RITUAL TRADISI NYADAR DAN PENGARUHNYA BAGI KEHIDUPAN SOSIAL WARGA DESA PINGGIRPAPAS DI MADURA
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosiologi (S.Sos)
Oleh : Hosnor Chotimah Nim : 19932216485
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2007
RITUAL TRADISI NYADAR DAN PENGARUHNYA BAGI KEHIDUPAN SOSIAL WARGA DESA PINGGIRPAPAS DI MADURA
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosiologi (S. Sos)
Oleh : Hosnor Hotimah Nim : 9932216485
Pembimbing I
Drs. Hamid Nasuhi, M.A NIP: 150241817
Pembimbing II
Drs. Idris Thaha, M.Si NIP: 150317723
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2007
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “Ritual Tradisi Nyadar dan Pengaruhnya Bagi Warga Desa Pinggirpapas di Madura” telah di ujikan dalam sidang Munaqasah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 12 Maret 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosiologi (S.sos) pada program studi Sosiologi Agama.
Jakarta, 12 Maret 2007
Sidang Munaqasah Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Dra. Hj. Hermawati, M.A
Dra. Joharatul Jamilah, M.Si
NIP: 150 227 408
NIP: 150 282
401 Anggota Penguji I
Dra. Ida Rasyidah, M.A NIP: 150 242 267
Penguji II
Prof. Dr. Musrifah Sunanto NIP: 150 062 829
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Hamid Nasuhi, M.A
Drs. Idris Thaha, M.Si
NIP: 150 241 817
NIP: 150 317 723
ABSTRAK Hosnor Chotimah Ritual Tradisi Nyadar dan Pengaruhnya Bagi Kehidupan Sosial Warga Desa Pinggirpapas di Madura Tradisi Nyadar yang terdapat di Desa Pinggirpapas merupakan adat istiadat untuk mengingatkan kembali warga Pinggirpapas khususnya atas jasa-jasa Anggasuto sebagai penemu garam pertama kali di desa ini. Adapun mengenai proses ditemukannya garam oleh Anggasuto banyak versi cerita yang berkembang di masyarakat setempat. Konon, di Pinggirpapas Anggasuto memulai kehidupannya dan menemukan butiran kristal dari air laut yang dibiarkannya berminggu-minggu. Butiran kristal yang kemudian disebut garam itu kemudian diolah sehingga menjadi sumber penghidupan. Inilah yang kemudian mengawali berdirinya tambak-tambak garam di Pulau Madura. Waktu pun terus bergulir, tradisi pembuatan garam rakyat terus dilakukan turun-temurun oleh warga Desa Pinggirpapas. Alhasil, ratusan kilogram garam setiap hari diproduksi para petani garam di desa ini. Dengan adanya mata pencaharian ini, warga Pinggirpapas bertambah makmur dan hidup dengan prestise material yang tinggi. Buktinya, haji-haji garam banyak bermunculan dan sarjana-sarjana yang memperoleh biaya pendidikan dari hasil garam lahir setiap tahunnya. Walaupun kini Pinggirpapas telah berubah menjadi sebuah desa yang besar, jasa-jasa Anggasuto yang telah membuka cakrawala kehidupan warga tidak dilupakan. Dan setiap tahun menjelang musim panen, warga Pinggirpapas memperingati jasa Anggasuto dalam sebuah ritual yang disebut Nyadar. Mengenai pelaksanaannya tradisi Nyadar dilaksanakan sebanyak tiga kali dalam setahun. Hal ini merujuk pada cerita masyarakat yang berkembang, yakni Anggasuto bernazar apabila talangan yang ia buat berhasil menjadi garam, maka Anggasuto akan mengadakan tasyakuran/ selametan bersama-sama dengan rakyatnya. Begitu juga yang dilakukan oleh adik Anggasuto yang bernama Kuasa. Sedangkan adik perempuan Anggasuto yang bernama Indusari melakukan tasyakuran/ selametan dirumahnya sendiri. Atas ketiga pelaksana nazar inilah, baik Anggasuto, Kuasa, dan Indusari, tradisi Nyadar dilakukan sebanyak tiga kali. Nyadar pertama dan kedua dilakukan di sekitar pemakaman Anggasuto beserta kerabatnya di Desa Kebundadap. Dan Nyadar ketiga dilakukan di rumah masing-masing warga Pinggirpapas.
Dengan merujuk pada cerita di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa tradisi Nyadar sebenarnya adalah tradisi Nazar yang berarti janji berbuat sesuatu jika cita-citanya tercapai. Namun terbentur pada dialek orang Madura pada umumnya, maka pengucapan Nazar berganti menjadi Nyadar. Oleh karena itu tradisi Nyadar tetap dilakukan oleh warga Pinggirpapas selain sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa-jasa leluhur mereka, yakni Anggasuto dan kerabatnya, tradisi Nyadar dilakukan guna menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Sehingga dapat memberikan pengaruh atau dampak yang positif bagi warga Pinggirpapas khususnya, baik dalam bidang sosial, pendidikan, ekonomi dan agama
KATA PENGANTAR
Bissmillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah dengan mengucap puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang menggenggam alam semesta ini beserta segala isinya, yang telah memberi segala taufik dan hidayah-Nya serta yang telah membukakan segala kemudahan kepada penulis dalam rangka menyelesaikan skripsi yang berjudul “Ritual Tradisi Nyadar dan Pengaruhnya Bagi Kehidupan Sosial Warga Desa Pinggirpapas di Madura”. Shalawat dan salam tak lupa diucapkan kepada jujungan Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman jahiliyah ke zaman yang terang benderang ini. Tujuan penulisan skripsi ini adalah dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk menempuh ujian sarjana strata satu (S-1) Jurusan Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis sangat menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan, baik itu dalam bentuk tulisan maupun dalam hasil penelitian yang tertuang didalamnya. Penulis sangat berharap agar hal ini dapat dimaklumi, karena atas dasar keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki. Dalam penulisan skripsi ini penulis telah banyak menerima bantuan dari beberapa pihak, karena dengan bantuan mereka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu sudah sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang telah memberikan fasilitas perkuliahan selama penulis menempuh studi di fakultas Ushuluddin dan Filsafat.
2.
Dra. H. Hermawati. M.A selaku ketua program studi Sosiologi Agama dan Bapak Ismail S.Ag selaku mantan Sekretaris program studi Sosiologi Agama atas bantuan nilainya dan Ibu Joharotul jamilah yang telah memberikan nasehat dan membantu penulis selama perkuliahan, baik dalam mata kuliah, adminitrasi, maupun birokrasi.
3.
Drs. Hamid Nasuhi, M.A dan Drs. Idris Thaha, M.Si selaku pembimbing selama penulis menyelesaikan skrpsi, terima kasih atas kelonggaran waktu dan kesabarannya dalam membimbing penulis, semoga Bapak selalu diberikan kesehatan dan berada dalam lindungan-Nya.
4.
Kedua orang tuaku tercinta yaitu Ayah dan Ibuku yang telah memberikan semangat dalam skripsiku sekaligus yang telah merawat dan membesarkan dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. Dan Buhari selaku adik kandungku terima kasih atas bantuan dan supportnya selama ini.
5.
Amrul Rahman yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaganya dalam membantu dan mensupport penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Maka dari itu penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih yang mendalam kepadanya. Karena penulis yakin tanpa bantuan dan supportnya skripsi ini tidak akan cepat selesai. Terima kasih juga dari awal penulisan skripsi hinga selesai Amrul selalu siap sedia mengantarkan penulis ke kampus. Jasa-jasamu tak kan kulupakan.
6.
Mbak Jemil yang insyaAllah akan menjadi kakak iparku, he…he… terima kasih ya mbak yang sudah berkenan untuk direpotkan dalam mencari data-data yang penulis butuhkan dalam penyelesaian skripsi ini.
7.
Kak Rizal dan Masrawi, walaupun kadang-kadang suka membuat penulis kesal, biar bagaimanapun kalian adalah orang-orang yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian, Mator
sa
kalangkong…!!! 8.
Lulu selaku temanku yang sangat pengertian karena telah meminjamkan komputernya.
9.
Ipeh teman seperjuanganku, kita berdua saling mendoakan dan mensupport satu sama lain dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Eva si maniak F4 dan Faris si ibu teladan, yang tidak henti-hentinya selalu mengingatkan agar penulis tidak malas dan cepat-cepat wisuda. Dan tentunya masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dari semua pihak. Harapan penulis semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal atas bantuannya. Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Amin.
Penulis
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1 Jumlah Penduduk Desa Pinggirpapas berdasarkan Jenis Kelamin…...25 2. Tabel 2 Jumlah Penduduk Desa Pinggirpapas berdasarkan Usia……………...26 3. Tabel 3 Fasilitas Umum Desa Pinggirpapas…………………………………..29 4. Tabel 4 Populasi Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan………………...30 5. Tabel 5 Sarana Pendidikan di Desa Pinggirpapas……………………………..31 6. Tabel 6 Mata Pencaharian Warga Desa Pinggirpapas………………………...33
DAFTAR ISI
ABSTRAK……………………………………………………………………...i KATA PENGANTAR……………..………………..……………………….ii DAFTAR TABEL…………………………………………………...v DAFTAR ISI.…………………………………………………..…...vi
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………………..…1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………...………..….8 C. Metodologi Penelitian………..………………..….................9 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………….10 E. Sistematika Penulisan……………………………………. 10
BAB II
KAJIAN TEORI TENTANG RITUAL TRADISI NYADAR BAGI WARGA DESA PINGGIRPAPAS A. Pengertian Ritual……………………..………..…………...13
B. Pengertian Tradisi……………………………….................15 C.
Karakteristik Orang Madura Umumnya……..…………….17 1. Carok……………………………………………………18 2. Islam dan Ulama……………………………………… 19 3. Kepercayaan terhadap Kuburan Keramat……………....20
BAB III
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA PINGGIRPAPAS Letak Geografis…………………………………………….24
Keadaan Penduduk………………………………………... 25 1. Bidang sosial ……………………………………………26 2. Bidang Pendidikan………………………………………30 3. Bidang Ekonomi………………………………………...32 4. Bidang Agama………………………………………......34
BAB IV
ANALISIS TENTANG RITUAL TRADISI NYADAR Sejarah Munculnya Tradisi Ritual Nyadar…………………39 Penetapan Waktu dan Praktik Nyadar………………………41 C. Struktur Kepemimpinan dalam Tradisi Nyadar...…………..49
D. Dampak atau Pengaruh Tradisi Nyadar dalam Kehidupan Masyarakat Pinggirpapas………..........................................51
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan……………………………..……………………53 B. Saran………………………….……………………………...54
DAFTAR PUSTAKA……...…………………………………………..……..…55 LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Madura sebagai wilayah kepulauan yang terletak di sebelah Timur pulau Jawa, terbagi atas empat Kabupaten, yakni : Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Dengan luas masing-masing sebagai berikut : Bangkalan 1260 km2, Sampang 1233 km2, Pamekasan 792 km2 dan Sumenep 1989 km2.1 Berbeda dari wilayah Jawa pada umumnya yang mempunyai tingkat kesuburan tinggi, sebagian tanah Madura kurang subur/ gersang dan tandus. Kondisi daerah yang demikian memaksa kebanyakan orang Madura pergi merantau ke daerah lain dalam rangka mencari penghidupan yang lebih layak. Namun sesungguhnya Madura bukan daerah yang tidak berpotensi sama sekali. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya garam sebagai salah satu potensi terbesar yang dihasilkan oleh Madura. Berkaitan dengan garam, di Kabupaten Sumenep yang berasal dari kata Songennep, tepatnya di desa Pinggirpapas, terdapat tradisi budaya yang dikenal dengan tradisi Nyadar. Tradisi Nyadar yang dilakukan oleh masyarakat Pinggirpapas berhubungan erat dengan leluhur mereka, Anggasuto yang dianggap penemu garam pertama dan yang mengislamkan masyarakat Pinggirpapas. Kepeduliannya yang tinggi terhadap orang kecil dan lemah serta kemampuannya dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat, menyebabkan dia diangkat sebagai tokoh masyarakat.2 Dengan ditemukannya garam pertama kali oleh Anggasuto, maka masyarakat Pinggirpapas mempunyai sumber kehidupan yang layak dalam hal memproduksi garam hingga saat ini. Adapun proses bagaimana ditemukannya garam pertama kali oleh Anggasuto, siapakah sebenarnya Anggasuto dan pada tahun berapakah beliau memulai kehidupannya di Desa Pinggirpapas, hal ini tentunya berkaitan erat dengan sejarah 1
Andang Subaharianto, dkk, Tantangan Industrialisasi Madura (Membentur Kultur, Menjunjung Leluhu), (Malang: Bayumedia, 2004), h. 16 2 Budiyono, Tradisi Nyadar bagi Masyarakat Pinggirpapas di Madura, (Jember: Universitas Jember, 1992), h. 1
awalnya tradisi Nyadar muncul dan kerap dilaksanakan oleh masyarakat Pinggirpapas tiap tahunnya. Oleh karena itu penulis akan membahas hal ini lebih lanjut dalam bab IV. Di samping Anggasuto yang perlu senantiasa diteladani tokoh-tokoh yang dikultuskan oleh masyarakat Pinggirpapas adalah Embah Kuasa, Embah Dukun, dan Embah Bangsa. Embah Kuasa adalah adik Anggasuto yang diberi kekuasaan untuk mengatur semua aktivitas masyarakat Pinggirpapas, sedangkan Embah Anggasuto sendiri berperan sebagai penasehat atau sesepuh. Dan Embah dukun adalah seorang yang berasal dari Banten berperan sebagai pembantu Anggasuto, sedangkan Embah Bangsa adalah seorang yang berasal dari Sulawesi dan dinikahkan dengan adik perempuan Anggasuto yang bernama Indusari.1
Adapun bentuk pelaksanaan tradisi Nyadar pertama dan yang kedua adalah ziarah atau nyekar ke makam tokoh yang dikultuskan yakni Anggasuto beserta kerabatnya di desa Kebundadap, Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep. Dan tradisi Nyadar ketiga dilakukan di setiap rumah warga Pinggirpapas, hal ini merujuk kepada tradisi Nyadar yang dilakukan oleh Indusari (adik Anggasuto) yang melakukan tradisi Nyadar di rumahnya sendiri. Hal ini tentunya berkaitan pula dengan sejarah munculnya tradisi Nyadar yang oleh karena itu penulis akan menguraikannya secara menyeluruh dalam bab IV. Walaupun masyarakat Pinggirpapas umumnya beragama Islam, namun dalam pelaksanaannya tradisi Nyadar masih dipengaruhi oleh praktik-praktik Hinduisme yakni nilai-nilai kepercayaan animisme dan dinamisme. Seperti halnya membakar kemenyan sebelum ritual dimulai, membawa sesajen (baik berupa kembang sesaji ataupun makanan yang khusus dipersiapkan), dan menorehkan bedak di dahi ataupun di telinga. Hal yang terakhir ini memiliki makna bahwa seseorang telah mengikuti tradisi Nyadar dan ada pula
1
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep, Sekilas Mengenal Upacara Adat Nyadar (Nadzar), (Sumenep: Depdikbud, 2002), h. 2
yang mengasumsikan bahwa hal ini dilakukan untuk mengusir roh-roh jahat pada saat seseorang melaksanakan tradisi Nyadar. Hal ini tentunya tidak terlepas hubungannya dengan komponen historis, sebagaimana yang penulis akan uraikan lebih lanjut dalam bab IV. Namun masyarakat Pinggirpapas tidak mau dianggap menyekutukan Allah SWT atau melakukan bid’ah jika mereka melaksanakan ritual tradisi Nyadar tersebut. Karena mereka menganggap tradisi Nyadar ini merupakan bentuk rasa syukur mendalam mereka atas karunia Allah SWT yang telah memberikan nadi kehidupan kepada masyarakat Pinggirpapas atas hasil garam yang ditemukan pertama kali oleh Anggasuto. Dan sebagai ahli waris Anggasuto, wajib kiranya untuk meneruskan nilai nilai perjuangan beliau yang terkandung dalam tradisi Nyadar, khususnya dalam pembuatan garam sampai akhirnya berbuah hasil/ panen garam. Oleh karena itu, walaupun zaman sudah semakin modern, tidak mudah bagi masyarakat Pinggirpapas untuk menghilangkan tradisi Nyadar yang secara turun temurun selalu dilaksanakan tiap tahunnya hingga saat ini. Dan dalam perkembangannya, ada yang beranggapan bahwa ritual tradisi Nyadar bersifat bid’ah. Dengan kata lain menyimpang dari ajaran Islam yang terkandung di dalam Al-Quran dan Hadits. Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Ghazali, ia menganggap semua macam peringatan adalah bid’ah, seperti peringatan hari ulang tahun maupun hari wafat seseorang. Karena menurut al-Ghazali menyelenggarakan peringatanperingatan itu lebih banyak membawa Mafsadah (keburukan) daripada membawa Mashlahah (kebaikan).2 Tetapi lain pula pendapat Muhammad Mustafa al-Maraghi, mantan Rektor Universitas al-Azhar, melakukan hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan juga 2
Masjfuk Zuhdi, Studi Islam, (Jakarta: Rajawali, 1988), h.124
para sahabatnya bisa menjadi bid’ah dan bisa juga tidak. Misalnya mengadakan peringatan Maulid Nabi, Hijrah Nabi, dan sebagainya itu dimaksudkan sebagai unsur ibadah atau unsur agama, maka jelaslah menjadi bid’ah karena merupakan ibadah baru. Tetapi jika upacara peringatan tersebut dimaksudkan sebagai “tradisi” dan untuk membangkitkan umat Islam agar suka mengikuti ajaran Nabi dan meneladani akhlaknya yang mulia; maka mengadakan peringatan Maulid Nabi itu bukan bid’ah, karena tidak dimaksudkan sebagai agama dan tidak pula untuk menciptakan sesuatu yang baru di dalam agama.3 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam menilai baik-buruknya, bid’ah atau tidaknya sesuatu hal itu tergantung kepada perspektif atau sudut pandang seseorang. Menurut pendapat saya, dalam hal ini kiranya perlu dibedakan antara kegiatan upacara keagamaan yang ada kaitannya dengan Islam dan Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa ajaran Islam, seperti peringataan Maulid Nabi; dengan kegiatan upacara keagamaan yang dikaitkan dengan seseorang bukan Nabi, seperti perayaan tradisi Nyadar sebagai peringatan syukuran. Penyelenggaraan upacara keagamaan macam pertama, dapat ditolerir atau dibenarkan, sebagaimana yang difatwakan oleh Muhammad Mustafa al-Maraghi di atas. Sedangkan kegiatan upacara keagamaan macam kedua, tidak dapat dibenarkan oleh Islam, karena bisa menjurus kepada pengkultusan seseorang yang dilarang oleh agama. Hal ini sesuai dengan Hadits riwayat Abu Dawud yang berbunyi: (ﺚ ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ )رواﻩ اﺑﻮ دواد ُ ﺣ ْﻴ َ ﻼ َﺗ ُﻜ ْﻢ ﺗَ ْﺒُﻠ ُﻐﻨِﻰ َﺻ َ ن َ ﺻﱡﻠﻮْا ﻋَﻠَﻰ َﻓ ِﺎ َ ﺠ َﻌُﻠﻮْا ُﻗ ُﺒ ْﻮرِي ﻋِ ْﻴﺪًا َو ْ ﻻ َﺗ َ ﺠ َﻌُﻠ ْﻮ ا ُﺑ ُﻴ ْﻮ َﺗ ُﻜ ْﻢ ُﻗ ُﺒ ْﻮرًا َو ْ ﻻ َﺗ َ
Artinya:
3
Zuhdi, Studi Islam, h. 124
“Janganlah kamu jadikan rumah-rumah kamu sebagai kuburan, dan jangan pula kamu jadikan kuburanku sebagai tempat perayaan, berdo’alah (shalawatlah) untukku, karena sesungguhnya do’amu akan sampai kepadaku di mana saja kamu berada”.4
Mempertimbangkan komponen historis dari suatu fenomena sosial pada dasarnya merupakan upaya untuk menyingkap dimana “tempat berdiri” seseorang atau sekelompok orang pada masyarakat tertentu dalam kaitannya dengan sejarah. Sejarah selalu terkait dengan peristiwa masa lalu. Dalam kajian antropologis peristiwa di masa lalu dikaji bukan semata-mata untuk mengetahui apa yang telah terjadi di masa lalu tetapi diarahkan untuk memperoleh pengetahuan tentang hal-hal di masa lalu yang berperan dalam membentuk wujud dari kenyataan sosial di masa kini. Oleh karena itu penulis merasa tertarik dengan fenomena tersebut dan mencoba mengangkatnya dalam sebuah skripsi, yakni sebuah tradisi yang secara turun temurun masih dilaksanakan oleh masyarakat Pinggirpapas. Serta hubungannya dengan kehidupan masyarakat Pinggirpapas baik dari segi sosial, ekonomi, maupun budaya.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Guna menghindari pembahasan yang melebar sehingga apa yang diharapkan kurang memenuhi sasaran, maka dalam penulisan skripsi ini penulis membatasinya dengan hal-hal yang berkaitan dengan ritual tradisi Nyadar.
Selanjutnya berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka penulis merumuskan masalah yang akan penulis tuangkan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah sejarah munculnya tradisi ritual Nyadar ? 2. Bagaimanakah proses penetapan waktu dan praktik ritual Nyadar? 3. Bagaimanakah pola struktur kepemimpinan dalam tradisi ritual Nyadar?
4
Abujamin Roham, Dari Orang Hidup Kepada Orang Mati, (Jakarta: Media Da’wah, 1993), h. 123
4. Serta apa sajakah dampak atau pengaruh tradisi Nyadar dalam kehidupan masyarakat Pinggirpapas? C. Metodologi Penelitian Metodologi Penelitian yang dipergunakan untuk mengumpulkan data bagi penulisan skripsi ini ada dua cara sebagai berikut :
1. Penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu membaca dan menelaah buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas, seperti buku-buku yang berkaitan dengan tradisi Nyadar. 2 . Penelitian lapangan (Field Research), yaitu mengadakan penelitian lapangan terhadap masyarakat Pinggirpapas khususnya para sesepuh yang biasa memimpin ritual tradisi Nyadar. Dengan teknik-teknik sebagai berikut : a. Observasi yaitu mengadakan pengamatan langsung untuk mendapatkan keteranganketerangan mengenai ritual tradisi Nyadar dan keadaan masyarakat Pinggirpapas . b. Wawancara yaitu mengadakan tanya jawab dengan beberapa orang yang mengetahui seluk beluk tentang tradisi Nyadar secara keseluruhan, yang terdiri dari para tokoh pemimpin Nyadar, tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat. Di antara mereka adalah Embah Kasa selaku Ketua Adat, Bapak Harun Rasyid selaku tokoh agama dan Bapak Ahmad Rizal selaku tokoh masyarakat. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang
sifatnya faktual dan akurat. Wawancara dibagi
menjadi beberapa bagian, yakni: a. Wawancara bebas, inguided interview, dimana pewawancara bebas menanyakan apa saja yang diinginkannya, tetapi ia juga harus mengingat akan data apa yang
akan dikumpulkannya. Dalam pelaksanaannya pewawancara tidak membawa pedoman mengenai apa yang akan ditanyakan. b. Wawancara terpimpin, guided interview, yaitu wawancara yang dilakukan dengan membawa sederet pertanyaan yang lengkap dan terperinci. c. Wawancara bebas terpimpin, yaitu kombinasi antara wawancara bebas dan wawancara terpimpin dalam pelaksanaanya pewawancara membawa pedoman yang merupakan garis besar tentang hal-hal yang akan ditanyakan.5 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode wawancara
(guided
interview) yang berarti penulis menggunakan pedoman wawancara dalam mendapatkan informasi dan mengumpulkan data secara sistematis, faktual dan akurat. Penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Kualitatif di sini, merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari si pelaku yang sedang diamati. Di samping itu teknik pendekatan yang digunakan penelitian ini adalah mengambil studi kasus, yaitu bentuk penelitian yang mendalam tentang aspek lingkungan sosial termasuk manusia didalamnya.6 Di samping itu, penelitian deskriptif yang penulis gunakan bertujuan menggambarkan suatu keadaan atau suatu fenomena tertentu berdasarkan data yang diperoleh. Secara harfiah, penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud membuat semacam penjelasan mengenai situasi-situasi atau kejadian tertentu sehingga
5
Suharsini Arikunto, ProsedurPenelitian: Suatu Pendekatan dan Praktik, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998), h. 145-146 6 Lexy J. Melong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), h. 3
diperoleh deskripsi yang sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat populasi atau daerah tertentu.7 Adapun analisa data merupakan salah satu langkah penting untuk memperoleh temuan-temuan hasil penelitian. Dalam penelitian, data dianalisa secara kualitatif. Data yang diperoleh dari hasil observasi partisipasi wawancara dan dokumen tersebut dideskripsikan dalam bentuk uraian, maksud utama analisa data itu adalah dimengerti, sehingga penemuan yang dihasilkan bisa dikomunikasikan kepada orang lain. Pelaksanaan analisanya dilakukan pada saat masih di lapangan dan setelah data terkumpul. Peneliti menganalisa data-data sepanjang penelitian dan dilakukan secara terus menerus dari awal sampai akhir penulisan. Data-data tersebut bisa berupa informasi-informasi dari masyarakat setempat, tokoh masyarakat dan lain sebagainya.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui latar belakang munculnya tradisi ritual Nyadar dan seberapa jauh pandangan masyarakat Pinggirpapas menganggap pentingnya ritual Nyadar yang selama ini diyakininya.
Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjan di Universitas Islam Negeri “Syarif Hidayatullah” Ciputat khususnya, dan untuk menambah khazanah pengetahuan tentang adat istiadat atau kebudayaan
dari tanah
kelahiran penulis sendiri.
E. Sistematika Penulisan 7
Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 18
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyusun sistematika penulisan dengan merujuk pada buku “Pedoman Ushuluddin dan Filsafat yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Press 20052006.” Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab. Penulisan skripsi ini diawali dengan bab I yang berisikan tentang latar belakang pemilihan judul, pembatasan dan perumusan masalah, metodologi penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, dan yang terakhir sistematika penulisan. Sedangkan dalam bab II membahas tentang kajian teori ritual tradisi Nyadar, baik itu dari segi pengertian ritual yang dikutip dari teorinya Kingsley Davis dan Robertson Smith, pengertian tradisi yang mengutip dari buku, diantaranya kamus sosiologi dan kamus antropologi maupun karakteristik orang Madura pada umumnya, yakni: carok (membela harga diri), sangat menghormati ulama, dan percaya terhadap kuburan keramat. Berbeda halnya dengan bab II yang lebih mengarah pada kajian-kajian teoritis, dalam bab III menjelaskan tentang gambaran umum masyarakat Pinggirpapas, di lihat dari letak geografis dan keadaan masyarakatnya; baik dari bidang sosial, bidang pendidikan, bidang ekonomi ataupun bidang agama. Adapun isi/ inti pembahasan secara keseluruhan dapat dilihat dalam bab IV, diantaranya menjelaskan tentang sejarah munculnya tradisi Nyadar sebagai perwujudan sikap masyarakat Pinggirpapas atas penemuan garam di tanah leluhur mereka. Hal ini merujuk pada hasil wawancara yang dilakukan penulis kepada beberapa tokoh yang berkepentingan dalam ritual tradisi Nyadar dan masyarakat Pinggirpapas khususnya. Dan pembahasan selanjutnya mengenai Penetapan waktu dan Praktik Nyadar, Dimana waktu pelaksanaan tradisi Nyadar tidak boleh mendahului tanggal 12 Maulid dan ketentuan harinya harus dilaksanakan hari Jumat dan Sabtu. Adapun praktik/ pelaksanaan Nyadar terbagi atas tiga tahapan, yaitu: pelaksanaan Nyadar pertama dan Nyadar kedua dilakukan disekitar pemakaman embah Anggasuto. Dan Nyadar ketiga dilaksanakan di rumah masing-masing warga Pinggirpapas khususnya. Dan pembahasan selanjutnya mengenai struktur Kepemimpinan ritual tradisi Nyadar. Dimana pelaksanaan tradisi Nyadar ini dipimpin oleh Embah Kasa selaku Ketua Adat dan beberapa tokoh pelaksana Nyadar lainnya yang akan penulis uraikan dalam bab ini. Dan pembahasan yang terakhir
adalah berisikan tentang dampak atau pengaruh ritual tradisi Nyadar bagi kehidupan masyarakat Pinggirpapas umumnya, yaitu mempererat ikatan kekerabatan antar warga dan akhirnya warga Pinggirpapas memiliki sumber perekonomian melalui usaha panen/ hasil garam. Dan tulisan ini diakhiri dengan bab V yang menjelaskan tentang kesimpulan dan saran daripada penulisan kajian skripsi ini. Namun saran penulis tentang ritual tradisi Nyadar ini hendaknya tidak menimbulkan adanya pemikiran-pemikiran yang menjerumuskan kepada perbuatan bid’ah atau menyimpang dari ajaran Islam. Seperti halnya apabila tradisi Nyadar tersebut menimbulkan kepercayaan terhadap orang yang meninggal (pengkultusan seseorang). Tapi hendaknya tradisi Nyadar hanya dijadikan sebuah adat istiadat sebagai salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Indonesia.
BAB II KAJIAN TEORI TENTANG RITUAL TRADISI NYADAR
Sebagaimana yang telah penulis uraikan sebelumnya bahwa ritual tradisi Nyadar selain merupakan bentuk ungkapan rasa syukur masyarakat Pinggirpapas atas panen/ hasil garam yang diperoleh tiap tahunnya, tradisi ini juga bertujuan untuk selalu mengenang jasa-jasa leluhur mereka, Anggasuto yang telah memberikan sumber kehidupan atas penemuan garam pertama kali olehnya. Dengan demikian masyarakat Pinggirpapas selalu melaksanakan tradisi Nyadar tiap tahunnya sebagai warisan nenek moyang/ leluhur yang patut dilestarikan. Dengan harapan hasil/ panen garam yang diperoleh selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sehubungan dengan judul yang terdapat dalam bab ini, penulis akan menguraikan beberapa teori yang berkaitan dengan ritual tradisi Nyadar sebagai berikut: A. Pengertian Ritual Menurut bahasa, ritual berarti upacara keagamaan.1 Upacara keagamaan di sini adalah upacara keagamaan yang diselenggarakan oleh umat beragama untuk memperingati hari besar agamanya atau peristiwa bersejarah bagi agamanya, seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW oleh umat Islam atau peringatan Natal oleh umat Kristen.9 Sedangkan secara istilah ritual bermakna suatu sistem upacara atau prosedur magis atau religius biasanya dengan bentuk-bentuk khusus kata-kata atau kosa kata khusus yang bersifat rahasia dan biasanya dihubungkan dengan tindakan-tindakan penting.10 Ada juga yang mengartikan ritual sebagai buku resmi yang berisi doa-doa dan peraturan-peraturan mengenai apa yang harus dilakukan dalam
1
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 1990), h.
9
Zuhdi, Studi Islam, h. 121 M. Dahlan Yacub Al Barry, Kamus sosiologi Antropologi, (Surabaya: Gramedia, 1990), h. 488
488 10
perayaan sakramen, penguburan, pengucapan kaaul publik, pemberkatan gereja, dan upacara-upacara keagamaan yang lain.11 Kingsley Davis lebih menekankan ciri-ciri ritual. Menurutnya ciri-ciri ritual adalah segala jenis tingkah laku, seperti memakai pakaian khusus, mengorbankan nyawa dan harta, mengucapkan ucapan formal, bersemedi, menyanyi, menyanyikan lagu gereja, berdoa (bersembahyang), memuji, pesta, berpuasa, menari, berteriak, mencuci, dan membaca.12 Dengan merujuk pada beberapa pengertian ritual di atas, dapat disimpulkan bahwa tradisi Nyadar merupakan upacara keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Pinggirpapas tiap tahunnya. Berkaitan dengan pernyataan Kingsley Davis sebelumnya, tradisi Nyadar memperlihatkan bentuk ritual yang sifatnya nyekar atau ziarah. Dimana dalam ritual nyekar atau ziarah tersebut mengandung salah satu ciri sebuah upacara keagamaan, yakni berdoa. Adapun ritual atau upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek di dalamnya, yakni : 1.
Tempat upacara keagamaan dilakukan, yakni berhubungan dengan tempat-tempat keramat di mana upacara dilakukan seperti makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau mesjid dan sebagainya.
2.
Saat-saat upacara keagamaan dijalankan, yakni berhubungan dengan saat-saat beribadah, hari-hari keramat dan suci.
3.
Benda-benda dan alat upacara, yakni berhubungan dengan benda-benda yang dipakai dalam upacara termasuk patung-patung yang melambangkan dewa-dewa, alat-alat bunyi-bunyian seperti lonceng suci, seruling suci, genderang suci dan sebagainya.
4.
Orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara, yakni berhubungan dengan para pelaku upacara keagamaan seperti, para pendeta biksu, syaman, dukun dan lain-lain.13 Upacara keagamaan yang biasa terjadi selalu menghadirkan sesaji atau sesajen sebagai perlengkapan ritual tersebut. Menurut Robertson Smith fungsi dari upacara bersaji adalah di mana manusia menyajikan sebagian dari seekor binatang, terutama darahnya, kepada dewa, kemudian memakan sendiri sisa daging dan darahnya, juga dianggap sebagai suatu aktivitas mendorong rasa solidaritas 11
Nottingham, Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 67 12 Gerald O’ Collins dan Edward G. Fairuguay, Kamus Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), h.92 13 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Aksara Baru, 1989), h. 377-378
dengan dewa atau para dewa. Dalam hal itu dewa atau para dewa di pandang sebagai warga komunitas, walupun sebagai warga yang istimewa.14 Ritual menanamkan sikap ke dalam kesadaran diri yang tinggi, dan melalui hal itu akan memperkuat komunitas moral. Dengan demikian melakukan tradisi keagamaan merupakan tindakan sosial atau tindakan berjamaah di mana kelompok menetapkan kembali hubungannya dengan objek-objek suci dan melalui hubungan ini akan memperkuat solidaritas dan mengukuhkan nilai-nilai sendiri.15 B. Pengertian Tradisi Istilah tradisi yang telah menjadi bahasa Indonesia, dipahami sebagai sesuatu yang turun temurun dari nenek moyangnya.16 Tradisi dalam kamus Antropologi sama dengan adat istiadat yakni kebiasaankebiasaan yang bersifat magis religius dari kehidupan suatu penduduk asli yang meliputi mengenai nilai-nilai budaya, norma-norma, hukum dan aturan-aturan yang saling berkaitan, dan kemudian menjadi suatu sistem atau peraturan yang sudah mantap serta mencakup segala konsepsi sistem budaya dari suatu kebudayaan untuk mengatur tindakan sosial.17 Sedangkan dalam kamus Sosiologi, diartikan sebagai adat istiadat dan kepercayaan yang secara turun temurun dapat dipelihara. 18 Tradisi merupakan pewarisan norma-norma, kaidah-kaidah dan kebiasaan-kebiasaan. Tradisi tersebut bukanlah suatu yang tidak dapat diubah, tradisi justru dipadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia dan diangkat dalam keseluruhannya. Karena manusia yang membuat tradisi maka manusia juga yang dapat menerimanya, menolaknya dan mengubahnya.19 Tradisi juga dapat dikatakan sebagai suatu kebiasaan yang turun temurun dalam sebuah masyarakat, dengan sifatnya yang luas tradisi bisa meliputi segala kompleks kehidupan, sehingga tidak mudah
14 15
h. 76 1088
16 17
Koentjaraningrat, Pengantar Teori Antropologi I, (Jakarta: UI-Press, 1987), h. 68 Thomas F O’dea, Sosiologi Agama Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan, 2001), W.J.S. Poewadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985), h.
Ariyono dan Aminuddi Siregar, Kamus Antropologi, (Jakarta: Akademik Pressindo, 1985), h. 4 Soekanto, SH., MA., Kamus Sosiologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), h. 459 19 Van Peursen, Sosiologi Kebudayaan, (Jakarta: Kanisius, 1976) , h. 11 18
disisihkan dengan perincian yang tepat dan pasti, terutama sulit diperlakukan serupa atau mirip, karena tradisi bukan obyek yang mati, melainkan adat yang hidup untuk melayani manusia yang hidup pula.20 Tradisi dipahami sebagai suatu kebiasaan masyarakat yang memiliki pijakan sejarah masa lampau dalam bidang adat, bahasa tata kemasyarakatan keyakinan dan sebagainya, maupun proses penyerahan atau penerusannya pada generasi berikutnya. Sering proses penerusan terjadi tanpa dipertanyakan sama sekali, khususnya dalam masyarakat tertutup dimana hal-hal yang telah lazim dianggap benar dan lebih baik diambil alih begitu saja. Memang tidak ada kehidupan manusia tanpa sesuatu tradisi. Bahasa daerah yang dipakai dengan sendirinya diambil dari sejarahnya yang panjang tetapi bila tradisi diambil alih sebagai harga mati tanpa pernah dipertanyakan maka masa kini pun menjadi tertutup dan tanpa garis bentuk yang jelas seakan-akan hubungan dengan masa depan pun menjadi terselubung, tradisi lalu menjadi tujuan dalam dirinya sendiri.21 Dengan merujuk pada beberapa teori tersebut, dapat dikatakan bahwa Nyadar merupakan tradisi, yakni adat istiadat yang sudah dilakukan turun temurun oleh masyarakat Pinggirpapas. Sedangkan secara teknis merujuk kepada tradisi dengan maksud menjaga, menghormati serta memelihara warisan nenek moyang yang sudah ada. Nyadar dapat dikatakan sebagai sebuah peristiwa sosial yang telah menjadi wadah bagi masyarakat Pinggirpapas dan sekitarnya untuk mengekspresikan wujud ungkapan terima kasih dan rasa syukur terhadap segala nikmat yang telah diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Nyadar bisa diartikan sebagai adat istiadat atau tradisi bagi masyarakat. Untuk itu masyarakat Pinggirpapas selalu melaksanakan ritual tradisi Nyadar tiap tahunnya, karena masyarakat di sini berpendapat bahwa tradisi Nyadar merupakan warisan nenek moyang yang patut dilestarikan. C. Ciri Khas Orang Madura Umumnya 1.
Carok ( membela harga diri) Dalam bukunya yang berjudul “Tantangan Industrialisasi Madura”, Andang Subaharianto
mengemukakan bahwa carok adalah membela harga diri atau kehormatan diri orang Madura akan
20 21
W.S. Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, (Jakarta: PT Gramedia, 1983), h. 3 Hassan Sadily, Ensiklopedia Indonesia, Vol 6. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve) h. 3608
terusik jika ia dipermalukan (malo) atau dilecehkan secara sosial. Tindakan carok merupakan manifestasi dari upaya membela dan menjaga harga diri, dengan jalan kekerasan fisik. Dalam konteks ini, ungkapan orang Madura, ango’an poteya tolang etembeng poteya mata, yang artinya “lebih baik putihnya tulang daripada putihnya mata”. Hal ini sama artinya dengan lebih baik mati daripada hidup menanggung malu menjadi referensi dari perbuatan carok.22 Berbeda halnya dengan dasar pembelaan diri tentara Jepang yang di sebut dengan Harakiri (bunuh diri). Menurut cerita, pada saat kota Nagasaki dan Hiroshima di bom secara besar-besaran oleh pasukan Amerika, serdadu Jepang yang sedang menduduki Indonesia yang berada di Pangkalan Bun, ibukota Kobar (Kotawaringin Barat), dengan segera meninggalkan Pangkalan Bun. Dan terdapat satu orang serdadu Jepang yang tertinggal bernama Tei-Cho, menurutnya tidak ada kata lain selain melakukan tindakan Harakiri (bunuh diri) dengan menembakkan mulutnya dengan pistol. Dan hingga sekarang makamnya terdapat di Pangkalan Bun dan dimakamkan secara Islami.23 Dalam studi tentang carok tersebut dikemukakan bahwa salah satu penyebab carok yang potensial adalah mengganggu istri orang lain. Gangguan terhadap perempuan yang sudah bersuami tersebut dapat berupa aktivitas menggoda, mencintai, atau melakukan perselingkuhan. Dalam perspektif orang Madura, istri merupakan simbol kehormatan rumah tangga atau laki-laki Madura. Gangguan terhadap istri atau perempuan ditafsirkan sebagai pelecehan harga diri orang Madura.24 Dasar pembelaan terhadap istri tersebut dikemukakan oleh penyair Madura, D. Zawawi Imron, dalam ungkapan, “Saya kawin dinikahkan oleh penghulu, disaksikan oleh orang banyak, dan dengan memenuhi peraturan agama. Maka, siapa saja yang mengganggu istri saya berarti menghina agama saya (Islam), sekaligus menginjak-injak kepala saya”. Karena itu, martabat dan kehormatan istri merupakan perwujudan dari landasan kematian (bantalla pate). Dalam ungkapan lain, tindakan mengganggu istri disebut agaja’ nyaba, yang pengertiannya sama dengan tindakan mempertaruhkan atau mempermainkan nyawa.25
22
Andang Subaharianto, Tantangan Industrialisasi Madura, h. 60 “Makam Serdadu Jepang diZiarahi,” artikel diakses pada http://www.google.com 24 Andang Subaharianto, dkk, Tantangan Industrialisasi Madura, h.61 25 Andang Subaharianto, dkk, Tantangan Industrialisasi Madura, h.62 23
11
Agustus
2006
dari
Adapun manifestasi daripada carok umumnya banyak dilakukan oleh orang Madura bagian Barat, yakni Bangkalan dan Sampang. Anggapan ini melihat pada kenyataannya bahwa orang Madura bagian Barat umumnya memiliki watak dan temperamen yang lebih keras daripada orang Madura bagian Timur, yakni Pamekasan dan Sumenep. Hal ini dapat dilihat perbandingannya secara jelas dalam gaya pengucapan (dialek) dan tutur bahasanya orang Pamekasan dan Sumenep lebih halus daripada orang Madura bagian Barat yakni Sampang dan Bangkalan. Hal ini lebih disebabkan bahwa segala tindak tanduk orang Madura bagian Timur berkiblat pada budaya Kraton. Seperti penggunaan dialek dan bahasa orang Madura bagian Timur mengenal tingkatan-tingkatan bahasa dari bahasa yang terhalus sampai bahasa yang terkasar sekalipun. Demikian pula pribadi santun dan ramah yang dimiliki oleh orang Madura bagian Timur. Namun di sini sebenarnya penulis tidak ingin membedakan karakteristik orang Madura bagian Barat dan Timur, Akan tetapi penulis merasa hal ini perlu dilakukan sebagai bentuk upaya untuk meluruskan pandangan orang luar Madura umumnya yang menganggap umumya orang Madura terkesan bahwa satu-satunya persoalan merendahkan harga diri hanya dapat diselesaikan melalui perbuatan carok bukan secara baik-baik. Oleh karena itu penulis ingin mengagarisbawahi bahwa umumnya yang melakukan tindakan carok di sini adalah orang Madura bagian Barat, yakni Sampang dan Bangkalan dengan merunut pada apa yang telah penulis uraikan sebelumnya. Sehingga tidaklah mengherankan bahwa prilaku Carok (membela harga diri) itu banyak dilakukan oleh orang Madura bagian barat sebagai bentuk perwujudan harga dirinya diinjak-injak. Sebagaimana kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang perwira kepolisian kepada istri, teman istrinya dan mertuanya di Bangkalan Madura baru-baru ini. Sebagai akibat dari adanya prilaku perselingkuhan yang dilakukan oleh istrinya dengan teman satu angkatannya di kepolisian juga.26 Sebab-sebab lain yang dapat mengganggu harga diri orang Madura selain masalah kehormatan perempuan adalah masalah tanah dan leluhur, penghinaan terhadap agama dan pelecehan terhadap anggota keluarga apalagi jika hal itu dilakukan di depan umum. 2. Sangat Menghormati Ulama
26
“Perwira Polisi Menembak Mati Istri, Teman Selingkuhnya dan Mertuanya di Bangkala, Madura,” Republika, 26 Februari 2006, h. 11
Madura dapat dikatakan sebagai daerah berbasis budaya keislamannya sangat tinggi. Citra Madura sebagai “masyarakat santri” sangat kuat. Menjadi haji, misalnya, merupakan impian setiap orang Madura, dan mereka akan berusaha keras untuk mewujudkannya. Seolah-olah “kesempurnaan hidup” telah dapat dilampauinya jika bisa mengunjungi tanah suci (menurut Islam) untuk melaksanakan ibadah haji. Hampir setiap rumah orang Madura memiliki bangunan langgar atau surau sebagai tempat keluarga melakukan ibadah sholat. Lokasinya selalu berada di ujung timur halaman bagian barat sebagai simbolisasi lokasi Ka’bah yang merupakan kiblat orang Islam ketika melaksanakan sholat. Secara umum, di kalangan umat Islam, ahli-ahli pengetahuan keagamaan Islam disebut ulama. Dalam perspektif lokal, di Jawa Barat mereka disebut ajengan. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ahliahli pengetahuan keagamaan Islam tersebut disebut kyai. Hubungan antara kyai dan umatnya sangat dekat, dan kyai memiliki peranan dominan dalam kehidupan umatnya. Apa yang dikatakan oleh seorang kyai niscaya akan diikuti oleh umatnya, bahkan kadang-kadang tanpa memperhitungkan apakah hal itu baik atau tidak.27 Dalam masyarakat Madura, kyai paling dihormati dibandingkan dengan golongan sosial yang lain. Kyai memiliki harta dan penghormatan sosial dari masyarakatnya. Kyai akan lebih dihormati kalau ia memiliki karisma dan keramat (memiliki ilmu gaib) karena kelebihan ilmu agamanya itu. Apa yang dikatakan akan dituruti dan dilaksanakan umatnya (orang Madura). Pejabat dan orang kaya, di sini, masih hormat kepada kyai. Setelah kyai, pejabatlah yang dihormati masyarakat Madura. Ia simbol keberhasilan sukses duniawi bagi seseorang dan memiliki status sosial yang baik, karena kedudukannya sebagai pejabat atau pegawai pemerintah. Orang kaya kalau hormat akan mencium tangan kyai. Orang kaya dihormati masyarakat kalau ia baik. Artinya, kekayaan yang diperolehnya itu dengan jalan baik dan perbuatan sosialnya juga baik. Harta yang baik (halal) akan menjaga martabat pemiliknya. Kalau tidak, ia kurang dihargai masyarakat. Jadi, di Madura, dasar penghormatan terhadap seseorang berturut-turut adalah kemampuan agamanya, jabatannya dan baru hartanya. 3. Percaya terhadap Kuburan Keramat
27
Andang Subaharianto, Tantangan Industrialisasi Madura, h.52
Pada umumnya orang Indonesia percaya bahwa roh orang yang meninggal tidak langsung hilang, tetapi dapat mempengaruhi anak cucu maupun lingkungannya. Roh-roh itu dapat diminta tolong dalam hal-hal tertentu, misalnya dalam membuka lahan baru untuk areal pertanian, mendirikan rumah baru ataupun anak yang akan pergi jauh bersekolah atau merantau, mereka akan mendatangi makam leluhurnya untuk memohon restu dan perlindungan. Makam dan kuburan keramat mempunyai persamaan, yakni di tempat itu terdapat jenazah yang dikubur. Namun, secara spesifik, di antara keduanya terdapat perbedaan, yakni dalam hal jenazah siapa yang tertanam di situ. Untuk makam biasa, jenazah yang dikubur adalah anggota keluarga biasa. Meskipun makamnya setiap jumat dikunjungi ahli warisnya untuk kirim doa dan mohon berkah, tetapi semasa hidupnya dia tidak memiliki kelebihan di bidang lain yang bermanfaat bagi hajat hidup orang banyak. Adapun kuburan keramat, arwah (roh) yang bersemayam di situ dipercayai semasa hidupnya merupakan orang yang sakti. Kesaktiannya itu tidak hanya bermanfaat bagi ahli warisnya, tetapi juga diperlukan untuk melindungi orang banyak (warga masyarakat). Kuburan keramat seperti itu disebut buju’ yang “kesaktiannya” sangat diperlukan bagi kepentingan publik (public function).28 Kepercayaan orang Madura terhadap buju’ cukup tinggi. Hampir di setiap kampung (dusun) terdapat buju’, yang sangat fungsional (sebagai axis powers) untuk menjaga keseimbangan kehidupan seluruh warga masyarakat setempat. Mengenai kesaktian buju’ di masing-masing tempat terdapat perbedaan atau keragaman, yang disosialisasikan melalui legenda atau cerita rakyat (folklore). Isi legenda selalu menceritakan kebesaran tokoh saat masih hidup. Tokoh tersebut merupakan pengembara yang datang dari suatu kerajaan yang kemudian menjadi cikal bakal atau pembabat desa, atau dapat pula sebagai orang yang sakti ketika hidup, atau seorang ulama yang menyebarkan agama Islam. Yang jelas, arwah yang bersemayam di makam itu bukanlah arwah yang sembarangan.29 Salah satunya yakni Buju’ Gubang atau Buju’ Anggasuto, kuburan ini terletak di desa Kebundadap Timur, Kecamatan Saronggi, kabupaten Sumenep. Tempat ini disebut gubang (jurang) 28
Dominikus Rato, Buju’ dan Asta. Persepsi Masyarakat Madura Sumenep Terhadap Kuburan Keramat, (Jember : Universitas Jember, 1992), h.18 29 Dominikus Rato, Buju’ dan Asta, h. 20
karena pada jaman Anggasuto di sini terdapat jurang (lubang besar) yang tidak dapat ditimbuni oleh tanah. Berkat kesaktian Anggasuto, lubang-lubang tersebut dapat di tutup dan dijadikan kuburan. Menurut masyarakat setempat, Anggasuto adalah seorang wali yang mengasingkan diri untuk bertapa. Berkat kesempurnaan ilmunya, ia dianggap memiliki kesaktian yang luar biasa. Namun ia dianggap pula sebagai pembabat desa dan leluhur masyarakat Pinggirpapas serta penemu garam pertama di Madura.30 Oleh karena itu masyarakat Pinggirpapas menghormati beliau dengan melakukan tradisi nyekar dan berdoa bersama, yang terkandung dalam tradisi Nyadar sebagaimana yang telah diungkapkan oleh penulis sebelumnya. Menurut Bapak H. Mahbub selaku tokoh agama di desa Pinggirpapas, tradisi nyekar dan membaca doa seperti surat Yasin adalah sarana berkomunikasi atau berdialog antara manusia yang masih hidup di dunia dengan para leluhurnya yang sudah meninggal dunia. Doa yang dikirimkan itu diyakini akan berdampak positif kepada manusia yang masih di dunia maupun yang sudah meninggal dunia. Dengan cara demikian, orang yang masih hidup akan selamat dunia dan akhirat, sedangkan yang sudah meninggal dunia akan dijauhkan dari siksa kubur dan neraka atas barokah dan rahmat Allah SWT. Dikatakan pula oleh beliau berdoa di atas makam lebih berharga (afdol) daripada mengirim doa dari rumah atau masjid dan langgar.31 Menurut jenisnya, kuburan keramat yang terdapat di Madura dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu : 1) makam keturunan raja, 2) makam para wali atau tokoh penyebar agama Islam, 3) makam pembabat desa, dan 4) makam orang sakti, termasuk di dalamnya adalah mereka yang ketika hidup memiliki keistimewaan dan berjasa bagi kepentingan orang banyak.32 Dari ketiga karakteristik yang penulis uraikan di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa karakteristik orang Madura percaya terhadap kuburan keramat pada umumnya, sesuai dengan kepercayaan masyarakat desa Pinggirpapas yang percaya terhadap kuburan keramat, yakni makam Anggasuto atau yang disebut dengan Buju’ Gubeng. 30 31
2006
32
Dominikus Rato, Buju’ dan Asta, h. 34 Wwancara Pribadi dengan Bapak H. Mahbub, “Tokoh Agama”, Pinggirpapas, tanggal 13 Februari Andang Subaharianto, dkk, Tantangan Industrialisasi Madura, h.77
BAB III GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA PINGGIRPAPAS
Dalam bab ini penulis akan menggambarkan objek kajian penelitian guna memberikan penjelasan awal mengenai objek kajian yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Baik itu berdasarkan letak geografisnya maupun keadaan masyarakatnya. Setelah penulis mengamati secara langsung kondisi daerah penelitian, yakni Desa Pinggirpapas dapat diketahui bahwasanya desa ini bertipologi pesisir/ pantai. Dengan kondisi daerah yang demikian, masyarakat Pinggirpapas akhirnya memanfaatkan lahan tersebut untuk lahan pertanian garam sekaligus sumber perekonomian mereka. Hal ini pulalah yang melatarbelakangi adanya ritual tradisi Nyadar di Desa Pinggirpapas ini. Dengan demikian letak geografis Desa Pinggirpapas sangat mempengaruhi bidang-bidang kehidupan masyarakat Pinggirpapas, baik itu dari bidang sosial, pendidikan, ekonomi, maupun agama. Oleh karenanya penulis akan menguraikan hal tersebut berikut ini. A. Letak Geografis Desa Pinggirpapas adalah sebuah desa yang terletak di Kab. Sumenep yang tepatnya berada di Kec. Kalianget. Daerah tersebut sangat terik karena terletak di dataran rendah yang sangat gersang. Hanya karena berada di tepi pantai keterikan itu sedikit berkurang sebagai adanya hembusan angin laut. Hal ini disebabkan oleh adanya tipologi daerah yang berbentuk desa pantai/ pesisir. Secara administratif desa Pinggirpapas dari sebelah Utara berbatasan dengan desa Karang Anyar, dari sebelah Selatan berbatasan dengan desa Kebundadap Timur dan Kebundadap Barat, dari sebelah Timur juga berbatasan dengan Selat Madura dan dari sebelah Barat berbatasan dengan desa Nambekor. Desa Pinggirpapas mempunyai luas wilayah 58.340 ha, yang terbagi atas tanah kering seluas 16.540 ha dan tanah basah dengan luas 41.800 ha. Jarak desa Pinggirpapas dari kota Sumenep kurang lebih sekitar 10 km. Adapun sumber mata pencaharian utama warga desa Pinggirpapas adalah petani garam dan nelayan. Hal ini sesuai dengan tipologi daerah Pinggirpapas yang dikelilingi laut dan pesisir pantai.
B. Keadaan Penduduk Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2005, penduduk desa Pinggirpapas berjumlah 4511 orang ; yang terdiri dari laki-laki 2.128 orang dan perempuan berjumlah 2.383 orang. Jumlah perempuan lebih banyak dari pada laki-laki karena di pengaruhi oleh pernikahan usia dini dan kebanyakan laki-laki di Pinggirpapas menikah dengan orang daerah Pinggirpapas. Adapun data tersebut akan ditunjukkan pada tabel berikut ini : Tabel 1 Jumlah Penduduk Desa Pinggirpapas berdasarkan jenis kelamin 2005-2006 N
Jenis Kelamin
Jumlah
o. 1.
Laki-laki
2128 orang
2.
Perempuan
2383 orang
Jumlah
4511 orang
Sumber: Laporan Potensi Desa Pinggirpapas , tahun 200533 Alasan mengapa jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan jumlah laki-lakinya, hal ini lebih disebabkan oleh banyaknya pernikahan yang dilakukan para kaum laki-lakinya dengan wanita yang berasal dari desa lain atau luar daerah Madura. Dan menurut adat Madura, apabila seorang laki-laki menikah dengan wanita dari desa lain atau luar daerah Madura, maka pihak laki-laki tersebut harus hidup/ menetap di rumah pihak keluarga perempuannya. Dengan demikian hal ini dapat mengurangi jumlah populasi laki-laki yang ada di desa Pinggirpapas. Tabel 2 Jumlah Penduduk Desa Pinggirpapas berdasarkan Usia 2005-2006 N 33
Usia
Jumlah
Tabel 1 didapatkan dari Balai Desa Pinggirpapas setempat, pada tanggal 11 Februari 2006
O 1
0 − 9 tahun
845 orang
2.
10 − 19 tahun
671 orang
3.
20 − 29 tahun
785 orang
4.
30 − 39 tahun
852 orang
5.
40 − 49 tahun
531 orang
6.
50 − 58 tahun
507 orang
7.
>59 tahun
320 orang
Jumlah
4511 Orang
Sumber: Laporan Potensi Desa Pinggirpapas, tahun 2005 34 Mengenai keadaan penduduk di Desa Pinggirpapas, penulis akan mencoba menguraikannya dari beberapa bidang kehidupan penduduk setempat berikut ini :
1. Bidang Sosial Dalam bidang sosial tentunya tidak terlepas hubungannya dengan sebuah sistem yang berlaku dalam sebuah masyarakat, salah satunya yakni yang menyangkut sistem kekerabatan. Adapun sistem kekerabatan yang berlaku pada setiap kelompok etnis (suku bangsa) menunjukkan berbagai variasi, yang menggambarkan bagaimana jalinan hubungan sosial yang lebih luas. Hal itu, dikarenakan, kerabat merupakan kerangka dasar terbentuknya ikatan sosial yang paling primer, yakni mulai dari keturunan, ikatan perkawinan, sistem pewarisan, sampai sistem religi yang diterapkan berdasarkan ikatan kerabat. Sistem kekerabatan orang Madura menganut garis keturunan bapak. Pola hubungan kekerabatan ini dapat dilihat dari prinsip-prinsip keturunan yang dianut baik secara vertikal maupun horizontal. Namun, jika dilihat dari sistem pewarisan, terutama yang berupa tanah pekarangan dan rumah, terjadi ketidakkonsistenan. Berdasarkan adat yang berlaku, yang berhak mendapatkan rumah dan tanah pekarangan adalah anak perempuan. Itu berarti, pola pemukiman berdasarkan adat Madura adalah matrilokal genealogis. Hal itu tampak pada pola pemukiman ideal yang berlaku di Madura, yang 34
Tabel 2 didapatkan dari Balai Desa Pinggirpapas setempat, pada tanggal 11 Februari 2006
disebut tanean lanjang (berarti ‘‘halaman panjang’’). Jadi, yang dimaksud pola pemukiman tanean lanjang adalah susunan rumah berjajar dari barat ke timur sesuai dengan jumlah anak perempuannya dan di depan rumah tersebut terdapat halaman memanjang yang dijadikan tempat untuk kegiatan bersama. Adapun di bagian ujung paling barat terdapat surau, yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat bersembahyang, tetapi juga dijadikan tempat berkumpul bersama atau untuk menerima tamu.35 Dalam tingkah laku sehari-hari penduduk Desa Pinggirpapas berpegang teguh pada adat istiadat yang berlaku. Kehidupan kemasyarakatan mereka tidak mengenal secara tegas perbedaan-perbedaan golongan atau kasta. Dan setiap orang berhak diakui mempunyai hak yang sama. Batas-batas pergaulan antara warga masyarakat yang satu dengan yang lain tidak dikenal oleh warga Desa ini, kecuali pada tokoh masyarakat seperti halnya para Kyai setempat. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka satu sama lain selalu menjaga dan berusaha untuk berbuat baik, dan karena itu pula penulis merasakan bahwa setiap warga desa yang penulis jumpai selalu bersikap ramah, sopan dan suka menerima tamu yang datang padanya. Dalam hidup bermasyarakat pun bila ada masalah, mereka berusaha menyelesaikan dengan cara bermusyawarah. Landasan dalam masyarakat ini adalah cinta kasih. Hal ini tercermin dalam persiapan pelakasanaan tradisi Nyadar yang dilakukan oleh masyarakat Pinggirpapas. Mulai dari pelaksanaan parembukan (musyawarah) mengenai penetapan waktu pelaksanaan, mengadakan kerjasama dalam mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan seperti menyiapkan kembang sesaji dan nasi tumpeng. Tampak pula di Desa Pinggirpapas suatu pola hidup yang tentram, tenang dan rukun. Dan begitulah kenyataannya yang penulis temui di sana. Kesan adanya hubungan kerja sama, tolong menolong dan gotong royong masih melekat pada jiwa setiap warga masyarakat. Semua hal yang baik ini dilakukan dalam aktivitasnya. Pegangan utama dalam memelihara hubungan antar individu adalah menunjukan rasa hormat kepada yang lebih tua. Masyarakat Pinggirpapas saat ini telah mengalami perubahan budaya menuju arah modernisasai. Yang sangat jelas terlihat perubahannya di bidang teknologi informasi dan peralatan hidup sehari-harinya,
35
Andang Subaharianto, dkk, Tantangan Industrialisasi Madura, h. 81-82
yang biasa memakai alat-alat tradisional diganti dengan alat-alat modern. Misalnya peralatan rumah tangga yang biasanya memasak menggunakan kayu bakar sekarang sudah ada yang menggunakan kompor gas, begitu pula dengan banyaknya masyarakat Pinggirpapas yang telah menggunakan sarana telepon seluler dan media televisi. Dengan adanya kemajuan teknologi tersebut pada akhirnya membentuk perubahan prilaku sesorang, khususnya di kalangan anak remaja. Mereka meniru segala bentuk prilaku yang diadaptasi melalui televisi yang dilihatnya. Baik dari segi meniru gaya bahasa anak modern (bahasa gaul) maupun tren pakaian yang sedang diminati anak remaja umumnya di sana. Bentuk rumah juga telah mengalami perubahan, yang awalnya mayoritas bangunan rumahnya berbentuk tradisional dan berdinding kayu, saat ini telah banyak masyarakat Pinggirpapas membangun rumahnya dengan bentuk rumah yang berarsitektur modern dan bertembok. Adapun alat transportasi yang dimiliki masyarakat Pinggirpapas mayoritas adalah sepeda motor dan sedikitnya ada pula yang memiliki alat transportasi mobil. Mengenai fasilitas umum yang terdapat di desa Pinggirpapas dan besar pengaruhnya terhadap kehidupan bersosialisasi antara warga setempat, dapat dilihat dalam tabel berikut ini : Tabel 3 Fasilitas Umum Desa Pinggirpapas N
Fasilitas Umum
Jumlah Bangunan
o. 1.
Masjid
2 buah
2.
Mushollah/Surau
4 buah
3.
Puskesmas
1 buah
4.
Posyandu
3 buah
Jumlah
10 buah
Sumber: Laporan Potensi Desa Pinggirpapa, tahun 200536
36
Tabel 3 didapatkan dari Balai Desa Pinggirpapas setempat, pada tanggal 11 Februari 2006
Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan kiranya bahwa dalam bidang sosial, tradisi Nyadar mengajarkan akan pentingnya bermusyawarah dan saling bekerjasama atau tolong-menolong. Hal ini tercermin dalam acara perembukan (musyawarah) untuk menetapkan waktu pelaksanaan tradisi Nyadar dan saling bekerjasama atau saling tolong menolong dalam mempersiapkan perlengkapan ritual, seperti : kembang sesaji ataupun nasi tumpeng. Oleh karena itu dengan adanya tradisi Nyadar ini dapat menumbuhkan rasa persaudaraan dan hubungan silaturahmi yang tetap terjalin diantara sesama warga Pinggirpapas khususnya. 2. Bidang Pendidikan Pendidikan secara umum dibagi menjadi dua yaitu pendidikan formal dan pendidikan non formal. Pendidikan formal meliputi pendidikan yang umum dan resmi yaitu TK, TPA, SD, MI, SLTP, dan SLTA. Pendidikan formal sangat penting di jaman modern saat ini untuk kelangsungan hidup agar tidak menjadi masyarakat yang terbelakang (bodoh). Sedangkan pendidikan non formal yaitu pendidikan yang diperoleh dengan mengikuti kursus-kursus, pengajian atau ceramah di mesjid serta membaca buku-buku pengetahuan. Pendidikan formal meskipun sampai ke jenjang perguruan tinggi tidak menjamin seseorang untuk taat dalam menjalankan ibadah. Pengetahuan tentang agama dapat diperoleh dari pendidikan formal dan non formal. Pendidikan masyarakat desa Pinggirpapas saat ini telah mengalami banyak perubahan di mana anakanaknya rata-rata lulusan SMA dan sedikitnya tujuh orang telah lulus dari perguruan tinggi. Hal ini dapat dilihat dalam tabel berikut ini : Tabel 4 Populasi Penduduk berdasarkan tingkat pendidikan N
Pendidikan
Jumlah
1.
Belum sekolah
602 orang
2.
Tamat SD/sederajat
1582 orang
o
3.
Tamat SMP/sederajat
1598 orang
4.
Tamat SMU/sederajat
722 orang
5.
S-1
7 orang
Jumlah
4511 orang
Sumber : Laporan Tingkat Perkembangan Desa Pinggirpapas, tahun 200537 Pendidikan umum pada jaman orang tua dahulu sebagian besar hanya sampai ke tingkat Sekolah Dasar (SD) itupun bagi mereka yang mampu untuk sekolah, tetapi bagi mereka yang tidak mempunyai biaya tidak bisa belajar di pendidikan formal. Dalam hal pendidikan agama masyarakat Pinggirpapas pada jaman orang tua dahulu bisa dikatakan pintar karena mereka lebih mengutamakan ilmu agama dengan belajar pada guru ngaji di banding belajar di sekolah formal, itu sebabnya masyarakat Pinggirpapas mengerti betul tentang ilmu agama untuk diajarkan pada anak-anaknya, mereka menanamkan nilai-nilai Islam dan membimbing anak-anaknya agar bisa baca tulis Al-Quran. Kebiasaan yang selalu menanamkan ilmu pengetahuan agama kepada anak-anak mereka sejak kecil adalah kebiasaan masyarakat Pinggirpapas yang bisa dikategorikan sebagai pendidikan non formal yang telah berjalan secara turun temurun. Jadi dalam hal pendidikan agama lingkungan keluarga sangat dominan sekali dalam pembentukan perilaku keberagamaan masyarakat. Mengenai lembaga pendidikan yang terdapat di desa Pinggirpapas, dapat dilihat dalam tabel berikut ini ; Tabel 5 Sarana Pendidikan di Desa Pinggirpapas N
Lembaga Pendidikan
Jumlah
o 1.
SD /sederajat
2
2.
SLTP/sederajat
−
3.
SMU/sederajat
−
Jumlah
2
Sumber : Laporan Potensi Desa, tahun 200538 37 38
Tabel 4 didapatkan dari Balai Desa Pinggirpapas setempat, pada tanggal 11 Februari 2006 Tabel 5 didapatkan dari Balai Desa Pinggirpapas setempat, pada tanggal 11 Februari 2006
Dengan melihat daftar tabel yang tertera dalam tabel 4, dapat di simpulkan kiranya tingkat pendidikan masyarakat Pinggirpapas cukup mengalami kemajuan. Hal ini dapat di lihat dari daftar tabel 4 yang menyatakan bahwa jumlah yang berpendidikan setingkat tamat SMP, SMU dan S-1 sebanyak 2327 orang lebih tinggi dari jumlah yang berpendidikan setingkat belum sekolah dan tamat SD sebanyak 2184 orang. Dari kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tidak dilandasi iman maka akan goyah, tetapi ada juga dengan ilmu pengetahuan iman seseorang akan menjadi kuat dan lebih mantap dalam menghadapi segala cobaan yang datang dari luar maupun dari dalam, dan bila mempunyai ketahanan agama yang kuat maka ia tidak akan terpengaruh oleh dampak buruk yang datang dari luar. Adapun hubungannya antara tradisi Nyadar dengan dunia pendidikan terletak pada adnya pesan-pesan moril yang terkandung dalam buku/ kitab peninggalan Anggasuta, yakni Layang Jati Suara yang berisikan tentang ajaran untuk selalu berbuat kebajikan terhadap sesama, dan Layang Jati Sampurnaning Sembah. berisikan tentang ajaran untuk selalu menyembah Allah SWT dengan menjalankan ibadah shalat. Namun jika dilihat dari segi pendidikan masyarakat Pinggirpapas yang selalu mengikuti tradisi Nyadar, kebanyakan dari mereka adalah para orang tua yang pendidikannya hanya sampai tingkat Sekolah Dasar. Akan tetapi ada juga anak mudanya yang hanya sekedar bertujuan untuk meramaikan acara ritual tradisi Nyadar tersebut. 3. Bidang Ekonomi Dalam bidang ekonomi penulis membatasi pada masalah mata pencaharian masyarakat Pinggirpapas. Dari hasil pengamatan dan wawancara yang peneliti lakukan terhadap bidang ekonomi, mata pencaharian di Desa Pinggirpapas telah ada sedikit perubahan yang terjadi di mana mata pencaharian masyarakat Pinggirpapas yang awalnya sebagian besar sebagai nelayan dan petani garam, hal ini dapat dilihat dari hasil produksi tiap tahunnya dari kedua mata pencaharian tersebut. Hasil produksi dari kinerja para nelayan berupa tangkapan udang sebesar 1 ton tiap tahunnya, ikan mujair sebesar 5 ton tiap tahunnya, ikan bandeng sebesar 16 ton tiap tahunnya, dan 10.000 ton untuk hasil produksi petani garam. Kini berubah dengan banyaknya berdiri pemukiman-pemukiman yang mempengaruhi mata pencaharian mereka..Sekarang banyak yang beralih profesi menjadi pedagang, wiraswasta maupun pegawai negeri.
Perubahan tersebut diakibatkan pola pikir dan perilaku mereka yang berubah untuk menjadi lebih baik lagi. Berikut ini akan ditunjukkan data mata pencaharian penduduk Desa Pinggirpapas pada tabel 6 : Tabel 6 Mata Pencaharian Warga Desa Pinggirpapas N
Mata Pencaharian
Jumlah
1.
Pengusaha Garam
69 orang
2.
Petani Garam
898 orang
3.
Pedagang
213 orang
4.
PNS
32 orang
5.
Penjahit
21 orang
6.
Montir
8 orang
7.
Supir
12 orang
8.
Karyawan Swasta
17 orang
9.
Buruh Swasta
5 orang
o.
Nelayan
740 orang
10 Kontraktor
4 orang
11 Jumlah
2017 orang
Sumber: Laporan Tingkat Perkembangan Desa Pinggirpapas, tahun 200539 Apabila dibandingkan antara tabel 2 dan tabel 6 di atas, di mana pada tabel 2 dikatakan bahwa jumlah usia produktif sebanyak 2168 orang. Sedangkan pada tabel 6 dikatakan bahwa jumlah populasi menurut mata pencaharian warga setempat sebanyak 2017 orang yang telah bekerja di berbagai profesi dan sisanya sebanyak 151 orang adalah pengangguran. Dari data-data tersebut kiranya dapat disimpulkan bahwa dua mata pencaharian yang banyak digeluti oleh masyarakat Pinggirpapas adalah petani garam dan nelayan. tetapi dari tingkat keberagamaannya masyarakat Pinggirpapas mengalami lemunduran dan
39
Tabel 6 didapatkan dari Balai Desa Pinggirpapas setempat, pada tanggal 11 Februari 2006
penurunan. Hal ini disebabkan mereka yang sudah mulai lalai dan meninggalkan perintah-perintah agama karena mereka terlalu sibuk untuk mencari kebutuhan hidup di dunia. Sehubungan dengan produksi garam sebagai sumber utama masyarakat Pinggirpapas, penghasilan para pengusaha garam khususnya dapat memberi pengaruh pada tingkat pendidikan anak-anak mereka sampai ke perguruan tinggi. Bayangkan saja bila para pengusaha garam mendapatkan penghasilan bersih rata-rata sebesar lebih dari Rp. 20.000.000-25.000.000 dalam sekali panen tiap tahunnya, maka bila dikalkulasikan pendapatan tiap bulannya bisa mencapai Rp. 2.000.000-2.500.000. Hasil ini diperoleh dari hasil garam berkualitas bagus. Apabila seorang pengusaha garam mempunyai tambak garam sebanyak 20 petak, di mana 1 petaknya dapat menghasilkan garam sebanyak 10 ton dan 1 ton garam berkualitas bagus dihargai sebesar Rp. 200.000-250.000, maka hasil garam dari 20 petak tambak garam yang ada sebesar Rp. 40.000.000-50.000.000 dalam sekali panen tiap tahunnya. Hasil ini belum dibagikan kepada para petani garam yang bekerja pada pengusaha garam atau dengan kata lain hasil ini merupakan pendapatan kotornya. Umumnya petani garam diberikan bagian sebanyak 1/3 bagian dari total hasil yang diperoleh. Misalkan saja total hasil pendapatan yang diperoleh sebesar Rp. 40.000.000, maka bagian yang diperoleh oleh petani garam sebesar 10.000.000. hal ini belum dibagikan berapa jumlah petani garam yang dipekerjakan oleh pengusaha garam. Apabila pengusaha garam tersebut mempekerjakan petani garam sebanyak 5 orang, maka masing-masing petani garam mendapatkan bagian sebesar Rp.2.000.000. Hal ini belum ditambahkan dengan usaha lainnya yang dilakukan oleh para pengusaha garam dan petani garam apabila telah masuk musim penghujan, yakni usaha dalam tambak perikanan. Baik itu hasilnya berupa ikan bandeng, ikan teri, udang dan lain sebagainya. 4. Bidang Agama Dalam kenyataannya untuk membuat definisi agama memang tidaklah mudah. Hal ini dikarenakan definisi yang diajukan oleh para ahli tersebut sangat ditentukan oleh sudut pandang dari masing-masing agama dan latar belakangnya. Maka kemudian tidaklah mengherankan jika pada akhirnya timbul bermacam-macam rumusan atau pengertian agama. Meskipun demikian tidak lantas rumusan atau pengertian tentang definisi agama itu menjadi tidak perlu, sebab bagaimanapun definisi itu mengandung suatu makna yang menjiwai hidup keagamaan itu sendiri.
Dalam kamus sosiologi, pengertian agama (religion) mencakup 3 aspek, yakni : Pertama, menyangkut kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat spiritual. Kedua, merupakan seperangkat kepercayaan dan praktek-praktek spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri. Ketiga, ideologi mengenai hal-hal yang bersifat supranatural.3 Agama menurut guru besar Al-Azhar Syaikh Muhammad Abdullah Badran, menggambarkan suatu hubungan antara dua pihak dimana pihak yang pertama mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada yang kedua. Dengan demikian agama merupakan hubungan antara makhluk dan Khalik-nya, hubungan ini kemudian terwujud dalam satu sikap batinnya serta tampak dalam praktek ibadah/ ritual yang dilakukannya untuk kemudian tercermin pula dalam sikap dan perbuatan dalam kesehariannya.4 Dari uraian singkat diatas dapat disimpulkan secara sederhana bahwa agama merupakan seperangkat peraturan atau undang-undang yang dapat mengikat manusia untuk dijadikan pedoman dalam hidupnya. Agama dianut oleh manusia untuk mengatur prikehidupannya di dunia ini agar menjadi teratur dan selaras, sesuai dengan ajaran-ajaran yang ada dalam agama sehingga tidak terjadi kekacauan. Kegiatan keagamaan yang ada di Desa Pinggirpapas terlihat tidak menonjol, yang disebabkan sedikitnya kegiatan keagamaan yang berlangsung di desa ini. Salah satunya adalah Majelis Ta’lim (Pengajian) yang diadakan secara rutin oleh ibu-ibu setiap malam jumat. Pengajian ibu-ibu ini bernama majelis ta’lim “Nurul Jannah” yang beranggotakan sekitar 50 orang. Kegiatan ini dilakukan berguna untuk mempererat tali silaturrahmi dan sebagai sarana interaksi. Selain kelompok ibu-ibu yang mengadakan pengajian, di desa ini terdapat pula pengajian yang dilakukan oleh kelompok anak-anak di usia sekolah, yakni anak yang duduk di bangku sekolah dasar. Kegiatan tersebut dilakukan pada waktu setiap ba’da magrib di langgar/ mushollah yang dekat dengan rumah mereka. Kegiatan tersebut bertujuan agar mereka dapat membiasakan diri untuk belajar membaca Al-quran dan menanamkan nilai-nilai agama sejak dini. Di sini terlihat jelas bahwasannya langgar/ mushollah ataupun masjid sangat berfungsi untuk berlangsungnya kegiatan keagamaan tersebut. Karena masjid atau mushollah selain digunakan untuk 3
Sarjono Soekanto, Kamus sosiologi, ( Jakarta : CV. Rajawali Press, 1993), h. 430 Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran (Fungsi dan Peran dalam Masyarakat), (Bandung: Mizan, 1997), h. 210 4
hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan akhirat, juga dapat digunakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan dunia. Salah satunya adalah dapat menambah Ukhuwah Islamiyah diantara sesama dengan menghadiri kegiatan-kegiatan pengajian yang dilaksanakan di mesjid maupun di mushollah. Menurut bapak Harun Rasyid selaku tokoh agama di Desa Pinggirpapas, pengenalan agama sejak dini sangatlah penting peranannya. Hal ini berhubungan erat dengan fungsi agama sebagai pencegah masuknya pengaruh yang tidak baik, khususnya di kalangan anak muda.5 Menurut O’dea, agama berfungsi sebagai kontrol sosial, dimana para penganut agama sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya terikat batin kepada tuntunan ajaran tersebut, baik secara pribadi maupun kelompok. Ajaran agama dianggap sebagai norma sehingga agama berfungsi sebagai pengawasan sosial secara individu atau kelompok. Karena : 1.
Agama secara instansi merupakan norma bagi pengikutnya.
2.
Agama sebagai dogmatis (ajaran) mempunyai fungsi kritis yang bersifat propetis (Kenabian).6 Menurut Emile Durkheim, agama mempunyai fungsi positif bagi integrasi masyarakat, baik pada tingkat mikro atau tingkat makro. Menurut Durkheim di dalam memahami fungsi agama banyak peristilahan. Ia mengatakan : ” berbagai peribadatan terlihat memiliki fungsi sosial tertentu, peribadatan itu berfungsi untuk mengatur dan memperkokoh dan mentrasmisikan berbagai sentimen, dari satu generasi ke generasi yang lainnya. Sebagai tempat bergantung bagi terbentuknya aturan masyarakat yang bersangkutan”.7 Dengan berbagai teori di atas, dapat disimpulkan bahwa agama memberikan nilai-nilai, hal ini karena kerangka acuannya adalah bersumber pada yang sakral dan absolut dengan adanya sanksi-sanksi yang sakral pula. Ia memiliki kekuatan yang otoritatif dan memaksa, karena di satu sisi manusia berusaha
5
Wawancara Pribadi dengan Bapak Harun Rasyid, “Tokoh Agama”, Pinggirpapas, tanggal 13 Pebruari 2006 6 Thomas F O’dea, Sosiologi Agama Suatu Pengantar Awal,(Jakarta : CV. Rajawali, 1987), h.52 7 Betty R. Scharf, Kajian Sosiologi Agama, Penterjemah : Machmun Husein, (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1995), h. 65
untuk mencapai keinginan-keinginan mereka tetapi di sisi lain mereka harus bisa menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut merupakan standar tingkah laku yang ideal membentuk nilai-nilai sosial.8
8
Scharf, Kajian Sosiologi Agama, Penterjemah : Machmun Husein, h. 65
BAB IV ANALISIS TENTANG TRADISI RITUAL NYADAR
Sebagaimana yang telah penulis uraikan sebelumya, tradisi ritual Nyadar merupakan adat istiadat masyarakat Pinggirpapas yang kerap dilaksanakan sebagai perwujudan rasa syukur atas hasil/ panen garam juga sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa-jasa leluhur mereka, yakni Anggasuto beserta kerabatnya. Adapun hubungannya dengan judul yang terdapat dalam bab ini, penulis akan menguraikan beberapa hal dari hasil penelitian yang telah diperoleh. Hal ini dilakukan guna mendapat kajian isi atau bahasan secara menyeluruh hingga di dapatkan hasil analisis yang telah penulis lakukan. Oleh karena itu penulis akan menguraikannya dalam empat pokok pembahasan berikut ini : A. Sejarah Munculnya Tradisi Ritual Nyadar Setelah penulis mengadakan penelitian langsung ke lapangan, sebagaimana yang dikisahkan oleh Bapak Kasa selaku sesepuh dan Ketua Adat di Desa Pinggirpapas, ritual Nyadar itu tidak diketahui pasti tahun berapa mulai dilaksanakannya tetapi yang jelas Nyadar itu adalah tradisi yang sudah turun temurun mulai dari nenek moyang hingga sekarang dan sudah seperti menjadi sebuah kewajiban bagi masyarakat Pinggirpapas untuk melaksanakannya. Namun dari berbagai cerita yang berkembang di kalangan masyarakat Pinggirpapas, dapat dipastikan bahwa sejarah munculnya tradisi Nyadar bertepatan dengan ditemukannya garam pertama kali oleh Anggasuto. Pada saat itu Anggasuto bermunajat atau memohon kepada Allah SWT, agar diberikan petunjuk bagaimana caranya memberikan sumber kehidupan yang layak bagi rakyatnya. Pada saat itu selain penduduk asli yang tinggal di daerah Pinggirpapas, terdapat pula para pendatang yakni bekas tentara Bali yang diselamatkan oleh Anggasuto sebagai akibat adanya kalah berperang melawan kerajaan Sumenep. Pada saat itu kerajaan Sumenep dipimpin oleh Pangeran Lor dan Pangeran Wetan dari 1562 M-1567 M.1 Dari sini penulis akhirnya mencoba menyimpulkan bahwa munculnya tradisi Nyadar sekitar abad 16. Hal ini bertepatan dengan
1
RB. Ahmad Rifa’ie Agil, Riwayat Singkat Raja-Raja Sumenep dan Peninggalannya, (Sumenep: Oktober 2002), h. 4
terjadinya peristiwa perang antara kerajaan Bali dan kerajaan Sumenep yang ditandai dengan upaya penyelamatan oleh Anggasuto kepada para tentara Bali yang mengalami kekalahan dari pasukan kerajaan Bali. Dan akhirnya para bekas tentara Bali tersebut mendiami daerah Pinggirpapas dengan bimbingan seorang Anggasuto. Menurut bapak Suliman selaku salah satu tokoh pelaksana Nyadar, nama desa Pinggirpapas juga mempunyai makna historis. Menurut cerita beliau nama Pinggirpapas diambil dari sejarah tentara bali yang lari terbirit-birit dan hampir jatuh ke pinggir-pinggir atau pesisir pantai. Kata orang Pinggirpapas menyebutnya dengan istilah “la lare ka penggirna ma tagerpas keya”,yang artinya lari terbirit-birit sampai akhirnya jatuh ke pinggir-pinggirnya pantai. sehingga disingkat dengan nama “Pinggirpapas”.2 Mengenai ditemukannya garam oleh Anggasuto, banyak versi yang membahasnya. Konon, Anggasuto menemukan garam pertama kali melalui ilham yang menyuruhnya berjalan-jalan di pesisir pantai sampai kena air sebatas mata kaki. Seperti halnya kondisi pantai dimanapun, pantai Pinggirpapas dipenuhi pasir dan sedikit berlumpur. Sehingga apabila permukaan pasir itu diinjak maka akan dijumpai lubang-lubang bekas injakan kaki itu. Demikian halnya ketika Anggasuto menunaikan perintah bisikan itu, maka tanah pasir pinggir pantai yang ia lewati terlihat lubang-lubang bekas injakan yang berair. Akan tetapi, anehnya setelah beberapa hari ia lihat kembali, di dalam lubang-lubang bekas injakan itu ternyata ada kristal-kristal garam. Maka ia ceritakan kepada keluarganya bahwa ia telah menyaksikan sebuah kristal-kristal garam dari bekas injakan kakinya di pinggir pantai Pinggirpapas. Dari situlah kemudian ia mengajak keluarganya untuk memperluas dan memperlebar bekas injakan itu, yang pada akhirnya menjadi tambak-tambak garam.40 Versi lain menceritakan bahwa pada saat Anggasuto berjalan-jalan di pantai ia menemukan enam buah kotak yang berisi air laut. Keesokan harinya satu kotak itu mengkristal dan berwarna putih. Hari berikutnya kotak yang kedua mengkristal pula diikuti oleh kotak yang ketiga sampai hari yang keenam. Kristal warna putih itu dinamakan buje (garam) oleh Anggasuto. Dari pengalaman tersebut Anggasuto mencoba membuat talangan bersama-sama rakyatnya. Dia (Anggasuto berkata kalu bulan depan air laut dalam talangan itu bisa jadi garam, dia akan melakukan tasyakuran. Percobaan Anggasuto itu ternyata 2
Wawancara Pribadi dengan Bapak Suliman, “Tokoh Pelaksana Nyadar”, Pinggirpapas, Tanggal 14 Pebruari 2006 40 Aminuddin Kasdi, dkk, Sejarah Pelopor Garam di Sumenep, (Surabaya: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, 2003), h. 10-11
berhyasil dan kemudian diikuti oleh adiknya yang pertama, bernama Kuasa yang juga bernazar kalau bulan depan berikutnya talangan yang ia buat jadi garam, ia akan selamatan bersama-sama dengan seluruh masyarakat. Adik Anggasuto yang perempuan bernama Indusari, istri dari Embah Bangsa, seperti saudaranya ia pun bernazar, kalau garam yang ia buat bulan depan jadi, ia akan melaksanakan nazar di rumah sendiri.41 Merujuk pada uraian ini, maka sebenarnya tradisi Nyadar yang dilakukan oleh masyarakat Pinggirpapas sama halnya dengan nazar yang mengandung arti janji berbuat sesuatu jika niatnya tercapai. Namun dalam pengucapannya atau dialek bahasa orang Madura, khususnya masyarakat Pinggirpapas menyebut tradisi Nazar berubah menjadi Nyadar. Dengan adanya ketiga peristiwa ini, maka tradisi Nyadar atau Nazar dilaksanakan sebanyak tiga kali oleh masyarakat Pinggirpapas hingga sat ini, yakni nazar yang dilakukan oleh Embah anggasuto, Embah Kuasa dan Nyai Indusari (istri Embah Bangsa). Sebagaimana yang telah diceritakan oleh Bapak Mohammad Sadek selaku Kepala Desa Pinggirpapas melalui hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis.42 Namun di balik berbagai cerita tersebut, sesungguhnya terdapat nilai-nilai histories masyarakat Pinggirpapas pada awalnya. Hal ini berkaitan dengan terjadinya perang antara Sumenep dan Bali. Sebagai akibat Raja Bali yang bernama Menakjayengpati tidak mau membayar upeti kepada Sumenep sebelumnya. Pada waktu itu roda pemerintahan Sumenep dikuasai oleh pangeran Lor dan Pangeran Wetan (saudara kembar) yang mengalahkan Bali. Akhirnya bala tentara Bali merasa terdesak oleh kemenangan Sumenep dan mereka melarikan diri ke daerah-daerah terpencil, salah satunya yaitu Pinggirpapas.Di daerah inilah bala tentara Bali bertemu dengan Anggasutoyang melindungi mereka dari kejaran pasukan Sumenep. Hingga pada akhirnya Anggasuto mengislamkan mereka.43 Keberadaan bekas tentara Bali ini semakin menambah populasi jumlah penduduk yang ada di Pinggirpapas. Jumlah penghuni Pinggirpapas yang semakin bertambah membuat Anggasuto berpikir untuk mencari pemecahan bagaimana mereka (penduduk Pinggirpapas) bisa bertahan hidup bila tanpa ada mata pencaharian yang memadai. Penduduk Pinggirpapas yang hidup di pesisir itu hanya mengandalkan hasil tangkapan ikan (pekerjaan nelayan) yang dipandang masih belum mencukupi.
41
Budiyono, Tradisi Nyadar, h. 11-12 Wawancara Pribadi dengan Bapak Mohammad Sadek, “ kepala Desa Pinggirpapas”, Pinggirpapas, tanggal 10 Februari 2006 43 Iskandar Zulkarnain, dkk, Sejarah Sumenep, (Surabaya: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, 2003), h. 73-75 42
Anggasuto sebagai seorang yang memiliki kelebihan, terutama dalam ilmu agama termasuk juga memiliki karamah mencoba memohon kepada Allah SWT, untuk dapat diberi jalan keluar terhadap persoalan hidup masyarakat Pinggirpapas.44 Dan akhirnya penemuan garam menjadi petunjuk sebagai tanda awal kemakmuran masyarakat Pinggirpapas sebagaimana yang telah diceritakan sebelumnya. Mengenai siapakah sebenarnya Anggasuto hingga kini masih dalam perdebatan yang panjang untuk menemukan kebenarannya. Namun menurut cerita yang berkembang di kalangan masyarakat Pinggirpapas umumnya dan sesuai dengan literatur yang penulis temukan menyatakan bahwa Anggasuto sebenarnya adalah Brawijaya V (Raja Majapahit). Beliau melarikan diri ke Madura sesudah ia ditaklukkan oleh Raden Fatah dari Demak. Sebenarnya dikatakan bahwa Brawijaya mengakui bahwa agama yang dibawa oleh Raden Fatah itu merupakan suatu kebenaran, tetapi karena Brawijaya seorang raja, maka ia tidak berani mengakui secara terbuka kebenaran dari agama Islam. Karena ia mengakui ajaran Islam ia menghilang dari kerajaan Majapahit dan hidup sebagai pertapa di Madura dengan nama Syeh Anggasuto. Masyarakat setempat menganggap cerita ini benar sebab dahulu seorang utusan dari kesultanan Yogyakarta mencari sebuah makam yang berundak sebelas. Ternyata dari makam raja-raja yang ada di Indonesia, hanya yang di desa Kebundadap Sumenep ada yang berbentuk demikian. Menurut utusan itu, makam ini merupakan makam Raja Majapahit yang telah menghilan yaitu Brawijaya V.45 Menurut cerita bapak Harun Rasyid selaku tokoh agama di desa ini, ritual Nyadar itu sudah rutin dilaksanakan setiap tahunnya, hanya saja perbedaannya ritual Nyadar pada jaman dahulu dengan ritual Nyadar sekarang terdapat sedikit perbedaan. Karena kurangnya pendidikan masyarakat setempat di jaman dahulu di bidang keagamaan maupun di bidang ilmu pengetahuan, ritual Nyadar pada jaman dahulu dilaksanakan benar-benar hanya memberikan sesajen saja, berbeda dengan sekarang ritual Nyadar dilaksanakan dengan dilengkapi doa-doa khusus dan tujuan-tujuan tertentu.46 Hal ini tentunya tidak terlepas oleh adanya penyebaran agama Islam yang bertepatan dengan dimulainya tradisi Nyadar pada abad ke 16. Sehingga tradisi kepercayaan nilai-nilai animisme dan dinamisme (budaya Hinduisme) yang ada sebelumnya, perlahan-lahan mulai diberikan pengaruh nilai-nilai ajaran Islam (adanya proses Islamisasi). 44
Aminuddin Kasdi, Sejarah Pelopo Garam di Sumenep, h. 9-10 Budiyono, Tradisi Nyadar, h. 9 46 Wawancara Pribadi dengan Bapak Harun Rasyid, “Tokoh Agama”, Pinggirpapas, tanggal 13 Februari 2006 45
Menurut Bapak Kasa salah satu sesepuh sekaligus ketua umum perayaan ritual Nyadar 2006, ritual Nyadar ini pantang sekali untuk dilanggar atau dilewatkan, walaupun kondisi ekonomi masyarakat setempat sedang tidak memungkinkan tetapi yang namanya tradisi atau kebudayaan tetap harus dilaksanakan. Karena menurut beliau di samping untuk mempererat kekerabatan masyarakat Pinggirpapas mengadakan ritual Nyadar juga mempunyai tujuan untuk melestarikan kebudayaan.47 B. Penetapan Waktu dan Praktik Ritual Nyadar 1. Penetapan Waktu Pelaksanaan Nyadar dilaksanakan pada perhitungan bintang antara tanggal 21 Maret dan 21 Juni matahari setiap hari bergeser dari equator menuju ke garis balik utara (23,5 derajat LU). Pada posisi tersebut Bintang Karteka dan Bintang Nanggele terlihat di arah timur. Posisi ini menandai kedatangan musim kemarau yang sangat diharapkan, karena semakin panjang musim kemarau semakin beruntung untuk usaha penggaraman. Kemampuan Anggasuto dalam menentukan musim kemarau ini menunjukkan bahwa Anggasuto mempunyai kemampuan yang memadai tentang astronomi.48 Upacara adat Nyadar di desa Kebundadap barat Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep merupakan upacara yang dilaksanakan secara rutin tiga kali dalam setahun : 1.
Bulan Juli merupakan Nyadar pertama;
2.
Bulan Agustus merupakan Nyadar kedua;
3.
Bulan September merupakan Nyadar ketiga. Dan tanggal pelaksanaannya pun tidak boleh mendahului tanggal 12 Maulid. Hal ini sebagai simbol bahwa peringatan Maulid Nabi harus didahulukan dan mendapat kedudukan yang lebih utama dari peringatan apapun juga. Masyarakat Pinggirpapas umumnya menyebut dengan istilah “Maulid Agung”. Sehingga setelah masyarakat Pinggirpapas memperingati Maulid Agung, maka untuk selanjutnya para tokoh adat atau pemimpin tradisi Nyadar melakukan acara parembukan (musyawarah) untuk menentukan pelaksanaan tradisi Nyadar yang ditandai dengan datangnya musim kemarau. Hari yang
47
Wawancara Pribadi dengan Bapak Kasa,”Ketua Adat Tradisi Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 10 Februari 2006 48 Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, Sekilas Mengenal Upacara Adat Nyadar(Nadzar), (Surabaya: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, 2002), h.1
ditentukan untuk pelaksanaan Upacara Adat Nyadar tersebut adalah Jumat (hari pertama) dan Sabtu (hari kedua).49 Penentuan tanggal adalah tanggung jawab penghulu. Ia melapor kepada ketua adat dan keputusannya disahkan dalam upacara perembukan (musyawarah). Tanggal yang dipilih tidak diumumkan, tetapi pada saat acara perembukan dimulai masyarakat mendengarkan hasil keputusannya secara sembunyisembunyi. Setelah kebenarannya diyakini kemudian disebarkan dari mulut ke mulut.50 2. Praktik Ritual Nyadar Sebelum penulis membahas tentang praktik ritual Nyadar, terlebih dahulu penulis akan membahas tentang beberapa persyaratan khusus sebelum diadakannya ritual tradisi Nyadar dan harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat, yaitu: 1. Ritual tradisi Nyadar tidak boleh mendahului tanggal 12 Maulid; 2.
Nilai selamatan tidak boleh melebihi nilai selamatan peringatan Maulid nabi Muhammad SAW;
3. Biaya untuk ritual tradisi Nyadar harus halal dan bukan didapat dari berhutang; 4. Hubungan suami istri peserta ritual tradisi Nyadar harus rukun lahir dan bathi;. 5.
Peserta Nyadar terlebih dahulu harus mengikuti Maulid Nabi terlebih dahulu. Jika syarat ini dilanggar akan menyebabkan nasi yang dimasak oleh ibu-ibu tersebut tidak akan masak. Dan jika hal ini terjadi maka mereka diharapkan segera menghubungi pemimpin adat yang didampingi oleh seorang penghulu.51 Adapun persiapan tradisi Nyadar diperlukan dua hal pokok yang harus dipersiapkan oleh masyarakat Pinggirpapas, yakni : a. Sesajen Sesajen ini adalah berupa nasi tumpeng yang dimasak pada malam harinya, tepatnya pada jumat malam sekitar pukul 19.00 WIB oleh warga setempat. Setelah nasi tumpeng tersebut matang, nasi 49
Wawancara Pribadi dengan Bapak Harun Rasyid, “Tokoh Adat Tradisi Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 13 Februari 2006 50 Wawancara Pribadi dengan Bapak Kasa, “Tokoh Adat Tradisi Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 10 Februari 2006 51 Departemen Pariwsata dan Kebudayaan, Sekilas MengenalUpacara Adat Nyadar, h. 3
tumpeng tersebut di taruh di atas panjeng.52 Panjeng adalah sebuah piring besar tempat meletakkan nasi yang dihiasi dengan telur dadar yang diiris kecil-kecil diatasnya. Setelah hiasan selesai nasi diberi alas talam besar yang ditutup oleh tanggik.53 Selanjutnya nasi tersebut diletakkan di sekitar komplek pemakaman Anggasuto. Selain nasi tumpeng tersebut, juga ada lima nasi tumpeng yang diletakkan di dalam piring. Piring yang ditempatkan di tengah diberi telur dadar yang utuh dan di dalam tumpeng diletakkan sebutir telur rebus. Hal ini merupakan perwujudan dari alam yang meliputi tiga dimensi, yakni alam bawah, alam atas dan alam antara. Alam bawah adalah alam yang suci dan merupakan zat murni dari keseluruhan. Alam atas adalah kesempurnaan yang abadi dan penuh kedamaian. Alam antara adalah dunia yang penuh dengan nafsu. Anggapan ini mencerminkan ajaran-ajaran sufisme yang juga berpendirian bahwa hanya orang yang suci dapat mendekati Tuhan Yang Maha Suci dan mencapai kesucian diri memerlukan waktu dan usaha.54 Dan Empat piring yang lain diberi telur dadar yang diiris-iris kecilkecil. Keempat tumpeng yang lain merupakan perwujudan dari kekuatan alam dunia. Menurut seorang informan kekuatan itu berasal dari Allah SWT yang dibantu oleh malikat Jibril, israfil, Israil dan Mikail. Begitu pula Nabi Muhammad yang dalam perjuangannya didampingi oleh keempat sahabatnya.55 Setelah selesai upacara sebagian tumpeng tersebut dimakan dan dibagikan kepada keluarga atau orang-orang yang tidak mampu. Sebagian dari tumpeng yang dimakan, disisakan untuk dijadikan karak.56 b.Tajin (Bubur) Tajin atau bubur ini terdiri atas lima warna yaitu putih, merah, hijau, hitam dan kuning. Tajin putih diletakkan di tengah sebagai lambang dari serba bersih. Namun, manusia itu lahir akan dipenuhi oleh segala nafsu yang dilambangkan oleh warna merah. Nafsu itu bisa dikendalikan dengan 52
Panjeng adalah sebuah piring besar yang terbuat dari tanah liat dan besarnya mirip dengan talam (alas besar untuk menaruh makanan diatasnya. 53 Tanggik adalah sebuah alat tutupnya panjeng yang terbuat dari anyaman daun lontar. 54 Wawancara Pribadi dengan Bapak Mohammad Sadin, “Juru Doa Tradisi Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 15 Februari 2006 55 Budiyono, Tradisi Nyadar, h. 26 56 Karak di sini adalah sisa nasi tumpeng yang dikeringkan kemudian dicampurkan dengan nasi yang di masak setiap harinya, guna memindahkan berkahnya dari hasil tradisi Nyadar yang telah dilakukan masyarakat pinngirpapas umumnya.
kesabaran dan kebenaran yang diwakili oleh warna hijau. Bahwa manusia selalu digoda disimbolkan dengan warna hitam, tetapi walaupun begitu manusia dapat membedakan baik dan buruk yang ditandai dengan warna kuning. Dalam mewarnai tajin (bubur) ini, penggunaan zat pewarna dianggap merendahkan martabat seseorang. Warna yang digunakan harus bersifat alami, warna merah dari jagung, warna hijau dari kacang hijau, warna hitam dari ketan hitam dan kuning dari kacang hijau kuning. Keempat warna itu akan selalu mempengaruhi kebersihan warna putih yang berada di tengah, hijau dan kuning menjaganya, sedangkan merah dan hitam merusaknya.57 Kelima warna ini lebih berhubungan dengan pasangan, yakni yang pokok dari tiap tajin (bubur) tersebut adalah bahwa pasangannya tidak boleh berubah. Merah pasti berpasangan dengan hijau, sedangkan warna hitam selalu berpasangan dengan warna kuning. Dan warna putih adalah nilai dasar dari alam itu sendiri.58 Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa ritual nyadar ini dilakukan dalam tiga tahap dalam satu tahun yaitu pada bulan Juli, Agustus dan September sesuai dengan pergeseran bintang yang ditandai dengan datangnya musim kemarau. a. Nyadar Pertama 1. Kegiatan Hari Jumat (Hari Pertama) Kegiatan pada hari Jumat merupakan kegiatan Nyekar (ziarah ke komplek pemakaman Anggasuto) dilakukan pada pukul 16.00 WIB dengan melewati dua jalur; kepala suku dan perangkatnya berjalan kaki begitu pula dengan warga Pinggirpapas atau sekitarnya. Setelah semua kelompok berdasarkan empat tokoh yang mereka kultuskan tersebut sampai di desa Kebundadap, kaum wanitanya mempersiapkan tungku dan bahan-bahan yang akan dimasak pada malam harinya. Saat itu pula masing-masing anggota masyarakat menyerahkan bunga dan bedak kepada penghulu untuk dikumpulkan. Kemudian antara bunga dan bedak tersebut dipisahkan. Bunganya dibawa ke pemakaman untuk ditabur oleh istri-istri penghulu, sesuai dengan masingmasing kelompok. Misalnya dari kelompok keturunan Anggasuto di tabur ke makam Anggasuto dan begitu pun yang lainnya. Penaburan bunga ini diiringi dengan pembakaran kemenyan.
57
Wawancara Pribadi dengan Bapak Mohammad Sadin, “Juru Doa Tradisi Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 15 Februari 2006 58 Budiyono, Tradisi Nyadar, h. 28
Kemudian seorang tokoh agama yakni bapak Harun Rasyid, memimpin pembacaan tahlil. Beberapa saat selanjutnya kembang yang telah dijadikan satu itu diberikan pada peserta untuk kemudian diletakkan di atas makam. Diyakini bahwa siapa yang paling dulu meletakkan bunga tersebut, maka hajat orang itu akan cepat terkabul. Bagi peserta ritual yang telah selesai menaburkan bunga, maka diberi bedak yang telah dicampur air di belakang telnga atau di dahinya. Hal ini untuk menandai bahwa mereka selesai mengikuti upacara dan mereka dari gangguan makhluk halus. Setelah penaburan bunga selesai warga kembali pada kelompok masing-masing dan suami istri mulai mempersiapkan sarana untuk memasak. Baru setelah pukul 19.00 mereka memulai untuk memasak diyakini juga bahwa itu dapat menghindarkan. Sekitar tengah malam nasi masak dan dipindahkan ke tikar untuk didinginkan selanjutnya para suami menatanya di panjeng (semacam piring besar) dan kelengkapannya dalam bentuk tumpeng yang dihiasi dengan telur dadar, ayam goreng dan ikan bandeng. 2. Kegiatan Hari Sabtu Keesokan harinya (Sabtu) merupakan tahapan kedua yang disebut Upacara Kaoman. Pada sekitar pukul 07.00 WIB tumpeng diletakkan di sekitar atau di bawah pohon asem keramat sesuai dengan kelompok masing-masing. Para penghulu kemudian menghitung panjeng menggunakan ilmu kanoragan.59 Hal ini dilakukan untuk mengetahui siapa yang tidak hadir atau melakukan upacara adat Nyadar di rumahnya. Setelah melaporkan kegiatan ini pada pimpinan kemudian pimpinan membawa Kinangan (tempat sirih) dan diletakkan di depan tempat dia duduk. Selanjutnya mulailah pembacaan doa dipimpin oleh seorang penghulu yang di sebut “Juru Doa” yakni bapak Mohammad Sadin. Setelah pembacaan doa selesai sebagian nasi di dalam panjeng dimakan. Sisa nasi dan lauknya dibawa pulang dan diberikan kepada warga yang tidak mampu. Sisa nasi yang dibawa pulang tersebut dikeringkan untuk dijadikan kerak dan dicampurkan sedikit demi sedikit pada nasi setiap kali masak dengan maksud untuk memindahkan barokahnya ke nasi yang dimakan setiap hari. b. Nyadar Kedua Upacara adat Nyadar yang kedua dilaksanakan satu bulan setelah yang pertama, dan bentuk upacaranya tidak jauh berbeda dari yang dilakukan pada upacara pertama. Hanya dalam Upacara adat Nyadar yang kedua ini semua senjata milik anggasuto dikeluarkan dari pasarean (tempat 59
Kanoragan adalah ilmu yang bersifat mistis dan hanya dimiliki oleh seorang penghulu/ Racok Saebu dalam menjalani tugasnya khususnya menghitung panjeng yang ada dalam pelaksanaan tradisi Nyadar.
tinggal) Anggasuto. Hal ini dilakukan bahwa penghormatan terhadap Anggasuto tidak terbatas pada orangnya saja. Senjatanyapun dihormati karena masyarakat Pinggirpapas umumnya merasa bahwa senjata itu mampu melindungi mereka dari kekacauan besar yang sewaktu-waktu melanda tanah leluhur mereka.60 Adapun senjata tersebut terdiri dari abinan (keris) dan kodik perangsang yang diambil oleh juru doa pada hari sabtu sebelum subuh, hal ini dilakukan karena diyakini jika diambil sesudah subuh maka keampuhannya berkurang. Kedua senjata tersebut dibawa ke pintu gerbang komplek pemakaman untuk tetap menjaga keampuhannya. Dan setelah dibacakan doa maka senjata tersebut dikembalikan ke tempatnya semula. c. Nyadar Ketiga Upacara adat nyadar ketiga dilakukan satu bulan kemudian, dengan persyaratan sama dengan Upacara adat Nyadar pertama dan kedua. Adat Nyadar ketiga dilaksanakan di pasarean (rumah atau tempat tinggal) keempat tokoh yang dikultuskan. Dalam Upacara adat nyadar ketiga ini Layang Jati Sampurnaning Sembah dan Layang Jati Suara, dibaca serentak di tiap-tiap pasarean dipimpin oleh dua orang, satu orang membaca dan yang lain mengartikan maknanya. Kegiatan ini dilakukan malam hari sampai menjelang subuh dan seluruh warga duduk dengan tertib mendengarkan isi dan makna itu. Layang Jati Sampurnaning Sembah dan Layang Jati Suara yang dituliskan pada daun lontar dipandang sebagai satu pengetahuan yang dijadikan pedoman oleh Anggasuto dalam berprilaku dan bertindak sebagai seorang hamba Allah. Menurut bapak Mohammad Sadin selaku juru doa pada pelaksanaan tradisi Nyadar yang disebut upacara Kaoman, Layang Jati Sampurnaning Sembah berisi tentang ajaran untuk selalu menyembah Allah SWT yakni dengan mendirikan shalat. Sedangkan Layang Jati Suara berisikan tentang amalan-amalan untuk selalu berbuat baik kepada sesama manusia dan selalu melakukan perintah-Nya dan menjauhi Larangan-Nya.61 Setelah Layang selesai dibaca, juru baca menyatakan kepada penghulu dan ia memberitahukan kepada ketua adat bahwa pembacaan selesai. Upacara adat Nydar ketiga ini terlihat lebih
60
Wawancara Pribadi dengan Bapak ahmad Rizal, “Tokoh Masyarakat”, Pinggirpapas, tanggal 18 Februari 2006 61 Wawancara Pribadi dengan Bapak Mohammad Sadin, “Juru Doa Tradisi Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 15 Februari 2006
memfokuskan pada pesan-pesan rohani yang perlu diketahui dan dipahami oleh masyarakat yang cenderung melaksanakan pesan-pesan tersebut. C. Struktur Kepemimpinan dalam Ritual Tradisi Nyadar. Kepemimpinan upacara Nyadar diatur berdasarkan keturunan keempat tokoh yang dikultuskan. Keempat pemimpin ini mengangkat keturunan dari embah Kuasa sebagai pemimpin utama. Beliau diangkat sebagai pemegang keputusan apabila sesuatu hal terjadi. Walaupun begitu, ini tidak berarti bahwa beliau memiliki kekuasaan mutlak. Tiap keputusan yang diambil tetap dibicarakan dengan pemimpin lain. Hanya keturunan embah Kuasa mematukkan palu mengesahkan keputusan itu. Dan kedudukan pemimpin utam dalam tradisi Nyadar saat ini adalah embah Kasa (keturunan dari embah Kuasa). Dan sebagai wakilnya adalah Bapak Masriyani yang merupakan keturunan dari Anggasuto Keempat pemimpin itu dibantu oleh empat orang penghulu. Atau yang dikenal dengan sebutan Racok Saebu.62 Jabatan penghulu juga berdasarkan keturunan, tetapi apabila salah satu penghulu tidak memiliki keturunan, seorang keluarga dicari melalui persetujuaan dari keempat pemimpin. Penghulu baru dianggap sah apabila sudah dilantik oleh pemimpin utama. Penghulu dilantik setelah upacara Nyadar. Jarak antara waktu pengangkatan dan pelantikan minimal satu tahun. Dalam waktu ini kemampuan calon penghulu diuji, meliputi kemampuan dalam mengendalikan dan mengkoordinasikan warga serta pengujian mental yang meliputi kejujuran dan loyalitasnya terhadap pemimpin adat. Dan kalau ia memenuhi syarat ia dilantik.63 Adapun para tokoh Racok Saebu ini adalah Bapak Sumatra keturunan dari embah Anggasuto, Bapak Sinabar keturunan dari embah Kasa, Bapak Razak keturunan dari Indusari, dan Bapak Karim keturunan dari embah Dukun. Adapun tokoh yang selalu memimpin pembacaan doa dalam tradisi Nyadar terbagi atas dua, yakni: pemimpin doa pada hari Jumat adalah Bapak Harun Rasyid (ditunjuk oleh masyarakat) dan pemimpin doa padahari Sabtu (Upacara Kaoman) adalah Bapak Mohammad Sadin. Sedangkan para tokoh yang bertugas menyiapkan perlengkapan ritual adalah sebagai berikut:
62
Racok Saebu adalah seorang penghulu atau jabatan dalam tradisi Nyadar yang memakai pakaian khusus seperti pakaian para penari kecak (pakaian seribu warna) di Bali. 63 Wawancara Pribadi dengan Bapak Sumatra, “Tokoh Pelaksana Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 17 Februari 2006
1. Bapak Sunarto keturunan dari embah Kuasa, yang bertugas membakar kemenyan sebelum pelaksanaan tradisi Nyadar. 2. Bapak Suliman keturunan dari embah Kuasa, yang bertugas membakar kemenyan sebelum doa dibacakan. 3.
Bapak Hasan, Ibu Sumabiya, Bapak Jamal, dan Bapak Jurasmi keturunan dari Indusari, yang bertugas membawa kembang sebagai perlengkapan ziarah.
4. Bapak Ibrahim dan Misradin keturunan dari embah Dukun, yang bertugas membawa kotak ziarah. 5. Bapak Jatim dan Bapak Hatijah keturunan dari embah Dukun, yang bertugas membawa bedak sebagai perlengkapan ziarah. Dan Bapak Kadir selaku juru kunci pemakaman juga membantu persiapan Nyadar. Ia juga diangkat berdasarkan kemufakatan keempat pemimpin dan penghulu. Untuk juru kunci dimbil seseorang yang bertempat tinggal dekat dengan pemakaman dan masih keturunan waraga Pinggirpapas. Tugasnya selain menyiapkan tempat Nyadar adalah mengawasi pemakaman dan merawatnya. Ia digaji pada saat upacara Nyadar dan kadang kala ada peziarah yang juga memberi sedikit uang, tetapi ia tidak pernah meminta imbalan dari mereka.64 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perbedaan antara tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat di sini adalah terletak pada peranannya dalam kehidupan sosial masyarakat setempat yakni masyarakat Pinggirpapas. Dimana Tokoh agama berperan sebagai seorang tokoh yang berperan dalam mengajarkan ilmu agamanya kepada masyarakat, baik guru ngaji ataupun seseorang yang mempunyai gelar haji atau kyai. Dan tokoh masyarakat adalah seseorang yang mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat setempat, baik itu pejabat desa ataupun seseorang yang disegani karena kedudukannya yang tinggi dalam bidang ekonomi. Sedangkan yang dimaksud dengan kriteria seorang tokoh adat adalah berdasarkan peranannya dalam bidang adat-istiadat yang ada dalam
64
Wawancara Pribadi dengan Bapak Ahmad Rizal, “Tokoh Masyarakat”, Pinggirpapas, tanggal 18 Februari 2006
komunitas sosial tertentu. Baik itu Ketua adat, wakilnya atupun para anggota adat lainnya. Pemerintah sama sekali tidak terlibat dalam pengangkatan pemimpin, penghulu maupun juru doa. D. Dampak atau Pengaruh Tradisi Nyadar Dalam Kehidupan Masyarakat Pinggirpapas Dalam melaksanakan tradisi Nyadar bagi masyarakat Pinggirpapas sebenarnya tidak ada tujuan-tujuan tertentu yang lebih spesifik. Bagi para petani garam khususnya, dengan mengikuti ritual tradisi Nyadar mempunyai manfaat bahwasannya mereka akan selalu ingat atas nikmat Allah SWT yakni hasil panen garam khususnya yang telah diberikan kepada mereka. Dengan demikian ritual tradisi Nyadar ini tidak lebih adalah untuk menyatakan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rizki dan memohon untuk dilipat gandakan pendapatan mereka lewat hasil garam itu untuk tahun yang akan datang. Pengikut ritual tradisi Nyadar ini boleh dilakukan oleh semua kalangan dan warga dari desa lainnya. Baik itu memang warga yang bertempat tinggal di desa atau wilayah lain maupun warga yang bertempat tinggal di desa lain tetapi asli orang Pinggirpapas atau mempunyai garis keturunan orang Pinggirpapas. Bahkan dari kalangan aparat pemerintahan sampai tokoh agama pun sepakat untuk mengikuti upacara ritual Nyadar. Ritual Nyadar ini pun sudah diakui secara jelas bahwa ritual Nyadar adalah acara formal yang sudah terdaftar di Desa yang harus dilaksanakan setiap tahun. Ritual tradisi Nyadar selain memberi manfaat terhadap masyarakat Pinggirpapas untuk menambah rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa juga memberikan pengaruh diantaranya sebagai berikut : 1.
Dalam bidang sosial, tradisi Nyadar memberikan pengaruh pada adanya ikatan sosial yang terjalin antar warga desa Pinggirpapas dan sekitarnya. Secara Sosiologis menurut fitrahnya manusia adalah makhluk yang suka hidup berkelompok dengan pengertian bahwa manusia dalam hidupnya senantiasa memerlukan bantuan orang lain. Untuk itulah kemudian manusia selain sebagai makhluk individu, manusia juga makhluk sosial. Terdorong oleh kedudukannya yang kodrati sebagai makhluk sosial maka manusia tidak dapat hidup seorang diri. Dimanapun manusia berada dia pasti memerlukan orang lain. Durkheim menyebutnya dengan istilah solidaritas sosial, yang terbagi atas solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Ciri khas yang penting dari solidaritas mekanikadalah bahwa solidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentiment, dan sebagainya. Homogenitas serupa itu hanya mungkin kalau pembagian kerja bersifat sangat minim. Berlawanan
dengan itu, solidaritas organik muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas itu didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan itu bertambah sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dalam pembagian pekerjaan.65 Secara terminologi kata “solidaritas” berasal dari bahasa latin “solidus”. Kata ini di pakai dalam sistem sosial yang berhubungan dengan integritas kemasyarakatan melalui kerjasama dan keterlibatan yang satu dengan yang lainnya. Bentuk dari solidaritas dalam kehidupan masyarakat berimplikasi pada kekompakan dan keterikatan dari bagian-bagian yang ada. Dalam istilah Romawi dikatakan bahwa yang dimaksud dengan solidaritas adalah semua untuk masing-masing dan masing-masing untuk semua. Sebagaimana yang terdapat pada tradisi Nyadar, baik dimulai dari acara parembukan (musyawarah) untuk menetapkan waktu pelaksanaan Nyadar, pembagian tugas oleh masing-masing tokoh pelaksana Nyadar ataupun peran ikut serta masyarakat Pinggirpapas dalam tradisi Nyadar, semuanya ini menuntut adanya solidaritas sosial yang utuh dan kuat di antara para tokoh adat setempat dan warga desa Pinggirpapas umumnya. Sehingga hal ini akan meminimalisir terjadinya konflik atau pertentangan antar individu. Konflik terjadi sebagai akibat adanya perbedaan paham dan kepentingan yang sangat mendasar, sehingga menimbulkan adanya jurang pemisah yang mengganjal interaksi sosial di antara mereka yang bertikai tersebut. 2.
Dalam bidang pendidikan, tradisi Nyadar memberikan pengaruh yang cukup penting dalam perkembangan pendidikan masyarakat Pinggirpapas. Khususnya bagi anak-anak dari pengusaha garam yang rata-rata mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya ke Perguruan Tinggi hingga menjadi Sarjana. Hal ini tentunya tidak terlepas dari pendapatan bersih rata-rata para pengusaha garam yang mencapai lebih dari 20 juta/tahunnya. Selain itu mereka memiliki usaha sambilan yang mengandalkan pada keadaan cuaca juga, yakni apabila musim penghujan tiba maka para pengusaha garam beralih kepada usaha atau mengandalkan mata pencaharian tambak ikan, seperti hasil ikan bandeng, ikan teri dan udang.
3.
Dalam bidang ekonomi, tradisi Nyadar berpengaruh pada pendapatan ekonomi dalam usaha penggaraman masyarakat setempat yakni masyarakat Pinggirpapas. Umumnya kesejahteraan yang di dapat dari hasil usaha garam itu lebih banyak dirasakan peranannya bagi keluarga pengusaha garam 65
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Penerjemah Robert M.Z Lawang, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1990), h. 183
dibandingkan para petani garamnya. Bayangkan saja apabila para pengusaha garam memiliki tambaktambak garam umumnya 20 petak, di mana 1 petaknya dapat menghasilkan garam sebanyak 10 ton dan 1 ton garam berkualitas bagus dihargai Rp. 200.000-250.000. Dengan demikian dapat disimpulkan kiranya bahwa penghasilan pengusaha garam itu sekitar Rp. 2.000.000-2.500.000/ petaknya. Berarti apabila pengusaha garam tersebut mempunyai tambak garam sebanyak 20 petak, maka penghasilan seluruhnya yang di peroleh adalah Rp. 40.000.000-50.000.000 dalam sekali panen tiap tahunnya. Sedangkan penghasilan ini masih di sebut dengan penghasilan kotor. Karena penghasilan ini masih perlu diadakan pembagian pendapatan antara pengusaha garam dengan petani garam. Dan umumya pembagian pendapatan ini didasarkan pada kesepakatan yang terjadi antara kedua belah pihak, dimana pengusaha garam mendapatkan bagian yang lebih besar karena sebagai pemilik modal. Sedangkan petani garam mendapatkan bagian yang lebih kecil karena sifatnya hanya sebagai pekerja/ buruh, biasanya mereka mendapatkan bagian sebanyak 1/3 bagian dari total pendapatan yang diperoleh.
4. Dalam bidang agama, tradisi Nyadar memberi pengaruh pada kehidupan kerukunan umat khususnya masyarakat Pinggirpapas yang beragama Islam. Dimana Islam mengajarkan untuk saling tolong-menolong dan memupuk rasa persaudaraan antar sesamanya. Dengan demikian bisa kita lihat arti dari kerukunan yang menurut Mulder, kata “rukun” adalah berada dalam keadaan selaras, tenang, dan tetram tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu untuk saling membantu satu sama lainnya. Kerukunan dalam konteks Mulder, bisa diartikan sebagai sikap toleransi dimana sikap dasar yang memungkinkan sebuah agama berdampingan dengan agama lain ataupun memberikan keleluasaan terhadap kelompok lain.66 5. Dalam bidang budaya, tradisi Nyadar berpengaruh sebagai objek wisata yang dikagumi oleh para wisatawan asing atau para turis.
66
Miels Mulder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1986), h.39
BAB IV ANALISIS TENTANG TRADISI RITUAL NYADAR
Sebagaimana yang telah penulis uraikan sebelumya, tradisi ritual Nyadar merupakan adat istiadat masyarakat Pinggirpapas yang kerap dilaksanakan sebagai perwujudan rasa syukur atas hasil/ panen garam juga sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa-jasa leluhur mereka, yakni Anggasuto beserta kerabatnya. Adapun hubungannya dengan judul yang terdapat dalam bab ini, penulis akan menguraikan beberapa hal dari hasil penelitian yang telah diperoleh. Hal ini dilakukan guna mendapat kajian isi atau bahasan secara menyeluruh hingga di dapatkan hasil analisis yang telah penulis lakukan. Oleh karena itu penulis akan menguraikannya dalam empat pokok pembahasan berikut ini : B. Sejarah Munculnya Tradisi Ritual Nyadar Setelah penulis mengadakan penelitian langsung ke lapangan, sebagaimana yang dikisahkan oleh Bapak Kasa selaku sesepuh dan Ketua Adat di Desa Pinggirpapas, ritual Nyadar itu tidak diketahui pasti tahun berapa mulai dilaksanakannya tetapi yang jelas Nyadar itu adalah tradisi yang sudah turun temurun mulai dari nenek moyang hingga sekarang dan sudah seperti menjadi sebuah kewajiban bagi masyarakat Pinggirpapas untuk melaksanakannya. Namun dari berbagai cerita yang berkembang di kalangan masyarakat Pinggirpapas, dapat dipastikan bahwa sejarah munculnya tradisi Nyadar bertepatan dengan ditemukannya garam pertama kali oleh Anggasuto. Pada saat itu Anggasuto bermunajat atau memohon kepada Allah SWT, agar diberikan petunjuk bagaimana caranya memberikan sumber kehidupan yang layak bagi rakyatnya. Pada saat itu selain penduduk asli yang tinggal di daerah Pinggirpapas, terdapat pula para pendatang yakni bekas tentara Bali yang diselamatkan oleh Anggasuto sebagai akibat adanya kalah berperang melawan kerajaan Sumenep. Pada saat itu kerajaan Sumenep dipimpin oleh Pangeran Lor dan Pangeran Wetan dari 1562 M-1567 M.1 Dari sini penulis akhirnya 1
RB. Ahmad Rifa’ie Agil, Riwayat Singkat Raja-Raja Sumenep dan Peninggalannya, (Sumenep: Oktober 2002), h. 4
mencoba menyimpulkan bahwa munculnya tradisi Nyadar sekitar abad 16. Hal ini bertepatan dengan terjadinya peristiwa perang antara kerajaan Bali dan kerajaan Sumenep yang ditandai dengan upaya penyelamatan oleh Anggasuto kepada para tentara Bali yang mengalami kekalahan dari pasukan kerajaan Bali. Dan akhirnya para bekas tentara Bali tersebut mendiami daerah Pinggirpapas dengan bimbingan seorang Anggasuto. Menurut bapak Suliman selaku salah satu tokoh pelaksana Nyadar, nama desa Pinggirpapas juga mempunyai makna historis. Menurut cerita beliau nama Pinggirpapas diambil dari sejarah tentara bali yang lari terbirit-birit dan hampir jatuh ke pinggir-pinggir atau pesisir pantai. Kata orang Pinggirpapas menyebutnya dengan istilah “la lare ka penggirna ma tagerpas keya”,yang artinya lari terbirit-birit sampai akhirnya jatuh ke pinggir-pinggirnya pantai. sehingga disingkat dengan nama “Pinggirpapas”.2 Mengenai ditemukannya garam oleh Anggasuto, banyak versi yang membahasnya. Konon, Anggasuto menemukan garam pertama kali melalui ilham yang menyuruhnya berjalan-jalan di pesisir pantai sampai kena air sebatas mata kaki. Seperti halnya kondisi pantai dimanapun, pantai Pinggirpapas dipenuhi pasir dan sedikit berlumpur. Sehingga apabila permukaan pasir itu diinjak maka akan dijumpai lubang-lubang bekas injakan kaki itu. Demikian halnya ketika Anggasuto menunaikan perintah bisikan itu, maka tanah pasir pinggir pantai yang ia lewati terlihat lubang-lubang bekas injakan yang berair. Akan tetapi, anehnya setelah beberapa hari ia lihat kembali, di dalam lubang-lubang bekas injakan itu ternyata ada kristal-kristal garam. Maka ia ceritakan kepada keluarganya bahwa ia telah menyaksikan sebuah kristal-kristal garam dari bekas injakan kakinya di pinggir pantai Pinggirpapas. Dari situlah kemudian ia mengajak keluarganya untuk memperluas dan memperlebar bekas injakan itu, yang pada akhirnya menjadi tambak-tambak garam.67 Versi lain menceritakan bahwa pada saat Anggasuto berjalan-jalan di pantai ia menemukan enam buah kotak yang berisi air laut. Keesokan harinya satu kotak itu mengkristal dan berwarna putih. Hari berikutnya kotak yang kedua mengkristal pula diikuti oleh kotak yang ketiga sampai hari yang keenam. Kristal warna putih itu dinamakan buje (garam) oleh Anggasuto. Dari pengalaman tersebut Anggasuto mencoba membuat talangan bersama-sama rakyatnya. Dia (Anggasuto berkata kalu bulan depan air laut 2
Wawancara Pribadi dengan Bapak Suliman, “Tokoh Pelaksana Nyadar”, Pinggirpapas, Tanggal 14 Pebruari 2006 67 Aminuddin Kasdi, dkk, Sejarah Pelopor Garam di Sumenep, (Surabaya: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, 2003), h. 10-11
dalam talangan itu bisa jadi garam, dia akan melakukan tasyakuran. Percobaan Anggasuto itu ternyata berhyasil dan kemudian diikuti oleh adiknya yang pertama, bernama Kuasa yang juga bernazar kalau bulan depan berikutnya talangan yang ia buat jadi garam, ia akan selamatan bersama-sama dengan seluruh masyarakat. Adik Anggasuto yang perempuan bernama Indusari, istri dari Embah Bangsa, seperti saudaranya ia pun bernazar, kalau garam yang ia buat bulan depan jadi, ia akan melaksanakan nazar di rumah sendiri.68 Merujuk pada uraian ini, maka sebenarnya tradisi Nyadar yang dilakukan oleh masyarakat Pinggirpapas sama halnya dengan nazar yang mengandung arti janji berbuat sesuatu jika niatnya tercapai. Namun dalam pengucapannya atau dialek bahasa orang Madura, khususnya masyarakat Pinggirpapas menyebut tradisi Nazar berubah menjadi Nyadar. Dengan adanya ketiga peristiwa ini, maka tradisi Nyadar atau Nazar dilaksanakan sebanyak tiga kali oleh masyarakat Pinggirpapas hingga sat ini, yakni nazar yang dilakukan oleh Embah anggasuto, Embah Kuasa dan Nyai Indusari (istri Embah Bangsa). Sebagaimana yang telah diceritakan oleh Bapak Mohammad Sadek selaku Kepala Desa Pinggirpapas melalui hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis.69 Namun di balik berbagai cerita tersebut, sesungguhnya terdapat nilai-nilai histories masyarakat Pinggirpapas pada awalnya. Hal ini berkaitan dengan terjadinya perang antara Sumenep dan Bali. Sebagai akibat Raja Bali yang bernama Menakjayengpati tidak mau membayar upeti kepada Sumenep sebelumnya. Pada waktu itu roda pemerintahan Sumenep dikuasai oleh pangeran Lor dan Pangeran Wetan (saudara kembar) yang mengalahkan Bali. Akhirnya bala tentara Bali merasa terdesak oleh kemenangan Sumenep dan mereka melarikan diri ke daerah-daerah terpencil, salah satunya yaitu Pinggirpapas.Di daerah inilah bala tentara Bali bertemu dengan Anggasutoyang melindungi mereka dari kejaran pasukan Sumenep. Hingga pada akhirnya Anggasuto mengislamkan mereka.70 Keberadaan bekas tentara Bali ini semakin menambah populasi jumlah penduduk yang ada di Pinggirpapas. Jumlah penghuni Pinggirpapas yang semakin bertambah membuat Anggasuto berpikir untuk mencari pemecahan bagaimana mereka (penduduk Pinggirpapas) bisa bertahan hidup bila tanpa ada mata pencaharian yang memadai. Penduduk Pinggirpapas yang hidup di pesisir itu hanya 68
Budiyono, Tradisi Nyadar, h. 11-12 Wawancara Pribadi dengan Bapak Mohammad Sadek, “ kepala Desa Pinggirpapas”, Pinggirpapas, tanggal 10 Februari 2006 70 Iskandar Zulkarnain, dkk, Sejarah Sumenep, (Surabaya: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, 2003), h. 73-75 69
mengandalkan hasil tangkapan ikan (pekerjaan nelayan) yang dipandang masih belum mencukupi. Anggasuto sebagai seorang yang memiliki kelebihan, terutama dalam ilmu agama termasuk juga memiliki karamah mencoba memohon kepada Allah SWT, untuk dapat diberi jalan keluar terhadap persoalan hidup masyarakat Pinggirpapas.71 Dan akhirnya penemuan garam menjadi petunjuk sebagai tanda awal kemakmuran masyarakat Pinggirpapas sebagaimana yang telah diceritakan sebelumnya. Mengenai siapakah sebenarnya Anggasuto hingga kini masih dalam perdebatan yang panjang untuk menemukan kebenarannya. Namun menurut cerita yang berkembang di kalangan masyarakat Pinggirpapas umumnya dan sesuai dengan literatur yang penulis temukan menyatakan bahwa Anggasuto sebenarnya adalah Brawijaya V (Raja Majapahit). Beliau melarikan diri ke Madura sesudah ia ditaklukkan oleh Raden Fatah dari Demak. Sebenarnya dikatakan bahwa Brawijaya mengakui bahwa agama yang dibawa oleh Raden Fatah itu merupakan suatu kebenaran, tetapi karena Brawijaya seorang raja, maka ia tidak berani mengakui secara terbuka kebenaran dari agama Islam. Karena ia mengakui ajaran Islam ia menghilang dari kerajaan Majapahit dan hidup sebagai pertapa di Madura dengan nama Syeh Anggasuto. Masyarakat setempat menganggap cerita ini benar sebab dahulu seorang utusan dari kesultanan Yogyakarta mencari sebuah makam yang berundak sebelas. Ternyata dari makam raja-raja yang ada di Indonesia, hanya yang di desa Kebundadap Sumenep ada yang berbentuk demikian. Menurut utusan itu, makam ini merupakan makam Raja Majapahit yang telah menghilan yaitu Brawijaya V.72 Menurut cerita bapak Harun Rasyid selaku tokoh agama di desa ini, ritual Nyadar itu sudah rutin dilaksanakan setiap tahunnya, hanya saja perbedaannya ritual Nyadar pada jaman dahulu dengan ritual Nyadar sekarang terdapat sedikit perbedaan. Karena kurangnya pendidikan masyarakat setempat di jaman dahulu di bidang keagamaan maupun di bidang ilmu pengetahuan, ritual Nyadar pada jaman dahulu dilaksanakan benar-benar hanya memberikan sesajen saja, berbeda dengan sekarang ritual Nyadar dilaksanakan dengan dilengkapi doa-doa khusus dan tujuan-tujuan tertentu.73 Hal ini tentunya tidak terlepas oleh adanya penyebaran agama Islam yang bertepatan dengan dimulainya tradisi Nyadar pada abad ke 16. Sehingga tradisi kepercayaan nilai-nilai animisme dan dinamisme (budaya Hinduisme)
71
Aminuddin Kasdi, Sejarah Pelopo Garam di Sumenep, h. 9-10 Budiyono, Tradisi Nyadar, h. 9 73 Wawancara Pribadi dengan Bapak Harun Rasyid, “Tokoh Agama”, Pinggirpapas, tanggal 13 Februari 2006 72
yang ada sebelumnya, perlahan-lahan mulai diberikan pengaruh nilai-nilai ajaran Islam (adanya proses Islamisasi). Menurut Bapak Kasa salah satu sesepuh sekaligus ketua umum perayaan ritual Nyadar 2006, ritual Nyadar ini pantang sekali untuk dilanggar atau dilewatkan, walaupun kondisi ekonomi masyarakat setempat sedang tidak memungkinkan tetapi yang namanya tradisi atau kebudayaan tetap harus dilaksanakan. Karena menurut beliau di samping untuk mempererat kekerabatan masyarakat Pinggirpapas mengadakan ritual Nyadar juga mempunyai tujuan untuk melestarikan kebudayaan.74 B. Penetapan Waktu dan Praktik Ritual Nyadar 1. Penetapan Waktu Pelaksanaan Nyadar dilaksanakan pada perhitungan bintang antara tanggal 21 Maret dan 21 Juni matahari setiap hari bergeser dari equator menuju ke garis balik utara (23,5 derajat LU). Pada posisi tersebut Bintang Karteka dan Bintang Nanggele terlihat di arah timur. Posisi ini menandai kedatangan musim kemarau yang sangat diharapkan, karena semakin panjang musim kemarau semakin beruntung untuk usaha penggaraman. Kemampuan Anggasuto dalam menentukan musim kemarau ini menunjukkan bahwa Anggasuto mempunyai kemampuan yang memadai tentang astronomi.75 Upacara adat Nyadar di desa Kebundadap barat Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep merupakan upacara yang dilaksanakan secara rutin tiga kali dalam setahun : 4.
Bulan Juli merupakan Nyadar pertama;
5.
Bulan Agustus merupakan Nyadar kedua;
6.
Bulan September merupakan Nyadar ketiga. Dan tanggal pelaksanaannya pun tidak boleh mendahului tanggal 12 Maulid. Hal ini sebagai simbol bahwa peringatan Maulid Nabi harus didahulukan dan mendapat kedudukan yang lebih utama dari peringatan apapun juga. Masyarakat Pinggirpapas umumnya menyebut dengan istilah “Maulid Agung”. Sehingga setelah masyarakat Pinggirpapas memperingati Maulid Agung, maka untuk selanjutnya para tokoh adat atau pemimpin tradisi Nyadar melakukan acara parembukan (musyawarah) untuk 74
Wawancara Pribadi dengan Bapak Kasa,”Ketua Adat Tradisi Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 10 Februari 2006 75 Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, Sekilas Mengenal Upacara Adat Nyadar(Nadzar), (Surabaya: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, 2002), h.1
menentukan pelaksanaan tradisi Nyadar yang ditandai dengan datangnya musim kemarau. Hari yang ditentukan untuk pelaksanaan Upacara Adat Nyadar tersebut adalah Jumat (hari pertama) dan Sabtu (hari kedua).76 Penentuan tanggal adalah tanggung jawab penghulu. Ia melapor kepada ketua adat dan keputusannya disahkan dalam upacara perembukan (musyawarah). Tanggal yang dipilih tidak diumumkan, tetapi pada saat acara perembukan dimulai masyarakat mendengarkan hasil keputusannya secara sembunyisembunyi. Setelah kebenarannya diyakini kemudian disebarkan dari mulut ke mulut.77 2. Praktik Ritual Nyadar Sebelum penulis membahas tentang praktik ritual Nyadar, terlebih dahulu penulis akan membahas tentang beberapa persyaratan khusus sebelum diadakannya ritual tradisi Nyadar dan harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat, yaitu: 1. Ritual tradisi Nyadar tidak boleh mendahului tanggal 12 Maulid; 2.
Nilai selamatan tidak boleh melebihi nilai selamatan peringatan Maulid nabi Muhammad SAW;
3. Biaya untuk ritual tradisi Nyadar harus halal dan bukan didapat dari berhutang; 4. Hubungan suami istri peserta ritual tradisi Nyadar harus rukun lahir dan bathi;. 5.
Peserta Nyadar terlebih dahulu harus mengikuti Maulid Nabi terlebih dahulu. Jika syarat ini dilanggar akan menyebabkan nasi yang dimasak oleh ibu-ibu tersebut tidak akan masak. Dan jika hal ini terjadi maka mereka diharapkan segera menghubungi pemimpin adat yang didampingi oleh seorang penghulu.78 Adapun persiapan tradisi Nyadar diperlukan dua hal pokok yang harus dipersiapkan oleh masyarakat Pinggirpapas, yakni : a. Sesajen
76
Wawancara Pribadi dengan Bapak Harun Rasyid, “Tokoh Adat Tradisi Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 13 Februari 2006 77 Wawancara Pribadi dengan Bapak Kasa, “Tokoh Adat Tradisi Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 10 Februari 2006 78 Departemen Pariwsata dan Kebudayaan, Sekilas MengenalUpacara Adat Nyadar, h. 3
Sesajen ini adalah berupa nasi tumpeng yang dimasak pada malam harinya, tepatnya pada jumat malam sekitar pukul 19.00 WIB oleh warga setempat. Setelah nasi tumpeng tersebut matang, nasi tumpeng tersebut di taruh di atas panjeng.79 Panjeng adalah sebuah piring besar tempat meletakkan nasi yang dihiasi dengan telur dadar yang diiris kecil-kecil diatasnya. Setelah hiasan selesai nasi diberi alas talam besar yang ditutup oleh tanggik.80 Selanjutnya nasi tersebut diletakkan di sekitar komplek pemakaman Anggasuto. Selain nasi tumpeng tersebut, juga ada lima nasi tumpeng yang diletakkan di dalam piring. Piring yang ditempatkan di tengah diberi telur dadar yang utuh dan di dalam tumpeng diletakkan sebutir telur rebus. Hal ini merupakan perwujudan dari alam yang meliputi tiga dimensi, yakni alam bawah, alam atas dan alam antara. Alam bawah adalah alam yang suci dan merupakan zat murni dari keseluruhan. Alam atas adalah kesempurnaan yang abadi dan penuh kedamaian. Alam antara adalah dunia yang penuh dengan nafsu. Anggapan ini mencerminkan ajaran-ajaran sufisme yang juga berpendirian bahwa hanya orang yang suci dapat mendekati Tuhan Yang Maha Suci dan mencapai kesucian diri memerlukan waktu dan usaha.81 Dan Empat piring yang lain diberi telur dadar yang diiris-iris kecilkecil. Keempat tumpeng yang lain merupakan perwujudan dari kekuatan alam dunia. Menurut seorang informan kekuatan itu berasal dari Allah SWT yang dibantu oleh malikat Jibril, israfil, Israil dan Mikail. Begitu pula Nabi Muhammad yang dalam perjuangannya didampingi oleh keempat sahabatnya.82 Setelah selesai upacara sebagian tumpeng tersebut dimakan dan dibagikan kepada keluarga atau orang-orang yang tidak mampu. Sebagian dari tumpeng yang dimakan, disisakan untuk dijadikan karak.83 b.Tajin (Bubur)
79
Panjeng adalah sebuah piring besar yang terbuat dari tanah liat dan besarnya mirip dengan talam (alas besar untuk menaruh makanan diatasnya. 80 Tanggik adalah sebuah alat tutupnya panjeng yang terbuat dari anyaman daun lontar. 81 Wawancara Pribadi dengan Bapak Mohammad Sadin, “Juru Doa Tradisi Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 15 Februari 2006 82 Budiyono, Tradisi Nyadar, h. 26 83 Karak di sini adalah sisa nasi tumpeng yang dikeringkan kemudian dicampurkan dengan nasi yang di masak setiap harinya, guna memindahkan berkahnya dari hasil tradisi Nyadar yang telah dilakukan masyarakat pinngirpapas umumnya.
Tajin atau bubur ini terdiri atas lima warna yaitu putih, merah, hijau, hitam dan kuning. Tajin putih diletakkan di tengah sebagai lambang dari serba bersih. Namun, manusia itu lahir akan dipenuhi oleh segala nafsu yang dilambangkan oleh warna merah. Nafsu itu bisa dikendalikan dengan kesabaran dan kebenaran yang diwakili oleh warna hijau. Bahwa manusia selalu digoda disimbolkan dengan warna hitam, tetapi walaupun begitu manusia dapat membedakan baik dan buruk yang ditandai dengan warna kuning. Dalam mewarnai tajin (bubur) ini, penggunaan zat pewarna dianggap merendahkan martabat seseorang. Warna yang digunakan harus bersifat alami, warna merah dari jagung, warna hijau dari kacang hijau, warna hitam dari ketan hitam dan kuning dari kacang hijau kuning. Keempat warna itu akan selalu mempengaruhi kebersihan warna putih yang berada di tengah, hijau dan kuning menjaganya, sedangkan merah dan hitam merusaknya.84 Kelima warna ini lebih berhubungan dengan pasangan, yakni yang pokok dari tiap tajin (bubur) tersebut adalah bahwa pasangannya tidak boleh berubah. Merah pasti berpasangan dengan hijau, sedangkan warna hitam selalu berpasangan dengan warna kuning. Dan warna putih adalah nilai dasar dari alam itu sendiri.85 Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa ritual nyadar ini dilakukan dalam tiga tahap dalam satu tahun yaitu pada bulan Juli, Agustus dan September sesuai dengan pergeseran bintang yang ditandai dengan datangnya musim kemarau. a. Nyadar Pertama 1. Kegiatan Hari Jumat (Hari Pertama) Kegiatan pada hari Jumat merupakan kegiatan Nyekar (ziarah ke komplek pemakaman Anggasuto) dilakukan pada pukul 16.00 WIB dengan melewati dua jalur; kepala suku dan perangkatnya berjalan kaki begitu pula dengan warga Pinggirpapas atau sekitarnya. Setelah semua kelompok berdasarkan empat tokoh yang mereka kultuskan tersebut sampai di desa Kebundadap, kaum wanitanya mempersiapkan tungku dan bahan-bahan yang akan dimasak pada malam harinya. Saat itu pula masing-masing anggota masyarakat menyerahkan bunga dan bedak kepada penghulu untuk dikumpulkan. Kemudian antara bunga dan bedak tersebut dipisahkan. Bunganya dibawa ke pemakaman untuk ditabur oleh istri-istri penghulu, sesuai dengan masing84
Wawancara Pribadi dengan Bapak Mohammad Sadin, “Juru Doa Tradisi Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 15 Februari 2006 85 Budiyono, Tradisi Nyadar, h. 28
masing kelompok. Misalnya dari kelompok keturunan Anggasuto di tabur ke makam Anggasuto dan begitu pun yang lainnya. Penaburan bunga ini diiringi dengan pembakaran kemenyan. Kemudian seorang tokoh agama yakni bapak Harun Rasyid, memimpin pembacaan tahlil. Beberapa saat selanjutnya kembang yang telah dijadikan satu itu diberikan pada peserta untuk kemudian diletakkan di atas makam. Diyakini bahwa siapa yang paling dulu meletakkan bunga tersebut, maka hajat orang itu akan cepat terkabul. Bagi peserta ritual yang telah selesai menaburkan bunga, maka diberi bedak yang telah dicampur air di belakang telnga atau di dahinya. Hal ini untuk menandai bahwa mereka selesai mengikuti upacara dan mereka dari gangguan makhluk halus. Setelah penaburan bunga selesai warga kembali pada kelompok masing-masing dan suami istri mulai mempersiapkan sarana untuk memasak. Baru setelah pukul 19.00 mereka memulai untuk memasak diyakini juga bahwa itu dapat menghindarkan. Sekitar tengah malam nasi masak dan dipindahkan ke tikar untuk didinginkan selanjutnya para suami menatanya di panjeng (semacam piring besar) dan kelengkapannya dalam bentuk tumpeng yang dihiasi dengan telur dadar, ayam goreng dan ikan bandeng. 2. Kegiatan Hari Sabtu Keesokan harinya (Sabtu) merupakan tahapan kedua yang disebut Upacara Kaoman. Pada sekitar pukul 07.00 WIB tumpeng diletakkan di sekitar atau di bawah pohon asem keramat sesuai dengan kelompok masing-masing. Para penghulu kemudian menghitung panjeng menggunakan ilmu kanoragan.86 Hal ini dilakukan untuk mengetahui siapa yang tidak hadir atau melakukan upacara adat Nyadar di rumahnya. Setelah melaporkan kegiatan ini pada pimpinan kemudian pimpinan membawa Kinangan (tempat sirih) dan diletakkan di depan tempat dia duduk. Selanjutnya mulailah pembacaan doa dipimpin oleh seorang penghulu yang di sebut “Juru Doa” yakni bapak Mohammad Sadin. Setelah pembacaan doa selesai sebagian nasi di dalam panjeng dimakan. Sisa nasi dan lauknya dibawa pulang dan diberikan kepada warga yang tidak mampu. Sisa nasi yang dibawa pulang tersebut dikeringkan untuk dijadikan kerak dan dicampurkan sedikit demi sedikit pada nasi setiap kali masak dengan maksud untuk memindahkan barokahnya ke nasi yang dimakan setiap hari. b. Nyadar Kedua
86
Kanoragan adalah ilmu yang bersifat mistis dan hanya dimiliki oleh seorang penghulu/ Racok Saebu dalam menjalani tugasnya khususnya menghitung panjeng yang ada dalam pelaksanaan tradisi Nyadar.
Upacara adat Nyadar yang kedua dilaksanakan satu bulan setelah yang pertama, dan bentuk upacaranya tidak jauh berbeda dari yang dilakukan pada upacara pertama. Hanya dalam Upacara adat Nyadar yang kedua ini semua senjata milik anggasuto dikeluarkan dari pasarean (tempat tinggal) Anggasuto. Hal ini dilakukan bahwa penghormatan terhadap Anggasuto tidak terbatas pada orangnya saja. Senjatanyapun dihormati karena masyarakat Pinggirpapas umumnya merasa bahwa senjata itu mampu melindungi mereka dari kekacauan besar yang sewaktu-waktu melanda tanah leluhur mereka.87 Adapun senjata tersebut terdiri dari abinan (keris) dan kodik perangsang yang diambil oleh juru doa pada hari sabtu sebelum subuh, hal ini dilakukan karena diyakini jika diambil sesudah subuh maka keampuhannya berkurang. Kedua senjata tersebut dibawa ke pintu gerbang komplek pemakaman untuk tetap menjaga keampuhannya. Dan setelah dibacakan doa maka senjata tersebut dikembalikan ke tempatnya semula. c. Nyadar Ketiga Upacara adat nyadar ketiga dilakukan satu bulan kemudian, dengan persyaratan sama dengan Upacara adat Nyadar pertama dan kedua. Adat Nyadar ketiga dilaksanakan di pasarean (rumah atau tempat tinggal) keempat tokoh yang dikultuskan. Dalam Upacara adat nyadar ketiga ini Layang Jati Sampurnaning Sembah dan Layang Jati Suara, dibaca serentak di tiap-tiap pasarean dipimpin oleh dua orang, satu orang membaca dan yang lain mengartikan maknanya. Kegiatan ini dilakukan malam hari sampai menjelang subuh dan seluruh warga duduk dengan tertib mendengarkan isi dan makna itu. Layang Jati Sampurnaning Sembah dan Layang Jati Suara yang dituliskan pada daun lontar dipandang sebagai satu pengetahuan yang dijadikan pedoman oleh Anggasuto dalam berprilaku dan bertindak sebagai seorang hamba Allah. Menurut bapak Mohammad Sadin selaku juru doa pada pelaksanaan tradisi Nyadar yang disebut upacara Kaoman, Layang Jati Sampurnaning Sembah berisi tentang ajaran untuk selalu menyembah Allah SWT yakni dengan mendirikan shalat. Sedangkan
87
Wawancara Pribadi dengan Bapak ahmad Rizal, “Tokoh Masyarakat”, Pinggirpapas, tanggal 18 Februari 2006
Layang Jati Suara berisikan tentang amalan-amalan untuk selalu berbuat baik kepada sesama manusia dan selalu melakukan perintah-Nya dan menjauhi Larangan-Nya.88 Setelah Layang selesai dibaca, juru baca menyatakan kepada penghulu dan ia memberitahukan kepada ketua adat bahwa pembacaan selesai. Upacara adat Nydar ketiga ini terlihat lebih memfokuskan pada pesan-pesan rohani yang perlu diketahui dan dipahami oleh masyarakat yang cenderung melaksanakan pesan-pesan tersebut. C. Struktur Kepemimpinan dalam Ritual Tradisi Nyadar. Kepemimpinan upacara Nyadar diatur berdasarkan keturunan keempat tokoh yang dikultuskan. Keempat pemimpin ini mengangkat keturunan dari embah Kuasa sebagai pemimpin utama. Beliau diangkat sebagai pemegang keputusan apabila sesuatu hal terjadi. Walaupun begitu, ini tidak berarti bahwa beliau memiliki kekuasaan mutlak. Tiap keputusan yang diambil tetap dibicarakan dengan pemimpin lain. Hanya keturunan embah Kuasa mematukkan palu mengesahkan keputusan itu. Dan kedudukan pemimpin utam dalam tradisi Nyadar saat ini adalah embah Kasa (keturunan dari embah Kuasa). Dan sebagai wakilnya adalah Bapak Masriyani yang merupakan keturunan dari Anggasuto Keempat pemimpin itu dibantu oleh empat orang penghulu. Atau yang dikenal dengan sebutan Racok Saebu.89 Jabatan penghulu juga berdasarkan keturunan, tetapi apabila salah satu penghulu tidak memiliki keturunan, seorang keluarga dicari melalui persetujuaan dari keempat pemimpin. Penghulu baru dianggap sah apabila sudah dilantik oleh pemimpin utama. Penghulu dilantik setelah upacara Nyadar. Jarak antara waktu pengangkatan dan pelantikan minimal satu tahun. Dalam waktu ini kemampuan calon penghulu diuji, meliputi kemampuan dalam mengendalikan dan mengkoordinasikan warga serta pengujian mental yang meliputi kejujuran dan loyalitasnya terhadap pemimpin adat. Dan kalau ia memenuhi syarat ia dilantik.90 Adapun para tokoh Racok Saebu ini adalah Bapak Sumatra keturunan dari embah Anggasuto, Bapak Sinabar keturunan dari embah Kasa, Bapak Razak keturunan dari Indusari, dan Bapak Karim keturunan dari embah Dukun.
88
Wawancara Pribadi dengan Bapak Mohammad Sadin, “Juru Doa Tradisi Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 15 Februari 2006 89 Racok Saebu adalah seorang penghulu atau jabatan dalam tradisi Nyadar yang memakai pakaian khusus seperti pakaian para penari kecak (pakaian seribu warna) di Bali. 90 Wawancara Pribadi dengan Bapak Sumatra, “Tokoh Pelaksana Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 17 Februari 2006
Adapun tokoh yang selalu memimpin pembacaan doa dalam tradisi Nyadar terbagi atas dua, yakni: pemimpin doa pada hari Jumat adalah Bapak Harun Rasyid (ditunjuk oleh masyarakat) dan pemimpin doa padahari Sabtu (Upacara Kaoman) adalah Bapak Mohammad Sadin. Sedangkan para tokoh yang bertugas menyiapkan perlengkapan ritual adalah sebagai berikut: 1. Bapak Sunarto keturunan dari embah Kuasa, yang bertugas membakar kemenyan sebelum pelaksanaan tradisi Nyadar. 2. Bapak Suliman keturunan dari embah Kuasa, yang bertugas membakar kemenyan sebelum doa dibacakan. 3.
Bapak Hasan, Ibu Sumabiya, Bapak Jamal, dan Bapak Jurasmi keturunan dari Indusari, yang bertugas membawa kembang sebagai perlengkapan ziarah.
4. Bapak Ibrahim dan Misradin keturunan dari embah Dukun, yang bertugas membawa kotak ziarah. 5. Bapak Jatim dan Bapak Hatijah keturunan dari embah Dukun, yang bertugas membawa bedak sebagai perlengkapan ziarah. Dan Bapak Kadir selaku juru kunci pemakaman juga membantu persiapan Nyadar. Ia juga diangkat berdasarkan kemufakatan keempat pemimpin dan penghulu. Untuk juru kunci dimbil seseorang yang bertempat tinggal dekat dengan pemakaman dan masih keturunan waraga Pinggirpapas. Tugasnya selain menyiapkan tempat Nyadar adalah mengawasi pemakaman dan merawatnya. Ia digaji pada saat upacara Nyadar dan kadang kala ada peziarah yang juga memberi sedikit uang, tetapi ia tidak pernah meminta imbalan dari mereka.91 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perbedaan antara tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat di sini adalah terletak pada peranannya dalam kehidupan sosial masyarakat setempat yakni masyarakat Pinggirpapas. Dimana Tokoh agama berperan sebagai seorang tokoh yang berperan dalam mengajarkan ilmu agamanya kepada masyarakat, baik guru ngaji ataupun seseorang yang mempunyai gelar haji atau kyai. Dan tokoh masyarakat adalah seseorang yang mempunyai kedudukan dan peranan
91
Wawancara Pribadi dengan Bapak Ahmad Rizal, “Tokoh Masyarakat”, Pinggirpapas, tanggal 18 Februari 2006
penting dalam kehidupan sosial masyarakat setempat, baik itu pejabat desa ataupun seseorang yang disegani karena kedudukannya yang tinggi dalam bidang ekonomi. Sedangkan yang dimaksud dengan kriteria seorang tokoh adat adalah berdasarkan peranannya dalam bidang adat-istiadat yang ada dalam komunitas sosial tertentu. Baik itu Ketua adat, wakilnya atupun para anggota adat lainnya. Pemerintah sama sekali tidak terlibat dalam pengangkatan pemimpin, penghulu maupun juru doa. E. Dampak atau Pengaruh Tradisi Nyadar Dalam Kehidupan Masyarakat Pinggirpapas Dalam melaksanakan tradisi Nyadar bagi masyarakat Pinggirpapas sebenarnya tidak ada tujuan-tujuan tertentu yang lebih spesifik. Bagi para petani garam khususnya, dengan mengikuti ritual tradisi Nyadar mempunyai manfaat bahwasannya mereka akan selalu ingat atas nikmat Allah SWT yakni hasil panen garam khususnya yang telah diberikan kepada mereka. Dengan demikian ritual tradisi Nyadar ini tidak lebih adalah untuk menyatakan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rizki dan memohon untuk dilipat gandakan pendapatan mereka lewat hasil garam itu untuk tahun yang akan datang. Pengikut ritual tradisi Nyadar ini boleh dilakukan oleh semua kalangan dan warga dari desa lainnya. Baik itu memang warga yang bertempat tinggal di desa atau wilayah lain maupun warga yang bertempat tinggal di desa lain tetapi asli orang Pinggirpapas atau mempunyai garis keturunan orang Pinggirpapas. Bahkan dari kalangan aparat pemerintahan sampai tokoh agama pun sepakat untuk mengikuti upacara ritual Nyadar. Ritual Nyadar ini pun sudah diakui secara jelas bahwa ritual Nyadar adalah acara formal yang sudah terdaftar di Desa yang harus dilaksanakan setiap tahun. Ritual tradisi Nyadar selain memberi manfaat terhadap masyarakat Pinggirpapas untuk menambah rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa juga memberikan pengaruh diantaranya sebagai berikut : 4.
Dalam bidang sosial, tradisi Nyadar memberikan pengaruh pada adanya ikatan sosial yang terjalin antar warga desa Pinggirpapas dan sekitarnya. Secara Sosiologis menurut fitrahnya manusia adalah makhluk yang suka hidup berkelompok dengan pengertian bahwa manusia dalam hidupnya senantiasa memerlukan bantuan orang lain. Untuk itulah kemudian manusia selain sebagai makhluk individu, manusia juga makhluk sosial. Terdorong oleh kedudukannya yang kodrati sebagai makhluk sosial maka manusia tidak dapat hidup seorang diri. Dimanapun manusia berada dia pasti memerlukan orang lain. Durkheim menyebutnya dengan istilah solidaritas sosial, yang terbagi atas solidaritas mekanik
dan solidaritas organik. Ciri khas yang penting dari solidaritas mekanikadalah bahwa solidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentiment, dan sebagainya. Homogenitas serupa itu hanya mungkin kalau pembagian kerja bersifat sangat minim. Berlawanan dengan itu, solidaritas organik muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas itu didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan itu bertambah sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dalam pembagian pekerjaan.92 Secara terminologi kata “solidaritas” berasal dari bahasa latin “solidus”. Kata ini di pakai dalam sistem sosial yang berhubungan dengan integritas kemasyarakatan melalui kerjasama dan keterlibatan yang satu dengan yang lainnya. Bentuk dari solidaritas dalam kehidupan masyarakat berimplikasi pada kekompakan dan keterikatan dari bagian-bagian yang ada. Dalam istilah Romawi dikatakan bahwa yang dimaksud dengan solidaritas adalah semua untuk masing-masing dan masing-masing untuk semua. Sebagaimana yang terdapat pada tradisi Nyadar, baik dimulai dari acara parembukan (musyawarah) untuk menetapkan waktu pelaksanaan Nyadar, pembagian tugas oleh masing-masing tokoh pelaksana Nyadar ataupun peran ikut serta masyarakat Pinggirpapas dalam tradisi Nyadar, semuanya ini menuntut adanya solidaritas sosial yang utuh dan kuat di antara para tokoh adat setempat dan warga desa Pinggirpapas umumnya. Sehingga hal ini akan meminimalisir terjadinya konflik atau pertentangan antar individu. Konflik terjadi sebagai akibat adanya perbedaan paham dan kepentingan yang sangat mendasar, sehingga menimbulkan adanya jurang pemisah yang mengganjal interaksi sosial di antara mereka yang bertikai tersebut. 5.
Dalam bidang pendidikan, tradisi Nyadar memberikan pengaruh yang cukup penting dalam perkembangan pendidikan masyarakat Pinggirpapas. Khususnya bagi anak-anak dari pengusaha garam yang rata-rata mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya ke Perguruan Tinggi hingga menjadi Sarjana. Hal ini tentunya tidak terlepas dari pendapatan bersih rata-rata para pengusaha garam yang mencapai lebih dari 20 juta/tahunnya. Selain itu mereka memiliki usaha sambilan yang mengandalkan pada keadaan cuaca juga, yakni apabila musim penghujan tiba maka para pengusaha garam beralih kepada usaha atau mengandalkan mata pencaharian tambak ikan, seperti hasil ikan bandeng, ikan teri dan udang.
92
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Penerjemah Robert M.Z Lawang, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1990), h. 183
6.
Dalam bidang ekonomi, tradisi Nyadar berpengaruh pada pendapatan ekonomi dalam usaha penggaraman masyarakat setempat yakni masyarakat Pinggirpapas. Umumnya kesejahteraan yang di dapat dari hasil usaha garam itu lebih banyak dirasakan peranannya bagi keluarga pengusaha garam dibandingkan para petani garamnya. Bayangkan saja apabila para pengusaha garam memiliki tambaktambak garam umumnya 20 petak, di mana 1 petaknya dapat menghasilkan garam sebanyak 10 ton dan 1 ton garam berkualitas bagus dihargai Rp. 200.000-250.000. Dengan demikian dapat disimpulkan kiranya bahwa penghasilan pengusaha garam itu sekitar Rp. 2.000.000-2.500.000/ petaknya. Berarti apabila pengusaha garam tersebut mempunyai tambak garam sebanyak 20 petak, maka penghasilan seluruhnya yang di peroleh adalah Rp. 40.000.000-50.000.000 dalam sekali panen tiap tahunnya. Sedangkan penghasilan ini masih di sebut dengan penghasilan kotor. Karena penghasilan ini masih perlu diadakan pembagian pendapatan antara pengusaha garam dengan petani garam. Dan umumya pembagian pendapatan ini didasarkan pada kesepakatan yang terjadi antara kedua belah pihak, dimana pengusaha garam mendapatkan bagian yang lebih besar karena sebagai pemilik modal. Sedangkan petani garam mendapatkan bagian yang lebih kecil karena sifatnya hanya sebagai pekerja/ buruh, biasanya mereka mendapatkan bagian sebanyak 1/3 bagian dari total pendapatan yang diperoleh.
4. Dalam bidang agama, tradisi Nyadar memberi pengaruh pada kehidupan kerukunan umat khususnya masyarakat Pinggirpapas yang beragama Islam. Dimana Islam mengajarkan untuk saling tolong-menolong dan memupuk rasa persaudaraan antar sesamanya. Dengan demikian bisa kita lihat arti dari kerukunan yang menurut Mulder, kata “rukun” adalah berada dalam keadaan selaras, tenang, dan tetram tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu untuk saling membantu satu sama lainnya. Kerukunan dalam konteks Mulder, bisa diartikan sebagai sikap toleransi dimana sikap dasar yang memungkinkan sebuah agama berdampingan dengan agama lain ataupun memberikan keleluasaan terhadap kelompok lain.93
93
Miels Mulder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1986), h.39
5. Dalam bidang budaya, tradisi Nyadar berpengaruh sebagai objek wisata yang dikagumi oleh para wisatawan asing atau para turis.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut : Dalam sejarahnya ritual Nyadar merupakan tradisi yang sudah sejak lama ada dan dilaksanakan oleh masyarakat desa Pinggirpapas. Sedangkan dalam praktiknya mereka mempunyai peraturan-peraturan sebelum melaksanakan upacara seperti mengadakan acara parembukan (musyawarah) untuk menetapkan waktu pelaksanaan, memberikan sesaji dan lain sebagainya. Dalam waktunya biasanya masyarakat setempat melaksanakannya tiga kali dalam setahun atau bertepatan sesudah tanggal 12 Maulid (sesudah melaksanakan Maulid Agung).. Mengenai harinya selalu ditetapkan hari Jumat dan Sabtu sebagai hari pelaksanaannya. Dan tujuan diadakannya tradisi Nyadar tersebut tiap tahunnya adalah untuk melestarikan kebudayaaan dan menghormati aturan-aturan yang sudah berjalan lama di Desa Pinggirpapas. Ritual tradisi Nyadar yang diselenggarakan setiap tahun oleh masyarakat Pinggirpapas telah menjadi seperti satu kewjiban yang harus dilaksanakan. Ritual tradisi Nyadar juga dapat dijadikan sarana untuk saling mengenal, saling menolong, serta saling tenggang rasa antara individu satu dengan yang lainnya. Hal seperti ini merupakan suatu proses dialog yang positif diantara mereka. Adapun pendapat para wisatawan, tokoh agama, dan masyarakat setempat, mereka pada umumnya mengungkapkan bahwasanya ritual tradisi Nyadar merupakan salah satu kebudayaan. Selain itu Nyadar merupakan salah satu wujud rasa syukur terhadap segala nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT. B. Saran 1.
Ritual tradisi Nyaadar harus tetap dipertahankan dan dilestarikan oleh masyarakat Pinggirpapas, karena melihat fungsi sosial dari ritual Nyadar yang positif yang menjadi wahana untuk saling bekerjasama
antar penduduk setempat sehingga dapat menciptakan kerukunan antar mereka selain itu hal ini merupakan suatu identitas sebagai orang Madura yang mempunyai tradisi tersendiri yang harus dipelihara. 2.
Hendaknya para ulama yang berkiprah dimasyarakat perlu lebih banyak mengungkapkan dakwah dengan topik-topik yang bertema dengan syariat-syariat Islam atau hukum-hukum Islam guna untuk menyentuh dan menimbulkan semangat ibadah bagi masyarakat.
3.
Perlu adanya pertimbangan logis dalam melakukan ritual tradisi Nyadar, jadi tidak sekedar warisan nenek moyang semata, masyarakat Desa Pinggirpapas juga perlu melihat apakah ritual tradisi Nyadar tersebut benar adanya atau melenceng pada hukum agama.
PEDOMAN WAWANCARA
1. Apa pekerjaan yang Anda tekuni saat ini? 2. Apa yang Anda ketahui mengenai tradisi Nyadar? 3. Apakah Anda mengikuti tradisi Nyadar tiap tahunnya? 4. Apa sebenarnya yang melatarbelakangi Anda untuk mengikuti jalannya pelaksanaan tradisi Nyadar tersebut? 5. Seandainya Anda tidak mengikuti pelaksanaan Nyadar, apakah ada sebuah aturan bagi siapa yang tidak mengikuti Nyadar akan mendapatkan sangsi atau hukuman? 6. Apakah ada sebuah pengaruh terhadap kehidupan Anda sebelum dan sesudah Anda melaksanakan ritual Nyadar tersebut? Kalau ada seperti apa pengaruh itu Anda rasakan? 7. Dalam ritual Nyadar yang pertama dan kedua sifatnya ziarah ke makam Anggasuto beserta kerabatnya yang erat hubungannya memanjatkan doa-doa kepada mereka para leluhur. Selain memanjatkan doa kepada mereka apakah Anda memanjatkan doa untuk kehidupan pribadi juga? Dan khususnya dalam hal apa?
HASIL WAWANCARA Hari / tgl
: Selasa, 14 Februari 2006.
Nama Responden
: Masrawi.
Usia
: 25 tahun.
1. Apa pekerjaan yang Anda tekuni saat ini? Jawab : Saya berwiraswasta. 2. Apa yang Anda ketahui mengenai tradisi Nyadar? Jawab : Ya yang saya ketahui tentang Nyadar itu adalah upacara adat yang setiap tahunnya selalu di peringati oleh masyarakat Pinggirpapas sebagai bentuk rasa syukur kami kepada Allah SWT dengan adanya hasil panen garam. Dan juga Nyadar ini merupakan sebuah bentuk penghormatan atas jasa-jasa leluhur kami mbah Anggasuto yang pertama kali menemukan garam di tanah kelahiran kami ini mbak. 3. Apakah Anda mengikuti tradisi Nyadar tiap tahunnya? Jawab : Ya, saya mengikuti. 4. Apa sebenarnya yang melatarbelakangi Anda untuk mengikuti jalannya pelaksanaan tradisi Nyadar tersebut? Jawab : Ya seperti yang sudah saya ceritakan tadi, saya mengikuti Nyadar sematamata sebagai wujud rasa syukur saya kepada Allah SWT. Dan juga dalam rangka menghargai jasa-jasa para leluhur masyarakat Pinggirpapas khususnya mbah Anggasuto. Karena beliaulah masyarakat Pinggirpapas memiliki mata pencaharian yang utama yakni bertani “buje” atau disebut juga garam mbak. Dan saya sebagai masyarakat Pinggirpapas wajib kiranya memelihara dan melestarikan adat istiadat ini.
5. Seandainya Anda tidak mengikuti pelaksanaan Nyadar, apakah ada sebuah aturan bagi siapa yang tidak mengikuti Nyadar akan mendapatkan sangsi atau hukuman? Jawab : Tidak ada. 6. Apakah ada sebuah pengaruh terhadap kehidupan Anda sebelum dan sesudah Anda melaksanakan ritual Nyadar tersebut? Kalau ada seperti apa pengaruh itu Anda rasakan? Jawab : Kalau menurut saya belum ada pengaruhnya mbak. Karena saya merasa sebagai warga Pinggirpapas punya kewajibanuntuk tetap melestarikan adat istiadat nenek moyang kami. 7. Dalam ritual Nyadar yang pertama dan kedua sifatnya ziarah ke makam Anggasuto beserta kerabatnya yang erat hubungannya memanjatkan doa-doa kepada mereka para leluhur. Selain memanjatkan doa kepada mereka apakah Anda memanjatkan doa untuk kehidupan pribadi juga? Dan khususnya dalam hal apa? Jawab : Tidak, hanya sekedar mengirim fatihah kepada para leluhur kami mbak.
HASIL WAWANCARA Hari / tgl
: Rabu, 15 Februari 2006.
Nama Responden
: Ruspandi.
Usia
: 30 tahun.
1. Apa pekerjaan yang Anda tekuni saat ini? Jawab : Pekerjaan yang saya tekuni saat ini sebagai Pegawai Harian Lepas (PHL) di kantor kecamatan. 2. Apa yang Anda ketahui mengenai tradisi Nyadar? Jawab : “Nyadar” menurut yang saya ketahui adalah merupakan selametan sebagai ungkapan rasa syukur dan rasa terima kasih kepada Allah SWT SWT atas karunianya, serta untuk mengenang dan memperingati jasa-jasa para leluhur sebagai perintis pertama kali cara bertani garam dan bertani ikan.Nyadar dilaksanakan/ diperingati setiap tahunnya 3 (tiga) kali pada waktu musim panen garam/ kemarau. 3. Apakah Anda mengikuti tradisi Nyadar tiap tahunnya? Jawab : Ya, saya juga mengikuti pada setiap tahunnya mbak. 4. Apa sebenarnya yang melatarbelakangi Anda untuk mengikuti jalannya pelaksanaan tradisi Nyadar tersebut? Jawab : Karena saya juga ingin mengucapkan rasa terima kasih dan rasa syukur kami kepada Allah SWT atas karunia yang di berikan pada kami. Dan juga dalam rangka memeperingati atau jasa-jasa para leluhur kami. Dan juga ikut meramaikan serta melestarikan upacara Nyadar yang sudah menjad tradisi atau adat serta budaya di desa kami. 5. Seandainya Anda tidak mengikuti pelaksanaan Nyadar, apakah ada sebuah aturan bagi siapa yang tidak mengikuti Nyadar akan mendapatkan sangsi atau hukuman? Jawab : Tidak ada.
6. Apakah ada sebuah pengaruh terhadap kehidupan Anda sebelum dan sesudah Anda melaksanakan ritual Nyadar tersebut? Kalau ada seperti apa pengaruh itu Anda rasakan? Jawab : Saya tidak tahu. 7. Dalam ritual Nyadar yang pertama dan kedua sifatnya ziarah ke makam Anggasuto beserta kerabatnya yang erat hubungannya memanjatkan doa-doa kepada mereka para leluhur. Selain memanjatkan doa kepada mereka apakah Anda memanjatkan doa untuk kehidupan pribadi juga? Dan khususnya dalam hal apa? Jawab : Iya, selain saya memanjatkan doa-doa kepada Allah SWT untuk para leluhur kami, saya juga tidak lupa memanjatkan doa untuk diri saya pribadi dan keluarga kepada Allah SWT khususnya agar di beri keselamatan dunia dan akhirat, serta diberi rizki yang halal.
HASIL WAWANCARA Hari / tgl
: Sabtu, 18 Februari 2006.
Nama Responden
: Bapak Ahmad Rizal
Usia
: 30 tahun
1. Apa pekerjaan yang Anda tekuni saat ini? Jawab : Petani garam 2. Apa yang Anda ketahui mengenai tradisi Nyadar? Jawab : Nyadar menurut saya adalah kebudayaan tradisional yang di lakukan tiap tahun sekali oleh masyarakat Pinggirpapas dan sekitrnya sebagai upacara adat dalam rangka tasyakuran (selamatan sebagai rasa terima kasih dalam pelaksanaan panen garam) pencetus pertama embah Anggasuto. Adapun upacara Nyadar itu dilaksanakannya 3 kali dalam setahun:
¾ Nyadar pertama yakni dilakukan di Kebundadap sebagai tasyakuran panen garam pertama, dengan cara berziarah ke makam Anggasuto. ¾ Nyaadar kedua yakni di lakukan di Kebundadap sebagai tasyakuran panen garam kedua, dengan cara yang sama seperti Nyadar pertama. ¾ Nyadar ketiga yakni tasyakuran di lakukan di rumah masing-masing sebagai panen garam terakhir. 3. Apakah Anda mengikuti tradisi Nyadar tiap tahunnya? Jawab : Ya, karena saya yakin bahwa upacara Nyadar itu menjadi kewajiban bagi saya sebagai putera daerah dan warisan nenek moyang 4. Apa sebenarnya yang melatarbelakangi Anda untuk mengikuti jalannya pelaksanaan tradisi Nyadar tersebut? Jawab : Yang melatarbelakangi saya untuk mengikuti jalannya pelaksanaan tradisi Nyadar tersebut yakni bernuansa Islami yang mempunyai arti sejarah yaitu nilai-nilai
syiar Islam diantaranya tahlil bersama. Dan dapat mempererat hubungan kekeluargaan serta menjalin tali silahturahmi sesame warga Pinggirpapas ataupun dari warga desa yang lainnya. 5. Seandainya Anda tidak mengikuti pelaksanaan Nyadar, apakah ada sebuah aturan bagi siapa yang tidak mengikuti Nyadar akan mendapatkan sangsi atau hukuman? Jawab
: Pada diri saya pelaksanaan upacara Nyadar tersebut merupakan suatu
keyakinan yang harus di lakukan, apabila tidak dilakukan akan mendapat bala’ atau hukuman. Entah kepada orang lain saya tidak tahu, karena itu merupakan suatu keyakinan. 6. Apakah ada sebuah pengaruh terhadap kehidupan Anda sebelum dan sesudah Anda melaksanakan ritual Nyadar tersebut? Kalau ada seperti apa pengaruh itu Anda rasakan? Jawab : Ada pengaruhnya, yaitu lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT serta lebih mempererat tali silaturahmi terutama masyarakat Pinggirpapas dan sekitarnya. 7. Dalam ritual Nyadar yang pertama dan kedua sifatnya ziarah ke makam Anggasuto beserta kerabatnya yang erat hubungannya memanjatkan doa-doa kepada mereka para leluhur. Selain memanjatkan doa kepada mereka apakah Anda memanjatkan doa untuk kehidupan pribadi juga? Dan khususnya dalam hal apa? Jawab : Iya, selain saya mendoakan almarhum mbah Anggasuto dan kerabatnya saya juga meminta tolong menyambungkan doa untuk keselamatan fiddun ya wal akherat khususnya semoga di lapangkan rizki dan senantiasa di jauhkan dari berbagai macam bala’ dan musibah karena saya yakin almarhum tersebut mampu mendoakan orang yang hidup.
HASIL WAWANCARA Hari / tgl
: Kamis, 16 Februari 2006.
Nama Responden
: Bapak Badrul Komar
Usia
: 53 tahun.
1. Apa pekerjaan yang Anda tekuni saat ini? Jawab : Pekerjaan saya Pengacara alias Pengangguran banyak acara, ha…ha…, saya pensiun guru mbak. 2. Apa yang Anda ketahui mengenai tradisi Nyadar? Jawab : Nyadar itu merupakan sebuah upacara adat yang dilakukan sebanyak tiga kali dalam setahun oleh masyarakat Pinggirpapas. Nyadar pertama dan kedua dilakukan di sekitar pemakaman Anggasuto di Kebundadap. Dan Nyadar ketiga dilakukan di rumah masing-masing warga Pinggirpapas. Adapun hari pelaksanaannya adalah hari Jum’at dan sabtu. 3. Apakah Anda mengikuti tradisi Nyadar tiap tahunnya? Jawab : Ya, hanya sekedar menghormati warisan leluhur kami mbak. 4. Apa sebenarnya yang melatarbelakangi Anda untuk mengikuti jalannya pelaksanaan tradisi Nyadar tersebut? Jawab : Karena dalam pelaksanaan Nyadar tersebut mengandung hikmah adanya jalinan kekerabatan antar warga dan bisa saling mengenal antar sesama. Karena yang mengikuti Nyadar itu dari semua kalangan loh mbak. Baik dari yang muda ataupun para orang tua yang datangnya pun dari mana-mana. 5. Seandainya Anda tidak mengikuti pelaksanaan Nyadar, apakah ada sebuah aturan bagi siapa yang tidak mengikuti Nyadar akan mendapatkan sangsi atau hukuman? Jawab : Menurut saya tidak ada ya mbak. Tapi lebih baik mengikuti saja sebagai bentuk menghormati adat istiadatnya orang Pinggirpapas.
6. Apakah ada sebuah pengaruh terhadap kehidupan Anda sebelum dan sesudah Anda melaksanakan ritual Nyadar tersebut? Kalau ada seperti apa pengaruh itu Anda rasakan? Jawab : Banyak pengaruhnya sekali bagi saya, yakni : a. Lebih mendekatkan diri pada Allah Swt b. Jiwa terasa lebih tentram dan tenang. c. Akan menambah rasa Ukhuwah Islamiyah di antara umat Islam terutama masyarakat Pinggirpapas. 7. Dalam ritual Nyadar yang pertama dan kedua sifatnya ziarah ke makam Anggasuto beserta kerabatnya yang erat hubungannya memanjatkan doa-doa kepada mereka para leluhur. Selain memanjatkan doa kepada mereka apakah Anda memanjatkan doa untuk kehidupan pribadi juga? Dan khususnya dalam hal apa? Jawab : Iya, selain saya mendo’akan almarhum embah Anggasuto dan kerabatnya, saya juga memohon sambungan do’a yakni kepada Allah Swt untuk keselamatan dunia dan akhirat serta kesehatan mbak.
HASIL WAWANCARA Hari / tgl
: Senin 13 Februari 2006.
Nama Responden
: Harun Rasyid
Usia
: 43 tahun.
1. Apa pekerjaan yang Anda tekuni saat ini? Jawab : Saya guru ngaji. 2. Apa yang Anda ketahui mengenai tradisi Nyadar? Jawab : Tradisi Nyadar adalah tradisi yang dilakukan sebagai perayaan hasil panen garam. 3. Apakah Anda mengikuti tradisi Nyadar tiap tahunnya? Jawab : Ya, karena saya memimpin pembacaan doa dan tahlilan pada tradisi Nyadar tersebut. 4. Apa sebenarnya yang melatarbelakangi Anda untuk mengikuti jalannya pelaksanaan tradisi Nyadar tersebut? Jawab : Ya saya mengikuti Nyadar hanya untuk memberikan doa dengan membaca al-fatihah kepada leluhur kami embah Anggasuto. 5. Seandainya Anda tidak mengikuti pelaksanaan Nyadar, apakah ada sebuah aturan bagi siapa yang tidak mengikuti Nyadar akan mendapatkan sangsi atau hukuman? Jawab : Saya rasa tidak ada ya mbak. 6. Apakah ada sebuah pengaruh terhadap kehidupan Anda sebelum dan sesudah Anda melaksanakan ritual Nyadar tersebut? Kalau ada seperti apa pengaruh itu Anda rasakan? Jawab
: Ada pengaruhnya mbak, yakni menanamkan sifat kekeluargaan dan
silaturrahmi di kalangan masyarakat Pinggirpapas ataupun masyarakat dari desa lain. 7. Dalam ritual Nyadar yang pertama dan kedua sifatnya ziarah ke makam Anggasuto beserta kerabatnya yang erat hubungannya memanjatkan doa-doa kepada mereka para
leluhur. Selain memanjatkan doa kepada mereka apakah Anda memanjatkan doa untuk kehidupan pribadi juga? Dan khususnya dalam hal apa? Jawab : Ya, terutama agar diberikan keselamatan dunia dan akhirat, lebih-lebih dijauhkan dari segala macam musibah dan bala’. Serta semoga para petani garam diberikan rizki yang berlipat ganda dari usaha bertani garam ini mbak.
Tata cara pelaksanaan Nyadar pertama pada hari Jumat sekitar jam 16.00 sore
Sebelum melaksanakan ritual Nyadar dilakukan pembakaran kemenyan oleh Bapak Sunarto
Tempat pengumpulan kembang dari para warga yang akan ditaburkan ke makam embah Anggasuto dan kerabatnya
Para warga Pinggirpapas dan sekitarnya berkumpul untuk menunggu kedatangan para tokoh adat Nyadar sebelum acara dimulai
Setelah para tokoh berkumpul semua, Ketua adat membuka pintu/ Labeng makam untuk masuk terlebih dahulu
Kemudian diikuti oleh para tokoh adat lainnya.
Barulah acara pembacaan surat Yasin dan tahlilan dimulai dan dipimpin oleh tokoh agama setempat yakni Bapak Harun Rasyid
Setelah pembacaan doa bersama selesai, barulah para tokoh Nyadar yang bertugas membawa kembang membagikannya kepada warga untuk ditaburkan ke makam Anggasuto
Untuk kemudian para warga berebut masuk kedalam makam Anggasuto dan para kerabatnya
Makam leluhur masyarakat Pinggirpapas yakni Anggasuto
Makam embah Kuasa/ embah Kabasa adik Anggasuto
Nyadar Kedua pada hari Sabtu sekitar jam 8.00 pagi
Umumnya pelaksanaan Nyadar pertama dan kedua pada hari sabtu ini sama yakni dilakukan upacara Kaoman (upacara makan bersama/ tasyakuran). Namun hanya ada satu perbedaan yakni sejata peninggalan Anggasuto yakni keris dan kodik di keluarkan dari pasareannya, seperti gambar dibawah ini :
Keris dan kodik ini dipegang oleh Mohammad Sadin selaku juru Doa juga dalam upacara Kaoman
Keempat tokoh ini dikenal dengan sebutan Racok Saebu yang bertugas untuk menghitung panjeng (talam besar yang berisikan nasi tumpeng), Dari kanan ke kiri Bapak Karim, Bapak Sumatra, Bapak Razak dan Bapak Sinabar
Struktur Kepemimpinan Dalam Tradisi Nyadar Ketua Adat/ Sesepuh
: Embah Kasa
Wakil Sesepuh
: Bapak Masriyani
Pemimpin doa pada hari Jumat
: Bapak Harun Rasyid
Juru doa dalam upacara Kaoman
: Mohammad Sadin
Racok Saebu (menghitung panjeng)/ penghulu : 1. Bapak Sumatra 2. Bapak Karim 3. Bapak Sinabar 4. Bapak Razak Membakar kemenyan sebelum ritual Nyadar
: Bapak Sunarto
Membakar kemenyan sebelum doa dibaca
: Bapak Suliman
Membawa kotak air ziarah
: Bapak Ibrahim
Membawa kembang perlengkapan ziarah
: 1.Bapak Hasan 2. Ibu Sumabiya 3. Bapak Jamal
Membawa bedak perlengkapan ziarah
: Bapak Misradin 1. Bapak Jurasmi 2. Bapak Hatijah 3. Bapak Jatim
SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Ruspandi.
Jenis kelamin
: Laki-laki.
Usia
: 30 tahun.
Agama
: Islam.
Pekerjaan
: Pegawai Harian Lepas (PHL) di Kecamatan.
Alamat
: Pinggirpapas.
Dengan ini menyatakan bahwa, saya telah di wawancarai oleh seorang mahasiswi yang bernama Hosnor Hotimah dari UIN Syarif Hidayatullah semester XII, Program Strata (SI) dalam rangka riset dan wawancara dalam penelitian Skripsi yang berjudul “Tradisi Ritual Nyadar di Pinggirpapas (Studi Kasus di Desa Pinggirpapas Sumenep Madura).
Demikian surat pernyataan ini di buat dengan sebenarnya agar dapat di pergunakan sebagaimana mestinya bagi yang bersangkutan.
Mengetahui
Kepala Desa Pinggirpapas
Moh. Sadek
Yang Membuat Pernyataan
Ruspandi
SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Sudirto
Jenis kelamin
: Laki-laki.
Usia
: 54 tahun.
Agama
: Islam.
Pekerjaan
: Nelayan.
Alamat
: Pinggirpapas. Dengan ini menyatakan bahwa, saya telah di wawancarai oleh seorang mahasiswi
yang bernama Hosnor Hotimah dari UIN Syarif Hidayatullah semester XII, Program Strata (SI) dalam rangka riset dan wawancara dalam penelitian Skripsi yang berjudul “Tradisi Ritual Nyadar di Pinggirpapas (Studi Kasus di Desa Pinggirpapas Sumenep Madura). Demikian surat pernyataan ini di buat dengan sebenarnya agar dapat di pergunakan sebagaimana mestinya bagi yang bersangkutan.
Mengetahui
Kepala Desa Pinggirpapas
Moh. Sadek
Yang Membuat Pernyataan
Sudirto
SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Nesbu Sari.
Jenis kelamin
: Perempuan
Usia
: 25 tahun.
Agama
: Islam.
Pekerjaan
: Petani Garam.
Alamat
: Pinggirpapas. Dengan ini menyatakan bahwa, saya telah di wawancarai oleh seorang mahasiswi
yang bernama Hosnor Hotimah dari UIN Syarif Hidayatullah semester XII, Program Strata (SI) dalam rangka riset dan wawancara dalam penelitian Skripsi yang berjudul “Tradisi Ritual Nyadar di Pinggirpapas (Studi Kasus di Desa Pinggirpapas Sumenep Madura). Demikian surat pernyataan ini di buat dengan sebenarnya agar dapat di pergunakan sebagaimana mestinya bagi yang bersangkutan.
Mengetahui
Kepala Desa Pinggirpapas
Moh. Sadek
Yang Membuat Pernyataan
Nesbu Sari
SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Masrawi.
Jenis kelamin
: Laki-laki.
Usia
: 25 tahun.
Agama
: Islam.
Pekerjaan
: Wiraswasta.
Alamat
: Pinggirpapas. Dengan ini menyatakan bahwa, saya telah di wawancarai oleh seorang mahasiswi
yang bernama Hosnor Hotimah dari UIN Syarif Hidayatullah semester XII, Program Strata (SI) dalam rangka riset dan wawancara dalam penelitian Skripsi yang berjudul “Tradisi Ritual Nyadar di Pinggirpapas (Studi Kasus di Desa Pinggirpapas Sumenep Madura). Demikian surat pernyataan ini di buat dengan sebenarnya agar dapat di pergunakan sebagaimana mestinya bagi yang bersangkutan.
Mengetahui Kepala Desa Pinggirpapas
Moh. Sadek
Yang Membuat Pernyataan
Masrawi
SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Rohmah.
Jenis kelamin
: Perempuan.
Usia
: 25 tahun.
Agama
: Islam.
Pekerjaan
: Wiraswasta.
Alamat
: Pinggirpapas.
Dengan ini menyatakan bahwa, saya telah di wawancarai oleh seorang mahasiswi yang bernama Hosnor Hotimah dari UIN Syarif Hidayatullah semester XII, Program Strata (SI) dalam rangka riset dan wawancara dalam penelitian Skripsi yang berjudul “Tradisi Ritual Nyadar di Pinggirpapas (Studi Kasus di Desa Pinggirpapas Sumenep Madura).
Demikian surat pernyataan ini di buat dengan sebenarnya agar dapat di pergunakan sebagaimana mestinya bagi yang bersangkutan.
Mengetahui
Kepala Desa Pinggirpapas
Moh. Sadek
Yang Membuat Pernyataan
Rohmah