarana dan sumber daya lainnya belum siap. Pemberlakuan Otonomi daerah dalam kondisi kesiapan yang minimal, bersamaan dengan situasi dan kondisi masyarakat yang sedang mengalami krisis ekonomi, di tengah-tengah suasana euphoria kebebasan (dari rezim orba), menyebabkan dinamika penyelenggaraan otonomi daerah tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan masyarakat.2 2Dampak negatif otonomi daerah dan peran dephan dalam pendayagunaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan Negara; Suatu Tinjauan Analisis Makro Tentang Implementasi Fungsi Pembinaan dan Pendayagunaan Sumber Daya Alam Oleh: Kolonel Cpl Umar S. Tarmansyah Puslitbang Ind Balitbang Dephan
181
C. Pengertian Desentralisasi Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya sendiri.3 Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada manajer atau orang-orang yang berada pada level bawah dalam suatu struktur organisasi. Sekarang ini banyak perusahaan atau organisasi yang memilih serta menerapkan sistem desentralisasi karena dapat memperbaiki serta meningkatkan efektifitas dan produktifitas suatu organisasi. Sistem pemerintahan yang terbaru tidak lagi banyak menerapkan sistem sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah atau otda yang memberikan sebagian wewenang yang tadinya harus diputuskan pada pemerintah pusat kini dapat di putuskan di tingkat pemerintah daerah atau pemda. Kelebihan sistem ini adalah sebagian besar keputusan dan kebijakan yang berada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari pemerintahan di pusat.Namun kekurangan dari sistem desentralisasi pada otonomi khusus untuk daerah adalah euforia yang berlebihan di mana wewenang tersebut hanya mementingkat kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau oknum.Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh pemerintah di tingkat pusat.
3Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), h.13.
182
D. Proses Pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Daerah Otonomi daerah yang dilaksanakan dalam negara RepublikIndonesiatelah diatur kerangka landasannya dalam UUD 19455, antara lain : 1) Pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi : “NegaraIndonesiaadalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. 2) pasal 18 yang berbunyi : “Pembangunan daerahIndonesiaatas dasar daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerahdaerah yang bersifat istimewa”. Sejarah perkembangan penyelenggaraan pemerintahan di daerah dalam merealisasikan amanat konstitusi, telah dihadirkan berbagai peraturan perundangan yang mengatur penyelenggaraan pemerintah di daerah, antara lain : 1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 2. Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 4. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 Di samping terdapat Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 dan No. 5 tahun 1960.pengalaman dalam melaksanakan berbagai ketentuan dimaksud menunjukkan berbagai masalah yang mempunyai dampak tersendiri, baik terhadap keutuhan negara kesatuan, stabilitas politik,
183
keserasian hubungan pusat dan daerah maupun implikasi lain terhadap kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.4 Proses pendidikan merupakan upaya sadar manusia yang tidak pernah ada hentinya. Sebab, jika manusia berhenti melakukan pendidikan, sulit dibayangkan apa yang akan terjadi pada sistem peradaban dan budaya manusia. Ilustrasi ini, maka baik pemerintah maupun masyarakat berupaya untuk melakukan pendidikan dengan standar kualitas yang diinginkan untuk memberdayakan manusia. “Sistem pendidikan yang dibangun harus disesuaikan dengan tuntutan zamannya, agar pendidikan dapat menghasilkan outcome yang relevan dengan tuntutan zaman.5 Indonesia, telah memiliki sebuah sistem pendidikan dan telah dikokohkan dengan UU No. 20 tahun 2003.Pembangunan pendidikan di Indonesiasekurangkurangnya menggunakan empat strategi dasar, yakni; partama, pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, kedua, relevansi pendidikan, ketiga, peningkatan kualiutas pendidikan, dan keempat, efesiensi pendidikan.Sacara umum strategi itu dapat dibagi menjadi dua dimensi yakni peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan.Pembangunan peningkatan mutu diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas pendidikan. Sedangkan kebijkan pemerataan pendidikan diharapkan dapat memberikan kesempatan yang sama
4H.A.W. Widjaja, Percontohan Otonomi Daerah di Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 1998), h.23-24. 5Suyanto,
Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Percaturan Dunia Global), (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2006), h.11
184
dalam memperoleh pendidikan bagi semua usia sekolah.6 Pendidikan dipandang sebagai katalisator yang dapat menunjang faktor-faktor lain. Artinya, pendidikan sebagai upaya pengembangan sumberdaya manusia [SDM] menjadi semakin penting dalam pembangunan suatu bangsa. Di dalam menjamin kesempatan memperoleh pendidikan yang merata disemua kelompok strata dan wilayah tanah air sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangannya perlu strategi dan kebijakan pendidikan, yaitu : [a] menyelenggarakan pendidikan yang relevan dan bermutu sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia dalam menghadapi tantangan global, [b] menyelenggarakan pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan [accountasle] kepada masyarakat sebagai pemilik sumberdaya dan dana serta pengguna hasil pendidikan, [c] menyelenggarakan proses pendidikan yang demokratis secara profesional sehingga tidak mengorbankan mutu pendidikan, [d] meningkatkan efisiensi internal dan eksternal pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, [e] memberi peluang yang luas dan meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga terjadi diversifikasi program pendidikan sesuai dengan sifat multikultural bangsa Indonesia, [f] secara bertahap mengurangi peran pemerintah menuju ke peran fasilitator dalam implementasi sistem pendidikan, [g] Merampingkan birokrasi pendidikan sehingga lebih lentur [fleksibel] untuk melakukan
6Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta : Safiria Insania dan MSI, 2003), h. 146.
185
penyesuaian terhadap dinamika perkembangan masyarakat dalam lingkungan global.7 Empat strategi dasar kebijakan pendidikan yang dikemukakan di atas cukup ideal. Tetapi Muchtar Bukhori, seorang pakar pendidikan Indonesia, menilai bahwa kebijakan pendidikan kita tak pernah jelas. Pendidikan kita hanya melanjutkan pendidikan yang elite dengan kurikulum yang elitis yang hanya dapat ditangkap oleh 30%anak didik”, sedangkan 70% lainnya tidak bisa mengikuti Dengan demikian, tuntutan peningkatan kualitas pendidikan, relevansi pendidikan, efesiensi pendidikan, dan pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, belum terjawab dalam kebijakan pendidikan kita. Kondisi ini semakin mempersulit mewujudkan pendidikan yang egalitarian dan SDM yang semakin merata di berbagai daerah. Proses menuju perubahan sistem pendidikan nasional banyak menuai kendala serius. Apalagi ketika membicarakan konteks pendidikan nasional sebagai bagian dari pergumulan ideologi dan politik penguasa.Problemproblem yang dihadapi seringkali berkaitan dengan kebijakan-kebijakan [policies] yang sangat strategis. Maka, dalam konteks kebijakan pendidikan nasional, menurut Suyanto, banyak pakar dan praktisi pendidikan mengkritisi pemerintah, dianggap tidak memiliki komitmen yang kuat untuk membenahi sistem pendidikan nasional. Artinya, kebijakan-kebijakan pendidikan kita, kurang menggambarkan rumusan-rumusan permasalahan dan “prioritas” yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu. 7Hujair
AH.Sanaky, Paradigma Pendidikan Membangun Masyarakat Madani Indonesia, h.146.
186
Islam,
Hal ini, “terutama berkaitan dengan anggaran pendidikan nasional yang semestinya sebesar minimal 20%, daimbil dari APBN dan APBD [pasal 31 ayat 4 UUD Amandemen keempat]. Tetapi, sampai sekarang kebijakan strategi belum dapat diwujudkan sepenuhnya, pendidikan nasional masih menyisihkan kegetiran-kegetiran bagi rakyat kecil yang tidak mampu mengecap pendidikan di sekolah” Pasca Reformasi tahun 1998, memang ada perubahan fundamental dalam sistem pendidikan nasional. Perubahan sistem pendidikan tersebut mengikuti perubahan sistem pemerintah yang sentralistik menuju desentralistik atau yang lebih dikenal dengan otonomi pendidikan dan kebijakan otonomi nasional itu mempengaruhi sistem pendidikan kita. Sistem pendidikan kita pun menyesuaikan dengan model otonomi. Kebijakan otonomi di bidang pendidikan [otonomi pendidikan] kemudian banyak membawa harapan akan perbaikan sistem pendidikan kita. Kebijakan tersebut masih sangat baru, maka sudah barang tertentu banyak kendala yang masih belum terselesaikan. Otonomi yang didasarkan pada UU No. 22 tahun 1999, yaitu memutuskan suatu keputusan dan atau kebijakan secara mandiri.Otonomi sangat erat kaitanya dengan desentralisasi.Dengan dasar ini, maka otonomi yang ideal dapat tumbuh dalam suasana bebas, demokratis, rasional dan sudah barang tentu dalam kalangan insan-insan yang “berkualitas”. Oleh karena itu, rekonstruksi dan reformasi dalam Sistem Pendidikan Nasional dan Regional, yang tertuang dalam GBHN 1999, juga telah dirumuskan misi pendidikan nasional kita, yaitu mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu, guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin,
187
bertanggung jawab, berketerampilan serta menguasai iptek dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia Untuk mewujudkan misi tersebut mesti diterapkan arah kebijakan sebagai berikut, yaitu :(1)perluasan dan pemerataan pendidikan. (2)meningkatkan kemampuan akademik dan profesionalitas serta kesejahteraan tenaga kependidikan, (3)melakukan pembaharuan dalam sistem pendidikan nasional termasuk dalam bidang kurikulum, (4)memberdayakan lembaga pendidikan formal dan PLS secara luas, (5)dalam realisasi pembaharuan pendidikan nasional mesti berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan, dan manajemen, (6)meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh berbagai pihak secara efektif dan efisien terutama dalam pengembangan iptek, seni dan budaya sehingga membangkitkan semangat yang pro-aktif, kreatif, dan selalu reaktif dalam seluruh komponen bangsa Babarapa kalangan pakar dan praktisi pendidikan, mencermati kebijakan otonomi pendidikan sering dipahami sebagai indikasi kearah “liberalisasi” atau lebih parah lagi dikatakan sebagai indikasi kearah “komersialisasi pendidikan”. Hal ini, menurut Suyanto, semakin dikuatkan dengan terbentuknya Badan Hukum Pendidikan [BHP] yang oleh beberapa pengamat dianggap sebagai pengejawantahan dari sistem yang mengarah pada “liberalisasi pendidikan” Persoalan sekarang, apakah sistem pendidikan yang ada saat ini telah efektif untuk mendidik bangsa Indonesiamenjadi bangsa yang modern, memiliki kemampuan daya saing yang tinggi di tengah-tengah bangsa lain? Jawabannya tentu belum. Menurut Suyanto, berbicara kemampuan, kita sebagai bangsa nampaknya belum sepenuhnya siap benar menghadapi tantangan persaingan.
188
Sementara, disatu sisi, “bidang pendidikan kita menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia [SDM] Indonesia. Tetapi disisi lain, sistem pendidikan kita masih melahirkan mismatch terhadap tuntutan dunia kerja, baik secara nasional maupun regional Berbagai problem fundamental yang dihadapi pendidikan nasional saat ini, yang tercermin dalam “realitas” pendidikan yang kita jalan.Seperti persoalan anggaran pendidikan, kurikulum, strategi pembelajaran, dan persoalan output pendidikan kita yang masih sangat rendah kualitasnya. Problem-problem pendidikan yang bersifat metodik dan strategik yang membuahkan output yang sangat memprihatinkan. Output, pendidikan kita memiliki mental yang selalu tergantung kepada orang lain. Output pendidikan kita tidak memiliki mental yang bersifat mandiri, karena memang tidak kritis dan kreatif.Akhirnya, output yang pernah mengenyam pendidikan, malah menjadi “pengangguran terselubung”.Ini artinya, setiap tahunnya, pendidikan nasional kita memproduksi pengangguran terselubung.Mereka itu, adalah korban dari ketidakberesan sistem pendidikan kita yang masing sedang merangka berbenah. Mungkin saja, kita sebagai insan yang berpendidikan, tentu saja terus atau banyakan berharap akan datangnya perubahan “fundamental” terhadap sistem pendidikan di Indonesia.8
8http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/26/indonesia_2010_
Ade_Cahyana.htm,(30 MEI 2014)
189
E. Analisis Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Sistem Desentralisasi Pengertian otonomi dalam konteks desentralisasi pendidikan, menurut Tilaar mencakup enam aspek, yakni : 1. .Pengaturan perimbangan kewenangan pusat dan daerah, 2. Manajemen partisipasi masyarakat dalam pendidikan, 3. Penguatan kapasitas manajemen pemerintah daerah, 4. Pemberdayaan bersama sumber daya pendidikan, 5. Hhubungan kemitraan “stakeholders” pendidikan 6. Pengembangan infrastruktur sosial. Otonomi pendidikan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 adalah terungkap pada Bak Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang tua, Masyarakat dan Pemerintah.Bagian ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal 8 disebutkan bahwa “Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan; pasal 9 Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. Begitu juga pada bagian keempat Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pasal 11 ayat (1) “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampailimabelas tahun”. Khusus ketentuan bagi Perguruan Tinggi, pasal 24 ayat (2) “Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat”.
190
Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa konsep otonomi pendidikan mengandung pengertian yang luas, mencakup filosofi, tujuan, format dan isi pendidikan serta manajemen pendidikan itu sendiri. Implikasinya adalah setiap daerah otonomi harus memiliki visi dan misi pendidikan yang jelas dan jauh ke depan dengan melakukan pengkajian yang mendalam dan meluas tentang trend perkembangan penduduk dan masyarakat untuk memperoleh konstruk masyarakat di masa depan dan tindak lanjutnya, merancang sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik budaya bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika dalam perspektif tahun 2020. Kemandirian daerah itu harus diawali dengan evaluasi diri, melakukan analisis faktor internal dan eksternal daerah guna mendapat suatu gambaran nyata tentang kondisi daerah sehingga dapat disusun suatu strategi yang matang dan mantap dalam upaya mengangkat harkat dan martabat masyarakat daerah yang berbudaya dan berdaya saing tinggi melalui otonomi pendidikan yang bermutu dan produktif. Pelaksanaan desentralisasi pendidikan atau disebut Otonomi Pendidikan masih belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan, disebabkan karena kekurangsiapan pranata sosial, politik dan ekonomi. Otonomi pendidikan akan memberi efek terhadap kurikulum, efisiensi administrasi, pendapatan dan biaya pendidikan serta pemerataannya. Ada 6 faktor yang menyebabkan pelaksanaan otonomi pendidikan belum jalan, yaitu :1)Belum jelas aturan permainan tentang peran dan tata kerja di tingkat kabupaten dankota. 2)Pengelolaan sektor publik termasuk pengelolaan pendidikan yang belum siap untuk dilaksankana secara otonom karena SDM yang terbatas serta fasilitas yang tidak
191
memadai. 3)Dana pendidikan dan APBD belum memadai. 4)Kurangnya perhatian pemerintah maupun pemerintah daerah untuk lebih melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan. 5)Otoritas pimpinan dalam hal ini Bupati, Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah kurang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan belum menjadi prioritas utama. 6) kondisi dan setiap daerah tidak memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana dan dana yang dimiliki. Hal ini mengakibatkan akan terjadinya kesenjangan antar daerah, sehingga pemerintah perlu membuat aturan dalam penentuan standar mutu pendidikan nasional dengan memperhatikan kondisi perkembangan kemandirian masing-masing daerah. Otonomi pendidikan yang benar harus bersifat accountable, artinya kebijakan pendidikan yang diambil harus selalu dipertanggungjawabkan kepada publik, karena sekolah didirikan merupakan institusi publik atau lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat. Otonomi tanpa disertai dengan akuntabilitas publik bisa menjurus menjadi tindakan yang sewenang-wenang. Berangkat dan ide otonomi pendidikan muncul beberapa konsep sebagai solusi dalam menghadapi kendala dalam pelaksanaan otonomi pendidikan, yaitu 1. Meningkatkan Manajemen Pendidikan Sekolah Wardiman Djajonegoro (1995) bahwa kualitas pendidikan dapat ditinjau dan segi proses dan produk. Pendidikan disebut berkualitas dan segi proses jika proses belajar mengajar berlangsung secara efektif, dan peserta didik mengalami pembelajaran yang bermakna. Pendidikan
192
disebut berkualitas dan segi produk jika mempunyai salah satu ciri-ciri sebagai berikut : a) peserta didik menunjukkan penguasaan yang tinggi terhadap tugas-tugas belajar (learning task) yang harus dikuasai dengan tujuan dan sasaran pendidikan, diantaranya hasil belajar akademik yang dinyatakan dalam prestasi belajar (kualitas internal); b) hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam kehidupan sehingga dengan belajar peserta didik bukan hanya mengetahui sesuatu, tetapi dapat melakukan sesuatu yang fungsional dalam kehidupannya (learning and learning), c) hasil pendidikan sesuai atau relevan dengan tuntutan lingkungan khususnya dunia kerja. Menghadapi kondisi ini maka dilakukan pemantapan manajemen pendidikan yang bertumpu pada kompetensi guru dan kesejahteraannya.Menurut Penelitian Simmons dan Alexander (1980) bahwa ada tiga faktor untuk meningkatkan mutu pendidikan, yaitu motivasi guru, buku pelajaran dan buku bacaan serta pekerjaan rumah. Hasil penelitian ini tampak dengan jelas bahwa akhir penentu dalam meningkatkan mutu pendidikan tidak pada bergantinya kurikulum, kemampuan manajemen dan kebijakan di tingkat pusat atau pemerintah daerah, tetapi lebih kepada faktor-faktor internal yang ada di sekolah, yaitu peranan guru, fasilitas pendidikan dan pemanfaatannya. Kepala Sekolah sebagai top manajemen harus mampu memberdayakan semua unit yang dimiliki untuk dapat mengelola semua infrastruktur yang ada demi pencapaian kinerja yang maksimal. Selain itu, untuk dapat meningkatkan otonomi manajemen sekolah yang mendukung peningkatan mutu pendidikan, Pimpinan Sekolah harus memiliki kemampuan untuk melibatkan partisipasi dan komitmen dan orangtua
193
dan anggota masyarakat sekitar sekolah untuk merumuskan dan mewujudkan visi, misi dan program peningkatan mutu pendidikan secara bersama-sama; salah satu tujuan UU No. 20 Tahun2003 adalah untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dana dalam penyelenggaraan pendidikan. 2. Reformasi Lembaga Keuangan Hubungan PusatDaerah Perlu dilakukan penataan tentang hubungan keuangan antara Pusat-Daerah menyangkut pengelolaan pendapatan (revenue) dan penggunaannya (expenditure) untuk kepentingan pengeluaran rutin maupun pembangunan daerah dalam rangka memberikan pelayanan publik yang berkualitas.Sumber keuangan diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah, Dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan yang syah dengan melakukan pemerataan diharapkan dapat mendukung pelaksanaan kegiatan pada suatu daerah, terutama pada daerah miskin.Bila dimungkinkan dilakukan subsidi silang antara daerah yang kaya kepada daerah yang miskin, agar pemerataan pendidikan untuk mendapatkan kualitas sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. 3. Kemauan Pemerintah Daerah Melakukan Perubahan Era otonom kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah. Bila pemerintah daerah memiliki political will yang baik dan kuat terhadap dunia pendidikan, ada peluang yang cukup luas bahwa pendidikan di daerahnya akan maju. Sebaiknya, kepala daerah yang tidak memiliki visi yang baik di bidang
194
pendidikan dapat dipastikan daerah itu akan mengalami stagnasi dan kemandegan menuju pemberdayaan masyarakat yang well educated dan tidak pernah mendapat momentum yang baik untuk berkembang. Otonomi pendidikan harus mendapat dukungan DPRD, karena DPRD-lah yang merupakan penentu kebijakan di tingkat daerah dalam rangka otonomi tersebut.Di bidang pendidikan, DPRD harus mempunyai peran yang kuat dalam membangun pradigma dan visi pendidikan di daerahnya.Oleh karena itu, badan legislatif harus diberdayakan dan memberdayakan diri agar mampu menjadi mitra yang baik. Kepala pemerintahan daerah,kotadiberikan masukan secara sistematis dan membangun daerah. 4) Membangun Pendidikan Berbasis Masyarakat Kondisi Sumber Daya yang dimiliki setiap daerah tidak merata untuk seluruhIndonesia. Untuk itu, pemerintah daerah dapat melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, ilmuwan, pakar kampus maupun pakar yang dimiliki Pemerintah Daerah Kota sebagai Brain Trust atau Think Thank untuk turut membangun daerahnya, tidak hanya sebagai pengamat, pemerhati, pengecam kebijakan daerah. Sebaliknya, lembaga pendidikan juga harus membuka diri, lebih banyak mendengar opini publik, kinerjanya dan tentang tanggung jawabnya dalam turut serta memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. 5) Pengaturan Kebijakan Pendidikan antara Pusat dan Daerah Pemerintah Pusat tidak diperkenankan mencampuri urusan pendidikan daerah Pemerintah Pusat hanya
195
diperbolehkan memberikan kebijakan-kebijakan bersifat nasional, seperti aspek mutu dan pemerataan.Pemerintah pusat menetapkan standard mutu.Jadi, pemerintah pusat hanya berperan sebagai fasilitator dan katalisator bukan regulator. Otonomi pengelolaan pendidikan berada pada tingkat sekolah, oleh karena itu lembaga pemerintah harus memberi pelayanan dan mendukung proses pendidikan agar berjalan efektif dan efisien.
196
BAB VII PENDIDIKAN KARAKTER: Sebuah Pendekatan Nilai A. Pendahuluan Pendidikan pada hakikatnya bertujuan membantu manusia untuk menjadi cerdas dan pintar (smart) sekaligus menjadi manusia yang baik (good).Menjadikan manusia cerdas dan pintar, boleh jadi mudah melakukannya, tetapi menjadikan manusia agar menjadi orang yang baik dan bijak, tampaknya jauh lebih sulit.Oleh karena itu, sangat wajar apabila dikatakan bahwa problem moral merupakan persoalan akut yang mengiringi kehidupan manusia di setiap waktu dan di berbagai tempat.Kenyataan tentang akutnya problem moral ini yang kemudian menempatkan penyelengaraan pendidikan karakter sebagai sesuatu yang penting.1 Berbicara tentang pendidikan karakter sebetulnya bukan hal baru dalam sistem pendidikan di Indonesia.Pendidikan karakter sudah sejak lama menjadi bagian penting dalam misi kependidikan nasional, walaupun dengan penekanan dan istilah yang berbeda.2 Saat ini, wacana tentang urgensi pendidikan karakter kembali menguat dan menjadi fokus perhatian sebagai respons atas berbagai persoalan bangsa, terutama masalah dekadensi moral, seperti korupsi, kekerasan, perkelahian antar pelajar, bentrok antar 1Oci
Melisa Depiyanti, “Model Pendidikan Karakter di Islamic Full Day School (Studi Deskriptif pada SD Cendekia Leadership School, Bandung,” dalam Jurnal Tarbawi vol. 1 no. 3 (September 2012), h. 221-226. 2Muhammad Ilyas Ismail, Orientasi Baru dalam Ilmu Pendidikan (Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 231.
198 etnis, dan perilaku seks bebas. Fenomena tersebut menurut Tilaar merupakan salah satu ekses dari kondisi masyarakat yang sedang berada dalam masa transformasi sosial menghadapi era globalisasi.3 Globalisasimelahirkan budaya global yang menyebabkan problematika menjadi semakin kompleks.Globalisasi membawa dampak positif sekaligus dampak negatif bagi bangsa Indonesia. Kebudayaan negaranegara Barat yang mengedepankan rasionalisme dan materialisme-sekuler telah mempengaruhi negara-negara Timur, termasuk Indonesia yang masih memegang adat dan kebudayaan leluhur, yang menjunjung nilai tradisi dan spiritualitas keagamaan.Kenyataan ini merupakan tantangan serius bagi dunia pendidikan saat ini. Proses pendidikan merupakan upaya mewariskan nilai-nilai luhur suatu bangsa yang bertujuan melahirkan generasi unggul secara intelektual dengan tetap memelihara kepribadian dan identitasnya sebagai sebuah bangsa. Di sini letak esensi pendidikan yang memiliki dua misi utama, yaitu transfer of values dantransfer of knowledge.Dapat dikatakan, pendidikan dewasa ini dihadapkan pada upaya pewarisan nilai-nilai lokal di tengah derasnya arus nilai global.Kondisi demikian, menurut Tilaar, membuat pendidikan saat ini telah tercabik dari keberadaannya sebagai bagian yang terintegrasi dengan kebudayaan. Gejala pemisahan pendidikan dari kebudayaan dapat dilihat dari gejala-gejala berikut: (1) kebudayaan telah dibatasi pada hal-hal yang berkenaan dengan kesenian, tarian tradisional, kepurbakalaan termasuk 3H.A.R.
Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 3.
198
199 urusan candi dan bangunan kuno, makam, dan sastra tradisional; (2) nilai-nilai kebudayaan dalam pendidikan telah dibatasi pada nilai-nilai intelektual belaka; (3) hal lain, nilainilai agama bukanlah urusan pendidikan, tetapi lebih merupakan urusan lembaga-lembaga agama.4 Gambaran di atas menegaskan urgensi pendidikan karakater bagi manusia Indonesia yang berpijak kepada khazanah nilai-nilai Islam dan kebudayaan Indonesia.Oleh sebab itu, makalah ini secara khusus menguraikan pendidikan karakter berdasarkan pendekatan nilai-nilai tersebut. Pembahasan tentang Pendidikan Karakter: Sebuah pendekatan nilai di dalam bab ini dibahas secara teoretis mulai dari bagaimana hakikat pendidikan karakter, bagaimana fungsi agama dan budaya sebagai sumber nilai dalam pendidikan karakter, bagaimana implementasi pendidikan karakter dalam tripusat pendidikan. B. Hakikat Pendidikan Karakter Secara etimologis, kata karakter (Inggris: character) berasal dari bahasa Yunani, yaitu charassein yang berarti “to engrave”.5Kata “to engrave” dapat diterjemahkan “mengukir, melukis.”6Makna ini dapat dikaitkan dengan persepsi bahwa karakter adalah lukisan jiwa yang termanifestasi dalam perilaku. 4H.A.R.
Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, h. 17. 5Kevin Ryan & Karen E. Bohlin, Building Character in Schools: Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life (San Francisco: Jossey Bass, 1999), h. 5. 6John
M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1995), h. 214.
199
200 Karakter dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan “tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan watak.”7Jadi, orang berkarakter berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak.Makna seperti itu menunjukkan bahwa karakter identik dengan kepribadian atau akhlak. Kepribadian merupakan ciri atau karakteristik atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukanbentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan sejak lahir.8Seiring dengan pengertian ini, ada sekelompok orang yang berpendapat bahwa baik buruknya karakter manusia sudah menjadi bawaan dari lahir. Jika jiwa bawaan baik, maka manusia itu akan berkarakter baik, dan sebaliknya jika bawaan jelek, maka manusia itu akan berkarakter jelek. Jika pendapat ini benar, maka pendidikan karakter tidak ada gunanya, karena tidak akan mungkin mengubah karakter orang yang sudah taken for granted. Sementara itu sekelompok orang yang lain berpendapat berbeda, bahwa karakter dapat dibentuk dan diupayakan, sehingga pendidikan karakter menjadi sangat bermakna untuk membuat manusia memiliki karakter yang baik. Karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral.Karakter memiliki kesamaan arti dengan moral.Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan 7Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. I; Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 682. 8Doni A. Koesoema, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Modern (Jakarta: PT Grasindo, 2007), h. 80.
200
201 buruk.9 Menurut Simon Philips, yang dikutip Masnur Muslich, bahwa karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan.10 Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan akhlak, etika, dan moral, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhan, dengan dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tatakrama, budaya, dan adat istiadat. Ahmad Amin menjadikan kehendak (niat) sebagai awal terjadinya akhlak (karakter) pada diri seseorang, jika kehendak itu diwujudkan dalam bentuk pembiasaan sikap dan perilaku.11 Fatchul Mu’in dalam bukunya Pendidikan Karakter: Kontruksi Teoretik & Praktik menjelaskan ciri-ciri karakter, yaitu: (1) Karakter adalah “siapakah dan apakah kamu saat orang lain sedang melihat kamu” (character is what you are when nobody is looking). Jadi, karakter berhubungan dengan konsep diri bahwa seseorang harus paham terhadap dirinya sendiri, harus tahu kelebihan dan kekurangan yang 9Jamal Ma’mur Asmani,Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah. (Yogyakarta: Diva Press, 2011), h. 2728. 10Masnur
Muslich,Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2011), h. 70. 11Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), terj. Farid Ma’ruf (Cet. VIII; Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 62.
201
202 dimiliki;(2) Karakter merupakan hasil nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan (character is the result of values and beliefs). Nilai adalah sesuatu yang dianggap benar dan suci, tetapi bersifat abstrak yang hanya dapat dirasakan, sedangkan keyakinan adalah kulminasi dari sesuatu yang dianggap benar dan suci; (3) Karakter adalah sebuah kebiasaan yang menjadi sifat alamiah kedua (character is a habit that becomes second nature). Kebiasaan adalah sesuatu yang dilakukan setiap hari, jadi karena sudah menjadi suatu kebiasaan maka ia tampak alamiah dan bukan rekayasa; (4) Karakter bukanlah reputasi atau apa yang dipikirkan oleh orang terhadapmu (character is not reputation or what others thinks about you). Jadi karakter tidak selalu menjadi gambaran diri seseorang berdasarkan persepsi orang lain, tetapi perilaku yang apa adanya; (5) Karakter bukanlah seberapa baik kamu daripada orang lain (character is not how much better you are than others). Jadi karakter bukanlah menjadi perbandingan antara diri seseorang dengan orang lain;(6)Karakter tidak relatif (character isnot relative). Jadi karakter itu adalah baku “saya adalah saya”, ”kamu adalah kamu”, dan “dia adalah dia”12 Tampak bahwa semua ciri karakter di atas merujuk pada satu tujuan yaitu menjadi diri sendiri (be your self). Dari konsep karakter ini muncul konsep pendidikan karakter (character education). Terminologi pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1900-an. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul The Return of Character Education dan kemudian disusul bukunya, Educating for Character: How Our School Can 12Fatchul Mu’in, Pendidikan Karakter: Kontruksi Teoretik & Praktik (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 161-162.
202
203 Teach Respect and Responsibility. Melalui buku-buku itu, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan karakter menurut Lickona mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good).13Artinya, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan, sikap, dan motivasi, serta perilaku dan keterampilan. Frye berpendapat, pendidikan karakter harus menjadi gerakan nasional yang menjadikan sekolah sebagai agen untuk membangun karakter siswa melalui pembelajaran dan pemodelan.14Melalui pendidikan karakter, sekolah harus berpretensi untuk membawa peserta didik memiliki nilainilai karakter mulia seperti hormat dan peduli pada orang lain, tanggung jawab, memiliki integritas, dan disiplin. Di sisi lain pendidikan karakter juga harus mampu menjauhkan peserta didik dari sikap dan perilaku yang tercela. Pendidikan karakter tidak sekadar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik, sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Jika demikian, pendidikan karakter membawa misi yang sama dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral. 13Thomas Lickona,Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), h. 51. 14Mike
Frye, at al., Character Education: Informational Handbook and Guide for Support and Implementation of the Student Citizent Act of 2001 (North Carolina: Public Schools of North Carolina, 2002), h. 2.
203
204 Selanjutnya Frye menegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan usaha yang disengaja untuk membantu seseorang memahami, menjaga, dan berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai karakter mulia.15 Konfigurasi pendidikan karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokkan dalam: olah hati (spiritual and emotional development), olah pikir (intellectual development), olah raga dan kinestetik (physical and kinestetic development), dan olah rasa dan karsa (affective and creativity development).16Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter yang dilakukan semestinya mengacu pada olah hati, olah pikir, olah raga, dan olah rasa tersebut. C. Sumber Nilai Pendidikan Karakter Karakter, seperti juga kualitas diri yang lainnya, tidak berkembang dengan sendirinya.Perkembangan karakter pada setiap individu bersumber dan dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) dan faktor lingkungan (nurture). Menurut para ahli psikologi perkembangan, setiap manusia memiliki potensi bawaan yang akan termanisfestasi setelah dia dilahirkan, termasuk potensi yang terkait dengan karakter atau nilai-nilai kebajikan. Hal senada telah ditegaskan oleh Allah swt dalam QS. al-Rum/30: 30.
15Mike
Frye, at al., Character Education: Informational Handbook and Guide for Support and Implementation of the Student Citizent Act of 2001, h. 3. 16Muhammad Yaumi, Pilar-Pilar Pendidikan (Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 59-78.
204
Karakter
205 Terjemahnya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu.Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.(Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.17 Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari menjelaskan: ٍ ْآد ُم َحدَّثَنَا ابْن أيَِب يذئ ال َ َال ق َ َالر ْْحَ ين َع ْن أيَِب ُهَريْ َرةَ َر يض َي اهللُ َعنْهُ ق ُّ ب َع ين َّ ي َع ْن أيَِب َسلَ َمةَ بْ ين َعْب يد ِّ الزْه ير َ َحدَّثَنَا ُ ي ٍ صرانييه أَو ُيَُ ِّجسانييه َكمثَ يل الْب يهيمةي ي ي ي ي ُّ الني َ َِّب َ َ َ َ ْ َ ِّ َصلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم ُك ُّل َم ْولُود يُولَ ُد َعلَى الْفطَْرة فَأَبَ َواهُ يُ َه ِّوَدانه أ َْو يُن 18 ي ي َ تُْنتَ ُج الْبَه َيمةَ َه ْل تََرى ف َيها َج ْد َعاء Artinya: (Imam Bukhari berkata), telah menyampaikan berita kepada kami Adam, telah menyampaikan berita kepada kami Ibnu Abi Zi´bin, dari al-Zuhri, dari Abu Salamah bin ´Abd. Al-Rahman, dari Abu Hurairah ra berkata, Nabi saw. bersabda: setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), kedua orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi atau Nasrani atau Majusi, bagaikan seekor binatang melahirkan anaknya, apakah engkau melihat dia melindunginya? 17Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya(Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009),h. 645. 18Muhammad
bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mugirah alBukhari, Sahih al-Bukhari (CD al-Maktabah al-Syamila Versi 2. 1), Juz 5, h. 182, nomor hadis 1296.
205
206 Dua dalil di atas menjelaskan bahwa karakter baik merupakan fitrah manusia yang proses pengembangannya dapat dilakukan melalui tuntunan agama dan lingkungan budaya. 1. Pendidikan Karakter Berbasis Islam Islam menggunakan kata akhlak (bentuk jamak dari kata khuluq) untuk menggambarkan karakter.Al-Ghazali, sebagaimana dikutip Nata, mengemukakan dua citra manusia, yaitu citra lahiriah manusia disebut khalq dan citra batiniahnya yang disebut khuluq.Khalq merupakan citra fisik manusia, sedang khuluq merupakan citra psikisnya.AlGhazali lebih lanjut menjelaskan bahwa khuluq adalah “suatu kondisi (hay`ah) dalam jiwa (nafs) yang suci (rasikhah), dan dari kondisi itu tumbuh suatu aktivitas yang mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu.”19 Ibnu Miskawaih, dikutip Nata, mendefinisikan khuluq dengan “suatu kondisi (hal) jiwa (nafs) yang menyebabkan suatu aktivitas dengan tanpa dipikirkan atau 20 dipertimbangkan terlebih dahulu. Pada intinya, akhlak itu hanya mencakup kondisi batiniah (inner), bukan kondisi lahiriah. Misalnya, orang yang memiliki karakter pelit bisa juga ia banyak mengeluarkan uangnya untuk kepentingan riya', boros, dan sombong. Sebaliknya, orang yang memiliki karakter dermawan bisa jadi ia menahan mengeluarkan uangnya demi kebaikan dan kemashlahatan.
19Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), h. 2-3. 20Abuddin
Nata, Akhlak Tasawuf, h. 3.
206
207 Manshur Ali Rajab memberi batasan akhlak dengan alt}ab’udan al-sajiyah. Maksud tab’u (natural disposition) adalah citra batin manusia yang menetap (al-sukun) yang terdapat pada al-jibillah (konstitusi)-nya yang diciptakan oleh Allah sejak lahir. Sedangkan al-sajiyah adalah kebiasaan (‘adah) manusia yang berasal dari hasil integrasi antara karakter manusiawi dengan aktivitas-aktivitas yang diusahakan (almuktasab).Kebiasaan ini ada yang teraktualisasi menjadi suatu tingkah laku lahiriah dan ada juga yang masih terpendam. Definisi terakhir inilah yang lebih lengkap, karena khuluq mencakup kondisi lahir dan batin manusia. Term khulq selain diungkap dua kali dalam Al-Qur`an (QS al-Qalam: 4 dan QS al-Syu’ara:137), juga term akhlak yang digunakan Nabi Muhammad untuk menjelaskan misi kerasulannya: ور ي ي ي ى ُّ اب َحدَّثَنَا أَبُو بَ ٍْ ٍر ُُمَ َّم ُد بْ ُن ُعبَ ْي ٍد ال َْم ْر ُّ وذ ِّ َعَر ي ْ َصبَ َه ياِنُّ أَنْبَأَنَا أَبُو َسعييد بْ ُن األ ْأ َ وس ْ ف األ ُ َُخبَ َرنَا أَبُو ُُمَ َّمد بْ ُن ي ٍ َخبَ َريِن ُُمَ َّم ُد بْ ُن َع ْجَاَ ََ َع ين الَْ ْعَ ياِ بْ ين َح يٍي ٍم َع ْن أَيب ُ َحدَّثَنَا َسعي ْ صوٍر َحدَّثَنَا َعبْ ُد ال َْع يزي يز بْ ُن ُُمَ َّمد أ ُ ْيد بْ ُن َمن ي ال رس ُ ي ت ألََُتِّ َم َم ٍَا يرَم َ َصالي ٍح َع ْن أيَب ُهَريْ َرةَ َر يض َى اللَّهُ َعنْهُ ق ُ ْ « إيََّّنَا بُعث-صلى اهلل عليه وسلم- ول اللَّه َ ُ َ َ َال ق 21 ي .َخَاَق ْ األ Artinya: (Imam Baihaqi berkata), telah mengabarkan kepada kami Abu Muhammad bin Yusuf, telah mengabarkan kepada kami Abu Said bin al-A´rabi, telah menyampaikan kepada kami Muhammad bin Ubaid, telah menyampaikan kepada kami Said bin Mansur, telah menyampaikan kepada kami ´Abd al-´Azis bin Muhammad, telah mengabarkan kepada kami 21Abu
Bakar Ahmad bin Husain bin Ali al-Baihaqi, Sunan alKubra(CD al-Maktabah al-Syamila Versi 3. 28), Juz 10, nomor hadis 21301, h. 191.
207
208 Muhammad bin ´Ajlan, dari Qa´qa´ bin Hakim, dari Abu Salih, dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Karakter atau akhlak mulia dalam perspektif Islam merupakan buah yang dihasilkan dari proses penerapan syariah (ibadah dan muamalah) yang dilandasi oleh fondasi aqidah yang kokoh. Ibarat bangunan, karakter merupakan kesempurnaan dari bangunan tersebut setelah fondasi dan bangunannya kuat. Jadi, tidak mungkin karakter mulia akan terwujud pada diri seseorang jika ia tidak memiliki aqidah dan syariah yang benar. Aqidah yang benar terefleksi pada sikap dan perilaku sehari-hari. Sebagai contoh, orang yang memiliki iman yang benar kepada Allah ia akan selalu mengikuti seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangannya. Artinya, ia akan selalu berbuat yang baik dan menjauhi perbuatan buruk. Iman kepada yang lain (malaikat, kitab, dan seterusnya) akan menjadikan sikap dan perilakunya terarah dan terkendali, sehingga akan mewujudkan karakter mulia. Hal yang sama juga terjadi dalam hal pelaksanaan syariah. Semua ketentuan syariah Islam bermuara pada terwujudnya akhlak atau karakter mulia. Seorang yang melaksanakan salat yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku, misalnya, akan membawanya untuk selalu berbuat yang benar dan terhindar dari perbuatan keji dan mungkar. Allah swt.berfirman dalam QS al-Ankabut/29: 45.
208
209 Terjemahnya: Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (Al-Quran) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain) dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.22 Hikmah pelaksanaan syariah dalam salat juga terjadi pada ketentuan-ketentuan syariah lainnya seperti zakat, puasa, dan haji. Hal yang sama juga terjadi dalam pelaksanaan muamalah, seperti perkawinan, perekonomian, pemerintahan, dan sebagainya. Kepatuhan akan aturan muamalah akan membawa pada sikap dan perilaku seseorang yang mulia dalam segala aspek kehidupannya. Model pendidikan karakter islami dapat diturunkan dari dua pola, yaitu (1) diturunkan dari domain akhlak dalam trilogi ajaran Islam, yang tidak mencakup akidah dan syariah (ibadah-muamalah); (2) diturunkan dari keseluruhan domain dari ajaran Islam, mencakup akidah/iman, syariah/islam dan akhlak/ihsan. Pertama, karakter diturunkan dari ajaran akhlak, yakni bagian esoteris dari komponen ajaran Islam.Pola ini tidak melibatkan akidah dan syariah sebagai konstruksi dalam karakter, tetapi hanya akhlak saja. Melalui pola ini, bentukbentuk karakter Islam dibagi dua bagian, yaitu: (1) Karakter terpuji (akhlaq mahmudah). Bentuk karakter ini seperti sabar, syukur, ikhlas, qana’ah, rendah hati (tawadu’), jujur (sidq), dermawan, amanah, pemaaf, lapang dada, dan sebagainya. 22Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009),h. 401.
209
210 (2) Karakter tercela (akhlak mazmumah). Bentuk karakter ini seperti gampang marah (gadab), kufur nikmat, riya’, rakus (tama’),sombong (takabur), dusta (kizb), pelit (syukh), khianat, dendam, dengki, dan sebagainya. Dua karakter tersebut merupakan kebalikan atau lawan yang jelas, baik dilihat dari perilaku eksoteris maupun esoterisnya, seperti sabar versus marah, syukur versus kufur, ikhlas versus riya’, qana’ah versus tama’, tawadu’ versus takabur, jujur versus dusta dan seterusnya.Karena perbedaan itu jelas maka model karakter ini mudah diukur. Kedua, karakter diturunkan dari semua aspek dalam ajaran Islam, yaitu meliputi rukun iman (akidah), rukun Islam (syariah) dan ihsan (akhlak).Pola karakter ini integratif dan tidak membedakan antara perilaku eksoteris dan esoteris. Dengan pola ini tidak akan terjadi split personality, hatinya beriman kepada Allah Swt tetapi karakternya buruk. Mujib menguraikan sumber pembentukan karakter yang diderivasi dari trilogi ajaran Islam, yaitu: 1. Domain iman membentuk karakter mukmin, yang mencakup enam bentuk (rukun iman): a. Karakter rabbani/ilahi dengan indikatornya 99 al-asma al-husna. b. Karakter malaki dengan indikatornya sifat-sifat malaikat, atau 10 macam sesuai dengan nama dan tugas-tugas malaikat. c. Karakter qur’ani dengan indikatornya nilai-nilai asasi dalam al-Qur’an d. Karakter rasuli dengan indikatornya empat sifat rasul, atau sesuai dengan mu’jizatnya. e. Karakter yaum al-qiyamah dengan indikatornya berupa implikasi keimanan terhadap hari kiamat. 210
211 f. Karakter taqdiri dengan indikatornya ketentuan dan aturan berkaitan taqdir anfusi, kauni, dan qur’ani. 2. Domain Islam membentuk karakter muslim, yang mencakup lima bentuk (rukun Islam): a. Karakter musyahadatain dengan indikatornya implikasi kesaksian syadahat kepada Allah dan syahadat rasul. b. Karakter mushalli dengan indikatornya implikasi atau hikmah dari shalat. c. Karakter sha’im dengan indikatornya implikasi atau hikmah dari puasa. d. Karakter muzakki dengan indikatornya implikasi atau hikmah dari zakat. e. Karakter hajji dengan indikatornya implikasi atau hikmah dari haji. 3. Domain ihsan membentuk karakter muhsin, yang mencakup multi bentuk (rukun ihsan) a. Tingkatan permulaan (bidayah), meliputi kesadaran (alyaqzhah), taubat (al-taubah), introspekti (al-muhasabah), kembali ke jalan Allah (al-inabah), berfikir (al-tafakkur), berzikir (al-tazakkur), menjaga diri (al-i’tishâm), lari dari keburukan menuju ke jalan Allah (al-firar), latihan spiritual (al-riyadhah), dan mendengar dengan suara hati (al-sima’). b. Tingkatan pintu-pintu masuk (abwab), meliputi kesedihan (al-huzn), ketakutan (al-khauf), kekhusyuan (al-khusyu’), rendah diri di hadapan Allah (al-ikhbat), zuhud (al-zuhud), menjaga diri (al-wara’), ketekunan (altabattul), harapan (al-raja’), dan kecintaan (al-ragbah). c. Tingkatan pergaulan (mu’amalah), meliputi pemeliharaan diri (al-ri’ayah), menghadirkan hati 211
212
d.
e.
f.
g.
h.
i.
kepada Allah (al-muraqabah), kehormatan (al-hurmah), ketulusan (al-ikhlash), pendidikan (al-tahzib), kontinu (alistiqamah), tawakkal (al-tawakkal), pelimpahan wewenang (al-tafwîdh), keterpercayaan (al-siqah) dan penyerahan (al-taslim). Tingkatan etika (akhlaq), meliputi sabar (al-sabr), rela (alrida), berterima kasih (al-syukur), malu (al-haya), jujur (alsidq), mementingkan orang lain (al-itsar), kerendahan hati (al-tawadu’) dan kejantanan (al-futuwah). Tingkatan pokok (usul), meliputi tujuan (al-qas}d), tekad (al-‘azm), hasrat (al-iradah), sopan santun (al-adab), keyakinan (al-yaqîn), keintiman (al-uns), mengingat (alzikr), butuh rahmat (al-faqr) dan merasa kaya materi (algani) Tingkatan terapi (adwiyah), meliputi baik (al-ihsan), ilmu (al-‘ilm), hikmah (al-hikmah), pandangan batin (al-bas}ir), firasat (al-firasah), kehormatan (al-ta’zim), ilham (alilham), ketenangan (al-sakinah), ketentraman (althuma’ninah) dan cita-cita (al-himmah). Tingkatan keadaan (ahwal), meliputi cinta (al-mahabbah), cemburu (al-girah), rindu (al-syauq), kegoncangan (alqalq), haus (al-‘atasy), suka cita (al-wijd), keheranan (aldahasy), kilat (al-barq) dan cita-rasa (al-zauq). Tingkatan kewalian (walayah), meliputi sadar setelah memperhatikan (al-lahazhah), waktu (al-waqt), jernih (alshafa), gembira (al-surur), rahasia (al-sirr), nafas (al-nafs), keterasingan (al-gurbah), tenggelam (al-gharq) dan kesanggupan hati (al-tamakkun). Tingkatan hakikat (haqaiq), meliputi ketersingkapan (almukasyafah), penyaksian (al-musyahadah), keterlihatan (al-mu’ayanah), hidup (al-hayah), ketergengaman (alqabdh), keterbentangan (al-basth), mabuk (al-sukr), lupa 212
213 (al-s}ahw), ketersambungan (al-ittisal), dan keterpisahan (al-infisal). j. Tingkatan puncak (nihayah), meliputi pengetahuan yang gaib (al-ma’rifah), peniadaan materi (al-fana), penetapan ruhani (al-baqa), pembuktian (al-tahqîq), mendapatkan eksistensi (al-wujud), pengosongan (al-tajrid), ketersendirian (al-tafrid), penyatuan (al-jam’u) dan pentauhidan (al-tauhid).23 Uraian di atas menunjukkan bahwa spiritualitas dan nilai-nilai agama tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan karakter.Sebagai usaha yang identik dengan ajaran agama, pendidikan karakter dalam Islam memiliki keunikan dan perbedaan dengan pendidikan karakter di dunia Barat.Perbedaan tersebut mencakup penekanan terhadap prinsip-prinsip agama yang abadi, aturan dan hukum memperkuat moralitas, perbedaan pemahaman tentang kebenaran dan penekanan pahala di akhirat sebagai motivasi perilaku berkarakter. Inti perbedaan ini adalah keberadaan wahyu ilahi sebagai sumber dan rambu-rambu pendidikan karakter dalam Islam, sehingga pendidikan karakter dalam Islam lebih sering dilakukan secara doktriner dan dogmatis.24 Pendekatan ini membuat pendidikan karakter dalam Islam lebih cenderung pada teaching right and wrong. Dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak dalam Islam mempunyai orientasi yang sama dengan pendidikan karakter yang sedang booming saat ini. Perbedaan bahwa pendidikan akhlak terkesan Timur dan Islam sedangkan 23A.
Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 78-93. 24Abdul Madjid, Pendidikan (Bandung: Rosdakarya, 2011), h. 59.
213
Karakter
Perspektif
Islam
214 pendidikan karakter terkesan Barat dan sekuler, bukan alasan untuk dipertentangkan.Pada kenyataannya keduanya memiliki ruang untuk saling mengisi.Bahkan Lickona sebagai bapak pendidikan karakter di Amerika justru mengisyaratkan keterkaitan erat antara karakter dan spiritualitas.Sejauh ini, pendidikan karakter telah berhasil dirumuskan oleh para penggiatnya sampai pada tahap yang sangat operasional meliputi metode, strategi, dan teknik.Sementara itu, pendidikan akhlak sarat dengan informasi kriteria ideal dan sumber karakter baik, maka memadukan keduanya menjadi suatu tawaran yang sangat inspiratif.Hal ini sekaligus menjadi entry point bahwa pendidikan karakter memiliki ikatan yang kuat dengan nilai spiritualitas dan agama. 2. Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Bagian awal tulisan ini telah mengemukakan bahwa dengan massifnya pengaruh budaya global, maka penting untuk membangunan karakater manusia Indonesia yang berpijak kepada khazanah nilai-nilai kebudayaan yang dimilikinya.Juga telah dikemukakan bahwa kini kebudayaan mengalami reduksi makna, bahkan ada gejala dipisahkan dari pendidikan.Oleh karena itu, Koentjaraningrat memberikan jalan agar gejala pemisahan pendidikan dari kebudayaan ini dapat segera teratasi.Ia menyarankan pentingnya merumuskan kembali tujuh unsur universal dari kebudayaan, yaitu: sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, keseniaan, sistem mata pencaharian hidup dan sistem teknologi dan peralatan.25 25Koentjaraningrat, Kebudayaan, Pembangunan(Jakarta: Gramedia, 2002), h. 65.
214
Mentalitas,
dan
215 Ki Hajar Dewantoro, yang dikutip Tilaar, mengatakan bahwa kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, bahkan kebudayaan merupakan alas atau dasar pendidikan. Kebudayaan yang menjadi alas pendidikan tersebut haruslah bersifat kebangsaan. Kebudayaan yang dimaksud di sini adalah kebudyaan yang riil, yaitu budaya yang hidup di dalam masyarakat kebangsaan Indonesia.26 Esensi nilai kebudayaan Indonesia telah abstraksikan dalam Pancasila.Diperlukan karakter berbasis nilai Pancasila, seperti tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong-royong, patriotik, dinamis, berbudaya, dan berorientasi ipteks jika hendak memajukan Negara Republik Indonesia. Karakter yang berlandaskan falsafah Pancasila artinya setiap aspek karakter harus dijiwai ke lima sila Pancasila secara utuh dan komprehensif yang dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Bangsa yang Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah bentuk kesadaran dan perilaku iman dan takwa serta akhlak mulia sebagai karakteristik pribadi bangsa Indonesia. Karakter Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa seseorang tercermin, antara lain, hormat dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan, saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu; tidak memaksakan agama dan kepercayaannya kepada orang lain b. Bangsa yang menjunjung kemanusiaan yang adil dan beradab, yaitu sikap dan perilaku menjunjung tinggi kemanusian yang adil dan beradab diwujudkan dalam 26H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, h. 68.
215
216 perilaku hormat menghormati antarwarga negara sebagai karakteristik pribadi bangsa Indonesia. Karakter kemanusiaan seseorang tercermin antara lain dalam pengakuan atas persamaan derajat, hak, dan kewajiban; saling mencintai; tenggang rasa; tidak semena-mena terhadap orang lain; gemar melakukan kegiatan kemanusiaan; menjunjung tinggi nilai kemanusiaan; berani membela kebenaran dan keadilan; merasakan dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia serta mengembangkan sikap hormat-menghormati. c. Bangsa yang mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa, adalah bangsa yang memiliki komitmen dan sikap yang selalu mengutamakan persatuan dan kesatuan Indonesia di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan merupakan karakteristik pribadi bangsa Indonesia. Karakter kebangsaan seseorang tecermin dalam sikap menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan; rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara; bangga sebagai bangsa Indonesia yang bertanah air Indonesia serta menunjung tinggi bahasa Indonesia; memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. d. Bangsa yang demokratis dan menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia, yaitu sikap dan perilaku demokratis yang dilandasi nilai dan semangat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan merupakan karakteristik pribadi warga negara Indonesia. Karakter kerakyatan seseorang tercermin 216
217 dalam perilaku yang mengutamakan kepentingan masyarakat dan negara; tidak memaksakan kehendak kepada orang lain; mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama; beritikad baik dan bertanggung jawab dalam melaksanakan keputusan bersama; menggunakan akal sehat dan nurani luhur dalam melakukan musyawarah; berani mengambil keputusan yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan. e. Bangsa yang mengedepankan keadilan dan kesejahteraan, yaitu bangsa yang memiliki komitmen dan sikap untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan merupakan karakteristik pribadi bangsa Indonesia. Karakter berkeadilan sosial seseorang tecermin antara lain dalam perbuatan yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan; sikap adil; menjaga keharmonisan antara hak dan kewajiban; hormat terhadap hak-hak orang lain; suka menolong orang lain; menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain; tidak boros; tidak bergaya hidup mewah; suka bekerja keras; menghargai karya orang lain.27 Pusat Kurikulum Nasional, sebagaimana dikutip M. Ilyas Ismail, telah mengidentifikasi 18 karakter yang bersumber agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, 27I
Nyoman Yoga Segara, “Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Pancasila.” http://bdkjakarta. kemenag.go.id/index. php?a=artikel&id=924. (29 Mei 2014).
217
218 (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, (18) tanggung jawab.28 Pendidikan karakter berbasis budaya menegaskan bahwa kebudayaan dimaknai sebagai sesuatu yang diwariskan atau dipelajari, kemudian meneruskan apa yang dipelajari serta mengubahnya menjadi sesuatu yang baru, itulah inti dari proses pendidikan. Apabila demikian adanya, maka tugas pendidikan sebagai misi kebudayaan harus mampu melakukan proses; pertama pewarisan kebudayaan, kedua membantu individu memilih peran sosial dan mengajari untuk melakukan peran tersebut, ketiga memadukan beragam identitas individu ke dalam lingkup kebudayaan yang lebih luas, keempat harus menjadi sumber inovasi sosial. Tahapan tersebut diatas, mencerminkan jalinan hubungan fungsional antara pendidikan dan kebudayaan yang mengandung dua hal utama, yaitu: Pertama, bersifat reflektif, pendidikan merupakan gambaran kebudayaan yang sedang berlangsung. Kedua, bersifat progresif, pendidikan berusaha melakukan pembaharuan, inovasi agar kebudayaan yang ada dapat mencapai kemajuan. Kedua hal di atas, sejalan dengan tugas dan fungsi pendidikan adalah meneruskan atau mewariskan kebudayaan serta mengubah dan mengembangkan kebudayaan tersebut untuk mencapai kemajuan kehidupan manusia. Di sini letak pendidikan karakter itu, dimana proses 28Muhammad Ilyas Ismail, Pendidikan Karakter: Suatu Pendekatan Nilai (Makassar, Alauddin University Press, 2012), h. 42.
218
219 pendidikan merupakan ikhtiar pewarisan nilai-nilai yang ada kepada setiap individu sekaligus upaya inovatif dan dinamis dalam rangka memperbaharui nilai tersebut ke arah yang lebih maju lagi. Oleh karena itu, pendidikan karakter merupakan goal ending dari sebuah proses pendidikan. Karakter adalah buah dari budi nurani.Budi nurani bersumber pada moral.Moral bersumber pada kesadaran hidup yang berpusat pada alam pikiran. Moral memberikan petunjuk, pertimbangan, dan tuntunan untuk berbuat dengan tanggung jawab sesuai dengan nilai, norma yang dipilih. Jadi, mempelajari karakter tidak lepas dari mempelajari nilai, norma, dan moral. Russel Williams, dikutip Megawangi, mengilustrasikan karakter ibarat “otot” dimana otot-otot karakter akan menjadi lembek apabila tidak pernah dilatih dan akan kuat dan kokoh kalau sering digunakan. Karakter ibarat seorang binaragawan (body builder) yang terus menerus berlatih untuk membentuk otot yang dikehendakinya yang kemudian praktik demikian menjadi habituasi.29 Sejatinya, karakter adalah sesuatu yang potensial dalam diri manusia, ia kemudian akan aktual dikala terus menerus dikembangkan, dilatih melalui proses pendidikan. Mengingat banyak nilainilai yang harus dikembangkan dalam pendidikan karakter, maka dapat diklasifikasikan pendidikan karakter tersebut ke dalam tiga komponen utama yaitu: 1. Keberagamaan; terdiri dari nilai-nilai (a). Kekhusuan hubungan dengan tuhan; (b). Kepatuhan kepada
29Ratna
Megawangi, Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Madani (IPPK Indonesia Heritage Foundation, 2003), h. 23.
219
220 agama; (c). Niat baik dan keikhlasan; (d). Perbuatan baik; (e). Pembalasan atas perbuatan baik dan buruk. 2. Kemandirian; terdiri dari nilai-nilai (a). Harga diri; (b). Disiplin; (c). Etos kerja; (d). Rasa tanggung jawab; (e). Keberanian dan semangat; (f). Keterbukaan; (g). Pengendalian diri. 3. Kesusilaan terdiri dari nilai-nilai (a). Cinta dan kasih sayang; (b). kebersamaan; (c). kesetiakawanan; (d). Tolong-menolong; (e). Tenggang rasa; (f). Hormat menghormati; (g). Kelayakan/ kepatuhan; (h). Rasa malu; (i). Kejujuran; (j). Pernyataan terima kasih dan permintaan maaf (rasa tahu diri).30 Selain hal diatas, Megawangi telah menyusun kurang lebih ada 9 karakter mulia yang harus diwariskan, yang kemudian disebut sebagai 9 pilar pendidikan karakter, yaitu: (a) cinta Tuhan dan kebenaran; (b) tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian; (c) amanah; (d) hormat dan santun; (e) kasih sayang, kepedulian dan kerjasama; (f) percaya diri, kreatif dan pantang menyerah; (g) keadilan dan kepemimpinan; (h) baik dan rendah hati; (i) toleransi dan cinta damai. Upaya untuk mengajarkan nilai-nilai tersebut di atas, Lickona memberikan penjelasan: ada tiga komponen penting dalam membangun pendidikan karakater yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan tentang moral) dan moral action (perbuatan bermoral). Ketiga hal tersebut dapat dijadikan rujukan implementatif dalam proses dan tahapan pendidikan karakater. Adapun misi atau sasaran pendidikan karakter 30Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Madani, h. 26.
220
221 adalah: pertama, kognitif, mengisi otak, mengajarinya dari tidak tahu menjadi tahu, dan pada tahap-tahap berikutnya dapat membudayakan akal pikiran, sehingga dia dapat memfungsikan akalnya menjadi kecerdasan intelegensia.Kedua, afektif, yang berkenaan dengan perasaan, emosional, pembentukan sikap di dalam diri seseorang melalui sikap, simpati, antipati, mencintai, membenci,dan lain sebagainya.Sikap ini semua dapat digolongkan sebagai kecerdasanemosional.Ketiga, psikomotorik, adalah berkenaan dengan aktion, perbuatan,perilaku, dan seterusnya. Pendidikan karakter merupakan jenis pendidikan yang harapan akhirnya adalah terwujudnya peserta didik yang memiliki integritas moral yang mampu direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam berinteraksi dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam lingkungan.Adapun tujuan Pendidikan karakter sebagaimana yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantoro adalah “ngertingerasa-ngelakoni” (menyadari, menginsyafi, dan melakukan).Hal tersebut mengandung pengertian bahwa pendidikan karakter adalah bentuk pendidikan dan pengajaran yang menitikberatkan pada perilaku dan tindakan siswa dalam mengapresiasi dan mengimplementasikan nilainilai karakter ke dalam tingkah laku sehari-hari. Pendidikan karakter yang menggunakan pendekatan nilai dapat dibagi menjadi lima, yaitu: (1) Pendekatan penanaman nilai (values inculcation approach). (2) Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach). (3) Pendekatan analisis nilai (values analysis approach). (4) Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification
221
222 approach), dan (5). Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).31 a.
Pendekatan Penanaman Nilai Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini adalah: Pertama, diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh siswa; Kedua, berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan.32 Metoda yang digunakan dalam proses pembelajaran menurut pendekatan ini antara lain: keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain. b. Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif Pendekatan ini dikatakan pendekatan perkembangan kognitif karena karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya. Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari 31Cece Rakhmat, “Menyemai Pendidikan Karakter Berbasis Budaya dalam Menghadapi TantanganModernitas.” http/file.upi.edu.co (28 Mei 2014) 32Cece
Rakhmat, “Menyemai Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Dalam Menghadapi TantanganModernitas.” http/file.upi.edu.co (28 Mei 2014)
222
223 suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi. Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama.Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebihkompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi.Kedua, mendorongsiswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai danposisinya dalam suatu masalah moral. Proses pengajaran nilai menurut pendekatan ini didasarkan pada dilema moral, dengan menggunakan metoda diskusi kelompok.33 Pendekatan perkembangan kognitif mudah digunakan dalam proses pendidikan di sekolah, karena pendekatan ini memberikan penekanan pada aspek perkembangan kemampuan berpikir. c. Pendekatan Analisis Nilai Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial.34Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai 33Cece Rakhmat, “Menyemai Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Dalam Menghadapi TantanganModernitas.” http/file.upi.edu.co (28 Mei 2014) 34Cece
Rakhmat, “Menyemai Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Dalam Menghadapi TantanganModernitas.” http/file.upi.edu.co (28 Mei 2014)
223
224 sosial.Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilema moral yang bersifat perseorangan. d.
Pendekatan Klarifikasi Nilai Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri.35Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini ada tiga.Pertama,membantu siswa untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai merekasendiri serta nilai-nilai orang lain; Kedua, membantu siswa, supaya mereka mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri; Ketiga, membantu siswa, supaya mereka mampu menggunakan secara bersamasama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri. e.
Pendekatan pembelajaran berbuat Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatanperbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama dalam suatu kelompok.36Ada dua tujuan utama 35Cece
Rakhmat, “Menyemai Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Dalam Menghadapi TantanganModernitas.” http/file.upi.edu.co (28 Mei 2014) 36Cece Rakhmat, “Menyemai Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Dalam Menghadapi TantanganModernitas.” http/file.upi.edu.co (28 Mei 2014)
224
225 pendidikan moral berdasarkan kepada pendekatan ini.Pertama, memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri; Kedua, mendorong siswa untuk melihat diri mereka sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak memiliki kebebasan sepenuhnya, melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat, yang harus mengambil bagian dalam suatu proses demokrasi D. Implementasi Pendidikan
Pendidikan
Karakter
dalam
Tripusat
1. Pendidikan Karakter dalam Keluarga Jika sosialisasi dan pendidikan sangat penting dalam pendidikan karakter, maka sejak kapan sebaiknya hal itu dilakukan? Menurut Thomas Lickona yang dikutip Megawangi, pendidikan karakter perlu dilakukan sejak usia dini.37 Erik Erikson – yang terkenal dengan teori Psychososial Development – juga menyatakan hal yang sama. Erikson menyebutkan bahwa anak adalah gambaran awal manusia menjadi manusia, yaitu masa di saat kebajikan berkembang secara perlahan tapi pasti. Jika dasar-dasar kebajikan gagal ditanamkan pada anak di usia dini, dia akan menjadi orang dewasa yang tidak memiliki nilai-nilai kebajikan.38
37Ratna
Megawangi, Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Madani, h. 29. 38Erik
H. Erikson, Childhood and Society, terj. Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 298-299.
225
226 Selanjutnya, Hurlock menyatakan bahwa usia dua tahun pertama dalam kehidupan adalah masa kritis bagi pembentukan pola penyesuaian personal dan sosial.39Oleh karena itu, bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Selain psikolog, para sosiolog juga meyakini bahwa keluarga memiliki peran penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa, sehingga mereka berteori bahwa keluarga adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat, sehingga jika keluarga-keluarga yang merupakan fondasi masyarakat lemah, maka masyarakat pun akan lemah. Oleh karena itu, para sosiolog meyakini bahwa berbagai masalah masyarakat, seperti kejahatan seksual dan kekerasan yang merajalela, serta segala macam kebobrokan di masyarakat merupakan akibat dari lemahnya institusi keluarga. Apabila keluarga gagal untuk mengajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi yang terbaik, dan kemampuankemampuan dasar, maka akan sulit sekali bagi institusiinstitusi lain untuk memperbaiki kegagalan itu. Aspek penting dalam pembentukan karakter anak dalam keluarga adalah terpenuhinya tiga kebutuhan dasar anak, yaitu: maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan mental. Maternal bonding (kelekatan psikologis dengan ibunya) merupakan dasar penting dalam pembentukan karakter anak karena aspek ini berperan dalam pembentukan dasar kepercayaan kepada orang lain (trust) pada anak. 39Elizabeth
B. Hurlock, Developmental Psykology: A Life-Span Approach, fifth edition, terj. Istiwidayanti dan Soedjarwo, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, edisi kelima (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 255.
226
227 Kelekatan ini membuat anak merasa diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman sehingga menumbuhkan rasa percaya. Menurut Erikson, dasar kepercayaan yang ditumbuhkan melalui hubungan ibu-anak pada tahun-tahun pertama kehidupan anak akan memberi bekal bagi kesuksesan anak dalam kehidupan sosialnya ketika ia dewasa. Artinya, ikatan emosional yang erat antara ibu-anak di usia awal dapat membentuk kepribadian yang baik pada anak.40 Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan anak akan lingkungan yang stabil dan aman. Kebutuhan ini penting bagi pembentukan karakter anak karena lingkungan yang berubah-ubah akan membahayakan perkembangan emosi bayi. Pengasuh yang berganti-ganti juga akan berpengaruh negatif pada perkembangan emosi anak. Menurut Megawangi, normal bagi seorang bayi untuk mencari kontak dengan hanya satu orang (biasanya ibu) pada tahap-tahap awal masa bayi. Kekacauan emosi anak yang terjadi karena tidak adanya rasa aman ini diduga oleh para ahli gizi berkaitan dengan masalah kesulitan makan pada anak.Tentu saja hal ini tidak kondusif bagi pertumbuhan anak yang optimal.41 Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental juga merupakan aspek penting dalam pembentukan karakter anak. Tentu saja hal ini membutuhkan perhatian yang besar dari orang tua dan reaksi timbal balik antara ibu dan anaknya. Seorang ibu yang sangat perhatian (yang diukur 40Erik
H. Erikson, Childhood and Society, terj.Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto, h. 299-300. 41Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Madani, h. 31.
227
228 dari seringnya ibu melihat mata anaknya, mengelus, menggendong, dan berbicara kepada anaknya) terhadap anaknya yang berusia usia di bawah enam bulan akan mempengaruhi sikap bayinya, sehingga menjadi anak yang gembira, antusias mengeksplorasi lingkungannya, dan menjadikannya anak yang kreatif. Selain itu, keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan (karakter) pada anak sangat tergantung pada jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada anaknya. Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang dan lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya. Pola asuh juga meliputi pola interaksi orang tua dengan anak dalam rangka pendidikan karakter anak.Melalui pola asuh yang dilakukan oleh orang tua, anak belajar tentang banyak hal, termasuk karakter.Tentu saja pola asuh otoriter (yang cenderung menuntut anak untuk patuh terhadap segala keputusan orang tua) dan pola asuh permisif (yang cenderung memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat) sangat berbeda dampaknya dengan pola asuh demokratis (yang cenderung mendorong anak untuk terbuka, namun bertanggung jawab dan mandiri) terhadap hasil pendidikan karakter anak.Artinya, jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak oleh keluarga.
228
229 2. Pendidikan Karakter di Sekolah Proses pendidikan karakter di sekolah dilakukan secara terpadu. Proses tersebut didasarkan bahwa sejauh ini muncul keyakinan bahwa anak akan tumbuh dengan baik jika dilibatkan secara alamiah dalam proses belajar. Istilah terpadu dalam pembelajaran berarti pembelajaran menekankan pengalaman belajar dalam konteks yang bermakna. Pengajaran terpadu dapat didefinisikan: suatu konsep dalam pendekatan belajar yang melibatkan beberapa bidang studi untuk memberikan pengalaman yang bermakna bagi peserta didik. Dikatakan bermakna karena dalam pembelajaran terpadu, peserta didik akan memahami konsep yang dipelajari melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah dipahaminya melalui kesempatan mempelajari apa yang berhubungan dengan tema atau peristiwa autentik (alami). Ciri pendidikan terpadu adalah: (1) berpusat pada peserta didik; (2) memberikan pengalaman langsung kepada peserta didik; (3) pemisahan bidang studi tidak begitu jelas; (4) menyajikan konsep dari berbagai bidang studi dalam suatu proses pembelajaran; (5) bersifat luwes, dan (6) hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan peserta didik.42 Integrasi pembelajaran dapat dilakukan dalam substansi materi, pendekatan, metode, dan model evaluasi yang dikembangkan. Tidak semua substansi materi pelajaran cocok untuk semua karakter yang akan dikembangkan, perlu dilakukan seleksi materi dan sinkronisasi dengan karakter yang akan dikembangkan. Pada prinsipnya semua mata 42Zubaidi, Desain Pendidikan Karakter(Jakarta: Prenada Media Group, 2011), h. 268.
229
230 pelajaran dapat digunakan sebagai alat untuk mengembangkan semua karakter peserta didik, namun agar tidak terjadi tumpang-tindih dan terabaikannya salah satu karakter yang akan dikembangkan, perlu dilakukan pemetaan berdasarkan kedekatan materi dengan karakter yang akan dikembangkan. Dari segi pendekatan dan metode meliputi inkulkasi (inculcation), keteladanan (modeling, qudwah), fasilitasi (facilitation), dan pengembangan keterampilan (skill building).43 Inkulkasi (penanaman) nilai memiliki ciri-ciri: (1) mengomunikasikan kepercayaan disertai alasan yang mendasarinya; (2) memperlakukan orang lain secara adil; (3) menghargai pandangan orang lain; (4) mengemukakan keragu-raguan disertai alasan, dan dengan rasa hormat; (5) tidak sepenuhnya mengontrol lingkungan untuk meningkatkan kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang dikehendaki; (6) menciptakan pengalaman sosial dan emosional mengenai nilai-nilai yang dikehendaki secara tidak ekstrem; (7) membuat aturan, memberikan penghargaan, dan memberikan konsekuensi disertai alasan; (8) tetap membuka komunikasi dengan pihak yang tidak setuju, dan (9) memberikan kebebasan bagi adanya perilaku yang berbedabeda, apabila sampai pada tingkat yang tidak dapat diterima, diarahkan untuk memberikan kemungkinan berubah. Pendidikan karakter seharusnya tidak menggunakan metode induktrinasi yang memiliki ciri-ciri yang bertolak belakang dengan inkulkasi. Dalam pendidikan karakter, pemodelan atau pemberian teladan merupakan strategi yang biasa 43Zuchdi, Humanisasi Pendidikan(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), h. 46-50.
230
231 digunakan.Untuk dapat menggunakan strategi ini ada dua syarat harus dipenuhi.Pertama, guru harus berperan sebagai model yang baik bagi peserta didik.Kedua, peserta didik harus meneladani orang terkenal yang berakhlak mulia, misalnya Nabi Muhammad saw. Cara guru menyelesaikan masalah dengan adil, menghargai pendapat peserta didik dan mengeritik orang lain dengan santun, merupakan perilaku yang secara alami dijadikan model bagi peserta didik. Inkulkasi dan metode keteladanan (al-qudwah) mendemonstrasikan kepada peserta didik merupakan cara terbaik untuk mengatasi berbagai masalah; orang akan melakukan proses identifikasi, meniru, dan memeragakannya. Melalui metode pembiasaan, seseorang akan memiliki komitmen yang hebat. Pembiasaan dalam penanaman moral merupakan tahapan penting yang seyogianya menyertai perkembangan setiap mata pelajaran.Mengajari moral tanpa pembiasaan melakukannya, hanyalah menabur benih ke tengah lautan, karena moral bukan sekedar pengetahuan, tetapi pembiasaan bermoral. Fasilitasi melatih peserta didik mengatasi masalah-masalah tersebut.Kegiatan-kegiatan yang dilakukan peserta didik dalam melaksanakan metode fasilitasi membawa dampak positif pada perkembangan kepribadian peserta didik. Pembelajaran moral bagi peserta didik akan lebih efektif apabila disajikan dalam bentuk gambar, seperti film, sehingga peserta didik bukan saja menangkap maknanya dari pesan verbal mono-pesan, melainkan bisa menangkap pesan yang multi-pesan dari gambar, keterkaitan antargambar dan peristiwa dalam alur cerita yang disajikan.44 Contoh: 44Berkaitan
dengan pembelajaran, peran media pembelajaran begitu kuat. Albert Meharabien dikutip Mursidin menemukan peran media dalam menyampaikan informasi dengan
231
232 penyampaian pesan bahwa narkoba itu harus dihindari, maka tayangan tentang derita orang-orang yang dipenjara karena korban narkoba jauh lebih bermakna daripada disampaikan secara lisan, melalui metode ceramah. Namun demikian, bila ingin lebih mendalam tingkat penerimaan mereka, bisa dilanjutkan dengan metode renungan (almuhasabah) setelah terkondisikan dengan baik melalui cerita dalam film yang baru saja ditayangkan. Sekalipun hukuman pukulan merupakan salah satu metode dalam pendidikan, seyogianya guru tidak menggunakannya sebelum mencoba dulu dengan cara lain. Metode hukuman digunakan untuk menggugah serta mendidik perasaan rabbaniyah, yaitu perasaan khauf (takut) dan khusyu’ ketika mengingat Allah dan membaca AlQur’an.45 Variasi metode perlu dilakukan dalam pendidikan karakter karena kecerdasan, keterampilan, dan ketangkasan seseorang berbeda-beda, sebagaimana perbedaan dalam temperamen dan wataknya.Ada yang memiliki temperamen tenang, mudah gugup atau grogi. Ada yang mudah paham dengan isyarat saja apabila salah dan ada yang tidak bisa rumus tiga V. Verbal; hanya bisa menyampaikan 7%, vocal; bisa menyampaikan 38% apabila disertai dengan warna suara yang variatif dan intonasi yang tepat, sedang visual; bisa mencapai angka keefektifan hingga 55%. Manusia memiliki kemampuan lebih optimal untuk menangkap makna, melalui kesan yang bersifat visual dibandingkan yang verbal dan vocal. Lihat Mursidin, Moral Sumber Pendidikan, Sebuah Formula Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah/Madrasah (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 81-82. 45Abdurrahman
al-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha fi al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama’, edisi ke-25 (Damaskus: Dar al-Fikr, 2007), h. 232-233.
232
233 berubah, kecuali setelah melihat mata membelalak, bahkan dengan bentakan, ancaman, dan hukuman secara fisik 3. Pendidikan Karakter dalam Masyarakat Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa keteladanan sangat penting dalam implementasi pendidikan berbasis karakter. Oleh karena itu, sangat tepat jika pendidikan tersebut tidak hanya mencakup peserta didik dan guru, melainkan juga ke masyarakat luas di luar lingkungan sekolah. Jika demikian, siswa akan lebih mudah menemukan contoh perilaku baik di masyarakat. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) saat ini sedang melaksanakan pendidikan berbasis karakter secara holistis. Internalisasi nilai dalam Gerakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa melalui Kebudayaan menjadi salah satu program prioritas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Sebagai tindak lanjut dan konsistensi pelaksanaan gerakan nasional itu, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud telah melakukan berbagai kegiatan, antara lain persemaian nilai, sosialisasi dan kampanye di berbagai media massa, internalisasi nilai ke berbagai target audience, monitoring, dan evaluasi.46 Wiendu Nuryanti, Wakil Menteri Bidang Kebudayaan menjelaskan: "Permasalahan karakter sangat kompleks. Selama ini pendidikan karakter tampak kurang termanifestasikan dengan baik dalam kehidupan bangsa," 46Harian
Kompas, http://edukasi.kompas.com/read/2013/10/17/1540205/Perlu.Pen didikan. Karakter.juga.Menyasar.Masyarakat.Luas (12 Agustus 2014).
233
234 Lebih lanjut Wiendu menyatakan, Gerakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa melalui Kebudayaan tidak hanya diterapkan di lingkungan sekolah, melainkan juga akan dilakukan di luar lingkungan sekolah dengan cara merangkul komunitas budaya dan tokoh masyarakat. Komunitas budaya dan tokoh masyarakat dinilai memiliki komitmen terhadap nilai-nilai positif, seperti cinta tanah air, kesetiakawanan sosial, anti korupsi, serta menjunjung etika dalam berpolitik.47 Pelaksanaan pendidikan karakter di masyarakat menggariskan pentingnya unsur keteladanan.Selain dari itu, perlu disertai pula dengan upaya-upaya untuk mewujudkan lingkungan sosial yang kondusif bagi anak, baik dalam keluarga, di sekolah, dan dalam masyarakat. Jika demikian, pelaksanaan pendidikan karakter akan lebih berkesan dalam rangka membentuk kepribadian siswa.
47Harian
Kompas, http://edukasi.kompas.com/read/ 2013/10/17/1540205/Perlu.Pendidikan.Karakter.juga.Menyasar. Masyarakat.Luas (12 Agustus 2014).
234
BAB VIII PENDIDIKAN GRATIS DAN DANA BOS A. Pendahuluan Pendidikan adalah salah satu bidang yang sangat menentukan dalam kemajuan suatu Negara, Indonesia adalah Negara kesatuan yang terdiri dari berbagai macam suku, adat, agama, bahasa dan lain-lain, Kesatuan ini akan menjadi bentuk Negara ini secara plural melalui pendidikan perbedaan ini dapat di satukan agar tidak terjadi diskriminasi yang menyudutkan pada satu golongan sehingga pembangunan Indonesia terhambat. Ada pameo no such a thing as a free lunch, tidak ada makan siang gratis.Pameo tersebut penting untuk direnungkan kembali, terutama terkait dengan pendidikan gratis yang cenderung menjadi komoditas politik (Edy Priyono, Suara Pembaruan Daily). Dalam kampanye pilkada beberapa kandidat secara “gagah berani” menjanjikan pendidikan gratis jika terpilih.Beberapa kepala daerah yang sudah menjabat bahkan tidak ragu mengeluarkan kebijakan sekolah gratis. Sebenarnya hal itu (tentu saja) tidak dilarang, karena sesungguhnya kebijakan merupakan masalah pilihan.Setiap kebijakan mengandung konsekuensi tertentu. Masalahnya, apakah semua pihak menyadari apa konsekuensi kebijakan tersebut. Sesunggunya dimaksud dengan “pendidikan gratis” di sini adalah penyelenggaraan pendidikan tanpa mengikutsertakan masyarakat (orang tua) dalam pembiayaan, khususnya untuk keperluan operasional sekolah. Merujuk pada pengertian di atas, maka konsekuensi kebijakan pendidikan gratis sangat bergantung pada perhitungan tentang biaya satuan (unit cost) di sekolah. Biaya
235
satuan memberikan gambaran berapa sebenarnya rata-rata biaya yang diperlukan oleh sekolah untuk melayani satu murid. Meningkatnya kebutuhan dalam pendidikan, mendorong pemerintah Indonesia menyalurkan berbagai bantuan demi kelangsungan pendidikan di Indonesia, salah satunya adalah danaBantuan Operasional Sekolah (BOS).Dana bantuan operasional Sekolah (BOS) diperuntukkan bagi setiap sekolah tingkat dasar di Indonesia dengan tujuan meningkatkan beban biaya pendidikan demi tuntasnya wajib belajar sembilan tahun yang bermutu. Namun kebijakan Dana BOS bukan berarti behentinya permsalahan pendidikan, masalah baru muncul terkait dengan penyelewengan dana BOS, dan ketidak efektifan pengelolan dana BOS, tujuan dari pemerintah sendiri baik, namun terkadang sistem yang ada menjadi boomerang d a n m e n g h a d i r k a n m a s a l a h b a r u , selain itu pribadi dan budaya manusia I n d o n e s i a i k u t berpengaruh terhadap penyelewengan dan ketidakefektifan pengelolaan dana BOS. Oleh karenaitu dibutuhkan kerja sama semua elemen dalam mewujudkan efektifitas pengelolaan dana BOS. Oleh karena itu dalam makalah ini yang berjudul Pendidikan Gratis dan dana serta permasalahannya, sehingga mudah-mudahan makalah kecil ini bisa memberikan gambaran bagi para terkait dengan pengelolaan dana BOS serta permaslahannya, solusi yang muncul bukan berarti solusi terbaik, ini hanyalah sedikit sumbangan pemikiran dari kami untuk perkembangan pendidikan di Indonesia. Pembahasan tentang Pendidikan Gratis dan Dana Bos di dalam bab ini dibahas secara teoretis mulai
236
dariMaknah Pendidikan Gratis, bagaimana Pengertian Bantuan Operasional Sekolah (BOS) itu, bagaimana Pengaruh Dana BOS terhadap Beban Orang Tua dalam Pendidikan, latar Belakang Pemberian Dana BOS.? B. Pendidikan Gratis Mengapa pendidikan dasar gratis? Bagi Indonesia jaminan akses terhadap pendidikan dasar sesungguhnya sudah menjadi komitmen antara pemerintah dan masyarakat, seperti yang tertuang dalam UUD 1945 bahwa tujuan negara ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pentingnya keadilan dalam mengakses pendidikan bermutu diperjelas dan diperinci kembali dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.1 Bagi negara maju pendidikan gratis- selain karena tuntutan konstitusi mereka-juga didukung perekonomian negara yang sudah cukup mapan untuk investasi pendidikan.Anggaran pendidikan setidaknya telah mencapai 5-8 persen produk domestik bruto. Sementara di Indonesia investasi pendidikan masih sangat kecil, sekitar 1,3 persen dari produk domestik bruto. Jatah bagi investasi pendidikan semakin kecil lagi lantaran produk domestik bruto sendiri sudah kecil.Padahal, untuk mewujudkan pendidikan dasar gratis ini memang perlu servis dari pemerintah. Pemikiran lain, dalam hubungan antara masyarakat dan negara sudah jelas ada hubungan timbal balik. Masyarakat punya tanggung jawab terhadap negara dan negara punya tanggung jawab terhadap masyarakat.Hanya saja, dalam beberapa hal hubungan ini dinilai timpang. Masyarakat dipaksa menjalankan kewajibannya, antara lain, 1 Lihat Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
237
membayar pajak, di sisi lain negara belum sepenuhnya menjalankan kewajibannya, termasuk dalam pendidikan. Di sisi lain pemerintah dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Apakah akan mementingkan distribusi pendapatan atau menekankan kepada investasi sosial, seperti pendidikan dan kesehatan? Jika pilihan jatuh kepada distribusi pendapatan, konsekuensinya adalah investasi sosial akan berkurang. Dalam “ketegangan” tersebut, persoalan sosial lalu cenderung diserahkan kepada masyarakat, seperti yang terjadi selama ini di Indonesia.Tak jarang keluar ungkapan dari pemerintah bahwa masyarakat harus diberdayakan, termasuk membayar sendiri pendidikannya. Di sinilah sebenarnya muncul apa yang disebut dengan neoliberalisme dalam wajah pendidikan. “Untuk kasus Indonesia, sebenarnya ketegangan antara dua pandangan itu dapat disinergikan.Kita harus pintar- pintar memilih, distribusi pendapatan atau investasi.Sebagai contoh, jika menganut distribusi pendapatan dalam investasi, kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak itu dikembalikan melalui berbagai program bantuan kepada rakyat.Akan tetapi, jika dalam penyalurannya ternyata korupsinya semakin banyak, lebih baik terang- terangan dimasukkan ke dalam investasi pendidikan,” kata HAR Tilaar. SUMBER pembiayaan pendidikan dasar gratis dapat berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah.Jika ada kesepakatan untuk melaksanakan pendidikan dasar gratis, pada dasarnya pemerintah pusat yang harus membiayai. Hal ini karena pemerintah pusat sebagai pemegang dana publik terbesar dan birokrasinya masih sangat kuat. Adapun pemerintah daerah harus terlibat karena merekalah yang mempunyai dan menguasai data lapangan.
238
Hanya saja, ada kecenderungan pemerintah pusat tidak mau menyerahkan dana operasional untuk menjalankan pendidikan ke pemerintah daerah. Di samping itu, pemerintah daerah juga perlu ikut menyisihkan sebagian dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk wajib belajar. Peraturan apa saja yang harus dibiayai dalam pendidikan dasar gratis itu harus jelas pula. Pembiayaan pemerintah setidaknya mencakup tiga komponen, yaitu kurikulum, proses, dan fasilitas belajar. Kurikulum yang digunakan harus jelas dan disepakati terlebih dahulu sehingga diketahui materi yang akan diajarkan dan besarnya biaya untuk pendidikan. Dengan demikian, penggunaan dana pendidikan menjadi efisien. Kurikulum yang mencakup puluhan mata pelajaran tentu lebih mahal daripada hanya sepuluh pelajaran.Sayangnya, penggunaan kurikulum, seperti Kurikulum Berbasis Kompetensi masih membingungkan. Pembiayaan proses belajar sudah termasuk persiapan keterampilan, kompetensi, kesejahteraan guru , serta evaluasi hasil belajar. Peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru merupakan kunci dari pelaksanaan wajib belajar yang bermutu.Selama ini kedua hal tersebut kurang diperhatikan dengan berbagai alasan. Biaya fasilitas belajar (opportunity to learn) meliputi antara lain buku pelajaran, perpustakaan, gedung, laboratorium, tenaga kependidikan, dan komputer. Fasilitas belajar ini berbeda-beda kebutuhannya dan tidak harus diseragamkan. Abdorrakhman Ginting percaya, sebetulnya pendidikan gratis masih mungkin dilaksanakan. Untuk menggantikan Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP) bagi 24 juta siswa sekolah dasar dan sekolah menengah
239
pertama dengan bantuan dana Rp 15.0000 per kepala, setahun dibutuhkan Rp 4 triliun. Sementara untuk meningkatkan gaji 2,2 juta orang guru sebesar Rp 500.000 per bulan, agar kualitasnya terpacu, diperlukan Rp 1,1 triliun per bulan atau Rp 13,2 triliun setahun. Jadi total untuk menggratiskan biaya SPP dan peningkatan gaji guru yang dibutuhkan setahun Rp 17,4.triliun.2 Pada prinsipnya pendidikan gratis tidak dapat dikatakan sepenuhnya gratis karena tetap harus ada yang membiayai. Ada biaya terselubung, yang di negara lain seperti di AS sudah tersistem dalam satu kesatuan administrasi negara. Di AS sekolah publik gratis karena ada pajak sekolah khusus.Warga negara AS yang mempunyai tanah dan rumah harus membayar pajak sekolah di distriknya, terlepas dari warga tersebut mempunyai anak atau tidak.Di Belanda ratarata pajak penghasilan cukup tinggi, yakni 60 persen.Sementara di negara-negara Skandinavia, pajak penghasilan mencapai 70 persen, tetapi kebutuhan dasar warga negara seperti pendidikan dijamin. Namun, pelaksanaan pendidikan gratis harus dengan kewaspadaan tingkat tinggi dari berbagai celah penyalahgunaan dan pengawasan.Filipina, misalnya, mempunyai pengalaman buruk dengan penggunaan voucher pendidikan.Warga yang menginginkan pendidikan lebih membayar sendiri sisanya, tetapi sayangnya model tersebut tidak jalan dan rawan korupsi. Oleh karena itu, harus hati-hati dalam menentukan model penggratisan pendidikan. Siapa yang akan ditopang? Apakah lembaga pendidikannya yang rawan kebocoran atau 2 http://www2.kompas.com/kompascetak/0505/03/PendDN/1724964 htm) (15 juni 2014)
240
anaknya secara langsung dengan konsekuensi penyalahgunaan dana? Ada pemikiran, sebaiknya dana diberikan kepada sekolah dengan konsekuensi sekolah tidak dapat lagi memungut iuran dari siswa. Untuk itu, lagi-lagi pengawasan harus diperkuat dan sekolah yang masih membebani siswa harus dikenai sanksi tegas. Pendidikan gratis bermutu juga perlu disesuaikan dengan kondisi setempat, walaupun tetap berdasarkan kualitas yang standar, sehingga dalam menggratiskan pendidikan dasar bentuk dan nilai subsidi tidak harus seragam.Selain itu, perbedaan antara sekolah swasta, negeri, madrasah, dan pesantren secara psikologis dan politis mesti dapat diatasi. Selain itu, para pemimpin harus menyadari pendidikan bahwa itu bukan soal ekonomi atau bagi-bagi keuntungan, tetapi soal politis atau ke mana bangsa ini mau dibawa. Akhirnya, memang kembali kepada niat politik pengambil keputusan: apakah pemegang kekuasaan mau semua anak Indonesia maju? Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah mensahkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, sebagai pengganti Undang-undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989.3 Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran 3
UU Sisdiknas mendukung Pendidikan Gratis.
241
serta masyarakat, tantangan globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik. Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam UU Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan , nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (ayat 1). Karena pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Konsekwensinya pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun (pasal 11 ayat 2). Itulah sebabnya pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar, minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, karena wajib belajar adalah tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 34 ayat 2). Meskipun terjadi desentralisasi pengelolaan pendidikan, namun tanggungjawab pengelolaan sistem pendidikan nasional tetap berada di tangan menteri yang diberi tugas oleh presiden (pasal 50 ayat 1), yaitu menteri pendidikan nasional.Dalam hal ini pemerintah (pusat)
242
menentukan kebijakan nasional dan standard nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional (pasal 50 ayat 2).Sedangka pemerintah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah.Khusus untuk pemerintah kabupaten/kota diberi tugas untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. Berangkat dari uraian normative diatas, dengan mencermati fenomena yang berkembang dewasa ini yang sering dijadikan jargon dalam dimensi politik yaitu “Pendidikan Gratis”. Pendidikan gratis dapat dimaknai sebagai upaya membebaskan biaya pendidikan bagi peserta didik di sekolah sebagai perwujudan dari upaya membuka akses yang luas bagi masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang merupakan hak dari setiap warga Negara sebagaiman anamat UUD 1945 pasal 31. Hal ini diharapkan menjadi salah satu instrument untuk menuntaskan wajib belajar sembilan tahun. Dari hari ke hari para cerdik pandai mempolemikkan dunia pendidikan dengan pembenarannya sendiri-sendiri. Sementara kebodohan terus saja terjadi dan beranak-pinak. Pertanyaan besarnya, “Ada apa dengan dunia pendidikan kita?” Atau, pasti memang ada apa-apanya dengan dunia pendidikan kita selama ini. Beranjak dari kenyataan-kenyataan yang terjadi di dunia pendidikan nasional itulah, Pemerintah Kabupaten Jembrana dan beberapa berketetapan hati untuk memberikan perhatian serius terhadap wilayah
243
pencerdasan bangsa itu, dengan kebijakan pendidikan gratis. Orang akan selalu bertanya, apa dasar pijak atas setiap kebijakan dunia pendidikan tersebut? Jawaban sebenarnya sangatlah sederhana dan sudah ada sejak negara dan bangsa ini didirikan oleh para bapak bangsa. Semuanya beranjak dan berpangkal dari amanah yang terdapat di dalam Pembukaan UUD 1945, tentang kewajiban negara di dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsanya. Sedangkan dari sisi kebijakan yang bersifat operasional di lapangan, semua beranjak dari pengalaman empiris atas carut-marutnya dunia pendidikan itu sendiri. Jadi sebenarnya tidaklah ada yang luar biasa terhadap apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Jembrana di dalam mewujudkan bangunan peradaban yang bernama pendidikan itu. Kalaupun kemudian harus dinyatakan ada halhal yang luar biasa di dalam pembangunan dunia pendidikan di Kabupaten Jembrana, itu tidak lebih dari sebuah kemauan atau komitmen dari setiap warga masyarakat Kabupaten Jembrana di dalam usaha mencerdaskan dirinya sendiri, sehingga terbebas dari penyakit kronis bangsa yang bernama kebodohan dan keterbelakangan itu. Jadi dukungan setiap komponen masyarakat di Kabupaten Jembrana atas setiap program pembangunan di bidang pendidikan adalah merupakan modal dasar yang tidak ternilai haganya. Sehingga, dengan dukungan penuh dari setiap komponen masyarakat itu, partisipasi masyarakat di dalam ikut membangun peradaban pendidikan; di Kabupaten Jembrana menjadi sesuatu yang terjadi dan bergerak secara otomatis.
244
Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) mencanangkan diri sebagai provinsi pertama di Indonesia yang melakukan pendidikan gratis dari tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan lanjutan tingkat atas. Pelaksanaan pendidikan gratis di Sulsel berasal dari 60 persen dari APBD provinsi dan 40 persen dari APBD Kabupaten dan Kota. Pendanaan pendidikan gratis sebelumnya memang belum dianggarkan. Namun, untuk APBD perubahan 2008, Syahrul menjamin akan segera dibahas. Karena telah ada komitmen dari Ketua DPRD Sulsel untuk mendukung pencanangan pendidikan gratis dari SD hingga SMA.Sebelumnya, di Sulsel baru tiga kabupaten yang melakukan pendidikan gratis dari tingkat SD hingga SMA. Yakni Kabupaten Sinjai, Pangkep dan Gowa. Sedangkan, dalam tingkat provinsi, pedidikan gratis hanya dari tingkat SD hingga SMP.4 C.
Pengertian Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Menurut Peraturan Mendiknas nomor 69 Tahun 2009, standar biayaoperasi nonpersonalia adalah standar biaya yang diperlukan untuk membiayaikegiatan operasi nonpersonalia selama 1 (satu) tahun sebagai bagian darikeseluruhan dana pendidikan agar satuan pendidikan dapat melakukankegiatan pendidikan secara teratur dan berkelanjutan sesuai Standar NasionalPendidikan. BOS adalah program pemerintah yang pada dasarnya adalahuntuk penyediaan pendanaan biaya operasi 4
Kebijakan Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan ,Pada tanggal 8 Juli 2008, H. Syahrul Yasin Limpo – H.Agus Arifin Nu’mang tepat 90 hari atau tiga bulan menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan. Mereka resmi memimpin Sulsel sejak dilantik 8 April2008 lalu oleh Mendagri Mardiyanto. Selengkapnya baca http://www.sulsel.go.id/berita/umum/pendidikan-dan-kesehatan-gratismasih-tataran-mou-20080708-2.htm), (15 juni 2014)
245
nonpersonalia bagi satuanpendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar. Biaya Satuan pendidikan (BSP) adalah besarnya biaya yang diperlukan rata-rata tiap siswa tiap tahun, sehingga mampu menunjang proses belajar mengajar sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditetap.kan. Dari cara penggunaaannya, BPS dibedakan menjadi BSP investasi dan BSP Operasional. BSP investasi adalah biaya yang dikeluarkan setiap siswa dalam satu tahun untuk pembiayaan sumber daya yang tidak habais pakai dalam waktu lebih dari satu tahun , seperti pengadaan tanah, bangunan, buku,alat peraga, media, perabot dan alat kantor. Sedangkan BSP operasional adalah biayayang dikeluarkan setiap siswa dalam 1 tahun untuk pembiayaan sumber dayapendidikan yang habis pakai dalam 1 tahun atau kurang.BSP operasionalmencakup biaya personil dan biaya non personail. Biaya personil meliputi biaya untuk kesejahteraan (honor kelebihan jam mengajar (KJM), Guru tidak tetap (GTT), Pegawai Tidak tetap (PTT), uang lembur dan pengembangan profesi guru (Pendidikan dan Latihan Guru, Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), Kelompok Kerja Kepala Sekolah (KKKS), Kelompok Kerja Guru (KKG) dan lain-lain. Biaya non personil adalah biaya untuk menunjang kegiatan belajar mengajar, evaluasi atau penilaian,perawatan/pemeliharaan, daya dan jasa, pemberian kesiswaan, rumah tanggasekolah dan supervisi.Selain dari biaya-biaya tersebut, masih terdapat jenisbiaya personil yang ditanggung oleh peserta didik, misalnya biayatransoprtasi, konsumsi, seragam, alat tulis, kesehatan, dan sebagainya. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) secara konsep mencakupkomponen untuk biaya operasional non personil
246
hasil studi badan penelitiandan pengembangan, Departemen pendidikan Nasional (Balitbang Depdiknas).Namun karena biaya satuan yang digunakan adalah rata-rata nasional, makapenggunaan BOS dimungkinkan untuk membiayai beberapa kegatan lainyang tergolong dalam biaya personil dan biaya investasi. Oleh karena keterbatasan dana BOS dari Pemerintah Pusat, maka biaya untuk investasi sekolah/madrasah/ponpes dan kesejahteraan guru harus dibiayai dari sumber lain dengan prioritas utama dari sumber pemerintah, pemerintah daerah dan selanjutnya dari partisipasi masyarakat yang mampu. D. Pengaruh Dana BOS terhadap Beban Orang Tua dalam Pendidikan Salah satu tujuan yang sangat penting dalam pemberian dana BOSadalah untuk meringankan beban orang tua siswa dalam pendidikan. Secara umum pengaruh yang dirasakan oleh orang tua dengan adanya dana BOS adalah terbebasnya mereka dari berbagai iuran di sekolah. Hal ini mengindikasikan bahwa sekolah memang tidak melakukan berbagai pungutan lagi. Pendapat orang tua tentang iuran partisipasi terhadap sekolahhampir seimbang antara yang mengatakan tetap perlu dan yangmengatakan tidak perlu lagi. Bagi orang tua yang mengatakan tetap perluberarti memberikan indikasi bahwa mereka menyadari akan pentingnyapartisipasi orang tua terhadap pendidikan. Dana BOS sebenarnya tidakbisa membiayai penyelenggaraan pendidikan secara keseluruhan. Sedangkan bagi orang tua yang berpendapat bahwa tidak perlu lagi mengindikasikan masih belum dipahaminya bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga merupakan tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Sebagai bukti turut sertanya orang tua ataumasyarakat dalam
247
pendidikan adalah pembayaran iuran partisipasi,khususnya bagi yang mampu. E.
Latar Belakang Pemberian Dana BOS Kebijakan Pembangunan pendidikan dalam kurun waktu 2004-2009 diprioritaskan pada peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan dasar yang lebih berkualitas melalui peningkatan pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dan pemberian akses yang lebih besar kepada kelompok masyarakat yang selama ini kurang dapat menjangkau layanan pendidikan dasar.5 Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) beberapa tahun terakhir ini yang juga diikuti oleh kenaikan harga bahan pokok lainnya, akan menurunkan daya beli penduduk miskin. Hal ini pada gilirannya akanberdampak terhadap upaya penuntasan Program Wajib Belajar Pendidikandasar 9 Tahun, karena masyarakat miskin akan semakin sulit memenuhikebutuhan biaya pendidikan. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem PendidikanNasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7 -15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Konsekuensi dari amanat undang-undangtersebut, maka Pemerintah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruhpeserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs sertaseluruh satuan pendidikan sederajat. Salah satu indikator penuntasan Wajib belajar 9 tahun diukur denganAngka Partisipasi Kasar (APK). Pada tahun 2005, APK tingkat SMP sebesar85,22% dan pada akhir tahun 2006 telah menapai 88,68%. Target penuntasanwajib 5 Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Buku Panduan BOS dalam Rangka Wajib Belajar 9 Tahun, 2008., h. 3.
248
belajar 9 tahun harus diapai pada tahun 2008/1009 dengan APKminimum 95%. Dengan demikian, pada saat ini masih ada sekitar 1,5 jutaanak usia 13-15 tahun yang masih belum mendapatkan layanan pendidikandasar (Depdiknas, Departemen Agama, 2007). Dengan adanya pengurangan subsidi bahan bakar minyak, amanatundang-undang dan upaya percepatan penuntasan wajib belajar pendidikandasar 9 tahun yang bermutu, sejak tahun 2005 Pemerintah memprogramkanpemberian Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program pemberianBantuan Operasional Sekolah ini bertujuan untuk membebaskan biayapendidikan bagi siswa tidak mampu dan meringankan bagi siswa yang lain,agar mereka memperoleh layanan pendidikan dasar yang lebih bermutusampai tamat dalam rangka penuntasan wajib belajar 9 tahun. 1. Tujuan Pemberian Dana BOS Secara umum Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS)bertujuan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa tidak mampudan meringankan bagi siswa lain, agar mereka memperoleh layananpendidikan dasar yang lebih bermutu sampai tamat dalam rangkapenuntasan Wajib belajar 9 Tahun Secara khusus program BOS bertujuan untuk: 1. Membebaskan pungutan bagi seluruh siswa SD negeri dan SMP negeri terhadap biaya operasi sekolah, kecuali pada rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI); 2. Membebaskan pungutan seluruh siswa miskin dari seluruh pungutandalam bentuk apapun, baik di sekolah negeri maupun swasta;
249
3. Meringankan beban biaya operasi sekolah bagi siswa di sekolahswasta. 2. Sasaran Program BOS Sedangkan sasaran program BOS adalah semua sekolah setingkatSD dan SMP, baik negeri maupun swasta di seluruh propinsi di Indonesia,program kejar Paket A dan Paket B tidak termasuk sasaran dari programBOS iini. Selain itu, Madrasah Diniyah Takmiliyah (suplemen) juga tidakberhak memperoleh BOS, karena siswanya telah terdaftar di sekolahreguler yang telah menerima BOS. Mulai tahun pelajaran 2007/2008 (mulai Juli 2007), SMP terbuka(reguler dan mandiri) dan Madrasah Diniyah formal yangmenyelenggarakan Program Wajib belajar 9 Tahun termasuk dalamsasaran BOS. Besar dana BOS yang diterima oleh sekolah/madrasah/ponpesdihitung berdasakan jumlah siswa dengan ketentuan sebagai berikut : a. SD/MI/SDLB/ Salafiah/ sekolah agama non Islam setara SD sebesarRp. 254.000,-/siswa/tahun b. SMP/MTs/SMPLB/SMPT/Salafih/sekolah agaama non Islam setaraSMP sebesar Rp. 354.000,- / siswa / tahun Namun sejak tahun 2010 besar biaya satuan BOS yang diterimaoleh sekolah termasuk untuk BOS Buku, dihitung berdasarkan jumlahsiswa dengan ketentuan: a. SD/SDLB di kota : Rp 400.000,/siswa/tahun b. SD/SDLB di kabupaten : Rp 397.000,/siswa/tahun c. SMP/SMPLB/SMPTdikota : Rp 575.000,/siswa/tahun d. SMP/SMPLB/SMPT di kabupaten : Rp 570.000,/siswa/tahun
250
3. Sekolah Penerima Dana BOS Sekolah penerima bantuan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) adalah : 1. Semua sekolah negeri dan swasta berhak memperoleh BOS.Khusus sekolah/madrasah/ponpes swastaharus memiliki ijin operasional (dengan penyelenggaraan pendidikan). Sekolah/madrasah/ponpes yangbersedia menerima BOS harus menandatanagani Surat PerjanjianPemberian bantuan dan bersedia mengikuti ketentuan yang tertuang dalambuku petunjuk pelaksanaan. 2. Sekolah kaya/mapan/yang mampu secara ekonomi yang saat ini memiliki penerimaan lebih besar dari BOS, mempunyai hak untuk menolak BOS tersebut, sehingga tidak wajib untuk melaksanakan ketentuan seperti sekolah/manrasad/ponpes penerima BOS. Keputusan atas penolakan BOSharus melalui persetujuan dengan orang tua siswa dan komite sekolahmadrasah/ponpes. Bila sekolah/madrasah/ponpes yang mampu tersebutterdapat siswa miskin, sekolah/madrasah/ponpes tetap menjaminkelangsungan pendidikan siswa tersebut. Berdasarkan buku petunjuk teknis penggunaan dana BOS tahun2011, ketentuan sekolah penerima BOS adalah : 1. Semua sekolah SD/SDLB/SMP/SMPLB/SMPT negeri wajib menerimadana BOS. Bila sekolah tersebut menolak BOS, maka sekolah dilarangmemungut biaya dari peserta didik, orang tua atau wali peserta didik. 2. Semua sekolah swasta yang telah memiliki ijin operasi dan tidak dikembangkan menjadi bertaraf internasional wajib menerima dana BOS. 3. Bagi sekolah yang menolak BOS harus melalui persetujuan orang tua siswa melalui komite sekolah dan
251
tetap menjamin kelangsungan pendidikan siswa miskin di sekolah tersebut. 4. Seluruh sekolah yang menerima BOS harus mengikuti pedoman BOS yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. 5. Sekolah negeri kategori RSBI dan SBI diperbolehkan memungut dana dari orang tua siswa yang mampu dengan persetujuan Komite Sekolah. Pemda harus ikut mengendalikan dan mengawasi pungutan yangdilakukan oleh sekolah tersebut agar tercipta prinsip pengelolaan danasecara transparan dan akuntabel. 6. Sekolah negeri yang sebagian kelasnya sudah menerapkan system sekolah bertaraf RSBI atau SBI tetap diperbolehkan memungut dana dari orang tua siswa yang mampu dengan persetujuan Komite Sekolah, kecuali terhadap siswa miskin. 3. Ketentuan yang Harus Diikuti Sekolah Penerima BOS Sekolah yang telah menyatakan menerima BOS dibagi menjadi 2kelompok, dengan hak dan kewajiban sebagai berikut : 1. Apabila sekolah/madrasah/ponpes tersebut terdapat siswa miskin, makasekolah/madrasah/ponpes diwajibkan membebaskan segala jenispungutan/sumbangan/iuran seluruh siswa miskin. Sisa dana BOS (bilamasih ada) digunakan untuk mensubsidi siswa lain. Dengan demikiansekolah/madrasah/ponpes tersebut menyelanggarakan pendidikan gratisterbatas. Bila dana BOS cukup untuk membiayai seluruh kebutuhansekolah/madrasah/ponpes, maka secara otomatissekolah/madrasah/ponpes dapat menyelanggarakan pendidikan gratis.
252
2. Bagi sekolah/madrasah/ponpes yang tidak mempunyai siswa miskin, maka dana BOS digunakan untuk mensubsidi seluruh siswa, sehingga dapat mengurangi pungutan/sumbangan/iuran yang dibebankan kepada orang tua siswa, minimum senilai dana BOS yang diterima sekolah/madrasah/ponpes
253
DAFTAR PUSTAKA Ahsin, M. Izza. Dunia Tanpa Sekolah.Cet. I; Bandung: Read, 2007. Amri, Sofan. Pengembangan dan Model Pembelajaran dalam Kurikulum 2013. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2013. Andreski, Stanislav. Max Weber on Capilailsm, Bureaucracy, and Religion, terj. Hartono, Max Weber: Kapitalisme, Birokrasi, dan Agama. Cet. I; Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1989. Arif, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press, 2002. Arikunto, Suharsimi dan Cepi Safruddin Abdul Jabar, Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2010. Arikunto, Suharsimi. Dasar-Dasar Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
Evaluasi
Pendidikan.
Arstine, Donald. Philosophy of Education. New York: Harper and Row, 1976. Asmani, Jamal Ma’mur. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Diva Press, 2011. Assegaf, Rachman Abd. Pendidikan Islam Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010.
Kontekstual,
Assegap, Abdurrahman. Pendidikan Tanpa Kekerasan: Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004. Asy’arie, Musya. “Pendidikan Mulikultural dan Konflik Bangsa”, http//www.64.2 03.71. 11/kompas/cetak/
254
0409/03opini/1246546.htm. (Diakses pada 10 Mei 2014). Baidhawy, Zakiyuddin. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta: PT Erlangga, 2005. Berita Daerah Sumsel.Oline.com (Di akses, Senin 11 Januari 2010 Brown,
T. Challenging Globalization as Phenomenon.International Journal Education, 1995.
Discourse and of Lifelong
Burhan, Bungin. 2008. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Prenada Media Burhan, Bungin. 2006. Konstruksi Realitas Sosial Media Massa. Jakarta: Prenada Media Busroh, Abu Daud. Capita Selekta Hukum Tata Negara, Jakarta : Rineka Cipta, Cangara, Hafied. 2009. Komunikasi Politik; Konsep, Teori dan Strategi. Jakarta: Raja Grafindo Persada Capra, Pritjof. The Turning Point, terj. M. Toyibi, Titik Balik Peradaban. Cet. V; Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000. Darmaningtyas, et. al. Membongkar Ideologi Pendidikan – jelajah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Resolusi Press. 2004 Darmaningtyas.Pendidikan yang Memiskinkan. Yogyakarta: Galang Press, 2004. Daulay, Haidar Putra. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional.Cet. I; Jakarta: Kencana, 2004.
255
Depiyanti, Oci Melisa. “Model Pendidikan Karakter di Islamic Full Day School (Studi Deskriptif pada SD Cendekia Leadership School, Bandung,” dalam Jurnal Tarbawi vol. 1 no. 3 (September 2012). Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta, 2009. Dwi
R, Mutiara. “Belajar Tidak Harus di Sekolah Formal”,Tabloid Mom&Kiddie, edisi 14, tahun 1, 12-25 Maret 2007, h. 14.
Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1995. Erikson, Erik H. Childhood and Society, terj.Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto.Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Fajar,
A. Malik PlatformReformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Fajar, A. Malik Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Fajar Dunia, 1999. Fatkoer, “Perbedaan Kurikulum 2013 dengan KTSP” http://fatkoer.wordpress.com/2013/07/28/perbeda an-kurikulum-2013-dan-ktsp/. (diakses tanggal 14 Juni 2014). Freire, Paulo. Pendidikan Pembebasan. Jakarta: LP3S, 2000. Frye, Mike. at al. Character Education: Informational Handbook and Guide for Support and Implementation of the Student Citizent Act of 2001. North Carolina: Public Schools of North Carolina, 2002.
256
Griffith, Mary. Belajar Tanpa Sekolah: Bagaimana Memanfaatkan Seluruh Dunia sebagai Ruang Kelas Anak Anda. Bandung: Nuansa, 2005. Hamalik, Oemar. Kurikulum dan Pembelajaran.Edisi I. Cet. VI; Jakarta: Bumi Aksara, 2007. Hamzah, Ustadi.“Yang Satu dan Yang banyak: Islam dan Pluralitas Agama di Indonesia”, “Religiosa” Edisi I/II/Tahun 2006. Harian
Kompas, http://edukasi.kompas. com/ read/2013/10/17/1540205/Perlu. Pendidikan. Karakter.juga. Menyasar. Masyarakat.Luas (12 Agustus 2014).
Harian Media Indonesia, Edisi Selasa 20 Januari 2009 Hasan S. Hamid. “Ujian nasional dan Masa Depan Bangsa: Ditinjau Dari Aspek Legal, Posisi Pemerintah, Pandangan Pendidikan.” http://file.upi.edu (8 Juni 2014). Hasyim, H.A Dardi &Yudi Hartono.Pendidikan Multikultural di Sekolah. Surakarta: UPT penerbitan dan percetakan UNS, 1994. Hidayati, Wiji. Pengembangan Yogyakarta:Pedagogia, 2012.
Kurikulum.
Hilman, “Pilih-Pilih Homeschooling”, Tabloid Nakita, No. 430/TH IX/30 Juni 2007. Hilmy.Menggagas Paradigma Pendidikan Berbasis Multikulturalisme Jurnal Ulumuna, Vol. VII. Edisi 12.No. 12 “Juli-Desember”. Mataram: STAIN Mataram, 2003.
257
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/26/indonesia_2010_Ad e_Cahyana.html (30 Mei 2014) http://www.hariansib.com/index.php?option=com_content &task=view&id=8202&Itemid=9(30 Mei 2014) http://www.scribd.com/doc/25136062/MakalahManajemen-Pesantren, diakses tgl25-04-2014, Pukul 12.02 WIB. http://www.suaramerdeka.com (Diakses, November 2009) Ibrahim, Misykat Malik. Pengembangan Pengukuran Non-Tes Bidang Pendidikan: Suatu Pendekatan Psikologi. Makassar, Alauddin University Press, 2012. Idris,
Jamaluddin. Kompilasi Pemikiran Yogyakarta: Taufiqiyah Sa’adah, 2005.
Pendidikan.
Imron, Mashadi. Pendidikan Agama Islam Dalam Persepektif Multikulturalisme. Jakarta: Balai Litbang Agama, 2009. Indonesia.go.id (Diakses November 2009) Indra, Hasbi. Pendidikan Islam Melawan Globalisasi. Cet. II; Jakarta: Rida Mulia, 2005. Irawan, Ade. et al, Mendagangkan sekolah. Jakarta: Yayasan Tifa, 2004), h. 96. Ishak,
Baego dan Syamsuduha.Evaluasi Pendidikan. Makassar: Alauddin University Press, 2010.
Ismail, Muhammad Ilyas. Orientasi Baru dalam Ilmu Pendidikan. Makassar: Alauddin University Press, 2012.
258
Ismail,
Muhammad Ilyas. Pendidikan Karakter: Suatu Pendekatan Nilai. Makassar, Alauddin University Press, 2012.
Jackson, Philip W. Handbook of Research on Curriculum. New York: MacMilllan Publishing Company, 1991. Joni, T. Raka. Memicu PerbaikanMelalui Kurikulum Dalam Kerangka Pikir Desentralisasi. Dalam Sindunata (ed). Membuka Masa Depan Anak-AnakKita. Yogyakarta: Kanisius, 2000. Joyce, Bruce, et. al. Model of Teaching – edisi kedelapan, diterjemahkan oleh Achmad Fawaizd, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009 Jurnal Madrasah Kelurga, “Melirik Kembali Homeschooling”, http://my.opera.com/ madrasahkeluarga/blog/melirik-kembali-homeschooling, (20 Agustus 2014). Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Cet. III; Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2013. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, “Kebijakan Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2013-2014.” http:// litbang.kemdikbud.go.id (7 Juni 2014). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.Desain Induk Kurikulum 2013. Jakarta: Kemendikbud, 2013. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.Implementasi Kurikulum 2013 dan Relevansinya dengan Kebutuhan Kualifikasi Kompetensi Lulusan. Semarang: Kemendikbud, 2013.
259
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.Pedoman Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan & Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan, 2013. Khafifi, Muhammad. Pembaharuan Pesantren, makalah
Sistem
Pendidikan
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 2002. Koesoema, Doni A. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Modern. Jakarta: PT Grasindo, 2007. Koran Sindo, 16 April 2014. http://www.koran-sindo. com/node/308288 (7 Juni 2014). Kurniasih, Imas. Homeschooling Bersekolah di Rumah Kenapa Tidak. Yogyakarta: Cakrawala, 2009. Langgulung, Hasan. Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi Pendidikan.Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986. Lickona, Thomas. Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam books, 1991. M. Arifin. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 1996. Madjid, Abdul. Pendidikan Karakter Perspektif Islam.Bandung: Rosdakarya, 2011. Magdalena, Maria. Anakku Tidak Mau Sekolah Jangan Takut Cobalah Homeschooling. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010.
260
Mahfud, Choirul. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Cet. VI;
Maksum, Ali & Luluk Yunan Ruhendi.Paradigma Pendidikan Universal. Yogyakarta: IRCiSoD, 2004. Maksum, Ali. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2008. Mandari, Syafinuddin al-Mandari.Rumahku Jakarta: Pustaka Zahra, 2004.
Sekolahku.
Mardapi, Djemari dan Badrun Kartowagiran, “Dampak Ujian Nasional,” Laporan Penelitian, http://staff.uny.ac.id/ sites/ default/files/6Dampak%20Ujian%20 Nasional. pdf (8 Juni 2014) Maunah Supervisi Pendidikan Islam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Teras,2009. Maunah.Tradisi Intelektual Santri Dalam Tantangan Dan Hambatan Pendidikan,2009. Pesantren Di Masa Depan, Yogyakarta: Teras Megawangi, Ratna. Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Madani.IPPK Indonesia Heritage Foundation, 2003.Menkokesra.go.id (Diakases November 2009) Mu’in, Fatchul Mu’in. Pendidikan Karakter: Kontruksi Teoretik & Praktik. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011. Muchsin, Bashori dan Abdul Wahid.Pendidikan Islam Kontemporer.Bandung: PT Refika Aditama, 2009. Muhaimin.Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
261
Muhammad Ali. Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Cet. II; Bandung: CV Sinar Baru, 1992. Mujib, A. Kepribadian dalam Psikologi Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2006. Mujib,
Abdul dan Jusuf Mudzakkir.Ilmu Pendidikan Islam.Edisi I. Cet. II; Jakarta: Kencana, 2008.
Muliadi, Erlan. “Analisis Kebijakan Ujian Nasional. ”Blog.Pribadi.http://erlanmuliadi. blogspot.com /2011/05/analisis-kebijakan-pelaksanaan-ujian.html (8 Juni 2014). Mulyasa, E.Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009. Mulyasa, E.Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013. Mulyasa, E. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2003. Mulyoto.Strategi Pembelajaran di Era Kurikulm Jakarta:Prestasi Pustaka Raya, 2013.
2013.
Mursidin, Moral Sumber Pendidikan, Sebuah Formula Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah/Madrasah. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011. Muslich, Masnur. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011. Nahrawi, Amirudin. Pembaharuan Pendidikan Pesantren, Yogyakarta: Gama Media.2008. Nasution, S. Asas-Asas Kurikulum. Edisi II. Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
262
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008. Nata, Abudin. Pendidikan Islam di Era Global. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Press, 2005.
[email protected], “Homeschooling: Sekolah Rumah atau Rumah Sekolah”, http://news. indosiar.com/ news_read.htm?id=60082 (20 Agustus 2014) Nieto, Sonia. Language, Culture, and Teaching. Mahwah, NJ: Lawrence Earlbaum, 2002. Nuryanto. M. Agus. Mazhab Pendidikan Kritis. Yogyakarta: Resist Book, 2011. O’neil,
William F. Educational Ideologis: Contemporary Expressions of Educational Philosophies, terj. Omi Intan Naomi, Ideologi-Ideologi Pendidikan.Cet. II; Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008.
Parekh, Bikkhu. Rethingking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory. Cambridge: Harvard University Press, 2000. Partanto, Pius A. & M. Dahlan al-Barry.Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkolo, 2001. Pelly, Usman & Asih Menanti.Teori-Teori Sosial Budaya. Jakarta: Dirjen Depdikbud, 1994. Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi. Permendiknas Nomor 23 tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Print, Murray.Curriculum Development and Design. Australia: Allen & Unwin Pty.Ltd., 1993.
263
Purwanto, M. Ngalim. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. I; Jakarta: Pusat Bahasa, 2008. Rahardjo, Dawam. Pergulatan Dunia Pesantren Dari Bawah, Jakarta: P3M.1985 Raharjo, Setyo. “Mengimplementasikan Pendidikan Multikultural di Sekolah” Jurnal Ilmiah Guru “COPE” No. 02/Tahun VI/Desember 2002. Rahim, Husni. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Cet. 1; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001. Rahman, Fazlur. Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, terj. Ahsin Mohammad, Islam dan Modernitas. Yogyakarta: Pustaka, 1985. Rahmat, Jalaluddin. Islam Aktual: Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim. Cet. V; Bandung: Mizan, 1993. Rakhmat, Cece. “Menyemai Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Dalam Menghadapi TantanganModernitas.” http/file.upi.edu.co (28 Mei 2014) Ramayulis.Ilmu Pendidikan Islam.Jakarta: Kalam Mulia, 2002. RD. Feldman Papalia, DE., Old, SW., Human Development (New York-USA: McGraw-Hill, 2004), h. 334-335. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Cet. IV; Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Cet. IV; Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
264
Republik Indonesia, Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) (UU RI No. 20 Th. 2003). Cet. V; Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Republik Indonesia.Amandemen Standar Nasional Pendidikan (PP No. 32 Tahun 2013) dilengkapi dengan PP No. 19 Tahun 2005. Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Republik Indonesia.Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) (UU RI No. 20 Th. 2003). Cet. V; Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Rosyada, Dede. Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan.Cet. I; Jakarta: Kencana, 2004. Ryan, Kevin & Karen E. Bohlin.Building Character in Schools: Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life. San Francisco: Jossey Bass, 1999. Sadegh, Bakhtiari. Globalization and Education Challenges and Opportunities. Iran: Journal Isfahan University, 1995. Segara, I Nyoman Yoga.“Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Pancasila.” http://bdkjakarta. kemenag.go. id/index.php?a=artikel&id=924. (29 Mei 2014). Suderadjat, Hari. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: CV Cipta Cekas Grafika, 2004. Sudijono, Anas. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafinda Persada, 2001. Suheryana, Hendrie. ”Home-Schooling Solusi Pendidikan Untuk yang Tidak Puas di Sekolah Formal”,Tabloid Mom & Kiddie, edisi 14, tahun 1, 12-25 Maret 2007.
265
Sukardi, Evaluasi Pendidikan: Prinsip dan Operasionalnya. Jakarta: Bumi Aksara, 2012. Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum: Tori dan Praktik. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000. Sumardiono, “Homeschooling , Sekolah Rumah/Mandiri,” http://www.sekolahrumah.com/index.php?option= com_content&task=category&sactionied=4&id=13&it emid=31(20 Agustus 2014). Sumardiono, “Pengertian Homeschooling”, http://www.sumardiono.com/index.php?option=co m_content&task=view&id=287&itemid=79 (20 Agustus 2014). Sumardiono.Homeschooling: A Leap for Better Learning, Lompatan Cara Belajar. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.. Sunarno, Siswanto. Hukum Pemerintahan Daerah, Jakarta : Sinar Grafika, 2006 Suparman, Achmad. “Pengertian Globalisasi”, http://globalisasiriva.blogspot.com/p/ pengertianglobalisasi.html. (Diakses pada 17 Mei 2014). Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Percaturan Dunia Global, Jakarta Syam, Nur. Tantangan Multikulturalisme Indonesia: dari Radikalisme menuju Kebangsaan. Cet. V; Yogyakarta: PT Kanisius, 2013. Thoha, Chabib. Teknik Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafinda Persada, 2003.
266
Tilaar, H.A.R. Kekusaan Dan Pendidikan Suatu Tinjauan Dan Persepektif Studi Kultural. Jakarta: Indonesia Teras, 2003. Tilaar,
H.A.R. Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan. Cet. IX; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008.
Tilaar, H.A.R. Multikulturalisme tantangan-tantangan global masa depan dalam transformsi pendidikan nasional. Jakarta: Grasindo, 2004. Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia – edisi ketiga, cetakan ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. 2005 Tim Penyusun. Pengantar Studi Islam. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2009. Verdiansyah, Chris (ed). Homeschooling. Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007. Wahid,
Marzuki. Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi. Bandung: Pustaka Hidayah, 2011.
Wahono, Francis. Kapitalisme Pendidikan antara Kompetisi dan Keadilan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Widjaja, H.A.W. Percontohan Otonomi Daerah di Indonesia, Jakarta : Rineka Wikipedia, “Homeschooling”, http://en.wikipedia. /wiki/homeschooling (20 Agustus 2014).
org
Winardi.Kapitalisme versus Sosialisme: Suatu Analisis Ekonomi Teoretis. Bandung: CV. Remadja Karya, 1996.
267
www.glorianet,org/mau/kliping/klipbers.html, dan http://fuadinotkamal. wordpress.com/2007/12/31/ sekolah-sebagai-rumah-kedua/. (20 Agustus 2014). Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media, 2005. Yasin, Moh. Fahri.Sistem Evaluasi Pembelajaran. Gorontalo: Sultan Amai Press, 2009. Yaumi,
Muhammad. Pilar-Pilar Pendidikan Karakter. Makassar: Alauddin University Press, 2012.
Yulaelawati, Ella. Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofi Teori dan Aplikasi. Bandung: PT Pakar Raya, 2004. Zubaedi.Isu-Isu Baru dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam dan Kapita Selekta Pendidikan Islam.Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012. Zubaidi, Desain Pendidikan Karakter. Jakarta: Prenada Media Group, 2011. Zuchdi, Humanisasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009.
268
RIWAYAT HIDUP Muh Ilyas Ismail, dilahirkan pada tanggal 7 Januari 1964, di Ralla Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. Anak keempat dari sembilan bersaudara, putra pasangan Bapak Muhammad Ismail dan Ibu Hj. Hamdanah. Menamatkan SDN Ralla I tahun 1977, SMPN Rallatahun 1980 di Kab. Barru. SMA Muhammadiyah 2 tahun 1983, dan STM Pembangunan tahun 1984 masing-masing di Makassar. Sarjana Pendidikan IPA Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin, sekarang UIN Alauddin Makassar tahun 1990. Lulus S2 Prodi IPS PPs UNM tahun 2001, lulus S2 Prodi Ilmu Komunikasi Pendidikan PPs UNHAS tahun 2004. Padatahun 2007 melanjutkan studi S3 pada Prodi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan PPs Universitas Negeri Jakarta dan selesai 2011. Sejak tahun 1994 diangkat menjadi dosen tetap Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin, sekarang UIN Alauddin Makassar sampai sekarang, dan juga menjadi dosen tidak tetap pada beberapa Universitas Swasta di Sulawesi Selatan. Sejak Tahun 2012 menjadi dosen pada PPs UIN Alauddin, juga pada tahun 2012 ditugasi sebagai Wakul ketua Pengelola Prograam Pendidikan Profesi Guru (PPG) LPTK fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar. Jabatan yang pernah diemban antara lain: Kepala Perpustakaan Fakultas Tarbiyah, Kepala Laboratorium IPA Fakultas Tarbiyah, Senat Fakultas Wakil dosen, Sekretaris Jurusan Pendidikan Fisika, Sekretaris
Jurusan Pendidikan Biologi, Ketua Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Ketua Jurusan Kimia Fakultas Sains. Publikasi ilmiah (buku):1) Ilmu Pendidikan Praktis (Penulis Buku, Penerbit Ganeca Exact 2008), 2) Ilmu Pendidikan Teoretis (Penulis Buku, Penerbit Ganeca Exact 2008), 3) Pendidikan Karakter Suatu Pendekatan Nilai (Penuis Buku, Penerbit Alauddin University Press 2012), 4) Orientasi Baru dalam Ilmu Pendidikan (Penulis Buku, Penerbit Alauddin University Press 2012), 5) GURU: sebuah Identitas (Penulis Buku, Penerbit Alauddin University Press 2013), 6) Teknologi Pembelajaran Agama (Editor Buku, Penerbit Alauddin University Press 2013), 7) Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial (Editor Buku, Penerbit Alauddin University Press 2013), 8) Manajemen Pendidikan Sebuah Pendekatan Global (Editor Buku Penerbit Alauddin University Press 2013), Pengalaman berorganisasi Ketua Komisariat HMI Fakultas Tarbiyah (1987-1988), Ketua Bidang Kerohanian HMI Cabang Makassar (1988-1989), Wakil Ketua Forum Mahasiswa Pascasarjana UNM (1998-1999), Ketua Forum Mahasiswa Pascasarjana UNHAS (2000-2001), Ketua Umum Forum Mahasiswa Pascasarajana UNJ (2009-2010), Ketua I Forum Mahasiswa Fascasarjana Indonesia (20092012), Anggota Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Sulawesi Selatan, Pengurus HEPI Cabang Makassar tahu 2011-sekarang. Tahun 1995 menikah dengan Asriani Amir, S.Ag., M.Pd. telah dikaruniai 3 (tiga) orang putra-putri yaitu; Nurfikriyah Irhashih Ilyas (17 th, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggeris Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar), Muhammad Fadhilfahmi Ilyas (14 th, siswa kelas X SMA 2 Makassar), 270
dan Nurfirdayanti Wahyuni Ilyas (9 th, siswi kelas 3 SDN Minasa Upa Makassar). Muhammad Ilyas Ismail beralamat di kompleks BTN Minasa Upa Blok M 17 No. 8 Makassar Sulsel, e-mail:
[email protected],
[email protected], phone: 0812 423 9850, 082396681515, 08991555182.
271